MANUSIA MUKA KUCING
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode: Manusia Muka
Kucing 128 hal.
1
Angin dari selatan bertiup dingin. Puncak Bukit Lingkar
nampak diliputi gumpalan kabut tebal, seolah membekali
diri dengan keangkeran Kesunyian menyelimuti kendati
malam belum sepenuhnya datang. Di langit barat masih
nampak bias-bias sinar matahari senja yang agak
kemerahan dan beberapa ekor burung nampak
membentuk siluet-siluet yang indah.
Di bawah paduan binar kuning kemerahan matahari
yang hampir masuk ke peraduan dan menjemput
kegelapan malam yang segera datang membawa suasana
serba hitam nampak satu sosok tubuh hentikan
kelebatannya di jalan setapak menuju ke Bukit Lingkar.
Sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda berpakaian
hijau pupus ini perhatikan sekelilingnya sejenak, sebelum
melempar pandangan ke Bukit Lingkar.
Wajahnya yang tampan dan dihiasi oleh sepasang alis
hitam legam yang menukik laksana kepakan sayap elang
agak memerah karena hawa dingin Pemuda yang di
lehernya melilit kain bercorak catur ini tarik napas pendek
Desiran angin mengurai rambutnya yang bertambah acak
acakan.
Masih pandangi Bukit Lingkar, pemuda yang tak lain
Andika alias Pendekar Slebor adanya berkata sambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak gatal, "Busyet! Seram amat nih
bukit! Apa aku tidak salah jalan?! Lagi pula, bagaimana
ceritanya sih aku bisa kesasar di tempat jin buang anak
ini?"
Kembali pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini
arahkan pandangan ke sekelilingnya. Keheningan merajai
sekitarnya
"Hmm.. mendingan aku cari tempat dulu sebelum
malam makin menyelimuti alam."
Gerakan yang akan dilakukan Andika tertahan tatkala
telinganya menangkap derap langkah kuda yang agak
keras Segera dia arahkan pandangan pada jalan yang tadi
dilaluinya Nampak seekor kuda putih berlari sangat cepat
ke arahnya. Dari gerakan kuda itu jelas dia tak peduli
apakah akan menabrak sesuatu atau tidak di hadapannya
"Kura kura bau' Apa apaan ini? Jangan jangan kuda itu
kuda gila!!" desis Andika begitu menyadari kalau dirinya
akan diterjang kuda putih itu.
Lalu dengan gerak yang cepat Andika menyingkir. Kuda
itu terus berlari tanpa terganggu oleh kehadirannya Namun
justru Andika yang jadi kerutkan kening
Karena saat menyingkir ke kanan tadi, dilihatnya ada
noda noda merah pad; kuda itu. Dan pemuda urakan ini
tahu betul kalau itu adalah noda darah.
Busyet! Kenapa tuh kuda. Kalau memang darah itu
keluar dari tubuhnya sudah tentu ada darah yang ter-
cecer. Tetapi tak kulihat sama sekali ada tetesan darah di
lanah! Berarti... kuda itu sebelumnya ditunggangi
seseorang yang terluka!! Kalau memang iya. apakah si
penunggangnya terjatuh atau terlempar? Atau justru malah
sudah tewas?"
Bcrpikir demikian. dengan kerahkan ilmu peringan
tuhuhnya pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini segera berkelebat menyusul kuda putih itu. Hanya lima
kejapan mata saja dia sudah berhasil mem- perpendek
jarak.
Lalu dengan gerakan ringan, Andika melompat, dan
sosoknya tepat duduk di punggung kuda itu yang sekejap
keluarkan ringkikan tetapi tak hentikan larinya.
Semula Andika bermaksud untuk menghentikan lari
kuda putih yang begitu cepat dengan napas mendengus-
dengus ini. Namun begitu disadarinya kalau kuda putih ini
menuju ke satu tempal. maka dia pun membiarkan saja.
Kuda putih gagah itu terus berlari. Dengan mudah
melompati batu-batu, akar yang menyembul keluar,
bahkan ranggasan semak setinggi dada.
"Busyet! Jelas kuda ini sangat hafal jalan-jalan di tempat
ini! Ke mana ya dia akan membawaku?" desisnya dengan
tubuh agak membungkuk.
Tepat tengah malam, kuda itu lelah memasuki sebuah
hutan lebat. Kegelapan makin menyelimuti mata, tetapi
hewan ini terus berlari tanpa kenal lelah. Padahal dari
desah napasnya jelas kalau hewan mi sudah kelelahan.
Tatkala terdengar kokok ayam jantan di kejauhan,
hewan ini telah keluar dari hutan lebat yang luas tadi.
Mendaki sebuah bukil kecil, lalu berbelok ke kiri melewati
rerumputan yang langsung rebah terinjak.
Dari alas punggung kuda itu. Andika melihal sebuah
bangunan yang nampak sudah runtuh di sana-sini.
"Apakah tempat itu yang dituju kuda ini?" desisnya
dengan pandangan tak berkedip. "Cukup menyeramkan."
Apa yang diduganva memang betul. Karena kuda putih
itu tahu-tahu berhenti seraya keluarkan ringkikan keras.
Bila saja Andika tidak segera melompat, sudah tentu dia
akan terbanting ke tanah karena kuda itu berdiri dengan
kedua kaki terangkat ke atas. Saat kedua kaki depannya
itu menyentuh tanah kembali, kuda ini keluarkan lagi
ringkikan kerasnya.
Bersamaan terdengar ringkikan kuda, dua orang
pemuda gagah telah keluar dari bangunan itu.
"Si Putih!!"
"Oh! Di mana Paman Guru?!"
Yang berseru pertama tadi seorang pemuda bcr paras
tampan dengan bibir agak memerah. Rambutnya gondrong
acak-acakan dengan ikat kcpala warna biru di keningnya.
Dia mengenakan pakaian warna putih dengan celana
pangsi biru. Di pinggangnya melilit sebuah angkin hitam.
Yang berseru kedua tadi seorang pemuda tinggi besar.
Wajahnya agak kasar dengan tatapan mata dingin.
Mengenakan pakaian biru gclap dengan celana hitam. Dari
keterkejutan mereka melihat si Putih, seolah baru
menyadan kehadiran orang asing, segera masing- masing
orang arahkan pandangan pada Pendekar Slebor.
Yang dipandang cuma cengar-cengir saja padahal
pandangan itu begitu tajam dan menusuk.
"Kang Arya.. siapakah kira-kira pemuda berpakaian
hijau pupus itu?" bisik yang pertama dengan pandangan
tak berkedip pada Andika. Kali ini dia berdiri dengan kedua
kaki agak dibuka. tanda bersiaga penuh.
Pemuda berpakaian biru gelap yang bernama Arya
Sempala terdiam dulu sebelum buka mulut, "Hhh! Siapa
lagi kalau bukan salah seorang anak buah manusia ter-
kutuk dari Pulau Hantu?! Dan sudah tentu dia yang
membunuh Paman Guru, lalu sengaja menunggangi si
Pulih untuk mengetahui di mana kita bersembunyi! Ja-
hanam! Jaya Lantung! Beritahu Werdaningsih dan lin dungi
Guru! Biar aku yangmenghadapi manusia keparat ini!!"
Mendengar perintah itu, yang diperintah seperti tidak
suka. Bukan dikarenakan dia disuruh seperti itu, melainkan
karena memiliki keinginan untuk membunuh pemuda
berpakaian hijau pupus di hadapannya yang masih nyengir.
Setelah keluarkan dengusan, pemuda yangdi
pinggangnya melilit angkin hitam ini langsung berkelebat
kembali kedalam bangunan.
Sementara itu Arya Sempala sudah maju tiga langkah
ke muka. Berdiri dengan kedua kaki agak dipentangkan
sejarak tujuh langkah dari hadapan Andika.
"Manusia terkutuk! Kau datang hanya unluk
mengantarkan nyawa saja!! Mengapa bukan Manusia
Muka Kucing yang muncul di hadapanku?!"
Mendengar ucapan itu, cengiran di bibir Andika
langsung putus. Kendati sejak pertama tadi dia memang
sudah menangkap nada kemarahan dari pemuda di
hadapannya ini, namun sama sekali tak disangkanya kalau
dia menangkap satu tuduhan jelek.
"Manusia Muka Kucing? Busyet! Kayak apa sih tuh
orang?"
"Jangan berJagak pilon di hadapanku!! Kedatangan
Manusia Muka Kucing beserta gerombolannya telah
menimbulkan petaka yang tak bisa dimaafkan! Termasuk
kau!!"
"Busyet! Enak betul dia membentak-bentak seperti itu!"
rutuk Andika dalam hati. Lalu bersuara sopan, "Maafkan
aku... aku sama sekali tidak dapal memahami apa yang
kau katakan.... Kalau kau maksud aku punya kucing atau
tidak, ya kujawah tidak!"
"Berlagak mulia di hadapanku sungguh percuma! Orang-
orang sepertimu lebih baik mampus ketimbang
menimbulkan kekacauan di tanah yang indah ini!" seru
Arya Sempala bertambah gusar Mendadak dia berseru
laksana menggeram. "Terimalah kematian!!"
Habis seruannya, pemuda berwajah agak kusam namun
memiliki hati lembut ini sudah menerjang dengan jotosan
tangan kanan lurus ke wajah Andika. Menilik angin yang
keluar dari jotosannya, jelas kalau si pemuda
mempergunakan sebagian tenaga dalamnya.
Andika yang tidak mengerti mengapa pemuda itu
menyerangnya, jelas tak mau menerima nasib konyol.
Segera saja dia miringkan rubuh. Jotosan yang dilancarkan
Arya Sempala hanya menjangkau tempat yang kosong.
Saat menghindar seperti itu, sebenarnya Andika bisa
langsung lancarkan balasan. Tetapi itu tidak dilakukannya,
karena dia sadar kalau ini hanyalah kesalahpahaman
belaka. Bahkan dia jadi penasaran untuk mengetahui apa
yang telah terjadi.
Tetapi Arya Sempala tidak mau tahu soal itu. Dia terus
menerjang dengan ganas diiringi makian-makian
menjengkelkan. Kali ini dorongan angin setiap kali dia
gerakkan anggota tubuhnya, terasa lebih keras dan dingin.
"Busyet!" desis Andika dalam hati. "Dia bertambah
beringas?! Benar-benar kutu monyet! Perut lagi kelaparan
begini harus menghadapi orang beringas seperti dia?"
Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya,
Andika Iuput dari serangan ganas Arya Sempala. Sekali pun
dia tidak membalas. Namun lama kelamaan kejengkelan
mulai masuk pula ke hatinya.
"Hei, hei! Sabar dulu, Tong! Jangan main serang
begini?!" serunya sambil melompal ke belakang. "Nanti
kujitak juga nih kepalamu!"
"Manusia terkutuk! Kau berhasil membunuh orang
orang yang tak menyukai kehadiran partaimu! Tetapi. kau
tak akan dapat mcmadamkan semangat yang ada di dada
kami!!" sahut Arya Sempala bertambah ganas.
Bahkan mendadak saja dia mundur tiga langkah
kebelakang. Pandangannya makin menusuk dengan napas
agak terengah. Menyusul dia saling usap tangan kanan dan
kirinya. Tiba-tiba saja terlihat cahaya putih bening di kedua
tangannya. Rupanya dia telah keluarkan jurus 'Tebar
Cahaya Maut', yang diwarisi dari gurunya.
Sebelum dia lakukan serangan, terdengar seruan keras,
"Kakang Arya! Tahan dulu seranganmu!!"
Seorang gadis jelita berambut dikucir kuda telah
berkelebat dari dalam bangunan dan berdiri tiga tindak di
sisi kanan Arya Sempala.
"Werdaningsih! Apa-apaan kau menahanku, hah?!!" seru
Arya Sempala gusar. Lalu palingkan la tatapannya lagi ke
arah Andika yang sedang garuk-garuk kepalanya.
"Kakang... aku tak bermaksud menahanmu! Manusia
terkutuk seperti pemuda ini memang harus mampus!
Tetapi aku ingin tahu nasib Paman Guru!!" sahut si gadis
yang bernama Werdaningsih. Dia sudah tahu kehadiran
pemuda itu dari Jaya Lantung. Bahkan didengarnya suara
serangan demi serangan yang tcrjadi.
"Justru kau hanya akan membangkitkan
kesombongannya belaka!!"
Gadis berpakaian putih-putih ilu tak pedulikan kala kata
Arya Sempala. Dia berseru dengan tatapan tak berkedip
pada Andika. "Pemuda celaka! Iblis terkutuk! Katakan, di
mana Paman Guruku, hah?!"
Sudah tentu Andika terheran-heran mendengar
perlanyaan yang dilontarkan dengan cara membentak itu.
Dia tak segera buka mulut. Dan berkata dalam hati
"Menilik sikap mereka, jelas ada satu masalah besar
rupanya. Dan mereka tengah menantikan Paman Guru
mereka yang tentunya pergi dengan menunggang kuda
putih itu, namun kuda putih kembali tanpa
penunggangnya. Hmmm... aku jadi ingin tahu apa yang
sebenarnya terjadi."
Memutuskan demikian, Andika rangkapkan kedua
tangannya di depan dada, agak membungkuk sedikit. Lalu
berkata sopan, "Maaf... aku sama sekali tidak tahu apa
yang telah terjadi. Aku juga tidak mengerti mengapa kalian
menuduhku anak buah dari orang yang berjuluk Manusia
Muka Kucing?"
"Terkutuk!!" Mengkelap wajahWerdaningsih. "Kurobek
mulutmu!!"
Sebelum Andika buka mulut, .Arya Sempala yang sudah
tidak sabar untuk lancarkan serangan berkata, "Manusia
jahanam seperti dia, mana mungkin buka mulut! Ingat,
Werdaningsih... kehadirannya bersama partai terkutuknya
telah menumpahkan darah!! Bunuh pemuda celaka itu!!"
"Tunggu!! Kalian salah paham! Aku sama sekali tidak
mengerti dengan yang kalian maksud! O ya, namaku
Andika. Aku bisa tiba di sini, karena tertarik melihat kuda
putih itu yang berlari ke arahku. Terus terang, semula
kupikir itu kuda gila. Tetapi begitu kulihat ada noda darah
di punggungnya, aku jadi ingin tahu ada apa sebenarnya.
Dan tak kusangka sama sekali kalau kuda itu akan
membawaku ke sini."
"Manusia hina! Kau lerlalu banyak bicara! Kupulangkan
jasadmu pada Manusia Muka Kucing!"
"Wah! Jadi berabe nih! Kalau kudiamkan, bisa-bisa aku
kena sasaran serangan mereka! Tapi kalau kuajak bicara,
mereka semakin ganas! Tapi juga kalau aku pergi dari sini,
justru aku tidak tahu apa yang membuat mereka begitu
beringas! Benar-benar berabe! Apakah aku harus...."
Kata batin Andika terputus tatkala terdengar hentakan
Werdaningsih, "Katakan apa yang telah kau lakukan pada
Paman Guru, hah?!" '
"Busyet! Mana aku tahu?" dengus Andika dalam hati.
Lalu katanya, "Dengar dulu dong apa yang kukatakan tadi!
Aku sudah bilang, aku tidak mengerti dengan semua ini!
Kalian kan bisa mendinginkan kepala dulu? Kalau tidak
bisa juga ya... nyebur saja di sungai!"
Selorohan Andika justru membuat Arya Sempala
bertambah kalap. Dia berseru keras; 'Terkutuk' Lebih baik
kau mampus ketimbang. .."
Seruan Arya Sempala terputus tatkala terdengar suara
Jaya Lantung keras, "Arya! Werdaningsih! Keadaan Guru
gawat!!"
Werdaningsih langsung bcrkelebat masuk ke dalam
bangunan, sementara Arya Sempala berkata dulu pada
Andika, "Bila kau punya nyali. tetap berada di situ! Karena
aku akan tetap mengirimmu ke neraka!!"
Lalu dia segera masuk ke dalam bangunan yang
sebagian dindingnya sudah runtuh dan sebagian lagi
dihinggapi lumut.
Di tempatnya, Andika agak mangkel juga diancam
seperti itu. Tetapi dia pun sadar kalau semuanya hanyalah
salah paham belaka. Kendati demikian, dia tetap
penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi. Terutama,
mendengar kata-kata pemuda yang bernama Jaya Lantung
tadi.
Di dalam bangunan, nampak tiga remaja itu sedang
berlutut mengelilingi seorang letaki tua berpakaian putih
bersih. Kendati wajahnya pucat pasi, tetapi mata orang tua
itu bersinar teduh. Di bagian perut lelaki tua itu nampak
noda darah yang besar. Rupanya perut lelaki itu terluka
besar.
"Kakang Arya! Apa yang akan kita lakukan?" seru
Werdaningsih menahan sedih.
Arya Sempala cuma menahan napas. Dia sendiri sudah
berusaha untuk mengobati luka-luka yang diderita gurunya,
namun tak membawa hasil yang memuaskan.
Jaya Lantung membawa sebuah baki terbuat dari tanah
liat. Dari dalam baki itu mengepul asap putih yang berbau
agak menusuk. Lalu dengan hati-hati. ramuan yang terbuat
dari akar dan bubukan daun kering itu ditaburkan pada
luka si kakek.
Terdengar desisan kesakitan dari lelaki tua itu.
Sepasang matanya yang menyipit makin menyipit. Keringat
semakin membanjiri tubuhnya.
"Kang Jaya...," mendesis ngeri Werdaningsih.
"Jangan legang. Kita berdoa saja agar ramuan ini dapal
menyumbat darah yang terus menerus keluar," sahut Jaya
Lantung. Lalu berhati hati dia mengambil air ramuan itu.
Ditiupnya sejenak sebelum diminumkan secara hati-hati
pada si kakek
Si kakek tcrsedak dan air ramuan itu langsung keluar
lagi. Menyusul terdengar keluhannya, tertahan.
"Rasanya... sudah lerlambat...," desis Jaya Lantung
pasrah.
Kata-kata Jaya Lantung membuat Werdaningsih mau
tak mau lerisak. Gadis jelita ini sangat menyayangi gurunya
yang berjuluk Malaikat Keadilan. Sementara Arya Sempala
hanya herdiri kaku dengan pandangan lurus. Raut wajah
pemuda ini pun menunjukkan ke pedihan yang dalam.
Selagi suasana dieekam keheningan, terdengar suara di
ambang pintu, "Bila kalian menghendaki, biarkan kucoba
untuk mengobati luka yang diderita Guru kalian...."
***
2
Masing-masing orang yang berada di sana segera
palingkan kepala. Arya Sempala langsung berdiri tcgak
dengan kedua kaki dibuka agak lebar.
"Manusia terkutuk! Keluar dari sini!!"
Orang yang tadi bicara dan tak lain Andika cuma
tersenyum, padahal dalam hati dia berkata mangkel.
"Brengsek juga! Huh! Kalau tidak sabar-sabar, sudah
kujitak kepalanya!!"
Kemudian katanya, "Aku tak peduli kalian
menganggapku anggota gerombolan yang telah
mencelakakan kalian atau tidak. Tetapi percayalah, aku
bukan orang yang kalian duga!"
"Diaaammm!!"
Tetapi Andika tak peduli. Hanya sekali lihat saja dia tahu
kalau leiaki tua yang tergolek lemah itu bertambah parah.
"Tak ada waktu untuk berdebat sekarang. Izinkan aku
membantu mengobati guru kalian...."
"Manusia jahanam! Pantang kami meminta
bantuanmu!!" geram Arya Sempala bertambah gusar. Dan
dia nampak sudah hendak lepaskan serangan.
Namun gerakannya tertahan tatkala terdengar suara
Werdaningsih. "Kakang Arya! Biarkan dia...."
"Tidak!" sahut Arya Sempala tanpa palingkan kepala.
"Manusia seperti dia, hanya menjadi racun di muka bumi
ini!"
"Brengsek juga mulutnya! Huh! Benar-benar ingin
kujitak nih!" kata Andika dalam hati lalu berkata. "Biarkan
aku mengobati guru kalian. Setelah itu, aku akan pergi dari
sini."
"Kau harus mampus!!"
Sebelum Andika berkata, Jaya Lantung buka mulut lebih
dulu, "Kau dan gerombolanmu telah membuat malapetaka
yang lak pernah habis! Untuk saat ini, nyawamu kami
bebaskan! Lekas menyingkir dari sini!!"
"Kutu monyet! Bila terus menerus seperti ini. tak
mustahil nyawa kakek itu tak akan tertolong!' kata Andika
dalam hati.
Lalu tanpa perdullkan tatapan bengis dari Arya Sempala
dan Jaya Lantung, pemuda dan Lembah Kutukan ini
melangkah. Sikap yang dilakukannya membuat Arya
Sempala tak bisa menahan sabar lagi. Tinjunya sudah
menderu ke wajah Andika.
Pemuda ini cuma angkat tangan kanannya
Des!!
Benturan dua langan ilu memang cukup menyakitkan.
Sosok Arya Sempala terhuyung tiga tindak ke belakang
yang dengan cepat segera ditahan oleh Jaya Lantung.
Sementara Andika yang surut lima tindak tahu- tahu
menggerakkan tangannya cepat. Entah apa yang
dilakukannya. Kejap kemudian dia sudah melangkah
mendekati Malaikat Keadilan yang bertambah parah.
Anehnya, kali ini kedua pemuda itu tak mencoba
menahannya. Bahkan mereka hanya memperhatikan saja.
Werdaningsih sebenarnya cukup heran. Namun gadis yang
mencemaskan keadaan gurunya tak mempeduli kannya.
Dipehatikan bagaimana pemuda berpakaian hijau
pupus itu sudah berlutut dan memeriksa luka di perut
gurunya
"Lukanya parah sekali. Nampaknya bekas ditoreh oleh
senjata yang sangat tajam. Menilik warna kehitaman
ini,"jelas kalau senjata itu telah dibubuhi racun."
Lalu berhati-hati Andika memegang kedua ibu jari kaki
Malaikat Keadilan. Dialirkannya tenaga 'Inti Petir' tingkat
kesembilan.
Begitu kedua ibu jarinya dipegang, si kakek nampak
melonjak dengan keluarkan suara tertahan.
Werdaningsih terkejut hingga bersuara, "Apa yang kau
lakukan, hah?!!"
Tetapi Andika tidak peduli. Dia terus alirkan tenaga Inti
Petir. Sementara Werdaningsih sendiri urung Iontarkan
suara kcmbali, apalagi dilihatnya kedua kakak
seperguruannya hanya terdiam saja. Diam-diam di dalam
hati dia berharap, agar pemuda itu dapat menyembuhkan
luka yang diderita gurunya.
Beberapa kejap berlalu, Andika nampak mulai di banjiri
keringat. Bahkan nampak napasnya sudah megap-megap
sekarang. Wajahnya merona merah dengan tubuh agak
bergetar.
Cukup lama dia alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua
lbu jari Malaikat Keadilan. Setelah dilihatnya si kakek
muntah darah dan dari luka di perutnya keluar darah hitam
yang kental, Andika menarik napas panjang.
Hati-hati dilepasnya kedua ibu jari Malaikat Keadilan
yang dipegangnya.
"Beri dia minum .,' katanya entah pada siapa.
Werdaningsih buru-buru mengambil bubung bambu
berisi air yang diminumkan secara hati-hati pada gurunya.
Sementara Andika duduk dengan kedua tangan
dirangkapkan di depan dada. Jelas kalau dia tengah
memulihkan keadaannya lagi.
Werdaningsih yang selesai memberikan minum pada
gurunya, kembali keheranan melihat sikap dua kakak
seperguruannya, yang tetap berdiri tanpa berbuat apa- apa.
Werdaningsih berpikir, "Mereka tak berbuat apa- apa,
mungkin dikarenakan pemuda itu memang telah berhasil
menolong Guru."
Suasana kembali hening. Tak ada yang keluarkan
suara, kecuali sesekali terdengar batuk Malaikat Keadilan.
Andika yang telah selesai pulihkan tenaganya, berdiri
lagi. Sejenak diperhatikannya wajah si kakek sebelum
berkata pada Werdaningsih, "Selama sepenanakan nasi,
alirkan tenaga dalam kalian pada guru kalian.
Kuharap, kalian bergantian melakukannya. Tenaganya
begitu lemah sekali. "
Hanya itu yang dikatakan Andika, karena kejap
berikutnya dia sudah keluar dari sana. Ada keinginan di
hati Werdaningsih untuk mengucapkan terima kasih.
Namun karena kedua kakak seperguruannya tidak berbuat
apa-apa kecuali tetap berdiri tegak, Werdaningsih pun
urung melakukannya.
Di luar Andika berkata dalam hati, "Aku ingin tahu apa
yang terjadi...."
Lalu dia pun meninggalkan tempat itu.
Pagi terus beranjak menuju siang. Sebagian bangunan
yang agak runtuh itu, mulai disusupi sekaligus diterangi
sinar matahari. Werdaningsih masih berlutut sambil
pandangi wajah gurunya yang kini tidak pucat seperti
semula. Bahkan napas gurunya mulai terdengar teratur.
Cukup lama gadis berkuncir kuda ini memperhatikan
gurunya sebelum akhirnya menyadari kalau tak mendengar
suara kedua kakak seperguruannya. Cepat- cepat
dipalingkan kepalanya. Mereka masih berdiri tegak.
"Kang Arya! Kang Jaya! Bantu aku alirkan tenaga dalam
pada Guru!!" seru Werdaningsih sambil palingkan kepala
lagi pada gurunya.
Dia berucap lagi lalkala melihat kedua kakak
seperguruannya masih berdiri tegak tanpa berbuat apa-
apa. Bahkan tak keluarkan suara.
Kali ini Werdaningsih berdiri dengan pandangan
berkerut. "Aneh, apa yang terjadi dengan mereka? Apakah
mereka berdiam diri karena merasa geram seorang musuh
yang telah menyelamatkan Guru? Atau... ke duanya mulai
menduga kalau pemuda yang di lehernya melilit kain.
bercorak catur bukanlah anggota Manusia Muka Kucing?"
Werdaningsih berkata, "Apa-apaan kalian ini? Ayo, bantu
aku!!"
Tetapi setelah tak mendapati sahutan, Werdaningsih
perlahan-lahan mendekali keduanya. Dipandangi nya
wajah masing-masing orang satu per satu.
"Mereka tak membuka mulut. Hanya mata mereka yang
bergerak-gerak seperti mengisyaratkan sesuatu. Apakah...
hei! Sejak tadi mereka tetap berdiri tegak seperti ini?!"
Merasa heran Werdaningsih berkata, "Apa yang terjadi
dengan kalian? Mengapa kalian diam saja? Apa kalian..."
Memutus kata-katanya sendiri Werdaningsih membatin,
"Gila! Mereka dalam keadaan tertolok! Oh! Bagaimana bisa
mereka tertotok? Dan siapa yang melakukannya? Sejak
tadi hanya pemuda itu saja yang berada di sini!"
Tiba-tiba Werdaningsih menghela napas panjang.
"Yah, siapa lagj yang melakukannya kalau bukan
pemuda tadi? Sungguh hebat!! Pantas Kang Arya dan Kang
Jaya lidak berbuat apa-apa kecuali seperli membiarkan
pemuda itu menolong Guru. Karena bila dalam keadaan
tidak tertotok. tak mungkin mereka mengizinkan pemuda
itu mengobati Guru."
Lalu dengan hati-hati diperiksanya tubuh kedua kakak
seperguruannya yang kini nampak agak malu. Tetapi
pancaran mata Arya Sempala begitu geram.
Setelah diperiksa tukup lama. Werdaningsih gagal
menemukan di mana totokan yang telah membuat kedua
kakak seperguruannya berubah laksana patung berada.
Hal ini membuatnya bertambah penasaran. Namun makin
dicari, makin tak ditemukan di mana totokan itu.
Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, pasrah. Ada
pcrasaan kecut menyadari kalau dia menggantungkan
harapan pada kedua kakak seperguruannya.
"Jalan satu-satunya.. aku harus mencari pemuda itu
untuk membebaskan kedua kakak seperguruanku ini dari
totokan yang dilakukannya," desisnya dalam hati. Lalu
berkata, "Maafkan aku. Kang Arya, Kang Jaya.... Aku tidak
tahu di mana totokan itu berada. Kalaupun tahu, aku juga
ragu apakah dapat membebaskan kalian atau tidak."
Namun sebeium dia berbuat apa-apa. mendadak saja
tcrdengar keluhan pelan. Menyusul kedua kakak
seperguruannya itu ambruk seperti ditiup angin.
"Kang Arya! Kang Jaya!!"
Kedua pemuda itu geleng-gelengkan kepala, karena
merasa agak pusing. Cukup lama mereka dalam keadaan
terduduk sebelum terdengar seruan gusar Arya Sempala
seraya berdiri, "Jahanam! Aku harus mencari pemuda itu?!"
"Kang Arya! Tunggu! Jangan bertindak gegabah!!"
Sementara Arya Sempala hentikan gerakannya dan
palingkan kepala gusar, Jaya Lantung berkata,
"Werdaningsih! Ini urusan laki-laki! Kau tetap menjaga
Guru!!"
"Tidak! Maksudku... aku.... Sudahlah, kalian tak perlu
meributkan soal pemuda tadi."
"Dia telah menotokku!!" seru Arya Sempala gusar
"Aku juga baru tahu soal itu! Tetapi, apakah kalian tidak
berpikir, kalau dengan cara yang tidak kelihatan pemuda
itu berhasil mcnotok kalian? Bila dia hendak membunuh
kalian, tentunya dengan mudah akan dilakukan!"
Mendengar kata-kata si gadis, dua pemuda itu sama-
sama kertakkan rahangnya. Namun sedikit banyaknya
membenarkan apa yang dikatakan Werdaningsih.
Werdaningsih berkata lagi, "Sebaiknya... kita tinggalkan
tempat ini sebelum manusia-manusia keparat itu datang!
Atau paling tidak, kita mencari tahu keadaan Paman Guru.
Bagaimana menurut kalian?"
Arya Sempala nampak masih gusar. Tetapi dia
membenarkan juga kata-kata Werdaningsih tadi, "Kau
benar. Werda. Keadaan nampaknya bertambah buruk saja
scmenjak kila bersama-sama Guru berusaha mengatasi
sepak terjang Manusia Muka Kucing. Yah, kita tinggalkan
tempat ini. Kau dan Jaya membawa Guru menjauh dan sini,
sementara aku akan mencari kabar tentang Paman Guru."
"Lain bagaimana dengan pemuda itu, Kang Arya?" tanya
Jaya Lantung.
Arya Sempala tcrdiam dulu sebelum menjawab, "Aku
tidak tahu siapa dia adanya. Tetapi terus terang kukagumi
kehebatannya. Tadi kupikir, saat dia terhuyung dan
menggerak-gerakkan tangannya, hanya untuk membantu
kuasai keseimbangannya belaka. Tidak tahunya. dia
lakukan totokan dari jarak jauh. Dan totokan yang
dilakukannya akan terlepas bila sudah lewat dari batas
waktunya. Kupikir, untuk saat ini kita tak perlu
mempersoalkannya lagi."
"Bila pemuda itu hendak membunuh kita, maka dengan
mudah akan dilakukannya. Bukan hanya akan membunuh
kalian berdua, tetapi juga aku dan Guru." kata
Werdaningsih menimpali. "Tidakkah kalian memikirkan soal
itu?"
Kedua kakak seperguruannya mengangguk-angguk.
Arya Sempala berkaia lagi. "Tak usah kita membicarakan
siapa sebenarnya pemuda itu. Tetapi tempat
persembunyian kita secara tidak sengaja telah diketahui
olehnya. Berarti, bisa jadi orang-orang Manusia Muka
Kucing cepat atau lambat akan tiba di sini juga. Sekarang
kalian bawa Guru menjauh dari sini, naikkan ke tubuh si
Putih. Pergi ke arah timur. Aku akan mencari tahu tentang
Paman Guru."
"Kang Arya... bagaimana kami bisa tahu keadaanmu?"
tanya Werdaningsih.
Arya Sempala terdiam. Nampak wajahnya sarat dengan
keragu-raguan. Lalu katanya pelan, "Biarlah aku yang akan
mencari kalian...."
Ketiga remaja itu saling tatap. Kejap kemudian, dengan
dibantu Werdaningsih, Jaya Lantung telah menggendong
tubuh gurunya yang masih belum pulih benar.
Keduanya masih pandangi sejenak Arya Sempala yang
berdiri tegak. Kejap berikutnya, Jaya Lantung mulai
melangkah keluar diiringi Werdaningsih
Namun baru saja mereka menginjak ambang pintu,
langkah mereka tertahan laksana dihadang setan.
Pandangan masing-masing orang terbeliak lebar.
Di hadapan mereka, telah berdiri lima orang lelaki tinggi
besar dengan wajah bengis berpakaian hitam - hitam! Si
Putih sendiri sudah tidak ada di tempatnya.
***
3
Arya Sempala langsung melompat ke depan, berdiri dl
hadapan Jaya Lantung dan Werdaningsih. Tatapannya
lajam lak berkedip pada kelima orang berpakaian hitam-
hitam yang hanya saling pandang disusul tawa keras.
Ketiga wajah murid Malaikat Keadilan ini cukup tegang.
Terutama Werdaningsih yang segera merapati Jaya
Lantung. Tak ada yang keluarkan suara kecuali tawa keras
dari kelima orang berpakaian hitam-hitam itu.
Tanpa setahu orang-orang yang berada di sana,
sepasang mata dari balik ranggasan semak belukar mem-
perhatikan. Pemilik sepasang mata ini yang ternyata
Pendekar Slebor adanya membatin, "Untung aku masih
sempat melihat kedatangan kelima Orang berpakaian
hitam-hitam. Menilik sikap mereka dan ketegangan yang
melanda tiga remaja itu, jelas kalau sesungguhnya mereka
telah saling mengenal. Atau paling tidak, mempunyai
dugaan yang tepat. Sebaiknya, kulihat dulu apa yang akan
terjadi."
Rupanya, Pendekar Slebor yang memutuskan untuk
meninggalkan tempat itu, melihat kelima orang berpakaian
hitam-hitam sedang berkelebat menuju ke bangunan di
mana Malaikat Keadilan dan ketiga muridnya berada.
Merasa ada sesuatu yang harus diketahuinya, Andika
mengurungkan niat unluk segera menyelidiki masalah apa
sampai Malaikat Keadilan menderita luka sedemikian
parah. Karena diam-diam, anak muda urakan ini merasa
kehadiran kelima lelaki berpakaian hitam hitam
merupakan sebagian jawaban yang dicarinya.
Semen tara itu Arya Sempala diam-diam agak bergetar
juga. Tetapi hanya sekejap. karena kejap berikutnyu sorot
mutanya memancar dingin dengan dendam yang tinggi.
Tanpa palingkan pandangan dia herbisik pada Jaya
Lantung, “Selamatkan Guru”
Jaya Lantung sejenak nampak meragu. Tetapi begitu
dilihat kekerasan wajah kakak seperguruannya, dia pun
segera bergerak ke arah timur disusul oleh Werdaningsih.
Namun tiga lelaki berpakaian hitam hitam itu lelah
melompat menghadang, sementara yang dua orang lagi
maju salu langkah ke hadapan Arva Sempala. Salah
seorang yang menghadang Jaya Lantung dan
Werda¬ningsih berkata sambii terbahak, "Mau ke mana,
hah? Bukankah sudah ada jalan yang paling aman menuju
ke neraka?!"
"Bawung! Apakah kau tidak melihat kelinci gemuk yang
tentunya enak bila digarap heramai ramai?" bersuara yang
berwajah tirus pada orang penuh bulu yang berbicara
pertama tadi. Pandangan orang ini menyipit dan sorot
matanya berkilat penuh birahi pada Werdaningsih.
Serta-merta wajah gadis berkuncir kuda ini merah
padam mendengar kata-kata orang Namun gadis ini masih
bisa menahan diri untuk tidak segera bertindak gegabah.
Dari pandanga.nnya pada Jaya Lantung, Bawung
alihkan pandangannya pada Werdaningsih. Dengan
seringaian lebar dia buka mulut lagi, "Benar-benar kelinci
gemuk! Dan sungguh nikmat dinikmati di saat seperti ini!!"
"Tutup mulutmu!!" bentak Werdaningsih keras.
"Hmm... liar juga rupanya! Aku masili bermurab bati
pada kalian untuk tidak mencabut nyawa kalian! Serahkan
Malaikat Keadilan untuk kami serahkan pada Manusia
Muka Kucing!"
"Iblis terkutuk! Begundal-begundal tengik! Panggil
Manusia Muka Kucing untuk berhadapan dengan kami!!"
menyengat Werdaningsih dengan kedua tinju dikepalkan.
Bersamaan Werdaningsih keluarkan bentakan, Andika
yang masih bcrada di balik ranggasan semak membatin
lagi, "Manusia Muka Kucing! Hmm... jadi orang- orang itu
anak buah orang yang berjuluk Manusia Muka Kucing?
Busyetl Apa mukanya memang mirip kucing? Atau kakinya
yang berjumlah empat yang kayak kucing? Huh! Pasti
kucing garong!!"
Bawung keluarkan tawanya yang keras. "Tidakkah
kalian ingat kalau guru kalian tak berdaya menghadapi
Manusia Muka Kucing?! Masih untung dia dapat melarikan
diri hinga tidak mampus tercabik-cabik oleh kuku-kukunya
yang mengandung racun!! O ya, tidakkah kalian ingin tahu
nasib Paman Guru kalian yang bernama Paksi Uladara? Dia
telah mampus dengan tubuh robek terkena cakar Manusia
Muka Kucing!!"
Bukan hanya Werdaningsih yang terkejut, Java Lantung
sendiri bergetar dadanya. Pandangan pemuda itu makin
tajam. Namun dia juga tak mau bertindak gegabah Karena
dia harus menyelamatkan gurunya.
Semertara itu Werdaningsih membatin, "Mungkin... ini
jawaban dari kata-kata pemuda berpakaian hijau pupus
itu.Jelas dja bukanlah salah seorang anak buah Manusia
Muka Kucing." Lalu hati-hati dia berbisik pada Jaya
Lantung, "Kau bawa Guru dari sini, Kang.... Biar aku yang
menahan mereka...."
"Tidak!" balas Jaya Lantung dalam bisikan. "Kau yang
membawa Guru, aku yang menghadapi mereka."
Bawung berkata dengan seringaian lebar, "Kau benar!
Ya, kau benar! Tetapi... kita urus dulu Malaikat Keadilan
yang sudah sekarat iluj"
Habis kata-katanya terdengar, lelaki brewok ini sudah
mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah Jaya
Lantung. Namun sebelum jotosan itu mengenai sasarannya
Werdaningsih sudah maju memapaki seraya berseru,
"Selamatkan Guru, Kang Jaya!!"
Des!l . • v
Jotosan Bawung jadi melenceng. Bukannya geram
karena niatnva digagalkan gadis berkuncjr itu, lelaki ini
justru terbahak-bahak hingga perutnya yang agak buncit
bcrgcrak.
"Sangat menyenangkan! Kalian langkap gadis itu!
lngat, jangan sampai terluka! Biar kuurus pemuda celaka
yang sudah mau mampus ini!!"
Dua, orang kaWan Bawung sudah mengurung Wer-
daningsih dan langsung lancarkan serangan yang ganas.
Bawung sendiri segera mencecar Jaya Lantung yang dalam
keadaan menggendong gurunya sudah tentu pemuda ini
cukup kerepotan.
Makanya setelah berhasil hindari serangan Bawung, dia
segera turuhkan sosok gurunya. Lalu mencelat ke depan.
Memang itulah yang ditunggu Bawung sebenarnya. Karena
apa yang dikatakannya tadi adalah scbuah rencana lidk.
Salah seorang yang mengurung Werdaningsih dan
hcrtubuh jangkung segera melompat memburu ke arah
Malaikat Keadilan. Tangan kanannya yang mengandung
tenaga dalam penuh, siap menghajar dada si kakek yang
masih dalam keadaan lemah itu.
Jaya Lantung terperanjat melihat hal itu. Dia cepat
melompat ke samping setelah kaki kanannya dijejakkan
lebih keras ke tanah. Jotosan lawan yang siap
menghancurkan kepala Malaikat Keadilan terhalang oleh
tendangannya.
NamunJaya Lantung sendiri harus merasakan betapa
kerasnya pukulan Bawungyang mendarat didadanya.
Pemuda itu sampai terpental hingga menabrak pohon.
Sementara itu Arya Sempala sudah harus menghadapi
dua lelaki berpakaian hitam-hitam lainnya. Pemuda
berwajah agak kasar ini tak mau bertindak ayal. Kedua
tangannya sudah pancarkan cahaya bening yang begitu
digerakkan, langsung mencelat dua cahaya bening ke arah
dua lawannya.
Tersentak masing-masing orang menerima serangan itu
yang kontan langsung bergulingan. Cahaya-cahaya bening
yang keluarkan suara menggemuruh itu menghantam
rengkah ranggasan semak belukar yang langsung
terbongkar ke udara.
Berhasil membuat jarak dengan dua lawannya, Arya
Sempala menggerakkan tangannya ke arah Bawung yang
sedang mengejar Jaya Lantung.
"Keparat sial!!" maki Bawung sambil membuang diri.
Blaaarrr!
Cahaya bening itu menghantam ranggasan semak
hingga pecah berhamburan.
Sementara itu seorang Iain bertubuh jangkung sudah
siap menjejakkan kaki kanannya pada kepala Malaikat
Keadilan. Namun mendadak saja dirasakan satu tenaga
tak nampak mcnahan injakan kakinya, menyusul satu
sentakan keras yang membuatnya terlempar ke belakang.
"Aaaakhhh!!"
Lelaki jangkung ini terjengkang di atas lanah dan
langsung muntah darah. Setelah menggeliat sejenak.
nyawanya pun melayang. Rupanya Malaikat Keadilan yang
sudah merasa tenaganya agak pulih berhasil halangi
maksud orang itu.
Andika yang tadi bermaksud untuk halangi niat si
Jangkung menarik napas lega. "Tak kusangka... dalam
keadaan masih lemah seperti itu, si kakek mampu hadang
serangan. Sekaligus, memutus nyawa orang yang
menyerangnya."
Bawung yang melihat kematian si Jangkung berteriak
setinggi langit. Dia mengamuk sejadi-jadinya dengan
serangan demi serangan ganas pada Jaya Lantung. Angin
keras berkesiur mendahului setiap serangannya.
Lama kelamaan Jaya Lantung menjadi kewalahan juga.
Melihat hal itu Andika memutuskan untuk membantu.
Namun gerakannya tertahan, tatkala dilihatnya gadis
berpakaian putih-putih yang kendati agak terdesak telah
bertindak cepat.
Tangan kanannya pun telah keluarkan cahaya bening
yang langsung didorong ke muka, sementara tangan kiri
didorong ke arah Bawung. Lawannya yang sedang
lancarkan tendangan, tak menyangka kalau satu
gelombang angin keras yang disertai cahaya bening telah
melabrak ke arahnva.
Tanpa ampun lagi dadanya terhantam telak hamparan
angin yang keluar dan dorongan tangan kanan
Werdaningsih.
Terdengar jeritan tertahan menyusul tubuh yang
terpental. Begitu ambruk ke tanah, lelaki itu telah menjadi
mayat dengan dada menghitam yang keluarkan asap.
Sementara hamparan angin dan cahaya bening yang
melesat dari tangan kiri Werdaningsih menghalangi niat
Bawung untuk kirimkan serangan kembali pada Jaya
Lantung. Begitu melihat Bawung melompat kesamping,
Jaya Lantung langsung menerjang ke depan. Kedua
tangannya pun telah keluarkan cahaya bening dan di-
hantamkan pada dada Bawung yang keluarkan pekikan
tertahan.
Seketika itu juga Bawung terpental kebelakang dan
muntah darah. Dia masih sempat kelojotan saat tubuhnya
ambruk. Dua kejap kemudian sosoknya diam tak bergerak
dengan dada menghitam keluarkan asap.
"Hebat!" desis Andika. "Tetapi jurus itu agak kejam.
Rasanya tak pantas dilakukan oleh gadis seperti
Werdaningsih. Namun keadaan memang... heil!"
Melihat sesuatu yang janggal, Andika memutus kata-
katanya sendiri. Menyusul tubuhnya berkelebat cepat
melalui arah sebelah kanan.
Sementara itu. mendapati kawan-kawan yang lain
sudah tewas, dua lelaki berpakaian hitam hitam yang
sedang menghadapi Arya Sempala menjadi ngeri.
Serangan yang mereka lancarkan menjadi kacau balau
karena mereka berusaha untuk melarikan diri. Namun
pemuda berpakaian biru gelap ini tak mau membiarkan
orang-orang itu melarikan diri. Dengan jurus ‘Tebar Cahaya
Maut’, dicecarnya kedua lelaki berpakaian hitam yang kini
memucat.
"Kalian tak akan bisa lolos dari tanganku, Manusia-
manusia celaka!!" gcram Arya Sempala terus mencecar.
Serangan demi serangan yang dilancarkan tak mampu
dihadang oleh kedua lawannya. Dua gebrakan kemudian,
kedua lawannya sudah terbaring di tanah dan nyawa
melayang ke neraka.
Arya Sempala meludahi kedua mayat itu dengan geram.
"Manusia-manusia celaka seperti kalian lebih baik
mampus!!" makinya jengkel.
Tatkala dipalingkan kepalanya, dilihatnya Werdaningsih
sedang alirkan tenaga dalamnya pada Jaya Lantung. Arya
Sempala segera mendekatinya.
"Biar aku yang meneruskan, Werda. Kau lihat keadaan
Guru...."
Arya Sempala segera alirkan tenaga dalamnya pada
Jaya Lantung yang duduk bersila. Baru saja dia selesai
alirkan tenaga dalamnya, terdengar seruan tertahan
Werdaningsih, "Kang Arya! Kang Jaya Lantung! Guru tidak
ada?!"
***
4
Kedua pemuda itu segera berkelebat mendekati
Werdaningsih. Jaya Lanlung langsung bergerak cepat. Dia
bukan hanya mendatangi tempat di mana tadi diletakkan
tubuh gurunya di sana, tetapi juga mengelilingi tempat itu.
Tiga tarikan napas berikutnya, dia sudah kembali lagi ke
tempat semula dengan wajah tegang.
"Tidak ada...," desisnya gelisah dengan napas berat.
"Tadi di mana kau letakkan Guru, hah?!" seru Arya
Sempala agak keras.
Jaya Lantung tergagap sejenak. Dia tak segera
membuka mulut karena sedikit banyaknya merasa
bersalah.
"Aku... aku... tadi kuletakkan di sini, Kakang...."
"Lalu di mana sekarang, hah'?!" suara Arya Sempala
bertambah gusar. Sebagai murid yang tertua dia merasa
bertanggungjawab atas hilangnya sang Guru.
"Aku... aku...."
"Berpencar! Kau pergi bersama Werdaningsih ke arah
timur! Aku akan menyusuri arah barat!!" kata Arya Sempala
kemudian dan langsung berkelebat
Sepeninggalnya tak ada yang buka mulut. Jaya Lan tung
masih tergugup dengan suasana yang tak disangkanya.
Werdaningsih diam-diam merasa tidak enak dengan situasi
yang baru saja lerjaili. Apalagi melihat wajah Jaya Lantung
yang nampak bersalah.
"Kang Jaya... sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Kita
harus mencari Guru. .."
"Seharusnya aku lidak menurunkan Guru tadi," kata
Jaya Lantung resah.
"Kang Jaya... apa yang kau lakukan ladi benar. Karena
secara tidak langsung kau lelah menyelamatkan Guru.
Sungguh sulit menghadapi lawan sambil menggendong
Guru," kata Werdaningsih bijaksana Padahal saal ini
hatinya resah bukan main.
"Seharusnya tadi kau tak perlu membantuku
memulihkan tenaga, Werda. Kau harusnya langsung
menemui Guru."
"Kang Jaya... jangan bicara begitu. Lebih baik kita
segera mencari Guru," kata Werdaningsih. Lalu berkata,
"Kira-kira siapa yang telah membawa Guru? Atau
mungkinkah Guru yang memang meninggalkan kita?"
Jaya Lantung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dugaan yang ada. Guru telah dilarikan seseorang yang
tentunya bermaksud jahat Kalaupun Guru yang sengaja
berlalu, tak mungkin. Kendati dia sudah mulai membaik,
namun lentunya belum memiliki tenaga penuh."
Merasa gembira karena Jaya Lantung dapat diajak
bercakap-cakap lagi sccara normal, Werdaningsih berkata,
'Kita berangkat ke arah timur sekarang juga."
Pilihatnya Jaya Lantung masih terdiam. Setelah
menghela napas dia berkata, "Aku bersumpah... bila terjadi
sesuatu yang tidak mengenakkan pada Guru, akan
kucincang orang Itu."
Werdaningsih tak menghiraukan sumpah yang di
katakan Jaya Lantung. Dia sudah berkelebat ke arah timur
dengan hati gelisah. Jaya Lantung sendiri segera menyusul
adik seperguruannya itu.
Tanah yang cukup luas di hadapan bangunan yang
sebagian telah runtuh itu kembali ditindih sepi. Matahari
terus beranjak naik ke titik paling atas, menerangi lima
mayat berpakaian hitam-hitam yang tergeletak di atas
tanah.
Jauh dari tempat itu, Pendekar Slebor terus berkelebat
dengan cepat. Sejarak lima belas tombak di hadapannya.
satu sosok tubuh berpakaian merah-merah terus berlari
dengan membopong tubuh Malaikat Keadilan.
"Kurang asem! Siapa orang itu?" desis Andika jengkel.
"Semakin kupercepat lariku, semakin dia menjauh. Jelas-
jelas kalau orang itu memiliki ilmu peringan tubuh yang
lebih tinggi."
Sambil memaki panjang pendek, anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini terus menambah ilmu
peringan tubuhnya. Namun seperti yang dikatakannya tadi,
semakin dia mempercepat larinya, orang yang membopong
Malaikat Keadilan justru semakin menjauh.
Rupanya, di saat Andika mcmutus kata-katanya tadi,
karena dia melihat seseorang berpakaian merah- merah
muncul begitu saja tanpa diketahui dari mana datangnya.
Lelaki berkumis tebal dengan luka di pipi kanan itu.
langsung menyambar tubuh Malaikat Keadilan dan
langsung mcmbawanya pergi.
Andika sendiri segera berkelebat menyusul.
Di depan. lelaki berpakaian mcrah-merah yang
membopong tubuh Malaikat Keadilan dan mengetahui
kalau dia diikuti membalin, "Hmmm... rupanya pemuda itu
masih mengikutiku. Bagus! Dia akan mengalami kejutan
yang besar di ujung jalan sana!"
Merentanakan sesuatu untuk pemuda yang
mengikutinya, lelaki berkumis tebal ini sengaja
memperlambat gcrakannya, hingga jarak antara dia
dengan Andika semakin dekat. Andika sendiri yang sudah
jengkel terus kerahkan ilmu pcringan tubuhnya.
Dan dia berseru tatkala sudah memasuki ujung jalan,
"Orang celaka! Turunkan Malaikat Kecfdilan!!"
Tanpa berpaling dari larinya, orang itu berseru,
"Mengapa hanya bisa bicara? Mengapa tidak kau sendiri
yang mengambil lelaki tua yang mau mampus ini?!"
"Kutu monyet! Akan kujitak kepalanya sampai benjol!!"
maki Andika sambil pereepat larinya.
Sejarak delapan langkah, lelaki berpakaian merah-
merah itu tiba-tiba saja hentikan larinya. Tatkala berpaling
dia langsung berseru keras, "Sekarangl!"
Belum lagi Andika mengerti apa yang terjadi, mendadak
saja meluncur empat buah tambang yang langsung
menjerat kedua kaki dan tangannya Menyusul dirasakan
betotan yang coba untuk menarik putus kaki dan
tangannya.
"Kura-kura baulT" rutuk anak muda ini sambil kerahkan
tenaga dalamnya guna menahan betotan empat buah tali
itu.
Empat buah tambang sebesar lengan seorang bocah itu
menyentak dan empat sosok tubuh berpentalan ke luar
dari arah yang berlainan melompat keluar akibat tarikan
Andika. Namun dengan kaki kanan menahan tanah,
masing-masing orang dapat menahan tarikan tenaga
dalam Andika.
Andika mendengus, "Monyet-monyet pitak! Rupa nya
kalian termasuk orang-orang iseng, hah?!"
Di depan, lelaki berpakaian merah-merah terbahak-
bahak keras. "Anak muda... siapa pun yang mencoba
menyelamatkan pemberontak celaka ini harus mampus!!
Hmmm... ingin kulihat kebisaanmu dulu sebelum mampus!!
Tarik dia sampai putus anggota tubuhnya!!"
Mendengar perintah itu, keempat orang berpakaian
hitam-hitam langsung tarik tali yang masing-masing
pegang. Tubuh Andika sejenak meregang, namun dengan
cepat ditahannya. Hingga terjadilah tarik menarik yang kuat
antara Andika dengan empat orang berpakaian hitam-
hitam itu.
"Kutu monyet!!" maki Andika sambil terus bertahan.
Sungguh sulit mengatasi keadaan ini sebenarnya.
Karena kedua kaki yang menjadi tumpuan keseimbang-
annya harus diperlahankan dari betotan orang-orang itu.
Bila saja kakinya berhasil dilarik, sudah bisa dipastikan
kalau dirinya akan terjengkang dan mudah untuk
dijatuhkan.
Tetapi memang sulit memperlahankan
keseimbangannya. Apalagi Secara mendadak dua orang
yang memegang tambang yang mengikat kedua kakinya,
mengendurkan tenaganya. Hingga mau tak mau Andika
yang sedang kerahkan tenaganya terpelanting ke samping
akibat betotan tenaganya sendiri. Baru saja tubuhnya
terjatuh, dua orang yang memegang tambang dan
mengikat kedua tangannya sudah menarik ke depan.
Kembali mau tak mau tubuh pemuda berpakaian hijau
pupus ini tcrtarik ke depan. Belum lagi dia dapat kuasai
keseimbangannya dua orang yang memegang tambang
dan mengikat kedua kakinya, sudah mencelat ke depan
dengan tendangan lurus.
Des! Des!
Dua tendangan telak itu langsung menghantam dada
Andika yang tersentak kaget. Darah segar menyembur
keluar. Menyusul dirasakan tarikan pada kedua tangannya
lagi.
Lelaki berpakaian merah merah tertawa keras,
"Rupanya tak memiliki kepandaian apa-apa tetapi sudah
berani lancang untuk menghalangi niat anak buah Manusia
Muka Kucing! Hmmm... sebelum mampus, kau boleh
bcrkenalan dulu denganku! Ingat, kau boleh memanggilku,
si Kaki Kilat karena kepandaianku dalam hal ilmu peringan
tubuh!!"
"Monyet pitak! Kenapa kau tidak turun sekalian !"
sentak Andika gusar dan berusaha untuk mengatasi setiap
penderitaan yang dialaminya.
Dan mendadak saja terdengar seruannya, terlahan
Karena mendadak tiga orang lelaki berpakaian hitam-
hitam lainnya telah muncul dari tiga arah yang ber-
lawanan, Langsung menebarkan jala besar yang
mengurung tubuhnya.
Gelagapan Andika berseru keras, "Kucing-kucing bau!!"
Cepat dialirkan tenaga 'Inti Petir' ke seluruh tubuhnya,
mencoba memutuskan jala itu. Bersamaan dengan itu.
satu tendangan keras menghantam punggungnya.
Rupanya salah seorang yang memegang tambang besar
dan mengikat kaki kanannya, sudah melompat.
Kendati tubuh Andika terhuyung ke depan, namun
orang yang menendangnya tadi memekik keras. Karena
dirasakan satu sengatan mendera kaki kanannya. Pe
gangannya pada tambang itu terlepas dan orang ini jatuh
tersungkur dengan kaki melepuh.
Melihat hal itu, leiaki berkumis tebal terhenyak kaget.
Segera saja dia mencelat ke depan setelah melempar
begitu saja tubuh Malaikat Keadilan. Gerakan kedua
kakinya sangat cepat sekali hingga keluarkan angin
berdesir-desir.
Andika terhenyak mclihatnya. Dia mencoba menahan
dengan kedua tangan yang segera diangkat, namun saat
itu pula tangan kanan kirinya menyentak ke samping
karena dua orang yang memegang tambang telah
menariknya.
Maka tanpa ampun lagi, tendangan kaki kanan dan kiri
yang dilancarkan si Kaki Kilat telak menghantam dadanya.
Des! Des!
Saat itu pula tubuhnya terhuyung ke belakang. Si Kaki
Kilat sendiri yang telah berdiri tegak agak terkejut, karena
dirasakan sengatan pada kedua kakinya. Bila saja saat itu
Andika tidak dalam keadaan kehilangan keseimbangan,
sudah dipaslikan kaki kanan kiri si Kaki Kilat akan
langsung melepuh terkena tenaga 'Inti Petir' yang telah
dialirkan pada sekujur tubuhnya.
Andika sendiri merasakan tubuhnya dibetot keras
disertai jala yang makin mengikatnya.
"Busyet!" makinya jengkel.
Hanya dalam tiga kejapan mata saja, tubuh anak muda
urakan ini telah tertekuk. Dadanya terasa sakit sekali
karena kedua tangannya yang ditarik ke belakang seperti
menindih dadanya sendiri. Wajahnya sendiri sudah
mencang mencong karena tarikan jala yang kuat.
"Kura-kura bau!!" makinya gusar dalam hati. "Kalau aku
terlepas dari jala keparat ini, akan kujitak kepala mereka
satu per satu sampai benjol!!"
Lalu Ia berseru konyol, "Hoooiii!! Aku bukan ikan nih!
Lepaskan dong!!"
Tetapi sudah tentu orang-orang itu tak mau
melepaskannya. Bahkan si Kaki Kilat sudah memberi aba-
aba untuk menghantami tubuh Andika. Kejap itu pula
dalam keadaan tcrikat kuas, Andika menenma hantaman
yang keras, bertubi-tubi hingga akhirnya pemuda dari
Lembah Kutukan ini jatuh pingsan.
Melihat hal itu, lelaki berkumis tebal terbahak-bahak
lebar seraya melangkah mendekati Andika.
"Hhhh! Tak seorang pun yang dapat menyelamatkan
nyawa Malaikat Keadilan! Satu-satunya stsa pemberontak
yang menentang kebijaksanaan Manusia Muka Kucing!"
Lalu dengan kaki kanannya, dia menyepak tubuh
Andika hingga terlentang. Nampak darah segar keluar dari
hidung dan mulut pemuda urakan itu.
Seringaian bertambah lebar di bibir Kaki Kilat.
"Aku tidak tahu siapa pemuda ini. Kubunuh pun tidak
jadi masalah karena yang dihendaki oleh Manusia Muka
Kucing adalah Malaikat Keadilan. Hmmm.. entah apa yang
diinginkan oleh Manusia Muka Kucing sebenarnya. Hingga
hari ini, aku belum tahu apa yang diinginkannya kendati dia
telah menaklukkanku. Menjadi salah seorang tangan
kanannya sungguh menyenangkan. karena aku dapat
berlindung dari segala yang merintangi kesenanganku."
Habis membatin begitu, dengan tawa keras lelaki
berkumis lebal ini berseru "Bunuh dia!!"
Serentak orang-orang berpakaian hitam hitam me-
langkah mendekati Andika sambil bersorak-sorai Mem-
bunuh bagi mereka adalah sebuah kesenangan tiada
banding. Namun belum lagi mereka melakukan perinlah si
Kaki Kilat, satu gelombang angin raksasa telah menderu
dengan keluarkan angin menggidikkan.
Hebatnya, gelombang angin itu tidak menghantam
sosok Andika yang pingsan. melainkan orang-orang
berpakaian hitam hitam yang saat itu pula langsung terpen-
tal. Lima orang langsung tewas tanpa keluarkan suara.
Sementara dua orang lagi jatuh pingsan. Akibat lain dari
gelombang angin yang mendadak muncul, ranggasan
semak belukar langsung terseret pecah dan tanah munerat
ke udara.
Terkesiap si Kaki Kilat melihat anak buahnya morat-
marit seperti itu. Segera saja dia balikkan tubuh dan siap
keluarkan bentakan. Namun mulutnya laksana terkunci.
Kedua matanya terbeliak kaget.
Kejap itu pula dia langsung jatuhkan tubuh, di hadapan
seseorang berpakaian terbuat dari bulu berwarna belang-
belang yang berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya
"Ketua...."
***
5
Orang yang berdiri di hadapan Kaki Kilat dan tadi
lepaskan gelombang angin yang menghantam tujuh orang
anak buah Kaki Kilat, merandek dingin. Orang yang
tingginya hanya sebahu Kaki Kilat ini memandang lelaki itu
dengan sorot mala memerah Ada kengerian dalam bagi
siapa saja yang melihatnya. Rambut orang ini panjang tak
beraturan dan kenakan pakajan terbuat dari bulu herwarna
belang-belang. Pada jari-jari tangannya terdapat kuku-kuku
runcing warna hitam. Dari wujudnya yang aneh, ada
sebuah keanehan sekaligus kengerian bagi yang
melihatnya. Wajah lelaki ini mirip kucing!
Saat menyeringai, unlaian kumis jarangnya seperti
meregang Suaranya agak sengau, "Bagus kau berhasil
mendapatkan Malaikat Keadilan!"
Kaki Kilat yang tadi geram melihal anak buahnya dibuat
tunggang langgang dan lima orang mampus sekaligus,
lamat-lamat bangkit. Kepalanya masih tertunduk saat
berkata, "Manusia terkutuk ini kupersembahkan unlukmu,
Ketua..."
"Bagus! Manusia celaka itu akhirnya akan mampus
juga! Ini semua kebodohan dari mulutnya yang selalu
terkuncil Kaki Kilat... tahukah kau siapa pemuda
berpakaian hijau pupus yang pingsan itu?"
Sejenak Kaki Kilat arahkan dulu pada orang yang
dimaksud sebelum berkata, "Maafkan aku, Ketua... aku
tidak tahu siapa dia. Tetapi agaknya dia bukanlah orang
yang menakutkan, karena tak memiliki ilmu tinggi kendati
berusaha untuk selamatkan Malaikat Keadilan."
Kaki Kilat yang mengharapkan pujian lagi dari lelaki
muka kucing itu harus menelan keinginannya dalam dada
saat si leiaki muka kucing geleng-gelengkan kepala.
"Kau salah besar. Pemuda itu memiliki ilmu yang tinggi.
Hanya dikarenakan serangan mendadak secara bertubi-
lubi saja hingga dia dengan mudah kau kalahkan. Bahkan
aku yakin, untuk mengalahkanmu, dia hanya memberimu
bernapas tiga gebrakan saja."
"Kurang ajar! Dianggapnya aku ini apa, hah?!" maki Kaki
Kilat dalam hati. Bila saja yang berbicara tadi bukan
Manusia Muka Kucing, saat itu pula yang berbicara sudah
robek mulutnya. Lalu katanya hormat, "Siapakah pemuda
itu sesungguhnya, Ketua?"
"Dia adalah Pendekar Slebor...."
Melengak Kaki Kilat mendengar ucapan Manusia Muka
Kudng. Tanpa sadar dia arahkan pandangan pada pemuda
yang pingsan itu dan herucap pelan, "Pendekar Slebor...."
"Ya! Dialah pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor!
Pemuda urakan yang kerjanya hanya menghalangi niat
orang-orang seperti kita untuk berkuasa!"
Kaki Kilat arahkan pandangannya lagi.
"Ketua.. dia kini sudah berada di tangan kita! Lebih baik
membunuhnya ketimbang nanti menjadi duri dari segala
rencana yang telah Ketua susun."
"Dia memang tidak tahu apa yang kuhendaki dari
Pendekar Slebor," kata Manusia Muka Kucing dalam hati
sambil gelengkan kepalanya. Seringaiannya bcrtambah
mengerikan.
"Mengapa harus merepotkan diri dengan membunuh
pemuda itu?" katanya kemudian. "Karena tanpa kita bunuh
pun dia akan mampus sccara mengerikan"
"Mengapa, Ketua? Bukankah pemuda itu akan
mcnghalangi segala rencana yang telah Ketua susun?"
tanya Kaki Kilat yang scsungguhnya ingin mengetahui
rencana apa yang telah disusun oleh Manusia Muka
Kucing. "Kupikir... sebaiknya dia dibunuh saja ketimbang
akan menyusahkan Ketua kelak."
Justru yang didapati hanyalah bentukan keras, "Sejak
kapan kau berani banyak bertanya, hah?! Dan sejak kapan
kau kubiarkan mengeluarkan pendapat?"
Ciut hati Kaki Kilat mendengar bentakan orang kendati
hatinya sungguh geram. Namun sudah tentu dia tak mau
memperlihalkan kegeramannya karena dia tahu kesaktian
yang dimiliki lelaki muka kucing ini. Bahkan dua bulan lalu,
dia harus pontang panting menghadapi serangan Manusia
Muka Kucing. Karena dia bersedia untuk bergabung
dengannya saja maka hingga hari ini nyawanya masih
melekat di badan. Demikian pula dengan para anak
buahnya yang berpakaian serba hitam.
"Ketua... apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Bunuh Malaikat Keadilan'!"
"Bagaimana dengan Pendekar Slebor?"
"Keparat!! Kau jadi banyak bertanya sekarang? Aku
mempunyai sebuah rencana yang tentunya sangat
mengejutkan pemuda dari Lembah Kulukan itu! Jalankan
perintahku!!"
Setelah anggukkan kcpala, perlahan-lahan Kaki Kilat
melangkah mendekati sosok Malaikat Keadilan yang dalam
keadaan tertotok. Lelaki tua gagah yang baru saja sembuh
setelah diobati oleh Pendekar Slebor. hanya sunggingkan
senyum dengan tatapan lemah.
"Manusia celaka...." desisnya pelan. "Kau hanya me-
nurunkan sengsara pada umat manusia dengan menjadi
pengikul inanusia celaka bcrjuluk Manusia Muka Kucing.
Padahal, kau tidak tahu apa yang direncanakan lelaki sesat
berparas kucing itu sebenarnya...."
"Diaaammm!!" bentak Kaki Kilat keras. "Nyawamu
sudah berada di tanganku! Bila saja kau mau menuruti apa
yang diinginkan Manusia Muka Kucing, sudah tentu hingga
hari ini kau masih dalam keadaan segar bugar!"
"Yang menentukan apakah aku masih schat atau
sekarat, bukanlah manusia itu! Tetapi Yang Maha Kuasa
telah menentukan lain untuk nasibku.. ."
"Bagus! Dan rupanya kali ini dia benar-benar hendak
tentukan nasib sial padamu, Malaikat Keadilan!!"
Malaikat Keadilan cuma tersenyum saja. Bahkan makin
tersenyum tatkala tangan kanan Kaki Kilat yang
mengandung tenaga dalam tinggi itu bergerak ke arah
wajahnya.
Namun seperti dihadang oleh satu tenaga kuat, jotosan
Kaki Kilat laksana membentur dinding keras.
"Aaakhhh!!" menjerit tertahan lelaki berkumis tebal itu
hingga surut dua tindak ke belakang. Kepalanya digerak-
gerakkan lalu dengan tatapan gusar dia berseru,
"Jahanam! Rupanya kau masih punya kebolehan, hah?!"
"Bukankah tadi kukatakan Yang Maha Kuasa
menentukan lain?" sahut Malaikat Keadilan sambil
tersenyum lemah.
"Setan alas!! Kucabik-cabik tubuhmu!!"
Dengan kegusaran setinggi langit apalagi Kaki Kilat
tahu kalau Manusia Muka Kucing menghendaki dia
bertindak cepat, berulangkali dia lepaskan jotosannya
pada dada, wajah, bahkan perut Malaikat Keadilan yang
masih terluka.
Namun lagi-lagi serangan yang dilancarkannya tak
dapat mengenai sasaran yang diinginkan. Padahal
Malaikat Keadilan masih terbaring tanpa daya, apalagi
dalam keadaan terlotok.
Tak hiraukan keinginan keji Kaki Kilat, Malaikat
Keadilan berkata pada Manusia Muka Kucmg yang tegak
dengan wajah kucingnya tertekuk, "Apakah kau kini sudah
puas setelah menemukan Pendekar Slebor?! Bahkan
dengan mudah kau bisa membunuhnya sekarang! Tetapi
aku yakin, kau tak akan membunuhnya!
Karena di balik semua ini... ada seseorang yang telah
membuatmu seperti kerbau dicucuk hidung! Lebih baik...
katakan saja siapa orang itu?"
"Tutup mulutmu!!" menggelegar suara Manusia Muka
Kucing keras.
Kaki Kilat yang telah mundur dan hentikan rangkaian
serangannya sejenak pandangi Manusia Muka Kucing.
Diam-diam lelaki berkumis tebal ini membatin, "Ada orang
di balik Manusia Muka Kucing? Siapakah dia sebenarnya?
Dari ucapan Malaikat Keadilan dan amarah yang
ditampakkan leiaki berwajah kucing itu, sebenarnya
memang Pendekar Sleborlah orang yang dicari oleh
Manusia Muka Kucing. Tetapi mengapa dia tidak segera
membunuhnya? Apa yang diinginkan sebenarnya'.'"
Terdengar lagi suara Malaikat Keadilan, "Lelaki sesat
bermuka kucing... lebih baik kau panggil keluar orang yang
telah membodohimu! Katakan padanya, dia tak akan
pernah berhasil untuk menjalankan semua rencana
busuknya!"
"Jahanam! Kurobek mulutmu!!"
Habis makiannya dengan penuh murka membara,
kedua tangan Manusia Muka Kucing langsung merobek
anggota tubuh bagian bawah Malaikat Keadilan. Bukan
wajah, dada dan luka pada perut yang menjadi sasaran.
Melainkan betis kaki kanan Malaikat Keadilan. Karena, di
sanalah sesungguhnya letak kekuatan lelaki tua gagah ini.
Kalaupun dia terluka parah karena bertarung dengan
Manusia Muka Kucing sebelumnya, ini disebabkan karena
racun yang terdapat pada kuku-kuku Manusia Muka
Kucing yang telah masuk melalui robekan pada perulnya,
telah menjalar ke kedua kakinya Terutama pada kaki
kanannya.
Begilu kaki kanannya tercabik hingga bukan hanya
darah yang keluar melainkan sebagian dagingnya yang
tercacah berhamburan. terdengar lolongan keras Malaikat
Keadilan.
Sementara Kaki Kilat hanya memperhalikan tertegun,
Manusia Muka Kucing terus mencabik-cabik kaki kanan
Malaikat Keadilan, yang terus menerus menjerit keras
tanpa mampu berbuat apa-apa. Bahkan bergerak pun
tidak. Bila saja dia tidak dalam lerluka, totokan yang
dilakukan Kaki Kilat dapat dengan mudah dilepaskan.
Hingga mau lak mau, lelaki tua perkasa itu harus
membiarkan kaki kanannya dicabik-cabik.
Hanya tiga kejapan mata saja, tumit kaki kanan
Malaikat Keadilan telah robek besar. Tubuhnya semakin
lama semakin melemah.
Kaki Kilat yang masih memperhatikan tersentak tatkala
terdengar bentakan Manusia Muka Kucing, "Bunuh dial!"
Hanya dengan sekali loncat saja, kaki kanannya telah
menghantam rengkah kepala Malaikat Keadilan yang
melengak dan keluarkan seruan tertahan. Darah merah
bercampur dengan cairan putih keluar dari kepalanya yang
pecah.
Menyusul didengarnya kata-kata lelaki berparas kucing
itu. "Letakkan mayat lelaki tua celaka itu disamping sosok
Pendekar Slebor yang pingsan!!"
Tak berani banyak bertahya, Kaki Kilat melakukan
pcrinlah itu. Diletakkannya mayat Malaikat Keadilan di
samping kanan Pendekar Slebor.
"Jangan terlalu dekat, beri jarak dan letakkan pada
posisi yang berlawanan!"
Kembali Kaki Kilat melakukannya.
"Angkut jala-jala pada tubuh Pendekar Slebor!"
Dengan hati masih diliputi beberapa pertanyaan, Kaki
Kilat melakukannya dengan cepat. Setelah semuanya
selesai. terlihat Manusia Muka Kucing terbahak- bahak
lebar.
"Permainan akan segera dimulai... Dan kuharap,
permainan ini tak akan mamakan waktu terlalu lama untuk
mcmberi pelajaran pada Pendekar Slebor sebelum kuba...."
Memutus kata-katanya sendiri, dengan masih diiringi
tawa, lelaki berparas kucing segera meninggalkan tempat
itu. Sementara si Kaki Kilat masih memandangi dua sosok
tubuh yang tergolek. Cukup lama dia memperhatikan
sebelum akhirnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Hmmm... cerdik, sungguh cerdik...," katanya kemudian.
"Pendekar Slebor akan mengalami sesuatu yang sangat
mengejutkan. Luar biasa kecerdikan Ketua ..."
Lalu dibawa langkahnya pada dua anak buahnya yang
jatuh pingsan akibat sambaran gelombang angin yang
dilepaskan oleh Manusia Muka Kucing.
Sejenak diperhatikannya sebelum dia lakukan tindakan
yang mengejutkan. Dengan gerakan cepat kepala kedua
anak buahnya itu langsung diinjaknya sampai rengkah,
yang sesaat mengejut kemudian terkulai. Darah pun
mengalir perlahan-lahan.
Dengan penuh kemuakan diludahinya mayat kedua
anak buahnya itu.
"Tak berguna sama sekali!!"
Kemudian dia segera berkelebat menyusul Manusia
Muka Kucing.
***
Angin terus berhembus dan rambatan waktu makin
bergulir. Senja telah menaungi segenap persada. Beberapa
helai daun berguguran dihembus angin semilir dan dua
buah helai tepat mengenai mata Pendekar Slebor.
Sesaat anak muda dari Lembah Kutukan itu menggeliat
pelan disertai keluhan tertahan. Saat dibuka sepasang
matanya, dilihatnya alam mulai meredup.
"Kutu monyet!" desisnya begitu menyadari apa yang
telah terjadi. "Rupanya aku pingsan... dan sudah tentu
kutu-kutu monyet itu sudah tak ada lagi di sini. Brengsek
betul! Mereka harus ku... heil!"
Teringat kalau dia sedang berusaha menyelamatkan
Malaikat Keadilan, Andika buru-buru bangkit. Saat berdiri
dia agak limbung sejenak karena sekujur tubuhnya masih
terasa ngilu akibat pukulan dan lendangan orang- orang
berpakaian hitam-hitam. Buru-buru dialirkan tenaga dalam
pada seluruh tubuhnya. Ditahannya napas beberapa saat.
Setelah itu dihembuskannya pcrlahan lahan. Kembali
tubuhnya dirasakan mulai agak segar kendati rasa ngilu
masih dirasakan.
Begitu kepalanya ditolehkan ke kanan, dilihatnya satu
sosok tubuh tergolek menjadi mayat dengan luka- luka
mengerikan. Buru-buru Pendekar Slebor menghampirinya.
"Keparat! Sungguh keji!" desisnya. Kejap kemudian.
nampak kedua tangannya bergetar tanda amarah mulai
naik. "Aku memang belum dapat mengetahui sepenuhnya.
ada urusan apa sebenarnya Tetapi yang kuketahui adalah
si Kaki Kilat, juga orang yang berjuluk Manusia Muka
Kucing yang berada di balik semua ini"
Kembali diarahkan pandangannya pada mayat Malaikat
Keadilan.
"Apa yang sebenarnya ditentang oleh kakek perkasa
ini? Sepak terjang apa yang telah dilakukan Manusia Muka
Kucing beserta antek-anteknya?"
Pertanyaan itu langsung ditelan bulat-bulat oleh Andika
sendiri karena dia memang belum mengetahui
jawabannya. Lamat-lamat pemuda yang di lehernya melilit
kain bercorak catur ini berdiri.
Begitu pandangannya diedarkan ke sekeliling, dilihatnya
mayat-mayat berpakaian hitam-hitam bergeletakan.
"Gila! Apa yang terjadi sebenarnya? Siapa yang telah
membunuh orang-orang ini?"
Lalu dihampirinya mayat-mayat itu.
"Lima orang mati dengan dada agak menghitam, seperti
terhantam pukulan yang keras. Dua orang lagi dengan
kepala pecah. Apakah ada seseorang yang telah muncul ke
sini? Orang itu berusaha menyelamatkan Malaikat
Keadilan namun gagal karena lebih dulu dibunuh oleh Kaki
Kilat? Kalau memang iya, tentunya saat ini orang itu yang
sedang dikejar oleh Kaki Kilat alau malah scbaliknya?"
Kembali anak muda urakan ini terdiam. Keningnya
nampak dikerutkan dalam dalam tanda dia berpikir keras.
"Bagaimana bila lernyata yang datang itu justru orang
yang berpihak pada Kaki kilat? Atau paling tidak,
katakanlah orangyang berjuluk Manusia Muka Kucing
sendiri? Dia yang membunuh orang-orang berpakaian
hitam-hitam itu, lantas membunuh Malaikat Keadilan? Ya,
ya... kemungkinan itulah yang lebih tepat. Dan bisa jadi...
oh!!"
Menyadari ada masalah yang akan dihadapinya.
pandangan Pendekar Slebor tertuju pada mayat Malaikat
Keadilan. Cukup lama dia terdiam dengan sorot tak
berkedip sementara keningnya dikemyitkan.
"Gila! Licik sekali!" dcsisnya setelali mencernakan apa
yang ada di pikirannya. "Sudah tentu yang muncul memang
Manusia Muka Kucing! Dia sengaja membunuh Malaikat
Keadilan dan meletakkannya tak jauh dariku yang tadi
pingsanl Tentunya dengan maksud, agar orang-orang yang
mcncari Malaikat Keadilan mengira aku yang telah
membunuhnya! Monyet pitak! Kucing buduk! Licik sekali
manusia itu!!"
Kembali pemuda dari Lembah Kutukan ini terdiam.
Kepalanya digeleng-gelengkan menyadari kelicikan yang
telah terjadi dan akan menimpa dirinya.
"Aku belum tahu rencana apa sebenarnya yang disusun
oleh Manusia Kucing Garong itu! Tetapi biar bagaimanapun
juga, aku akan mencari tahu!!"
Sadar kalau kcsalahpahaman akan segera terjadi, buru-
buru anak muda ini mcngangkat mayat Malaikat Keadilan
dengan maksud untuk segera mcnguburkannya.
Akan tetapi gerakannya tertahan. karena tiba-tiba saja
terdengar bentakan menggelegar. "Pemuda keparat! Sejak
semula aku yakin kau bermaksud membunuh Guru!
Kendati kau telah mengobatinya, namun sudah tentu itu
hanya berpura-pura belaka karena kau sedang mencari
kesempatan unluk membunuhnya dengan mudah Jahanam
keparat!! Aku harus membalas semua perlakuan busukmu
itu!!"
***
6
Bersamaan suara yang terdengar keras, satu hamparan
cahaya bening diiringi angin yang menggemuruh telah
melabrak ke arahnya. Sejenak Andika tertegun scbelum
akhirnya melompat cepat ke samping.
Hamparan cahaya bening yang dipadu dengan labrakan
angin dahsyat itu menghantam tanah yang dipijaknya tadi,
yang serta-merta terdengar lelupan cukup keras. Menyusul
terbongkarnya tanah itu yang segera membubung ke
udara.
"Kutu mbnyet! Bisa konyol kalau aku tidak segera
menghindar!!" maki Andika gusar.
Namun baru saja kedua kakinya menginjak tanah
kembali, dua hamparan cahaya bening diiringi bentakan
keras telah menggebrak lagi, "Pemuda celaka!! Kau harus
mampus!!"
Tersentak Pendekar Slebor karena dua cahaya bening
tadi lebih cepat menderu dan yang pertama. Gemuruh yang
terdengar laksana topan hantam pesisir. Tak ada jalan lain
kecuali mengangkat tangan kanannya ke atas.
Blaaarr!!
Kendati berhasil atasi dorongan dua cahaya bening tadi,
namun tubuhnya mau tak mau terhuyung ke belakang. Ini
disebabkan karena keadaan Andika sendiri belum pulih
benar, di samping juga dia masih membopong mayat
Malaikat Keadilan.
"Kau bukan hanya akan mampus, tetapi akan kusiksa
dulu seperti tentunya kau siksa lebih dulu guruku sebelum
kau bunuh!! Pergilah ke neraka!!" seruan itu kembali
terdengar bersamaan lima cahaya bening yang keluarkan
suara menggemuruh menderu lagi ke arah Andika.
Kali ini si anak muda hanya berusaha untuk hindari
cahaya-cahaya ganas itu sambil berseru dengan wajah
menekuk jengkel, "Arya Sempala! Tahan setiap
seranganmu! Kau salah paham tentang semua ini!!"
Pemuda yang lancarkan jurus 'Tebar Cahaya Maut' dan
ternyata Arya Sempala adanya, sudah tentu tak mau
hiraukan seruan Andika. Sejak pertama kali jumpa dia
memang tak mempercayai Andika kendati sudah
mengetahui kalau Paman Guru-nya lelah tewas di tangan
Manusia Muka Kucing dari ucapan Bawung.
Pemuda berwajah agak kasar namun memiliki hali
lembul ini sudah tentu semakin tak suka melihat keadaan
gurunya. Apalagi begitu dilihatnya mayat-mayat berpakaian
hitam-hitam. Dia berpikir, kalau gurunya telah diculik oleh
pemuda berpakaian hijau pupus itu. Dan orang-orang
berpakaian hitam-hitam mencoba mengambilnya namun
akhirnya mati dibunuh oleh pemuda itu.
Berpikiran demikian, semakin ganas serangan yang
dilancarkan oleh Arya Sempala. Karena gurunya telah mati,
dia tak lagi menghiraukan keselamatan gurunya.
Hingga saat itu pula terdengar letupan demi letupan
dan terbongkarnya tanah di beberapa bagian yang
membubung halangi pandangan.
Lain halnya dengan Andika. Kendati dapat menjadikan
mayal Malaikat Keadilan sebagai tameng. namun dia tak
mau melakukannya. I
"Lama-lama aku bisa celaka bila tak segera kuhentikan
tindakan Arya Sempala. Kendati perbuatannya membuatku
agak jengkel, aku masih bisa memaklumi mengapa dia
lakukan tindakan ini. Sebaiknya, kucoba saja mengatasi
dan memberikan penjelasan padanya...."
Memutuskan deinikian, mendadak saja anak muda ini
membuat gerakan seperti menyongsong cahaya bening
yang meluncur ke arahnya. Dua jengkal lagi cahaya itu
menghantamnya, cepat anak muda ini memutar tubuh
kesamping sambil gerakkan tangan kanan karena cahaya
bening Iainnya telah menderu.
Tenaga Inti Pelir' tingkat kedelapan telah dipergunakan.
Dan....
Blaammm!!
Cahaya bening itu langsung putus terhantam pukulan
yang mengandung tenaga 'Inti Petir'. Kejap berikutnya, dia
telah maju sambil gerakkan tangan kanannya lagi pada
Aiya Sempala yang kali ini tersentak kaget.
Cepat dia buang tubuh ke kin bersamaan dengan kaki
kanan coba hanlam selangkangan Andika.
Sudah lentu Andika tidak mau kantong menyannya
pecah.. Seraya geser kaki kirinya ke belakang, cepat
ditahan tendangan itu dengan turunkan tangan kanannya.
Desss!!
Masing-masing orang surut dua tindak ke belakang dan
sama-sama goyah. Tetapi Andika yang ingin kesalah
pahaman itu tidak berlarut-larut, segera meluncur kembali
Kaki kirinya disapukan setengah lingkaran coba hantam
kedua kaki Arya Sempala yang langsung melompat.
Bersamaan dengan itu, jotosan segera dilepaskan.
Andika sengaja tidak lagi alirkan tenaga 'Inti Petir" karena
dia tak mau membuat pemuda berpakaian biru gelap itu
cidera. Kendati demikian, tubuh Arya Sempala terbanting
deras di atas tanah saat dadanya telak terhantam pukulan
Pendekar Slebor.
Menggeram setinggi langit pemuda berwajah agak
kasar itu seraya mencoba untuk bangkit. Akan tetapi
totokan yang dilancarkan Andika dengan tetap masih
memanggul mayat Malaikat Keadilan. telah membuat
pemuda itu rebah kembali.
Tak bergerak kecuali mata yang gusar dan suara yang
keras, "Manusia terkutuk Lepaskan lotokanmu! Kita
bertarung sampai mampus!!"
Di tempatnya Andika yang telah berdiri tegak mencoba
untuk mengatur napas. Rasa ngilu yang masih tersisa
akibat hajaran orang-orang berpakaian hitam- hitam
sebelumnya, terasa agak menyengat.
Setelah dirasakan agak pulih dia berkata, "Arya
Sempala... jangan turuti kemarahan dalam dadamu
sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya. Kau
hanya...."
"Manusia hina! Kau terlalu banyak berbuat dosa!! . Aku
mati saat ini pun akan penasaran bila belum
membunuhmu!!" putus Arya Sempala dengan mata terbuka
lebar.
Andika mendengus dalam hati, "Brengsek juga!
Ternyata tidak mudah menguraikan kebenaran pada
pemuda ini. Tetapi yah... aku maklum kalau dia berlaku
seperti itu."
Kemudian katanya, "Sejak pertama, telah terjadi
kesalahpahaman di antara kita yang tak mudah untuk
diluruskan. Bahkan kesalahpahaman ini berlambah
menjadi setelah kau lihat keadaan gurumu...."
"Karena kau telah membunuhnya!"
Andika tidak hiraukan kata-kata Arya Sempala,
"Sewaklu. kalian menghadapi orang-orang berpakaian
hitam-hitam tadi, kulihat seorang lelaki berpakaian me-
rah-merah membawa lari gururmu. Kucoha untuk mc-
nyusulnya. Tetapi sial nasibku karena beberapa orang
berpakaian merah-merah yang sekarang kau lihat sudah
mati, telah meringkus dan membuatku pingsan. Kupikir
nyawaku akan melayang saat itu juga. Akan tetapi, urusan
berada di tangan lelaki berpakaian hitam-hitam yang
mengaku berjuluk si Kaki Kilat. Aku sengaja dibiarkan
hidup. Dan malang nasib gurumu karena dia harus mati.
Aku tidak lahu siapa yang lelah membunuhnya dan juga
membunuh orang-orang berpakaian hitam-hitam. Yang
kuketahui sekarang, kalau orang itu telah mencoba
memfitnahku sebagai orang yang lakukan pembunuhan
terhadap gurumu...."
"Karena itu memang perbuatanmu!" bentak Arya
Sempala. "Lepaskan aku! Kita berlarung sampai mampus!!"
"Kutu monyet! Betul-belul keras kepala banget nih
orang! Huh! Kalau terus menerus kuhadapi sikapnya, hisa
banyak waktuku yang terbuang! Padahal aku harus
mcncari kcjelasan lentang semua urusan ini! Terulama
Manusia Muka Kucingl!"
Berpikir demikian, tanpa hiraukan makian-makian keras
Arya Sempala, anak muda urakan ini segera turunkan
jenazah Malaikat Keadilan. Lalu dengan pergunakan
sebatang ranting, digalinya sehuah lubang. Dan segera
dimakamkan jenazah Malaikat Keadilan.
Lalu kalanya pada Arya Sempala, "Urusan ini memang
tak bisa diselesaikan sekarang! Kuharap... kau mau
berpikir jernih dan mencoba mcmpergunakan olakmu
untuk mcncari kebenaran dari apa yang kujelaskan...."
"Terkutuk! Lepaskan aku!!"
Andika tak mcnghiraukan makian itu. Dia cuma garuk-
garuk kepalanya saja.
"Sulit kuduga ke mana Kaki Kilat atau entah siapa lagi
berlalu dari sini. Scbaiknya, kujalani saja arah timur!"
Memutuskan dcmikiaii, Andika berkata pada Arya
Sempala yang masih tergelelak dalam keadaan terlotok,
"Pergunakan sedikit otakmu! Dan akan kubuktikan hahwa
aku tidak bersalah dalam urusan matinya Malaikat
Keadilan! Bahkan, akan kuserahkan orang yang berjuluk
Manusia Muka Kucing serta Kaki Kilat di hadapanmu!!
Hanya sayang, padahal aku ingin tahu dari mulutmu dulu,
apa yang telah terjadi sebenarnya!!"
"Lepaskan aku!!"
Tanpa hiraukan seruan Arya Sempala, Andika sudah
berkelebat ke arah limur. Tinggal Arya Sempala yang
memaki-maki keras, hingga suaranya serak dengun
sendirinya.
"Jahanam terkutuk! Akan kubunuh dia! Akan kubunuh
dia!" janjinya geram.
Dan mendadak saja Arya Sempala terkejut. Karena tiga
kejapan mata kemudian, dirasakan tubuhnya dapat
digerakkan kembali.
"Keparat!!" makinya gusarseraya melompat berdiri
Pandangannya ditujukan ke arah yang ditempuh Andika
tadi. "Pemuda itu benar-henar lihai! Dia dapat menotok ku
sekaligus mengatur batas totokannya! Huh! Seperti iblis
neraka kesaktiannya pun aku tak akan urungkan niat
untuk membunuhnya!!"
Lamat-lamat pemuda berwajah kasar namun
sesungguhnya memiliki hati lembut ini melangkah
mendekati makam gurunya yang baru saja dibuat oleh
Andika. Pemuda ini langsung berlutut dengan kedua
tangan dirangkap di depan dada.
"Guru... maafkan aku.... Aku gagal menjagamu, Guru,"
desisnya pelan. Suaranya agak bergetar tanda dia dilanda
kepedihan dalam. Namun diusahakan untuk tindih segala
kesedihannya itu.
Angin berhembus dingin. Beberapa helai daun jatuh
menimpa kepalanya, dan langsung terhempas ke bumi.
"Tak akan kubiarkan orang-orang celaka yang telah
memhunuhmu hidup lebih lama lagi. Terutama.... Manusia
Muka Kucing!! Dialah orang yang telah hancurkan seluruh
kebahagiaan yang telah kita dapati. Guru...."
Lalu terlihat kepalanya digeleng-gelengkan keras seolah
buang seluruh persoalan yang mengganggunya.
"Pendekar Slebor... ya, dialah kunci dari semua urusan
ini.... Manusia Muka Kucing menghendakinya... dan karena
Guru tak mengatakan di mana dia berada.... Guru harus
menjadi korban. Ah. aku tidak tahu siapakah yang harus
disalahkan. Pendekar Slebor-kah yang secara tak langsung
telah menghancurkan seluruh kebahagiaan yang telah
kudapat? Atau memang nasib kami yang sedang sial? Huh!
Sudah tentu semua ini tanggung jawab Manusia Muka
Kucing!! Urusannya dengan Pendekar Slebor telah
melibatkan Guru dan para pendekar yang Iainnya!!"
Arya Sempala terdiam sejenak. Masih arahkan
pandangannya pada makam gurunya, pemuda ini berdiri.
"Guru... akan kubalaskan sakit hanmu.... Akan kubunuh
pemuda berpakaian hijau pupus yang telah membunuhmu
secara keji...."
Setelah tarik napas pendek, pemuda ini segera balikkan
tubuh. Kejap itu pula dia berkelebat ke arah yang telah
ditempuh Andika tadi.
Rambatan malam telah naungi kegelapan alam gulita.
Arakan awan hitam menggantung di malam langit,
sepertinya sebentar lagi akan segera turun hujan.
Dua sosok tubuh terus melangkah di jalan selapak. Di
kanan kiri jalan itu ranggasan semak belukar tumbuh
sepanjang jalan. Kepekatan malam ditambah lagi dengan
tingginya jajaran pepohonan. Namun dua sosok tubuh itu
jelas lak mau hentikan Iangkah mereka sekali pun.
Namun liba di persimpangan jalan, masing-masing
orang hentikan Iangkah. Pandangan mereka sekarang
tertuju ke arah kanan, ke arah berkelebatnya seseorang
yang membuat mereka hentikan Iangkah.
"Kakang Jaya... apakah aku salah melihat, kalau ada
orang yang barusan berkelebat?" bersuara yang di sebeIah
kiri.
"Tidak, Werda! Kau tidak salah melihat! Aku juga
melihat kelebatan orang," sahut yang di sebelah kanan.
"Werdaningsih, sebaiknya kita ikuti saja orang itu!
Barangkali saja orang itu akan membawa kita untuk me-
ngetahui keadaan Guru!"
Habis kata-katanya, pemuda yang bersuara dan lak lain
Jaya Lanlung adanya segera berkelebat. Menyusul gadis
manis berkuncir kuda yang lak lain Werdaningsih.
Masing-masing orang segera kerahkan ilmu peri- rigan
tubuh mereka untuk mengejar orang yang mereka lihat
berkelebat tadi. Cukup lama mereka coba untuk buntuti
orang yang berkelebat, sampai mereka akhirnya hentikan
Iari di sebuah persimpangan.
Kedua murid Malaikat Keadilan ini perhatikan
sekelilingnya dengan seksama. Setelah saling pandang,
Jaya Lantung berkata, "Gagal! Dari caranya berkelebat,
tentunya orang itu memiliki ilmu peringan tubuh yang
linggi!"
"Lantas, apa yang kita perbual sekarang, Kang Jaya?
Mengelahui keadaan Guru hingga saat ini masih buntu.
Sementara kita sendiri tidak tahu apa yang dialami oleh
Kang Arya," kata Werdaningsih sambil arahkan
pandangannya ke kejauhan. Sebuah gunung membentang
tinggi dilapisi kabul tebal.
Mendengar kata-kata itu Jaya Lantung tarik napas
pendek. Perasaannya menjadi tidak enak bila mengingat
nasib gurunya.
Tiba-tiba terdengar seruannya, "Ini semua gara-gara
Manusia Muka Kucing!! Manusia bangsat yang telah
turunkan petaka!!"
Sesaat Werdaningsih melengak mendengar kerasnya
suara Jaya Lantung. Dia yang sama sekali tidak bermaksud
untuk mengusik perasaan Jaya Lantung menjadi tidak
enak. Namun dalam hati membenarkan juga apa yang
dikatakan Jaya Lantung barusan.
Tanpa selahu kedua remaja itu, sepasang mata
memperhatikan dari balik rimbunnya dedaunan sehuah
pohon besar tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Rupanya Jaya Lantung dan Werdaningsih. Ah, sungguh
sulit bila aku keluar saat ini. Apalagi kukabarkan tentang
kematian guru mereka," dcsis pemilik sepasang mata ini
yang ternyata adalah Pendekar Slebor.
Andika yang tadi berkelebat tahu kalau dia diikuti. Lalu
dengan'gerakan yang sangat cepat dia langsung melompat
ke sebuah pohon untuk melihat siapa orang yang
mengikutinya. Andika juga berpikir untuk tidak segera
keluar dari tempat persembunyiannya, mengingat mereka
masih menganggapnya sebagai salah seorang anak buah
Manusia Muka Kucing.
Sementara itu Werdaningsih sedang berkata, "Kang
Jaya... maksudku tadi...."
"Aku paham maksudmu, Werda!" potong Jaya Lantung
sambil turunkan nada suaranya. "Tetapi... semua ini
dikarenakan Manusia Muka Kucing! Orang bengis berwajah
mirip kucing itu telah memhunuh beberapa orang tokoh
rimba persilatan! Bahkan dia mencelakakan Guru yang
tidak mau mengatakan di mana Pendekar Slebor berada!"
Di tempatnya Andika kerutkan kening. "Busyet! Apa-
apaan Jaya Lantung berkata begitu? Mengapa jadi aku
yang dibawa-bawa? Apa urusannya aku dengan Manusia
Muka Kucing kalau ternyata dia memang mencariku? Kutu
monyet! Ada apa sebenarnya ini? Aku makin penasaran
saja!!"
Terdengar suara Werdaningsih, "Kau benar, Kang Jaya.
Padahal Guru tidak pernah berjumpa dengan Pendekar
Slebor, bahkan Guru tidak tahu nama asli Pendekar Slebor.
Guru memang pernah mendengar tentang sepak terjang
seorang pemuda dari Lembah Kutukan. Tetapi tidak
pernah berjumpa dengannya."
"Yah! Gara-gara Pendekar Slebor Iah Guru menjadi
sasaran kebengisan Manusia Muka Kucing!"
"Kang Jaya... jangan berkata begitu. Walaupun Manusia
Muka Kucing tidak menanyakan tentang Pendekar Slebor,
Guru tetap akan menghalangi sepak terjangnya. Bukankah
Bibi Naga Biru telah tewas di tangan manusia celaka itu,
gara-gara dia tidak mau mengatakan di mana Pendekar
Slebor berada?"
Jaya Lantung angguk-anggukkan kepalanya.
"Yah... padahal yang kita ketahui, Bibi Naga Biru cuma
mendengar sepak terjang Pendekar Slebor saja tanpa
pernah berjumpa dengan pemuda dari Lembaji Kutukan
itu."
"Kang Jaya... kita tak perlu berpegang pada Pendekar
Slebor. Biar bagaimanapun juga, kita harus mencari tahu
keadaan Guru. Dan mengalasi sepak terjang Manusia
Muka Kucing beserta antek-anteknya sekuat tenaga."
Jaya Lantung hanya anggukkan kepala. Wajah pemuda
ini nampak begitu geram sckali. Kedua tinjunva dikepalkan
crat-erat. Lamat-lamat dia berkata. "Bila saja kita tahu
seperti apa ciri Pendekar Slebor, tentunya aku akan
berusaha untuk mencarinya dan meminta bantuannya.
Sayangnya. kita lidak tahu siapa dia dan di mana dia
berada...-"
Masing-masing orang tak ada yang buka suara.
Di tempat persembunyiannya Andika berkata dalam
hati, "Wahh! Kalau kalian tidak tahu siapa aku. nggak
ngetop juga rupanya! Hmmm... apakah sebaiknya aku
keluar saja dan kukatakan akulah Pendekar Slebor?
Tetapi... mereka masih mencungaiku sebagai kaki ta¬ngan
Manusia Muka Kucing yang juga telah membunuh Paman
Guru mereka. Urusan hisa jadi kapiran. Sebaiknya.
kubiarkan saja saat ini. Biar hagaimanapun juga. aku ingin
tahu siapa Manusia Muka Kucing sebenarnya dan
mengapa dia mencariku. Ada apa sebenarnya di balik
semua ini hingga manusia Kucing Sarong iu membunuh
para pendekar yang tidak lahu alaupun kalau lahu menolak
mcngatakan di mana aku berada. Brcngsek belul! Akan
kujitak kepala kucing barong ilu!!"
Sementara ilu, Jaya Lantung sedang berlanya,
"Werdaningsih... apakah kau lelah atau mengantuk?"
Gadis berhidung mancung berkuncir kuda itu
menggelengkan kepalanya.
"Seluruh rasa kantuk dan Ielahku telah hjlang, Kang
Jaya. Bahkan aku tak akan merasakan kantuk dan lelah
bila belum mengetahui keadaan Guru."
"Bagus! Haliku pun lak akan tenang bila belum
mengetahui keadaan Guru dan meringkus orang yang lelah
menculiknva. Sebaiknya kita leruskan langkah untuk
mencari Guru!" Ujar Jaya Lantung. Kemudian katanya
pelan, "Sungguh. kusesali mengapa aku tidak menjaga
Guru?"
Werdaningsih yang tidak mau Jaya Lantung terbawa lagi
arus rasa bersalahnya buru-buru berkala, "Sudahlah, Kang
Jaya. Kau tak perlu mcngingal soal ilu. Kita berangkat
sekarang"
Jaya Lanlung anggukkan kepalanya.
Kejap berikutnya kedua murid Malaikat Keadilan ini
mencruskan langkah. ke arah gunung yang jaraknya masih
rulusan lomhak dari tempat mereka berdiri.
Sepeninggal kedua murid Malaikat Keadilan, Andika
segera melompat dari tempat persembunyiannya. Anak
muda urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini
tarik napas panjang.
"Manusia Muka Kucing mencariku.... Hmm, ada urusan
apa sebenarnya? Benar-benar kutu tikus! Kucing Barong ilu
lelah turunkan tangan telengas pada beberapa orang
pendekar! Hhh…! Sampai kapan pun juga, aku ingin tahu
urusan ini! Dan kuhajar Kucing Barong itu sampai lunggang
langgang!!"
Sesaat Pendekar Slebor terdiam. Setelah tarik napas
pendek, anak muda slebor ini segera berkelebat ke arah
berlawanan yang ditempuh Jaya Lantung dan
Werdaningsih.
***
7
Pagi kembali datang dengan hamparan pesona vang
indali Dalam naungan pagi. satu bayangan berkelebat
laksana dikejar sclan. Gerakannva yang luar hiasa cepat
mcmbuat sosoknya hanya menyerupai bayang-bayang yang
menyeruak di antara rimbunnya semak belukar dan jajaran
pohon tinggi. Orang vang lak lain Manusia Muka Kucing
adanya, terus bergerak cepat menuju kc Gunung
Kertimbang yang masih jauh dari lempatnya.
Pada.scbuah tempat. tiba tiha saja leiaki muka kucing
ini hentikan kelebatannya. Kepalanya berputar cepat.
sementara scpasang matanya yang memerah liar
memandang lak herkedip kc hadapannva.
"Keparat! Kudengar ada gerakan yang mengikutiku tadi!
Di mana orang yang mau mampus itu berada?!" desisnya
dingin dalam hati.
Merasa tak perlu mencari tahu siapa orang yang
mengikutinya, lelaki muka kucing ini kembali teruskan
kelebatannya. Kali ini mcmasang kedua alat
pendengarannya lebar-lebar.
Begilu didengarnya kelebatan orang kembali di
belakangnya, Manusia Muka Kucing langsung putar tubuh.
Kali ini seraya dorong kedua tangannva.
Wuuss! Wusss!!
Serta-merta menghampar dua gelombang angin yang
keluarkan suara menggemuruh melabrak. Orang yang
mengikutinya terkesiap, karena tak menyangka kalau lelaki
berkumis jarang itu lepaskan serangan mendadak.
Dan mendadak saja orang ini juga dorong kedua
tangannya ke depan.
Suasana lengang mendadak sontak dibuncah dengan
terdengarnya letupan keras tatkala gelombang angin yang
keluar dari dorongan kedua tangan Manusia Muka Kucing
berbenturan dengan gelombang angin yang dilepaskan
orang itu. Tempat itu kontan bergetar keras.
Manusia Muka Kucingyang hanya surut satu tindak ke
belakang tertawa lebar. Muka kucingnya terlihat lebih
angker dan mengerikan.
"Hmmm... seorang perempuan jelita bercadar biru!
Mengapa harus mengikutiku bila mau menjadi pengikutku,
hah?!"
Orang yang mengikuti Manusia Muka Kucing yang tadi
surut tiga tindak ke belakang merandek gusar. Sepasang
matanya yang indah membuka lebih lebar. Dan cadar biru
tipis yang dikenakannya, nampak bibir memerah itu
merapat. Hidung mancungnya bergerak-gerak.
Sejurus kemudian perempuan berpakaian serba biru
dengan sebuah konde kecil yang dihiasi ronce mawar di
sekeliling kondenya berucap, "Manusia keparat! Kau telah
membunuh kakak kandungku, si Naga Biru! Pagi ini juga
seluruh kehidupanmu akan kututup!! Akulah Dewi Cadar
Biru yang akan hentikan seluruh sepak terjang busukmu!"
Tertawa lebar Manusia Muka Kucing mendengar
bentakan orang.
"Jadi kau adik kandung Naga Biru? Sungguh me-
nyenangkan! Naga Biru memang patut mati! Pertama, dia
tak mau mengalakan di mana Pendekar Slebor berada!
Kedua, dia tak mau menjadi pengikutku!"
"Kucing buduk celaka! Siapa pun orangnya tak perlu
berpikir lagi untuk menolak mengikuti sepak terjangmu!!"
Tawa Manusia Muka Kucing terputus.
"Ucapan perempuan ini sungguh menyakitkanl Hmmm...
padahal aku harus secepatnya menemui Pimpinan untuk
mengatakan tentang Pendekar Slebor! Tetapi perempuan
ini mesti kubunuh lebih dulu ketimbang nanti akan menjadi
duri! Karena tugas yang lebih besar telah diberikan
Pimpinan padaku!"
Berpikir demikian, lelaki bermuka kucing ini berkata
dingin, "Dewi Cadar Biru! Hari ini juga kau akan menyusul
Naga Biru ke akherat!!"
Hahis seruannya, mendadak saja Manusia Muka Kucing
dorong tangan kanan kiri ke depan. Dewi Cadar Biru yang
memang sudah bersiaga, keluarkan dengusan pendek.
Kejap itu pula dia mundur hindari serangan, menyusul
kedua tangannya didorong ke depan.
Terdengar dentuman keras. Sosok bercadar biru sesaat
nampak terlihat mundur. Sementara lelaki berparas kucing
yang pukulannya sempat tertahan sudah mencelat ke
depan dengan kedua tangan berkelebat.
Terkesiap Dewi Cadar Biru mendapati serangan lawan
yang demikian cepat. Kedua tangannya diangkat dan
disilangkan di alas kepala.
Bukkk! Bukkk!!
Dua benturan keras terdengar. Dewi Cadar Biru mundur
dua tindak dengan tangan terasa ngilu. Di depannya, lelaki
muka kucing sudah tarik pulang kedua tangannya
Dirasakan kalau tangannya juga agak ngilu. Tetapi, lelaki
yang bermaksud menjumpai orang yang dianggap
Pimpinan ini lak mau membuang waktu lagi.
Kedua tangannya kembali lepaskan pukulan. Malah
jelas terlihat kalau tenaga yang dikerahkan lebih besar dari
pukulan yang pertama.
Dewi Cadar Biru sendiri mencoba unluk Iakukan
bentrokan kembali. Begitu bentrokan terjadi, dia memekik
lerlahan. Karena kepalan tangan lawan kini sudah
mengembang mcmbentuk cakar. Langsung menyabet ke
arah muka!
Wutttt!!
Angin keras berkesiur. Bila saja Dewi Cadar Biru lak
segera tarik kepalanya ke belakang, sudah bisa dipastikan
wajah jelitanya akan robek alirkan darah.
"Jahanam! Kini aku tahu dari mana asal luka pada dada
Naga Biru! Rupanya kuku-kuku manusia kucing sialan ini"
yang bukan hanya tajam laksana pisau tetapi juga
mengandung racun keji'"
Menyusul dirasakan bagaimana gelombang angin
menderu mendahului terjangan Manusia Muka Kucing
lalkala lelaki berpakaian terbuat dari bulu itu melompat
dengan kedua tangan mencakar ke depan.
Dewi Cadar Biru terkesiap kaget dan dia berusaha
untuk tidak lagi lakukan bentrokan. Karena dipahaminva
betul akibat apa yang akan dialaminya bila saja dia
tergores oleh kuku-kuku tajam lawan.
Mendapali kalau serangannya belum juga mengenai
sasaran. kegeraman semakin merajai dada Manusia Muka
Kucing. Dengan lepaskan pukulan jarak jauhnya, dia
mcmbuat Dewi Cadar Biru harus pontang-panting.
Menyusul dengan cara melompat laksana seekor kucing,
lel berparas kucing ini mcnerkam ganas dengan ge-
rakkan tangan kanan dan kirinya.
Beett! Bett!!
Dewi Cadar Biru memaki-maki tak karuan. Dia terus
berusaha untuk hindari serangan ganas yang dilancarkan
Manusia Muka Kucing. Sampai satu ketika, kaki kiri
Manusia Muka Kucing berhasil menjegal kakinya hingga
perempuan ini kehilangan keseimbangan.
Menyusul salu tendangan memular lelah menghantam
dada si perempuan hingga terhuyung.
Manusia Muka Kucing lak mau bertindak ayal Diiringi
teriakan keras menyusul suara mirip kucing marah. dia
mclompat dengan gerakkan kedua tangannya yang telah
berbentuk cakar.
Dewi Cadar Biru berusaha untuk hindari serangan itu
dengan cara bergulingan. Namun gulingan tubuhnya justru
tertahan oleh sebuah pohon yang berdiri tegak. Saat itulah
Manusia Muka Kucing meluruk dengan kaki siap dijejakkan
pada kepala Dewi Cadar Biru.
"Celaka! Aku bisa mampus sekarang!" desis perempuan
ini dengan wajah pias.
Namun scbelum maut yang dilurunkan Manusia Muka
Kucing mengenai sasarannya, mendadak saja satu
bayangan hijau telah mencelat. Kaki kanan bayang hijau ini
menyepak pergelangan tangan Manusia Muka Kucing
sementara tangan kanannya menyambar sosok Dewi Cadar
Biru.
"Terkutuk!!" menggelegar suara Manusia Muka Kucing
seraya mundur tiga langkah ke belakang Tangan kanannya
yang tersepak tadi nampak bergetar.
Di Iain pihak, bayangan hijau yang lelah menyambar
tubuh Dewi Cadar Biru telah berdiri legak sejarak tujuh
langkah dari hadapan Manusia Muka Kucing.
"O... jadi ini loh orangnya yang berjuluk Cacing Muka
Buduk? Iiih! Kok geli amat ya julukannya?!"
***
Di seberang, Manusia Muka Kucing menggereng keras
tatkala melihat siapa yang telah menyelamatkan Dewi
Cadar Biru, Sementara perempuan bercadar biru yang
telah diturunkan, pandangi pemuda berambut gondrong
acak-acakan.
"Siapa pemuda ini? Menilik cirinya, aku teringat kata-
kata Naga Biru tentang Pendekar Slebor. Apakah dia
pemuda berjuluk Pendekar Slebor?" batinnya dalam hati.
Manusia Muka Kucing yang sedang geram mendengus.
Nampak dia hendak buka mulut, namun segera ditutupnya
rapat-rapat. Otak liciknya telah menelurkan satu permainan
lain yang diciptakannya.
Mendadak saja dia tertawa keras.
"Pendekar Slebor! Pemuda yang dijunjung tinggi oleh
orang-orang dungu yang harus mampus di tanganku! Tetapi
sayang sekali, orang-orang itu tidak tahu siapa kau
sebenarnya?!"
"Kutu monyet! Kenapa dia bicara seperti itu? Ada apa
ini?" tanya Andika dalam hati. Lalu sambil garuk-garuk
kepalanya, anak muda yang memiliki sepasang alis hitam
legam menukik laksana kepakan sayap elang ini berkata,
"Eh, sebenarnya kau kenapa sih mencari-cari ku? Mau
kenal ya? Mau minta tandatangan? Sini, sini! Akan kujitak
kepalamu sebagai tanda tangan!! Ngomong-ngomong...
mukamu jelek begitu pakai topeng atau memang asli,
sih?!"
Mengkelap Manusia Muka Kucing mendengar ejekan
orang. Mata merahnya berkilat penuh ancaman. Namun
bukan umbar kemarahan, justru tawanya yang kembali
terdcngar.
"Sungguh bodoh orang-orang yang menyanjungmu,
Pendekar Slebor! Bila saja mereka tahu siapa kau adanya.
sudah tentu kau akan dikutuk hahis-habisan!!"
Sementara Andika cuma nyengir, Dewi Cadar Biru diam-
diam membatin, "Benar dugaanku, dia adalah Pendekar
Slebor. Orang yang diinginkan oleh Manusia Muka Kucing
hingga membunuh orang-orang seperti kakak kandungku
karena tak mau mengatakan di mana Pendekar Slebor
berada. Tetapi yang mengherankanku, mengapa dia tidak
langsung menangkapnya. padahal orang yang dicari sudah
berada di hadapannya."
Bersamaan Dewi Cadar Biru berkata dalam hati, Andika
membuka mulut, "Manusia Kucing Barongl Lebih baik kau
berlutut dan mohon ampun di hadapanku, untuk
kuserahkan pada orang-orang golongan lurus yang akan
mengadilimu!!"
"Huh! Apakah tidak sebaliknya, justru aku yang akan
menyerahkan kau untuk diadili? Pendekar Slebor! Secara
keji kau telah membunuh Malaikat Keadilan! Apakah ini
bukan sebuah bukti dari kcjahatan yang telah kau
lakukan?!"
Terkcjut Andika mendengar ucapan orang. Dewi Cadar
Biru sendiri seketika arahkan pandangannya pada Andika.
Mendadak pula terlihat perempuan yang kondenya dihiasi
ronce mawar ini bergeser dua Iangkah dari sisinya.
Sementara itu Andika mendengus dalam hati, "Ke-
parat! Dia tengah memancing di air keruh! Menilik
ucapannya, jelas kalau dia memang tahu kematian
Malaikat Keadilan! Hmm... bisa jadi memang dialah orang
yang telah memhunuh Malaikat Keadilan dan meletakkan
mayatnya di sisiku hingga Arya Sempala menjadi salah
paham! Celaka betul! Urusan bisa jadi kapiran padahal aku
belum tahu niatan apa sesungguhnya vang ada di hati
Manusia Muka Barong ini?!"
Di lain pihak Dewi Cadar Biru membatin. "Malaikat
Keadilan telah lewas? Dan tewas di tangan Pendekar
Slebor? Oh! Urusan apa yang akan terjadi ini? Kalau
memang Pendekar Slebor orang yang berdiri di jalan
kebenaran. mengapa dia membunuh Malaikat Keadilan?!"
"Hhh!
Membunuhmu sekarang bukanlah urusanku, Pendekar
Slebor! Karena secara tidak langsung kau telah
membantuku membunuh orang yang menentang jalanku!
Biarlah orang lain yang akan menghukum seluruh
perbuatanmu yang lelah menewaskan Malaikat Keadilan!
seru Manusia Muka Kucing menyeringai lebar.
"Celakal Dia telah sebarkan fitnah!" desis Pendekar
Slebor dalam hati. Diam-diam diliriknya Dewi Cadar Biru
yang masih memperhatikannya. "Bisa berabe kalau fitnah
ini makin tersebar! Huh! Biar kuurus sckarang manusia
celaka ini!!"
Memutuskan demikian, anak muda ini berseru, "Kau
telah dapatkan jalan unluk tutupi belangmu dengan cara
tebarkan fitnah padaku. padahal kaulah yang telah
membunuh Malaikat Keadilan! Sekarang....
"Mengapa kau masih mungkir?" putus Manusia Muka
Kucing dengan seringaian bertambah lebar. "Kebetulan
sekali aku melihat perbuatan terkutukmu itu! Pendekar
Slebor! Ternyata kita orang-orang segolongan yang suka
membantai orang-orang golongan putih?! Mengapa kita tak
segera bergabung saja? Dan sasaran pertama, kita bunuh
perempuan bercadar biru itu!!"
. Dewi Cadar Biru yang sejak tadi perhatikan Pendekar
Slebor, lamat lamat pandangannya mulai berbalut
kemarahan. Nuraninya coba buang segala yang tersirat,
namun dia tak kuasa lakukan.
"Keparat! Sungguh tak kusangka kalau Pendekar Slebor
telah membunuh Malaikat Keadilan! Tetapi...," perlahan
diarahkan pandangannya pada Manusia Muka Kucingyang
masih menyeringai, "Bisa jadi lelaki keparat ini hanya
tebarkan filnah belaka! Huh! Mengapa aku harus
memikirkan soal fitnah celakanya itu? Sudah tentu
Manusia Muka Kucingyang telah membunuhnya!!"
Terdengarsuara Pendekar Slebor. "Dosa-dosa yang kau
buat terlalu banyak! Bahkan...."
Lagi-lagi Manusia Muka Kucingyang mulai melihat
keraguan meliputi wajab Dewi Cadar Biru memotong kata-
kata Pendekar Slebor, "Apakah dehgan ucapan itu kau
bermaksud mencuci tangan? Baik! Bila kau memang tak
mau mengakui perbuatanmu lerhadap Malaikat Keadilan,
jawab beberapa pertanyaanku!!"
"Celaka! Manusia ini benar-benar telah rentangkan
jaring fitnah yang keji!" dengus Andika dalam hati. Tetapi
dia berucap pula, "Apa yang hendak kau lanyakan?"
Manusia Muka Kucing menycringai.
"Apakah Malaikat Keadilan telah mampus?"
Sesaat Andika tak mau menjawab, namun akhirnya dia
buka mulut juga, "Ya! Dia memang telah mati! Kaulah yang
membunuhnya?!!"
"O ya?" suara lelaki muka kucing itu sarat dengan
ejekan. "Apakah kau melihat aku yang telah
membunuhnya?"
"Tidak! Tetapi aku tahu kalau Kaki Kilat adalah kaki
tanganmu! Dialah yang telah men...."
"Dari mana kau bisa mengatakan kalau Kaki Kilat
adalah kaki tanganku? Mengenalnya saja tidak! Pendekar
Slebor... kau ternyata tak jauh berbeda denganku! Sungguh
sangat menyenangkan karena memiliki kawan tangguh
yang sejalan denganku!!"
"Keparat celaka! Mulutmu sungguh keji!!"
"Dan perbuatanmu yang membuat tewas Malaikat
Keadilan justru meringankan segala keinginanku untuk
membunuhnya! Dewi Cadar Biru, apakah sekarang kau
tetap akan menutupi siapa Pendekar Slebor sebenarnya?"
Mendapati pertanyaan ilu, si perempuan yang di
kondenya melingkar ronce bunga mawar melengak sesaat.
Pandangannya tajam menusuk pada Manusia Muka Kucing
yang sedang tersenyum sinis. Kejap kemudian dia berseru,
"Peduli setan dengan urusannya! Kau tetap akan
naampusdi tangankul!"
"O ya? Dan kau mau mempertahankan selembar nyawa
pemuda itu kendati jelas-jelas dia telah membunuh
Malaikat Keadilan? Hahaha... kau akan ditohok dari
belakang, Dewi Cadar Biru!!"
"Tutup mulutmu!!" bentak Dewi Cadar Biru. Sesaat
diliriknya Pendekar Slebor yang nampak mulai geram. "Tak
akan kupercayai sedikit juga apa yang dikatakan keparat
bermuka kucing itu! Tak akan pernahl!"
Dalam keadaan tak ada yang buka suara. terdengar
tawa Manusia Muka Kucing. "Pendekar Slebor! Mengapa
kau pakai berlagak kembali hah?! Bunuh perempuan
bercadar biru itu! Toh sekarang penyamaranmu sebagai
orang baik-baik telah usai!!"
"Manusia celaka!! Kau hams katakan yang sebenarnya!"
Hahis seruannya, anak muda dari Lembah Kutukan
yang seperti kehilangan omongan, langsung melompat ke
depan dengan jotosan lurus. Sementara itu Dewi Cadar
Biru mulai meyakinkan diri kalau apa yang dikatakan
Manusia Muka Kucing hanyalah fitnahan belaka. Makanya
dia tak lakukan apa-apa di saat pemuda berpakaian hijau
pupus itu lancarkan jotosan pada Manusia Muka Kucing.
Paling tidak. dia juga mengharapkan agar Pendekar Slebor
mampu mengatasi manusia celaka yang telah membunuh
kakak kandungnya dan beberapa pendekar lain.
Di tempatnya, Manusia Muka Kucing tersenyum angker
Dia siap untuk angkat kedua tangannya guna papaki
jotosan Pendekar Slebor. Namun belum lagi serangan
Pendekar Slebor berbenturan dengan kedua tangannya.
mendadak saja terdengar teriakan keras, "Pemuda
keparat!! Kau harus membayar nyawa guruku dengan
nyawamu!"
***
8
Bukan hanya Pendekar Slebor yang urungkan
serangannya pada Manusia Muka Kucing yang segera
palingkan kepala. Dewi Cadar Biru pun segera arahkan
pandangan. Kejap itu pula terdengar suaranya, "Arya
Sempala!!"
Orang yang ladi bersuara keras sejenak anggukkan
kepalanya pada Dewi Cadar Biru, "Bibi.,.," desisnya hormat.
Kejap berikutnya, pandangan tajamnya kembali diarahkan
pada Pendekar Slebor. Disusul kata-kata dingin, "Kini aku
telah terbebas dari totokan! Urusan nyawa Guru harus
dituntaskan!!"
Andika sendiri saat itu mengeluh dalam hati, "Kutu
kampret! Urusan belum diselesaikan, sudah mengembang
lebih keruh! Bisa-bisa Dewi Cadar Biru akan mencurigaiku
pula sebagai pembunuh Malaikat Keadilan! Ini gara-
gara...."
Kata-kata ilu terputus tatkala tak dilihatnya lagi sosok
Manusia Muka Kucing di tcmpatnya.
"Brengsek!" maki anak muda ini lagi dalam hati.
"Rupanya Kucing Barong ilu pcrgunakan kesempatan untuk
berlalu! Berabe! Sudah tentu akan bertambah sukar
jelaskan semua ini pada Arya Sempala!"
Apa yang dipikirkan Andika memang terbukti.
Sesungguhnya. begitu melihat Manusia Muka Kucing lari,
Arya Sempala sudah tak sabar untuk lepaskan serangan
mengingat manusia itulah yang telah membuat
kebahagiaan yang dimiliki bersama dua saudara dan
gurunya menjadi sirna. Namun dikarenakan dia masih
diliputi pikiran kalau yang mcnghabisi nyawa gurunya
adalah pemuda berpakaian hijau pupus di hadapannya,
maka sejenak dilupakan soal Manusia Muka Kucing.
Bahkan tak dihiraukannya kepergian Manusia Muka Kucing
kendati tadi sempat dilihatnya.
"Pemuda keparat! Kali ini kau tak akan bisa lari dari
maul yang akan kuturunkan!!"
"Betul-betul sulit sekarang! Dengan kehadirannya jusiru
membuat Manusia Muka Kucing memiliki kesempatan
melarikan diri! Padahal inilah kescmpatanku untuk
mengetahui apa yang direncanakannya! Huh! Aku tak boleh
buang waktu! Akan sulit menemukan Manusia Muka
Kucing selanjutnya! Sebaiknya... kucoba untuk
menjelaskan semua ini pada Arya Sempala!"
Berpikir demikian, anak muda urakan ini segera
berkata. "Arya Sempala... sudah kukatakan kalau kau
jangan turuti segala emosi yang akan menyesatkanmu! Aku
sama sekali tak turunkan tangan pada gurumu! Jusiru aku
bermaksud untuk menyelamatkannya dari orang yang
berjuluk Kaki Kilat yang telah menyambarnya!"
"Bukti sudah kulihat di depan mata!"
"Kau hanya melihat aku mcmbopong mayat gurumu,
bukan?! Kau tidak melihat apakah memang aku yang telah
turunkan tangan pada gurumu?"
"Pada kenyataannya. Guru mati di tanganmu!!"
Sebelum Andika buka mulut.Dewi Cadar Biru yang sejak
tadi terdiam buka mulut, "Arya... mengapa kau bisa
mengatakan kalau pemuda inilah yang telah membunuh
Kakang Malaikat Keadilan?"
"Bibi...." sahut Arya Sempala tanpa palingkan kepala,
"Sejak kedatangan pemuda ini dengan menunggangi kuda
Paman Guru, keadaan menjadi kacau balau! Sudah tentu
dia adalah salah seorang kaki tangan Manusia Muka
Kucing yang memang diutus untuk menaiki kuda Paman
Guru yang lelah dibunuhnya! Dengan berlaku sopan dan
membantu mcngobati Guru, dia mencoba menarik
simpatiku, Jaya Lantung dan Werdaning sih! Padahal dia
mencari kesempatan untuk menjalan kan maksudnya!!"
Mendengar ucapan Arya Sempala. Dewi Cadar Biru
sejenak terdiam. Sementara Andika sildah gelisah. Ada
keinginan untuk segera menyusul Manusia Muka Kucing,
tapi diyakininya betul kalau Arya Sempala tak akan
mcmberikan kesempatan padanya. Dan dia berharap agar
dewi Cadar Biru tidak termakan ucapan Manusia Muka
Kucing.
Didengarnya lagi suara perempuan setcngah baya yang
masih berparas jelita itu pada Arya Sempala, "Seperti yang
dikatakan pemuda ini tadi, lihatkah kau kalau ia
menurunkan tangan telengas pada Kakang Malaikat
Keadilan?
Terlihat tatapan Arya Sempala berbinar tidak senang
mendengar pertanyaan itu. Namun rasa hormatnya pada
Dewi Cadar Biru. hampir setara dengan hormatnya pada
Malaikat Keadilan.
Dengan berat hati dia menggelengkan kepalanya.
"Bila memang demikian, bagaimana kau bisa
menuduhnya?" tanya Dewi Cadar Biru yang rupanya masih
bisa berpikir jernih.
"Karena... karena... kulihat Guru telah meninggal dalam
bopongannya."
"Dan kau menuduhnya?"
"Ya, Bibi!"
"Arya semula aku juga sempat dibuat bimbang tatkala
mendengar ucapan Manusia Muka Kucing tentang pemuda
ini yang telah membunuh Kakang Malaikat Keadilan.
Tetapi, aku tak dapat mempercayai ucapannya."
"Bibi! Dia adalah antek-antek manusia celaka itu!" seru
Arya Sempala sambil menuding Andika.
Yang dituding cuma mendengus pendek.
Dewi Cadar Biru berkata lagi, "Kau salah besar dalam
hal yang satu itu, Arya. Pemuda ini bukanlah antek-antek
Manusia Muka Kucing!"
"Bibi jangan terpengaruh oleh ucapannya!!" sahut Arya
Sempala masih berusaha untuk mempertahankan
pendapatnya.
"Dia bahkan belum berucap apa-apa. Tetapi perlu
kauketahui... dialah pemuda yang berjuluk Pendekar
Slebor!!"
Mendengar kata-kata bibiriya, Arya Sempala sampai
melengak kaget. Sesaat dia masih arahkan pandangannya
pada Andika. Masih ada binar kcraguan pada mata itu.
."Bibi... bisa saja dia menyamar sebagai Pendekar
Slebor! Toh Bibi belum pernah berjumpa dengan Pendekar
Slebor!" serunya kemudian.
“Dan untuk membuktikannya, akan kuminta padanya
untuk membunuh Manusia Muka Kucing beserta kaki
tangannya!!"
Arya Sempala arahkan pandangannya lagi pada De¬wi
Cadar Biru yang sedang menatapnya pula.
"Tetapi Bibi... apakah...."
Seruan Arya Sempala terputus, tatkala dia melirik
kembali ke tempat di mana Pendekar Slebor berada, sosok
pemuda itu lelah lenyap dari pandangannya. Sesaat
pemuda berwajah agak kasar namun memiliki hati lembut
ini terdiam dengan mulut menganga.
Sikap Arya Sempala memancing perhatian Dewi Cadar
Biru yang segera palingkan kepala ke tempat di. mana
Andika tadi berdiri. Lamat-lamat terlihat kepala perempuan
jelita ini menggeleng-geleng.
"Sungguh luar biasa. Aku bertambah yakin kalau
pemuda itu memang Pendekar Slebor adanya."
"Bibi...," terdengar kata-kata Arya Sempala, tidak
sekeras tadi. "Kepalaku semakin berlambah pusing.
Kematian Guru membuatku tak dapat berpikir jernih,
Bibi...."
"Arya... apa yang kau lakukan itu sesuatu yang wajar.
sesuatu yang lumrah dan berhak dilakukan oleh siapa pun
juga. Beruntunglah karena kau tak terlalu dalam
terjemurus pada kemarahanmu sendiri...."
"Maafkan aku. Bibi...."
"Terus terang, aku pun sempat goyah begitu mendengar
ucapan Manusia Muka Kucing. Lelaki itulah yang telah
menjadi pangkal tolak dari bencana ini. Hanya yang tak
kumengerti, beberapa waklu lalu dia membunuhi siapa
saja yang tidak bisa atau tidak mau mengatakan di mana
Pendekar Slebor berada. Tetapi, mengapa di saat berjumpa
dengan pemuda yang dicarinya dia justru tidak berbuat
apa-apa? Sungguh, aku tidak mengerti tentang semua
ini...."
Tak ada yang keluarkan suara. Arya Sempala masih
berdiri mematung. Dia masih lak bisa percayai keterangan
bibinya sekaligus pandangannya karena hanya sekejap dia
palingkan kepala pada Dewi Cadar Biru sebelum arahkan
kembali pada sosok Pendekar Slebor. Namun pemuda itu
sudah tak ada di lempatnya.
Didengarnya suara Dewi Cadar Biru, "Arya... ke mana
Jaya Lantung dan Werdaningsih?"
Arya Sempala segera cerilakan apa yang terjadi
sebelumnya. Setelah itu Dewi Cadar Biru berkata lagi,
"Lebih baik, kita bersama-sama menyusuri jejak Manusia
Muka Kucing!!"
Tanpa menunggu jawaban dari pemuda ilu, perempuan
yang pada kondenya dikelilingi untaian mawar merah
sudah berkelebat. Arya Sempala tarik napas dulu sesaat
sebelum menyusul bibinya.
Tatkala senja hampir berujung dan mcmasuki satu
kawasan penuh berumput, Jaya Lantung memperlambat
larinya. Di sebelah kanannya, Werdaningsih melakukan hal
yang sama.Sekitar berjarak seratus tombak, Gunung
Kerambang tetap berdiri tegak.
Melewati separuh tempat berumput, mendadak Jaya
Lantung hentikan larinya dengan tangan kanan terangkat
memberi tanda pada Werdaningsih. Wcrdaningsih yang
mengerti mengapa Jaya Lantung hentikan larinya. tegak di
samping pemuda itu.
"Kalau sebelumnya kita lihat satu bayangan hijau
berkelebat, kali ini bayangan merah-merah," desis Jaya
Lantung dengan mata agak menyipit ke depan.
"Kang Jaya... ingatkah kau akan seorang lelaki biadab
yang kenakan pakaian merah merah?" tanya Werdaningsih
yang juga melihat bayangan merah berkelebat sejarak
sepuluh tombak dari saat mereka berlari tadi.
Jaya Lantung sesaat tak buka mulut. Kcjap kemudian
dia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kaki Kilat!" desisnya kemudian. "Werda! Manusia itu
adalah kaki tangan Manusia Muka Kucing! Ayo, kita susul
dia!!"
Habis katakatanya, Jaya Lantung segera melompat ke
depan dan berlari kembali. Werdaningsih pun bergerak
pula.
Bayangan merah yang berkelebat tadi dan memang
Kaki Kilat adanya, rupanya sempal pula melihat kehadiran
kedua remaja itu. Sambil berlari dia berpikir. "Hmmm...
kalau tidak salah lihat, mereka adalah murid- murid
Malaikat Keadilan. Huh! Bila saja Malaikat Keadilan belum
mampus, sudah kuganyang keduanya! Tetapi lebih baik
aku menuju Gunung Kerambang. Memang sulit mengejar
Manusia Muka Kucing yang larinya sangat cepat. Hmmm...
hingga saat ini, aku belum tahu apa yang diinginkan oleh
lelaki muka kucing itu. Baiknya, kucoba mencari
keterangan... "
Berpikir demikian, Kaki Kilat terus berlari.
Di belakang, Jaya Lantung dan Werdaningsih kerahkan
ilmu peringan tubuh yang mereka miliki. Namun Kaki Kilat
yang mempunyai ilmu peringan tubuh lebih tinggi
ketimbang tenaga dalam yang dimilikinya, sudah tentu tak
akan tersusul oleh kedua murid Malaikat Keadilan itu.
Sambil terus kerahkan ilmu peringan tubuh, keduanya
mendengar suara letupan yang sangat keras. Dan letupan
yang terjadi ilu justru menambah semangat keduanya.
Di satu tcmpat, keduanya berhasil melihat sosok Kaki
Kilat. Bukan dikarenakan mereka lebih cepat berlari dari
Kaki Kilat, melainkan karena Kaki Kilat sedang tegak
berdiri sambil memandang lak berkedip ke depan.
Sejarak sepuluh Iangkah dari tempatnya berdiri,
nampak scbuah lubang menganga di atas tanah yang di
bagian samping kanan kirinya ditumbuhi rumput tebal. Di
sekitar lubang tcrlihat hamburan tanah tak beraturan.
"Sialan! Siapa yang harusan lepaskan serangan pa-
daku?" desis lelaki berpakaian merah merah ini dengan
tatapan waspada.
Rupanya, di saat Kaki Kilat terus berlari, mendadak saja
serangkum angin deras menderu. Bukan ke arahnya,
melainkan pada tanah di depannya yang langsung
terhantam rengkah.
Kejap ilu pula Kaki Kilat palingkan kcpala ke kanan, dari
mana datangnya gelombang angin tadi. Matanya tetap tak
berkedip. Menyusul desisannya bernada jengkel terdengar,
"Jahanam! Tak ada batu besar di sini, tak ada pohon yang
dapat mengganggu pandangan kecuali rumput setinggi
lutut. Seharusnya orang iseng yang lepaskan serangan
dapat kulihat sosoknya. Tetapi dia justru tak nampak di
depan mataku."
Kembali lelaki berkumis tebal dengan luka di pipi kanan
ini edarkan pandangan ke sekelilingnya. Yang nampak di
matanya hanyalah jajaran rerumputan setinggi lutut
belaka. Angin senja terus berhembus, mulai terasa dingin.
Selang tiga tarikan napas berikutnya, Jaya Lantung dan
Werdaningsih yang mengejar lelaki itu telah tiba. Masing-
masing orang segera hentikan larinya sejarak
dua i irtojK uari tempat Kaki Kilal berdiri.
Jaya Lantung langsung keluarkan bentakan, "Rupanya
memang benar. kalau manusia celaka seperti kaulah yang
berlari seperti diburu setan!"
Kaki Kilat bersuara tanpa putar tubuh, "Jaya Lantung!
Tak kuhendaki lagi nyawamu dan nyawa gadis itu! Tetapi.
aku menghendaki tubuh gadis itu!!"
"Jahanam!!" maki Werdaningsih geram. "Lebih baik kau
mampus. Manusia Keparat!!"
Tangan kanannya segera diangkat dan didorong
kedepan. Serta-merta mcnghampar gelombang angin yang
keluarkan suara nienggemuruh ke arah Kaki Kilat.
Kaki Kilat yang masih berdiri tegak membelakangi
keduanya, hanya mendengus pendek. Kejap ilu pula dia
segera menggeser kaki kirinya ke samping. Gelombang
angin yang dikeluar dari dorongan tangan kanan
Werdaningsih menghantam tempat kosong.
Namun gadis yang sudah marah mendengar ucapan
kotor Kaki Kilat, sudah mencelat ke depan dengan jotosan
tangan kanan dan kiri.
Kaki Kilat yang sebenarnya sudah tak berkeinginan
membunuh kedua remaja ini karena Malaikat Keadilan
telah mampus, kembali mendengus. Bersamaan jotosan
tangan kanan kiri Werdaningsih siap hantam punggungnya,
dia segera berhalik dan gerakkan kedua tangannya pula.
Buukk! Buuukk!
Bcnturan dua pasang tangan itu terjadi. Begitu
berbenturan, sosok Werdaningsih agak surut tiga tindak ke
belakang, sementara Kaki Kilat tetap legak. Pandangannya
begitu gusar sekali. Namun lelaki berkumis tebal ini tak
segera buka mulut, karena dia masih memikirkan tentang
orang yang sebelumnya lepaskan serangan dan secara tak
langsung halangi langkahnya.
Melihat Werdaningsih surut, Jaya Lantung segera
mencelat ke depan. Anak muda gagah ini tak mau
bertindak ayal.Dia langsung keluarkan jurus 'Tebar Cahaya
Maut' yang serta-merta kedua tangannya membias cahaya
bening.
Saat itu pula disertai teriakan mengguntur. tangan
kanan dan kirinya didorong ke depan. Dua cahaya bening
segera menggebrak cepat.
Tcrsentak Kaki Kilat mendapati betapa ganasnya dua
cahaya bening yang diiringi gemuruh angin itu mengarah
padanya. Tetapi rupanya leiaki berpakaian merah ini tak
mau bertindak ayal. Dia segera mendorong kedua
tangannya pula ke depan.
Blaaarrl!
Letupan keras terdengar begitu gelombang angin yang
keluar dari dorongan kedua tangan Kaki Kilat bertemu
dengan cahaya bening yang dilepaskan Jaya Lantung.
Kontan cahaya itu muncrat ke udara.
Kendati berhasil atasi dorongan dua cahaya bening tadi,
sosok leiaki berkumis tebal ini terhuyung ke belakang. Dan
belum lagi dia berdiri tegak. Werdaningsih sudah lakukan
serangan yang sama dengan Jaya Lantung.
"Terkutuk!!" maki Kaki Kilat mulai geram. Kalau tadi dia
tak ingin membunuh keduanya, kali ini niatan itu lenyap.
Namun untuk maju mendekat lancarkan serangan,
sudah tentu lak mudah dilakukan. Karena serangan-
serangan cahaya bening discrtai labrakan angin keras yang
dilepaskan kedua murid Malaikat Keadilan itu terus
menutupi gerakan Kaki Kilat.
Hanya karena ilmu peringan tubuh yang dimilikinya
lebih tinggi saja, hingga saat ini Kaki Kilat masih bisa
hindari setiap serangannya. Namun seliap kali dia
mencoba maju dengan lancarkan tendangan kedua
kakinya yang sangat cepat. kejap itu pula dia langsung
mundur karena cahaya-cahaya bening telah melingkari
setiap langkahnya.
"Celaka!! Kalau kubiarkan begini, aku bisa konyol!!"
Mendadak saja begitu serangan cahaya-cahaya bening
ilu menderu kembali ke arahnya, Kaki Kilat langsung
membuang tubuh ke belakang. Bersamaan kedua kakinya
menjejak tanah, tubuhnya langsung mencelat ke belakang
dan langsung mencelat ke depan dengan memhuat
gerakan setengah lingkaran kc samping kanan.
Kejap ilu pula kedua kakinya menderu, bergerak
dengan tubuh seperti meluncur namun kedua kaki men-
dahului.
"Kalian akan mampus menyusul guru kalian!!"
Terkesiap Werdaningsih karena serangan itu meng-
arah padanya, lebih kaget lagi mendengar ucapan Kaki
Kilat. Terburu-buru dia merunduk untuk hindari hajaran
kedua kaki lawan yang mengarah pada kepalanya.
Namun begitu dia merunduk, kedua kaki lelaki berumis
tebal yang dapat bergerak laksana kilat kembali bergerak.
Kali ini kedua tangan lelaki itu berpijak pada tanah.
sementara kedua kakinya menyepak laksana seekor kuda
liar. Bahkan gerakannya lebih cepat dan ganas.
Melihat bahaya yang akan menimpa adik
seperguruannya, Jaya Lantung cepat kibaskan tangan
kanannya.
Wuuuttilll
Cahaya bening melabrak ke arah kaki leiaki berkumis
tebal yang kejap itu pula segera tarik pulang kedua
kakinya. Akan tetapi, kaki kirinya masih sempat mendarat
pada lutut Werdaningsih yang seketika terjengkang ke
depan. Bila saja Jaya Lantung tak bergerak sigap, dapat
dipastikan kalau Werdaningsih akan terjerembab.
Dan itulah keuntungan yang didapat Kaki Kilat. Begitu
Jaya Lantung menangkap tubuh Werdaningsih, kaki kanan
kirinya kembali bergerak.
Terkejut Jaya Lantung berusaha untuk menghindar
Namun karena kaki kanan kiri lawan lebih cepat dari
gerakannya, tanpa ampun lagi punggungnya terhantam
dua kali.
Tersungkur pemuda berbaju putih ini ke depan.
Kesempatan semacam itu sudah tentu tak disia-siakan
oleh Kaki Kilat, yang serta-merta melesat ke depan.
Akan tetapi, satu papakan yang cukup keras
menghentikan serangannya dan membuatnya mundur ke
belakang. Serta-merta kepalanya diarahkan ke kanan. Ker
jap itu pula terdengar geramannya dengan kedua tinju kuat
terkepal. Menyusul bentakannya, "Keparat! Rupanya kau
belum puas kubuat pingsan waktu iiu, Pendekar Slebor!!"
***
9
Orang yang tadi membuat Kaki Kilat urungkan niat
untuk menghantam Jaya Lantung dan memang Pendekar
Slebor adanya, cuma nyengir saja sambil garuk- garuk
kcpalanya. Sementara itu, Jaya Lantung yang telah
balikkan tubuh dan bersiaga bila ada serangan yang
datang kembali padanya, nampak beliakkan matanya. Tak
jauh darinya Werdaningsih terdiam dengan kening
berkerut.
Gadis berkucir kuda yang sama sekali tak melihat
gerakan yang dilakukan pemuda berpakaian hijau pupus
itu di saat halangi niat Kaki Kilat berkata dalam hati,
"Diakah orangnya?"
Cukup lama gadis ini menatap Pendekar Slebor
sebelum mencelat mendekati Jaya Lantung. Sambil
membantu pemuda itu untuk berdiri dia bcrbisik, "Kang
Jaya... tidakkah kau dengar kata-kata lelaki celaka itu
tadi?"
Masih pandangi pemuda berpakaian hijau pupus yang
nyengir itu, Jaya Lantung angguk-anggukkan kepalanya.
"Pendekar Slebor...," desisnya pelan.
"Ingatkah kau mengapa Guru sampai terlibat urusan
dengan Manusia Muka Kucing?" tanya Werdaningsih pelan.
pandangannya pun masih ditujukan pada Andika.
"Ya. Manusia Muka Kucing memaksa Guru mengatakan
di mana Pendekar Slehor berada."
"Dan tidak tahunya... pemuda yang telah menolong
Guru waktu itu, adalah Pendekar Slebor, Kang Jaya."
"Ya, aku dan Kang Arya telah salah menduga siapa dia
sebenarnya. Ternyata... dia bukanlah salah seorang antek
dari Manusia Muka Kucing, melainkan orang yang justru
dicari manusia celaka itu...."
Sementara keduanya berbisik-bisik dengan pandangan
tetap mengarah pada Pendekar Slebor, Kaki Kilat maju dua
langkah ke muka. Sepasang pelipisnya bergerak-gerak
hingga luka pada pipi kanannya seperti membuka
menutup. Dengan sorot mata tajam, dia berucap dingin,
"Benar-benar pemuda celaka! Rupanya kau belum puas
kubuat pingsan?!"
Mendengar bentakan orang, anak muda urakan itu
cuma angkat sepasang alis hitamnya. Lalu katanya
berseloroh, "Ah, kenapa bicara begitu'.' Aku jadi malu?
Ngomong-ngomong... siapa sih yang telah mencelaka kan
orang-orangmu itu?"
"Kalau waktu itu kau kubiarkan hidup, kali ini kau akan
mampus!!" geram Kaki Kilat tanpa hiraukan pertanyaan
Andika.
"Wah! Mana bisa begitu? Kan waktu itu aku cuma pura-
pura saja," sahut Andika sambil angkat sepasang alis
hitamnya. "Eh, ngomong-ngomong lagi... kau yang telah
membunuh Malaikat Keadilan, ya? Bagus kalau kau
mengaku!!"
"Dan kau akan menyusul manusia celaka itu ke
akherat!!" sengat Kaki Kilat seraya menerjang ke depan.
Kaki kanan kirinya sudah bergerak. seolah menjelma
menjadi puluhan.
Namun belum lagi serangan itu kena sasarannya,
Werdaningsih sudah memotong dengan satu dorongan
keras. Serangkum cahaya bening yang keluarkan angin
gcmuruh mcmbuat lesatan tubuh Kaki Kilat menjadi urung.
"Jahanam!!"
Bersamaan terdengur suara letupan tatkala cahaya
bening yang keluar dari dorongan kedua tangan
Werdaningsih menghantam tanah yang seketika
terbongkar ke udara, dengan tangan kanan menumpu
pada tanah. Kaki Kilat sudah mencelat. Kali ini kedua
kakinya bergerak ke atas, siap hantam kcpala
Werdaningsih.
Terkesiap Werdaningsih yang sedang lancarkan
gempuran kembali. Sambil berseru tertahan, gadis berkucir
kuda ini melompat mundur. Namun tanpa disangkanya,
Kaki Kilat mengejar dengan kedua kakinya yang bergerak
Gepat dan keluarkan desingan angin kuat.
Werdaningsih kali ini benar-henar memekik. Jaya
Lantung yang siap melompat untuk menahan serangan
lelaki berpakaian merah merah itu, hanya bisa lakukan
gerakan dua tindak ke depan. Karena mendadak saja
dilihatnya satu bayangan hijau lelah mencelat menda-
hului.
Tangan kanan bayangan hijau ilu memukul kaki kanan
Kaki Kilat, menyusul kaki kirinya menyepak paha kiri si
Kaki Kilat. Tanpa ampun lagi, lelaki tinggi besar ilu
langsung terbanting ke tanah.
Menyusul didengarnya suara mengejek. "Busyet! Kupikir
ada nangka busuk?! Eh, tidak lahunya tikus busuk!!"
Mengkelap wajah Kaki Kilat mendengar ejekan dari si
Bayangan Hijau yang tak lain Pendekar Slebor. Sambil
gelengkan kepala cepat disertai gerengan penuh amarah.
lelaki tinggi besar ini cepat berdiri. Namun baru saja dia
lakukan, mendadak sosoknya terjatuh kembali.
"Gila!!" desisnya keras karena dirasakan satu sengatan
listrik pada kaki kanannya.
Tanpa sadar tangan kanan kirinya memegang paha nya.
Wajahnya sekelika berubah memucat. Untuk sesaat lelaki
tinggi besar ini terkcjut menyadari apa yang terjadi pada
dirinya. Namun kejap itu pula dia angkat kepalanya disertai
seruan, "Pemuda keparat!! Kau telah menotokku, hah'.'!!"
Melihat hal itu. Pendekar Slebor yang tadi memukul
kemudian dengan gerakan cepat lakukan sebuah totokan
pada paha Kaki Kilat dengan pergunakan tenaga Inti Petir
tingkat kesembilan, cuma nyengir saja.
"Waduhl Kenapa sih? Kok selalu aku yang disalahkan?"
serunya sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal
"Daripada kau marah-marah begitu, lebih baik katakan
saja. di mana Manusia Kucing Barong tinggal?!"
"Hhhh! Tak sepatah kata pun akan terucap dari mulutku
untuk menjadi seorang pengkhianat'
"Ya, kalau mau begitu, tidak apa-apa. Tetapi rasanya
lebih asyik, bila kau kubuat berjingkat-jingkat'"
Memucat wajah Kaki Kilat mendengar ucapan Pendekar
Slebor.
"Terkutuk! Gerakan yang dilakukan pemuda ini sungguh
Iihai dan cepat! Tenaganya seperti memiliki tenaga petir
yang mengerikan! Apakah tenaga itu yang diinginkan oleh
Manusia Muka Kucing Keparat!! Sampai hari ini pun aku
belum tahu apa yang dihendaki Manusia Muka Kucing
padanya? Dan sialnya aku sudah dalam keadaan setengah
tak berdaya seperti ini!"
"Wah wah! Kau kok belum menjawab juga, ya? Kalau
begitu sebaiknya...."
Kata kata Andika terputus tatkala terdengar teriakan
mengguntur dari Werdaningsih. Rupanya, gadis jelita yang
kini tahu kalau gurunya telah tewas dibunuh Kaki ilat
sudah menderu ke depan
Lesatan tubuhnya begitu cepat sekali hingga yang
nampak hanya bayangan belaka. Tangan kanan kirinya
nampak keluarkan cahaya bening.
Andika yang hendak mencoba mengorek keterangan
dari Kaki Kilat, tersentak melihat maut yang akan
diturunkan Werdaningsih pada Kaki Kilat. Cepat anak
muda urakan ini hempos tubuh untuk menahan serangan
Werdaningsih
Namun dua gelombang angin dipadu dua cahaya bening
lainnya sudah mcngarah padanya. Rupanya, kendati kini
menyadari siapa pemuda berhaju hijau pupus adanya, Jaya
Lantungjuga tak ingin pemuda itu halangi maksud
Werdaningsih Dia juga geram menyadari gurunya telah
tewas.
"Heiiii!!"
Lesatan lubuh Andika seketika tertahan karena dia
harus mcnghindar dulu. Kejap itu pula dengan cepat
pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini
gerakkan tangannya ke depan.
Blaaammm!!
Dua cahaya bening itu. langsung muncrat berantakan
begitu mcnghantam kedua tangannya yang ditekuk ke atas
dan telah dialiri tenaga "Inti Petir". Namun karena
gerakannya sempat tertahan, maka Andika tak mampu
untuk tahan serangan Werdaningsih pada Kaki Kilat.
Kaki Kilat sendiri yang merasa masih nyeri pada kaki
kanannya, cuma dapat gerakkan kaki kiri, berupaya untuk
menahan gempuran Werdaningsih. Dia memang dapat
melakukannya. Namun tak seberapa kuat. Dan berarti dia
tak mampu menolong dirinya dari gempuran Werdaningsih.
Maka tanpa ampun lagi. pukulan Werdaningsih
menghantam telak dadanya, Seketika tubuh lelaki tinggi
besar itu terseret ke belakang dan langsung rebah di atas
tanah dengan napas kembang kempis. Sesaat nampak
mulutnya menggembung. Kejap kemudian, dia melengak
ke depan. Serta-merta menyembur darah agak hitam tanda
dia terluka dalam. Sehagian membasahi pakaiannya yang
semakin pekat berwarna merah.
Tahanl!" desis Andika begitu dilihatnya Werdaningsih
kembali memburu ke arah Kaki Kilat.
Gadis itu menahan langkahnya dan herpaling. Sesaat
pandangannya tajam menatap, menyusul kata-katanya,
"Kenapa kau menahanku?"
"Werdaningsih... aku tahu. pukulan yang telah kau
lancarkan tak mematikan, hanya bermaksud untuk me-
nyiksa lelaki itu. Tetapi. apakah dengan yang kau lakukan
itu kau justru merasa senang? Atau, kau melakukannya
dengan maksud membalas sakit hati gurumu?"
Terkejut Werdaningsih mendengar kata-kata pemuda
yang berdiri sejarak delapan tindak dari tempatnya berdiri.
Untuk sesaat dia memandang dengan sepasang mata agak
membuka. Di lain saat dia membatin, "Luar biasa! Dia tahu
kalau pukulanku tidak mematikan! Dan dia tahu kalau aku
bermaksud untuk menyiksa lelaki keparat itu! Sungguh
hebat!"
Apa yang dibatinkan Jaya Lantung pun sebenarnya tak
jauh berbeda. dalam arti keterkejutan. Namun
keterkejutannya lain sama sekali.
"Gila! Aku tidak tahu maksud Werdaningsih! Yang
kutahu kalau dia ingin membunuh lelaki jahanam itu!
Tetapi... pemuda yang kutaksir usianya tak jauh berbeda
denganku dapat mengetahui kalau pukulan yang dila-
kukan Werdaningsih lidak mematikanl Sungguh luar biasa!
Pantas kalau Manusia Muka Kucing bermaksud
mencarinya. Sudah tentu dengan tujuan membunuhnya!!"
Sementara itu, Andika cuma nyengir saja. Anak muda ini
sebenarnya semula tidak menyadari kalau pukulan
Werdaningsih tidak mematikan. Itu baru disadarinya
tatkala dirasakan gerakan yang dilakukan Werdaningsih
lebih dekat.
Kejap kemudian dia berkata. "Lelaki itu yang kutahu
adalah kaki tangan Manusia Muka Kucing. Sementara
hingga saat ini aku belum mengetahui apa maksud dari
Manusia Muka Kucing sebenarnya mencariku. Karena, di
saat berjumpa denganku, dia tak lakukan apa- apa...."
Bukan hanya Jaya Lantung dan Werdaningsih yang
arahkan pandangan. Kaki Kilat yang masih tergelelak
dengan dada terasa sakit dan sesak, berusaha untuk
angkat kepala memandang pada Pendekar Slebor. Namun
keinginan itu tak kuasa dilakukannya, karena saat dia
mencoba mengangkat kepala, dadanya seperti kian
tertusuk.
"Pendekar Slebor...," desis Werdaningsih kemudian.
Sebelum dilanjutkan kata-katanya, gadis ini tarik napas
pendek, seolah tindih kepedihan yang dirasakan tentang
nasib gurunya. "Mengapa kau berkata demikian? Apakah
kau berjumpa dongan Manusia Muka Kucing?" Andika
anggukkan kepalanya. Lalu diceritakan tentang fitnah yang
dialaminya dan kejadian dengan Arya Sempala dan Dewi
Cadar Biru.
"Jadi Kang Arya sudah bertemu dengan Bibi Dewi Cadar
Biru," kala Werdaningsih dalam hati. "Tetapi, bila memang
Manusia Muka Kucing menginginkan Pendekar Slebor,
mengapa di saat berjumpa dengan pemuda yang dicarinya
dia tak lakukan tindakan apa-apa?"
Sementara ilu Jaya Lantung membatin "Semuanya
semakin hertambah memusingkan. Sepak terjang telengas
yang dilakukan Manusia Muka Kucing, ternyata masih
membingungkan. Scbab-sebab dia lakukan tindakan keji
itu dikarenakan menginginkan Pendekar Slebor Tetapi.
mengapa dia tak mclakukan apa-apa?"
Bukan hanya kedua remaja itu saja yang memikirkan
keheranan yang terjadi. Andika sendiri sampai saat ini
masih tak bisa mengerti apa yang sebenarnya diinginkan
oleh Manusia Muka Kucing. Masalah telah jelas. namun di
balik semua masalah itu. masih ada pertanyaan yang
tersembunyi dan dibutuhkan jawabannya.
Tanpa hiraukan pandangan Jaya Lanlung dan Wer-
daningsih, anak muda berambut gondrong acak-acakan ini
melangkah mendekati Kaki Kilat yang langsung berseru
geram, "Bunuh aku bila kau jantan hah?!"
"Busyet! Apa tidak salah kau omong, nih? Mana bisa
kutunjukkan apakah aku jantan atau betina bila ada
seorang gadis di sini? Wah! Yang benar saja kalau
ngomong!!" sahut Andika sambil berlutut.
Tindakan yang dilakukannya justru membuat Kaki Kilat
berteriak-teriak. Dalam teriakannya ada nada ketakutan
yang kentara.
Sementara itu Jaya Lantung dan Werdaningsih me-
mandang lak berkedip.
Jaya Lantung berkata dalam hati, "Hmmm... rupanya
pemuda itu hendak menyiksa Kaki Kilat! Bagus! Aku sangat
senang sekali bila dia melakukannya!"
Werdaningsih membatin, "Kalau memang Pendekar
Slebor bermaksud menyiksa Kaki Kilat. ini sebuah
pemandangan yang mengasyikan! Lelaki celaka itu lelah
membunuh Guru! Tak seharusnya memang diberi hati!
Lebih enak bila disiksa dulu baru kemudian dibunuh!!"
Namun yang diperkirakan keduanya, sungguh berbeda
sama sekali dengan apa yang akan dilakukan Andika.
***
10
Dengan cengiran di bihir anak muda dari Lembah
Kutukan itu mcmegang tangan kanan dan kiri Kaki Kilat.
"Jahanam! Lepaskan tanganku, hah?! Lepaskan!!" seru
Kaki Kilat keras sambil berusaha tarik kedua tangannya.
Namun karena dia tak memiliki tenaga lagi, gerakan yang
dilakukannya hanya berupa tarikan lembut saja.
Bila pun dia masih memiliki tenaga dalam, tak akan
mungkin dapat melepaskan diri dari pegangan kedua
tangan Andika bila anak muda ini alirkan tenaga 'Inti Petir'.
"Kau ini kenapa sih? Baru juga dipegang sudah begini?
Apalagi kujitak kepalamu, hah?!"
"Bunuh saja aku! Bunuh saja!!"
"Busyet! Membunuhmu sangat gampang sekali
kulakukan! Tetapi. kenapa kau tidak diam saja sih?!"
Andika yang bermaksud untuk menolong Kaki Kilat dari
siksaan yang dirasakannya sendiri, lamat-lamat alirkan
tenaga 'Inti Petir' melalui kedua pergelangan tangan Kaki
Kilat.
Kaki Kilat yang semula meminta di lepaskan, kali Ini
terdiam tanda hawa hangat mengaliri sekujur tubuhnya.
Wajahnya yang tadi memucat nampak mulai memerah
kembali. Napasnya pun dirasakan agak longgar. Mendadak
dirasakan ada satu dorongan keras dari bawah perulnya
yang menyeruak naik ke atas. Dan....
"Huaaakk!!"
"Wah! Bagus tuh! Ayo, lakukan sekali lagi! Habiskan
darah hitammu ilu!!"
Kali ini Andika menekan urat nadi yang ada di tangan
kanan kiri Kaki Kilat dengan jempolnya. Tubuh Kaki Kilat
serentak meregang kaku dan dari mulutnya keluar teriakan
kesakitan.
"Busyet! Kolokan amat sih kau ini?!"
Bersamaan Andika lepaskan tekanan pada tangan
kanan kiri Kaki Kilat. lelaki tinggi besar ini muntah darah
kembali. Namun rasa segar mulai dirasakan.
Di tempatnya, Jaya Lanlung berpandangan dengan
Werdaningsih. Sesaat masing-masing orang tak dapat
percayai apa yang mereka lihat. Pemuda berpakaian hijau
pupus yang lelah dibuat morat-maril dengan kejadian demi
kejadian yang mcnyesatkan sekaligus mengerikan, telah
menolong salah seorang yang telah mencelakakan dirinya.
"Gila! Ternyala tak sama dengan yang kuduga! Sungguh
suatu sikap aneh sekaligus bijaksana! Tak seharusnya
Pendekar Slebor menolong orang yang telah
mencelakakannya! Dari yang diceritakannya tadi, Kang
Arya masih diliputi rasa percaya kalau pemuda itulah yang
telah membunuh Guru, karena dilihatnya pemuda itu
sedang membopong mayat Guru. Ah... aku jadi malu bila
mengingat bagaimana aku menuduhnya sebagai kaki
tangan Manusia Muka Kucing. Justru dia adalah pendekar
besar yang kesohor. Bila saja sebelumnya aku telah
mengenalnya sudah tentu tak akan terjadi ke- salah
pahaman seperti sebelumnya," kata Jaya Lantung dalam
hati.
Di lain pihak Werdaningsih membatin, "Tak salah bila
dia adalah sen rang pendekar besar. Kuharap... kami dapat
menggantungkan harapan padanya untuk me- ngqar dan
mcnangkap Manusia Muka Kucing. Dan menjernihkan
mnsalah titnah yang melekat pada dirinya, karena Kang
Arya Sempala masih terkena litnahan itu."
Sementara itu Andika sedang berkata pada Kaki Kilat,
"Nah, kau telah sembuh sekarang. Silakan kau berlalu dari
hadapanku dan baik-baiklah bawa diri."
Kaki Kilat yang sebelumnya tak menyangka kalau
pemuda yang ingin dibunuhnya justru menolong, menahan
sesuatu yang bcrgejolak dalam dadanya Namun dasar
manusia jahat tak ada rasa terima kasihnya sekali pun.
Dia segera berdiri, akan tetapi langsung sempoyongan
dan ambruk kembali.
"Keparat!! Kau belum membuka totokanmu pada
kakiku!!" sentaknva keras.
Andika cuma tersenyum.
"Jangan terlalu manja mcngharapkan pertolongan orang
lain. Kerahkan sedikit tenaga dalammu, maka totokan ilu
akan terlepas." Habis berkata begitu dia bcrpaling pada
Jaya Lantung dan Werdaningsih. "Kurasa... sebaiknya kita
berpisah di sini. Aku tetap ingin tahu apa yang
direncanakan Manusia Muka Kucing sebenarnya."
"Bagaimana dengan manusia tak tahu berterimakasih
ilu?" tanya Jaya Lantung sambil lempar pandangan tajam
pada Kaki Kilat.
"Kita tak berhak untuk cabut nyawanya. Biarkan dia
hidup. karena kehidupan masih membentang di hadap-
annya..."
Sementara itu Kaki Kilat sedang alirkan tenaga
dalamnya pada kaki kanannya. Selesai dialirkan, dirasakan
sengatan yang seliap kali dia mencoba berdiri muncul
kembali, lenyap sama sekali.
"Hhhh! Keparat busuk! Rupanya dia tak memiliki
kehebatan sama sekali! Totokannya dengan mudah dapat
kulepaskan!!" katanya dalam hali.
Sungguh bodoh sebenarnya Kaki Kilat. Kalaupun dia
dapat lepaskan totokan Pendekar Slebor, ini disebabkan si
anak muda lelah lepaskan totokan itu melalui tenaga Inti
Petir' yang tadi dialirkannya. Bila saja tak dilakukan hal itu,
jangankan untuk membebaskan diri dari lotokan,
mengetahui letak totokan itu saja tak mungkin
ditcmukannya.
Merasa dirinya telah terbebas dari totokan dan meiliki
kekualannya kembali, mendadak saja Kaki Kilat mencelat
ke depan dengan gerakkan kaki kanan kirinya yang serta-
merta limbulkan angin berkesiur.
"Mampuslah kau. Pendekar Slebor!!"
Mendapati apa yang dilakukan Kiiki Kilal. Andika
mendengus.
"Kutu monyet! Benar henar manusia tak tahu diuntung!"
Serentak diangkat tangan kanannya.
Bukk! Bukkk!
Setelah tangan kanannya halangi dua tendangan
sekaligus dari Kaki Kilat, kali ini Andika tidak mau
berlindak ayal. Mendadak saja dia putar tubuhnya
setengah sempoyongan. Bersamaan dengan itu. tangan
kirinya dijotoskan ke depan. Kaki Kilat dapat hindari
jotosan itu dengan miringkan tubuh bersamaan kaki kanan
kirinya menyapu kc bagian hawah.
Hanya dengan satu loncatan pendek. Andika berhasil
lepaskan diri dari serangan lawan. Bukan hanya sampai di
sana saja yang dilakukannya. Begitu dia melompat. kaki
kanannya langsung dijejakkan, kencang ke kaki kanan
lawan.
"Gilaaaa!!" maki Kaki Kilat sambil menarik pulang kedua
kakinya dan bergulingan menjauh.
Akan tetapi, Jaya Lantung yang merasa tak dapat tahan
lagi amarahnya melihat sikap Kaki Kilat, langsung
menerjang dengan kedua tangan yang telah dialirkan jurus
'Tebar Cahaya Maut'.
Tanpa ampun lagi, dada Kaki Kilal telak terhantam
jotosan keras itu. Saat itu pula tubuhnya meluncur deras
ke belakang. Masih dalam keadaan terhuyung,
dirasakannya dua cahaya bening lainnya menggebrak ke
arah kedua kakinya. Dan...
"Aaaakhhhhh!!" pekikan tertahan Kaki Kilat terdengar
keras begitu kedua kakinya telak terhantam.
Saat itu pula sosoknya ambruk berdebam di atas
rumput yang sebagian rebah dan sebagian lagi tercabut
beterbangan ke udara. Tubuhnya masih mengejut-ngejut
menahan sakit pada kedua kakinya yang remuk. Wajah
lelaki berpakaian merah ini kembali memucat. Bibirnya
digigit kuat-kuat untuk menahan sakil. hingga tanpa
disadarinya sampai alirkan darah.
"Pendekar Slebor! Tak perlu lagi membantu manusia
celaka seperti dia!" seru Jaya Lantung keras.
Andika cuma anggukkan kepala.
Sekejap kemudian, sosoknya pun sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu
Sepeninggal Pendekar Slebor, Jaya lantung
menghampiri Kaki Kilat yang dari mulut serta hidungnya
alirkan darah hitam.
"Kau tak pernah tahu apa arti terima kasih. Seharusnya
kau sadar, dengan pertolongan yang diberikan Pendekar
Slebor, kau urungkan seluruh niat jahat dan kau tutup
segera hati busukmu dari setiap kejahatan!!"
Kaki Kilat yang masih menahan sakit, mendengus
dingin. "Jangan mengguruiku!!"
Mengkelap wajah Jaya Lantung mendengar ucapan
orang. Hampir saja dia lancarkan pukulannya lagi bila saja
Werdaningsih yang sudah mendekat tidak keluarkan suara,
"Tahan, Kang Jaya! Biarkan manusia itu terbaring tanpa
daya! Biar dia merasakan bagaimana tersiksanya lumpuh
seperti itu! Sebaiknya, kita ikuti saja Pendekar Slebor!
Barangkali saja akan membawa kita pada Kakang Arya
Sempala dan Bibi Dewi Cadar Biru Bahkan... membawa kila
pada Manusia Muka Kucing!"
Jaya Lantung angguk-anggukkan kepalanya sambil
tindih amarahnya. Kaki Kilat yang sudah tak sanggup
menahan rasa sakit, keluarkan ejekan-ejekan disertai tawa
menyakitkan. Dia berharap agar dapat memancing
kemarahan Jaya Lantung hingga pemuda itu akan
membunuhnya dan berarti dia akan terbebas dari rasa
sakit yang menyiksa.
Jaya Lantung hanya keluarkan dengusan pendek. Tanpa
hiraukan seruan-seruan mengejek yang sesekali disertai
tawa menyakitkan dari Kaki Kilat dia berkata, "Baiklah! Kita
segera berangkat sekarang, Werdaningsih!"
"Dan suatu saat... kalian akan mampus di tanganku!
Kalian akan menyesal bila tidak membunuhku sekarang!
Ayo, bunuh aku bila kalian berani!!" seru Kaki Kilat. "Atau...
kau telah berubah menjadi banci, Jaya Lantung?!"
Jaya Lantung kembali balikkan tubuh dengan
pandangan melolot. Hatinya benar-henar murka sekarang.
Namun lagi-lagi begitu mendengar kata Werdaningsih. dia
jadi urungkan niat, "Jangan terbawa amarahmu Kang Jaya!
Lelaki celaka ini hanya memancing kita untuk
membebaskannya dari rasa sakit! Lebih baik, biarkan dia
menderita begitu!"
Jaya Lantung kembali mengangguk. Tanpa sahutan apa-
apa dia segera meninggalkan tempat itu disusul
Werdaningsih. Yang terdengar kemudian hanya jeritan-
jeritan Kaki Kilat yang semakin lama suaranya semakin
mengecil. Rasa sakit akibat kedua kakinya yang remuk dan
sudah tentu tak dapat digunakan kembali serta napas yang
dirasakan bertambah sesak akibat dadanya luka dalam,
membuat lelaki tinggi besar ini tak mampu menahan
semuanya.
Dua kejapan mata berikutnya, dia jatuh pingsan!
***
11
Malum kembali lingkupi alam dalam rangkulannya yang
serba gelap. Di langit limbunan awan hilam bergelut satu
sama lain berusaha unluk menahan hembusan angin yang
dapat membuat mereka bergerak. Malam langit dinaungi
segenap hamparan kelam.
Dalam suasana dingin mcncekam, satu sosok tubuh
tiba di Gunung Kerambang. Untuk sesaat, lelaki berpakaian
lerbual dari bulu ini terdiam. Pandangannya yang tajam
memerah menatap tak berkedip pada Gunung Kerambang.
Kejap berikutnya, kepalanya dilolehkan ke belakang, ke
arah dari mana dia muncul ladi.
"Hmmm... tentunya pemuda urakan itu masih
direpotkan oleh Arya Sempala dan Dewi Cadar Biru. Bagus!
Dengan begitu. urusanku tak terlalu sulit. Bila saja
pimpinan memerintahku untuk menangkap dan
membunuhnya, sudah tentu akan kulakukan dengan
senang hati. Aku pun ingin merasakan kehebatan pemuda
yang julukannya begitu kesohor."
Habis desisan dinginnya, lelaki yang memiliki kumis
jarang berdiri menjuntai ilu, kembali arahkan
pandangannya pada Gunung Kerambang. Wajahnya yang
mirip kucing bergerak-gerak aneh.
"Sebaiknya, kukalakan semua ini pada Pimpinan."
Memutuskan demikian, lelaki yang tak lain Manusia
Muka Kucing adanya. segera berkelebat melalui jalan
penuh kerikil dan rumput. Gerakannya sungguh cepat.
Tatkala tiba pada sebuah batu besar yang lerdapat di
tengah-tengah jalan seiapak, lelaki bermuka kucing ini
berbelok ke arah kanan. Dia tak hentikan gerakannya.
justru tambah ilmu peringan tubuhnya.
Lima belas larikan napas berikutnya, lelaki ini telah liba
di balik Gunung Kerambang. Langsung melesat ke balik
sebuali ranggasan semak setinggi dada yang di
sekelilingnya dipenuhi pepohonan linggi.
Di tempat angker yang semakin gelap ini, Manusia
Muka Kucing hentikan larinya. Sejenak dia atur napas
sebelum melangkah mendekati sebuah bangunan yang
seperti sudah runtuh di sana-sini. Sejarak lima lombak dari
tempatnya, tcrdengar suara keras, dingin dan tajam,
"Masuklah! Aku ingin mendengar berita bagus karena
selama ini tak kudapatkan berita yang mengenakkanku!!"
Sesaat Manusia Muka Kucing hentikan gerakannya.
Wajah kucingnya nampak agak kecut mendengar bentakan
itu. Di lain kejap, dia kembali berlari dengan wajah agak
tersenyum.
Sosoknya langsung masuk ke dalam bangunan yang di
bagian dalamnya juga gelap. Namun mata kucing yang
dimiliki lelaki ini dapat melihat satu sosok tubuh kurus
terbungkus jubah panjang warna merah Rambut lelaki tua
ini disanggul kc alas dan berwarna merah pula. Sorol
matanya tajam dengan wajah tirus yang mcnyiratkan
kekejian.
Manusia Muka Kucing langsung rangkapkan sepasang
tangannya di depan dada. Kepalanya agak tertunduk.
Dengan suara sedikit bergetar dia berkata, "Pimpinan...
semua yang kau perintahkan telah kulakukan..."
"Hmmm... apa kali berita ini hanya untuk melebarkan
lubang telingaku saja, atau hanya bualan belaka?" orang
tinggi kurus itu keluarkan suara dingin.
"Keparat! Bila saja aku tidak tahu kesaktian yang
dimilikinya, sudah tentu akan kurobek mulutnya!" maki
Manusia Muka Kucing dalam hati.
Lalu katanya, "Berita yang hendak kusampaikan sudah
tentu akan membuatmu lebih tenang sekarang, Pimpinan."
"Jangan bertele-tele! Katakan!!"
Manusia Muka Kucing segera jalankan perintah yang
diberikan lelaki berambut merah itu.
Mendadak terdengar tawa lelaki tua itu. Begitu
kerasnya sampai dinding bangunan di sebelah kiri runtuh!
"Bagus, bagus sekali!! Semuanya akan berjalan lancar!
Sangat menyenangkan!"
Mendengar ucapan lelaki berjubah merah di
hadapannya, Manusia Muka Kucing tersenyum. Sungguh
mengerikan saat dia tersenyum seperti itu.
Didengarnya lagi suara lelaki di hadapannya, seolah
pada dirinya sendiri, "Semua akan terlaksana seperti
rencanaku... semuanya akan berjalan dengan mulus..."
"Apa yang harus kulakukan lagi. Pimpinan?" tanya
Manusia Muka Kucing. Sesungguhnya dia mulai penasaran
ingin mengetahui apa yang dihendaki oleh lelaki berjuhah
merah ini-
"Sekarang... panting dia ke sini!"
Manusia Muka Kucing anggukkan kepalanya seraya
membatin, "Mungkin ini saat yang tepat untuk me-
ngetahui apa yang sebenarnya direncanakan oleh manusia
ini."
Memutuskan demikian, berhati-hati Manusia Muka
Kucing ajukan tanya, "Pimpinan... bukan maksudku untuk
banyak tanya. Tetapi, aku sungguh penasaran mengapa
Pimpinan lak memerintahkanku untuk menangkap
ataupun membunuhnya?"
Mendadak lelaki kurus itu keluarkan dengusan. Se-
pasang matanya yang masuk ke dalam seolah melompat
keluar.
"Bila saja kau tak kujadikan sebagai anak buahku,
sudah tentu kucabut nyawamu sekarang juga, Keparat!!
Tetapi baik, akan kukatakan apa mauku sebenarnya!!"
Habis kata-katanya, lelaki berjubah merah ini duduk di
sebuah kursi besar.
"Aku mcnghendaki tenaga lnti Petir yang dimiliki oleh
Pendekar Slebor!"
Sejenak Manusia Muka Kucing terdiam dengan mulut
agak menganga.
"Tenaga 'lnti Petir'? Mengapa, Pimpinan?"
"Aku sedang memperdalam sebuah ilmu langka yang
kedahsyatannya tiada banding. Siapa pun orang di muka
bumi ini tak akan sanggup mengalahkannya. Tetapi semua
itu mempunyai syarat yang cukup herat. Aku harus
mendapatkan tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki oleh Pendekar
Slebor bila ingin ilmu yang sedang kuperdalam ini berjalan
sempurna. Dan Pendekar Slebor haya kujadikan sebagai
perantara saja, karena bukan dialah orang yang hendak
kubunuh'"
Sesaat tak ada yang buka mulut kecuali suara
dengusan keras lelaki berjubah merah itu. Sementara
Manusia Muka Kucing hanya mcmperhatikan dengan
seksama.
Sebenarnya, siapakah lelaki tinggi kurus berjubah
merah ini?
Dia berjuluk Iblis Segala Amarah, lelaki keji yang dulu
bermukim di Makam Iblis yang sepak terjangnya sangat
telengas. Tak pandang siapa pun orang yang hendak
dibunuhnya, berarti orang itu harus mampus. Dan sepak
terjangnya memancing beberapa orang tokoh dari
golongan lurus untuk menghentikan segala perbuatannya.
Namun tokoh-tokoh yang mencoba menghentikannya,
justru kembali ke tempat asal dengan membawa luka
dalam dan beberapa bagian tubuh yang buntung. Bahkan
tak jarang ada yang pulang nama.
Sampai kemudian, muncullah seorang lelaki yang kala
itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. hanya bertaut
dua tahun dari usia Iblis Segala Amarah. Lelaki ilu berjuluk
Pendekar Cakra Sakti yang memiliki silat angin-anginan.
Setelah bertarung selama tiga hari tiga malam berhasil
mengalahkan sekaligus menghentikan sepak terjang
telengas Iblis Segala Amarah.
Sampai empat puluh tahun kemudian julukan itu tak
pernah terdengar lagi. Dan rupanya, lblis Segala Amarah
tak bisa melupakan segala dendamnya pada Pendekar
Cakra Sakti. Dia terus melatih diri siang dan malam.
Bahkan selama enam bulan dia berhasil mengukir sosok
Pendekar Cakra Sakti dari sebuah balang pohon. Setiap
kali dilihat ukiran yang dlbuatnya, amarah dan dendamnya
semakin menumpuk.
Karena kegigihan latihan yang dilakukannya, Iblis
Segala Amarah berhasil menciptakan ilmu langka dahsyat
yang dipadu antara tenaga dalam panas dan dingin. Hasil
dari gabungan dua tenaga itu sungguh mengerikan. Namun
ada satu masalah yang mengganggunya Karena perpaduan
antara tenaga panas dan dingin itu tidak timbulkan satu
gempuran yang diharapkannya.
Berulangkali dun tak jenuh-jenuh Iblis Segala Amarah
melatih ilmu 'Tenaga Api Air'. Sampai kemudian dia
mendengar tentang seorang pemuda bcrjuluk Pende kar
Slebor yang memiliki tenaga 'lnti Petir'. Siang malam lblis
Segala Amarah terus memikirkan tentang tenaga 'lnti Petir'
yang diyakininya dapat digabungkan dengan ilmu Tenaga
Api Air'.
Mulailah dia menyusun segala rencana. Namun setelah
satu tahun meneoba menemukan di mana Pendekar
Slebor berada, dia gagal melakukannya. Bahkan mulai
dipikirkan kalau dia menyia-nyiakan waktu cukup lama
yang seharusnya bisa dipergunakan unluk terus melatih
diri.
Berpikir demikian, Iblis Segala Amarah memutuskan
untuk mencari anak buah. Dan salah seorang yang berhasil
dikalahkan adalah Manusia Muka Kucing. Ilmu 'Tenaga Api
Air' berhasil diuji coba pada Manusia Muka Kucing yang
sebenarnya dapat menandingi Iblis Segala Amarah bila
saja lelaki berjubah merah itu tak pergunakan ilmu 'Tenaga
Api Air".
Diperintahnya Manusia Muka Kucing untuk mencari
Pendekar Slebor dan membunuh siapa saja yang
bermaksud menghalangi. Manusia Muka Kucing sendiri
berhasil menjadikan Kaki Kilat sebagai anak buahnya yang
ternyata mempunyai lima belas anak buah lainnya.
Hingga hari ini. berita yang ditunggunya pun tiba.
Pendekar Slebor telah muncul untuk hentikan sepak
terjang Manusia Muka Kucing
Sementara ilu Manusia Muka Kucing angguk-anggukkan
kepalanya dan membatin, "Rupanya... dia menginginkan
tenaga 'Inti Petir' pada tubuh Pendekar Slebor. Pantas dia
tak memerintahkanku untuk membunuhnya. Hmmm... aku
jadi penasaran. ada apa sebenarnya di balik tenaga 'Inti
Petir' milik Pendekar Slebor?"
"Apa yang kau pikirkan, hah?!" mcmbentak Iblis Segala
Amarah hingga saat itu pula Manusia Muka Kucing
putuskan pikirannya.
Buru-buru leiaki berparas kucing ini berkata, "Tak ada
yang kupikirkan sama sekali, Pimpinan."
"Bagus! Sekarang juga kau arahkan Pendekar Slebor ke
tempat ini!"
"Akan kulakukan, Pimpinan!! Tetapi... bolehkah aku
tahu. siapakah sesungguhnya orang yang ingin Pimpinan
bunuh?"
Mendengar pertanyaan itu, Iblis Segala Amarah arahkan
pandangannya ke dinding bangunan sebelah kiri. Tangan
kanannya mengusap-usap janggutnya yang lancip.
Mulutnya mengatup rapat dan sepasang pelipisnya
bergerak-gerak.
"Setelah aku berhasil memiliki tenaga 'Inti Petir' milik
Pendekar Slebor, manusia celaka itu akan mati di
tanganku!! Hhh! Bila dia sudah mampus, seluruhnya akan
sirna dan berjalan sempurna! Tak seorang pun yang akan
mampu halangi niatku untuk bertualang kembali
memenuhi nafsu membunuhku!!"
Manusia Muka Kucing tak berani buka mulut kendati
dia masih penasaran. Ditunggunya apa yang akan
dikatakan lagi oleh lelaki tinggi kurus ini.
Apa yang diharapkannya terjadi. Karena lamat-lamat
terdengar suara Iblis Segala Amarah, "Dia adalah....
Pendekar Cakra Sakti..."
"Oh!!" terdengar suara Manusia Muka Kucing kaget.
Bahkan kepalanya sampai terangkat dengan kedua mata
merahnya membuka lebih lebar. "Pendekar Cakra Sakti?"
desisnya kelu.
"Ya! Dialah yang telah membuatku terkurung selama
empat puluh lahun dalam dunia asing seperti ini!!"
"Pendekar Cakra Sakti ," desis Manusia Muka Kucing
dalam hati. "Gila! Aku pernah mendengar julukan itu!
Tetapi... baru kuketahui kalau lelaki celaka ini pernah
dikalahkan olehnya. Bila dia memang berhasil membunuh
pendekar itu sungguh hehat! Dan ini semua tentunya
berkat tenaga 'lnti Petir' bila dia berhasil menyerap dan
tubuh Pendekar Slebor! Oh! Tentunya... tenaga itu sangat
dahsyat sekali!"
"Manusia Muka Kucing!" mendadak suara itu
menggelegar keras. "Tinggalkan tempat ini sekarang juga!
Atau... kau ingin mampus di tanganku, hah?!l"
Gelagapan Manusia Muka Kucing mendengar ben-
takan menggelegar itu. Buru-buru dia rangkapkan kembali
kedua tangannya di depan dada.
Lalu dengan suara menghormat dia berkata “Akan
kulakukan semua perintah, Pimpinan!”
Habis rangkapkan kembali tangannya di dada dan
anggukkan kepalanya, Manusia Muka Kucing segera keluar
dari bangunan itu. Dia tak lagi palingkan kepala sebelum
tiba dj jalan semula ketika dia datang.
Sejenak lelaki muka kucing ini terdiam di bawah
naungan langit yang semakin kelam. Pikirannya kembali
pada persoalan tenaga 'lnti Petir' yang diinginkan oleh Iblis
Segala Amarah.
"Tenaga 'lnti Petir'.... Hm, begitu bodoh bila aku tak
tertarik dengan apa yang dimiliki Pendekar Slebor! Bisa jadi
bila aku yang memilikinya maka kesaktianku akan
bertambah! Sudah lama aku hendak lepas dari segala
kungkungan iblis celaka itu! Akan kupancing Pendekar
Slebor mendalangi tempat ini. Bila aku dapat kesem-
patan. akan kucoba untuk menyerap tenaga Inti Petir milik
Pendekar Slebor!. Ini kesempalan yang juga telah lama
kutunggu... Karena secara tak langsung, aku mengelahui
apa yang diinginkan Iblis Segala Amarah pada Pendekar
Slebor...."
Habis kata-katanya, lelaki berparas kucing ini segera
berkelebat meninggalkan tempat itu, menerobos malam
yang pekat dengan segala rencana di benaknya. Rencana
yang membuatnya semakin gigih dalam pertahankan
hidup. Tcrutama, usaha lamanya untuk terbebas dari
segala pijakan kaki Iblis Segala Amarah.
Sementara itu di dalam bangunan yang tertimbun oleh
cahaya pekat hingga tak kclihatan sama sekali, Iblis Segala
Amarah masih duduk di kursinya.
Wajah tirusnya tertekuk dengan pikiran yangmelayang-
layang. Tangan kurusnya mengepal kuat-kuat. Lamat-lamat
nampak bibir keriputnya sunggingkan senyuman aneh. Ada
tanda kepuasan dan penasaran dalam senyuman itu.
Kemudian terdengar kata-kalanya, "Pendekar Cakra
Sakti... tak lama lagi kita akan buat perhitungan. Sampai
hari ini aku lidak tahu kau berada di mana. Tetapi naluriku
mengatakan kalau kau masih hidup. Entah dalam keadaan
sakit ataukah masih segar bugar...."
Kembali dia ferdiam. Beberapa hewan malam ramai
bersuara di luar bangunan.
"Sebentar lagi... semuanya sebentar lagi akan
terlaksana dengan sempurna..."
Menyusul terdengar tawanya yang keras bertalu- talu.
Hingga bukan hanya bagian-bagian bangunan itu yang
runtuh. Ranggasan semak sejauh dua puluh tombak
tercabut dan beterbangan ke udara...
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul:
IBLIS SEGALA AMARAH
0 comments:
Posting Komentar