"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 04 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MANUSIA MUKA KUCING

Manusia Muka Kucing

 

MANUSIA MUKA KUCING

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor dalam episode: Manusia Muka 

Kucing 128 hal.


1


Angin dari selatan bertiup dingin. Puncak Bukit Lingkar 

nampak diliputi gumpalan kabut tebal, seolah membekali 

diri dengan keangkeran Kesunyian menyelimuti kendati 

malam belum sepenuhnya datang. Di langit barat masih 

nampak bias-bias sinar matahari senja yang agak 

kemerahan dan beberapa ekor burung nampak 

membentuk siluet-siluet yang indah.

Di bawah paduan binar kuning kemerahan matahari 

yang hampir masuk ke peraduan dan menjemput 

kegelapan malam yang segera datang membawa suasana 

serba hitam nampak satu sosok tubuh hentikan 

kelebatannya di jalan setapak menuju ke Bukit Lingkar. 

Sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda berpakaian 

hijau pupus ini perhatikan sekelilingnya sejenak, sebelum 

melempar pandangan ke Bukit Lingkar.

Wajahnya yang tampan dan dihiasi oleh sepasang alis 

hitam legam yang menukik laksana kepakan sayap elang 

agak memerah karena hawa dingin Pemuda yang di 

lehernya melilit kain bercorak catur ini tarik napas pendek 

Desiran angin mengurai rambutnya yang bertambah acak 

acakan.

Masih pandangi Bukit Lingkar, pemuda yang tak lain 

Andika alias Pendekar Slebor adanya berkata sambil garuk-

garuk kepalanya yang tidak gatal, "Busyet! Seram amat nih 

bukit! Apa aku tidak salah jalan?! Lagi pula, bagaimana 

ceritanya sih aku bisa kesasar di tempat jin buang anak 

ini?"

Kembali pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini 

arahkan pandangan ke sekelilingnya. Keheningan merajai 

sekitarnya

"Hmm.. mendingan aku cari tempat dulu sebelum 

malam makin menyelimuti alam."

Gerakan yang akan dilakukan Andika tertahan tatkala 

telinganya menangkap derap langkah kuda yang agak 

keras Segera dia arahkan pandangan pada jalan yang tadi

dilaluinya Nampak seekor kuda putih berlari sangat cepat 

ke arahnya. Dari gerakan kuda itu jelas dia tak peduli 

apakah akan menabrak sesuatu atau tidak di hadapannya

"Kura kura bau' Apa apaan ini? Jangan jangan kuda itu 

kuda gila!!" desis Andika begitu menyadari kalau dirinya 

akan diterjang kuda putih itu.

Lalu dengan gerak yang cepat Andika menyingkir. Kuda 

itu terus berlari tanpa terganggu oleh kehadirannya Namun 

justru Andika yang jadi kerutkan kening

Karena saat menyingkir ke kanan tadi, dilihatnya ada 

noda noda merah pad; kuda itu. Dan pemuda urakan ini 

tahu betul kalau itu adalah noda darah.

Busyet! Kenapa tuh kuda. Kalau memang darah itu 

keluar dari tubuhnya sudah tentu ada darah yang ter-

cecer. Tetapi tak kulihat sama sekali ada tetesan darah di 

lanah! Berarti... kuda itu sebelumnya ditunggangi 

seseorang yang terluka!! Kalau memang iya. apakah si 

penunggangnya terjatuh atau terlempar? Atau justru malah 

sudah tewas?"

Bcrpikir demikian. dengan kerahkan ilmu peringan 

tuhuhnya pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan 

ini segera berkelebat menyusul kuda putih itu. Hanya lima 

kejapan mata saja dia sudah berhasil mem- perpendek

jarak.

Lalu dengan gerakan ringan, Andika melompat, dan 

sosoknya tepat duduk di punggung kuda itu yang sekejap 

keluarkan ringkikan tetapi tak hentikan larinya.

Semula Andika bermaksud untuk menghentikan lari 

kuda putih yang begitu cepat dengan napas mendengus-

dengus ini. Namun begitu disadarinya kalau kuda putih ini 

menuju ke satu tempal. maka dia pun membiarkan saja.

Kuda putih gagah itu terus berlari. Dengan mudah 

melompati batu-batu, akar yang menyembul keluar, 

bahkan ranggasan semak setinggi dada.

"Busyet! Jelas kuda ini sangat hafal jalan-jalan di tempat 

ini! Ke mana ya dia akan membawaku?" desisnya dengan 

tubuh agak membungkuk.

Tepat tengah malam, kuda itu lelah memasuki sebuah 

hutan lebat. Kegelapan makin menyelimuti mata, tetapi

hewan ini terus berlari tanpa kenal lelah. Padahal dari 

desah napasnya jelas kalau hewan mi sudah kelelahan.

Tatkala terdengar kokok ayam jantan di kejauhan, 

hewan ini telah keluar dari hutan lebat yang luas tadi. 

Mendaki sebuah bukil kecil, lalu berbelok ke kiri melewati 

rerumputan yang langsung rebah terinjak.

Dari alas punggung kuda itu. Andika melihal sebuah 

bangunan yang nampak sudah runtuh di sana-sini.

"Apakah tempat itu yang dituju kuda ini?" desisnya 

dengan pandangan tak berkedip. "Cukup menyeramkan."

Apa yang diduganva memang betul. Karena kuda putih 

itu tahu-tahu berhenti seraya keluarkan ringkikan keras. 

Bila saja Andika tidak segera melompat, sudah tentu dia 

akan terbanting ke tanah karena kuda itu berdiri dengan 

kedua kaki terangkat ke atas. Saat kedua kaki depannya 

itu menyentuh tanah kembali, kuda ini keluarkan lagi

ringkikan kerasnya.

Bersamaan terdengar ringkikan kuda, dua orang 

pemuda gagah telah keluar dari bangunan itu.

"Si Putih!!"

"Oh! Di mana Paman Guru?!"

Yang berseru pertama tadi seorang pemuda bcr paras 

tampan dengan bibir agak memerah. Rambutnya gondrong 

acak-acakan dengan ikat kcpala warna biru di keningnya. 

Dia mengenakan pakaian warna putih dengan celana 

pangsi biru. Di pinggangnya melilit sebuah angkin hitam.

Yang berseru kedua tadi seorang pemuda tinggi besar. 

Wajahnya agak kasar dengan tatapan mata dingin.

Mengenakan pakaian biru gclap dengan celana hitam. Dari 

keterkejutan mereka melihat si Putih, seolah baru 

menyadan kehadiran orang asing, segera masing- masing 

orang arahkan pandangan pada Pendekar Slebor.

Yang dipandang cuma cengar-cengir saja padahal 

pandangan itu begitu tajam dan menusuk.

"Kang Arya.. siapakah kira-kira pemuda berpakaian

hijau pupus itu?" bisik yang pertama dengan pandangan 

tak berkedip pada Andika. Kali ini dia berdiri dengan kedua 

kaki agak dibuka. tanda bersiaga penuh.

Pemuda berpakaian biru gelap yang bernama Arya

Sempala terdiam dulu sebelum buka mulut, "Hhh! Siapa 

lagi kalau bukan salah seorang anak buah manusia ter-

kutuk dari Pulau Hantu?! Dan sudah tentu dia yang 

membunuh Paman Guru, lalu sengaja menunggangi si 

Pulih untuk mengetahui di mana kita bersembunyi! Ja-

hanam! Jaya Lantung! Beritahu Werdaningsih dan lin dungi

Guru! Biar aku yangmenghadapi manusia keparat ini!!"

Mendengar perintah itu, yang diperintah seperti tidak 

suka. Bukan dikarenakan dia disuruh seperti itu, melainkan 

karena memiliki keinginan untuk membunuh pemuda 

berpakaian hijau pupus di hadapannya yang masih nyengir.

Setelah keluarkan dengusan, pemuda yangdi 

pinggangnya melilit angkin hitam ini langsung berkelebat 

kembali kedalam bangunan.

Sementara itu Arya Sempala sudah maju tiga langkah 

ke muka. Berdiri dengan kedua kaki agak dipentangkan 

sejarak tujuh langkah dari hadapan Andika.

"Manusia terkutuk! Kau datang hanya unluk 

mengantarkan nyawa saja!! Mengapa bukan Manusia 

Muka Kucing yang muncul di hadapanku?!"

Mendengar ucapan itu, cengiran di bibir Andika 

langsung putus. Kendati sejak pertama tadi dia memang 

sudah menangkap nada kemarahan dari pemuda di 

hadapannya ini, namun sama sekali tak disangkanya kalau 

dia menangkap satu tuduhan jelek.

"Manusia Muka Kucing? Busyet! Kayak apa sih tuh 

orang?"

"Jangan berJagak pilon di hadapanku!! Kedatangan 

Manusia Muka Kucing beserta gerombolannya telah 

menimbulkan petaka yang tak bisa dimaafkan! Termasuk 

kau!!"

"Busyet! Enak betul dia membentak-bentak seperti itu!" 

rutuk Andika dalam hati. Lalu bersuara sopan, "Maafkan

aku... aku sama sekali tidak dapal memahami apa yang 

kau katakan.... Kalau kau maksud aku punya kucing atau 

tidak, ya kujawah tidak!"

"Berlagak mulia di hadapanku sungguh percuma! Orang-

orang sepertimu lebih baik mampus ketimbang 

menimbulkan kekacauan di tanah yang indah ini!" seru 

Arya Sempala bertambah gusar Mendadak dia berseru 

laksana menggeram. "Terimalah kematian!!"

Habis seruannya, pemuda berwajah agak kusam namun 

memiliki hati lembut ini sudah menerjang dengan jotosan 

tangan kanan lurus ke wajah Andika. Menilik angin yang 

keluar dari jotosannya, jelas kalau si pemuda 

mempergunakan sebagian tenaga dalamnya.

Andika yang tidak mengerti mengapa pemuda itu 

menyerangnya, jelas tak mau menerima nasib konyol. 

Segera saja dia miringkan rubuh. Jotosan yang dilancarkan 

Arya Sempala hanya menjangkau tempat yang kosong.

Saat menghindar seperti itu, sebenarnya Andika bisa 

langsung lancarkan balasan. Tetapi itu tidak dilakukannya, 

karena dia sadar kalau ini hanyalah kesalahpahaman 

belaka. Bahkan dia jadi penasaran untuk mengetahui apa 

yang telah terjadi.

Tetapi Arya Sempala tidak mau tahu soal itu. Dia terus 

menerjang dengan ganas diiringi makian-makian 

menjengkelkan. Kali ini dorongan angin setiap kali dia 

gerakkan anggota tubuhnya, terasa lebih keras dan dingin.

"Busyet!" desis Andika dalam hati. "Dia bertambah 

beringas?! Benar-benar kutu monyet! Perut lagi kelaparan 

begini harus menghadapi orang beringas seperti dia?"

Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya, 

Andika Iuput dari serangan ganas Arya Sempala. Sekali pun 

dia tidak membalas. Namun lama kelamaan kejengkelan 

mulai masuk pula ke hatinya.

"Hei, hei! Sabar dulu, Tong! Jangan main serang

begini?!" serunya sambil melompal ke belakang. "Nanti

kujitak juga nih kepalamu!"

"Manusia terkutuk! Kau berhasil membunuh orang

orang yang tak menyukai kehadiran partaimu! Tetapi. kau 

tak akan dapat mcmadamkan semangat yang ada di dada

kami!!" sahut Arya Sempala bertambah ganas.

Bahkan mendadak saja dia mundur tiga langkah 

kebelakang. Pandangannya makin menusuk dengan napas 

agak terengah. Menyusul dia saling usap tangan kanan dan 

kirinya. Tiba-tiba saja terlihat cahaya putih bening di kedua 

tangannya. Rupanya dia telah keluarkan jurus 'Tebar 

Cahaya Maut', yang diwarisi dari gurunya.

Sebelum dia lakukan serangan, terdengar seruan keras, 

"Kakang Arya! Tahan dulu seranganmu!!"

Seorang gadis jelita berambut dikucir kuda telah 

berkelebat dari dalam bangunan dan berdiri tiga tindak di 

sisi kanan Arya Sempala.

"Werdaningsih! Apa-apaan kau menahanku, hah?!!" seru 

Arya Sempala gusar. Lalu palingkan la tatapannya lagi ke 

arah Andika yang sedang garuk-garuk kepalanya.

"Kakang... aku tak bermaksud menahanmu! Manusia 

terkutuk seperti pemuda ini memang harus mampus! 

Tetapi aku ingin tahu nasib Paman Guru!!" sahut si gadis 

yang bernama Werdaningsih. Dia sudah tahu kehadiran 

pemuda itu dari Jaya Lantung. Bahkan didengarnya suara 

serangan demi serangan yang tcrjadi.

"Justru kau hanya akan membangkitkan 

kesombongannya belaka!!"

Gadis berpakaian putih-putih ilu tak pedulikan kala kata 

Arya Sempala. Dia berseru dengan tatapan tak berkedip 

pada Andika. "Pemuda celaka! Iblis terkutuk! Katakan, di 

mana Paman Guruku, hah?!"

Sudah tentu Andika terheran-heran mendengar 

perlanyaan yang dilontarkan dengan cara membentak itu. 

Dia tak segera buka mulut. Dan berkata dalam hati 

"Menilik sikap mereka, jelas ada satu masalah besar 

rupanya. Dan mereka tengah menantikan Paman Guru 

mereka yang tentunya pergi dengan menunggang kuda 

putih itu, namun kuda putih kembali tanpa 

penunggangnya. Hmmm... aku jadi ingin tahu apa yang

sebenarnya terjadi."

Memutuskan demikian, Andika rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada, agak membungkuk sedikit. Lalu 

berkata sopan, "Maaf... aku sama sekali tidak tahu apa 

yang telah terjadi. Aku juga tidak mengerti mengapa kalian 

menuduhku anak buah dari orang yang berjuluk Manusia 

Muka Kucing?"

"Terkutuk!!" Mengkelap wajahWerdaningsih. "Kurobek 

mulutmu!!"

Sebelum Andika buka mulut, .Arya Sempala yang sudah 

tidak sabar untuk lancarkan serangan berkata, "Manusia 

jahanam seperti dia, mana mungkin buka mulut! Ingat, 

Werdaningsih... kehadirannya bersama partai terkutuknya 

telah menumpahkan darah!! Bunuh pemuda celaka itu!!"

"Tunggu!! Kalian salah paham! Aku sama sekali tidak 

mengerti dengan yang kalian maksud! O ya, namaku 

Andika. Aku bisa tiba di sini, karena tertarik melihat kuda 

putih itu yang berlari ke arahku. Terus terang, semula 

kupikir itu kuda gila. Tetapi begitu kulihat ada noda darah 

di punggungnya, aku jadi ingin tahu ada apa sebenarnya. 

Dan tak kusangka sama sekali kalau kuda itu akan 

membawaku ke sini."

"Manusia hina! Kau lerlalu banyak bicara! Kupulangkan 

jasadmu pada Manusia Muka Kucing!"

"Wah! Jadi berabe nih! Kalau kudiamkan, bisa-bisa aku 

kena sasaran serangan mereka! Tapi kalau kuajak bicara, 

mereka semakin ganas! Tapi juga kalau aku pergi dari sini, 

justru aku tidak tahu apa yang membuat mereka begitu 

beringas! Benar-benar berabe! Apakah aku harus...."

Kata batin Andika terputus tatkala terdengar hentakan 

Werdaningsih, "Katakan apa yang telah kau lakukan pada 

Paman Guru, hah?!" '

"Busyet! Mana aku tahu?" dengus Andika dalam hati. 

Lalu katanya, "Dengar dulu dong apa yang kukatakan tadi! 

Aku sudah bilang, aku tidak mengerti dengan semua ini! 

Kalian kan bisa mendinginkan kepala dulu? Kalau tidak 

bisa juga ya... nyebur saja di sungai!"

Selorohan Andika justru membuat Arya Sempala 

bertambah kalap. Dia berseru keras; 'Terkutuk' Lebih baik 

kau mampus ketimbang. .."

Seruan Arya Sempala terputus tatkala terdengar suara 

Jaya Lantung keras, "Arya! Werdaningsih! Keadaan Guru 

gawat!!"

Werdaningsih langsung bcrkelebat masuk ke dalam 

bangunan, sementara Arya Sempala berkata dulu pada 

Andika, "Bila kau punya nyali. tetap berada di situ! Karena 

aku akan tetap mengirimmu ke neraka!!"

Lalu dia segera masuk ke dalam bangunan yang 

sebagian dindingnya sudah runtuh dan sebagian lagi 

dihinggapi lumut.

Di tempatnya, Andika agak mangkel juga diancam 

seperti itu. Tetapi dia pun sadar kalau semuanya hanyalah 

salah paham belaka. Kendati demikian, dia tetap 

penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Terutama, 

mendengar kata-kata pemuda yang bernama Jaya Lantung 

tadi.

Di dalam bangunan, nampak tiga remaja itu sedang 

berlutut mengelilingi seorang letaki tua berpakaian putih 

bersih. Kendati wajahnya pucat pasi, tetapi mata orang tua 

itu bersinar teduh. Di bagian perut lelaki tua itu nampak 

noda darah yang besar. Rupanya perut lelaki itu terluka 

besar.

"Kakang Arya! Apa yang akan kita lakukan?" seru 

Werdaningsih menahan sedih.

Arya Sempala cuma menahan napas. Dia sendiri sudah 

berusaha untuk mengobati luka-luka yang diderita gurunya, 

namun tak membawa hasil yang memuaskan.

Jaya Lantung membawa sebuah baki terbuat dari tanah 

liat. Dari dalam baki itu mengepul asap putih yang berbau 

agak menusuk. Lalu dengan hati-hati. ramuan yang terbuat 

dari akar dan bubukan daun kering itu ditaburkan pada 

luka si kakek.

Terdengar desisan kesakitan dari lelaki tua itu. 

Sepasang matanya yang menyipit makin menyipit. Keringat

semakin membanjiri tubuhnya.

"Kang Jaya...," mendesis ngeri Werdaningsih.

"Jangan legang. Kita berdoa saja agar ramuan ini dapal 

menyumbat darah yang terus menerus keluar," sahut Jaya 

Lantung. Lalu berhati hati dia mengambil air ramuan itu. 

Ditiupnya sejenak sebelum diminumkan secara hati-hati 

pada si kakek

Si kakek tcrsedak dan air ramuan itu langsung keluar 

lagi. Menyusul terdengar keluhannya, tertahan.

"Rasanya... sudah lerlambat...," desis Jaya Lantung 

pasrah.

Kata-kata Jaya Lantung membuat Werdaningsih mau 

tak mau lerisak. Gadis jelita ini sangat menyayangi gurunya 

yang berjuluk Malaikat Keadilan. Sementara Arya Sempala 

hanya herdiri kaku dengan pandangan lurus. Raut wajah 

pemuda ini pun menunjukkan ke pedihan yang dalam.

Selagi suasana dieekam keheningan, terdengar suara di 

ambang pintu, "Bila kalian menghendaki, biarkan kucoba 

untuk mengobati luka yang diderita Guru kalian...."

***

2


Masing-masing orang yang berada di sana segera 

palingkan kepala. Arya Sempala langsung berdiri tcgak 

dengan kedua kaki dibuka agak lebar.

"Manusia terkutuk! Keluar dari sini!!"

Orang yang tadi bicara dan tak lain Andika cuma 

tersenyum, padahal dalam hati dia berkata mangkel. 

"Brengsek juga! Huh! Kalau tidak sabar-sabar, sudah 

kujitak kepalanya!!"

Kemudian katanya, "Aku tak peduli kalian 

menganggapku anggota gerombolan yang telah 

mencelakakan kalian atau tidak. Tetapi percayalah, aku 

bukan orang yang kalian duga!"

"Diaaammm!!"

Tetapi Andika tak peduli. Hanya sekali lihat saja dia tahu 

kalau leiaki tua yang tergolek lemah itu bertambah parah.

"Tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Izinkan aku 

membantu mengobati guru kalian...."

"Manusia jahanam! Pantang kami meminta 

bantuanmu!!" geram Arya Sempala bertambah gusar. Dan 

dia nampak sudah hendak lepaskan serangan.

Namun gerakannya tertahan tatkala terdengar suara 

Werdaningsih. "Kakang Arya! Biarkan dia...."

"Tidak!" sahut Arya Sempala tanpa palingkan kepala.

"Manusia seperti dia, hanya menjadi racun di muka bumi 

ini!"

"Brengsek juga mulutnya! Huh! Benar-benar ingin 

kujitak nih!" kata Andika dalam hati lalu berkata. "Biarkan 

aku mengobati guru kalian. Setelah itu, aku akan pergi dari 

sini."

"Kau harus mampus!!"

Sebelum Andika berkata, Jaya Lantung buka mulut lebih 

dulu, "Kau dan gerombolanmu telah membuat malapetaka 

yang lak pernah habis! Untuk saat ini, nyawamu kami 

bebaskan! Lekas menyingkir dari sini!!"

"Kutu monyet! Bila terus menerus seperti ini. tak

mustahil nyawa kakek itu tak akan tertolong!' kata Andika 

dalam hati.

Lalu tanpa perdullkan tatapan bengis dari Arya Sempala 

dan Jaya Lantung, pemuda dan Lembah Kutukan ini 

melangkah. Sikap yang dilakukannya membuat Arya 

Sempala tak bisa menahan sabar lagi. Tinjunya sudah 

menderu ke wajah Andika.

Pemuda ini cuma angkat tangan kanannya

Des!!

Benturan dua langan ilu memang cukup menyakitkan. 

Sosok Arya Sempala terhuyung tiga tindak ke belakang 

yang dengan cepat segera ditahan oleh Jaya Lantung. 

Sementara Andika yang surut lima tindak tahu- tahu 

menggerakkan tangannya cepat. Entah apa yang 

dilakukannya. Kejap kemudian dia sudah melangkah

mendekati Malaikat Keadilan yang bertambah parah.

Anehnya, kali ini kedua pemuda itu tak mencoba

menahannya. Bahkan mereka hanya memperhatikan saja. 

Werdaningsih sebenarnya cukup heran. Namun gadis yang 

mencemaskan keadaan gurunya tak mempeduli kannya.

Dipehatikan bagaimana pemuda berpakaian hijau 

pupus itu sudah berlutut dan memeriksa luka di perut 

gurunya

"Lukanya parah sekali. Nampaknya bekas ditoreh oleh 

senjata yang sangat tajam. Menilik warna kehitaman 

ini,"jelas kalau senjata itu telah dibubuhi racun."

Lalu berhati-hati Andika memegang kedua ibu jari kaki 

Malaikat Keadilan. Dialirkannya tenaga 'Inti Petir' tingkat 

kesembilan.

Begitu kedua ibu jarinya dipegang, si kakek nampak 

melonjak dengan keluarkan suara tertahan.

Werdaningsih terkejut hingga bersuara, "Apa yang kau 

lakukan, hah?!!"

Tetapi Andika tidak peduli. Dia terus alirkan tenaga Inti 

Petir. Sementara Werdaningsih sendiri urung Iontarkan 

suara kcmbali, apalagi dilihatnya kedua kakak 

seperguruannya hanya terdiam saja. Diam-diam di dalam

hati dia berharap, agar pemuda itu dapat menyembuhkan 

luka yang diderita gurunya.

Beberapa kejap berlalu, Andika nampak mulai di banjiri 

keringat. Bahkan nampak napasnya sudah megap-megap 

sekarang. Wajahnya merona merah dengan tubuh agak 

bergetar.

Cukup lama dia alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua 

lbu jari Malaikat Keadilan. Setelah dilihatnya si kakek 

muntah darah dan dari luka di perutnya keluar darah hitam 

yang kental, Andika menarik napas panjang.

Hati-hati dilepasnya kedua ibu jari Malaikat Keadilan 

yang dipegangnya.

"Beri dia minum .,' katanya entah pada siapa.

Werdaningsih buru-buru mengambil bubung bambu 

berisi air yang diminumkan secara hati-hati pada gurunya. 

Sementara Andika duduk dengan kedua tangan 

dirangkapkan di depan dada. Jelas kalau dia tengah 

memulihkan keadaannya lagi.

Werdaningsih yang selesai memberikan minum pada 

gurunya, kembali keheranan melihat sikap dua kakak 

seperguruannya, yang tetap berdiri tanpa berbuat apa- apa.

Werdaningsih berpikir, "Mereka tak berbuat apa- apa, 

mungkin dikarenakan pemuda itu memang telah berhasil 

menolong Guru."

Suasana kembali hening. Tak ada yang keluarkan 

suara, kecuali sesekali terdengar batuk Malaikat Keadilan.

Andika yang telah selesai pulihkan tenaganya, berdiri 

lagi. Sejenak diperhatikannya wajah si kakek sebelum 

berkata pada Werdaningsih, "Selama sepenanakan nasi, 

alirkan tenaga dalam kalian pada guru kalian.

Kuharap, kalian bergantian melakukannya. Tenaganya 

begitu lemah sekali. "

Hanya itu yang dikatakan Andika, karena kejap 

berikutnya dia sudah keluar dari sana. Ada keinginan di 

hati Werdaningsih untuk mengucapkan terima kasih. 

Namun karena kedua kakak seperguruannya tidak berbuat 

apa-apa kecuali tetap berdiri tegak, Werdaningsih pun

urung melakukannya.

Di luar Andika berkata dalam hati, "Aku ingin tahu apa 

yang terjadi...."

Lalu dia pun meninggalkan tempat itu.

Pagi terus beranjak menuju siang. Sebagian bangunan 

yang agak runtuh itu, mulai disusupi sekaligus diterangi 

sinar matahari. Werdaningsih masih berlutut sambil 

pandangi wajah gurunya yang kini tidak pucat seperti 

semula. Bahkan napas gurunya mulai terdengar teratur.

Cukup lama gadis berkuncir kuda ini memperhatikan 

gurunya sebelum akhirnya menyadari kalau tak mendengar 

suara kedua kakak seperguruannya. Cepat- cepat 

dipalingkan kepalanya. Mereka masih berdiri tegak.

"Kang Arya! Kang Jaya! Bantu aku alirkan tenaga dalam 

pada Guru!!" seru Werdaningsih sambil palingkan kepala 

lagi pada gurunya.

Dia berucap lagi lalkala melihat kedua kakak

seperguruannya masih berdiri tegak tanpa berbuat apa-

apa. Bahkan tak keluarkan suara.

Kali ini Werdaningsih berdiri dengan pandangan 

berkerut. "Aneh, apa yang terjadi dengan mereka? Apakah 

mereka berdiam diri karena merasa geram seorang musuh 

yang telah menyelamatkan Guru? Atau... ke duanya mulai 

menduga kalau pemuda yang di lehernya melilit kain. 

bercorak catur bukanlah anggota Manusia Muka Kucing?"

Werdaningsih berkata, "Apa-apaan kalian ini? Ayo, bantu 

aku!!"

Tetapi setelah tak mendapati sahutan, Werdaningsih 

perlahan-lahan mendekali keduanya. Dipandangi nya 

wajah masing-masing orang satu per satu.

"Mereka tak membuka mulut. Hanya mata mereka yang 

bergerak-gerak seperti mengisyaratkan sesuatu. Apakah... 

hei! Sejak tadi mereka tetap berdiri tegak seperti ini?!"

Merasa heran Werdaningsih berkata, "Apa yang terjadi 

dengan kalian? Mengapa kalian diam saja? Apa kalian..."

Memutus kata-katanya sendiri Werdaningsih membatin, 

"Gila! Mereka dalam keadaan tertolok! Oh! Bagaimana bisa

mereka tertotok? Dan siapa yang melakukannya? Sejak 

tadi hanya pemuda itu saja yang berada di sini!"

Tiba-tiba Werdaningsih menghela napas panjang.

"Yah, siapa lagj yang melakukannya kalau bukan 

pemuda tadi? Sungguh hebat!! Pantas Kang Arya dan Kang 

Jaya lidak berbuat apa-apa kecuali seperli membiarkan 

pemuda itu menolong Guru. Karena bila dalam keadaan 

tidak tertotok. tak mungkin mereka mengizinkan pemuda 

itu mengobati Guru."

Lalu dengan hati-hati diperiksanya tubuh kedua kakak 

seperguruannya yang kini nampak agak malu. Tetapi 

pancaran mata Arya Sempala begitu geram.

Setelah diperiksa tukup lama. Werdaningsih gagal 

menemukan di mana totokan yang telah membuat kedua 

kakak seperguruannya berubah laksana patung berada. 

Hal ini membuatnya bertambah penasaran. Namun makin 

dicari, makin tak ditemukan di mana totokan itu.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, pasrah. Ada 

pcrasaan kecut menyadari kalau dia menggantungkan 

harapan pada kedua kakak seperguruannya.

"Jalan satu-satunya.. aku harus mencari pemuda itu 

untuk membebaskan kedua kakak seperguruanku ini dari 

totokan yang dilakukannya," desisnya dalam hati. Lalu 

berkata, "Maafkan aku. Kang Arya, Kang Jaya.... Aku tidak 

tahu di mana totokan itu berada. Kalaupun tahu, aku juga 

ragu apakah dapat membebaskan kalian atau tidak."

Namun sebeium dia berbuat apa-apa. mendadak saja 

tcrdengar keluhan pelan. Menyusul kedua kakak 

seperguruannya itu ambruk seperti ditiup angin.

"Kang Arya! Kang Jaya!!"

Kedua pemuda itu geleng-gelengkan kepala, karena 

merasa agak pusing. Cukup lama mereka dalam keadaan 

terduduk sebelum terdengar seruan gusar Arya Sempala 

seraya berdiri, "Jahanam! Aku harus mencari pemuda itu?!"

"Kang Arya! Tunggu! Jangan bertindak gegabah!!"

Sementara Arya Sempala hentikan gerakannya dan 

palingkan kepala gusar, Jaya Lantung berkata,

"Werdaningsih! Ini urusan laki-laki! Kau tetap menjaga 

Guru!!"

"Tidak! Maksudku... aku.... Sudahlah, kalian tak perlu 

meributkan soal pemuda tadi."

"Dia telah menotokku!!" seru Arya Sempala gusar

"Aku juga baru tahu soal itu! Tetapi, apakah kalian tidak 

berpikir, kalau dengan cara yang tidak kelihatan pemuda 

itu berhasil mcnotok kalian? Bila dia hendak membunuh 

kalian, tentunya dengan mudah akan dilakukan!"

Mendengar kata-kata si gadis, dua pemuda itu sama-

sama kertakkan rahangnya. Namun sedikit banyaknya 

membenarkan apa yang dikatakan Werdaningsih.

Werdaningsih berkata lagi, "Sebaiknya... kita tinggalkan 

tempat ini sebelum manusia-manusia keparat itu datang! 

Atau paling tidak, kita mencari tahu keadaan Paman Guru. 

Bagaimana menurut kalian?"

Arya Sempala nampak masih gusar. Tetapi dia 

membenarkan juga kata-kata Werdaningsih tadi, "Kau 

benar. Werda. Keadaan nampaknya bertambah buruk saja 

scmenjak kila bersama-sama Guru berusaha mengatasi 

sepak terjang Manusia Muka Kucing. Yah, kita tinggalkan 

tempat ini. Kau dan Jaya membawa Guru menjauh dan sini, 

sementara aku akan mencari kabar tentang Paman Guru."

"Lain bagaimana dengan pemuda itu, Kang Arya?" tanya 

Jaya Lantung.

Arya Sempala tcrdiam dulu sebelum menjawab, "Aku 

tidak tahu siapa dia adanya. Tetapi terus terang kukagumi 

kehebatannya. Tadi kupikir, saat dia terhuyung dan 

menggerak-gerakkan tangannya, hanya untuk membantu 

kuasai keseimbangannya belaka. Tidak tahunya. dia 

lakukan totokan dari jarak jauh. Dan totokan yang 

dilakukannya akan terlepas bila sudah lewat dari batas 

waktunya. Kupikir, untuk saat ini kita tak perlu 

mempersoalkannya lagi."

"Bila pemuda itu hendak membunuh kita, maka dengan 

mudah akan dilakukannya. Bukan hanya akan membunuh 

kalian berdua, tetapi juga aku dan Guru." kata

Werdaningsih menimpali. "Tidakkah kalian memikirkan soal 

itu?"

Kedua kakak seperguruannya mengangguk-angguk.

Arya Sempala berkaia lagi. "Tak usah kita membicarakan 

siapa sebenarnya pemuda itu. Tetapi tempat 

persembunyian kita secara tidak sengaja telah diketahui 

olehnya. Berarti, bisa jadi orang-orang Manusia Muka

Kucing cepat atau lambat akan tiba di sini juga. Sekarang 

kalian bawa Guru menjauh dari sini, naikkan ke tubuh si 

Putih. Pergi ke arah timur. Aku akan mencari tahu tentang 

Paman Guru."

"Kang Arya... bagaimana kami bisa tahu keadaanmu?" 

tanya Werdaningsih.

Arya Sempala terdiam. Nampak wajahnya sarat dengan 

keragu-raguan. Lalu katanya pelan, "Biarlah aku yang akan 

mencari kalian...."

Ketiga remaja itu saling tatap. Kejap kemudian, dengan 

dibantu Werdaningsih, Jaya Lantung telah menggendong 

tubuh gurunya yang masih belum pulih benar.

Keduanya masih pandangi sejenak Arya Sempala yang 

berdiri tegak. Kejap berikutnya, Jaya Lantung mulai 

melangkah keluar diiringi Werdaningsih

Namun baru saja mereka menginjak ambang pintu, 

langkah mereka tertahan laksana dihadang setan. 

Pandangan masing-masing orang terbeliak lebar.

Di hadapan mereka, telah berdiri lima orang lelaki tinggi 

besar dengan wajah bengis berpakaian hitam - hitam! Si 

Putih sendiri sudah tidak ada di tempatnya.

***

3


Arya Sempala langsung melompat ke depan, berdiri dl 

hadapan Jaya Lantung dan Werdaningsih. Tatapannya 

lajam lak berkedip pada kelima orang berpakaian hitam-

hitam yang hanya saling pandang disusul tawa keras.

Ketiga wajah murid Malaikat Keadilan ini cukup tegang. 

Terutama Werdaningsih yang segera merapati Jaya 

Lantung. Tak ada yang keluarkan suara kecuali tawa keras 

dari kelima orang berpakaian hitam-hitam itu.

Tanpa setahu orang-orang yang berada di sana, 

sepasang mata dari balik ranggasan semak belukar mem-

perhatikan. Pemilik sepasang mata ini yang ternyata

Pendekar Slebor adanya membatin, "Untung aku masih 

sempat melihat kedatangan kelima Orang berpakaian 

hitam-hitam. Menilik sikap mereka dan ketegangan yang 

melanda tiga remaja itu, jelas kalau sesungguhnya mereka 

telah saling mengenal. Atau paling tidak, mempunyai 

dugaan yang tepat. Sebaiknya, kulihat dulu apa yang akan 

terjadi."

Rupanya, Pendekar Slebor yang memutuskan untuk 

meninggalkan tempat itu, melihat kelima orang berpakaian 

hitam-hitam sedang berkelebat menuju ke bangunan di 

mana Malaikat Keadilan dan ketiga muridnya berada. 

Merasa ada sesuatu yang harus diketahuinya, Andika 

mengurungkan niat unluk segera menyelidiki masalah apa 

sampai Malaikat Keadilan menderita luka sedemikian 

parah. Karena diam-diam, anak muda urakan ini merasa 

kehadiran kelima lelaki berpakaian hitam hitam 

merupakan sebagian jawaban yang dicarinya.

Semen tara itu Arya Sempala diam-diam agak bergetar 

juga. Tetapi hanya sekejap. karena kejap berikutnyu sorot 

mutanya memancar dingin dengan dendam yang tinggi. 

Tanpa palingkan pandangan dia herbisik pada Jaya 

Lantung, “Selamatkan Guru”

Jaya Lantung sejenak nampak meragu. Tetapi begitu 

dilihat kekerasan wajah kakak seperguruannya, dia pun

segera bergerak ke arah timur disusul oleh Werdaningsih.

Namun tiga lelaki berpakaian hitam hitam itu lelah 

melompat menghadang, sementara yang dua orang lagi 

maju salu langkah ke hadapan Arva Sempala. Salah 

seorang yang menghadang Jaya Lantung dan 

Werda¬ningsih berkata sambii terbahak, "Mau ke mana, 

hah? Bukankah sudah ada jalan yang paling aman menuju 

ke neraka?!"

"Bawung! Apakah kau tidak melihat kelinci gemuk yang 

tentunya enak bila digarap heramai ramai?" bersuara yang 

berwajah tirus pada orang penuh bulu yang berbicara 

pertama tadi. Pandangan orang ini menyipit dan sorot 

matanya berkilat penuh birahi pada Werdaningsih.

Serta-merta wajah gadis berkuncir kuda ini merah 

padam mendengar kata-kata orang Namun gadis ini masih 

bisa menahan diri untuk tidak segera bertindak gegabah.

Dari pandanga.nnya pada Jaya Lantung, Bawung 

alihkan pandangannya pada Werdaningsih. Dengan 

seringaian lebar dia buka mulut lagi, "Benar-benar kelinci 

gemuk! Dan sungguh nikmat dinikmati di saat seperti ini!!"

"Tutup mulutmu!!" bentak Werdaningsih keras.

"Hmm... liar juga rupanya! Aku masili bermurab bati 

pada kalian untuk tidak mencabut nyawa kalian! Serahkan 

Malaikat Keadilan untuk kami serahkan pada Manusia 

Muka Kucing!"

"Iblis terkutuk! Begundal-begundal tengik! Panggil 

Manusia Muka Kucing untuk berhadapan dengan kami!!" 

menyengat Werdaningsih dengan kedua tinju dikepalkan.

Bersamaan Werdaningsih keluarkan bentakan, Andika 

yang masih bcrada di balik ranggasan semak membatin 

lagi, "Manusia Muka Kucing! Hmm... jadi orang- orang itu 

anak buah orang yang berjuluk Manusia Muka Kucing? 

Busyetl Apa mukanya memang mirip kucing? Atau kakinya 

yang berjumlah empat yang kayak kucing? Huh! Pasti 

kucing garong!!"

Bawung keluarkan tawanya yang keras. "Tidakkah 

kalian ingat kalau guru kalian tak berdaya menghadapi

Manusia Muka Kucing?! Masih untung dia dapat melarikan 

diri hinga tidak mampus tercabik-cabik oleh kuku-kukunya 

yang mengandung racun!! O ya, tidakkah kalian ingin tahu 

nasib Paman Guru kalian yang bernama Paksi Uladara? Dia 

telah mampus dengan tubuh robek terkena cakar Manusia 

Muka Kucing!!"

Bukan hanya Werdaningsih yang terkejut, Java Lantung 

sendiri bergetar dadanya. Pandangan pemuda itu makin 

tajam. Namun dia juga tak mau bertindak gegabah Karena 

dia harus menyelamatkan gurunya.

Semertara itu Werdaningsih membatin, "Mungkin... ini 

jawaban dari kata-kata pemuda berpakaian hijau pupus 

itu.Jelas dja bukanlah salah seorang anak buah Manusia 

Muka Kucing." Lalu hati-hati dia berbisik pada Jaya 

Lantung, "Kau bawa Guru dari sini, Kang.... Biar aku yang 

menahan mereka...."

"Tidak!" balas Jaya Lantung dalam bisikan. "Kau yang 

membawa Guru, aku yang menghadapi mereka."

Bawung berkata dengan seringaian lebar, "Kau benar! 

Ya, kau benar! Tetapi... kita urus dulu Malaikat Keadilan 

yang sudah sekarat iluj"

Habis kata-katanya terdengar, lelaki brewok ini sudah 

mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah Jaya 

Lantung. Namun sebelum jotosan itu mengenai sasarannya 

Werdaningsih sudah maju memapaki seraya berseru, 

"Selamatkan Guru, Kang Jaya!!"

Des!l . • v

Jotosan Bawung jadi melenceng. Bukannya geram 

karena niatnva digagalkan gadis berkuncjr itu, lelaki ini

justru terbahak-bahak hingga perutnya yang agak buncit

bcrgcrak.

"Sangat menyenangkan! Kalian langkap gadis itu! 

lngat, jangan sampai terluka! Biar kuurus pemuda celaka 

yang sudah mau mampus ini!!"

Dua, orang kaWan Bawung sudah mengurung Wer-

daningsih dan langsung lancarkan serangan yang ganas. 

Bawung sendiri segera mencecar Jaya Lantung yang dalam

keadaan menggendong gurunya sudah tentu pemuda ini 

cukup kerepotan.

Makanya setelah berhasil hindari serangan Bawung, dia 

segera turuhkan sosok gurunya. Lalu mencelat ke depan. 

Memang itulah yang ditunggu Bawung sebenarnya. Karena 

apa yang dikatakannya tadi adalah scbuah rencana lidk.

Salah seorang yang mengurung Werdaningsih dan 

hcrtubuh jangkung segera melompat memburu ke arah 

Malaikat Keadilan. Tangan kanannya yang mengandung 

tenaga dalam penuh, siap menghajar dada si kakek yang 

masih dalam keadaan lemah itu.

Jaya Lantung terperanjat melihat hal itu. Dia cepat 

melompat ke samping setelah kaki kanannya dijejakkan 

lebih keras ke tanah. Jotosan lawan yang siap 

menghancurkan kepala Malaikat Keadilan terhalang oleh 

tendangannya.

NamunJaya Lantung sendiri harus merasakan betapa 

kerasnya pukulan Bawungyang mendarat didadanya. 

Pemuda itu sampai terpental hingga menabrak pohon.

Sementara itu Arya Sempala sudah harus menghadapi 

dua lelaki berpakaian hitam-hitam lainnya. Pemuda 

berwajah agak kasar ini tak mau bertindak ayal. Kedua 

tangannya sudah pancarkan cahaya bening yang begitu 

digerakkan, langsung mencelat dua cahaya bening ke arah 

dua lawannya.

Tersentak masing-masing orang menerima serangan itu 

yang kontan langsung bergulingan. Cahaya-cahaya bening 

yang keluarkan suara menggemuruh itu menghantam 

rengkah ranggasan semak belukar yang langsung 

terbongkar ke udara.

Berhasil membuat jarak dengan dua lawannya, Arya 

Sempala menggerakkan tangannya ke arah Bawung yang 

sedang mengejar Jaya Lantung.

"Keparat sial!!" maki Bawung sambil membuang diri.

Blaaarrr!

Cahaya bening itu menghantam ranggasan semak 

hingga pecah berhamburan.

Sementara itu seorang Iain bertubuh jangkung sudah 

siap menjejakkan kaki kanannya pada kepala Malaikat 

Keadilan. Namun mendadak saja dirasakan satu tenaga 

tak nampak mcnahan injakan kakinya, menyusul satu 

sentakan keras yang membuatnya terlempar ke belakang.

"Aaaakhhh!!"

Lelaki jangkung ini terjengkang di atas lanah dan

langsung muntah darah. Setelah menggeliat sejenak.

nyawanya pun melayang. Rupanya Malaikat Keadilan yang 

sudah merasa tenaganya agak pulih berhasil halangi 

maksud orang itu.

Andika yang tadi bermaksud untuk halangi niat si 

Jangkung menarik napas lega. "Tak kusangka... dalam 

keadaan masih lemah seperti itu, si kakek mampu hadang 

serangan. Sekaligus, memutus nyawa orang yang 

menyerangnya."

Bawung yang melihat kematian si Jangkung berteriak 

setinggi langit. Dia mengamuk sejadi-jadinya dengan

serangan demi serangan ganas pada Jaya Lantung. Angin 

keras berkesiur mendahului setiap serangannya.

Lama kelamaan Jaya Lantung menjadi kewalahan juga. 

Melihat hal itu Andika memutuskan untuk membantu. 

Namun gerakannya tertahan, tatkala dilihatnya gadis 

berpakaian putih-putih yang kendati agak terdesak telah 

bertindak cepat.

Tangan kanannya pun telah keluarkan cahaya bening 

yang langsung didorong ke muka, sementara tangan kiri 

didorong ke arah Bawung. Lawannya yang sedang 

lancarkan tendangan, tak menyangka kalau satu 

gelombang angin keras yang disertai cahaya bening telah 

melabrak ke arahnva.

Tanpa ampun lagi dadanya terhantam telak hamparan 

angin yang keluar dan dorongan tangan kanan 

Werdaningsih.

Terdengar jeritan tertahan menyusul tubuh yang 

terpental. Begitu ambruk ke tanah, lelaki itu telah menjadi 

mayat dengan dada menghitam yang keluarkan asap.

Sementara hamparan angin dan cahaya bening yang 

melesat dari tangan kiri Werdaningsih menghalangi niat 

Bawung untuk kirimkan serangan kembali pada Jaya 

Lantung. Begitu melihat Bawung melompat kesamping, 

Jaya Lantung langsung menerjang ke depan. Kedua 

tangannya pun telah keluarkan cahaya bening dan di-

hantamkan pada dada Bawung yang keluarkan pekikan 

tertahan.

Seketika itu juga Bawung terpental kebelakang dan 

muntah darah. Dia masih sempat kelojotan saat tubuhnya 

ambruk. Dua kejap kemudian sosoknya diam tak bergerak 

dengan dada menghitam keluarkan asap.

"Hebat!" desis Andika. "Tetapi jurus itu agak kejam. 

Rasanya tak pantas dilakukan oleh gadis seperti 

Werdaningsih. Namun keadaan memang... heil!"

Melihat sesuatu yang janggal, Andika memutus kata-

katanya sendiri. Menyusul tubuhnya berkelebat cepat 

melalui arah sebelah kanan.

Sementara itu. mendapati kawan-kawan yang lain 

sudah tewas, dua lelaki berpakaian hitam hitam yang 

sedang menghadapi Arya Sempala menjadi ngeri. 

Serangan yang mereka lancarkan menjadi kacau balau 

karena mereka berusaha untuk melarikan diri. Namun 

pemuda berpakaian biru gelap ini tak mau membiarkan 

orang-orang itu melarikan diri. Dengan jurus ‘Tebar Cahaya 

Maut’, dicecarnya kedua lelaki berpakaian hitam yang kini 

memucat.

"Kalian tak akan bisa lolos dari tanganku, Manusia-

manusia celaka!!" gcram Arya Sempala terus mencecar.

Serangan demi serangan yang dilancarkan tak mampu 

dihadang oleh kedua lawannya. Dua gebrakan kemudian, 

kedua lawannya sudah terbaring di tanah dan nyawa 

melayang ke neraka.

Arya Sempala meludahi kedua mayat itu dengan geram.

"Manusia-manusia celaka seperti kalian lebih baik

mampus!!" makinya jengkel.

Tatkala dipalingkan kepalanya, dilihatnya Werdaningsih

sedang alirkan tenaga dalamnya pada Jaya Lantung. Arya 

Sempala segera mendekatinya.

"Biar aku yang meneruskan, Werda. Kau lihat keadaan 

Guru...."

Arya Sempala segera alirkan tenaga dalamnya pada 

Jaya Lantung yang duduk bersila. Baru saja dia selesai 

alirkan tenaga dalamnya, terdengar seruan tertahan 

Werdaningsih, "Kang Arya! Kang Jaya Lantung! Guru tidak 

ada?!"

***

4


Kedua pemuda itu segera berkelebat mendekati 

Werdaningsih. Jaya Lanlung langsung bergerak cepat. Dia 

bukan hanya mendatangi tempat di mana tadi diletakkan 

tubuh gurunya di sana, tetapi juga mengelilingi tempat itu. 

Tiga tarikan napas berikutnya, dia sudah kembali lagi ke 

tempat semula dengan wajah tegang.

"Tidak ada...," desisnya gelisah dengan napas berat.

"Tadi di mana kau letakkan Guru, hah?!" seru Arya 

Sempala agak keras.

Jaya Lantung tergagap sejenak. Dia tak segera 

membuka mulut karena sedikit banyaknya merasa 

bersalah.

"Aku... aku... tadi kuletakkan di sini, Kakang...."

"Lalu di mana sekarang, hah'?!" suara Arya Sempala 

bertambah gusar. Sebagai murid yang tertua dia merasa 

bertanggungjawab atas hilangnya sang Guru.

"Aku... aku...."

"Berpencar! Kau pergi bersama Werdaningsih ke arah 

timur! Aku akan menyusuri arah barat!!" kata Arya Sempala 

kemudian dan langsung berkelebat

Sepeninggalnya tak ada yang buka mulut. Jaya Lan tung 

masih tergugup dengan suasana yang tak disangkanya. 

Werdaningsih diam-diam merasa tidak enak dengan situasi 

yang baru saja lerjaili. Apalagi melihat wajah Jaya Lantung 

yang nampak bersalah.

"Kang Jaya... sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Kita 

harus mencari Guru. .."

"Seharusnya aku lidak menurunkan Guru tadi," kata 

Jaya Lantung resah.

"Kang Jaya... apa yang kau lakukan ladi benar. Karena 

secara tidak langsung kau lelah menyelamatkan Guru. 

Sungguh sulit menghadapi lawan sambil menggendong 

Guru," kata Werdaningsih bijaksana Padahal saal ini 

hatinya resah bukan main.

"Seharusnya tadi kau tak perlu membantuku

memulihkan tenaga, Werda. Kau harusnya langsung 

menemui Guru."

"Kang Jaya... jangan bicara begitu. Lebih baik kita 

segera mencari Guru," kata Werdaningsih. Lalu berkata, 

"Kira-kira siapa yang telah membawa Guru? Atau 

mungkinkah Guru yang memang meninggalkan kita?"

Jaya Lantung menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Dugaan yang ada. Guru telah dilarikan seseorang yang 

tentunya bermaksud jahat Kalaupun Guru yang sengaja 

berlalu, tak mungkin. Kendati dia sudah mulai membaik, 

namun lentunya belum memiliki tenaga penuh."

Merasa gembira karena Jaya Lantung dapat diajak 

bercakap-cakap lagi sccara normal, Werdaningsih berkata, 

'Kita berangkat ke arah timur sekarang juga."

Pilihatnya Jaya Lantung masih terdiam. Setelah 

menghela napas dia berkata, "Aku bersumpah... bila terjadi 

sesuatu yang tidak mengenakkan pada Guru, akan 

kucincang orang Itu."

Werdaningsih tak menghiraukan sumpah yang di 

katakan Jaya Lantung. Dia sudah berkelebat ke arah timur 

dengan hati gelisah. Jaya Lantung sendiri segera menyusul 

adik seperguruannya itu.

Tanah yang cukup luas di hadapan bangunan yang 

sebagian telah runtuh itu kembali ditindih sepi. Matahari 

terus beranjak naik ke titik paling atas, menerangi lima 

mayat berpakaian hitam-hitam yang tergeletak di atas 

tanah.

Jauh dari tempat itu, Pendekar Slebor terus berkelebat 

dengan cepat. Sejarak lima belas tombak di hadapannya. 

satu sosok tubuh berpakaian merah-merah terus berlari 

dengan membopong tubuh Malaikat Keadilan.

"Kurang asem! Siapa orang itu?" desis Andika jengkel. 

"Semakin kupercepat lariku, semakin dia menjauh. Jelas-

jelas kalau orang itu memiliki ilmu peringan tubuh yang 

lebih tinggi."

Sambil memaki panjang pendek, anak muda pewaris 

ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini terus menambah ilmu

peringan tubuhnya. Namun seperti yang dikatakannya tadi, 

semakin dia mempercepat larinya, orang yang membopong 

Malaikat Keadilan justru semakin menjauh.

Rupanya, di saat Andika mcmutus kata-katanya tadi, 

karena dia melihat seseorang berpakaian merah- merah 

muncul begitu saja tanpa diketahui dari mana datangnya. 

Lelaki berkumis tebal dengan luka di pipi kanan itu. 

langsung menyambar tubuh Malaikat Keadilan dan 

langsung mcmbawanya pergi.

Andika sendiri segera berkelebat menyusul.

Di depan. lelaki berpakaian mcrah-merah yang 

membopong tubuh Malaikat Keadilan dan mengetahui 

kalau dia diikuti membalin, "Hmmm... rupanya pemuda itu 

masih mengikutiku. Bagus! Dia akan mengalami kejutan 

yang besar di ujung jalan sana!"

Merentanakan sesuatu untuk pemuda yang 

mengikutinya, lelaki berkumis tebal ini sengaja 

memperlambat gcrakannya, hingga jarak antara dia 

dengan Andika semakin dekat. Andika sendiri yang sudah 

jengkel terus kerahkan ilmu pcringan tubuhnya.

Dan dia berseru tatkala sudah memasuki ujung jalan, 

"Orang celaka! Turunkan Malaikat Kecfdilan!!"

Tanpa berpaling dari larinya, orang itu berseru, 

"Mengapa hanya bisa bicara? Mengapa tidak kau sendiri 

yang mengambil lelaki tua yang mau mampus ini?!"

"Kutu monyet! Akan kujitak kepalanya sampai benjol!!" 

maki Andika sambil pereepat larinya.

Sejarak delapan langkah, lelaki berpakaian merah-

merah itu tiba-tiba saja hentikan larinya. Tatkala berpaling 

dia langsung berseru keras, "Sekarangl!"

Belum lagi Andika mengerti apa yang terjadi, mendadak 

saja meluncur empat buah tambang yang langsung 

menjerat kedua kaki dan tangannya Menyusul dirasakan 

betotan yang coba untuk menarik putus kaki dan 

tangannya.

"Kura-kura baulT" rutuk anak muda ini sambil kerahkan 

tenaga dalamnya guna menahan betotan empat buah tali

itu.

Empat buah tambang sebesar lengan seorang bocah itu 

menyentak dan empat sosok tubuh berpentalan ke luar 

dari arah yang berlainan melompat keluar akibat tarikan 

Andika. Namun dengan kaki kanan menahan tanah, 

masing-masing orang dapat menahan tarikan tenaga 

dalam Andika.

Andika mendengus, "Monyet-monyet pitak! Rupa nya 

kalian termasuk orang-orang iseng, hah?!"

Di depan, lelaki berpakaian merah-merah terbahak-

bahak keras. "Anak muda... siapa pun yang mencoba 

menyelamatkan pemberontak celaka ini harus mampus!! 

Hmmm... ingin kulihat kebisaanmu dulu sebelum mampus!!

Tarik dia sampai putus anggota tubuhnya!!"

Mendengar perintah itu, keempat orang berpakaian 

hitam-hitam langsung tarik tali yang masing-masing 

pegang. Tubuh Andika sejenak meregang, namun dengan 

cepat ditahannya. Hingga terjadilah tarik menarik yang kuat 

antara Andika dengan empat orang berpakaian hitam-

hitam itu.

"Kutu monyet!!" maki Andika sambil terus bertahan.

Sungguh sulit mengatasi keadaan ini sebenarnya. 

Karena kedua kaki yang menjadi tumpuan keseimbang-

annya harus diperlahankan dari betotan orang-orang itu. 

Bila saja kakinya berhasil dilarik, sudah bisa dipastikan 

kalau dirinya akan terjengkang dan mudah untuk 

dijatuhkan.

Tetapi memang sulit memperlahankan 

keseimbangannya. Apalagi Secara mendadak dua orang 

yang memegang tambang yang mengikat kedua kakinya, 

mengendurkan tenaganya. Hingga mau tak mau Andika 

yang sedang kerahkan tenaganya terpelanting ke samping 

akibat betotan tenaganya sendiri. Baru saja tubuhnya 

terjatuh, dua orang yang memegang tambang dan 

mengikat kedua tangannya sudah menarik ke depan.

Kembali mau tak mau tubuh pemuda berpakaian hijau 

pupus ini tcrtarik ke depan. Belum lagi dia dapat kuasai

keseimbangannya dua orang yang memegang tambang 

dan mengikat kedua kakinya, sudah mencelat ke depan 

dengan tendangan lurus.

Des! Des!

Dua tendangan telak itu langsung menghantam dada 

Andika yang tersentak kaget. Darah segar menyembur 

keluar. Menyusul dirasakan tarikan pada kedua tangannya 

lagi.

Lelaki berpakaian merah merah tertawa keras, 

"Rupanya tak memiliki kepandaian apa-apa tetapi sudah 

berani lancang untuk menghalangi niat anak buah Manusia 

Muka Kucing! Hmmm... sebelum mampus, kau boleh 

bcrkenalan dulu denganku! Ingat, kau boleh memanggilku, 

si Kaki Kilat karena kepandaianku dalam hal ilmu peringan 

tubuh!!"

"Monyet pitak! Kenapa kau tidak turun sekalian !" 

sentak Andika gusar dan berusaha untuk mengatasi setiap 

penderitaan yang dialaminya.

Dan mendadak saja terdengar seruannya, terlahan 

Karena mendadak tiga orang lelaki berpakaian hitam-

hitam lainnya telah muncul dari tiga arah yang ber-

lawanan, Langsung menebarkan jala besar yang 

mengurung tubuhnya.

Gelagapan Andika berseru keras, "Kucing-kucing bau!!"

Cepat dialirkan tenaga 'Inti Petir' ke seluruh tubuhnya, 

mencoba memutuskan jala itu. Bersamaan dengan itu. 

satu tendangan keras menghantam punggungnya. 

Rupanya salah seorang yang memegang tambang besar 

dan mengikat kaki kanannya, sudah melompat.

Kendati tubuh Andika terhuyung ke depan, namun 

orang yang menendangnya tadi memekik keras. Karena 

dirasakan satu sengatan mendera kaki kanannya. Pe 

gangannya pada tambang itu terlepas dan orang ini jatuh 

tersungkur dengan kaki melepuh.

Melihat hal itu, leiaki berkumis tebal terhenyak kaget. 

Segera saja dia mencelat ke depan setelah melempar 

begitu saja tubuh Malaikat Keadilan. Gerakan kedua

kakinya sangat cepat sekali hingga keluarkan angin

berdesir-desir.

Andika terhenyak mclihatnya. Dia mencoba menahan 

dengan kedua tangan yang segera diangkat, namun saat

itu pula tangan kanan kirinya menyentak ke samping 

karena dua orang yang memegang tambang telah 

menariknya.

Maka tanpa ampun lagi, tendangan kaki kanan dan kiri 

yang dilancarkan si Kaki Kilat telak menghantam dadanya.

Des! Des!

Saat itu pula tubuhnya terhuyung ke belakang. Si Kaki 

Kilat sendiri yang telah berdiri tegak agak terkejut, karena 

dirasakan sengatan pada kedua kakinya. Bila saja saat itu 

Andika tidak dalam keadaan kehilangan keseimbangan, 

sudah dipaslikan kaki kanan kiri si Kaki Kilat akan 

langsung melepuh terkena tenaga 'Inti Petir' yang telah 

dialirkan pada sekujur tubuhnya.

Andika sendiri merasakan tubuhnya dibetot keras 

disertai jala yang makin mengikatnya.

"Busyet!" makinya jengkel.

Hanya dalam tiga kejapan mata saja, tubuh anak muda 

urakan ini telah tertekuk. Dadanya terasa sakit sekali 

karena kedua tangannya yang ditarik ke belakang seperti 

menindih dadanya sendiri. Wajahnya sendiri sudah 

mencang mencong karena tarikan jala yang kuat.

"Kura-kura bau!!" makinya gusar dalam hati. "Kalau aku 

terlepas dari jala keparat ini, akan kujitak kepala mereka 

satu per satu sampai benjol!!"

Lalu Ia berseru konyol, "Hoooiii!! Aku bukan ikan nih! 

Lepaskan dong!!"

Tetapi sudah tentu orang-orang itu tak mau

melepaskannya. Bahkan si Kaki Kilat sudah memberi aba-

aba untuk menghantami tubuh Andika. Kejap itu pula 

dalam keadaan tcrikat kuas, Andika menenma hantaman 

yang keras, bertubi-tubi hingga akhirnya pemuda dari 

Lembah Kutukan ini jatuh pingsan.

Melihat hal itu, lelaki berkumis tebal terbahak-bahak

lebar seraya melangkah mendekati Andika.

"Hhhh! Tak seorang pun yang dapat menyelamatkan 

nyawa Malaikat Keadilan! Satu-satunya stsa pemberontak 

yang menentang kebijaksanaan Manusia Muka Kucing!"

Lalu dengan kaki kanannya, dia menyepak tubuh 

Andika hingga terlentang. Nampak darah segar keluar dari 

hidung dan mulut pemuda urakan itu.

Seringaian bertambah lebar di bibir Kaki Kilat.

"Aku tidak tahu siapa pemuda ini. Kubunuh pun tidak 

jadi masalah karena yang dihendaki oleh Manusia Muka 

Kucing adalah Malaikat Keadilan. Hmmm.. entah apa yang 

diinginkan oleh Manusia Muka Kucing sebenarnya. Hingga 

hari ini, aku belum tahu apa yang diinginkannya kendati dia 

telah menaklukkanku. Menjadi salah seorang tangan 

kanannya sungguh menyenangkan. karena aku dapat 

berlindung dari segala yang merintangi kesenanganku."

Habis membatin begitu, dengan tawa keras lelaki

berkumis lebal ini berseru "Bunuh dia!!"

Serentak orang-orang berpakaian hitam hitam me-

langkah mendekati Andika sambil bersorak-sorai Mem-

bunuh bagi mereka adalah sebuah kesenangan tiada 

banding. Namun belum lagi mereka melakukan perinlah si 

Kaki Kilat, satu gelombang angin raksasa telah menderu 

dengan keluarkan angin menggidikkan.

Hebatnya, gelombang angin itu tidak menghantam 

sosok Andika yang pingsan. melainkan orang-orang 

berpakaian hitam hitam yang saat itu pula langsung terpen-

tal. Lima orang langsung tewas tanpa keluarkan suara. 

Sementara dua orang lagi jatuh pingsan. Akibat lain dari 

gelombang angin yang mendadak muncul, ranggasan 

semak belukar langsung terseret pecah dan tanah munerat 

ke udara.

Terkesiap si Kaki Kilat melihat anak buahnya morat-

marit seperti itu. Segera saja dia balikkan tubuh dan siap 

keluarkan bentakan. Namun mulutnya laksana terkunci. 

Kedua matanya terbeliak kaget.

Kejap itu pula dia langsung jatuhkan tubuh, di hadapan

seseorang berpakaian terbuat dari bulu berwarna belang-

belang yang berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya

"Ketua...."

***

5


Orang yang berdiri di hadapan Kaki Kilat dan tadi 

lepaskan gelombang angin yang menghantam tujuh orang 

anak buah Kaki Kilat, merandek dingin. Orang yang 

tingginya hanya sebahu Kaki Kilat ini memandang lelaki itu 

dengan sorot mala memerah Ada kengerian dalam bagi 

siapa saja yang melihatnya. Rambut orang ini panjang tak 

beraturan dan kenakan pakajan terbuat dari bulu herwarna 

belang-belang. Pada jari-jari tangannya terdapat kuku-kuku 

runcing warna hitam. Dari wujudnya yang aneh, ada 

sebuah keanehan sekaligus kengerian bagi yang 

melihatnya. Wajah lelaki ini mirip kucing!

Saat menyeringai, unlaian kumis jarangnya seperti 

meregang Suaranya agak sengau, "Bagus kau berhasil 

mendapatkan Malaikat Keadilan!"

Kaki Kilat yang tadi geram melihal anak buahnya dibuat 

tunggang langgang dan lima orang mampus sekaligus, 

lamat-lamat bangkit. Kepalanya masih tertunduk saat 

berkata, "Manusia terkutuk ini kupersembahkan unlukmu, 

Ketua..."

"Bagus! Manusia celaka itu akhirnya akan mampus 

juga! Ini semua kebodohan dari mulutnya yang selalu 

terkuncil Kaki Kilat... tahukah kau siapa pemuda 

berpakaian hijau pupus yang pingsan itu?"

Sejenak Kaki Kilat arahkan dulu pada orang yang 

dimaksud sebelum berkata, "Maafkan aku, Ketua... aku 

tidak tahu siapa dia. Tetapi agaknya dia bukanlah orang 

yang menakutkan, karena tak memiliki ilmu tinggi kendati 

berusaha untuk selamatkan Malaikat Keadilan."

Kaki Kilat yang mengharapkan pujian lagi dari lelaki 

muka kucing itu harus menelan keinginannya dalam dada 

saat si leiaki muka kucing geleng-gelengkan kepala.

"Kau salah besar. Pemuda itu memiliki ilmu yang tinggi. 

Hanya dikarenakan serangan mendadak secara bertubi-

lubi saja hingga dia dengan mudah kau kalahkan. Bahkan 

aku yakin, untuk mengalahkanmu, dia hanya memberimu

bernapas tiga gebrakan saja."

"Kurang ajar! Dianggapnya aku ini apa, hah?!" maki Kaki 

Kilat dalam hati. Bila saja yang berbicara tadi bukan 

Manusia Muka Kucing, saat itu pula yang berbicara sudah 

robek mulutnya. Lalu katanya hormat, "Siapakah pemuda 

itu sesungguhnya, Ketua?"

"Dia adalah Pendekar Slebor...."

Melengak Kaki Kilat mendengar ucapan Manusia Muka 

Kudng. Tanpa sadar dia arahkan pandangan pada pemuda 

yang pingsan itu dan herucap pelan, "Pendekar Slebor...."

"Ya! Dialah pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor! 

Pemuda urakan yang kerjanya hanya menghalangi niat 

orang-orang seperti kita untuk berkuasa!"

Kaki Kilat arahkan pandangannya lagi.

"Ketua.. dia kini sudah berada di tangan kita! Lebih baik 

membunuhnya ketimbang nanti menjadi duri dari segala 

rencana yang telah Ketua susun."

"Dia memang tidak tahu apa yang kuhendaki dari 

Pendekar Slebor," kata Manusia Muka Kucing dalam hati 

sambil gelengkan kepalanya. Seringaiannya bcrtambah 

mengerikan.

"Mengapa harus merepotkan diri dengan membunuh 

pemuda itu?" katanya kemudian. "Karena tanpa kita bunuh 

pun dia akan mampus sccara mengerikan"

"Mengapa, Ketua? Bukankah pemuda itu akan 

mcnghalangi segala rencana yang telah Ketua susun?" 

tanya Kaki Kilat yang scsungguhnya ingin mengetahui 

rencana apa yang telah disusun oleh Manusia Muka 

Kucing. "Kupikir... sebaiknya dia dibunuh saja ketimbang 

akan menyusahkan Ketua kelak."

Justru yang didapati hanyalah bentukan keras, "Sejak 

kapan kau berani banyak bertanya, hah?! Dan sejak kapan 

kau kubiarkan mengeluarkan pendapat?"

Ciut hati Kaki Kilat mendengar bentakan orang kendati 

hatinya sungguh geram. Namun sudah tentu dia tak mau 

memperlihalkan kegeramannya karena dia tahu kesaktian 

yang dimiliki lelaki muka kucing ini. Bahkan dua bulan lalu,

dia harus pontang panting menghadapi serangan Manusia 

Muka Kucing. Karena dia bersedia untuk bergabung 

dengannya saja maka hingga hari ini nyawanya masih 

melekat di badan. Demikian pula dengan para anak 

buahnya yang berpakaian serba hitam.

"Ketua... apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Bunuh Malaikat Keadilan'!"

"Bagaimana dengan Pendekar Slebor?"

"Keparat!! Kau jadi banyak bertanya sekarang? Aku 

mempunyai sebuah rencana yang tentunya sangat 

mengejutkan pemuda dari Lembah Kulukan itu! Jalankan 

perintahku!!"

Setelah anggukkan kcpala, perlahan-lahan Kaki Kilat 

melangkah mendekati sosok Malaikat Keadilan yang dalam 

keadaan tertotok. Lelaki tua gagah yang baru saja sembuh 

setelah diobati oleh Pendekar Slebor. hanya sunggingkan 

senyum dengan tatapan lemah.

"Manusia celaka...." desisnya pelan. "Kau hanya me-

nurunkan sengsara pada umat manusia dengan menjadi 

pengikul inanusia celaka bcrjuluk Manusia Muka Kucing. 

Padahal, kau tidak tahu apa yang direncanakan lelaki sesat 

berparas kucing itu sebenarnya...."

"Diaaammm!!" bentak Kaki Kilat keras. "Nyawamu 

sudah berada di tanganku! Bila saja kau mau menuruti apa 

yang diinginkan Manusia Muka Kucing, sudah tentu hingga 

hari ini kau masih dalam keadaan segar bugar!"

"Yang menentukan apakah aku masih schat atau 

sekarat, bukanlah manusia itu! Tetapi Yang Maha Kuasa 

telah menentukan lain untuk nasibku.. ."

"Bagus! Dan rupanya kali ini dia benar-benar hendak 

tentukan nasib sial padamu, Malaikat Keadilan!!"

Malaikat Keadilan cuma tersenyum saja. Bahkan makin 

tersenyum tatkala tangan kanan Kaki Kilat yang 

mengandung tenaga dalam tinggi itu bergerak ke arah 

wajahnya.

Namun seperti dihadang oleh satu tenaga kuat, jotosan 

Kaki Kilat laksana membentur dinding keras.

"Aaakhhh!!" menjerit tertahan lelaki berkumis tebal itu 

hingga surut dua tindak ke belakang. Kepalanya digerak-

gerakkan lalu dengan tatapan gusar dia berseru, 

"Jahanam! Rupanya kau masih punya kebolehan, hah?!"

"Bukankah tadi kukatakan Yang Maha Kuasa 

menentukan lain?" sahut Malaikat Keadilan sambil 

tersenyum lemah.

"Setan alas!! Kucabik-cabik tubuhmu!!"

Dengan kegusaran setinggi langit apalagi Kaki Kilat 

tahu kalau Manusia Muka Kucing menghendaki dia 

bertindak cepat, berulangkali dia lepaskan jotosannya 

pada dada, wajah, bahkan perut Malaikat Keadilan yang 

masih terluka.

Namun lagi-lagi serangan yang dilancarkannya tak 

dapat mengenai sasaran yang diinginkan. Padahal 

Malaikat Keadilan masih terbaring tanpa daya, apalagi 

dalam keadaan terlotok.

Tak hiraukan keinginan keji Kaki Kilat, Malaikat 

Keadilan berkata pada Manusia Muka Kucmg yang tegak 

dengan wajah kucingnya tertekuk, "Apakah kau kini sudah 

puas setelah menemukan Pendekar Slebor?! Bahkan 

dengan mudah kau bisa membunuhnya sekarang! Tetapi 

aku yakin, kau tak akan membunuhnya!

Karena di balik semua ini... ada seseorang yang telah 

membuatmu seperti kerbau dicucuk hidung! Lebih baik... 

katakan saja siapa orang itu?"

"Tutup mulutmu!!" menggelegar suara Manusia Muka 

Kucing keras.

Kaki Kilat yang telah mundur dan hentikan rangkaian 

serangannya sejenak pandangi Manusia Muka Kucing. 

Diam-diam lelaki berkumis tebal ini membatin, "Ada orang 

di balik Manusia Muka Kucing? Siapakah dia sebenarnya? 

Dari ucapan Malaikat Keadilan dan amarah yang 

ditampakkan leiaki berwajah kucing itu, sebenarnya 

memang Pendekar Sleborlah orang yang dicari oleh 

Manusia Muka Kucing. Tetapi mengapa dia tidak segera 

membunuhnya? Apa yang diinginkan sebenarnya'.'"

Terdengar lagi suara Malaikat Keadilan, "Lelaki sesat 

bermuka kucing... lebih baik kau panggil keluar orang yang 

telah membodohimu! Katakan padanya, dia tak akan 

pernah berhasil untuk menjalankan semua rencana 

busuknya!"

"Jahanam! Kurobek mulutmu!!"

Habis makiannya dengan penuh murka membara, 

kedua tangan Manusia Muka Kucing langsung merobek 

anggota tubuh bagian bawah Malaikat Keadilan. Bukan 

wajah, dada dan luka pada perut yang menjadi sasaran. 

Melainkan betis kaki kanan Malaikat Keadilan. Karena, di 

sanalah sesungguhnya letak kekuatan lelaki tua gagah ini. 

Kalaupun dia terluka parah karena bertarung dengan 

Manusia Muka Kucing sebelumnya, ini disebabkan karena 

racun yang terdapat pada kuku-kuku Manusia Muka 

Kucing yang telah masuk melalui robekan pada perulnya, 

telah menjalar ke kedua kakinya Terutama pada kaki 

kanannya.

Begilu kaki kanannya tercabik hingga bukan hanya 

darah yang keluar melainkan sebagian dagingnya yang 

tercacah berhamburan. terdengar lolongan keras Malaikat 

Keadilan.

Sementara Kaki Kilat hanya memperhalikan tertegun, 

Manusia Muka Kucing terus mencabik-cabik kaki kanan 

Malaikat Keadilan, yang terus menerus menjerit keras 

tanpa mampu berbuat apa-apa. Bahkan bergerak pun 

tidak. Bila saja dia tidak dalam lerluka, totokan yang 

dilakukan Kaki Kilat dapat dengan mudah dilepaskan. 

Hingga mau lak mau, lelaki tua perkasa itu harus 

membiarkan kaki kanannya dicabik-cabik.

Hanya tiga kejapan mata saja, tumit kaki kanan 

Malaikat Keadilan telah robek besar. Tubuhnya semakin 

lama semakin melemah.

Kaki Kilat yang masih memperhatikan tersentak tatkala 

terdengar bentakan Manusia Muka Kucing, "Bunuh dial!"

Hanya dengan sekali loncat saja, kaki kanannya telah 

menghantam rengkah kepala Malaikat Keadilan yang

melengak dan keluarkan seruan tertahan. Darah merah

bercampur dengan cairan putih keluar dari kepalanya yang 

pecah.

Menyusul didengarnya kata-kata lelaki berparas kucing

itu. "Letakkan mayat lelaki tua celaka itu disamping sosok 

Pendekar Slebor yang pingsan!!"

Tak berani banyak bertahya, Kaki Kilat melakukan 

pcrinlah itu. Diletakkannya mayat Malaikat Keadilan di 

samping kanan Pendekar Slebor.

"Jangan terlalu dekat, beri jarak dan letakkan pada 

posisi yang berlawanan!"

Kembali Kaki Kilat melakukannya.

"Angkut jala-jala pada tubuh Pendekar Slebor!"

Dengan hati masih diliputi beberapa pertanyaan, Kaki 

Kilat melakukannya dengan cepat. Setelah semuanya 

selesai. terlihat Manusia Muka Kucing terbahak- bahak 

lebar.

"Permainan akan segera dimulai... Dan kuharap, 

permainan ini tak akan mamakan waktu terlalu lama untuk 

mcmberi pelajaran pada Pendekar Slebor sebelum kuba...."

Memutus kata-katanya sendiri, dengan masih diiringi 

tawa, lelaki berparas kucing segera meninggalkan tempat 

itu. Sementara si Kaki Kilat masih memandangi dua sosok 

tubuh yang tergolek. Cukup lama dia memperhatikan 

sebelum akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Hmmm... cerdik, sungguh cerdik...," katanya kemudian. 

"Pendekar Slebor akan mengalami sesuatu yang sangat

mengejutkan. Luar biasa kecerdikan Ketua ..."

Lalu dibawa langkahnya pada dua anak buahnya yang 

jatuh pingsan akibat sambaran gelombang angin yang 

dilepaskan oleh Manusia Muka Kucing.

Sejenak diperhatikannya sebelum dia lakukan tindakan 

yang mengejutkan. Dengan gerakan cepat kepala kedua 

anak buahnya itu langsung diinjaknya sampai rengkah,

yang sesaat mengejut kemudian terkulai. Darah pun 

mengalir perlahan-lahan.

Dengan penuh kemuakan diludahinya mayat kedua

anak buahnya itu.

"Tak berguna sama sekali!!"

Kemudian dia segera berkelebat menyusul Manusia 

Muka Kucing.

***

Angin terus berhembus dan rambatan waktu makin 

bergulir. Senja telah menaungi segenap persada. Beberapa 

helai daun berguguran dihembus angin semilir dan dua 

buah helai tepat mengenai mata Pendekar Slebor.

Sesaat anak muda dari Lembah Kutukan itu menggeliat 

pelan disertai keluhan tertahan. Saat dibuka sepasang 

matanya, dilihatnya alam mulai meredup.

"Kutu monyet!" desisnya begitu menyadari apa yang 

telah terjadi. "Rupanya aku pingsan... dan sudah tentu 

kutu-kutu monyet itu sudah tak ada lagi di sini. Brengsek 

betul! Mereka harus ku... heil!"

Teringat kalau dia sedang berusaha menyelamatkan 

Malaikat Keadilan, Andika buru-buru bangkit. Saat berdiri 

dia agak limbung sejenak karena sekujur tubuhnya masih 

terasa ngilu akibat pukulan dan lendangan orang- orang 

berpakaian hitam-hitam. Buru-buru dialirkan tenaga dalam 

pada seluruh tubuhnya. Ditahannya napas beberapa saat. 

Setelah itu dihembuskannya pcrlahan lahan. Kembali 

tubuhnya dirasakan mulai agak segar kendati rasa ngilu 

masih dirasakan.

Begitu kepalanya ditolehkan ke kanan, dilihatnya satu 

sosok tubuh tergolek menjadi mayat dengan luka- luka 

mengerikan. Buru-buru Pendekar Slebor menghampirinya.

"Keparat! Sungguh keji!" desisnya. Kejap kemudian. 

nampak kedua tangannya bergetar tanda amarah mulai 

naik. "Aku memang belum dapat mengetahui sepenuhnya. 

ada urusan apa sebenarnya Tetapi yang kuketahui adalah 

si Kaki Kilat, juga orang yang berjuluk Manusia Muka 

Kucing yang berada di balik semua ini"

Kembali diarahkan pandangannya pada mayat Malaikat

Keadilan.

"Apa yang sebenarnya ditentang oleh kakek perkasa 

ini? Sepak terjang apa yang telah dilakukan Manusia Muka 

Kucing beserta antek-anteknya?"

Pertanyaan itu langsung ditelan bulat-bulat oleh Andika 

sendiri karena dia memang belum mengetahui 

jawabannya. Lamat-lamat pemuda yang di lehernya melilit 

kain bercorak catur ini berdiri.

Begitu pandangannya diedarkan ke sekeliling, dilihatnya 

mayat-mayat berpakaian hitam-hitam bergeletakan.

"Gila! Apa yang terjadi sebenarnya? Siapa yang telah 

membunuh orang-orang ini?"

Lalu dihampirinya mayat-mayat itu.

"Lima orang mati dengan dada agak menghitam, seperti 

terhantam pukulan yang keras. Dua orang lagi dengan 

kepala pecah. Apakah ada seseorang yang telah muncul ke 

sini? Orang itu berusaha menyelamatkan Malaikat 

Keadilan namun gagal karena lebih dulu dibunuh oleh Kaki 

Kilat? Kalau memang iya, tentunya saat ini orang itu yang 

sedang dikejar oleh Kaki Kilat alau malah scbaliknya?"

Kembali anak muda urakan ini terdiam. Keningnya 

nampak dikerutkan dalam dalam tanda dia berpikir keras.

"Bagaimana bila lernyata yang datang itu justru orang

yang berpihak pada Kaki kilat? Atau paling tidak, 

katakanlah orangyang berjuluk Manusia Muka Kucing 

sendiri? Dia yang membunuh orang-orang berpakaian 

hitam-hitam itu, lantas membunuh Malaikat Keadilan? Ya, 

ya... kemungkinan itulah yang lebih tepat. Dan bisa jadi... 

oh!!"

Menyadari ada masalah yang akan dihadapinya. 

pandangan Pendekar Slebor tertuju pada mayat Malaikat 

Keadilan. Cukup lama dia terdiam dengan sorot tak 

berkedip sementara keningnya dikemyitkan.

"Gila! Licik sekali!" dcsisnya setelali mencernakan apa 

yang ada di pikirannya. "Sudah tentu yang muncul memang 

Manusia Muka Kucing! Dia sengaja membunuh Malaikat 

Keadilan dan meletakkannya tak jauh dariku yang tadi

pingsanl Tentunya dengan maksud, agar orang-orang yang 

mcncari Malaikat Keadilan mengira aku yang telah 

membunuhnya! Monyet pitak! Kucing buduk! Licik sekali 

manusia itu!!"

Kembali pemuda dari Lembah Kutukan ini terdiam. 

Kepalanya digeleng-gelengkan menyadari kelicikan yang 

telah terjadi dan akan menimpa dirinya.

"Aku belum tahu rencana apa sebenarnya yang disusun 

oleh Manusia Kucing Garong itu! Tetapi biar bagaimanapun 

juga, aku akan mencari tahu!!"

Sadar kalau kcsalahpahaman akan segera terjadi, buru-

buru anak muda ini mcngangkat mayat Malaikat Keadilan 

dengan maksud untuk segera mcnguburkannya.

Akan tetapi gerakannya tertahan. karena tiba-tiba saja 

terdengar bentakan menggelegar. "Pemuda keparat! Sejak 

semula aku yakin kau bermaksud membunuh Guru! 

Kendati kau telah mengobatinya, namun sudah tentu itu 

hanya berpura-pura belaka karena kau sedang mencari 

kesempatan unluk membunuhnya dengan mudah Jahanam 

keparat!! Aku harus membalas semua perlakuan busukmu 

itu!!"

***

6


Bersamaan suara yang terdengar keras, satu hamparan 

cahaya bening diiringi angin yang menggemuruh telah 

melabrak ke arahnya. Sejenak Andika tertegun scbelum 

akhirnya melompat cepat ke samping.

Hamparan cahaya bening yang dipadu dengan labrakan 

angin dahsyat itu menghantam tanah yang dipijaknya tadi, 

yang serta-merta terdengar lelupan cukup keras. Menyusul 

terbongkarnya tanah itu yang segera membubung ke 

udara.

"Kutu mbnyet! Bisa konyol kalau aku tidak segera 

menghindar!!" maki Andika gusar.

Namun baru saja kedua kakinya menginjak tanah 

kembali, dua hamparan cahaya bening diiringi bentakan 

keras telah menggebrak lagi, "Pemuda celaka!! Kau harus 

mampus!!"

Tersentak Pendekar Slebor karena dua cahaya bening 

tadi lebih cepat menderu dan yang pertama. Gemuruh yang 

terdengar laksana topan hantam pesisir. Tak ada jalan lain 

kecuali mengangkat tangan kanannya ke atas.

Blaaarr!!

Kendati berhasil atasi dorongan dua cahaya bening tadi, 

namun tubuhnya mau tak mau terhuyung ke belakang. Ini 

disebabkan karena keadaan Andika sendiri belum pulih 

benar, di samping juga dia masih membopong mayat 

Malaikat Keadilan.

"Kau bukan hanya akan mampus, tetapi akan kusiksa 

dulu seperti tentunya kau siksa lebih dulu guruku sebelum 

kau bunuh!! Pergilah ke neraka!!" seruan itu kembali 

terdengar bersamaan lima cahaya bening yang keluarkan 

suara menggemuruh menderu lagi ke arah Andika.

Kali ini si anak muda hanya berusaha untuk hindari 

cahaya-cahaya ganas itu sambil berseru dengan wajah 

menekuk jengkel, "Arya Sempala! Tahan setiap 

seranganmu! Kau salah paham tentang semua ini!!"

Pemuda yang lancarkan jurus 'Tebar Cahaya Maut' dan

ternyata Arya Sempala adanya, sudah tentu tak mau 

hiraukan seruan Andika. Sejak pertama kali jumpa dia 

memang tak mempercayai Andika kendati sudah 

mengetahui kalau Paman Guru-nya lelah tewas di tangan 

Manusia Muka Kucing dari ucapan Bawung.

Pemuda berwajah agak kasar namun memiliki hali 

lembul ini sudah tentu semakin tak suka melihat keadaan 

gurunya. Apalagi begitu dilihatnya mayat-mayat berpakaian 

hitam-hitam. Dia berpikir, kalau gurunya telah diculik oleh 

pemuda berpakaian hijau pupus itu. Dan orang-orang

berpakaian hitam-hitam mencoba mengambilnya namun 

akhirnya mati dibunuh oleh pemuda itu.

Berpikiran demikian, semakin ganas serangan yang 

dilancarkan oleh Arya Sempala. Karena gurunya telah mati, 

dia tak lagi menghiraukan keselamatan gurunya.

Hingga saat itu pula terdengar letupan demi letupan 

dan terbongkarnya tanah di beberapa bagian yang 

membubung halangi pandangan.

Lain halnya dengan Andika. Kendati dapat menjadikan 

mayal Malaikat Keadilan sebagai tameng. namun dia tak 

mau melakukannya. I

"Lama-lama aku bisa celaka bila tak segera kuhentikan 

tindakan Arya Sempala. Kendati perbuatannya membuatku 

agak jengkel, aku masih bisa memaklumi mengapa dia 

lakukan tindakan ini. Sebaiknya, kucoba saja mengatasi 

dan memberikan penjelasan padanya...."

Memutuskan deinikian, mendadak saja anak muda ini 

membuat gerakan seperti menyongsong cahaya bening 

yang meluncur ke arahnya. Dua jengkal lagi cahaya itu 

menghantamnya, cepat anak muda ini memutar tubuh 

kesamping sambil gerakkan tangan kanan karena cahaya 

bening Iainnya telah menderu.

Tenaga Inti Pelir' tingkat kedelapan telah dipergunakan. 

Dan....

Blaammm!!

Cahaya bening itu langsung putus terhantam pukulan 

yang mengandung tenaga 'Inti Petir'. Kejap berikutnya, dia

telah maju sambil gerakkan tangan kanannya lagi pada 

Aiya Sempala yang kali ini tersentak kaget.

Cepat dia buang tubuh ke kin bersamaan dengan kaki 

kanan coba hanlam selangkangan Andika.

Sudah lentu Andika tidak mau kantong menyannya 

pecah.. Seraya geser kaki kirinya ke belakang, cepat 

ditahan tendangan itu dengan turunkan tangan kanannya.

Desss!!

Masing-masing orang surut dua tindak ke belakang dan 

sama-sama goyah. Tetapi Andika yang ingin kesalah

pahaman itu tidak berlarut-larut, segera meluncur kembali 

Kaki kirinya disapukan setengah lingkaran coba hantam 

kedua kaki Arya Sempala yang langsung melompat.

Bersamaan dengan itu, jotosan segera dilepaskan. 

Andika sengaja tidak lagi alirkan tenaga 'Inti Petir" karena 

dia tak mau membuat pemuda berpakaian biru gelap itu 

cidera. Kendati demikian, tubuh Arya Sempala terbanting 

deras di atas tanah saat dadanya telak terhantam pukulan 

Pendekar Slebor.

Menggeram setinggi langit pemuda berwajah agak 

kasar itu seraya mencoba untuk bangkit. Akan tetapi 

totokan yang dilancarkan Andika dengan tetap masih 

memanggul mayat Malaikat Keadilan. telah membuat 

pemuda itu rebah kembali.

Tak bergerak kecuali mata yang gusar dan suara yang 

keras, "Manusia terkutuk Lepaskan lotokanmu! Kita 

bertarung sampai mampus!!"

Di tempatnya Andika yang telah berdiri tegak mencoba 

untuk mengatur napas. Rasa ngilu yang masih tersisa 

akibat hajaran orang-orang berpakaian hitam- hitam 

sebelumnya, terasa agak menyengat.

Setelah dirasakan agak pulih dia berkata, "Arya 

Sempala... jangan turuti kemarahan dalam dadamu 

sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Kau 

hanya...."

"Manusia hina! Kau terlalu banyak berbuat dosa!! . Aku 

mati saat ini pun akan penasaran bila belum

membunuhmu!!" putus Arya Sempala dengan mata terbuka 

lebar.

Andika mendengus dalam hati, "Brengsek juga! 

Ternyata tidak mudah menguraikan kebenaran pada 

pemuda ini. Tetapi yah... aku maklum kalau dia berlaku 

seperti itu."

Kemudian katanya, "Sejak pertama, telah terjadi 

kesalahpahaman di antara kita yang tak mudah untuk 

diluruskan. Bahkan kesalahpahaman ini berlambah 

menjadi setelah kau lihat keadaan gurumu...."

"Karena kau telah membunuhnya!"

Andika tidak hiraukan kata-kata Arya Sempala, 

"Sewaklu. kalian menghadapi orang-orang berpakaian 

hitam-hitam tadi, kulihat seorang lelaki berpakaian me-

rah-merah membawa lari gururmu. Kucoha untuk mc-

nyusulnya. Tetapi sial nasibku karena beberapa orang 

berpakaian merah-merah yang sekarang kau lihat sudah 

mati, telah meringkus dan membuatku pingsan. Kupikir 

nyawaku akan melayang saat itu juga. Akan tetapi, urusan 

berada di tangan lelaki berpakaian hitam-hitam yang 

mengaku berjuluk si Kaki Kilat. Aku sengaja dibiarkan 

hidup. Dan malang nasib gurumu karena dia harus mati.

Aku tidak lahu siapa yang lelah membunuhnya dan juga 

membunuh orang-orang berpakaian hitam-hitam. Yang 

kuketahui sekarang, kalau orang itu telah mencoba 

memfitnahku sebagai orang yang lakukan pembunuhan 

terhadap gurumu...."

"Karena itu memang perbuatanmu!" bentak Arya 

Sempala. "Lepaskan aku! Kita berlarung sampai mampus!!"

"Kutu monyet! Betul-belul keras kepala banget nih 

orang! Huh! Kalau terus menerus kuhadapi sikapnya, hisa 

banyak waktuku yang terbuang! Padahal aku harus 

mcncari kcjelasan lentang semua urusan ini! Terulama 

Manusia Muka Kucingl!"

Berpikir demikian, tanpa hiraukan makian-makian keras 

Arya Sempala, anak muda urakan ini segera turunkan 

jenazah Malaikat Keadilan. Lalu dengan pergunakan

sebatang ranting, digalinya sehuah lubang. Dan segera 

dimakamkan jenazah Malaikat Keadilan.

Lalu kalanya pada Arya Sempala, "Urusan ini memang 

tak bisa diselesaikan sekarang! Kuharap... kau mau 

berpikir jernih dan mencoba mcmpergunakan olakmu 

untuk mcncari kebenaran dari apa yang kujelaskan...."

"Terkutuk! Lepaskan aku!!"

Andika tak mcnghiraukan makian itu. Dia cuma garuk-

garuk kepalanya saja.

"Sulit kuduga ke mana Kaki Kilat atau entah siapa lagi 

berlalu dari sini. Scbaiknya, kujalani saja arah timur!"

Memutuskan dcmikiaii, Andika berkata pada Arya 

Sempala yang masih tergelelak dalam keadaan terlotok, 

"Pergunakan sedikit otakmu! Dan akan kubuktikan hahwa 

aku tidak bersalah dalam urusan matinya Malaikat 

Keadilan! Bahkan, akan kuserahkan orang yang berjuluk 

Manusia Muka Kucing serta Kaki Kilat di hadapanmu!! 

Hanya sayang, padahal aku ingin tahu dari mulutmu dulu, 

apa yang telah terjadi sebenarnya!!"

"Lepaskan aku!!"

Tanpa hiraukan seruan Arya Sempala, Andika sudah 

berkelebat ke arah limur. Tinggal Arya Sempala yang 

memaki-maki keras, hingga suaranya serak dengun 

sendirinya.

"Jahanam terkutuk! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh 

dia!" janjinya geram.

Dan mendadak saja Arya Sempala terkejut. Karena tiga 

kejapan mata kemudian, dirasakan tubuhnya dapat 

digerakkan kembali.

"Keparat!!" makinya gusarseraya melompat berdiri 

Pandangannya ditujukan ke arah yang ditempuh Andika 

tadi. "Pemuda itu benar-henar lihai! Dia dapat menotok ku 

sekaligus mengatur batas totokannya! Huh! Seperti iblis 

neraka kesaktiannya pun aku tak akan urungkan niat 

untuk membunuhnya!!"

Lamat-lamat pemuda berwajah kasar namun 

sesungguhnya memiliki hati lembut ini melangkah

mendekati makam gurunya yang baru saja dibuat oleh 

Andika. Pemuda ini langsung berlutut dengan kedua 

tangan dirangkap di depan dada.

"Guru... maafkan aku.... Aku gagal menjagamu, Guru," 

desisnya pelan. Suaranya agak bergetar tanda dia dilanda 

kepedihan dalam. Namun diusahakan untuk tindih segala 

kesedihannya itu.

Angin berhembus dingin. Beberapa helai daun jatuh 

menimpa kepalanya, dan langsung terhempas ke bumi.

"Tak akan kubiarkan orang-orang celaka yang telah 

memhunuhmu hidup lebih lama lagi. Terutama.... Manusia 

Muka Kucing!! Dialah orang yang telah hancurkan seluruh 

kebahagiaan yang telah kita dapati. Guru...."

Lalu terlihat kepalanya digeleng-gelengkan keras seolah 

buang seluruh persoalan yang mengganggunya.

"Pendekar Slebor... ya, dialah kunci dari semua urusan 

ini.... Manusia Muka Kucing menghendakinya... dan karena 

Guru tak mengatakan di mana dia berada.... Guru harus 

menjadi korban. Ah. aku tidak tahu siapakah yang harus 

disalahkan. Pendekar Slebor-kah yang secara tak langsung 

telah menghancurkan seluruh kebahagiaan yang telah 

kudapat? Atau memang nasib kami yang sedang sial? Huh! 

Sudah tentu semua ini tanggung jawab Manusia Muka 

Kucing!! Urusannya dengan Pendekar Slebor telah 

melibatkan Guru dan para pendekar yang Iainnya!!"

Arya Sempala terdiam sejenak. Masih arahkan 

pandangannya pada makam gurunya, pemuda ini berdiri.

"Guru... akan kubalaskan sakit hanmu.... Akan kubunuh 

pemuda berpakaian hijau pupus yang telah membunuhmu 

secara keji...."

Setelah tarik napas pendek, pemuda ini segera balikkan 

tubuh. Kejap itu pula dia berkelebat ke arah yang telah 

ditempuh Andika tadi.

Rambatan malam telah naungi kegelapan alam gulita. 

Arakan awan hitam menggantung di malam langit, 

sepertinya sebentar lagi akan segera turun hujan.

Dua sosok tubuh terus melangkah di jalan selapak. Di

kanan kiri jalan itu ranggasan semak belukar tumbuh 

sepanjang jalan. Kepekatan malam ditambah lagi dengan 

tingginya jajaran pepohonan. Namun dua sosok tubuh itu 

jelas lak mau hentikan Iangkah mereka sekali pun.

Namun liba di persimpangan jalan, masing-masing 

orang hentikan Iangkah. Pandangan mereka sekarang 

tertuju ke arah kanan, ke arah berkelebatnya seseorang 

yang membuat mereka hentikan Iangkah.

"Kakang Jaya... apakah aku salah melihat, kalau ada 

orang yang barusan berkelebat?" bersuara yang di sebeIah 

kiri.

"Tidak, Werda! Kau tidak salah melihat! Aku juga 

melihat kelebatan orang," sahut yang di sebelah kanan.

"Werdaningsih, sebaiknya kita ikuti saja orang itu! 

Barangkali saja orang itu akan membawa kita untuk me-

ngetahui keadaan Guru!"

Habis kata-katanya, pemuda yang bersuara dan lak lain 

Jaya Lanlung adanya segera berkelebat. Menyusul gadis 

manis berkuncir kuda yang lak lain Werdaningsih.

Masing-masing orang segera kerahkan ilmu peri- rigan 

tubuh mereka untuk mengejar orang yang mereka lihat 

berkelebat tadi. Cukup lama mereka coba untuk buntuti 

orang yang berkelebat, sampai mereka akhirnya hentikan 

Iari di sebuah persimpangan.

Kedua murid Malaikat Keadilan ini perhatikan 

sekelilingnya dengan seksama. Setelah saling pandang, 

Jaya Lantung berkata, "Gagal! Dari caranya berkelebat, 

tentunya orang itu memiliki ilmu peringan tubuh yang 

linggi!"

"Lantas, apa yang kita perbual sekarang, Kang Jaya? 

Mengelahui keadaan Guru hingga saat ini masih buntu. 

Sementara kita sendiri tidak tahu apa yang dialami oleh 

Kang Arya," kata Werdaningsih sambil arahkan 

pandangannya ke kejauhan. Sebuah gunung membentang 

tinggi dilapisi kabul tebal.

Mendengar kata-kata itu Jaya Lantung tarik napas 

pendek. Perasaannya menjadi tidak enak bila mengingat

nasib gurunya.

Tiba-tiba terdengar seruannya, "Ini semua gara-gara 

Manusia Muka Kucing!! Manusia bangsat yang telah 

turunkan petaka!!"

Sesaat Werdaningsih melengak mendengar kerasnya 

suara Jaya Lantung. Dia yang sama sekali tidak bermaksud 

untuk mengusik perasaan Jaya Lantung menjadi tidak 

enak. Namun dalam hati membenarkan juga apa yang 

dikatakan Jaya Lantung barusan.

Tanpa selahu kedua remaja itu, sepasang mata 

memperhatikan dari balik rimbunnya dedaunan sehuah 

pohon besar tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Rupanya Jaya Lantung dan Werdaningsih. Ah, sungguh 

sulit bila aku keluar saat ini. Apalagi kukabarkan tentang 

kematian guru mereka," dcsis pemilik sepasang mata ini 

yang ternyata adalah Pendekar Slebor.

Andika yang tadi berkelebat tahu kalau dia diikuti. Lalu 

dengan'gerakan yang sangat cepat dia langsung melompat 

ke sebuah pohon untuk melihat siapa orang yang 

mengikutinya. Andika juga berpikir untuk tidak segera 

keluar dari tempat persembunyiannya, mengingat mereka 

masih menganggapnya sebagai salah seorang anak buah 

Manusia Muka Kucing.

Sementara itu Werdaningsih sedang berkata, "Kang 

Jaya... maksudku tadi...."

"Aku paham maksudmu, Werda!" potong Jaya Lantung 

sambil turunkan nada suaranya. "Tetapi... semua ini 

dikarenakan Manusia Muka Kucing! Orang bengis berwajah

mirip kucing itu telah memhunuh beberapa orang tokoh 

rimba persilatan! Bahkan dia mencelakakan Guru yang 

tidak mau mengatakan di mana Pendekar Slebor berada!"

Di tempatnya Andika kerutkan kening. "Busyet! Apa-

apaan Jaya Lantung berkata begitu? Mengapa jadi aku 

yang dibawa-bawa? Apa urusannya aku dengan Manusia 

Muka Kucing kalau ternyata dia memang mencariku? Kutu 

monyet! Ada apa sebenarnya ini? Aku makin penasaran 

saja!!"

Terdengar suara Werdaningsih, "Kau benar, Kang Jaya. 

Padahal Guru tidak pernah berjumpa dengan Pendekar 

Slebor, bahkan Guru tidak tahu nama asli Pendekar Slebor. 

Guru memang pernah mendengar tentang sepak terjang 

seorang pemuda dari Lembah Kutukan. Tetapi tidak 

pernah berjumpa dengannya."

"Yah! Gara-gara Pendekar Slebor Iah Guru menjadi 

sasaran kebengisan Manusia Muka Kucing!"

"Kang Jaya... jangan berkata begitu. Walaupun Manusia 

Muka Kucing tidak menanyakan tentang Pendekar Slebor, 

Guru tetap akan menghalangi sepak terjangnya. Bukankah 

Bibi Naga Biru telah tewas di tangan manusia celaka itu, 

gara-gara dia tidak mau mengatakan di mana Pendekar 

Slebor berada?"

Jaya Lantung angguk-anggukkan kepalanya.

"Yah... padahal yang kita ketahui, Bibi Naga Biru cuma 

mendengar sepak terjang Pendekar Slebor saja tanpa 

pernah berjumpa dengan pemuda dari Lembaji Kutukan 

itu."

"Kang Jaya... kita tak perlu berpegang pada Pendekar 

Slebor. Biar bagaimanapun juga, kita harus mencari tahu 

keadaan Guru. Dan mengalasi sepak terjang Manusia 

Muka Kucing beserta antek-anteknya sekuat tenaga."

Jaya Lantung hanya anggukkan kepala. Wajah pemuda 

ini nampak begitu geram sckali. Kedua tinjunva dikepalkan 

crat-erat. Lamat-lamat dia berkata. "Bila saja kita tahu 

seperti apa ciri Pendekar Slebor, tentunya aku akan 

berusaha untuk mencarinya dan meminta bantuannya. 

Sayangnya. kita lidak tahu siapa dia dan di mana dia 

berada...-"

Masing-masing orang tak ada yang buka suara.

Di tempat persembunyiannya Andika berkata dalam 

hati, "Wahh! Kalau kalian tidak tahu siapa aku. nggak 

ngetop juga rupanya! Hmmm... apakah sebaiknya aku 

keluar saja dan kukatakan akulah Pendekar Slebor? 

Tetapi... mereka masih mencungaiku sebagai kaki ta¬ngan 

Manusia Muka Kucing yang juga telah membunuh Paman

Guru mereka. Urusan hisa jadi kapiran. Sebaiknya. 

kubiarkan saja saat ini. Biar hagaimanapun juga. aku ingin 

tahu siapa Manusia Muka Kucing sebenarnya dan 

mengapa dia mencariku. Ada apa sebenarnya di balik 

semua ini hingga manusia Kucing Sarong iu membunuh 

para pendekar yang tidak lahu alaupun kalau lahu menolak 

mcngatakan di mana aku berada. Brcngsek belul! Akan 

kujitak kepala kucing barong ilu!!"

Sementara ilu, Jaya Lantung sedang berlanya, 

"Werdaningsih... apakah kau lelah atau mengantuk?"

Gadis berhidung mancung berkuncir kuda itu

menggelengkan kepalanya.

"Seluruh rasa kantuk dan Ielahku telah hjlang, Kang 

Jaya. Bahkan aku tak akan merasakan kantuk dan lelah 

bila belum mengetahui keadaan Guru."

"Bagus! Haliku pun lak akan tenang bila belum 

mengetahui keadaan Guru dan meringkus orang yang lelah 

menculiknva. Sebaiknya kita leruskan langkah untuk 

mencari Guru!" Ujar Jaya Lantung. Kemudian katanya 

pelan, "Sungguh. kusesali mengapa aku tidak menjaga 

Guru?"

Werdaningsih yang tidak mau Jaya Lantung terbawa lagi 

arus rasa bersalahnya buru-buru berkala, "Sudahlah, Kang 

Jaya. Kau tak perlu mcngingal soal ilu. Kita berangkat 

sekarang"

Jaya Lanlung anggukkan kepalanya.

Kejap berikutnya kedua murid Malaikat Keadilan ini 

mencruskan langkah. ke arah gunung yang jaraknya masih 

rulusan lomhak dari tempat mereka berdiri.

Sepeninggal kedua murid Malaikat Keadilan, Andika 

segera melompat dari tempat persembunyiannya. Anak 

muda urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini 

tarik napas panjang.

"Manusia Muka Kucing mencariku.... Hmm, ada urusan 

apa sebenarnya? Benar-benar kutu tikus! Kucing Barong ilu 

lelah turunkan tangan telengas pada beberapa orang 

pendekar! Hhh…! Sampai kapan pun juga, aku ingin tahu

urusan ini! Dan kuhajar Kucing Barong itu sampai lunggang 

langgang!!"

Sesaat Pendekar Slebor terdiam. Setelah tarik napas 

pendek, anak muda slebor ini segera berkelebat ke arah 

berlawanan yang ditempuh Jaya Lantung dan 

Werdaningsih.

***

7


Pagi kembali datang dengan hamparan pesona vang 

indali Dalam naungan pagi. satu bayangan berkelebat

laksana dikejar sclan. Gerakannva yang luar hiasa cepat 

mcmbuat sosoknya hanya menyerupai bayang-bayang yang

menyeruak di antara rimbunnya semak belukar dan jajaran 

pohon tinggi. Orang vang lak lain Manusia Muka Kucing 

adanya, terus bergerak cepat menuju kc Gunung 

Kertimbang yang masih jauh dari lempatnya.

Pada.scbuah tempat. tiba tiha saja leiaki muka kucing 

ini hentikan kelebatannya. Kepalanya berputar cepat. 

sementara scpasang matanya yang memerah liar 

memandang lak herkedip kc hadapannva.

"Keparat! Kudengar ada gerakan yang mengikutiku tadi! 

Di mana orang yang mau mampus itu berada?!" desisnya 

dingin dalam hati.

Merasa tak perlu mencari tahu siapa orang yang 

mengikutinya, lelaki muka kucing ini kembali teruskan 

kelebatannya. Kali ini mcmasang kedua alat 

pendengarannya lebar-lebar.

Begilu didengarnya kelebatan orang kembali di 

belakangnya, Manusia Muka Kucing langsung putar tubuh. 

Kali ini seraya dorong kedua tangannva.

Wuuss! Wusss!!

Serta-merta menghampar dua gelombang angin yang 

keluarkan suara menggemuruh melabrak. Orang yang 

mengikutinya terkesiap, karena tak menyangka kalau lelaki 

berkumis jarang itu lepaskan serangan mendadak.

Dan mendadak saja orang ini juga dorong kedua 

tangannya ke depan.

Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan 

terdengarnya letupan keras tatkala gelombang angin yang 

keluar dari dorongan kedua tangan Manusia Muka Kucing 

berbenturan dengan gelombang angin yang dilepaskan 

orang itu. Tempat itu kontan bergetar keras.

Manusia Muka Kucingyang hanya surut satu tindak ke

belakang tertawa lebar. Muka kucingnya terlihat lebih 

angker dan mengerikan.

"Hmmm... seorang perempuan jelita bercadar biru! 

Mengapa harus mengikutiku bila mau menjadi pengikutku, 

hah?!"

Orang yang mengikuti Manusia Muka Kucing yang tadi 

surut tiga tindak ke belakang merandek gusar. Sepasang 

matanya yang indah membuka lebih lebar. Dan cadar biru 

tipis yang dikenakannya, nampak bibir memerah itu 

merapat. Hidung mancungnya bergerak-gerak.

Sejurus kemudian perempuan berpakaian serba biru 

dengan sebuah konde kecil yang dihiasi ronce mawar di 

sekeliling kondenya berucap, "Manusia keparat! Kau telah 

membunuh kakak kandungku, si Naga Biru! Pagi ini juga 

seluruh kehidupanmu akan kututup!! Akulah Dewi Cadar 

Biru yang akan hentikan seluruh sepak terjang busukmu!"

Tertawa lebar Manusia Muka Kucing mendengar 

bentakan orang.

"Jadi kau adik kandung Naga Biru? Sungguh me-

nyenangkan! Naga Biru memang patut mati! Pertama, dia 

tak mau mengalakan di mana Pendekar Slebor berada! 

Kedua, dia tak mau menjadi pengikutku!"

"Kucing buduk celaka! Siapa pun orangnya tak perlu

berpikir lagi untuk menolak mengikuti sepak terjangmu!!"

Tawa Manusia Muka Kucing terputus.

"Ucapan perempuan ini sungguh menyakitkanl Hmmm... 

padahal aku harus secepatnya menemui Pimpinan untuk 

mengatakan tentang Pendekar Slebor! Tetapi perempuan 

ini mesti kubunuh lebih dulu ketimbang nanti akan menjadi 

duri! Karena tugas yang lebih besar telah diberikan 

Pimpinan padaku!"

Berpikir demikian, lelaki bermuka kucing ini berkata 

dingin, "Dewi Cadar Biru! Hari ini juga kau akan menyusul 

Naga Biru ke akherat!!"

Hahis seruannya, mendadak saja Manusia Muka Kucing 

dorong tangan kanan kiri ke depan. Dewi Cadar Biru yang 

memang sudah bersiaga, keluarkan dengusan pendek.

Kejap itu pula dia mundur hindari serangan, menyusul 

kedua tangannya didorong ke depan.

Terdengar dentuman keras. Sosok bercadar biru sesaat 

nampak terlihat mundur. Sementara lelaki berparas kucing 

yang pukulannya sempat tertahan sudah mencelat ke 

depan dengan kedua tangan berkelebat.

Terkesiap Dewi Cadar Biru mendapati serangan lawan 

yang demikian cepat. Kedua tangannya diangkat dan 

disilangkan di alas kepala.

Bukkk! Bukkk!!

Dua benturan keras terdengar. Dewi Cadar Biru mundur 

dua tindak dengan tangan terasa ngilu. Di depannya, lelaki 

muka kucing sudah tarik pulang kedua tangannya 

Dirasakan kalau tangannya juga agak ngilu. Tetapi, lelaki 

yang bermaksud menjumpai orang yang dianggap 

Pimpinan ini lak mau membuang waktu lagi.

Kedua tangannya kembali lepaskan pukulan. Malah 

jelas terlihat kalau tenaga yang dikerahkan lebih besar dari 

pukulan yang pertama.

Dewi Cadar Biru sendiri mencoba unluk Iakukan 

bentrokan kembali. Begitu bentrokan terjadi, dia memekik 

lerlahan. Karena kepalan tangan lawan kini sudah 

mengembang mcmbentuk cakar. Langsung menyabet ke 

arah muka!

Wutttt!!

Angin keras berkesiur. Bila saja Dewi Cadar Biru lak 

segera tarik kepalanya ke belakang, sudah bisa dipastikan 

wajah jelitanya akan robek alirkan darah.

"Jahanam! Kini aku tahu dari mana asal luka pada dada 

Naga Biru! Rupanya kuku-kuku manusia kucing sialan ini" 

yang bukan hanya tajam laksana pisau tetapi juga 

mengandung racun keji'"

Menyusul dirasakan bagaimana gelombang angin 

menderu mendahului terjangan Manusia Muka Kucing 

lalkala lelaki berpakaian terbuat dari bulu itu melompat

dengan kedua tangan mencakar ke depan.

Dewi Cadar Biru terkesiap kaget dan dia berusaha

untuk tidak lagi lakukan bentrokan. Karena dipahaminva 

betul akibat apa yang akan dialaminya bila saja dia 

tergores oleh kuku-kuku tajam lawan.

Mendapali kalau serangannya belum juga mengenai 

sasaran. kegeraman semakin merajai dada Manusia Muka 

Kucing. Dengan lepaskan pukulan jarak jauhnya, dia

mcmbuat Dewi Cadar Biru harus pontang-panting. 

Menyusul dengan cara melompat laksana seekor kucing, 

lel berparas kucing ini mcnerkam ganas dengan ge-

rakkan tangan kanan dan kirinya.

Beett! Bett!!

Dewi Cadar Biru memaki-maki tak karuan. Dia terus 

berusaha untuk hindari serangan ganas yang dilancarkan 

Manusia Muka Kucing. Sampai satu ketika, kaki kiri 

Manusia Muka Kucing berhasil menjegal kakinya hingga 

perempuan ini kehilangan keseimbangan.

Menyusul salu tendangan memular lelah menghantam 

dada si perempuan hingga terhuyung.

Manusia Muka Kucing lak mau bertindak ayal Diiringi 

teriakan keras menyusul suara mirip kucing marah. dia 

mclompat dengan gerakkan kedua tangannya yang telah 

berbentuk cakar.

Dewi Cadar Biru berusaha untuk hindari serangan itu 

dengan cara bergulingan. Namun gulingan tubuhnya justru 

tertahan oleh sebuah pohon yang berdiri tegak. Saat itulah 

Manusia Muka Kucing meluruk dengan kaki siap dijejakkan 

pada kepala Dewi Cadar Biru.

"Celaka! Aku bisa mampus sekarang!" desis perempuan 

ini dengan wajah pias.

Namun scbelum maut yang dilurunkan Manusia Muka 

Kucing mengenai sasarannya, mendadak saja satu 

bayangan hijau telah mencelat. Kaki kanan bayang hijau ini 

menyepak pergelangan tangan Manusia Muka Kucing 

sementara tangan kanannya menyambar sosok Dewi Cadar 

Biru.

"Terkutuk!!" menggelegar suara Manusia Muka Kucing 

seraya mundur tiga langkah ke belakang Tangan kanannya

yang tersepak tadi nampak bergetar.

Di Iain pihak, bayangan hijau yang lelah menyambar 

tubuh Dewi Cadar Biru telah berdiri legak sejarak tujuh 

langkah dari hadapan Manusia Muka Kucing.

"O... jadi ini loh orangnya yang berjuluk Cacing Muka 

Buduk? Iiih! Kok geli amat ya julukannya?!" 

***

Di seberang, Manusia Muka Kucing menggereng keras 

tatkala melihat siapa yang telah menyelamatkan Dewi 

Cadar Biru, Sementara perempuan bercadar biru yang 

telah diturunkan, pandangi pemuda berambut gondrong 

acak-acakan.

"Siapa pemuda ini? Menilik cirinya, aku teringat kata-

kata Naga Biru tentang Pendekar Slebor. Apakah dia 

pemuda berjuluk Pendekar Slebor?" batinnya dalam hati.

Manusia Muka Kucing yang sedang geram mendengus. 

Nampak dia hendak buka mulut, namun segera ditutupnya 

rapat-rapat. Otak liciknya telah menelurkan satu permainan 

lain yang diciptakannya.

Mendadak saja dia tertawa keras.

"Pendekar Slebor! Pemuda yang dijunjung tinggi oleh 

orang-orang dungu yang harus mampus di tanganku! Tetapi 

sayang sekali, orang-orang itu tidak tahu siapa kau 

sebenarnya?!"

"Kutu monyet! Kenapa dia bicara seperti itu? Ada apa 

ini?" tanya Andika dalam hati. Lalu sambil garuk-garuk 

kepalanya, anak muda yang memiliki sepasang alis hitam 

legam menukik laksana kepakan sayap elang ini berkata, 

"Eh, sebenarnya kau kenapa sih mencari-cari ku? Mau 

kenal ya? Mau minta tandatangan? Sini, sini! Akan kujitak 

kepalamu sebagai tanda tangan!! Ngomong-ngomong... 

mukamu jelek begitu pakai topeng atau memang asli, 

sih?!"

Mengkelap Manusia Muka Kucing mendengar ejekan 

orang. Mata merahnya berkilat penuh ancaman. Namun

bukan umbar kemarahan, justru tawanya yang kembali 

terdcngar.

"Sungguh bodoh orang-orang yang menyanjungmu, 

Pendekar Slebor! Bila saja mereka tahu siapa kau adanya. 

sudah tentu kau akan dikutuk hahis-habisan!!"

Sementara Andika cuma nyengir, Dewi Cadar Biru diam-

diam membatin, "Benar dugaanku, dia adalah Pendekar 

Slebor. Orang yang diinginkan oleh Manusia Muka Kucing 

hingga membunuh orang-orang seperti kakak kandungku 

karena tak mau mengatakan di mana Pendekar Slebor 

berada. Tetapi yang mengherankanku, mengapa dia tidak 

langsung menangkapnya. padahal orang yang dicari sudah 

berada di hadapannya."

Bersamaan Dewi Cadar Biru berkata dalam hati, Andika 

membuka mulut, "Manusia Kucing Barongl Lebih baik kau 

berlutut dan mohon ampun di hadapanku, untuk 

kuserahkan pada orang-orang golongan lurus yang akan 

mengadilimu!!"

"Huh! Apakah tidak sebaliknya, justru aku yang akan 

menyerahkan kau untuk diadili? Pendekar Slebor! Secara 

keji kau telah membunuh Malaikat Keadilan! Apakah ini 

bukan sebuah bukti dari kcjahatan yang telah kau 

lakukan?!"

Terkcjut Andika mendengar ucapan orang. Dewi Cadar 

Biru sendiri seketika arahkan pandangannya pada Andika. 

Mendadak pula terlihat perempuan yang kondenya dihiasi 

ronce mawar ini bergeser dua Iangkah dari sisinya.

Sementara itu Andika mendengus dalam hati, "Ke-

parat! Dia tengah memancing di air keruh! Menilik 

ucapannya, jelas kalau dia memang tahu kematian 

Malaikat Keadilan! Hmm... bisa jadi memang dialah orang 

yang telah memhunuh Malaikat Keadilan dan meletakkan 

mayatnya di sisiku hingga Arya Sempala menjadi salah 

paham! Celaka betul! Urusan bisa jadi kapiran padahal aku 

belum tahu niatan apa sesungguhnya vang ada di hati 

Manusia Muka Barong ini?!"

Di lain pihak Dewi Cadar Biru membatin. "Malaikat

Keadilan telah lewas? Dan tewas di tangan Pendekar 

Slebor? Oh! Urusan apa yang akan terjadi ini? Kalau 

memang Pendekar Slebor orang yang berdiri di jalan 

kebenaran. mengapa dia membunuh Malaikat Keadilan?!"

"Hhh! 

Membunuhmu sekarang bukanlah urusanku, Pendekar 

Slebor! Karena secara tidak langsung kau telah 

membantuku membunuh orang yang menentang jalanku! 

Biarlah orang lain yang akan menghukum seluruh 

perbuatanmu yang lelah menewaskan Malaikat Keadilan!

seru Manusia Muka Kucing menyeringai lebar.

"Celakal Dia telah sebarkan fitnah!" desis Pendekar 

Slebor dalam hati. Diam-diam diliriknya Dewi Cadar Biru 

yang masih memperhatikannya. "Bisa berabe kalau fitnah 

ini makin tersebar! Huh! Biar kuurus sckarang manusia 

celaka ini!!"

Memutuskan demikian, anak muda ini berseru, "Kau 

telah dapatkan jalan unluk tutupi belangmu dengan cara 

tebarkan fitnah padaku. padahal kaulah yang telah 

membunuh Malaikat Keadilan! Sekarang....

"Mengapa kau masih mungkir?" putus Manusia Muka 

Kucing dengan seringaian bertambah lebar. "Kebetulan 

sekali aku melihat perbuatan terkutukmu itu! Pendekar 

Slebor! Ternyata kita orang-orang segolongan yang suka 

membantai orang-orang golongan putih?! Mengapa kita tak 

segera bergabung saja? Dan sasaran pertama, kita bunuh 

perempuan bercadar biru itu!!"

. Dewi Cadar Biru yang sejak tadi perhatikan Pendekar

Slebor, lamat lamat pandangannya mulai berbalut 

kemarahan. Nuraninya coba buang segala yang tersirat, 

namun dia tak kuasa lakukan.

"Keparat! Sungguh tak kusangka kalau Pendekar Slebor 

telah membunuh Malaikat Keadilan! Tetapi...," perlahan 

diarahkan pandangannya pada Manusia Muka Kucingyang 

masih menyeringai, "Bisa jadi lelaki keparat ini hanya 

tebarkan filnah belaka! Huh! Mengapa aku harus 

memikirkan soal fitnah celakanya itu? Sudah tentu

Manusia Muka Kucingyang telah membunuhnya!!"

Terdengarsuara Pendekar Slebor. "Dosa-dosa yang kau 

buat terlalu banyak! Bahkan...."

Lagi-lagi Manusia Muka Kucingyang mulai melihat 

keraguan meliputi wajab Dewi Cadar Biru memotong kata-

kata Pendekar Slebor, "Apakah dehgan ucapan itu kau 

bermaksud mencuci tangan? Baik! Bila kau memang tak 

mau mengakui perbuatanmu lerhadap Malaikat Keadilan, 

jawab beberapa pertanyaanku!!"

"Celaka! Manusia ini benar-benar telah rentangkan 

jaring fitnah yang keji!" dengus Andika dalam hati. Tetapi 

dia berucap pula, "Apa yang hendak kau lanyakan?"

Manusia Muka Kucing menycringai.

"Apakah Malaikat Keadilan telah mampus?"

Sesaat Andika tak mau menjawab, namun akhirnya dia 

buka mulut juga, "Ya! Dia memang telah mati! Kaulah yang 

membunuhnya?!!"

"O ya?" suara lelaki muka kucing itu sarat dengan 

ejekan. "Apakah kau melihat aku yang telah 

membunuhnya?"

"Tidak! Tetapi aku tahu kalau Kaki Kilat adalah kaki 

tanganmu! Dialah yang telah men...."

"Dari mana kau bisa mengatakan kalau Kaki Kilat 

adalah kaki tanganku? Mengenalnya saja tidak! Pendekar 

Slebor... kau ternyata tak jauh berbeda denganku! Sungguh 

sangat menyenangkan karena memiliki kawan tangguh 

yang sejalan denganku!!"

"Keparat celaka! Mulutmu sungguh keji!!"

"Dan perbuatanmu yang membuat tewas Malaikat 

Keadilan justru meringankan segala keinginanku untuk 

membunuhnya! Dewi Cadar Biru, apakah sekarang kau 

tetap akan menutupi siapa Pendekar Slebor sebenarnya?"

Mendapati pertanyaan ilu, si perempuan yang di 

kondenya melingkar ronce bunga mawar melengak sesaat. 

Pandangannya tajam menusuk pada Manusia Muka Kucing 

yang sedang tersenyum sinis. Kejap kemudian dia berseru, 

"Peduli setan dengan urusannya! Kau tetap akan

naampusdi tangankul!"

"O ya? Dan kau mau mempertahankan selembar nyawa 

pemuda itu kendati jelas-jelas dia telah membunuh 

Malaikat Keadilan? Hahaha... kau akan ditohok dari 

belakang, Dewi Cadar Biru!!"

"Tutup mulutmu!!" bentak Dewi Cadar Biru. Sesaat 

diliriknya Pendekar Slebor yang nampak mulai geram. "Tak 

akan kupercayai sedikit juga apa yang dikatakan keparat 

bermuka kucing itu! Tak akan pernahl!"

Dalam keadaan tak ada yang buka suara. terdengar

tawa Manusia Muka Kucing. "Pendekar Slebor! Mengapa 

kau pakai berlagak kembali hah?! Bunuh perempuan 

bercadar biru itu! Toh sekarang penyamaranmu sebagai 

orang baik-baik telah usai!!"

"Manusia celaka!! Kau hams katakan yang sebenarnya!"

Hahis seruannya, anak muda dari Lembah Kutukan

yang seperti kehilangan omongan, langsung melompat ke 

depan dengan jotosan lurus. Sementara itu Dewi Cadar 

Biru mulai meyakinkan diri kalau apa yang dikatakan 

Manusia Muka Kucing hanyalah fitnahan belaka. Makanya 

dia tak lakukan apa-apa di saat pemuda berpakaian hijau 

pupus itu lancarkan jotosan pada Manusia Muka Kucing. 

Paling tidak. dia juga mengharapkan agar Pendekar Slebor 

mampu mengatasi manusia celaka yang telah membunuh 

kakak kandungnya dan beberapa pendekar lain.

Di tempatnya, Manusia Muka Kucing tersenyum angker 

Dia siap untuk angkat kedua tangannya guna papaki 

jotosan Pendekar Slebor. Namun belum lagi serangan 

Pendekar Slebor berbenturan dengan kedua tangannya. 

mendadak saja terdengar teriakan keras, "Pemuda 

keparat!! Kau harus membayar nyawa guruku dengan 

nyawamu!"

***

8


Bukan hanya Pendekar Slebor yang urungkan 

serangannya pada Manusia Muka Kucing yang segera 

palingkan kepala. Dewi Cadar Biru pun segera arahkan 

pandangan. Kejap itu pula terdengar suaranya, "Arya 

Sempala!!"

Orang yang ladi bersuara keras sejenak anggukkan 

kepalanya pada Dewi Cadar Biru, "Bibi.,.," desisnya hormat. 

Kejap berikutnya, pandangan tajamnya kembali diarahkan 

pada Pendekar Slebor. Disusul kata-kata dingin, "Kini aku 

telah terbebas dari totokan! Urusan nyawa Guru harus 

dituntaskan!!"

Andika sendiri saat itu mengeluh dalam hati, "Kutu 

kampret! Urusan belum diselesaikan, sudah mengembang 

lebih keruh! Bisa-bisa Dewi Cadar Biru akan mencurigaiku 

pula sebagai pembunuh Malaikat Keadilan! Ini gara-

gara...."

Kata-kata ilu terputus tatkala tak dilihatnya lagi sosok 

Manusia Muka Kucing di tcmpatnya.

"Brengsek!" maki anak muda ini lagi dalam hati. 

"Rupanya Kucing Barong ilu pcrgunakan kesempatan untuk 

berlalu! Berabe! Sudah tentu akan bertambah sukar 

jelaskan semua ini pada Arya Sempala!"

Apa yang dipikirkan Andika memang terbukti. 

Sesungguhnya. begitu melihat Manusia Muka Kucing lari, 

Arya Sempala sudah tak sabar untuk lepaskan serangan 

mengingat manusia itulah yang telah membuat 

kebahagiaan yang dimiliki bersama dua saudara dan 

gurunya menjadi sirna. Namun dikarenakan dia masih 

diliputi pikiran kalau yang mcnghabisi nyawa gurunya 

adalah pemuda berpakaian hijau pupus di hadapannya, 

maka sejenak dilupakan soal Manusia Muka Kucing. 

Bahkan tak dihiraukannya kepergian Manusia Muka Kucing 

kendati tadi sempat dilihatnya.

"Pemuda keparat! Kali ini kau tak akan bisa lari dari 

maul yang akan kuturunkan!!"

"Betul-betul sulit sekarang! Dengan kehadirannya jusiru 

membuat Manusia Muka Kucing memiliki kesempatan 

melarikan diri! Padahal inilah kescmpatanku untuk 

mengetahui apa yang direncanakannya! Huh! Aku tak boleh 

buang waktu! Akan sulit menemukan Manusia Muka 

Kucing selanjutnya! Sebaiknya... kucoba untuk 

menjelaskan semua ini pada Arya Sempala!"

Berpikir demikian, anak muda urakan ini segera 

berkata. "Arya Sempala... sudah kukatakan kalau kau 

jangan turuti segala emosi yang akan menyesatkanmu! Aku 

sama sekali tak turunkan tangan pada gurumu! Jusiru aku 

bermaksud untuk menyelamatkannya dari orang yang 

berjuluk Kaki Kilat yang telah menyambarnya!"

"Bukti sudah kulihat di depan mata!"

"Kau hanya melihat aku mcmbopong mayat gurumu, 

bukan?! Kau tidak melihat apakah memang aku yang telah 

turunkan tangan pada gurumu?"

"Pada kenyataannya. Guru mati di tanganmu!!"

Sebelum Andika buka mulut.Dewi Cadar Biru yang sejak 

tadi terdiam buka mulut, "Arya... mengapa kau bisa 

mengatakan kalau pemuda inilah yang telah membunuh 

Kakang Malaikat Keadilan?"

"Bibi...." sahut Arya Sempala tanpa palingkan kepala, 

"Sejak kedatangan pemuda ini dengan menunggangi kuda 

Paman Guru, keadaan menjadi kacau balau! Sudah tentu 

dia adalah salah seorang kaki tangan Manusia Muka 

Kucing yang memang diutus untuk menaiki kuda Paman 

Guru yang lelah dibunuhnya! Dengan berlaku sopan dan 

membantu mcngobati Guru, dia mencoba menarik 

simpatiku, Jaya Lantung dan Werdaning sih! Padahal dia 

mencari kesempatan untuk menjalan kan maksudnya!!"

Mendengar ucapan Arya Sempala. Dewi Cadar Biru 

sejenak terdiam. Sementara Andika sildah gelisah. Ada 

keinginan untuk segera menyusul Manusia Muka Kucing, 

tapi diyakininya betul kalau Arya Sempala tak akan 

mcmberikan kesempatan padanya. Dan dia berharap agar 

dewi Cadar Biru tidak termakan ucapan Manusia Muka

Kucing.

Didengarnya lagi suara perempuan setcngah baya yang 

masih berparas jelita itu pada Arya Sempala, "Seperti yang

dikatakan pemuda ini tadi, lihatkah kau kalau ia 

menurunkan tangan telengas pada Kakang Malaikat 

Keadilan?

Terlihat tatapan Arya Sempala berbinar tidak senang 

mendengar pertanyaan itu. Namun rasa hormatnya pada 

Dewi Cadar Biru. hampir setara dengan hormatnya pada 

Malaikat Keadilan.

Dengan berat hati dia menggelengkan kepalanya.

"Bila memang demikian, bagaimana kau bisa 

menuduhnya?" tanya Dewi Cadar Biru yang rupanya masih 

bisa berpikir jernih.

"Karena... karena... kulihat Guru telah meninggal dalam 

bopongannya."

"Dan kau menuduhnya?"

"Ya, Bibi!"

"Arya semula aku juga sempat dibuat bimbang tatkala 

mendengar ucapan Manusia Muka Kucing tentang pemuda 

ini yang telah membunuh Kakang Malaikat Keadilan. 

Tetapi, aku tak dapat mempercayai ucapannya."

"Bibi! Dia adalah antek-antek manusia celaka itu!" seru 

Arya Sempala sambil menuding Andika.

Yang dituding cuma mendengus pendek.

Dewi Cadar Biru berkata lagi, "Kau salah besar dalam 

hal yang satu itu, Arya. Pemuda ini bukanlah antek-antek 

Manusia Muka Kucing!"

"Bibi jangan terpengaruh oleh ucapannya!!" sahut Arya 

Sempala masih berusaha untuk mempertahankan 

pendapatnya.

"Dia bahkan belum berucap apa-apa. Tetapi perlu 

kauketahui... dialah pemuda yang berjuluk Pendekar

Slebor!!"

Mendengar kata-kata bibiriya, Arya Sempala sampai 

melengak kaget. Sesaat dia masih arahkan pandangannya 

pada Andika. Masih ada binar kcraguan pada mata itu.

."Bibi... bisa saja dia menyamar sebagai Pendekar 

Slebor! Toh Bibi belum pernah berjumpa dengan Pendekar 

Slebor!" serunya kemudian.

“Dan untuk membuktikannya, akan kuminta padanya 

untuk membunuh Manusia Muka Kucing beserta kaki 

tangannya!!"

Arya Sempala arahkan pandangannya lagi pada De¬wi 

Cadar Biru yang sedang menatapnya pula.

"Tetapi Bibi... apakah...."

Seruan Arya Sempala terputus, tatkala dia melirik 

kembali ke tempat di mana Pendekar Slebor berada, sosok 

pemuda itu lelah lenyap dari pandangannya. Sesaat 

pemuda berwajah agak kasar namun memiliki hati lembut 

ini terdiam dengan mulut menganga.

Sikap Arya Sempala memancing perhatian Dewi Cadar 

Biru yang segera palingkan kepala ke tempat di. mana 

Andika tadi berdiri. Lamat-lamat terlihat kepala perempuan 

jelita ini menggeleng-geleng.

"Sungguh luar biasa. Aku bertambah yakin kalau 

pemuda itu memang Pendekar Slebor adanya."

"Bibi...," terdengar kata-kata Arya Sempala, tidak 

sekeras tadi. "Kepalaku semakin berlambah pusing. 

Kematian Guru membuatku tak dapat berpikir jernih, 

Bibi...."

"Arya... apa yang kau lakukan itu sesuatu yang wajar. 

sesuatu yang lumrah dan berhak dilakukan oleh siapa pun 

juga. Beruntunglah karena kau tak terlalu dalam 

terjemurus pada kemarahanmu sendiri...."

"Maafkan aku. Bibi...."

"Terus terang, aku pun sempat goyah begitu mendengar 

ucapan Manusia Muka Kucing. Lelaki itulah yang telah

menjadi pangkal tolak dari bencana ini. Hanya yang tak 

kumengerti, beberapa waklu lalu dia membunuhi siapa 

saja yang tidak bisa atau tidak mau mengatakan di mana 

Pendekar Slebor berada. Tetapi, mengapa di saat berjumpa 

dengan pemuda yang dicarinya dia justru tidak berbuat 

apa-apa? Sungguh, aku tidak mengerti tentang semua

ini...."

Tak ada yang keluarkan suara. Arya Sempala masih 

berdiri mematung. Dia masih lak bisa percayai keterangan 

bibinya sekaligus pandangannya karena hanya sekejap dia 

palingkan kepala pada Dewi Cadar Biru sebelum arahkan 

kembali pada sosok Pendekar Slebor. Namun pemuda itu 

sudah tak ada di lempatnya.

Didengarnya suara Dewi Cadar Biru, "Arya... ke mana 

Jaya Lantung dan Werdaningsih?"

Arya Sempala segera cerilakan apa yang terjadi 

sebelumnya. Setelah itu Dewi Cadar Biru berkata lagi, 

"Lebih baik, kita bersama-sama menyusuri jejak Manusia 

Muka Kucing!!"

Tanpa menunggu jawaban dari pemuda ilu, perempuan 

yang pada kondenya dikelilingi untaian mawar merah 

sudah berkelebat. Arya Sempala tarik napas dulu sesaat

sebelum menyusul bibinya.

Tatkala senja hampir berujung dan mcmasuki satu 

kawasan penuh berumput, Jaya Lantung memperlambat 

larinya. Di sebelah kanannya, Werdaningsih melakukan hal 

yang sama.Sekitar berjarak seratus tombak, Gunung 

Kerambang tetap berdiri tegak.

Melewati separuh tempat berumput, mendadak Jaya 

Lantung hentikan larinya dengan tangan kanan terangkat 

memberi tanda pada Werdaningsih. Wcrdaningsih yang 

mengerti mengapa Jaya Lantung hentikan larinya. tegak di 

samping pemuda itu.

"Kalau sebelumnya kita lihat satu bayangan hijau 

berkelebat, kali ini bayangan merah-merah," desis Jaya 

Lantung dengan mata agak menyipit ke depan.

"Kang Jaya... ingatkah kau akan seorang lelaki biadab 

yang kenakan pakaian merah merah?" tanya Werdaningsih 

yang juga melihat bayangan merah berkelebat sejarak 

sepuluh tombak dari saat mereka berlari tadi.

Jaya Lantung sesaat tak buka mulut. Kcjap kemudian 

dia mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kaki Kilat!" desisnya kemudian. "Werda! Manusia itu

adalah kaki tangan Manusia Muka Kucing! Ayo, kita susul 

dia!!"

Habis katakatanya, Jaya Lantung segera melompat ke 

depan dan berlari kembali. Werdaningsih pun bergerak 

pula.

Bayangan merah yang berkelebat tadi dan memang 

Kaki Kilat adanya, rupanya sempal pula melihat kehadiran 

kedua remaja itu. Sambil berlari dia berpikir. "Hmmm... 

kalau tidak salah lihat, mereka adalah murid- murid 

Malaikat Keadilan. Huh! Bila saja Malaikat Keadilan belum 

mampus, sudah kuganyang keduanya! Tetapi lebih baik 

aku menuju Gunung Kerambang. Memang sulit mengejar 

Manusia Muka Kucing yang larinya sangat cepat. Hmmm... 

hingga saat ini, aku belum tahu apa yang diinginkan oleh 

lelaki muka kucing itu. Baiknya, kucoba mencari 

keterangan... "

Berpikir demikian, Kaki Kilat terus berlari.

Di belakang, Jaya Lantung dan Werdaningsih kerahkan 

ilmu peringan tubuh yang mereka miliki. Namun Kaki Kilat 

yang mempunyai ilmu peringan tubuh lebih tinggi 

ketimbang tenaga dalam yang dimilikinya, sudah tentu tak 

akan tersusul oleh kedua murid Malaikat Keadilan itu.

Sambil terus kerahkan ilmu peringan tubuh, keduanya 

mendengar suara letupan yang sangat keras. Dan letupan 

yang terjadi ilu justru menambah semangat keduanya.

Di satu tcmpat, keduanya berhasil melihat sosok Kaki 

Kilat. Bukan dikarenakan mereka lebih cepat berlari dari 

Kaki Kilat, melainkan karena Kaki Kilat sedang tegak 

berdiri sambil memandang lak berkedip ke depan.

Sejarak sepuluh Iangkah dari tempatnya berdiri, 

nampak scbuah lubang menganga di atas tanah yang di 

bagian samping kanan kirinya ditumbuhi rumput tebal. Di 

sekitar lubang tcrlihat hamburan tanah tak beraturan.

"Sialan! Siapa yang harusan lepaskan serangan pa-

daku?" desis lelaki berpakaian merah merah ini dengan 

tatapan waspada.

Rupanya, di saat Kaki Kilat terus berlari, mendadak saja

serangkum angin deras menderu. Bukan ke arahnya, 

melainkan pada tanah di depannya yang langsung 

terhantam rengkah.

Kejap ilu pula Kaki Kilat palingkan kcpala ke kanan, dari 

mana datangnya gelombang angin tadi. Matanya tetap tak 

berkedip. Menyusul desisannya bernada jengkel terdengar, 

"Jahanam! Tak ada batu besar di sini, tak ada pohon yang 

dapat mengganggu pandangan kecuali rumput setinggi 

lutut. Seharusnya orang iseng yang lepaskan serangan 

dapat kulihat sosoknya. Tetapi dia justru tak nampak di 

depan mataku."

Kembali lelaki berkumis tebal dengan luka di pipi kanan

ini edarkan pandangan ke sekelilingnya. Yang nampak di 

matanya hanyalah jajaran rerumputan setinggi lutut 

belaka. Angin senja terus berhembus, mulai terasa dingin.

Selang tiga tarikan napas berikutnya, Jaya Lantung dan 

Werdaningsih yang mengejar lelaki itu telah tiba. Masing-

masing orang segera hentikan larinya sejarak

dua i irtojK uari tempat Kaki Kilal berdiri.

Jaya Lantung langsung keluarkan bentakan, "Rupanya 

memang benar. kalau manusia celaka seperti kaulah yang 

berlari seperti diburu setan!"

Kaki Kilat bersuara tanpa putar tubuh, "Jaya Lantung! 

Tak kuhendaki lagi nyawamu dan nyawa gadis itu! Tetapi. 

aku menghendaki tubuh gadis itu!!"

"Jahanam!!" maki Werdaningsih geram. "Lebih baik kau 

mampus. Manusia Keparat!!"

Tangan kanannya segera diangkat dan didorong 

kedepan. Serta-merta mcnghampar gelombang angin yang 

keluarkan suara nienggemuruh ke arah Kaki Kilat.

Kaki Kilat yang masih berdiri tegak membelakangi 

keduanya, hanya mendengus pendek. Kejap ilu pula dia 

segera menggeser kaki kirinya ke samping. Gelombang 

angin yang dikeluar dari dorongan tangan kanan 

Werdaningsih menghantam tempat kosong.

Namun gadis yang sudah marah mendengar ucapan 

kotor Kaki Kilat, sudah mencelat ke depan dengan jotosan

tangan kanan dan kiri.

Kaki Kilat yang sebenarnya sudah tak berkeinginan 

membunuh kedua remaja ini karena Malaikat Keadilan 

telah mampus, kembali mendengus. Bersamaan jotosan 

tangan kanan kiri Werdaningsih siap hantam punggungnya, 

dia segera berhalik dan gerakkan kedua tangannya pula.

Buukk! Buuukk!

Bcnturan dua pasang tangan itu terjadi. Begitu 

berbenturan, sosok Werdaningsih agak surut tiga tindak ke 

belakang, sementara Kaki Kilat tetap legak. Pandangannya 

begitu gusar sekali. Namun lelaki berkumis tebal ini tak 

segera buka mulut, karena dia masih memikirkan tentang 

orang yang sebelumnya lepaskan serangan dan secara tak 

langsung halangi langkahnya.

Melihat Werdaningsih surut, Jaya Lantung segera 

mencelat ke depan. Anak muda gagah ini tak mau 

bertindak ayal.Dia langsung keluarkan jurus 'Tebar Cahaya 

Maut' yang serta-merta kedua tangannya membias cahaya 

bening.

Saat itu pula disertai teriakan mengguntur. tangan 

kanan dan kirinya didorong ke depan. Dua cahaya bening 

segera menggebrak cepat.

Tcrsentak Kaki Kilat mendapati betapa ganasnya dua 

cahaya bening yang diiringi gemuruh angin itu mengarah 

padanya. Tetapi rupanya leiaki berpakaian merah ini tak 

mau bertindak ayal. Dia segera mendorong kedua 

tangannya pula ke depan.

Blaaarrl!

Letupan keras terdengar begitu gelombang angin yang 

keluar dari dorongan kedua tangan Kaki Kilat bertemu 

dengan cahaya bening yang dilepaskan Jaya Lantung. 

Kontan cahaya itu muncrat ke udara.

Kendati berhasil atasi dorongan dua cahaya bening tadi, 

sosok leiaki berkumis tebal ini terhuyung ke belakang. Dan 

belum lagi dia berdiri tegak. Werdaningsih sudah lakukan 

serangan yang sama dengan Jaya Lantung.

"Terkutuk!!" maki Kaki Kilat mulai geram. Kalau tadi dia

tak ingin membunuh keduanya, kali ini niatan itu lenyap.

Namun untuk maju mendekat lancarkan serangan, 

sudah tentu lak mudah dilakukan. Karena serangan-

serangan cahaya bening discrtai labrakan angin keras yang 

dilepaskan kedua murid Malaikat Keadilan itu terus 

menutupi gerakan Kaki Kilat.

Hanya karena ilmu peringan tubuh yang dimilikinya 

lebih tinggi saja, hingga saat ini Kaki Kilat masih bisa 

hindari setiap serangannya. Namun seliap kali dia 

mencoba maju dengan lancarkan tendangan kedua 

kakinya yang sangat cepat. kejap itu pula dia langsung 

mundur karena cahaya-cahaya bening telah melingkari 

setiap langkahnya.

"Celaka!! Kalau kubiarkan begini, aku bisa konyol!!"

Mendadak saja begitu serangan cahaya-cahaya bening 

ilu menderu kembali ke arahnya, Kaki Kilat langsung 

membuang tubuh ke belakang. Bersamaan kedua kakinya 

menjejak tanah, tubuhnya langsung mencelat ke belakang 

dan langsung mencelat ke depan dengan memhuat 

gerakan setengah lingkaran kc samping kanan.

Kejap ilu pula kedua kakinya menderu, bergerak 

dengan tubuh seperti meluncur namun kedua kaki men-

dahului.

"Kalian akan mampus menyusul guru kalian!!"

Terkesiap Werdaningsih karena serangan itu meng-

arah padanya, lebih kaget lagi mendengar ucapan Kaki 

Kilat. Terburu-buru dia merunduk untuk hindari hajaran 

kedua kaki lawan yang mengarah pada kepalanya.

Namun begitu dia merunduk, kedua kaki lelaki berumis 

tebal yang dapat bergerak laksana kilat kembali bergerak. 

Kali ini kedua tangan lelaki itu berpijak pada tanah. 

sementara kedua kakinya menyepak laksana seekor kuda 

liar. Bahkan gerakannya lebih cepat dan ganas.

Melihat bahaya yang akan menimpa adik 

seperguruannya, Jaya Lantung cepat kibaskan tangan 

kanannya.

Wuuuttilll

Cahaya bening melabrak ke arah kaki leiaki berkumis 

tebal yang kejap itu pula segera tarik pulang kedua 

kakinya. Akan tetapi, kaki kirinya masih sempat mendarat

pada lutut Werdaningsih yang seketika terjengkang ke 

depan. Bila saja Jaya Lantung tak bergerak sigap, dapat 

dipastikan kalau Werdaningsih akan terjerembab.

Dan itulah keuntungan yang didapat Kaki Kilat. Begitu 

Jaya Lantung menangkap tubuh Werdaningsih, kaki kanan 

kirinya kembali bergerak.

Terkejut Jaya Lantung berusaha untuk menghindar 

Namun karena kaki kanan kiri lawan lebih cepat dari 

gerakannya, tanpa ampun lagi punggungnya terhantam 

dua kali.

Tersungkur pemuda berbaju putih ini ke depan. 

Kesempatan semacam itu sudah tentu tak disia-siakan 

oleh Kaki Kilat, yang serta-merta melesat ke depan.

Akan tetapi, satu papakan yang cukup keras 

menghentikan serangannya dan membuatnya mundur ke 

belakang. Serta-merta kepalanya diarahkan ke kanan. Ker 

jap itu pula terdengar geramannya dengan kedua tinju kuat 

terkepal. Menyusul bentakannya, "Keparat! Rupanya kau 

belum puas kubuat pingsan waktu iiu, Pendekar Slebor!!"

***

9


Orang yang tadi membuat Kaki Kilat urungkan niat

untuk menghantam Jaya Lantung dan memang Pendekar 

Slebor adanya, cuma nyengir saja sambil garuk- garuk 

kcpalanya. Sementara itu, Jaya Lantung yang telah 

balikkan tubuh dan bersiaga bila ada serangan yang 

datang kembali padanya, nampak beliakkan matanya. Tak 

jauh darinya Werdaningsih terdiam dengan kening 

berkerut.

Gadis berkucir kuda yang sama sekali tak melihat 

gerakan yang dilakukan pemuda berpakaian hijau pupus 

itu di saat halangi niat Kaki Kilat berkata dalam hati, 

"Diakah orangnya?"

Cukup lama gadis ini menatap Pendekar Slebor 

sebelum mencelat mendekati Jaya Lantung. Sambil 

membantu pemuda itu untuk berdiri dia bcrbisik, "Kang 

Jaya... tidakkah kau dengar kata-kata lelaki celaka itu 

tadi?"

Masih pandangi pemuda berpakaian hijau pupus yang 

nyengir itu, Jaya Lantung angguk-anggukkan kepalanya.

"Pendekar Slebor...," desisnya pelan.

"Ingatkah kau mengapa Guru sampai terlibat urusan 

dengan Manusia Muka Kucing?" tanya Werdaningsih pelan. 

pandangannya pun masih ditujukan pada Andika.

"Ya. Manusia Muka Kucing memaksa Guru mengatakan 

di mana Pendekar Slehor berada."

"Dan tidak tahunya... pemuda yang telah menolong 

Guru waktu itu, adalah Pendekar Slebor, Kang Jaya."

"Ya, aku dan Kang Arya telah salah menduga siapa dia 

sebenarnya. Ternyata... dia bukanlah salah seorang antek 

dari Manusia Muka Kucing, melainkan orang yang justru 

dicari manusia celaka itu...."

Sementara keduanya berbisik-bisik dengan pandangan 

tetap mengarah pada Pendekar Slebor, Kaki Kilat maju dua 

langkah ke muka. Sepasang pelipisnya bergerak-gerak 

hingga luka pada pipi kanannya seperti membuka

menutup. Dengan sorot mata tajam, dia berucap dingin, 

"Benar-benar pemuda celaka! Rupanya kau belum puas 

kubuat pingsan?!"

Mendengar bentakan orang, anak muda urakan itu 

cuma angkat sepasang alis hitamnya. Lalu katanya 

berseloroh, "Ah, kenapa bicara begitu'.' Aku jadi malu? 

Ngomong-ngomong... siapa sih yang telah mencelaka kan 

orang-orangmu itu?"

"Kalau waktu itu kau kubiarkan hidup, kali ini kau akan 

mampus!!" geram Kaki Kilat tanpa hiraukan pertanyaan 

Andika.

"Wah! Mana bisa begitu? Kan waktu itu aku cuma pura-

pura saja," sahut Andika sambil angkat sepasang alis 

hitamnya. "Eh, ngomong-ngomong lagi... kau yang telah 

membunuh Malaikat Keadilan, ya? Bagus kalau kau 

mengaku!!"

"Dan kau akan menyusul manusia celaka itu ke 

akherat!!" sengat Kaki Kilat seraya menerjang ke depan. 

Kaki kanan kirinya sudah bergerak. seolah menjelma 

menjadi puluhan.

Namun belum lagi serangan itu kena sasarannya, 

Werdaningsih sudah memotong dengan satu dorongan 

keras. Serangkum cahaya bening yang keluarkan angin 

gcmuruh mcmbuat lesatan tubuh Kaki Kilat menjadi urung.

"Jahanam!!"

Bersamaan terdengur suara letupan tatkala cahaya 

bening yang keluar dari dorongan kedua tangan 

Werdaningsih menghantam tanah yang seketika 

terbongkar ke udara, dengan tangan kanan menumpu 

pada tanah. Kaki Kilat sudah mencelat. Kali ini kedua 

kakinya bergerak ke atas, siap hantam kcpala 

Werdaningsih.

Terkesiap Werdaningsih yang sedang lancarkan 

gempuran kembali. Sambil berseru tertahan, gadis berkucir 

kuda ini melompat mundur. Namun tanpa disangkanya, 

Kaki Kilat mengejar dengan kedua kakinya yang bergerak 

Gepat dan keluarkan desingan angin kuat.

Werdaningsih kali ini benar-henar memekik. Jaya 

Lantung yang siap melompat untuk menahan serangan 

lelaki berpakaian merah merah itu, hanya bisa lakukan 

gerakan dua tindak ke depan. Karena mendadak saja 

dilihatnya satu bayangan hijau lelah mencelat menda-

hului.

Tangan kanan bayangan hijau ilu memukul kaki kanan 

Kaki Kilat, menyusul kaki kirinya menyepak paha kiri si 

Kaki Kilat. Tanpa ampun lagi, lelaki tinggi besar ilu 

langsung terbanting ke tanah.

Menyusul didengarnya suara mengejek. "Busyet! Kupikir 

ada nangka busuk?! Eh, tidak lahunya tikus busuk!!"

Mengkelap wajah Kaki Kilat mendengar ejekan dari si 

Bayangan Hijau yang tak lain Pendekar Slebor. Sambil 

gelengkan kepala cepat disertai gerengan penuh amarah. 

lelaki tinggi besar ini cepat berdiri. Namun baru saja dia 

lakukan, mendadak sosoknya terjatuh kembali.

"Gila!!" desisnya keras karena dirasakan satu sengatan 

listrik pada kaki kanannya.

Tanpa sadar tangan kanan kirinya memegang paha nya. 

Wajahnya sekelika berubah memucat. Untuk sesaat lelaki 

tinggi besar ini terkcjut menyadari apa yang terjadi pada 

dirinya. Namun kejap itu pula dia angkat kepalanya disertai 

seruan, "Pemuda keparat!! Kau telah menotokku, hah'.'!!"

Melihat hal itu. Pendekar Slebor yang tadi memukul 

kemudian dengan gerakan cepat lakukan sebuah totokan 

pada paha Kaki Kilat dengan pergunakan tenaga Inti Petir 

tingkat kesembilan, cuma nyengir saja.

"Waduhl Kenapa sih? Kok selalu aku yang disalahkan?" 

serunya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal 

"Daripada kau marah-marah begitu, lebih baik katakan 

saja. di mana Manusia Kucing Barong tinggal?!" 

"Hhhh! Tak sepatah kata pun akan terucap dari mulutku 

untuk menjadi seorang pengkhianat'

"Ya, kalau mau begitu, tidak apa-apa. Tetapi rasanya 

lebih asyik, bila kau kubuat berjingkat-jingkat'"

Memucat wajah Kaki Kilat mendengar ucapan Pendekar

Slebor.

"Terkutuk! Gerakan yang dilakukan pemuda ini sungguh 

Iihai dan cepat! Tenaganya seperti memiliki tenaga petir

yang mengerikan! Apakah tenaga itu yang diinginkan oleh 

Manusia Muka Kucing Keparat!! Sampai hari ini pun aku 

belum tahu apa yang dihendaki Manusia Muka Kucing 

padanya? Dan sialnya aku sudah dalam keadaan setengah 

tak berdaya seperti ini!" 

"Wah wah! Kau kok belum menjawab juga, ya? Kalau 

begitu sebaiknya...."

Kata kata Andika terputus tatkala terdengar teriakan 

mengguntur dari Werdaningsih. Rupanya, gadis jelita yang 

kini tahu kalau gurunya telah tewas dibunuh Kaki ilat 

sudah menderu ke depan

Lesatan tubuhnya begitu cepat sekali hingga yang 

nampak hanya bayangan belaka. Tangan kanan kirinya 

nampak keluarkan cahaya bening.

Andika yang hendak mencoba mengorek keterangan 

dari Kaki Kilat, tersentak melihat maut yang akan 

diturunkan Werdaningsih pada Kaki Kilat. Cepat anak 

muda urakan ini hempos tubuh untuk menahan serangan 

Werdaningsih

Namun dua gelombang angin dipadu dua cahaya bening

lainnya sudah mcngarah padanya. Rupanya, kendati kini 

menyadari siapa pemuda berhaju hijau pupus adanya, Jaya 

Lantungjuga tak ingin pemuda itu halangi maksud 

Werdaningsih Dia juga geram menyadari gurunya telah 

tewas.

"Heiiii!!"

Lesatan lubuh Andika seketika tertahan karena dia 

harus mcnghindar dulu. Kejap itu pula dengan cepat 

pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini 

gerakkan tangannya ke depan.

Blaaammm!!

Dua cahaya bening itu. langsung muncrat berantakan 

begitu mcnghantam kedua tangannya yang ditekuk ke atas 

dan telah dialiri tenaga "Inti Petir". Namun karena

gerakannya sempat tertahan, maka Andika tak mampu 

untuk tahan serangan Werdaningsih pada Kaki Kilat.

Kaki Kilat sendiri yang merasa masih nyeri pada kaki 

kanannya, cuma dapat gerakkan kaki kiri, berupaya untuk 

menahan gempuran Werdaningsih. Dia memang dapat 

melakukannya. Namun tak seberapa kuat. Dan berarti dia 

tak mampu menolong dirinya dari gempuran Werdaningsih.

Maka tanpa ampun lagi. pukulan Werdaningsih 

menghantam telak dadanya, Seketika tubuh lelaki tinggi 

besar itu terseret ke belakang dan langsung rebah di atas 

tanah dengan napas kembang kempis. Sesaat nampak 

mulutnya menggembung. Kejap kemudian, dia melengak

ke depan. Serta-merta menyembur darah agak hitam tanda 

dia terluka dalam. Sehagian membasahi pakaiannya yang 

semakin pekat berwarna merah.

Tahanl!" desis Andika begitu dilihatnya Werdaningsih 

kembali memburu ke arah Kaki Kilat.

Gadis itu menahan langkahnya dan herpaling. Sesaat 

pandangannya tajam menatap, menyusul kata-katanya, 

"Kenapa kau menahanku?"

"Werdaningsih... aku tahu. pukulan yang telah kau 

lancarkan tak mematikan, hanya bermaksud untuk me-

nyiksa lelaki itu. Tetapi. apakah dengan yang kau lakukan 

itu kau justru merasa senang? Atau, kau melakukannya 

dengan maksud membalas sakit hati gurumu?"

Terkejut Werdaningsih mendengar kata-kata pemuda 

yang berdiri sejarak delapan tindak dari tempatnya berdiri. 

Untuk sesaat dia memandang dengan sepasang mata agak 

membuka. Di lain saat dia membatin, "Luar biasa! Dia tahu 

kalau pukulanku tidak mematikan! Dan dia tahu kalau aku 

bermaksud untuk menyiksa lelaki keparat itu! Sungguh 

hebat!"

Apa yang dibatinkan Jaya Lantung pun sebenarnya tak 

jauh berbeda. dalam arti keterkejutan. Namun 

keterkejutannya lain sama sekali.

"Gila! Aku tidak tahu maksud Werdaningsih! Yang 

kutahu kalau dia ingin membunuh lelaki jahanam itu!

Tetapi... pemuda yang kutaksir usianya tak jauh berbeda 

denganku dapat mengetahui kalau pukulan yang dila-

kukan Werdaningsih lidak mematikanl Sungguh luar biasa! 

Pantas kalau Manusia Muka Kucing bermaksud 

mencarinya. Sudah tentu dengan tujuan membunuhnya!!"

Sementara itu, Andika cuma nyengir saja. Anak muda ini 

sebenarnya semula tidak menyadari kalau pukulan 

Werdaningsih tidak mematikan. Itu baru disadarinya 

tatkala dirasakan gerakan yang dilakukan Werdaningsih 

lebih dekat.

Kejap kemudian dia berkata. "Lelaki itu yang kutahu 

adalah kaki tangan Manusia Muka Kucing. Sementara 

hingga saat ini aku belum mengetahui apa maksud dari 

Manusia Muka Kucing sebenarnya mencariku. Karena, di 

saat berjumpa denganku, dia tak lakukan apa- apa...."

Bukan hanya Jaya Lantung dan Werdaningsih yang 

arahkan pandangan. Kaki Kilat yang masih tergelelak 

dengan dada terasa sakit dan sesak, berusaha untuk 

angkat kepala memandang pada Pendekar Slebor. Namun 

keinginan itu tak kuasa dilakukannya, karena saat dia 

mencoba mengangkat kepala, dadanya seperti kian 

tertusuk.

"Pendekar Slebor...," desis Werdaningsih kemudian. 

Sebelum dilanjutkan kata-katanya, gadis ini tarik napas 

pendek, seolah tindih kepedihan yang dirasakan tentang 

nasib gurunya. "Mengapa kau berkata demikian? Apakah 

kau berjumpa dongan Manusia Muka Kucing?" Andika 

anggukkan kepalanya. Lalu diceritakan tentang fitnah yang 

dialaminya dan kejadian dengan Arya Sempala dan Dewi 

Cadar Biru. 

"Jadi Kang Arya sudah bertemu dengan Bibi Dewi Cadar 

Biru," kala Werdaningsih dalam hati. "Tetapi, bila memang 

Manusia Muka Kucing menginginkan Pendekar Slebor, 

mengapa di saat berjumpa dengan pemuda yang dicarinya 

dia tak lakukan tindakan apa-apa?" 

Sementara ilu Jaya Lantung membatin "Semuanya 

semakin hertambah memusingkan. Sepak terjang telengas

yang dilakukan Manusia Muka Kucing, ternyata masih 

membingungkan. Scbab-sebab dia lakukan tindakan keji 

itu dikarenakan menginginkan Pendekar Slebor Tetapi. 

mengapa dia tak mclakukan apa-apa?"

Bukan hanya kedua remaja itu saja yang memikirkan 

keheranan yang terjadi. Andika sendiri sampai saat ini 

masih tak bisa mengerti apa yang sebenarnya diinginkan 

oleh Manusia Muka Kucing. Masalah telah jelas. namun di 

balik semua masalah itu. masih ada pertanyaan yang 

tersembunyi dan dibutuhkan jawabannya.

Tanpa hiraukan pandangan Jaya Lanlung dan Wer-

daningsih, anak muda berambut gondrong acak-acakan ini 

melangkah mendekati Kaki Kilat yang langsung berseru 

geram, "Bunuh aku bila kau jantan hah?!"

"Busyet! Apa tidak salah kau omong, nih? Mana bisa 

kutunjukkan apakah aku jantan atau betina bila ada 

seorang gadis di sini? Wah! Yang benar saja kalau 

ngomong!!" sahut Andika sambil berlutut.

Tindakan yang dilakukannya justru membuat Kaki Kilat 

berteriak-teriak. Dalam teriakannya ada nada ketakutan 

yang kentara.

Sementara itu Jaya Lantung dan Werdaningsih me-

mandang lak berkedip.

Jaya Lantung berkata dalam hati, "Hmmm... rupanya 

pemuda itu hendak menyiksa Kaki Kilat! Bagus! Aku sangat

senang sekali bila dia melakukannya!"

Werdaningsih membatin, "Kalau memang Pendekar 

Slebor bermaksud menyiksa Kaki Kilat. ini sebuah 

pemandangan yang mengasyikan! Lelaki celaka itu lelah 

membunuh Guru! Tak seharusnya memang diberi hati! 

Lebih enak bila disiksa dulu baru kemudian dibunuh!!"

Namun yang diperkirakan keduanya, sungguh berbeda 

sama sekali dengan apa yang akan dilakukan Andika.

***

10


Dengan cengiran di bihir anak muda dari Lembah 

Kutukan itu mcmegang tangan kanan dan kiri Kaki Kilat.

"Jahanam! Lepaskan tanganku, hah?! Lepaskan!!" seru 

Kaki Kilat keras sambil berusaha tarik kedua tangannya. 

Namun karena dia tak memiliki tenaga lagi, gerakan yang 

dilakukannya hanya berupa tarikan lembut saja.

Bila pun dia masih memiliki tenaga dalam, tak akan 

mungkin dapat melepaskan diri dari pegangan kedua 

tangan Andika bila anak muda ini alirkan tenaga 'Inti Petir'.

"Kau ini kenapa sih? Baru juga dipegang sudah begini? 

Apalagi kujitak kepalamu, hah?!"

"Bunuh saja aku! Bunuh saja!!"

"Busyet! Membunuhmu sangat gampang sekali 

kulakukan! Tetapi. kenapa kau tidak diam saja sih?!"

Andika yang bermaksud untuk menolong Kaki Kilat dari 

siksaan yang dirasakannya sendiri, lamat-lamat alirkan 

tenaga 'Inti Petir' melalui kedua pergelangan tangan Kaki 

Kilat.

Kaki Kilat yang semula meminta di lepaskan, kali Ini 

terdiam tanda hawa hangat mengaliri sekujur tubuhnya.

Wajahnya yang tadi memucat nampak mulai memerah 

kembali. Napasnya pun dirasakan agak longgar. Mendadak 

dirasakan ada satu dorongan keras dari bawah perulnya 

yang menyeruak naik ke atas. Dan....

"Huaaakk!!"

"Wah! Bagus tuh! Ayo, lakukan sekali lagi! Habiskan 

darah hitammu ilu!!"

Kali ini Andika menekan urat nadi yang ada di tangan 

kanan kiri Kaki Kilat dengan jempolnya. Tubuh Kaki Kilat

serentak meregang kaku dan dari mulutnya keluar teriakan 

kesakitan.

"Busyet! Kolokan amat sih kau ini?!"

Bersamaan Andika lepaskan tekanan pada tangan 

kanan kiri Kaki Kilat. lelaki tinggi besar ini muntah darah 

kembali. Namun rasa segar mulai dirasakan.

Di tempatnya, Jaya Lanlung berpandangan dengan 

Werdaningsih. Sesaat masing-masing orang tak dapat 

percayai apa yang mereka lihat. Pemuda berpakaian hijau 

pupus yang lelah dibuat morat-maril dengan kejadian demi 

kejadian yang mcnyesatkan sekaligus mengerikan, telah 

menolong salah seorang yang telah mencelakakan dirinya.

"Gila! Ternyala tak sama dengan yang kuduga! Sungguh 

suatu sikap aneh sekaligus bijaksana! Tak seharusnya 

Pendekar Slebor menolong orang yang telah 

mencelakakannya! Dari yang diceritakannya tadi, Kang 

Arya masih diliputi rasa percaya kalau pemuda itulah yang 

telah membunuh Guru, karena dilihatnya pemuda itu 

sedang membopong mayat Guru. Ah... aku jadi malu bila 

mengingat bagaimana aku menuduhnya sebagai kaki 

tangan Manusia Muka Kucing. Justru dia adalah pendekar 

besar yang kesohor. Bila saja sebelumnya aku telah 

mengenalnya sudah tentu tak akan terjadi ke- salah

pahaman seperti sebelumnya," kata Jaya Lantung dalam 

hati.

Di lain pihak Werdaningsih membatin, "Tak salah bila 

dia adalah sen rang pendekar besar. Kuharap... kami dapat 

menggantungkan harapan padanya untuk me- ngqar dan 

mcnangkap Manusia Muka Kucing. Dan menjernihkan 

mnsalah titnah yang melekat pada dirinya, karena Kang 

Arya Sempala masih terkena litnahan itu."

Sementara itu Andika sedang berkata pada Kaki Kilat, 

"Nah, kau telah sembuh sekarang. Silakan kau berlalu dari 

hadapanku dan baik-baiklah bawa diri."

Kaki Kilat yang sebelumnya tak menyangka kalau 

pemuda yang ingin dibunuhnya justru menolong, menahan 

sesuatu yang bcrgejolak dalam dadanya Namun dasar 

manusia jahat tak ada rasa terima kasihnya sekali pun.

Dia segera berdiri, akan tetapi langsung sempoyongan 

dan ambruk kembali.

"Keparat!! Kau belum membuka totokanmu pada 

kakiku!!" sentaknva keras.

Andika cuma tersenyum.

"Jangan terlalu manja mcngharapkan pertolongan orang 

lain. Kerahkan sedikit tenaga dalammu, maka totokan ilu 

akan terlepas." Habis berkata begitu dia bcrpaling pada 

Jaya Lantung dan Werdaningsih. "Kurasa... sebaiknya kita 

berpisah di sini. Aku tetap ingin tahu apa yang 

direncanakan Manusia Muka Kucing sebenarnya."

"Bagaimana dengan manusia tak tahu berterimakasih 

ilu?" tanya Jaya Lantung sambil lempar pandangan tajam 

pada Kaki Kilat.

"Kita tak berhak untuk cabut nyawanya. Biarkan dia 

hidup. karena kehidupan masih membentang di hadap-

annya..."

Sementara itu Kaki Kilat sedang alirkan tenaga 

dalamnya pada kaki kanannya. Selesai dialirkan, dirasakan 

sengatan yang seliap kali dia mencoba berdiri muncul 

kembali, lenyap sama sekali.

"Hhhh! Keparat busuk! Rupanya dia tak memiliki 

kehebatan sama sekali! Totokannya dengan mudah dapat 

kulepaskan!!" katanya dalam hali.

Sungguh bodoh sebenarnya Kaki Kilat. Kalaupun dia 

dapat lepaskan totokan Pendekar Slebor, ini disebabkan si 

anak muda lelah lepaskan totokan itu melalui tenaga Inti 

Petir' yang tadi dialirkannya. Bila saja tak dilakukan hal itu, 

jangankan untuk membebaskan diri dari lotokan, 

mengetahui letak totokan itu saja tak mungkin 

ditcmukannya.

Merasa dirinya telah terbebas dari totokan dan meiliki 

kekualannya kembali, mendadak saja Kaki Kilat mencelat 

ke depan dengan gerakkan kaki kanan kirinya yang serta-

merta limbulkan angin berkesiur.

"Mampuslah kau. Pendekar Slebor!!"

Mendapati apa yang dilakukan Kiiki Kilal. Andika 

mendengus.

"Kutu monyet! Benar henar manusia tak tahu diuntung!"

Serentak diangkat tangan kanannya.

Bukk! Bukkk!

Setelah tangan kanannya halangi dua tendangan

sekaligus dari Kaki Kilat, kali ini Andika tidak mau 

berlindak ayal. Mendadak saja dia putar tubuhnya 

setengah sempoyongan. Bersamaan dengan itu. tangan 

kirinya dijotoskan ke depan. Kaki Kilat dapat hindari 

jotosan itu dengan miringkan tubuh bersamaan kaki kanan 

kirinya menyapu kc bagian hawah.

Hanya dengan satu loncatan pendek. Andika berhasil 

lepaskan diri dari serangan lawan. Bukan hanya sampai di 

sana saja yang dilakukannya. Begitu dia melompat. kaki 

kanannya langsung dijejakkan, kencang ke kaki kanan 

lawan.

"Gilaaaa!!" maki Kaki Kilat sambil menarik pulang kedua 

kakinya dan bergulingan menjauh.

Akan tetapi, Jaya Lantung yang merasa tak dapat tahan 

lagi amarahnya melihat sikap Kaki Kilat, langsung 

menerjang dengan kedua tangan yang telah dialirkan jurus 

'Tebar Cahaya Maut'.

Tanpa ampun lagi, dada Kaki Kilal telak terhantam 

jotosan keras itu. Saat itu pula tubuhnya meluncur deras 

ke belakang. Masih dalam keadaan terhuyung, 

dirasakannya dua cahaya bening lainnya menggebrak ke 

arah kedua kakinya. Dan...

"Aaaakhhhhh!!" pekikan tertahan Kaki Kilat terdengar 

keras begitu kedua kakinya telak terhantam.

Saat itu pula sosoknya ambruk berdebam di atas 

rumput yang sebagian rebah dan sebagian lagi tercabut

beterbangan ke udara. Tubuhnya masih mengejut-ngejut 

menahan sakit pada kedua kakinya yang remuk. Wajah 

lelaki berpakaian merah ini kembali memucat. Bibirnya 

digigit kuat-kuat untuk menahan sakil. hingga tanpa 

disadarinya sampai alirkan darah.

"Pendekar Slebor! Tak perlu lagi membantu manusia 

celaka seperti dia!" seru Jaya Lantung keras.

Andika cuma anggukkan kepala.

Sekejap kemudian, sosoknya pun sudah berkelebat 

meninggalkan tempat itu

Sepeninggal Pendekar Slebor, Jaya lantung

menghampiri Kaki Kilat yang dari mulut serta hidungnya 

alirkan darah hitam.

"Kau tak pernah tahu apa arti terima kasih. Seharusnya 

kau sadar, dengan pertolongan yang diberikan Pendekar 

Slebor, kau urungkan seluruh niat jahat dan kau tutup 

segera hati busukmu dari setiap kejahatan!!"

Kaki Kilat yang masih menahan sakit, mendengus 

dingin. "Jangan mengguruiku!!"

Mengkelap wajah Jaya Lantung mendengar ucapan 

orang. Hampir saja dia lancarkan pukulannya lagi bila saja 

Werdaningsih yang sudah mendekat tidak keluarkan suara, 

"Tahan, Kang Jaya! Biarkan manusia itu terbaring tanpa 

daya! Biar dia merasakan bagaimana tersiksanya lumpuh 

seperti itu! Sebaiknya, kita ikuti saja Pendekar Slebor! 

Barangkali saja akan membawa kita pada Kakang Arya 

Sempala dan Bibi Dewi Cadar Biru Bahkan... membawa kila 

pada Manusia Muka Kucing!"

Jaya Lantung angguk-anggukkan kepalanya sambil 

tindih amarahnya. Kaki Kilat yang sudah tak sanggup 

menahan rasa sakit, keluarkan ejekan-ejekan disertai tawa 

menyakitkan. Dia berharap agar dapat memancing 

kemarahan Jaya Lantung hingga pemuda itu akan 

membunuhnya dan berarti dia akan terbebas dari rasa 

sakit yang menyiksa.

Jaya Lantung hanya keluarkan dengusan pendek. Tanpa 

hiraukan seruan-seruan mengejek yang sesekali disertai 

tawa menyakitkan dari Kaki Kilat dia berkata, "Baiklah! Kita 

segera berangkat sekarang, Werdaningsih!"

"Dan suatu saat... kalian akan mampus di tanganku! 

Kalian akan menyesal bila tidak membunuhku sekarang! 

Ayo, bunuh aku bila kalian berani!!" seru Kaki Kilat. "Atau... 

kau telah berubah menjadi banci, Jaya Lantung?!"

Jaya Lantung kembali balikkan tubuh dengan 

pandangan melolot. Hatinya benar-henar murka sekarang. 

Namun lagi-lagi begitu mendengar kata Werdaningsih. dia 

jadi urungkan niat, "Jangan terbawa amarahmu Kang Jaya! 

Lelaki celaka ini hanya memancing kita untuk

membebaskannya dari rasa sakit! Lebih baik, biarkan dia 

menderita begitu!"

Jaya Lantung kembali mengangguk. Tanpa sahutan apa-

apa dia segera meninggalkan tempat itu disusul 

Werdaningsih. Yang terdengar kemudian hanya jeritan-

jeritan Kaki Kilat yang semakin lama suaranya semakin 

mengecil. Rasa sakit akibat kedua kakinya yang remuk dan 

sudah tentu tak dapat digunakan kembali serta napas yang 

dirasakan bertambah sesak akibat dadanya luka dalam, 

membuat lelaki tinggi besar ini tak mampu menahan 

semuanya.

Dua kejapan mata berikutnya, dia jatuh pingsan!

***

11


Malum kembali lingkupi alam dalam rangkulannya yang 

serba gelap. Di langit limbunan awan hilam bergelut satu

sama lain berusaha unluk menahan hembusan angin yang 

dapat membuat mereka bergerak. Malam langit dinaungi 

segenap hamparan kelam.

Dalam suasana dingin mcncekam, satu sosok tubuh 

tiba di Gunung Kerambang. Untuk sesaat, lelaki berpakaian 

lerbual dari bulu ini terdiam. Pandangannya yang tajam 

memerah menatap tak berkedip pada Gunung Kerambang.

Kejap berikutnya, kepalanya dilolehkan ke belakang, ke 

arah dari mana dia muncul ladi.

"Hmmm... tentunya pemuda urakan itu masih 

direpotkan oleh Arya Sempala dan Dewi Cadar Biru. Bagus! 

Dengan begitu. urusanku tak terlalu sulit. Bila saja 

pimpinan memerintahku untuk menangkap dan 

membunuhnya, sudah tentu akan kulakukan dengan 

senang hati. Aku pun ingin merasakan kehebatan pemuda 

yang julukannya begitu kesohor."

Habis desisan dinginnya, lelaki yang memiliki kumis 

jarang berdiri menjuntai ilu, kembali arahkan 

pandangannya pada Gunung Kerambang. Wajahnya yang 

mirip kucing bergerak-gerak aneh.

"Sebaiknya, kukalakan semua ini pada Pimpinan."

Memutuskan demikian, lelaki yang tak lain Manusia 

Muka Kucing adanya. segera berkelebat melalui jalan 

penuh kerikil dan rumput. Gerakannya sungguh cepat. 

Tatkala tiba pada sebuah batu besar yang lerdapat di 

tengah-tengah jalan seiapak, lelaki bermuka kucing ini 

berbelok ke arah kanan. Dia tak hentikan gerakannya. 

justru tambah ilmu peringan tubuhnya.

Lima belas larikan napas berikutnya, lelaki ini telah liba 

di balik Gunung Kerambang. Langsung melesat ke balik 

sebuali ranggasan semak setinggi dada yang di 

sekelilingnya dipenuhi pepohonan linggi.

Di tempat angker yang semakin gelap ini, Manusia

Muka Kucing hentikan larinya. Sejenak dia atur napas 

sebelum melangkah mendekati sebuah bangunan yang 

seperti sudah runtuh di sana-sini. Sejarak lima lombak dari 

tempatnya, tcrdengar suara keras, dingin dan tajam, 

"Masuklah! Aku ingin mendengar berita bagus karena 

selama ini tak kudapatkan berita yang mengenakkanku!!"

Sesaat Manusia Muka Kucing hentikan gerakannya. 

Wajah kucingnya nampak agak kecut mendengar bentakan 

itu. Di lain kejap, dia kembali berlari dengan wajah agak 

tersenyum.

Sosoknya langsung masuk ke dalam bangunan yang di 

bagian dalamnya juga gelap. Namun mata kucing yang 

dimiliki lelaki ini dapat melihat satu sosok tubuh kurus 

terbungkus jubah panjang warna merah Rambut lelaki tua 

ini disanggul kc alas dan berwarna merah pula. Sorol 

matanya tajam dengan wajah tirus yang mcnyiratkan 

kekejian.

Manusia Muka Kucing langsung rangkapkan sepasang 

tangannya di depan dada. Kepalanya agak tertunduk. 

Dengan suara sedikit bergetar dia berkata, "Pimpinan... 

semua yang kau perintahkan telah kulakukan..."

"Hmmm... apa kali berita ini hanya untuk melebarkan 

lubang telingaku saja, atau hanya bualan belaka?" orang 

tinggi kurus itu keluarkan suara dingin.

"Keparat! Bila saja aku tidak tahu kesaktian yang 

dimilikinya, sudah tentu akan kurobek mulutnya!" maki 

Manusia Muka Kucing dalam hati.

Lalu katanya, "Berita yang hendak kusampaikan sudah 

tentu akan membuatmu lebih tenang sekarang, Pimpinan."

"Jangan bertele-tele! Katakan!!"

Manusia Muka Kucing segera jalankan perintah yang 

diberikan lelaki berambut merah itu.

Mendadak terdengar tawa lelaki tua itu. Begitu 

kerasnya sampai dinding bangunan di sebelah kiri runtuh!

"Bagus, bagus sekali!! Semuanya akan berjalan lancar! 

Sangat menyenangkan!"

Mendengar ucapan lelaki berjubah merah di

hadapannya, Manusia Muka Kucing tersenyum. Sungguh 

mengerikan saat dia tersenyum seperti itu.

Didengarnya lagi suara lelaki di hadapannya, seolah 

pada dirinya sendiri, "Semua akan terlaksana seperti

rencanaku... semuanya akan berjalan dengan mulus..."

"Apa yang harus kulakukan lagi. Pimpinan?" tanya 

Manusia Muka Kucing. Sesungguhnya dia mulai penasaran

ingin mengetahui apa yang dihendaki oleh lelaki berjuhah 

merah ini-

"Sekarang... panting dia ke sini!"

Manusia Muka Kucing anggukkan kepalanya seraya 

membatin, "Mungkin ini saat yang tepat untuk me-

ngetahui apa yang sebenarnya direncanakan oleh manusia 

ini."

Memutuskan demikian, berhati-hati Manusia Muka 

Kucing ajukan tanya, "Pimpinan... bukan maksudku untuk 

banyak tanya. Tetapi, aku sungguh penasaran mengapa 

Pimpinan lak memerintahkanku untuk menangkap 

ataupun membunuhnya?"

Mendadak lelaki kurus itu keluarkan dengusan. Se-

pasang matanya yang masuk ke dalam seolah melompat 

keluar.

"Bila saja kau tak kujadikan sebagai anak buahku, 

sudah tentu kucabut nyawamu sekarang juga, Keparat!! 

Tetapi baik, akan kukatakan apa mauku sebenarnya!!"

Habis kata-katanya, lelaki berjubah merah ini duduk di 

sebuah kursi besar.

"Aku mcnghendaki tenaga lnti Petir yang dimiliki oleh 

Pendekar Slebor!"

Sejenak Manusia Muka Kucing terdiam dengan mulut 

agak menganga.

"Tenaga 'lnti Petir'? Mengapa, Pimpinan?"

"Aku sedang memperdalam sebuah ilmu langka yang 

kedahsyatannya tiada banding. Siapa pun orang di muka 

bumi ini tak akan sanggup mengalahkannya. Tetapi semua 

itu mempunyai syarat yang cukup herat. Aku harus 

mendapatkan tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki oleh Pendekar

Slebor bila ingin ilmu yang sedang kuperdalam ini berjalan 

sempurna. Dan Pendekar Slebor haya kujadikan sebagai 

perantara saja, karena bukan dialah orang yang hendak 

kubunuh'"

Sesaat tak ada yang buka mulut kecuali suara 

dengusan keras lelaki berjubah merah itu. Sementara 

Manusia Muka Kucing hanya mcmperhatikan dengan 

seksama.

Sebenarnya, siapakah lelaki tinggi kurus berjubah 

merah ini?

Dia berjuluk Iblis Segala Amarah, lelaki keji yang dulu 

bermukim di Makam Iblis yang sepak terjangnya sangat 

telengas. Tak pandang siapa pun orang yang hendak 

dibunuhnya, berarti orang itu harus mampus. Dan sepak 

terjangnya memancing beberapa orang tokoh dari 

golongan lurus untuk menghentikan segala perbuatannya. 

Namun tokoh-tokoh yang mencoba menghentikannya, 

justru kembali ke tempat asal dengan membawa luka 

dalam dan beberapa bagian tubuh yang buntung. Bahkan 

tak jarang ada yang pulang nama.

Sampai kemudian, muncullah seorang lelaki yang kala 

itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. hanya bertaut 

dua tahun dari usia Iblis Segala Amarah. Lelaki ilu berjuluk 

Pendekar Cakra Sakti yang memiliki silat angin-anginan. 

Setelah bertarung selama tiga hari tiga malam berhasil 

mengalahkan sekaligus menghentikan sepak terjang 

telengas Iblis Segala Amarah.

Sampai empat puluh tahun kemudian julukan itu tak 

pernah terdengar lagi. Dan rupanya, lblis Segala Amarah 

tak bisa melupakan segala dendamnya pada Pendekar 

Cakra Sakti. Dia terus melatih diri siang dan malam. 

Bahkan selama enam bulan dia berhasil mengukir sosok 

Pendekar Cakra Sakti dari sebuah balang pohon. Setiap 

kali dilihat ukiran yang dlbuatnya, amarah dan dendamnya 

semakin menumpuk.

Karena kegigihan latihan yang dilakukannya, Iblis 

Segala Amarah berhasil menciptakan ilmu langka dahsyat

yang dipadu antara tenaga dalam panas dan dingin. Hasil 

dari gabungan dua tenaga itu sungguh mengerikan. Namun 

ada satu masalah yang mengganggunya Karena perpaduan 

antara tenaga panas dan dingin itu tidak timbulkan satu 

gempuran yang diharapkannya.

Berulangkali dun tak jenuh-jenuh Iblis Segala Amarah 

melatih ilmu 'Tenaga Api Air'. Sampai kemudian dia 

mendengar tentang seorang pemuda bcrjuluk Pende kar

Slebor yang memiliki tenaga 'lnti Petir'. Siang malam lblis 

Segala Amarah terus memikirkan tentang tenaga 'lnti Petir' 

yang diyakininya dapat digabungkan dengan ilmu Tenaga 

Api Air'.

Mulailah dia menyusun segala rencana. Namun setelah 

satu tahun meneoba menemukan di mana Pendekar 

Slebor berada, dia gagal melakukannya. Bahkan mulai 

dipikirkan kalau dia menyia-nyiakan waktu cukup lama 

yang seharusnya bisa dipergunakan unluk terus melatih 

diri.

Berpikir demikian, Iblis Segala Amarah memutuskan

untuk mencari anak buah. Dan salah seorang yang berhasil

dikalahkan adalah Manusia Muka Kucing. Ilmu 'Tenaga Api 

Air' berhasil diuji coba pada Manusia Muka Kucing yang 

sebenarnya dapat menandingi Iblis Segala Amarah bila 

saja lelaki berjubah merah itu tak pergunakan ilmu 'Tenaga 

Api Air".

Diperintahnya Manusia Muka Kucing untuk mencari 

Pendekar Slebor dan membunuh siapa saja yang 

bermaksud menghalangi. Manusia Muka Kucing sendiri 

berhasil menjadikan Kaki Kilat sebagai anak buahnya yang 

ternyata mempunyai lima belas anak buah lainnya.

Hingga hari ini. berita yang ditunggunya pun tiba. 

Pendekar Slebor telah muncul untuk hentikan sepak 

terjang Manusia Muka Kucing

Sementara ilu Manusia Muka Kucing angguk-anggukkan 

kepalanya dan membatin, "Rupanya... dia menginginkan 

tenaga 'Inti Petir' pada tubuh Pendekar Slebor. Pantas dia 

tak memerintahkanku untuk membunuhnya. Hmmm... aku

jadi penasaran. ada apa sebenarnya di balik tenaga 'Inti 

Petir' milik Pendekar Slebor?"

"Apa yang kau pikirkan, hah?!" mcmbentak Iblis Segala 

Amarah hingga saat itu pula Manusia Muka Kucing 

putuskan pikirannya.

Buru-buru leiaki berparas kucing ini berkata, "Tak ada

yang kupikirkan sama sekali, Pimpinan."

"Bagus! Sekarang juga kau arahkan Pendekar Slebor ke 

tempat ini!"

"Akan kulakukan, Pimpinan!! Tetapi... bolehkah aku 

tahu. siapakah sesungguhnya orang yang ingin Pimpinan 

bunuh?"

Mendengar pertanyaan itu, Iblis Segala Amarah arahkan 

pandangannya ke dinding bangunan sebelah kiri. Tangan 

kanannya mengusap-usap janggutnya yang lancip. 

Mulutnya mengatup rapat dan sepasang pelipisnya 

bergerak-gerak.

"Setelah aku berhasil memiliki tenaga 'Inti Petir' milik 

Pendekar Slebor, manusia celaka itu akan mati di 

tanganku!! Hhh! Bila dia sudah mampus, seluruhnya akan 

sirna dan berjalan sempurna! Tak seorang pun yang akan 

mampu halangi niatku untuk bertualang kembali 

memenuhi nafsu membunuhku!!"

Manusia Muka Kucing tak berani buka mulut kendati 

dia masih penasaran. Ditunggunya apa yang akan 

dikatakan lagi oleh lelaki tinggi kurus ini.

Apa yang diharapkannya terjadi. Karena lamat-lamat 

terdengar suara Iblis Segala Amarah, "Dia adalah.... 

Pendekar Cakra Sakti..."

"Oh!!" terdengar suara Manusia Muka Kucing kaget. 

Bahkan kepalanya sampai terangkat dengan kedua mata 

merahnya membuka lebih lebar. "Pendekar Cakra Sakti?" 

desisnya kelu.

"Ya! Dialah yang telah membuatku terkurung selama 

empat puluh lahun dalam dunia asing seperti ini!!"

"Pendekar Cakra Sakti ," desis Manusia Muka Kucing 

dalam hati. "Gila! Aku pernah mendengar julukan itu!

Tetapi... baru kuketahui kalau lelaki celaka ini pernah 

dikalahkan olehnya. Bila dia memang berhasil membunuh 

pendekar itu sungguh hehat! Dan ini semua tentunya

berkat tenaga 'lnti Petir' bila dia berhasil menyerap dan 

tubuh Pendekar Slebor! Oh! Tentunya... tenaga itu sangat 

dahsyat sekali!"

"Manusia Muka Kucing!" mendadak suara itu 

menggelegar keras. "Tinggalkan tempat ini sekarang juga! 

Atau... kau ingin mampus di tanganku, hah?!l"

Gelagapan Manusia Muka Kucing mendengar ben-

takan menggelegar itu. Buru-buru dia rangkapkan kembali 

kedua tangannya di depan dada.

Lalu dengan suara menghormat dia berkata “Akan 

kulakukan semua perintah, Pimpinan!”

Habis rangkapkan kembali tangannya di dada dan 

anggukkan kepalanya, Manusia Muka Kucing segera keluar 

dari bangunan itu. Dia tak lagi palingkan kepala sebelum 

tiba dj jalan semula ketika dia datang.

Sejenak lelaki muka kucing ini terdiam di bawah 

naungan langit yang semakin kelam. Pikirannya kembali 

pada persoalan tenaga 'lnti Petir' yang diinginkan oleh Iblis 

Segala Amarah.

"Tenaga 'lnti Petir'.... Hm, begitu bodoh bila aku tak 

tertarik dengan apa yang dimiliki Pendekar Slebor! Bisa jadi 

bila aku yang memilikinya maka kesaktianku akan

bertambah! Sudah lama aku hendak lepas dari segala 

kungkungan iblis celaka itu! Akan kupancing Pendekar 

Slebor mendalangi tempat ini. Bila aku dapat kesem-

patan. akan kucoba untuk menyerap tenaga Inti Petir milik 

Pendekar Slebor!. Ini kesempalan yang juga telah lama 

kutunggu... Karena secara tak langsung, aku mengelahui 

apa yang diinginkan Iblis Segala Amarah pada Pendekar 

Slebor...."

Habis kata-katanya, lelaki berparas kucing ini segera 

berkelebat meninggalkan tempat itu, menerobos malam 

yang pekat dengan segala rencana di benaknya. Rencana 

yang membuatnya semakin gigih dalam pertahankan

hidup. Tcrutama, usaha lamanya untuk terbebas dari 

segala pijakan kaki Iblis Segala Amarah.

Sementara itu di dalam bangunan yang tertimbun oleh 

cahaya pekat hingga tak kclihatan sama sekali, Iblis Segala 

Amarah masih duduk di kursinya.

Wajah tirusnya tertekuk dengan pikiran yangmelayang-

layang. Tangan kurusnya mengepal kuat-kuat. Lamat-lamat 

nampak bibir keriputnya sunggingkan senyuman aneh. Ada 

tanda kepuasan dan penasaran dalam senyuman itu.

Kemudian terdengar kata-kalanya, "Pendekar Cakra 

Sakti... tak lama lagi kita akan buat perhitungan. Sampai 

hari ini aku lidak tahu kau berada di mana. Tetapi naluriku 

mengatakan kalau kau masih hidup. Entah dalam keadaan 

sakit ataukah masih segar bugar...."

Kembali dia ferdiam. Beberapa hewan malam ramai 

bersuara di luar bangunan.

"Sebentar lagi... semuanya sebentar lagi akan 

terlaksana dengan sempurna..."

Menyusul terdengar tawanya yang keras bertalu- talu. 

Hingga bukan hanya bagian-bagian bangunan itu yang 

runtuh. Ranggasan semak sejauh dua puluh tombak 

tercabut dan beterbangan ke udara...


                        SELESAI


PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul:

IBLIS SEGALA AMARAH


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive