"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 02 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE ALENGKA BERSIMBAH DARAH

Alengka Bersimbah Darah

 

ALENGKA BERSIMBAH DARAH

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis 

dari penerbit


1


Gerombolan yang terdiri dari enam orang itu ber-

jalan mengendap-endap. Kadang-kadang mereka berla-

ri dengan cepat di antara pohon-pohon hutan. Lagipula 

mereka juga seperti telah mengetahui keadaan hutan 

ini dan letak setiap pohon yang tumbuh di sana. Buk-

tinya, masing-masing mereka telah tahu kapan harus 

mengendap-endap dan kapan harus melesat ke balik 

pohon. Bahkan setiap mereka bergerak seperti telah 

mengerti giliran siapakah yang harus maju ke balik se-

tiap pohon di depannya di sisi jalan sempit yang mem-

belah hutan itu. Formasi gerakan-gerakan mereka te-

lah terlatih.

Meski berlari atau berjalan mengendap-endap, ti-

dak satu pun ranting atau daun kering yang banyak 

berserakan di tanah berderik terinjak kaki mereka. Ini 

menunjukkan bahwa mereka memiliki ilmu meringan-

kan tubuh yang baik.

Pakaian mereka macam-macam. Pandangan mata 

mereka tajam memperhatikan sesosok tubuh yang ba-

dannya cuma berselempang sebuah kain gelap kasar. 

Sebuah golok terselip di ikat pinggang lebarnya, yang 

juga mengikat celana panjang hitamnya. Kepalanya di-

lilit kain sejenis dengan selempangnya hingga mirip 

sorban. Sosok itu berjalan tenang sekali, sebagaimana 

tenangnya suasana hutan. la seolah-olah tidak menya-

dari sedang dibuntuti.

Namun sebenarnya tidak demikian. Walaupun ti-

dak ada ranting atau daun kering yang berderik, kiba-

san angin dari tubuh-tubuh yang berkelebat semakin 

mendekati dapat tertangkap telinganya. Ketika tiga 

orang dari mereka telah berada di balik pohon-pohon 

di depannya pun ia tahu. Tapi tidak sedikit pun ia


mengubah kecepatan langkahnya.

Pagi yang tenang dan sejuk itu akhirnya diusik 

dengan sebuah bentakan.

"Berhenti!" Dan tiga orang menghadangnya. Saat 

ia mematuhi bentakan itu, kupingnya menangkap ke-

basan angin dari tiga kelebatan tubuh di belakangnya. 

Berarti ia telah dikepung. Tiga di depan dan tiga di be-

lakang.

"Mau kemana kamu, heh?" Salah satu dari ketiga 

orang di depannya bertanya.

Sebelum menjawab ia membuka kain selempang 

dan mengikatnya di pinggang. Golok yang terselip di si-

tu jadi cuma kelihatan gagangnya saja serta bagian 

bawah dari sarungnya.

"Aku mau ke desa Sariadi." Keenam orang yang 

mengepung itu jadi terkesima sejenak. Begitu terden-

gar suaranya, Semua orang pasti segera tahu bahwa 

dia bukan berasal dari daerah ini. Logatnya terdengar 

kasar. Persis kain selempangnya tadi. Juga wajahnya 

itu. Segala-galanya dari orang ini jadi terkesan kasar.

"Hei, Barbar! Kamu tahu di mana desa Sariadi?" 

"Tidak"

"Maukah kalian memberitahukan padaku?"

Kontan ketiga orang di muka itu terkekeh-kekeh, 

kayak para kakek ompong yang sedang menertawai 

cucu-cucu mereka yang masih kecil dan lucu.

"Dengan senang hati.. Dengan senang hati. Asal-

kan kamu mau memberikan seluruh uangmu pada 

kami. Hehehe...."

"Tunggu," sahut temannya yang satu lagi. "Aku 

juga mau selendangnya. Juga kain yang melilit di ke-

palanya itu Hehehe... Bukankah kain itu unik sekali? 

Tidak ada yang punya sejenis itu di daerah kita ini. 

Siapa tahu aku ketemu dengan orang yang suka ko-

leksi. Aku bisa menjualnya dengan harga tinggi."

"Ya, ya. Benar juga kamu." Mereka terkekeh lagi. 

Akan tetapi ketiga orang yang di belakang sama sekali 

tidak memperdengarkan suara. Paling banyak mereka 

cuma tersenyum mendengar ocehan teman mereka.

Salah seorang mendekati si Barbar. "Mana. Beri-

kan semua yang kami katakan tadi. Jangan khawatir, 

kami pasti memberitahukan di mana Desa Sariadi pa-

damu."

Dengan lugu si Barbar mengambil kantung ua-

ngnya dari dalam celana, kemudian mengangsurkan-

nya dengan tangan kanan. Orang itu, memandang 

sambil tersenyum meremehkan wajah si Barbar yang 

tertunduk, hendak mengambil kantung uangnya.

Sekonyong-konyong tangan kiri si Barbar bergerak 

dengan amat cepat dari bawah untuk menepak tangan 

yang sudah hampir mencapai kantung uangnya. Ber-

samaan dengan tersentaknya tangan orang itu ke atas, 

kaki kiri si Barbar maju ke depan, dan tangan kirinya 

yang baru saja menepak tangan orang itu bergerak lu-

rus memukul iga kanan lawan dengan telapak tangan. 

Lalu ia mundur selangkah dan menyimpan kembali 

kantung uangnya.

Tak seorang pun dari mereka menyangka seran-

gan itu. Sikap meremehkan sering kali mendatangkan 

kecelakaan sendiri. Mereka cuma terlongo menyaksi-

kan tubuh teman mereka mematung selama tiga detik,

kemudian memuntahkan darah segar dari mulut dan 

tumbang seperti pohon. Pukulan itu telah menjadikan 

paru-paru dan jantungnya pecah.

"Hiaatt!"

"Hiaatt!"

"Hiaatt!"

Hampir serentak teriakan dari ketiga orang di be-

lakang si Barbar ketika menyerang dengan golok. Te-

riakan mereka mengandung kemarahan besar.

Namun si Barbar telah siap sejak tadi. Dengan 

ringan ia bersalto di udara menyongsong penyerang-

nya. Ketika berada di atas mereka, dengan cepat tela-

pak-telapak tangannya memukul kepala yang di ten-

gah dan di pinggir. Meski kaget dengan gerakan itu ke-

duanya masih sempat menghindar dengan membuang 

tubuh mereka ke samping. Yang satu berjumpalitan 

dan segera bangkit siaga kembali. Namun malang bagi 

yang di tengah. Ia menabrak temannya. "Mfthh...."

Cuma itu suara yang mampu dikeluarkannya ke-

tika hidung dan mulutnya terasa benyek menghantam 

lengan atas temannya, lalu melorot ke tanah. Yang di-

tabrak pun terhuyung-huyung hampir jatuh akibat 

benturan itu.

Selagi kedua-duanya berusaha bangkit kembali, si 

Barbar telah menyerang lagi. Melihat teman-temannya 

terpojok, dua orang yang belum bergerak sejak tadi 

merangsek ke depan. Si Barbar melambatkan gerak 

maju kakinya. Saat kedua orang yang menyerang den-

gan golok tegak di tangan itu telah cukup dekat, ia me-

lompat dengan arah menyamping menyambut mereka.

Tak pelak lagi, salah seorang terkena tendangan-

nya dari samping kiri di bagian kepala. Ia terjengkang 

ke samping kanan, membentur tubuh temannya. Aki-

batnya, dua-duanya yang terjengkang.

Yang tadi wajahnya menabrak lengan atas teman-

nya, sedang bertumpu pada kedua tangan dan dengkul 

untuk bangun. Belum lagi sempat ia bangkit, kedua 

tubuh temannya yang terjengkang itu telah menimpa 

punggungnya. Ia terjerembab mencium tanah lembab.

"Mffhhh...." 

Lagi-lagi cuma itu suara yang mampu dikelua-

rkannya.

Dengan menggunakan gaya lenting ketika kakinya 

mendarat di kepala lawan, si Barbar melesat ke arah

orang yang tadi berjumpalitan dan telah berdiri kemba-

li. Melihat serangan ke arahnya, ia menyambut golok 

selagi si Barbar masih di udara. Tetapi cepat si Barbar 

mencabut golok di pinggang dengan tangan kiri dan 

menangkis sabetan itu, sambil telapak tangan kanan-

nya menyodok.

Kali ini ia tidak kuasa menyelamatkan kepalanya. 

Hantaman telapak tangan si Barbar lalu membuat ia 

telentang di bumi. Tak bergerak lagi. Darah mengalir 

keluar dari hidung dan telinganya.

Dengan ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi si 

Barbar mendarat di tanah tanpa suara. Kemudian ia 

berdiri menatap keempat kawanan lain yang masih hi-

dup. Seorang yang masih tegak segera mengambil

langkah seribu. Dua lainnya yang baru saja bangkit 

berdiri mengikuti keputusan teman mereka melarikan 

diri. Yang terkena tendangan si Barbar masih terkapar 

pingsan.

"Dasar perampok pengecut!" gerutunya.

Dimasukkannya kembali golok ke sarung kemu-

dian melepaskan kain selempang dari pinggang. Sesu-

dah memasang kain itu ke atas pundaknya, ia melan-

jutkan perjalanannya lagi dengan tenang.

Suasana hutan seolah turut tenang kembali.

***

2


Tengah hari bolong. Sampai juga akhirnya Andika 

di desa Sariadi. Beberapa helai rambut gondrongnya 

melambai-lambai kecil ditiup angin sepoi desa itu. Kain 

kotak-kotaknya sebagaimana biasa tergantung begitu 

saja di lehernya. Kain pengikat pinggang kuning yang

kontras dengan baju hijau serta celana panjang biru 

sungguh merupakan perpaduan yang menarik.

Tenggorokannya sudah terasa kering dan perut-

nya sudah berkruik-kruik sejak tadi. Seperti dituntun 

haus dan lapar itu kakinya melangkah ke kedai nasi.

Ia sudah banyak mengenal desa itu, dan kali ini ia 

ingin menuju kedai yang masakannya paling enak. 

Meski agak mahal tetapi sesekali menikmati masakan 

yang benar-benar lezat tak ada salahnya, bukan? Ter-

bayang di kepalanya berapa piring nasi yang akan di-

lahapnya bersama lauk-pauk lezat itu di tengah-tengah 

rasa lapar begini.

Ia tidak peduli dengan orang-orang yang banyak 

memperhatikannya begitu muncul di mulut desa. Me-

reka mulai berbisik-bisik. Tidak heran. Itu karena Pen-

dekar Slebor memang telah mereka kenal betul (Lihat 

episode: "Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asma-

ra"). Sesekali jika ada yang tepat berpapasan dengan-

nya, orang itu akan menganggukkan kepala pada An-

dika. Dan Andika pun mau tak mau membalasnya 

sambil memberikan senyum.

Bapak pemilik kedai nasi itu pun memberikan se-

nyum kecil pada Andika ketika ia masuk.

"Lama tidak kelihatan, Nak," sapa si bapak. Jika 

dilihat dari suara sapaan dan sikap tubuh pemiliknya, 

hal itu menyiratkan rasa hormat yang ada dalam ha-

tinya pada Pendekar Slebor. Pendekar yang pernah 

berjasa menolong orang-orang desa di situ.

"Iya nih, Pak," balas Andika sambil senyum den-

gan wajah agak menunduk. Maklum, ia masih saja ri-

sih menerima perlakuan orang tua semacam bapak ini. 

Mungkin perasaan sebagai bekas anak gelandanganlah 

yang membuatnya demikian.

"Saya pesan lele dan ayam panggang, Pak," lanjut 

Andika.

Bersamaan dengan selesainya Andika memesan 

makanan, seorang-laki-laki tegap berdiri di pintu ke-

dai. Tampaknya dia orang asing. Bukan. Bukan karena 

tampangnya seperti belum pernah dilihat Andika, teta-

pi dugaannya kuat karena melihat pakaian yang dike-

nakan.

Ia memakai celana panjang hitam. Badannya cu-

ma dihiasi sebuah selendang kasar dan berwarna ge-

lap. Corak tenunannya juga aneh bagi masyarakat sini. 

Kepalanya dililit pula oleh selendang kecil yang mirip 

dengan selendang pada tubuhnya.

Andika memandangnya dan berpikir-pikir dari 

mana gerangan orang asing ini berasal. Empat orang 

lain yang sedang makan di situ juga meliriknya.

Setelah beberapa jenak berdiri di sana, orang as-

ing itu berjalan ke sebuah meja yang kosong. Meski 

kekerasan di wajahnya membuat ia tampak seram, 

namun langkah-langkahnya menunjukkan kejuma-

waan.

Pesanan Andika segera datang diantar oleh seo-

rang pelayan. Ia cuma sempat melihat si bapak pemilik 

kedai menghampiri orang asing itu untuk menanyakan 

pesanannya. Selebihnya Andika telah mengangkat kaki 

kirinya ke atas kursi dan menyantap makan siangnya 

dengan lahap.

Selagi Andika menyuap nasi yang kesekian kali, 

dua laki-laki muda, kira-kira sebaya dengannya, da-

tang dengan menjura.

"Salam hormat kami, Pendekar Slebor."

Andika serta-merta berdiri dari bangku dengan 

mulut penuh. Setelah mencuci tangan ia membalas ju-

ra, tetapi tidak mampu membalas salam mereka. Da-

hinya mengernyit-ngernyit dan sisi pinggir kedua ma-

tanya berkerut-kerut. Mulutnya terus memaksa maka-

nan di sana untuk bisa ditelan cepat-cepat.

Tanpa sepengetahuan Andika orang asing itu 

mendongakkan kepalanya.

"Rupanya ini Pendekar Slebor yang telah didengar 

kabar kehebatannya hingga ke kampungku," pikirnya.

"Maafkan kami mengganggu makan siangmu. Ka-

mi adalah murid Perguruan Kemangi Sariadi."

"Salam," balas Andika setelah menelan gumpalan 

makanan terakhir ke perutnya.

"Sudah lama kami mencari Anda, Pendekar. Guru 

kami ingin mengundang Anda datang berkunjung ke 

perguruan kami. Beliau ingin menjamu Anda sambil 

berkenalan lebih jauh."

"Oh, ya?" Andika menggaruk-garuk kepala. "Kalau 

boleh, sudilah menunggu sebentar di sini. Kami akan 

memberitahukan pada Guru. Beliau pasti akan datang 

menemui kemari."

"Terima kasih. Ini suatu kehormatan buat saya. 

Bagaimana, ya? Ng.... Yah, baiklah. Saya tunggu di si-

ni."

Setelah saling menjura kembali, kedua orang itu 

meninggalkan Andika. Sejenak kemudian ia menge-

rutkan kening. Perguruan Kemangi Sariadi? Rasa-

rasanya ia baru sekali ini mendengar nama perguruan 

itu.

Andika meninggalkan mejanya, menghampiri ba-

pak pemilik kedai. Orang asing itu cepat-cepat menun-

dukkan kembali kepalanya dan menyantap makanan.

"Pak, apa benar Perguruan Kemangi Sariadi itu? 

Aku belum pernah mendengarnya."

Orang asing itu lagi-lagi tertegun mendengar per-

tanyaan Andika. Ia mengunyah perlahan-lahan maka-

nannya dan memasang kupingnya baik-baik.

"Itulah. Anak sudah lama tidak datang kemari, ja-

di ketinggalan berita. Perguruan itu tidak jauh dari si-

ni. Itu sebabnya namanya juga mengambil nama desa

ini."

"Ah, aku kan baru kira-kira setahun tidak da-

tang."

"Memang. Perguruan itu berdiri juga belum ada 

setahun, Nak. Kebanyakan muridnya dari desa ini dan 

beberapa desa sekitar."

"Siapa nama guru mereka?"

"Namanya Pendekar Penjaga Langit. Yang kuden-

gar dia orang seberang. Tapi orangnya baik, kok."

Andika manggut-manggut.

"Terima kasih, Pak," katanya lalu balik ke meja.

Ada sebuah harapan dan pertanyaan dalam hati 

orang asing yang duduk di pojok itu. Benarkah ini 

orangnya? Setelah sekian lama mencari-cari, menyebe-

rang laut dan berjalan kesana kemari, ia berharap kali 

ini akan menemukan. Memang, ia masih kuat kalau 

pun harus mencari lagi nantinya. Uang yang diberikan 

Raja Sahala masih lebih dari cukup untuk membiayai 

hidup selama perjalanan selanjutnya. Tetapi akan le-

bih baik jika sekarang ia dapat bertemu.

Di pundaknya ada sebuah beban yang diberikan 

Raja Sahala. Cuma, bukan itu saja. Dan rasa-rasanya

bagi dia juga bukan itu yang terutama.

Di hatinya ada sebuah gumpalan yang terus-

menerus mengganjal. Gumpalan dendam. Gumpalan 

yang tidak akan sirna jikalau hasratnya belum terpe-

nuhi. Dendam yang tidak akan lenyap sebelum ter-

bayar. Begitulah jika hati manusia telah dirasuki oleh 

sesuatu yang dinamakan dendam.

Didongakkannya kepala. Ia melirik ke arah Pende-

kar Slebor. Masih ada di sana, melanjutkan makan 

yang terhenti barusan. Rencana yang segera muncul di 

kepala berputar-putar. Setiap hal yang mungkin me-

rupakan kesempatan tidak boleh dilewatkan. Barang-

kali inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu.

Ia bangkit meninggalkan makanannya yang masih ter-

sisa. Membayar dan melangkah keluar kedai nasi. Di-

carinya tempat yang agak tersembunyi tidak jauh dari 

sana. Sambil duduk ia menunggu.

Ah, Seandainya ketamakan dan keculasan ti-

dak ada dalam dunia ia tidak perlu repot-repot begini. 

Seandainya peristiwa itu tidak terjadi, sekarang pasti 

ia sudah bersanding dengan gadis yang dicintai.

Pikiran itu memunculkan bayangan wajah. Wa-

jah yang manis. Wajah yang menyiratkan kesederha-

naan dan tidak banyak menuntut, yang tidak pantas 

menerima kejinya perlakuan seorang laki-laki laknat.

Peristiwa itu terjadi kira-kira dua tahun yang 

lalu. Malam yang takkan bisa dilupakannya seumur-

umur. Malam yang telah memporak-porakkan hatinya. 

Betapa tidak? Begitu senang hatinya malam itu tiba 

kembali di kampung halaman sesudah tiga bulan pergi 

menjalankan tugas yang diberikan Raja Sahala. Tidak 

ada lain yang ada di benak kala itu selain untuk cepat-

cepat bertemu dengan kekasihnya. Tidak juga untuk 

melaporkan pada Raja Sahala semua hasil yang telah 

diperoleh dalam menjalankan tugas. Hanya ingin me-

lepas rindu pada kekasih sesegera mungkin! Laporan 

itu baru akan disampaikannya esok pagi.

Tetapi apa yang didengarnya kemudian? Pe-

rempuan tua itu menceritakan semua dengan terisak-

isak.

"Dia sudah tidak ada lagi, Nak Patniraga. Ulima sudah 

tidak ada lagi."

Dia masih belum berpikir sejauh itu. Meski ter-

cengang melihat perempuan tua itu langsung menan-

gis, dia belum menangkap maksud sebenarnya.

"Ke mana, Bu? Kenapa dia sampai pergi?"

"Tidak, Nak. Ulimamu sudah tiada. Sudah meninggal."

"Hah?"

Bagai disambar petir sekujur tubuhnya men-

dengar. Tiba-tiba seluruh tenaganya seperti hilang. Pe-

lan-pelan ia merambat mencari pegangan lalu duduk 

di tumbukan padi yang ditelungkupkan. Dunianya hi-

lang, hatinya nelangsa. Sekian detik ia tidak dapat 

berkata apa pun. Demikian pula perempuan tua itu. Ia 

menyadari bagaimana hancur hati anak muda di ha-

dapannya. Barangkali lebih hancur dari hatinya sendi-

ri. Dia tahu betapa dalam cinta pemuda ini pada putri 

tunggalnya.

Patniraga menutup wajah dengan kedua tan-

gan. Perlahan-lahan pundaknya terguncang-guncang. 

Makin lama makin hebat. Suara sesunggukannya ma-

kin keras.

Ibu itu menghampiri dan memeluknya. Jadilah 

gubuk itu dipenuhi oleh tangisan kedua calon mertua 

dan calon mantu itu.

Rentetan kenangan itu segera terhenti.

Patniraga melihat kedua murid Perguruan Ke-

mangi Sariadi tadi muncul bersama seorang yang be-

rusia lima puluhan. Kedua murid itu berjalan di bela-

kangnya. Laki-laki itu brewok dengan kumis melin-

tang. Air mukanya berseri-seri. Mereka berjalan cepat 

ke kedai nasi.

Apakah benar dia? Ia mengamati seksama si 

brewok. Namun mereka terlalu cepat menghilang ma-

suk ke dalam kedai nasi. Tidak ada yang tidak men-

genal orang ini dulu di kerajaan Raja Sahala, karena ia 

cukup terkenal sebagai pejabat kerajaan. Tetapi sein-

gatnya dulu tidak berkumis dan tidak brewokan. 

Mungkinkah sekarang ia sengaja menumbuhkan ku-

misnya?

"Aku tak boleh cepat-cepat menyangka dialah 

orangnya," gumamnya. "Aku cuma baru mengetahui

bahwa dia orang seberang. Dan itu belum bisa kupakai 

untuk memastikan."

"Pendekar Slebor? Ah! Hahaha. Aku sudah la-

ma mencari-carimu. Kau tentu belum mengenalku. 

Kenalkan, aku Pendekar Penjaga Langit."

Andika menerima jabatan tangannya. Sama se-

kali tidak terdengar keasingan dalam logat bicaranya

yang menandakan dia orang seberang. Pakaian yang 

dikenakanpun sama dengan pakaian yang dikenakan

orang-orang daerah sini. Rupanya dia betul-betul telah 

bisa beradaptasi dengan bumi yang dipijak. 

"Ada apakah gerangan Kisanak mencari-

cariku."

"Ah, Anda ini. Siapakah sekarang yang tidak 

mengenal akan namamu? Kau telah menjadi seorang 

pendekar yang terkenal. Namamu harum dimana-

mana." 

Mendengar pujian itu Pendekar Slebor cuma 

melengoskan kepalanya ke kiri sambil mendengus.

"Itu kan kata orang," katanya.

"Ya. Kata orang pula kau suka menolong yang 

lemah dan memberantas kekejaman dan kezaliman. 

Tidak heran jika semua orang memuji-mujimu."

Kedua murid yang terus di belakang Pendekar 

Penjaga Langit senyum-senyum sambil mengangguk-

anggukkan kepala, mengiyakan semua perkataan guru 

mereka.

"Sudahlah," kata Andika merasakan kejenga-

han mulai melanda dirinya. "Jangan teruskan lagi oce-

hanmu yang setinggi langit itu, Pendekar Penjaga Lan-

git. Makin tinggi pujianmu, makin sakit kalau aku ja-

tuh nanti," lanjutnya seraya duduk mengangkat kaki 

di bangku panjang.

Pendekar Penjaga Langit menanggapi dengan 

tertawa lepas.

"Silakan duduk, Pendekar Penjaga Langit," Andika 

mengajaknya duduk.

"Terima kasih." Pendekar Penjaga Langit mele-

katkan pantatnya pada bangku di hadapan Andika. 

Wajahnya terus saja berseri-seri. Tampaknya dia seje-

nis orang yang optimistik dan penuh keyakinan diri.

"Adalah suatu kehormatan bagiku dapat berte-

mu dan berkenalan dengan pendekar besar sepertimu, 

Pendekar Slebor."

"Tunggu-tunggu. Apanya yang besar? Aku ini 

masih muda. Belum banyak yang kuperbuat. Aku 

mendengar Pak Tua juga seorang pendekar yang baik 

hati. Mungkin kebajikan yang Anda lakukan, seten-

gahnya pun belum ada kuperbuat. Sudahlah, biasa-

biasa saja, Pak Tua," kata Andika pula. "Jangan me-

muji-mujiku lagi. Pak Tua baru mengenalku. Jadi be-

lum tahu bahwa aku pun punya banyak sekali kele-

mahan."

Dalam hati, Andika mulai merasa curiga juga. 

Baru kenal, orang ini sudah sedemikian 'galak' memu-

jiku. Jangan-jangan ada maunya, nih.

"Baiklah, Pendekar Slebor. Maafkan aku jika 

kau tidak suka. Tapi aku justru tambah kagum men-

getahui kerendahan hatimu itu."

"Begini," lanjut Pendekar Penjaga Langit tanpa 

memberi kesempatan Pendekar Slebor bereaksi sebab 

ia tidak mau berhenti menyanjung, "Karena kekagu-

manku, perkenankanlah aku mengundangmu ke per-

guruanku. Aku ingin menjamu."

"Ahh..., tidak usah pakai jamu-jamuan segala 

deh, Pak Tua. Aku tidak biasa. Lagi pula aku merasa 

sungkan menerima penghormatan semacam ini dari 

seorang yang lebih dua kali lipat umurnya dariku."

"Tidak, Pendekar Slebor. Ini bukan soal mana 

yang lebih tua atau mana yang lebih muda. Ayolah.

Aku akan kecewa sekali jika kau menolak."

Pendekar setengah baya itu bangkit dan mem-

persilakan Andika dengan tangannya, sambil tak lupa 

mengumbar senyum simpatik. Kedua muridnya ikut-

ikutan melakukan hal yang sama.

Diperlakukan begitu ramah, Andika sukar un-

tuk menolak. Bagaimanapun darah sebagai orang ti-

mur yang menghormati orang yang lebih tua masih 

kental meskipun dahulu dia sempat menjadi tukang 

copet.

Di luar, mata Patniraga mengamati tajam wajah 

Pendekar Penjaga Langit kembali, sekeluarnya mereka 

berempat dari kedai nasi.

***

3


Bulan bersinar bulat penuh.

Bukit Dedemit terpaku kaku. Dalam siraman te-

rang rembulan, dari kejauhan tampak tertidur. Tetapi 

orang-orang di sekitarnya yang masih bisa memandang 

bukit itu akan selalu mempunyai kesan seram. Bukan 

hanya namanya saja yang mengesankan demikian, te-

tapi juga karena mereka tahu di situlah tinggal Jasad 

Dedemit bersama para pengikutnya.

Dalam kekelaman malam, tak satu makhluk pun 

yang melintas dekat-dekat dengan bukit itu. Para pen-

duduk telah mahfum, siapa yang berani dekat-dekat 

Bukit Dedemit sejak matahari tenggelam akan menga-

lami bencana yang ditimbulkan oleh Jasad Dedemit. 

Seolah-olah malam sudah dimonopolinya untuk Bukit 

Dedemit. Seolah-olah malam ingin dijaganya tenang 

sehingga Bukit Dedemit dapat tidur tanpa gangguan.

Akibatnya sering penduduk sekitar menjuluki bukit itu 

dengan Bukit Sunyi Malam.

Namun kali ini sesungguhnya tidak demikian. 

Malam ini justru sedang ramai. Tanpa diketahui para 

penduduk sekitar yang telah terlelap, di tempat tinggal 

Jasad Dedemit justru sedang terjadi kesibukan lebih 

dari biasa. Para murid Jasad Dedemit berlalu lalang 

melayani tamu mereka. Penjagaan di sekitar bukit juga 

diperketat.

Malam ini sedang terjadi pertemuan seluruh to-

koh persilatan golongan hitam di sana. Lihatlah wajah-

wajah serius dari Lampor Ireng, Betot Nyawa, Malaikat 

Siluman dan istrinya Nyi Bengis, Biludak Tengik dan 

lain-lain. Mereka duduk setengah lingkaran mengha-

dap Jasad Dedemit, sang Tuan rumah.

"Saudara-saudara sekalian. Pertama-tama saya 

mengucapkan terima kasih atas kesediaan saudara-

saudara hadir dalam pertemuan kita," Jasad Dedemit 

membuka pembicaraan. "Sebagaimana yang kita mak-

lumi bersama bahwa masa kini merupakan masa yang 

memprihatinkan bagi golongan kita. Terutama hal ini 

disebabkan karena munculnya seorang tokoh muda 

dari golongan putih yang bernama Pendekar Slebor. 

Dia adalah keturunan keluarga Pendekar Lembah Ku-

tukan."

Jasad Dedemit menarik napas panjang sejenak 

sebelum meneruskan perkataannya.

"Keadaan ini tidak boleh kita biarkan berkelanju-

tan. Akan tetapi kita juga tidak boleh terus-menerus 

berjalan sendiri-sendiri. Kita telah mengetahui, atau 

paling tidak mendengar, bagaimana hebatnya ilmu 

yang dimiliki Pendekar Slebor. Saya berani menjamin, 

kita tidak akan menang menghadapinya jika sendiri-

sendiri."

Sebagian dari para tokoh persilatan aliran hitam

itu menundukkan kepala. Mereka itulah yang telah 

mengalami langsung bagaimana hebatnya ilmu Pende-

kar Slebor bahkan nyaris terbunuh.

"Karena itu saya mengajak saudara-saudara se-

kalian untuk bersatu. Kita harus bahu-membahu me-

lawannya. Hanya dengan cara ini baru kita memiliki 

peluang untuk mengalahkannya."

"Tidak! Aku tidak sudi bekerja sama dengan si 

Lampor Ireng." Nyi Bengis langsung memotong perka-

taan Jasad Dedemit.

"Nyi!" tegur Malaikat Siluman pada istrinya itu.

"Biarin! Biar dia tahu."

"Siapa yang mengatakan aku ingin bekerja sama 

denganmu, Bawel?!" balas Lampor Ireng sinis.

Mata Malaikat Siluman melirik tajam pada Lam-

por Ireng. Ia merasa tersinggung juga istrinya disebut 

si Bawel. Lampor Ireng tidak peduli.

"Saya harap semua kita bisa tenang dan men-

gendalikan diri," cepat-cepat Jasad Dedemit menengahi 

dengan penuh wibawa. "Inilah pula salah satu hamba-

tan yang perlu kita atasi sekarang, yakni persaingan 

dan permusuhan kita. Kita harus bisa mengatasinya 

jika ingin bersatu dan mengalahkan Pendekar Slebor."

"Ya. Tetapi bagaimana caranya, Jasad Dedemit? 

Ini kenyataan di antara kita," Betot Nyawa membuka 

suara.

"Kita pasti bisa melakukannya. Yaitu dengan cara 

menaruh ke belakang semua persaingan dan permu-

suhan itu untuk sementara waktu. Ingatlah, tujuan ki-

ta adalah membuat mampus si Pendekar Slebor. Kita 

singkirkan dulu penghalang-penghalang di antara kita 

sampai tujuan tercapai." 

Rapat itu terus berlangsung hingga jauh malam.

***

Bulan tidak cuma bulat penuh di Bukit Dedemit, 

tetapi juga di Perguruan Kemangi Sariadi. Kesibukan 

bukan cuma tampak pada Bukit Dedemit, tetapi juga 

pada Perguruan Kemangi Sariadi. Bedanya kalau di 

Bukit Dedemit penuh dengan keseriusan, di Perguruan

Kemangi Sariadi penuh dengan keramah-tamahan. Ka-

lau di Bukit Dedemit penjagaan sekitar diperketat, ma-

ka di Perguruan Kemangi Sariadi justru longgar karena 

kebanyakan murid turut serta dalam acara perjamuan 

yang diberikan bagi Pendekar Slebor.

Akan tetapi justru karena penjagaan yang longgar 

itu, sepasang mata dengan leluasa mengawasi. Khu-

susnya, mata pengintai itu melekat terus pada Pende-

kar Penjaga Langit yang asyik ngobrol dengan Andika. 

Mata yang sejak tadi terus mengamatinya. Mata yang 

sarat dendam. Mata Patniraga.

Semakin ia mengamati, semakin yakinlah hatinya 

bahwa inilah orang yang ia cari. Ingin segera rasanya 

ia melompat ke hadapan orang yang menamakan di-

rinya Pendekar Penjaga Langit itu.

Pendekar Slebor sedang ngobrol dengan Pendekar 

Penjaga Langit di pelataran. 

Siuuut...!

Tiba-tiba sebuah pisau kecil melesat dari balik 

rerimbunan pohon. Pendekar Penjaga Langit menarik 

sedikit kepalanya ke belakang. Lehernya selamat dari 

terkaman senjata rahasia itu, yang selanjutnya me-

nancap di tiang rumah.

Serta-merta Pendekar Penjaga Langit bangkit 

bersiaga dan menyapu semua pepohonan yang ada di 

depan rumah dengan matanya. Murid-murid pergu-

ruan belum menyadari kejadian tersebut. Mereka tetap 

dengan kegiatannya masing-masing.

Andika lebih tangkas berpikir. Ia melihat posisi 

pisau yang menancap di tiang dan dapat memperkira

kan dari mana arah datangnya senjata.

Dari balik rerimbunan Patniraga terperangah me-

lihat perubahan mendadak itu. Telinganya yang terla-

tih memang mendengar gerakan angin lesatan senjata 

rahasia tadi. Tapi ia tidak dapat menangkap gerakan si 

pelempar pisau rahasia meninggalkan tempat persem-

bunyiannya. Ia cuma melihat Pendekar Slebor melom-

pat dengan ringan ke arah rerimbunan lain yang agak 

jauh dari dirinya.

Barulah setelah Pendekar Slebor bergerak demi-

kian, beberapa murid di situ menyadari sesuatu yang 

tak beres.

"Hei, hei!" teriak salah seorang pada rekan-

rekannya. "Ada apa-apa!"

Murid-murid yang lain menengok padanya den-

gan bingung.

"Apa-apa bagaimana?"

Yang ditanya gelagapan. Ia melulu tahu Pendekar 

Slebor melompat. Lain tidak. Dan menurutnya itu be-

rarti ada apa-apa.

"Anu.... Alah! Pake banyak tanya lagi. Sudah sini 

semua ngumpul!" Kontan para murid Perguruan Ke-

mangi Sariadi beranjak mengikuti rekannya itu meng-

hampiri guru mereka.

"Ada apa kalian berkumpul di sini semua, hah?!" 

Bentak Pendekar Penjaga Langit. "Cepat menyebar dan

waspada!"

Maka mereka pun beranjak kembali ke seluruh 

pelataran perguruan sambil mengeluarkan senjata me-

reka. Beberapa orang ngedumel.

Pletak! Pletak! Pletak!

Murid yang memanggil rekan-rekannya berkum-

pul tadi mengusap-usap kepalanya. Sempat-

sempatnya tiga tangan sigap menjitaknya, melam-

piaskan kegemasan.

Andika berjalan gontai keluar dari rerimbunan.

"Aku tak berhasil menemukannya, Pak Tua. Dia 

sudah keburu lari."

"Tak apa, Pendekar Slebor," jawabnya sambil 

berbalik mengambil surat yang tertancap bersama pi-

sau di tiang. Ia membaca.

“Sejak dari kampung aku telah mengikuti si Patni-

raga. Dia sekarang berada di balik rimbunan dekat po-

hon Kamboja. Aku tidak mau menunjukkan diri agar dia 

tidak tahu keberadaanku, sehingga aku bisa terus 

menguntit dengan mudah. Setelah dia mati nanti, aku 

baru akan bertemu muka denganmu.”

Dari bentuk tulisannya ia segera tahu siapa yang 

mengirimkan surat itu.

Patniraga tidak dapat melihat bagaimana terke-

siap darah Pendekar Penjaga Langit membaca surat 

tersebut. Dari persembunyiannya ia hanya mampu 

memperhatikan bagaimana Pendekar Penjaga Langit 

memasukkan surat itu ke balik bajunya dengan amat 

tenang. Dan....

 Set! Set! Set! Set! Set!

Setengah mati kagetnya Patniraga. Sebisa mung-

kin ia bergulingan ke samping untuk menghindari satu 

dari lima senjata rahasia yang tepat mengarah pa-

danya.

Dengan menggenjot tenaga dalam dari tangannya 

Pendekar Penjaga Langit sengaja mengirim lima senjata 

rahasianya ke rerimbunan dekat pohon Kamboja. Ia 

yakin dari kelimanya pasti ada salah satu yang menuju 

ke arah Patniraga dan mengacau persembunyiannya. 

Dugaannya betul.

"Bunuh pembokong pengecut itu!" Perintah Pen-

dekar Penjaga Langit pada murid-muridnya. Percaya 

pada gurunya, mereka berhamburan menyerbu Patni-

raga. Andika mengernyitkan kening menatap Pendekar

Penjaga Langit.

Kepalang sudah ketahuan, Patniraga berdiri dan 

melompat ke tengah pelataran mempertunjukkan di-

rinya. Murid-murid Perguruan Kemangi Sariadi men-

gepungnya rapat.

"Tahan!" seru Andika.

"Apa maksudmu, Pak Tua?" tanya Andika pada 

Pendekar Penjaga Langit. "Aku tahu betul dari posisi 

pisau yang menancap di tiang tadi, bukan berasal po-

hon kamboja itu. Jadi bukan orang ini yang membo-

kongmu."

"Jangan bercanda, Pendekar Slebor. Tak ada 

orang lain di balik rerimbunan sini kecuali si pengecut

itu."

"Tidak, Pak Tua. Ketika aku pergi memeriksa, 

aku masih bisa melihat sekelebat bayangan orang yang 

membokongmu melarikan diri." 

"Pendekar Slebor, aku tak bermaksud merusak 

pertemuan yang penuh keramah-tamahan ini. Tetapi 

kita berbeda pendapat. Semuanya gara-gara kehadiran 

orang asing ini, yang bermaksud jahat padaku!" jawab 

Pendekar Penjaga Langit dengan suara meninggi.

Pendekar Slebor masih mencari kebenaran di ma-

ta Pendekar Penjaga Langit. Ketika ia menoleh, agak 

terkejut hatinya.

"Bukankah kamu yang berada di kedai nasi tadi 

siang?" tanyanya pada Patniraga.

"Benar. Tetapi aku tidak ada urusan denganmu, 

Pendekar Slebor. Aku baru mengenalmu di kedai itu. 

Menyingkirlah. Aku cuma punya urusan dengan si Ba-

ringin, orang tua yang kau kenal dengan nama Pende-

kar Penjaga Langit itu. Dia tidak pantas menerima ju-

lukan pendekar karena perilaku jahat yang disembu-

nyikannya."

"Hei, Baringin!" lanjutnya pada Pendekar Penjaga

Langit, "Walaupun kau sekarang menyebut dirimu 

Pendekar Penjaga Langit, walaupun kau menumbuh-

kan brewokmu dan memelintangkan kumismu, dan 

walaupun pakaianmu sudah sama seperti orang-orang 

daerah sini, aku tidak silap. Mataku tidak bisa diper-

daya untuk mengenal orang yang telah membawa ka-

bur uang Raja Sahala dan memperkosa serta membu-

nuh calon istriku."

"Kurang ajar!" Pendekar Penjaga Langit berjalan 

mendekati Patniraga. ."Siapa kau? Berani-beraninya 

kau menuduh orang sembarangan!"

Patniraga membuka kain selempangnya dan 

mengikat di pinggang. Golok yang terselip di situ jadi 

cuma kelihatan gagang saja serta bagian bawah dari 

sarungnya.

Semua murid Perguruan Kemangi Sariadi terlon-

go-longo mendengar saling silang bicara antara guru 

mereka dan orang asing yang masih belum mereka 

kenal tersebut. Pendekar Slebor terus menyimak dan 

berpikir.

"Jangan berpura-pura, Baringin. Tidak seperti

kau, sama sekali tidak ada yang berubah pada diriku. 

Wajahku sama seperti dulu. Pakaianku pun sama. 

Namaku juga masih tetap Pendekar Ulos Sakti."

"Kau sudah keterlaluan, Pendekar Ulos Sakti. Se-

bagaimana kasarnya kain-kain yang melilit tubuhmu 

itu, begitu rupanya kasar hatimu. Kau orang asing 

yang tak tahu diri. Fitnahan ini harus kau bayar den-

gan nyawa mu."

"Minggir semua!" Perintah Pendekar Penjaga Lan-

git pada murid-muridnya.

Para murid Perguruan Kemangi Sariadi menying-

kir dengan harap-harap cemas. Harap-harap, karena 

ingin melihat ilmu yang lebih hebat lagi yang akan di-

tunjukkan guru mereka. Maklum, baru hampir seta

hun mereka bersama-sama guru mereka. Cemas, jan-

gan-jangan ilmu lawan lebih tinggi sehingga mungkin 

menewaskan guru mereka.

Pendekar Penjaga Langit menatap dingin Pende-

kar Ulos Sakti. Yang ditatap balas melakukan hal yang 

sama.

"Kaulah yang akan mati menebus segala dosa-

dosamu, Baringin."

Selesai berkata begitu, Pendekar Ulos Sakti ingin 

maju menyerang lawannya. Tetapi Pendekar Penjaga 

Langit telah mendahului. 

"Hiaaa!" 

Whassh....

Sebuah pukulan tenaga dalam dilakukan Pende-

kar Penjaga Langit dari jarak jauh. Pendekar Ulos Sakti 

yang telah siaga segera melentingkan tubuhnya dari 

tanah. Ia bersalto di udara dengan manisnya dan me-

napak di jarak yang makin dekat dengan Pendekar 

Penjaga Langit.

"Hiiaaa!"

Whusssh....

Dengan sengaja ingin tidak memberi kesempatan 

bernapas pada lawan, Pendekar Penjaga Langit kemba-

li melepas pukulan jarak jauh yang kedua.

Pendekar Ulos Sakti menunjukkan bahwa dirinya 

adalah sungguh-sungguh seorang pendekar berilmu 

tinggi. Begitu kakinya menyentuh bumi, ia lagi-lagi me-

lentingkan dirinya menyilang di hadapan Pendekar

Penjaga Langit.

Ctaaar!

Bunyi mirip suara cemeti terdengar. Murid-murid 

Perguruan Kemangi Sariadi sampai tersentak dan me-

nutup telinga. Gendang telinga mereka seperti mau pe-

cah! Secara refleks Pendekar Slebor menyalurkan te-

naga dalamnya ke kuping untuk menahan suara tersebut.

Rupanya saat berada di udara Pendekar Ulos 

Sakti melepaskan kain kasar yang melilit di pinggang-

nya dan mengkepretkannya kepada Pendekar Penjaga 

Langit. Ia langsung menggunakan serangan yang dah-

syat, melihat Pendekar Penjaga Langit juga tidak tang-

gung-tanggung mengeluarkan ilmunya.

Akan runyamlah tubuh Pendekar Penjaga Langit 

jika tidak cepat-cepat bersalto ke belakang.

Sejenak kedua pendekar yang bertarung itu tegak 

dengan kuda-kuda masing-masing. 

Ctaaar! Ctaaar! Ctaaar!

Berkali-kali Pendekar Ulos Sakti mengkepretkan 

senjata kainnya ke bumi sambil memperhatikan reaksi 

lawan. Pendekar Penjaga Langit menahan napas dan 

menyalurkan tenaga dalam melindungi gendang telin-

ga. Sebaliknya dengan para murid Perguruan Kemangi 

Sariadi itu. Mereka berlarian menjauhkan diri dengan 

kedua tangan yang tak lepas dari kuping.

Setiap kain kasar itu menghantam bumi, ber-

hamburanlah tanah meninggalkan lubang sebesar 

buah kelapa. Bayangkan jika yang dihantam adalah 

tubuh manusia! Debu beterbangan ke arah Pendekar 

Penjaga Langit dibantu angin kecil yang ditimbulkan 

kepretan. Pendekar Penjaga Langit terpaksa menutup 

matanya dan memasang daun telinga baik-baik guna 

menangkap setiap gerakan lawan.

Sementara itu Pendekar Ulos Sakti mendekati 

Pendekar Penjaga Langit. Ia sudah siap dengan puku-

lan tangan kiri.

Whesssh!

Kibasan tangannya menerpa kekosongan. Pende-

kar Penjaga Langit telah meloncat menghindar. Sebe-

lum mendarat di belakang Pendekar Ulos Sakti, ia menendang ke belakang dengan sasaran kepala lawan-

nya. Pendekar Ulos Sakti menelengkan kepalanya se-

dikit dan dengan gerakan memutar ia mencoba memu-

kul kaki itu dengan tangan kiri untuk menggoyahkan 

keseimbangan Pendekar Penjaga Langit.

Pendekar Penjaga Langit menarik kakinya dan 

merangsek masuk. Maka pertarungan jarak dekat pun 

tidak dapat tidak terjadi. Ini merupakan strategi yang 

dipasangnya, berhubung ia memperkirakan akan san-

gat kerepotan dengan senjata selempang kain Pende-

kar Ulos Sakti bila meladeni dalam jarak jauh.

Jurus-jurus kelas tinggi dilewati satu demi satu. 

Gerakan-gerakan mereka pun sedemikian cepat se-

hingga hanya bayangan mereka saja yang tampak.

Andika yang sejak tadi memikirkan, mulai mena-

ruh curiga pada Pendekar Penjaga Langit. Kenalan ba-

runya ini sejak dari kedai nasi memang sudah tidak 

disukainya. Coba, baru bertemu dan kenal sudah 

mengumbar pujian yang selangit.

Memang sih, tidak salah memuji orang. Tetapi 

kalau berlebihan, kan orang juga berpikir. Jangan-

jangan ada maksud yang kurang baik. Andika belum 

tahu 'udang di balik batu'nya. Cuma saja, ia jadi mera-

sa bahwa apa yang dituduhkan Pendekar Ulos Sakti 

boleh jadi benar. Mungkin saja Pendekar Penjaga Lan-

git ini adalah pelarian yang menyamar dan berpura-

pura baik.

Apalagi Andika begitu yakin, bukan Pendekar 

Ulos Sakti yang membokong dengan senjata raha-

sianya. Ia betul-betul memergoki kelebatan bayang 

orang yang melarikan diri di balik rerimbunan sana.

Lalu apa isi surat yang dibaca Pendekar Penjaga 

Langit tadi? Mengapa ia tidak memberitahukan isi su-

rat itu padanya atau murid-muridnya, dan tiba-tiba ia 

tahu harus melepas lima senjata rahasianya ke rerimbunan dekat pohon Kamboja? Dari mana ia tahu bah-

wa Pendekar Ulos Sakti bersembunyi di sana? Itulah 

pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di otaknya.

Andika belum menemukan jawaban secara pasti. 

Tetapi jelas, ini ada suatu permainan!

"Terus..., terus.... Ya, sikat!" suara Andika tiba-

tiba. "Goo, salah. Harusnya totok urat ketawanya, tub! 

Baru modar!"

"Salah, salah, Pendekar Penjaga Langit! Bukan 

begitu jurusnya." Andika nyerocos terus dengan ko-

nyol. "Begini, nih. Lihat, ya. Hup..., hup...." Andika lalu 

mendemonstrasikan sendiri jurus-jurusnya. Sayang-

nya, jurus-jurus itu adalah jurus-jurus silat tingkat 

dasar. Lagaknya mirip guru silat kampung yang se-

dang mengajar muridnya.

"Dan kamu, Pendekar Ulos Sakti, kamu juga sa-

lah. Mudah sekali nanti lawan memapakmu. Lihat, 

nih, begini. Hup..., hup...." Kembali Andika memper-

tontonkan jurus-jurus blo'onnya.

Kedua pendekar yang sedang mati-matian itu 

menghentikan pertarungan mereka.

Andika segera menyelesaikan gerakan-gerakan 

yang dipertontonkannya.

"Nah, kalau begitu kan bagus...," katanya ber-

maksud menunjuk kepada jurus-jurus konyolnya.

Air muka Pendekar Penjaga Langit sangat tidak 

senang. Ia tidak senang ada orang lain yang meng-

ganggu urusannya. Terlebih ia merasa baru saja mulai 

dapat mendesak lawan dan melihat secercah harapan 

untuk menang.

"Apa maksudmu, Pendekar Slebor? Kami sedang 

punya urusan!" kata Pendekar Penjaga Langit dengan 

berang.

"Kalian bertarung terus," Andika meneruskan 

perkataannya. "Barangkali baru berhenti jika sudah

ada salah satu dari kalian berdua yang tewas. Akan te-

tapi sebab-musababnya sendiri belum jelas."

"Tidak, Pendekar Slebor. Aku kenal betul...," be-

lum lagi Pendekar Ulos Sakti selesai berbicara.

Beg!

"Aaakh!"

Tubuh Pendekar Ulos Sakti tiba-tiba terpental 

beberapa tongkat ke belakang. Sebuah pukulan jarak 

jauh Pendekar Penjaga Langit tiba-tiba mengenai da-

danya. Pukulan itu demikian telak karena ia menggu-

nakan kesempatan selagi Pendekar Ulos Sakti tidak 

waspada. Benar-benar suatu tindakan yang tidak ter-

puji!

Pendekar Ulos Sakti terjengkang dengan luka da-

lam yang parah. Tapi ia berusaha bangun lagi. Pende-

kar Penjaga Langit sudah akan mengirim pukulan ja-

rak jauhnya kembali, dan lawannya hampir bisa dipas-

tikan tidak bisa menghindarkan diri. Ia meluruskan 

tangan kanannya tegak ke langit. Tampaknya yang ke-

dua ini merupakan pukulan pamungkas dan akan 

mengakhiri hidup Pendekar Ulos Sakti. 

"Hiiiaaa!"

Pendekar Penjaga Langit melepaskan pukulan-

nya. Matilah Pendekar Ulos Sakti!

Oh... tidak, tidak. Malah Pendekar Penjaga Langit 

sekarang yang terjengkang. Gantian. Dan Pendekar 

Slebor tampak terhuyung-huyung beberapa langkah 

mundur lalu jatuh terduduk.

Melihat Pendekar Ulos Sakti sudah tidak berdaya 

lagi, rupanya Andika cepat-cepat melompat ke tengah 

serta menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit. Ia 

telah merasakan kedahsyatan pukulan kenalan ba-

runya, yang didahului dengan menegak-luruskan tan-

gannya ke langit. Berarti pendekar ini benar-benar ti-

dak bisa dianggap enteng.

Tetapi tujuan Andika bukan untuk melawan Pen-

dekar Penjaga Langit. Lagi pula ia belum mengetahui 

duduk perkaranya secara jelas. Maka ia langsung 

bangkit menghampiri Pendekar Ulos Sakti. Digotong-

nya, kemudian melompat serta menghilang di kegela-

pan malam.

Pendekar Penjaga Langit yang sudah duduk 

hanya terpana menyaksikan tindakan tamu yang baru 

dijamunya itu. "

***

4


"Sekarang tahanlah untuk tetap duduk begini," 

kata Andika pada Patniraga yang sedang mengalami 

luka dalam yang parah. "Aku akan menolong penyem-

buhan lukamu."

Lalu Andika duduk bersila di belakang Patniraga. 

Ia menyilangkan kedua tangannya dimuka untuk ber-

konsentrasi sejenak.

Set! Set! Set! 

Tangannya bergerak cepat.

Plak! Plak! Kedua telapak tangannya menempel 

pada punggung Patniraga.

"Hhh...." 

Andika menghembuskan napasnya dengan berat 

tatkala ia mulai menyalurkan tenaganya ke dalam tu-

buh Patniraga.

Detik demi detik berlalu. Keduanya memejamkan 

mata. Asap putih tipis mulai mengepul dari kedua tan-

gan Andika. Makin lama makin tebal. Wajah dan dada 

Andika pun basah dengan keringat. Hingga Patniraga 

mengejang dan menjerit kesakitan.

"Aaakh!"

Tubuh Patniraga terkulai. Ia tak sadarkan diri. 

Andika membujurkannya telentang dan menutup da-

danya dengan kain kotak-kotaknya. Kain kasar milik 

Patniraga diletakkannya di samping.

Matahari menjelang pada puncaknya tatkala Pat-

niraga siuman.

"Dimana aku?" tanyanya begitu siuman.

"Ssst! Tenang, tenang. Kamu berada di tempat 

yang aman," jawab Andika seraya membantunya du-

duk.

Patniraga masih celingak-celinguk kesana kemari.

"Dan masih berada di dunia, kok," lanjut Andika 

cengangas-cengingis karena memperhatikan tingkah 

laku Patniraga.

"Kau yang menolongku?"

"Nggak. Tadi ada malaikat lewat yang menolong-

mu."

Patniraga menatap Andika sejenak.

"Oya, kau yang menolongku," kata Patniraga per-

sis orang yang sembuh dari sakit ingatan.

"Terima kasih, Kawan."

"Panggil saja aku Andika."

"Kalau begitu, aku juga. Panggil saja aku dengan 

Patniraga."

"Ah, sudahlah. Nanti kalau aku kemalangan, gili-

ranmu yang menolongku. Iya, kan? Hehehe.... Sudah-

lah. Minumlah dulu. Nih...," kata Andika mengulurkan 

minuman.

Kemudian Andika memberinya makanan dan 

membiarkannya menyantap dengan lahap.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Andika setelah

Patniraga selesai makan.

"Rasanya segar dan kuat."

Keduanya lalu tersenyum.

"Boleh aku bertanya, Ga?"

Patniraga menghela napas.

"Sudah dua tahun aku mencari-carinya...," jawab 

Patniraga seolah telah tahu apa yang akan ditanya An-

dika.

Ia menceritakan semua dengan panjang lebar. 

"Begitulah. Aku mengetahui bahwa pelakunya adalah 

si Baringin. Ibu Ulima yang memberitahukan padaku. 

Sebenarnya si Baringin sudah lama menginginkan 

Ulima menjadi istrinya. Namun Ulima tidak mau, Ia 

sudah telanjur mencintaiku, dan memilih aku menjadi 

calon suaminya."

"Lalu aku mengajak ibu Ulima dan menumpahkan 

segala kesedihanku di atas tanah kubur Ulima. Aku 

sama sekali tak menyangka akan begitu akhir seluruh 

harapan kami."

Andika tertunduk dalam merasakan betapa pe-

dihnya ditinggalkan kekasih demikian tragis. Diperko-

sa dan dibunuh!

"Laki-laki itu laknat sejati! Ia pantas menerima 

hukuman dengan kematian." Tak sadar Andika berka-

ta sendiri.

"Masih dengan kesedihan mendalam aku harus 

melapor tentang pelaksanaan tugasku pada Raja Saha-

la. Kau tahu? Di istana, beliau mengatakan bahwa si 

Baringin keparat itu sudah mencuri uang kerajaan. 

Korupsi, An!"

Jadi, ia telah membuat rencana rapi terlebih da-

hulu. Selain korupsi, ia bermaksud melampiaskan 

keinginannya yang tak tercapai pada Ulima. Bagi dia 

mungkin, lebih baik wanita yang di inginkannya dibu-

nuh dari pada menjadi milik orang lain." 

"Dasar laknat biadab!" maki Andika" sebrengsek-

brengseknya aku dulu sebagai pencopet, tak pernah 

terlintas di otakku pikiran sejahat itu."

Keduanya lalu diam terhanyut dengan perasaan-

nya masing-masing.

"Ngomong-ngomong, kamu belum memberitahu-

kan asalmu, Ga." Andika memutus hening. 

"Aku dari tanah Toba, An. Dari daerah dalam ke-

rajaan Raja Sahala".

"Oh, ya. Sesudah itu Raja Sahala memerintahkan 

aku untuk pergi mencari dan menghukum si Baringin. 

Beliau memberi bekal lebih dari cukup. Hanya saja, 

aku tidak boleh kembali sebelum berhasil membunuh 

si Baringin."

"Dari mana kamu tahu kalau Pendekar Penjaga 

Langit itu adalah si Baringin yang kamu maksud?"

"Dia adalah pejabat istana, An. Aku sendiri sebe-

narnya cuma pendekar yang sering diminta bantuan 

oleh raja guna melakukan tugas tertentu. Aku sering 

keluar masuk istana dan mengenal si Baringin. Tidak 

jarang kami juga berbicara berdua. Jadi, aku mengenal 

betul tampangnya. Aku masih ingat sampai kini ba-

gaimana tebal alisnya, bentuk hidungnya, garis-garis 

di dahinya serta lekuk-lekuk di wajahnya."

"Ah, masa'...? Suka gitu...," pancing Andika den-

gan gaya bercanda. "Nuduh orang tanpa tahu pasti, 

dosa lho...."

"Aku kenal pasti. An!" jawab Patniraga tegas.

"Dia tidak punya saudara kembar. Itu juga aku 

tahu pasti!"

"Atau mungkin Pendekar Penjaga Langit cuma mi-

rip-mirip dengan si Baringin." Andika terus menyelidik.

"Baiklah, kalau kau kurang percaya."

"Tidak. Bukan itu maksudku. Aku cuma mau tahu 

seberapa pastinya kau kenal Pendekar Penjaga Langit 

itu orang yang membunuh calon istrimu."

"Kau tentu melihat bagaimana dia memukulku 

dengan pukulan jarak jauhnya. Itu ciri khasnya. Banyak mengandalkan pukulan jarak jauh."

"Dan kau tahu An, sewaktu dia hendak memukul-

ku yang kedua kalinya, dia menegakkan tangan ka-

nannya ke langit, bukan? Itu adalah pukulan yang 

cuma dimiliki si Baringin. Namanya pukulan ‘Tenaga 

Langit'. Menurutnya ia mengambil kekuatan dari langit 

untuk kemudian menggunakannya memukul lawan."

Andika manggut-manggut. Sekarang ia baru per-

caya dengan pernyataan Patniraga.

"Sejak berkenalan, aku memang sudah menyang-

sikan Pendekar Penjaga Langit. Aku sudah menduga 

bahwa kebaikan yang dikatakan bapak pemilik kedai 

nasi kemarin siang adalah palsu."

"Benar. Kukira ia memang sengaja menutupi ke-

busukannya dengan menunjukkan kebaikan-kebaikan 

pada masyarakat." _ "Lalu bagaimana rencanamu se-

karang, Ga?"

"Aku akan mempersiapkan diri kembali untuk, 

bertarung ulang dengannya."

"Maksudmu?"

"Dalam pertarungan kemarin aku sudah terdesak. 

Ternyata ilmu silatku masih sedikit di bawah dia. Ka-

renanya aku ingin berlatih lagi untuk meningkatkan 

ilmuku."

"Aku mendukung, Ga."

"Terima kasih, An. Tapi biarkan aku sendiri yang 

bertarung dengannya."

"Tentu. Tapi ada lagi yang mau kutanyakan." 

"Apa itu?"

"Kau tahu siapa orang yang mengirim surat den-

gan melemparkannya bersama senjata rahasia kepada 

Pendekar Penjaga Langit?"

"Begini. Dalam perjalananku sebelum ini aku telah 

merasa dibuntuti oleh seseorang. Pernah aku memer-

gokinya. Sayang, dia cepat sekali melarikan diri."

"Iya. Sewaktu aku memeriksa ke balik rerimbunan 

itu juga cepat sekali dia menghilang. Aku Cuma sem-

pat melihat bayangannya saja. Seperti hantu."

"Dari situ, aku punya dugaan bahwa orang itu 

adalah adik si Baringin. Namanya Togap. Di daerahku 

dia terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang 

sempurna." 

"Ooo.. aku tau sekarang!" potong Andika. Ia segera 

mengerti. "Pantas saja Pendekar Penjaga Langit lang-

sung tahu tempat persembunyianmu dan melempar 

senjata rahasia. Jadi dialah yang memberitahukan ke-

beradaanmu pada Pendekar Penjaga Langit. Itu sebab-

nya juga ia seperti merahasiakan isi suratnya. Ya.. ya.. 

Aku mengerti sekarang."

"Akupun makin yakin sekarang, si Togaplah yang

membuntutiku. Kemungkinan besar malah dari kebe-

rangkatanku ia sudah melakukannya."

"Wah, wah, wah. Kurang kerjaan itu orang. Dua 

tahun membuntutimu? Ck,ck, ck...."

"Tidak usah heran. Mungkin ia memperoleh uang 

jasa yang lumayan dari abangnya. Korupsi yang dila-

kukan abangnya besar lho, An."

"Fuih! Boleh juga dong kalau kubunuh si Togap. 

Siapa tahu aku dapat menggantikan tugasnya. Kan, 

lumayan."

"Dasar kau!"

Andika terbahak-bahak.

***

Beberapa hari telah berlalu.

Andika dan Patniraga sedang berjalan dengan san-

tainya menyusuri sungai kecil yang jernih tempat me-

reka mandi tadi. Pagi terasa hangat karena cerah di 

langit.

"Pagi seperti ini enak sekali. Langit biru tak ada 

awan. Matahari sepuas-puasnya menyiram kita," kata 

Patniraga.

"He-eh. Juga baik untuk kesehatan tubuh kita."

"Aku heran pada orang-orang dari golongan hitam. 

Mereka lebih banyak yang berlatih silat pada malam 

hari. Kan, lebih baik kalau pagi-pagi." 

"Memangnya kamu sudah menyelidiki, apa?"

"Jangan menghina, ya. Di daerahku juga ada ali-

ran hitam." 

"Hehehe. Namanya juga hitam. Gelap. Ya, maunya 

yang gelap-gelap."

"Apa tidak cepat keropos itu badan latihan malam-

malam." 

"Mereka bisa mempelajari ilmu yang memperpan-

jang umur serta menjaga awet muda, kok."

"Benar juga ya." 

"Ya. Awet muda, sehingga bisa mencari daun mu-

da terus."

"Kambing apa?" tanggap Patniraga mesem. 

"Mereka memang semua kambing-kambing kok. 

Kalau tidak begitu, kenapa mereka selalu bikin onar 

dan berbuat jahat?" 

"Dan kita cuma kebagian sisa-sisanya saja, ya." 

"Kalau itu, sih, nggaklah ya. Nggak bakatan aku 

mau sisa-sisa kambing," jawab Andika lalu beer he-

hehe.

"Ssst!" kata Patniraga menyuruh Andika menghen-

tikan tawanya. "Aku mendengar jeritan wanita."

Andika ikut-ikutan memasang telinganya baik-

baik.

"Ah, aku tidak mendengar apa-apa," kata Andika.

"Ssst! Aku mendengarnya lagi." Andika menautkan 

alis.

"Ayo turuti aku," kata Patniraga lalu melesat kearah datangnya suara yang didengarnya.

Tidak lama kemudian keduanya menemukan sua-

ra itu berasal dari seorang wanita yang hendak digaga-

hi. Wanita itu tidak berdaya sama sekali. Sepertinya ia 

telah ditotok sehingga tidak dapat mcnggerakkan ang-

gota tubuh yang mana pun. Laki-laki itu memper-

mainkan si wanita sambil tertawa-tawa senang.

"Binatang!" teriak Patniraga ketika menyerbu.

Laki-laki itu terpaksa membuang tubuhnya ke 

samping lalu bergulingan di tanah untuk menjaga 

pundaknya tidak terkena tangan kosong Patniraga. 

Dengan lentur ia segera bangkit dan bersikap siaga.

"Heh, Bocah! Kamu kurang ajar sekali. Masa tidak 

ada yang mengajarmu untuk tidak mencampuri uru-

san orang?"

Mendengar ucehan itu, darah Patniraga makin 

mendidih. Tanpa pikir panjang lagi ia menyerang den-

gan beringas. Kemarahannya meluap-luap. Entah ke-

napa sekonyong-konyong ia menjadi dirasuki nafsu 

membunuh laki-laki ini. Ternyata tidak mudah bagi 

Patniraga untuk melampiaskan kemarahannya. Meski-

pun ia telah menyerang tanpa ampun dan tanpa mem-

beri kesempatan lawan bernafas, tetap saja lawannya 

bisa meloncat kesana kemari serta menangkis pukulan 

dan tendangannya.

"Hati-hati, Ga. Kendalikan dirimu!" teriak Andika 

setelah memperhatikan sobatnya begitu emosi. 

Beg! 

"Ugh!"

Selesai Andika memperingatkan Patniraga, apa 

yang dicemaskannya langsung terjadi. Ketika Patniraga 

maju dan memukul dengan kedua tangannya ke dada 

maupun kepala lawan, laki-laki itu berkelit se-dikit 

dan menghujamkan pukulannya ke punggung Patniraga.

Pukulan itu tidak diberikan dengan tenaga mak-

simum, namun Patniraga cukup merasakan sakit aki-

batnya. Ia bergulingan dan bangkit pula. Dadanya te-

rasa sesak. Di pinggir bibirnya terdapat segaris darah 

yang keluar dari mulut.

Laki-laki itu tak bergerak. Biasanya dalam kea-

daan yang demikian, yang terpukul akan menerima se-

rangan kembali.

Ia cuma menoleh pada Andika.

"Kamu rupanya, Pendekar Slebor."

"Hallo, Biludak Tengik," sapa Andika seolah se-

dang bertemu dengan sobat lama.

Tiga kata sapaan itu saja yang sempat disimak la-

ki-laki bernama Biludak Tengik tersebut. Selebihnya ia 

sudah kerepotan menghadapi serangan Andika.

Baru tiga jurus serangannya, Patniraga sudah ber-

teriak.

"Biarkan aku yang meladeninya, Andika."

Andika menghentikan pukulan-pukulannya.

"Silakan, Ga. Dengan senang hati." Andika mem-

bungkuk sedikit sambil mempersilakan dengan tan-

gannya. "Manusia bau tengik ini tidak terlalu sulit, 

kok. Jangan cepat-cepat kamu habisi. Main-mainkan 

saja dulu, sebagaimana tadi dia mempermainkan wani-

ta yang tak berdaya." 

Patniraga memegang kain kasar senjatanya. 

"Heh, Biludak Tengik! Aku adalah Pendekar Ulos 

Sakti. Kau akan segera merasakan pembalasan dari 

ulosku ini atas perbuatanmu."

"Huahahaha.... Dengar dulu. Aku tidak punya 

urusan denganmu, Pendekar Kain! Aku punya urusan 

dengan Pendekar Slebor. Beri aku kesempatan bicara 

dengannya."

Patniraga yang telah siap untuk mengkepretkan ulos-

nya tertegun dan melihat kepada Andika. Ada apa gerangan? Patniraga membatin.

"Hei, Pendekar Slebor," lanjut Biludak Tengik. 

"Sudah lama kami tokoh-tokoh golongan hitam tidak 

mendengar kemunculanmu. Ke mana saja kamu?"

"Itu bukan urusanmu," jawab Andika.

"Huahahaha.... Baiklah. Itu bukan urusanku. Te-

tapi sekarang aku telah berhasil memancingmu keluar 

dari persembunyian rupanya. Jangan heran jikalau 

nanti kamu mendengar terjadi keonaran di mana-

mana. Itu memang kami lakukan untuk memancing 

kemunculanmu. Ketahuilah bahwa kami para tokoh 

aliran hitam telah bersatu untuk membunuhmu! Dan 

setelah kita bertemu sekarang, aku rasa tidak lama la-

gi kami akan mengirim tantangan padamu untuk ber-

tarung."

Agak terkesiap juga Andika mendengar perkataan 

Biludak Tengik. Namun itu cuma satu detik.

"Waduh, hebat juga aku, ya," kata Andika seolah-

olah kepada dirinya. "Hingga para tokoh aliran sesat 

harus bersatu untuk melawanku." Perkataannya san-

gat bernada mengejek.

"Kurang ajar kamu! Jangan menyebut kami den-

gan 'sesat'!"

"Memang sesat!" kata Patniraga tidak kalah ke-

ras. "Kalau tidak sesat, kenapa sampai membuat keo-

naran? Kalau tidak sesat kenapa sampai kau tega 

hendak menggagahi wanita ini"

"Jangan ikut-ikutan kamu, Bocah!" ejek Biludak

Tengik.

"Hei, Biludak Tengik yang sombong!" sergah An-

dika sebelum Patniraga menjawab. "Mengenai tantan-

gan kalian, itu soal nanti. Tetapi sekarang kamu harus 

mempertanggungjawabkan perbuatanmu."

Mendengar perkataan Andika, Patniraga segera 

mengkepretkan ulos saktinya ke arah Biludak Tengik.

Ctaaar!

Biludak Tengik menghindar ke kiri.

"Akh!" jeritnya kecil sambil meringis. Kedua tan-

gannya menutup kuping yang berdenyut-denyut. Sama 

sekali tidak disangkanya suara kepretan ulos Patniraga 

begitu dahsyat. Beruntung dia memiliki kepandaian si-

lat yang tinggi, sehingga tidak mengalami akibat yang 

fatal.

Wanita malang yang masih telentang tak berdaya 

itu juga menjerit bersama Biludak Tengik. Bedanya, 

wanita ini menjerit lebih keras. Pengaruh suara kepre-

tan itu lebih menyakitkan bagi telinganya.

Ctaaar!

Patniraga menyerang Biludak Tengik dengan ke-

pretan berikutnya. Biludak Tengik meloncat sejauh-

jauhnya agar dia mendapat kesempatan yang cukup 

guna menyalurkan tenaga dalam melindungi gendang 

pendengarannya.

Sementara itu Andika cepat-cepat bergerak ke 

arah si wanita malang yang menjerit lagi. Sebelum

membebaskannya dari totokan Biludak Tengik, baru-

lah Andika sadar akan kecantikan wanita itu.

"Pantas saja Biludak Tengik tergiur," batin Andi-

ka.

Walaupun si wanita sedang meringis kesakitan, 

ia tetap terpesona mengagumi keindahan salah satu 

ciptaan Tuhan di jagat raya ini.

Ctaaar!

Si wanita menjerit lagi.

Barulah Andika sadar akan ketololannya. Mak-

lumlah, laki-laki. Segera dibukanya totokan Biludak 

Tengik, membangunkannya duduk, dan menekap ke-

dua telinga si wanita.

Sebenarnya Andika bisa saja menyalurkan tenaga 

dalam untuk melindungi gendang pendengaran si wa

nita belaka. Tetapi, kok, ia khawatir jangan-jangan ti-

dak cukup. Ia lebih percaya dengan menekap terus te-

linga si wanita, sehingga tak satu pun gelombang sua-

ra dapat masuk.

"Lagi pula lebih enak begini," katanya dalam hati. 

Pikirannya yang nakal terbit.

Karena wajah mereka berhadap-hadapan dan cu-

kup dekat, tak urung si wanita memandang juga pada 

Andika.

"Hai...," sapa Andika.

Tentu saja si wanita tidak mendengar apa-apa. 

Cuma melihat gerak mulut Andika yang disertai den-

gan senyum nakal wajahnya yang tampan, wanita itu

tertunduk merona. Rasanya ia ingin berontak karena 

jengah.

"Tapi bagaimana? Aku memang membutuhkan 

perlindungan tangan laki-laki ini," benaknya.

Dan itu berarti Andika dapat puas-puas meman-

dangi kecantikan wajahnya.

***

5


Desa Tulodong berada di sebelah utara. Sampai 

hari ini dikenal sebagai desa yang aman tentram. Wa-

laupun penduduknya hidup lebih sederhana dibanding 

kebanyakan desa-desa lain, namun mereka hampir ti-

dak pernah mengalami gangguan yang berarti Kehidu-

pan bertetangga berlangsung dengan baik. Praktek go-

tong-royong masih amat kental.

Kepala desanya, Pradana Wesa, dikenal hingga ke de-

sa-desa yang jauh karena kepemimpinannya yang arif 

dan bijaksana. Sikap hidupnya yang sederhana pun

menjadi teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Bahkan 

Prabu Bratasena sekali waktu pernah menawarkan 

padanya sebuah jabatan dalam kerajaan. Tak mungkin 

Prabu Bratasena menawarkan jika tidak melihat bukti 

kepemimpinan Pradana Wesa.

Akan tetapi justru desa seperti inilah yang menja-

di sasaran Malaikat Siluman bersama istrinya, Nyi 

Bengis. Sengaja mereka berdua memilih desa Tulodong 

serta mengajak para pengikutnya untuk mengacau. Ji-

ka desa yang terkenal paling aman tentram mereka po-

rak-porandakan, pasti kabarnya akan cepat meluas. 

Harapan mereka, akan cepat pula terdengar oleh Pen-

dekar Slebor sehingga ia muncul.

Begitu memasuki mulut desa mereka sudah me-

nunjukkan kekejaman khasnya. Setiap laki-laki dewa-

sa yang mereka jumpai pasti celaka. Boleh dikata, sa-

saran mereka adalah semua laki-laki dewasa di desa 

Tulodong. Yang di halaman disikat. Yang berada di da-

lam rumah dikejar.

Kegemparan tiba-tiba merebak. Para ibu serta 

anak-anak perempuan dewasa menjerit-jerit dan me-

nangisi suami atau ayah mereka yang dibunuh secara 

mengenaskan. Anak-anak kecil menangis ketakutan. 

Bayi-bayi ikut-ikutan meraung karena mendengar 

riuh-rendah antara jeritan dan tangisan di sekitar me-

reka.

Bagaimanakah menggambarkan keadaan ini seca-

ra lengkap? Sulit. Kengerian! Hanya kengerian belaka 

yang tampak. Jika ada orang yang mungkin melihat 

peristiwa ini dari kejauhan, barangkali bulu kuduknya 

akan berdiri. Terlebih lagi jika melihat ketidakber-

dayaan orang-orang sederhana macam mereka ditin-

das oleh kekuatan manusia-manusia tanpa hati.

Tak usah menggeleng-gelengkan kepala. Ketidaka-

dilan, penindasan maupun penganiayaan yang mirip

dengan kejadian di desa Tulodong tersebut hingga kini 

masih berlangsung. Hanya mungkin bentuknya saja 

yang lain. Kalau dulu dilakukan dengan kekuatan, se-

karang lebih banyak dilakukan dengan kekuasaan. 

Baik kekuasaan birokrasi maupun kekuasaan dalam 

ekonomi. Barangkali pula sampai dunia kiamat dan 

suatu zaman baru datang, hal-hal seperti di atas baru 

berhenti.

Malaikat Siluman dan Nyi Bengis tertawa-tawa sa-

ja melihat nyawa-nyawa melayang sia-sia di tangan pa-

ra pengikutnya. Bahkan kemudian mereka menerjang 

masuk ke dalam rumah Pradana Wesa, lalu membu-

nuh seluruh anggota keluarga!

Mau rasanya berteriak sekeras-kerasnya ke langit 

melihat itu semua. Tetapi seperti para ibu dan wanita 

lainnya yang juga melakukan hal yang sama, hal itu 

tidak memberikan perubahan apa-apa. Para pengikut 

Malaikat Siluman dan Nyi Bengis tidak sedikit pun 

menunjukkan belas kasihan. Perikemanusiaan mereka 

telah hilang direnggut oleh Iblis!

Golok dan bumi telah basah oleh darah. Manusia-

manusia tak berdosa telah mati dengan konyol oleh 

nafsu kebinatangan sepasang suami-istri aliran sesat 

itu. Mereka mati sebagai umpan, sekaligus tumbal! 

Hanya karena mereka menginginkan kemunculan Pen-

dekar Slebor yang telah lama tak ada kabar sepak ter-

jangnya lagi. Hanya karena mereka ingin menakluk-

kannya, sekaligus menjadi yang terbesar dan berkuasa 

kembali dalam rimba persilatan.

Asal tahu saja! Desa Tulodong bukan satu-

satunya yang mengalami petaka begini. Desa Tambak 

Sari di selatan, desa Lebak Lestari di timur, desa Sen-

tul Reja di barat dan beberapa desa lainnya juga mera-

dang dan menggelepar-gelepar dianiaya oleh tokoh-

tokoh sesat persilatan yang lain. Jelas, sudah mereka

rencanakan untuk mengacau di seluruh penjuru an-

gin!

Setelah puas, sebelum meninggalkan desa, para 

tokoh sesat itu selalu berkata,

"Kami mencari Pendekar Slebor. Beritahukan pa-

danya!"

Tetapi tangisan dan jeritan tidak terhenti sejenak 

pun untuk mendengar perkataan itu. Bahkan bebera-

pa ibu menjawab dengan sumpah serapah tidak ka-

ruan di tengah-tengah isakan. Sesudah itu mereka 

bertumbangan pingsan di atas tubuh suami mereka 

karena tiba-tiba melihat ketiadaan pengharapan.

Terus menangis, menjerit, dan pingsan, hingga 

malam datang dan matahari terbit kembali.

***

Setelah sebentar terdesak oleh serangan-serangan 

kepretan ulos yang merepotkannya, Biludak Tengik 

melakukan cara yang sama dengan Pendekar Penjaga 

Langit menghadapi Patniraga. Ia melakukan pertarun-

gan jarak dekat.

Berpuluh-puluh jurus berlalu tanpa tanda-tanda 

salah satunya ada yang akan menang. Andika sejak 

tadi turut menonton bersama si wanita. Tangan Andika 

telah mulai terasa pegal menekap kupingnya. Tapi, 

ya..., namanya juga Pendekar Slebor. Sehari semalam 

pun dia betah disuruh begitu.

Entah karena iseng karena dari tadi tidak bisa bi-

cara, atau karena bosan menonton pertarungan Pen-

dekar Ulos Sakti dan Biludak Tengik yang tak kunjung 

usai, Andika melepaskan tangannya. Tapi sebentar sa-

ja! Bisa-bisa dia menjerit kesakitan lagi di depan kup-

ing Andika.

"Siapa namamu, Dik?" tanya Andika lalu kedua

tangannya kembali menekap. Yakin saja dia kalau wa-

nita itu lebih muda darinya.

"Mirah...." malu-malu.

Dilepaskannya lagi tangannya.

"Mirah tinggal di mana?" Ditekap lagi.

"Di desa Sentul Reja."

Dilepas lagi.

"Boleh tidak aku mengatakan sesuatu?" Ditekap

lagi.

"Apa?"

"Kamu.... Ng, anu..., ng.... Apa, ya? Ng...." Andika 

ingin mengatakan bahwa Mirah cantik sekali. Tetapi ia 

sendiri ragu apakah yang ingin dikatakannya itu akan 

kedengaran gombal atau tidak. Wong baru kenalan, 

kok.

"Apaan, sih? Ngomong aja kok susah."

"Anu, ng...."

Ctaaar!

Mirah menjerit. Andika refleks menekap kembali 

telinganya. Refleks pula Mirah menarik kepalanya yang 

ia surukkan ke dada Andika ketika menjerit.

Mirah membuang mukanya yang dijalari hangat 

ke kiri untuk menjaga agar Andika tidak melihat ka-

lau-kalau wajahnya memerah. Andika membuang mu-

kanya ke kanan untuk menjaga agar Mirah tidak meli-

hat senyum senangnya.

Setelah semuanya itu reda, Andika dan Mirah 

mengusir perasaan salah tingkah dengan menonton 

kembali pertarungan Patniraga. Sobatnya itu didapa-

tinya belum kunjung dapat mendesak Biludak Tengik. 

Tidak berapa lama, terbit gagasan di kepala Andika 

tentang serangan-serangan Patniraga.

"Hindari pertarungan jarak dekat, Ga!" teriaknya.

Patniraga mendengar. Namun ia tidak segera me-

nurut. Diambilnya posisi bertahan sambil mempertimbangkan saran Andika. Setelah berpikir ada baiknya ia 

mencoba, barulah Patniraga mulai merenggangkan ja-

rak. 

Jarak renggang ternyata membuat Patniraga dapat 

lebih sering menggunakan senjata ulosnya. Makin ser-

ing ia menggunakan, makin keteteran Biludak Tengik.

Ctaaar! Ctaaar! 

Suara kepretan ulos Patniraga membahana.

Benarlah jika dikatakan Biludak Tengik sekarang 

sudah terdesak. Konsentrasinya betul-betul terpecah. 

Di satu pihak ia harus menyalurkan tenaga dalam gu-

na menjaga gendang pendengaran, di pihak lain ia ha-

rus memperhatikan serangan-serangan Patniraga yang 

datangnya bertubi-tubi.

Biludak Tengik sudah berusaha menghindar sebi-

sa mungkin. Tetapi akhirnya, sebuah pukulan tipuan 

dari Patniraga dengan tenaga penuh mengenai tepat di 

dahinya. Ia terjajar. Kepalanya serasa mau pecah. Du-

nia di sekitarnya berubah menjadi berwarna jingga te-

maram. Segalanya berwarna kuning!

Nalurinya sebagai seorang yang telah banyak ma-

kan asam garam dalam bertarung mengatakan bahaya 

yang mengancam nyawanya segera akan datang. Ref-

leks ia membuang diri ke samping.

Ctaaar!

Benarlah apa yang diduganya. Kepretan Patniraga 

mengenai tempat kosong. Tetapi tak cukup sebegitu 

saja. Patniraga terus memburu. Kali ini Biludak Tengik 

tidak sempat berbuat lebih jauh.

"Aaakh!" teriaknya keras. Ulos Patniraga meng-

hantam punggungnya.

Tubuh Biludak Tengik terlempar tiga tombak ba-

gai karung beras. Ia cuma mengejang sedikit lalu tidak 

bergerak lagi.

Patniraga menghela napas.

"Kau telah membayar lunas perbuatanmu, Bilu-

dak Tengik."

Andika berpura-pura melongo menatap badan Bi-

ludak Tengik yang remuk terkena hantaman ulos sakti 

Patniraga. Ia terus saja menekap kuping Mirah.

"Sudah, dong," kata Mirah pelan.

"Eh,.... Oh iya. Jadi keterusan. Maaf, ya. Habis 

aku terkagum-kagum pada kehebatan ulos si Patnira-

ga."

"Nggak apa. Terima kasih, ya."

"Ah. Mungkin aku yang harus berterima kasih."

"Maksudmu?" Mata Mirah sudah mau melotot.

"Eh, nggak, nggak...," jawab Andika mengangkat 

kedua telapak tangannya kepada Mirah. Takut diapa-

apakan olehnya. "Maksudku aku berterima kasih pada 

si Patniraga yang telah berhasil mengatasi Biludak 

Tengik. Soalnya kalau melihat ilmu Biludak Tengik, 

wah..., aku bisa kewalahan menghadapi."

"Oh, begitu."

"Iya. Begitu...," kata Andika sambil memalingkan 

muka, menahan senyum. Tetapi anehnya, Mirah juga 

menahan senyum.

Mirah adalah sosok wanita yang boleh dibilang 

tinggi, hampir setinggi Andika. Hal ini tampak jelas ke-

tika ia bangkit berdiri di hadapan Andika. Rambutnya 

yang lurus tergerai sebahu juga kira-kira sama pan-

jang dengan rambut Andika.

"Kelihatannya sih, cocok nih dengan aku," desis 

Andika dalam hati.

Mirah membetulkan pakaiannya. Sebetulnya tidak 

terlalu awut-awutan karena Biludak Tengik tadi tidak 

sempat berbuat macam-macam, namun tak urung 

perbuatannya membuat Andika berbalik dan menjauh. 

Ia menghampiri Patniraga.

Setelah menepiskan debu yang menempel pada

pakaiannya, Mirah mengambil ikat kepalanya yang ter-

lepas dari tanah serta memakainya kembali. Kemudian 

ia berjalan mendekati Andika. Dari sudut matanya An-

dika tahu bahwa Mirah mendatanginya, namun ia te-

rus saja bercakap-cakap dengan Patniraga.

"Pendekar Slebor." Mirah memotong pembicaraan 

mereka. Andika menoleh.

"Ah, panggil saja...." Andika tidak melanjutkan ka-

limatnya. Ia terpana memandang penampilan Mirah.

Yang di hadapannya sekarang adalah seorang wa-

nita tegar. Sirna sama sekali pandangan tentang wani-

ta lemah tak berdaya yang baru saja ditolongnya. Bah-

kan sebuah pedang telah tersandang di punggung wa-

nita itu.

"Aku sebenarnya tengah mencarimu, Pendekar 

Slebor."

"Oh ya, begitu ya?"

"Kamu tidak mendengar kabar buruk yang terja-

di?"

"Tidak." 

"Kabar buruk apa?" Patniraga nimbrung.

"Orang-orang persilatan dari aliran hitam menca-

rimu, Pendekar Slebor."

"Ah, biar saja mereka mencari-cariku. Paling-

paling mau mengajak bertempur. Apa sih kerja orang-

orang sesat itu? Ya, jauh dekat kan, cuma mau cari 

perkara saja. Coba mereka tidak selalu bikin kejaha-

tan. Tidak perlu ada pertarungan dan tidak perlu ada 

darah yang tumpah," jawab Andika.

"Memang bukan itu kabar buruknya, Pendekar 

Slebor."

"Eh, ngomong-ngomong, jangan panggil aku den-

gan itulah. Aku lebih suka kamu panggil aku dengan 

namaku, Andika."

"Baiklah, Andika. Bukan itu kabar buruknya. Mereka sudah lama tidak mendengar kabar tentang diri-

mu. Karena itu untuk memancing kemunculanmu, 

mereka melakukan keonaran di sana sini."

"Apa maksudnya?" tanya Patniraga.

"Beberapa desa telah mereka porak-porandakan. 

Mereka menjagal semua laki-laki dewasa itu yang da-

pat mereka temui di setiap desa tanpa perikemanu-

siaan. Semua laki-laki, Andika! Mereka cuma menyisa-

kan anak-anak dan para wanita. Bumi desa kami telah 

menjadi danau darah!"

"Jadi kau berasal dari salah satu desa itu?" tanya 

Patniraga lagi.

Mirah menganggukkan kepala sambil memandang 

Patniraga.

"Mirah berasal dari desa Sentul Reja," jawab Andi-

ka.

"Kamu tadi mengatakan beberapa desa yang di-

perlakukan demikian," lanjut Andika. "Dari mana ka-

mu tahu?"

"Gerombolan Lampor Ireng lah yang menyerang 

desa Sentul Reja. Sehabis puas menjagal dan merusak, 

ia baru mengatakan bahwa mereka mencarimu, Andi-

ka. Ia berpesan, jika kamu mau bertemu dengan mere-

ka, markas mereka ada di Bukit Dedemit. Ia juga 

memberitahukan bahwa ada desa-desa lain yang men-

galami nasib yang sama. Dari situlah aku tahu. Lalu 

aku berpikir tidak ada jalan lain, selain harus menca-

rimu."

"Aku sudah berusaha menahan mereka. Namun 

jumlah mereka terlalu banyak. Apalagi kemampuan si-

lat Lampor Ireng kunilai berada tiga tingkat di atasku. 

Maka kupikir sebaiknya aku mundur dan menunggu 

waktu lain untuk membalas. Sialnya, dalam perjalanan 

mencarimu, aku bertemu dengan Biludak Tengik. Ke-

mampuannya ternyata setingkat dengan Lampor Ireng.

Tidak terlalu sulit baginya untuk menaklukkanku."

Andika menatap mata Mirah penuh selidik.

"Apa tujuanmu mencariku?"

Mirah balas menatap tajam mata Andika.

"Siapa lagi yang kamu pikir bisa menghadapi me-

reka? Dan apakah kamu pikir kamu akan berpangku 

tangan saja?" tantang Mirah.

Beberapa jenak kemudian Andika tertunduk. Lalu 

ia berbalik, menaruh kedua kepalan tangannya di 

pinggang belakang dan berjalan beberapa langkah. Ti-

dak ada yang berbicara.

"Mungkin aku tidak akan menang menghadapi 

mereka bersama," kata Andika.

"Aku akan membantumu, Andika," jawab Patnira-

ga.

"Ya. Aku juga akan membantumu," jawab Mirah.

Andika belum memberi reaksi.

"Yang terpenting sekarang, peristiwa ini tentu te-

lah sampai ke telinga Prabu Alengka. Pasti beliau telah 

menjadi susah hati mengetahui rakyatnya dikacau 

oleh biadab-biadab itu," kata Andika. "Langkah perta-

ma yang harus diambil adalah menemui beliau untuk 

menjelaskan duduk perkara sesungguhnya. Aku tidak 

mau ada kesalahpahaman antara aku dengan beliau."

"Benar katamu," Patniraga yang telah biasa den-

gan urusan-urusan kerajaan segera menyetujui lang-

kah Andika. "Sekarang kau harus berangkat mene-

muinya. Aku akan menemanimu."

"Aku juga," tambah Mirah.

Andika berbalik menghadap mereka kembali. Ke-

palannya dilepaskan.

"Terima kasih, Sobat-sobatku."

"Sudahlah, bukankah katamu sendiri akan ada gi-

liranku untuk menolongmu? Ayo, mari kita berangkat 

sekarang," ajak Patniraga.

Andika membalas senyum Patniraga. Ia merang-

kul Patniraga penuh keakraban.

"Yuk, Mirah. Kita berangkat sekarang," katanya 

sambil melangkah berdua dengan Patniraga, seolah ti-

dak begitu mempedulikan Mirah.

"Tunggu!" bentak Mirah.

Mereka berdua tercekat dan berbalik.

"Aku masih ada perlu dengan Pendekar Slebor."

Penuh tanda tanya di wajah Andika ketika ia 

mendekati Mirah.

"Ya?" tanyanya mengandung keingintahuan.

Mirah mendekati Andika.

Plak!

Tiba-tiba tangan Mirah menampar wajah Andika. 

Tentu saja Andika menjadi bengong. Tidak ada angin 

tidak ada hujan, tidak ada cemberut tidak ada marah, 

tahu-tahu cewek cantik ini menamparnya begitu saja. 

Sakit juga. Andika mengusap-usap pipinya dengan 

kening berkerut.

"Kamu telah membuatku serba salah tadi ketika 

menekap kupingku terus."

"Hah? Tapi kan, aku mau menolongmu."

"Ya. Tapi aku bukan cewek bodoh. Kamu kan, bisa 

memberikan tenaga dalam saja untuk melindungi gen-

dang pendengaranku. Tidak usah pakai memegang te-

rus kupingku. Dan pipiku!"

Selesai berkata begitu Mirah melengos dan meng-

hampiri Patniraga.

"Yuk, kita jalan," katanya pada Patniraga.

Patniraga mau apa, coba? Ia cuma bisa nurut saja 

perkataan cewek cantik itu sambil tertunduk menahan 

tawanya melihat air muka si Andika.

"Dasar perempuan!" maki Andika dengan suara 

sekecil-kecil mungkin. Sebisik-bisik mungkin. Takut 

kedengaran Mirah.

"Hei! Tungguin aku, dong...," teriak Andika berlari me-

rendengi mereka. Ia tidak mau berjalan di samping Mi-

rah. Akibatnya Patniraga menjadi di tengah-tengah, di-

kawal Mirah dan Andika.

Andika melirik Patniraga. Melihat muka Patniraga 

yang kerut-merut menahan tawa, segera disodoknya 

rusak kawannya itu dengan telunjuk.

"Adouw!" Akhirnya lepaslah tawa yang setengah 

mati ditahan sejak tadi.

Andika melotot pada Patniraga.

Mirah senyum-senyum melihat Andika.

***

6


Kerajaan Alengka memiliki daerah kekuasaan 

yang relatif tidak terlalu luas. Prabu Alengka sendiri 

adalah seorang raja yang cukup arif bijaksana serta 

bertujuan pada kesejahteraan dan keamanan rakyat-

nya. Rakyatnya sendiri pun amat senang mempunyai 

raja seperti dia.

Raja yang amat berdedikasi ini terkejut dengan 

kabar yang disampaikan oleh Menteri Keamanan. Be-

berapa desa dari seluruh penjuru angin telah dikacau-

kan oleh sekumpulan tokoh persilatan jahanam. Keka-

cauan ini berakibat pula pada terjadinya keguncangan 

di dalam istana.

Belum pernah terjadi sebelumnya peristiwa di 

mana wilayah kekuasaan Alengka digerogoti oleh per-

tumpahan darah seperti sekarang. Bayangkan, seluruh 

laki-laki dari desa-desa itu dikabarkan terbunuh seca-

ra konyol tanpa ampun! Ini semua dilakukan mereka 

hanya karena mencari seorang manusia! Seorang manusia bernama Pendekar Slebor.

Segera saja Prabu Alengka memanggil para mente-

rinya untuk rapat mendadak. Setelah beberapa lama 

berbicara Prabu Alengka segera mengetahui bahwa 

pengaruh peristiwa, teror tersebut benar-benar telah 

mengguncangkan istananya. Hal ini terbukti dengan 

munculnya pro kontra terhadap Pendekar Slebor, 

meskipun mereka juga tahu bahwa Prabu mempunyai 

hubungan yang cukup dekat dengan Pendekar Slebor.

"Saya heran, Prabu, mengapa untuk mencari Pen-

dekar Slebor saja, orang-orang itu harus mengambil 

korban para rakyat tidak berdosa. Kalau mereka me-

mang cuma mencari Pendekar Slebor, harusnya ya..., 

carilah sendiri sampai ketemu. Jangan orang lain yang 

dibunuhi," kata Parameswara, Menteri Keamanan.

"Memang benar. Akan tetapi kita tahu bahwa tak 

ada asap jikalau tidak ada api. Ini semua terjadi kare-

na Pendekar Slebor. Ia tentu membuat ulah yang 

membangkitkan kemarahan dari kaum persilatan go-

longan hitam," tanggap Hancahera, Menteri Kesejahte-

raan dan Perdagangan Rakyat.

"Setahuku Pendekar Slebor tidak pernah membuat 

ulah yang brengsek," jawab Parameswara. "Kalau ti-

dak, tentu kabarnya sudah kita dengar bersama, kare-

na pengawasan keamanan yang kulakukan cukup 

baik. Kenyataannya, ia malah telah membantu Kera-

jaan Alengka selama ini dengan membasmi keangkara

murkaan yang ditimbulkan golongan hitam."

"Bukan maksudku mengatakan Pendekar Slebor 

telah melakukan ulah yang brengsek," tangkis Hanca-

hera. "Tetapi kita semua maklum bahwa Pendekar Sle-

bor itu masih muda. Ia juga masih muda dalam penga-

laman, khususnya politik. Karena itu segala perbua-

tannya yang baik selama ini bisa dikatakan berlebihan."

"Apa maksudmu, Menteri Hancahera?" tanya Men-

teri Urusan Istana.

"Maksudku, Pendekar Slebor tidak tahu mengukur 

sampai di mana perbuatan baiknya harus dilakukan 

sehingga tidak menimbulkan reaksi yang lebih keras 

dari pihak hitam. Seharusnya ia memikirkan hal itu. 

Sebab jika tidak, akhirnya rakyat juga yang jadi kor-

ban karenanya, bukan?"

"Tetapi mereka itu memang telah membuat keona-

ran. Jadi harus dibasmi!" jawab Parameswara.

"Bukan itu saja yang harus kita pikirkan, Menteri 

Keamanan. Yang harus kita pikirkan adalah bagaima-

na keadaan tentram, aman dan sejahtera dari Kerajaan 

Alengka dapat terjamin. Itu yang menjadi tugas dan 

konsentrasi pemikiran kita selaku pejabat-pejabat ke-

rajaan. Siapa dan apa pun yang membuat terhalang-

nya jaminan ke arah situ, harus disingkirkan."

Para menteri lain yang hadir dalam rapat men-

gangguk-anggukkan kepala menyetujui pendapat Men-

teri Hancahera.

"Maksud Menteri Hancahera bagaimana?" tanya 

Panglima Andipati. "Apakah itu berarti Pendekar Slebor 

yang menjadi penghalang dan harus disingkirkan?"

"Aku berpendapat demikian," jawab Hancahera.

"Kenapa? Sebagaimana yang kujelaskan tadi, Pendekar 

Slebor itu masih hijau. Masih terlalu idealis. Pikirnya, 

pokoknya yang jahat harus dibasmi. Itu cara berpikir 

orang yang masih hijau dalam politik. Karena itulah, 

para tokoh golongan hitam bangkit bersatu dan me-

nuntut balas. Akibatnya, kita saksikan sendiri, rakyat 

yang kena getah."

Para menteri lainnya mengangguk-anggukkan ke-

pala kembali.

"Tidak itu saja," Hancahera masih melanjutkan bi-

caranya. "Ulah Pendekar Slebor mengakibatkan terganggunya kesejahteraan rakyat dan perdagangan. 

Pendeknya perekonomian Kerajaan Alengka jadi ter-

ganggu. Dan coba pikirkan, saudara-saudara sekalian, 

lebih jauh lagi mungkin sekali hal ini akan menjadi 

ancaman bagi Kerajaan Alengka."

Sekali lagi para menteri lain mengangguk-

anggukan kepala. Mereka kemudian melihat kepada 

Prabu yang tertunduk seperti terpekur.

"Itu tidak benar"

Prabu mengangkat kepalanya.

"Aku berbicara begini bukan karena hubunganku 

cukup dekat dengan Pendekar Slebor. Beberapa dari 

kalian juga cukup kenal secara pribadi padanya. Tetapi 

kita harus tetap berbicara berlandaskan kebenaran 

dan berpikir untuk mencari kebenaran." Suara Prabu 

Alengka berat berwibawa. Kalimat-kalimatnya pun be-

risi kearifan yang dalam. Tokoh-tokoh persilatan aliran 

hitam telah melakukan teror di masyarakat. Bahkan 

mereka telah menumpahkan begitu banyak darah ra-

kyat dalam sekejap. Entah apa pun tujuan mereka, je-

las ini adalah kejahatan. Dan aku menggaris bawahi, 

ini adalah kejahatan terbesar, karena belum pernah 

terjadi sebelumnya di kerajaanku. Ini yang pertama 

yang hendak kukatakan."

"Yang kedua, membasmi kejahatan adalah kebe-

naran. Walaupun Pendekar Slebor masih muda, sela-

ma ini ia turut membantu Kerajaan Alengka membas-

mi kejahatan. Jadi, dia tidak dapat dipersalahkan. Ka-

laupun para tokoh persilatan golongan hitam mau me-

nuntut balas, silakan saja. Tetapi di sini kita seharus-

nya melindungi Pendekar Slebor, karena dia telah ber-

jasa serta membela kepentingan Kerajaan Alengka."

"Yang ketiga, menyingkirkan Pendekar Slebor ada-

lah kesalahan besar. Kita semua telah mahfum bahwa 

aliran hitam adalah dalang keonaran. Menyingkirkan

Pendekar Slebor tidak akan menghentikan keonaran 

yang ditimbulkan mereka. Percayalah, mereka akan te-

rus-menerus berbuat sekehendak hati mereka yang 

merugikan rakyat dan Kerajaan Alengka. Apalagi jika 

Pendekar Slebor telah disingkirkan, mereka bisa dibi-

lang tidak memiliki penghalang yang berarti lagi. Ke-

simpulannya kehilangan Pendekar Slebor, Kerajaan 

Alengka akan rugi. Sebab kehilangan seorang pende-

kar yang dapat diandalkan untuk memerangi kejaha-

tan, sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan kea-

manan rakyat itu sendiri."

Ruangan itu jadi agak ribut karena para menteri 

membicarakan pendapat Prabu. Kecuali Hancahera, 

tak lama kemudian mereka serempak berkata,

"Kami setuju dengan pendapat Prabu."

Prabu Alengka memandang Menteri Hancahera 

yang masih diam.

Akhirnya Hancahera bangkit berdiri.

"Apa yang Prabu katakan benar. Hamba setuju 

dengan pendapat Prabu."

Semua menteri menghela napas lega.

"Kalau begitu, kita harus segera mencari Pendekar 

Slebor. Tugas ini saya serahkan pada Menteri Keama-

nan."

Parameswara segera berdiri.

"Daulat, Prabu. Perintah ini akan segera hamba 

laksanakan."

Tiba-tiba seorang prajurit istana datang menga-

turkan sembah pada Prabu Alengka.

"Ampun, Paduka. Jika rapat telah mengizinkan, 

seorang di luar bernama Pendekar Penjaga Langit da-

tang hendak berbicara kepada Paduka dan rapat di si-

ni."

"Siapakah dia, Parameswara? Rasanya aku baru 

mendengar namanya." tanya Prabu pada Menteri Keamanan.

"Oh, dia adalah pendiri Perguruan Kemangi Saria-

di. Perguruan itu masih tergolong baru, Paduka. Baru 

berdiri hampir setahun. Menurut kabarnya Pendekar 

Penjaga Langit adalah orang seberang, tetapi hamba 

belum tahu tepatnya dari daerah mana. Cuma menu-

rut masyarakat sekitar perguruan itu, dia adalah seo-

rang yang baik hati."

"Baiklah. Suruh dia masuk."

Prabu Alengka memang terkenal pula sebagai raja

yang dekat dengan rakyat dan selalu terbuka meneri-

ma siapa saja yang hendak berbicara padanya.

Pendekar Penjaga Langit memasuki ruangan den-

gan tenang, tanpa setitik pun menunjukkan tingkah 

laku yang salah tingkah dan semacamnya di tengah-

tengah kumpulan pembesar kerajaan tersebut. Tenang 

pula dia membetulkan pakaiannya lalu menekuk lutut 

mengaturkan sembah.

"Terimalah sembahku, Gusti Paduka Prabu. Teri-

malah pula hormatku kepada seluruh pembesar Kera-

jaan Alengka di sini."

"Berdirilah, Pendekar Penjaga Langit. Apakah ge-

rangan yang hendak kamu katakan?"

"Beribu-ribu ampun, Gusti Paduka Prabu, jika 

saya dianggap lancang menemui pada saat rapat ini 

berlangsung."

"Tidak apa. Kami sudah selesai membicarakan 

masalahnya. Tidak apa," jawab Prabu Alengka lunak.

"Begini, Gusti Paduka Prabu. Hamba kira Gusti 

Paduka Prabu telah mendengar kabar musibah yang 

melanda beberapa desa di wilayah Kerajaan Alengka.

Hamba ingin menyampaikan rasa penyesalan dan pri-

hatin atas kejadian-kejadian itu. Terus terang, hamba 

merasa geram pada para tokoh persilatan aliran hitam 

itu, Gusti Paduka. Hamba ingin membalaskan kekeja

man mereka."

Prabu Alengka terus mendengarkan.

"Perbuatan mereka sungguh tidak bisa diterima. 

Kasihan rakyat yang menjadi korban. Nah, jikalau 

Gusti Paduka Prabu berkenan, hamba ingin membantu 

untuk membasmi mereka. Demikianlah yang hendak 

hamba sampaikan dalam kesempatan yang berharga 

ini."

Prabu Alengka tersenyum. 

"Dari manakah asalmu, Pendekar Penjaga Langit? 

Kabarnya kamu berasal dari negeri seberang."

"Betul, Gusti Paduka. Hamba dari sebelah timur 

pulau Borneo, dari sebuah daerah yang bernama Tara-

kan."

"Boleh aku tahu, gerangan apakah yang mem-

buatmu ingin membantu Kerajaan Alengka, Pendekar 

Penjaga Langit?"

"Hamba kira semua orang yang masih normal ha-

tinya pasti akan membenci segala perbuatan kejam 

dan tak berperikemanusiaan macam yang dilakukan 

mereka, Gusti Paduka. Hamba pun demikian. Lagi pu-

la, meskipun hamba baru satu tahun bermukim di wi-

layah kerajaan Gusti Paduka, hamba sudah merasa 

memiliki kerajaan yang sejahtera ini. Bukankah peri-

bahasa mengatakan, dimana bumi dipijak di situ langit 

dijunjung, Gusti Paduka?"

"Hm, baiklah. Niatmu itu baik sekali, Pendekar 

Penjaga Langit. Kamu bisa memberikan andil bagi bu-

mi yang kamu pijak sekarang. Lihatlah nanti, di mana 

dan kapan kamu bisa membantu."

"Hamba mengucapkan terima kasih atas kesem-

patan yang Gusti Paduka berikan untuk membuktikan 

ucapan hamba tadi. Hamba juga akan meminta para 

murid hamba untuk bersedia membaktikan diri bagi 

Kerajaan Alengka tercinta ini."

Prabu Alengka menganggukkan kepala tanpa me-

rubah air mukanya.

"Sekarang perkenankanlah hamba mohon diri 

pada Gusti Paduka Prabu serta para pembesar kera-

jaan di sini."

Selesai berkata, Pendekar Penjaga Langit meng-

haturkan sembah dan meninggalkan istana.

"Berarti kita mendapat dukungan dari satu pen-

dekar lagi, Paduka," kata Menteri Keamanan setelah 

Pendekar Penjaga Langit menghilang.

"Ya. Tetapi karena dia orang pendatang, tolong 

perhatikan dia, Menteri Parameswara. Aku tidak mau 

ada orang yang memancing di air keruh," jawab Prabu 

Alengka. 

"Baik, Paduka."

"Sekarang aku menugaskan semua menteri untuk 

memikirkan langkah-langkah apa yang harus kita la-

kukan guna menghadapi para tokoh persilatan aliran 

hitam itu. Besok kita akan bicarakan kembali."

Prabu Alengka menutup rapat tersebut, dan para 

menteri meninggalkan ruangan.

***

Seharian berjalan kaki membuat tubuh menjadi 

lelah juga. Kerajaan Alengka masih satu hari perjala-

nan lagi jauhnya, sementara rembang sore telah men-

guasai alam. Segala sesuatu yang hidup memerlukan

istirahat. Demikianlah kata pepatah: Untuk segala se-

suatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit 

ada waktunya. Apakah untung pekerja dari yang diker-

jakannya dengan berjerih payah? Tuhan membuat se-

gala sesuatu indah pada waktunya. Maka ketika Andi-

ka mengajak Mirah dan Patniraga beristirahat, tidak 

ada yang menolak.

"Apa, sih, sebenarnya yang membuat para tokoh 

persilatan golongan hitam itu mencarimu, Andika?" 

tanya Patniraga sesaat setelah merebahkan dirinya.

"Aku rasa sih, mereka hendak merajai kembali

dunia persilatan, sekaligus menuntut balas atas kema-

tian teman-teman mereka yang kuhabisi," jawab Pen-

dekar Slebor.

"Rupanya kau pendekar yang sangat disegani ju-

ga, ya?"

"Wah, disegani bagaimana? Orang-orang menye-

butku Pendekar Slebor. Yang namanya orang slebor, 

mana ada yang disegani?"

"Weh, mungkin saja. Perilakumu mungkin slebor, 

tetapi kemampuan silatmu yang tinggi bisa saja mem-

buatmu disegani."

"Ah, tidak ada itu. Aku ini biasa saja. Orang-orang 

saja yang menilaiku keterlaluan. Aku harap kau jan-

gan ikut-ikutan merekalah."

"Hehehe. Kau pandai pula merendah rupanya. Ah, 

semaumulah. Aku rasanya capek. Biarkan aku tidur 

dulu barang sejenak," kata Patniraga lalu membalik-

kan tubuhnya membelakangi Andika.

Tak lama kemudian Patniraga sudah mengorok!

"Mungkin dia kelelahan sehabis bertarung dengan 

Biludak Tengik, Andika," kata Mirah.

Terbersit satu pikiran dalam kepala Andika.

"Kalau begitu mari kita menjauh sedikit dari sini, 

supaya obrolan kita jangan mengganggunya."

Mirah menurut saja mengikuti Andika pindah ki-

ra-kira sejauh lima puluh tombak.

"Aku belum minta maaf padamu atas kelancan-

ganku tadi," kata Andika. "Memang aku bisa saja men-

gerahkan tenaga dalamku untuk melindungi gendang 

telingamu, tapi aku begitu khawatir kalau-kalau itu ti-

dak cukup. Jadi aku menekap kupingmu terus."

"Tidak apa-apa, Andika. Aku sudah memaafkan-

mu, kok."

Andika mengusap-ngusap pipinya.

"Tamparanmu sakit juga ya, Mir," Andika menyin-

dir.

"Habis kamu kurang ajar, sih."

"Aku belum pernah ditampar cewek, Iho."

Mirah malah tertawa kecil.

"Eh, dibilangin malah ketawa."

"Jadi, harus bagaimana, dong?"

"Obatin, kek. Minta maaf, kek. Ini malah ketawa." 

Andika membuat mulutnya monyong. Cemberut.

"Ngobatinnya gimana?"

"Ya..., gimana, kek. Dielus-elus dengan tanganmu 

juga bisa."

"Ih! Kamu ini benar-benar kurang ajar, ya". Wajah 

Mirah segera bersemu dadu.

"Aduh, maaf deh, maaf. Jangan marah, dong. Kan 

aku cuma bercanda."

"Tuh, kan. Kamu ini memang betul-betul slebor, 

Andika. Jarang pernah bisa serius," kata Mirah, ngam-

bek.

"Masa'? Sok tahu kamu, ah."

"Kalau gitu, salah dong orang menyebut kamu 

Pendekar Slebor."

"Iya deh, iya. Maklumlah, Mir. Aku ini berasal dari 

kalangan rakyat jelata. Bahkan dari kalangan bawah 

sekali. Jadi tingkah lakuku, ya begini ini."

"Masa' iya?" Lalu Mirah mencibir.

"Kamu ini benar-benar sok tahu, ya. Dibilangin 

malah mencibir gitu. Aku ini bekas anak tukang copet, 

tahu. Belum lagi besar aku sudah menjalankan

pekerjaan itu. Kamu ngerti kan, tukang copet itu ba-

gaimana? Nggak ada tukang copet yang kaya dan ter-

hormat. Bos tukang copet mungkin ada satu dua. Tapi,

ya begitu. Hidupnya munafik."

"Kamu, nih, bercanda atau serius, sih?"

"Nah, kamu sekarang beruntung bertemu dengan 

sifatku yang jarang. Serius."

"Masa' iya, sih?" Mirah menyelidik sambil cengar-

cengir. "Aku rasanya kurang percaya kamu serius."

"Eh, bandel! Masih saja tidak percaya aku ini se-

rius."

Mirah terkikik. 

"Mungkin kamu itu kebiasaan bercanda, An." Ja-

di kalau kamu serius, tetap saja kelihatan bercanda."

"Konyol!" kata Andika mangkel.

"Tapi sepertinya kamu nggak punya tampang tu-

kang copet, tuh."

"Oh ya? Kenapa kamu menilai begitu? O, aku ta-

hu, deh...," Andika tersenyum nakal. Hal ini membuat 

Mirah penasaran.

"Apaan?" 

"Kamu menilai begitu karena tampangku cakep, 

kan?"

"Idih..., gede rasa."

"Alah, ngaku aja, deh...." 

"Ih, sok tahu!"

"Aku memang tahu, kok. Aku bahkan tahu, sejak 

berangkat sama-sama kamu suka mencuri pandang 

padaku," cerocos Andika seolah tak peduli dengan ke-

jengahan Mirah.

Mirah tak tahu lagi apa yang mesti dikatakannya. 

Begitu saja perkataan Andika, dia sudah seperti dite-

lanjangi. Tak tahan lagi dia dengan salah tingkahnya 

sendiri. Mirah bangkit dan berjalan ke sebuah pohon 

di dekat situ. Ia memetik daunnya sehelai dan mem-

permainkannya.

"Tuhan, cowok ini telah membuatku malu... seka-

li. Mataku juga tidak tahu diri untuk tidak mencuri

pandang padanya. Uh! Mau kucungkil saja mata yang 

bikin aku malu begini," kata Mirah dalam hati.

Belum puas Mirah menyampaikan keluhannya 

pada Tuhan, tahu-tahu Andika telah ada di dekatnya.

"Mir, jangan marah, ya. Aku tahu kalau kamu 

suka curi pandang karena aku suka curi pandang pa-

damu. Habis kamu cantik sekali, sih."

Glegar! Petir menyambar di hati Mirah. Pera-

saannya campur aduk mendengar pengakuan Andika. 

Marah, jengkel, tetapi juga senang dan berbunga-

bunga. Tanpa sadar ia berlari-lari kecil ke tempat Pat-

niraga sedang tidur.

Otomatis, Andika pun beranjak pula ke sana. Ia 

merebahkan pantatnya di sisi Mirah.

"Jangan di sini ngobrolnya dong, Mir."

"Sebodo."

"Kan, nggak enak didengar si Patniraga nanti."

"Sebodo!"

"Eh, jangan keras-keras, dong. Nanti si Patniraga 

bangun."

"Sebodo!"

"Waduh! Kalian ini gimana, sih." Patniraga ter-

bangun. "Tidak kasihan sama aku. Baru tidur sebentar 

saja sudah diganggu."

"Tuh, kan.... Apa kubilang."

***

7


Bukit Dedemit dilanda duka yang mendalam. Malam ini dilaksanakan pertemuan para tokoh persilatan 

golongan hitam yang kedua kalinya. Setelah menanti 

kedatangan Lampor Ireng yang agak terlambat hadir,

mereka segera tahu nasib yang menimpa rekan mere-

ka, Biludak Tengik.

"Dalam perjalanan menuju kemari, aku menemui 

mayatnya," lapor Lampor Ireng. "Aku tidak tahu apa-

kah ini perbuatan Pendekar Slebor atau tidak. Tetapi 

melihat penyebab kematiannya, aku rasa mungkin ju-

ga dia yang melakukan."

Kumpulan tokoh aliran hitam itu memaki-maki 

Pendekar Slebor tak karuan. Jasad Dedemit mengepal-

kan tangannya kuat-kuat. Geram sekali dia.

"Apa yang kau lihat sebagai penyebab kematian 

Biludak Tengik, Lampor Ireng?" tanya Jasad Dedemit.

"Punggungnya remuk sama sekali! Setelah kupe-

riksa, tak mungkin itu diakibatkan pukulan tangan 

kosong. Aku yakin itu akibat pukulan sebuah senjata 

yang cukup besar dan tidak tajam. Salah satu ke-

mungkinannya, dihantam lecutan kain catur Pendekar 

Slebor."

Mereka menyangka Pendekar Slebor yang telah 

membunuhnya, padahal Biludak Tengik mati di tangan 

Pendekar Ulos Sakti.

"Bajingan! Belum lagi kita bertemu dengan bocah 

itu, ia sudah membunuh salah satu dari kita! Awas ka-

lau bertemu denganku nanti. Bukan cuma punggung-

nya kuremukkan. Seluruh tubuhnya yang kuhancur

leburkan!" Serapah Betot Nyawa.

"Sudah! Tidak ada gunanya kita memaki dia di si-

ni," Jasad Dedemit menengahi. "Hendaknya peristiwa 

ini menjadi suatu pelajaran tambahan bagi kita semua, 

bahwa kita takkan mungkin bisa mengalahkan Pende-

kar Slebor secara sendirian."

"Jadi bagaimana langkah kita selanjutnya?" tanya 

Nyi Bengis.

"Kita telah melakukan tugas pertama kita dengan 

baik," jawab Jasad Dedemit. "Kabarnya pasti sampai

ke telinga Pendekar Slebor. Jadi kupikir, sebaiknya se-

karang kita menunggu dia muncul."

"Bagaimana kalau dia tidak muncul juga?" tanya 

Lampor Ireng.

"Kita akan mengulang apa yang telah kita lakukan 

kepada desa-desa lainnya."

Para tokoh itu kemudian tenggelam dalam kehe-

ningan.

"Aku ada usul." Betot Nyawa menyeruak. 

"Ya?"

"Kita tahu bahwa Pendekar Slebor cukup dekat

dengan Prabu Alengka. Barangkali ada baiknya kita 

mengirim sepucuk surat pada Prabu itu agar dia sege-

ra menyerahkan Pendekar Slebor apabila bertemu 

dengannya."

"Bagaimana jika dia tidak mau?" tanya Malaikat 

Siluman.

"Kita katakan padanya bahwa kita akan mengacau 

wilayah kekuasaannya apabila tidak mau. Ini akan 

menjadi ancaman serta desakan baginya," jawab Jasad 

Dedemit.

"Akan tetapi hal itu bisa membuat kerajaan 

Alengka dan Pendekar Slebor memerangi kita," tanggap 

Nyi Bengis.

"Mereka tidak akan berani," jawab Jasad Dedemit 

kembali. "Alengka bukan kerajaan besar. Mereka tidak 

akan mampu melawan kekuatan kita bersama-sama."

"Baiklah kalau begitu. Kami serahkan urusan su-

rat kepada Prabu Alengka kepadamu, Jasad Dedemit."

"Baik. Aku akan melaksanakan secepatnya." Para 

tokoh persilatan aliran hitam itu lega, bahwa rencana 

mereka akan berhasil. 

***

"Ampun, Paduka Prabu. Hamba terpaksa meng-

hadap Paduka, karena di luar seorang utusan dari pa-

ra tokoh persilatan golongan hitam memaksa bertemu 

dengan Paduka. Dia mengatakan membawa surat yang 

amat penting dan mendesak."

Suasana rapat antara Prabu Alengka dengan para 

menteri sore itu berubah menjadi tegang. Tidak dinya-

na ketika sedang membicarakan langkah-langkah yang 

akan diambil guna menghadapi teror dari para tokoh 

persilatan aliran hitam, datang seorang utusan dari 

mereka.

Prabu Alengka tertegun seketika.

"Suruhlah dia masuk."

"Daulat, Prabu."

Tidak berapa lama kemudian prajurit istana itu te-

lah kembali mengantarkan sang Utusan.

"Saya disuruh mengantarkan surat ini kepada 

Prabu," kata utusan itu langsung. Ia menyodorkan su-

rat pada Prabu Alengka.

"Hei! Kurang ajar kamu! Hayo cepat mengaturkan 

sembah dahulu!" hardik Parameswara, Menteri Kea-

manan.

"Sudahlah, Parameswara. Orang seperti mereka 

ini sulit untuk diajar tata krama." Prabu Alengka me-

nengahi. "Percuma saja kamu memaksanya."

Prabu Alengka mengambil surat dari tangan utu-

san tersebut, lalu membacanya. Sejurus kemudian 

Prabu Alengka tampak berpikir.

"Sekarang cepatlah kamu pergi dari sini," katanya 

pada utusan itu. "Katakan pada tuanmu bahwa aku 

sudah menerima suratnya. Tetapi tidak akan ada satu 

kata pun jawabanku atas surat ini."

"Baiklah. Tetapi segala sesuatunya menjadi tang-

gunganmu," jawab utusan itu lagaknya seorang pembesar.

"Oh, tentu, tentu," jawab Prabu Alengka kalem. 

"Tetapi kamu ini cuma seorang utusan. Daripada ba-

nyak bicara di sini lebih baik kamu cepat pulang me-

nyampaikan kabar pada tuanmu. Kalau kamu cepat 

pulang, tentu tuanmu juga akan senang."

Utusan itu mendengus. Acuh tak acuh dia me-

langkah keluar. Dia tidak peduli dengan para menteri 

yang geram melihat sikapnya.

"Aku ingin membacakan isi surat ini pada saudara 

Menteri semua, sehingga kalian mengerti masalah apa 

lagi yang harus kita pecahkan."

Jelas dan tegas suara Prabu Alengka ketika mem-

bacakan.

Prabu Alengka,

Kami yakin tidak lama lagi orang yang kami cari 

akan muncul. Sementara itu kami minta Anda juga 

turut mencarinya serta memberitahukan atau me-

nyerahkannya pada kami. Cepatlah melakukan tu-

gas ini supaya rakyatmu tidak mengalami celaka.

"Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Sejak ka-

pan orang-orang sesat itu berani memerintah Raja," 

kata Panglima Andipati berang.

"Sejak sekarang ini," sahut Prabu Alengka tenang.

Semua mata memandangnya.

"Tidak usah heran. Itu karena mereka merasa 

bahwa kekuatan mereka lebih kuat dari kita. Kalau 

mau, mereka memang dapat menumbangkanku dari 

tampuk kekuasaan. Itu harus kalian pahami. Bahkan 

menurut perkiraanku, bersama-sama dengan Pendekar 

Slebor dan Pendekar Penjaga Langit pun mungkin kita 

tetap takkan mampu mengalahkan mereka."

Para menteri itu jadi terdiam.

"Tetapi jangan takut. Kita pasti mempunyai jalan

untuk mengatasi mereka."

"Lalu bagaimana sikap Paduka terhadap tuntutan 

mereka dalam surat itu?" tanya Hancahera, Menteri 

Kesejahteraan dan Perdagangan Rakyat.

"Aku tidak akan tunduk sedikitpun pada tuntutan 

mereka. Jangan pikir dengan jalan teror mereka dapat 

membuatku tunduk!" Selesai Prabu Alengka berkata 

demikian prajurit istana kembali masuk.

"Ampun, beribu-ribu ampun, Paduka Prabu. 

Hamba memberanikan diri menemui Paduka lagi, ka-

rena mungkin ini ditunggu-tunggu oleh Paduka dan 

para Menteri."

"Ada apa, Punggawa?" tanya Prabu Alengka tidak 

sabar karena ia mulai merasa terganggu.

"Kali ini yang datang hendak menghadap Paduka 

adalah Pendekar Slebor bersama dua orang rekannya. 

Apakah Paduka sudi menerimanya?"

Prabu Alengka seketika menjadi cerah. Para men-

teri berpandang-pandangan satu dengan yang lain.

"Suruh dia masuk. Cepat!"

Tak lama kemudian Andika, Mirah, dan Patniraga 

memasuki ruangan. Setelah mengaturkan sembah pa-

da Prabu Alengka, mereka merasa canggung melihat 

para pembesar istana sedang berkumpul demikian se-

rius.

"Silakan duduk, Pendekar Slebor."

"Apakah kami mengganggu, Paduka Prabu? Praju-

rit istana tadi tidak memberitahukan pada kami bahwa 

sedang berlangsung pertemuan ini."

"Ah, tidak apa-apa. Duduklah bersama teman-

temanmu dan ikut berbicara dalam rapat ini, sebab ini 

juga menyangkut tentang dirimu."

Dengan masih ragu-ragu Andika mengajak Mirah 

dan Patniraga duduk. Ia memperkenalkan kedua te-

mannya kepada seluruh yang hadir.

"Aku bersyukur kamu cepat muncul, Pendekar 

Slebor. Tadinya kami sudah pusing juga memikirkan 

masalah ini."

"Ng..., maafkan hamba, Paduka. Adapun kedatan-

ganku kemari adalah berkaitan dengan peristiwa-

peristiwa yang kudengar. Beberapa desa di wilayah Ke-

rajaan Alengka telah menjadi korban keganasan para 

tokoh persilatan aliran hitam. Mereka lakukan semua 

itu adalah untuk memancing kemunculanku."

"Aku ingin mengatakan kepada Paduka bahwa 

aku sama sekali tidak ada membuat ulah yang jelek, 

sehingga aliran hitam menjadi marah. Kurasa mereka 

berbuat begitu cuma karena ingin menuntut kema-

tianku dan menguasai kembali dunia persilatan."

"Aku paham sekali, Pendekar Slebor," sahut Prabu 

Alengka. "Aku pun tidak menyangka yang bukan-

bukan padamu."

"Kalau demikian halnya, hamba mengaturkan te-

rima kasih, Paduka," jawab Andika seraya menjura.

"Tetapi..., kita bicara langsung pada intinya saja. 

Menurutku, tak ada jalan lain kecuali kamu beserta 

teman-temanmu secara bersama-sama membantu Ke-

rajaan Alengka menghadapi mereka."

"Dengan senang hati kami membantu, Paduka 

Prabu."

"Oh, iya. Aku lupa memberitahukan bahwa Pen-

dekar Penjaga Langit juga menyediakan dirinya pula 

untuk membantu. Dengan demikian kita memiliki ha-

rapan untuk mengatasi mereka."

Serta merta Andika dan Patniraga terbengong-

bengong.

"Punggawa!"

Dengan tergopoh-gopoh prajurit istana memasuki 

ruangan.

"Cepat panggilkan Pendekar Penjaga Langit untuk

datang kemari," perintah Prabu Alengka.

"Tetapi, Paduka, apakah Paduka telah tahu siapa-

kah orang yang menyebut dirinya Pendekar Penjaga 

Langit itu?" Sergah Andika selagi prajurit istana itu 

melangkah meninggalkan ruangan.

"Ya. Menteri Parameswara yang memberitahukan-

nya padaku."

"Kenapa, Pendekar Slebor?" tanya Parameswara.

"Pendekar Ulos Sakti, temanku ini, tahu betul sia-

pa orang itu." Andika menoleh kepada Patniraga.

"Ng..., sebenarnya aku tidak bermaksud sama se-

kali untuk membukakan rahasia ini kepada pembesar-

pembesar istana Kerajaan Alengka yang mulia di sini.

Namun sekiranya saya diminta, apa boleh buat...," ja-

wab Patniraga.

"Silakan, Pendekar Ulos Sakti. Kebenaran ini tidak 

perlu kamu tutup-tutupi," kata Prabu Alengka.

Dan Patniraga pun menceritakan semuanya, di-

tambah bukti-bukti yang menguatkan bahwa Pendekar 

Penjaga Langit adalah benar-benar si Baringin yang di-

carinya.

"Sebetulnya aku pun sudah curiga pada Pendekar 

Penjaga Langit itu," tanggap Prabu Alengka setelah 

Patniraga selesai bercerita. "Di hadapan kami kemarin, 

ia mengaku berasal dari daerah Tarakan di Borneo Ti-

mur. Aku sendiri bersahabat dengan raja Borneo Ti-

mur. Aku juga telah beberapa kali berkunjung ke sana. 

Akan tetapi setahuku tidak ada daerah bernama Tara-

kan di sana. Itulah sebabnya aku memerintahkan 

Menteri Keamanan untuk memperhatikan Pendekar 

Penjaga Langit."

"Jadi begini saja," sambung Prabu Alengka. "Pen-

dekar Penjaga Langit akan tiba di sini besok pagi. Nah, 

sebaiknya kalian bertiga istirahat dahulu. Besok saja 

kita selesaikan persoalan ini."

Pendekar Slebor, Mirah, dan Patniraga mengatur-

kan sembah lalu pamit. Mereka diantarkan seorang 

pengawal istana ke kamar masing-masing.

"Aku menduga pertarunganku dengan si Baringin 

akan terjadi lagi dalam beberapa hari ini. An," kata 

Patniraga setelah mereka berdua merebahkan diri di 

kamar.

"Aku rasa juga demikian. Mungkin bisa jadi besok 

saat dia tiba di sini, Ga."

"Berarti aku sama sekali tidak punya kesempatan 

untuk berlatih guna meningkatkan ilmu silatku."

Andika tidak segera menjawab.

"Alah! Selama ini yang menjadi kelemahanmu, ka-

lau kuperhatikan, selalu terpancing masuk ke dalam 

pertarungan jarak dekat. Padahal kamu tidak kuat di 

situ."

"Ah, iya. Di situ memang kelemahanku. An. Se-

baiknya aku bertarung seperti menghadapi si Biludak 

Tengik kemarin saja." 

"Nah, kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan 

sekarang."

"Ya ya ya. Aku tahu sekarang bagaimana menun-

tut balas pada si begajul korup itu!" 

"Apa?" tanya Andika.

Patniraga menoleh pada Andika yang tidur di 

sampingnya.

"Ya, menjaga jarak pertarungan, kan?" 

"Bukan!"

Dahi Patniraga berkerut.

"Wah, talilut juga, nih," kata Andika.

"Apaan, dong?"

"Tidur, tahu!" jawab Andika lalu membelakangi 

Patniraga.

"Ah! Brengsek kau!" maki Patniraga. Telunjuknya 

memukul kepala Andika, lalu berbalik pula membelakangi Andika.

Andika terkekeh-kekeh.

Tak lama kemudian keduanya sudah lelap tertidur 

saking lelahnya.

***

Burung-burung berkicau riang. Udara sangat ce-

rah karena langit biru tak berawan sedikitpun. Alam di 

pagi itu sungguh indah dan menyegarkan istana Kera-

jaan Alengka. Pengawal-pengawal istana menjalankan 

tugas mereka masing-masing dengan semangat.

Prabu Alengka juga telah mengurusi pekerjaannya 

di ruangannya. Ia sedang ditemani oleh Menteri Kea-

manan, Parameswara. Berdua mereka membicarakan 

sesuatu.

"Menurutku, kita seharusnya memanfaatkan ban-

tuan Pendekar Penjaga Langit. Dengan keikutsertaan-

nya akan menambah kemungkinan kita untuk me-

nang, Paduka."

"Ya memang. Tetapi untuk seseorang yang perila-

kunya sudah jelas jelek seperti Pendekar Penjaga Lan-

git ini, aku khawatir di kemudian hari dapat menim-

bulkan pengaruh yang kurang baik bagi kerajaan. Kita 

mesti menghargai setiap sumbangsih orang pada kera-

jaan, Parameswara. Jika terjadi kelak gugatan dari Ke-

rajaan Toba terhadapnya, atau bahkan terhadap kera-

jaan kita. bagaimana?"

"Yah..., itu kan urusan pribadi Pendekar Penjaga 

Langit sendiri. Kita tidak usah ikut campur," jawab Pa-

rameswara.

"Itu berarti sikap kita berpangku tangan saja ter-

hadap seseorang yang telah menunjukkan sikap ke-

pahlawanan bagi Kerajaan Alengka. Sama saja kita ini 

membuang sepah sehabis manisnya kita ambil. Hal itu

tidak memberikan teladan bagi rakyat, sekaligus men-

ciptakan citra yang jelek dalam pandangan kerajaan 

lain."

"Jadi, maunya Prabu bagaimana?"

"Aku ragu untuk menggunakan Pendekar Penjaga 

langit. Toh, tanpa dia kita tetap telah memiliki ke-

mungkinan untuk menang dengan adanya kedua te-

man dari Pendekar Slebor. Asalkan laporan dari mata-

mata kita mengenai jumlah para tokoh persilatan go-

longan hitam yang bersatu itu benar."

"Saya berani menjamin kebenaran laporannya, 

Paduka. Selama ini dia tidak pernah salah dalam men-

jalankan tugas."

"Baiklah. Jadi dengan kematian Biludak Tengik, 

sebagaimana yang diceritakan Pendekar Slebor kema-

rin, berarti sekarang ada lima orang tokoh saja dari 

mereka?"

"Benar, Paduka. Menurut perhitungan Paduka ki-

ta dapat mengatasi mereka?" 

"Bisa."

"Mudah-mudahan saja perhitungan Paduka tidak 

meleset."

"Ya. Mudah-mudahan. Jika tidak, Kerajaan Aleng-

ka bisa celaka."

Seorang prajurit istana masuk.

"Hamba datang memberi laporan, Paduka Prabu," 

katanya sesudah berlutut. "Hamba telah melaksana-

kan tugas yang Paduka Prabu berikan, dan sekarang 

Pendekar Penjaga Langit telah menanti di luar."

"Suruh dia menunggu di luar gerbang istana, dan 

panggil Pendekar Slebor serta kedua temannya."

"Baik, Paduka. Hamba laksanakan."

Parameswara menautkan alis seperginya prajurit

itu.

"Aku tidak mau istana menjadi ajang, seandainya

nanti kedua orang seberang itu berkelahi jika bertemu 

muka," Prabu Alengka langsung memberi jawaban, 

seolah mengerti keterheranan Parameswara.

***

"Bangun! Bangun, An! Sudah siang, nih," Patnira-

ga mengguncang-guncangkan tubuh Andika yang ma-

sih ngorok.

"Aaahhh!" Andika menepiskan tangan Patniraga 

lalu berbalik menghadap dinding. Ia sedang bermimpi 

bercumbu dengan Mirah ketika Patniraga memban-

gunkannya. Sudah barang tentu ini adalah mimpi yang 

indah. Sayang untuk tidak dituntaskan.

"Eeeh..., kita dipanggil menghadap Paduka Prabu, 

tuh!"

"Sebodo! Aku lagi asyik, nih!" jawabnya sambil be-

rusaha meneruskan mimpinya. Lagi pula ia menyang-

ka Patniraga sedang mempermainkannya.

"Susah amat nih orang dibangunin," gerutu Patni-

raga.

Mirah masuk ke dalam kamar membawa segelas 

minuman untuk Andika! Patniraga sendiri telah mi-

num sejak bangun tadi.

"Eh, belum bangun juga ya, Ga?" tanya Mirah pa-

da Patniraga.

Mendengar suara Mirah yang khas di telinga An-

dika, maklum, bibir dan mulut Mirah pernah begitu

dekat dengan kupingnya kemarin dulu saat Patniraga 

bertarung dengan Biludak Tengik, ia segera melompat 

bangun.

"Sudah. Sudah bangun, kok," katanya.

Tentu saja Mirah jadi tersenyum, sementara Patni-

raga malah cemberut.

"Huh.. Paling-paling kau ini. Sampai kuguncang

guncang pun tak mau bangun. Eeh, ini dengar suara 

Mirah saja langsung lompat."

Andika mengedipkan sebelah matanya pada Patni-

raga.

"Mengerjapkan mata pula kau. Nggak berguna ba-

giku cara begitu," kata Patniraga lalu ngeloyor.

"Hei! Mau ke mana pula kau?" tanya Andika meni-

rukan logat bicara Patniraga.

"Kencing!"

"Hik... hik... hik...." Andika tertawa geli.

"Sudah, sudah," sela Mirah. "Kenapa sih baru 

bangun, An? Capek sekali, ya?"

"Oh? Iya, iya!" Andika mengiyakan cepat-cepat. 

Malu hati dia mengingat mimpinya di hadapan Mirah.

Mirah duduk di pinggir tempat tidur dan menyo-

rongkan bak minuman pada Andika. "Ini minum dulu."

Andika mengambil gelas itu. Mulutnya segera in-

gin tersenyum, ditahannya. Heran, kecenderungannya 

untuk menggoda setiap kali berdua dengan Mirah be-

sar sekali.

"Nanti, habis itu, cepat-cepat ganti pakaian. Pa-

duka Prabu memanggil kita, lho," tambah Mirah.

"Eehm! Eeehm...!" Jelas sekali Andika mendehem 

dibuat-buat sebelum menghirup minumannya.

"Kenapa, sih?" tanya Mirah.

"Nggak. Nggak kenapa-napa. Cuma, perasaanku 

mau minum kali ini kok berbeda, ya?"

"Berbeda kenapa?"

"Iya. Rasanya waktu minum, aku ini merasa su-

dah punya pacar, ya."

"Ya, ampun! Kau ini benar-benar orang yang gede 

rasa, deh."

"Oh? Begitu, toh?" jawab Andika dengan wajah 

yang diblo'on-blo'onkan.

"Awas kamu! Lain kali aku tidak mau kasih mi

numan lagi."

"Waduh. Jangan sadis begitu dong, Mir...."

"Nggak! Aku nggak mau!"

"Hei, hei, hei! Apa-apaan ini ribut-ribut pagi-pagi 

begini?" Patniraga telah kembali dari belakang.

Mirah langsung keluar dari kamar itu.

"Tahu, tuh," jawabnya sekenanya.

Patniraga menoleh kepada Andika.

"Ah, kau...," kata Andika meraih pakaiannya. "Ce-

pat benar kau kencing!"

Patniraga jadi bengong.

Andika, Mirah, dan Patniraga memasuki ruangan 

memenuhi panggilan Prabu Alengka. Mereka bertiga 

menghaturkan sembah pada sang Prabu. Prabu Aleng-

ka memperhatikan sebentar tampang Andika yang ma-

sih kusut karena baru bangun tidur dan belum mandi.

"Pendekar Penjaga Langit sudah datang dan aku 

menyuruhnya menunggu di luar gerbang istana," kata 

Prabu Alengka tidak mempedulikan Andika lagi. "Aku 

telah memutuskan untuk menolak tawaran bantuan-

nya."

"Maksudku memanggil kalian adalah untuk ber-

sama-sama menemuinya. Tetapi kalau boleh aku 

berpesan, hindarilah dahulu bentrokan. Karena yang 

terpenting sekarang adalah memusatkan perhatian ki-

ta untuk membereskan para tokoh persilatan aliran hi-

tam itu."

Patniraga maju selangkah ke depan serta menjura 

dengan kaku.

"Terima kasih sebelumnya atas perhatian Prabu," 

katanya. "Akan tetapi kalaulah cuma si Baringin seo-

rang, aku sanggup menghadapinya."

"Aku percaya. Yang kumaksud, kalau bisa dihin-

dari, ya dihindari."

Patniraga menjura kembali dengan kaku.

"Mengertilah, Prabu. Ini adalah urusanku dan Ke-

rajaan Toba dengan si Baringin."

"Masih ada waktu lain untuk membereskan uru-

sanmu itu, Patniraga. Aku khawatir kau kenapa-napa 

sebelum kita memerangi orang-orang sesat yang mene-

ror rakyatku. Dan bukankah kau sendiri yang menga-

takan padaku kemarin bahwa kau siap membantu 

Pendekar Slebor dalam urusan ini?" Prabu Alengka 

mendesak.

Untuk ketiga kalinya Patniraga menjura kaku. 

Andika dan Mirah tersenyum melihatnya berkali-kali 

menjura. Orang seberang ini berusaha beradaptasi 

dengan kebiasaan orang-orang di sini ketika berhada-

pan dengan raja, tetapi berlebihan.

"Mengertilah, Prabu. Aku siap membantu. Tetapi 

harus kunomor satukan dulu urusanku yang ini." Pat-

niraga tidak kalah kerasnya melawan desakan Prabu 

Alengka.

Prabu Alengka menggeleng-gelengkan kepala.

"Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita pergi ke 

luar."

Para pengawal khusus Prabu mengiringi beliau ke-

luar dari gerbang istana. Di belakangnya berjalan Men-

teri Keamanan Parameswara dan Panglima Andipati. Di 

luar gerbang Pendekar Penjaga Langit dengan sabar 

menanti.

Pendekar Penjaga Langit segera menghaturkan 

sembah.

"Berdirilah, Pendekar Penjaga Langit. Maafkan ka-

lau aku menyuruhmu menunggu di luar gerbang ista-

na. Tentu kamu heran. Sebabnya adalah karena aku 

ingin mempertemukanmu dengan seseorang."

Pendekar Penjaga Langit terpaku sejenak.

"Siapakah dia gerangan, Paduka Prabu?"

"Panggil mereka, Panglima Andipati."

Panglima Andipati memberi aba-aba. Keluarlah 

mereka bertiga. Andika, Mirah, dan Patniraga.

Pendekar Penjaga Langit terkesiap. Tak disang-

kanya akan bertemu kembali dengan orang yang dira-

sakan mengganggu rencana dan ketenangannya. Ia te-

lah berharap sekali dapat menjalin hubungan yang 

baik dengan Prabu Alengka, sehingga kalau terjadi se-

suatu atas dirinya di kemudian hari akan dapat me-

minta perlindungan sang Prabu. Tetapi baru saja hal 

itu akan dimulai, ia telah merasa pula akan hancur be-

rantakan dengan kemunculan manusia satu ini.

"Ini lagi, ini lagi!" Maki Pendekar Penjaga Langit.

"Jaga sikapmu di depan Prabu, Pendekar Penjaga 

Langit," Parameswara memperingatkan.

"Ampuni hamba, Paduka Prabu. Tetapi firasat 

hamba segera mengatakan pasti ada yang tak beres. 

Pasti orang yang mengaku Pendekar Ulos Sakti itu 

mengatakan yang macam-macam pada Paduka Prabu 

tentang diriku."

"Memang benar, Pendekar Penjaga Langit," jawab 

Prabu Alengka. "Tetapi ia berbicara dengan bukti-bukti 

yang kuat. Ia mengenalmu karena cukup sering berca-

kap-cakap denganmu di istana Kerajaan Toba. Ia juga 

mengenalmu karena kamu khilaf dan menggunakan 

jurus pukulan 'Tenaga Langit' sewaktu bertarung den-

gannya tempo hari."

Air muka Pendekar Penjaga Langit yang semula 

tampak garang meluruh. Ia menggunakan jurus maut 

tersebut karena menyangka Patniraga tidak sanggup 

lagi menghindari pukulannya kala itu. Namun Andika 

datang menahan pukulannya serta membawa kabur si 

Patniraga. Malangnya, ia sama sekali tidak berpikir ka-

lau-kalau pukulannya itu justru menjadi tanda yang 

kuat bagi Patniraga untuk mengenalinya!

"Kau juga telah berani membohongiku, Pendekar

Penjaga Langit," sambung Prabu Alengka. "Kau menga-

takan berasal dari daerah Tarakan di Borneo Timur. 

Kau tidak tahu bahwa aku bersahabat baik dengan Ra-

ja Borneo Timur dan telah beberapa kali berkunjung ke 

sana. Aku tidak pernah mendengar ada daerah Tara-

kan di sana."

Makin lemaslah tampang Pendekar Penjaga Langit 

mendengar perkataan-perkataan Prabu Alengka yang 

menguliti dirinya.

"Mati aku! Tak ada lagi yang bisa kupertahankan 

kalau sudah begini," Pendekar Penjaga Langit memba-

tin.

Tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya tegak 

lurus ke langit. Melihat gelagat yang sudah dimenger-

tinya, Andika berseru kepada Prabu Alengka.

"Cepat minggir, Paduka!"

Menteri Parameswara yang paling dekat dengan 

Prabu Alengka segera menariknya.

Tangan Pendekar Penjaga Langit bergerak melan-

carkan pukulan 'Tenaga Langit' ke arah Patniraga.

"Matilah kau, Pengacau!"

Andika cepat melompat untuk mengulangi apa

yang dilakukannya tempo hari, yakni menahan puku-

lan Pendekar Penjaga Langit. Maksudnya ia ingin men-

cegah terjadinya pertarungan, sehingga keinginan Pra-

bu Alengka agar menghindari bentrokan dapat terca-

pai. Perlu diketahui bahwa Parameswara adalah seseo-

rang yang juga memiliki ilmu yang cukup tinggi. Jika 

tidak, Prabu Alengka tentu tidak memilihnya menjadi 

Menteri Keamanan. Perkiraannya ia masih sanggup 

menahan pukulan Pendekar Penjaga Langit itu. Pikir 

Andika, paling banter dia akan terhuyung-huyung

mundur.

Tetapi apa yang terjadi? Ketika kekuatan dari ke-

dua tangan mereka beradu..

Jeleger!

Terciptalah sebuah pijaran biru yang menyilau-

kan. Kekuatan pukulan 'Tenaga Langit' yang amat 

dahsyat mendorong kekuatan pukulan Parameswara 

kembali. Tenaga pukulannya jelas lebih lemah dari 

yang dilontarkan Pendekar Penjaga Langit.

Andika yang sama sekali tidak memperhitungkan 

akan demikian jadinya, menjadi sasaran pukulan Pen-

dekar Penjaga Langit.

"Hhhk!"

Ia terjengkang sekitar delapan tombak jauhnya ke 

belakang. Memang tenaga dalam yang tersalur lewat 

pukulannya menahan laju kekuatan pukulan 'Tenaga 

Langit' serta agak mengurangi kedahsyatan pukulan 

itu. Meski begitu tak urung kepalanya berkunang-

kunang dan sulit bernapas. Andika megap-megap, seo-

lah memburu oksigen tipis agar masuk ke dalam paru-

parunya. Dalam keadaan begini ia berharap seperti bi-

asanya ada kekuatan alam yang datang menolong. 

Namun sampai Mirah mendekati untuk memberi perto-

longan, sia-sia ia berharap.

Pendekar Penjaga Langit kembali melontarkan pu-

kulan mautnya kepada Patniraga. Lelaki itu sendiri se-

gera meloloskan ulos dari pundak dan berkelebat 

menghindar.

Bruaaak!

Tanah tempat Patniraga berdiri tadi terbongkar 

menjadi lobang menganga. Gumpalan-gumpalan tanah 

beterbangan. Batu-batu kecil yang ada di situ hancur 

menjadi pasir dan menerpa Prabu Alengka yang berada 

beberapa tombak jauhnya. Panglima Andipati serta Pa-

rameswara sibuk membersihkan pakaian Prabu Aleng-

ka, kemudian menariknya lebih jauh lagi.

Ctaaar!

Patniraga mulai mengkepretkan senjata ulosnya.

"Aaakh!" jerit Pendekar Penjaga Langit dan orang-

orang yang berada di situ. Gerbang istana bergetar ter-

kena gelombang suara ulos. Andika dapat melindungi 

gendang pendengarannya, tetapi Parameswara yang 

sedang kepayahan itu tambah tersiksa akibat suara 

kepretan ulos sakti.

Ctaaar!

Lagi-lagi orang-orang di situ menjerit. Tidak terke-

cuali Andika yang sedang tidak berdaya. Ia sampai ja-

tuh pingsan.

"Patniraga! Tahan kepretanmu!" teriak Mirah. 

"Aku ingin menolong Andika."

Mendengar seruan Mirah itu, Pendekar Penjaga 

Langit merasa mendapat angin. Ia segera merangsek 

maju untuk menciptakan pertarungan jarak pendek. 

Patniraga jadi merasa serba salah. Kalau ia menjaga 

jarak dan menggunakan ulos terus, Andika bisa-bisa 

tidak tertolong. Kalau ia tidak menggunakan ulosnya, 

si Baringin akan dapat menekan untuk bertarung da-

lam jarak dekat. Dan itu berarti lama-kelamaan ia 

akan mengalami kekalahan untuk kedua kalinya.

Akan tetapi tampaknya Patniraga lebih memilih 

untuk tidak menggunakan ulos. Karena itu dia mem-

biarkan si Baringin menyerang dalam pertarungan ja-

rak dekat. Ia berharap dapat bertahan hingga Mirah 

selesai menolong Andika. Setelah itu barulah ia akan 

kembali menjalankan rencananya.

Mirah memusatkan perhatiannya kembali meno-

long Andika dengan menyalurkan hawa panas ke da-

lam dada Andika guna melonggarkan kembali dari rasa 

sesak, sehingga paru-parunya dapat bekerja normal. 

Mata Mirah terpejam. Telapak tangannya berada di 

atas dada Andika yang telentang. Dari situ mengepul 

asap putih tipis. Sedikit demi sedikit pori-pori kulit Mi-

rah mengeluarkan keringat.

Patniraga menghindar dan menyerang. Tangan, 

kaki maupun tubuhnya bergerak lincah. Tetapi tam-

paknya ke mana pun dia bergerak selalu saja dapat di-

ikuti oleh Baringin. Seolah-olah Baringin ingin berusa-

ha menempel Patniraga. 

Jurus demi jurus dilewati. Berpuluh-puluh jurus. 

Kala itulah Patniraga mulai merasakan dirinya terde-

sak oleh serangan-serangan Baringin. Makin lama ia 

makin merasa terdesak. Kekhawatiran mulai tumbuh 

di hatinya. Ia melihat sempitnya peluang untuk me-

nang. Sementara itu ia melirik Andika masih saja be-

lum siuman dan Mirah masih terus menyalurkan hawa 

panas padanya. Otak Patniraga berpikir keras sambil 

menghindar kesana kemari. Ulos sama sekali tidak be-

rarti karena tidak dipergunakan.

Dalam keadaan begitu akhirnya Patniraga mengi-

kuti nalurinya sebagai manusia yang sedang diancam 

maut. Ia mengemposkan tenaga dalam ke pita suara 

dan berseru,

"Andika!"

Pada saat berseru, kewaspadaan Patniraga melo-

rot. Akibatnya sebuah sapuan kaki Baringin mengha-

jar kakinya. Beruntung ia sudah menduga kemungki-

nan itu, sehingga ketika menjadi gamang ia segera 

menggenjot kaki yang satu lagi untuk lompat meng-

hindar gebrakan tangan Baringin ke arah tubuhnya.

Namun demikian Baringin terus mengejar mengi-

kuti kemana pun arah Patniraga melesat. Patniraga 

meloncat sekali lagi begitu kakinya menyentuh tanah 

untuk meyakinkan dirinya semakin aman untuk men-

gatur posisi pertahanan kembali.

Ada pun serangan Patniraga yang berisi tenaga 

dalam itu berhasil mengusik kuping Andika. Mula-

mula ia merasa seperti ada orang yang memanggil, 

kemudian membuka mata. Ia siuman!

"Nghh...," Andika mengerang sebentar sebelum in-

gatannya kembali pada apa yang tengah terjadi.

Ia melihat Mirah masih berkonsentrasi menolong. 

Diangkatnya kepala lalu berputar melihat sekeliling. 

Penglihatannya segera tertancap pada pertarungan 

yang kini tampak tidak seimbang itu. Otaknya berpikir 

keras. Berpikir keras!

Ia mencengkeram kedua tangan Mirah. Hal ini 

membuat Mirah membuka kedua kelopak mata.

"Bawa aku ke istana! Bawa aku ke dalam istana!" 

teriaknya sambil berusaha menggelayut pada pundak 

Mirah. Tubuhnya masih terasa lemah. Pertolongan Mi-

rah belum cukup.

Parameswara mendengar, lalu dengan sigap 

menghampiri dan tanpa berpikir panjang menggotong. 

Andika segera berpaling pada Patniraga dan berteriak 

kembali menggunakan tenaganya yang masih ada.

"Patniraga! Gunakan ulosmu sekarang!" Setelah 

itu kepalanya terkulai. Ia pingsan kembali.

Parameswara berlari-lari membawa tubuh Andika 

masuk ke istana lewat gerbang. Mirah, Prabu Alengka, 

Panglima Andipati, dan para pengawal khusus Prabu 

mengikuti langkah Parameswara.

Patniraga mendengar suara teriakan Andika. Ia

juga sempat melihat iring-iringan orang-orang itu me-

masuki istana. Ada perasaan lega menghalau sekaligus 

kekhawatiran yang telanjur membesar.

"Inilah saatnya," pikir Patniraga.

Ia mulai berusaha melepaskan diri dari tempelan 

Baringin. Tetapi tidak semudah yang dikiranya. Barin-

gin, yang juga mendengar teriakan Andika serta meli-

hat pula mereka berlarian ke dalam istana, mengerti 

apa yang akan terjadi. Ia mengerti bahwa dengan ber-

lindung di dalam tembok istana mereka akan selamat 

dari gangguan suara kepretan ulos Patniraga. Ia tahu

strategi apa yang akan dijalankan lawan kemudian. 

Sebab itulah Baringin justru makin mempergencar se-

rangan. Gerakan tangan dan kaki, bahkan kepalanya, 

bertubi-tubi mengarah kepada Patniraga.

Patniraga kewalahan lagi. Untuk sedikit memper-

tahankan posisinya agar tidak semakin terdesak, ia 

melompat kesana kemari, meski ia tahu si Baringin 

akan terus mengikuti dan berupaya menyarangkan 

pukulan. Walaupun Andika telah dibawa ke tempat 

yang aman, hingga kini Patniraga belum dapat meng-

gunakan ulosnya.

Melihat begitu serius wajah si Baringin dalam 

mempergencar serangan, akhirnya Patniraga mendapat 

akal. Ia meladeni serangan Baringin sambil bergerak 

mundur mendekati sebuah pohon yang pendek dan le-

bat daunnya. Hingga didekat pohon itu, ia membiarkan 

dirinya semakin terdesak sambil berharap-harap ce-

mas menantikan sebuah pukulan Baringin yang tepat.

Ketika Baringin melihat tubuh Patniraga yang di-

biarkan lowong, ia melancarkan pukulan cukup berte-

naga. Inilah yang ditunggu-tunggu Patniraga. Pancin-

gannya mengena. Cepat ia berkelit dan tangan kirinya 

yang kosong memegang batang pohon.

Pukulan Baringin mengenai batang pohon itu.

Kraaak! 

Patniraga menarik batang pohon yang telah patah 

itu ke arah Baringin. Rerimbunan daunnya tepat men-

garah kepada Baringin yang kaget. Sudah barang , ten-

tu yang dilakukan Patniraga ini mengharuskan Barin-

gin loncat agak jauh, supaya terhindar dari terpaan 

daun-daun yang lebat dan rerimbunannya yang lebar 

itu. Perhatian Baringin agak buyar. Patniraga sendiri 

melihat ke arah mana Baringin akan loncat menghin-

dar, lalu secepat kilat ia meloncat pula ke arah berlawanan.

Terlepaslah Patniraga dari tempelan Baringin!

Ctaaar!

Suara kepretan ulos menggema lagi.

"Aaakh!" jerit Baringin. Ia segera menyalurkan te-

naga dalam ke telinga untuk melindungi gendang pen-

dengaran.

Ctaaar! Ctaaar! Ctaaar! 

Suara kepretan ulos berkesinambungan. Baringin, 

si Pendekar Penjaga Langit, tidak beranjak dari tem-

patnya. Patniraga menatap tajam. Selangkah demi se-

langkah ia maju. Debu dan pasir yang beterbangan ke 

arah Baringin dari tanah karena kepretan ulos, mem-

buatnya memejamkan mata. Ia meraba setiap gerakan 

Patniraga dengan daun telinga.

Kali ini Patniraga tidak menyerang dengan tangan 

kiri, seperti yang sudah-sudah. Ia mengkepretkan saja 

senjatanya ke arah Baringin. Serangan yang lain dari 

sebelumnya ini dihindari Baringin dengan bersalto ke 

belakang. Tetapi Patniraga memburu dan menghan-

tamkan ulosnya lagi. Baringin melompat ke belakang 

lagi. Hingga serangan ulos yang keempat kalinya, Ba-

ringin mengubah taktik sedikit. Ia tidak lagi menghin-

dar mundur ke belakang melainkan ke samping, sete-

lah itu ia berusaha cepat masuk menyerang balik dan 

menempel Patniraga.

Taktik ini mudah dicium. Begitu Baringin hendak 

masuk, Patniraga pun cepat menarik dirinya dan 

mengkepretkan ulos. Cara ini bukan saja dapat mem-

pertahankan jarak renggang, juga dapat mengusir Ba-

ringin yang mau masuk sekaligus mengancam nya-

wanya, Strategi ini tetap dijalankan Patniraga setiap 

kali Baringin hendak masuk. Akibatnya Baringin ke-

bingungan.

Akhirnya Baringin menggenjotkan sekuat-kuatnya 

tubuhnya untuk sebisa mungkin membuat jarak antara mereka sejauh-jauhnya. Memang Patniraga segera 

memburunya, tetapi ia punya kesempatan yang cukup 

untuk menegakluruskan tangan kanannya ke langit!

Derrr!

Pukulan 'Tenaga Langit' dilepaskan. Patniraga 

yang sedang memburu ke arah Baringin terpaksa ber-

kelit. Pukulan 'Tenaga Langit' dilepaskan lagi. Patnira-

ga berkelit lagi, tetapi ia berkelit sambil bergerak maju. 

Sampai pada jarak yang memungkinkan ia mengkepret 

lagi. Mengkepret lagi. Mengkepret lagi. Bertubi-tubi 

dengan cepat. Patniraga merasa ia harus melakukan 

taktik ini meskipun lebih menguras tenaga, agar tidak 

memberi kesempatan bagi Baringin mengambil tenaga 

maut dari langit.

Kini giliran Baringin yang merasa terdesak. Dalam 

pertarungan jarak dekat ia di atas angin, tetapi kini ia 

sadar bahwa lawan telah mengetahui bagaimana cara 

untuk memaksanya bertarung jarak jauh. Gendang 

pendengarannya juga telah terasa sakit dan berdenyut-

denyut. Ini dikarenakan konsentrasinya telah benar-

benar terpecah-pecah. Ia merasa demikian repot 

menghindari kepretan ulos Patniraga.

Hingga suatu ketika, Baringin menggenjot kembali 

dirinya sekuat tenaga. Patniraga menyangka Baringin 

bermaksud lagi mencari kesempatan mengambil 

'Tenaga Langit'nya, karena itu ia terus memburu. Te-

tapi ternyata Baringin menggenjot kembali tubuhnya 

berulang-ulang, lalu berlari dengan kecepatan yang 

tinggi. Patniraga berusaha mengejar, tetapi kecepatan 

berlarinya tidak dapat menandingi Baringin.

Patniraga jadi teringat pada Togap, adik si Barin-

gin, yang dapat berlari demikian cepat sehingga ka-

dang hanya dapat dilihat bayangannya saja.

"Dasar kalian abang-beradik sama saja! Licik! Ka-

lau sudah terjepit, jadi tukang lari semua!" teriak Patniraga. Dia berharap Togap ada di sekitar situ sedang 

memata-matai.

Patniraga segera teringat pada Andika. Sudah ba-

gaimanakah dia? Ia bertanya dalam hati. Pertanyaan 

itu membuatnya membalikkan tubuh lalu berlari me-

nuju istana Kerajaan Alengka.

"Semoga tak ada sesuatu yang tak kuharapkan 

terjadi," bisiknya tiga kali dalam benak.

***

8


Dimanakah Togap sekarang berada?

Sama seperti abangnya, si Baringin, ia juga se-

dang berlari. Cuma kalau Baringin berlari untuk kabur 

dari kekalahan pertarungan dengan Patniraga, Togap 

berlari untuk melaksanakan akal yang telah dipikir-

kannya.

Betapa kecewa hatinya melihat kekalahan abang-

nya. Apalagi menyaksikan abangnya lari tunggang-

langgang menyelamatkan diri. Melihat pertarungan ba-

rusan, ia kehilangan harapan bahwa abangnya akan 

bisa mengalahkan Patniraga. Hampir pasti, pikirnya, si 

Patniraga akan segera mengejar Baringin. Sudah ba-

rang tentu tak ada orang yang mau kehilangan begitu 

saja sesuatu yang telah dicari-carinya selama dua ta-

hun, bukan?

Siapa lagi sekarang yang dapat menolong abang-

nya? Dirinya? Wah, Togap hanya mempunyai kelebi-

han dalam ilmu meringankan tubuh yang tinggi, lain 

tidak. Ia tidak memiliki jurus-jurus maut yang dapat 

diandalkan, seperti abangnya. Pun juga ia tidak memi-

liki kepintaran seperti abangnya yang diperlukan dalam pertarungan-pertarungan. Keberaniannya juga ku-

rang.

Terkadang ada juga akalnya. Tetapi itu tidak cu-

kup. Cuma akal-akalan, demikian ia suka mengeluh. 

Andaikata otaknya cukup pintar, maka ia juga akan 

seperti abangnya menjadi pejabat kerajaan Toba. Kala 

itu ia merasa cukup bangga memiliki seorang abang 

yang menjadi pembesar. Tidak jarang ia menyombong-

kan di depan teman-temannya.

Tetapi setelah abangnya melarikan diri, sirnalah 

semua kebanggaan maupun harapan-harapan yang ia 

impikan pada diri abangnya. Harapan-harapan dalam 

hidup, terutama materil. Yang ada dalam pikirannya 

waktu itu, ia harus membantu si abang. Apa yang da-

pat dilakukannya, akan dilakukannya untuk memban-

tu si abang.

Itulah pikiran yang terngiang-ngiang dalam be-

naknya ketika berlari. Berlari sekencang-kencangnya.

"Aku harus mencegah Pendekar Ulos Sakti! Aku 

harus dapat mencegah!" Kalimat-kalimat ini memacu 

semangatnya untuk terus berlari tanpa menghiraukan 

lelah. Dikerahkannya ilmu meringankan tubuh setara 

maksimal.

Ia terus berlari. Terus berlari, menuju tempat yang 

rasanya menjadi tumpuan harapannya yang terakhir. 

Tempat yang diketahui dari menguping percakapan an-

tara Mirah dengan Pendekar Slebor, setelah Patniraga 

menamatkan riwayat Biludak Tengik. Tempat yang lo-

kasinya telah diketahuinya dari bertanya pada orang-

orang di sini, sambil terus memata-matai Patniraga. 

Tempat yang bernama Bukit Dedemit!

***

"Dimana Pendekar Slebor berada?" tanya Patnira

ga tergopoh-gopoh pada seorang prajurit istana. 

"Di ruangan sana."

Ia setengah berlari menuju ruangan yang ditun-

jukkan prajurit itu.

"Hei, Patniraga! Syukurlah kamu selamat. Bagai-

mana nasib Pendekar Penjaga Langit?" tanya Andika 

begitu Patniraga memasuki kamar. Andika duduk di 

pinggir tempat tidur. Kain caturnya masih tergantung 

di leher. Mirah berada di dekatnya sambil memegang 

segelas air.

"Syukurlah kau sudah sembuh."

"Ah, kau ini. Dia ini tak apa-apa," Andika latah 

menirukan logat Patniraga. "Aku bertanya, kau jawab-

lah...."

"Belum pula aku berhasil menamatkannya, An."

"Wuah! Bagaimana pula kau ini?"

"Dia lari, An. Setelah semakin terdesak dia melari-

kan diri."

"Melarikan diri? Ya, kejarlah...."

"Sudah kukejar. Tetapi larinya lebih kencang dari 

aku. Itu abang-adik memang jago-jago lari mereka."

"Kalau begitu, besok kita harus latihan lari cepat 

rupanya, ya." Andika tertawa.

"An! Kamu ini bagaimana, sih? Orang si Patniraga 

serius begitu, kamu malah ketawa." Mirah menegur 

Andika.

"Uf! Ada yang marah rupanya, Ga. Jadi bagaimana 

maumu sekarang?"

"Entahlah. Yang penting kau sembuh dululah."

"Aku sudah sembuh. Sekarang bagaimana?"

"Bagaimana? Kalaupun kucari, kucari kemana 

dia? Dia dapat kabur ke mana pun dia mau."

Andika terdiam.

Prabu Alengka masuk ke dalam kamar. Ia mengu-

langi pertanyaan Andika lalu dijawab sama dengan Patrinaga.

"Jadi bagaimana sekarang, Patniraga?" tanya Pra-

bu Alengka.

"Kami sedang pikirkan, Prabu," jawab Patniraga.

"Kupikir," kata Andika menyela. "Saat ini dia pasti 

menuju padepokannya di Perguruan Kemangi Sariadi. 

Kesanalah kamu harus kejar, Ga."

"Kau yakin?"

"Aku yakin! Ayo cepat kita pergi! Siapa tahu se-

sampainya disana, dia segera berkemas-kemas untuk 

kabur lagi."

"Aku rasa tidak perlu terburu-buru," potong Prabu 

Alengka. "Perjalanan ke sana dengan berjalan kaki 

memakan waktu satu harian. Paling Pendekar Penjaga 

Langit baru sampai esok pagi. Walaupun Pendekar 

Slebor telah sembuh, akan lebih baik kalau beristira-

hat sejenak untuk memulihkan tenaga. Kalian bisa be-

rangkat nanti sore dengan mengendarai kuda. Kalian 

cukup berjalan setengah hari untuk mencapai Keman-

gi Sariadi. Jadi, begitu Pendekar Penjaga Langit tiba di 

sana, kalian pun tiba."

"Aku rasa itu lebih baik, An. Kau beristirahatlah 

dulu."

"Benar, An. Lebih baik begitu," tambah Mirah yang 

mengkhawatirkan keadaan Andika.

"Baiklah kalau demikian halnya," jawab Andika.

"Aku juga akan memerintahkan salah seorang 

panglimaku untuk menyertai kalian dengan lima puluh 

orang prajurit. Mereka akan membawa pesanku pada 

rakyat dan murid-murid Kemangi Sariadi supaya tidak 

ikut campur, agar tidak terjadi pertumpahan darah 

yang lebih banyak."

"Terima kasih, Paduka." Mirah dan Andika menju-

ra.

Melihat kedua sobatnya berbuat demikian, Patni

raga pun segera menjura. Masih tetap kaku. "Terima 

kasih, Prabu."

"Sampai nanti sore," kata Prabu Alengka sebelum 

mengundurkan diri dari kamar itu.

Sepeninggal Prabu Alengka, Andika menggeret 

tangan Patrinaga ke dekatnya.

"Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu 

dari pengalamanku menahan pukulan 'Tenaga Lan-

git'...."

***

Tepat ketika hari telah gelap, Togap tiba di Bukit 

Dedemit. Ia berjalan mengendap-endap mendekati 

markas para tokoh persilatan golongan hitam itu. Di-

amatinya bahwa penjagaan di tempat itu begitu ketat. 

Nampak para murid dari seluruh tokoh aliran gelap 

yang menjaga setiap sudut.

Togap berpikir sebentar, apa yang harus dilaku-

kannya. Tak lama kemudian ia bangkit dari persem-

bunyian serta menunjukkan diri pada salah seorang 

penjaga.

"Salam, wahai sobatku," sapanya.

"Siapa itu?!" Penjaga itu bertanya dengan meng-

hardik. Ia segera bersiaga.

"Aku ini kawan, bukan lawan. Aku membawa ka-

bar bagi para tokoh persilatan golongan hitam di sini 

tentang Pendekar Slebor. Bawalah aku bertemu den-

gan pemimpinmu."

Dua orang penjaga lain datang ke situ karena 

mendengar suara hardikan rekannya. Mereka menga-

mati Togap dengan seksama.

"Siapa namamu?!"

"Namaku Togap. Aku mengetahui di mana Pende-

kar Slebor sekarang berada. Aku ingin memberitahu

kannya pada para tokoh persilatan golongan hitam di 

sini."

"Bicaramu seperti orang dari seberang. Bagaimana 

kami bisa percaya?"

"Janganlah pandang aku dari seberang atau tidak. 

Yang penting aku membawa kabar penting yang kalian 

perlukan. Bukankah kalian menginginkan Pendekar 

Slebor? Aku tidak akan berani berbohong, sebab kalian 

bisa membunuhku di tempat ini dengan mudah."

Masih cukup lama mereka bertiga mengamati To-

gap, sebelum bersedia mengantarkannya pada para 

guru mereka.

Jasad Dedemit, Lampor Ireng, Malaikat Siluman, 

dan Nyi Bengis, serta Betot Nyawa sedang berkumpul 

mengelilingi api unggun di halaman.

"Guru, ini ada orang yang datang mengaku tahu 

di mana Pendekar Slebor berada. Ia ingin memberita-

hukan pada Guru," salah seorang dari ketiga murid itu 

berbicara.

Serentak kelima tokoh golongan hitam itu menen-

gok pada Togap.

"Namaku Togap. Aku ini orang seberang. Tetapi 

mohon jangan curigai aku," cepat-cepat Togap menje-

laskan setelah pengalaman dengan ketiga murid tadi. 

"Aku datang sebagai kawan dengan maksud baik."

"Cepatlah katakan di mana Pendekar Slebor!" kata 

Nyi Bengis.

"Tenanglah sedikit, Nyi Bengis," kata Jasad Dede-

mit.

"Pendekar Slebor sekarang berada di istana Kera-

jaan Alengka. Dia baru saja tiba di sana kemarin du-

lu."

"Dari mana kamu tahu dia ada di sana?" selidik

Jasad Dedemit.

"Aku tahu karena aku mengikutinya."

"Mengapa kamu mengikutinya?"

"Aku memang mempunyai dendam padanya. Ia te-

lah membunuh ayahku, dan aku ingin dia mati." Togap 

berbohong.

Ia merasa harus menutupi maksudnya yang sebe-

narnya. Ia takut ketahuan sedang berusaha mempera-

lat kelima tokoh persilatan golongan hitam itu. Menu-

rut perkiraannya, jika mereka pergi menemui Pendekar 

Slebor maka mereka juga akan bertemu dengan si Pat-

niraga dan perempuan bernama Mirah itu. Jika mere-

ka bertarung dengan Pendekar Slebor, maka Patniraga 

tentu akan turut membantu. Menurut perkiraannya 

pula, Pendekar Slebor dan Patniraga tidak akan mam-

pu melawan mereka berlima. Pendekar Ulos Sakti akan

mati di tangan para tokoh persilatan golongan hitam 

ini. Dan dengan jalan itu, ia akan berhasil menyela-

matkan abangnya dari ancaman Pendekar Ulos Sakti.

"Tetapi aku ini tidak memiliki kepandaian silat 

yang tinggi, sehingga tak mungkin aku mengalahkan-

nya. Sebab itulah aku memberitahukan keberadaan-

nya. Aku berharap dia dapat mati di tangan kalian."

"Baiklah," kata Jasad Dedemit. "Tetapi kamu ha-

rus ikut dengan kami. Jika ternyata Pendekar Slebor 

tidak ada di istana Kerajaan Alengka, kau harus me-

nanggung akibatnya!"

"Bagiku yang penting adalah kematian Pendekar 

Slebor. Untuk itu aku siap mempertaruhkan nyawa

sekalipun!" Togap menggertak untuk meyakinkan me-

reka.

"Cuma aku mendengar suatu rencana Pendekar 

Slebor," sambungnya. "Dia hendak pergi ke Kemangi 

Sariadi untuk membinasakan guru dari perguruan itu. 

Aku kurang tahu sebabnya. Jadi aku usulkan kita me-

lewati Kemangi Sariadi terlebih dahulu. Siapa tahu 

Pendekar Slebor telah berada di sana. Jika kita tak

berhasil menemuinya, barulah kita pergi ke istana Ke-

rajaan Alengka."

"Hm. Kau boleh menunjukkan tempat mana saja, 

asalkan kepalamu disediakan jika kami tidak berhasil 

menemuinya," jawab Jasad Dedemit.

"Aku tidak peduli dengan kepalaku," kata Togap 

gembira melihat siasatnya berhasil.

"Mari kita berangkat! Ajak semua murid-murid ki-

ta untuk menghadapi prajurit kerajaan Alengka jika 

diperlukan!" kata Jasad Dedemit seraya bangkit.

***

9


Pendekar Penjaga Langit belum lama melepaskan 

lelah di pondokannya setelah berjalan pulang seharian 

dari istana Kerajaan Alengka. Dalam kepalanya ia telah 

memutuskan untuk mengambil uang serta miliknya 

yang berharga, kemudian lari ke daerah lain setelah 

beristirahat sejenak di sini.

Ia tengah rebah di tempat tidur ketika mendengar 

suara murid-muridnya ribut di luar.

Seorang murid masuk mendapatkannya.

"Guru, utusan dari istana datang kemari untuk 

membacakan maklumat Prabu Alengka!"

Pendekar Penjaga Langit segera bangun. Ketika ia 

keluar dari pondokannya, Panglima Andrayana telah 

membacakan maklumat didengar oleh seluruh murid 

Perguruan Kemangi Sariadi.

Maklumat.

Dengan ini diberitahukan kepada seluruh rakyat 

Kerajaan Alengka umumnya serta seluruh murid

Perguruan Kemangi Sariadi khususnya, bahwa 

orang yang disebut Pendekar Penjaga Langit se-

sungguhnya bernama Baringin. Dia adalah pelarian 

dari Kerajaan Toba di tanah seberang.

Kesalahan yang telah diperbuatnya adalah me-

larikan uang dari dalam istana Kerajaan Toba, dan 

memperkosa serta membunuh seorang gadis sana. 

Seorang utusan dari Kerajaan Toba, bernama Pen-

dekar Ulos Sakti, telah datang untuk menghukum-

nya.

Dengan ini saya, Prabu Alengka, meminta kepa-

da semua rakyatku umumnya dan murid-murid Per-

guruan Kemangi Sariadi khususnya agar tidak men-

campuri urusan orang-orang seberang ini.

Panglima Andrayana menggulung surat maklumat 

itu.

Langsung saja Perguruan Kemangi Sariadi berge-

muruh oleh suara murid-murid membicarakan isi 

maklumat tersebut. Serentak kemudian mereka berba-

lik dan memandang guru mereka yang masih berdiri di 

teras pondokan. Keadaan menjadi tegang. Mereka di-

hadapkan pada pilihan antara memihak pada raja me-

reka, atau guru mereka.

"Akulah utusan Kerajaan Toba itu!"

Patniraga berjalan memperlihatkan diri ke muka. 

Gemuruh kembali terdengar karena mereka semua te-

lah mengenal siapakah Patniraga setelah kedatangan-

nya tempo hari.

Baringin menjadi panik. Ketika ia menoleh ke 

samping kiri, tampak olehnya Mirah sedang berjalan 

mendekati pondokannya. Ketika menoleh ke samping 

kanan, Andika ada di sana. Mirah dan Andika memang 

sengaja mengatur demikian supaya Baringin tidak da-

pat melarikan diri lagi.

Patniraga melepaskan ulos dari pundaknya. 

Ctaaar!

Mirah tidak bereaksi karena Andika telah terlebih 

dahulu memberikan tenaga dalam untuk melindungi 

gendang pendengarannya. Akan tetapi murid-murid 

Perguruan Kemangi Sariadi dan para prajurit Kerajaan 

Alengka itu menjerit dan berlarian untuk menjauh. 

Kuda-kuda yang ditunggangi prajurit Kerajaan Alengka 

meringkik, melompat, dan lari serabutan.

Baringin belum bergeming dari terasnya. Ia tidak 

mengaduh ketika Patniraga mengkepretkan senjatanya 

karena sudah mengerti kebiasaan Pendekar Ulos Sakti 

itu, dan melindungi gendang pendengarannya dengan 

tenaga dalam.

"Kita tak perlu banyak cakap lagi, Baringin."

Memang Baringin tidak mengeluarkan sepatah ka-

ta pun.

"Majulah!" seru Patniraga.

Perlahan Baringin melangkah maju.

Baringin menegakluruskan tangan kanannya ke 

langit. Patniraga segera bersiap menyambut serangan 

yang akan dibuka Baringin itu. Dengan tenang ia 

menghindar sehingga pukulan 'Tenaga Langit' me-

nyambar tempat kosong.

Tiba-tiba Patniraga melihat Baringin menegaklu-

ruskan tangan kiri juga!

Bruaaak!

Sedikit lagi pukulan Baringin menghancurkan tu-

buh Patniraga. Ia tidak menyangka kalau tangan kiri 

Baringin pun dapat melancarkan pukulan itu. Mirah 

dan Andika pun kaget dibuatnya. Rupanya Baringin 

selama ini sengaja membiarkan Patniraga cuma tahu 

tangan kanannya saja yang mampu melancarkan pu-

kulan 'Tenaga Langit'. Sekarang, dalam keadaan tidak 

ada harapan baginya untuk meloloskan diri, ia mengeluarkan simpanan yang hampir menipu lawan.

Tidak berhenti di situ saja. Baringin bertubi-tubi 

melontarkan pukulan 'Tenaga Langit'nya. Kiri dan ka-

nan bergantian. Lantas saja Patniraga kewalahan 

menghindar. Ia meloncat kesana kemari dipermainkan 

pukulan-pukulan itu.

Baringin mulai melangkah maju mendekati Patni-

raga sambil terus melontarkan pukulannya. Hal ini 

membuat Patniraga semakin terdesak. Ia benar-benar 

tidak siap menghadapi perubahan yang dilakukan Ba-

ringin. Berpikir pun rasanya ia tidak sempat.

Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya 

akan jatuh juga. Begitu juga, sepandai-pandainya Pat-

niraga menghindar, kalau cuma terus-terusan meng-

hindar, akhirnya bisa terkena pukulan Baringin. Saat 

itu Patniraga sudah amat kewalahan. Pukulan terakhir 

itu masih bisa dia hindari dengan susah payah, tetapi 

pukulan berikutnya ia merasa tidak bisa lagi dia elak-

kan. Dalam keadaan panik, Patniraga bergerak mengi-

kuti nalurinya menyelamatkan nyawa. Tangan kanan-

nya mengkepretkan ulos menyongsong pukulan 

'Tenaga Langit' yang sedang menuju kepadanya. Tak 

ayal, dua pukulan maut dari dua orang seberang itu 

beradu. 

Jegeeerrr!

Baringin terjengkang ke belakang. Patniraga pun 

terjengkang. Sedetik keduanya terpana. Patniraga me-

lihat bagian tengah hingga ke ujung dari ulosnya telah 

koyak-moyak. Baringin segera bangkit lagi. Dengan ce-

pat Patniraga juga bangkit. Tetapi dia harus segera me-

loncat kembali menghindari pukulan 'Tenaga Langit' 

yang datang. Ia harus menghadapi serangan Baringin 

yang bertubi-tubi kembali. Dan kewalahan lagi!

Sebenarnya Baringin tadi ingin maju mendekati 

Patniraga sambil mencari kesempatan yang tepat untuk dia masuk dan menempel lawannya. Taktik ini 

yang paling diyakininya, karena ia tahu betul jurus-

jurus Patniraga berada satu tingkat di bawahnya un-

tuk pertarungan jarak dekat. Tetapi Patniraga pun 

menyadari betul kelemahannya dan tidak membiarkan 

Baringin masuk.

Namun dengan pukulan-pukulan yang silih ber-

ganti itu Baringin sudah berada di atas angin. Tidak 

heran jikalau sekali lagi satu pukulan Baringin tidak 

dapat dihindari Patniraga dengan meloncat. Sekali lagi 

ia mengkepretkan ulosnya untuk menahan pukulan 

itu.

Keduanya terjengkang kembali. Namun dengan

ulos yang telah koyak separuh, kekuatan ulos Patnira-

ga berkurang. Bahkan sekarang ulos itu telah koyak 

hampir ke pangkalnya!

Patniraga memegang dadanya. Ia merasa agak se-

sak. Baringin bangkit dan melihat lawannya belum 

sempat berdiri. Ia menggenjot kakinya dan menapak di 

dekat tubuh Patniraga sambil terbahak-bahak. Keme-

nangannya sudah hampir dalam genggaman.

Napas Patniraga nampak berat. Ia berusaha du-

duk sambil terus memegang dadanya. Baringin tidak 

menunggu lama-lama.

"Sekarang pergilah kau ke neraka, Patniraga!"

Baringin telah menegakluruskan tangan kanannya 

ke langit.

Andika menahan napas.

Mirah membuang muka. Ia tidak sanggup melihat 

yang bakal terjadi atas diri Patniraga.

Begitu melihat pukulan 'Tenaga Langit' akan sege-

ra dihantamkan pada Patniraga, Andika menggenjot 

tubuh, mendarat tepat di hadapan Baringin dan me-

nyambut tangannya. Kedua telapak tangan mereka 

berbenturan.

Deeesss...!

Patniraga terhuyung-huyung dan jatuh terduduk 

kembali. Akan tetapi tubuh Baringin terlempar ke be-

lakang sejauh delapan tombak. Inilah yang diberitahu-

kan Andika padanya!

"Jika ada sedikit pun rentang antara tangan kita

dengan tangan si Baringin, kita tak akan kuat mena-

han pukulannya. Tetapi jika kita bisa menapak tepat di 

telapak tangannya, pukulan 'Tenaga Langit' itu akan 

berbalik kepada si Baringin."

Patniraga segera tahu apa yang harus diperbuat 

berikutnya. Ia lagi-lagi menggenjot tubuhnya, melent-

ing, dan bersalto di udara, lalu mendarat di dekat Ba-

ringin yang telah terjajar lemah.

Dalam pandangannya yang tiba-tiba kabur, Barin-

gin masih bisa melihat ulos yang telah berjumbai-

jumbai itu siap diayunkan. Ia segera menggulingkan 

tubuhnya ke samping, sehingga kepretan Patniraga 

sia-sia. Namun upaya Baringin tidak terlalu berarti. 

Kepretan kedua yang secepat kilat kembali dilontarkan 

Patniraga menyambar punggungnya.

"Hhhkkk...!" Suara Baringin seperti tercekik. Ia 

masih bisa merayap dengan payah menjauhi Patnira-

ga. Ulos yang telah koyak-moyak itu tidak lagi memiliki 

kekuatan yang cukup untuk mendatangkan kematian 

dalam sekali kepret.

Dengan dada yang terasa semakin sesak, Patnira-

ga membuang ulosnya dan maju.

"Aaakkhh...!" Baringin mengerang panjang ketika 

jantung dan paru-parunya pecah saat tangan Patnira-

ga mendarat di punggungnya. Kepalanya mendongak 

sebentar, lalu rebah ke tanah.

Patniraga merasa tubuhnya lemas. Tenaganya 

nyaris terkuras habis. Napasnya terasa bertambah be-

rat. la bertumpu pada kedua tangan dan dengkul.

Mirah dan Andika langsung berlarian mendapati. 

Berdua mereka menolong Patniraga berdiri.

Dalam langkah-langkah pendek ketiga sobat-

bersobat itu meninggalkan Perguruan Kemangi Sariadi.

Sementara itu derap kaki kuda gerombolan para 

tokoh persilatan aliran hitam semakin mendekati Perguruan Kemangi Sariadi.


                     SELESAI



Segera terbit!!! 

Serial Pendekar Slebor dalam episode:

DENDAM JASAD DEDEMIT




















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive