TEMBANG MAUT
ALAM KEMATIAN
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Tembang Maut Alam Kematian
128 hal.
SATU
HARI itu cuaca cerah sekali. Sang mentari
menunjukkan diri tanpa diiringi sebongkah awan
pun. Angin berhembus semilir, sementara marga
satwa mengalunkan kidungnya masing-masing.
Dalam cuaca yang demikian, seorang anak
laki-laki berusia muda belia terlihat melangkah
melintasi sebuah hutan yang sunyi. Dia menge-
nakan pakaian yang sudah dekil dan robek di sa-
na-sini. Rambutnya yang panjang dibiarkan terge-
rai dan tampak tidak dirawat, hingga rambut itu
kaku dan kempal. Namun demikian wajah anak
ini masih menampakkan ketampanan. Hidungnya
mancung dengan sepasang mata tajam. Alis ma-
tanya tebal dan hitam. Dagunya kokoh meski so-
soknya tidak begitu besar.
Melihat sikapnya yang beberapa kali
menghela napas dalam-dalam serta mengedarkan
pandangannya ke tempat-tempat yang dilewati,
berat dugaan jika anak ini mencari sesuatu dan
tak dapat menemukan yang dicari. Hingga meski
dari mulutnya tak terdengar suara keluhan, na-
mun wajahnya jelas tak dapat menyembunyikan
perasaan kecewa. Dan melihat pakaiannya yang
telah basah oleh keringat serta langkahnya yang
tertatih-tatih, dapat diduga jika dia telah melaku-
kan perjalanan panjang. Namun demikian, anak
yang kira-kira masih berusia dua belas tahun ini
termasuk anak yang tabah dan tegar. Karena
meski tubuhnya telah tampak letih bahkan ka-
kinya mengembung dan di sana-sini terlihat baru-
tan merah akibat goresan ranting dan sdtnak be-
lukar yang terinjak, dia tetap melangkah. Dia ba-
ru hentikan langkahnya tatkala hutan sunyi itu
telah terlewati dan kini di hadapannya tampak
sebuah bukit yang terjal dan berbatu-batu.
Untuk beberapa lama si anak ini memper-
hatikan bukit di hadapannya. Tangan kanannya
diangkat dan ditudungkan di kening untuk me-
nangkis silaunya matahari. Setelah agak lama
memperhatikan, kepalanya lantas bergerak ber-
paling ke samping kanan kiri. Sepasang matanya
menyapu berkeliling.
"Ini mungkin tempat yang dinamakan Bu-
kit Tumpang Gede. Hmm.... Benar apa kata
orang, Bukit Tumpang Gede adalah sebuah bukit
yang hanya merupakan batu-batuan tanpa ada
semak belukar serta pohon. Mungkinkah daerah
seperti ini dihuni seseorang...?" si anak tercenung
seraya berpikir. Tiba-tiba parasnya berubah me-
rah padam. Dagunya yang kokoh mengembang
dengan mata sedikit membeliak. Tangan kirinya
mengepal dengan geraham saling beradu, pertan-
da dia menahan gejolak amarah di dadanya. En-
tah karena kesal atau sebagai pelampiasan rasa
marah, kedua kakinya lantas dibanting-banting di
atas tanah.
"Bagaimanapun juga, aku harus dapat me-
nemukan orang yang bernama Iblis Gelang Kema-
tian! Seorang tokoh sakti yang kata mendiang
Paman berdiam di bukit ini! Aku harus mene-
muinya dan berguru padanya! Aku tak bisa hidup
terus-terusan dalam caci-maki dan hinaan orang!
Aku tak boleh pasrah terus-menerus tidur dengan
atap langit dan selimut dingin! Semua ini menya-
kitkan! Aku harus dapat merubah semua ini. Dan
jalan satu-satunya, aku harus berilmu tinggi!"
Mungkin karena pegal berpikir sambil ber-
diri di bawah terik matahari, maka tak lama ke-
mudian, dia tampak melangkah mendekati se-
buah batu agak besar lalu duduk bersandar se-
raya terus mengawasi ke arah bukit.
"Ayahanda-Ibunda, saudara-saudaraku te-
lah mati terbunuh. Demikian juga Paman. Kini
aku hidup sebatangkara. Hmm.... Tanpa bekal il-
mu tinggi, aku akan diremehkan orang, bahkan
dengan semena-mena akan dibantai orang, seper-
ti apa yang dialami keluargaku. Tidak! Aku harus
jadi seorang berilmu tinggi! Selain bisa hidup
enak, juga dapat membalas atas orang-orang yang
membantai keluargaku!"
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba dia bang-
kit. Rasa letih serta perih di kakinya seakan le-
nyap tak terasa, tertindih semangat yang berko-
bar.
"Aku harus segera bertemu dengan Iblis
Gelang Kematian! Aku ingin menjadi orang beril-
mu tinggi! Aku ingin membalas atas kematian sa-
nak-saudaraku!"
Tanpa mempedulikan sengatan terik mata-
hari, anak laki-laki ini mulai melangkah menaiki
bukit yang memang tak ditumbuhi semak belukar
atau rindang jajaran pohon. Yang terlihat hanya-
lah terjalan batu-batu yang tak teratur serta me-
nanjak membentuk sebuah bukit.
Namun begitu anak ini mulai menapak ter-
jalan batu-batu, tiba-tiba awan hitam berarak-
arakan menutupi angkasa. Angin berhembus
kencang. Dan tak lama kemudian gelegar guntur
terdengar bersahutan. Kilat menyambar tiada pu-
tusnya. Bumi mendadak gelap gulita. Dan ketika
kilat menyambar untuk kesekian kalinya yang
kemudian disusul dengan gelegar guntur, hujan
deras menghujam bumi!
"Sialan! Kenapa mendadak saja cuaca be-
rubah? Adakah ini kenyataan dari apa yang dika-
takan orang, juga mendiang Paman, bahwa Bukit
Tumpang Gede mempunyai keanehan-keanehan
yang menyeramkan?" sepasang mata pemuda be-
lia ini liar menyapu ke sekeliling. Tubuhnya telah
terlihat mulai menggigil kedinginan. Namun dia
tetap melangkah menapaki terjalan batu-batu.
Dan mungkin karena matanya tak dapat lagi me-
nyiasati keadaan di depannya, dia melangkah se-
raya merambat perlahan-lahan dari terjalan batu
ke terjalan batu lainnya. Hal ini dia lakukan ka-
rena selain cuaca gelap, ternyata ter-jalan-terjalan
batu itu sangat licin akibat percikan-percikan ta-
nah yang muncrat terkena hujan.
Tiba-tiba si anak hentikan langkahnya. Se-
raya kedua tangan memegangi terjalan batu dan
kaki kiri bersitekan pada lamping batu agak besar
agar supaya dapat menopang tubuh, sepasang
matanya yang tajam memandang lurus ke depan
dengan tak berkesiap. Samar-samar dari puncak
bukit ia menangkap sebuah cahaya yang berge-
rak-gerak. Cahaya itu kadang-kadang tampak je-
las dan sesekali lenyap.
Si anak tidak meneruskan langkah. Dia
seakan menunggu cahaya itu, karena cahaya itu
bergerak ke arahnya. Namun mendadak saja anak
itu terperangah kaget. Bahkan jika saja pegangan
kedua tangannya tidak kukuh, niscaya ia akan
terpeleset jatuh.
Cahaya yang tadi bergerak-gerak ternyata
telah ada lima langkah di depannya! Dan cahaya
itu adalah sebuah nyala obor. Namun bukan nya-
la obor itu saja yang membuat si anak terperan-
gah kaget. Ternyata obor itu dibawa oleh seorang
perempuan tua renta.
Ada keanehan yang membuat si anak sege-
ra membeliakkan sepasang matanya. Meski saat
itu hujan turun dengan derasnya, namun sekujur
tubuh si nenek tidak basah! Dan ternyata obor itu
tidak digenggam tangannya, melainkan ditan-
capkan masuk ke bahu sebelah kanannya, hingga
pakaiannya terlihat berlobang.
Nenek ini mengenakan pakaian mewah.
Pakaian atasnya merupakan sebuah baju panjang
berwarna hitam terbuat dari sutera. Pakaian ba-
wahnya berwarna hitam kembang-kembang putih
juga dari bahan sutera. Rambutnya telah memu-
tih seluruhnya dan panjang hingga hampir betis.
Raut wajahnya sedikit lonjong dengan sepasang
mata besar dan tajam berkilat. Hidungnya man-
cung dengan bibir merah tanpa polesan. Pada ke-
dua tangannya terlihat melingkar beberapa gelang
yang berwarna kuning keemasan.
Meski si anak terperangah kaget, namun ia
segera buka mulut berteriak. Pertanda bahwa ia
adalah seorang anak pemberani, karena siapa
pun juga akan merasa kecut jika melihat tampang
angker si nenek.
"Nenek tua! Siapa kau...? Jangan mengha-
langi langkahku jika tak ingin kulempar dengan
batu-batu bukit ini!"
Perempuan tua itu keluarkan dengusan
dan menyeringai buruk. Sepasang matanya liar
memperhatikan ke arah si anak. Dalam hati, di-
am-diam dia berucap.
"Menurut isyarat yang kuperoleh, rupanya
anak ini yang bakal meneruskan langkahku!
Hmmm.... Aku gembira sekali. Dia ternyata anak
pemberani dan melihat paras wajahnya, dia juga
seorang anak cerdik. Pandangan matanya tajam
dan dingin, pertanda menyembunyikan kekeja-
man serta kelicikan! Memang, anak demikianlah
yang kuharapkan!" si nenek segera dongakkan
kepala menatap curahan air hujan yang sejengkal
menyibak di atas kepalanya.
"Orang tua! Lekas minggirlah! Aku mau le-
wat!" teriak si anak seraya mengencangkan pe-
gangannya pada terjalan batu dan hendak me-
rambat ke atas.
Meski tampang si nenek berubah tatkala
diusir, namun bibirnya yang merah terlihat sedi-
kit sunggingkan senyum. Dia lalu berucap.
"Bocah kecil! Cuaca begini gelap dan me-
nakutkan, ke mana kau hendak pergi...?!"
Si anak urungkan niat merambat. Dengan
mata memandang tajam, ia berkata. "Aku tak
mau mengatakan pada orang yang belum kuke-
nai! Katakan dahulu siapa kau adanya!"
Perempuan tua tertawa pendek. Pandangan
matanya beralih pada anak laki-laki di depannya.
"Anak kecil kurang ajar! Kau tak berhak
menanyaiku! Justru akulah yang akan tanya pa-
damu. Jika kau tak menjawab, kau akan ku ten-
dang biar tubuhmu jatuh ke bawah sana! Kau
dengar?!"
Walau sedikit keder mendengar ancaman
orang, karena sadar jika sampai jatuh ke bawah
bukan hanya tubuhnya saja yang mengalami lu-
ka, namun lebih dari itu segala rencananya ingin
menuntut ilmu akan hilang. Tapi anak ini ru-
panya pandai menyembunyikan perasaan. Den-
gan tanpa alihkan pandangan bahkan tersenyum
sinis, dia berkata.
"Orang tua! Aku tak mau diancam. Kalau
kau memang ingin menendangku, lakukanlah!
Tapi jangan menyesal jika kau akan benjol-benjol
kulempar dengan batu-batu ini!"
"Begitu?" si nenek tertawa panjang hingga
obor di bahunya berguncang-guncang mengikuti
gerakan bahunya.
"Kita buktikan siapa nanti yang benjol-
benjol. Sekarang katakan siapa namamu dan kau
dari mana hendak ke mana?"
Si anak wajahnya sedikit merah mengelam.
Dengan setengah berteriak dia berkata.
"Sudah kukatakan, aku tak mengatakan-
nya pada orang yang belum kukenai! Apa kau ti-
dak dengar?!"
Perempuan tua gelengkan kepala perlahan.
Tiba-tiba tangan kirinya bergerak pelan.
Wuttt!
Serangkum angin deras menghantam ke
depan. Si anak merasakan tubuhnya bergetar,
dan tak lama kemudian pegangan tangannya pa-
da terjalan batu goyah, demikian juga tekanan
kakinya. Kejap kemudian pegangannya lepas dan
tubuhnya perlahan melorot ke bawah. Karena ter-
jalan batu-batu itu sangat licin hingga tanpa am-
pun lagi tubuhnya melorot dengan deras, bahkan
terlihat berguling-guling menghantam terjalan ba-
tu-batu bukit. Ketika gulingan tubuhnya terhenti
karena tertahan terjalan batu besar, dia merasa-
kan perih di hampir sekujur tubuhnya. Dan keti-
ka dia bergerak bangkit dan melirik, dia terperan-
jat. Tangan dan kakinya tampak lecet-lecet. Bah-
kan ketika tangannya meraba keningnya, terasa
tiga benjolan ada di situ!
"Keparat!" maki si anak seraya tertatih-
tatih bangkit. Kedua tangannya langsung meraup
batu batu kecil yang berserakan. Dan serta-merta
tubuhnya diputar, kedua tangannya mengayunmelemparkan batu-batu di tangannya.
Namun si anak terkejut. Nyala obor ternya-
ta telah tiada. Namun dia tetap saja lemparkan
batu-batu di tangannya. Dia lantas menunggu.
Dia berharap ada suara seruan tertahan pertanda
salah satu lemparan batunya mengenai sasaran.
Tapi harapan si anak tidak terwujud, ma-
lah kejap itu juga terdengar desingan dari kegela-
pan. Dia membeliakkan sepasang matanya ingin
tahu apa yang mendesing dan menuju ke arah-
nya. Betapa terlengaknya dia, karena suara de-
singan itu ternyata lesatan batu-batu yang tadi
dilemparkannya. Namun kesadarannya terlambat.
Sebelum dia sempat menghindar, batu-batu itu
telah menghujam tubuhnya. Anehnya, tak satu
pun batu yang meleset dari menghajar tubuhnya!
Si anak keluarkan jeritan tertahan. Karena
meski batu-batu itu tidak begitu besar, namun
begitu menghujam, rasanya seakan batu besar!
Hingga tak lama kemudian, tubuhnya limbung
dan jatuh bersandar pada batu besar. Kepalanya
serta bibirnya terlihat mengeluarkan darah. Un-
tung batu yang menghajar wajahnya tidak begitu
besar, jika tidak, bukan mustahil wajahnya akan
hancur!
Selagi si anak terhenyak dalam kesakitan,
terdengar suara tawa mengekeh di sampingnya.
Berpaling, dia terkesiap. Si nenek telah berdiri
empat langkah di sampingnya dengan kacak
pinggang. Obor di bahunya terlihat bergoyang-goyang.
"Bagaimana? Apakah benjolan itu minta di-
tambah?" berkata si nenek tanpa memandang.
Si anak geser tubuhnya menjauh. Tubuh-
nya terlihat menggigil, selain karena kehujanan,
juga karena hatinya sedikit takut. Dia sadar, uca-
pan orang tua di sampingnya tidak main-main.
"Nenek berhati kejam! Ancamannya tidak
main-main. Terpaksa aku harus menjawab perta-
nyaannya, agar aku segera sampai tujuan!" mem-
batin si anak.
"He! Kalau kau tetap membisu tak mau ja-
wab pertanyaan orang, tubuhmu akan kuseret ke
atas dan kugelindingkan dari sana!" bentak si ne-
nek.
Meski dalam hati memaki-maki, akhirnya
si anak buka mulut.
"Aku adalah Manding Jayalodra! Anak
bungsu dari Panglima Perang Kerajaan Dhaha!"
Perempuan tua itu sedikit terkejut men-
dengar ucapan si anak.
"Anak seusia dia tidak mungkin bicara
mengada-ada. Dan ini cocok dengan isyarat yang
kuperoleh, bahwa manusia yang kelak bakal me-
neruskan cita-citaku adalah seorang anak pembe-
sar kerajaan!" Namun demikian, si nenek tak be-
gitu saja percaya. Dia lantas menanyakan siapa
ayah serta ibu juga saudara-saudaranya. Ketika
anak yang menyebutkan namanya Manding Jaya-
lodra mengatakan siapa nama ayah, ibu serta
saudara-saudaranya, si nenek manggut-manggut
seraya tersenyum.
"Lantas kau hendak ke mana? Sebagai
anak seorang panglima tidak mungkin kau ke-
luyuran sendirian! Apalagi jarak antara Dhaha
dan Bukit Tumpang Gede tidak dekat!"
Manding Jayalodra luruskan pandangan.
Wajahnya tampak mengeras.
"Orang tua! Apa kau tak tahu? Panglima
Perang Kerajaan Dhaha telah tewas terbunuh.
Bahkan juga kerabat-kerabatnya!"
"Kau sendiri...?" si nenek ajukan perta-
nyaan.
Sejenak Manding Jayalodra terdiam dengan
kepala mendongak, hingga wajahnya tercurahi air
hujan. Setelah napasnya sesak menahan cucuran
air hujan dia kembali luruskan kepalanya me-
mandang si nenek yang tegak menunggu jawa-
ban.
"Waktu terjadi pembantaian atas keluarga-
ku, aku berhasil diselamatkan oleh salah seorang
pamanku. Lantas aku hidup bersama Paman.
Namun karena aku masih menjadi orang buruan,
Paman menyuruhku untuk hidup dengan me-
nyamar. Sejak saat itulah, aku hidup sebagai
orang biasa. Dan hidupku makin sengsara ketika
Paman akhirnya juga tewas. Aku lantas hidup
luntang-lantung, seperti seorang pengemis! Hidup
dengan tidur beralaskan tanah dan berselimut
angin!"
"Hmm.... Mengenaskan. Lalu ke mana kau
hendak pergi?!"
"Mendiang Paman pernah mengatakan pa
daku, bahwa di Bukit Tumpang Gede, berdiam
seorang sakti. Aku ingin menemuinya sekaligus
berguru padanya! Setelah aku menjadi orang be-
rilmu tinggi dan sakti, akan kuhancurkan orang-
orang yang membantai keluargaku! Mereka tak
akan kusisakan satu pun!" tangan Manding Jaya-
lodra mengepal. Wajahnya merah padam. Da-
gunya yang kokoh membatu.
"Kau juga seorang pendendam! Bagus, se-
gala sifat itu yang kubutuhkan! Meski semua
orang tahu, Panglima Perang Kerajaan Dhaha di-
bantai karena telah menyusun kekuatan hendak
berbuat makar pada kerajaan!" si nenek memba-
tin.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang
ini saling diam. Namun tak lama kemudian Mand-
ing Jayalodra berkata.
"Aku telah mengatakan siapa diriku. Seka-
rang jangan halangi lagi perjalananku! Aku harus
segera bertemu dengan orang sakti itu!"
Si nenek angguk-anggukkan kepala. Meli-
hat hal ini, Manding Jayalodra hendak mulai me-
langkah naik kembali. Namun gerakannya terta-
han tatkala didengarnya si nenek berkata.
"Tunggu! Sebelum kau meneruskan men-
daki, katakan padaku, siapa nama pamanmu itu!"
Meski dengan paras jengkel, namun Mand-
ing Jayalodra buka suara.
"Candrik Raturandang!"
Si nenek anggukkan kepala. "Hmm.... Can-
drik Raturandang. Tokoh silat golongan hitam
yang pernah merajalela yang bergelar 'Si Penyebar
Maut'. Aku tidak heran jika anak ini pemberani
dan pendendam, ini buah didikan pamannya!
Dengan demikian, aku hanya tinggal memupuk-
nya...," lalu dia berpaling pada Manding Jayalodra
dan berkata.
"Kalau mau kunasihati, urungkan niatmu
ke puncak bukit untuk menemui orang yang kau
sebut sakti itu! Keadaan terlalu gelap dan jalanan
licin! Belum lagi sambaran kilat dan gelegar gun-
tur yang siap menggemuruh. Lebih baik kau
kembali dan terimalah apa adanya hidup!"
Secepat kilat Manding Jayalodra palingkan
wajahnya pada si nenek.
"Orang tua! Jangankan hanya petir dan
guntur serta jalan licin, lautan api pun akan kua-
rungi! Aku tak mau hidup sebagai pengemis! Di-
hina serta dicaci maki! Lebih dari itu, aku ingin
membalas atas kematian saudara kerabatku!"
Si nenek tertawa panjang.
"Kalau itu kehendakmu, silakan teruskan!
Aku hanya mengingatkan!" habis berkata begitu
dia melirik pada Manding Jayalodra yang tak per-
dengarkan ucapannya dan mulai melangkah
mendaki dengan tertatih-tatih.
"Semangatnya besar dan tak kenal menye-
rah! Hmm.... Anak yang kuinginkan!"
"Perempuan tua bangka cerewet! Banyak
omong tak karuan! Tanya segala macam! Jika ti-
dak berjumpa dengannya mungkin aku telah
sampai puncak bukit! Tapi.... Dari mana dia?
Apakah dia juga baru saja menemui orang sakti
yang di katakan Paman itu? Tololnya aku, kenapa
aku tidak tanya?" Manding Jayalodra menoleh ke
belakang.
Manding Jayalodra tersirap darahnya seke-
tika. Perempuan tua pembawa obor tak ada di
tempatnya semula, padahal dia baru melangkah
dua tindak! Seakan tak percaya, Manding Jayalo-
dra menyapukan pandangan berkeliling dengan
menunggu kilatan petir. Dan saat kilat menyam-
bar, dia baru yakin jika perempuan itu tidak ada
di tempat itu!
"Sialan! Ke mana minggatnya orang tua
itu? Jangan-jangan dia hantu penunggu bukit
ini!" tengkuknya merinding. Namun dia segera ba-
likkan tubuh dan meneruskan langkah meski tak
jarang sepasang matanya melirik ke samping ka-
nan dan kiri.
"Keparat! Kalau saja tidak demi untuk
membalas dendam, aku ingin rasanya turun
kembali!" omel Manding Jayalodra seraya terus
melangkah dengan merambat pelan-pelan.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup
berat, bahkan tak jarang harus berputar untuk
menghindari lereng yang tinggi, Manding Jayalo-
dra akhirnya tiba juga di puncak bukit.
Begitu tubuhnya mencapai puncak bukit
yang ternyata merupakan daratan berbatu, Mand-
ing Jayalodra segera hempaskan tubuhnya. Mele-
paskan kepenatan dan keperihan di sekujur tubuhnya.
Namun ada keanehan terjadi saat bersa-
maan sampainya Manding Jayalodra tiba di pun-
cak bukit. Hujan tiba-tiba hentikan curahannya,
guntur tidak lagi terdengar menggelegar. Kilat tak
menyambarkan sinarnya dan arak-arakan awan
hitam bergerak memudar hingga tak lama kemu-
dian cuaca berubah terang.
"Edan! Cuaca membaik lagi begitu perjala-
nan telah sampai!" rutuk Manding Jayalodra se-
raya arahkan pandangan ke sebelah barat. Ter-
nyata matahari telah hampir tenggelam, namun
pancaran sinar merahnya masih mampu mene-
rangi ke angkasa.
Manding Jayalodra lalu arahkan pandan-
gannya mengelilingi puncak bukit. Dia terkejut.
Di situ hanya tampak batu-batu tanpa sebuah
bangunan pun!
"Apa mendiang Paman tidak berkata dus-
ta? Di sini tak kulihat tempat yang pantas dihuni
oleh manusia!"
Selagi Manding Jayalodra merenung, tiba-
tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang. Me-
lirik ke samping, dari mana suara tawa bersumb-
er, dia terlengak. Bahkan tubuhnya yang masih
menggelosoh digeser ke belakang dengan mata
mendelik lebar.
"Dia...!" seru Manding Jayalodra begitu
mengenali siapa adanya orang yang mengelua-
rkan tawa dan kini berdiri di atas sebuah batu
agak besar tanpa memandang ke arahnya.
"Gila! Bagaimana dia tahu-tahu telah sam
pai di sini? Jangan-jangan dia memang hantu
bukit yang sengaja menggodaku!" kembali teng-
kuk Manding Jayalodra dingin.
Selagi Manding Jayalodra bengong tak tahu
apa yang harus diperbuat atau diucapkan, sosok
yang mengeluarkan tawa yang ternyata perem-
puan tua yang ditemui saat mendaki bukit buka
suara.
"Manding Jayalodra! Semangatmu besar!
Aku suka itu!"
Manding Jayalodra bergerak bangkit meski
tubuhnya masih dirasa seakan remuk. Sepasang
matanya memandang lekat-lekat ke arah orang
tua.
"Nenek tak dikenal! Siapa sebenarnya, dan
apa maksudmu mengikuti perjalananku?"
Yang ditegur kembali keluarkan tawa pan-
jang.
"Siapa bilang aku mengikuti perjalanan-
mu? Pasang telingamu baik-baik! Ini adalah tem-
pat tinggalku!"
Manding Jayalodra surutkan langkah dua
tindak. Sepasang matanya makin melotot besar.
Tiba-tiba dia melangkah maju.
"Jadi, apakah kau yang bergelar Iblis Ge-
lang Kematian? Penghuni Bukit Tumpang Gede
ini?!"
"Aku telah sebutkan bahwa ini adalah tem-
pat tinggalku. Jadi tidak usah kukatakan siapa
diriku!"
Manding Jayalodra tercenung sejenak. Da
lam hati diam-diam dia berucap.
"Hmm.... Jadi dialah manusia yang berge-
lar Iblis Gelang Kematian. Orang yang kucari!' dia
lantas melangkah mendekat. Sejenak ditatapnya
orang tua di hadapannya yang ternyata bukan
lain adalah Iblis Gelang Kematian penghuni Bukit
Tumpang Gede. Seorang tokoh sakti yang na-
manya tak asing lagi bagi rimba persilatan. Kare-
na semasa malang melintangnya di arena rimba
persilatan banyak tokoh-tokoh sakti berilmu ting-
gi baik dari golongan hitam maupun putih yang
berhasil dibuatnya tewas!
"Jika begitu, aku tengah berhadapan den-
gan tokoh sakti bergelar Iblis Gelang Kematian?"
kata Manding Jayalodra dengan hanya sedikit
anggukan kepalanya.
Melihat sikap Manding Jayalodra yang
hanya menganggukkan sedikit kepalanya meski
terhadap orang yang hendak diharapkan menjadi
gurunya, Iblis Gelang Kematian sedikit geram dan
jengkel. Namun hal itu menambah kesukaan to-
koh tua ini pada Manding Jayalodra.
"Hmm.... Sikapnya yang terlalu meman-
dang sebelah mata pada orang, menambah keya-
kinanku bahwa memang anak inilah yang diisya-
ratkan itu!"
"Guru Iblis Gelang Kematian! Kuharap kau
sudi menerimaku sebagai murid!" Manding Jaya-
lodra berkata dengan memanggil Guru, membuat
Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh.
"Anak lancang! Siapa yang telah mengang
katmu sebagai murid hingga kau berani memang-
gilku Guru?"
Manding Jayalodra terdiam. Setelah mena-
rik napas dalam-dalam, dia berkata.
"Kau memang belum menerimaku sebagai
murid. Namun aku telah mengangkatmu sebagai
guru!"
Tawa Iblis Gelang Kematian semakin keras
dan panjang.
"Kalau aku tak menginginkanmu menjadi
murid...?!" Iblis Gelang Kematian ajukan perta-
nyaan di sela suara tawanya.
"Kau harus mau! Jika tidak, aku akan
mencari guru yang lebih sakti daripadamu. Dan
kau termasuk deretan nama yang kelak akan ku-
basmi!"
"Hi... hi... hi...! Ternyata kau juga pandai
mengancam! Terus terang segala sikapmu itu ku-
suka. Dan aku memang membutuhkan seorang
murid! Namun bukan berarti tanpa syarat jika
kau ingin menjadi muridku!"
Mungkin karena gembira mendengar uca-
pan Iblis Gelang Kematian, serta-merta Manding
Jayalodra jatuhkan diri dan berkata.
"Katakan segala syaratmu! Semua akan
kujalani!"
Iblis Gelang Kematian gerakkan kepalanya
menggeleng perlahan.
"Aku akan mengatakan syarat itu jika kau
telah mempelajari segala ilmu yang akan kuberi-
kan padamu! Jika nantinya kau menolak sya
ratku, kau akan kubunuh dengan tanganku sen-
diri! Kau mengerti...?!"
Meski dalam hati masih penuh dengan rasa
heran atas ucapan Iblis Gelang Kematian, akhir-
nya Manding Jayalodra anggukkan kepala.
"Bagus! Sekarang ikuti aku!" Iblis Gelang
Kematian tekankan kaki kirinya pada batu di ba-
wahnya. Terdengar suara berderit bergeseknya
dua batu.
Manding Jayalodra melangkah mendekat.
Ternyata di samping batu tempat Iblis Gelang
Kematian berdiri tampak sebuah lobang mengan-
ga.
Tanpa berpaling lagi, Iblis Gelang Kematian
melesat masuk. Manding Jayalodra sejenak men-
gawasi lobang. Karena cuaca sudah mulai gelap,
maka matanya hanya menangkap lobang yang hi-
tam pekat. Sejurus anak laki-laki ini terlihat bim-
bang. Namun mengingat kata-kata perintah Iblis
Gelang Kematian yang menyuruhnya ikut, akhir-
nya dia terjunkan diri ke dalam lobang meski
dengan tubuh gemetar dan kuduk merinding ser-
ta kedua mata dipejamkan rapat-rapat!
DUA
SANG mentari telah jauh menggelincir dari
titik tengahnya, dan kini tengah siap hendak masuk ke tempat peraduannya. Cahayanya yang panas menyengat telah berubah ditindih dingin udara senja yang merambat datang. Dan bersamaan
dengan tenggelamnya sang penerang bumi, di
ufuk timur terlihat sang rembulan keluar dari lin-
tasan awan putih. Hingga meski malam telah
menjelang, namun dataran bumi tampak terang,
apalagi saat ini bulan menginjak hari kelima be-
las.
Di arah selatan, diterangi cahaya rembulan
purnama, Bukit Tumpang Gede tampak menju-
lang. Terjalan-terjalan batu-batunya terlihat ber-
warna kuning kemerahan. Di puncak bukit inilah
pada sembilan tahun yang silam Manding Jayalo-
dra, seorang anak Panglima Perang Kerajaan
Dhaha melakukan perjalanan dan akhirnya ber-
temu dengan Iblis Gelang Kematian yang kemu-
dian diangkatnya menjadi guru.
Di tengah dataran puncak bukit, tampak
sebuah batu besar yang di sebelahnya terdapat
lobang menganga. Jika dilihat sepintas, orang ti-
dak akan menduga jika di dalam lobang itu ter-
dapat penghuninya, karena selain lobang itu
hanya sebesar tubuh manusia biasa, lobang itu
juga terlihat gelap.
Lain apa yang terlihat dari atas, lain pula
apa yang ada di dalam. Ternyata lobang itu
menghubungkan dengan sebuah ruangan besar
yang dinding serta langit-langitnya terbuat dari
batu-batu bukit berwarna putih. Di pojok ruan-
gan tampak sebuah nyala obor yang ditancapkan
begitu saja pada dinding batu, hingga ruangan itu
terang-benderang.
Di tengah ruangan, dua orang terlihat du-
duk saling berhadapan. Yang satu adalah seorang
perempuan yang usianya telah lanjut. Rambutnya
putih dan panjang hingga tatkala dia duduk,
rambut itu bergeraian di lantai ruangan. Sepa-
sang matanya besar dengan bibir merah. Pada
kedua tangannya melingkar beberapa gelang ber-
warna kuning keemasan. Sedangkan satunya lagi
adalah seorang pemuda berusia kira-kira dua pu-
luh satu tahun. Parasnya tampan dengan dada
bidang menandakan jika tubuhnya tegap. Sepa-
sang matanya tajam bersinar, dagu kencang ko-
koh, serta rambut panjang sebahu dengan otot-
otot tangan tampak bertonjolan.
Meski duduk berhadap-hadapan, namun
dari keduanya tak terdengar salah seorang di an-
taranya membuka suara. Bahkan sepasang mata
perempuan tua di hadapan sang pemuda terpe-
jam setengah membuka. Sementara si pemuda
tak kesiap memandangi orang tua di hadapannya.
"Sialan! Sampai kapan aku harus menung-
gu dia terjaga?" sang pemuda membatin seraya
lepaskan napasnya panjang-panjang seakan me-
lampiaskan rasa kecewa. Namun demikian, ia tak
hendak beranjak dari hadapan si orang tua.
Namun setelah ditunggu agak lama, si
orang tua tetap pada sikapnya semula, sang pe-
muda tak dapat menahan sabar. Dagunya mulai
tampak terangkat dengan mata makin berkilat
mendelik.
"Keparat! Dia menyuruhku ke sini. Setelah
sampai, matanya terpejam dan mulutnya menga-
tup. Apa maksudnya? Jika saja tidak meman-
dangnya sebagai guru sudah tentu akan kurobek
mulutnya!" membatin sang pemuda dengan paras
merah padam.
Sesaat kemudian si pemuda yang bukan
lain adalah Manding Jayalodra buka sedikit mu-
lutnya hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak
ada suara yang terdengar dari mulutnya hendak
mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara
yang terdengar dari mulutnya. Dia tampak bim-
bang. Akhirnya dia gerakkan kepala memandang
ke samping. Dahinya mengernyit seakan sedang
memikirkan sesuatu. Lantas tak berselang lama,
dia kembali pandangi orang tua di hadapannya
yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.
Mulutnya kembali bergerak membuka. Namun la-
gi-lagi suara tak terdengar. Setelah menarik na-
pas dalam-dalam, dia membatin.
"Peduli setan! Aku harus bertanya, apa
maksudnya dia memanggilku!" Manding Jayalo-
dra ambil keputusan. Lalu dia buka mulutnya
berkata.
"Guru! Tentunya ada sesuatu yang sangat
penting hingga kau memanggilku dari tempat la-
tihan. Harap kau segera mengatakan kepentin-
ganmu!"
Manding Jayalodra menunggu. Namun
orang yang ditegur tetap diam seperti semula.
Bahkan membuka matanya untuk memandang
pun tidak, membuat Manding Jayalodra parasnya
makin mengeras, dan matanya makin melotot
angker.
"Guru! Kurasa kau dengar ucapanku. Ha-
rap kau suka menjawab! Atau kalau memang tak
ada perlu, aku akan meneruskan latihan!" kemba-
li Manding Jayalodra berkata, malah kali ini sua-
ranya sedikit dikeraskan.
Iblis Gelang Kematian perlahan-lahan buka
kelopak matanya. Bibirnya bergerak komat-kamit.
Sejenak ditatapnya Manding Jayalodra, setelah
menarik napas dalam-dalam dia berkata.
"Manding Jayalodra! Malam ini adalah ber-
tepatan dengan seratus delapan purnama kau be-
rada di puncak Bukit Tumpang Gede. Seratus de-
lapan purnama kau telah belajar ilmu padaku.
Dan rasa-rasanya, seluruh ilmuku telah kutu-
runkan padamu! Dan dirimu kini bukan lagi
Manding Jayalodra pada sembilan tahun silam.
Kau telah menjadi seorang pemuda dengan ilmu
tinggi! Tapi ingat, kau harus jalankan apa yang
kita ikrarkan bersama! Kau harus musnahkan
manusia-manusia yang tidak sealiran dengan ki-
ta! Tidak peduli dari golongan mana manusia itu
adanya! Kau ingat itu?!"
Manding Jayalodra anggukkan kepala.
"Aku ingat, Guru! Dan segala petunjukmu
akan kulakukan!"
Iblis Gelang Kematian tersenyum puas. Ke-
palanya manggut-manggut. Namun sesaat kemu-
dian kepalanya bergerak ke atas. Dari mulutnya
terdengar ucapan.
"Manding! Aku memang ada perlu menyu-
ruhmu datang...," sejenak Iblis Gelang Kematian
hentikan ucapannya, sementara Manding Jayalo-
dra diam menunggu dengan mata tak kesiap.
"Malam ini, adalah terakhir kau berada di
sini. Bekalmu untuk malang melintang di rimba
persilatan kuyakin telah lebih dari cukup! Namun
demikian, setelah turun dari Bukit Tumpang Gede
ini kau harus berhati-hati pada beberapa orang
yang kemungkinan besar akan menjadi pengha-
lang besar bagi rentangan sayapmu. Kau harus
waspada jika bertemu dengan mereka!"
"Guru! Sebutkan siapa saja mereka itu!"
sahut Manding Jayalodra seakan tak sabar,
membuat Iblis Gelang Kematian tersenyum.
"Dengar baik-baik! Orang pertama yang ha-
rus kau waspadai dan kalau perlu segera kau
musnahkan adalah seorang pemuda bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108. Dialah pemuda
yang saat ini menjadi momok bagi orang golongan
hitam. Dia adalah murid tunggal seorang sakti
dari Karang Langit yang berjuluk Wong Agung.
Selain berkepandaian tinggi, Pendekar Mata Ke-
ranjang mempunyai senjata mustika ciptaan Em-
pu Jaladara yaitu sebuah kipas berwarna ungu.
Lain daripada itu, kabarnya dia telah pula berha-
sil mendapatkan sebuah arca yang beratus tahun
menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persilatan.
Jadi dapat kau bayangkan bagaimana hebatnya
pemuda itu! Tapi kau tak usah berkecil hati,
kuyakin kau mampu menghadapinya. Hanya saja
dibutuhkan beberapa muslihat untuk menun-
dukkan orang seperti dia! Hal itu kurasa kau bisa
mengaturnya sendiri!"
"Bagaimana aku dapat menemukan manu-
sia bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 itu?"
Manding Jayalodra ajukan pertanyaan. Wajahnya
tampak makin merah padam, apalagi tatkala di-
dengarnya bahwa si pemuda berilmu tinggi dan
memiliki senjata mustika.
"Hmm.... Orang seperti dia gampang-
gampang susah menemukannya. Hanya satu hal
yang harus kau lakukan jika kau ingin segera
bertemu dengannya!"
"Katakan apa yang harus kulakukan!" ujar
Manding Jayalodra.
Sejenak Iblis Gelang Kematian menghela
napas dalam-dalam. Perasaan lega menyelimuti
perasaannya. Dia diam-diam bersyukur memilih
orang yang tepat.
"Hmm.... Anak ini sepertinya tak sabar. Si-
fatnya yang tidak ingin diungguli tampak jelas...,"
lalu dia berkata.
"Muridku! Kalau kau bisa membuat kege-
geran, apalagi berhasil membunuh tokoh atas,
baik golongan hitam lebih-lebih golongan putih,
maka tanpa kau cari, Pendekar 108 akan gen-
tayangan mencarimu!"
Manding Jayalodra anggukkan kepala, lalu
berkata kembali.
"Selain Pendekar Mata Keranjang siapa lagi
orang yang menurut Guru akan menjadi penghalang ku?"
"Kedua guru Pendekar 108. Mereka adalah
Wong Agung dari Karang Langit serta kakak se-
perguruannya Selaksa. Namun berat dugaan ke-
dua orang ini telah tidak mau melibatkan diri da-
lam rimba persilatan. Mereka telah memikulkan
tugas pada muridnya Pendekar 108. Namun de-
mikian kau masih harus waspada. Tidak mustahil
orang seperti mereka mendadak muncul!" Iblis
Gelang Kematian hentikan keterangannya seje-
nak. Setelah mendehem beberapa kali dia melan-
jutkan.
"Orang yang harus kau waspadai selanjut-
nya adalah seorang pemuda bergelar Malaikat
Berdarah Biru. Kabarnya pemuda ini dahulu per-
nah mendapatkan kipas hitam pasangan kipas
milik Pendekar Mata Keranjang. Namun kabar se-
lanjutnya, pemuda ini berhasil dikalahkan Pende-
kar 108 dan kipasnya dirampas! Pemuda itu
hingga sekarang tak jelas lagi kabar beritanya.
Entah masih hidup atau sudah tewas. Namun ji-
ka kenyataannya nanti dia masih hidup, dekati
pemuda itu! Orang yang harus kau waspadai se-
lanjutnya adalah seorang pemuda seusiamu. Dia
bergelar Gembong Raja Muda. Seorang bekas mu-
rid Ageng Panangkaran, seorang tokoh golongan
putih yang pernah masyhur pada zamannya. Na-
mun sekarang ini kudengar Gembong Raja Muda
berguru pada orang kerdil bernama Bawuk Raga
Ginting. Seperti halnya Malaikat Berdarah Biru,
pemuda ini kabarnya juga pernah dibuat babak
belur oleh Pendekar 108. Kalau bisa orang-orang
seperti ini harus segera kau rangkul. Orang yang
pernah sakit hati seperti mereka mudah untuk
diperalat. Nah, kau harus dapat gunakan kele-
mahannya!"
Untuk kesekian kalinya kepala Manding
Jayalodra bergerak mengangguk.
"Muridku!" kata Iblis Gelang Kematian me-
lanjutkan keterangannya.
"Selain tokoh yang kusebutkan di atas ten-
tunya masih banyak tokoh lain yang perlu kau
waspadai. Di antaranya adalah Putri Tunjung
Kuning. Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Puspa
juga tokoh-tokoh tua yang kabarnya kini muncul
kembali dan terlalu banyak jika disebut satu per-
satu. Hanya saja, jika kau melakukan semua pe-
tunjuk yang kuberikan selama ini, kurasa kau tak
akan kesulitan menghadapi mereka! Perlu kuin-
gatkan sekali lagi, ilmu tinggi tidak ada gunanya
tanpa disertai kecerdikan yang dibaur dengan ke-
licikan! Kau mengerti?"
Manding Jayalodra anggukkan kepalanya.
"Bagus! Malam ini tiba saatnya bagimu
menghirup udara luar bukit! Pergilah dan laku-
kan apa yang telah kukatakan!
Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kema-
tian melepas beberapa gelang di tangannya dan
diberikan pada Manding Jayalodra. Tangannya
kemudian menelikung ke belakang. Dan ketika di-
tarik kembali, di genggamannya terlihat buntalan
besar.
"Di luar nanti, kenakan apa yang ada di da-
lam buntalan ini. Dan sejak malam ini namamu
harus diganti dengan 'Penyair Berdarah'! Ini se-
suai dengan tembang-tembang yang kuajarkan
padamu!"
"Nama bagus!" sahut Manding Jayalodra
seraya busungkan dada dan tersenyum lebar.
"Nama itu memang layak kau sandang. Ka-
rena suara tembang-tembang akan selalu kau
ucapkan begitu bertemu lawan dan lancarkan se-
rangan! Nah, waktumu untuk menghirup udara
luar telah tiba!"
Manding Jayalodra yang kini telah digelari
gurunya dengan Penyair Berdarah anggukkan ke-
pala, lalu tanpa tunggu lebih lama lagi dia berge-
rak bangkit dan melangkah ke arah pojok ruan-
gan di mana terdapat lobang yang menghubung-
kan dengan dunia luar. Sejenak dia tengadah
memperhatikan lobang di atasnya. Lalu berpaling
ke samping. Murid Iblis Gelang Kematian ini ter-
perangah dengan mata liar berkeliling.
"Ke mana dia...?!" gumam Penyair Berdarah
seraya gerakkan kepala berputar. Ternyata Iblis
Gelang Kematian sudah tidak ada di tempatnya
semula, malah meski dia telah menyapukan pan-
dangannya ke seluruh ruangan, sang guru tidak
terlihat batang hidungnya!
"Ah, kenapa aku pusing memikirkan dia?
Bukankah malam ini adalah saat-saat yang ku-
nantikan selama sembilan tahun? Bisa menghi-
rup udara luar serta melihat pemandangan lain!"
kata Penyair Berdarah seraya jejakkan sepasang
kakinya. Tubuhnya melesat melewati lobang dan
mendarat di dataran batu puncak Bukit Tumpang
Gede.
Sejenak Penyair Berdarah lepaskan pan-
dangannya berkeliling. Napasnya terlihat berhem-
bus panjang-panjang seakan ingin menikmati
udara luar yang baru saja dirasakan.
Setelah agak puas menghirup udara luar,
Penyair Berdarah buka buntalan di tangannya.
Ternyata buntalan itu berisi tiga pakaian, terdiri
atas satu baju berwarna merah dan celana ber-
warna kuning, serta sebuah jubah panjang ber-
warna hitam bergaris-garis putih.
Tanpa pikir panjang lagi, Penyair Berdarah
mengenakan pakaian itu.
"Hmm.... Pakaian ini tampaknya terbuat
dari bahan bagus. Dari mana Guru menda-
patkannya? Pakaiannya yang dikenakan Guru
pun terlihat mewah. Siapa dia sebenarnya? Sem-
bilan tahun hidup bersama, dia selalu mungkir ji-
ka ditanya soal asal-usulnya. Tak jadi apa, yang
penting aku telah mendapatkan ilmu darinya!
Dan aku akan jadi manusia yang ditakuti!" gu-
mamnya seraya memandang ke bawah. Lantas
tengadah ke atas dan berteriak.
"Wahai para penghuni bumi, sambutlah
kedatangan Penyair Berdarah! Seorang manusia
baru yang akan mengalirkan darah orang-orang
yang tidak sejalan! Seorang manusia yang akan
mengalirkan darah dengan tembang-tembang
maut!"
Habis berteriak, Penyair Berdarah jejakkan
kakinya. Tubuhnya melesat dan lenyap dari pun-
cak Bukit Tumpang Gede.
Pada sebuah batu, tiba-tiba muncul seso-
sok tubuh. Dia adalah seorang perempuan tua
dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.
"Hmm.... Pilihanku ternyata tidak meleset!"
gumam Iblis Gelang Kematian seraya mengawasi
kelebatan muridnya, meski hanya samar-samar
karena cepatnya lesatan Penyair Berdarah.
TIGA
PEMUDA berparas tampan berpakaian
warna hijau itu hentikan larinya di bibir jurang di
ujung lembah. Sepasang matanya yang tajam
menyapu ke bawah. Yang terlihat hanyalah rin-
dang dedaunan pohon-pohon benalu serta gelap
pekat curamnya jurang. Kepalanya lantas berge-
rak ke kanan kiri. Tak lama kemudian dia mena-
rik napas panjang dan dalam-dalam seakan mele-
pas rasa gundah dan kecewa yang melanda da-
danya. Setelah mengusap keringat yang memba-
sahi dahi dan lehernya, dia balikkan tubuh dan
melangkah gontai ke tengah lembah. Pada sebuah
batu agak besar dia hempaskan pantatnya lalu
duduk bersandar dengan mata memandang lurus
ke depan. Tatapannya terlihat kosong.
"Heran. Ke mana perginya dia? Padahal
aku meninggalkannya tidak lama. Aku yakin pasti
ada orang yang menculiknya. Tak mungkin dia
melarikan diri. Tubuhnya masih dalam keadaan
terluka dalam. Apakah telah diambil oleh gu-
runya...?" sang pemuda membatin. Kembali dia
menarik napas dalam-dalam.
"Kalau memang diambil kembali oleh gu-
runya, sungguh kasihan dia. Pasti dia akan me-
nerima hukuman berat! Karena telah menolong
menyelamatkan jiwaku. Tapi... benarkah dia me-
nolongku? Atau semua itu dia lakukan karena ti-
dak rela jika aku tewas di tangan orang lain meski
orang itu adalah gurunya? Ah, Sakawuni.... Ke-
napa semua ini harus terjadi? Kenapa kau terma-
kan oleh fitnah? Hmm.... Begitu cepatnya semua
berubah!" sang pemuda meneruskan kata ha-
tinya. Sebentar kemudian dia tampak mengambil
sesuatu dari balik pakaiannya. Ternyata yang di-
ambil adalah sebuah kipas lipat. Dengan sekali
sentak kipas di tangannya mengembang dan
langsung digerakkan pulang balik di depan da-
gunya.
Setelah berkipas-kipas beberapa lama, pe-
muda ini yang bukan lain adalah Aji alias Pende-
kar Mata Keranjang 108 akhirnya bangkit.
"Untuk sementara aku harus menemui
Dewi Kayangan. Masalah Sakawuni bisa dicari
sambil jalan...," putus Aji seraya melangkah hen-
dak meninggalkan lembah. Namun baru saja me-
langkah tiga tindak, mendadak terdengar suara
deruan angin menyambar dari tiga jurusan. Bersamaan dengan itu berkelebat tiga sosok bayan-
gan dan langsung berdiri berjajar dengan jarak
lima tombak antara satu sama lain.
Pendekar 108 serentak hentikan langkah
dan cepat berpaling. Sepasang matanya lantas
mengedar memandangi satu persatu tiga sosok
yang kini ada di hadapannya.
Orang yang berada paling kanan adalah
seorang laki-laki setengah baya. Mengenakan pa-
kaian mewah warna putih bersih berenda-renda
kuning dari benang emas. Di dadanya terlihat ke-
pingan-kepingan logam emas yang ditata rapi ber-
jejer ke bawah. Rambutnya panjang dan kelimis.
Kumis dan jenggotnya terawat rapi. Namun demi-
kian, wajahnya tampak tak mengguratkan kera-
mahan. Sepasang matanya menyengat tajam. Bi-
birnya tak mengulas senyum bahkan terlihat sal-
ing menggegat.
Pendekar 108 sejenak memperhatikan laki-
laki setengah baya ini dan berkata dalam hati.
"Hm.... Aku rasa-rasanya tidak mengenal laki-laki
ini! Tapi melihat tampang serta pakaian yang di-
kenakan, mungkin dia dari golongan bangsawan.
Siapa dia...?" sepasang matanya lantas beralih
pada orang yang di tengah. Dia adalah seorang
perempuan tua. Tubuhnya telah bungkuk. Men-
genakan pakaian warna gelap berupa baju pan-
jang dan celana komprang. Paras wajahnya telah
mengeriput. Sepasang matanya besar dan melotot
seakan-akan hendak meloncat keluar. Bibirnya
amat tipis hingga seperti hanya sebuah sayatan
daging. Rambutnya keriting dan di-sanggul ke
atas dan telah berwarna putih. Nenek ini agak
aneh, karena meski tiada angin kencang yang
berhembus, tubuhnya selalu bergerak-gerak
doyong ke samping kanan dan kiri seakan terkena
hempasan angin dahsyat.
Sementara orang di sebelah kiri adalah
seorang kakek bertubuh kurus kering. Sepasang
matanya sayu merah dan masuk ke dalam rongga
yang amat cekung. Pakaian yang dikenakannya
telah robek di sana-sini. Namun ada sedikit kea-
nehan pada kakek ini, hingga siapa pun yang ber-
temu pasti akan membelalakkan mata. Pada pun-
dak kakek ini tampak menyelempang ikat ping-
gang besar yang memutar hingga punggung. Dan
pada ikat pinggang terdapat beberapa tali yang
mengikat beberapa bumbung bambu agak besar.
Dari bumbung bambu itu menebar bau arak me-
nyengat. Kepala kakek ini terus tengadah seraya
tak henti-hentinya menenggak bumbung bambu
yang berisi arak. Begitu arak pada satu bumbung
habis dia hanya geser ikat pinggangnya ke bela-
kang. Lalu ambil bumbung lagi dan ditenggaknya.
Namun demikian, kakek ini tidak terlihat goyah
karena mabuk arak, hanya sepasang matanya
yang makin merah sayu.
"Kakek ini benar-benar gila! Dia tampak
tak goyah meski terus-terusan menenggak arak.
Siapa pula dia...? Dan apa perlu mereka datang
ramai-ramai seakan menghadang jalanku?" Aji te-
rus menduga-duga seraya tak melepaskan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya.
Selagi Aji menduga-duga, sang nenek ang-
kat tangan kirinya dan berkata.
"Pemuda tampan! Kau tak usah terkejut.
Meski kami datang bersama-sama, namun kami
punya tujuan lain. Untuk singkatnya, baiklah ku-
katakan dulu siapa diriku dan apa tujuanku.
Dengar dan pasang telingamu baik-baik!" sang
nenek sejenak hentikan ucapannya, kepalanya
berpaling sebentar ke kanan dan ke kiri.
Namun sebelum nenek ini lanjutkan uca-
pannya, Pendekar 108 telah angkat bicara.
"Nenek tua! Aku tak punya waktu banyak.
Cepat katakan apa tujuanmu dan dua temanmu
itu!"
Si nenek tertawa panjang. Tubuhnya ma-
kin doyong ke kanan dan kiri. Setelah puas terta-
wa dia tengadahkan kepala dan berkata.
"Tentang namaku biarlah kusimpan sendi-
ri. Untukmu akan kuberitahu julukanku saja. Se-
kali lagi harap pasang telinga baik-baik. Orang
rimba persilatan menjulukiku Ratu Alam Bumi!"
Pendekar Mata Keranjang terkejut men-
dengar si nenek sebutkan gelarnya. Dalam rimba
persilatan, manusia yang bergelar Ratu Alam
Bumi memang sudah tidak asing lagi. Sesuai
dengan gelaran yang disandang, orang ini me-
mang tidak segan-segan jatuhkan tangan untuk
mengirimkan orang ke alam baka! Biarpun hanya
kecil kesalahan yang diperbuat. Hingga selain di-
kenal berilmu tinggi, nenek ini juga dikenal sangat kejam beringas!
Meski sedikit terkejut, namun murid Wong
Agung tak hendak menunjukkan paras takut. Se-
baliknya dia lantas tersenyum dan berkata.
"Hari ini sungguh suatu hari yang berarti.
Aku dapat berjumpa dengan tokoh persilatan
yang kesohor namanya! Tapi ada tujuan apa
hingga Ratu Alam Bumi datang menghadang
orang gelandangan sepertiku?!"
"Masalah tujuanku, itu kita bicarakan nan-
ti! Sekarang mungkin dia akan memperkenalkan
diri.'" kata Ratu Alam Bumi seraya arahkan pan-
dangannya pada laki-laki setengah baya yang
berpakaian mewah yang berada di sebelah ki-
rinya.
Yang dipandang sejenak membalas pan-
dangan Ratu Alam Bumi. Tampaknya ia tak se-
nang dengan sikap Ratu Alam Bumi yang menun-
juknya dengan pandangan mata. Namun entah
karena keperluan dengan Pendekar Mata-
Keranjang dianggap lebih penting, maka sebentar
kemudian, laki-laki berpakaian mewah ini lu-
ruskan pandangannya ke arah Pendekar 108 dan
berkata.
"Hari sudah siang. Aku tak perlu bicara
panjang lebar seperti nenek peot ini! Aku adalah
Begal Tanah Hitam! Kepala rampok yang bermar-
kas di Lembah Hitam!"
"Hmm.... Jadi ini manusianya kepala ram-
pok yang paling ditakuti! Logam-logam kepingan
emas yang berjajar di dadanya tentu didapat dari
merampok!" batin Aji sambil memperhatikan Beg-
al Tanah Hitam lebih seksama. Sebentar kemu-
dian pandangannya beralih pada kakek yang tak
henti-hentinya menenggak arak, karena tinggal
dia yang belum memperkenalkan diri.
"Setan Arak! Waktu kita cuma sedikit, le-
kas bicara!" bentak Ratu Alam Bumi ketika di-
tunggu agak lama laki-laki tua di sebelah kirinya
tak segera buka mulut untuk bicara. Malah mu-
lutnya dibuat mengembung dan mengempis
mempermainkan arak di dalamnya.
Setelah menenggak arak di mulutnya, laki-
laki kurus ini segera palingkan wajah pada Ratu
Alam Bumi. Tertawa mengekeh pendek lalu ber-
kata.
"Kau telah sebutkan siapa aku. Untuk apa
lagi memperkenalkan diri? Buang-buang waktu
saja! Lebih baik aku meneruskan minum arak!"
tangan kanannya menggeser ikat pinggangnya,
hingga bumbung yang telah habis bergeser ke be-
lakang melewati pundaknya. Di hadapannya kini
telah terpegang bumbung bambu yang masih pe-
nuh arak. Tanpa acuhkan pandangan orang-
orang di sekitarnya, dia segera asyik dengan
bumbung araknya.
"Setan Arak.... Hm.... Aku memang pernah
mendengar gelar itu. Kabarnya ia adalah seorang
yang berkepandaian tinggi. Dan menurut kabar
yang selama ini tersiar, orang ini tingkah lakunya
sukar ditebak. Kadang-kadang condong pada
orang-orang golongan hitam dan tak jarang pula
berteman dengan orang-orang golongan putih.
Hm.... Menghadapi orang demikian diperlukan
siasat tersendiri! Tapi Ratu Alam Bumi tadi men-
gatakan mereka punya tujuan sendiri-sendiri, be-
rarti mereka tidak bersekongkol. Apa tujuan me-
reka sebenarnya...?" membatin Pendekar 108 Lalu
arahkan pandangannya pada Ratu Alam Bumi
dan berkata.
"Ratu Alam Bumi! Seperti katamu, waktu
kita cuma sedikit. Lekas katakan apa tujuanmu
menghalang-halangi langkahku!"
Ratu Alam Bumi tertawa pendek. Dengan
tengadahkan kepala dia berkata.
"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108! Waktu kita memang sedikit. Dan agar
cepat selesai, aku hanya berharap kau memberi-
kan Arca Dewi Bumi padaku!"
Mendengar ucapan Ratu Alam Bumi, Begal
Tanah Hitam terlihat kerutkan dahi. Kepalanya
bergerak pelan berpaling pada Ratu Alam Bumi.
Diam-diam dia berkata dalam hati.
"Jahanam! Ternyata dia mempunyai tujuan
sama denganku. Sebelum terlambat aku juga ha-
rus mengatakan tujuanku!" Begal Tanah Hitam
lantas luruskan tubuh menghadap Ratu Alam
Bumi dan berkata.
"Ratu Alam Bumi! Ternyata tujuan kita ti-
dak beda! Seperti dirimu, aku pun menginginkan
Arca Dewi Bumi dari tangannya! Jadi jangan co-
ba-coba mendahuluiku jika kau ingin selamat ke-
luar dari lembah ini!"
Ratu Alam Bumi bukannya terkejut men-
dengar ucapan Begal Tanah Hitam. Malah tanpa
memandang ke arah Begal Tanah Hitam, dia ber-
kata.
"Begal Tanah Hitam! Aku sejak semula
memang telah menduga apa tujuanmu sebenar-
nya! Sekarang katakan apa maumu! Kau berha-
dapan denganku dahulu atau kita rampas arca
itu lalu kita tentukan siapa di antara kita yang
berhak memilikinya!"
Begal Tanah Hitam sejenak terdiam. Na-
mun tak lama kemudian tawanya terdengar ber-
gerai-gerai. "Ratu Alam Bumi! Aku hanya menge-
nalmu dari nama gelarmu yang begitu kesohor.
Tapi aku belum pernah tahu bagaimana kenya-
taannya. Kuberi kesempatan padamu untuk men-
jajal pemuda itu. Aku khawatir kau hanya ber-
nama besar namun ompong isinya! Sia-sia tan-
ganku jika harus bergerak melawan manusia ti-
dak berisi! Ha ha ha...! Lawanlah dulu pemuda
itu, setelah itu bisa kuputuskan apakah kau pan-
tas menghadapiku!"
Sebenarnya Begal Tanah Hitam mengata-
kan hal demikian karena diam-diam dia merasa
keder menghadapi Ratu Alam Bumi. Dia sengaja
menggertak dengan ejekan agar Ratu Alam Bumi
segera bertarung dengan Pendekar 108. Dan jika
itu terjadi, maka dia akan mencari kesempatan
baik untuk melancarkan serangan.
Di samping, paras Ratu Alam Bumi terlihat
berubah. Pelipisnya bergerak-gerak dengan mulut
komat-kamit. Sepasang matanya tambah mende-
lik.
"Begal Jahanam! Aku tahu, kau takut
menghadapiku! Tapi tak apalah. Tunggulah hing-
ga aku menyelesaikan pemuda ini! Setelah itu ba-
ru giliranmu kukirim ke alam baka!"
"Hmm... bagaimana ini bisa terjadi? Antara
teman sendiri saling adu mulut malah berencana
hendak saling bunuh. Heran.... Tadinya kalian bi-
lang padaku hendak mengajak bersenang-senang
minum arak tiga hari tiga malam. Mendadak be-
rubah jalan hendak merebut arca butut! Waduh,
ternyata kalian manusia-manusia yang tidak bisa
dipegang mulutnya! Lebih baik aku pergi, aku tak
senang bertemu dengan orang yang mencla-
mencle! Gluk... gluk... gluk...!" mendadak Setan
Arak menyela pembicaraan. Setelah menenggak
arak dari bumbung bambu dia balikkan tubuh
hendak meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja hendak melangkah, Ratu
Alam Bumi membentak garang.
"Setan Arak! Maju selangkah lagi kuhan-
curkan batok kepalamu! Tunggu di situ hingga
urusanku selesai!"
Mendengar bentakan, Setan Arak hentikan
langkah. Tiba-tiba suara tawanya meledak tinggi
bergerai. Dan 'blukkk!' Setan Arak hempaskan
tubuh kurusnya ke atas tanah dan duduk meng-
gelosoh. Tangan kanannya menarik bumbung
bambu lalu menenggak isinya.
"Baiklah kalau itu maumu! Aku akan tetap
di sini melihat urusanmu! Asal kau tidak mence-
gahku untuk menenggak minuman kesayanganku
ini!" habis berkata begitu, Setan Arak telah teng-
gelam dalam keasyikannya tersendiri.
"Hmm.... Berarti manusia arak ini tidak
punya tujuan tertentu!" bisik Pendekar 108 dalam
hati seraya gelengkan kepala melihat sikap Setan
Arak.
"Pendekar 108! Kau telah dengar kata-
kataku, lekas serahkan arca itu padaku!" tiba-tiba
Ratu Alam Bumi keluarkan bentakan setelah di-
tunggu agak lama Pendekar 108 hanya meman-
dang Setan Arak dengan senyum-senyum.
Pendekar 108 usap-usap hidungnya. Kepa-
lanya digelengkan ke kanan kiri, mengikuti
doyongan tubuh Ratu Alam Bumi, membuat pe-
rempuan tua ini membelalakkan matanya. Mu-
lutnya yang sangat tipis bergerak membuka. Na-
mun sebelum suaranya terdengar, Pendekar 108
telah angkat bicara.
"Ratu Alam Bumi! Dan juga kau, Begal Ta-
nah Hitam! Dengar baik-baik. Aku tidak tahu-
menahu soal arca! Jadi kalian salah besar jika
meminta benda itu padaku! Yang kalian dengar
selama ini hanyalah berita. Kenyataannya aku ti-
dak tahu apalagi menyimpan arca itu!"
"Jangan coba-coba menipuku! Cepat se-
rahkan arca itu! Jika tidak, kau akan segera ku-
kirim ke alam baka!" sentak Ratu Alam Bumi
dengan gerakkan tangan kanan kiri sedikit ditarik
ke belakang. Sementara kedua kakinya sedikit di
pentangkan.
Pendekar 108 masih tampak senyum-
senyum. Malah tangan kanannya tarik-tarik kun-
cir rambutnya.
"Ah, kebetulan sekali. Memang telah lama
aku ingin melihat alam baka. Kalau kau berke-
nan, sungguh senang sekali, apalagi jika kau
yang mengantar. Apakah kita akan berangkat se-
karang...?"
"Ha... ha... ha...! Jangan kira kau saja yang
ingin melihat pemandangan alam baka. Aku pun
ingin melihatnya. Bagaimana kalau kita berang-
kat bersama-sama? Tapi... kita belum tahu jalan-
nya. Jangan-jangan kita nanti kesasar. Hm... se-
bentar...," yang berkata kali ini adalah Setan
Arak. Dia lalu tercenung seakan memikirkan se-
suatu. Tiba-tiba dia tertawa panjang dan telunjuk
jarinya diluruskan pada Ratu Alam Bumi.
"Bukankah kau ratu di sana? Hmm.... Jika
begitu kau bisa sebagai penunjuk jalan. Sebagai
penunjuk jalan tentunya kau harus berjalan pal-
ing depan. Baiklah, kita berangkat sekarang. Dia
sebagai penunjuk jalan, dan harus duluan!"
"Betul! Kau harus terlebih dahulu jalan!'
sahut Pendekar Mata Keranjang menimpali uca-
pan Setan Arak.
"Keparat! Kaulah yang harus duluan. Dan
akan kutunjukkan jalannya tanpa harus ada
aku!"
"Mana bisa begitu. Menurut aturan biasa,
penunjuk jalan harus lebih dahulu. Bukankah
begitu?" kata Setan Arak sambil palingkan wajah
pada Pendekar 108.
"Benar! Harus jalan dahulu!" ulang Pende-
kar 108 seraya angguk-anggukkan kepala.
"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi dengan
suara tinggi. Serta-merta kedua tangannya dihan-
tamkan ke samping, ke arah Setan Arak yang du-
duk menggelosoh.
Serangan angin dahsyat menggebrak ke
samping, dan bersamaan dengan itu larikan bebe-
rapa sinar hitam menyusul dari belakang! Melihat
hal ini jelas sekali bahwa Ratu Alam Bumi tak
main-main dengan ucapannya yang ingin mengi-
rim ke alam baka.
Mendapat serangan ganas yang mematikan
itu, Setan Arak tetap tenang-tenang saja, mem-
buat Pendekar 108 belalakkan sepasang matanya.
Pendekar 108 menduga jika Setan Arak tak bisa
selamatkan dirinya dari hantaman pukulan Ratu
Alam Bumi, karena jaraknya sudah demikian de-
kat.
"Setan Arak! Awas serangan!" teriak Aji be-
gitu hantaman Ratu Alam Bumi telah setengah
depa lagi menghajar tubuhnya dan dia tetap tak
membuat gerakan.
"Mampus kau!" desis Ratu Alam Bumi den-
gan bibir senyum. Namun senyum nenek ini
mendadak terpenggal. Sepasang matanya mende-
lik hampir tak percaya. Sementara Pendekar 108
gelengkan kepala sambil usap dadanya. Di sebe-
lah samping, Begal Tanah Hitam melotot tak berkesip.
Apa yang terjadi di depan mereka sungguh
luar biasa. Begitu hantaman Ratu Alam Bumi se-
jengkal lagi menghajar tubuh Setan Arak, laki-laki
tua kurus ini keluarkan lengkingan tinggi. Tiba-
tiba tubuhnya lenyap. Hingga serangan Ratu
Alam Bumi hanya menerabas udara kosong! Dan
terus menghajar sebuah batu besar. Batu itu
langsung hancur berkeping-keping dan sebagian
jadi abu!
"Setan alas! Siapa sebenarnya laki-laki tua
ini? Aku hanya mengenalnya beberapa hari yang
lalu. Ternyata dia berilmu tidak cetek. Dia berha-
sil menghindar dari seranganku, padahal jarak-
nya sudah demikian dekat! Keparat! Jangan-
jangan aku salah memilih teman!" bisik Ratu
Alam Bumi sambil menebar pandangan mencari
Setan Arak yang masih tidak tampak batang hi-
dungnya.
"Ke mana lenyapnya manusia arak itu?"
gumam Pendekar 103 dengan kepala berpaling ke
kanan kiri. Sementara Begal Tanah Hitam su-
rutkan langkah satu tindak dan diam-diam berka-
ta dalam hati.
"Tak kuduga jika manusia itu berkepan-
daian tinggi. Jika demikian halnya aku harus
pandai-pandai atur siasat dan cari kesempatan
yang baik. Bila tidak...," Begal Tanah Hitam hen-
tikan kata hatinya karena saat itu terdengar sua-
ra orang mengumbar tawa. Tiga kepala langsung
berpaling ke arah sumber suara tawa.
EMPAT
DI bawah sebuah pohon besar, Setan Arak
terlihat tidur-tiduran dengan posisi miring. Salah
satu bumbung araknya dibuat bantalan kepala,
sementara tangan kanannya bergerak pulang ba-
lik ke mulutnya untuk mengisikan arak! Hebat-
nya, arak yang ada di bumbung bambu dan kini
tampak bergeletakan di atas tanah itu tidak tum-
pah! Padahal bumbung bambu itu tidak tertutup!
Dan sebagian tampak tergeletak dengan posisi
miring!
"Luar biasa! Dia mampu menahan aliran
araknya hingga tidak tumpah! Lagi pula gerakan-
nya demikian cepat! Aku hampir tak percaya jika
dia bisa menghindar!" batin Pendekar 108 seraya
geleng-geleng kepala.
"Keparat! Dia rupanya sengaja memper-
mainkan aku. Tunggulah!" kata Ratu Alam Bumi
dalam hati. Lalu berpaling pada Pendekar 108.
Dan serta-merta kedua tangannya dihantamkan!
Wuttt!
Angin dahsyat yang mengeluarkan suara
menggemuruh melesat keluar dari kedua tangan
Ratu Alam Bumi. Sekejap kemudian dari kedua
tangannya juga melesat beberapa larikan sinar
yang menyusul! Bukan hanya sampai di situ, be-
gitu kedua tangannya bergerak menghantam, tu-
buhnya pun melesat ke arah samping dan dari si-
ni, nenek ini pun kembali hantamkan kedua tangannya! Hingga saat itu juga Pendekar 108 laksa-
na dihujani serangan dari dua penjuru!
Pendekar 108 cepat berpaling. Dan melihat
ganasnya serangan murid Wong Agung ini segera
berteriak nyaring. Tubuhnya mendadak melesat
setengah tombak ke udara. Dan bersamaan den-
gan itu, kedua tangannya menghantam ke depan
lalu ditarik dan dihantamkan kembali ke arah
samping.
Bumm! Bummm!
Terdengar dua kali ledakan keras ketika
dua serangan bentrok di udara. Tempat itu seje-
nak laksana ditimpa gempa dahsyat hingga ta-
nahnya bergetar! Bukan hanya itu saja, asap hi-
tam terlihat membumbung begitu serangan ber-
temu!
Ratu Alam Bumi tampak terhuyung-
huyung ke belakang. Karena tubuh nenek ini se-
lalu goyang ke samping kanan dan kiri, maka
tatkala tubuhnya terhuyung-huyung, gerakan tu-
buhnya tampak lucu! Hal ini rupanya tak lepas
dari pandangan Setan Arak. Hingga saat itu juga
meledaklah tawanya.
"Asyik juga melihat akrobat sambil tiduran
dan minum arak! Hanya sayang, pemain akrobat-
nya sudah nenek-nenek! Seandainya seorang ga-
dis cantik dan mengenakan pakaian tipis serta
minim, mungkin akan tambah asyik!" kata Setan
Arak seraya gelak-gelak.
Sementara itu di depan, Pendekar 108 ter-
lihat terseret hingga lima tombak ke belakang. Hal
ini terjadi karena saat menangkis serangan, mu-
rid Wong Agung ini berada di atas udara, hingga
tubuhnya sejenak tampak melayang ke belakang,
namun dia segera bisa kuasai diri. Namun demi-
kian, tak urung parasnya tampak berubah merin-
gis menahan rasa sakit pada pangkal tangannya
serta dadanya.
Di lain pihak, Ratu Alam Bumi pun tampak
mengusap-usap dadanya. Pertanda dia juga me-
rasakan sakit pada bagian dada. Namun setelah
nenek ini salurkan tenaga dalam, dia tampak se-
gar kembali. Sepasang matanya lantas meman-
dang tajam ke arah Pendekar 108. Mulutnya yang
tipis bergerak komat-kamit. Sepasang matanya la-
lu memejam, kedua tangannya disatukan dan
disejajarkan dada. Sang nenek tampaknya sedang
kerahkan tenaga dalam untuk lancarkan seran-
gan andalan.
Mendapati hal ini, Pendekar 108 tak tinggal
diam. Kipas ungunya segera dicabut dari balik
pakaiannya. Dan merasa lawan tidak bisa diang-
gap remeh serta benar-benar menginginkan nya-
wanya, maka Pendekar 108 pun siapkan pukulan
'Mutiara Biru'!
Selagi kedua orang ini sedang bersiap-siap,
tiba-tiba terdengar alunan syair.
Siapa yang yakin pada kekuatan, maka ia
akan dikalahkan!
Siapa yang percaya pada kelicikan, dialah
yang akan keluar menang!
Darah adalah lambang kebebasan yang
akan mengantar ke alam baka!
Karena alunan syair itu bukan alunan bi-
asa, melainkan telah dialiri dengan tenaga dalam
kuat, maka konsentrasi Ratu Alam Bumi tampak
buyar. Hingga dengan paras berubah dia segera
membuka kelopak matanya. Kepalanya cepat me-
noleh ke arah sumber alunan suara syair. Demi-
kian pula Pendekar Mata Keranjang 108. Semen-
tara Begal Tanah Hitam tersurut selangkah sam-
bil luruskan tubuh ke arah datangnya suara alu-
nan syair. Hanya Setan Arak yang terlihat tenang-
tenang saja. Bahkan berpaling pun tidak! Malah
sambil acung-acungkan bumbung araknya dia
ikut-ikutan bersyair.
Kekuatan adalah pangkal malapetaka. Keli-
cikan adalah awal bencana.
Jika keduanya bersatu, kegegeran akan
menjadi buahnya.
Hanya manusia yang bertangan bersih
yang dapat mengubur impian orang berilmu tapi li-
cik!
Di tempat itu tahu-tahu telah berdiri seo-
rang pemuda seraya kacak pinggang. Pemuda in-
ilah yang tadi mengalunkan suara syair. Dia ber-
paras tampan. Namun tampak beringas. Rambut-
nya panjang dan dibiarkan tergerai. Sepasang ma-
tanya tajam menyengat. Dia mengenakan baju
warna merah sedangkan celananya berwarna
kuning. Pakaian itu masih dilapis dengan jubah
besar warna hitam bergaris-garis putih yang
kancing-kancingnya dibiarkan membuka.
"Bangsat rendah! Siapa kau...?!" bentak
Begal Tanah Hitam dengan suara keras. Laki-laki
setengah baya ini jelas marah besar, karena den-
gan datangnya pemuda bersyair ini, pertarungan
antara Ratu Alam Bumi dan Pendekar 108 terhen-
ti. Padahal dia berharap pertarungan itu segera
berlangsung kembali, bahkan berharap agar ke-
duanya tewas, setidak-tidaknya dia bisa menya-
rangkan pukulan pada saat yang tepat pada Ratu
Alam Bumi.
Dibentak demikian rupa, pemuda berjubah
hitam bergaris-garis putih yang bukan lain adalah
Penyair Berdarah bantingkan kakinya ke tanah.
Dagunya terangkat dengan pelipis kanan kiri ber-
gerak-gerak pertanda amarah telah menguasai
dadanya. Seraya busungkan dada dan menun-
jukkan seringai ganas, dia berkata.
"Anjing kurap! Buka lebar-lebar telingamu.
Aku adalah Penyair Berdarah!"
Begal Tanah Hitam keluarkan tawa menge-
keh begitu mendengar pemuda menyebutkan ge-
larnya.
"Penyair Berdarah?" ulang Begal Tanah Hi-
tam dengan senyum penuh ejekan. "Gelarmu cu-
kup bagus. Tapi bukan untuk kalangan orang-
orang sepertiku! Kuingatkan padamu, lekas ting-
galkan tempat ini jika kau masih ingin bersyair!"
Penyair Berdarah kembungkan mulut, lalu
meludah ke tanah. Kepalanya lalu bergerak men-
dongak ke atas. Masih tetap dengan kacak ping-
gang, dia berucap.
"Manusia anjing! Akan kutunjukkan pa-
damu bahwa syairku mampu membawamu ting-
galkan tempat ini. Sekaligus nyawamu!"
"Hmm.... Urusan ini nyatanya jadi panjang.
Satu belum selesai datang lagi satunya. Tapi yang
ini tampaknya orang baru, karena baik gelar
maupun orangnya aku masih mendengar dan me-
lihat pertama kali ini! Siapa dia sebenarnya...?
Dan apa juga punya tujuan sama dengan Ratu
Alam Bumi? Mendengar nada syairnya yang
mampu membuyarkan konsentrasi Ratu Alam
Bumi, orang ini tidak bisa dipandang remeh!
Hm... lebih baik kulihat dahulu bagaimana sepak
terjangnya menghadapi kepala rampok Begal Ta-
nah Hitam...," batin Pendekar 108 seraya mem-
perhatikan lebih seksama pada Penyair Berdarah.
Seperti halnya Pendekar 108, Ratu Alam
Bumi pun diam-diam berkata dalam hati.
"Siapa pun adanya manusia ini, yang pasti
dia berkepandaian tinggi. Suaranya mampu
membuyarkan pusat perhatianku. Penyair Berda-
rah.... Hm... baru kali ini aku mendengar nama
itu! Tapi aku harus berhati-hati, karena belum bi-
sa diduga apa tujuan sebenarnya dia ikut campur
masalah ini! Dan lebih baik kubiarkan saja Begal
Tanah Hitam menghadapinya. Dengan begitu se-
dikit banyak aku bisa mengukur ilmunya...," seraya membatin begitu, Ratu Alam Bumi geser
langkahnya agak ke belakang. Sepasang matanya
kini dipusatkan pada Begal Tanah Hitam yang
tampak mulai melangkah maju.
Di tempat paling belakang, Setan Arak tak
keluarkan suara. Bahkan suara gelegukan arak-
nya pun tidak terdengar. Mendapati hal ini Pen-
dekar 108 segera berpaling ke belakang. Murid
Wong Agung ini jadi terhenyak melihat Setan
Arak. Kepalanya menggeleng dengan mulut me-
maki panjang pendek. Ternyata Setan Arak terti-
dur! Kedua matanya terpejam rapat, sementara
tangannya terkulai di atas tanah sambil meme-
gangi bumbung arak. Dan tak lama kemudian
terdengar dengkuran dari tenggorokannya!
"Gila! Bagaimana menghadapi suasana
demikian dia bisa enak-enakan tidur? Hm... se-
benarnya ini kesempatan baik untuk mendeka-
tinya. Aku menduga dia tak berhasrat dengan se-
gala macam arca! Manusia begini ini lebih sayang
arak daripada benda-benda mustika!" berpikir
sampai di situ, Pendekar 108 lantas melirik pada
Ratu Alam Bumi. Dan ketika dilihatnya nenek ini
tidak memperhatikannya, dia balikkan tubuh
hendak berkelebat ke arah Setan Arak.
Namun baru saja tubuhnya hendak berge-
rak, Ratu Alam Bumi telah keluarkan bentakan.
"Pendekar Mata Keranjang! Jangan mimpi
untuk bisa lolos dari pengawasanku! Tetap di
tempatmu hingga pertunjukan selesai!"
Mendengar si nenek menyebut julukan
Pendekar Mata Keranjang 108, secepat kilat Pe-
nyair Berdarah palingkan wajah dan memandang
lekat-lekat pada Aji. Dahinya mengernyit. Pan-
dangannya lalu beralih pada tangan kanan Pen-
dekar 108 yang memegang kipas ungunya.
"Hm... hari baik bagiku. Begitu turun bukit
aku telah menemukan orang yang kucari! Pende-
kar Mata Keranjang.... Sebelum menjadi pengha-
lang langkahku selanjutnya, sebaiknya kuhabisi
dia sekarang!" batin Penyair Berdarah seraya ke-
rahkan tenaga dalamnya pada kedua telapak tan-
gan. Namun sebelum dia bergerak menghantam,
Begal Tanah Hitam telah meloncat dan tegak se-
puluh langkah di hadapannya.
Mendapati niatnya terhalangi, Penyair Ber-
darah naik pitam. Tanpa bicara lagi kedua tan-
gannya yang tadi disiapkan untuk menghantam
Pendekar 108 serta-merta dihantamkan ke arah
Begal Tanah Hitam!
Wuttt! Wuttt!
Dua bongkahan angin dahsyat melesat
menyusur tanah. Hebatnya, tanah itu seakan pe-
cah menjadi dua!
Di depan sana, Begal Tanah Hitam mera-
sakan tubuhnya terguncang dan oleng ke samp-
ing kanan dan kiri, mengikuti lesatan angin yang
keluar dari tangan Penyair Berdarah. Mendapati
hal yang tidak diduga, Begal Tanah Hitam cepat
kerahkan tenaga dalam untuk menghindar dari
bongkahan angin yang semakin dekat ke arahnya.
Namun baru saja dia kerahkan tenaga dalam, Penyair Berdarah telah hantamkan kembali kedua
tangannya! Kali ini disertai dengan bentakan ga-
rang dan lompatan satu tombak ke depan.
Paras Begal Tanah Hitam terlihat pias. Na-
mun sebagai kepala rampok yang paling ditakuti,
pantang baginya menyerah begitu saja. Dengan
membentak nyaring kedua kakinya disentakkan
ke atas tanah. Olengan tubuhnya mendadak ter-
henti. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat
ke udara. Hingga serangan pembuka Penyair Ber-
darah hanya menghajar tempat kosong. Namun
betapa terkejutnya kepala rampok ini, begitu tu-
buhnya melesat, dadanya serasa dihantam angin
dahsyat. Tubuhnya berputar lalu mencelat ke be-
lakang dan terhempas di atas tanah.
"Keparat!" seru Begal Tanah Hitam seraya
bergerak bangkit. Bibirnya telah terlihat mengelu-
arkan darah. Sementara Penyair Berdarah tam-
pak tersenyum tatkala hantaman keduanya tak
dapat ditangkis oleh lawan. Kepalanya lantas ten-
gadah, dan terdengarlah alunan syair dari mulut-
nya.
Darah telah mengalir.
Alam baka akan segera mendapat penghuni
baru.
Tangan Penyair Berdarah akan menghan-
tarkan sang penghuni baru!
Selagi Penyair Berdarah melantunkan
syair, kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya
oleh Begal Tanah Hitam. Kedua tangannya diang-
kat ke atas kepala lalu secepat kilat diturunkan
kembali dan dihantamkan ke arah Penyair Berda-
rah dengan telapak terbuka.
Angin dahsyat yang mengeluarkan suara
mengerikan menyambar cepat ke arah Penyair
Berdarah. Pemuda murid Iblis Gelang Kematian
ini terlihat bergetar, padahal sambaran angin
Begal Tanah Hitam belum sampai menghajar tu-
buhnya! Namun Penyair Berdarah tidak tampak
terkejut. Dia tetap tengadah seakan menunggu
tubuhnya dihajar. Baru saat pukulan itu seten-
gah depa lagi mengenai sasaran, dia tarik kedua
tangannya sejajar dada dan dihantamkan kuat-
kuat, dari mulutnya terdengar bentakan keras.
Apa yang terjadi selanjutnya sungguh luar
biasa. Sambaran angin pukulan Begal Tanah Hi-
tam ambyar lenyap! Yang terlihat kini adalah lari-
kan sinar putih hitam melabrak ke arah Begal
Tanah Hitam! Bersamaan dengan itu hawa panas
menghampar!
Begal Tanah Hitam tersirap darahnya. Dia
terkejut bukan alang kepalang. Keadaan seperti
ini tampaknya membuat kepala rampok ini len-
gah, hingga dia tak berusaha membuat gerakan
untuk menghindar atau menangkis. Dia baru sa-
dar tatkala pukulan lawan telak di depannya dan
tak ada kesempatan lagi baginya untuk bergerak.
Hingga tanpa ampun lagi tubuh kepala rampok
ini terjengkang sampai lima tombak ke belakang
dan terkapar di atas tanah! Darah kembali mengalir dari mulut bahkan hidungnya. Namun de-
mikian, dengan mengerang merasakan nyeri pada
dadanya, laki-laki berpakaian mewah ini bergerak
bangkit. Dan begitu tubuhnya dapat berdiri, sece-
pat kilat dia berkelebat. Bukan untuk menyergap
dan lakukan serangan, namun justru melarikan
diri!
Namun sungguh tak disangka oleh Begal
Tanah Hitam. Karena begitu tubuhnya hendak
berkelebat, kedua kakinya goyah, tangannya ge-
metar, sementara dadanya sukar dibuat berna-
pas. Dengan sudut matanya dia melirik pada tan-
gan dan kedua kakinya. Tiba-tiba dia terhenyak.
Ternyata kedua kaki dan tangannya telah menjadi
kebiru-biruan pertanda jalan darahnya tersum-
bat! Menyadari dalam keadaan bahaya, dia segera
alirkan tenaga dalam. Namun belum sampai te-
naga dalamnya mengalir, tubuhnya telah oleng
dan jatuh kembali ke atas tanah!
Penyair Berdarah melangkah mendekat,
membuat Begal Tanah Hitam pucat pasi dan ge-
metaran. Laki-laki setengah baya ini sejenak ber-
paling pada Ratu Alam Bumi. Meski dari mulut-
nya tidak memperdengarkan suara, namun jelas
sekali dari wajahnya bahwa dia minta bantuan.
Tapi Ratu Alam Bumi seakan acuh saja.
Malah ketika Penyair Berdarah mulai melangkah
mendekat ke arahnya, si nenek sunggingkan se-
nyum! Dan dalam hati diam-diam sadar jika Pe-
nyair Berdarah tidak bisa dianggap ringan.
"Dugaanku benar, pemuda itu tidak bisa
dipandang sebelah mata meski ia baru saja mun-
cul di arena rimba persilatan.... Kuharap semoga
dia ada di jalur orang-orang golongan putih,
meski melihat tampangnya dia tampak manusia
yang berhati kejam!" batin Pendekar 108 seraya
memperhatikan langkah-langkah Penyair Berda-
rah yang makin dekat dengan Begal Tanah Hitam.
Namun tiba-tiba Penyair Berdarah henti-
kan langkahnya lima langkah dari depan Begal
Tanah Hitam. Tubuhnya diputar dan kini meng-
hadap lurus pada Pendekar 108. Sepasang ma-
tanya menyengat tajam, mulutnya sunggingkan
senyum seringai ganas.
Pendekar Mata Keranjang terlihat terkejut.
Karena saat itu murid Wong Agung sedang kerah-
kan tenaga dalam ke tangannya. Hal ini dia laku-
kan untuk menangkis pukulan Penyair Berdarah,
karena dia menduga jika Penyair Berdarah sudah
pasti akan menurunkan tangan kematian pada
Begal Tanah Hitam. Perbuatan menghabisi lawan
yang sudah tidak berdaya meski itu adalah mu-
suh besar, bagi murid Wong Agung ini adalah me-
rupakan perbuatan tidak ksatria. Maka dari itu,
untuk menjaga kemungkinan, diam-diam Pende-
kar 108 kerahkan tenaga dalam untuk menyela-
matkan Begal Tanah Hitam.
"Hm.... Kalau tidak salah, benarkah aku
kini sedang berhadapan dengan manusia bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108!" Penyair Berdarah
ajukan tanya.
Pendekar 108 balas tatapan Penyair Berda
rah. Bibirnya lantas tersenyum. Sambil gosok-
gosok tangannya dengan ujung kipas yang telah
dilipat dia menjawab.
"Sahabatku bergelar Penyair Berdarah. Itu
hanyalah gelar yang diberikan oleh orang-orang.
Aku sebenarnya adalah Aji Saputra! Seorang pen-
gelana jalanan yang tak punya tujuan. Harap kau
terima perkenalanku!"
Penyair Berdarah sejenak terdiam dengan
sepasang mata mengawasi Pendekar 108 dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Kepalanya lalu
mendongak. Kejap kemudian terdengarlah suara
tawanya, membuat Aji kerutkan dahi, lalu geleng-
kan kepala.
Mendadak Penyair Berdarah hentikan ta-
wanya. Lalu berucap.
"Pendekar Mata Keranjang! Sungguh ma-
lang nasibmu, karena perkenalan ini hanya seke-
jap dan kita tak mungkin dapat bertemu lagi!"
"Sobat! Apa maksudmu...?" tanya Pendekar
108 belum dapat menebak arah bicara Penyair
Berdarah.
"Orang tolol! Kita tak dapat berjumpa lagi
karena kau akan segera pula menyusul orang ini!"
habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali
kedua tangan Penyair Berdarah menghantam ke
samping, ke arah Begal Tanah Hitam yang masih
tampak kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi
peredaran jalan darahnya yang seakan tersumbat
akibat pukulan Penyair Berdarah.
Begal Tanah Hitam melengak kaget. Na
mun sudah sangat terlambat untuk membuat ge-
rakan menghindar apalagi menangkis. Hingga
tanpa ampun lagi tubuhnya mencelat jauh dan
berkaparan di atas tanah. Sebentar tubuh kepala
rampok itu bergerak-gerak dengan keluarkan
erangan menyayat. Namun sekejap kemudian
erangannya terputus bersamaan dengan me-
layangnya nyawa dari tubuhnya!
Penyair Berdarah tersenyum puas. Semen-
tara Pendekar 108 terlihat kertakkan rahang.
Kemarahan terlihat di wajahnya. Dia sama sekali
tidak menyangka jika Penyair Berdarah akan me-
lakukan hal seperti itu.
"Hm.... Melihat gelagatnya, rupanya dia
bukan orang baik-baik! Apa tujuan sebenarnya
manusia ini...?!" Pendekar 108 menduga-duga
sendiri dalam hati.
Sementara itu, melihat Begal Tanah Hitam
telah tewas, Ratu Alam Bumi menarik napas lega.
Karena saingannya untuk mendapatkan arca dari
tangan Pendekar 108 telah tiada. Namun demi-
kian, dia belum berani bertindak. Dia tampak
menunggu dan ingin mengetahui apa maksud se-
benarnya Penyair Berdarah.
"Aku lebih baik menunggu untuk mengeta-
hui apa maksud tujuan sebenarnya dari manusia
sombong ini! Kalaupun dia menginginkan juga
benda itu, aku tak akan mundur meski aku tahu
dia berkepandaian sangat tinggi!"
Ratu Alam Bumi lantas palingkan wajah
menghadap jurusan lain, namun sepasang matanya sebenarnya melirik ke arah Pendekar 108,
sementara telinganya ditajamkan untuk menjaga
jika diserang dari belakang.
"Pendekar 108! Kau telah tahu apa yang
hendak kau alami, kuberi kesempatan padamu
untuk berdoa!' tiba-tiba Penyair Berdarah kelua-
rkan suara.
"Penyair Berdarah. Rasa-rasanya antara ki-
ta baru kali pertama berjumpa. Jadi tidak ada si-
lang sengketa di antara kita. Lantas apa salahku
hingga kau seolah menginginkan aku jadi peng-
huni alam baka?"
Penyair Berdarah kembali perdengarkan
tawa panjang.
"Rimba persilatan adalah arena pembuk-
tian siapa orang yang paling unggul. Pembuktian
tak terwujud tanpa sebuah pertarungan hidup
mati. Penyair Berdarah ingin buktikan bahwa tak
ada orang lain di atasnya!"
"Sialan! Ditanya baik-baik dijawab dengan
syair-syair butut!" Pendekar 108 memaki dalam
hati. "Penyair Berdarah! Katakan terus terang apa
maumu! Aku tak ada waktu untuk bersyair-syair!"
Penyair Berdarah keluarkan dengusan ke-
ras. Kepalanya diluruskan dengan mata merah
liar menatap Pendekar108.
"Pendekar 108! Kau telah melakukan kesa-
lahan besar. Dan hukumannya adalah mati! Kau
dengar itu?!"
Pendekar 108 kernyitkan kening. Kepa-
lanya bergerak menggeleng perlahan. "Katakan
apa dosaku! Kau jangan sembrono!"
"Pendekar 108! Kesalahanmu adalah kare-
na kau mempunyai ilmu!"
Aji tertawa panjang hingga matanya terpe-
jam dan terbuka. Sementara di belakangnya
dengkuran Setan Arak makin keras. Ratu Alam
Bumi segera palingkan wajah. Sepasang mata ne-
nek ini jadi membeliak melihat tingkah Setan
Arak. Hatinya dongkol bukan main. Namun dia
tak hendak beranjak dari tempatnya.
"Aneh...," kata Pendekar 108 seraya mang-
gut-manggut "Mempunyai ilmu merupakan kesa-
lahan. Hm.... Siapa yang punya peraturan demi-
kian...?!"
"Mata Keranjang! Camkan di dadamu! Di
hadapan Penyair Berdarah, setiap orang yang
mempunyai ilmu adalah manusia berdosa dan
layak dihukum mati!"
Mendengar ucapan Penyair Berdarah, Pen-
dekar 108 berpaling pada Ratu Alam Bumi, lalu
menoleh pada Setan Arak dan berkata.
"Jadi di sini bukan aku saja yang melaku-
kan dosa besar. Tapi juga dia dan dia! Betul...?!"
sambil berkata Pendekar 108 angkat jari telun-
juknya dan ditunjukkan pada Ratu Alam Bumi la-
lu pada Setan Arak.
Penyair Berdarah tersenyum sinis. Setelah
meludah dia berkata.
"Ucapmu tak salah. Setelah kau, giliran
nenek busuk itu. Lalu manusia yang sedang molor itu!"
Tampang Ratu Alam Bumi langsung beru-
bah dikatakan nenek busuk. Tapi lagi-lagi dia
masih menahan amarahnya. Dia menyadari jika
Penyair Berdarah mempunyai ilmu tinggi, dan dia
berharap agar Penyair Berdarah berhadapan da-
hulu dengan Pendekar 108. Dengan demikian ba-
gaimanapun juga tenaganya nanti pasti telah ber-
kurang. Karena dia juga yakin Pendekar 108 tidak
akan tinggal diam. Berpikir sampai di situ, nenek
ini hanya diam saja meski hatinya diamuk hawa
amarah.
"Manusia gila! Peraturannya pun pasti gila.
Orang berilmu dianggapnya dosa besar...," Pende-
kar 108 angguk-anggukkan kepala dengan bibir
tersenyum. Lalu berkata tanpa memandang pada
Penyair Berdarah.
"Kalau setiap orang berilmu kau anggap
berdosa besar, bahkan harus menerima hukuman
mati, tentunya kau pun berdosa besar dan layak
dihukum mati! Bukankah kau juga seorang be-
rilmu? Bahkan telah melakukan pembunuhan se-
cara licik! Menewaskan lawan yang telah tidak
berdaya!"
"Ha ha ha...! Peraturan itu aku yang mem-
buat. Jadi aku yang menentukan!' kata Penyair
Berdarah seraya usap-usap dadanya. Rambutnya
yang terlihat bergerai ke depan disibakkannya.
"Hm.... Begitu? Dengar baik-baik! Sekarang
pun aku membuat peraturan. Barang siapa mem-
buat peraturan tanpa seizinku, maka dia telah
berbuat dosa amat besar. Dan hukumannya ada
lah pancung kepala!" sejenak Pendekar 108 hen-
tikan ucapannya, lalu seraya usap hidungnya dia
melanjutkan.
"Kau telah dengar peraturanku. Tanpa ku-
jelaskan kau tentunya telah mengerti. Apa kau te-
lah pula siap menerima hukuman pancung? Ka-
rena kau membuat peraturan tanpa seizinku?!"
"Bangsat anjing!" bentak Penyair Berdarah
marah besar. "Kita buktikan siapa di antara kita
yang pantas untuk membuat peraturan!" sambil
berkata dia melompat dan tahu-tahu tubuhnya
telah tiga langkah di hadapan Pendekar 108. Se-
pertinya tidak ingin memberi kesempatan pada
lawan, kedua tangannya langsung berkelebat ki-
rimkan hantaman pada kepala lawan!
Pendekar 108 yang telah waspada cepat
angkat kedua tangannya menyongsong kelebatan
tangan lawan.
Prakkk!
Bukkk! Bukkk!
Pendekar 108 langsung terputar dan jatuh
terduduk. Melirik, dia terkejut. Kedua lengannya
telah berubah membiru. Dadanya berdenyut nye-
ri, sedangkan telinganya berdengung panas!
Di depan, sepuluh langkah dari tempat
Pendekar 108, Penyair Berdarah terlihat terkapar.
Namun pemuda berjubah hitam bergaris-garis
putih ini segera bergerak bangkit. Parasnya beru-
bah mengelam. Sejenak dia merapatkan kedua
tangannya kerahkan tenaga dalam untuk menga-
tur jalan darahnya yang seperti terhenti!
"Hm... benar apa yang dikatakan Guru.
Pendekar ini memang harus segera disingkirkan.
Ilmunya tinggi, tenaga dalamnya kuat!" batin Pe-
nyair Berdarah seraya bangkit berdiri dan me-
mandang liar pada Pendekar108.
Sepuluh langkah di hadapannya, Pendekar
108 telah pula berdiri dan balas menatap. Untuk
beberapa saat lamanya kedua pemuda ini saling
bentrok pandangan.
"Hmm.... Tak bisa dipungkiri, manusia satu
ini cukup hebat. Sayang, kehebatannya diguna-
kan pada jalan yang keliru! Orang seperti ini ha-
rus mendapat pengajaran!" bisik Pendekar 108
dalam hati.
Selagi kedua pemuda ini saling diam den-
gan pikiran masing-masing, Ratu Alam Bumi me-
lirik ke arah Setan Arak.
"Ini kesempatan baik. Manusia arak itu ter-
lalu bahaya jika dibiarkan hidup. Bukan mustahil
dia nanti malah menjadi penghalang rencanaku!
Sebelum terlambat, lebih baik kusingkirkan da-
hulu!" Ratu Alam Bumi segera berkelebat. Tahu-
tahu sosoknya telah berdiri di depan Setan Arak.
Anehnya, begitu sosok Ratu Alam Bumi te-
lah berdiri dengan mata berkilat-kilat, Setan Arak
makin keras dengkurnya! Malah sesaat kemudian
tubuhnya bergerak membalik dan memunggungi
Ratu Alam Bumi! Bukan hanya sampai di situ,
bersamaan dengan membaliknya tubuh, terden-
gar suara mendesis dari pantatnya!
Duuusss!
Bau tak sedap segera menghampar keluar
dan melingkupi sekitarnya.
"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi sambil
angkat tangannya dan ditakupkan menutupi hi-
dung. Bersamaan dengan itu dia meloncat seten-
gah tombak dan serta-merta kaki kanannya dis-
apukan pada tubuh Setan Arak!
Melihat hal ini, Pendekar 108 yang sedari
tadi melirik tingkah Ratu Alam Bumi sempat ter-
cengang. Namun dia tak berani berbuat banyak.
Dia khawatir, jika ia lengah sedikit bukan tak
mungkin akan digunakan kesempatan oleh Pe-
nyair Berdarah. Menyadari hal ini, murid Wong
Agung hanya bisa memandang dengan batin me-
maki tiada habis-habisnya.
Di lain pihak, Penyair Berdarah tampak
tersenyum sinis. Namun diam-diam dia merasa
lega. Karena dengan tewasnya Setan Arak, maka
lawannya akan jadi berkurang. Meski dia sendiri
yakin bisa mengalahkan Setan Arak.
"Hancur tubuhmu!" teriak Ratu Alam Bu-
mi. Namun apa yang kemudian terjadi sungguh di
luar dugaan. Karena begitu sejengkal lagi kaki Ra-
tu Alam Bumi akan menghajar sosok Setan Arak
mendadak laki-laki berselendang bumbung arak
ini hentikan dengkurnya. Tangan kirinya seakan
tanpa sengaja melejang dan menyodok bumbung
arak yang dibuat bantalan kepalanya. Bumbung
arak itu mencelat, namun bersamaan dengan itu
kepalanya bergerak menggelinding ke bawah de-
mikian pula tubuhnya! Hingga sapuan kaki Ratu
Alam Bumi lewat sejengkal di belakangnya! Bah-
kan kalau saja si nenek tidak cepat tarik pulang
kakinya, niscaya kakinya akan menghajar pohon!
Begitu lolos dari sapuan kaki, tubuh Setan
Arak terus bolak-balik menggelinding. Saat ter-
henti, posisinya tetap seperti semula. Berbantal
salah satu bumbung araknya dan memunggungi!
Dengkurnya pun kembali terdengar!
Pendekar 108 menarik napas lega. Malah
kepalanya menggeleng dengan bibir tersenyum.
Namun tidak demikian halnya dengan Penyair
Berdarah. Pemuda ini terlihat katupkan rahang-
nya rapat-rapat. Matanya membelalak dengan
dahi mengernyit. Dia mulai sadar, jika Setan Arak
bukanlah orang sembarangan. Dalam keadaan ti-
dur masih dapat menghindari serangan Ratu
Alam Bumi!
Yang paling marah adalah Ratu Alam Bu-
mi. Parasnya merah membara dengan tubuh ge-
metar. Dadanya bergemuruh hingga pakaiannya
laksana ditiup angin. Nenek ini segera takupkan
kedua tangan di atas kepala. Perlahan-lahan lalu
diturunkan dengan dibuka. Mulutnya komat-
kamit mengucapkan gumaman tak jelas. Tiba-tiba
dia membentak keras dengan meloncat ke depan.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya dihan-
tamkan ke arah Setan Arak!
Werrr! Werrr!
Dua gelombang angin yang mengeluarkan
suara menggemuruh melesat. Di belakangnya
menyusul beberapa bersitan sinar redup. Tampaknya Ratu Alam Bumi telah kerahkan pukulan
andalannya yakni ‘Topan Sinar Membelah’!
"Belah tubuh keringmu!" seru Ratu Alam
Bumi dengan senyum seringai.
Lima tombak di depannya, Setan Arak tiba-
tiba bangkit dengan masih duduk memunggungi.
Anehnya, meski kini telah duduk, tubuhnya
goyang-goyang seperti goyangan tubuh Ratu Alam
Bumi yang memang tak bisa terhenti. Dan dari
mulutnya masih terdengar suara dengkuran! Lalu
kedua tangannya direntangkan seperti orang
menggeliat dari tidur. Namun tiba-tiba rentangan
kedua tangan itu mengibas ke belakang!
Wesss! Wesss!
Dua bongkahan asap tiba-tiba mengepul
dan membentuk bumbung bambu agak besar. Ra-
tu Alam Bumi tercengang dan keluarkan seruan
kaget. Dua gelombang angin pukulannya melesat
masuk dalam asap yang membentuk bumbung,
demikian juga bersitan sinar redup yang menyu-
suli! Dan nenek ini makin terlengak tatkala meli-
hat dua asap bumbung itu kini melesat lurus ke
arahnya!
Sebagai orang yang telah pengalaman ma-
lang melintang dalam rimba persilatan, meski da-
lam keadaan terlengak begitu, Ratu Alam Bumi
masih bisa berpikir cepat. Kedua kakinya diban-
tingkan. Tubuhnya melesat ke udara. Kedua tan-
gannya segera dihantamkan ke bawah!
Namun nenek ini kembali dibuat terperan-
gah. Asap bumbung yang dihindarinya tiba-tiba
membumbung mengikuti lesatan tubuhnya! Hing-
ga tiada jalan lain bagi si nenek kecuali arahkan
hantaman tangannya pada asap bumbung.
Bummm! Bummm!
Terdengar dentuman dahsyat dua kali keti-
ka hantaman Ratu Alam Bumi menggebrak asap
bumbung. Namun karena hantaman itu dilancar-
kan di udara serta jaraknya telah begitu dekat,
mika bias dentuman itu membalik dan menghan-
tam tubuhnya!
Begitu suara gema dentuman lenyap dan
asap telah sirap, tubuh Ratu Alam Bumi telah ter-
lihat terkapar di atas tanah dan tak mampu
bangkit! Kedua tangannya tampak membiru dan
menggelembung. Rambutnya yang keriting dan
disanggul ke atas terpapas hingga hampir gundul!
Perlahan nenek ini bergerak miring. Dia terpekik,
bersamaan dengan miringnya tubuh, dari sudut
bibirnya mengalir darah segar!
"Bangsat!" maki Ratu Alam Bumi seraya
hendak bangkit dengan tekankan kedua tangan-
nya. Namun lagi-lagi nenek ini terpekik. Kedua
tangannya terasa hendak penggal saat digerak-
kan. Hingga dia urungkan niat untuk bangkit.
Sebaliknya dia segera tarik tangannya perlahan-
lahan ke arah dada lalu kerahkan sisa-sisa tenaga
dalamnya untuk mengatasi rasa sakit yang kini
bukan hanya terasa di kedua tangannya namun
juga dadanya!
Di seberang, Pendekar 108 tarik kedua
tangannya kembali lalu putar tubuhnya. Kini duduk menghadap Ratu Alam Bumi dengan kedua
tangan memegang bumbung bambu arak dan
dengan mata terbuka terpejam ditenggaknya arak
itu silih berganti!
Murid Wong Agung kembali hanya bisa ge-
leng-geleng kepala. Saat itulah tiba-tiba Penyair
Berdarah hantamkan kedua tangannya!
LIMA
SINAR redup yang mengeluarkan suara
aneh seperti suara rebab menyebar laksana kilat
ke arah Pendekar 108! Inilah pukulan sakti
'Suara Kematian' yang didapatnya dari gurunya
Iblis Gelang Kematian. Hebatnya, bersamaan den-
gan mengalunnya suara rebab cuaca berubah pa-
nas menyengat namun keadaan redup hampir ge-
lap!
"Pembokong licik!" seru Pendekar 108 cepat
miringkan tubuh menghadap Penyair Berdarah.
Namun betapa terkejutnya murid Wong Agung ini.
Pukulan lawan ternyata telah berada setengah
depa di depan hidungnya! Sekalipun saat itu Pen-
dekar 108 berusaha untuk menyelamatkan diri
dengan bergerak menghindar, tapi keadaannya
sudah terlambat. Hingga meski masih sempat
mengelak, namun serangan itu akan tetap telak
menghajar tubuhnya!
"Celaka tiga belas!" gumam Pendekar Mata
Keranjang dengan paras membeku. Karena sudah
tidak bisa lagi menghindar apalagi lancarkan se-
rangan untuk menangkis, jalan satu-satunya
yang diambil murid Wong Agung ini hanyalah ke-
rahkan tenaga dalamnya agar tubuhnya kuat
menghadang serangan lawan.
Di saat yang mengerikan itu, mendadak
melesat dua benda bundar agak panjang. Satu
menghantam tubuh Pendekar 108 dan satunya
menangkis serangan Penyair Berdarah.
Benda yang ternyata adalah bumbung
bambu itu kontan hancur berkeping-keping, lalu
ambyar menjadi lembut dan lenyap dihembus an-
gin! Tanah tempat Pendekar 108 berdiri terlihat
terbongkar besar dan tanahnya membumbung ke
udara membuat suasana makin redup. Ketika ta-
nah telah sirap kembali dan sinar redup lenyap,
Pendekar 108 terlihat terkapar di atas tanah lima
belas langkah di samping tempat terbongkarnya
tanah. Namun keadaannya tidak cidera sedikit
pun! Hal ini terjadi karena sewaktu sejengkal lagi
pukulan Penyair Berdarah menghajar tubuhnya,
bumbung bambu terlebih dahulu menghantam
tubuhnya, hingga tubuhnya mencelat. Ini menye-
lamatkannya dari pukulan maut Penyair Berda-
rah.
Melihat ada orang menyelamatkan Pende-
kar 108, Penyair Berdarah bantingkan kaki ke ta-
nah. Tanah itu langsung terbongkar. Matanya
mendelik angker. Kepalanya cepat berpaling pada
Setan Arak. Melihat benda apa yang berhasil me-
nangkis serangannya dan sekaligus menyelamatkan jiwa Pendekar 108, Penyair Berdarah ini
segera bisa menduga siapa gerangan orang yang
melakukannya.
"Setan satu itu benar-benar tidak bisa di-
pandang sepele! Lemparan bumbung bambu
araknya saja bisa menggagalkan pukulan 'Suara
Kematian'. Hm.... Orang macam begitu harus di-
lawan dengan kelicikan! Tapi.... Aku harus sele-
saikan pendekar keparat itu dulu!" Penyair Berda-
rah palingkan kembali wajahnya pada Pendekar
108 yang telah bangkit dan terlihat memandang
ke arah Setan Arak yang ternyata masih asyik
dengan gelegukan araknya. Dia seakan tidak me-
rasa telah menyelamatkan jiwa seseorang!
"Setan Arak!" teriak Aji seraya melambai-
kan tangan. "Terima kasih atas bantuanmu!"
Yang diteriaki jangankan memandang, melirik
pun tidak!
Pendekar 108 lantas cepat buka kipas un-
gunya, tangan kirinya ditarik ke belakang. Tiba-
tiba tangan kirinya berubah menjadi biru berca-
haya. Tampaknya murid Wong Agung telah ke-
rahkan pukulan Mutiara Biru. Dia merasa geram
pada Penyair Berdarah yang bersikap licik. Juga
karena Penyair Berdarah ingin mencelakai di-
rinya.
Saat itulah Penyair Berdarah tengadahkan
kepala. Dari mulutnya terdengar suara lantunan
syair.
Alam baka telah membuka pintunya lebar
lebar bagi penghuni baru.
Darah akan segera mengalir. Penyair Ber-
darah akan melangkah mengantar. Jurus Alam
Kematian!
Bersamaan dengan itu, kedua tangan Pe-
nyair Berdarah berubah merah menyala. Inilah
jurus andalan yang berhasil dipelajarinya dari Ib-
lis Gelang Kematian di puncak Bukit Tumpang
Gede. Kedua tangan yang telah berubah warna itu
langsung diangkat sejajar dagu. Tempat itu serta-
merta berubah merah kekuningan. Dan didahului
bentakan dahsyat, Penyair Berdarah dorongkan
tangannya!
Bongkahan laksana bola api besar melesat
cepat ke arah Pendekar 108. Di depan, Pendekar
108 pun segera sentakkan kedua tangannya. Si-
nar biru segera pula menyongsong disertai sinar
putih yang menebar membentuk kipas.
Gelegar dahsyat segera menggemuruh. Li-
dah-lidah api tampak semburat ke segala juru-
san. Asap tebal menutupi tempat itu.
Di balik asap tebal, Aji yang terlihat hampir
terjerembab jatuh merasakan lengannya dibetot
orang, hingga tubuhnya selamat dari menghem-
pas tanah.
Namun murid Wong Agung ini masih was-
pada, hingga meski merasa telah diselamatkan
orang, dia cepat berpaling dan siap dengan tan-
gan menghantam. Namun begitu tahu siapa
adanya orang yang membetot tangannya, dia menurut saja tangannya digeret menjauh.
"He! Ikuti aku! Tapi ingat, jangan memban-
tah dulu!" kata sang pembetot yang ternyata ada-
lah Setan Arak. Lalu berkelebat meninggalkan
tempat itu.
Meski masih diliputi tanda tanya besar,
Pendekar Mata Keranjang 108 mengikuti keleba-
tan Setan Arak.
Sementara itu, begitu gelegar menghentak
tubuh Penyair Berdarah tampak mencelat ke be-
lakang. Tubuhnya tak dapat dikuasai lagi hingga
saat itu juga menghujam tanah! Namun pemuda
ini segera kerahkan tenaga dalam untuk menga-
tasi rasa sakit di dada dan kedua tangannya. Lalu
perlahan-lahan bergerak bangkit duduk. Sepa-
sang matanya dikatupkan, kedua tangannya dis-
atukan dengan mulut bergerak-gerak. Meski den-
gan sisa tenaganya tampaknya pemuda ini masih
menyiapkan pukulan kembali.
Saat itulah tiba-tiba Penyair Berdarah me-
rasakan siuran angin dari arah belakang. Khawa-
tir kalau itu serangan lawan, dia segera balikkan
tubuh memutar dan siap lancarkan pukulan.
Namun tangannya segera diluruhkan kembali
tatkala samar-samar dia dapat menangkap sosok
yang dikenalnya di balik hamparan asap.
"Manding! Tak ada gunanya kau siapkan
pukulan! Lawanmu telah pergi!" berkata sosok
yang kini ada di hadapan Penyair Berdarah dan
tadi memanggilnya dengan nama aslinya.
Dia adalah seorang perempuan tua renta.
Rambutnya panjang hingga betis. Mengenakan
baju panjang berwarna hitam dengan pakaian
bawah kembang-kembang putih. Pada tangannya
tampak melingkar beberapa gelang berwarna kun-
ing.
"Guru! Kenapa kau mencegahku untuk la-
kukan serangan? Padahal orang itu adalah orang
yang kau kira dapat menghalangi langkahku se-
lanjutnya!"
Perempuan tua renta yang bukan lain ada-
lah Iblis Gelang Kematian, guru Penyair Berdarah
tengadahkan kepala seakan menatapi asap yang
masih melingkupi tempat itu.
"Manding! Seperti yang kukatakan, lawan-
mu telah meninggalkan tempat ini!"
Seakan ingin membuktikan kata-kata gu-
runya, Penyair Berdarah segera putar kembali tu-
buhnya. Matanya memandang tajam ke depan.
Dan begitu asap telah lenyap, Penyair Berdarah
memang tidak lagi melihat sosok Pendekar Mata
Keranjang. Kepalanya lantas berpaling ke samp-
ing. Di juga terkejut, di tempatnya tadi berada,
Setan Arak pun tak terlihat. Yang tampak adalah
tubuh Begal Tanah Hitam yang telah tewas dan
kini berubah hitam! Ini karena terkena bias ben-
troknya pukulan. Sementara agak jauh, samar-
samar terlihat Ratu Alam Baka merangkak hen-
dak meninggalkan tempat itu.
Karena marah melihat lawannya telah per-
gi, kemarahannya kini ditumpahkan pada Ratu
Alam Baka yang sedang merangkak hendak menjauhi tempat itu. Dan tanpa bicara lagi, kedua
tangannya yang tadi disiapkan menyerang Pende-
kar 108 dihantamkan ke arah Ratu Alam Baka.
Karena dalam keadaan terluka, maka daya
pendengaran Ratu Alam Baka telah jauh berku-
rang, hingga dia baru sadar jika diserang tatkala
pukullah itu telah sedepa di sampingnya. Nenek
ini jadi terperangah, dan sudah terlambat baginya
untuk selamatkan diri. Hingga saat itu juga puku-
lan Penyair Berdarah menghajar telak tubuh Ratu
Alam Baka.
Jeritan tinggi seakan merobek langit keluar
dari mulut Ratu Alam Baka. Bersamaan itu tu-
buhnya mencelat dan menghujam tanah dengan
nyawa melayang!
Sesaat suasana mengandung kematian
menyentak tempat itu. Penyair Berdarah bergerak
bangkit. Sejenak diusap-usapnya dadanya yang
berdenyut sakit. Dan tak lama kemudian dia me-
ludah. Ludah itu telah berwarna hitam menanda-
kan bahwa pemuda itu terluka dalam.
"Hm.... Pukulanmu hampir sempurna.
Hanya kau harus rajin berlatih!" puji Iblis Gelang
Kematian seraya melangkah mendekat.
"Guru!" kata Penyair Berdarah tanpa ber-
paling pada Iblis Gelang Kematian. "Siapa sebe-
narnya manusia bergelar Setan Arak itu?!"
Iblis Gelang Kematian sedikit terkejut men-
dengar pertanyaan muridnya. Seakan masih tak
percaya, dia ajukan pertanyaan balik.
"Kau menyebut Setan Arak...?!"
"Tua bangka tuli!" kata Penyair Berdarah
memaki dalam hati. Lalu masih tanpa berpaling
pada gurunya dia berkata.
"Benar! Siapa sebenarnya manusia itu?
Dan ada di golongan mana?!"
Sejenak Iblis Gelang Kematian terdiam.
Tangannya bergerak-gerak hingga terdengar suara
dentingan gelang-gelangnya yang saling bersen-
tuhan.
"Manding!" kata Iblis Gelang Kematian sete-
lah diam beberapa lama. "Setan Arak adalah sa-
lah seorang tokoh tua yang ilmunya sulit untuk
dijajari siapa saja. Sifatnya aneh, serta sulit dite-
bak. Hingga tak bisa ditentukan di mana dia se-
benarnya bergolong. Kadang-kadang kumpul den-
gan orang-orang golongan hitam, namun tak ja-
rang pula membantu orang-orang golongan putih.
Hanya saja aku cenderung memasukkannya pada
orang-orang golongan putih. Karena dia sering
memihak orang-orang golongan putih meski tak
bermusuhan dengan orang golongan hitam.
Hmm.... Apakah kau bertemu dengan dia?!"
"Bukan hanya bertemu, tapi dialah kepa-
ratnya yang telah menyelamatkan Pendekar Mata
Keranjang 108! Aku bersumpah, sekali lagi ber-
temu tak akan kuampuni nyawanya!" kata Pe-
nyair Berdarah dengan suara tinggi.
"Hmm.... Tujuanmu bagus. Namun kau ha-
rus tetap berhati-hati menghadapinya! Kelicikan
mutlak diperlukan dalam menghadapi orang seperti dia! Kau mengerti?"
Penyair Berdarah tidak menyahut. Kepa-
lanya pun tidak bergerak menggeleng atau men-
gangguk sebagai isyarat atas kata-kata gurunya.
Namun Iblis Gelang Kematian tampaknya tidak
merasa dongkol dengan sikap muridnya itu. Sem-
bilan tahun hidup bersama telah membuatnya
tahu bagaimana sikap dan sifat muridnya.
"Manding.... Di sini sudah tidak ada apa-
apa lagi. Kau terluka dalam. Sebaiknya kita men-
cari tempat istirahat sambil mengobati lukamu!"
Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kema-
tian melangkah meninggalkan tempat itu. Penyair
Berdarah sebenarnya masih ingin mengejar Pen-
dekar Mata Keranjang, namun setelah dipikir-
pikir, dia menyadari bahwa ucapan gurunya ada
benarnya bahwa dia terluka. Karena saat itu
kembali dadanya berdenyut sakit dan tubuhnya
gemetar. Maka dengan menindih rasa sakit dan
marah dia pun melangkah menyusul gurunya.
ENAM
SETAN Arak menghentikan larinya ketika
tiba pada suatu tempat yang sepi dekat sebuah
pancuran air yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Begitu Aji sampai, murid Wong Agung ini lang-
sung ajukan pertanyaan.
"Kenapa kau mengajakku melarikan diri?
Padahal orang macam dia perlu sekali mendapat
hajaran! Dan terlalu bahaya jika dibiarkan hi
dup!"
Setan Arak tidak segera menjawab. Justru
tarik ikat pinggang yang digelantungi beberapa
bumbung bambu berisi arak, lalu tangan kanan-
nya menyambar salah satu bumbung bambu dan
menenggak dengan lahap isinya. Setelah puas
dan matanya sayu merah, dia buka mulut.
"Orang macam dia memang tidak layak di-
beri pijakan tanah untuk hidup. Namun bukan
saat ini waktunya untuk memberi pelajaran. Sua-
tu saat nanti kau pasti akan dipertemukan lagi!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tertawa pen-
dek seakan mengecilkan arti kata-kata Setan
Arak.
"Setan Arak! Apakah menghajar orang per-
lu menanti waktu? Kalau sekarang bisa kenapa
harus ditunda-tunda lagi? Bukankah itu malah
memberi kesempatan...?!"
Setan Arak goyang-goyangkan kepalanya.
Dia kini balik tertawa.
"Kau tak tahu. Sebentar setelah kepergian
kita, telah datang di tempat itu seorang lagi. En-
tah siapa dia aku tak bisa menentukan. Yang je-
las pendatang itu berilmu sangat tinggi. Bukan-
nya aku takut menghadapi orang, namun karena
yang akan menghadapi urusan selanjutnya ada-
lah kau, maka akan terlalu bodoh jika membiar-
kan kau mati sia-sia terlebih dahulu!"
"Jadi kau kira aku akan bisa dibuat tewas
oleh pendatang itu?!" tanya Pendekar 108 sedikit
geram.
"Kau jangan meradang. Dan bukannya aku
mengatakan kau akan kalah menghadapi penda-
tang itu. Namun dugaanku bisa menghitung jika
kau belum mampu untuk mengalahkannya! Kau
jangan terlalu sombong dengan apa yang kau mi-
liki sekarang! Ingat. Di atas langit masih ada lan-
git!"
Pendekar 108 terdiam mendengar ucapan
Setan Arak. Untuk beberapa saat dia tercenung
seolah mencerna ucapan itu. Kepalanya lantas
manggut-manggut.
"Hmm.... Lantas apa maumu mengajakku
ke sini?"
Setan Arak menenggak araknya kembali.
Lalu berkata.
"Ilmumu cukup tinggi. Namun gerakan
menghindarmu kulihat masih kurang. Kau harus
tahu, mempunyai pukulan hebat tanpa diimbangi
dengan ilmu menghindar, akan sama halnya ber-
baju tanpa celana!"
Sepasang bola mata Aji membesar. "Kulihat
gerakan menghindar orang ini memang aneh dan
hampir tak dapat dipercaya, namun nyatanya bi-
sa menyelamatkan. Hmm.... Apakah ucapannya
tadi pertanda dia akan mengajarkan padaku ilmu
menghindar...?" batin Aji.
"He! Kenapa kau memandangku begitu ru-
pa?!" seru Setan Arak.
"Setan Arak!" kata Pendekar Mata Keran-
jang sambil menjura. "Kuharap kau mau menga-
jarkan padaku ilmu yang kau terangkan tadi!"
Setan Arak mendehem beberapa kali. Da-
lam hati diam-diam dia berkata.
"Sebenarnya aku sudah tidak ingin menga-
jarkan apa pun pada orang lain. Namun melihat
banyak berkeliarannya orang-orang sesat, tak ada
salahnya jika aku mengajari anak ini. Kalau dia
telah diangkat murid oleh Wong Agung, tidak
mungkin dia menggunakan ilmunya di jalan sa-
lah!" setelah memikir, akhirnya ia berkata.
"Baiklah. Akan kuajarkan sedikit ilmu pa-
damu! Ikuti aku!" selesai berkata, Setan Arak
berkelebat ke arah timur di mana terdapat se-
buah dataran agak luas yang di sana-sini tampak
beberapa gundukan batu-batu padas.
Pendekar 108 segera menjura dan balikkan
tubuh mengikuti arah kelebatan Setan Arak.
***
Di dalam sebuah gua batu, Iblis Gelang
Kematian terlihat duduk bersila dengan mata
memandang lurus ke arah mulut gua. Di depan-
nya Penyair Berdarah terlihat tidur telentang den-
gan sepasang mata mengatup rapat. Namun tak
lama kemudian pemuda ini bergerak bangkit dan
duduk menghadap Iblis Gelang Kematian.
"Bagaimana sekarang...?" Iblis Gelang Ke-
matian buka suara.
"Terasa lebih baik...!" jawab Penyair Berda-
rah dengan melirik kedua tangannya yang telah
pulih kembali. Dadanya pun tak lagi berdenyut
sakit.
"Manding! Kau sekarang telah tahu sendiri
bagaimana ganasnya rimba persilatan. Ini belum
sampai kau bertemu dengan tokoh-tokoh tua
lainnya. Maka dari itu, kau harus ingat kata-
kataku tempo hari!"
Manding Jayalodra alias Penyair Berdarah
anggukkan kepalanya. Kali ini agaknya pemuda
ini tak menampakkan rasa sombongnya.
"Dan juga perlu kau ingat, sehebat-
hebatnya seseorang, pasti dia mempunyai kele-
mahan! Di sinilah kau dituntut untuk dapat men-
getahui kelemahannya! Jika hal itu telah kau da-
pat, sehebat apa pun dia, tak ada artinya di ha-
dapanmu!"
"Kalau boleh tahu, di manakah kelemahan
seseorang itu sebenarnya?"
Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh.
"Kelemahan seseorang itu bermacam-macam.
Namun satu hal yang pasti, seseorang pasti akan
goyah jika dihadapkan pada perempuan. Nah,
senjata inilah yang kini harus kau miliki! Tapi
bukan sembarang perempuan. Perempuan senjata
ini harus mempunyai beberapa syarat!"
"Katakan, apa syarat-syarat itu. Guru!"
"Pertama. Dia harus berilmu tinggi. Kedua
harus berwajah cantik bahkan kalau perlu mem-
punyai sifat penggoda. Ketiga dia harus tergan-
tung padamu! Dan yang terakhir, dia mempunyai
dendam pada lawanmu. Atau setidak-tidaknya
mempunyai masalah dengan lawanmu!"
Penyair Berdarah kembali angguk-
anggukkan kepala. Mulutnya lantas membuka
hendak bicara. Namun sebelum ucapannya ter-
dengar, Iblis Gelang Kematian telah bicara kem-
bali.
"Manding. Akhir-akhir ini kudengar kabar
bahwa ada seorang gadis berilmu tinggi dan ber-
wajah cantik bernama Sakawuni mempunyai ma-
salah dengan Pendekar 108. Setelah kuselidiki,
ternyata gadis itu adalah bekas anak murid Ageng
Panangkaran. Seorang tokoh yang tewas entah
oleh siapa. Dan ternyata, gadis itu menuduh Pen-
dekar 108-lah yang membunuh bekas gurunya!
Nah, ini kesempatan baik bagimu. Kalau kau ber-
hasil membujuk gadis itu, Pendekar 108 akan
mudah kau atasi. Demikian juga tokoh-tokoh
lainnya!"
Sepasang mata Penyair Berdarah berbinar
besar.
"Aku akan segera mencari gadis itu!" seru
Penyair Berdarah.
"Itu lebih baik. Tapi ingat, dia harus ter-
gantung dulu padamu! Setidak-tidaknya kau ha-
rus menanam budi padanya terlebih dahulu. Se-
telah itu barulah kau jalankan muslihatmu!"
"Segala ucapmu akan kuingat. Guru!"
"Hmm.... Sekarang aku harus pergi...,' ha-
bis berkata begitu, Iblis Gelang Kematian bangkit
dan tanpa memandang lagi pada Penyair Berda-
rah dia berkelebat meninggalkan gua.
"Hmm.... Aku harus secepatnya menemu
kan gadis itu!" seru Penyair Berdarah seraya
bangkit dan melangkah keluar gua.
TUJUH
SEORANG laki-laki berusia amat lanjut
bertubuh kurus tinggi serta berparas angker ter-
lihat mondar-mandir di dekat perapian. Kakek ini
mengenakan jubah besar warna biru gelap. Di
atas kepalanya tampak sebuah caping lebar dari
bahan kulit berwarna hitam yang di bagian atas-
nya dibuat terbuka seakan sengaja ingin menun-
jukkan rambutnya yang tumbuh amat jarang dan
kaku seperti ijuk. Sepasang matanya amat besar
sementara bibirnya tebal. Kulit wajahnya demi-
kian tipis hingga seperti tak berkulit. Selain tam-
pak angker, ada keanehan pada kakek ini yang
membuatnya makin menakutkan sekaligus men-
gagumkan. Ternyata, meskipun terlihat melang-
kah mondar-mandir, sepasang kaki kakek ini be-
rada sejengkal di atas tanah! Dari sini jelas bisa
dipastikan jika laki-laki tua ini bukan orang sem-
barangan!
Entah karena kesal mondar-mandir, kakek
ini lantas hentikan langkahnya, tangan kanannya
bergerak mengusap wajahnya yang berkulit tipis.
Lalu merapikan jubahnya yang menyibak dihem-
bus angin malam. Kepalanya lantas tengadah
memandangi langit yang tampak menghitam. Na-
mun tampaknya dia tak bisa pusatkan perhatian,
karena sejenak kemudian kepalanya kembali lu-
rus ke depan. Dan yang tampak kini adalah ber-
geraknya kedua bahunya menghembuskan napas
dalam-dalam. Melihat gerak-geriknya, berat du-
gaan jika kakek ini sedang dilanda masalah yang
belum bisa diatasinya. Dan melihat pancaran ma-
tanya yang kini tampak berkilat-kilat, bisa dite-
bak jika dia tengah marah dan kecewa.
Tiba-tiba kakek ini balikkan tubuhnya. Da-
lam pantulan sinar yang memancar dari perapian,
tampak jelas kilatan matanya. Sepasang matanya
yang besar kini lurus ke depan tak kesiap. Tu-
buhnya sedikit bergetar. Mulutnya komat-kamit
menggumam tak jelas. Untuk beberapa lama ma-
tanya tetap memandang lurus ke depan, bukan
menatap pada perapian atau menembusi kegela-
pan malam. Melainkan pada sesosok tubuh yang
menggelantung dekat perapian. Sosok yang
menggelantung kedua tangan dan kakinya terikat.
Kedua tangannya menyatu diikat dan ditarik den-
gan seutas tali yang diikatkan pada sebuah ba-
tang pohon.
Sosok yang menggelantung adalah seorang
gadis muda berparas cantik jelita. Rambutnya
panjang dengan hidung mancung dan bibir mem-
bentuk bagus. Dadanya membusung menantang
sementara pinggulnya mencuat menggemaskan.
Dara ini menggunakan pakaian coklat bergaris-
garis.
Mungkin karena merasa dipandangi atau
mungkin juga karena kesemutan, kedua kelopak
mata si gadis yang sedari tadi terpejam tampak
bergerak-gerak membuka. Untuk sesaat mata bu-
lat si gadis memandang sayu ke arah perapian.
Mata itu lantas menyipit dan tiba-tiba membela-
lak besar. Dia tampak terkejut. Lalu kepalanya
menunduk memandangi dirinya. Dia terlihat ma-
kin terperangah ketika mendapati dirinya dalam
keadaan tergantung.
Kepala si gadis lalu tampak digoyang ke
kanan kiri. Tangannya pun digerak-gerakkan
seakan ingin melepaskan diri. Namun ketika
mendapati ikatan tangannya begitu kuat, gadis ini
menghela napas panjang. Kepalanya tengadah
kembali seakan mengingat-ingat.
"Apa yang terjadi dengan diriku...? Dan
siapa yang melakukan ini...?" si gadis mulai ber-
kata dalam hati.
"Hmm.... Bukankah saat itu aku sedang
terluka karena hajaran Guru...? Dan rasa-
rasanya saat itu aku ditolong oleh Pendekar Mata
Keranjang si keparat itu! Apa dia yang melakukan
ini...?"
Kembali si gadis menarik napas dalam-
dalam. Namun dia sedikit terkejut.
"Aneh. Dadaku sudah tidak lagi terasa sa-
kit. Demikian juga sekujur tubuhku. Padahal saat
itu aku sampai pingsan karena sakit. Hmm.... Ka-
lau pendekar keparat itu yang melakukan ini,
pasti dia masih ada di sekitar sini!"
Tanpa memandang ke kanan kiri lagi, gadis
ini buka mulut hendak berteriak. Namun sebelum
teriakannya keluar, terdengar batuk-batuk bebe-
rapa kali hingga si gadis cepat takupkan kembali
mulutnya dan urungkan niat untuk berteriak.
Sepasang matanya cepat melirik ke arah datang-
nya suara batuk-batuk.
Sepasang mata si gadis mendadak membe-
liak besar. Bibirnya bergetar.
"Guru...!" seru si gadis tatkala dapat men-
genali siapa adanya orang yang keluarkan batuk.
Laki-laki berjubah biru bercaping hitam
yang dipanggil guru oleh si gadis tidak menyahut.
Malah sepasang matanya yang besar makin berki-
lat menatap tajam. Melihat hal ini tampaknya si
gadis sadar jika laki-laki tua itu sedang dilanda
marah besar. Maka setelah menarik napas pan-
jang untuk menguasai getaran dadanya si gadis
berkata.
"Guru.... Maafkan jika tempo hari aku me-
lakukan kesalahan. Aku bersedia kau hukum!"
Orang yang dipanggil guru tetap diam,
membuat si gadis salah tingkah dan tampak ke-
takutan. Dan tubuh si gadis sedikit bergetar
tatkala melihat orang tua itu melangkah mende-
kat ke arahnya.
"Guru...," ucap si gadis dengan nada sea-
kan tercekat ditenggorokan. "Maafkan muridmu.
Semua itu kulakukan karena aku ingin manusia
jahanam itu...."
Plakkk!
Tangan kanan orang tua itu berkelebat dan
menampar pipi si gadis hingga dia menghentikan
ucapannya. Bibirnya terlihat mengeluarkan darah
dan pecah-pecah. Si gadis lalu mengatupkan bi-
birnya rapat-rapat untuk menekan suara erangan
dan aliran darah. Kepalanya lantas menunduk
tak berani memandang pada orang tua di hada-
pannya
Si orang tua hembuskan napas panjang
seakan melepas rasa kecewa. Lalu terdengar dia
mendengus dan berkata.
"Aku benar-benar menyesal, Sakawuni! Se-
kian lama kudidik, ternyata yang kudapatkan da-
rimu hanyalah kekecewaan. Pikiran dan ucapan-
mu berubah! Dan yang lebih menyakitkan lagi,
kau telah menyelamatkan manusia bangsat itu
dari tanganku!" sejenak si orang tua hentikan
ucapannya. Dadanya terlihat bergetar. Setelah
hembuskan napas, kembali dia melanjutkan.
"Sakawuni! Tentunya kau masih ingat
sumpah yang kau ucapkan. Kau sudah siap me-
nerima akibat karena melanggar sumpahmu?!"
Si gadis yang ternyata adalah Sakawuni,
bekas murid Ageng Panangkaran yang kemudian
diangkat murid oleh tokoh sakti bergelar Manusia
Titisan Dewa, gegatkan rapat-rapat bibirnya. Dia
tahu apa yang akan dialaminya karena melanggar
sumpah yang pernah diucapkan sebelum diang-
kat murid oleh Manusia Titisan Dewa. Seperti di-
ceritakan dalam episode "Manusia Titisan Dewa",
Sakawuni harus melakukan sumpah darah sebe-
lum diangkat murid oleh Manusia Titisan Dewa.
Dan dalam sumpah itu, diikrarkan jika Sakawuni
menolak segala perintah gurunya, maka dia harus
rela mati di tangan gurunya sendiri. Padahal, se-
telah Sakawuni dididik sang guru, meski secara
tak langsung telah memerintahkan Sakawuni un-
tuk menghabisi Pendekar 108. Namun apa yang
terjadi selanjutnya sungguh membuat sang guru
marah besar. Karena saat itu sang guru telah ki-
rimkan serangan maut pada Pendekar 108 se-
dangkan saat itu sang pendekar sudah dalam
keadaan tak bisa mengelak. Justru pada saat itu-
lah Sakawuni datang dan menyelamatkan sang
pendekar.
"Guru...," kata Sakawuni dengan suara
perlahan dan kepala menunduk. "Aku ingat akan
sumpahku. Dan aku pun siap menerima huku-
man. Namun sebelum semua itu terjadi, perlu
kau ketahui bahwa tindakanku menyelamatkan
Pendekar Mata Keranjang semata-mata hanya ka-
rena aku ingin manusia jahanam itu tewas den-
gan tanganku sendiri!"
Kalau saat mulai berkata tadi suaranya pe-
lan dan kepala menunduk, kini gadis itu angkat
kepalanya. Parasnya membesi dengan muka me-
rah padam. Sepasang matanya merah dengan da-
gu terangkat.
"Sekarang kalau Guru masih menyalahkan
tindakanku, aku rela mati di tanganmu. Lakukan-
lah!" suaranya makin tinggi, bahkan sepasang
matanya balas menatap pandangan si orang tua
yang bukan lain adalah Manusia Titisan Dewa.
Mendengar kata-kata Sakawuni, Manusia
Titisan Dewa tercenung. Sebenarnya dalam hati
orang tua ini telah berkeputusan untuk tidak
menjatuhkan hukuman pada Sakawuni. Karena
dia berpikir bahwa Sakawuni masih bisa diguna-
kan untuk membantu rencananya yang ingin
mengacaukan rimba persilatan dengan jalan
membunuh beberapa tokoh persilatan. Kalaupun
dia menggantung Sakawuni, ini semata-mata un-
tuk menggertak gadis itu bahwa kata-katanya ti-
daklah hanya omong kosong belaka.
Sementara itu melihat sang guru masih
terdiam, Sakawuni kembali angkat bicara. "Guru!
Kuharap kau cepat lakukan apa yang kau ingin-
kan! Aku telah siap!"
Manusia Titisan Dewa melangkah satu tin-
dak mendekat. Sakawuni pejamkan sepasang ma-
tanya karena menduga jika sang guru benar-
benar akan melaksanakan niatnya. Tiba-tiba tan-
gan kanan Manusia Titisan Dewa bergerak.
Settt!
Bukkk!
Sakawuni merasakan angin bersiur dah-
syat. Dia makin rapatkan matanya. Namun gadis
ini terlengak, karena dia tak merasakan tangan
Manusia Titisan Dewa menghajar tubuhnya. Ju-
stru yang dirasakan adalah tukikan tubuhnya ke
bawah dan beradunya pantatnya dengan tanah.
Merasa dirinya terduduk di atas tanah, Sa-
kawuni segera buka kelopak matanya. "Apakah
dia membatalkan hukuman...? Atau ingin meng-
hukumku dengan tanpa digantung...?" batin Sakawuni seraya tengadahkan kepala memandangi
gurunya.
"Sakawuni! Kali ini hukuman itu kutunda.
Namun ingat, sekali lagi kau buat kesalahan, tia-
da lagi penundaan hukuman! Kau dengar?!"
Sakawuni membesarkan matanya. Dia me-
narik napas lega. Setelah membuka ikatan pada
kaki dan tangannya, dia menjura hormat dan
berkata.
"Terima kasih. Guru! Segala ucapmu ku-
dengar dan kuperhatikan!"
"Bagus! Sekarang aku harus pergi. Ada se-
suatu yang harus kukerjakan!" kata Manusia Titi-
san Dewa seraya balikkan tubuh hendak mening-
galkan tempat itu. Namun geraknya tertahan
tatkala Sakawuni berseru.
"Guru.... Tunggu!"
"Ada yang hendak kau utarakan...?!" Ma-
nusia Titisan Dewa berkata tanpa balikkan tu-
buh.
Sakawuni melangkah menjajari. Setelah
dekat dia langsung berkata.
"Guru! Kalau boleh kutahu, bagaimana aku
bisa berada di sini bersamamu? Bukankah saat
itu kau telah pergi dari tempat pertempuran...?!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum. "Me-
mang. Saat setelah kau roboh aku meninggalkan
tempat pertarungan. Namun sebenarnya aku tak
pergi ke mana-mana! Aku menyelinap dan ingin
tahu apa yang akan diperbuat Pendekar 108 ter-
hadapmu! Ternyata dia membawamu ke sebuah
lembah. Dan...," Manusia Titisan Dewa tidak me-
lanjutkan keterangannya. Malah kedua telapak
tangannya mengepal.
"Harap kau teruskan keteranganmu,
Guru!"
"Sungguh keterlaluan!'' kata Manusia Titi-
san Dewa sambil gelengkan kepala. "Pendekar ke-
parat itu ternyata hendak melampiaskan nafsu
bejatnya padamu! Untung aku segera bertindak
menyelamatkanmu, jika tidak aku tidak bisa ka-
takan apa yang akan menimpamu!"
"Jahanam busuk! Pendekar cabul!" teriak
Sakawuni dengan berapi-api seraya kepalkan tin-
junya. "Akan kukuliti tubuhnya! Akan kucincang
dagingnya!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum dan me-
narik napas panjang.
"Sakawuni. Kau telah tahu siapa sebenar-
nya Pendekar Mata Keranjang. Namun demikian,
kau harus tetap waspada dan berhati-hati! Setiap
orang yang gagal melaksanakan nafsunya, setiap
saat orang itu pasti mencari jalan untuk dapat
berhasil, walau dengan jalan apa pun! Ada lagi
yang hendak kau tanyakan...?" Manusia Titisan
Dewa pada akhirnya balik bertanya.
Yang ditanya tak menjawab. Dia sepertinya
masih mencoba menindih gemuruh amarah di
dadanya. Melihat hal ini Manusia Titisan Dewa
tersenyum, lalu tanpa berkata lagi dia berkelebat
meninggalkan Sakawuni.
"Guru...!" teriak Sakawuni. Namun Manu
sia Titisan Dewa telah lenyap ditelan kegelapan
malam.
"Hmm.... Pendekar 108! Tak ada hukuman
yang pantas kau alami selain hukuman mati! Do-
samu sudah setinggi gunung sedalam laut! Sung-
guh tak kusangka jika kau sekejam itu! Tunggu-
lah!" gumam Sakawuni sambil melangkah men-
dekati perapian. Namun baru saja hendak jong-
kok tiba-tiba terdengar suitan dua kali berturut-
turut. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat
dan tahu-tahu dua sosok manusia telah berdiri
sepuluh langkah di samping kanan kiri Sakawuni.
DELAPAN
SECEPAT kilat Sakawuni bangkit dan ba-
likkan tubuh. Sepasang matanya memandang ta-
jam satu persatu pada dua orang yang kini ada di
samping kanan kirinya.
Di samping kanan adalah seorang laki-laki
setengah baya. Mengenakan pakaian jubah kun-
ing terbuat dari kulit harimau. Pakaian dalamnya
berupa baju warna putih dengan celana juga war-
na putih. Paras wajahnya masih terlihat tampan
dengan kumis tipis dan rambut tertata rapi. Pada
kepalanya terikat kain warna kuning sementara di
jari-jarinya terlihat beberapa cincin emas.
Sedang orang di sebelah kiri adalah juga
seorang laki-laki yang usianya tak jauh beda den-
gan orang yang di sebelah kanan. Dia mengenakan jubah warna putih dengan pakaian dalam
warna hitam. Seperti halnya orang di sebelah ka-
nan, orang ini pun mengenakan beberapa cincin
di jari-jarinya. Wajahnya pun tampak masih tam-
pan. Hanya kumisnya lebat dengan berewok yang
terawat rapi.
"Hmm... melihat sikap dan pakaiannya,
mereka tampaknya orang-orang kaya. Siapa me-
reka dan mengapa malam-malam begini berada di
tempat sepi begini? Tapi meski orang kaya, mere-
ka sepertinya bukan orang baik-baik! Pandangan
mata mereka menjijikkan!" batin Sakawuni den-
gan alihkan pandangan dan buka suara.
"Siapa kalian?! Jangan coba-coba berniat
buruk jika masih sayang nyawa!"
Mendengar teguran kedua laki-laki seten-
gah baya ini bukannya segera jawab, sebaliknya
sepasang mata keduanya makin liar memandangi
tubuh Sakawuni. Apalagi saat itu Sakawuni ber-
diri membelakangi perapian, hingga cahaya pera-
pian itu menampakkan lekukan tubuhnya.
Melihat sikap kedua laki-laki ini, Sakawuni
geram. Namun untuk sementara ditahannya rasa
geram itu. Dia kembali menegur dengan suara
agak keras.
"Kurasa kalian tidak tuli dan gagu. Kenapa
tidak jawab pertanyaan orang? Atau kalian me-
mang minta digampar dulu baru bisa bunyi?!"
Tiba-tiba laki-laki yang di sebelah kanan
keluarkan suara tawa mengekeh panjang yang
kemudian disusul oleh laki-laki di sebelah kiri.
Setelah puas tertawa, laki-laki sebelah kanan
angkat tangannya seakan memberi isyarat pada
temannya jika dia akan bicara. Setelah laki-laki di
sebelah kiri mengangguk, orang di sebelah kanan
buka mulut.
"Gadis cantik! Ucapanmu benar. Kami ber-
dua memang tidak tuli juga tidak gagu. Dan per-
tanyaanmu akan kujawab. Aku adalah Ganda
Wulung. Sedang temanku itu Reksi Gumarang.
Harap kau tak salah duga. Kami tidak berniat bu-
ruk. Justru kami berdua punya niat baik pada-
mu! Bukankah begitu, Reksi?" seraya berkata la-
ki-laki yang menyebutkan namanya Ganda Wu-
lung ini anggukkan kepala ke arah Reksi Guma-
rang.
Reksi Gumarang langsung menyahut. "Be-
nar. Kami berniat mengajakmu bersenang-
senang. Apakah itu bukan berarti niat baik...?
Ha... ha... ha...!"
"Hmm.... Begitu? Katakan, bersenang-
senang apa yang kau maksud!" kata Sakawuni
meski hatinya dongkol dan tahu ke mana arah
pembicaraan orang.
Ganda Wulung dan Reksi Gumarang kem-
bali perdengarkan tawa mendengar ucapan Saka-
wuni. Reksi Gumarang usap-usap dagunya, se-
mentara Ganda Wulung elus-elus kumisnya sam-
bil mengangguk-angguk.
"Gadis cantik...," kali ini yang bicara Reksi
Gumarang. Suaranya terdengar agak serak parau.
"Soal bersenang-senang macam apa yang akan
kau nikmati tak usah diceritakan panjang lebar di
sini. Daripada untuk bercerita, lebih baik kita gu-
nakan saja untuk segera memulai acara berse-
nang-senang itu. Percayalah. Kau pasti akan me-
nyukainya!" habis berkata begitu, Reksi Guma-
rang melangkah mendekat. Melihat hal ini Ganda
Wulung pun tak tinggal diam. Laki-laki berjubah
kulit harimau ini ikut-ikutan melangkah mende-
kat.
"Manusia-manusia anjing! Tentunya kalian
berwatak seperti anjing. Akan kubersihkan otak
kalian agar seperti watak manusia!" desis Saka-
wuni tanpa bergerak dari tempatnya.
Mungkin karena tak sabar atau mengang-
gap remeh orang, tiba-tiba Reksi Gumarang me-
lompat ke depan. Tangan kanannya bergerak
hendak merengkuh tubuh gadis di depannya. Ta-
pi laki-laki ini terperanjat. Tangannya hanya me-
rengkuh angin. Bukan hanya sampai di situ, tu-
buhnya tiba-tiba terdorong ke belakang. Dan se-
belum laki-laki ini mengetahui apa yang terjadi
dengan dirinya, sebuah tendangan keras mengha-
jar bahunya. Laki-laki ini terputar dan jatuh ter-
banting di atas tanah! Bahkan kalau saja laki-laki
ini tidak segera menarik tubuhnya, niscaya kepa-
lanya akan menyusup ke perapian!
Mendapati apa yang terjadi pada Reksi
Gumarang, Ganda Wulung hentikan langkah.
Dahinya mengernyit dengan mata sedikit membe-
liak. Sementara Reksi Gumarang segera bangkit.
Namun laki-laki ini bukannya marah mendapati
dirinya terjengkang roboh. Justru seraya bangkit
laki-laki ini tertawa tergelak-gelak.
"Ganda Wulung! Rupanya malam ini kita
akan menyantap makanan yang geliatannya me-
nakjubkan! Makanan yang demikian inilah yang
paling kusuka. Selain bisa menghangatkan sua-
sana juga menggairahkan nafsu! Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba Reksi Gumarang berkelebat. Tan-
gannya kembali hendak merengkuh. Gerakan
tangannya kini lebih cepat. Namun lagi-lagi Reksi
Gumarang terlengak. Tangannya hanya mereng-
kuh angin! Tapi kali ini dia waspada. Ketika ter-
dengar berdesirnya suara angin, dia cepat me-
runduk. Dan tangan kirinya diangkat ke atas.
Bukkk!
Reksi Gumarang berseru tertahan. Tangan
kirinya mental balik dengan tubuh terdorong ke
belakang. Dan ketika dia melirik, dia membelalak
hampir tak percaya. Tangannya menggembung
dan berwarna merah!
"Keparat!" seru Reksi Gumarang dengan
mata memandang tajam pada Sakawuni yang ma-
sih tampak berdiri sambil tersenyum sinis. Paras
wajah laki-laki ini berubah merah padam. Namun
demikian, diam-diam dalam hatinya maklum jika
gadis muda di hadapannya tidaklah seperti apa
yang semula diduganya. Sementara itu Ganda
Wulung memperhatikan dengan lebih seksama.
"Siapa gadis ini sebenarnya? Dia tidak bisa
dianggap remeh!"
"Siapa kau sebenarnya...?!" tiba-tiba Reksi
Gumarang membentak.
Yang dibentak bukannya segera menjawab.
Melainkan tertawa berderai-derai hingga dadanya
yang membusung terlihat naik turun.
Namun gerakan naik turun dada Sakawuni
tidak membuat Reksi Gumarang terpesona seperti
semula. Sepasang matanya memang membelalak
besar, namun bukan karena melihat dada Saka-
wuni, melainkan karena marah! Rencananya se-
mula yang ingin mengajak Sakawuni bersenang-
senang seakan hilang lenyap, berganti ingin me-
nundukkan Sakawuni.
"Laki-laki busuk!" teriak Sakawuni setelah
agak lama tertawa. "Apakah kau selalu menanya-
kan siapa mangsamu jika ingin bersenang-
senang?!"
Karena yang ditanya tidak ada yang mem-
buka mulut untuk menjawab, akhirnya Sakawuni
melanjutkan ucapannya.
"Kalau kalian tak mau jawab tak apa. Tapi
perlu kalian ketahui jika kalian memang selalu
ingin tahu mangsamu, aku tak keberatan membe-
ritahu! Dengar baik-baik. Aku adalah Pemangsa
Malam! Pencari nyawa laki-laki yang suka keluyu-
ran malam-malam! Hik... hik... hik...!"
"Bedebah setan siapa namamu! Kau akan
kubawa bersenang-senang setelah tubuhmu jadi
mayat!" kata Reksi Gumarang setengah berteriak.
Sementara Ganda Wulung terlihat diam saja, na-
mun diam-diam laki-laki ini kerahkan tenaga da-
lam. Dan diam-diam pula kedua tangannya ditarik ke belakang siap lancarkan pukulan.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar orang
melantunkan tembang syair.
Malam merangkak makin jauh.
Sang pemangsa malam telah kepakkan
sayap untuk menembusi kegelapan watak manu-
sia.
Sungguh jelek nasib manusia malam.
Harus kembali pulang dengan nyawa
menggantung di awang-awang!
Ketiga orang serentak palingkan wajah
masing-masing ke arah datangnya suara tembang
syair. Di belakang pohon, terlindung oleh kegela-
pan malam yang tidak terbias pancaran cahaya
perapian terlihat sesosok tubuh berdiri tegak den-
gan kepala tengadah. Hanya jubah besarnya yang
berwarna hitam bergaris-garis putih tampak ber-
kibar-kibar diterpa angin malam.
"Penyair geblek! Hanya kuingatkan sekali
padamu. Lekas tinggalkan tempat ini!" teriak Rek-
si Gumarang sambil alihkan kembali pandangan-
nya pada Sakawuni. Sementara Ganda Wulung
tampak menyipitkan sepasang matanya. Karena
dia berada lebih dekat dengan sosok yang menga-
lunkan tembang syair, dia lebih jelas bisa melihat
paras wajah orang di belakang pohon.
"Hmm.... Aku samar-samar sepertinya per-
nah bertemu dengan orang ini..." batin Ganda
Wulung. Matanya sekali lagi ditajamkan.
"Heran. Aku merasa yakin pernah menge-
nali wajahnya. Tapi aku lupa di mana.... Ah,
mungkin hanya persamaan wajah...," kata Ganda
Wulung pada akhirnya menenteramkan diri tatka-
la dia gagal mengingat-ingat.
"Siapa lagi manusia pendatang ini? Kalau
menilik nada suaranya, jelas jika sang penyair ini
mempunyai ilmu. Juga melihat kedatangannya
yang tanpa bisa kusiasati, mengisyaratkan bahwa
dia tidak bisa dipandang remeh! Hm.... Perjalanan
belum dimulai sudah ada penghalang...," Saka-
wuni membatin seraya melirik pada Ganda Wu-
lung.
"Laki-laki ini tampak sedikit berubah. Se-
pertinya dia mengenali orang yang baru datang.
Adakah mereka ini satu komplotan...? Peduli se-
tan! Siapa pun mereka adanya, akan kubikin
mampus jika bertindak kurang ajar!"
Selagi ketiga orang ini tidak ada yang buka
suara, sosok di belakang pohon kembali memper-
dengarkan alunan tembang syair.
Malam makin gelap pekat.
Darah telah menggelegak ingin segera tum-
pah membasahi bumi.
Penyair Berdarah inginkan darah manusia-
manusia serakah.
Reksi Gumarang, Ganda Wulung! Malam ka-
lian telah berakhir!
Reksi Gumarang dan Ganda Wulung terse
dak leher masing-masing. Darah kedua orang ini
laksana sirap seketika. Reksi Gumarang alihkan
pandangannya lagi ke arah belakang pohon den-
gan kaki tersurut dua langkah. Sedangkan Ganda
Wulung ternganga sambil geser kakinya ke samp-
ing, seakan ingin memperhatikan lebih jelas wa-
jah orang. Tidak seperti Reksi Gumarang yang
meski terkejut tidak menampakkan paras takut,
sebaliknya Ganda Wulung jelas menunjukkan
raut ketakutan. Sementara Sakawuni sepertinya
acuh dengan rasa terkejut dua orang di samping-
nya. Dia berpikir tak ada untungnya dengan men-
getahui perasaan orang. Meski dia dapat mendu-
ga bahwa ada ganjalan antara dua orang di sam-
pingnya dengan sang pendatang.
Selagi Reksi Gumarang dan Ganda Wulung
dilanda rasa terkejut, sosok di belakang pohon lu-
ruskan kepalanya, merapikan jubahnya lalu me-
langkah keluar dari balik bayangan pohon.
Dia adalah seorang pemuda bertubuh te-
gap. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai. Se-
pasang matanya tajam dengan dagu kokoh. Dekat
perapian sang pemuda yang bukan lain adalah
Manding Jayalodra alias Penyair Berdarah henti-
kan langkah. Sepasang matanya menatap satu
persatu pada Reksi Gumarang serta Ganda Wu-
lung. Matanya berkilat merah. Pelipisnya berge-
rak-gerak. Jelas bahwa dia sedang marah.
Jika Ganda Wulung masih sedikit banyak
bisa mengenali sang pemuda meski tak tahu sia-
pa, tidak demikian halnya dengan Reksi Gumarang. Hingga begitu Penyair Berdarah hentikan
langkah, dia segera membentak.
"Penyair edan! Siapa kau...?! Dan dari ma-
na kau tahu siapa adanya kami?!"
Penyair Berdarah memandang pada juru-
san lain. Tawanya tiba-tiba meledak. Dan bersa-
maan dengan itu, ketiga orang di hadapan Penyair
Berdarah surutkan langkah masing-masing ke be-
lakang. Bukan hanya karena terkejut mendengar
ledakan tawa orang yang membuat telinga ber-
dengung sakit, melainkan juga karena tanah pija-
kan mereka bergetar. Hingga kalau masing-
masing orang tidak segera kerahkan tenaga da-
lam, bukan tak mungkin akan goyah dan jatuh
terduduk! Dari sini ketiga orang jadi maklum,
bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang
berilmu tinggi.
"Reksi Gumarang, Ganda Wulung! Buka
mata kalian lebar-lebar! Kalau aku dapat menge-
nali siapa kalian, orang tolol jika kalian tak men-
genalku!" kata Penyair Berdarah begitu suara ta-
wanya terhenti.
Untuk beberapa saat baik Reksi Gumarang
maupun Ganda Wulung memperhatikan sekali la-
gi pada pemuda di hadapan mereka. Namun ke-
duanya tampak tidak bisa mengingat apalagi
mengenali si pemuda,
"Kau tak usah berteka-teki! Katakan siapa
kau adanya!" sahut Reksi Gumarang dengan sua-
ra tinggi. Rasa marah laki-laki ini makin bertumpuk.
"Baiklah kalau itu maumu." akhirnya Pe-
nyair Berdarah berkata. "Untuk menyegarkan
otak kalian yang buntu akan kusebutkan sebuah
nama. Kau ingat dengan seorang bernama Can-
drik Raturandang?!"
Serentak Reksi Gumarang dan Ganda Wu-
lung tercengang. Kedua orang ini memang men-
genal siapa adanya orang yang baru disebut na-
manya oleh sang pemuda. Candrik Raturandang
adalah adik kandung mendiang Panglima Perang
Kerajaan Dhaha yang tewas digantung karena
hendak mengadakan makar terhadap kerajaan.
Sedangkan Candrik Raturandang akhirnya juga
dihukum gantung karena kedapatan menyembu-
nyikan anak bungsu sang panglima.
"Candrik Raturandang.... Hmm..., berarti
pemuda ini adalah anak bungsu sang panglima!
Manding Jayalodra...,"" gumam Reksi Gumarang
sambil busungkan dada. Lalu berkata.
"Ganda Wulung. Rezeki kita besar sekali
malam ini! Selain dapat menikmati santapan ga-
dis cantik, masih ditambah hadiah kepingan
emas dari Sri Baginda. Pemuda inilah yang sela-
ma ini dicari-cari kerajaan!"
Ganda Wulung yang telah juga dapat me-
nebak siapa adanya pemuda tertawa pendek. "Ka-
lau kita bisa menyeret pamannya, apa susahnya
menyeret keponakannya...?!"
"Manusia-manusia keparat! Jangan bermu-
lut besar! Darah kalian akan kutumpahkan ma-
lam ini sebagai imbalan atas kelakuan kalian pada pamanku!" Penyair Berdarah membentak den-
gan kacak pinggang. Mulutnya mengembung lalu
memuntahkan ludah ke tanah.
Melihat suasana tegang, Sakawuni perla-
han-la-an melangkah mundur. Dan begitu Saka-
wuni berada agak jauh, tiba-tiba Penyair Berda-
rah melompat ke depan. Reksi Gumarang hanya
melihat kelebatan serta berdesirnya angin. Tahu-
tahu sepasang tangan Penyair Berdarah telah
bergerak menghantam dan kini berada satu jeng-
kal di sebelah kanan kiri kepalanya.
Dengan menahan rasa sakit serta sadar
bahaya maut mengancam dirinya, Reksi Guma-
rang cepat angkat tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu keluarkan sua-
ra keras. Reksi Gumarang terpekik. Sambil
menghindar dengan melompat mundur, laki-laki
ini hantamkan kaki kanannya. Penyair Berdarah
sibakkan jubahnya. Kepalanya bergerak merun-
duk. Terjangan kaki lewat sejengkal di atas kepa-
lanya. Saat itulah Penyair Berdarah sapukan ka-
kinya menyusur tanah menghajar betis Reksi
Gumarang yang digunakan sebagai tumpuan tu-
buhnya. Kaki kiri Reksi Gumarang mencelat dan
ini mengakibatkan tubuhnya terbanting deras
dengan posisi miring.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Pe-
nyair Berdarah. Kaki kirinya segera diangkat dan
disapukan pada kepala Reksi Gumarang. Namun
bersamaan dengan itu Ganda Wulung berteriak
da pamanku!" Penyair Berdarah membentak den-
gan kacak pinggang. Mulutnya mengembung lalu
memuntahkan ludah ke tanah.
Melihat suasana tegang, Sakawuni perla-
han-la-an melangkah mundur. Dan begitu Saka-
wuni berada agak jauh, tiba-tiba Penyair Berda-
rah melompat ke depan. Reksi Gumarang hanya
melihat kelebatan serta berdesirnya angin. Tahu-
tahu sepasang tangan Penyair Berdarah telah
bergerak menghantam dan kini berada satu jeng-
kal di sebelah kanan kiri kepalanya.
Dengan menahan rasa sakit serta sadar
bahaya maut mengancam dirinya, Reksi Guma-
rang cepat angkat tangannya.
Prakkk! Prakkk!
Dua pasang tangan beradu keluarkan sua-
ra keras. Reksi Gumarang terpekik. Sambil
menghindar dengan melompat mundur, laki-laki
ini hantamkan kaki kanannya. Penyair Berdarah
sibakkan jubahnya. Kepalanya bergerak merun-
duk. Terjangan kaki lewat sejengkal di atas kepa-
lanya. Saat itulah Penyair Berdarah sapukan ka-
kinya menyusur tanah menghajar betis Reksi
Gumarang yang digunakan sebagai tumpuan tu-
buhnya. Kaki kiri Reksi Gumarang mencelat dan
ini mengakibatkan tubuhnya terbanting deras
dengan posisi miring.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Pe-
nyair Berdarah. Kaki kirinya segera diangkat dan
disapukan pada kepala Reksi Gumarang. Namun
bersamaan dengan itu Ganda Wulung berteriak
dan berkelebat.
Penyair Berdarah urungkan niat menghan-
tam kepala Reksi Gumarang namun kakinya tetap
diterjangkan dengan sedikit diangkat lebih tinggi
hingga lewat di atas kepala Reksi Gumarang. Lalu
tubuhnya diputar dan kakinya diteruskan ke de-
pan.
Bukkk! Bukkk!
Karena tak menyangka Penyair Berdarah
akan membuat gerakan demikian, Ganda Wulung
yang menyongsong dengan tangan di atas kepala
tampak terkejut. Tangannya segera dihantamkan
ke bawah. Namun yang dihantamnya hanyalah
udara kosong, karena ternyata lawan telah tarik
pulang kakinya sebatas lutut. Dan begitu tangan-
nya lolos menghajar sasaran, lawan telah mele-
jangkan kembali kakinya. Ganda Wulung berseru
tertahan. Tubuhnya mencelat ke belakang dan ja-
tuh bergedebukan ke atas tanah.
Pada saat Penyair Berdarah melejangkan
kaki kirinya menyongsong Ganda Wulung, Reksi
Gumarang melirik. Kesempatan ini tak disia-
siakan laki-laki berjubah putih ini. Kakinya cepat
bergerak menghajar kaki kanan Penyair Berda-
rah. Karena pusat bobot tubuhnya terhajar,
membuat tubuh Penyair Berdarah langsung ter-
banting!
Melihat hal ini Reksi Gumarang langsung
bangkit. Namun baru saja hendak tegak, Penyair
Berdarah hantamkan kedua tangannya.
Angin dahsyat mengeluarkan suara seperti
bunyi-bunyian rebab melesat cepat ke arah Reksi
Gumarang. Suasana berubah redup meski di situ
ada cahaya perapian, dan hawa panas mengham-
par! Penyair Berdarah telah lancarkan pukulan
sakti 'Suara Kematian'!
Di depannya, Reksi Gumarang terkesima.
Namun sudah sangat terlambat untuk menghin-
dar. Hingga tanpa bisa dielakkan lagi, pukulan
Penyair Berdarah telah menghajar tubuhnya. So-
sok laki-laki berjubah putih ini yang ternyata ada-
lah pengawal mendiang Panglima Perang Kerajaan
Dhaha mencelat hingga beberapa tombak ke be-
lakang dan terhempas dengan kepala terlebih da-
hulu. Sejenak tubuhnya terlihat menggelepar, lalu
sesaat kemudian diam kaku dengan pakaian han-
gus dan tubuh berubah menjadi hitam legam!
Mendapati hal yang menimpa Reksi Guma-
rang, Ganda Wulung yang sejak semula telah je-
rih makin kecut. Seraya merayap bangkit laki-laki
ini melirik kanan kiri. Dan tanpa pikir panjang la-
gi dia berkelebat meloloskan diri. Namun bersa-
maan dengan itu, tiba-tiba suasana di tempat itu
berubah sangat dingin, lalu berubah lagi panas
menyengat. Hal ini membuat tengkuk Ganda Wu-
lung merinding, namun karena dia telah men-
gambil keputusan melarikan diri, ia teruskan saja
berkelebat.
Saat itulah Ganda Wulung merasakan
punggungnya terhantam benda keras. Tubuhnya
langsung terjungkal menggebrak tanah! Sebentar
terdengar erangan dari mulutnya, namun erangan
itu tiba-tiba terputus bersamaan dengan melayangnya nyawa!
SEMBILAN
SAKAWUNI turunkan kedua tangannya.
Tebaran hawa sangat dingin lalu panas serta an-
gin dahsyat yang tidak mengeluarkan suara yang
melesat dari kedua tangan Sakawuni inilah yang
memutuskan nyawa Ganda Wulung. Sakawuni
ternyata telah lancarkan pukulan sakti
'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.
Sakawuni menunggu sebentar. Setelah ya-
kin Ganda Wulung tewas, dia putar tubuh dan
meninggalkan tempat itu. Bibirnya tampak terse-
nyum sinis.
"Tunggu!"
Mendadak satu seruan agak keras terden-
gar di belakangnya. Sakawuni segera berpaling.
Penyair Berdarah tampak telah berdiri dan me-
mandang ke arahnya dengan pandangan sulit di-
artikan.
"Hm.... Apa dia juga punya maksud sama
seperti dua laki-laki tadi?" batin Sakawuni lalu
bertanya.
"Ada apa...?!"
"Kalau tak keberatan, boleh aku tahu siapa
kau sebenarnya?!'
"Hm.... Dua laki-laki tadi mengatakan
bahwa dia adalah buron kerajaan! Ah, itu bukan
urusanku. Yang penting dia tak membuat masa-
lah denganku! Dan mendengar nada bicaranya
dia sepertinya tak punya niatan buruk! Wajahnya
juga tampan...," Sakawuni sejenak merasa terke-
sima. Dadanya bergetar, apalagi tatkala bola ma-
tanya bertemu dengan mata pemuda di hadapan-
nya. Namun sesaat kemudian kepalanya mengge-
leng perlahan.
"Hm.... Gadis ini berparas cantik. Bentuk
tubuhnya siapa pun akan tergoda jika meman-
dangnya. Ilmunya juga tak bisa dianggap remeh.
Gadis macam inilah yang dimaksud oleh Guru....
Aku harus dapat membujuknya...."
"Gadis cantik! Kau tak usah berprasangka
buruk padaku. Aku bukannya macam dua laki-
laki jahanam itu!'
Sakawuni anggukkan kepalanya. Meski dia
sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat itu,
namun ada rasa aneh yang membuatnya mengu-
rungkan niat. Malah dia balik bertanya.
"Kau mengenali dua laki-laki jahanam itu.
Siapa mereka? Dan kau sendiri siapa?"
"Hmm.... Apakah aku harus berterus te-
rang? Ah, tidak. Masa laluku harus kukubur da-
lam-dalam. Aku sekarang adalah Penyair Berda-
rah. Manusia yang akan menguasai jagat persila-
tan!" lalu Penyair Berdarah berkata.
"Mereka berdua adalah para pemberontak
Kerajaan Dhaha. Mereka adalah manusia-
manusia yang ikut serta menyeret salah seorang
pamanku ke tiang gantungan. Mereka menebar
fitnah hingga pamanku harus tewas di tiang gan-
tungan. Mereka pantas menemui aja!!" saat ber-
kata, paras wajah Penyair Berdarah tampak be-
rubah merah padam. Setelah diam beberapa saat
dia melanjutkan.
"Aku sendiri tak tahu apa nama yang dibe-
rikan orangtuaku. Karena ketika umurku tiga ta-
hun, kedua orangtuaku telah meninggal. Hanya
karena aku senang dengan tembang-tembang
syair, orang-orang memanggilku dengan Penyair
Berdarah! Aku sendiri heran, kenapa orang-orang
memanggilku demikian. Padahal aku paling benci
dengan darah!"
Sakawuni mendengarkan penuturan Pe-
nyair Berdarah dengan seksama. Bahkan tak ja-
rang sepasang matanya mencuri pandang.
"Perjalanan hidup yang memilukan...," de-
sis Sakawuni.
"Aku telah mengatakan siapa aku sebenar-
nya. Apakah kau masih keberatan mengatakan
siapa adanya dirimu?!" tiba-tiba Penyair Berdarah
ajukan pertanyaan.
Sakawuni tampak terkejut. Namun gadis
ini segera bisa kuasai diri dengan sedikit terse-
nyum.
"Meski ceritanya mungkin benar, tapi dia
masih menyembunyikan sesuatu. Dia tak menye-
butkan nama.... Untuk sementara aku pun harus
tidak berterus terang padanya!" pikir Sakawuni.
"Penyair Berdarah. Seperti halnya dirimu,
aku pun demikian!"
Penyair Berdarah kernyitkan kening. Sepa-
sang matanya sedikit membesar. Bukan meman-
dang pada wajah Sakawuni, melainkan ke arah
dada dan pinggulnya! Tapi begitu Sakawuni meli-
rik, Penyair Berdarah cepat alihkan pandangan-
nya dan berkata.
"Sama dengan diriku? Apa maksudmu...?!"
"Kedua orangtuaku meninggal saat aku
masih bayi. Konon, karena mereka belum membe-
ri nama, sampai besar pun aku tidak mempunyai
nama! Apalagi gelar! Tapi aku tak kecewa dengan
hal itu!"
"Tapi kau tadi kudengar menyebutkan ge-
lar!" sahut Penyair Berdarah.
Sakawuni tertawa perlahan, memperli-
hatkan giginya yang putih rata serta bercahaya.
Seraya alihkan pandangan pada jurusan lain dia
berucap.
"Aku hanya asal omong saja! Karena mere-
ka berniat buruk padaku!'"
Penyair Berdarah memandang lekat-lekat.
Bibirnya ikut menyungging senyum. "Kalau kau
tak mau sebutkan nama atau gelar, tak apa-apa.
Namun kalau kau tidak keberatan bagaimana ka-
lau kau kuberi gelar Bidadari Malam? Gelar itu
layak kau sandang, karena parasmu cantik seper-
ti bidadari. Dan tak merasa takut meski sendirian
di tengah malam...."
Mendengar ucapan Penyair Berdarah, Sa-
kawuni tertawa panjang. Namun diam-diam dia
merasa senang. Hingga dia tak menolak dengan
isyarat gelengan kepala atau berkata terus terang.
Dada gadis ini makin dibuncah oleh perasaan
yang sulit diartikan.
Hal demikian tampaknya tak luput dari
pandangan cerdik otak Penyair Berdarah. Dalam
hati dia berkata. "Hm.... Di mana-mana perem-
puan pasti akan lupa hatinya jika dipuji. Aku ha-
rus bisa membuatnya melayang-layang dengan
pujian, lalu jatuh dalam rengkuhanku!" Dia lalu
buka mulut hendak bicara. Namun diurungkan
ketika Sakawuni telah kembali berucap.
"Sebenarnya aku tak suka dengan gelar,
namun jika kau memberiku, aku tak menolak!"
habis berkata dia tengadah. Matanya menembusi
kegelapan malam. Tiba-tiba dia berseru seakan
baru sadar.
"Ah, malam sudah hampir pagi. Tak terasa
sudah lama kita bicara. Aku harus segera pergi!"
Penyair Berdarah terkejut. Namun segera
disembunyikan di balik senyumnya. "Bidadari
Malam Tampaknya kau tergesa-gesa. Apakah kau
punya masalah...? Sebagai sahabat, jika kau mau
memberitahu, mungkin aku bisa membantu. Se-
tidak-tidaknya bisa menjadi teman seperjala-
nan...."
"Terima kasih atas perhatianmu. Aku me-
mang punya urusan. Tapi urusan itu bisa kusele-
saikan sendiri!"
Penyair Berdarah tunjukkan wajah mu-
rung. Napasnya berhembus panjang membuat
Sakawuni hampir urungkan niat untuk pergi.
Namun begitu teringat pada Pendekar Mata Ke-
ranjang, dia kuatkan hati untuk segera pergi. Tapi
entah karena tidak mau membuat Penyair Berda-
rah tersinggung dengan penolakannya, dia berka-
ta.
"Maaf. Bukannya aku menolak budi baik-
mu untuk membantuku. Namun karena urusan-
ku begitu penting dan aku rasa bisa menyelesai-
kannya sendiri maka untuk kali ini aku belum
membutuhkan bantuan orang lain!"
"Urusan apa sebenarnya?!" tanya Penyair
Berdarah.
"Urusan ini pun tak bisa kukatakan pada-
mu! Hmm.... Kau sendiri hendak ke mana?" Sa-
kawuni balik ajukan tanya dengan maksud men-
galihkan pembicaraan.
"Aku sebenarnya dalam perjalanan mencari
seseorang. Dia seorang pemuda bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108!"
Terkejutlah Sakawuni mendengar ucapan
Penyair Berdarah. Langkahnya tersurut satu tin-
dak ke belakang. Dipandanginya pemuda di ha-
dapannya dengan seksama seakan baru bertemu.
"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108?!" desis Sakawuni menegaskan ucapan
Penyair Berdarah dengan tak sadar.
"Betul! Pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-
ranjang 108! Kau kenal dengannya!?" ujar Penyair
Berdarah dengan kening berkerut. Melihat ting-
kah Sakawuni, dia menjadi curiga. Namun dalam
hati dia telah berkeputusan jika Sakawuni mengatakan sebagai sahabat Pendekar 108, dia akan
mengatakan sesuatu yang baik tentang pendekar
itu. Jika sebaliknya, maka kesempatan itu tak
akan disia-siakan.
"Kau berubah. Kau kenal dengan pemuda
itu?! ulang Penyair Berdarah tatkala ditunggu
agak lama Sakawuni tidak juga menyahut uca-
pannya.
"Ada urusan apa antara pemuda ini dengan
pendekar keparat itu? Atau dia teman pendekar
jahanam itu...? Hmm.... Aku harus segera menca-
ri manusia keparat cabul itu!" putus Sakawuni.
Kepalanya lalu menggeleng dan berkata.
"Aku memang pernah mendengar nama
pemuda yang kau sebut. Namun aku belum per-
nah bertemu apalagi mengenalnya! Kalau boleh
tahu, ada urusan apa kau dengan pemuda itu?
Teman atau...," Sakawuni tidak melanjutkan uca-
pannya karena saat itu Penyair Berdarah telah
memperdengarkan suara tawa.
"Bidadari Malam. Dia bukan teman dan
bukan apa-apaku. Urusanku dengannya pun ti-
dak baik diketahui orang lain. Hanya saja aku
akan mencarinya sampai ketemu!"
"Hmm.... Begitu? Kau punya urusan, aku
pun demikian. Moga-moga kita nanti bisa jumpa
lagi dengan tanpa ada urusan dengan orang lain.
Aku harus pergi sekarang!" habis berkata begitu,
Sakawuni putar tubuh dan meninggalkan Penyair
Berdarah.
"Hmm.... Aku curiga pada gadis itu. Aku
rasa dia mengenal Pendekar 108. Akan kuikuti ke
mana dia pergi. Dan aku ingin tahu apa urusan
yang dihadapinya! Aku telah menemukan orang
yang kukira dapat melicinkan jalanku. Ini tak bo-
leh kusia-siakan begitu saja...," berpikir sampai di
situ, Penyair Berdarah segera pula berkelebat
menembus kepekatan malam menyusul arah ke-
lebatan Sakawuni.
Di depan, pada suatu tempat Sakawuni
hentikan larinya. Sejenak kepalanya berputar,
matanya liar menyapu berkeliling. Kepalanya lan-
tas tengadah.
"Penyair Berdarah. Siapa pun dia yang pas-
ti dia berilmu tinggi. Dan menilik nada suaranya,
dia memang bukan teman Pendekar 108. Malah
kulihat dia menyimpan marah pada pemuda itu.
Hm.... Urusan apa sebenarnya? Ah, kenapa aku
memikirkan hal itu? Urusanku adalah urusanku.
Masalah dia biarlah diurus sendiri! Yang penting,
pendekar jahanam itu harus tewas di tanganku!"
sejenak gadis ini bimbang, kepalanya lurus dan
berputar. Matanya menebar. Namun sesaat ke-
mudian dia berkelebat lagi.
Di bawah pohon besar, Penyair Berdarah
bangkit. Setelah mengedarkan pandangan dia
pun berkelebat ke arah yang diambil Sakawuni.
SEPULUH
SEBUAH bayangan berkelebat menembus
kerapatan semak belukar dan jajaran pohon-
pohon besar. Meski malam menambah kepekatan
suasana, namun bayangan ini tampaknya enak
saja berkelebat. Bahkan tak lama kemudian
bayangannya lenyap laksana ditelan bumi. Dan
tahu-tahu muncul di bawah pohon yang tidak be-
gitu besar dengan punggung bersandar. Kepa-
lanya ditengadahkan, tangan kanannya lalu ber-
gerak mengusap keringat yang membasahi da-
hinya. Sepasang matanya lalu memandang berke-
liling. Sosok ini ternyata seorang pemuda berpa-
ras tampan. Tubuhnya tegap mengenakan pa-
kaian warna hijau yang dilapis dengan baju kun-
ing lengan panjang. Rambutnya panjang dan di-
kuncir ekor kuda.
"Sialan! Ke mana perginya manusia aneh
itu? Hm.... Manusia macam dia bukan saja mod-
elnya yang mengherankan serta menggelikan.
Namun sifatnya juga membingungkan!" sang pe-
muda berpikir.
"Beberapa waktu silam dia tiba-tiba menga-
jarkan ilmu padaku. Lalu tiba-tiba saja pergi tan-
pa omong-omong lagi. Apa aku melakukan suatu
kesalahan? Wah, bisa pusing sendiri memikirkan
hal-hal mengenai orang aneh itu!"
Tiba-tiba mata sang pemuda yang bukan
lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
sedikit membelalak memandangi ke jurusan agak
jauh. Tangannya ditepukkan pada keningnya.
"Ada asap di sebelah sana. Kata orang tua,
ada asap pasti ada api! Menurutku, ada api pasti
ada orang yang membakar! Hm.... Mungkin ma-
nusia arak yang membuat api itu. Mungkin dia
kedinginan dan berapi-api sambil menenggak
araknya! Aku akan ke sana!"
Pendekar 108 segera berkelebat menuju
arah terlihatnya asap. Di bawah pohon besar,
murid Wong Agung ini menemukan perapian yang
masih menyala. Namun dia tampak kecewa, kare-
na orang yang diduganya tidak ada di tempat itu.
Tapi karena udara dingin, dia melangkah mende-
kati perapian.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sepasang
matanya melihat sesuatu menggeletak sepuluh
tombak di sebelah kanan perapian.
"Apakah Setan Arak...? Tapi kenapa tidur
melingkar seperti cacing tanah? Manusia itu me-
mang amburadul!" bisik Aji seraya melangkah
mendekat.
"Bukan. Bukan Setan Arak. Tapi orang
lain. Darah terlihat menggenang. Tubuhnya han-
gus. Dia telah mati..." desis Pendekar 108 begitu
sampai di hadapan sesuatu yang menggeletak.
"Darahnya belum membeku. Dan perapian
belum padam. Berarti hal ini baru saja terjadi.
Hmm.... Siapa yang melakukan hal ini...?!' sepa-
sang mata Pendekar 108 lantas menebar berkelil-
ing. Dan matanya kembali melotot tatkala menangkap sosok tubuh yang juga menggeletak di
balik bayangan batang pohon. Sekali melompat
dia telah berada di hadapan sosok yang ternyata
juga sudah tewas.
"Yang ini tidak mengeluarkan darah. Tapi
punggungnya jebol! Hm.... Siapa pun yang mela-
kukan pasti bukan orang sembarangan...," gu-
mam Pendekar 108 sambil kembali mengedarkan
pandangan. Dia khawatir masih ada lagi mayat,
atau orang yang melakukan pembunuhan. Na-
mun hingga sepasang matanya lelah mencari dia
tidak menemukan orang lagi.
"Hm.... Apa pun urusan orang-orang ini
aku tak peduli. Aku akan menyelidiki siapa pela-
kunya. Jangan-jangan dia akan melakukan pem-
bunuhan-pembunuhan. Ini akan mengacaukan
suasana!" dia kembali melangkah mendekati pe-
rapian. Matanya jelalatan seakan-akan mencari
sesuatu.
"Aku tak berhasil menemukan tanda-tanda
yang menjurus pada sang pelaku. Tapi yang pasti
dia belum jauh dari sini. Aku akan coba menyu-
sul!" Namun sesaat dia tampak bimbang tentang
arah mana yang harus diambil. Setelah memikir-
kan sejenak, dia memutuskan mengambil arah
utara. Dan tanpa disadarinya ternyata arah itu
adalah arah ke mana Sakawuni dan Penyair Ber-
darah berkelebat.
***
Kali ini Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
lari dengan kerahkan segenap tenaga dalamnya.
Hingga tak lama kemudian terlihat sekujur tu-
buhnya telah basah oleh keringat meski saat itu
dingin malam menghampar!
Pada suatu tempat, tiba-tiba murid Wong
Agung menangkap kelebatan bayangan. Merasa
bahwa itu adalah orang yang hendak diselidiki,
dia tambah tenaga dalamnya. Hingga sosoknya
seakan lenyap. Dibantu oleh suasana gelap serta
kerapatan semak belukar, gerakan Pendekar 108
tampak lebih leluasa.
Ketika dia benar-benar telah dapat me-
nangkap sosok bayangan yang ada tak jauh di
depannya, Pendekar Mata Keranjang makin mem-
percepat larinya.
"Aku harus tahu siapa adanya orang. Be-
rarti aku harus mendahuluinya. Setidak-tidaknya
dapat menjajari...," bisiknya seraya putar tubuh
setengah lingkaran dan berkelebat lewat jalan
memutar. Dia berpikir, dengan jalan berputar, dia
dapat mendahului orang di depannya dan dapat
terlebih dahulu mengetahui siapa adanya orang
yang dikuntit.
Setelah agak jauh dan merasa telah berada
di depan orang yang dikuntit Aji memotong jalan.
Dan dugaan murid dari Karang Langit ini pun ti-
dak meleset. Karena sesaat kemudian dia telah
berada di depan orang yang diikuti. Namun beta-
pa terkejutnya murid Wong Agung ini. Matanya
sekali lagi dipertajam. Keningnya mengernyit.
"Malam memang sangat gelap. Namun ma-
taku tidak bisa ditipu. Orang yang kuikuti tadi
dapat kupastikan seorang laki-laki. Tapi yang
berkelebat kali ini pasti orang perempuan. Belum
lagi harum tubuhnya dapat kurasakan. Yang tadi
baunya sengak!"
Seraya membatin Pendekar 108 terus men-
gikuti bayangan di depannya. "Hmm.... Menilik
bau harum tubuhnya, setengah yakin jika perem-
puan itu berparas cantik.... Tapi.... Jangan-
jangan dia seorang kuntilanak. Tadi kulihat laki-
laki sekarang perempuan. Bukankah hantu kun-
tilanak bisa merubah-rubah wujud?" kuduk Pen-
dekar Mata Keranjang jadi dingin.
"Sebaiknya kubuktikan dulu bahwa me-
mang ada dua orang yang sedang berlari. Satu la-
ki-laki dan satu perempuan!" pikir Aji sambil ber-
paling ke belakang. Dan ketika samar-samar ma-
tanya dapat menangkap kelebatan sebuah bayan-
gan di belakangnya, Pendekar 108 jadi lega.
"Berarti dia bukan kuntilanak. Dan aku
curiga jangan-jangan laki-laki itulah yang mela-
kukan pembunuhan. Sekarang sedang mengejar
perempuan yang lolos melarikan diri. Hmm.... La-
ki-laki macam begitu harus diberi pelajaran. Tapi
aku harus tahu dulu masalahnya...," Pendekar
108 terus berkelebat sambil membatin.
Sementara itu di depan, sosok yang berke-
lebat dan bukan lain adalah Sakawuni diam-diam
juga membatin.
"Sialan! Aku sudah berusaha mengerahkan
segenap tenaga dalam. Namun aku tak bisa melo-
loskan diri dari kuntitan orang! Sialan benar! Apa
maunya dia mengikuti perjalananku? Dapat ku-
pastikan orang dibelakangku adalah Penyair Ber-
darah! Jika saja urusanku bukan dengan Pende-
kar Mata Keranjang, aku tak akan sembunyi-
sembunyi begitu rupa. Hm.... Penyair Berdarah.
Wajahnya memang tampan.... Tapi kalau diban-
dingkan dengan Pendekar Mata Keranjang 108....
Sialan! Kenapa aku membanding-bandingkan
dengan pendekar keparat itu? Aku harus mence-
gah dia mengikuti langkahku, meski aku tahu dia
berniat menolongku. Aku ingin urusan dengan
Pendekar Mata Keranjang kuselesaikan sendiri!"
Kalau Sakawuni membatin demikian, sosok
di belakang Pendekar 108 dan bukan lain adalah
Penyair Berdarah juga berkata sendiri dalam hati.
"Keparat! Siapa bayangan di depan itu?
Aku tak dapat ditipu, dia tadi ada di belakangku.
Melihat gerakannya yang begitu cepat, bukan
mustahil jika dia orang berkepandaian tinggi....
Hmm.... Aku harus dapat mengetahuinya apa
yang menjadi tujuannya hingga ikut-ikutan mem-
buntuti!" setelah membatin seperti itu, Penyair
Berdarah lipat gandakan tenaga dalamnya hingga
kelebatannya bertambah kencang. Tiba-tiba pada
sebuah tempat yang di kanan kirinya agak jarang
semak belukar, Sakawuni hentikan larinya.
Di belakangnya, Pendekar 108 terkejut.
Untung dia segera bisa kuasai diri, jika tidak bu-
kan tak mungkin Sakawuni akan memergokinya,
karena begitu berhenti, gadis ini secepat kilat ba-
likkan tubuh dan menebarkan pandangan.
"Busyet! Untung aku segera menyelinap, ji-
ka tidak...," Pendekar Mata Keranjang tak te-
ruskan ucapannya. Dia sejajarkan tubuh dengan
tanah. Karena tak jauh dari tempatnya, semak
belukar terlihat bergoyang-goyang.
"Hmm.... Aku makin curiga jika laki-laki di
belakang itu ada urusan. Buktinya dia juga tak
menampakkan diri...!" gumam Pendekar 108 se-
raya pandangi tempat yang semak belukarnya
bergoyang-goyang. Namun ketika dia tak mene-
mukan seseorang di situ, matanya diarahkan ke
tempat di mana sang perempuan berhenti.
Karena tempatnya dengan tempat Sakawu-
ni tak begitu jauh, lagi pula cahaya keputihan te-
lah tampak di ujung langit sebelah timur, maka
dari tempatnya mendekam Pendekar 108 bisa je-
las melihat ke arah sang perempuan.
"Sakawuni!" seru Pendekar 108 dalam hati
begitu dapat mengenali siapa adanya si perem-
puan. Seakan masih tak percaya, sepasang ma-
tanya dipelototkan besar.
"Benar. Dia Sakawuni. Apa yang dikerja-
kannya malam-malam begini? Dan siapa orang
yang mengejarnya? Aku akan menunggu.... "
Sementara itu, di balik semak belukar Pe-
nyair Berdarah yang ikut-ikutan mendekam te-
barkan pandangannya.
"Setan alas! Ke mana perginya bayangan
itu? Tapi aku yakin dia masih ada di sekitar sini!
Jika saja gadis itu tidak berhenti, mungkin aku
telah dapat menangkapnya!"
Selagi Pendekar 108 dan Penyair Berdarah
berkata sendiri-sendiri dalam hati, Sakawuni te-
barkan pandangan. Dan ketika pandangan ma-
tanya tak berhasil menemukan orang, dia berte-
riak.
"Aku tahu kau berada di sekitar sini! Ke-
luarlah. Dan katakan apa maksudmu sebenar-
nya!"
Baik Pendekar 108 maupun Penyair Berda-
rah sama-sama membatin. "Dia telah mengetahui
jika diikuti!" Namun di antara kedua pemuda ini
tidak ada yang bergerak dari tempatnya mende-
kam.
Karena tak ada orang yang keluar menun-
jukkan diri, Sakawuni mengulangi teriakannya.
Namun lagi-lagi tak ada sahutan apalagi sosok
yang tampakkan diri. Hal ini membuat Sakawuni
naik pitam. Dengan suara meradang gadis ini
berseru.
"Keluarlah! Jangan bersifat pengecut! Men-
gikuti orang dengan diam-diam!" kepalanya ber-
putar dengan mata sedikit dibesarkan.
Tiba-tiba terdengar orang mendehem. Sa-
kawuni palingkan wajah. Dia telah menduga jika
orang yang keluarkan deheman adalah Penyair
Berdarah. Bersamaan lenyapnya suara deheman
sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak
sepuluh langkah di hadapan Sakawuni.
Mungkin karena terkesima dengan orang
yang baru muncul, Sakawuni untuk beberapa
saat terdiam. Begitu sadar, kakinya tersurut dua
langkah ke belakang. Matanya mendelik meman-
dangi pemuda berbaju hijau di hadapannya. Ga-
dis ini tampak terguncang.
"Kau!" seru Sakawuni begitu dapat mengu-
asai diri. Parasnya berubah merah padam. "Ma-
nusia keparat cabul!" teriak Sakawuni seakan in-
gin terbang menerkam murid Wong Agung ini.
Di tempat mendekamnya, Penyair Berdarah
terperangah demi melihat siapa adanya orang
yang kini ada di hadapan Sakawuni.
"Pendekar Mata Keranjang 108!" serunya
dalam hati dengan kepalkan tinjunya. "Sekarang
kau tak akan bisa melarikan diri!" namun dia tak
hendak keluar dari persembunyiannya. Otaknya
yang cerdik memikir. "Kulihat gadis itu menge-
nalnya. Dan tiba-tiba marah. Hmm.... Apa urusan
dengan pemuda ini yang disembunyikannya pa-
daku...? Bila benar, sungguh ini sebuah kebetu-
lan!" Penyair Berdarah sunggingkan senyum
sambil manggut-manggut.
"Pendekar keji dan cabul!" seru Sakawuni
dengan mata berkilat-kilat. "Terimalah kematian-
mu saat ini! Dunia persilatan akan tercoreng jika
manusia sepertimu dibiarkan hidup!"
"Sakawuni!" kata Aji dengan suara pelan.
Matanya memandang gadis di depannya dengan
tatapan kosong. "Aku heran dengan sikapmu. Be-
lum lama kau menuduhku sebagai pembunuh ke-
ji. Sekarang sudah bertambah lagi dengan cabul.
Apa maksudmu sebenarnya?!"
Mendengar Pendekar 108 sebutkan nama
si gadis, Penyair Berdarah makin membeliakkan
matanya. Hatinya makin bersorak girang.
"Hmm.... Jadi gadis ini yang diceritakan
Guru! Nasibku baik.... Sekali jalan dua tujuan ku-
temukan!"
"Kau memang pintar bicara. Sayang, kepin-
taranmu kau gunakan untuk menutupi perilaku
bejatmu!" Sakawuni berkata dengan suara tinggi.
Dadanya sudah terlihat bergerak turun naik me-
nahan gejolak amarah. Sementara kedua tangan-
nya perlahan diangkat siap lancarkan pukulan.
"Sakawuni! Aku bersedia kau hajar bahkan
sampai mati jika aku memang berbuat seperti
yang kau tuduhkan! Sekarang buktikan tudu-
hanmu itu!"
Sakawuni menyeringai. Hidungnya kelua-
rkan dengusan keras.
"Bangsat pengecut! Apa kau juga masih
mungkir atas perbuatanmu yang hendak melaku-
kan perbuatan tidak senonoh padaku saat aku
pingsan, he?!"
Pendekar 108 tersenyum dingin.
"Kau salah, Sakawuni. Justru saat itu aku
berusaha menolongmu. Kau kutinggalkan sendi-
rian di sebuah tempat. Aku mencari daun-daunan
untuk mengobati cideramu. Tapi waktu aku kem-
bali kau telah tiada. Aku memang salah mening-
galkanmu sendirian dalam keadaan cidera. Na-
mun aku tak menyangka jika hal itu akan terjadi...."
Sakawuni terdiam. Pendekar 108 melang-
kah maju dua langkah lebih mendekat. Lalu aju-
kan pertanyaan.
"Aku yakin, kepergianmu pasti ada orang
yang membawa. Karena dalam keadaan cidera be-
gitu tak mungkin kau bisa pergi. Kalau boleh ku-
tahu, siapa orang yang membawamu?!"
"Itu bukan urusanmu! Urusanmu sekarang
mengakui perbuatanmu dan menerima kematian!"
sahut Sakawuni garang.
Pendekar 108 gelengkan kepala. Bibirnya
masih tetap tersenyum. "Sakawuni. Aku jadi curi-
ga. Jangan-jangan orang yang membawamu itu-
lah yang menebar fitnah ini. Atau bisa jadi ini
semua hanyalah sandiwaramu belaka karena...."
"Kau segera mampus. Jangan menuduh
seenak mulutmu!" potong Sakawuni dengan suara
lantang membahana. Kedua kakinya lantas di-
bantingkan hingga tanah di tempat itu sedikit
bergetar.
"Aku tidak menuduh, hanya aku curiga!
Sakawuni, sadarlah! Kau telah diperalat orang!"
"Banyak mulut!" hardik Sakawuni. Dan
bersamaan dengan itu kedua tangannya dihan-
tamkan ke depan.
Seberkas sinar melesat tanpa keluarkan
suara. Bersamaan itu hawa panas menebar, lalu
berganti dingin. Inilah pukulan sakti 'Menggiring
Sinar Menebar Hawa'.
Pendekar 108 berseru keras. Dia sebenar
nya masih tak menduga jika Sakawuni benar-
benar ingin menghabisinya. Karena itu dia hanya
mengelak dengan melompat mundur dan menja-
tuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun, mu-
rid Wong Agung ini jadi terkejut bukan alang-
kepalang, karena meski sinar yang melesat itu le-
wat di atas tubuhnya tapi sambaran angin yang
tak kelihatan terasa menghantam tubuhnya,
hingga tubuhnya mental sampai beberapa tombak
ke belakang.
Begitu bangkit, Pendekar 108 cepat meneli-
ti tubuhnya. Ternyata tidak ada yang mengalami
cidera, namun anehnya, dia merasakan dadanya
berdenyut sakit dan aliran darahnya seperti ka-
cau-balau. Melihat hal ini Pendekar Mata Keran-
jang segera sadar jika pukulan Sakawuni benar-
benar hebat. Dia pun segera salurkan tenaga da-
lam ke arah dada dan jantung sebagai pusat pe-
redaran darahnya.
Di depan, melihat serangannya hanya
mampu membuat lawan tidak cidera, Sakawuni
segera melompat dan sekali lagi hantamkan ke-
dua tangannya. Karena kali ini dengan pengera-
han tenaga dalam penuh, maka panas yang me-
nebar makin menyengat, demikian pula hawa
dingin yang menebar berganti semakin dingin.
Sementara sinar yang melesat semakin cepat me-
nyambar!
Setelah dapat tahu bagaimana pukulan
Sakawuni, Pendekar 108 tidak mau bertindak ay-
al. Kipas miliknya segera dicabut dan serta-merta
dikebutkan menyilang sementara tangan kirinya
mendorong.
Sinar berkilau putih menebar ke depan
membentuk kipas, sedangkan bersamaan itu se-
rangkum angin menyambar dengan keluarkan
suara menggemuruh.
Bummm!
Terjadi ledakan dahsyat ketika dua puku-
lan bentrok di udara. Tempat itu berguncang.
Semak belukar tercerabut dari akarnya dan akar-
nya semburat.
Begitu terjadi ledakan, baik Sakawuni
maupun Pendekar 108 sama-sama berseru terta-
han. Pendekar 108 terseret hingga dua tombak ke
belakang. Dia sejenak berusaha menahan tubuh-
nya, namun karena saat itu tanah bergetar, hing-
ga tak ampun lagi kakinya goyah sebelum akhir-
nya dia jatuh terduduk! Di depannya, Sakawuni
tampak mencelat, dan jatuh menerabas semak
belukar. Seraya menyumpah habis-habisan, Sa-
kawuni cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu den-
gan tertatih-tatih dia sibakkan rimbun semak be-
lukar keluar hendak menyerang kembali.
Namun Sakawuni terkejut. Dia tak lagi me-
lihat Pendekar 108. Matanya yang merah segera
liar menyapu. Saat itulah tiba-tiba ada sambaran
angin di belakangnya. Tanpa menoleh lagi, Saka-
wuni hantamkan kedua tangannya sekaligus den-
gan putar tubuh.
Namun Sakawuni jadi terperangah sendiri.
Kedua tangannya hanya menghantam angin. Karena di belakangnya tidak tampak orang. Selagi
melengak begitu rupa terdengar suara tawa pen-
dek.
Sakawuni cepat berpaling. Sepuluh lang-
kah di sampingnya terlihat Pendekar 108 terse-
nyum. Hal ini membuat Sakawuni mau tak mau
jadi terguncang. Karena dia barusan bisa memas-
tikan jika Aji ada di belakangnya. Dan dia yakin
pukulan tangannya pasti tidak akan meleset ka-
rena dihantamkan dengan sangat cepat. Kalau
secepat itu Pendekar 108 bisa mengelak, maka
sulit baginya untuk bisa mengatasi. Namun piki-
ran demikian segera lenyap begitu teringat perbu-
atan pemuda yang dulu sangat dikaguminya itu.
Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaima-
na caranya bisa membunuh. Kemampuan yang
ada dalam dirinya tidak diperhitungkan lagi.
Dan apa yang baru saja dilakukan oleh
Pendekar 108 memang suatu gerakan yang amat
menakjubkan. Dia memang baru saja ada di bela-
kang Sakawuni. Dan kalau saja dia mau, mudah
baginya untuk menghantam Sakawuni. Tapi hal
itu tidak dilakukannya. Dia hanya ingin agar Sa-
kawuni sadar tanpa ada mengalami cidera. Dan
saat Sakawuni hantamkan kedua tangannya dia
bergerak menghindar dengan cepatnya. Pendekar
108 sendiri hampir tak percaya bisa mengelak se-
cepat itu. Namun nyatanya Pendekar 108 berhasil
menghindar. Inilah gerakan menghindar yang di-
ajarkan Setan Arak pada murid Wong Agung pada
beberapa waktu yang lalu.
"Sakawuni! Tak ada gunanya kita teruskan
urusan ini! Marilah kita bicara dengan kepala
dingin!"
"Manusia cabul! Bicaralah sesukamu! Tapi
jangan mimpi aku akan goyah!" seru Sakawuni
sambil angkat kedua tangannya.
"Hmm.... Bagaimana ini? Kalau dia menye-
rang kembali dan aku menangkis, mungkin dia
akan cidera. Kalau aku tidak menangkis, aku
akan mati konyol dan tak dapat membuktikan ji-
ka tuduhannya tidak benar. Hmm.... Sebaiknya
aku menghindar. Memang diperlukan waktu un-
tuk mengubah pikirannya...," batin Pendekar 108
lalu balikkan tubuh hendak berkelebat pergi me-
ninggalkan tempat itu.
Namun baru saja Pendekar 108 hendak
bergerak berkelebat dan Sakawuni baru saja akan
hantamkan kedua tangannya, tiba-tiba terdengar
orang melantunkan tembang syair.
Manusia cabul berlagak pendekar adalah
noda hitam rimba persilatan.
Tiada hukuman yang layak dipikulkan pa-
danya selain simbahan darahnya.
Penyair Berdarah datang sebagai hakim da-
rah bagi manusia pembuat noda.
Baik Pendekar Mata Keranjang 108 mau-
pun Sakawuni segera palingkan wajah masing-
masing ke samping. Semak belukar di sebelah
kanan tampak bergerak-gerak menyibak. Dan tak
lama kemudian muncullah seorang pemuda ber-
jubah hitam bergaris putih-putih.
"Penyair Berdarah!" Pendekar 108 dan Sa-
kawuni berseru berbarengan.
"Hmm.... Jadi manusia ini yang mengikuti
Sakawuni. Mereka rupanya sudah saling kenal...."
"Pendekar Mata Keranjang 108! Beberapa
waktu yang lalu kau masih bisa menyelamatkan
nyawamu karena bantuan manusia arak keparat
itu! Tapi kali ini kau tidak akan bisa lolos! Dosa-
mu telah bertambah. Selain harus tewas kini tu-
buhmu juga layak dicincang!"
"Penyair Berdarah! Kita tidak ada silang
sengketa. Harap kau tidak ikut-ikutan urusan
ini!" hardik Pendekar 108 sedikit geram.
Penyair Berdarah dongakkan kepala. Dari
mulutnya menyembur suara tawa panjang. Kedua
tangannya diangkat kacak pinggang.
"Kau telah menodai rimba persilatan. Siapa
pun orang yang melibatkan diri dalam kancah
persilatan, dia punya hak untuk menghukummu!"
"Ini masih fitnah! Kau jangan coba-coba
membakar suasana!"
"Fitnah?" ulang Penyair Berdarah dengan
nada mengejek. Kepalanya kini diluruskan. "Apa-
kah jika seorang gadis telah mengatakan apa
yang dialaminya itu masih dikatakan fitnah? Ha...
ha... ha.... Kata-katamu konyol dan tak masuk
akal! Ternyata kau manusia dungu. Atau kau pu-
ra-pura bodoh.... He?!"
Mendengar ucapan Penyair Berdarah, da
rah muda Pendekar 108 naik ke ubun-ubun. Na-
mun murid Wong Agung ini masih menekannya.
Dia berusaha tidak terpancing dengan ucapan
Penyair Berdarah yang menurutnya mencari-cari
masalah.
Sementara itu Sakawuni menarik napas
panjang dan lega begitu mendapati kemunculan
Penyair Berdarah. Dia merasa lega karena seti-
dak-tidaknya Penyair Berdarah akan turun tan-
gan membantunya jika keadaan terdesak. Pada
mulanya, Sakawuni memang tidak mengharapkan
munculnya orang ketiga, namun setelah menya-
dari bahwa dia tak mungkin dengan mudah me-
nundukkan Pendekar 108 maka kemunculan
orang ketiga kali ini tidak lagi membuatnya teru-
sik. Bahkan dengan kemunculan Penyair Berda-
rah semangat Sakawuni makin membara. Hingga
ketika kedua pemuda di hadapannya sama-sama
terdiam, dia berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau tak
usah berdalih lagi. Kalau kau takut malu tewas di
tanganku, buanglah sifat pengecutmu! Kau kuberi
kesempatan untuk bunuh diri!"
Mendengar kata-kata Sakawuni, Pendekar
108 tengadahkan kepala. Suara tawanya tiba-tiba
meledak panjang.
"Kau rupanya telah ikut-ikutan jadi orang
bodoh, Sakawuni! Bukankah bunuh diri itu ba-
paknya pengecut? Justru seharusnya kau sadar
jika kau sekarang dibuat alat oleh seseorang yang
ingin mengambil keuntungan!"
"Keparat! Katakan siapa orangnya!" bentak
Sakawuni sambil angkat kembali kedua tangan-
nya. ,
"Ha... ha... ha...! Pertanyaan itu tak perlu
dijawab, karena kau tentunya lebih tahu!"
"Bangsat! Kau tak dapat buktikan uca-
panmu! Berarti kau mengada-ada!"
"Nah, itu berarti sama denganmu. Kau me-
nuduhku, tapi tak dapat membuktikannya. Berar-
ti kau juga mengada-ada dengan tuduhanmu itu!"
"Jahanam!" teriak Sakawuni. Kedua tan-
gannya langsung dihantamkan.
Melihat hal itu Penyair Berdarah tak buang
kesempatan. Kedua tangannya pun diangkat dan
dihantamkan ke arah Pendekar 108.
Tempat itu seketika berubah panas me-
nyengat. Cuaca yang semula agak terang karena
sang mentari telah mulai merangkak naik beru-
bah menjadi redup. Seberkas sinar tanpa suara
melesat, kemudian disusul dengan bongkahan bo-
la merah! Tampaknya Sakawuni telah kirimkan
lagi pukulan 'Menggiring Sinar Menebar Hawa',
sementara Penyair Berdarah lancarkan pukulan
sakti 'Alam Kematian'! Dari sini jelas, jika kedua
orang ini memang ingin segera membuat Pende-
kar Mata Keranjang 108 cepat mampus. Karena
keduanya telah lancarkan pukulan andalan mas-
ing-masing.
Di depan, melihat ganasnya serangan,
Pendekar 108 sempat terkesiap. Untung dia sege-
ra sadar jika bahaya maut mengincar dirinya.
"Keparat! Katakan siapa orangnya!" bentak
Sakawuni sambil angkat kembali kedua tangan-
nya. ,
"Ha... ha... ha...! Pertanyaan itu tak perlu
dijawab, karena kau tentunya lebih tahu!"
"Bangsat! Kau tak dapat buktikan uca-
panmu! Berarti kau mengada-ada!"
"Nah, itu berarti sama denganmu. Kau me-
nuduhku, tapi tak dapat membuktikannya. Berar-
ti kau juga mengada-ada dengan tuduhanmu itu!"
"Jahanam!" teriak Sakawuni. Kedua tan-
gannya langsung dihantamkan.
Melihat hal itu Penyair Berdarah tak buang
kesempatan. Kedua tangannya pun diangkat dan
dihantamkan ke arah Pendekar 108.
Tempat itu seketika berubah panas me-
nyengat. Cuaca yang semula agak terang karena
sang mentari telah mulai merangkak naik beru-
bah menjadi redup. Seberkas sinar tanpa suara
melesat, kemudian disusul dengan bongkahan bo-
la merah! Tampaknya Sakawuni telah kirimkan
lagi pukulan 'Menggiring Sinar Menebar Hawa',
sementara Penyair Berdarah lancarkan pukulan
sakti 'Alam Kematian'! Dari sini jelas, jika kedua
orang ini memang ingin segera membuat Pende-
kar Mata Keranjang 108 cepat mampus. Karena
keduanya telah lancarkan pukulan andalan mas-
ing-masing.
Di depan, melihat ganasnya serangan,
Pendekar 108 sempat terkesiap. Untung dia sege-
ra sadar jika bahaya maut mengincar dirinya.
Sambil meloncat mundur segera tenaga dalamnya
dipusatkan pada kedua tangannya. Tangan ki-
rinya mendadak berubah menjadi biru berkilau.
Murid Wong Agung telah siapkan jurus 'Mutiara
Biru' yang berhasil didapatnya dari Arca Dewi
Bumi. Dan didahului bentakan melengking tan-
gan kanannya menghentakkan kipas, sementara
tangan kirinya dibuka dengan jari tengah dan te-
lunjuk tegak, jari lainnya menekuk. Lalu didorong
kuat-kuat ke depan.
Apa yang terjadi kemudian sungguh sangat
mengerikan. Bersamaan terdengarnya ledakan
dahsyat akibat bertemunya tiga pukulan sakti,
asap hitam menutupi tempat itu. Semak belukar
terabas rata dan langsung hangus. Pohon-pohon
berderak tumbang. Lalu disusul terdengarnya je-
ritan melengking dan dua seruan tertahan. Ke-
mudian terdengar suara bergedebukan tiga kali
berturut-turut. Setelah itu sunyi mencekam!
Beberapa saat berlalu. Dan begitu asap hi-
tam surut, dan cuaca agak terang di sebelah kiri
dekat batang pohon yang telah tumbang, terlihat
Pendekar 108 terkapar. Baju hijaunya sebelah
bawah terlihat terbakar. Sudut bibirnya meleleh
darah berwarna hitam menunjukkan bahwa dia
terluka dalam cukup parah. Sementara kedua
tangannya terlihat membiru dan sedikit meng-
gembung! Namun entah karena takut lawan akan
segera menyerang lagi, Pendekar Mata Keranjang
108 segera menggeliat bangkit. Tapi dia terkejut.
Dadanya berdenyut sangat sakit. Demikian juga
kedua tangannya laksana hendak penggal saat
digerakkan. Hingga meski dengan perasaan was-
was akhirnya Pendekar 108 merebahkan kembali
tubuhnya dan mengerahkan tenaga dalam.
Lima belas tombak dari tempat Aji terka-
par, terlihat Penyair Berdarah telungkup tak ber-
gerak-gerak. Tapi sesaat kemudian tangannya
menggapai-gapai, kepalanya terangkat. Namun
kepala itu segera luruh kembali. Dengan menge-
rang kedua tangannya lalu bersitekan ke tanah,
tubuhnya bergerak bangkit. Saat itulah terlihat
tetesan darah hitam mengalir dari mulutnya!
Tak jauh dari Penyair Berdarah, Sakawuni
tampak mengerang dengan tubuh melingkar me-
megangi perutnya. Mulutnya juga dibuncah den-
gan darah kehitaman. Gadis ini mencoba kerah-
kan tenaga dalam, namun rasa sakit tampaknya
lebih menguasai dirinya, hingga pengerahan tena-
ganya tidak sempurna. Ini menyebabkan pandan-
gannya berkunang-kunang lalu segalanya menja-
di gelap, dan tak lama kemudian gadis ini terkulai
pingsan!
Setelah merasa dapat kuasai diri, Pendekar
108 bangkit. Kipasnya yang ternyata terlepas dari
tangannya segera dipungut. Lalu terbungkuk-
bungkuk melangkah ke arah Penyair Berdarah.
Mengetahui hal ini, Penyair Berdarah pun
segera bangkit. Meski kakinya tampak goyah na-
mun dia kuatkan. Sepasang matanya lantas memandang tajam ke arah Pendekar 108 yang mendekatinya.
Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tawa
mengekeh. Sebuah bayangan berkelebat. Dan ta-
hu-tahu telah berdiri di hadapan Pendekar 108.
Pendekar 108 tersurut karena terkejut. Sepasang
matanya sejenak mengawasi sosok yang kini di
hadapannya.
Dia adalah seorang perempuan tua renta.
Mengenakan baju hitam sutera. Pakaian bawah-
nya putih kembang-kembang. Rambutnya putih
dan panjang sampai betis. Pada kedua tangannya
terlihat melingkar beberapa gelang emas.
"Hmm.... Siapa dia?" batin Pendekar 108
seraya terus memperhatikan.
Yang dipandang terus mengumbar tawa
mengekeh. Pendekar 108 membuka mulut hen-
dak menegur, namun diurungkan ketika terden-
gar Penyair Berdarah berseru.
"Guru!"
"Hmm.... Jadi ini guru manusia penyair
itu...."
Si nenek yang bukan lain memang guru
Penyair Berdarah yakni Iblis Gelang Kematian
hentikan tawanya. Bola matanya liar berputar
menyengat tajam ke arah Pendekar 108. Namun
tak lama kemudian tawanya mengekeh kembali.
"Anak muda!" kata Iblis Gelang Kematian
setelah tawanya berhenti.
"Sungguh sial nasibmu. Dari sini kau telah
tercium bau mayat! Apakah kau telah tahu, apa
isyarat itu?!"
Meski Pendekar 108 menjadi terkesiap
mendengar ucapan si nenek, namun dia tak hen-
dak menunjukkan sikap takut. Malah sambil ter-
senyum yang sebenarnya tak lebih karena mera-
sakan sakit di dadanya, dia berkata.
"Nenek tua. Kuingatkan padamu, biasanya
penciuman orang tua menyaru! Dia telah merasa
mencium bau orang lain, padahal bau itu keluar
dari dirinya sendiri. Aku khawatir hal itu terjadi
pada dirimu! Coba kau endus sekali lagi!"
Iblis Gelang Kematian parasnya berubah.
Matanya melotot angker. Sementara di hadapan-
nya, Pendekar 108 bungkuk-bungkukkan tubuh
dengan mengendus-endus. Lalu tiba-tiba kepa-
lanya terangkat dan sambil tersenyum dia berkata
seolah terperanjat.
"Astaga! Apakah penciumanku telah ikut-
ikutan tersaru? Aku mencium bau pesing. Jan-
gan-jangan kau ngompol! Atau...," Pendekar 108
tak meneruskan kata-katanya karena saat itu Ib-
lis Gelang Kematian telah angkat tangannya dan
langsung dipukulkan pada Pendekar 108.
Karena cepatnya gerakan si nenek, hingga
tak ada jalan lain bagi Pendekar 108 kecuali men-
gangkat tangannya untuk menangkis.
Bukkk!
Bentroknya dua tangan yang telah sama-
sama dialiri tenaga dalam membuat Pendekar 108
terpental sampai satu tombak. Ketika Pendekar
108 melirik, dia jadi tersirap. Tangannya yang ta-
di telah menggembung berubah merah biru. Dan
gembungannya makin besar, namun kini ditambah dengan rasa panas! Hal ini telah menyadar-
kan Pendekar 108 jika nenek di hadapannya be-
nar-benar berilmu tinggi. Sementara Iblis Gelang
Kematian juga terkejut. Meski dia hanya tersurut
satu langkah ke belakang namun dia maklum jika
pemuda di hadapannya tidak bisa dianggap re-
meh.
"Hmm.... Ternyata kabar yang beredar se-
lama ini benar adanya. Pemuda ini memiliki ilmu
yang tidak sembarangan! Dia harus segera dis-
ingkirkan!" batin sang nenek. Diam-diam dia se-
gera kerahkan tenaga dalam. Lalu serta-merta
kedua tangannya dihantamkan ke arah Pendekar
Mata Keranjang 108.
Sinar membentuk gelang-gelang melesat
cepat tanpa keluarkan suara sama sekali.
Darah Pendekar Mata Keranjang laksana
sirap. Dia tak menduga sama sekali jika gerakan
nenek itu demikian cepatnya. Dia segera melom-
pat mundur. Namun sinar gelang-gelang itu ma-
kin cepat. Mungkin karena sudah terluka dalam
yang membuat gerakannya lamban, hingga ketika
baru saja Pendekar 108 hendak mendorong kedua
tangannya, sinar gelang-gelang telah ada di hada-
pannya!
"Tamat sudah!" bisik Pendekar 108 dengan
paras pucat. Namun dia masih tetap meneruskan
dorongan tangannya.
Saat itulah mendadak berkelebat sebuah
bayangan. Bersamaan dengan itu serangkum an-
gin dahsyat menggebrak memapak sinar gelang.gelang. Terdengar ledakan membahana. Pendekar
108 terjengkang. Namun sebelum tubuhnya ro-
boh, dua tangan terasa menyentuh tengkuk dan
pantatnya. Lalu tubuhnya terasa melayang. Dan
ketika tubuhnya setengah tombak di atas tanah,
kembali tengkuk dan pantatnya dipegang tangan.
Tangan itu lalu seperti melempar tubuhnya.
Hingga tubuhnya kembali melayang jauh. Hal itu
terjadi hingga beberapa kali. Dalam waktu sesaat,
Pendekar 108 telah berada jauh dari tempatnya
semula.
Dan ketika terakhir kali melayang, Pende-
kar 108 tetap enak-enakan. Dia merasa tangan
itu akan terus mempermainkan tubuhnya. Na-
mun kali ini dugaan murid dari Karang Langit ini
meleset. Karena meski tubuhnya telah hampir
menukik di atas tanah dia tak merasakan sentu-
han tangan, Pendekar 108 sadar namun terlam-
bat. Hingga tak ampun lagi tubuhnya jatuh ber-
gulingan.
Dengan meringis kesakitan, Pendekar 108
bangkit. Sepasang matanya memandang lurus ke
depan. Dia ingin tahu siapa adanya orang yang
memainkan tubuhnya melayang-layang di udara
yang juga berarti telah menyelamatkannya dari
tangan maut Iblis Gelang Kematian.
"Ah.... Dia!" seru Pendekar 108 tatkala
mengenali orang yang duduk menggelosoh sepu-
luh langkah di hadapannya.
Dia adalah seorang laki-laki tua. Pakaian-
nya telah robek di sana-sini. Pada pundaknya
menyelempang ikat pinggang besar yang diganduli
beberapa bumbung bambu yang menebarkan bau
arak. Sambil duduk menggelosoh, kedua tangan
kakek ini silih berganti menenggakkan bumbung
bambu berisi arak ke mulutnya.
"Setan Arak! Terima kasih. Kau telah me-
nolongku!" teriak Pendekar 108 seraya tertatih
bangkit dan melangkah ke arah kakek tua yang
bukan lain memang Setan Arak.
"Simpan dulu basa-basi rombeng itu! Ayo
kita cepat tinggalkan tempat ini!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tampak
bimbang. Kepalanya berpaling ke belakang.
"Sakawuni.... Bagaimana nasibnya..?"
"He! Gadismu itu sudah ada yang mengu-
rus! Saatnya kelak kau pasti akan bertemu lagi!
Sekarang urus dirimu dulu! Kau terluka parah!"
teriak Setan Arak, lalu tanpa mempedulikan pera-
saan Pendekar 108, dia berkelebat.
"Sialan!" maki Pendekar 108. Dia merenung
sejenak.
"Hmm.... Moga-moga Penyair Berdarah ti-
dak berbuat yang bukan-bukan pada Sakawuni!
Jika dia nanti ternyata berbuat tidak senonoh, se-
lembar nyawanya tidak akan kuampuni lagi!" gu-
mam Pendekar 108 lalu berkelebat menyusul Se-
tan Arak.
Di tempat lain, ketika Iblis Gelang Kema-
tian berhasil bangkit matanya tidak lagi melihat
batang hidung Pendekar Mata Keranjang 108.
"Keparat! Ada seseorang memapak seran
ganku dan menolong pemuda itu!" gumam Iblis
Gelang Kematian seraya usap-usap dadanya yang
terasa nyeri akibat bias bentrokan pukulannya
dengan sambaran angin dahsyat dari bayangan
yang menolong Pendekar 108.
"Hmm.... Siapa pun adanya bayangan pe-
nolong itu, yang pasti dia bukan orang sembaran-
gan! Jika saja aku tidak mengkhawatirkan Mand-
ing dan gadis ini akan kukejar keparat itu!"
Setelah mengedarkan pandangan sekali la-
gi, nenek ini melangkah ke arah Penyair Berdarah
yang terlihat terkapar kembali karena terkena
sambaran bentroknya pukulan Iblis Gelang Ke-
matian dengan bayangan yang menolong Pende-
kar Mata Keranjang 108.
"Hmm ... Dengan dua orang ini, rencanaku
akan lebih mudah!" desis Iblis Gelang Kematian
seraya memperhatikan Penyair Berdarah dan Sa-
kawuni. Tangan kanannya lantas menjulur den-
gan sedikit rendahkan tubuh! Tahu-tahu tubuh
Penyair Berdarah telah berada di pinggang ka-
nannya, lalu melangkah mendekati tubuh Saka-
wuni. Tangan kirinya berkelebat dan sesaat ke-
mudian tubuh Sakawuni telah berada di pinggang
kirinya.
Sesaat nenek ini berdiri tegak. Kepalanya
mendongak dan digerakkan menyibak rambut
yang menghalangi pandangan matanya. Tiba-tiba
sepasang kakinya menghentak, dan bersamaan
dengan itu tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.
SELESAI
Segera terbit:
MISTERI HUTAN LARANGAN