"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 09 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE RAHASIA SEBELAS JARI

Rahasia Sebelas Jari

 


RAHASIA SEBELAS JARI

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode:

Rahasia Sebelas Jadi

128 hal.



1


Malam telah turun ketika satu bayangan 

hitam bergerak di sebuah hutan lebat laksana di-

kejar setan. Dan tahu-tahu bayangan hitam itu 

lenyap dari pandangan, tertelan jajaran pepoho-

nan yang tumbuh di hutan itu. Setelah beberapa 

saat, nampak kembali kelebatan orang ini. Malah 

lebih cepat dari semula, seolah dia khawatir akan 

tertinggal sekejap juga dari apa yang diinginkan-

nya.

Di sebuah padang rumput yang luas, di se-

belah tenggara hutan yang dilewati orang itu, dia 

hentikan larinya. Tak ada napas terengah yang 

keluar, bahkan tak sebutir keringat pun yang 

mengalir.

Untuk beberapa saat, orang yang habis 

berlari edarkan pandangannya berkeliling me-

nembus kegelapan. Sejauh mata memandang, 

yang nampak hanya kegelapan semata.

"Hmmm... belum ada tanda-tanda perawan 

peot itu hadir di sini. Dia terlambat, atau aku 

yang terlampau cepat? Tetapi ini tepat tengah ma-

lam. Tak mungkin aku terlambat. Jangan-

jangan... dia hanya menganggap isyaratku seba-

gai angin lalu. Atau, justru aku yang salah mem-

beritahunya, sehingga dia tidak tiba di tempat 

ini?" desisnya sambil usap-usap jenggotnya yang

memutih.

Kembali orang yang ternyata seorang lelaki 

berusia sekitar tujuh puluh tahun ini, terdiam.

Sepasang matanya yang agak menyipit, makin da-

lam menyipit. Wajahnya yang turus dan dihiasi 

kulit tipis, nampak bergerak-gerak.

Sementara itu, di angkasa awan hitam sea-

kan tak bergeming dihembus angin. Menyatukan 

eratan untuk menghalangi sinar rembulan yang 

malam ini seolah lenyap.

Orang ini kembali keluarkan .suara, "Akan 

kutunggu dia beberapa lama lagi. Bila tidak mun-

cul juga, terpaksa aku harus bergerak sendiri. 

Rahasia Sebelas Jari harus kupecahkan. Rantai 

Naga Siluman harus kudapatkan."

Lamat-lamat lelaki berjubah hitam ini 

arahkan pandangan pada julangan bukit di sebe-

lah kanannya. Tersaput kegelapan dan tak ubah-

nya raksasa yang mendekam.

Lalu kedua tangannya disedekapkan di de-

pan dada. Dia berusaha berdiri lebih tegak, den-

gan buka kedua matanya agak melebar. Tapi, ka-

rena sepasang mata kelabunya agak menyipit, 

saat dibuka lebih lebar nampak keningnya jadi 

berkerut ke atas.

Waktu berlalu dalam keheningan. Angin 

malam makin menusuk hingga ke tulang sum-

sum. Di kejauhan lolongan anjing malam terden-

gar, panjang dan mengiriskan.

Tepat tatkala rintikan air tertumpah dari 

langit, orang yang bersedekap ini menarik napas 

pendek.

"Keparat terkutuk! Ini sudah lewat tengah 

malam, belum ada tanda-tanda perawan keparat 

itu akan dalang! Jahanam! Berarti, dia sudah tak

menghargai aku lagi rupanya! Jahanam sial! Un-

tuk apa aku buang waktu di sini? Aku harus me-

mecahkan Rahasia Sebelas Jari!!" 

Orang ini kembali hentikan ucapannya. 

Pandangannya diedarkan ke bagian kanan dan 

kirinya.

"Terkutuk! Lebih baik aku berlalu dari si-

ni!!"

Baru saja habis kata-kara orang yang mu-

lai geram ini, mendadak terdengar suara angin 

berkesiur kencang di belakangnya. Segera dia ba-

likkan tubuh dan siap hantamkan tangan kanan-

nya yang diangkat.

Akan tetapi, saat itu pula diturunkan tan-

gan kanannya begitu melihat bayangan orang 

yang telah berdiri berjarak tiga tombak dari tem-

patnya.

Menyusul dia mendengus gusar.

Tetapi belum dia membuka mulut, orang 

yang baru datang itu sudah buka suara, "Kiai 

Alas Ireng! Maafkan alas keterlambaranku!!"

Orang berjubah hitam ini mendengus. 

Langsung bersuara jengkel, "Perawan tua bau ta-

nah yang berjuluk Iblis Kelabang! Kupikir kau 

sudah tak hargai lagi diriku! Hampir kuputuskan 

untuk menjadikanmu seteru dalam hidupku!!"

Orang yang baru datang dan ternyata seo-

rang perempuan yang usianya tak jauh beda den-

gan lelaki berjubah hitam yang bernama Kiai Alas 

Ireng, menggelengkan kepala.

"Tak mungkin aku kesampingkan apa yang 

kau inginkan! Boleh dikatakan, apa yang kau perintahkan selalu kuturuti! Tetapi tentunya, aku 

juga ingin tahu mengapa kau menyuruhku untuk 

bertemu di sini!!"

Kiai Alas Ireng maju lima langkah ke de-

pan. Dia pandangi dulu perempuan berpakaian 

panjang berwarna semerah darah itu sebelum 

buka mulut, "Gampang sekali apa yang kuingin-

kan! Aku menginginkan kau membunuh Pende-

kar Slebor."

Iblis Kelabang anggukkan kepala sambil 

kembangkan senyum. "Membunuh siapa pun, 

akan kulakukan untukmu! Tetapi, aku ingin tahu 

mengapa kau memerintahkanku untuk membu-

nuh pemuda dari Lembah Kutukan itu?"

Mendengar pertanyaan si perempuan, Kiai 

Alas Ireng mendengus. Sepasang matanya menyi-

pit saat berkata-kala, "Apakah dengan kata lain, 

kau mencoba tidak memenuhi apa yang kuperin-

tahkan, hah?!"

Senyum di bibir Iblis Kelabang makin men-

gembang.

"Sudah kukatakan, aku tak mungkin me-

nolak perintahmu, Kiai Alas Ireng!"

Sepasang mata Kiai Alas Ireng melebar. Be-

gitu dilihatnya si perempuan menganggukkan ke-

palanya dengan pasti, lamat-lamat dia pun terse-

nyum lebar.

"Kupercayai apa yang kau katakan! Iblis 

Kelabang, tidakkah kau mendengar tentang raha-

sia Pulau Hitam yang telah terpecahkan?"

Iblis Kelabang anggukkan kepala.

"Hingga saat ini, telingaku belum tuli sama

sekali. Sudah tentu aku mendengarnya. Bahkan 

kuketahui, kalau Pendekar Sleborlah yang telah 

memecahkan rahasia Pulau Hitam, yang salah sa-

tunya adalah hadirnya Eyang Mega Tantra kem-

bali."

"Hanya itu yang kau dengar?" suara Kiai 

Alas Ireng terdengar gusar dan mengejek.

"Sudah tentu tidak! Aku mendengar pula 

kabar tentang Rantai Naga Siluman!"

"Rantai itulah yang kuinginkan!!"

Perempuan yang berambut putih dan dike-

labang ini terdiam. Keningnya nampak berkerut. 

Di saat dia mengangguk-anggukkan kepalanya, 

nampak kalung kelabang merah bergerak-gerak di 

atas dadanya yang rata.

"Aku mengerti. Tetapi, mengapa justru 

Pendekar Slebor yang harus dibunuh? Apa yang 

kudengar, tak memberitakan tentang Pendekar 

Slebor yang telah mendapatkan Rantai Naga Si-

luman," ucap Iblis Kelabang.

"Kau benar!" sahut Kiai Alas Ireng. "Berita 

yang sampai di telinga pun mengabarkan demi-

kian! Tetapi, dialah satu-satunya orang yang dibe-

ritahukan oleh Eyang Mega Tantra tentang Raha-

sia Sebelas Jari! Barang siapa yang dapat meme-

cahkan rahasia itu, maka dialah orang yang ber-

hak mendapatkan Rantai Naga Siluman. Karena, 

rahasia untuk mendapatkan rantai itu, harus 

memecahkan Rahasia Sebelas Jari."

"Lantas, mengapa aku harus membunuh 

Pendekar Slebor? Bukankah dia orang yang paling...."

"Bodoh!!" putus Kiai Alas Ireng menggun-

tur. "Sudah tentu bila kau berhasil mendapatkan 

tentang Rahasia Sebelas Jari, baru kau membu-

nuhnya! Selama berdiam di Lembah Kelabang, 

apakah kau sudah menjadi bodoh?!"

Bukannya gusar mendengar bentakan se-

kaligus ejekan orang, Iblis Kelabang justru rang-

kapkan kedua tangannya di depan dada. Kepa-

lanya agak ditundukkan.

"Maafkan aku."

"Kau kuberi waktu sebelum purnama da-

tang! Bila kau gagal menjalankan tugas yang ku-

berikan, kau tak akan pernah lagi tiba di Lembah 

Kelabang!!"

"Akan kujalankan semua yang kau perin-

tahkan! Karena, inilah saatnya membalas budi! 

Bila saja kau tak menolong nyawaku dari kema-

tian yang akan diturunkan oleh Panembahan 

Agung, sudah tentu aku tak akan pernah melihat 

rupa dunia seperti saat ini!"

"Aku tak bicara seal budi!! Yang kuingin-

kan, kau jalankan perintahku, tanpa banyak ber-

tanya lagi!!"

"Akan kulakukan sebaik-baiknya!"

"Bagus! Tinggalkan tempat ini sekarang ju-

ga!!"

Perempuan berpakaian merah darah ini 

rangkapkan kembali kedua tangannya di depan 

dada.

"Akan kukabarkan padamu, sepuluh hari 

mendatang!"

Habis kata-katanya, laksana ditarik setan,

perempuan ini telah berbalik dan berkelebat ke 

belakang. Gerakannya begitu cepat. Namun, ma-

sih terlihat oleh mata Kiai Alas Ireng kendati pe-

rempuan itu sudah berlari berjarak dua puluh 

tombak dari tempatnya berdiri.

Sepeninggal Iblis Kelabang, Kiai Alas Ireng 

kembangkan senyum puas. Kedua tangannya dis-

edekapkan kembali di depan dada.

"Kau tak akan berani melecehkan setiap 

perintahku, Perawan Tua! Biarpun kau mengata-

kan kau hendak membalas budi, aku lebih per-

caya karena kau takut terhadapku! Kelemahan 

seluruh ilmu yang kau miliki sudah kuketahui!"

Untuk beberapa lama orang berjubah hi-

tam ini terdiam.

"Sebaiknya, aku juga mulai melacak di 

mana Pendekar Slebor berada."

Baru habis kata-katanya, mendadak Kiai 

Alas Ireng palingkan kepalanya ke kanan. Mata 

kelabunya berkilat-kilat tajam.

"Aku mendengar suara orang berkelebat. 

Jahanam sial! Apakah Iblis Kelabang kembali la-

gi? Atau orang lain yang baru datang? Bisa jadi 

orang keparat itu sudah berada di sini sejak tadi. 

Sungguh hebat bila dia bisa hadir tanpa sepenge-

tahuanku. Huh!! Ternyata tempat ini tidak aman! 

Sebaiknya, kutunggu apa yang akan dilakukan 

orang itu sebelum aku meninggalkan tempat ini!!"

Namun tanpa dia tunggu, orang yang tadi 

didengar kelebatannya tahu-tahu telah berdiri 

berjarak dua tombak di hadapannya. Orang ini 

tegak dengan kedua kaki dibuka agak lebar.

Serta-merta Kiai Alas Ireng membentak, 

"Orang tak diundang! Sebelum kutanyakan apa 

keperluanmu di sini, sebaiknya katakan siapa 

kau adanya!!"

Orang yang berdiri di seberang balas me-

mandang. Sepasang matanya tak berkedip. Terli-

hat pula kalau dia agak berhati-hati. Lalu sambil 

angkat kepalanya, dia berkata, "Kau boleh me-

manggilku dengan sebutan Manusia Sepuluh Si-

luman!"

Terdengar dengusan melecehkan dari Kiai 

Alas Ireng. Nampak dia sama sekali tak merasa 

keder dengan kehadiran orang berjuluk Manusia 

Sepuluh Siluman.

Sebelum dia buka mulut, orang yang men-

gaku berjuluk Manusia Sepuluh Siluman yang 

berdiri diselimuti kegelapan sudah buka mulut, 

"Jangan suka meremehkan orang bila belum lahu 

siapa adanya orang! Pertanyaanmu telah kuja-

wab, sekarang katakan, apa yang kau ketahui 

tentang Rahasia Sebelas Jari!!"

Kiai Alas Ireng perdengarkan geraman sen-

git. Sepasang bola matanya mendelik memandang 

liar ke arah Manusia Sepuluh Siluman.

"Setan alas! Baru kali ini kudengar julukan 

Manusia Sepuluh Siluman! Tetapi kehadirannya 

sudah jelas! Bila dia bertanya tentang Rahasia 

Sebelas Jari, artinya dia juga menghendaki Rantai

Naga Siluman!"

Habis membatin begitu, Kiai Alas Ireng bu-

ka mulut, "Pertanyaanmu sungguh membuatku 

terkejut! Tak kupungkiri soal itu! Tetapi, aku ingin bertanya lebih dulu! Kau sendiri, apa yang 

kau ketahui tentang Rahasia Sebelas Jari?"

"Jangan membadut di hadapanku!!" meng-

guntur suara Manusia Sepuluh Siluman. Orang-

nya sudah maju tiga tindak ke muka.

Dari jarak yang semakin dekat, Kiai Alas 

Ireng dapat melihat siapa adanya Manusia Sepu-

luh Siluman. Orang itu ternyata seorang pemuda 

tampan berambut gondrong dan di keningnya me-

lingkar sebuah ikat kepala berwarna biru. Pa-

kaian yang dikenakannya biru gelap dengan cela-

na pangsi hitam. Di pinggang si pemuda yang ku-

rang lebih berusia sekitar delapan belas tahun, 

melilit sebuah tali sebesar ibu jari. 

Menyadari siapa adanya orang yang mem-

bentak, Kiai Alas Ireng bertambah murka. Seu-

mur hidupnya, baru kali ini dia dibentak orang. 

Dan yang lebih membuatnya marah, karena orang 

yang membentak masih sedemikian muda.

"Bocah yang baru lepas dari susuan! Uca-

panmu sangat terasa hingga menembus ke langit 

tujuh! Apakah kau sudah siap untuk memusnah-

kan semua impian-impian dari jalan hidupmu 

yang masih panjang, untuk mampus di tangan-

ku?"

Pemuda berhidung mancung itu, pentang-

kan senyum mengejek. Dengan gerakan lambat 

namun menampakkan isi dari ilmu yang dimili-

kinya, si pemuda melipat kedua tangannya di de-

pan dada.

"Aku tahu siapa kau ini! Kiai Alas Ireng! 

Orang yang menguasai daerah timur! Dan telah

memerintahkan perempuan bodoh berjuluk Iblis 

Kelabang untuk membunuh Pendekar Slebor! 

Kuhendaki pula nyawa pemuda itu! Tapi, sebelum 

kudapatkan Rantai Naga Siluman, aku ingin tahu 

lebih dulu darimu tentang Rahasia Sebelas Jari!!"

Makin murka kemarahan Kiai Alas Ireng 

mendengar ejekan Manusia Sepuluh Siluman. 

Tanpa buang waktu lagi, dia segera angkat tangan 

kanannya. Wuuuttt!!

Satu gelombang angin yang menderu dah-

syat, menggebrak ke arah Manusia Sepuluh Si-

luman.

Bersamaan Kiai Alas Ireng lancarkan se-

rangan, Manusia Sepuluh Siluman pun buat ge-

rakan memutar dengan tangan kanannya.

Wuusss!!

Satu gelombang angin melingkar segera 

menderu. Pusaran lingkaran angin itu terus ber-

gerak cepat, bukan hanya menahan sambaran 

angin yang dilepaskan Kiai Alas Ireng, tetapi juga 

menenggelamkan sekaligus memutus dalam ling-

karan anginnya. 

Blaaammm!!

Terdengar suara letupan keras di saat Ma-

nusia Sepuluh Siluman mengangkat tangan ka-

nan dengan cara membuka ke atas.

Di seberang, kendati tak kurang suatu apa, 

wajah Kiai Alas Ireng berubah. Apa yang diperli-

hatkan si pemuda telah membuka kedua matanya 

untuk mengetahui siapa adanya orang.

Liar matanya memandang ke arah Manusia 

Sepuluh Siluman yang sedang tersenyum dan

tangan kanannya telah kembali dilipat di depan 

dada.

Dengan suara mengandung kemarahan, 

Kiai Alas Ireng keluarkan bentakan, "Pemuda ke-

parat! Rupanya kau memang tak sayang pada 

nyawamu!"

Tertawa keras Manusia Sepuluh Siluman 

hingga tubuhnya agak bergetar. 

"Ucapanmu sungguh sangat enak sekali 

didengar! Jangan-jangan, kau yang masih sayang 

pada nyawa busukmu! Kalau begitu, cepat kau 

katakan, apa yang dimaksud dengan Rahasia Se-

belas Jari?!"

Seakan dipendam oleh kekuatan dahsyat 

sisa-sisa ketenangan Kiai Alas Ireng. Kemarahan-

nya kontan membludak naik ke ubun-ubun. Ke-

dua tangannya mengepal kuat.

Beberapa saat masing-masing orang tak 

ada yang buka suara, sebelum terdengar letupan 

dahsyat berkali-kali. Bersamaan dengan itu, ta-

nah di hadapan hingga tempatnya berdiri Manu-

sia Sepuluh Siluman, membuyar ke udara.

Memekik tertahan Manusia Sepuluh Silu-

man melihat apa yang terjadi. Sambil membuang 

tubuh ke udara dia membatin, "Gila! Satu pame-

ran tenaga dalam yang tak dapat dipandang rin-

gan! Tentunya itu telah dilancarkan oleh lelaki ja-

hanam ini melalui kepalan kedua tangannya! 

Hmmm, aku jadi ingin bermain-main dulu den-

gannya sebelum dia kubunuh!"

Masih berada di udara, Manusia Sepuluh 

Siluman mengibaskan tangan kanannya.

Wrrr! Wrrr! Wrrrr!!

Tiga angin kecil laksana anak panah mele-

cut ke arah Kiai Alas Ireng, yang hanya terse-

nyum melihatnya.

"Kepandaian tak seberapa sudah berani 

jual lagak!" tawanya sambil mendorong tangan 

kanannya ke depan.

Namun sebelum dia lakukan, mendadak 

saja tiga larik angin kecil laksana anak panah itu, 

telah keluarkan letupan keras. Menyusul letupan 

lain yang berkali-kali mengarah dan terus melesat 

ke arah Kiai Alas Ireng.

Kalau tadi si pemuda yang memekik terta-

han, sekarang ganti orang berjubah hitam ini 

yang mendongak kaget disertai pekikan. Dengan 

kedua mata terbeliak lebar, dia cepat membuang 

tubuh ke samping kanan.

Bertepatan Manusia Sepuluh Siluman 

hinggap kembali di atas tanah, Kiai Alas Ireng 

pun hinggap pula di atas tanah.

Sebelum dia buka mulut, si pemuda sudah 

menepuk tangannya berulang-ulang disertai sua-

ra, "Hebat! Pertunjukan yang sangat mengge-

maskan sekali! Bila kau melamar menjadi anggota 

sandiwara keliling, kupikir kau akan langsung di-

terima tanpa diuji lebih dulu!!"

Memerah wajah Kiai Alas Ireng mendengar 

ejekan yang sangat menyakitkan. Lebih menya-

kitkan lagi, saat disadarinya kembali, kalau orang 

yang keluarkan ejekan hanyalah pemuda yang 

masih bau kencur!


2


Kita tinggalkan dulu Kiai Alas Ireng yang 

bertambah murka mendengar ejekan Manusia 

Sepuluh Siluman. Pada saat yang bersamaan, sa-

tu sosok tubuh bangkit dari rebahannya di bawah 

pohon yang dinaungi kegelapan. Orang ini perha-

tikan dulu seorang gadis jelita berkepang dua 

yang tidur tak jauh darinya sebelum berdiri.

Kejap berikutnya, diedarkan pandangannya 

ke sekeliling hutan kecil itu. Jajaran pepohonan 

tinggi hampir-hampir menghalangi pandangannya 

menembusi kegelapan malam.

Untuk sejenak sosok yang ternyata seorang 

pemuda ini lak lakukan tindakan apa-apa. Dia 

seperti menunggu. Sepasang telinganya dipasang 

baik-baik.

"Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan. 

Hutan ini aman," desisnya sambil garuk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal. Rambut gondrongnya 

yang acak-acakan, makin bertambah tak karuan.

Kembali diliriknya gadis berpakaian biru 

muda yang tertidur dengan tubuh meringkuk. 

Ada rasa kasihan yang singgah di hati si pemuda 

yang melihat kalau gadis itu kedinginan.

Hati-hati dia beringsut mendekatinya. Se-

jenak dipandanginya wajah jelita yang menyamp-

ing itu.

"Cantik. Dan sungguh sangat disayangkan 

karena dia harus terlibat urusan yang pelik ini. 

Sebenarnya, aku tak ingin mengajaknya serta.

Urusan Rahasia Sebelas Jari masih membingung-

kanku," desis si pemuda. Tahu-tahu dia menden-

gus. "Monyet pitak! Sudah lima hari aku berusaha 

memecahkan persoalan Rahasia Sebelas Jari, tapi 

sampai saat ini belum juga berhasil kulakukan! 

Kura-kura bau! Kenapa sih aku harus terlibat 

urusan macam beginian?"

Si pemuda yang nampak sedang kesal ini, 

menggaruk-garuk kembali kepalanya yang tidak 

gatal. Dan siapa lagi pemuda yang suka memaki-

maki uring-uringan itu kalau bukan si Urakan 

dari lembah Kutukan?

Anak muda tampan yang memiliki sepa-

sang alis hitam legam menukik laksana kepakan 

sayap elang ini memang baru saja keluar dari Pu-

lau Hitam. Setelah berhasil mengetahui rahasia 

apa yang ada di Pulau Hitam, Pendekar Slebor 

mendapatkan satu teka-teki dari Eyang Mega 

Tantra. Selain rahasia di Pulau Hitam adalah 

Eyang Mega Tantra sendiri, ternyata di sana ada 

sebuah benda sakti yang bernama Rantai Naga 

Siluman. Saat itu Andika bertanya pada Eyang 

Mega Tantra, mengapa tak segera mengambil 

benda sakti itu?

Namun jawaban Eyang Mega Tantra bukan 

hanya mengejutkan, tetapi juga bikin pusing ke-

palanya. Dia harus berhasil memecahkan Rahasia 

Sebelas Jari untuk mendapatkan Rantai Naga Si-

luman. Karena bila rahasia itu tak terpecahkan, 

maka sulitlah Rantai Naga Siluman didapatkan. 

Dan yang membuat Andika makin uring-uringan, 

karena Eyang Mega Tantra mengatakan bila Rahasia Sebelas Jari tidak terpecahkan dan berarti 

Rantai Naga Siluman tak didapatkan dalam wak-

tu satu purnama, maka rimba persilatan akan 

kacau-balau (Untuk lebih jelasnya, silakan baca 

episode : "Rahasia Pulau Hitam")

Dan sekarang, anak muda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini sedang berusaha 

keras untuk memecahkan Rahasia Sebelas Jari. 

Akan tetapi sampai bonyok pikirannya, dia belum 

juga berhasil mendapatkan kejelasan. 

Keadaan ini bukan hanya membuatnya 

menjadi gemas. Tetapi juga jengkel.

"Sambel terasi! Daripada mikirin terus, 

mendingan makan nasi uduk!" desisnya asal-asal.

Kembali diperhatikan wajah jelita yang ter-

tidur nyenyak. Dada si gadis yang agak membu-

sung mengkal itu naik turun di saat napasnya 

mengalun.

Andika mendengus pelan menyingkirkan 

pikiran kotor yang sempat singgah. Lalu hati-hati 

dilepaskannya lilitan kain bercorak catur pada le-

hernya. Hati-hati pula dia menyelimuti sosok si 

gadis yang tak lain Gadis Kayangan adanya.

Memang, setelah Eyang Mega Tantra mem-

berikan Rahasia Sebelas Jari pada Pendekar Sle-

bor, gadis itu menuntut Andika untuk mencerita-

kannya.

Tetapi Andika hanya menggeleng-gelengkan 

kepalanya saja, karena dia memang tidak tahu 

secara pasti. Gadis Kayangan melirik Panemba-

han Agung yang saat itu juga berada di Pulau Hi-

tam, seolah meminta izin untuk mengikuti Pendekar Slebor. Setelah Panembahan Agung mengang-

guk, gadis itu pun segera mengikuti Andika.

Sementara itu, niat baik Andika untuk me-

lindungi si gadis dari udara yang dingin, justru 

membuat si gadis terbangun. Tersentak kaget 

murid mendiang Pemimpin Agung ini bangkit. 

Tangan kanannya nampak terangkat naik tanda 

siap lepaskan pukulan. Tetapi begitu dilihatnya 

Pendekar Slebor di hadapannya, Gadis Kayangan 

mendengus.

"Andika! Apa-apaan sih kau ini? Kau sen-

gaja mengganggu tidurku, ya?"

Dibentak seperti itu, pemuda berpakaian 

hijau pupus ini cuma nyengir.

Lalu katanya, "Maksudku baik. Ingin me-

nyelimutimu. Tapi, karena kau sudah terbangun, 

ya tidak usah. Mendingan buatku saja."

Dasar konyol, anak muda ini menarik 

kembali kain bercorak caturnya. Lalu menyelimu-

ti tubuhnya. Konyolnya lagi, dia berjongkok seper-

ti orang yang kebelet buang hajat dan tubuhnya 

sengaja digetar-getarkan seolah kedinginan.

Gadis Kayangan yang tadi gusar, justru 

tertawa melihat sikapnya.

"Mengapa kau terbangun?" tanyanya ke-

mudian. Andika menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. 

"Aku belum tidur." 

"Belum tidur? Busyet! Apa kau kebanyakan 

ngopi sore tadi di dusun yang kita lalui?"

Andika cuma nyengir. Sambil menggerak-

gerakkan tubuhnya, dipandangi wajah jelita Gadis

Kayangan. Lalu katanya, "Kau tak pantas meledek 

orang!"

Gadis Kayangan mendengus. Menekuk lu-

lut.

Sunyi meraja sesaat. Yang terdengar hanya 

suara hewan-hewan malam.

"Andika...," desis Gadis Kayangan meme-

cah kesunyian.

"Kenapa?" 

Gadis jelita berkepang dua ini melirik.

"Apakah kau belum mau menceritakan ten-

tang Rahasia Sebelas Jari yang diceritakan Eyang 

Mega Tantra padamu?"

"Aku bukan tak mau menceritakan, tetapi 

aku sendiri masih bingung."

"Bila kau bingung, kau kan bisa membagi 

persoalan itu denganku. Barangkali saja, dengan 

dua pikiran yang saling bantu, kita akan mene-

mukan apa yang ada di dalam Rahasia Sebelas 

Jari yang diberikan Eyang Mega Tantra."

Andika mengangguk-anggukkan kepalanya, 

menyetujui kata-kata Gadis Kayangan. Melihat si 

pemuda mengangguk-angguk, Gadis Kayangan 

makin bersemangat.

Sambil menggeser duduknya mendekati 

Andika dia berkata. "Kalau begitu, cepat kau ceri-

takan padaku."

"Tidak."

"Tidak?" Gadis Kayangan melotot. "Tadi 

kau mengangguk! Sekarang kau mengatakan ti-

dak! Apakah...."

"Rahasia itu bukan hanya rumit. Tetapi ju

ga sulit dimengerti."

"Katakan, katakan padaku."

Andika memandangi si gadis yang sedang 

bersemangat. Yang dipandangi balas memandang 

dengan kedua mata melebar. Rasa kantuknya te-

lah lenyap. Bahkan saking bersemangatnya, tak 

terdengar desahan napas si gadis. Mendadak An-

dika tertawa sambil mendorong kening si gadis 

dengan gemas.

"Lagakmu, ah!"

"Ayo, dong... ceritakan padaku."

"Baik, akan kuceritakan padamu...," kata 

Andika kemudian. Dia terdiam sejenak sebelum 

berkata, "Yang diberitahukan Eyang Mega Tantra 

padaku, berupa kalimat pendek. Bahkan boleh 

dikatakan, tak jelas sama sekali. Tetapi aku ya-

kin, ada makna yang tersembunyi di dalamnya."

"Iya, apa?" tuntut si gadis.

"Dia hanya mengatakan ada sebelas jari di 

dalam jiwa, satu jari adalah titik kemuliaan." 

Kening Gadis Kayangan berkerut. 

"Hanta itu?"

"Ya, hanya itu! Tapi sih, kalau mau kau 

tambahi, ya terserah!"

Gadis jelita berkepang dua ini mendengus.

"Lalu, apa yang dapat kau pikirkan tentang 

Rahasia Sebelas Jari?"

Andika mengangkat kedua bahunya. Iseng 

dia mencabut sebatang rumput dan menghisap-

hisapnya.

"Terus terang, aku belum mengetahuinya. 

Tetapi bila Rahasia Sebelas Jari dapat terpecah

kan, berarti Rantai Naga Siluman yang waktu itu 

kita lihat muncul dari dalam tanah dan lenyap 

kembali ke dalam tanah, akan berhasil dida-

patkan."

"Bagaimana bila tidak?"

"Berarti urusan rimba persilatan yang ten-

gah genting ini akan semakin genting."

"Lalu apa yang akan kau lakukan untuk 

memecahkan Rahasia Sebelas Jari?" kejar Gadis 

Kayangan yang bernama asli Winarsih ini penasa-

ran.

Andika menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu. Ada sebelas jari di dalam 

jiwa. Sebelas jari. Hmmm... manusia memiliki 

dua puluh jari. Sepuluh jari tangan dan sepuluh 

jari kaki. Tetapi, ini sebelas jari. Yang satu lagi, 

jari yang mana ya? Jangan-jangan...." Anak muda 

urakan ini menghentikan ucapannya.

Gadis Kayangan yang sudah mengetahui 

kecerdikan Pendekar Slebor, berkata tegang, 

"Jangan-jangan apa?"

Andika meliriknya dengan kening dike-

rutkan. Melihat sikap anak muda itu semakin 

terpancing rasa penasaran di hati Gadis Kayan-

gan. Dia jadi makin tegang sekarang.

"Andika katakan padaku, apa yang kau pi-

kirkan?"

Bukannya segera sahuti pertanyaan si ga-

dis, anak muda itu justru mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Jangan-jangan... Orang itu cacat...."

Mendengus Gadis Kayangan mendengar

jawaban Andika.

"Enaknya ngomong!"

"Lho, habisnya ada sebelas jari? Kita kan 

belum tahu, apa jari kaki atau jari tangan. Tapi, 

masing-masing berjumlah sepuluh buah. Ya... ka-

lau ada yang berjumlah sebelas jari, berarti ca-

cat."

"Brengsek, ah!" omel Gadis Kayangan sam-

bil berdiri. Sejenak dipandanginya sekeliling tem-

pat itu. Perutnya terasa lapar. Gadis Kayangan 

bermaksud untuk mencari makanan. Diliriknya 

Andika yang justru memandangnya dengan ken-

ing berkerut. "Dasar Brengsek!" dengusnya dalam 

hati. "Kok, dia tidak merasa bersalah ya?"

Lalu katanya, "Aku akan cari makanan!"

Tanpa menunggu sahutan Pendekar Sle-

bor, murid mendiang Pemimpin Agung itu sudah 

berkelebat meninggalkannya.

Tinggal Pendekar Slebor yang mendadak 

mendengus, lalu terdengar omelannya panjang 

pendek, "Kok dia kelihatannya sewot sih? Apa aku 

salah? Kan betul kalau kubilang cacat? Dasar 

urakan!!" (Ampun! Sebutan itu lebih pantas untuk 

si gadis atau dirinya sendiri?)

Malam semakin membentang. Udara terus 

berhembus dingin. Beberapa dedaunan bergugu-

ran, sebuah menerpa wajahnya.

Sambil membuang rumput yang dihisap-

hisapnya tadi, Andika berusaha memikirkan ten-

tang Rahasia Sebelas Jari.

"Adanya di dalam jiwa," desisnya dengan 

kening berkerut. "Di dalam jiwa. Bukankah itu

berarti perasaan? Tetapi, apa iya perasaan? Satu 

jari adalah titik kemuliaan. Busyet! Kalau me-

mang ini menyangkut perasaan, bagaimana hu-

bungannya dengan Rantai Naga Siluman? Menu-

rut Eyang Mega Tantra, bila aku berhasil meme-

cahkan Rahasia Sebelas Jari, maka aku akan 

mengetahui caranya untuk mendapatkan Rantai 

Naga Siluman. Monyet gundul! Kok justru sema-

kin pusing saja kepalaku!!"

Kembali dicobanya untuk memikirkan lebih 

lanjut.

"Rahasia Sebelas Jari. Aku yakin, teka-teki 

ini berada pada kata sebelas jari. Tetapi, apa 

maksudnya? Mengapa harus dikatakan sebelas 

jari?"

Menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal anak muda ini. Lalu perlahan-lahan Andika 

berdiri. Dipentangkan kedua tangannya sambil 

menghela napas.

"Huh! Pusing kepalaku!"

Diarahkan pandangannya ke arah perginya 

Gadis Kayangan tadi. Dan dia mendesis lagi, 

"Mencari makanan malam begini, sudah tentu 

yang didapat hanyalah ayam, burung atau kelinci 

hutan. Biar cepat, lebih baik aku membuat api 

unggun saja."

Memutuskan demikian, Andika segera 

mengumpulkan beberapa batang ranting. Namun 

sebelum dia membuat api, mendadak didengar-

nya teriakan keras, "Andikaaaa!!"

Teriakan keras itu dibaluri dengan ketaku-

tan yang tinggi.

Tanpa hiraukan lagi niatnya semula, Andi-

ka segera berkelebat ke arah suara tadi, yang di-

kenalnya sebagai suara Gadis Kayangan.

Cukup lama dia harus mencari di mana 

asal suara itu berada, sebelum akhirnya dia me-

nemukannya. Dan anak muda ini sampai surut 

satu tindak ke belakang melihat pemandangan di 

hadapannya.

Di hadapannya, seorang lelaki tinggi besar 

tengah menenteng sosok Gadis Kayangan di ping-

gangnya. Dari sikap yang diperlihatkan oleh Gadis 

Kayangan, Andika langsung mengetahui kalau 

gadis itu dalam keadaan tertotok.

Tetapi suaranya cukup keras terdengar, 

"Andika! Tolong aku!!"


3


Sementara itu, di padang rumput yang 

luas, Kiai Alas Ireng tak kuasa untuk menindih 

amarahnya lebih lama. Kegusaran lelaki tua ber-

jubah hitam ini pada pemuda yang berjuluk Ma-

nusia Sepuluh Siluman semakin menjadi-jadi.

Kejap berikutnya dia sudah melesat ke de-

pan seraya dorong tangan kanan kirinya.

Kalau tadi hanya mencelat gelombang an-

gin belaka, kali ini disusul dengan bongkahan 

awan-awan hitam. Suara yang keluar sangat ang-

ker, seperti puluhan pedang membeset udara. 

Tanah dan rerumputan terseret.

Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman se

saat melengak melihat kedahsyatan serangan 

orang berjubah hitam.

Kali ini dia segera tekuk kedua tangannya 

seolah membentuk halangan. Napasnya ditahan 

sesaat. Mendadak diangkat kedua tangan yang 

tertekuk itu ke atas, hingga kedua sikunya te-

rangkat naik.

Serta-merta menggebah gelombang angin 

yang tak kalah mengerikannya.

Wrrrr! Wrrrr!!

Tak disangsikan lagi akibat yang terjadi be-

gitu kedua gempuran bertemu.

Blaaamm! Blaaammm!

Diiringi suara yang berdebur dahsyat, pa-

dang rumput yang diselimuti kegelapan seolah 

bergetar, disusul ambyarnya awan-awan hitam 

yang keluar dari dorongan kedua tangan Kiai Alas 

Ireng. Tanah di mana bertemunya dua tenaga ja-

rak jauh yang dahsyat itu, muncrat ke udara yang 

seketika pandangan terbungkus oleh gumpalan 

tanah.

Cukup lama tanah-tanah itu masih beter-

bangan sebelum akhirnya sirap kembali ke atas 

tanah. Begitu pemandangan dapat ditembusi 

pandangan mata, terlihat lubang yang cukup le-

bar.

Sementara itu, Kiai Alas Ireng nampak te-

lah surut tiga tindak ke belakang. Bukan hanya 

kedua tangannya saja yang bergetar, sekujur tu-

buhnya pun bergetar hebat. Bahkan tanpa dis-

adarinya, gigi-giginya saling bertemu hingga tim-

bulkan suara bergemeletuk. Menyusul dia keluarkan napas dengan cara dihentakkan. Bersamaan 

dengan itu, darah keluar dari kedua lubang hi-

dungnya. Rasa nyeri dirasakan pada kedua tan-

gannya.

Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman 

nampak tengah rangkapkan kedua tangannya di 

depan dada. Rupanya, pemuda ini hampir-hampir 

tak kuasa menahan gempuran lawan, hingga dia 

sampai jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya juga 

bergetar hebat. Dari sela-sela bibirnya meleleh da-

rah kental.

Kiai Alas Ireng yang geram karena seran-

gannya berhasil dikandaskan lawan, kali ini pen-

tangkan seringaian lebar setelah dia berhasil pu-

lihkan kembali keadaannya dan melihat apa yang 

dialami Manusia Sepuluh Siluman. Matanya yang 

menyipit berkilat-kilat tatkala dia menemukan sa-

tu pikiran yang menurutnya sangat menarik.

"Bila menuruti kata hatiku, ingin rasanya 

kubunuh pemuda celaka ini! Tetapi, aku dapat 

mempergunakan tenaganya. Dia memiliki kesak-

tian yang hanya dua tingkat berada di bawahku. 

Cukup dapat kuandalkan."

Habis membatin begitu, dia berkata sambil 

lipat kedua tangannya di depan dada.

"Orang muda! Dari kesaktian yang kau mi-

liki, tentunya kau adalah murid orang yang tak 

bisa dipandang sebelah mata! Tapi, menilik julu-

kanmu yang baru kudengar, aku yakin kalau kau 

adalah orang yang baru saja turun gunung dan 

tentunya mengemban satu tugas! Katakan pada-

ku, siapa orang yang telah memerintahkan-mu

untuk mencari tahu tentang Rahasia Sebelas Ja-

ri?!"

Masih coba alirkan tenaga dalamnya ke se-

luruh tubuhnya, Manusia Sepuluh Siluman men-

dongak. Bibirnya membentuk ejekan. Sepasang 

matanya mencorong tajam.

"Menghadapiku kau belum tentu dapat me-

lakukannya!! Pantang bagiku untuk menyebutkan 

nama Guru!!"

Kiai Alas Ireng yang memikirkan kalau dia 

dapat memperalat pemuda itu, hanya tersenyum 

mendengar ejekan orang.

"Menilik jawabanmu, nampaknya kau tak

mengelak saat kukatakan kau adalah pemuda 

yang baru saja selesai berguru! Dan tentunya, gu-

rumu yang telah memerintahkan kau untuk men-

cari keterangan tentang Rahasia Sebelas Jari! Aku 

adalah orang baik-baik! Seluruh rimba persilatan 

mengenaiku sebagai orang paling baik!"

Habis kata-katanya, Kiai Alas Ireng tertawa 

keras. Seolah tengah menyaksikan satu kelucuan 

yang mengundang tawa.

Masih tertawa dia melanjutkan kata-

katanya, "Malam ini, untuk mencabut nyawamu 

adalah sangat mudah! Dan kau tak akan bisa tu-

tupi keadaanmu yang tentunya sudah terluka da-

lam, bukan? Tetapi, aku tidak akan mencabut 

nyawa busukmu bila kau mau menjadi pesu-

ruhku yang paling setia!!"

Menggigil tubuh Manusia Sepuluh Siluman 

mendengar kata-kata orang. Namun dia sendiri 

saat ini tak berani untuk lancarkan serangan.

Jangankan lakukan itu, berdiri pun dia masih be-

lum yakin sepenuhnya untuk dapat tegak.

Sesungguhnya, Manusia Sepuluh Siluman 

memang baru saja turun gunung. Dia telah ber-

guru pada seseorang yang berjuluk Raja Siluman 

yang berdiam di Gunung Siluman. Raja Siluman-

lah yang memerintahkannya untuk mendapatkan 

Rantai Naga Siluman, dan untuk mendapatkan 

rantai pusaka itu, dia mengharuskan muridnya 

untuk mencari tahu tentang Rahasia Sebelas Jari 

yang merupakan kunci untuk mendapatkan Ran-

tai Naga Siluman.

Sudah seminggu lamanya Manusia Sepu-

luh Siluman yang memiliki nama asli Jayeng 

Gangga ini, mencoba mencari tahu tentang Raha-

sia Sebelas Jari. Dan selama tujuh hari itu dia be-

lum mendapatkan apa yang diinginkannya.

Hingga tanpa disadarinya, dia telah tiba di 

padang rumput yang sekarang dipijaknya. Semula 

dari kejauhan dia hanya melihat orang berjubah 

hitam tanpa mengetahui siapa adanya orang itu. 

Karena selama tujuh hari belum mendapatkan 

keterangan tentang Rahasia Sebelas Jari, Manu-

sia Sepuluh Siluman bermaksud untuk mena-

nyakan soal itu pada orang berjubah hitam.

Namun sudah tentu dia tak akan bertindak 

ceroboh, mengingat apa yang akan ditanyakannya 

tentunya sudah menyebar luas, seperti yang dika-

takan gurunya si Raja Siluman. Manusia Sepuluh 

Siluman mencoba mencari cara yang terbaik un-

tuk dapat mencari tahu apa yang diinginkannya.

Belum lagi ditemukan cara yang tepat, dili

hatnya satu sosok tubuh datang dari kejauhan. 

Segera saja dia berkelebat mendekat dengan per-

gunakan ilmu peringan tubuhnya.

Percakapan yang kemudian didengarnya 

antara kedua orang itu, menambah semangatnya 

untuk mendapatkan keterangan tentang Rahasia 

Sebelas Jari. Dari sebulan keduanya, dia tahu ka-

lau orang berjubah hitam berjuluk Kiai Alas Ireng 

sementara perempuan berambut kelabang berju-

luk Iblis Kelabang.

Sebelum meninggalkan Gunung Siluman, 

si pemuda telah mengetahui beberapa nama dan 

julukan orang-orang yang menguasai bagian rim-

ba persilatan. Salah satu yang diketahui dari gu-

runya, adalah Kiai Alas Ireng.

Dipikirkan lagi bagaimana caranya untuk 

mengorek keterangan tentang Rahasia Sebelas 

Jari. Dan karena sesungguhnya pemuda ini me-

mang bersifat tinggi hati dan suka mengecilkan 

orang lain, dia akhirnya memutuskan untuk 

langsung menanyakan soal itu pada Kiai Alas 

Ireng sepeninggal Iblis Kelabang.

Karena memandang rendah siapa adanya 

orang, Manusia Sepuluh Siluman kena batunya. 

Padahal, dia masih dapat menandingi Kiai Alas 

Ireng bila saja dia tidak gegabah di saat mengha-

langi sekaligus lancarkan serangan orang berju-

bah hitam.

Dan sekarang, orang berjubah hitam itu 

makin mengecilkannya dengan mengatakan tak 

akan membunuhnya bila dia mau menjadi pengikutnya.

Kesombongan itulah yang membuat Manu-

sia Sepuluh Siluman perlahan-lahan berdiri. Tan-

gan kanannya masih memegang dadanya, semen-

tara tangan kiri mengusap darah yang kini keluar 

dari hidungnya.

Pandangannya melotot gusar tak berkedip.

"Jahanam berjubah hitam! Kau terlalu 

memandang rendah orang! Kita bertarung lagi se-

karang! Persetan kau mau mengatakan tentang 

Rahasia Sebelas Jari atau tidak! Karena, malam 

ini nyawamu adalah milikku!!"

Laksana dibetot setan urat suara Kiai Alas 

Ireng, hingga mendadak saja tawanya terputus. 

Sepasang mata sipitnya membesar, hingga kelo-

paknya seperti terbuka.

Tak ubahnya air bah yang melanda sebuah 

dusun, Kiai Alas Ireng menerjang ke depan. Lesa-

tan tubuhnya menimbulkan suara angin meng-

gempur. Tangan kanan kirinya diangkat terlebih 

dahulu sebelum disentakkan ke arah Manusia 

Sepuluh Siluman.

Dilihatnya bagaimana wajah Manusia Se-

puluh Siluman tersentak kencang ke belakang. 

Dia nampak berusaha untuk hindari gumpalan 

awan-awan hitam yang menggebrak itu. Namun 

nampaknya dia tak akan mampu melakukannya.

Desss!!

Tanpa ampun sosok si pemuda terlempar 

deras ke belakang dan terbanting keras di atas 

tanah. Bersamaan tubuhnya terbanting, terden-

gar suara keluhannya. Di lain saat, teriakan lak-

sana diserbu puluhan harimau menggema di tengah malam buta bersamaan tubuhnya menggeliat 

liar dan terbanting-banting di atas tanah hingga 

tanah muncrat berulang kali.

Di tempatnya, Kiai Alas Ireng menunggu. 

Pandangannya yang menyipit berkilat-kilat penuh 

kepuasan. Bibirnya sunggingkan senyuman begi-

tu mendengar teriakan kematian Manusia Sepu-

luh Siluman.

Tiga tarikan napas kemudian, teriakan itu 

mulai mereda dan akhirnya hilang sama sekali.

Kiai Alas Ireng menyeringai.

"Itulah akibatnya bila berani menolak per-

mintaanku!!" desisnya seraya melompat untuk 

meyakini kalau Manusia Sepuluh Siluman telah 

mampus. Berjarak tiga langkah, dilihatnya ba-

gaimana wajah Manusia Sepuluh Siluman mem-

biru. Dari mulut dan hidungnya alirkan darah 

kental.

Tetapi orang berjubah hitam ini belum 

puas bila belum melihat dari dekat. Dengan lang-

kah agak bergegas dia mendekati sosok tubuh 

yang tak bergerak itu.

Senyumannya mengembang.

"Sayang kau harus mampus sekarang! Pa-

dahal, aku masih mau menerimamu sebagai pen-

gikutku bila kau mau sedikit menahan kesom-

bongan! Tetapi, manusia sombong seperti kau 

yang berani menantangku, lebih baik mampus!"

Dengan kepuasan yang makin nampak pa-

da wajah tirusnya, orang berjubah hitam ini men-

gedarkan pandangannya.

"Malam akan segera beranjak menuju pagi,

waktuku cukup banyak terbuang untuk meladeni 

pemuda sombong ini. Entah di mana saat ini Iblis 

Kelabang. Sebaiknya, aku segera meneruskan un-

tuk mencari Pendekar Slebor!"

Memutuskan demikian, orang berjubah hi-

tam ini segera berkelebat meninggalkan tempat 

itu ke arah timur.

Dan dia tidak tahu, lima tarikan napas se-

peninggalnya, sosok Manusia Sepuluh Siluman 

yang telah menjadi mayat, mendadak saja lenyap. 

Sebagai gantinya, yang nampak hanya kepulan 

asap putih belaka.

Menyusul terdengar suara orang terbatuk 

menahan sakit. Suara batuk itu ternyata berasal 

dari Manusia Sepuluh Siluman yang tengah ber-

lutut!

Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi?

Manusia Sepuluh Siluman sadar, kalau dia 

tak akan mampu menghadapi Kiai Alas Ireng da-

lam keadaan terluka dalam seperti itu. Kendati 

demikian, dia tak menyesali sikap sombongnya. 

Malah sambil tertawa-tawa, dia coba memancing 

kemarahan Kiai Alas Ireng.

Di saat lelaki berjubah hitam itu lancarkan 

serangan dan jelas akan mengirimnya ke akhirat, 

Manusia Sepuluh Siluman telah keluarkan ajaran 

dari gurunya si Raja Siluman. Dengan perguna-

kan ilmu 'Balik Mata Timbul Asap', dia dapat 

mengubah pandangan Kiai Alas Ireng, pada di-

rinya.

Yang diserang oleh Kiai Alas Ireng adalah 

jelmaan sosok Manusia Sepuluh Siluman yang

terbuat asap belaka, sementara wujudnya yang 

asli berada tak jauh dari sana.

Ilmu 'Balik Mata Timbul Asap' adalah salah 

satu ilmu siluman yang menyebabkan pemuda itu 

dijuluki Manusia Sepuluh Siluman. Julukan itu 

diberikan oleh gurunya sendiri.

Sekarang, sambil perlahan-lahan bangkit, 

Manusia Sepuluh Siluman memandang ke arah 

perginya Kiai Alas Ireng. Wajah tampannya beru-

bah laksana setan. Kemarahan telah menghan-

tuinya. Dan dia telah tanamkan niat, untuk 

membalas semua perbuatan Kiai Alas Ireng.

"Tak akan kubiarkan dia hidup lebih lama! 

Tak akan kubiarkan dia jadi lawanku untuk men-

dapatkan Rantai Naga Siluman! Manusia itu ha-

rus mampus sebelum kudapatkan Rantai Naga 

Siluman!!" desisnya penuh kemurkaan.

Diedarkan pandangan ke sekelilingnya 

yang gelap. Tahu-tahu terlihat kepalanya men-

gangguk-angguk.

"Tadi kutangkap pembicaraan, kalau orang 

yang mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari 

adalah Pendekar Slebor! Huh! Seperti apa orang 

itu? Apakah dia sebangsa manusia yang membuat 

keder orang, atau hanya cecunguk kesiangan be-

laka?! Tetapi, dialah orang yang harus kutuju! 

Sekaligus... membunuh Kiai Alas Ireng!!"

Kejap berikutnya, dengan tubuh agak lim-

bung dan tangan masih memegangi dada, pemu-

da ini meninggalkan tempat itu dengan langkah 

terhuyung. Namun dendam begitu berkobar di 

dadanya.


4


Di tempatnya, Pendekar Slebor meman-

dang tak berkedip pada lelaki tinggi besar itu. Dia 

harus mendongak saat memandang, karena so-

soknya hanya sebahu orang itu.

Gadis Kayangan yang nampak tak berontak 

dalam tentengan orang itu berseru keras, "Andika! 

Jangan jadi patung begitu! Kau harus menolong-

ku!!"

Seolah baru sadar dari keterkejutannya, 

Andika nyengir. Sementara itu, di kejauhan mulai 

nampak bias-bias matahari tanda pagi kembali 

datang.

"Busyet! Katanya kau mau mencari maka-

nan? Kok tidak tahunya bermain ayun-ayunan 

begitu?" ucapan urakannya langsung terdengar, 

padahal diam-diam Andika sedang memikirkan 

siapa gerangan lelaki tinggi besar itu.

Gadis Kayangan melotot gusar.

Orang tinggi besar yang ternyata berkulit 

hijau itu menggeram keras. Suaranya laksana 

auman harimau.

"Anak muda! Gadis ini akan kuberikan pa-

damu tanpa kurang suatu apa, asal kau dapat 

memenuhi syarat yang kuberikan!!"

Andika mengangkat kedua bahunya.

"Wah! Soal gadis itu mau kau apakan, ya 

terserah deh! Itu urusanmu dan keluargamu! 

Cuma... aku mau tahu nih, kau ini siapa sih?!"

Kontan Gadis Kayangan melotot gusar 

mendengar ucapan Pendekar Slebor. Dia sendiri 

sebelumnya sedang asyik memburu seekor kelinci 

yang tertangkap oleh pandangannya. Dan hampir 

saja dia berhasil menjebak sekaligus menangkap 

kelinci itu, mendadak pendengarannya menang-

kap getaran yang sangat kuat pada tanah.

Sedikit terkejut gadis jelita berkepang dua 

ini palingkan kepala. Sampai surut satu tindak 

Gadis Kayangan, begitu melihat satu sosok tinggi 

besar berkulit hijau tanpa pakaian, telah berdiri 

di hadapannya.

Untuk sesaat dia tak lakukan tindakan 

apa-apa kecuali pandangannya yang dibuka be-

sar-besar, memandang dada orang itu yang demi-

kian bidang. Tonjolan ototnya begitu kentara. Dan 

belum lagi dia berbuat apa-apa, mendadak saja 

tangan kanan besar itu telah bergerak untuk me-

nangkapnya. Gerakan tangan besar itu, menim-

bulkan kesiur angin yang keras.

Sudah tentu Gadis Kayangan tak mengin-

ginkan dirinya disambar oleh orang tinggi besar 

yang baru pertama kali dilihatnya. Dengan per-

gunakan kelincahannya, dia berkelit. Namun baru 

saja dia berhasil hindari sambaran tangan kanan 

orang berkulit hijau itu, tangan kiri orang itu su-

dah menyambar kembali.

Memekik kaget Gadis Kayangan sambil le-

paskan pukulan tangan kanan untuk memapaki 

sambaran tangan kiri lawan.

Bukkk!!

Benturan terjadi dan nampak sosok Gadis

Kayangan tergontai-gontai ke belakang. Tangan 

kanannya dirasa nyeri bukan main. Sementara 

itu, orang tinggi besar berkulit hijau keluarkan 

gerengan yang sangat keras. Wajahnya sangat 

kaku.

Mendadak dia maju tiga langkah ke depan. 

Saat kedua kakinya menginjak tanah saat me-

langkah, terdengar suara debukan yang keras. 

Tangan kanan kirinya kembali bergerak berusaha 

menyambar Gadis Kayangan. 

Semula Gadis Kayangan sudah memu-

tuskan untuk segera meninggalkan orang ini. 

Akan tetapi, dua sambaran tangan orang itu 

membuatnya harus bersiaga. Gadis Kayangan tak 

sempat keluarkan ilmu yang dimilikinya, karena 

tangan kiri orang itu sudah menyambar tangan 

kanannya dan menyentak.

Laksana ditarik setan, tubuh Gadis Kayan-

gan yang mungil sudah tertarik ke arahnya. Sebe-

lum murid mendiang Pemimpin Agung ini berbuat 

sesuatu, tangan kanan orang tinggi besar berkulit 

hijau telah menotoknya.

Dalam keadaan tak berdaya seperti itu na-

mun mulut yang masih dapat berbunyi, dia berte-

riak keras dengan harapan Andika dapat men-

dengarnya.

Tetapi pemuda yang diharapkannya mem-

bantu, justru bersikap seenak jidat saja.

Sementara itu, orang tinggi besar tanpa ba-

ju itu menggereng keras.

"Aku Kala Ijo!" serunya menyahuti perta-

nyaan Andika tadi.

"Busyet! Itu nama atau julukan? Tetapi 

yang pasti, dia memang sangat cocok mengguna-

kan sebutan itu," desis Andika sambil garuk-

garuk kepalanya. Sepasang matanya tak berkedip 

ke depan. Dia tak akan berdiam diri bila terjadi 

sesuatu pada Gadis Kayangan. Kalaupun tadi dia 

berkata demikian, karena hendak mencari tahu 

siapa adanya orang tinggi besar itu.

Kemudian dia berkata, "Kala Ijo! Nama itu 

pantas kau sandang! Sekarang, cepatan sedikit, 

apa yang akan kau jadikan syarat buatku menda-

patkan gadis bengal itu kembali?!"

Sepasang mata besar Kala Ijo makin mem-

besar. Seluruh tubuhnya nampak dilapisi kulit 

yang sangat tebal dan berwarna hijau. Wajahnya 

kaku dan tegang. Seluruh yang ada di wajahnya 

itu besar.

"Aku mencari Pendekar Slebor! Kau kata-

kan di mana dia berada, maka akan kuberikan 

gadis ini padamu!!"

Seperti disentak setan kepala Andika me-

lengak ke belakang. Di lain saat dia sudah bersi-

kap normal kembali. Kendati demikian hatinya 

mendadak terasa tidak enak.

Jelas kalau Kala Ijo sedang mencarinya. 

Hanya saja, dia tidak tahu seperti apakah rupa 

orang yang dicarinya.

"Bila kau mencari Pendekar Slebor, kebetu-

lan sekali kemarin sore aku berjumpa dengan-

nya!"

Habis Andika berkata demikian, Kala Ijo 

melepaskan tentengan tangannya pada tubuh

Gadis Kayangan. Kontan si gadis ambruk. Dia 

nampak hendak memaki-maki, tetapi begitu dili-

hatnya tatapan Andika serius ke arahnya, si gadis 

cuma dapat menelan kejengkelannya.

"Bagus bila kau mengetahuinya! Ke mana 

Pendekar Slebor pergi?!"

"Wah! Kalau soal itu sih aku tidak tahu! 

Tetapi, dia menuju ke arah timur! Ngomong-

ngomong... ada apa sih kau mencari Pendekar 

Slebor?!"

"Anak muda keparat! Berani lancang di ha-

dapan Kala Ijo, berarti kematian yang akan kau 

terima!!" geram Kala Ijo dengan suara menggele-

gar.

Kendati kaget mendengar suaranya, Andika 

cuma mengangkat kedua bahunya saja.

"Aku kan cuma bertanya, kalau kau tidak 

mau menjawab, ya tidak apa-apa."

Kala Ijo nampak terdiam. Wajah kakunya 

nampak semakin kaku. Lalu dengan tangan ka-

nan tertuding ke arah Andika dia berkata, "Aku 

menginginkan Rahasia Sebelas Jari!!"

"Kutu landak! Rupanya Rahasia Sebelas 

Jari sudah menyebar! Kalau begini caranya, su-

dah tentu bukan hanya dia seorang yang hendak 

mencari tahu sekaligus memecahkan Rahasia Se-

belas Jari! Tetapi tentunya, mereka harus menge-

tahui dulu, apa isi rahasia itu!" batin Andika 

sambil memandang orang di hadapannya.

Gadis Kayangan sendiri terkejut menden-

gar ucapan orang tinggi besar berkulit hijau.

"Celaka! Nampaknya rahasia yang diberi

kan Eyang Mega Tantra pada Pendekar Slebor te-

lah meluas...." Sementara itu Kala Ijo berkata lagi, 

"Cepat kalian menyingkir dari sini! Bila dalam tiga 

kejapan mata masih berada di sini, maka nyawa 

kalian berdua akan kucabut!!"

Andika yang merasa telah cukup untuk 

mengetahui apa tujuan Kala Ijo mencari dirinya, 

buru-buru rangkapkan kedua tangannya di depan 

dada. Masih rangkapkan kedua tangannya, dia 

membungkuk berulang kali.

"Pergiii!!" menggelegar suara Kala Ijo.

"Busyet! Galak amat sih? Awas ya, lain kali 

kutusuk perutmu biar jadi orang kerdil!" gerutu 

anak muda urakan ini sambil melangkah mende-

kati Gadis Kayangan.

Begitu dilihatnya Gadis Kayangan hendak 

membuka mulut, dia berkata, "Jangan bicara du-

lu. Kita menyingkir dari sini."

"Aku ditotok," bisik Gadis Kayangan.

"Aku tahu. Akan kucari totokan itu dan 

kubebaskan kau," sahut Andika balas berbisik.

Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, 

Andika mengangkat tubuh Gadis Kayangan dan 

membopongnya. Sebelum dia meninggalkan tem-

pat itu, dia berkata pada Kala Ijo

"Oya! Kalau kau sudah bertemu dengan 

Pendekar Slebor, baiknya kau katakan padaku, 

ya? Kalau kau tidak bertemu denganku, kirim su-

rat saja!!"

Masih menyimpan bergumpal pertanyaan 

di dalam dadanya, Pendekar Slebor segera berke-

lebat cepat dari sana.

Sementara itu, Kala Ijo yang memang ber-

hati kaku, sungguh tak mengerti apa yang dimak-

sudkan anak muda tadi. Dia hanya keluarkan 

dengusan sebagai sahutan ucapan Andika.

Lalu dia arahkan pandangannya ke depan. 

Sepasang mata besarnya bergerak-gerak tidak sa-

bar.

"Aku harus berjumpa dengan Pendekar 

Slebor. Dialah orang yang kudengar mendapatkan 

amanat untuk memecahkan Rahasia Sebelas Jari 

yang diberikan Eyang Mega Tantra. Harus kuceri-

takan tentang Rantai Naga Siluman. Dan pemuda 

itu harus tahu, kalau bahaya sedang mengin-

tainya," desisnya dengan wajah tetap kaku. 

Orang tinggi besar berkulit hijau ini ter-

diam. Kedua bahunya nampak bergerak-gerak. 

Dua kejapan berikutnya, orang tinggi besar ber-

kulit hijau ini segera memutar arah. Lalu segera 

meninggalkan tempat itu. Setiap kali dia melang-

kah, terdengar suara berdebuk-debuk yang san-

gat keras.

***

"Andika, mengapa kau tak mengatakan ka-

lau engkaulah Pendekar Slebor?" tanya Gadis 

Kayangan setelah totokannya dibebaskan dan se-

potong paha ayam panggang masuk ke perutnya.

Andika yang lagi berusaha untuk menda-

patkan sisa-sisa daging ayam panggang yang se-

dang dimakannya, menyahut, "Aku belum menge-

tahui siapa adanya Kala Ijo. Bisa jadi, selain untuk mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari, dia 

juga bermaksud akan membunuhku setelah itu."

"Lawan saja!"

Andika langsung palingkan kepala. Ma-

tanya melotot.

"Enak saja ngomong! Apa kau tidak lihat

badannya dua kali besar badak?!"

Tertawa nyaring Gadis Kayangan menden-

gar selorohan anak muda urakan itu. Hatinya 

yang selama ini memendam rasa cinta pada Andi-

ka, semakin membesar. Dan bunga-bunga cin-

tanya terus bermekaran.

"Lantas, apa yang akan kita lakukan seka-

rang?" tanyanya kemudian.

Andika melempar tulang-tulang ayam yang 

dipegangnya. Entah di mana jatuhnya tulang-

tulang ayam itu, karena lesatannya laksana anak 

panah.

"Aku tidak tahu."

"Lho, mengapa kau tidak tahu?"

"Kok aku tidak tahu malah heran? Hei, aku 

ini bukan orang yang serba tahu!"

"Ya... kupikir kau sangat cerdik, tidak ta-

hunya... kau malah kebingungan sekarang."

"Aku bukan hanya bingung, tapi super bin-

gung! Rahasia Sebelas Jari bukan masalah en-

teng. Dan sialnya, waktu yang kupunyai hanya 

sampai purnama bulan ini. Kau ini bukannya 

membantu, malah tertawa-tawa!"

"Apa yang harus kubantu? Memijitmu?"

"Kalau kau mau, ya silakan saja!"

"Huh! Tak sudi aku memilih orang yang

penuh kudis begitu!"

"Hei!" Andika melotot. "Bicara sembaran-

gan! Apakah kau tidak tahu kalau aku ini orang 

yang paling baik di antara sepuluh orang?"

"Kalau kau yang paling baik, berarti yang 

sembilan orang lagi berhati jahat dong?"

"Nah! Kau telah mengambil penilaian yang 

sangat bagus! Sembilan orang itu memang berhati 

jahat! Tetapi ya... tidak semuanya, kan?"

Gadis Kayangan yang menganggap ucapan 

Andika hanya ngawur saja, tertawa lagi.

"Kenapa kau tidak mengatakan kau mem-

punyai dua kepribadian? Yang satu jelek dan 

yang satu bagus?"

"Kalau begitu, ada sebelas orang dong?" ba-

las Andika sambil nyengir.

"Kau bilang ada beratus-ratus aku juga ti-

dak peduli! Eh, aku mau mandi dulu ah!"

"Jangan jauh-jauh, nanti kau...," menda-

dak anak muda urakan ini memutus kata-

katanya sendiri. Keningnya seketika nampak ber-

kerut dan jelas kalau dia tengah memikirkan se-

suatu.

Gadis Kayangan tak pedulikan sikap Andi-

ka yang bengong kayak macan ompong itu. Sam-

bil tertawa-tawa, dia segera meninggalkan tempat 

itu untuk mencari sungai atau mata air.

Sepeninggal Gadis Kayangan, kening Andi-

ka semakin berkerut saja. Dia tak berkata apa-

apa ataupun lakukan tindakan apa-apa. Cukup 

lama dia berdiam diri seperti itu sebelum kemu-

dian terlihat kepalanya mengangguk-angguk. Mu

lutnya nampak mulai berkomat-ka-mit, tetapi tak 

ada suara yang terdengar. Sampai kemudian dia 

menarik napas pendek.

"Barangkali memang itu...," katanya pelan, 

seperti khawatir didengar orang. "Ada sebelas jari 

di dalam jiwa satu jari adalah titik kemuliaan.

Apakah bukan itu maksudnya. Sebelas jari itu 

ada di dalam jiwa, satu jari adalah titik kemu-

liaan. Tadi secara bergurau, kukatakan pada Ga-

dis Kayangan, kalau aku adalah orang yang pal-

ing baik dari sepuluh orang. Berarti, ada sembilan 

orang di luar diriku. Dan berjumpa sepuluh den-

ganku. Tetapi, Gadis Kayangan mengatakan, ba-

gaimana kalau aku memiliki dua kepribadian? 

Secara tak langsung akan berjumlah sebelas 

orang. O... tidak, tidak... bukan sebelas orang. Te-

tapi sebelas jiwa. Ya, ya... satu jari adalah titik 

kemuliaan. Apakah yang dimaksud dari Rahasia 

Sebelas Jari, adalah orang yang berjumlah sepu-

luh, kemudian salah seorang memiliki dua kepri-

badian?"

Anak muda ini kembali terdiam. Diperas 

otaknya untuk memikirkan kemungkinan dari ja-

waban Rahasia Sebelas Jari.

Lalu terlihat kepalanya digeleng-gelengkan.

"Ah, terlalu cepat aku mengambil kesimpu-

lan seperti itu. Barangkali memang bukan itu ja-

waban dari Rahasia Sebelas Jari. Kalau memang 

bukan, apa lagi? Kutu loncat! Otakku jadi kayak 

otak kerbau sekarang!! Dasar monyet pitak!!"

Kalau tadi dia kelihatan berpikir keras, kali 

ini kelihatan dia cengar-cengir tak karuan. Mu

lutnya berucap panjang pendek tak jelas.

"Dasar urakan! Masa cuma ngomong begitu 

saja, merupakan jawaban?! Huh!! Mendingan aku 

mencari Gadis Kayangan saja! Siapa tahu dia su-

dah menemukan sungai dan aku bisa...," menda-

dak anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan ini berdiri. "Pokoknya asyiiikkkk!!"

Lalu dengan pikiran yang dia ketahui sen-

diri, dia sudah berlari ke arah perginya Gadis Kayangan.


5


Jalan setapak itu lengang. Di sana-sini 

ranggasan semak belukar setinggi dada seolah 

menjadi pagar di kanan kiri jalan setapak itu. An-

gin berhembus sejuk. Matahari telah turun dari 

titik tengahnya sejak dua penanakan nasi tadi. 

Hingga jalan setapak itu tak diganasi teriknya si-

nar matahari.

Mendadak saja kelengangan terhapusi oleh 

gemuruh angin yang sangat keras. Menyusul 

munculnya dua sosok tubuh berpakaian abu-abu 

gelap panjang. Dua orang yang ternyata laki-laki 

setengah baya ini, berwajah mirip satu sama lain. 

Rambut masing-masing orang dikepang dua. Di 

pinggang keduanya terselip sebatang parang be-

sar.

Orang yang berada di sebelah kiri mende-

sis, "Alung Gaganda! Apakah aku tadi tidak salah 

melihat, kalau kulihat kelebatan hijau dan biru

muda melalui jalan setapak ini?"

Orang yang di sebelah kanan dan berwajah 

mirip dengan orang yang ajukan tanya tadi, men-

ganggukkan kepala. Sambil pandangi kejauhan 

melalui jalan setapak itu dia mengangguk-

anggukkan kepala.

"Kau tidak salah! Aku pun melihatnya!"

"Apakah kau ingat tentang ciri orang yang 

kita cari?"

"Ya! Dia mengenakan pakaian hijau muda 

dan di lehernya melilit kain bercorak catur."

"Bagaimana dengan bayangan hijau tadi? 

Adakah kau juga melihat sehelai kain yang melilit 

pada lehernya?"

Alung Gaganda menganggukkan kepa-

lanya.

"Kau benar, Agung! Jelas kalau salah seo-

rang dari dua bayangan tadi adalah orang yang 

kita cari!"

Kejap berikutnya tak ada yang keluarkan 

suara. Kedua orang berwajah mirip satu sama 

lain ini, dikenal dengan julukan si Kembar Parang 

Maut. Sungguh sulit membedakan yang mana 

Alung Gaganda dan yang mana Agung Gaganda. 

Namun sebenarnya ada cara yang dapat membe-

dakan masing-masing orang.

Di lengan kanan Agung Gaganda yang ter-

tutup tangan panjang pakaiannya, terdapat bekas 

luka. Itu disebabkan ketika dia masih kecil, ter-

sangkut akar pohon tatkala berenang di sebuah 

sungai. Akan tetapi, karena pakaiannya berlengan 

panjang, sudah tentu sulit untuk melihat tanda

bekas luka itu.

Agung Gaganda berkata, "Biar kita tidak 

terlalu banyak buang waktu, kita berpencar un-

tuk mencari pemuda itu! Dialah satu-satunya 

orang yang mengetahui tentang isi Rahasia Sebe-

las Jari! Berita tentang Pulau Hitam telah menye-

bar luas! Aku yakin akan banyak orang-orang 

yang memburu pemuda dari Lembah Kutukan 

itu. Dan sudah tentu kita tak boleh terlambat un-

tuk mengetahui sekaligus memecahkan Rahasia 

Sebelas Jari. Rantai Naga Siluman harus kita mi-

liki!"

Setelah melihat kepala adik kembarnya 

mengangguk, Agung Gaganda segera berkelebat 

mengikuti jalan setapak yang telah dilalui bayan-

gan hijau dan biru muda yang dilihatnya.

Alung Gaganda sendiri mengambil jalan 

agak serong ke kanan, sebelum meluruskan lang-

kah sejajar dengan arah yang ditempuh oleh 

Agung Gaganda.

Berjarak tiga puluh tombak dari masing-

masing orang yang berkelebat, bayangan hijau 

dan biru muda yang berkelebat sebelumnya dan 

tak lain Pendekar Slebor serta Gadis Kayangan, 

menghentikan lari mereka masing-masing.

Kedua remaja itu tak ada yang buka suara. 

Mereka edarkan pandangan ke sekeliling yang di-

tumbuhi pepohonan tinggi.

Dua kejapan mata kemudian, terdengar 

suara Gadis Kayangan, "Andika! Mau apa kita te-

rus menerus berlari seperti ini? Bukankah lebih 

baik memecahkan tentang Rahasia Sebelas Jari?"

Yang ditanya palingkan kepala, lalu nyen-

gir sambil garuk-garuk kepalanya.

Diam-diam dia membatin, "Gadis ini me-

mang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sebagai 

pewaris ilmu Pemimpin Agung, dia memang boleh 

dikatakan tak dapat dipandang sebelah mata. Te-

tapi aku yakin, dia belum sepenuhnya mewarisi 

ilmu Pemimpin Agung. Dan nampaknya, dia ma-

sih terus terpaku dengan Rahasia Sebelas Jari. 

Memang sungguh repot bila berjalan dengan seo-

rang gadis seperti ini. Tetapi, sudah tentu aku tak 

dapat meninggalkannya, karena aku telah men-

cium keadaan yang semakin lama bertambah pa-

rah."

Sementara itu Gadis Kayangan mendengus, 

"Ditanya bukannya menjawab, malah nyengir!" '

"Busyet! Kok kau senang banget memben-

tak ya? Iya, iya, kukatakan mengapa kita harus 

berlari?"

"Apa?!" sentak Gadis Kayangan.

"Karena kita tidak sedang merangkak! Ha-

haha...!"

"Brengsek!"

Andika tertawa melihat bibir si gadis cem-

berut. Sesungguhnya, dengan kehadiran Kala Ijo, 

Andika merasa pasti kalau akan banyak lagi 

orang-orang rimba persilatan yang muncul. Dan 

semua ini tentunya berkaitan dengan Rahasia Se-

belas Jari yang sudah tentu berhubungan dengan 

cara mendapatkan Rantai Naga Siluman.

Itulah sebabnya, Andika tak mau berdiam 

menetap disatu tempat untuk memikirkan tentang Rahasia Sebelas Jari. Karena dia merasa 

pasti, kalau nyawanya tengah menjadi intaian 

orang-orang serakah.

"Huh! Dasar urakan! Brengsek! Ngomong 

seenak jidat saja!" dengus Gadis Kayangan sambil 

melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ya... kalau aku urakan, brengsek, suka 

ngomong seenak jidat, kenapa kau mau berjalan 

bersamaku? Hayo, kenapa?!" sahut Andika sambil 

memajukan kepala dan memonyongkan mulut-

nya.

Sebenarnya, Andika cuma bermaksud 

menggoda saja, tetapi wajah Gadis Kayangan 

memerah. Untuk sesaat dia hanya melotot dan 

makin lama nampak dia agak gelagapan. Kejap 

berikutnya, buru-buru dia palingkan kepala ke 

tempat lain.

E dasar urakan, Andika justru terus meng-

godanya, "Hayo, malu ya? Malu? Tidak usah malu 

deh. Kalau kamu memang...."

"Memang apa, hah?!" Gadis Kayangan me-

lotot. Kedua tangannya berkacak di pinggang.

"Memang... malu... hahaha...."

"Brengsek!" cemberut Gadis Kayangan den-

gan wajah makin memerah. Dan tak tahan digoda 

terus menerus, dia memutuskan untuk mening-

galkan Andika dulu.

"Hoooiii! Mau ke mana luh? Ada orang yang 

lagi malu! Ada orang yang malu-maluin!" teriak 

anak muda itu makin konyol sambil pandangi te-

rus punggung Gadis Kayangan yang berkelebat.

Hati Gadis Kayangan menggeram gemas

dan malu mendengar teriakan Andika. Tetapi se-

telah meyakini kalau di sekitar sana cuma ada dia 

dan Andika, dia pun terus meninggalkan tempat 

itu.

"Brengsek!" desisnya.

Sepeninggal Gadis Kayangan, Andika ter-

tawa sendirian. Merasa lucu dengan gurauannya 

sendiri. Lalu diperhatikan sekelilingnya.

"Kupikir, ini saat yang tepat untuk memi-

kirkan tentang Rahasia Sebelas Jari, mumpung 

Gadis Kayangan sedang tak ada di sini. Kalau ada 

dia, urusanku jadi terganggu terus."

Lalu dia berjalan mendekati sebuah pohon 

besar.

Belum lagi dia duduk di bawah pohon itu, 

mendadak saja kepalanya dipalingkan ke kanan. 

Karena saat itu pendengarannya menangkap satu 

gerakan orang.

"Busyet! Apakah Gadis Kayangan sudah 

kembali lagi? Tetapi, tadi dia bergerak ke arah 

kanan? Lalu suara itu berasal dari arah kiri? Apa 

dia sengaja memutar? Atau... ada orang lain yang 

telah tiba di tempat ini?" desisnya dengan kedua 

mata dibuka lebih lebar.

***

Andika menunggu tanpa keluarkan suara. 

Dua kejapan berikutnya, apa yang ditunggunya 

telah nampak di hadapannya. Yang datang ter-

nyata seorang lelaki setengah baya berpakaian 

panjang warna abu-abu yang telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Rambut 

orang itu dikepang dua. Dia adalah Agung Ga-

ganda, salah seorang dari si Kembar Parang 

Maut.

Untuk sesaat masing-masing orang tak ada 

yang buka suara. Pandangan keduanya memper-

hatikan dengan seksama satu sama lain. Senja 

semakin menurun. Di kejauhan nampak langit 

dihiasi bias-bias merah yang indah.

Agung Gaganda maju dua tindak ke muka.

"Anak muda! Kau tak perlu mungkir bila 

kukatakan, kau adalah Pendekar Slebor!"

Sesaat Andika tak sahuti ucapan orang. 

Kejap berikutnya, masih pandangi orang di hada-

pannya, Andika menyahut, "Lho? Kok aku ditu-

duh mungkir? Perlunya apa? Kalau kau memang 

yakin aku adalah Pendekar Slebor, kan tidak per-

lu bertanya lagi! Ayo, bilang deh! Ada apa ini? 

Apakah kau ingin meyakinkan betapa tampannya 

parasku? Atau... kau tidak percaya kalau wajah-

mu tak seberapa dibandingkan dengan wajahku?"

Memerah wajah Agung Gaganda menden-

gar selorohan orang. Tangan kanannya menuding. 

Lengan panjangnya agak tersingkap, dan Andika 

dapat melihat bekas luka pada lengan kanan 

orang.

"Beri tahu aku tentang isi Rahasia Sebelas 

Jari, maka kau akan dapat melihat matahari be-

sok pagi?!"

"Hmmm... dugaanku tepat, kalau bukan 

hanya Kala Ijo yang ingin tahu tentang Rahasia 

Sebelas Jari. Manusia ini pun telah kemukakan

pula apa keinginannya. Tentunya, masih ada 

orang yang menginginkan tentang hal itu."

Habis membatin demikian, Pendekar Slebor 

berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya yang 

tidak gatal, "Kalau aku besok pagi masih tidur 

dan terus menerus memejamkan mata hingga 

malam tiba, ya jelas aku tidak akan bisa melihat 

matahari lagi. Tetapi kalau kubuka kedua mata-

ku, kan masih dapat melihat? Iya, nggak? Iya, 

nggak?"

Si Kembar Parang Maut adalah orang-

orang yang tak bisa diajak bergurau. Mereka sela-

lu menekankan pada prinsip, siapa pun orangnya 

yang menolak apa yang mereka inginkan, maka 

lebih baik mati.

Perasaan amarah pun sudah memenuhi 

rongga dada Agung Gaganda.

Suaranya keras saat berseru, "Jangan coba 

memuslihatiku dengan ucapanmu itu! Aku tahu, 

kau sedang memikirkan cara untuk melarikan di-

ri?!"

Kontan tertawa keras anak muda dari 

Lembah Kutukan ini. Masih tertawa dia berucap, 

"Ya, ya... kau benar! Aku memang sangat ketaku-

tan dan sedang berusaha melarikan diri! Ih! Kau 

tahu saja deh! Bagaimana kalau kau diam saja 

sementara aku meninggalkan tempat ini?!" 

"Keparaaaaattt!!" geram Agung Gaganda.

Kejap itu pula dia sudah mencelat ke de-

pan. Tangan kanan kirinya digerakkan ke atas ke 

bawah menyusul disentakkan ke depan. Kesiuran 

angin angker lebih dulu menggebrak sebelum ke

dua jotosannya itu mencari sasaran.

Dari gebrakan yang dilakukan oleh lawan, 

Andika tahu kalau lawan telah kerahkan separo 

tenaga dalamnya. Dia pun tak ingin membuang 

waktu pula. Apalagi begitu teringat, kalau wak-

tunya hanya sampai purnama bulan ini untuk 

dapat memecahkan Rahasia Sebelas Jari.

Setelah berhasil hindari gebrakan angin 

yang keluar mendahului jotosan Agung Gaganda, 

dengan kerahkan tenaga "Inti Petir' tingkat ke-

sembilan, dia menggebrak pula. Suara laksana 

salakan petir terdengar keras sebelum kedua tan-

gannya berbenturan dengan tangan kanan kiri 

Agung Gaganda. 

Dess! Dess!!

Benturan keras terjadi dan masing-masing 

orang surut tiga tindak ke belakang. Wajah Agung 

Gaganda terkesiap kaget. Tanpa sadar dia cukup 

lama menatapi kedua lengannya yang terasa ngilu 

dan perlahan-lahan terlihat membiru.

Di seberang Pendekar Slebor sendiri terke-

jut merasakan kedua tangannya seperti patah. 

Buru-buru dialiri tenaga dalamnya untuk mengu-

sir rasa ngilu yang mendera.

"Kutu loncat! Tenaga dalamnya begitu ting-

gi! Busyet! Siapa dia sebenarnya? Berita tentang 

Rahasia Sebelas Jari yang kudapatkan dari Eyang 

Mega Tantra rupanya memang sudah menyebar! 

Celaka sembilan setengah! Sudah tentu bukan 

hanya dia seorang dan Kala Ijo yang mengingin-

kan semua ini! Kalau begini...."

Memutus kata batinnya sendiri, terlihat

sepasang mata anak muda urakan ini terbeliak. 

"Celaka! Apa yang dialami oleh Gadis Kayangan 

sekarang? Menilik keadaan, nampaknya orang-

orang akan terus memburuku. Bisa jadi sebagian 

orang yang ingin tahu tentang Rahasia Sebelas 

Jari, ada yang mengetahui kalau Gadis Kayangan 

bersama-samaku. Berarti... monyet pitak! Nyawa-

nya pun akan menjadi taruhan dalam hal ini!!"

Berjarak delapan langkah, Agung Gaganda 

telah mengangkat kepala. Sepasang matanya 

membesar gusar memperhatikan pemuda berpa-

kaian hijau pupus itu.

"Tenaganya sungguh hebat! Wajar kalau 

dia adalah pengemban amanat dari Eyang Mega 

Tantra. Tetapi, dia telah menolak untuk mengata-

kan tentang Rahasia Sebelas Jari! Hatiku sudah 

cukup puas bila dia mampus dan Rahasia Sebelas 

Jari terkubur selama-lamanya, hingga tak seo-

rang pun yang mendapatkan Rantai Naga Silu-

man!"

Memutuskan demikian, Agung Gaganda 

buka mulut lagi, "Pendekar Slebor! Keputusan 

ada di tanganmu! Kau tetap bungkam untuk 

mengatakan tentang Rahasia Sebelas Jari dan itu 

berarti...."

"Apa sekarang kau akan mengatakan aku 

tidak akan dapat melihat rembulan nanti ma-

lam?" putus Pendekar Slebor, lalu meleletkan li-

dahnya.

Sikapnya makin memancing kemarahan 

Agung Gaganda.

"Kau telah lancang bersikap di hadapan

Agung Gaganda! Mampuslah!!"

Menyusul dia menyentakkan kedua tan-

gannya ke depan.

Wuassss!!

Serta-merta menggebrak gelombang angin 

yang menyeret tanah dan rerumputan ke arah 

Pendekar Slebor.

Yang diserang sadar kalau lawan memang 

tak mau bertindak setengah-setengah. Karena ke-

jap berikutnya, orang itu sudah melesat ke depan. 

Parang besar yang ada di pinggangnya telah dica-

but dan siap memecah rengkah kepala Andika.

Wuuutttt!!

Segera saja Pendekar Slebor melompat ke 

samping kiri hindari gempuran angin lawan. Ber-

samaan dengan itu, dia miringkan tubuh.

Wuuut!!

Ayunan parang besar yang siap merengkah 

pecah kepalanya luput. Desingan angin yang di-

timbulkan ayunan parang besar itu, membuat te-

linga kanannya terasa tidak enak.

Gebrakan parang yang dilakukan salah 

seorang dari si Kembar Parang Maut ini, adalah 

serangan yang dilakukan secara beruntun dan 

belum akan berhenti bila belum mengenai sasa-

rannya. Luput mencacak kepala Pendekar Slebor, 

mendadak Agung Gaganda memiringkan parang-

nya dan disabetkan ke arah pinggang Pendekar 

Slebor.

"Monyet pitak!" maki pemuda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini sambil bergulingan.

Dengan menumpu pada akar pohon, tu-

buhnya langsung mencelat lagi ke arah lelaki be-

rambut dikepang dua itu. Tangan kanannya yang 

telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima di-

jotoskan.

Suara laksana salakan petir terdengar ke-

ras.

Sesaat nampak Agung Gaganda terkejut. 

Tetapi di lain kejap, dia sudah dorong tangan ki-

rinya. Menderu hamparan angin yang perdengar-

kan suara angker, disusul dengan ayunan parang 

yang mengarah pada leher Pendekar Slebor.

Wuuutttt!!

"Orang utan gundul!!" maki Andika sambil 

membuang tubuh kembali ke samping kanan.

Pohon besar yang tumbuh di belakangnya 

berderak akibat sambaran gelombang angin yang 

keluar dari tangan kiri Agung Gaganda. Kejap be-

rikutnya terdengar suara bergemuruh keras saat 

pohon itu tumbang. Ranggasan semak belukar 

langsung tercabut paksa begitu terhantam tum-

bangnya pohon besar itu.

Belum habis suara gemuruh itu terdengar, 

bertepatan Andika berdiri tegak kembali di atas 

tanah dan sebelum Agung Gaganda lancarkan se-

rangan berikut, mendadak terdengar suara orang 

bertepuk tangan.

"Pertunjukkan yang sangat menarik! Kalau 

tidak salah lihat, bukankah yang menyerang Pen-

dekar Slebor adalah salah seorang dari pembegal-

pembegal busuk dari utara?!"

Segera masing-masing orang palingkan ke

pala ke kanan. Dan masing-masing melihat satu 

sosok tubuh berpakaian panjang berwarna seme-

rah darah. Sosok seorang perempuan setengah 

baya berwajah kejam. Rambut putih perempuan 

ini dikelabang!

Cukup lama tak ada yang buka suara, se-

belum terdengar desisan Agung Gaganda menge-

nali siapa adanya orang, "Iblis Kelabang!"


6



Perempuan berpakaian semerah darah 

dengan rambut dikelabang itu, memang tak lain 

Iblis Kelabang, yang telah diperintahkan Kiai Alas 

Ireng untuk mencari tahu tentang Rahasia Sebe-

las Jari dan sekaligus membunuh Pendekar Sle-

bor. 

Sepasang mata perempuan ini memandang 

tajam pada Agung Gaganda. Lalu pandangannya 

diarahkan pada Pendekar Slebor.

Pemuda yang dipandang merasa bergidik 

melihat tatapan yang begitu tajam.

"Busyet! Belum lagi tuntas urusan ini, te-

lah muncul lagi perempuan yang disebut lelaki 

berpakaian abu-abu itu dengan sebulan Iblis Ke-

labang! Menilik gelagatnya, nampak pula kalau 

dia menghendaki Rahasia Sebelas Jari. Monyet 

buduk! Aku sendiri belum dapat memecahkan ra-

hasia itu! Bisa kuperkirakan apa yang sebenarnya 

orang-orang ini inginkan. Sudah tentu Rantai Na-

ga Siluman yang berada di Pulau Hitam. Kadal

buntung! Mengapa Gadis Kayangan belum mun-

cul juga? Dalam keadaan seperti ini, kuharap dia 

tidak dahulu muncul di hadapanku."

"Pendekar Slebor! Rupanya masuk ke mu-

lut ular kau harus pindah ke mulut harimau! Te-

tapi bila ular itu mencoba mematuk korban yang 

hendak dimakan si harimau, sudah tentu hari-

mau tak akan tinggal diam!!" suara si perempuan 

nyaring terdengar, tanpa melirik pada Agung Ga-

ganda yang seketika parasnya berubah.

"Jahanam sial! Sudah tentu yang dimak-

sudnya adalah aku! Mengapa tahu-tahu perem-

puan iblis ini bisa muncul di sini?" geram Agung 

Gaganda. Terlihat dia surutkan langkah satu tin-

dak. Wajahnya nampak agak tegang sekarang. Pe-

rasaannya laksana diliputi kobaran api dalam se-

kam.

Tak ada yang keluarkan suara sama sekali. 

Senja semakin melaju menuju malam.

Iblis Kelabang buka suara, pandangannya 

tetap diarahkan pada Pendekar Slebor, "Aku akan 

bersabar menunggu untuk melihat ular itu pergi 

dengan sendirinya! Bila tidak, akan kucabik-cabik 

hingga dia kehabisan darah!"

Wajah Agung Gaganda makin diliputi rona 

merah. Sesungguhnya dia jeri menghadapi Iblis 

Kelabang yang dikenal dengan kekejian dan ke-

saktiannya. Berita terakhir yang dia dengar, sete-

lah dikalahkan oleh Panembahan Agung, Iblis Ke-

labang menghilang entah ke mana. Berita lain 

yang didengarnya, kalau dia telah diselamatkan 

oleh Kiai Alas Ireng, yang kala itu langsung menyambar dan meninggalkan Panembahan Agung.

Agung Gaganda sangat tahu sekali, kalau 

kesaktian yang dimiliki Iblis Kelabang lebih tinggi 

dari Kiai Alas Ireng. Namun perempuan itu selalu 

menjunjung tinggi balas budi dan pengabdian. 

Kendati dia dapat dengan mudah membunuh Kiai 

Alas Ireng, namun Iblis Kelabang tak mau mela-

kukannya. Bahkan dia telah serahkan nyawanya 

bulat-bulat untuk kepentingan Kiai Ahus Ireng.

Dari sikapnya yang sedemikian angker 

tanpa memandang sebelah mata padanya, Agung 

Gaganda tahu kalau Iblis Kelabang juga meng-

hendaki untuk mengetahui tentang Rahasia Sebe-

las Jari. Kendati hatinya tidak terima bila Iblis Ke-

labang yang berhasil mengetahui Rahasia Sebelas 

Jari dari Pendekar Slebor, namun dia tak mau 

banyak tingkah di hadapan perempuan kejam itu.

"Keparat sial! Tak seharusnya dia hadir se-

karang! Tapi kalau aku tetap berada di sini, su-

dah tentu dia tak akan memberi kesempatanku 

hidup lebih lama! Keparat! Ke mana perginya 

Alung Gaganda? Mengapa dia belum muncul ju-

ga? Hem... terpaksa aku harus turuti perintah pe-

rempuan celaka itu! Tetapi aku bersumpah, di-

alah orang yang akan kuburu kemudian karena 

aku yakin, Pendekar Slebor tak akan dapat ber-

buat banyak menghadapinya."

Memutuskan demikian, Agung Gaganda 

memandang dulu pada Iblis Kelabang. Pandan-

gannya dipenuhi dengan kilatan amarah dan 

dendam. Namun dia tidak mau bertindak konyol. 

Bersama-sama dengan Alung Gaganda, belum

tentu dia dapat mengalahkan Iblis Kelabang. Ja-

lan satu-satunya, memang harus menyingkir le-

bih dulu dan memikirkan cara paling licik untuk 

menghadapi perempuan berambut kelabang itu 

kelak.

Kejap berikutnya, dia sudah putar tubuh 

dan langsung berkelebat tanpa memandang sedi-

kit pun pada Pendekar Slebor.

Pendekar Slebor yang melihat punggung 

Agung Gaganda lenyap dari pandangan menden-

gus dalam hati, "Kutu monyet! Benar-benar lepas 

dari mulut ular aku masuk ke mulut harimau 

nih! Kadal buntung! Bagaimana aku dapat berpi-

kir tenang untuk memecahkan Rahasia Sebelas 

Jari kalau dikejar terus menerus seperti ini?"

Lalu dipandanginya wajah perempuan ber-

pakaian merah yang sejak tadi tak berkedip me-

mandangnya. Lamat-lamat Andika merasakan sa-

tu pengaruh kuat yang terpancar melalui tatapan 

itu. Buru-buru dia arahkan pandangan ke samp-

ing kanan.

Melihat gerakan kepalanya, Iblis Kelabang 

menggeram. Suaranya nyaring saat berucap, "Kau 

tentunya telah mendengar siapa aku adanya! Kau 

tentunya telah menebak pula apa yang kuingin-

kan! Jadi, tak perlu putar bicara lagi!!"

Mendengar ucapan orang, Andika menarik 

napas pendek.

"Tepat dugaanku. Berita tentang Rahasia 

Sebelas Jari rupanya memang telah menyebar. 

Ah, jarum jatuh di rimba persilatan ini, gaungnya 

pasti akan tersebar ke segenap penjuru. Menilik

sikap Agung Gaganda yang menjadi begitu keta-

kutan, jelas kalau si nenek memiliki kesaktian 

tinggi. Aku harus berhati-hati menghadapinya."

Sambil garuk-garuk kepala dan mencoba 

menenangkan gemuruh di hatinya, Pendekar Sle-

bor berkata, "Kau mengatakan yang sama sekali 

tidak kumengerti! Bagaimana aku dapat meme-

nuhi permintaanmu itu?!"

Mendengar sahutan Pendekar Slebor, wa-

jah Iblis Kelabang berubah. Dia segera melompat 

dan tegak lima langkah di hadapan Pendekar Sle-

bor yang masih berdiri tegak.

Lalu membentak keras, "Aku datang untuk 

mencari tahu tentang isi Rahasia Sebelas Jari! 

Apakah kau hendak bersilat lidah lagi di hada-

panku?!"

Andika justru kerutkan keningnya.

"Rahasia Sebelas Jari? Apa sih maksudmu? 

Jari tangan atau kakimu yang berjumlah sebe-

las?"

Tanpa hiraukan selorohan orang, Iblis Ke-

labang berkata makin dingin, "Kalau kau tidak 

mau katakan, berarti kau inginkan ini!!"

Habis berkata begitu, Iblis Kelabang mele-

sat ke depan. Kedua tangannya serta-merta ber-

kelebat lakukan pukulan ke arah Pendekar Sle-

bor.

Pendekar Slebor sendiri tidak tinggal diam. 

Dia cepat pula angkat kedua tangannya dipalang-

kan di atas kepala menghadang pukulan.

Bukkk! Bukkk!

Begitu pukulannya ditahan oleh Pendekar

Slebor, Iblis Kelabang mendadak saja meliuk. 

Masing-masing jari telunjuk dan tengahnya teren-

tang sementara jari-jari lainnya tertekuk. Sepin-

tas kedua jari-jari itu membentuk sungut!

Menyusul disodoknya ke depan.

Andika sendiri terkejut tatkala merasakan 

empat buah gelombang angin tajam yang keluar 

dari kedua jari telunjuk dan jari tengah si perem-

puan, menderu cepat ke arahnya.

Cepat dia buang tubuh hindar sergapan 

angin yang mengerikan itu. Menyusul dia mener-

jang ke depan. Suara salakan petir terdengar 

mendahului.

Buuk! Bukk!

Untuk kedua kalinya benturan terjadi. Iblis 

Kelabang hanya sempat bergoyang-goyang. Di lain 

pihak, sosok Pendekar Slebor langsung surut lima 

langkah ke belakang. Paras wajahnya seketika be-

rubah pucat. Kedua tangannya yang baru saja 

bentrok dengan kedua tangan Iblis Kelabang ber-

getar keras. Dan bila saja dia tak cepat kuasai ke-

seimbangan, niscaya lututnya akan tertekuk dan 

sosoknya roboh.

Melihat apa yang baru saja terjadi, Iblis Ke-

labang yang merasa harus cepat melaksanakan 

perintah Kiai Alas Ireng, tak mau menunggu la-

ma.

Sebelum Andika kuasai diri sepenuhnya, 

dia sudah menerjang dengan sapukan kaki kiri 

dan kanan. Sementara secara bersamaan tangan 

kanan dan kirinya yang jari telunjuk dan tengah-

nya terentang, bergerak menusuk!

Pendekar Slebor melengak. Cepat sekali dia 

segera angkat kedua kakinya untuk menghindari 

sapuan kaki kanan dan kiri Iblis Kelabang. Ber-

samaan dengan itu, kedua telapak tangannya di-

buka menghadang di depan mata.

Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! 

Empat gelombang angin kecil yang tadi 

mengarah pada matanya, tertahan oleh kedua te-

lapak tangannya. Namun saat itu pula terdengar 

jeritannya kaget.

"Monyet pitak! Kedua telapak tanganku se-

perti terbakar!!" dengusnya sambil mengibas-

ngibaskan kedua tangannya. Serta-merta dialir-

kan tenaga 'Inti Petir'.

Akan tetapi, sebelum penuh dilakukannya, 

Iblis Kelabang yang memang selalu tak mau ber-

tindak setengah, apalagi saat ini dia sedang men-

gemban tugas dari Kiai Alas Ireng, sudah meng-

gebrak maju. Kedua jari telunjuk dan tengah tan-

gan kanan kirinya yang terentang dan seperti 

membentuk sungut, sudah disodokkan kembali.

"Celaka!" desis Andika tatkala merasakan 

gelombang angin kecil yang tadi sempat dirasakan 

akibatnya pada kedua telapak tangannya mende-

ru, segera membuang tubuh.

Craaat!!!

Keempat gelombang angin kecil itu telah 

menerpa sebuah pohon, yang mendadak terden-

gar letupan kecil empat kali berturut-turut. Me-

nyusul terlihat kobaran api dari empat buah lu-

bang pada tubuh pohon itu.

Andika yang tadi bergulingan dan kini te

lah tegak berdiri, harus lebih waspada sekarang. 

Kendati nyawanya saat ini terancam namun pe-

muda urakan ini justru berseru konyol,

"Busyet! Jangan serius begitu, ah! Kalau 

kena, aku bisa celaka!!"

Di seberang, Iblis Kelabang memantek wa-

jah dingin tanpa senyum maupun seringaian.

"Lakukan cepat yang kukatakan, jangan 

sampai kau hanya membuang nyawa percuma!!"

"Perempuan ini memang memiliki ilmu 

yang tinggi, patut kalau Agung Gaganda melari-

kan diri. Tetapi, tak akan mungkin kukatakan 

apa isi dari Rahasia Sebelas Jari. Karena...."

Memutus kata hatinya sendiri, Andika 

memandang ke depan, tak berkedip.

Yang dipandang mendengus. "Jangan coba-

coba memuslihatiku!!"

Tanpa hiraukan ancaman orang. Andika 

mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Iya deh, aku beri tahu! Tetapi sebelum ku-

katakan, ada yang kutanyakan dulu padamu!"

"Kau telah berkehendak memenuhi keingi-

nan! Aku pun tak merasa rugi memenuhi keingi-

nanmu!"

"Apakah kau menghendaki Rahasia Sebelas 

Jari hanya untukmu, atau ada orang yang telah 

memerintahkanmu?"

"Mengapa kau bertanya demikian?!" bentak 

Iblis Kelabang dengan mata menyipit.

"Soalnya kan kau tahu sendiri, aku yang 

mengetahui tentang isi Rahasia Sebelas Jari saja 

sudah dirubung manusia seperti kau! Nah! Apa


kau punya kekuatan untuk menahan hadangan 

orang yang menginginkan niat serupa?"

Iblis Kelabang rapatkan mulutnya. Pan-

dangannya terpantek pada sepasang mata Pende-

kar Slebor.

"Ucapannya cukup masuk akal. Tetapi, 

siapa pun orangnya yang berani menghalangiku, 

berarti dia harus mampus. Aku harus melaksa-

nakan perintah Kiai Alas Ireng. Heem... apakah 

akan kukatakan siapa orang yang sebenarnya 

menginginkan Rahasia Sebelas Jari? Kulihat anak 

muda ini cukup cerdik. Bisa jadi dia sedang men-

coba memuslihatiku. Akan tetapi... setelah ku-

dengar tentang Rahasia Sebelas Jari, aku akan 

segera membunuhnya. Berarti, tak ada penga-

ruhnya bila kukatakan tentang siapa orang yang 

memerintahku."

Setelah cukup lama berpikir, Iblis Kelabang 

buka mulut, "Kau terlalu cerdik sebenarnya! Te-

tapi, hutang budi ada balasnya! Kiai Alas Ireng 

yang menghendaki semua ini."

Mendengar jawaban perempuan berpa-

kaian panjang berwarna semerah darah, Andika 

terdiam. Keningnya agak dikerutkan saat dia ber-

kata dalam hati, "Kiai Alas Ireng. Hmmm... berarti 

sudah empat orang yang kuketahui menghendaki 

Rahasia Sebelas Jari. Kala Ijo. Agung Gaganda. 

Kiai Alas Ireng dan perempuan itu sendiri. Tetapi

naluriku mengatakan masih ada orang yang akan 

turut andil dalam urusan ini. Oh! Ke mana per-

ginya Gadis Kayangan? Apakah dia benar-benar 

ngambek karena kugoda terus? Ah, aku harus bisa menyingkir dari hadapan perempuan celaka 

ini. Aku tak ingin Gadis Kayangan mendapat 

cclaka. Sebaiknya...."

"Tanya sudah dijawab! Katakan tentang 

Rahasia Sebelas Jari!!" sengat Iblis Kelabang me-

mutus kata hati Andika.

Andika mendongak, menunggu sesaat se-

belum bicara, "Sebenarnya... aku sendiri tidak ta-

hu bagaimana cara memecahkan Rahasia Sebelas 

Jari. Tetapi kupikir, tak ada salahnya bila kita 

membagi perhatian. Dengar baik-baik, aku tak 

akan mengulanginya lagi."

"Katakan!!"

"Isi dari Rahasia Sebelas Jari:

ada orang yang jari tangannya berjumlah sebelas, 

lalu jari kakinya berjumlah sebelas. Bila dijumlah-

kan menjadi dua puluh dua jari. Di antara jari-jari 

itu adalah dua yang palsu.

Nah! Isi dari Rahasia Sebelas Jari telah kukata-

kan, apakah sekarang tidak sebaiknya kita berpi-

sah saja?!"

Iblis Kelabang terdiam dengan kening di-

kernyitkan. Dia nampak berusaha untuk mere-

kam sekaligus memecahkan Rahasia Sebelas Jari, 

yang barusan dikatakan Andika.

"Aku tak dapat menunggu terlalu lama! Bi-

la kau mau berpikir ya silakan!" seru Andika yang 

sekarang memikirkan keselamatan Gadis Kayan-

gan.

"Tunggu!" seru Iblis Kelabang begitu Andi-

ka memutar tubuh.

Anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah

Kutukan itu membalikkan tubuh kembali. Lalu 

berseru jenuh, "Apa lagi sih? Kau tidak percaya 

kalau sesungguhnya yang kukatakan tadi adalah 

isi dari Rahasia Sebelas Jari? Kalau kau tidak 

percaya ya sudah! Toh bukan urusanku!!"

"Percaya atau tidak itu bukanlah urusan-

mu dan urusanku! Semuanya akan kusampaikan 

pada Kiai Alas Ireng!" sahut Iblis Kelabang ga-

rang. Pancaran matanya berkilat-kilat berbahaya. 

"Terus apa lagi?" 

"Masih ada satu yang kuminta!" 

"Busyet! Kalau sudah kupenuhi, kau pasti 

akan meminta yang lain lagi! Rupanya kau orang 

yang...."

"Cukup hanya sekali apa yang kuminta da-

rimu! Karena, berat atau tidak, kau tak akan da-

pat lagi memenuhi apa yang kuminta! Karena, 

aku juga tidak akan meminta apa-apa lagi setelah 

ini!"

"Kalau begitu, cepat deh bilang! Biar uru-

san jadi lekas selesai!"

Iblis Kelabang tak membuka mulut. Panca-

ran matanya makin dingin.

Kejap kemudian, terdengar suaranya 

menggelegar, "Aku menginginkan nyawamu!"

Serta-merta tubuhnya melesat ke arah 

Pendekar Slebor.


7


Pada saat kehadiran Agung Gaganda di 

hadapan Pendekar Slebor, Gadis Kayangan se-

dang duduk merajuk di bawah pohon yang cukup 

jauh dari sana. Wajah jelita gadis ini begitu jeng-

kel karena digoda pemuda itu terus menerus. Se-

jak tadi tak ada suaranya keluar kecuali mulut-

nya yang mencang-mencong.

Lalu sambil melempar sebatang ranting ke-

cil dia mendengus, "Uh! Kenapa aku bisa jatuh 

cinta pada pemuda urakan itu? Apa sebenarnya 

dia tahu kalau aku sudah jatuh cinta padanya, 

makanya dia menggoda terus? Oh! Apakah kalau 

begini dia akan merendahkanku?"

Perasaan gadis jelita berkepang dua ini se-

karang tak menentu. Dia malu bila Pendekar Sle-

bor mengetahui kalau dia mencintainya. Memang 

sungguh tak pantas bila seorang gadis lebih dulu 

mengutarakan cintanya. Akan tetapi, bukankah 

dengan gelagat atau perbuatan yang dilakukan-

nya boleh-boleh saja?

Cuma, tadi Andika terus menggodanya!

Perlahan-lahan Gadis Kayangan menarik 

napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. 

Sehelai daun jatuh di hadapannya. Diambilnya 

daun itu, diperhatikannya dengan seksama tanpa 

tahu maksudnya.

Mendadak saja si gadis palingkan kepala 

ke kanan, tatkala mendengar suara orang berke-

lebat. Belum lagi dia dapat menangkap jelas gerakan itu, tahu-tahu satu sosok tubuh berpakaian 

panjang abu-abu telah berdiri berjarak lima lang-

kah di hadapannya.

Mendongak Gadis Kayangan disusul den-

gan berdiri tegak. Karena saat ini hatinya sedang 

jengkel akan sikap Pendekar Slebor, seperti da-

patkan tempat pelampiasan, dia langsung kelua-

rkan bentakan

"Orang jelek berambut dikepang! Ada perlu 

apa kau muncul di hadapanku, hah?!"

Orang yang muncul itu salah seorang dari 

si Kembar Parang Maut dan bukan lain Alung Ga-

ganda adanya. Lelaki yang di pinggangnya terda-

pat parang besar ini, sama sekali tak menyangka 

kalau tujuannya semula untuk mencari Pendekar 

Slebor, melenceng pada gadis jelita ini.

Alung Gaganda memiliki watak yang ber-

lainan dengan Agung Gaganda dalam soal nafsu. 

Dia selalu menyempatkan diri untuk mengumbar 

nafsu pada tempat-tempat yang dilaluinya. Bila 

kebetulan dia tiba di sebuah dusun, maka yang 

dicari pertama kali adalah tempat pelacuran. Ka-

laupun dia tidak menemukannya, tak segan-

segan Alung Gaganda untuk menculik anak pe-

rawan orang.

Dan sudah tiga hari ini dia tidak mengum-

bar nafsu birahinya. Sudah barang tentu melihat 

seorang gadis jelita terbengong sendirian di situ, 

dia seperti melihat intan berlian yang tak akan di-

lepaskannya.

Segera saja dipentangkan senyuman me-

nyeringai

"Gadis manis... tak perlu begitu gusar. Aku 

adalah orang baik-baik. Namaku Alung Gaganda. 

Siapakah namamu?"

Gadis Kayangan pandangi orang di hada-

pannya sebelum buka mulut, "Menyingkir dari si-

ni!!"

Semakin lebar pentangan seringaian Alung 

Gaganda.

"Peduli setan dengan Pendekar Slebor! Lagi 

pula, belum tentu pemuda itu yang tadi sama-

sama kulihat bersama Agung Gaganda. Kalaupun 

memang dia adanya, biarlah Agung Gaganda yang 

sibuk mencarinya. Kelinci ini terlalu menggiur-

kan, sayang bila dilewatkan...."

Habis membatin demikian, Alung Gaganda 

maju satu langkah ke muka.

Gadis Kayangan kontan melompat ke 

samping kanan. Menjaga jarak. Pandangannya 

tak berkedip.

Serta-merta Alung Gaganda arahkan pan-

dangannya mengikuti di mana gadis itu berdiri 

sekarang.

"Mengapa kau nampak begitu ketakutan, 

Anak Manis? Sudah kukatakan tadi, aku adalah 

orang baik-baik," katanya dengan pancaran birahi 

yang tak dapat disembunyikan pada sepasang 

matanya.

"Menyingkir dari sini!!" geram Gadis 

Kayangan.

Seringaian lelaki berpakaian abu-abu pan-

jang itu semakin lebar. Bahkan dia maju mendekat.


Gadis Kayangan menggeram gusar. Kali ini 

dia tahu gelagat. Kalau orang bermaksud tidak 

baik padanya. Pelampiasan kesalnya pada Pende-

kar Slebor seolah mendapatkan tempat.

Dengan maksud untuk memberi pelajaran 

orang itu, Gadis Kayangan sudah lepaskan joto-

sannya. Namun dengan enaknya jotosan itu di-

hindari Alung Gaganda dengan hanya memiring-

kan tubuh.

Bahkan tangan kanannya dengan cepat 

bergerak, bermaksud untuk menangkap tangan 

Gadis Kayangan. Namun yang dihadapinya ada-

lah murid mendiang Pemimpin Agung, yang bu-

kan hanya dapat hindari sambaran tangan ka-

nannya, bahkan juga meliukkan tubuh, lalu sa-

pukan kaki kiri.

Tak menyangka kalau gerakan si gadis be-

gitu cepat, kaki kanan Alung Gaganda tersampok.

Dess!

Kontan tubuhnya terjengkang.

"Itu akibatnya bila berani lancang di hada-

panku!" dengus Gadis Kayangan sambil lipat ke-

dua tangannya di depan dada. Kepalanya agak 

didongakkan.

Kalau tadi Alung Gaganda memang me-

mandang ringan, kali ini dia meradang. Serta-

merta dia berdiri tegak. Sepasang matanya menu-

suk tajam.

"Jahanam! Sejak tadi sudah kuduga kalau 

dia bukan gadis sembarangan! Tetapi perbuatan-

nya barusan, justru membuatku bukan hanya in-

gin menikmati tubuhnya, bahkan mencabik

cabiknya setelah puas!!"

Habis membatin demikian, tanpa banyak 

bicara lagi, salah seorang dari si Kembar Parang 

Maut ini sudah mendorong tangan kanannya ke 

depan.

Satu hamparan angin deras menyerbu, 

menyeret tanah dan ranggasan semak belukar 

saat menderu ke arah Gadis Kayangan yang ter-

kesiap kaget.

Cepat dia buang tubuh ke samping kanan. 

Sambaran gelombang angin itu luput dari sasa-

ran.

Namun, Alung Gaganda yang tak mau ba-

nyak membuang waktu, sudah lepaskan serangan 

susulan.

Wrrrr!!

Gadis Kayangan membuat satu lompatan 

kembali, menyusul dia menyerbu ke depan den-

gan sapukan kaki kanannya. Begitu sosok Alung 

Gaganda melompat hindari sapuan kaki kanan-

nya, dengan tubuh diputar setengah lingkaran, 

kaki kirinya sudah melesat.

Bed!

Alung Gaganda yang masih berada di uda-

ra, palangkan kedua tangannya di depan dada 

dan segera didorong.

Buk!

Tendangan kaki kiri Gadis Kayangan bu-

kan hanya dapat dihalau, tetapi sosoknya pun 

terlontar ke belakang terkena tenaga dorongan 

lawan.

Belum lagi Gadis Kayangan dapat kuasai

keseimbangannya secara penuh, mendadak saja 

gelombang angin lainnya melabrak diiringi se-

ruan, "Lebih baik kau menurut apa yang kuingin-

kan! Padahal toh ini juga untuk kenikmatanmu 

sendiri!!"

Mendengus muak Gadis Kayangan sambil 

membuang tubuh ke samping kiri. Namun belum 

lagi dia menginjak tanah, gelombang angin lain-

nya sudah menderu.

"Celaka!!" 

Terkesiap Gadis Kayangan dan berusaha 

untuk hindari gebrakan gelombang angin lawan. 

Namun kedudukannya sangat sulit untuk dilaku-

kan. Berarti tak ada jalan lain kecuali memapaki.

Segera saja dia lepaskan jurus 'Matahari 

Tebar Sinar', yang serta-merta udara di sekitar 

sana berubah menjadi panas. Namun gelombang 

angin panas yang keluar dari jurus 'Matahari Te-

bar Sinar' dapat dipatahkan lawan dengan mu-

dah. Malah sosok Alung Gaganda sudah mener-

jang ke depan.

Tersentak si gadis dan segera membuang 

tubuh ke samping kiri dan saat masih bergulin-

gan, Alung Gaganda sudah mencelat ke depan. 

Kaki kanannya yang telah dialiri tenaga dalam 

penuh siap dihajarkan pada kepala Gadis Kayan-

gan, sementara tangan kirinya sudah didorong le-

bih dulu.

Kontan dada Gadis Kayangan telak terhan-

tam. Tubuhnya langsung tergontai-gontai ke be-

lakang. Tetapi karena dia memiliki ketahanan tu-

buh yang cukup tinggi, tulang dadanya tidak patah kecuali rasa nyeri yang cukup menyengat.

Akan tetapi nasibnya memang sungguh si-

al. Sebelumnya dia masih beruntung lepas dari 

tangan Kala Ijo dengan kehadiran Pendekar Sle-

bor. Tetapi saat ini, Pendekar Slebor juga sedang 

disibukkan oleh serangan Agung Gaganda bahkan 

bertepatan dengan munculnya Iblis Kelabang.

Alung Gaganda yang sudah jengkel karena 

sikap si gadis, sudah melesat ke depan. Tangan 

kanannya dua kali lancarkan totokan. 

Tuk! Tuk!

Kalau tadi tubuh Gadis Kayangan hanya 

tergontai-gontai, kali ini ambruk setelah ter-

huyung lebih dulu. Dan saat itu pula dirasakan 

sekujur tubuhnya sulit untuk digerakkan.

Sepasang matanya terbeliak karena tahu-

tahu orang berkepang dua itu sudah berdiri di 

hadapannya, dengan kedua kaki agak dibuka.

Seringaian segera terlihat di bibir Alung 

Gaganda. Lelaki yang selalu haus birahi ini meng-

geleng-gelengkan kepalanya melihat tubuh yang 

telentang tak berdaya.

"Bila sejak tadi kau menurut, kau tak akan 

merasakan sakit apa-apa! Toh pada akhirnya kau 

tetap akan menjadi...."

"Tutup mulutmu, Keparat! Kita bertarung 

sampai mampus!!" geram Gadis Kayangan sengit.

Kontan tertawa lebar Alung Gaganda. Ma-

sih tertawa pandangannya menyusuri tubuh 

montok milik Gadis Kayangan.

Si gadis sendiri sadar kalau bahaya yang 

memalukan akan dialaminya. Dia teringat akan

perbuatan terkutuk dari Dewa Lautan Timur yang 

hampir saja pernah mempermalukannya. Namun 

dia tertolong oleh perbuatan Nyi Genggong, yang 

ternyata bukan bermaksud menolongnya, melain-

kan menginginkan potongan pedang yang berisi-

kan titik gambar menuju ke Pulau Hitam (Untuk 

mengetahui hal ini, silakan baca episode: "Dewa 

Lautan Timur").

"Celaka! Kenapa aku harus menghindar 

dari Andika?" desisnya dengan hati berdebar tak 

menentu. Rasa tegang membalurinya hingga tan-

pa sadar dia menggigil. "Seharusnya kubiarkan 

saja Andika menggodaku? Oh! Apakah dia akan 

muncul di sini, seperti ketika aku dihadang oleh 

Kala Ijo? Kalaupun aku berteriak, rasanya tak 

akan mungkin terdengar, karena jaraknya terlalu 

jauh. Brengsek! Jangan-jangan dia lagi tidur se-

karang?"

Terdengar suara Alung Gaganda yang pe-

nuh birahi.

"Manis... bersiaplah untuk menikmati apa 

yang akan kuberikan...."

"Oh! Jangan! Jangan!" seru Gadis Kayan-

gan. Wajahnya memucat. Kedua matanya terbe-

liak lebar. Hatinya laksana diguncang prahara 

mengerikan.

Apalagi ketika orang berpakaian abu-abu 

panjang itu mulai membuka pakaiannya sendiri. 

Tanpa melepaskan pakaiannya yang sudah ter-

buka, perlahan-lahan Alung Gaganda merebah-

kan tubuhnya di atas tubuh Gadis Kayangan 

yang menjerit-jerit kalap dengan mata terbeliak

ketakutan.

Jeritan itu justru membuat birahi Alung 

Gaganda semakin naik. Dengan beringas tangan 

kanannya menyambar pakaian yang dikenakan 

Gadis Kayangan.

Breeekk!

Seketika nampak lembah buah dada si ga-

dis yang putih mulus itu. Semakin ngeri hati Ga-

dis Kayangan, semakin lebar seringaian Alung 

Gaganda. Dengan makin bernafsu dia merobek 

kembali sisa pakaian yang dikenakan si gadis.

Kalau tadi yang nampak hanyalah lembah 

bagian atas buah dadanya, kali ini seluruh benda 

kenyal itu nampak di mata Alung Gaganda. Begi-

tu putih, montok dan menantang.

"Menyenangkan! Sangat menyenangkan!" 

desis Alung Gaganda dan tangan kanannya per-

lahan-lahan terangkat, lalu menurun untuk men-

jamah buah dada itu.

"Alung Gaganda! Tahan!" seruan keras itu 

terdengar saat tangan Alung Gaganda tinggal be-

berapa senti lagi dari benda yang menggiurkan 

itu.

Seketika kepala lelaki ini berpaling.

Gadis Kayangan yang tadi memejamkan 

matanya, buru-buru membukanya kembali. Dia 

berharap orang yang datang akan menolongnya. 

Namun begitu dilihatnya kalau orang yang datang 

memiliki paras yang sama dengan orang yang 

hendak mempermalukannya, hatinya semakin te-

riris ketakutan.

Biarpun Alung Gaganda memiliki birahi

yang tinggi, namun dia belum pernah melaku-

kannya di hadapan kakak kembarnya. Orang 

yang datang itu tak lain Agung Gaganda.

Perlahan-lahan dengan menindih jengkel-

nya, Alung Gaganda bangkit dari atas tubuh Ga-

dis Kayangan, yang masih telentang dengan buah 

dada yang terpampang lebar.

Agung Gaganda langsung keluarkan den-

gusan, menyadari kalau adik kembarnya tidak 

sampai di tempatnya karena sedang berusaha 

menggeluti seorang gadis.

Diperhatikannya sejenak gadis yang tak 

berdaya dan sedang menindih rasa malunya. Per-

lahan-lahan kening Agung Gaganda nampak ber-

kerut.

Lalu katanya tanpa palingkan kepala dari 

sosok Gadis Kayangan, "Alung Gaganda! Apakah 

kau tidak mengetahui siapa gadis itu adanya?"

Kendati jengkel karena keinginannya untuk 

menggeluti gadis itu gagal, Alung Gaganda meng-

gelengkan kepala.

"Alung... bayangan hijau dan biru muda 

yang sebelumnya kita lihat, memang Pendekar 

Slebor. Tetapi... apakah kau tidak menduga kalau 

gadis ini adalah orang yang sebelumnya kita lihat 

berkelebat bersama Pendekar Slebor?"

Mendengar ucapan kakak kembarnya, se-

ketika Alung Gaganda arahkan pandangan pada 

si gadis. Yang dilihat bukanlah wajah atau bagian 

tubuh lain dari Gadis Kayangan, melainkan buah 

dada yang menantang itu.

Tetapi kepalanya mengangguk-angguk.

"Kalau memang dia orangnya apakah...."

"Aku telah bertarung dengan Pendekar Sle-

bor," putus Agung Gaganda sambil menatap adik 

kembarnya. "Tetapi saat itu muncul Iblis Kela-

bang. Kau tahu bukan, biarpun kita menghadapi 

Iblis Kelabang secara bersamaan, belum tentu ki-

ta dapat mengatasinya. Sebaiknya, kita sandera 

gadis ini."

"Untuk apa? Bukankah dengan kata lain, 

kau akan mengatakan Pendekar Slebor akan te-

was di tangan perempuan celaka itu?" dengus 

Alung Gaganda begitu mendengar kehadiran Iblis 

Kelabang. Dan dia sungguh tak menyangka kalau 

perempuan berambut kelabang yang mereka ta-

kuti akan muncul.

Langsung terbayang di benak Alung Ga-

ganda, bagaimana kakak kembarnya tentunya se-

gera memutuskan untuk meninggalkan Pendekar 

Slebor ketimbang mati konyol di tangan Iblis Ke-

labang.

"Kau benar. Aku juga menduga seperti itu. 

Tetapi, entah mengapa, aku yakin kalau anak 

muda keparat itu akan dapat meloloskan diri dari 

tangan Iblis Kelabang. Berarti... urungkan niatmu 

untuk mempermalukan gadis ini! Aku punya piki-

ran yang menarik! Barangkali saja dia akan 

membawa keberuntungan bagi kita! Bawa dia!!"

Habis kata-katanya, Agung Gaganda sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

Alung Gaganda pandangi dulu punggung 

kakak kembarnya hingga lenyap dari pandangan. 

Lalu diperhatikannya Gadis Kayangan yang semakin tegang.

"Kalau begitu, Andika tidak sedang tidur 

sekarang. Dan kedua orang yang ternyata sauda-

ra kembar itu, rupanya sudah melihat aku dan 

Andika. Sekarang ini, Andika sedang menghadapi 

orang yang berjuluk Iblis Kelabang. Oh! Jelas ke-

datangan orang-orang ini berhubung-an dengan 

Rahasia Sebelas Jari. Seperti yang hendak dila-

kukan Kala Ijo. Apakah ini salah satu maksud da-

ri Andika, mengapa dia...."

Kata hati Gadis Kayangan terputus. Karena 

tubuhnya mendadak terasa diangkat, lalu dile-

takkan di punggung kanan.

Dalam keadaan tertotok seperti itu, dia tak 

bisa lakukan apa-apa kecuali berteriak minta di-

turunkan. Akan tetapi, Alung Gaganda yang telah 

mengangkatnya sudah tentu tak akan mau me-

menuhi permintaannya.

Bahkan dibiarkan saja pakaian bagian da-

da si gadis terbuka, hingga buah dadanya me-

nyentuh lembut punggungnya.

"Untuk .sementara, kau akan aman, Manis. 

Tetapi percayalah, cepat atau lambat, kita akan 

arungi keindahan sorga dunia bersama-sama...."

Habis berkata demikian, Alung Gaganda 

segera berkelebat ke arah perginya Agung Gagan-

da.

Di punggungnya, dalam keadaan tidak 

berdaya, Gadis Kayangan hanya bisa mendesah 

pendek. Disadarinya betul kalau dia telah masuk 

ke sarang harimau!


8


"Kampret buduk!" maki Pendekar Slebor 

begitu merasakan sengatan angin yang melesat 

dari kedua jari telunjuk dan jari tengah perem-

puan berpakaian panjang semerah darah.

Cepat dia melompat hindari sergapan ga-

nas lawan. Iblis Kelabang yang merasa telah 

mendapatkan apa yang diinginkannya dan seka-

rang menginginkan nyawa Pendekar Slebor, cepat 

sapukan kaki kirinya setengah lingkaran.

Brrrr!

Tanah seketika terseret dan membubung 

ke udara. Menyusul dia menyergap dengan lu-

ruskan tangan kanannya.

"Monyet pitak!!" maki Pendekar Slebor yang 

tadi berhasil hindari sapuan kaki kiri lawan den-

gan cara melompat dan harus segera miringkan 

tubuh untuk hindari sergapan sengatan angin 

yang mengarah pada wajahnya.

Belum lagi dia dapat kuasai keseimban-

gannya, mendadak...

Beeett!!

Rambut putih si perempuan yang dikela-

bang, menyentak perdengarkan suara membeset.

Memekik kaget anak muda urakan ini 

sambil tarik kepalanya ke belakang. Namun susu-

lan serangan berikutnya, membuatnya harus ke-

rahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menghin-

dar ke sana kemari.

"Kunyuk buduk! Bagaimana caranya aku

untuk lepaskan serangan, kalau diburu terus 

menerus seperti ini?!" makinya panjang pendek.

Akibat serangan demi serangan yang dilan-

carkan Iblis Kelabang dan luput dari sasaran 

yang dituju, membuat suasana di tempat itu men-

jadi gaduh berkepanjangan. Ranggasan semak 

dan tanah muncrat berulang-ulang. Dan berulang 

kali pula nampak dahan-dahan pohon patah ber-

serakan.

"Kalau begini terus, aku bisa mampus nih!" 

maki anak muda ini seraya mencari sela untuk 

membalas. Apalagi tatkala ingatannya singgah 

pada Gadis Kayangan yang sampai sekarang be-

lum diketahui bagaimana nasibnya. Hatinya ma-

kin direjam rasa bingung.

Di lain pihak, Iblis Kelabang semakin mur-

ka karena tak satu pun serangannya yang men-

genai sasaran. Rambutnya yang dikelabang berge-

rak cepat, menimbulkan suara besetan yang ke-

ras. Belum lagi sapuan kaki kanan kirinya yang 

cepat. Ditambah dengan sengatan-sengatan angin 

yang meluncur dari kedua jari telunjuk dan te-

ngahnya.

Ditambah kecepatannya untuk mengirim 

nyawa Pendekar Slebor ke akhirat.

"Keparat busuk! Dia mempermainkanku 

karena sejak tadi hanya menghindar saja!" ma-

kinya semakin ganas.

Bila saja Iblis Kelabang tahu kalau sebe-

narnya Pendekar Slebor sedang kerepotan, mung-

kin dia tak segeram sekarang. Anak muda itu bu-

kannya bermaksud mempermainkan si perempuan, tetapi dia sendiri belum mendapatkan sela 

guna lancarkan serangan balasannya.

Hingga mendadak saja terdengar suara 

gemuruh angin dahsyat disertai dengungan lak-

sana ribuan tawon murka.

Wrrrrr!!

Ranggasan semak berjarak lima langkah 

tercabut dan terlontar deras ke belakang. Bersa-

maan dengan itu, Iblis Kelabang memekik kaget.

Cepat dia melompat ke samping kiri, guna 

hindari sambaran angin yang keluar dari kain 

bercorak catur yang dilepaskan Pendekar Slebor.

Tindakan yang dilakukannya cukup berha-

sil, karena dia dapat membuat jarak serangan Ib-

lis Kelabang jadi agak menjauh.

Sesaat tak ada yang lakukan tindakan apa-

apa. Napas Pendekar Slebor terdengar sangat ce-

pat. Sementara di seberang, pancaran mata pe-

rempuan berambut kelabang itu tajam menusuk.

"Monyet pitak!" maki Pendekar Slebor tiba-

tiba. "Rupanya kau orang yang tak menepati janji 

ya? Kan tadi sudah kukatakan tentang isi Raha-

sia Sebelas Jari! Seharusnya kau tak perlu ber-

tindak begini dong? Kan...."

"Aku menginginkan nyawamu!" pendek de-

sisan Iblis Kelabang memutus kata-kata Andika.

Bersamaan dengan itu, dia sudah mencelat 

kembali ke depan dengan ganas.

Andika yang telah menjaga jarak, cepat li-

litkan lagi kain bercorak catur ke lehernya. Kejap 

berikutnya dia sudah mencelat ke muka dengan 

tumpuan kaki kanan.

Kedua tangannya yang telah dialirkan te-

naga 'Inti Petir' bergerak.

Salakan petir terdengar keras.

Bukk! Buukkk!!

Benturan yang terjadi itu cukup keras. An-

dika sendiri langsung terhuyung ke belakang se-

mentara Iblis Kelabang tergontai-gontai ke bela-

kang.

Menyusul dia berteriak keras seraya gerak-

kan kepalanya, hingga rambutnya yang dikela-

bang bergerak cepat.

Wuuut! Wuuuttt!!

Mendadak saja gelombang angin melingkar 

menderu, menerjang apa saja sebelum akhirnya 

melabrak ke arah Pendekar Slebor.

Sadar kalau lawan telah perlihatkan jurus 

lainnya, anak muda urakan ini tak mau bertindak 

ayal lagi. Dia mencelat ke depan seraya keluarkan 

ajian 'Guntur Selaksa'. Saat itu pula nampak per-

nik-pernik keperakan meliputi seluruh tubuhnya.

Suara salakan guntur yang sangat keras 

menggelegar.

Pyaaaarrr!!

Gelombang angin melingkar yang keluar 

dari rambut Iblis Kelabang, kontan punah. Me-

nyusul sosok Pendekar Slebor yang menerjang ke 

depan.

Kalau sebelumnya Iblis Kelabang berada di 

atas angin, kali ini wajah perempuan itu terke-

siap. Sadar atau tidak, dia memekik kaget seraya 

buang tubuh ke samping.

Ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan

Pendekar Slebor menghantam sebatang pohon 

yang langsung tumbang dan perdengarkan suara 

menggemuruh begitu menimpa bumi. Namun 

anak muda ini memang tak mau membuang wak-

tu. Dia segera mengejar sosok Iblis Kelabang yang 

wajahnya sekarang memucat.

Namun perempuan berpakaian panjang 

semerah darah itu, bukanlah orang kemarin sore. 

Dia segera kerahkan tenaga dalamnya dan den-

gan gerakan meluruk memutar, dia menerjang ke 

arah Pendekar Slebor.

Blaaamm!

Suara yang keras terdengar sekali. Namun 

akibatnya sungguh mengerikan. Tanah di mana 

bertemunya dua pukulan itu kontan muncrat ke 

udara dan seketika halangi pandangan. Saat ta-

nah itu kembali luruh ke tempatnya, terlihat wa-

jah Iblis Kelabang meregang keras.

"Jahanam terkutuk! Ke mana perginya pe-

muda setan itu?!" makinya sambil melompat ke 

depan. Diedarkan pandangan ke sekelilingnya. 

Tak ada tanda-tanda pemuda berpakaian hijau 

pupus di sekitar sana.

Sadar kalau Pendekar Slebor telah mening-

galkan tempat itu, kemarahan Iblis Kelabang se-

makin menjadi-jadi.

"Keparat!! Pemuda itu rupanya tak memili-

ki nyali! Percuma bila kutemui Kiai Alas Ireng se-

karang untuk mengabarkan tentang isi Rahasia 

Sebelas Jari! Nyawa pemuda itu belum kulepas 

dari jasadnya! Bisa kupastikan kalau Kiai Alas 

Ireng akan murka terhadapku! Jahanam terkutuk! Sebaiknya, kuburu pemuda celaka itu! Toh 

aku berjanji sepuluh hari untuk menemui Kiai 

Alas Ireng!!"

Untuk sesaat perempuan berambut kela-

bang ini terdiam dengan wajah tegang. Kemara-

han nampak membiasi wajahnya. Hatinya serasa 

dipermainkan oleh Pendekar Slebor.

"Kau harus mampus, Pemuda Setan!"

Habis menggeram begitu, Iblis Kelabang 

bergerak dan mengira-ngira ke mana perginya

Pendekar Slebor.

***

Matahari baru saja tampakkan biasnya di 

ufuk timur. Satu sosok tubuh berpakaian batik 

kusam hentikan larinya di sebuah persimpangan 

yang ditumbuhi ranggasan semak belukar seting-

gi dada. Sepasang matanya diedarkan ke sekelil-

ing. Paras orang berpakaian balik kusam yang 

ternyata seorang perempuan ini, berbentuk bulat 

telur dan dihiasi rangkaian kulit keriput. Ram-

butnya panjang tak beraturan. Di tangannya ter-

dapat cambuk berlidah tiga.

Kejap berikutnya, terdengar perempuan ini 

mendengus. Lalu keluarkan desisan dingin,

"Setan alas! Aku gagal menemukan di ma-

na Pulau Hitam berada! Tetapi, kudengar kabar 

kalau rahasia Pulau Hitam telah terpecahkan! En-

tah di mana saat ini Dewa Lautan Timur berada! 

Pemuda setan berjuluk Pendekar Slebor pun aku 

tidak tahu di mana dia berada!"

Kembali perempuan yang nampaknya se-

dang geram ini, terdiam. Sepasang matanya me-

mandang ke julangan bukit di hadapannya. Terli-

hat kepalanya mengangguk-angguk, seperti me-

mikirkan sesuatu.

"Rimba persilatan adalah tempat persem-

bunyian berita yang rapat, tetapi juga tempat ter-

bukanya semua berita ke segenap penjuru. Telah 

kutangkap kabar tentang munculnya Eyang Mega 

Tantra di Pulau Hitam. Tentang Rantai Naga Si-

luman yang hanya dapat diambil bila ada yang 

berhasil memecahkan Rahasia Sebelas Jari! Huh! 

Lagi-lagi pemuda setan itu yang mengetahui isi 

dari Rahasia Sebelas Jari! Kusirap kabar kalau 

dia telah mengetahuinya dari Eyang Mega Tan-

tra!"

Perempuan berpakaian batik kusam yang 

tak lain Setan Cambuk Api adanya ini, membuang 

ludah dengan sikap muak.

Seperti pernah diceritakan dalam episode 

"Rahasia Pulau Hitam", Setan Cambuk Api yang 

diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk 

membunuh Pendekar Slebor, gagal menjejakkan 

kaki ke Pulau Hitam. Namun nenek sesat ini be-

rusaha keras untuk menemukannya. Tetapi ak-

hirnya dia menyerah karena gagal mendapat-

kannya.

Kendati demikian, dia terus hendak men-

cari Pendekar Slebor, di samping juga mencari 

Dewa Lautan Timur. Setelah lima hari melaku-

kannya, dia menangkap kabar tentang Rahasia 

Sebelas Jari dan Rantai Naga Siluman.

Kalau semula niatnya untuk membunuh 

Pendekar Slebor semata-mata karena perintah 

dari Dewa Lautan Timur, namun kali ini, Setan 

Cambuk Api berkehendak lain. Dia menginginkan 

nyawa pemuda itu untuk dirinya sendiri. Yang 

terpenting lagi, dia menginginkan Rantai Naga Si-

luman yang hanya dapat diambil bila berhasil 

memecahkan Rahasia Sebelas Jari. Dan itu berar-

ti, mengarah pada Pendekar Slebor!

Dengan kata lain, selain menuntaskan 

keinginannya untuk membunuh Pendekar Slebor, 

Selan Cambuk Api akan mendapatkan keuntun-

gan lain untuk mengetahui Rahasia Sebelas Jari, 

dan mendapatkan Rantai Naga Siluman.

Setan Cambuk Api menggeram lagi.

"Ke mana pun pemuda setan itu pergi, aku 

akan selalu memburunya! Tak akan pernah kule-

paskan nyawanya, meskipun dia bersembunyi di 

lubang semut sekalipun!!" desisnya dengan kila-

tan mata berapi-api.

Dendam telah membaluri sekujur tubuh-

nya. Kemarahan tak bisa dihindari lagi.

Sesaat perempuan bersenjatakan cambuk 

berlidah tiga ini terdiam. Dada tipisnya membu-

sung dengan kemarahan yang tak akan dapat di-

tahankan.

"Angin bertiup ke timur. Biasanya arah an-

gin dapat kujadikan sebagai patokan. Sebaiknya, 

aku segera menuju ke timur. Mudah-mudahan 

tujuanku akan terlaksana."

Memutuskan demikian, perempuan tua 

berpakaian batik kusam ini segera berkelebat

meninggalkan tempat itu.

Kesunyian pun merejam dalam.

Beberapa helai daun berjatuhan. 


9


Dua sosok tubuh berpakaian abu-abu pan-

jang itu berkelebat menembus sebuah hutan. 

Hingga siang meranggas dunia, dua sosok tubuh 

yang lak lain si Kembar Parang Maut baru henti-

kan lari masing-masing orang di sebuah tempat. 

Di kejauhan nampak pematang sawah dan ladang 

singkong yang diteriki panas matahari dan seba-

gian melenggak-lenggok terkena hembusan angin.

Sosok Gadis Kayangan masih berada dalam 

bopongan Alung Gaganda. Tubuh murid men-

diang Pemimpin Agung telah dipenuhi keringat. 

Dadanya yang masih terbuka terasa sakit mene-

kan pada punggung Alung Gaganda, sementara 

yang tertekan justru tak sabar untuk menda-

patkan apa yang dimiliki si gadis.

Namun Alung Gaganda cuma dapat me-

nyimpan keinginannya. Biar bagaimanapun juga, 

dia masih menghargai kakak kembarnya hingga 

belum mau melakukan apa yang diniatkannya.

"Turunkan dia!" perintah Agung Gaganda 

tanpa palingkan kepala.

Sebelum Alung Gaganda melakukan perin-

tahnya yang dengan kata lain akan melihat dada 

menantang milik Gadis Kayangan. Agung Gagan-

da sudah buka suara, tetap tanpa palingkan kepala, "Rapikan pakaiannya!"

Mendengus dalam hati Alung Gaganda 

sambil coba pandangi wajah yang tak berbeda 

dengan wajahnya. Tetapi Agung Gaganda yang 

sedang menatap kejauhan, sementara dia berada 

di belakangnya, membuat Alung Gaganda tak da-

pat jelas menatap wajah kakak kembarnya.

Dengan menindih rasa jengkel, Alung Ga-

ganda merapikan pakaian Gadis Kayangan. Dia 

sengaja berlama-lama dan menyentuh dada ke-

nyal itu berulangkali.

Kendati geram melihat sikap Alung Gagan-

da, Gadis Kayangan merasa keadaannya lebih 

baik. Pakaiannya memang tidak utuh lagi, tetapi 

paling tidak, dadanya tidak terpampang lebar se-

perti tadi.

Alung Gaganda berkata setelah sosok Ga-

dis Kayangan direbahkannya di atas tanah be-

rumput.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Agung Gaganda tak segera menjawab. Pan-

dangannya tetap ditujukan ke kejauhan.

"Firasatku mengatakan, kalau pertarungan 

Pendekar Slebor dengan Iblis Kelabang telah sele-

sai. Entah mengapa aku berkeyakinan kalau Pen-

dekar Slebor berhasil meloloskan diri."

"Lantas kita menunggunya di sini? Di tem-

pat yang terbuka?" usik Alung Gaganda.

"Ya! Karena kita memiliki gadis itu! Aku 

yakin, kalau dialah orang yang sebelumnya kita 

lihat bersama-sama dengan Pendekar Slebor. Se-

baiknya...."

Terputus kata-kata Agung Gaganda, se-

mentara sepasang matanya agak dipicingkan ke 

depan. Alung Gaganda melihat pula pada sesuatu 

yang membuat kakak kembarnya memutus kata-

katanya sendiri.

Berjarak dua puluh tombak di muka, dua 

sosok merah dan hitam nampak sedang hentikan 

kelebatan masing-masing. Mereka juga menga-

rahkan pandangan pada si Kembar Parang Maut. 

Terlihat kalau mereka berpandangan sejenak, 

mungkin berkata-kata.

Kejap berikutnya, dua orang itu sudah ber-

lari ke arah si Kembar Parang Maut.

Agung Gaganda mendesis, "Yang lelaki 

berpakaian hitam pekat sementara yang perem-

puan berpakaian merah. Iblis Kelabang juga men-

genakan pakaian berwarna yang sama. Tetapi ti-

dak memakai kerudung seperti perempuan itu. 

Hem... Alung! Nampaknya kita mendapat kawan! 

Belum tahu kawan yang bermaksud baik atau 

memiliki niat busuk!!"

Mendengar ucapan kakak kembarnya, 

Alung Gaganda segera melangkah ke kanan dari 

Agung Gaganda berjarak lima langkah. Mereka 

menunggu dengan hati agak berdebar.

Dua bayangan merah dan hitam itu terus 

mendekat. Tiga tarikan napas berikutnya, mas-

ing-masing orang telah berdiri sejarak tujuh lang-

kah dari tempat berdiri si Kembar Parang Maut.

Orang berpakaian hitam yang berdiri di se-

belah kiri memandang masing-masing orang den-

gan tatapan dingin. Sepasang matanya bergelambir dengan dihiasi hidung bengkok. Rambutnya 

dikucir kuda. Di pergelangan tangan kanan kiri 

lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu terda-

pat gelang-gelang penuh duri.

Sementara perempuan berpakaian merah 

yang di kepalanya mengenakan kerudung merah, 

hanya pentangkan seringaian. Saat angin ber-

hembus dan sedikit mengangkat kerudungnya, 

nampak rambutnya berwarna keemasan.

Dan begitu melihat sosok Gadis Kayangan 

yang tergeletak di atas rumput, sepasang mata 

perempuan ini terbuka lebih lebar.

Menyusul terdengar suaranya, "Sangga 

Rantek! Apakah tidak salah penglihatanku? Bu-

kankah dia Gadis Kayangan? Gadis celaka yang 

membuat kita mati kutu memburunya?"

Lelaki berpakaian serba hitam pekat yang 

tak lain Sangga Rantek adanya, mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Dan sudah tentu bila gadis itu berada da-

lam kekuasaan manusia-manusia monyet ini, ada 

hubungannya dengan Pendekar Slebor! Iblis 

Rambut Emas! Apakah kita akan menyia-nyiakan 

waktu yang telah lama terbuang? Rahasia Pulau 

Hitam telah terbuka! Rahasia Sebelas Jari yang 

kita dengar sudah berkumandang, begitu pula 

dengan Rantai Naga Siluman! Jelas kalau ini ada-

lah keberuntungan yang tak dapat kita lepaskan!"

Kedua orang pendatang itu memang Sang-

ga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Setelah me-

mutuskan untuk meninggalkan Pulau Hitam, ka-

rena merasa ngeri melihat pertarungan Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur, kedua orang 

sesat ini menunggu di sebelah barat Pulau Hitam.

Mereka berharap dapat melihat Pendekar 

Slebor keluar dari Pulau Hitam. Tetapi setelah 

tunggu punya tunggu, pemuda dari Lembah Ku-

tukan itu tak tampakkan batang hidungnya. Me-

reka masih mencoba menunggu.

Setelah dua hari berdiam diri, akhirnya 

mereka mengambil kesimpulan kalau Pendekar 

Slebor tak mengambil jalan yang telah dilalui me-

nuju ke Pulau Hitam, itu pun bila Pendekar Sle-

bor masih selamat.

Dengan hati kesal karena tak mengetahui 

tentang rahasia Pulau Hitam, masing-masing 

orang meninggalkan tempat itu. Hingga kemudian 

mereka mendengar tentang Rahasia Sebelas Jari 

dan Rantai Naga Siluman.

Jelas kalau Pendekar Slebor masih hidup. 

Karena kabar yang mereka dengar, pemuda itulah 

yang diberitahu oleh Eyang Mega Tantra tentang 

Rahasia Sebelas Jari.

Dan sekarang, tanpa mereka sangka, me-

reka bertemu dengan dua orang berpakaian abu-

abu dan berwajah mirip satu sama lain. Tetapi 

yang menggembirakan, karena mereka melihat 

sosok Gadis Kayangan yang mereka ketahui erat 

hubungannya dengan Pendekar Slebor.

Sementara itu, si Kembar Parang Maut, 

saling melirik begitu mendengar ucapan orang. 

Secara tidak langsung, mereka sadar kalau kedua 

orang ini punya keinginan yang sama.

Agung Gaganda mencoba untuk menindih

rasa jengkelnya saat berkata, "Kawan, mengapa 

kalian berhenti di sini dan seolah menghadang 

langkah kami? Apakah ada satu urusan yang ha-

rus diselesaikan!"

Iblis Rambut Emas yang sebelumnya 

punya niat busuk pada Sangga Rantek tentang 

potongan pedang perak (Baca: "Pedang Buntung" 

hingga "Tabir Pulau Hitam"), sudah buka mulut, 

"Jangan sembarangan berucap dan jangan berla-

ku bodoh! Pertama, kami bukan kawanmu! Ke-

dua, kau tentunya tahu apa yang kami hendaki 

sekarang!!"

Memerah wajah Agung Gaganda menden-

gar ucapan sengit perempuan berkerudung me-

rah. Tetapi dia berusaha untuk bersikap tenang.

"Apa yang kau katakan betul! Lantas, apa 

yang hendak kalian lakukan sekarang?"

"Segera menyingkir dari sini, sebelum ka-

lian menyesal!!"

"Menyingkir dari sini sangat mudah dila-

kukan! Alung Gaganda, bawa kembali sosok gadis 

itu!"

"Tunggu!" dengus Iblis Rambut Emas me-

rasa dirinya dipandang remeh oleh orang. "Kalian 

boleh berlalu dengan selamat, tetapi biarkan ga-

dis itu di sini!"

"Gadis itu tak ada hubungannya dengan 

kalian, berarti kalian tak berhak melarang kami 

untuk membawa gadis itu! Bawa dia!!"

Alung Gaganda segera mendekati dan siap 

membopong Gadis Kayangan yang sebenarnya 

makin kecut melihat kehadiran dua orang yang

dikenalnya.

Sebelum Alung Gaganda lakukan maksud, 

Iblis Rambut Emas sudah menerjang dengan pe-

nuh kegeraman.

Agung Gaganda sadar apa yang diinginkan 

orang. Dia segera bergerak menghadang dan lon-

tarkan satu tendangan memutar.

Wuuuttt!!

Satu kesiur angin terdengar begitu kaki 

kanannya mengarah pada dada Iblis Rambut 

Emas.

Sambil keluarkan dengusan geram, perem-

puan berkerudung merah ini sentakkan tangan 

kanannya.

Bukkk!

Begitu benturan terjadi, tubuhnya dihem-

pos ke atas, melewati sosok Agung Gaganda. Te-

rus meluruk ke arah Alung Gaganda.

Yang akan diserang segera putar tubuh 

dan lepaskan jotosan dari bawah ke atas.

Masih meluruk, Iblis Rambut Emas men-

gubah serangannya. Dengan gerakan yang sangat 

cepat, kali ini kedua kakinya yang mengarah pada 

Alung Gaganda.

Buk! Bukk!!

Sosok Iblis Rambut Emas terpelanting ke 

depan kembali dan hinggap dengan ringannya di 

atas tanah berumput. Sementara Alung Gaganda 

agak tergontai ke belakang.

"Jahanam keparat!" meradang Alung Ga-

ganda dengan kemarahan tinggi. Dia sudah menerjang ke arah Iblis Rambut Emas yang sudah


tentu tak mau tinggal diam.

Wusssss!!

Serangkum kabut putih berhawa dingin 

mencelat ke arah Alung Gaganda seraya perden-

garkan suara bergemuruh.

Alung Gaganda yang tadi sudah mencelat 

lancarkan serangan, harus surut dua tindak me-

lihat serangan ganas itu. Segera saja dia men-

gangkat kedua tangannya yang telah dialiri tena-

ga dalam.

Blaaammm! Blaammm!!

Kabut putih berhawa dingin itu langsung 

buyar ke udara. Kendati berhasil punahkan se-

rangan lawan, sosok Alung Gaganda terhuyung 

satu tombak ke belakang. Meskipun demikian, dia 

segera angkat tangannya dan....

Wusss!

Iblis Rambut Emas cuma perdengarkan 

dengusan pendek. Menyusul dia segera lancarkan 

serangan pula. Gerakan yang diperlihatkannya 

kali ini sangat lamban sekali, berbeda dengan ge-

brakannya pertama.

Melihat kalau serangan lawan berubah, 

Alung Gaganda justru tersenyum. Dia menyangka 

kalau benturan pertama tadi telah mengaki-

batkan gerakan Iblis Rambut Emas menjadi lam-

bat. Dengan bernafsu dia semakin menambah te-

naga dalamnya.

Namun, orang ini tidak tahu, kalau di balik 

serangan lambat itu tersimpan satu kekuatan 

dahsyat. Begitulah yang dilakukan oleh Iblis 

Rambut Emas berikutnya.

Wuuuss! Wusss!!

Dua bongkah kabut putih yang diiringi ha-

wa dingin menggigit, menghampar dengan kekua-

tan maha besar. Alung Gaganda yang tak me-

nyangka akan perubahan serangan si perempuan 

begitu cepat, terkesiap kaget dengan wajah yang 

seketika memucat.

Tanpa sadar dia memekik tertahan karena 

pada jarak dua tombak dia sudah merasakan ha-

wa dingin yang membuat urat-uratnya menjadi 

kaku.

Gugup dia coba untuk hindari gebrakan 

dua kabut dingin itu. Kendati berhasil dilakukan-

nya, namun tak urung tangan kirinya terserempet 

pula.

Kontan dia mengaduh sambil tekap tangan 

kiri dengan tangan kanannya. Iblis Rambut Emas 

memang orang yang kejam, dia langsung mener-

jang kembali.

Agung Gaganda yang melihat nasib naas 

dialami oleh adik kembarnya segera mendorong 

kedua tangannya.

Wuusss! Wusss!!

Dua hamparan gelombang angin keras 

menderu. 

Blaaamm!!

Begitu menghantam dua kabut dingin yang 

dilepaskan Iblis Rambut Emas, terdengar letupan 

yang sangat keras. Tempat itu bagai dilanda badai 

hebat bersamaan dengan muncratnya dua bong-

kah kabut putih tadi. Tanah di tempat berte-

munya benturan itu membubung setinggi satu

tombak!

Karena tak menyangka kalau serangannya 

diputuskan orang, Iblis Rambut Emas justru ter-

sentak ke belakang dan keseimbangannya lenyap 

sesaat.

Agung Gaganda tak mau membuang wak-

tu. Dia langsung menerjang dengan teriakan 

mengguntur.

Tetapi satu hamparan angin menghalangi 

gerakannya.

"Mengapa harus repot-repot turun tangan? 

Bukankah masih ada aku yang akan mengirim 

nyawamu ke neraka!!" terdengar seruan Sangga 

Rantek, kejap berikutnya, orangnya sudah lan-

carkan serangan.

***

Segera putar tubuh Agung Gaganda sambil 

kibaskan tangan kirinya. 

Blaaammm!!

Letupan keras terjadi dan masing-masing 

orang surut tiga langkah ke belakang.

"Jahanam keparat!!" maki Agung Gaganda 

geram. Sepasang matanya berkilat-kilat dipenuhi 

api kemarahan.

Di seberang, Sangga Rantek cuma terse-

nyum dingin.

"Mengapa harus menyibukkan diri dengan 

pertarungan lain? Seperti ucapanku tadi, nyawa-

mu akan kukirim ke neraka!!"

Habis kata-katanya, orang berpakaian ser

ba hitam ini sudah menerjang ke depan seraya 

mendorong kedua tangannya. Menggebah gelom-

bang angin yang luar biasa dahsyatnya, menyeret 

tanah dan ranggasan semak belukar saat mende-

ru ke arah Agung Gaganda.

Kendati sempat terkesiap, sambil palang-

kan kedua tangannya di depan dada, Agung Ga-

ganda mencelat pula ke depan. Bersamaan den-

gan dia dorong kedua tangannya.

Blaaam! Blaaamm!!

Dua letupan keras terdengar sambung me-

nyambung. Namun masing-masing orang rupanya 

tak mau buang waktu. Setelah terhuyung ke be-

lakang, keduanya kembali menerjang dengan ke-

kuatan penuh.

Dua pertarungan dahsyat itu tak ubahnya 

laksana puluhan gajah liar yang tengah menga-

muk di sebuah desa. Gadis Kayangan yang masih 

tergeletak dalam keadaan tertotok, menjadi ngeri 

sendiri.

Pertarungan kedua orang itu memang agak 

menjauh dari tempatnya, namun setiap letupan 

yang terjadi membuat tubuhnya terlontar-lontar 

dan ini terasa sakit. Karena tanpa pengerahan te-

naga dalam, begitu terlontar dan jatuh kembali ke 

tanah, tubuhnya terasa dibanting.

"Ah, mengapa aku harus mengalami keja-

dian seperti ini? Tetapi ini karena kesalahanku 

sendiri. Tak seharusnya aku meninggalkan Andi-

ka. Apakah dia berhasil melepaskan diri dari Iblis 

Kelabang?"

Sambil menahan ngeri di hatinya, diperha

tikan bagaimana dahsyatnya dua pertarungan 

yang terjadi. Belum lagi tatkala kedua orang kem-

bar itu telah loloskan parang masing-masing.

Setiap kali parang dikibaskan, kesiuran 

angin berulang-ulang terdengar mengerikan. Den-

gan parang di tangan, keduanya dapat menjaga 

jarak dari serangan yang dilakukan lawan.

Iblis Rambut Emas yang tadi gusar karena 

dibokong oleh Agung Gaganda, tak peduli. Sasa-

rannya adalah Alung Gaganda. Dengan terus lon-

tarkan kabut-kabut putihnya, dia mencecar Alung 

Gaganda. Serangan beruntun yang dilakukannya 

memang membawa hasil, kendati sebelumnya 

dengan parang besarnya Alung Gaganda dapat 

mematahkan setiap serangannya.

Namun gebrakan cepat yang dilakukan Ib-

lis Rambut Emas, membuatnya jadi kalang kabut. 

Apalagi begitu tendangan kaki kiri si perempuan 

menghantam telak tangan kanannya hingga pa-

rang besarnya terlepas.

Dia seperti anak ayam kehilangan induk. 

Lepas kontrol dan konsentrasinya.

Sementara itu, melihat keadaan adik kem-

barnya yang sukar bebaskan diri dari serangan 

maut Iblis Rambut Emas, Agung Gaganda menja-

di kebingungan. Dia tak ingin adik kembarnya 

mengalami nasib naas. Namun untuk membantu 

pun tak akan mungkin dilakukannya.

Di lain pihak, Sangga Rantek menyeringai 

lebar melihat sikap yang diperlihatkan Agung Ga-

ganda. Dia terus lancarkan serangannya hingga 

bukan hanya Alung Gaganda yang sekarang harus menghadapi maut.

Dirinya pun telah masuk ke lingkaran ke-

matian yang diperlihatkan Sangga Rantek!

Namun sebelum kematian merenggut kehi-

dupan si Kembar Parang Maut, mendadak saja

satu gelombang angin menderu sangat keras. Su-

ara yang terdengar begitu mengerikan. 

Mengarah pada Sangga Rantek dan Iblis 

Rambut Emas!

Kontan masing-masing orang urungkan 

niat dan membuang tubuh ke samping kanan.

Blaar! Blaaarrr!!

Dua bagian tanah serta-merta terbongkar 

terhantam gelombang angin keras tadi.

Bukan hanya keduanya yang palingkan 

kepala dari mana datangnya dua gelombang angin 

yang menghalangi serangannya. Si Kembar Pa-

rang Maut sendiri segera putar tubuh.

Lima pasang mata termasuk milik Gadis 

Kayangan melihat satu sosok tubuh berpakaian 

dan berjubah hitam telah berdiri dengan kedua 

kaki dibuka. Wajah orang yang baru datang ini ti-

rus dan dihiasi kulit tipis. Janggut putihnya ber-

gerak ditiup angin. Sepasang matanya yang sipit 

menyiratkan kematian.

Kalau Iblis Rambut Emas dan Sangga Ran-

tek menggeram gusar, lain halnya dengan si 

Kembar Parang Maut. Tanpa sadar masing-

masing orang langsung surutkan langkah.

Perlahan namun jelas, terdengar ucapan-

nya, "Kiai Alas Ireng...!"


10


Bersamaan si Kembar Parang Maut men-

dapati kehadiran Iblis Rambut Emas dan Sangga 

Rantek, Pendekar Slebor yang sengaja meninggal-

kan pertarungannya dengan Iblis Kelabang henti-

kan larinya di tempat yang agak lapang. Anak 

muda tampan ini mengusap keringat yang mem-

basahi wajahnya dengan telapak tangan kanan-

nya.

Matanya diedarkan.

"Kutu busuk! Ke mana aku harus mencari 

Gadis Kayangan? Kalau ngambek ya ngambek, 

jangan ngilang begini?" dengusnya jengkel. Na-

mun begitu disadarinya kemungkinan kalau saat 

ini Gadis Kayangan berada dalam lingkaran maut, 

hati si Urakan ini jadi tidak tenang.

Digaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Apakah saat ini dia baik-baik saja?" desis-

nya sambil tarik napas pendek. Matanya meman-

dang ke kejauhan. Julangan sebuah bukit kapur 

seperti bercahaya tertimpa sinar matahari.

Semakin dicoba untuk memikirkan kea-

daan Gadis Kayangan, perasaannya justru makin 

tidak tenang. Perasaannya kali ini dilingkupi de-

baran tak menentu.

"Monyet pitak! Tak pernah kumaafkan diri-

ku bila terjadi apa-apa dengannya."

Dibawa langkahnya lima langkah ke depan. 

Tak ada siapa pun di sana kecuali dirinya. Bebe-

rapa ekor burung beterbangan menjauh dan

hinggap di ranggasan semak yang berayun-ayun.

"Rahasia Sebelas Jari.... Rahasia yang bu-

kan hanya membingungkan, tetapi memancing 

pertikaian berkepanjangan. Tentunya ini berhu-

bungan dengan Rantai Naga Siluman. Kupikir 

masalah Pulau Hitam telah selesai, tetapi justru 

makin berkembang lebar."

Andika mengingat-ingat akan sabuk yang 

sebesar lengan orang dewasa yang melingkar dan 

keluar dari dalam tanah begitu dua patahan pe-

dang perak dipertemukan dengan cara menyentak 

oleh Eyang Mega Tantra. Sebuah sabuk yang 

pancarkan sinar bening. Dari tempatnya yang ter-

sembunyi, cara keluar yang aneh dan cara men-

dapatkannya yang membingungkan, sudah tentu 

rantai itu bukanlah rantai sembarangan.

Tetapi yang masih membingungkan, apa 

sebenarnya kunci dari Rahasia Sebelas Jari.

Anak muda urakan ini menarik napas pen-

dek.

"Ada sebelas jari di dalam jiwa, satu jari 

adalah titik kemuliaan.

Sebuah rangkaian kata yang sebenarnya 

tak begitu sulit untuk diingat, tetapi memecahkan 

kata itu sangat sukar dilakukan. Aku tetap ber-

keyakinan, kuncinya terletak pada kata sebelas 

jari. Hmmm... sebelas jari. Satu jari adalah kemu-

liaan. Tentunya ini berhubungan dengan pera-

saan seperti yang pernah kupikir-kan. Perasaan 

hanya dimiliki oleh manusia. Kata-kata Gadis 

Kayangan waktu lalu, mengatakan bagaimana 

dengan orang yang memiliki dua kepribadian?

Hmmm... kucoba untuk merangkaikannya."

Untuk sejenak anak muda ini terdiam. Ke-

ningnya perlahan-lahan nampak berkerut. Lalu 

terlihat dia menggeleng-geleng resah, tanda belum 

dapat juga untuk mengetahui titik terang dari 

Rahasia Sebelas Jari.

"Kalau kucoba untuk rangkaikan pikiranku 

waktu lalu, apakah ini sebuah jalan keluar? Sebe-

las jari kuartikan sebelas orang. Tangan dan kaki 

masing-masing memiliki sepuluh buah jari. Bila 

dikaitkan dengan manusia, berarti ada sepuluh 

orang jika kuhubungkan dengan sepuluh buah 

jari. Lalu, satu jari ini? Hemm... bisa jadi ini 

hanya pemuslihatan kata-kata sebelas jari saja. 

Berarti, memang ada sepuluh orang dan satu 

orang memiliki dua kepribadian. Tetapi sampai 

saat ini, dari orang-orang yang kutemui, rata-rata 

menginginkan untuk mengetahui isi dari Rahasia 

Sebelas Jari yang tentunya untuk dipecahkan ar-

tinya. Busyet! Kepalaku jadi tujuh keliling!!"

Anak muda ini mengucak-ngucak rambut-

nya dengan gemas.

"Kalau memang demikian, siapa orangnya 

yang memiliki dua kepribadian? Dan apa hubun-

gannya orang itu dengan Rantai Naga Siluman? 

Kalau memang benar ada, berarti orang itulah sa-

tu-satunya yang berhak mendapatkan Rantai Na-

ga Siluman. Atau, bisa jadi dugaanku salah?"

Dilempar pandangannya kembali ke kejau-

han. Ditarik napas pendek. Seraya menghem-

buskannya dia mendesis, "Ketimbang aku sema-

kin bingung, lebih baik kuteruskan langkah mencari Gadis Kayangan. Naluriku kuat mengatakan, 

kalau dia dalam bahaya."

Memutuskan demikian, pemuda tampan 

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini sege-

ra berlari. Cukup lama dia berlari sebelum henti-

kan larinya tak jauh dari bukit kapur itu.

Pandangannya diarahkan pada julangan 

bukit kapur yang nampak menyala terkena sinar 

matahari. Aroma kapur-kapurnya sungguh tak 

sedap pada penciuman.

"Hmmm... aku masih tahu arah mana yang 

harus kutempuh untuk menemukan Gadis 

Kayangan. Tetapi biar bagaimana pun juga, kupi-

kir nyawanya lebih penting ketimbang dari Raha-

sia Sebelas Jari. Atau... aku salah menduga?"

Anak muda ini terdiam dengan kebingun-

gan yang makin kuat. Nyawa Gadis Kayangan ha-

rus diselamatkannya. Paling tidak, gadis itu tak 

kurang suatu apa. Namun tatkala dia teringat 

akan kata-kata Eyang Mega Tantra di Pulau Hi-

tam, bila dalam satu purnama dia belum berhasil 

memecahkan Rahasia Sebelas Jari dan itu berarti 

gagal untuk mendapatkan Rantai Naga Siluman, 

maka rimba persilatan akan menjadi kacau balau, 

hatinya menjadi tidak enak. Bukankah itu berarti, 

akan membawa korban yang tidak sedikit?

Andika memang belum dapat memastikan 

secara utuh, mengapa bila gagal mendapatkan 

Rantai Naga Siluman, berarti akan mengacaukan 

rimba persilatan? Atau, masih adakah rahasia di 

balik Rantai Naga Siluman itu sendiri?

"Monyet pitak! Bisa jadi Rantai Naga Silu

man dijaga oleh pemiliknya? Tetapi siapa? Bila 

memang tidak ada, kekacauan apa yang akan di-

timbulkannya, seperti yang dikuatirkan oleh 

Eyang Mega Tantra?"

Digaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal 

dengan gemas.

"Semakin lama aku...."

"Tak perlu berpusing diri! Lebih baik jawab 

pertanyaan sebelum urusan jadi kapiran!" terden-

gar satu suara bernada tegas dari belakangnya.

Serta-merta Andika palingkan kepalanya ke 

belakang. Dilihatnya satu sosok tubuh telah ber-

diri tegak dengan kedua kaki agak dibuka sejarak 

empat langkah.

Bukan melihat wajah tampan orang yang 

baru muncul yang membuat Andika harus ke-

rutkan kening. Melainkan baru disadarinya kalau 

dia tidak mendengar kehadiran orang.

Orang yang usianya hanya terpaut satu ta-

hun dari Andika ini tersenyum. Andika dapat me-

rasakan kalau senyuman itu penuh ejekan dan 

melecehkan.

Pemuda berparas tampan dengan rambut 

gondrong dan di keningnya melingkar sebuah ikat 

kepala berwarna biru, menggeleng-gelengkan ke-

palanya. Pakaian yang dikenakannya biru gelap 

dengan celana pangsi hitam. Di pinggang si pe-

muda, melilit sebuah tali sebesar ibu jari.

Lalu terdengar suaranya, pelan namun 

agak memaksa, "Aku memiliki dua maksud! Per-

tama, mencari orang bernama Kiai Alas Ireng! Bila 

kau dapat memberitahu, maka hanya tangan kananmu yang kuambil! Kedua, aku mencari orang 

berjuluk Pendekar Slebor! Bila kau dapat membe-

ritahu, maka hanya tangan kirimu yang akan pi-

sah dari tubuhmu!"

Terdiam Pendekar Slebor mendengar uca-

pan orang. Diam-diam dia membatin, "Nama Kiai 

Alas Ireng pernah kudengar dari Iblis Kelabang. 

Kehadiran pemuda ini nampaknya penuh dendam 

dengan Kiai Alas Ireng. Dan siapa dia sebenar-

nya?"

Habis berkata dalam hati demikian, Andika 

tersenyum.

"Setiap keinginan yang dipenuhi orang lain, 

sudah tentu harus memberikan imbalan pada 

orang itu! Tetapi sungguh tak enak didengar, ka-

lau kau ternyata justru menghendaki tangan ka-

nan dan kiriku bila tak dapat jawab pertanyaan! 

Sebelum kujawab, aku ingin tahu siapa kau 

adanya?"

"Kau boleh mengingatku dengan julukan 

Manusia Sepuluh Siluman!"

"Busyet! Julukannya serem amat ya? Pan-

tasnya sih berjuluk Monyet Sepuluh Kutukan!" 

kata Andika dalam hati lalu berkata, "Apa mak-

sudmu mencari Kiai Alas Ireng dan Pendekar Sle-

bor?"

Pemuda yang memang Manusia Sepuluh 

Siluman adanya ini terdiam, sorot matanya tajam. 

Setelah berhasil menyembuhkan diri dari seran-

gan Kiai Alas Ireng, pemuda yang memiliki ke-

sombongan setinggi langit ini meneruskan perja-

lanannya. Keinginannya adalah membunuh Kiai

Alas Ireng dan Pendekar Slebor yang diketahuinya

sebagai satu-satunya orang yang mengetahui ten-

tang Rahasia Sebelas Jari.

"Aku ingin membunuh Kiai Alas Ireng!"

"Bagaimana dengan Pendekar Slebor?!" Ka-

rena terlalu sombong, Manusia Sepuluh Siluman 

segera menyahut. "Dia adalah orang yang menge-

tahui tentang Rahasia Sebelas Jari! Aku juga 

akan membunuhnya bila dia tidak mengatakan 

apa isi dari Rahasia Sebelas Jari itu!"

"Wah! Benar-benar gawat! Sudah lima 

orang yang kuketahui ingin tahu tentang Rahasia 

Sebelas Jari! Dalam waktu yang kian sempit ini, 

tak ada gunanya meladeni pemuda ini. Lebih baik 

aku berdusta saja."

Lalu katanya, "Aku tidak tahu di mana Kiai 

Alas Ireng berada! Bila kau hendak mengetahui di 

mana Pendekar Slebor, aku memang pernah ber-

jumpa dengannya."

"Katakan padaku!!" sentak Manusia Sepu-

luh Siluman dengan wajah beringas.

"Dia baru saja lewat di tempat ini! Terus 

menuju ke arah balik bukit kapur!"

Sejenak Manusia Sepuluh Siluman me-

mandangi bukit kapur yang tinggi itu. Lalu perla-

han-lahan pandangannya diturunkan menatap 

Pendekar Slebor.

"Aku tak mau mengambil urusan dengan-

mu! Tadi kukatakan, bila kau dapat memberitahu 

di mana Kiai Alas Ireng berada, maka yang akan 

kuambil adalah tangan kananmu! Tetapi kau ti-

dak mengetahuinya di mana dia berada! Lalu, bila

kau dapat memberitahukan di mana Pendekar 

Slebor berada, maka tangan kirimu yang kuambil! 

Tetapi kesimpulanku, kau tak tahu di mana ke-

dua orang itu berada! Berarti, kau luput dari ke-

jadian yang mengerikan!"

Di tempatnya Andika mendumal, "Busyet! 

Ngomongnya keren amat! Tetapi cukup membin-

gungkan sebenarnya! Biasanya, kalau ada orang 

yang tak dapat beritahu apa yang ditanyakan, ba-

ru dia mengambil keputusan! Ini justru kebali-

kannya! Untung aku berkata dusta!"

Manusia Sepuluh Siluman masih arahkan 

pandangannya pada Pendekar Slebor. Setelah se-

saat dia berkata, "Kendati aku tak mengambil apa 

yang sebenarnya kuinginkan, kuharap kau jan-

gan dusta! Bila saja kuketahui soal itu, maka 

kaulah orang ketiga yang akan kuburu!"

Andika mengangkat kedua ba-

hunya."Terserah, deh!"

Manusia Sepuluh Siluman mendengus. La-

lu segera berlari menuju ke bukit kapur.

Dan mendadak saja terdengar suara sengit 

yang bercampur geram, "Huh! Lama dicari tidak 

tahunya berada di sini! Pendekar Slebor! Ajalmu 

sudah dekat!!"

Terkesiap Andika mendengar bentakan 

orang yang keras. Sementara itu, Manusia Sepu-

luh Siluman yang sudah berlari sekitar sepuluh 

langkah, kontan hentikan larinya.

Segera dia putar tubuh. Pandangannya be-

ringas pada Pendekar Slebor yang cuma nyengir 

saja.

Satu kejap kemudian, nampak satu sosok 

tubuh berpakaian batik kusam telah berdiri di 

hadapannya. Di tangan perempuan berpakaian 

batik kusam itu tergenggam sebatang cambuk 

berlidah tiga!

Seiring perempuan itu melangkah, Manu-

sia Sepuluh Siluman sudah menerjang ganas ke 

arah Pendekar Slebor.

"Tadi kukatakan, bila kau berdusta, maka 

kematian akan kau dapatkan! Tetapi sungguh be-

rani kau mendustaiku karena engkaulah Pendekar Slebor!!"


                   SELESAI


Ikuti kisah selanjutnya:

RANTAI NAGA SILUMAN
























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive