"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE LABA LABA PERAK

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com



Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


UNDANGAN itu diterima oleh Boma Paksi dari 

seorang lelaki yang menunggang kuda hitam gagah. 

Dan sebelum pemuda berompi ungu itu menanyakan 

lebih lanjut, si penunggang kuda yang nampak terbu-

ru-buru sudah memacu kudanya, yang sebelumnya 

mengatakan undangan itu akan dilaksanakan tepat 

pada purnama bulan ini. Tinggal si pemuda yang me-

mandang kepergian si penunggang kuda yang kemu-

dian lenyap di tikungan jalan. Masih meninggalkan de-

bu yang mengepul akibat derap langkah kaki-kaki ku-

danya.

Perlahan-lahan ditatapnya undangan. yang tertu-

lis di atas sebuah kain warna putih. Dibukanya gulun-

gan kain putih itu. Lalu dibacanya apa yang tertulis di 

sana.

PERGURUAN LABA-LABA PERAK AKAN MENG-

ADAKAN PENOBATAN PANGKU JALADARA UNTUK 

MENJADI KETUA, MENGGANTIKAN RESI KALA JINJIT 

YANG TELAH TEWAS AKIBAT DIBUNUH SESEORANG 

YANG BELUM DIKETAHUI HINGGA SAAT INI. HARAP 

BERKENAN HADIR.

Pemuda yang di kedua tangannya mulai jari je-

mari hingga batas siku dipenuhi sisik coklat ini menge-

rutkan keningnya. 

"Perguruan Laba-laba Perak? Hemm... baru kali 

ini kudengar perguruan itu. Rupanya Resi Kala Jinjit, 

selaku ketua perguruan yang lama, telah tewas dibu-

nuh seseorang yang belum diketahui hingga saat ini. 

Dan Pangku Jaladara akan dinobatkan menjadi Ketua


Perguruan Laba-laba Perak...." 

Pemuda tampan berambut dikuncir ini menarik 

napas pendek. Perlahan-lahan digulungnya kembali 

undangan yang telah diterimanya itu. Lalu diselipkan 

pada balik pakaiannya.

Tetapi dia tidak segera meneruskan langkahnya. 

Pikirannya masih dipusatkan pada undangan itu.

"Mengapa aku diundang oleh Perguruan Laba-

laba Perak?" desisnya dalam hati. Pemuda bersorot 

mata angker yang lebih dikenal dengan julukan Raja 

Naga ini terdiam beberapa saat. Lalu, "Sulit bagiku un-

tuk menduga-duga mengapa aku diundang. Tetapi ku-

pikir itu bukanlah masalah. Hemmm... purnama bulan 

ini hanya tinggal beberapa hari lagi. Sebaiknya untuk 

menghemat waktu, aku segera menuju ke Perguruan 

Laba-laba Perak…" 

Memutuskan demikian, Raja Naga segera me-

ninggalkan jalan setapak di mana sebelumnya dihenti-

kan langkahnya tatkala melihat seseorang memacu 

kuda hitam ke arahnya.

Tepat senja memayungi persada, Raja Naga 

menghentikan langkahnya di hadapan sebuah sungai 

yang mengalirkan air jernih. Tidak bergemuruh terlalu 

keras. Beberapa helai daun dari pohon yang dahannya 

menjorok ke sungai, jatuh dan terbawa bersama aliran 

air sungai.

Diperhatikan sekelilingnya yang sepi. Raja Naga 

memutuskan untuk mandi dulu, membersihkan kerin-

gat yang menempel. Tetapi mendadak saja kepalanya 

ditegakkan. Pendengarannya yang tajam menangkap 

suara orang bercakap-cakap tak jauh dari sana.

Semula Raja Naga tidak tertarik dengan percaka-

pan itu, bahkan dia memutuskan untuk mengurung-

kan niatnya mandi dan melakukan lagi perjalanannya.


Tetapi ketika salah seorang berkata,

"Datuk Bunaeng telah mengatur semua rencana 

ini. Sejak dulu dia memusuhi Resi Kala Jinjit. Dan se-

telah Resi Kala Jinjit tewas tanpa diketahui siapa pem-

bunuhnya, Datuk Bunaeng tetap menginginkan ke-

hancuran perguruan Laba-laba Perak."

Aliran darah Raja Naga berubah menjadi cepat. 

Saat itu pula dia segera melompat ke atas sebuah po-

hon. Dicarinya dari mana asal orang-orang yang ber-

cakap-cakap itu. Samar-samar dilihatnya dua sosok 

tubuh yang berada di balik ranggasan semak setinggi 

kepala, hingga sulit bagi murid Dewa Naga ini untuk 

melihat lebih jelas siapa kedua orang itu. Apalagi mas-

ing-masing orang membelakanginya.

"Kapan pembantaian akan dilakukan?" tanya 

yang seorang. 

"Pada purnama bulan ini, Pangku Jaladara akan 

naik ke tampuk pimpinan, menggantikan Resi Kala 

Jinjit yang telah tewas. Menurut Datuk Bunaeng, 

pembantaian akan dilakukan pada malam purnama 

bulan ini. Tetapi dua hari lalu kutangkap desas-desus 

kalau hal itu akan digagalkan."

"Gila! Mengapa? Padahal semua sudah diatur! 

Bahkan Datuk Bunaeng telah menyusupkan beberapa 

orang suruhannya ke dalam Perguruan Laba-laba Pe-

rak!"

"Kalau kau tanyakan mengapa, aku tidak bisa 

menjawab. Mungkin dia mempunyai pikiran lain" 

Masing-masing orang tak ada yang bersuara. Dari 

balik rimbunnya dedaunan, Raja Naga mengerutkan 

keningnya.

"Hemmm... kematian Resi Kala Jinjit sebagai ke-

tua dari Perguruan Laba-laba Perak masih merupakan 

misteri berkepanjangan, karena hingga saat ini belum


diketahui siapa pembunuhnya. Dari kata-kata masing-

masing orang, jelas bukan Datuk Bunaeng yang mela-

kukannya, walaupun orang yang bernama Datuk Bu-

naeng itu menginginkan kehancuran Perguruan Laba-

laba Perak."

Raja Naga mendengar lagi percakapan itu, "Gala 

Jenjang... bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau 

akan meneruskan membantu Datuk Bunaeng?"

"Sesungguhnya aku enggan melakukan ini lagi, 

tetapi aku berhutang nyawa pada Datuk Bunaeng, 

tatkala dia menyelamatkanku dari tangan maut yang 

diturunkan oleh Resi Kala Jinjit. Kulo Marutung, ba-

gaimana dengan kau sendiri?"

"Aku juga mengalami hal yang sama seperti yang 

kau alami. Datuk Bunaeng telah menyelamatkanku 

dari tangan maut Resi Kala Jinjit tatkala aku membuat 

kerusuhan di daerah utara. Keputusanku hingga saat 

ini, aku akan tetap membantunya untuk menghancur-

kan Perguruan Laba-laba Perak. Sayangnya, Resi Kala 

Jinjit telah mampus tanpa diketahui siapa pembunuh-

nya!"

Orang bernama Gala Jenjang menggeram dingin. 

"Tetapi perguruan yang dipimpin dan di besar-

kannya telah menjulang setinggi langit, dan hingga ha-

ri ini masih berdiri angkuh! Tak akan pernah kubiar-

kan perguruan itu terus berdiri karena akan selalu 

mengingatkan ku pada Resi Kala Jinjit!"

Kulo Marutung menyahut, "Ya! Aku pun mempu-

nyai pikiran yang sama denganmu!"

"Bagus! Kalau begitu, kita segera menemui Datuk 

Bunaeng untuk menyampaikan apa hasil pemantauan 

kita selama ini...."

Tak lama kemudian terlihat bayangan hitam dan 

biru yang berkelebat begitu cepat.


Raja Naga segera melompat turun.

"Ada sekelompok orang rupanya yang hendak 

memanfaatkan kesempatan untuk menghancurkan 

Perguruan Laba-laba Perak setelah Resi Kala Jinjit 

meninggal," desisnya dengan otak berpikir. Sepasang 

ma-tanya yang bersorot angker memandang tak berke-

dip ke depan. Tangan kanannya yang sebatas siku di-

penuhi sisik-sisik coklat mengusap dagunya yang ke-

limis. "Telah kuketahui adanya rencana busuk dari 

beberapa orang yang menginginkan kehancuran Pergu-

ruan Laba-laba Perak. Hem... sebenarnya ini bukanlah 

urusanku. Tetapi, aku telah diundang oleh Perguruan 

Laba-laba Perak. Aku harus memberitahukan urusan 

makar ini pada Pangku Jaladara selaku calon Ketua 

Perguruan Laba-laba Perak...."

Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah Naga 

ini terdiam. Otaknya terus berpikir.

"Hemm... bila kuikuti ke mana perginya kedua 

orang tadi, mungkin hanya akan membuang waktu sa-

ja, karena tentunya mereka telah berada di tempat 

yang cukup jauh. Sebaiknya, kuteruskan saja lang-

kahku menuju Perguruan Laba-laba Perak...."

Memutuskan demikian, pemuda gagah berompi 

ungu ini sudah melesat meninggalkan tempat itu, ke 

arah yang berlawanan dengan kedua orang yang hanya 

dilihat pakaiannya saja dari belakang.

Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan seta-

pak yang dipenuhi ranggasan semak dan pepohonan, 

seorang gadis berkuncir dua yang memiliki paras ma-

nis, sedang menerjang pada lelaki muda yang menge-

nakan pakaian berwarna merah dengan garis hitam 

yang bersilangan di depan dada. Serangan si gadis 

berpakaian ringkas warna kuning ini sedemikian ga-

nas. Sepasang pedangnya berkilat-kilat diterpa cahaya


senja. Setiap kali digerakkan pedang-pedangnya, ter-

dengar suara angin membeset udara. 

Di pihak lain, nampak pemuda berambut gon-

drong dengan kain berwarna merah yang melingkari 

keningnya, berusaha untuk menghindari ganasnya se-

rangan si gadis. Dari sikapnya, dia hanya menghindar 

saja tanpa melakukan serangan balasan.

"Ratih! Tahan! Tahan dulu seranganmu!!" se-

runya sambil melompat ke belakang. 

Tetapi gadis manis yang dipanggil Ratih itu, tak 

menghiraukan seruannya. Justru semakin ganas me-

lancarkan serangannya. Kali ini angin yang keluar dari 

kedua pedangnya bergelombang mengerikan, bahkan 

cahaya bening pun terpancar menyilaukan.

Pemuda yang terus menghindar itu mendesah 

pendek. 

"Ah, hampir tujuh bulan gadis ini terus menerus 

memusuhi ku dan hingga saat ini tak ada tanda-tanda 

dia mau mendengarkan penjelasanku...," katanya da-

lam hati

"Lesmana! Jangan hanya menjadi kambing dun-

gu! Apakah kau sudah lupa dengan kepandaianmu 

sendiri?!" bentak Ratih sambil meluruk dengan kedua 

pedang siap ditancapkan pada dada Lesmana.

Lesmana memiringkan tubuhnya, lalu...

Sabetan pedang sebelah kanan Ratih, dihinda-

rinya dengan cara melompat ke belakang

Tanah muncrat terkena gelombang angin yang 

keluar dari sabetan pedang si gadis. Lalu dengan cara 

berputar dua kali di udara, Lesmana sudah berada di 

belakang si gadis.

Tetapi gadis berambut dikuncir dua itu segera 

membalik dengan tubuh seperti orang sedang kayang!

Sepasang pedangnya ditusukkan!


Wuuttt!!

Lesmana mundur. Dalam kedudukan si gadis se-

perti itu, sebenarnya Lesmana dapat mengirimkan satu 

tendangan dengan cara melompat. Tetapi tindakan itu 

tidak dilakukannya.

"Ratih! Dengarkan dulu penjelasanku!"

"Huh! Penjelasan yang akan kau perdengarkan 

tentunya hanya alasan usang seperti, tujuh bulan lalu 

kau sampaikan!" maki si gadis. Nafasnya mulai sedikit 

terengah. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Se-

pasang dadanya yang membusung naik turun. Dengan 

ganasnya dia terus melancarkan serangannya. 

Lesmana menarik napas.

"Ah, apakah aku memang sebaiknya melawan sa-

ja? Tetapi bila aku melawan, tentunya dia akan sema-

kin memusuhi ku. Dan tetap beranggapan kalau aku 

membela Resi Kala Jinjit"

Kemudian diputuskan untuk terus menghindar 

dengan harapan dapat menguras tenaga Ratih. Tetapi 

tatkala dilihatnya sepasang pedang si gadis berkelebat 

dengan memperlihatkan cahaya bening yang makin 

kentara, Lesmana tersentak.

"Kau telah mempergunakan jurus Pedang Bayan-

gan! Apakah kau memang harus melakukannya?!"

"Karena sikap pengecut mu, Guru mati di tangan 

Resi Kala Jinjit! Dan kepengecutannya itu adalah kesa-

lahan besar yang tak bisa dimaafkan! Kau harus mem-

bayar semua tindakanmu itu, Lesmana!!"

Lalu dengan gencarnya Ratih melancarkan se-

rangan dengan mempergunakan jurus 'Pedang Bayan-

gan'. Setiap kali disabetkan, ditusukkan atau dibacok-

kan pedangnya, setiap kali pula menggebah gelombang 

angin dingin. Disusul dengan cahaya bening yang 

membuat wajah Lesmana pias.


Tetapi pemuda itu tetap bersikeras untuk tidak 

melawan. Akibatnya tangan kirinya tergores ujung pe-

dang itu. Darah segar mengalir yang seketika ditekap 

dengan tangan kanannya. Tetapi yang dirasakan ke-

mudian, kalau tubuhnya mulai menggigil yang sema-

kin lama semakin hebat. Keringat sebesar kacang ijo 

seketika keluar lebih banyak.

Melihat keadaan pemuda di hadapannya, Ratih 

menyeringai sambil mengatur napas. Dia sudah meng-

hentikan serangannya.

"Kau terlalu bodoh karena menganggapku en-

teng, Lesmana! Padahal kau tahu, jurus 'Pedang 

Bayangan' sangat berbahaya! Tangan kirimu telah ter-

gores, berarti kau akan mendapatkan satu siksaan 

yang menyakitkan!!"

Lesmana merapatkan mulutnya, gigi-giginya di-

adu untuk menahan gigilan tubuhnya. Dengan wajah 

sedikit pucat dia berseru tersendat, "Ratih... kejadian 

yang dialami Guru, memang sudah seharusnya terja-

di...."

"Keparat! Dengan begitu kau membela Resi Kala 

Jinjit, hah?!" bentak Ratih menggelegar. Dia sudah be-

rubah menjadi seekor harimau betina liar.

"Tak ada yang ku bela dalam hal ini! Kita sama-

sama murid dari Setan Bayangan! Tetapi kita sama-

sama tidak tahu siapa sebenarnya guru kita itu! Yang 

kemudian kuketahui kalau dia adalah orang dari go-

longan sesat yang banyak membuat keonaran. Malam 

itu... aku dan Guru sedang menuju ke timur. Beru-

langkali kutanyakan pada Guru, apa yang akan dila-

kukannya di sana, tetapi berulangkali Guru memben-

tak ku hingga akhirnya aku diam saja mengiku-

tinya...."

Lesmana meringis. Gigilan tubuhnya semakin


menjadi-jadi. Ratih mendengarkan dengan tatapan tak 

berkedip.

"Kemudian... kemudian kuketahui kalau... kalau 

Guru membunuh seorang lelaki setengah baya yang 

berjuluk Pendekar Sedih. Guru memang mengalami 

luka parah dan dia menyuruhku untuk membawanya 

pergi setelah Pendekar Sedih tewas. Aku tidak tahu 

siapa Pendekar Sedih sebenarnya dan mengapa Guru 

membunuhnya. Tetapi di tengah jalan... seorang kakek 

yang di lehernya melingkar kalung Laba-laba Perak 

muncul dan meminta pertanggungjawaban Guru atas 

tewasnya Pendekar Sedih! Kala itulah aku tahu, kalau 

Guru diperintah oleh seseorang yang bernama Datuk 

Bunaeng! Kala itu pula ku tahu siapa Guru sebenar-

nya!"

"Biar bagaimanapun juga dia adalah gurumu, 

guru kita, Lesmana! Tak seharusnya kau membiarkan 

Resi Kala Jinjit membunuhnya!" 

Lesmana tak mempedulikan bentakan gadis ber-

kuncir dua di hadapannya. Dia terus berkata dengan 

mata yang mulai berkunang-kunang dan tubuhnya 

yang semakin terasa lemas, "Sudah tentu aku membe-

la Guru, di saat Resi Kala Jinjit menyerangnya. Tetapi 

dengan mudah aku dapat dikalahkannya!" 

"Dan kau membiarkan manusia itu lolos setelah 

membunuh Guru!" 

Lagi-lagi Lesmana tak menghiraukan bentakan 

Ratih, yang ternyata adalah adik seperguruannya. Dia 

berkata lagi, "Dari ucapan-ucapan Resi Kala Jinjit, ku-

ketahui, kalau orang yang berjuluk Datuk Bunaeng 

pernah dikalahkannya karena terlalu banyak membuat 

makar dan pembunuhan. Dan rupanya, Guru adalah 

termasuk salah seorang yang patuh pada Datuk Bu-

naeng!"


"Lantas kau membiarkannya tewas di tangan Resi 

Kala Jinjit! Dan aku akan menuntut balas perbuatan-

nya ini..."

"Resi Kala Jinjit telah tewas tanpa diketahui sia-

pa pembunuhnya.

"Bagus! Berarti memang hanya kaulah yang ha-

rus mati di tanganku untuk menebus segala kepenge-

cutanmu!" 

Lesmana mulai tak dapat menguasai keseimban-

gan

"Aku hanya ingin kau berpikir jernih dan men-

jauh dari persoalan rimba persilatan..."

"Jangan mengajari ku, Lesmana! Aku telah men-

dengar kabar, kalau Perguruan Laba-laba Perak akan 

mengadakan penobatan calon ketua baru sebagai 

pengganti Resi Kala Jinjit yang sudah mampus! Rasa 

hormatku pada Guru demikian besar siapa pun Guru 

adanya! Dan aku tak akan pernah tenang sebelum me-

lihat kehancuran Perguruan Laba-laba Perak!"

"Ratih... apa maksudmu?"

"Kau sudah tahu apa maksudku! Jelas aku akan 

membuat perhitungan dengan orang-orang Perguruan 

Laba-laba Perak! Bahkan kalau bisa, aku akan berse-

kutu dengan Datuk Bunaeng, sahabat Guru itu!"

Lesmana menggapai-gapai dan semakin ter-

huyung. 

"Ratih... kau hanya akan menimbulkan keonaran 

belaka, kau hanya akan memancing permusuhan...." 

"Ini kulakukan demi rasa baktiku pada Guru...." 

"Aku masih dan akan tetap berbakti pada Guru. 

Tapi...." 

"Walaupun Guru orang golongan hitam, tetapi dia 

tidak pernah menurunkan tabiat-tabiat buruknya pada 

kita! Apakah kau tidak merasakan seperti itu?"


"Karena itulah aku masih menghormatinya...," 

"Terkutuk!" maki Ratih keras. Kedua tangannya 

yang memegang pedang, bergetar. Matanya tajam me-

nusuk. Lalu bentaknya, "Kau berkata masih meng-

hormatinya, tetapi kau membiarkannya tewas di tan-

gan Resi Kala Jinjit! Huh! Kau seharusnya kubunuh 

lebih cepat! Tetapi bila itu kulakukan, kau malah me-

rasa lebih enak! Sebaiknya kau harus merasakan sik-

saan terlebih dulu akibat jurus ‘Pedang Bayangan’!" 

Lesmana terhuyung dan ambruk di atas tanah 

dengan tubuh menggigil lebih hebat. Dia masih beru-

saha untuk berbicara, "Jangan... jangan kau lakukan

tindakan itu, Ratih... jangan kau bersekutu dengan 

Datuk Bunaeng... "

"Dendam ku harus lunas!" 

"Kau... kau akan masuk pada jurang yang... akan 

menjerumuskan mu ke dalam tempat yang sesat!"

"Peduli setan dengan ucapanmu! Sebaiknya, 

nikmati saja perjalananmu menuju ke akhirat! Sebe-

lum matahari sepenggalah besok pagi, kau sudah 

mampus, Lesmana!!" bentak Ratih sambil memasuk-

kan sepasang pedang ke warangkanya yang bersilan-

gan di punggungnya. 

Di lain saat dia sudah berkelebat meninggalkan 

tempat itu. Di pihak lain, Lesmana masih berusaha 

menahan hawa dingin yang masuk ke tubuhnya. Teta-

pi dua kejapan mata berikutnya, dia telah jatuh pingsan.



DUA



SEBELUM matahari menampakkan bias-bias pa-

gi, Boma Paksi menghentikan langkahnya di jalan setapak. Mata angkernya berkeliling, memperhatikan se-

kelilingnya dengan seksama. Untuk beberapa lama 

pemuda dari Lembah Naga ini terdiam.

"Pagi sebentar lagi tiba. Sejak kemarin sore belum 

sekali pun aku beristirahat di luar dugaanku ternyata 

Perguruan Laba-laba Perak begitu jauh...."

Masih berdiri di tempatnya, Boma Paksi berpikir.

"Siapa Datuk Bunaeng sebenarnya? Menurut 

percakapan yang kudengar, dia telah menyusupkan 

orang-orangnya ke dalam tubuh Perguruan Laba-laba 

Perak. Ini sangat berbahaya, terutama bila tak seorang 

yang mengetahui adanya penyusup di tubuh mereka. 

Ah, malam purnama ini nampaknya akan menjadi 

banjir darah...." 

Mendadak saja Raja Naga memalingkan kepa-

lanya ke samping kanan. Menyusul kepalanya mene-

gak dengan kedua mata membelalak. Karena secara ti-

ba-tiba telah melangkah seorang nenek bongkok den-

gan konde kecil di atas kepalanya. Paras yang dipenuhi 

keriput itu sungguh tak menyenangkan untuk dilihat. 

Mulutnya yang tanpa gigi mengunyah-ngunyah sirih 

dan sesekali cairan merah dibuangnya dengan sikap 

enak saja. Tangan kanan kirinya berada di belakang 

pinggul dan dia mengenakan kain kebaya yang sudah 

sangat usang!

"Busyet, busyet! Katanya, tempat ini sepi! Cuma 

kuntilanak dan tuyul saja yang menghuni! Tapi kok 

ada manusia juga ya? Katanya, di sini mengerikan! Ta-

pi kok malah enak ya?! Jangan-jangan, pemuda ini 

memang setan gentayangan?!" 

Suara nyaring si nenek menyadarkan keterkesi-

maan Raja Naga. Buru-buru pemuda itu tersenyum. 

Belum lagi dia berkata, si nenek sudah berseru lagi,

"Eh, busyet! Katanya setan gentayangan tidak bisa tersenyum! Tapi yang ini kok tersenyum?! Hei anak 

muda! Kau ini setan atau orang?! Katanya, kalau setan 

memiliki sorot mata yang angker! Kau juga memiliki 

mata angker seperti setan! Dan cukup membikin da-

daku berdebar lebih keras!"

Bentakan itu disambut dengan senyuman lagi 

oleh Raja Naga.

"Kalau kau pernah melihat setan gentayangan, 

kuntilanak atau tuyul, tentunya kau dapat membeda-

kannya dengan orang bukan?!"

"Busyet lagi! Katanya, setan gentayangan tidak 

bisa ngomong? Tapi kok ini bisa ngomong?! Jangan-

jangan kau memang bukan setan gentayangan, ya?! 

Tapi katanya, ada juga setan gentayangan yang bisa 

ngomong!"

Raja Naga mendengus pelan, sambil memandan-

gi, si nenek yang selalu berkata dimulai dengan ‘ka-

tanya’.

"Nek! Biar kau raba-raba tubuhku, tetap saja aku 

ini orang!"

"Busyet, busyet betul-betul, betul-betul busyet! 

Katanya, cuma orang yang memang suka meraba-raba 

atau diraba-raba! Sini, sini... bagian mana yang harus 

ku raba-raba dari tubuhmu?" 

Raja Naga melongo.

"Edan! Nenek ini jangan-jangan rada-rada sint-

ing! Ngomongnya enak betul! Kok bagian mana yang 

harus diraba-raba?"

Selagi Boma Paksi menggerutu dalam hati, si ne-

nek bongkok berkata lagi, "Jangan-jangan... kau yang 

ingin meraba-raba ku ya? Hihihi... katanya, kalau di-

raba-raba itu enak, geli, selangit, nikmat, cihui, amboi! 

Katanya juga, kalau diraba-raba itu bisa naik birahi! 

Hihihi... aku jadi ingin merasakannya..."


"Waduh! ini nenek benar-benar sinting kalau be-

gitu," kata Boma Paksi dalam hati, Lalu berseru, "Nek! 

Tidak usah pakai meraba-raba atau diraba-raba! Yang 

pasti aku ini orang, bukan setan gentayangan!" Lalu 

buru-buru dialihkan kata-katanya, "Sebenarnya... apa 

yang sedang kau lakukan di tempat ini, Nek?"

"Katanya, kalau orang yang bertanya selalu harus 

dijawab! Anak muda... aku cuma iseng saja lewat tem-

pat ini. Katanya, tidak ada orang di sini! Sepi! Tapi ter-

nyata ada kau di sini! Kebetulan! Kebetulan!"

"Apanya yang kebetulan, Nek?" tanya Raja Naga 

sambil memandangi sosok si nenek.

Si nenek bongkok tidak segera menjawab. Mulut-

nya terus mengunyah sirihnya yang sesekali berlompa-

tan cairan merah encer dari mulutnya.

Kemudian dia berkata, "Katanya, kalau lagi ke-

bingungan atau tidak tahu jalan yang harus di tem-

puh, sebaiknya bertanya pada orang yang kebetulan 

berjumpa! Anak muda.. saat ini, aku sedang menuju 

ke Perguruan Laba-laba Perak.... Dan aku tidak tahu 

arah yang harus kutempuh! Apakah kau mengetahui 

di mana Perguruan Laba-laba Perak berada?!" 

Kening Raja Naga berkerut mendengar kata-kata 

si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tidak bersua-

ra.

Si nenek yang berseru lagi, "Katanya, kalau orang 

yang diajak bicara tidak bisa menjawab, ada dua ke-

mungkinan! Kalau tidak gagu ya budek! Tapi katanya, 

kalau tadi sudah berbicara dan mendengar itu, berarti 

tidak gagu atau budek! Terus kenapa?!"

Nenek yang selalu berucap semau jidatnya itu 

terkikik keras, membuat Boma Paksi terjaga dari ke-

terkejutannya. Dipandanginya si nenek yang diam-

diam sedang membatin, "Tatapannya itu, mengerikan


sekali. Penuh sorot keangkeran yang mampu menci-

utkan lawan. Katanya, hanya seorang yang memiliki 

sorot mata demikian kalau sedang marah. Katanya ju-

ga, orang itu suka kentut dan berasal dari Lembah Na-

ga. Tapi yang ini tidak sedang marah. Cuma tatapan-

nya itu ya angker betul!"

"Nek... saat ini aku juga sedang menuju ke Per-

guruan Laba-laba Perak...," kata Raja Naga kemudian.

"Menuju ke Perguruan Laba-laba Perak? Eh, bu-

syet! Katanya! di perguruan itu akan diadakan upacara 

penobatan Pangku Jaladara yang menggantikan kedu-

dukan Resi Kala Jinjit yang sudah mampus! Apa be-

nar?"

"Kalau si nenek bertanya demikian, nampaknya 

dia tidak menerima undangan seperti yang kuterima," 

kata Boma Paksi dalam hati. Lalu, "Yang kau katakan 

itu benar, Nek. Aku juga menangkap kabar seperti itu. 

Dan walaupun sedikit heran, seseorang yang mengaku 

dari Perguruan Laba-laba Perak tiba-tiba muncul dan 

memberikan sebuah undangan padaku. Apakah kau 

mendapatkannya juga?" 

"Undangan? Tidak! Aku tidak mendapat apa-apa! 

Diundang atau tidak, aku tetap akan datang ke sana! 

Katanya, Resi Kala Jinjit mampus tanpa diketahui sia-

pakah pembunuhnya! Apakah kau juga tahu tentang 

soal itu?"

Raja Naga menganggukkan kepalanya.

"Hemm... aku belum mengetahui apa maksud si 

nenek datang ke Perguruan Laba-laba Perak. Menilik 

gelagatnya, walaupun setiap kali berucap semau jidat-

nya saja, dia bukanlah orang golongan hitam. Tapi di 

rimba persilatan ini, keadaan bisa berbalik demikian 

cepat."

Habis membatin demikian, pemuda berompi ungu ini berkata, "Kabar juga telah kudengar, kalau Resi 

Kala Jinjit, Ketua Perguruan Laba-laba Perak sebe-

lumnya, telah tewas dibunuh oleh seseorang yang ti-

dak diketahui siapa adanya. Dan satu hal lain yang ju-

ga kudengar, kalau saat ini seseorang atau boleh dika-

takan beberapa orang sedang berkumpul untuk mela-

kukan tindakan makar pada Perguruan Laba-laba Pe-

rak!"

"Tindakan makar?! Katanya, kalau orang berbica-

ra sesuatu yang belum diketahui oleh orang yang 

mendengarnya, sebaiknya si pendengar memang men-

dengarkan saja! Anak muda, lanjutkan lagi kata-

katamu!"

Raja Naga memandangi dulu si nenek yang tetap 

asyik mengunyah sirihnya. Lalu perlahan-lahan dia 

berkata, "Sebelum ku lanjutkan kata-kataku, apakah 

kau mengenal seseorang yang bernama Datuk Bu-

naeng?"

Kepala si nenek mendadak saja menegak. Mulut-

nya yang selalu asyik mengunyah sirih tiba-tiba ter-

henti. Untuk beberapa saat dia hanya memandangi 

pemuda di hadapannya.

"Dari gelagatnya, si nenek nampaknya mengenal 

orang bernama Datuk Bunaeng," kata Raja Naga dalam 

hati dan tidak mencoba untuk membuat si nenek un-

tuk segera menjawab pertanyaannya. 

Suasana hening. Matahari mulai menampakkan 

bias-biasnya. Sebagian embun telah mengering. Angin 

masih tetap berhembus dingin. Di kejauhan, gumpalan 

kabut masih menggumpal. 

Perlahan-lahan mulut si nenek bergerak lagi 

mengunyah-ngunyah sirihnya. Sambil mengunyah dia 

mengajukan tanya, "Katanya, kalau ada orang yang 

menanyakan sesuatu, ada dua kemungkinan! Pertama,


dia memang tidak tahu sama sekali. Kedua, mencoba 

untuk meyakinkan apa yang telah diketahuinya! Anak 

muda... kau berada pada posisi yang mana?" 

"Nek... aku bertanya, karena aku tidak tahu siapa 

Datuk Bunaeng sebenarnya! Dan pertanyaanku ini, 

sehubungan dengan apa yang kukatakan tadi, kalau 

ada sekelompok orang yang akan berbuat makar."

"Dan kau maksudkan, Datuk Bunaeng yang be-

rada di balik semua ini?"

"Belum dapat kupastikan soal itu! Tetapi apa 

yang kudengar memang demikian," kata Raja Naga lalu 

men-ceritakan apa yang telah didengarnya kemarin. 

Kepala si nenek mengangguk-angguk. Mulutnya masih 

tetap asyik mengunyah-ngunyah sirihnya.

"Kalau tak salah ingat, katanya, beberapa tahun 

lalu Resi Kala Jinjit pernah mengalahkan Datuk Bu-

naeng! Karena Resi Kala Jinjit memiliki kelembutan 

tinggi, dia hampir tak pernah membunuh lawan-

lawannya walaupun lawan-lawannya itu berusaha 

dengan akal yang paling licik untuk mencelakakannya! 

Katanya pula, Datuk Bunaeng mendendam pada Resi 

Kala Jinjit! Dan saat ini aku beranggapan kalau Datuk 

Bunaeng-lah yang telah membunuh Resi Kala Jinjit!"

Raja Naga menggelengkan kepalanya.

"Apa yang kudengar tidak mengarah ke sana! Wa-

laupun aku belum jelas dengan masalah yang ada, aku 

dapat menarik kesimpulan kalau kematian Resi Kala 

Jinjit memang tidak diketahui siapa pun! Apakah kau 

mengetahuinya, Nek?"

"Bicara sembarangan!" tiba-tiba si nenek me-

nyembur hingga cairan merah dari mulutnya menye-

bar. "Jelas aku tidak tahu siapa yang telah membu-

nuhnya! Caranya dia mampus pun aku tidak tahu! Te-

tapi dengan kematiannya, aku menyikapi hal itu sebagai suatu musibah yang mengejutkan! Biar bagaima-

napun juga, aku bersahabat baik dengan Resi Kala 

Jinjit! Tapi sayangnya, aku belum pernah sekali pun 

juga ke Perguruan Laba-laba Perak! Kembali ke masa-

lah semula, apakah kau tahu arah yang harus kutem-

puh untuk menuju ke Perguruan Laba-laba Perak?" 

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di-

penuhi sisik-sisik kecoklatan menggelengkan kepala.

"Aku tidak begitu pasti ke mana arah yang harus 

ditempuh untuk menuju ke Perguruan Laba-laba Pe-

rak! Tetapi, tujuanku ke arah timur...."

"Kalau begitu, aku akan berangkat ke sana! Oya, 

apakah kau bersedia melangkah bersamaku?" 

Raja Naga tak menjawab. Justru pertanyaan yang 

keluar dari mulutnya, "Kalau boleh aku tahu, ada tu-

juan apa kau ke sana, Nek?" 

Si nenek terkikik. 

"Aku tahu kau bertanya demikian, karena aku ti-

dak mendapat undangan!" 

Murid Dewa Naga buru-buru menggelengkan ke-

palanya.

"Aku tidak berpikir demikian! Karena terus te-

rang, sebelumnya aku tidak tahu mengapa aku diun-

dang dan untuk apa aku ke sana?!"

"Pangku Jaladara tentunya menghendaki pengu-

kuhan dirinya sebagai Ketua Perguruan Laba-laba Pe-

rak yang baru! Dan dia menginginkan kehadiran para 

tokoh rimba persilatan untuk mengukuhkan dirinya! 

Dan aku yakin, kau bukanlah orang sembarangan, 

Anak muda, mengingat kau diundang!"

Raja Naga mendesah dalam hati.

"Aku hanyalah orang kebanyakan belaka, dan tak 

memiliki apa-apa."

"Katanya, kalau orang yang merendah itu ada


dua tujuan. Pertama, dia memang merasa tidak enak 

mengatakan yang sebenarnya hingga menutupi siapa 

dirinya! Kedua, dia melakukan tindakan seperti itu 

semata untuk mendapatkan pujian, agar lawan bica-

ranya terkagum-kagum atas kerendahan hatinya! Ka-

lau kau punya pikiran yang kedua, berarti kau tak se-

perti yang kuduga dan itu artinya, aku tak segan-

segan untuk menampar mulutmu sekarang!"

Boma Paksi terkejut juga mendengar ucapan rin-

gan si nenek. Lalu sambil tersenyum dia berkata, "Tadi 

kukatakan, aku tidak tahu mengapa aku diundang! 

Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi di sana! Ka-

laupun aku ingin datang sekarang, karena aku telah 

mengetahui sekelompok orang yang berada di bawah 

pimpinan Datuk Bunaeng akan melakukan tindakan

makar di sana!" 

"Baguslah kau berkata jujur seperti itu, padahal 

tanganku sudah gatal sebenarnya!" 

"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Nek!"

Si nenek terkikik dulu. Lalu mengarahkan pan-

dangannya ke kejauhan.

Sambil mengunyah sirihnya dia berkata, "Ka-

tanya, setiap kali ada pengangkatan ketua baru di Per-

guruan Laba-laba Perak, maka orang itu akan berhak 

mengalungi kalung Laba-laba Perak yang merupakan 

lambang dari perguruan itu! Tanpa kalung itu, maka 

orang yang dikukuhkan sebagai ketua baru, sama se-

kali tak sah! Dan aku yakin, dengan tewasnya Resi Ka-

la Jinjit, kalung Laba-laba Perak telah dilepaskan dari 

lehernya, yang akan dikalungkan pada Pangku Jalada-

ra selaku calon penggantinya!"

"Kedatanganmu ke sana, dengan tujuan kalung 

itu?" tanya Raja Naga.

Perlahan-lahan si nenek menganggukkan kepalanya seraya berpaling.

"Tidak salah!"

"Kalau kau hanya bertujuan pada kalung itu, se-

benarnya apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan mengambil kalung itu!" 

Menegak kepala Raja Naga mendengar jawaban si 

nenek. Tatapan angkernya tak berkedip pada orang di 

hadapannya yang sedang mengunyah sirih sambil 

nyengir.

"Astaga! Sungguh di luar dugaanku!" desis pe-

muda dari Lembah Naga ini dalam hati. "Baru kuketa-

hui tentang kalung Laba-laba Perak yang menjadi buk-

ti dan sahnya seseorang menjadi Ketua Perguruan La-

ba-laba Perak! Tetapi si nenek datang ke perguruan itu 

justru hendak mengambil kalung itu! Astaga! Apa yang 

sebenarnya diinginkan nenek ini? Dan mengapa dia 

hendak melakukan tindakan itu?" 

Selagi Raja Naga membatin demikian, si nenek 

berseru "Aku yakin kau merasa heran dengan apa 

yang ku katakan! Dan aku yakin kau mulai merasa 

marah padaku! Tetapi aku tidak peduli! Aku akan me-

rebut kalung Laba-laba Perak!" 

"Dengan kata lain, kau tidak menyetujui Pangku 

Jaladara menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak?" 

suara Raja Naga dingin, sedingin tatapannya. 

"Aku tidak berkata begitu!"

"Lantas.,. apa yang kau inginkan sebenarnya, 

Nek?!”

"Tak lama lagi... kau akan tahu jawabannya.... 

Raja Naga!" belum habis seruannya, sosok si nenek 

sudah berkelebat. 

"Heii!” Raja Naga berpaling ke kanan. Sempat di-

rasakan desiran angin yang cukup kuat saat si nenek 

berkelebat. Begitu kepalanya dipalingkan, sosok si nenek itu telah lenyap dari pandangannya. "Astaga! ilmu 

peringan tubuh yang diperlihatkannya sungguh luar 

biasa!"

Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah Naga 

ini terdiam. Sorot matanya yang angker memandang ke 

arah si nenek berkelebat tadi.

"Rupanya dia mengetahui siapa aku, tetapi aku 

belum tahu siapa dirinya. Ah, keadaan ini benar-benar 

membuat aku menjadi semakin penasaran."

Beberapa saat lamanya, pemuda berompi ungu 

ini terdiam memikirkan apa yang sekarang menjadi pi-

kirannya. 

"Hemmm... jawaban demi jawaban masih belum 

terangkai. Jalan satu-satunya, aku memang harus tiba 

di Perguruan Laba-laba Perak...."

Memutuskan demikian, pemuda bersisik coklat 

pada kedua tangannya sebatas siku ini, sudah berlari 

meninggalkan tempat itu. Rambutnya yang dikuncir 

ekor kuda berlompatan saat dia berlari.


TIGA


MALAM purnama pun tiba. Langit cerah bukan 

alang kepalang dan mampu membuat orang untuk me-

lupakan sejenak urusannya guna menikmati panora-

ma indahnya langit. Bulan bulat bundar, membentuk 

bayang-bayang bidadari yang sedang mandi dalam 

dongeng pengantar tidur.

Tetapi di lapangan yang cukup besar itu, tak seo-

rang pun yang memperhatikan keindahan lukisan 

alam yang terbentang pada langit cerah. Mereka ber-

kumpul di lapangan itu dengan mulut yang laksana


dengungan lebah, tak jauh dari sebuah panggung be-

sar yang dipenuhi rumbai dan umbul-umbul. Pada ba-

gian atas panggung itu, terdapat ukiran seekor Laba-

laba berwarna perak. Dan walaupun berkumpul di 

tempat yang sama, tetapi mereka membentuk kelom-

pok-kelompok.

Raja Naga berdiri agak di sebelah kiri. Di sisinya, 

nampak seorang lelaki berusia lanjut yang asyik men-

gedip-ngedipkan matanya. Rupanya si kakek yang 

mengenakan pakaian dan jubah biru panjang ini 

mempunyai kebiasaan mengedip-ngedipkan matanya 

itu. Sepasang matanya memancarkan keteduhan. Hi-

dungnya agak mancung dengan rambut putih tak be-

raturan. Terbayang sisa-sisa ketampanannya di masa 

muda.

Berdiri di sebelah kanan si kakek, seorang pemu-

da yang diperkirakan berusia dua tahun lebih tua dari 

Raja Naga. Pemuda itu berwajah tampan dengan tubuh 

tegap dan gagah. Mengenakan pakaian berwarna me-

rah dengan garis hitam yang bersilangan di depan da-

da. Di kening pemuda berambut gondrong ini, terdapat 

ikatan berwarna merah.

Dan nampaknya pemuda ini sedang celingukan 

ke sana kemari, seperti mencari sesuatu atau seseo-

rang. Kelihatannya dia belum puas bila belum mene-

mukan apa yang dicarinya, terbukti dia masih terus 

celingukan.

Sampai pandangannya terbentur pada sepasang 

mata angker yang sedang menatapnya. Sejenak si pe-

muda terkejut begitu melihat tatapan angker itu. Teta-

pi tatkala si pemilik mata angker tersenyum dan men-

ganggukkan kepala, dia juga tersenyum.

"Astaga! Pemuda berompi ungu itu nampak ra-

mah, tetapi tatapannya...."


Terdengar suara si kakek yang sedang mengedip-

ngedipkan matanya, "Keparat betul! Sudah hampir se-

penanakan nasi aku berdiri di sini, tetapi belum juga 

di-mulai upacaranya! Huh! Kalau aku tidak ingin tahu 

siapa yang menggantikan kedudukan Resi Kala Jinjit, 

buat apa aku datang ke tempat ini?"

Pemuda yang mengenakan pakaian berwarna me-

rah dengan garis hitam yang bersilangan di depan da-

da melirik. Lalu berkata, "Bila kau tidak datang ke 

tempat

ini, mungkin kau tidak akan menemukan dan menye-

lamatkanku, Orang Tua!"

"Huh! Urusan menyelamatkanmu atau tidak, se-

benarnya bukan urusanku Lesmana! Karena aku kebe-

tulan lewat saja makanya kau kutolong!" seru si kakek 

sambil mengedip-ngedipkan matanya. 

Raja Naga yang mendengar percakapan itu mem-

batin, "Nampaknya sebelum ini, pemuda yang bernama 

Lesmana itu sedang mengalami nasib sial dan ditolong 

oleh si kakek ini. Hemmm... sejak tadi belum kulihat 

nenek yang berniat hendak mengambil kalung Laba-

laba Perak itu berada di antara orang-orang ini...."

Tiba-tiba dengungan yang terdengar di sana-sini 

itu pecah tatkala seorang perempuan yang mengena-

kan pakaian panjang berwarna hijau muncul. Di selu-

ruh pakaian yang dikenakan si perempuan itu terdapat 

butiran berlian yang berkilauan. Paras perempuan ini 

bukan main jelitanya. Di atas rambutnya yang indah, 

terdapat sebuah mahkota bersusun tiga. Di telinganya 

dua buah anting bertakhtakan berlian empat butir ter-

pampang jelas. Di samping kehadirannya yang tiba-

tiba dan pesona wajahnya yang menggetarkan, juga 

bagian pucuk sepasang bukit kembarnya membuat 

orang-orang di sana, terutama yang laki-laki berdecak


decak.

Karena pakaian yang dikenakan si perempuan itu 

begitu rendah, hingga bongkahan mulus terpampang 

jelas. Langkahnya anggun, ringan dan teratur. Saat dia 

melangkah, terlihat jelas sepasang paha gempal meng-

giurkan yang membuat para lelaki di sana menelan lu-

dah. 

"Huh!" si kakek yang berdiri bersebelahan dengan 

Raja Naga mendengus. "Mau apa perempuan itu mun-

cul di sini?" 

Pemuda yang berdiri di samping kanan si kakek 

bertanya, "Siapakah dia, Orang Tua?"

"Dia dijuluki orang-orang rimba persilatan den-

gan julukan angker: Dewi Berlian. Memiliki kekejaman 

tiada banding di muka jagat ini." 

"Lantas, mengapa kau harus kesal melihat ke-

munculannya?" 

"Seperti kebiasaannya, bila dia hadir, pasti akan 

timbul keonaran!" 

Lesmana memandangi perempuan berpakaian hi-

jau yang rendah di bagian dada dan terbelah di bagian 

paha. Pemuda yang secara tak sengaja ditemukan oleh 

orang tua di sampingnya ini, menahan napas melihat 

keindahan bukit kembar Dewi Berlian. Lalu dipaling-

kan kepalanya ke tempat yang lain, kembali melihat-

lihat orang yang dicarinya. 

"Ah, jangan-jangan.... Ratih memang menjumpai 

Datuk Bunaeng untuk menjadi sekutunya. Sangat dis-

ayangkan, mengapa Ratih terus terbawa amarahnya 

padahal Guru bukanlah orang baik-baik? Bila saja ka-

kek yang berjuluk Dewa Jubah Biru ini tidak muncul, 

tentunya aku sudah tewas akibat jurus 'Pedang 

Bayangan'.

Sementara itu, perempuan berparas jelita yang


berdiri di tengah-tengah tiba-tiba berseru, suaranya 

sangat merdu dan membuat orang terpesona, "Di mana 

calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang baru?! 

Mengapa sampai saat ini belum juga muncul?! Padah-

al, orang-orang sudah banyak berkumpul!"

Tak ada sahutan apa-apa atas seruannya. Justru 

sebagian orang terpana melihat pesona indah yang su-

kar ditepiskan yang terpancar dari tubuh Dewi Berlian. 

Perempuan ini menggerakkan kepalanya. Rambutnya 

yang hitam tergerai itu menguarkan aroma wangi yang 

cukup memabukkan.

"Bila memang tidak berani muncul, mengapa ha-

rus mengadakan upacara penobatan ini segala?! Huh! 

Sebaiknya... dihancurkan saja panggung itu!!"

Habis ucapannya, dengan gemulai Dewi Berlian 

mengangkat tangannya dan siap mendorongnya.

Raja Naga tersentak sedikit melihat apa yang 

akan dilakukan oleh Dewi Berlian. Tetapi sebelum De-

wi Berlian melakukan tindakannya, mendadak saja 

terdengar beberapa seruan,

"Datuk Bunaeng!"

Seketika orang-orang yang berada di sana terma-

suk Raja Naga mengarahkan pandangan ke belakang. 

Seorang kakek yang mengenakan pakaian dan jubah 

hitam melangkah angkuh. Sorot matanya kejam. Hi-

dungnya bengkok dengan sepasang alis hitam yang 

menyatu. Rambutnya sudah memutih dan dikelabang. 

Di sisi kanan kakek itu melangkah seorang perempuan 

tua yang mengenakan pakaian compang-camping ber-

warna hitam. Tangan kurus si nenek menggenggam 

sebuah tongkat berkepala ular. Bila saja si nenek ma-

sih muda atau memiliki tubuh yang indah seperti diri 

Dewi Berlian, sudah tentu pemandangan yang terlihat 

akibat pakaiannya yang compang-camping, akan


membuat para lelaki di sana mendengus-dengus. Teta-

pi tak seorang pun yang mengeluarkan kata. Karena 

mereka tahu, nenek berjuluk Ratu Tongkat Ular itu 

memiliki ilmu yang tak bisa dipandang sebelah mata. 

Di samping kiri Datuk Bunaeng, melangkah seorang 

gadis berparas manis yang mengenakan pakaian ber-

warna kuning. Sepasang pedang bersilangan di pung-

gungnya.

"Ratih...," desis Lesmana pelan. 

Raja Naga melirik. Dewa Jubah Biru mendengus.

"Huh! Kau meneriakkan sebuah nama! Berarti, 

gadis itukah yang kau katakan sebagai adik sepergu-

ruanmu yang mencoba mencelakakanmu?"

Tanpa mengalihkan pandangannya pada Ratih, 

Lesmana menganggukkan kepalanya. 

Dewa Jubah Biru berkata, "Dia telah bersekutu 

dengan Datuk Bunaeng! Dan aku merasa pasti, kalau 

sesuatu akan terjadi tempat ini!" 

Lesmana tak menjawab. 

Raja Naga mendesis dalam hati, "Hemmm... ka-

kek itulah yang bernama Datuk Bunaeng. Kemuncu-

lannya membuat banyak orang terkesiap. Dan suara-

suara bagai dengungan tadi tak lagi kudengar begitu 

ramai... "

Di pihak lain, Lesmana masih terdiam. Kegunda-

han mendadak saja dirasakan. Dilihatnya Ratih yang 

tiba-tiba menatapnya. Dilihatnya pula bagaimana wa-

jah adik seperguruannya itu tiba-tiba berubah, tegang 

dan kaget. Tetapi kemudian dia melangkah mengikuti 

langkah Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular. 

Ketiga orang itu berhenti di hadapan Dewi Ber-

lian yang tersenyum. "Tak kusangka kita berjumpa di 

sini, Datuk Bunaeng! Bagaimana kabarmu?" 

Kakek berwajah angkuh itu mengangkat kepalanya. 

"Jangan mencoba untuk bersikap bersahabat 

denganku kalau masih sayang nyawa!"

Dewi Berlian tidak gusar dibentak seperti itu. Dia 

malah terkikik pelan, membuat Datuk Bunaeng men-

dengus. 

Ratu Tongkat Ular berkata, "Lebih baik menying-

kir dari tempat ini!" 

Dewi Berlian tersenyum.

"Kupikir kau sudah mampus dibunuh Resi Kala 

Jinjit, Ratu Tongkat Ular! Tapi nyatanya... kau masih 

hidup sampai sekarang! Tentunya... kau punya ilmu 

hebat! Atau... kau memiliki 'nyawa rangkap?"

Mendengar ejekan itu, seketika wajah si nenek 

berpakaian compang-camping yang memperlihatkan 

sepasang bukit kembarnya yang sudah peot dan turun 

ini berubah. Hampir saja digerakkan tongkat berkepala 

ularnya, bila saja dia tidak ingat akan tugas yang telah 

dibebankan oleh Datuk Bunaeng.

Dewi Berlian menyeringai. 

"Suatu waktu, aku ingin melihat kenyataan, apa-

kah kau memang memiliki nyawa rangkap, atau hanya 

kebetulan saja kau selamat dari kematian!" 

Tanpa menghiraukan kemarahan Ratu Tongkat 

Ular, Dewi Berlian menyingkir dari tempatnya. Aroma 

wangi yang menguar dari rambutnya menyebar.

Dewa Jubah Biru menggeram.

"Huh! Mengherankan! Mengapa Pangku Jaladara 

mengundang orang-orang seperti mereka?!"

Raja Naga yang sejak tadi hanya mendengarkan 

saja apa yang diucapkan oleh Dewa Jubah Biru dan 

Lesmana, kali ini buka mulut, "Orang tua... kau nam-

paknya tidak menyukai orang-orang seperti mereka. 

Apakah kau memang mengetahui siapakah kedua


nya?"

Tanpa menoleh Datuk Jubah Biru menjawab, 

"Yang lelaki berkepala panjul itu bernama Datuk Bu-

naeng! Yang perempuan tua berpakaian tidak tahu 

malu itu berjuluk Ratu Tongkat Ular! Kalau si gadis... 

tentunya kau sudah mendengar sendiri tadi! Dia ber-

nama Ratih! Adik seperguruan dari Lesmana!" Masih 

tanpa menoleh Datuk Jubah Bitu menyambung, "Anak 

muda... tentunya kau telah mendengar setiap percaka-

panku dengan Lesmana. Katakan, siapa kau, adanya? 

Aku menangkap satu gelagat tak menguntungkan atas 

upacara ini...."

Raja Naga tak segera menjawab. Diliriknya si ka-

kek yang belum juga memalingkan kepalanya. Lalu, 

"Namaku Boma Paksi...." 

"Hemm... Boma Paksi! Sebaiknya kau segera 

tinggalkan tempat ini, karena bencana akan segera da-

tang"

"Bencana seperti apakah yang kau maksudkan, 

Orang Tua?"

"Setelah kematian Resi Kala Jinjit, kutangkap 

kabar kalau orang-orang yang pernah dikalahkannya 

telah bermunculan! Dan dua orang yang pernah dika-

lahkannya itu adalah Datuk Bunaeng serta Ratu Tong-

kat Ular! Tentunya mereka telah bersekutu untuk 

menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak kendati 

Resi Kala Jinjit sudah mampus!"

"Apakah masih ada orang-orang yang berkumpul 

di tempat ini yang pernah dikalahkan oleh Resi Kala 

Jinjit?"

"Aku sudah tua! Otakku tak bisa banyak mere-

kam seperti dulu!" sahut Dewa Jubah Biru tetap tanpa 

menoleh. Kemudian lanjutnya, "Gadis bernama Ratih 

itu adalah adik seperguruan Lesmana! Mereka sama


sama berguru pada Setan Bayangan dan sama-sama 

tidak tahu belangnya Setan Bayangan! Resi Kali Jinjit 

telah membunuhnya! Lesmana merelakannya, tetapi 

adik seperguruannya justru hendak membalas den-

dam! Bahkan dia tega mencelakakan Lesmana! Huh! 

Resi Kala Jinjit... kau mampus pun masih membawa 

petaka saja!"

Pemuda bersisik coklat sebatas siku itu tak men-

jawab. Sepasang matanya yang angker memperhatikan 

Datuk Bunaeng dengan seksama. Lalu dilihatnya se-

pasang mata gadis berpakaian kuning menatap tajam 

pada Lesmana. Yang ditatap tak melakukan tindakan 

apa-apa kecuali hanya mendesah pendek.

Tiba-tiba keheningan itu dipecahkan oleh teria-

kan Datuk Bunaeng, 

"Pangku Jaladara! Apakah seperti ini tindakanmu 

selaku tuan rumah terhadap para tamu?! Atau... kau 

hanya ingin melihat kami berkumpul saja?!"

Belum habis teriakan itu terdengar, satu sosok 

tubuh telah melompat ke atas panggung. Sikapnya ga-

gah dengan sepasang mata yang dibuka angkuh. Ke-

dua kakinya dibuka agak lebar. Dia bernama Geragah 

Soka.

Kemudian dia berseru keras, "Atas nama calon 

Ketua Pangku Jaladara, kami mengucapkan terima ka-

sih yang sebesar-besarnya atas kedatangan para tokoh 

rimba persilatan! Sebentar lagi, upacara penobatan 

Pangku Jaladara selaku Ketua Perguruan Laba-laba 

Perak akan segera dimulai!"

Lalu bermunculan delapan pemuda gagah yang 

mengenakan pakaian berwarna jingga. Geragah Soka 

mundur. Sementara kedelapan pemuda itu merang-

kapkan tangan masing-masing di depan dada dan 

membungkuk penuh hormat.


Orang yang berbicara tadi berseru,

"Sambil menunggu saat-saat yang agung, kami 

persilakan para hadirin untuk menikmati sedikit ilmu 

milik Perguruan Laba-laba Perak!" 

Lalu kedelapan pemuda itu saling berhadapan 

dua-dua, membentuk empat baris. Kejap lain mereka 

sudah melancarkan serangan demi serangan.

Datuk Bunaeng menggeram, "Ilmu Perguruan La-

ba-laba Perak tak seberapa, tapi masih juga hendak 

dipamerkan! Apakah dengan cara seperti ini sudah 

menunjukkan keburukan Perguruan Laba-laba Pe-

rak?!"

Orang yang berbicara tadi menggeram dingin. Te-

tapi buru-buru dia tersenyum, "Apa yang kami pertun-

jukkan ini, bukan dengan maksud membanggakan di-

ri! Bila Datuk Bunaeng tak berkenan dengan acara 

pembukaan ini, silakan tinggalkan tempat ini dan 

kembali lagi di saat upacara dimulai!" 

Berubah wajah kakek berambut dikelabang ini. 

Kalau sejak pertama dia sudah punya niat untuk 

menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak, niatnya 

semakin menjadi-jadi. Di antara orang-orang yang ber-

kumpul itu, terdapat tiga orang sekutunya. Sementara 

di dalam bangunan besar itu, telah disusupkan sekitar 

empat orang suruhannya. 

Tetapi Datuk Bunaeng merasa sekarang bukan-

lah saat yang tepat. Aksinya akan dimulai bila upacara 

penobatan Pangku Jaladara selaku Ketua Perguruan 

Laba-laba Perak yang baru akan dilaksanakan! 

Dia hanya menyeringai lebar.


EMPAT

HUH! Tak kusangka kalau murid Perguruan La-

ba-laba Perak berani berucap lantang seperti itu terha-

dap Datuk Bunaeng! Rasanya, firasat ku akan menjadi 

kenyataan kalau banjir darah akan dimulai!" desis De-

wa Jubah Biru tetap dengan mengedip-ngedipkan ma-

tanya.

"Orang tua... bila memang firasat mu mengata-

kan demikian, apakah kita tidak sebaiknya mengambil 

tindakan?" tanya Raja Naga setelah memperhatikan 

sekelilingnya. Dia tetap tak menemukan si nenek yang 

selalu mengunyah sirih yang hendak mencuri kalung 

Laba-laba Perak yang merupakan tanda sahnya seseo-

rang menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak.

"Tindakan apa yang harus kulakukan? Siapa 

yang akan berbuat makar pun aku tidak tahu, kecuali 

melihat tanda-tanda yang diperlihatkan oleh Datuk 

Bunaeng!" Raja Naga tak menjawab. Dia justru berkata 

dalam hati, "Keadaan memang mulai terasa mence-

maskan. Kulihat ada beberapa kelompok orang yang 

mulai meninggalkan tempat ini. Mungkin mereka me-

rasa sia-sia datang tetapi acara belum juga dilaksana-

kan. Bisa jadi pula kalau mereka menangkap gelagat 

yang tidak menguntungkan dan enggan untuk turut 

campur. Dan rasanya... tak mungkin kalau Pangku Ja-

ladara yang belum kuketahui siapa orangnya, menun-

da acara penobatannya sedemikian lama. Apakah telah 

terjadi sesuatu di dalam perguruan itu? Atau jangan-

jangan... si nenek yang selalu mengunyah sirih dan se-

tiap kali berkata selalu memakai 'katanya', telah mela-

kukan aksinya?"


Dewa Jubah Biru berkata, "Mengapa kau diam 

saja, hah?! Apakah kau mendadak bisu, atau kau se-

dang memikirkan sesuatu?" 

Raja Naga memandang si kakek yang tetap tak 

menoleh padanya. "Hemmm... kakek ini nampaknya 

adalah orang dari golongan lurus. Sebaiknya, kuceri-

takan saja pertemuanku dengan si nenek yang selalu 

mengunyah sirih."

Memutuskan demikian, Raja Naga segera mence-

ritakan perjumpaannya dengan si nenek. Usai dia ber-

cerita, kepala Dewa Jubah Biru berpaling. Dipandan-

ginya pemuda itu dengan seksama. Bukannya dia 

membuka mulut, justru keningnya yang berkerut. "Gi-

la! Tatapannya itu... begitu angker sekali! Murid siapa-

kah dia? Hemm... rasanya aku salah bila tadi dia ku-

minta untuk meninggalkan tempat ini."

Kemudian Dewa Jubah Biru berkata, "Katamu 

tadi, si nenek yang mengunyah sirih, bertubuh bong-

kok, ada konde kecil di kepalanya dan mengenakan 

kebaya butut?" 

Raja Naga menganggukkan kepalanya. 

"Hemm... Dewi Pengunyah Sirih!" desis Dewa Ju-

bah Biru kemudian. "Apa-apaan dia mengatakan kalau 

dia hendak mencuri kalung Laba-laba Perak!”

"Tahukah kau siapakah sesungguhnya Dewi Pen-

gunyah Sirih itu, Orang Tua?" tanya Raja Naga.

"Jangan tanyakan aku soal itu! Aku sendiri ma-

sih gelap tentang dirinya, kecuali sepak terjangnya 

yang sama sekali tidak terduga. Hemm... aku masih 

dibingungkan dengan maksudnya untuk mencari ka-

lung Laba-laba Perak! Anak muda... apakah kau tidak 

salah mendengar?"

"Aku jelas mendengar kata-katanya!"

"Brengsek! Jangan-jangan...," Dewa Jubah Biru


memutus kata-katanya sendiri. Sambil memandangi 

Raja Naga dia berkata, "Apa yang akan kau lakukan 

sekarang?"

"Hemmm... dia sudah bertanya seperti itu dan 

tentunya dia juga mulai curiga mengapa-acara ini be-

lum juga dilaksanakan," kata murid Dewa Naga dalam 

hati. Lalu, "Orang tua... aku menduga, kalau Dewi 

Pengunyah Sirih telah mengambil kalung Laba-laba 

Perak, sehingga acara penobatan Ketua Perguruan La-

ba-laba Perak belum juga dilaksanakan." 

"Aku juga menduga demikian!" 

"Kalau begitu... aku akan mencoba untuk menye-

linap dan melihat keadaan di dalam Perguruan Laba-

laba Perak." 

"Bagus! Aku menyukai anak muda yang pembe-

rani! Berhati-hatilah!" 

Bersamaan pertunjukan di atas pentas selesai 

dan digantikan dengan seorang murid Perguruan Laba-

laba Perak yang mempertunjukkan ilmu perguruan itu.

Raja Naga segera menyelinap di antara orang-

orang yang hadir. Dia mengambil jalan ke kanan, lalu 

berkelebat ke belakang.

Perguruan Laba-laba Perak dikeliling tembok 

yang cukup tinggi. Sebelum dia melompati tembok itu, 

terdengar suara cukup keras, "Perketat penjagaan! 

Tentunya pencuri itu masih berada di sekitar sini! Dan 

ingat, jangan sampai orang luar tahu, kalau kalung 

Laba-laba Perak telah dicuri orang!"

"Bagaimana dengan Ketua?"

"Walaupun agak bingung, resah dan marah, Ke-

tua Pangku Jaladara masih bisa mengendalikan diri. 

Cepat kalian menyebar! Dan usahakan menyelinap di 

antara orang-orang yang berada di luar! Cari tahu sia-

pa si pencuri keparat itu! Barangkali saja dia menyelinap di antara orang-orang itu!"

Di tempatnya, Raja Naga terpaku mendengar su-

ara-suara itu. Tanpa sadar dadanya berdebar cukup 

keras.

"Dugaanku tepat, kalau kalung Laba-laba Perak 

telah dicuri orang! Hemm... kemungkinannya besar se-

kali kalau Dewi Pengunyah Sirih yang telah mencuri 

kalung itu! Aku harus bertindak!"

Memutuskan demikian, Raja Naga segera melom-

pat ke atas tembok tanpa menimbulkan suara. Dipan-

danginya sekelilingnya terlebih dulu. Setelah tak dili-

hatnya siapa pun di sana, dengan mempergunakan il-

mu peringan tubuhnya, pemuda dari Lembah Naga ini 

melompat ke atap bangunan besar itu, tetap tak me-

nimbulkan suara sama sekali.

Dari atas, dilihatnya beberapa murid Perguruan 

Laba-laba Perak hilir mudik. Gerakan mereka cepat 

dan tak ada yang bersuara. 

"Hemmm..! mereka telah terlatih untuk menan-

gani masalah seperti ini," desis Raja Naga. 

Kemudian dilihatnya kalau beberapa orang 

menggotong beberapa mayat dan membawanya ke be-

lakang bangunan itu.

"Astaga! Rupanya si pencuri telah melakukan 

tindakan keji! Huh! Seharusnya, kuhentikan saja kein-

ginan Dewi Pengunyah Sirih sebelum dia melakukan 

tindakan seperti ini!"

Di luar bangunan itu, hadirin sudah mulai ribut 

karena acara belum juga dimulai. Lagi-lagi beberapa 

kelompok meninggalkan tempat itu dengan kekece-

waan dan hati mangkel.

Datuk Bunaeng berseru, "Pangku Jaladara! Tin-

dakanmu ini hanya akan memancing kerusuhan saja! 

Cepat kau mulai acara ini! Atau... aku akan mengambil


tindakan atas ulah mu!" 

Perempuan berpakaian hijau dipenuhi berlian 

yang begitu rendah pada bagian bukit kembarnya, ter-

kikik merdu. 

"Datuk Bunaeng... mengapa kau jadi tak begitu 

sabaran sekali? Apakah kau memang berniat untuk 

melakukan tindakan makar lantas kau mengambil ke-

sempatan dengan berlagak mulai jengkel karena me-

nunggu terlalu lama?!" 

Sepasang mata Datuk Bunaeng menghujam tepat 

pada bola mata Indah milik Dewi Berlian! Tajam, lak-

sana sembilu bermata dua. Tetapi Dewi Berlian hanya 

menyeringai saja. Bahkan dengan sengaja menggerak-

kan bukit kembarnya yang besar menggiurkan itu.

Ratu Tongkat Ular berbisik geram, "Datuk, bila 

kau hendaki, aku akan menghancurkan kepala perem-

puan itu sekarang juga...." 

Datuk Bunaeng menggelengkan kepala.

"Kesempatan itu akan, datang tak lama lagi..." 

Di pihak lain, gadis yang di punggungnya bersi-

langan sepasang pedang, tak berkedip pada Lesmana 

yang juga sedang menatapnya.

"Keparat! Bagaimana mungkin dia masih hidup? 

Jurus 'Pedang Bayangan' telah mengenainya! Ini sulit 

untuk...." Ratih memutus kata batinnya sendiri. Di-

perhatikannya kakek berjubah biru yang selalu men-

gedip-ngedipkan matanya yang berdiri di sebelah Les-

mana. Lalu lanjutnya dalam hati, "Bisa jadi kalau ka-

kek itulah yang telah menyelamatkannya. Dan kalau 

memang benar, sudah barang tentu kakek itu bukan 

orang sembarangan...."

Kembali pada Raja Naga, pemuda dari Lembah 

Naga itu sedang menarik napas pendek. Matanya yang 

bersorot angker, tak berkedip memperhatikan murid


murid Perguruan Laba-laba Perak sedang mengumpul-

kan mayat-mayat murid yang lain. 

Didengarnya suara-suara di bawahnya, "Ten-

tunya... si pencuri dan pelaku pembunuhan ini adalah 

orang yang sama yang telah membunuh Ketua Resi 

Kala Jinjit! Kita harus bersiaga penuh!" 

"Bagaimana dengan para tamu?" tanya yang 

lainnya. "Sebagian sudah meninggalkan tempat ini." 

"Biarkan mereka tetap menunggu," terdengar su-

ara berwibawa itu. Raja Naga melihat satu sosok tubuh 

yang mengenakan pakaian panjang berwarna kepera-

kan melangkah mendekati. Orang-orang itu yang sege-

ra merangkapkan tangan di depan dada. Sosok tubuh 

ini berwajah cukup tampan dengan tubuh yang tegap. 

Usianya diperkirakan sekitar tiga puluh dua tahun. La-

lu dilanjutkan lagi kata-katanya, "Karena... bila mere-

ka tahu apa yang sedang kita alami ini, tak mustahil 

kejadian ini akan mencoreng wajah kita dengan arang 

yang sangat hitam!"

"Ketua... kami sudah memeriksa pelosok pergu-

ruan! Tetapi kami tak menemukan jejak-jejak yang be-

rarti" 

Lelaki yang ternyata adalah Pangku Jaladara 

menganggukkan kepala.

"Ya! Memang sungguh mengherankan! Kita tak 

mengetahui adanya pencuri yang masuk ke tempat ini! 

Bahkan Kalung Laba-laba Perak berada di kamarku! 

Dan tak ada tanda-tanda pengrusakan yang telah dila-

kukan oleh si pencuri!"

"Ketua... bukan lancang aku bicara.... Apakah 

Ketua menduga adanya orang dalam yang telah mela-

kukan pencurian ini?" 

"Aku tak sampai mengarah pada dugaan itu. Te-

tapi biar bagaimanapun juga, keadaan ini sungguh


menyulitkan. Kita tak boleh membiarkan kabar ini ter-

sebar keluar. Aku akan muncul ke depan untuk...."

Kata-kata Pangku Jaladara terputus tatkala em-

pat-orang murid Perguruan Laba-laba Perak muncul 

dengan membawa empat orang yang telah menjadi 

mayat. Mereka membanting mayat-mayat itu di atas 

tanah!

"Lapor! Kami menemukan kejanggalan yang san-

gat berarti, Ketua!" kata salah seorang dengan napas 

terengah. "Mereka adalah bukan murid-murid Pergu-

ruan Laba-laba Perak!"

"Hemm... siapakah mereka?"

"Sebelum mampus kami bunuh, salah seorang 

mengaku adalah suruhan dari Datuk Bunaeng!"

Berubah paras Pangku Jaladara mendengar lapo-

ran muridnya.

"Suruhan Datuk Bunaeng! Astaga! Jangan-

jangan... dialah yang telah mencuri kalung itu!"

"Tetapi sebelum kejadian itu, Datuk Bunaeng su-

dah datang di sini, Ketua!"

"Empat orang ini adalah suruhannya! Dan sudah 

tentu dia juga menyuruh yang lainnya! Kita keluar se-

karang! Selagi para tokoh hadir di sini, aku akan men-

gadili Datuk Bunaeng! Hemm... tentunya dia akan me-

nuntut balas atas kekalahannya dulu dari mendiang 

Resi Kala Jinjit!"

Kemudian diiringi Sepuluh orang murid Pergu-

ruan Laba-laba Perak, Pangku Jaladara segera beran-

jak keluar. 

Di atas bangunan besar itu, Raja Naga yang 

mendengar Semuanya mendesis, "Celaka! Keadaan 

memang sudah berubah menjadi gawat! Datuk Bu-

naeng memang berniat untuk melakukan tindakan

makar! Tetapi... apa memang dia yang telah melakukan pencurian sementara jelas-jelas kudengar kalau 

Dewi Pengunyah Sirih hendak melakukan tindakan 

itu? Hemm... aku tak boleh tinggal diam. Sebaiknya...."

Memutuskan demikian, Raja Naga memperhati-

kan sekelilingnya. Setelah dirasakan aman, dia segera 

melompat turun dan menyelinap masuk ke bangunan 

besar itu. Dengan mempergunakan ilmu peringan tu-

buhnya, pemuda tampan berambut dikuncir kuda ini 

segera meneliti keadaan di dalam... 

Dinding-dinding bangunan itu dipenuhi dengan 

ukiran seekor laba-laba berwarna perak. Boma Paksi 

terus menyelinap memperhatikan sekelilingnya. Dia ti-

ba di sebuah kamar yang indah dan bagus yang diya-

kininya adalah kamar Pangku Jaladara. Diperhatikan-

nya sekeliling ruangan itu. 

Seperti yang dikatakan oleh Pangku Jaladara, di 

kamar itu tak ada tanda-tanda pengrusakan yang telah 

dilakukan seseorang untuk mengambil kalung Laba-

laba Perak. Di saat Raja Naga sedang meneliti ruangan 

itu, di halaman depan, Pangku Jaladara kembali lagi 

ke dalam. Dia hendak mengambil senjatanya yang be-

rupa tombak berukiran seekor laba-laba pada bagian 

hulunya. Kesepuluh muridnya menunggu dengan hati 

tak sabar.

Raja Naga mendengar suara langkah di luar. Bu-

ru-buru dia menyelinap keluar dan bersembunyi di be-

lakang sebuah lemari berukiran laba-laba.

"Hemmm.... Pangku Jaladara. Bagus! Rupanya 

dia belum melaksanakan niatnya...."

Ditunggunya Pangku Jaladara yang kemudian 

keluar lagi dengan membawa sebuah tombak yang di 

hulunya terdapat ukiran Laba-laba Perak. Setelah itu, 

Raja Naga memutuskan untuk menyelinap keluar. Ka-

lau Pangku Jaladara terus melangkah ke depan, Raja


Naga kembali ke tempat dari mana dia datang.

Di belakang bangunan itu, sepi merentak. Langit 

cerah laksana bangunan yang gelap dan mengerikan. 

Raja Naga memperhatikan sekelilingnya.

Namun sebelum dia meninggalkan tempat itu, ti-

ba-tiba saja sebuah benda jatuh dari atas. Menangkap 

adanya desiran angin, Raja Naga seketika mendongak 

dan refleks menangkap benda yang jatuh ke arahnya.

Tap!

Segera dilihatnya benda apa yang telah ditang-

kapnya.

Astaga! Sebuah kalung Laba-laba Perak!

Untuk beberapa saat lamanya, anak muda dari 

Lembah Naga ini menatap benda itu dengan rasa tidak 

percaya. Bahkan didongakkan kepalanya untuk meli-

hat dari mana benda ini jatuh. Kejap lain, dia sudah 

melompat ke atas, tetapi tak dilihatnya siapa pun di 

sana kecuali dirinya. 

"Aneh! Siapa orangnya yang telah melemparkan 

kalung Laba-laba Perak ini?!" desisnya sambil mem-

perhatikan lagi kalung itu. Tertimpa cahaya purnama, 

kalung itu sedemikian indah, berkilau-kilau.

"Hemmm... mengapa si pencuri justru, melem-

parkannya kepadaku? Apa maksudnya?" 

Sambil menatap kalung itu, Raja Naga melompat 

turun. Cukup lama dia terdiam memikirkan kemung-

kinan yang terjadi, sampai kemudian kepalanya mene-

gak. Sorot matanya kian angker karena kedua ma-

tanya membuka lebar. 

"Astaga. Jangan-jangan.., si pencuri hendak me-

limpahkan tanggung jawabnya kepadaku! Terkutuk! 

Aku harus...”

"Lihat! Di tangannya tergenggam kalung Laba-

laba Perak! Jelas dia pencurinya!" seruan keras itu


mendadak saja terdengar,

"Bunuh pemuda itu!" Serta-merta Raja Naga me-

noleh. Dilihatnya enam orang murid Perguruan Laba-

laba Perak telah mengurungnya!

 

LIMA

PADA saat yang bersamaan, Pangku Jaladara di-

iringi sepuluh orang muridnya telah keluar dari ban-

gunan besar itu. Mereka tidak menaiki panggung. Tin-

dakan itu justru mengejutkan orang-orang yang masih 

tersisa di sana. Dan orang-orang itu hanya tinggal, 

Dewi Berlian, Datuk Bunaeng, Ratu Tongkat Ular, Ra-

tih, Dewa Jubah Biru dan Lesmana! Kemarahan nam-

pak membiasi wajah Pangku Jaladara. Darahnya ber-

golak menahan kebencian yang sangat dalam. Sambil 

melangkah diarahkan pandangannya lekat-lekat pada 

Datuk Bunaeng.

Dewa Jubah Biru berkata tetap dengan matanya 

yang berkedip-kedip, "Nampaknya... sesuatu akan ter-

jadi...."

Sejarak delapan langkah dari hadapan Datuk 

Bunaeng, Pangku Jaladara berhenti. Sepuluh murid-

nya berdiri di belakangnya dengan siaga penuh.

Cukup lama lelaki berpakaian. keperakan ini tak 

buka mulut. Hanya sorot mata kemarahannya yang 

menusuk. 

Perlahan-lahan terdengar desisannya, "Aku men-

gundang siapa pun juga datang ke sini, untuk menja-

lin persahabatan dan membuang segala permusuhan 

dan dendam! Tetapi bila orang yang kuundang datang 

dengan maksud tidak baik, sudah tentu tak akan pernah ku maafkan!"

Merasa kata-kata itu ditujukan kepadanya, Da-

tuk Bunaeng segera angkat bicara, "Pangku Jaladara! 

Kau belum menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak! 

Tetapi kelancanganmu bicara sungguh tak enak diden-

gar!"

"Berdusta hanyalah sebuah kebodohan yang ha-

rus dipertanggungjawabkan! Datuk Bunaeng... kau te-

lah menyusupkan empat orang ke dalam tubuh pergu-

ruanku dan melakukan tindakan makar! Tentunya... 

kau juga yang telah memerintahkan mereka atau en-

tah siapa untuk mengambil kalung Laba-laba Perak 

dengan maksud mengacaukan upacara ini!"

Kening Datuk Bunaeng beberapa lama berkerut. 

Dia memang menyusupkan empat orang suruhannya 

yang jelas-jelas sudah diketahui oleh Pangku Jaladara. 

Dia juga akan melakukan tindakan makar. Tetapi 

mencuri kalung Laba-laba Perak tak pernah terpikir-

kan olehnya.

Makanya dia menjadi bertambah murka. Keben-

ciannya pada mendiang Resi Kala Jinjit dan hendak di-

tuntaskan dengan cara menghancurkan Perguruan 

Laba-laba Perak semakin menjadi-jadi.

Tangan kurusnya menuding. Suaranya bergetar 

sarat dengan kemarahan, "Kau telah menuduh yang 

bukan-bukan! Dan tindakan seperti ini tak akan per-

nah ku maafkan!"

"Terkutuk! Mengkaji kejadian lalu, kau pernah 

dikalahkan oleh guru kami, Resi Kala Jinjit! Dan ten-

tunya kau akan melakukan tindakan makar kendati 

Resi Kala Jinjit telah tewas!" 

"Bagus kalau kau sudah mengerti, hingga kini ku 

persilakan untuk segera menyelamatkan nyawa berlalu 

dari tempat ini!"


Mengkelap wajah Pangku Jaladara.

"Orang tua keparat! Kau hidup hanya menoreh-

kan arang hitam di rimba persilatan ini! Sebaiknya... 

kau mampus!!" 

Belum habis seruannya, gemuruh angin sudah 

menerjang ke arah Datuk Bunaeng. Disusul dengan 

kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya!

Datuk Bunaeng menggeram. Dia sudah hendak 

menggerakkan tangan kanannya, tetapi satu bayangan 

hitam telah berkelebat dari sampingnya.

"Urusan seperti ini biar aku yang menangani!" 

suara itu terdengar keras.

Blaaarrr!! 

Gemuruh angin yang keluar dari tombak yang di-

gerakkan oleh Pangku Jaladara, tertahan akibat ge-

lombang angin yang keluar dari ayunan tongkat si ne-

nek berpakaian compang-camping. Menyusul suara 

beradunya tongkat dan tombak. 

Kejap itu pula masing-masing orang surutkan 

langkah. Pangku Jaladara tak berkedip pada Ratu 

Tongkat Ular.

"Aku sama sekali tak punya urusan denganmu! 

Kakek berambut dikelabang itu telah mencuri kalung 

Laba-laba Perak! Dialah yang harus dihukum!"

"Mungkin kau tak mengenalku hingga hanya 

memandang sebelah mata saja! Tetapi aku punya den-

dam tinggi pada mendiang Resi Kala Jinjit! Dia pernah 

mengalahkanku! Sayangnya, dia telah mampus! Tetapi 

dendam ku tak akan pernah surut! Siapa pun orang-

nya yang masih berhubungan dengan Resi Kala Jinjit 

dia akan mampus di tanganku!!"

Habis ucapannya, Ratu Tongkat Ular memutar 

senjatanya yang serta-merta menimbulkan gemuruh 

angin lintang pukang. Di tempatnya, Pangku Jaladara


tak mengedipkan mata. Diperhatikannya serangan 

yang sebentar lagi akan datang. Begitu tubuh si nenek 

melompat menerjang, dia pun segera melakukan tin-

dakan yang sama.

Pangku Jaladara adalah murid utama dari Resi 

Kala Jinjit. Kemampuannya hampir setingkat dengan 

Resi Kala Jinjit. Pada empat jurus pertama, dia nam-

pak memang agak kewalahan karena Ratu Tongkat 

Ular tak sekali pun memberinya kesempatan untuk 

membalas. Tetapi dengan tombak yang dihunuskan 

dan mengeluarkan cahaya bening, membuat Ratu 

Tongkat Ular mundur beberapa langkah.

"Keparat!!" makinya gusar. 

Pangku Jaladara tak meneruskan serangannya. 

Tombaknya ditancapkan di atas tanah, hingga hulunya 

yang terdapat ukiran Laba-laba Perak mencuat ke 

atas!

"Ratu Tongkat Ular... urusanku sekarang ini 

hanya dengan Datuk Bunaeng yang telah mencuri ka-

lung Laba-laba Perak! Sebaiknya menyingkir!"

Bukan alang kepalang kegusaran Ratu Tongkat 

Ular mendengar kata-kata yang meremehkannya. Te-

tapi sebelum dia melancarkan serangan, lima orang 

murid Perguruan Laba-laba Perak sudah menerjang ke 

depan. Mereka bergerak menyusur di atas tanah den-

gan tangan dan kaki berfungsi untuk melangkah. 

Langkah masing-masing orang cepat dan mereka me-

nyergap Ratu Tongkat Ular. 

Pangku Jaladara memicingkan matanya pada Da-

tuk Bunaeng.

"Niatku untuk membina persahabatan ternyata 

gagal akibat ulah mu sendiri! Kembalikan kalung Laba-

laba Perak, maka kau akan kuampuni!"

"Terkutuk!!" makian itu justru terdengar dari mu


lut gadis berpakaian kuning. Sosoknya sudah maju sa-

tu langkah. Di liriknya sesaat Ratu Tongkat Ular yang 

sedang membalas mendesak lawan-lawannya. Bahkan 

tiga orang dari lawannya sudah mampus dengan kepa-

la pecah. Tetapi segera dibantu oleh lima orang murid 

Perguruan Laba-laba Perak lainnya. Terdengar lagi 

bentakan si gadis yang bukan lain Ratih adanya, 

"Pangku Jaladara! Resi Kala Jinjit juga telah membu-

nuh guruku! Malam ini aku datang, untuk menghan-

curkan siapa saja yang berhubungan dengan Resi Kala 

Jinjit!!"

Sejenak Pangku Jaladara memperhatikan gadis 

yang sedang marah itu. Lalu dengan sikap tenang dia 

berkata, "Urusan itu bisa kita selesaikan nanti! Saat 

ini aku...."

"Sombong! Mampuslah kau!!"

Sambil menerjang Ratih sudah meloloskan sepa-

sang pedangnya. Tak tanggung lagi, gadis manis yang 

murka dan mendendam akibat kematian gurunya ini 

sudah mengeluarkan jurus andalannya, ‘Pedang 

Bayangan'.

Di pihak lain, Lesmana mendesah pendek. "Ratih 

benar-benar telah terbawa oleh hawa nafsunya sendiri. 

Ah, aku harus melakukan tindakan...."

Didengarnya suara Dewa Jubah Biru, "Adik se-

perguruanmu itu bukanlah tandingan Pangku Jalada-

ra! Bila Pangku Jaladara menginginkan kematiannya, 

maka akan dengan mudah dilakukannya! Dan untuk 

saat ini, nampaknya Pangku Jaladara akan kesulitan 

untuk mengendalikan amarahnya. Dia telah mengeta-

hui niat busuk dari Datuk Bunaeng yang dituduhnya 

telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Firasat ku be-

nar, juga firasat pemuda yang kedua tangannya-

sebatas siku dipenuhi sisik coklat! Lesmana... bila kau


masih ingin melihat adik seperguruanmu itu hidup, 

kau harus menyelamatkannya...."

Mendengar kata-kata si kakek yang selalu men-

gedip-ngedipkan matanya, Lesmana segera melesat ke 

depan seraya berseru, "Ratih! Tahan segala amarah

mu!!" 

Melihat Lesmana melesat ke arahnya, Ratih men-

jadi semakin murka. Kebenciannya pada kakak seper-

guruannya yang dianggapnya sebagai seorang penge-

cut dan pengkhianat ini semakin membesar! Serta 

merta dia menyerang Lesmana.

Kalau sebelumnya Lesmana membiarkan dirinya 

diserang karena tak ingin menambah kemarahan adik 

seperguruannya, kali ini dia membalas. Bahkan dia in-

gin membuat gadis itu pingsan agar tidak lagi terbawa 

emosinya

Pangku Jaladara sejenak memperhatikan pemu-

da yang kini mengambil alih tindakannya. Lalu dita-

tapnya Datuk Bunaeng dengan geraman sengit, "Se-

rahkan kembali kalung Laba-laba Perak itu kepadaku! 

Kau sama sekali tak berhak atas benda keramat itu!"

"Setan terkutuk! Kuhancurkan tubuhmu!!" 

Menyentak ucapannya, Datuk Bunaeng sudah 

mendorong tangan kanannya.

Wrrrr!!

Seketika gelombang angin hitam bergemuruh 

menerjang ke arah Pangku Jaladara yang menjereng-

kan sepasang matanya. Secepat kilat Pangku Jaladara 

mencabut tombaknya dan memutarnya.

Blaaam! Blaaammm!!

Gelombang angin hitam itu putus di tengah jalan 

saat menabrak putaran tombak Pangku Jaladara.

Dewa Jubah Biru mendesah pendek, "Kendati 

Pangku Jaladara telah mewarisi ilmu Resi Kala Jinjit,


tetapi dia tak memiliki pengalaman banyak. Aku yakin, 

dalam sepuluh jurus berikutnya dia akan kewalahan"

Sementara itu, perempuan berpayudara besar 

yang sebagian terbuka, diam-diam menyeringai.

"Sempurna! Sangat sempurna apa yang telah ter-

susun ini! Seperti yang telah diharapkan, Dewa Jubah 

Biru telah hadir di sini! Dan tentunya dia tak akan 

tinggal diam. Berarti, urusan ini memang sangat sem-

purna! Orang-orang Datuk Bunaeng yang menyusup 

ke Perguruan Laba-laba Perak telah diketahui, hingga 

semua ini diatur dengan baik! Bagus! Sungguh me-

nyenangkan! Kutunggu saja apa yang akan dilakukan 

oleh Dewa Jubah Biru."

Sementara itu, Dewa Jubah Biru membatin, 

"Keadaan ini sangat rumit! Kutangkap gelagat-gelagat 

yang tak menguntungkan! Beruntungnya, karena 

hanya tinggal kami di sini! Bila saja orang-orang rimba 

persilatan lainnya masih berkumpul di sini, rimba per-

silatan akan menjadi geger oleh banjir darah! Dan... 

hei! Mengapa pemuda berompi ungu yang memiliki ta-

tapan angker itu belum muncul juga?!"

Beralih pada Raja Naga, saat ini pemuda yang 

kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat itu, se-

dang menghadapi ganasnya serangan demi serangan 

yang dilancarkan enam orang murid Perguruan Laba-

laba Perak. Ia masih tak mengerti mengapa kalung La-

ba-laba Perak yang dikatakan hilang dicuri orang itu 

tiba-tiba berada di tangannya.

"Jangan bertindak gegabah!" serunya tanpa me-

lakukan serangan balasan. "Aku bukanlah pencuri se-

perti yang kalian tuduhkan!"

"Gila! Barang bukti itu berada di tanganmu, dan 

sekarang kau mengatakan tidak mencurinya!" bentak 

orang yang sebelumnya pertama kali berbicara di atas


panggung. Lelaki ini sedemikian geramnya dan dialah 

yang melancarkan serangan dengan ganas. "Kau mun-

cul dengan maksud untuk melakukan tindakan bu-

suk!"

Raja Naga berkelit. Sambil berkelit itu seharus-

nya dia dapat segera melancarkan serangannya atau 

melumpuhkan orang itu. Tetapi hal itu tidak dilaku-

kannya.

Lelaki yang menyerang dari bagian kanan dan di-

kenali Boma Paksi adalah lelaki yang pertama kali ber-

jumpa dengannya dan menyerahkan sebuah undan-

gan, berteriak penuh amarah, "Aku tahu siapa kau se-

benarnya, Pemuda celaka! Kau adalah Raja Naga! Dan 

tak kami sangka kalau Raja Naga yang selama ini di-

kenal sebagai orang golongan lurus, datang untuk 

mengacaukan upacara penobatan Kakang Pangku Ja-

ladara!"

"Brengsek! Siapa orangnya yang telah melempar 

kalung ini padaku?! Huh! Jangan-jangan Dewi Pengu-

nyah Sirih! Kurang ajar betul! Dia telah lempar batu 

sembunyi tangan! Akan ku jitak kepalanya kalau suatu 

ketika bertemu lagi dengannya!!"

Karena tak ingin kesalahpahaman ini terjadi te-

rus menerus, akhirnya Raja Naga bermaksud melum-

puhkan para penyerangnya. Dalam waktu yang singkat 

saja, kelima penyerangnya sudah dibuat jatuh ping-

san. Tetapi yang pertama kali memberikan undangan 

padanya, berhasil meloloskan diri keluar Sambil berte-

riak keras, "Kakang Pangku Jaladara! Pencurinya su-

dah ketahuan!!"

Pangku Jaladara yang saat ini telah didesak oleh 

Datuk Bunaeng, melompat ke belakang dengan cara 

bersalto dua kali di udara. Dia hinggap tepat di hada-

pan murid Perguruan Laba-laba Perak itu.


"Duto! Ada apa?!"

Pemuda bernama Duto itu menunjuk-nunjuk ke 

arah Perguruan Laba-laba Perak.

"Pencuri kalung itu... adalah Raja Naga! Kalung 

itu ada padanya!"

"Apa?! Raja Naga?! Keparat! Tentunya, dia pula 

yang telah membunuh Guru!" maki Pangku Jaladara 

sambil melesat ke dalam disusul Duto, Datuk Bunaeng 

yang tadi sudah hampir membunuh Pangku Jaladara 

menggeram dingin.

"Huh! Tibalah saatnya untuk menghancurkan 

perguruan itu!"

Dewi Berlian yang sejak tadi hanya memperhati-

kan, bertepuk tangan pelan. Sambil berkata, "Rupanya 

kau hadir untuk membalas kekalahanmu dari men-

diang Resi Kala Jinjit! Ah, memang sangat disayang-

kan!"

Datuk Bunaeng sudah hendak berkelebat mema-

lingkan kepalanya. Tatapan kakek berambut dikela-

bang ini garang pada Dewi Berlian yang sedang terse-

nyum.

"Terkutuk! Perempuan cabul! Sejak pertama kali 

tadi aku sudah tak bisa menahan marah! Sekarang... 

bersiaplah untuk mampus!!"

"Hemm... tunggu! Jangan terlalu dibawa amarah 

mu, Datuk!" sahut Dewi Berlian sambil menggerakkan 

bukit kembarnya yang besar, hingga bagian atasnya 

yang sebagian besar terlihat itu bergerak indah. Hanya 

dengan sekali menarik pakaian hijaunya yang penuh 

berlian itu, sudah barang tentu benda bulat besar yang 

putih dan menggiurkan akan terpampang jelas. Masih 

tersenyum Dewi Berlian menyambung kata-katanya, 

"Datuk Bunaeng, apakah kau tidak mendengar ucapan 

salah seorang murid Perguruan Laba-laba Perak itu?


Pencuri kalung Laba-laba Perak ternyata bukan kau 

adanya, seperti yang dituduhkan oleh Pangku Jalada-

ra! Melainkan seorang pemuda berjuluk Raja Naga! 

Apakah kau tidak berpikir kalau semua ini akibat ulah 

Raja Naga?!"

"Hemmm... sejak dulu perempuan ini kukenal 

sebagai orang yang memiliki sifat licik tiada banding. 

Dia sangat pandai mempergunakan tubuhnya yang in-

dah itu untuk menaklukkan orang. Dan seingatku pu-

la, dia juga pernah dikalahkan oleh Resi Kala Jinjit," 

kata Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu berkata menyen-

tak, "Perempuan keparat! Kau mengatakan aku hadir 

di sini untuk membalas dendam, memang betul! Teta-

pi, apakah kehadiranmu di sini juga hanya untuk 

mengikuti penobatan bodoh Pangku Jaladara sebagai 

Ketua Perguruan Laba-laba Perak?!"

"Aku bukanlah orang pendendam...."

Datuk Bunaeng sama sekali tak mempercayai ka-

ta-kata itu.

"Atau... kau sedang menunggu kesempatan un-

tuk melampiaskan dendammu?" 

"Kukatakan tadi, aku bukanlah orang yang pen-

dendam! Tetapi yang mengherankanku, mengapa kau 

masih berniat untuk menghancurkan Perguruan Laba-

laba Perak sementara orang yang telah membuatmu 

men-dendam telah mampus tanpa diketahui siapa 

pembunuhnya?! Ah, ini tindakan yang sangat lucu, 

Datuk Bunaeng! Kau seharusnya…"

"Tutup mulutmu!”

"Astaga!" Dewi Berlian membuka mulutnya hing-

ga membentuk lorong. Bagian dalam mulutnya yang 

berwarna merah jambu terpampang. Lidahnya yang 

berwarna sama terlihat jelas. Lalu dengan gerakan 

yang sangat merangsang, dijilat bibirnya sendiri.


Untuk sesaat Datuk Bunaeng tertegun melihat 

apa yang dilakukan perempuan berpayudara besar itu. 

Tetapi di lain saat, dia sudah menggeram dingin, "Se-

baiknya... jangan turut campur urusan ini bila masih 

sayang nyawa!" 

"Yang ku pikirkan hanya satu! Jelas-jelas sudah 

terbukti kalau Raja Naga yang telah mencuri kalung 

Laba-laba Perak, lambang dari perguruan ini! Dan he-

rannya, kau masih diteror oleh dendammu sendiri! 

Menghancurkan sisa-sisa orang Perguruan Laba-laba 

Perak sudah tentu dengan mudah kau lakukan! Tetapi, 

apakah kau ingin orang-orang rimba persilatan mem-

burumu karena dianggap telah mencuri kalung Laba-

laba Perak? Ah, sangat disayangkan sekali bila kau 

melakukan tindakan bodoh itu! Padahal, Raja Naga 

yang seharusnya kau buru!"

Datuk Bunaeng tak menjawab. Diliriknya Ratu 

Tongkat Ular yang telah menuntaskan lawan-lawannya

sejak tadi. Dilihatnya pula bagaimana murid mendiang 

Setan Bayangan sedang didesak pemuda berwajah cu-

kup tampan. Kendati demikian, Datuk Bunaeng jelas 

menangkap kalau si pemuda menyerang Ratih tidak 

sepenuh hati. 

Kembali diarahkan tatapannya pada Dewi Ber-

lian.

"Kata-kata perempuan celaka ini memang benar! 

Raja Naga yang telah mencuri kalung itu, dan menim-

pakan urusan ini padaku! Terkutuk! Dialah yang ha-

rus kukejar!"

Tanpa membuka mulut, Datuk Bunaeng melesat 

ke dalam. Dewi Berlian menyeringai, lalu segera me-

nyusul. 

Di pihak lain, Dewa Jubah Biru mengerutkan ke-

ningnya. Matanya yang selalu berkedip-kedip, semakin


cepat berkedip. 

"Raja Naga telah mencuri kalung Laba-laba Pe-

rak? Astaga! Ada apa ini? Mengapa dia melakukannya? 

Dan mengapa dia mengatakan kalau Dewi Pengunyah 

Sirih yang hendak melakukan tindakan itu? Selama ini 

kudengar kalau Raja Naga berada dalam golongan 

orang lurus, tetapi tindakannya itu?! Astaga naga! 

Mengapa ini terjadi? Mengapa?!" 

Kakek berjubah biru ini mengarahkan pandan-

gannya pada Lesmana yang terus mendesak Ratih.

"Hemmm... Lesmana tetap berhati lembut! Dia ti-

dak melakukan serangan ganas pada adik sepergu-

ruannya! Ah, ketabahan macam apa yang dimilikinya? 

Dan... hei. hei! nenek berpakaian compang-camping itu 

mau membantu si gadis rupanya! Wah! Ini akan mem-

bahayakan jiwa Lesmana! tentunya dia akan kewala-

han sekarang karena gadis berpakaian kuning itu se-

perti menemukan angin kembali! Aku harus bertindak! 

Aku harus menemukan Raja Naga lebih dulu!"

Memutuskan demikian, dengan gerakan laksana

bayangan, Dewa Jubah Biru sudah melesat ke depan. 

Tangan kanannya digerakkan yang serta merta melesat 

satu tenaga yang tak nampak. Kalau bukan Ratu 

Tongkat Ular, sudah barang tentu orang tak akan 

mengetahui kalau sedang diserang.

Segera si nenek yang siap menggetok kepala 

Lesmana dengan tongkatnya, memutar tongkat itu.

Wrrrr!!

Angin keras menderu dan....

Blarrrr...!!

Niatnya terputus karena serangan Dewa Jubah 

Biru, yang terus melesat. Tangan kirinya menotok 

pinggang Ratih yang seketika menjadi lemas seolah tak 

memiliki tenaga. Lalu dengan gerakan yang cepat, disambarnya tubuh gadis itu bersamaan dia menyambar 

tubuh Lesmana.

Di saat lain, si kakek sudah bersalto di udara dan 

tahu-tahu sudah berada pada jarak sekitar lima belas 

langkah dari hadapan Ratu Tongkat Ular yang sejenak 

kebingungan untuk melancarkan serangan.

Begitu dilihatnya Dewa Jubah Biru melesat ke 

arah bangunan besar, si nenek segera mengejarnya di-

iringi teriakan, "Kubunuh kau, kakek keparat!!"


ENAM



DI DALAM bangunan besar itu, Datuk Bunaeng 

menemukan Pangku Jaladara telah pingsan sementara 

Duto telah tewas dengan kepala remuk. Begitu me-

nangkap gerakan di belakangnya, si kakek berambut 

dikelabang telah melihat Dewi Berlian.

"Keparat!" terdengar makian Dewi Berlian keras. 

"Datuk Bunaeng! Kau lihat sekarang?! Siapa orangnya 

yang membikin keduanya celaka seperti ini kalau bu-

kan Raja Naga?!"

Datuk Bunaeng tak menjawab. Diperhatikan se-

kelilingnya yang sepi. Mayat-mayat bergeletakan di sa-

na-sini. Dan perlahan-lahan kemarahannya bangkit.

"Terkutuk! Akan kubunuh Raja Naga yang telah 

mencorengkan arang di wajahku!"

Dewi Berlian membungkuk memeriksa tubuh 

Pangku Jaladara.

"Keadaannya sangat kritis! Bila tidak disela-

matkan, dia bisa mampus!"

"Untuk apa kau melakukannya, hah?!" bentak 

Datuk Bunaeng.


Dewi Berlian mengangkat kepalanya menoleh. Ta-

tapannya mengandung kegeraman dan kecurigaan. 

"Datuk Bunaeng... tanpa kau melakukan tinda-

kan, tentunya dendammu telah terbalas! Perguruan 

Laba-laba Perak telah hancur! Tapi satu hal yang ha-

rus kau ingat... namamu telah dicoreng oleh Raja Na-

ga!"

"Aku tak sepenuhnya mempercayai kata-kata pe-

rempuan ini. Rasanya tak mungkin kalau dia tidak 

mendendam pada mendiang Resi Kala Jinjit, dan tak 

bermaksud untuk menghancurkan Perguruan Laba-

laba Perak! Tetapi apa yang dikatakannya memang be-

nar! Tanpa aku yang melakukannya, perguruan ini te-

lah terkubur dalam-dalam! Tetapi... Raja Naga masih 

berkeliaran! Dia telah merusak segalanya! Berarti...."

Memutus kata batinnya sendiri, Datuk Bunaeng 

menggeram sengit.

"Kau berada di pihak mana?!"

Dewi Berlian perlahan-lahan berdiri sambil terse-

nyum. 

"Aku tidak tahu berada di pihak mana. Tetapi, 

sudah tentu aku akan berada pada pihak yang akan 

menguntungkan diriku sendiri..."

"Kelicikannya benar-benar terjaga, tetapi tetap 

tak kentara," desis Datuk Bunaeng dalam hati. Berdiri 

dalam jarak sedekat itu, dia dapat mencium aroma me-

rangsang yang keluar dari tubuh Dewi Berlian. Belum 

lagi matanya tertumbuk pada bungkahan sepasang 

bukit indah, gempal dan menjanjikan itu.

Dewi Berlian tahu ke mana arah pandangan Da-

tuk Bunaeng. Tetapi dia berlagak tidak mengeta-

huinya. Bahkan dengan gerakan seperti tak sengaja 

dia menarik napas dalam-dalam hingga bungkahan 

payudaranya semakin menyembul keluar. Bahkan Datuk Bunaeng dapat melihat dua bundaran kecil ber-

warna kecoklatan yang sempat mengintip.

"Tetapi yang pertama akan kulakukan, adalah 

menyelamatkan Pangku Jaladara..."

"Dengan maksud apa kau melakukannya?"

"Dialah satu-satunya orang yang masih tersisa 

dari orang-orang perguruan Laba-Laba Perak! mungkin 

suatu saat akan berguna!"

"Jelaskan!"

"Bodoh!" seru Dewi Berlian sambil tertawa. "Men-

gapa otakmu jadi sedemikian dungu, hah?! Sudah ten-

tu bila kita berhasil mendapatkan kembali kalung La-

ba-laba Perak dan membunuh Raja Naga, maka den-

gan mudah kita akan mengendalikan semuanya?"

Kening Datuk Bunaeng berkerut.

"Maksudmu.... Pangku Jaladara akan dijadikan 

sebuah boneka...,"

"Tepat! Dan itu bisa dilakukan dengan cara..."

"Bergabung?"

"Ternyata kau tidak sedungu apa yang kuduga!" 

sahut Dewi Berlian sambil tertawa. Tak dipedulikannya 

dengusan Datuk Bunaeng, diteruskan kata-katanya. 

"Ya! dengan cara bergabung, kita bukan hanya dapat 

menjadikan Pangku Jaladara sebagai boneka yang 

akan menjalankan apa yang kita inginkan! Tetapi kita 

juga dapat menguasai rimba persilatan ini!"

Datuk Bunaeng tak bersuara, dipikirkannya ka-

ta-kata dewi berlian. Setelah itu diangguk-anggukkan 

kepalanya.

“Ya! Kau benar! Pangku Jaladara dapat kita jadi-

kan boneka! Dengan kalung itu, maka dia akan tetap 

sah menjadi ketua perguruan laba-laba perak yang 

akan kita bangun kembali kelak tentunya dengan ke-

kuasaan kita!"


"Kau benar! Kita membagi tugas! aku akan men-

jaga Pangku Jaladara dan kau mengejar Raja Naga! Se-

telah itu aku akan menyusulmu!"

Datuk Bunaeng menggeram sudah tentu dia ti-

dak setuju dengan usul itu. tetapi sebelum dikatakan-

nya ketidaksetujuannya, tiba-tiba....

Blaaarr!!

Atap bangunan itu jebol berantakan!

Menyusul terdengar bentakan. "Kakek celaka! 

Mau ke mana kau, hah?”

Serentak Dewi Berlian dan Datuk Bunaeng mele-

sat ke depan. Dilihatnya Ratu Tongkat Ular memaki 

panjang pendek.

"Terkutuk! Terkutuk!”

"Apa yang terjadi?" tanya Dewi Berlian.

Begitu mendengar suara orang yang dibencinya, 

serta-merta Ratu Tongkat Ular berpaling. Matanya 

berkilat-kilat penuh amarah tetapi ketika dilihatnya 

kepala Datuk Bunaeng menggeleng. Diurungkan ama-

rahnya.

"Dewa Jubah Biru mengacaukan keinginanku 

untuk membunuh pemuda yang menyerang Ratih! 

Bahkan telah membawa Ratih!"

"Sejak kapan dia berada di atap itu?!" 

"Belum lama!"

"Tetapi... dia sudah cukup mendengar apa yang 

kita bicarakan, Datuk...."

Datuk Bunaeng menganggukkan kepalanya. 

"Kalau begitu, dia juga harus kita bunuh!" sa-

hutnya. Lalu berkata, "Ratu Tongkat Ular... aku telah 

memutuskan untuk bergabung dengan Dewi Berlian…"

Ratu Tongkat Ular terlihat hendak membantah, 

tetapi Datuk Bunaeng telah meneruskan kata-katanya, 

"Jadi tak perlu di antara kita saling curiga...,"


Dewi Berlian tersenyum melihat tatapan gusar 

Ratu Tongkat Ular. Tetapi perempuan berpayudara be-

sar ini tak peduli. Dia berkata, "Seperti yang kita telah 

sepakati... kita melakukan tugas masing-masing. Satu 

hal yang perlu kalian ketahui, untuk membunuh Raja 

Naga itu sebenarnya kalian dapat mempergunakan te-

naga orang lain."

"Apa maksudmu?" tanya Datuk Bunaeng dengan 

tatapan tajam.

"Semalam tak kulihat hadirnya Langlang Benua, 

sahabat karib Resi Kala Jinjit! Manusia satu itu me-

mang telah lama dikenal sebagai petualang yang tidak 

pernah berdiam di satu tempat! Tetapi herannya, apa 

pun yang dilakukan oleh Resi Kala Jinjit pasti diden-

garnya! Mungkin dunia ini begitu sempit hingga kabar 

mudah terdengar!"

"Jelaskan maksudmu!"

"Aku merasa pasti, Langlang Benua telah men-

dengar kabar kematian Resi Kala Jinjit! Dan sudah ba-

rang tentu dia seharusnya hadir di sini, mengingat 

akan diadakannya upacara penobatan Pangku Jalada-

ra sebagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang ba-

ru! Tetapi tak kulihat Langlang Benua di sini semalam! 

Namun satu hal yang ku yakini, dia akan menyelidiki 

kematian sahabatnya itu! Berarti...."

Dewi Berlian tersenyum memutus kata-katanya. 

Kemudian melanjutkan, "Tiga hari di muka, kita akan 

bertemu di Lembah Lingkar!"

Habis ucapannya, Dewi Berlian melesat kembali 

ke dalam perguruan Laba-laba Perak yang sudah han-

cur di sana-sini. Lalu terlihat sosoknya yang berkelebat 

membawa Pangku Jaladara yang pingsan.

Ratu Tongkat Ular segera berkata, "Datuk... aku 

sama sekali tak mempercayai perempuan cabul itu.


Mengapa kau bisa mempercayainya, hah?!" 

Datuk Bunaeng menyeringai.

"Sama sekali aku tak mempercayainya."

Ratu Tongkat Ular mengerutkan keningnya yang 

membuat keriput di wajahnya seperti berlipat ganda. 

"Kau tidak mempercayainya?" Datuk Bunaeng men-

ganggukkan kepalanya. "Lantas... apa yang sebenar-

nya kau inginkan?" 

Bukannya menjawab pertanyaan si nenek, Datuk 

Bunaeng justru berkata, "Kita harus melacak perginya 

Raja Naga yang telah melukai Pangku Jaladara! Dan 

apa yang dikatakan Dewi Berlian tadi itu memang be-

nar! Kita harus beritakan tindakan Raja Naga yang te-

lah mencorengkan arang di wajahku! Agar seluruh 

orang-orang yang mempunyai hubungan dengan Per-

guruan Laba-laba Perak memburunya! Tetapi... aku 

justru mengharapkan Langlang Benua yang akan 

muncul!"

Tanpa menunggu sahutan dari Ratu Tongkat 

Ular, Datuk Bunaeng sudah berlari, Ratu Tongkat Ular 

masih terpaku di tempatnya. Berpikir keras untuk 

mengetahui apa yang sesungguhnya diinginkan Datuk 

Bunaeng.

Tetapi dia tak dapat menemukan jawabannya. 

Sambil menggeram gusar pada dirinya sendiri, si ne-

nek berpakaian compang-camping ini sudah menyu-

sul.

Pagi telah datang.

* * *

Pagi dengan cepatnya pun berubah menjadi 

siang. Matahari saat ini garang menyebarkan panas-

nya ke seantero jagat. Panas yang terasa itu pun dibawa oleh angin yang berhembus, dan menerpa sedikit 

wajah Raja Naga. Pemuda berompi ungu yang memiliki 

sorot mata angker ini duduk di bawah sebuah pohon. 

Di tangan kanannya terdapat kalung Laba-laba Perak 

yang sangat indah. 

Perlahan-lahan ditarik napasnya dalam-dalam.

"Aku semakin tak mengerti apa yang sebenarnya 

telah terjadi. Pertama undangan dari Perguruan Laba-

laba Perak. Lalu Dewi Pengunyah Sirih yang jelas-jelas 

mengatakan hendak mencuri kalung Laba-laba Perak. 

Kemudian... ah, tiba-tiba saja keadaan begitu menye-

sakkan dada. Tahu-tahu kalung ini jatuh di tanganku, 

hingga aku dituduh sebagai si pencuri. Huh! Apa se-

benarnya maksud Dewi Pengunyah Sirih melakukan 

tindakan seperti ini? Menjatuhkan tanggung jawabnya 

kepadaku?" 

Murid Dewa Naga ini terus berpikir keras. 

"Tentunya orang-orang telah menganggapku se-

bagai pencuri! Aku harus memulihkan nama baikku! 

Yang pertama harus kulakukan sekarang adalah... 

mencari Dewi Pengunyah Sirih! Karena aku yakin, di-

alah yang telah mencuri kalung ini dan mengalihkan 

perhatian orang-orang padaku dengan cara licik seper-

ti ini!"

Perlahan-lahan pemuda yang dari jari hingga ba-

tas siku kedua lengannya dipenuhi sisik coklat ini, 

berdiri. Sepasang matanya yang bersorot mengerikan 

diedarkan ke sekelilingnya.

Mendadak saja kepalanya menegak! Karena tahu-

tahu di hadapannya telah muncul seorang nenek 

bongkok yang mengunyah sirih!

Seketika kemarahan Raja Naga timbul. Dengan 

sorot mata yang lebih angker dia berseru, "Dewi Pen-

gunyah Sirih! Sungguh berani kau muncul di hadapanku setelah melakukan tindakan lancang seperti 

semalam! Apakah kedatanganmu sekarang ini hendak 

menertawakan ku?!" 

Dibentak seperti itu, si nenek yang terus mengu-

nyah sirihnya hanya tertawa.

"Astaga! Katanya, kalau ada orang yang tiba-tiba 

membentak seperti itu, ada dua maksud! Pertama, 

memang gusar! Kedua, melakukannya karena rindu 

pada seorang sahabat! Tapi... ya, aku sama sekali tak 

mengerti apa yang kau katakan, Raja Naga!" 

"Tak mengerti?" kegusaran Raja Naga menjadi-

jadi. Tetapi dia masih dapat menahannya.

Dewi Pengunyah Sirih tetap bersikap tenang.

"Katanya, kalau orang tidak mengerti apa yang 

dimaksud orang lain, boleh bertanya atau. Berharap 

orang lain itu akan menjelaskan. Katanya, setelah dije-

laskan urusan akan lebih dapat dimengerti. Nah, apa 

yang kau maksud sebenarnya dengan...," kata-kata si 

nenek terputus tatkala dilihatnya benda yang berada 

di tangan pemuda berompi ungu itu. 

Melihat apa yang dilihat oleh si nenek, Raja Naga 

seketika mengangkat tangannya menunjukkan kalung 

Laba-laba Perak. 

"Mengapa kau hentikan kata-katamu, hah?! Apa-

kah kau sekarang sudah mengerti?"

Dewi Pengunyah Sirih tak segera berkata. Ma-

tanya terus memperhatikan kalung yang berada di 

tangan Raja Naga. Mulutnya berhenti mengunyah.

Tetapi di saat lain, dia sudah mengunyah kembali 

dan berkata, "Bagaimana kau bisa mendapatkan ben-

da itu?"

"Apa?" desis Raja Naga sedikit terkejut.

"Kau telah mengambil kalung Laba-laba Perak 

rupanya...."


Kali ini kemarahan Raja Naga benar-benar surut. 

Yang dirasakan hanyalah kebingungan.

"Kau... tidak mengambil kalung ini sebelumnya?" 

"Tidak." 

"Jadi... jadi. Bukan kau yang melemparkan ka-

lung ini padaku?" sambung Raja Naga makin heran.

"Astaga! Katanya, kalau orang lain semakin 

membuat orang bertambah bingung itu tindakan yang 

tidak baik. Mengapa kau tidak segera menjelaskan-

nya?!" 

Raja Naga terdiam. Perlahan-lahan mulai dirasa-

kannya kalau ada sesuatu yang belum diketahuinya. 

Tanpa diminta dua kali, segera diceritakan apa yang 

telah dialaminya semalam di Perguruan Laba-laba Pe-

rak.

"Busyet! Jadi... kau sudah datang ke sana?!"

"Bagaimana dengan kau sendiri?"

"Aku kehilangan jejak! Katanya, aku harus menu-

ju ke timur! Tapi aku tak menemukan apa yang kuca-

ri!"

"Jadi... kau belum datang ke sana?!"

Dewi Pengunyah Sirih mengangguk.

"Tidak salah. Karena aku tak berhasil menemu-

kan Perguruan Laba-laba Perak."

Jawaban yang diberikan oleh si nenek berkebaya 

itu membuat Raja Naga terdiam. Dadanya semakin di-

buncah kejanggalan demi kejanggalan. Matanya yang 

angker memandang tak berkedip pada Dewi Pengu-

nyah Sirih.

"Sorot matamu sangat mengerikan dan mampu 

melumpuhkan lawan sebelum bertarung. Tapi ka-

tanya, di balik sorot mata yang demikian itu juga ter-

simpan kelembutan! Hanya saja, yang kulihat seka-

rang, adalah rasa tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Raja Naga, apakah yang kukatakan itu sa-

lah?"

Raja Naga mendesah pendek.

"Maafkan sikapku tadi...."

"Katanya, sekali waktu orang pasti akan berbuat 

salah, karena tak ada orang yang sempurna! Katanya 

lagi, mengakui kesalahan itu adalah sebuah tindakan 

yang patut dipuji!"

Raja Naga hanya mendengarkan saja, kata-kata 

Dewi Pengunyah Sirih. Dan dia terkejut ketika men-

dengar kata-kata si nenek selanjutnya, "Sebelum aku 

tiba di sini dan menjumpaimu, sebenarnya telah ku-

dengar kabar kalau katanya, kau telah mencoba mem-

bunuh calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak!"

"Membunuh? Gila! Aku tak melakukannya!"

"Pangku Jaladara telah kau buat pingsan!"

"Astaga!" seru Raja Naga melengak.

"Dewi... aku hanya membuat lima orang murid 

perguruan Laba-laba Perak pingsan karena mengurung

ku dan berniat membunuhku setelah melihat kalung 

ini ada padaku! Tetapi... aku tidak melakukan apa-apa 

pada Jaladara! Dia memang kemudian muncul dengan

salah seorang murid yang berhasil keluar! Karena aku 

tak ingin memperpanjang urusan di saat kesalah pa-

haman semakin meninggi, makanya kup utuskan un-

tuk berlalu!"

"Jadi kau tidak melukai Pangku Jaladara?"

"Sama sekali tidak!"

"Kabar telah kudengar demikian!"

Raja Naga merasakan kepalanya mendadak pus-

ing.

"Aku tak bisa membiarkan urusan ini berlarut-

larut!"

"Ya! Kau harus menyelamatkan dirimu karena


kau telah dituduh sebagai pencuri kalung Laba-laba 

Perak! Yang artinya, kau telah menggagalkan upacara 

keramat semalam!"

Habis kata-katanya, Dewi Pengunyah Sirih segera 

meninggalkan tempat itu. Tinggal Raja Naga yang ma-

sih terdiam memikirkan kejadian demi kejadian yang 

memusingkan kepalanya. Di saat lain, dia sudah me-

mutuskan untuk segera berusaha mencari bukti-bukti 

kalau bukan dialah yang telah melakukan pencurian 

itu!


TUJUH


MALAM telah menyelimuti alam kembali dengan 

segala misteri yang dikandungnya. Malam telah mem-

buat segenap alam tertidur dalam setiap mimpinya. 

Dan malam akan selalu diisi oleh keheningan yang da-

lam. Tetapi masih banyak orang yang terjaga pada ma-

lam-malam seperti ini. 

Seperti suara-suara yang terdengar dari sebuah 

gubuk yang terdapat di sebuah hutan yang dipenuhi 

pepohonan tinggi, yang menandakan gubuk jelek itu 

berpenghuni dan penghuninya belum terlelap. Dari ke-

jauhan, telah terlihat lampu sentir yang menerangi gu-

buk itu, yang berada di balik sebuah pohon besar dan 

di antara ranggasan semak. 

"Kau hebat, Dewi... semua rencanamu sungguh 

hebat sekali...," terdengar suara itu disertai dengan 

napas memburu. "Tapi yang lebih hebat lagi... adalah 

tubuhmu yang tak pernah membuatku puas...."

Satu kikikan terdengar, disusul suara yang se-

perti tersekat di tenggorokan, "Pangku Jaladara... kau 

memang hebat memuji... aih... tanganmu nakal ya."


"Aku tidak memuji."

"Sehebat apa pun rencanaku, tak akan mungkin 

dapat terlaksana bila tanpa bantuanmu...."

Di dalam gubuk itu terlihat dua sosok tubuh 

yang duduk di atas sebuah balai-balai usang, dalam 

keadaan tubuh bagian atas masing-masing terbuka. 

Wajah si lelaki yang ternyata adalah Pangku Jaladara 

adanya sudah memerah. Matanya nanar melihat sepa-

sang bukit kembar yang telah terbuka lebar di hada-

pannya itu. Penuh kegemasan, dipegangnya bukit 

kembar besar yang menggiurkan itu. Diremas-

remasnya penuh perasaan. Dan sesekali telunjuknya 

mempermainkan bulatan kecil yang terdapat di pucuk 

bukit kembar itu.

Si pemilik bukit kembar memeramkan matanya 

sejenak, menikmati remasan tangan Pangku Jaladara 

yang sejenak membuat kelenjar di seluruh tubuhnya 

meregang. Dan ini semakin membuat Pangku Jaladara 

menjadi-jadi gairahnya.

Lalu sambil membuka matanya perempuan itu 

berkata, "Rencana ini berhasil kita laksanakan. Dan 

tak seorang pun yang mengetahui kalau kitalah yang 

telah mengatur semua ini...."

Remasan tangan Pangku Jaladara semakin men-

jadi-jadi. Sesekali-sekali dengan sikap tak sabar dike-

cupnya bibir merona merah itu. Dilumatnya hingga dia 

kehabisan napas sendiri. Lalu dilepaskan untuk 

menghirup udara segar.

"Hih! Mengapa kau tidak sabaran begitu? Tadi 

kau sudah menikmati tubuhku ini...." 

"Aku masih ingin mengulanginya lagi dan akan 

tetap mengulanginya!"

"Tahan dulu beberapa saat keinginanmu itu! Tu-

buhku terasa seperti patah setelah kau terjang laksana


ombak tadi!"

"Karena tubuhmu seperti sebuah sampan yang 

sangat indah, yang dapat membuatku terayun-ayun, 

terombang-ambing lalu terhempas pada pantai penuh 

pesona!" 

"Kau pandai sekali memuji, Pangku Jaladara...."

"Sesuai dengan apa yang kau janjikan, aku akan 

menuruti apa yang kau inginkan bila kau memberikan 

tubuhmu ini padaku sampai aku mampus....*

"Bahkan aku ingin kau mampus di atas tubuhku 

karena kelelahan!"

Pangku Jaladara terbahak-bahak. Wajahnya se-

makin memerah karena tak kuasa menahan nafsu.

"Aku tak akan mampus lebih dulu sebelum aku 

benar-benar puas menikmati tubuhmu ini...."

Si perempuan jelita itu tersenyum.

"Rencana telah kita jalankan, dan kita tinggal 

menunggu hasil. Aku yakin, saat ini Raja Naga sedang 

kalang kabut untuk menyelamatkan diri dari kejaran 

orang-orang! Terutama kejaran Datuk Bunaeng, Ratu 

Tongkat Ular dan tentunya.... Langlang Benua...."

"Mengapa kau menginginkan semua ini terjadi?"

Perempuan itu memeramkan matanya karena 

sambil berkata tadi, Pangku Jaladara sudah menyusup 

ke dadanya. Dinikmatinya hisapan lembut Pangku Ja-

ladara pada bukit kembarnya itu. Mendadak tubuhnya 

menggerijang karena hisapan Pangku Jaladara sema-

kin cepat.

"Nanti... nanti dulu...," desisnya sambil mendo-

rong tubuh Pangku Jaladara.

Wajah memerah Pangku Jaladara karena sudah 

dipenuhi nafsu semakin menjadi-jadi.

"Apa lagi yang akan kita bicarakan? Bukankah 

kita tinggal menunggu hasil dari permainan ini?"


"Sabar sedikit. Aku sudah mulai merasakan ke-

menangan ini akan kita capai." 

"Karena kau memiliki rencana yang tepat." 

"Dan kau memiliki keberanian untuk menda-

patkan semua ini...." 

"Karena aku lebih suka menikmati tubuhmu ke-

timbang menghormati guruku sendiri!"

"Ya! Dan tak seorang pun yang tahu, kalau kau-

lah yang telah membunuhnya...."

"Dengan sebutir berlian yang kau berikan untuk 

ku masukkan ke dalam air minum Resi Kala Jinjit, 

semuanya sudah menjadi beres," sahut Pangku Jala-

dara menyeringai. Wajahnya kini membiaskan kelici-

kan.

Perempuan di hadapannya tersenyum. Tetap 

membiarkan kedua tangan Pangku Jaladara meremas-

remas sepasang bukit kembarnya. Bahkan membiar-

kan tangan kanan Pangku Jaladara menyelinap ke ba-

gian bawah dari pakaian yang dikenakannya.

"Dendam ku pada Resi Kala Jinjit yang pernah 

mengalahkan aku sampai hari ini tak akan pernah pa-

dam! Tetapi sekarang, semuanya sudah sirna! Tinggal 

membalas dendam saudaraku yang tewas di tangan 

Raja Naga!"

"Ratu Sejuta Setan?" 

"Ya! Ratu Sejuta Setan adalah saudaraku! Kenda-

ti kami bukan saudara kandung, tetapi kami telah me-

nambatkan hati satu sama lain! Sayangnya, aku ter-

lambat mengetahui keadaannya! Setelah dia mampus 

baru aku tahu kalau si pembunuh adalah Raja Naga!" 

sahut si perempuan dingin. Wajah jelitanya berubah 

menjadi kejam. 

(Untuk mengetahui kematian Ratu Sejuta Setan, 

silakan baca episode : "Ratu Tanah Terbuang").


Si perempuan melanjutkan ucapannya, "Masih 

beruntung aku mengetahui siapa pembunuhnya. Lalu 

ku susun semua ini. Dan yang pertama kali kulaku-

kan, aku harus menemukan orang yang dapat mem-

bantuku." 

"Kau beruntung bertemu denganku," kata Pang-

ku Jaladara yang kemudian mengingat kembali saat 

pertama kali berjumpa dengan perempuan bertubuh 

montok di hadapannya ini. Kala itu dia secara tak sen-

gaja melihat perempuan ini sedang mandi di sungai. 

Pangku Jaladara sebenarnya adalah orang yang tak 

dapat menahan gairah. Kalaupun dia sering keluar da-

ri Perguruan Laba-Laba Perak semata untuk mencari 

perempuan yang dapat dijadikan sebuah pelampiasan 

gairahnya. Dan dia cukup heran ketika perempuan 

yang dilihatnya sedang mandi dalam keadaan polos 

itu, justru membiarkannya menikmati keindahan itu, 

padahal perempuan itu mengetahui kalau sedang diin-

tip.

Bahkan tanpa ragu perempuan itu keluar dari 

dalam sungai dalam keadaan polos, hingga Pangku Ja-

ladara dapat melihat lekuk tubuh dan benda-benda 

yang seharusnya disembunyikan si perempuan. Dan di 

luar dugaannya, perempuan itu justru berbaring tanpa 

mengenakan pakaiannya.

Pangku Jaladara merasa pasti kalau perempuan 

itu memang menginginkannya. Dan semuanya begitu 

cepat terjadi. Perempuan itu bahkan bersedia memua-

skan gairah Pangku Jaladara yang membuatnya men-

jadi lebih sering menjumpai perempuan itu untuk me-

lampiaskan gairahnya. 

Hingga suatu hari, perempuan itu mengatakan 

apa yang sebenarnya diinginkannya. Semula Pangku 

Jaladara memang terkejut mendengar kalau perempuan itu menginginkan kematian gurunya. Tetapi naf-

su gairah dan ketagihannya itu tak bisa dibendung. 

Disetujuinya rencana si perempuan yang terus berlan-

jut.

Secara diam-diam, Pangku Jaladara akhirnya 

berhasil membunuh Resi Kala Jinjit. Karena dia murid 

terpandai dan tertua, maka dengan mudah dia menda-

patkan tugas untuk menggantikan kedudukan gu-

runya. Seperti yang diatur oleh si perempuan, Pangku 

Jaladara diharuskan mengundang Raja Naga dan Da-

tuk Bunaeng. Sebenarnya Pangku Jaladara merasa ke-

beratan mengingat Datuk Bunaeng adalah musuh 

mendiang Resi Kala Jinjit.

Tetapi gairah telah membutakannya. Perempuan 

itu mengancam tak akan lagi membiarkan Pangku Ja-

ladara menggeluti tubuhnya. Pikiran picik pun hinggap 

di benak Pangku Jaladara hingga semuanya pun men-

jadi seperti sekarang ini.

Tangan kirinya masih meremas sepasang bukit 

montok si perempuan secara bergantian, sementara 

tangan kanannya menyusup jauh ke balik pakaian si 

perempuan bagian bawah.

"Kau tak perlu merisaukannya. Bukankah seka-

rang ini sudah hampir menjadi kenyataan? Seperti 

yang kau katakan, aku memang harus mencuri kalung 

Laba-laba Perak yang tentu saja tak kulakukan dengan 

cara mencuri. Lalu melimpahkan tuduhan itu pada 

Datuk Bunaeng. Tetapi rencana lain, bila Raja Naga 

muncul, aku harus melimpahkan tuduhan itu pa-

danya. Makanya, di saat aku hendak keluar aku kem-

bali lagi karena kulihat Raja Naga bersembunyi di 

atap. Kulemparkan kalung itu padanya dan aku keluar 

menemui Datuk Bunaeng. Rencana semakin berjalan 

lancar, karena kemudian murid-murid Perguruan Laba-laba Perak mengetahui kehadiran Raja Naga. Lalu 

kau bertindak sesuai rencana. Kau masukkan kema-

rahan mu ke dalam benak Datuk Bunaeng dengan 

mengatakan kalau Raja Naga telah mencoreng arang di 

wajahnya. Kemudian aku masuk kembali yang saat itu 

bersama Duto. Masih sempat kulihat Raja Naga berke-

lebat. Terpaksa Duto kubunuh dan aku pura-pura 

pingsan sesuai rencana. Bukankah ini sebuah rencana 

yang bagus?"

Perempuan di hadapannya mengangguk-

anggukkan kepala. 

"Bukan hanya bagus, tetapi sempurna!"

"Dan kau tak akan banyak membuang tenaga un-

tuk membalas kematian Ratu Sejuta Setan pada Raja 

Naga! Karena Datuk Bunaeng yang dalam hal ini ber-

sama Ratu Tongkat Ular akan melakukannya untuk-

mu...."

Paras tegang si perempuan tadi berubah kembali. 

Dia menyeringai lebar. 

"Ya! Kita tinggal menunggu hasil sebenarnya! Te-

tapi, satu hal yang akan kita lakukan sekarang ini, 

adalah mencoba menemukan Langlang Benua...."

"Untuk apa?"

"Karena... Langlang Benua adalah sahabat Resi 

Kala Jinjit. Dengan demikian, kedudukan kita akan 

bertambah kuat." 

"Kau mengatakan kalau Datuk Bunaeng serta 

Ratu Tongkat Ular sedang mencarinya juga. Jadi... kita 

tak perlu mencari Langlang Benua?"

Perempuan jelita yang di kepalanya terdapat se-

buah mahkota itu tersenyum. Dia tahu ke mana arah 

ucapan Pangku Jaladara. Sambil tersenyum dan sese-

kali menjilati bibirnya dengan lidahnya sendiri, yang 

membuat Pangku Jaladara semakin tak menentu, dia


berkata, 

"Kau seperti ketakutan tak memiliki waktu untuk 

memadu kasih denganku...." 

"Karena aku tak ingin melewatkan waktu sekejap 

pun juga untuk menggeluti mu...."

"Tak perlu mengkhawatirkan keadaan itu," kata 

si perempuan sambil membelai pipi Pangku Jaladara 

yang napasnya sudah mendengus-dengus. "Setiap 

saat, sesuai janji ku, kau akan dapat menggeluti tu-

buhku kapan saja kau mau." 

"Aku mau sekarang."

"Kau memang tak sabaran. Dan seperti rencana 

kita, kau harus berlagak sebagai tawananku nanti di 

hadapan Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular. Dua 

hari lagi, aku akan menjumpai mereka di Lembah 

Lingkar...."

"Dan selagi keduanya lengah, akan kita bunuh 

mereka!" sahut Pangku Jaladara sengau, karena naf-

sunya sudah semakin berada di ubuh-ubun.

"Tentunya tindakan itu tak akan kita lakukan, 

sebelum mengetahui Raja Naga telah mampus di tan-

gan mereka!" 

"Kalau begitu, mengapa kau memberikan mereka 

waktu tiga hari? Bukankah itu terlalu cepat?"

"Bila terlalu lama, aku khawatir mereka akan 

mencurigai kita. Kau paham maksudku?"

Pangku Jaladara tak menjawab. Sepasang ma-

tanya di hujamkan pada bukit kembar yang menggiur-

kan itu. Mendadak di susupkan kepalanya pada bela-

han bukit kembar itu. Mulutnya meracau, "Aku mau 

sekarang!" 

Tangan kanannya yang menyusup ke bagian ba-

wah pakaian si perempuan, disentakkan hingga pa-

kaian itu terlepas. Dan terlihat tubuh yang polos sekarang. 

"Kau memang tak sabaran...," desis si perempuan 

sambil perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di balai-

balai itu. Kedua tangannya menekan kepala Pangku 

Jaladara agar lebih menyusup pada belahan bukit 

kembarnya. 

Aroma merangsang tertangkap penciuman Pang-

ku Jaladara, hingga membuatnya semakin menggila. 

Mulutnya menangkap secara bergantian bulatan coklat

yang terdapat pada pucuk bukit-bukit indah itu. 

"Kau benar-benar membuatku tak pernah puas. 

Dan kau pintar membuatku puas. Bawa aku lagi ke 

surga yang paling tinggi.... Dewi Berlian,..."


DELAPAN



KITA harus menjauh, Gala Jenjang!" seruan itu 

terdengar di sebuah jalan setapak, di saat matahari 

kembali memancarkan cahayanya. Begitu melewati 

ranggasan semak belukar, terlihat dua sosok tubuh 

mengenakan pakaian hitam dan biru berlari sekencang 

mungkin. Yang mengenakan pakaian hitam berseru

kembali, "Jangan loyo! Peduli setan dengan keletihan. 

Bila kau ingin mampus di tangan Datuk Bunaeng, si-

lakan kau terus memperlambat larimu!"

"Dadaku mau pecah" seru Gala Jenjang. "Kulo 

Marutung, kupikir kita sudah menjauh dari Perguruan 

Laba-laba Perak. Dan tak mungkin Datuk Bunaeng 

dapat menemukan kita di sini!"

Kulo Marutung hanya melirik. Dia sebenarnya ju-

ga sudah kelelahan. Kedua kakinya terasa penat bu-

kan main. Bahkan untuk dibawa berlari pun seper-

tinya tak mampu lagi. Tetapi rasa takut menghantuinya.

"Apakah kau lupa, apa yang dikatakan Datuk 

Bunaeng?!" serunya kemudian.

"Sudah tentu aku ingat," sahut kawannya dengan 

napas terputus-putus. "Dia akan membunuh para 

pengikutnya kalau gagal menghancurkan Perguruan 

Laba-laba Perak!"

"Dan dia telah gagal melakukannya, karena se-

seorang telah mencuri kalung Laba-laba Perak. Bah-

kan kita sama-sama sempat melihat kalau Pangku Ja-

ladara menuduhnya melakukan tindakan itu! Aku se-

belumnya sudah gembira karena dengan tuduhan itu, 

akan lebih memudahkan Datuk Bunaeng menjalankan 

maksud! Tetapi ternyata, semuanya berbalik.... Pergu-

ruan Laba-laba Perak telah dihancurkan oleh seseo-

rang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak!" 

Kata-kata Kulo Marutung membuat Gala Jenjang 

mengangguk-anggukkan kepalanya. Itu pertanda, ke-

matian akan tiba. Tetapi karena kedua kakinya tak bi-

sa lagi dibawa berlari dia akhirnya jatuh tersungkur.

Sejenak Kulo Marutung memperhatikan teman-

nya itu. Dada lelaki berwajah tirus ini turun naik ka-

rena napas yang memburu. Sejenak pula dia memu-

tuskan untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan 

Gala Jenjang di sini. Tetapi di saat lain, dia sudah 

memutuskan pula untuk beristirahat dulu.

"Kita hanya punya waktu yang singkat!" desisnya. 

Gala Jenjang mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu 

diatur napasnya yang memburu.

"Kau tahu siapa yang telah mencuri kalung Laba-

laba Perak?"

"Aku tidak tahu sama sekali! Karena yang ku ta-

hu, kalung itu berada di kamar Pangku Jaladara!"

"Terkutuk orang yang telah melakukannya! Dan


lebih terkutuk lagi karena empat orang kawan kita 

yang berada di sana ketahuan sebelum kita melakukan 

tindakan!"

"Satu kebodohan yang kita lakukan adalah, kita 

melarikan diri dari urusan ini!”

"Itu tidak bodoh! Karena biar bagaimanapun ju-

ga, bila kita berada di sana, kita pasti akan mampus!"

"Dan sekarang, kita tetap akan mampus! Bahkan 

sudah kubayangkan, kalau kematian yang kita alami 

ini jauh lebih mengerikan...." 

Masing-masing orang tak ada yang bersuara. Se-

lain sibuk mengatur napas dan memulihkan tenaga, 

keduanya juga merasa ciut nyalinya. Karena sudah 

membayangkan kalau Datuk Bunaeng akan muncul, 

mengingat seperti yang pertama kali dikatakan oleh 

kakek berambut dikelabang itu. Bila urusan ini gagal, 

maka semuanya akan mampus sebagai penutup mu-

lut!

Kulo Marutung mendesis pelan, "Tak kusangka 

kalau urusan jadi berantakan seperti ini. Padahal se-

belumnya, sudah kubayangkan, bagaimana kita akan 

hidup enak bila membantu Datuk Bunaeng."

"Pikiran yang sama pun ada di benakku. Tetapi 

sayangnya, urusan ini jauh berbeda dengan apa yang 

kita harapkan." 

Kembali masing-masing orang tak ada yang buka 

suara. Dan mereka tidak tahu, kalau dua pasang mata 

memperhatikan keduanya dari balik ranggasan semak.

Pemilik mata yang berada di sebelah kiri mengge-

ram pelan

"Huh! Pantas kucari tak kutemukan, rupanya 

mereka berani lancang melarikan diri dari tanganku!"

"Datuk... biar aku yang membereskan mereka"

"Aku ingin kau melakukannya dengan cepat. Ratu!"

Perempuan tua berpakaian compang-camping itu 

menganggukkan kepalanya. Lalu melompat dari balik 

ranggasan semak. Kehadirannya yang tiba-tiba mem-

buat Kulo Marutung dan Gala Jenjang tersentak. Se-

cepat itu pula masing-masing orang berdiri dengan ta-

tapan tak berkedip pada Ratu Tongkat Ular. 

Mereka memang belum mengenal siapa adanya 

Ratu Tongkat Ular. Kendati demikian, hati mereka pun

tetap merasa tidak tenang. 

Kulo Marutung sudah membentak, "Nenek tua 

bertongkat kepala ular! Ada urusan apa kau tiba-tiba 

muncul secara tiba-tiba di hadapan kami?! Apakah 

kau tidak tahu siapa kami, hah?!"

Si nenek hanya menyeringai sambil melangkah 

setapak demi setapak.

Kulo Marutung melirik Gala Jenjang yang juga 

sudah bersiaga. Keduanya bukanlah orang yang memi-

liki ilmu cetek. Mereka mempunyai kepandaian yang 

cukup menakjubkan. 

Kulo Marutung membentak lagi, "Tindakanmu 

cukup mengejutkan kami! Sebaiknya pergi dari sini 

sebelum kami memutuskan untuk membunuhmu!" 

Mengkelap paras Ratu Tongkat Ular. Tatapannya 

berubah menjadi bengis. Perubahan itu menyadarkan 

Kulo Marutung dan Gala Jenjang kalau bahaya sudah 

tiba di hadapan keduanya.

"Aku tak mempercayai nenek ini," bisik Kulo Ma-

rutung. 

"Aku juga demikian!"

"Kita serang saja dia sekarang!"

Belum habis bisikannya terdengar, Kulo Maru-

tung sudah menerjang ke depan dengan jotosan tan-

gan kanan kiri yang diarahkan pada dada Ratu Tong


kat Ular. Deru angin yang cukup kencang mendahului 

jotosannya. Di pihak lain, Gala Jenjang sendiri sudah 

melesat cepat dengan tendangan melingkar yang di-

arahkan ke kepala Ratu Tongkat Ular!

Yang diserang menjerengkan matanya. Lalu sam-

bil mendengus kecil, digerakkan tongkatnya sangat ce-

pat.

Wuuutt! Wutttt!! 

Ayunan pertama diarahkan pada Kulo Marutung 

yang seketika membuang tubuh ke samping kanan. 

Sementara ayunan kedua dengan cara menyodok ke 

arah perut Gala Jenjang yang memekik kaget sambil 

mundur.

Dan... 

Wuuutttt!! 

Ayunan ketiga yang dilancarkan dari atas ke ba-

wah itu sudah melesat ke arah kepala Kulo Marutung. 

Yang diserang berteriak kaget dan tak sempat meng-

hindar. Akibatnya...

Praaakkk!

Kepalanya seketika remuk terhantam ayunan 

tongkat yang keras itu. Bersamaan dengan remuk dan 

minggatnya nyawa Kulo Marutung, satu sabetan deras 

menerpa dada Gala Jenjang. 

Praaakk!!

Kembali terdengar suara keras itu. Nasib Gala 

Jenjang lebih mengenaskan dari apa yang dialami oleh 

Kulo Marutung. Karena begitu sabetan tongkat si ne-

nek mengenai dadanya, tubuhnya terlempar deras 

hingga menabrak pohon yang membuatnya terbanting 

kembali di atas tanah! Dadanya sudah terasa sakit bu-

kan alang kepalang, ditimpa lagi keadaan punggung-

nya! Hingga penderitaan Gala Jenjang menjadi berlipat 

ganda. Sialnya, dia tidak langsung mampus seperti


yang dialami oleh Kulo Marutung! 

Kedua matanya mengerjap-ngerjap menahan rasa 

sakit tak terkira dan ketakutan yang menyengat-

nyengat tatkala melihat si nenek melangkah mendeka-

tinya.

Belum lagi dia buka mulut, dengan kejamnya Ra-

tu Tongkat Ular menghantam kepalanya hingga pecah!

"Huh! Hanya begitu saja kemampuan kalian!" 

dengusnya. Lalu dipalingkan kepalanya tatkala me-

nangkap gerakan di belakangnya.

"Kita lanjutkan perjalanan ini!"

"Ke mana, Datuk? Mencari Langlang Benua san-

gat sulit kita lakukan, karena seperti kita sama-sama 

ketahui, kalau orang itu gila bertualang!"

Datuk Bunaeng melirik. Ratu Tongkat Ular segera 

memalingkan kepalanya karena tahu arti lirikan itu.

"Maafkan aku...," desisnya

"Sekarang juga kita berangkat menuju ke Gua Hi-

tam!"

Mendengar tempat itu disebutkan, seketika kepa-

la Ratu Tongkat Ular menegak. Ditatapnya Datuk Bu-

naeng dengan tatapan seksama.

"Gua Hitam?" desisnya terbata sambil menelan 

ludah

"Ya! Kita menuju ke sana!"

"Bukankah... bukankah... di sana tempat tinggal 

Resi Hitam?"

"Kau betul! Manusia satu itu memiliki kesesatan 

tiada banding! Di balik sikapnya yang laksana seorang 

resi, dia memiliki kekejaman tiada banding!"

"Untuk apa kau datang ke sana?"

"Ini salah satu dari rencanaku yang belum kau 

ketahui"

"Jadi... kau belum mengatakan seluruh rencanamu kepadaku?!" suara Ratu Tongkat Ular mulai ter-

dengar tidak suka. Kira-kira empat puluh tahun yang 

lalu, Resi Hitam pernah memperkosanya. Ratu Tongkat 

Ular tak pernah melupakan tindakan Resi Hitam. Te-

tapi karena dia merasa tak mampu menghadapi Resi 

Hitam, urusan itu di kuburnya dalam-dalam tetapi tak 

pernah dilupakannya! 

Datuk Bunaeng tajam menatapnya.

"Kau masih ingin ikut denganku atau tidak?!" 

bentaknya keras. "Pagi ini juga kau harus memu-

tuskan ikut atau tidak! Bila kau masih tetap ikut, ma-

ka kau masih akan bisa melihat matahari besok! Teta-

pi bila kau mengundurkan diri, akulah yang akan 

mengirimmu ke neraka sekarang juga!"

Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati!

"Keparat! Tak pernah kusangka kalau dia berhu-

bungan dengan Resi Hitam! Resi keparat yang mem-

perdayaiku ketika aku diundangnya berkunjung ke 

Gua Hitam, yang ternyata berniat memperkosaku! Ter-

kutuk! Tindakan keparat itu tak akan pernah kulupa-

kan sampai kapan pun juga!" 

"Kau belum menjawab apa-apa, Ratu Tongkat 

Ular!" suara dingin Datuk Bunaeng menyelinap di te-

linganya, menyadarkan Ratu Tongkat Ular kalau ba-

haya yang lebih mengerikan akan segera datang.

Buru-buru dianggukkan kepalanya. Sambil me-

nyeringai lebar dia berkata, "Datuk... sebelum ini telah 

ku putuskan untuk bergabung denganmu. Dan sudah 

barang tentu aku akan tetap mengikuti apa yang kau 

hendaki" 

"Bagus! Itu artinya kau tahu gelagat!"

"Bagaimana dengan Dewi Berlian yang akan kita 

jumpai di Lembah Lingkar?"

"Sampai hari ini aku tak percaya sedikit pun juga


dengannya! Dia akan kita bereskan kelak! Kita berang-

kat sekarang!" sahut Datuk Bunaeng dan berkelebat 

mendahului. 

Ratu Tongkat Ular segera menyusul. Sambil ber-

lari nenek berpakaian compang-camping ini membatin,

"Resi Hitam,.. tak kusangka kalau aku akan ber-

jumpa lagi dengannya. Ah, apakah aku mampu mena-

han amarahku bila sudah berhadapan dengannya? 

Apakah akan langsung ku terjang untuk membalas 

perlakuan-nya dulu? Berpuluh tahun kusembunyikan 

apa yang telah ku alami, berpuluh tahun pula ku pu-

tuskan untuk tidak membalas perbuatannya karena 

aku tak akan sanggup melakukannya. Ah, mengapa 

aku tidak melakukannya lagi? Barangkali, dengan ku

tindih dendam ku padanya, aku dapat memetik se-

buah keuntungan yang buahnya kelak akan ku nikma-

ti...." 

Memutuskan demikian, Ratu Tongkat Ular tidak 

lagi merasa setegang sebelumnya.


SEMBILAN


UNTUK kesekian kalinya Raja Naga menghenti-

kan langkahnya. Anak muda dari Lembah Naga ini 

menarik napas panjang setelah memperhatikan sekeli-

lingnya dengan sepi.

"Tindakan Dewi Pengunyah Sirih masih menim-

bulkan teka-teki berkepanjangan untukku. Aku sama 

sekali tidak tahu apa maksudnya untuk mencuri ka-

lung Laba-laba Perak. Dan setelah melihat benda itu di 

tanganku, dia tidak melakukan tindakan apa-apa. Ah, 

menurutnya, saat ini aku sedang diburu sebagai seo-

rang pencuri! Gila! Ini urusan gila


Beberapa saat lamanya pemuda yang di kedua 

tangannya sebatas siku terdapat sisik-sisik coklat ini 

terdiam. Dia berusaha untuk mengendalikan amarah 

dan ketegangannya. Disingkirkan kebingungan yang 

membiasi dirinya. 

Tiba-tiba saja pendengarannya yang tajam me-

nangkap gerakan-gerakan di samping kanannya. Sadar 

kalau sesuatu akan terjadi, Raja Naga memutuskan 

untuk segera meninggalkan tempat itu. Tetapi terlam-

bat, dua lelaki berpakaian putih yang terbuka dibahu 

kiri, dengan kepala gundul telah muncul di hadapan-

nya!

Untuk beberapa saat pemuda berompi ungu ini 

memperhatikan keduanya tanpa kedip. Sorot matanya 

yang menyiratkan keangkeran, tajam dan dalam,

Kedua orang bertubuh besar dengan kepala pe-

lontos itu sejenak menangkap keangkeran dari mata 

pemuda di hadapannya. Tetapi di saat lain, kemarahan 

sudah terpampang pada wajah masing-masing orang

"Cirinya sama seperti yang kita dengar! Sorot ma-

tanya juga membuktikan siapa dia sebenarnya! Belum 

lagi dengan sisik-sisik coklat pada tangannya! Kala 

Sringgil! Jelas dialah orang yang sedang kita cari, 

orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak!!" se-

ru lelaki berkepala plontos yang berwajah klimis.

Yang dipanggil Kala Sringgil menganggukkan ke-

pala. Kedua tangannya dilipat di depan dada. 

"Tindakannya telah mencoreng arang di rimba 

persilatan! Selama ini dia dikenal sebagai orang golon-

gan lurus yang membela kebenaran! Sejak dia berhasil 

mengalahkan Hantu Menara Berkabut disusul dengan 

kejadian-kejadian yang menggemparkan, julukannya 

telah menjulang ke langit tujuh! Tetapi sayang, kesera-

kahan masih membiasinya!"


(Untuk mengetahui siapa Hantu Menara Berka-

but, silakan baca episode: "Tapak Dewa Naga" sampai 

"Misteri Menara Berkabut")

Di tempatnya, Raja Naga diam-diam menahan 

napas. Dari ucapan masing-masing orang, dia tahu ka-

lau keduanya adalah orang-orang yang sedang mem-

burunya. 

"Aku harus tenang, bahkan sedapat mungkin 

menjelaskan apa yang terjadi...," katanya dalam hati.

Sebelum kedua orang itu berbicara lagi, murid 

Dewa Naga telah berucap sambil merangkapkan tan-

gannya di depan dada, "Aku belum mengetahui siapa 

adanya kalian berdua. Tetapi dari sikap kalian, sudah 

tentu aku yakin, kalian bukanlah orang sembarangan!"

"Kala Sringgil! Rupanya dia mencoba untuk men-

gelabui kita dengan tindakannya itu!"

"Jala Sringgil! Aku semakin muak dengan sikap-

nya! Kita memang terlambat mendengar kematian Resi 

Kala Jinjit! Tetapi kita juga tahu kalau pembunuhnya 

sama sekali tidak diketahui! Namun sekarang ada se-

seorang yang telah mencorengkan wajahnya sendiri 

dengan tindakan terkutuknya! Sebagai sahabat dari 

Resi Kala Jinjit, sudah barang tentu kita tidak tinggal 

diam" 

Raja Naga merasakan dadanya berdebar keras. 

Kesalahpahaman rupanya sudah terjadi dan nampak-

nya sangat sulit untuk dijelaskan kejadian yang sebe-

narnya.

Buru-buru dia berkata lagi, "Kalian telah menye-

butkan nama satu sama lain! Dan mungkin kalian 

memang telah mengenalku! Hanya yang ingin ku je-

laskan"

"Dari sikapmu kau sudah tahu apa maksud kami 

sebenarnya!" putus Jala Sringgil keras. "Berarti... kau


siap untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu?" 

"Atau... kau mencoba membela diri dengan men-

gatakan sesuatu, hah?!" ucapan dingin Kala Sringgil 

terdengar ketus. 

Raja Naga mendesah pendek. Wajahnya sedikit 

gelisah, tetapi sorot matanya tetap angker.

"Dari sikap kalian, aku tahu apa yang kalian in-

ginkan sebenarnya! Ya... aku mungkin tak bisa meno-

lak! Tetapi, aku ingin menjelaskan keadaan yang sebe-

narnya"

"Julukan Raja Naga secara tiba-tiba dan menge-

jutkan telah merebak dengan sepak terjangnya yang 

menghentikan perbuatan-perbuatan makar dari orang-

orang keparat! Tetapi sekarang, tindakan itu justru 

membuka mata seluruh rimba persilatan kalau di balik 

semua itu kau memiliki maksud busuk!"

Raja Naga tak mempedulikan ucapan yang me-

nusuk itu. Dia berkata lagi, "Aku tak peduli kalian 

mau mendengarkan atau tidak apa yang kukatakan! 

Tetapi aku akan mengatakannya!"

Lalu diceritakan pengalaman yang berakibat tak 

menyenangkan itu. Usai bercerita, diperhatikan wajah 

dua orang lelaki bertubuh besar yang berkepala gun-

dul. Satu sama lain berpandangan seolah meminta 

persetujuan untuk mempercayai atau tidak apa yang 

dikatakan pemuda berompi ungu di hadapannya.

Kala Sringgil berkata, "Apa yang kau ceritakan 

adalah sesuatu yang tak masuk akal! Barang bukti te-

lah ada padamu dan tentunya sekarang juga ada pa-

damu. Kau bisa saja mengatakan, kalau seseorang 

yang entah siapa telah melemparkan benda pusaka itu 

padamu! Padahal sebenarnya, memang kaulah yang 

telah mencurinya!"

"Kala Sringgil... apa yang kukatakan adalah sebuah kenyataan! Hingga saat ini aku masih mencoba 

menemukan bukti-bukti agar aku terbebas dari segala 

tuduhan!"

"Huh! Kau hendak mencari bukti dari segala tin-

dakan yang menurutmu tidak kau lakukan?! Gila! Se-

mua orang sudah tahu kau terbukti bersalah!"

Sebelum Raja Naga menyahut, Jala Sringgil su-

dah berkata, "Untuk apa lagi membuang waktu per-

cuma untuk membicarakan pepesan kosong seperti 

ini!"

Habis kata-katanya, lelaki berkepala plontos ber-

wajah kelimis ini sudah melesat ke arah Raja Naga. 

Dari lesatan tubuhnya menderu angin dingin yang me-

nandakan kekuatannya. Mendapati Jala Sringgil sudah 

melancarkan serangan, Kala Sringgil pun berbuat yang 

sama. 

Raja Naga mendesah pendek. 

“Sulit bagiku untuk menghindari pertarungan 

ini!" desisnya resah dan segera melompat ke samping 

kiri untuk menghindari sergapan Jala Sringgil lalu 

memutar tubuh ke belakang menghindari jotosan Kala 

Sringgil.

"Hebat!" seru Jala Sringgil dan tiba-tiba menyi-

langkan kedua tangannya di depan dada. Mulutnya 

nampak berkomat-kamit tetapi tak ada suara yang ke-

luar. 

Kala Sringgil pun melakukan tindakan yang sa-

ma.

Raja Naga mendesis dalam hati, "Nampaknya... 

masing-masing orang hendak mengeluarkan ilmu me-

reka yang tentunya tak bisa dipandang sebelah mata! 

Ah, aku merasa pasti, kalau sesungguhnya mereka 

bukanlah orang kejam atau orang golongan sesat! Te-

tapi mau bagaimana lagi? Aku memang sulit melepaskan diri dari tuduhan sebagai pencuri!"

Dilihatnya kalau kedua tangan masing-masing 

orang yang menyilang di depan dada mulai bergetar 

dan semakin lama getarannya semakin tak menentu, 

lebih cepat dan tiba-tiba asap putih keluar!

"Astaga! Ilmu apa yang keduanya perlihatkan? 

Rasanya... aku harus melawan kalau tidak ingin mam-

pus!" desis Raja Naga dan diam-diam dikeluarkannya 

Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. Dilihatnya ke-

dua tangan kedua orang berkepala plontos itu seperti 

tak beraturan. Mendadak sontak masing-masing orang 

melesat ke depan, gerakan yang mereka lakukan se-

perti tak mereka niatkan. Dan seperti terbawa oleh ge-

rakan kedua tangan mereka sendiri!

Mendahului gebrakan keduanya, asap putih 

membubung menderu ke arah Raja Naga. Anak muda 

dari Lembah Naga ini menjerengkan matanya, lalu 

mendeham keras.

"Heeemm!!"

Satu tenaga yang tak nampak memutus gumpa-

lan asap putih yang bergumpal ke arahnya. Namun di 

saat lain, Raja Naga harus menghindari sergapan ke-

dua tangan Kala Sringgil.

Kendati berhasil dihindarinya, dapat dirasakan 

kalau lengannya bagian atas terasa ngilu.

"Gila! Kekuatan apa yang mereka miliki? Tak ada 

sambaran apa pun yang kurasakan, tetapi lenganku 

terasa ngilu!"

Dan sergapan Jala Sringgil yang sedemikian ce-

pat, membuat Raja Naga tersentak. Tanah membuyar 

ke udara tatkala Jala Sringgil menyergap. Tak mau 

mati konyol, segera dikibaskan tangan kanannya un-

tuk melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lau-

tan'!


Wrrrr!

Serta-merta menghampar gelombang angin me-

rah yang memperdengarkan suara bergemuruh. Meli-

hat hal itu, Jala Sringgil bukannya mundur malah te-

rus meluruk. Kedua tangannya yang bergerak sendiri 

itu tiba-tiba menepuk. 

Brrrrr!!!

Gelombang angin yang menyeret tanah yang ke-

mudian membubung tinggi bergemuruh ke arah Raja 

Naga.

Blaaam! Blaaamm!!

Bertemunya dua tenaga hebat itu membuat tem-

pat itu seperti berguncang. Dua buah pohon besar 

tumbang. Ranggasan semak terangkat naik dipadu 

dengan tanah. 

Sementara itu, Raja Naga mundur tiga tindak ke 

belakang dengan tangan kanan kiri terasa ngilu. Di pi-

hak lain, Jala Sringgil sendiri sudah mundur. Getaran 

kedua tangannya semakin menguat.

Sementara itu, Kala Sringgil sudah menjejakkan 

kaki kanannya, yang serta-merta membuat tubuhnya 

mumbul dan seketika meluruk. Tangan kanan kirinya 

yang bergerak sendiri mendorong. Seketika menggebah 

gumpalan asap-asap putih yang menebarkan hawa 

dingin.

Raja Naga tersentak kaget. "Astaga!!".

Segera dikibaskan tangan kirinya.

Jlegaaaarrr!!

Bertemunya gelombang angin merah dan asap-

asap putih itu menimbulkan letupan yang sangat ke-

ras untuk kedua kalinya. Tanah di mana bertemunya 

dua serangan tadi seketika membuyar ke udara seting-

gi dua tombak, berkepul-kepul yang membuat pan-

dangan terhalang dan indera pernapasan menjadi sedikit terganggu.

Secara tiba-tiba dari gumpalan tanah itu melesat 

sosok Jala Sringgil diiringi teriakan membahana. Raja 

Naga sesaat menegakkan kepalanya. Untuk beberapa 

lama dia seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan-

nya. Menyusul serangan Jala Sringgil, Kala Sringgil 

sudah melompat ke udara dan meluruk dengan posisi 

seperti orang terjun bebas. Kedua tangannya siap 

menghajar pecah kepala Raja Naga. 

Ketika menyadari serangan yang datang itu su-

dah siap mencabut nyawanya, Raja Naga segera men-

dorong kedua tangannya ke atas, sementara bersa-

maan dengan itu, kaki kanannya dijejakkan untuk me-

lepas-kan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Karang’.

Bersamaan menderunya gelombang angin yang 

dipadu asap merah, tanah yang dipijaknya bergerak. 

Dan menderu membentuk rangkaian gelombang ke 

arah Jala Sringgil.

Jala Sringgil menggeram. Serta-merta diurung-

kan serangannya. Dan tiba-tiba tangan kanan kirinya 

yang bergerak sendiri itu ditepukkan pada tanah.

Blaaar! 

Tanah muncrat disusul letupan lainnya. 

Blaaam...

Di pihak lain, Kala Sringgil mendadak saja me-

mutar tubuhnya laksana sebuah mata bor! Disong-

songnya serangan Raja Naga sembari mengibaskan 

tangan kanan kirinya.

Blaam! Blaaamm!! 

Letupan demi letupan beruntun terjadi. Tempat 

itu benar-benar laksana dilanda gempa.

Raja Naga surutkan langkahnya ke belakang. Na-

fasnya mulai memburu. Dadanya bergerak turun naik 

dengan cepat. Keringat mulai menghiasi kedua keningnya. 

"Aku tak bisa bertindak setengah-setengah...," 

desisnya seraya melompat ke samping kanan untuk 

menghindari asap-asap putih yang menderu serabu-

tan. Bahkan secara tiba-tiba membubung ke udara 

yang kemudian laksana hujan meluncur diiringi gemu-

ruh angin lintang pukang. 

Raja Naga menahan napas. Saat itu juga tangan 

kanannya ditepukkan pada lengan kirinya.

Wuuuttt!!

Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar dan 

membuat tanah terangkat dalam pusarannya.

Blaaarrr!! 

Serangan ganas yang datang itu dapat dipatah-

kan. Tetapi itu bukanlah akhir dari serangan. Karena 

serangan lainnya yang sangat berbahaya datang ber-

tubi-tubi.

"Aku harus bertindak!" desisnya memutuskan. 

Secara tiba-tiba dijejakkan kaki kanannya di atas ta-

nah melepaskan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Ka-

rang'. 

Gelombang tanah yang menderu itu mengacau-

kan niat Jala Sringgil. Cepat-cepat lelaki berwajah ke-

limis ini melompat ke samping kanan, untuk kemudian 

melesat kembali ke depan. Tetapi Raja Naga sudah ber-

tindak.

Bukkk!

Dengan mempergunakan jurus 'Hamparan Naga 

Tidur' pemuda berkuncir kuda ini sudah berhasil men-

jotos perut Jala Sringgil yang mengaduh sambil mun-

dur. Kala Sringgil sendiri mengurungkan niatnya me-

nyerang melihat keadaan Jala Sringgil. Ditangkapnya 

tubuh sahabatnya itu.

"Tahan!" desisnya seraya mengalirkan tenaga dalamnya. 

Di tempatnya, Raja Naga menahan napas. Bila 

saja dia mau, dia bukan hanya dapat membuat perut 

Jala Sringgil mulas, tetapi jebol hingga menjadi mayat 

saat itu juga! Tetapi biar bagaimanapun juga. Raja Na-

ga yang kedua tangan sebatas sikunya bersisik coklat 

yang mengandung kekuatan dahsyat ini, masih memi-

kirkan setiap tindakannya. Bila hal itu dilakukan, ma-

ka kesalahpahaman semakin menjadi 

Dipandanginya kedua lelaki berkepala plontos itu 

yang sama-sama memandang geram padanya. Teruta-

ma sorot mata Jala Sringgil yang telah pulih rasa sa-

kitnya. Di pihak lain, Kala Sringgil menggeram dingin.

"Sejak kudengar julukanmu, aku yakin kalau kau 

bukanlah pemuda sembarangan! Dan sekarang sudah 

terbukti! Kau bukan hanya dapat mengatasi ilmu 

'Bayangan Arwah' yang kami lakukan tadi, tetapi juga 

berhasil masuk dengan satu pukulan hebat! Tetapi 

jangan berharap, kau dapat selamat pada serangan be-

rikutnya!" 

“Tunggu! Aku tak bermaksud untuk bertindak le-

bih jauh! Apa yang kulakukan tadi, karena aku me-

mang harus menyelamatkan diri! Di samping itu, aku 

juga tidak bermaksud menahan apa yang kalian ingin-

kan karena kalian tetap menginginkan nyawaku wa-

laupun ini adalah kesalahpahaman besar! Dan sejak 

tadi kukatakan, kalau kita berada dalam kesalahpa-

haman yang dalam, yang dapat membuat perpecahan 

di antara kita terjadi!" 

"Kau masih mencoba membela dirimu dengan 

mengatakan kau bukanlah pencuri keparat itu! Huh! 

Bahkan mulai tergambar sesuatu di benakku!"

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya tetap 

angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua


tangannya sebatas siku, tiba-tiba lebih terlihat jelas. 

Pertanda kalau dirinya mulai dilanda sedikit kemara-

han.

Karena tak mendapati sahutan, Kala Sringgil me-

neruskan ucapan, "Hingga saat ini belum diketahui 

siapa pembunuh Resi Kala Jinjit! Tetapi sekarang, se-

muanya mulai jelas!" 

Dada Raja Naga sedikit berdebar. "Apa yang kau 

maksudkan dengan mulai jelas?!"

"Huh! Masih berlagak dungu rupanya! Sudah 

tentu kaulah yang telah membunuhnya!" 

"Astaga!" kepala Raja Naga menegak. "Tuduhan 

itu bisa semakin mengacaukan keadaan! Memang sulit 

bagiku untuk menemukan bukti-bukti kalau aku bu-

kanlah pencuri kalung pusaka lambang Perguruan La-

ba-laba Perak! Dan sekarang, sudah datang tuduhan 

lainnya yang mengatakan akulah yang telah membu-

nuh Resi Kala Jinjit! Berarti...." 

"Kita tak perlu membuang waktu! Bunuh seka-

rang juga pemuda keparat itu!" 

Kala Sringgil sudah melesat dengan tubuh yang 

berputar laksana mata bor! Gerakannya cepat. Angin 

mendahului mengerikan. Bahkan tanah terseret naik. 

Namun tiba-tiba saja, tubuh Kala Sringgil terlempar 

kembali ke belakang! Bila saja lelaki ini tak mampu 

menguasai keseimbangannya, tak mustahil dia ter-

banting di atas tanah!

Bukan hanya Kala Sringgil yang keheranan. Jala 

Sringgil yang sudah pulih dari rasa sakitnya pun ter-

cenung.

"Astaga! Sama sekali tak kulihat kalau pemuda 

itu melancarkan serangan! Tetapi Kala Sringgil tahu-

tahu sudah terlempar ke belakang! Huh! Rupanya pe-

muda itu masih memiliki ilmu yang lebih hebat!"


Tetapi apa yang diduga oleh Jala Sringgil ternyata 

jauh dari kenyataan. Karena saat ini, Raja Naga sendiri 

sedang keheranan melihat apa yang dialami oleh Kala 

Sringgil. 

Matanya yang bersorot angker memperhatikan 

sekelilingnya dengan seksama. 

"Astaga! Siapa gerangan yang telah menahan se-

rangan Kala Sringgil barusan? Aku tak melihat siapa 

pun di sini! Keadaan ini justru akan semakin memper-

dalam kesalahpahaman!" desisnya dalam hati.

Jala Sringgil yang menyangka kalau Raja Naga 

yang menghantam Kala Sringgil dengan ilmu aneh, 

siap melompat menyerang. Tetapi tangan kanan Kala 

Sringgil telah menahannya.

"Jangan gegabah! Bukan dia yang telah melaku-

kan serangan tadi! Ada seseorang di sini!"

Jala Sringgil menatap heran sahabatnya yang 

menganggukkan kepalanya.

"Aku merasa pasti akan hal itu..."




                               SELESAI

















































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive