RAHASIA SEBELAS JARI
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:
Rahasia Sebelas Jadi
128 hal.
1
Malam telah turun ketika satu bayangan
hitam bergerak di sebuah hutan lebat laksana di-
kejar setan. Dan tahu-tahu bayangan hitam itu
lenyap dari pandangan, tertelan jajaran pepoho-
nan yang tumbuh di hutan itu. Setelah beberapa
saat, nampak kembali kelebatan orang ini. Malah
lebih cepat dari semula, seolah dia khawatir akan
tertinggal sekejap juga dari apa yang diinginkan-
nya.
Di sebuah padang rumput yang luas, di se-
belah tenggara hutan yang dilewati orang itu, dia
hentikan larinya. Tak ada napas terengah yang
keluar, bahkan tak sebutir keringat pun yang
mengalir.
Untuk beberapa saat, orang yang habis
berlari edarkan pandangannya berkeliling me-
nembus kegelapan. Sejauh mata memandang,
yang nampak hanya kegelapan semata.
"Hmmm... belum ada tanda-tanda perawan
peot itu hadir di sini. Dia terlambat, atau aku
yang terlampau cepat? Tetapi ini tepat tengah ma-
lam. Tak mungkin aku terlambat. Jangan-
jangan... dia hanya menganggap isyaratku seba-
gai angin lalu. Atau, justru aku yang salah mem-
beritahunya, sehingga dia tidak tiba di tempat
ini?" desisnya sambil usap-usap jenggotnya yang
memutih.
Kembali orang yang ternyata seorang lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun ini, terdiam.
Sepasang matanya yang agak menyipit, makin da-
lam menyipit. Wajahnya yang turus dan dihiasi
kulit tipis, nampak bergerak-gerak.
Sementara itu, di angkasa awan hitam sea-
kan tak bergeming dihembus angin. Menyatukan
eratan untuk menghalangi sinar rembulan yang
malam ini seolah lenyap.
Orang ini kembali keluarkan .suara, "Akan
kutunggu dia beberapa lama lagi. Bila tidak mun-
cul juga, terpaksa aku harus bergerak sendiri.
Rahasia Sebelas Jari harus kupecahkan. Rantai
Naga Siluman harus kudapatkan."
Lamat-lamat lelaki berjubah hitam ini
arahkan pandangan pada julangan bukit di sebe-
lah kanannya. Tersaput kegelapan dan tak ubah-
nya raksasa yang mendekam.
Lalu kedua tangannya disedekapkan di de-
pan dada. Dia berusaha berdiri lebih tegak, den-
gan buka kedua matanya agak melebar. Tapi, ka-
rena sepasang mata kelabunya agak menyipit,
saat dibuka lebih lebar nampak keningnya jadi
berkerut ke atas.
Waktu berlalu dalam keheningan. Angin
malam makin menusuk hingga ke tulang sum-
sum. Di kejauhan lolongan anjing malam terden-
gar, panjang dan mengiriskan.
Tepat tatkala rintikan air tertumpah dari
langit, orang yang bersedekap ini menarik napas
pendek.
"Keparat terkutuk! Ini sudah lewat tengah
malam, belum ada tanda-tanda perawan keparat
itu akan dalang! Jahanam! Berarti, dia sudah tak
menghargai aku lagi rupanya! Jahanam sial! Un-
tuk apa aku buang waktu di sini? Aku harus me-
mecahkan Rahasia Sebelas Jari!!"
Orang ini kembali hentikan ucapannya.
Pandangannya diedarkan ke bagian kanan dan
kirinya.
"Terkutuk! Lebih baik aku berlalu dari si-
ni!!"
Baru saja habis kata-kara orang yang mu-
lai geram ini, mendadak terdengar suara angin
berkesiur kencang di belakangnya. Segera dia ba-
likkan tubuh dan siap hantamkan tangan kanan-
nya yang diangkat.
Akan tetapi, saat itu pula diturunkan tan-
gan kanannya begitu melihat bayangan orang
yang telah berdiri berjarak tiga tombak dari tem-
patnya.
Menyusul dia mendengus gusar.
Tetapi belum dia membuka mulut, orang
yang baru datang itu sudah buka suara, "Kiai
Alas Ireng! Maafkan alas keterlambaranku!!"
Orang berjubah hitam ini mendengus.
Langsung bersuara jengkel, "Perawan tua bau ta-
nah yang berjuluk Iblis Kelabang! Kupikir kau
sudah tak hargai lagi diriku! Hampir kuputuskan
untuk menjadikanmu seteru dalam hidupku!!"
Orang yang baru datang dan ternyata seo-
rang perempuan yang usianya tak jauh beda den-
gan lelaki berjubah hitam yang bernama Kiai Alas
Ireng, menggelengkan kepala.
"Tak mungkin aku kesampingkan apa yang
kau inginkan! Boleh dikatakan, apa yang kau perintahkan selalu kuturuti! Tetapi tentunya, aku
juga ingin tahu mengapa kau menyuruhku untuk
bertemu di sini!!"
Kiai Alas Ireng maju lima langkah ke de-
pan. Dia pandangi dulu perempuan berpakaian
panjang berwarna semerah darah itu sebelum
buka mulut, "Gampang sekali apa yang kuingin-
kan! Aku menginginkan kau membunuh Pende-
kar Slebor."
Iblis Kelabang anggukkan kepala sambil
kembangkan senyum. "Membunuh siapa pun,
akan kulakukan untukmu! Tetapi, aku ingin tahu
mengapa kau memerintahkanku untuk membu-
nuh pemuda dari Lembah Kutukan itu?"
Mendengar pertanyaan si perempuan, Kiai
Alas Ireng mendengus. Sepasang matanya menyi-
pit saat berkata-kala, "Apakah dengan kata lain,
kau mencoba tidak memenuhi apa yang kuperin-
tahkan, hah?!"
Senyum di bibir Iblis Kelabang makin men-
gembang.
"Sudah kukatakan, aku tak mungkin me-
nolak perintahmu, Kiai Alas Ireng!"
Sepasang mata Kiai Alas Ireng melebar. Be-
gitu dilihatnya si perempuan menganggukkan ke-
palanya dengan pasti, lamat-lamat dia pun terse-
nyum lebar.
"Kupercayai apa yang kau katakan! Iblis
Kelabang, tidakkah kau mendengar tentang raha-
sia Pulau Hitam yang telah terpecahkan?"
Iblis Kelabang anggukkan kepala.
"Hingga saat ini, telingaku belum tuli sama
sekali. Sudah tentu aku mendengarnya. Bahkan
kuketahui, kalau Pendekar Sleborlah yang telah
memecahkan rahasia Pulau Hitam, yang salah sa-
tunya adalah hadirnya Eyang Mega Tantra kem-
bali."
"Hanya itu yang kau dengar?" suara Kiai
Alas Ireng terdengar gusar dan mengejek.
"Sudah tentu tidak! Aku mendengar pula
kabar tentang Rantai Naga Siluman!"
"Rantai itulah yang kuinginkan!!"
Perempuan yang berambut putih dan dike-
labang ini terdiam. Keningnya nampak berkerut.
Di saat dia mengangguk-anggukkan kepalanya,
nampak kalung kelabang merah bergerak-gerak di
atas dadanya yang rata.
"Aku mengerti. Tetapi, mengapa justru
Pendekar Slebor yang harus dibunuh? Apa yang
kudengar, tak memberitakan tentang Pendekar
Slebor yang telah mendapatkan Rantai Naga Si-
luman," ucap Iblis Kelabang.
"Kau benar!" sahut Kiai Alas Ireng. "Berita
yang sampai di telinga pun mengabarkan demi-
kian! Tetapi, dialah satu-satunya orang yang dibe-
ritahukan oleh Eyang Mega Tantra tentang Raha-
sia Sebelas Jari! Barang siapa yang dapat meme-
cahkan rahasia itu, maka dialah orang yang ber-
hak mendapatkan Rantai Naga Siluman. Karena,
rahasia untuk mendapatkan rantai itu, harus
memecahkan Rahasia Sebelas Jari."
"Lantas, mengapa aku harus membunuh
Pendekar Slebor? Bukankah dia orang yang paling...."
"Bodoh!!" putus Kiai Alas Ireng menggun-
tur. "Sudah tentu bila kau berhasil mendapatkan
tentang Rahasia Sebelas Jari, baru kau membu-
nuhnya! Selama berdiam di Lembah Kelabang,
apakah kau sudah menjadi bodoh?!"
Bukannya gusar mendengar bentakan se-
kaligus ejekan orang, Iblis Kelabang justru rang-
kapkan kedua tangannya di depan dada. Kepa-
lanya agak ditundukkan.
"Maafkan aku."
"Kau kuberi waktu sebelum purnama da-
tang! Bila kau gagal menjalankan tugas yang ku-
berikan, kau tak akan pernah lagi tiba di Lembah
Kelabang!!"
"Akan kujalankan semua yang kau perin-
tahkan! Karena, inilah saatnya membalas budi!
Bila saja kau tak menolong nyawaku dari kema-
tian yang akan diturunkan oleh Panembahan
Agung, sudah tentu aku tak akan pernah melihat
rupa dunia seperti saat ini!"
"Aku tak bicara seal budi!! Yang kuingin-
kan, kau jalankan perintahku, tanpa banyak ber-
tanya lagi!!"
"Akan kulakukan sebaik-baiknya!"
"Bagus! Tinggalkan tempat ini sekarang ju-
ga!!"
Perempuan berpakaian merah darah ini
rangkapkan kembali kedua tangannya di depan
dada.
"Akan kukabarkan padamu, sepuluh hari
mendatang!"
Habis kata-katanya, laksana ditarik setan,
perempuan ini telah berbalik dan berkelebat ke
belakang. Gerakannya begitu cepat. Namun, ma-
sih terlihat oleh mata Kiai Alas Ireng kendati pe-
rempuan itu sudah berlari berjarak dua puluh
tombak dari tempatnya berdiri.
Sepeninggal Iblis Kelabang, Kiai Alas Ireng
kembangkan senyum puas. Kedua tangannya dis-
edekapkan kembali di depan dada.
"Kau tak akan berani melecehkan setiap
perintahku, Perawan Tua! Biarpun kau mengata-
kan kau hendak membalas budi, aku lebih per-
caya karena kau takut terhadapku! Kelemahan
seluruh ilmu yang kau miliki sudah kuketahui!"
Untuk beberapa lama orang berjubah hi-
tam ini terdiam.
"Sebaiknya, aku juga mulai melacak di
mana Pendekar Slebor berada."
Baru habis kata-katanya, mendadak Kiai
Alas Ireng palingkan kepalanya ke kanan. Mata
kelabunya berkilat-kilat tajam.
"Aku mendengar suara orang berkelebat.
Jahanam sial! Apakah Iblis Kelabang kembali la-
gi? Atau orang lain yang baru datang? Bisa jadi
orang keparat itu sudah berada di sini sejak tadi.
Sungguh hebat bila dia bisa hadir tanpa sepenge-
tahuanku. Huh!! Ternyata tempat ini tidak aman!
Sebaiknya, kutunggu apa yang akan dilakukan
orang itu sebelum aku meninggalkan tempat ini!!"
Namun tanpa dia tunggu, orang yang tadi
didengar kelebatannya tahu-tahu telah berdiri
berjarak dua tombak di hadapannya. Orang ini
tegak dengan kedua kaki dibuka agak lebar.
Serta-merta Kiai Alas Ireng membentak,
"Orang tak diundang! Sebelum kutanyakan apa
keperluanmu di sini, sebaiknya katakan siapa
kau adanya!!"
Orang yang berdiri di seberang balas me-
mandang. Sepasang matanya tak berkedip. Terli-
hat pula kalau dia agak berhati-hati. Lalu sambil
angkat kepalanya, dia berkata, "Kau boleh me-
manggilku dengan sebutan Manusia Sepuluh Si-
luman!"
Terdengar dengusan melecehkan dari Kiai
Alas Ireng. Nampak dia sama sekali tak merasa
keder dengan kehadiran orang berjuluk Manusia
Sepuluh Siluman.
Sebelum dia buka mulut, orang yang men-
gaku berjuluk Manusia Sepuluh Siluman yang
berdiri diselimuti kegelapan sudah buka mulut,
"Jangan suka meremehkan orang bila belum lahu
siapa adanya orang! Pertanyaanmu telah kuja-
wab, sekarang katakan, apa yang kau ketahui
tentang Rahasia Sebelas Jari!!"
Kiai Alas Ireng perdengarkan geraman sen-
git. Sepasang bola matanya mendelik memandang
liar ke arah Manusia Sepuluh Siluman.
"Setan alas! Baru kali ini kudengar julukan
Manusia Sepuluh Siluman! Tetapi kehadirannya
sudah jelas! Bila dia bertanya tentang Rahasia
Sebelas Jari, artinya dia juga menghendaki Rantai
Naga Siluman!"
Habis membatin begitu, Kiai Alas Ireng bu-
ka mulut, "Pertanyaanmu sungguh membuatku
terkejut! Tak kupungkiri soal itu! Tetapi, aku ingin bertanya lebih dulu! Kau sendiri, apa yang
kau ketahui tentang Rahasia Sebelas Jari?"
"Jangan membadut di hadapanku!!" meng-
guntur suara Manusia Sepuluh Siluman. Orang-
nya sudah maju tiga tindak ke muka.
Dari jarak yang semakin dekat, Kiai Alas
Ireng dapat melihat siapa adanya Manusia Sepu-
luh Siluman. Orang itu ternyata seorang pemuda
tampan berambut gondrong dan di keningnya me-
lingkar sebuah ikat kepala berwarna biru. Pa-
kaian yang dikenakannya biru gelap dengan cela-
na pangsi hitam. Di pinggang si pemuda yang ku-
rang lebih berusia sekitar delapan belas tahun,
melilit sebuah tali sebesar ibu jari.
Menyadari siapa adanya orang yang mem-
bentak, Kiai Alas Ireng bertambah murka. Seu-
mur hidupnya, baru kali ini dia dibentak orang.
Dan yang lebih membuatnya marah, karena orang
yang membentak masih sedemikian muda.
"Bocah yang baru lepas dari susuan! Uca-
panmu sangat terasa hingga menembus ke langit
tujuh! Apakah kau sudah siap untuk memusnah-
kan semua impian-impian dari jalan hidupmu
yang masih panjang, untuk mampus di tangan-
ku?"
Pemuda berhidung mancung itu, pentang-
kan senyum mengejek. Dengan gerakan lambat
namun menampakkan isi dari ilmu yang dimili-
kinya, si pemuda melipat kedua tangannya di de-
pan dada.
"Aku tahu siapa kau ini! Kiai Alas Ireng!
Orang yang menguasai daerah timur! Dan telah
memerintahkan perempuan bodoh berjuluk Iblis
Kelabang untuk membunuh Pendekar Slebor!
Kuhendaki pula nyawa pemuda itu! Tapi, sebelum
kudapatkan Rantai Naga Siluman, aku ingin tahu
lebih dulu darimu tentang Rahasia Sebelas Jari!!"
Makin murka kemarahan Kiai Alas Ireng
mendengar ejekan Manusia Sepuluh Siluman.
Tanpa buang waktu lagi, dia segera angkat tangan
kanannya. Wuuuttt!!
Satu gelombang angin yang menderu dah-
syat, menggebrak ke arah Manusia Sepuluh Si-
luman.
Bersamaan Kiai Alas Ireng lancarkan se-
rangan, Manusia Sepuluh Siluman pun buat ge-
rakan memutar dengan tangan kanannya.
Wuusss!!
Satu gelombang angin melingkar segera
menderu. Pusaran lingkaran angin itu terus ber-
gerak cepat, bukan hanya menahan sambaran
angin yang dilepaskan Kiai Alas Ireng, tetapi juga
menenggelamkan sekaligus memutus dalam ling-
karan anginnya.
Blaaammm!!
Terdengar suara letupan keras di saat Ma-
nusia Sepuluh Siluman mengangkat tangan ka-
nan dengan cara membuka ke atas.
Di seberang, kendati tak kurang suatu apa,
wajah Kiai Alas Ireng berubah. Apa yang diperli-
hatkan si pemuda telah membuka kedua matanya
untuk mengetahui siapa adanya orang.
Liar matanya memandang ke arah Manusia
Sepuluh Siluman yang sedang tersenyum dan
tangan kanannya telah kembali dilipat di depan
dada.
Dengan suara mengandung kemarahan,
Kiai Alas Ireng keluarkan bentakan, "Pemuda ke-
parat! Rupanya kau memang tak sayang pada
nyawamu!"
Tertawa keras Manusia Sepuluh Siluman
hingga tubuhnya agak bergetar.
"Ucapanmu sungguh sangat enak sekali
didengar! Jangan-jangan, kau yang masih sayang
pada nyawa busukmu! Kalau begitu, cepat kau
katakan, apa yang dimaksud dengan Rahasia Se-
belas Jari?!"
Seakan dipendam oleh kekuatan dahsyat
sisa-sisa ketenangan Kiai Alas Ireng. Kemarahan-
nya kontan membludak naik ke ubun-ubun. Ke-
dua tangannya mengepal kuat.
Beberapa saat masing-masing orang tak
ada yang buka suara, sebelum terdengar letupan
dahsyat berkali-kali. Bersamaan dengan itu, ta-
nah di hadapan hingga tempatnya berdiri Manu-
sia Sepuluh Siluman, membuyar ke udara.
Memekik tertahan Manusia Sepuluh Silu-
man melihat apa yang terjadi. Sambil membuang
tubuh ke udara dia membatin, "Gila! Satu pame-
ran tenaga dalam yang tak dapat dipandang rin-
gan! Tentunya itu telah dilancarkan oleh lelaki ja-
hanam ini melalui kepalan kedua tangannya!
Hmmm, aku jadi ingin bermain-main dulu den-
gannya sebelum dia kubunuh!"
Masih berada di udara, Manusia Sepuluh
Siluman mengibaskan tangan kanannya.
Wrrr! Wrrr! Wrrrr!!
Tiga angin kecil laksana anak panah mele-
cut ke arah Kiai Alas Ireng, yang hanya terse-
nyum melihatnya.
"Kepandaian tak seberapa sudah berani
jual lagak!" tawanya sambil mendorong tangan
kanannya ke depan.
Namun sebelum dia lakukan, mendadak
saja tiga larik angin kecil laksana anak panah itu,
telah keluarkan letupan keras. Menyusul letupan
lain yang berkali-kali mengarah dan terus melesat
ke arah Kiai Alas Ireng.
Kalau tadi si pemuda yang memekik terta-
han, sekarang ganti orang berjubah hitam ini
yang mendongak kaget disertai pekikan. Dengan
kedua mata terbeliak lebar, dia cepat membuang
tubuh ke samping kanan.
Bertepatan Manusia Sepuluh Siluman
hinggap kembali di atas tanah, Kiai Alas Ireng
pun hinggap pula di atas tanah.
Sebelum dia buka mulut, si pemuda sudah
menepuk tangannya berulang-ulang disertai sua-
ra, "Hebat! Pertunjukan yang sangat mengge-
maskan sekali! Bila kau melamar menjadi anggota
sandiwara keliling, kupikir kau akan langsung di-
terima tanpa diuji lebih dulu!!"
Memerah wajah Kiai Alas Ireng mendengar
ejekan yang sangat menyakitkan. Lebih menya-
kitkan lagi, saat disadarinya kembali, kalau orang
yang keluarkan ejekan hanyalah pemuda yang
masih bau kencur!
2
Kita tinggalkan dulu Kiai Alas Ireng yang
bertambah murka mendengar ejekan Manusia
Sepuluh Siluman. Pada saat yang bersamaan, sa-
tu sosok tubuh bangkit dari rebahannya di bawah
pohon yang dinaungi kegelapan. Orang ini perha-
tikan dulu seorang gadis jelita berkepang dua
yang tidur tak jauh darinya sebelum berdiri.
Kejap berikutnya, diedarkan pandangannya
ke sekeliling hutan kecil itu. Jajaran pepohonan
tinggi hampir-hampir menghalangi pandangannya
menembusi kegelapan malam.
Untuk sejenak sosok yang ternyata seorang
pemuda ini lak lakukan tindakan apa-apa. Dia
seperti menunggu. Sepasang telinganya dipasang
baik-baik.
"Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Hutan ini aman," desisnya sambil garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Rambut gondrongnya
yang acak-acakan, makin bertambah tak karuan.
Kembali diliriknya gadis berpakaian biru
muda yang tertidur dengan tubuh meringkuk.
Ada rasa kasihan yang singgah di hati si pemuda
yang melihat kalau gadis itu kedinginan.
Hati-hati dia beringsut mendekatinya. Se-
jenak dipandanginya wajah jelita yang menyamp-
ing itu.
"Cantik. Dan sungguh sangat disayangkan
karena dia harus terlibat urusan yang pelik ini.
Sebenarnya, aku tak ingin mengajaknya serta.
Urusan Rahasia Sebelas Jari masih membingung-
kanku," desis si pemuda. Tahu-tahu dia menden-
gus. "Monyet pitak! Sudah lima hari aku berusaha
memecahkan persoalan Rahasia Sebelas Jari, tapi
sampai saat ini belum juga berhasil kulakukan!
Kura-kura bau! Kenapa sih aku harus terlibat
urusan macam beginian?"
Si pemuda yang nampak sedang kesal ini,
menggaruk-garuk kembali kepalanya yang tidak
gatal. Dan siapa lagi pemuda yang suka memaki-
maki uring-uringan itu kalau bukan si Urakan
dari lembah Kutukan?
Anak muda tampan yang memiliki sepa-
sang alis hitam legam menukik laksana kepakan
sayap elang ini memang baru saja keluar dari Pu-
lau Hitam. Setelah berhasil mengetahui rahasia
apa yang ada di Pulau Hitam, Pendekar Slebor
mendapatkan satu teka-teki dari Eyang Mega
Tantra. Selain rahasia di Pulau Hitam adalah
Eyang Mega Tantra sendiri, ternyata di sana ada
sebuah benda sakti yang bernama Rantai Naga
Siluman. Saat itu Andika bertanya pada Eyang
Mega Tantra, mengapa tak segera mengambil
benda sakti itu?
Namun jawaban Eyang Mega Tantra bukan
hanya mengejutkan, tetapi juga bikin pusing ke-
palanya. Dia harus berhasil memecahkan Rahasia
Sebelas Jari untuk mendapatkan Rantai Naga Si-
luman. Karena bila rahasia itu tak terpecahkan,
maka sulitlah Rantai Naga Siluman didapatkan.
Dan yang membuat Andika makin uring-uringan,
karena Eyang Mega Tantra mengatakan bila Rahasia Sebelas Jari tidak terpecahkan dan berarti
Rantai Naga Siluman tak didapatkan dalam wak-
tu satu purnama, maka rimba persilatan akan
kacau-balau (Untuk lebih jelasnya, silakan baca
episode : "Rahasia Pulau Hitam")
Dan sekarang, anak muda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini sedang berusaha
keras untuk memecahkan Rahasia Sebelas Jari.
Akan tetapi sampai bonyok pikirannya, dia belum
juga berhasil mendapatkan kejelasan.
Keadaan ini bukan hanya membuatnya
menjadi gemas. Tetapi juga jengkel.
"Sambel terasi! Daripada mikirin terus,
mendingan makan nasi uduk!" desisnya asal-asal.
Kembali diperhatikan wajah jelita yang ter-
tidur nyenyak. Dada si gadis yang agak membu-
sung mengkal itu naik turun di saat napasnya
mengalun.
Andika mendengus pelan menyingkirkan
pikiran kotor yang sempat singgah. Lalu hati-hati
dilepaskannya lilitan kain bercorak catur pada le-
hernya. Hati-hati pula dia menyelimuti sosok si
gadis yang tak lain Gadis Kayangan adanya.
Memang, setelah Eyang Mega Tantra mem-
berikan Rahasia Sebelas Jari pada Pendekar Sle-
bor, gadis itu menuntut Andika untuk mencerita-
kannya.
Tetapi Andika hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja, karena dia memang tidak tahu
secara pasti. Gadis Kayangan melirik Panemba-
han Agung yang saat itu juga berada di Pulau Hi-
tam, seolah meminta izin untuk mengikuti Pendekar Slebor. Setelah Panembahan Agung mengang-
guk, gadis itu pun segera mengikuti Andika.
Sementara itu, niat baik Andika untuk me-
lindungi si gadis dari udara yang dingin, justru
membuat si gadis terbangun. Tersentak kaget
murid mendiang Pemimpin Agung ini bangkit.
Tangan kanannya nampak terangkat naik tanda
siap lepaskan pukulan. Tetapi begitu dilihatnya
Pendekar Slebor di hadapannya, Gadis Kayangan
mendengus.
"Andika! Apa-apaan sih kau ini? Kau sen-
gaja mengganggu tidurku, ya?"
Dibentak seperti itu, pemuda berpakaian
hijau pupus ini cuma nyengir.
Lalu katanya, "Maksudku baik. Ingin me-
nyelimutimu. Tapi, karena kau sudah terbangun,
ya tidak usah. Mendingan buatku saja."
Dasar konyol, anak muda ini menarik
kembali kain bercorak caturnya. Lalu menyelimu-
ti tubuhnya. Konyolnya lagi, dia berjongkok seper-
ti orang yang kebelet buang hajat dan tubuhnya
sengaja digetar-getarkan seolah kedinginan.
Gadis Kayangan yang tadi gusar, justru
tertawa melihat sikapnya.
"Mengapa kau terbangun?" tanyanya ke-
mudian. Andika menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Aku belum tidur."
"Belum tidur? Busyet! Apa kau kebanyakan
ngopi sore tadi di dusun yang kita lalui?"
Andika cuma nyengir. Sambil menggerak-
gerakkan tubuhnya, dipandangi wajah jelita Gadis
Kayangan. Lalu katanya, "Kau tak pantas meledek
orang!"
Gadis Kayangan mendengus. Menekuk lu-
lut.
Sunyi meraja sesaat. Yang terdengar hanya
suara hewan-hewan malam.
"Andika...," desis Gadis Kayangan meme-
cah kesunyian.
"Kenapa?"
Gadis jelita berkepang dua ini melirik.
"Apakah kau belum mau menceritakan ten-
tang Rahasia Sebelas Jari yang diceritakan Eyang
Mega Tantra padamu?"
"Aku bukan tak mau menceritakan, tetapi
aku sendiri masih bingung."
"Bila kau bingung, kau kan bisa membagi
persoalan itu denganku. Barangkali saja, dengan
dua pikiran yang saling bantu, kita akan mene-
mukan apa yang ada di dalam Rahasia Sebelas
Jari yang diberikan Eyang Mega Tantra."
Andika mengangguk-anggukkan kepalanya,
menyetujui kata-kata Gadis Kayangan. Melihat si
pemuda mengangguk-angguk, Gadis Kayangan
makin bersemangat.
Sambil menggeser duduknya mendekati
Andika dia berkata. "Kalau begitu, cepat kau ceri-
takan padaku."
"Tidak."
"Tidak?" Gadis Kayangan melotot. "Tadi
kau mengangguk! Sekarang kau mengatakan ti-
dak! Apakah...."
"Rahasia itu bukan hanya rumit. Tetapi ju
ga sulit dimengerti."
"Katakan, katakan padaku."
Andika memandangi si gadis yang sedang
bersemangat. Yang dipandangi balas memandang
dengan kedua mata melebar. Rasa kantuknya te-
lah lenyap. Bahkan saking bersemangatnya, tak
terdengar desahan napas si gadis. Mendadak An-
dika tertawa sambil mendorong kening si gadis
dengan gemas.
"Lagakmu, ah!"
"Ayo, dong... ceritakan padaku."
"Baik, akan kuceritakan padamu...," kata
Andika kemudian. Dia terdiam sejenak sebelum
berkata, "Yang diberitahukan Eyang Mega Tantra
padaku, berupa kalimat pendek. Bahkan boleh
dikatakan, tak jelas sama sekali. Tetapi aku ya-
kin, ada makna yang tersembunyi di dalamnya."
"Iya, apa?" tuntut si gadis.
"Dia hanya mengatakan ada sebelas jari di
dalam jiwa, satu jari adalah titik kemuliaan."
Kening Gadis Kayangan berkerut.
"Hanta itu?"
"Ya, hanya itu! Tapi sih, kalau mau kau
tambahi, ya terserah!"
Gadis jelita berkepang dua ini mendengus.
"Lalu, apa yang dapat kau pikirkan tentang
Rahasia Sebelas Jari?"
Andika mengangkat kedua bahunya. Iseng
dia mencabut sebatang rumput dan menghisap-
hisapnya.
"Terus terang, aku belum mengetahuinya.
Tetapi bila Rahasia Sebelas Jari dapat terpecah
kan, berarti Rantai Naga Siluman yang waktu itu
kita lihat muncul dari dalam tanah dan lenyap
kembali ke dalam tanah, akan berhasil dida-
patkan."
"Bagaimana bila tidak?"
"Berarti urusan rimba persilatan yang ten-
gah genting ini akan semakin genting."
"Lalu apa yang akan kau lakukan untuk
memecahkan Rahasia Sebelas Jari?" kejar Gadis
Kayangan yang bernama asli Winarsih ini penasa-
ran.
Andika menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Ada sebelas jari di dalam
jiwa. Sebelas jari. Hmmm... manusia memiliki
dua puluh jari. Sepuluh jari tangan dan sepuluh
jari kaki. Tetapi, ini sebelas jari. Yang satu lagi,
jari yang mana ya? Jangan-jangan...." Anak muda
urakan ini menghentikan ucapannya.
Gadis Kayangan yang sudah mengetahui
kecerdikan Pendekar Slebor, berkata tegang,
"Jangan-jangan apa?"
Andika meliriknya dengan kening dike-
rutkan. Melihat sikap anak muda itu semakin
terpancing rasa penasaran di hati Gadis Kayan-
gan. Dia jadi makin tegang sekarang.
"Andika katakan padaku, apa yang kau pi-
kirkan?"
Bukannya segera sahuti pertanyaan si ga-
dis, anak muda itu justru mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Jangan-jangan... Orang itu cacat...."
Mendengus Gadis Kayangan mendengar
jawaban Andika.
"Enaknya ngomong!"
"Lho, habisnya ada sebelas jari? Kita kan
belum tahu, apa jari kaki atau jari tangan. Tapi,
masing-masing berjumlah sepuluh buah. Ya... ka-
lau ada yang berjumlah sebelas jari, berarti ca-
cat."
"Brengsek, ah!" omel Gadis Kayangan sam-
bil berdiri. Sejenak dipandanginya sekeliling tem-
pat itu. Perutnya terasa lapar. Gadis Kayangan
bermaksud untuk mencari makanan. Diliriknya
Andika yang justru memandangnya dengan ken-
ing berkerut. "Dasar Brengsek!" dengusnya dalam
hati. "Kok, dia tidak merasa bersalah ya?"
Lalu katanya, "Aku akan cari makanan!"
Tanpa menunggu sahutan Pendekar Sle-
bor, murid mendiang Pemimpin Agung itu sudah
berkelebat meninggalkannya.
Tinggal Pendekar Slebor yang mendadak
mendengus, lalu terdengar omelannya panjang
pendek, "Kok dia kelihatannya sewot sih? Apa aku
salah? Kan betul kalau kubilang cacat? Dasar
urakan!!" (Ampun! Sebutan itu lebih pantas untuk
si gadis atau dirinya sendiri?)
Malam semakin membentang. Udara terus
berhembus dingin. Beberapa dedaunan bergugu-
ran, sebuah menerpa wajahnya.
Sambil membuang rumput yang dihisap-
hisapnya tadi, Andika berusaha memikirkan ten-
tang Rahasia Sebelas Jari.
"Adanya di dalam jiwa," desisnya dengan
kening berkerut. "Di dalam jiwa. Bukankah itu
berarti perasaan? Tetapi, apa iya perasaan? Satu
jari adalah titik kemuliaan. Busyet! Kalau me-
mang ini menyangkut perasaan, bagaimana hu-
bungannya dengan Rantai Naga Siluman? Menu-
rut Eyang Mega Tantra, bila aku berhasil meme-
cahkan Rahasia Sebelas Jari, maka aku akan
mengetahui caranya untuk mendapatkan Rantai
Naga Siluman. Monyet gundul! Kok justru sema-
kin pusing saja kepalaku!!"
Kembali dicobanya untuk memikirkan lebih
lanjut.
"Rahasia Sebelas Jari. Aku yakin, teka-teki
ini berada pada kata sebelas jari. Tetapi, apa
maksudnya? Mengapa harus dikatakan sebelas
jari?"
Menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal anak muda ini. Lalu perlahan-lahan Andika
berdiri. Dipentangkan kedua tangannya sambil
menghela napas.
"Huh! Pusing kepalaku!"
Diarahkan pandangannya ke arah perginya
Gadis Kayangan tadi. Dan dia mendesis lagi,
"Mencari makanan malam begini, sudah tentu
yang didapat hanyalah ayam, burung atau kelinci
hutan. Biar cepat, lebih baik aku membuat api
unggun saja."
Memutuskan demikian, Andika segera
mengumpulkan beberapa batang ranting. Namun
sebelum dia membuat api, mendadak didengar-
nya teriakan keras, "Andikaaaa!!"
Teriakan keras itu dibaluri dengan ketaku-
tan yang tinggi.
Tanpa hiraukan lagi niatnya semula, Andi-
ka segera berkelebat ke arah suara tadi, yang di-
kenalnya sebagai suara Gadis Kayangan.
Cukup lama dia harus mencari di mana
asal suara itu berada, sebelum akhirnya dia me-
nemukannya. Dan anak muda ini sampai surut
satu tindak ke belakang melihat pemandangan di
hadapannya.
Di hadapannya, seorang lelaki tinggi besar
tengah menenteng sosok Gadis Kayangan di ping-
gangnya. Dari sikap yang diperlihatkan oleh Gadis
Kayangan, Andika langsung mengetahui kalau
gadis itu dalam keadaan tertotok.
Tetapi suaranya cukup keras terdengar,
"Andika! Tolong aku!!"
3
Sementara itu, di padang rumput yang
luas, Kiai Alas Ireng tak kuasa untuk menindih
amarahnya lebih lama. Kegusaran lelaki tua ber-
jubah hitam ini pada pemuda yang berjuluk Ma-
nusia Sepuluh Siluman semakin menjadi-jadi.
Kejap berikutnya dia sudah melesat ke de-
pan seraya dorong tangan kanan kirinya.
Kalau tadi hanya mencelat gelombang an-
gin belaka, kali ini disusul dengan bongkahan
awan-awan hitam. Suara yang keluar sangat ang-
ker, seperti puluhan pedang membeset udara.
Tanah dan rerumputan terseret.
Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman se
saat melengak melihat kedahsyatan serangan
orang berjubah hitam.
Kali ini dia segera tekuk kedua tangannya
seolah membentuk halangan. Napasnya ditahan
sesaat. Mendadak diangkat kedua tangan yang
tertekuk itu ke atas, hingga kedua sikunya te-
rangkat naik.
Serta-merta menggebah gelombang angin
yang tak kalah mengerikannya.
Wrrrr! Wrrrr!!
Tak disangsikan lagi akibat yang terjadi be-
gitu kedua gempuran bertemu.
Blaaamm! Blaaammm!
Diiringi suara yang berdebur dahsyat, pa-
dang rumput yang diselimuti kegelapan seolah
bergetar, disusul ambyarnya awan-awan hitam
yang keluar dari dorongan kedua tangan Kiai Alas
Ireng. Tanah di mana bertemunya dua tenaga ja-
rak jauh yang dahsyat itu, muncrat ke udara yang
seketika pandangan terbungkus oleh gumpalan
tanah.
Cukup lama tanah-tanah itu masih beter-
bangan sebelum akhirnya sirap kembali ke atas
tanah. Begitu pemandangan dapat ditembusi
pandangan mata, terlihat lubang yang cukup le-
bar.
Sementara itu, Kiai Alas Ireng nampak te-
lah surut tiga tindak ke belakang. Bukan hanya
kedua tangannya saja yang bergetar, sekujur tu-
buhnya pun bergetar hebat. Bahkan tanpa dis-
adarinya, gigi-giginya saling bertemu hingga tim-
bulkan suara bergemeletuk. Menyusul dia keluarkan napas dengan cara dihentakkan. Bersamaan
dengan itu, darah keluar dari kedua lubang hi-
dungnya. Rasa nyeri dirasakan pada kedua tan-
gannya.
Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman
nampak tengah rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Rupanya, pemuda ini hampir-hampir
tak kuasa menahan gempuran lawan, hingga dia
sampai jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya juga
bergetar hebat. Dari sela-sela bibirnya meleleh da-
rah kental.
Kiai Alas Ireng yang geram karena seran-
gannya berhasil dikandaskan lawan, kali ini pen-
tangkan seringaian lebar setelah dia berhasil pu-
lihkan kembali keadaannya dan melihat apa yang
dialami Manusia Sepuluh Siluman. Matanya yang
menyipit berkilat-kilat tatkala dia menemukan sa-
tu pikiran yang menurutnya sangat menarik.
"Bila menuruti kata hatiku, ingin rasanya
kubunuh pemuda celaka ini! Tetapi, aku dapat
mempergunakan tenaganya. Dia memiliki kesak-
tian yang hanya dua tingkat berada di bawahku.
Cukup dapat kuandalkan."
Habis membatin begitu, dia berkata sambil
lipat kedua tangannya di depan dada.
"Orang muda! Dari kesaktian yang kau mi-
liki, tentunya kau adalah murid orang yang tak
bisa dipandang sebelah mata! Tapi, menilik julu-
kanmu yang baru kudengar, aku yakin kalau kau
adalah orang yang baru saja turun gunung dan
tentunya mengemban satu tugas! Katakan pada-
ku, siapa orang yang telah memerintahkan-mu
untuk mencari tahu tentang Rahasia Sebelas Ja-
ri?!"
Masih coba alirkan tenaga dalamnya ke se-
luruh tubuhnya, Manusia Sepuluh Siluman men-
dongak. Bibirnya membentuk ejekan. Sepasang
matanya mencorong tajam.
"Menghadapiku kau belum tentu dapat me-
lakukannya!! Pantang bagiku untuk menyebutkan
nama Guru!!"
Kiai Alas Ireng yang memikirkan kalau dia
dapat memperalat pemuda itu, hanya tersenyum
mendengar ejekan orang.
"Menilik jawabanmu, nampaknya kau tak
mengelak saat kukatakan kau adalah pemuda
yang baru saja selesai berguru! Dan tentunya, gu-
rumu yang telah memerintahkan kau untuk men-
cari keterangan tentang Rahasia Sebelas Jari! Aku
adalah orang baik-baik! Seluruh rimba persilatan
mengenaiku sebagai orang paling baik!"
Habis kata-katanya, Kiai Alas Ireng tertawa
keras. Seolah tengah menyaksikan satu kelucuan
yang mengundang tawa.
Masih tertawa dia melanjutkan kata-
katanya, "Malam ini, untuk mencabut nyawamu
adalah sangat mudah! Dan kau tak akan bisa tu-
tupi keadaanmu yang tentunya sudah terluka da-
lam, bukan? Tetapi, aku tidak akan mencabut
nyawa busukmu bila kau mau menjadi pesu-
ruhku yang paling setia!!"
Menggigil tubuh Manusia Sepuluh Siluman
mendengar kata-kata orang. Namun dia sendiri
saat ini tak berani untuk lancarkan serangan.
Jangankan lakukan itu, berdiri pun dia masih be-
lum yakin sepenuhnya untuk dapat tegak.
Sesungguhnya, Manusia Sepuluh Siluman
memang baru saja turun gunung. Dia telah ber-
guru pada seseorang yang berjuluk Raja Siluman
yang berdiam di Gunung Siluman. Raja Siluman-
lah yang memerintahkannya untuk mendapatkan
Rantai Naga Siluman, dan untuk mendapatkan
rantai pusaka itu, dia mengharuskan muridnya
untuk mencari tahu tentang Rahasia Sebelas Jari
yang merupakan kunci untuk mendapatkan Ran-
tai Naga Siluman.
Sudah seminggu lamanya Manusia Sepu-
luh Siluman yang memiliki nama asli Jayeng
Gangga ini, mencoba mencari tahu tentang Raha-
sia Sebelas Jari. Dan selama tujuh hari itu dia be-
lum mendapatkan apa yang diinginkannya.
Hingga tanpa disadarinya, dia telah tiba di
padang rumput yang sekarang dipijaknya. Semula
dari kejauhan dia hanya melihat orang berjubah
hitam tanpa mengetahui siapa adanya orang itu.
Karena selama tujuh hari belum mendapatkan
keterangan tentang Rahasia Sebelas Jari, Manu-
sia Sepuluh Siluman bermaksud untuk mena-
nyakan soal itu pada orang berjubah hitam.
Namun sudah tentu dia tak akan bertindak
ceroboh, mengingat apa yang akan ditanyakannya
tentunya sudah menyebar luas, seperti yang dika-
takan gurunya si Raja Siluman. Manusia Sepuluh
Siluman mencoba mencari cara yang terbaik un-
tuk dapat mencari tahu apa yang diinginkannya.
Belum lagi ditemukan cara yang tepat, dili
hatnya satu sosok tubuh datang dari kejauhan.
Segera saja dia berkelebat mendekat dengan per-
gunakan ilmu peringan tubuhnya.
Percakapan yang kemudian didengarnya
antara kedua orang itu, menambah semangatnya
untuk mendapatkan keterangan tentang Rahasia
Sebelas Jari. Dari sebulan keduanya, dia tahu ka-
lau orang berjubah hitam berjuluk Kiai Alas Ireng
sementara perempuan berambut kelabang berju-
luk Iblis Kelabang.
Sebelum meninggalkan Gunung Siluman,
si pemuda telah mengetahui beberapa nama dan
julukan orang-orang yang menguasai bagian rim-
ba persilatan. Salah satu yang diketahui dari gu-
runya, adalah Kiai Alas Ireng.
Dipikirkan lagi bagaimana caranya untuk
mengorek keterangan tentang Rahasia Sebelas
Jari. Dan karena sesungguhnya pemuda ini me-
mang bersifat tinggi hati dan suka mengecilkan
orang lain, dia akhirnya memutuskan untuk
langsung menanyakan soal itu pada Kiai Alas
Ireng sepeninggal Iblis Kelabang.
Karena memandang rendah siapa adanya
orang, Manusia Sepuluh Siluman kena batunya.
Padahal, dia masih dapat menandingi Kiai Alas
Ireng bila saja dia tidak gegabah di saat mengha-
langi sekaligus lancarkan serangan orang berju-
bah hitam.
Dan sekarang, orang berjubah hitam itu
makin mengecilkannya dengan mengatakan tak
akan membunuhnya bila dia mau menjadi pengikutnya.
Kesombongan itulah yang membuat Manu-
sia Sepuluh Siluman perlahan-lahan berdiri. Tan-
gan kanannya masih memegang dadanya, semen-
tara tangan kiri mengusap darah yang kini keluar
dari hidungnya.
Pandangannya melotot gusar tak berkedip.
"Jahanam berjubah hitam! Kau terlalu
memandang rendah orang! Kita bertarung lagi se-
karang! Persetan kau mau mengatakan tentang
Rahasia Sebelas Jari atau tidak! Karena, malam
ini nyawamu adalah milikku!!"
Laksana dibetot setan urat suara Kiai Alas
Ireng, hingga mendadak saja tawanya terputus.
Sepasang mata sipitnya membesar, hingga kelo-
paknya seperti terbuka.
Tak ubahnya air bah yang melanda sebuah
dusun, Kiai Alas Ireng menerjang ke depan. Lesa-
tan tubuhnya menimbulkan suara angin meng-
gempur. Tangan kanan kirinya diangkat terlebih
dahulu sebelum disentakkan ke arah Manusia
Sepuluh Siluman.
Dilihatnya bagaimana wajah Manusia Se-
puluh Siluman tersentak kencang ke belakang.
Dia nampak berusaha untuk hindari gumpalan
awan-awan hitam yang menggebrak itu. Namun
nampaknya dia tak akan mampu melakukannya.
Desss!!
Tanpa ampun sosok si pemuda terlempar
deras ke belakang dan terbanting keras di atas
tanah. Bersamaan tubuhnya terbanting, terden-
gar suara keluhannya. Di lain saat, teriakan lak-
sana diserbu puluhan harimau menggema di tengah malam buta bersamaan tubuhnya menggeliat
liar dan terbanting-banting di atas tanah hingga
tanah muncrat berulang kali.
Di tempatnya, Kiai Alas Ireng menunggu.
Pandangannya yang menyipit berkilat-kilat penuh
kepuasan. Bibirnya sunggingkan senyuman begi-
tu mendengar teriakan kematian Manusia Sepu-
luh Siluman.
Tiga tarikan napas kemudian, teriakan itu
mulai mereda dan akhirnya hilang sama sekali.
Kiai Alas Ireng menyeringai.
"Itulah akibatnya bila berani menolak per-
mintaanku!!" desisnya seraya melompat untuk
meyakini kalau Manusia Sepuluh Siluman telah
mampus. Berjarak tiga langkah, dilihatnya ba-
gaimana wajah Manusia Sepuluh Siluman mem-
biru. Dari mulut dan hidungnya alirkan darah
kental.
Tetapi orang berjubah hitam ini belum
puas bila belum melihat dari dekat. Dengan lang-
kah agak bergegas dia mendekati sosok tubuh
yang tak bergerak itu.
Senyumannya mengembang.
"Sayang kau harus mampus sekarang! Pa-
dahal, aku masih mau menerimamu sebagai pen-
gikutku bila kau mau sedikit menahan kesom-
bongan! Tetapi, manusia sombong seperti kau
yang berani menantangku, lebih baik mampus!"
Dengan kepuasan yang makin nampak pa-
da wajah tirusnya, orang berjubah hitam ini men-
gedarkan pandangannya.
"Malam akan segera beranjak menuju pagi,
waktuku cukup banyak terbuang untuk meladeni
pemuda sombong ini. Entah di mana saat ini Iblis
Kelabang. Sebaiknya, aku segera meneruskan un-
tuk mencari Pendekar Slebor!"
Memutuskan demikian, orang berjubah hi-
tam ini segera berkelebat meninggalkan tempat
itu ke arah timur.
Dan dia tidak tahu, lima tarikan napas se-
peninggalnya, sosok Manusia Sepuluh Siluman
yang telah menjadi mayat, mendadak saja lenyap.
Sebagai gantinya, yang nampak hanya kepulan
asap putih belaka.
Menyusul terdengar suara orang terbatuk
menahan sakit. Suara batuk itu ternyata berasal
dari Manusia Sepuluh Siluman yang tengah ber-
lutut!
Astaga! Apa yang sebenarnya terjadi?
Manusia Sepuluh Siluman sadar, kalau dia
tak akan mampu menghadapi Kiai Alas Ireng da-
lam keadaan terluka dalam seperti itu. Kendati
demikian, dia tak menyesali sikap sombongnya.
Malah sambil tertawa-tawa, dia coba memancing
kemarahan Kiai Alas Ireng.
Di saat lelaki berjubah hitam itu lancarkan
serangan dan jelas akan mengirimnya ke akhirat,
Manusia Sepuluh Siluman telah keluarkan ajaran
dari gurunya si Raja Siluman. Dengan perguna-
kan ilmu 'Balik Mata Timbul Asap', dia dapat
mengubah pandangan Kiai Alas Ireng, pada di-
rinya.
Yang diserang oleh Kiai Alas Ireng adalah
jelmaan sosok Manusia Sepuluh Siluman yang
terbuat asap belaka, sementara wujudnya yang
asli berada tak jauh dari sana.
Ilmu 'Balik Mata Timbul Asap' adalah salah
satu ilmu siluman yang menyebabkan pemuda itu
dijuluki Manusia Sepuluh Siluman. Julukan itu
diberikan oleh gurunya sendiri.
Sekarang, sambil perlahan-lahan bangkit,
Manusia Sepuluh Siluman memandang ke arah
perginya Kiai Alas Ireng. Wajah tampannya beru-
bah laksana setan. Kemarahan telah menghan-
tuinya. Dan dia telah tanamkan niat, untuk
membalas semua perbuatan Kiai Alas Ireng.
"Tak akan kubiarkan dia hidup lebih lama!
Tak akan kubiarkan dia jadi lawanku untuk men-
dapatkan Rantai Naga Siluman! Manusia itu ha-
rus mampus sebelum kudapatkan Rantai Naga
Siluman!!" desisnya penuh kemurkaan.
Diedarkan pandangan ke sekelilingnya
yang gelap. Tahu-tahu terlihat kepalanya men-
gangguk-angguk.
"Tadi kutangkap pembicaraan, kalau orang
yang mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari
adalah Pendekar Slebor! Huh! Seperti apa orang
itu? Apakah dia sebangsa manusia yang membuat
keder orang, atau hanya cecunguk kesiangan be-
laka?! Tetapi, dialah orang yang harus kutuju!
Sekaligus... membunuh Kiai Alas Ireng!!"
Kejap berikutnya, dengan tubuh agak lim-
bung dan tangan masih memegangi dada, pemu-
da ini meninggalkan tempat itu dengan langkah
terhuyung. Namun dendam begitu berkobar di
dadanya.
4
Di tempatnya, Pendekar Slebor meman-
dang tak berkedip pada lelaki tinggi besar itu. Dia
harus mendongak saat memandang, karena so-
soknya hanya sebahu orang itu.
Gadis Kayangan yang nampak tak berontak
dalam tentengan orang itu berseru keras, "Andika!
Jangan jadi patung begitu! Kau harus menolong-
ku!!"
Seolah baru sadar dari keterkejutannya,
Andika nyengir. Sementara itu, di kejauhan mulai
nampak bias-bias matahari tanda pagi kembali
datang.
"Busyet! Katanya kau mau mencari maka-
nan? Kok tidak tahunya bermain ayun-ayunan
begitu?" ucapan urakannya langsung terdengar,
padahal diam-diam Andika sedang memikirkan
siapa gerangan lelaki tinggi besar itu.
Gadis Kayangan melotot gusar.
Orang tinggi besar yang ternyata berkulit
hijau itu menggeram keras. Suaranya laksana
auman harimau.
"Anak muda! Gadis ini akan kuberikan pa-
damu tanpa kurang suatu apa, asal kau dapat
memenuhi syarat yang kuberikan!!"
Andika mengangkat kedua bahunya.
"Wah! Soal gadis itu mau kau apakan, ya
terserah deh! Itu urusanmu dan keluargamu!
Cuma... aku mau tahu nih, kau ini siapa sih?!"
Kontan Gadis Kayangan melotot gusar
mendengar ucapan Pendekar Slebor. Dia sendiri
sebelumnya sedang asyik memburu seekor kelinci
yang tertangkap oleh pandangannya. Dan hampir
saja dia berhasil menjebak sekaligus menangkap
kelinci itu, mendadak pendengarannya menang-
kap getaran yang sangat kuat pada tanah.
Sedikit terkejut gadis jelita berkepang dua
ini palingkan kepala. Sampai surut satu tindak
Gadis Kayangan, begitu melihat satu sosok tinggi
besar berkulit hijau tanpa pakaian, telah berdiri
di hadapannya.
Untuk sesaat dia tak lakukan tindakan
apa-apa kecuali pandangannya yang dibuka be-
sar-besar, memandang dada orang itu yang demi-
kian bidang. Tonjolan ototnya begitu kentara. Dan
belum lagi dia berbuat apa-apa, mendadak saja
tangan kanan besar itu telah bergerak untuk me-
nangkapnya. Gerakan tangan besar itu, menim-
bulkan kesiur angin yang keras.
Sudah tentu Gadis Kayangan tak mengin-
ginkan dirinya disambar oleh orang tinggi besar
yang baru pertama kali dilihatnya. Dengan per-
gunakan kelincahannya, dia berkelit. Namun baru
saja dia berhasil hindari sambaran tangan kanan
orang berkulit hijau itu, tangan kiri orang itu su-
dah menyambar kembali.
Memekik kaget Gadis Kayangan sambil le-
paskan pukulan tangan kanan untuk memapaki
sambaran tangan kiri lawan.
Bukkk!!
Benturan terjadi dan nampak sosok Gadis
Kayangan tergontai-gontai ke belakang. Tangan
kanannya dirasa nyeri bukan main. Sementara
itu, orang tinggi besar berkulit hijau keluarkan
gerengan yang sangat keras. Wajahnya sangat
kaku.
Mendadak dia maju tiga langkah ke depan.
Saat kedua kakinya menginjak tanah saat me-
langkah, terdengar suara debukan yang keras.
Tangan kanan kirinya kembali bergerak berusaha
menyambar Gadis Kayangan.
Semula Gadis Kayangan sudah memu-
tuskan untuk segera meninggalkan orang ini.
Akan tetapi, dua sambaran tangan orang itu
membuatnya harus bersiaga. Gadis Kayangan tak
sempat keluarkan ilmu yang dimilikinya, karena
tangan kiri orang itu sudah menyambar tangan
kanannya dan menyentak.
Laksana ditarik setan, tubuh Gadis Kayan-
gan yang mungil sudah tertarik ke arahnya. Sebe-
lum murid mendiang Pemimpin Agung ini berbuat
sesuatu, tangan kanan orang tinggi besar berkulit
hijau telah menotoknya.
Dalam keadaan tak berdaya seperti itu na-
mun mulut yang masih dapat berbunyi, dia berte-
riak keras dengan harapan Andika dapat men-
dengarnya.
Tetapi pemuda yang diharapkannya mem-
bantu, justru bersikap seenak jidat saja.
Sementara itu, orang tinggi besar tanpa ba-
ju itu menggereng keras.
"Aku Kala Ijo!" serunya menyahuti perta-
nyaan Andika tadi.
"Busyet! Itu nama atau julukan? Tetapi
yang pasti, dia memang sangat cocok mengguna-
kan sebutan itu," desis Andika sambil garuk-
garuk kepalanya. Sepasang matanya tak berkedip
ke depan. Dia tak akan berdiam diri bila terjadi
sesuatu pada Gadis Kayangan. Kalaupun tadi dia
berkata demikian, karena hendak mencari tahu
siapa adanya orang tinggi besar itu.
Kemudian dia berkata, "Kala Ijo! Nama itu
pantas kau sandang! Sekarang, cepatan sedikit,
apa yang akan kau jadikan syarat buatku menda-
patkan gadis bengal itu kembali?!"
Sepasang mata besar Kala Ijo makin mem-
besar. Seluruh tubuhnya nampak dilapisi kulit
yang sangat tebal dan berwarna hijau. Wajahnya
kaku dan tegang. Seluruh yang ada di wajahnya
itu besar.
"Aku mencari Pendekar Slebor! Kau kata-
kan di mana dia berada, maka akan kuberikan
gadis ini padamu!!"
Seperti disentak setan kepala Andika me-
lengak ke belakang. Di lain saat dia sudah bersi-
kap normal kembali. Kendati demikian hatinya
mendadak terasa tidak enak.
Jelas kalau Kala Ijo sedang mencarinya.
Hanya saja, dia tidak tahu seperti apakah rupa
orang yang dicarinya.
"Bila kau mencari Pendekar Slebor, kebetu-
lan sekali kemarin sore aku berjumpa dengan-
nya!"
Habis Andika berkata demikian, Kala Ijo
melepaskan tentengan tangannya pada tubuh
Gadis Kayangan. Kontan si gadis ambruk. Dia
nampak hendak memaki-maki, tetapi begitu dili-
hatnya tatapan Andika serius ke arahnya, si gadis
cuma dapat menelan kejengkelannya.
"Bagus bila kau mengetahuinya! Ke mana
Pendekar Slebor pergi?!"
"Wah! Kalau soal itu sih aku tidak tahu!
Tetapi, dia menuju ke arah timur! Ngomong-
ngomong... ada apa sih kau mencari Pendekar
Slebor?!"
"Anak muda keparat! Berani lancang di ha-
dapan Kala Ijo, berarti kematian yang akan kau
terima!!" geram Kala Ijo dengan suara menggele-
gar.
Kendati kaget mendengar suaranya, Andika
cuma mengangkat kedua bahunya saja.
"Aku kan cuma bertanya, kalau kau tidak
mau menjawab, ya tidak apa-apa."
Kala Ijo nampak terdiam. Wajah kakunya
nampak semakin kaku. Lalu dengan tangan ka-
nan tertuding ke arah Andika dia berkata, "Aku
menginginkan Rahasia Sebelas Jari!!"
"Kutu landak! Rupanya Rahasia Sebelas
Jari sudah menyebar! Kalau begini caranya, su-
dah tentu bukan hanya dia seorang yang hendak
mencari tahu sekaligus memecahkan Rahasia Se-
belas Jari! Tetapi tentunya, mereka harus menge-
tahui dulu, apa isi rahasia itu!" batin Andika
sambil memandang orang di hadapannya.
Gadis Kayangan sendiri terkejut menden-
gar ucapan orang tinggi besar berkulit hijau.
"Celaka! Nampaknya rahasia yang diberi
kan Eyang Mega Tantra pada Pendekar Slebor te-
lah meluas...." Sementara itu Kala Ijo berkata lagi,
"Cepat kalian menyingkir dari sini! Bila dalam tiga
kejapan mata masih berada di sini, maka nyawa
kalian berdua akan kucabut!!"
Andika yang merasa telah cukup untuk
mengetahui apa tujuan Kala Ijo mencari dirinya,
buru-buru rangkapkan kedua tangannya di depan
dada. Masih rangkapkan kedua tangannya, dia
membungkuk berulang kali.
"Pergiii!!" menggelegar suara Kala Ijo.
"Busyet! Galak amat sih? Awas ya, lain kali
kutusuk perutmu biar jadi orang kerdil!" gerutu
anak muda urakan ini sambil melangkah mende-
kati Gadis Kayangan.
Begitu dilihatnya Gadis Kayangan hendak
membuka mulut, dia berkata, "Jangan bicara du-
lu. Kita menyingkir dari sini."
"Aku ditotok," bisik Gadis Kayangan.
"Aku tahu. Akan kucari totokan itu dan
kubebaskan kau," sahut Andika balas berbisik.
Lalu dengan gerakan yang sangat cepat,
Andika mengangkat tubuh Gadis Kayangan dan
membopongnya. Sebelum dia meninggalkan tem-
pat itu, dia berkata pada Kala Ijo
"Oya! Kalau kau sudah bertemu dengan
Pendekar Slebor, baiknya kau katakan padaku,
ya? Kalau kau tidak bertemu denganku, kirim su-
rat saja!!"
Masih menyimpan bergumpal pertanyaan
di dalam dadanya, Pendekar Slebor segera berke-
lebat cepat dari sana.
Sementara itu, Kala Ijo yang memang ber-
hati kaku, sungguh tak mengerti apa yang dimak-
sudkan anak muda tadi. Dia hanya keluarkan
dengusan sebagai sahutan ucapan Andika.
Lalu dia arahkan pandangannya ke depan.
Sepasang mata besarnya bergerak-gerak tidak sa-
bar.
"Aku harus berjumpa dengan Pendekar
Slebor. Dialah orang yang kudengar mendapatkan
amanat untuk memecahkan Rahasia Sebelas Jari
yang diberikan Eyang Mega Tantra. Harus kuceri-
takan tentang Rantai Naga Siluman. Dan pemuda
itu harus tahu, kalau bahaya sedang mengin-
tainya," desisnya dengan wajah tetap kaku.
Orang tinggi besar berkulit hijau ini ter-
diam. Kedua bahunya nampak bergerak-gerak.
Dua kejapan berikutnya, orang tinggi besar ber-
kulit hijau ini segera memutar arah. Lalu segera
meninggalkan tempat itu. Setiap kali dia melang-
kah, terdengar suara berdebuk-debuk yang san-
gat keras.
***
"Andika, mengapa kau tak mengatakan ka-
lau engkaulah Pendekar Slebor?" tanya Gadis
Kayangan setelah totokannya dibebaskan dan se-
potong paha ayam panggang masuk ke perutnya.
Andika yang lagi berusaha untuk menda-
patkan sisa-sisa daging ayam panggang yang se-
dang dimakannya, menyahut, "Aku belum menge-
tahui siapa adanya Kala Ijo. Bisa jadi, selain untuk mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari, dia
juga bermaksud akan membunuhku setelah itu."
"Lawan saja!"
Andika langsung palingkan kepala. Ma-
tanya melotot.
"Enak saja ngomong! Apa kau tidak lihat
badannya dua kali besar badak?!"
Tertawa nyaring Gadis Kayangan menden-
gar selorohan anak muda urakan itu. Hatinya
yang selama ini memendam rasa cinta pada Andi-
ka, semakin membesar. Dan bunga-bunga cin-
tanya terus bermekaran.
"Lantas, apa yang akan kita lakukan seka-
rang?" tanyanya kemudian.
Andika melempar tulang-tulang ayam yang
dipegangnya. Entah di mana jatuhnya tulang-
tulang ayam itu, karena lesatannya laksana anak
panah.
"Aku tidak tahu."
"Lho, mengapa kau tidak tahu?"
"Kok aku tidak tahu malah heran? Hei, aku
ini bukan orang yang serba tahu!"
"Ya... kupikir kau sangat cerdik, tidak ta-
hunya... kau malah kebingungan sekarang."
"Aku bukan hanya bingung, tapi super bin-
gung! Rahasia Sebelas Jari bukan masalah en-
teng. Dan sialnya, waktu yang kupunyai hanya
sampai purnama bulan ini. Kau ini bukannya
membantu, malah tertawa-tawa!"
"Apa yang harus kubantu? Memijitmu?"
"Kalau kau mau, ya silakan saja!"
"Huh! Tak sudi aku memilih orang yang
penuh kudis begitu!"
"Hei!" Andika melotot. "Bicara sembaran-
gan! Apakah kau tidak tahu kalau aku ini orang
yang paling baik di antara sepuluh orang?"
"Kalau kau yang paling baik, berarti yang
sembilan orang lagi berhati jahat dong?"
"Nah! Kau telah mengambil penilaian yang
sangat bagus! Sembilan orang itu memang berhati
jahat! Tetapi ya... tidak semuanya, kan?"
Gadis Kayangan yang menganggap ucapan
Andika hanya ngawur saja, tertawa lagi.
"Kenapa kau tidak mengatakan kau mem-
punyai dua kepribadian? Yang satu jelek dan
yang satu bagus?"
"Kalau begitu, ada sebelas orang dong?" ba-
las Andika sambil nyengir.
"Kau bilang ada beratus-ratus aku juga ti-
dak peduli! Eh, aku mau mandi dulu ah!"
"Jangan jauh-jauh, nanti kau...," menda-
dak anak muda urakan ini memutus kata-
katanya sendiri. Keningnya seketika nampak ber-
kerut dan jelas kalau dia tengah memikirkan se-
suatu.
Gadis Kayangan tak pedulikan sikap Andi-
ka yang bengong kayak macan ompong itu. Sam-
bil tertawa-tawa, dia segera meninggalkan tempat
itu untuk mencari sungai atau mata air.
Sepeninggal Gadis Kayangan, kening Andi-
ka semakin berkerut saja. Dia tak berkata apa-
apa ataupun lakukan tindakan apa-apa. Cukup
lama dia berdiam diri seperti itu sebelum kemu-
dian terlihat kepalanya mengangguk-angguk. Mu
lutnya nampak mulai berkomat-ka-mit, tetapi tak
ada suara yang terdengar. Sampai kemudian dia
menarik napas pendek.
"Barangkali memang itu...," katanya pelan,
seperti khawatir didengar orang. "Ada sebelas jari
di dalam jiwa satu jari adalah titik kemuliaan.
Apakah bukan itu maksudnya. Sebelas jari itu
ada di dalam jiwa, satu jari adalah titik kemu-
liaan. Tadi secara bergurau, kukatakan pada Ga-
dis Kayangan, kalau aku adalah orang yang pal-
ing baik dari sepuluh orang. Berarti, ada sembilan
orang di luar diriku. Dan berjumpa sepuluh den-
ganku. Tetapi, Gadis Kayangan mengatakan, ba-
gaimana kalau aku memiliki dua kepribadian?
Secara tak langsung akan berjumlah sebelas
orang. O... tidak, tidak... bukan sebelas orang. Te-
tapi sebelas jiwa. Ya, ya... satu jari adalah titik
kemuliaan. Apakah yang dimaksud dari Rahasia
Sebelas Jari, adalah orang yang berjumlah sepu-
luh, kemudian salah seorang memiliki dua kepri-
badian?"
Anak muda ini kembali terdiam. Diperas
otaknya untuk memikirkan kemungkinan dari ja-
waban Rahasia Sebelas Jari.
Lalu terlihat kepalanya digeleng-gelengkan.
"Ah, terlalu cepat aku mengambil kesimpu-
lan seperti itu. Barangkali memang bukan itu ja-
waban dari Rahasia Sebelas Jari. Kalau memang
bukan, apa lagi? Kutu loncat! Otakku jadi kayak
otak kerbau sekarang!! Dasar monyet pitak!!"
Kalau tadi dia kelihatan berpikir keras, kali
ini kelihatan dia cengar-cengir tak karuan. Mu
lutnya berucap panjang pendek tak jelas.
"Dasar urakan! Masa cuma ngomong begitu
saja, merupakan jawaban?! Huh!! Mendingan aku
mencari Gadis Kayangan saja! Siapa tahu dia su-
dah menemukan sungai dan aku bisa...," menda-
dak anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan ini berdiri. "Pokoknya asyiiikkkk!!"
Lalu dengan pikiran yang dia ketahui sen-
diri, dia sudah berlari ke arah perginya Gadis Kayangan.
5
Jalan setapak itu lengang. Di sana-sini
ranggasan semak belukar setinggi dada seolah
menjadi pagar di kanan kiri jalan setapak itu. An-
gin berhembus sejuk. Matahari telah turun dari
titik tengahnya sejak dua penanakan nasi tadi.
Hingga jalan setapak itu tak diganasi teriknya si-
nar matahari.
Mendadak saja kelengangan terhapusi oleh
gemuruh angin yang sangat keras. Menyusul
munculnya dua sosok tubuh berpakaian abu-abu
gelap panjang. Dua orang yang ternyata laki-laki
setengah baya ini, berwajah mirip satu sama lain.
Rambut masing-masing orang dikepang dua. Di
pinggang keduanya terselip sebatang parang be-
sar.
Orang yang berada di sebelah kiri mende-
sis, "Alung Gaganda! Apakah aku tadi tidak salah
melihat, kalau kulihat kelebatan hijau dan biru
muda melalui jalan setapak ini?"
Orang yang di sebelah kanan dan berwajah
mirip dengan orang yang ajukan tanya tadi, men-
ganggukkan kepala. Sambil pandangi kejauhan
melalui jalan setapak itu dia mengangguk-
anggukkan kepala.
"Kau tidak salah! Aku pun melihatnya!"
"Apakah kau ingat tentang ciri orang yang
kita cari?"
"Ya! Dia mengenakan pakaian hijau muda
dan di lehernya melilit kain bercorak catur."
"Bagaimana dengan bayangan hijau tadi?
Adakah kau juga melihat sehelai kain yang melilit
pada lehernya?"
Alung Gaganda menganggukkan kepa-
lanya.
"Kau benar, Agung! Jelas kalau salah seo-
rang dari dua bayangan tadi adalah orang yang
kita cari!"
Kejap berikutnya tak ada yang keluarkan
suara. Kedua orang berwajah mirip satu sama
lain ini, dikenal dengan julukan si Kembar Parang
Maut. Sungguh sulit membedakan yang mana
Alung Gaganda dan yang mana Agung Gaganda.
Namun sebenarnya ada cara yang dapat membe-
dakan masing-masing orang.
Di lengan kanan Agung Gaganda yang ter-
tutup tangan panjang pakaiannya, terdapat bekas
luka. Itu disebabkan ketika dia masih kecil, ter-
sangkut akar pohon tatkala berenang di sebuah
sungai. Akan tetapi, karena pakaiannya berlengan
panjang, sudah tentu sulit untuk melihat tanda
bekas luka itu.
Agung Gaganda berkata, "Biar kita tidak
terlalu banyak buang waktu, kita berpencar un-
tuk mencari pemuda itu! Dialah satu-satunya
orang yang mengetahui tentang isi Rahasia Sebe-
las Jari! Berita tentang Pulau Hitam telah menye-
bar luas! Aku yakin akan banyak orang-orang
yang memburu pemuda dari Lembah Kutukan
itu. Dan sudah tentu kita tak boleh terlambat un-
tuk mengetahui sekaligus memecahkan Rahasia
Sebelas Jari. Rantai Naga Siluman harus kita mi-
liki!"
Setelah melihat kepala adik kembarnya
mengangguk, Agung Gaganda segera berkelebat
mengikuti jalan setapak yang telah dilalui bayan-
gan hijau dan biru muda yang dilihatnya.
Alung Gaganda sendiri mengambil jalan
agak serong ke kanan, sebelum meluruskan lang-
kah sejajar dengan arah yang ditempuh oleh
Agung Gaganda.
Berjarak tiga puluh tombak dari masing-
masing orang yang berkelebat, bayangan hijau
dan biru muda yang berkelebat sebelumnya dan
tak lain Pendekar Slebor serta Gadis Kayangan,
menghentikan lari mereka masing-masing.
Kedua remaja itu tak ada yang buka suara.
Mereka edarkan pandangan ke sekeliling yang di-
tumbuhi pepohonan tinggi.
Dua kejapan mata kemudian, terdengar
suara Gadis Kayangan, "Andika! Mau apa kita te-
rus menerus berlari seperti ini? Bukankah lebih
baik memecahkan tentang Rahasia Sebelas Jari?"
Yang ditanya palingkan kepala, lalu nyen-
gir sambil garuk-garuk kepalanya.
Diam-diam dia membatin, "Gadis ini me-
mang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Sebagai
pewaris ilmu Pemimpin Agung, dia memang boleh
dikatakan tak dapat dipandang sebelah mata. Te-
tapi aku yakin, dia belum sepenuhnya mewarisi
ilmu Pemimpin Agung. Dan nampaknya, dia ma-
sih terus terpaku dengan Rahasia Sebelas Jari.
Memang sungguh repot bila berjalan dengan seo-
rang gadis seperti ini. Tetapi, sudah tentu aku tak
dapat meninggalkannya, karena aku telah men-
cium keadaan yang semakin lama bertambah pa-
rah."
Sementara itu Gadis Kayangan mendengus,
"Ditanya bukannya menjawab, malah nyengir!" '
"Busyet! Kok kau senang banget memben-
tak ya? Iya, iya, kukatakan mengapa kita harus
berlari?"
"Apa?!" sentak Gadis Kayangan.
"Karena kita tidak sedang merangkak! Ha-
haha...!"
"Brengsek!"
Andika tertawa melihat bibir si gadis cem-
berut. Sesungguhnya, dengan kehadiran Kala Ijo,
Andika merasa pasti kalau akan banyak lagi
orang-orang rimba persilatan yang muncul. Dan
semua ini tentunya berkaitan dengan Rahasia Se-
belas Jari yang sudah tentu berhubungan dengan
cara mendapatkan Rantai Naga Siluman.
Itulah sebabnya, Andika tak mau berdiam
menetap disatu tempat untuk memikirkan tentang Rahasia Sebelas Jari. Karena dia merasa
pasti, kalau nyawanya tengah menjadi intaian
orang-orang serakah.
"Huh! Dasar urakan! Brengsek! Ngomong
seenak jidat saja!" dengus Gadis Kayangan sambil
melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ya... kalau aku urakan, brengsek, suka
ngomong seenak jidat, kenapa kau mau berjalan
bersamaku? Hayo, kenapa?!" sahut Andika sambil
memajukan kepala dan memonyongkan mulut-
nya.
Sebenarnya, Andika cuma bermaksud
menggoda saja, tetapi wajah Gadis Kayangan
memerah. Untuk sesaat dia hanya melotot dan
makin lama nampak dia agak gelagapan. Kejap
berikutnya, buru-buru dia palingkan kepala ke
tempat lain.
E dasar urakan, Andika justru terus meng-
godanya, "Hayo, malu ya? Malu? Tidak usah malu
deh. Kalau kamu memang...."
"Memang apa, hah?!" Gadis Kayangan me-
lotot. Kedua tangannya berkacak di pinggang.
"Memang... malu... hahaha...."
"Brengsek!" cemberut Gadis Kayangan den-
gan wajah makin memerah. Dan tak tahan digoda
terus menerus, dia memutuskan untuk mening-
galkan Andika dulu.
"Hoooiii! Mau ke mana luh? Ada orang yang
lagi malu! Ada orang yang malu-maluin!" teriak
anak muda itu makin konyol sambil pandangi te-
rus punggung Gadis Kayangan yang berkelebat.
Hati Gadis Kayangan menggeram gemas
dan malu mendengar teriakan Andika. Tetapi se-
telah meyakini kalau di sekitar sana cuma ada dia
dan Andika, dia pun terus meninggalkan tempat
itu.
"Brengsek!" desisnya.
Sepeninggal Gadis Kayangan, Andika ter-
tawa sendirian. Merasa lucu dengan gurauannya
sendiri. Lalu diperhatikan sekelilingnya.
"Kupikir, ini saat yang tepat untuk memi-
kirkan tentang Rahasia Sebelas Jari, mumpung
Gadis Kayangan sedang tak ada di sini. Kalau ada
dia, urusanku jadi terganggu terus."
Lalu dia berjalan mendekati sebuah pohon
besar.
Belum lagi dia duduk di bawah pohon itu,
mendadak saja kepalanya dipalingkan ke kanan.
Karena saat itu pendengarannya menangkap satu
gerakan orang.
"Busyet! Apakah Gadis Kayangan sudah
kembali lagi? Tetapi, tadi dia bergerak ke arah
kanan? Lalu suara itu berasal dari arah kiri? Apa
dia sengaja memutar? Atau... ada orang lain yang
telah tiba di tempat ini?" desisnya dengan kedua
mata dibuka lebih lebar.
***
Andika menunggu tanpa keluarkan suara.
Dua kejapan berikutnya, apa yang ditunggunya
telah nampak di hadapannya. Yang datang ter-
nyata seorang lelaki setengah baya berpakaian
panjang warna abu-abu yang telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari hadapannya. Rambut
orang itu dikepang dua. Dia adalah Agung Ga-
ganda, salah seorang dari si Kembar Parang
Maut.
Untuk sesaat masing-masing orang tak ada
yang buka suara. Pandangan keduanya memper-
hatikan dengan seksama satu sama lain. Senja
semakin menurun. Di kejauhan nampak langit
dihiasi bias-bias merah yang indah.
Agung Gaganda maju dua tindak ke muka.
"Anak muda! Kau tak perlu mungkir bila
kukatakan, kau adalah Pendekar Slebor!"
Sesaat Andika tak sahuti ucapan orang.
Kejap berikutnya, masih pandangi orang di hada-
pannya, Andika menyahut, "Lho? Kok aku ditu-
duh mungkir? Perlunya apa? Kalau kau memang
yakin aku adalah Pendekar Slebor, kan tidak per-
lu bertanya lagi! Ayo, bilang deh! Ada apa ini?
Apakah kau ingin meyakinkan betapa tampannya
parasku? Atau... kau tidak percaya kalau wajah-
mu tak seberapa dibandingkan dengan wajahku?"
Memerah wajah Agung Gaganda menden-
gar selorohan orang. Tangan kanannya menuding.
Lengan panjangnya agak tersingkap, dan Andika
dapat melihat bekas luka pada lengan kanan
orang.
"Beri tahu aku tentang isi Rahasia Sebelas
Jari, maka kau akan dapat melihat matahari be-
sok pagi?!"
"Hmmm... dugaanku tepat, kalau bukan
hanya Kala Ijo yang ingin tahu tentang Rahasia
Sebelas Jari. Manusia ini pun telah kemukakan
pula apa keinginannya. Tentunya, masih ada
orang yang menginginkan tentang hal itu."
Habis membatin demikian, Pendekar Slebor
berkata sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, "Kalau aku besok pagi masih tidur
dan terus menerus memejamkan mata hingga
malam tiba, ya jelas aku tidak akan bisa melihat
matahari lagi. Tetapi kalau kubuka kedua mata-
ku, kan masih dapat melihat? Iya, nggak? Iya,
nggak?"
Si Kembar Parang Maut adalah orang-
orang yang tak bisa diajak bergurau. Mereka sela-
lu menekankan pada prinsip, siapa pun orangnya
yang menolak apa yang mereka inginkan, maka
lebih baik mati.
Perasaan amarah pun sudah memenuhi
rongga dada Agung Gaganda.
Suaranya keras saat berseru, "Jangan coba
memuslihatiku dengan ucapanmu itu! Aku tahu,
kau sedang memikirkan cara untuk melarikan di-
ri?!"
Kontan tertawa keras anak muda dari
Lembah Kutukan ini. Masih tertawa dia berucap,
"Ya, ya... kau benar! Aku memang sangat ketaku-
tan dan sedang berusaha melarikan diri! Ih! Kau
tahu saja deh! Bagaimana kalau kau diam saja
sementara aku meninggalkan tempat ini?!"
"Keparaaaaattt!!" geram Agung Gaganda.
Kejap itu pula dia sudah mencelat ke de-
pan. Tangan kanan kirinya digerakkan ke atas ke
bawah menyusul disentakkan ke depan. Kesiuran
angin angker lebih dulu menggebrak sebelum ke
dua jotosannya itu mencari sasaran.
Dari gebrakan yang dilakukan oleh lawan,
Andika tahu kalau lawan telah kerahkan separo
tenaga dalamnya. Dia pun tak ingin membuang
waktu pula. Apalagi begitu teringat, kalau wak-
tunya hanya sampai purnama bulan ini untuk
dapat memecahkan Rahasia Sebelas Jari.
Setelah berhasil hindari gebrakan angin
yang keluar mendahului jotosan Agung Gaganda,
dengan kerahkan tenaga "Inti Petir' tingkat ke-
sembilan, dia menggebrak pula. Suara laksana
salakan petir terdengar keras sebelum kedua tan-
gannya berbenturan dengan tangan kanan kiri
Agung Gaganda.
Dess! Dess!!
Benturan keras terjadi dan masing-masing
orang surut tiga tindak ke belakang. Wajah Agung
Gaganda terkesiap kaget. Tanpa sadar dia cukup
lama menatapi kedua lengannya yang terasa ngilu
dan perlahan-lahan terlihat membiru.
Di seberang Pendekar Slebor sendiri terke-
jut merasakan kedua tangannya seperti patah.
Buru-buru dialiri tenaga dalamnya untuk mengu-
sir rasa ngilu yang mendera.
"Kutu loncat! Tenaga dalamnya begitu ting-
gi! Busyet! Siapa dia sebenarnya? Berita tentang
Rahasia Sebelas Jari yang kudapatkan dari Eyang
Mega Tantra rupanya memang sudah menyebar!
Celaka sembilan setengah! Sudah tentu bukan
hanya dia seorang dan Kala Ijo yang mengingin-
kan semua ini! Kalau begini...."
Memutus kata batinnya sendiri, terlihat
sepasang mata anak muda urakan ini terbeliak.
"Celaka! Apa yang dialami oleh Gadis Kayangan
sekarang? Menilik keadaan, nampaknya orang-
orang akan terus memburuku. Bisa jadi sebagian
orang yang ingin tahu tentang Rahasia Sebelas
Jari, ada yang mengetahui kalau Gadis Kayangan
bersama-samaku. Berarti... monyet pitak! Nyawa-
nya pun akan menjadi taruhan dalam hal ini!!"
Berjarak delapan langkah, Agung Gaganda
telah mengangkat kepala. Sepasang matanya
membesar gusar memperhatikan pemuda berpa-
kaian hijau pupus itu.
"Tenaganya sungguh hebat! Wajar kalau
dia adalah pengemban amanat dari Eyang Mega
Tantra. Tetapi, dia telah menolak untuk mengata-
kan tentang Rahasia Sebelas Jari! Hatiku sudah
cukup puas bila dia mampus dan Rahasia Sebelas
Jari terkubur selama-lamanya, hingga tak seo-
rang pun yang mendapatkan Rantai Naga Silu-
man!"
Memutuskan demikian, Agung Gaganda
buka mulut lagi, "Pendekar Slebor! Keputusan
ada di tanganmu! Kau tetap bungkam untuk
mengatakan tentang Rahasia Sebelas Jari dan itu
berarti...."
"Apa sekarang kau akan mengatakan aku
tidak akan dapat melihat rembulan nanti ma-
lam?" putus Pendekar Slebor, lalu meleletkan li-
dahnya.
Sikapnya makin memancing kemarahan
Agung Gaganda.
"Kau telah lancang bersikap di hadapan
Agung Gaganda! Mampuslah!!"
Menyusul dia menyentakkan kedua tan-
gannya ke depan.
Wuassss!!
Serta-merta menggebrak gelombang angin
yang menyeret tanah dan rerumputan ke arah
Pendekar Slebor.
Yang diserang sadar kalau lawan memang
tak mau bertindak setengah-setengah. Karena ke-
jap berikutnya, orang itu sudah melesat ke depan.
Parang besar yang ada di pinggangnya telah dica-
but dan siap memecah rengkah kepala Andika.
Wuuutttt!!
Segera saja Pendekar Slebor melompat ke
samping kiri hindari gempuran angin lawan. Ber-
samaan dengan itu, dia miringkan tubuh.
Wuuut!!
Ayunan parang besar yang siap merengkah
pecah kepalanya luput. Desingan angin yang di-
timbulkan ayunan parang besar itu, membuat te-
linga kanannya terasa tidak enak.
Gebrakan parang yang dilakukan salah
seorang dari si Kembar Parang Maut ini, adalah
serangan yang dilakukan secara beruntun dan
belum akan berhenti bila belum mengenai sasa-
rannya. Luput mencacak kepala Pendekar Slebor,
mendadak Agung Gaganda memiringkan parang-
nya dan disabetkan ke arah pinggang Pendekar
Slebor.
"Monyet pitak!" maki pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini sambil bergulingan.
Dengan menumpu pada akar pohon, tu-
buhnya langsung mencelat lagi ke arah lelaki be-
rambut dikepang dua itu. Tangan kanannya yang
telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat kelima di-
jotoskan.
Suara laksana salakan petir terdengar ke-
ras.
Sesaat nampak Agung Gaganda terkejut.
Tetapi di lain kejap, dia sudah dorong tangan ki-
rinya. Menderu hamparan angin yang perdengar-
kan suara angker, disusul dengan ayunan parang
yang mengarah pada leher Pendekar Slebor.
Wuuutttt!!
"Orang utan gundul!!" maki Andika sambil
membuang tubuh kembali ke samping kanan.
Pohon besar yang tumbuh di belakangnya
berderak akibat sambaran gelombang angin yang
keluar dari tangan kiri Agung Gaganda. Kejap be-
rikutnya terdengar suara bergemuruh keras saat
pohon itu tumbang. Ranggasan semak belukar
langsung tercabut paksa begitu terhantam tum-
bangnya pohon besar itu.
Belum habis suara gemuruh itu terdengar,
bertepatan Andika berdiri tegak kembali di atas
tanah dan sebelum Agung Gaganda lancarkan se-
rangan berikut, mendadak terdengar suara orang
bertepuk tangan.
"Pertunjukkan yang sangat menarik! Kalau
tidak salah lihat, bukankah yang menyerang Pen-
dekar Slebor adalah salah seorang dari pembegal-
pembegal busuk dari utara?!"
Segera masing-masing orang palingkan ke
pala ke kanan. Dan masing-masing melihat satu
sosok tubuh berpakaian panjang berwarna seme-
rah darah. Sosok seorang perempuan setengah
baya berwajah kejam. Rambut putih perempuan
ini dikelabang!
Cukup lama tak ada yang buka suara, se-
belum terdengar desisan Agung Gaganda menge-
nali siapa adanya orang, "Iblis Kelabang!"
6
Perempuan berpakaian semerah darah
dengan rambut dikelabang itu, memang tak lain
Iblis Kelabang, yang telah diperintahkan Kiai Alas
Ireng untuk mencari tahu tentang Rahasia Sebe-
las Jari dan sekaligus membunuh Pendekar Sle-
bor.
Sepasang mata perempuan ini memandang
tajam pada Agung Gaganda. Lalu pandangannya
diarahkan pada Pendekar Slebor.
Pemuda yang dipandang merasa bergidik
melihat tatapan yang begitu tajam.
"Busyet! Belum lagi tuntas urusan ini, te-
lah muncul lagi perempuan yang disebut lelaki
berpakaian abu-abu itu dengan sebulan Iblis Ke-
labang! Menilik gelagatnya, nampak pula kalau
dia menghendaki Rahasia Sebelas Jari. Monyet
buduk! Aku sendiri belum dapat memecahkan ra-
hasia itu! Bisa kuperkirakan apa yang sebenarnya
orang-orang ini inginkan. Sudah tentu Rantai Na-
ga Siluman yang berada di Pulau Hitam. Kadal
buntung! Mengapa Gadis Kayangan belum mun-
cul juga? Dalam keadaan seperti ini, kuharap dia
tidak dahulu muncul di hadapanku."
"Pendekar Slebor! Rupanya masuk ke mu-
lut ular kau harus pindah ke mulut harimau! Te-
tapi bila ular itu mencoba mematuk korban yang
hendak dimakan si harimau, sudah tentu hari-
mau tak akan tinggal diam!!" suara si perempuan
nyaring terdengar, tanpa melirik pada Agung Ga-
ganda yang seketika parasnya berubah.
"Jahanam sial! Sudah tentu yang dimak-
sudnya adalah aku! Mengapa tahu-tahu perem-
puan iblis ini bisa muncul di sini?" geram Agung
Gaganda. Terlihat dia surutkan langkah satu tin-
dak. Wajahnya nampak agak tegang sekarang. Pe-
rasaannya laksana diliputi kobaran api dalam se-
kam.
Tak ada yang keluarkan suara sama sekali.
Senja semakin melaju menuju malam.
Iblis Kelabang buka suara, pandangannya
tetap diarahkan pada Pendekar Slebor, "Aku akan
bersabar menunggu untuk melihat ular itu pergi
dengan sendirinya! Bila tidak, akan kucabik-cabik
hingga dia kehabisan darah!"
Wajah Agung Gaganda makin diliputi rona
merah. Sesungguhnya dia jeri menghadapi Iblis
Kelabang yang dikenal dengan kekejian dan ke-
saktiannya. Berita terakhir yang dia dengar, sete-
lah dikalahkan oleh Panembahan Agung, Iblis Ke-
labang menghilang entah ke mana. Berita lain
yang didengarnya, kalau dia telah diselamatkan
oleh Kiai Alas Ireng, yang kala itu langsung menyambar dan meninggalkan Panembahan Agung.
Agung Gaganda sangat tahu sekali, kalau
kesaktian yang dimiliki Iblis Kelabang lebih tinggi
dari Kiai Alas Ireng. Namun perempuan itu selalu
menjunjung tinggi balas budi dan pengabdian.
Kendati dia dapat dengan mudah membunuh Kiai
Alas Ireng, namun Iblis Kelabang tak mau mela-
kukannya. Bahkan dia telah serahkan nyawanya
bulat-bulat untuk kepentingan Kiai Ahus Ireng.
Dari sikapnya yang sedemikian angker
tanpa memandang sebelah mata padanya, Agung
Gaganda tahu kalau Iblis Kelabang juga meng-
hendaki untuk mengetahui tentang Rahasia Sebe-
las Jari. Kendati hatinya tidak terima bila Iblis Ke-
labang yang berhasil mengetahui Rahasia Sebelas
Jari dari Pendekar Slebor, namun dia tak mau
banyak tingkah di hadapan perempuan kejam itu.
"Keparat sial! Tak seharusnya dia hadir se-
karang! Tapi kalau aku tetap berada di sini, su-
dah tentu dia tak akan memberi kesempatanku
hidup lebih lama! Keparat! Ke mana perginya
Alung Gaganda? Mengapa dia belum muncul ju-
ga? Hem... terpaksa aku harus turuti perintah pe-
rempuan celaka itu! Tetapi aku bersumpah, di-
alah orang yang akan kuburu kemudian karena
aku yakin, Pendekar Slebor tak akan dapat ber-
buat banyak menghadapinya."
Memutuskan demikian, Agung Gaganda
memandang dulu pada Iblis Kelabang. Pandan-
gannya dipenuhi dengan kilatan amarah dan
dendam. Namun dia tidak mau bertindak konyol.
Bersama-sama dengan Alung Gaganda, belum
tentu dia dapat mengalahkan Iblis Kelabang. Ja-
lan satu-satunya, memang harus menyingkir le-
bih dulu dan memikirkan cara paling licik untuk
menghadapi perempuan berambut kelabang itu
kelak.
Kejap berikutnya, dia sudah putar tubuh
dan langsung berkelebat tanpa memandang sedi-
kit pun pada Pendekar Slebor.
Pendekar Slebor yang melihat punggung
Agung Gaganda lenyap dari pandangan menden-
gus dalam hati, "Kutu monyet! Benar-benar lepas
dari mulut ular aku masuk ke mulut harimau
nih! Kadal buntung! Bagaimana aku dapat berpi-
kir tenang untuk memecahkan Rahasia Sebelas
Jari kalau dikejar terus menerus seperti ini?"
Lalu dipandanginya wajah perempuan ber-
pakaian merah yang sejak tadi tak berkedip me-
mandangnya. Lamat-lamat Andika merasakan sa-
tu pengaruh kuat yang terpancar melalui tatapan
itu. Buru-buru dia arahkan pandangan ke samp-
ing kanan.
Melihat gerakan kepalanya, Iblis Kelabang
menggeram. Suaranya nyaring saat berucap, "Kau
tentunya telah mendengar siapa aku adanya! Kau
tentunya telah menebak pula apa yang kuingin-
kan! Jadi, tak perlu putar bicara lagi!!"
Mendengar ucapan orang, Andika menarik
napas pendek.
"Tepat dugaanku. Berita tentang Rahasia
Sebelas Jari rupanya memang telah menyebar.
Ah, jarum jatuh di rimba persilatan ini, gaungnya
pasti akan tersebar ke segenap penjuru. Menilik
sikap Agung Gaganda yang menjadi begitu keta-
kutan, jelas kalau si nenek memiliki kesaktian
tinggi. Aku harus berhati-hati menghadapinya."
Sambil garuk-garuk kepala dan mencoba
menenangkan gemuruh di hatinya, Pendekar Sle-
bor berkata, "Kau mengatakan yang sama sekali
tidak kumengerti! Bagaimana aku dapat meme-
nuhi permintaanmu itu?!"
Mendengar sahutan Pendekar Slebor, wa-
jah Iblis Kelabang berubah. Dia segera melompat
dan tegak lima langkah di hadapan Pendekar Sle-
bor yang masih berdiri tegak.
Lalu membentak keras, "Aku datang untuk
mencari tahu tentang isi Rahasia Sebelas Jari!
Apakah kau hendak bersilat lidah lagi di hada-
panku?!"
Andika justru kerutkan keningnya.
"Rahasia Sebelas Jari? Apa sih maksudmu?
Jari tangan atau kakimu yang berjumlah sebe-
las?"
Tanpa hiraukan selorohan orang, Iblis Ke-
labang berkata makin dingin, "Kalau kau tidak
mau katakan, berarti kau inginkan ini!!"
Habis berkata begitu, Iblis Kelabang mele-
sat ke depan. Kedua tangannya serta-merta ber-
kelebat lakukan pukulan ke arah Pendekar Sle-
bor.
Pendekar Slebor sendiri tidak tinggal diam.
Dia cepat pula angkat kedua tangannya dipalang-
kan di atas kepala menghadang pukulan.
Bukkk! Bukkk!
Begitu pukulannya ditahan oleh Pendekar
Slebor, Iblis Kelabang mendadak saja meliuk.
Masing-masing jari telunjuk dan tengahnya teren-
tang sementara jari-jari lainnya tertekuk. Sepin-
tas kedua jari-jari itu membentuk sungut!
Menyusul disodoknya ke depan.
Andika sendiri terkejut tatkala merasakan
empat buah gelombang angin tajam yang keluar
dari kedua jari telunjuk dan jari tengah si perem-
puan, menderu cepat ke arahnya.
Cepat dia buang tubuh hindar sergapan
angin yang mengerikan itu. Menyusul dia mener-
jang ke depan. Suara salakan petir terdengar
mendahului.
Buuk! Bukk!
Untuk kedua kalinya benturan terjadi. Iblis
Kelabang hanya sempat bergoyang-goyang. Di lain
pihak, sosok Pendekar Slebor langsung surut lima
langkah ke belakang. Paras wajahnya seketika be-
rubah pucat. Kedua tangannya yang baru saja
bentrok dengan kedua tangan Iblis Kelabang ber-
getar keras. Dan bila saja dia tak cepat kuasai ke-
seimbangan, niscaya lututnya akan tertekuk dan
sosoknya roboh.
Melihat apa yang baru saja terjadi, Iblis Ke-
labang yang merasa harus cepat melaksanakan
perintah Kiai Alas Ireng, tak mau menunggu la-
ma.
Sebelum Andika kuasai diri sepenuhnya,
dia sudah menerjang dengan sapukan kaki kiri
dan kanan. Sementara secara bersamaan tangan
kanan dan kirinya yang jari telunjuk dan tengah-
nya terentang, bergerak menusuk!
Pendekar Slebor melengak. Cepat sekali dia
segera angkat kedua kakinya untuk menghindari
sapuan kaki kanan dan kiri Iblis Kelabang. Ber-
samaan dengan itu, kedua telapak tangannya di-
buka menghadang di depan mata.
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk!
Empat gelombang angin kecil yang tadi
mengarah pada matanya, tertahan oleh kedua te-
lapak tangannya. Namun saat itu pula terdengar
jeritannya kaget.
"Monyet pitak! Kedua telapak tanganku se-
perti terbakar!!" dengusnya sambil mengibas-
ngibaskan kedua tangannya. Serta-merta dialir-
kan tenaga 'Inti Petir'.
Akan tetapi, sebelum penuh dilakukannya,
Iblis Kelabang yang memang selalu tak mau ber-
tindak setengah, apalagi saat ini dia sedang men-
gemban tugas dari Kiai Alas Ireng, sudah meng-
gebrak maju. Kedua jari telunjuk dan tengah tan-
gan kanan kirinya yang terentang dan seperti
membentuk sungut, sudah disodokkan kembali.
"Celaka!" desis Andika tatkala merasakan
gelombang angin kecil yang tadi sempat dirasakan
akibatnya pada kedua telapak tangannya mende-
ru, segera membuang tubuh.
Craaat!!!
Keempat gelombang angin kecil itu telah
menerpa sebuah pohon, yang mendadak terden-
gar letupan kecil empat kali berturut-turut. Me-
nyusul terlihat kobaran api dari empat buah lu-
bang pada tubuh pohon itu.
Andika yang tadi bergulingan dan kini te
lah tegak berdiri, harus lebih waspada sekarang.
Kendati nyawanya saat ini terancam namun pe-
muda urakan ini justru berseru konyol,
"Busyet! Jangan serius begitu, ah! Kalau
kena, aku bisa celaka!!"
Di seberang, Iblis Kelabang memantek wa-
jah dingin tanpa senyum maupun seringaian.
"Lakukan cepat yang kukatakan, jangan
sampai kau hanya membuang nyawa percuma!!"
"Perempuan ini memang memiliki ilmu
yang tinggi, patut kalau Agung Gaganda melari-
kan diri. Tetapi, tak akan mungkin kukatakan
apa isi dari Rahasia Sebelas Jari. Karena...."
Memutus kata hatinya sendiri, Andika
memandang ke depan, tak berkedip.
Yang dipandang mendengus. "Jangan coba-
coba memuslihatiku!!"
Tanpa hiraukan ancaman orang. Andika
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Iya deh, aku beri tahu! Tetapi sebelum ku-
katakan, ada yang kutanyakan dulu padamu!"
"Kau telah berkehendak memenuhi keingi-
nan! Aku pun tak merasa rugi memenuhi keingi-
nanmu!"
"Apakah kau menghendaki Rahasia Sebelas
Jari hanya untukmu, atau ada orang yang telah
memerintahkanmu?"
"Mengapa kau bertanya demikian?!" bentak
Iblis Kelabang dengan mata menyipit.
"Soalnya kan kau tahu sendiri, aku yang
mengetahui tentang isi Rahasia Sebelas Jari saja
sudah dirubung manusia seperti kau! Nah! Apa
kau punya kekuatan untuk menahan hadangan
orang yang menginginkan niat serupa?"
Iblis Kelabang rapatkan mulutnya. Pan-
dangannya terpantek pada sepasang mata Pende-
kar Slebor.
"Ucapannya cukup masuk akal. Tetapi,
siapa pun orangnya yang berani menghalangiku,
berarti dia harus mampus. Aku harus melaksa-
nakan perintah Kiai Alas Ireng. Heem... apakah
akan kukatakan siapa orang yang sebenarnya
menginginkan Rahasia Sebelas Jari? Kulihat anak
muda ini cukup cerdik. Bisa jadi dia sedang men-
coba memuslihatiku. Akan tetapi... setelah ku-
dengar tentang Rahasia Sebelas Jari, aku akan
segera membunuhnya. Berarti, tak ada penga-
ruhnya bila kukatakan tentang siapa orang yang
memerintahku."
Setelah cukup lama berpikir, Iblis Kelabang
buka mulut, "Kau terlalu cerdik sebenarnya! Te-
tapi, hutang budi ada balasnya! Kiai Alas Ireng
yang menghendaki semua ini."
Mendengar jawaban perempuan berpa-
kaian panjang berwarna semerah darah, Andika
terdiam. Keningnya agak dikerutkan saat dia ber-
kata dalam hati, "Kiai Alas Ireng. Hmmm... berarti
sudah empat orang yang kuketahui menghendaki
Rahasia Sebelas Jari. Kala Ijo. Agung Gaganda.
Kiai Alas Ireng dan perempuan itu sendiri. Tetapi
naluriku mengatakan masih ada orang yang akan
turut andil dalam urusan ini. Oh! Ke mana per-
ginya Gadis Kayangan? Apakah dia benar-benar
ngambek karena kugoda terus? Ah, aku harus bisa menyingkir dari hadapan perempuan celaka
ini. Aku tak ingin Gadis Kayangan mendapat
cclaka. Sebaiknya...."
"Tanya sudah dijawab! Katakan tentang
Rahasia Sebelas Jari!!" sengat Iblis Kelabang me-
mutus kata hati Andika.
Andika mendongak, menunggu sesaat se-
belum bicara, "Sebenarnya... aku sendiri tidak ta-
hu bagaimana cara memecahkan Rahasia Sebelas
Jari. Tetapi kupikir, tak ada salahnya bila kita
membagi perhatian. Dengar baik-baik, aku tak
akan mengulanginya lagi."
"Katakan!!"
"Isi dari Rahasia Sebelas Jari:
ada orang yang jari tangannya berjumlah sebelas,
lalu jari kakinya berjumlah sebelas. Bila dijumlah-
kan menjadi dua puluh dua jari. Di antara jari-jari
itu adalah dua yang palsu.
Nah! Isi dari Rahasia Sebelas Jari telah kukata-
kan, apakah sekarang tidak sebaiknya kita berpi-
sah saja?!"
Iblis Kelabang terdiam dengan kening di-
kernyitkan. Dia nampak berusaha untuk mere-
kam sekaligus memecahkan Rahasia Sebelas Jari,
yang barusan dikatakan Andika.
"Aku tak dapat menunggu terlalu lama! Bi-
la kau mau berpikir ya silakan!" seru Andika yang
sekarang memikirkan keselamatan Gadis Kayan-
gan.
"Tunggu!" seru Iblis Kelabang begitu Andi-
ka memutar tubuh.
Anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan itu membalikkan tubuh kembali. Lalu
berseru jenuh, "Apa lagi sih? Kau tidak percaya
kalau sesungguhnya yang kukatakan tadi adalah
isi dari Rahasia Sebelas Jari? Kalau kau tidak
percaya ya sudah! Toh bukan urusanku!!"
"Percaya atau tidak itu bukanlah urusan-
mu dan urusanku! Semuanya akan kusampaikan
pada Kiai Alas Ireng!" sahut Iblis Kelabang ga-
rang. Pancaran matanya berkilat-kilat berbahaya.
"Terus apa lagi?"
"Masih ada satu yang kuminta!"
"Busyet! Kalau sudah kupenuhi, kau pasti
akan meminta yang lain lagi! Rupanya kau orang
yang...."
"Cukup hanya sekali apa yang kuminta da-
rimu! Karena, berat atau tidak, kau tak akan da-
pat lagi memenuhi apa yang kuminta! Karena,
aku juga tidak akan meminta apa-apa lagi setelah
ini!"
"Kalau begitu, cepat deh bilang! Biar uru-
san jadi lekas selesai!"
Iblis Kelabang tak membuka mulut. Panca-
ran matanya makin dingin.
Kejap kemudian, terdengar suaranya
menggelegar, "Aku menginginkan nyawamu!"
Serta-merta tubuhnya melesat ke arah
Pendekar Slebor.
7
Pada saat kehadiran Agung Gaganda di
hadapan Pendekar Slebor, Gadis Kayangan se-
dang duduk merajuk di bawah pohon yang cukup
jauh dari sana. Wajah jelita gadis ini begitu jeng-
kel karena digoda pemuda itu terus menerus. Se-
jak tadi tak ada suaranya keluar kecuali mulut-
nya yang mencang-mencong.
Lalu sambil melempar sebatang ranting ke-
cil dia mendengus, "Uh! Kenapa aku bisa jatuh
cinta pada pemuda urakan itu? Apa sebenarnya
dia tahu kalau aku sudah jatuh cinta padanya,
makanya dia menggoda terus? Oh! Apakah kalau
begini dia akan merendahkanku?"
Perasaan gadis jelita berkepang dua ini se-
karang tak menentu. Dia malu bila Pendekar Sle-
bor mengetahui kalau dia mencintainya. Memang
sungguh tak pantas bila seorang gadis lebih dulu
mengutarakan cintanya. Akan tetapi, bukankah
dengan gelagat atau perbuatan yang dilakukan-
nya boleh-boleh saja?
Cuma, tadi Andika terus menggodanya!
Perlahan-lahan Gadis Kayangan menarik
napas, lalu menghembuskannya perlahan-lahan.
Sehelai daun jatuh di hadapannya. Diambilnya
daun itu, diperhatikannya dengan seksama tanpa
tahu maksudnya.
Mendadak saja si gadis palingkan kepala
ke kanan, tatkala mendengar suara orang berke-
lebat. Belum lagi dia dapat menangkap jelas gerakan itu, tahu-tahu satu sosok tubuh berpakaian
panjang abu-abu telah berdiri berjarak lima lang-
kah di hadapannya.
Mendongak Gadis Kayangan disusul den-
gan berdiri tegak. Karena saat ini hatinya sedang
jengkel akan sikap Pendekar Slebor, seperti da-
patkan tempat pelampiasan, dia langsung kelua-
rkan bentakan
"Orang jelek berambut dikepang! Ada perlu
apa kau muncul di hadapanku, hah?!"
Orang yang muncul itu salah seorang dari
si Kembar Parang Maut dan bukan lain Alung Ga-
ganda adanya. Lelaki yang di pinggangnya terda-
pat parang besar ini, sama sekali tak menyangka
kalau tujuannya semula untuk mencari Pendekar
Slebor, melenceng pada gadis jelita ini.
Alung Gaganda memiliki watak yang ber-
lainan dengan Agung Gaganda dalam soal nafsu.
Dia selalu menyempatkan diri untuk mengumbar
nafsu pada tempat-tempat yang dilaluinya. Bila
kebetulan dia tiba di sebuah dusun, maka yang
dicari pertama kali adalah tempat pelacuran. Ka-
laupun dia tidak menemukannya, tak segan-
segan Alung Gaganda untuk menculik anak pe-
rawan orang.
Dan sudah tiga hari ini dia tidak mengum-
bar nafsu birahinya. Sudah barang tentu melihat
seorang gadis jelita terbengong sendirian di situ,
dia seperti melihat intan berlian yang tak akan di-
lepaskannya.
Segera saja dipentangkan senyuman me-
nyeringai
"Gadis manis... tak perlu begitu gusar. Aku
adalah orang baik-baik. Namaku Alung Gaganda.
Siapakah namamu?"
Gadis Kayangan pandangi orang di hada-
pannya sebelum buka mulut, "Menyingkir dari si-
ni!!"
Semakin lebar pentangan seringaian Alung
Gaganda.
"Peduli setan dengan Pendekar Slebor! Lagi
pula, belum tentu pemuda itu yang tadi sama-
sama kulihat bersama Agung Gaganda. Kalaupun
memang dia adanya, biarlah Agung Gaganda yang
sibuk mencarinya. Kelinci ini terlalu menggiur-
kan, sayang bila dilewatkan...."
Habis membatin demikian, Alung Gaganda
maju satu langkah ke muka.
Gadis Kayangan kontan melompat ke
samping kanan. Menjaga jarak. Pandangannya
tak berkedip.
Serta-merta Alung Gaganda arahkan pan-
dangannya mengikuti di mana gadis itu berdiri
sekarang.
"Mengapa kau nampak begitu ketakutan,
Anak Manis? Sudah kukatakan tadi, aku adalah
orang baik-baik," katanya dengan pancaran birahi
yang tak dapat disembunyikan pada sepasang
matanya.
"Menyingkir dari sini!!" geram Gadis
Kayangan.
Seringaian lelaki berpakaian abu-abu pan-
jang itu semakin lebar. Bahkan dia maju mendekat.
Gadis Kayangan menggeram gusar. Kali ini
dia tahu gelagat. Kalau orang bermaksud tidak
baik padanya. Pelampiasan kesalnya pada Pende-
kar Slebor seolah mendapatkan tempat.
Dengan maksud untuk memberi pelajaran
orang itu, Gadis Kayangan sudah lepaskan joto-
sannya. Namun dengan enaknya jotosan itu di-
hindari Alung Gaganda dengan hanya memiring-
kan tubuh.
Bahkan tangan kanannya dengan cepat
bergerak, bermaksud untuk menangkap tangan
Gadis Kayangan. Namun yang dihadapinya ada-
lah murid mendiang Pemimpin Agung, yang bu-
kan hanya dapat hindari sambaran tangan ka-
nannya, bahkan juga meliukkan tubuh, lalu sa-
pukan kaki kiri.
Tak menyangka kalau gerakan si gadis be-
gitu cepat, kaki kanan Alung Gaganda tersampok.
Dess!
Kontan tubuhnya terjengkang.
"Itu akibatnya bila berani lancang di hada-
panku!" dengus Gadis Kayangan sambil lipat ke-
dua tangannya di depan dada. Kepalanya agak
didongakkan.
Kalau tadi Alung Gaganda memang me-
mandang ringan, kali ini dia meradang. Serta-
merta dia berdiri tegak. Sepasang matanya menu-
suk tajam.
"Jahanam! Sejak tadi sudah kuduga kalau
dia bukan gadis sembarangan! Tetapi perbuatan-
nya barusan, justru membuatku bukan hanya in-
gin menikmati tubuhnya, bahkan mencabik
cabiknya setelah puas!!"
Habis membatin demikian, tanpa banyak
bicara lagi, salah seorang dari si Kembar Parang
Maut ini sudah mendorong tangan kanannya ke
depan.
Satu hamparan angin deras menyerbu,
menyeret tanah dan ranggasan semak belukar
saat menderu ke arah Gadis Kayangan yang ter-
kesiap kaget.
Cepat dia buang tubuh ke samping kanan.
Sambaran gelombang angin itu luput dari sasa-
ran.
Namun, Alung Gaganda yang tak mau ba-
nyak membuang waktu, sudah lepaskan serangan
susulan.
Wrrrr!!
Gadis Kayangan membuat satu lompatan
kembali, menyusul dia menyerbu ke depan den-
gan sapukan kaki kanannya. Begitu sosok Alung
Gaganda melompat hindari sapuan kaki kanan-
nya, dengan tubuh diputar setengah lingkaran,
kaki kirinya sudah melesat.
Bed!
Alung Gaganda yang masih berada di uda-
ra, palangkan kedua tangannya di depan dada
dan segera didorong.
Buk!
Tendangan kaki kiri Gadis Kayangan bu-
kan hanya dapat dihalau, tetapi sosoknya pun
terlontar ke belakang terkena tenaga dorongan
lawan.
Belum lagi Gadis Kayangan dapat kuasai
keseimbangannya secara penuh, mendadak saja
gelombang angin lainnya melabrak diiringi se-
ruan, "Lebih baik kau menurut apa yang kuingin-
kan! Padahal toh ini juga untuk kenikmatanmu
sendiri!!"
Mendengus muak Gadis Kayangan sambil
membuang tubuh ke samping kiri. Namun belum
lagi dia menginjak tanah, gelombang angin lain-
nya sudah menderu.
"Celaka!!"
Terkesiap Gadis Kayangan dan berusaha
untuk hindari gebrakan gelombang angin lawan.
Namun kedudukannya sangat sulit untuk dilaku-
kan. Berarti tak ada jalan lain kecuali memapaki.
Segera saja dia lepaskan jurus 'Matahari
Tebar Sinar', yang serta-merta udara di sekitar
sana berubah menjadi panas. Namun gelombang
angin panas yang keluar dari jurus 'Matahari Te-
bar Sinar' dapat dipatahkan lawan dengan mu-
dah. Malah sosok Alung Gaganda sudah mener-
jang ke depan.
Tersentak si gadis dan segera membuang
tubuh ke samping kiri dan saat masih bergulin-
gan, Alung Gaganda sudah mencelat ke depan.
Kaki kanannya yang telah dialiri tenaga dalam
penuh siap dihajarkan pada kepala Gadis Kayan-
gan, sementara tangan kirinya sudah didorong le-
bih dulu.
Kontan dada Gadis Kayangan telak terhan-
tam. Tubuhnya langsung tergontai-gontai ke be-
lakang. Tetapi karena dia memiliki ketahanan tu-
buh yang cukup tinggi, tulang dadanya tidak patah kecuali rasa nyeri yang cukup menyengat.
Akan tetapi nasibnya memang sungguh si-
al. Sebelumnya dia masih beruntung lepas dari
tangan Kala Ijo dengan kehadiran Pendekar Sle-
bor. Tetapi saat ini, Pendekar Slebor juga sedang
disibukkan oleh serangan Agung Gaganda bahkan
bertepatan dengan munculnya Iblis Kelabang.
Alung Gaganda yang sudah jengkel karena
sikap si gadis, sudah melesat ke depan. Tangan
kanannya dua kali lancarkan totokan.
Tuk! Tuk!
Kalau tadi tubuh Gadis Kayangan hanya
tergontai-gontai, kali ini ambruk setelah ter-
huyung lebih dulu. Dan saat itu pula dirasakan
sekujur tubuhnya sulit untuk digerakkan.
Sepasang matanya terbeliak karena tahu-
tahu orang berkepang dua itu sudah berdiri di
hadapannya, dengan kedua kaki agak dibuka.
Seringaian segera terlihat di bibir Alung
Gaganda. Lelaki yang selalu haus birahi ini meng-
geleng-gelengkan kepalanya melihat tubuh yang
telentang tak berdaya.
"Bila sejak tadi kau menurut, kau tak akan
merasakan sakit apa-apa! Toh pada akhirnya kau
tetap akan menjadi...."
"Tutup mulutmu, Keparat! Kita bertarung
sampai mampus!!" geram Gadis Kayangan sengit.
Kontan tertawa lebar Alung Gaganda. Ma-
sih tertawa pandangannya menyusuri tubuh
montok milik Gadis Kayangan.
Si gadis sendiri sadar kalau bahaya yang
memalukan akan dialaminya. Dia teringat akan
perbuatan terkutuk dari Dewa Lautan Timur yang
hampir saja pernah mempermalukannya. Namun
dia tertolong oleh perbuatan Nyi Genggong, yang
ternyata bukan bermaksud menolongnya, melain-
kan menginginkan potongan pedang yang berisi-
kan titik gambar menuju ke Pulau Hitam (Untuk
mengetahui hal ini, silakan baca episode: "Dewa
Lautan Timur").
"Celaka! Kenapa aku harus menghindar
dari Andika?" desisnya dengan hati berdebar tak
menentu. Rasa tegang membalurinya hingga tan-
pa sadar dia menggigil. "Seharusnya kubiarkan
saja Andika menggodaku? Oh! Apakah dia akan
muncul di sini, seperti ketika aku dihadang oleh
Kala Ijo? Kalaupun aku berteriak, rasanya tak
akan mungkin terdengar, karena jaraknya terlalu
jauh. Brengsek! Jangan-jangan dia lagi tidur se-
karang?"
Terdengar suara Alung Gaganda yang pe-
nuh birahi.
"Manis... bersiaplah untuk menikmati apa
yang akan kuberikan...."
"Oh! Jangan! Jangan!" seru Gadis Kayan-
gan. Wajahnya memucat. Kedua matanya terbe-
liak lebar. Hatinya laksana diguncang prahara
mengerikan.
Apalagi ketika orang berpakaian abu-abu
panjang itu mulai membuka pakaiannya sendiri.
Tanpa melepaskan pakaiannya yang sudah ter-
buka, perlahan-lahan Alung Gaganda merebah-
kan tubuhnya di atas tubuh Gadis Kayangan
yang menjerit-jerit kalap dengan mata terbeliak
ketakutan.
Jeritan itu justru membuat birahi Alung
Gaganda semakin naik. Dengan beringas tangan
kanannya menyambar pakaian yang dikenakan
Gadis Kayangan.
Breeekk!
Seketika nampak lembah buah dada si ga-
dis yang putih mulus itu. Semakin ngeri hati Ga-
dis Kayangan, semakin lebar seringaian Alung
Gaganda. Dengan makin bernafsu dia merobek
kembali sisa pakaian yang dikenakan si gadis.
Kalau tadi yang nampak hanyalah lembah
bagian atas buah dadanya, kali ini seluruh benda
kenyal itu nampak di mata Alung Gaganda. Begi-
tu putih, montok dan menantang.
"Menyenangkan! Sangat menyenangkan!"
desis Alung Gaganda dan tangan kanannya per-
lahan-lahan terangkat, lalu menurun untuk men-
jamah buah dada itu.
"Alung Gaganda! Tahan!" seruan keras itu
terdengar saat tangan Alung Gaganda tinggal be-
berapa senti lagi dari benda yang menggiurkan
itu.
Seketika kepala lelaki ini berpaling.
Gadis Kayangan yang tadi memejamkan
matanya, buru-buru membukanya kembali. Dia
berharap orang yang datang akan menolongnya.
Namun begitu dilihatnya kalau orang yang datang
memiliki paras yang sama dengan orang yang
hendak mempermalukannya, hatinya semakin te-
riris ketakutan.
Biarpun Alung Gaganda memiliki birahi
yang tinggi, namun dia belum pernah melaku-
kannya di hadapan kakak kembarnya. Orang
yang datang itu tak lain Agung Gaganda.
Perlahan-lahan dengan menindih jengkel-
nya, Alung Gaganda bangkit dari atas tubuh Ga-
dis Kayangan, yang masih telentang dengan buah
dada yang terpampang lebar.
Agung Gaganda langsung keluarkan den-
gusan, menyadari kalau adik kembarnya tidak
sampai di tempatnya karena sedang berusaha
menggeluti seorang gadis.
Diperhatikannya sejenak gadis yang tak
berdaya dan sedang menindih rasa malunya. Per-
lahan-lahan kening Agung Gaganda nampak ber-
kerut.
Lalu katanya tanpa palingkan kepala dari
sosok Gadis Kayangan, "Alung Gaganda! Apakah
kau tidak mengetahui siapa gadis itu adanya?"
Kendati jengkel karena keinginannya untuk
menggeluti gadis itu gagal, Alung Gaganda meng-
gelengkan kepala.
"Alung... bayangan hijau dan biru muda
yang sebelumnya kita lihat, memang Pendekar
Slebor. Tetapi... apakah kau tidak menduga kalau
gadis ini adalah orang yang sebelumnya kita lihat
berkelebat bersama Pendekar Slebor?"
Mendengar ucapan kakak kembarnya, se-
ketika Alung Gaganda arahkan pandangan pada
si gadis. Yang dilihat bukanlah wajah atau bagian
tubuh lain dari Gadis Kayangan, melainkan buah
dada yang menantang itu.
Tetapi kepalanya mengangguk-angguk.
"Kalau memang dia orangnya apakah...."
"Aku telah bertarung dengan Pendekar Sle-
bor," putus Agung Gaganda sambil menatap adik
kembarnya. "Tetapi saat itu muncul Iblis Kela-
bang. Kau tahu bukan, biarpun kita menghadapi
Iblis Kelabang secara bersamaan, belum tentu ki-
ta dapat mengatasinya. Sebaiknya, kita sandera
gadis ini."
"Untuk apa? Bukankah dengan kata lain,
kau akan mengatakan Pendekar Slebor akan te-
was di tangan perempuan celaka itu?" dengus
Alung Gaganda begitu mendengar kehadiran Iblis
Kelabang. Dan dia sungguh tak menyangka kalau
perempuan berambut kelabang yang mereka ta-
kuti akan muncul.
Langsung terbayang di benak Alung Ga-
ganda, bagaimana kakak kembarnya tentunya se-
gera memutuskan untuk meninggalkan Pendekar
Slebor ketimbang mati konyol di tangan Iblis Ke-
labang.
"Kau benar. Aku juga menduga seperti itu.
Tetapi, entah mengapa, aku yakin kalau anak
muda keparat itu akan dapat meloloskan diri dari
tangan Iblis Kelabang. Berarti... urungkan niatmu
untuk mempermalukan gadis ini! Aku punya piki-
ran yang menarik! Barangkali saja dia akan
membawa keberuntungan bagi kita! Bawa dia!!"
Habis kata-katanya, Agung Gaganda sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Alung Gaganda pandangi dulu punggung
kakak kembarnya hingga lenyap dari pandangan.
Lalu diperhatikannya Gadis Kayangan yang semakin tegang.
"Kalau begitu, Andika tidak sedang tidur
sekarang. Dan kedua orang yang ternyata sauda-
ra kembar itu, rupanya sudah melihat aku dan
Andika. Sekarang ini, Andika sedang menghadapi
orang yang berjuluk Iblis Kelabang. Oh! Jelas ke-
datangan orang-orang ini berhubung-an dengan
Rahasia Sebelas Jari. Seperti yang hendak dila-
kukan Kala Ijo. Apakah ini salah satu maksud da-
ri Andika, mengapa dia...."
Kata hati Gadis Kayangan terputus. Karena
tubuhnya mendadak terasa diangkat, lalu dile-
takkan di punggung kanan.
Dalam keadaan tertotok seperti itu, dia tak
bisa lakukan apa-apa kecuali berteriak minta di-
turunkan. Akan tetapi, Alung Gaganda yang telah
mengangkatnya sudah tentu tak akan mau me-
menuhi permintaannya.
Bahkan dibiarkan saja pakaian bagian da-
da si gadis terbuka, hingga buah dadanya me-
nyentuh lembut punggungnya.
"Untuk .sementara, kau akan aman, Manis.
Tetapi percayalah, cepat atau lambat, kita akan
arungi keindahan sorga dunia bersama-sama...."
Habis berkata demikian, Alung Gaganda
segera berkelebat ke arah perginya Agung Gagan-
da.
Di punggungnya, dalam keadaan tidak
berdaya, Gadis Kayangan hanya bisa mendesah
pendek. Disadarinya betul kalau dia telah masuk
ke sarang harimau!
8
"Kampret buduk!" maki Pendekar Slebor
begitu merasakan sengatan angin yang melesat
dari kedua jari telunjuk dan jari tengah perem-
puan berpakaian panjang semerah darah.
Cepat dia melompat hindari sergapan ga-
nas lawan. Iblis Kelabang yang merasa telah
mendapatkan apa yang diinginkannya dan seka-
rang menginginkan nyawa Pendekar Slebor, cepat
sapukan kaki kirinya setengah lingkaran.
Brrrr!
Tanah seketika terseret dan membubung
ke udara. Menyusul dia menyergap dengan lu-
ruskan tangan kanannya.
"Monyet pitak!!" maki Pendekar Slebor yang
tadi berhasil hindari sapuan kaki kiri lawan den-
gan cara melompat dan harus segera miringkan
tubuh untuk hindari sergapan sengatan angin
yang mengarah pada wajahnya.
Belum lagi dia dapat kuasai keseimban-
gannya, mendadak...
Beeett!!
Rambut putih si perempuan yang dikela-
bang, menyentak perdengarkan suara membeset.
Memekik kaget anak muda urakan ini
sambil tarik kepalanya ke belakang. Namun susu-
lan serangan berikutnya, membuatnya harus ke-
rahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menghin-
dar ke sana kemari.
"Kunyuk buduk! Bagaimana caranya aku
untuk lepaskan serangan, kalau diburu terus
menerus seperti ini?!" makinya panjang pendek.
Akibat serangan demi serangan yang dilan-
carkan Iblis Kelabang dan luput dari sasaran
yang dituju, membuat suasana di tempat itu men-
jadi gaduh berkepanjangan. Ranggasan semak
dan tanah muncrat berulang-ulang. Dan berulang
kali pula nampak dahan-dahan pohon patah ber-
serakan.
"Kalau begini terus, aku bisa mampus nih!"
maki anak muda ini seraya mencari sela untuk
membalas. Apalagi tatkala ingatannya singgah
pada Gadis Kayangan yang sampai sekarang be-
lum diketahui bagaimana nasibnya. Hatinya ma-
kin direjam rasa bingung.
Di lain pihak, Iblis Kelabang semakin mur-
ka karena tak satu pun serangannya yang men-
genai sasaran. Rambutnya yang dikelabang berge-
rak cepat, menimbulkan suara besetan yang ke-
ras. Belum lagi sapuan kaki kanan kirinya yang
cepat. Ditambah dengan sengatan-sengatan angin
yang meluncur dari kedua jari telunjuk dan te-
ngahnya.
Ditambah kecepatannya untuk mengirim
nyawa Pendekar Slebor ke akhirat.
"Keparat busuk! Dia mempermainkanku
karena sejak tadi hanya menghindar saja!" ma-
kinya semakin ganas.
Bila saja Iblis Kelabang tahu kalau sebe-
narnya Pendekar Slebor sedang kerepotan, mung-
kin dia tak segeram sekarang. Anak muda itu bu-
kannya bermaksud mempermainkan si perempuan, tetapi dia sendiri belum mendapatkan sela
guna lancarkan serangan balasannya.
Hingga mendadak saja terdengar suara
gemuruh angin dahsyat disertai dengungan lak-
sana ribuan tawon murka.
Wrrrrr!!
Ranggasan semak berjarak lima langkah
tercabut dan terlontar deras ke belakang. Bersa-
maan dengan itu, Iblis Kelabang memekik kaget.
Cepat dia melompat ke samping kiri, guna
hindari sambaran angin yang keluar dari kain
bercorak catur yang dilepaskan Pendekar Slebor.
Tindakan yang dilakukannya cukup berha-
sil, karena dia dapat membuat jarak serangan Ib-
lis Kelabang jadi agak menjauh.
Sesaat tak ada yang lakukan tindakan apa-
apa. Napas Pendekar Slebor terdengar sangat ce-
pat. Sementara di seberang, pancaran mata pe-
rempuan berambut kelabang itu tajam menusuk.
"Monyet pitak!" maki Pendekar Slebor tiba-
tiba. "Rupanya kau orang yang tak menepati janji
ya? Kan tadi sudah kukatakan tentang isi Raha-
sia Sebelas Jari! Seharusnya kau tak perlu ber-
tindak begini dong? Kan...."
"Aku menginginkan nyawamu!" pendek de-
sisan Iblis Kelabang memutus kata-kata Andika.
Bersamaan dengan itu, dia sudah mencelat
kembali ke depan dengan ganas.
Andika yang telah menjaga jarak, cepat li-
litkan lagi kain bercorak catur ke lehernya. Kejap
berikutnya dia sudah mencelat ke muka dengan
tumpuan kaki kanan.
Kedua tangannya yang telah dialirkan te-
naga 'Inti Petir' bergerak.
Salakan petir terdengar keras.
Bukk! Buukkk!!
Benturan yang terjadi itu cukup keras. An-
dika sendiri langsung terhuyung ke belakang se-
mentara Iblis Kelabang tergontai-gontai ke bela-
kang.
Menyusul dia berteriak keras seraya gerak-
kan kepalanya, hingga rambutnya yang dikela-
bang bergerak cepat.
Wuuut! Wuuuttt!!
Mendadak saja gelombang angin melingkar
menderu, menerjang apa saja sebelum akhirnya
melabrak ke arah Pendekar Slebor.
Sadar kalau lawan telah perlihatkan jurus
lainnya, anak muda urakan ini tak mau bertindak
ayal lagi. Dia mencelat ke depan seraya keluarkan
ajian 'Guntur Selaksa'. Saat itu pula nampak per-
nik-pernik keperakan meliputi seluruh tubuhnya.
Suara salakan guntur yang sangat keras
menggelegar.
Pyaaaarrr!!
Gelombang angin melingkar yang keluar
dari rambut Iblis Kelabang, kontan punah. Me-
nyusul sosok Pendekar Slebor yang menerjang ke
depan.
Kalau sebelumnya Iblis Kelabang berada di
atas angin, kali ini wajah perempuan itu terke-
siap. Sadar atau tidak, dia memekik kaget seraya
buang tubuh ke samping.
Ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan
Pendekar Slebor menghantam sebatang pohon
yang langsung tumbang dan perdengarkan suara
menggemuruh begitu menimpa bumi. Namun
anak muda ini memang tak mau membuang wak-
tu. Dia segera mengejar sosok Iblis Kelabang yang
wajahnya sekarang memucat.
Namun perempuan berpakaian panjang
semerah darah itu, bukanlah orang kemarin sore.
Dia segera kerahkan tenaga dalamnya dan den-
gan gerakan meluruk memutar, dia menerjang ke
arah Pendekar Slebor.
Blaaamm!
Suara yang keras terdengar sekali. Namun
akibatnya sungguh mengerikan. Tanah di mana
bertemunya dua pukulan itu kontan muncrat ke
udara dan seketika halangi pandangan. Saat ta-
nah itu kembali luruh ke tempatnya, terlihat wa-
jah Iblis Kelabang meregang keras.
"Jahanam terkutuk! Ke mana perginya pe-
muda setan itu?!" makinya sambil melompat ke
depan. Diedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tak ada tanda-tanda pemuda berpakaian hijau
pupus di sekitar sana.
Sadar kalau Pendekar Slebor telah mening-
galkan tempat itu, kemarahan Iblis Kelabang se-
makin menjadi-jadi.
"Keparat!! Pemuda itu rupanya tak memili-
ki nyali! Percuma bila kutemui Kiai Alas Ireng se-
karang untuk mengabarkan tentang isi Rahasia
Sebelas Jari! Nyawa pemuda itu belum kulepas
dari jasadnya! Bisa kupastikan kalau Kiai Alas
Ireng akan murka terhadapku! Jahanam terkutuk! Sebaiknya, kuburu pemuda celaka itu! Toh
aku berjanji sepuluh hari untuk menemui Kiai
Alas Ireng!!"
Untuk sesaat perempuan berambut kela-
bang ini terdiam dengan wajah tegang. Kemara-
han nampak membiasi wajahnya. Hatinya serasa
dipermainkan oleh Pendekar Slebor.
"Kau harus mampus, Pemuda Setan!"
Habis menggeram begitu, Iblis Kelabang
bergerak dan mengira-ngira ke mana perginya
Pendekar Slebor.
***
Matahari baru saja tampakkan biasnya di
ufuk timur. Satu sosok tubuh berpakaian batik
kusam hentikan larinya di sebuah persimpangan
yang ditumbuhi ranggasan semak belukar seting-
gi dada. Sepasang matanya diedarkan ke sekelil-
ing. Paras orang berpakaian balik kusam yang
ternyata seorang perempuan ini, berbentuk bulat
telur dan dihiasi rangkaian kulit keriput. Ram-
butnya panjang tak beraturan. Di tangannya ter-
dapat cambuk berlidah tiga.
Kejap berikutnya, terdengar perempuan ini
mendengus. Lalu keluarkan desisan dingin,
"Setan alas! Aku gagal menemukan di ma-
na Pulau Hitam berada! Tetapi, kudengar kabar
kalau rahasia Pulau Hitam telah terpecahkan! En-
tah di mana saat ini Dewa Lautan Timur berada!
Pemuda setan berjuluk Pendekar Slebor pun aku
tidak tahu di mana dia berada!"
Kembali perempuan yang nampaknya se-
dang geram ini, terdiam. Sepasang matanya me-
mandang ke julangan bukit di hadapannya. Terli-
hat kepalanya mengangguk-angguk, seperti me-
mikirkan sesuatu.
"Rimba persilatan adalah tempat persem-
bunyian berita yang rapat, tetapi juga tempat ter-
bukanya semua berita ke segenap penjuru. Telah
kutangkap kabar tentang munculnya Eyang Mega
Tantra di Pulau Hitam. Tentang Rantai Naga Si-
luman yang hanya dapat diambil bila ada yang
berhasil memecahkan Rahasia Sebelas Jari! Huh!
Lagi-lagi pemuda setan itu yang mengetahui isi
dari Rahasia Sebelas Jari! Kusirap kabar kalau
dia telah mengetahuinya dari Eyang Mega Tan-
tra!"
Perempuan berpakaian batik kusam yang
tak lain Setan Cambuk Api adanya ini, membuang
ludah dengan sikap muak.
Seperti pernah diceritakan dalam episode
"Rahasia Pulau Hitam", Setan Cambuk Api yang
diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk
membunuh Pendekar Slebor, gagal menjejakkan
kaki ke Pulau Hitam. Namun nenek sesat ini be-
rusaha keras untuk menemukannya. Tetapi ak-
hirnya dia menyerah karena gagal mendapat-
kannya.
Kendati demikian, dia terus hendak men-
cari Pendekar Slebor, di samping juga mencari
Dewa Lautan Timur. Setelah lima hari melaku-
kannya, dia menangkap kabar tentang Rahasia
Sebelas Jari dan Rantai Naga Siluman.
Kalau semula niatnya untuk membunuh
Pendekar Slebor semata-mata karena perintah
dari Dewa Lautan Timur, namun kali ini, Setan
Cambuk Api berkehendak lain. Dia menginginkan
nyawa pemuda itu untuk dirinya sendiri. Yang
terpenting lagi, dia menginginkan Rantai Naga Si-
luman yang hanya dapat diambil bila berhasil
memecahkan Rahasia Sebelas Jari. Dan itu berar-
ti, mengarah pada Pendekar Slebor!
Dengan kata lain, selain menuntaskan
keinginannya untuk membunuh Pendekar Slebor,
Selan Cambuk Api akan mendapatkan keuntun-
gan lain untuk mengetahui Rahasia Sebelas Jari,
dan mendapatkan Rantai Naga Siluman.
Setan Cambuk Api menggeram lagi.
"Ke mana pun pemuda setan itu pergi, aku
akan selalu memburunya! Tak akan pernah kule-
paskan nyawanya, meskipun dia bersembunyi di
lubang semut sekalipun!!" desisnya dengan kila-
tan mata berapi-api.
Dendam telah membaluri sekujur tubuh-
nya. Kemarahan tak bisa dihindari lagi.
Sesaat perempuan bersenjatakan cambuk
berlidah tiga ini terdiam. Dada tipisnya membu-
sung dengan kemarahan yang tak akan dapat di-
tahankan.
"Angin bertiup ke timur. Biasanya arah an-
gin dapat kujadikan sebagai patokan. Sebaiknya,
aku segera menuju ke timur. Mudah-mudahan
tujuanku akan terlaksana."
Memutuskan demikian, perempuan tua
berpakaian batik kusam ini segera berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Kesunyian pun merejam dalam.
Beberapa helai daun berjatuhan.
9
Dua sosok tubuh berpakaian abu-abu pan-
jang itu berkelebat menembus sebuah hutan.
Hingga siang meranggas dunia, dua sosok tubuh
yang lak lain si Kembar Parang Maut baru henti-
kan lari masing-masing orang di sebuah tempat.
Di kejauhan nampak pematang sawah dan ladang
singkong yang diteriki panas matahari dan seba-
gian melenggak-lenggok terkena hembusan angin.
Sosok Gadis Kayangan masih berada dalam
bopongan Alung Gaganda. Tubuh murid men-
diang Pemimpin Agung telah dipenuhi keringat.
Dadanya yang masih terbuka terasa sakit mene-
kan pada punggung Alung Gaganda, sementara
yang tertekan justru tak sabar untuk menda-
patkan apa yang dimiliki si gadis.
Namun Alung Gaganda cuma dapat me-
nyimpan keinginannya. Biar bagaimanapun juga,
dia masih menghargai kakak kembarnya hingga
belum mau melakukan apa yang diniatkannya.
"Turunkan dia!" perintah Agung Gaganda
tanpa palingkan kepala.
Sebelum Alung Gaganda melakukan perin-
tahnya yang dengan kata lain akan melihat dada
menantang milik Gadis Kayangan. Agung Gagan-
da sudah buka suara, tetap tanpa palingkan kepala, "Rapikan pakaiannya!"
Mendengus dalam hati Alung Gaganda
sambil coba pandangi wajah yang tak berbeda
dengan wajahnya. Tetapi Agung Gaganda yang
sedang menatap kejauhan, sementara dia berada
di belakangnya, membuat Alung Gaganda tak da-
pat jelas menatap wajah kakak kembarnya.
Dengan menindih rasa jengkel, Alung Ga-
ganda merapikan pakaian Gadis Kayangan. Dia
sengaja berlama-lama dan menyentuh dada ke-
nyal itu berulangkali.
Kendati geram melihat sikap Alung Gagan-
da, Gadis Kayangan merasa keadaannya lebih
baik. Pakaiannya memang tidak utuh lagi, tetapi
paling tidak, dadanya tidak terpampang lebar se-
perti tadi.
Alung Gaganda berkata setelah sosok Ga-
dis Kayangan direbahkannya di atas tanah be-
rumput.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Agung Gaganda tak segera menjawab. Pan-
dangannya tetap ditujukan ke kejauhan.
"Firasatku mengatakan, kalau pertarungan
Pendekar Slebor dengan Iblis Kelabang telah sele-
sai. Entah mengapa aku berkeyakinan kalau Pen-
dekar Slebor berhasil meloloskan diri."
"Lantas kita menunggunya di sini? Di tem-
pat yang terbuka?" usik Alung Gaganda.
"Ya! Karena kita memiliki gadis itu! Aku
yakin, kalau dialah orang yang sebelumnya kita
lihat bersama-sama dengan Pendekar Slebor. Se-
baiknya...."
Terputus kata-kata Agung Gaganda, se-
mentara sepasang matanya agak dipicingkan ke
depan. Alung Gaganda melihat pula pada sesuatu
yang membuat kakak kembarnya memutus kata-
katanya sendiri.
Berjarak dua puluh tombak di muka, dua
sosok merah dan hitam nampak sedang hentikan
kelebatan masing-masing. Mereka juga menga-
rahkan pandangan pada si Kembar Parang Maut.
Terlihat kalau mereka berpandangan sejenak,
mungkin berkata-kata.
Kejap berikutnya, dua orang itu sudah ber-
lari ke arah si Kembar Parang Maut.
Agung Gaganda mendesis, "Yang lelaki
berpakaian hitam pekat sementara yang perem-
puan berpakaian merah. Iblis Kelabang juga men-
genakan pakaian berwarna yang sama. Tetapi ti-
dak memakai kerudung seperti perempuan itu.
Hem... Alung! Nampaknya kita mendapat kawan!
Belum tahu kawan yang bermaksud baik atau
memiliki niat busuk!!"
Mendengar ucapan kakak kembarnya,
Alung Gaganda segera melangkah ke kanan dari
Agung Gaganda berjarak lima langkah. Mereka
menunggu dengan hati agak berdebar.
Dua bayangan merah dan hitam itu terus
mendekat. Tiga tarikan napas berikutnya, mas-
ing-masing orang telah berdiri sejarak tujuh lang-
kah dari tempat berdiri si Kembar Parang Maut.
Orang berpakaian hitam yang berdiri di se-
belah kiri memandang masing-masing orang den-
gan tatapan dingin. Sepasang matanya bergelambir dengan dihiasi hidung bengkok. Rambutnya
dikucir kuda. Di pergelangan tangan kanan kiri
lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu terda-
pat gelang-gelang penuh duri.
Sementara perempuan berpakaian merah
yang di kepalanya mengenakan kerudung merah,
hanya pentangkan seringaian. Saat angin ber-
hembus dan sedikit mengangkat kerudungnya,
nampak rambutnya berwarna keemasan.
Dan begitu melihat sosok Gadis Kayangan
yang tergeletak di atas rumput, sepasang mata
perempuan ini terbuka lebih lebar.
Menyusul terdengar suaranya, "Sangga
Rantek! Apakah tidak salah penglihatanku? Bu-
kankah dia Gadis Kayangan? Gadis celaka yang
membuat kita mati kutu memburunya?"
Lelaki berpakaian serba hitam pekat yang
tak lain Sangga Rantek adanya, mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Dan sudah tentu bila gadis itu berada da-
lam kekuasaan manusia-manusia monyet ini, ada
hubungannya dengan Pendekar Slebor! Iblis
Rambut Emas! Apakah kita akan menyia-nyiakan
waktu yang telah lama terbuang? Rahasia Pulau
Hitam telah terbuka! Rahasia Sebelas Jari yang
kita dengar sudah berkumandang, begitu pula
dengan Rantai Naga Siluman! Jelas kalau ini ada-
lah keberuntungan yang tak dapat kita lepaskan!"
Kedua orang pendatang itu memang Sang-
ga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Setelah me-
mutuskan untuk meninggalkan Pulau Hitam, ka-
rena merasa ngeri melihat pertarungan Panembahan Agung dan Dewa Lautan Timur, kedua orang
sesat ini menunggu di sebelah barat Pulau Hitam.
Mereka berharap dapat melihat Pendekar
Slebor keluar dari Pulau Hitam. Tetapi setelah
tunggu punya tunggu, pemuda dari Lembah Ku-
tukan itu tak tampakkan batang hidungnya. Me-
reka masih mencoba menunggu.
Setelah dua hari berdiam diri, akhirnya
mereka mengambil kesimpulan kalau Pendekar
Slebor tak mengambil jalan yang telah dilalui me-
nuju ke Pulau Hitam, itu pun bila Pendekar Sle-
bor masih selamat.
Dengan hati kesal karena tak mengetahui
tentang rahasia Pulau Hitam, masing-masing
orang meninggalkan tempat itu. Hingga kemudian
mereka mendengar tentang Rahasia Sebelas Jari
dan Rantai Naga Siluman.
Jelas kalau Pendekar Slebor masih hidup.
Karena kabar yang mereka dengar, pemuda itulah
yang diberitahu oleh Eyang Mega Tantra tentang
Rahasia Sebelas Jari.
Dan sekarang, tanpa mereka sangka, me-
reka bertemu dengan dua orang berpakaian abu-
abu dan berwajah mirip satu sama lain. Tetapi
yang menggembirakan, karena mereka melihat
sosok Gadis Kayangan yang mereka ketahui erat
hubungannya dengan Pendekar Slebor.
Sementara itu, si Kembar Parang Maut,
saling melirik begitu mendengar ucapan orang.
Secara tidak langsung, mereka sadar kalau kedua
orang ini punya keinginan yang sama.
Agung Gaganda mencoba untuk menindih
rasa jengkelnya saat berkata, "Kawan, mengapa
kalian berhenti di sini dan seolah menghadang
langkah kami? Apakah ada satu urusan yang ha-
rus diselesaikan!"
Iblis Rambut Emas yang sebelumnya
punya niat busuk pada Sangga Rantek tentang
potongan pedang perak (Baca: "Pedang Buntung"
hingga "Tabir Pulau Hitam"), sudah buka mulut,
"Jangan sembarangan berucap dan jangan berla-
ku bodoh! Pertama, kami bukan kawanmu! Ke-
dua, kau tentunya tahu apa yang kami hendaki
sekarang!!"
Memerah wajah Agung Gaganda menden-
gar ucapan sengit perempuan berkerudung me-
rah. Tetapi dia berusaha untuk bersikap tenang.
"Apa yang kau katakan betul! Lantas, apa
yang hendak kalian lakukan sekarang?"
"Segera menyingkir dari sini, sebelum ka-
lian menyesal!!"
"Menyingkir dari sini sangat mudah dila-
kukan! Alung Gaganda, bawa kembali sosok gadis
itu!"
"Tunggu!" dengus Iblis Rambut Emas me-
rasa dirinya dipandang remeh oleh orang. "Kalian
boleh berlalu dengan selamat, tetapi biarkan ga-
dis itu di sini!"
"Gadis itu tak ada hubungannya dengan
kalian, berarti kalian tak berhak melarang kami
untuk membawa gadis itu! Bawa dia!!"
Alung Gaganda segera mendekati dan siap
membopong Gadis Kayangan yang sebenarnya
makin kecut melihat kehadiran dua orang yang
dikenalnya.
Sebelum Alung Gaganda lakukan maksud,
Iblis Rambut Emas sudah menerjang dengan pe-
nuh kegeraman.
Agung Gaganda sadar apa yang diinginkan
orang. Dia segera bergerak menghadang dan lon-
tarkan satu tendangan memutar.
Wuuuttt!!
Satu kesiur angin terdengar begitu kaki
kanannya mengarah pada dada Iblis Rambut
Emas.
Sambil keluarkan dengusan geram, perem-
puan berkerudung merah ini sentakkan tangan
kanannya.
Bukkk!
Begitu benturan terjadi, tubuhnya dihem-
pos ke atas, melewati sosok Agung Gaganda. Te-
rus meluruk ke arah Alung Gaganda.
Yang akan diserang segera putar tubuh
dan lepaskan jotosan dari bawah ke atas.
Masih meluruk, Iblis Rambut Emas men-
gubah serangannya. Dengan gerakan yang sangat
cepat, kali ini kedua kakinya yang mengarah pada
Alung Gaganda.
Buk! Bukk!!
Sosok Iblis Rambut Emas terpelanting ke
depan kembali dan hinggap dengan ringannya di
atas tanah berumput. Sementara Alung Gaganda
agak tergontai ke belakang.
"Jahanam keparat!" meradang Alung Ga-
ganda dengan kemarahan tinggi. Dia sudah menerjang ke arah Iblis Rambut Emas yang sudah
tentu tak mau tinggal diam.
Wusssss!!
Serangkum kabut putih berhawa dingin
mencelat ke arah Alung Gaganda seraya perden-
garkan suara bergemuruh.
Alung Gaganda yang tadi sudah mencelat
lancarkan serangan, harus surut dua tindak me-
lihat serangan ganas itu. Segera saja dia men-
gangkat kedua tangannya yang telah dialiri tena-
ga dalam.
Blaaammm! Blaammm!!
Kabut putih berhawa dingin itu langsung
buyar ke udara. Kendati berhasil punahkan se-
rangan lawan, sosok Alung Gaganda terhuyung
satu tombak ke belakang. Meskipun demikian, dia
segera angkat tangannya dan....
Wusss!
Iblis Rambut Emas cuma perdengarkan
dengusan pendek. Menyusul dia segera lancarkan
serangan pula. Gerakan yang diperlihatkannya
kali ini sangat lamban sekali, berbeda dengan ge-
brakannya pertama.
Melihat kalau serangan lawan berubah,
Alung Gaganda justru tersenyum. Dia menyangka
kalau benturan pertama tadi telah mengaki-
batkan gerakan Iblis Rambut Emas menjadi lam-
bat. Dengan bernafsu dia semakin menambah te-
naga dalamnya.
Namun, orang ini tidak tahu, kalau di balik
serangan lambat itu tersimpan satu kekuatan
dahsyat. Begitulah yang dilakukan oleh Iblis
Rambut Emas berikutnya.
Wuuuss! Wusss!!
Dua bongkah kabut putih yang diiringi ha-
wa dingin menggigit, menghampar dengan kekua-
tan maha besar. Alung Gaganda yang tak me-
nyangka akan perubahan serangan si perempuan
begitu cepat, terkesiap kaget dengan wajah yang
seketika memucat.
Tanpa sadar dia memekik tertahan karena
pada jarak dua tombak dia sudah merasakan ha-
wa dingin yang membuat urat-uratnya menjadi
kaku.
Gugup dia coba untuk hindari gebrakan
dua kabut dingin itu. Kendati berhasil dilakukan-
nya, namun tak urung tangan kirinya terserempet
pula.
Kontan dia mengaduh sambil tekap tangan
kiri dengan tangan kanannya. Iblis Rambut Emas
memang orang yang kejam, dia langsung mener-
jang kembali.
Agung Gaganda yang melihat nasib naas
dialami oleh adik kembarnya segera mendorong
kedua tangannya.
Wuusss! Wusss!!
Dua hamparan gelombang angin keras
menderu.
Blaaamm!!
Begitu menghantam dua kabut dingin yang
dilepaskan Iblis Rambut Emas, terdengar letupan
yang sangat keras. Tempat itu bagai dilanda badai
hebat bersamaan dengan muncratnya dua bong-
kah kabut putih tadi. Tanah di tempat berte-
munya benturan itu membubung setinggi satu
tombak!
Karena tak menyangka kalau serangannya
diputuskan orang, Iblis Rambut Emas justru ter-
sentak ke belakang dan keseimbangannya lenyap
sesaat.
Agung Gaganda tak mau membuang wak-
tu. Dia langsung menerjang dengan teriakan
mengguntur.
Tetapi satu hamparan angin menghalangi
gerakannya.
"Mengapa harus repot-repot turun tangan?
Bukankah masih ada aku yang akan mengirim
nyawamu ke neraka!!" terdengar seruan Sangga
Rantek, kejap berikutnya, orangnya sudah lan-
carkan serangan.
***
Segera putar tubuh Agung Gaganda sambil
kibaskan tangan kirinya.
Blaaammm!!
Letupan keras terjadi dan masing-masing
orang surut tiga langkah ke belakang.
"Jahanam keparat!!" maki Agung Gaganda
geram. Sepasang matanya berkilat-kilat dipenuhi
api kemarahan.
Di seberang, Sangga Rantek cuma terse-
nyum dingin.
"Mengapa harus menyibukkan diri dengan
pertarungan lain? Seperti ucapanku tadi, nyawa-
mu akan kukirim ke neraka!!"
Habis kata-katanya, orang berpakaian ser
ba hitam ini sudah menerjang ke depan seraya
mendorong kedua tangannya. Menggebah gelom-
bang angin yang luar biasa dahsyatnya, menyeret
tanah dan ranggasan semak belukar saat mende-
ru ke arah Agung Gaganda.
Kendati sempat terkesiap, sambil palang-
kan kedua tangannya di depan dada, Agung Ga-
ganda mencelat pula ke depan. Bersamaan den-
gan dia dorong kedua tangannya.
Blaaam! Blaaamm!!
Dua letupan keras terdengar sambung me-
nyambung. Namun masing-masing orang rupanya
tak mau buang waktu. Setelah terhuyung ke be-
lakang, keduanya kembali menerjang dengan ke-
kuatan penuh.
Dua pertarungan dahsyat itu tak ubahnya
laksana puluhan gajah liar yang tengah menga-
muk di sebuah desa. Gadis Kayangan yang masih
tergeletak dalam keadaan tertotok, menjadi ngeri
sendiri.
Pertarungan kedua orang itu memang agak
menjauh dari tempatnya, namun setiap letupan
yang terjadi membuat tubuhnya terlontar-lontar
dan ini terasa sakit. Karena tanpa pengerahan te-
naga dalam, begitu terlontar dan jatuh kembali ke
tanah, tubuhnya terasa dibanting.
"Ah, mengapa aku harus mengalami keja-
dian seperti ini? Tetapi ini karena kesalahanku
sendiri. Tak seharusnya aku meninggalkan Andi-
ka. Apakah dia berhasil melepaskan diri dari Iblis
Kelabang?"
Sambil menahan ngeri di hatinya, diperha
tikan bagaimana dahsyatnya dua pertarungan
yang terjadi. Belum lagi tatkala kedua orang kem-
bar itu telah loloskan parang masing-masing.
Setiap kali parang dikibaskan, kesiuran
angin berulang-ulang terdengar mengerikan. Den-
gan parang di tangan, keduanya dapat menjaga
jarak dari serangan yang dilakukan lawan.
Iblis Rambut Emas yang tadi gusar karena
dibokong oleh Agung Gaganda, tak peduli. Sasa-
rannya adalah Alung Gaganda. Dengan terus lon-
tarkan kabut-kabut putihnya, dia mencecar Alung
Gaganda. Serangan beruntun yang dilakukannya
memang membawa hasil, kendati sebelumnya
dengan parang besarnya Alung Gaganda dapat
mematahkan setiap serangannya.
Namun gebrakan cepat yang dilakukan Ib-
lis Rambut Emas, membuatnya jadi kalang kabut.
Apalagi begitu tendangan kaki kiri si perempuan
menghantam telak tangan kanannya hingga pa-
rang besarnya terlepas.
Dia seperti anak ayam kehilangan induk.
Lepas kontrol dan konsentrasinya.
Sementara itu, melihat keadaan adik kem-
barnya yang sukar bebaskan diri dari serangan
maut Iblis Rambut Emas, Agung Gaganda menja-
di kebingungan. Dia tak ingin adik kembarnya
mengalami nasib naas. Namun untuk membantu
pun tak akan mungkin dilakukannya.
Di lain pihak, Sangga Rantek menyeringai
lebar melihat sikap yang diperlihatkan Agung Ga-
ganda. Dia terus lancarkan serangannya hingga
bukan hanya Alung Gaganda yang sekarang harus menghadapi maut.
Dirinya pun telah masuk ke lingkaran ke-
matian yang diperlihatkan Sangga Rantek!
Namun sebelum kematian merenggut kehi-
dupan si Kembar Parang Maut, mendadak saja
satu gelombang angin menderu sangat keras. Su-
ara yang terdengar begitu mengerikan.
Mengarah pada Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas!
Kontan masing-masing orang urungkan
niat dan membuang tubuh ke samping kanan.
Blaar! Blaaarrr!!
Dua bagian tanah serta-merta terbongkar
terhantam gelombang angin keras tadi.
Bukan hanya keduanya yang palingkan
kepala dari mana datangnya dua gelombang angin
yang menghalangi serangannya. Si Kembar Pa-
rang Maut sendiri segera putar tubuh.
Lima pasang mata termasuk milik Gadis
Kayangan melihat satu sosok tubuh berpakaian
dan berjubah hitam telah berdiri dengan kedua
kaki dibuka. Wajah orang yang baru datang ini ti-
rus dan dihiasi kulit tipis. Janggut putihnya ber-
gerak ditiup angin. Sepasang matanya yang sipit
menyiratkan kematian.
Kalau Iblis Rambut Emas dan Sangga Ran-
tek menggeram gusar, lain halnya dengan si
Kembar Parang Maut. Tanpa sadar masing-
masing orang langsung surutkan langkah.
Perlahan namun jelas, terdengar ucapan-
nya, "Kiai Alas Ireng...!"
10
Bersamaan si Kembar Parang Maut men-
dapati kehadiran Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek, Pendekar Slebor yang sengaja meninggal-
kan pertarungannya dengan Iblis Kelabang henti-
kan larinya di tempat yang agak lapang. Anak
muda tampan ini mengusap keringat yang mem-
basahi wajahnya dengan telapak tangan kanan-
nya.
Matanya diedarkan.
"Kutu busuk! Ke mana aku harus mencari
Gadis Kayangan? Kalau ngambek ya ngambek,
jangan ngilang begini?" dengusnya jengkel. Na-
mun begitu disadarinya kemungkinan kalau saat
ini Gadis Kayangan berada dalam lingkaran maut,
hati si Urakan ini jadi tidak tenang.
Digaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Apakah saat ini dia baik-baik saja?" desis-
nya sambil tarik napas pendek. Matanya meman-
dang ke kejauhan. Julangan sebuah bukit kapur
seperti bercahaya tertimpa sinar matahari.
Semakin dicoba untuk memikirkan kea-
daan Gadis Kayangan, perasaannya justru makin
tidak tenang. Perasaannya kali ini dilingkupi de-
baran tak menentu.
"Monyet pitak! Tak pernah kumaafkan diri-
ku bila terjadi apa-apa dengannya."
Dibawa langkahnya lima langkah ke depan.
Tak ada siapa pun di sana kecuali dirinya. Bebe-
rapa ekor burung beterbangan menjauh dan
hinggap di ranggasan semak yang berayun-ayun.
"Rahasia Sebelas Jari.... Rahasia yang bu-
kan hanya membingungkan, tetapi memancing
pertikaian berkepanjangan. Tentunya ini berhu-
bungan dengan Rantai Naga Siluman. Kupikir
masalah Pulau Hitam telah selesai, tetapi justru
makin berkembang lebar."
Andika mengingat-ingat akan sabuk yang
sebesar lengan orang dewasa yang melingkar dan
keluar dari dalam tanah begitu dua patahan pe-
dang perak dipertemukan dengan cara menyentak
oleh Eyang Mega Tantra. Sebuah sabuk yang
pancarkan sinar bening. Dari tempatnya yang ter-
sembunyi, cara keluar yang aneh dan cara men-
dapatkannya yang membingungkan, sudah tentu
rantai itu bukanlah rantai sembarangan.
Tetapi yang masih membingungkan, apa
sebenarnya kunci dari Rahasia Sebelas Jari.
Anak muda urakan ini menarik napas pen-
dek.
"Ada sebelas jari di dalam jiwa, satu jari
adalah titik kemuliaan.
Sebuah rangkaian kata yang sebenarnya
tak begitu sulit untuk diingat, tetapi memecahkan
kata itu sangat sukar dilakukan. Aku tetap ber-
keyakinan, kuncinya terletak pada kata sebelas
jari. Hmmm... sebelas jari. Satu jari adalah kemu-
liaan. Tentunya ini berhubungan dengan pera-
saan seperti yang pernah kupikir-kan. Perasaan
hanya dimiliki oleh manusia. Kata-kata Gadis
Kayangan waktu lalu, mengatakan bagaimana
dengan orang yang memiliki dua kepribadian?
Hmmm... kucoba untuk merangkaikannya."
Untuk sejenak anak muda ini terdiam. Ke-
ningnya perlahan-lahan nampak berkerut. Lalu
terlihat dia menggeleng-geleng resah, tanda belum
dapat juga untuk mengetahui titik terang dari
Rahasia Sebelas Jari.
"Kalau kucoba untuk rangkaikan pikiranku
waktu lalu, apakah ini sebuah jalan keluar? Sebe-
las jari kuartikan sebelas orang. Tangan dan kaki
masing-masing memiliki sepuluh buah jari. Bila
dikaitkan dengan manusia, berarti ada sepuluh
orang jika kuhubungkan dengan sepuluh buah
jari. Lalu, satu jari ini? Hemm... bisa jadi ini
hanya pemuslihatan kata-kata sebelas jari saja.
Berarti, memang ada sepuluh orang dan satu
orang memiliki dua kepribadian. Tetapi sampai
saat ini, dari orang-orang yang kutemui, rata-rata
menginginkan untuk mengetahui isi dari Rahasia
Sebelas Jari yang tentunya untuk dipecahkan ar-
tinya. Busyet! Kepalaku jadi tujuh keliling!!"
Anak muda ini mengucak-ngucak rambut-
nya dengan gemas.
"Kalau memang demikian, siapa orangnya
yang memiliki dua kepribadian? Dan apa hubun-
gannya orang itu dengan Rantai Naga Siluman?
Kalau memang benar ada, berarti orang itulah sa-
tu-satunya yang berhak mendapatkan Rantai Na-
ga Siluman. Atau, bisa jadi dugaanku salah?"
Dilempar pandangannya kembali ke kejau-
han. Ditarik napas pendek. Seraya menghem-
buskannya dia mendesis, "Ketimbang aku sema-
kin bingung, lebih baik kuteruskan langkah mencari Gadis Kayangan. Naluriku kuat mengatakan,
kalau dia dalam bahaya."
Memutuskan demikian, pemuda tampan
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini sege-
ra berlari. Cukup lama dia berlari sebelum henti-
kan larinya tak jauh dari bukit kapur itu.
Pandangannya diarahkan pada julangan
bukit kapur yang nampak menyala terkena sinar
matahari. Aroma kapur-kapurnya sungguh tak
sedap pada penciuman.
"Hmmm... aku masih tahu arah mana yang
harus kutempuh untuk menemukan Gadis
Kayangan. Tetapi biar bagaimana pun juga, kupi-
kir nyawanya lebih penting ketimbang dari Raha-
sia Sebelas Jari. Atau... aku salah menduga?"
Anak muda ini terdiam dengan kebingun-
gan yang makin kuat. Nyawa Gadis Kayangan ha-
rus diselamatkannya. Paling tidak, gadis itu tak
kurang suatu apa. Namun tatkala dia teringat
akan kata-kata Eyang Mega Tantra di Pulau Hi-
tam, bila dalam satu purnama dia belum berhasil
memecahkan Rahasia Sebelas Jari dan itu berarti
gagal untuk mendapatkan Rantai Naga Siluman,
maka rimba persilatan akan menjadi kacau balau,
hatinya menjadi tidak enak. Bukankah itu berarti,
akan membawa korban yang tidak sedikit?
Andika memang belum dapat memastikan
secara utuh, mengapa bila gagal mendapatkan
Rantai Naga Siluman, berarti akan mengacaukan
rimba persilatan? Atau, masih adakah rahasia di
balik Rantai Naga Siluman itu sendiri?
"Monyet pitak! Bisa jadi Rantai Naga Silu
man dijaga oleh pemiliknya? Tetapi siapa? Bila
memang tidak ada, kekacauan apa yang akan di-
timbulkannya, seperti yang dikuatirkan oleh
Eyang Mega Tantra?"
Digaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal
dengan gemas.
"Semakin lama aku...."
"Tak perlu berpusing diri! Lebih baik jawab
pertanyaan sebelum urusan jadi kapiran!" terden-
gar satu suara bernada tegas dari belakangnya.
Serta-merta Andika palingkan kepalanya ke
belakang. Dilihatnya satu sosok tubuh telah ber-
diri tegak dengan kedua kaki agak dibuka sejarak
empat langkah.
Bukan melihat wajah tampan orang yang
baru muncul yang membuat Andika harus ke-
rutkan kening. Melainkan baru disadarinya kalau
dia tidak mendengar kehadiran orang.
Orang yang usianya hanya terpaut satu ta-
hun dari Andika ini tersenyum. Andika dapat me-
rasakan kalau senyuman itu penuh ejekan dan
melecehkan.
Pemuda berparas tampan dengan rambut
gondrong dan di keningnya melingkar sebuah ikat
kepala berwarna biru, menggeleng-gelengkan ke-
palanya. Pakaian yang dikenakannya biru gelap
dengan celana pangsi hitam. Di pinggang si pe-
muda, melilit sebuah tali sebesar ibu jari.
Lalu terdengar suaranya, pelan namun
agak memaksa, "Aku memiliki dua maksud! Per-
tama, mencari orang bernama Kiai Alas Ireng! Bila
kau dapat memberitahu, maka hanya tangan kananmu yang kuambil! Kedua, aku mencari orang
berjuluk Pendekar Slebor! Bila kau dapat membe-
ritahu, maka hanya tangan kirimu yang akan pi-
sah dari tubuhmu!"
Terdiam Pendekar Slebor mendengar uca-
pan orang. Diam-diam dia membatin, "Nama Kiai
Alas Ireng pernah kudengar dari Iblis Kelabang.
Kehadiran pemuda ini nampaknya penuh dendam
dengan Kiai Alas Ireng. Dan siapa dia sebenar-
nya?"
Habis berkata dalam hati demikian, Andika
tersenyum.
"Setiap keinginan yang dipenuhi orang lain,
sudah tentu harus memberikan imbalan pada
orang itu! Tetapi sungguh tak enak didengar, ka-
lau kau ternyata justru menghendaki tangan ka-
nan dan kiriku bila tak dapat jawab pertanyaan!
Sebelum kujawab, aku ingin tahu siapa kau
adanya?"
"Kau boleh mengingatku dengan julukan
Manusia Sepuluh Siluman!"
"Busyet! Julukannya serem amat ya? Pan-
tasnya sih berjuluk Monyet Sepuluh Kutukan!"
kata Andika dalam hati lalu berkata, "Apa mak-
sudmu mencari Kiai Alas Ireng dan Pendekar Sle-
bor?"
Pemuda yang memang Manusia Sepuluh
Siluman adanya ini terdiam, sorot matanya tajam.
Setelah berhasil menyembuhkan diri dari seran-
gan Kiai Alas Ireng, pemuda yang memiliki ke-
sombongan setinggi langit ini meneruskan perja-
lanannya. Keinginannya adalah membunuh Kiai
Alas Ireng dan Pendekar Slebor yang diketahuinya
sebagai satu-satunya orang yang mengetahui ten-
tang Rahasia Sebelas Jari.
"Aku ingin membunuh Kiai Alas Ireng!"
"Bagaimana dengan Pendekar Slebor?!" Ka-
rena terlalu sombong, Manusia Sepuluh Siluman
segera menyahut. "Dia adalah orang yang menge-
tahui tentang Rahasia Sebelas Jari! Aku juga
akan membunuhnya bila dia tidak mengatakan
apa isi dari Rahasia Sebelas Jari itu!"
"Wah! Benar-benar gawat! Sudah lima
orang yang kuketahui ingin tahu tentang Rahasia
Sebelas Jari! Dalam waktu yang kian sempit ini,
tak ada gunanya meladeni pemuda ini. Lebih baik
aku berdusta saja."
Lalu katanya, "Aku tidak tahu di mana Kiai
Alas Ireng berada! Bila kau hendak mengetahui di
mana Pendekar Slebor, aku memang pernah ber-
jumpa dengannya."
"Katakan padaku!!" sentak Manusia Sepu-
luh Siluman dengan wajah beringas.
"Dia baru saja lewat di tempat ini! Terus
menuju ke arah balik bukit kapur!"
Sejenak Manusia Sepuluh Siluman me-
mandangi bukit kapur yang tinggi itu. Lalu perla-
han-lahan pandangannya diturunkan menatap
Pendekar Slebor.
"Aku tak mau mengambil urusan dengan-
mu! Tadi kukatakan, bila kau dapat memberitahu
di mana Kiai Alas Ireng berada, maka yang akan
kuambil adalah tangan kananmu! Tetapi kau ti-
dak mengetahuinya di mana dia berada! Lalu, bila
kau dapat memberitahukan di mana Pendekar
Slebor berada, maka tangan kirimu yang kuambil!
Tetapi kesimpulanku, kau tak tahu di mana ke-
dua orang itu berada! Berarti, kau luput dari ke-
jadian yang mengerikan!"
Di tempatnya Andika mendumal, "Busyet!
Ngomongnya keren amat! Tetapi cukup membin-
gungkan sebenarnya! Biasanya, kalau ada orang
yang tak dapat beritahu apa yang ditanyakan, ba-
ru dia mengambil keputusan! Ini justru kebali-
kannya! Untung aku berkata dusta!"
Manusia Sepuluh Siluman masih arahkan
pandangannya pada Pendekar Slebor. Setelah se-
saat dia berkata, "Kendati aku tak mengambil apa
yang sebenarnya kuinginkan, kuharap kau jan-
gan dusta! Bila saja kuketahui soal itu, maka
kaulah orang ketiga yang akan kuburu!"
Andika mengangkat kedua ba-
hunya."Terserah, deh!"
Manusia Sepuluh Siluman mendengus. La-
lu segera berlari menuju ke bukit kapur.
Dan mendadak saja terdengar suara sengit
yang bercampur geram, "Huh! Lama dicari tidak
tahunya berada di sini! Pendekar Slebor! Ajalmu
sudah dekat!!"
Terkesiap Andika mendengar bentakan
orang yang keras. Sementara itu, Manusia Sepu-
luh Siluman yang sudah berlari sekitar sepuluh
langkah, kontan hentikan larinya.
Segera dia putar tubuh. Pandangannya be-
ringas pada Pendekar Slebor yang cuma nyengir
saja.
Satu kejap kemudian, nampak satu sosok
tubuh berpakaian batik kusam telah berdiri di
hadapannya. Di tangan perempuan berpakaian
batik kusam itu tergenggam sebatang cambuk
berlidah tiga!
Seiring perempuan itu melangkah, Manu-
sia Sepuluh Siluman sudah menerjang ganas ke
arah Pendekar Slebor.
"Tadi kukatakan, bila kau berdusta, maka
kematian akan kau dapatkan! Tetapi sungguh be-
rani kau mendustaiku karena engkaulah Pendekar Slebor!!"
SELESAI
Ikuti kisah selanjutnya:
RANTAI NAGA SILUMAN
0 comments:
Posting Komentar