ARCA
DEWA BUMI
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Arca Dewi Bumi
128 hal.
SATU
MALAM merambat makin jauh. Angkasa
terlihat gelap tak ditaburi satu bintang pun. Arak-
arakan awan hitam yang mendadak bergulung
menambah hamparan bumi makin digenggam ke-
butaan.
Gunung Kembar, dua buah gunung yang
berdiri kokoh saling berhadapan di daerah Bokor
terlihat hitam kelam laksana dua tangan raksasa.
Puncak keduanya tak terlihat menyemburkan
asap seperti biasanya. Malah perlahan-lahan ara-
kan awan hitam menutupi puncak gunung.
Di hutan kecil lereng Gunung Kembar, se-
sosok tubuh samar-samar tampak berkelebat ce-
pat. Namun tak jarang sosok ini mendadak
menghentikan kelebatan tubuhnya. Kepalanya
menengadah, sepasang matanya berputar liar, ia
sepertinya mencari sesuatu. Dan ketika matanya
tak menemukan yang dicari, sosok ini berkelebat
kembali ke arah Gunung Kembar.
Saat hutan telah terlewati dan gugusan
dua gunung di depan matanya, sosok ini yang
ternyata adalah seorang pemuda mengenakan
pakaian hijau yang dilapis dengan baju dalam
warna kuning lengan panjang kembali hentikan
larinya. Kedua matanya yang menyorot tajam, liar
menebar menembus kegelapan. Kepalanya berge-
rak ke sana kemari mengikuti arah pandangan
matanya.
"Sialan benar! Aku tak bisa menyelidik jika
keadaannya gelap begini!" rutuk sang pemuda se-
raya usap dahi dan lehernya yang telah dibasahi
keringat.
"Apakah aku harus menanti hingga kea-
daan terang...?" batin sang pemuda seraya tarik
kuncir rambutnya. Ia tampak bimbang, hingga
untuk beberapa saat lamanya ia hanya tegak ber-
diri sambil sesekali menghela napas panjang.
"Semoga yang dikatakan Dewi Kayangan
benar adanya, hingga perjalanan ini tidak sia-
sia...," gumam sang pemuda yang bukan lain ada-
lah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108.
"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Aku sebenar-
nya masih meragukan tentang adanya arca itu,
meski Eyang Selaksa dan Eyang Wong Agung
pernah mengatakan bahwa mendiang Guru mere-
ka, Panembahan Gede Laksana pernah membica-
rakannya. Apalagi aku harus menemukan orang
yang bernama Sahyang Resi Gopala, yang ka-
tanya pemegang petunjuk tentang arca itu. Jika
benar, bisa dihitung, berapa usia Sahyang Resi
Gopala. Apakah itu mungkin?" pikir Pendekar 108
menghubung-hubungkan kete-rangan yang per-
nah didengarnya baik dari Eyang Selaksa mau-
pun Dewi Kayangan.
Untuk beberapa lama murid Wong Agung
ini berdiam diri. Lalu menghela napas panjang.
"Aku telah melakukan perjalanan cukup
jauh. Terlalu bodoh jika harus diombang-
ambingkan perasaan tanpa membuktikan sendiri!
Dan...," Aji tak meneruskan gumamannya karena
sepasang matanya melihat lengkungan tipis menyeruak di antara arak-arakan awan hitam yang
mengambang di angkasa.
Sepasang mata Aji makin membeliak tatka-
la bersamaan dengan menyeruaknya lengkungan
tipis berwarna kemerahan itu, arak-arakan awan
hitam bergerak menyusur angkasa dan perlahan
pula menghilang. Dan bersamaan dengan berge-
raknya arakan awan hitam, lengkungan tipis ber-
warna kemerahan semakin membesar, dan akhir-
nya membentuk sebuah bulatan.
"Hmm.... Malam ini sebetulnya memang
malam purnama! Tapi...!" Pendekar 108 membe-
sarkan sepasang matanya, memandang tak ber-
kedip ke arah bulatan bulan yang baru saja mun-
cul dari balik arakan awan hitam.
"Heran. Apa mataku yang tidak normal...?
Atau...?" Aji angkat kedua tangannya dan digo-
sok-gosokkan pada kedua matanya. Lalu mata itu
kembali memandang ke arah sang rembulan.
"Aneh. Pertanda apa ini...?" gumam Aji ber-
tanya pada diri sendiri. Sepasang matanya tetap
memandang tak kesiap pada rembulan yang kini
telah membentuk bulat penuh. Namun bukan bu-
latan bulan ini yang membuat murid Wong Agung
ini merasa heran dan aneh. Ternyata sang rembu-
lan itu berwarna tidak seperti biasanya, melain-
kan berwarna merah darah! Dan juga terlihat se-
buah lingkaran agak besar yang mengelilingi sang
rembulan!
"Mudah-mudahan ini bukan pertanda bu-
ruk...," gumam Pendekar 108 seraya luruskan
pandangannya, karena bersamaan munculnya
sang rembulan, ke mana saja pandangannya di-
layangkan akan nampak jelas. Hanya saja segala
yang tampak oleh pandangan mata berubah war-
na menjadi kemerah-merahan!
"Menurut Dewi Kayangan, Sahyang Resi
Gopala berada pada sebuah kuil kecil di sela dua
gunung ini. Hmm.... Sebaiknya aku mencarinya
sekarang...!"
Murid Wong Agung ini lantas putar pan-
dangannya sebentar. Lalu bergerak hendak me-
langkah ke arah sela gunung yang tampak ditum-
buhi semak belukar merangas tinggi-tinggi dan
berwarna kemerahan tertimpa cahaya rembulan.
Namun, gerakan kaki Pendekar 108 tertahan. Ka-
rena saat itu juga dua bayangan terlihat berkele-
bat dan berdiri kokoh dengan mata masing-
masing memandang ke arah gunung.
"Siapa mereka...?!" kata Pendekar Mata Ke-
ranjang dalam hati seraya menindih rasa terkejut.
Sepasang matanya tak berkedip memandangi dua
sosok yang berdiri tak jauh darinya.
"Rupanya kita tak sendirian!" bisik sosok
yang sebelah kanan seraya lirikkan matanya pada
Pendekar 108. Sosok yang di sebelah kiri menghe-
la napas. Tanpa melirik ia berkata.
"Aku sudah tahu! Tujuannya pun tentu
sama dengan kita. Kita selesaikan dia sebelum ki-
ta meneruskan penyelidikan!"
Habis berkata demikian, sosok yang sebe-
lah kiri ini gerakan tubuhnya ke samping, meng-
hadap Pendekar Mata Keranjang.
Sebenarnya Aji hendak berkelebat menyeli
nap begitu dua bayangan tadi datang, namun ka-
rena kedatangan dua sosok ini begitu cepat dan
mendadak, membuat murid Wong Agung urung-
kan niatnya. Ia berpikir, tak ada gunanya me-
nyembunyikan diri, karena bagaimana pun juga
perburuan Arca Dewi Bumi ini membutuhkan ke-
beranian menghadapi siapa dan apa pun!
"Siapa kau...?.'" bentak sosok yang di sebe-
lah kiri. Dia adalah seorang gadis muda berparas
cantik jelita. Mengenakan pakaian atas warna hi-
jau tipis yang di bagian dadanya dibuat agak ren-
dah, hingga sembulan dadanya yang tampak
membusung menantang terlihat agak jelas. Pa-
kaian bawahnya berwarna kembang-kembang
yang di bagian tengahnya dibuat membelah, hing-
ga tatkala angin malam menerpa, sepasang pa-
hanya yang berkulit putih tampak jelas. Sepasang
matanya bulat dan tajam. Rambutnya panjang
dan dikepang dua.
Mungkin karena masih terkesima dengan
pemandangan di hadapannya, murid Wong Agung
tak segera menjawab pertanyaan sang gadis ber-
baju hijau.
"Sebenarnya kita tak usah tahu siapa
adanya orang kalau hanya ingin membunuh!"
sambung sosok yang di sebelah kanan ketika
mengetahui Pendekar Mata Keranjang tidak sege-
ra menjawab.
Seperti halnya sosok yang di sebelah kiri,
ternyata sosok yang di sebelah kanan adalah juga
seorang gadis muda. Parasnya juga cantik jelita.
Mengenakan pakaian atas warna putih tipis dipadu dengan pakaian bawah kembang-kembang
yang di bagian tengahnya juga dibuat membelah.
Sepasang matanya juga bulat tajam. Hanya ram-
but gadis ini tampak dipotong pendek.
"Hmm.... Baru kali ini aku bertemu dengan
gadis-gadis berparas cantik, bertubuh bagus dan
tentunya berilmu tinggi. Siapa mereka? Ah, ter-
nyata tempat ini telah pula diendus banyak
orang! Sialan benar!" kata Pendekar 108 dalam
hati sambil terus memperhatikan dua gadis can-
tik di hadapannya.
Dua gadis yang bukan lain adalah Bidadari
Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur seje-
nak saling berpandangan (Mengenai dua gadis ini
baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 dalam
episode : "Badai di Karang Langit").
"Singa Betina! Kita tak usah banyak cin-
cong dan pertimbangan! Lekas kita selesaikan
pemuda itu!" berkata gadis berbaju putih saat di-
lihatnya Singa Betina Dari Timur tampak ragu-
ragu.
"Benar ucapanmu! Tapi tak ada salahnya
kita mengetahui siapa adanya pemuda itu! Kita
baru saja menginjakkan kaki di tanah Jawa, kita
belum tahu seluk beluk daerah ini, lebih-lebih ki-
ta belum tahu tokoh-tokoh di tanah Jawa ini!
Siapa tahu dia bisa memberi sedikit keterangan!"
"Hmm.... Berarti mereka orang-orang yang
baru muncul! Dan mendengar percakapannya,
mereka datang dari luar tanah Jawa! Siapa pun
mereka, aku harus berhati-hati! Apalagi tujuan
kedatangan mereka tak lain untuk mencari arca
itu!" Pendekar 108 membatin, lalu alihkan pan-
dangannya ke jurusan lain, seakan-akan tak
mengacuhkan dua gadis di hadapannya.
"Pemuda ini wajahnya tampan, tubuhnya
tegap, sorot matanya tajam. Hm.... Apakah dia ju-
ga menginginkan arca itu...?" diam-diam gadis
yang berbaju hijau yang bukan lain adalah Singa
Betina Dari Timur berkata dalam hati. Sepasang
matanya terus memperhatikan Pendekar 108 dari
ujung kaki hingga ujung rambut.
Selagi Pendekar 108 arahkan pandangan
pada jurusan lain, dan Singa Betina Dari Timur
membatin, gadis berbaju putih yang bukan lain
Bidadari Bertangan Iblis maju satu tindak seraya
membentak lantang.
"He! Katakan cepat, siapa kau! Dan apa
kerjamu malam-malam di sini?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan
wajahnya. Bibirnya menyunggingkan sebuah se-
nyum. Seraya usap-usap hidung dan sepasang
mata memandang ke arah paha keduanya yang
sedikit terbuka, ia berkata.
"Gadis cantik! Sebetulnya aku tak suka
menyebutkan namaku, namun karena yang men-
gajukan pertanyaan adalah gadis-gadis cantik,
atau terpaksa menghilangkan rasa tak sukaku!"
"He! Kau tak usah berpanjang lebar! Jawab
saja pertanyaanku!" bentak si baju putih Bidadari
Bertangan Iblis menyela kata-kata Aji.
"Wah, sebenarnya aku juga tak senang di-
bentak-bentak, namun karena yang membentak
adalah gadis cantik, aku terpaksa harus menghilangkan rasa tak senangku...," kembali Aji henti-
kan ucapannya. Namun ketika dilihatnya Bidada-
ri Bertangan Iblis membuka mulut hendak kelua-
rkan suara, Aji buru-buru melanjutkan ucapan-
nya.
"Namaku.... Zubaidah binti Mahmud! Seo-
rang pengelana malam yang selalu menginginkan
hadirnya sang rembulan! Kalau tak keberatan,
harap kalian sudi mengatakan siapa kalian sebe-
narnya...!"
Mendengar kata-kata Pendekar 108, Bida-
dari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur
saling berpadangan satu sama lain. Dahi kedua
gadis ini tampak mengernyit.
"Aneh. Apakah aku tak salah dengar den-
gan apa yang disebutkan pemuda itu? Zubaidah
binti Mahmud.... Hmm...," batin si baju hijau Sin-
ga Betina Dari Timur seraya tercenung.
Kalau Singa Betina Dari Timur tercenung,
tidak demikian halnya dengan Bidadari Bertangan
Iblis. Gadis ini langsung alihkan pandangannya
pada Pendekar 108. Sepasang matanya menyen-
gat tajam. Ia merasa perkataan pemuda di hada-
pannya adalah bohong. Dengan melotot ia mem-
bentak garang.
"He! Waktu kami sangat terbatas! Sebelum
habis kesabaran kami, jawab dengan sungguh-
sungguh pertanyaan kami!"
Pendekar Mata Keranjang 108 usap ujung
hidungnya. Sepasang matanya balas menatap pa-
da Bidadari Bertangan Iblis.
"Gadis cantik! Ketahuilah, nama itu pem
berian kedua orangtuaku! Aku tak berani meru-
bahnya meski sebagian orang memang agak he-
ran! Malah sebagian ada yang usul agar diganti
Zubaidah binti Zubaini! Walau nama itu agak ba-
gus namun aku tak ada niatan untuk merubah-
nya! Kau sendiri siapa?!"
Bidadari Bertangan Iblis mendengus keras,
sementara Singa Betina Dari Timur diam-diam
tertawa dalam hati.
Entah untuk menggertak atau memperke-
nalkan nama besarnya, dengan raut muka mena-
han marah dan berpaling ke jurusan lain si baju
putih Bidadari Bertangan Iblis berkata.
"Dengar baik-baik! Aku adalah Bidadari
Bertangan Iblis, sedang saudara seperguruanku
ini bergelar Singa Betina Dari Timur! Kami adalah
orang-orang dari Pulau Bima!"
Meski sebenarnya Pendekar Mata Keran-
jang 108 belum pernah mendengar nama-nama
itu, namun ia pura-pura terperanjat dan berkata
sambil bungkukkan sedikit bahunya.
"Ah, kiranya inikah tokoh-tokoh dari tanah
seberang yang namanya begitu kesohor hingga
tanah Jawa. Aku sangat gembira dapat berjumpa
dengan orang-orang hebat seperti kalian! Tapi apa
gerangan yang membuat tokoh-tokoh hebat ma-
cam kalian jauh-jauh datang ke tanah Jawa dan
ke tempat yang tak berpenghuni ini...? Apakah
kalian tak salah alamat? Atau memang kalian
pengelana malam sepertiku....?"
Bidadari Bertangan Iblis tertawa panjang.
Sedangkan Singa Betina Dari Timur diam. Hanya
sepasang matanya terus tak beranjak memperha-
tikan Pendekar 108.
Namun tiba-tiba si baju putih Bidadari Ber-
tangan Iblis hentikan tawanya. Tanpa meman-
dang lagi pada Pendekar Mata Keranjang, ia ber-
kata.
"Siapa pun kau, tak berhak bertanya ten-
tang kedatangan kami!"
"Dan cepat tinggalkan tempat ini!" sam-
bung si baju hijau Singa Betina Dari Timur.
Mendengar sambungan kata-kata Singa
Betina Dari Timur, Bidadari Bertangan Iblis ber-
paling. Dahinya berkerut. Ia merasa heran sauda-
ra seperguruannya menyuruh sang pemuda sege-
ra pergi, padahal pada awalnya ia yang mengata-
kan ingin lekas menyelesaikan sang pemuda.
Namun perasaan heran Bidadari Bertangan Iblis
tidak berlangsung lama, karena saat itu juga Pen-
dekar 108 angkat bicara.
"Bidadari Bertangan Iblis, Singa Betina Da-
ri Timur! Kalau aku tak diberi hak untuk ber-
tanya, itu tak apa! Tapi.... Permintaan kalian agar
aku tinggalkan tempat ini, rasa-rasanya tak
mungkin kulakukan!"
Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur kembali saling berpandangan. Dan
sebelum salah satu di antaranya ada yang buka
mulut, Pendekar Mata Keranjang 108 telah me-
lanjutkan ucapannya.
"Seperti kataku tadi, aku adalah pengelana
malam. Dan kalian tentu tahu, sebagai sang pen-
gelana malam sungguh disayangkan jika begitu
saja melewatkan malam yang sangat aneh ini! Li-
hatlah di sela gunung itu!"
Meski dengan perasaan masing-masing,
Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari
Timur sama-sama arahkan pandangannya pada
tempat yang dikatakan Aji.
Kedua gadis dari daratan Bima ini sama-
sama melengak kaget. Mata keduanya membeliak
besar. Entah kapan berpindahnya, mendadak sa-
ja sang rembulan yang berwarna merah darah
dan memancarkan cahaya kemerah-merahan itu
kini muncul di sela dua Gunung Kembar
Dengan masih diselimuti beberapa tanda
tanya, Singa Betina Dari Timur menoleh pada Bi-
dadari Bertangan Iblis. Sesaat dipandanginya ga-
dis muda berpakaian putih tipis itu. Mulutnya
bergerak membuka seakan hendak mengucapkan
sesuatu. Namun ia urungkan tatkala dilihatnya
saudara seperguruannya itu sedang menekuri
sang rembulan. Sejenak Singa Betina Dari Timur
tampak dilanda kebimbangan. Namun akhirnya ia
palingkan kembali wajahnya lurus ke depan dan
kembali memandang sang rembulan. Tapi hanya
sesaat. Tak berselang lama, gadis berbaju hijau
ini palingkan kembali pada saudara seperguruan-
nya. Setelah menghela napas, dia berbisik perla-
han.
"Bidadari! Kita tak boleh terbawa perasaan!
Kita lanjutkan perjalanan! Dan suruh pemuda itu
meninggalkan tempat ini! Apa pun alasannya!"
Bidadari Bertangan Iblis anggukan kepa-
lanya. Lalu berpaling pada Pendekar Mata Keranjang dan berkata.
"Pengelana malam! Seperti kataku tadi,
waktu kami pun terbatas! Apa pun alasanmu,
kami tak mau tahu. Yang pasti, kau harus cepat
tinggalkan tempat ini! Kau bisa menikmati bulan
itu jauh dari sini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum,
kepalanya bergerak menggeleng.
"Ah, sayang sekali. Permintaanmu tak bisa
kulakukan! Bulan itu hanya akan tampak mem-
pesona jika dipandang dari sini!"
"Hmm.... Begitu? Berarti kau menyia-
nyiakan kesempatan yang kami berikan!"
"Maksudmu...?" tanya Pendekar 108.
Bidadari Bertangan Iblis tertawa sinis.
"Pada mulanya kami ingin membunuhmu!
Namun melihat kau hanyalah seorang pengelana
malam, keinginan itu kami urungkan. Dengan
syarat kau harus tinggalkan tempat ini. Jika kau
tak meninggalkan tempat ini, kematianlah yang
menantimu!"
Pendekar 108 menghela napas panjang.
Tangan kanannya bergerak menarik-narik kuncir
rambutnya.
"Ah, betapa malang nasib sang pengelana
malam. Ingin melihat indahnya sang rembulan
saja tebusannya harus mati! Apakah tidak ada
tebusan yang lebih ringan?"
"Kau rupanya membuat kesabaranku hi-
lang! Terimalah nasib malangmu!" habis berkata
begitu si baju putih Bidadari Bertangan Iblis tarik
kedua tangannya sedikit ke belakang, dan serta
merta di dorong ke arah Pendekar Mata Keranjang.
DUA
ANGIN menggemuruh dahsyat dan me-
nyambar cepat. Pendekar 108 segera melompat ke
arah samping, dan dari tempatnya kini, murid
Wong Agung segera pula dorong kedua tangan-
nya. Hal ini sengaja ia lakukan untuk menjajaki
tenaga dalam lawan.
Plarrr!
Letupan keras terdengar memuncah kesu-
nyian lereng Gunung Kembar tatkala dua puku-
lan bertenaga dalam itu bentrok di udara. Tanah
di tempat itu terasa bergetar dan semak belukar
terpapas ujungnya hingga rata!
Bidadari Bertangan Iblis surutkan langkah
satu tindak. Dahinya mengkerut, sementara se-
pasang matanya yang bulat makin membesar. Dia
merasa pemuda di hadapannya bukanlah orang
yang bisa dianggap enteng. Karena begitu bentrok
pukulan terjadi, ia merasakan kedua tangannya
gemetar dan kesemutan!
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang
sendiri sadar jika Bidadari Bertangan Iblis tak bi-
sa dihitung remeh. Dengan bentrok pukulan tadi,
murid Wong Agung ini bisa mengukur bila tenaga
dalam sang gadis berbaju putih ini sangat kuat.
"Setan alas! Tampaknya pemuda ini bukan
orang sembarangan! Keyakinanku bahwa na
manya bukan nama sebenarnya makin terbukti!
Dia hanya berpura-pura mengaku sebagai penge-
lana malam! Hmm.... Siapa pun dia, yang pasti
dia sedang dalam perjalanan untuk mencari arca
itu! Dia harus segera disingkirkan!" batin Bidadari
Bertangan Iblis. Lalu gadis ini meloncat ke arah
Singa Betina Dari Timur dan berbisik.
"Singa Betina! Pengakuan pemuda ini tak
bisa dipercaya! Aku yakin pemuda ini tujuannya
sama dengan kita! Dia harus cepat kita sudahi!"
Sejenak Singa Betina Dari Timur masih
termangu memandangi Pendekar 108. Dalam hati
gadis ini pun sebenarnya punya dugaan seperti
saudara seperguruannya. Namun gadis berbaju
hijau ini punya perasaan lain yang ia sendiri tak
bisa menguraikannya, apalagi jika pandangan
matanya bertemu dengan pandangan mata Pen-
dekar 108.
"Singa Betina! Bagaimana pendapatmu?!"
tanya Bidadari Bertangan Iblis tatkala ditunggu
agak lama, Singa Betina Dari Timur belum juga
menyahut.
"Bidadari! Aku pun punya dugaan seperti-
mu! Tapi, kalau keadaan tidak terpaksa, lebih
baik kita usir saja dia dari sini! Terlalu banyak re-
siko jika kita langsung turun tangan untuk mem-
bunuhnya!"
Meski dalam hati dilanda berbagai perta-
nyaan atas kata-kata saudara seperguruannya,
namun Bidadari Bertangan Iblis tak menunjuk-
kan perasaan itu. Seraya maju setindak, ia berka-
ta lantang.
"He! Hari ini kami masih punya sedikit pe-
rasaan! Kuperingatkan dirimu sekali lagi. Lekas
tinggalkan tempat ini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 gelengkan
kepalanya perlahan.
"Bidadari! Singa Betina! Dengarlah sekali
lagi. Aku tak akan menyia-nyiakan pemandangan
bagus ini! Karena setelah berkelana berpuluh-
puluh tahun menjelajahi malam, baru kali ini aku
mendapatkan pemandangan sebagus ini! Jadi ba-
gaimanapun juga aku tak aman meninggalkan
tempat ini! Kalau kalian merasa terganggu, kalian
boleh pergi!"
"Keparat!" rutuk Bidadari Bertangan Iblis.
Kemarahan dalam diri sang gadis tampaknya su-
dah tidak bisa dibendung lagi. Apalagi ketika Aji
secara halus mengusir mereka dari tempat itu.
Maka dengan didahului bentakan keras Bidadari
Bertangan Iblis, kembali lancarkan serangan! Kali
ini dengan berkelebat ke samping, dan sebelum
kedua kakinya menginjak tanah, kedua tangan-
nya sudah menyentak ke arah Pendekar 108!
Pendekar 108 yang sedari tadi telah was-
pada, lesatkan tubuhnya ke atas menghindari se-
rangan Bidadari Bertangan Iblis. Namun murid
Wong Agung ini terperanjat, karena begitu tubuh-
nya berada di udara, dari sisi samping tiba-tiba
bersiur angin dahsyat.
Wuuuttt!
Tanpa berpaling ke sisi, Aji segera sentak-
kan tangan kanannya.
Wuuuttt!
Angin kencang melesat memapak samba-
ran angin dari arah sisi. Hebatnya, sentakan tan-
gan kanan Aji tak mampu membuat sambaran
angin yang melesat ke arahnya terpapasi! Samba-
ran angin yang melesat ke arahnya laksana punya
mata dan dapat dikendalikan. Karena begitu tan-
gan Aji menyentak, sambaran angin itu membelok
dan kini menyambar dari arah atas!
"Sialan!" maki Pendekar 108 seraya sen-
takkan kembali tangan kanannya ke atas!
Wuuuttt!
Plaaarrr!
Kali ini bentrok pukulan tak bisa dihindar-
kan lagi, karena Aji memang sengaja menunggu
hingga sambaran angin yang ke arahnya begitu
dekat.
Tapi, lagi-lagi murid Wong Agung ini dibuat
terkejut, karena begitu terjadi bentrok pukulan,
dan tubuhnya baru saja mendarat, Bidadari Ber-
tangan Iblis telah merangsek dari udara dengan
kaki menyilang, sementara kedua tangannya
mengarah pada kepala dan dada!
"Aku tak bisa tinggal diam! Urusan ini ha-
rus segera kuselesaikan! Waktu akan habis jika
berlama-lama!" pikir Aji. Kedua tangannya lalu
diangkat ke atas kepala, sementara kaki kanan-
nya diangkat sejajar dada.
Brak! Desss!
Bidadari Bertangan Iblis terdengar kelua-
rkan seruan tertahan, tubuhnya melenting balik
ke atas. Untung gadis ini segera membuat gera-
kan jungkir balik di udara, jika tidak niscaya tubuhnya akan jatuh terkapar.
Pendekar Mata Keranjang sendiri sempat
terseret tiga langkah ke belakang, namun ia sege-
ra dapat menguasai tubuhnya.
Melihat saudara seperguruannya dapat di-
buat mental ke udara, Singa Betina Dari Timur
yang sedari tadi hanya melihat cepat melompat.
Dan ketika Pendekar 108 baru dapat menguasai
tubuhnya, gadis berbaju hijau ini segera merang-
sek maju sambil hantamkan kedua tangannya!
Wuuuttt!
Sambaran angin kencang melesat menda-
hului hantaman tangan, hal ini menunjukkan
bahwa hantaman tangan itu bukan main-main.
Sadar akan hal itu, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat pula kelebatkan kedua tangannya dari arah
samping kanan dan kiri.
Prak! Prakkk!
Bentrok tangan yang sama-sama dialiri te-
naga dalam tak bisa dielakkan lagi.
Singa Betina Dari Timur terlihat mundur
sampai empat langkah ke belakang. Wajahnya
yang cantik nampak meringis menahan sakit pa-
da kedua tangannya. Sedangkan Pendekar Mata
Keranjang geser tubuhnya satu tindak ke arah
samping.
"Sudahlah! Tak ada gunanya hal ini dite-
ruskan! Kalian bisa kemari lagi besok malam! Ma-
lam ini biarlah keindahan sang rembulan jadi mi-
likku!" kata Pendekar 108 seraya usap-usap len-
gannya yang baru saja bentrok dengan tangan
Singa Betina Dari Timur.
"Jangan harap kau bisa melewati malam
ini dengan selamat!" bentak Bidadari Bertangan
Iblis, lalu tubuhnya berkelebat dan lenyap di uda-
ra!
Melihat hal ini, Singa Betina Dari Timur
tak tinggal diam, meski dalam hati masih dige-
layuti perasaan yang tak bisa diartikan, namun
gadis ini tak mau rencananya porak poranda.
Maka ia pun segera melesat ke udara.
Dari atas udara, tiba-tiba Bidadari Bertan-
gan Iblis telah bersatu dengan Singa Betina Dari
Timur, dan serta-merta kedua gadis dari daratan
Bima ini lancarkan serangan!
Bidadari Bertangan Iblis kerahkan segenap
tenaganya pada kedua tangannya, dan dihantam-
kan ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang.
Sebelum kedua tangan datang menghantam, ter-
lihat larikan-larikan sinar putih lebih dulu meng-
gebrak. Singa Betina Dari Timur yang tampaknya
tak mengharapkan kematian, hantamkan kedua
tangannya, tapi diarahkan pada kaki Pendekar
Mata Keranjang!
Melihat serangan bahaya dan datang dari
arah dua jurusan, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat buat gerakan jumpalitan. Kedua kakinya
melejang ke atas memapak kedua tangan Bidada-
ri Bertangan Iblis sementara kedua tangannya
mendorong ke depan memapak serangan Singa
Betina Dari Timur.
Des! Desss!
Terdengar dua kali seruan tertahan saat
kedua kaki dan tangan Pendekar 108 bertemu
dengan kedua tangan Bidadari Bertangan Iblis
dan Singa Betina Dari Timur.
Baik tubuh Bidadari Bertangan Iblis mau-
pun Singa Betina Dari Timur tampak mental ba-
lik. Namun yang dialami Bidadari Bertangan Iblis
agak parah, karena saat lancarkan serangan, ia
kerahkan segenap tenaga dalamnya. Hingga
tatkala tubuhnya mental balik, gadis ini tak dapat
lagi menguasai tubuh, dan tak ampun lagi tu-
buhnya terkapar di atas tanah! Sementara Singa
Betina Dari Timur meski sempat mental ke bela-
kang, namun bisa segera diatasi keadaan, hingga
gadis berbaju hijau ini masih bisa mendarat den-
gan tegak walau sebelumnya terlihat terhuyung-
huyung.
Hebatnya, meski Bidadari Bertangan Iblis
terkapar, namun gadis ini segera bergerak bang-
kit. Dan didahului bentakan melengking, Bidadari
Bertangan Iblis telah melesat kembali. Kedua tan-
gannya dibuka dan dihantamkan bertubi-tubi!
Hingga kejap itu juga larikan-larikan sinar putih
menebar hawa panas menghampar di tempat itu.
"Gila! Dia tampaknya tahan pukulan juga!
Aku harus berhati-hati!"
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat bang-
kit dan serta-merta kibaskan tangan kanannya
yang ternyata telah memegang kipas ungunya.
"Aku terpaksa menggunakan kipas agar
urusan ini cepat selesai!" kata Aji dalam hati.
Kilauan cahaya putih tampak menebar
membentuk kipas begitu Pendekar Mata Keran-
jang kibaskan tangan kanannya.
Wuuuttt! Weeesss!
Bidadari Bertangan Iblis berseru keras.
Bukan saja karena terkejut melihat serangannya
tertahan, namun juga karena menahan sakit oleh
hamparan hawa panas yang keluar dari tangan-
nya sendiri dan juga dari kipas Pendekar Mata
Keranjang! Tubuh gadis ini tampak terapung di
udara. Anehnya meski tak ada hasil, malah tatka-
la Aji lipat gandakan tenaga dalamnya, tubuh Bi-
dadari Bertangan Iblis terdorong ke belakang! Dan
saat Aji tarik pulang kipasnya lalu disentakkan
kembali, Bidadari Bertangan Iblis terpekik, tu-
buhnya makin melenting lebih jauh ke belakang
sebelum akhirnya melayang turun dan terkapar di
atas tanah!
"Jahanam laknat! Kau telah cederai sauda-
raku! Terimalah kematianmu!" teriak Singa Betina
Dari Timur. Rasa tidak ingin membunuh lelaki ini
mendadak hilang lenyap kala mengetahui Bidada-
ri Bertangan Iblis terkapar di tanah dengan darah
meleleh dari sudut bibirnya. Tanpa menunggu le-
bih lama lagi, gadis ini segera tarik kedua tan-
gannya ke belakang lalu diputar sebentar, dan ti-
ba-tiba tubuhnya melesat ke arah Pendekar Mata
Keranjang seraya hantamkan kedua tangannya ke
arah kepala. Bersamaan dengan hantaman tan-
gannya, sinar hitam menyambar deras keluarkan
suara menggemuruh!
Pendekar 108 tak mau ambil resiko. Meski
ia tahu bahwa tenaga dalam lawan masih bisa di-
jajari, namun karena ia ingin cepat selesaikan
urusan, maka kembali murid Wong Agung ini kibaskan kipasnya seraya rundukkan kepala. Tan-
gan kirinya dibuka dan didorong pelan.
Plarrr!
Terdengar letupan tatkala sinar hitam dari
telapak tangan Singa Betina Dari Timur meng-
hantam serangan yang keluar dari telapak tangan
Pendekar Mata Keranjang! Namun gadis ini tam-
paknya tak kenal takut, meski kedua tangannya
telah terasa ngilu dan sakit laksana ditusuk-
tusuk, tapi ia meneruskan lesatan tubuhnya. Ma-
lah kedua kakinya kini ia kem-bangkan dan di-
hantamkan dari arah samping kiri kanan Pende-
kar Mata Keranjang!
"Sialan! Seandainya cuaca terang, tentu
aku mendapat pemandangan lebih indah lagi!"
gumam Pendekar 108 saat matanya menangkap
kembangan kedua kaki Singa Betina Dari Timur.
Karena bersamaan dengan terkembangnya kaki,
pakaian bawah gadis ini yang dibuat membelah
tengah tampak menyibak dan memperlihatkan
kedua paha yang ada di baliknya!
Namun murid Wong Agung ini tak bisa ber-
lama-lama menikmati paha di balik pakaian ba-
wah Singa Betina Dari Timur, karena saat itu juga
hantaman kaki telah melabraknya dari samping
kanan dan kiri.
Pendekar 108 cepat undurkan langkah sa-
tu tindak, tiba-tiba tubuhnya di robohkan ke be-
lakang dengan pantat terlebih dahulu. Dan serta-
merta kedua kakinya diangkat menyilang ke ka-
nan dan kiri!
Prak! Prakkk!
Singa Betina Dari Timur terdengar meme-
kik. Tubuhnya terbanting ke tanah dengan pung-
gung terlebih dahulu, sementara Pendekar Mata
Keranjang 108 tarik pulang kedua kakinya seraya
meringis. Dan ketika murid Wong Agung ini meli-
rik pada kedua kakinya, ia sedikit terkejut. Kedua
kakinya telah berwarna kebiru-biruan akibat ben-
trok dengan kedua kaki Singa Betina Dari Timur.
Sadar bahwa pemuda di hadapannya lebih
tinggi ilmunya, Singa Betina Dari Timur palingkan
wajahnya pada Bidadari Bertangan Iblis yang kini
tampak telah berdiri. Ia seakan minta pertimban-
gan.
Di belakang, Bidadari Bertangan Iblis sen-
diri tampak ragu-ragu antara meneruskan perta-
rungan yang ia percaya tak dapat ia menangkan,
atau meninggalkan tempat itu yang berarti tu-
juannya akan tak sampai.
Selagi kedua gadis ini terbawa perasaan
masing-masing, Pendekar Mata Keranjang 108
bangkit dan seraya mengusap-usap mulutnya ia
berkata.
"Bidadari Bertangan Iblis, Singa Betina Da-
ri Timur! Aku sarankan pada kalian agar segera
tinggalkan tempat ini! Aku tahu, kalian datang
jauh-jauh dengan tujuan memburu Arca Dewi
Bumi. Benar...? Tapi ketahuilah oleh kalian, ben-
da itu kini banyak dibicarakan dan diperebutkan
tokoh-tokoh baik dari golongan hitam maupun go-
longan putih! Aku tahu, ilmu kalian tidak cetek,
namun menurutku, untuk menghadapi tokoh-
tokoh yang sedang memburu arca itu kalian akan
tergilas! Sungguh amat disayangkan jika gadis-
gadis cantik seperti kalian harus dihantam badai
di tanah Jawa ini!"
Habis berkata, Pendekar Mata Keranjang
108 balikkan tubuh dengan kepala tengadah me-
mandangi sang rembulan yang kini telah bergeser
dan berada di atas puncak Gunung Kembar.
Untuk beberapa saat lamanya, baik Bida-
dari Bertangan Iblis maupun Singa Betina Dari
Timur terdiam. Namun sesaat kemudian Singa
Betina Dari Timur bangkit dan segera melangkah
ke arah Bidadari Bertangan Iblis.
"Bagaimana Bidadari...?!" tanya Singa Beti-
na Dari Timur begitu dekat.
Bidadari Bertangan Iblis tak segera menja-
wab. Pandangan matanya diarahkan pada Pende-
kar Mata Keranjang, lalu beralih pada rembulan
yang memancarkan warna merah. Setelah mena-
rik napas panjang, ia berkata.
"Kita telah melakukan perjalanan cukup
jauh, apakah kita akan balik begitu saja karena
gertak sambal pemuda itu? Tidak! Kita teruskan
perjalanan memburu arca itu! Karena menurut
keterangan pemuda itu, berarti arca itu betul-
betul ada!"
Singa Betina Dari Timur tatapi wajah sau-
dara seperguruannya. Dahinya mengernyit. Na-
mun ia tak keluarkan suara.
"Kau takut...? Atau kau tertarik dengan
pemuda itu...?!" kata Bidadari Bertangan Iblis
tanpa alihkan pandangannya.
Paras wajah Singa Betina Dari Timur kon
tan berubah saat mendengar kata-kata saudara
seperguruannya. Meski dalam hati ia tak me-
nyangkal, namun ia merasa tak pantas mengata-
kan hal itu pada saudara seperguruannya dalam
situasi yang demikian ini. Maka untuk menutupi
perasaannya, gadis berbaju hijau ini berkata.
"Bidadari! Kita dalam perjalanan memburu
benda mustika, tidak layak kiranya kita membica-
rakan soal tertarik atau tidak pada seorang pe-
muda!"
Bidadari Bertangan Iblis palingkan wajah-
nya pada Singa Betina Dari Timur. Sejurus di-
pandanginya saudara seperguruannya itu seakan
ingin meyakinkan apa yang baru saja diucapkan.
"Kenapa kau memandangiku seperti itu?"
tanya Singa Betina Dari Timur merasa tak enak.
Bidadari Bertangan Iblis tersenyum.
"Bila begitu kau setuju dengan rencanaku
tadi! Meneruskan perjalanan ini dan membunuh
pemuda itu!"
Mungkin karena tak mau terjadi silang
pendapat, atau mungkin untuk menutupi pera-
saannya dan tak mau menyakiti hati saudara se-
perguruannya, dengan berat hati Singa Betina
Dari Timur anggukan kepala.
Meski dalam hati masih ada ganjalan, me-
lihat anggukan kepala Singa Betina Dari Timur,
Bidadari Bertangan Iblis alihkan pandangannya
pada Pendekar 108 yang kini masih tegak membe-
lakangi mereka, lalu berkata.
"Kita hadapi bersama-sama!"
Habis berkata begitu, Bidadari Bertangan
Iblis takupkan kedua tangannya sejajar dada, ma-
tanya dipejamkan, sedangkan mulutnya berke-
mik-kemik. Melihat hal itu, Singa Betina Dari Ti-
mur tak tinggal diam. Dia segera pula melakukan
seperti yang diperbuat Bidadari Bertangan Iblis.
Di depan, merasa dua gadis di belakangnya
tak lagi keluarkan percakapan dan merasa kata-
katanya dituruti agar keduanya segera mening-
galkan tempat itu, Pendekar Mata Keranjang
membatin.
"Hmm.... Mereka tampaknya menuruti ka-
ta-kataku. Itu memang lebih baik! Terlalu sayang
jika gadis-gadis cantik seperti mereka harus mati
muda. Ah.... Kenapa aku harus terlalu pikirkan
hidup mereka...?"
Aji lantas luruskan pandangannya ke sela
Gunung Kembar yang tampak kemerahan dan
banyak ditumbuhi semak belukar tinggi merangas
serta pohon-pohon berdaun lebat.
"Berita tentang arca ini nyatanya telah me-
nyebar hingga luar tanah Jawa.... Hmm.... Aku
harus segera mendapatkannya! Bukan tidak mus-
tahil tempat beradanya arca itu pun telah diketa-
hui banyak orang!"
Berpikir begitu, murid Wong Agung ini lan-
tas melangkah dan hendak berkelebat. Namun
baru saja kakinya bergerak, terdengar suara tawa
mengekeh panjang.
Secepat kilat Pendekar Mata Keranjang pa-
lingkan wajahnya ke arah sumber tawa. Demikian
juga Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur. Malah dua gadis ini berpaling sambil
undurkan kaki masing-masing satu tindak, kare-
na suara tawa mengekeh panjang itu mengan-
dung tenaga dalam tinggi, bukan saja mampu
membuat konsentrasi kedua gadis ini buyar, na-
mun juga mampu membuat tanah di tempat itu
bergetar!
TIGA
PENDEKAR 108 tersentak kaget. Demikian
juga Bidadari Bertangan Iblis serta Singa Betina
Dari Timur. Karena begitu kepala masing-masing
bergerak berpaling, tak seorang pun terlihat!
Pendekar Mata Keranjang lantas alihkan
pandangannya pada Bidadari Bertangan Iblis dan
Singa Betina Dari Timur meski dia percaya bahwa
kekehan tawa tadi bukan keluar dari dua gadis
cantik ini.
Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur pun lantas alihkan pandangan mas-
ing-masing pada Aji begitu mata mereka tak me-
nemukan siapa-siapa. Sejenak mata dua gadis ini
beradu dengan mata Pendekar Mata Keranjang
108.
Sepasang mata Bidadari Bertangan Iblis
terlihat membesar dan berkilat-kilat. Wajahnya je-
las masih menyembunyikan perasaan dendam.
Namun tak demikian halnya dengan Singa Betina
Dari Timur. Ser pasang mata gadis berbaju hijau
ini tampak bulat tanpa kilatan-kilatan rasa benci.
Malah paras mukanya tampak berubah merah
dan buru-buru mengalihkan pandangan pada ju-
rusan lain, meski tubuhnya tetap lurus mengha-
dap Aji.
Hal ini tampaknya tak lepas dari pandan-
gan murid Wong Agung. Diam-diam dalam hati
dia berkata.
"Hmm.... Bidadari Bertangan Iblis tampak-
nya masih menaruh benci padaku! Sedangkan
Singa Betina Dari Timur rupanya sebaliknya!
Seandainya aku tidak sedang dalam mengemban
tugas, ingin rasanya aku mengenal mereka lebih
jauh...."
Selagi ketiga orang ini sedang dilanda pera-
saan masing-masing, terdengar kembali suara ta-
wa mengekeh panjang. Dan sebelum ketiga orang
ini gerakan masing-masing kepala ke arah sumb-
er suara tawa, sesosok bayangan telah berkelebat
dan tahu-tahu telah berdiri di samping Pendekar
108.
Sepasang matanya membeliak besar pan-
dangi Pendekar 108, lantas beralih pada Bidadari
Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur.
Pendekar 108 berkerut dahi, sepasang ma-
tanya memperhatikan sosok yang kini tak jauh di
sampingnya. Sementara Bidadari Bertangan Iblis
dan Singa Betina Dari Timur terlihat surutkan
langkah masing-masing satu tindak seraya men-
gawasi tak berkedip.
Sosok yang baru datang ternyata adalah
seorang manusia yang sulit dikenali laki perem-
puannya. Melihat bentuk tubuhnya dia bisa dis-
ebut laki-laki. Namun jika melihat paras wajah
nya yang memakai bedak putih tebal serta bibir
merah menyala dipoles, dia adalah seorang pe-
rempuan. Rambut sosok ini panjang sebahu, na-
mun bagian atasnya dipotong pendek hingga
menjadi jabrik. Bibirnya yang dipoles merah itu
tampak tebal sebelah atas. Hidungnya besar dan
bengkok. Tapi yang membuat sosok ini seram,
tangan kanannya menggenggam sebuah tombak
yang ujungnya bercabang tiga berwarna kuning
dan sisi-sisinya lebih besar dari tengahnya. Pang-
kalnya agak menggelembung dan membentuk se-
kuntum bunga! Dan sosok ini tingginya tak lebih
dari ukuran pinggang orang biasa!
"Bawuk Raga Ginting!" seru Pendekar Mata
Keranjang begitu dapat mengenali sosok cebol di
sampingnya. "Sialan! Dari mana dia tahu tempat
ini? Apakah dia datang sendirian atau bersama
muridnya...?" batin Aji seraya tebarkan pandan-
gan berkeliling.
"Siapa kau?!" bentak Bidadari Bertangan
Iblis dengan mata tetap tak beranjak memperha-
tikan sosok cebol di sampingnya. Meski ia tahu
bahwa sosok cebol di sampingnya adalah orang
berilmu tinggi, karena suara tawanya saja mampu
membuat tanah bergetar, namun gadis berbaju
putih tipis ini tak menunjukkan rasa takut sama
sekali. Bahkan seraya membentak, bibirnya ter-
senyum sinis
Manusia cebol berbedak tebal dan berbibir
merah polesan yang bukan lain memang Bawuk
Raga Ginting guru dari Pandu atau manusia yang
berjuluk Gembong Raja Muda, tertawa mengekeh
(Tentang Bawuk Raga Ginting dan Gembong Raja
Muda baca serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode : "Gembong Raja Muda").
Namun mendadak saja Bawuk Raga Gint-
ing hentikan tawanya. Sepasang matanya me-
nyengat tajam pandangi silih berganti pada Bida-
dari Bertangan Iblis serta Singa Betina Dari Ti-
mur.
"Gadis-gadis jelek! Kalian tak pantas tanya
padaku! Aku yang punya hak ajukan pertanyaan
pada kalian! Siapa kalian?! Dan apa tujuan kalian
malam-malam begini keluyuran ke tempat ini?!"
"Singa Betina! Banci cebol ini lagaknya
sombong betul! Dia belum tahu sedang berhada-
pan dengan siapa saat ini!" berkata dara baju pu-
tih Bidadari Bertangan Iblis seraya palingkan wa-
jah dan tertawa sinis.
"Manusia tak normal biasanya memang
berlagak. Apa dikira wajahnya lebih cantik dari
monyet dibedaki...?!" sambung Singa Betina Dari
Timur sambil palingkan muka dan meludah ke
tanah.
Dalam menghadapi Bawuk Raga Ginting,
sifat asli kedua gadis ini yang begitu meremehkan
orang dan sombong terlihat jelas.
Mendengar ucapan kedua gadis di sam-
pingnya, Bawuk Raga Ginting bukannya marah.
Sebaliknya Penghuni Bandar Lor ini malah terta-
wa perlahan, namun makin lama makin panjang
dan makin keras. Bersamaan dengan meledaknya
tawa Bawuk Raga Ginting, tiba-tiba tanah di tem-
pat itu bergetar, angin berhembus kencang hingga
membuat pakaian bagian bawah Bidadari Bertan-
gan Iblis dan Singa Betina Dari Timur terlihat
berkibar-kibar menampakkan paha masing-
masing yang mulus.
Melihat hal ini, baik Bidadari Bertangan Ib-
lis maupun Singa Betina Dari Timur segera ke-
rahkan tenaga dalam masing-masing pada kedua
kaki dan telinga. Demikian pula Pendekar Mata
Keranjang.
"Gawat! Masalah ini akan jadi berkepan-
jangan. Bagaimana sekarang? Meneruskan perja-
lanan kurasa tak mungkin, selain tempatnya su-
dah dekat juga terlalu beresiko! Tetap di sini be-
rarti harus berhadapan dengan Bidadari Bertan-
gan Iblis, Singa Betina Dari Timur serta Bawuk
Raga Ginting...! Daripada meneruskan mencari
Sahyang Resi Gopala dengan dibayang-bayangi
perasaan tak tenang, lebih baik kuselesaikan du-
lu mereka!" putus Pendekar 108. Namun, murid
Wong Agung ini masih tak ucapkan sepatah kata
pun. Ia hanya diam seraya mengawasi tiga orang
di sekelilingnya yang kini tengah saling keluarkan
tenaga dalam masing-masing.
Singa Betina Dari Timur berpaling pada
saudara seperguruannya, lalu berkata.
"Bidadari! Percuma kita main-main begini.
Malam sudah merangkak makin jauh sedangkan
waktu kita terbatas, sebaiknya kita lunasi si Ce-
bol ini!"
"Cebol! Apakah kau sudah tahu, sedang
berhadapan dengan siapa kali ini? Dan apakah
kau telah berpamitan pada anak cucumu di hutan sebelah itu?!" yang berkata kali ini adalah Bi-
dadari Bertangan Iblis.
Bawuk Raga Ginting hentikan tawanya.
Wajahnya berubah merah padam dan matanya
melotot angker. Pelipisnya bergerak-gerak mem-
buat bedak tebal di wajahnya merekat, sementara
tangan kanannya yang memegang tombak berge-
rak meremas hingga saat itu juga terdengar suara
gemeretak.
"Kunyuk kecil biadab! Aku tak usah tahu
siapa kalian kalau hanya untuk membunuh!" te-
riak Bawuk Raga Ginting. Ia lalu angkat tombak-
nya dan diputar pulang balik ke kiri dan ke ka-
nan. Kejap itu juga terdengar suara menderu-
deru laksana kobaran api tersapu hamparan an-
gin kencang. Dan bersamaan itu pula hawa panas
menyesaki tempat itu!
"Gadis-gadis sembrono! Mereka tak tahu
sedang berhadapan dengan siapa! Tapi aku tak
akan bertindak dahulu!" batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Dia amat menyayangkan tindakan
Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari
Timur yang menganggap remeh Bawuk Raga Gint-
ing.
Di seberang, melihat apa yang dilakukan
Bawuk Raga Ginting, Bidadari Bertangan Iblis
menyeringai lalu berkata pada Singa Betina Dari
Timur.
"Monyet berbedak ini tampaknya ingin un-
juk kebolehan akrobat di hadapan kita! Apa dikira
kita akan tertawa oleh banyolannya?"
"Betul! Dikira kita penonton yang tak
punya bekal!" timpal Singa Betina Dari Timur
sambil tertawa pendek.
Bawuk Raga Ginting tiba-tiba percepat pu-
taran tombaknya. Dan tubuhnya lantas melenting
ke udara. Di atas udara ia putar tubuhnya bebe-
rapa kali, namun mendadak dengan gerak yang
sukar diikuti mata, tubuhnya menukik deras ke
arah Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur!
Kedua gadis ini yang tidak menduga sama
sekali tampak terkejut. Buru-buru keduanya han-
tamkan masing-masing tangannya ke atas!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Namun betapa terkejutnya kedua gadis da-
ri daratan Bima ini. Karena serangan keduanya
hanya menghantam udara! Sosok Bawuk Raga
Ginting yang tadi terlihat menukik ke arah mere-
ka laksana lenyap di telan bumi.
Selagi kedua gadis ini tenggelam dalam ke-
terkejutan, dari arah samping terdengar angin
menderu dahsyat. Kedua gadis ini segera berpal-
ing ke samping. Angin menggemuruh yang men-
geluarkan hawa panas menyambar ke arah kedu-
anya! Namun kedua gadis ini tetap tak menemu-
kan sosok Bawuk Raga Ginting!
"Hati-hati! Kita harus berpencar!" bisik Bi-
dadari Bertangan Iblis seraya melompat ke samp-
ing untuk menghindari sambaran angin.
"Ya. Kita harus berpencar untuk memecah
perhatiannya!" timpal Singa Betina Dari Timur se-
raya melompat pula ke samping berlawanan.
Namun baru saja kedua gadis ini jejakkan
kaki masing-masing di atas tanah, terdengar sua-
ra tawa panjang Bawuk Raga Ginting.
Kedua gadis cantik ini makin heran dan
terkejut, karena suara tawa itu datang dari atas!
Dan belum lenyap rasa heran keduanya, tiba-tiba
sosok Bawuk Raga Ginting telah menukik ke arah
Bidadari Bertangan Iblis dengan kedua kaki mele-
jang-lejang. Hebatnya, meski kedua kaki Bawuk
Raga Ginting tampak mungil, namun sambaran
angin yang keluar bersamaan dengan lejangan
kakinya sungguh sulit dipercaya. Karena samba-
ran angin itu mampu menghamburkan tanah di
bawahnya!
Melihat hal ini, Bidadari Bertangan Iblis
cepat angkat kedua tangannya lalu dihantamkan
ke arah Bawuk Raga Ginting.
Suara tawa Bawuk Raga Ginting tiba-tiba
lenyap! Tubuhnya pun mendadak lenyap, dan se-
rangan Bidadari Bertangan Iblis untuk kedua kali
menghajar udara kosong! Saat itulah tiba-tiba si
baju putih Bidadari Bertangan Iblis terdengar
berseru tertahan. Bukan hanya karena terkejut
namun juga karena Bawuk Raga Ginting telah sa-
tu langkah di belakangnya dan kaki kanannya
menerjang deras ke arah punggungnya!
Desss!
Karena Bidadari Bertangan Iblis tak me-
nyangka, maka gadis baju putih ini tak bisa lagi
mengelak dari terjangan kaki Bawuk Raga Gint-
ing. Hingga saat itu juga tubuhnya terdorong ke
depan. Di saat demikian itulah, Bawuk Raga Gint-
ing lantas dorong kedua tangannya.
Wuuttt!
Angin deras menggebrak. Bidadari Bertan-
gan Iblis yang sedang terdorong tak bisa meng-
hindar, hingga tubuhnya terhantam telak puku-
lan jarak jauh Bawuk Raga Ginting.
Gadis berbaju putih ini menjerit tinggi. Tu-
buhnya makin deras terdorong ke depan sebelum
akhirnya terjerembab mencium tanah!
Melihat saudara seperguruannya roboh,
Singa Betina Dari Timur yang dari tadi tampak
terkesima, tersadar dari rasa terkesimanya. Ia se-
gera meloncat ke arah Bawuk Raga Ginting. Dan
tanpa bicara lagi, kedua tangannya langsung di-
hantamkan ke arah kepala. Sinar hitam berlesa-
tan terlebih dahulu sebelum kedua tangan itu
sendiri menghajar sasaran!
Bawuk Raga Ginting sunggingkan senyum
sinis. Tombak di tangan kanannya ditancapkan
ke atas tanah. Kedua tangannya lalu bergerak lu-
rus bersamaan dengan rundukkan kepalanya
menghindari hantaman serangan lawan. Dan be-
gitu serangan lawan lewat satu jengkal di atas ke-
palanya, kedua tangannya cepat melesat.
Singa Betina Dari Timur tampak terkejut,
karena pinggangnya terasa dapat dipegang oleh
tangan Bawuk Raga Ginting. Gadis ini segera ge-
rakan kedua kakinya hendak menerjang, namun
gerakannya tertahan, karena saat itu juga Bawuk
Raga Ginting telah sapukan kakinya ke arah kaki
Singa Betina Dari Timur.
Prakkk!
Tubuh Singa Betina Dari Timur tampak
oleng ke samping, dan saat itulah tangan Bawuk
Raga Ginting mencengkeram pinggang gadis itu
dan serta-merta dibantingkan ke samping!
Buk!
Karena bantingan itu bersamaan dengan
olengnya tubuh, membuat tubuh Singa Betina
Dari Timur menghantam tanah dengan deras. Da-
rah telah tampak meleleh dari sudut bibir gadis
berbaju hijau ini. Kakinya pun terasa hendak
penggal dan panas membara!
Bawuk Raga Ginting tertawa mengekeh. La-
lu melangkah mendekati Singa Betina Dari Timur.
Namun baru saja dua tindak, Aji segera berkele-
bat dan menghadang.
Bawuk Raga Ginting hentikan langkah. Se-
pasang matanya sejenak mengawasi Pendekar
Mata Keranjang. Dahinya mengernyit. Kepalanya
lalu mendongak. Dari mulutnya terdengar suara
tawa. Namun tawa itu hanya pendek. Seraya tetap
mendongak, ia berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau ten-
tunya masih ingat kata-kata terakhirku dahulu.
Malam ini perhitungan kita akan tuntas! Kau su-
dah siap?!"
Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur saling pandang begitu Bawuk Raga
Ginting sebutkan gelar Aji. Aji sendiri tampak
sunggingkan senyum dan berkata.
"Bawuk Raga Ginting! Perhitungan di anta-
ra kita bagiku telah kuanggap selesai! Dan kalau
kau tak ingin mengalami nasib yang lebih parah
daripada waktu yang silam, lekas tinggalkan tempat ini!"
Bawuk Raga Ginting tertawa ngakak men-
dengar ucapan Pendekar 108, membuat bedak di
wajahnya tampak rekat dan jatuh berguguran.
Kepalanya lantas bergerak dan lurus memandangi
Pendekar 108.
"Pendekar 108! Dengar baik-baik! Perhi-
tungan di antara kita tak akan selesai sebelum
satu di antara kita pergi ke akhirat! Dan malam
ini akan kita tentukan siapa di antara kita yang
pergi terlebih dahulu!"
Habis berkata begitu, Bawuk Raga Ginting
tampak tengadahkan kepala kembali. "Kau sudah
siap...?!"
Begitu ucapannya selesai, Bawuk Raga
Ginting jejakkan sepasang kakinya ke atas tanah.
Tubuhnya yang mungil melesat ke udara. Dari
atas udara Penghuni Lembah Bandar Lor ini lang-
sung kirimkan serangan! Tangan kirinya dibuka,
dan didorong kearah Aji. Sementara tangan ka-
nannya yang menggenggam tombak memutar-
mutar suara yang menggemuruh, sementara dari
arah samping terdengar suara menderu-deru
yang mengeluarkan hawa panas keluar dari puta-
ran tombak. Melihat hal ini jelas bahwa Bawuk
Raga Ginting ingin segera menyudahi Pendekar
Mata Keranjang 108.
Pendekar 108 untuk sesaat masih tegak
sambil memperhatikan, lalu tubuhnya ia putar
satu kali, dan serta-merta tangan kanannya yang
telah menggenggam kipas ia sabetkan meleng-
kung ke depan, sementara tangan kirinya didorong.
Sinar lengkung membentuk kipas, segera
melesat, sementara dari tangan kirinya menyam-
bar sinar putih berkilauan yang disertai suara le-
dakan gelombang ombak! Kejap itu juga tempat
itu berubah menjadi terang benderang bersemu
merah!
Blaaammm!
Tanah di tempat itu kontan bergetar dan
terbongkar! Semak belukar serta pohon yang tak
jauh dari situ berderak dan akhirnya tumbang!
Hebatnya, sosok Bawuk Raga Ginting sepertinya
tak tergoyahkan. Memang, untuk sesaat sosoknya
tampak tertahan di udara, namun begitu ledakan
terdengar, sosoknya kembali melesat dan kini
menukik deras ke arah Pendekar 108 dengan se-
pasang kaki lurus sementara tombaknya men-
gayun dari bawah ke atas!
Pendekar 108 yang terjajar dua langkah ke
belakang cepat angkat tangan kirinya dan dis-
ilangkan di depan kepala, sementara tangan ka-
nannya kembali menebarkan kipas.
Werrr!
Sosok Bawuk Raga Ginting yang sedang
menukik tiba-tiba tertahan. Namun manusia ce-
bol ini segera lipat gandakan tenaga dalamnya,
dan kejap itu juga tombaknya dihujamkan ke
arah Pendekar Mata Keranjang 108.
Wuuuttt!
Kalau sosok Bawuk Raga Ginting tertahan,
tidak demikian halnya dengan tombaknya. Tom-
bak itu terus melesat meski Aji telah kembali kibaskan kipasnya.
"Gila!" maki Pendekar Mata Keranjang se-
raya melompat ke samping. Namun gerakannya
tertahan karena saat itu juga sosok Bawuk Raga
Ginting telah berhasil menerobos dan kini ka-
kinya mengarah pada arah gerakan tubuh Pende-
kar 108.
Pendekar 108 terjajar hingga satu tombak
ke belakang begitu terjangan Bawuk Raga Ginting
beradu dengan tangan kirinya. Tapi tampaknya
Bawuk Raga Ginting tak mau lagi memberi ke-
sempatan. Begitu sosok Aji terjajar, Bawuk Raga
Ginting lipatkan tenaga dalamnya dan sekonyong-
konyong menerjang kembali! Hebatnya, sambil
melesat menerjang, tangan kirinya menyambar
tombak yang tak mengena sasaran dan kini ter-
tancap di atas tanah.
Pendekar 108 cepat melompat mundur un-
tuk menghindar, namun naas, karena di bela-
kangnya menghadang pohon besar. Satu-satunya
jalan untuk selamatkan diri tiada lain harus
menghindar ke samping kanan atau kiri.
Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang
memutuskan untuk menghindar ke samping ka-
nan, tiba-tiba tombak Bawuk Raga Ginting telah
melesat ke arah kanan! Kini tanpa bisa dihindari
lagi Pendekar Mata Keranjang harus menghindar
ke samping kiri. Rupanya hal itu telah diperhi-
tungkan oleh Bawuk Raga Ginting karena begitu
tubuh Aji bergerak ke arah kiri, Bawuk Raga
Ginting menggebrak ke kiri!
Terjangan kaki Bawuk Raga Ginting yang
terkenal dengan jurus ‘Sapu Bumi’ memang ber-
hasil dihindarkan dengan melesat satu tombak ke
atas. Terjangan kaki itu menghantam pohon
hingga berderak tumbang, namun tangan kanan
Bawuk Raga Ginting yang tiba-tiba melesat men-
gikuti lesatan tubuhnya tak lagi bisa dielakkan.
Desss!
Tubuh Pendekar 108 melayang ke belakang
begitu tangan kanan Bawuk Raga Ginting meng-
hajar perutnya. Baju di bagian perut itu robek
dan ia sendiri terkapar di atas tanah dengan pe-
rut terasa ingin muntah
Melihat hal ini Singa Betina Dari Timur
yang telah bangkit segera melompat ke dekat Bi-
dadari Bertangan Iblis.
"Bidadari! Apa yang harus kita perbuat se-
karang?"
Bidadari Bertangan Iblis tak segera buka
suara. Sepasang matanya masih mengawasi ke
arah Bawuk Raga Ginting dan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 silih berganti. Lalu tak lama kemu-
dian berpaling pada Singa Betina Dari Timur dan
berkata.
"Lebih baik kita tunggu saja selesainya per-
tarungan ini! Dan siapa pun pemenangnya, kita
hadapi bersama-sama!"
"Tapi...," Singa Betina Dari Timur tak me-
neruskan ucapannya, karena belum selesai dia
bicara, Bidadari Bertangan Iblis telah menyahut.
"Singa Betina! Lupakan dahulu tentang ja-
sa pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
itu! Tantangan yang akan kita hadapi tampaknya
demikian besar. Tapi kita tak boleh mundur! Ba-
gaimana pendapatmu?!" Bidadari Bertangan Iblis
balik ajukan pertanyaan.
Meski dalam hati masih tak menyetujui ja-
lan pikiran saudara seperguruannya, Singa Beti-
na Dari Timur anggukan kepala dan berkata.
"Bidadari! Kita memang tak boleh mundur
walau apa pun yang terjadi! Arca itu harus bisa
kita rebut!"
Bidadari Bertangan Iblis tersenyum. Di-
pandangnya lekat-lekat wajah saudara sepergu-
ruannya. Namun mendadak wajah Bidadari Ber-
tangan Iblis berubah.
"Adakah sesuatu yang mengganjal di hati-
mu?" tanya Singa Betina Dari Timur begitu men-
dapati perubahan pada wajah Bidadari Bertangan
Iblis.
Bidadari Bertangan Iblis menghela napas
panjang. Pandangannya kini mengarah pada sang
rembulan.
"Singa Betina! Seumur hidupku, baru kali
ini aku melihat bulan berwarna merah darah.
Apakah pertarungan di tempat ini awal dari tanda
banjirnya darah seperti diisyaratkan oleh merah-
nya bulan itu...?"
Singa Betina Dari Timur ikut-ikutan me-
mandang ke arah sang rembulan.
"Isyarat kadang-kadang memang jadi ke-
nyataan. Namun apakah kita harus mundur
hanya sebab sebuah isyarat yang belum tentu jadi
kenyataan?"
Bidadari Bertangan Iblis kembali menghela
napas panjang. Mulutnya kembali membuka hen-
dak berkata, namun ia urungkan tatkala dari
arah depan terdengar Bawuk Raga Ginting angkat
bicara.
"Pendekar 108! Sungguh malang nasibmu
karena harus mati muda! Tentunya kau belum
merasakan nikmatnya sorga dunia! Tapi percaya-
lah.... Di alam barumu nanti kau akan merasakan
hal itu! Hik.... Hik.... Hik...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 yang kini te-
lah bangkit melangkah satu tindak ke depan. Se-
pasang matanya menyengat tajam memperhati-
kan Bawuk Raga Ginting, lalu berkata.
"Kunyil!" Aji memanggil Bawuk Raga Gint-
ing dengan nama aslinya. "Urusan nasib dan mati
adalah urusan yang di atas sana!"
Bawuk Raga Ginting tertawa panjang hing-
ga bahunya tampak berguncang.
"Begitu...? Akan kubuktikan bahwa kema-
tianmu adalah urusanku! Dan nasibmu ada di
tanganku!"
Habis berkata begitu, Bawuk Raga Ginting
putar tubuhnya dengan cepat. Tiba-tiba sosoknya
lenyap dari pandangan. Namun sesaat kemudian
Penghuni Lembah Bandar Lor ini telah berada li-
ma langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang
dengan kedua tangan bersilangan di depan dada.
Tombaknya tetap berputar di tangan kanannya
yang menyilang dan tetap keluarkan deruan ber-
talu-talu.
Pendekar 108 yang telah waspada segera
undurkan langkah satu tindak. Kipas ungunya telah ia pindahkan ke tangan kiri, sementara tan-
gan kanannya membuka dan ditarik sedikit ke be-
lakang sejajar dada. Tampaknya murid Wong
Agung telah siap dengan jurus 'Bayu Kencana'!
Namun baru saja kedua orang ini hendak
sama-sama lancarkan jurus masing-masing, ter-
dengar suara tawa mengekeh.
Baik Pendekar 108 maupun Bawuk Raga
Ginting urungkan niat masing-masing, karena
suara tawa itu begitu membahana. Bahkan mesti
kedua orang ini telah menahan dengan keluarkan
tenaga dalam, namun suara tawa itu seakan tak
bisa dibendung. Terus membahana dan menya-
kitkan gendang telinga!
Pendekar 108 dan Bawuk Raga Ginting li-
patkan tenaga dalamnya masing-masing, namun
kedua orang ini terkejut bukan alang kepalang.
Karena tenaga dalam mereka tak mampu mem-
bendung suara tawa, hingga kedua orang ini sa-
ma-sama gerakan tangan masing-masing untuk
menutup telinganya.
Kalau Pendekar 108 dan Bawuk Raga Gint-
ing sampai menutupi kedua telinga masing-
masing, yang dialami Bidadari Bertangan Iblis
dan Singa Betina Dari Timur lebih parah lagi. Ke-
dua gadis ini telah mencoba menahan suara tawa
dengan kerahkan tenaga dalam, namun usahanya
sia-sia. Dan tatkala kedua gadis ini takupkan
tangan masing-masing pada telinganya, keduanya
terkejut. Tangan masing-masing terasa hangat
dan basah. Dan ketika mereka menarik tangan-
nya, mereka sama-sama keluarkan pekikan tertahan. Ternyata kedua tangan mereka telah basah
oleh darah! Darah yang keluar dari telinga mas-
ing-masing karena tertekan tenaga dalam suara
tawa yang tak mampu mereka tangkis! Bukan
hanya sampai di situ, ketika suara tawa itu terus
membahana, kedua gadis ini tampak oleng dan
tak lama kemudian jatuh berguling-guling di atas
tanah seraya memekik kesakitan!
Namun suara tawa membahana itu tiba-
tiba lenyap, suasana hening mencekam tempat
itu. Pendekar 108 dan Bawuk Raga Ginting tebar-
kan pandangan masing-masing. Saat itulah men-
dadak terdengar suara orang bersyair.
EMPAT
MALAM merangkak larut pada genggaman
bulan merah.
Malam ini rembulan merah mengambang di
lingkaran angkasa.
Segalanya merah, merah laksana darah!
Di mana manusia akan mendapatkan setitik
penerang warna putih?
Malam menyusur meninggalkan bentangan
warna merah.
Ah, betapa mahalnya harga sebuah pene-
rang putih.
Hanya manusia berhati putih yang akan
mendapatkannya!
"Siapa gerangan yang mengucapkan syair
itu? Tenaga dalamnya demikian hebat! Adakah
orang ini juga menginginkan arca itu...? Hmm....
Dia sepertinya tahu akan isyarat yang diberikan
oleh sang rembulan. Adakah isyarat itu akan jadi
kenyataan...? Darah.... Apakah memang akan ter-
jadi pertumpahan darah besar di tempat ini?" Aji
membatin seraya tebarkan kembali pandangan
matanya. Namun hingga matanya lelah menebar,
ia tidak menemukan seorang pun!
Apa yang ada di benak Aji tak jauh beda
dengan apa yang ada di hati Bawuk Raga Ginting.
"Siapa pun adanya orang yang keluarkan
tawa dan nyanyikan syair, yang pasti dia manusia
berilmu sangat tinggi! Kalau dia ikut-ikutan
memburu arca itu, masalah akan makin panjang!
Hm..., bulan merah, apakah itu isyarat akan ter-
jadinya pertumpahan darah malam ini? Peduli
dengan semua itu! Siapapun dia dan apa pun
yang bakal terjadi, tekadku telah bulat! Aku ha-
rus pulang dengan membawa Arca Dewi Bumi!"
Sementara itu, Bidadari Bertangan Iblis
dan Singa Betina Dari Timur yang telah bangkit
dan kini duduk bersila berdampingan tampak sal-
ing pandang. Wajah kedua gadis ini masih tam-
pak pucat pasi. Baju atas keduanya tampak ber-
cak-bercak darah, demikian juga tangan dan ba-
gian samping lehernya.
"Hm.... Benar juga apa yang dikatakan pe-
muda itu. Para pemburu Arca Dewi Bumi ternyata
orang-orang yang kepandaiannya sukar untuk di-
jajaki. Tapi apakah aku harus kembali..? Bagai-
mana dengan Bidadari Bertangan Iblis...? Apakah
dia masih tetap pada pendiriannya...?" Singa Be-
tina Dari Timur menimbang-nimbang dalam hati,
lalu berkata pada Bidadari Bertangan Iblis.
"Bidadari! Kurasa keadaan tidak mengun-
tungkan jika kita teruskan perburuan ini. Bu-
kannya aku takut, namun kita sekarang harus
menghitung untung ruginya!"
Bidadari Bertangan Iblis tersenyum sinis.
Tanpa berpaling ia berkata.
"Singa Betina! Kaki telah telanjur melang-
kah, dan barang buruan telah dekat, apakah kita
akan melangkah mundur lagi? Kalau kau ingin
balik, pergilah! Aku masih ingin membuktikan ji-
ka aku tak bisa digilas begitu saja di tanah Jawa!
Meski aku tahu taruhan dari semua itu adalah
nyawa!"
Mendengar ucapan Bidadari Bertangan Ib-
lis, Singa Betina Dari Timur gelengkan kepalanya.
Ia sebenarnya ingin menuruti kata-kata Aji untuk
segera meninggalkan tempat itu. Namun benak-
nya tak menginginkan saudara seperguruannya
berjuang sendirian, hingga meski dengan berat
hati dia tetap di situ.
"Bidadari! Kau keras kepala. Tapi tak
mungkin aku meninggalkanmu sendirian di sini!
Meski aku sebenarnya berat dengan keputusan-
mu!" Singa Betina Dari Timur berkata sendiri da-
lam hati. Pandangannya kini mengarah pada
Pendekar 108. Ia sejenak tak kesiap pandangi
pemuda murid Wong Agung ini.
"Tak dapat kudustai diriku sendiri, sebe-
narnya ada perasaan aneh di hatiku saat pertama
bertemu dengan dia. Aji, hmm.... Apa dia suka
mempermainkan perempuan hingga digelari de-
mikian...? Tapi tampaknya dia pemuda baik hati.
Dia masih mau menolongku meski aku tadi telah
berniat membunuhnya! Ah, seandainya...," Singa
Betina Dari Timur tak meneruskan kata hatinya,
karena dilihatnya Bawuk Raga Ginting telah me-
langkah maju, dan membentak garang.
"Siapapun kau, kalau bukan bangsa pen-
gecut, tunjukkan dirimu!"
Hening sejenak. Sepasang mata Bawuk Ra-
ga Ginting liar menyapu keliling tempat itu. Na-
mun lagi-lagi matanya tak menemukan manusia
baru di tempat itu, dan bahkan suara tegurannya
tak ada yang menyahut.
Bawuk Raga Ginting keluarkan dengusan
keras. Kepalanya bergerak ke samping kanan dan
kiri. Dan tatkala matanya tak juga menemukan
orang yang dicari, dengan kerahkan tenaga da-
lamnya ia dongakan kepala dan berkata lantang.
"Pengecut bersembunyi! Keluarlah! Hadapi-
lah Bawuk Raga Ginting!"
Karena suara itu telah dialiri tenaga dalam,
maka suara itu bergaung keras hingga memantul
ke lereng gunung.
Bawuk Raga Ginting sesaat menunggu,
namun tak ada juga sosok yang muncul.
"Keparat! Jahanam busuk! Pengecut edan!"
maki Bawuk Raga Ginting. Mendadak sepasang
kakinya ia bantingkan ke atas tanah. Tubuhnya
melesat ke udara. Satu tombak di udara, tiba-tiba
tubuhnya melesat ke arah Pendekar 108 dengan
tombak dibolang-balingkan! Dari mulutnya ter-
dengar geraman keras. Tampaknya segala kesala-
han hatinya kini ditumpahkan pada Pendekar
108.
"Saatnya aku bertindak!" gumam Pendekar
108.
Tangan kirinya yang memegang kipas ia
hentakkan menyamping, sementara tangan ka-
nannya yang membuka ia tarik perlahan ke bela-
kang.
Terjadi suatu hal yang luar biasa. Bersa-
maan dengan melesatnya sinar putih membentuk
kipas, tubuh Bawuk Raga Ginting tertahan di
udara! Bawuk Raga Ginting buka telapak tangan
kirinya dan lepaskan pukulan jarak jauh dari
udara, namun manusia cebol ini terperangah ka-
get. Sambaran angin dahsyat yang melesat keluar
dari telapak tangannya bergerak perlahan dan
perlahan-lahan pula menyatu dan menuju satu
arah, yakni telapak tangan kanan Pendekar 108!
Bukan hanya sampai di situ, begitu rangkuman
angin itu dekat telapak tangan, rangkuman angin
tersebut tersedot dan masuk ke telapak tangan!
Dan bersamaan itu pula tubuh Bawuk Raga Gint-
ing bergerak perlahan ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang. Anehnya, meski Bawuk Raga Ginting ke-
rahkan tenaga dalam untuk menggebrak dengan
ayunkan tombaknya, namun gerakannya seperti
tertahan. Hingga tubuhnya meluncur tanpa ber-
gerak! Inilah kehebatan jurus pamungkas 'Bayu
Kencana' yang berhasil dipelajari Aji dari bum-
bung bambu pemberian perempuan tak bernama
(Mengenai jurus ‘Bayu Kencana’ baca serial Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dalam episode : "Per-
sekutuan Para Iblis").
Keringat telah membasahi sekujur tubuh
Bawuk Raga Ginting. Bedak tebal di wajahnya
serta polesan merah bibirnya telah lenyap terha-
pus lelehan keringatnya. Wajahnya tak bisa lagi
menyembunyikan rasa takut, bahkan ketika un-
tuk kesekian kalinya tak berhasil mengendalikan
luncuran tubuhnya, dari mulutnya terdengar
umpatan tak karuan. Dan ketika tubuhnya telah
satu tombak di hadapan Aji, manusia cebol ini pe-
jamkan sepasang matanya. Bibirnya yang tebal
sebelah atas dan kiri berwarna kebiruan tampak
saling menggegat.
Begitu tubuh Bawuk Raga Ginting telah sa-
tu tombak di hadapan Pendekar Mata Keranjang,
murid Wong Agung ini segera angkat kakinya,
tangan kanannya ditarik deras ke belakang.
Bukkk! Deeesss!
Bawuk Raga Ginting memekik tinggi. Tu-
buhnya mencelat kembali ke belakang sebelum
akhirnya terkapar di atas tanah! Dari mulutnya
menyembur darah segar. Namun manusia cebol
ini seperti tak mengenal rasa sakit. Dengan me-
nahan perut dan pinggangnya, ia merambat
bangkit lalu duduk dengan mata mencari-cari
tombaknya.
Pendekar Mata Keranjang 108 berpaling
pada Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur. Sesaat dipandanginya dua gadis can-
tik ini. Dan ketika pandangannya bertemu dengan
mata Singa Betina Dari Timur, gadis berbaju hi-
jau ini cepat alihkan pandangan. Wajahnya ber-
semu merah.
Sebenarnya Aji tahu bahwa Singa Betina
Dari Timur menyimpan sesuatu padanya. Namun
karena keadaannya tidak memungkinkan, Aji ter-
paksa menepiskan dahulu perasaannya dan ber-
kata.
"Bidadari Bertangan Iblis, Singa Betina Da-
ri Timur! Sebaiknya kalian turuti saranku tadi!
Bukannya berarti aku menganggap kalian tak
mampu, namun terlalu besar akibat yang akan
kalian alami jika kalian bersikeras!"
Singa Betina Dari Timur hanya diam. Na-
mun sesekali matanya melirik. Sebaliknya Bida-
dari Bertangan Iblis langsung keluarkan dengu-
san begitu mendengar kata-kata Pendekar 108.
Gadis ini balas menatap dan berkata.
"Menuruti katamu, nasib dan mati adalah
ditentukan yang di atas sana! Kami tak akan me-
ninggalkan tempat ini sebelum tujuan kami ber-
hasil! Kau jangan coba-coba menggertak hanya
karena kau dapat merobohkan manusia cebol
itu!"
Aji gelengkan kepalanya. Bibirnya terse-
nyum. Sambil usap-usap hidung yang gatal ia
berkata lagi.
"Kuhargai ketegaran jiwamu! Tapi apakah
kau telah memperhitungkan untung ruginya?!"
Bidadari Bertangan Iblis tertawa perlahan.
Nada tawanya jelas mengisyaratkan ejekan.
"Rupanya kau hanya pandai omong tapi
otak bodoh! Apakah kau tak tahu, jika selalu
memperhitungkan untung rugi maka hidup akan
dicekam kebuntuan! Dan akhirnya mati dalam
kesia-siaan!"
Pendekar 108 menghela napas panjang.
"Ucapanmu benar! Tapi hidup tanpa perhi-
tungan akan membawa manusia mati sia-sia! Kau
tahu itu...?!"
Bidadari Bertangan Iblis sejenak terdiam.
Namun tak lama kemudian mulutnya membuka
hendak berkata, tapi sebelum terdengar sua-
ranya, dari arah belakang terdengar angin mende-
ru dahsyat.
Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang
108 berpaling, di hadapannya telah berdiri seso-
sok tubuh. Dia adalah seorang perempuan.
Usianya tidak bisa ditentukan karena raut wajah-
nya ditutup sepotong kulit tipis berwarna putih.
Pakaiannya agak gombrong. Di dadanya sebelah
kiri terlihat sekuntum bunga berwarna hitam.
Pendekar 108 surutkan langkah satu tin-
dak. Dahinya mengernyit dengan mata memper-
hatikan. Sementara Bidadari Bertangan Iblis dan
Singa Betina Dari Timur sama-sama membeliak-
kan mata masing-masing. Sedang di seberang
Bawuk Raga Ginting tampak sunggingkan se-
nyum. Batuk-batuk beberapa kali dan berkata.
"Ah, sobatku Dewi Bunga Iblis.... Lama kita
tak jumpa. Kau baik-baik saja?" sambil berkata
Bawuk Raga Ginting melangkah mendekat.
LIMA
MANUSIA berpakaian agak gombrong dan
wajahnya ditutupi kulit berwarna putih yang bu-
kan lain memang Dewi Bunga Iblis palingkan wa-
jah pada Bawuk Raga Ginting. Tiba-tiba Dewi
Bunga Iblis melangkah dua tindak menyongsong
langkah Bawuk Raga Ginting dan berteriak lan-
tang.
"Bergerak melangkah lagi, kuremukkan ba-
tok kepalamu! Diam di tempatmu! Dan jangan
coba-coba mencampuri urusanku dengan anak
keparat ini!"
Bawuk Raga Ginting hentikan langkahnya.
Dia untuk beberapa saat lamanya tegak dengan
sepasang mata tak berkedip memandangi Dewi
Bunga Iblis. Meski dalam hati memaki panjang
pendek namun manusia cebol ini tampaknya
punya perhitungan sendiri hingga ia turutkan dan
biarkan saja dirinya diancam.
"Perempuan sundal ini rupanya punya ma-
salah dengan Pendekar Mata Keranjang 108!
Meski aku tahu dia juga sedang memburu Arca
Dewi Bumi namun lebih baik aku menunggu. Ka-
lau dia berhasil membuat roboh pemuda itu, aku-
lah lawannya! Untuk sementara aku berpura-
pura menuruti kata-katanya!" kata Bawuk Raga
Ginting dalam hati, lalu dia berkata.
"Sobatku Dewi Bunga Iblis! Sebagai saha-
bat lama, aku akan menuruti kata-katamu. Sila-
kan selesaikan urusanmu dengan pemuda jahanam itu!"
Dewi Bunga Iblis keluarkan tawa perlahan,
namun jelas suara tawanya penuh nada ejekan.
Kepalanya lantas berpaling pada Pendekar Mata
Keranjang.
"Bagaimana dia bisa tahu tempat ini...?
Apakah tempat beradanya Sahyang Resi Gopala
telah diketahui banyak orang...? Melihat tempat
beradanya rahasia keberadaan Sahyang Resi Go-
pala pemegang Arca Dewi Bumi telah bocor dan
diketahui banyak orang! Hmm.... Jika demikian,
pertarungan besar rupanya tak akan terelakkan
lagi...," Pendekar 108 berkata dalam hati sambil
kerahkan tenaga dalam pada kedua tangannya.
Murid Wong Agung sadar, jika bahaya yang akan
dihadapi tidaklah kecil, maka dia tak berani ber-
tindak ceroboh apalagi lengah.
Di sebelah belakang, Bidadari Bertangan
Iblis dan Singa Betina Dari Timur tampak tak ada
yang buka suara. Keduanya terdiam dengan mata
masing-masing terus memperhatikan ke depan.
Namun diam-diam dalam hati masing-masing ga-
dis ini mulai timbul kesadaran bahwa apa yang
dikatakan Aji benar adanya.
"Jahanam kecil!" tiba-tiba Dewi Bunga Iblis
berkata setengah berteriak.
"Malam ini nyawamu tak akan lolos lagi da-
ri tanganku!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum
mendengar ucapan Dewi Bunga Iblis.
"Hmm.... Aku tahu, itu hanya gertak sam-
bal. Bagaimanapun juga dia masih membutuhkan
diriku jika dia menginginkan arca itu! Jadi tak
mungkin dia langsung membunuhku! Ha.... Ha....
Ha.... Kau salah Dewi...," batin Aji seraya tertawa
sendiri dalam hati.
Dan apa yang ada di batin Pendekar 108
tak meleset. Karena segera diam-diam pula Dewi
Bunga Iblis berkata dalam hati.
"Tak kusangka jika di tempat ini telah ba-
nyak manusia. Ini akan mempersulit keadaan.
Apalagi aku harus menangkap pemuda ini tanpa
cedera. Bagaimanapun juga masih sangat kuper-
lukan, karena hanya dialah satu-satunya manu-
sia yang dapat mengambil arca itu!"
Namun Dewi Bunga Iblis tak mau menun-
jukkan apa yang dalam hatinya. Justru yang ia
tampakkan adalah sikap garang dan sepertinya
tidak butuh dengan Pendekar 108. Malah dengan
lantang pula ia lantas berkata.
"Jahanam kecil! Kuberi kesempatan pada-
mu untuk berdoa agar jalanmu jadi lapang!"
Lagi-lagi Pendekar Mata Keranjang hanya
menjawab ucapan Dewi Bunga Iblis dengan sung-
gingkan senyum. Tapi sifat usil murid Wong
Agung ini tampaknya tak bisa hilang, karena sete-
lah agak lama ditunggu Dewi Bunga Iblis hanya
diam seraya memperhatikan, dia berkata.
"Dewi Bunga Iblis! Sebenarnya aku tak
mengharapkan di antara kita terjadi silang seng-
keta. Hanya saja kau harus mengerti, tak mung-
kin bagiku menerima cintamu yang kau katakan
suci murni sebening embun pagi itu! Kalau kau
tidak keberatan, aku bisa mencarikan pengganti...," Pendekar 108 tak meneruskan ucapannya,
karena sekejap itu juga Dewi Bunga Iblis tampak
bantingkan kakinya dan melotot.
"Jahanam! Kau bicara apa...?!"
Pendekar Mata Keranjang undurkan lang-
kah satu tindak sepertinya terkejut. Lalu dengan
tanpa memandang dia berkata.
"Dewi Bunga Iblis! Kau tak usah malu se-
gala masalah kita didengar orang lain. Dan per-
cayalah, meski aku menolak cintamu, namun kau
tetap kuanggap sebagai teman baikku!"
Mendengar keterangan Pendekar 108, dari
tempatnya berdiri Bawuk Raga Ginting keluarkan
tawa panjang lalu berkata.
"Nasib jelek seperti itu nyatanya tidak
hanya menimpa diriku sendiri! Sakit memang jika
cinta sebening embun pagi ditolak mentah-
mentah.... Apalagi sampai didengar orang banyak.
Hik.... Hik.... Hik...!"
Dewi Bunga Iblis matanya melotot angker,
lalu berpaling pada Bawuk Raga Ginting.
"Manusia cebol jelek! Jaga mulutmu! Sete-
lah urusanku selesai, kau akan merasakan ba-
gaimana nikmatnya meregang nyawa! Dengar itu!"
Habis berkata begitu, Dewi Bunga Iblis pa-
lingkan lagi wajahnya pada Pendekar Mata Keran-
jang 108. Dengan suara tinggi menahan marah ia
berkata.
"Mulutmu yang kotor perlu juga dirobek
sebelum nyawamu melayang!" begitu kata-
katanya selesai, Dewi Bunga Iblis tampak putar
tubuhnya. Tiba-tiba tubuhnya lenyap, dan tahu
tahu telah berada dua langkah di samping Pende-
kar 108 dan serta-merta pula telah hantamkan
tangan kanannya ke arah lambung murid Wong
Agung!
Pendekar 108 yang telah waspada gerakan
kaki kanannya ke belakang satu tindak. Hanta-
man tangan Dewi Bunga Iblis menghajar tempat
kosong sejengkal di depan lambung Pendekar
108, saat itulah Pendekar 108 gerakan kaki ka-
nannya melejang ke depan. Tapi Dewi Bunga Iblis
rupanya telah tahu hal itu. Bersamaan dengan
melejangnya kaki Aji, ia angkat kaki kanannya ke
atas.
Prakkk!
Terdengar benturan keras ketika kedua
kaki saling beradu. Pendekar 108 tampak merin-
gis dengan tubuh terhuyung ke belakang, semen-
tara Dewi Bunga Iblis keluarkan seruan tertahan.
Tubuhnya terseret ke samping sampai beberapa
langkah. Begitu kakinya terhenti, tiba-tiba Dewi
Bunga Iblis sabetkan tangan kanannya.
Wuuuttt!
Tiga kuntum bunga berwarna hitam mele-
sat cepat ke arah Pendekar 108. Hebatnya, meski
hanya kuntuman bunga, namun lesatannya me-
nimbulkan desingan keras disertai menyambar-
nya angin kencang.
Pendekar 108 putar tubuhnya setengah
lingkaran, kaki kanannya ditarik sedikit ke bela-
kang. Tangan kanannya yang memegang kipas
serta-merta dikebutkan menyilang.
Bret! Bret! Breeettt!
Tiga kuntum bunga hancur lebur tersam-
bar sinar putih yang keluar dari kipas Aji. Namun
Aji terperangah kaget, karena begitu tangan ka-
nannya mengebut, Dewi Bunga Iblis telah melesat
seraya mendorongkan kedua tangannya, semen-
tara kakinya ditekuk sebatas lutut.
Sambil menggerendeng panjang pendek,
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik kaki ki-
rinya ke belakang disejajarkan dengan kaki ka-
nannya, tubuhnya kini sejajar lurus dengan ta-
nah.
Pukulan tangan Dewi Bunga Iblis lewat di
atas tubuhnya. Namun kini kedua kaki perem-
puan ini menerjang ke arah kepala dan pinggang
Aji yang masih dalam posisi sejajar tanah.
Pendekar Mata Keranjang gulingkan tu-
buhnya. Terjangan Dewi Bunga Iblis menghajar
tanah hingga terbongkar dan membentuk kuban-
gan sedalam setengah tombak. Tapi perempuan
ini tak mau memberi kesempatan. Begitu terjan-
gan kakinya tak mengena sasaran, dia cepat pula
lesatkan tubuhnya setengah tombak ke udara, la-
lu menerjang kembali! Kedua tangannya pun ki-
rimkan pukulan!
Aji tak mau ambil resiko. Begitu Dewi Bun-
ga Iblis menerjang kembali, murid Wong Agung ini
dorong kedua tangannya, sementara kakinya
mencuat ke atas
Blaammm!
Ledakan segera terdengar membuncah
tempat itu. Karena Dewi Bunga Iblis tak menge-
rahkan seluruh tenaga dalamnya, sementara
Pendekar Mata Keranjang sebaliknya, maka tak
ampun lagi tubuh Dewi Bunga Iblis mencelat ke
belakang. Sedangkan Pendekar 108 terus bergu-
lingan.
Pada satu tempat yang dirasa agak jauh
dari Dewi Bunga Iblis, Pendekar 108 hentikan gu-
lingan tubuhnya, dan dengan gerak cepat ia sege-
ra bangkit.
Di seberang, Dewi Bunga Iblis terlihat baru
saja mendarat dengan tubuh terhuyung-huyung.
"Keparat! Kalau begini terus-terusan, aku
bisa roboh di tangan anak ingusan ini! Peduli se-
tan dengan syarat hanya pemuda itu yang kelak
bisa mengambil arca itu! Aku tak mau dibuat ma-
lu di hadapan orang banyak!" batin Dewi Bunga
Iblis. Dia telah memutuskan untuk membunuh
Pendekar Mata Keranjang 108, dan melupakan
niatnya untuk hanya menangkap.
Perempuan berwajah putih ini lantas maju
satu langkah. Kedua tangannya menyatu dan dis-
ejajarkan dada. Sepasang matanya memejam ra-
pat. Mulutnya mengucapkan sesuatu.
Melihat hal ini, Aji tak tinggal diam. Tangan
kanannya ditarik ke belakang menyilang, semen-
tara tangan kirinya membuka dan siap lancarkan
pukulan.
Tiba-tiba Dewi Bunga Iblis keluarkan ben-
takan lengking. Tubuhnya berkelebat. Kedua tan-
gannya yang telah dialiri tenaga dalam penuh se-
gera disentakkan ke arah Pendekar Mata Keran-
jang!
Weerrr!
Serangkum angin dahsyat serta larikan-
larikan berwarna hitam menebarkan hawa panas
menggebrak laksana gelombang.
Pendekar 108 sesaat terdiam. Kedua ma-
tanya ia pejamkan, lalu didahului bentakan ga-
rang, tubuhnya melesat menyongsong. Tangan
kanannya disentakkan sementara tangan kirinya
mendorong kuat-kuat.
Blaaammm!
Tubuh dua orang ini sama-sama mental ke
belakang. Meski keduanya tampak coba menahan
tubuh masing-masing namun gagal. Hingga ke-
duanya saling jatuh berkaparan di atas tanah!
Namun Dewi Bunga Iblis tampaknya tak menyia-
nyiakan kesempatan. Begitu tubuhnya terkapar,
tangan kanannya segera menyentak.
Wuuuttt!
Dua kuntum bunga hitam melesat. Pende-
kar 108 yang baru saja terkapar, terkesiap da-
rahnya. Tangan kirinya segera menghantam. Satu
bunga bisa dilabrak dan hancur. Namun sekun-
tum lainnya lolos dan menerabas pundak kanan-
nya.
Craaasss!
Pundak Aji langsung keluarkan darah kehi-
taman. Bajunya di bagian pundak robek mengan-
ga. Sementara bunga hitam itu menancap!
Dengan meringis menahan panas dan nyeri
di pundak, Pendekar 108 segera menotok jalan
darah di sekitar pundaknya. Tapi baru saja murid
Wong Agung ini menotok jalan darahnya, Dewi
Bunga Iblis telah bangkit dan sekonyong-konyong
berkelebat ke arah Aji.
Pendekar 108 segera menggeser tubuhnya
menghindar. Lalu dengan jejakkan kakinya dia
melesat ke udara, membuat gerakan jungkir balik
beberapa kali menghindar dari serangan Dewi
Bunga Iblis yang meluncur deras seakan tiada
habis-habisnya. Karena saat itu seraya melesat,
Dewi Bunga Iblis sentak-sentakan kedua tangan-
nya tanpa henti.
Ketika tubuh Dewi Bunga Iblis hampir
mendekati tubuh Pendekar Mata Keranjang 108,
tiba-tiba perempuan ini keluarkan bentakan. Ke-
dua tangannya dihantamkan sekaligus!
Mendapati hal ini, Pendekar Mata Keran-
jang cepat putar-putar kipasnya, karena dia kelu-
arkan seluruh tenaga dalamnya, maka putaran
kipasnya mengeluarkan asap putih yang melin-
dungi dirinya serta mengeluarkan hamparan an-
gin dahsyat yang siap untuk menggebrak.
Bummm!
Dua tenaga dalam bertemu di udara. Tu-
buh Dewi Bunga Iblis langsung terputar dan me-
nukik. Di lain pihak, Pendekar 108 terdengar ke-
luarkan pekikan. Karena pundaknya yang terluka
terasa semakin membara. Tubuhnya pun mence-
lat dan terbanting di atas tanah.
Dewi Bunga Iblis yang tampaknya lebih
kenyang pengalaman segera bangkit lalu meloncat
menerobos kepulan asap yang saat itu masih me-
lingkupi tempat itu. Dari balik kepulan asap pu-
tih, perempuan ini dapat melihat gerakan Pende-
kar 108 yang baru saja bangkit dan tertatih-tatih
seraya memegangi pundaknya.
"Modar kau sekarang!" bentak Dewi Bunga
Iblis sambil hantamkan kedua tangannya kirim-
kan pukulan jarak jauh yang telah dialiri tenaga
dalam kuat.
Pendekar 108 melengak. Dia cepat rebah-
kan kembali tubuhnya ke atas tanah, namun ka-
rena pundaknya terluka, gerakannya sedikit lam-
ban, hingga meski dapat menghindar namun
pinggangnya tersambar juga.
Deesss!
Pendekar 108 terpekik. Tubuhnya terputar
di atas tanah. Pakaian sebelah pinggang langsung
hangus!
Dewi Bunga Iblis mendarat dengan ter-
huyung-huyung. Setelah dapat menguasai diri,
perempuan ini memperhatikan Pendekar Mata
Keranjang 108 yang masih terkapar di atas tanah
dengan mengerang perlahan sambil memegangi
pundak dan pinggangnya. Kipas ungunya tampak
tergeletak di sampingnya.
"Hmm.... Untung aku masih bisa memper-
hitungkan. Jika tidak tentunya dia sudah putus
nyawanya!" batin Dewi Bunga Iblis sambil mengu-
sap-usap dadanya.
Di sebelah belakang, begitu melihat Pende-
kar 108 terkapar, Bawuk Raga Ginting terlihat be-
rubah parasnya. Diam-diam dia menjadi kecut.
Apalagi tatkala teringat akan ancaman Dewi Bun-
ga Iblis. Maka untuk menjaga kemungkinan, se-
cara diam-diam pula manusia cebol ini kerahkan
segenap tenaga dalamnya. Tapi dia masih belum
berani bertindak, karena saat itu Dewi Bunga Ib-
lis tampak melangkah perlahan ke arah Pendekar
Mata Keranjang.
Di sebelah samping, Bidadari Bertangan Ib-
lis dan Singa Betina Dari Timur tampak terhe-
nyak. Nyali kedua gadis ini benar-benar telah ha-
bis melihat beberapa kejadian di hadapan mere-
ka. Namun mereka sepertinya masih enggan me-
ninggalkan tempat itu. Apalagi Singa Betina Dari
Timur. Begitu melihat Aji terkapar, dari mulutnya
terdengar jeritan kecil. Paras wajahnya tak bisa
menyembunyikan perasaan khawatir.
"Seandainya aku mampu, tak akan kubiar-
kan perempuan itu menjamahnya! Oh, apakah
perempuan bergelar Dewi Bunga Iblis itu akan
membunuhnya...? Jika benar, aku tak akan ting-
gal diam meski aku harus berkorban! Bukankah
dia juga telah menyelamatkan nyawaku...?" batin
Singa Betina Dari Timur seraya hela napas pan-
jang. Lalu kerahkan tenaga dalamnya dan hendak
bangkit!
"Singa Betina! Apa yang hendak kau laku-
kan? Kau jangan bertindak ceroboh!" tegur Bida-
dari Bertangan Iblis seraya melirik.
"Aku tak akan biarkan perempuan itu
membunuhnya! Dia tadi telah menyelamatkan di-
riku dari manusia cebol itu! Aku sekarang harus
membalas budinya!"
Bidadari Bertangan Iblis keluarkan serin-
gai. Sambil arahkan pandangannya pada Dewi
Bunga Iblis ia berkata.
"Kau jangan bodoh! Apakah kau tadi tidak
melihat? Perempuan itu melancarkan serangan
dengan memilih bagian yang tidak mematikan!
Berarti dia tidak mengharapkan kematian pemu-
da itu! Apalagi kau dengar sendiri, bahwa perem-
puan bergelar Dewi Bunga Iblis itu mencintainya!
Apa mungkin dia membunuh orang yang dicin-
tainya...?"
"Cinta kadang-kadang membuat orang ber-
tindak gelap mata, dan tak jarang membuat orang
harus rela berkorban! Jadi tak mustahil jika pe-
rempuan itu akan bertindak gelap mata membu-
nuh pemuda itu karena ditolak cintanya!"
"Dan kau akan rela berkorban karena jatuh
hati pada pemuda itu,..?" Bidadari Bertangan Iblis
cepat menyela, membuat Singa Betina Dari Timur
parasnya berubah mengelam. Namun gadis ini
cepat menyembunyikan perasaannya dengan ter-
senyum dan berkata.
"Kau jangan salah tafsir. Semua itu kula-
kukan karena dia tadi telah menyelamatkan jiwa-
ku! Apakah tindakanku salah...?" Singa Betina
Dari Timur bertanya namun seraya terdengar se-
dikit bergetar.
Bidadari Bertangan Iblis palingkan wajah-
nya. Dipandanginya paras saudara seperguruan-
nya seakan ingin meyakinkan kata-katanya. Bi-
birnya lalu tersenyum. Kepalanya bergerak meng-
geleng perlahan.
"Aku tak bisa mengatakan tindakanmu sa-
lah. Tapi setidaknya kau berpikir, bahwa perjala-
nan kita tidak hanya sampai di sini! Yang akan
kita hadapi tentunya masih membutuhkan pengorbanan lebih besar!"
Singa Betina Dari Timur terdiam sejenak.
Sepasang matanya tetap tak kesiap memandangi
gerak langkah Dewi Bunga Iblis yang terus men-
dekati Aji. Dalam hati diam-diam gadis ini berkata
sendiri.
"Apa pun alasannya, aku akan tetap meno-
longnya jika Dewi Bunga Iblis bertindak hendak
membunuhnya!"
Lain yang ada dalam hati Singa Betina Dari
Timur, lain pula yang dirasakan Bidadari Bertan-
gan Iblis. Diam-diam dia juga berkata.
"Aku tak habis pikir. Kenapa sifat Singa
Betina Dari Timur tiba-tiba berubah begitu? Bi-
asanya dia tak ambil peduli dengan tindakan
orang! Sekarang...? Dia malah mau berkorban
demi pemuda yang baru saja dikenalnya! Aneh....
Apakah ini kelakuan orang yang sedang jatuh ha-
ti...?"
Selagi kedua gadis ini tenggelam dalam ka-
ta hatinya masing-masing, dan Dewi Bunga Iblis
terus melangkah makin dekat, tiba-tiba sayup-
sayup terdengar suara orang tertawa cekikikan
yang bersahut-sahutan dengan suara gemerinc-
ing. Dewi Bunga Iblis hentikan langkahnya. Kepa-
lanya tengadah seakan memandangi bulan yang
kini tepat berada di atasnya dan makin berwarna
merah. Dahinya mengernyit, telinganya bergerak-
gerak seakan menajamkan pendengaran.
Bawuk Raga Ginting pun beliakkan sepa-
sang matanya dan diarahkan pada satu jurusan.
Mata itu jelalatan liar. Sementara dahinya mengkerut, napasnya memburu agak kencang.
Di tempat agak belakang, Bidadari Bertan-
gan Iblis dan Singa Betina Dari Timur penggal ka-
ta hatinya masing-masing. Sejurus keduanya sal-
ing berpaling dan berpandangan. Lalu serentak
mengalihkan pandangan masing-masing pada ju-
rusan yang kini juga dipandangi Bawuk Raga
Ginting. Kedua mata gadis ini membesar dengan
hati dibungkus tanda tanya.
Suasana mendadak sunyi senyap. Masing-
masing orang menunggu dengan tegang. Dan ke-
tegangan itu semakin menjadi-jadi tatkala tiba-
tiba, suara cekikikan yang ditingkahi suara geme-
rincing itu lenyap!
Pendekar Mata Keranjang yang dapat men-
duga siapa adanya orang yang cekikikan, meng-
hela napas panjang. Sepasang matanya pun me-
mandang tajam pada satu jurusan, jurusan mata
yang saat itu juga sedang dipelototi oleh Bawuk
Raga Ginting dan Bidadari Bertangan Iblis serta
Singa Betina Dari Timur. Hanya Dewi Bunga Iblis
yang tetap tengadah memandang bulan.
Tak heran jika tiga pasang mata itu me-
mandang pada satu jurusan, karena suara ceki-
kikan tadi dapat dipastikan dari arah itu.
Selagi suasana dicengkeram ketegangan
begitu rupa, tiba-tiba sesosok bayangan melayang
turun dari sebuah pohon. Begitu menjejak tanah,
sepasang mata sosok ini menebar berkeliling pan-
dangi satu persatu orang. Lalu berkata dengan
sesekali diselingi suara tawa cekikikan.
"Malam purnama yang aneh. Seaneh
orang-orangnya! Menyesal aku kesasar ke tempat
ini! Kukira ada sesuatu yang pantas untuk diter-
tawakan, ehh.... Tak tahunya yang kutemukan
adalah orang-orang yang tak mau tertawa ceki-
kak-cekikik.... Hik.... Hik.... Hik...!" sejenak sosok
itu hentikan kata-katanya, namun tak lama ke-
mudian telah menyambung. Kepalanya kini men-
dongak.
"Bulan berwarna merah darah! Adakah itu
yang membuat orang-orang ini tak mau cekikikan
bersama-sama? Aneh.... Ya, aneh.,.. Hik.... Hik....
Hik...!"
Sekonyong-konyong Bawuk Raga Ginting
cepat palingkan wajahnya, demikian pula Bidada-
ri Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur
serta Pendekar 108. Hanya Dewi Bunga Iblis yang
tampak masih tengadah. Namun tubuhnya terli-
hat sedikit bergetar. Dan pelan-pelan tangannya
mengepal.
ENAM
BAWUK Raga Ginting tampak tercekat, se-
mentara Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Beti-
na Dari Timur kelihatan tercenung heran, me-
mandang tak berkedip pada sosok yang ada di
hadapan mereka. Hanya Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang tak memperlihatkan rasa terkejut.
Di hadapan mereka tampak seorang pe-
rempuan gemuk besar. Usianya telah lanjut, tu-
buhnya sedikit bungkuk. Rambutnya panjang dan
putih disanggul ke atas. Sepasang matanya sayu
kelabu, namun besar dan menjorok ke dalam ce-
kungan yang dalam. Bibirnya merah polesan. Dia
hanya mengenakan anting-anting sebelah, tapi
anting-anting itu agak besar dan dimuati bebera-
pa anting-anting kecil. Pada pinggangnya yang
bengkak besar tampak melilit selendang berwarna
merah.
"Dewi Kayangan.... Kau muncul juga di si-
ni!" gumam Pendekar 108 mengenali siapa adanya
perempuan bertubuh besar dan mengenakan ant-
ing-anting sebelah yang barusan datang.
Bidadari Bertangan Iblis dekatkan kepa-
lanya pada Singa Betina Dari Timur dan berbisik.
"Selain banyak yang berilmu tinggi, nya-
tanya tokoh-tokoh di tanah Jawa juga aneh-
aneh.... Bagaimana menurutmu?"
"Meski aneh, tapi tidak bisa dipandang re-
meh. Hmm.... Betul juga!" jawab Singa Betina Da-
ri Timur seraya terus memperhatikan pada pe-
rempuan gemuk besar yang bukan lain memang
Dewi Kayangan.
"Bagaimana perempuan sebesar itu bisa ti-
ba-tiba berada di sini, padahal suara cekikikan-
nya tadi berada di sana...?" kembali Bidadari Ber-
tangan Iblis berbisik seraya gelengkan kepalanya.
"Aku sendiri heran. Dia mampu bergerak
secepat itu!"
Selagi dua gadis ini berbisik-bisik, Bawuk
Raga Ginting tampak tersenyum lalu berkata.
"Sungguh tak dinyana, di malam yang aneh
ini aku dapat bersua kembali dengan tokoh hebat
bergelar Dewi Kayangan. Bagaimana keadaan-
mu...?"
Dewi Kayangan cekikikan panjang, kepa-
lanya lantas bergerak lurus dan berpaling pada
Bawuk Raga Ginting. Sejenak sepasang mata De-
wi Kayangan mendelik memperhatikan. Serta
merta perempuan bertubuh gemuk ini hentikan
cekikikannya. Tangan kirinya bergerak menunjuk
pada Bawuk Raga Ginting.
"Manusia pendek yang tak bisa ditebak
usia dan laki perempuannya, bukankah kau yang
bernama Bawuk Raga Ginting?" ujar Dewi Kayan-
gan. Lalu meneruskan. "Untuk apa kau ikut ber-
tegang-tegang di sini? Apakah kau juga kesasar
seperti aku...?"
Paras muka Bawuk Raga Ginting merah
mengelam. Pelipisnya bergerak-gerak dengan da-
gu sedikit terangkat. Walau jelas dia sangat ma-
rah dengan ucapan Dewi Kayangan, namun kare-
na tahu siapa adanya Dewi Kayangan, maka dia
menindih amarahnya. Dan buru-buru sungging-
kan senyum seraya berkata.
"Ucapmu benar. Aku tersasar! Bagaimana
kalau kita meneruskan perjalanan bersama-
sama...?" meski bicara demikian, sebenarnya da-
lam hati Bawuk Raga Ginting berkata.
"Dia sangat berbahaya jika sampai turut
campur masalah ini! Ketinggian ilmunya masih
sulit untuk dijajari siapa pun saat ini! Aku harus
bisa membujuknya agar dia meninggalkan tempat
ini. Lalu aku akan kembali ke sini...."
Dewi Kayangan gelengkan kepala sambil
cekikikan kembali.
"Sungguh sayang sekali kau hidup selalu
kesasar! Kudoakan semoga kau tidak mati dalam
keadaan kesasar! Dan maaf, ajakanmu tak bisa
kulayani, aku takut jadi orang kesasar! Hik....
Hik.... Hik...!"
Bawuk Raga Ginting laksana disengat
mendengar ucapan Dewi Kayangan. Sementara
Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari
Timur tampak menahan tawa sedangkan Pende-
kar 108 geleng-gelengkan kepala.
Habis berkata begitu, tanpa mempedulikan
Bawuk Raga Ginting yang marah, Dewi Kayangan
palingkan wajahnya dan pandangi Dewi Bunga Ib-
lis yang juga adalah adiknya sendiri. Tangannya
kembali bergerak menunjuk dan berkata.
"Ini, satu lagi orang yang kesasar! Dasar
anak salah asuhan, sudah diberitahu masih juga
kesasar!" Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu
meneruskan.
"Anak kesasar! Kalau kau tidak ingin terus
kesasar lekas pergi dari sini! Ini tempatnya orang-
orang kesasar! Pergi cepat!"
Dewi Bunga Iblis luruskan kepalanya, na-
mun matanya tak memandang pada Dewi Kayan-
gan.
"Kali Nyamat!" panggil Dewi Bunga Iblis
menyebut nama asli kakaknya. "Tutup mulut bu-
sukmu! Kau tak berhak memerintah aku! Di tem-
pat ini tak berlaku saudara. Kau tetap kau, dan
aku adalah aku!"
Dewi Kayangan memperkeras tawa cekiki
kannya, hingga kepalanya manggut-manggut,
membuat gemerincing anting-antingnya kembali
terdengar.
"Mekar Sari!" Dewi Kayangan ikut-ikutan
menyebut nama asli Dewi Bunga Iblis. "Rupanya
kau telah kesasar terlalu dalam hingga tak dapat
diselamatkan. Kalau memang demikian pendi-
rianmu, aku sebagai kakakmu hanya memohon
semoga kau dilapangkan jalan!"
Habis berkata begitu, lagi-lagi tanpa mem-
pedulikan Dewi Bunga Iblis, ia melangkah ter-
bungkuk-bungkuk ke arah Aji. Kesempatan ini
tampaknya digunakan oleh Dewi Bunga Iblis.
Tanpa keluarkan suara perempuan berwajah pu-
tih ini segera hantamkan tangan kanannya ke
arah Dewi Kayangan.
Yang diserang sejenak hentikan langkah-
nya. Kepalanya berpaling sebentar. Lalu seper-
tinya tidak sedang diserang, Dewi Kayangan te-
ruskan langkahnya. Namun begitu pukulan jarak
jauh Dewi Bunga Iblis yang telah dialiri tenaga
dalam penuh itu hampir melabrak tubuhnya, De-
wi Kayangan perdengarkan suara cekikikan
lengking. Dan tiba-tiba sosoknya berputar lalu le-
nyap! Hingga serangan Dewi Bunga Iblis hanya
menghajar udara kosong.
Selagi semua orang mencari-cari, tiba-tiba
Dewi Kayangan telah berdiri dengan cekikikan di
samping Pendekar Mata Keranjang. Tangan ki-
rinya tampak mengelus-elus sanggulan rambut-
nya. Namun mendadak tangan kanannya berge-
rak mengibas ke samping, arah di mana Dewi
Bunga Iblis berada.
Wuuusss!
Serangkum angin yang tak keluarkan sua-
ra melesat cepat. Hebatnya bersamaan dengan
itu, suasana di tempat itu berubah panas!
Dewi Bunga Iblis cepat meloncat ke samp-
ing untuk menghindar. Rangkuman angin terus
menerabas sebelum akhirnya menghajar sebuah
pohon. Pohon itu kontan berderak dan tumbang.
"Dewi...," kata Aji seraya menjura hormat
begitu Dewi Kayangan memandang ke arahnya.
Sejurus Dewi Kayangan pandangi murid
Wong Agung ini dari ujung rambut hingga ujung
kaki. Lalu pandangannya beralih pada Bidadari
Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur. Ti-
ba-tiba Dewi Kayangan cekikikan lagi.
"Anak monyet! Aku heran. Meski kau anak
monyet, tapi setiap kutemui selalu saja ada gadis-
gadisnya! Yang berbaju coklat kemarin dulu ma-
na...?"
Pendekar Mata Keranjang 108 gelengkan
kepalanya. Tangan kanannya tetap mendekap
pundak serta tangan kiri menekap pinggangnya.
Seraya meringis menahan sakit dan panas, Aji
berkata.
"Dewi. Kuharap kau sudi...," Pendekar 108
tak meneruskan ucapannya karena dilihatnya
Dewi Kayangan tampak melotot.
"Dasar anak mata perempuan! Bukankah
kau telah diberi bekal oleh Tua Bangka Tak Ber-
kaki...?"
"Tua Bangga Tak Berkaki.... Hmm.... Yang
dimaksud tentu Gongging Baladewa!" pikir Pen-
dekar 108. Tiba-tiba Aji tepuk jidatnya, dan serta-
merta merogoh ke balik pakaiannya. Tak lama
kemudian tangannya ditarik kembali dan dide-
katkan ke mulutnya. Dari tangan Pendekar Mata
Keranjang tampak dua butiran kecil berwarna pu-
tih melesat masuk ke mulutnya.
"Kenapa aku bisa lupa begini rupa? Bu-
kankah jauh-jauh hari Gongging Baladewa dan
Dewi Bayang-Bayang telah membekaliku dengan
obat penawar racun.... Sialan benar!" rutuk Aji
dalam hati seraya cengengesan, karena begitu bu-
tiran putih itu masuk, perlahan-lahan pula tu-
buhnya berubah normal kembali.
"He...! Mana dia...? Ditanya orang malah
ketawa-ketawa!" bentak Dewi Kayangan.
"Dia...? Yang kau maksud dia siapa?" Aji
balik bertanya.
"Gadis yang dulu bersamamu!"
"Ooohh...," Pendekar 108 melongo. "Dia te-
lah pergi...."
"Hmm.... Begitu? Yang itu siapa...?!" tanya
Dewi Kayangan seraya arahkan pandangannya
pada Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur.
"Cerewet benar! Kenapa soal itu ditanya-
kan...," batin Pendekar 108 dongkol. Namun ia
tak berani mengucapkannya. Yang keluar justru
senyum di bibirnya.
"Mereka adalah gadis-gadis dari tanah se-
berang. Yang berbaju putih bernama Yuli Anasta-
sia Raka Rumpun Seruni. Yang berbaju hijau
bernama Siti Ngatimah Robiul Watu Geger...."
Mendengar kata-kata Aji, Bidadari Bertan-
gan Iblis tampak memberengut tak senang, seba-
liknya Singa Betina Dari Timur tampak palingkan
wajahnya dengan menahan tawa. Dewi Kayangan
tampak kerutkan dahi. Wajahnya lantas berpaling
pada Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Betina
Dari Timur.
"Hmm!... Gadis-gadis berparas ayu.
Sayang, namanya terlalu kampungan.... Bagai-
mana kalau kuganti dengan...." Sejenak Dewi
Kayangan berpikir, lalu melanjutkan. "Yanto dan
satunya Ngatimun.... Bagus bukan...? Hik....
Hik.... Hik...!"
Bidadari Bertangan Iblis keluarkan dengu-
san perlahan. Wajahnya tampak mengelam. Ke-
dua tangannya tampak mengepal menahan ma-
rah. Sementara Singa Betina Dari Timur semakin
terguncang-guncang bahunya menahan tawa.
"Setan alas! Tampaknya dua orang itu sa-
ma-sama sintingnya!" gumam Bidadari Bertangan
Iblis dengan mata mendelik pada Pendekar Mata
Keranjang 108. Pendekar Mata Keranjang sendiri
terpingkal-pingkal seraya menahan pinggangnya.
"Kalian orang-orang sinting yang tak pan-
tas lagi diberi hak hidup!" tiba-tiba Dewi Bunga
Iblis membentak.
"Betul! Bahkan hak mati pun sebenarnya
terlalu baik!" Yang menyahut adalah Bawuk Raga
Ginting. Habis berkata begitu, Bawuk Raga Gint-
ing melompat mendekati Dewi Bunga Iblis dan
berbisik.
"Kau hadapi yang gemuk itu, aku akan me-
lunasi yang Mata Keranjang!"
Dewi Bunga Iblis melirik. Dalam hati sebe-
narnya ia tak senang dengan usul Bawuk Raga
Ginting. Namun setelah ditimbang-timbang ak-
hirnya ia berkata.
"Baik! Tapi ingat. Aku tak menginginkan
pemuda itu tewas! Cukup kau ciderai saja! Kalau
kau berbuat di luar itu, nyawamu akan kucabut
sekalian! Kau mengerti...?!"
"Sombong benar kunyuk ini! Awas kau...!"
ancam Bawuk Raga Ginting dalam hati. Namun
tiba-tiba dahi Bawuk Raga Ginting mengernyit.
"Hmm.... Apa yang mendasari hingga dia mence-
gahku untuk membunuh pemuda itu? Apakah
benar yang dikatakan pemuda itu bahwa dia
mencintainya...? Ataukah ada tujuan lain...? Aku
jadi penasaran...," batin Bawuk Raga Ginting.
Meski hatinya panas dengan ucapan Dewi Bunga
Iblis, namun memperhitungkan bahwa dirinya tak
mungkin menghadapi Dewi Kayangan, akhirnya
perempuan pendek ini pun anggukan kepalanya.
Bersamaan dengan anggukan kepala Ba-
wuk Raga Ginting, Dewi Bunga Iblis segera me-
lompat ke arah Dewi Kayangan.
"Kali Nyamat! Malam ini kita tentukan sia-
pa yang paling berhak untuk hidup lebih pan-
jang!"
Dewi Kayangan menghela napas panjang.
Sepasang matanya mengawasi lekat-lekat adik
kandungnya. Namun tiba-tiba cekikikannya keluar lagi.
"Mekar Sari! Sebelum segalanya terjadi, ku-
beritahukan padamu. Dengarkan baik-baik! Arca
Dewi Bumi hanya dapat diambil dan diwarisi oleh
satu orang! Dan kau tahu siapa adanya orang itu!
Jadi jangan kau terlalu ambisi! Terimalah apa
yang ada! Kembalilah ke jalan terang...."
Dewi Bunga Iblis mendengus keras. Se-
mentara Bidadari Bertangan Iblis dan Singa Beti-
na Dari Timur saling pandang satu sama lain.
"Ternyata dugaan kita jauh melesat. Tokoh-
tokoh di sini telah mengetahui rahasia arca itu le-
bih daripada yang kita ketahui. Tak kusangka...,"
kata Bidadari Bertangan Iblis.
Singa Betina Dari Timur anggukan kepa-
lanya, lalu berbisik.
"Bagaimana tindakan kita sekarang...?"
"Kita tunggu. Mungkin saja kata-kata pe-
rempuan gemuk itu hanyalah guyonan belaka.
Kau lihat, sedari tadi omongannya tidak pernah
sungguh-sungguh!"
Sementara itu di dalam hati Bawuk Raga
Ginting timbul berbagai dugaan begitu mendengar
ucapan Dewi Kayangan.
"Hanya seorang...? Dewi Bunga Iblis ka-
tanya tahu siapa orang itu.... Hmm.... Apakah
pemuda ini...? Bukankah Dewi Bunga Iblis men-
cegahku untuk membunuh pemuda itu...? Benar
kemungkinan begitu...."
Selagi orang-orang dilanda pikiran masing-
masing, Dewi Bunga Iblis tiba-tiba jejakkan ka-
kinya ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar
bentakan keras. Tubuhnya terlihat melenting keudara. Dari atas udara kedua tangannya disatu-
kan dan dihantamkan sekaligus ke arah Dewi
Kayangan.
Weerrr!
Hamparan angin deras serta gelombang
asap hitam segera mengepung tempat itu.
Dewi Kayangan terlihat mengerjap-
ngerjapkan sepasang matanya yang besar. Tu-
buhnya tiba-tiba doyong ke samping kanan sea-
kan hendak jatuh terjerembab. Namun sejengkal
lagi tubuh gemuk itu menghantam tanah, kaki
kanannya menekan sementara tangan kanannya
juga menyentak ke atas tanah. Terjadilah hal
yang luar biasa.
Tubuh besar Dewi Kayangan tiba-tiba
mencelat ringan ke udara menerobos hamparan
asap hitam. Dan sesaat kemudian di udara ter-
dengar bentakan-bentakan tinggi dari mulut Dewi
Bunga Iblis, yang diseling cekikikan Dewi Kayan-
gan.
Tatkala semua orang mendongak, samar-
samar terlihat Dewi Kayangan putar-putar selen-
dang merahnya yang ternyata telah melilit seku-
jur tubuh Dewi Bunga Iblis. Dan terlihat pula ba-
gaimana Dewi Bunga Iblis meronta-ronta seraya
kerahkan tenaga dalam untuk melepaskan diri,
namun rupanya tak berhasil. Malah semakin ke-
ras rontaan Dewi Bunga Iblis, lilitan selendang
merah Dewi Kayangan semakin ketat membelit.
Seakan ingin mempertontonkan pada orang
di bawahnya, Dewi Kayangan tiba-tiba lejangkan
sepasang kakinya hingga pakaian yang dikena
kannya berkelebat. Anehnya, begitu pakaian Dewi
Kayangan menggelepar, asap hitam yang menu-
tupi tempat itu lenyap sirna! Hingga kini jelas ter-
lihat apa yang terjadi di udara.
Sekujur tubuh Dewi Bunga Iblis sudah
tampak basah kuyup, malah kulit putih penutup
wajahnya pun mengelupas dan jatuh. Namun
Dewi Bunga Iblis tampaknya tak mau menyerah
begitu saja. Sepasang matanya dia pejamkan, na-
pasnya dia tahan hingga beberapa saat lamanya.
Lalu dengan membentak garang, napasnya ia
hembuskan keras-keras.
Bret! Brettt!
Selendang merah milik Dewi Kayangan
yang melilit tubuh Dewi Bunga Iblis perlahan-
lahan robek. Suara cekikikan Dewi Kayangan ti-
ba-tiba lenyap. Tubuhnya yang gemuk besar tiba-
tiba membuat gerakan jumpalitan, dan tahu-tahu
sosoknya telah menggelinding cepat di atas selen-
dangnya. Semua orang di bawah, juga Dewi Bun-
ga Iblis menduga jika Dewi Kayangan pasti akan
langsung menghajar dengan hantamkan tangan
atau kakinya ke arah Dewi Bunga Iblis. Namun
dugaan itu meleset. Karena tiba-tiba saja Dewi
Kayangan hentikan gelindingan tubuhnya. Kedua
kakinya terlihat melejang ke atas, lalu serta-merta
dihujamkan pada selendangnya. Dewi Kayangan
tampak berdiri di atas selendang!
Bet! Bettt!
Anehnya, selendang itu tidak robek terkena
hantaman kaki Dewi Kayangan. Malah kini men-
geras dan melayang deras ke bawah dengan Dewi
Kayangan terdengar cekikikan sambil berdiri dan
bergoyang-goyang di atas selendang!
Di sebelah ujung, melihat tubuhnya menu-
kik deras, Dewi Bunga Iblis sekali lagi mencoba
kerahkan tenaga dalamnya, namun tak berhasil.
Hingga tanpa ampun lagi tubuhnya menghujam
deras di atas tanah.
Belum lagi Dewi Bunga Iblis merangkak
bangkit, Dewi Kayangan telah melesat seraya ce-
kikikan. Karena tubuh Dewi Bunga Iblis masih
terlilit selendang, maka bersamaan dengan mele-
satnya tubuh Dewi Kayangan, tubuh Dewi Bunga
Iblis pun ikut terseret.
"Kau memang harus dihukum biar tak ke-
sasar lagi!" kata Dewi Kayangan seraya hentikan
lesatannya di dekat sebatang pohon. Setelah meli-
rik sebentar, tubuhnya kembali melesat. Lagi-lagi
tubuh Dewi Bunga Iblis ikut tertarik.
Dengan gerakan yang sulit diikuti pandan-
gan mata, Dewi Kayangan berputar mengelilingi
batang pohon, dan tahu-tahu Dewi Bunga Iblis te-
lah tersandar duduk di batang pohon dengan tu-
buh terlilit selendang yang dibebatkan pada ba-
tang pohon!
"Jahanam! Lepaskan diriku! Kubunuh
kau!" teriak Dewi Bunga Iblis. Namun ia hanya
bisa berteriak, karena tubuhnya tak bisa digerak-
kan lagi!
Dewi Kayangan pandangi sejenak adik kan-
dungnya itu. Tangannya bergerak mengelus sang-
gul rambutnya, lalu berkata.
"Kau harus saksikan dengan diam bahwa
segala perkataanku tadi benar! Arca itu hanya
dapat diambil dan diwarisi oleh seorang! Bukti-
kan!"
Di seberang, melihat hal yang menimpa
Dewi Bunga Iblis, Bawuk Raga Ginting tampak
ciut nyalinya. Namun karena dia telah berhada-
pan dengan Pendekar Mata Keranjang 108, maka
perasaan kecut itu ia tepiskan.
Didahului bentakan garang, Bawuk Raga
Ginting segera melesat ke udara. Satu tombak di
udara, sosoknya tiba-tiba berputar dan dengan
gerak cepat, tubuhnya melesat dengan kaki lurus
ke arah Pendekar 108.
Aji jejakkan sepasang kakinya ke atas ta-
nah. Tubuhnya melesat menyongsong tubuh Ba-
wuk Raga Ginting.
Prakkk!
Terdengar benturan keras tatkala sepasang
kaki bentrok di udara. Karena Bawuk Raga Gint-
ing telah terluka, maka tenaga yang dikeluarkan-
nya tidaklah sedemikian kuat, hingga begitu ter-
jadi benturan, tubuhnya melesat deras ke bela-
kang. Dan terkapar di atas tanah. Sementara
Pendekar 108 juga mental, namun dia segera da-
pat menguasai tubuh, hingga dengan membuat
dua kali jungkir balik, dia dapat mendarat dengan
kaki kokoh.
"Jahanam kerdil!" maki Bawuk Raga Gint-
ing seraya merangkak bangkit. Namun baru saja
berdiri, Pendekar 108 telah menggebraknya den-
gan sapuan kaki kanan menyilang.
Sambil menindih rasa terkejut dan marah,
Bawuk Raga Ginting cepat tarik tubuhnya sedikit
ke belakang, hingga sapuan kaki kanan Aji lewat
di depan dadanya. Namun tatkala Aji putar tu-
buhnya dan sapukan kembali kaki kanannya se-
raya ajukan tubuh ke depan, Bawuk Raga Ginting
tak dapat lagi menghindar, hingga....
Desss!
Bawuk Raga Ginting melenguh keras. So-
soknya, mental ke samping dan bergulingan di
atas tanah.
Bawuk Raga Ginting tampaknya tak mau
dipecundangi. Meski merasakan sekujur tubuh-
nya sakit, dia cepat bangun. Namun manusia ce-
bol ini melengak kaget. Di belakangnya telah ber-
diri Dewi Kayangan sambil cekikikan. Sepasang
mata Bawuk Raga Ginting melotot besar, tubuh-
nya bergetar, tangannya gemetar, bukan karena
marah melihat Dewi Kayangan, namun justru ka-
rena sambil cekikikan Dewi Kayangan entah dari
mana datangnya telah memegang rotan dan ber-
gerak cepat dengan melilitkan rotan hutan itu pa-
da tubuh Bawuk Raga Ginting yang baru saja
bangkit.
"Keparat! Apa yang hendak kau lakukan?!"
bentak Bawuk Raga Ginting seraya bergulingan
dan me-ronta-ronta. Namun meski hanya seutas
rotan, Bawuk Raga Ginting tak mampu untuk me-
lepaskan diri. Bahkan meski Bawuk Raga Ginting
telah kerahkan tenaga dalamnya!
Sambil cekikikan Dewi Kayangan melang-
kah ke arah Bawuk Raga Ginting.
"Kau tadi bilang kesasar, sekarang akan
kutunjukkan jalan yang benar agar kau tak kesa-
sar lagi!" kata Dewi Kayangan sambil gerakan ka-
ki kanannya menyapu tubuh Bawuk Raga Gint-
ing.
Meski gerakan kaki Dewi Kayangan terlihat
pelan, hebatnya saat itu juga Bawuk Raga Ginting
memekik. Tubuhnya melayang dan bergelimpan-
gan dekat dengan tempat Dewi Bunga Iblis!
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya
lalu melangkah ke arah Dewi Kayangan. Tapi ba-
ru saja dua langkahkan kaki, terdengar suara
orang menegur disusul berkelebatnya dua sosok
bayangan.
TUJUH
MALAM ini kita lanjutkan perhitungan
yang tertunda!" bentak sosok di hadapan Pende-
kar Mata Keranjang 108 sebelah kanan. Dia ada-
lah seorang perempuan setengah baya. Meski de-
mikian, paras wajahnya masih menampakkan ke-
cantikan. Rambutnya panjang, sepasang matanya
bulat tajam. Pada salah satu cuping hidungnya
terlihat sebuah cincin berwarna kekuningan.
Sementara di sebelah perempuan ini tam-
pak seorang laki-laki juga berusia setengah baya.
Rambutnya panjang namun telah diwarnai putih.
Sepasang matanya juga tajam.
"Dayang Naga Puspa! Jogaskara!" gumam
Pendekar 108 begitu mengenali siapa adanya dua
sosok di hadapannya.
"Bagus! Ingatanmu masih encer. Berarti
kau juga tak lupa akan masalah kita!" kata pe-
rempuan yang hidung sebelahnya terlingkari cin-
cin, dan bukan lain memang Dayang Naga Puspa.
"Dan masalah itu harus tuntas malam ini
juga!" sambung laki-laki di sebelah Dayang Naga
Puspa yang tak lain memang Jogaskara adanya.
Dua orang ini adalah murid Dadung Ran-
tak, seorang tokoh silat berilmu tinggi yang ber-
mukim di Lembah Rawa Buntek (Tentang Dayang
Naga Puspa dan Jogaskara silakan baca serial
Pendekar Mata Keranjang 108 dalam episode
:"Dayang Naga Puspa").
"Hmm.... Rahasia tentang Arca Dewi Bumi
memang telah diketahui banyak orang. Aku harus
bisa menyelamatkannya dari tangan orang-orang
tak bertanggung jawab!" kata Pendekar 108 dalam
hati seraya memperhatikan silih berganti pada
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
Sementara itu di sebelah belakang, melihat
kedatangan Dayang Naga Puspa dan Jogaskara,
Bidadari Bertangan Iblis tampak sedikit terkejut.
Sebelum ia buka suara, Singa Betina Dari Timur
telah berkata dahulu.
"Tampaknya kegegeran di tempat ini tak
akan cepat selesai!"
"Benar! Tapi kita harus tetap menunggu.
Karena selain bisa mendapatkan kejelasan ten-
tang arca itu, siapa tahu nasib baik ada pada ki-
ta. Kita harus pandai-pandai memanfaatkan situ-
asi!" ujar Bidadari Bertangan Iblis dengan mem-
perhatikan Dayang Naga Puspa serta Jogaskara.
Singa Betina Dari Timur menghela napas
panjang. Wajahnya jelas menampak kekecewaan.
Dia berpaling pada Bidadari Bertangan Iblis. Mu-
lutnya membuka hendak mengucapkan sesuatu,
tapi sebelum ucapannya keluar, Bidadari Bertan-
gan Iblis telah berkata.
"Aku tahu, sebenarnya kau tidak setuju
dengan jalan pikiranku. Daripada hal itu menjadi
beban buatmu, kalau kau ingin pulang dahulu,
pergilah!"
Singa Betina dari Timur kembali hanya
menarik napas panjang. Dalam benak gadis ini
dibuncah perasaan bingung. Dia ingin meninggal-
kan tempat itu karena sadar jika tak mungkin
mampu menghadapi orang-orang di tempat itu,
namun di lain sisi dia mengkhawatirkan kesela-
matan Bidadari Bertangan Iblis, saudara sepergu-
ruannya. Juga, sebenarnya dia masih ingin men-
genali Pendekar Mata Keranjang 108 lebih jauh,
karena dia tak dapat mendustai dirinya sendiri,
bahwa dia mulai menyukai pemuda itu.
Sedangkan Dewi Bunga Iblis tampak men-
delik melihat kedatangan Dayang Naga Puspa dan
Jogaskara.
"Betina keparat itu muncul juga! Hmm...
Siapa laki-laki di sampingnya? Sepertinya aku ba-
ru pertama kali ini melihatnya! Seandainya aku
bisa bergerak, akan kuhadapi betina jahanam
itu!" batin Dewi Bunga iblis sambil melotot. Pe-
rempuan ini memang punya dendam pada
Dayang Naga Puspa, karena dia pernah dipecun-
dangi pada beberapa waktu yang lalu.
Hanya Bawuk Raga Ginting yang tampak-
nya belum mengenal Dayang Naga Puspa, karena
meski telah mengingat-ingat namun parasnya
masih menunjukkan ketidaktahuan.
"Hmm.... Mungkin karena aku lama tak
muncul ke rimba persilatan yang membuatku tak
bisa mengenali siapa adanya dua orang ini! Tapi
harapanku semoga mereka dari golonganku,
hingga bisa kuajak kompromi dan melepaskan di-
riku dari rotan tua jahanam itu!" kata Bawuk Ra-
ga Ginting.
Selagi orang-orang di situ dibungkus den-
gan perasaan masing-masing, tiba-tiba Dewi
Kayangan keluarkan tawa cekikikannya. Lalu
berkata.
"Tampak-tampaknya malam ini banyak se-
kali orang kesasar.... Hik.... Hik.... Hik...! Apakah
mereka sudah pada buta, padahal meski malam,
sang rembulan tetap bersinar terang walau war-
nanya merah.... Hik.... Hik.... Hik...!"
Dayang Naga Puspa menoleh. Bibirnya
sunggingkan senyum. Lalu mendekatkan kepa-
lanya pada Jogaskara dan berbisik.
"Kakang! Malam ini kita beruntung sekali.
Sekali tepuk dua ikan besar tertangkap!"
"Maksudmu...?" tanya Jogaskara tak men-
gerti arah pembicaraan adik seperguruannya.
"Kau lihat perempuan gembrot itu. Dialah
Dewi Kayangan, orang yang tahu persis tentang
rahasia Arca Dewi Bumi. Sementara pemuda itu
adalah satu-satunya orang yang kelak dapat
mengambil arca itu. Kalau kita dapat menakluk
kan mereka berdua malam ini, Arca Dewi Bumi
pasti jatuh ke tangan kita!"
Jogaskara manggut-manggut. Lalu alihkan
pandangannya pada Dewi Kayangan. Dahinya se-
dikit mengernyit. Namun tiba-tiba saja sepasang
matanya melotot besar, bibirnya sunggingkan se-
nyum. Bukan karena melihat penampilan Dewi
Kayangan, tapi justru karena melihat Bidadari
Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur.
"Hmm.... Gadis-gadis cantik dengan poton-
gan tubuh menggemaskan. Sudah pasti mereka
menjanjikan kehangatan tersendiri di atas tempat
tidur. Mudah-mudahan masalah di tempat ini ce-
pat selesai. Aku sudah tak sabar jika melihat po-
tongan tubuh seperti mereka...," kata Jogaskara
dalam hati tanpa kesiap memandang pada Bida-
dari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur.
Yang dipandangi serta-merta buang muka mas-
ing-masing dan memandang jurusan lain. Hal ini
membuat Jogaskara usap-usap janggutnya sam-
bil manggut-manggut dengan pandangan penuh
arti.
"Kakang! Kau hadapi pemuda itu! Aku yang
akan menggulung perempuan gembrot itu! Ingat,
kalau bisa jangan sampai tewas! Kita bikin seperti
dua orang di batang pohon itu!" kata Dayang Na-
ga Puspa seraya arahkan pandangannya pada
Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga Ginting.
Ketika pandangan Dayang Naga Puspa ben-
trok dengan mata Dewi Bunga Iblis, Dewi Bunga
Iblis tampak berpaling dan meludah ke tanah.
Sementara Dayang Naga Puspa terlihat tersenyum
sinis.
Mendengar bisikan Dayang Naga Puspa,
Jogaskara anggukan kepala. Dan bersamaan itu,
Jogaskara segera meloncat ke arah Pendekar 108.
Sementara Dayang Naga Puspa putar tubuhnya
menghadap Dewi Kayangan.
"Bersiaplah kunyuk tengik!" bentak Jo-
gaskara seraya angkat kedua tangannya dan
langsung dihantamkan sekaligus pada Pendekar
108.
Wuuuttt!
Serangkum angin laksana gelombang pra-
hara melesat cepat ke arah Pendekar 108. Bukan
hanya membawa suara menggemuruh, namun ju-
ga menebarkan hawa panas menyengat!
Aji tarik tangannya ke belakang. Kedua
tangannya ditarik sedikit ke belakang, dan serta-
merta didorong ke depan.
Weerrr!
Blaaammm!
Terdengar dentuman dahsyat tatkala ge-
lombang angin yang keluar dari tangan Aji mela-
brak serangan Jogaskara. Meski serangan mereka
bentrok di udara, namun karena serangan itu te-
lah dialiri tenaga dalam tinggi, membuat masing-
masing orang ini sama-sama mencelat ke bela-
kang! Setelah sama-sama membuat gerakan salto
dua kali, kedua orang ini mendarat dengan kaki
kokoh.
Namun tampaknya Jogaskara ingin segera
menyudahi pertarungan ini dengan cepat, karena
begitu kakinya mendarat, dia segera menjejakkan
kembali. Tubuhnya melesat cepat dan tahu-tahu
sudah satu langkah di hadapan Pendekar 108.
Murid Wong Agung hanya melihat keleba-
tan warna hitam disertai suara menderu. Tahu-
tahu kedua tangan Jogaskara telah berkelebat di-
depan kepalanya!
Weettt! Weeetttt!
Pendekar 108 angkat kedua tangannya dan
dihantamkan menyilang di depan kepala dan da-
danya.
Des! Desss!
Dua pasang tangan beradu di udara kelua-
rkan suara keras. Jogaskara mengeluarkan se-
ruan tertahan sambil melompat mundur. Kesem-
patan ini tak disia-siakan oleh Aji. Murid Wong
Agung ini segera melompat ke depan dan tangan
kanannya diayunkan ke arah dada Jogaskara dari
arah bawah.
Desss!
Jogaskara terhuyung-huyung ke belakang
dengan menahan dadanya. Dan belum sempat dia
kuasai diri, Aji telah terjangkan tumit ke dadanya!
Tubuh Jogaskara oleng sesaat lalu roboh di
atas tanah! Untuk beberapa saat lamanya laki-
laki ini diam tak bergerak-gerak. Dayang Naga
Puspa yang siap akan menghadapi Dewi Kayan-
gan urungkan niat. Dia berpaling pada Jogaskara.
Wajahnya tampak cemas dengan keadaan kakak
seperguruannya itu. Namun, begitu kakinya hen-
dak melangkah mendekati, Jogaskara tiba-tiba
melenting ke udara.
Di atas udara, Jogaskara putar tubuhnya,
lalu menukik ke arah Pendekar 108. Di tangan
kanannya tampak keris yang memancarkan ca-
haya hitam berkilat! Dan diputar-putar hingga ke-
jap itu juga terlihat kilatan-kilatan warna hitam
membersit ke sana kemari disertai suara mende-
sis-desis!
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat tarik
kipas ungu dari balik pakaiannya, lalu melompat
mundur tiga tindak. Murid Wong Agung sadar jika
sampai salah membuat gerakan atau terlambat
bergerak tak mustahil keris di tangan Jogaskara
akan dapat menembus tubuhnya.
Sadar akan hal itu, Pendekar Mata Keran-
jang pun segera lesatkan diri ke udara. Di udara,
kipasnya dia tebarkan menyamping sementara
tangan kirinya dia hatamkan ke depan.
Sinar putih berkilau membentuk kipas se-
gera menghampar disertai hawa panas serta an-
gin dahsyat yang keluarkan suara menggemuruh.
Hingga saat itu juga tempat itu menjadi terang
benderang dan panas!
Melihat hal itu, Jogaskara segera lipat gan-
dakan tenaga dalamnya, lalu membentak garang
dan melesat menerobos kilauan cahaya putih!
Tangan kanannya memutar keris sementara tan-
gan kirinya mendorong!
Blarrr! Prakkk!
Yang terdengar selanjutnya adalah ledakan
dahsyat yang disusul dengan suara beradunya
dua senjata. Tempat itu bergetar hebat laksana
dilanda gempa. Tanahnya berhamburan ke udara.
Saat tanah yang menutup udara surut, ter
lihat Pendekar 108 jatuh terduduk di atas tanah,
sementara Jogaskara terhuyung-huyung. Namun
kaki kanannya tampak goyah dan tak lama ke-
mudian dia pun jatuh bersimpuh!
Melihat hal ini Dewi Kayangan keluarkan
tawa cekikikan, sementara Dayang Naga Puspa
mendengus. Dewi Bunga Iblis melotot tak berke-
dip, sedangkan Bawuk Raga Ginting geleng-
gelengkan kepalanya.
Yang paling cemas melihat keadaan ini
adalah Singa Betina Dari Timur. Meski tidak
mengatakan, paras wajah gadis ini nampak ce-
mas, malah tatkala Pendekar 108 jatuh, dari mu-
lutnya terdengar jeritan kecil. Namun gadis ini
cepat takupkan telapak tangannya tatkala Bida-
dari Bertangan Iblis berpaling dengan wajah
memberengut, namun tak mengeluarkan kata-
kata.
Di depan, begitu jatuh bersimpuh Jogaska-
ra cepat bangkit. Meski lengannya terasa hendak
terpenggal namun tak ia rasakan. Laki-laki ini se-
gera pula berkelebat. Keris di tangannya kembali
diputar. Karena kini dengan pengerahan tenaga
dalam penuh, maka keris hitam itu seakan-akan
lenyap! Yang terlihat kemudian adalah bersitan-
bersitan kilat hitam disertai suara mendesis-desis
angker!
Pendekar 108 tak tinggal diam. Sambil ke-
rahkan seluruh tenaga dalamnya, kipasnya ia ki-
baskan kembali sementara tangan kirinya meng-
hantam!
Hebatnya, Jogaskara seakan tak terpenga
ruh dengan serangan yang dilancarkan Aji. Tu-
buhnya seakan dibungkus dengan kilatan hitam
hingga dia bisa terus menerobos.
Murid Wong Agung terkejut bukan alang
kepalang. Dan belum sempat untuk lancarkan se-
rangan kembali, Jogaskara telah ada di hadapan-
nya. Keris di tangan kanannya kembali mengge-
brak dari arah samping kiri, sementara tangan ki-
ri menghantam dari samping kanan.
Dengan menekan rasa terkejut, Pendekar
Mata Keranjang membuat gerakan miringkan tu-
buh ke samping kanan untuk menghindar dari
sabetan keris. Tangan kanannya diangkat untuk
menangkis hantaman tangan Jogaskara. Namun
Aji tertipu. Begitu keris lolos menghajar sasaran,
Jogaskara urungkan niat untuk hantamkan tan-
gan kirinya. Yang dilakukan laki-laki itu justru
angkat kaki kanannya dan dihujamkan lurus ke
lambung Pendekar 108. Aji masih bisa mengelak
dengan tarik lambungnya ke belakang, namun hal
itu membuat anggota tubuh bagian atasnya maju
ke depan.
Hal itu segera dimanfaatkan Jogaskara
dengan sabetkan kembali kerisnya! Walau Aji ma-
sih bisa mengelak lagi, namun ujung keris yang
berbentuk tumpul itu masih sempat menyabet
lengan kanan Pendekar 108. Lengan kanan Pen-
dekar Mata Keranjang serta-merta mengeluarkan
darah hitam, dan asap hitam juga tampak men-
gepul. Paras murid Wong Agung kontan berubah
pucat pasi. Wajahnya meringis menahan sakit
dan panas yang mulai menjalar ke seluruh tu
buhnya.
Jogaskara dongakkan kepala lalu kelua-
rkan tawa bergerai-gerai.
"Malam ini nyawamu tak akan bisa disela-
matkan lagi, Anak Keparat!"
Pendekar 108 kertakkan rahang. Sepasang
matanya berkilat-kilat pandangi Jogaskara. "Ba-
gaimanapun juga aku harus bertahan! Arca itu ti-
dak boleh jatuh ke tangan orang-orang sesat!
Nyawa pun akan kupertahankan!" batin Aji, lalu
alirkan tenaga dalamnya ke bagian lengan yang
terluka. Namun murid Wong Agung ini terkejut,
karena begitu melirik lengannya, kulitnya telah
berwarna hitam dan menggelembung besar! Tu-
buhnya pun terasa semakin panas, hingga meski
tidak membuat gerakan, bintik-bintik keringat
meleleh dari sekujur tubuhnya.
Namun rupanya Pendekar 108 tidak lagi
memikirkan keadaan tubuhnya, yang dia ta-
kutkan sekarang adalah jatuhnya Arca Dewi Bu-
mi ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung
jawab. Maka seraya menahan sakit dan panas di
sekujur tubuhnya, murid Wong Agung ini segera
melesat ke depan seraya lancarkan serangan!
Jogaskara masih tegak tertawa, namun ti-
ba-tiba suara tawanya lenyap. Tubuhnya melent-
ing ke udara. Dari udara tangan kirinya meng-
hantam kirimkan serangan jarak jauh menangkis
serangan Aji ternyata telah keluarkan jurus 'Bayu
Cakra Buana'.
Tempat itu kembali laksana dilanda gempa.
Hawa panas semakin menebar! Sementara kilatan-kilatan sinar hitam terus membersit ke sana
kemari seakan tiada habis-habisnya.
"Jogaskara...! Malam ini nyawamulah yang
tidak bisa diselamatkan!" teriak Aji, lalu putar-
putar kipasnya. Hingga saat itu juga tempat itu
dibungkus asap putih! Saat itulah Pendekar 108
segera hantamkan tangan kirinya beberapa kali
ke arah Jogaskara.
Karena tertutup asap putih, Jogaskara
hanya mendengar menderunya angin kencang.
Namun dia waspada. Segera dia membuat gera-
kan menghindar dengan jumpalitan di udara.
Aji lipat gandakan serangannya dengan
hantamkan tangan kirinya. Sementara Jogaskara
putar kembali kerisnya seraya sentakkan tangan
kirinya.
Blammm!
Tubuh Jogaskara nampak melayang turun
saat terjadi bentrok pukulan. Saat itulah Pende-
kar 108 melompat menerobos asap putih. Murid
Wong Agung samar-samar dapat menangkap so-
sok Jogaskara yang terhuyung-huyung di balik
asap putih. Dan kesempatan ini tak disia-siakan.
Sambil melompat Aji lipat kipas ungunya,
tangan kanannya mengepal, sedang kaki kanan-
nya lurus.
Melihat kelebatan lawan, Jogaskara nam-
pak terpengaruh. Namun sebelum dia bisa mem-
buat gerakan untuk menangkis, ujung kipas Pen-
dekar Mata Keranjang 108 telah menghantam
lambungnya. Bukan hanya sampai di situ, begitu
Jogaskara meraung keras sambil memegangi
lambungnya, kaki kanan Pendekar 108 mengha-
jar bahunya!
Jogaskara kembali keluarkan pekikan
lengking. Tubuhnya terputar dan terbanting keras
ke atas tanah! Lambungnya tampak keluarkan
darah. Demikian pula mulut dan hidungnya. Ke-
ris hitam di tangan kanannya mencelat!
Namun bersamaan dengan robohnya Jo-
gaskara, Aji merasa kedua kakinya bergetar he-
bat. Sekujur tubuhnya makin panas. Matanya
berkunang-kunang. Dan tak lama kemudian, lu-
tut murid Wong Agung ini pun terlihat menekuk,
tubuhnya melorot lalu jatuh terduduk!
Saat demikian, tiba-tiba Dayang Naga Pus-
pa melirik, lalu berkelebat dan kirimkan sapuan
kaki kiri ke arah Pendekar 108! Perempuan ini
tampaknya sudah tak bisa menguasai kemarahan
melihat saudara seperguruannya bisa dibuat ro-
boh bersimbah darah. Hingga dia melupakan pe-
sannya sendiri agar Jogaskara tak membunuh
Pendekar Mata Keranjang.
DELAPAN
HIK.... Hik.... Hik...! Manusia kesasar ter-
nyata bukan hanya mata dan hatinya yang tidak
bisa melihat, tapi juga kakinya!" teriak Dewi
Kayangan seraya cekikikan dan lejangkan ka-
kinya ke depan, ke arah Dayang Naga Puspa yang
sedang lakukan tendangan ke arah Pendekar Mata Keranjang.
Meski hanya melejang, namun saat itu juga
serangkum angin deras menghampar menyambar
ke arah Dayang Naga Puspa.
Dayang Naga Puspa tak peduli, dia te-
ruskan tendangan kakinya ke arah Pendekar 108
yang sedang jatuh terduduk. Namun setengah
depa lagi kaki Dayang Naga Puspa menghajar da-
da Aji, perempuan ini terlengak kaget. Kakinya te-
rasa tertahan dan melenceng, hingga menghajar
udara kosong di depan Pendekar 108.
"Bangsat tengik!" teriak Dayang Naga Pus-
pa marah mengetahui tendangannya melenceng.
Serta-merta perempuan ini melesat ke arah Dewi
Kayangan. Sebenarnya dia tak hendak melum-
puhkan Pendekar 108 yang telah merobohkan
kakak seperguruannya. Namun karena dihadang
oleh sambaran angin yang keluar dari lejangan
kaki Dewi Kayangan, maka segala kemarahannya
kini ditumpahkan pada Dewi Kayangan. Hingga
saat sampai di hadapan Dewi Kayangan, Dayang
Naga Puspa telah mulai serangan dengan han-
tamkan tangan kanannya ke arah kepala serta
susupkan tangan kiri mengarah ke perut Dewi
Kayangan.
Di hadapan Dayang Naga Puspa, Dewi
Kayangan tampak ulurkan tangan kanannya, se-
mentara tangan kirinya melambai dari arah ba-
wah. Sebenarnya Dewi Kayangan ingin mencekal
tangan kanan dan kiri Dayang Naga Puspa yang
lancarkan pukulan padanya. Namun nyatanya
Dayang Naga Puspa tahu akan hal itu, hingga se-
cepat kilat Dayang Naga Puspa tarik pulang kembali dua tangannya. Dan bersamaan dengan itu
kaki kanannya bergerak menyusur tanah meng-
hantam kaki Dewi Kayangan.
Blekkk!
Tubuh gemuk besar Dewi Kayangan am-
bruk ke atas tanah. Anehnya, begitu tubuhnya
ambruk, bukan lenguhan yang terdengar dari mu-
lutnya, melainkan suara cekikikannya!
Paras muka Dayang Naga Puspa merah
mengelam merasa tendangannya tidak dirasakan
oleh Dewi Kayangan. Diam-diam dia kerahkan te-
naga dalamnya, lalu mendekat ke arah Dewi
Kayangan yang masih belum bangun.
"Malam ini cekikikanmu akan lenyap sela-
manya! Kau bernasib sial hingga bertemu dengan
Dayang Naga Puspa!"
Habis berkata begitu, Dayang Naga Puspa
lentingkan tubuhnya setengah tombak. Disertai
bentakan keras, kedua kakinya langsung meng-
hantam bersamaan!
Des! Desss!
Karena hujaman kaki Dayang Naga Puspa
telah teraliri tenaga dalam, maka tak ampun lagi
tubuh Dewi Kayangan terlihat melenting jauh se-
belum akhirnya ambruk kembali dan berguling-
guling di atas tanah laksana besi bundar!
Namun semua mata yang memandang se-
jenak tersirap, karena begitu tubuhnya berhenti,
Dewi Kayangan langsung bangkit duduk. Sepa-
sang matanya yang besar, liar memandang berke-
liling. Dan ketika matanya berujung pada Dayang
Naga Puspa, cekikikannya kembali terdengar!
Dayang Naga Puspa menggereng keras. Ge-
rahamnya beradu keluarkan suara gemeletak. Pe-
lipis kiri kanannya bergerak-gerak, dahinya
mengkerut. Kemarahan perempuan itu tampak-
nya sudah setinggi gunung.
"Keparat sundal! Punya ilmu kebal apa dia?
Pukulanku sepertinya tidak membawa pengaruh
apa-apa! Hmm.... Seandainya aku tidak memerlu-
kannya, sudah kutembus perutnya dengan tom-
bakku!" batin Dayang Naga Puspa seraya meraba
bagian pinggangnya di mana tombak miliknya
tersimpan.
Dayang Naga Puspa lantas terlihat pejam-
kan sepasang matanya, mulutnya komat-kamit,
tenaga dalamnya ia lipat gandakan. Dan selagi
Dewi Kayangan masih tenggelam dengan cekiki-
kannya, mendadak Dayang Naga Puspa berkele-
bat dan hantamkan kedua tangannya ke arah ke-
pala Dewi Kayangan.
Bet! Bettt!
Sinar hitam melesat mendahului sebelum
kedua tangan itu sendiri menghajar kepala Dewi
Kayangan.
Suara cekikikan Dewi Kayangan lenyap se-
ketika, dan bersamaan dengan itu dari mulutnya
terdengar suara 'aduh', membuat semua mata
orang di situ melebar ingin melihat apa yang ter-
jadi.
Semua mata yang melihat makin membe-
liak besar, karena dugaan mereka bahwa kepala
Dewi Kayangan akan dibuat pecah meleset sama
sekali. Karena bersamaan dengan terdengarnya
suara 'aduh' sosok gemuk Dewi Kayangan rebah
ke belakang hingga tubuhnya sejajar tanah,
membuat hantaman kedua tangan Dayang Naga
Puspa melabrak angin.
Saat itulah, dengan gerakan cepat luar bi-
asa, Dewi Kayangan angkat kembali tubuhnya
dan serta-merta kedua tangannya menjulur men-
cekal pinggang Dayang Naga Puspa, sementara
kakinya diluruskan dan disapukan pada kaki
Dayang Naga Puspa.
Dayang Naga Puspa melengak kaget. Dia
masih bisa menghindar dari sergapan tangan De-
wi Kayangan dengan geser tubuhnya ke samping.
Namun sapuan kaki Dewi Kayangan tak bisa lagi
dielakkan. Hingga kejap itu juga tubuh doyong
hendak roboh ke samping kanan. Saat itulah ke-
dua tangan Dewi Kayangan menyergap pinggang-
nya, dan sekonyong-konyong tubuh Dayang Naga
Puspa diangkatnya sedikit lalu dibanting ke atas
tanah!
Brak!
Terdengar pekikan melengking keluar dari
mulut Dayang Naga Puspa. Tanah di mana dia
terbanting tampak melesak hingga setengah tom-
bak! Bukan hanya sampai di situ, begitu Dayang
Naga Puspa bangun, Dewi Kayangan cepat putar
tubuhnya dan kaki kanannya melejang deras ke
arah punggung Dayang Naga Puspa!
Bukkk!
Untuk kedua kali terdengar pekikan dari
mulut Dayang Naga Puspa. Kali ini tubuhnya
mencelat hingga beberapa tombak dan baru berhenti tatkala tubuhnya menghajar sebatang po-
hon sampai berderak tumbang!
Dewi Kayangan terbungkuk-bungkuk
bangkit. Sejenak sepasang matanya mengawasi
Dayang Naga Puspa. Lalu cekikikannya kembali
meledak!
Dayang Naga Puspa segera bangun. Dis-
ekanya darah yang tampak meleleh dari bibirnya.
Sepasang matanya lantas membelalak menyengat
pada Dewi Kayangan. Tiba-tiba tangan kanannya
bergerak ke balik pakaiannya. Dan saat ditarik
kembali, tampak benda hitam memancarkan kila-
tan-kilatan aneh.
Cekikikan Dewi Kayangan terhenti seketi-
ka. Dahi perempuan gemuk ini mengernyit. Sepa-
sang matanya membesar dan menyipit.
"Tombak Naga Puspa! Ada sangkut paut
apa kau dengan Tua Bangkotan Dadung Ran-
tak...?!" kata Dewi Kayangan seraya kembali ceki-
kikan.
"Bagus! Kau sudah tahu tombak di tan-
ganku yang akan mengantarmu masuk liang ku-
bur! Soal sangkut paut apa, tanyakan nanti pada
teman-temanmu di alam kubur!" desis Dayang
Naga Puspa seraya menyeringai ganas.
"Hmm.... Jika tombak itu sampai kesasar
di tanganmu, dan kau tidak gunakan semestinya,
jangan menyesal jika kau sendiri yang akan jadi
sasaran!"
"Banyak mulut! Kita saksikan, siapa yang
pantas jadi sasaran!" bentak Dayang Naga Puspa
marah.
"Tentu saja kau! Karena kau orang kesasar!
Hik.... Hik.... Hik...! Dan layak dijadikan sasaran!"
Ucapan Dewi kayangan makin membuat
Dayang Naga Puspa naik pitam. Hatinya telah
memutuskan untuk menghabisi Dewi Kayangan,
dan mengenyahkan rencananya semula yang
hanya mau membuat Dewi Kayangan bertekuk lu-
tut tanpa harus membunuh.
Dayang Naga Puspa lantas putar Tombak
Naga Puspa di tangannya. Suara menderu berde-
sis-desis segera terdengar disertai melesatnya ki-
latan-kilatan mengerikan!
Tak jauh di hadapannya, Dewi Kayangan
terlihat dongakkan kepalanya. Mulutnya berke-
mik-kemik. Sepasang tangannya disatukan. Dan
perlahan-lahan dari tangannya keluar asap men-
gepul keputih-putihan. Dewi Kayangan tampak-
nya kerahkan jurus ‘Pusaran Sukma’!
Namun sebelum kedua orang ini lancarkan
serangan, tiba-tiba terdengar orang mengalunkan
nyanyian syair.
Bulan warna merah darah menggelayut di
lingkar angkasa.
Wajah-wajah merah beringas menatap ce-
mas.
Darah telah mengalir memerahi bumi nan
hitam.
Di manakah damai akan dicari...?
Saat napas manusia berhulu pada kesera-
kahan.
Saat nurani manusia terpeleset pada ke
sombongan.
Saat tujuan manusia terpaku pada 'suatu
benda'.
Dan saat tangan manusia menjawab den-
gan aliran darah.
Betapa sia-sianya hidup mereka!
Hanya manusia sadar diri dan tahu isyarat.
Bakal menemukan artinya hidup!
Wahai manusia! Segalanya telah ditentu-
kan.
Hanya manusia yang berhak akan menda-
patkannya!
Untuk beberapa lama baik Dayang Naga
Puspa maupun Dewi Kayangan terlihat terdiam.
Demikian juga Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga
Ginting. Sementara Bidadari Bertangan Iblis dan
Singa Betina Dari Timur tercengang seakan men-
gartikan bait-bait syair yang baru didengarnya.
Sedang Pendekar Mata Keranjang 108 dan Jo-
gaskara yang kini tampak sama-sama duduk
dengan paras memucat kernyitkan kening seraya
hembuskan napas panjang-panjang.
Tempat itu sejenak dilanda kesenyapan.
Tak ada satu pun yang keluarkan suara.
"Peduli setan dengan segala syair-syair bu-
tut itu! Yang kuinginkan sekarang adalah nya-
wanya!" gumam Dayang Naga Puspa. Lalu dida-
hului dengan bentakan tinggi, tubuhnya melesat.
Sosoknya lenyap, yang tampak sekarang adalah
putaran-putaran tombaknya yang berkilat-kilat
dan menggebrak dari segala jurusan.
Dewi Kayangan bantingkan kedua kakinya
ke atas tanah. Tubuhnya melambung ke udara.
Meski perempuan gemuk ini tak takut, namun
tampaknya dia sadar jika tombak di tangan lawan
sangat berbahaya. Maka begitu tubuhnya berada
di atas, kedua tangannya segera disentakkan ke
depan, saat mana Dayang Naga Puspa datang
menyongsong!
Bettt!
Dayang Naga Puspa berseru tertahan. Un-
tung ia masih bisa menghindar dengan genjot tu-
buhnya hingga serangan Dewi Kayangan hanya
menyerempet pundaknya. Namun demikian, tak
urung perempuan ini terbeliak. Karena pakaian
bagian pundak langsung terbakar!
"Perempuan edan! Aku bersumpah, akan
kukuliti sekujur tubuhmu!" teriak Dayang Naga
Puspa. Dia lantas hantamkan tangan kirinya,
yang kemudian disusul dengan lesatan tubuhnya
seraya angkat tombaknya tinggi-tinggi ke atas!
Di depan, Dewi Kayangan yang baru saja
mendarat, tampak takupkan kedua tangannya la-
lu dibuka dan didorong perlahan ke depan. He-
batnya, saat itu juga terdengar suara angin men-
deru berputar-putar laksana pusaran. Asap putih
pun terlihat melingkupi tempat itu.
Dayang Naga Puspa tertahan, dan kalau
saja dia tak cepat melompat mundur, niscaya tu-
buhnya akan masuk dalam pusaran! Namun pe-
rempuan ini telah bulat tekadnya. Hingga begitu
mundur, tubuhnya ia gulingkan ke atas tanah.
Dan saat gulingannya mendekati pusaran angin
yang dibuat Dewi Kayangan, tiba-tiba ia lepaskan
tombaknya dengan kerahkan tenaga dalam pe-
nuh!
Tombak Naga Puspa menerobos angin pu-
saran. Dewi Kayangan hanya mendengar deru de-
singan tombak itu, karena pandangannya tertu-
tup asap putih. Dan baru saja dia bergerak hen-
dak menghindar, tombak Dayang Naga Puspa te-
lah menyongsong di depannya!
Seraya membelalak, Dewi Kayangan mem-
buat gerakan rebah untuk menghindar, kepa-
lanya memang bisa diselamatkan dari hujaman
tombak, namun pahanya sempat tergores!
Tombak hitam itu terus menerabas lewat di
atas tubuh Dewi Kayangan, saat itulah Dayang
Naga Puspa melejang. Tubuhnya melesat menyu-
sul tombaknya. Dan sebelum tombak itu menghu-
jam pohon, Dayang Naga Puspa telah menyam-
barnya!
"Apa kataku, malam ini kau akan menemui
teman-temanmu di liang kubur! Hik.... Hik....
Hik...!" kata Dayang Naga Puspa seraya balikkan
tubuh dan hendak kirimkan serangan lagi. Na-
mun Dayang Naga Puspa terkejut. Sepasang ma-
tanya tak menemukan sosok Dewi Kayangan!
"Keparat! Ke mana lenyapnya...?!"
Selagi Dayang Naga Puspa termangu-
mangu sambil menebar pandangan, tiba-tiba ter-
dengar cekikikan dekat sekali di belakangnya!
Secepat kilat Dayang Naga Puspa hujam-
kan tombaknya ke belakang dengan balikkan tubuh.
Wuuuttt!
Beeettt!
Bersamaan bergeraknya tangan Dayang
Naga Puspa yang menghujamkan tombak, tangan
kiri Dewi Kayangan yang ternyata telah di bela-
kangnya bergerak. Dan tahu-tahu tangan Dayang
Naga Puspa telah dicekalnya!
Dayang Naga Puspa segera hujamkan tan-
gan kirinya, namun bersamaan itu pula tangan
kanan Dewi Kayangan mengibas keras menyamp-
ing.
Prakkk!
Tangan kiri Dayang Naga Puspa mental ke
belakang, sementara tangan kanan Dewi Kayan-
gan terus bergerak dan kini menghantam tangan
kanan Dayang Naga Puspa yang telah berhasil di-
cekal.
Prekkk!
Dayang Naga Puspa menjerit tinggi. Ba-
hunya seakan penggal terhantam tangan kanan
Dewi Kayangan. Tangan kanannya bergetar hebat
dan akhirnya tombak di genggamannya jatuh!
Bersamaan dengan itu kaki Dewi Kayangan te-
rangkat dan melejang deras ke arah dada Dayang
Naga Puspa.
Kembali Dayang Naga Puspa menjerit. Ka-
rena tangan kanannya masih dicekal, tubuhnya
yang kena tendang tetap tak bergeming di hada-
pan Dewi Kayangan. Malah kini tampak sedikit
menyorong ke depan karena dadanya sedikit dite-
kuk.
Saat itulah sambil cekikikan Dewi Kayan
gan sapukan kakinya pada sepasang kaki Dayang
Naga Puspa.
Brak!
Blek!
Dayang Naga Puspa ambruk dengan deras-
nya ke atas tanah. Namun dengan sisa-sisa tena-
ganya, perempuan ini julurkan tangan hendak
mengambil tombaknya. Tapi ia terkejut besar, ka-
rena ternyata tangan kanan dan kirinya tegang
tak bisa digerakkan. Hanya kakinya yang masih
bisa bergerak-gerak.
"Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau sudah bela-
jar memainkan tombak dengan kaki, tentunya
aku ingin belajar darimu! Hik.... Hik... Hik...!"
Dewi Kayangan lalu balikkan tubuh dan
melangkah ke arah Pendekar 108.
Dayang Naga Puspa menyumpah-nyumpah
tak karuan, karena ternyata Dewi Kayangan telah
menotok kedua tangan dan tubuh sebelah atas-
nya. Hingga yang bisa digerakkan hanya sepasang
kakinya!
SEMBILAN
SENJATA sialan! Pasti racun yang ditim-
bulkannya lebih dahsyat dari bunga hitam milik
Dewi Bunga Iblis! Sialan benar! Di depan masih
banyak urusan yang belum terselesaikan, semen-
tara keadaanku sudah begini rupa!" gumam Pen-
dekar Mata Keranjang 108 seraya kerahkan tena-
ga dalam dan mengusap-usap lengannya yang
masih menggelembung hitam akibat terkena keris
hitam Jogaskara. Meski dia telah menelan obat
anti racun yang dibekali Gongging Baladewa na-
mun rasa panas akibat keris Jogaskara masih be-
lum lenyap.
Selagi pendekar murid Wong Agung ini
menggerendeng panjang pendek, tiba-tiba terden-
gar suara beeekkk! di belakangnya. Secepat kilat
Aji menoleh. Dewi Kayangan terlihat duduk
menggelosoh di belakangnya dengan buka mulut-
nya namun tak terdengar suara cekikikannya.
Dan tanpa mempedulikan pandangan Pen-
dekar 108, Dewi Kayangan angkat sebelah ka-
kinya. Kepalanya menyorong ke depan, lalu mu-
lutnya tampak mencium paha kakinya. Begitu
kepalanya ditarik, pipinya tampak mengembung.
Dewi Kayangan lalu meludah. Tampak darah hi-
tam muncrat dari mulutnya. Ini akibat tombak hi-
tam Dayang Naga Puspa yang sempat menggores
pahanya.
Dewi Kayangan melakukan hal itu beru-
lang-ulang. Di hadapan Aji tampak membeliak
sepasang matanya, dari mulutnya terdengar gu-
maman tak karuan. Bukan karena ngeri melihat
darah yang dimuntahkan mulut Dewi Kayangan,
tapi justru karena Dewi Kayangan seenaknya saja
angkat sebelah kakinya, hingga pakaiannya ter-
singkap lebar!
"Gila! Apa dia sambil pamer...? Kalau yang
melakukan adalah gadis cantik, hmm.... Tentunya
sebuah pemandangan yang amat indah dan tidak
akan kulewatkan begitu saja.... Sungguh sayang
sekali...," kata Pendekar Mata Keranjang dalam
hati seraya palingkan wajah dan menahan tawa,
meski dengan itu lengannya makin terasa lebih
nyeri!
Di seberang, melihat tingkah Dewi Kayan-
gan, Bidadari Bertangan Iblis serta Singa Betina
Dari Timur tampak saling pandang satu sama
lain.
"Perempuan edan tak tahu malu! Apa dia
sengaja pamer tubuh...?!" kata Bidadari Bertan-
gan Iblis seraya meludah ke tanah.
"Mungkin dia tak sadar, atau sengaja me-
lucu! Bukankah dia memang suka yang demi-
kian...?" sahut Singa Betina Dari Timur sambil
tertawa.
Tiba-tiba Dewi Kayangan hentikan gerakan
kepalanya. Lalu berpaling pada Singa Betina Dari
Timur dan Pendekar 108 yang sama-sama terta-
wa.
"Edan! Apa yang kalian tertawakan? Apa
yang lucu?!" bentak Dewi Kayangan seraya melo-
tot silih berganti pada Singa Betina Dari Timur
dan Pendekar 108.
Singa Betina Dari Timur serta-merta ta-
kupkan mulutnya dan tak berani berkata. Semen-
tara Aji terguncang-guncang, namun tak segera
menjawab, membuat Dewi Kayangan makin men-
delik dan mengulangi pertanyaannya.
Pendekar Mata Keranjang akhirnya henti-
kan guncangan bahunya yang menahan tawa, la-
lu berkata perlahan.
"Dewi. Maaf, kau terlalu tinggi mengangkat
kakimu, hingga...," Pendekar 108 tak meneruskan
ucapannya.
Dewi Kayangan yang seakan baru tersadar
akan apa yang diperbuatnya, terdiam untuk bebe-
rapa lama, namun sesaat kemudian cekikikannya
meledak!
Bidadari Bertangan Iblis menggerutu dan
memaki-maki.
"Dia benar-benar sinting! Sudah begitu
masih bisa-bisanya tertawa cekikikan!" sedang-
kan saudara seperguruannya kembali tertawa.
"Anak monyet! Sini kau!" tiba-tiba Dewi
Kayangan membentak. Namun mulutnya masih
tetap cekikikan.
Meski dalam hati masih menduga-duga
dengan perintah Dewi Kayangan, namun Aji ak-
hirnya menggeser tubuhnya mendekat pada Dewi
Kayangan.
Begitu dekat, Dewi Kayangan langsung pe-
gang tangan Pendekar 108 yang terluka, dan ser-
ta-merta tangan kanannya mengusap-usap len-
gan Pendekar 108 yang menggelembung hitam.
Aji meringis kesakitan. Namun mungkin
takut Dewi Kayangan marah, ia coba tak menge-
luarkan keluhan, meski kata-kata keluhan itu
sudah hendak keluar!
Sesaat kemudian, tiba-tiba Dewi Kayangan
memencet gelembung di lengan Aji. Aji tak bisa
lagi menahan sakit, hingga dari mulutnya terden-
gar pekikan tinggi. Bersamaan dengan pekikan
Aji, gelembung itu pecah dan memuncratkan da-
rah hitam serta kental! Baju Aji tampak belang
belang hitam demikian pula sebagian wajahnya
karena terkena percikan darah yang muncrat dari
lengannya.
Begitu darah hitam itu muncrat, gelem-
bung di lengan Pendekar 108 mengempes, namun
tampak kulitnya robek agak besar dan masih me-
lelehkan darah.
"Hadap sana! Kerahkan hawa murni!" pe-
rintah Dewi Kayangan. Tanpa bicara lagi, Pende-
kar Mata Keranjang segera balikkan tubuh me-
munggungi Dewi Kayangan dan segera pula ke-
rahkan hawa murni. Dari belakang, Dewi Kayan-
gan tempelkan kedua telapak tangannya ke pung-
gung Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar 108 merasa hawa dingin mera-
suki sekujur tubuhnya, dan perlahan-lahan pula
menindih lenyap rasa panas yang mendera sebe-
lumnya!
"Bagaimana sekarang...?" tanya Dewi
Kayangan seraya bangkit.
"Lebih enak, Dewi...."
"Bagus! Kau tentunya telah dengar orang
melantunkan syair tadi. Tujuanmu sudah dekat.
Teruskan langkahmu!"
Dengan agak terkejut, Aji segera ambil ki-
pas ungunya yang tergeletak tak jauh di sam-
pingnya. Lalu bangkit dan menghadapkan tubuh-
nya pada Dewi Kayangan. Sesaat dipandanginya
perempuan gemuk besar di hadapannya. Lalu
pandangannya menebar pada beberapa orang
yang masih di tempat itu.
"Bagaimana dengan mereka?" tanya Pende
kar Mata Keranjang 108.
Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu
berkata.
"Itu urusanku! Yang penting kau harus te-
ruskan langkah. Keadaan sudah amat gawat, ka-
rena rahasia tentang Arca Dewi Bumi telah bocor
ke mana-mana! Terlambat sedikit, bencana besar
akan datang!"
"Bagaimana rahasia itu bisa bocor?"
"Aku sendiri kurang tahu pasti, tapi yang
mungkin, tentu Mekar Sari yang menebarkan be-
rita itu!"
"Mekar Sari? Dari mana dia tahu...?"
"Itulah kesalahanku. Mekar Sari datang
padaku dan menanyakan tentang rahasia itu. Ta-
pi kedatangannya dengan rasa menyesal atas
perbuatannya dahulu. Setelah kuberitahu bahwa
hanya satu orang yang kelak dapat mengambil
dan mewarisinya, dia sadar. Bahkan mengatakan
tak ingin lagi memburu arca itu! Waktu itu dia
sepertinya benar-benar bertobat hingga aku men-
gatakan apa adanya! Tapi apa yang terjadi selan-
jutnya sungguh mengejutkan, karena hampir se-
mua orang rimba persilatan tahu! Melihat hal itu,
aku tak enak dan segera ke sini!"
Pendekar 108 manggut-manggut.
"Sekarang, lekas kau lanjutkan langkah-
mu! Aku akan tetap di sini!"
"Baiklah, Dewi...," kata Pendekar 108 lalu
menjura hormat dan balikkan tubuh. Namun mu-
rid Wong Agung ini tak segera melangkah, malah
balikkan tubuhnya kembali dan mendekat ke
arah Dewi Kayangan, membuat perempuan ge-
muk besar ini kernyitkan dahi.
"Disuruh cepat malah berbalik. Apa kau
takut...?" kata Dewi Kayangan seraya melotot be-
sar.
Aji menggeleng perlahan, setelah dekat dia
berbisik.
"Dewi. Aku hanya mau tanya...."
Pendekar Mata Keranjang diam dan tak se-
gera lanjutkan ucapannya, membuat Dewi Kayan-
gan makin mendelik.
"Tanya apa lagi? Dasar anak bodoh! Tak
pinter-pinter, selalu tanya melulu! Cepat kata-
kan!" ujar Dewi Kayangan.
"Hmm.... Bagaimana keadaan Eyang Selak-
sa...? Apa kalian tetap baik-baikan...? Atau...," Aji
tak meneruskan ucapannya karena saat itu juga
Dewi Kayangan hentakkan kakinya ke atas tanah.
"Kau memang anak kurang ajar!" kata Dewi
Kayangan setengah berteriak. Tangan kanannya
telah diangkat hendak dipukulkan pada Pendekar
108. Namun sebelum tangan itu bergerak, Pende-
kar Mata Keranjang 108 telah balikkan tubuh dan
melesat ke arah sela gunung.
"Ini saatnya...," tiba-tiba Bidadari Bertan-
gan Iblis bergumam. Lalu melesat hendak menyu-
sul Pendekar Mata Keranjang.
"Bidadari.... Tunggu!" tahan Singa Betina
Dari Timur. Namun terlambat. Bidadari Bertan-
gan Iblis telah melesat dan tak mendengarkan ka-
ta-kata saudara seperguruannya.
Mendengar teriakan, Dewi Kayangan ber
paling. Dan begitu melihat gelagat tidak baik dari
gerakan Bidadari Bertangan Iblis, perempuan ge-
muk ini segera berkelebat. Sosoknya lenyap. Dan
tahu-tahu terdengar jeritan tertahan.
Ketika semua mata berpaling, tampak Bi-
dadari Bertangan Iblis terkapar di atas tanah, dan
tak jauh di hadapannya Dewi Kayangan tampak
duduk menggelosoh sambil cekikikan.
"Anak gadis nan cantik jelita berpakaian
putih tipis berambut pendek potongan tubuh in-
dah dan menggetarkan.... Hik.... Hik... Hik...!"
berkata Dewi Kayangan tanpa ambil napas. "Ka-
lau ikut-ikutan orang-orang kesasar ini, hidupmu
akan terjerumus...."
Bidadari Bertangan Iblis segera bangun.
Parasnya merah padam dengan dagu mengem-
bang. Sepasang matanya berkilat merah. Meski
telah menyaksikan kehebatan Dewi Kayangan,
namun gadis ini tampaknya pantang takut.
"Perempuan sinting! Kesasar atau tidak
bukan urusanmu!" seraya berkata dia melesat
menerjang ke arah Dewi Kayangan.
"Oh, begitu...? Jadi, kesasar itu urusan
siapa ya...?" kata Dewi Kayangan seraya cekiki-
kan. Dia seolah tak merasa hendak diserang.
Namun begitu terjangan kaki Bidadari Ber-
tangan Iblis datang, Dewi Kayangan angkat kedua
tangannya. Terjadilah hal yang menggelikan seka-
ligus menakjubkan. Karena tahu-tahu kedua kaki
Bidadari Bertangan Iblis telah masuk dalam de-
kapan kedua tangan Dewi Kayangan.
Bidadari Bertangan Iblis kerahkan tenaga
dalam untuk melepaskan diri, namun gagal.
Hingga tubuhnya kini lurus di antara udara den-
gan sepasang kaki terjepit kedua tangan Dewi
Kayangan. Dan karena di atas udara, maka tak
ayal lagi pakaiannya bagian bawah berkibar-
kibar!
"Uhh..., cantik-cantik tapi bau! Pasti kau
sering kencing disembarang tempat ya.... Hik....
Hik.... Hik...! Sana, sana...!" sambil berkata dan
cekikikan Dewi Kayangan dorong kedua tangan-
nya.
Tubuh Bidadari Bertangan Iblis mencelat
dan jatuh bergulingan di dekat Singa Betina Dari
Timur.
"Bidadari...!" seru Singa Betina Dari Timur
seraya mendekati saudara seperguruannya itu
dan menolongnya bangkit.
"Bidadari.... Terlalu berat bagi kita untuk
menghadapi perempuan itu...."
Bidadari Bertangan Iblis melengos, namun
tak membantah kata-kata Singa Betina Dari Ti-
mur. Kedua gadis ini lantas duduk berdampin-
gan. Tiba-tiba sepasang mata Bidadari Bertangan
Iblis membelalak. Ditariknya bahu Singa Betina
Dari Timur, lalu berbisik. "Singa Betina! Kalau-
pun kita gagal mendapatkan Arca Dewi Bumi, kita
tak usah kecewa!"
"Apa maksudmu?!"
"Kau tadi lihat sendiri bagaimana keheba-
tan tombak dan keris itu! Sekarang benda itu ter-
geletak dan orangnya tidak berdaya. Bagaimana
kalau kita sambar saja benda itu dan kita bagi satu-satu?!"
Singa Betina Dari Timur menggeleng perla-
han.
"Aku sebenarnya juga mempunyai perhi-
tungan seperti itu. Namun waktunya belum tepat.
Kalau kita bergerak sekarang, perempuan gemuk
itu pasti tidak akan tinggal diam! Padahal dia bu-
kan lawan kita! Lebih baik kita menunggu saat
yang tepat!"
Bidadari Bertangan Iblis mendengus, na-
mun ia tak juga bergerak untuk menyambar keris
dan tombak yang tergeletak. Diam-diam dia
membenarkan ucapan Singa Betina Dari Timur.
Di depan, tiba-tiba Dewi Kayangan cekiki-
kan.
"Hik.... Hik... Hik...! Nasibku tidak baik.
Sudah tua masih juga harus menunggu orang-
orang kesasar...!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan
bangkit, lalu berkelebat dan tahu-tahu tubuhnya
telah berada di atas dahan sebuah pohon. Sambil
uncang-uncangkan sepasang kakinya dari mulut-
nya tak henti-hentinya keluar suara cekikikan.
SEPULUH
PENDEKAR Mata Keranjang 108 terus me-
langkah ke arah sela dua Gunung Kembar. Sela
dua Gunung Kembar itu ternyata merupakan se-
mak belukar tinggi-tinggi serta pohon-pohon be-
sar. Begitu rimbunnya semak dan pohon, hingga
tak tampak jalan setapak pun!
"Hmm.... Pasti tempat ini tidak pernah di-
rambah manusia. Semaknya begitu merangas,"
kata Aji dalam hati. "Dewi Kayangan bilang Sa-
hyangan Resi Gopala, pembawa Arca Dewi Bumi
ada di sebuah kuil tua...," Pendekar 108 mene-
barkan pandangannya berkeliling di tempat itu.
"Sial! Aku tak dapat menemukan kuil itu!
Apalagi bulan berwarna merah, membuat peman-
dangan agak kabur. Tapi aku harus menemukan
kuil itu. Tadi kudengar nyanyian syair, berarti
kuat dugaan yang melantunkan syair itu adalah
Sahyang Resi Gopala...," Pendekar Mata Keran-
jang lantas melangkah berputar dengan melewati
semak-semak belukar. Sepasang matanya tak
berkedip menebar, sedang kedua telinganya dipa-
sang baik-baik. Namun hingga lelah berputar dan
sampai kakinya perih tergores onak duri serta ca-
bang-cabang pohon yang berjatuhan, murid Wong
Agung ini tak menemukan yang dicari.
"Sialan benar! Di mana letak kuil itu...?
Hmm.... Bagaimana kalau...," Aji lantas anggukan
kepalanya. Sepasang matanya menebar sejenak.
Lalu....
"Sahyang Resi Gopala.... Di mana kau be-
rada...?" Pendekar 108 berteriak lantang.
Namun teriakannya hanya di jawab oleh
kesenyapan. Kembali Aji berteriak namun lagi-lagi
kesunyian yang menjawab.
Kesal tak mendapat jawaban, Pendekar 108
tarik-tarik kuncir rambutnya. Sementara bulan di
angkasa semakin merah hingga lingkaran bumi
semakin terang berwarna kemerahan.
Saat itulah tiba-tiba sepasang mata Pende-
kar Mata Keranjang menangkap gerakan-gerakan
pada semak-semak kira-kira sepuluh langkah di
sampingnya.
"Mungkin ada sesuatu di balik semak-
semak itu! Binatang...? Tak mungkin. Sejak tadi
aku tak menemukan satu binatang pun berkelia-
ran di sini...." Sambil menduga-duga, Aji melang-
kah mendekat. Dan ia sedikit terkejut tatkala se-
telah dekat gerakan-gerakan pada semak itu bu-
kan lenyap, melainkan tambah keras malah
sayup-sayup disertai menderunya suara angin.
Pendekar Mata Keranjang 108 membung-
kuk memperhatikan dengan seksama. Namun
hingga matanya melebar dan menyipit yang tam-
pak hanyalah semak belukar! Anehnya gerakan-
gerakan pada semak yang ternyata dikarenakan
deruan angin dari dalamnya terus berlangsung.
"Aneh! Dari mana datangnya angin ini? Se-
belah sana tak tampak bergerak-gerak.... Aku
akan menyelidik!" Pendekar 108 makin mendekat.
Dan betapa terkejutnya murid Wong Agung ini.
Begitu tubuhnya tepat di depan semak yang ber-
gerak-gerak, terasa ada angin dahsyat yang me-
nyambar. Biarpun Aji telah kerahkan tenaga da-
lam untuk bertahan, namun gagal hingga saat itu
juga tubuhnya terjengkang dan jatuh bergelim-
pangan menerabas semak belukar!
"Gila! Kelihatannya perlahan, tapi tenaga
dalamku tak mampu untuk membendung! Aku
harus lewat berputar...," batin Pendekar 108, lalu
bangkit dan melangkah berputar ke arah semak-
semak yang bergerak-gerak.
Di samping semak yang bergerak-gerak,
Pendekar Mata Keranjang 108 hentikan langkah.
Sepasang matanya lebih dipertajam. Dan sepa-
sang mata Pendekar 108 membelalak besar tatka-
la samar-samar dapat menangkap gundukan
benda hitam di balik semak belukar.
Dengan hati-hati, Aji melangkah mendekat.
Semakin dekat gundukan benda hitam di balik
semak belukar semakin agak jelas. Dan setelah
benar-benar dekat Pendekar108 sorongkan tubuh
ke depan. Namun yang terlihat hanyalah gundu-
kan benda hitam samar-samar. Penasaran, Pen-
dekar 108 gerakan kedua tangannya menyibak
rimbunan semak belukar.
Murid dari Karang Langit ini tergagu seje-
nak tatkala kedua tangannya menyentuh benda
keras di balik rimbunan semak.
"Hmm.... Seperti batu.... Apakah ini kuil
itu...?" Pendekar Mata Keranjang membatin. Se-
cepat kilat tangannya merambasi semak belukar
di sekitar tempat itu. Begitu semak agak jarang,
Pendekar 108 membelalak sambil melongo.
Di hadapannya tampak sebuah batu yang
membentuk mirip bangunan sebuah kuil. Ting-
ginya tidak lebih dari satu tombak. Lebarnya pun
demikian. Mungkin karena tidak terawat, maka di
bagian atas dan sampingnya telah dirambahi lu-
mut berwarna kecoklatan dan tebal, malah di sa-
na-sini tampak tumbuh benalu, hingga jika tidak
disibak, orang tidak akan tahu jika di balik semak
belukar itu ada sebuah batu yang membentuk
kuil.
Setelah puas mengawasi bagian atas dan
samping, Pendekar Mata Keranjang 108 melang-
kah ke bagian depan. Penasarannya semakin
menjadi-jadi karena deruan angin itu terus tiada
henti-hentinya.
Karena khawatir akan terjengkang lagi,
Pendekar 108 sengaja berhenti di samping. Lalu
kepalanya berpaling pada kuil bagian depan yang
tampak membentuk mirip sebuah pintu.
Kedua kaki Aji tersurut satu tindak ke be-
lakang. Sepasang matanya melotot besar. Dari
tempatnya berdiri dengan penerangan cahaya
sang rembulan, Pendekar 108 melihat sesosok
tubuh renta duduk bersila di dalam kuil! Ram-
butnya amat jarang dan nyaris gundul. Pakaian-
nya telah compang-camping dan di sana-sini telah
pula ditumbuhi lumut! Demikian pula anggota
tubuhnya! Sepasang matanya memejam rapat.
Paras mukanya amat keriput dan hampir tak di-
tumbuhi daging. Demikian pula anggota tubuh
lainnya.
Untuk beberapa saat lamanya murid Wong
Agung ini memandang tak berkedip.
"Mungkin inikah Sahyang Resi Gopala...,"
pikir Pendekar 108. Dan kini Aji dapat mengeta-
hui apa yang menyebabkan semak belukar di ba-
gian depan itu bergerak-gerak. Ternyata gerakan
semak belukar itu dikarenakan hembusan napas
sang orang tua!
"Luar biasa! Hembusan napasnya saja aku
tak mampu untuk menahannya! Bagaimana aku
harus mendekatinya...?" Pendekar 108 putar
otak. Lalu perlahan mendekati dari arah samping.
Begitu dekat pendekar dari Karang Langit
ini bergerak duduk, meski dari arah samping,
namun angin dari hembusan napas sang orang
tua masih terasa menyambar! Hingga Aji harus
kerahkan tenaga dalamnya untuk menahan tu-
buhnya agar tidak terjengkang ke belakang.
Setelah menjura dengan bungkukkan tu-
buh Pendekar Mata Keranjang 108 bukan mulut-
nya. "Eyang Resi...."
Sang orang tua tak bergeming. Matanya
pun tak bergerak untuk membuka.
Pendekar 108 memanggil. Namun sang
orang tua tetap diam. Pendekar Mata Keranjang
menghela napas dalam-dalam. Merasa mungkin
suaranya tidak didengar Pendekar 108 kembali
memanggil dengan agak sedikit keraskan sua-
ranya. Namun sang orang tua masih tetap diam.
"Bagaimana ini...? Akan kucoba dengan
menyentuhnya!" gumam Pendekar 108 seraya
ulurkan tangan kanannya. Kaki orang tua itu dis-
entuhnya sambil memanggil. Namun sang orang
tua tetap seperti semula, bahkan Aji terkejut ka-
rena kaki orang tua itu sangat dingin!
"Apa dia telah meninggal...? Kakinya begitu
dingin.... Tapi nafasnya masih berhembus,..." Aji
kembali ulurkan tangannya dan kini diguncang-
kannya kaki orang tua itu dengan agak keras.
Sambil mengguncang-guncang, dari mulutnya
terdengar suara memanggil-manggil.
Anehnya, meski Aji mengguncang, namun
tubuh orang tua itu tak bergerak bahkan ketika
Aji mengerahkan tenaga dalamnya dan menggun-
cangnya keras-keras tubuh orang tua itu tak ber-
geming!
"Gila! Bagaimana ini bisa terjadi...? Bagai-
mana untuk membangunkannya? Apa aku harus
menunggu? Tapi sampai kapan...? Melihat kea-
daan tubuhnya dia telah bertahun-tahun tak per-
nah meninggalkan tempat ini! Kalau aku me-
nunggu, kurasa terlalu resiko, karena bukan tak
mungkin ada orang yang bisa menerobos Dewi
Kayangan dan sampai ke tempat ini. Hmm...."
Selagi pendekar murid Wong Agung ini me-
nimbang-nimbang dan mencari jalan keluar, tiba-
tiba sepasang mata orang tua di sampingnya ber-
gerak membuka, sejurus mata yang sudah tam-
pak memutih kelabu itu mengerjap-ngerjap lalu
agak melebar dan memandang lurus ke depan.
Aji hentikan kata-katanya dan memandan-
gi tak berkedip seraya menunggu. Saat sepasang
mata orang tua itu menebar dan memandang ke
samping, di mana Aji berada, murid Wong Agung
ini serta-merta menjura hormat dan berkata pe-
lan.
"Eyang Resi...."
Untuk beberapa saat lamanya sepasang
mata orang tua itu memandangi Pendekar 108 la-
lu mulutnya yang terkatup rapat tampak bergerak
membuka, dan sesaat kemudian meluncur kata-
katanya. Suara perlahan sekali, namun cukup je-
las di telinga Aji.
Malam bertabur sinar merah hampir beru-
jung.
Ketentuan sudah pada waktunya.
Beban akan terlewati bersama bergantinya
malam.
Namun beban berat akan menghadang di
depan
Kalau sang pengemban tidak rendah hati.
Petaka besar semakin meraupi dataran bu-
mi.
Sejenak orang tua itu hentikan lantunan
syairnya. Pendekar 108 tetap menunggu seraya
memandangi dan coba mengartikan bait-bait yang
baru saja dilantunkan.
Sang orang tua lantas buka kembali mu-
lutnya.
"Wahai anak manusia! Isyarat malam telah
menuntunku untuk mengetahui makna kedatan-
ganmu. Memang, sudah berpuluh-puluh tahun
aku menantikan malam ini, malam yang membe-
baskan diriku dari beban yang harus kuemban.
Hanya pesan yang dapat kuberikan, pergunakan
apa yang nanti kau peroleh untuk kedamaian
manusia. Jika tidak, malapetaka besar akan
menggilas umat manusia, dan itu tanggung ja-
wabmu! Selamat tinggal...."
Habis berkata begitu, sang orang tua pe-
jamkan lagi kedua matanya, bibirnya pun menga-
tup rapat. Dan entah dari mana datangnya, tiba-
tiba segumpal awan putih menyusur semak belukar dan bergerak cepat membungkus tubuh sang
orang tua. Lalu perlahan-lahan pula asap itu
membubung dan sirna. Anehnya, bersamaan
dengan lenyapnya awan putih, sosok sang orang
tua telah tidak ada lagi di tempatnya!
"Eyang Resi...," seru Pendekar Mata Keran-
jang 108. Namun tak ada lagi jawaban.
Sejenak Pendekar 108 menebarkan pan-
dangannya. Namun sosok sang orang tua me-
mang tak lagi tampak.
"Terlambat.... Aku belum sempat mena-
nyakan di mana beradanya Arca Dewi Bumi. Apa
yang harus kuperbuat sekarang...?" gumam Aji
penuh dengan kekecewaan. Disekanya keringat
yang membasahi leher dan keningnya.
Saat itulah, sepasang matanya menangkap
sebuah cahaya agak redup di belakang tempat
sang orang tua tadi duduk bersila. Dengan pera-
saan disesaki beberapa dugaan, Pendekar 108
mendekat seraya membesarkan sepasang ma-
tanya.
Pendekar 108 membungkuk, tangan ka-
nannya dijulurkan untuk mengambil cahaya agak
redup yang ternyata sebuah benda berwarna un-
gu. Begitu jari-jarinya dapat menyentuh benda
itu, ada hawa aneh yang merasuki tubuhnya. Ra-
sa sakit akibat keris Jogaskara yang masih sedikit
terasa tiba-tiba lenyap!
"Hmm.... Melihat bentuknya, mungkin in-
ilah Arca Dewi Bumi...," duga Pendekar 108 da-
lam hati sambil pererat pegangannya pada benda
itu dan pelan-pelan ditariknya dari tempatnya,
karena ternyata benda itu melekat pada batu!
Namun Pendekar Mata Keranjang terpe-
rangah kaget. Benda yang berbentuk arca terse-
but sulit untuk ditarik! Aji kerahkan tenaga da-
lamnya, namun arca itu tetap tak bergeming dari
tempatnya! Pendekar 108 lipat gandakan tenaga
dalamnya, bahkan kini seluruh tenaga luar da-
lamnya dikerahkan. Keringat mulai membasahi
sekujur tubuhnya, tubuhnya pun tampak berge-
tar dan tangannya gemetaran.
Kali ini usaha Pendekar Mata Keranjang
108 tampaknya ada hasil, karena perlahan-lahan
arca itu mulai bergerak-gerak. Tapi ada keane-
han, bersamaan dengan bergeraknya arca, kuil
kecil itu ikut bergetar bahkan di sana-sini tampak
mulai rengkah-rengkah!
Pendekar Mata Keranjang terus kerahkan
tenaga dalamnya, hingga setelah beberapa lama
berusaha, akhirnya arca itu dapat lepas dari tem-
patnya. Namun bersamaan dengan terlepasnya
arca, bangunan batu yang membentuk kuil itu
bergetar hebat, rengkahannya semakin berderak-
derak dan pelan-pelan pula pecah!
Sadar akan hal itu, sebelum bangunan ba-
tu berbentuk kuil itu ambruk, Pendekar 108 ce-
pat melompat mundur sambil mendekap arca.
Bersamaan dengan melompatnya Pendekar 108,
batu berbentuk kuil itu meletup keras lalu am-
bruk!
"Ini pasti Arca Dewi Bumi!" gumam Aji se-
raya angkat tangannya yang memegang arca dan
matanya memperhatikan dengan seksama.
Arca itu ternyata terbuat dari perunggu-
berwarna ungu agak kekuning-kuningan. Ben-
tuknya seorang perempuan berdiri dengan tangan
kanan terangkat memegang sebuah tongkat. Tan-
gan kirinya sedekap sejajar dada. Pada kepalanya
tampak sebuah mahkota bersusun tiga. Pada da-
hinya terlihat tiap buah mutiara berwarna biru
bercahaya. Ada satu keanehan pada arca itu yang
membuat murid Wong Agung ini agak heran. Ter-
nyata pada tengah-tengah mahkota terdapat se-
buah lubang.
Dengan menahan rasa heran, dan tangan
gemetar, Pendekar Mata Keranjang ulurkan tan-
gan kanannya dan memasukkan jari-jarinya pada
lubang. Murid Wong Agung sedikit tersirat tatkala
jari-jari tangannya menyentuh sebuah gulungan
lembut. Sambil menahan degup jantungnya yang
berdetak makin keras, perlahan-lahan diambilnya
gulungan lembut itu. Ternyata gulungan lembut
itu adalah sebuah gulungan kain berwarna putih.
Dengan membesarkan sepasang matanya,
Pendekar 108 membuka gulungan kain. Kini di
hadapannya terpentang lembaran kain yang terte-
ra beberapa tulisan serta gambar-gambar orang
sedang memperagakan jurus silat.
"Ini pasti jurus-jurus silat hebat..., Hmm....
Aku telah berhasil mendapatkan Arca Dewi Bumi.
Aku harus cepat tinggalkan tempat ini. Aku kha-
watir dengan Dewi Kayangan...."
Berpikir begitu, Pendekar 108 lantas gu-
lung kembali kain putih dan dimasukkan kembali
ke lubang di tengah-tengah mahkota. Sejenak dia
tebarkan pandangan berkeliling. Arca Dewi Bumi
segera disimpannya ke balik pakaian hijaunya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia balikkan
tubuh dan berkelebat ke arah di mana Dewi
Kayangan berada.
SEBELAS
BEGITU Pendekar Mata Keranjang 108
sampai di tempat Dewi Kayangan tadi berada, dia
terkejut. Dewi Kayangan tak terlihat batang hi-
dungnya. Yang terlihat hanya Dewi Bunga Iblis
dan Bawuk Raga Ginting yang masih tetap terikat
pada sebuah batang pohon. Juga Dayang Naga
Puspa dan Jogaskara yang kini tampak duduk
berdampingan namun dengan tubuh seperti tak
berdaya. Sementara agak jauh di seberang, Bida-
dari Bertangan Iblis dan Singa Betina Dari Timur
tampak tetap duduk berdampingan.
"Mana dia...? Apa sudah pulang...?" tanya
Pendekar 108 dalam hati seraya sapukan pan-
dangannya berkeliling. Sebaliknya semua orang di
situ sama memandangi Aji dengan tatapan penuh
tanya, malah Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga
Ginting tampak hendak meronta untuk mele-
paskan diri, namun tetap tak berhasil.
Selagi Pendekar 108 mencari-cari, tiba-tiba
Pendekar Mata Keranjang dikejutkan dengan sua-
ra cekikikan Dewi Kayangan. Pendekar 108 cepat
berpaling. Murid Wong Agung ini sunggingkan se-
nyum seraya usap-usap hidungnya dengan geleng-geleng kepala.
Di atas dahan sebuah pohon, Dewi Kayan-
gan tampak tidur-tiduran dengan kaki kiri diang-
kat sedikit sementara kaki kanannya disilangkan
di atas kaki kiri. Kedua tangannya terayun-ayun
ke bawah. Hebatnya, dahan itu tidak bergerak-
gerak apalagi patah!
"Dewi.... Aku...," Aji buru-buru hentikan
ucapannya. Dia hampir saja mengatakan bahwa
dirinya telah berhasil mendapatkan Arca Dewi
Bumi, untung dia sadar dan segera hentikan uca-
pannya.
"Anak monyet! Jangan teriak-teriak seperti
anak monyet tak punya induk! Lekas ke sini!" ka-
ta Dewi Kayangan tanpa palingkan wajahnya pa-
da Aji.
Pendekar 108 segera melangkah ke arah
pohon di mana Dewi Kayangan tiduran. Lalu me-
lesat ke atas mendekati Dewi Kayangan, dan ber-
bisik.
"Dewi. Aku telah mendapatkan arca itu. Ki-
ta segera tinggalkan tempat ini!"
"Apa...? Menginginkan dua gadis itu? Jan-
gan macam-macam!" bentak Dewi Kayangan se-
raya melotot besar.
Pendekar 108 gelengkan kepalanya. Bibir-
nya nyengir sambil tangan tarik kuncir rambut-
nya. Dia lantas lebih mendekat dengan merambat
sebuah dahan. Lalu kembali berbisik.
"Dewi. Aku...," Pendekar Mata Keranjang
108 tak meneruskan kata-katanya, karena Dewi
Kayangan telah menyahut.
"Kalau urusan soal gadis-gadis, aku tak
mau kau jadikan sebagai comblang! Sana, bicara
sama mereka sendiri!"
"Dewi!" kata Pendekar 108 agak keras. Lalu
kembali suaranya dipelankan tatkala menyam-
bung, "Aku telah mendapatkan arca itu!"
Sepasang mata besar Dewi Kayangan me-
mandangi Aji seakan ingin meyakinkan. Tubuh-
nya lalu bangkit duduk. Dan memberi isyarat
dengan gelengan kepala tatkala Pendekar 108
hendak menunjukkan arca yang ada di balik pa-
kaiannya.
"Bagus! Sekarang kita cepat tinggalkan
tempat itu!" kata Dewi Kayangan pula. "He! Kau
menginginkan gadis itu...?" sambung Dewi
Kayangan tatkala melihat Aji memandangi pada
Singa Betina Dari Timur yang saat itu juga sedang
arahkan pandangan pada Pendekar 108.
"Hik.... Hik.... Hik...! Anak sialan! Urusan
gadis masalah belakangan. Kita harus cepat ting-
galkan tempat ini. Ayo!" sambil berkata Dewi
Kayangan melayang turun seraya tarik tangan
Pendekar 108.
Meski dalam hati menggerendeng panjang
pendek, namun Aji tak bisa lagi mengelak. Tu-
buhnya pun melayang turun. Sampai di bawah,
Dewi Kayangan terus tarik tangan Pendekar 108
dan diseretnya untuk berkelebat. Mau tak mau
Aji mengikuti kelebatan tubuh Dewi Kayangan,
namun sejenak sepasang matanya masih-
memandang Singa Betina Dari Timur, bahkan
sempat kerdipkan sebelah matanya, membuat
Singa Betina Dari Timur parasnya berubah meski
dalam hati berbunga-bunga.
Namun baru saja kedua orang ini berkele-
bat, dari arah depan mereka melihat sesosok
bayangan menyongsong dan berteriak.
"Berhenti!" bersamaan dengan terdengar-
nya teriakan, serangkum angin melabrak.
Dewi Kayangan lepaskan tangan Pendekar
108, lalu kebutkan tangan kanannya ke depan.
Rangkuman angin yang datang melabrak kontan
ambyar! Bahkan sempat menghamburkan tanah
di tempat itu, hingga pemandangan sejenak tertu-
tup hamparan tanah.
Begitu tanah yang menghambur surut, di
hadapan Aji telah berdiri seorang perempuan
mengenakan pakaian warna gelap dan ketat. Pa-
rasnya cantik jelita meski umurnya kira-kira telah
mencapai dua puluh lima tahunan. Rambutnya
panjang dan berwarna agak kebiru-biruan. Pa-
kaiannya yang ketat menampakkan dadanya yang
tampak membusung menantang, sementara ping-
gulnya besar dan menggemaskan.
Sesaat Pendekar 108 terkesiap dengan
sang perempuan. Sepasang matanya menjalari
sekujur perempuan di hadapannya tak berkedip.
Bibirnya sunggingkan senyum dengan kepala
menggeleng-geleng perlahan.
"Ratu Pulau Merah...!" desis Pendekar Mata
Keranjang 108 lirih begitu mengenali siapa
adanya perempuan bermata kebiruan di hada-
pannya.
Perempuan bermata biru yang bukan lain
memang Ratu Pulau Merah pandangi Dewi
Kayangan dan Aji silih berganti.
"Bertubuh tambun besar, rambutnya putih
dan disanggul ke atas. Hmm.... Dalam rimba per-
silatan hanya ada satu orang yang berciri demi-
kian. Dewi Kayangan.... Mereka tampaknya ber-
hasil melumpuhkan beberapa orang. Hmm.... Me-
reka sepertinya ingin cepat-cepat meninggalkan
tempat ini. Apa mereka telah berhasil menda-
patkan arca itu.... Mungkin saja...," duga Ratu
Pulau Merah seraya memperhatikan lebih seksa-
ma pada Pendekar 108 dan Dewi Kayangan.
"Aku gembira bisa bertemu dengan kau!"
ujar Ratu Pulau Merah seraya arahkan pandan-
gannya pada Dewi Kayangan. "Bukankah kau
yang berjuluk Dewi Kayangan...?!"
Dewi Kayangan alihkan pandangannya pa-
da jurusan lain, lalu dari mulutnya terdengar su-
ara cekikikannya.
"Syukur kau bukan orang yang kesasar
hingga masih bisa mengenaliku! Namun maaf, ji-
ka aku mungkin terlalu sulit untuk mengenalimu!
Kalau tak keberatan coba sebutkan siapa kau
adanya! Hik.... Hik.... Hik...!"
Paras muka Ratu Pulau Merah serentak
berubah. Namun mulutnya membuka juga.
"Orang-orang rimba persilatan menggelariku Ratu
Pulau Merah! Jelas?!"
"Ratu Pulau Merah...? Hmm.... Gelar ba-
gus!" puji Dewi Kayangan. Lalu menyambung.
Tampaknya kau tergesa-gesa. Silakan teruskan
perjalanan. Kami pun sedang tergesa-gesa....
Hik…. Hik.... Hik.... Bukankah begitu?" Dewi
Kayangan berpaling pada Pendekar Mata Keran-
jang. Pendekar Mata Keranjang anggukan kepala
seraya melirik pada Ratu Pulau Merah.
Mendengar ucapan Dewi Kayangan, Ratu
Pulau Merah tersenyum sinis seraya menyeringai,
lalu berkata.
"Kalian bisa meneruskan perjalanan, tapi
serahkan padaku dulu arca yang ada pada ka-
lian!"
Pendekar 108 tampak sedikit terkejut, na-
mun buru-buru disembunyikan dengan terse-
nyum lebar dan berkata.
"Ratu Pulau Merah! Apakah kau sadar
dengan kata yang barusan kau ucapkan? Kami
tidak membawa arca! Kau salah alamat! Yang aku
bawa cuma...," Aji tak meneruskan kata-katanya,
namun terlihat menahan tawa.
"Betul! Kau kesasar jika tanyakan dan
menduga kami membawa arca! Dia memang ba-
wa, tapi arca hidup! Kau mau...? Jika itu yang
kau minta, dia mungkin tak keberatan untuk
memberikannya padamu! Hanya sayang, untuk
saat ini mungkin belum bisa dilayani. Dia telah
kupesan dahulu. Kalau kau memang berkeingi-
nan setelah aku, kau bisa memesannya! Hik....
Hik.... Hik...!"
Paras wajah Ratu Pulau Merah mengelam
mendengar kata-kata Aji dan Dewi Kayangan.
Namun perempuan berwajah cantik ini masih
mencoba menahannya. Lalu berkata dengan tan-
pa memandang lagi
"Kalian dengar! Malam telah hampir pagi,
aku tak bisa berlama-lama. Kalian jangan coba-
coba berkata dusta. Aku tahu, Arca Dewi Bumi
ada di antara kalian! Lekas serahkan arca itu pa-
daku kalau masih ingin hidup!"
Meski suara Ratu Pulau Merah terdengar
keras, namun sedikit parau. Hal ini karena sebe-
narnya diam-diam Ratu Pulau Merah juga merasa
gentar menghadapi Pendekar 108, apalagi kini
bersama dengan Dewi Kayangan, tokoh rimba
persilatan yang didengarnya berkepandaian ting-
gi.
"Ratu Pulau Merah! Dengar juga olehmu.
Arca itu tak ada padaku! Dan jangan memaksa-
kan kehendak atas diri kami!" bentak Aji seraya
hendak berkelebat pergi.
"Betul! Betul! Kalau kau tetap memaksakan
kehendak, berarti kau membuat kebodohan be-
sar! Dan itu menuntunmu ke tempat orang-orang
yang...," Dewi Kayangan berpaling pada Pendekar
108.
"Kesasar!" kali ini yang menyahut adalah
Pendekar 108 seraya tersenyum.
"Keparat jahanam!" maki Ratu Pulau Me-
rah. Kemarahannya tak bisa ditahan lagi. Dia
langsung maju ke depan. Dewi Kayangan segera
bergerak hendak menyongsong, namun telah di-
dahului terlebih dahulu oleh Aji.
"Bagus! Majulah kalian berdua sekalian!"
teriak Ratu Pulau Merah seraya hantamkan ke-
dua tangannya kirimkan serangan jauh dengan
tenaga dalam kuat.
Wuuttt! Wuuuttt!
Angin dahsyat menebar hawa panas segera
menghampar dan menyambar ke arah Pendekar
Mata Keranjang.
Wuuttt! Wuuuuttt!
Sambil melompat ke udara setengah tom-
bak, Pendekar 108 pun sentakkan kedua tangan-
nya memapasi serangan Ratu Pulau Merah.
Bersamaan sentakan kedua tangan Aji,
tempat itu berubah menjadi terang benderang.
Dan tak lama kemudian terdengarlah letupan ke-
ras tatkala serangan Ratu Pulau Merah bentrok
dengan sentakan Pendekar Mata Keranjang 108.
Baik Pendekar 108 maupun Ratu Pulau
Merah sama-sama terseret hingga beberapa lang-
kah ke belakang.
"Saatnya akan mencoba kipas itu serta ju-
rus 'Pamungkas Bayu Kencana'!" gumam Ratu
Pulau Merah. Tangan kanan perempuan bermata
biru ini lantas bergerak ke balik pakaiannya, dan
tatkala ditarik kembali di tangannya telah terlihat
sebuah kipas berwarna hitam!
Seperti diketahui, Ratu Pulau Merah telah
berhasil mencuri kipas hitam ciptaan Empu Jala-
dara serta bumbung bambu berisi jurus
'Pamungkas Bayu Kencana' dari tempat kediaman
Wong Agung di Karang Langit (Mengetahui pencu-
ri itu silakan baca serial Pendekar Mata Keran-
jang 108 dalam episode : "Badai Di Karang Lan-
git").
Pendekar 108 belalakkan sepasang ma-
tanya, dahinya mengernyit demikian juga Dewi
Kayangan.
"Kipas hitam! Berarti perempuan ini yang
mencuri! Jahanam!" maki Aji dalam hati seraya
perhatikan kipas hitam di tangan Ratu Pulau Me-
rah.
"Hik.... Hik.... Hik...! Nyatanya kau datang
dan menghadap pada orang yang benar! Kali ini
kau tidak termasuk orang yang kesasar!" berkata
Dewi Kayangan seraya kerjap-kerjapkan sepasang
matanya memperhatikan kipas hitam.
"Apa maksudmu?!" bentak Ratu Pulau Me-
rah seraya mendelik sambil mulai gerakan tangan
kanannya berkipas-kipas di depan dada.
"Kau harus serahkan kembali barang cu-
rian itu pada kami!" yang menjawab adalah Pen-
dekar Mata keranjang 108.
Serta-merta Ratu Pulau Merah tertawa ter-
bahak-bahak, hingga dadanya yang membusung
kencang nampak terguncang turun naik. Namun
hal itu kali ini tak membuat Pendekar 108 terke-
sima.
"Begitu...? Baik! Asal kalian serahkan nya-
wa kalian satu persatu!" kata Ratu Pulau Merah
seraya sentakan kipas hitamnya.
Weerrr!
Serangkum angin dahsyat yang juga mene-
barkan hawa panas dan sinar hitam seraya mele-
sat ke arah Aji.
Aji tak tinggal diam. Kipas ungunya segera
dikeluarkan dan serta-merta dikipaskan menyi-
lang ke depan.
Sinar berkilau berwarna keputihan yang
membentuk kipas serta mengeluarkan suara
menggemuruh dahsyat segera keluar menebar
memapak sinar hitam yang keluar dari kipas hi-
tam.
Blarrr!
Dua serangan yang berasal dari dua kipas
yang diciptakan oleh Empu Jaladara bentrok di
udara. Ledakan dahsyat segera mengguncang
tempat itu. Tanah tampak terbongkar hingga se-
tengah tombak! Baik Pendekar 108 maupun Ratu
Pulau Merah sama terjengkang dan sama-sama
terkapar di atas tanah. Tangan masing-masing
tampak berubah kemerahan, sementara paras
wajah keduanya terlihat meringis menahan rasa
sakit di dada masing-masing.
Ratu Pulau Merah segera bergerak bangkit.
Demikian pula Pendekar Mata Keranjang. Tangan
kanan Ratu Pulau Merah tampak masih bergetar,
namun tidak demikian halnya dengan tangan
Pendekar 108. Ini karena Pendekar 108 telah ter-
biasa menggunakan kipasnya, lain dengan Ratu
Pulau Merah. Dia masih belum terbiasa menggu-
nakan kipas, yang memang mengeluarkan kekua-
tan tersendiri. Hal itu rupanya disadari oleh Ratu
Pulau Merah, hingga ia segera kerahkan sedikit
tenaga dalamnya pada tangan kanannya.
Ratu Pulau Merah segera pejamkan sepa-
sang matanya, mulutnya berkemik-kemik. Kipas
hitamnya dipindahkan pada tangan kiri, sedang
tangan kanannya dibuka dan ditarik sedikit ke
belakang.
"Bayu Kencana!" gumam Aji perlahan meli
hat kuda-kuda yang dilakukan Ratu Pulau Me-
rah. "Berarti dia telah mempelajari isi bumbung
bambu itu! Aku harus hati-hati.... Aku tak boleh
menyerangnya!"
Pendekar 108 lantas undurkan langkah
dua tindak. Lalu mengambil sikap seperti yang di-
lakukan Ratu Pulau Merah.
Di sampingnya Dewi Kayangan hanya me-
lihat sesekali tertawa cekikikan perlahan. Semen-
tara tak jauh dari tempat itu, beberapa pasang
mata terus mengawasi. Malah sepasang mata
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara membeliak
besar tatkala dapat mengenali siapa adanya pe-
rempuan yang kini tengah bertarung dengan Pen-
dekar Mata Keranjang 108.
"Ratu Pulau Merah...," desis Dayang Naga
Puspa seraya arahkan pandangannya pada Jo-
gaskara. Tubuh perempuan ini memang belum
bisa digerakkan karena masih tertotok oleh Dewi
Kayangan. Jogaskara hanya anggukan kepalanya.
Sesaat kemudian, Ratu Pulau Merah buka
sepasang matanya. Namun dia tidak segera lan-
carkan serangan. Melihat hal itu Aji pun berbuat
sama. Hanya memandang tanpa lancarkan seran-
gan.
"Hik.... Hik.... Hik...! Katamu tadi ingin
minta arca, sekarang diam malah saling main ma-
ta! Aneh...," kata Dewi Kayangan seraya dongakan
kepala.
"Hmm.... Aku tak boleh terpancing dengan
kata-kata perempuan tambun ini! Dia berkata
sengaja memancingkan agar lancarkan serangan
dahulu! Hmm.... Dikira aku tak tahu.... Jika aku
lancarkan serangan terlebih dahulu, maka aku
akan tersedot dahulu.... Jahanam...!" batin Ratu
Pulau Merah.
Selagi kedua orang ini sama-sama me-
nunggu serangan lawan, tiba-tiba berkelebat se-
sosok bayangan. Begitu cepatnya kelebat sosok
ini, hingga tahu-tahu telah berdiri tak jauh dari
samping Ratu Pulau Merah.
"Kakang...," seru Ratu Pulau Merah begitu
berpaling dan mengenali siapa adanya orang yang
baru datang. Sementara Dewi Kayangan luruskan
kepala dan kerutkan dahi, sepasang matanya
menyipit. Di sampingnya, Pendekar Mata Keran-
jang 108 tampak terperanjat dan langsung besar-
kan sepasang matanya.
Di hadapannya, di samping Ratu Pulau
Merah tampak berdiri seorang laki-laki. Usianya
amat lanjut. Rambutnya awut-awutan serta ber-
warna putih. Demikian pula jenggotnya. Dia ber-
telanjang dada, sementara pakaian bawahnya be-
rupa celana pendek agak gombrong dan tampak
dekil. Sepasang mata serta wajahnya tidak begitu
jelas, karena tertutup oleh rambut dan jenggot-
nya.
Laki-laki bertelanjang dada palingkan wa-
jahnya pada Ratu Pulau Merah. Mulutnya berge-
rak membuka.
"Kinanti...."
Ratu Pulau Merah yang bernama asli Ki-
nanti segera melompat mendekat. Dan serta-
merta dipeluknya laki-laki bertelanjang dada itu.
"Kakang… Maafkan aku yang terlebih da-
hulu meninggalkanmu tanpa pamit. Aku...," Ratu
Pulau Merah tak meneruskan kata-katanya kare-
na laki-laki bertelanjang dada memberi isyarat
agar Ratu Pulau Merah tak meneruskan ucapan-
nya dengan gelengkan kepalanya.
"Kinanti! Aku tahu, dan aku sangat gembi-
ra bisa bertemu denganmu lagi!" kata laki-laki
bertelanjang dada, lalu arahkan pandangannya
pada Dewi Kayangan dan berujung pada Pendekar
108. Sepasang mata laki-laki ini melotot untuk
beberapa saat memperhatikan kipas ungu be-
rangka 108 di tangan Pendekar Mata Keranjang
108.
"Kinanti. Yang perempuan gemuk besar itu
aku tahu. Sedang yang pemuda sepertinya aku
baru kali ini melihatnya. Siapa dia? Dan apa ma-
salahnya hingga kau bentrok dengan mereka...?!"
Ratu Pulau Merah sunggingkan senyum.
Lalu berbisik dekat telinga laki-laki di samping-
nya.
"Kakang. Pemuda itulah manusia yang ber-
gelar Pendekar Mata Keranjang 108! Murid tung-
gal Wong Agung yang pernah kuceritakan pada-
mu. Mereka tampaknya telah berhasil menda-
patkan Arca Dewi Bumi. Aku berusaha merebut-
nya! Kuharap kau sudi menolongku menyelesai-
kan keduanya. Setelah itu kita kembali bersama-
sama ke Lembah Bandar Lor. Kita hidup bersa-
ma-sama lagi..."
Laki-laki bertelanjang dada paling wajah-
nya.
"Kau tidak berdusta lagi...?"
"Kakang. Ketahuilah. Aku dahulu berdusta
padamu karena aku harus memburu kipas hitam,
bumbung bambu serta Arca Dewi Bumi. Kipas hi-
tam dan bumbung bambu telah dapat kumiliki,
sekarang tinggal arca itu. Jika arca itu dapat ku-
miliki, untuk apa aku harus berdusta lagi...?"
Laki-laki bertelanjang dada anggukan ke-
palanya. Meski tampak sekali anggukan itu terasa
dipaksakan.
"Kau mau membantuku, Kakang...?" sam-
bung Ratu Pulau Merah dengan menatap lekat-
lekat. "Kalau kau tak mau, harapan kita untuk
hidup bersama-sama lagi di Lembah Bandar Lor
hanya akan menjadi impian mu!"
"Hmm.... Baiklah! Tapi jika kau berdusta,
kau tahu apa akibatnya!" desis laki-laki bertelan-
jang dada. Ratu Pulau Merah tersenyum dan
mengangguk.
Di seberang agak jauh, Dayang Naga Puspa
dan Jogaskara tampak terkejut saat melihat siapa
adanya laki-laki bertelanjang dada di samping Ra-
tu Pulau Merah.
"Eyang Guru Dadung Rantak...," seru Jo-
gaskara perlahan.
"Sebuah keberuntungan bagi kita. Eyang
Guru pasti akan menolong kita!" tegas Dayang
Naga Puspa dengan sunggingkan senyum.
"Menurut keterangan Eyang Selaksa dan
melihat ciri-ciri orangnya serta begitu akrabnya
dengan Ratu Pulau Merah, berat dugaan laki-laki
ini yang bernama Dadung Rantak...," Pendekar
108 membatin, lalu berpaling pada Dewi Kayan-
gan dan berkata.
"Dewi. Apakah laki-laki ini yang pernah
disebut-sebut Eyang Selaksa beberapa waktu
yang lalu?"
Dewi Kayangan cekikikan terlebih dahulu,
lalu berkata.
"Tak salah! Memang dia orangnya!"
Aji anggukan kepala. Lalu berpaling dan
memandang pada Dadung Rantak. Mulutnya
membuka hendak berkata, namun Dadung Ran-
tak telah terlebih dahulu berkata.
"Aku tak akan berpanjang lebar bicara!
Aku telah tahu siapa adanya kalian berdua. Kalau
masih ingin keluar dari tempat ini dengan kea-
daan selamat cepat serahkan arca itu pada kami!"
"Walah.... Lagi-lagi ada orang kesasar!
Aji.... Kita tinggalkan saja tempat ini! Jangan-
jangan kita nanti ketularan! Hik.... Hik.... Hik...!"
selesai ucapkan kata-kata, Dewi Kayangan mi-
ringkan tubuh dan sepertinya hendak siap me-
ninggalkan tempat itu.
Namun baru saja tubuhnya bergerak, Da-
dung Rantak telah melompat dan serta-merta
hantamkan tangan kanannya ke arah bahu Dewi
Kayangan.
Dewi Kayangan hentikan cekikikannya.
Tubuhnya ditarik sedikit ke belakang. Hingga
hantaman tangan Dadung Rantak melabrak tem-
pat kosong sejengkal di depan bahu Dewi Kayan-
gan. Namun saat itu juga Dadung Rantak sapu-
kan kaki kanannya.
Wuuttt!
Begitu cepatnya sapuan kaki Dadung Ran-
tak, hingga belum sempat Dewi Kayangan mem-
buat gerakan menghindar, kaki Dadung Rantak
telah datang.
Deess!
Tubuh gemuk Dewi Kayangan mencelat
sampai tiga tombak ke belakang. Lalu terkapar di
atas tanah. Namun begitu terkapar, tubuh gemuk
Dewi Kayangan cepat menggeliat bangkit. Dari
mulutnya terdengar kembali suara cekikikannya.
"Jahanam!" maki Dadung Rantak garang.
Tubuhnya segera melesat ke depan kedua tangan
segera bergerak menghantam, sementara kaki kiri
kanan berputar-putar dan menerjang. Tiap gera-
kan kaki atau tangan menghamparkan sinar hi-
tam berkilat. Belum sampai kaki dari tangan
menghajar sasaran, sinar hitam telah melesat
mendahului!
Di depan, Dewi Kayangan masih tampak
enak-enakan seakan tidak pedulikan serangan,
padahal serangan itu sudah dua depa di hada-
pannya. Namun tiba-tiba saja kedua tangan Dewi
Kayangan membuka dan didorong kuat-kuat.
Weettt! Weeettt!
Gelombang asap tipis berwarna kemerahan
melesat deras ke depan.
Plarrr! Plarrr! Plarrr! Plaaarrr!
Laksana gelombang yang menghantam
lamping batu karang, asap tipis kemerahan mela-
brak habis empat sinar hitam yang datang, men-
geluarkan suara letupan beberapa kali.
Dadung Rantak tertahan di udara. Dan be-
gitu melihat serangannya bisa ditahan, laki-laki
ini hendak lancarkan serangannya kembali dari
udara. Namun belum sempat tangannya bergerak,
Dewi Kayangan telah hantamkan tangan kanan-
nya. Dadung Rantak terkejut, karena saat itu juga
tubuhnya laksana dihantam gelombang besar. Ji-
ka saja ia tak cepat melesat ke samping, tentu tu-
buhnya telah terhempas!
Mendarat di atas tanah, Dadung Rantak
tampak mendengus keras. Dahinya mengernyit
seakan tak percaya dengan apa yang baru saja
dialaminya. Karena baru kali ini dia mendapat
tangkisan sekaligus serangan yang begitu hebat.
Dengan mulut komat-kamit tiba-tiba dia mem-
bentak garang. Bersamaan itu tubuhnya melesat
kembali ke depan.
Dewi Kayangan salah duga. Karena lesatan
Dadung Rantak tidak langsung kirimkan seran-
gan dari arah depan. Melainkan melambung ke
atas dan tiba-tiba menukik dari atas Dewi Kayan-
gan.
Dewi Kayangan, yang baru saja mendongak
hendak mengetahui di mana posisi lawan hanya
melihat lesatan-lesatan sinar hitam di atas kepa-
lanya. Dia segera melompat ke depan, tubuhnya
dilengkungkan ke belakang sedikit, kedua tan-
gannya dihantamkan ke atas.
Prak! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu di udara. Da-
dung Rantak terdengar keluarkan seruan terta-
han. Namun dengan cepat laki-laki ini membuat
gerakan jungkir balik dan hantamkan kakinya ke
arah punggung Dewi Kayangan.
Desss!
Dewi Kayangan melenguh keras. Tubuhnya
terhuyung ke depan. Dan belum sempat mengua-
sai diri, Dadung Rantak telah menerjang kembali.
Desss!
Tubuh Dewi Kayangan meliuk lalu roboh
tersungkur di atas tanah!
Melihat hal ini, Pendekar Mata Keranjang
melompat, namun gerakannya tertahan, karena
saat itu juga Ratu Pulau Merah telah berkelebat
menghadang.
"Giliranmu yang sekarang harus roboh!"
seru Ratu Pulau Merah seraya melompat ke de-
pan dan langsung hantamkan kipasnya, sementa-
ra tangan kirinya mendorong.
Pendekar 108 kibaskan kipas, tangan ki-
rinya membuka dan ditarik ke belakang.
Terdengar letupan keras tatkala sambaran
dari dua kipas itu bertemu. Namun serangan tan-
gan kiri Ratu Pulau Merah yang mengeluarkan ge-
lombang angin segera melesat dan masuk ke tela-
pak tangan kiri Aji.
"Bayu Kencana!" seru Ratu Pulau Merah.
Tubuh perempuan bermata biru ini perlahan ikut
terseret ke depan bersamaan dengan masuknya
serangannya pada telapak tangan Pendekar 108.
Namun perempuan ini segera kerahkan tenaga
dalamnya, tangan kirinya pun dibuka dan ditarik
ke belakang.
Gerakan tubuh Ratu Pulau Merah terhenti.
Dan yang terlihat kini adalah keduanya saling ke-
rahkan tenaga dalam masing-masing sambil tarik
tangan kirinya ke belakang. Keduanya tidak ada
yang berani kibaskan kipas masing-masing, me-
reka sadar jika salah satu dari mereka lancarkan
serangan, maka serangannya akan tersedot ke
tangan lawan, dan tubuhnya akan terseret! Ini
terjadi karena keduanya sama-sama mengerah-
kan jurus pamungkas 'Bayu Kencana'.
Beberapa saat berlalu. Keduanya saling ta-
rik menarik. Pakaian keduanya telah basah
kuyup. Bahkan tubuh keduanya terlihat mulai
bergetar, maka masing-masing sama terpejam.
Dan tanah di tempat itu pun bergetar!
Namun mendadak Ratu Pulau Merah buka
matanya. Mulutnya membentak. Serta-merta tu-
buhnya melesat ke depan. Karena melesat dengan
tenaga dalam penuh ditambah dengan tarikan
tangan kiri Pendekar Mata Keranjang 108, mem-
buat lesatan tubuh Ratu Pulau Merah tak dapat
lagi dilihat dengan mata.
Yang terlihat selanjutnya adalah terkapar-
nya tubuh kedua orang ini di atas tanah. Namun
ada sesuatu yang membuat Ratu Pulau Merah
atau Pendekar 108 membelalakkan sepasang ma-
ta masing-masing.
Ratu Pulau Merah membelalak karena sa-
betan tangan kirinya yang sempat menyerempet
pinggang Pendekar 108 membuat pakaian bagian
pinggang robek dan memperhatikan sebuah ben-
da berwarna ungu kekuningan yang ada di balik-
nya! Sementara belalakkan mata Pendekar 108
karena terkejut melihat arca di balik pinggangnya
menyembul dan nampak jelas!
"Tentu itu arca yang kucari!" gumam Ratu
Pulau Merah. "Dugaanku ternyata tidak meleset!"
sekonyong-konyong perempuan bermata biru ini
bangkit dan berkelebat ke arah Aji yang juga tam-
pak bangkit.
"Sialan! Bisa gawat ini!" batin Pendekar
Mata Keranjang. Namun baru saja dia bangkit,
Ratu Pulau Merah telah datang menerjang. Se-
mentara tangan kirinya menjulur hendak me-
nyambar arca di pinggang Pendekar 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 jejakkan se-
pasang kakinya. Tubuhnya melenting ke udara.
Tapi tanpa disangka-sangka, Ratu Pulau Merah
kebutkan kipas hitamnya. Hingga saat itu juga
serangkum sinar hitam menghantam dari bawah
ke arah Aji.
Pendekar 108 terkejut. Dia cepat membuka
gerakan berputar, namun tak urung sambaran
sinar hitam itu menghantam pinggulnya.
Pendekar 108 terpekik, tubuhnya terputar
dan melayang deras ke bawah. Hal ini tak disia-
siakan Ratu Pulau Merah. Tubuhnya segera mele-
sat menyongsong dengan tangan menyambar ke
arah pinggang Pendekar Mata Keranjang.
Meski dalam keadaan melayang terkena se-
rangan, namun Pendekar 108 masih sadar akan
apa yang hendak diperbuat Ratu Pulau Merah.
Maka dengan cepat tangan kanannya berkelebat
hendak memapak tangan Ratu Pulau Merah. Na-
mun karena tergesa-gesa tangannya menyambar
arca di pinggangnya terlebih dahulu sebelum
memapasi tangan Ratu pulau Merah.
Tangan Ratu Pulau Merah bisa dibuat
mental balik, namun arca di pinggangnya mence-
lat dan melambung ke udara! Lalu melayang tu-
run dan jatuh di tengah-tengah antar tempat Jo-
gaskara dan Bidadari Bertangan Iblis berada.
Mendapati hal ini, Jogaskara yang telah
terluka parah segera ambil keris di sampingnya,
lalu seret tubuhnya mendekati arca yang tergele-
tak. Dan serta-merta diraupnya arca itu dengan
menindihkan tubuhnya. Namun bersamaan den-
gan itu. Bidadari Bertangan Iblis melesat datang.
Dan tanpa bicara lagi, kaki kanannya disapukan
pada tubuh Jogaskara yang telungkup meraupi
arca!
Desss!
Jogaskara mengaduh. Tubuhnya melengak
terbalik. Namun laki-laki salah satu murid Da-
dung Rantak ini masih sempat kebutkan tangan
kanannya, yang memegang keris.
Seettt!
Bidadari Bertangan Iblis yang tidak men-
duga terperangah. Namun sudah terlambat untuk
bisa menghindar, hingga tanpa ampun lagi keris
hitam Jogaskara menerabas dadanya!
Tak ada suara keluar dari mulut Bidadari
Bertangan Iblis. Tubuhnya hanya tampak ter-
huyung-huyung sebentar, lalu roboh ke tanah.
Sebentar tampak tubuh itu bergerak-gerak, na-
mun sesaat kemudian diam kaku!
Tak jauh di hadapannya, Jogaskara tam
pak menggelepar-gelepar lalu terkulai dengan ke-
pala menghantam tanah! Suara korok tenggoro-
kannya kontan terputus bersama putusnya nya-
wa!
Melihat saudara seperguruannya roboh
dengan keris menghujam dada, Singa Betina Dari
Timur segera berkelebat dan serta-merta meng-
guncang tubuh Bidadari Bertangan Iblis yang ter-
nyata sudah tewas!
"Bidadari! Bidadari!" seru Singa Betina Dari
Timur berulang kali. Namun tak ada jawaban ke-
luar dari mulut Bidadari Bertangan Iblis. Singa
Betina Dari Timur segera merangkul tubuh sau-
dara seperguruannya dengan sesenggukan. Di-
campakannya keris hitam yang ada di dada Bida-
dari Bertangan Iblis. Mungkin karena terguncang
dengan robohnya saudara seperguruannya, hing-
ga niatannya semula yang ingin memiliki keris
atau tombak menjadi terlupakan.
Di lain tempat melihat apa yang terjadi,
Dewi Bunga Iblis dan Bawuk Raga Ginting kerah-
kan tenaga dalam masing-masing untuk mele-
paskan diri. Namun usah keduanya sia-sia, mem-
buat kedua orang ini memaki-maki tak karuan,
apa lagi kini arca yang mereka cari-cari ada di
hadapannya! Tak jauh beda dengan Dayang Naga
Puspa. Perempuan ini pun memaki-maki panjang
pendek tanpa bisa melepaskan diri dari totokan
Dewi Kayangan.
Sementara itu, melihat arca di pinggang
Pendekar 108 mencelat, Ratu Pulau Merah cepat
bangkit dan melesat. Tapi gerakannya tertahan,
karena saat itu juga Pendekar 108 telah mener-
jang ke arahnya. Kipas ungunya ditebar menyi-
lang sementara tangan kirinya didorong kuat-
kuat.
Ratu Pulau Merah yang tampaknya sudah
terpancang dengan arca yang tergeletak tak bisa
lagi pusatkan perhatian. Hingga saat serangan
datang, perempuan ini terkejut. Namun gerakan-
nya untuk menghindar telah terlambat. Hingga
tanpa bisa dielakkan lagi sinar keputihan yang
keluar dari kipas ungu Pendekar Mata Keranjang
108 tak bisa dihindarkan lagi.
Tubuh Ratu Pulau Merah mencelat sampai
enam tombak ke belakang. Dan tubuhnya baru
terhenti ketika menghajar sebuah pohon. Pohon
itu berderak roboh bersamaan dengan terkapar-
nya tubuh Ratu Pulau Merah. Kipas hitam di tan-
gan kanannya terjatuh dan tergeletak di sam-
pingnya. Darah kehitaman terlihat meleleh dari
sudut bibirnya, juga dari kedua lobang hidung-
nya! Jelas jika perempuan bermata biru ini telah
terluka parah.
Melihat hal ini murid Wong Agung tak
buang waktu lagi. Tubuhnya segera melesat ke
arah tergeletaknya arca. Di pungutnya arca itu la-
lu disimpannya kembali ke balik pakaiannya. Ke-
palanya lalu berpaling ke arah Ratu Pulau Merah.
Sepasang matanya sesaat memperhatikan kipas
hitam yang tergeletak di samping perempuan can-
tik bermata biru ini. Dia tampak bimbang. Berge-
rak menyambar kipas hitam atau menunggu seje-
nak. Dia khawatir jika langsung menyambar, Ratu Pulau Merah akan menyergapnya dan tidak
mustahil arca di tangannya akan kembali jatuh.
Murid Wong Agung sadar, meski Ratu Pulau Me-
rah telah terluka namun sebagai seorang yang te-
lah berpengalaman malang melintang dalam rim-
ba persilatan. Bukan tidak mungkin mengguna-
kan kesempatan yang ada. Apalagi dirinya telah
terluka, mata tak mustahil jika dia nekat meski
harus berkorban nyawa.
Berpikir sampai di situ, akhirnya Pendekar
108 memutuskan untuk melihat situasi selanjut-
nya. Kepalanya lantas menoleh ke arah Singa Be-
tina Dari Timur yang tampak meratapi kematian
saudara seperguruannya. Seraya mengusap ke-
ringat di dahinya, dia melangkah mendekati.
Sementara itu, jauh di depan, pertarungan
antara Dewi Kayangan dengan Dadung Rantak te-
rus berlangsung. Namun tatkala mata Dadung
Rantak menangkap robohnya Ratu Pulau Merah
kekasihnya, perhatiannya terpecah.
Hal ini rupanya bisa ditangkap oleh Dewi
Kayangan, hingga kesempatan ini pun tak dile-
watkan oleh Dewi Kayangan.
Pada suatu serangan, Dewi Kayangan da-
pat menipu gerakan Dadung Rantak yang sudah
terpecah perhatiannya. Saat itu Dewi Kayangan
hantamkan kedua tangannya ke depan dari arah
samping kanan dan kiri.
Dadung Rantak cepat angkat kedua tan-
gannya dan hentakkan ke kanan kiri untuk me-
nangkis. Namun tiba-tiba saja Dewi Kayangan
hanya hantamkan tangan kirinya, sementara tangan kanannya ditarik pulang lalu dihantamkan
lurus ke depan saat mana tangan kiri Dadung
Rantak telah menghentak ke samping.
Prakkk!
Deesss!
Dadung Rantak terpekik tatkala tangan
kanannya beradu dengan tangan kiri Dewi
Kayangan. Namun suara pekikannya disusul den-
gan suara pekik keduanya karena wajahnya ter-
hantam tangan kanan Dewi Kayangan!
Darah muncrat dari mulut dan hidung Da-
dung Rantak. Tubuhnya pun mencelat ke bela-
kang lalu roboh bergulingan di atas tanah!
Dewi kayangan melesat menyusul, dan ser-
ta-merta kaki kanannya disapukan pada tubuh
Dadung Rantak pelan. Hebatnya, saat itu juga tu-
buh Dadung Rantak melayang dan jatuh tak jauh
dari tempat di mana Ratu Pulau Merah masih be-
rusaha bangkit.
"Aji...!" teriak Dewi Kayangan seraya lam-
baikan tangannya.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih
baru saja hendak buka mulut untuk bicara den-
gan Singa Betina Dari Timur terkejut. Dan begitu
melihat lambaian tangan Dewi Kayangan, murid
Wong Agung ini tampak kecewa. Namun demi se-
lamatnya arca yang telah di tangan serta demi
untuk tidak mengecewakan Dewi Kayangan meski
sambil menggerendeng panjang pendek, Pendekar
108 berkelebat ke arah Dewi Kayangan.
"Perempuan urusan belakangan. Kita ha-
rus tinggalkan tempat ini!" kata Dewi Kayangan
begitu Aji dekat. Perempuan gemuk ini lantas ba-
likkan tubuh dan berkelebat tinggalkan tempat
itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak ma-
sih tegak berdiri, kepalanya lantas berpaling pada
Singa Betina Dari Timur. Namun yang dipandangi
masih tenggelam dalam isak tangis di atas tubuh
saudara seperguruannya.
"Hmm.... Seandainya keadaan mengizin-
kan, ingin rasanya aku menolongnya! Tapi apa
boleh buat. Arca ini harus diselamatkan pada
tempat yang aman dahulu.... Singa Betina.... Se-
lamat tinggal, semoga kelak kita dapat diperte-
mukan lagi...," gumam Pendekar 108 seraya lam-
baikan tangan, meski dia tahu bahwa Singa Beti-
na Dari Timur tidak sedang melihat ke arahnya.
Lalu murid Wong Agung ini balikkan tubuh dan
menyusul kelebatan Dewi Kayangan.
Melihat perginya Dewi Kayangan dan Pen-
dekar Mata Keranjang 108, Ratu Pulau Merah se-
gera bangkit hendak mengejar, namun baru saja
bangkit, kaki kanannya goyah, dan jatuh terdu-
duk.
"Keparat! Jahanam! Bangsat!" maki Ratu
Pulau Merah seraya kerahkan tenaga dalamnya.
Lalu perlahan-lahan bangkit melangkah perlahan
dan disambarnya kipas hitam yang tergeletak se-
raya simpan kipasnya. Dia teruskan langkah,
namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya, sepa-
sang matanya melirik pada tombak dan keris
yang tergeletak. Tanpa pikir panjang lagi dia me-
nyambar tombak dan keris "Hm, senjata ini tentu
kelak ada gunanya!" Lalu sepasang matanya seje-
nak liar mengawasi tubuh Dadung Rantak yang
tak jauh di sampingnya.
"Kau tak berhasil merobohkan Dewi
Kayangan, berarti impian mu untuk hidup ber-
samaku kuburlah dalam-dalam, Tua Bangka!"
gumam Ratu Pulau Merah, lalu berkelebat ting-
galkan tempat itu.
Dadung Rantak tertatih-tatih bangun. Dan
ketika sepasang matanya tidak lagi melihat Ratu
Pulau Merah, dada laki-laki ini tampak bergetar.
Sepasang matanya berkilat-kilat.
"Perempuan jahanam! Dia telah berkata
bohong padaku! Hmm.... Saatnya akan tiba,
tunggulah! Juga kau Dewi Kayangan dan Pende-
kar Mata Keranjang 108!" teriak Dadung Rantak,
lalu tertatih-tatih melangkah tiga tindak.
"Eyang Guru...!" Tiba-tiba Dayang Naga
Puspa memanggil.
"Sejak malam ini tak ada hubungan apa-
apa lagi antara kau dan aku! Urusanmu urusan-
mu, urusanku urusanku!" kata Dadung Rantak
tanpa berpaling pada muridnya. Laki-laki berte-
lanjang dada Penghuni Lembah Bandar Lor ini
berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Gila! Jahanam!" maki Dayang Naga Puspa
dengan lejang-lejangkan kakinya, karena memang
hanya sepasang kakinya yang bisa digerakkan.
Sementara itu, begitu dapat menguasai di-
rinya, Singa Betina Dari Timur lantas angkat tu-
buh Bidadari Bertangan Iblis lalu dibawanya me-
ninggalkan tempat itu.
"He...! Kuharap kau mau melepaskan lilitan
jahanam ini!" kata Dewi Bunga Iblis mengharap
pertolongan Singa Betina Dari Timur yang mem-
bawa tubuh saudara seperguruannya dan me-
langkah tak jauh dari tempat Dewi Bunga Iblis
"Benar! Aku pun mohon padamu agar kau
sudi melepaskan aku juga!" kali ini yang berkata
Bawuk Raga Ginting.
Singa Betina Dari Timur palingkan wajah,
namun gadis cantik ini segera luruskan kembali
kepalanya dan meneruskan langkah.
"Jahanam! Gadis keparat!" teriak Dewi
Bunga Iblis.
"Gadis liar! Awas. Suatu saat kelak kau
akan dapat balasan ku!" seru Bawuk Raga Gint-
ing lalu memaki-maki tak karuan.
Singa Betina Dari Timur seakan tak meng-
hiraukan ancaman dan makian, gadis berwajah
cantik ini terus melangkah dengan membawa tu-
buh saudara seperguruannya. Sudut kedua ma-
tanya tak henti-henti meneteskan air mata. Se-
mentara bahunya terlihat berguncang-guncang.
Dan tatkala wajah gadis cantik dari daratan Bima
ini tengadah, di sebelah timur lamat-lamat cahaya
putih kekuningan sang mentari telah berarak
menebar menerangi angkasa.
SELESAI