1
AROMA daun kering menyatu dengan udara di
sekitar hutan tersebut. Daun-daun kering berwarna
coklat bagai bentangan permadani aneh yang menutu-
pi seluruh tanah di hutan yang terdiri dari pohon-
pohon cemara liar. Siapa pun yang berjalan melintasi
hutan tersebut akan merasa seperti berjalan di atas
permadani yang empuk, karena daun-daun cemara
kering itu bukan saja banyak, namun Juga bertum-
puk-tumpuk. Tidak ada orang yang mau menyapu hu-
tan seluas itu.
Hutan yang sunyi tanpa suara satwa apa pun
kecuali hembusan angin, tiba-tiba digetarkan oleh sua-
ra Jeritan seorang lelaki. Suara jeritan seorang lelaki
yang menggema itu bagai merobek lapisan sunyi yang
ada di hutan cemara, mengejutkan sepasang pemuda
kembar yang sedang melintasi hutan tersebut menuju
Gunung Mercapada. Kedua pemuda itu tak lain adalah
Raka Pura dan adiknya: Soka Pura. Keduanya dikenal
sebagai Pendekar Kembar dari Gunung Merana.
Kedua pemuda tampan kembar wajah dan pe-
nampilannya yang juga serupa itu kini saling beradu
pandang. Gema suara jeritan itu masih merambah di
tiap batang pohon yang menimbulkan kesan sebagai
jeritan misterius.
"Dari mana arah jeritan itu?"
"Sepertinya dari selatan," jawab Soka sambil
melirik ke arah selatan.
"Kurasa bukan dari selatan, tapi dari utara.
Pantulan gema membuat suara itu seperti dari utara."
Soka Pura sentakkan pundak, "Mungkin saja!
Coba periksalah ke utara sana!"
"Mengapa harus aku yang memeriksanya?"
Soka Pura mendekat dan berbisik kepada ka-
kak kembarnya itu.
"Sebab aku melihat seseorang mengintai dari
balik pepohonan arah timur itu!"
Ketika Raka Pura ingin menengok ke timur,
sang adik segera mencegah dengan mencekal pundak
kakaknya.
"Jangan menengok ke timur, nanti dia tahu ka-
lau kita sedang bicarakan dirinya!"
"Berapa orang yang mengintai kita?!" bisik Raka
Pura.
"Tak Jelas. Yang ku tahu baru satu orang. Tapi
kepalanya kelihatan nongol sebentar, lalu masuk lagi
di persembunyian. Seperti seekor kura-kura!"
"Kalau begitu, kau saja yang menengok ke uta-
ra, cari tahu jeritan apa dan jeritan siapa yang kita
dengar tadi. Aku akan ke timur, memeriksa siapa yang
mengintai kita."
Soka Pura mendesah tanda tak mau ke utara.
Tapi kakaknya memaksa dengan bahasa isyarat. Mau
tak mau Soka Pura berkelebat ke utara sedangkan ka-
kaknya ke timur. Soka Pura, si Pendekar Kembar
bungsu, bergerak cepat karena menggunakan Jurus
'Jalur Badai' yang mampu mempunyai kecepatan lebih
cepat dari hembusan badai ganas. Wuuuzz...! Dalam
sekejap pun ia sudah mencapai tempat yang jauh dari
tempatnya berhenti tadi.
Dalam hati pemuda tampan berbaju buntung
warna putih, seperti warna celananya itu, menggerutu
sambil bersungut-sungut.
"Sialan! Padahal tadi aku hanya membohongi
Raka, biar dia yang bergerak kemari memeriksa suara
jeritan tadi. Eh... Justru dia yang ingin memeriksa
arah timur. Konyol! Kalau tahu begitu tadi kugunakan
alasan lain biar aku tak disuruh kemari! Bisa saja ku
pakai alasan sakit perut, atau sedang sakit gigi. Tapi,
ah... tak pantas pendekar gagah kok sakit gigi? Raka
tak mungkin percaya! Tapi kalau...."
Gerutuan batin itu terhenti seketika karena
pandangan mata Soka tiba-tiba menemukan sesosok
tubuh yang tergeletak di seberang langkahnya. Ia bu-
ru-buru hampiri sosok tubuh tersebut.
"Ooh...?! Ternyata seorang pemuda sebaya
ku?!" gumam Soka Pura bernada kaget. Ia segera men-
gamati pemuda berbaju biru itu dengan memutarinya.
"Astaga! Dia sudah tak bernyawa?! Oh, menge-
rikan sekali...!" Soka Pura segera mundur dan melen-
gos ke arah lain, ia sengaja berdiri dengan tangan ki-
rinya bersandar pada sebuah pohon, sementara mayat
pemuda berbaju biru berada di sebelah kanannya.
Soka Pura tak tega melihat mayat itu karena
dada si mayat terbelah bagai habis disabet dengan pe-
dang tajam. Darahnya membasah di sekitar dada dan
perut. Bahkan sebagian darah memercik ke wajah
mayat. Keadaannya memang sungguh mengerikan, bi-
sa bikin orang muntah mendadak jika tak terbiasa me-
lihat darah sebanyak itu.
Akhirnya Soka paksakan hati agar tetap tega
memandang mayat tersebut. Karena di tangan mayat
itu tampak sesuatu yang menarik perhatian. Sebilah
keris yang masih berada dalam sarungnya, tergenggam
oleh mayat pemuda berambut ikal itu. Agaknya si kor-
ban tak sempat mencabut kerisnya ketika diserang
oleh lawannya.
Sesuatu yang menarik pada keris itu adalah
kemewahannya. Sarung keris tersebut terbuat dari
emas berukir yang dihiasi batu-batuan berkerilap. Ba-
tuan putih itu tak lain adalah berlian-berlian kecil
yang memantulkan lima sinar jika terkena pantulan
matahari. Gagang kerisnya yang terbuat dari kayu cok
lat tua itu juga dilapisi emas berukir kepala naga dan
berhias berlian kecil, terutama pada kedua mata kepa-
la naga itu.
Keris tersebut sempat terkena percikan darah
pada bagian ujung bawahnya. Soka Pura segera men-
gambil keris itu dan darah yang memercik di ujung
bawahnya segera dihapus dengan daun-daun kering.
"Sayang sekali jika keris ini terbuang begitu sa-
ja," pikirnya. "Tak ada salahnya jika ku rawat, bukan
untuk senjata, tapi mungkin kelak bisa kuberikan ke-
pada orang lain sebagai tanda mata. Hmmm...! Entah
apa kehebatan keris ini, yang jelas bentuknya sangat
bagus dan menawan sekali. Berlian-berlian ini cukup
mahal. Setidaknya jika aku terpaksa masuk warung
tanpa punya uang, keris ini pasti laku dijual, atau diti-
tipkan kepada si pemilik kedai sebagai jaminan yang
akan ku tebus di suatu hari nanti."
Selagi Soka mengamati keindahan keris terse-
but, tiba-tiba ia mendengar hembusan angin aneh dari
arah belakangnya. Firasatnya segera mengatakan ada
yang tak beres di belakangnya. Maka secara naluriah
Pendekar Kembar bungsu itu melompat ke arah lain
sambil memutar tubuhnya. Wees...!
Slaap, jaab...!
Sebilah pisau yang panjangnya satu jengkal le-
bih melayang dan menancap di sebatang pohon yang
tadi berada di depan Soka. Jika Pendekar Kembar
bungsu tidak segera melompat ke samping, maka ia
akan menjadi sasaran pisau tersebut.
Pisau itu jelas mengandung racun berbahaya,
karena kulit pohon yang terkena pisau itu menjadi ter-
kelupas dan berjatuhan ke tanah. Gerakan kulit pohon
yang terkelupas itu cukup cepat menjalar ke atas dan
bawah, hingga menimbulkan suara merentas gemeri-
sik.
Tetapi perhatian Pendekar Kembar bungsu itu
lebih tertarik pada kemunculan seraut wajah seorang
pemuda berusia sebayanya. Pemuda itu berkumis ti-
pis, ganteng, badannya pun tegap dan gagah. Ia men-
genakan baju lengan panjang warna hijau lumut den-
gan celananya yang warna hijau lumut juga. Ikat ping-
gangnya dari kain kuning tebal.
Di pinggang kiri terselip sebilah pedang be-
ronce-ronce benang merah pada ujung gagangnya. Pe-
dang itu cukup panjang sehingga lebih layak dikatakan
sebagai samurai. Di pinggang kanan terselip tiga pisau
serupa dengan pisau yang menancap di pohon. Pemu-
da berambut lurus sepunggung dan di ikat ke belakang
seperti perempuan itu, menatap Soka dengan tajam,
memancarkan permusuhan.
"Mengapa kau menyerangku, Kawan?!" tegur
Pendekar Kembar bungsu lebih dulu.
"Siapa kau sebenarnya?!" pemuda berpakaian
hijau lumut itu ganti bertanya.
"Aku Soka Pura dari Gunung Merana! Apakah
kau mengenalku? Atau kita ada persoalan sehingga
kau menyerangku dengan pisau maut mu itu?"
"Tak perlu berlagak bodoh, Soka Pura! Seka-
rang kau sudah berhadapan dengan Danu Paksi!"
sambil ia menunjuk dada sendiri. "Danu Paksi tak
pernah mundur berhadapan dengan siapa pun!"
"Apa maksudmu 'mundur'? Apakah kau pikir
aku akan melarangmu mundur walau di belakangmu
ada jurang? Oh, tidak! Kau mau mundur atau mau
maju itu urusanmu, bukan urusanku. Urusanku pun
bebas, mau maju mundur juga boleh, mau mundur
maju juga tak ada yang melarang."
"Ini bukan urusan maju-mundur!" bentak Danu
Paksi dengan jengkel.
Soka Pura tertawa pelan, masih memegangi ke
ris milik si korban dengan tangan kanannya. Ia bersi-
kap santai berhadapan dengan orang yang tampak ma-
rah padanya itu. Bahkan sikap berdirinya pun terlihat
santai, tangan kirinya mendekap lengan kanan yang
lurus ke bawah, punggungnya bersandar pada pohon
terdekat.
"Jangan harap kau bisa lolos dari tanganku,
Soka Pura!" ancam Danu Paksi.
"Mengapa kau mengancamku begitu, Danu
Paksi?! Aku bukan anak kecil yang takut dengan an-
caman apa pun, kecuali ancaman tidak diberi makan,
boleh jadi aku akan ketakutan!" ujar Soka dengan see-
naknya saja.
"Hmm...!" Danu Paksi mendengus sinis. "Kau
pikir bisa bersikap seenaknya jika sudah memegang
Keris Naga Sukma itu, hah?!"
"Keris...?!" Soka Pura sempat berkerut dahi, ia
baru sadar kalau masih memegangi keris milik pemu-
da yang tewas secara mengerikan itu. Maka keris ter-
sebut pun dipandanginya. "Keris ini bukan milikku,
Danu Paksi. Keris ini...."
"Tentu saja bukan milikmu, karena kau me-
rampasnya dari saudara seperguruanku itu!" sambil
Danu Paksi menuding mayat si pemilik keris tersebut.
"Oh, dia saudara seperguruanmu?!"
"Hmm...! Kau boleh bangga bisa membunuh
Prayoga, tapi jangan harap bisa bernapas sampai esok
pagi jika berhadapan dengan Danu Paksi!"
Suuut...! Tiba-tiba tangan kanan Danu Paksi
berkelebat. Rupanya ia mencabut pisau beracunnya
dan sekaligus melemparkannya ke arah Soka Pura.
Wees...! Lemparan cepat yang hampir tak bisa dilihat
oleh mata Pendekar Kembar bungsu itu ternyata masih
mampu dihindari. Gerakan badan yang miring ke kiri
secara refleks membuat pisau itu akhirnya menancap
pada pohon di belakang Soka Pura. Jubb...!
"Edan! Hampir saja tepat kenai leher ku!" gu-
mam Soka dalam hati. "Boleh juga lemparan pisaunya!
Aku harus hati-hati berhadapan dengan anak ini!"
Soka Pura segera lompat ke samping dengan
lebih waspada lagi. Danu Paksi pun melompat ke
samping, sehingga mereka tetap berhadapan dalam ja-
rak lima langkah.
"Kau mengawali perselisihan ini, Danu Paksi!"
"Aku menuntut kematian Prayoga! Harus kau
tebus dengan nyawamu juga, Soka Pura!"
"Aku tidak membunuh Prayoga! Aku datang ke-
tika...."
Wees...! Danu Paksi memotong kata-kata Soka
Pura dengan lompatan cepat menerjang dada Soka.
Kaki yang menyodok ke depan itu ditahan dengan tan-
gan kiri Soka, namun Soka terpental karena tenaga
Danu Paksi cukup besar. Soka tak menyangka lawan-
nya menggunakan tenaga dalam cukup besar yang
disalurkan melalui kakinya.
Bruuuk...! Soka Pura jatuh terjengkang ke be-
lakang. Danu Paksi segera menyerangnya dengan se-
buah tendangan. Tapi Soka Pura berhasil berguling ke
kiri, lalu kakinya menyampar kaki Danu Paksi yang
dipakai berdiri dalam tendangan kedua. Plaak...!
Bruuuk...!
Danu Paksi pun jatuh terpelanting. Kakinya
kurang kokoh, sehingga tak mampu menahan samba-
ran kaki Soka Pura. Serta-merta Soka Pura menyerang
Danu Paksi dengan kedua kakinya dalam keadaan an-
tara duduk dan terbaring. Danu Paksi menangkis tiap
kelebatan kaki lawannya dengan kaki pula. Mereka be-
radu kaki sesaat dengan gerakan sama cepatnya.
Plak, plak, buuhk, plak, plak, prook...!
"Aouff...!" Danu Paksi memekik dengan tubuh
terhempas ke belakang. Tendangan kakinya yang tadi
sempat kenai dada Soka itu telah dibalas berakibat wa-
jahnya terkena jejakan kaki Soka Pura. Mulutnya tera-
sa sakit, gusinya bagaikan mau remuk, karena jejakan
kaki Soka seperti sebongkah batu besar menyambar
wajah Danu Paksi.
Untuk sesaat Danu Paksi menggeragap, karena
pandangan matanya menjadi gelap. Tangannya mera-
ba-raba untuk temukan sesuatu yang bisa dipakai
berdiri.
Soka Pura sengaja tidak segera menyerangnya
lagi. Ia justru mundur dua langkah sambil berdiri te-
gak, mengusap-usap dadanya dengan tangan kiri,
sambil hati pun membatin dalam gerutu.
"Sialan! Sakit juga tendangannya?!"
Sebenarnya jika Soka Pura ingin mencelakai
Danu Paksi, saat itu ia punya kesempatan emas untuk
segera lepaskan serangan lagi. Dalam keadaan mata
menjadi gelap sesaat, Danu Paksi pasti tak bisa me-
nangkis serangan Soka. Tetapi Pendekar Kembar
bungsu itu ingin tunjukkan bahwa dirinya tidak ber-
maksud bermusuhan kepada Danu Paksi, sehingga ia
sengaja membiarkan Danu Paksi berdiri dan pengliha-
tannya pulih kembali.
"Kalau aku mau, sekarang juga nyawamu su-
dah melayang ke jalan neraka gang empat, Danu Pak-
si!" ujar Soka Pura dengan gayanya yang konyol. "Tapi
kurasa itu tak perlu kulakukan, karena aku bukan
musuhmu dan kau bukan musuhku! Kau salah pa-
ham, Danu Paksi!"
"Tutup mulutmu, Bangsat!" teriak Danu Paksi
sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Penglihatan-
nya mulai normal sedikit. Tapi ia segera mencabut sa-
murainya yang mengkilap tampak tajam sekali itu.
"Danu Paksi...!" sergah Pendekar Kembar bung
su. "Sudah ku coba untuk mengalah padamu. Tapi jika
kau inginkan kematian lebih cepat, aku tak keberatan
untuk bertugas sebagai El Maut-mu!"
Soka Pura menggertak demikian karena berha-
rap agar Danu Paksi hentikan permusuhannya. Tapi
agaknya Danu Paksi tak mempan dengan gertakan ter-
sebut. Ia justru bergerak mengelilingi Soka Pura sambil
menebaskan samurainya ke kanan-kirinya. Soka tahu,
penglihatan Danu Paksi belum pulih total, sehingga
pemuda itu sengaja memutari lawannya sambil me-
nunggu penglihatannya terang kembali. Soka Pura
sendiri sedang pertimbangkan langkahnya; menghada-
pi Danu Paksi atau meninggalkannya? Karena ia paling
benci melakukan tindakan yang ditimbulkan karena
kesalahpahaman.
"Majulah jika kau merasa mampu menembus
jurus 'Bajak Samurai'-ku ini!" seru Danu Paksi sambil
masih menebaskan samurainya ke kanan-kiri. Suara
desing samurai terdengar beruntun bagai mengiris hati
siapa pun yang mendengarnya.
Wiizz, wiiz, wwiz, wiiz, wiiz...!
"Gila! Cepat sekali gerakan samurainya itu?!
Pantas kalau ia andalkan! Tapi sebenarnya masih ka-
lah dengan kekuatan Pedang Tangan Malaikat-ku!"
gumam Soka Pura dalam hati, sambil tangan kirinya
mulai memegangi gagang pedang kristal yang terselip
di pinggang kanannya. Tapi tangan itu segera mele-
paskan gagang pedang. Karena hati kecil Soka pun
melarang mencabut pedang pusaka itu jika hanya ber-
hadapan dengan lawan seperti Danu Paksi.
"Heeeaaaat...!" Danu Paksi mulai berteriak
murka, penglihatannya telah pulih kembali. Ia hendak
maju menyerang Soka Pura dengan samurainya. Tapi
tiba-tiba gerakannya tertahan karena suara seseorang
yang berseru dari belakang Soka Pura.
"Hentikan!"
"Auuh...!" Soka Pura tersentak kaget dan sem-
pat mengejang sesaat. Suara itu bagai menusuk gen-
dang telinganya dan timbulkan rasa sakit yang luar bi-
asa. Soka sampai terbungkuk-bungkuk memegangi
kedua telinganya, satu dengan tangan kiri, satu den-
gan pergelangan tangan kanan, karena tangan kanan-
nya masih menggenggam keris mewah itu.
"Gila! Siapa orang yang berseru di belakangku
dengan suara sebegini menyakitkannya?!" gerutu Soka
Pura dalam hati. ia menengok ke belakang sambil ma-
sih sedikit membungkuk.
"Oh, rupanya seorang kakek berjubah putih?!"
gumam Soka lagi dalam hatinya.
Danu Paksi segera undurkan diri tiga langkah.
Ia terengah-engah diburu kemarahannya, tapi tak be-
rani melampiaskan karena memandang si jubah putih
berjenggot abu-abu itu.
Orang tersebut tidak segera hampiri Soka atau
Danu Paksi, melainkan segera dekati mayat Prayoga.
Matanya memandang penuh keharuan. Pada saat itu,
Danu Paksi segera berseru dari tempatnya.
"Pemuda inilah yang membunuh Prayoga,
Guru!"
Soka Pura segera paham, ternyata kakek tua
berjenggot abu-abu itu adalah gurunya Danu Paksi.
"Pantas ilmunya tinggi. Dengan sentakkan suaranya
saja gendang telingaku seperti ditusuk linggis! Breng-
sek! Kurasa jika Danu Paksi tidak mempunyai ilmu
penahan suara seperti itu, pasti dia akan kesakitan
pula. Karena dia murid orang tua itu, maka dia mem-
punyai ilmu penahan suara geledeknya tadi!"
Soka Pura segera salurkan hawa murninya un-
tuk atasi rasa sakit di kedua telinganya itu. Ia sudah
mampu berdiri tegak, walau sebenarnya rasa sakitnya
belum hilang sama sekali. Tapi ia masih bisa menden-
gar Danu Paksi berkata kepada gurunya.
"Aku datang terlambat, Guru! Pemuda yang
mengaku bernama Soka Pura itu telah lebih dulu
membunuh Prayoga untuk merampas Keris Naga
Sukma itu. Guru!"
Si jenggot abu-abu menatap Soka Pura, semen-
tara Soka Pura terperanjat dan ingin segera membuang
keris tersebut. Karena gara-gara keris itu ada di tan-
gannya, maka Danu Paksi seenaknya menuduhnya se-
bagai pembunuh Prayoga. Namun sebelum keris itu
dibuang, si tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun itu sudah menghampirinya dengan pandangan
mata tajam dan dingin, seakan ingin membekukan se-
luruh darah Soka.
"Mengapa kau seganas itu, Anak Muda?!"
"Ak... aku tidak membunuh muridmu itu,
Eyang!" bantah Soka dengan menyebut 'Eyang' kepada
tokoh tua tersebut sebagai tanda menghormati sang
tokoh tua.
"Keris pusaka Naga Sukma ada di tanganmu.
Prayoga tewas dalam keadaan luka parah seperti
itu...."
"Pasti dihabisi dengan pedangnya itu. Guru!"
sahut Danu Paksi.
"Aku tidak bicara padamu, Danu Paksi! Jangan
buka mulut sembarangan!" gertak sang Guru kepada
muridnya. Danu Paksi tundukkan kepala sebagai tan-
da patuh dan takut kepada sang Guru.
Kembali sang Guru bicara kepada Soka Pura.
"Di wajahmu tak kulihat kekejaman. Tapi ter-
nyata perlakuanmu seperti binatang, Anak Muda! Kau
habisi nyawa muridku; Prayoga, hanya untuk da-
patkan keris pusakanya yang bernama Keris Naga
Sukma itu. Kau harus menerima hukuman yang se
timpal, Anak Muda!"
"Tapi... tapi aku tidak bermaksud ingin memili-
ki keris ini, Eyang! Aku datang saat Prayoga sudah tak
bernyawa. Kulihat keris ini begitu indah dan tentu saja
harganya mahal, maka kuambil dari tangan mayat
Prayoga. Sayang sekali kalau...."
"Jika kau tak inginkan keris itu," potong sang
Guru. "Serahkan kepadaku sekarang juga!"
"O, silakan!" kata Soka Pura sambil buru-buru
menyerahkan keris tersebut kepada si tokoh tua.
Soka tersenyum kaku karena dipaksakan.
"Hmm... untuk apa aku merebut pusaka milik orang
yang belum tentu sedahsyat pedang pusakaku sendiri
ini?!" ia seakan bicara pada dirinya sendiri. Tapi sang
tokoh tua segera memandanginya setelah memeriksa
keris tersebut, lalu menyelipkan pada ikat pinggangnya
yang terbuat dari kain hitam.
"Buktikan bahwa bukan kau pembunuh mu-
ridku!" "Bagaimana aku harus membuktikannya, ka-
rena tak ada saksi yang melihatku datang pada saat
Prayoga sudah tak bernyawa?!" ujar Soka Pura.
"Jika kau tak bisa buktikan bahwa dirimu tidak
bersalah, maka kau tetap harus berhadapan denganku
sebagai hukumannya! Nyawa harus dibayar dengan
nyawa, Anak Muda!"
"Tapi...."
"Serahkan padaku saja, Guru! Aku lebih layak
membalas dendam atas kematian saudara pergurua-
nku yang tercinta itu!" geram Danu Paksi.
Sang Guru memandang muridnya. Rupanya ia
sedang mempertimbangkan, apakah menyerahkan So-
ka Pura kepada muridnya, atau dihadapkan sendiri
sebagai sikap menegakkan kehormatan perguruannya?
***
2
SEBENARNYA Raka Pura terkecoh oleh tipuan
adik kembarnya. Soka tak melihat ada orang mengintai
di sebelah timur. Raka sempat menggerutu dalam ha-
tinya ketika ia ke timur, ternyata tak ada siapa-siapa
di sana.
"Kunyuk itu pasti bermaksud mempermainkan
diri ku," geram Raka Pura membayangkan wajah adik
kembarnya. "Tak ada apa-apa di sini, dikatakan ada
orang mengintip! Dasar bulu jelek!"
Namun akibat 'dikerjain' Soka, ternyata Raka
Pura justru mendengar suara pekik pertarungan di ba-
lik sebuah bukit rendah. Suara teriakan seorang pe-
rempuan itu memancing rasa ingin tahunya Pendekar
Kembar sulung, sehingga pemuda tampan itu segera
berlari mendaki bukit dan diam di atas bukit rendah
itu. Pandangan matanya diarahkan ke lembah, ternya-
ta di sana memang ada pertarungan cukup seru.
Pertarungan itu dilakukan oleh seorang gadis
berambut pendek sepundak dengan bagian depannya
mempunyai poni yang agak panjang, nyaris menutupi
kedua mata indahnya. Gadis itu mengenakan rompi
ketat dan ratap berwarna merah saga. Celananya pun
ketat dan membentuk tubuhnya yang berpinggul sekal,
juga berwarna merah saga. Di pinggangnya terdapat
cambuk yang masih tergulung, tampaknya ia belum
merasa perlu menggunakan cambuk tersebut.
Gadis berusia dua puluh tahun itu mempunyai
gerakan yang cepat dan lincah. Gerakannya itu sempat
membingungkan lawannya yang bertubuh tinggi, besar
dan berambut ikat sebahu. ia adalah seorang lelaki
berkumis lebat dengan mata lebar dan codet di pipi ki-
rinya. Wajah itu adalah wajah angker, seperti kuburan
keramat.
Lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu
bersenjata rantai bola berduri yang kala itu sedang di-
putar-putarkan untuk dihantamkan ke tubuh si gadis
yang berkulit kuning langsat itu. Rantai tersebut
mempunyai gagang sendiri, di mana rantainya bisa be-
rubah menjadi panjang, bisa pula mengkerut pendek,
sehingga senjata itu bisa menyerupai gada bundar
berduri tajam.
"Heeaaah...!!"
Wuuuss...!
Lelaki berpakaian kotak-kotak warna hitam pu-
tih seperti papan catur itu melompat menerjang si ga-
dis dengan bola berdurinya dihantamkan ke arah ke-
pala gadis itu. Tetapi si gadis lincah justru melenting di
udara dengan gerakan bersalto memutar cepat.
Wuuut...! Wrrss...! Tahu-tahu kakinya berhasil menje-
jak ubun-ubun lawannya. Dees...!
"Aoow...!" lelaki angker itu menggeloyor mau ja-
tuh.
Satu tangannya pegangi kepala sambil menye-
ringai menahan sakit. Kepalanya seperti kejatuhan
buah kelapa berair penuh.
Jieeg...! Si gadis turun ke bumi, sepasang ka-
kinya yang berbetis indah itu menapak dengan man-
tap, tanpa limbung sedikit pun. Raka Pura tersenyum,
senang melihat kelincahan si gadis yang mampu men-
jaga keseimbangan tubuh dengan baik itu.
Si gadis segera mencabut cambuknya, lalu
cambuk pun dilecutkan di udara dengan suara me-
nyentak.
"Hiaah...!"
Ctaaarrr...!
Suara lecutan cambuk menggema ke mana-
mana, setidaknya dapat untuk menciutkan nyali la
wan. Tapi lawannya yang tinggi besar itu agaknya ti-
dak mudah berciut nyali. Ia justru menggeram dengan
mata mendelik lebar. Rambutnya yang ikal sepung-
gung meriap-riap ditiup angin, menambah keangkeran
wajahnya. Rantai bola berduri itu juga diputar-putar di
atas kepala seakan menunggu kelengahan lawan.
Dari tempatnya melangkah ke samping mem-
bentuk lingkaran, si lelaki berpakaian mirip papan ca-
tur itu segera serukan kata dengan nada menggeram.
"Keluarkan semua permintaanmu, Kirana! Hari
ini aku hanya punya satu tekad, yaitu menghancurkan
kepalamu sebagai penebus kematian adikku yang kau
bunuh itu!"
Si gadis menyahut dengan suara lantang,
"Adikmu memang layak di kirim ke neraka, Bomapati!
Sebab kalau tidak segera dikirim ke neraka, maka se-
mua gadis akan dirusak kesuciannya! Jika kau merasa
kangen kepada adikmu itu, akan kutunjukkan pada-
mu jalan menuju neraka!"
"Keparat...!!"
Raka Pura tersenyum lagi. "Keberaniannya pa-
tut dipuji. Rupanya gadis yang bernama Kirana itu te-
lah membunuh adiknya si Bomapati yang gemar meru-
sak kesucian para gadis. "Hmmm... kalau begitu, Bo-
mapati itu pasti tokoh aliran hitam yang tak perlu di-
bela."
Pendekar Kembar sulung segera menuju ke
tempat persembunyian yang lebih dekat, agar ia bisa
melihat dengan jelas jurus-jurus yang digunakan da-
lam pertarungan itu. Pada saat Raka Pura pindah tem-
pat, Bomapati lakukan lompatan cepat menerjang si
gadis. Rantai bola berduri kibaskan memutari tubuh-
nya dengan cepat hingga timbulkan suara dengung.
Tetapi Kirana segera melesat naik dan bersalto
mundur, cambuknya dilecutkan ke arah Bomapati.
Ctaaar...!
Ujung cambuk itu keluarkan sinar biru bagai
kilatan cahaya petir. Sinar biru tersebut menyambar
gerakan bola berduri yang sejak dari tadi sudah kepul-
kan asap, pertanda tenaga dalam si Bomapati disalur-
kan ke senjata tersebut.
Blaaar...!
Ledakan cukup keras terjadi ketika sinar biru
itu menghantam bola berduri. Gelombang ledakannya
cukup kuat, terbukti tubuh besar si Bomapati sempat
tersentak ke belakang dan nyaris jatuh. Sedangkan Ki-
rana berhasil mendaratkan kedua kakinya dengan si-
gap lagi. Jieeg...!
"Hhheeeaaaahh...!!"
Bomapati menggeram kembali, sambil mengi-
baskan rantai bola berdurinya itu. Ternyata rantai ter-
sebut terulur panjang secara mendadak, sangat di luar
dugaan Kirana. Zraaaak...! Weeers...!
Kirana segera melecutkan cambuknya. Tapi ge-
rakannya sedikit terlambat, karena bola berduri itu
sudah menyambar lengannya lebih dulu. Cras...!
"Auh...!' Kirana terpekik, tangan kirinya lang-
sung mendekap lengan kanan. Lengan di bawah pun-
dak itu koyak dan mengeluarkan darah segar.
Kesempatan itu digunakan oleh Bomapati un-
tuk lepaskan pukulan jarak Jauhnya dari tangan kiri.
Claap...! Sinar merah lurus melesat dari telapak tan-
gan Bomapati, langsung mengarah ke dada Kirana.
Gadis itu segera sadar akan datangnya bahaya.
Ia segera sentakkan tangan kirinya yang basah oleh
darah luka itu dengan keadaan telapak tangan terbu-
ka. Wuuut...! Dari tengah telapak tangan itu keluar si-
nar lurus berwarna biru tua. Besarnya sinar biru itu
ternyata sama dengan besarnya sinar merah si Boma-
pati.
Claaap...!
Blegaaar...!
Cahaya ungu dari perpaduan sinar merah dan
sinar biru itu berpendar menyebar dalam sekejap. Tu-
buh Kirana segera terlempar ke belakang, karena per-
temuan dua sinar itu lebih dekat ke arahnya. Gelom-
bang ledakan tadi menerjang Kirana, membuat si gadis
bagai disambar seekor gajah terbang. Wuuubbb...!
Brruuk...!
"Aahhk...!" Kirana memekik dengan suara ter-
tahan. Ia jatuh terbanting dengan sangat menyedih-
kan. Lukanya di lengan kanan membentur batu runc-
ing yang membuat luka itu semakin bertambah lebar.
Kirana terkulai di tanah berumput. Ia mengerang ke-
sakitan sambil pegangi lukanya. Cambuk telah terlepas
dari genggamannya.
Melihat lawan dalam keadaan seperti itu, Bo-
mapati semakin ganas lagi. Semangatnya bertambah
meluap-luap, sehingga ia terpaksa berlari sambil me-
mutar-mutar bola berdurinya.
"Heeeaaahhhh...!!"
Wuuuz...! Breeesss...!
"Aaaahkk...!"
Bomapati terpekik, karena tubuhnya tiba-tiba
seperti diterjang seekor banteng yang melayang dihem-
paskan badai kencang. Tubuh besar itu jatuh terbant-
ing pula, bahkan sempat membentur pohon besar.
Pohon itu sempat bergetar dan beberapa daun-
nya berguguran akibat benturan keras dengan tubuh
besar itu.
Seseorang telah menerjang Bomapati ketika
orang berwajah angker itu hendak habisi nyawa Kira-
na. kayangan yang berkelebat cepat menerjang Boma-
pati itu tak lain adalah Raka Pura, yang merasa ter-
paksa harus turun tangan untuk selamatkan nyawa si
gadis. Seandainya Kirana tidak dalam ancaman ba-
haya se-maut itu, mungkin Raka Pura memilih lebih
baik jadi penonton daripada ikut campur urusan me-
reka.
"Uuhkk...!" Kirana menyeringai dan merintih
menahan sakitnya. Wajahnya menjadi biru memar
akibat gelombang ledakan yang menerjangnya tanpa
ampun lagi itu. Tapi ia masih sempat memperhatikan
seseorang yang muncul di depannya dan berhasil me-
nyingkirkan Bomapati itu. Kirana merasa heran, kare-
na ia belum pernah bertemu dengan pemuda tampan
berbaju putih itu. Dalam hatinya, Kirana bertanya-
tanya, "Siapa dia? Ada persoalan apa dengan Bomapa-
ti?!"
Sebenarnya Raka Pura ingin segera obati luka
berbahaya di lengan Kirana. Sebab menurutnya, luka
itu mempunyai racun yang bisa mematikan korbannya
jika tak segera ditangani. Namun Raka harus berhada-
pan dulu dengan Bomapati yang telah bangkit kembali
dengan suara geramnya yang makin menyeramkan.
"Bangsat tengik! Rupanya kau juga ingin modar
bersama gadis liar itu, hah?"
Suara bentakannya sempat menggema meme-
nuhi hutan cemara itu. Tetapi Pendekar Kembar su-
lung tak merasa gentar sedikit pun. Ia tetap berpe-
nampilan tenang, kalem, dan suaranya tak sekeras
Bomapati. "Maaf, aku bukan sekadar ikut campur uru-
sanmu, Bomapati! Aku hanya menyelamatkan pihak
yang lemah, yang sudah tak berdaya dan memang
layak dibela. Kudengar dia membunuh adikmu karena
adikmu gemar merusak kesucian seorang gadis. Kura-
sa gadis itu benar. Kau harus menyadari Bomapati,
adikmu ada di pihak yang salah."
"Aku tak butuh wejangan mu, Jahanam! Kalau
kau tak mau menyingkir, kuremukkan sekalian batok
kepalamu dengan senjata maut ku ini! Heeeeaahh...!"
Bomapati maju beberapa langkah dalam gera-
kan melompat, kemudian rantai bola berduri itu dis-
abetkan ke arah kepala Raka Pura. Wuuung...! Pende-
kar Kembar sulung hanya meliukkan badan ke depan
dengan gerakan membungkuk rendah. Bola berduri itu
melayang di atas kepalanya. Hampir saja menyambar
punggung Raka jika posisi membungkuknya tidak se-
rendah mungkin.
Begitu Raka tegak kembali, bola berduri itu da-
tang lagi menyambar dari sisi kirinya. Wuuung...! Raka
Pura terkejut dan segera berguling ke depan. Percuma
saja ia hanya membungkuk hindari bola berduri itu ji-
ka begitu tegak sang bola datang kembali.
Wuuut...! Gerakan berjungkir balik ke depan
membuat Pendekar Kembar sulung berjarak lebih de-
kat lagi dengan Bomapati. Ia mengulangi gerakan se-
rupa, sampai akhirnya pada gerakan berguling yang
ketiga, kakinya menjejak ke atas depan dan Bomapati
memekik keras-keras. Jroob...! "Aaaaaa...!!"
Bomapati merapatkan kedua kakinya sambil
melompat-lompat mundur. Tangan kirinya digapit den-
gan kedua paha, tubuhnya sedikit membungkuk ke
depan. Mata orang berwajah angker itu mendelik lebar-
lebar dengan mulutnya yang bergigi besar itu terngan-
ga lebar, serukan teriakan kesakitan.
"Wuuadow...! Wuadow...! Bangsat sekali kau,
Wuaaaah...! Sakiiit...!"
Keringat dingin si Bomapati sampai keluar se-
mua, karena kaki Pendekar Kembar sulung tadi menje-
jak telak, tepat kenai 'perabot'-nya yang paling keramat
dan selalu dilindungi itu. Bomapati rasakan seperti
ada yang pecah pada bagian bawahnya. Rasa sakit ti-
dak bisa ditahan lagi. Teriakannya bercampur dengan
makian kotor yang tak perlu ditirukan oleh siapa pun.
Raka Pura berdiri dengan tegak, dadanya sedi-
kit membusung karena memang tubuhnya kekar dan
berotot, seperti adiknya. Pemuda itu tak ingin lepaskan
serangan lagi, karena lawannya sudah dalam keadaan
lemah.
Namun sang lawan sendiri menjadi semakin
mendendam. Sesuatu yang terasa pecah itu membuat
murkanya bertambah besar, hasratnya untuk membu-
nuh lawan kian berkobar-kobar. Maka dengan kerah-
kan sisa tenaga untuk menahan rasa sakit, walaupun
tubuhnya sedikit membungkuk, tapi tangan kanannya
masih bisa pegangi gagang rantai bola berduri. Maka
senjata itu pun disabetkan kembali ke arah dada Raka
Pura.
"Biadab kau, heaaahh...!"
Raka Pura tak menyangka kalau akan diserang
lagi. Untung ia selalu sigap, sehingga ketika bola ber-
duri sebesar kelapa tanpa sabut itu menyambar da-
danya, kaki Raka menyentak ke bumi dan tubuhnya
melesat ke atas. Wuuut...! Gerakannya justru me-
layang maju bagai seekor singa ingin menerkam la-
wannya.
Dengan gerakan melayang ke depan, bola ber-
duri itu tidak sempat lukai tubuhnya. Namun justru
kedua tangan Raka segera menghantam beruntun ke
wajah Bomapati. Prok, prok, prok, prok...!
Pukulan beruntun yang sangat cepat itu mem-
buat Bomapati geragapan. Hidungnya segera mengu-
curkan darah. Tulang pipi dan rongga matanya terasa
dihantam dengan besi secara beruntun dan menjadi
bengkak, memar membiru.
Pukulan keras yang terakhir membuat Boma-
pati terjengkang ke belakang, tumbang bagaikan seba-
tang pohon tertiup badai. Bruuuk...!
"Aaaaahh...!" suara teriakannya memanjang
dan mulai serak. ia tak bisa langsung bangkit, karena
selain pandangan matanya menjadi gelap, seluruh tu-
buhnya pun merasakan sakit semua, sampai ke tu-
lang-tulang kaki terasa seperti di patah-patahkan. Ru-
panya perpaduan rasa sakit di bagian sela-sela pa-
hanya dengan rasa sakit di wajah membuat Bomapati
tak bisa berkutik lagi.
"Wuaaah...! Mati akuuu...! Modar akuuu...!
Uaaahhk...! Haahk, hahk, hahk, hahk...!" Napas si
Bomapati tersentak-sentak bagai orang sedang seka-
rat.
Raka Pura segera menjauh. Pandangan ma-
tanya tertuju pada si gadis yang sudah bisa duduk
bersandar pohon dengan menahan rasa sakit pada lu-
kanya. Gadis itu sejak tadi memperhatikan jurus-
jurusnya Pendekar Kembar sulung dengan hati meng-
gumam kagum yang tak terucap pada saat itu. Ketika
Raka Pura mendekatinya, Kirana sempat grogi dan sa-
lah tingkah. Bibirnya digigit untuk menahan erangan
rasa sakitnya itu. Rupanya luka itu memang mengan-
dung racun, sebab dalam waktu sebentar saja, luka
tersebut sudah memborok dan melebar hampir men-
capai pangkal pundak.
Namun ketika Raka Pura sudah semakin dekat
dengannya, tiba-tiba Kirana terbelalak dan berteriak
secara reflek.
"Awaass...!!"
Raka Pura segera berbalik arah. Tangannya
bergerak secara naluri begitu melihat seberkas sinar
me rah melesat ke arahnya. Gerakan tangan Raka ter-
nyata adalah gerakan dari jurus 'Cakar Matahari' yang
melesatkan sinar putih berbentuk pisau runcing dari
telapak tangannya yang membentuk cakar tengkurap
itu. Claaap...! Blegaaarrr...!
Tanah terasa berguncang akibat ledakan dah
syat itu. Pohon bergetar, sehingga daun-daunnya ber-
guguran sebagian.
Rupanya Bomapati bermaksud membokong
Raka Pura dengan melepaskan jurus bersinar merah
tadi. Tapi sayang, sinar merah tadi dihancurkan oleh
Jurus 'Cakar Matahari'-nya Pendekar Kembar sulung.
Akibatnya, sentakan gelombang dari ledakan tadi
menghempaskan tubuh Bomapati. Gelombang itu tim-
bulkan angin panas yang membuat wajah Bomapati
menjadi seperti kepiting rebus.
Tentu saja Bomapati semakin hamburkan caci
maki yang jorok-jorok. ia makin kelabakan karena rasa
sakitnya bertambah.
Dengan sisa tenaganya yang penghabisan, Bo-
mapati bangkit membungkuk dan limbung ke sana-
sini sambil masih pegangi senjatanya. Ia berusaha se-
rukan kata dengan susah payah, seperti orang susah
buang air besar.
"Awas kalian! Suatu saat aku akan menuntut
balas pada kalian berdua! Ku tumbuk sampai lembut
tulang-tulang kalian! Keparaaat...!"
Setelah itu Bomapati sentakkan kaki dan ber-
kelebat pergi. Tapi karena kekuatan dan tenaga telah
berkurang, ia pun jatuh tersungkur dalam dua lang-
kah berikutnya. Wajahnya menabrak batang pohon
cemara. Ia meraung sesaat, kemudian teruskan pela-
riannya.
Pendekar Kembar sulung hanya memandan-
ginya dengan napas ditarik dalam-dalam. Ia sengaja
tak bermaksud mengejar Bomapati, karena menurut-
nya pelajaran yang sudah diterima Bomapati darinya
akan membuat Bomapati jera berhadapan lagi den-
gannya. Tapi mungkin Bomapati benar-benar ingin
membalas kekalahannya hari itu. Kecuali jika Bomapa-
ti punya jurus baru yang cukup handal dan dapat
mengungguli jurus-jurusnya pemuda tampan berpe-
dang kristal itu.
Raka Pura segera dekati gadis berompi ketat
warna merah saga itu. Wajah tampannya sunggingkan
senyum sangat tipis, berkesan ramah dan bersahabat.
Ia langsung jongkok di samping kanan Kirana, mem-
perhatikan luka yang kian memborok mengerikan itu.
"Gerakanmu sudah cukup bagus. Sayang kau
tadi sedikit lengah, sehingga Bomapati berhasil melu-
kai lenganmu separah ini," ujar Raka Pura tanpa me-
mandang yang diajak bicara.
"Ap... apakah kau... kau punya masalah dengan
Bomapati?"
"Tidak. Bahkan aku mengenal namanya dari
ucapanmu tadi. Juga mengenai namamu dari suara
Bomapati tadi. Namamu Kirana, bukan?"
"Iyy... iya...! Tapi aku tak tahu namamu. Aku
tak punya sahabat sepertimu."
"Kini kau punya sahabat baru. Namaku.... Raka
Pura."
Kirana pandangi wajah Raka Pura, tapi Raka
sejak jongkok di samping Kirana, tidak menatap wajah
si gadis. Yang Jadi pusat perhatian adalah luka parah
di lengan Kirana.
"Akan ku coba mengobati lukamu. Apakah kau
bersedia?"
"Aku berterima kasih kalau kau bisa singkirkan
racun ini dari dalam tubuhku!"
"Buka telapak tanganmu," ujar Raka Pura. Si
gadis sempat merasa heran, bahkan berkata dengan
nada ragu-ragu.
"Hmm, hmm... yang terluka lenganku, bukan
telapak tanganku."
"Akan ku sembuhkan melalui telapak tangan-
mu! Bukalah telapak tanganmu, Kirana!"
Akhirnya si gadis menuruti perintah tersebut.
Telapak tangan Raka Pura segera ditempelkan ke tela-
pak tangan Kirana. Jurus 'Sambung Nyawa' mulai di-
pergunakan untuk obati luka beracun itu.
Jurus 'Sambung Nyawa' adalah jurus pengoba-
tan yang terjadi dari penyaluran kekuatan inti gaib ke
telapak tangan dan dipadu dengan saluran hawa mur-
ni.
Telapak tangan Raka menjadi bercahaya ungu
pendar-pendar. Ketika telapak tangan itu ditempelkan
di telapak tangan Kirana, maka cahaya ungu yang
mengandung kekuatan campuran antara hawa murni
dan inti gaib merasuk dalam tubuh Kirana.
Beberapa kejap berikutnya lengan Kirana men-
jadi menyala ungu seperti fosfor. Makin lama cahaya
ungu itu semakin merayap ke pundak, leher, dan ak-
hirnya sekujur tubuh Kirana memancarkan cahaya
ungu tipis. Walaupun telapak tangan Raka sudah di-
angkat dan cahaya ungunya sudah padam, tapi cahaya
ungu di tubuh Kirana masih tetap menyala.
Kirana tertegun heran dan sedikit tegang. Ada
rasa cemas pada dirinya begitu melihat tubuhnya me-
mancarkan cahaya ungu. Namun rasa cemas dan te-
gang itu cepat sirna. Bahkan Kirana merasakan tak
mempunyai debar-debar kekhawatiran sedikit pun.
Ternyata cahaya ungu itu dapat menenteram-
kan hatinya, menenangkan kegusaran dan keresahan-
nya, menciptakan hawa damai yang amat disukai oleh
Kirana.
Cahaya ungu itu padam dengan sendirinya ke-
tika tubuh Kirana sudah tidak mengalami rasa sakit
sedikit pun. Luka koyak yang mengerikan itu merapat
dengan sendirinya setelah berasap tipis. Makin lama
keadaan tubuh Kirana merasa semakin segar. Ketika
cahaya ungu itu padam dan hilang sama sekali, ter
nyata luka koyak itu pun hilang tanpa bekas sedikit
pun, kecuali bekas darah yang mengalir ke siku dan
beberapa tempat lainnya.
"Ajaib sekali!" gumam Kirana seperti bicara pa-
da diri sendiri. Raka Pura sedang berdiri bersandar
pohon dengan lengan kirinya. Ia memperhatikan pros-
es penyembuhan luka di lengan si gadis. Sikapnya ma-
sih tetap tenang dan kalem. Walaupun si gadis mena-
tapnya beberapa kali dengan mulut terbengong kagum,
namun Raka Pura tetap tak menunjukkan tingkah
yang membanggakan diri sendiri.
Dengan suara lembut ia berkata kepada Kirana,
"Kurasa racun itu telah lenyap dari tubuhmu. Cobalah
bangkit dan rasakan kesegaran tubuhmu sendiri."
Kirana pun berdiri, lalu ia merasakan tubuhnya
benar-benar enteng, segar, sepertinya tak pernah
menderita luka dan merasakan sakit sedikit pun. Bah-
kan ketika kakinya dipakai menendang ke samping
dengan tendangan cepat bagaikan kilat, tubuh itu ti-
dak guncang sedikit pun. Tendangannya terasa lebih
cepat dari gerakan menendang sebelum itu.
"Rupanya kau seorang tabib muda, Raka?! ilmu
penyembuhan mu sungguh dahsyat!" ujar Kirana sam-
bil sunggingkan senyum tipis.
Kala itu, pandangan mata Raka tertuju ke wa-
jah cantik Kirana. Raka pura sedikit berdebar. Entah
mengapa tiba-tiba ia merasakan desiran halus yang
sekejap ketika melihat senyuman kecil dari Kirana.
Gadis itu memang tampak lebih cantik jika ter-
senyum, sebab salah satu giginya ada yang 'gingsul'
alias bertumpuk, ditambah lagi lesung pipitnya tampak
jelas jika sedang tersenyum. Lesung pipit dan gigi
'gingsul'-nya itulah yang membuat debaran halus di
hati Raka Pura. Sayangnya debaran itu segera dising-
kirkan dan Raka tak mau meresapinya.
"Jangan salah duga, Kirana. Aku bukan seo-
rang tabib. Aku hanya bisa mengobati luka-luka ringan
atau penyakit yang sederhana saja. Tak ada sesuatu
yang dahsyat pada jurus 'Sambung Nyawa' tadi.
Mungkin juga kau sudah mempelajarinya, kau juga ti-
dak akan merasa hebat mempunyai jurus 'Sambung
Nyawa' seperti itu," ujar Raka merendahkan diri.
"Mungkin memang begitu. Tapi yang jelas... aku
sangat berterima kasih atas pertolongan mu ini; baik
dalam mengobati ku ataupun menyingkirkan si gajah
bengkak tadi."
"Gajah bengkak...?! Mana ada gajah di sini?!"
"Maksudku si Bomapati yang bertubuh besar
seperti gajah bengkak itu!"
"Ooo...," Raka Pura tersenyum geli sambil alih-
kan pandang.
"Sebenarnya, ia tadi bisa saja membunuhku.
Tapi karena kau muncul menerjangnya, maka akhir-
nya ia gagal melampiaskan dendamnya padaku."
"Dia memang berbahaya," suara Pendekar
Kembar sulung seperti orang menggumam pada diri
sendiri.
Tapi si gadis menyahutnya juga.
"Lebih berbahaya adiknya; Bomagati." "Yang
kau bunuh itu?"
"Ya. Kulakukan hal itu karena dua orang teman
wanita ku dinodai olehnya. Tapi pada dasarnya, pergu-
ruannya Bomapati memang sudah lama bermusuhan
dengan perguruanku. Hanya saja, sejak gurunya Bo-
mapati meninggal, permusuhan itu sudah berkurang.
Mereka tak berani menyerang perguruanku, setelah
guru mereka tewas di tangan lawan lainnya."
Raka Pura menggumam dan manggut-manggut.
"Gurumu sendiri masih sehat?" tanya Raka se-
belum si gadis bicara lagi.
"Masih. Kalau kau mau, akan ku perkenalkan
kepada guruku; Eyang Wirata, alias Mulut Guntur.
mungkin kau sudah pernah mendengar nama Mulut
Guntur."
"Belum," jawab Raka cepat. "Justru aku merasa
asing dengan nama Mulut Guntur itu."
"Kalau begitu, sebaiknya ku perkenalkan kepa-
da beliau. Beliau suka sekali kepada pemuda yang ber-
jiwa ksatria sepertimu."
Raka Pura tersipu dan buang pandangan lagi.
"Aku belum pantas kau jadikan kebanggaan di
depan gurumu, Kirana."
"Setidaknya beliau harus tahu, siapa orang
yang telah menyelamatkan diriku dari ancaman maut
si Bomapati itu!"
"Itu tak perlu! Sebaiknya... sebaiknya lain kali
saja aku singgah ke perguruanmu. O, ya... apa nama
perguruanmu, Kirana?!"
"Tapak Syiwa," jawab Kirana. "Padepokan kami
dekat dari sini. Mampirlah sebentar, Raka Pura."
"Lain kali saja, Kirana. Karena... karena aku
harus segera lanjutkan perjalananku. Ada urusan yang
harus kuselesaikan secepatnya."
"Kalau boleh ku tahu, mau ke mana kau, Ra-
ka?"
"Mencari 'Bambu Gading Mandul' di lereng Gu-
nung Mercapada."
"Oh...?!" Kirana terkejut, wajahnya sedikit te-
gang dan membuat Raka memperhatikan dengan he-
ran.
"Kenapa kau tampak tegang?"
"Hmm, hmm...," Kirana buru-buru kendurkan
ketegangannya dan tersenyum manis. Ia menggulung
cambuknya dan menyelipkan di pinggang.
"Apakah kau belum tahu, Raka... bahwa seka
rang kau sudah berada di kaki Gunung Mercapada?!"
Raka Pura berkerut dahi. "Benarkah aku sudah
berada di kaki Gunung Mercapada? Bukankah... bu-
kankah gunung itu ada di sebelah gunung ini?!"
Kirana menggeleng. "Orang banyak salah duga.
Di sini memang ada tiga gunung bersebelahan. Keba-
nyakan orang menyangka Gunung Mercapada adalah
gunung yang ada di tengah kedua gunung yang berse-
belah itu. Tapi sebenarnya Gunung Mercapada adalah
gunung yang sebelah barat ini. Sedangkan yang tengah
adalah Gunung Mayapada, dan yang sebelah timur
bernama Gunung Sumbada."
"Ooo...," Raka Pura manggut-manggut.
"Aku tak menipumu. Kau bisa tanyakan kepada
orang-orang yang hidup di sekitar hutan cemara ini.
Dan tentang 'Bambu Gading Mandul' itu..."
"Apakah kau tahu tempat di mana bambu itu
tumbuh, Kirana?" potong Raka Pura.
"Tentu saja tahu. Tapi... tapi Guru akan mela-
rangku ke sana. Sebab...."
Kirana diam sesaat, sepertinya ragu-ragu untuk
mengatakannya.
"Sebab apa, Kirana?!" desak Raka yang menjadi
penasaran.
"Sebab tanah di sekitar tempat bambu itu tum-
buh adalah tanah keramat. Orang-orang menamakan
tanah itu adalah Kubangan Berdarah."
"Mengapa dikatakan Kubangan Berdarah?"
"Karena setiap orang yang mendekati tempat itu
akan mati secara mengerikan. Raganya pecah dan da-
rahnya memercik ke mana-mana."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Tentu saja si penjaga bambu keramat itu!"
Raka Pura tertegun sesaat. ia tak menyangka
kalau bambu itu ada yang menjaga.
Kirana berkata lagi, "Sebaiknya urungkan
niatmu datang ke Kubangan Berdarah itu."
"Kurasa... itu tidak mungkin. Aku harus bisa
dapatkan 'Bambu Gading Mandul' secepatnya, Kirana!"
"Kalau begitu kau harus minta petunjuk kepa-
da guruku. Guru sangat tahu rahasia tanah keramat
itu. Sebab... jika kau nekat ke sana, kau tak akan bisa
kalahkan penjaga tempat tersebut."
"Dari mana kau yakin kalau aku tak akan bisa
kalahkan penjaga tanah keramat itu?"
"Karena tak seorang pun bisa melihat seperti
apa wujudnya dan di mana letak persembunyian si
penjaga itu."
"Ooo...," Raka manggut-manggut lagi dengan
mulut melongo dan suara mendesah lirih.
"Tapi guruku bisa menjelaskan tentang si Pen-
jaga Kubangan Berdarah itu, sebab.... Ah, aku tak be-
rani cerita banyak tentang Kubangan Berdarah itu. Ji-
ka kau ingin mengetahui rahasia Kubangan Berdarah,
datanglah pada guruku!"
"Apakah gurumu mau menjelaskannya padaku,
jika muridnya saja tidak diberi tahu rahasia itu?"
Kirana berpikir sejenak, kepalanya manggut-
manggut kecil. Akhirnya setelah melewati masa bung-
kam selama tiga helaan napas, gadis itu pun mempu-
nyai keputusan tersendiri.
"Sebaiknya kita coba. Aku akan membujuk
Guru agar mau jelaskan rahasia tersebut!"
"Bagaimana kalau usahamu gagal?!"
Kirana angkat tangan sentakkan kedua pun-
daknya, ia melangkah ke samping sambil tersenyum
kecil.
"Itu berarti nasibmu sedang buruk!" ujarnya
santai sekali, seakan tak akan menyesal jika usahanya
gagal. Raka Pura jadi berpikir dengan gelisah.
*
* *
3
RAKA Pura tak tahu kalau adiknya kena perka-
ra di tempat lain. Soka sendiri berharap kakaknya se-
gera muncul di tempat ia menemukan mayat Prayoga,
sebab si jubah putih yang menjadi gurunya Danu Pak-
si itu agaknya lebih mempercayai kata-kata muridnya
daripada pengakuan Soka Pura.
Orang berjenggot abu-abu dan berikat kepala
putih itu tetap membutuhkan bukti bahwa Soka Pura
tak bersalah. Soka sudah jelaskan bahwa ia pergi ber-
sama kakaknya, lalu mendengar suara teriakan, dan ia
memeriksanya, sedang sang kakak menunggu di sebe-
lah sana. Tapi penjelasan itu bagi si jubah putih belum
cukup dijadikan bukti yang menguatkan pengakuan
bahwa Soka bukan pembunuh Prayoga.
Rupanya si jubah putih sendiri bingung menca-
ri cara untuk pembuktian tersebut. Sebab menurut
naluri si jubah putih, wajah Soka Pura bukan wajah
seorang pembunuh keji atau wajah seorang pengkhia-
nat laknat. Tetapi adanya Keris Naga Sukma milik
Prayoga di tangan Soka Pura membuat si jubah putih
cenderung mempercayai tuduhan Danu Paksi.
"Di sini tak ada orang lain kecuali dia, Guru!"
ujar Danu Paksi yang memberatkan tuduhan terhadap
Soka Pura itu.
"Berani sumpah, berani disambar sebakul nasi
pecel kalau memang aku berdusta padamu, Eyang,"
ujar Soka berusaha meyakinkan pengakuannya, na-
mun justru membuat si jubah putih bertambah curiga.
"Sumpahmu terlalu ringan dan tidak menun
jukkan bahwa kau bukan orang bersalah, Soka Pura,"
kata sang Guru yang sudah mengetahui nama Soka
Pura dari Danu Paksi itu.
Danu Paksi mendesak gurunya, "Kejujurannya
dapat dibuktikan dari pertarungan ku dengannya.
Guru! Jika ia unggul melawanku, berarti ia berkata ju-
jur, dan jika ia tewas di tanganku, berarti memang di-
alah pembunuhnya. Guru!"
"Bagaimana jika kau yang tewas di tangannya?"
"Aku rela demi kejujuran dan keadilan. Guru!"
jawab Danu Paksi dengan tegas.
"Aku tidak bijaksana jika membiarkan kalian
bertarung."
"Tapi ini demi martabat perguruan kita, Guru!
Lebih tidak bijaksana jika Guru biarkan pembunuh
muridnya hidup berkeliaran di rimba persilatan! Jika
ia buka mulut ke mana-mana, maka jatuhlah wibawa
perguruan kita!"
Soka Pura menyahut dengan sedikit tawa geli.
"Aku heran padamu. Danu Paksi.... Mengapa kau ber-
nafsu sekali untuk bertarung denganku?! Sepertinya
kau punya dendam pribadi padaku, sedangkan kita
baru kali ini bertemu!"
"Dendam pribadiku timbul setelah ku pergoki
kau membunuh saudara seperguruanku itu!" jawab
Danu Paksi.
Sang Guru berkata dengan suara seperti orang
menggumam sendiri.
"Hati kecilku mengatakan lain. Sungguh lain."
"Apanya yang lain. Guru?! Tak biasanya Guru
dalam kebimbangan begini! Mungkin itu pengaruh ke-
kuatan gaib dari mata si pembunuh ini. Guru!"
"Aku tak punya ilmu sihir, Danu Paksi!"
"Omong kosong! Kalau kau tidak punya kekua-
tan sihir, tak mungkin dua kali lemparan pisau ter
bangku meleset dari sasaran. Itu karena kau menggu-
nakan kekuatan sihir, sehingga kedua pisauku bisa
bergeser dengan sendirinya dari sasaran!" sahut Danu
Paksi yang tampak mendendam sekali kepada Soka
Pura.
Akhirnya dalam hati Soka membatin, "Kurasa
sebaiknya aku lari saja! Untuk apa terlibat urusan se-
perti ini! Mereka tak bisa mempercayai kata-kataku.
Jika sampai terjadi pertarungan, menang atau kalah
tetap saja saling menyandang kerugian, karena semua
ini adalah kesalahpahaman. Waktuku akan terbuang
habis untuk urusan seperti ini! Raka bisa mencak-
mencak jika aku terlalu lama di sini!"
Ketika sang Guru sedang berunding secara ka-
sak-kusuk dengan Danu Paksi di dekat mayat Prayoga,
kesempatan itu digunakan oleh Soka Pura untuk hin-
dari bentrokan tanpa arti itu. Soka Pura menggunakan
Jurus 'Jalur Badai'-nya melesat pergi tanpa pamit lagi.
Wuuuuzzz...!
"Guru, dia melarikan diri!" teriak Danu Paksi.
Sang Guru tertegun memandangi gerakan Soka yang
begitu cepatnya. Dalam hati ia memuji kecepatan ge-
rak Soka Pura.
"Melihat gerakannya, kurasa dia bukan pemuda
sembarangan. Ilmunya pasti cukup tinggi. Danu Paksi
akan tumbang Jika melawannya."
"Guru, izinkan aku mengejarnya! Izinkan,
Guru!" desak Danu Paksi.
"Kuizinkan kau menangkapnya, tapi jangan
langsung menghakiminya sendiri! Kerjakan!"
"Baik, Guru!"
Blaaas...! Danu Paksi pun berkelebat mengejar
Soka Pura. Tapi dalam pandangan sang Guru, kecepa-
tan Danu Paksi tak akan bisa mengungguli kecepatan
Soka Pura. Ia sendiri menjadi ragu untuk bertindak te
gas di depan Soka Pura, karena hati kecilnya selalu
mengatakan bahwa bukan pemuda itu pembunuh se-
benarnya.
"Kudengar jeritan muridku dari tempatku ber-
hening sukma," ujar sang Guru dalam hatinya. "Ku ra-
sakan getar kematiannya, sehingga aku segera datang
kemari. Tapi mengapa aku tak bisa merasakan getar
nadi pembunuh muridku itu?! ilmu 'Getar Nadi'-ku
memang sudah rapuh. Perlu diasah lagi."
Akhirnya mayat Prayoga dibawa pulang oleh
sang Guru. Di depan beberapa muridnya, sang Guru
keluarkan perintah untuk menangkap pemuda berna-
ma Soka Pura. Tak lupa sang Guru sebutkan ciri-ciri
pemuda itu, sehingga beberapa murid perguruannya
segera berkelebat pergi mencari pemuda tersebut.
"Ingat, tangkap hidup-hidup dan jangan sampai
main hakim sendiri! Kita akan adili dia seadil-adilnya!"
pesan sang Guru sebelum para murid menyebar arah.
Soka Pura kehilangan jejak kakaknya. Rupanya
sang kakak tergiur bujukan Kirana, sehingga ikut pergi
ke padepokan tempat guru Kirana berada.
"Sekarang ganti ku permainkan si anak konyol
itu! Biar dia menungguku beberapa saat di tempat itu
sampai dikerumuni semut pun tak apa!" ujar hati Raka
Pura yang jengkel kepada adiknya. Selain dianggap
'ngerjain' dirinya, Raka juga menganggap sang adik
berkebiasaan melantur dalam tugas, sehingga Raka
yakin sang adik akan jera jika sudah dihajar dengan
cara menunggu hingga berlama-lama.
"Lagi pula, rahasia tentang 'Bambu Gading
Mandul' itu lebih penting kuketahui daripada menung-
gu kedatangan Soka!" tambahnya dalam hati ketika ia
melangkah bersama gadis cantik bergigi 'gingsul' dan
berlesung pipit indah itu.
"Aneh...! Terhadap gadis yang satu ini, hatiku
sering menjadi berdebar-debar sendiri?! Ada apa den-
gan diriku sebenarnya?" tanya Raka dalam hati. "Bi-
asanya aku tak pernah punya debar-debar indah begi-
ni. Dan... dan aku tak tahu di mana letak keindahan
dari debar-debar hatiku ini?! Apa yang membuatku
merasa senang? Kurasa gadis ini sama saja dengan
gadis-gadis lainnya. Kurasa bukan dia penyebab de-
bar-debar keindahan dalam hatiku ini! Mungkin kare-
na kau merasa lega karena sudah sampai di kaki Gu-
nung Mercapada. Tapi... mengapa harus merasa lega?
Bukankah aku akan berhadapan dengan bahaya yang
akan muncul dari si penjaga Kubangan Berdarah itu?!"
Kecamuk batin Raka itu berlangsung terus, se-
kalipun Kirana menanyakan, "Untuk apa kau mencari
'Bambu Gading Mandul' itu sebenarnya?" Dan Raka
terpaksa jelaskan maksudnya. Sambil menjelaskan
maksudnya itulah, hati Raka Pura berkecamuk terus,
menganalisis penyebab debar-debar indah di hatinya.
"Barangkali kau pernah dengar nama Darah
Kula."
"Darah Kula...?!" Kirana berkerut dahi. "Aku
baru mendengarnya sekarang. Siapa itu Darah Kula?"
"Mungkin gurumu tahu nama itu," ujar Raka
sambil memandang ke arah depan dalam langkahnya.
"Darah Kula adalah anak iblis yang hidupnya
tergantung dari darah perawan. Setiap hari ia membu-
tuhkan darah seorang perawan sebagai santapannya.
Tanpa darah perawan, ia akan menjadi lemah, kekua-
tannya berkurang. Sebab itu, banyak gadis yang dijual
atau diculik untuk dijadikan santapan si Darah Kula
itu."
"Apakah tak ada orang yang bisa kalahkan si
Darah Kula itu?"
"Bisa. Tapi anak iblis itu mempunyai ilmu
'Pancawarsa', yaitu sebuah ilmu yang dapat membuat
nya hidup kembali dari kematiannya. Jadi, setiap dia
mati, maka dalam waktu lima tahun ia akan hidup
kembali dan mencari mangsa darah gadis yang masih
suci. Gadis-gadis itu akan dihirup darahnya hingga
habis, kemudian... tentu saja gadis itu mati, mayatnya
entah dibuang ke mana. Sekarang ini, Darah Kula ada
di dalam Istana Merah. Ia menjadi penguasa Bukit
Maut!"
"Menyeramkan sekali kedengarannya," gumam
Kirana, tapi wajahnya tak menampakkan rasa takut
sedikit pun.
"Darah Kula hanya bisa dibunuh dan mati se-
lama-lamanya dengan 'Bambu Gading Mandul'," lanjut
Raka. "Bambu itu harus diruncingi, lalu dipakai untuk
menusuk tubuh Darah Kula. Menurut seorang Resi
yang kukenal, dengan menggoreskan 'Bambu Gading
Mandul' ke tubuh Darah Kula, maka kekuatan Darah
Kula akan berkurang. Hanya tergores saja sudah bisa
membuatnya lumpuh. Maka aku dan adikku bertekad
untuk menguburkan Darah Kula selama-lamanya agar
tidak timbulkan korban lagi bagi para gadis yang ma-
sih suci.
Untuk itu, aku harus mencari 'Bambu Gading
Mandul' yang menurut sang Resi hanya tumbuh satu
batang dan hanya satu 'Bambu Gading Mandul' yang
tumbuh di muka bumi ini!" sambil Raka terngiang ka-
ta-kata Resi Bayakumba yang pernah dua kali mem-
buntuti Darah Kula itu, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Pemburu Mahkota Dara").
"Guru belum pernah ceritakan hal itu," ujar Ki-
rana. "Maka aku tak tahu, apakah Guru mengetahui
tentang si Darah Kula atau tidak. Sebab...."
Kata-kata gadis cantik itu tiba-tiba terhenti, ka-
rena mendadak ia melihat seberkas sinar hijau berben-
tuk seperti bintang berekor yang melesat ke arah ka
nan Raka Pura. Kirana terperanjat sekali. Secara ref-
leks tangannya menyambar lengan Raka dan menarik-
nya mundur.
"Awas...!"
Brruuk...! Raka Pura jatuh terjengkang karena
sentakan tangan Kirana cukup kuat dan sangat di luar
dugaan. Begitu Raka jatuh ke belakang, Kirana segera
sentakkan tangannya dalam keadaan telapak tangan
terbuka ke depan. Telapak tangan itu keluarkan sinar
biru seperti saat melawan Bomapati tadi. Claap...! Si-
nar biru itu berbenturan dengan sinar hijau, dan ter-
jadilah ledakan yang cukup besar.
Biaaaarrr...!
Kirana terdorong mundur oleh gelombang leda-
kan tersebut. Punggungnya membentur sebongkah ba-
tu sebesar kerbau, sehingga ia tak jadi jatuh. Tapi na-
fasnya menjadi terengah-engah karena amarahnya
mulai terbakar.
"Seseorang ingin mencelakaimu, Raka! Bersiap-
lah hadapi orang itu!"
"Siapa orangnya?!" tanya Raka Pura sambil
bergegas dekati Kirana dalam gerakan mundur. Ma-
tanya memandang ke arah datangnya sinar hijau tadi,
tapi tak ada gerakan yang patut dicurigainya.
Kirana kelihatan tegang sekali, sebab ia kenali
pukulan bersinar hijau itu, hanya saja, ia ingin tidak
percaya pada hati kecilnya, dan mencoba mengalihkan
anggapannya kepada orang lain.
"Di mana kau lihat orang itu?" bisik Raka Pura
yang ada di samping kanan Kirana.
"Aku tak melihat orangnya, tapi aku melihat ge-
rakan sinar hijau itu, sehingga...."
Belum selesai Kirana bicara, tiba-tiba gadis itu
melihat gerakan benda terbang yang sangat cepat.
Benda itu adalah sekeping logam yang memantulkan
cahaya matahari. Agaknya ada seseorang yang mele-
paskan senjata rahasia berbentuk bintang segi empat,
dan sasaran utamanya adalah Raka Pura. Sebab ben-
da berkerilap itu melayang cepat ke arah dada Raka
Pura.
"Raka...!" seruan Kirana membuat Raka Pura
segera melihat gerakan benda tersebut. Maka serta-
merta tubuhnya melesat ke atas dengan senjata meng-
hentakkan napas dan menahannya di dada. Suuut...!
Tubuh Raka yang meluncur ke atas bagaikan
roket itu membuat senjata rahasia berbentuk bintang
segi empat itu tak kenai sasaran. Tapi batu di belakang
Raka tadi menjadi sasaran keras bagi senjata rahasia
tersebut.
Triiiaang...!
Teeb...! Senjata rahasia itu memantul ke arah
Kirana setelah membentur batu. Tangan gadis itu ber-
kelebat cepat dan berhasil menangkap benda tersebut
dengan jari-jari tangan kanannya.
Raka Pura yang sudah turun dari lompatannya
tadi, memandang tajam dan berkerut dahi saat Kirana
menunjukkan senjata rahasia yang terselip di antara
sela jemarinya.
"Aneh!" gumam Raka. "Siapa pemilik senjata
rahasia seperti itu? Aku tak pernah punya lawan yang
bersenjata rahasia bintang segi empat!"
"Aku mengenalnya!" ujar Kirana tegas-tegas.
Agaknya gadis itu tak sangsi lagi, bahwa ia memang
kenal dengan pemilik senjata rahasia dan sinar hijau
tadi.
Kirana segera mengibaskan tangannya. Bintang
segi empat itu melesat ke arah datangnya tadi. Ziing...!
Zrraabs...! Rupanya senjata yang dilemparkan Kirana
itu menancap di sebuah pohon, di belakang semak ila-
lang setinggi dadanya itu. Tapi dari balik semak tak
ada sosok bayangan yang muncul. Kirana dan Raka
Pura sama-sama diam, tegang, menyusuri dengan
pandangannya pada tiap jengkal tanah yang sudah
bukan lagi berhutan cemara itu.
Karena lawan yang ditunggu tak kunjung mun-
cul, maka Kirana tak sabar lagi, ia pun berteriak ke-
ras-keras.
"Keluarlah dari persembunyianmu, Kunto Aji!
Aku tahu kau ada di sekitar sini!"
Suasana masih sepi dan menegangkan. Namun
sesaat kemudian, sekelebat bayangan tahu-tahu mun-
cul dari balik batu besar tempat Kirana dan Raka ra-
patkan diri. Orang yang muncul dari balik batu besar
itu turun dari atas batu dan menjejak kepala Raka Pu-
ra. Wuuut...! Duuuhk...!
"Aauh...!" Raka Pura terpelanting jatuh. Kepa-
lanya terasa mau pecah. Tentu saja ia tak menduga
bakal muncul seseorang dari atas batu tersebut. Ia
hanya persiapkan tenaga dalam pelapis tubuh, sehing-
ga jejakan bertenaga dalam itu hanya dirasakan seperti
sebatang kayu jati menghantam kepalanya. Pusing ju-
ga, dan Raka sempat limbung saat mencoba berdiri la-
gi.
Orang yang baru muncul dan langsung menye-
rang Raka itu berpakaian serba coklat tanah. Ia seo-
rang pemuda sebaya dengan Raka. Badannya tidak be-
gitu kekar, namun tampaknya bertulang keras.
Melihat kemunculan pemuda berpakaian serba
coklat itu, Kirana menjadi berang. Kakinya segera ber-
kelebat dalam gerakan lompat memutar cepat.
Wuuut...! Ploook...! Rahang pemuda itu menjadi sasa-
ran tendangan putar Kirana. Si pemuda berbaju coklat
itu terlempar dan jatuh berguling-guling.
"Kurang ajar kau, Reksada! Apa maksudmu
menyerang sahabatku itu?!" bentak Kirana dengan ma
rah sekali.
Reksada segera bangkit sambil menyeringai ke-
sakitan. Rahang kanannya diusap-usap sambil ma-
tanya melirik ke arah Raka Pura memancarkan per-
musuhan.
Raka segera dekati Kirana dan berbisik pelan,
"Apakah dia orang seperguruan dengan Bomapati?!"
"Bukan! Dia seperguruan denganku. Reksada
namanya! Apakah kau pernah bentrok dengannya?"
"Aku baru jumpa dia sekarang ini!" ujar Raka
Pura yang sudah bisa atasi rasa sakit kepalanya.
Reksada menjauh sedikit demi sedikit Agaknya
ia tak berani melawan Kirana. Mungkin karena ilmu
Kirana lebih tinggi dan sebagai kakak seperguruannya,
maka Reksada tampak ragu untuk melepaskan seran-
gan kepala Raka Pura.
"Reksada! Jelaskan apa maksudmu menyerang
teman kita ini?! Dia bukan orang Perguruan Cakar
Hantu, seperti Bomapati dan yang lainnya!"
"Ak... aku disuruh menangkapnya!" ujar Rek-
sada sambil mengurut rahangnya.
"Siapa yang menyuruhmu menangkapnya?!"
sentak Kirana.
"Aku...!" sebuah suara menyahut keras. Raka
Pura dan Kirana segera memandang ke arah berlawa-
nan. Ternyata di sana telah muncul seorang pemuda
sebaya Raka juga yang mengenakan pakaian serba lo-
reng macan.
"Kunto Aji...?!"
"Ya, aku yang menyuruh Reksada menangkap
pembunuh itu! Karena aku pun diutus oleh Guru un-
tuk menangkapnya!"
Wajah Raka tampak bingung, demikian pula Ki-
rana. Mereka saling pandang sebentar, dan Kirana
berbisik kepada Raka.
"Apakah kau mengenai Kunto Aji?"
"Tidak. Siapa dia?"
"Juga saudara seperguruan denganku! Tapi...
aneh sekali! Mengapa mereka memusuhi mu?!"
Raka menarik napas, menenangkan gemuruh
dalam dadanya yang mulai didesak oleh kemarahan. Ia
mencoba untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan
permusuhan apa-apa pada kedua pemuda itu.
Kunto Aji adalah murid setingkat dengan Kira-
na. Ia seorang pemuda yang gagah dan bertubuh ke-
kar, seperti Raka Pura. Rambutnya bergelombang se-
pundak.
mengenakan ikat kepala dari kulit macan lo-
reng. Rompi dan celananya juga terbuat dari kulit ma-
can loreng, demikian pula kedua gelang di tangannya.
Pemuda yang punya wajah termasuk tampan itu me-
nyandang pedang di punggungnya. Sarung pedang itu
dibungkus dengan kulit macan loreng. Sebab itulah
maka ia berjuluk si Bocah Loreng. Dialah pemilik sen-
jata rahasia berbentuk bintang segi empat dan ten-
tunya juga sebagai orang yang melepaskan pukulan ja-
rak jauhnya yang bersinar hijau tadi.
"Kirana! Sejak kapan kau bersekutu dengan
seorang pembunuh keji itu?!" suara si Bocah Loreng
terdengar keras tapi bernada dingin.
"Jaga bicaramu, Kunto Aji! Dia telah menyela-
matkan nyawaku dari ancaman maut si Bomapati!
Mengapa kau mengecam sekejam itu padanya?!"
"Dia telah membunuh Prayoga!" sahut Reksada
setelah berada tak jauh dari Kunto Aji.
Kirana terperanjat kaget. Matanya terbelalak
dengan pandangan tertuju pada Raka Pura. Yang di-
pandang tampak kebingungan.
Rupanya Kirana juga murid seperguruan den-
gan Prayoga dan Danu Paksi. Si jubah putih berjenggot
abu-abu yang menjadi Guru mereka itu adalah Eyang
Wirata alias si Mulut Guntur. Namun Raka Pura jelas
tidak tahu akan hal itu.
"Siapa Prayoga itu?!" tanyanya kepada Kirana
dengan dahi berkerut.
"Jangan berlagak pikun, Keparat! Kau habis
membunuh Prayoga lalu melarikan diri! Kurasa kau
takut menghadapi kami!" seru Kunto Aji sambil berto-
lak pinggang dengan satu tangan. Sinis dan dingin si-
kapnya.
"Aku tidak kenal dengan Prayoga! Aku baru sa-
ja sampai di kaki Gunung Mercapada Ini!" ujar Raka
dengan gerak pandangan mata kebingungan; sesekali
ke arah Kunto Aji, sesekali ke arah Kirana.
Kirana sempat sedikit shock mendengar kema-
tian Prayoga, namun ia cepat atasi guncangan jiwanya.
Karena bagaimanapun, Prayoga adalah teman sepergu-
ruan yang selama ini bersikap baik kepadanya dan ser-
ing menjadi tempat mengadu keluh kesahnya, terma-
suk menjadi partner bertimbang rasa, ia sangat akrab
dengan Prayoga, sehingga banyak murid Perguruan
Tapak Syiwa yang menduga Kirana adalah kekasih
Prayoga. Padahal Prayoga punya kekasih sendiri di
Lembah Gadai yang bernama Utami. Hanya Kirana
yang mengetahui hubungan kasih antara Prayoga den-
gan Utami, sebab Utami adalah sahabatnya Kirana.
"Bocah Loreng!" suara Kirana mulai bergetar
pertanda menahan berbagai rasa dalam hatinya: sedih,
marah, curiga, dan sebagainya.
"Kapan Prayoga dibunuh?!"
"Baru saja! Tepat matahari di tengah kepala ki-
ta!"
Pendekar Kembar sulung memandang ke langit.
matahari mulai bergeser ke barat.
"Omong kosong!" sentak Kirana tiba-tiba, mem
buat Raka Pura tersentak kaget.
"Kalau begitu kau hanya melontarkan tuduhan
ngawur, Bocah Loreng!"
"Kau lebih percaya padanya, Kirana?!"
"Tentu saja! Sebab sebelum matahari tepat di
tengah kepala kita, dia sedang bertarung melawan
Bomapati demi selamatkan nyawaku! Dan sejak itu ia
bersamaku. Kami justru sedang menuju ke padepokan
karena dia ingin bertemu dengan Guru untuk suatu
keperluan."
Kirana mulai tampak bersemangat membela
Raka Pura. Gadis itu berani ngotot karena ia yakin
bahwa tuduhan itu tidak benar. Sikap ngototnya Kira-
na membuat Kunto Aji sempat bimbang. Akhirnya ia
berkata dengan pandangan lurus ke arah Kirana.
"Aku tak tahu pasti mana yang benar. Yang je-
las, kami diutus Guru untuk menangkapnya! Dia ha-
rus di adili!"
"Aku keberatan jika dia ditangkap dengan tu-
duhan sebagai pembunuh Prayoga!" tegas Kirana.
"Jika kau memihaknya, aku terpaksa mela-
wanmu, Kirana!"
"Aku pun tak keberatan melawanmu, Bocah Lo-
reng! Aku berani membelanya, sebab aku tahu dia ti-
dak bersalah!" sambil Kirana bergeser ke depan Raka,
seakan menjadi perisai bagi si Pendekar Kembar su-
lung itu.
"Jika begitu, bersiaplah menghadapiku, Kira-
na!"
"Aku sudah siap, Bocah Loreng!" tegas Kirana
dengan pandangan mata tak kalah tajam dengan si
Bocah Loreng.
Raka Pura segera berkata, "Biar kuhadapi sen-
diri teman kita ini, Kirana! Barangkali dia butuh pela-
jaran berharga bagi hidupnya."
Kunto Aji berseru semakin panas hatinya, "Itu
gagasan yang bagus! Buktikan bahwa kau tidak lari
karena takut berhadapan denganku!"
Raka menyahut, "Aku tidak akan lari, hanya
saja, sayang kalian cuma berdua! Ada baiknya jika
yang baju coklat itu memanggil teman-temanmu dulu,
dan aku akan menunggu di sini! Ingat, aku tidak akan
lari!" Tantangan yang dilontarkan dengan kalem tapi
tegas itu membuat Reksada dan Kunto Aji semakin be-
rang. Reksada mulai mencabut goloknya. Sreett...! Ra-
ka Pura maju dua langkah hingga menghalang di de-
pan Kirana. Kunto Aji melebarkan jarak dan tangannya
mulai bersiap-siap lepaskan pukulan mautnya ke arah
Pendekar Kembar sulung itu.
"Kau akan berhutang nyawa padaku jika sam-
pai melukainya, Kunto Aji!" ujar Kirana mengancam. Ia
pun segera mencabut cambuknya dan melompat mun-
dur hingga berdiri di atas batu besar di belakangnya.
Wuuut...! Jleeg...!
Kunto Aji segera lepaskan pukulannya ke arah
wajah Raka dengan satu lompatan cepat. Wuuut...!
Plak, plak...! Pendekar Kembar sulung berhasil me-
nangkis dua pukulan beruntun dari Kunto Aji. Tapi ti-
ba-tiba tubuh Kunto Aji berputar dan kakinya berkele-
bat menendang wajah Raka Pura. Wwees...!
Raka sedikit miringkan badan dan menahan
kaki lawan dengan telapak tangannya. Plaak...! Kini gi-
liran kaki Raka yang berkelebat menendang ke depan.
Wees, buuhk...!
Kunto Aji gagal menangkis kaki Raka, akibat-
nya tendangan itu kenai ulu hati Kunto Aji. Pemuda
itu terpental ke belakang dengan wajah menahan rasa
sakit dan sulit bernapas. Bahkan mau berteriak pun
tak bisa, sebab tendangan Raka tadi menghadang ke-
kuatan tenaga dalam yang disalurkan ke kaki. Bi
asanya bisa membuat batu sebesar kepala kerbau pe-
cah menjadi beberapa bagian jika terkena tendangan
tadi.
Melihat Kunto Aji terlempar ke belakang, Rek-
sada segera menyerang Raka dengan mengibaskan go-
loknya ke arah punggung Raka Pura. Tetapi tiba-tiba
terdengar suara lecutan cambuk. Ctaarr...!
"Aaow...!" Reksada memekik dan tersentak
mundur. Pergelangan tangannya terkena kibasan cam-
buk Kirana, sehingga goloknya terlepas dari gengga-
man. Lecutan cambuk itu belum disertai tenaga dalam,
karena Kirana bermaksud memberi peringatan kepada
Reksada. Pemuda itu pun segera menjauhi Raka tanpa
berani memungut goloknya lagi.
"Heaaaat...!!" Kunto Aji melompat dengan kedua
telapak tangan siap disodokkan ke depan. Raka Pura
pun segera melompat maju menyongsong terjangan la-
wan. Tapi kedua tangan Raka menggenggam dan di-
arahkan ke depan.
Ketika mereka bertemu di udara, Kunto Aji sen-
takkan kedua telapak tangannya yang sudah bermua-
tan tenaga dalam besar itu, Pendekar Kembar sulung
juga sodokkan kedua genggaman tangannya, sehingga
beradu dengan telapak tangan Kunto Aji.
Biaaammm...!
Letupan besar terjadi ketika kedua tenaga da-
lam itu beradu. Kunto Aji tidak tahu bahwa Raka Pura
mempunyai jurus 'Tangan Batu' yang mampu menum-
bangkan pohon dari jarak jauh. Kekuatan tenaga da-
lam yang keluar dari jurus 'Tangan Batu' sangat besar,
sehingga Kunto Aji terlempar jauh ke belakang dan ja-
tuh terguling-guling dengan sangat menyedihkan.
Brruk...!
"Aaaahhk...!" Kunto Aji mengerang kesakitan.
Kedua tangannya bagaikan patah, tak bisa digerakkan
lagi. Persendian di bagian kedua sikunya seakan terle-
pas dan sakitnya bukan kepalang tanggung. Bahkan
tulang lengan di pangkal pundaknya bagaikan meleset
dari engsel, juga menimbulkan rasa sakit yang tidak
kenal ampun lagi.
"Aaaahk...! Huuuaak...!" Kunto Aji paksakan di-
ri untuk mengangkat kedua tangannya, namun kedua
tangan itu tetap tak bisa terangkat, seakan tak punya
saluran saraf lagi ke bagian lain.
*
* *
4
UNTUK membuktikan bahwa dirinya tidak ber-
salah dalam kasus kematian Prayoga, Raka Pura tetap
ingin menghadap Eyang Wirata alias si Mulut Guntur.
Diam-diam Kirana sempat ragu, terutama setelah me-
lihat permainan jurus Raka dalam menghadapi Kunto
Aji.
"Jika si Bocah Loreng saja bisa dilumpuhkan
dalam waktu sesingkat itu, tentu saja Prayoga lawan
yang sebanding. Ia dapat membunuh Prayoga dalam
waktu sangat singkat, kemudian pergi menemuiku,"
pikir Kirana. "Tapi, ah... kelihatannya itu tak mungkin
dilakukan Raka. Pembunuh itu terjadi ketika matahari
di pertengahan langit, sedangkan dia menyembuhkan
diriku ketika matahari belum sampai di pertengahan
langit. Tapi... tapi jaraknya tak terlalu jauh? Barangka-
li si Danu Paksi salah memperhitungkan waktu?! Bisa
saja!"
Sekalipun Kirana mempunyai perhitungan sen-
diri, tapi hati nuraninya selalu menolak perhitungan
itu dan mengatakan bahwa Raka Pura bukan pembu-
nuh Prayoga. Karenanya, Kirana tetap tampakkan si-
kap memihak Raka Pura. Hati kecilnya sendiri berha-
rap agar bukan Raka orang yang melakukan pembu-
nuhan itu.
Kunto Aji memendam rasa malu sekali, terlebih
di depan Kirana, tangannya tak berfungsi sama sekali.
Ia benar-benar dibuat tak berkutik oleh orang yang di-
curigainya sebagai pembunuh itu. Sementara si Rek-
sada juga serba salah. Ia semakin ketakutan setelah
melihat Kunto Aji yang ilmunya lebih tinggi darinya
dapat dilumpuhkan semudah itu oleh Raka Pura.
"Kita menghadap Guru kalian bersama-sama!
Akan kubuktikan bahwa aku bukan pembunuh dan ti-
dak pernah melarikan diri untuk hindari kalian!" ujar
Raka Pura.
"Bagaimana dengan Kunto Aji?" bisik Kirana.
"Dia harus ikut juga!"
"Tentang cederanya?!"
"Itu tanggung jawabnya sebagai orang yang ber-
tindak gegabah."
"Kau tak bisa mengobati lukanya?" "Tergantung
permintaan gurumu nanti; harus ku sembuhkan atau
kubuat buntung sekalian! Keputusannya ada di mulut
gurumu!" ujar Raka yang sudah mulai diwarnai kema-
rahan samar-samar. Kirana hanya diam saja, tak be-
rani membujuk lagi. Akhirnya mereka berempat be-
rangkat ke padepokan. Kunto Aji melangkah dengan
dipapah Reksada sambil wajahnya menyeringai kesaki-
tan.
Tetapi dalam hati Raka Pura, ia sudah mendu-
ga bahwa adiknya; si Pendekar Kembar bungsu, pasti
terlibat persoalan itu. Raka Pura mulai dapat menyim-
pulkan bahwa tuduhan tersebut pasti ditujukan kepa-
da Soka. Namun entah bagaimana, Soka pergi dan me
reka memburunya. Karena kesamaan rupa dan pe-
nampilan, Kunto Aji menyangka Raka adalah Soka Pu-
ra.
"Tapi benarkah Soka membunuh Prayoga?!
Hmmm... kurasa kalau bukan karena ada persoalan
yang sangat penting dan berbahaya, Soka tak mungkin
mencabut nyawa orang seenaknya begitu. Kurasa me-
reka juga salah paham terhadap Soka," ujar Raka
membatin.
Kirana hanya tahu bahwa Raka bersama seo-
rang adiknya dalam mencari 'Bambu Gading Mandul'
itu. Tapi Raka tidak jelaskan tentang persamaan rupa
mereka. Raka selalu merasa hal itu tidak penting dika-
takan kepada setiap orang yang dijumpainya, kecuali
dalam keadaan memaksa. Apalagi dia harus mengata-
kan bahwa ia mempunyai gelar Pendekar Kembar, hal
itu jarang sekali dilontarkan di depan orang yang baru
dikenal. Kecuali jika orang tersebut menanyakan ten-
tang Pendekar Kembar, baru Raka akan bicara yang
sebenarnya. Sebab, jika ia mengaku Pendekar Kembar
kepada orang yang baru dikenal, belum tentu orang itu
percaya. Bisa jadi dia hanya akan ditertawakan dan
dianggap mengaku-ngaku kebesaran nama Pendekar
Kembar.
Karenanya, Kirana berusaha ngotot di depan
gurunya pada waktu mereka sudah tiba di padepokan.
Raka Pura belum bicara, dan sang Guru: si Mulut
Guntur, sudah lebih dulu jelaskan perkara tersebut.
Kirana berani ngotot dengan sumpahnya.
"Aku berani bersumpah, Guru. Dia bersamaku
sebelum matahari mencapai pertengahan langit. Dia
sedang bertarung dengan Bomapati karena ingin me-
nyelamatkan nyawaku, Guru! Sumpah mati pun aku
berani, Guru!"
Si Mulut Guntur diam sesaat, merenungkan
keberanian Kirana dalam bersumpah. Ia tau persis,
bahwa Kirana tak pernah berani lontarkan sumpah
palsu. Ia lebih baik mencari alasan lain untuk membe-
la kesalahannya daripada harus bersumpah palsu.
Raka Pura masih berdiri tenang di depan si Mu-
lut Guntur yang menyambut kedatangannya di depan
pendopo pertemuan. Hal itu dilakukan oleh si Mulut
Guntur, karena ketika Raka Pura memasuki pintu ger-
bang perguruan, para murid segera mengepung Raka
dengan senjata terhunus, siap menyerang bersama.
Bentakan Kirana membuat mereka tak berani menye-
rang langsung ke arah Raka Pura. Tetapi mereka be-
lum mau bubar. Setelah Mulut Guntur muncul, mere-
ka mulai merenggangkan kepungan. Namun masing-
masing tetap memancarkan permusuhan serta me-
nyimpan dendam atas kematian saudara seperguruan-
nya itu.
Rasa dendam itu muncul di hati masing-masing
murid Perguruan Tapak Syiwa, karena selama hidup-
nya Prayoga dikenal sebagai murid yang baik, ramah,
dan gemar menolong terhadap sesama. Prayoga tak
pernah berselisih dengan saudara seperguruan sendiri.
Bahkan ia cenderung mengalah jika terjadi pertentan-
gan dl antara mereka.
Tetapi dalam membela martabat perguruan,
Prayoga selalu tampil terdepan. Seperti halnya ketika
harus berhadapan dengan orang-orang dari Perguruan
Cakar Hantu, Prayoga menerjang lebih dulu orang-
orang yang hendak membakar padepokannya itu. Den-
gan bersenjatakan Keris Naga Sukma, Prayoga nyaris
melukai separo dari jumlah orang-orang Cakar Hantu
yang menyerang kala itu.
Oleh sebab itulah, kematian Prayoga sangat
disesalkan oleh para murid Perguruan Tapak Syiwa.
Rasa berkabung mereka diwarnai dengan dendam, se
hingga yang tampak pada wajah-wajah mereka adalah
amarah yang berapi-api, bukan kesedihan yang men-
dalam.
Hanya si Mulut Guntur yang akhirnya mampu
memendam kemarahannya dan bersikap tenang di de-
pan Raka Pura. Dengan kedua tangan bersidekap di
dada, Mulut Guntur bicara kepada Raka Pura tentang
urusan kejadian tersebut.
"Seandainya kau mau mengaku perbuatanmu,
dan mengajukan alasan yang kuat, barangkali aku
akan mempertimbangkan keputusanmu dalam menja-
tuhkan hukuman padamu, Nak!"
"Eyang Wirata," ujar Raka Pura dengan nada
menghormat. "Kurasa kali ini Eyang salah duga untuk
yang kedua kalinya!"
Si Mulut Guntur berkerut dahi menatap Raka.
"Pertama, salah tuduh itu telah membuat kea-
daan menjadi kacau, terutama bagi para murid di sini.
Kedua, saya bukan orang yang Eyang lihat tadi di tem-
pat mayat Prayoga ditemukan."
"Aku masih kurang Jelas dengan maksudmu,
Nak."
"Saya adalah Raka Pura, Eyang. Bukan Soka
Pura!"
"Lho...?!" si Mulut Guntur semakin kaget. Bebe-
rapa murid memandang dengan dahi berkerut, terma-
suk Kirana.
"Soka Pura adalah adik kembar saya. Ia juga
berpedang kristal seperti ini, tapi ia bertangan kidal.
Pakaiannya, wajahnya, potongan tubuhnya, sama per-
sis dengan saya, Eyang!"
"Jadi... kalian anak kembar?!"
"Benar, Eyang! Kami anak kembar dari Gunung
Merana, murid mendiang Eyang Dewa Kencan yang di-
asuh oleh seorang ayah angkat kami, bernama: Pa
wang Badai!"
"Astaga...?!" sentak si Mulut Guntur. "Kalau be-
gitu kalian adalah Pendekar Kembar?!"
"Benar sekali, Eyang!" tegas Raka Pura. Hal itu
membuat semua mata semakin tertuju kepadanya. Me-
reka menatap dengan mulut ternganga namun tanpa
suara. Mereka bagaikan terpaku di tempat selama dua
helaan napas.
Rupanya nama Pendekar Kembar sudah diken-
al oleh mereka dari percakapan yang mereka dengar di
rimba persilatan. Tetapi tak satu pun merasa pernah
bertemu dengan Pendekar Kembar. Maka ketika Raka
Pura mengaku dirinya sebagai Pendekar Kembar su-
lung, mereka terkesima. Namun sebagian ada pula
yang terbengong karena keragu-raguannya.
Kirana menatap Raka tak berkedip dengan hati
berdebar-debar. Ia sendiri tak menyangka kalau pe-
muda yang bersamanya adalah Pendekar Kembar yang
namanya sedang menjadi buah pembicaraan oleh para
tokoh di dunia persilatan. Namun di sudut hatinya, ia
masih tetap menyimpan kesangsian sebelum bertemu
dengan Soka Pura dan mendapat kepastian dari gu-
runya.
"Eyang Mangkuranda alias si Dewa Kencan,
memang kukenal. Tapi lebih kukenal lagi nama si Pa-
wang Badai. Sebab dia adalah sahabatku semasa kami
sama-sama masih muda."
"Bagaimana kami bisa mempercayainya.
Guru?!" ujar salah seorang murid. "Barangkali me-
mang Guru mengenal tokoh yang bernama Pawang
Badai. Tapi siapa pun bisa mengaku-ngaku sebagai
anak angkatnya dan mengaku sebagai Pendekar Kem-
bar, Guru!"
Raka Pura menatap pemuda itu yang tampak
menyangsikan pengakuannya. Ia tetap bersabar, te
nang, dan kalem. Ia tampakkan sikap ingin ngotot di
depan pemuda tersebut. Hal itu membuat si Mulut
Guntur segera berkata kepada murid-muridnya.
"Seingatku, Pawang Badai mempunyai jurus
penyembuhan yang sangat dahsyat dan ajaib sekali,
jurus itu bernama jurus 'Sambung Nyawa'. Jika kalian
ingin bukti kebenaran pengakuan pemuda ini sebagai
Pendekar Kembar, tentunya ia mempunyai jurus
'Sambung Nyawa' itu. Sebab semua murid Dewa Ken-
can menguasai jurus tersebut."
Setelah berkata begitu, si Mulut Guntur berpal-
ing menatap Raka Pura. Pandangan matanya membuat
Raka Pura mengerti maksud sang Guru itu. Ia harus
lakukan pembuktian sebagai Pendekar Kembar melalui
jurus 'Sambung Nyawa'.
Raka Pura pun tersenyum, ia melirik ke arah
Kirana. Ternyata gadis itu sedang memandangnya,
seakan penuh harap agar Raka melakukan pembuk-
tian. Pandangan mata Kirana berpindah kepada Kunto
Aji. Raka pun paham maksudnya, agar ia lakukan pe-
nyembuhan terhadap diri Kunto Aji yang kedua tan-
gannya masih tak bisa digunakan sama sekali itu.
Maka si pemuda tampan itu pun segera dekati
Kunto Aji. Penyembuhan yang dilakukan kepada Kira-
na, kembali dipergunakan Raka Pura untuk sembuh-
kan cedera di kedua tangan Kunto Aji. Proses penyem-
buhannya sama, dan memukau para murid di Pergu-
ruan Tapak Syiwa.
Dalam beberapa kejap saja, Kunto Aji segera
pulih. Tangannya bisa digunakan seperti sediakala.
Rasa sakit tak tersisa sedikit pun. Bahkan badannya
terasa lebih segar dibandingkan hari-hari kemarin.
"Tidak ada orang yang bisa lakukan penyembu-
han seperti itu, kecuali orang-orang yang menganut
aliran silat si Dewa Kencan," ujar Eyang Wirata kepada
murid-muridnya. Para murid itu akhirnya percaya
bahwa Raka Pura adalah Pendekar Kembar sulung
yang sedang jadi buah bibir orang-orang persilatan.
Sebelum matahari tenggelam, mereka mengu-
burkan Jenazah Prayoga di pemakaman khusus para
murid Perguruan Tapak Syiwa. Beberapa murid yang
ditugaskan mencari Soka Pura tadi, sebagian sudah
pulang tanpa membawa hasil. Tapi beberapa lainnya
masih berusaha mencari dan tidak hadir dalam pema-
kaman Prayoga, termasuk si Danu Paksi.
Sedangkan Raka Pura ikut dalam pemakaman
tersebut didampingi oleh Kirana. Tampaknya Kirana
semakin dekat dengan Raka Pura, lebih-lebih setelah
ia tahu Raka adalah Pendekar Kembar sulung.
Sepulangnya dari pemakaman itu, Mulut Gun-
tur dan beberapa murid pilihannya berkumpul membi-
carakan tentang kematian Prayoga yang misterius itu.
Persoalan yang berbelit-belit terletak pada Keris Naga
Sukma milik Prayoga.
"Keris itu adalah keris pusaka peninggalan
mendiang ayah Prayoga yang pernah menjabat sebagai
patih di sebuah kerajaan," ujar si Mulut Guntur. "Se-
tiap orang yang tahu, pasti akan mengincar keris ter-
sebut. Bukan saja kesaktian keris itu yang akan men-
guntungkan pencurinya, tapi harga jual keris itu sen-
diri dapat dipakai untuk hidup selama beranak cucu."
Kunto Aji segera angkat bicara setelah gurunya
tampak berhenti agak lama.
"Jika pembunuh itu bukan Soka Pura, ke-
mungkinan lain hanya ada orang-orang Perguruan Ca-
kar Hantu."
"Benar! Tapi menurutku," ujar murid yang lain.
"Orang-orang Cakar Hantu tak ada yang berani sampai
berada di wilayah kekuasaan kita."
"Anehnya, keris itu tidak diambil oleh pembu
nuhnya," timpal Kunto Aji lagi. "Berarti pembunuhnya
mempunyai tujuan lain dalam menghabisi nyawa
Prayoga!"
Raka Pura pun segera ikut bicara. "Yang jelas
adikku tidak mungkin melakukannya, karena kami
memang tidak mengenal Prayoga. Tak ada permusu-
han dan kebencian di antara kami dengan Prayoga.
Kami hanya akan melakukan pembunuhan jika hal itu
sangat mendesak dan sangat beralasan."
"Lalu bagaimana dengan Keris Naga Sukma
yang ada di tangan adikmu itu?" tanya Kunto Aji yang
bernada masih curiga pada Soka Pura.
"Kurasa Soka bisa jelaskan seluruhnya dengan
benar. Tapi... sebaiknya sekarang juga aku mohon
pamit dulu untuk mencari adikku. Akan kubawa ke-
mari dia untuk selesaikan persoalan ini, agar di antara
kita tidak terjadi ganjalan batin yang akan merusak
persahabatan."
"Guru, boleh aku mendampingi Raka mencari
adiknya?" tanya Kirana meminta izin lebih dulu.
"Sejauh Raka bertanggung jawab atas kesela-
matanmu, kuizinkan kau mendampinginya!" ujar si
Mulut Guntur.
Salah seorang murid segera acungkan jarinya
dan berkata, "Bagaimana jika dia tidak kembali lagi
alias kabur?! Apa jaminannya, Guru?!'
Kirana yang menyahut, "Nyawaku yang menjadi
jaminannya! Kau boleh bunuh aku jika Raka tidak
kembali lagi kemari!"
Kata-kata tegas Kirana bernada marah kepada
temannya itu. Mereka diam semua. Kirana meman-
dangi mereka satu persatu. Akhirnya si Mulut Guntur
berkata kepada Kirana.
"Berangkatlah! Kami percaya Raka akan kem-
bali bersamamu dalam keadaan selamat dan membawa
Soka Pura!"
Kepergian Raka dan Kirana ternyata tidak dile-
pas begitu saja. Kunto Aji ditugaskan mengikuti mere-
ka secara sembunyi-sembunyi. Dengan begitu, para
murid yang masih menyangsikan kejujuran Raka Pura
menjadi lega dan menganggap sang Guru memperhati-
kan kecemasan mereka.
Namun perjalanan senja itu ternyata tidak cu-
kup untuk mencari Soka Pura. Raka sudah pergi ke
tempat mereka berpisah saat mendengar suara jeritan
memilukan yang ternyata adalah jerit kematian Prayo-
ga itu. Tapi ternyata Soka Pura tidak ada di tempat
tersebut. Mereka mencari di sekitar tempat itu, juga te-
tap tak menemukan jejak Soka Pura.
Diam-diam Raka menyimpan kecemasan ter-
sendiri. Ia tak ingin kehilangan adiknya. Ia juga tak in-
gin sang adik cedera atau mengalami bencana apa
pun. Karenanya, meski hari mulai meremang petang,
Raka Pura masih berusaha mencari adiknya sambil di-
dampingi Kirana yang mengetahui seluk beluk daerah
di sekitar kaki Gunung Mercapada itu.
"Petang sudah tiba, Raka. Apakah kita masih
mau melanjutkan pencarian ini?"
"Kurasa begitu."
"Gelap malam akan membuat kita semakin sulit
mencari adikmu!"
"Apakah kau punya saran?"
"Sebaiknya... pulang dulu ke padepokanku.
Esok kita lanjutkan lagi pencarian ini."
"Apa kata teman-teman dan gurumu jika kita
kembali tanpa membawa Soka Pura? Pasti mereka
akan mengecam ku dan mempunyai dugaan yang bu-
kan-bukan."
"Kalau begitu...," gadis 'gingsul' itu diam sesaat.
Kemudian ia berkata seperti mendapat gagasan
secara tiba-tiba.
"Di lereng sebelah sana ada gua. Bagaimana ji-
ka kita beristirahat di dalam gua saja. Aku capek seka-
li, Raka."
Kata-kata Kirana yang terakhir itu bernada
manja. Raka Pura tersenyum, tapi ia menjadi bingung
dengan debar-debar yang muncul kembali dalam ha-
tinya itu. Debar-debar yang membawa perasaan indah
dan senang itu hadir ketika Kirana bernada manja
sambil bergelayut di pundak Raka Pura.
"Sial betul! Kenapa perasaanku jadi seperti ini?
Padahal biasanya aku tak suka dengan gadis yang be-
rani memegang ku, apalagi bernada merengek manja
begitu. Aku paling tak suka. Tapi sekarang, kenapa
aku tak punya perasaan seperti itu? Yang ku rasakan
hanya debar-debar keindahan dan... hawanya kepingin
tersenyum senang terus. Ada apa sebenarnya pada di-
riku ini?!"
Raka Pura pun akhirnya turuti rengekan Kira-
na. Sebuah gua yang mempunyai lorong panjang dan
berliku-liku menjadi tempat peristirahatan mereka ma-
lam itu. Raka Pura menyalakan api unggun sebagai
penghangat dan penerang suasana.
Gua itu mempunyai ruangan lebar dan berge-
lombang seperti tangga alam. Banyak bebatuan yang
berserakan di sana-sini, tapi ukurannya tak ada yang
melebihi ukuran tinggi perut orang dewasa.
"Kau sering ke gua ini?" tanya Raka Pura sam-
bil membetulkan susunan kayu bakar.
"Dulu aku pernah bersembunyi di gua ini keti-
ka dikejar lawanku yang ilmunya lebih tinggi dariku.
Aku juga pernah sembunyi di sini ketika bercanda
dengan Prayoga."
"Dia kekasihmu?" potong Raka.
"Bukan! Sudah kukatakan, dia sangat baik pa
daku, dan dia punya kekasih sendiri di Lembah Gadai.
Aku juga pernah beristirahat di sini bersama Prayoga
dan Utami, kekasihnya itu."
Kirana hentikan ucapannya sebentar, lalu sege-
ra berkata lagi, "O, ya... aku belum kabari Utami ten-
tang kematian Prayoga. Kasihan dia...," wajah cantik
itu mulai tampak membendung duka.
Raka Pura ingat saat Kirana menangis di pe-
makaman Prayoga. Gadis itu tidak memeluk gurunya
atau Kunto Aji, tapi menjatuhkan pelukannya ke dada
Raka. Mau tak mau tangan Raka menyambut dalam
pelukan walau ia merasa janggal sekali melakukannya.
Tangis Kirana tak bisa dihentikan ketika jenazah
Prayoga di masukkan ke liang kubur lalu ditimbun ta-
nah. Hanya Raka Pura yang berhasil meredakan tangis
itu, dan si gadis merasa terhibur oleh ucapan-ucapan
lembut Raka yang menyarankan agar ia harus tetap
tabah menghadapi kenyataan apa pun.
Sekarang, di dalam gua itu, wajah cantik itu
mulai diselimuti duka. Sebenarnya Raka Pura ingin
cuek saja, berlagak tak peduli dengan lapisan duka
yang membayang dl wajah cantik itu. Tapi ternyata ha-
ti kecilnya tak tega.
"Kasihan?! Aneh sekali. Mengapa aku kasihan
kepada gadis itu jika berwajah duka? Biasanya aku tak
peduli seorang gadis berwajah duka atau berwajah
angker! Mengapa sekarang aku merasa iba jika melihat
dia murung dan berduka?! Ah, setan belang dari mana
yang mengubah perasaanku jadi begin! ini?" gerutu
Raka dalam hatinya sambil tetap berlagak sibuk den-
gan kayu-kayu bakar.
Kirana ada di samping kanannya, sedikit agak
ke depan, sehingga wajah mereka mudah saling bera-
du pandang. Cahaya api unggun memperjelas rona wa-
jah si cantik, walau ia tertunduk.
Niat untuk cuek ternyata tak mampu diperta-
hankan Raka Pura setelah Kirana tampak hanyut da-
lam lamunan duka atas kematian Prayoga. Raka pun
segera berkata dengan suara lembutnya.
"Jangan melantur dalam duka, nanti batinmu
terlalu lama menderita."
Si gadis masih diam, walau ia mulai menarik
napas dalam-dalam bagai ingin sembunyikan duka ke
dasar hatinya. Tapi setelah itu ia masih tak bersuara.
Matanya memandang ke arah nyala api unggun kecil
itu. Bahkan tangannya memungut sebatang kayu dan
bermain api dengan kayu tersebut. Sorot pandangan
matanya masih menerawang dicekam kesedihan.
"Biasanya kalau orang menderita, batinnya ter-
siksa. Dan orang yang batinnya terlalu lama tersiksa,
ia akan lekas tua. Jika kau lekas tua, maka kecanti-
kanmu pun akan sirna. Itu adalah kerugian besar ba-
gimu, Kirana."
"Biar saja cepat tua," ujar si gadis dengan ke-
murungannya dipertajam.
"Kalau hanya cepat tua, mungkin bisa kau bi-
arkan. Tapi kalau sampai kau sakit, bagaimana?"
"Biar saja sakit! Tak ada yang rugi kalau aku
sakit."
Raka Pura tersenyum tipis. Senyumnya itu se-
benarnya senyum salah tingkah dengan perasaannya
sendiri. Tiba-tiba ia berucap pelan tanpa memandang
orang yang diajak bicara.
"Aku tak ingin kau sakit."
Kirana menatap, Raka Pura masih berlagak tak
mengetahui kalau sedang ditatap. Tapi dalam hati pe-
muda itu sebenarnya bergemuruh keras. Gemuruh itu
timbul akibat pertentangan rasa dalam batinnya. Se-
bagian batinnya ingin agar tidak peduli dengan apa
pun yang terjadi pada gadis itu, sebagian batin lagi
menghendaki agar gadis itu dalam keadaan baik, se-
hat, ceria, dan sebagainya.
"Apa rugimu kalau aku sakit?" tanya Kirana
dengan suara lirih. Rambutnya tergerak ke depan, dan
ia menyingkapkan sampai ke belakang telinga. Ma-
tanya memandang lurus pada Raka. Wajah itu tampak
semakin cantik lagi ketika separo rambutnya tersing-
kap sampai belakang telinga. Raka Pura memandang-
nya, namun detak jantung bagai menyentak-nyentak
ketika melihat wajah menjadi secantik itu. Ia buru-
buru buang pandangan untuk kurangi detak jantung-
nya. Ia takut urat jantungnya putus karena menyentak
terlalu keras.
Rupanya si gadis ingin mendengar jawaban dari
pemuda kalem itu. sehingga ia mengulang perta-
nyaannya tadi.
"Apa rugi mu...?!"
"Hmmm... tak ada," Raka Pura menggeleng.
"Tak ada ruginya kalau kau sakit, karena yang sakit
adalah dirimu, bukan diriku."
Kata-kata itu sangat berat sekali diucapkan
Raka, karena bertentangan dengan hati kecilnya. Ter-
bukti setelah berkata begitu, Raka menghembuskan
napas panjang seperti menyingkapkan sesuatu yang
mengganjal dalam hatinya.
"Lalu, mengapa kau tak inginkan aku sakit?"
desak Kirana lagi.
"Karena... karena aku malas mengobatimu la-
gi," jawab Raka sebisa-bisanya.
"Kalau begitu biarkan saja aku sakit sampai
mati." "Itu tidak baik, Kirana. Sebab...." Raka diam se-
ketika, karena ia merasa kehilangan seluruh kata yang
akan diucapkan. Ia menjadi bingung, harus berkata
apa kepada gadis itu.
"Sebab apa?!" desak si gadis.
"Sebab... sebab aku malas menguburkan mayat
mu!" jawaban itu bernada jengkel. Bukan kepada Kira-
na ia menjadi jengkel, tapi kepada dirinya sendiri yang
tak mampu kuasai debar-debar aneh dalam hatinya
itu.
"Kalau kau malas menguburkan mayatku, aku
akan menguburkan diri sendiri."
"Mana ada mayat gali kuburan dan ngubur diri
sendiri?!" Raka Pura bersungut-sungut. Kirana terse-
nyum geli. Senyum itu bercampur tawa lirih. Tawa lirih
itu membuat keresahan dalam hati Raka menjadi ber-
kurang. Setidaknya ia merasa tidak seka ku tadi, na-
mun sedikit lebih santai.
"Mungkin karena dia sudah mau tertawa," pikir
Raka. "Mungkin karena wajahnya tak menyimpan ke-
sedihan dan kemurungan lagi, maka hatiku merasa le-
ga. Ah, kok aneh sekali hatiku ini?"
Setelah mereka saling diam beberapa saat, Ki-
rana mengawali percakapan lagi dengan suaranya yang
pelan, bening, dan berkesan lembut.
"Kau pernah punya kekasih, Raka?"
"Belum," jawab Raka agak parau, karena ragu-
ragu mengucapkannya.
"Aku sudah pernah," ujar Kirana tanpa malu-
malu. Bahkan ia bergeser dari tempat duduknya, men-
jadi lebih dekat lagi dengan Raka. Kurang dari dua
jengkal. Batu yang didudukinya lebih rendah dari yang
diduduki Raka, membuat kepala Kirana bisa jatuh ke
pundak Raka sewaktu-waktu.
"Hubungan kasihku itu hanya sekejap mata,"
lanjut Kirana. "Baru berjalan kurang dari dua bulan
sudah putus."
"Kenapa putus?"......
"Yang diharapkan darinya bukan ketulusan ha-
tiku, tapi kehangatan tubuhku. Aku tak mau punya
kekasih yang hanya membutuhkan kehangatan tu-
buhku! Aku tak mau jadi pemuas gairahnya. Aku ingin
menjadi teman hidup sampai kami sama-sama masuk
liang kubur."
"Memang seharusnya begitu," ujar Raka seperti
tak punya kalimat lain.
"Sampai sekarang aku hanya senang bersaha-
bat saja dengan seorang pemuda. Ku rasakan persa-
habatan itu akan lebih langgeng daripada dibumbui
dengan rayuan kasih dan tetek bengeknya."
"Benar, aku juga sependapat begitu!" Raka
tampak bersemangat karena ia lebih suka bicara ten-
tang persahabatan.
"Tapi sebagai manusia sehat, kadang aku me-
rindukan seorang kekasih yang mampu memeluk hati-
ku, menghibur ku, memberi kedamaian dan menjadi
tumpuan kasih sayang. Apakah kau juga begitu?"
Raka Pura hanya tersenyum kikuk. Kali ini ia
tak tahu harus menjawab apa kepada Kirana. Detak
jantungnya bertambah keras. Debar-debar keindahan
terasa menjalar sampai ke ujung kaki. Terlebih setelah
tangan Kirana jatuh di pangkuannya, dan gadis itu
menatap dengan senyum lesung pipit yang begitu lem-
but, Raka Pura benar-benar seperti dihujani keinda-
han yang tak dimengerti dari mana datangnya.
"Apakah kau juga sesekali punya harapan se-
perti itu, Raka?"
"Hmm, hmmm... iya, sesekali saja," Jawab Raka
tampak gugup. Kemudian sebelum Kirana bicara lagi,
ia sudah mendahului berkata sambil melepaskan kayu
yang dipakai meratakan api unggun itu.
"Aku lelah sekali hari ini. Aku mau tidur dulu."
Raka bergeser agak ke belakang. Ia bersandar
pada dinding gua. Duduknya melonjor, matanya sen-
gaja buru-buru dipejamkan. Kirana memandang den
gan senyum kecil.
"Aku akan keluar sebentar, Raka."
"Hei, mau ke mana kau?" Raka Pura buru-buru
bangkit dan berwajah tegang.
"Aku mau cari makanan untuk santap malam.
Aku lapar."
"Tak usah! Biar aku saja yang cari makanan!
Kau di sini, Jangan ke mana-mana!"
"Ah, biarlah aku saja!"
Raka bergegas menyelipkan pedangnya yang
tadi digeletakkan di tanah samping kirinya. Kemudian
ia melangkah hendak keluar.
"Tetaplah di sini! Tak lama aku akan kembali!"
"Raka...!" Kirana menahan langkah Raka Pura
dengan mencekal lengan pemuda itu.
"Mau ke mana kau?"
"Katamu kau lapar dan butuh makanan? Aku
akan mencari makanan untukmu!"
Kirana tersenyum, menampakkan kemanisan
gigi 'gingsul'-nya dan lesung pipitnya.
"Aku hanya bercanda. Aku tidak lapar kok."
"Harus lapar!" ujar Raka demi menutupi rasa
malunya.
"Aku tidak lapar kok diharuskan lapar?" Kirana
sedikit bernada merengek. "Kalau kau keluar aku akan
ikut keluar!"
Raka Pura hembuskan napas. "Ya, sudah... kita
di dalam saja."
Raka Pura duduk di tempat semula, Kirana
mengikutinya dan ikut pula duduk di samping Raka.
Tapi jantung Raka merasa seperti mau copot, karena ia
belum pernah merasakan debar-debar semakin indah
ketika Kirana menyandarkan kepala di pundaknya.
"Aneh sekali, ya? Sejak aku bersamamu, rasa
lapar ku hilang. Tak ada minat untuk makan," ujar Ki
rana,
"Aku juga," jawab Raka lirih, sepertinya hanya
untuk basa-basi saja.
"Aku ingin tertidur dalam keadaan dekat den-
ganmu begini. Bolehkah?" Kirana menatap, Raka tak
bisa menghindari pandangan mata itu. Hatinya pun
sulit menolak. Ia paksakan untuk menggelengkan ke-
pala, tapi yang terjadi adalah menganggukkan kepala.
Maka Kirana pun semakin merebahkan kepala
di dada Raka. Tangan Raka segera merangkulnya. Pa-
da saat itu, debar-debar keindahan melonjak kuat,
seakan ingin bersorak.
"Raka... maukah kau menciumku biar aku
bermimpi indah dalam tidurku nanti?"
Sekali lagi Raka ingin menggeleng, tapi yang
terjadi justru mengangguk. Maka dengan gemetar dan
jantung menyentak-nyentak lebih kuat lagi, Raka pun
mencium kening Kirana. Cup...! Pelan dan lembut se-
kali. Setelah itu napas Raka merasa sesak, karena ada
sesuatu yang mekar di dalam dadanya. Sesuatu yang
mekar itu adalah sebentuk keindahan yang belum
pernah dirasakan dan baru kali itu dialaminya.
Sang gadis pun tersenyum tipis dan berucap
pelan,
"Terima kasih, Raka...."
"Tidurlah yang tenang," ujar Raka Pura nyaris
tak terdengar. Si gadis pun merebah kembali di dada
Raka, kemudian segera tertidur dengan nyenyak,
membiarkan Raka Pura tertegun dalam lamunan indah
yang membingungkan pikirannya.
"Seumur hidup baru sekarang aku mencium,
seorang gadis. Kenapa aku jadi begini, ya? Jangan-
jangan terkena ilmu pelet dari gadis ini? Tapi... tapi
gadis ini tidak banyak menuntut dariku. Rasa-rasanya
ia akan sia-sia jika hanya begini saja harus menggu
nakan ilmu pelet. Ah... tak tahulah kenapa aku ini?
Kurasa... kurasa kali ini aku kena batunya; tak bisa
hindari daya tarik Kirana yang punya kecantikan
mampu mengacak-acak hati dan pikiranku...."
Raka Pura masih diam terbengong. Ia justru tak
bisa tidur karena harus menopang kepala Kirana yang
terkulai nyenyak dalam pelukannya.
*
* *
5
MIMPI indah benar-benar dialami oleh Kirana.
Ia bermimpi sedang bercanda di sebuah taman bunga
bersama Raka Pura. Mereka berlari-larian sambil
hamburkan tawa, saling kejar sambil jeritkan suara
kebahagiaan. Kemudian Raka menangkapnya dari be-
lakang, Kirana tertawa kegelian. Akhirnya mereka sal-
ing beradu pandang, lalu Kirana memejamkan mata,
dan Raka mengecup bibir Kirana dengan lembut.
Sayangnya keindahan itu hanya terjadi dalam
mimpi Kirana. Ketika ia bangun, api unggun telah pa-
dam, cahaya matahari pagi telah menerobos masuk
melalui mulut gua yang tak berpintu itu. Hadirnya
sang matahari tidak membuat Kirana terkejut. Tapi ke-
tiadaan Raka Pura membuat Kirana yang nyaris terpe-
kik.
"Rakaaa...?!" serunya dalam mencari Raka di
kedalaman gua. "Rakaaa...! Di mana kau...?"
Sepi, tak ada jawaban. Yang ada hanya gema
suaranya sendiri. Gema itu bagai mempermainkan pe-
rasaan Kirana yang sedih dan menjadi tegang. Maka ia
pun segera lari keluar gua.
"Rakaaa...!" panggilnya dengan suara tak sam-
pai menjerit. Tapi tetap tak ada jawaban. Hati pun
menjadi sedih. Kirana menjadi berang karena hatinya
dibuat sedih oleh pemuda yang meninggalkan kesan
indah di dalam hatinya. Kirana segera mencari keinda-
han itu. Mencari Raka Pura yang telah berhasil menje-
rat hatinya dengan kepolosan dan kekakuannya men-
cium kening.
Dahi Kirana seperti masih menghangat. Bekas
kecupan lembut Raka Pura sulit dihilangkan, mem-
buat hati semakin jengkel dan berang.
"Raka aku tak mau kau tinggalkan! Di mana
kau, Raka?! Brengsek kau, Raka! Di mana kau, aku
tak mau kau tinggalkan!" ucap Kirana dalam tiap lang-
kahnya. Ucapan itu seperti orang menggerutu, namun
sangat keras dan menggema dalam relung hatinya.
"Apakah ia sengaja melarikan diri karena ingin
hindari persoalan tewasnya Prayoga?!" pikir Kirana.
"Celaka kalau benar dia begitu! Nyawaku benar-benar
bisa dituntut oleh pihak perguruan jika aku pulang
tanpa Raka Pura! Dasar gila pemuda itu! Apakah dia
tak tahu bahwa nyawaku sebagai jaminan jika ia sam-
pai melarikan diri?!"
Raka Pura sebenarnya tidak kabur atau larikan
diri hindari kasus kematian Prayoga yang belum tun-
tas itu. Bukan karena niat seperti itu Raka tinggalkan
gua saat fajar tiba. Ia meletakkan tubuh Kirana pelan-
pelan dan keluar dari gua karena mendengar suara se-
ruan yang menggema memanggil namanya.
"Rakaaaaaa...!! Rakaaaaaaaa...!"
"Itu suara Soka?!" gumam Raka dengan terkejut
dan menjadi tegang. Tak mungkin ia membalas seruan
itu, karena Kirana masih tertidur dengan nyenyak. Ia
tak ingin mengganggu kenyenyakan tidur gadis cantik
tersebut.
Maka ia pun segera berlari ke arah datangnya
suara Soka. Berkelebatnya Raka dari dalam gua, ter-
nyata masih tetap diikuti oleh Kunto Aji dari kejauhan.
Dan seruan Soka bukan saja memanggil kedatangan
Raka, namun Juga memanggil kedatangan tokoh lain.
Rupanya si Pendekar Kembar bungsu sejak
kemarin menjadi jengkel sendiri karena mencari ka-
kaknya yang tak bisa ditemukan. Pada saat Soka tiba
di tempat pertarungan Kirana dengan Bomapati, Raka
dan Kirana sudah tak ada. Tentunya Soka juga tak ta-
hu bahwa kakaknya habis bertarung melawan Boma-
pati di tempat itu. Ketika menjelang petang Soka kem-
bali ke tempat mereka berpisah pertama kali, Raka su-
dah sejak tadi mencari di sana dan akhirnya pergi ke
arah lain bersama Kirana, yang akhirnya mereka ma-
suk ke dalam gua. Tentu saja Soka tak bisa temukan
kakaknya.
Sampai tengah malam ia masih berkeliaran
mencari kakaknya di sekitar tempat itu. ia juga melihat
Danu Paksi yang berlari-lari dengan wajah berang,
tampak jika sedang mencari seorang buronan. Tetapi
Soka Pura sengaja membiarkan dan tak mau temui
pemuda itu. Pikirnya, Danu Paksi hanya akan meng-
hambat langkahnya dalam mencari Raka Pura. Sebab
itu, Danu Paksi dibiarkan berkelebat mencarinya di
tempat lain.
Maka di ujung fajar, setelah Soka beristirahat
di atas pohon, kejengkelannya dilampiaskan dengan
berteriak sekeras-kerasnya. Dengan dua kali teriakan,
Soka berhasil meredam kedongkolannya yang meng-
ganjal di ulu hati. Tapi ia pun berharap kakaknya se-
gera datang. Namun ternyata yang datang lebih dulu
bukan kakaknya, melainkan orang lain.
Kunto Aji segera memotong jalan, karena ia
mulai dapat menduga bahwa Raka Pura akan menuju
ke tempat datangnya suara tersebut. Kunto Aji penasa-
ran dengan pengakuan Raka tentang adik kembarnya.
Si Bocah Loreng itu segera menduga bahwa yang me-
manggil Raka itu adalah adik kembarnya. Maka ia ber-
gegas menuju ke tempat datangnya seruan tersebut. Ia
berhasil tiba di tempat itu lebih dulu daripada Raka,
karena ia memang mengetahui jalan pintas terdekat ke
arah di mana Soka berada.
ia segera naik di atas pohon cemara liar yang
bercabang tiga itu, karena posisi Soka Pura saat itu
ada di hutan cemara. Kerimbunan daun-daun cemara
liar itu membuat Kunto Aji tersembunyi rapat-rapat
dan sukar dilihat dari bawah. Namun ia bisa meman-
dang jelas ke arah seorang pemuda berpedang kristal
di pinggang kanan.
"Ooo... itu si adik kembar Raka Pura? Hmm...
benar-benar serupa sekali dengan Raka Pura. Sulit di-
bedakan mana kakak dan mana adiknya," ujar Kunto
Aji dalam hatinya.
Soka Pura terkejut ketika rasakan hawa panas
mendekati punggungnya. Dengan cepat ia berbalik
arah dan tangannya menyentak secara reflek. Claap...!
Seberkas sinar merah berbentuk seperti piringan ber-
gerigi melesat dari tangan kiri Soka Pura. Sinar merah
itu membentur seberkas sinar kuning yang berbentuk
seperti bintang. Kedua sinar itu saling berbenturan da-
lam jarak lima langkah dari Soka Pura.
Bluuub...!
Tak ada bunyi ledakan yang menggelegar. Sua-
ra ledakan itu bagaikan teredam kuat. Tapi gelombang
ledakannya menyentak sangat kuat, bagai tenaga yang
amat besar menghempas lebih banyak ke arah Soka
Pura. Buuubb...!
Soka Pura terhempas dan jatuh terbanting den-
gan keras setelah membentur sebatang pohon cemara
liar yang cukup besar. Bruuus...! Bruuk...!
"Edan! Jurus apa tadi yang mengenai ku?!" pi-
kir Soka Pura dengan menyeringai menahan rasa sa-
kit. Sekujur tubuhnya bagaikan tersayat-sayat. Tu-
lang-tulangnya terasa remuk semua. Jalan pernapasan
bagaikan disumbat oleh udara padat yang menggum-
pal di dada.
Pendekar Kembar bungsu merasa diserang da-
lam keadaan belum siaga sama sekali. Karena kemun-
culan sinar kuning itu sangat di luar dugaannya. Tapi
ia merasa beruntung dapat lepaskan jurus 'Mata Bumi'
nya yang bersinar merah seperti piringan bergerigi ta-
di. Jika tidak, sinar kuning itu akan kenai punggung-
nya dan ia pasti akan hancur menjadi debu dalam se-
kejap.
"Gelombang ledakannya saja membuat tulang-
ku terasa remuk semua begini, apalagi jika sinar kun-
ing itu menghantam telak punggungku. Ooh... bisa-
bisa aku tak bisa menggerutu dalam hati lagi seperti
saat ini! Monyet betul orang itu!"
Soka segera salurkan hawa murninya yang di-
padu dengan kekuatan inti gaibnya. Namun pengoba-
tan untuk atasi luka dalamnya belum selesai, orang
yang tiba-tiba muncul itu segera lepaskan Jurus
mautnya lagi.
Claap...! Sinar kuning berbentuk bintang mele-
sat lagi. Sasarannya jelas-jelas dada Pendekar Kembar
bungsu.
Melihat sinar itu datang menghampirinya den-
gan cepat, Soka Pura kerahkan tenaga yang tersisa un-
tuk berguling ke samping. Wuuurs, wuuurs...!
Bluuub...! Sinar kuning itu tak berhasil kenai
tubuh Soka Pura, tetapi mengenai pohon yang tadi
berbenturan dengan tubuh Soka. Pohon itu langsung
menjadi serbuk coklat kehijauan dan menyebar ke
mana-mana. Namun tubuh Soka justru tak terkena
serbuk tersebut, karena gelombang ledakan tadi me-
lemparkan tubuhnya kembali. Wuuurss...! Tubuh Soka
Pura melayang bagaikan daun kering terhempas badai
dan jatuh setelah membentur pohon seperti tadi.
Bruuuk...!
"Aaaahhk...!" Soka Pura mengerang dengan tu-
buh menggeliat. Ia terlempar sejauh sepuluh langkah
lebih dari tempatnya tadi, karena posisinya sangat de-
kat dengan ledakan tanpa suara itu.
Tentu saja tubuh Soka Pura terasa semakin
remuk. Kulitnya menjadi perih bagai disayat-sayat ri-
buan silet. Dadanya teramat sakit untuk bernapas, wa-
laupun mau tak mau Soka paksakan diri agar tetap bi-
sa bernapas.
Pemilik jurus maut bersinar kuning itu pan-
dangi Soka Pura dengan ketajaman matanya. Hatinya
sempat merasa heran melihat pemuda yang diserang-
nya bisa lolos sampai dua kali. Padahal ia merasa tak
pernah gagal menghancurkan lawan jika menyerang
dengan jurus andalan yang bersinar kuning itu.
Orang itu bertubuh kurus, bermata cekung,
rambutnya yang sebahu sudah memutih tapi tidak me-
rata, mengenakan jubah merah lusuh dan menye-
lipkan sebilah rencong di depan perutnya. Soka Pura
sama sekali tidak mengenal orang tersebut. Tetapi
Kunto Aji mengenalnya dan sempat kaget melihat
orang berkumis tipis melengkung ke bawah itu menye-
rang Soka Pura.
"Setan Gempur?! Ada urusan apa si Setan
Gempur sehingga menyerang Soka Pura?!" gumam hati
Kunto
"Gawat! Kalau si Setan Gempur turun tangan,
kemungkinan besar Soka Pura atau Pendekar Kembar
akan hancur melawannya. Apakah Soka tak tahu ka
lau Setan Gempur itu rajanya dari para pembunuh
bayaran? ilmunya tidak mudah dipatahkan oleh lawan.
Dan... kurasa pasti ada urusan yang sangat penting,
sehingga Setan Gempur melabrak Soka kemari!"
Kunto Aji tegang juga melihat Setan Gempur
mau lepaskan sinar kuningnya lagi. Menurut Kunto
Aji, kali ini Soka pasti akan hancur menjadi abu atau
menjadi serbuk seperti pohon yang terkena sinar ku-
ningnya tadi.
Namun pada saat Setan Gempur ingin lepaskan
pukulan mautnya yang ketiga kalinya, saat itulah Ra-
ka Pura tiba di tempat itu dan langsung menerjang Se-
tan Gempur. Bruuuss...! Tubuh kurus si Setan Gem-
pur terlempar sejauh sepuluh langkah. Jurus 'Jalur
Badai' telah dipakai Raka Pura menerjang Setan Gem-
pur yang tampak ingin menghabisi nyawa Soka itu.
Si Setan Gempur sempat terbanting dengan
kuat sekali, sehingga suara pekiknya sampai tak ter-
dengar. Tendangan kaki Raka Pura ke leher samping si
Setan Gempur saat menerjang tadi bukan sekadar
tendangan kosong, namun juga berisi tenaga dalam
cukup besar. Beruntung sekali tulang leher si Setan
Gempur tidak sampai patah. Jika sampai patah,
mungkin ia tewas seketika itu juga. Setan Gempur
hanya memuntahkan darah kental kehitaman dari mu-
lutnya.
Darah si Pendekar Kembar sulung mendidih
seketika itu setelah mengetahui keadaan adiknya ter-
luka parah bagian dalamnya. Dengan cepat Raka Pura
hampiri Soka yang terkapar dengan suara rintihan lirih
sekali itu.
"Kurang ajar! Siapa orang berjubah merah
itu?!" geram Raka Pura. "Persetan! Tak peduli siapa
dia, tapi dia telah membuat adikku celaka begini!"
Raka Pura segera berteriak, "Kubalas kekejian
mu, jahanam! Hiaaah...!"
Raka Pura lepaskan jurus 'Cakar Matahari'. Si-
nar putih seperti pisau keluar dari tangannya, melesat
cepat ke arah Setan Gempur yang baru mau bangkit
berdiri. Claaap...!
Melihat kedatangan sinar putih itu, Setan
Gempur tak punya kesempatan untuk menghindar,
mau tak mau ia menangkisnya dengan melepaskan si-
nar kuning seperti tadi. Claaap...!
Bluuub...! Slaap...! Ternyata sinar putih masih
mampu menembus sinar kuning walau sudah berta-
brakan dan meledak tanpa suara itu. Cuuurrb...!
"Ahk...!" Setan Gempur tersentak kaget, dada
kirinya berhasil ditembus oleh sinar putihnya Pende-
kar Kembar sulung. Ia hanya terpekik pelan, lalu jatuh
berlutut sambil pegangi luka di dada kiri yang kepul-
kan asap tipis itu. Ia tampak masih bertahan walau
nafasnya telah merasa semakin berat dihela.
Raka Pura memandang heran kepada lawan-
nya. Kali ini lawannya yang terkena Jurus 'Cakar Ma-
tahari' itu tidak menjadi hangus dan kering seperti bi-
asanya. Rupanya sang lawan mempunyai lapisan tena-
ga dalam yang menjadi perisai tubuhnya, sehingga ia
tidak menjadi kering seperti kayu.
Melihat keadaan sudah seperti itu, sementara
Soka Pura tampak semakin parah, dilihat dari senta-
kan-sentakan nafasnya yang tersendat-sendat, maka
Raka Pura segera angkat tubuh Soka dan memba-
wanya lari ke dalam gua tempatnya bermalam itu.
Wuut, wuuuuzzz...! Raka tak peduli lagi dengan nasib
lawannya; hidup atau mati, yang penting ia harus se-
lamatkan adiknya lebih dulu.
Pada saat Raka pergi membawa adiknya, Kunto
Aji ingin mengikutinya. Tapi ia tertarik untuk melihat
nasib si Setan Gempur itu. Ia ingin tahu seberapa ting
gi kekuatan Setan Gempur dalam hadapi jurus maut
dari Pendekar Kembar.
Tapi ternyata ada yang lebih menarik lagi bagi
Kunto Aji selain melihat nasib si Setan Gempur. Seseo-
rang telah datang, agaknya ia terlambat datang ke
tempat itu. Ia segera temui si Setan Gempur dengan
wajah menjadi tegang.
"Di... dia... berhasil melukai ku... oouhk...!" Se-
tan Gempur berusaha bangkit, namun segera terkulai
jatuh lagi.
"Kubilang jangan sampai dibunuh! Lumpuhkan
saja orang itu! Seterusnya biar ku tangani sendiri. Tapi
mengapa tadi dari kejauhan kulihat kau melepaskan
jurus sinar kuning mu yang dapat membuat lawanmu
menjadi serbuk?! Untung kau tak mengenainya. Kalau
sampai ia terkena jurusmu itu, habislah harapanku
untuk mengalihkan perhatian orang kepadanya. Dasar
tolol kau, Setan Gempur!"
Setan Gempur diam saja. Ia hanya berusaha
memandang ke arah kepergian Raka Pura. Tapi ia tak
tahu ke mana si Pendekar Kembar sulung membawa
adiknya yang terluka parah itu.
Setan Gempur tak sangka kalau di sekitar tem-
pat itu ada sebuah gua. Letaknya tak seberapa jauh
dari tempatnya terkapar menahan luka itu.
Di dalam gua tersebut, Raka Pura segera salur-
kan hawa murni dan kekuatan inti gaibnya ke dalam
tubuh Soka Pura. Tubuh sang adik memancarkan ca-
haya ungu pendar-pendar. Kemudian Raka membiar-
kannya beberapa saat. Hatinya merasa lega karena ju-
rus 'Sambung Nyawa' dapat disalurkan ke tubuh Soka
sebelum Soka kehabisan napas dan tak bernyawa lagi.
Namun ketegangan Raka yang mulai mereda itu
kambuh kembali setelah ia ingat bahwa di gua itu ter-
nyata sudah tak ada Kirana. ia mencarinya sesaat di
dalam gua tersebut, bahkan sempat memanggil Kirana
beberapa kali, tapi gadis itu tak ditemukannya. Rasa
cemas timbul di hati Raka, sehingga akhirnya Pende-
kar Kembar sulung itu mencari si gadis keluar gua.
"Setan belang! Ke mana dia?!" geram Raka Pura
dengan hati jengkel sekali.
Tanpa peduli akan terhadang oleh lawannya ta-
di, Raka Pura melesat mencari Kirana. Karena di da-
lam batinnya ada tuntutan kuat di mana ia harus me-
nemukan Kirana dan pulang ke padepokan si Mulut
Guntur bersama gadis itu. Ia merasa khawatir juga ji-
ka Kirana bertemu dengan orang yang belum dikenal-
nya tadi. ia tak ingin Kirana mengalami nasib seperti
Soka Pura. Bisa-bisa orang yang tadi menyerang Soka
dihancurkan jelas-jelas di depan matanya.
"Benar-benar aneh aku ini! Mengapa aku jadi
peduli sekali dengannya dan kemarahanku sangat be-
sar jika ia terluka oleh lawanku tadi?!" pikir Raka Pura
masih belum mau mengakui bahwa hatinya telah ter-
pikat oleh Kirana. Rasa terpikatnya itu membuat ia
menjadi marah jika sampai Kirana diganggu oleh siapa
pun.
Sampai akhirnya Raka bertanya pada dirinya
sendiri, "Apakah ini namanya aku jatuh cinta pada
seorang gadis?! Oh, tidak! itu tidak mungkin!" batin
Raka menyanggah sendiri. Namun separo hatinya telah
membenarkan kesimpulan itu, sehingga terjadilah per-
debatan dalam hati yang cukup sengit, membuat Raka
Pura semakin tambah kacau.
*
* *
6
KALAU saja Raka Pura mencari Kirana melalui
jalan sisi kanan gua, maka ia akan berpapasan dengan
gadis itu. Tapi karena ia mencari melalui jalan sisi kiri
gua, maka ia tak jumpa dengan Kirana. Ia tak tahu
bahwa tak lama setelah ia keluar gua, Kirana kembali
masuk ke dalam gua.
"Mungkin dia sudah kembali ke gua!" pikir Ki-
rana setelah gagal mencari Raka ke mana-mana.
Hati gadis itu pun menjadi lega setelah berada
di dalam gua. Ternyata orang yang dicari sudah ada di
dalam gua tersebut. Senyum berlesung pipit pun me-
kar di bibir mungil Kirana saat menatap pemuda tam-
pan itu.
Kirana tak tahu bahwa pemuda yang ditatap-
nya adalah Soka Pura, adik dari Raka Pura. Saat ia
masuk, Soka sudah menjadi sehat seperti sediakala.
Tak ada rasa sakit dan luka yang tertinggal pada di-
rinya. Ia hanya merasa heran, sejak kapan ia dibawa
ke dalam gua tersebut. Dan menjadi lebih heran lagi
setelah melihat kemunculan seorang gadis bergigi
'gingsul' dan berlesung pipit. Soka sampai tak bisa
berkedip ketika terperangah memandangi kedatangan
Kirana.
"Siapa gadis ini?!" tanyanya dalam ha-
ti.""Mengapa ia langsung tersenyum manis padaku?!
Gila! Jangan-jangan aku sudah mati dan sekarang se-
dang bertemu dengan seorang bidadari yang menjem-
put nyawaku?!"
Kirana pun segera hampiri Soka Pura, ia lang-
sung memeluk Soka tanpa ragu-ragu lagi. Hatinya
yang merasa girang menyangka Raka sudah kembali,
membuatnya ingin melampiaskan kegembiraan itu da
lam pelukan.
"Kenapa kau pergi tak membangunkan diriku
dulu, Raka! Aku mencarimu ke mana-mana!"
Soka Pura ingin tertawa mendengar nama ren-
gekan manja yang sangat mendebarkan hati itu. Ia
mulai paham, bahwa dirinya dianggap Raka Pura. Tapi
ia nyaris tak percaya kalau Raka Pura mendapat gadis
secantik itu.
"Aku bukan Raka, aku Soka Pura."
"Bohong! Kau pasti Raka. Aku hafal sorot ma-
tamu yang teduh itu."
"Kami memang anak kembar segalanya sama."
"Tapi aku bisa bedakan, kau pasti Raka!"
"Terserahlah kalau kau masih dapat mengang-
gap ku Raka," ujar Soka, pasrah.
"Dari mana kau, Raka?! Dari mana?!"
Soka Pura segera bersikap seperti kakaknya.
Tenang, kalem, senyumnya berkharisma, suaranya
pun dibuat lembut, namun punya ketegasan tersendi-
ri.
"Aku hanya jalan-jalan sebentar. Kau tak perlu
cemaskan diriku...," sambil Soka membalas pelukan si
gadis.
Pelukan mereka berlangsung cukup lama. Me-
reka saling meresapi kehangatan dalam pelukan terse-
but. Walau sebenarnya Soka Pura ingin lebih dari se-
kadar pelukan, tapi ia harus menjaga emosinya agar
tidak berlebihan dalam memberi kemesraan.
Namun di luar dugaan, tiba-tiba muncul seraut
wajah di ambang mulut gua. Kemunculan tersebut
menimbulkan suara sentakan kaget.
"Hahh...?!"
Tentu saja Soka dan Kirana sama-sama terpe-
ranjat dan terpekik di luar kesadaran.
"Oohh...?!!"
Mereka buru-buru lepaskan pelukan dan saling
merenggang jarak. Kirana menjadi bingung karena wa-
jah yang muncul adalah wajah Raka Pura juga. Wajah
yang tadi dipeluknya juga wajah Raka Pura. Lalu mana
yang benar, pikir Kirana. Si gadis benar-benar mengge-
ragap dan serba salah. Wajah si gadis menjadi merah
karena malu dan bingung.
"Siapa... siapa yang sebenarnya bernama Raka
Pura?!" tanya Kirana dengan nada ingin menangis ka-
rena malu. Tapi kedua pemuda itu segera menjawab
secara bersamaan dengan jari tangan teracung tang-
gung.
"Aku...."
Kirana semakin bingung, ia jadi jengkel, dan
tangisnya pun tak bisa ditahan lagi.
"Kalian mempermainkan aku! Oooh...!"
Kirana menerabas keluar gua dan berlari sece-
pat-cepatnya.
"Kiranaaaa...!!" teriak Raka Pura yang juga
menjadi gusar serta bingung sendiri. Ia segera berpal-
ing memandang adiknya.
"Kau...! Lagi-lagi kau bikin perkara saja!" ben-
tak Raka.
Soka Pura bersungut-sungut.
"Aku tak minta dipeluk. Dia sendiri yang meme-
luk ku."
"Tapi mestinya kau beri tahu bahwa kau bukan
aku!"
"Mana mungkin dia percaya?! Kita punya wajah
dan penampilan yang serupa!" ujar sang adik dengan
wajah takut kepada sang kakak.
"Aaaah...! Brengsek! Kau memang brengsek!"
bentak Raka dengan berang.
Raka Pura segera berlari mengejar Kirana. Me-
lihat kakaknya pergi, Soka pun ikut pergi menyusul
sang kakak. Kirana sendiri semakin percepat pelarian-
nya karena ia melihat kedua pemuda kembar itu se-
dang mengejarnya. Dengan melalui jalanan yang berli-
ku-liku, Kirana berhasil hilangkan jejak, sehingga Pen-
dekar Kembar tak bisa mengikutinya.
"Ke mana dia tadi?!" tanya Raka dengan mata
membelalak tegang.
"Entah!! Kau dapatkan dari mana dia tadinya?"
"Dia murid perguruan itu." "Perguruan yang mana?"
"Tolol! Dia muridnya Eyang Wirata, si Mulut
Guntur, saudara seperguruan dengan Prayoga, yang
tewas terbunuh dan kau yang dituduh sebagai pem-
bunuhnya!"
"Tapi aku tidak membunuhnya!" bantah Soka
Pura. "Untuk apa aku membunuh orang itu? Aku tiba
di tempat saat ia sudah tak bernyawa!"
"Tapi mengapa kau mesti lari, sehingga mereka
semakin menuduh mu sebagai pelakunya?!"
"Ini semua gara-garamu juga!" ujar Soka den-
gan cemberut. "Aku takut kau anggap melantur, kare-
na terlalu lama ku tinggalkan dirimu di tempat kita
berpisah kemarin! Maka...."
"Ah, sudah, sudah...! Sekarang kita langsung
ke padepokan saja! Kita bicara dengan si Mulut Gun-
tur, termasuk tentang Kirana itu!"
Raka Pura berkelebat lari lebih dulu, sang adik
menyusul lagi. Tapi di perjalanan Soka sempat ber-
tanya kepada kakaknya yang cemberut.
"Apakah dia benar-benar murid perguruan itu?"
"Iya. Kau apa?!" ketus Raka.
"Kalau tahu si Pak Tua berjubah putih itu
punya murid secantik dia, aku tak akan lari. Sumpah
mampus, tak akan lari mencarimu!"
"Dia yang membelaku saat aku disangka dirimu
dan disangka membunuh Prayoga."
"Apakah... apakah kau ada hati dengannya?"
"Mungkin tidak."
"Kenapa tidak?"
"Kau sudah menjelajahinya tadi!" ketus Raka
dengan tetap memandang ke arah depan.
"Aku... aku hanya sekadar mengukur suhu ba-
dannya saja. Maafkan aku, Raka...!" ujar si adik. "Ka-
lau tahu kau ada minat dengannya, aku tak berani
mengukur suhu badannya dan mengukur...."
"Ku lihat kau meremas punggungnya!" sentak
Raka sambil tetap berlari.
"Maksudku... maksudku tadi aku hanya mena-
han rasa mual di perutku, sehingga tak sadar meremas
punggung gadis itu," Soka Pura sengaja membual demi
menjaga perasaan sang kakak agar tidak kecewa terla-
lu berat. Tapi Raka Pura tahu akal bulus adiknya. Ia
hanya diam saja, tak tahu harus berkata apa kepada
adiknya maupun kepada Kirana.
Rupanya orang-orang Perguruan Tapak Syiwa
mencemaskan kepergian Kirana bersama Raka Pura.
Keresahan yang timbul di antara sesama murid si Mu-
lut Guntur membuat mereka mendesak sang Guru
agar lakukan tindakan pencarian. Maka sang Guru
pun kumpulkan murid-muridnya di depan pintu ger-
bang.
"Cari mereka ke berbagai arah! Selamatkan Ki-
rana lebih dulu!" perintah sang Guru.
Pada saat itu, Danu Paksi sudah ada di tempat.
Danu Paksi baru saja tiba dan melaporkan bahwa ia
gagal menangkap Soka Pura. Tapi begitu mendengar
Kirana bersama Raka Pura, Danu Paksi mempunyai
pendapat lebih menegangkan lagi.
"Pasti yang bernama Raka Pura itu sama den-
gan orang yang mengaku bernama Soka Pura! Pemuda
itu sekarang punya dua kemenangan. Pertama telah
berhasil membunuh Prayoga, walau gagal mencuri ke-
ris pusakanya. Kedua, dia berhasil membawa lari Kira-
na! Pasti Kirana dinodai oleh pemuda jalang itu!"
"Kalau begitu kita cari dan kita hancurkan saja
pemuda itu!" seru salah seorang temannya. Kemara-
han mereka pun terpancing oleh kata-kata Danu Pak-
si, sehingga mereka mendesak sang Guru untuk kelu-
arkan perintah pencarian.
Tapi sebelum mereka bergegas menyebar arah,
Kirana sudah muncul lebih dulu. Salah seorang meli-
hatnya dan berseru mengagetkan yang lain.
"Itu dia Kirana...!!"
Gadis itu langsung menangis memeluk kaki
sang Guru, ia berlutut di depan sang Guru tanpa bisa
mengatakan sesuatu yang ada dalam hatinya. Padahal
ia ingin mengadukan bahwa dirinya telah terpikat oleh
Raka Pura, tapi ia merasa dipermainkan oleh persa-
maan wajah kedua pemuda kembar itu.
"Kirana, apa yang terjadi sebenarnya? Katakan,
di mana si Raka Pura itu?" tanya si Mulut Guntur. Ki-
rana terisak-isak tak bisa menjawab.
Danu Paksi menampakkan kemarahannya. Ia
mondar-mandir dengan gusar sekali.
"Guru, kurasa dia telah dinodai oleh pemuda
itu!"
Danu Paksi segera membungkuk memandang
Kirana.
"Benar, kau telah dinodai oleh pemuda itu, bu-
kan?! Kau telah dipermainkan seenak udelnya sendiri,
bukan?!-
Tiba-tiba salah seorang berseru lagi, "Hei, hei...
itu dia si Raka Pura! Tapi... tapi, Lho... kok ada dua,
ya? Yang mana yang bernama Raka Pura?!"
Para murid segera mengurung Pendekar Kem-
bar yang menghadap sang Guru. Gerakan tangan Da
nu Paksi merupakan isyarat agar mereka segera mem-
bentuk lingkaran pengepungan.
"Maaf, kami baru bisa pulang sekarang, Eyang,"
ujar Raka Pura dengan memberi hormat yang di ikuti
oleh Soka Pura.
"Persoalan kematian Prayoga belum selesai,
mengapa sekarang timbul lagi persoalan Kirana," ujar
Eyang Wirata. "Ada apa sebenarnya dengan Kirana
muridku, sehingga ia pulang menangis?!"
"Hmmm... begini, Eyang...," Raka dan Soka tak
sengaja mengucapkan kata yang sama secara serem-
pak. Akhirnya keduanya saling bungkam, saling pan-
dang dan saling salah tingkah.
Danu Paksi berseru dari tempatnya.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Guru! Mereka ada-
lah orang-orang yang patut dihukum mati! Salah satu
dari mereka telah membunuh Prayoga! Sekarang salah
satu dari mereka juga telah nodai Kirana! Mengapa ha-
rus berbasa-basi kepada mereka, Guru?!"
Kirana bangkit dan berseru, "Aku tidak dino-
dai!! Jaga bicaramu, Danu Paksi!"
Danu Paksi tersenyum sinis. "Tentu saja kau
tidak mengakuinya, sebab itu merupakan aib bagi diri
pribadimu!"
"Jahanam kau, Danu Paksi!!" geram Kirana
sambil ingin lepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi,
tapi tangannya segera dicekal oleh sang Guru.
Danu Paksi berseru, "Guru! Aku lebih baik ke-
luar dari perguruan ini jika pembunuh Prayoga masih
dibiarkan hidup seenaknya di depan mata kita!"
Raka Pura segera berkata kepada Danu Paksi,
"Hei, jangan menyudutkan adikku terus! Dia
belum tentu bersalah!"
"Buktikan kalau dia memang tidak bersalah!"
seru Danu Paksi. "Ku lihat sendiri dia sedang menya
rungkan pedangnya saat aku tiba di tempat mayat
Prayoga tergeletak berlumur darah. Pasti dia habis
membunuh Prayoga dengan pedangnya itu!" "Bohong!"
seru sebuah suara, bukan dari mulut Raka maupun
Soka. Suara orang berseru itu segera menjadi pusat
perhatian mereka. Orang tersebut segera menerobos
barisan pengepungan. Ia tampil di tengah lingkaran,
tak jauh dari Danu Paksi. Ia bicara menghadap sang
Guru yang memandangnya dengan heran.
"Apa maksudmu berkata 'bohong' tadi, Kunto
Aji?!" tanya sang Guru kepada si Bocah Loreng yang
ditugaskan memata-matai Raka dan Kirana. Ia baru
saja datang, karena sempat kebingungan mencari Pen-
dekar Kembar dan Kirana di sekitar gua tersebut.
"Guru," ujar Kunto Aji dengan tegas dan bersu-
ara lantang. "Aku melihat sendiri pertarungan antara
Soka Pura melawan Setan Gempur, dan Raka Pura da-
tang menolong adiknya, melukai Setan Gempur! Kini
Setan Gempur tewas di tepi hutan cemara."
"Raka Pura yang menewaskannya?!"
"Bukan, Guru! Luka yang diderita Setan Gem-
pur dari Raka Pura masih bisa membuatnya bernyawa
selama dua-tiga hari. Tapi seseorang telah membu-
nuhnya dengan memenggal kepala Setan Gempur yang
sedang tak berdaya itu."
"Siapa yang membunuh Setan Gempur?!"
"Danu Paksi!" jawab Kunto Aji dengan tegas
sambil menunjuk orang di samping kanannya. Semua
orang bergumam kaget. Danu Paksi sempat salah ting-
kah.
"Hmmm, ya... aku memang membunuh Setan
Gempur, karena dia terlalu ikut campur dalam masa-
lah kematian Prayoga! Dia hampir mencelakai Soka
Pura, sehingga...."
Ucapan Danu Paksi dipotong oleh seruan Kunto
Aji.
"Sehingga kau menyewanya untuk melumpuh-
kan Soka Pura, bukan?!"
"Ooh...?!" beberapa mulut menggumam melongo
menatap Danu Paksi.
"Guru," kata Kunto Aji lagi. "Sebelum si Setan
Gempur tewas, aku sempat menyadap percakapan Da-
nu Paksi dengan Setan Gempur dari atas pohon! Ke-
simpulannya, Setan Gempur gagal melumpuhkan Soka
Pura, padahal ia sudah dibayar oleh Danu Paksi. Ren-
cananya, Danu Paksi akan membawa pulang Soka Pu-
ra setelah dilumpuhkan oleh Setan Gempur, dan akan
menunjukkan bahwa dialah yang bisa menangkap
pembunuh Prayoga. Padahal pembunuhnya adalah
Danu Paksi sendiri!"
"Hahh...?!" hampir semua mulut terperangah
keluarkan nada menyentak kaget. Danu Paksi tampak
pucat dan semakin gusar.
"Itu tidak benar. Guru!"
"Biarkan si Bocah Loreng bicara dulu!" ujar
sang Guru.
"Rupanya Danu Paksi merasa iri melihat kea-
kraban Kirana dengan Prayoga. Ia menyangka Kirana
akan jatuh cinta pada Prayoga. Padahal Danu Paksi
memendam cinta kepada Kirana. Maka secara diam-
diam ia menyingkirkan Prayoga dengan Soka Pura se-
bagai kambing hitamnya! Tapi malang baginya, orang
yang dijadikan kambing hitam itu ilmunya lebih tinggi,
sehingga ia tak bisa membunuh Soka untuk member-
sihkan tangannya dari darah Prayoga! Jelasnya, Prayo-
ga menjadi tumbal asmara butanya Danu Paksi,
Guru!"
Gemuruh suara mereka saling berkasak-kusuk
dalam ketegangan. Danu Paksi tundukkan kepala,
sampai akhirnya, ia mendengar suara sang Guru ber
seru padanya.
"Benarkah itu, Danu Paksi?!"
"Be... benar. Guru! Mohon ampun, Guru!"
Danu Paksi sengaja mengakui perbuatannya
agar dapat pengampunan dari sang Guru, karena ia
sudah berani berkata jujur dan mengakui perbuatan-
nya secara ksatria. Tapi ternyata sang Guru mempu-
nyai keputusan lain.
"Kau layak dihukum mati, Danu Paksi!"
Suara gemuruh kembali terdengar bagaikan ra-
tusan lebah terbang. Tampaknya mereka membenar-
kan putusan sang Guru, padahal sang Guru hanya
mengatakan apa yang selayaknya dialami Danu Paksi,
bukan menjatuhkan hukuman mati secara pasti. Na-
mun Danu Paksi sudah merasa hidupnya tinggal se-
saat lagi. Maka mengamuklah dia kepada Kunto Aji
yang dianggap menjadi pembongkar rahasianya.
"Kau layak mati lebih dulu, Kunto Aji!
Hiaaaat...!!"
Sriing...! Danu Paksi mencabut samurai, lang-
sung ditebaskan ke leher Kunto Aji. Wiiz...!
Soka Pura bergerak cepat. Kakinya menendang
perut Kunto Aji. Buuhk...! Kunto Aji terpental ke bela-
kang, tapi lehernya selamat dari tebasan samurai Da-
nu Paksi, hanya lengannya yang tersabet samurai dan
luka koyak dialami oleh Kunto Aji.
Melihat Soka Pura menyelamatkan Kunto Aji,
Danu Paksi menjadi tambah murka ia segera menye-
rang Soka Pura dengan tebasan samurainya. Wiz, wiz,
wiz...!
"Heeeaaat...!"
Srring...! Soka Pura bergerak sangat cepat. Tak
seorang pun melihat tangan kirinya mencabut pedang
kristal dari pinggang kanan, kemudian pedang itu ber-
kelebat menyabet ke depan sambil Soka miring ke ka
nan hindari tebasan samurai lawan.
Craaas...! Pedang Tangan Malaikat yang ber-
bentuk kristal bening itu merobek lambung Danu Pak-
si hingga dada. Mereka tercengang melihat Danu Paksi
diam seketika namun perutnya terbelah lebar. Keheba-
tan pedang kristal itu adalah, lawan yang terkena telak
sabetan pedang tersebut tidak akan keluarkan darah
sedikit pun, sepertinya masih hidup, namun kejap be-
rikutnya ambruk dan tak bernyawa.
Hal itu dialami oleh Danu Paksi yang segera
tumbang tak bernyawa, namun tak keluarkan darah
seperti yang terjadi pada mayat Prayoga. Orang-orang
terbengong melompong memandangi mayat Danu Pak-
si.
Soka Pura segera menghadap sang Guru dan
membungkukkan badan sebagai tanda menghormat.
Lalu tegak kembali dan berkata dengan tegas.
"Itulah bukti bahwa aku bukan orang yang
membunuh Prayoga. Jika Prayoga kubunuh dengan
pedangku, ia tidak akan keluarkan darah seperti yang
dialami Danu Paksi ini, Eyang! Mohon ampun, Eyang
Wirata!"
Sang Guru tarik napas dalam-dalam, meman-
dang jauh bagai menerawang. Akhirnya berkata den-
gan nada datar.
"Kuburkan dia bersebelahan dengan makam
Prayoga!"
Alam menjadi hening dan sepi. Angin bertiup
bagai mengiringi pemakaman jenazah Danu Paksi. Di
balik masa berkabung itu, si Mulut Guntur masih
mengharap Pendekar Kembar menginap beberapa wak-
tu di padepokannya. Tentu saja Kirana girang menden-
gar saran sang Guru itu. Dan tentu saja Pendekar
Kembar tak keberatan, karena mereka akan mengorek
keterangan dari si Mulut Guntur tentang rahasia
'Bambu Gading Mandul' yang harus segera didapatkan
oleh mereka untuk kalahkan si anak iblis: Darah Kula.
SELESAI
Segera menyusul:
RAHASIA DEDENGKOT IBLIS
0 comments:
Posting Komentar