"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 02 Juli 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE TEMBANG MAUT ALAM KEMATIAN

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

TEMBANG MAUT 

ALAM KEMATIAN

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Tembang Maut Alam Kematian

128 hal.


SATU


HARI itu cuaca cerah sekali. Sang mentari 

menunjukkan diri tanpa diiringi sebongkah awan 

pun. Angin berhembus semilir, sementara marga 

satwa mengalunkan kidungnya masing-masing.

Dalam cuaca yang demikian, seorang anak 

laki-laki berusia muda belia terlihat melangkah

melintasi sebuah hutan yang sunyi. Dia menge-

nakan pakaian yang sudah dekil dan robek di sa-

na-sini. Rambutnya yang panjang dibiarkan terge-

rai dan tampak tidak dirawat, hingga rambut itu 

kaku dan kempal. Namun demikian wajah anak 

ini masih menampakkan ketampanan. Hidungnya 

mancung dengan sepasang mata tajam. Alis ma-

tanya tebal dan hitam. Dagunya kokoh meski so-

soknya tidak begitu besar.

Melihat sikapnya yang beberapa kali 

menghela napas dalam-dalam serta mengedarkan 

pandangannya ke tempat-tempat yang dilewati, 

berat dugaan jika anak ini mencari sesuatu dan 

tak dapat menemukan yang dicari. Hingga meski 

dari mulutnya tak terdengar suara keluhan, na-

mun wajahnya jelas tak dapat menyembunyikan 

perasaan kecewa. Dan melihat pakaiannya yang 

telah basah oleh keringat serta langkahnya yang 

tertatih-tatih, dapat diduga jika dia telah melaku-

kan perjalanan panjang. Namun demikian, anak 

yang kira-kira masih berusia dua belas tahun ini 

termasuk anak yang tabah dan tegar. Karena

meski tubuhnya telah tampak letih bahkan ka-

kinya mengembung dan di sana-sini terlihat baru-

tan merah akibat goresan ranting dan sdtnak be-

lukar yang terinjak, dia tetap melangkah. Dia ba-

ru hentikan langkahnya tatkala hutan sunyi itu 

telah terlewati dan kini di hadapannya tampak 

sebuah bukit yang terjal dan berbatu-batu.

Untuk beberapa lama si anak ini memper-

hatikan bukit di hadapannya. Tangan kanannya 

diangkat dan ditudungkan di kening untuk me-

nangkis silaunya matahari. Setelah agak lama 

memperhatikan, kepalanya lantas bergerak ber-

paling ke samping kanan kiri. Sepasang matanya 

menyapu berkeliling.

"Ini mungkin tempat yang dinamakan Bu-

kit Tumpang Gede. Hmm.... Benar apa kata 

orang, Bukit Tumpang Gede adalah sebuah bukit 

yang hanya merupakan batu-batuan tanpa ada 

semak belukar serta pohon. Mungkinkah daerah 

seperti ini dihuni seseorang...?" si anak tercenung 

seraya berpikir. Tiba-tiba parasnya berubah me-

rah padam. Dagunya yang kokoh mengembang 

dengan mata sedikit membeliak. Tangan kirinya 

mengepal dengan geraham saling beradu, pertan-

da dia menahan gejolak amarah di dadanya. En-

tah karena kesal atau sebagai pelampiasan rasa 

marah, kedua kakinya lantas dibanting-banting di 

atas tanah.

"Bagaimanapun juga, aku harus dapat me-

nemukan orang yang bernama Iblis Gelang Kema-

tian! Seorang tokoh sakti yang kata mendiang

Paman berdiam di bukit ini! Aku harus mene-

muinya dan berguru padanya! Aku tak bisa hidup 

terus-terusan dalam caci-maki dan hinaan orang! 

Aku tak boleh pasrah terus-menerus tidur dengan 

atap langit dan selimut dingin! Semua ini menya-

kitkan! Aku harus dapat merubah semua ini. Dan 

jalan satu-satunya, aku harus berilmu tinggi!"

Mungkin karena pegal berpikir sambil ber-

diri di bawah terik matahari, maka tak lama ke-

mudian, dia tampak melangkah mendekati se-

buah batu agak besar lalu duduk bersandar se-

raya terus mengawasi ke arah bukit.

"Ayahanda-Ibunda, saudara-saudaraku te-

lah mati terbunuh. Demikian juga Paman. Kini 

aku hidup sebatangkara. Hmm.... Tanpa bekal il-

mu tinggi, aku akan diremehkan orang, bahkan 

dengan semena-mena akan dibantai orang, seper-

ti apa yang dialami keluargaku. Tidak! Aku harus 

jadi seorang berilmu tinggi! Selain bisa hidup 

enak, juga dapat membalas atas orang-orang yang 

membantai keluargaku!"

Berpikir sampai di situ, tiba-tiba dia bang-

kit. Rasa letih serta perih di kakinya seakan le-

nyap tak terasa, tertindih semangat yang berko-

bar.

"Aku harus segera bertemu dengan Iblis 

Gelang Kematian! Aku ingin menjadi orang beril-

mu tinggi! Aku ingin membalas atas kematian sa-

nak-saudaraku!"

Tanpa mempedulikan sengatan terik mata-

hari, anak laki-laki ini mulai melangkah menaiki

bukit yang memang tak ditumbuhi semak belukar 

atau rindang jajaran pohon. Yang terlihat hanya-

lah terjalan batu-batu yang tak teratur serta me-

nanjak membentuk sebuah bukit.

Namun begitu anak ini mulai menapak ter-

jalan batu-batu, tiba-tiba awan hitam berarak-

arakan menutupi angkasa. Angin berhembus 

kencang. Dan tak lama kemudian gelegar guntur 

terdengar bersahutan. Kilat menyambar tiada pu-

tusnya. Bumi mendadak gelap gulita. Dan ketika 

kilat menyambar untuk kesekian kalinya yang 

kemudian disusul dengan gelegar guntur, hujan 

deras menghujam bumi!

"Sialan! Kenapa mendadak saja cuaca be-

rubah? Adakah ini kenyataan dari apa yang dika-

takan orang, juga mendiang Paman, bahwa Bukit 

Tumpang Gede mempunyai keanehan-keanehan 

yang menyeramkan?" sepasang mata pemuda be-

lia ini liar menyapu ke sekeliling. Tubuhnya telah 

terlihat mulai menggigil kedinginan. Namun dia 

tetap melangkah menapaki terjalan batu-batu. 

Dan mungkin karena matanya tak dapat lagi me-

nyiasati keadaan di depannya, dia melangkah se-

raya merambat perlahan-lahan dari terjalan batu 

ke terjalan batu lainnya. Hal ini dia lakukan ka-

rena selain cuaca gelap, ternyata ter-jalan-terjalan 

batu itu sangat licin akibat percikan-percikan ta-

nah yang muncrat terkena hujan.

Tiba-tiba si anak hentikan langkahnya. Se-

raya kedua tangan memegangi terjalan batu dan 

kaki kiri bersitekan pada lamping batu agak besar

agar supaya dapat menopang tubuh, sepasang 

matanya yang tajam memandang lurus ke depan 

dengan tak berkesiap. Samar-samar dari puncak 

bukit ia menangkap sebuah cahaya yang berge-

rak-gerak. Cahaya itu kadang-kadang tampak je-

las dan sesekali lenyap.

Si anak tidak meneruskan langkah. Dia 

seakan menunggu cahaya itu, karena cahaya itu 

bergerak ke arahnya. Namun mendadak saja anak 

itu terperangah kaget. Bahkan jika saja pegangan 

kedua tangannya tidak kukuh, niscaya ia akan 

terpeleset jatuh.

Cahaya yang tadi bergerak-gerak ternyata 

telah ada lima langkah di depannya! Dan cahaya 

itu adalah sebuah nyala obor. Namun bukan nya-

la obor itu saja yang membuat si anak terperan-

gah kaget. Ternyata obor itu dibawa oleh seorang 

perempuan tua renta.

Ada keanehan yang membuat si anak sege-

ra membeliakkan sepasang matanya. Meski saat 

itu hujan turun dengan derasnya, namun sekujur 

tubuh si nenek tidak basah! Dan ternyata obor itu 

tidak digenggam tangannya, melainkan ditan-

capkan masuk ke bahu sebelah kanannya, hingga 

pakaiannya terlihat berlobang.

Nenek ini mengenakan pakaian mewah. 

Pakaian atasnya merupakan sebuah baju panjang 

berwarna hitam terbuat dari sutera. Pakaian ba-

wahnya berwarna hitam kembang-kembang putih 

juga dari bahan sutera. Rambutnya telah memu-

tih seluruhnya dan panjang hingga hampir betis.

Raut wajahnya sedikit lonjong dengan sepasang 

mata besar dan tajam berkilat. Hidungnya man-

cung dengan bibir merah tanpa polesan. Pada ke-

dua tangannya terlihat melingkar beberapa gelang 

yang berwarna kuning keemasan.

Meski si anak terperangah kaget, namun ia 

segera buka mulut berteriak. Pertanda bahwa ia 

adalah seorang anak pemberani, karena siapa 

pun juga akan merasa kecut jika melihat tampang 

angker si nenek.

"Nenek tua! Siapa kau...? Jangan mengha-

langi langkahku jika tak ingin kulempar dengan 

batu-batu bukit ini!"

Perempuan tua itu keluarkan dengusan 

dan menyeringai buruk. Sepasang matanya liar 

memperhatikan ke arah si anak. Dalam hati, di-

am-diam dia berucap.

"Menurut isyarat yang kuperoleh, rupanya 

anak ini yang bakal meneruskan langkahku! 

Hmmm.... Aku gembira sekali. Dia ternyata anak 

pemberani dan melihat paras wajahnya, dia juga 

seorang anak cerdik. Pandangan matanya tajam 

dan dingin, pertanda menyembunyikan kekeja-

man serta kelicikan! Memang, anak demikianlah 

yang kuharapkan!" si nenek segera dongakkan

kepala menatap curahan air hujan yang sejengkal 

menyibak di atas kepalanya.

"Orang tua! Lekas minggirlah! Aku mau le-

wat!" teriak si anak seraya mengencangkan pe-

gangannya pada terjalan batu dan hendak me-

rambat ke atas.

Meski tampang si nenek berubah tatkala 

diusir, namun bibirnya yang merah terlihat sedi-

kit sunggingkan senyum. Dia lalu berucap.

"Bocah kecil! Cuaca begini gelap dan me-

nakutkan, ke mana kau hendak pergi...?!"

Si anak urungkan niat merambat. Dengan 

mata memandang tajam, ia berkata. "Aku tak 

mau mengatakan pada orang yang belum kuke-

nai! Katakan dahulu siapa kau adanya!"

Perempuan tua tertawa pendek. Pandangan 

matanya beralih pada anak laki-laki di depannya.

"Anak kecil kurang ajar! Kau tak berhak 

menanyaiku! Justru akulah yang akan tanya pa-

damu. Jika kau tak menjawab, kau akan ku ten-

dang biar tubuhmu jatuh ke bawah sana! Kau 

dengar?!" 

Walau sedikit keder mendengar ancaman 

orang, karena sadar jika sampai jatuh ke bawah 

bukan hanya tubuhnya saja yang mengalami lu-

ka, namun lebih dari itu segala rencananya ingin 

menuntut ilmu akan hilang. Tapi anak ini ru-

panya pandai menyembunyikan perasaan. Den-

gan tanpa alihkan pandangan bahkan tersenyum 

sinis, dia berkata.

"Orang tua! Aku tak mau diancam. Kalau 

kau memang ingin menendangku, lakukanlah! 

Tapi jangan menyesal jika kau akan benjol-benjol 

kulempar dengan batu-batu ini!"

"Begitu?" si nenek tertawa panjang hingga 

obor di bahunya berguncang-guncang mengikuti 

gerakan bahunya.

"Kita buktikan siapa nanti yang benjol-

benjol. Sekarang katakan siapa namamu dan kau 

dari mana hendak ke mana?"

Si anak wajahnya sedikit merah mengelam. 

Dengan setengah berteriak dia berkata.

"Sudah kukatakan, aku tak mengatakan-

nya pada orang yang belum kukenai! Apa kau ti-

dak dengar?!"

Perempuan tua gelengkan kepala perlahan. 

Tiba-tiba tangan kirinya bergerak pelan. 

Wuttt!

Serangkum angin deras menghantam ke 

depan. Si anak merasakan tubuhnya bergetar, 

dan tak lama kemudian pegangan tangannya pa-

da terjalan batu goyah, demikian juga tekanan 

kakinya. Kejap kemudian pegangannya lepas dan 

tubuhnya perlahan melorot ke bawah. Karena ter-

jalan batu-batu itu sangat licin hingga tanpa am-

pun lagi tubuhnya melorot dengan deras, bahkan 

terlihat berguling-guling menghantam terjalan ba-

tu-batu bukit. Ketika gulingan tubuhnya terhenti 

karena tertahan terjalan batu besar, dia merasa-

kan perih di hampir sekujur tubuhnya. Dan keti-

ka dia bergerak bangkit dan melirik, dia terperan-

jat. Tangan dan kakinya tampak lecet-lecet. Bah-

kan ketika tangannya meraba keningnya, terasa 

tiga benjolan ada di situ!

"Keparat!" maki si anak seraya tertatih-

tatih bangkit. Kedua tangannya langsung meraup 

batu batu kecil yang berserakan. Dan serta-merta 

tubuhnya diputar, kedua tangannya mengayunmelemparkan batu-batu di tangannya.

Namun si anak terkejut. Nyala obor ternya-

ta telah tiada. Namun dia tetap saja lemparkan 

batu-batu di tangannya. Dia lantas menunggu. 

Dia berharap ada suara seruan tertahan pertanda 

salah satu lemparan batunya mengenai sasaran.

Tapi harapan si anak tidak terwujud, ma-

lah kejap itu juga terdengar desingan dari kegela-

pan. Dia membeliakkan sepasang matanya ingin 

tahu apa yang mendesing dan menuju ke arah-

nya. Betapa terlengaknya dia, karena suara de-

singan itu ternyata lesatan batu-batu yang tadi 

dilemparkannya. Namun kesadarannya terlambat. 

Sebelum dia sempat menghindar, batu-batu itu 

telah menghujam tubuhnya. Anehnya, tak satu 

pun batu yang meleset dari menghajar tubuhnya!

Si anak keluarkan jeritan tertahan. Karena 

meski batu-batu itu tidak begitu besar, namun 

begitu menghujam, rasanya seakan batu besar! 

Hingga tak lama kemudian, tubuhnya limbung 

dan jatuh bersandar pada batu besar. Kepalanya 

serta bibirnya terlihat mengeluarkan darah. Un-

tung batu yang menghajar wajahnya tidak begitu 

besar, jika tidak, bukan mustahil wajahnya akan 

hancur! 

Selagi si anak terhenyak dalam kesakitan, 

terdengar suara tawa mengekeh di sampingnya. 

Berpaling, dia terkesiap. Si nenek telah berdiri 

empat langkah di sampingnya dengan kacak 

pinggang. Obor di bahunya terlihat bergoyang-goyang.

"Bagaimana? Apakah benjolan itu minta di-

tambah?" berkata si nenek tanpa memandang.

Si anak geser tubuhnya menjauh. Tubuh-

nya terlihat menggigil, selain karena kehujanan, 

juga karena hatinya sedikit takut. Dia sadar, uca-

pan orang tua di sampingnya tidak main-main.

"Nenek berhati kejam! Ancamannya tidak 

main-main. Terpaksa aku harus menjawab perta-

nyaannya, agar aku segera sampai tujuan!" mem-

batin si anak.

"He! Kalau kau tetap membisu tak mau ja-

wab pertanyaan orang, tubuhmu akan kuseret ke 

atas dan kugelindingkan dari sana!" bentak si ne-

nek.

Meski dalam hati memaki-maki, akhirnya 

si anak buka mulut.

"Aku adalah Manding Jayalodra! Anak 

bungsu dari Panglima Perang Kerajaan Dhaha!"

Perempuan tua itu sedikit terkejut men-

dengar ucapan si anak.

"Anak seusia dia tidak mungkin bicara 

mengada-ada. Dan ini cocok dengan isyarat yang 

kuperoleh, bahwa manusia yang kelak bakal me-

neruskan cita-citaku adalah seorang anak pembe-

sar kerajaan!" Namun demikian, si nenek tak be-

gitu saja percaya. Dia lantas menanyakan siapa 

ayah serta ibu juga saudara-saudaranya. Ketika 

anak yang menyebutkan namanya Manding Jaya-

lodra mengatakan siapa nama ayah, ibu serta 

saudara-saudaranya, si nenek manggut-manggut 

seraya tersenyum.

"Lantas kau hendak ke mana? Sebagai 

anak seorang panglima tidak mungkin kau ke-

luyuran sendirian! Apalagi jarak antara Dhaha 

dan Bukit Tumpang Gede tidak dekat!"

Manding Jayalodra luruskan pandangan. 

Wajahnya tampak mengeras.

"Orang tua! Apa kau tak tahu? Panglima 

Perang Kerajaan Dhaha telah tewas terbunuh. 

Bahkan juga kerabat-kerabatnya!"

"Kau sendiri...?" si nenek ajukan perta-

nyaan.

Sejenak Manding Jayalodra terdiam dengan 

kepala mendongak, hingga wajahnya tercurahi air 

hujan. Setelah napasnya sesak menahan cucuran 

air hujan dia kembali luruskan kepalanya me-

mandang si nenek yang tegak menunggu jawa-

ban.

"Waktu terjadi pembantaian atas keluarga-

ku, aku berhasil diselamatkan oleh salah seorang 

pamanku. Lantas aku hidup bersama Paman. 

Namun karena aku masih menjadi orang buruan, 

Paman menyuruhku untuk hidup dengan me-

nyamar. Sejak saat itulah, aku hidup sebagai 

orang biasa. Dan hidupku makin sengsara ketika 

Paman akhirnya juga tewas. Aku lantas hidup 

luntang-lantung, seperti seorang pengemis! Hidup 

dengan tidur beralaskan tanah dan berselimut 

angin!"

"Hmm.... Mengenaskan. Lalu ke mana kau 

hendak pergi?!"

"Mendiang Paman pernah mengatakan pa

daku, bahwa di Bukit Tumpang Gede, berdiam 

seorang sakti. Aku ingin menemuinya sekaligus 

berguru padanya! Setelah aku menjadi orang be-

rilmu tinggi dan sakti, akan kuhancurkan orang-

orang yang membantai keluargaku! Mereka tak 

akan kusisakan satu pun!" tangan Manding Jaya-

lodra mengepal. Wajahnya merah padam. Da-

gunya yang kokoh membatu.

"Kau juga seorang pendendam! Bagus, se-

gala sifat itu yang kubutuhkan! Meski semua 

orang tahu, Panglima Perang Kerajaan Dhaha di-

bantai karena telah menyusun kekuatan hendak 

berbuat makar pada kerajaan!" si nenek memba-

tin.

Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang 

ini saling diam. Namun tak lama kemudian Mand-

ing Jayalodra berkata.

"Aku telah mengatakan siapa diriku. Seka-

rang jangan halangi lagi perjalananku! Aku harus 

segera bertemu dengan orang sakti itu!"

Si nenek angguk-anggukkan kepala. Meli-

hat hal ini, Manding Jayalodra hendak mulai me-

langkah naik kembali. Namun gerakannya terta-

han tatkala didengarnya si nenek berkata.

"Tunggu! Sebelum kau meneruskan men-

daki, katakan padaku, siapa nama pamanmu itu!"

Meski dengan paras jengkel, namun Mand-

ing Jayalodra buka suara.

"Candrik Raturandang!"

Si nenek anggukkan kepala. "Hmm.... Can-

drik Raturandang. Tokoh silat golongan hitam

yang pernah merajalela yang bergelar 'Si Penyebar 

Maut'. Aku tidak heran jika anak ini pemberani 

dan pendendam, ini buah didikan pamannya! 

Dengan demikian, aku hanya tinggal memupuk-

nya...," lalu dia berpaling pada Manding Jayalodra 

dan berkata.

"Kalau mau kunasihati, urungkan niatmu 

ke puncak bukit untuk menemui orang yang kau 

sebut sakti itu! Keadaan terlalu gelap dan jalanan 

licin! Belum lagi sambaran kilat dan gelegar gun-

tur yang siap menggemuruh. Lebih baik kau 

kembali dan terimalah apa adanya hidup!"

Secepat kilat Manding Jayalodra palingkan 

wajahnya pada si nenek.

"Orang tua! Jangankan hanya petir dan 

guntur serta jalan licin, lautan api pun akan kua-

rungi! Aku tak mau hidup sebagai pengemis! Di-

hina serta dicaci maki! Lebih dari itu, aku ingin 

membalas atas kematian saudara kerabatku!"

Si nenek tertawa panjang.

"Kalau itu kehendakmu, silakan teruskan! 

Aku hanya mengingatkan!" habis berkata begitu 

dia melirik pada Manding Jayalodra yang tak per-

dengarkan ucapannya dan mulai melangkah 

mendaki dengan tertatih-tatih.

"Semangatnya besar dan tak kenal menye-

rah! Hmm.... Anak yang kuinginkan!"

"Perempuan tua bangka cerewet! Banyak 

omong tak karuan! Tanya segala macam! Jika ti-

dak berjumpa dengannya mungkin aku telah 

sampai puncak bukit! Tapi.... Dari mana dia?

Apakah dia juga baru saja menemui orang sakti 

yang di katakan Paman itu? Tololnya aku, kenapa 

aku tidak tanya?" Manding Jayalodra menoleh ke 

belakang.

Manding Jayalodra tersirap darahnya seke-

tika. Perempuan tua pembawa obor tak ada di 

tempatnya semula, padahal dia baru melangkah 

dua tindak! Seakan tak percaya, Manding Jayalo-

dra menyapukan pandangan berkeliling dengan 

menunggu kilatan petir. Dan saat kilat menyam-

bar, dia baru yakin jika perempuan itu tidak ada 

di tempat itu!

"Sialan! Ke mana minggatnya orang tua 

itu? Jangan-jangan dia hantu penunggu bukit 

ini!" tengkuknya merinding. Namun dia segera ba-

likkan tubuh dan meneruskan langkah meski tak 

jarang sepasang matanya melirik ke samping ka-

nan dan kiri.

"Keparat! Kalau saja tidak demi untuk 

membalas dendam, aku ingin rasanya turun 

kembali!" omel Manding Jayalodra seraya terus 

melangkah dengan merambat pelan-pelan.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup 

berat, bahkan tak jarang harus berputar untuk 

menghindari lereng yang tinggi, Manding Jayalo-

dra akhirnya tiba juga di puncak bukit.

Begitu tubuhnya mencapai puncak bukit 

yang ternyata merupakan daratan berbatu, Mand-

ing Jayalodra segera hempaskan tubuhnya. Mele-

paskan kepenatan dan keperihan di sekujur tubuhnya.

Namun ada keanehan terjadi saat bersa-

maan sampainya Manding Jayalodra tiba di pun-

cak bukit. Hujan tiba-tiba hentikan curahannya, 

guntur tidak lagi terdengar menggelegar. Kilat tak 

menyambarkan sinarnya dan arak-arakan awan 

hitam bergerak memudar hingga tak lama kemu-

dian cuaca berubah terang.

"Edan! Cuaca membaik lagi begitu perjala-

nan telah sampai!" rutuk Manding Jayalodra se-

raya arahkan pandangan ke sebelah barat. Ter-

nyata matahari telah hampir tenggelam, namun 

pancaran sinar merahnya masih mampu mene-

rangi ke angkasa.

Manding Jayalodra lalu arahkan pandan-

gannya mengelilingi puncak bukit. Dia terkejut. 

Di situ hanya tampak batu-batu tanpa sebuah 

bangunan pun!

"Apa mendiang Paman tidak berkata dus-

ta? Di sini tak kulihat tempat yang pantas dihuni 

oleh manusia!"

Selagi Manding Jayalodra merenung, tiba-

tiba terdengar suara tawa mengekeh panjang. Me-

lirik ke samping, dari mana suara tawa bersumb-

er, dia terlengak. Bahkan tubuhnya yang masih 

menggelosoh digeser ke belakang dengan mata 

mendelik lebar.

"Dia...!" seru Manding Jayalodra begitu 

mengenali siapa adanya orang yang mengelua-

rkan tawa dan kini berdiri di atas sebuah batu 

agak besar tanpa memandang ke arahnya.

"Gila! Bagaimana dia tahu-tahu telah sam

pai di sini? Jangan-jangan dia memang hantu 

bukit yang sengaja menggodaku!" kembali teng-

kuk Manding Jayalodra dingin.

Selagi Manding Jayalodra bengong tak tahu 

apa yang harus diperbuat atau diucapkan, sosok 

yang mengeluarkan tawa yang ternyata perem-

puan tua yang ditemui saat mendaki bukit buka 

suara.

"Manding Jayalodra! Semangatmu besar! 

Aku suka itu!"

Manding Jayalodra bergerak bangkit meski 

tubuhnya masih dirasa seakan remuk. Sepasang 

matanya memandang lekat-lekat ke arah orang 

tua.

"Nenek tak dikenal! Siapa sebenarnya, dan 

apa maksudmu mengikuti perjalananku?"

Yang ditegur kembali keluarkan tawa pan-

jang.

"Siapa bilang aku mengikuti perjalanan-

mu? Pasang telingamu baik-baik! Ini adalah tem-

pat tinggalku!"

Manding Jayalodra surutkan langkah dua 

tindak. Sepasang matanya makin melotot besar. 

Tiba-tiba dia melangkah maju.

"Jadi, apakah kau yang bergelar Iblis Ge-

lang Kematian? Penghuni Bukit Tumpang Gede 

ini?!"

"Aku telah sebutkan bahwa ini adalah tem-

pat tinggalku. Jadi tidak usah kukatakan siapa 

diriku!"

Manding Jayalodra tercenung sejenak. Da

lam hati diam-diam dia berucap.

"Hmm.... Jadi dialah manusia yang berge-

lar Iblis Gelang Kematian. Orang yang kucari!' dia 

lantas melangkah mendekat. Sejenak ditatapnya 

orang tua di hadapannya yang ternyata bukan 

lain adalah Iblis Gelang Kematian penghuni Bukit 

Tumpang Gede. Seorang tokoh sakti yang na-

manya tak asing lagi bagi rimba persilatan. Kare-

na semasa malang melintangnya di arena rimba 

persilatan banyak tokoh-tokoh sakti berilmu ting-

gi baik dari golongan hitam maupun putih yang 

berhasil dibuatnya tewas!

"Jika begitu, aku tengah berhadapan den-

gan tokoh sakti bergelar Iblis Gelang Kematian?" 

kata Manding Jayalodra dengan hanya sedikit 

anggukan kepalanya.

Melihat sikap Manding Jayalodra yang 

hanya menganggukkan sedikit kepalanya meski 

terhadap orang yang hendak diharapkan menjadi 

gurunya, Iblis Gelang Kematian sedikit geram dan 

jengkel. Namun hal itu menambah kesukaan to-

koh tua ini pada Manding Jayalodra.

"Hmm.... Sikapnya yang terlalu meman-

dang sebelah mata pada orang, menambah keya-

kinanku bahwa memang anak inilah yang diisya-

ratkan itu!"

"Guru Iblis Gelang Kematian! Kuharap kau 

sudi menerimaku sebagai murid!" Manding Jaya-

lodra berkata dengan memanggil Guru, membuat 

Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh.

"Anak lancang! Siapa yang telah mengang

katmu sebagai murid hingga kau berani memang-

gilku Guru?"

Manding Jayalodra terdiam. Setelah mena-

rik napas dalam-dalam, dia berkata.

"Kau memang belum menerimaku sebagai 

murid. Namun aku telah mengangkatmu sebagai 

guru!"

Tawa Iblis Gelang Kematian semakin keras 

dan panjang.

"Kalau aku tak menginginkanmu menjadi 

murid...?!" Iblis Gelang Kematian ajukan perta-

nyaan di sela suara tawanya.

"Kau harus mau! Jika tidak, aku akan 

mencari guru yang lebih sakti daripadamu. Dan 

kau termasuk deretan nama yang kelak akan ku-

basmi!"

"Hi... hi... hi...! Ternyata kau juga pandai 

mengancam! Terus terang segala sikapmu itu ku-

suka. Dan aku memang membutuhkan seorang 

murid! Namun bukan berarti tanpa syarat jika 

kau ingin menjadi muridku!"

Mungkin karena gembira mendengar uca-

pan Iblis Gelang Kematian, serta-merta Manding 

Jayalodra jatuhkan diri dan berkata.

"Katakan segala syaratmu! Semua akan 

kujalani!"

Iblis Gelang Kematian gerakkan kepalanya 

menggeleng perlahan.

"Aku akan mengatakan syarat itu jika kau 

telah mempelajari segala ilmu yang akan kuberi-

kan padamu! Jika nantinya kau menolak sya

ratku, kau akan kubunuh dengan tanganku sen-

diri! Kau mengerti...?!"

Meski dalam hati masih penuh dengan rasa 

heran atas ucapan Iblis Gelang Kematian, akhir-

nya Manding Jayalodra anggukkan kepala.

"Bagus! Sekarang ikuti aku!" Iblis Gelang 

Kematian tekankan kaki kirinya pada batu di ba-

wahnya. Terdengar suara berderit bergeseknya 

dua batu.

Manding Jayalodra melangkah mendekat. 

Ternyata di samping batu tempat Iblis Gelang 

Kematian berdiri tampak sebuah lobang mengan-

ga.

Tanpa berpaling lagi, Iblis Gelang Kematian 

melesat masuk. Manding Jayalodra sejenak men-

gawasi lobang. Karena cuaca sudah mulai gelap, 

maka matanya hanya menangkap lobang yang hi-

tam pekat. Sejurus anak laki-laki ini terlihat bim-

bang. Namun mengingat kata-kata perintah Iblis 

Gelang Kematian yang menyuruhnya ikut, akhir-

nya dia terjunkan diri ke dalam lobang meski 

dengan tubuh gemetar dan kuduk merinding ser-

ta kedua mata dipejamkan rapat-rapat!


DUA



SANG mentari telah jauh menggelincir dari 

titik tengahnya, dan kini tengah siap hendak masuk ke tempat peraduannya. Cahayanya yang panas menyengat telah berubah ditindih dingin udara senja yang merambat datang. Dan bersamaan 

dengan tenggelamnya sang penerang bumi, di 

ufuk timur terlihat sang rembulan keluar dari lin-

tasan awan putih. Hingga meski malam telah 

menjelang, namun dataran bumi tampak terang, 

apalagi saat ini bulan menginjak hari kelima be-

las.

Di arah selatan, diterangi cahaya rembulan 

purnama, Bukit Tumpang Gede tampak menju-

lang. Terjalan-terjalan batu-batunya terlihat ber-

warna kuning kemerahan. Di puncak bukit inilah 

pada sembilan tahun yang silam Manding Jayalo-

dra, seorang anak Panglima Perang Kerajaan 

Dhaha melakukan perjalanan dan akhirnya ber-

temu dengan Iblis Gelang Kematian yang kemu-

dian diangkatnya menjadi guru.

Di tengah dataran puncak bukit, tampak 

sebuah batu besar yang di sebelahnya terdapat 

lobang menganga. Jika dilihat sepintas, orang ti-

dak akan menduga jika di dalam lobang itu ter-

dapat penghuninya, karena selain lobang itu 

hanya sebesar tubuh manusia biasa, lobang itu 

juga terlihat gelap. 

Lain apa yang terlihat dari atas, lain pula 

apa yang ada di dalam. Ternyata lobang itu 

menghubungkan dengan sebuah ruangan besar 

yang dinding serta langit-langitnya terbuat dari 

batu-batu bukit berwarna putih. Di pojok ruan-

gan tampak sebuah nyala obor yang ditancapkan 

begitu saja pada dinding batu, hingga ruangan itu 

terang-benderang.

Di tengah ruangan, dua orang terlihat du-

duk saling berhadapan. Yang satu adalah seorang 

perempuan yang usianya telah lanjut. Rambutnya 

putih dan panjang hingga tatkala dia duduk, 

rambut itu bergeraian di lantai ruangan. Sepa-

sang matanya besar dengan bibir merah. Pada 

kedua tangannya melingkar beberapa gelang ber-

warna kuning keemasan. Sedangkan satunya lagi 

adalah seorang pemuda berusia kira-kira dua pu-

luh satu tahun. Parasnya tampan dengan dada 

bidang menandakan jika tubuhnya tegap. Sepa-

sang matanya tajam bersinar, dagu kencang ko-

koh, serta rambut panjang sebahu dengan otot-

otot tangan tampak bertonjolan.

Meski duduk berhadap-hadapan, namun 

dari keduanya tak terdengar salah seorang di an-

taranya membuka suara. Bahkan sepasang mata 

perempuan tua di hadapan sang pemuda terpe-

jam setengah membuka. Sementara si pemuda 

tak kesiap memandangi orang tua di hadapannya.

"Sialan! Sampai kapan aku harus menung-

gu dia terjaga?" sang pemuda membatin seraya 

lepaskan napasnya panjang-panjang seakan me-

lampiaskan rasa kecewa. Namun demikian, ia tak 

hendak beranjak dari hadapan si orang tua.

Namun setelah ditunggu agak lama, si 

orang tua tetap pada sikapnya semula, sang pe-

muda tak dapat menahan sabar. Dagunya mulai 

tampak terangkat dengan mata makin berkilat 

mendelik.

"Keparat! Dia menyuruhku ke sini. Setelah

sampai, matanya terpejam dan mulutnya menga-

tup. Apa maksudnya? Jika saja tidak meman-

dangnya sebagai guru sudah tentu akan kurobek 

mulutnya!" membatin sang pemuda dengan paras 

merah padam.

Sesaat kemudian si pemuda yang bukan 

lain adalah Manding Jayalodra buka sedikit mu-

lutnya hendak mengucapkan sesuatu. Namun tak 

ada suara yang terdengar dari mulutnya hendak 

mengucapkan sesuatu. Namun tak ada suara 

yang terdengar dari mulutnya. Dia tampak bim-

bang. Akhirnya dia gerakkan kepala memandang 

ke samping. Dahinya mengernyit seakan sedang 

memikirkan sesuatu. Lantas tak berselang lama, 

dia kembali pandangi orang tua di hadapannya 

yang bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian. 

Mulutnya kembali bergerak membuka. Namun la-

gi-lagi suara tak terdengar. Setelah menarik na-

pas dalam-dalam, dia membatin.

"Peduli setan! Aku harus bertanya, apa 

maksudnya dia memanggilku!" Manding Jayalo-

dra ambil keputusan. Lalu dia buka mulutnya 

berkata.

"Guru! Tentunya ada sesuatu yang sangat 

penting hingga kau memanggilku dari tempat la-

tihan. Harap kau segera mengatakan kepentin-

ganmu!"

Manding Jayalodra menunggu. Namun 

orang yang ditegur tetap diam seperti semula. 

Bahkan membuka matanya untuk memandang 

pun tidak, membuat Manding Jayalodra parasnya

makin mengeras, dan matanya makin melotot 

angker.

"Guru! Kurasa kau dengar ucapanku. Ha-

rap kau suka menjawab! Atau kalau memang tak 

ada perlu, aku akan meneruskan latihan!" kemba-

li Manding Jayalodra berkata, malah kali ini sua-

ranya sedikit dikeraskan.

Iblis Gelang Kematian perlahan-lahan buka 

kelopak matanya. Bibirnya bergerak komat-kamit. 

Sejenak ditatapnya Manding Jayalodra, setelah 

menarik napas dalam-dalam dia berkata.

"Manding Jayalodra! Malam ini adalah ber-

tepatan dengan seratus delapan purnama kau be-

rada di puncak Bukit Tumpang Gede. Seratus de-

lapan purnama kau telah belajar ilmu padaku. 

Dan rasa-rasanya, seluruh ilmuku telah kutu-

runkan padamu! Dan dirimu kini bukan lagi 

Manding Jayalodra pada sembilan tahun silam. 

Kau telah menjadi seorang pemuda dengan ilmu 

tinggi! Tapi ingat, kau harus jalankan apa yang 

kita ikrarkan bersama! Kau harus musnahkan 

manusia-manusia yang tidak sealiran dengan ki-

ta! Tidak peduli dari golongan mana manusia itu 

adanya! Kau ingat itu?!"

Manding Jayalodra anggukkan kepala.

"Aku ingat, Guru! Dan segala petunjukmu 

akan kulakukan!"

Iblis Gelang Kematian tersenyum puas. Ke-

palanya manggut-manggut. Namun sesaat kemu-

dian kepalanya bergerak ke atas. Dari mulutnya 

terdengar ucapan.

"Manding! Aku memang ada perlu menyu-

ruhmu datang...," sejenak Iblis Gelang Kematian 

hentikan ucapannya, sementara Manding Jayalo-

dra diam menunggu dengan mata tak kesiap.

"Malam ini, adalah terakhir kau berada di 

sini. Bekalmu untuk malang melintang di rimba 

persilatan kuyakin telah lebih dari cukup! Namun 

demikian, setelah turun dari Bukit Tumpang Gede 

ini kau harus berhati-hati pada beberapa orang 

yang kemungkinan besar akan menjadi pengha-

lang besar bagi rentangan sayapmu. Kau harus 

waspada jika bertemu dengan mereka!"

"Guru! Sebutkan siapa saja mereka itu!" 

sahut Manding Jayalodra seakan tak sabar, 

membuat Iblis Gelang Kematian tersenyum.

"Dengar baik-baik! Orang pertama yang ha-

rus kau waspadai dan kalau perlu segera kau 

musnahkan adalah seorang pemuda bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108. Dialah pemuda 

yang saat ini menjadi momok bagi orang golongan 

hitam. Dia adalah murid tunggal seorang sakti 

dari Karang Langit yang berjuluk Wong Agung. 

Selain berkepandaian tinggi, Pendekar Mata Ke-

ranjang mempunyai senjata mustika ciptaan Em-

pu Jaladara yaitu sebuah kipas berwarna ungu. 

Lain daripada itu, kabarnya dia telah pula berha-

sil mendapatkan sebuah arca yang beratus tahun 

menjadi incaran tokoh-tokoh rimba persilatan. 

Jadi dapat kau bayangkan bagaimana hebatnya 

pemuda itu! Tapi kau tak usah berkecil hati, 

kuyakin kau mampu menghadapinya. Hanya saja

dibutuhkan beberapa muslihat untuk menun-

dukkan orang seperti dia! Hal itu kurasa kau bisa 

mengaturnya sendiri!"

"Bagaimana aku dapat menemukan manu-

sia bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 itu?" 

Manding Jayalodra ajukan pertanyaan. Wajahnya 

tampak makin merah padam, apalagi tatkala di-

dengarnya bahwa si pemuda berilmu tinggi dan 

memiliki senjata mustika.

"Hmm.... Orang seperti dia gampang-

gampang susah menemukannya. Hanya satu hal 

yang harus kau lakukan jika kau ingin segera 

bertemu dengannya!"

"Katakan apa yang harus kulakukan!" ujar 

Manding Jayalodra.

Sejenak Iblis Gelang Kematian menghela 

napas dalam-dalam. Perasaan lega menyelimuti 

perasaannya. Dia diam-diam bersyukur memilih 

orang yang tepat.

"Hmm.... Anak ini sepertinya tak sabar. Si-

fatnya yang tidak ingin diungguli tampak jelas...," 

lalu dia berkata.

"Muridku! Kalau kau bisa membuat kege-

geran, apalagi berhasil membunuh tokoh atas, 

baik golongan hitam lebih-lebih golongan putih, 

maka tanpa kau cari, Pendekar 108 akan gen-

tayangan mencarimu!"

Manding Jayalodra anggukkan kepala, lalu 

berkata kembali.

"Selain Pendekar Mata Keranjang siapa lagi 

orang yang menurut Guru akan menjadi penghalang ku?"

"Kedua guru Pendekar 108. Mereka adalah 

Wong Agung dari Karang Langit serta kakak se-

perguruannya Selaksa. Namun berat dugaan ke-

dua orang ini telah tidak mau melibatkan diri da-

lam rimba persilatan. Mereka telah memikulkan 

tugas pada muridnya Pendekar 108. Namun de-

mikian kau masih harus waspada. Tidak mustahil 

orang seperti mereka mendadak muncul!" Iblis 

Gelang Kematian hentikan keterangannya seje-

nak. Setelah mendehem beberapa kali dia melan-

jutkan.

"Orang yang harus kau waspadai selanjut-

nya adalah seorang pemuda bergelar Malaikat 

Berdarah Biru. Kabarnya pemuda ini dahulu per-

nah mendapatkan kipas hitam pasangan kipas 

milik Pendekar Mata Keranjang. Namun kabar se-

lanjutnya, pemuda ini berhasil dikalahkan Pende-

kar 108 dan kipasnya dirampas! Pemuda itu 

hingga sekarang tak jelas lagi kabar beritanya. 

Entah masih hidup atau sudah tewas. Namun ji-

ka kenyataannya nanti dia masih hidup, dekati 

pemuda itu! Orang yang harus kau waspadai se-

lanjutnya adalah seorang pemuda seusiamu. Dia 

bergelar Gembong Raja Muda. Seorang bekas mu-

rid Ageng Panangkaran, seorang tokoh golongan 

putih yang pernah masyhur pada zamannya. Na-

mun sekarang ini kudengar Gembong Raja Muda 

berguru pada orang kerdil bernama Bawuk Raga 

Ginting. Seperti halnya Malaikat Berdarah Biru, 

pemuda ini kabarnya juga pernah dibuat babak

belur oleh Pendekar 108. Kalau bisa orang-orang 

seperti ini harus segera kau rangkul. Orang yang 

pernah sakit hati seperti mereka mudah untuk 

diperalat. Nah, kau harus dapat gunakan kele-

mahannya!"

Untuk kesekian kalinya kepala Manding 

Jayalodra bergerak mengangguk.

"Muridku!" kata Iblis Gelang Kematian me-

lanjutkan keterangannya.

"Selain tokoh yang kusebutkan di atas ten-

tunya masih banyak tokoh lain yang perlu kau 

waspadai. Di antaranya adalah Putri Tunjung 

Kuning. Ratu Pulau Merah, Dayang Naga Puspa 

juga tokoh-tokoh tua yang kabarnya kini muncul 

kembali dan terlalu banyak jika disebut satu per-

satu. Hanya saja, jika kau melakukan semua pe-

tunjuk yang kuberikan selama ini, kurasa kau tak 

akan kesulitan menghadapi mereka! Perlu kuin-

gatkan sekali lagi, ilmu tinggi tidak ada gunanya 

tanpa disertai kecerdikan yang dibaur dengan ke-

licikan! Kau mengerti?"

Manding Jayalodra anggukkan kepalanya.

"Bagus! Malam ini tiba saatnya bagimu 

menghirup udara luar bukit! Pergilah dan laku-

kan apa yang telah kukatakan!

Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kema-

tian melepas beberapa gelang di tangannya dan 

diberikan pada Manding Jayalodra. Tangannya 

kemudian menelikung ke belakang. Dan ketika di-

tarik kembali, di genggamannya terlihat buntalan 

besar.

"Di luar nanti, kenakan apa yang ada di da-

lam buntalan ini. Dan sejak malam ini namamu 

harus diganti dengan 'Penyair Berdarah'! Ini se-

suai dengan tembang-tembang yang kuajarkan 

padamu!"

"Nama bagus!" sahut Manding Jayalodra 

seraya busungkan dada dan tersenyum lebar.

"Nama itu memang layak kau sandang. Ka-

rena suara tembang-tembang akan selalu kau 

ucapkan begitu bertemu lawan dan lancarkan se-

rangan! Nah, waktumu untuk menghirup udara 

luar telah tiba!"

Manding Jayalodra yang kini telah digelari 

gurunya dengan Penyair Berdarah anggukkan ke-

pala, lalu tanpa tunggu lebih lama lagi dia berge-

rak bangkit dan melangkah ke arah pojok ruan-

gan di mana terdapat lobang yang menghubung-

kan dengan dunia luar. Sejenak dia tengadah 

memperhatikan lobang di atasnya. Lalu berpaling 

ke samping. Murid Iblis Gelang Kematian ini ter-

perangah dengan mata liar berkeliling.

"Ke mana dia...?!" gumam Penyair Berdarah 

seraya gerakkan kepala berputar. Ternyata Iblis 

Gelang Kematian sudah tidak ada di tempatnya 

semula, malah meski dia telah menyapukan pan-

dangannya ke seluruh ruangan, sang guru tidak 

terlihat batang hidungnya!

"Ah, kenapa aku pusing memikirkan dia? 

Bukankah malam ini adalah saat-saat yang ku-

nantikan selama sembilan tahun? Bisa menghi-

rup udara luar serta melihat pemandangan lain!"

kata Penyair Berdarah seraya jejakkan sepasang 

kakinya. Tubuhnya melesat melewati lobang dan 

mendarat di dataran batu puncak Bukit Tumpang 

Gede.

Sejenak Penyair Berdarah lepaskan pan-

dangannya berkeliling. Napasnya terlihat berhem-

bus panjang-panjang seakan ingin menikmati 

udara luar yang baru saja dirasakan.

Setelah agak puas menghirup udara luar, 

Penyair Berdarah buka buntalan di tangannya. 

Ternyata buntalan itu berisi tiga pakaian, terdiri 

atas satu baju berwarna merah dan celana ber-

warna kuning, serta sebuah jubah panjang ber-

warna hitam bergaris-garis putih.

Tanpa pikir panjang lagi, Penyair Berdarah 

mengenakan pakaian itu.

"Hmm.... Pakaian ini tampaknya terbuat 

dari bahan bagus. Dari mana Guru menda-

patkannya? Pakaiannya yang dikenakan Guru 

pun terlihat mewah. Siapa dia sebenarnya? Sem-

bilan tahun hidup bersama, dia selalu mungkir ji-

ka ditanya soal asal-usulnya. Tak jadi apa, yang 

penting aku telah mendapatkan ilmu darinya! 

Dan aku akan jadi manusia yang ditakuti!" gu-

mamnya seraya memandang ke bawah. Lantas 

tengadah ke atas dan berteriak.

"Wahai para penghuni bumi, sambutlah 

kedatangan Penyair Berdarah! Seorang manusia 

baru yang akan mengalirkan darah orang-orang 

yang tidak sejalan! Seorang manusia yang akan 

mengalirkan darah dengan tembang-tembang

maut!"

Habis berteriak, Penyair Berdarah jejakkan 

kakinya. Tubuhnya melesat dan lenyap dari pun-

cak Bukit Tumpang Gede.

Pada sebuah batu, tiba-tiba muncul seso-

sok tubuh. Dia adalah seorang perempuan tua 

dan bukan lain adalah Iblis Gelang Kematian.

"Hmm.... Pilihanku ternyata tidak meleset!" 

gumam Iblis Gelang Kematian seraya mengawasi 

kelebatan muridnya, meski hanya samar-samar 

karena cepatnya lesatan Penyair Berdarah.


TIGA


PEMUDA berparas tampan berpakaian 

warna hijau itu hentikan larinya di bibir jurang di 

ujung lembah. Sepasang matanya yang tajam 

menyapu ke bawah. Yang terlihat hanyalah rin-

dang dedaunan pohon-pohon benalu serta gelap 

pekat curamnya jurang. Kepalanya lantas berge-

rak ke kanan kiri. Tak lama kemudian dia mena-

rik napas panjang dan dalam-dalam seakan mele-

pas rasa gundah dan kecewa yang melanda da-

danya. Setelah mengusap keringat yang memba-

sahi dahi dan lehernya, dia balikkan tubuh dan 

melangkah gontai ke tengah lembah. Pada sebuah 

batu agak besar dia hempaskan pantatnya lalu 

duduk bersandar dengan mata memandang lurus 

ke depan. Tatapannya terlihat kosong.

"Heran. Ke mana perginya dia? Padahal

aku meninggalkannya tidak lama. Aku yakin pasti 

ada orang yang menculiknya. Tak mungkin dia 

melarikan diri. Tubuhnya masih dalam keadaan 

terluka dalam. Apakah telah diambil oleh gu-

runya...?" sang pemuda membatin. Kembali dia 

menarik napas dalam-dalam.

"Kalau memang diambil kembali oleh gu-

runya, sungguh kasihan dia. Pasti dia akan me-

nerima hukuman berat! Karena telah menolong 

menyelamatkan jiwaku. Tapi... benarkah dia me-

nolongku? Atau semua itu dia lakukan karena ti-

dak rela jika aku tewas di tangan orang lain meski 

orang itu adalah gurunya? Ah, Sakawuni.... Ke-

napa semua ini harus terjadi? Kenapa kau terma-

kan oleh fitnah? Hmm.... Begitu cepatnya semua 

berubah!" sang pemuda meneruskan kata ha-

tinya. Sebentar kemudian dia tampak mengambil 

sesuatu dari balik pakaiannya. Ternyata yang di-

ambil adalah sebuah kipas lipat. Dengan sekali 

sentak kipas di tangannya mengembang dan 

langsung digerakkan pulang balik di depan da-

gunya.

Setelah berkipas-kipas beberapa lama, pe-

muda ini yang bukan lain adalah Aji alias Pende-

kar Mata Keranjang 108 akhirnya bangkit.

"Untuk sementara aku harus menemui 

Dewi Kayangan. Masalah Sakawuni bisa dicari 

sambil jalan...," putus Aji seraya melangkah hen-

dak meninggalkan lembah. Namun baru saja me-

langkah tiga tindak, mendadak terdengar suara 

deruan angin menyambar dari tiga jurusan. Bersamaan dengan itu berkelebat tiga sosok bayan-

gan dan langsung berdiri berjajar dengan jarak 

lima tombak antara satu sama lain.

Pendekar 108 serentak hentikan langkah 

dan cepat berpaling. Sepasang matanya lantas 

mengedar memandangi satu persatu tiga sosok 

yang kini ada di hadapannya.

Orang yang berada paling kanan adalah 

seorang laki-laki setengah baya. Mengenakan pa-

kaian mewah warna putih bersih berenda-renda 

kuning dari benang emas. Di dadanya terlihat ke-

pingan-kepingan logam emas yang ditata rapi ber-

jejer ke bawah. Rambutnya panjang dan kelimis. 

Kumis dan jenggotnya terawat rapi. Namun demi-

kian, wajahnya tampak tak mengguratkan kera-

mahan. Sepasang matanya menyengat tajam. Bi-

birnya tak mengulas senyum bahkan terlihat sal-

ing menggegat.

Pendekar 108 sejenak memperhatikan laki-

laki setengah baya ini dan berkata dalam hati. 

"Hm.... Aku rasa-rasanya tidak mengenal laki-laki 

ini! Tapi melihat tampang serta pakaian yang di-

kenakan, mungkin dia dari golongan bangsawan. 

Siapa dia...?" sepasang matanya lantas beralih 

pada orang yang di tengah. Dia adalah seorang 

perempuan tua. Tubuhnya telah bungkuk. Men-

genakan pakaian warna gelap berupa baju pan-

jang dan celana komprang. Paras wajahnya telah 

mengeriput. Sepasang matanya besar dan melotot 

seakan-akan hendak meloncat keluar. Bibirnya 

amat tipis hingga seperti hanya sebuah sayatan

daging. Rambutnya keriting dan di-sanggul ke 

atas dan telah berwarna putih. Nenek ini agak 

aneh, karena meski tiada angin kencang yang 

berhembus, tubuhnya selalu bergerak-gerak 

doyong ke samping kanan dan kiri seakan terkena 

hempasan angin dahsyat.

Sementara orang di sebelah kiri adalah 

seorang kakek bertubuh kurus kering. Sepasang 

matanya sayu merah dan masuk ke dalam rongga 

yang amat cekung. Pakaian yang dikenakannya 

telah robek di sana-sini. Namun ada sedikit kea-

nehan pada kakek ini, hingga siapa pun yang ber-

temu pasti akan membelalakkan mata. Pada pun-

dak kakek ini tampak menyelempang ikat ping-

gang besar yang memutar hingga punggung. Dan 

pada ikat pinggang terdapat beberapa tali yang 

mengikat beberapa bumbung bambu agak besar. 

Dari bumbung bambu itu menebar bau arak me-

nyengat. Kepala kakek ini terus tengadah seraya 

tak henti-hentinya menenggak bumbung bambu 

yang berisi arak. Begitu arak pada satu bumbung 

habis dia hanya geser ikat pinggangnya ke bela-

kang. Lalu ambil bumbung lagi dan ditenggaknya. 

Namun demikian, kakek ini tidak terlihat goyah 

karena mabuk arak, hanya sepasang matanya 

yang makin merah sayu.

"Kakek ini benar-benar gila! Dia tampak 

tak goyah meski terus-terusan menenggak arak. 

Siapa pula dia...? Dan apa perlu mereka datang 

ramai-ramai seakan menghadang jalanku?" Aji te-

rus menduga-duga seraya tak melepaskan pandangannya pada ketiga orang di hadapannya.

Selagi Aji menduga-duga, sang nenek ang-

kat tangan kirinya dan berkata.

"Pemuda tampan! Kau tak usah terkejut. 

Meski kami datang bersama-sama, namun kami 

punya tujuan lain. Untuk singkatnya, baiklah ku-

katakan dulu siapa diriku dan apa tujuanku. 

Dengar dan pasang telingamu baik-baik!" sang 

nenek sejenak hentikan ucapannya, kepalanya 

berpaling sebentar ke kanan dan ke kiri.

Namun sebelum nenek ini lanjutkan uca-

pannya, Pendekar 108 telah angkat bicara.

"Nenek tua! Aku tak punya waktu banyak. 

Cepat katakan apa tujuanmu dan dua temanmu 

itu!"

Si nenek tertawa panjang. Tubuhnya ma-

kin doyong ke kanan dan kiri. Setelah puas terta-

wa dia tengadahkan kepala dan berkata.

"Tentang namaku biarlah kusimpan sendi-

ri. Untukmu akan kuberitahu julukanku saja. Se-

kali lagi harap pasang telinga baik-baik. Orang 

rimba persilatan menjulukiku Ratu Alam Bumi!"

Pendekar Mata Keranjang terkejut men-

dengar si nenek sebutkan gelarnya. Dalam rimba 

persilatan, manusia yang bergelar Ratu Alam 

Bumi memang sudah tidak asing lagi. Sesuai 

dengan gelaran yang disandang, orang ini me-

mang tidak segan-segan jatuhkan tangan untuk 

mengirimkan orang ke alam baka! Biarpun hanya 

kecil kesalahan yang diperbuat. Hingga selain di-

kenal berilmu tinggi, nenek ini juga dikenal sangat kejam beringas!

Meski sedikit terkejut, namun murid Wong 

Agung tak hendak menunjukkan paras takut. Se-

baliknya dia lantas tersenyum dan berkata.

"Hari ini sungguh suatu hari yang berarti. 

Aku dapat berjumpa dengan tokoh persilatan 

yang kesohor namanya! Tapi ada tujuan apa 

hingga Ratu Alam Bumi datang menghadang 

orang gelandangan sepertiku?!"

"Masalah tujuanku, itu kita bicarakan nan-

ti! Sekarang mungkin dia akan memperkenalkan 

diri.'" kata Ratu Alam Bumi seraya arahkan pan-

dangannya pada laki-laki setengah baya yang 

berpakaian mewah yang berada di sebelah ki-

rinya.

Yang dipandang sejenak membalas pan-

dangan Ratu Alam Bumi. Tampaknya ia tak se-

nang dengan sikap Ratu Alam Bumi yang menun-

juknya dengan pandangan mata. Namun entah 

karena keperluan dengan Pendekar Mata-

Keranjang dianggap lebih penting, maka sebentar 

kemudian, laki-laki berpakaian mewah ini lu-

ruskan pandangannya ke arah Pendekar 108 dan 

berkata.

"Hari sudah siang. Aku tak perlu bicara 

panjang lebar seperti nenek peot ini! Aku adalah 

Begal Tanah Hitam! Kepala rampok yang bermar-

kas di Lembah Hitam!" 

"Hmm.... Jadi ini manusianya kepala ram-

pok yang paling ditakuti! Logam-logam kepingan 

emas yang berjajar di dadanya tentu didapat dari

merampok!" batin Aji sambil memperhatikan Beg-

al Tanah Hitam lebih seksama. Sebentar kemu-

dian pandangannya beralih pada kakek yang tak 

henti-hentinya menenggak arak, karena tinggal 

dia yang belum memperkenalkan diri.

"Setan Arak! Waktu kita cuma sedikit, le-

kas bicara!" bentak Ratu Alam Bumi ketika di-

tunggu agak lama laki-laki tua di sebelah kirinya 

tak segera buka mulut untuk bicara. Malah mu-

lutnya dibuat mengembung dan mengempis 

mempermainkan arak di dalamnya.

Setelah menenggak arak di mulutnya, laki-

laki kurus ini segera palingkan wajah pada Ratu 

Alam Bumi. Tertawa mengekeh pendek lalu ber-

kata.

"Kau telah sebutkan siapa aku. Untuk apa 

lagi memperkenalkan diri? Buang-buang waktu 

saja! Lebih baik aku meneruskan minum arak!" 

tangan kanannya menggeser ikat pinggangnya, 

hingga bumbung yang telah habis bergeser ke be-

lakang melewati pundaknya. Di hadapannya kini 

telah terpegang bumbung bambu yang masih pe-

nuh arak. Tanpa acuhkan pandangan orang-

orang di sekitarnya, dia segera asyik dengan 

bumbung araknya.

"Setan Arak.... Hm.... Aku memang pernah 

mendengar gelar itu. Kabarnya ia adalah seorang 

yang berkepandaian tinggi. Dan menurut kabar 

yang selama ini tersiar, orang ini tingkah lakunya 

sukar ditebak. Kadang-kadang condong pada 

orang-orang golongan hitam dan tak jarang pula

berteman dengan orang-orang golongan putih. 

Hm.... Menghadapi orang demikian diperlukan 

siasat tersendiri! Tapi Ratu Alam Bumi tadi men-

gatakan mereka punya tujuan sendiri-sendiri, be-

rarti mereka tidak bersekongkol. Apa tujuan me-

reka sebenarnya...?" membatin Pendekar 108 Lalu 

arahkan pandangannya pada Ratu Alam Bumi 

dan berkata.

"Ratu Alam Bumi! Seperti katamu, waktu 

kita cuma sedikit. Lekas katakan apa tujuanmu 

menghalang-halangi langkahku!"

Ratu Alam Bumi tertawa pendek. Dengan 

tengadahkan kepala dia berkata.

"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108! Waktu kita memang sedikit. Dan agar 

cepat selesai, aku hanya berharap kau memberi-

kan Arca Dewi Bumi padaku!"

Mendengar ucapan Ratu Alam Bumi, Begal 

Tanah Hitam terlihat kerutkan dahi. Kepalanya 

bergerak pelan berpaling pada Ratu Alam Bumi. 

Diam-diam dia berkata dalam hati.

"Jahanam! Ternyata dia mempunyai tujuan 

sama denganku. Sebelum terlambat aku juga ha-

rus mengatakan tujuanku!" Begal Tanah Hitam 

lantas luruskan tubuh menghadap Ratu Alam 

Bumi dan berkata.

"Ratu Alam Bumi! Ternyata tujuan kita ti-

dak beda! Seperti dirimu, aku pun menginginkan 

Arca Dewi Bumi dari tangannya! Jadi jangan co-

ba-coba mendahuluiku jika kau ingin selamat ke-

luar dari lembah ini!"

Ratu Alam Bumi bukannya terkejut men-

dengar ucapan Begal Tanah Hitam. Malah tanpa 

memandang ke arah Begal Tanah Hitam, dia ber-

kata.

"Begal Tanah Hitam! Aku sejak semula 

memang telah menduga apa tujuanmu sebenar-

nya! Sekarang katakan apa maumu! Kau berha-

dapan denganku dahulu atau kita rampas arca 

itu lalu kita tentukan siapa di antara kita yang 

berhak memilikinya!"

Begal Tanah Hitam sejenak terdiam. Na-

mun tak lama kemudian tawanya terdengar ber-

gerai-gerai. "Ratu Alam Bumi! Aku hanya menge-

nalmu dari nama gelarmu yang begitu kesohor. 

Tapi aku belum pernah tahu bagaimana kenya-

taannya. Kuberi kesempatan padamu untuk men-

jajal pemuda itu. Aku khawatir kau hanya ber-

nama besar namun ompong isinya! Sia-sia tan-

ganku jika harus bergerak melawan manusia ti-

dak berisi! Ha ha ha...! Lawanlah dulu pemuda 

itu, setelah itu bisa kuputuskan apakah kau pan-

tas menghadapiku!"

Sebenarnya Begal Tanah Hitam mengata-

kan hal demikian karena diam-diam dia merasa 

keder menghadapi Ratu Alam Bumi. Dia sengaja 

menggertak dengan ejekan agar Ratu Alam Bumi 

segera bertarung dengan Pendekar 108. Dan jika 

itu terjadi, maka dia akan mencari kesempatan 

baik untuk melancarkan serangan.

Di samping, paras Ratu Alam Bumi terlihat 

berubah. Pelipisnya bergerak-gerak dengan mulut

komat-kamit. Sepasang matanya tambah mende-

lik.

"Begal Jahanam! Aku tahu, kau takut 

menghadapiku! Tapi tak apalah. Tunggulah hing-

ga aku menyelesaikan pemuda ini! Setelah itu ba-

ru giliranmu kukirim ke alam baka!"

"Hmm... bagaimana ini bisa terjadi? Antara 

teman sendiri saling adu mulut malah berencana 

hendak saling bunuh. Heran.... Tadinya kalian bi-

lang padaku hendak mengajak bersenang-senang 

minum arak tiga hari tiga malam. Mendadak be-

rubah jalan hendak merebut arca butut! Waduh, 

ternyata kalian manusia-manusia yang tidak bisa 

dipegang mulutnya! Lebih baik aku pergi, aku tak 

senang bertemu dengan orang yang mencla-

mencle! Gluk... gluk... gluk...!" mendadak Setan 

Arak menyela pembicaraan. Setelah menenggak 

arak dari bumbung bambu dia balikkan tubuh 

hendak meninggalkan tempat itu.

Namun baru saja hendak melangkah, Ratu 

Alam Bumi membentak garang.

"Setan Arak! Maju selangkah lagi kuhan-

curkan batok kepalamu! Tunggu di situ hingga 

urusanku selesai!"

Mendengar bentakan, Setan Arak hentikan 

langkah. Tiba-tiba suara tawanya meledak tinggi 

bergerai. Dan 'blukkk!' Setan Arak hempaskan 

tubuh kurusnya ke atas tanah dan duduk meng-

gelosoh. Tangan kanannya menarik bumbung 

bambu lalu menenggak isinya.

"Baiklah kalau itu maumu! Aku akan tetap

di sini melihat urusanmu! Asal kau tidak mence-

gahku untuk menenggak minuman kesayanganku 

ini!" habis berkata begitu, Setan Arak telah teng-

gelam dalam keasyikannya tersendiri.

"Hmm.... Berarti manusia arak ini tidak 

punya tujuan tertentu!" bisik Pendekar 108 dalam 

hati seraya gelengkan kepala melihat sikap Setan 

Arak.

"Pendekar 108! Kau telah dengar kata-

kataku, lekas serahkan arca itu padaku!" tiba-tiba 

Ratu Alam Bumi keluarkan bentakan setelah di-

tunggu agak lama Pendekar 108 hanya meman-

dang Setan Arak dengan senyum-senyum.

Pendekar 108 usap-usap hidungnya. Kepa-

lanya digelengkan ke kanan kiri, mengikuti 

doyongan tubuh Ratu Alam Bumi, membuat pe-

rempuan tua ini membelalakkan matanya. Mu-

lutnya yang sangat tipis bergerak membuka. Na-

mun sebelum suaranya terdengar, Pendekar 108 

telah angkat bicara. 

"Ratu Alam Bumi! Dan juga kau, Begal Ta-

nah Hitam! Dengar baik-baik. Aku tidak tahu-

menahu soal arca! Jadi kalian salah besar jika 

meminta benda itu padaku! Yang kalian dengar 

selama ini hanyalah berita. Kenyataannya aku ti-

dak tahu apalagi menyimpan arca itu!"

"Jangan coba-coba menipuku! Cepat se-

rahkan arca itu! Jika tidak, kau akan segera ku-

kirim ke alam baka!" sentak Ratu Alam Bumi 

dengan gerakkan tangan kanan kiri sedikit ditarik 

ke belakang. Sementara kedua kakinya sedikit di

pentangkan.

Pendekar 108 masih tampak senyum-

senyum. Malah tangan kanannya tarik-tarik kun-

cir rambutnya.

"Ah, kebetulan sekali. Memang telah lama 

aku ingin melihat alam baka. Kalau kau berke-

nan, sungguh senang sekali, apalagi jika kau 

yang mengantar. Apakah kita akan berangkat se-

karang...?"

"Ha... ha... ha...! Jangan kira kau saja yang 

ingin melihat pemandangan alam baka. Aku pun 

ingin melihatnya. Bagaimana kalau kita berang-

kat bersama-sama? Tapi... kita belum tahu jalan-

nya. Jangan-jangan kita nanti kesasar. Hm... se-

bentar...," yang berkata kali ini adalah Setan 

Arak. Dia lalu tercenung seakan memikirkan se-

suatu. Tiba-tiba dia tertawa panjang dan telunjuk 

jarinya diluruskan pada Ratu Alam Bumi.

"Bukankah kau ratu di sana? Hmm.... Jika 

begitu kau bisa sebagai penunjuk jalan. Sebagai 

penunjuk jalan tentunya kau harus berjalan pal-

ing depan. Baiklah, kita berangkat sekarang. Dia 

sebagai penunjuk jalan, dan harus duluan!"

"Betul! Kau harus terlebih dahulu jalan!' 

sahut Pendekar Mata Keranjang menimpali uca-

pan Setan Arak.

"Keparat! Kaulah yang harus duluan. Dan 

akan kutunjukkan jalannya tanpa harus ada 

aku!"

"Mana bisa begitu. Menurut aturan biasa, 

penunjuk jalan harus lebih dahulu. Bukankah

begitu?" kata Setan Arak sambil palingkan wajah 

pada Pendekar 108.

"Benar! Harus jalan dahulu!" ulang Pende-

kar 108 seraya angguk-anggukkan kepala.

"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi dengan 

suara tinggi. Serta-merta kedua tangannya dihan-

tamkan ke samping, ke arah Setan Arak yang du-

duk menggelosoh.

Serangan angin dahsyat menggebrak ke 

samping, dan bersamaan dengan itu larikan bebe-

rapa sinar hitam menyusul dari belakang! Melihat 

hal ini jelas sekali bahwa Ratu Alam Bumi tak 

main-main dengan ucapannya yang ingin mengi-

rim ke alam baka.

Mendapat serangan ganas yang mematikan 

itu, Setan Arak tetap tenang-tenang saja, mem-

buat Pendekar 108 belalakkan sepasang matanya. 

Pendekar 108 menduga jika Setan Arak tak bisa 

selamatkan dirinya dari hantaman pukulan Ratu 

Alam Bumi, karena jaraknya sudah demikian de-

kat.

"Setan Arak! Awas serangan!" teriak Aji be-

gitu hantaman Ratu Alam Bumi telah setengah 

depa lagi menghajar tubuhnya dan dia tetap tak 

membuat gerakan.

"Mampus kau!" desis Ratu Alam Bumi den-

gan bibir senyum. Namun senyum nenek ini 

mendadak terpenggal. Sepasang matanya mende-

lik hampir tak percaya. Sementara Pendekar 108 

gelengkan kepala sambil usap dadanya. Di sebe-

lah samping, Begal Tanah Hitam melotot tak berkesip.

Apa yang terjadi di depan mereka sungguh

luar biasa. Begitu hantaman Ratu Alam Bumi se-

jengkal lagi menghajar tubuh Setan Arak, laki-laki 

tua kurus ini keluarkan lengkingan tinggi. Tiba-

tiba tubuhnya lenyap. Hingga serangan Ratu 

Alam Bumi hanya menerabas udara kosong! Dan 

terus menghajar sebuah batu besar. Batu itu 

langsung hancur berkeping-keping dan sebagian 

jadi abu!

"Setan alas! Siapa sebenarnya laki-laki tua 

ini? Aku hanya mengenalnya beberapa hari yang 

lalu. Ternyata dia berilmu tidak cetek. Dia berha-

sil menghindar dari seranganku, padahal jarak-

nya sudah demikian dekat! Keparat! Jangan-

jangan aku salah memilih teman!" bisik Ratu 

Alam Bumi sambil menebar pandangan mencari 

Setan Arak yang masih tidak tampak batang hi-

dungnya.

"Ke mana lenyapnya manusia arak itu?" 

gumam Pendekar 103 dengan kepala berpaling ke 

kanan kiri. Sementara Begal Tanah Hitam su-

rutkan langkah satu tindak dan diam-diam berka-

ta dalam hati.

"Tak kuduga jika manusia itu berkepan-

daian tinggi. Jika demikian halnya aku harus 

pandai-pandai atur siasat dan cari kesempatan 

yang baik. Bila tidak...," Begal Tanah Hitam hen-

tikan kata hatinya karena saat itu terdengar sua-

ra orang mengumbar tawa. Tiga kepala langsung 

berpaling ke arah sumber suara tawa.


EMPAT


DI bawah sebuah pohon besar, Setan Arak 

terlihat tidur-tiduran dengan posisi miring. Salah 

satu bumbung araknya dibuat bantalan kepala, 

sementara tangan kanannya bergerak pulang ba-

lik ke mulutnya untuk mengisikan arak! Hebat-

nya, arak yang ada di bumbung bambu dan kini 

tampak bergeletakan di atas tanah itu tidak tum-

pah! Padahal bumbung bambu itu tidak tertutup! 

Dan sebagian tampak tergeletak dengan posisi 

miring!

"Luar biasa! Dia mampu menahan aliran 

araknya hingga tidak tumpah! Lagi pula gerakan-

nya demikian cepat! Aku hampir tak percaya jika 

dia bisa menghindar!" batin Pendekar 108 seraya 

geleng-geleng kepala.

"Keparat! Dia rupanya sengaja memper-

mainkan aku. Tunggulah!" kata Ratu Alam Bumi 

dalam hati. Lalu berpaling pada Pendekar 108. 

Dan serta-merta kedua tangannya dihantamkan!

Wuttt!

Angin dahsyat yang mengeluarkan suara 

menggemuruh melesat keluar dari kedua tangan 

Ratu Alam Bumi. Sekejap kemudian dari kedua 

tangannya juga melesat beberapa larikan sinar 

yang menyusul! Bukan hanya sampai di situ, be-

gitu kedua tangannya bergerak menghantam, tu-

buhnya pun melesat ke arah samping dan dari si-

ni, nenek ini pun kembali hantamkan kedua tangannya! Hingga saat itu juga Pendekar 108 laksa-

na dihujani serangan dari dua penjuru!

Pendekar 108 cepat berpaling. Dan melihat 

ganasnya serangan murid Wong Agung ini segera 

berteriak nyaring. Tubuhnya mendadak melesat 

setengah tombak ke udara. Dan bersamaan den-

gan itu, kedua tangannya menghantam ke depan 

lalu ditarik dan dihantamkan kembali ke arah 

samping. 

Bumm! Bummm!

Terdengar dua kali ledakan keras ketika 

dua serangan bentrok di udara. Tempat itu seje-

nak laksana ditimpa gempa dahsyat hingga ta-

nahnya bergetar! Bukan hanya itu saja, asap hi-

tam terlihat membumbung begitu serangan ber-

temu!

Ratu Alam Bumi tampak terhuyung-

huyung ke belakang. Karena tubuh nenek ini se-

lalu goyang ke samping kanan dan kiri, maka

tatkala tubuhnya terhuyung-huyung, gerakan tu-

buhnya tampak lucu! Hal ini rupanya tak lepas 

dari pandangan Setan Arak. Hingga saat itu juga 

meledaklah tawanya.

"Asyik juga melihat akrobat sambil tiduran 

dan minum arak! Hanya sayang, pemain akrobat-

nya sudah nenek-nenek! Seandainya seorang ga-

dis cantik dan mengenakan pakaian tipis serta 

minim, mungkin akan tambah asyik!" kata Setan 

Arak seraya gelak-gelak.

Sementara itu di depan, Pendekar 108 ter-

lihat terseret hingga lima tombak ke belakang. Hal

ini terjadi karena saat menangkis serangan, mu-

rid Wong Agung ini berada di atas udara, hingga 

tubuhnya sejenak tampak melayang ke belakang, 

namun dia segera bisa kuasai diri. Namun demi-

kian, tak urung parasnya tampak berubah merin-

gis menahan rasa sakit pada pangkal tangannya 

serta dadanya.

Di lain pihak, Ratu Alam Bumi pun tampak 

mengusap-usap dadanya. Pertanda dia juga me-

rasakan sakit pada bagian dada. Namun setelah 

nenek ini salurkan tenaga dalam, dia tampak se-

gar kembali. Sepasang matanya lantas meman-

dang tajam ke arah Pendekar 108. Mulutnya yang 

tipis bergerak komat-kamit. Sepasang matanya la-

lu memejam, kedua tangannya disatukan dan 

disejajarkan dada. Sang nenek tampaknya sedang 

kerahkan tenaga dalam untuk lancarkan seran-

gan andalan.

Mendapati hal ini, Pendekar 108 tak tinggal 

diam. Kipas ungunya segera dicabut dari balik 

pakaiannya. Dan merasa lawan tidak bisa diang-

gap remeh serta benar-benar menginginkan nya-

wanya, maka Pendekar 108 pun siapkan pukulan 

'Mutiara Biru'!

Selagi kedua orang ini sedang bersiap-siap, 

tiba-tiba terdengar alunan syair.

Siapa yang yakin pada kekuatan, maka ia 

akan dikalahkan!

Siapa yang percaya pada kelicikan, dialah 

yang akan keluar menang!

Darah adalah lambang kebebasan yang 

akan mengantar ke alam baka!

Karena alunan syair itu bukan alunan bi-

asa, melainkan telah dialiri dengan tenaga dalam 

kuat, maka konsentrasi Ratu Alam Bumi tampak 

buyar. Hingga dengan paras berubah dia segera 

membuka kelopak matanya. Kepalanya cepat me-

noleh ke arah sumber alunan suara syair. Demi-

kian pula Pendekar Mata Keranjang 108. Semen-

tara Begal Tanah Hitam tersurut selangkah sam-

bil luruskan tubuh ke arah datangnya suara alu-

nan syair. Hanya Setan Arak yang terlihat tenang-

tenang saja. Bahkan berpaling pun tidak! Malah 

sambil acung-acungkan bumbung araknya dia 

ikut-ikutan bersyair.

Kekuatan adalah pangkal malapetaka. Keli-

cikan adalah awal bencana.

Jika keduanya bersatu, kegegeran akan 

menjadi buahnya.

Hanya manusia yang bertangan bersih 

yang dapat mengubur impian orang berilmu tapi li-

cik!

Di tempat itu tahu-tahu telah berdiri seo-

rang pemuda seraya kacak pinggang. Pemuda in-

ilah yang tadi mengalunkan suara syair. Dia ber-

paras tampan. Namun tampak beringas. Rambut-

nya panjang dan dibiarkan tergerai. Sepasang ma-

tanya tajam menyengat. Dia mengenakan baju

warna merah sedangkan celananya berwarna 

kuning. Pakaian itu masih dilapis dengan jubah 

besar warna hitam bergaris-garis putih yang 

kancing-kancingnya dibiarkan membuka.

"Bangsat rendah! Siapa kau...?!" bentak 

Begal Tanah Hitam dengan suara keras. Laki-laki 

setengah baya ini jelas marah besar, karena den-

gan datangnya pemuda bersyair ini, pertarungan 

antara Ratu Alam Bumi dan Pendekar 108 terhen-

ti. Padahal dia berharap pertarungan itu segera 

berlangsung kembali, bahkan berharap agar ke-

duanya tewas, setidak-tidaknya dia bisa menya-

rangkan pukulan pada saat yang tepat pada Ratu 

Alam Bumi.

Dibentak demikian rupa, pemuda berjubah 

hitam bergaris-garis putih yang bukan lain adalah 

Penyair Berdarah bantingkan kakinya ke tanah. 

Dagunya terangkat dengan pelipis kanan kiri ber-

gerak-gerak pertanda amarah telah menguasai 

dadanya. Seraya busungkan dada dan menun-

jukkan seringai ganas, dia berkata.

"Anjing kurap! Buka lebar-lebar telingamu. 

Aku adalah Penyair Berdarah!"

Begal Tanah Hitam keluarkan tawa menge-

keh begitu mendengar pemuda menyebutkan ge-

larnya.

"Penyair Berdarah?" ulang Begal Tanah Hi-

tam dengan senyum penuh ejekan. "Gelarmu cu-

kup bagus. Tapi bukan untuk kalangan orang-

orang sepertiku! Kuingatkan padamu, lekas ting-

galkan tempat ini jika kau masih ingin bersyair!"

Penyair Berdarah kembungkan mulut, lalu 

meludah ke tanah. Kepalanya lalu bergerak men-

dongak ke atas. Masih tetap dengan kacak ping-

gang, dia berucap.

"Manusia anjing! Akan kutunjukkan pa-

damu bahwa syairku mampu membawamu ting-

galkan tempat ini. Sekaligus nyawamu!"

"Hmm.... Urusan ini nyatanya jadi panjang. 

Satu belum selesai datang lagi satunya. Tapi yang 

ini tampaknya orang baru, karena baik gelar 

maupun orangnya aku masih mendengar dan me-

lihat pertama kali ini! Siapa dia sebenarnya...? 

Dan apa juga punya tujuan sama dengan Ratu 

Alam Bumi? Mendengar nada syairnya yang 

mampu membuyarkan konsentrasi Ratu Alam 

Bumi, orang ini tidak bisa dipandang remeh! 

Hm... lebih baik kulihat dahulu bagaimana sepak 

terjangnya menghadapi kepala rampok Begal Ta-

nah Hitam...," batin Pendekar 108 seraya mem-

perhatikan lebih seksama pada Penyair Berdarah.

Seperti halnya Pendekar 108, Ratu Alam 

Bumi pun diam-diam berkata dalam hati.

"Siapa pun adanya manusia ini, yang pasti 

dia berkepandaian tinggi. Suaranya mampu 

membuyarkan pusat perhatianku. Penyair Berda-

rah.... Hm... baru kali ini aku mendengar nama 

itu! Tapi aku harus berhati-hati, karena belum bi-

sa diduga apa tujuan sebenarnya dia ikut campur 

masalah ini! Dan lebih baik kubiarkan saja Begal 

Tanah Hitam menghadapinya. Dengan begitu se-

dikit banyak aku bisa mengukur ilmunya...," seraya membatin begitu, Ratu Alam Bumi geser 

langkahnya agak ke belakang. Sepasang matanya 

kini dipusatkan pada Begal Tanah Hitam yang 

tampak mulai melangkah maju.

Di tempat paling belakang, Setan Arak tak 

keluarkan suara. Bahkan suara gelegukan arak-

nya pun tidak terdengar. Mendapati hal ini Pen-

dekar 108 segera berpaling ke belakang. Murid 

Wong Agung ini jadi terhenyak melihat Setan 

Arak. Kepalanya menggeleng dengan mulut me-

maki panjang pendek. Ternyata Setan Arak terti-

dur! Kedua matanya terpejam rapat, sementara 

tangannya terkulai di atas tanah sambil meme-

gangi bumbung arak. Dan tak lama kemudian 

terdengar dengkuran dari tenggorokannya!

"Gila! Bagaimana menghadapi suasana 

demikian dia bisa enak-enakan tidur? Hm... se-

benarnya ini kesempatan baik untuk mendeka-

tinya. Aku menduga dia tak berhasrat dengan se-

gala macam arca! Manusia begini ini lebih sayang 

arak daripada benda-benda mustika!" berpikir 

sampai di situ, Pendekar 108 lantas melirik pada 

Ratu Alam Bumi. Dan ketika dilihatnya nenek ini 

tidak memperhatikannya, dia balikkan tubuh 

hendak berkelebat ke arah Setan Arak.

Namun baru saja tubuhnya hendak berge-

rak, Ratu Alam Bumi telah keluarkan bentakan.

"Pendekar Mata Keranjang! Jangan mimpi 

untuk bisa lolos dari pengawasanku! Tetap di 

tempatmu hingga pertunjukan selesai!"

Mendengar si nenek menyebut julukan

Pendekar Mata Keranjang 108, secepat kilat Pe-

nyair Berdarah palingkan wajah dan memandang 

lekat-lekat pada Aji. Dahinya mengernyit. Pan-

dangannya lalu beralih pada tangan kanan Pen-

dekar 108 yang memegang kipas ungunya.

"Hm... hari baik bagiku. Begitu turun bukit 

aku telah menemukan orang yang kucari! Pende-

kar Mata Keranjang.... Sebelum menjadi pengha-

lang langkahku selanjutnya, sebaiknya kuhabisi 

dia sekarang!" batin Penyair Berdarah seraya ke-

rahkan tenaga dalamnya pada kedua telapak tan-

gan. Namun sebelum dia bergerak menghantam, 

Begal Tanah Hitam telah meloncat dan tegak se-

puluh langkah di hadapannya.

Mendapati niatnya terhalangi, Penyair Ber-

darah naik pitam. Tanpa bicara lagi kedua tan-

gannya yang tadi disiapkan untuk menghantam 

Pendekar 108 serta-merta dihantamkan ke arah 

Begal Tanah Hitam!

Wuttt! Wuttt!

Dua bongkahan angin dahsyat melesat 

menyusur tanah. Hebatnya, tanah itu seakan pe-

cah menjadi dua!

Di depan sana, Begal Tanah Hitam mera-

sakan tubuhnya terguncang dan oleng ke samp-

ing kanan dan kiri, mengikuti lesatan angin yang 

keluar dari tangan Penyair Berdarah. Mendapati 

hal yang tidak diduga, Begal Tanah Hitam cepat 

kerahkan tenaga dalam untuk menghindar dari 

bongkahan angin yang semakin dekat ke arahnya. 

Namun baru saja dia kerahkan tenaga dalam, Penyair Berdarah telah hantamkan kembali kedua 

tangannya! Kali ini disertai dengan bentakan ga-

rang dan lompatan satu tombak ke depan.

Paras Begal Tanah Hitam terlihat pias. Na-

mun sebagai kepala rampok yang paling ditakuti, 

pantang baginya menyerah begitu saja. Dengan 

membentak nyaring kedua kakinya disentakkan 

ke atas tanah. Olengan tubuhnya mendadak ter-

henti. Bersamaan dengan itu tubuhnya melesat 

ke udara. Hingga serangan pembuka Penyair Ber-

darah hanya menghajar tempat kosong. Namun 

betapa terkejutnya kepala rampok ini, begitu tu-

buhnya melesat, dadanya serasa dihantam angin 

dahsyat. Tubuhnya berputar lalu mencelat ke be-

lakang dan terhempas di atas tanah.

"Keparat!" seru Begal Tanah Hitam seraya

bergerak bangkit. Bibirnya telah terlihat mengelu-

arkan darah. Sementara Penyair Berdarah tam-

pak tersenyum tatkala hantaman keduanya tak 

dapat ditangkis oleh lawan. Kepalanya lantas ten-

gadah, dan terdengarlah alunan syair dari mulut-

nya.

Darah telah mengalir. 

Alam baka akan segera mendapat penghuni 

baru. 

Tangan Penyair Berdarah akan menghan-

tarkan sang penghuni baru!

Selagi Penyair Berdarah melantunkan 

syair, kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya

oleh Begal Tanah Hitam. Kedua tangannya diang-

kat ke atas kepala lalu secepat kilat diturunkan 

kembali dan dihantamkan ke arah Penyair Berda-

rah dengan telapak terbuka.

Angin dahsyat yang mengeluarkan suara 

mengerikan menyambar cepat ke arah Penyair 

Berdarah. Pemuda murid Iblis Gelang Kematian 

ini terlihat bergetar, padahal sambaran angin 

Begal Tanah Hitam belum sampai menghajar tu-

buhnya! Namun Penyair Berdarah tidak tampak 

terkejut. Dia tetap tengadah seakan menunggu 

tubuhnya dihajar. Baru saat pukulan itu seten-

gah depa lagi mengenai sasaran, dia tarik kedua 

tangannya sejajar dada dan dihantamkan kuat-

kuat, dari mulutnya terdengar bentakan keras.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh luar 

biasa. Sambaran angin pukulan Begal Tanah Hi-

tam ambyar lenyap! Yang terlihat kini adalah lari-

kan sinar putih hitam melabrak ke arah Begal 

Tanah Hitam! Bersamaan dengan itu hawa panas 

menghampar!

Begal Tanah Hitam tersirap darahnya. Dia 

terkejut bukan alang kepalang. Keadaan seperti 

ini tampaknya membuat kepala rampok ini len-

gah, hingga dia tak berusaha membuat gerakan 

untuk menghindar atau menangkis. Dia baru sa-

dar tatkala pukulan lawan telak di depannya dan 

tak ada kesempatan lagi baginya untuk bergerak. 

Hingga tanpa ampun lagi tubuh kepala rampok 

ini terjengkang sampai lima tombak ke belakang 

dan terkapar di atas tanah! Darah kembali mengalir dari mulut bahkan hidungnya. Namun de-

mikian, dengan mengerang merasakan nyeri pada 

dadanya, laki-laki berpakaian mewah ini bergerak 

bangkit. Dan begitu tubuhnya dapat berdiri, sece-

pat kilat dia berkelebat. Bukan untuk menyergap 

dan lakukan serangan, namun justru melarikan 

diri!

Namun sungguh tak disangka oleh Begal 

Tanah Hitam. Karena begitu tubuhnya hendak 

berkelebat, kedua kakinya goyah, tangannya ge-

metar, sementara dadanya sukar dibuat berna-

pas. Dengan sudut matanya dia melirik pada tan-

gan dan kedua kakinya. Tiba-tiba dia terhenyak. 

Ternyata kedua kaki dan tangannya telah menjadi 

kebiru-biruan pertanda jalan darahnya tersum-

bat! Menyadari dalam keadaan bahaya, dia segera 

alirkan tenaga dalam. Namun belum sampai te-

naga dalamnya mengalir, tubuhnya telah oleng 

dan jatuh kembali ke atas tanah!

Penyair Berdarah melangkah mendekat, 

membuat Begal Tanah Hitam pucat pasi dan ge-

metaran. Laki-laki setengah baya ini sejenak ber-

paling pada Ratu Alam Bumi. Meski dari mulut-

nya tidak memperdengarkan suara, namun jelas 

sekali dari wajahnya bahwa dia minta bantuan.

Tapi Ratu Alam Bumi seakan acuh saja. 

Malah ketika Penyair Berdarah mulai melangkah 

mendekat ke arahnya, si nenek sunggingkan se-

nyum! Dan dalam hati diam-diam sadar jika Pe-

nyair Berdarah tidak bisa dianggap ringan.

"Dugaanku benar, pemuda itu tidak bisa

dipandang sebelah mata meski ia baru saja mun-

cul di arena rimba persilatan.... Kuharap semoga 

dia ada di jalur orang-orang golongan putih, 

meski melihat tampangnya dia tampak manusia 

yang berhati kejam!" batin Pendekar 108 seraya 

memperhatikan langkah-langkah Penyair Berda-

rah yang makin dekat dengan Begal Tanah Hitam.

Namun tiba-tiba Penyair Berdarah henti-

kan langkahnya lima langkah dari depan Begal 

Tanah Hitam. Tubuhnya diputar dan kini meng-

hadap lurus pada Pendekar 108. Sepasang ma-

tanya menyengat tajam, mulutnya sunggingkan 

senyum seringai ganas.

Pendekar Mata Keranjang terlihat terkejut. 

Karena saat itu murid Wong Agung sedang kerah-

kan tenaga dalam ke tangannya. Hal ini dia laku-

kan untuk menangkis pukulan Penyair Berdarah, 

karena dia menduga jika Penyair Berdarah sudah 

pasti akan menurunkan tangan kematian pada 

Begal Tanah Hitam. Perbuatan menghabisi lawan 

yang sudah tidak berdaya meski itu adalah mu-

suh besar, bagi murid Wong Agung ini adalah me-

rupakan perbuatan tidak ksatria. Maka dari itu, 

untuk menjaga kemungkinan, diam-diam Pende-

kar 108 kerahkan tenaga dalam untuk menyela-

matkan Begal Tanah Hitam.

"Hm.... Kalau tidak salah, benarkah aku 

kini sedang berhadapan dengan manusia bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108!" Penyair Berdarah 

ajukan tanya.

Pendekar 108 balas tatapan Penyair Berda

rah. Bibirnya lantas tersenyum. Sambil gosok-

gosok tangannya dengan ujung kipas yang telah 

dilipat dia menjawab.

"Sahabatku bergelar Penyair Berdarah. Itu 

hanyalah gelar yang diberikan oleh orang-orang. 

Aku sebenarnya adalah Aji Saputra! Seorang pen-

gelana jalanan yang tak punya tujuan. Harap kau 

terima perkenalanku!"

Penyair Berdarah sejenak terdiam dengan 

sepasang mata mengawasi Pendekar 108 dari 

ujung rambut sampai ujung kaki. Kepalanya lalu 

mendongak. Kejap kemudian terdengarlah suara 

tawanya, membuat Aji kerutkan dahi, lalu geleng-

kan kepala.

Mendadak Penyair Berdarah hentikan ta-

wanya. Lalu berucap.

"Pendekar Mata Keranjang! Sungguh ma-

lang nasibmu, karena perkenalan ini hanya seke-

jap dan kita tak mungkin dapat bertemu lagi!"

"Sobat! Apa maksudmu...?" tanya Pendekar 

108 belum dapat menebak arah bicara Penyair 

Berdarah.

"Orang tolol! Kita tak dapat berjumpa lagi 

karena kau akan segera pula menyusul orang ini!" 

habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali 

kedua tangan Penyair Berdarah menghantam ke 

samping, ke arah Begal Tanah Hitam yang masih 

tampak kerahkan tenaga dalam untuk mengatasi 

peredaran jalan darahnya yang seakan tersumbat 

akibat pukulan Penyair Berdarah.

Begal Tanah Hitam melengak kaget. Na

mun sudah sangat terlambat untuk membuat ge-

rakan menghindar apalagi menangkis. Hingga 

tanpa ampun lagi tubuhnya mencelat jauh dan 

berkaparan di atas tanah. Sebentar tubuh kepala 

rampok itu bergerak-gerak dengan keluarkan 

erangan menyayat. Namun sekejap kemudian 

erangannya terputus bersamaan dengan me-

layangnya nyawa dari tubuhnya!

Penyair Berdarah tersenyum puas. Semen-

tara Pendekar 108 terlihat kertakkan rahang. 

Kemarahan terlihat di wajahnya. Dia sama sekali 

tidak menyangka jika Penyair Berdarah akan me-

lakukan hal seperti itu.

"Hm.... Melihat gelagatnya, rupanya dia 

bukan orang baik-baik! Apa tujuan sebenarnya 

manusia ini...?!" Pendekar 108 menduga-duga 

sendiri dalam hati.

Sementara itu, melihat Begal Tanah Hitam 

telah tewas, Ratu Alam Bumi menarik napas lega. 

Karena saingannya untuk mendapatkan arca dari 

tangan Pendekar 108 telah tiada. Namun demi-

kian, dia belum berani bertindak. Dia tampak 

menunggu dan ingin mengetahui apa maksud se-

benarnya Penyair Berdarah.

"Aku lebih baik menunggu untuk mengeta-

hui apa maksud tujuan sebenarnya dari manusia 

sombong ini! Kalaupun dia menginginkan juga 

benda itu, aku tak akan mundur meski aku tahu 

dia berkepandaian sangat tinggi!"

Ratu Alam Bumi lantas palingkan wajah 

menghadap jurusan lain, namun sepasang matanya sebenarnya melirik ke arah Pendekar 108, 

sementara telinganya ditajamkan untuk menjaga 

jika diserang dari belakang.

"Pendekar 108! Kau telah tahu apa yang 

hendak kau alami, kuberi kesempatan padamu 

untuk berdoa!' tiba-tiba Penyair Berdarah kelua-

rkan suara.

"Penyair Berdarah. Rasa-rasanya antara ki-

ta baru kali pertama berjumpa. Jadi tidak ada si-

lang sengketa di antara kita. Lantas apa salahku 

hingga kau seolah menginginkan aku jadi peng-

huni alam baka?"

Penyair Berdarah kembali perdengarkan 

tawa panjang.

"Rimba persilatan adalah arena pembuk-

tian siapa orang yang paling unggul. Pembuktian 

tak terwujud tanpa sebuah pertarungan hidup 

mati. Penyair Berdarah ingin buktikan bahwa tak 

ada orang lain di atasnya!"

"Sialan! Ditanya baik-baik dijawab dengan 

syair-syair butut!" Pendekar 108 memaki dalam 

hati. "Penyair Berdarah! Katakan terus terang apa 

maumu! Aku tak ada waktu untuk bersyair-syair!"

Penyair Berdarah keluarkan dengusan ke-

ras. Kepalanya diluruskan dengan mata merah 

liar menatap Pendekar108.

"Pendekar 108! Kau telah melakukan kesa-

lahan besar. Dan hukumannya adalah mati! Kau 

dengar itu?!"

Pendekar 108 kernyitkan kening. Kepa-

lanya bergerak menggeleng perlahan. "Katakan

apa dosaku! Kau jangan sembrono!"

"Pendekar 108! Kesalahanmu adalah kare-

na kau mempunyai ilmu!"

Aji tertawa panjang hingga matanya terpe-

jam dan terbuka. Sementara di belakangnya 

dengkuran Setan Arak makin keras. Ratu Alam 

Bumi segera palingkan wajah. Sepasang mata ne-

nek ini jadi membeliak melihat tingkah Setan 

Arak. Hatinya dongkol bukan main. Namun dia 

tak hendak beranjak dari tempatnya.

"Aneh...," kata Pendekar 108 seraya mang-

gut-manggut "Mempunyai ilmu merupakan kesa-

lahan. Hm.... Siapa yang punya peraturan demi-

kian...?!"

"Mata Keranjang! Camkan di dadamu! Di 

hadapan Penyair Berdarah, setiap orang yang 

mempunyai ilmu adalah manusia berdosa dan 

layak dihukum mati!"

Mendengar ucapan Penyair Berdarah, Pen-

dekar 108 berpaling pada Ratu Alam Bumi, lalu 

menoleh pada Setan Arak dan berkata.

"Jadi di sini bukan aku saja yang melaku-

kan dosa besar. Tapi juga dia dan dia! Betul...?!" 

sambil berkata Pendekar 108 angkat jari telun-

juknya dan ditunjukkan pada Ratu Alam Bumi la-

lu pada Setan Arak.

Penyair Berdarah tersenyum sinis. Setelah 

meludah dia berkata.

"Ucapmu tak salah. Setelah kau, giliran 

nenek busuk itu. Lalu manusia yang sedang molor itu!"

Tampang Ratu Alam Bumi langsung beru-

bah dikatakan nenek busuk. Tapi lagi-lagi dia 

masih menahan amarahnya. Dia menyadari jika 

Penyair Berdarah mempunyai ilmu tinggi, dan dia 

berharap agar Penyair Berdarah berhadapan da-

hulu dengan Pendekar 108. Dengan demikian ba-

gaimanapun juga tenaganya nanti pasti telah ber-

kurang. Karena dia juga yakin Pendekar 108 tidak 

akan tinggal diam. Berpikir sampai di situ, nenek 

ini hanya diam saja meski hatinya diamuk hawa 

amarah.

"Manusia gila! Peraturannya pun pasti gila. 

Orang berilmu dianggapnya dosa besar...," Pende-

kar 108 angguk-anggukkan kepala dengan bibir 

tersenyum. Lalu berkata tanpa memandang pada 

Penyair Berdarah.

"Kalau setiap orang berilmu kau anggap 

berdosa besar, bahkan harus menerima hukuman 

mati, tentunya kau pun berdosa besar dan layak 

dihukum mati! Bukankah kau juga seorang be-

rilmu? Bahkan telah melakukan pembunuhan se-

cara licik! Menewaskan lawan yang telah tidak 

berdaya!"

"Ha ha ha...! Peraturan itu aku yang mem-

buat. Jadi aku yang menentukan!' kata Penyair 

Berdarah seraya usap-usap dadanya. Rambutnya 

yang terlihat bergerai ke depan disibakkannya.

"Hm.... Begitu? Dengar baik-baik! Sekarang 

pun aku membuat peraturan. Barang siapa mem-

buat peraturan tanpa seizinku, maka dia telah 

berbuat dosa amat besar. Dan hukumannya ada

lah pancung kepala!" sejenak Pendekar 108 hen-

tikan ucapannya, lalu seraya usap hidungnya dia 

melanjutkan.

"Kau telah dengar peraturanku. Tanpa ku-

jelaskan kau tentunya telah mengerti. Apa kau te-

lah pula siap menerima hukuman pancung? Ka-

rena kau membuat peraturan tanpa seizinku?!"

"Bangsat anjing!" bentak Penyair Berdarah 

marah besar. "Kita buktikan siapa di antara kita 

yang pantas untuk membuat peraturan!" sambil 

berkata dia melompat dan tahu-tahu tubuhnya 

telah tiga langkah di hadapan Pendekar 108. Se-

pertinya tidak ingin memberi kesempatan pada 

lawan, kedua tangannya langsung berkelebat ki-

rimkan hantaman pada kepala lawan!

Pendekar 108 yang telah waspada cepat 

angkat kedua tangannya menyongsong kelebatan

tangan lawan.

Prakkk! 

Bukkk! Bukkk!

Pendekar 108 langsung terputar dan jatuh 

terduduk. Melirik, dia terkejut. Kedua lengannya 

telah berubah membiru. Dadanya berdenyut nye-

ri, sedangkan telinganya berdengung panas!

Di depan, sepuluh langkah dari tempat 

Pendekar 108, Penyair Berdarah terlihat terkapar. 

Namun pemuda berjubah hitam bergaris-garis 

putih ini segera bergerak bangkit. Parasnya beru-

bah mengelam. Sejenak dia merapatkan kedua 

tangannya kerahkan tenaga dalam untuk menga-

tur jalan darahnya yang seperti terhenti!

"Hm... benar apa yang dikatakan Guru. 

Pendekar ini memang harus segera disingkirkan. 

Ilmunya tinggi, tenaga dalamnya kuat!" batin Pe-

nyair Berdarah seraya bangkit berdiri dan me-

mandang liar pada Pendekar108.

Sepuluh langkah di hadapannya, Pendekar

108 telah pula berdiri dan balas menatap. Untuk 

beberapa saat lamanya kedua pemuda ini saling 

bentrok pandangan.

"Hmm.... Tak bisa dipungkiri, manusia satu 

ini cukup hebat. Sayang, kehebatannya diguna-

kan pada jalan yang keliru! Orang seperti ini ha-

rus mendapat pengajaran!" bisik Pendekar 108 

dalam hati.

Selagi kedua pemuda ini saling diam den-

gan pikiran masing-masing, Ratu Alam Bumi me-

lirik ke arah Setan Arak.

"Ini kesempatan baik. Manusia arak itu ter-

lalu bahaya jika dibiarkan hidup. Bukan mustahil 

dia nanti malah menjadi penghalang rencanaku! 

Sebelum terlambat, lebih baik kusingkirkan da-

hulu!" Ratu Alam Bumi segera berkelebat. Tahu-

tahu sosoknya telah berdiri di depan Setan Arak.

Anehnya, begitu sosok Ratu Alam Bumi te-

lah berdiri dengan mata berkilat-kilat, Setan Arak 

makin keras dengkurnya! Malah sesaat kemudian 

tubuhnya bergerak membalik dan memunggungi 

Ratu Alam Bumi! Bukan hanya sampai di situ, 

bersamaan dengan membaliknya tubuh, terden-

gar suara mendesis dari pantatnya! 

Duuusss!

Bau tak sedap segera menghampar keluar 

dan melingkupi sekitarnya.

"Jahanam!" maki Ratu Alam Bumi sambil 

angkat tangannya dan ditakupkan menutupi hi-

dung. Bersamaan dengan itu dia meloncat seten-

gah tombak dan serta-merta kaki kanannya dis-

apukan pada tubuh Setan Arak!

Melihat hal ini, Pendekar 108 yang sedari 

tadi melirik tingkah Ratu Alam Bumi sempat ter-

cengang. Namun dia tak berani berbuat banyak. 

Dia khawatir, jika ia lengah sedikit bukan tak 

mungkin akan digunakan kesempatan oleh Pe-

nyair Berdarah. Menyadari hal ini, murid Wong 

Agung hanya bisa memandang dengan batin me-

maki tiada habis-habisnya.

Di lain pihak, Penyair Berdarah tampak 

tersenyum sinis. Namun diam-diam dia merasa 

lega. Karena dengan tewasnya Setan Arak, maka 

lawannya akan jadi berkurang. Meski dia sendiri 

yakin bisa mengalahkan Setan Arak.

"Hancur tubuhmu!" teriak Ratu Alam Bu-

mi. Namun apa yang kemudian terjadi sungguh di 

luar dugaan. Karena begitu sejengkal lagi kaki Ra-

tu Alam Bumi akan menghajar sosok Setan Arak 

mendadak laki-laki berselendang bumbung arak 

ini hentikan dengkurnya. Tangan kirinya seakan 

tanpa sengaja melejang dan menyodok bumbung 

arak yang dibuat bantalan kepalanya. Bumbung 

arak itu mencelat, namun bersamaan dengan itu 

kepalanya bergerak menggelinding ke bawah de-

mikian pula tubuhnya! Hingga sapuan kaki Ratu

Alam Bumi lewat sejengkal di belakangnya! Bah-

kan kalau saja si nenek tidak cepat tarik pulang 

kakinya, niscaya kakinya akan menghajar pohon!

Begitu lolos dari sapuan kaki, tubuh Setan 

Arak terus bolak-balik menggelinding. Saat ter-

henti, posisinya tetap seperti semula. Berbantal 

salah satu bumbung araknya dan memunggungi! 

Dengkurnya pun kembali terdengar!

Pendekar 108 menarik napas lega. Malah 

kepalanya menggeleng dengan bibir tersenyum. 

Namun tidak demikian halnya dengan Penyair 

Berdarah. Pemuda ini terlihat katupkan rahang-

nya rapat-rapat. Matanya membelalak dengan 

dahi mengernyit. Dia mulai sadar, jika Setan Arak 

bukanlah orang sembarangan. Dalam keadaan ti-

dur masih dapat menghindari serangan Ratu 

Alam Bumi!

Yang paling marah adalah Ratu Alam Bu-

mi. Parasnya merah membara dengan tubuh ge-

metar. Dadanya bergemuruh hingga pakaiannya 

laksana ditiup angin. Nenek ini segera takupkan 

kedua tangan di atas kepala. Perlahan-lahan lalu 

diturunkan dengan dibuka. Mulutnya komat-

kamit mengucapkan gumaman tak jelas. Tiba-tiba 

dia membentak keras dengan meloncat ke depan. 

Bersamaan dengan itu kedua tangannya dihan-

tamkan ke arah Setan Arak! 

Werrr! Werrr!

Dua gelombang angin yang mengeluarkan 

suara menggemuruh melesat. Di belakangnya 

menyusul beberapa bersitan sinar redup. Tampaknya Ratu Alam Bumi telah kerahkan pukulan 

andalannya yakni ‘Topan Sinar Membelah’!

"Belah tubuh keringmu!" seru Ratu Alam 

Bumi dengan senyum seringai.

Lima tombak di depannya, Setan Arak tiba-

tiba bangkit dengan masih duduk memunggungi. 

Anehnya, meski kini telah duduk, tubuhnya 

goyang-goyang seperti goyangan tubuh Ratu Alam 

Bumi yang memang tak bisa terhenti. Dan dari 

mulutnya masih terdengar suara dengkuran! Lalu 

kedua tangannya direntangkan seperti orang 

menggeliat dari tidur. Namun tiba-tiba rentangan 

kedua tangan itu mengibas ke belakang!

Wesss! Wesss!

Dua bongkahan asap tiba-tiba mengepul 

dan membentuk bumbung bambu agak besar. Ra-

tu Alam Bumi tercengang dan keluarkan seruan 

kaget. Dua gelombang angin pukulannya melesat 

masuk dalam asap yang membentuk bumbung, 

demikian juga bersitan sinar redup yang menyu-

suli! Dan nenek ini makin terlengak tatkala meli-

hat dua asap bumbung itu kini melesat lurus ke 

arahnya!

Sebagai orang yang telah pengalaman ma-

lang melintang dalam rimba persilatan, meski da-

lam keadaan terlengak begitu, Ratu Alam Bumi 

masih bisa berpikir cepat. Kedua kakinya diban-

tingkan. Tubuhnya melesat ke udara. Kedua tan-

gannya segera dihantamkan ke bawah!

Namun nenek ini kembali dibuat terperan-

gah. Asap bumbung yang dihindarinya tiba-tiba

membumbung mengikuti lesatan tubuhnya! Hing-

ga tiada jalan lain bagi si nenek kecuali arahkan 

hantaman tangannya pada asap bumbung.

Bummm! Bummm!

Terdengar dentuman dahsyat dua kali keti-

ka hantaman Ratu Alam Bumi menggebrak asap 

bumbung. Namun karena hantaman itu dilancar-

kan di udara serta jaraknya telah begitu dekat, 

mika bias dentuman itu membalik dan menghan-

tam tubuhnya!

Begitu suara gema dentuman lenyap dan 

asap telah sirap, tubuh Ratu Alam Bumi telah ter-

lihat terkapar di atas tanah dan tak mampu 

bangkit! Kedua tangannya tampak membiru dan 

menggelembung. Rambutnya yang keriting dan 

disanggul ke atas terpapas hingga hampir gundul! 

Perlahan nenek ini bergerak miring. Dia terpekik, 

bersamaan dengan miringnya tubuh, dari sudut 

bibirnya mengalir darah segar!

"Bangsat!" maki Ratu Alam Bumi seraya 

hendak bangkit dengan tekankan kedua tangan-

nya. Namun lagi-lagi nenek ini terpekik. Kedua 

tangannya terasa hendak penggal saat digerak-

kan. Hingga dia urungkan niat untuk bangkit. 

Sebaliknya dia segera tarik tangannya perlahan-

lahan ke arah dada lalu kerahkan sisa-sisa tenaga 

dalamnya untuk mengatasi rasa sakit yang kini 

bukan hanya terasa di kedua tangannya namun 

juga dadanya!

Di seberang, Pendekar 108 tarik kedua 

tangannya kembali lalu putar tubuhnya. Kini duduk menghadap Ratu Alam Bumi dengan kedua 

tangan memegang bumbung bambu arak dan 

dengan mata terbuka terpejam ditenggaknya arak 

itu silih berganti!

Murid Wong Agung kembali hanya bisa ge-

leng-geleng kepala. Saat itulah tiba-tiba Penyair 

Berdarah hantamkan kedua tangannya!


LIMA


SINAR redup yang mengeluarkan suara 

aneh seperti suara rebab menyebar laksana kilat 

ke arah Pendekar 108! Inilah pukulan sakti 

'Suara Kematian' yang didapatnya dari gurunya 

Iblis Gelang Kematian. Hebatnya, bersamaan den-

gan mengalunnya suara rebab cuaca berubah pa-

nas menyengat namun keadaan redup hampir ge-

lap!

"Pembokong licik!" seru Pendekar 108 cepat 

miringkan tubuh menghadap Penyair Berdarah. 

Namun betapa terkejutnya murid Wong Agung ini. 

Pukulan lawan ternyata telah berada setengah 

depa di depan hidungnya! Sekalipun saat itu Pen-

dekar 108 berusaha untuk menyelamatkan diri 

dengan bergerak menghindar, tapi keadaannya 

sudah terlambat. Hingga meski masih sempat 

mengelak, namun serangan itu akan tetap telak 

menghajar tubuhnya!

"Celaka tiga belas!" gumam Pendekar Mata 

Keranjang dengan paras membeku. Karena sudah

tidak bisa lagi menghindar apalagi lancarkan se-

rangan untuk menangkis, jalan satu-satunya 

yang diambil murid Wong Agung ini hanyalah ke-

rahkan tenaga dalamnya agar tubuhnya kuat 

menghadang serangan lawan.

Di saat yang mengerikan itu, mendadak 

melesat dua benda bundar agak panjang. Satu 

menghantam tubuh Pendekar 108 dan satunya 

menangkis serangan Penyair Berdarah.

Benda yang ternyata adalah bumbung 

bambu itu kontan hancur berkeping-keping, lalu 

ambyar menjadi lembut dan lenyap dihembus an-

gin! Tanah tempat Pendekar 108 berdiri terlihat 

terbongkar besar dan tanahnya membumbung ke 

udara membuat suasana makin redup. Ketika ta-

nah telah sirap kembali dan sinar redup lenyap, 

Pendekar 108 terlihat terkapar di atas tanah lima 

belas langkah di samping tempat terbongkarnya 

tanah. Namun keadaannya tidak cidera sedikit 

pun! Hal ini terjadi karena sewaktu sejengkal lagi 

pukulan Penyair Berdarah menghajar tubuhnya, 

bumbung bambu terlebih dahulu menghantam 

tubuhnya, hingga tubuhnya mencelat. Ini menye-

lamatkannya dari pukulan maut Penyair Berda-

rah.

Melihat ada orang menyelamatkan Pende-

kar 108, Penyair Berdarah bantingkan kaki ke ta-

nah. Tanah itu langsung terbongkar. Matanya 

mendelik angker. Kepalanya cepat berpaling pada 

Setan Arak. Melihat benda apa yang berhasil me-

nangkis serangannya dan sekaligus menyelamatkan jiwa Pendekar 108, Penyair Berdarah ini 

segera bisa menduga siapa gerangan orang yang 

melakukannya.

"Setan satu itu benar-benar tidak bisa di-

pandang sepele! Lemparan bumbung bambu 

araknya saja bisa menggagalkan pukulan 'Suara 

Kematian'. Hm.... Orang macam begitu harus di-

lawan dengan kelicikan! Tapi.... Aku harus sele-

saikan pendekar keparat itu dulu!" Penyair Berda-

rah palingkan kembali wajahnya pada Pendekar 

108 yang telah bangkit dan terlihat memandang 

ke arah Setan Arak yang ternyata masih asyik 

dengan gelegukan araknya. Dia seakan tidak me-

rasa telah menyelamatkan jiwa seseorang!

"Setan Arak!" teriak Aji seraya melambai-

kan tangan. "Terima kasih atas bantuanmu!" 

Yang diteriaki jangankan memandang, melirik 

pun tidak!

Pendekar 108 lantas cepat buka kipas un-

gunya, tangan kirinya ditarik ke belakang. Tiba-

tiba tangan kirinya berubah menjadi biru berca-

haya. Tampaknya murid Wong Agung telah ke-

rahkan pukulan Mutiara Biru. Dia merasa geram 

pada Penyair Berdarah yang bersikap licik. Juga 

karena Penyair Berdarah ingin mencelakai di-

rinya.

Saat itulah Penyair Berdarah tengadahkan 

kepala. Dari mulutnya terdengar suara lantunan 

syair.

Alam baka telah membuka pintunya lebar

lebar bagi penghuni baru.

Darah akan segera mengalir. Penyair Ber-

darah akan melangkah mengantar. Jurus Alam 

Kematian!

Bersamaan dengan itu, kedua tangan Pe-

nyair Berdarah berubah merah menyala. Inilah 

jurus andalan yang berhasil dipelajarinya dari Ib-

lis Gelang Kematian di puncak Bukit Tumpang 

Gede. Kedua tangan yang telah berubah warna itu 

langsung diangkat sejajar dagu. Tempat itu serta-

merta berubah merah kekuningan. Dan didahului 

bentakan dahsyat, Penyair Berdarah dorongkan 

tangannya!

Bongkahan laksana bola api besar melesat 

cepat ke arah Pendekar 108. Di depan, Pendekar 

108 pun segera sentakkan kedua tangannya. Si-

nar biru segera pula menyongsong disertai sinar 

putih yang menebar membentuk kipas.

Gelegar dahsyat segera menggemuruh. Li-

dah-lidah api tampak semburat ke segala juru-

san. Asap tebal menutupi tempat itu.

Di balik asap tebal, Aji yang terlihat hampir 

terjerembab jatuh merasakan lengannya dibetot 

orang, hingga tubuhnya selamat dari menghem-

pas tanah.

Namun murid Wong Agung ini masih was-

pada, hingga meski merasa telah diselamatkan 

orang, dia cepat berpaling dan siap dengan tan-

gan menghantam. Namun begitu tahu siapa 

adanya orang yang membetot tangannya, dia menurut saja tangannya digeret menjauh.

"He! Ikuti aku! Tapi ingat, jangan memban-

tah dulu!" kata sang pembetot yang ternyata ada-

lah Setan Arak. Lalu berkelebat meninggalkan 

tempat itu.

Meski masih diliputi tanda tanya besar, 

Pendekar Mata Keranjang 108 mengikuti keleba-

tan Setan Arak.

Sementara itu, begitu gelegar menghentak 

tubuh Penyair Berdarah tampak mencelat ke be-

lakang. Tubuhnya tak dapat dikuasai lagi hingga 

saat itu juga menghujam tanah! Namun pemuda 

ini segera kerahkan tenaga dalam untuk menga-

tasi rasa sakit di dada dan kedua tangannya. Lalu 

perlahan-lahan bergerak bangkit duduk. Sepa-

sang matanya dikatupkan, kedua tangannya dis-

atukan dengan mulut bergerak-gerak. Meski den-

gan sisa tenaganya tampaknya pemuda ini masih 

menyiapkan pukulan kembali.

Saat itulah tiba-tiba Penyair Berdarah me-

rasakan siuran angin dari arah belakang. Khawa-

tir kalau itu serangan lawan, dia segera balikkan 

tubuh memutar dan siap lancarkan pukulan. 

Namun tangannya segera diluruhkan kembali 

tatkala samar-samar dia dapat menangkap sosok 

yang dikenalnya di balik hamparan asap.

"Manding! Tak ada gunanya kau siapkan 

pukulan! Lawanmu telah pergi!" berkata sosok 

yang kini ada di hadapan Penyair Berdarah dan 

tadi memanggilnya dengan nama aslinya.

Dia adalah seorang perempuan tua renta.

Rambutnya panjang hingga betis. Mengenakan 

baju panjang berwarna hitam dengan pakaian 

bawah kembang-kembang putih. Pada tangannya 

tampak melingkar beberapa gelang berwarna kun-

ing.

"Guru! Kenapa kau mencegahku untuk la-

kukan serangan? Padahal orang itu adalah orang 

yang kau kira dapat menghalangi langkahku se-

lanjutnya!"

Perempuan tua renta yang bukan lain ada-

lah Iblis Gelang Kematian, guru Penyair Berdarah 

tengadahkan kepala seakan menatapi asap yang 

masih melingkupi tempat itu.

"Manding! Seperti yang kukatakan, lawan-

mu telah meninggalkan tempat ini!"

Seakan ingin membuktikan kata-kata gu-

runya, Penyair Berdarah segera putar kembali tu-

buhnya. Matanya memandang tajam ke depan. 

Dan begitu asap telah lenyap, Penyair Berdarah 

memang tidak lagi melihat sosok Pendekar Mata 

Keranjang. Kepalanya lantas berpaling ke samp-

ing. Di juga terkejut, di tempatnya tadi berada, 

Setan Arak pun tak terlihat. Yang tampak adalah 

tubuh Begal Tanah Hitam yang telah tewas dan 

kini berubah hitam! Ini karena terkena bias ben-

troknya pukulan. Sementara agak jauh, samar-

samar terlihat Ratu Alam Baka merangkak hen-

dak meninggalkan tempat itu.

Karena marah melihat lawannya telah per-

gi, kemarahannya kini ditumpahkan pada Ratu 

Alam Baka yang sedang merangkak hendak menjauhi tempat itu. Dan tanpa bicara lagi, kedua 

tangannya yang tadi disiapkan menyerang Pende-

kar 108 dihantamkan ke arah Ratu Alam Baka.

Karena dalam keadaan terluka, maka daya 

pendengaran Ratu Alam Baka telah jauh berku-

rang, hingga dia baru sadar jika diserang tatkala 

pukullah itu telah sedepa di sampingnya. Nenek 

ini jadi terperangah, dan sudah terlambat baginya 

untuk selamatkan diri. Hingga saat itu juga puku-

lan Penyair Berdarah menghajar telak tubuh Ratu 

Alam Baka.

Jeritan tinggi seakan merobek langit keluar 

dari mulut Ratu Alam Baka. Bersamaan itu tu-

buhnya mencelat dan menghujam tanah dengan 

nyawa melayang!

Sesaat suasana mengandung kematian 

menyentak tempat itu. Penyair Berdarah bergerak 

bangkit. Sejenak diusap-usapnya dadanya yang 

berdenyut sakit. Dan tak lama kemudian dia me-

ludah. Ludah itu telah berwarna hitam menanda-

kan bahwa pemuda itu terluka dalam.

"Hm.... Pukulanmu hampir sempurna. 

Hanya kau harus rajin berlatih!" puji Iblis Gelang 

Kematian seraya melangkah mendekat.

"Guru!" kata Penyair Berdarah tanpa ber-

paling pada Iblis Gelang Kematian. "Siapa sebe-

narnya manusia bergelar Setan Arak itu?!"

Iblis Gelang Kematian sedikit terkejut men-

dengar pertanyaan muridnya. Seakan masih tak 

percaya, dia ajukan pertanyaan balik.

"Kau menyebut Setan Arak...?!"

"Tua bangka tuli!" kata Penyair Berdarah 

memaki dalam hati. Lalu masih tanpa berpaling 

pada gurunya dia berkata.

"Benar! Siapa sebenarnya manusia itu? 

Dan ada di golongan mana?!"

Sejenak Iblis Gelang Kematian terdiam. 

Tangannya bergerak-gerak hingga terdengar suara 

dentingan gelang-gelangnya yang saling bersen-

tuhan.

"Manding!" kata Iblis Gelang Kematian sete-

lah diam beberapa lama. "Setan Arak adalah sa-

lah seorang tokoh tua yang ilmunya sulit untuk 

dijajari siapa saja. Sifatnya aneh, serta sulit dite-

bak. Hingga tak bisa ditentukan di mana dia se-

benarnya bergolong. Kadang-kadang kumpul den-

gan orang-orang golongan hitam, namun tak ja-

rang pula membantu orang-orang golongan putih. 

Hanya saja aku cenderung memasukkannya pada 

orang-orang golongan putih. Karena dia sering 

memihak orang-orang golongan putih meski tak 

bermusuhan dengan orang golongan hitam. 

Hmm.... Apakah kau bertemu dengan dia?!"

"Bukan hanya bertemu, tapi dialah kepa-

ratnya yang telah menyelamatkan Pendekar Mata 

Keranjang 108! Aku bersumpah, sekali lagi ber-

temu tak akan kuampuni nyawanya!" kata Pe-

nyair Berdarah dengan suara tinggi.

"Hmm.... Tujuanmu bagus. Namun kau ha-

rus tetap berhati-hati menghadapinya! Kelicikan 

mutlak diperlukan dalam menghadapi orang seperti dia! Kau mengerti?"

Penyair Berdarah tidak menyahut. Kepa-

lanya pun tidak bergerak menggeleng atau men-

gangguk sebagai isyarat atas kata-kata gurunya. 

Namun Iblis Gelang Kematian tampaknya tidak 

merasa dongkol dengan sikap muridnya itu. Sem-

bilan tahun hidup bersama telah membuatnya 

tahu bagaimana sikap dan sifat muridnya.

"Manding.... Di sini sudah tidak ada apa-

apa lagi. Kau terluka dalam. Sebaiknya kita men-

cari tempat istirahat sambil mengobati lukamu!"

Habis berkata begitu, Iblis Gelang Kema-

tian melangkah meninggalkan tempat itu. Penyair 

Berdarah sebenarnya masih ingin mengejar Pen-

dekar Mata Keranjang, namun setelah dipikir-

pikir, dia menyadari bahwa ucapan gurunya ada 

benarnya bahwa dia terluka. Karena saat itu 

kembali dadanya berdenyut sakit dan tubuhnya 

gemetar. Maka dengan menindih rasa sakit dan 

marah dia pun melangkah menyusul gurunya.



ENAM


SETAN Arak menghentikan larinya ketika 

tiba pada suatu tempat yang sepi dekat sebuah 

pancuran air yang dikelilingi pohon-pohon besar. 

Begitu Aji sampai, murid Wong Agung ini lang-

sung ajukan pertanyaan.

"Kenapa kau mengajakku melarikan diri? 

Padahal orang macam dia perlu sekali mendapat 

hajaran! Dan terlalu bahaya jika dibiarkan hi

dup!"

Setan Arak tidak segera menjawab. Justru 

tarik ikat pinggang yang digelantungi beberapa 

bumbung bambu berisi arak, lalu tangan kanan-

nya menyambar salah satu bumbung bambu dan 

menenggak dengan lahap isinya. Setelah puas 

dan matanya sayu merah, dia buka mulut.

"Orang macam dia memang tidak layak di-

beri pijakan tanah untuk hidup. Namun bukan 

saat ini waktunya untuk memberi pelajaran. Sua-

tu saat nanti kau pasti akan dipertemukan lagi!"

Pendekar Mata Keranjang 108 tertawa pen-

dek seakan mengecilkan arti kata-kata Setan 

Arak.

"Setan Arak! Apakah menghajar orang per-

lu menanti waktu? Kalau sekarang bisa kenapa 

harus ditunda-tunda lagi? Bukankah itu malah 

memberi kesempatan...?!"

Setan Arak goyang-goyangkan kepalanya. 

Dia kini balik tertawa.

"Kau tak tahu. Sebentar setelah kepergian 

kita, telah datang di tempat itu seorang lagi. En-

tah siapa dia aku tak bisa menentukan. Yang je-

las pendatang itu berilmu sangat tinggi. Bukan-

nya aku takut menghadapi orang, namun karena 

yang akan menghadapi urusan selanjutnya ada-

lah kau, maka akan terlalu bodoh jika membiar-

kan kau mati sia-sia terlebih dahulu!"

"Jadi kau kira aku akan bisa dibuat tewas 

oleh pendatang itu?!" tanya Pendekar 108 sedikit 

geram.

"Kau jangan meradang. Dan bukannya aku 

mengatakan kau akan kalah menghadapi penda-

tang itu. Namun dugaanku bisa menghitung jika 

kau belum mampu untuk mengalahkannya! Kau 

jangan terlalu sombong dengan apa yang kau mi-

liki sekarang! Ingat. Di atas langit masih ada lan-

git!"

Pendekar 108 terdiam mendengar ucapan 

Setan Arak. Untuk beberapa saat dia tercenung 

seolah mencerna ucapan itu. Kepalanya lantas 

manggut-manggut.

"Hmm.... Lantas apa maumu mengajakku 

ke sini?"

Setan Arak menenggak araknya kembali. 

Lalu berkata.

"Ilmumu cukup tinggi. Namun gerakan 

menghindarmu kulihat masih kurang. Kau harus 

tahu, mempunyai pukulan hebat tanpa diimbangi 

dengan ilmu menghindar, akan sama halnya ber-

baju tanpa celana!"

Sepasang bola mata Aji membesar. "Kulihat 

gerakan menghindar orang ini memang aneh dan 

hampir tak dapat dipercaya, namun nyatanya bi-

sa menyelamatkan. Hmm.... Apakah ucapannya 

tadi pertanda dia akan mengajarkan padaku ilmu 

menghindar...?" batin Aji.

"He! Kenapa kau memandangku begitu ru-

pa?!" seru Setan Arak.

"Setan Arak!" kata Pendekar Mata Keran-

jang sambil menjura. "Kuharap kau mau menga-

jarkan padaku ilmu yang kau terangkan tadi!"

Setan Arak mendehem beberapa kali. Da-

lam hati diam-diam dia berkata.

"Sebenarnya aku sudah tidak ingin menga-

jarkan apa pun pada orang lain. Namun melihat 

banyak berkeliarannya orang-orang sesat, tak ada 

salahnya jika aku mengajari anak ini. Kalau dia 

telah diangkat murid oleh Wong Agung, tidak 

mungkin dia menggunakan ilmunya di jalan sa-

lah!" setelah memikir, akhirnya ia berkata.

"Baiklah. Akan kuajarkan sedikit ilmu pa-

damu! Ikuti aku!" selesai berkata, Setan Arak 

berkelebat ke arah timur di mana terdapat se-

buah dataran agak luas yang di sana-sini tampak 

beberapa gundukan batu-batu padas.

Pendekar 108 segera menjura dan balikkan 

tubuh mengikuti arah kelebatan Setan Arak.

***

Di dalam sebuah gua batu, Iblis Gelang 

Kematian terlihat duduk bersila dengan mata 

memandang lurus ke arah mulut gua. Di depan-

nya Penyair Berdarah terlihat tidur telentang den-

gan sepasang mata mengatup rapat. Namun tak 

lama kemudian pemuda ini bergerak bangkit dan 

duduk menghadap Iblis Gelang Kematian.

"Bagaimana sekarang...?" Iblis Gelang Ke-

matian buka suara.

"Terasa lebih baik...!" jawab Penyair Berda-

rah dengan melirik kedua tangannya yang telah 

pulih kembali. Dadanya pun tak lagi berdenyut

sakit.

"Manding! Kau sekarang telah tahu sendiri 

bagaimana ganasnya rimba persilatan. Ini belum 

sampai kau bertemu dengan tokoh-tokoh tua 

lainnya. Maka dari itu, kau harus ingat kata-

kataku tempo hari!"

Manding Jayalodra alias Penyair Berdarah 

anggukkan kepalanya. Kali ini agaknya pemuda 

ini tak menampakkan rasa sombongnya.

"Dan juga perlu kau ingat, sehebat-

hebatnya seseorang, pasti dia mempunyai kele-

mahan! Di sinilah kau dituntut untuk dapat men-

getahui kelemahannya! Jika hal itu telah kau da-

pat, sehebat apa pun dia, tak ada artinya di ha-

dapanmu!"

"Kalau boleh tahu, di manakah kelemahan 

seseorang itu sebenarnya?"

Iblis Gelang Kematian tertawa mengekeh. 

"Kelemahan seseorang itu bermacam-macam. 

Namun satu hal yang pasti, seseorang pasti akan 

goyah jika dihadapkan pada perempuan. Nah, 

senjata inilah yang kini harus kau miliki! Tapi 

bukan sembarang perempuan. Perempuan senjata 

ini harus mempunyai beberapa syarat!"

"Katakan, apa syarat-syarat itu. Guru!"

"Pertama. Dia harus berilmu tinggi. Kedua 

harus berwajah cantik bahkan kalau perlu mem-

punyai sifat penggoda. Ketiga dia harus tergan-

tung padamu! Dan yang terakhir, dia mempunyai 

dendam pada lawanmu. Atau setidak-tidaknya 

mempunyai masalah dengan lawanmu!"

Penyair Berdarah kembali angguk-

anggukkan kepala. Mulutnya lantas membuka 

hendak bicara. Namun sebelum ucapannya ter-

dengar, Iblis Gelang Kematian telah bicara kem-

bali.

"Manding. Akhir-akhir ini kudengar kabar 

bahwa ada seorang gadis berilmu tinggi dan ber-

wajah cantik bernama Sakawuni mempunyai ma-

salah dengan Pendekar 108. Setelah kuselidiki, 

ternyata gadis itu adalah bekas anak murid Ageng 

Panangkaran. Seorang tokoh yang tewas entah 

oleh siapa. Dan ternyata, gadis itu menuduh Pen-

dekar 108-lah yang membunuh bekas gurunya! 

Nah, ini kesempatan baik bagimu. Kalau kau ber-

hasil membujuk gadis itu, Pendekar 108 akan 

mudah kau atasi. Demikian juga tokoh-tokoh 

lainnya!"

Sepasang mata Penyair Berdarah berbinar 

besar.

"Aku akan segera mencari gadis itu!" seru 

Penyair Berdarah.

"Itu lebih baik. Tapi ingat, dia harus ter-

gantung dulu padamu! Setidak-tidaknya kau ha-

rus menanam budi padanya terlebih dahulu. Se-

telah itu barulah kau jalankan muslihatmu!"

"Segala ucapmu akan kuingat. Guru!"

"Hmm.... Sekarang aku harus pergi...,' ha-

bis berkata begitu, Iblis Gelang Kematian bangkit 

dan tanpa memandang lagi pada Penyair Berda-

rah dia berkelebat meninggalkan gua.

"Hmm.... Aku harus secepatnya menemu

kan gadis itu!" seru Penyair Berdarah seraya 

bangkit dan melangkah keluar gua.


TUJUH


SEORANG laki-laki berusia amat lanjut 

bertubuh kurus tinggi serta berparas angker ter-

lihat mondar-mandir di dekat perapian. Kakek ini 

mengenakan jubah besar warna biru gelap. Di 

atas kepalanya tampak sebuah caping lebar dari 

bahan kulit berwarna hitam yang di bagian atas-

nya dibuat terbuka seakan sengaja ingin menun-

jukkan rambutnya yang tumbuh amat jarang dan 

kaku seperti ijuk. Sepasang matanya amat besar 

sementara bibirnya tebal. Kulit wajahnya demi-

kian tipis hingga seperti tak berkulit. Selain tam-

pak angker, ada keanehan pada kakek ini yang 

membuatnya makin menakutkan sekaligus men-

gagumkan. Ternyata, meskipun terlihat melang-

kah mondar-mandir, sepasang kaki kakek ini be-

rada sejengkal di atas tanah! Dari sini jelas bisa 

dipastikan jika laki-laki tua ini bukan orang sem-

barangan!

Entah karena kesal mondar-mandir, kakek 

ini lantas hentikan langkahnya, tangan kanannya 

bergerak mengusap wajahnya yang berkulit tipis. 

Lalu merapikan jubahnya yang menyibak dihem-

bus angin malam. Kepalanya lantas tengadah 

memandangi langit yang tampak menghitam. Na-

mun tampaknya dia tak bisa pusatkan perhatian,

karena sejenak kemudian kepalanya kembali lu-

rus ke depan. Dan yang tampak kini adalah ber-

geraknya kedua bahunya menghembuskan napas 

dalam-dalam. Melihat gerak-geriknya, berat du-

gaan jika kakek ini sedang dilanda masalah yang 

belum bisa diatasinya. Dan melihat pancaran ma-

tanya yang kini tampak berkilat-kilat, bisa dite-

bak jika dia tengah marah dan kecewa.

Tiba-tiba kakek ini balikkan tubuhnya. Da-

lam pantulan sinar yang memancar dari perapian, 

tampak jelas kilatan matanya. Sepasang matanya 

yang besar kini lurus ke depan tak kesiap. Tu-

buhnya sedikit bergetar. Mulutnya komat-kamit 

menggumam tak jelas. Untuk beberapa lama ma-

tanya tetap memandang lurus ke depan, bukan 

menatap pada perapian atau menembusi kegela-

pan malam. Melainkan pada sesosok tubuh yang 

menggelantung dekat perapian. Sosok yang 

menggelantung kedua tangan dan kakinya terikat. 

Kedua tangannya menyatu diikat dan ditarik den-

gan seutas tali yang diikatkan pada sebuah ba-

tang pohon.

Sosok yang menggelantung adalah seorang 

gadis muda berparas cantik jelita. Rambutnya 

panjang dengan hidung mancung dan bibir mem-

bentuk bagus. Dadanya membusung menantang 

sementara pinggulnya mencuat menggemaskan. 

Dara ini menggunakan pakaian coklat bergaris-

garis.

Mungkin karena merasa dipandangi atau 

mungkin juga karena kesemutan, kedua kelopak

mata si gadis yang sedari tadi terpejam tampak 

bergerak-gerak membuka. Untuk sesaat mata bu-

lat si gadis memandang sayu ke arah perapian. 

Mata itu lantas menyipit dan tiba-tiba membela-

lak besar. Dia tampak terkejut. Lalu kepalanya 

menunduk memandangi dirinya. Dia terlihat ma-

kin terperangah ketika mendapati dirinya dalam 

keadaan tergantung.

Kepala si gadis lalu tampak digoyang ke 

kanan kiri. Tangannya pun digerak-gerakkan 

seakan ingin melepaskan diri. Namun ketika 

mendapati ikatan tangannya begitu kuat, gadis ini 

menghela napas panjang. Kepalanya tengadah 

kembali seakan mengingat-ingat.

"Apa yang terjadi dengan diriku...? Dan 

siapa yang melakukan ini...?" si gadis mulai ber-

kata dalam hati.

"Hmm.... Bukankah saat itu aku sedang 

terluka karena hajaran Guru...? Dan rasa-

rasanya saat itu aku ditolong oleh Pendekar Mata 

Keranjang si keparat itu! Apa dia yang melakukan 

ini...?"

Kembali si gadis menarik napas dalam-

dalam. Namun dia sedikit terkejut.

"Aneh. Dadaku sudah tidak lagi terasa sa-

kit. Demikian juga sekujur tubuhku. Padahal saat 

itu aku sampai pingsan karena sakit. Hmm.... Ka-

lau pendekar keparat itu yang melakukan ini, 

pasti dia masih ada di sekitar sini!"

Tanpa memandang ke kanan kiri lagi, gadis 

ini buka mulut hendak berteriak. Namun sebelum

teriakannya keluar, terdengar batuk-batuk bebe-

rapa kali hingga si gadis cepat takupkan kembali 

mulutnya dan urungkan niat untuk berteriak. 

Sepasang matanya cepat melirik ke arah datang-

nya suara batuk-batuk.

Sepasang mata si gadis mendadak membe-

liak besar. Bibirnya bergetar.

"Guru...!" seru si gadis tatkala dapat men-

genali siapa adanya orang yang keluarkan batuk.

Laki-laki berjubah biru bercaping hitam 

yang dipanggil guru oleh si gadis tidak menyahut. 

Malah sepasang matanya yang besar makin berki-

lat menatap tajam. Melihat hal ini tampaknya si 

gadis sadar jika laki-laki tua itu sedang dilanda 

marah besar. Maka setelah menarik napas pan-

jang untuk menguasai getaran dadanya si gadis 

berkata.

"Guru.... Maafkan jika tempo hari aku me-

lakukan kesalahan. Aku bersedia kau hukum!"

Orang yang dipanggil guru tetap diam, 

membuat si gadis salah tingkah dan tampak ke-

takutan. Dan tubuh si gadis sedikit bergetar 

tatkala melihat orang tua itu melangkah mende-

kat ke arahnya.

"Guru...," ucap si gadis dengan nada sea-

kan tercekat ditenggorokan. "Maafkan muridmu. 

Semua itu kulakukan karena aku ingin manusia 

jahanam itu...."

Plakkk!

Tangan kanan orang tua itu berkelebat dan 

menampar pipi si gadis hingga dia menghentikan

ucapannya. Bibirnya terlihat mengeluarkan darah 

dan pecah-pecah. Si gadis lalu mengatupkan bi-

birnya rapat-rapat untuk menekan suara erangan 

dan aliran darah. Kepalanya lantas menunduk 

tak berani memandang pada orang tua di hada-

pannya

Si orang tua hembuskan napas panjang 

seakan melepas rasa kecewa. Lalu terdengar dia 

mendengus dan berkata.

"Aku benar-benar menyesal, Sakawuni! Se-

kian lama kudidik, ternyata yang kudapatkan da-

rimu hanyalah kekecewaan. Pikiran dan ucapan-

mu berubah! Dan yang lebih menyakitkan lagi, 

kau telah menyelamatkan manusia bangsat itu 

dari tanganku!" sejenak si orang tua hentikan 

ucapannya. Dadanya terlihat bergetar. Setelah 

hembuskan napas, kembali dia melanjutkan.

"Sakawuni! Tentunya kau masih ingat 

sumpah yang kau ucapkan. Kau sudah siap me-

nerima akibat karena melanggar sumpahmu?!"

Si gadis yang ternyata adalah Sakawuni, 

bekas murid Ageng Panangkaran yang kemudian 

diangkat murid oleh tokoh sakti bergelar Manusia 

Titisan Dewa, gegatkan rapat-rapat bibirnya. Dia 

tahu apa yang akan dialaminya karena melanggar 

sumpah yang pernah diucapkan sebelum diang-

kat murid oleh Manusia Titisan Dewa. Seperti di-

ceritakan dalam episode "Manusia Titisan Dewa", 

Sakawuni harus melakukan sumpah darah sebe-

lum diangkat murid oleh Manusia Titisan Dewa. 

Dan dalam sumpah itu, diikrarkan jika Sakawuni

menolak segala perintah gurunya, maka dia harus 

rela mati di tangan gurunya sendiri. Padahal, se-

telah Sakawuni dididik sang guru, meski secara 

tak langsung telah memerintahkan Sakawuni un-

tuk menghabisi Pendekar 108. Namun apa yang 

terjadi selanjutnya sungguh membuat sang guru 

marah besar. Karena saat itu sang guru telah ki-

rimkan serangan maut pada Pendekar 108 se-

dangkan saat itu sang pendekar sudah dalam 

keadaan tak bisa mengelak. Justru pada saat itu-

lah Sakawuni datang dan menyelamatkan sang 

pendekar.

"Guru...," kata Sakawuni dengan suara 

perlahan dan kepala menunduk. "Aku ingat akan 

sumpahku. Dan aku pun siap menerima huku-

man. Namun sebelum semua itu terjadi, perlu 

kau ketahui bahwa tindakanku menyelamatkan 

Pendekar Mata Keranjang semata-mata hanya ka-

rena aku ingin manusia jahanam itu tewas den-

gan tanganku sendiri!"

Kalau saat mulai berkata tadi suaranya pe-

lan dan kepala menunduk, kini gadis itu angkat 

kepalanya. Parasnya membesi dengan muka me-

rah padam. Sepasang matanya merah dengan da-

gu terangkat.

"Sekarang kalau Guru masih menyalahkan 

tindakanku, aku rela mati di tanganmu. Lakukan-

lah!" suaranya makin tinggi, bahkan sepasang 

matanya balas menatap pandangan si orang tua 

yang bukan lain adalah Manusia Titisan Dewa.

Mendengar kata-kata Sakawuni, Manusia

Titisan Dewa tercenung. Sebenarnya dalam hati 

orang tua ini telah berkeputusan untuk tidak 

menjatuhkan hukuman pada Sakawuni. Karena 

dia berpikir bahwa Sakawuni masih bisa diguna-

kan untuk membantu rencananya yang ingin 

mengacaukan rimba persilatan dengan jalan 

membunuh beberapa tokoh persilatan. Kalaupun 

dia menggantung Sakawuni, ini semata-mata un-

tuk menggertak gadis itu bahwa kata-katanya ti-

daklah hanya omong kosong belaka.

Sementara itu melihat sang guru masih 

terdiam, Sakawuni kembali angkat bicara. "Guru! 

Kuharap kau cepat lakukan apa yang kau ingin-

kan! Aku telah siap!"

Manusia Titisan Dewa melangkah satu tin-

dak mendekat. Sakawuni pejamkan sepasang ma-

tanya karena menduga jika sang guru benar-

benar akan melaksanakan niatnya. Tiba-tiba tan-

gan kanan Manusia Titisan Dewa bergerak.

Settt! 

Bukkk!

Sakawuni merasakan angin bersiur dah-

syat. Dia makin rapatkan matanya. Namun gadis 

ini terlengak, karena dia tak merasakan tangan 

Manusia Titisan Dewa menghajar tubuhnya. Ju-

stru yang dirasakan adalah tukikan tubuhnya ke 

bawah dan beradunya pantatnya dengan tanah.

Merasa dirinya terduduk di atas tanah, Sa-

kawuni segera buka kelopak matanya. "Apakah 

dia membatalkan hukuman...? Atau ingin meng-

hukumku dengan tanpa digantung...?" batin Sakawuni seraya tengadahkan kepala memandangi 

gurunya.

"Sakawuni! Kali ini hukuman itu kutunda. 

Namun ingat, sekali lagi kau buat kesalahan, tia-

da lagi penundaan hukuman! Kau dengar?!"

Sakawuni membesarkan matanya. Dia me-

narik napas lega. Setelah membuka ikatan pada 

kaki dan tangannya, dia menjura hormat dan 

berkata.

"Terima kasih. Guru! Segala ucapmu ku-

dengar dan kuperhatikan!"

"Bagus! Sekarang aku harus pergi. Ada se-

suatu yang harus kukerjakan!" kata Manusia Titi-

san Dewa seraya balikkan tubuh hendak mening-

galkan tempat itu. Namun geraknya tertahan 

tatkala Sakawuni berseru.

"Guru.... Tunggu!"

"Ada yang hendak kau utarakan...?!" Ma-

nusia Titisan Dewa berkata tanpa balikkan tu-

buh.

Sakawuni melangkah menjajari. Setelah 

dekat dia langsung berkata.

"Guru! Kalau boleh kutahu, bagaimana aku 

bisa berada di sini bersamamu? Bukankah saat 

itu kau telah pergi dari tempat pertempuran...?!"

Manusia Titisan Dewa tersenyum. "Me-

mang. Saat setelah kau roboh aku meninggalkan 

tempat pertarungan. Namun sebenarnya aku tak 

pergi ke mana-mana! Aku menyelinap dan ingin 

tahu apa yang akan diperbuat Pendekar 108 ter-

hadapmu! Ternyata dia membawamu ke sebuah

lembah. Dan...," Manusia Titisan Dewa tidak me-

lanjutkan keterangannya. Malah kedua telapak 

tangannya mengepal.

"Harap kau teruskan keteranganmu, 

Guru!"

"Sungguh keterlaluan!'' kata Manusia Titi-

san Dewa sambil gelengkan kepala. "Pendekar ke-

parat itu ternyata hendak melampiaskan nafsu 

bejatnya padamu! Untung aku segera bertindak 

menyelamatkanmu, jika tidak aku tidak bisa ka-

takan apa yang akan menimpamu!"

"Jahanam busuk! Pendekar cabul!" teriak 

Sakawuni dengan berapi-api seraya kepalkan tin-

junya. "Akan kukuliti tubuhnya! Akan kucincang 

dagingnya!"

Manusia Titisan Dewa tersenyum dan me-

narik napas panjang.

"Sakawuni. Kau telah tahu siapa sebenar-

nya Pendekar Mata Keranjang. Namun demikian, 

kau harus tetap waspada dan berhati-hati! Setiap 

orang yang gagal melaksanakan nafsunya, setiap 

saat orang itu pasti mencari jalan untuk dapat 

berhasil, walau dengan jalan apa pun! Ada lagi 

yang hendak kau tanyakan...?" Manusia Titisan 

Dewa pada akhirnya balik bertanya.

Yang ditanya tak menjawab. Dia sepertinya 

masih mencoba menindih gemuruh amarah di 

dadanya. Melihat hal ini Manusia Titisan Dewa 

tersenyum, lalu tanpa berkata lagi dia berkelebat 

meninggalkan Sakawuni.

"Guru...!" teriak Sakawuni. Namun Manu

sia Titisan Dewa telah lenyap ditelan kegelapan

malam.

"Hmm.... Pendekar 108! Tak ada hukuman 

yang pantas kau alami selain hukuman mati! Do-

samu sudah setinggi gunung sedalam laut! Sung-

guh tak kusangka jika kau sekejam itu! Tunggu-

lah!" gumam Sakawuni sambil melangkah men-

dekati perapian. Namun baru saja hendak jong-

kok tiba-tiba terdengar suitan dua kali berturut-

turut. Sesaat kemudian dua bayangan berkelebat 

dan tahu-tahu dua sosok manusia telah berdiri 

sepuluh langkah di samping kanan kiri Sakawuni.


DELAPAN


SECEPAT kilat Sakawuni bangkit dan ba-

likkan tubuh. Sepasang matanya memandang ta-

jam satu persatu pada dua orang yang kini ada di 

samping kanan kirinya.

Di samping kanan adalah seorang laki-laki 

setengah baya. Mengenakan pakaian jubah kun-

ing terbuat dari kulit harimau. Pakaian dalamnya 

berupa baju warna putih dengan celana juga war-

na putih. Paras wajahnya masih terlihat tampan 

dengan kumis tipis dan rambut tertata rapi. Pada 

kepalanya terikat kain warna kuning sementara di 

jari-jarinya terlihat beberapa cincin emas.

Sedang orang di sebelah kiri adalah juga 

seorang laki-laki yang usianya tak jauh beda den-

gan orang yang di sebelah kanan. Dia mengenakan jubah warna putih dengan pakaian dalam 

warna hitam. Seperti halnya orang di sebelah ka-

nan, orang ini pun mengenakan beberapa cincin 

di jari-jarinya. Wajahnya pun tampak masih tam-

pan. Hanya kumisnya lebat dengan berewok yang 

terawat rapi.

"Hmm... melihat sikap dan pakaiannya, 

mereka tampaknya orang-orang kaya. Siapa me-

reka dan mengapa malam-malam begini berada di 

tempat sepi begini? Tapi meski orang kaya, mere-

ka sepertinya bukan orang baik-baik! Pandangan 

mata mereka menjijikkan!" batin Sakawuni den-

gan alihkan pandangan dan buka suara.

"Siapa kalian?! Jangan coba-coba berniat 

buruk jika masih sayang nyawa!"

Mendengar teguran kedua laki-laki seten-

gah baya ini bukannya segera jawab, sebaliknya 

sepasang mata keduanya makin liar memandangi 

tubuh Sakawuni. Apalagi saat itu Sakawuni ber-

diri membelakangi perapian, hingga cahaya pera-

pian itu menampakkan lekukan tubuhnya.

Melihat sikap kedua laki-laki ini, Sakawuni 

geram. Namun untuk sementara ditahannya rasa 

geram itu. Dia kembali menegur dengan suara 

agak keras.

"Kurasa kalian tidak tuli dan gagu. Kenapa 

tidak jawab pertanyaan orang? Atau kalian me-

mang minta digampar dulu baru bisa bunyi?!"

Tiba-tiba laki-laki yang di sebelah kanan 

keluarkan suara tawa mengekeh panjang yang 

kemudian disusul oleh laki-laki di sebelah kiri.

Setelah puas tertawa, laki-laki sebelah kanan 

angkat tangannya seakan memberi isyarat pada 

temannya jika dia akan bicara. Setelah laki-laki di 

sebelah kiri mengangguk, orang di sebelah kanan 

buka mulut.

"Gadis cantik! Ucapanmu benar. Kami ber-

dua memang tidak tuli juga tidak gagu. Dan per-

tanyaanmu akan kujawab. Aku adalah Ganda 

Wulung. Sedang temanku itu Reksi Gumarang. 

Harap kau tak salah duga. Kami tidak berniat bu-

ruk. Justru kami berdua punya niat baik pada-

mu! Bukankah begitu, Reksi?" seraya berkata la-

ki-laki yang menyebutkan namanya Ganda Wu-

lung ini anggukkan kepala ke arah Reksi Guma-

rang.

Reksi Gumarang langsung menyahut. "Be-

nar. Kami berniat mengajakmu bersenang-

senang. Apakah itu bukan berarti niat baik...? 

Ha... ha... ha...!"

"Hmm.... Begitu? Katakan, bersenang-

senang apa yang kau maksud!" kata Sakawuni 

meski hatinya dongkol dan tahu ke mana arah 

pembicaraan orang.

Ganda Wulung dan Reksi Gumarang kem-

bali perdengarkan tawa mendengar ucapan Saka-

wuni. Reksi Gumarang usap-usap dagunya, se-

mentara Ganda Wulung elus-elus kumisnya sam-

bil mengangguk-angguk.

"Gadis cantik...," kali ini yang bicara Reksi 

Gumarang. Suaranya terdengar agak serak parau. 

"Soal bersenang-senang macam apa yang akan

kau nikmati tak usah diceritakan panjang lebar di 

sini. Daripada untuk bercerita, lebih baik kita gu-

nakan saja untuk segera memulai acara berse-

nang-senang itu. Percayalah. Kau pasti akan me-

nyukainya!" habis berkata begitu, Reksi Guma-

rang melangkah mendekat. Melihat hal ini Ganda 

Wulung pun tak tinggal diam. Laki-laki berjubah 

kulit harimau ini ikut-ikutan melangkah mende-

kat.

"Manusia-manusia anjing! Tentunya kalian 

berwatak seperti anjing. Akan kubersihkan otak 

kalian agar seperti watak manusia!" desis Saka-

wuni tanpa bergerak dari tempatnya.

Mungkin karena tak sabar atau mengang-

gap remeh orang, tiba-tiba Reksi Gumarang me-

lompat ke depan. Tangan kanannya bergerak 

hendak merengkuh tubuh gadis di depannya. Ta-

pi laki-laki ini terperanjat. Tangannya hanya me-

rengkuh angin. Bukan hanya sampai di situ, tu-

buhnya tiba-tiba terdorong ke belakang. Dan se-

belum laki-laki ini mengetahui apa yang terjadi 

dengan dirinya, sebuah tendangan keras mengha-

jar bahunya. Laki-laki ini terputar dan jatuh ter-

banting di atas tanah! Bahkan kalau saja laki-laki 

ini tidak segera menarik tubuhnya, niscaya kepa-

lanya akan menyusup ke perapian!

Mendapati apa yang terjadi pada Reksi 

Gumarang, Ganda Wulung hentikan langkah. 

Dahinya mengernyit dengan mata sedikit membe-

liak. Sementara Reksi Gumarang segera bangkit. 

Namun laki-laki ini bukannya marah mendapati

dirinya terjengkang roboh. Justru seraya bangkit 

laki-laki ini tertawa tergelak-gelak.

"Ganda Wulung! Rupanya malam ini kita 

akan menyantap makanan yang geliatannya me-

nakjubkan! Makanan yang demikian inilah yang 

paling kusuka. Selain bisa menghangatkan sua-

sana juga menggairahkan nafsu! Ha... ha... ha...!"

Tiba-tiba Reksi Gumarang berkelebat. Tan-

gannya kembali hendak merengkuh. Gerakan 

tangannya kini lebih cepat. Namun lagi-lagi Reksi 

Gumarang terlengak. Tangannya hanya mereng-

kuh angin! Tapi kali ini dia waspada. Ketika ter-

dengar berdesirnya suara angin, dia cepat me-

runduk. Dan tangan kirinya diangkat ke atas.

Bukkk!

Reksi Gumarang berseru tertahan. Tangan 

kirinya mental balik dengan tubuh terdorong ke 

belakang. Dan ketika dia melirik, dia membelalak 

hampir tak percaya. Tangannya menggembung 

dan berwarna merah!

"Keparat!" seru Reksi Gumarang dengan 

mata memandang tajam pada Sakawuni yang ma-

sih tampak berdiri sambil tersenyum sinis. Paras 

wajah laki-laki ini berubah merah padam. Namun 

demikian, diam-diam dalam hatinya maklum jika 

gadis muda di hadapannya tidaklah seperti apa 

yang semula diduganya. Sementara itu Ganda 

Wulung memperhatikan dengan lebih seksama.

"Siapa gadis ini sebenarnya? Dia tidak bisa 

dianggap remeh!"

"Siapa kau sebenarnya...?!" tiba-tiba Reksi

Gumarang membentak.

Yang dibentak bukannya segera menjawab. 

Melainkan tertawa berderai-derai hingga dadanya 

yang membusung terlihat naik turun.

Namun gerakan naik turun dada Sakawuni 

tidak membuat Reksi Gumarang terpesona seperti 

semula. Sepasang matanya memang membelalak 

besar, namun bukan karena melihat dada Saka-

wuni, melainkan karena marah! Rencananya se-

mula yang ingin mengajak Sakawuni bersenang-

senang seakan hilang lenyap, berganti ingin me-

nundukkan Sakawuni.

"Laki-laki busuk!" teriak Sakawuni setelah 

agak lama tertawa. "Apakah kau selalu menanya-

kan siapa mangsamu jika ingin bersenang-

senang?!"

Karena yang ditanya tidak ada yang mem-

buka mulut untuk menjawab, akhirnya Sakawuni 

melanjutkan ucapannya.

"Kalau kalian tak mau jawab tak apa. Tapi 

perlu kalian ketahui jika kalian memang selalu 

ingin tahu mangsamu, aku tak keberatan membe-

ritahu! Dengar baik-baik. Aku adalah Pemangsa 

Malam! Pencari nyawa laki-laki yang suka keluyu-

ran malam-malam! Hik... hik... hik...!"

"Bedebah setan siapa namamu! Kau akan 

kubawa bersenang-senang setelah tubuhmu jadi 

mayat!" kata Reksi Gumarang setengah berteriak. 

Sementara Ganda Wulung terlihat diam saja, na-

mun diam-diam laki-laki ini kerahkan tenaga da-

lam. Dan diam-diam pula kedua tangannya ditarik ke belakang siap lancarkan pukulan. 

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar orang 

melantunkan tembang syair.

Malam merangkak makin jauh.

Sang pemangsa malam telah kepakkan 

sayap untuk menembusi kegelapan watak manu-

sia.

Sungguh jelek nasib manusia malam.

Harus kembali pulang dengan nyawa 

menggantung di awang-awang!

Ketiga orang serentak palingkan wajah 

masing-masing ke arah datangnya suara tembang 

syair. Di belakang pohon, terlindung oleh kegela-

pan malam yang tidak terbias pancaran cahaya 

perapian terlihat sesosok tubuh berdiri tegak den-

gan kepala tengadah. Hanya jubah besarnya yang 

berwarna hitam bergaris-garis putih tampak ber-

kibar-kibar diterpa angin malam.

"Penyair geblek! Hanya kuingatkan sekali 

padamu. Lekas tinggalkan tempat ini!" teriak Rek-

si Gumarang sambil alihkan kembali pandangan-

nya pada Sakawuni. Sementara Ganda Wulung 

tampak menyipitkan sepasang matanya. Karena 

dia berada lebih dekat dengan sosok yang menga-

lunkan tembang syair, dia lebih jelas bisa melihat 

paras wajah orang di belakang pohon.

"Hmm.... Aku samar-samar sepertinya per-

nah bertemu dengan orang ini..." batin Ganda 

Wulung. Matanya sekali lagi ditajamkan.

"Heran. Aku merasa yakin pernah menge-

nali wajahnya. Tapi aku lupa di mana.... Ah, 

mungkin hanya persamaan wajah...," kata Ganda 

Wulung pada akhirnya menenteramkan diri tatka-

la dia gagal mengingat-ingat.

"Siapa lagi manusia pendatang ini? Kalau 

menilik nada suaranya, jelas jika sang penyair ini 

mempunyai ilmu. Juga melihat kedatangannya 

yang tanpa bisa kusiasati, mengisyaratkan bahwa 

dia tidak bisa dipandang remeh! Hm.... Perjalanan 

belum dimulai sudah ada penghalang...," Saka-

wuni membatin seraya melirik pada Ganda Wu-

lung.

"Laki-laki ini tampak sedikit berubah. Se-

pertinya dia mengenali orang yang baru datang. 

Adakah mereka ini satu komplotan...? Peduli se-

tan! Siapa pun mereka adanya, akan kubikin 

mampus jika bertindak kurang ajar!"

Selagi ketiga orang ini tidak ada yang buka 

suara, sosok di belakang pohon kembali memper-

dengarkan alunan tembang syair.

Malam makin gelap pekat.

Darah telah menggelegak ingin segera tum-

pah membasahi bumi.

Penyair Berdarah inginkan darah manusia-

manusia serakah.

Reksi Gumarang, Ganda Wulung! Malam ka-

lian telah berakhir!

Reksi Gumarang dan Ganda Wulung terse

dak leher masing-masing. Darah kedua orang ini 

laksana sirap seketika. Reksi Gumarang alihkan 

pandangannya lagi ke arah belakang pohon den-

gan kaki tersurut dua langkah. Sedangkan Ganda 

Wulung ternganga sambil geser kakinya ke samp-

ing, seakan ingin memperhatikan lebih jelas wa-

jah orang. Tidak seperti Reksi Gumarang yang 

meski terkejut tidak menampakkan paras takut, 

sebaliknya Ganda Wulung jelas menunjukkan 

raut ketakutan. Sementara Sakawuni sepertinya 

acuh dengan rasa terkejut dua orang di samping-

nya. Dia berpikir tak ada untungnya dengan men-

getahui perasaan orang. Meski dia dapat mendu-

ga bahwa ada ganjalan antara dua orang di sam-

pingnya dengan sang pendatang.

Selagi Reksi Gumarang dan Ganda Wulung 

dilanda rasa terkejut, sosok di belakang pohon lu-

ruskan kepalanya, merapikan jubahnya lalu me-

langkah keluar dari balik bayangan pohon.

Dia adalah seorang pemuda bertubuh te-

gap. Rambutnya panjang dibiarkan tergerai. Se-

pasang matanya tajam dengan dagu kokoh. Dekat 

perapian sang pemuda yang bukan lain adalah 

Manding Jayalodra alias Penyair Berdarah henti-

kan langkah. Sepasang matanya menatap satu 

persatu pada Reksi Gumarang serta Ganda Wu-

lung. Matanya berkilat merah. Pelipisnya berge-

rak-gerak. Jelas bahwa dia sedang marah.

Jika Ganda Wulung masih sedikit banyak 

bisa mengenali sang pemuda meski tak tahu sia-

pa, tidak demikian halnya dengan Reksi Gumarang. Hingga begitu Penyair Berdarah hentikan 

langkah, dia segera membentak.

"Penyair edan! Siapa kau...?! Dan dari ma-

na kau tahu siapa adanya kami?!"

Penyair Berdarah memandang pada juru-

san lain. Tawanya tiba-tiba meledak. Dan bersa-

maan dengan itu, ketiga orang di hadapan Penyair 

Berdarah surutkan langkah masing-masing ke be-

lakang. Bukan hanya karena terkejut mendengar 

ledakan tawa orang yang membuat telinga ber-

dengung sakit, melainkan juga karena tanah pija-

kan mereka bergetar. Hingga kalau masing-

masing orang tidak segera kerahkan tenaga da-

lam, bukan tak mungkin akan goyah dan jatuh 

terduduk! Dari sini ketiga orang jadi maklum, 

bahwa mereka sedang berhadapan dengan orang 

berilmu tinggi.

"Reksi Gumarang, Ganda Wulung! Buka 

mata kalian lebar-lebar! Kalau aku dapat menge-

nali siapa kalian, orang tolol jika kalian tak men-

genalku!" kata Penyair Berdarah begitu suara ta-

wanya terhenti.

Untuk beberapa saat baik Reksi Gumarang 

maupun Ganda Wulung memperhatikan sekali la-

gi pada pemuda di hadapan mereka. Namun ke-

duanya tampak tidak bisa mengingat apalagi 

mengenali si pemuda,

"Kau tak usah berteka-teki! Katakan siapa 

kau adanya!" sahut Reksi Gumarang dengan sua-

ra tinggi. Rasa marah laki-laki ini makin bertumpuk.

"Baiklah kalau itu maumu." akhirnya Pe-

nyair Berdarah berkata. "Untuk menyegarkan 

otak kalian yang buntu akan kusebutkan sebuah 

nama. Kau ingat dengan seorang bernama Can-

drik Raturandang?!"

Serentak Reksi Gumarang dan Ganda Wu-

lung tercengang. Kedua orang ini memang men-

genal siapa adanya orang yang baru disebut na-

manya oleh sang pemuda. Candrik Raturandang 

adalah adik kandung mendiang Panglima Perang 

Kerajaan Dhaha yang tewas digantung karena 

hendak mengadakan makar terhadap kerajaan. 

Sedangkan Candrik Raturandang akhirnya juga 

dihukum gantung karena kedapatan menyembu-

nyikan anak bungsu sang panglima.

"Candrik Raturandang.... Hmm..., berarti 

pemuda ini adalah anak bungsu sang panglima! 

Manding Jayalodra...,"" gumam Reksi Gumarang 

sambil busungkan dada. Lalu berkata.

"Ganda Wulung. Rezeki kita besar sekali 

malam ini! Selain dapat menikmati santapan ga-

dis cantik, masih ditambah hadiah kepingan 

emas dari Sri Baginda. Pemuda inilah yang sela-

ma ini dicari-cari kerajaan!"

Ganda Wulung yang telah juga dapat me-

nebak siapa adanya pemuda tertawa pendek. "Ka-

lau kita bisa menyeret pamannya, apa susahnya 

menyeret keponakannya...?!"

"Manusia-manusia keparat! Jangan bermu-

lut besar! Darah kalian akan kutumpahkan ma-

lam ini sebagai imbalan atas kelakuan kalian pada pamanku!" Penyair Berdarah membentak den-

gan kacak pinggang. Mulutnya mengembung lalu 

memuntahkan ludah ke tanah.

Melihat suasana tegang, Sakawuni perla-

han-la-an melangkah mundur. Dan begitu Saka-

wuni berada agak jauh, tiba-tiba Penyair Berda-

rah melompat ke depan. Reksi Gumarang hanya 

melihat kelebatan serta berdesirnya angin. Tahu-

tahu sepasang tangan Penyair Berdarah telah 

bergerak menghantam dan kini berada satu jeng-

kal di sebelah kanan kiri kepalanya.

Dengan menahan rasa sakit serta sadar 

bahaya maut mengancam dirinya, Reksi Guma-

rang cepat angkat tangannya.

Prakkk! Prakkk!

Dua pasang tangan beradu keluarkan sua-

ra keras. Reksi Gumarang terpekik. Sambil 

menghindar dengan melompat mundur, laki-laki 

ini hantamkan kaki kanannya. Penyair Berdarah 

sibakkan jubahnya. Kepalanya bergerak merun-

duk. Terjangan kaki lewat sejengkal di atas kepa-

lanya. Saat itulah Penyair Berdarah sapukan ka-

kinya menyusur tanah menghajar betis Reksi 

Gumarang yang digunakan sebagai tumpuan tu-

buhnya. Kaki kiri Reksi Gumarang mencelat dan 

ini mengakibatkan tubuhnya terbanting deras 

dengan posisi miring.

Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Pe-

nyair Berdarah. Kaki kirinya segera diangkat dan 

disapukan pada kepala Reksi Gumarang. Namun 

bersamaan dengan itu Ganda Wulung berteriak

da pamanku!" Penyair Berdarah membentak den-

gan kacak pinggang. Mulutnya mengembung lalu 

memuntahkan ludah ke tanah.

Melihat suasana tegang, Sakawuni perla-

han-la-an melangkah mundur. Dan begitu Saka-

wuni berada agak jauh, tiba-tiba Penyair Berda-

rah melompat ke depan. Reksi Gumarang hanya 

melihat kelebatan serta berdesirnya angin. Tahu-

tahu sepasang tangan Penyair Berdarah telah 

bergerak menghantam dan kini berada satu jeng-

kal di sebelah kanan kiri kepalanya.

Dengan menahan rasa sakit serta sadar 

bahaya maut mengancam dirinya, Reksi Guma-

rang cepat angkat tangannya.

Prakkk! Prakkk!

Dua pasang tangan beradu keluarkan sua-

ra keras. Reksi Gumarang terpekik. Sambil 

menghindar dengan melompat mundur, laki-laki 

ini hantamkan kaki kanannya. Penyair Berdarah 

sibakkan jubahnya. Kepalanya bergerak merun-

duk. Terjangan kaki lewat sejengkal di atas kepa-

lanya. Saat itulah Penyair Berdarah sapukan ka-

kinya menyusur tanah menghajar betis Reksi 

Gumarang yang digunakan sebagai tumpuan tu-

buhnya. Kaki kiri Reksi Gumarang mencelat dan 

ini mengakibatkan tubuhnya terbanting deras 

dengan posisi miring.

Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Pe-

nyair Berdarah. Kaki kirinya segera diangkat dan 

disapukan pada kepala Reksi Gumarang. Namun 

bersamaan dengan itu Ganda Wulung berteriak

dan berkelebat.

Penyair Berdarah urungkan niat menghan-

tam kepala Reksi Gumarang namun kakinya tetap 

diterjangkan dengan sedikit diangkat lebih tinggi 

hingga lewat di atas kepala Reksi Gumarang. Lalu 

tubuhnya diputar dan kakinya diteruskan ke de-

pan. 

Bukkk! Bukkk!

Karena tak menyangka Penyair Berdarah 

akan membuat gerakan demikian, Ganda Wulung 

yang menyongsong dengan tangan di atas kepala 

tampak terkejut. Tangannya segera dihantamkan 

ke bawah. Namun yang dihantamnya hanyalah 

udara kosong, karena ternyata lawan telah tarik 

pulang kakinya sebatas lutut. Dan begitu tangan-

nya lolos menghajar sasaran, lawan telah mele-

jangkan kembali kakinya. Ganda Wulung berseru 

tertahan. Tubuhnya mencelat ke belakang dan ja-

tuh bergedebukan ke atas tanah.

Pada saat Penyair Berdarah melejangkan 

kaki kirinya menyongsong Ganda Wulung, Reksi 

Gumarang melirik. Kesempatan ini tak disia-

siakan laki-laki berjubah putih ini. Kakinya cepat 

bergerak menghajar kaki kanan Penyair Berda-

rah. Karena pusat bobot tubuhnya terhajar, 

membuat tubuh Penyair Berdarah langsung ter-

banting!

Melihat hal ini Reksi Gumarang langsung 

bangkit. Namun baru saja hendak tegak, Penyair 

Berdarah hantamkan kedua tangannya.

Angin dahsyat mengeluarkan suara seperti

bunyi-bunyian rebab melesat cepat ke arah Reksi 

Gumarang. Suasana berubah redup meski di situ 

ada cahaya perapian, dan hawa panas mengham-

par! Penyair Berdarah telah lancarkan pukulan 

sakti 'Suara Kematian'!

Di depannya, Reksi Gumarang terkesima. 

Namun sudah sangat terlambat untuk menghin-

dar. Hingga tanpa bisa dielakkan lagi, pukulan 

Penyair Berdarah telah menghajar tubuhnya. So-

sok laki-laki berjubah putih ini yang ternyata ada-

lah pengawal mendiang Panglima Perang Kerajaan 

Dhaha mencelat hingga beberapa tombak ke be-

lakang dan terhempas dengan kepala terlebih da-

hulu. Sejenak tubuhnya terlihat menggelepar, lalu 

sesaat kemudian diam kaku dengan pakaian han-

gus dan tubuh berubah menjadi hitam legam!

Mendapati hal yang menimpa Reksi Guma-

rang, Ganda Wulung yang sejak semula telah je-

rih makin kecut. Seraya merayap bangkit laki-laki 

ini melirik kanan kiri. Dan tanpa pikir panjang la-

gi dia berkelebat meloloskan diri. Namun bersa-

maan dengan itu, tiba-tiba suasana di tempat itu 

berubah sangat dingin, lalu berubah lagi panas 

menyengat. Hal ini membuat tengkuk Ganda Wu-

lung merinding, namun karena dia telah men-

gambil keputusan melarikan diri, ia teruskan saja 

berkelebat.

Saat itulah Ganda Wulung merasakan 

punggungnya terhantam benda keras. Tubuhnya 

langsung terjungkal menggebrak tanah! Sebentar 

terdengar erangan dari mulutnya, namun erangan

itu tiba-tiba terputus bersamaan dengan melayangnya nyawa!



SEMBILAN


SAKAWUNI turunkan kedua tangannya. 

Tebaran hawa sangat dingin lalu panas serta an-

gin dahsyat yang tidak mengeluarkan suara yang 

melesat dari kedua tangan Sakawuni inilah yang 

memutuskan nyawa Ganda Wulung. Sakawuni 

ternyata telah lancarkan pukulan sakti 

'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.

Sakawuni menunggu sebentar. Setelah ya-

kin Ganda Wulung tewas, dia putar tubuh dan 

meninggalkan tempat itu. Bibirnya tampak terse-

nyum sinis. 

"Tunggu!"

Mendadak satu seruan agak keras terden-

gar di belakangnya. Sakawuni segera berpaling. 

Penyair Berdarah tampak telah berdiri dan me-

mandang ke arahnya dengan pandangan sulit di-

artikan.

"Hm.... Apa dia juga punya maksud sama 

seperti dua laki-laki tadi?" batin Sakawuni lalu 

bertanya.

"Ada apa...?!"

"Kalau tak keberatan, boleh aku tahu siapa 

kau sebenarnya?!'

"Hm.... Dua laki-laki tadi mengatakan 

bahwa dia adalah buron kerajaan! Ah, itu bukan

urusanku. Yang penting dia tak membuat masa-

lah denganku! Dan mendengar nada bicaranya 

dia sepertinya tak punya niatan buruk! Wajahnya 

juga tampan...," Sakawuni sejenak merasa terke-

sima. Dadanya bergetar, apalagi tatkala bola ma-

tanya bertemu dengan mata pemuda di hadapan-

nya. Namun sesaat kemudian kepalanya mengge-

leng perlahan.

"Hm.... Gadis ini berparas cantik. Bentuk 

tubuhnya siapa pun akan tergoda jika meman-

dangnya. Ilmunya juga tak bisa dianggap remeh. 

Gadis macam inilah yang dimaksud oleh Guru.... 

Aku harus dapat membujuknya...."

"Gadis cantik! Kau tak usah berprasangka 

buruk padaku. Aku bukannya macam dua laki-

laki jahanam itu!'

Sakawuni anggukkan kepalanya. Meski dia 

sebenarnya ingin segera meninggalkan tempat itu, 

namun ada rasa aneh yang membuatnya mengu-

rungkan niat. Malah dia balik bertanya.

"Kau mengenali dua laki-laki jahanam itu. 

Siapa mereka? Dan kau sendiri siapa?"

"Hmm.... Apakah aku harus berterus te-

rang? Ah, tidak. Masa laluku harus kukubur da-

lam-dalam. Aku sekarang adalah Penyair Berda-

rah. Manusia yang akan menguasai jagat persila-

tan!" lalu Penyair Berdarah berkata.

"Mereka berdua adalah para pemberontak 

Kerajaan Dhaha. Mereka adalah manusia-

manusia yang ikut serta menyeret salah seorang 

pamanku ke tiang gantungan. Mereka menebar

fitnah hingga pamanku harus tewas di tiang gan-

tungan. Mereka pantas menemui aja!!" saat ber-

kata, paras wajah Penyair Berdarah tampak be-

rubah merah padam. Setelah diam beberapa saat 

dia melanjutkan.

"Aku sendiri tak tahu apa nama yang dibe-

rikan orangtuaku. Karena ketika umurku tiga ta-

hun, kedua orangtuaku telah meninggal. Hanya 

karena aku senang dengan tembang-tembang 

syair, orang-orang memanggilku dengan Penyair 

Berdarah! Aku sendiri heran, kenapa orang-orang 

memanggilku demikian. Padahal aku paling benci 

dengan darah!"

Sakawuni mendengarkan penuturan Pe-

nyair Berdarah dengan seksama. Bahkan tak ja-

rang sepasang matanya mencuri pandang.

"Perjalanan hidup yang memilukan...," de-

sis Sakawuni.

"Aku telah mengatakan siapa aku sebenar-

nya. Apakah kau masih keberatan mengatakan 

siapa adanya dirimu?!" tiba-tiba Penyair Berdarah 

ajukan pertanyaan.

Sakawuni tampak terkejut. Namun gadis 

ini segera bisa kuasai diri dengan sedikit terse-

nyum.

"Meski ceritanya mungkin benar, tapi dia 

masih menyembunyikan sesuatu. Dia tak menye-

butkan nama.... Untuk sementara aku pun harus 

tidak berterus terang padanya!" pikir Sakawuni.

"Penyair Berdarah. Seperti halnya dirimu, 

aku pun demikian!"

Penyair Berdarah kernyitkan kening. Sepa-

sang matanya sedikit membesar. Bukan meman-

dang pada wajah Sakawuni, melainkan ke arah 

dada dan pinggulnya! Tapi begitu Sakawuni meli-

rik, Penyair Berdarah cepat alihkan pandangan-

nya dan berkata.

"Sama dengan diriku? Apa maksudmu...?!"

"Kedua orangtuaku meninggal saat aku 

masih bayi. Konon, karena mereka belum membe-

ri nama, sampai besar pun aku tidak mempunyai 

nama! Apalagi gelar! Tapi aku tak kecewa dengan 

hal itu!"

"Tapi kau tadi kudengar menyebutkan ge-

lar!" sahut Penyair Berdarah.

Sakawuni tertawa perlahan, memperli-

hatkan giginya yang putih rata serta bercahaya. 

Seraya alihkan pandangan pada jurusan lain dia 

berucap.

"Aku hanya asal omong saja! Karena mere-

ka berniat buruk padaku!'" 

Penyair Berdarah memandang lekat-lekat. 

Bibirnya ikut menyungging senyum. "Kalau kau 

tak mau sebutkan nama atau gelar, tak apa-apa. 

Namun kalau kau tidak keberatan bagaimana ka-

lau kau kuberi gelar Bidadari Malam? Gelar itu 

layak kau sandang, karena parasmu cantik seper-

ti bidadari. Dan tak merasa takut meski sendirian 

di tengah malam...."

Mendengar ucapan Penyair Berdarah, Sa-

kawuni tertawa panjang. Namun diam-diam dia 

merasa senang. Hingga dia tak menolak dengan

isyarat gelengan kepala atau berkata terus terang. 

Dada gadis ini makin dibuncah oleh perasaan 

yang sulit diartikan.

Hal demikian tampaknya tak luput dari 

pandangan cerdik otak Penyair Berdarah. Dalam 

hati dia berkata. "Hm.... Di mana-mana perem-

puan pasti akan lupa hatinya jika dipuji. Aku ha-

rus bisa membuatnya melayang-layang dengan 

pujian, lalu jatuh dalam rengkuhanku!" Dia lalu 

buka mulut hendak bicara. Namun diurungkan 

ketika Sakawuni telah kembali berucap.

"Sebenarnya aku tak suka dengan gelar, 

namun jika kau memberiku, aku tak menolak!" 

habis berkata dia tengadah. Matanya menembusi 

kegelapan malam. Tiba-tiba dia berseru seakan 

baru sadar.

"Ah, malam sudah hampir pagi. Tak terasa 

sudah lama kita bicara. Aku harus segera pergi!"

Penyair Berdarah terkejut. Namun segera 

disembunyikan di balik senyumnya. "Bidadari 

Malam Tampaknya kau tergesa-gesa. Apakah kau 

punya masalah...? Sebagai sahabat, jika kau mau 

memberitahu, mungkin aku bisa membantu. Se-

tidak-tidaknya bisa menjadi teman seperjala-

nan...."

"Terima kasih atas perhatianmu. Aku me-

mang punya urusan. Tapi urusan itu bisa kusele-

saikan sendiri!"

Penyair Berdarah tunjukkan wajah mu-

rung. Napasnya berhembus panjang membuat 

Sakawuni hampir urungkan niat untuk pergi.

Namun begitu teringat pada Pendekar Mata Ke-

ranjang, dia kuatkan hati untuk segera pergi. Tapi 

entah karena tidak mau membuat Penyair Berda-

rah tersinggung dengan penolakannya, dia berka-

ta.

"Maaf. Bukannya aku menolak budi baik-

mu untuk membantuku. Namun karena urusan-

ku begitu penting dan aku rasa bisa menyelesai-

kannya sendiri maka untuk kali ini aku belum 

membutuhkan bantuan orang lain!"

"Urusan apa sebenarnya?!" tanya Penyair 

Berdarah.

"Urusan ini pun tak bisa kukatakan pada-

mu! Hmm.... Kau sendiri hendak ke mana?" Sa-

kawuni balik ajukan tanya dengan maksud men-

galihkan pembicaraan.

"Aku sebenarnya dalam perjalanan mencari 

seseorang. Dia seorang pemuda bergelar Pendekar 

Mata Keranjang 108!"

Terkejutlah Sakawuni mendengar ucapan 

Penyair Berdarah. Langkahnya tersurut satu tin-

dak ke belakang. Dipandanginya pemuda di ha-

dapannya dengan seksama seakan baru bertemu.

"Pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108?!" desis Sakawuni menegaskan ucapan 

Penyair Berdarah dengan tak sadar.

"Betul! Pemuda bergelar Pendekar Mata Ke-

ranjang 108! Kau kenal dengannya!?" ujar Penyair 

Berdarah dengan kening berkerut. Melihat ting-

kah Sakawuni, dia menjadi curiga. Namun dalam 

hati dia telah berkeputusan jika Sakawuni mengatakan sebagai sahabat Pendekar 108, dia akan 

mengatakan sesuatu yang baik tentang pendekar 

itu. Jika sebaliknya, maka kesempatan itu tak 

akan disia-siakan.

"Kau berubah. Kau kenal dengan pemuda 

itu?! ulang Penyair Berdarah tatkala ditunggu 

agak lama Sakawuni tidak juga menyahut uca-

pannya.

"Ada urusan apa antara pemuda ini dengan 

pendekar keparat itu? Atau dia teman pendekar 

jahanam itu...? Hmm.... Aku harus segera menca-

ri manusia keparat cabul itu!" putus Sakawuni. 

Kepalanya lalu menggeleng dan berkata.

"Aku memang pernah mendengar nama 

pemuda yang kau sebut. Namun aku belum per-

nah bertemu apalagi mengenalnya! Kalau boleh 

tahu, ada urusan apa kau dengan pemuda itu? 

Teman atau...," Sakawuni tidak melanjutkan uca-

pannya karena saat itu Penyair Berdarah telah 

memperdengarkan suara tawa.

"Bidadari Malam. Dia bukan teman dan 

bukan apa-apaku. Urusanku dengannya pun ti-

dak baik diketahui orang lain. Hanya saja aku 

akan mencarinya sampai ketemu!"

"Hmm.... Begitu? Kau punya urusan, aku 

pun demikian. Moga-moga kita nanti bisa jumpa 

lagi dengan tanpa ada urusan dengan orang lain. 

Aku harus pergi sekarang!" habis berkata begitu, 

Sakawuni putar tubuh dan meninggalkan Penyair 

Berdarah.

"Hmm.... Aku curiga pada gadis itu. Aku

rasa dia mengenal Pendekar 108. Akan kuikuti ke 

mana dia pergi. Dan aku ingin tahu apa urusan 

yang dihadapinya! Aku telah menemukan orang 

yang kukira dapat melicinkan jalanku. Ini tak bo-

leh kusia-siakan begitu saja...," berpikir sampai di 

situ, Penyair Berdarah segera pula berkelebat 

menembus kepekatan malam menyusul arah ke-

lebatan Sakawuni.

Di depan, pada suatu tempat Sakawuni 

hentikan larinya. Sejenak kepalanya berputar, 

matanya liar menyapu berkeliling. Kepalanya lan-

tas tengadah.

"Penyair Berdarah. Siapa pun dia yang pas-

ti dia berilmu tinggi. Dan menilik nada suaranya, 

dia memang bukan teman Pendekar 108. Malah 

kulihat dia menyimpan marah pada pemuda itu. 

Hm.... Urusan apa sebenarnya? Ah, kenapa aku 

memikirkan hal itu? Urusanku adalah urusanku. 

Masalah dia biarlah diurus sendiri! Yang penting, 

pendekar jahanam itu harus tewas di tanganku!" 

sejenak gadis ini bimbang, kepalanya lurus dan 

berputar. Matanya menebar. Namun sesaat ke-

mudian dia berkelebat lagi.

Di bawah pohon besar, Penyair Berdarah 

bangkit. Setelah mengedarkan pandangan dia 

pun berkelebat ke arah yang diambil Sakawuni.


SEPULUH


SEBUAH bayangan berkelebat menembus 

kerapatan semak belukar dan jajaran pohon-

pohon besar. Meski malam menambah kepekatan 

suasana, namun bayangan ini tampaknya enak 

saja berkelebat. Bahkan tak lama kemudian 

bayangannya lenyap laksana ditelan bumi. Dan 

tahu-tahu muncul di bawah pohon yang tidak be-

gitu besar dengan punggung bersandar. Kepa-

lanya ditengadahkan, tangan kanannya lalu ber-

gerak mengusap keringat yang membasahi da-

hinya. Sepasang matanya lalu memandang berke-

liling. Sosok ini ternyata seorang pemuda berpa-

ras tampan. Tubuhnya tegap mengenakan pa-

kaian warna hijau yang dilapis dengan baju kun-

ing lengan panjang. Rambutnya panjang dan di-

kuncir ekor kuda.

"Sialan! Ke mana perginya manusia aneh 

itu? Hm.... Manusia macam dia bukan saja mod-

elnya yang mengherankan serta menggelikan. 

Namun sifatnya juga membingungkan!" sang pe-

muda berpikir.

"Beberapa waktu silam dia tiba-tiba menga-

jarkan ilmu padaku. Lalu tiba-tiba saja pergi tan-

pa omong-omong lagi. Apa aku melakukan suatu 

kesalahan? Wah, bisa pusing sendiri memikirkan 

hal-hal mengenai orang aneh itu!"

Tiba-tiba mata sang pemuda yang bukan 

lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108

sedikit membelalak memandangi ke jurusan agak 

jauh. Tangannya ditepukkan pada keningnya.

"Ada asap di sebelah sana. Kata orang tua, 

ada asap pasti ada api! Menurutku, ada api pasti 

ada orang yang membakar! Hm.... Mungkin ma-

nusia arak yang membuat api itu. Mungkin dia 

kedinginan dan berapi-api sambil menenggak 

araknya! Aku akan ke sana!"

Pendekar 108 segera berkelebat menuju 

arah terlihatnya asap. Di bawah pohon besar, 

murid Wong Agung ini menemukan perapian yang 

masih menyala. Namun dia tampak kecewa, kare-

na orang yang diduganya tidak ada di tempat itu. 

Tapi karena udara dingin, dia melangkah mende-

kati perapian.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Sepasang 

matanya melihat sesuatu menggeletak sepuluh 

tombak di sebelah kanan perapian.

"Apakah Setan Arak...? Tapi kenapa tidur 

melingkar seperti cacing tanah? Manusia itu me-

mang amburadul!" bisik Aji seraya melangkah 

mendekat.

"Bukan. Bukan Setan Arak. Tapi orang 

lain. Darah terlihat menggenang. Tubuhnya han-

gus. Dia telah mati..." desis Pendekar 108 begitu 

sampai di hadapan sesuatu yang menggeletak.

"Darahnya belum membeku. Dan perapian 

belum padam. Berarti hal ini baru saja terjadi. 

Hmm.... Siapa yang melakukan hal ini...?!' sepa-

sang mata Pendekar 108 lantas menebar berkelil-

ing. Dan matanya kembali melotot tatkala menangkap sosok tubuh yang juga menggeletak di 

balik bayangan batang pohon. Sekali melompat 

dia telah berada di hadapan sosok yang ternyata 

juga sudah tewas.

"Yang ini tidak mengeluarkan darah. Tapi 

punggungnya jebol! Hm.... Siapa pun yang mela-

kukan pasti bukan orang sembarangan...," gu-

mam Pendekar 108 sambil kembali mengedarkan 

pandangan. Dia khawatir masih ada lagi mayat, 

atau orang yang melakukan pembunuhan. Na-

mun hingga sepasang matanya lelah mencari dia 

tidak menemukan orang lagi.

"Hm.... Apa pun urusan orang-orang ini 

aku tak peduli. Aku akan menyelidiki siapa pela-

kunya. Jangan-jangan dia akan melakukan pem-

bunuhan-pembunuhan. Ini akan mengacaukan 

suasana!" dia kembali melangkah mendekati pe-

rapian. Matanya jelalatan seakan-akan mencari 

sesuatu.

"Aku tak berhasil menemukan tanda-tanda 

yang menjurus pada sang pelaku. Tapi yang pasti 

dia belum jauh dari sini. Aku akan coba menyu-

sul!" Namun sesaat dia tampak bimbang tentang 

arah mana yang harus diambil. Setelah memikir-

kan sejenak, dia memutuskan mengambil arah 

utara. Dan tanpa disadarinya ternyata arah itu 

adalah arah ke mana Sakawuni dan Penyair Ber-

darah berkelebat.

***

Kali ini Pendekar Mata Keranjang 108 ber-

lari dengan kerahkan segenap tenaga dalamnya. 

Hingga tak lama kemudian terlihat sekujur tu-

buhnya telah basah oleh keringat meski saat itu 

dingin malam menghampar!

Pada suatu tempat, tiba-tiba murid Wong 

Agung menangkap kelebatan bayangan. Merasa 

bahwa itu adalah orang yang hendak diselidiki, 

dia tambah tenaga dalamnya. Hingga sosoknya 

seakan lenyap. Dibantu oleh suasana gelap serta 

kerapatan semak belukar, gerakan Pendekar 108 

tampak lebih leluasa.

Ketika dia benar-benar telah dapat me-

nangkap sosok bayangan yang ada tak jauh di 

depannya, Pendekar Mata Keranjang makin mem-

percepat larinya.

"Aku harus tahu siapa adanya orang. Be-

rarti aku harus mendahuluinya. Setidak-tidaknya 

dapat menjajari...," bisiknya seraya putar tubuh 

setengah lingkaran dan berkelebat lewat jalan 

memutar. Dia berpikir, dengan jalan berputar, dia 

dapat mendahului orang di depannya dan dapat 

terlebih dahulu mengetahui siapa adanya orang 

yang dikuntit.

Setelah agak jauh dan merasa telah berada 

di depan orang yang dikuntit Aji memotong jalan. 

Dan dugaan murid dari Karang Langit ini pun ti-

dak meleset. Karena sesaat kemudian dia telah 

berada di depan orang yang diikuti. Namun beta-

pa terkejutnya murid Wong Agung ini. Matanya 

sekali lagi dipertajam. Keningnya mengernyit.

"Malam memang sangat gelap. Namun ma-

taku tidak bisa ditipu. Orang yang kuikuti tadi 

dapat kupastikan seorang laki-laki. Tapi yang 

berkelebat kali ini pasti orang perempuan. Belum 

lagi harum tubuhnya dapat kurasakan. Yang tadi 

baunya sengak!"

Seraya membatin Pendekar 108 terus men-

gikuti bayangan di depannya. "Hmm.... Menilik 

bau harum tubuhnya, setengah yakin jika perem-

puan itu berparas cantik.... Tapi.... Jangan-

jangan dia seorang kuntilanak. Tadi kulihat laki-

laki sekarang perempuan. Bukankah hantu kun-

tilanak bisa merubah-rubah wujud?" kuduk Pen-

dekar Mata Keranjang jadi dingin.

"Sebaiknya kubuktikan dulu bahwa me-

mang ada dua orang yang sedang berlari. Satu la-

ki-laki dan satu perempuan!" pikir Aji sambil ber-

paling ke belakang. Dan ketika samar-samar ma-

tanya dapat menangkap kelebatan sebuah bayan-

gan di belakangnya, Pendekar 108 jadi lega.

"Berarti dia bukan kuntilanak. Dan aku 

curiga jangan-jangan laki-laki itulah yang mela-

kukan pembunuhan. Sekarang sedang mengejar 

perempuan yang lolos melarikan diri. Hmm.... La-

ki-laki macam begitu harus diberi pelajaran. Tapi 

aku harus tahu dulu masalahnya...," Pendekar 

108 terus berkelebat sambil membatin.

Sementara itu di depan, sosok yang berke-

lebat dan bukan lain adalah Sakawuni diam-diam 

juga membatin.

"Sialan! Aku sudah berusaha mengerahkan

segenap tenaga dalam. Namun aku tak bisa melo-

loskan diri dari kuntitan orang! Sialan benar! Apa 

maunya dia mengikuti perjalananku? Dapat ku-

pastikan orang dibelakangku adalah Penyair Ber-

darah! Jika saja urusanku bukan dengan Pende-

kar Mata Keranjang, aku tak akan sembunyi-

sembunyi begitu rupa. Hm.... Penyair Berdarah. 

Wajahnya memang tampan.... Tapi kalau diban-

dingkan dengan Pendekar Mata Keranjang 108.... 

Sialan! Kenapa aku membanding-bandingkan 

dengan pendekar keparat itu? Aku harus mence-

gah dia mengikuti langkahku, meski aku tahu dia 

berniat menolongku. Aku ingin urusan dengan 

Pendekar Mata Keranjang kuselesaikan sendiri!"

Kalau Sakawuni membatin demikian, sosok 

di belakang Pendekar 108 dan bukan lain adalah 

Penyair Berdarah juga berkata sendiri dalam hati.

"Keparat! Siapa bayangan di depan itu? 

Aku tak dapat ditipu, dia tadi ada di belakangku. 

Melihat gerakannya yang begitu cepat, bukan 

mustahil jika dia orang berkepandaian tinggi.... 

Hmm.... Aku harus dapat mengetahuinya apa 

yang menjadi tujuannya hingga ikut-ikutan mem-

buntuti!" setelah membatin seperti itu, Penyair 

Berdarah lipat gandakan tenaga dalamnya hingga 

kelebatannya bertambah kencang. Tiba-tiba pada 

sebuah tempat yang di kanan kirinya agak jarang 

semak belukar, Sakawuni hentikan larinya.

Di belakangnya, Pendekar 108 terkejut. 

Untung dia segera bisa kuasai diri, jika tidak bu-

kan tak mungkin Sakawuni akan memergokinya,

karena begitu berhenti, gadis ini secepat kilat ba-

likkan tubuh dan menebarkan pandangan.

"Busyet! Untung aku segera menyelinap, ji-

ka tidak...," Pendekar Mata Keranjang tak te-

ruskan ucapannya. Dia sejajarkan tubuh dengan 

tanah. Karena tak jauh dari tempatnya, semak 

belukar terlihat bergoyang-goyang.

"Hmm.... Aku makin curiga jika laki-laki di 

belakang itu ada urusan. Buktinya dia juga tak 

menampakkan diri...!" gumam Pendekar 108 se-

raya pandangi tempat yang semak belukarnya 

bergoyang-goyang. Namun ketika dia tak mene-

mukan seseorang di situ, matanya diarahkan ke 

tempat di mana sang perempuan berhenti.

Karena tempatnya dengan tempat Sakawu-

ni tak begitu jauh, lagi pula cahaya keputihan te-

lah tampak di ujung langit sebelah timur, maka 

dari tempatnya mendekam Pendekar 108 bisa je-

las melihat ke arah sang perempuan.

"Sakawuni!" seru Pendekar 108 dalam hati 

begitu dapat mengenali siapa adanya si perem-

puan. Seakan masih tak percaya, sepasang ma-

tanya dipelototkan besar.

"Benar. Dia Sakawuni. Apa yang dikerja-

kannya malam-malam begini? Dan siapa orang 

yang mengejarnya? Aku akan menunggu.... "

Sementara itu, di balik semak belukar Pe-

nyair Berdarah yang ikut-ikutan mendekam te-

barkan pandangannya.

"Setan alas! Ke mana perginya bayangan 

itu? Tapi aku yakin dia masih ada di sekitar sini!

Jika saja gadis itu tidak berhenti, mungkin aku 

telah dapat menangkapnya!"

Selagi Pendekar 108 dan Penyair Berdarah 

berkata sendiri-sendiri dalam hati, Sakawuni te-

barkan pandangan. Dan ketika pandangan ma-

tanya tak berhasil menemukan orang, dia berte-

riak.

"Aku tahu kau berada di sekitar sini! Ke-

luarlah. Dan katakan apa maksudmu sebenar-

nya!"

Baik Pendekar 108 maupun Penyair Berda-

rah sama-sama membatin. "Dia telah mengetahui 

jika diikuti!" Namun di antara kedua pemuda ini 

tidak ada yang bergerak dari tempatnya mende-

kam.

Karena tak ada orang yang keluar menun-

jukkan diri, Sakawuni mengulangi teriakannya. 

Namun lagi-lagi tak ada sahutan apalagi sosok 

yang tampakkan diri. Hal ini membuat Sakawuni 

naik pitam. Dengan suara meradang gadis ini 

berseru.

"Keluarlah! Jangan bersifat pengecut! Men-

gikuti orang dengan diam-diam!" kepalanya ber-

putar dengan mata sedikit dibesarkan.

Tiba-tiba terdengar orang mendehem. Sa-

kawuni palingkan wajah. Dia telah menduga jika 

orang yang keluarkan deheman adalah Penyair 

Berdarah. Bersamaan lenyapnya suara deheman 

sesosok bayangan berkelebat dan berdiri tegak 

sepuluh langkah di hadapan Sakawuni.

Mungkin karena terkesima dengan orang

yang baru muncul, Sakawuni untuk beberapa 

saat terdiam. Begitu sadar, kakinya tersurut dua 

langkah ke belakang. Matanya mendelik meman-

dangi pemuda berbaju hijau di hadapannya. Ga-

dis ini tampak terguncang.

"Kau!" seru Sakawuni begitu dapat mengu-

asai diri. Parasnya berubah merah padam. "Ma-

nusia keparat cabul!" teriak Sakawuni seakan in-

gin terbang menerkam murid Wong Agung ini.

Di tempat mendekamnya, Penyair Berdarah 

terperangah demi melihat siapa adanya orang 

yang kini ada di hadapan Sakawuni.

"Pendekar Mata Keranjang 108!" serunya 

dalam hati dengan kepalkan tinjunya. "Sekarang 

kau tak akan bisa melarikan diri!" namun dia tak 

hendak keluar dari persembunyiannya. Otaknya 

yang cerdik memikir. "Kulihat gadis itu menge-

nalnya. Dan tiba-tiba marah. Hmm.... Apa urusan 

dengan pemuda ini yang disembunyikannya pa-

daku...? Bila benar, sungguh ini sebuah kebetu-

lan!" Penyair Berdarah sunggingkan senyum 

sambil manggut-manggut.

"Pendekar keji dan cabul!" seru Sakawuni 

dengan mata berkilat-kilat. "Terimalah kematian-

mu saat ini! Dunia persilatan akan tercoreng jika 

manusia sepertimu dibiarkan hidup!"

"Sakawuni!" kata Aji dengan suara pelan. 

Matanya memandang gadis di depannya dengan 

tatapan kosong. "Aku heran dengan sikapmu. Be-

lum lama kau menuduhku sebagai pembunuh ke-

ji. Sekarang sudah bertambah lagi dengan cabul.

Apa maksudmu sebenarnya?!"

Mendengar Pendekar 108 sebutkan nama 

si gadis, Penyair Berdarah makin membeliakkan 

matanya. Hatinya makin bersorak girang.

"Hmm.... Jadi gadis ini yang diceritakan 

Guru! Nasibku baik.... Sekali jalan dua tujuan ku-

temukan!"

"Kau memang pintar bicara. Sayang, kepin-

taranmu kau gunakan untuk menutupi perilaku 

bejatmu!" Sakawuni berkata dengan suara tinggi. 

Dadanya sudah terlihat bergerak turun naik me-

nahan gejolak amarah. Sementara kedua tangan-

nya perlahan diangkat siap lancarkan pukulan.

"Sakawuni! Aku bersedia kau hajar bahkan 

sampai mati jika aku memang berbuat seperti 

yang kau tuduhkan! Sekarang buktikan tudu-

hanmu itu!"

Sakawuni menyeringai. Hidungnya kelua-

rkan dengusan keras.

"Bangsat pengecut! Apa kau juga masih 

mungkir atas perbuatanmu yang hendak melaku-

kan perbuatan tidak senonoh padaku saat aku 

pingsan, he?!"

Pendekar 108 tersenyum dingin.

"Kau salah, Sakawuni. Justru saat itu aku 

berusaha menolongmu. Kau kutinggalkan sendi-

rian di sebuah tempat. Aku mencari daun-daunan 

untuk mengobati cideramu. Tapi waktu aku kem-

bali kau telah tiada. Aku memang salah mening-

galkanmu sendirian dalam keadaan cidera. Na-

mun aku tak menyangka jika hal itu akan terjadi...."

Sakawuni terdiam. Pendekar 108 melang-

kah maju dua langkah lebih mendekat. Lalu aju-

kan pertanyaan.

"Aku yakin, kepergianmu pasti ada orang 

yang membawa. Karena dalam keadaan cidera be-

gitu tak mungkin kau bisa pergi. Kalau boleh ku-

tahu, siapa orang yang membawamu?!"

"Itu bukan urusanmu! Urusanmu sekarang 

mengakui perbuatanmu dan menerima kematian!" 

sahut Sakawuni garang.

Pendekar 108 gelengkan kepala. Bibirnya 

masih tetap tersenyum. "Sakawuni. Aku jadi curi-

ga. Jangan-jangan orang yang membawamu itu-

lah yang menebar fitnah ini. Atau bisa jadi ini 

semua hanyalah sandiwaramu belaka karena...."

"Kau segera mampus. Jangan menuduh 

seenak mulutmu!" potong Sakawuni dengan suara 

lantang membahana. Kedua kakinya lantas di-

bantingkan hingga tanah di tempat itu sedikit 

bergetar.

"Aku tidak menuduh, hanya aku curiga! 

Sakawuni, sadarlah! Kau telah diperalat orang!"

"Banyak mulut!" hardik Sakawuni. Dan 

bersamaan dengan itu kedua tangannya dihan-

tamkan ke depan.

Seberkas sinar melesat tanpa keluarkan 

suara. Bersamaan itu hawa panas menebar, lalu 

berganti dingin. Inilah pukulan sakti 'Menggiring 

Sinar Menebar Hawa'.

Pendekar 108 berseru keras. Dia sebenar

nya masih tak menduga jika Sakawuni benar-

benar ingin menghabisinya. Karena itu dia hanya 

mengelak dengan melompat mundur dan menja-

tuhkan diri sama rata dengan tanah. Namun, mu-

rid Wong Agung ini jadi terkejut bukan alang-

kepalang, karena meski sinar yang melesat itu le-

wat di atas tubuhnya tapi sambaran angin yang 

tak kelihatan terasa menghantam tubuhnya, 

hingga tubuhnya mental sampai beberapa tombak 

ke belakang.

Begitu bangkit, Pendekar 108 cepat meneli-

ti tubuhnya. Ternyata tidak ada yang mengalami 

cidera, namun anehnya, dia merasakan dadanya 

berdenyut sakit dan aliran darahnya seperti ka-

cau-balau. Melihat hal ini Pendekar Mata Keran-

jang segera sadar jika pukulan Sakawuni benar-

benar hebat. Dia pun segera salurkan tenaga da-

lam ke arah dada dan jantung sebagai pusat pe-

redaran darahnya.

Di depan, melihat serangannya hanya 

mampu membuat lawan tidak cidera, Sakawuni 

segera melompat dan sekali lagi hantamkan ke-

dua tangannya. Karena kali ini dengan pengera-

han tenaga dalam penuh, maka panas yang me-

nebar makin menyengat, demikian pula hawa 

dingin yang menebar berganti semakin dingin. 

Sementara sinar yang melesat semakin cepat me-

nyambar!

Setelah dapat tahu bagaimana pukulan 

Sakawuni, Pendekar 108 tidak mau bertindak ay-

al. Kipas miliknya segera dicabut dan serta-merta


dikebutkan menyilang sementara tangan kirinya 

mendorong.

Sinar berkilau putih menebar ke depan 

membentuk kipas, sedangkan bersamaan itu se-

rangkum angin menyambar dengan keluarkan 

suara menggemuruh.

Bummm!

Terjadi ledakan dahsyat ketika dua puku-

lan bentrok di udara. Tempat itu berguncang. 

Semak belukar tercerabut dari akarnya dan akar-

nya semburat.

Begitu terjadi ledakan, baik Sakawuni 

maupun Pendekar 108 sama-sama berseru terta-

han. Pendekar 108 terseret hingga dua tombak ke 

belakang. Dia sejenak berusaha menahan tubuh-

nya, namun karena saat itu tanah bergetar, hing-

ga tak ampun lagi kakinya goyah sebelum akhir-

nya dia jatuh terduduk! Di depannya, Sakawuni 

tampak mencelat, dan jatuh menerabas semak 

belukar. Seraya menyumpah habis-habisan, Sa-

kawuni cepat kerahkan tenaga dalam. Lalu den-

gan tertatih-tatih dia sibakkan rimbun semak be-

lukar keluar hendak menyerang kembali.

Namun Sakawuni terkejut. Dia tak lagi me-

lihat Pendekar 108. Matanya yang merah segera 

liar menyapu. Saat itulah tiba-tiba ada sambaran 

angin di belakangnya. Tanpa menoleh lagi, Saka-

wuni hantamkan kedua tangannya sekaligus den-

gan putar tubuh.

Namun Sakawuni jadi terperangah sendiri. 

Kedua tangannya hanya menghantam angin. Karena di belakangnya tidak tampak orang. Selagi 

melengak begitu rupa terdengar suara tawa pen-

dek.

Sakawuni cepat berpaling. Sepuluh lang-

kah di sampingnya terlihat Pendekar 108 terse-

nyum. Hal ini membuat Sakawuni mau tak mau 

jadi terguncang. Karena dia barusan bisa memas-

tikan jika Aji ada di belakangnya. Dan dia yakin 

pukulan tangannya pasti tidak akan meleset ka-

rena dihantamkan dengan sangat cepat. Kalau 

secepat itu Pendekar 108 bisa mengelak, maka 

sulit baginya untuk bisa mengatasi. Namun piki-

ran demikian segera lenyap begitu teringat perbu-

atan pemuda yang dulu sangat dikaguminya itu. 

Yang ada di kepalanya sekarang adalah bagaima-

na caranya bisa membunuh. Kemampuan yang 

ada dalam dirinya tidak diperhitungkan lagi.

Dan apa yang baru saja dilakukan oleh 

Pendekar 108 memang suatu gerakan yang amat 

menakjubkan. Dia memang baru saja ada di bela-

kang Sakawuni. Dan kalau saja dia mau, mudah 

baginya untuk menghantam Sakawuni. Tapi hal 

itu tidak dilakukannya. Dia hanya ingin agar Sa-

kawuni sadar tanpa ada mengalami cidera. Dan 

saat Sakawuni hantamkan kedua tangannya dia 

bergerak menghindar dengan cepatnya. Pendekar 

108 sendiri hampir tak percaya bisa mengelak se-

cepat itu. Namun nyatanya Pendekar 108 berhasil 

menghindar. Inilah gerakan menghindar yang di-

ajarkan Setan Arak pada murid Wong Agung pada 

beberapa waktu yang lalu.

"Sakawuni! Tak ada gunanya kita teruskan 

urusan ini! Marilah kita bicara dengan kepala 

dingin!"

"Manusia cabul! Bicaralah sesukamu! Tapi 

jangan mimpi aku akan goyah!" seru Sakawuni 

sambil angkat kedua tangannya.

"Hmm.... Bagaimana ini? Kalau dia menye-

rang kembali dan aku menangkis, mungkin dia 

akan cidera. Kalau aku tidak menangkis, aku 

akan mati konyol dan tak dapat membuktikan ji-

ka tuduhannya tidak benar. Hmm.... Sebaiknya 

aku menghindar. Memang diperlukan waktu un-

tuk mengubah pikirannya...," batin Pendekar 108 

lalu balikkan tubuh hendak berkelebat pergi me-

ninggalkan tempat itu.

Namun baru saja Pendekar 108 hendak 

bergerak berkelebat dan Sakawuni baru saja akan 

hantamkan kedua tangannya, tiba-tiba terdengar 

orang melantunkan tembang syair.

Manusia cabul berlagak pendekar adalah 

noda hitam rimba persilatan.

Tiada hukuman yang layak dipikulkan pa-

danya selain simbahan darahnya. 

Penyair Berdarah datang sebagai hakim da-

rah bagi manusia pembuat noda.

Baik Pendekar Mata Keranjang 108 mau-

pun Sakawuni segera palingkan wajah masing-

masing ke samping. Semak belukar di sebelah 

kanan tampak bergerak-gerak menyibak. Dan tak

lama kemudian muncullah seorang pemuda ber-

jubah hitam bergaris putih-putih.

"Penyair Berdarah!" Pendekar 108 dan Sa-

kawuni berseru berbarengan.

"Hmm.... Jadi manusia ini yang mengikuti 

Sakawuni. Mereka rupanya sudah saling kenal...."

"Pendekar Mata Keranjang 108! Beberapa 

waktu yang lalu kau masih bisa menyelamatkan 

nyawamu karena bantuan manusia arak keparat 

itu! Tapi kali ini kau tidak akan bisa lolos! Dosa-

mu telah bertambah. Selain harus tewas kini tu-

buhmu juga layak dicincang!"

"Penyair Berdarah! Kita tidak ada silang 

sengketa. Harap kau tidak ikut-ikutan urusan 

ini!" hardik Pendekar 108 sedikit geram.

Penyair Berdarah dongakkan kepala. Dari 

mulutnya menyembur suara tawa panjang. Kedua 

tangannya diangkat kacak pinggang.

"Kau telah menodai rimba persilatan. Siapa 

pun orang yang melibatkan diri dalam kancah 

persilatan, dia punya hak untuk menghukummu!"

"Ini masih fitnah! Kau jangan coba-coba 

membakar suasana!"

"Fitnah?" ulang Penyair Berdarah dengan 

nada mengejek. Kepalanya kini diluruskan. "Apa-

kah jika seorang gadis telah mengatakan apa 

yang dialaminya itu masih dikatakan fitnah? Ha... 

ha... ha.... Kata-katamu konyol dan tak masuk 

akal! Ternyata kau manusia dungu. Atau kau pu-

ra-pura bodoh.... He?!"

Mendengar ucapan Penyair Berdarah, da

rah muda Pendekar 108 naik ke ubun-ubun. Na-

mun murid Wong Agung ini masih menekannya. 

Dia berusaha tidak terpancing dengan ucapan 

Penyair Berdarah yang menurutnya mencari-cari 

masalah.

Sementara itu Sakawuni menarik napas 

panjang dan lega begitu mendapati kemunculan 

Penyair Berdarah. Dia merasa lega karena seti-

dak-tidaknya Penyair Berdarah akan turun tan-

gan membantunya jika keadaan terdesak. Pada 

mulanya, Sakawuni memang tidak mengharapkan 

munculnya orang ketiga, namun setelah menya-

dari bahwa dia tak mungkin dengan mudah me-

nundukkan Pendekar 108 maka kemunculan 

orang ketiga kali ini tidak lagi membuatnya teru-

sik. Bahkan dengan kemunculan Penyair Berda-

rah semangat Sakawuni makin membara. Hingga 

ketika kedua pemuda di hadapannya sama-sama 

terdiam, dia berkata.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau tak 

usah berdalih lagi. Kalau kau takut malu tewas di 

tanganku, buanglah sifat pengecutmu! Kau kuberi 

kesempatan untuk bunuh diri!"

Mendengar kata-kata Sakawuni, Pendekar 

108 tengadahkan kepala. Suara tawanya tiba-tiba 

meledak panjang.

"Kau rupanya telah ikut-ikutan jadi orang 

bodoh, Sakawuni! Bukankah bunuh diri itu ba-

paknya pengecut? Justru seharusnya kau sadar 

jika kau sekarang dibuat alat oleh seseorang yang 

ingin mengambil keuntungan!"

"Keparat! Katakan siapa orangnya!" bentak 

Sakawuni sambil angkat kembali kedua tangan-

nya. ,

"Ha... ha... ha...! Pertanyaan itu tak perlu 

dijawab, karena kau tentunya lebih tahu!"

"Bangsat! Kau tak dapat buktikan uca-

panmu! Berarti kau mengada-ada!"

"Nah, itu berarti sama denganmu. Kau me-

nuduhku, tapi tak dapat membuktikannya. Berar-

ti kau juga mengada-ada dengan tuduhanmu itu!"

"Jahanam!" teriak Sakawuni. Kedua tan-

gannya langsung dihantamkan.

Melihat hal itu Penyair Berdarah tak buang 

kesempatan. Kedua tangannya pun diangkat dan 

dihantamkan ke arah Pendekar 108.

Tempat itu seketika berubah panas me-

nyengat. Cuaca yang semula agak terang karena 

sang mentari telah mulai merangkak naik beru-

bah menjadi redup. Seberkas sinar tanpa suara 

melesat, kemudian disusul dengan bongkahan bo-

la merah! Tampaknya Sakawuni telah kirimkan 

lagi pukulan 'Menggiring Sinar Menebar Hawa', 

sementara Penyair Berdarah lancarkan pukulan 

sakti 'Alam Kematian'! Dari sini jelas, jika kedua 

orang ini memang ingin segera membuat Pende-

kar Mata Keranjang 108 cepat mampus. Karena 

keduanya telah lancarkan pukulan andalan mas-

ing-masing.

Di depan, melihat ganasnya serangan, 

Pendekar 108 sempat terkesiap. Untung dia sege-

ra sadar jika bahaya maut mengincar dirinya.

"Keparat! Katakan siapa orangnya!" bentak 

Sakawuni sambil angkat kembali kedua tangan-

nya. ,

"Ha... ha... ha...! Pertanyaan itu tak perlu 

dijawab, karena kau tentunya lebih tahu!"

"Bangsat! Kau tak dapat buktikan uca-

panmu! Berarti kau mengada-ada!"

"Nah, itu berarti sama denganmu. Kau me-

nuduhku, tapi tak dapat membuktikannya. Berar-

ti kau juga mengada-ada dengan tuduhanmu itu!"

"Jahanam!" teriak Sakawuni. Kedua tan-

gannya langsung dihantamkan.

Melihat hal itu Penyair Berdarah tak buang 

kesempatan. Kedua tangannya pun diangkat dan 

dihantamkan ke arah Pendekar 108.

Tempat itu seketika berubah panas me-

nyengat. Cuaca yang semula agak terang karena 

sang mentari telah mulai merangkak naik beru-

bah menjadi redup. Seberkas sinar tanpa suara 

melesat, kemudian disusul dengan bongkahan bo-

la merah! Tampaknya Sakawuni telah kirimkan 

lagi pukulan 'Menggiring Sinar Menebar Hawa', 

sementara Penyair Berdarah lancarkan pukulan 

sakti 'Alam Kematian'! Dari sini jelas, jika kedua 

orang ini memang ingin segera membuat Pende-

kar Mata Keranjang 108 cepat mampus. Karena 

keduanya telah lancarkan pukulan andalan mas-

ing-masing.

Di depan, melihat ganasnya serangan, 

Pendekar 108 sempat terkesiap. Untung dia sege-

ra sadar jika bahaya maut mengincar dirinya.

Sambil meloncat mundur segera tenaga dalamnya 

dipusatkan pada kedua tangannya. Tangan ki-

rinya mendadak berubah menjadi biru berkilau. 

Murid Wong Agung telah siapkan jurus 'Mutiara 

Biru' yang berhasil didapatnya dari Arca Dewi 

Bumi. Dan didahului bentakan melengking tan-

gan kanannya menghentakkan kipas, sementara 

tangan kirinya dibuka dengan jari tengah dan te-

lunjuk tegak, jari lainnya menekuk. Lalu didorong 

kuat-kuat ke depan.

Apa yang terjadi kemudian sungguh sangat 

mengerikan. Bersamaan terdengarnya ledakan 

dahsyat akibat bertemunya tiga pukulan sakti, 

asap hitam menutupi tempat itu. Semak belukar 

terabas rata dan langsung hangus. Pohon-pohon 

berderak tumbang. Lalu disusul terdengarnya je-

ritan melengking dan dua seruan tertahan. Ke-

mudian terdengar suara bergedebukan tiga kali 

berturut-turut. Setelah itu sunyi mencekam!

Beberapa saat berlalu. Dan begitu asap hi-

tam surut, dan cuaca agak terang di sebelah kiri 

dekat batang pohon yang telah tumbang, terlihat 

Pendekar 108 terkapar. Baju hijaunya sebelah 

bawah terlihat terbakar. Sudut bibirnya meleleh 

darah berwarna hitam menunjukkan bahwa dia 

terluka dalam cukup parah. Sementara kedua 

tangannya terlihat membiru dan sedikit meng-

gembung! Namun entah karena takut lawan akan 

segera menyerang lagi, Pendekar Mata Keranjang 

108 segera menggeliat bangkit. Tapi dia terkejut. 

Dadanya berdenyut sangat sakit. Demikian juga

kedua tangannya laksana hendak penggal saat 

digerakkan. Hingga meski dengan perasaan was-

was akhirnya Pendekar 108 merebahkan kembali 

tubuhnya dan mengerahkan tenaga dalam.

Lima belas tombak dari tempat Aji terka-

par, terlihat Penyair Berdarah telungkup tak ber-

gerak-gerak. Tapi sesaat kemudian tangannya 

menggapai-gapai, kepalanya terangkat. Namun 

kepala itu segera luruh kembali. Dengan menge-

rang kedua tangannya lalu bersitekan ke tanah, 

tubuhnya bergerak bangkit. Saat itulah terlihat 

tetesan darah hitam mengalir dari mulutnya!

Tak jauh dari Penyair Berdarah, Sakawuni 

tampak mengerang dengan tubuh melingkar me-

megangi perutnya. Mulutnya juga dibuncah den-

gan darah kehitaman. Gadis ini mencoba kerah-

kan tenaga dalam, namun rasa sakit tampaknya 

lebih menguasai dirinya, hingga pengerahan tena-

ganya tidak sempurna. Ini menyebabkan pandan-

gannya berkunang-kunang lalu segalanya menja-

di gelap, dan tak lama kemudian gadis ini terkulai 

pingsan!

Setelah merasa dapat kuasai diri, Pendekar 

108 bangkit. Kipasnya yang ternyata terlepas dari 

tangannya segera dipungut. Lalu terbungkuk-

bungkuk melangkah ke arah Penyair Berdarah.

Mengetahui hal ini, Penyair Berdarah pun 

segera bangkit. Meski kakinya tampak goyah na-

mun dia kuatkan. Sepasang matanya lantas memandang tajam ke arah Pendekar 108 yang mendekatinya.

Saat itulah tiba-tiba terdengar suara tawa 

mengekeh. Sebuah bayangan berkelebat. Dan ta-

hu-tahu telah berdiri di hadapan Pendekar 108. 

Pendekar 108 tersurut karena terkejut. Sepasang 

matanya sejenak mengawasi sosok yang kini di 

hadapannya.

Dia adalah seorang perempuan tua renta. 

Mengenakan baju hitam sutera. Pakaian bawah-

nya putih kembang-kembang. Rambutnya putih 

dan panjang sampai betis. Pada kedua tangannya 

terlihat melingkar beberapa gelang emas.

"Hmm.... Siapa dia?" batin Pendekar 108 

seraya terus memperhatikan.

Yang dipandang terus mengumbar tawa 

mengekeh. Pendekar 108 membuka mulut hen-

dak menegur, namun diurungkan ketika terden-

gar Penyair Berdarah berseru.

"Guru!"

"Hmm.... Jadi ini guru manusia penyair 

itu...."

Si nenek yang bukan lain memang guru 

Penyair Berdarah yakni Iblis Gelang Kematian 

hentikan tawanya. Bola matanya liar berputar 

menyengat tajam ke arah Pendekar 108. Namun 

tak lama kemudian tawanya mengekeh kembali.

"Anak muda!" kata Iblis Gelang Kematian 

setelah tawanya berhenti.

"Sungguh sial nasibmu. Dari sini kau telah 

tercium bau mayat! Apakah kau telah tahu, apa 

isyarat itu?!"

Meski Pendekar 108 menjadi terkesiap

mendengar ucapan si nenek, namun dia tak hen-

dak menunjukkan sikap takut. Malah sambil ter-

senyum yang sebenarnya tak lebih karena mera-

sakan sakit di dadanya, dia berkata.

"Nenek tua. Kuingatkan padamu, biasanya 

penciuman orang tua menyaru! Dia telah merasa 

mencium bau orang lain, padahal bau itu keluar 

dari dirinya sendiri. Aku khawatir hal itu terjadi 

pada dirimu! Coba kau endus sekali lagi!"

Iblis Gelang Kematian parasnya berubah. 

Matanya melotot angker. Sementara di hadapan-

nya, Pendekar 108 bungkuk-bungkukkan tubuh 

dengan mengendus-endus. Lalu tiba-tiba kepa-

lanya terangkat dan sambil tersenyum dia berkata 

seolah terperanjat.

"Astaga! Apakah penciumanku telah ikut-

ikutan tersaru? Aku mencium bau pesing. Jan-

gan-jangan kau ngompol! Atau...," Pendekar 108 

tak meneruskan kata-katanya karena saat itu Ib-

lis Gelang Kematian telah angkat tangannya dan 

langsung dipukulkan pada Pendekar 108.

Karena cepatnya gerakan si nenek, hingga 

tak ada jalan lain bagi Pendekar 108 kecuali men-

gangkat tangannya untuk menangkis.

Bukkk!

Bentroknya dua tangan yang telah sama-

sama dialiri tenaga dalam membuat Pendekar 108 

terpental sampai satu tombak. Ketika Pendekar 

108 melirik, dia jadi tersirap. Tangannya yang ta-

di telah menggembung berubah merah biru. Dan 

gembungannya makin besar, namun kini ditambah dengan rasa panas! Hal ini telah menyadar-

kan Pendekar 108 jika nenek di hadapannya be-

nar-benar berilmu tinggi. Sementara Iblis Gelang 

Kematian juga terkejut. Meski dia hanya tersurut 

satu langkah ke belakang namun dia maklum jika 

pemuda di hadapannya tidak bisa dianggap re-

meh.

"Hmm.... Ternyata kabar yang beredar se-

lama ini benar adanya. Pemuda ini memiliki ilmu 

yang tidak sembarangan! Dia harus segera dis-

ingkirkan!" batin sang nenek. Diam-diam dia se-

gera kerahkan tenaga dalam. Lalu serta-merta 

kedua tangannya dihantamkan ke arah Pendekar 

Mata Keranjang 108.

Sinar membentuk gelang-gelang melesat 

cepat tanpa keluarkan suara sama sekali.

Darah Pendekar Mata Keranjang laksana 

sirap. Dia tak menduga sama sekali jika gerakan 

nenek itu demikian cepatnya. Dia segera melom-

pat mundur. Namun sinar gelang-gelang itu ma-

kin cepat. Mungkin karena sudah terluka dalam 

yang membuat gerakannya lamban, hingga ketika 

baru saja Pendekar 108 hendak mendorong kedua 

tangannya, sinar gelang-gelang telah ada di hada-

pannya!

"Tamat sudah!" bisik Pendekar 108 dengan 

paras pucat. Namun dia masih tetap meneruskan 

dorongan tangannya.

Saat itulah mendadak berkelebat sebuah 

bayangan. Bersamaan dengan itu serangkum an-

gin dahsyat menggebrak memapak sinar gelang.gelang. Terdengar ledakan membahana. Pendekar 

108 terjengkang. Namun sebelum tubuhnya ro-

boh, dua tangan terasa menyentuh tengkuk dan 

pantatnya. Lalu tubuhnya terasa melayang. Dan 

ketika tubuhnya setengah tombak di atas tanah, 

kembali tengkuk dan pantatnya dipegang tangan. 

Tangan itu lalu seperti melempar tubuhnya. 

Hingga tubuhnya kembali melayang jauh. Hal itu 

terjadi hingga beberapa kali. Dalam waktu sesaat, 

Pendekar 108 telah berada jauh dari tempatnya 

semula.

Dan ketika terakhir kali melayang, Pende-

kar 108 tetap enak-enakan. Dia merasa tangan 

itu akan terus mempermainkan tubuhnya. Na-

mun kali ini dugaan murid dari Karang Langit ini 

meleset. Karena meski tubuhnya telah hampir 

menukik di atas tanah dia tak merasakan sentu-

han tangan, Pendekar 108 sadar namun terlam-

bat. Hingga tak ampun lagi tubuhnya jatuh ber-

gulingan.

Dengan meringis kesakitan, Pendekar 108 

bangkit. Sepasang matanya memandang lurus ke 

depan. Dia ingin tahu siapa adanya orang yang 

memainkan tubuhnya melayang-layang di udara 

yang juga berarti telah menyelamatkannya dari 

tangan maut Iblis Gelang Kematian.

"Ah.... Dia!" seru Pendekar 108 tatkala 

mengenali orang yang duduk menggelosoh sepu-

luh langkah di hadapannya.

Dia adalah seorang laki-laki tua. Pakaian-

nya telah robek di sana-sini. Pada pundaknya

menyelempang ikat pinggang besar yang diganduli 

beberapa bumbung bambu yang menebarkan bau 

arak. Sambil duduk menggelosoh, kedua tangan 

kakek ini silih berganti menenggakkan bumbung 

bambu berisi arak ke mulutnya.

"Setan Arak! Terima kasih. Kau telah me-

nolongku!" teriak Pendekar 108 seraya tertatih 

bangkit dan melangkah ke arah kakek tua yang 

bukan lain memang Setan Arak.

"Simpan dulu basa-basi rombeng itu! Ayo 

kita cepat tinggalkan tempat ini!"

Pendekar Mata Keranjang 108 tampak 

bimbang. Kepalanya berpaling ke belakang.

"Sakawuni.... Bagaimana nasibnya..?"

"He! Gadismu itu sudah ada yang mengu-

rus! Saatnya kelak kau pasti akan bertemu lagi! 

Sekarang urus dirimu dulu! Kau terluka parah!" 

teriak Setan Arak, lalu tanpa mempedulikan pera-

saan Pendekar 108, dia berkelebat.

"Sialan!" maki Pendekar 108. Dia merenung 

sejenak.

"Hmm.... Moga-moga Penyair Berdarah ti-

dak berbuat yang bukan-bukan pada Sakawuni! 

Jika dia nanti ternyata berbuat tidak senonoh, se-

lembar nyawanya tidak akan kuampuni lagi!" gu-

mam Pendekar 108 lalu berkelebat menyusul Se-

tan Arak.

Di tempat lain, ketika Iblis Gelang Kema-

tian berhasil bangkit matanya tidak lagi melihat 

batang hidung Pendekar Mata Keranjang 108.

"Keparat! Ada seseorang memapak seran

ganku dan menolong pemuda itu!" gumam Iblis 

Gelang Kematian seraya usap-usap dadanya yang 

terasa nyeri akibat bias bentrokan pukulannya 

dengan sambaran angin dahsyat dari bayangan 

yang menolong Pendekar 108.

"Hmm.... Siapa pun adanya bayangan pe-

nolong itu, yang pasti dia bukan orang sembaran-

gan! Jika saja aku tidak mengkhawatirkan Mand-

ing dan gadis ini akan kukejar keparat itu!"

Setelah mengedarkan pandangan sekali la-

gi, nenek ini melangkah ke arah Penyair Berdarah 

yang terlihat terkapar kembali karena terkena 

sambaran bentroknya pukulan Iblis Gelang Ke-

matian dengan bayangan yang menolong Pende-

kar Mata Keranjang 108.

"Hmm ... Dengan dua orang ini, rencanaku 

akan lebih mudah!" desis Iblis Gelang Kematian 

seraya memperhatikan Penyair Berdarah dan Sa-

kawuni. Tangan kanannya lantas menjulur den-

gan sedikit rendahkan tubuh! Tahu-tahu tubuh 

Penyair Berdarah telah berada di pinggang ka-

nannya, lalu melangkah mendekati tubuh Saka-

wuni. Tangan kirinya berkelebat dan sesaat ke-

mudian tubuh Sakawuni telah berada di pinggang 

kirinya.

Sesaat nenek ini berdiri tegak. Kepalanya 

mendongak dan digerakkan menyibak rambut 

yang menghalangi pandangan matanya. Tiba-tiba 

sepasang kakinya menghentak, dan bersamaan 

dengan itu tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.



                   SELESAI



Segera terbit:

MISTERI HUTAN LARANGAN





























Share:

Blog Archive