..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE ARCA DEWI BUMI

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

ARCA 

DEWA BUMI

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Arca Dewi Bumi

128 hal.


SATU


MALAM merambat makin jauh. Angkasa 

terlihat gelap tak ditaburi satu bintang pun. Arak-

arakan awan hitam yang mendadak bergulung 

menambah hamparan bumi makin digenggam ke-

butaan.

Gunung Kembar, dua buah gunung yang 

berdiri kokoh saling berhadapan di daerah Bokor 

terlihat hitam kelam laksana dua tangan raksasa. 

Puncak keduanya tak terlihat menyemburkan 

asap seperti biasanya. Malah perlahan-lahan ara-

kan awan hitam menutupi puncak gunung. 

Di hutan kecil lereng Gunung Kembar, se-

sosok tubuh samar-samar tampak berkelebat ce-

pat. Namun tak jarang sosok ini mendadak 

menghentikan kelebatan tubuhnya. Kepalanya 

menengadah, sepasang matanya berputar liar, ia 

sepertinya mencari sesuatu. Dan ketika matanya 

tak menemukan yang dicari, sosok ini berkelebat 

kembali ke arah Gunung Kembar.

Saat hutan telah terlewati dan gugusan 

dua gunung di depan matanya, sosok ini yang 

ternyata adalah seorang pemuda mengenakan 

pakaian hijau yang dilapis dengan baju dalam 

warna kuning lengan panjang kembali hentikan 

larinya. Kedua matanya yang menyorot tajam, liar 

menebar menembus kegelapan. Kepalanya berge-

rak ke sana kemari mengikuti arah pandangan 

matanya.

"Sialan benar! Aku tak bisa menyelidik jika

keadaannya gelap begini!" rutuk sang pemuda se-

raya usap dahi dan lehernya yang telah dibasahi 

keringat.

"Apakah aku harus menanti hingga kea-

daan terang...?" batin sang pemuda seraya tarik 

kuncir rambutnya. Ia tampak bimbang, hingga 

untuk beberapa saat lamanya ia hanya tegak ber-

diri sambil sesekali menghela napas panjang.

"Semoga yang dikatakan Dewi Kayangan 

benar adanya, hingga perjalanan ini tidak sia-

sia...," gumam sang pemuda yang bukan lain ada-

lah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108.

"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Aku sebenar-

nya masih meragukan tentang adanya arca itu, 

meski Eyang Selaksa dan Eyang Wong Agung 

pernah mengatakan bahwa mendiang Guru mere-

ka, Panembahan Gede Laksana pernah membica-

rakannya. Apalagi aku harus menemukan orang 

yang bernama Sahyang Resi Gopala, yang ka-

tanya pemegang petunjuk tentang arca itu. Jika 

benar, bisa dihitung, berapa usia Sahyang Resi 

Gopala. Apakah itu mungkin?" pikir Pendekar 108 

menghubung-hubungkan kete-rangan yang per-

nah didengarnya baik dari Eyang Selaksa mau-

pun Dewi Kayangan.

Untuk beberapa lama murid Wong Agung 

ini berdiam diri. Lalu menghela napas panjang.

"Aku telah melakukan perjalanan cukup 

jauh. Terlalu bodoh jika harus diombang-

ambingkan perasaan tanpa membuktikan sendiri! 

Dan...," Aji tak meneruskan gumamannya karena 

sepasang matanya melihat lengkungan tipis menyeruak di antara arak-arakan awan hitam yang 

mengambang di angkasa.

Sepasang mata Aji makin membeliak tatka-

la bersamaan dengan menyeruaknya lengkungan 

tipis berwarna kemerahan itu, arak-arakan awan 

hitam bergerak menyusur angkasa dan perlahan 

pula menghilang. Dan bersamaan dengan berge-

raknya arakan awan hitam, lengkungan tipis ber-

warna kemerahan semakin membesar, dan akhir-

nya membentuk sebuah bulatan.

"Hmm.... Malam ini sebetulnya memang 

malam purnama! Tapi...!" Pendekar 108 membe-

sarkan sepasang matanya, memandang tak ber-

kedip ke arah bulatan bulan yang baru saja mun-

cul dari balik arakan awan hitam.

"Heran. Apa mataku yang tidak normal...? 

Atau...?" Aji angkat kedua tangannya dan digo-

sok-gosokkan pada kedua matanya. Lalu mata itu 

kembali memandang ke arah sang rembulan.

"Aneh. Pertanda apa ini...?" gumam Aji ber-

tanya pada diri sendiri. Sepasang matanya tetap 

memandang tak kesiap pada rembulan yang kini 

telah membentuk bulat penuh. Namun bukan bu-

latan bulan ini yang membuat murid Wong Agung 

ini merasa heran dan aneh. Ternyata sang rembu-

lan itu berwarna tidak seperti biasanya, melain-

kan berwarna merah darah! Dan juga terlihat se-

buah lingkaran agak besar yang mengelilingi sang 

rembulan!

"Mudah-mudahan ini bukan pertanda bu-

ruk...," gumam Pendekar 108 seraya luruskan 

pandangannya, karena bersamaan munculnya

sang rembulan, ke mana saja pandangannya di-

layangkan akan nampak jelas. Hanya saja segala 

yang tampak oleh pandangan mata berubah war-

na menjadi kemerah-merahan! 

"Menurut Dewi Kayangan, Sahyang Resi 

Gopala berada pada sebuah kuil kecil di sela dua 

gunung ini. Hmm.... Sebaiknya aku mencarinya 

sekarang...!"

Murid Wong Agung ini lantas putar pan-

dangannya sebentar. Lalu bergerak hendak me-

langkah ke arah sela gunung yang tampak ditum-

buhi semak belukar merangas tinggi-tinggi dan 

berwarna kemerahan tertimpa cahaya rembulan. 

Namun, gerakan kaki Pendekar 108 tertahan. Ka-

rena saat itu juga dua bayangan terlihat berkele-

bat dan berdiri kokoh dengan mata masing-

masing memandang ke arah gunung.

"Siapa mereka...?!" kata Pendekar Mata Ke-

ranjang dalam hati seraya menindih rasa terkejut. 

Sepasang matanya tak berkedip memandangi dua 

sosok yang berdiri tak jauh darinya.

"Rupanya kita tak sendirian!" bisik sosok 

yang sebelah kanan seraya lirikkan matanya pada 

Pendekar 108. Sosok yang di sebelah kiri menghe-

la napas. Tanpa melirik ia berkata.

"Aku sudah tahu! Tujuannya pun tentu 

sama dengan kita. Kita selesaikan dia sebelum ki-

ta meneruskan penyelidikan!"

Habis berkata demikian, sosok yang sebe-

lah kiri ini gerakan tubuhnya ke samping, meng-

hadap Pendekar Mata Keranjang.

Sebenarnya Aji hendak berkelebat menyeli

nap begitu dua bayangan tadi datang, namun ka-

rena kedatangan dua sosok ini begitu cepat dan 

mendadak, membuat murid Wong Agung urung-

kan niatnya. Ia berpikir, tak ada gunanya me-

nyembunyikan diri, karena bagaimana pun juga 

perburuan Arca Dewi Bumi ini membutuhkan ke-

beranian menghadapi siapa dan apa pun!

"Siapa kau...?.'" bentak sosok yang di sebe-

lah kiri. Dia adalah seorang gadis muda berparas 

cantik jelita. Mengenakan pakaian atas warna hi-

jau tipis yang di bagian dadanya dibuat agak ren-

dah, hingga sembulan dadanya yang tampak 

membusung menantang terlihat agak jelas. Pa-

kaian bawahnya berwarna kembang-kembang 

yang di bagian tengahnya dibuat membelah, hing-

ga tatkala angin malam menerpa, sepasang pa-

hanya yang berkulit putih tampak jelas. Sepasang 

matanya bulat dan tajam. Rambutnya panjang 

dan dikepang dua.

Mungkin karena masih terkesima dengan 

pemandangan di hadapannya, murid Wong Agung 

tak segera menjawab pertanyaan sang gadis ber-

baju hijau.

"Sebenarnya kita tak usah tahu siapa 

adanya orang kalau hanya ingin membunuh!" 

sambung sosok yang di sebelah kanan ketika 

mengetahui Pendekar Mata Keranjang tidak sege-

ra menjawab.

Seperti halnya sosok yang di sebelah kiri, 

ternyata sosok yang di sebelah kanan adalah juga 

seorang gadis muda. Parasnya juga cantik jelita. 

Mengenakan pakaian atas warna putih tipis dipadu dengan pakaian bawah kembang-kembang 

yang di bagian tengahnya juga dibuat membelah. 

Sepasang matanya juga bulat tajam. Hanya ram-

but gadis ini tampak dipotong pendek.

"Hmm.... Baru kali ini aku bertemu dengan 

gadis-gadis berparas cantik, bertubuh bagus dan 

tentunya berilmu tinggi. Siapa mereka? Ah, ter-

nyata tempat ini telah pula diendus banyak 

orang! Sialan benar!" kata Pendekar 108 dalam 

hati sambil terus memperhatikan dua gadis can-

tik di hadapannya.

Dua gadis yang bukan lain adalah Bidadari 

Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur seje-

nak saling berpandangan (Mengenai dua gadis ini 

baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam 

episode : "Badai di Karang Langit").

"Singa Betina! Kita tak usah banyak cin-

cong dan pertimbangan! Lekas kita selesaikan 

pemuda itu!" berkata gadis berbaju putih saat di-

lihatnya Singa Betina Dari Timur tampak ragu-

ragu.

"Benar ucapanmu! Tapi tak ada salahnya 

kita mengetahui siapa adanya pemuda itu! Kita 

baru saja menginjakkan kaki di tanah Jawa, kita 

belum tahu seluk beluk daerah ini, lebih-lebih ki-

ta belum tahu tokoh-tokoh di tanah Jawa ini! 

Siapa tahu dia bisa memberi sedikit keterangan!"

"Hmm.... Berarti mereka orang-orang yang 

baru muncul! Dan mendengar percakapannya, 

mereka datang dari luar tanah Jawa! Siapa pun 

mereka, aku harus berhati-hati! Apalagi tujuan 

kedatangan mereka tak lain untuk mencari arca

itu!" Pendekar 108 membatin, lalu alihkan pan-

dangannya ke jurusan lain, seakan-akan tak 

mengacuhkan dua gadis di hadapannya.

"Pemuda ini wajahnya tampan, tubuhnya 

tegap, sorot matanya tajam. Hm.... Apakah dia ju-

ga menginginkan arca itu...?" diam-diam gadis 

yang berbaju hijau yang bukan lain adalah Singa 

Betina Dari Timur berkata dalam hati. Sepasang 

matanya terus memperhatikan Pendekar 108 dari 

ujung kaki hingga ujung rambut.

Selagi Pendekar 108 arahkan pandangan 

pada jurusan lain, dan Singa Betina Dari Timur 

membatin, gadis berbaju putih yang bukan lain 

Bidadari Bertangan Iblis maju satu tindak seraya 

membentak lantang.

"He! Katakan cepat, siapa kau! Dan apa 

kerjamu malam-malam di sini?!"

Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan 

wajahnya. Bibirnya menyunggingkan sebuah se-

nyum. Seraya usap-usap hidung dan sepasang 

mata memandang ke arah paha keduanya yang 

sedikit terbuka, ia berkata.

"Gadis cantik! Sebetulnya aku tak suka 

menyebutkan namaku, namun karena yang men-

gajukan pertanyaan adalah gadis-gadis cantik, 

atau terpaksa menghilangkan rasa tak sukaku!"

"He! Kau tak usah berpanjang lebar! Jawab 

saja pertanyaanku!" bentak si baju putih Bidadari 

Bertangan Iblis menyela kata-kata Aji.

"Wah, sebenarnya aku juga tak senang di-

bentak-bentak, namun karena yang membentak 

adalah gadis cantik, aku terpaksa harus menghilangkan rasa tak senangku...," kembali Aji henti-

kan ucapannya. Namun ketika dilihatnya Bidada-

ri Bertangan Iblis membuka mulut hendak kelua-

rkan suara, Aji buru-buru melanjutkan ucapan-

nya.

"Namaku.... Zubaidah binti Mahmud! Seo-

rang pengelana malam yang selalu menginginkan 

hadirnya sang rembulan! Kalau tak keberatan, 

harap kalian sudi mengatakan siapa kalian sebe-

narnya...!"

Mendengar kata-kata Pendekar 108, Bida-

dari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur 

saling berpadangan satu sama lain. Dahi kedua 

gadis ini tampak mengernyit.

"Aneh. Apakah aku tak salah dengar den-

gan apa yang disebutkan pemuda itu? Zubaidah 

binti Mahmud.... Hmm...," batin si baju hijau Sin-

ga Betina Dari Timur seraya tercenung.

Kalau Singa Betina Dari Timur tercenung, 

tidak demikian halnya dengan Bidadari Bertangan 

Iblis. Gadis ini langsung alihkan pandangannya 

pada Pendekar 108. Sepasang matanya menyen-

gat tajam. Ia merasa perkataan pemuda di hada-

pannya adalah bohong. Dengan melotot ia mem-

bentak garang.

"He! Waktu kami sangat terbatas! Sebelum 

habis kesabaran kami, jawab dengan sungguh-

sungguh pertanyaan kami!"

Pendekar Mata Keranjang 108 usap ujung 

hidungnya. Sepasang matanya balas menatap pa-

da Bidadari Bertangan Iblis.

"Gadis cantik! Ketahuilah, nama itu pem

berian kedua orangtuaku! Aku tak berani meru-

bahnya meski sebagian orang memang agak he-

ran! Malah sebagian ada yang usul agar diganti 

Zubaidah binti Zubaini! Walau nama itu agak ba-

gus namun aku tak ada niatan untuk merubah-

nya! Kau sendiri siapa?!"

Bidadari Bertangan Iblis mendengus keras, 

sementara Singa Betina Dari Timur diam-diam 

tertawa dalam hati.

Entah untuk menggertak atau memperke-

nalkan nama besarnya, dengan raut muka mena-

han marah dan berpaling ke jurusan lain si baju 

putih Bidadari Bertangan Iblis berkata.

"Dengar baik-baik! Aku adalah Bidadari 

Bertangan Iblis, sedang saudara seperguruanku 

ini bergelar Singa Betina Dari Timur! Kami adalah 

orang-orang dari Pulau Bima!"

Meski sebenarnya Pendekar Mata Keran-

jang 108 belum pernah mendengar nama-nama 

itu, namun ia pura-pura terperanjat dan berkata 

sambil bungkukkan sedikit bahunya.

"Ah, kiranya inikah tokoh-tokoh dari tanah 

seberang yang namanya begitu kesohor hingga 

tanah Jawa. Aku sangat gembira dapat berjumpa 

dengan orang-orang hebat seperti kalian! Tapi apa 

gerangan yang membuat tokoh-tokoh hebat ma-

cam kalian jauh-jauh datang ke tanah Jawa dan 

ke tempat yang tak berpenghuni ini...? Apakah 

kalian tak salah alamat? Atau memang kalian 

pengelana malam sepertiku....?"

Bidadari Bertangan Iblis tertawa panjang. 

Sedangkan Singa Betina Dari Timur diam. Hanya

sepasang matanya terus tak beranjak memperha-

tikan Pendekar 108.

Namun tiba-tiba si baju putih Bidadari Ber-

tangan Iblis hentikan tawanya. Tanpa meman-

dang lagi pada Pendekar Mata Keranjang, ia ber-

kata.

"Siapa pun kau, tak berhak bertanya ten-

tang kedatangan kami!"

"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" sam-

bung si baju hijau Singa Betina Dari Timur.

Mendengar sambungan kata-kata Singa 

Betina Dari Timur, Bidadari Bertangan Iblis ber-

paling. Dahinya berkerut. Ia merasa heran sauda-

ra seperguruannya menyuruh sang pemuda sege-

ra pergi, padahal pada awalnya ia yang mengata-

kan ingin lekas menyelesaikan sang pemuda. 

Namun perasaan heran Bidadari Bertangan Iblis 

tidak berlangsung lama, karena saat itu juga Pen-

dekar 108 angkat bicara.

"Bidadari Bertangan Iblis, Singa Betina Da-

ri Timur! Kalau aku tak diberi hak untuk ber-

tanya, itu tak apa! Tapi.... Permintaan kalian agar 

aku tinggalkan tempat ini, rasa-rasanya tak 

mungkin kulakukan!"

Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur kembali saling berpandangan. Dan 

sebelum salah satu di antaranya ada yang buka 

mulut, Pendekar Mata Keranjang 108 telah me-

lanjutkan ucapannya.

"Seperti kataku tadi, aku adalah pengelana 

malam. Dan kalian tentu tahu, sebagai sang pen-

gelana malam sungguh disayangkan jika begitu

saja melewatkan malam yang sangat aneh ini! Li-

hatlah di sela gunung itu!"

Meski dengan perasaan masing-masing, 

Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari 

Timur sama-sama arahkan pandangannya pada 

tempat yang dikatakan Aji.

Kedua gadis dari daratan Bima ini sama-

sama melengak kaget. Mata keduanya membeliak 

besar. Entah kapan berpindahnya, mendadak sa-

ja sang rembulan yang berwarna merah darah 

dan memancarkan cahaya kemerah-merahan itu 

kini muncul di sela dua Gunung Kembar

Dengan masih diselimuti beberapa tanda 

tanya, Singa Betina Dari Timur menoleh pada Bi-

dadari Bertangan Iblis. Sesaat dipandanginya ga-

dis muda berpakaian putih tipis itu. Mulutnya 

bergerak membuka seakan hendak mengucapkan 

sesuatu. Namun ia urungkan tatkala dilihatnya 

saudara seperguruannya itu sedang menekuri 

sang rembulan. Sejenak Singa Betina Dari Timur 

tampak dilanda kebimbangan. Namun akhirnya ia 

palingkan kembali wajahnya lurus ke depan dan 

kembali memandang sang rembulan. Tapi hanya 

sesaat. Tak berselang lama, gadis berbaju hijau 

ini palingkan kembali pada saudara seperguruan-

nya. Setelah menghela napas, dia berbisik perla-

han. 

"Bidadari! Kita tak boleh terbawa perasaan! 

Kita lanjutkan perjalanan! Dan suruh pemuda itu 

meninggalkan tempat ini! Apa pun alasannya!"

Bidadari Bertangan Iblis anggukan kepa-

lanya. Lalu berpaling pada Pendekar Mata Keranjang dan berkata.

"Pengelana malam! Seperti kataku tadi, 

waktu kami pun terbatas! Apa pun alasanmu, 

kami tak mau tahu. Yang pasti, kau harus cepat 

tinggalkan tempat ini! Kau bisa menikmati bulan 

itu jauh dari sini!"

Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum, 

kepalanya bergerak menggeleng.

"Ah, sayang sekali. Permintaanmu tak bisa 

kulakukan! Bulan itu hanya akan tampak mem-

pesona jika dipandang dari sini!"

"Hmm.... Begitu? Berarti kau menyia-

nyiakan kesempatan yang kami berikan!"

"Maksudmu...?" tanya Pendekar 108.

Bidadari Bertangan Iblis tertawa sinis.

"Pada mulanya kami ingin membunuhmu! 

Namun melihat kau hanyalah seorang pengelana 

malam, keinginan itu kami urungkan. Dengan 

syarat kau harus tinggalkan tempat ini. Jika kau 

tak meninggalkan tempat ini, kematianlah yang 

menantimu!"

Pendekar 108 menghela napas panjang. 

Tangan kanannya bergerak menarik-narik kuncir 

rambutnya.

"Ah, betapa malang nasib sang pengelana 

malam. Ingin melihat indahnya sang rembulan 

saja tebusannya harus mati! Apakah tidak ada 

tebusan yang lebih ringan?"

"Kau rupanya membuat kesabaranku hi-

lang! Terimalah nasib malangmu!" habis berkata 

begitu si baju putih Bidadari Bertangan Iblis tarik 

kedua tangannya sedikit ke belakang, dan serta

merta di dorong ke arah Pendekar Mata Keranjang.



DUA


ANGIN menggemuruh dahsyat dan me-

nyambar cepat. Pendekar 108 segera melompat ke 

arah samping, dan dari tempatnya kini, murid 

Wong Agung segera pula dorong kedua tangan-

nya. Hal ini sengaja ia lakukan untuk menjajaki 

tenaga dalam lawan.

Plarrr! 

Letupan keras terdengar memuncah kesu-

nyian lereng Gunung Kembar tatkala dua puku-

lan bertenaga dalam itu bentrok di udara. Tanah 

di tempat itu terasa bergetar dan semak belukar 

terpapas ujungnya hingga rata!

Bidadari Bertangan Iblis surutkan langkah 

satu tindak. Dahinya mengkerut, sementara se-

pasang matanya yang bulat makin membesar. Dia

merasa pemuda di hadapannya bukanlah orang 

yang bisa dianggap enteng. Karena begitu bentrok 

pukulan terjadi, ia merasakan kedua tangannya 

gemetar dan kesemutan!

Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 

sendiri sadar jika Bidadari Bertangan Iblis tak bi-

sa dihitung remeh. Dengan bentrok pukulan tadi, 

murid Wong Agung ini bisa mengukur bila tenaga 

dalam sang gadis berbaju putih ini sangat kuat.

"Setan alas! Tampaknya pemuda ini bukan 

orang sembarangan! Keyakinanku bahwa na

manya bukan nama sebenarnya makin terbukti! 

Dia hanya berpura-pura mengaku sebagai penge-

lana malam! Hmm.... Siapa pun dia, yang pasti 

dia sedang dalam perjalanan untuk mencari arca 

itu! Dia harus segera disingkirkan!" batin Bidadari 

Bertangan Iblis. Lalu gadis ini meloncat ke arah 

Singa Betina Dari Timur dan berbisik.

"Singa Betina! Pengakuan pemuda ini tak 

bisa dipercaya! Aku yakin pemuda ini tujuannya 

sama dengan kita! Dia harus cepat kita sudahi!"

Sejenak Singa Betina Dari Timur masih 

termangu memandangi Pendekar 108. Dalam hati 

gadis ini pun sebenarnya punya dugaan seperti 

saudara seperguruannya. Namun gadis berbaju 

hijau ini punya perasaan lain yang ia sendiri tak 

bisa menguraikannya, apalagi jika pandangan 

matanya bertemu dengan pandangan mata Pen-

dekar 108.

"Singa Betina! Bagaimana pendapatmu?!" 

tanya Bidadari Bertangan Iblis tatkala ditunggu 

agak lama, Singa Betina Dari Timur belum juga 

menyahut.

"Bidadari! Aku pun punya dugaan seperti-

mu! Tapi, kalau keadaan tidak terpaksa, lebih 

baik kita usir saja dia dari sini! Terlalu banyak re-

siko jika kita langsung turun tangan untuk mem-

bunuhnya!"

Meski dalam hati dilanda berbagai perta-

nyaan atas kata-kata saudara seperguruannya, 

namun Bidadari Bertangan Iblis tak menunjuk-

kan perasaan itu. Seraya maju setindak, ia berka-

ta lantang.

"He! Hari ini kami masih punya sedikit pe-

rasaan! Kuperingatkan dirimu sekali lagi. Lekas 

tinggalkan tempat ini!"

Pendekar Mata Keranjang 108 gelengkan 

kepalanya perlahan.

"Bidadari! Singa Betina! Dengarlah sekali 

lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan pemandangan 

bagus ini! Karena setelah berkelana berpuluh-

puluh tahun menjelajahi malam, baru kali ini aku 

mendapatkan pemandangan sebagus ini! Jadi ba-

gaimanapun juga aku tak aman meninggalkan 

tempat ini! Kalau kalian merasa terganggu, kalian 

boleh pergi!"

"Keparat!" rutuk Bidadari Bertangan Iblis. 

Kemarahan dalam diri sang gadis tampaknya su-

dah tidak bisa dibendung lagi. Apalagi ketika Aji 

secara halus mengusir mereka dari tempat itu. 

Maka dengan didahului bentakan keras Bidadari 

Bertangan Iblis, kembali lancarkan serangan! Kali 

ini dengan berkelebat ke samping, dan sebelum 

kedua kakinya menginjak tanah, kedua tangan-

nya sudah menyentak ke arah Pendekar 108!

Pendekar 108 yang sedari tadi telah was-

pada, lesatkan tubuhnya ke atas menghindari se-

rangan Bidadari Bertangan Iblis. Namun murid 

Wong Agung ini terperanjat, karena begitu tubuh-

nya berada di udara, dari sisi samping tiba-tiba 

bersiur angin dahsyat.

Wuuuttt!

Tanpa berpaling ke sisi, Aji segera sentak-

kan tangan kanannya. 

Wuuuttt!

Angin kencang melesat memapak samba-

ran angin dari arah sisi. Hebatnya, sentakan tan-

gan kanan Aji tak mampu membuat sambaran 

angin yang melesat ke arahnya terpapasi! Samba-

ran angin yang melesat ke arahnya laksana punya 

mata dan dapat dikendalikan. Karena begitu tan-

gan Aji menyentak, sambaran angin itu membelok 

dan kini menyambar dari arah atas!

"Sialan!" maki Pendekar 108 seraya sen-

takkan kembali tangan kanannya ke atas!

Wuuuttt!

Plaaarrr!

Kali ini bentrok pukulan tak bisa dihindar-

kan lagi, karena Aji memang sengaja menunggu 

hingga sambaran angin yang ke arahnya begitu 

dekat.

Tapi, lagi-lagi murid Wong Agung ini dibuat 

terkejut, karena begitu terjadi bentrok pukulan, 

dan tubuhnya baru saja mendarat, Bidadari Ber-

tangan Iblis telah merangsek dari udara dengan 

kaki menyilang, sementara kedua tangannya 

mengarah pada kepala dan dada!

"Aku tak bisa tinggal diam! Urusan ini ha-

rus segera kuselesaikan! Waktu akan habis jika 

berlama-lama!" pikir Aji. Kedua tangannya lalu 

diangkat ke atas kepala, sementara kaki kanan-

nya diangkat sejajar dada.

Brak! Desss!

Bidadari Bertangan Iblis terdengar kelua-

rkan seruan tertahan, tubuhnya melenting balik 

ke atas. Untung gadis ini segera membuat gera-

kan jungkir balik di udara, jika tidak niscaya tubuhnya akan jatuh terkapar.

Pendekar Mata Keranjang sendiri sempat 

terseret tiga langkah ke belakang, namun ia sege-

ra dapat menguasai tubuhnya.

Melihat saudara seperguruannya dapat di-

buat mental ke udara, Singa Betina Dari Timur 

yang sedari tadi hanya melihat cepat melompat. 

Dan ketika Pendekar 108 baru dapat menguasai 

tubuhnya, gadis berbaju hijau ini segera merang-

sek maju sambil hantamkan kedua tangannya!

Wuuuttt!

Sambaran angin kencang melesat menda-

hului hantaman tangan, hal ini menunjukkan 

bahwa hantaman tangan itu bukan main-main. 

Sadar akan hal itu, Pendekar Mata Keranjang 108 

cepat pula kelebatkan kedua tangannya dari arah 

samping kanan dan kiri.

Prak! Prakkk!

Bentrok tangan yang sama-sama dialiri te-

naga dalam tak bisa dielakkan lagi.

Singa Betina Dari Timur terlihat mundur 

sampai empat langkah ke belakang. Wajahnya 

yang cantik nampak meringis menahan sakit pa-

da kedua tangannya. Sedangkan Pendekar Mata 

Keranjang geser tubuhnya satu tindak ke arah 

samping.

"Sudahlah! Tak ada gunanya hal ini dite-

ruskan! Kalian bisa kemari lagi besok malam! Ma-

lam ini biarlah keindahan sang rembulan jadi mi-

likku!" kata Pendekar 108 seraya usap-usap len-

gannya yang baru saja bentrok dengan tangan 

Singa Betina Dari Timur.

"Jangan harap kau bisa melewati malam 

ini dengan selamat!" bentak Bidadari Bertangan 

Iblis, lalu tubuhnya berkelebat dan lenyap di uda-

ra!

Melihat hal ini, Singa Betina Dari Timur 

tak tinggal diam, meski dalam hati masih dige-

layuti perasaan yang tak bisa diartikan, namun 

gadis ini tak mau rencananya porak poranda. 

Maka ia pun segera melesat ke udara.

Dari atas udara, tiba-tiba Bidadari Bertan-

gan Iblis telah bersatu dengan Singa Betina Dari 

Timur, dan serta-merta kedua gadis dari daratan 

Bima ini lancarkan serangan!

Bidadari Bertangan Iblis kerahkan segenap 

tenaganya pada kedua tangannya, dan dihantam-

kan ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang. 

Sebelum kedua tangan datang menghantam, ter-

lihat larikan-larikan sinar putih lebih dulu meng-

gebrak. Singa Betina Dari Timur yang tampaknya 

tak mengharapkan kematian, hantamkan kedua 

tangannya, tapi diarahkan pada kaki Pendekar 

Mata Keranjang!

Melihat serangan bahaya dan datang dari 

arah dua jurusan, Pendekar Mata Keranjang 108 

cepat buat gerakan jumpalitan. Kedua kakinya 

melejang ke atas memapak kedua tangan Bidada-

ri Bertangan Iblis sementara kedua tangannya 

mendorong ke depan memapak serangan Singa 

Betina Dari Timur.

Des! Desss!

Terdengar dua kali seruan tertahan saat 

kedua kaki dan tangan Pendekar 108 bertemu

dengan kedua tangan Bidadari Bertangan Iblis 

dan Singa Betina Dari Timur.

Baik tubuh Bidadari Bertangan Iblis mau-

pun Singa Betina Dari Timur tampak mental ba-

lik. Namun yang dialami Bidadari Bertangan Iblis 

agak parah, karena saat lancarkan serangan, ia 

kerahkan segenap tenaga dalamnya. Hingga 

tatkala tubuhnya mental balik, gadis ini tak dapat 

lagi menguasai tubuh, dan tak ampun lagi tu-

buhnya terkapar di atas tanah! Sementara Singa 

Betina Dari Timur meski sempat mental ke bela-

kang, namun bisa segera diatasi keadaan, hingga 

gadis berbaju hijau ini masih bisa mendarat den-

gan tegak walau sebelumnya terlihat terhuyung-

huyung.

Hebatnya, meski Bidadari Bertangan Iblis 

terkapar, namun gadis ini segera bergerak bang-

kit. Dan didahului bentakan melengking, Bidadari 

Bertangan Iblis telah melesat kembali. Kedua tan-

gannya dibuka dan dihantamkan bertubi-tubi! 

Hingga kejap itu juga larikan-larikan sinar putih 

menebar hawa panas menghampar di tempat itu.

"Gila! Dia tampaknya tahan pukulan juga! 

Aku harus berhati-hati!"

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat bang-

kit dan serta-merta kibaskan tangan kanannya 

yang ternyata telah memegang kipas ungunya.

"Aku terpaksa menggunakan kipas agar 

urusan ini cepat selesai!" kata Aji dalam hati.

Kilauan cahaya putih tampak menebar 

membentuk kipas begitu Pendekar Mata Keran-

jang kibaskan tangan kanannya.

Wuuuttt! Weeesss!

Bidadari Bertangan Iblis berseru keras. 

Bukan saja karena terkejut melihat serangannya

tertahan, namun juga karena menahan sakit oleh 

hamparan hawa panas yang keluar dari tangan-

nya sendiri dan juga dari kipas Pendekar Mata 

Keranjang! Tubuh gadis ini tampak terapung di 

udara. Anehnya meski tak ada hasil, malah tatka-

la Aji lipat gandakan tenaga dalamnya, tubuh Bi-

dadari Bertangan Iblis terdorong ke belakang! Dan 

saat Aji tarik pulang kipasnya lalu disentakkan 

kembali, Bidadari Bertangan Iblis terpekik, tu-

buhnya makin melenting lebih jauh ke belakang 

sebelum akhirnya melayang turun dan terkapar di 

atas tanah!

"Jahanam laknat! Kau telah cederai sauda-

raku! Terimalah kematianmu!" teriak Singa Betina 

Dari Timur. Rasa tidak ingin membunuh lelaki ini 

mendadak hilang lenyap kala mengetahui Bidada-

ri Bertangan Iblis terkapar di tanah dengan darah 

meleleh dari sudut bibirnya. Tanpa menunggu le-

bih lama lagi, gadis ini segera tarik kedua tan-

gannya ke belakang lalu diputar sebentar, dan ti-

ba-tiba tubuhnya melesat ke arah Pendekar Mata 

Keranjang seraya hantamkan kedua tangannya ke 

arah kepala. Bersamaan dengan hantaman tan-

gannya, sinar hitam menyambar deras keluarkan 

suara menggemuruh!

Pendekar 108 tak mau ambil resiko. Meski 

ia tahu bahwa tenaga dalam lawan masih bisa di-

jajari, namun karena ia ingin cepat selesaikan 

urusan, maka kembali murid Wong Agung ini kibaskan kipasnya seraya rundukkan kepala. Tan-

gan kirinya dibuka dan didorong pelan.

Plarrr!

Terdengar letupan tatkala sinar hitam dari 

telapak tangan Singa Betina Dari Timur meng-

hantam serangan yang keluar dari telapak tangan 

Pendekar Mata Keranjang! Namun gadis ini tam-

paknya tak kenal takut, meski kedua tangannya 

telah terasa ngilu dan sakit laksana ditusuk-

tusuk, tapi ia meneruskan lesatan tubuhnya. Ma-

lah kedua kakinya kini ia kem-bangkan dan di-

hantamkan dari arah samping kiri kanan Pende-

kar Mata Keranjang!

"Sialan! Seandainya cuaca terang, tentu 

aku mendapat pemandangan lebih indah lagi!" 

gumam Pendekar 108 saat matanya menangkap 

kembangan kedua kaki Singa Betina Dari Timur. 

Karena bersamaan dengan terkembangnya kaki, 

pakaian bawah gadis ini yang dibuat membelah 

tengah tampak menyibak dan memperlihatkan 

kedua paha yang ada di baliknya!

Namun murid Wong Agung ini tak bisa ber-

lama-lama menikmati paha di balik pakaian ba-

wah Singa Betina Dari Timur, karena saat itu juga 

hantaman kaki telah melabraknya dari samping 

kanan dan kiri.

Pendekar 108 cepat undurkan langkah sa-

tu tindak, tiba-tiba tubuhnya di robohkan ke be-

lakang dengan pantat terlebih dahulu. Dan serta-

merta kedua kakinya diangkat menyilang ke ka-

nan dan kiri!

Prak! Prakkk!

Singa Betina Dari Timur terdengar meme-

kik. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan pung-

gung terlebih dahulu, sementara Pendekar Mata 

Keranjang 108 tarik pulang kedua kakinya seraya 

meringis. Dan ketika murid Wong Agung ini meli-

rik pada kedua kakinya, ia sedikit terkejut. Kedua 

kakinya telah berwarna kebiru-biruan akibat ben-

trok dengan kedua kaki Singa Betina Dari Timur.

Sadar bahwa pemuda di hadapannya lebih 

tinggi ilmunya, Singa Betina Dari Timur palingkan 

wajahnya pada Bidadari Bertangan Iblis yang kini 

tampak telah berdiri. Ia seakan minta pertimban-

gan.

Di belakang, Bidadari Bertangan Iblis sen-

diri tampak ragu-ragu antara meneruskan perta-

rungan yang ia percaya tak dapat ia menangkan, 

atau meninggalkan tempat itu yang berarti tu-

juannya akan tak sampai.

Selagi kedua gadis ini terbawa perasaan

masing-masing, Pendekar Mata Keranjang 108 

bangkit dan seraya mengusap-usap mulutnya ia 

berkata.

"Bidadari Bertangan Iblis, Singa Betina Da-

ri Timur! Aku sarankan pada kalian agar segera 

tinggalkan tempat ini! Aku tahu, kalian datang 

jauh-jauh dengan tujuan memburu Arca Dewi 

Bumi. Benar...? Tapi ketahuilah oleh kalian, ben-

da itu kini banyak dibicarakan dan diperebutkan 

tokoh-tokoh baik dari golongan hitam maupun go-

longan putih! Aku tahu, ilmu kalian tidak cetek, 

namun menurutku, untuk menghadapi tokoh-

tokoh yang sedang memburu arca itu kalian akan

tergilas! Sungguh amat disayangkan jika gadis-

gadis cantik seperti kalian harus dihantam badai 

di tanah Jawa ini!"

Habis berkata, Pendekar Mata Keranjang 

108 balikkan tubuh dengan kepala tengadah me-

mandangi sang rembulan yang kini telah bergeser 

dan berada di atas puncak Gunung Kembar.

Untuk beberapa saat lamanya, baik Bida-

dari Bertangan Iblis maupun Singa Betina Dari 

Timur terdiam. Namun sesaat kemudian Singa 

Betina Dari Timur bangkit dan segera melangkah 

ke arah Bidadari Bertangan Iblis.

"Bagaimana Bidadari...?!" tanya Singa Beti-

na Dari Timur begitu dekat. 

Bidadari Bertangan Iblis tak segera menja-

wab. Pandangan matanya diarahkan pada Pende-

kar Mata Keranjang, lalu beralih pada rembulan 

yang memancarkan warna merah. Setelah mena-

rik napas panjang, ia berkata.

"Kita telah melakukan perjalanan cukup 

jauh, apakah kita akan balik begitu saja karena 

gertak sambal pemuda itu? Tidak! Kita teruskan 

perjalanan memburu arca itu! Karena menurut 

keterangan pemuda itu, berarti arca itu betul-

betul ada!"

Singa Betina Dari Timur tatapi wajah sau-

dara seperguruannya. Dahinya mengernyit. Na-

mun ia tak keluarkan suara.

"Kau takut...? Atau kau tertarik dengan 

pemuda itu...?!" kata Bidadari Bertangan Iblis 

tanpa alihkan pandangannya.

Paras wajah Singa Betina Dari Timur kon

tan berubah saat mendengar kata-kata saudara 

seperguruannya. Meski dalam hati ia tak me-

nyangkal, namun ia merasa tak pantas mengata-

kan hal itu pada saudara seperguruannya dalam 

situasi yang demikian ini. Maka untuk menutupi

perasaannya, gadis berbaju hijau ini berkata.

"Bidadari! Kita dalam perjalanan memburu 

benda mustika, tidak layak kiranya kita membica-

rakan soal tertarik atau tidak pada seorang pe-

muda!"

Bidadari Bertangan Iblis palingkan wajah-

nya pada Singa Betina Dari Timur. Sejurus di-

pandanginya saudara seperguruannya itu seakan 

ingin meyakinkan apa yang baru saja diucapkan.

"Kenapa kau memandangiku seperti itu?" 

tanya Singa Betina Dari Timur merasa tak enak.

Bidadari Bertangan Iblis tersenyum.

"Bila begitu kau setuju dengan rencanaku 

tadi! Meneruskan perjalanan ini dan membunuh 

pemuda itu!"

Mungkin karena tak mau terjadi silang 

pendapat, atau mungkin untuk menutupi pera-

saannya dan tak mau menyakiti hati saudara se-

perguruannya, dengan berat hati Singa Betina 

Dari Timur anggukan kepala.

Meski dalam hati masih ada ganjalan, me-

lihat anggukan kepala Singa Betina Dari Timur, 

Bidadari Bertangan Iblis alihkan pandangannya 

pada Pendekar 108 yang kini masih tegak membe-

lakangi mereka, lalu berkata.

"Kita hadapi bersama-sama!" 

Habis berkata begitu, Bidadari Bertangan

Iblis takupkan kedua tangannya sejajar dada, ma-

tanya dipejamkan, sedangkan mulutnya berke-

mik-kemik. Melihat hal itu, Singa Betina Dari Ti-

mur tak tinggal diam. Dia segera pula melakukan 

seperti yang diperbuat Bidadari Bertangan Iblis.

Di depan, merasa dua gadis di belakangnya 

tak lagi keluarkan percakapan dan merasa kata-

katanya dituruti agar keduanya segera mening-

galkan tempat itu, Pendekar Mata Keranjang 

membatin.

"Hmm.... Mereka tampaknya menuruti ka-

ta-kataku. Itu memang lebih baik! Terlalu sayang 

jika gadis-gadis cantik seperti mereka harus mati 

muda. Ah.... Kenapa aku harus terlalu pikirkan 

hidup mereka...?"

Aji lantas luruskan pandangannya ke sela 

Gunung Kembar yang tampak kemerahan dan 

banyak ditumbuhi semak belukar tinggi merangas 

serta pohon-pohon berdaun lebat.

"Berita tentang arca ini nyatanya telah me-

nyebar hingga luar tanah Jawa.... Hmm.... Aku 

harus segera mendapatkannya! Bukan tidak mus-

tahil tempat beradanya arca itu pun telah diketa-

hui banyak orang!"

Berpikir begitu, murid Wong Agung ini lan-

tas melangkah dan hendak berkelebat. Namun 

baru saja kakinya bergerak, terdengar suara tawa 

mengekeh panjang.

Secepat kilat Pendekar Mata Keranjang pa-

lingkan wajahnya ke arah sumber tawa. Demikian 

juga Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur. Malah dua gadis ini berpaling sambil

undurkan kaki masing-masing satu tindak, kare-

na suara tawa mengekeh panjang itu mengan-

dung tenaga dalam tinggi, bukan saja mampu 

membuat konsentrasi kedua gadis ini buyar, na-

mun juga mampu membuat tanah di tempat itu 

bergetar!



TIGA


PENDEKAR 108 tersentak kaget. Demikian 

juga Bidadari Bertangan Iblis serta Singa Betina 

Dari Timur. Karena begitu kepala masing-masing 

bergerak berpaling, tak seorang pun terlihat!

Pendekar Mata Keranjang lantas alihkan 

pandangannya pada Bidadari Bertangan Iblis dan 

Singa Betina Dari Timur meski dia percaya bahwa 

kekehan tawa tadi bukan keluar dari dua gadis 

cantik ini.

Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur pun lantas alihkan pandangan mas-

ing-masing pada Aji begitu mata mereka tak me-

nemukan siapa-siapa. Sejenak mata dua gadis ini 

beradu dengan mata Pendekar Mata Keranjang 

108.

Sepasang mata Bidadari Bertangan Iblis 

terlihat membesar dan berkilat-kilat. Wajahnya je-

las masih menyembunyikan perasaan dendam. 

Namun tak demikian halnya dengan Singa Betina 

Dari Timur. Ser pasang mata gadis berbaju hijau 

ini tampak bulat tanpa kilatan-kilatan rasa benci. 

Malah paras mukanya tampak berubah merah

dan buru-buru mengalihkan pandangan pada ju-

rusan lain, meski tubuhnya tetap lurus mengha-

dap Aji.

Hal ini tampaknya tak lepas dari pandan-

gan murid Wong Agung. Diam-diam dalam hati 

dia berkata.

"Hmm.... Bidadari Bertangan Iblis tampak-

nya masih menaruh benci padaku! Sedangkan 

Singa Betina Dari Timur rupanya sebaliknya! 

Seandainya aku tidak sedang dalam mengemban 

tugas, ingin rasanya aku mengenal mereka lebih 

jauh...."

Selagi ketiga orang ini sedang dilanda pera-

saan masing-masing, terdengar kembali suara ta-

wa mengekeh panjang. Dan sebelum ketiga orang 

ini gerakan masing-masing kepala ke arah sumb-

er suara tawa, sesosok bayangan telah berkelebat 

dan tahu-tahu telah berdiri di samping Pendekar 

108.

Sepasang matanya membeliak besar pan-

dangi Pendekar 108, lantas beralih pada Bidadari 

Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur.

Pendekar 108 berkerut dahi, sepasang ma-

tanya memperhatikan sosok yang kini tak jauh di 

sampingnya. Sementara Bidadari Bertangan Iblis 

dan Singa Betina Dari Timur terlihat surutkan 

langkah masing-masing satu tindak seraya men-

gawasi tak berkedip.

Sosok yang baru datang ternyata adalah 

seorang manusia yang sulit dikenali laki perem-

puannya. Melihat bentuk tubuhnya dia bisa dis-

ebut laki-laki. Namun jika melihat paras wajah

nya yang memakai bedak putih tebal serta bibir 

merah menyala dipoles, dia adalah seorang pe-

rempuan. Rambut sosok ini panjang sebahu, na-

mun bagian atasnya dipotong pendek hingga 

menjadi jabrik. Bibirnya yang dipoles merah itu 

tampak tebal sebelah atas. Hidungnya besar dan 

bengkok. Tapi yang membuat sosok ini seram, 

tangan kanannya menggenggam sebuah tombak 

yang ujungnya bercabang tiga berwarna kuning 

dan sisi-sisinya lebih besar dari tengahnya. Pang-

kalnya agak menggelembung dan membentuk se-

kuntum bunga! Dan sosok ini tingginya tak lebih 

dari ukuran pinggang orang biasa!

"Bawuk Raga Ginting!" seru Pendekar Mata 

Keranjang begitu dapat mengenali sosok cebol di 

sampingnya. "Sialan! Dari mana dia tahu tempat 

ini? Apakah dia datang sendirian atau bersama 

muridnya...?" batin Aji seraya tebarkan pandan-

gan berkeliling.

"Siapa kau?!" bentak Bidadari Bertangan 

Iblis dengan mata tetap tak beranjak memperha-

tikan sosok cebol di sampingnya. Meski ia tahu 

bahwa sosok cebol di sampingnya adalah orang 

berilmu tinggi, karena suara tawanya saja mampu 

membuat tanah bergetar, namun gadis berbaju 

putih tipis ini tak menunjukkan rasa takut sama 

sekali. Bahkan seraya membentak, bibirnya ter-

senyum sinis

Manusia cebol berbedak tebal dan berbibir 

merah polesan yang bukan lain memang Bawuk 

Raga Ginting guru dari Pandu atau manusia yang 

berjuluk Gembong Raja Muda, tertawa mengekeh

(Tentang Bawuk Raga Ginting dan Gembong Raja 

Muda baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode : "Gembong Raja Muda").

Namun mendadak saja Bawuk Raga Gint-

ing hentikan tawanya. Sepasang matanya me-

nyengat tajam pandangi silih berganti pada Bida-

dari Bertangan Iblis serta Singa Betina Dari Ti-

mur.

"Gadis-gadis jelek! Kalian tak pantas tanya 

padaku! Aku yang punya hak ajukan pertanyaan 

pada kalian! Siapa kalian?! Dan apa tujuan kalian 

malam-malam begini keluyuran ke tempat ini?!"

"Singa Betina! Banci cebol ini lagaknya 

sombong betul! Dia belum tahu sedang berhada-

pan dengan siapa saat ini!" berkata dara baju pu-

tih Bidadari Bertangan Iblis seraya palingkan wa-

jah dan tertawa sinis.

"Manusia tak normal biasanya memang 

berlagak. Apa dikira wajahnya lebih cantik dari 

monyet dibedaki...?!" sambung Singa Betina Dari 

Timur sambil palingkan muka dan meludah ke 

tanah.

Dalam menghadapi Bawuk Raga Ginting, 

sifat asli kedua gadis ini yang begitu meremehkan 

orang dan sombong terlihat jelas.

Mendengar ucapan kedua gadis di sam-

pingnya, Bawuk Raga Ginting bukannya marah. 

Sebaliknya Penghuni Bandar Lor ini malah terta-

wa perlahan, namun makin lama makin panjang 

dan makin keras. Bersamaan dengan meledaknya 

tawa Bawuk Raga Ginting, tiba-tiba tanah di tem-

pat itu bergetar, angin berhembus kencang hingga

membuat pakaian bagian bawah Bidadari Bertan-

gan Iblis dan Singa Betina Dari Timur terlihat 

berkibar-kibar menampakkan paha masing-

masing yang mulus.

Melihat hal ini, baik Bidadari Bertangan Ib-

lis maupun Singa Betina Dari Timur segera ke-

rahkan tenaga dalam masing-masing pada kedua 

kaki dan telinga. Demikian pula Pendekar Mata 

Keranjang.

"Gawat! Masalah ini akan jadi berkepan-

jangan. Bagaimana sekarang? Meneruskan perja-

lanan kurasa tak mungkin, selain tempatnya su-

dah dekat juga terlalu beresiko! Tetap di sini be-

rarti harus berhadapan dengan Bidadari Bertan-

gan Iblis, Singa Betina Dari Timur serta Bawuk 

Raga Ginting...! Daripada meneruskan mencari 

Sahyang Resi Gopala dengan dibayang-bayangi 

perasaan tak tenang, lebih baik kuselesaikan du-

lu mereka!" putus Pendekar 108. Namun, murid 

Wong Agung ini masih tak ucapkan sepatah kata 

pun. Ia hanya diam seraya mengawasi tiga orang 

di sekelilingnya yang kini tengah saling keluarkan 

tenaga dalam masing-masing.

Singa Betina Dari Timur berpaling pada 

saudara seperguruannya, lalu berkata.

"Bidadari! Percuma kita main-main begini. 

Malam sudah merangkak makin jauh sedangkan 

waktu kita terbatas, sebaiknya kita lunasi si Ce-

bol ini!"

"Cebol! Apakah kau sudah tahu, sedang 

berhadapan dengan siapa kali ini? Dan apakah 

kau telah berpamitan pada anak cucumu di hutan sebelah itu?!" yang berkata kali ini adalah Bi-

dadari Bertangan Iblis.

Bawuk Raga Ginting hentikan tawanya. 

Wajahnya berubah merah padam dan matanya 

melotot angker. Pelipisnya bergerak-gerak mem-

buat bedak tebal di wajahnya merekat, sementara 

tangan kanannya yang memegang tombak berge-

rak meremas hingga saat itu juga terdengar suara 

gemeretak.

"Kunyuk kecil biadab! Aku tak usah tahu 

siapa kalian kalau hanya untuk membunuh!" te-

riak Bawuk Raga Ginting. Ia lalu angkat tombak-

nya dan diputar pulang balik ke kiri dan ke ka-

nan. Kejap itu juga terdengar suara menderu-

deru laksana kobaran api tersapu hamparan an-

gin kencang. Dan bersamaan itu pula hawa panas 

menyesaki tempat itu!

"Gadis-gadis sembrono! Mereka tak tahu 

sedang berhadapan dengan siapa! Tapi aku tak 

akan bertindak dahulu!" batin Pendekar Mata Ke-

ranjang 108. Dia amat menyayangkan tindakan 

Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari 

Timur yang menganggap remeh Bawuk Raga Gint-

ing.

Di seberang, melihat apa yang dilakukan 

Bawuk Raga Ginting, Bidadari Bertangan Iblis 

menyeringai lalu berkata pada Singa Betina Dari 

Timur.

"Monyet berbedak ini tampaknya ingin un-

juk kebolehan akrobat di hadapan kita! Apa dikira 

kita akan tertawa oleh banyolannya?"

"Betul! Dikira kita penonton yang tak

punya bekal!" timpal Singa Betina Dari Timur 

sambil tertawa pendek.

Bawuk Raga Ginting tiba-tiba percepat pu-

taran tombaknya. Dan tubuhnya lantas melenting 

ke udara. Di atas udara ia putar tubuhnya bebe-

rapa kali, namun mendadak dengan gerak yang 

sukar diikuti mata, tubuhnya menukik deras ke 

arah Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur!

Kedua gadis ini yang tidak menduga sama 

sekali tampak terkejut. Buru-buru keduanya han-

tamkan masing-masing tangannya ke atas!

Wuuuttt! Wuuuttt!

Namun betapa terkejutnya kedua gadis da-

ri daratan Bima ini. Karena serangan keduanya 

hanya menghantam udara! Sosok Bawuk Raga 

Ginting yang tadi terlihat menukik ke arah mere-

ka laksana lenyap di telan bumi. 

Selagi kedua gadis ini tenggelam dalam ke-

terkejutan, dari arah samping terdengar angin 

menderu dahsyat. Kedua gadis ini segera berpal-

ing ke samping. Angin menggemuruh yang men-

geluarkan hawa panas menyambar ke arah kedu-

anya! Namun kedua gadis ini tetap tak menemu-

kan sosok Bawuk Raga Ginting!

"Hati-hati! Kita harus berpencar!" bisik Bi-

dadari Bertangan Iblis seraya melompat ke samp-

ing untuk menghindari sambaran angin.

"Ya. Kita harus berpencar untuk memecah 

perhatiannya!" timpal Singa Betina Dari Timur se-

raya melompat pula ke samping berlawanan.

Namun baru saja kedua gadis ini jejakkan

kaki masing-masing di atas tanah, terdengar sua-

ra tawa panjang Bawuk Raga Ginting.

Kedua gadis cantik ini makin heran dan 

terkejut, karena suara tawa itu datang dari atas! 

Dan belum lenyap rasa heran keduanya, tiba-tiba 

sosok Bawuk Raga Ginting telah menukik ke arah 

Bidadari Bertangan Iblis dengan kedua kaki mele-

jang-lejang. Hebatnya, meski kedua kaki Bawuk 

Raga Ginting tampak mungil, namun sambaran 

angin yang keluar bersamaan dengan lejangan 

kakinya sungguh sulit dipercaya. Karena samba-

ran angin itu mampu menghamburkan tanah di 

bawahnya!

Melihat hal ini, Bidadari Bertangan Iblis 

cepat angkat kedua tangannya lalu dihantamkan 

ke arah Bawuk Raga Ginting.

Suara tawa Bawuk Raga Ginting tiba-tiba 

lenyap! Tubuhnya pun mendadak lenyap, dan se-

rangan Bidadari Bertangan Iblis untuk kedua kali 

menghajar udara kosong! Saat itulah tiba-tiba si 

baju putih Bidadari Bertangan Iblis terdengar 

berseru tertahan. Bukan hanya karena terkejut 

namun juga karena Bawuk Raga Ginting telah sa-

tu langkah di belakangnya dan kaki kanannya 

menerjang deras ke arah punggungnya! 

Desss!

Karena Bidadari Bertangan Iblis tak me-

nyangka, maka gadis baju putih ini tak bisa lagi 

mengelak dari terjangan kaki Bawuk Raga Gint-

ing. Hingga saat itu juga tubuhnya terdorong ke 

depan. Di saat demikian itulah, Bawuk Raga Gint-

ing lantas dorong kedua tangannya.

Wuuttt!

Angin deras menggebrak. Bidadari Bertan-

gan Iblis yang sedang terdorong tak bisa meng-

hindar, hingga tubuhnya terhantam telak puku-

lan jarak jauh Bawuk Raga Ginting.

Gadis berbaju putih ini menjerit tinggi. Tu-

buhnya makin deras terdorong ke depan sebelum 

akhirnya terjerembab mencium tanah!

Melihat saudara seperguruannya roboh, 

Singa Betina Dari Timur yang dari tadi tampak 

terkesima, tersadar dari rasa terkesimanya. Ia se-

gera meloncat ke arah Bawuk Raga Ginting. Dan 

tanpa bicara lagi, kedua tangannya langsung di-

hantamkan ke arah kepala. Sinar hitam berlesa-

tan terlebih dahulu sebelum kedua tangan itu 

sendiri menghajar sasaran!

Bawuk Raga Ginting sunggingkan senyum 

sinis. Tombak di tangan kanannya ditancapkan 

ke atas tanah. Kedua tangannya lalu bergerak lu-

rus bersamaan dengan rundukkan kepalanya 

menghindari hantaman serangan lawan. Dan be-

gitu serangan lawan lewat satu jengkal di atas ke-

palanya, kedua tangannya cepat melesat.

Singa Betina Dari Timur tampak terkejut, 

karena pinggangnya terasa dapat dipegang oleh 

tangan Bawuk Raga Ginting. Gadis ini segera ge-

rakan kedua kakinya hendak menerjang, namun 

gerakannya tertahan, karena saat itu juga Bawuk 

Raga Ginting telah sapukan kakinya ke arah kaki 

Singa Betina Dari Timur.

Prakkk!

Tubuh Singa Betina Dari Timur tampak

oleng ke samping, dan saat itulah tangan Bawuk 

Raga Ginting mencengkeram pinggang gadis itu 

dan serta-merta dibantingkan ke samping! 

Buk!

Karena bantingan itu bersamaan dengan 

olengnya tubuh, membuat tubuh Singa Betina 

Dari Timur menghantam tanah dengan deras. Da-

rah telah tampak meleleh dari sudut bibir gadis 

berbaju hijau ini. Kakinya pun terasa hendak 

penggal dan panas membara!

Bawuk Raga Ginting tertawa mengekeh. La-

lu melangkah mendekati Singa Betina Dari Timur. 

Namun baru saja dua tindak, Aji segera berkele-

bat dan menghadang.

Bawuk Raga Ginting hentikan langkah. Se-

pasang matanya sejenak mengawasi Pendekar 

Mata Keranjang. Dahinya mengernyit. Kepalanya 

lalu mendongak. Dari mulutnya terdengar suara 

tawa. Namun tawa itu hanya pendek. Seraya tetap 

mendongak, ia berkata.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau ten-

tunya masih ingat kata-kata terakhirku dahulu. 

Malam ini perhitungan kita akan tuntas! Kau su-

dah siap?!"

Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur saling pandang begitu Bawuk Raga 

Ginting sebutkan gelar Aji. Aji sendiri tampak 

sunggingkan senyum dan berkata.

"Bawuk Raga Ginting! Perhitungan di anta-

ra kita bagiku telah kuanggap selesai! Dan kalau 

kau tak ingin mengalami nasib yang lebih parah 

daripada waktu yang silam, lekas tinggalkan tempat ini!"

Bawuk Raga Ginting tertawa ngakak men-

dengar ucapan Pendekar 108, membuat bedak di 

wajahnya tampak rekat dan jatuh berguguran. 

Kepalanya lantas bergerak dan lurus memandangi 

Pendekar 108.

"Pendekar 108! Dengar baik-baik! Perhi-

tungan di antara kita tak akan selesai sebelum 

satu di antara kita pergi ke akhirat! Dan malam 

ini akan kita tentukan siapa di antara kita yang 

pergi terlebih dahulu!"

Habis berkata begitu, Bawuk Raga Ginting 

tampak tengadahkan kepala kembali. "Kau sudah 

siap...?!"

Begitu ucapannya selesai, Bawuk Raga 

Ginting jejakkan sepasang kakinya ke atas tanah. 

Tubuhnya yang mungil melesat ke udara. Dari 

atas udara Penghuni Lembah Bandar Lor ini lang-

sung kirimkan serangan! Tangan kirinya dibuka, 

dan didorong kearah Aji. Sementara tangan ka-

nannya yang menggenggam tombak memutar-

mutar suara yang menggemuruh, sementara dari 

arah samping terdengar suara menderu-deru 

yang mengeluarkan hawa panas keluar dari puta-

ran tombak. Melihat hal ini jelas bahwa Bawuk 

Raga Ginting ingin segera menyudahi Pendekar 

Mata Keranjang 108.

Pendekar 108 untuk sesaat masih tegak 

sambil memperhatikan, lalu tubuhnya ia putar 

satu kali, dan serta-merta tangan kanannya yang 

telah menggenggam kipas ia sabetkan meleng-

kung ke depan, sementara tangan kirinya didorong.

Sinar lengkung membentuk kipas, segera 

melesat, sementara dari tangan kirinya menyam-

bar sinar putih berkilauan yang disertai suara le-

dakan gelombang ombak! Kejap itu juga tempat 

itu berubah menjadi terang benderang bersemu 

merah!

Blaaammm!

Tanah di tempat itu kontan bergetar dan 

terbongkar! Semak belukar serta pohon yang tak 

jauh dari situ berderak dan akhirnya tumbang! 

Hebatnya, sosok Bawuk Raga Ginting sepertinya 

tak tergoyahkan. Memang, untuk sesaat sosoknya 

tampak tertahan di udara, namun begitu ledakan 

terdengar, sosoknya kembali melesat dan kini 

menukik deras ke arah Pendekar 108 dengan se-

pasang kaki lurus sementara tombaknya men-

gayun dari bawah ke atas! 

Pendekar 108 yang terjajar dua langkah ke 

belakang cepat angkat tangan kirinya dan dis-

ilangkan di depan kepala, sementara tangan ka-

nannya kembali menebarkan kipas.

Werrr! 

Sosok Bawuk Raga Ginting yang sedang 

menukik tiba-tiba tertahan. Namun manusia ce-

bol ini segera lipat gandakan tenaga dalamnya, 

dan kejap itu juga tombaknya dihujamkan ke 

arah Pendekar Mata Keranjang 108.

Wuuuttt!

Kalau sosok Bawuk Raga Ginting tertahan, 

tidak demikian halnya dengan tombaknya. Tom-

bak itu terus melesat meski Aji telah kembali kibaskan kipasnya.

"Gila!" maki Pendekar Mata Keranjang se-

raya melompat ke samping. Namun gerakannya 

tertahan karena saat itu juga sosok Bawuk Raga 

Ginting telah berhasil menerobos dan kini ka-

kinya mengarah pada arah gerakan tubuh Pende-

kar 108.

Pendekar 108 terjajar hingga satu tombak 

ke belakang begitu terjangan Bawuk Raga Ginting 

beradu dengan tangan kirinya. Tapi tampaknya 

Bawuk Raga Ginting tak mau lagi memberi ke-

sempatan. Begitu sosok Aji terjajar, Bawuk Raga 

Ginting lipatkan tenaga dalamnya dan sekonyong-

konyong menerjang kembali! Hebatnya, sambil 

melesat menerjang, tangan kirinya menyambar 

tombak yang tak mengena sasaran dan kini ter-

tancap di atas tanah.

Pendekar 108 cepat melompat mundur un-

tuk menghindar, namun naas, karena di bela-

kangnya menghadang pohon besar. Satu-satunya 

jalan untuk selamatkan diri tiada lain harus 

menghindar ke samping kanan atau kiri.

Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang 

memutuskan untuk menghindar ke samping ka-

nan, tiba-tiba tombak Bawuk Raga Ginting telah 

melesat ke arah kanan! Kini tanpa bisa dihindari 

lagi Pendekar Mata Keranjang harus menghindar 

ke samping kiri. Rupanya hal itu telah diperhi-

tungkan oleh Bawuk Raga Ginting karena begitu 

tubuh Aji bergerak ke arah kiri, Bawuk Raga 

Ginting menggebrak ke kiri!

Terjangan kaki Bawuk Raga Ginting yang

terkenal dengan jurus ‘Sapu Bumi’ memang ber-

hasil dihindarkan dengan melesat satu tombak ke 

atas. Terjangan kaki itu menghantam pohon 

hingga berderak tumbang, namun tangan kanan 

Bawuk Raga Ginting yang tiba-tiba melesat men-

gikuti lesatan tubuhnya tak lagi bisa dielakkan.

Desss!

Tubuh Pendekar 108 melayang ke belakang 

begitu tangan kanan Bawuk Raga Ginting meng-

hajar perutnya. Baju di bagian perut itu robek 

dan ia sendiri terkapar di atas tanah dengan pe-

rut terasa ingin muntah

Melihat hal ini Singa Betina Dari Timur 

yang telah bangkit segera melompat ke dekat Bi-

dadari Bertangan Iblis.

"Bidadari! Apa yang harus kita perbuat se-

karang?"

Bidadari Bertangan Iblis tak segera buka 

suara. Sepasang matanya masih mengawasi ke 

arah Bawuk Raga Ginting dan Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 silih berganti. Lalu tak lama kemu-

dian berpaling pada Singa Betina Dari Timur dan 

berkata.

"Lebih baik kita tunggu saja selesainya per-

tarungan ini! Dan siapa pun pemenangnya, kita 

hadapi bersama-sama!"

"Tapi...," Singa Betina Dari Timur tak me-

neruskan ucapannya, karena belum selesai dia 

bicara, Bidadari Bertangan Iblis telah menyahut.

"Singa Betina! Lupakan dahulu tentang ja-

sa pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 

itu! Tantangan yang akan kita hadapi tampaknya

demikian besar. Tapi kita tak boleh mundur! Ba-

gaimana pendapatmu?!" Bidadari Bertangan Iblis 

balik ajukan pertanyaan.

Meski dalam hati masih tak menyetujui ja-

lan pikiran saudara seperguruannya, Singa Beti-

na Dari Timur anggukan kepala dan berkata.

"Bidadari! Kita memang tak boleh mundur 

walau apa pun yang terjadi! Arca itu harus bisa 

kita rebut!"

Bidadari Bertangan Iblis tersenyum. Di-

pandangnya lekat-lekat wajah saudara sepergu-

ruannya. Namun mendadak wajah Bidadari Ber-

tangan Iblis berubah.

"Adakah sesuatu yang mengganjal di hati-

mu?" tanya Singa Betina Dari Timur begitu men-

dapati perubahan pada wajah Bidadari Bertangan 

Iblis.

Bidadari Bertangan Iblis menghela napas 

panjang. Pandangannya kini mengarah pada sang 

rembulan.

"Singa Betina! Seumur hidupku, baru kali 

ini aku melihat bulan berwarna merah darah. 

Apakah pertarungan di tempat ini awal dari tanda 

banjirnya darah seperti diisyaratkan oleh merah-

nya bulan itu...?"

Singa Betina Dari Timur ikut-ikutan me-

mandang ke arah sang rembulan.

"Isyarat kadang-kadang memang jadi ke-

nyataan. Namun apakah kita harus mundur 

hanya sebab sebuah isyarat yang belum tentu jadi 

kenyataan?"

Bidadari Bertangan Iblis kembali menghela

napas panjang. Mulutnya kembali membuka hen-

dak berkata, namun ia urungkan tatkala dari 

arah depan terdengar Bawuk Raga Ginting angkat 

bicara.

"Pendekar 108! Sungguh malang nasibmu 

karena harus mati muda! Tentunya kau belum 

merasakan nikmatnya sorga dunia! Tapi percaya-

lah.... Di alam barumu nanti kau akan merasakan 

hal itu! Hik.... Hik.... Hik...!"

Pendekar Mata Keranjang 108 yang kini te-

lah bangkit melangkah satu tindak ke depan. Se-

pasang matanya menyengat tajam memperhati-

kan Bawuk Raga Ginting, lalu berkata.

"Kunyil!" Aji memanggil Bawuk Raga Gint-

ing dengan nama aslinya. "Urusan nasib dan mati 

adalah urusan yang di atas sana!"

Bawuk Raga Ginting tertawa panjang hing-

ga bahunya tampak berguncang.

"Begitu...? Akan kubuktikan bahwa kema-

tianmu adalah urusanku! Dan nasibmu ada di 

tanganku!"

Habis berkata begitu, Bawuk Raga Ginting 

putar tubuhnya dengan cepat. Tiba-tiba sosoknya 

lenyap dari pandangan. Namun sesaat kemudian 

Penghuni Lembah Bandar Lor ini telah berada li-

ma langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang 

dengan kedua tangan bersilangan di depan dada. 

Tombaknya tetap berputar di tangan kanannya 

yang menyilang dan tetap keluarkan deruan ber-

talu-talu.

Pendekar 108 yang telah waspada segera 

undurkan langkah satu tindak. Kipas ungunya telah ia pindahkan ke tangan kiri, sementara tan-

gan kanannya membuka dan ditarik sedikit ke be-

lakang sejajar dada. Tampaknya murid Wong 

Agung telah siap dengan jurus 'Bayu Kencana'!

Namun baru saja kedua orang ini hendak 

sama-sama lancarkan jurus masing-masing, ter-

dengar suara tawa mengekeh.

Baik Pendekar 108 maupun Bawuk Raga 

Ginting urungkan niat masing-masing, karena 

suara tawa itu begitu membahana. Bahkan mesti 

kedua orang ini telah menahan dengan keluarkan 

tenaga dalam, namun suara tawa itu seakan tak 

bisa dibendung. Terus membahana dan menya-

kitkan gendang telinga!

Pendekar 108 dan Bawuk Raga Ginting li-

patkan tenaga dalamnya masing-masing, namun 

kedua orang ini terkejut bukan alang kepalang. 

Karena tenaga dalam mereka tak mampu mem-

bendung suara tawa, hingga kedua orang ini sa-

ma-sama gerakan tangan masing-masing untuk 

menutup telinganya.

Kalau Pendekar 108 dan Bawuk Raga Gint-

ing sampai menutupi kedua telinga masing-

masing, yang dialami Bidadari Bertangan Iblis 

dan Singa Betina Dari Timur lebih parah lagi. Ke-

dua gadis ini telah mencoba menahan suara tawa 

dengan kerahkan tenaga dalam, namun usahanya 

sia-sia. Dan tatkala kedua gadis ini takupkan 

tangan masing-masing pada telinganya, keduanya 

terkejut. Tangan masing-masing terasa hangat 

dan basah. Dan ketika mereka menarik tangan-

nya, mereka sama-sama keluarkan pekikan tertahan. Ternyata kedua tangan mereka telah basah 

oleh darah! Darah yang keluar dari telinga mas-

ing-masing karena tertekan tenaga dalam suara 

tawa yang tak mampu mereka tangkis! Bukan 

hanya sampai di situ, ketika suara tawa itu terus 

membahana, kedua gadis ini tampak oleng dan 

tak lama kemudian jatuh berguling-guling di atas 

tanah seraya memekik kesakitan!

Namun suara tawa membahana itu tiba-

tiba lenyap, suasana hening mencekam tempat 

itu. Pendekar 108 dan Bawuk Raga Ginting tebar-

kan pandangan masing-masing. Saat itulah men-

dadak terdengar suara orang bersyair.


EMPAT


MALAM merangkak larut pada genggaman

bulan merah.

Malam ini rembulan merah mengambang di 

lingkaran angkasa.

Segalanya merah, merah laksana darah! 

Di mana manusia akan mendapatkan setitik 

penerang warna putih?

Malam menyusur meninggalkan bentangan 

warna merah.

Ah, betapa mahalnya harga sebuah pene-

rang putih.

Hanya manusia berhati putih yang akan 

mendapatkannya!

"Siapa gerangan yang mengucapkan syair

itu? Tenaga dalamnya demikian hebat! Adakah 

orang ini juga menginginkan arca itu...? Hmm.... 

Dia sepertinya tahu akan isyarat yang diberikan 

oleh sang rembulan. Adakah isyarat itu akan jadi 

kenyataan...? Darah.... Apakah memang akan ter-

jadi pertumpahan darah besar di tempat ini?" Aji 

membatin seraya tebarkan kembali pandangan 

matanya. Namun hingga matanya lelah menebar, 

ia tidak menemukan seorang pun!

Apa yang ada di benak Aji tak jauh beda 

dengan apa yang ada di hati Bawuk Raga Ginting.

"Siapa pun adanya orang yang keluarkan 

tawa dan nyanyikan syair, yang pasti dia manusia 

berilmu sangat tinggi! Kalau dia ikut-ikutan 

memburu arca itu, masalah akan makin panjang! 

Hm..., bulan merah, apakah itu isyarat akan ter-

jadinya pertumpahan darah malam ini? Peduli 

dengan semua itu! Siapapun dia dan apa pun 

yang bakal terjadi, tekadku telah bulat! Aku ha-

rus pulang dengan membawa Arca Dewi Bumi!"

Sementara itu, Bidadari Bertangan Iblis 

dan Singa Betina Dari Timur yang telah bangkit 

dan kini duduk bersila berdampingan tampak sal-

ing pandang. Wajah kedua gadis ini masih tam-

pak pucat pasi. Baju atas keduanya tampak ber-

cak-bercak darah, demikian juga tangan dan ba-

gian samping lehernya.

"Hm.... Benar juga apa yang dikatakan pe-

muda itu. Para pemburu Arca Dewi Bumi ternyata 

orang-orang yang kepandaiannya sukar untuk di-

jajaki. Tapi apakah aku harus kembali..? Bagai-

mana dengan Bidadari Bertangan Iblis...? Apakah

dia masih tetap pada pendiriannya...?" Singa Be-

tina Dari Timur menimbang-nimbang dalam hati, 

lalu berkata pada Bidadari Bertangan Iblis.

"Bidadari! Kurasa keadaan tidak mengun-

tungkan jika kita teruskan perburuan ini. Bu-

kannya aku takut, namun kita sekarang harus

menghitung untung ruginya!"

Bidadari Bertangan Iblis tersenyum sinis. 

Tanpa berpaling ia berkata.

"Singa Betina! Kaki telah telanjur melang-

kah, dan barang buruan telah dekat, apakah kita 

akan melangkah mundur lagi? Kalau kau ingin 

balik, pergilah! Aku masih ingin membuktikan ji-

ka aku tak bisa digilas begitu saja di tanah Jawa! 

Meski aku tahu taruhan dari semua itu adalah 

nyawa!"

Mendengar ucapan Bidadari Bertangan Ib-

lis, Singa Betina Dari Timur gelengkan kepalanya. 

Ia sebenarnya ingin menuruti kata-kata Aji untuk 

segera meninggalkan tempat itu. Namun benak-

nya tak menginginkan saudara seperguruannya 

berjuang sendirian, hingga meski dengan berat 

hati dia tetap di situ.

"Bidadari! Kau keras kepala. Tapi tak 

mungkin aku meninggalkanmu sendirian di sini! 

Meski aku sebenarnya berat dengan keputusan-

mu!" Singa Betina Dari Timur berkata sendiri da-

lam hati. Pandangannya kini mengarah pada 

Pendekar 108. Ia sejenak tak kesiap pandangi 

pemuda murid Wong Agung ini.

"Tak dapat kudustai diriku sendiri, sebe-

narnya ada perasaan aneh di hatiku saat pertama

bertemu dengan dia. Aji, hmm.... Apa dia suka 

mempermainkan perempuan hingga digelari de-

mikian...? Tapi tampaknya dia pemuda baik hati. 

Dia masih mau menolongku meski aku tadi telah 

berniat membunuhnya! Ah, seandainya...," Singa 

Betina Dari Timur tak meneruskan kata hatinya, 

karena dilihatnya Bawuk Raga Ginting telah me-

langkah maju, dan membentak garang.

"Siapapun kau, kalau bukan bangsa pen-

gecut, tunjukkan dirimu!"

Hening sejenak. Sepasang mata Bawuk Ra-

ga Ginting liar menyapu keliling tempat itu. Na-

mun lagi-lagi matanya tak menemukan manusia 

baru di tempat itu, dan bahkan suara tegurannya 

tak ada yang menyahut.

Bawuk Raga Ginting keluarkan dengusan 

keras. Kepalanya bergerak ke samping kanan dan 

kiri. Dan tatkala matanya tak juga menemukan 

orang yang dicari, dengan kerahkan tenaga da-

lamnya ia dongakan kepala dan berkata lantang.

"Pengecut bersembunyi! Keluarlah! Hadapi-

lah Bawuk Raga Ginting!"

Karena suara itu telah dialiri tenaga dalam, 

maka suara itu bergaung keras hingga memantul 

ke lereng gunung.

Bawuk Raga Ginting sesaat menunggu, 

namun tak ada juga sosok yang muncul.

"Keparat! Jahanam busuk! Pengecut edan!" 

maki Bawuk Raga Ginting. Mendadak sepasang 

kakinya ia bantingkan ke atas tanah. Tubuhnya 

melesat ke udara. Satu tombak di udara, tiba-tiba 

tubuhnya melesat ke arah Pendekar 108 dengan

tombak dibolang-balingkan! Dari mulutnya ter-

dengar geraman keras. Tampaknya segala kesala-

han hatinya kini ditumpahkan pada Pendekar 

108.

"Saatnya aku bertindak!" gumam Pendekar 

108.

Tangan kirinya yang memegang kipas ia 

hentakkan menyamping, sementara tangan ka-

nannya yang membuka ia tarik perlahan ke bela-

kang.

Terjadi suatu hal yang luar biasa. Bersa-

maan dengan melesatnya sinar putih membentuk 

kipas, tubuh Bawuk Raga Ginting tertahan di 

udara! Bawuk Raga Ginting buka telapak tangan 

kirinya dan lepaskan pukulan jarak jauh dari 

udara, namun manusia cebol ini terperangah ka-

get. Sambaran angin dahsyat yang melesat keluar 

dari telapak tangannya bergerak perlahan dan 

perlahan-lahan pula menyatu dan menuju satu 

arah, yakni telapak tangan kanan Pendekar 108! 

Bukan hanya sampai di situ, begitu rangkuman 

angin itu dekat telapak tangan, rangkuman angin 

tersebut tersedot dan masuk ke telapak tangan! 

Dan bersamaan itu pula tubuh Bawuk Raga Gint-

ing bergerak perlahan ke arah Pendekar Mata Ke-

ranjang. Anehnya, meski Bawuk Raga Ginting ke-

rahkan tenaga dalam untuk menggebrak dengan 

ayunkan tombaknya, namun gerakannya seperti 

tertahan. Hingga tubuhnya meluncur tanpa ber-

gerak! Inilah kehebatan jurus pamungkas 'Bayu 

Kencana' yang berhasil dipelajari Aji dari bum-

bung bambu pemberian perempuan tak bernama

(Mengenai jurus ‘Bayu Kencana’ baca serial Pen-

dekar Mata Keranjang 108 dalam episode : "Per-

sekutuan Para Iblis").

Keringat telah membasahi sekujur tubuh 

Bawuk Raga Ginting. Bedak tebal di wajahnya 

serta polesan merah bibirnya telah lenyap terha-

pus lelehan keringatnya. Wajahnya tak bisa lagi 

menyembunyikan rasa takut, bahkan ketika un-

tuk kesekian kalinya tak berhasil mengendalikan 

luncuran tubuhnya, dari mulutnya terdengar 

umpatan tak karuan. Dan ketika tubuhnya telah 

satu tombak di hadapan Aji, manusia cebol ini pe-

jamkan sepasang matanya. Bibirnya yang tebal 

sebelah atas dan kiri berwarna kebiruan tampak 

saling menggegat.

Begitu tubuh Bawuk Raga Ginting telah sa-

tu tombak di hadapan Pendekar Mata Keranjang, 

murid Wong Agung ini segera angkat kakinya, 

tangan kanannya ditarik deras ke belakang. 

Bukkk! Deeesss!

Bawuk Raga Ginting memekik tinggi. Tu-

buhnya mencelat kembali ke belakang sebelum 

akhirnya terkapar di atas tanah! Dari mulutnya 

menyembur darah segar. Namun manusia cebol 

ini seperti tak mengenal rasa sakit. Dengan me-

nahan perut dan pinggangnya, ia merambat 

bangkit lalu duduk dengan mata mencari-cari 

tombaknya.

Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling 

pada Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur. Sesaat dipandanginya dua gadis can-

tik ini. Dan ketika pandangannya bertemu dengan

mata Singa Betina Dari Timur, gadis berbaju hi-

jau ini cepat alihkan pandangan. Wajahnya ber-

semu merah.

Sebenarnya Aji tahu bahwa Singa Betina 

Dari Timur menyimpan sesuatu padanya. Namun 

karena keadaannya tidak memungkinkan, Aji ter-

paksa menepiskan dahulu perasaannya dan ber-

kata.

"Bidadari Bertangan Iblis, Singa Betina Da-

ri Timur! Sebaiknya kalian turuti saranku tadi! 

Bukannya berarti aku menganggap kalian tak 

mampu, namun terlalu besar akibat yang akan 

kalian alami jika kalian bersikeras!"

Singa Betina Dari Timur hanya diam. Na-

mun sesekali matanya melirik. Sebaliknya Bida-

dari Bertangan Iblis langsung keluarkan dengu-

san begitu mendengar kata-kata Pendekar 108. 

Gadis ini balas menatap dan berkata.

"Menuruti katamu, nasib dan mati adalah 

ditentukan yang di atas sana! Kami tak akan me-

ninggalkan tempat ini sebelum tujuan kami ber-

hasil! Kau jangan coba-coba menggertak hanya 

karena kau dapat merobohkan manusia cebol 

itu!" 

Aji gelengkan kepalanya. Bibirnya terse-

nyum. Sambil usap-usap hidung yang gatal ia 

berkata lagi.

"Kuhargai ketegaran jiwamu! Tapi apakah 

kau telah memperhitungkan untung ruginya?!"

Bidadari Bertangan Iblis tertawa perlahan. 

Nada tawanya jelas mengisyaratkan ejekan.

"Rupanya kau hanya pandai omong tapi

otak bodoh! Apakah kau tak tahu, jika selalu 

memperhitungkan untung rugi maka hidup akan 

dicekam kebuntuan! Dan akhirnya mati dalam 

kesia-siaan!"

Pendekar 108 menghela napas panjang.

"Ucapanmu benar! Tapi hidup tanpa perhi-

tungan akan membawa manusia mati sia-sia! Kau 

tahu itu...?!"

Bidadari Bertangan Iblis sejenak terdiam. 

Namun tak lama kemudian mulutnya membuka 

hendak berkata, tapi sebelum terdengar sua-

ranya, dari arah belakang terdengar angin mende-

ru dahsyat.

Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang 

108 berpaling, di hadapannya telah berdiri seso-

sok tubuh. Dia adalah seorang perempuan. 

Usianya tidak bisa ditentukan karena raut wajah-

nya ditutup sepotong kulit tipis berwarna putih. 

Pakaiannya agak gombrong. Di dadanya sebelah 

kiri terlihat sekuntum bunga berwarna hitam.

Pendekar 108 surutkan langkah satu tin-

dak. Dahinya mengernyit dengan mata memper-

hatikan. Sementara Bidadari Bertangan Iblis dan 

Singa Betina Dari Timur sama-sama membeliak-

kan mata masing-masing. Sedang di seberang 

Bawuk Raga Ginting tampak sunggingkan se-

nyum. Batuk-batuk beberapa kali dan berkata.

"Ah, sobatku Dewi Bunga Iblis.... Lama kita 

tak jumpa. Kau baik-baik saja?" sambil berkata 

Bawuk Raga Ginting melangkah mendekat.


LIMA


MANUSIA berpakaian agak gombrong dan 

wajahnya ditutupi kulit berwarna putih yang bu-

kan lain memang Dewi Bunga Iblis palingkan wa-

jah pada Bawuk Raga Ginting. Tiba-tiba Dewi 

Bunga Iblis melangkah dua tindak menyongsong 

langkah Bawuk Raga Ginting dan berteriak lan-

tang.

"Bergerak melangkah lagi, kuremukkan ba-

tok kepalamu! Diam di tempatmu! Dan jangan 

coba-coba mencampuri urusanku dengan anak 

keparat ini!"

Bawuk Raga Ginting hentikan langkahnya. 

Dia untuk beberapa saat lamanya tegak dengan 

sepasang mata tak berkedip memandangi Dewi 

Bunga Iblis. Meski dalam hati memaki panjang 

pendek namun manusia cebol ini tampaknya 

punya perhitungan sendiri hingga ia turutkan dan 

biarkan saja dirinya diancam.

"Perempuan sundal ini rupanya punya ma-

salah dengan Pendekar Mata Keranjang 108! 

Meski aku tahu dia juga sedang memburu Arca 

Dewi Bumi namun lebih baik aku menunggu. Ka-

lau dia berhasil membuat roboh pemuda itu, aku-

lah lawannya! Untuk sementara aku berpura-

pura menuruti kata-katanya!" kata Bawuk Raga 

Ginting dalam hati, lalu dia berkata.

"Sobatku Dewi Bunga Iblis! Sebagai saha-

bat lama, aku akan menuruti kata-katamu. Sila-

kan selesaikan urusanmu dengan pemuda jahanam itu!"

Dewi Bunga Iblis keluarkan tawa perlahan, 

namun jelas suara tawanya penuh nada ejekan. 

Kepalanya lantas berpaling pada Pendekar Mata 

Keranjang. 

"Bagaimana dia bisa tahu tempat ini...? 

Apakah tempat beradanya Sahyang Resi Gopala 

telah diketahui banyak orang...? Melihat tempat 

beradanya rahasia keberadaan Sahyang Resi Go-

pala pemegang Arca Dewi Bumi telah bocor dan 

diketahui banyak orang! Hmm.... Jika demikian, 

pertarungan besar rupanya tak akan terelakkan 

lagi...," Pendekar 108 berkata dalam hati sambil 

kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya. 

Murid Wong Agung sadar, jika bahaya yang akan 

dihadapi tidaklah kecil, maka dia tak berani ber-

tindak ceroboh apalagi lengah.

Di sebelah belakang, Bidadari Bertangan 

Iblis dan Singa Betina Dari Timur tampak tak ada 

yang buka suara. Keduanya terdiam dengan mata 

masing-masing terus memperhatikan ke depan. 

Namun diam-diam dalam hati masing-masing ga-

dis ini mulai timbul kesadaran bahwa apa yang 

dikatakan Aji benar adanya.

"Jahanam kecil!" tiba-tiba Dewi Bunga Iblis 

berkata setengah berteriak.

"Malam ini nyawamu tak akan lolos lagi da-

ri tanganku!"

Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum 

mendengar ucapan Dewi Bunga Iblis.

"Hmm.... Aku tahu, itu hanya gertak sam-

bal. Bagaimanapun juga dia masih membutuhkan

diriku jika dia menginginkan arca itu! Jadi tak 

mungkin dia langsung membunuhku! Ha.... Ha.... 

Ha.... Kau salah Dewi...," batin Aji seraya tertawa 

sendiri dalam hati.

Dan apa yang ada di batin Pendekar 108 

tak meleset. Karena segera diam-diam pula Dewi 

Bunga Iblis berkata dalam hati.

"Tak kusangka jika di tempat ini telah ba-

nyak manusia. Ini akan mempersulit keadaan. 

Apalagi aku harus menangkap pemuda ini tanpa 

cedera. Bagaimanapun juga masih sangat kuper-

lukan, karena hanya dialah satu-satunya manu-

sia yang dapat mengambil arca itu!"

Namun Dewi Bunga Iblis tak mau menun-

jukkan apa yang dalam hatinya. Justru yang ia 

tampakkan adalah sikap garang dan sepertinya 

tidak butuh dengan Pendekar 108. Malah dengan 

lantang pula ia lantas berkata.

"Jahanam kecil! Kuberi kesempatan pada-

mu untuk berdoa agar jalanmu jadi lapang!"

Lagi-lagi Pendekar Mata Keranjang hanya 

menjawab ucapan Dewi Bunga Iblis dengan sung-

gingkan senyum. Tapi sifat usil murid Wong 

Agung ini tampaknya tak bisa hilang, karena sete-

lah agak lama ditunggu Dewi Bunga Iblis hanya 

diam seraya memperhatikan, dia berkata.

"Dewi Bunga Iblis! Sebenarnya aku tak 

mengharapkan di antara kita terjadi silang seng-

keta. Hanya saja kau harus mengerti, tak mung-

kin bagiku menerima cintamu yang kau katakan 

suci murni sebening embun pagi itu! Kalau kau 

tidak keberatan, aku bisa mencarikan pengganti...," Pendekar 108 tak meneruskan ucapannya, 

karena sekejap itu juga Dewi Bunga Iblis tampak 

bantingkan kakinya dan melotot.

"Jahanam! Kau bicara apa...?!"

Pendekar Mata Keranjang undurkan lang-

kah satu tindak sepertinya terkejut. Lalu dengan 

tanpa memandang dia berkata.

"Dewi Bunga Iblis! Kau tak usah malu se-

gala masalah kita didengar orang lain. Dan per-

cayalah, meski aku menolak cintamu, namun kau 

tetap kuanggap sebagai teman baikku!"

Mendengar keterangan Pendekar 108, dari 

tempatnya berdiri Bawuk Raga Ginting keluarkan 

tawa panjang lalu berkata.

"Nasib jelek seperti itu nyatanya tidak 

hanya menimpa diriku sendiri! Sakit memang jika 

cinta sebening embun pagi ditolak mentah-

mentah.... Apalagi sampai didengar orang banyak. 

Hik.... Hik.... Hik...!"

Dewi Bunga Iblis matanya melotot angker, 

lalu berpaling pada Bawuk Raga Ginting.

"Manusia cebol jelek! Jaga mulutmu! Sete-

lah urusanku selesai, kau akan merasakan ba-

gaimana nikmatnya meregang nyawa! Dengar itu!"

Habis berkata begitu, Dewi Bunga Iblis pa-

lingkan lagi wajahnya pada Pendekar Mata Keran-

jang 108. Dengan suara tinggi menahan marah ia 

berkata.

"Mulutmu yang kotor perlu juga dirobek 

sebelum nyawamu melayang!" begitu kata-

katanya selesai, Dewi Bunga Iblis tampak putar 

tubuhnya. Tiba-tiba tubuhnya lenyap, dan tahu

tahu telah berada dua langkah di samping Pende-

kar 108 dan serta-merta pula telah hantamkan 

tangan kanannya ke arah lambung murid Wong 

Agung!

Pendekar 108 yang telah waspada gerakan 

kaki kanannya ke belakang satu tindak. Hanta-

man tangan Dewi Bunga Iblis menghajar tempat 

kosong sejengkal di depan lambung Pendekar 

108, saat itulah Pendekar 108 gerakan kaki ka-

nannya melejang ke depan. Tapi Dewi Bunga Iblis 

rupanya telah tahu hal itu. Bersamaan dengan 

melejangnya kaki Aji, ia angkat kaki kanannya ke 

atas. 

Prakkk!

Terdengar benturan keras ketika kedua 

kaki saling beradu. Pendekar 108 tampak merin-

gis dengan tubuh terhuyung ke belakang, semen-

tara Dewi Bunga Iblis keluarkan seruan tertahan. 

Tubuhnya terseret ke samping sampai beberapa 

langkah. Begitu kakinya terhenti, tiba-tiba Dewi 

Bunga Iblis sabetkan tangan kanannya.

Wuuuttt!

Tiga kuntum bunga berwarna hitam mele-

sat cepat ke arah Pendekar 108. Hebatnya, meski 

hanya kuntuman bunga, namun lesatannya me-

nimbulkan desingan keras disertai menyambar-

nya angin kencang.

Pendekar 108 putar tubuhnya setengah 

lingkaran, kaki kanannya ditarik sedikit ke bela-

kang. Tangan kanannya yang memegang kipas 

serta-merta dikebutkan menyilang. 

Bret! Bret! Breeettt!

Tiga kuntum bunga hancur lebur tersam-

bar sinar putih yang keluar dari kipas Aji. Namun 

Aji terperangah kaget, karena begitu tangan ka-

nannya mengebut, Dewi Bunga Iblis telah melesat 

seraya mendorongkan kedua tangannya, semen-

tara kakinya ditekuk sebatas lutut.

Sambil menggerendeng panjang pendek, 

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik kaki ki-

rinya ke belakang disejajarkan dengan kaki ka-

nannya, tubuhnya kini sejajar lurus dengan ta-

nah.

Pukulan tangan Dewi Bunga Iblis lewat di 

atas tubuhnya. Namun kini kedua kaki perem-

puan ini menerjang ke arah kepala dan pinggang 

Aji yang masih dalam posisi sejajar tanah.

Pendekar Mata Keranjang gulingkan tu-

buhnya. Terjangan Dewi Bunga Iblis menghajar 

tanah hingga terbongkar dan membentuk kuban-

gan sedalam setengah tombak. Tapi perempuan 

ini tak mau memberi kesempatan. Begitu terjan-

gan kakinya tak mengena sasaran, dia cepat pula 

lesatkan tubuhnya setengah tombak ke udara, la-

lu menerjang kembali! Kedua tangannya pun ki-

rimkan pukulan!

Aji tak mau ambil resiko. Begitu Dewi Bun-

ga Iblis menerjang kembali, murid Wong Agung ini 

dorong kedua tangannya, sementara kakinya 

mencuat ke atas

Blaammm!

Ledakan segera terdengar membuncah 

tempat itu. Karena Dewi Bunga Iblis tak menge-

rahkan seluruh tenaga dalamnya, sementara


Pendekar Mata Keranjang sebaliknya, maka tak 

ampun lagi tubuh Dewi Bunga Iblis mencelat ke 

belakang. Sedangkan Pendekar 108 terus bergu-

lingan.

Pada satu tempat yang dirasa agak jauh 

dari Dewi Bunga Iblis, Pendekar 108 hentikan gu-

lingan tubuhnya, dan dengan gerak cepat ia sege-

ra bangkit.

Di seberang, Dewi Bunga Iblis terlihat baru 

saja mendarat dengan tubuh terhuyung-huyung.

"Keparat! Kalau begini terus-terusan, aku 

bisa roboh di tangan anak ingusan ini! Peduli se-

tan dengan syarat hanya pemuda itu yang kelak 

bisa mengambil arca itu! Aku tak mau dibuat ma-

lu di hadapan orang banyak!" batin Dewi Bunga 

Iblis. Dia telah memutuskan untuk membunuh 

Pendekar Mata Keranjang 108, dan melupakan 

niatnya untuk hanya menangkap.

Perempuan berwajah putih ini lantas maju 

satu langkah. Kedua tangannya menyatu dan dis-

ejajarkan dada. Sepasang matanya memejam ra-

pat. Mulutnya mengucapkan sesuatu.

Melihat hal ini, Aji tak tinggal diam. Tangan 

kanannya ditarik ke belakang menyilang, semen-

tara tangan kirinya membuka dan siap lancarkan 

pukulan.

Tiba-tiba Dewi Bunga Iblis keluarkan ben-

takan lengking. Tubuhnya berkelebat. Kedua tan-

gannya yang telah dialiri tenaga dalam penuh se-

gera disentakkan ke arah Pendekar Mata Keran-

jang!

Weerrr!

Serangkum angin dahsyat serta larikan-

larikan berwarna hitam menebarkan hawa panas 

menggebrak laksana gelombang.

Pendekar 108 sesaat terdiam. Kedua ma-

tanya ia pejamkan, lalu didahului bentakan ga-

rang, tubuhnya melesat menyongsong. Tangan 

kanannya disentakkan sementara tangan kirinya 

mendorong kuat-kuat.

Blaaammm!

Tubuh dua orang ini sama-sama mental ke 

belakang. Meski keduanya tampak coba menahan 

tubuh masing-masing namun gagal. Hingga ke-

duanya saling jatuh berkaparan di atas tanah! 

Namun Dewi Bunga Iblis tampaknya tak menyia-

nyiakan kesempatan. Begitu tubuhnya terkapar, 

tangan kanannya segera menyentak. 

Wuuuttt!

Dua kuntum bunga hitam melesat. Pende-

kar 108 yang baru saja terkapar, terkesiap da-

rahnya. Tangan kirinya segera menghantam. Satu 

bunga bisa dilabrak dan hancur. Namun sekun-

tum lainnya lolos dan menerabas pundak kanan-

nya.

Craaasss!

Pundak Aji langsung keluarkan darah kehi-

taman. Bajunya di bagian pundak robek mengan-

ga. Sementara bunga hitam itu menancap!

Dengan meringis menahan panas dan nyeri 

di pundak, Pendekar 108 segera menotok jalan 

darah di sekitar pundaknya. Tapi baru saja murid 

Wong Agung ini menotok jalan darahnya, Dewi 

Bunga Iblis telah bangkit dan sekonyong-konyong

berkelebat ke arah Aji.

Pendekar 108 segera menggeser tubuhnya 

menghindar. Lalu dengan jejakkan kakinya dia 

melesat ke udara, membuat gerakan jungkir balik 

beberapa kali menghindar dari serangan Dewi 

Bunga Iblis yang meluncur deras seakan tiada 

habis-habisnya. Karena saat itu seraya melesat, 

Dewi Bunga Iblis sentak-sentakan kedua tangan-

nya tanpa henti. 

Ketika tubuh Dewi Bunga Iblis hampir 

mendekati tubuh Pendekar Mata Keranjang 108, 

tiba-tiba perempuan ini keluarkan bentakan. Ke-

dua tangannya dihantamkan sekaligus!

Mendapati hal ini, Pendekar Mata Keran-

jang cepat putar-putar kipasnya, karena dia kelu-

arkan seluruh tenaga dalamnya, maka putaran 

kipasnya mengeluarkan asap putih yang melin-

dungi dirinya serta mengeluarkan hamparan an-

gin dahsyat yang siap untuk menggebrak.

Bummm!

Dua tenaga dalam bertemu di udara. Tu-

buh Dewi Bunga Iblis langsung terputar dan me-

nukik. Di lain pihak, Pendekar 108 terdengar ke-

luarkan pekikan. Karena pundaknya yang terluka 

terasa semakin membara. Tubuhnya pun mence-

lat dan terbanting di atas tanah.

Dewi Bunga Iblis yang tampaknya lebih 

kenyang pengalaman segera bangkit lalu meloncat 

menerobos kepulan asap yang saat itu masih me-

lingkupi tempat itu. Dari balik kepulan asap pu-

tih, perempuan ini dapat melihat gerakan Pende-

kar 108 yang baru saja bangkit dan tertatih-tatih

seraya memegangi pundaknya.

"Modar kau sekarang!" bentak Dewi Bunga 

Iblis sambil hantamkan kedua tangannya kirim-

kan pukulan jarak jauh yang telah dialiri tenaga 

dalam kuat.

Pendekar 108 melengak. Dia cepat rebah-

kan kembali tubuhnya ke atas tanah, namun ka-

rena pundaknya terluka, gerakannya sedikit lam-

ban, hingga meski dapat menghindar namun 

pinggangnya tersambar juga.

Deesss!

Pendekar 108 terpekik. Tubuhnya terputar 

di atas tanah. Pakaian sebelah pinggang langsung 

hangus!

Dewi Bunga Iblis mendarat dengan ter-

huyung-huyung. Setelah dapat menguasai diri, 

perempuan ini memperhatikan Pendekar Mata 

Keranjang 108 yang masih terkapar di atas tanah 

dengan mengerang perlahan sambil memegangi 

pundak dan pinggangnya. Kipas ungunya tampak 

tergeletak di sampingnya.

"Hmm.... Untung aku masih bisa memper-

hitungkan. Jika tidak tentunya dia sudah putus 

nyawanya!" batin Dewi Bunga Iblis sambil mengu-

sap-usap dadanya.

Di sebelah belakang, begitu melihat Pende-

kar 108 terkapar, Bawuk Raga Ginting terlihat be-

rubah parasnya. Diam-diam dia menjadi kecut. 

Apalagi tatkala teringat akan ancaman Dewi Bun-

ga Iblis. Maka untuk menjaga kemungkinan, se-

cara diam-diam pula manusia cebol ini kerahkan 

segenap tenaga dalamnya. Tapi dia masih belum

berani bertindak, karena saat itu Dewi Bunga Ib-

lis tampak melangkah perlahan ke arah Pendekar 

Mata Keranjang.

Di sebelah samping, Bidadari Bertangan Ib-

lis dan Singa Betina Dari Timur tampak terhe-

nyak. Nyali kedua gadis ini benar-benar telah ha-

bis melihat beberapa kejadian di hadapan mere-

ka. Namun mereka sepertinya masih enggan me-

ninggalkan tempat itu. Apalagi Singa Betina Dari 

Timur. Begitu melihat Aji terkapar, dari mulutnya 

terdengar jeritan kecil. Paras wajahnya tak bisa 

menyembunyikan perasaan khawatir.

"Seandainya aku mampu, tak akan kubiar-

kan perempuan itu menjamahnya! Oh, apakah 

perempuan bergelar Dewi Bunga Iblis itu akan 

membunuhnya...? Jika benar, aku tak akan ting-

gal diam meski aku harus berkorban! Bukankah 

dia juga telah menyelamatkan nyawaku...?" batin 

Singa Betina Dari Timur seraya hela napas pan-

jang. Lalu kerahkan tenaga dalamnya dan hendak 

bangkit!

"Singa Betina! Apa yang hendak kau laku-

kan? Kau jangan bertindak ceroboh!" tegur Bida-

dari Bertangan Iblis seraya melirik.

"Aku tak akan biarkan perempuan itu 

membunuhnya! Dia tadi telah menyelamatkan di-

riku dari manusia cebol itu! Aku sekarang harus 

membalas budinya!"

Bidadari Bertangan Iblis keluarkan serin-

gai. Sambil arahkan pandangannya pada Dewi 

Bunga Iblis ia berkata.

"Kau jangan bodoh! Apakah kau tadi tidak

melihat? Perempuan itu melancarkan serangan 

dengan memilih bagian yang tidak mematikan! 

Berarti dia tidak mengharapkan kematian pemu-

da itu! Apalagi kau dengar sendiri, bahwa perem-

puan bergelar Dewi Bunga Iblis itu mencintainya! 

Apa mungkin dia membunuh orang yang dicin-

tainya...?"

"Cinta kadang-kadang membuat orang ber-

tindak gelap mata, dan tak jarang membuat orang 

harus rela berkorban! Jadi tak mustahil jika pe-

rempuan itu akan bertindak gelap mata membu-

nuh pemuda itu karena ditolak cintanya!"

"Dan kau akan rela berkorban karena jatuh 

hati pada pemuda itu,..?" Bidadari Bertangan Iblis 

cepat menyela, membuat Singa Betina Dari Timur 

parasnya berubah mengelam. Namun gadis ini 

cepat menyembunyikan perasaannya dengan ter-

senyum dan berkata.

"Kau jangan salah tafsir. Semua itu kula-

kukan karena dia tadi telah menyelamatkan jiwa-

ku! Apakah tindakanku salah...?" Singa Betina 

Dari Timur bertanya namun seraya terdengar se-

dikit bergetar.

Bidadari Bertangan Iblis palingkan wajah-

nya. Dipandanginya paras saudara seperguruan-

nya seakan ingin meyakinkan kata-katanya. Bi-

birnya lalu tersenyum. Kepalanya bergerak meng-

geleng perlahan.

"Aku tak bisa mengatakan tindakanmu sa-

lah. Tapi setidaknya kau berpikir, bahwa perjala-

nan kita tidak hanya sampai di sini! Yang akan 

kita hadapi tentunya masih membutuhkan pengorbanan lebih besar!"

Singa Betina Dari Timur terdiam sejenak. 

Sepasang matanya tetap tak kesiap memandangi 

gerak langkah Dewi Bunga Iblis yang terus men-

dekati Aji. Dalam hati diam-diam gadis ini berkata 

sendiri.

"Apa pun alasannya, aku akan tetap meno-

longnya jika Dewi Bunga Iblis bertindak hendak 

membunuhnya!"

Lain yang ada dalam hati Singa Betina Dari 

Timur, lain pula yang dirasakan Bidadari Bertan-

gan Iblis. Diam-diam dia juga berkata.

"Aku tak habis pikir. Kenapa sifat Singa 

Betina Dari Timur tiba-tiba berubah begitu? Bi-

asanya dia tak ambil peduli dengan tindakan 

orang! Sekarang...? Dia malah mau berkorban 

demi pemuda yang baru saja dikenalnya! Aneh.... 

Apakah ini kelakuan orang yang sedang jatuh ha-

ti...?"

Selagi kedua gadis ini tenggelam dalam ka-

ta hatinya masing-masing, dan Dewi Bunga Iblis 

terus melangkah makin dekat, tiba-tiba sayup-

sayup terdengar suara orang tertawa cekikikan 

yang bersahut-sahutan dengan suara gemerinc-

ing. Dewi Bunga Iblis hentikan langkahnya. Kepa-

lanya tengadah seakan memandangi bulan yang 

kini tepat berada di atasnya dan makin berwarna 

merah. Dahinya mengernyit, telinganya bergerak-

gerak seakan menajamkan pendengaran.

Bawuk Raga Ginting pun beliakkan sepa-

sang matanya dan diarahkan pada satu jurusan. 

Mata itu jelalatan liar. Sementara dahinya mengkerut, napasnya memburu agak kencang.

Di tempat agak belakang, Bidadari Bertan-

gan Iblis dan Singa Betina Dari Timur penggal ka-

ta hatinya masing-masing. Sejurus keduanya sal-

ing berpaling dan berpandangan. Lalu serentak 

mengalihkan pandangan masing-masing pada ju-

rusan yang kini juga dipandangi Bawuk Raga 

Ginting. Kedua mata gadis ini membesar dengan 

hati dibungkus tanda tanya.

Suasana mendadak sunyi senyap. Masing-

masing orang menunggu dengan tegang. Dan ke-

tegangan itu semakin menjadi-jadi tatkala tiba-

tiba, suara cekikikan yang ditingkahi suara geme-

rincing itu lenyap!

Pendekar Mata Keranjang yang dapat men-

duga siapa adanya orang yang cekikikan, meng-

hela napas panjang. Sepasang matanya pun me-

mandang tajam pada satu jurusan, jurusan mata 

yang saat itu juga sedang dipelototi oleh Bawuk 

Raga Ginting dan Bidadari Bertangan Iblis serta 

Singa Betina Dari Timur. Hanya Dewi Bunga Iblis 

yang tetap tengadah memandang bulan.

Tak heran jika tiga pasang mata itu me-

mandang pada satu jurusan, karena suara ceki-

kikan tadi dapat dipastikan dari arah itu.

Selagi suasana dicengkeram ketegangan 

begitu rupa, tiba-tiba sesosok bayangan melayang 

turun dari sebuah pohon. Begitu menjejak tanah, 

sepasang mata sosok ini menebar berkeliling pan-

dangi satu persatu orang. Lalu berkata dengan 

sesekali diselingi suara tawa cekikikan.

"Malam purnama yang aneh. Seaneh

orang-orangnya! Menyesal aku kesasar ke tempat 

ini! Kukira ada sesuatu yang pantas untuk diter-

tawakan, ehh.... Tak tahunya yang kutemukan 

adalah orang-orang yang tak mau tertawa ceki-

kak-cekikik.... Hik.... Hik.... Hik...!" sejenak sosok 

itu hentikan kata-katanya, namun tak lama ke-

mudian telah menyambung. Kepalanya kini men-

dongak.

"Bulan berwarna merah darah! Adakah itu 

yang membuat orang-orang ini tak mau cekikikan 

bersama-sama? Aneh.... Ya, aneh.,.. Hik.... Hik.... 

Hik...!"

Sekonyong-konyong Bawuk Raga Ginting 

cepat palingkan wajahnya, demikian pula Bidada-

ri Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur 

serta Pendekar 108. Hanya Dewi Bunga Iblis yang 

tampak masih tengadah. Namun tubuhnya terli-

hat sedikit bergetar. Dan pelan-pelan tangannya 

mengepal.



ENAM


BAWUK Raga Ginting tampak tercekat, se-

mentara Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Beti-

na Dari Timur kelihatan tercenung heran, me-

mandang tak berkedip pada sosok yang ada di 

hadapan mereka. Hanya Pendekar Mata Keran-

jang 108 yang tak memperlihatkan rasa terkejut.

Di hadapan mereka tampak seorang pe-

rempuan gemuk besar. Usianya telah lanjut, tu-

buhnya sedikit bungkuk. Rambutnya panjang dan

putih disanggul ke atas. Sepasang matanya sayu 

kelabu, namun besar dan menjorok ke dalam ce-

kungan yang dalam. Bibirnya merah polesan. Dia 

hanya mengenakan anting-anting sebelah, tapi 

anting-anting itu agak besar dan dimuati bebera-

pa anting-anting kecil. Pada pinggangnya yang 

bengkak besar tampak melilit selendang berwarna 

merah.

"Dewi Kayangan.... Kau muncul juga di si-

ni!" gumam Pendekar 108 mengenali siapa adanya 

perempuan bertubuh besar dan mengenakan ant-

ing-anting sebelah yang barusan datang.

Bidadari Bertangan Iblis dekatkan kepa-

lanya pada Singa Betina Dari Timur dan berbisik.

"Selain banyak yang berilmu tinggi, nya-

tanya tokoh-tokoh di tanah Jawa juga aneh-

aneh.... Bagaimana menurutmu?"

"Meski aneh, tapi tidak bisa dipandang re-

meh. Hmm.... Betul juga!" jawab Singa Betina Da-

ri Timur seraya terus memperhatikan pada pe-

rempuan gemuk besar yang bukan lain memang 

Dewi Kayangan.

"Bagaimana perempuan sebesar itu bisa ti-

ba-tiba berada di sini, padahal suara cekikikan-

nya tadi berada di sana...?" kembali Bidadari Ber-

tangan Iblis berbisik seraya gelengkan kepalanya. 

"Aku sendiri heran. Dia mampu bergerak 

secepat itu!"

Selagi dua gadis ini berbisik-bisik, Bawuk 

Raga Ginting tampak tersenyum lalu berkata.

"Sungguh tak dinyana, di malam yang aneh 

ini aku dapat bersua kembali dengan tokoh hebat

bergelar Dewi Kayangan. Bagaimana keadaan-

mu...?"

Dewi Kayangan cekikikan panjang, kepa-

lanya lantas bergerak lurus dan berpaling pada 

Bawuk Raga Ginting. Sejenak sepasang mata De-

wi Kayangan mendelik memperhatikan. Serta 

merta perempuan bertubuh gemuk ini hentikan 

cekikikannya. Tangan kirinya bergerak menunjuk 

pada Bawuk Raga Ginting.

"Manusia pendek yang tak bisa ditebak 

usia dan laki perempuannya, bukankah kau yang 

bernama Bawuk Raga Ginting?" ujar Dewi Kayan-

gan. Lalu meneruskan. "Untuk apa kau ikut ber-

tegang-tegang di sini? Apakah kau juga kesasar 

seperti aku...?"

Paras muka Bawuk Raga Ginting merah 

mengelam. Pelipisnya bergerak-gerak dengan da-

gu sedikit terangkat. Walau jelas dia sangat ma-

rah dengan ucapan Dewi Kayangan, namun kare-

na tahu siapa adanya Dewi Kayangan, maka dia 

menindih amarahnya. Dan buru-buru sungging-

kan senyum seraya berkata. 

"Ucapmu benar. Aku tersasar! Bagaimana 

kalau kita meneruskan perjalanan bersama-

sama...?" meski bicara demikian, sebenarnya da-

lam hati Bawuk Raga Ginting berkata.

"Dia sangat berbahaya jika sampai turut 

campur masalah ini! Ketinggian ilmunya masih 

sulit untuk dijajari siapa pun saat ini! Aku harus 

bisa membujuknya agar dia meninggalkan tempat 

ini. Lalu aku akan kembali ke sini...."

Dewi Kayangan gelengkan kepala sambil

cekikikan kembali.

"Sungguh sayang sekali kau hidup selalu 

kesasar! Kudoakan semoga kau tidak mati dalam 

keadaan kesasar! Dan maaf, ajakanmu tak bisa 

kulayani, aku takut jadi orang kesasar! Hik.... 

Hik.... Hik...!"

Bawuk Raga Ginting laksana disengat 

mendengar ucapan Dewi Kayangan. Sementara 

Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari 

Timur tampak menahan tawa sedangkan Pende-

kar 108 geleng-gelengkan kepala.

Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan 

Bawuk Raga Ginting yang marah, Dewi Kayangan 

palingkan wajahnya dan pandangi Dewi Bunga Ib-

lis yang juga adalah adiknya sendiri. Tangannya 

kembali bergerak menunjuk dan berkata.

"Ini, satu lagi orang yang kesasar! Dasar 

anak salah asuhan, sudah diberitahu masih juga 

kesasar!" Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu 

meneruskan.

"Anak kesasar! Kalau kau tidak ingin terus 

kesasar lekas pergi dari sini! Ini tempatnya orang-

orang kesasar! Pergi cepat!"

Dewi Bunga Iblis luruskan kepalanya, na-

mun matanya tak memandang pada Dewi Kayan-

gan.

"Kali Nyamat!" panggil Dewi Bunga Iblis 

menyebut nama asli kakaknya. "Tutup mulut bu-

sukmu! Kau tak berhak memerintah aku! Di tem-

pat ini tak berlaku saudara. Kau tetap kau, dan 

aku adalah aku!"

Dewi Kayangan memperkeras tawa cekiki

kannya, hingga kepalanya manggut-manggut, 

membuat gemerincing anting-antingnya kembali 

terdengar.

"Mekar Sari!" Dewi Kayangan ikut-ikutan 

menyebut nama asli Dewi Bunga Iblis. "Rupanya 

kau telah kesasar terlalu dalam hingga tak dapat 

diselamatkan. Kalau memang demikian pendi-

rianmu, aku sebagai kakakmu hanya memohon 

semoga kau dilapangkan jalan!"

Habis berkata begitu, lagi-lagi tanpa mem-

pedulikan Dewi Bunga Iblis, ia melangkah ter-

bungkuk-bungkuk ke arah Aji. Kesempatan ini 

tampaknya digunakan oleh Dewi Bunga Iblis. 

Tanpa keluarkan suara perempuan berwajah pu-

tih ini segera hantamkan tangan kanannya ke 

arah Dewi Kayangan.

Yang diserang sejenak hentikan langkah-

nya. Kepalanya berpaling sebentar. Lalu seper-

tinya tidak sedang diserang, Dewi Kayangan te-

ruskan langkahnya. Namun begitu pukulan jarak 

jauh Dewi Bunga Iblis yang telah dialiri tenaga 

dalam penuh itu hampir melabrak tubuhnya, De-

wi Kayangan perdengarkan suara cekikikan 

lengking. Dan tiba-tiba sosoknya berputar lalu le-

nyap! Hingga serangan Dewi Bunga Iblis hanya 

menghajar udara kosong.

Selagi semua orang mencari-cari, tiba-tiba 

Dewi Kayangan telah berdiri dengan cekikikan di 

samping Pendekar Mata Keranjang. Tangan ki-

rinya tampak mengelus-elus sanggulan rambut-

nya. Namun mendadak tangan kanannya berge-

rak mengibas ke samping, arah di mana Dewi

Bunga Iblis berada.

Wuuusss!

Serangkum angin yang tak keluarkan sua-

ra melesat cepat. Hebatnya bersamaan dengan 

itu, suasana di tempat itu berubah panas!

Dewi Bunga Iblis cepat meloncat ke samp-

ing untuk menghindar. Rangkuman angin terus 

menerabas sebelum akhirnya menghajar sebuah 

pohon. Pohon itu kontan berderak dan tumbang.

"Dewi...," kata Aji seraya menjura hormat 

begitu Dewi Kayangan memandang ke arahnya.

Sejurus Dewi Kayangan pandangi murid 

Wong Agung ini dari ujung rambut hingga ujung 

kaki. Lalu pandangannya beralih pada Bidadari 

Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur. Ti-

ba-tiba Dewi Kayangan cekikikan lagi.

"Anak monyet! Aku heran. Meski kau anak 

monyet, tapi setiap kutemui selalu saja ada gadis-

gadisnya! Yang berbaju coklat kemarin dulu ma-

na...?"

Pendekar Mata Keranjang 108 gelengkan 

kepalanya. Tangan kanannya tetap mendekap 

pundak serta tangan kiri menekap pinggangnya. 

Seraya meringis menahan sakit dan panas, Aji 

berkata.

"Dewi. Kuharap kau sudi...," Pendekar 108 

tak meneruskan ucapannya karena dilihatnya 

Dewi Kayangan tampak melotot.

"Dasar anak mata perempuan! Bukankah 

kau telah diberi bekal oleh Tua Bangka Tak Ber-

kaki...?"

"Tua Bangga Tak Berkaki.... Hmm.... Yang

dimaksud tentu Gongging Baladewa!" pikir Pen-

dekar 108. Tiba-tiba Aji tepuk jidatnya, dan serta-

merta merogoh ke balik pakaiannya. Tak lama 

kemudian tangannya ditarik kembali dan dide-

katkan ke mulutnya. Dari tangan Pendekar Mata 

Keranjang tampak dua butiran kecil berwarna pu-

tih melesat masuk ke mulutnya.

"Kenapa aku bisa lupa begini rupa? Bu-

kankah jauh-jauh hari Gongging Baladewa dan 

Dewi Bayang-Bayang telah membekaliku dengan 

obat penawar racun.... Sialan benar!" rutuk Aji 

dalam hati seraya cengengesan, karena begitu bu-

tiran putih itu masuk, perlahan-lahan pula tu-

buhnya berubah normal kembali.

"He...! Mana dia...? Ditanya orang malah 

ketawa-ketawa!" bentak Dewi Kayangan.

"Dia...? Yang kau maksud dia siapa?" Aji 

balik bertanya.

"Gadis yang dulu bersamamu!"

"Ooohh...," Pendekar 108 melongo. "Dia te-

lah pergi...."

"Hmm.... Begitu? Yang itu siapa...?!" tanya 

Dewi Kayangan seraya arahkan pandangannya 

pada Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur. 

"Cerewet benar! Kenapa soal itu ditanya-

kan...," batin Pendekar 108 dongkol. Namun ia 

tak berani mengucapkannya. Yang keluar justru 

senyum di bibirnya.

"Mereka adalah gadis-gadis dari tanah se-

berang. Yang berbaju putih bernama Yuli Anasta-

sia Raka Rumpun Seruni. Yang berbaju hijau

bernama Siti Ngatimah Robiul Watu Geger...."

Mendengar kata-kata Aji, Bidadari Bertan-

gan Iblis tampak memberengut tak senang, seba-

liknya Singa Betina Dari Timur tampak palingkan 

wajahnya dengan menahan tawa. Dewi Kayangan 

tampak kerutkan dahi. Wajahnya lantas berpaling 

pada Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina 

Dari Timur.

"Hmm!... Gadis-gadis berparas ayu. 

Sayang, namanya terlalu kampungan.... Bagai-

mana kalau kuganti dengan...." Sejenak Dewi 

Kayangan berpikir, lalu melanjutkan. "Yanto dan 

satunya Ngatimun.... Bagus bukan...? Hik.... 

Hik.... Hik...!"

Bidadari Bertangan Iblis keluarkan dengu-

san perlahan. Wajahnya tampak mengelam. Ke-

dua tangannya tampak mengepal menahan ma-

rah. Sementara Singa Betina Dari Timur semakin 

terguncang-guncang bahunya menahan tawa.

"Setan alas! Tampaknya dua orang itu sa-

ma-sama sintingnya!" gumam Bidadari Bertangan 

Iblis dengan mata mendelik pada Pendekar Mata 

Keranjang 108. Pendekar Mata Keranjang sendiri 

terpingkal-pingkal seraya menahan pinggangnya.

"Kalian orang-orang sinting yang tak pan-

tas lagi diberi hak hidup!" tiba-tiba Dewi Bunga 

Iblis membentak.

"Betul! Bahkan hak mati pun sebenarnya 

terlalu baik!" Yang menyahut adalah Bawuk Raga 

Ginting. Habis berkata begitu, Bawuk Raga Gint-

ing melompat mendekati Dewi Bunga Iblis dan 

berbisik.

"Kau hadapi yang gemuk itu, aku akan me-

lunasi yang Mata Keranjang!" 

Dewi Bunga Iblis melirik. Dalam hati sebe-

narnya ia tak senang dengan usul Bawuk Raga 

Ginting. Namun setelah ditimbang-timbang ak-

hirnya ia berkata.

"Baik! Tapi ingat. Aku tak menginginkan 

pemuda itu tewas! Cukup kau ciderai saja! Kalau 

kau berbuat di luar itu, nyawamu akan kucabut 

sekalian! Kau mengerti...?!"

"Sombong benar kunyuk ini! Awas kau...!" 

ancam Bawuk Raga Ginting dalam hati. Namun 

tiba-tiba dahi Bawuk Raga Ginting mengernyit. 

"Hmm.... Apa yang mendasari hingga dia mence-

gahku untuk membunuh pemuda itu? Apakah 

benar yang dikatakan pemuda itu bahwa dia 

mencintainya...? Ataukah ada tujuan lain...? Aku 

jadi penasaran...," batin Bawuk Raga Ginting. 

Meski hatinya panas dengan ucapan Dewi Bunga 

Iblis, namun memperhitungkan bahwa dirinya tak 

mungkin menghadapi Dewi Kayangan, akhirnya 

perempuan pendek ini pun anggukan kepalanya.

Bersamaan dengan anggukan kepala Ba-

wuk Raga Ginting, Dewi Bunga Iblis segera me-

lompat ke arah Dewi Kayangan.

"Kali Nyamat! Malam ini kita tentukan sia-

pa yang paling berhak untuk hidup lebih pan-

jang!"

Dewi Kayangan menghela napas panjang. 

Sepasang matanya mengawasi lekat-lekat adik 

kandungnya. Namun tiba-tiba cekikikannya keluar lagi.


"Mekar Sari! Sebelum segalanya terjadi, ku-

beritahukan padamu. Dengarkan baik-baik! Arca 

Dewi Bumi hanya dapat diambil dan diwarisi oleh 

satu orang! Dan kau tahu siapa adanya orang itu! 

Jadi jangan kau terlalu ambisi! Terimalah apa 

yang ada! Kembalilah ke jalan terang...."

Dewi Bunga Iblis mendengus keras. Se-

mentara Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Beti-

na Dari Timur saling pandang satu sama lain.

"Ternyata dugaan kita jauh melesat. Tokoh-

tokoh di sini telah mengetahui rahasia arca itu le-

bih daripada yang kita ketahui. Tak kusangka...," 

kata Bidadari Bertangan Iblis.

Singa Betina Dari Timur anggukan kepa-

lanya, lalu berbisik.

"Bagaimana tindakan kita sekarang...?"

"Kita tunggu. Mungkin saja kata-kata pe-

rempuan gemuk itu hanyalah guyonan belaka. 

Kau lihat, sedari tadi omongannya tidak pernah 

sungguh-sungguh!"

Sementara itu di dalam hati Bawuk Raga 

Ginting timbul berbagai dugaan begitu mendengar 

ucapan Dewi Kayangan.

"Hanya seorang...? Dewi Bunga Iblis ka-

tanya tahu siapa orang itu.... Hmm.... Apakah 

pemuda ini...? Bukankah Dewi Bunga Iblis men-

cegahku untuk membunuh pemuda itu...? Benar 

kemungkinan begitu...."

Selagi orang-orang dilanda pikiran masing-

masing, Dewi Bunga Iblis tiba-tiba jejakkan ka-

kinya ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar 

bentakan keras. Tubuhnya terlihat melenting keudara. Dari atas udara kedua tangannya disatu-

kan dan dihantamkan sekaligus ke arah Dewi 

Kayangan.

Weerrr!

Hamparan angin deras serta gelombang 

asap hitam segera mengepung tempat itu.

Dewi Kayangan terlihat mengerjap-

ngerjapkan sepasang matanya yang besar. Tu-

buhnya tiba-tiba doyong ke samping kanan sea-

kan hendak jatuh terjerembab. Namun sejengkal 

lagi tubuh gemuk itu menghantam tanah, kaki 

kanannya menekan sementara tangan kanannya 

juga menyentak ke atas tanah. Terjadilah hal 

yang luar biasa.

Tubuh besar Dewi Kayangan tiba-tiba 

mencelat ringan ke udara menerobos hamparan 

asap hitam. Dan sesaat kemudian di udara ter-

dengar bentakan-bentakan tinggi dari mulut Dewi 

Bunga Iblis, yang diseling cekikikan Dewi Kayan-

gan.

Tatkala semua orang mendongak, samar-

samar terlihat Dewi Kayangan putar-putar selen-

dang merahnya yang ternyata telah melilit seku-

jur tubuh Dewi Bunga Iblis. Dan terlihat pula ba-

gaimana Dewi Bunga Iblis meronta-ronta seraya 

kerahkan tenaga dalam untuk melepaskan diri, 

namun rupanya tak berhasil. Malah semakin ke-

ras rontaan Dewi Bunga Iblis, lilitan selendang 

merah Dewi Kayangan semakin ketat membelit.

Seakan ingin mempertontonkan pada orang 

di bawahnya, Dewi Kayangan tiba-tiba lejangkan 

sepasang kakinya hingga pakaian yang dikena

kannya berkelebat. Anehnya, begitu pakaian Dewi 

Kayangan menggelepar, asap hitam yang menu-

tupi tempat itu lenyap sirna! Hingga kini jelas ter-

lihat apa yang terjadi di udara.

Sekujur tubuh Dewi Bunga Iblis sudah 

tampak basah kuyup, malah kulit putih penutup 

wajahnya pun mengelupas dan jatuh. Namun 

Dewi Bunga Iblis tampaknya tak mau menyerah 

begitu saja. Sepasang matanya dia pejamkan, na-

pasnya dia tahan hingga beberapa saat lamanya. 

Lalu dengan membentak garang, napasnya ia 

hembuskan keras-keras. 

Bret! Brettt!

Selendang merah milik Dewi Kayangan 

yang melilit tubuh Dewi Bunga Iblis perlahan-

lahan robek. Suara cekikikan Dewi Kayangan ti-

ba-tiba lenyap. Tubuhnya yang gemuk besar tiba-

tiba membuat gerakan jumpalitan, dan tahu-tahu 

sosoknya telah menggelinding cepat di atas selen-

dangnya. Semua orang di bawah, juga Dewi Bun-

ga Iblis menduga jika Dewi Kayangan pasti akan 

langsung menghajar dengan hantamkan tangan 

atau kakinya ke arah Dewi Bunga Iblis. Namun 

dugaan itu meleset. Karena tiba-tiba saja Dewi 

Kayangan hentikan gelindingan tubuhnya. Kedua 

kakinya terlihat melejang ke atas, lalu serta-merta 

dihujamkan pada selendangnya. Dewi Kayangan 

tampak berdiri di atas selendang! 

Bet! Bettt!

Anehnya, selendang itu tidak robek terkena 

hantaman kaki Dewi Kayangan. Malah kini men-

geras dan melayang deras ke bawah dengan Dewi

Kayangan terdengar cekikikan sambil berdiri dan 

bergoyang-goyang di atas selendang!

Di sebelah ujung, melihat tubuhnya menu-

kik deras, Dewi Bunga Iblis sekali lagi mencoba 

kerahkan tenaga dalamnya, namun tak berhasil. 

Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya menghujam 

deras di atas tanah.

Belum lagi Dewi Bunga Iblis merangkak 

bangkit, Dewi Kayangan telah melesat seraya ce-

kikikan. Karena tubuh Dewi Bunga Iblis masih 

terlilit selendang, maka bersamaan dengan mele-

satnya tubuh Dewi Kayangan, tubuh Dewi Bunga 

Iblis pun ikut terseret.

"Kau memang harus dihukum biar tak ke-

sasar lagi!" kata Dewi Kayangan seraya hentikan 

lesatannya di dekat sebatang pohon. Setelah meli-

rik sebentar, tubuhnya kembali melesat. Lagi-lagi 

tubuh Dewi Bunga Iblis ikut tertarik.

Dengan gerakan yang sulit diikuti pandan-

gan mata, Dewi Kayangan berputar mengelilingi 

batang pohon, dan tahu-tahu Dewi Bunga Iblis te-

lah tersandar duduk di batang pohon dengan tu-

buh terlilit selendang yang dibebatkan pada ba-

tang pohon!

"Jahanam! Lepaskan diriku! Kubunuh 

kau!" teriak Dewi Bunga Iblis. Namun ia hanya 

bisa berteriak, karena tubuhnya tak bisa digerak-

kan lagi!

Dewi Kayangan pandangi sejenak adik kan-

dungnya itu. Tangannya bergerak mengelus sang-

gul rambutnya, lalu berkata.

"Kau harus saksikan dengan diam bahwa

segala perkataanku tadi benar! Arca itu hanya 

dapat diambil dan diwarisi oleh seorang! Bukti-

kan!"

Di seberang, melihat hal yang menimpa 

Dewi Bunga Iblis, Bawuk Raga Ginting tampak 

ciut nyalinya. Namun karena dia telah berhada-

pan dengan Pendekar Mata Keranjang 108, maka 

perasaan kecut itu ia tepiskan.

Didahului bentakan garang, Bawuk Raga 

Ginting segera melesat ke udara. Satu tombak di 

udara, sosoknya tiba-tiba berputar dan dengan 

gerak cepat, tubuhnya melesat dengan kaki lurus 

ke arah Pendekar 108.

Aji jejakkan sepasang kakinya ke atas ta-

nah. Tubuhnya melesat menyongsong tubuh Ba-

wuk Raga Ginting.

Prakkk!

Terdengar benturan keras tatkala sepasang 

kaki bentrok di udara. Karena Bawuk Raga Gint-

ing telah terluka, maka tenaga yang dikeluarkan-

nya tidaklah sedemikian kuat, hingga begitu ter-

jadi benturan, tubuhnya melesat deras ke bela-

kang. Dan terkapar di atas tanah. Sementara 

Pendekar 108 juga mental, namun dia segera da-

pat menguasai tubuh, hingga dengan membuat 

dua kali jungkir balik, dia dapat mendarat dengan 

kaki kokoh.

"Jahanam kerdil!" maki Bawuk Raga Gint-

ing seraya merangkak bangkit. Namun baru saja 

berdiri, Pendekar 108 telah menggebraknya den-

gan sapuan kaki kanan menyilang.

Sambil menindih rasa terkejut dan marah,

Bawuk Raga Ginting cepat tarik tubuhnya sedikit 

ke belakang, hingga sapuan kaki kanan Aji lewat 

di depan dadanya. Namun tatkala Aji putar tu-

buhnya dan sapukan kembali kaki kanannya se-

raya ajukan tubuh ke depan, Bawuk Raga Ginting 

tak dapat lagi menghindar, hingga....

Desss!

Bawuk Raga Ginting melenguh keras. So-

soknya, mental ke samping dan bergulingan di 

atas tanah.

Bawuk Raga Ginting tampaknya tak mau 

dipecundangi. Meski merasakan sekujur tubuh-

nya sakit, dia cepat bangun. Namun manusia ce-

bol ini melengak kaget. Di belakangnya telah ber-

diri Dewi Kayangan sambil cekikikan. Sepasang 

mata Bawuk Raga Ginting melotot besar, tubuh-

nya bergetar, tangannya gemetar, bukan karena 

marah melihat Dewi Kayangan, namun justru ka-

rena sambil cekikikan Dewi Kayangan entah dari 

mana datangnya telah memegang rotan dan ber-

gerak cepat dengan melilitkan rotan hutan itu pa-

da tubuh Bawuk Raga Ginting yang baru saja 

bangkit.

"Keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!" 

bentak Bawuk Raga Ginting seraya bergulingan 

dan me-ronta-ronta. Namun meski hanya seutas 

rotan, Bawuk Raga Ginting tak mampu untuk me-

lepaskan diri. Bahkan meski Bawuk Raga Ginting 

telah kerahkan tenaga dalamnya!

Sambil cekikikan Dewi Kayangan melang-

kah ke arah Bawuk Raga Ginting.

"Kau tadi bilang kesasar, sekarang akan

kutunjukkan jalan yang benar agar kau tak kesa-

sar lagi!" kata Dewi Kayangan sambil gerakan ka-

ki kanannya menyapu tubuh Bawuk Raga Gint-

ing.

Meski gerakan kaki Dewi Kayangan terlihat 

pelan, hebatnya saat itu juga Bawuk Raga Ginting 

memekik. Tubuhnya melayang dan bergelimpan-

gan dekat dengan tempat Dewi Bunga Iblis!

Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya 

lalu melangkah ke arah Dewi Kayangan. Tapi ba-

ru saja dua langkahkan kaki, terdengar suara 

orang menegur disusul berkelebatnya dua sosok 

bayangan.



TUJUH


MALAM ini kita lanjutkan perhitungan 

yang tertunda!" bentak sosok di hadapan Pende-

kar Mata Keranjang 108 sebelah kanan. Dia ada-

lah seorang perempuan setengah baya. Meski de-

mikian, paras wajahnya masih menampakkan ke-

cantikan. Rambutnya panjang, sepasang matanya 

bulat tajam. Pada salah satu cuping hidungnya 

terlihat sebuah cincin berwarna kekuningan.

Sementara di sebelah perempuan ini tam-

pak seorang laki-laki juga berusia setengah baya. 

Rambutnya panjang namun telah diwarnai putih. 

Sepasang matanya juga tajam.

"Dayang Naga Puspa! Jogaskara!" gumam 

Pendekar 108 begitu mengenali siapa adanya dua 

sosok di hadapannya.

"Bagus! Ingatanmu masih encer. Berarti 

kau juga tak lupa akan masalah kita!" kata pe-

rempuan yang hidung sebelahnya terlingkari cin-

cin, dan bukan lain memang Dayang Naga Puspa.

"Dan masalah itu harus tuntas malam ini 

juga!" sambung laki-laki di sebelah Dayang Naga 

Puspa yang tak lain memang Jogaskara adanya.

Dua orang ini adalah murid Dadung Ran-

tak, seorang tokoh silat berilmu tinggi yang ber-

mukim di Lembah Rawa Buntek (Tentang Dayang 

Naga Puspa dan Jogaskara silakan baca serial 

Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode 

:"Dayang Naga Puspa").

"Hmm.... Rahasia tentang Arca Dewi Bumi 

memang telah diketahui banyak orang. Aku harus 

bisa menyelamatkannya dari tangan orang-orang 

tak bertanggung jawab!" kata Pendekar 108 dalam 

hati seraya memperhatikan silih berganti pada 

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.

Sementara itu di sebelah belakang, melihat 

kedatangan Dayang Naga Puspa dan Jogaskara, 

Bidadari Bertangan Iblis tampak sedikit terkejut. 

Sebelum ia buka suara, Singa Betina Dari Timur 

telah berkata dahulu.

"Tampaknya kegegeran di tempat ini tak 

akan cepat selesai!"

"Benar! Tapi kita harus tetap menunggu. 

Karena selain bisa mendapatkan kejelasan ten-

tang arca itu, siapa tahu nasib baik ada pada ki-

ta. Kita harus pandai-pandai memanfaatkan situ-

asi!" ujar Bidadari Bertangan Iblis dengan mem-

perhatikan Dayang Naga Puspa serta Jogaskara.

Singa Betina Dari Timur menghela napas 

panjang. Wajahnya jelas menampak kekecewaan. 

Dia berpaling pada Bidadari Bertangan Iblis. Mu-

lutnya membuka hendak mengucapkan sesuatu, 

tapi sebelum ucapannya keluar, Bidadari Bertan-

gan Iblis telah berkata.

"Aku tahu, sebenarnya kau tidak setuju 

dengan jalan pikiranku. Daripada hal itu menjadi 

beban buatmu, kalau kau ingin pulang dahulu, 

pergilah!"

Singa Betina dari Timur kembali hanya 

menarik napas panjang. Dalam benak gadis ini 

dibuncah perasaan bingung. Dia ingin meninggal-

kan tempat itu karena sadar jika tak mungkin 

mampu menghadapi orang-orang di tempat itu, 

namun di lain sisi dia mengkhawatirkan kesela-

matan Bidadari Bertangan Iblis, saudara sepergu-

ruannya. Juga, sebenarnya dia masih ingin men-

genali Pendekar Mata Keranjang 108 lebih jauh, 

karena dia tak dapat mendustai dirinya sendiri, 

bahwa dia mulai menyukai pemuda itu.

Sedangkan Dewi Bunga Iblis tampak men-

delik melihat kedatangan Dayang Naga Puspa dan 

Jogaskara.

"Betina keparat itu muncul juga! Hmm... 

Siapa laki-laki di sampingnya? Sepertinya aku ba-

ru pertama kali ini melihatnya! Seandainya aku 

bisa bergerak, akan kuhadapi betina jahanam 

itu!" batin Dewi Bunga iblis sambil melotot. Pe-

rempuan ini memang punya dendam pada 

Dayang Naga Puspa, karena dia pernah dipecun-

dangi pada beberapa waktu yang lalu.

Hanya Bawuk Raga Ginting yang tampak-

nya belum mengenal Dayang Naga Puspa, karena 

meski telah mengingat-ingat namun parasnya 

masih menunjukkan ketidaktahuan.

"Hmm.... Mungkin karena aku lama tak 

muncul ke rimba persilatan yang membuatku tak 

bisa mengenali siapa adanya dua orang ini! Tapi 

harapanku semoga mereka dari golonganku, 

hingga bisa kuajak kompromi dan melepaskan di-

riku dari rotan tua jahanam itu!" kata Bawuk Ra-

ga Ginting.

Selagi orang-orang di situ dibungkus den-

gan perasaan masing-masing, tiba-tiba Dewi 

Kayangan keluarkan tawa cekikikannya. Lalu 

berkata.

"Tampak-tampaknya malam ini banyak se-

kali orang kesasar.... Hik.... Hik.... Hik...! Apakah 

mereka sudah pada buta, padahal meski malam, 

sang rembulan tetap bersinar terang walau war-

nanya merah.... Hik.... Hik.... Hik...!"

Dayang Naga Puspa menoleh. Bibirnya 

sunggingkan senyum. Lalu mendekatkan kepa-

lanya pada Jogaskara dan berbisik.

"Kakang! Malam ini kita beruntung sekali. 

Sekali tepuk dua ikan besar tertangkap!"

"Maksudmu...?" tanya Jogaskara tak men-

gerti arah pembicaraan adik seperguruannya.

"Kau lihat perempuan gembrot itu. Dialah 

Dewi Kayangan, orang yang tahu persis tentang 

rahasia Arca Dewi Bumi. Sementara pemuda itu 

adalah satu-satunya orang yang kelak dapat 

mengambil arca itu. Kalau kita dapat menakluk

kan mereka berdua malam ini, Arca Dewi Bumi 

pasti jatuh ke tangan kita!"

Jogaskara manggut-manggut. Lalu alihkan 

pandangannya pada Dewi Kayangan. Dahinya se-

dikit mengernyit. Namun tiba-tiba saja sepasang 

matanya melotot besar, bibirnya sunggingkan se-

nyum. Bukan karena melihat penampilan Dewi 

Kayangan, tapi justru karena melihat Bidadari 

Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur.

"Hmm.... Gadis-gadis cantik dengan poton-

gan tubuh menggemaskan. Sudah pasti mereka 

menjanjikan kehangatan tersendiri di atas tempat 

tidur. Mudah-mudahan masalah di tempat ini ce-

pat selesai. Aku sudah tak sabar jika melihat po-

tongan tubuh seperti mereka...," kata Jogaskara 

dalam hati tanpa kesiap memandang pada Bida-

dari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur. 

Yang dipandangi serta-merta buang muka mas-

ing-masing dan memandang jurusan lain. Hal ini 

membuat Jogaskara usap-usap janggutnya sam-

bil manggut-manggut dengan pandangan penuh 

arti.

"Kakang! Kau hadapi pemuda itu! Aku yang 

akan menggulung perempuan gembrot itu! Ingat, 

kalau bisa jangan sampai tewas! Kita bikin seperti 

dua orang di batang pohon itu!" kata Dayang Na-

ga Puspa seraya arahkan pandangannya pada 

Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga Ginting.

Ketika pandangan Dayang Naga Puspa ben-

trok dengan mata Dewi Bunga Iblis, Dewi Bunga 

Iblis tampak berpaling dan meludah ke tanah. 

Sementara Dayang Naga Puspa terlihat tersenyum

sinis.

Mendengar bisikan Dayang Naga Puspa, 

Jogaskara anggukan kepala. Dan bersamaan itu, 

Jogaskara segera meloncat ke arah Pendekar 108. 

Sementara Dayang Naga Puspa putar tubuhnya 

menghadap Dewi Kayangan.

"Bersiaplah kunyuk tengik!" bentak Jo-

gaskara seraya angkat kedua tangannya dan 

langsung dihantamkan sekaligus pada Pendekar 

108.

Wuuuttt!

Serangkum angin laksana gelombang pra-

hara melesat cepat ke arah Pendekar 108. Bukan 

hanya membawa suara menggemuruh, namun ju-

ga menebarkan hawa panas menyengat!

Aji tarik tangannya ke belakang. Kedua 

tangannya ditarik sedikit ke belakang, dan serta-

merta didorong ke depan.

Weerrr!

Blaaammm!

Terdengar dentuman dahsyat tatkala ge-

lombang angin yang keluar dari tangan Aji mela-

brak serangan Jogaskara. Meski serangan mereka 

bentrok di udara, namun karena serangan itu te-

lah dialiri tenaga dalam tinggi, membuat masing-

masing orang ini sama-sama mencelat ke bela-

kang! Setelah sama-sama membuat gerakan salto 

dua kali, kedua orang ini mendarat dengan kaki 

kokoh.

Namun tampaknya Jogaskara ingin segera 

menyudahi pertarungan ini dengan cepat, karena 

begitu kakinya mendarat, dia segera menjejakkan

kembali. Tubuhnya melesat cepat dan tahu-tahu 

sudah satu langkah di hadapan Pendekar 108.

Murid Wong Agung hanya melihat keleba-

tan warna hitam disertai suara menderu. Tahu-

tahu kedua tangan Jogaskara telah berkelebat di-

depan kepalanya!

Weettt! Weeetttt!

Pendekar 108 angkat kedua tangannya dan 

dihantamkan menyilang di depan kepala dan da-

danya. 

Des! Desss!

Dua pasang tangan beradu di udara kelua-

rkan suara keras. Jogaskara mengeluarkan se-

ruan tertahan sambil melompat mundur. Kesem-

patan ini tak disia-siakan oleh Aji. Murid Wong 

Agung ini segera melompat ke depan dan tangan 

kanannya diayunkan ke arah dada Jogaskara dari 

arah bawah.

Desss!

Jogaskara terhuyung-huyung ke belakang 

dengan menahan dadanya. Dan belum sempat dia 

kuasai diri, Aji telah terjangkan tumit ke dadanya!

Tubuh Jogaskara oleng sesaat lalu roboh di 

atas tanah! Untuk beberapa saat lamanya laki-

laki ini diam tak bergerak-gerak. Dayang Naga 

Puspa yang siap akan menghadapi Dewi Kayan-

gan urungkan niat. Dia berpaling pada Jogaskara. 

Wajahnya tampak cemas dengan keadaan kakak 

seperguruannya itu. Namun, begitu kakinya hen-

dak melangkah mendekati, Jogaskara tiba-tiba 

melenting ke udara.

Di atas udara, Jogaskara putar tubuhnya,

lalu menukik ke arah Pendekar 108. Di tangan 

kanannya tampak keris yang memancarkan ca-

haya hitam berkilat! Dan diputar-putar hingga ke-

jap itu juga terlihat kilatan-kilatan warna hitam 

membersit ke sana kemari disertai suara mende-

sis-desis!

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik 

kipas ungu dari balik pakaiannya, lalu melompat 

mundur tiga tindak. Murid Wong Agung sadar jika 

sampai salah membuat gerakan atau terlambat 

bergerak tak mustahil keris di tangan Jogaskara 

akan dapat menembus tubuhnya.

Sadar akan hal itu, Pendekar Mata Keran-

jang pun segera lesatkan diri ke udara. Di udara, 

kipasnya dia tebarkan menyamping sementara 

tangan kirinya dia hatamkan ke depan.

Sinar putih berkilau membentuk kipas se-

gera menghampar disertai hawa panas serta an-

gin dahsyat yang keluarkan suara menggemuruh. 

Hingga saat itu juga tempat itu menjadi terang 

benderang dan panas!

Melihat hal itu, Jogaskara segera lipat gan-

dakan tenaga dalamnya, lalu membentak garang 

dan melesat menerobos kilauan cahaya putih! 

Tangan kanannya memutar keris sementara tan-

gan kirinya mendorong! 

Blarrr! Prakkk!

Yang terdengar selanjutnya adalah ledakan 

dahsyat yang disusul dengan suara beradunya 

dua senjata. Tempat itu bergetar hebat laksana 

dilanda gempa. Tanahnya berhamburan ke udara.

Saat tanah yang menutup udara surut, ter

lihat Pendekar 108 jatuh terduduk di atas tanah, 

sementara Jogaskara terhuyung-huyung. Namun 

kaki kanannya tampak goyah dan tak lama ke-

mudian dia pun jatuh bersimpuh!

Melihat hal ini Dewi Kayangan keluarkan 

tawa cekikikan, sementara Dayang Naga Puspa 

mendengus. Dewi Bunga Iblis melotot tak berke-

dip, sedangkan Bawuk Raga Ginting geleng-

gelengkan kepalanya. 

Yang paling cemas melihat keadaan ini 

adalah Singa Betina Dari Timur. Meski tidak 

mengatakan, paras wajah gadis ini nampak ce-

mas, malah tatkala Pendekar 108 jatuh, dari mu-

lutnya terdengar jeritan kecil. Namun gadis ini 

cepat takupkan telapak tangannya tatkala Bida-

dari Bertangan Iblis berpaling dengan wajah 

memberengut, namun tak mengeluarkan kata-

kata.

Di depan, begitu jatuh bersimpuh Jogaska-

ra cepat bangkit. Meski lengannya terasa hendak 

terpenggal namun tak ia rasakan. Laki-laki ini se-

gera pula berkelebat. Keris di tangannya kembali 

diputar. Karena kini dengan pengerahan tenaga 

dalam penuh, maka keris hitam itu seakan-akan 

lenyap! Yang terlihat kemudian adalah bersitan-

bersitan kilat hitam disertai suara mendesis-desis 

angker!

Pendekar 108 tak tinggal diam. Sambil ke-

rahkan seluruh tenaga dalamnya, kipasnya ia ki-

baskan kembali sementara tangan kirinya meng-

hantam! 

Hebatnya, Jogaskara seakan tak terpenga

ruh dengan serangan yang dilancarkan Aji. Tu-

buhnya seakan dibungkus dengan kilatan hitam 

hingga dia bisa terus menerobos.

Murid Wong Agung terkejut bukan alang 

kepalang. Dan belum sempat untuk lancarkan se-

rangan kembali, Jogaskara telah ada di hadapan-

nya. Keris di tangan kanannya kembali mengge-

brak dari arah samping kiri, sementara tangan ki-

ri menghantam dari samping kanan. 

Dengan menekan rasa terkejut, Pendekar 

Mata Keranjang membuat gerakan miringkan tu-

buh ke samping kanan untuk menghindar dari 

sabetan keris. Tangan kanannya diangkat untuk 

menangkis hantaman tangan Jogaskara. Namun 

Aji tertipu. Begitu keris lolos menghajar sasaran, 

Jogaskara urungkan niat untuk hantamkan tan-

gan kirinya. Yang dilakukan laki-laki itu justru 

angkat kaki kanannya dan dihujamkan lurus ke 

lambung Pendekar 108. Aji masih bisa mengelak 

dengan tarik lambungnya ke belakang, namun hal 

itu membuat anggota tubuh bagian atasnya maju 

ke depan.

Hal itu segera dimanfaatkan Jogaskara 

dengan sabetkan kembali kerisnya! Walau Aji ma-

sih bisa mengelak lagi, namun ujung keris yang 

berbentuk tumpul itu masih sempat menyabet 

lengan kanan Pendekar 108. Lengan kanan Pen-

dekar Mata Keranjang serta-merta mengeluarkan 

darah hitam, dan asap hitam juga tampak men-

gepul. Paras murid Wong Agung kontan berubah 

pucat pasi. Wajahnya meringis menahan sakit 

dan panas yang mulai menjalar ke seluruh tu

buhnya.

Jogaskara dongakkan kepala lalu kelua-

rkan tawa bergerai-gerai. 

"Malam ini nyawamu tak akan bisa disela-

matkan lagi, Anak Keparat!" 

Pendekar 108 kertakkan rahang. Sepasang 

matanya berkilat-kilat pandangi Jogaskara. "Ba-

gaimanapun juga aku harus bertahan! Arca itu ti-

dak boleh jatuh ke tangan orang-orang sesat! 

Nyawa pun akan kupertahankan!" batin Aji, lalu 

alirkan tenaga dalamnya ke bagian lengan yang 

terluka. Namun murid Wong Agung ini terkejut, 

karena begitu melirik lengannya, kulitnya telah 

berwarna hitam dan menggelembung besar! Tu-

buhnya pun terasa semakin panas, hingga meski 

tidak membuat gerakan, bintik-bintik keringat 

meleleh dari sekujur tubuhnya.

Namun rupanya Pendekar 108 tidak lagi 

memikirkan keadaan tubuhnya, yang dia ta-

kutkan sekarang adalah jatuhnya Arca Dewi Bu-

mi ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung 

jawab. Maka seraya menahan sakit dan panas di 

sekujur tubuhnya, murid Wong Agung ini segera 

melesat ke depan seraya lancarkan serangan!

Jogaskara masih tegak tertawa, namun ti-

ba-tiba suara tawanya lenyap. Tubuhnya melent-

ing ke udara. Dari udara tangan kirinya meng-

hantam kirimkan serangan jarak jauh menangkis 

serangan Aji ternyata telah keluarkan jurus 'Bayu 

Cakra Buana'.

Tempat itu kembali laksana dilanda gempa. 

Hawa panas semakin menebar! Sementara kilatan-kilatan sinar hitam terus membersit ke sana 

kemari seakan tiada habis-habisnya.

"Jogaskara...! Malam ini nyawamulah yang 

tidak bisa diselamatkan!" teriak Aji, lalu putar-

putar kipasnya. Hingga saat itu juga tempat itu 

dibungkus asap putih! Saat itulah Pendekar 108 

segera hantamkan tangan kirinya beberapa kali 

ke arah Jogaskara.

Karena tertutup asap putih, Jogaskara 

hanya mendengar menderunya angin kencang. 

Namun dia waspada. Segera dia membuat gera-

kan menghindar dengan jumpalitan di udara.

Aji lipat gandakan serangannya dengan 

hantamkan tangan kirinya. Sementara Jogaskara 

putar kembali kerisnya seraya sentakkan tangan 

kirinya.

Blammm!

Tubuh Jogaskara nampak melayang turun 

saat terjadi bentrok pukulan. Saat itulah Pende-

kar 108 melompat menerobos asap putih. Murid 

Wong Agung samar-samar dapat menangkap so-

sok Jogaskara yang terhuyung-huyung di balik 

asap putih. Dan kesempatan ini tak disia-siakan.

Sambil melompat Aji lipat kipas ungunya, 

tangan kanannya mengepal, sedang kaki kanan-

nya lurus.

Melihat kelebatan lawan, Jogaskara nam-

pak terpengaruh. Namun sebelum dia bisa mem-

buat gerakan untuk menangkis, ujung kipas Pen-

dekar Mata Keranjang 108 telah menghantam 

lambungnya. Bukan hanya sampai di situ, begitu 

Jogaskara meraung keras sambil memegangi

lambungnya, kaki kanan Pendekar 108 mengha-

jar bahunya!

Jogaskara kembali keluarkan pekikan 

lengking. Tubuhnya terputar dan terbanting keras 

ke atas tanah! Lambungnya tampak keluarkan 

darah. Demikian pula mulut dan hidungnya. Ke-

ris hitam di tangan kanannya mencelat! 

Namun bersamaan dengan robohnya Jo-

gaskara, Aji merasa kedua kakinya bergetar he-

bat. Sekujur tubuhnya makin panas. Matanya 

berkunang-kunang. Dan tak lama kemudian, lu-

tut murid Wong Agung ini pun terlihat menekuk, 

tubuhnya melorot lalu jatuh terduduk!

Saat demikian, tiba-tiba Dayang Naga Pus-

pa melirik, lalu berkelebat dan kirimkan sapuan 

kaki kiri ke arah Pendekar 108! Perempuan ini 

tampaknya sudah tak bisa menguasai kemarahan 

melihat saudara seperguruannya bisa dibuat ro-

boh bersimbah darah. Hingga dia melupakan pe-

sannya sendiri agar Jogaskara tak membunuh 

Pendekar Mata Keranjang.



DELAPAN


HIK.... Hik.... Hik...! Manusia kesasar ter-

nyata bukan hanya mata dan hatinya yang tidak 

bisa melihat, tapi juga kakinya!" teriak Dewi 

Kayangan seraya cekikikan dan lejangkan ka-

kinya ke depan, ke arah Dayang Naga Puspa yang 

sedang lakukan tendangan ke arah Pendekar Mata Keranjang.

Meski hanya melejang, namun saat itu juga 

serangkum angin deras menghampar menyambar 

ke arah Dayang Naga Puspa.

Dayang Naga Puspa tak peduli, dia te-

ruskan tendangan kakinya ke arah Pendekar 108 

yang sedang jatuh terduduk. Namun setengah 

depa lagi kaki Dayang Naga Puspa menghajar da-

da Aji, perempuan ini terlengak kaget. Kakinya te-

rasa tertahan dan melenceng, hingga menghajar 

udara kosong di depan Pendekar 108.

"Bangsat tengik!" teriak Dayang Naga Pus-

pa marah mengetahui tendangannya melenceng. 

Serta-merta perempuan ini melesat ke arah Dewi 

Kayangan. Sebenarnya dia tak hendak melum-

puhkan Pendekar 108 yang telah merobohkan 

kakak seperguruannya. Namun karena dihadang 

oleh sambaran angin yang keluar dari lejangan 

kaki Dewi Kayangan, maka segala kemarahannya 

kini ditumpahkan pada Dewi Kayangan. Hingga 

saat sampai di hadapan Dewi Kayangan, Dayang 

Naga Puspa telah mulai serangan dengan han-

tamkan tangan kanannya ke arah kepala serta 

susupkan tangan kiri mengarah ke perut Dewi 

Kayangan.

Di hadapan Dayang Naga Puspa, Dewi 

Kayangan tampak ulurkan tangan kanannya, se-

mentara tangan kirinya melambai dari arah ba-

wah. Sebenarnya Dewi Kayangan ingin mencekal 

tangan kanan dan kiri Dayang Naga Puspa yang 

lancarkan pukulan padanya. Namun nyatanya 

Dayang Naga Puspa tahu akan hal itu, hingga se-

cepat kilat Dayang Naga Puspa tarik pulang kembali dua tangannya. Dan bersamaan dengan itu 

kaki kanannya bergerak menyusur tanah meng-

hantam kaki Dewi Kayangan. 

Blekkk!

Tubuh gemuk besar Dewi Kayangan am-

bruk ke atas tanah. Anehnya, begitu tubuhnya 

ambruk, bukan lenguhan yang terdengar dari mu-

lutnya, melainkan suara cekikikannya!

Paras muka Dayang Naga Puspa merah 

mengelam merasa tendangannya tidak dirasakan 

oleh Dewi Kayangan. Diam-diam dia kerahkan te-

naga dalamnya, lalu mendekat ke arah Dewi 

Kayangan yang masih belum bangun.

"Malam ini cekikikanmu akan lenyap sela-

manya! Kau bernasib sial hingga bertemu dengan 

Dayang Naga Puspa!"

Habis berkata begitu, Dayang Naga Puspa 

lentingkan tubuhnya setengah tombak. Disertai 

bentakan keras, kedua kakinya langsung meng-

hantam bersamaan!

Des! Desss!

Karena hujaman kaki Dayang Naga Puspa 

telah teraliri tenaga dalam, maka tak ampun lagi 

tubuh Dewi Kayangan terlihat melenting jauh se-

belum akhirnya ambruk kembali dan berguling-

guling di atas tanah laksana besi bundar!

Namun semua mata yang memandang se-

jenak tersirap, karena begitu tubuhnya berhenti, 

Dewi Kayangan langsung bangkit duduk. Sepa-

sang matanya yang besar, liar memandang berke-

liling. Dan ketika matanya berujung pada Dayang 

Naga Puspa, cekikikannya kembali terdengar!

Dayang Naga Puspa menggereng keras. Ge-

rahamnya beradu keluarkan suara gemeletak. Pe-

lipis kiri kanannya bergerak-gerak, dahinya 

mengkerut. Kemarahan perempuan itu tampak-

nya sudah setinggi gunung.

"Keparat sundal! Punya ilmu kebal apa dia? 

Pukulanku sepertinya tidak membawa pengaruh 

apa-apa! Hmm.... Seandainya aku tidak memerlu-

kannya, sudah kutembus perutnya dengan tom-

bakku!" batin Dayang Naga Puspa seraya meraba 

bagian pinggangnya di mana tombak miliknya 

tersimpan.

Dayang Naga Puspa lantas terlihat pejam-

kan sepasang matanya, mulutnya komat-kamit, 

tenaga dalamnya ia lipat gandakan. Dan selagi 

Dewi Kayangan masih tenggelam dengan cekiki-

kannya, mendadak Dayang Naga Puspa berkele-

bat dan hantamkan kedua tangannya ke arah ke-

pala Dewi Kayangan.

Bet! Bettt!

Sinar hitam melesat mendahului sebelum 

kedua tangan itu sendiri menghajar kepala Dewi 

Kayangan.

Suara cekikikan Dewi Kayangan lenyap se-

ketika, dan bersamaan dengan itu dari mulutnya 

terdengar suara 'aduh', membuat semua mata 

orang di situ melebar ingin melihat apa yang ter-

jadi.

Semua mata yang melihat makin membe-

liak besar, karena dugaan mereka bahwa kepala 

Dewi Kayangan akan dibuat pecah meleset sama 

sekali. Karena bersamaan dengan terdengarnya

suara 'aduh' sosok gemuk Dewi Kayangan rebah 

ke belakang hingga tubuhnya sejajar tanah, 

membuat hantaman kedua tangan Dayang Naga 

Puspa melabrak angin.

Saat itulah, dengan gerakan cepat luar bi-

asa, Dewi Kayangan angkat kembali tubuhnya 

dan serta-merta kedua tangannya menjulur men-

cekal pinggang Dayang Naga Puspa, sementara 

kakinya diluruskan dan disapukan pada kaki 

Dayang Naga Puspa.

Dayang Naga Puspa melengak kaget. Dia 

masih bisa menghindar dari sergapan tangan De-

wi Kayangan dengan geser tubuhnya ke samping. 

Namun sapuan kaki Dewi Kayangan tak bisa lagi 

dielakkan. Hingga kejap itu juga tubuh doyong 

hendak roboh ke samping kanan. Saat itulah ke-

dua tangan Dewi Kayangan menyergap pinggang-

nya, dan sekonyong-konyong tubuh Dayang Naga 

Puspa diangkatnya sedikit lalu dibanting ke atas 

tanah! 

Brak!

Terdengar pekikan melengking keluar dari 

mulut Dayang Naga Puspa. Tanah di mana dia 

terbanting tampak melesak hingga setengah tom-

bak! Bukan hanya sampai di situ, begitu Dayang 

Naga Puspa bangun, Dewi Kayangan cepat putar 

tubuhnya dan kaki kanannya melejang deras ke 

arah punggung Dayang Naga Puspa!

Bukkk!

Untuk kedua kali terdengar pekikan dari 

mulut Dayang Naga Puspa. Kali ini tubuhnya 

mencelat hingga beberapa tombak dan baru berhenti tatkala tubuhnya menghajar sebatang po-

hon sampai berderak tumbang!

Dewi Kayangan terbungkuk-bungkuk 

bangkit. Sejenak sepasang matanya mengawasi 

Dayang Naga Puspa. Lalu cekikikannya kembali 

meledak!

Dayang Naga Puspa segera bangun. Dis-

ekanya darah yang tampak meleleh dari bibirnya. 

Sepasang matanya lantas membelalak menyengat 

pada Dewi Kayangan. Tiba-tiba tangan kanannya 

bergerak ke balik pakaiannya. Dan saat ditarik 

kembali, tampak benda hitam memancarkan kila-

tan-kilatan aneh.

Cekikikan Dewi Kayangan terhenti seketi-

ka. Dahi perempuan gemuk ini mengernyit. Sepa-

sang matanya membesar dan menyipit.

"Tombak Naga Puspa! Ada sangkut paut 

apa kau dengan Tua Bangkotan Dadung Ran-

tak...?!" kata Dewi Kayangan seraya kembali ceki-

kikan.

"Bagus! Kau sudah tahu tombak di tan-

ganku yang akan mengantarmu masuk liang ku-

bur! Soal sangkut paut apa, tanyakan nanti pada 

teman-temanmu di alam kubur!" desis Dayang 

Naga Puspa seraya menyeringai ganas.

"Hmm.... Jika tombak itu sampai kesasar 

di tanganmu, dan kau tidak gunakan semestinya, 

jangan menyesal jika kau sendiri yang akan jadi 

sasaran!"

"Banyak mulut! Kita saksikan, siapa yang 

pantas jadi sasaran!" bentak Dayang Naga Puspa 

marah.

"Tentu saja kau! Karena kau orang kesasar! 

Hik.... Hik.... Hik...! Dan layak dijadikan sasaran!"

Ucapan Dewi kayangan makin membuat 

Dayang Naga Puspa naik pitam. Hatinya telah 

memutuskan untuk menghabisi Dewi Kayangan, 

dan mengenyahkan rencananya semula yang 

hanya mau membuat Dewi Kayangan bertekuk lu-

tut tanpa harus membunuh.

Dayang Naga Puspa lantas putar Tombak 

Naga Puspa di tangannya. Suara menderu berde-

sis-desis segera terdengar disertai melesatnya ki-

latan-kilatan mengerikan!

Tak jauh di hadapannya, Dewi Kayangan 

terlihat dongakkan kepalanya. Mulutnya berke-

mik-kemik. Sepasang tangannya disatukan. Dan 

perlahan-lahan dari tangannya keluar asap men-

gepul keputih-putihan. Dewi Kayangan tampak-

nya kerahkan jurus ‘Pusaran Sukma’!

Namun sebelum kedua orang ini lancarkan 

serangan, tiba-tiba terdengar orang mengalunkan 

nyanyian syair.

Bulan warna merah darah menggelayut di 

lingkar angkasa.

Wajah-wajah merah beringas menatap ce-

mas. 

Darah telah mengalir memerahi bumi nan 

hitam. 

Di manakah damai akan dicari...?

Saat napas manusia berhulu pada kesera-

kahan. 

Saat nurani manusia terpeleset pada ke

sombongan.

Saat tujuan manusia terpaku pada 'suatu 

benda'.

Dan saat tangan manusia menjawab den-

gan aliran darah.

Betapa sia-sianya hidup mereka!

Hanya manusia sadar diri dan tahu isyarat.

Bakal menemukan artinya hidup!

Wahai manusia! Segalanya telah ditentu-

kan.

Hanya manusia yang berhak akan menda-

patkannya!

Untuk beberapa lama baik Dayang Naga 

Puspa maupun Dewi Kayangan terlihat terdiam. 

Demikian juga Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga 

Ginting. Sementara Bidadari Bertangan Iblis dan 

Singa Betina Dari Timur tercengang seakan men-

gartikan bait-bait syair yang baru didengarnya. 

Sedang Pendekar Mata Keranjang 108 dan Jo-

gaskara yang kini tampak sama-sama duduk 

dengan paras memucat kernyitkan kening seraya 

hembuskan napas panjang-panjang.

Tempat itu sejenak dilanda kesenyapan. 

Tak ada satu pun yang keluarkan suara.

"Peduli setan dengan segala syair-syair bu-

tut itu! Yang kuinginkan sekarang adalah nya-

wanya!" gumam Dayang Naga Puspa. Lalu dida-

hului dengan bentakan tinggi, tubuhnya melesat. 

Sosoknya lenyap, yang tampak sekarang adalah

putaran-putaran tombaknya yang berkilat-kilat 

dan menggebrak dari segala jurusan.

Dewi Kayangan bantingkan kedua kakinya 

ke atas tanah. Tubuhnya melambung ke udara. 

Meski perempuan gemuk ini tak takut, namun 

tampaknya dia sadar jika tombak di tangan lawan

sangat berbahaya. Maka begitu tubuhnya berada 

di atas, kedua tangannya segera disentakkan ke 

depan, saat mana Dayang Naga Puspa datang 

menyongsong! 

Bettt!

Dayang Naga Puspa berseru tertahan. Un-

tung ia masih bisa menghindar dengan genjot tu-

buhnya hingga serangan Dewi Kayangan hanya 

menyerempet pundaknya. Namun demikian, tak 

urung perempuan ini terbeliak. Karena pakaian 

bagian pundak langsung terbakar!

"Perempuan edan! Aku bersumpah, akan 

kukuliti sekujur tubuhmu!" teriak Dayang Naga 

Puspa. Dia lantas hantamkan tangan kirinya, 

yang kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya 

seraya angkat tombaknya tinggi-tinggi ke atas!

Di depan, Dewi Kayangan yang baru saja 

mendarat, tampak takupkan kedua tangannya la-

lu dibuka dan didorong perlahan ke depan. He-

batnya, saat itu juga terdengar suara angin men-

deru berputar-putar laksana pusaran. Asap putih 

pun terlihat melingkupi tempat itu.

Dayang Naga Puspa tertahan, dan kalau 

saja dia tak cepat melompat mundur, niscaya tu-

buhnya akan masuk dalam pusaran! Namun pe-

rempuan ini telah bulat tekadnya. Hingga begitu 

mundur, tubuhnya ia gulingkan ke atas tanah. 

Dan saat gulingannya mendekati pusaran angin

yang dibuat Dewi Kayangan, tiba-tiba ia lepaskan 

tombaknya dengan kerahkan tenaga dalam pe-

nuh!

Tombak Naga Puspa menerobos angin pu-

saran. Dewi Kayangan hanya mendengar deru de-

singan tombak itu, karena pandangannya tertu-

tup asap putih. Dan baru saja dia bergerak hen-

dak menghindar, tombak Dayang Naga Puspa te-

lah menyongsong di depannya!

Seraya membelalak, Dewi Kayangan mem-

buat gerakan rebah untuk menghindar, kepa-

lanya memang bisa diselamatkan dari hujaman 

tombak, namun pahanya sempat tergores!

Tombak hitam itu terus menerabas lewat di 

atas tubuh Dewi Kayangan, saat itulah Dayang 

Naga Puspa melejang. Tubuhnya melesat menyu-

sul tombaknya. Dan sebelum tombak itu menghu-

jam pohon, Dayang Naga Puspa telah menyam-

barnya!

"Apa kataku, malam ini kau akan menemui 

teman-temanmu di liang kubur! Hik.... Hik.... 

Hik...!" kata Dayang Naga Puspa seraya balikkan 

tubuh dan hendak kirimkan serangan lagi. Na-

mun Dayang Naga Puspa terkejut. Sepasang ma-

tanya tak menemukan sosok Dewi Kayangan!

"Keparat! Ke mana lenyapnya...?!"

Selagi Dayang Naga Puspa termangu-

mangu sambil menebar pandangan, tiba-tiba ter-

dengar cekikikan dekat sekali di belakangnya!

Secepat kilat Dayang Naga Puspa hujam-

kan tombaknya ke belakang dengan balikkan tubuh.


Wuuuttt!

Beeettt!

Bersamaan bergeraknya tangan Dayang 

Naga Puspa yang menghujamkan tombak, tangan 

kiri Dewi Kayangan yang ternyata telah di bela-

kangnya bergerak. Dan tahu-tahu tangan Dayang 

Naga Puspa telah dicekalnya!

Dayang Naga Puspa segera hujamkan tan-

gan kirinya, namun bersamaan itu pula tangan 

kanan Dewi Kayangan mengibas keras menyamp-

ing. 

Prakkk!

Tangan kiri Dayang Naga Puspa mental ke 

belakang, sementara tangan kanan Dewi Kayan-

gan terus bergerak dan kini menghantam tangan 

kanan Dayang Naga Puspa yang telah berhasil di-

cekal.

Prekkk!

Dayang Naga Puspa menjerit tinggi. Ba-

hunya seakan penggal terhantam tangan kanan 

Dewi Kayangan. Tangan kanannya bergetar hebat 

dan akhirnya tombak di genggamannya jatuh! 

Bersamaan dengan itu kaki Dewi Kayangan te-

rangkat dan melejang deras ke arah dada Dayang 

Naga Puspa.

Kembali Dayang Naga Puspa menjerit. Ka-

rena tangan kanannya masih dicekal, tubuhnya 

yang kena tendang tetap tak bergeming di hada-

pan Dewi Kayangan. Malah kini tampak sedikit 

menyorong ke depan karena dadanya sedikit dite-

kuk.

Saat itulah sambil cekikikan Dewi Kayan

gan sapukan kakinya pada sepasang kaki Dayang 

Naga Puspa.

Brak!

Blek!

Dayang Naga Puspa ambruk dengan deras-

nya ke atas tanah. Namun dengan sisa-sisa tena-

ganya, perempuan ini julurkan tangan hendak 

mengambil tombaknya. Tapi ia terkejut besar, ka-

rena ternyata tangan kanan dan kirinya tegang 

tak bisa digerakkan. Hanya kakinya yang masih 

bisa bergerak-gerak.

"Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau sudah bela-

jar memainkan tombak dengan kaki, tentunya 

aku ingin belajar darimu! Hik.... Hik... Hik...!"

Dewi Kayangan lalu balikkan tubuh dan 

melangkah ke arah Pendekar 108.

Dayang Naga Puspa menyumpah-nyumpah 

tak karuan, karena ternyata Dewi Kayangan telah 

menotok kedua tangan dan tubuh sebelah atas-

nya. Hingga yang bisa digerakkan hanya sepasang 

kakinya!


SEMBILAN


SENJATA sialan! Pasti racun yang ditim-

bulkannya lebih dahsyat dari bunga hitam milik 

Dewi Bunga Iblis! Sialan benar! Di depan masih 

banyak urusan yang belum terselesaikan, semen-

tara keadaanku sudah begini rupa!" gumam Pen-

dekar Mata Keranjang 108 seraya kerahkan tena-

ga dalam dan mengusap-usap lengannya yang

masih menggelembung hitam akibat terkena keris 

hitam Jogaskara. Meski dia telah menelan obat 

anti racun yang dibekali Gongging Baladewa na-

mun rasa panas akibat keris Jogaskara masih be-

lum lenyap.

Selagi pendekar murid Wong Agung ini 

menggerendeng panjang pendek, tiba-tiba terden-

gar suara beeekkk! di belakangnya. Secepat kilat 

Aji menoleh. Dewi Kayangan terlihat duduk 

menggelosoh di belakangnya dengan buka mulut-

nya namun tak terdengar suara cekikikannya.

Dan tanpa mempedulikan pandangan Pen-

dekar 108, Dewi Kayangan angkat sebelah ka-

kinya. Kepalanya menyorong ke depan, lalu mu-

lutnya tampak mencium paha kakinya. Begitu 

kepalanya ditarik, pipinya tampak mengembung. 

Dewi Kayangan lalu meludah. Tampak darah hi-

tam muncrat dari mulutnya. Ini akibat tombak hi-

tam Dayang Naga Puspa yang sempat menggores 

pahanya.

Dewi Kayangan melakukan hal itu beru-

lang-ulang. Di hadapan Aji tampak membeliak 

sepasang matanya, dari mulutnya terdengar gu-

maman tak karuan. Bukan karena ngeri melihat 

darah yang dimuntahkan mulut Dewi Kayangan, 

tapi justru karena Dewi Kayangan seenaknya saja 

angkat sebelah kakinya, hingga pakaiannya ter-

singkap lebar!

"Gila! Apa dia sambil pamer...? Kalau yang 

melakukan adalah gadis cantik, hmm.... Tentunya 

sebuah pemandangan yang amat indah dan tidak 

akan kulewatkan begitu saja.... Sungguh sayang

sekali...," kata Pendekar Mata Keranjang dalam 

hati seraya palingkan wajah dan menahan tawa, 

meski dengan itu lengannya makin terasa lebih 

nyeri!

Di seberang, melihat tingkah Dewi Kayan-

gan, Bidadari Bertangan Iblis serta Singa Betina 

Dari Timur tampak saling pandang satu sama 

lain.

"Perempuan edan tak tahu malu! Apa dia 

sengaja pamer tubuh...?!" kata Bidadari Bertan-

gan Iblis seraya meludah ke tanah.

"Mungkin dia tak sadar, atau sengaja me-

lucu! Bukankah dia memang suka yang demi-

kian...?" sahut Singa Betina Dari Timur sambil 

tertawa.

Tiba-tiba Dewi Kayangan hentikan gerakan 

kepalanya. Lalu berpaling pada Singa Betina Dari 

Timur dan Pendekar 108 yang sama-sama terta-

wa.

"Edan! Apa yang kalian tertawakan? Apa 

yang lucu?!" bentak Dewi Kayangan seraya melo-

tot silih berganti pada Singa Betina Dari Timur 

dan Pendekar 108.

Singa Betina Dari Timur serta-merta ta-

kupkan mulutnya dan tak berani berkata. Semen-

tara Aji terguncang-guncang, namun tak segera 

menjawab, membuat Dewi Kayangan makin men-

delik dan mengulangi pertanyaannya.

Pendekar Mata Keranjang akhirnya henti-

kan guncangan bahunya yang menahan tawa, la-

lu berkata perlahan.

"Dewi. Maaf, kau terlalu tinggi mengangkat

kakimu, hingga...," Pendekar 108 tak meneruskan 

ucapannya.

Dewi Kayangan yang seakan baru tersadar 

akan apa yang diperbuatnya, terdiam untuk bebe-

rapa lama, namun sesaat kemudian cekikikannya 

meledak!

Bidadari Bertangan Iblis menggerutu dan 

memaki-maki.

"Dia benar-benar sinting! Sudah begitu 

masih bisa-bisanya tertawa cekikikan!" sedang-

kan saudara seperguruannya kembali tertawa.

"Anak monyet! Sini kau!" tiba-tiba Dewi 

Kayangan membentak. Namun mulutnya masih 

tetap cekikikan.

Meski dalam hati masih menduga-duga 

dengan perintah Dewi Kayangan, namun Aji ak-

hirnya menggeser tubuhnya mendekat pada Dewi 

Kayangan.

Begitu dekat, Dewi Kayangan langsung pe-

gang tangan Pendekar 108 yang terluka, dan ser-

ta-merta tangan kanannya mengusap-usap len-

gan Pendekar 108 yang menggelembung hitam.

Aji meringis kesakitan. Namun mungkin 

takut Dewi Kayangan marah, ia coba tak menge-

luarkan keluhan, meski kata-kata keluhan itu 

sudah hendak keluar!

Sesaat kemudian, tiba-tiba Dewi Kayangan 

memencet gelembung di lengan Aji. Aji tak bisa 

lagi menahan sakit, hingga dari mulutnya terden-

gar pekikan tinggi. Bersamaan dengan pekikan 

Aji, gelembung itu pecah dan memuncratkan da-

rah hitam serta kental! Baju Aji tampak belang

belang hitam demikian pula sebagian wajahnya 

karena terkena percikan darah yang muncrat dari 

lengannya.

Begitu darah hitam itu muncrat, gelem-

bung di lengan Pendekar 108 mengempes, namun 

tampak kulitnya robek agak besar dan masih me-

lelehkan darah.

"Hadap sana! Kerahkan hawa murni!" pe-

rintah Dewi Kayangan. Tanpa bicara lagi, Pende-

kar Mata Keranjang segera balikkan tubuh me-

munggungi Dewi Kayangan dan segera pula ke-

rahkan hawa murni. Dari belakang, Dewi Kayan-

gan tempelkan kedua telapak tangannya ke pung-

gung Pendekar Mata Keranjang 108.

Pendekar 108 merasa hawa dingin mera-

suki sekujur tubuhnya, dan perlahan-lahan pula 

menindih lenyap rasa panas yang mendera sebe-

lumnya!

"Bagaimana sekarang...?" tanya Dewi 

Kayangan seraya bangkit.

"Lebih enak, Dewi...."

"Bagus! Kau tentunya telah dengar orang 

melantunkan syair tadi. Tujuanmu sudah dekat. 

Teruskan langkahmu!" 

Dengan agak terkejut, Aji segera ambil ki-

pas ungunya yang tergeletak tak jauh di sam-

pingnya. Lalu bangkit dan menghadapkan tubuh-

nya pada Dewi Kayangan. Sesaat dipandanginya 

perempuan gemuk besar di hadapannya. Lalu 

pandangannya menebar pada beberapa orang 

yang masih di tempat itu.

"Bagaimana dengan mereka?" tanya Pende

kar Mata Keranjang 108.

Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu 

berkata.

"Itu urusanku! Yang penting kau harus te-

ruskan langkah. Keadaan sudah amat gawat, ka-

rena rahasia tentang Arca Dewi Bumi telah bocor 

ke mana-mana! Terlambat sedikit, bencana besar 

akan datang!"

"Bagaimana rahasia itu bisa bocor?"

"Aku sendiri kurang tahu pasti, tapi yang 

mungkin, tentu Mekar Sari yang menebarkan be-

rita itu!"

"Mekar Sari? Dari mana dia tahu...?"

"Itulah kesalahanku. Mekar Sari datang 

padaku dan menanyakan tentang rahasia itu. Ta-

pi kedatangannya dengan rasa menyesal atas 

perbuatannya dahulu. Setelah kuberitahu bahwa 

hanya satu orang yang kelak dapat mengambil 

dan mewarisinya, dia sadar. Bahkan mengatakan 

tak ingin lagi memburu arca itu! Waktu itu dia 

sepertinya benar-benar bertobat hingga aku men-

gatakan apa adanya! Tapi apa yang terjadi selan-

jutnya sungguh mengejutkan, karena hampir se-

mua orang rimba persilatan tahu! Melihat hal itu, 

aku tak enak dan segera ke sini!"

Pendekar 108 manggut-manggut.

"Sekarang, lekas kau lanjutkan langkah-

mu! Aku akan tetap di sini!"

"Baiklah, Dewi...," kata Pendekar 108 lalu 

menjura hormat dan balikkan tubuh. Namun mu-

rid Wong Agung ini tak segera melangkah, malah 

balikkan tubuhnya kembali dan mendekat ke

arah Dewi Kayangan, membuat perempuan ge-

muk besar ini kernyitkan dahi.

"Disuruh cepat malah berbalik. Apa kau 

takut...?" kata Dewi Kayangan seraya melotot be-

sar.

Aji menggeleng perlahan, setelah dekat dia 

berbisik.

"Dewi. Aku hanya mau tanya...."

Pendekar Mata Keranjang diam dan tak se-

gera lanjutkan ucapannya, membuat Dewi Kayan-

gan makin mendelik.

"Tanya apa lagi? Dasar anak bodoh! Tak 

pinter-pinter, selalu tanya melulu! Cepat kata-

kan!" ujar Dewi Kayangan.

"Hmm.... Bagaimana keadaan Eyang Selak-

sa...? Apa kalian tetap baik-baikan...? Atau...," Aji 

tak meneruskan ucapannya karena saat itu juga 

Dewi Kayangan hentakkan kakinya ke atas tanah.

"Kau memang anak kurang ajar!" kata Dewi 

Kayangan setengah berteriak. Tangan kanannya 

telah diangkat hendak dipukulkan pada Pendekar 

108. Namun sebelum tangan itu bergerak, Pende-

kar Mata Keranjang 108 telah balikkan tubuh dan 

melesat ke arah sela gunung.

"Ini saatnya...," tiba-tiba Bidadari Bertan-

gan Iblis bergumam. Lalu melesat hendak menyu-

sul Pendekar Mata Keranjang.

"Bidadari.... Tunggu!" tahan Singa Betina 

Dari Timur. Namun terlambat. Bidadari Bertan-

gan Iblis telah melesat dan tak mendengarkan ka-

ta-kata saudara seperguruannya.

Mendengar teriakan, Dewi Kayangan ber

paling. Dan begitu melihat gelagat tidak baik dari 

gerakan Bidadari Bertangan Iblis, perempuan ge-

muk ini segera berkelebat. Sosoknya lenyap. Dan 

tahu-tahu terdengar jeritan tertahan.

Ketika semua mata berpaling, tampak Bi-

dadari Bertangan Iblis terkapar di atas tanah, dan 

tak jauh di hadapannya Dewi Kayangan tampak 

duduk menggelosoh sambil cekikikan.

"Anak gadis nan cantik jelita berpakaian 

putih tipis berambut pendek potongan tubuh in-

dah dan menggetarkan.... Hik.... Hik... Hik...!" 

berkata Dewi Kayangan tanpa ambil napas. "Ka-

lau ikut-ikutan orang-orang kesasar ini, hidupmu 

akan terjerumus...." 

Bidadari Bertangan Iblis segera bangun. 

Parasnya merah padam dengan dagu mengem-

bang. Sepasang matanya berkilat merah. Meski 

telah menyaksikan kehebatan Dewi Kayangan, 

namun gadis ini tampaknya pantang takut.

"Perempuan sinting! Kesasar atau tidak 

bukan urusanmu!" seraya berkata dia melesat 

menerjang ke arah Dewi Kayangan. 

"Oh, begitu...? Jadi, kesasar itu urusan 

siapa ya...?" kata Dewi Kayangan seraya cekiki-

kan. Dia seolah tak merasa hendak diserang.

Namun begitu terjangan kaki Bidadari Ber-

tangan Iblis datang, Dewi Kayangan angkat kedua 

tangannya. Terjadilah hal yang menggelikan seka-

ligus menakjubkan. Karena tahu-tahu kedua kaki 

Bidadari Bertangan Iblis telah masuk dalam de-

kapan kedua tangan Dewi Kayangan.

Bidadari Bertangan Iblis kerahkan tenaga

dalam untuk melepaskan diri, namun gagal. 

Hingga tubuhnya kini lurus di antara udara den-

gan sepasang kaki terjepit kedua tangan Dewi 

Kayangan. Dan karena di atas udara, maka tak 

ayal lagi pakaiannya bagian bawah berkibar-

kibar! 

"Uhh..., cantik-cantik tapi bau! Pasti kau 

sering kencing disembarang tempat ya.... Hik.... 

Hik.... Hik...! Sana, sana...!" sambil berkata dan 

cekikikan Dewi Kayangan dorong kedua tangan-

nya.

Tubuh Bidadari Bertangan Iblis mencelat 

dan jatuh bergulingan di dekat Singa Betina Dari 

Timur.

"Bidadari...!" seru Singa Betina Dari Timur 

seraya mendekati saudara seperguruannya itu 

dan menolongnya bangkit.

"Bidadari.... Terlalu berat bagi kita untuk 

menghadapi perempuan itu...."

Bidadari Bertangan Iblis melengos, namun 

tak membantah kata-kata Singa Betina Dari Ti-

mur. Kedua gadis ini lantas duduk berdampin-

gan. Tiba-tiba sepasang mata Bidadari Bertangan 

Iblis membelalak. Ditariknya bahu Singa Betina 

Dari Timur, lalu berbisik. "Singa Betina! Kalau-

pun kita gagal mendapatkan Arca Dewi Bumi, kita 

tak usah kecewa!"

"Apa maksudmu?!"

"Kau tadi lihat sendiri bagaimana keheba-

tan tombak dan keris itu! Sekarang benda itu ter-

geletak dan orangnya tidak berdaya. Bagaimana 

kalau kita sambar saja benda itu dan kita bagi satu-satu?!"

Singa Betina Dari Timur menggeleng perla-

han.

"Aku sebenarnya juga mempunyai perhi-

tungan seperti itu. Namun waktunya belum tepat. 

Kalau kita bergerak sekarang, perempuan gemuk 

itu pasti tidak akan tinggal diam! Padahal dia bu-

kan lawan kita! Lebih baik kita menunggu saat 

yang tepat!"

Bidadari Bertangan Iblis mendengus, na-

mun ia tak juga bergerak untuk menyambar keris 

dan tombak yang tergeletak. Diam-diam dia 

membenarkan ucapan Singa Betina Dari Timur.

Di depan, tiba-tiba Dewi Kayangan cekiki-

kan.

"Hik.... Hik... Hik...! Nasibku tidak baik. 

Sudah tua masih juga harus menunggu orang-

orang kesasar...!" 

Habis berkata begitu, Dewi Kayangan 

bangkit, lalu berkelebat dan tahu-tahu tubuhnya 

telah berada di atas dahan sebuah pohon. Sambil 

uncang-uncangkan sepasang kakinya dari mulut-

nya tak henti-hentinya keluar suara cekikikan.


SEPULUH


PENDEKAR Mata Keranjang 108 terus me-

langkah ke arah sela dua Gunung Kembar. Sela 

dua Gunung Kembar itu ternyata merupakan se-

mak belukar tinggi-tinggi serta pohon-pohon be-

sar. Begitu rimbunnya semak dan pohon, hingga

tak tampak jalan setapak pun!

"Hmm.... Pasti tempat ini tidak pernah di-

rambah manusia. Semaknya begitu merangas," 

kata Aji dalam hati. "Dewi Kayangan bilang Sa-

hyangan Resi Gopala, pembawa Arca Dewi Bumi 

ada di sebuah kuil tua...," Pendekar 108 mene-

barkan pandangannya berkeliling di tempat itu.

"Sial! Aku tak dapat menemukan kuil itu! 

Apalagi bulan berwarna merah, membuat peman-

dangan agak kabur. Tapi aku harus menemukan 

kuil itu. Tadi kudengar nyanyian syair, berarti 

kuat dugaan yang melantunkan syair itu adalah 

Sahyang Resi Gopala...," Pendekar Mata Keran-

jang lantas melangkah berputar dengan melewati 

semak-semak belukar. Sepasang matanya tak 

berkedip menebar, sedang kedua telinganya dipa-

sang baik-baik. Namun hingga lelah berputar dan 

sampai kakinya perih tergores onak duri serta ca-

bang-cabang pohon yang berjatuhan, murid Wong 

Agung ini tak menemukan yang dicari.

"Sialan benar! Di mana letak kuil itu...? 

Hmm.... Bagaimana kalau...," Aji lantas anggukan 

kepalanya. Sepasang matanya menebar sejenak. 

Lalu....

"Sahyang Resi Gopala.... Di mana kau be-

rada...?" Pendekar 108 berteriak lantang.

Namun teriakannya hanya di jawab oleh 

kesenyapan. Kembali Aji berteriak namun lagi-lagi 

kesunyian yang menjawab.

Kesal tak mendapat jawaban, Pendekar 108 

tarik-tarik kuncir rambutnya. Sementara bulan di 

angkasa semakin merah hingga lingkaran bumi

semakin terang berwarna kemerahan.

Saat itulah tiba-tiba sepasang mata Pende-

kar Mata Keranjang menangkap gerakan-gerakan 

pada semak-semak kira-kira sepuluh langkah di 

sampingnya.

"Mungkin ada sesuatu di balik semak-

semak itu! Binatang...? Tak mungkin. Sejak tadi 

aku tak menemukan satu binatang pun berkelia-

ran di sini...." Sambil menduga-duga, Aji melang-

kah mendekat. Dan ia sedikit terkejut tatkala se-

telah dekat gerakan-gerakan pada semak itu bu-

kan lenyap, melainkan tambah keras malah 

sayup-sayup disertai menderunya suara angin.

Pendekar Mata Keranjang 108 membung-

kuk memperhatikan dengan seksama. Namun 

hingga matanya melebar dan menyipit yang tam-

pak hanyalah semak belukar! Anehnya gerakan-

gerakan pada semak yang ternyata dikarenakan 

deruan angin dari dalamnya terus berlangsung.

"Aneh! Dari mana datangnya angin ini? Se-

belah sana tak tampak bergerak-gerak.... Aku 

akan menyelidik!" Pendekar 108 makin mendekat. 

Dan betapa terkejutnya murid Wong Agung ini. 

Begitu tubuhnya tepat di depan semak yang ber-

gerak-gerak, terasa ada angin dahsyat yang me-

nyambar. Biarpun Aji telah kerahkan tenaga da-

lam untuk bertahan, namun gagal hingga saat itu 

juga tubuhnya terjengkang dan jatuh bergelim-

pangan menerabas semak belukar!

"Gila! Kelihatannya perlahan, tapi tenaga 

dalamku tak mampu untuk membendung! Aku 

harus lewat berputar...," batin Pendekar 108, lalu

bangkit dan melangkah berputar ke arah semak-

semak yang bergerak-gerak.

Di samping semak yang bergerak-gerak, 

Pendekar Mata Keranjang 108 hentikan langkah. 

Sepasang matanya lebih dipertajam. Dan sepa-

sang mata Pendekar 108 membelalak besar tatka-

la samar-samar dapat menangkap gundukan 

benda hitam di balik semak belukar.

Dengan hati-hati, Aji melangkah mendekat. 

Semakin dekat gundukan benda hitam di balik 

semak belukar semakin agak jelas. Dan setelah 

benar-benar dekat Pendekar108 sorongkan tubuh 

ke depan. Namun yang terlihat hanyalah gundu-

kan benda hitam samar-samar. Penasaran, Pen-

dekar 108 gerakan kedua tangannya menyibak 

rimbunan semak belukar.

Murid dari Karang Langit ini tergagu seje-

nak tatkala kedua tangannya menyentuh benda 

keras di balik rimbunan semak.

"Hmm.... Seperti batu.... Apakah ini kuil 

itu...?" Pendekar Mata Keranjang membatin. Se-

cepat kilat tangannya merambasi semak belukar 

di sekitar tempat itu. Begitu semak agak jarang, 

Pendekar 108 membelalak sambil melongo.

Di hadapannya tampak sebuah batu yang 

membentuk mirip bangunan sebuah kuil. Ting-

ginya tidak lebih dari satu tombak. Lebarnya pun 

demikian. Mungkin karena tidak terawat, maka di 

bagian atas dan sampingnya telah dirambahi lu-

mut berwarna kecoklatan dan tebal, malah di sa-

na-sini tampak tumbuh benalu, hingga jika tidak 

disibak, orang tidak akan tahu jika di balik semak

belukar itu ada sebuah batu yang membentuk 

kuil.

Setelah puas mengawasi bagian atas dan 

samping, Pendekar Mata Keranjang 108 melang-

kah ke bagian depan. Penasarannya semakin 

menjadi-jadi karena deruan angin itu terus tiada 

henti-hentinya.

Karena khawatir akan terjengkang lagi, 

Pendekar 108 sengaja berhenti di samping. Lalu 

kepalanya berpaling pada kuil bagian depan yang 

tampak membentuk mirip sebuah pintu.

Kedua kaki Aji tersurut satu tindak ke be-

lakang. Sepasang matanya melotot besar. Dari 

tempatnya berdiri dengan penerangan cahaya 

sang rembulan, Pendekar 108 melihat sesosok 

tubuh renta duduk bersila di dalam kuil! Ram-

butnya amat jarang dan nyaris gundul. Pakaian-

nya telah compang-camping dan di sana-sini telah 

pula ditumbuhi lumut! Demikian pula anggota 

tubuhnya! Sepasang matanya memejam rapat. 

Paras mukanya amat keriput dan hampir tak di-

tumbuhi daging. Demikian pula anggota tubuh 

lainnya.

Untuk beberapa saat lamanya murid Wong 

Agung ini memandang tak berkedip.

"Mungkin inikah Sahyang Resi Gopala...," 

pikir Pendekar 108. Dan kini Aji dapat mengeta-

hui apa yang menyebabkan semak belukar di ba-

gian depan itu bergerak-gerak. Ternyata gerakan 

semak belukar itu dikarenakan hembusan napas 

sang orang tua!

"Luar biasa! Hembusan napasnya saja aku

tak mampu untuk menahannya! Bagaimana aku 

harus mendekatinya...?" Pendekar 108 putar 

otak. Lalu perlahan mendekati dari arah samping.

Begitu dekat pendekar dari Karang Langit 

ini bergerak duduk, meski dari arah samping, 

namun angin dari hembusan napas sang orang 

tua masih terasa menyambar! Hingga Aji harus 

kerahkan tenaga dalamnya untuk menahan tu-

buhnya agar tidak terjengkang ke belakang.

Setelah menjura dengan bungkukkan tu-

buh Pendekar Mata Keranjang 108 bukan mulut-

nya. "Eyang Resi...."

Sang orang tua tak bergeming. Matanya 

pun tak bergerak untuk membuka.

Pendekar 108 memanggil. Namun sang 

orang tua tetap diam. Pendekar Mata Keranjang 

menghela napas dalam-dalam. Merasa mungkin 

suaranya tidak didengar Pendekar 108 kembali 

memanggil dengan agak sedikit keraskan sua-

ranya. Namun sang orang tua masih tetap diam.

"Bagaimana ini...? Akan kucoba dengan 

menyentuhnya!" gumam Pendekar 108 seraya 

ulurkan tangan kanannya. Kaki orang tua itu dis-

entuhnya sambil memanggil. Namun sang orang 

tua tetap seperti semula, bahkan Aji terkejut ka-

rena kaki orang tua itu sangat dingin!

"Apa dia telah meninggal...? Kakinya begitu 

dingin.... Tapi nafasnya masih berhembus,..." Aji 

kembali ulurkan tangannya dan kini diguncang-

kannya kaki orang tua itu dengan agak keras. 

Sambil mengguncang-guncang, dari mulutnya 

terdengar suara memanggil-manggil.

Anehnya, meski Aji mengguncang, namun 

tubuh orang tua itu tak bergerak bahkan ketika 

Aji mengerahkan tenaga dalamnya dan menggun-

cangnya keras-keras tubuh orang tua itu tak ber-

geming!

"Gila! Bagaimana ini bisa terjadi...? Bagai-

mana untuk membangunkannya? Apa aku harus 

menunggu? Tapi sampai kapan...? Melihat kea-

daan tubuhnya dia telah bertahun-tahun tak per-

nah meninggalkan tempat ini! Kalau aku me-

nunggu, kurasa terlalu resiko, karena bukan tak 

mungkin ada orang yang bisa menerobos Dewi 

Kayangan dan sampai ke tempat ini. Hmm...."

Selagi pendekar murid Wong Agung ini me-

nimbang-nimbang dan mencari jalan keluar, tiba-

tiba sepasang mata orang tua di sampingnya ber-

gerak membuka, sejurus mata yang sudah tam-

pak memutih kelabu itu mengerjap-ngerjap lalu 

agak melebar dan memandang lurus ke depan.

Aji hentikan kata-katanya dan memandan-

gi tak berkedip seraya menunggu. Saat sepasang 

mata orang tua itu menebar dan memandang ke 

samping, di mana Aji berada, murid Wong Agung 

ini serta-merta menjura hormat dan berkata pe-

lan. 

"Eyang Resi...."

Untuk beberapa saat lamanya sepasang 

mata orang tua itu memandangi Pendekar 108 la-

lu mulutnya yang terkatup rapat tampak bergerak 

membuka, dan sesaat kemudian meluncur kata-

katanya. Suara perlahan sekali, namun cukup je-

las di telinga Aji.

Malam bertabur sinar merah hampir beru-

jung.

Ketentuan sudah pada waktunya.

Beban akan terlewati bersama bergantinya 

malam.

Namun beban berat akan menghadang di 

depan

Kalau sang pengemban tidak rendah hati.

Petaka besar semakin meraupi dataran bu-

mi.

Sejenak orang tua itu hentikan lantunan 

syairnya. Pendekar 108 tetap menunggu seraya 

memandangi dan coba mengartikan bait-bait yang 

baru saja dilantunkan.

Sang orang tua lantas buka kembali mu-

lutnya.

"Wahai anak manusia! Isyarat malam telah 

menuntunku untuk mengetahui makna kedatan-

ganmu. Memang, sudah berpuluh-puluh tahun 

aku menantikan malam ini, malam yang membe-

baskan diriku dari beban yang harus kuemban. 

Hanya pesan yang dapat kuberikan, pergunakan 

apa yang nanti kau peroleh untuk kedamaian 

manusia. Jika tidak, malapetaka besar akan 

menggilas umat manusia, dan itu tanggung ja-

wabmu! Selamat tinggal...."

Habis berkata begitu, sang orang tua pe-

jamkan lagi kedua matanya, bibirnya pun menga-

tup rapat. Dan entah dari mana datangnya, tiba-

tiba segumpal awan putih menyusur semak belukar dan bergerak cepat membungkus tubuh sang 

orang tua. Lalu perlahan-lahan pula asap itu 

membubung dan sirna. Anehnya, bersamaan 

dengan lenyapnya awan putih, sosok sang orang 

tua telah tidak ada lagi di tempatnya!

"Eyang Resi...," seru Pendekar Mata Keran-

jang 108. Namun tak ada lagi jawaban.

Sejenak Pendekar 108 menebarkan pan-

dangannya. Namun sosok sang orang tua me-

mang tak lagi tampak.

"Terlambat.... Aku belum sempat mena-

nyakan di mana beradanya Arca Dewi Bumi. Apa 

yang harus kuperbuat sekarang...?" gumam Aji 

penuh dengan kekecewaan. Disekanya keringat 

yang membasahi leher dan keningnya.

Saat itulah, sepasang matanya menangkap 

sebuah cahaya agak redup di belakang tempat 

sang orang tua tadi duduk bersila. Dengan pera-

saan disesaki beberapa dugaan, Pendekar 108 

mendekat seraya membesarkan sepasang ma-

tanya.

Pendekar 108 membungkuk, tangan ka-

nannya dijulurkan untuk mengambil cahaya agak 

redup yang ternyata sebuah benda berwarna un-

gu. Begitu jari-jarinya dapat menyentuh benda 

itu, ada hawa aneh yang merasuki tubuhnya. Ra-

sa sakit akibat keris Jogaskara yang masih sedikit 

terasa tiba-tiba lenyap!

"Hmm.... Melihat bentuknya, mungkin in-

ilah Arca Dewi Bumi...," duga Pendekar 108 da-

lam hati sambil pererat pegangannya pada benda 

itu dan pelan-pelan ditariknya dari tempatnya,

karena ternyata benda itu melekat pada batu!

Namun Pendekar Mata Keranjang terpe-

rangah kaget. Benda yang berbentuk arca terse-

but sulit untuk ditarik! Aji kerahkan tenaga da-

lamnya, namun arca itu tetap tak bergeming dari 

tempatnya! Pendekar 108 lipat gandakan tenaga 

dalamnya, bahkan kini seluruh tenaga luar da-

lamnya dikerahkan. Keringat mulai membasahi 

sekujur tubuhnya, tubuhnya pun tampak berge-

tar dan tangannya gemetaran.

Kali ini usaha Pendekar Mata Keranjang 

108 tampaknya ada hasil, karena perlahan-lahan 

arca itu mulai bergerak-gerak. Tapi ada keane-

han, bersamaan dengan bergeraknya arca, kuil 

kecil itu ikut bergetar bahkan di sana-sini tampak 

mulai rengkah-rengkah!

Pendekar Mata Keranjang terus kerahkan 

tenaga dalamnya, hingga setelah beberapa lama 

berusaha, akhirnya arca itu dapat lepas dari tem-

patnya. Namun bersamaan dengan terlepasnya 

arca, bangunan batu yang membentuk kuil itu 

bergetar hebat, rengkahannya semakin berderak-

derak dan pelan-pelan pula pecah!

Sadar akan hal itu, sebelum bangunan ba-

tu berbentuk kuil itu ambruk, Pendekar 108 ce-

pat melompat mundur sambil mendekap arca. 

Bersamaan dengan melompatnya Pendekar 108, 

batu berbentuk kuil itu meletup keras lalu am-

bruk!

"Ini pasti Arca Dewi Bumi!" gumam Aji se-

raya angkat tangannya yang memegang arca dan 

matanya memperhatikan dengan seksama.

Arca itu ternyata terbuat dari perunggu-

berwarna ungu agak kekuning-kuningan. Ben-

tuknya seorang perempuan berdiri dengan tangan 

kanan terangkat memegang sebuah tongkat. Tan-

gan kirinya sedekap sejajar dada. Pada kepalanya 

tampak sebuah mahkota bersusun tiga. Pada da-

hinya terlihat tiap buah mutiara berwarna biru 

bercahaya. Ada satu keanehan pada arca itu yang 

membuat murid Wong Agung ini agak heran. Ter-

nyata pada tengah-tengah mahkota terdapat se-

buah lubang.

Dengan menahan rasa heran, dan tangan 

gemetar, Pendekar Mata Keranjang ulurkan tan-

gan kanannya dan memasukkan jari-jarinya pada 

lubang. Murid Wong Agung sedikit tersirat tatkala 

jari-jari tangannya menyentuh sebuah gulungan 

lembut. Sambil menahan degup jantungnya yang 

berdetak makin keras, perlahan-lahan diambilnya 

gulungan lembut itu. Ternyata gulungan lembut 

itu adalah sebuah gulungan kain berwarna putih.

Dengan membesarkan sepasang matanya, 

Pendekar 108 membuka gulungan kain. Kini di 

hadapannya terpentang lembaran kain yang terte-

ra beberapa tulisan serta gambar-gambar orang 

sedang memperagakan jurus silat.

"Ini pasti jurus-jurus silat hebat..., Hmm.... 

Aku telah berhasil mendapatkan Arca Dewi Bumi. 

Aku harus cepat tinggalkan tempat ini. Aku kha-

watir dengan Dewi Kayangan...."

Berpikir begitu, Pendekar 108 lantas gu-

lung kembali kain putih dan dimasukkan kembali 

ke lubang di tengah-tengah mahkota. Sejenak dia

tebarkan pandangan berkeliling. Arca Dewi Bumi 

segera disimpannya ke balik pakaian hijaunya. 

Setelah menarik napas dalam-dalam, dia balikkan 

tubuh dan berkelebat ke arah di mana Dewi 

Kayangan berada.



SEBELAS


BEGITU Pendekar Mata Keranjang 108 

sampai di tempat Dewi Kayangan tadi berada, dia 

terkejut. Dewi Kayangan tak terlihat batang hi-

dungnya. Yang terlihat hanya Dewi Bunga Iblis 

dan Bawuk Raga Ginting yang masih tetap terikat 

pada sebuah batang pohon. Juga Dayang Naga 

Puspa dan Jogaskara yang kini tampak duduk 

berdampingan namun dengan tubuh seperti tak 

berdaya. Sementara agak jauh di seberang, Bida-

dari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur 

tampak tetap duduk berdampingan.

"Mana dia...? Apa sudah pulang...?" tanya 

Pendekar 108 dalam hati seraya sapukan pan-

dangannya berkeliling. Sebaliknya semua orang di 

situ sama memandangi Aji dengan tatapan penuh 

tanya, malah Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga 

Ginting tampak hendak meronta untuk mele-

paskan diri, namun tetap tak berhasil.

Selagi Pendekar 108 mencari-cari, tiba-tiba 

Pendekar Mata Keranjang dikejutkan dengan sua-

ra cekikikan Dewi Kayangan. Pendekar 108 cepat 

berpaling. Murid Wong Agung ini sunggingkan se-

nyum seraya usap-usap hidungnya dengan geleng-geleng kepala.

Di atas dahan sebuah pohon, Dewi Kayan-

gan tampak tidur-tiduran dengan kaki kiri diang-

kat sedikit sementara kaki kanannya disilangkan 

di atas kaki kiri. Kedua tangannya terayun-ayun 

ke bawah. Hebatnya, dahan itu tidak bergerak-

gerak apalagi patah! 

"Dewi.... Aku...," Aji buru-buru hentikan 

ucapannya. Dia hampir saja mengatakan bahwa 

dirinya telah berhasil mendapatkan Arca Dewi 

Bumi, untung dia sadar dan segera hentikan uca-

pannya.

"Anak monyet! Jangan teriak-teriak seperti 

anak monyet tak punya induk! Lekas ke sini!" ka-

ta Dewi Kayangan tanpa palingkan wajahnya pa-

da Aji.

Pendekar 108 segera melangkah ke arah 

pohon di mana Dewi Kayangan tiduran. Lalu me-

lesat ke atas mendekati Dewi Kayangan, dan ber-

bisik.

"Dewi. Aku telah mendapatkan arca itu. Ki-

ta segera tinggalkan tempat ini!"

"Apa...? Menginginkan dua gadis itu? Jan-

gan macam-macam!" bentak Dewi Kayangan se-

raya melotot besar.

Pendekar 108 gelengkan kepalanya. Bibir-

nya nyengir sambil tangan tarik kuncir rambut-

nya. Dia lantas lebih mendekat dengan merambat 

sebuah dahan. Lalu kembali berbisik.

"Dewi. Aku...," Pendekar Mata Keranjang 

108 tak meneruskan kata-katanya, karena Dewi 

Kayangan telah menyahut.

"Kalau urusan soal gadis-gadis, aku tak 

mau kau jadikan sebagai comblang! Sana, bicara 

sama mereka sendiri!"

"Dewi!" kata Pendekar 108 agak keras. Lalu 

kembali suaranya dipelankan tatkala menyam-

bung, "Aku telah mendapatkan arca itu!"

Sepasang mata besar Dewi Kayangan me-

mandangi Aji seakan ingin meyakinkan. Tubuh-

nya lalu bangkit duduk. Dan memberi isyarat 

dengan gelengan kepala tatkala Pendekar 108 

hendak menunjukkan arca yang ada di balik pa-

kaiannya.

"Bagus! Sekarang kita cepat tinggalkan 

tempat itu!" kata Dewi Kayangan pula. "He! Kau 

menginginkan gadis itu...?" sambung Dewi 

Kayangan tatkala melihat Aji memandangi pada 

Singa Betina Dari Timur yang saat itu juga sedang 

arahkan pandangan pada Pendekar 108.

"Hik.... Hik.... Hik...! Anak sialan! Urusan 

gadis masalah belakangan. Kita harus cepat ting-

galkan tempat ini. Ayo!" sambil berkata Dewi 

Kayangan melayang turun seraya tarik tangan 

Pendekar 108.

Meski dalam hati menggerendeng panjang 

pendek, namun Aji tak bisa lagi mengelak. Tu-

buhnya pun melayang turun. Sampai di bawah, 

Dewi Kayangan terus tarik tangan Pendekar 108 

dan diseretnya untuk berkelebat. Mau tak mau 

Aji mengikuti kelebatan tubuh Dewi Kayangan, 

namun sejenak sepasang matanya masih-

memandang Singa Betina Dari Timur, bahkan 

sempat kerdipkan sebelah matanya, membuat

Singa Betina Dari Timur parasnya berubah meski 

dalam hati berbunga-bunga.

Namun baru saja kedua orang ini berkele-

bat, dari arah depan mereka melihat sesosok 

bayangan menyongsong dan berteriak.

"Berhenti!" bersamaan dengan terdengar-

nya teriakan, serangkum angin melabrak.

Dewi Kayangan lepaskan tangan Pendekar 

108, lalu kebutkan tangan kanannya ke depan. 

Rangkuman angin yang datang melabrak kontan 

ambyar! Bahkan sempat menghamburkan tanah 

di tempat itu, hingga pemandangan sejenak tertu-

tup hamparan tanah.

Begitu tanah yang menghambur surut, di 

hadapan Aji telah berdiri seorang perempuan 

mengenakan pakaian warna gelap dan ketat. Pa-

rasnya cantik jelita meski umurnya kira-kira telah 

mencapai dua puluh lima tahunan. Rambutnya 

panjang dan berwarna agak kebiru-biruan. Pa-

kaiannya yang ketat menampakkan dadanya yang 

tampak membusung menantang, sementara ping-

gulnya besar dan menggemaskan.

Sesaat Pendekar 108 terkesiap dengan 

sang perempuan. Sepasang matanya menjalari 

sekujur perempuan di hadapannya tak berkedip. 

Bibirnya sunggingkan senyum dengan kepala 

menggeleng-geleng perlahan.

"Ratu Pulau Merah...!" desis Pendekar Mata 

Keranjang 108 lirih begitu mengenali siapa 

adanya perempuan bermata kebiruan di hada-

pannya.

Perempuan bermata biru yang bukan lain

memang Ratu Pulau Merah pandangi Dewi 

Kayangan dan Aji silih berganti.

"Bertubuh tambun besar, rambutnya putih 

dan disanggul ke atas. Hmm.... Dalam rimba per-

silatan hanya ada satu orang yang berciri demi-

kian. Dewi Kayangan.... Mereka tampaknya ber-

hasil melumpuhkan beberapa orang. Hmm.... Me-

reka sepertinya ingin cepat-cepat meninggalkan 

tempat ini. Apa mereka telah berhasil menda-

patkan arca itu.... Mungkin saja...," duga Ratu 

Pulau Merah seraya memperhatikan lebih seksa-

ma pada Pendekar 108 dan Dewi Kayangan.

"Aku gembira bisa bertemu dengan kau!" 

ujar Ratu Pulau Merah seraya arahkan pandan-

gannya pada Dewi Kayangan. "Bukankah kau 

yang berjuluk Dewi Kayangan...?!"

Dewi Kayangan alihkan pandangannya pa-

da jurusan lain, lalu dari mulutnya terdengar su-

ara cekikikannya.

"Syukur kau bukan orang yang kesasar 

hingga masih bisa mengenaliku! Namun maaf, ji-

ka aku mungkin terlalu sulit untuk mengenalimu! 

Kalau tak keberatan coba sebutkan siapa kau 

adanya! Hik.... Hik.... Hik...!"

Paras muka Ratu Pulau Merah serentak 

berubah. Namun mulutnya membuka juga. 

"Orang-orang rimba persilatan menggelariku Ratu 

Pulau Merah! Jelas?!"

"Ratu Pulau Merah...? Hmm.... Gelar ba-

gus!" puji Dewi Kayangan. Lalu menyambung. 

Tampaknya kau tergesa-gesa. Silakan teruskan 

perjalanan. Kami pun sedang tergesa-gesa....

Hik…. Hik.... Hik.... Bukankah begitu?" Dewi 

Kayangan berpaling pada Pendekar Mata Keran-

jang. Pendekar Mata Keranjang anggukan kepala 

seraya melirik pada Ratu Pulau Merah.

Mendengar ucapan Dewi Kayangan, Ratu 

Pulau Merah tersenyum sinis seraya menyeringai, 

lalu berkata.

"Kalian bisa meneruskan perjalanan, tapi 

serahkan padaku dulu arca yang ada pada ka-

lian!"

Pendekar 108 tampak sedikit terkejut, na-

mun buru-buru disembunyikan dengan terse-

nyum lebar dan berkata.

"Ratu Pulau Merah! Apakah kau sadar 

dengan kata yang barusan kau ucapkan? Kami 

tidak membawa arca! Kau salah alamat! Yang aku 

bawa cuma...," Aji tak meneruskan kata-katanya, 

namun terlihat menahan tawa.

"Betul! Kau kesasar jika tanyakan dan 

menduga kami membawa arca! Dia memang ba-

wa, tapi arca hidup! Kau mau...? Jika itu yang 

kau minta, dia mungkin tak keberatan untuk 

memberikannya padamu! Hanya sayang, untuk 

saat ini mungkin belum bisa dilayani. Dia telah 

kupesan dahulu. Kalau kau memang berkeingi-

nan setelah aku, kau bisa memesannya! Hik.... 

Hik.... Hik...!"

Paras wajah Ratu Pulau Merah mengelam 

mendengar kata-kata Aji dan Dewi Kayangan. 

Namun perempuan berwajah cantik ini masih 

mencoba menahannya. Lalu berkata dengan tan-

pa memandang lagi

"Kalian dengar! Malam telah hampir pagi, 

aku tak bisa berlama-lama. Kalian jangan coba-

coba berkata dusta. Aku tahu, Arca Dewi Bumi 

ada di antara kalian! Lekas serahkan arca itu pa-

daku kalau masih ingin hidup!"

Meski suara Ratu Pulau Merah terdengar 

keras, namun sedikit parau. Hal ini karena sebe-

narnya diam-diam Ratu Pulau Merah juga merasa 

gentar menghadapi Pendekar 108, apalagi kini 

bersama dengan Dewi Kayangan, tokoh rimba 

persilatan yang didengarnya berkepandaian ting-

gi.

"Ratu Pulau Merah! Dengar juga olehmu. 

Arca itu tak ada padaku! Dan jangan memaksa-

kan kehendak atas diri kami!" bentak Aji seraya 

hendak berkelebat pergi.

"Betul! Betul! Kalau kau tetap memaksakan 

kehendak, berarti kau membuat kebodohan be-

sar! Dan itu menuntunmu ke tempat orang-orang 

yang...," Dewi Kayangan berpaling pada Pendekar 

108.

"Kesasar!" kali ini yang menyahut adalah 

Pendekar 108 seraya tersenyum.

"Keparat jahanam!" maki Ratu Pulau Me-

rah. Kemarahannya tak bisa ditahan lagi. Dia 

langsung maju ke depan. Dewi Kayangan segera 

bergerak hendak menyongsong, namun telah di-

dahului terlebih dahulu oleh Aji.

"Bagus! Majulah kalian berdua sekalian!" 

teriak Ratu Pulau Merah seraya hantamkan ke-

dua tangannya kirimkan serangan jauh dengan 

tenaga dalam kuat.

Wuuttt! Wuuuttt!

Angin dahsyat menebar hawa panas segera 

menghampar dan menyambar ke arah Pendekar 

Mata Keranjang.

Wuuttt! Wuuuuttt! 

Sambil melompat ke udara setengah tom-

bak, Pendekar 108 pun sentakkan kedua tangan-

nya memapasi serangan Ratu Pulau Merah.

Bersamaan sentakan kedua tangan Aji, 

tempat itu berubah menjadi terang benderang. 

Dan tak lama kemudian terdengarlah letupan ke-

ras tatkala serangan Ratu Pulau Merah bentrok 

dengan sentakan Pendekar Mata Keranjang 108.

Baik Pendekar 108 maupun Ratu Pulau 

Merah sama-sama terseret hingga beberapa lang-

kah ke belakang.

"Saatnya akan mencoba kipas itu serta ju-

rus 'Pamungkas Bayu Kencana'!" gumam Ratu 

Pulau Merah. Tangan kanan perempuan bermata 

biru ini lantas bergerak ke balik pakaiannya, dan 

tatkala ditarik kembali di tangannya telah terlihat 

sebuah kipas berwarna hitam!

Seperti diketahui, Ratu Pulau Merah telah 

berhasil mencuri kipas hitam ciptaan Empu Jala-

dara serta bumbung bambu berisi jurus 

'Pamungkas Bayu Kencana' dari tempat kediaman 

Wong Agung di Karang Langit (Mengetahui pencu-

ri itu silakan baca serial Pendekar Mata Keran-

jang 108 dalam episode : "Badai Di Karang Lan-

git").

Pendekar 108 belalakkan sepasang ma-

tanya, dahinya mengernyit demikian juga Dewi

Kayangan.

"Kipas hitam! Berarti perempuan ini yang 

mencuri! Jahanam!" maki Aji dalam hati seraya 

perhatikan kipas hitam di tangan Ratu Pulau Me-

rah.

"Hik.... Hik.... Hik...! Nyatanya kau datang 

dan menghadap pada orang yang benar! Kali ini 

kau tidak termasuk orang yang kesasar!" berkata 

Dewi Kayangan seraya kerjap-kerjapkan sepasang 

matanya memperhatikan kipas hitam.

"Apa maksudmu?!" bentak Ratu Pulau Me-

rah seraya mendelik sambil mulai gerakan tangan 

kanannya berkipas-kipas di depan dada.

"Kau harus serahkan kembali barang cu-

rian itu pada kami!" yang menjawab adalah Pen-

dekar Mata keranjang 108.

Serta-merta Ratu Pulau Merah tertawa ter-

bahak-bahak, hingga dadanya yang membusung 

kencang nampak terguncang turun naik. Namun 

hal itu kali ini tak membuat Pendekar 108 terke-

sima.

"Begitu...? Baik! Asal kalian serahkan nya-

wa kalian satu persatu!" kata Ratu Pulau Merah 

seraya sentakan kipas hitamnya.

Weerrr! 

Serangkum angin dahsyat yang juga mene-

barkan hawa panas dan sinar hitam seraya mele-

sat ke arah Aji.

Aji tak tinggal diam. Kipas ungunya segera 

dikeluarkan dan serta-merta dikipaskan menyi-

lang ke depan.

Sinar berkilau berwarna keputihan yang

membentuk kipas serta mengeluarkan suara 

menggemuruh dahsyat segera keluar menebar 

memapak sinar hitam yang keluar dari kipas hi-

tam.

Blarrr!

Dua serangan yang berasal dari dua kipas 

yang diciptakan oleh Empu Jaladara bentrok di 

udara. Ledakan dahsyat segera mengguncang 

tempat itu. Tanah tampak terbongkar hingga se-

tengah tombak! Baik Pendekar 108 maupun Ratu 

Pulau Merah sama terjengkang dan sama-sama 

terkapar di atas tanah. Tangan masing-masing 

tampak berubah kemerahan, sementara paras 

wajah keduanya terlihat meringis menahan rasa 

sakit di dada masing-masing.

Ratu Pulau Merah segera bergerak bangkit. 

Demikian pula Pendekar Mata Keranjang. Tangan 

kanan Ratu Pulau Merah tampak masih bergetar, 

namun tidak demikian halnya dengan tangan 

Pendekar 108. Ini karena Pendekar 108 telah ter-

biasa menggunakan kipasnya, lain dengan Ratu 

Pulau Merah. Dia masih belum terbiasa menggu-

nakan kipas, yang memang mengeluarkan kekua-

tan tersendiri. Hal itu rupanya disadari oleh Ratu 

Pulau Merah, hingga ia segera kerahkan sedikit 

tenaga dalamnya pada tangan kanannya.

Ratu Pulau Merah segera pejamkan sepa-

sang matanya, mulutnya berkemik-kemik. Kipas 

hitamnya dipindahkan pada tangan kiri, sedang 

tangan kanannya dibuka dan ditarik sedikit ke 

belakang.

"Bayu Kencana!" gumam Aji perlahan meli

hat kuda-kuda yang dilakukan Ratu Pulau Me-

rah. "Berarti dia telah mempelajari isi bumbung 

bambu itu! Aku harus hati-hati.... Aku tak boleh 

menyerangnya!"

Pendekar 108 lantas undurkan langkah 

dua tindak. Lalu mengambil sikap seperti yang di-

lakukan Ratu Pulau Merah.

Di sampingnya Dewi Kayangan hanya me-

lihat sesekali tertawa cekikikan perlahan. Semen-

tara tak jauh dari tempat itu, beberapa pasang 

mata terus mengawasi. Malah sepasang mata 

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara membeliak 

besar tatkala dapat mengenali siapa adanya pe-

rempuan yang kini tengah bertarung dengan Pen-

dekar Mata Keranjang 108. 

"Ratu Pulau Merah...," desis Dayang Naga 

Puspa seraya arahkan pandangannya pada Jo-

gaskara. Tubuh perempuan ini memang belum 

bisa digerakkan karena masih tertotok oleh Dewi 

Kayangan. Jogaskara hanya anggukan kepalanya.

Sesaat kemudian, Ratu Pulau Merah buka 

sepasang matanya. Namun dia tidak segera lan-

carkan serangan. Melihat hal itu Aji pun berbuat 

sama. Hanya memandang tanpa lancarkan seran-

gan.

"Hik.... Hik.... Hik...! Katamu tadi ingin 

minta arca, sekarang diam malah saling main ma-

ta! Aneh...," kata Dewi Kayangan seraya dongakan 

kepala.

"Hmm.... Aku tak boleh terpancing dengan 

kata-kata perempuan tambun ini! Dia berkata 

sengaja memancingkan agar lancarkan serangan

dahulu! Hmm.... Dikira aku tak tahu.... Jika aku 

lancarkan serangan terlebih dahulu, maka aku 

akan tersedot dahulu.... Jahanam...!" batin Ratu 

Pulau Merah.

Selagi kedua orang ini sama-sama me-

nunggu serangan lawan, tiba-tiba berkelebat se-

sosok bayangan. Begitu cepatnya kelebat sosok 

ini, hingga tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari 

samping Ratu Pulau Merah. 

"Kakang...," seru Ratu Pulau Merah begitu 

berpaling dan mengenali siapa adanya orang yang 

baru datang. Sementara Dewi Kayangan luruskan 

kepala dan kerutkan dahi, sepasang matanya 

menyipit. Di sampingnya, Pendekar Mata Keran-

jang 108 tampak terperanjat dan langsung besar-

kan sepasang matanya.

Di hadapannya, di samping Ratu Pulau 

Merah tampak berdiri seorang laki-laki. Usianya 

amat lanjut. Rambutnya awut-awutan serta ber-

warna putih. Demikian pula jenggotnya. Dia ber-

telanjang dada, sementara pakaian bawahnya be-

rupa celana pendek agak gombrong dan tampak 

dekil. Sepasang mata serta wajahnya tidak begitu 

jelas, karena tertutup oleh rambut dan jenggot-

nya. 

Laki-laki bertelanjang dada palingkan wa-

jahnya pada Ratu Pulau Merah. Mulutnya berge-

rak membuka.

"Kinanti...."

Ratu Pulau Merah yang bernama asli Ki-

nanti segera melompat mendekat. Dan serta-

merta dipeluknya laki-laki bertelanjang dada itu.

"Kakang… Maafkan aku yang terlebih da-

hulu meninggalkanmu tanpa pamit. Aku...," Ratu 

Pulau Merah tak meneruskan kata-katanya kare-

na laki-laki bertelanjang dada memberi isyarat 

agar Ratu Pulau Merah tak meneruskan ucapan-

nya dengan gelengkan kepalanya.

"Kinanti! Aku tahu, dan aku sangat gembi-

ra bisa bertemu denganmu lagi!" kata laki-laki 

bertelanjang dada, lalu arahkan pandangannya 

pada Dewi Kayangan dan berujung pada Pendekar 

108. Sepasang mata laki-laki ini melotot untuk 

beberapa saat memperhatikan kipas ungu be-

rangka 108 di tangan Pendekar Mata Keranjang 

108.

"Kinanti. Yang perempuan gemuk besar itu 

aku tahu. Sedang yang pemuda sepertinya aku

baru kali ini melihatnya. Siapa dia? Dan apa ma-

salahnya hingga kau bentrok dengan mereka...?!"

Ratu Pulau Merah sunggingkan senyum. 

Lalu berbisik dekat telinga laki-laki di samping-

nya.

"Kakang. Pemuda itulah manusia yang ber-

gelar Pendekar Mata Keranjang 108! Murid tung-

gal Wong Agung yang pernah kuceritakan pada-

mu. Mereka tampaknya telah berhasil menda-

patkan Arca Dewi Bumi. Aku berusaha merebut-

nya! Kuharap kau sudi menolongku menyelesai-

kan keduanya. Setelah itu kita kembali bersama-

sama ke Lembah Bandar Lor. Kita hidup bersa-

ma-sama lagi..."

Laki-laki bertelanjang dada paling wajah-

nya.

"Kau tidak berdusta lagi...?"

"Kakang. Ketahuilah. Aku dahulu berdusta 

padamu karena aku harus memburu kipas hitam, 

bumbung bambu serta Arca Dewi Bumi. Kipas hi-

tam dan bumbung bambu telah dapat kumiliki, 

sekarang tinggal arca itu. Jika arca itu dapat ku-

miliki, untuk apa aku harus berdusta lagi...?"

Laki-laki bertelanjang dada anggukan ke-

palanya. Meski tampak sekali anggukan itu terasa 

dipaksakan.

"Kau mau membantuku, Kakang...?" sam-

bung Ratu Pulau Merah dengan menatap lekat-

lekat. "Kalau kau tak mau, harapan kita untuk 

hidup bersama-sama lagi di Lembah Bandar Lor 

hanya akan menjadi impian mu!" 

"Hmm.... Baiklah! Tapi jika kau berdusta, 

kau tahu apa akibatnya!" desis laki-laki bertelan-

jang dada. Ratu Pulau Merah tersenyum dan 

mengangguk.

Di seberang agak jauh, Dayang Naga Puspa 

dan Jogaskara tampak terkejut saat melihat siapa 

adanya laki-laki bertelanjang dada di samping Ra-

tu Pulau Merah.

"Eyang Guru Dadung Rantak...," seru Jo-

gaskara perlahan.

"Sebuah keberuntungan bagi kita. Eyang 

Guru pasti akan menolong kita!" tegas Dayang 

Naga Puspa dengan sunggingkan senyum.

"Menurut keterangan Eyang Selaksa dan 

melihat ciri-ciri orangnya serta begitu akrabnya 

dengan Ratu Pulau Merah, berat dugaan laki-laki 

ini yang bernama Dadung Rantak...," Pendekar

108 membatin, lalu berpaling pada Dewi Kayan-

gan dan berkata.

"Dewi. Apakah laki-laki ini yang pernah 

disebut-sebut Eyang Selaksa beberapa waktu 

yang lalu?"

Dewi Kayangan cekikikan terlebih dahulu, 

lalu berkata.

"Tak salah! Memang dia orangnya!"

Aji anggukan kepala. Lalu berpaling dan 

memandang pada Dadung Rantak. Mulutnya 

membuka hendak berkata, namun Dadung Ran-

tak telah terlebih dahulu berkata.

"Aku tak akan berpanjang lebar bicara! 

Aku telah tahu siapa adanya kalian berdua. Kalau 

masih ingin keluar dari tempat ini dengan kea-

daan selamat cepat serahkan arca itu pada kami!"

"Walah.... Lagi-lagi ada orang kesasar! 

Aji.... Kita tinggalkan saja tempat ini! Jangan-

jangan kita nanti ketularan! Hik.... Hik.... Hik...!" 

selesai ucapkan kata-kata, Dewi Kayangan mi-

ringkan tubuh dan sepertinya hendak siap me-

ninggalkan tempat itu.

Namun baru saja tubuhnya bergerak, Da-

dung Rantak telah melompat dan serta-merta 

hantamkan tangan kanannya ke arah bahu Dewi 

Kayangan.

Dewi Kayangan hentikan cekikikannya. 

Tubuhnya ditarik sedikit ke belakang. Hingga 

hantaman tangan Dadung Rantak melabrak tem-

pat kosong sejengkal di depan bahu Dewi Kayan-

gan. Namun saat itu juga Dadung Rantak sapu-

kan kaki kanannya.

Wuuttt! 

Begitu cepatnya sapuan kaki Dadung Ran-

tak, hingga belum sempat Dewi Kayangan mem-

buat gerakan menghindar, kaki Dadung Rantak 

telah datang.

Deess!

Tubuh gemuk Dewi Kayangan mencelat 

sampai tiga tombak ke belakang. Lalu terkapar di 

atas tanah. Namun begitu terkapar, tubuh gemuk 

Dewi Kayangan cepat menggeliat bangkit. Dari 

mulutnya terdengar kembali suara cekikikannya.

"Jahanam!" maki Dadung Rantak garang. 

Tubuhnya segera melesat ke depan kedua tangan 

segera bergerak menghantam, sementara kaki kiri 

kanan berputar-putar dan menerjang. Tiap gera-

kan kaki atau tangan menghamparkan sinar hi-

tam berkilat. Belum sampai kaki dari tangan 

menghajar sasaran, sinar hitam telah melesat 

mendahului!

Di depan, Dewi Kayangan masih tampak 

enak-enakan seakan tidak pedulikan serangan, 

padahal serangan itu sudah dua depa di hada-

pannya. Namun tiba-tiba saja kedua tangan Dewi 

Kayangan membuka dan didorong kuat-kuat.

Weettt! Weeettt! 

Gelombang asap tipis berwarna kemerahan 

melesat deras ke depan.

Plarrr! Plarrr! Plarrr! Plaaarrr!

Laksana gelombang yang menghantam 

lamping batu karang, asap tipis kemerahan mela-

brak habis empat sinar hitam yang datang, men-

geluarkan suara letupan beberapa kali.

Dadung Rantak tertahan di udara. Dan be-

gitu melihat serangannya bisa ditahan, laki-laki 

ini hendak lancarkan serangannya kembali dari 

udara. Namun belum sempat tangannya bergerak, 

Dewi Kayangan telah hantamkan tangan kanan-

nya. Dadung Rantak terkejut, karena saat itu juga 

tubuhnya laksana dihantam gelombang besar. Ji-

ka saja ia tak cepat melesat ke samping, tentu tu-

buhnya telah terhempas!

Mendarat di atas tanah, Dadung Rantak 

tampak mendengus keras. Dahinya mengernyit 

seakan tak percaya dengan apa yang baru saja 

dialaminya. Karena baru kali ini dia mendapat 

tangkisan sekaligus serangan yang begitu hebat. 

Dengan mulut komat-kamit tiba-tiba dia mem-

bentak garang. Bersamaan itu tubuhnya melesat 

kembali ke depan. 

Dewi Kayangan salah duga. Karena lesatan 

Dadung Rantak tidak langsung kirimkan seran-

gan dari arah depan. Melainkan melambung ke 

atas dan tiba-tiba menukik dari atas Dewi Kayan-

gan.

Dewi Kayangan, yang baru saja mendongak 

hendak mengetahui di mana posisi lawan hanya 

melihat lesatan-lesatan sinar hitam di atas kepa-

lanya. Dia segera melompat ke depan, tubuhnya 

dilengkungkan ke belakang sedikit, kedua tan-

gannya dihantamkan ke atas.

Prak! Prakkk!

Dua pasang tangan beradu di udara. Da-

dung Rantak terdengar keluarkan seruan terta-

han. Namun dengan cepat laki-laki ini membuat

gerakan jungkir balik dan hantamkan kakinya ke 

arah punggung Dewi Kayangan. 

Desss!

Dewi Kayangan melenguh keras. Tubuhnya 

terhuyung ke depan. Dan belum sempat mengua-

sai diri, Dadung Rantak telah menerjang kembali.

Desss!

Tubuh Dewi Kayangan meliuk lalu roboh 

tersungkur di atas tanah!

Melihat hal ini, Pendekar Mata Keranjang 

melompat, namun gerakannya tertahan, karena 

saat itu juga Ratu Pulau Merah telah berkelebat 

menghadang.

"Giliranmu yang sekarang harus roboh!" 

seru Ratu Pulau Merah seraya melompat ke de-

pan dan langsung hantamkan kipasnya, sementa-

ra tangan kirinya mendorong.

Pendekar 108 kibaskan kipas, tangan ki-

rinya membuka dan ditarik ke belakang.

Terdengar letupan keras tatkala sambaran 

dari dua kipas itu bertemu. Namun serangan tan-

gan kiri Ratu Pulau Merah yang mengeluarkan ge-

lombang angin segera melesat dan masuk ke tela-

pak tangan kiri Aji.

"Bayu Kencana!" seru Ratu Pulau Merah. 

Tubuh perempuan bermata biru ini perlahan ikut 

terseret ke depan bersamaan dengan masuknya 

serangannya pada telapak tangan Pendekar 108. 

Namun perempuan ini segera kerahkan tenaga 

dalamnya, tangan kirinya pun dibuka dan ditarik 

ke belakang.

Gerakan tubuh Ratu Pulau Merah terhenti.

Dan yang terlihat kini adalah keduanya saling ke-

rahkan tenaga dalam masing-masing sambil tarik 

tangan kirinya ke belakang. Keduanya tidak ada 

yang berani kibaskan kipas masing-masing, me-

reka sadar jika salah satu dari mereka lancarkan 

serangan, maka serangannya akan tersedot ke 

tangan lawan, dan tubuhnya akan terseret! Ini 

terjadi karena keduanya sama-sama mengerah-

kan jurus pamungkas 'Bayu Kencana'.

Beberapa saat berlalu. Keduanya saling ta-

rik menarik. Pakaian keduanya telah basah 

kuyup. Bahkan tubuh keduanya terlihat mulai 

bergetar, maka masing-masing sama terpejam. 

Dan tanah di tempat itu pun bergetar!

Namun mendadak Ratu Pulau Merah buka 

matanya. Mulutnya membentak. Serta-merta tu-

buhnya melesat ke depan. Karena melesat dengan 

tenaga dalam penuh ditambah dengan tarikan 

tangan kiri Pendekar Mata Keranjang 108, mem-

buat lesatan tubuh Ratu Pulau Merah tak dapat 

lagi dilihat dengan mata.

Yang terlihat selanjutnya adalah terkapar-

nya tubuh kedua orang ini di atas tanah. Namun 

ada sesuatu yang membuat Ratu Pulau Merah 

atau Pendekar 108 membelalakkan sepasang ma-

ta masing-masing.

Ratu Pulau Merah membelalak karena sa-

betan tangan kirinya yang sempat menyerempet 

pinggang Pendekar 108 membuat pakaian bagian 

pinggang robek dan memperhatikan sebuah ben-

da berwarna ungu kekuningan yang ada di balik-

nya! Sementara belalakkan mata Pendekar 108

karena terkejut melihat arca di balik pinggangnya 

menyembul dan nampak jelas!

"Tentu itu arca yang kucari!" gumam Ratu 

Pulau Merah. "Dugaanku ternyata tidak meleset!" 

sekonyong-konyong perempuan bermata biru ini 

bangkit dan berkelebat ke arah Aji yang juga tam-

pak bangkit.

"Sialan! Bisa gawat ini!" batin Pendekar 

Mata Keranjang. Namun baru saja dia bangkit, 

Ratu Pulau Merah telah datang menerjang. Se-

mentara tangan kirinya menjulur hendak me-

nyambar arca di pinggang Pendekar 108.

Pendekar Mata Keranjang 108 jejakkan se-

pasang kakinya. Tubuhnya melenting ke udara. 

Tapi tanpa disangka-sangka, Ratu Pulau Merah 

kebutkan kipas hitamnya. Hingga saat itu juga 

serangkum sinar hitam menghantam dari bawah 

ke arah Aji.

Pendekar 108 terkejut. Dia cepat membuka 

gerakan berputar, namun tak urung sambaran 

sinar hitam itu menghantam pinggulnya.

Pendekar 108 terpekik, tubuhnya terputar 

dan melayang deras ke bawah. Hal ini tak disia-

siakan Ratu Pulau Merah. Tubuhnya segera mele-

sat menyongsong dengan tangan menyambar ke 

arah pinggang Pendekar Mata Keranjang.

Meski dalam keadaan melayang terkena se-

rangan, namun Pendekar 108 masih sadar akan 

apa yang hendak diperbuat Ratu Pulau Merah. 

Maka dengan cepat tangan kanannya berkelebat 

hendak memapak tangan Ratu Pulau Merah. Na-

mun karena tergesa-gesa tangannya menyambar


arca di pinggangnya terlebih dahulu sebelum 

memapasi tangan Ratu pulau Merah.

Tangan Ratu Pulau Merah bisa dibuat 

mental balik, namun arca di pinggangnya mence-

lat dan melambung ke udara! Lalu melayang tu-

run dan jatuh di tengah-tengah antar tempat Jo-

gaskara dan Bidadari Bertangan Iblis berada.

Mendapati hal ini, Jogaskara yang telah 

terluka parah segera ambil keris di sampingnya, 

lalu seret tubuhnya mendekati arca yang tergele-

tak. Dan serta-merta diraupnya arca itu dengan 

menindihkan tubuhnya. Namun bersamaan den-

gan itu. Bidadari Bertangan Iblis melesat datang. 

Dan tanpa bicara lagi, kaki kanannya disapukan 

pada tubuh Jogaskara yang telungkup meraupi 

arca!

Desss!

Jogaskara mengaduh. Tubuhnya melengak 

terbalik. Namun laki-laki salah satu murid Da-

dung Rantak ini masih sempat kebutkan tangan 

kanannya, yang memegang keris. 

Seettt!

Bidadari Bertangan Iblis yang tidak men-

duga terperangah. Namun sudah terlambat untuk 

bisa menghindar, hingga tanpa ampun lagi keris 

hitam Jogaskara menerabas dadanya!

Tak ada suara keluar dari mulut Bidadari 

Bertangan Iblis. Tubuhnya hanya tampak ter-

huyung-huyung sebentar, lalu roboh ke tanah. 

Sebentar tampak tubuh itu bergerak-gerak, na-

mun sesaat kemudian diam kaku!

Tak jauh di hadapannya, Jogaskara tam

pak menggelepar-gelepar lalu terkulai dengan ke-

pala menghantam tanah! Suara korok tenggoro-

kannya kontan terputus bersama putusnya nya-

wa!

Melihat saudara seperguruannya roboh 

dengan keris menghujam dada, Singa Betina Dari 

Timur segera berkelebat dan serta-merta meng-

guncang tubuh Bidadari Bertangan Iblis yang ter-

nyata sudah tewas!

"Bidadari! Bidadari!" seru Singa Betina Dari 

Timur berulang kali. Namun tak ada jawaban ke-

luar dari mulut Bidadari Bertangan Iblis. Singa 

Betina Dari Timur segera merangkul tubuh sau-

dara seperguruannya dengan sesenggukan. Di-

campakannya keris hitam yang ada di dada Bida-

dari Bertangan Iblis. Mungkin karena terguncang 

dengan robohnya saudara seperguruannya, hing-

ga niatannya semula yang ingin memiliki keris 

atau tombak menjadi terlupakan.

Di lain tempat melihat apa yang terjadi, 

Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga Ginting kerah-

kan tenaga dalam masing-masing untuk mele-

paskan diri. Namun usah keduanya sia-sia, mem-

buat kedua orang ini memaki-maki tak karuan, 

apa lagi kini arca yang mereka cari-cari ada di 

hadapannya! Tak jauh beda dengan Dayang Naga 

Puspa. Perempuan ini pun memaki-maki panjang 

pendek tanpa bisa melepaskan diri dari totokan 

Dewi Kayangan.

Sementara itu, melihat arca di pinggang 

Pendekar 108 mencelat, Ratu Pulau Merah cepat 

bangkit dan melesat. Tapi gerakannya tertahan,

karena saat itu juga Pendekar 108 telah mener-

jang ke arahnya. Kipas ungunya ditebar menyi-

lang sementara tangan kirinya didorong kuat-

kuat.

Ratu Pulau Merah yang tampaknya sudah 

terpancang dengan arca yang tergeletak tak bisa 

lagi pusatkan perhatian. Hingga saat serangan 

datang, perempuan ini terkejut. Namun gerakan-

nya untuk menghindar telah terlambat. Hingga 

tanpa bisa dielakkan lagi sinar keputihan yang 

keluar dari kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 

108 tak bisa dihindarkan lagi.

Tubuh Ratu Pulau Merah mencelat sampai 

enam tombak ke belakang. Dan tubuhnya baru 

terhenti ketika menghajar sebuah pohon. Pohon 

itu berderak roboh bersamaan dengan terkapar-

nya tubuh Ratu Pulau Merah. Kipas hitam di tan-

gan kanannya terjatuh dan tergeletak di sam-

pingnya. Darah kehitaman terlihat meleleh dari 

sudut bibirnya, juga dari kedua lobang hidung-

nya! Jelas jika perempuan bermata biru ini telah 

terluka parah.

Melihat hal ini murid Wong Agung tak 

buang waktu lagi. Tubuhnya segera melesat ke 

arah tergeletaknya arca. Di pungutnya arca itu la-

lu disimpannya kembali ke balik pakaiannya. Ke-

palanya lalu berpaling ke arah Ratu Pulau Merah. 

Sepasang matanya sesaat memperhatikan kipas 

hitam yang tergeletak di samping perempuan can-

tik bermata biru ini. Dia tampak bimbang. Berge-

rak menyambar kipas hitam atau menunggu seje-

nak. Dia khawatir jika langsung menyambar, Ratu Pulau Merah akan menyergapnya dan tidak 

mustahil arca di tangannya akan kembali jatuh. 

Murid Wong Agung sadar, meski Ratu Pulau Me-

rah telah terluka namun sebagai seorang yang te-

lah berpengalaman malang melintang dalam rim-

ba persilatan. Bukan tidak mungkin mengguna-

kan kesempatan yang ada. Apalagi dirinya telah 

terluka, mata tak mustahil jika dia nekat meski 

harus berkorban nyawa.

Berpikir sampai di situ, akhirnya Pendekar 

108 memutuskan untuk melihat situasi selanjut-

nya. Kepalanya lantas menoleh ke arah Singa Be-

tina Dari Timur yang tampak meratapi kematian 

saudara seperguruannya. Seraya mengusap ke-

ringat di dahinya, dia melangkah mendekati.

Sementara itu, jauh di depan, pertarungan 

antara Dewi Kayangan dengan Dadung Rantak te-

rus berlangsung. Namun tatkala mata Dadung 

Rantak menangkap robohnya Ratu Pulau Merah 

kekasihnya, perhatiannya terpecah.

Hal ini rupanya bisa ditangkap oleh Dewi 

Kayangan, hingga kesempatan ini pun tak dile-

watkan oleh Dewi Kayangan.

Pada suatu serangan, Dewi Kayangan da-

pat menipu gerakan Dadung Rantak yang sudah 

terpecah perhatiannya. Saat itu Dewi Kayangan 

hantamkan kedua tangannya ke depan dari arah 

samping kanan dan kiri.

Dadung Rantak cepat angkat kedua tan-

gannya dan hentakkan ke kanan kiri untuk me-

nangkis. Namun tiba-tiba saja Dewi Kayangan 

hanya hantamkan tangan kirinya, sementara tangan kanannya ditarik pulang lalu dihantamkan 

lurus ke depan saat mana tangan kiri Dadung 

Rantak telah menghentak ke samping.

Prakkk!

Deesss!

Dadung Rantak terpekik tatkala tangan 

kanannya beradu dengan tangan kiri Dewi 

Kayangan. Namun suara pekikannya disusul den-

gan suara pekik keduanya karena wajahnya ter-

hantam tangan kanan Dewi Kayangan!

Darah muncrat dari mulut dan hidung Da-

dung Rantak. Tubuhnya pun mencelat ke bela-

kang lalu roboh bergulingan di atas tanah!

Dewi kayangan melesat menyusul, dan ser-

ta-merta kaki kanannya disapukan pada tubuh 

Dadung Rantak pelan. Hebatnya, saat itu juga tu-

buh Dadung Rantak melayang dan jatuh tak jauh 

dari tempat di mana Ratu Pulau Merah masih be-

rusaha bangkit.

"Aji...!" teriak Dewi Kayangan seraya lam-

baikan tangannya.

Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih 

baru saja hendak buka mulut untuk bicara den-

gan Singa Betina Dari Timur terkejut. Dan begitu 

melihat lambaian tangan Dewi Kayangan, murid 

Wong Agung ini tampak kecewa. Namun demi se-

lamatnya arca yang telah di tangan serta demi 

untuk tidak mengecewakan Dewi Kayangan meski 

sambil menggerendeng panjang pendek, Pendekar 

108 berkelebat ke arah Dewi Kayangan.

"Perempuan urusan belakangan. Kita ha-

rus tinggalkan tempat ini!" kata Dewi Kayangan

begitu Aji dekat. Perempuan gemuk ini lantas ba-

likkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat 

itu.

Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak ma-

sih tegak berdiri, kepalanya lantas berpaling pada 

Singa Betina Dari Timur. Namun yang dipandangi 

masih tenggelam dalam isak tangis di atas tubuh 

saudara seperguruannya.

"Hmm.... Seandainya keadaan mengizin-

kan, ingin rasanya aku menolongnya! Tapi apa 

boleh buat. Arca ini harus diselamatkan pada 

tempat yang aman dahulu.... Singa Betina.... Se-

lamat tinggal, semoga kelak kita dapat diperte-

mukan lagi...," gumam Pendekar 108 seraya lam-

baikan tangan, meski dia tahu bahwa Singa Beti-

na Dari Timur tidak sedang melihat ke arahnya. 

Lalu murid Wong Agung ini balikkan tubuh dan 

menyusul kelebatan Dewi Kayangan.

Melihat perginya Dewi Kayangan dan Pen-

dekar Mata Keranjang 108, Ratu Pulau Merah se-

gera bangkit hendak mengejar, namun baru saja 

bangkit, kaki kanannya goyah, dan jatuh terdu-

duk.

"Keparat! Jahanam! Bangsat!" maki Ratu 

Pulau Merah seraya kerahkan tenaga dalamnya. 

Lalu perlahan-lahan bangkit melangkah perlahan 

dan disambarnya kipas hitam yang tergeletak se-

raya simpan kipasnya. Dia teruskan langkah, 

namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya, sepa-

sang matanya melirik pada tombak dan keris 

yang tergeletak. Tanpa pikir panjang lagi dia me-

nyambar tombak dan keris "Hm, senjata ini tentu

kelak ada gunanya!" Lalu sepasang matanya seje-

nak liar mengawasi tubuh Dadung Rantak yang 

tak jauh di sampingnya.

"Kau tak berhasil merobohkan Dewi 

Kayangan, berarti impian mu untuk hidup ber-

samaku kuburlah dalam-dalam, Tua Bangka!" 

gumam Ratu Pulau Merah, lalu berkelebat ting-

galkan tempat itu.

Dadung Rantak tertatih-tatih bangun. Dan 

ketika sepasang matanya tidak lagi melihat Ratu 

Pulau Merah, dada laki-laki ini tampak bergetar. 

Sepasang matanya berkilat-kilat.

"Perempuan jahanam! Dia telah berkata 

bohong padaku! Hmm.... Saatnya akan tiba, 

tunggulah! Juga kau Dewi Kayangan dan Pende-

kar Mata Keranjang 108!" teriak Dadung Rantak, 

lalu tertatih-tatih melangkah tiga tindak.

"Eyang Guru...!" Tiba-tiba Dayang Naga 

Puspa memanggil.

"Sejak malam ini tak ada hubungan apa-

apa lagi antara kau dan aku! Urusanmu urusan-

mu, urusanku urusanku!" kata Dadung Rantak 

tanpa berpaling pada muridnya. Laki-laki berte-

lanjang dada Penghuni Lembah Bandar Lor ini 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Gila! Jahanam!" maki Dayang Naga Puspa 

dengan lejang-lejangkan kakinya, karena memang 

hanya sepasang kakinya yang bisa digerakkan.

Sementara itu, begitu dapat menguasai di-

rinya, Singa Betina Dari Timur lantas angkat tu-

buh Bidadari Bertangan Iblis lalu dibawanya me-

ninggalkan tempat itu.

"He...! Kuharap kau mau melepaskan lilitan 

jahanam ini!" kata Dewi Bunga Iblis mengharap 

pertolongan Singa Betina Dari Timur yang mem-

bawa tubuh saudara seperguruannya dan me-

langkah tak jauh dari tempat Dewi Bunga Iblis

"Benar! Aku pun mohon padamu agar kau 

sudi melepaskan aku juga!" kali ini yang berkata 

Bawuk Raga Ginting.

Singa Betina Dari Timur palingkan wajah, 

namun gadis cantik ini segera luruskan kembali 

kepalanya dan meneruskan langkah.

"Jahanam! Gadis keparat!" teriak Dewi 

Bunga Iblis.

"Gadis liar! Awas. Suatu saat kelak kau 

akan dapat balasan ku!" seru Bawuk Raga Gint-

ing lalu memaki-maki tak karuan.

Singa Betina Dari Timur seakan tak meng-

hiraukan ancaman dan makian, gadis berwajah 

cantik ini terus melangkah dengan membawa tu-

buh saudara seperguruannya. Sudut kedua ma-

tanya tak henti-henti meneteskan air mata. Se-

mentara bahunya terlihat berguncang-guncang. 

Dan tatkala wajah gadis cantik dari daratan Bima 

ini tengadah, di sebelah timur lamat-lamat cahaya 

putih kekuningan sang mentari telah berarak 

menebar menerangi angkasa.



                            SELESAI




















Share: