SATU
PUNCAK BUKIT RAJABASAH adalah puncak bukit yang
hampir selalu lembah karena diatas sana banyak kabut dan berhawa
dingin.
Jalan menuju ke puncak bukit itu amat sukar. Kalau bukan
orang yang berkepandaian tinggi amatlah mustahil bisa mencapai
ke puncak bukit itu. Karena tidak sedikit bahaya mengancam dide-
pan mata. Selain banyaknya ular-ular berbisa dan binatang melata
lainnya, juga jalan menuju ke puncak bukit itu penuh dengan le-
reng-lereng terjal yang tertutup kabut. Hingga bila kurang hati-hati
dan waspada bisa jatuh tergelincir dan menemui kematian.
Tetapi sepagi itu sesosok tubuh tampak berlari-lari dengan ge-
rakan yang terlatih bagaikan seekor kijang yang gesit diatas bukit
itu. Dialah seorang laki-laki muda berusia sekitar enam belas tahun
Berpakaian serba hijau dengan sebilah pedang tersoren dipinggang.
Ketika dia hentikan gerakan larinya dan menatapkan pandangannya
ke atas puncak bukit tampaklah seraut wajah yang amat tampan.
Rambutnya tertutup oleh ikat kepala yang berwarna hitam. Hidung-
nya mancung dengan mata yang bersinar memancarkan ketampanan
wajah yang menawan hati.
Siapakah adanya pemuda ini? dialah yang bernama MAYA-
NA sesudah lebih dari enam tahun dia berada dipuncak bukit Raja-
basah itu, berguru pada seorang tokoh persilatan yang sakti, yang
telah lama menyembunyikan diri diatas puncak bukit Rajabasah.
Siapa gerangan adanya tokoh itu? Marilah kita ikuti jalan ceritanya.
"Bocah bego, mengapa kau tak cepat datang menghadap pa-
daku untuk memberi laporan?" terdengar suara serak yang menge-
jutkan pemuda ini.
Dia tahu kalau itu adalah suara gurunya. Selagi dia bersiap un-
tuk enjot tubuh meneruskan pendakiannya kepuncak bukit, tiba-tiba
sebuah bayangan telah berkelebat dihadapannya. Dan sesosok tubuh
telah berdiri diantara kepulan asap kabut. Dialah seorang laki- laki
tua berjubah serba putih. Jenggotnya menjuntai sebatas dada. Ber-
warna putih bagaikan salju. Rambutnya tergelung diatas terikat
dengan sehelai kain sutera warna merah. Kakek ini melototkan se-
pasang matanya memandang laki-laki muda dihadapannya.
"Mayana! aku sudah tak sabar mendengar laporanmu. Bagai-
mana hasil penyelidikanmu di Kota Raja?" tanya laki-laki tua itu.
Suaranya serak, seperti tempayan rengat. Kakek ini memang mem-
punyai wajah yang begitu sedap di pandang. Hidungnya lebar den-
gan cuping hidung yang mempunyai liang besar. Tulang pelipisnya
menonjol. Dan mempunyai sepasang mata bagaikan mata burung
elang yang menyipit serta bersinar tajam. Raut wajahnya boleh di-
kata hampir persegi empat.
Melihat kemunculan kakek itu pemuda ini menampakkan wa-
jah kaget. Akan tetapi segera mengumbar senyum. Dan ujarnya se-
raya menjura.
"Maaf, kakek! aku pikir hari masih terlalu pagi. Dan aku tak
mau mengganggu semadhi kakek..!"
"Mm, sudah sejak malam tadi aku tak sabar menunggu hasil
penyelidikanmu, mengapa harus kau khawatir mengganggu semad-
hiku segala? Urusan ini lebih penting! Karena hasil penyelidikanmu
adalah penentuan dari langkah selanjutnya yang akan kita tempuh!
"sahut kakek itu ketus. Mayana tak menjawab selain menunduk,
dan berkata lirih. "Maafkan murid mu, guru..!"
"Sudahlah!" berkata si kakek. "Bagaimana hasil penyelidi-
kanmu? Apakah si bangsat tua itu masih bercokol di Kota Raja?"
tanya kakek itu. Nada suaranya mengandung ketidak sabaran. Jelas
dia amat menginginkan laporan yang dibawa Mayana berkenaan
dengan tugas yang diberikan pada muridnya itu.
"Ki SABDA TAMA menurut khabar yang kudengar dari seo-
rang prajurit tua Kadipaten, telah tak memegang tampuk pemerinta-
han lagi. Dia telah sejak lama mengundurkan diri dari jabatannya!"
tutur Mayana.
"Hm, begitukah? Lalu siapa yang menggantikan sebagai Adi-
pati?" tanya si kakek itu dengan wajah tetap tak berubah. "Seorang
Adipati yang masih cukup muda! Dia bernama Wukir Kamandaka!"
sahut Mayana dengan suara kendur. Kakek tua itu tampak termangu
sejenak.
"Hm, apakah kau tak menyelidiki anak keturunan siapakah
Adipati Wukir Kamandaka itu?" tanya sang guru dengan suara agak
ditekan. Sang murid menggeleng. Dan katanya. "Aku khawatir ka-
kek terlalu lama menunggu, karena kakek hanya memberi waktu
aku satu pekan!" sahutnya.
Kembali tercenung orang tua ini. Lengannya bergerak menge-
lus jenggotnya. Setelah menghela napas, dia berkata.
"Ya! ya, aku terlalu singkat memberi waktu padamu. Aku
memang sudah tak sabar untuk segera turun tangan. Terutama den-
gan urusan yang satu ini. Karena semua ini bertalian dengan lang-
kahmu juga. Karena kau telah menamatkan pelajaranmu dipuncak
Rajabasah ini! ujar si kakek.
"Jadi... jadi aku sudah dibolehkan turun gunung?" tanya si
pemuda tiba-tiba. Wajahnya menampakkan sinar cerah. Sudah lama
dia merindukan kebebasan, untuk kembali ke dunia ramai. Sikakek
menjawabnya dengan anggukan kepala beberapa kali.
"Oh, kalau begitu aku akan teruskan penyelidikan mengenai
Adipati itu, guru...!" berkata si pemuda dengan wajah berseri gi-
rang. Tapi wajahnya kembali berubah, dan kedua lengannya men-
gepal.
"Sekalian mencari si pembunuh ayah ibuku" ujarnya dengan
suara menggebu. Tiba-tiba dia berpaling menatap pada gurunya.
"Kakek! katakanlah, siapa sebenarnya manusia yang telah
memporak-porandakan keluargaku itu? Geritakanlah! bukankah kau
telah berjanji akan menceritakannya bila aku telah berhasil mena-
matkan pelajaranku padamu?" Kata-kata pemuda ini terdengar
menggetar. Karena dibarengi dengan perasaan yang sudah lama
menggebu dalam dada. Selama beberapa tahun dia berguru menun-
tut ilmu kedigjayaan dipuncak bukit Rajabasah adalah karena untuk
membalaskan sakit hati dan dendam pada pembunuh ibu kandung-
nya.
Kakek itu tersenyum. Lalu ujarnya dengan suara lantang yang
diiring dengan tawa terkekeh memecah kelengangan disekitar bukit
itu.
"Hehehehe... aku tak pernah mendustai apa yang pernah aku
janjikan, muridku. Akan tetapi masih ada satu syarat yang harus kau
lakukan sebelum kau turun gunung!" berkata si kakek.
"Katakanlah, syarat itu, guru! Aku siap menjalankan perin-
tahmu!" berkata tegas Mayana. Kakek tua itu tersenyum. Sepasang
matanya berkilat menatap pada sang murid yang justru tengah me-
natap pula padanya.
"Kau harus tinggal dulu dipuncak Rajabasah selama beberapa
hari untuk mengikuti petunjukku, dan mengenai syarat itu, segera
akan kukatakan nanti! Sekarang kembalilah ke puncak bukit!" ujar
si kakek. Selesai berkata orang tua berjubah putih itu gerakkan
tongkatnya menekan batu. Tiba-tiba tubuhnya mencelat ke udara.
Dan dalam beberapa kali lompatan, sekejap saja tubuh kakek telah
lenyap diatas puncak bukit, yang samar-samar masih diliputi kabut
tipis.
Tanpa ayal si pemuda segera enjot tubuhnya untuk bergerak
menyusul. Gerakan melompat pemuda inipun tak kalah gesitnya da-
ri gerakan si kakek. Dengan perdengarkan suara teriakan halus tu-
buhnya mencelat bagaikan letikkan seekor ikan. Ujung kakinya me-
notol batu-batu yang berada disekitar tempat itu. Sekejap kemudian
tubuhnyapun telah lenyap tertutup kabut...
***
DUA
uhnyapun telah lenyap tertutup kabut...
***
DUA
Siapakah kakek tua berjubah putih penghuni bukit Rajabasah
itu? Dialah yang bernama GAJAH LOR. Pada belasan tahun yang
silam mempunyai pengaruh luas diwilayah Kota Raja Kerajaan
Mandaraka. Sebuah kerajaan kecil dipesisir pantai Pulau Jawa.
Gajah Lor yang berusia sekitar 50 tahun itu adalah seorang
yang paling pandai dalam hal ilmu merawat tubuh, hingga tak nam-
pak ketuaan usianya. Tubuhnya kekar dengan urat-urat yang kokoh.
Selama belasan tahun dia melatih diri dipuncak Rajabasah dengan
berbagai ilmu kedigjayaan. Semata-mata karena mempunyai tujuan
serta urusan dendam pada seorang. Serta mendidik muridnya yang
bernama MAYANA itu dengan tujuan yang telah dipersiapkan sejak lama.
Mayana duduk dihadapan gurunya dengan hati risau. Betapa
ingin dia rasanya untuk lebih cepat turun gunung mencari musuh
besarnya guna membalas dendam pati kedua orang tuanya. Akan te-
tapi seperti ujar gurunya dia diharuskan memenuhi satu sarat sebe-
lum turun gunung dan mengunggu selama beberapa hari untuk me-
nerima petunjuk dari sang guru mengenai perihal langkah langkah
yang harus ditempuhnya nanti. Yang terutama sekali adalah penje-
lasan Gajah Lor mengenai siapa adanya musuh besarnya itu. Hal
itulah yang paling penting!
"Mayana, muridku..!" ujar Gajah Lor pada sang murid yang
tepekur tundukkan wajah menatap alas tikar yang didudukinya. Ha-
tinya sejak tadi kebat-kebit menunggu apa yang akan dikatakan
sang guru. Mendengar suara sang kakek yang membuka percakapan
dia mendongak menatap wajah sang guru. Telinganya dipasang pe-
nuh perhatian untuk mendengar apa-apa yang dikatakan kakek tua
itu.
"Aku senang sekali sejak kau berguru padaku, selama ini kau
selain seorang murid yang amat cerdas juga seorang anak yang
amat penurut. Tak pernah satu kali pun kau membantah apa yang
aku perintahkan!" ujar Gajah Lor.
"Apakah dalam hari-hari terakhir kau bersamaku dipuncak
bukit Rajabasah ini kau juga akan menuruti segala yang aku perin-
tahkan padamu?".
"Guru..! mengapa kau ragu dengan murid mu ini? Kau telah
berbaik hati mendidik dan membesarkanku selama ini. Memberikan
ilmu-ilmu kedigjayaan serta merawatku penuh kasih sayang seperti
kepada anakmu sendiri. Patutkah aku membantah perintahmu?"
berkata Mayana dengan suara hati-hati. Sementara hatinya agak ter-
getar mengucapkan kata-kata itu. Perkataan gurunya kali ini agak
aneh. Mengapa sang guru bersikap lain dari biasanya. Pandangan
matanya juga aneh. Seperti membersitkan sinar serta hawa aneh
yang membuat jantungnya berdegupan. Baru kali ini dia melihat
pancaran mata sang kakek itu begitu menggidikkan hatinya.
"Heheheh...hehe... bagus! bagus! Aku memang tidak kecewa
mengangkatmu sebagai murid!" berkata Gajah Lor dengan tertawa
mengekeh.
"Mayana.! Untuk menghadapi musuh besarmu, jalan darahmu
harus sempurna betul. Aku akan salurkan sebagian tenaga dalamku
untuk kupindahkan kedalam tubuhmu!" ujar Gajah Lor setelah lama
memperhatikan muridnya yang tertunduk menatap tikar dengan hati
tak karuan rasa.
"Ha, kau... kau akan memberikan separuh tenaga dalammu
padaku, guru? Bagaimana dengan kau sendiri nanti? bukankah kau-
pun memerlukannya. Bukankah kau sendiri seperti pernah kau ka-
takan, kau mempunyai beberapa musuh yang akan kau singkirkan?
Kalau tenaga dalammu tinggal separuh, bagaimana kau dapat
menghadapi musuh-musuhmu itu, guru.?" tergagap Mayana me-
mandang dengan mata membelalak pada gurunya. Walaupun diam-
diam hatinya merasa girang, akan tetapi dia amat mengkhawatirkan
akan keadaan gurunya.
"Heheheh... jangan khawatir! Dalam waktu beberapa bulan
aku akan dapat mengembalikan seluruh tenaga dalamku seperti se-
diakala. Nah! segera kau bersiap-siaplah! Bukalah semua pakaian
yang melekat ditubuhmu. Tak ada waktu lagi untuk aku mengulur-
nya karena kau cuma tiga hari berada dipuncak Rajabasah ini!" ujar
Gajah Lor dengan menatap lekat-lekat wajah muridnya yang tam-
pan.
Perintah itu seperti sebuah petir yang menggelegar disiang ha-
ri. Membuat Mayana terkejut. Jantungnya berdetak semakin cepat,
dan wajahnya tiba-tiba dijalari rona merah.
"Mem... membuka semua pakaianku. guru?" tanyanya seperti
tak percaya.
"Ya! Untuk menerima saluran tenaga dalam haruslah terbebas
dari penghalang. Apakah kau malu melakukannya?" berkata Gajah
Lor dengan tersenyum.
Mayana seperti kebingungan. Wajahnya semakin merah.
"Mengapa harus membuka pakaian?" pikirnya dalam hati. Sejenak
dia tak memberi jawaban.
"Mayana.! apakah kau akan menolak perintahku kali ini?"
"Ti... tidak... guru..! Tapi... tapi..." kembali mulut Mayana
membungkam tak tahu apa yang akan dikatakannya.
"Hm, ketahuilah, perintah ini juga termasuk syarat permulaan
sebelum aku mengatakan siapa pembunuh orang tuamu, dan sebagai
persyaratan sebelum kau turun gunung!" berkata Gajah lor dengan
suara tegas. Apakah yang menjadi sebab sukarnya Mayana menuru-
ti perintah gurunya? Ternyata semua itu disebabkan karena Mayana
sebenarnya bukanlah seorang laki-laki. Dia seorang perempuan.
Seorang gadis, yang baru meningkat dewasa.
Tentu saja perintah gurunya membuat dia jadi serba salah. Se-
lama ini dia memang selalu memakai pakaian laki-laki. Dia baru
sadar setelah mengetahui perubahan demi perubahan pada dirinya
dengan bertambahnya usianya. Walau dia tak begitu memahami
tentang perbedaan laki-laki dan perempuan, akan tetapi naluri ke-
wanitaannya mulai tumbuh dan semakin kelihatan rasa malunya bi-
la dia mandi bertelanjang bulat. Hal itu sering dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Selalu dia menghindar dari gurunya bila dia
akan membersihkan badan atau mandi. Khawatir terlihat oleh sang
guru.
Kini secara tak disangka-sangka sang guru memerintahkan dia
membuka seluruh pakaiannya dihadapan sang guru. Tentu saja
membuat dia amat terkejut setengah mati. Dan membuat kulit wa-
jahnya berubah merah. Bagaimana mungkin dia akan dapat mela-
kukannya?
"Mayana! apakah kau tak bersedia?" suara Gajah Lor kembali
terdengar mengoyak keheningan. Tersentak dia mendengar kata-
kata sang guru.
"Guru..! selang sesaat Mayana menjawab pertanyaan Gajah
Lor dengan suara agak bergetar. "Aku rasa dengan tenaga dalam
yang kumiliki, aku akan mampu membalas dendam pada musuh be-
sarku. Apakah tidak lebih baik kalau guru tak usah menyusahkan
diri memberikan separuh tenaga dalam mu padaku..." dengan mem-
beranikan diri Mayana bicara.
"Hm, sudah kukatakan hal ini adalah termasuk syarat yang ha-
rus kau jalankan sebagai penutupan selama enam tahun kau menjadi
muridku. Apakah kau tak bersedia melakukan syarat ini?" berkata
Gajah Lor. Mayana tercengung sesaat tanpa bisa memberi jawaban.
"Baiklah! kuberi kau waktu setengah hari. Kalau kau tak dapat
memenuhi syarat itu. berarti kau tak ingin mengetahui siapa pem-
bunuh kedua orang tuamu. Dan yang perlu kau camkan adalah, kau
tak mungkin bisa mengalahkan musuh besarmu dengan tenaga da-
lam yang kau miliki selama ini. Kukira kau takkan menyerahkan
nyawamu begitu saja pada musuh besarmu, bukan?" Setelah tertawa
terkekeh- kekeh, Gajah Lor bangkit berdiri. Kakinya bergerak untuk
beranjak kebiliknya disudut ruangan goa itu. Akan tetapi pada saat
itu terdengar suara Mayana.
"Guru...! aku bersedia menjalankan persyaratan itu..." Gajah
Lor tahan langkah kakinya. Tanpa balikkan tubuh kakek ini berkata
dengan tersenyum menyeringai.
"Hehehe... mengapa tak sadari tadi kau katakan? Rasa malu itu
justru karena kau belum biasa. Dan ketahuilah akibat rasa malu itu
justru akan menghambat langkahmu sendiri. Dan akan sia-sialah je-
rih usahamu selama bertahun-tahun untuk menuntut balas kematian
kedua orang tuamu!"
"Maafkan aku, guru...! aku memang bodoh..." berkata Mayana
dengan menunduk. Tapi dengan cepat dia telah loloskan pakaian
yang melekat di tubuhnya. Dilakukannya semua itu dengan mata
terpejam.
Dan dalam beberapa kejap saja Mayana telah berdiri tegak di-
hadapan gajah Lor dengan keadaan tubuh bugil, tanpa sehelai be-
nangpun melekat tubuhnya.
***
TIGA
Dalam keadaan mata terpejam itu Mayana tak mengetahui ka-
lau sepasang mata sang guru telah memandangnya dengan mata
membinar-binar. Menatap dan menjalari setiap lekuk-liku tubuh
Mayana dengan sepuas-puasnya. Bibir kakek ini setengah terbuka
dan tampak meneteskan air liur. Hidungnya kembang-kepis ber-
campur dengan deru napas tertahan dari sang kakek yang meman
dang tubuh Mayana seperti melihat makanan lezat yang mener-
bitkan air liur.
Detik itu juga Mayana merasakan bersyiurnya angin halus
menerpa tubuhnya. Selanjutnya dia rasakan tubuhnya lemah-
lunglai. Kelopak mata terasa berat untuk di buka. Dan dia merasa
tubuhnya terhempas... tapi seperti ada lengan yang menyangganya.
Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi. Cuma sekilas dia merasa tu-
buhnya seperti dipondong dan melayang ringan. Kemudian dia tak
ingat apa-apa lagi.
Ketika perlahan-lahan dia mulai sadarkan diri yang pertama-
tama dirasakan adalah tubuhnya seperti berat. Dengus napas santar
seperti meniup-niup daun telinganya. Antara sadar dan tidak dia
merasakan hawa hangat menembus seluruh tubuhnya. Dan sesuatu
yang tak pernah dirasakan selama hidupnya membuat dia mengge-
linjang dan keluarkan keluhan-keluhan lirih.
Dia tersentak ketika membuka matanya, dan melihat sang guru
dalam keadaan membugil tengah menindih tubuhnya.
"Guru...? kau ...ah, kau apakah aku...?" sentaknya terkejut. Ga-
jah Lor tak menjawab, tapi menutup bibir gadis itu dengan desis
dan menyumbat mulutnya hingga dia sukar bernapas.
Dalam keadaan demikian sepasang lengan Gajah Lor tiba-tiba
merangkul erat tubuhnya, seperti mau meluluh lantakkan tulang be-
lulangnya. Mayana menjerit tapi suaranya tersendat napasnya se-
tengah-tengah. Dan berbareng dengan itu Gajah Lor pendengarkan
suara keluhan panjang. Mayana sendiri terkulai. Sukmanya seperti
membumbung keluar dari raganya. Otot-otot tubuhnya serasa luluh
tak bertenaga. Tapi satu perasaan aneh membuat dia tertegun. Ada
perasaan yang sukar dilukiskan. Dalam keadaan tidak mengerti itu
dia merasa lengan Gajah Lor membelai wajahnya. Terasa kening-
nya dicium laki-laki gurunya itu. Hingga sesaat antaranya terasa tu-
buhnya menjadi ringan. Tak terasa lagi adanya benda berat yang
membuat dia sukar bernapas.
Ketika dia pulih dengan kesadaran penuh didapati dia terbar-
ing dipembaringan sang guru. Pembaringan yang acap kali sering
dirapihkan. Dia tergolek dalam keadaan tanpa busana, dengan sehe-
lai selimut menutupi tubuhnya.
Tak dilihatnya sang guru berada didalam bilik ruangan itu.
Mayana terpaku dan tercenung dalam ketidak mengertian. Apakah
sang guru sudah selesai menyalurkan sebagian tenaga dalamnya?
Tiga hari berada dipuncak bukit Rajabasah itu, Mayana men-
dapat tambahan kekuatan tenaga dalam dari Gajah Lor, sang guru
yang telah mendidiknya dengan ilmu-ilmu kedigjayaan selama ini.
Siang itu Matahari panasnya seperti membakar jagat... Dari atas
puncak bukit Rajabasah tampak berkelebat bayangan sesosok tubuh
yang berlari cepat menuruni bukit. Gerakannya lincah bagaikan ge-
rakan seekor kijang. Melompati jurang-jurang curam yang tertutup
kabut tipis. Dialah Mayana, si gadis puncak bukit Rajabasah, yang
hari itu turun gunung dengan membawa tugas berat dari gurunya.
Gajah Lor.
Dalam waktu tak terlalu lama, dara rupawan yang lebih mirip
dengan seorang pemuda berwajah tampan itu telah berada di bawah
bukit. Di atas batu besar dara ini berhenti, dan balikkan tubuh. Se-
pasang matanya menatap ke atas puncak bukit. Puncak bukit yang
telah menggemblengnya selama ini dengan bermacam ilmu kedig-
jayaan. Puncak bukit yang membawa kenangan tersendiri yang tak
dapat dilupakan seumur hidupnya.
Tampak sepasang mata dara ini basah, berkaca-kaca. Angin
pegunungan menerpa wajahnya yang cantik. Tapi air mata dara ini
tak mengalir turun. Dia telah berusaha menahannya. Terdengar sua-
ra menggumam tergetar keluar dari bibirnya.
"Guru..! aku akan jalankan tugasmu dengan baik, sebagai ba-
las jasa atas budi baikmu merawat dan membesarkan aku. Serta
mewarisi aku dengan ilmu-ilmu kedigjayaan. Entah saat ini kau be-
rada dimana. Tapi kelak suatu saat setelah selesai tugasku, dan bila
telah terbalaskan dendamku, aku akan mencarimu..! Kata-kata gadis
ini diucapkan dengan tandas, yang hanya dia sendiri yang dapat
mendengarnya.
Selesai ucapkan kata-kata itu, dara ini gigit bibirnya menahan
perasaan yang menggebu dalam dada. Perasaan sedih, pilu, marah,
kecewa dan dendam berkumpul menjadi satu dirongga dadanya.
Selesai sesaat Mayana balikkan tubuh. Kejap berikutnya dia
telah berkelebat melesat meninggalkan tempat itu dengan memper
gunakan ilmu lari cepat. Detik selanjutnya sudah tak kelihatan lagi
bayangan tubuhnya...
***
EMPAT
KUIL TENGKORAK DARAH yang terletak diatas puncak
bukit Lembayung masih tampak berdiri tegar dengan segala keang-
kerannya. Kuil yang baru berdiri beberapa tahun dipuncak bukit
permai berpemandangan indah itu telah merobah alam sekitarnya
menjadi alam yang gersang. Dimana-mana terlihat mayat manusia
yang bertebaran disekeliling Kuil, dengan baunya yang busuk me-
nyengat hidung. Sepertinya Kuil itu tak berpenghuni manusia. Ya,
hanya setan-setan sajalah yang patut mendiami Kuil yang menye-
ramkan itu.
Pemandangan indah bukit Lembayung tidak lagi mempesona.
Akan tetapi menimbulkan hawa takut. Seolah Kuil itu adalah pintu
gerbang Neraka layaknya. Akan tetapi dari arah ruangan kuil itu
tampak mengepul asap yang menimbulkan bau panggang daging
yang lezat, disenja yang baru mulai temaram itu.
Ternyata seorang kakek berambut panjang beriapan tengah
asyik duduk menghadapi api unggun. Sementara lengannya mem-
bolak-balik panggang daging, entah daging apa yang ditusuk pada
sebatang kayu. Jelas kakek rambut putih beriapan ini adalah manu-
sia, karena kedua kakinya menginjak tanah.
Ketika itu diluar udara semakin dingin dan cuaca semakin re-
dup. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik seram memban-
gunkan bulu roma. Si kakek rambut beriapan ini hadapkan wajah-
nya ke pintu kuil. Tampaklah wajahnya yang tak sedap dipandang.
Sebelah matanya menonjol bulat dan nampak merah, sedangkan se-
belah lagi tak berbiji mata alias picak. Hidungnya cuma separuh,
menampakkan rongga bagian dalamnya. Bibirnya terbelah dua dan
nampak dua buah gigi yang besar-besar mencuat keluar. Kakek se
ram ini mendengus mendengar suara tertawa yang sudah tak asing
lagi baginya itu.
"WEWE GOMBEL SETAN GENIT! mau apa kau datang
menyambangi kekuilku?" terdengar suara si kakek yang parau bagi
suara tonggeret. "Apakah kau mau makan daging manusia?" Dan
diiring kata-katanya si kakek seram ini telah bangkit berdiri. Sebe-
lah lengannya menyambar bara api lalu... Whuuut! Dia telah ayun-
kan lengannya. Bara api itu melayang keluar dengan deras. Terden-
gar suara mengikik diluar diiringi kata-kata.
"DEDEMIT MATA PICAK, sambutanmu sungguh menye-
balkan hati!" Sosok tubuh putih diluar kuil itu memang baru saja je-
jakkan kakinya dimuka kuil. Melihat sambaran bara api kearahnya,
dengan membentak nyaring dia meludah... CUIH! Lengannya men-
gibas. angin keras menggebu menghantam bara api yang meluruk
ke arahnya. Bara api itu pecah berhamburan. menjadi ratusan lelatu
api yang menerjang balik ke arah pintu kuil yang terbuka. Tentu sa-
ja mendelik sebelah mata si kakek seram. Namun dia cepat mo-
nyongkan mulutnya. Dan... FUUUH! Lelatu api seketika padam dan
buyar kesegenap penjuru.
"Hihihik...hihik... tua bangka mata picak, kau makanlah bara
apimu, mengapa kau suguhkan padaku?" Sekali berkelebat si kakek
muka seram melompat, dan sekejap telah berada dimuka pintu.
Ternyata si pendatang yang dijuluki Wewe Gombel Setan Ge-
nit itu adalah seorang wanita berparas cantik. Bertubuh kurus tinggi
semampai. Berkulit kuning langsat, memakai pakaian serba putih.
Alisnya mencuat keatas dengan biji mata yang menampakkan mata
yang jalang. Usianya ditaksir sekitar 35 tahun. Akan tetapi nampak
tubuhnya masih montok.
"Mau apa sebenarnya kau kemari?" berkata ketus si kakek se-
ram yang dijuluki si Dedemit Mata Picak ini. Sementara mulutnya
mulai menggayam panggang daging yang sudah matang itu dengan
rakus.
"Hm, aku tak ingin minta makananmu, WICAKSA! Kedatan-
ganku cuma mau mengatakan bahwa perbuatanmu membunuh ma-
nusia itu cuma mengundang penyakit pada dirimu sendiri! Sedang-
kan orang yang kau Pancing untuk menyatronimu tak berada diwi
layah ini!" berkata wanita ini dengan bertolak pinggang. "Heh! ba-
gaimana kau bisa tahu?" "Ya, karena yang mengetahui perihal si
Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil Cuma sahabatku! Dia
bernama CAKRA MURTI!" sahut Wewe Gombel Setan Genit.
Terhenyak si kakek yang bernama Wicakra itu. Tak ayal dia
sudah semburkan daging panggang dimulutnya, dan tiba-tiba mem-
banting daging panggang itu hingga amblas ke tanah.
"Grrr... katakan segera! Apakah kau datang bersama sahabat-
mu itu?" membentak Wicaksa. Suaranya menggeledek hingga ter-
dengar berpantulan kesekitar tempat yang lengang itu.
"Hihik...hihik... sabar, Wicaksa! saat ini aku datang sendiri.
Tapi aku bisa mempertemukan kau dengan sahabatku itu, kalau ada
imbalannya!" berkata Wewe Gombel Setan Genit dengan mengikik
tertawa.
"Imbalan? Imbalan apa yang kau inginkan? katakanlah! Kalau
betul si Cakra Murti sahabatmu itu bisa menunjukkan aku dimana
adanya si Roro Centil, tentu aku tak keberatan memberikan imba-
lan. Apakah kau inginkan sekantung uang emas untuk imbalannya?
aku sanggup memberikannya! Akan tetapi bila kau berdusta, maka
kepalamulah sebagai gantinya, termasuk kepala sahabatmu itu!"
Tawaran itu ternyata membuat si wanita ini cuma tersenyum,
tapi segera ujarnya. "Aku tak memerlukan itu, Wicaksa! Yang ku-
perlukan adalah kitab yang kau rampas dari KI SABDA TAMA!"
Mendengar Jawaban Wewe Gombel Setan Genit, Wicaksa jadi
tertawa terkekeh-kekeh hingga sampai terbatuk-batuk.
"Tunjukkan aku dimana adanya sahabatmu itu. Mengenai ki-
tab Ki Sabda Tama yang kucuri itu aku tak berminat mempelajari,
disamping aku tak mengetahui arti tulisannya. Dengan sukarela
akan kuberikan padamu. Tapi dengan syarat apabila aku sudah
menjumpai si Roro Centil!"
"Bagus! baiklah! Kukira tak perlu berlama-lama, Segera kau
siapkan kitab itu, dan segera kita berangkat!" berkata girang Wewe
Gombel setan genit. Tampak dia amat gembira mendengar jawaban
si Dedemit Mata Picak.
"Baik! baik...! tunggulah! segera kupersiapkan! ujar Wicaksa
dengan menyeringai girang. Tubuhnya kembali berkelebat mema
suki pintu kuil. Tak lama dia telah keluar lagi.
"Marilah kita berangkat!" ujarnya. Wewe Gombel Genit men-
gangguk. Dia mendahului berkelebat menuruni bukit Lembayung,
disusul oleh kelebatan tubuh si Dedemit Mata Picak. Hingga tak
lama kemudian Kuil Tengkorak Darah dipuncak bukit Lembayung
kembali sunyi mencekam...
Siapakah adanya Wewe Gombel Setan Genit dan si dedemit
Mata Picak bernama Wicaksa penghuni Kuil Tengkorak Darah itu?
Keduanya adalah dua orang saudara seperguruan yang masing-
masing telah menempuh jalan sendiri-sendiri. Kedua tokoh yang be-
rada dijalur sesat itu mempunyai ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Entah permusuhan apakah gerangan Wicaksa dengan Roro Centil di
Pendekar Wanita pantai Selatan hingga si kakek itu tampak amat
mendendam.
***
LIMA
CAKRA MURTI ternyata seorang laki-laki gagah berusia se-
kitar 40 tahun. Laki-laki ini tengah mondar-mandir diruangan depan
seperti tengah menanti kedatangan orang ditunggunya.
Gedung tua itu terletak di tepi danau, Dikelilingi oleh hutan
rimba. Diapit oleh dua bukit.
Tempat sekitar itu sunyi mencekam. Tampaknya gedung tua
itu satu-satunya gedung yang terpencil ditempat itu.
Mata Cakra Murti menatap ke arah hutan rimba dibelakang
bukit lalu dialihkan ke ujung jalan disisi danau. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara berkrosakan disisi gedung.
"Siapa? kalau mau bertemu silahkan masuk dari pintu depan.
Aku Cakra Murti siap menyambut tamu yang datang dengan mak-
sud baik!" berkata laki-laki ini.
"Bagus! kedatanganku bukan untuk maksud jahat, sobat Cakra
Murti!" Diiringi kata-kata itu sesosok tubuh berkelebatan muncul
kan diri dihadapan laki-laki itu.
Sejenak dia terhenyak memandang si pendatang, yang ternyata
adalah seorang laki-laki brewok. Dikedua pinggangnya terdapat dua
buah buli-buli. Sedangkan tangan si brewok ini mencekal pula se-
buah buli-buli yang sudah lepas sumbatnya.
Tanpa hiraukan orang yang menatapnya si brewok tenggak isi
buli-buli itu hingga belasan teguk. Bau arak mengembara seketika
itu juga.
"Hm, kiranya anda si Dewa Arak! Ada maksud apa anda
meyatroni tempatku?" bertanya Cakra Murti dengan kernyitkan ke-
ningnya. Si Brewok tak buru-buru menjawab. Tapi menyeka dulu
bibirnya membersihkan bekas-bekas cairan-cairan arak yang mem-
basahi bibir dan dagunya.
"Hehehe... kalau bukan aku lihat sendiri kau ada hubungan
baik dengan si perempuan kuntilanak Wewe Gombel Setan Genit,
mana aku jauh-jauh menyatroni tempat tinggalmu?" berkata si bre-
wok. Tersentak juga Cakra Murti mendengar si Dewa Arak mencari
orang yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya.
"O, jadi kau mencarinya? ada persoalan apakah kau dengan
sahabat ku itu?" bertanya Cakra Murti, Sementara diam-diam laki-
laki ini merasa adanya angin buruk yang bertiup dengan kedatangan
sang tetamu.
"Bagus! ternyata dia sahabat baikmu? Suruh dia keluar. Biar
aku yang urus persoalanku dengannya!" membentak si Dewa Arak.
"Seorang tetamu yang datang dengan maksud baik, tentu akan
datang dengan sikap yang baik. Caramu itu kasar sekali, juga tak
mau memberitahukan persoalannya. Apakah bisa di anggap datang
dengan maksud baik?" berkata Cakra Murti dengan suara datar. Ta-
pi mengandung hawa amarah yang terpendam didada. karena sikap
si Dewa Arak telah menyinggung perasaan yang tak menghargai di-
rinya.
Mendelik mata si Dewa Arak, Hidungnya mendengus.
"Heh! apakah pangkatmu, sobat? Urusanku cuma dengan si
Wewe Gombel Setan Genit.
Suruh saja dia keluar! tak usah kau banyak lagak dengan sega-
la macam pertanyaan!" balas membentak si brewok.
"Hm, baik! baik! aku tak ikut campur urusan kalian. Tapi
orang yang kau cari itu justru aku sedang menantikan kedatangan-
nya. Harap kau tunggu saja disini sampai dia datang!" menyahut la-
ki-laki ini, dengan menekan perasaannya. Sebenarnya hatinya panas
dibentak sedemikian rupa oleh si brewok. Tapi dia berusaha mena-
han sabar, karena berhadapan dengan si brewok yang dia tak tahu
urusan cuma menambah musuh saja.
Selesai berkata Cakra Murti beranjak masuk kedalam gedung-
nya. Akan tetapi diluar dugaan sibrewok telah membentak.
"Tunggu! apakah omonganmu bisa dipercaya?"
Hilanglah kesabaran laki-laki ini. Tapi disaat dia mau mela-
brak sibrewok, terdengar suara tertawa cekikikan, disusul oleh ber-
kelebatnya sesosok tubuh yang jejakkan kaki dengan ringan dide-
pan gedung.
"Bagus! ternyata manusianya telah muncul!" teriak si brewok
girang dan langsung menggembor.
"Wewe Gombel Setan Genit! kau harus bayar kematian mu-
ridku dengan nyawamu!"
Wajah si Dewa Arak sekejap telah berubah bringas melihat
kemunculan wanita ini. Dan tanpa menunda kesempatan lagi dia te-
lah ayunkan kepalanya yang disertai tenaga dalam. Itulah jurus pu-
kulan maut yang dilakukan dengan mendadak.
Akan tetapi pada saat itu sebuah bayangan berkelebat mema-
paki serangan di Dewa Arak, disertai bentakan parau.
"Tahan seranganmu, monyet tua brangasan!" PLAK! Benturan
dua lengan terjadi. Dewa Arak menjerit kaget karena lengannya se-
rasa menghantam besi. Disaat mana tahu-tahu dadanya kena dihan-
tam telak oleh pukulan keras. BUK..! Terlemparlah tubuh si Dewa
Arak, dan jatuh bergulingan. Ketika dia bangkit dan memandang
dengan mata yang berkunang-kunang tahulah dia siapa yang me-
nangkis serangannya.
Ternyata si Dedemit Mata Picak, yang dengan bertolak ping-
gang menatap tajam dengan sebelah matanya. Benturan kedua pu-
kulan bertenaga dalam barusan tak mengakibatkan reaksi apa-apa
terhadapnya. Akan tetapi keadaan sibrewok cukup fatal. Dia mera-
sakan dadanya sesak dan pandangan matanya berkunang-kunang.
Pukulan telak pada dadanya itu kalau terkena pada orang yang ilmu
kedigjayaannya rendah tentu akan meremukkkan isi dadanya.
Untunglah tubuh si Dewa arak telah berisi dengan ilmu kebal
Hingga nyawanya masih bisa diselamatkan.
Namun cukup membuat si brewok terperanjat mengalami se-
rangan keras secara mendadak ini dan membuat rasa nyeri pada da-
danya.
"Keparat! siapa kau...? membentak si Dewa Arak dengan gu-
sar. Dia telah melompat bang-kit lagi. Sepasang matanya tertuju pa-
da kakek rambut putih bertampang seram itu.
"hehe... hahah... hahah... rupanya kau si Dewa Arak? Masih
untung kau tidak mampus! Mengapa datang-datang kau menyerang
orang? Tahukah kau kalau sampai kau mencelakai adik sepergurua-
nku ini, mana mungkin nyawamu bisa selamat?" tertawa mengakak
Dedemit Mata Picak.
"Apakah kau si Dedemit Mata Picak, Wicaksa?" tersebut
Dewa Arak ketika baru menyadari siapa adanya orang dihadapan-
nya.
"Hihihik... tidak salah dugaanmu itu, Dewa Arak! Bila kau be-
rurusan denganku sama saja berurusan dengan dia Sebenarnya aku
tak mau urusanku dicampuri siapapun, tapi salahmu sendiri, datang-
datang kau mau membalaskan kematian muridmu tanpa kau mau
tahu apa latar belakangnya!" Wewe Gombel Setan Genit mewakil-
kan menjawab pertanyaan si Dewa Arak. Akan tetapi si Dedemit
Mata Picak sendiri justru mendegus.
"Huh, siapa bilang urusanmu adalah urusanku? Saat ini aku
memang tengah memerlukan keterangan mengenai urusaku. Jangan
harap kau bisa selamat kalau kau menipu!" tukas laki-laki bertam-
pang seram ini dengan pelototkan sebelah matanya pada Wewe
Gombel Setan Genit. Melihat demikian cepat-cepat Cakra Murti
Menengahi.
"Sudah! sudahlan! sebaiknya kau Dewa Arak segera kembali
pulang. Urusanmu bisa di selesaikan lain hari. Karena kau berada
ditempatku, kau harus turut peraturanku. Kalau tidak terpaksa aku-
pun ikut campur dengan urusan sahabatku ini!
Dewa arak memikir sejenak. Jelas dia tak bisa menerima begi
tu saja saran Cakra Murti. Namun setelah menimbang-nimbang di-
apun menyadari tak guna bersitegang pada saat itu.
Karena bisa membahayakan dirinya sendiri. Segera diapun
berkata.
"Baiklah! aku undurkan urusanku dengan mu, Wewe Gombel
Setan Genit! Tapi kelak aku pasti menuntut penjelasan mengenai
kematian muridku di tanganmu! Bila benar-benar kau berada dipi-
hak salah, aku tak segan-segan turunkan tangan untuk mencopot
nyawamu!"
Selesai berkata dan tanpa menunggu jawaban si Dewa Arak
berkelebat dari tempat itu, dan sekejap sudah tak nampak lagi
bayangan tubuhnya.
***
ENAM
"Kaukah yang bernama Cakra Murti?" bertanya Dedemit Mata
Picak. Sebelah matanya menatap tajam pada laki-laki gagah diha-
dapannya.
"Benar, sobat, Sungguh tak disangka kalau aku bisa berjumpa
dengan anda penghuni kuil Tengkorak Darah.
Ketiganya duduk diruang depan gedung. Pertanyaan itu dilon-
tarkan si Dedemit Mata Picak setelah Wewe Gombel Setan Genit
berbisik pada laki-laki bernama Cakra Murti.
"Apakah kedatangan anda ingin menanyakan perihal si Pen-
dekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil?" bertanya Cakra Murti.
"Benar! untuk itulah aku datang kemari, dan atas petunjuk sa-
habatmu ini!" sahutnya seraya berpaling menatap Wewe Gombel
Setan Genit.
"Ah, bukankah anda berdua satu perguruan? Mengapa tak
memakai sebutan kakang atau adik?" tukas Cakra Murti.
"Ceritanya begini...! biarlah aku yang menjelaskan, Wicaksa!"
Wewe Gombel Setan Genit cepat-cepat menjawab, seraya melirik
pada Dedemit Mata Picak yang cuma mendengus.
"Wicaksa adalah bekas pesuruh guruku, sedangkan aku adalah
murid beliau pada dua belas tahun yang silam. Karena Wicaksa juga
dididik oleh guruku mengenai ilmu kedigjayaan, maka mau tak mau
kami bisa dikatakan masih satu perguruan. Tujuh tahun yang lalu
guru kami wafat akibat keracunan tanpa diketahui siapa yang telah
membunuhnya. Dan kami berpisah menempuh jalan masing-
masing. Baru dua tahun belakangan ini kami bertemu lagi. Seperti
yang aku ceritakan padamu, Wicaksa yang bergelar Dedemit Mata
Picak ini menghuni kuil Tengkorak Darah...! Wewe Gombel Setan
Genit tuturkan secara singkat mengenai si Dedemit Mata Picak.
Cakra Murti manggut-manggut mendengar penjelasan Wewe
Gombel Setan Genit.
"Hm, baiklah! Untuk mempersingkat waktu, bolehkah kulihat
kitab Ki SABDA TAMA yang berada ditanganmu, sebelum aku
memberitahukan dimana adanya si Roro Centil musuh besarmu
itu?" berkata Cakra Murti.
"Apakah kata-katamu bisa dipercaya?" untuk kedua kalinya
Wicaksa berkata. Sorot matanya tajam menatap pada Cakra Murti.
Cakra Murti tersenyum. Kali ini dia tak menampakkan kegu-
saran.
"Percayalah! aku pasti memberitahu mengenai orang yang kau
cari itu.
Karena memang cuma akulah yang mengetahuinya. Aku ingin
melihat apakah kitab Ki Sabda Tama itu benar-benar kitab yang se-
benarnya?"
"Apakah kau mengira aku membawa kitab Ki Sabda Tama
palsu?"
"Ya,ya...! aku percaya! Tapi alangkah baiknya kalau aku me-
lihatnya!" tukas Cakra Murti dengan berkata sungguh-sungguh.
"Baik! baik!" seraya berkata Wicaksa rogoh saku bajunya, dan
lemparkan kitab yang terbungkus kain kumal itu kepada Cakra
Murti. Dengan cepat Cakra Murti menyambuti.
Laki-laki ini membuka lipatan kain kumal itu, lalu mengelua-
rkan sebuah kitab dari dalamnya.
Agak lama dia membolak-balik kitab itu memperhatikan
isinya. Tak lama kemudian dia kembali kekursinya, lalu membung-
kus lagi kitab itu.
"Benar, kitab ini milik Ki Sabda Tama! Hm, kalau tak dari
saudara seperguruanmu ini yang mengatakan, mana aku tahu kalau
kitab yang kucari-cari ini berada ditanganmu...! berkata Cakra Mur-
ti. "Kitab ini bukan berisi mengenai ilmu-ilmu kedigayaan, melain-
kan berisikan tulisan mengenai Tata Kerajaan.
Aku terlambat menjumpai dia sebulan yang lalu. Karena dia
telah tak berada di tempat kediamannya lagi Padepokan Ki Sabda
Tama telah rusak binasa.
Rupanya kaulah yang memporak-porandakan untuk merebut
kitab ini dari tangannya!"
"Benar! Akan tetapi bukan niatku merampas kitab itu. Bah kan
aku tak tahu menahu dengan kitab itu. Secara kebetulan aku melihat
dua orang bertarung. Secara iseng aku ikut campur urusan mereka.
Orang yang menempur Ki Sabda Tama, yang baru kuketahui
namanya belakangan itu memakai topeng hijau. Ternyata dia berju-
lukan si BUTO KALA IJO.
Ki Sabda Tama berilmu tinggi, hingga nampaknya buto Kala
Ijo terdesak.
Aku turun tangan dan pura-pura membantu. Sebelumnya me-
mang aku telah mengetahui lewat pembicaraan kalau si Buto Kala
Ijo itu bertujuan mau merebut kitab ditangan Ki Sabda Tama.
Ki Sabda Tama terluka terkena pukulanku. Dan aku berhasil
merampas kitab dari balik pakaiannya. Tapi benar-benar sial dang-
kal si Buto Kala Ijo. Dia membokongku dan merampas kitab dari
tanganku, lalu melarikan diri.
Karena kesalnya aku memporak-porandakan pondok Ki Sabda
Tama!"
"Lalu bagaimana kau bisa dapatkan kitab ini lagi?" tanya ca-
kra Murti.
"Aku memang berjodoh memiliki kitab itu, karena seusai aku
mengobrak-abrik pondok Ki Sabda Tama, aku mendengar suara
orang menjerit parau. Ketika kuhampiri, ternyata si Buto Kala Ijo
dalam keadaan terkapar berlumuran darah, Dilengannya tercekal ki-
tab yang dirampasnya itu.
Masih sempat aku melihat sesosok tubuh berkelebat ketika
aku membentaknya. Agaknya dia si pembokong Buto Kala Ijo un-
tuk merebut kitab. Tapi keburu aku datang, hingga dia tak sempat
memiliki kitab itu...!
"Kau tak melihat jelas orang itu?" tanya lagi Cakra Murti.
"Tidak! aku cuma melihat sekilas punggungnya! Agaknya dia
telah merasai kehebatan pukulanku, dan begitu amat ketakutan me-
lihat aku muncul, hingga tanpa memikirkan kitab dia lari sela-
matkan nyawa!"
"Hahaha... haha... hebat! nasib peruntungan mu memang ba-
gus! Juga peruntunganku, karena kitab yang kucari ini bisa jatuh ke-
tanganku, Juga kau Dedemit Mata Picak bisa mendapat kabar ten-
tang dimana adanya Roro centil!" berkata demikian Cakra Murti
tersenyum. Sementara hatinya berkata: Haha... kau tak tahu kalau
orang yang cuma terlihat punggungnya itu adalah aku. Penuturan
Wicaksa ditutup oleh suara tertawa Cakra Murti dengan sedikit
memberi bumbu pembicaraan untuk menggembirakan hati Wicaksa.
Cakra Murti memang agak jerih karena tokoh hitam ini punya ilmu
pukulan tangan beracun. Tapi Wicaksa sudah membentak.
"Sudahlah! Kini segera katakan dimana adanya si Roro Centil
itu! Segera saja kau katakan! Awas, kalau kau mendustaiku, jangan
harap kau masih bisa tertawa lagi!" "Hihihik... hihik... katakanlah,
kakang Cakra Murti! Bukankah imbalannya sudah kita dapatkan?"
berkata Wewe Gombel Setan Genit yang sejak tadi tak ikut bicara.
"Hm, baik! baik...! tapi sebelumnya bolehkah aku mengetahui
dendam permusuhan apakah kau dengan tokoh terkenal itu?"
"Heh! itu urusanku!" berkata Wicaksa dengan mendelikkan
matanya.
Cepat-cepat Cakra Murti berkata. "Yah, sudahlah, kalau kau
tak mau menceritakan mengapa harus aku paksa? Kau telah berbaik
hati memberikan imbalan untuk maksudmu itu pada kami. Akupun
tak ingin mengecewakan mu, sobat! Apa lagi kau adalah masih sau-
dara seperguruan sahabat baikku ini".
"Perjalanan ke tempat si Pendekar Wanita itu memakan waktu
dua hari. Itupun dengan menggunakan ilmu lari cepat tanpa berhen-
ti. Saat ini aku amat penat. Kau beristirahatlah bermalam disini,
sambil kumpulkan tenaga. Besok kita lakukan perjalanan..." ujar
Cakra Murti.
Padahal hatinya membatin. "Heh! sungguh mati aku tak tahu
dimana adanya si Pendekar Wanita itu berada!"
Tak ada pilihan bagi Wicaksa selain menuruti apa yang dis-
arankan Cakra Murti. Bukankah dia lebih beruntung, karena Cakra
Murti tidak cuma menunjukkan dimana adanya orang yang dica-
rinya itu, Tapi bahkan mau mengantarkannya sampai ke tempat tu-
juan.
Senja semakin temaram. Matahari telah sembunyi dibalik gu-
nung. Cuaca mulai dilanda kepekatan ketika malam menjelang da-
tang.
Wicaksa mendengkur lelap di dalam kamar yang disediakan
untuk nya. Manusia ini memang tak banyak memikirkan segala apa
mengenai tindak-tanduk orang.
Padahal kalau mau, cakra Murti bisa membinasakannya tanpa
berpayah-payah mengantarkannya kesatu tempat dimana berdirinya
Roro Centil.
Cakra Murti memasuki kamarnya untuk beristirahat Akan te-
tapi segera merandek, karena bau wewangian menyambar hidung-
nya. Tahulah dia kalau si Wewe Gombel Setan Genit berada dida-
lam.
Benar saja, ketika dia melangkah masuk, di lihatnya wanita
bertubuh montok yang menggairahkan itu dalam keadaan terlentang
ditempat tidurnya tanpa memakai busana.
Berselimutkan sehelai kain yang menyingkap sebagian tubuh-
nya.
Bibir laki-laki ini mendesah. Sejak beberapa lama berhubun-
gan dengan wanita ini, dia amat banyak menimba keuntungan. Di-
am-diam dia berpikir, apakah si Wewe Gombel Setan Genit ini be-
nar-benar jatuh cinta padanya?
***
TUJUH
Siapakah sebenarnya Cakra Murti itu? Dia ternyata seorang
abdi Kerajaan. Dialah Adipati WUKIR KAMANDAKA, yang
menguasai wilayah barat Kota Raja dari kerajaan GALUH KEN-
CANA. Kerajaan Galuh Kencana ini tak diperintah oleh seorang
Raja. Tapi yang bertakhta adalah seorang Ratu. Adapun kitab yang
berada ditangan Ki Sabda Tama ada hubungannya dengan kerajaan.
Hingga dia harus bersusah payah mencari kitab tersebut atas perin-
tah junjungannya sang Ratu Galuh Kencana.
Adipati Wukir Kamandaka alias Cakra Murti yang mendapat
tugas rahasia dari sang Ratu dalam pengembaraannya mencari jejak
Ki Sabda Tama yang mencuri kitab pusaka kerajaan, berhasil men-
dekati dan bersahabat dengan Wewe Gombel Setan Genit. Seorang
wanita cabul tokoh golongan hitam.
Laki-laki yang boleh dikatakan tak berkepribadian baik itu tak
menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Bah-
kan hubungan mereka sudah dapat dikatakan bagai suami istri. Tapi
dengan demikian, Cakra Murti banyak menimba pengalaman dan
berkenalan dengan tokoh-tokoh hitam di Rimba Hijau saat itu. Bah-
kan dia berhasil memperalat Wewe Gombel Setan Genit untuk
mendapatkan kitab Ki Sabda Tama, yang secara kebetulan benda itu
berada ditangan Wicaksa, saudara seperguruan wanita itu.
"Kakang... ah, dekaplah aku kakang... malam ini dingin seka-
li..." suara Wewe Gombel Setan Genit terdengar lirih seperti tengah
mengigau. Pelahan Cakra Murti menghampiri. Bibirnya tersenyum
memandang wajah wanita itu yang matanya masih terpejam. Len-
gannya pun bergerak menjulur kebawah selimut. Tubuh wanita itu
menggeliat, dan menggelinjang, ketika lengan nakal Cakra Murti
membelai.
"Aaah... kakang... dekaplah kakang..." kembali dia mengerang.
Sepasang matanya setengah terbuka menatap Cakra Murti dengan
redup. Bibirnya setengah terbuka. Basah.... dan, ah... membuat ge-
jolak birahi Cakra Murti seketika mengembara kesekujur tubuh.
Dan bagaikan lompatan seorang Senapati yang akan bertempur di
medan perang, Cakra Murti menerjang dengan garang. Didekapnya
tubuh Cakra Murti seperti mau diremukkan tulang-tulangnya. Tu-
buhnya menggeliat-geliat seperti cacing. Dan, tak lama kemudian
Cakra Murti pun terkulai dengan tubuh serasa dilolosi tulang- belu-
langnya...
***
Malam semakin melarut. Gedung tua itu seperti mati, tak ber-
penghuni. Saat itu sebuah bayangan berendap-endap keluar dari da-
lam gedung itu. Gerakannya amat hati-hati bagai seekor kucing,
tanpa menimbulkan suara. Tak berapa lama dia telah menyelinap
kesisi sebelah timur gedung. Dan selang sesaat sosok tubuh itupun
berkelebat lenyap.
Dedemit Mata Picak alias Wicaksa terjaga dari tidurnya ketika
Matahari telah menggelincir tinggi. Tersentak kaget dia, karena me-
rasa telah berlaku kurang waspada, disamping merasa aneh. Men-
gapa dia bisa tidur lelap seperti orang mati?
"Heh? jangan-jangan arak suguhan Cakra Murti yang kumi-
num itu mengandung obat bius...!?" gumamnya. Tak ayal dia sudah
bangkit berdiri. Dan bergegas memeriksa ruangan gedung itu. Ber-
teriak-teriak dia memanggil si tuan-rumah dan Wewe Gombel Setan
Genit. Tapi tak ada sahutan. Kecurigaannya semakin besar bahwa
dia tertipu. Segera dia teruskan memeriksa seluruh ruangan gedung
itu. Sebuah pintu kamar yang terkunci didobrak. Berderak suara
daun pintu yang hancur berkepingan.
Mendelik mata Wicaksa melihat Wewe Gombel Setan Genit
dalam keadaan terlentang dipembaringan dengan telanjang. Sekali
lompat dia telah mendekati, seraya membentak.
"Perempuan edan! katakan, kemana gendakmu si Cakra Mur-
ti?" bentakan itu dibarengi dengan lengan terjulur menjabak rambut
wanita itu. Tapi alangkah terkejutnya dia, karena melihat darah ber-
ceceran diatas pembaringan. Sekejap dia telah tahan uluran lengan-
nya. Ketika diperhatikan ternyata Wewe Gombel
Setan Genit telah tak bernyawa lagi. Keadaannya amat mengenaskan, karena tulang lehernya telah remuk.
Menggeram Wicaksa dengan kemarahan yang memenuhi da-
danya.
"Ini pasti perbuatan si Cakra Murti!" teriaknya gusar.
Kakek ini memaki kalang kabut, seraya berlompatan kesekitar
gedung mencari dimana adanya manusia yang telah menipunya.
"Cakra Murti! awas kau! kalau kutemukan, akan kupatahkan
batang lehermu! Dan kau Wewe Gombel Setan Genit! Itulah ru-
panya upah buatmu! Kau telah diperalat dan tergila-gila dengan
gendakmu itu yang justru mencelakai dirimu sendiri...!" Setelah
berteriak-teriak dan menggerutu, Wicaksa alias si Dedemit Mata Pi-
cak berkelebat meninggalkan tempat itu.
Menjelang tengah hari, Wicaksa telah berada lagi dipuncak
bukit Lembayung. Pintu Tengkorak Darah telah siap menyambut
kedatangan majikannya. Akan tetapi ketika Wicaksa baru saja je-
jakkan kakinya didepan kuil, tiba-tiba terdengar suara tertawa men-
gikik seorang wanita. Tentu saja membuat Wicaksa merandek den-
gan kaget. Jelas suara itu adalah suara si Wewe Gombel Setan Ge-
nit. Bagaimana mungkin ha! itu bisa terjadi? Bukankah si Wewe
Gombel Setan Genit telah mati? pikirnya dalam hati.
"Hihihihik.... hihik... Wicaksa! kau keterlaluan! Mengapa tak
mengubur mayatku? Kau malah kembali pulang kekuil Tengkorak
Darah! Apakah kau mau sebar kematian lagi dan tambahkan mayat-
mayat manusia disekeliling kuilmu? Kalau tak kau balaskan den-
dammu sekarang juga, aku akan mencekikmu siang-siang! Hihi...
hihik... hihihik..." Bagai disambar petir Wicaksa mendengar suara
itu. Bulu tengkuknya seketika meremang disiang hari bolong. Ma-
nusia yang tak takut dengan segala macam hantu itu, kini benar-
benar tak dapat mungkir lagi kalau dia sudah mendengar suara han-
tu. Hantu siapa lagi kalau bukan hantu si Wewe Gombel Setan Ge-
nit? Tak terasa dia melangkah mundur dua tindak.
Akan tetapi tersentak dia karena mendengar suara tertawa
mengikik yang seperti meniup-niup telinganya.
"Aah...!?" Dia melompat ke belakang dengan keringat dingin
mengucur ditengkuknya.
"Mungkinkah ada hantu muncul di siang hari?" benaknya
memikir. Ternyata kemanapun dia melompat, suara tertawa mengi-
kik itu terus mengikuti. Akhirnya...
"Bha... baik! baik...! aku akan mengubur jenasahmu, Wewe
Gombel! Tapi dimana aku bisa mencari si Cakra Murti? Aku tak ta-
hu kemana dia pergi!" tergagap dan terengah-engah Wicaksa berka-
ta. Tampaknya dia amat ketakutan sekali. Suara tanpa rupa terus
memburunya membuat tubuhnya jadi gemetar panas dingin. Seu-
mur hidupnya barulah dia mendengar suara setan.
***
DELAPAN
Kita tinggalkan dulu Wicaksa si penghuni Kuil Tengkorak Da-
rah yang terpaksa menuruti perintah arwah Wewe Gombel Setan
Genit yang terus memburu si kakek bertampang seram itu. Mari kita
ikuti kemana langkah MAYANA si "pemuda" yang sebenarnya
seorang wanita itu melakukan perjalanan.
Ternyata tujuannya adalah kesatu wilayah sebelah tenggara.
Dimana Mayana telah lakukan perjalanan hampir dua pekan. Seben-
tar-sebentar dia berhenti beristirahat untuk melepas lelah. Dua belas
desa telah dia lewati. Pada hari kelima belas dia telah tiba disatu
tempat. Dara berpakaian laki-laki ini hentikan langkahnya untuk
menatap kesatu puncak bukit. "Kukira itulah bukit Alas Wuku,
tempat berdiamnya KI SABDA TAMA si pembunuh kedua orang
tuaku!" berdesis suara Mayana. Menatap tajam puncak bukit itu
dengan sorot mata berapi-api.
Setetes air mata kembali turun kepipi dara ini ketika mem-
bayangkan nasib dirinya. Untuk mengetahui siapa pembunuh ayah
bundanya dia harus korbankan kehormatannya pada GAJAH LOR,
gurunya sendiri yang telah merawatnya sejak dia berusia 10 tahun.
Benar-benar satu pukulan batin yang luar biasa. Betapa 1001 ma-
cam perasaan mendekam didada gadis ini. Antara benci, dendam,
sakit hati, penyesalan dan kekecewaan menjadi satu.
Namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Dia telah tak berhasrat
memimpikan hidup berpasangan dan berumah tangga. Karena kesu-
ciannya telah hancur. Baginya asalkan dapat membalas hutang pati
kepada pembunuh orang tuanya, dia telah puas! Mungkin juga dia
yang akan terkapar mati ditangan Ki Sabda Tama. Karena menurut
gurunya manusia itu berilmu amat tinggi.
Seperti diceritakan dibagian depan, Mayana menetap tiga hari
dipuncak bukit. Rajabasah. Selama itu dia terpaksa melayani nafsu
sang guru demi imbalan atas jerih payah sang guru mendidiknya.
Dan setelah apa yang diinginkan gurunya dipenuhi, dia men-
dapat tahu siapa orang yang telah membunuh kedua orang tuanya
itu. Mayana tak menjumpai adanya Gajah Lor dipondok puncak bu-
kit Rajabasah. Tak diketahuinya pergi kemana sang guru itu. Tapi
diatas meja kamarnya Mayana mendapatkan sepucuk surat yang
isinya mengatakan siapa sebenarnya pembunuh kedua orang tuanya.
Ternyata adalah Ki Sabda Tama adanya. Disamping terheran, na-
mun dia juga bergirang hati karena telah mengetahui siapa musuh
besarnya.
Sang nasib ternyata telah membawa dia hingga tiba ke wilayah
ini, walaupun dia tak mengetahui dimana adanya Ki Sabda Tama
berada. Mayana yang bernasib baik berjumpa dengan seorang kakek
tua pertapa ketika dia melewati sebuah hutan. Ketika dia mencium
bau asap setanggi. Asap harum itu dicari dari mana asalnya. Ter-
nyata berasal dari dalam sebuah goa disisi bukit.
Kakek pertama penghuni goa itu mempersilahkan dia masuk.
Mayana menceritakan maksudnya. Ternyata kakek itu mengetahui
dimana adanya Ki Sabda Tama. Dia menyuruh dia menuju ke arah
tenggara untuk mencari sebuah bukit bernama bukit ALAS WUKU,
dengan memberikan ciri-ciri bukit itu. Sayang dia tak sempat meli-
hat wajah kakek pertapa itu yang bicara sambil membelakangi.
Bahkan kakek itu tak memberitahukan namanya.
Mayana meminta diri. Walau hatinya agak ragu, terpaksa dia
harus pergi mencari bukit Alas Wuku, karena tak tahu lagi kemana
dia harus mencari musuh besarnya itu. Demikianlah, hingga Maya-
na tiba diwilayah ini.
Mayana mulai bergerak menyelusuri sekitar bukit, sebelum
naik kepuncaknya. Didapati sebuah goa di bawah bukit. Tersentak
hati dara ini.
Tak ayal dara ini segera hunus pedangnya.
"Hm, apakah manusia jahanam itu bersembunyi disini?" de-
sisnya. Akan tetapi bukan main terkejutnya dia ketika didapati si
kakek pertapa yang dijumpainya itu telah berada didalam goa itu.
Kakek itu duduk disudut ruangan goa dengan membelakan-
ginya, seperti dijumpai pada dua pekan yang lalu didalam hutan pa-
da sebuah goa.
"Kakek pertapa? Apakah maksudmu sebenarnya? Katakanlah
siapa kau ini sebenarnya? Mengapa kau berada disini mendahului-
ku?" berkata Mayana.
"Hehehe... gadis muda yang gagah berani.
Akulah sebenarnya Ki SABDA TAMA orang yang kau cari
itu!"
Kalau ada petir mungkin tak membuat seterkejut Mayana pada
saat itu. Tersentak dia dengan melompat mundur. Wajahnya beru-
bah tegang. Napasnya menderu, Dan lengannya bergetar memegang
pedang.
"Betulkah kau Ki Sabda Tama?" bentaknya ingin meyakinkan.
"Hehehe... mengapa aku harus berdusta? Bukankah kau mau
membunuhku? Nah! bunuhlah aku si pembunuh kedua orang tuamu
ini!" seraya berkata kakek pertapa misterius itu balikkan tubuhnya.
Terperanjat dara ini ketika melihat siapa adanya kakek pertapa itu.
Yang tak lain dari GAJAH LOR adanya.
"Guru...? kau... kau..." tergegap Mayana menatap dengan mata
membelalak.
"Benar! aku gurumu sendiri!"
"Tak mungkin! apakah kau berkata sebenarnya, guru? ataukah
kau sengaja mau mengecoh aku?" tergetar suara dara ini dengan
melangkah mundur beberapa tindak.
"Apa yang aku katakan tidak dusta! Pada enam belas tahun
yang lalu aku membunuh kedua orang tuamu karena dendam. Ibu-
mu adalah istriku. Dan ayahmu adalah kakak kandungku sendiri!
Dia bernama WESI GENI.
Wesi Geni telah melarikan diri dengan merebut istriku. Bertahun-tahun aku mencari. Dan di saat aku hampir putus asa tak men-
jumpai dimana adanya Wesi Geni yang kucari hampir 10 tahun tak
pernah kujumpai, aku berhasil menemukan mereka. Saat itu hasil
hubungan Wesi Geni dengan istriku telah membuahkan anak, yaitu
kau sendiri. Aku tak dapat menahan rasa cemburu dan dendam yang
telah terpendam selama sepuluh tahun itu. Terjadilah kisah yang
membawa malapetaka dari keluargamu. Wesi Geni kubunuh mati.
Demikian juga ibumu!"
"Oh...!?" tersentak kaget Mayana. Jantungnya berguncang ke-
ras. Tubuhnya menggeletar menahan 1001 macam perasaan yang
berkecamuk didada. Mayana menatap tajam wajah Gajah Lor. Dili-
hatnya setitik air bening mengalir turun dari kelopak mata laki-laki
tua itu. Laki-laki yang telah menodainya. Laki-laki yang telah men-
jadi gurunya sendiri.
Terdengar suara laki-laki tua itu menghela napas. Lalu lan-
jutkan kata-katanya. "Apa yang kukatakan adalah cerita yang sebe-
narnya, Mayana! Selama ini aku merasa berdosa karena menyem-
bunyikan rahasia ini terhadapmu. Sebelum kau membunuhku baik-
nya ku ceritakan riwayat belasan tahun yang silam mengenai diri-
ku!" Laki-laki ini tercenung sejenak seperti tengah mengumpulkan
ingatannya. Tak lama dia mulai bicara lagi.
"Dulu, pada masa aku masih menjadi seorang Adipati. Aku
hidup berkecukupan dan boleh dikatakan mewah. Dengan kekua-
saan yang cukup besar.
Aku jatuh cinta pada Indreswari putri seorang Tumenggung.
Tumenggung itu adalah masih paman angkatku sendiri. Tak dinya-
na kakakku Wesi Geni diam-diam juga mencintai gadis itu. Dan
bahkan mereka diam-diam telah saling jatuh cinta. Hal itu kuketa-
hui setelah kami menikah. Peduli dengan semua itu. Cintaku pada
Indreswari amat besar. Dan kami telah menikah. Terpaksa aku
mengesampingkan kisah cinta mereka. Toh, gadis itu sudah jadi is-
triku! Dua tahun kami menikah, ternyata tak dikaruniai seorang
anakpun. Hingga suatu ketika aku ditugaskan Ratu untuk membuat
kitab susunan tata kerajaan. Aku yang memerlukan tempat sunyi
segera meninggalkan gedung Kedipatian, setelah meminta izin pada
Ratu.
Aku berjanji pada istriku akan pulang sebulan kemudian. Tapi
ketika aku kembali, ternyata Indreswari telah minggat bersama We-
si Geni. Betapa gusarnya aku, sukar dapat dikatakan lagi. Tanpa
permisi dan masih membawa kitab tata kerajaan, aku pergi mencari
dimana adanya mereka. Aku tak pernah kembali ke Kota Raja.
Hingga kemudian aku berhasil menemui mereka, dan membunuh-
nya. Lalu aku bersembunyi dipuncak bukit Raja basah dengan
membawa kau. Dan mendidikmu dengan ilmu-ilmu kedigjayaan!
Nah, kukira cukuplah sudah penjelasanmu, Mayana! Apakah kau
masih ragu kalau aku ini si pembunuh ayah ibumu?"
***
SEMBILAN
Mayana tercenung lama. Lama... tak tahu dia apa yang harus
diperbuat. Hubungan antara guru dan murid selama ini amat akrab.
Bahkan telah berlanjut dengan hubungan badan. Ada rasa kasihan
pada Gajah Lor. Bila menilai akan cerita sang guru, dia tak dapat
disalahkan. Siapa yang tak sakit hati istrinya dibawa lari orang. Wa-
lau yang membawa lari adalah kakak kandungnya sendiri?
Bila mengingat hubungan keluarga, Gajah Lor adalah masih
pamannya sendiri. Tegakah dia membunuh orang tua itu? Yang te-
lah mendidiknya selama ini? Kemelut dihati Mayana seperti sukar
dipecahkan.
Tapi bila mengingat akan kesuciannya yang telah dirusak oleh
sang paman, betapa sakitnya hatinya. Gadis ini gigit bibirnya mena-
han perasaan yang menggebu dalam dada. Sementara Gajah Lor ti-
ba-tiba terdengar batuk-batuk, lalu berkata parau.
"Mayana! tunggu apa lagikah kau? Ayo! tusukkan pedangmu
kejantungku! Bukankah selama sepuluh tahun kau cuma menanti-
kan saat ini?" Gajah Lor gerakkan tangannya merobek jubahnya
hingga dadanya terbuka.
"Ayo, Mayana! mengapa kau ragu?" berkata lagi Gajah Lor.
"Aku rela mati ditanganmu, walau... walaupun aku sudah terlanjur
mencintaimu!" Kata-kata laki-laki tua ini membuat dara ini paling-
kan wajahnya, yang tiba-tiba terasa panas.
"Mencintaiku?" bentaknya menggeledek. Mata dara ini mem-
binar dan berkaca-kaca. "Heh! kau tak lebih dari manusia binatang!
Kalau kau mau menolong orang mengapa mengharapkan imbalan?
Mengapa kau baru berterus terang setelah kau menodaiku?" terisak
Mayana dengan air mata mengalir di pipinya.
Gajah Lor tertawa terkekeh, dan kembali dia batuk-batuk.
"Semua itu sebenarnya atas dasar sakit hati, muridku! Akan te-
tapi aku tak dapat menolak kenyataan, kalau aku ternyata mencin-
taimu. Aku puas telah dapatkan kehangatan tubuhmu. Biarlah aku
mati dengan menanggung dosa. Ya, aku telah banyak berbuat dosa.
Aku membunuh kakak kandungku sendiri yang tak bersalah!" ber-
kata Gajah Lor. Kata-kata ini membuat Mayana tersentak untuk
mendengar apa yang akan diutarakan Gajah Lor.
"Ya! ayahmu tak bersalah! Yang salah adalah aku!" Gajah lor
yang tadinya akan menceritakan rahasia lebih lanjut kembali terba-
tuk-batuk. Tiba-tiba dia muntahkan darah kental berkali-kali.
"Ah, guru! kau... kau terluka dalam?" tersentak kaget Mayana.
"Heheheh... benar, muridku! Tapi tak apa. Toh aku akan mati
ditanganmu. Aku mati sebagai penebus atas dosaku!" berkata parau
Gajah Lor alias Ki Sabda Tama.
"Tidak, guru! Aku takkan membunuhmu! kau harus cepat dio-
bati. Akan tetapi Gajah Lor tak menyahut. Dia telah terkulai tak sa-
darkan diri. Gadis ini jadi kebingungan. Di serba salah untuk ber-
tindak. Ingin dia menolong, tapi di lain saat hatinya mendadak men-
jadi membencinya. Dan akan membunuhnya saja. Tapi mengingat
dia perlu tahu rahasia apa yang akan dikatakan sang guru itu, dia
harus menyelamatkan jiwanya. Demikianlah. Mayana segera totok
beberapa bagian jalan darah sang guru. Lalu gunakan tenaga da-
lamnya untuk melancarkan pernapasan Gajah Lor. Saat berikutnya
dia sudah berlari keluar goa. Di carinya beberapa jenis tumbuhan
obat. Kemudian dengan ramuan yang telah dipelajari dia berusaha
mengeluarkan racun yang mengendap ditubuh Gajah Lor.
Nyatalah Gajah Lor telah terkena pukulan beracun. Siapa
adanya orang yang melukai gurunya itu tidaklah Mayana mengeta-
hui. Usaha Mayana untuk menyelamatkan nyawa sang guru ternyata
membawa hasil. Dua hari dalam rawatan Mayana, Gajah Lor me-
nampakkan kepulihan kesehatannya. Hingga suatu hari...
"Mayana, muridku...! Ah, mengapa kau bersusah payah meno-
longku?" berkata Gajah Lor dengan menatap muridnya.
"Tak usah kau berkata begitu, guru?" Katakanlah siapa yang
telah melukaimu?" Mayana tersenyum menatap pada Gajah Lor.
Girang hatinya melihat kesehatan Gajah Lor berangsur membaik.
Laki-laki tua yang masih bertubuh tegap itu menatap murid-
nya dengan trenyuh. Hatinya seperti disayat melihat gadis itu begitu
amat memperhatikan dirinya. Dua sinar mata kembali beradu tatap.
Aneh! Mayana merasakan jantungnya berdetak cepat. Dan satu pe-
rasaan aneh menelusuri sanubarinya. Entah mengapa dia amat
mengharapkan Gajah Lor tetap hidup.
Dan ada rasa tenteram bila dia bersamanya.
Tidak saja seperti dia bersama orang tuanya sendiri, tapi bah-
kan lebih dari itu. Cepat-cepat Mayana menunduk ketika merasa
wajahnya menjadi panas. Dan hatinya tergetar dengan 1001 macam
perasaan.
"Kelak akan kuceritakan bila aku sudah sehat betul, muridku.
Dan terima kasih atas kebaikan hatimu..." berkata lirih Gajah Lor.
Mayana cuma bisa mengangguk, lalu beranjak pergi dengan
hati tak menentu. Sementara Gajah Lor memandangnya seperti ter-
tegun hingga tubuh gadis itu lenyap dibalik pintu goa.
***
Apapun didunia ini bisa saja terjadi. Dan apa yang terjadi su-
dah menjadi jalan hidup manusia. Demikian pula dengan kedua
manusia didalam goa itu. Hubungan dan benih cinta yang terkan-
dung didalam hati dari dua manusia berlainan jenis yang jauh per-
bedaan usianya, kembali berlanjut... Mayana tak kuasa menolak
tatkala laki-laki tua itu meminta untuk melayaninya.
Sang dara kembali tenggelam dalam nikmatnya cinta. Tengge-
lam dalam nikmatnya sesuatu yang pernah dia rasakan.
"Mayana... aku... aku amat mencintaimu..."
"Guru... ah, guru..." mendesah dara ini dalam dekapan tubuh
laki-laki kekar itu. Laki-laki yang telah memberikan sejuta kenik-
matan untuknya hingga dia lupa segala-galanya. Menggelinjang tu-
buh sang dara dalam alunan ombak bahtera disamudra luas yang tak
berujung. Desah dan rintih menjadi satu memenuhi ruangan goa itu.
Sementara diluar goa angin pegunungan bertiup kencang.
Awan hitam berarak dilangit. Hawa dingin menebar kesetiap pelo-
sok. Dan dengan di dahului oleh gelegarnya petir diangkasa, hu-
janpun turun dengan lebatnya. Bumipun seketika basah oleh air hu-
jan....
***
SEPULUH
WICAKSA alias si Dedemit Mata Picak penghuni kali Teng-
korak Darah itu tergesa-gesa menguburkan jenazah Wewe Gombel
Setan Genit, dengan bulu tengkuk meremang.
Selesai menimbun lubang dengan tanah, Wicaksa menengok
kekiri kanan. Seperti mencari-cari ujud dan suara si Wewe Gombel
Setan Genit. Ditunggunya beberapa saat. Tapi tak ada lagi suara ter-
tawa yang menyeramkan dan tiupan yang menghembusi daun telin-
ganya.
"Apakah arwah si Wewe Gombel telah sempurna setelah ku-
kuburkan mayatnya?" gumam Wicaksa.
"Eeeh! apa katamu, setan tua? kau harus laksanakan tugas ke-
duamu mencari si Cakra Murti untuk membalas kematianku! hihi...
hihik... apakah kau mau pungkiri janjimu?" Suara Wewe Gombel
Setan Genit tiba-tiba terdengar mendesing nyaring didaun telinga.
Tak ampun kakek ini melompat kaget. Seketika keringat dingin me-
rembes dikuduknya.
"Ah!?... bbaft... bab... baik! baik! aku akan mengerjakan perin-
tahmu! Tapi... tapi katakan kemana aku harus mencarinya?"
"Goblok! kau cari ke arah Kota Raja!"
"Ha? ke Kota Raja?" tersentak Wicaksa.
"Behar! apakah kau tak tahu kalau dia sebenarnya seorang
Adipati?"
"Ya.. ya... eh, dia seorang Adipati?"
"Betul! dialah Adipati Wukir Kamandaka!"
"Hah!?" jadi... jadi si Cakra Murti itu Adipati Wukir Kaman-
daka?"
"Iya, goblok! Hayo, cepat berangkat mencarinya!" membentak
suara arwah Wewe Gombel Setan Genit. Tahu-tahu Wicaksa menje-
rit kaget karena merasa pantatnya ditendang. Tak ampun dia jatuh
ngusruk ketanah.
"Waaa..!? jangan main kasar kau arwah Wewe Gombel.
Aduuh, pantatku sampai nyeri begini...!" memaki Wicaksa.
"He? kau berani membantah? mau ku tendang atau tidak itu
kemauan ku! Kalau kau tak cepat berangkat. Awas! Sekali kujilat
lehermu, kau akan mati hangus seketika!" Arwah Wewe Gombel
justru lebih galak lagi. Seketika pucatlah wajah Wicaksa. Dengan
gemetar dia berkata.
"Baik! baik! Wewe Gombel Setan Genit! aku turut perintah-
mu!"
"Nah, begitu! segera berangkat ke arah timur!" perintah si ar-
wah Wewe Gombel Setan Genit. Tak ayal lagi setelah melihat arah
matahari yang condong ke arah barat, Wicaksa berkelebat cepat
menuju ke arah timur, dengan tengkuk semakin meremang. Diam-
diam dia mengeluh karena seumur hidupnya barulah dia diperalat
oleh setan!
Kalau saja Wicaksa dapat mempergunakan mata batinnya
dengan baik, tentulah dia dapat melihat siapa orang yang memerin-
tah itu. Karena tak lain dari seorang wanita berpakaian dari kulit
macan tutul. Siapa lagi kalau bukan RORO CENTIL adanya. Gadis
pendekar Pantai Selatan ini sambil berkelebat mengikuti Wicaksa
diam-diam tersenyum, karena berhasil mengakali Wicaksa si peng-
huni Kuil Tengkorak Darah.
"Hihihi... manusia sinting semacammu yang membunuhi
orang seenaknya saja sebelum kutamatkan riwayatnya, ada baiknya
kutipu dia agar ke Kota Raja. Agar diketahui oleh pihak Kerajaan
yang selama ini lengah membiarkan manusia iblis ini berbuat se-
maunya!" menggumam Roro, Tapi diam-diam dalam hati dia mem-
batin.
"Oh, ya? Ada permusuhan apakah dia denganku? Baru kuingat
kalau pembunuhan atas orang-orang desa yang mayatnya disebar-
kan disekitar Kuil Tengkorak Darah adalah kudengar untuk men-
gundang munculnya aku?" Roro baru sadar kalau Wicaksa mencari
dirinya. Hal itu diketahui dari hasil mendengar pembicaraan si
Wewe Gombel Setan Genii dengan Wicaksa, juga pembicaraan
dengan Cakra Murti.
Bagaimana Roro secara tiba-tiba berada di tempat itu, dan
berhasil menakut-nakuti Wicaksa serta mengetahui siapa adanya
Cakra Murti? Marilah kita menengok ke belakang pada beberapa
waktu belakangan ini..
Perbuatan biadab Wicaksa yang sengaja mengundang maut itu
telah terdengar oleh Roro, ketika dia singgah disebuah desa.
Adanya penghuni kuil Tengkorak darah yang tadinya bekas kuil pe-
ninggalan seorang Brahmana. Brahmana itu bernama YOGA
SWARA yang tinggal bersama murid-muridnya dikuil tersebut. Ro-
ro berjumpa dengan salah seorang murid Brahmnana Yoga Swara
yang berhasil menyelamatkan diri dari kematian.
Dia menceritakan kemunculan seorang kakek bertampang se-
ram yang menamakan dirinya si Dedemit Mata Picak mengacau
kuil mereka dibukit Lembayung. Saat itu guru mereka Brahmana
Yoga Swara sedang tak berada dikuil. Si Dedemit Mata Picak itu
bertujuan mau merebut Kuil untuk tempat tinggalnya. Tentu saja
para murid sang Brahmana mempertahankan. Namun mereka cuma
mengantar kematian. Pemuda bernama Poma Jatu berhasil menye-
lamatkan jiwanya dengan melarikan diri memasuki desa.
Akan tetapi Wicaksa setelah beberapa hari bercokol dikuil
puncak Lembayung mulai menyebar maut membunuhi orang-orang
desa. Dan mayatnya dibawa kekuil. Dalam waktu beberapa bulan
saja kuil Brahmana Yoga Swara telah penuh dengan mayat yang
membusuk bertimbun. Menimbulkan bau busuk yang menebar dan
mengembara ke sekitarnya. Beberapa orang kaum pendengar yang
coba mendatangi puncak bukit Lembayung untuk menumpas manu-
sia iblis gila itu ternyata cuma pulang nama saja. Demikianlah,
hingga kuil itu terkenal dengan nama Kuil Tengkorak Darah.
Roro ucapkan terima kasih pada Poma Jatu yang telah bebera-
pa kali pindah ke lain desa itu hingga berjumpa dengan Roro. De-
mikianlah, ketika Roro Centil mendatangi Kuil Tengkorak Darah,
Roro menjumpai Wicaksa yang baru saja kedatangan Wewe Gom-
bel Setan Genit. Roro yang mempergunakan ajian Halimunan, tak
diketahui kedatangannya oleh kedua tokoh golongan sesat itu. De-
mikianlah, hingga Roro menguntit mereka hingga tiba di wilayah
tempat tinggal Cakra Murti yang menempati sebuah gedung tua di-
tepi danau.
Bagaimana Roro dapat mengetahui siapa sebenarnya Cakra
Murti? Itulah memang perjalanan yang tengah ditujunya. Roro me-
mang telah melacak jejak Cakra Murti yang telah diketahuinya ada-
lah seorang Adipati yang bernama Wukir Kamandaka. Dengan tu-
gas mencari Ki Sabda Tama untuk mengambil kitab ditangan bekas
Adipati itu.
Diketahuinya Cakra Murti adalah Wukir Kamandaka adalah
Cakra Murti adalah karena keteledoran Cakra Murti sendiri. Wukir
Kamandaka dalam usaha pencarian jejak Ki Sabda Tama telah ber-
gabung dengan kelompok-kelompok kaum Rimba Hijau golongan
hitam. Bahkan tingkah lakunya mengikuti jejak kaum golongan hi-
tam. Tentu saja dia tak luput dari perbagai kejahatan yang dilakukan
orang-orang golongan sesat itu. Seperti dalam melakukan perampo-
kan, pembegalan, pemerkosaan yang sudah dianggap biasa oleh
Wukir Kamandaka.
Bahkan kaum penjahat itu merasa terlindung dengan adanya
Wukir Kamandaka berada diantara mereka. Roro Centil yang sejak
pelacakan selalu menggunakan aji Halimunan, hingga tubuhnya tak
menampakkan diri dalam pandangan mata biasa, terus melakukan
penguntitan pada Wukir Kamandaka yang telah menyamar dengan
nama CAKRA MURTI, Wukir Kamandaka memang pandai dalam
hal menyulap diri. Dengan menambah kumis dan jenggot palsu pa-
da wajahnya, serta merobah dandanannya akan sukar dikenali lagi
kalau sebenarnya dia adalah Adipati Wukir Kamandaka.
Roro yang telah tahu dimana tempat tinggal sementara Cakra
Murti, telah tahu banyak tentang hubungan Cakra Murti dengan
Wewe Gombel Setan Genit si wanita cabul itu. Demikianlah, hing-
ga ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan Cakra Murti pada
Wewe Gombel Setan Genit yang dianggap sudah tak berguna lagi,
semua itu tak luput dari mata Roro. Hingga kemudian dia mengaka-
li WICAKSA dan menakut-nakutinya dengan menirukan suara
Wewe Gombel Setan Genit. Dan memaksa kakek muka seram itu
untuk mengejar Cakra Murti alias Adipati Wukir Kamandaka ke
Kota Raja.
***
SEBELAS
CAKRA MURTI percepat larinya agar cepat tiba ditempat tu-
juan. Ternyata dia tak langsung ke Kota Raja. Akan tetapi membe-
lok kearah selatan. Melewati sebuah bukit, dia tiba disatu pedesaan.
Sementara Wicaksa terus menuju kearah Kota Raja. Kakek
tampang seram ini setiap saat selalu menggerutu dalam hati, karena
merasa kesal harus diperbudak oleh "arwah" Wewe Gombel Setan
Genit. Akan tetapi dia tak dapat berbuat apa-apa selain memperce-
pat larinya menuruti perintah dari suara yang selalu mendesing dite-
linganya.
Semalaman menempuh perjalanan, Wicaksa telah tiba dibatas
wilayah Kota Raja. Hari sudah menjelang pagi. Roro yang akan me-
lihat situasi digedung Kedipatian, segera menahan langkah Wicak-
sa. "Hm, berhenti dulu, Wicaksa!"
"Huh! kebetulan! aku sudah capek sekali. Berilah aku waktu
beristirahat sampai siang nanti, Wewe Gombel..." keluh Wicaksa
yang segera merandek menahan langkah.
"Hihihi... baik! kau beristirahatlah, sepuas mu. Tapi bila mata-
hari sudah sepenggalah, kau harus segera cari gedung Kedipatian
diwilayah Kota Raja ini!"
"He? kita sudah sampai?" tanya Wicaksa terkejut, tapi juga gi-
rang.
"Ya! Ini sudah perbatasan wilayah Kota Raja!" ujar Roro.
"Hehehe... baik! baik, jangan khawatir! Siang nanti aku akan
satroni gedung si Adipati gila itu untuk kukirim nyawanya ke Akhi-
rat!"
"Bagus! Nah! silahkan kau beristirahat!" ujar Roro. Diam-
diam dia tersenyum melihat kakek muka seram itu yang tampak
amat kegirangan sekali. Selesai berkata, Roro berkelebat pergi me-
ninggalkan Wicaksa.
Dengan tetap menggunakan aji Halimunan, Roro melesat kea-
rah Kota Raja....
Ternyata Cakra Murti menuju kesebuah rumah paling besar
yang berada ditengah desa. Pagi dinihari itu suasana disekitar desa
masih nampak sepi. Sejenak Cakra Murti menatap ke pintu depan
rumah besar itu. Tapi dia tak menuju kesana. Melainkan melangkah
ke arah sisi rumah besar itu. Matanya tertuju pada sebuah jendela
yang tertutup rapat."
Ketika lengannya bergerak mengetuk pelahan, dari dalam ka-
mar segera terdengar suara...
"Siapa ...?"
"Ehm, aku yang datang, sayang ..." menyambut sang Adipati.
Terdengar olehnya suara orang bangun dari tempat tidur. Lalu suara
kaki pelahan melangkah mendekati jendela. Ternyata dalam kamar
itu diisi oleh seorang gadis. Dengan pakaian tidur yang lusuh, serta
mata yang masih mengantuk, dia membuka jendela. Sementara hati
gadis ini sudah berdebar karena mendengar suara lirih yang tak as-
ing lagi baginya. Suara yang amat dikenal betul, yaitu suara sang
kekasih yang dirinduinya.
"Ah, ka... kakang..." desisnya membelalak girang. Tapi...
"Sssst!" Cakra Murti telah membekap mulut gadis ini, ketika
dengan gerak cepat dia melompat masuk melalui jendela. Sesaat la-
ki-laki ini telah melepaskan lengannya lagi. Bibirnya sunggingkan
senyuman.
"Ginarti, kau baik-baik saja?" ucapnya lirih. Wajah Cakra
Murti tampak berseri-seri. Dan gadis mengangguk terpana. Gerakan
melompat Cakra Murti membuat dia kagum. "Sukurlah..." ucap Ca-
kra Murti, seraya menutup lagi daun jendela yang terbuka. Lengan-
nya bergerak merangkul pinggang gadis cantik putri kepala desa itu,
lalu bagaikan seorang yang lapar melihat makanan laki-laki itu
memeluk dan menciumi gadis itu bertubi-tubi.
"Ahh... engg... nanti dulu, kakang. Aku... aku belum mandi..."
ucap lirih Ginarti yang menepiskan wajah Cakra Murti dengan na-
pas tersengal.
"Hm, tak perlu, sayangku... Tak mandipun" tubuh dan mulut-
mu wangi. Dan kau... amat cantik sekali dalam keadaan bangun ti-
dur begini!" desis Cakra Murti tertawa. Tubuh gadis ini kembali
menggelinjang ketika Cakra Murti memeluknya, merengkuhnya,
dan kemudian menariknya keatas tempat tidur.
"Tunggu dulu...!" berkata lirih Ginarti ke tika lengan Cakra
Murti bergerak melepaskan baju tidur bagian atas. Namun toh su-
dah membuat tersembulnya dua buah bukit kembar miliknya.
"Apa yang akan kau katakan, sayangku?" desis Cakra Murti.
Tapi lengannya tak berhenti untuk segera meremas kedua buah
benda kenyal itu dengan napas yang semakin memburu.
"Ahh... kakang, mengapa kau tak bisa sabar sebentar?" Terpe-
jam-pejam mata gadis ini, tapi segera dia mendorong tubuh laki-laki
itu.
"Hm baiklah! katakanlah, apa yang mau kau katakan?" tanya
Cakra Murti. Ginarti cepat-cepat tutupi kedua buah dadanya.
"Apakah kau telah berhasil mendapatkan kitab ditangan Ki
Sabda Tama yang berisi ilmu Tata Kerajaan itu?" tanya Ginarti.
"Aha, kalau itu yang kau tanyakan, semuanya sudah beres!
Kau tak usah khawatir. Dalam waktu tak lama lagi kau akan meng-
gantikan kedudukan sang Ratu di Kerajaan GALUH KENCANA...
Percayalah!" berkata Cakra Murti.
"Oh, benarkah...?" ternganga mulut gadis ini.
"Mengapa tidak benar?" Inilah kitabnya! ujar Cakra Murti se-
raya bangkit duduk dan mengeluarkan bungkusan kain kumal beri-
sikan kitab Ki Sabda Tama. Seketika mata gadis ini berubah menja-
di nanar. Dipeluknya laki-laki itu dengan sejuta perasaan menyeli-
muti sekujur sanubari. Ah, betapa bahagianya menjadi seorang Ra
tu. Khayalnya seketika membumbung sampai kelangit.
"Kau nanti jadi Rajanya, kakang..." bisik Ginarti dengan gelo-
ra yang semakin menggebu. "Tentu, manisku ...!" bisik Cakra Mur-
ti. Dilolosinya pakaian Cakra Murti dengan amat cekatan dengan
napas kian memburu. Sementara laki-laki itu pun berbuat sama.
Lengannya tak berhenti-henti meremas. Tak lama desah-desah lirih
membauri kamar itu.
BRRRAAAAK!
Pintu kamar itu porak-poranda bagai diterjang kaki gajah. Dua
insan yang tengah terlena dalam buaian asmara itu terlonjak kaget.
Terkejut bukan kepalang Cakra Murti ketika melihat siapa yang
berdiri didepan pintu.
Siapa lagi kalau bukan si Dewa Arak. Laki-laki tegap ini me-
lotot menatap Cakra Murti yang terpana kaget dengan muka merah.
Keadaan tubuhnya yang dalam keadaan membugil itu membuat dia
kalang kabut menyambar pakaiannya. Sementara Ginarti menjerit
kaget seraya menyambar selimut menutupi bagian tubuhnya yang
terbuka.
"Perempuan bejat! sungguh tak pantas kau menjadi kepona-
kanku! Ternyata kalian merencanakan maksud jahat pada Kera-
jaan!" membentak Dewa Arak dengan suara parau. Membuat wajah
wanita ini jadi pucat.
"Paman Kala Bendu... aku... aku..." tergagap Ginarti ketaku-
tan. Pada saat itu dimuka pintu kembali tersembul sesosok tubuh la-
ki-laki tua. Laki-laki tua ini adalah kepala desa, si tuan rumah yang
kecolongan dengan kedatangan "pencuri" anak-anak gadisnya yang
tak diundang.
"Anak durhaka! kau patut dihajar sampai mampus! memben-
tak laki-laki ini menatap anak gadisnya yang dalam keadaan kusut
masai.
"Hm, kecurigaanmu beralasan, adik Kala Bendu! Kalau kau
tak menginap dirumah malam ini, tak nantiya kau bisa jumpa bang-
sat ini. Yang ternyata ada main dengan anakku!" berkata sang Ke-
pala Desa. BRRRAAK!
Tiba-tiba jendela kamar itu pecah berantakan diterjang Cakra
Murti. Dengan sigap dia telah melompat keluar. Akan tetapi si Dewa Arak telah memburunya dengan membentak keras.
"Kau tak dapat lari, pengkhianat!" Gerakan Dewa Arak yang
begitu gesit berhasil mendahului mencegat larinya Cakra Murti.
Cakra Murti masih sempat menyambar kitab Ki Sabda Tama.
Laki-laki yang belum sempat mengenakan bajunya ini men-
dengus.
"Dewa Arak! apa hubungannya kau dengan urusanku!?"
"Heh! apakah telingamu tak mendengar kalau namaku Kala
Bendu?" bentak si Dewa Arak.
"Aku tak kenal segala nama rongsokan macam itu! Apa hu-
bunganmu dengan Kerajaan?"
"Hehe... hahaha... apa hubunganku dengan Kerajaan? Heh! ke-
tahuilah! Aku adalah utusan Kanjeng Ratu untuk menawanmu den-
gan segera, dan merampas kitab Ki Sabda Tama. Aku adalah Adi-
pati Kala Bendu yang akan menggantikan kedudukanmu!" Terhe-
nyak seketika Cakra Murti alias Wukir Kamandaka mendengar ja-
waban kata-kata si Dewa Arak. Tentu saja dia tak percaya begitu
saja pada kata-kata orang. "Setan! Sejak kapan Ratu mengangkat
mu menjadi Adipati penggantiku?" Membentak laki-laki ini dengan
wajah merah padam.
"Sejak terbukanya kedokmu. Siapa yang tak tahu kalau kau
berkomplot dengan kaum golongan hitam untuk menumbangkan
kekuasaan Kanjeng Ratu? Heh! kau layak dihukum gantung! Segera
berikan kitab itu. Dan serahkan dirimu untuk segera kuhadapkan
pada Kanjeng Ratu!"
"Buktikan bahwa kau benar-benar telah diangkat Adipati oleh
Ratu!" teriak Cakra Murti dengan wajah pucat. Kala Bendu terse-
nyum. Lengannya bergerak kebalik pakaiannya. Dikeluarkannya
sebuah gulungan kain. Tanpa banyak bicara dia bentangkan gulun-
gan kain itu dihadapan Cakra Murti.
"Kau bacalah, Wukir Kamandaka! Bacalah dengan jelas!"
berkata Kala Bendu alias si Dewa Arak dengan suara tegar berpen-
garuh. Mendelik mata Cakra Murti ketika membaca tulisan besar-
besar pada kertas yang berstempelkan cap Kerajaan dan tanda tan-
gan Ratu Galuh Kencana.
DENGAN INI AKU RATU KERAJAAN "GALUH KENCANA"
MENGANGKAT SECARA SYAH KALA BENDU SEBAGAI ABDI
KERAJAAN, DENGAN JABATAN SEBAGAI ADIPATI DI WI-
LAYAH BARAT KERAJAAN "GALUH KENCANA", DAN MUT-
LAK MENJADI PENGGANTI ADIPATI WUKJR KAMANDAKA,
YANG TELAH DINYATAKAN SEBAGAI PEMBERONTAK MU-
SUH KERAJAAN. TERTANDA: RATU GALUH KENCANA
Seketika pucatlah wajah Wukir Kamandaka. Tak ayal lagi dia
telah berkelebat melarikan diri.
"Manusia pengkhianat! Kau tak dapat lari kecuali ke Neraka!"
membentak Kala Bendu seraya berkelebat mengejar. Kejar-
kejaranpun segera terjadi dipagi yang masih berembun itu. Hingga
kedua orang itu lenyap tak kelihatan lagi.
Sementara dari rumah Kepala Desa itu terdengar suara jeritan
dan lolong sigadis anak kepala desa itu yang dihajar oleh ayahnya.
Beberapa orang penduduk keluar dari rumahnya mendengar ribut-
ribut itu. Akan tetapi mereka tak mengerti perihal peristiwa itu. Ke-
cuali cuma menatap dari kejauhan dengan bertanya-tanya sesama
tetangga.
"Ada kejadian apakah, pak Slamet?"
"Wuaah! Ndak tahu, ya...?"
"Kasihan gadis itu, mengapa pagi-pagi sudah dipukuli?"
"Bapaknya ngamuk karena... maklum sudah lama menduda!"
sahut salah seorang.
"Ko' ngamuk? Apa dia mau sama anaknya sendiri?"
"Mungkin juga!"
"Gila!? Eh, Jangan mengarang yang ndak-ndak, lho mas!"
"Weleeh! bukannya mengarang. Tapi di dunia ini apapun bisa
saja terjadi. Iya nggak pak Slamet?"
"Iya ... iya! Tapi jangan menuduh dulu! Aku tahu persis pak
Kepala Desa seorang yang paling jujur dan alim!" Pembicaraanpun
habis, karena pintu rumah Kepala Desa tampak sudah tertutup.
***
DUABELAS
RORO CENTIL yang telah berada di dalam ruang pendopo
Kedipatian segera mencari Wukir Kamandaka disetiap kamar dan
memeriksa setiap ruangan. Dengan aji Halimunan yang digunakan
Roro tidaklah sukar bagi Roro untuk menyelidiki. Akan tetapi tak
dijumpai sang Adipati itu berada digedungnya. Berarti orangnya be-
lum tiba. Pada saat itulah Roro mendengar suara ribut-ribut diluar.
Ketika itu sebuah bayangan menerobos masuk kedalam gedung.
Sekilas, Roro segera melihat siapa adanya sosok tubuh itu yang tak
lain dari Wukir Kamandaka yang tengah di carinya. Roro bergerak
cepat menotok tubuh laki-laki itu.
Wukir Kamandaka mengeluh kaget karena tahu-tahu sekujur
tulangnya mendadak lemah lunglai. Bahkan dia tak dapat mengelu-
arkan suara lagi ketika terasa ada lengan yang menotok tengkuknya.
Detik itu Roro telah menyeret tubuhnya dan membawanya melom-
pat ke tempat persembunyian. Sementara sesosok tubuh menyusul
masuk dengan menggembor keras.
"Pengkhianat Kamandaka! Kau takkan dapat selamatkan diri-
mu dari tiang gantungan!" Seketika seisi gedung Kedipatian menja-
di gempar. Para prajurit Kadipaten mengurung kesetiap penjuru ge-
dung. Pencarian Wukir Kamandaka digedung Kedipatian itu ber-
langsung beberapa lama. Namun aneh. Tak dijumpai ,di mana
adanya Wukir Kamandaka. Tentu saja mereka tak tahu kalau semua
itu adalah karena perbuatan Roro. Apakah yang dimaui Roro geran-
gan? Ternyata Roro telah mengamankan Wukir Kamandaka dengan
membawa berkelebat dari ruang tempat persembunyiannya keluar
dari gedung Kedipatian.
"Hihihi... ingin kulihat bagaimana cara kau bertarung dengan
si WICAKSA! sobat pengkhianat Kerajaan?" berkata Roro seraya
gulingkan tubuh Wukir Kamandaka ketanah. Laki-laki ini menye-
ringai kesakitan ketika tubuhnya jatuh menggabruk ke tanah. Saat
itu Roro telah tampakkan ujudnya. Terbelalak mata Wukir Kaman-
daka melihat seorang dara rupawan berdiri dihadapannya dengan
pakaian dari kulit macan tutul.
"Hah! ssiapakah anda...?" sentaknya terkejut.
"Siapa? Hihihi... bukankah kau telah mengetahui siapa aku?
Bukankah kau akan menunjukkan si Dedemit Mata Picak ke tempat
aku berada?" tanya Roro dengan tersenyum.
"Ha? andakah nnon... nona Pendekar RORO CENTIL?" Suara
Wukir Kamandaka menampakkan keterkejutan yang luar biasa. Ka-
rena baru pertama kali inilah dia melihat siapa pendekar wanita
Pantai Selatan itu.
"Tidak salah" ujar Roro dengan suara ketus. Saat itu Wukir
Kamandaka merasakan totokan pada tubuhnya telah punah sama
sekali, bahkan dia telah mampu berbicara. Merasa dia telah terbe-
bas, dan tahu apa yang dilakukan sang Pendekar Wanita Pantai Se-
latan ini, tak ayal lagi laki-laki ini telah jatuhkan dirinya berlutut.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona Pendekar..." ujar-
nya dengan manggut-manggut mencium tanah beberapa kali
"He? siapa yang telah menolongmu? aku tak merasa menolong
orang yang menjadi pengkhianat Kerajaannya sendiri. Kau sebagai
abdi Kerajaan yang seharusnya membela Kera-jaanmu, mengapa
kau malah bersekongkol dengan kaum golongan hitam untuk
menghancurkan Kerajaan mu sendiri?" bentak Roro, Matanya melo-
tot gusar, tapi bibirnya tersungging senyuman. Pendekar kita ini
memang orang aneh. Tentu saja kata-kata itu membuat Wukir Ka-
mandaka keluarkan keringat dingin.
"Sobat pendekar Roro Centil! serahkan dia padaku!" tiba-tiba
terdengar suara menggeledek memecah keheningan yang mence-
kam. Didahului dengan bersyiurnya angin, sesosok tubuh telah ber-
kelebat dan berdiri ditempat itu. Ternyata tak lain dari Kala Bendu
alias si Dewa Arak.
Tersentak Wukir Kamandaka melihat kemunculan laki-laki
berjuluk si Dewa Arak ini. Akan tetapi pada saat itu Roro telah ber-
kata.
"Tidak! orang ini adalah urusanku! kau tak boleh menggang-
gunya!"
"Ha? apa maksudmu, sobat?" tanya Dewa Arak terheran.
Pada saat itu sebelum Roro menjawab pertanyaan, tiba-tiba
terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh yang segera dikenali Roro.
"Bagus! segera kau telah menyusul kemari, WICAKSA! Sege-
ra kau bunuhlah Adipati pengkhianat ini!" berkata Roro dengan su-
ara nyaring.
Selesai Roro berkata, mendadak tubuh Roro berkelebat dan
lenyap. Saat itu Wicaksa muncul dari balik semak belukar.
"Grrr...! CAKRA MURTI! kau harus menemui kematian di-
tanganku, sebagai penebus kematian saudara seperguruanku Wewe
Gombel Setan Genit!" menggeram Wicaksa menatap dengan mata
memancarkan hawa amarah pada Wukir Kamandaka. Laki-laki ini
seketika mundur dua tindak.
Tidak! dia bagianku! Serahkan kitab Sabda Tama itu padaku,
pengkhianat!" membentak Kala Bendu. Akan tetap terkejut Wukir
Kamandaka ketika tersadar dia sudah tak mengantongi lagi kitab Ki
Sabda Tama. Buku itu telah lenyap.
"Hah! Kitab itu telah hilang! aku tak tahu terjatuh dimana.
Jangan-jangan si Roro Centil itulah yang mengambilnya!" berkata
Wukir Kamandaka dengan wajah pias. Tersentak kaget si Dewa
arak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara membentak disusul
oleh berkelebatnya dua sosok tubuh.
"Kalian semua manusia-manusia pengkhianat! dan manusia
durjana!" Dua sosok tubuh itu ternyata adalah GAJAH LOR dan
muridnya, Mayana. Wajah Wukir Kamandaka dan Kala Bandu alias
Dewa Arak seketika berubah pucat. Serentak mereka berteriak ter-
tahan.
"Ki SABDA TAMA...!?"
"Hm, benar! Kala Bendu! sejak kapan Ratu keluarkan surat
pengangkatan Adipati pada mu? Surat itu palsu! Dan kau Wukir
Kamandaka! Kau tak berhak menjadi Adipati, kecuali atas izinku!
Ketahuilah, Kanjeng Ratu sudah menjanjikan persyaratan mutlak
denganku, bila aku berhasil menyelesaikan Kitab Tata Kerajaan
maka akulah yang bakal menjadi pengganti Ratu Kerajaan GALUH
KENCANA!" berkata Gajah Lor alias Ki Sabda Tama. Suaranya
terdengar menggeledek terdengar oleh Kala Bendu dan Wukir Ka-
mandaka bagaikan mendengar petir disiang hari. Keduanya tersen-
tak kaget melihat Ki Sabda Tama mengeluarkan sebuah MEDALI
Itulah medali Lambang Kerajaan GALUH KENCANA.
Seketika menggigil tubuh Kala Bendu karena rahasianya ter-
bongkar. Memandang pada Wukir Kamandaka, laki-laki ini berdiri
dengan lutut gemetar melihat Lambang Kerajaan itu dengan mata
membelalak.
"Dan kalian lihatlah! Kitab Tata Kerajaan ini masih berada di-
tanganku! Kitab yang kalian perebutkan itu adalah kitab palsu yang
hanya berisi syair-syair belaka!" Semakin membelalak mata Kala
Bendu dan mata Wukir Kamandaka melihat kitab asli ciptaan Ki
Sabda Tama di tangan si penciptanya itu.
"Kalian semua harus segera serahkan diri untuk menjalani hu-
kuman, dan menghadap Kanjeng Ratu untuk mempertanggung ja-
wabkan perbuatan kalian semua.
"Tapi... tapi aku diperintah oleh Kanjeng Ratu untuk mencari
anda, Ki Sabda Tama dengan tujuan mengambil kitab itu!"
"Perintah dusta!" bentak Ki Sabda Tama pengkhianat Kera-
jaan! Dan kau Wukir Kamandaka! kaupun telah terlibat dengan
pengkhianatan ini!" Kala Bendu tak dapat bicara apa-apa lagi, se-
lain tiba-tiba dia keluarkan senjatanya. Dan dengan ganas telah me-
nerjang Gajah Lor.
"Kunyuk tua! kiranya diam-diam kau mengetahui apa yang
kulakukan selama ini? Tapi terlambat. karena kau segera akan
mampus!"
WHUUT! WHUUUT!
Sambaran-sambaran ganas klewang Kala Bendu bersyiuran
menabas leher dan mencercah balok kepala Gajah Lor. Akan tetapi
pada detik itu.
TRAANG! TRANGG!
Kilatan pedang menyambar, hingga terjadilah benturan yang
memercikkan letusan api. Ternyata dengan sebal Mayana telah me-
nangkis sambaran klewang Kala Bendu. "Heheh... bagus, muridku!
kau kirimkan nyawa bangsat ini ke Akhirat!" teriak Gajah Lor.
Sementara itu entah sejak kapan Roro telah berada lagi di
tempat itu. Roro yang ikut campur urusan untuk membela yang be-
rada dipihak benar, ternyata dia sendiri kebingungan karena urusan
jadi sedemikian pelik. Kedatangan Gajah Lor alias Ki Sabda Tama
bersama muridnya dengan membawa kitab ciptaannya yang asli,
serta Medali Pusaka Kerajaan Galuh Kencana membuat Roro ter-
longong, memeganggi kitab ditangannya.
Saat itu pertarungan telah terjadi. Kala Bendu terpaksa harus
menghadapi serangan-serangan Mayana yang ganas. Sementara Ga-
jah Lor alias Ki Sabda Tama Menerjang ganas ke arah Wukir Ka-
mandaka! Laki-laki yang sudah ciut nyalinya ini bertarung dengan
hati kacau. Karena niatnya adalah melarikan diri. Tapi apa mau di-
kata Gajah Lor terus memburunya dengan pukulan-pukulan maut.
Walaupun dia berilmu cukup tinggi, tapi menghadapi serangan Ga-
jah Lor yang ilmunya lebih tinggi tiga kali lipat darinya, Wukir
Kamandaka tak dapat berbuat banyak. Satu hantaman telak mem-
buat laki-laki ini menjerit parau. Tubuhnya limbung, ketika Gajah
Lor berhasil sarangkan telapak tangannya yang mengandung tenaga
dalam menggeprak kepala Cakra Murti alias Wukir Kamandaka.
***
Dalam saat limbung itu tahu-tahu WICAKSA menggerung ke-
ras. Lengannya terjulur... Dan... Bluk! Wukir Kamandaka menjerit
sekali lagi. Tubuhnya terlempar bergulingan. Lalu terkapar terlen-
tang tak berkutik lagi. Tampak tulang dadanya remuk bahkan seku-
jur tubuhnya berubah menjadi kehitaman. Itulah pukulan beracun
Wicaksa yang amat mengerikan, yang sekaligus telah mengantar
nyawa orang.
"Wah, wah... urusan jadi rumit. Apa yang harus kuperbuat?"
gerutu Roro yang jadi pijit-pijit keningnya memandang kearah per-
tarungan. Tiba-tiba Roro melihat Kala Bendu berkelebat melarikan
diri. Diiringi bentakan Mayana. Dara puncak Rajabasah itu menge-
jar. Disusul oleh bentakan Ki Sabda Tama yang berkelebat menyu-
sul. Tak dapat dibiarkan begitu saja Kala Bendu melarikan diri.
Roro meremas kitab ditangannya, ketika ketiga manusia itu
sekejap sudah tak kelihatan lagi. Bubuk kertas ditaburkan ditanah.
"Benda tak berguna lagi!" gerutu Roro.
Tiba-tiba tersentak Roro ketika serangkum angin menyambar
tubuhnya. Dalam keadaan tak berwaspada itu agaknya serangan itu
akan sukar terhindarkan. Tapi naluri si Pendekar Pantai Selatan ini
sudah teramat peka. Walau serangan itu sepertinya mengenai sasa-
ran, namun Roro telah lindungi tubuhnya dengan tenaga dalam.
WHUUUUK!
"Aaaah...!" Buk! Tubuh Roro jatuh menggeloso ketanah. Saat
itu juga terdengar suara tertawa berkakakan disusul berkelebat
muncul seorang kakek tinggi besar.
"Hehehe... hoho... ternyata ilmu kepandaian mu tak berarti,
Roro Centil! Toh akhirnya kau harus jatuh juga ke tanganku!"
"Kau makin tambah umur semakin cantik, pendekar Roro!
Amboi, pakaianmu dari kulit macan tutul amat serasi dengan tubuh
mu yang mulus. Sungguh mengagumkan! Sungguh mengagum-
kan!" berkata laki-laki tinggi besar ini.
"Siapa kau...?" bertanya Roro seolah dalam keadaan tak ber-
daya. Menatap dengan membelalakkan mata pada orang dihadapan-
nya.
"Hohoho... kau lupa, atau memang sudah tak ingat lagi? Aku-
lah RATAN SUGAR! Masih ingatkah ketika kau membunuh si Ri-
riwa Bodas? Aku adalah pamannya!" sahut si kakek tinggi besar.
Tersentak Roro yang segera teringat akan nama Ririwa Bodas si
kakek pendek berbuntut ular, yang tak lain dari guru Giri Mayang
alias Kelabang Kuning. Musuh besar yang amat mendendam pa-
danya itu telah banyak memakan korban dengan perbuatan gurunya
yang menciptakan ular-ular siluman untuk membunuhi penduduk
tak berdosa. Perbuatan itu dilakukan cuma untuk memancing ke-
munculan Roro agar Giri Mayang dapat melakukan pembalasan
dendam. Perlu diketahui kedua guru dan murid yang telah tewas di-
tangan Roro itu berasal dari wilayah Pulau Andalas.
"Heh, aku ingat! ya, aku kini ingat siapa adanya kau! Lalu
apakah kau mau membalas dendam untuk membunuhku?" bertanya
Roro dengan tetap terlentang ditanah tak bergerak.
"Ya! tapi bukan ditempat ini. Kau akan ku bawa ke Pulau An-
dalas. Tepatnya ke Kerajaan Sriwijaya. Karena kepalamu perlu di-
gunakan untuk tumbal kerajaan!"
Tersentak kaget Roro. "Edan! kepalaku mau dibuat tumbal ke-
rajaan?" memaki Roro dalam hati. Pada saat itu Ratan Sugar telah
menghampiri dan ulurkan lengannya untuk menyambar tubuh Roro.
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan menggeledek. "Tung-
gu!" Disusul sambaran ganas angin pukulan berbau amis menyam-
bar ke arah Ratan Sukar. Kakek tinggi besar ini kibaskan jubahnya
menangkis. Hebat kibasan lengan jubah gombrong kakek tinggi be-
sar ini. Karena angin pukulan yang jelas adalah pukulan beracun itu
menyambar balik kearah si penyerangnya.
Ternyata yang barusan menyerang adalah Wicaksa si Dedemit
Mata Picak. Penghuni Kuil Tengkorak Darah ini mana mau mem-
biarkan orang yang memang tengah dicarinya selama ini digondol
pergi?
Whuuusss.... Bhlarrr!
Angin balikan dari si kakek tinggi besar lewat dibawah kaki
Wicaksa yang mengelak dengan melompat gesit menghindari sam-
baran angin pukulannya sendiri. Angin pukulan bertenaga besar itu
menghantam pohon yang seketika berderak hancur. Dan hangus se-
ketika menjadi arang.
"Hebat! Sungguh hebat serangan balasan mu, kakek Dewur!"
berkata Wicaksa yang diam-diam keluarkan keringat dingin. Kalau
terlambat dia mengelak, tak dapat dibayangkan bagaimana keadaan
tubuhnya.
"Setan alas kau! Siapa kau manusia jelek? Dan apa maksudmu
menghalangi urusanku? Mengapa kau panggil aku kakek DE-
WUR?" menggembor Ratan Sugar.
"Hehehe... Jelek-jelak namaku sudah kesohor. Siapa yang tak
kenal dengan Wicaksa si Dedemit Mata Picak penghuni Kuil Teng-
korak Darah!" tukas Wicaksa dengan menyeringai. Kau ku panggil
kakek Dewur, karena tubuhmu gede-duwur...! alias tinggi besar!
Dan maksud ku menghalangi niatmu, tentu saja takkan kubiarkan
kau membawa pergi dia untuk kau jadikan tumbal di Kerajaan Se-
brang! Karena dia adalah mangsa yang telah lama kucari-cari!"
"Hmmm, jadi kau menginginkan juga? Baik kalau begitu. Se-
gera kita tentukan dengan pertarungan. Siapa yang masih tinggal
hidup dialah yang berhak atas pendekar Roro Centil ini!" berkata
Ratan Sugar dengan menggembor marah, namun kata-katanya te-
gas.
"Kau mengajakku bertarung? Hehehe... bagus! Memang inilah
yang kuharapkan. Majulah kau kakek Dewur!" berkata jumawa Wi-
caksa. Tanpa diperintah dua kali Ratan Sugar telah menerjang Wi-
caksa dengan serangan ganas. Sepasang lengannya mengeluarkan
sinar merah mengerikan. Sedangkan lengan Wicaksa memantulkan
sinar hijau.
Suara bentakan dan ledakan-ledakan pukulan yang mengharu
bisu membauri sekitar tempat itu Pertarungan dahsyat tak dapat te-
relakkan lagi. Dua orang tokoh hitam yang sama-sama berkepan-
daian amat tinggi itu saling baku-hantam tanpa pedulikan apa-apa
lagi. Bahkan dia tak tahu kalau Roro telah berkelebat menjauhi per-
tarungan itu. Dari atas puncak pohon yang berada ditempat keting-
gian, Roro menonton pertarungan adu nyawa itu. sebentar-sebentar
dia berteriak kagum. Dan sekali-kali terkadang leletkan lidah meli-
hat pukulan-pukulan ganas yang beradu menimbulkan suara meng-
getarkan bumi.
Satu ledakan dahsyat kembali terdengar. Terdengar dua teria-
kan yang menjadi satu. Tampak tubuh kedua lawan bertarung itu
terlempar beberapa tombak. Tubuh Ratan Sugar menghantam po-
hon yang seketika berderak patah. Lalu tumbang dengan suara riuh
berkrosakan. Sedangkan tubuh Wicaksa terguling-guling dalam
keadaan terbakar. Roro melompat dari puncak pohon. Dengan gerak
ringan segera menghampiri tubuh Ratan Sugar. Segera dilihatnya
tubuh kakek tinggi besar itu telah tak bernyawa lagi dengan kea-
daan tubuh hangus kehitaman.
"Aiiih, ternyata ajalmu lebih cepat datang, sebelum kau sem-
pat membawa dan memotong kepalaku untuk tumbal Kerajaan...!
Kakek DEWUR yang malang..." menggumam Roro. Ketika dia me-
lihat kearah Wicaksa, kakek muka seram itu tengah menggoser-
goser sekarat dengan jubah hangus. Sekali enjot tubuh, Roro telah
menghampiri.
"Heh... hhe... RO... RORO... C.. CEN... Ti... L...! senang seka-
li a... aku melihat rupa dan wajahmu yang... cc... cantik! Ooh... ma-
tipuh aku... t... tak penasas... sssaran... nnn ..." berkata terengah Wi-
caksa memandang Roro dengan tertawa menyeringai. Keadaan ka-
kek ini amat mengenaskan sekali. Roro menatap tak berkedip. "Ada
permusuhan apakah kau sebenarnya denganku, Wicaksa?" bertanya
Roro dengan menatap heran.
"Mengapa kau membunuhi orang hanya untuk mengundang
munculnya diriku?" kata-kata Roro seperti menyambung napas ka-
kek seram itu, yang sudah mau menghembuskan napasnya yang te-
rakhir.
Wicaksa" tertawa lemah menyeringai.
"Hehe... heh... heh.... aku.... aku jjjaa... jatuh... cc... cinta...
pa... pada... mu... Ro... ro..." Baru saja selesai Wicaksa menyahut
dengan kata-kata yang membuat mata Roro membelalak, kakek
penghuni Kuil Tengkorak Darah itupun terkulai kepalanya. Napas-
nya telah lepas meninggalkan jasadnya.
"Gila! edan ...!?" Roro Centil seperti tak percaya mendengar
kata-kata Wicaksa. "Aiiih! Dedemit Mata Picak! kau benar-benar
iblis gila cinta! sungguh dunia telah gila! dan manusia-manusia te-
lah banyak yang gila!" gerutu Roro Centil. Dan dengan diiringi sua-
ra tertawa melengking tinggi yang mirip tangisan, si Pendengar
Wanita Pantai Selatan berkelebat meninggalkan tempat itu. Saat tu-
buh Roro telah lenyap, suara tertawanya yang membangunkan bulu
roma itu masih terdengar berpantulan disekitar tempat sunyi itu.
RORO semakin tak mengerti dengan kemelut di Kerajaan Ga-
luh Kencana Karena beberapa pekan kemudian setelah dia mem-
bantu pertarungan orang-orang Kala Bendu yang menguasai Istana.
Roro mendengar berita aneh.
Roro yang mengira Ki Sabda Tama alias Gajah Lor yang bak-
al menjadi pengganti Ratu Galuh Kencana, ternyata membunuh diri,
setelah selesai penobatan MAYANA sebagai pengganti Ratu Kera-
jaan Galuh Kencana dengan gelar Dewi Mayana Sabda Tama.
Apa yang menjadi penyebab kenekatan serta perbuatan Gajah
Lor ini tak seorangpun dari pihak Kerajaan yang mengetahui. Ke-
cuali Dewi Mayana Sabda Tama sendiri.
Ketika kemudian terdengar kabar bahwa Ratu baru Dewi
Mayana Sabda Tama itu kedapatan telah tewas membunuh diri di-
kamarnya, segera tersingkaplah rahasia mereka berdua, antara guru
dan murid. Yaitu Mayana telah meninggalkan sepucuk surat seperti
syair, yang berbunyi:
GUNUNG-GUNUNG BESAR BERGELEGAR MENA-
KUTKAN
LAUTAN MELUAP, AIRNYA NAIK KEDARATAN...
DEWA MURKA KARENA KAMI SALAH!
CINTA MEMBUAT KAMI BAHAGIA, TAPI NAFSU SUNG-
GUH ANGKARA! BIARKAN KAMI PERGI MENEBUS DOSA!
Dari hasil dugaan orang-orang Istana, syair itu diartikan ada-
lah Ki Sabda Tama telah mencintai Mayana Putrinya sendiri. Per-
buatan terkutuk yang telah mereka lakukan atas dasar nafsu dan
dendam Ki Sabda Tama pada kakak kandungnya Wesi Geni yang
telah membawa lari istrinya. Ternyata Mayana bukan anak Wesi
Geni. Melainkan adalah anak kandungnya sendiri. Namun cinta te-
lah bersemi, walau cintanya adalah "cinta gila". Hingga Ki Sabda
Tama setelah membahagiakan Mayana dengan mengangkatnya se-
bagai Ratu, dia membunuh diri. Namun ternyata Mayana sendiripun
menyusul ayahnya yang telah terlanjur dicintainya.
Roro Centil tercenung beberapa saat lamanya. Namun akhir-
nya dia menghela napas. "Inilah Dendam dan Cinta Gila Seorang
Pendekar!" gumamnya. Tubuhnyapun berkelebat pergi... Roro me-
rasa kejahatan memang tetap sukar untuk ditumpas, karena Kala
Bendu berhasil meloloskan diri. Kelak disitu saat tak mungkin ka-
lau manusia itu tak membuat kericuhan lagi....
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar