..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE RATU DINDING KEMATIAN

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


 


RINGKASAN EPISODE YANG LALU

(RATU DINDING KEMATIAN)

RAJA NAGA DITUDUH TELAH MENCURI 

BUNGA-BUNGA KERAMAT. TIGA PENGUASA 

BUMI, YANG MENGUASAI BUNGA-BUNGA 

KERAMAT TERPAKSA TURUN TANGAN UNTUK 

MENCARINYA!

RAJA NAGA BERUSAHA UNTUK 

MEMBEBASKAN TUDUHAN YANG MELEKAT 

PADA DIRINYA ITU. NAMUN PERJALANAN YANG 

HARUS DILAKUKANNYA, MEMBUATNYA 

TERJEBAK PADA GELOMBANG-GELOMBANG 

MAUT YANG DITABURKAN OLEH PARA TOKOH. 

BAHKAN ANAK MUDA DARI LEMBAH NAGA ITU 

KESULITAN UNTUK MEMBEDAKAN MANA ORANG 

GOLONGAN LURUS DAN MANA ORANG 

GOLONGAN SESAT.

DIA GANTI MENDUGA, KALAU PUSPA 

DEWI ADALAH ORANG YANG BERTANGGUNG 

JAWAB ATAS PENCURIAN BUNGA-BUNGA 

KERAMAT. GADIS ITU DIKEJARNYA, TETAPI 

KETIKA DUA LELAKI BERPAKAIAN MIRIP 

PENDETA INGIN BERNIAT BUSUK PADA GADIS 

ITU, RAJA NAGA MALAH BERBALIK 

MENOLONGNYA! NAMUN... PUSPA DEWI JUSTRU 

MENYERANGNYA!


Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU



BLAAAARRR!! 

"Puspa?! Ada apa denganmu?!" seru Raja 

Naga seraya membuang tubuh ke samping kanan 

tatkala gadis berpakaian kuning itu kembali men-

dorong tangan kanan kirinya.

Puspa Dewi tak menyahuti seruan itu, Dice-

carnya anak muda berompi ungu itu terus mene-

rus. Paras jelitanya menekuk, menampakkan kege-

raman luar biasa.

Raja Naga kembali menghindari serangan 

ganas yang tak main-main itu. Setiap kali gelom-

bang angin menderu, setiap kali pula ranggasan 

semak tercabut. Letupan keras berkali-kali terden-

gar keras.

"Aneh! Mengapa tahu-tahu dia menyerang-

ku begini?" seru Raja Naga dalam hati seraya 

menghindar.

"Pemuda pengecut! Mengapa kau cuma bisa 

menghindar, hah?!" gadis bertahi lalat pada pelipis 

sebelah kiri itu berseru seraya menerjang ganas.

Masih belum mengerti mengapa Puspa Dewi 

yang telah diselamatkannya dari niat buruk Setan 

Gundul Hutan Larangan menyerangnya, Raja Naga 

terus menghindar. Tetapi lama kelamaan dia men-

jadi jengkel. Karena biar bagaimanapun, pemuda 

bersisik coklat pada lengan kanan kirinya ini ma-

sih mencurigai Puspa Dewi sebagai orang yang te-

lah mencuri bunga-bunga keramat.

Tiba-tiba saja seraya melenting di udara dua

kali, Raja Naga mendeham. 

Blaaammm!!

Tenaga tak nampak dari dehamannya, 

menghantam gelombang angin yang dilepaskan 

Puspa Dewi. Gadis itu sesaat mundur dengan ke-

dua tangan bergetar. Kakinya terpancang di atas 

tanah, ketika matanya yang indah menatap penuh 

bara!

"Apa yang telah kau lakukan, Puspa?!" seru 

Raja Naga ketika sudah hinggap kembali di atas 

tanah. Matanya yang selalu menyorotkan sinar 

angker, memandang pada Puspa Dewi. 

Yang dipandang sesaat mencoba membalas 

sebelum kemudian mengerjap-ngerjap.

Sesaat suasana hening. Beberapa helai 

daun berguguran. Pagi masih cukup muda. Tiba-

tiba gadis berkuncir kuda dengan pita warna kun-

ing itu menggeram sengit,

"Pengecut! Aku paling tidak suka dengan 

pemuda pengecut!"

"Aku masih mencurigai gadis ini sebagai 

orang yang bertanggung jawab atas pencurian 

bunga-bunga keramat," desis Raja Naga dalam 

tanpa sahuti bentakan Puspa Dewi. "Setelah dia 

menghilang, baru kutemukan lagi dan sedang ber-

tempur dengan Setan Gundul Hutan Larangan. 

Lantas... astaga! Aku tahu dia memang sengaja 

menyerangku, karena tentunya dia tahu aku men-

curigainya?!"

Mata angkernya melihat gadis jelita yang 

baru saja selesai bersemadi memulihkan tena-

ganya, telah meloloskan pedangnya yang berhulu

kepala elang.

Raja Naga segera berseru, "Hati-hati dengan 

pedangmu itu!"

"Pedang inilah yang akan mengajarkanmu 

untuk tidak bertindak pengecut!"

"Lagi-lagi pengecut? Mengapa dia menu-

duhku seperti itu? Ada apa ini? Apakah...."

Kata batin Raja Naga terputus, karena gadis 

itu sudah melayang disertai gerakan pedang yang 

cepat dan mematikan. Angin keras mendahului 

menggebrak setiap kali pedangnya dikibaskan.

Raja Naga terpaksa menghindar dengan 

otak berpikir untuk menemukan jawaban mengapa 

tiba-tiba gadis ini menjadi beringas. Karena tak 

menemukan jawabannya dan dia juga harus me-

nyelamatkan diri dari pedang tajam Puspa Dewi, 

serentak anak muda dari Lembah Naga ini melesat 

ke depan.

Tubuhnya meliuk-liuk dengan gerakan su-

kar di ikuti pandangan. Puspa Dewi nampak me-

lengak karena tahu-tahu pemuda berompi ungu 

itu telah dekat dengannya. Sebelum sempat ditarik 

pedangnya, tahu-tahu tangan kanannya telah di-

tangkap oleh Raja Naga. Puspa Dewi merasa tan-

gannya dipuntir dan... tap! Pedangnya tahu-tahu 

sudah berpindah tangan. "Kau?!" serunya dengan 

suara tersendat.

Raja Naga tersenyum.

"Lebih baik jelaskan sebelum menjadi kesa-

lah pahaman...."

Gadis manis itu memandang dengan mata 

mengerjap-ngerjap. Bara api yang berkobar di kedua matanya pelan-pelan luluh. Raja Naga tersen-

tak ketika dilihatnya gadis itu jatuh berlutut dan 

terisak!

"Hei! Ada apa ini?" serunya dalam hati.

Puspa Dewi terisak dengan kedua tangan 

menutupi wajahnya. Sesaat Raja Naga hanya 

memperhatikan dengan perasaan heran sebelum 

melangkah mendekat.

"Jangan mendekat!"

"Mengapa, Puspa? Aku tak mengerti men-

gapa kau menyerangku?" tanya Raja Naga lembut.

Bukannya menjawab pertanyaan orang, ga-

dis berpakaian ringkas warna kuning yang telah 

robek di bagian punggung itu makin mengisak. 

Dan ini membuat Raja Naga bertambah tidak 

mengerti.

Diputuskan untuk mendiamkan. Tetapi si-

kapnya itu justru membuat si gadis semakin men-

gisak. Dari sela-sela isakannya dia membentak li-

rih

"Kau jahat! Kau jahat!"

Raja Naga tak menjawab.

"Kau sengaja meninggalkan aku lama-lama 

di sana! Kau sengaja melakukannya!"

Kali ini kening pemuda gagah bermata ang-

ker itu berkerut.

Puspa Dewi berseru lagi, tetap mengisak, 

"Kau sengaja membiarkan kedua setan gundul itu 

muncul dan hendak mempermalukanku! Kau ja-

hat, Boma! Kau jahat!!'

"Astaga! Jadi...."

Kata batin Raja Naga terputus karena gadis

itu sudah berseru-seru lagi, "Huh! Bila saja aku 

tak mencium uap beracun yang dihembuskan oleh 

kedua setan gundul itu, keduanya bisa langsung 

kubunuh! Dan tadi... kau sengaja melepaskannya! 

Kau tidak membunuhnya padahal kehormatanku 

hampir mereka renggut!!"

Sadarlah Raja Naga apa yang telah terjadi. 

Selama ini dia beranggapan, kalau Puspa Dewi 

sengaja meninggalkannya ketika dia mencari pen-

gisi perut. Raja Naga masih mencurigainya sebagai 

orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat, 

di mana saat ini beberapa tokoh rimba persilatan 

memburunya karena menyangka dialah yang telah 

melakukan serangkaian pencurian.

Tetapi kata-kata gadis itu barusan? Astaga! 

Apakah itu artinya dia selama ini salah menduga?

Sambil menahan napas, anak muda bersi-

sik coklat pada lengan kanan-kiri sebatas siku itu 

berlutut. Dipandanginya Puspa Dewi yang masih 

menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak 

tangannya.

"Puspa... aku mulai mengerti apa maksud-

mu. Tetapi kau salah mendugaku sepertiku itu...."

"Salah? Huhuhu... kau sengaja melakukan-

nya! Kau sengaja!!" 

"Tidak! Aku sedikit kesulitan untuk mene-

mukan ayam atau kelinci yang bisa kita pang-

gang!"

"Dusta!"

"Itulah kenyataannya, Puspa," sahut Raja 

Naga. Pelan-pelan dijamahnya bahu gadis yang 

masih mengisak itu. "Kalau begini keadaannya,

aku memang salah menilai tentang dirinya," lan-

jutnya dalam hati. "Berarti... bukan dia yang telah 

melakukan serangkaian pencurian bunga-bunga 

keramat...." 

Puspa Dewi masih mengisak. Lambat-

lambat diangkat kepalanya dan ditatapnya Raja 

Naga yang berjarak sedemikian dekat.

"Kau... kau tidak sengaja melakukannya?" 

Raja Naga tersenyum seraya menggeleng. "Aku ma-

lah kebingungan karena kau menghilang begitu 

saja...."

Puspa Dewi mengusap matanya yang basah 

dengan punggung tangan kanannya.

"Kupikir... kupikir... kau sengaja melaku-

kannya..." 

"Aku yakin usianya tak jam: berbeda den-

ganku. Tetapi pengalamannya masih sangat sedikit 

sekali. Dan sepertinya, dia dapat mempercayai se-

seorang dengan mudah," kata Raja Naga dalam ha-

ti. Lalu sambil tersenyum dia berkata, "Ceritakan-

lah bagaimana kedua orang yang mengaku berju-

luk Setan Gundul Hutan Larangan itu muncul." 

Puspa Dewi mengusap-ngusap dulu kedua 

matanya. Parasnya yang jelita itu merona meme-

rah. Sungguh, Raja Naga melihat pesona yang su-

kar ditepiskan pada wajah jelita itu.

Lalu didengarnya cerita Puspa Dewi. Ketika 

Raja Naga memutuskan untuk mencari makanan, 

gadis itu duduk di bawah sebatang pohon. Semilir 

angin membuatnya mulai mengantuk. Tatkala dia 

hampir terlena udara sejuk yang dihirupnya mulai 

sedikit beraroma wangi. Perubahan itu membuat

nya tersentak, karena saat itu dirasakan tubuhnya 

terangkat dan melayang.

Dalam keadaan sedikit pusing, Puspa Dewi 

mendengar suara tawa dan percakapan seiring 

dengan tubuhnya yang terus melayang bergerak. 

Dicoba untuk menyadarkan dirinya sendiri, dicoba 

agar dia tidak terlena oleh aroma wangi yang di-

ciumnya tadi. Saat itulah dia sadar kalau tubuh-

nya melayang karena dibopong oleh seseorang!

Tetapi Puspa Dewi merasa dirinya seperti 

kehilangan tenaga. Bahkan dia seperti tidak tahu 

ketika tubuhnya direbahkan di atas tanah. Namun 

ketika didengarnya napas mendengus-dengus di 

sekitar wajahnya, Puspa Dewi sadar kalau bahaya 

sedang mengancamnya.

Seketika dia bangkit dan menahan aliran 

napasnya. Dicobanya untuk membuang pengaruh 

wangi yang diciumnya. Dengan masih agak sem-

poyongan dicobanya untuk mempertahankan di-

rinya dari niat busuk dua lelaki berpakaian pende-

ta. Di saat mempertahankan diri itu pakaian ba-

gian belakangnya dijambret salah seorang hingga 

robek.

Raja Naga menarik napas pendek. "Berarti 

aku salah menduga padanya. Kupikir dia sengaja 

meninggalkanku karena tahu kalau aku mencuri-

gainya. Tetapi dia justru berpikir kalau aku senga-

ja meninggalkannya. Ah, berarti aku telah salah je-

jak...."

Habis membatin begitu dia berkata, "Sudah-

lah, Puspa... yang pasti kau selamat sekarang...."

Puspa Dewi hanya mengangguk-angguk.

Raja Naga memasukkan pedang yang dipegangnya 

ke warangka yang ada di punggung Puspa Dewi.

Kemudian dia berkata, "Apakah kau akan 

tetap melanjutkan perjalananmu ke Daerah Tak 

Bertuan?"

"Guruku memerintahku seperti itu. Dan 

aku tak bisa kembali ke Tanah Kayangan sebelum 

berjumpa dengan Dewa Segala Dewa"

"Masihkah kau merahasiakan siapa gurumu 

itu?" Ditanya seperti itu, Puspa Dewi tak segera 

menjawab. Ditatapnya pemuda bermata angker itu 

penuh seksama. Dan entah mengapa, tatapan 

angker milik si pemuda berkuncir yang dapat 

menciutkan nyali orang, justru dilihatnya begitu 

bersinar, indah dan menawan. Bahkan Puspa De-

wi seolah merasa dia telah berenang-renang di se-

buah telaga biru yang jernih.

"Guruku berjuluk Ratu Tanah Kayangan...." 

Raja Naga tersenyum.

"Kau telah mengatakan siapa gurumu. Dan 

tentunya kau tak berkeberatan bukan, untuk 

mengatakan mengapa gurumu menyuruhmu men-

jumpai Dewa Segala Dewa?"

Puspa Dewi tak menjawab. Dibawa pandan-

gannya ke kejauhan. Ditatapnya cahaya matahari 

yang menerobos pepohonan.

"Rasanya, tak mengapa bila kukatakan apa 

yang menyebabkan Guru menyuruhku menjumpai 

Dewa Segala Dewa. Boma Paksi ternyata orang 

baik-baik...."

Setelah terdiam beberapa saat, meluncurlah 

kata-kata dari bibir indah memerah itu.

"Boma... beberapa minggu lalu, guruku ke-

datangan seseorang yang berjuluk Ratu Dinding 

Kematian, yang ternyata adalah kakak sepergu-

ruan dari guruku. Ratu Dinding Kematian meng-

hendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma yang dimiliki 

guruku, padahal dia telah memiliki Kitab Ajian Se-

laksa Jiwa. Guruku menolaknya hingga pertarun-

gan terjadi. Karena mereka sama-sama murid dari 

seorang tokoh, maka tak ada yang kalah dan me-

nang. Tetapi...."

Raja Naga mendiamkan saja gadis manis itu 

menghentikan ucapannya. Setelah beberapa saat 

hening, Puspa Dewi melanjutkan, "Ratu Dinding 

Kematian tetap menginginkan Kitab Ajian Selaksa 

Sukma. Dia mengancam akan muncul lagi setelah 

berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat."

"Apa hubungannya dengan bunga-bunga 

keramat?"

"Aku sendiri tidak tahu sebenarnya. Hanya 

yang pasti, bila Ratu Dinding Kematian yang seha-

rusnya kupanggil dengan sebutan Bibi Guru itu 

berhasil mendapatkan bunga-bunga keramat, ma-

ka dia akan memiliki ilmu yang sangat luar biasa 

dan tentunya dengan mudah membunuh guruku."

"Lantas... apa hubungannya dengan Dewa 

Segala Dewa?"

"Menurut cerita Guru, bunga-bunga kera-

mat itu dimiliki oleh Tiga Penguasa Bumi, yakni 

Dewa Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi 

Lembah Air Mata. Dewa Segala Dewa adalah pe-

mimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Guru menyu-

ruhku untuk menjumpainya, untuk mengabarkan

kalau Ratu Dinding Kematian hendak mengambil 

bunga-bunga keramat itu...."

Raja Naga mendesah pendek.

"Kini mulai jelas duduk masalahnya. Berarti 

bayangan kuning yang kulihat sebelum aku dis-

erang Purwa dan Sibarani adalah Ratu Dinding 

Kematian. Perempuan itulah yang bertanggung ja-

wab atas semua kejadian ini, sementara aku yang 

menjadi tertuduh. Dan Dewi Lembah Air Mata, 

tentunya Si nenek berpakaian hijau dengan kain 

kebaya lusuh yang telah menyerangku. Ah, sece-

patnya aku harus tuntaskan urusan ini...."

Sambil menatap gadis di hadapannya, Raja 

Naga berkata, "Puspa Dewi... selama ini, akulah 

yang dituduh sebagai pencuri bunga-bunga kera-

mat."

"Oh! Mengapa demikian?" 

"Karena secara tak sengaja aku mendengar 

suara ledakan keras ketika dua buah bunga kera-

mat dicuri oleh orang yang ternyata Ratu Dinding 

Kematian. Bertepatan dengan perginya perempuan 

itu, Purwa dan Sibarani datang dan menuduhku 

telah mencuri kedua bunga itu."

"Siapakah mereka?"

"Secara jelas aku tidak tahu. Tetapi yang 

pasti, keduanya telah menyebarkan berita kalau 

akulah si pencuri bunga-bunga keramat. Puspa... 

aku tak bisa menemanimu menuju ke Daerah Tak 

Bertuan."

"Mengapa?" tanya gadis itu.

Raja Naga sedikit melengak, karena me-

nangkap nada penyesalan dari suara si gadis. Tetapi di lain saat dia sudah berkata, "Aku harus 

memulihkan nama baikku. Belum lama ini aku te-

lah bertarung dengan Dewi Lembah Air Mata yang 

ternyata salah seorang dari Tiga Penguasa Bumi. 

Dan tak mustahil kalau yang lainnya juga akan 

memburuku...."

Puspa Dewi tak menyahut.

Raja Naga pelan-pelan berdiri.

"Puspa... kita berpisah di sini. Mudah-

mudahan kau...."

"Aku ingin bersamamu, Boma...," putus 

Puspa Dewi sambil mendongak.

Raja Naga menundukkan kepalanya. Biasan 

kelembutan pada sepasang bola mata indah itu se-

saat mengaduk-ngaduk perasaannya. Dia seperti 

terbuai oleh pesona yang benar-benar indah.

"Kita mempunyai urusan yang berbeda. Kau 

tetaplah pergi ke Daerah Tak Bertuan. Saat ini 

bunga-bunga keramat telah berhasil dicuri oleh 

Ratu Dinding Kematian. Bila kau berjumpa dengan 

Dewa Segala Dewa, kau bisa menjelaskan kalau 

aku bukanlah seperti orang yang diduganya, Pus-

pa... kurasa ini hal yang terbaik sehingga...."

Kata-kata Raja Naga terputus, karena tahu-

tahu gadis bertahi lalat di pelipis sebelah kiri itu 

telah berdiri dan memeluknya. Sesaat murid Dewa 

Naga ini melengak dan tak tahu harus berbuat 

apa. Dirasakannya betapa eratnya dekapan Puspa 

Dewi pada tubuhnya, seolah tak ingin dilepaskan. 

"Puspa...," suara Raja Naga gemetar.

"Boma... seumur hidupku... baru sekali ini 

aku keluar dari Tanah Kayangan. Dan... dan...

aku...."

Raja Naga menghela napas pendek.

"Kau kenapa, Puspa?"

"Aku... aku… tidak, tidak!" Gadis itu mele-

paskan rangkulannya. Wajahnya merona merah. 

Matanya mengerjap berkali kali. "Tidak, Boma! 

Aku tidak apa-apa! Ya, ya... sebaiknya aku te-

ruskan langkah ke Daerah Tak Bertuan!''

Sebelum pemuda itu menyahut, Puspa Dewi 

sudah berlari meninggalkannya.

"Hei! Ada apa ini?" seru Raja Naga sambil 

memandangi tubuh Puspa Dewi, yang kemudian 

lenyap di persimpangan jalan. Untuk beberapa la-

manya anak muda bersisik coklat ini terdiam sebe-

lum kemudian memutuskan untuk mencari Ratu 

Dinding Kematian.



DUA


LELAKI tegap dengan cambang di pipi ka-

nan kirinya itu urung membuka mulut. Laksana 

terpantek tenaga gaib, langkahnya tiba-tiba ber-

henti. Matanya membelalak melihat sekelilingnya 

yang telah porak poranda. Di lain saat dia berseru 

keras, "Sibarani!!"

Tiga ekor kelinci yang tadi dibawanya di-

lempar begitu saja. Penuh kepanikan didekatinya 

satu sosok tubuh yang tergolek di atas tanah!

"Sibarani! Apa yang terjadi?! Apa yang terja-

di?!" serunya panik. Tiba-tiba dia tersentak. "Ni mas Herning!!" desisnya.

Kepalanya segera ditolehkan ke kanan kiri. 

Begitu dilihatnya satu sosok tubuh tergeletak di 

atas tanah dengan pakaian robek, segera dia berla-

ri mendekatinya. "Nimas! Ada apa ini?! Ada apa?!" 

Nimas Herning yang sesungguhnya adalah Ratu 

Dinding Kematian, membuka kedua matanya. Di-

pandanginya lelaki berpakaian biru yang terbuka 

di dada itu

"Purwa...," desisnya pelan.

"Nimas! Apa yang terjadi? Apa...," seruan 

Purwa terputus ketika dia teringat sesuatu. Segera 

diarahkan pandangannya ke depan. Dilihatnya ja-

jaran bunga matahari telah porakporanda. Da-

danya seketika berdebar keras.

Lebih berdebar ketika mendengar suara Ni-

mas Herning yang dibuat memelas, "Raja Naga.... 

Raja Naga telah datang... dan... dan... mengambil 

Bunga Matahari Jingga...."

"Terkutuk!!" geram Purwa sengit. Saat itulah 

dilihatnya pakaian di bagian dada perempuan ber-

pakaian kuning keemasan itu telah robek. Sepa-

sang payudara indah yang montok membayang di 

balik pakaian dalamnya yang tipis. "Ke mana... ke 

mana dia lari?" serunya lagi berusaha mengalih-

kan matanya dari pandangan yang menggugah ke-

lelakiannya itu.

Nimas Herning mengeluh seraya memegangi 

kepalanya. Pelan-pelan Purwa mengangkatnya un-

tuk duduk berselonjor. Saat perempuan berambut 

digelung ke atas dengan pita kuning itu duduk, 

sepasang payudaranya bergerak lembut, bergetar

di balik pakaiannya yang tipis.

Lagi-lagi Purwa berusaha menindih pera-

saannya. Matanya dialihkan ke tempat lain. Tetapi 

mengarah tepat pada pakaian bagian bawah Nimas 

Herning yang telah, robek dan memperlihatkan 

paha mulus yang menggiurkan.

Sementara lelaki tegak bercambang itu se-

dang gelisah memikirkan lenyapnya Bunga Mata-

hari Jingga dan resah karena pemandangan pada 

tubuh Nimas Herning, perempuan itu justru terta-

wa dalam hati.

"Sangat mudah, sangat mudah memainkan 

semua ini...."

Dan di lain pihak, Sibarani menggeram da-

lam hati. Dia masih berjuang untuk memulihkan 

suaranya yang lenyap akibat totokan yang dilaku-

kan Nimas Herning.

Purwa berkata, "Ceritakan, Nimas... cerita-

kan bagaimana kejadiannya...."

Nimas Herning yang bukan lain Ratu Dind-

ing Kematian ini memainkan peranannya lagi. Se-

belumnya diceritakan kalau dirinya sedang mem-

buru Raja Naga yang telah memperkosa dan mem-

bunuh adik seperguruannya. Kali ini dikarangnya 

cerita lain. Setelah Purwa pergi mencari kelinci-

kelinci untuk dipanggang, Raja Naga tiba-tiba 

muncul. Dia dan Sibarani berusaha untuk meng-

halangi niat pemuda itu untuk mencuri Bunga Ma-

tahari Jingga. Tetapi mereka kalah dan Raja Naga 

berhasil mendapatkan Bunga Matahari Jingga.

Purwa menggeram gusar mendengarnya.

"Terkutuk!!"

"Maafkan aku, Purwa... aku...."

Kata-kata Nimas Herning terputus karena 

Sibarani telah melesat dengan jotosan tangan ka-

nan kiri penuh tenaga dalam.

Justru Purwa yang terkejut. Segera dia me-

nahan jotosan itu seraya berseru, "Sibarani! Apa 

yang kau lakukan?!"

Plak! Plak!

Sibarani yang telah kehabisan tenaga akibat 

serangan Nimas Herning sebelumnya mundur 

dengan tangan kesemutan. Mulutnya bergerak-

gerak tetapi tak ada suara yang keluar.

Purwa mengerutkan kening melihatnya.

"Kenapa dengan suaramu, Sibarani?" 

Sibarani berteriak-teriak, tetapi tetap tak 

ada suara yang keluar. Dia hanya bisa menjerit-

jerit dalam hati, "Kakang! Perempuan itu berdusta! 

Dia yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga! 

Dia yang telah mencelakakanku jadi begini! Dan 

dia sengaja merobek-robek pakaiannya sendiri!"

Nimas Herning berkata dengan suara penuh 

penyesalan, "Purwa... biarlah Sibarani menghu-

kumku...."

Sudah tentu Purwa terkejut mendengar ka-

ta-katanya.

"Aku tak mengerti...."

"Karena... akulah yang harus dihukum...."

"Aku makin tak mengerti...."

"Ketika kami sudah terdesak kalah, Raja 

Naga memaksa kami untuk mengatakan yang ma-

na Bunga Matahari Jingga di antara sekian banyak 

bunga matahari. Sibarani tak mau menjawab. Dan

Raja Naga menjadi murka. Dibuatnya Sibarani 

hingga tak bisa bersuara untuk selama-lamanya."

"Lantas... mengapa kau mengatakan kalau 

kau yang harus dihukum?"

"Raja Naga menyiksanya, Purwa, Aku tak 

sanggup melihatnya, sementara untuk menolong-

nya aku pun tak mampu. Terpaksa... terpaksa aku 

mengatakan di mana Bunga Matahari Jingga itu 

berada...."

Purwa menghela napas pendek. Dipandan-

ginya Nimas Herning, lalu diarahkan pandangan-

nya pada Sibarani yang masih memandang penuh 

amarah pada perempuan itu.

"Sibarani... tak sepatutnya kau menyalah-

kan Nimas Herning. Bila dia tak melakukan hal 

itu, sudah tentu kau akan dibunuh oleh Raja Na-

ga...."

"Tidak, Kakang! Dia berdusta! Dia yang me-

lakukan semua ini!!" seru Sibarani keras, tetapi 

hanya bisa dalam hati.

Purwa berkata lagi, "Keadaan ini memang 

sudah sukar dibendung lagi. Sebaiknya kita men-

cari Raja Naga...."

"Kakang! Perempuan itulah yang telah men-

curi Bunga Matahari Jingga! Dan bunga-bunga ke-

ramat yang lain! Bukan Raja Naga yang melaku-

kannya!" jerit Sibarani dalam hati. Perempuan 

berpakaian merah melapisi pakaian dalam warna 

hijau bersuara untuk berseru, tetapi suaranya te-

tap lenyap.

Keadaan ini membuatnya menjadi gusar. 

Amarah tak tertahankan berubah menjadi kenelangsaan. Tiba-tiba saja Sibarani berbalik dan me-

ninggalkan tempat itu.

"Sibarani!!"

Sibarani terus berlari. Tak dihiraukannya 

panggilan Purwa, kakak seperguruannya yang di-

am-diam dicintainya. Untuk saat ini memang tak 

banyak yang bisa dilakukan. Padahal dia tahu ka-

lau Nimas Herning berdusta. Jalan satu-satunya 

memang harus meninggalkan mereka.

Menyerang Nimas Herning pun akan mem-

buat Purwa menjadi keheranan. Nimas Herning 

sendiri tentunya akan tetap meneruskan musli-

hatnya, hingga Purwa pasti akan membelanya. Be-

rarti, dia harus mencari jalan pemecahan sendiri, 

demikian Sibarani memutuskan.

Purwa masih mematung. Disesalinya tinda-

kan Sibarani yang meninggalkan mereka.

Nimas Herning tersenyum dalam hati meli-

hat keadaan yang sudah berada di tangannya. Di-

am-diam diturunkan pakaiannya yang telah robek 

itu, hingga sepasang bukit kembarnya yang mon-

tok kini terpampang jelas. Pakaian dalam tipis 

yang dikenakannya tak ada artinya sama sekali. 

Lalu dengan suara memelas dia berkata, "Purwa... 

aku merasa bersalah dalam hati ini...."

Purwa berbalik. Matanya langsung mem-

bentur pada payudara lembut yang terbuka lebar 

itu. Sesaat lelaki ini menjadi gelisah sendiri. Ratu 

Dinding Kematian sangat tahu perubahan wajah 

Purwa. Tiba-tiba saja dia mengeluh. "Aduh!!"

"Oh! Kau kenapa, Nimas? Kenapa?!" se-

runya terburu-buru. Dilihatnya Nimas Herning

menekan-nekan pahanya yang telah terbuka. "Ka-

kiku... kakiku nyeri sekali...."

Sedikit gugup Purwa berlutut. Dia kelihatan 

ragu untuk menjamah kaki yang mulus itu.

"Purwa...." Ratu Dinding Kematian mem-

buat suaranya semakin kesakitan. "Tolong... tolong 

aku..,."

Setengah ragu lelaki tegap itu menjamah 

kaki yang mulus. Ratu Dinding Kematian merasa 

tangan lelaki itu gemetar.

"Tekan, Purwa... tekan...."

Purwa menelan ludahnya berulang-ulang. 

Wajahnya memerah. Dia mulai menekan nekan 

kaki mulus itu.

"Agak lebih kuat, Purwa...." 

Semakin gemetar tangan Purwa melaku-

kannya. Terutama tatkala kedua tangannya memi-

jat paha Ratu Dinding Kematian. Perempuan itu 

menyeringai dalam hati dan sengaja menggeliat 

seperti kesakitan. Tangan Purwa yang tadinya be-

rada di pahanya, mau tak mau bergeser hingga ke 

pangkal pahanya.

Seeerrrr!!

Lelaki itu merasakan ada sesuatu yang me-

lesat naik tatkala tangannya menyentuh dan me-

nekan benda lembut pada pangkal paha Ratu 

Dinding Kematian. Sebelum dia mengangkat tan-

gannya dari sana, Ratu Dinding Kematian telah 

merangkulnya.

"Jangan... jangan angkat tanganmu, Pur-

wa.... Tekan, tekan dengan lembut...."

Kalau tadi Purwa setengah meragu dengan

dada bergemuruh karena jengah, kali ini gemuruh 

dadanya mengencang karena mulai terpengaruh 

gairah. Jakunnya mulai turun naik dengan napas 

terdengar memburu.

Ratu Dinding Kematian tertawa dalam hati.

"Hemmm.... Bunga Matahari Jingga telah 

kudapatkan. Kini lengkap sudah bunga-bunga ke-

ramat berjumlah tujuh buah. Tinggal merendam 

dan meminumnya. Sebelum melakukannya dan 

membunuh Ratu Tanah Kayangan, lebih baik ber-

senang-senang dulu dengan lelaki yang nampak-

nya belum pernah merasakan enaknya tubuh pe-

rempuan...."

Sementara Purwa terus menekan-nekan 

daging lembut pada pangkal pahanya, Ratu Dind-

ing Kematian makin kuat merangkulnya. Tubuh-

nya menggeliat-geliat merasakan geli akibat teka-

nan lembut pada pangkal pahanya. 

Napasnya sendiri mulai terengah-engah. Bi-

birnya mulai menciumi leher Purwa yang seketika 

meremang. Sebelum lelaki itu melepaskan diri, bi-

birnya telah dipagut Ratu Dinding Kematian dan 

dikulum dengan gigitan yang menggairahkan.

"Nimas...," suara Purwa tertelan oleh na-

pasnya sendiri.

"Purwa... peluk aku... peluk...."

Pelan-pelan lelaki yang kini mulai diamuk 

gairah itu merangkul Ratu Dinding Kematian. Dia 

sendiri mulai membalas ciuman-ciuman si perem-

puan. Dan ketika Ratu Dinding Kematian memba-

wa tangan kanannya pada sepasang payudaranya, 

ciuman-ciuman Purwa semakin mengganas. Tangannya meremas-remas payudara lembut yang pe-

lan-pelan menjadi kenyal dan mengencang itu 

dengan penuh nafsu.

Ratu Dinding Kematian menggeliat. Mem-

buka pakaiannya sendiri hingga tubuh bagian 

atasnya kini dalam keadaan polos. Ditariknya ke-

pala Purwa untuk menghujami payudaranya den-

gan ciuman-ciuman, 

"Lebih keras, Purwa! Lebih keras!" Purwa 

yang telah diamuk birahi tidak sadar kalau dia te-

lah melangkah masuk ke neraka. Lelaki itu se-

makin menggila. Bahkan dia menjadi tidak sabar 

sendiri. Direnggutnya pakaian bagian bawah yang 

dikenakan Ratu Dinding Kematian. Lalu tangan-

nya bermain-main di pangkal paha perempuan itu 

yang menggeliat-geliat disertai desahan penuh 

rangsangan.

Tiga kejapan mata kemudian, di bawah si-

nar matahari pagi dan udara yang masih dingin, 

keduanya, sudah berpacu penuh nafsu. Keringat 

seketika membanjiri tubuh masing-masing orang. 

"Lebih cepat, Purwa! Lebih cepat!" Purwa makin 

menggila memacu dirinya. Aliran darahnya ber-

tambah cepat, jantung lebih kencang berdetak... 

"Tekan, Purwa! Tekaaannn!!" seru Ratu 

Dinding Kematian dengan napas mendengus-

dengus. Kedua tangannya menekan pinggul Purwa 

kuat-kuat.

Terdengar jeritan lirih dari mulut Ratu 

Dinding Kematian. Sesaat dia terkulai dan mem-

biarkan lelaki itu terus berpacu di atas tubuhnya. 

Lima tarikan napas berikutnya, gerakan Purwa

makin menggila, makin liar. Dia seperti memburu 

butiran mutiara di pasir putih.

Napasnya terengah kencang dan....

Jeritan panjang itu terdengar seiring tu-

buhnya terlempar di angkasa luas.

Ratu Dinding Kematian tersenyum penuh

kepuasan. Dibiarkannya tubuh tegap lelaki itu 

masih bertengger di atas tubuh polosnya.

"Akan kupermainkan dia..,," desisnya dan 

tiba-tiba saja dia mengisak.

Sudah tentu Purwa yang merasa baru saja 

melakukan perjalanan yang sangat berat dan telah 

tiba di puncak tersentak. Lebih kaget lagi ketika 

melihat tubuhnya dan tubuh perempuan itu dalam 

keadaan polos.

"Heiiii!!" serunya kaget dan buru-buru 

bangkit dari atas tubuh Nimas Herning. Sesaat le-

laki ini seperti orang dungu yang tak menyadari 

apa yang telah dilakukannya.

"Astaga!" desisnya kemudian. "Apa yang te-

lah kulakukan? Apa yang kulakukan?" lanjutnya 

panik.

Ratu Dinding Kematian berkata di sela-sela 

isakan kepura-puraannya, "Kau... kau baru saja 

meniduriku, Purwa...."

"Astaga!" lelaki itu menepuk keningnya sen-

diri. Dan disambar pakaiannya yang segera dike-

nakan dengan cepat. Lalu ditatapnya tubuh Ratu 

Dinding Kematian yang masih polos. "Nimas... 

aku... aku...."

"Aku senang kau melakukannya, Purwa..."

Purwa justru menjadi gelisah. Dia menyesali

mengapa ini sampai terjadi. Ditariknya napas be-

rulang-ulang. Setelah dikuatkan dirinya, dia ber-

kata, "Aku akan bertanggung jawab, Nimas...."

Ratu Dinding Kematian menghentikan isa-

kannya. "Be benarkah?"

Purwa mengangguk setengah meragu.

"Ya!"

"Oh! Terima kasih, Purwa! Terima kasih!" 

serunya seraya merangkul tubuh lelaki itu.

Purwa tak berkata apa-apa. Dipejamkan 

matanya, menyesali apa yang telah dilakukannya. 

Pelan dia berucap, "Kenakan lagi pakaianmu, Ni-

mas.... Tak ada gunanya lagi kita berada di sini. 

Kita harus memburu Raja Naga...."

Ratu Dinding Kematian segera mengenakan 

pakaiannya lagi. Lalu dikecupnya bibir Purwa yang 

masih menyesali apa yang baru saja dilakukannya.

"Kita berangkat sekarang?"

Purwa cuma mengangguk lesu. Lalu me-

langkah diiringi oleh Ratu Dinding Kematian yang 

tertawa dalam hati. Setelah delapan langkah, Ratu 

Dinding Kematian menjentikkan ibu jari dengan 

telunjuknya.

Tujuh buah bunga beraneka jenis dan war-

na, bergerak beriringan di udara!


TIGA



TEPAT matahari siap masuk ke peraduan-

nya, nenek berkebaya lusuh mengenakan pakaian 

hijau itu menghentikan langkahnya di sebuah hutan kecil. Matanya yang tajam memperhatikan se-

kelilingnya sejenak. Dia mendengus ketika seekor 

burung gagak tiba-tiba melintas dan keluarkan 

suara yang tak sedap didengar.

"Kurang ajar!" makinya kemudian. Tangan 

kurusnya mengepal. Kondenya yang berwarna hi-

jau bergerak mengikuti gerakan kepalanya yang 

mengantar lenyapnya burung gagak itu di antara 

pepohonan. "Raja Naga telah berhasil mematahkan 

ilmu ‘Air Mata Purnama’! Ini membuktikan kalau 

dia memang tak bisa dipandang sebelah mata."

Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air 

Mata ini kembali memaki-maki sendirian. Bibirnya 

yang keriput membentuk kerucut yang dapat me-

mancing tawa. Tetapi bila melihat kegeramannya, 

tak seorang pun yang akan berani tertawa di ha-

dapannya sekarang ini.

"Pencuri keparat itu memang tangguh! Tak 

heran bila Purwa dan Sibarani gagal menangkap-

nya ketika memergokinya mencuri Bunga Kecu-

bung Putih dan Bunga Anggrek Biru! Setan terku-

tuk!!"

Dewi Lembah Air Mata yang sebelumnya 

merasa yakin dapat menangkap Raja Naga, sema-

kin meradang amarahnya. Mata tajamnya meman-

dang ke kejauhan. (Untuk mengetahui hal itu, si-

lakan baca : "Terjebak di Gelombang Maut"),

"Semakin kuat keyakinanku kalau Raja Na-

ga yang telah melakukan serangkaian pencurian 

itu! Hanya saja, aku masih memikirkan satu hal. 

Mengapa Dewa Segala Dewa menyuruh Dewa Seri-

bu Mata mendatangi Dinding Kematian? Ada urusan apa dengan murid Dewa Pengasih yang berju-

luk Ratu Dinding Kematian itu?"

Dewi Lembah Air Mata mencoba mengingat-

ingat siapa Ratu Dinding Kematian.

"Selama ini tak pernah terdengar perem-

puan itu buka urusan dengan siapa pun juga. 

Demikian pula dengan adik seperguruannya yang 

berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Huh! Mengada-

ngada saja Dewa Segala Dewa! Padahal sudah jelas 

kalau... heiiii!!"

Si nenek yang rambutnya sebagian besar 

memutih tetapi herannya rambutnya yang dikonde 

berwarna hijau memutus kata-katanya sendiri. 

Mata celongnya menangkap satu bayangan merah 

tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Busyet! Sibarani!'' serunya kemudian. 

"Mengapa dia seorang diri?"

Tak mau menunggu terlalu lama, Dewi 

Lembah Air Mata segera mengejar. Ilmu peringan 

tubuhnya lebih tinggi dari si bayangan merah yang 

berkelebat hingga dalam waktu singkat saja dia 

dapat mengejarnya.

Seperti yang diduganya, perempuan itu 

memang Sibarani.

"Sibarani! Berhenti!"

Sibarani yang mengenali suara itu segera 

menghentikan larinya. Dia berbalik dan segera me-

rangkapkan kedua tangannya di depan dada begi-

tu melihat Dewi Lembah Air Mata.

"Astaga! Apa-apaan kau berada di sini, 

hah?! Mana Purwa? Mengapa kau tidak bersa-

manya menjaga Bunga Matahari Jingga seperti

yang diperintahkan gurumu?!" 

Karena kehilangan suaranya, Sibarani 

hanya terdiam. Sorot matanya sedih saat meman-

dang si nenek. Sikap diamnya itu justru membuat 

Dewi Lembah Air Mata menjadi geram.

"Hei! Kau tidak mendadak menjadi bisu, 

kan?!" bentaknya keras. "Katakan padaku, menga-

pa kau meninggalkan perintah gurumu?!"

Lagi-lagi Sibarani tak bersuara. Matanya 

semakin sedih memandang Dewi Lembah Air Mata.

Kali ini yang dipandang mengerutkan ke-

ningnya.

"Aneh juga sikap perempuan ini. Kenapa 

dia? Apa suaranya tiba-tiba hilang?"

Belum lagi si nenek berkonde hijau ini buka 

mulut, Sibarani sudah menunjuk mulutnya sendiri 

seraya bersuara, "Ah, ah, ah, ah...."

Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata.

"Astaga! Kelihatannya dia benar-benar tidak 

bisa bersuara?!" serunya dalam hati. Dengan pan-

dangan heran dia berkata, "Sibarani... aku belum 

dapat menebak secara pasti apakah kau tiba-tiba 

menjadi gagu atau tidak. Tetapi, kau bisa mengge-

leng bila menjawab tidak dan mengangguk bila 

menjawab iya."

Sibarani mengangguk-angguk dengan tata-

pan cerah.

"Bagus! Apakah kau kehilangan suaramu?"

Sibarani mengangguk.

"Astaga! Siapakah yang melakukannya?"

Sudah tentu Sibarani hanya diam saja 

mendengar pertanyaan itu. Dewi Lembah Air Mata

menyadari kesalahannya.

"Apakah telah terjadi sesuatu?"

Sibarani mengangguk.

"Bunga Matahari Jingga telah lenyap?"

Mengangguk lagi.

"Raja Naga yang melakukannya?"

Kali ini menggeleng. 

"Hei! Bukan Raja Naga yang melakukan-

nya?"

Sibarani mengangguk.

"Lantas, siapa yang... bodoh! Kau sendiri 

saat berjumpa denganku ini. Apakah kau mening-

galkan Purwa?" 

Sibarani mengangguk lagi. 

"Dia... dia baik-baik saja?"

Mengangguk lagi.

"Mengapa kau mening... busyet! Susah be-

tul berbicara kalau begini! Kau menjawab bukan 

Raja Naga yang melakukannya, berarti ada orang 

lain yang juga menghendaki Bunga Matahari Jing-

ga. Kau juga bilang Purwa tidak apa-apa tetapi kau 

meninggalkannya. Lantas, bagaimana aku bisa ta-

hu apa yang sebenarnya telah terjadi?"

Sibarani terdiam, sorot matanya sedih lagi.

Dewi Lembah Air Mata menghela napas 

pendek.

"Sekarang kau hendak ke mana? Kembali 

ke Daerah Tak Bertuan?"

Sibarani menggeleng.

"Kau hendak mengejar pencuri itu?"

Lagi Sibarani menggeleng.

"Gila!" seru Dewi Lembah Air Mata menjadi

jengkel sendiri. "Lantas apa yang hendak kau la-

kukan?!"

"Aku akan berusaha mencari akal untuk 

menjelaskan kalau bukan Raja Naga yang melaku-

kannya, Dewi Lembah Air Mata! Tetapi Nimas 

Herning yang telah memuslihati semua ini! Bah-

kan Kakang Purwa kini telah berpihak padanya 

karena tidak tahu apa yang terjadi!" jerit Sibarani 

dalam hati. Dia berusaha untuk mengeluarkan su-

aranya, tetapi tak ada suara yang keluar.

Dewi Lembah Air Mata mendengus pendek.

"Berlutut!" perintahnya.

Sibarani melakukan perintah itu. Dilihatnya 

nenek berkebaya lusuh itu mendekatinya. Leher-

nya dipegang dan digerak-gerakkan.

"Aku tak melihat adanya satu totokan di se-

kitar sini," katanya kemudian. "Buka mulutmu. 

Hemm... tak ada kulihat luka di dalam jalan sua-

ramu. Kerongkonganmu bagus. Tenggorokanmu 

tak kurang suatu apa. Orang yang telah mencuri 

Bunga Matahari Jingga yang melakukannya?"

Sibarani mengangguk.

"Hebat! Tentunya dia berilmu tinggi! Meng-

hilangkan jalan suara orang tanpa dapat ditemu-

kan tanda-tanda yang berarti, hanya dapat dilaku-

kan oleh orang yang memiliki ilmu bayangan. Ke-

parat busuk! Bila saja kau bisa bicara, mungkin 

akan lebih mudah bagiku untuk mendapatkan 

orang keparat itu!"

Sibarani beraha-uhu.

Si nenek mendengus.

"Aku tak bisa memahaminya! Tapi dengar

kan, kau bilang bukan Raja Naga yang telah men-

curi Bunga Matahari Jingga. Apakah bukan dia 

pula yang mencuri bunga-bunga keramat yang 

lain?"

Kali ini Sibarani tak menggeleng maupun 

mengangguk.

"Berarti kau tidak tahu. Biar kusimpulkan 

sendiri, berarti memang ada dua orang yang men-

ginginkan bunga-bunga keramat itu. Pertama Raja 

Naga, dan kedua orang yang telah mencelakakan-

mu. Bisa jadi kalau sebenarnya Raja Naga dan 

orang itu saling membahu untuk mendapatkan 

bunga-bunga keramat."

Dewi Lembah Air Mata mendengus beru-

lang-ulang. 

"Setan alas!" makinya dalam hati. "Keadaan 

ini semakin membuatku bertambah bingung!"

Kemudian katanya, "Aku sulit menangkap 

apa yang kau inginkan sekarang. Tetapi sebaiknya, 

kau berjalan bersamaku. Kukhawatirkan kalau 

orang yang telah mencuri Bunga Matahari Jingga 

menjumpaimu dan akhirnya...."

Kata-kata Dewi Lembah Air Mata terputus 

begitu melihat Sibarani menggeleng. "Lantas kau 

mau ke mana?" 

Sibarani tak menggeleng atau mengangguk. 

"Gila! Lama-lama aku bisa gila! Ya, sudah! Kau 

pergi sana! Berhati-hatilah!"

Walaupun perasaannya sedih bukan kepa-

lang karena tak bisa menjelaskan apa yang hendak 

dilakukannya dan membuat si nenek menjadi ur-

ing-uringan sendiri, Sibarani segera merang

kapkan kedua tangannya di depan dada. Memang 

sulit untuk menjelaskan semua ini bila tak bisa 

bersuara. Tetapi perempuan ini cukup memiliki 

ketabahan untuk menjalankan apa yang diingin-

kannya.

Tetapi sebelum Sibarani berlalu, Dewi Lem-

bah Air Mata sudah berkata, "Aku belum menda-

patkan kejelasan! Lebih baik kita melangkah ber-

sama-sama!" Lalu dia memaki-maki dalam hati, 

“Semuanya bikin kepalaku bertambah pusing! Be-

lum tuntas satu pikiran, telah muncul lagi pikiran 

lain! Ah, Sibarani mengisyaratkan kalau Purwa ti-

dak apa-apa. Tetapi yang mengherankanku, men-

gapa dia meninggalkannya? Apakah Purwa sendiri 

memburu orang yang telah mencuri Bunga Mata-

hari Jingga? Tetapi tadi Sibarani mengisyaratkan 

dia sendiri tidak sedang memburu orang itu. Lan-

tas, apa yang sebenarnya terjadi?"

Untuk beberapa saat si nenek makin uring-

uringan sebelum mendahului melangkah. Sibarani 

mengikutinya. Memang itulah keputusan yang ter-

baik.

Menjelang tengah malam. Purwa berbisik li-

rih, "Nimas... kau hendak ke mana?"

Ratu Dinding Kematian tersenyum.

"Aku hendak mencari makanan dulu," ka-

tanya sambil mengenakan lagi pakaiannya. Untuk 

kedua kalinya dia berhasil membujuk Purwa 

menggeluti tubuhnya. Bagi Ratu Dinding Kema-

tian, pelampiasan itu cukup mengasyikkan sebe-

lum dia akhirnya membunuh Purwa. Tetapi dia tak 

ingin membunuh Purwa lebih dulu, mengingat kepergian Sibarani.

Karena bila Sibarani muncul dan berhasil 

menjelaskan semuanya -entah dengan cara bagai-

mana- maka kehadiran Purwa dapat dijadikannya 

sebagai tameng. Purwa yang tidak tahu masalah 

yang sebenarnya tentunya akan membelanya.

"Kau tenang-tenang saja dulu di sini," lanjut 

Ratu Dinding Kematian lagi. Dikecupnya bibir lela-

ki yang nampak lemas karena baru saja memacu 

birahi bersamanya. "Sebagai seorang kekasih, ten-

tunya aku akan selalu berusaha membahagiakan 

mu...."

Purwa tersenyum.

"Jangan lama-lama," katanya yang kini te-

lah lenyap segala jengah dan ragu terhadap pe-

rempuan yang masih dikenalnya sebagai Nimas 

Herning.

"Kenapa?" seringai Ratu Dinding Kematian. 

Sebelum Purwa menyahut, dia sudah lebih dulu 

berkata, "Kau masih ingin lagi, bukan? Jangan 

khawatir... aku akan memberikannya padamu, 

bahkan kau akan merasakan yang lebih hebat la-

gi...."

Purwa hanya tersenyum.

Di lain kejap, Ratu Dinding Kematian sudah 

berkelebat meninggalkannya, menerobos kegela-

pan dengan gerakan cekatan. Ranggasan semak 

dilompatinya tanpa menimbulkan getaran pada 

semak itu. Setiap kali dia melompat, empat lang-

kah terlampaui tanpa kesulitan.

"Kulihat tadi ada dua buah cahaya jingga 

terlontar ke udara. Tentunya kedua pendeta gundul itu yang melakukannya. Bagus! Mudah-

mudahan dia telah mengetahui sesuatu tentang 

Ratu Tanah Kayangan. Karena rasanya tak mung-

kin kalau Ratu Tanah Kayangan akan tetap me-

nungguku di kediamannya...."

Perempuan berpakaian kuning keemasan 

yang telah robek di bagian dada dan membiarkan 

sepasang bukit kembarnya membayang di balik 

pakaian dalamnya yang tipis terus berlari ke arah 

timur. Setelah beberapa kejapan mata, dilihatnya 

lagi dua cahaya jingga terlontar di udara.

"Agak serong ke kanan!" serunya pada di-

rinya sendiri dan berlari ke sana.

Tak lama kemudian dilihatnya dua sosok 

tubuh berpakaian jingga yang diterangi sinar rem-

bulan. Salah seorang dari mereka siap menghen-

takkan kedua tangannya ke udara.

"Aku telah datang!" seru Ratu Dinding Ke-

matian seraya melenting dan hinggap sejarak lima 

langkah dari dua lelaki berkepala gundul.

Kedua lelaki itu yang bukan lain Setan 

Gundul Hutan Larangan menoleh. Masing-masing 

orang tersenyum.

"Syukurlah kau melihat isyarat kami, Ra-

tu...."

"Aku tak punya banyak waktu! Apakah ka-

lian sudah mengetahui apa yang dilakukan Ratu 

Tanah Kayangan?!" bentak Ratu Dinding Kematian 

ketus. Tajam diperhatikan kedua lelaki berpakaian 

ala seorang pendeta itu.

Lelaki gundul yang memegang tongkat beru-

jung bundar itu mengangguk. Codetan pada keningnya kentara.

"Dia telah keluar dari Tanah Kayangan!"

"Bagus! Ke mana dia pergi?"

"Sialnya kami kehilangan jejak!" sahut si 

codet lagi yang bernama Cokro Kliwing. Kali ini 

sambil melirik temannya yang juga berkepala gun-

dul dan mengenakan baju seperti pendeta berwar-

na jingga.

Lirikan itu membuat Ratu Dinding Kema-

tian curiga.

"Apa yang kalian lakukan?!"

Si gundul bertasbih besar pada dadanya 

yang tadi dilirik Cokro Kliwing menyahut, "Kau 

tentunya sangat tahu apa kesukaan kami, bu-

kan?!"

Kali ini Ratu Dinding Kematian mendengus. 

"Kalian boleh menikmati tubuhku setelah aku ber-

hasil membunuh Ratu Tanah Kayangan!"

"Dan karena terlalu lama menunggu, kami 

terpaksa mencari perempuan lain sebagai tempat 

pelampiasan kami!" sahut Jodro Kliwing.

"Aku tak peduli kalian melakukannya pada 

siapa pun juga! Teruskan melacak keberadaan Ra-

tu Tanah Kayangan!"

"Ratu...," kata Cokro Kliwing. "Apakah kau 

sudah mendapatkan seluruh bunga-bunga kera-

mat itu?!"

Ratu Dinding Kematian tak menjawab.

"Setan-setan gundul ini memang berotak 

cerdik! Sebenarnya sangat mudah bagiku untuk 

membunuh keduanya! Tetapi selagi aku mencari 

bunga-bunga keramat itu, keberadaan mereka untuk melacak di mana Ratu Tanah Kayangan yang 

kuyakini pasti akan meninggalkan Tanah Kayan-

gan sangat kuperlukan. Janji kuberi imbalan tu-

buhku sudah membuat mereka seperti orang dun-

gu."

Habis membatin demikian, dia berkata dus-

ta, "Aku belum berhasil mendapatkan bunga te-

rakhir." 

"Tidak masalah bagi kami karena kami akan 

tetap menunggu tubuhmu yang montok itu sampai 

kapan pun juga," sahut Cokro Kliwing sambil me-

nyeringai.

"Setan gundul!" geram Ratu Dinding Kema-

tian dalam hati. "Membunuhnya saat ini pun tak 

kusesali! Tapi tenaga mereka masih bisa kupergu-

nakan!"

Selagi Ratu Dinding Kematian tak buka mu-

lut, Jodro Kliwing berkata, "Kau tidak bertanya 

siapa perempuan terakhir yang hampir saja kami 

gauli?"

"Hampir?" kening Ratu Dinding Kematian 

berkerut. 

"Ya! Hampir!" suara Jodro Kliwing menjadi 

geram. 

"Siapa perempuan itu?!" 

"Dia adalah murid Ratu Tanah Kayangan!"

Ratu Dinding Kematian membeliak sebentar 

sebelum membentak keras, "Bodoh! Kalian gagal 

mempermalukannya?!"

"Kami hampir berhasil melakukannya!" sa-

hut Jodro Kliwing gusar. "Dan kami mengetahui 

siapa gadis itu ketika dia meracau antara sadar

dan tidak ketika terkena 'Uap Pelemah Tenaga' 

yang kami sebar padanya." 

"Mengapa kalian gagal melakukannya?"

Kali ini Cokro Kliwing yang menyahut, sua-

ranya tak kalah geram, "Seorang pemuda berompi 

ungu tiba-tiba muncul dan mengacaukan semua-

nya! Dia begitu tangguh hingga kami tak bisa 

menghadapinya!" 

"Siapa pemuda itu?"

"Saat itu kami tidak tahu! Tetapi si gadis 

memanggilnya Boma Paksi!"

"Kau bilang saat itu tidak tahu. Berarti se-

karang kau sudah tahu siapa dia?!"

"Setelah kami dikalahkan olehnya, sambil 

berlari menjauh kami terus memikirkan siapa pe-

muda itu hingga tiba pada satu kesimpulan."

"Siapa?!"

"Pemuda itu memiliki ilmu tinggi. Mengena-

kan rompi berwarna ungu. Berkuncir ekor kuda. 

Pada kedua tangannya sebatas siku terdapat sisik-

sisik coklat. Dan yang mengerikan adalah sorot 

matanya."

Jodro Kliwing menyambung, "Dari ciri-ciri 

itu, ingatan kami tiba pada seseorang yang ramai 

dibicarakan orang! Seseorang yang telah lama in-

gin kami jumpai untuk kami bunuh! Karena terla-

lu banyak mengganggu tindakan orang-orang se-

perti kami dan juga... kau!!"

"Siapa dia?!"

"Raja Naga!" suara Jodro Kliwing penuh 

amarah.

Kepala Ratu Dinding Kematian menegak.

"Raja Naga?!" ulangnya dalam hati. Dan di-

dengarnya kata-kata Jodro Kliwing lagi,

"Kami tak sanggup menghadapinya dan 

kami tak terima dipermalukan olehnya! Itulah se-

babnya kau kami beri isyarat untuk datang ke si-

ni!"

"Jangan berbelit-belit!"

"Kau meminta kami untuk melacak apa 

yang dilakukan Ratu Tanah Kayangan dan kami 

telah melakukannya! Imbalan yang kau janjikan 

terlalu lama kami terima! Walaupun aku dan sau-

daraku ini sudah tidak sabar untuk menikmati tu-

buhmu berdua sekaligus, tetapi sekarang sudah 

kami putuskan untuk tidak akan melakukannya!"

"Apa maksudmu dengan semua itu?!"

Jodro Kliwing sekarang menyeringai.

"Aku dan saudaraku sudah sepakat, untuk 

meminta imbalan yang lain darimu!" serunya dan 

tak segera melanjutkan ucapannya. Di kejap lain, 

dengan suara berayun dilanjutkan kata-katanya. 

"Yakni... kau harus membunuh Raja Naga!!"

Memicing mata Ratu Dinding Kematian.

"Dari balik ucapanmu, nampaknya ada se-

suatu yang kau tutupi, Jodro Kliwing?!"

Jodro Kliwing terbahak-bahak, hingga 

menggema di tempat sunyi itu.

"Kau memang pandai, Ratu! Pandai sekali! 

Ya! Sudah tentu aku dan saudaraku yakin kalau 

kau akan melaksanakan permintaan kami itu! Ka-

rena bila kau menolak, maka dari mulutku dan 

mulut saudaraku akan tersebar kabar, siapa orang 

yang telah melakukan serangkaian pencurian

bunga-bunga keramat!"

Mengkelap wajah Ratu Dinding Kematian. 

Kedua tangannya seketika mengepal dengan mata 

tajam berbahaya.

"Keparat! Kedua manusia gundul ini justru 

balik menekanku! Setan alas!!" geramnya dalam 

hati.

"Murka yang nampaknya kau tahan itu aku 

yakin tetap akan kau tahan, Ratu!" seru Cokro 

Kliwing. "Karena... semua apa yang kau rahasia-

kan ada di tangan kami!"

Lalu tanpa menunggu sahutan dari Ratu 

Dinding Kematian, dia sudah berlalu dari sana.

Jodro Kliwing masih sempat membuka mu-

lut sebelum menyusul, "Aku dan saudaraku sudah 

sepakat memberimu waktu hanya lima hari mulai 

sekarang! Setelah lewat hari itu belum terdengar 

kabar Raja Naga mampus, maka kau akan celaka, 

Ratu!!"

Membludak amarah Ratu Dinding Kema-

tian. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain 

melampiaskan amarahnya pada sebatang pohon 

yang seketika hancur ditendangnya.

"Kalian boleh tertawa sekarang," desisnya 

geram laksana seekor serigala murka. "Tetapi ke-

lak, kalian akan tahu kalau apa yang telah kalian 

lakukan sekarang ini adalah sebuah kebodo-

han...."

Di lain kejap, perempuan yang tepat pada 

keningnya terdapat sebuah tahi lalat, sudah berke-

lebat meninggalkan tempat itu dengan sejuta ke-

marahan.

Ketika dia kembali menjumpai Purwa, lang-

sung ditubruknya lelaki itu yang menjadi gelaga-

pan seraya menciuminya. Purwa sempat melihat 

kalau perempuan yang masih dianggapnya berna-

ma Nimas Herning itu tak membawa apa-apa.

Tetapi di lain saat dia sudah tak mempedu-

likannya. Karena dengan kasar penuh nafsu pe-

rempuan itu telah membuka pakaiannya kembali. 

Dan mendorong tubuhnya menelentang, sementa-

ra dia sendiri duduk di atas tubuhnya. Gerakan 

liar yang dilakukan oleh Ratu Dinding Kematian 

yang melampiaskan kekesalannya dengan cara 

memuaskan gairahnya, membuat Purwa menjerit-

jerit penuh kenikmatan.


EMPAT


SETELAH berpisah dari Puspa Dewi, Raja 

Naga terus berkelebat. Dia tak bisa menentukan 

tujuannya secara pasti, namun tekad telah dibu-

latkan untuk segera menemukan Ratu Binding 

Kematian. Karena dari cerita Puspa Dewi. Raja Na-

ga kini mulai bisa meraba siapa orang yang ber-

tanggung jawab atas semua ini.

Tiba-tiba saja anak muda bersisik coklat ini 

menghentikan langkahnya. Kepalanya seketika di-

palingkan ke kanan dengan kening berkerut.

"Kutangkap satu gerakan yang begitu berat, 

seolah pemilik gerakan itu bertubuh luar biasa 

gemuknya," desisnya sambil memicingkan matanya.

Kejap lain justru dia sendiri yang tersentak. 

Karena tiba-tiba saja terdengar suara keras, "Men-

gapa kau berhenti melangkah, hah?! Ayo, song-

song aku!"

Tanpa sadar Boma menoleh ke sekeliling-

nya. Sadar kalau hanya dia seorang yang berada di 

jalan setapak itu, segera diarahkan lagi pandan-

gannya pada tempat semula. Orang yang melang-

kah berat itu belum kelihatan sosoknya, tetapi dia 

sudah keluarkan suara lagi.

"Dasar nasib tak beruntung! Ke Dinding 

Kematian tak menjumpai orang! Ke tempat Purwa 

dan Sibarani, cuma menemukan tempat yang telah 

porak poranda! Sial! Memang sial!"

"Hebat! Orang ini tentunya memiliki ilmu 

yang tinggi. Gerakannya dapat kudengar, tetapi dia 

lebih tahu kalau aku tak bergerak!" desis Raja Na-

ga dalam hati. Sesaat pemuda ini terdiam, memi-

kirkan apa yang harus dilakukan. "Karena tak ada 

orang lain di sekitar sini, sudah tentu yang tadi 

dimaksudkannya adalah aku. Percuma bila aku 

bersembunyi atau berlalu untuk menghindarinya. 

Karena bisa jadi, kalau orang yang akan muncul 

ini juga menyangka akulah si pencuri bunga-

bunga keramat."

Langkah yang cukup berat itu semakin ke-

ras menerpa telinga Raja Naga. Pelan-pelan paras 

anak muda bermata angker ini sedikit berubah. 

Karena getaran yang dirasakan akibat langkah 

orang yang belum diketahui siapa adanya, seperti 

melesak masuk dan mempermainkan jantung!

"Astaga! Apakah orang itu melangkah den

gan pergunakan tenaga dalam? Atau dia berniat 

mencobaku?" desisnya dalam hati. Segera dialir-

kan tenaga dalamnya untuk menahan getaran 

yang seperti melempar-lempar jantungnya.

Kendati langkah berat itu semakin keras 

terdengar, tetapi sosoknya belum kelihatan juga. 

Justru Raja Naga yang menjadi penasaran. Dia 

bermaksud untuk menyongsong orang yang belum 

diketahui siapa. Tetapi suara keras itu menahan-

nya,

"Bodoh? Apa kau tidak bisa melihat tubuh-

ku yang segede ini, hah? Tetap di tempatmu! Kalau 

kau nekat pergi sebelum menjawab beberapa per-

tanyaanku, akan kugampar mulutmu sampai ber-

darah!!"

Tersentak Raja Naga mendengar bentakan 

orang. Terpaksa dia urungkan niat untuk melang-

kah. Dengan penuh penasaran ditunggunya orang 

yang membentak-bentak itu muncul.

Dan yang mengejutkannya, justru getaran 

tapak orang yang belum diketahui siapa adanya 

itu tak terdengar lagi. Raja Naga mengerutkan ken-

ing keheranan.

"Aneh! Apakah orang itu mendadak lenyap? 

Atau dia membelokkan langkahnya?"

Belum lagi dapat ditemukan jawaban atas 

pertanyaannya sendiri, tiba-tiba saja dilihatnya 

semak belukar di hadapannya menguak. Menyusul 

satu sosok tubuh besar muncul dari sana.

Raja Naga melengak kaget.

"Ampun! Orang atau gajah?!" desisnya da-

lam hati.

Orang yang tubuhnya luar biasa gemuk itu 

menghentikan langkahnya sejarak tujuh langkah 

dari Raja Naga. Pakaian hitam yang dikenakannya 

tak dapat ditutup, karena tak mampu menahan 

kelebihan lemak di tubuhnya.

Leher kakek gemuk yang seolah menyatu 

dengan badannya bergerak-gerak sedikit sebelum 

mulutnya berbunyi, "Busyet! Kau melihatku seper-

ti melihat setan berkelebat! Hei, anak muda! Jan-

gan berlaku bodoh di hadapanku!"

Raja Naga buru-buru tersenyum.

"Aku..."

"Kau hendak bilang tubuhku kurus, ya?!"

Hampir saja Raja Naga tak mampu mena-

han tawanya. Begitu melihat mata si kakek gemuk

yang bukan lain Dewa Seribu Mata ini melotot, bu-

ru-buru dia berkata, "Orang tua gemuk! Dari ke-

jauhan sudah kudengar langkahmu yang luar bi-

asa beratnya, tetapi sekarang kau melangkah se-

perti tak memiliki bobot seperti yang kau punyai! 

Orang tua... namaku Boma Paksi...."

"Aku tak butuh namamu! Aku cuma mau 

tanya, kau kenal Raja Naga?!"

Kali ini pemuda bermata angker itu menge-

rutkan keningnya.

"Dia mencariku rupanya. Apakah ini ada 

hubungannya dengan bunga-bunga keramat?" ta-

nyanya dalam hati.

"Sejak tadi kau buka mulut, itu artinya kau 

tidak bisu maupun tuli! Sekarang kau jadi orang 

dungu seperti itu! Atau kau memang benar-benar 

ingin kubuat tuli?!"

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 

kiri sebatas siku itu tersenyum.

"Kebetulan aku tidak bisu dan tidak tuli. 

Aku juga tak menginginkan diriku jadi bisu atau 

tuli."

"Bagus! Kau sudah dengar apa yang kuta-

nyakan tadi!"

Pemuda berompi ungu itu mengangguk-

angguk.

"Ya... aku mengenal pemuda berjuluk Raja 

Naga."

"Bagus! Katakan padaku, di mana dia bera-

da?!"

Merasa harus mengetahui dulu sebab-sebab 

kakek gemuk di hadapannya mencarinya, Raja Na-

ga menggelengkan kepala.

"Sayang, aku tidak tahu di mana dia bera-

da," sahutnya. Karena tak mau membiarkan di-

rinya dicecar pertanyaan lain, Raja Naga buru-

buru menyambung, "Mengapa kau mencarinya, 

orang tua?"

Dewa Seribu Mata mendengus. Dipandan-

ginya pemuda di hadapannya dengan seksama.

"Sorot matanya mengerikan sekali. Tadi aku 

sempat dibuat terkejut juga. Ya, ya... tak ada sa-

lahnya bila kukatakan mengapa aku mencari Raja 

Naga. Barangkali pemuda ini dapat membantu-

ku...."

Memutuskan demikian, kakek berkepala 

bulat ini berkata, "Dari cara kau berpakaian ten-

tunya kau adalah orang rimba persilatan, Anak 

muda! Dan seperti diketahui, rimba persilatan bukanlah tempat yang dapat menyembunyikan se-

buah rahasia! Sebelum kujelaskan maksudku, 

apakah kau pernah mendengar tentang serang-

kaian pencurian bunga-bunga keramat?"

Raja Naga menahan napas.

"Aku mulai bisa menebak sekarang. Ten-

tunya kakek gemuk ini adalah salah seorang dari 

Tiga Penguasa Bumi. Bisa jadi dia orang yang ber-

juluk Dewa Segala Dewa, atau Dewa Seribu Mata. 

Karena aku telah berjumpa dengan Dewi Lembah 

Air Mata yang merupakan salah seorang dari Tiga 

Penguasa Bumi. Seperti yang dikatakan oleh Pus-

pa Dewi."

"Kau jadi tuli lagi rupanya!" bentak Dewa 

Seribu Mata karena anak muda di hadapannya tak 

buka mulut.

Raja Naga buru-buru mengangguk.

"Aku pernah mendengar serangkaian pen-

curian bunga-bunga keramat."

"Kau juga mendengar siapa pelaku pencu-

rian itu?!"

"Maksudmu.... Raja Naga?"

"Ya! Pemuda keparat itulah yang telah men-

curi bunga-bunga keramat! Sungguh tak pantas 

bila ternyata dia murid seorang tokoh kenamaan 

rimba persilatan!"

"Bila kukatakan akulah Raja Naga, bisa jadi 

dia akan menggempurku habis-habisan seperti 

yang dilakukan oleh Dewi Lembah Air Mata. Se-

baiknya kututupi saja siapa diriku agar urusan ti-

dak jadi kapiran."

Usai membatin, Raja Naga berkata, "Orang

tua gemuk... aku tak mendengar kabar tentang 

Raja Naga yang telah melakukan serangkaian pen-

curian itu. Tetapi... kalau aku boleh buka mulut, 

aku justru mendengar kabar, bukan Raja Naga 

yang telah melakukannya."

Kening kepala bulat itu berkerut. "Apa yang 

kau bicarakan itu?!" 

"Mungkin ini kesempatanku untuk membu-

ka tabir gelap yang menyelimutiku selama ini," ka-

ta Raja Naga dalam hati. Setelah menghela napas, 

barulah dia berkata, "Orang tua gemuk... seperti 

yang kau katakan, rimba persilatan bukanlah 

tempat yang pantas untuk menyembunyikan se-

buah rahasia. Aku justru mendengar kabar, orang 

yang telah mencuri bunga-bunga keramat adalah

Ratu Dinding Kematian...."

Kerutan di kening kakek gemuk itu makin 

bertambah.

"Ratu Dinding Kematian?" 

"Begitulah yang kudengar." 

"Dari siapa kau mendengarnya?" 

Raja Naga tersenyum.

"Rimba persilatan bukanlah tempat yang 

tepat dijadikan sebagai tempat rahasia!"

"Huh! Kau pandai bicara rupanya! Anak 

muda... aku tak bisa membenarkan atau menya-

lahkan apa yang kau katakan tadi. Tetapi itu pun 

harus dipikirkan."

"Sekarang aku yang tidak mengerti...."

Dewa Seribu Mata pandangi dulu pemuda 

di hadapannya sebelum teruskan bicara, "Anak 

muda... aku adalah salah seorang dari Tiga Penguasa Bumi. Kau boleh memanggilku Dewa Seribu 

Mata. Saat ini rimba persilatan digemparkan den-

gan serangkaian pencurian yang dilakukan oleh 

Raja Naga. Tuduhan itu begitu nyata, karena Pur-

wa dan Sibarani telah mempergokinya. Sekarang 

kau mengatakan Ratu Dinding Kematian yang te-

lah melakukannya."

"Itulah yang kudengar."

"Ucapanmu dapat kujadikan pegangan se-

benarnya. Karena, sebelum ini Dewa Segala Dewa 

menyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian. 

Sialnya, perempuan itu tidak ada di sana. Kemu-

dian kuarahkan langkahku pada tempat di mana 

Bunga Matahari Jingga, salah sebuah bunga dari 

bunga-bunga keramat yang masih belum dicuri, 

tetapi aku tak menemukan siapa pun di sana. 

Bahkan Bunga Matahari Jingga telah dicuri oleh 

Raja Naga."

"Kau mengatakan tak menemukan siapa 

pun di sana dan mendapati Bunga Matahari Jing-

ga sudah lenyap. Itu artinya kau terlambat datang 

dan tak melihat siapa orang yang telah mencuri 

Bunga Matahari Jingga. Sekarang, bagaimana kau 

bisa menuduh Raja Naga yang telah melakukan-

nya?"

Dewa Seribu Mata tak menjawab. Dia me-

mang telah mendatangi Dinding Kematian dan tak 

menemukan penghuninya di sana. Dia juga telah 

mendatangi tempat Bunga Matahari Jingga. Bukan 

hanya bunga itu yang telah lenyap, tetapi Purwa 

dan Sibarani sendiri tak ada di sana.

Karena menganggap pemuda ini dapat dija

dikan sebagai pembawa berita, Dewa Seribu Mata 

berkata lagi, "Apa yang dikatakan Purwa dan Siba-

rani kujadikan patokan."

Pemuda dari Lembah Naga itu ganti tak 

menjawab. Dipandanginya kakek gemuk itu den-

gan mata yang selalu bersorot angker.

"Dari ucapan si kakek gemuk ini, dapat ku-

pastikan kalau Ratu Dinding Kematian yang telah 

mencuri bunga terakhir dari bunga-bunga kera-

mat. Urusan ini semakin kacau sebenarnya. Satu-

satunya harapan hanyalah Puspa Dewi. Tetapi dia 

sedang menuju ke Daerah Tak Bertuan."

Raja Naga memecah keheningan, "Orang 

tua gemuk... bila kau tak keberatan, aku bersedia 

mencari Ratu Dinding Kematian untuk menda-

patkan kejelasan semua ini, sementara kau men-

cari Raja Naga....."

"Bagus! Tak kusangka kau mau berkorban 

seperti itu!" sahut Dewa Seribu Mata. "Atau... kau 

memang punya urusan dengan Ratu Dinding Ke-

matian?!"

"Dugaanmu itu tak bisa kubantah, Orang 

tua," kata Raja Naga sambil tersenyum.

"Ada urusan apa kau dengannya?"

"Beribu maaf kuucapkan padamu, karena 

aku tak bisa mengatakan apa urusanku dengan-

nya, Orang tua gemuk," sahutnya lalu menyam-

bung dalam hati, "Sesungguhnya aku sendiri be-

lum tahu urusan apa yang harus kutuntaskan 

dengan Ratu Dinding Kematian. Mengenalnya pun 

tidak. Tetapi kata-kata Puspa Dewi dapat kujadi-

kan pegangan."

Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk.

"Kalau begitu, aku terima saranmu. Seka-

rang menyingkir dari sini, karena lama kelamaan 

aku jengah juga ditatap oleh matamu yang menge-

rikan itu!"

Raja Naga segera merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada. Dengan sikap hormat dia 

berkata,

"Aku berjanji, akan membantu Tiga Pengua-

sa Bumi untuk menuntaskan urusan ini!"

"Tidak usah basa-basi! Pergi sana!"

Raja Naga sendiri tak mau membuang wak-

tu. Dia bersyukur dapat menghindari urusan den-

gan kakek gemuk itu. Karena dia beranggapan, bi-

la Dewa Seribu Mata mengetahui siapa dirinya, tak 

mustahil tindakan yang telah dilakukan Dewi 

Lembah Air Mata padanya akan terulang. Dan dia 

memang akan menuntaskan urusan yang telah 

melekat pada dirinya, tanpa perlu berjanji pada 

kakek kelebihan lemak itu.

Tetapi apa yang diduga Raja Naga sebenar-

nya sangat berlainan sekali. Karena sepeninggal-

nya, kakek gemuk kelebihan lemak itu mengge-

leng-gelengkan kepalanya yang bergerak berat. Bi-

birnya menyeringai sementara berulang kali dia 

menarik dan menghela napas.

"Hemmm... kendati anak muda itu menutu-

pi siapa dirinya, aku tahu siapa anak muda itu. 

Dia adalah Raja Naga sendiri. Ciri-ciri yang ada 

padanya menunjukkan dia memang Raja Naga, te-

rutama sorot matanya yang angker dan sisik-sisik 

coklat yang menghiasi kedua tangannya sebatas

siku. Tetapi apa yang dikatakannya itu dapat ku-

jadikan pegangan. Ratu Dinding Kematian... ya, 

kemungkinan itu kini tak bisa kupungkiri mengin-

gat Dewa Segala Dewa memintaku untuk menjum-

pai perempuan itu. Kalau begitu... berarti Bunga 

Matahari Jingga yang telah lenyap memang telah 

dicuri oleh Ratu Dinding Kematian...."

Dewa Seribu Mata menghela napas pendek.

"Aku terpaksa menahan diri untuk turun-

kan tangan pada pemuda itu. Aku ingin melihat 

kebenaran sekarang. Hanya saja... bagaimana 

dengan nasib kedua murid Dewa Segala Dewa? Ra-

ja Naga tak terkejut dan berusaha bertanya ketika 

kusebutkan nama Purwa dan Sibarani. Itu tan-

danya dia memang telah mengenal keduanya...."

Kembali kakek gemuk ini terdiam. Sepasang 

matanya tiba-tiba saja membentuk berbagai 

bayangan dan bergerak-gerak ke atas ke bawah!

"Untuk menjaga kemungkinan membesar-

nya salah paham yang terjadi, aku harus berjaga-

jaga. Sebaiknya... kuikuti saja pemuda bersisik 

coklat itu...."

Habis ucapannya, kakek bertubuh gemuk 

ini sudah berkelebat! Astaga! Dia berkelebat dan 

gerakannya lebih cepat dari angin!


LIMA



SAMBIL terus berlari Raja Naga membatin, 

"Pencuri sesungguhnya dari lenyapnya bunga-

bunga keramat telah mendapatkan bunga terakhir

dari bunga-bunga keramat. Ini pertanda bahaya. 

Pertama bahaya untuk Ratu Tanah Kayangan yang 

belum kuketahui seperti apa rupanya. Kedua, ten-

tunya Ratu Dinding Kematian bermaksud untuk 

menjadikan dirinya orang nomor satu di rimba 

persilatan."

Dengan gerakan lincah pemuda yang dipe-

nuhi berjuta pikiran ini terus berlari sambil berpi-

kir, "Menurut Puspa Dewi... gurunya telah me-

ninggalkan Tanah Kayangan untuk mencari Ratu 

Dinding Kematian. Kalau begitu, selain berusaha 

menemukan Ratu Dinding Kematian, aku juga ha-

rus mencari Ratu Tanah Kayangan. Karena Ratu 

Tanah Kayangan dapat kujadikan sebagai saksi 

lain dari tuduhan yang melekat pada diriku...."

Anak muda ini terus berkelebat tanpa ber-

henti sekali pun. Hingga tiba di hadapan sebuah 

sungai, dihentikan langkahnya. Diperhatikan seke-

lilingnya yang sepi. Aliran sungai bergemuruh dan 

sesekali memercik begitu menabrak bebatuan yang 

ada di dalamnya.

Tiba-tiba saja matanya yang tajam meman-

dang tak berkedip pada bagian kanan dari sungai 

itu. Satu sosok tubuh membayang muncul dari da-

lam dan... 

Byuuurrr!!

Rambut-rambut indah yang membasah le-

bih dulu muncul sebelum seraut wajah jelita ber-

hidung bangir dengan tahi lalat tepat pada kening-

nya menyusul. Kepala perempuan itu menggeleng-

geleng, meniriskan air yang melekat pada rambut 

dan wajahnya.

Raja Naga sendiri buru-buru memalingkan 

kepalanya tatkala melihat sepasang bukit kembar 

montok yang tak tertutup apa-apa. Sementara di 

lain pihak, perempuan itu menjerit tertahan,

"Heiiii!!"

Dan buru-buru menyelam lagi hingga kepa-

lanya saja yang nampak.

"Pemuda tak tahu malu! Siapa kau yang 

kerjanya mengintip perempuan mandi?!"

Sesaat wajah Raja Naga memerah. Tanpa 

membalikkan tubuhnya anak muda ini menyahut, 

"Aku tak sengaja berada di sini dan sebelumnya ti-

dak tahu kalau kau sedang mandi."

"Dusta! Kau memang ingin melihat tubuh-

ku!"

"Percaya atau tidak, itulah kenyataannya!"

Si perempuan tak meneruskan ucapan. Ma-

tanya memandang tak berkedip sosok pemuda 

yang sedang membelakanginya. Di lain kejap dike-

rutkan keningnya.

"Rasanya... aku mengenal pemuda berciri 

seperti ini. Mengenakan rompi ungu, berkuncir 

kuda, dan di kedua tangannya terdapat sisik-sisik 

berwarna coklat sebatas siku. Tetapi... apakah ma-

tanya bersorot angker?"

Merasa tak mendengar suara di belakang-

nya Raja Naga berseru, "Bila tak ada urusan lagi, 

aku akan meninggalkan tempat ini!"

"Tunggu!" seru si perempuan. Kembali dia 

membatin. "Aku harus melihat matanya. Kalau 

memang matanya bersorot angker, berarti dia ada-

lah Raja Naga. Luar biasa! Semuanya di luar dugaanku! Hemmm... selagi Purwa mencari maka-

nan, sebaiknya kuurus pemuda ini!"

Lalu dia berseru lagi, "Tetap di tempatmu! 

Jangan berbalik karena aku hendak berpakaian!"

Raja Naga tak menjawab. Didengarnya sua-

ra orang melompat dari dalam air yang sesaat 

membuatnya terkejut.

"Dari gerakannya... perempuan itu nam-

paknya bukan perempuan sembarangan. Huh! 

Mengapa aku harus bertemu dengannya padahal 

waktuku sangat sempit."

Hanya beberapa kejap mata saja pemuda 

bermata angker itu berdiam di tempatnya sebelum 

didengarnya suara, "Sekarang... berbaliklah kau!"

Pelan-pelan pemuda itu berbalik. Dilihatnya 

sosok perempuan tadi telah berdiri sejarak sepu-

luh langkah. Kali ini telah berpakaian lengkap.

Bibir merahnya tersenyum. Rambutnya 

yang tadi tergerai, kini telah digelung ke atas dan 

diberi pita berwarna kuning. Dia mengenakan pa-

kaian kuning yang dipenuhi dengan sulaman be-

nang keemasan.

Dari ciri yang melekat pada perempuan itu 

dapat diketahui siapa dia adanya; Ratu Dinding 

Kematian. Setelah menerima isyarat dan menjum-

pai Setan Gundul Hutan Larangan, Ratu Dinding 

Kematian kembali lagi menjumpai Purwa. Saat ini 

Purwa tidak berada di sisinya karena disuruhnya 

untuk mencari makanan. Karena badannya sudah 

terasa lengket. Ratu Dinding Kematian memu-

tuskan untuk mandi. Dan sebelum Purwa muncul, 

dia akan menggabungkan bunga-bunga keramat

yang telah didapatkannya. Akan direndamnya di 

dalam air untuk segera diminum.

Tetapi dengan kemunculan pemuda ini, ter-

paksa diurungkan niatnya. Dan yang tak disang-

kanya, pemuda ini adalah Raja Naga.

Ratu Dinding Kematian semakin bertambah 

yakin setelah melihat sepasang mata yang bersorot 

angker.

"Benar-benar sebuah kesempatan yang tak 

bisa kulewatkan! Akan kucecar dia sekarang!"

Di lain saat Ratu Dinding Kematian sudah 

membuat suaranya ngotot, "Pemuda celaka! Sela-

ma ini selalu kujaga kerahasiaan tubuhku dari 

pandangan lelaki mana pun juga! Dan sekarang, 

kau telah mencuri lihat tubuhku!!"

Raja Naga mendengus.

"Nasibku benar-benar lagi tidak beres. Satu 

urusan belum tuntas, sudah ada urusan lain!" ka-

tanya dalam hati. Lalu berkata, "Biar urusan cepat 

selesai, apa yang harus kulakukan untukmu?" 

"Kau harus menikahiku!"

Sampai surut satu tindak anak muda itu 

mendengarnya.

"Menikahimu?" serunya tertahan.

"Ya! Kalau tidak... kau harus membunuh di-

ri di hadapanku!"

"Kapiran! Makin tak menentu urusan ini!" 

gerutu Raja Naga dalam hati. Lalu berkata, "Saat 

ini aku sedang punya urusan! Sebaiknya...."

"Nimas! Ada apa?!" seruan itu memutus ka-

ta-kata Raja Naga. Bersamaan dengan itu satu so-

sok tubuh gagah penuh cambang pada pipi kanan

kiri muncul. Begitu melihat Raja Naga, lelaki ber-

pakaian biru terbuka di bagian dada ini sudah 

membentak gusar, "Pemuda keparat! Akhirnya kau 

muncul juga di hadapanku!!"

Kedua tangannya segera didorong penuh 

amarah. Serta-merta menggebrak gelombang angin 

yang mengeluarkan suara berdenging-denging 

dengan kecepatan tinggi!

* * *

Raja Naga yang sedikit terkejut begitu men-

genali siapa adanya orang yang menyerangnya se-

gera membuang tubuh ke samping kanan. Bersa-

maan letupan keras yang menghancurkan semak 

belukar di belakangnya, dilihatnya lelaki bercam-

bang itu sudah berlutut!

"Astaga! Dia tentunya akan keluarkan ilmu 

'Bentang Gunung Banting Tanah!" desis Raja Naga 

dalam hati.

Dilihatnya bagaimana tubuh Purwa yang 

berlutut mendadak bergetar hebat. Kedua tangan-

nya yang dirangkapkan di depan dada bergerak-

gerak pula, menyusul dari kepalanya keluar asap 

putih yang sangat pekat.

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian mem-

batin, "Urusan akan semakin mudah. Ingin kulihat 

lebih dulu, apakah Purwa mampu menghadapi 

pemuda itu. Kalau tidak, biar kubunuh pemuda 

itu sekarang agar urusan tuntas! Setelah itu, baru 

kucari Ratu Tanah Kayangan dan kedua setan 

gundul yang telah berani lancang memerasku!"

Mendadak suara yang sangat memekakkan 

telinga menggebah. Raja Naga yang pernah meng-

hadapi ilmu 'Bentang Gunung Banting Tanah' se-

gera keluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 

Lautan' disusul dengan 'Barisan Naga Penghancur 

Karang'.

Seperti telah diduganya, kedua ilmu yang 

dilepaskannya itu tak banyak membawa arti. Di-

dahului ledakan yang membuat tempat itu berge-

tar hebat, Raja Naga membuang tubuh ke samping 

kanan dengan cara melenting di udara.

"Aku bisa memutuskan serangan itu sebe-

narnya dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur'. Tetapi 

bila kulakukan, maka akan semakin kacau kea-

daannya!"

Terpaksa pemuda bersisik coklat itu terus 

menerus menghindar dengan pergunakan ilmu pe-

ringan tubuhnya.

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men-

dengus.

"Purwa tak akan mampu mengalahkannya. 

Kalau begitu... biar aku turun tangan!"

Memutuskan demikian, perempuan itu ber-

seru keras, "Pemuda celaka! Kau telah mencuri 

Bunga Matahari Jingga dan berani-beraninya 

mengintip aku mandi! Kau harus mampus!!"

Mendengar bentakan itu, Raja Naga yang 

sedang melenting di udara tersentak.

"Astaga! Mengapa tahu-tahu perempuan itu 

mengatakan aku telah mencuri Bunga Matahari 

Jingga? Sebelum kemunculan Purwa, dia sama se-

kali tak menyinggungnya! Ada apa ini?!"

Sudah tentu Ratu Dinding Kematian yang 

dikenal Purwa sebagai Nimas Herning itu melaku-

kan tindakan demikian. Karena dia telah mendus-

tai Purwa tentang lenyapnya Bunga Matahari Jing-

ga yang dicuri oleh Raja Naga dan mencelakakan 

dirinya serta Sibarani.

Melihat perempuan berpakaian kuning 

keemasan itu menyerang Raja Naga pula, Purwa 

berseru, "Nimas! Kau bisa celaka!"

"Purwa! Pemuda itu telah memperkosa dan 

membunuh adik seperguruanku!" seru Ratu Dind-

ing Kematian mengulangi lagi muslihat yang per-

nah didustainya pada Purwa. "Aku ingin melihat-

nya mampus!!"

Raja Naga sendiri menggeram dengan otak 

berpikir keras.

"Ada sesuatu yang aneh di sini, Sekarang 

perempuan itu mengatakan aku telah membunuh 

dan memperkosa adiknya. Ada apa ini? Mengapa... 

astaga! Apakah dia...."

Kata batin Raja Naga terputus karena se-

rangan Purwa tiba-tiba begitu dekat dengannya. 

Melihat hal itu, Raja Naga memutuskan untuk ber-

tindak cepat. Dengan ilmu 'Hamparan Naga Tidur' 

dia dapat memukul jatuh Purwa yang terbanting di 

atas tanah. Bila saja Raja Naga menghendaki, lela-

ki itu bisa langsung tewas!

Sambil menahan nyeri pada dadanya, Pur-

wa berseru begitu melihat perempuan berambut 

digelung ke atas itu melesat maju.

"Nimas! Kau tak akan sanggup menghada-

pinya!!"

Tetapi di lain saat, lelaki itu melengak kaget 

tatkala melihat serangan yang dilakukan si perem-

puan yang secara tiba-tiba mengangkat kedua tan-

gannya ke udara.

Raja Naga sendiri tersentak melihat peru-

bahan serangan yang dilakukan perempuan itu. 

Dilihatnya cahaya berwarna-warni bertaburan di 

sekitar kedua tangan yang terangkat itu. Dan di 

lain saat dengan cepatnya cahaya warna-warni itu 

menggumpal menjadi satu dan masuk serta lenyap 

pada kedua tangan si perempuan yang kini terlihat 

seperti mengeluarkan cahaya!

"Aku mulai dapat menebak siapa perem-

puan ini. Kata-kata anehnya tadi nampaknya un-

tuk menutupi siapa dirinya dari Purwa. Dan pa-

kaian kuning yang dikenakannya, mengingatkan 

aku pada bayangan kuning yang pertama kali ku-

lihat sebelum Purwa dan Sibarani muncul."

Di kejap lain Raja Naga tersentak tatkala 

mendengar tepukan keras yang dilakukan perem-

puan bertahi lalat pada tengah keningnya, yang 

disusul dengan menggebraknya gelombang angin 

dahsyat yang diiringi oleh cahaya berwarna-warni!

Sadar kalau bahaya mengancam dirinya, 

Raja Naga memutuskan untuk mengeluarkan ilmu 

'Naga Mengamuk'. Seketika tempat itu laksana di-

amuk seekor naga liar yang ganas.

Buuummm!!

Ledakan luar biasa kerasnya menggebah 

seiring dengan bergetarnya tempat itu. Tanah yang 

menghambur ke udara menghalangi pandangan. 

Tiba-tiba terdengar jeritan tertahan menyusul

mencelatnya satu sosok tubuh berpakaian kuning 

ke belakang!

Di pihak lain Raja Naga hanya surut dua 

tindak dengan tangan gemetar. Napasnya membu-

ru dengan wajah merona merah. Sorot matanya te-

tap angker.

"Nimas!!" seru Purwa begitu melihat si pe-

rempuan terbanting di atas tanah. Dengan mena-

han sakit pada dadanya, Purwa buru-buru men-

dekati perempuan itu. "Nimas... sudah kukatakan, 

kau tak akan sanggup menghadapinya. Dia pernah 

mencelakakanmu dan Sibarani...."

Ratu Dinding Kematian mengeluh kesaki-

tan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah segar.

"Aku harus membunuhnya...."

"Aku pun ingin membunuhnya. Tetapi kita 

tak kuasa menghadapinya...."

"Peduli setan!" Ratu Dinding Kematian men-

gibaskan tangan Purwa yang menjadi terkejut.

"Nimas!"

Tanpa menghiraukan seruan itu, Ratu 

Dinding Kematian segera berdiri. Tatapannya be-

rapi-api pada Raja Naga yang sedang merangkai-

kan pikiran di otaknya.

"Ajian Selaksa Jiwa' tak mampu menghada-

pinya. Berarti, aku memang kesulitan untuk 

membunuhnya. Huh! Bila saja telah kukuasai 

‘Ajian Selaksa Sukma’ yang akan ku gabungkan

dengan 'Ajian Selaksa Jiwa' tak mustahil aku da-

pat membunuhnya! Atau... huh! Aku harus memi-

num air rendaman dari bunga-bunga keramat!"

Di tempatnya Raja Naga angkat bicara, "Pe

rempuan berpakaian kuning! Ilmu yang kau miliki 

tak bisa dipandang sebelah mata, dan itu mem-

buktikan kalau kau adalah perempuan yang tang-

guh! Dari semua ini dan semua yang kau katakan 

tentang diriku, aku menangkap satu gelagat yang 

tidak enak!"

"Pemerkosa hina! Kau hendak putar kenya-

taan rupanya?!" bentak Ratu Dinding Kematian 

sambil mengatur napas dan bersiap untuk melan-

carkan serangan kembali.

Raja Naga tak mempedulikan bentakannya.

"Matamu menyembunyikan sesuatu yang 

kau khawatirkan akan terbuka! Perempuan berpa-

kaian kuning! Jangan berlaku bodoh di hadapan-

ku! Kaulah yang berjuluk Ratu Dinding Kematian 

dan telah melakukan serangkaian pencurian ter-

hadap bunga-bunga keramat!"

Sudah tentu Ratu Dinding Kematian terke-

jut mendengar seruan itu. Terutama ketika dili-

hatnya kepala Purwa menegak dengan mata tak 

berkedip padanya.

Tetapi di lain kejap dia sudah tertawa men-

gejek.

"Dua hari lalu kau telah mencelakakan aku 

dan membuat Sibarani tak dapat bersuara sebe-

lum kau curi Bunga Matahari Jingga! Sekarang 

kau menuduhku yang bukan-bukan! Perlu kau ke-

tahui namaku Nimas Herning!"

"Nimas Herning atau bukan... kau tetaplah 

Ratu Dinding Kematian!!"

"Pemuda celaka! Kurobek mulutmu yang 

berani berdusta!!"

Kembali Ratu Dinding Kematian melesat 

dengan ‘Ajian Selaksa Jiwa’. Tetapi lagi-lagi ajian 

itu tak ada gunanya. Untuk kedua kalinya dia ter-

banting deras di atas tanah.

Purwa yang segera mendekatinya mengge-

ram sengit pada Raja Naga. 

"Pemuda terkutuk! Kau bukan hanya seo-

rang pencuri keparat, tetapi kau juga tukang fit-

nah!"

Raja Naga tetap berdiri di tempatnya.

"Dari kilatan mata Purwa kulihat kalau le-

laki itu telah terpengaruh oleh perempuan yang 

kuduga sebagai Ratu Dinding Kematian ini. Berabe 

memang, tetapi aku harus tetap mencecar agar pe-

rempuan itu mau mengaku siapa dirinya!"

Tanpa mempedulikan bentakan Purwa, pe-

muda bersisik coklat itu membentak lagi, "Kau ha-

rus kubawa ke hadapan Tiga Penguasa Bumi un-

tuk membuka seluruh borok pada perbuatanmu!"

Ratu Dinding Kematian menggeram dalam

hati.

"Keadaan ini membahayakan penyamaran-

ku. Padahal aku belum berhasil meminum air ren-

daman bunga-bunga keramat. Aku harus melaku-

kan sesuatu. Dan jalan satu-satunya adalah mem-

buat Purwa tetap mempercayaiku dan tidak mem-

percayai ucapannya. Berarti.... "

Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba 

saja Ratu Dinding Kematian menangis. Sudah ten-

tu Purwa yang tidak tahu siapa perempuan itu se-

benarnya menjadi murka. Dengan mengerahkan 

sisa-sisa tenaganya dia berdiri dan menuding pada

Raja Naga.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu!!"

Dengan mempergunakan ilmu 'Bentang 

Gunung Banting Tanah' Purwa berusaha untuk 

mencecar anak muda berompi ungu itu. Tetapi su-

dah tentu tak ada gunanya. Masih normal tenaga 

saja dia tak dapat mengalahkan Raja Naga, apalagi 

sekarang sudah kehabisan tenaga.

Untuk kedua kalinya Purwa terbanting di 

atas tanah. Setelah mengeluh kesakitan sejenak, 

lelaki itu jatuh pingsan.

Raja Naga mendesis dalam hati, "Sayang, 

dia pingsan. Padahal aku sedang berusaha mem-

buka kedok perempuan celaka ini...."

Sementara itu melihat pingsannya Purwa, 

Ratu Dinding Kematian menjadi pias. Tangisan 

yang tadi sengaja dibuatnya untuk memancing 

perhatian Purwa, seketika lenyap. Matanya men-

gerjap-ngerjap saat menatap pemuda di hadapan-

nya yang sedang menatap angker.

"Celaka! Rencanaku bisa gagal sekarang! 

Bisa gaga!! Ternyata kemunculannya tidak mem-

bawa nasib yang baik buatku!" serunya panik da-

lam hati.

Raja Naga berseru seraya melangkah, "Jan-

gan coba-coba berdusta padaku! Kaulah Ratu 

Dinding Kematian! Kau harus kuserahkan pada 

Tiga Penguasa Bumi!"

"Keparat! Kau tidak mengenal Ratu Dinding 

Kematian, tetapi kau berani-beraninya menuduh-

ku sebagai perempuan itu!" seru Ratu Dinding 

Kematian yang masih berusaha bertahan membantah kata-kata Raja Naga.

Murid Dewa Naga mendengus. Sisik-sisik 

coklat yang memenuhi kedua lengannya sebatas 

siku itu semakin terang menyala, pertanda kema-

rahan sudah melambung naik ke ubun ubunnya

"Baik! Bila kau memang bukan Ratu Dind-

ing Kematian, berarti kau tak akan menolak ku-

bawa pada Tiga Penguasa Bumi! Aku yakin, mere-

ka, atau salah seorang dari mereka mengenalimu! 

Atau... kau kubawa ke hadapan Ratu Tanah 

Kayangan yang sudah pasti mengenalmu!"

Mendengar nama terakhir yang disebutkan 

Raja Naga, kepala Ratu Dinding Kematian mene-

gak. Matanya membeliak lebar. Gerakan itu sudah 

cukup bagi Raja Naga kalau apa yang dituduh-

kannya benar.

Di lain saat dia sudah melesat dengan tan-

gan kanan kiri membuka siap menangkap perem-

puan berpakaian kuning keemasan itu yang terbe-

lalak panik karena merasa tak mampu untuk 

menghindar lagi.

Tetapi sebelum Raja Naga berhasil menja-

lankan niatnya, satu gelombang angin yang me-

nyeret tanah telah memotong gerakannya dari 

samping kanan.

Bummmmm!!

Bersamaan hancurnya ranggasan semak 

terhantam gelombang angin yang memotong gera-

kan Raja Naga, terdengar seruan keras, "Pemuda 

celaka! Kalau sebelumnya kau berhasil meloloskan 

diri, kali ini kau tak akan bisa berkutik di hadapanku!"


Serta-merta pemuda dari Lembah Naga itu 

menoleh ke samping kanan. Dilihatnya dua sosok 

tubuh telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari 

tempatnya dan sejarak lima belas langkah dari 

tempat Ratu Dinding Kematian dan Purwa yang 

pingsan.

Sosok tubuh yang tadi melancarkan seran-

gan, memandang tak berkedip. Dia seorang nenek 

berpakaian hijau dengan kebaya lusuh. Rambut-

nya yang sebagian besar sudah memutih dihiasi 

oleh sebuah konde berwarna hijau. Di samping 

kanannya, seorang perempuan jelita berpakaian 

merah dengan pakaian dalam warna hijau mena-

tapnya pula tanpa kedip.

Tetapi di lain saat, perempuan berambut 

indah itu sudah menatap Purwa yang pingsan. Ma-

tanya membuka cemas. Namun begitu melihat so-

sok perempuan berpakaian kuning yang juga se-

dang menatapnya, kemarahannya seketika meng-

gelegak.

Di tempatnya, Raja Naga sendiri membatin 

sambil memandangi kedua orang yang baru da-

tang itu, "Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani...."


ENAM


SEBELUM kita mengikuti apa yang akan 

terjadi dengan Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu 

apa yang akan dilakukan oleh Setan Gundul Hu-

tan Larangan. Setelah berhasil mengancam Ratu 

Dinding Kematian, kedua lelaki berpakaian ala seorang pendeta itu terus berlalu. Mereka tak lagi 

menghiraukan janji dari Ratu Dinding Kematian. 

Karena yang terpenting bagi mereka, adalah meli-

hat Raja Naga yang mampus!

Di sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan 

dua lelaki gundul yang di leher masing-masing 

menggantung sebuah tasbih sama-sama menghen-

tikan langkah. Untuk beberapa saat tak ada yang 

buka suara kecuali memperhatikan sekelilingnya 

dengan seksama.

Di lain saat, Cokro Kliwing berseru, "Kita te-

lah berhasil membuat Ratu Dinding Kematian mati 

kutu! Aku yakin kalau perempuan itu belum ber-

hasil mendapatkan secara utuh bunga-bunga ke-

ramat yang diinginkannya!"

Jodro Kliwing mendengus.

"Kemungkinan itu bisa terjadi mengingat 

dia tak banyak berkutik ketika kita ancam untuk 

menyebarkan niat busuk yang sedang dilakukan-

nya! Cokro... kita gagal mempermalukan murid 

Ratu Tanah Kayangan karena kehadiran Raja Na-

ga! Dan untuk membalas Raja Naga, kita berhasil 

memeras Ratu Dinding Kematian! Sekarang... apa-

kah kau tak memikirkan satu kesempatan emas 

yang ada di hadapan kita?!"

Lelaki gundul bercodet di keningnya tak se-

gera buka mulut. Dipandanginya lelaki di hada-

pannya yang juga berkepala gundul.

"Apa maksudmu tentang satu kesempatan 

emas?"

Jodro Kliwing menyeringai. Ternyata tubuh-

nya lebih besar dari Cokro Kliwing.

"Ratu Dinding Kematian sedang berusaha 

untuk mendapatkan bunga-bunga keramat, di 

mana kesaktian yang akan didapatkannya dari 

bunga-bunga itu akan dipergunakannya untuk 

membunuh Ratu Tanah Kayangan. Mungkin tak 

banyak yang mengetahui siapa pencuri bunga-

bunga keramat sebenarnya. Ini kesempatan kita 

untuk menggunting dalam lipatan!"

Cokro Kliwing terdiam sejenak sebelum ta-

wanya meledak.

"Gila! Ternyata kau berotak cerdik juga! Ya, 

ya! Mengapa kita tidak bertindak sejak semula?"

"Rencana yang datang terlambat ini justru 

membawa keberuntungan! Ingat, kita telah menge-

tahui kalau Ratu Dinding Kematian telah berhasil 

mendapatkan enam buah bunga-bunga keramat! 

Bisa jadi pula kalau sekarang dia telah menda-

patkan Bunga Matahari Jingga! Itu artinya, kita 

tahu kalau seluruh atau beberapa bunga-bunga 

keramat telah berhasil didapatkannya!"

Makin lebar seringaian di bibir Cokro Kliw-

ing disusul dengan tawanya yang menggema di se-

kitar sana.

"Bila rencana kita ubah seperti itu, berarti 

niat kita untuk meminta bantuan Setan Ngang-

kang kita urungkan?"

"Betul! Urusan dendam kita pada Raja Na-

ga, dapat kita bebankan pada Ratu Dinding Kema-

tian!"

"Bagaimana dengan Ratu Tanah Kayan-

gan?"

"Perempuan mesum itu menjanjikan tu

buhnya untuk kita nikmati bila kita mengetahui 

keberadaan Ratu Tanah Kayangan. Dan kita sudah 

mengabarkan padanya, kalau Ratu Tanah Kayan-

gan telah meninggalkan tempat tinggalnya. Berarti, 

kita tak perlu mencari perempuan itu!"

Cokro Kliwing mengangguk-angguk.

"Padahal, aku menginginkan tubuhnya."

"Siapa yang tak ingin menikmati tubuh sin-

tal milik Ratu Dinding Kematian? Sejak dulu kita 

selalu menggeluti tubuh perempuan yang sama. 

Dan sekarang...," Jodro Kliwing menghentikan ka-

ta-katanya. Bibir tebalnya menyeringai lebar, "Bila 

kita berhasil merebut bunga-bunga keramat dari 

tangan Ratu Dinding Kematian, maka itu artinya, 

kita juga akan dapat menikmati tubuh perempuan 

itu!"

Cokro Kliwing tertawa keras.

"Benar-benar sebuah rencana yang ma-

tang!"

"Ya, bahkan terlalu matang hingga menjadi 

busuk!" suara yang keras itu memutus tawa Cokro 

Kliwing.

Serentak dua lelaki berkepala gundul itu 

menoleh ke samping kanan. Di hadapannya telah 

berdiri satu sosok tubuh berwajah jelita dengan 

pandangan dingin.

* * *

Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan 

tak berkedip memandang ke depan. Di lain kejap 

masing-masing orang saling lirik. Cokro Kliwing

sudah buka bicara dengan seringaian lebar,

"Ratu Tanah Kayangan! Tak kusangka kau 

muncul di hadapan kami?!"

Perempuan berpakaian biru keemasan den-

gan perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan 

tangannya, tak buka mulut. Mata indahnya dingin 

pada masing-masing orang.

"Setan-setan gundul berkedok pendeta! Ka-

lian membicarakan Ratu Dinding Kematian, itu ar-

tinya kalian tahu di mana dia berada!"

Jodro Kliwing tertawa. Dia berusaha untuk 

melihat wajah di balik cadar sutera keemasan.

"Perempuan beranting mutu manikam! Ka-

mi juga baru saja membicarakan tentang dirimu! 

Dan kau telah datang di hadapan kami! Ini sangat 

menyenangkan sekali, mengingat kami pun men-

ginginkan tubuhmu!" 

Di balik cadar sutera yang dikenakannya 

Ratu Tanah Kayangan menggeram.

"Manusia-manusia terkutuk! Sejak tadi ku-

curi dengar ucapan mereka tentang Ratu Dinding 

Kematian dan niatnya pada perempuan itu. Berar-

ti, Ratu Dinding Kematian memang telah menda-

patkan bunga-bunga keramat."

Habis membatin demikian perempuan be-

rambut hitam disanggul ke atas dan diberi sebuah 

jepitan terbuat dari emas, berseru, "Aku tak punya 

banyak waktu untuk terlibat urusan dengan ka-

lian! Manusia-manusia busuk seperti kalian sebe-

narnya tak pantas untuk hidup lebih lama di mu-

ka bumi! Tetapi, aku masih berbaik hati membiar-

kan kalian hidup! Katakan, di mana Ratu Dinding

Kematian berada?!"

Kedua lelaki berpakaian ala pendeta ber-

warna jingga itu saling pandang dengan seringaian 

lebar. Di lain kejap mereka tertawa keras, seolah 

mendengar lelucon yang sangat lucu.

"Mengapa kau begitu tergesa-gesa?" ucap 

Cokro Kliwing seraya melangkah ke samping ka-

nan. Bersamaan dengan itu, Jodro Kliwing juga 

melangkah, tetapi ke samping kiri Ratu Tanah 

Kayangan. Dengan melakukan tindakan itu, mere-

ka nampaknya berniat untuk mengurung perem-

puan jelita itu. Cokro Kliwing berseru lagi penuh 

ejekan, "Kami adalah dua lelaki gagah yang mudah 

kelaparan bila melihat perempuan cantik seperti 

kau, Ratu! Dan sudah tentu, kami tak akan mele-

paskan kesempatan yang telah ada!"

Ratu Tanah Kayangan mendengus. Dari ba-

lik cadarnya, matanya melirik ke kanan kiri.

"Mulut mereka berbunyi busuk! Rasanya 

aku harus memberi pelajaran pada masing-masing 

orang!" geram Ratu Tanah Kayangan dalam hati. 

Lalu berkata dingin, "Kalian tetap tak buka mulut 

mengatakan di mana Ratu Dinding Kematian be-

rada! Dan kalian justru lakukan tindakan memua-

kkan! Baik! Kalian rupanya ingin merasakan keke-

rasan!"

Lelaki gundul bersenjata tongkat berujung 

bundar tertawa keras.

"Jodro! Kau dengar itu? Rupanya dia suka 

melakukan hubungan badan dengan kekerasan!"

"Mengapa kita tidak melayani saja?" sahut 

Jodro Kliwing tertawa pula. "Sebelum menjalankan

seluruh rencana, ada baiknya kita nikmati tubuh 

indah perempuan ini bersama-sama! Sayang, ka-

lau dia keburu dibunuh oleh Ratu Dinding Kema-

tian sebelum kita menikmatinya!"

Ratu Tanah Kayangan hampir-hampir tak 

mampu menahan amarahnya mendengar ucapan-

ucapan kotor itu. Tetapi dia masih tindih amarah-

nya.

Setan Gundul Hutan Larangan yang sengaja 

menahan keinginan mereka untuk melaksanakan 

rencana yang telah mereka susun barusan, kem-

bali tertawa keras.

Dan tiba-tiba saja Jodro Kliwing melesat ke 

depan. Tangan kanan kirinya bergerak ke arah se-

pasang bukit kembar Ratu Tanah Kayangan yang 

mencuat ke depan.

Bersamaan dengan itu, Cokro Kliwing pun 

melakukan tindakan yang sama. Tongkatnya di-

ayunkan ke arah kaki Ratu Tanah Kayangan, se-

mentara tangan kirinya siap meremas pantat pe-

rempuan jelita itu. Terdengar suara rahang diker-

takkan.

"Manusia-manusia keparat!!"

Ratu Tanah Kayangan menggeser tubuhnya 

ke samping kanan. Kedua tangan Jodro Kliwing le-

pas dari sasarannya. Bersamaan dengan itu, Ratu 

Tanah Kayangan melompat untuk menghindari 

sambaran tongkat Cokro Kliwing yang sekaligus 

mengelak dari remasan tangan kiri Cokro Kliwing.

"Kau mau ke mana, Perempuan?!" seru Co-

kro Kliwing seraya mengangkat tongkatnya ke 

atas.

"Setan!!"

Plak!

Ratu Tanah Kayangan sudah menendang 

tongkat itu, lalu memutar tubuh di udara dan me-

lenting untuk hinggap di atas tanah kembali, agak 

jauh dari masing-masing orang berkepala gundul.

Tetapi kedua orang itu tak mau bertindak 

ayal. Mereka terus memburu. Bukan bermaksud 

untuk membunuh Ratu Tanah Kayangan, melain-

kan untuk menangkapnya hidup-hidup! Di benak 

masing-masing orang sudah terbayang, bagaimana 

mengasyikkannya bergerak-gerak di atas tubuh 

indah Ratu Tanah Kayangan dalam keadaan polos.

Di lain saat, masing-masing orang sudah 

menderu kembali. Cokro Kliwing bergerak dengan 

tongkat menyusur tanah yang segera berhambu-

ran, sementara Jodro Kliwing melesat untuk me-

nyerang bagian atas tubuh Ratu Tanah Kayangan.

Perempuan bercadar sutera keemasan itu 

mendengus.

"Keterlaluan! Terpaksa aku akan memberi 

mereka pelajaran!!"

Di lain kejap, kedua tangannya sudah dis-

ilangkan di depan dada. Tanpa bergeser dari tem-

patnya, ditunggunya kedua serangan lawan sam-

pai mendekat.

Melihat perempuan jelita itu seperti mem-

biarkan serangan mereka, kedua lelaki berkepala 

plontos melipatgandakan tenaga dalamnya.

Ratu Tanah Kayangan tetap berdiri tegak 

dengan kedua tangan bersilangan. Namun di lain 

saat, kedua tangannya itu sudah didorong ke depan!

Wuuussss!!

Dua buah gelombang angin bersilangan 

menggebrak hebat!

Kedua lawannya sesaat tersentak. Sementa-

ra Jodro Kliwing membuang tubuh ke samping 

kanan, Cokro Kliwing justru mengangkat tongkat-

nya ke atas.

Wuuuttttt!!

Angin menderu menghantam dua gelom-

bang angin bersilangan. 

Blaaammm!

Letupan cukup keras terdengar, disusul sa-

tu jeritan tertahan.

"Aaaakhhhh!!" 

Cokro Kliwing tergontai-gontai ke belakang 

sembari pegangi dadanya yang terhantam tendan-

gan memutar Ratu Tanah Kayangan.

Di seberang perempuan bercadar itu men-

desis dingin, "Urusanku bukan dengan kalian, me-

lainkan dengan Ratu Dinding Kematian! Manusia-

manusia dajal seperti kalian, seharusnya diberi pe-

lajaran berarti!"

Cokro Kliwing yang merasa nyeri pada da-

danya menggeram sengit. Jodro Kliwing sudah 

menerjang ke depan disertai teriakan membahana.

Ratu Tanah Kayangan memutuskan untuk 

melayani serangan mereka.

Letupan demi letupan yang terdengar sema-

kin ramai. Ranggasan semak yang terpapas rata, 

tanah yang berhamburan ke udara, pepohonan 

yang tumbang dan teriakan-teriakan keras, mengudara. Membuat tempat itu bertambah porak po-

randa.

Sementara itu lelaki gundul bersenjata 

tongkat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan ka-

nan kirinya erat menggenggam tongkatnya yang 

siap mengetok pecah kepala Ratu Tanah Kayan-

gan. Di pihak lain, Jodro Kliwing sudah meluruk 

laksana banteng ketaton mengamuk dengan kepa-

la plontos yang siap menghajar perut dan pung-

gung Ratu Tanah Kayangan!

Ratu Tanah Kayangan menggeram seraya 

mendorong kedua tangannya.

Bummm! Bummmm!!

Dua letupan keras terdengar. Namun ber-

samaan dengan itu, tiba-tiba saja Ratu Tanah 

Kayangan tersedak. Seketika dia mundur terburu-

buru seraya menahan napas. Uap hitam yang tiba-

tiba bertaburan di depan wajahnya tadi lenyap 

tanpa bekas.

Di seberang Jodro Kliwing tertawa keras.

"Ratu Tanah Kayangan! Kau memang hebat! 

Bahkan kami tahu kau belum keluarkan ‘Ajian Se-

laksa Sukma’ yang hanya bisa ditandingi oleh 

'Ajian Selaksa Jiwa' milik Ratu Dinding Kematian! 

Tetapi sekarang, apakah kau bisa bertahan meng-

hadapi 'Uap Pelemah Tenaga'?!"

"Terkutuk!" geram Ratu Tanah Kayangan. 

"Uap itu rupanya memiliki keampuhan memati-

kan!"

Cokro Kliwing yang siap menyerang mengu-

rungkan niatnya. Dia tadi sempat melihat kalau 

Jodro Kliwing mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'

yang seketika terhirup indera penciuman Ratu Ta-

nah Kayangan.

"Tak perlu bersusah payah sekarang! Dalam

sepuluh kejapan mata, tenagamu akan melemah, 

Ratu!"

"Setan keparat! Kubunuh kalian!!" seru Ra-

tu Tanah Kayangan seraya menerjang. Tetapi saat 

itu pula pekikannya terdengar karena secara ber-

samaan, baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing 

sama-sama mengeluarkan 'Uap Pelemah Tenaga'!

Semakin banyak uap mematikan itu ter-

cium oleh Ratu Tanah Kayangan.

"Keparat!" makinya gusar. "Tubuhku mulai 

terasa lemah, tenaga dalamku seperti tersedot ke 

bawah dan sukar untuk kugunakan. Okh! Kepala-

ku... kepalaku mulai terasa pusing."

Sepasang Setan Gundul Hutan Larangan 

tertawa-tawa di tempatnya. Hajaran yang mereka 

alami tadi seolah tak dirasakan sekarang. Makin 

terbayang bagaimana mereka akan menikmati tu-

buh indah perempuan itu yang terbungkus pa-

kaian berwarna biru keemasan.

"Cokro! Sebelum dia mengeluarkan 'Ajian 

Selaksa Sukma' kita sergap sekarang!" bisik Jodro 

Kliwing.

Setelah melihat Cokro Kliwing mengangguk, 

dia sudah menerjang disusul oleh Cokro Kliwing. 

Serangan yang datang dari dua arah itu membuat 

Ratu Tanah Kayangan menggeram keras.

"Aku tak boleh tertangkap!" desisnya men-

guatkan hati seraya mengerahkan hawa murninya.

Di lain saat dia sudah menghindar, namun

begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, so-

soknya agak goyah. Saat itulah Cokro Kliwing dan 

Jodro Kliwing menyergapnya!

Tap! Tap!

Jodro Kliwing berhasil menyergap ping-

gangnya, sementara Cokro Kliwing memegang ke-

dua tangannya.

"Bawa dia ke balik semak!"

Jodro Kliwing segera memanggul tubuh 

yang mulai melemah itu diikuti Cokro Kliwing yang 

tertawa-tawa seraya memegangi kedua tangan Ra-

tu Tanah Kayangan.

Namun sebelum keduanya berhasil tiba di 

balik semak belukar, tiba-tiba saja terdengar jeri-

tan susul menyusul.

Cokro Kilwing sudah melepaskan gengga-

mannya, begitu pula dengan Jodro Kliwing yang 

telah melempar tubuh montok yang dipanggulnya!

"Gila! Tubuhnya mendadak menjadi sangat 

panas!" seru Jodro Kliwing tertahan.

Sementara Cokro Kliwing sedang meman-

dangi Ratu Tanah Kayangan yang sudah berdiri 

tegak kembali. Tubuh perempuan itu tiba-tiba saja 

bercahaya sangat terang. Hawa panas seketika 

menggebah di sekitar tempat itu. Beberapa rang-

gasan semak mendadak layu. Cahaya terang yang 

terpancar itu tiba-tiba saja bergumpal di kepalanya 

dan pelan-pelan naik di atas kepala. Lalu berteba-

ran menjadi beberapa warna terang!

"Astaga! Dia berhasil mengeluarkan ‘Ajian 

Selaksa Sukma’," desis Cokro Kliwing kaget. Apa-

lagi mengingat 'Uap Pelemah Tenaga' yang mereka

lepaskan tadi kadarnya lebih tinggi ketimbang 

yang pernah mereka lakukan pada Puspa Dewi.

Jodro Kliwing sendiri membeliak.

"Celaka! Keadaan sudah berbalik sekarang! 

Rupanya 'Ajian Selaksa Sukma' mampu menahan 

kehebatan 'Uap Pelemah Tenaga'!"

Di seberang, paras di balik cadar sutera 

keemasan itu menegang. Sorot mata si perempuan 

tajam tak berkedip.

"Beruntung aku masih mampu mengelua-

rkan 'Ajian Selaksa Sukma'. Hemm... bila saja tadi 

salah seorang atau keduanya menotokku, dapat 

kubayangkan petaka apa yang kualami...."

Habis membatin demikian, penuh kegusa-

ran Ratu Tanah Kayangan menggeram sengit, "Ta-

di kalian kuberi ampunan tetapi malah membang-

kang! Sekarang... kematianlah yang akan kalian 

terima!!"

Sebelum Ratu Tanah Kayangan menyerang, 

baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing memu-

tuskan untuk lebih dulu menyerang. Mereka tahu 

kehebatan ajian yang dikeluarkan Ratu Tanah 

Kayangan. Maka tindakan yang mereka lakukan 

sebenarnya untung-untungan saja. Atau lebih te-

pat bila dikatakan mencoba menahan sejenak se-

belum melarikan diri.

Ratu Tanah Kayangan mendengus gusar 

sebelum ditepukkan kedua tangannya yang seke-

tika suara ledakan dahsyat terjadi. Menyusul ge-

lombang angin dahsyat yang diiringi oleh cahaya 

terang menggebrak ganas!

Kedua lelaki gundul itu segera mengurung

kan serangannya seraya bergulingan ke samping 

kanan dan kiri. Tetapi cahaya terang yang telah 

menghantam tanah hingga berhamburan setinggi 

dua tombak, mendadak saja terpecah dua, ber-

gumpal dan menderu ganas pada masing-masing 

orang!

Jeritan bertanda ngeri yang dalam terdengar 

dari dua tempat, Cokro Kliwing berhasil menyela-

matkan diri dengan cara memukulkan tongkatnya 

di atas tanah hingga tubuhnya mencelat ke atas. 

Tetapi sial bagi Jodro Kliwing. Dia tak sempat me-

lakukan tindakan apa-apa. Hingga mau tak mau 

tubuhnya terhantam cahaya itu dan terseret di 

atas tanah!

"Jodroooooo!" pekikan memecah langit ter-

dengar dari mulut Cokro Kliwing begitu melihat ge-

liatan-geliatan kesakitan Jodro Kliwing! Cahaya te-

rang itu masih menggumpali tubuhnya yang terus 

menggeliat.

Geliatan-geliatan itu akhirnya terhenti. 

Tatkala cahaya terang itu melesat kembali ke tan-

gan Ratu Tanah Kayangan, terlihat tubuh Jodro 

Kliwing telah hangus.

"Perempuan setan! Kubunuh kau?!!" Cokro 

Kliwing menderu ganas. Dia tak lagi menghiraukan 

rasa takutnya. Yang diinginkan sekarang adalah 

membalas kematian kambratnya.

Dalam keadaan seperti itu, sudah tentu Ra-

tu Tanah Kayangan akan dengan mudah menca-

but nyawanya. Tetapi perempuan bercadar itu ju-

stru tidak melakukannya. Dia hanya bergeser ke 

samping kanan. Secara tiba-tiba kaki kanannya

mencuat! 

Des!!

Telak menghajar dagu Cokro Kliwing yang 

terlempar ke atas dan terbanting di atas tanah! Dia 

pingsan seketika dengan darah keluar dari mulut.

Ratu Tanah Kayangan menarik napas pen-

dek.

"Manusia-manusia tak tahu diuntung," de-

sisnya sambil memandang Cokro Kliwing yang 

pingsan. Kemudian ditatapnya kejauhan sebelum 

mendesis, "Terpaksa aku harus melacak lagi kebe-

radaan Ratu Dinding Kematian...."

Tiga kejapan mata berikut, perempuan ber-

cadar sutera ini sudah meninggalkan tempat itu. 

Meninggalkan mayat Jodro Kliwing dan tubuh Co-

kro Kliwing yang pingsan.


TUJUH


BEGITU melihat sosok pemuda berompi un-

gu di hadapannya, nenek berkonde hijau mengge-

ram dingin.

"Dosa-dosamu sudah tak terampuni, Raja 

Naga!" bentaknya dengan tangan bergetar menud-

ing. Sepasang mata celongnya seolah terlempar ke-

luar. "Kau telah mencoreng nama baik gurumu 

dan membuat rimba persilatan menjadi kacau! Se-

karang, kau telah menghantam Purwa dan perem-

puan itu!"

Di pihak lain Raja Naga yang tak menyang-

ka akan munculnya Dewi Lembah Air Mata dan

Sibarani membatin, "Celaka! Kehadiran Dewi Lem-

bah Air Mata bisa mengacaukan keadaan. Dan bi-

sa jadi perempuan berpakaian kuning keemasan 

itu akan tetap memutarbalikkan keadaan."

"Pemuda terkutuk! Lebih baik kau kubunuh 

sekarang!!"

Belum habis terdengar bentakan itu, tahu-

tahu sudah menderu gelombang angin yang me-

nyeret tanah ke arah Raja Naga yang mau tak mau 

melakukan tindakan untuk menahan.

Blaaam! Blaaammm!!

Suara letupan dua kali berturut-turut ter-

dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu 

berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi ta-

nah yang menghalangi pandangan itu luruh kem-

bali, Dewi Lembah Air Mata sudah menerobos ke 

depan dengan tangan kanan kiri digerakkan.

Raja Naga menghindar ke samping kanan. 

Sebelum dia tegak berdiri, dengan ekor mata ang-

kernya dilihatnya tubuh si nenek tiba-tiba mence-

lat ke udara untuk kemudian meluruk ke bawah

diiringi suara dengingan yang memekakkan telin-

ga.

Raja Naga segera mendeham. Dehaman 

yang mengandung tenaga tak nampak itu sesaat 

mampu menahan lurukan tubuh Dewi Lembah Air 

Mata. Di lain kejap, dia melompat mundur. Begitu 

kedua kakinya menginjak tanah, dilihatnya Dewi 

Lembah Air Mata telah merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada dengan kepala agak ditun-

dukkan.

Melihat tindakan yang dilakukan si nenek,

kedua mata Raja Naga melebar. Sorot angkernya 

terlihat tegang.

"Gawat! Dia hendak mengeluarkan ilmu 

isakan anehnya itu!" serunya dalam hati.

Di pihak lain, Sibarani yang telah kehilan-

gan suaranya menggeram sengit pada Ratu Dind-

ing Kematian setelah memeriksa tubuh Purwa 

yang pingsan. Kedua mata perempuan berpakaian 

merah dengan pakaian dalam warna hijau ini me-

lotot dengan tangan menuding. Mulutnya berge-

rak-gerak seperti melontarkan makian, tetapi tak 

ada suara yang keluar.

Ratu Dinding Kematian menggeram.

"Celaka! Mengapa bukan Dewi Lembah Air 

Mata saja yang muncul? Kehadiran Sibarani dapat 

mengacaukan semua rencanaku! Dan itu artinya.,. 

setan! Lebih baik aku mengalah agar Raja Naga 

mulai goyah dengan dugaannya! Tetapi, apakah 

aku perlu melakukannya?"

Ratu Dinding Kematian menimbang bebera-

pa saat sebelum berkata, "Sibarani... mengapa? 

Ada apa? Tatapanmu menampakkan kalau kau 

menganggap aku seorang musuh?!"

Sibarani menuding dengan mulut berke-

mak-kemik tanpa ada suara yang terdengar.

Ratu Dinding Kematian mempergunakan 

kesempatan itu, "Sibarani... apakah kau lupa den-

gan wajah Raja Naga? Pemuda celaka yang telah

mencuri bunga-bunga keramat?!"

Mulut Sibarani terus bergerak-gerak, tetapi 

tetap tak ada suara yang keluar. Tangannya yang 

menuding gusar bergetar sementara matanya menyorot tajam.

Sementara itu, Ratu Dinding Kematian mu-

lai mendengar isakan Dewi Lembah Air Mata. Un-

tuk sesaat perempuan bertahi lalat tepat di kening 

ini terkejut.

"Gila! Apa yang terjadi? Kenapa nenek ber-

konde hijau itu menangis? Apakah... heiii! Raja 

Naga terhuyung ke belakang! Astaga! Aku tahu, 

aku tahu. Isakan si nenek rupanya mengandung 

tenaga yang mengerikan! Kalau begitu...."

Memutus kata batinnya sendiri, Ratu Dind-

ing Kematian berkata lagi seraya berdiri, "Sibarani! 

Lawan kita saat ini adalah Raja Naga! Dialah yang 

harus kita bunuh! Lantas mengapa kau melotot 

seperti itu padaku?!"

Tak kuasa menahan amarahnya, Sibarani 

sudah menerjang ke depan seraya dorong tangan 

kanan kirinya mengeluarkan ilmu 'Bentang Gu-

nung Banting Tanah'. Sudah tentu Ratu Dinding 

Kematian tak mau tinggal diam. Dengan 'Ajian Se-

laksa Jiwa' dilabraknya Sibarani yang lima kejapan 

mata kemudian terdesak.

"Aku tidak boleh membunuhnya di hadapan 

Dewi Lembah Air Mata, karena nenek berkonde hi-

jau itu bisa curiga! Huh! Sebaiknya dia kubikin 

pingsan!"

Tetapi membuat Sibarani pingsan ternyata 

tak semudah dugaannya. Karena Sibarani ternyata 

tahu apa yang diinginkan Ratu Dinding Kematian. 

Hal itu mulai dirasakannya tatkala tak lagi mera-

sakan dahsyatnya gempuran Ratu Dinding Kema-

tian. Dan Sibarani justru mempergunakan kesempatan itu untuk mencoba mencecar.

Di pihak lain, Raja Naga yang tergontai-

gontai akibat ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata, 

mau tak mau mengeluarkan Gumpalan Daun Lon-

tar miliknya yang begitu ditarik keluar dari perut-

nya, telah membentuk gumpalan sebesar dua ke-

palan orang dewasa. Memang cukup aneh, karena 

selama ini perut Raja Naga tidak menonjol akibat 

gumpalan daun lontar yang tetap segar dan berca-

haya hijau itu. Ini dikarenakan kesaktian Gumpa-

lan Daun Lontar itu sendiri, yang begitu dimasuk-

kan ke balik pakaiannya, mendadak menjadi se-

perti lempengan dan menempel pada perutnya!

Dengan memecah Gumpalan Daun Lontar 

yang tetap segar menjadi dua untuk dijadikan se-

bagai penutup telinga, anak muda bermata angker 

itu menggebrak ke depan.

Dewi Lembah Air Mata mendengus gusar.

"Aku harus merebut Gumpalan Daun Lon-

tar itu!"

Raja Naga sendiri tahu apa yang diinginkan 

si nenek karena tangan kanan kiri si nenek selalu 

mengarah ke kedua telinganya.

"Tak perlu kuladeni nenek berkonde hijau 

ini! Lebih baik kubantu Sibarani! Tidak seperti 

Purwa yang begitu akrab dengan perempuan ber-

pakaian kuning keemasan itu, Sibarani nampak-

nya sangat murka. Dan dia seperti melupakan di-

riku yang disangkanya pelaku serangkaian pencu-

rian bunga-bunga keramat."

Memutuskan demikian, pemuda berkuncir 

kuda ini menggerakkan kedua tangannya.

Buk! Buk!

Sambaran tangan kanan kiri Dewi Lembah 

Air Mata pada kedua telinganya tertahan. Begitu 

kedua tangannya berhasil memapaki sambaran 

Dewi Lembah Air Mata. Raja Naga tiba-tiba me-

nyergap. Ilmu 'Hamparan Naga Tidur' telah dile-

paskan.

Dessss!!

Telak menghantam dada datar Dewi Lem-

bah Air Mata. Sementara si nenek tergontai-gontai 

ke belakang dengan amarah setinggi langit, Raja 

Naga melesat ke depan. Tepat ketika tangan kanan 

Ratu Dinding Kematian siap menghantam leher 

Sibarani. 

Plaaak!

Tepakan tangan kanan Raja Naga mengha-

langi niat perempuan mesum Itu yang tersentak 

dan melompat ke belakang. Sementara Raja Naga 

menyambar Sibarani untuk kemudian hinggap di 

atas tanah.

"Aku tidak tahu mengapa kau tidak bisa bi-

cara sekarang, aku juga tidak tahu mengapa kau 

menyerang perempuan itu! Tetapi aku yakin, kau 

mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu!"

Habis kata-katanya Raja Naga melesat ke 

depan.

"Sekarang kau tak bisa lagi menutupi siapa 

dirimu, Perempuan celaka!!"

Ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' su-

dah dilepaskan oleh Raja Naga yang ditahan Ratu 

Dinding Kematian dengan 'Ajian Selaksa Jiwa'. Ge-

lombang angin deras disemburati asap merah putus di tengah jalan! Tetapi kali ini Raja Naga ber-

tindak cepat. Begitu surut ke belakang, dijejakkan 

kaki kanannya yang serta-merta membuat tanah 

berderak dan bergelombang hebat ke arah Ratu 

Dinding Kematian.

"Terkutuk!" perempuan itu memaki keras 

seraya membuang tubuh ke samping kiri.

Saat itulah Raja Naga menyergap cepat.

Tetapi... 

Buk! Buk!

Sepasang kaki kurus yang bergerak bertubi-

tubi menahan niatnya dan membuatnya harus 

mundur ke belakang.

Dewi Lembah Air Mata yang tadi mengha-

langi niatnya menggeram sengit, "Kau tak bisa me-

larikan diri, Pemuda keparat!"

"Dewi Lembah Air Mata!" seru Raja Naga ke-

ras. "Kau salah tempat dan salah orang! Aku bu-

kanlah orang yang telah mencuri bunga-bunga ke-

ramat! Tetapi perempuan celaka berpakaian kun-

ing itu!"

Si nenek berkonde hijau melirik Ratu Dind-

ing Kematian yang wajahnya tegang. Di saat lain, 

si nenek yang masih menahan nyeri pada dadanya 

akibat serangan Raja Naga mendengus,

"Aku tak mengenal siapa perempuan itu! Te-

tapi dia nampaknya dekat dengan Purwa, karena 

membela Purwa yang telah kau buat pingsan! Uru-

sanku adalah...."

"Apakah kau tak melihat Sibarani menye-

rangnya?" putus Raja Naga mulai gusar. Dia tidak 

mau kehilangan kesempatan untuk membuktikan

kalau dirinya tidak bersalah. "Bila kau mau pergu-

nakan sedikit otakmu, kau seharusnya memikir-

kan mengapa Sibarani menyerangnya!"

"Karena Sibarani menyangka perempuan itu 

adalah sahabatmu!"

"Gila! Mengapa otakmu menjadi dungu se-

perti itu?" seru Raja Naga bertambah gusar. "Kalau 

perempuan itu sahabatku, untuk apa kusela-

matkan Sibarani! Dewi Lembah Air Mata! Buka 

matamu lebar-lebar sekarang, Orang tua! Perem-

puan itu berniat untuk membunuh Sibarani!"

Kali ini Dewi Lembah Air Mata tak segera 

angkat bicara. Ditatapnya perempuan berpakaian 

kuning keemasan yang wajahnya makin mene-

gang.

"Aku tak tahu apa yang terjadi saat ini. Te-

tapi... apa yang dikatakan Raja Naga kelihatannya 

benar. Perempuan itu memang seperti hendak 

membunuh Sibarani. Tetapi... mengapa? Menga-

pa? Apakah dia... astaga! Aku ingat apa yang di-

isyaratkan Sibarani ketika kutanyakan apakah Ra-

ja Naga telah mencuri Bunga Matahari Jingga? Te-

tapi dia menggeleng. Lantas... hemm... saat itu aku 

menduga, kalau Raja Naga dibantu oleh seseorang 

untuk mendapatkan bunga-bunga keramat. Bisa 

jadi orang itu...."

"Dewi Lembah Air Mata! Mengapa kau terla-

lu lama berpikir? Kau ingin pencuri itu lari?!"

Seruan murid Dewa Naga membuat jalan 

pikiran si nenek terputus. Sekarang matanya yang 

celong menacing, keningnya berkerut.

"Raja Naga ingin menggunting dalam lipatan! Dia bekerja sama dengan perempuan itu un-

tuk mencuri bunga-bunga keramat, lalu menuduh 

dia seorang yang melakukannya! Licik!"

Berpikir demikian, Dewi Lembah Air Mata 

menggeram seraya menatap tak berkedip, "Aku tak 

mudah kau muslihati! Kau telah dibantu oleh pe-

rempuan itu untuk mencuri bunga-bunga kera-

mat! Karena tak sanggup menghadapiku, kau me-

nuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga itu 

seorang diri! Terkutuk! Kau ternyata lebih licik dari 

yang kuduga!"

Kejap itu pula Dewi Lembah Air Mata siap 

menerjang. Tetapi Sibarani telah menangkap tan-

gan kanannya.

"Heiiii!! Apa yang kau lakukan?!"

Sibarani menatap tajam si nenek seraya 

menggeleng keras-keras.

"Aku tak paham apa maksudmu!!"

Sibarani menuding Raja Naga lalu meng-

goyang-goyangkan kepalanya. Kemudian menun-

juk Ratu Dinding Kematian dan kali ini mengang-

guk-anggukkan kepalanya.

Dewi Lembah Air Mata memperhatikan tak 

berkedip.

Raja Naga menahan napas.

Ratu Dinding Kematian membatin resah, 

"Rasanya penyamaranku sudah terbongkar seka-

rang. Aku harus mencari kesempatan untuk melo-

loskan diri...."

Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata mengge-

rakkan kepalanya ke arah Ratu Dinding Kematian.

"Perempuan! Siapa kau?!"

Ratu Dinding Kematian menahan debaran 

dadanya yang mengeras, antara tegang dan mur-

ka. Pelan-pelan dia berkata, "Namaku Nimas Hern-

ing! Aku adalah kekasih Purwa yang sedang men-

cari pemuda bersisik coklat itu!"

Belum lagi Dewi Lembah Air Mata teruskan 

ucapan, Sibarani sudah melesat dengan penuh ke-

geraman ke arah Ratu Dinding Kematian.

Kendati rahasia dirinya akan terbongkar se-

karang, tetapi perempuan itu tak mau mati konyol. 

Segera dibalas serangan Sibarani dengan gerakan 

yang sukar diikuti mata.

Des! Des! 

Tahu-tahu Sibarani sudah terlontar ke be-

lakang tanpa mampu menguasai keseimbangan-

nya. Raja Naga mencoba menyambarnya, tetapi 

Sibarani sudah keburu terbanting di atas tanah, 

yang pingsan seketika!

Melihat hal itu Dewi Lembah Air Mata 

membentak gusar, "Perempuan berpakaian kuning 

keemasan! Sekarang aku tak yakin kau adalah ke-

kasih Purwa! Sibarani adalah adik seperguruannya 

yang tak seharusnya kau serang! Aku akan men-

gulitimu bila kau tidak mau mengatakan siapa di-

rimu sebenarnya!"

Rasa amarah di dada Ratu Dinding Kema-

tian sudah tidak bisa ditahan lagi. Tetapi perem-

puan yang tepat pada keningnya terdapat sebuah 

tahi lalat itu, berusaha untuk tahan amarahnya.

"Dewi! Tadi kukatakan namaku Nimas 

Herning! Aku tak berniat mencelakakan Sibarani! 

Aku hanya membela diri!"

"Kau menyembunyikan sesuatu dariku!"

"Tak ada yang kusembunyikan! Aku dan 

Purwa sama-sama sedang mencari Raja Naga yang 

telah memperkosa dan membunuh adikku!" seru 

Ratu Dinding Kematian. Dia sengaja menandaskan 

kata-katanya terakhir untuk mengubah pikiran 

Dewi Lembah Air Mata.

Tetapi rupanya si nenek sudah tidak ter-

pengaruh sekarang. Dia justru mempertimbang-

kan sikap Sibarani sebelum pingsan tadi. Dilirik-

nya Raja Naga sesaat sebelum berkata lagi, "Kau 

menyembunyikan sesuatu!!"

Belum habis bentakannya, tiba-tiba saja si 

nenek sudah membuang tubuh, ke samping ka-

nan. Karena gelombang angin bertaburan cahaya 

warna-warni sudah menyerangnya! Rupanya Ratu 

Dinding Kematian telah mengambil kesempatan 

lebih dulu

"Heiiiii!!" si nenek memekik tertahan.

Raja Naga bergerak cepat menyambar tu-

buhnya karena serangan susulan dari perempuan 

berpita kuning itu sudah menderu lagi ke arah si 

nenek!

Blaaammm!!

Tanah terangkat naik ditaburi cahaya war-

na-warni yang bertebaran! Cukup lama tanah itu 

menghalangi pandangan sebelum kemudian luruh 

kembali di atas tanah.

Saat itulah Raja Naga yang telah menurun-

kan tubuh Dewi Lembah Air Mata menggeram sen-

git. Karena sosok Ratu Dinding Kematian sudah 

tidak ada di sana, bersama dengan tubuh pingsan Purwa!


DELAPAN


ANAK muda bersisik! Aku tidak tahu apa 

yang sebenarnya terjadi! Selama ini kaulah yang 

kuanggap sebagai pencuri bunga-bunga keramat! 

Jelaskan secara rinci sebelum kuputuskan untuk 

tetap pada tuduhan itu!" suara Dewi Lembah Air 

Mata membuat Raja Naga memalingkan kepa-

lanya.

Anak muda dari Lembah Naga ini tak segera 

menjawab. Mata angkernya berkilat-kilat menan-

dakan kegusarannya. Sisik-sisik coklat pada len-

gan kanan kirinya sebatas siku lebih terang dari 

sebelumnya.

"Orang tua... kesalahpahaman yang selama 

ini terjadi memang harus diluruskan. Aku bukan-

lah pencuri bunga-bunga keramat!" sahutnya lalu 

diceritakannya bagaimana Purwa dan Sibarani 

menuduhnya yang telah mencuri bunga-bunga ke-

ramat (Baca : "Terjebak di Gelombang Maut").

"Aku tak bisa mempercayai ucapanmu begi-

tu saja!" 

"Kau bisa menanyakannya pada Puspa De-

wi!" 

"Siapa orang itu?"

"Dia murid Ratu Tanah Kayangan! Dan ten-

tunya Ratu Tanah Kayangan tahu kebenaran dari 

semua ini!"

"Kalau bukan kau yang mencurinya, siapa

pencuri itu?" seru si nenek berkonde hijau setelah 

terdiam beberapa saat.

"Dia adalah Ratu Dinding Kematian!"

Dewi Lembah Air Mata terdiam.

"Aku ingat, kalau Dewa Segala Dewa me-

nyuruh Dewa Seribu Mata untuk menjumpai Ratu 

Dinding Kematian. Jangan-jangan orang tua itu 

memang mencurigai Ratu Dinding Kematian. Ta-

pi... aku tak bisa percaya begitu saja pada kata-

kata pemuda ini."

Habis membatin begitu, si nenek berkata, 

"Ratu Dinding Kematian yang telah mencurinya 

katamu! Sulit dipercaya mengingat dia salah seo-

rang murid Dewa Pengasih!"

"Mungkin pula sulit dipercaya kalau Ratu 

Tanah Kayangan yang juga murid Dewa Pengasih 

sedang memburu saudara seperguruannya sendiri! 

Yang berniat untuk mendapatkan Kitab Ajian Se-

laksa Sukma yang bila digabungkan dengan Kitab 

Ajian Selaksa Jiwa akan menjadi sebuah ilmu yang 

mengerikan! Karena memiliki ilmu yang seimbang 

dengan Ratu Tanah Kayangan, Ratu Dinding Ke-

matian memutuskan untuk mencuri bunga-bunga 

keramat!"

Si nenek mendengus.

"Lantas, di mana aku harus mencari Ratu 

Dinding Kematian?!"

Raja Naga tak menjawab. Mata angkernya 

tak berkedip ke arah si nenek yang seketika mera-

sa jantungnya berdebar lebih kencang. Di lain saat 

dia berucap pelan, "Perempuan yang hendak 

membunuh Sibarani tetapi sebelumnya kau belaitulah Ratu Dinding Kematian!"

Menegak kepala Dewi Lembah Air Mata 

mendengarnya. Untuk sesaat dia terdiam. Lalu di-

arahkan pandangannya pada Sibarani yang masih 

pingsan. Saat diangkat kepalanya lagi untuk me-

mandang Raja Naga, pemuda berompi ungu itu 

sudah tidak ada di tempatnya!

Untuk beberapa lama Dewi Lembah Air Ma-

la terdiam di tempatnya. Otak tuanya dipenuhi 

bermacam pikiran yang membuat perasaannya ja-

di tidak tenang.

"Aku telah salah sangka...," desisnya pelan. 

Angin semilir membelai wajah keriputnya. "Aku 

harus meluruskan kebenaran ini...."

Kemudian dihampirinya Sibarani dan dipe-

riksanya tubuh perempuan itu sebelum dilakukan 

pengobatan.

* * *

Raja Naga tak mau menghentikan larinya 

barang sekejap pun. Kendati lelah tak terkira 

mendera kedua kakinya, anak muda bersisik cok-

lat itu terus berlari. Pikirannya hanya berpusat 

pada Ratu Dinding Kematian.

Cukup lama dia mencari bukti-bukti kalau 

dirinya tidak bersalah dan sudah tentu dia tak 

akan mau melepaskannya karena bukti itu sudah 

di ambang mata.

Tetapi sampai matahari kembali muncul da-

ri peraduannya, anak muda itu tetap tak mene-

mukan jejak Ratu Dinding Kematian yang melari

kan diri dengan membawa Purwa yang pingsan. Di 

samping merasa sia-sia untuk melakukan pengeja-

ran, dan juga karena lelahnya sudah tak tertahan-

kan lagi, anak muda itu terpaksa menghentikan 

larinya

Dipandanginya sekelilingnya yang sepi. Be-

berapa buah pohon tegak berdiri dengan dedau-

nannya yang rimbun.

"Ratu Dinding Kematian... semakin jelas se-

karang. Dialah pencuri bunga-bunga keramat," de-

sisnya setelah mengatur napas. Sorot matanya 

yang angker tak berkedip ke beberapa tempat. "Su-

lit bagiku menemukan di mana dia berada seka-

rang."

Kembali pemuda ini terdiam sebelum berka-

ta, "Tindakan yang dilakukan Sibarani terhadap 

perempuan itu menunjukkan telah terjadi satu pe-

ristiwa yang membuat Sibarani begitu murka. Bisa 

jadi kalau suaranya yang lenyap akibat perbuatan 

Ratu Dinding Kematian yang mengaku bernama 

Nimas Herning. Tetapi sayangnya, Purwa berada 

dalam genggaman perempuan itu."

Teringat pada lelaki bercambang itu, Raja 

Naga mengerutkan keningnya.

"Kebalikan dari sikap Sibarani terhadap Ra-

tu Dinding Kematian, Purwa begitu dekat sekali. 

Hemm... ada apa di balik keadaan ini? Apakah...."

Raja Naga urung meneruskan jalan pikiran-

nya. Digeleng-gelengkan kepalanya.

"Ketimbang pikiranku semakin tak menen-

tu, sebaiknya kuteruskan langkah mencari perem-

puan berpakaian kuning keemasan itu!"

Tetapi satu suara membuat pemuda itu 

mengurungkan niatnya. "Mengapa harus tergesa-

gesa, Anak muda?!"

Raja Naga segera palingkan kepalanya ke 

kanan. Untuk beberapa saat dia terdiam dengan 

mata waspada, lurus pada perempuan berpakaian 

biru keemasan yang sedang melangkah mendeka-

tinya.

"Perempuan ini memakai cadar sutera kee-

masan. Rambutnya disanggul indah. Di telinganya 

terdapat anting-anting mutu manikam. Siapakah 

perempuan ini? Mengapa dia menahan langkah-

ku?!"

Sementara Raja Naga membatin demikian, 

si perempuan menghentikan langkahnya sejarak 

sepuluh tindak dari Raja Naga. Sesaat dipandan-

ginya pemuda di hadapannya dengan seksama.

"Dari keseluruhan yang nampak di tubuh-

nya, matanyalah yang sangat mengerikan. Sorot-

nya tajam, angker dan menusuk hingga jantung. 

Siapakah dia yang... astaga! Aku tahu siapa anak 

muda ini!"

Habis membatin demikian, perempuan ber-

cadar sutera itu berkata, "Anak muda! Kau nam-

pak terburu-buru, hingga rasanya tidak enak aku 

mengganggumu! Tetapi, ada kebutuhan mendesak 

hingga membuatku mau tak mau menahan lang-

kahmu!"

Ucapan si perempuan berpakaian biru kee-

masan yang lembut dan sopan membuat Raja Na-

ga terdiam.

Dipandanginya sesaat perempuan itu sebe

lum berkata, "Setiap manusia selalu saja merasa-

kan memiliki kebutuhan-kebutuhan yang mende-

sak! Perempuan bercadar, aku menyediakan wak-

tu beberapa kejapan mata untukmu."

"Terima kasih!" sahut si perempuan. "Ku-

dengar sejak tadi kau menyebut-nyebut julukan 

Ratu Dinding Kematian! Pertanyaanku, apakah 

kau berjumpa dengan perempuan berpakaian kun-

ing keemasan itu?"

Raja Naga tak menjawab. Matanya tak ber-

kedip ke depan. Diam-diam dia membatin, "Ada 

urusan apa lagi ini? Perempuan ini menanyakan 

tentang Ratu Dinding Kematian. Pertanyaannya 

diucapkan datar saja, hingga sulit kutangkap 

maksudnya di balik pertanyaan itu. Tetapi...."

Memutus kata batinnya sendiri, anak muda 

bersisik coklat pada lengan kanan kirinya sebatas 

siku ini segera berkata, "Perempuan bercadar! Ya, 

belum lama ini aku berjumpa dengan orang yang 

kau maksud!"

Di luar dugaan Raja Naga, perubahan pada 

wajah di balik cadar sutera itu begitu jelas. Kali ini 

suara si perempuan terdengar agak sengit, "Kata-

kan di mana perempuan itu berada?!"

"Aku belum mengenal siapa kau adanya dan 

aku tak tahu ada urusan apa kau dengan Ratu 

Dinding Kematian! Tetapi sebaiknya, kau jelaskan 

terlebih dulu!"

Dari balik cadar yang dikenakannya, sepa-

sang mata bening yang indah itu membulat tajam. 

Untuk beberapa saat hening menghampar seiring 

dengan matahari yang terus berangkat naik ke titik atasnya.

"Anak muda... urusanku dengan Ratu Dind-

ing Kematian sangat erat hubungannya dengan-

mu!"

Raja Naga memicingkan matanya.

"Apa lagi maksud perempuan ini? Sikapnya 

sukar kutebak. Dia tetap kelihatan tenang," ka-

tanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku semakin ber-

tambah tidak mengerti."

"Mungkin kau berlagak tidak mengerti ka-

rena kau belum mengenal siapa aku! Tetapi aku 

merasa pasti kalau sedikit banyaknya kau sudah 

mendengar siapa aku adanya!"

Raja Naga tersenyum.

"Dari ucapanmu kau nampaknya begitu ya-

kin kalau kau sudah mengenal aku."

"Siapa yang tidak mengenal pemuda berciri-

kan seperti yang ada pada dirimu, Raja Naga?!"

Seruan si perempuan sesaat membuat ke-

pala murid Dewa Naga itu menegak.

"Dia mengenalku rupanya. Tetapi aku be-

lum mengenal siapa dia adanya," katanya dalam 

hati. Masih tersenyum dia berkata, "Biar tidak ter-

jadi kesalahpahaman, sebaiknya kau perkenalkan 

siapa dirimu, Perempuan bercadar!"

Perempuan bercadar sutera keemasan itu 

tak segera buka mulut. Raja Naga melihat senyu-

man lebar bertengger di balik cadar sutera.

Menyusul didengarnya kata-kata, "Selama 

ini kau berada dalam lingkaran dan gelombang 

maut dari tuduhan-tuduhan tentang dirimu. Dan 

sudah tentu kau berusaha untuk mencari kejelasan dan bukti-bukti kalau kau tidak bersalah! 

Anak muda berjuluk Raja Naga... kau boleh men-

genalku dengan julukan Ratu Tanah Kayangan!"


SEMBILAN


TEMPAT yang dipenuhi bebukitan itu nam-

pak suram, padahal saat ini matahari sudah me-

nebarkan sinarnya ke segenap penjuru tempat itu. 

Suasana sunyi senyap, seolah tempat yang dind-

ing-dinding bukit di sekitarnya landai dan curam 

tak berpenghuni. Tempat yang juga dipenuhi pe-

pohonan itu seperti mengisyaratkan satu kematian 

berkepanjangan.

Di antara dua buah bukit dengan dinding-

dinding yang terjal, terdapat sebuah bangunan 

yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil. 

Kendati demikian bangunan itu terbuat dari kayu-

kayu jati yang sangat kokoh. Di sekitar bangunan 

itu terdapat batu-batu cukup besar dan... astaga! 

Nampaknya tak ada jalan untuk menuju ke ban-

gunan itu kecuali melompati batu-batu yang 

menghadangnya.

Tindakan seperti itulah yang dilakukan oleh 

satu bayangan kuning yang bergerak cepat. Lang-

kahnya nampak lincah walaupun parasnya seperti 

menahan satu penderitaan. Di punggungnya tergo-

lek satu sosok tubuh berpakaian biru yang dalam 

keadaan pingsan.

Begitu kedua kakinya hinggap di atas se-

buah batu besar, si bayangan kuning yang bukan

lain Ratu Dinding Kematian sudah menggenjot tu-

buhnya dan… 

Tap!

Kini kedua kakinya sudah menginjak bagian 

depan dari bangunan itu. Tanpa menghentikan 

langkahnya, tangannya digerakkan ke atas dua 

kali.

Pintu kayu jati yang berat itu berderit dan 

terbuka. Tetap tanpa berhenti sekali pun Ratu 

Dinding Kematian masuk ke dalam bangunan itu. 

Aroma wangi menyergap hidungnya.

Purwa yang berada dalam bopongannya 

menggeliat setelah hidungnya menangkap aroma 

wangi.

"Kau tak boleh tahu dulu apa yang akan ku-

lakukan!" desis Ratu Dinding Kematian seraya me-

rebahkan tubuh lelaki itu di atas sebuah tempat 

tidur berkasur empuk. Lalu... 

Tuk! Tuk!

Tangannya menotok, tubuh Purwa mengejut 

sejenak. Lelaki yang hampir saja tersadar dari 

pingsannya ini, kini terkulai lagi.

Di lain saat, Ratu Dinding Kematian meng-

hampiri sebuah lemari berukir yang terdapat di 

sudut kamarnya. Dibukanya lemari itu dan diam-

bilnya sebuah pakaian berwarna kuning keema-

san, sama seperti yang dipakainya.

Lalu dihampirinya sebuah cermin besar. Di-

perhatikan wajahnya yang terlihat kacau balau. 

Parasnya tiba-tiba saja mengeras. Didahului den-

gusan, dibuka pakaiannya yang telah robek akibat 

perbuatannya sendiri (Baca : "Terjebak di Gelombang Maut").

Seketika kulit mulus miliknya terpampang. 

Demikian pula dengan sepasang buah dada besar 

yang menggiurkan. Ujung-ujungnya yang berwar-

na kemerahan nampak agak menegang. Untuk se-

saat Ratu Dinding Kematian melupakan kekesa-

lannya pada Raja Naga. Dikaguminya tubuhnya 

sendiri,

Tiba-tiba saja terdengar desisannya cukup 

meremangkan bulu roma. Lalu dirabanya kedua 

payudara montok itu dan diremas-remasnya. Sete-

lah puas meremas-remas payudaranya sendiri, Ra-

tu Dinding Kematian membuka pakaian bagian 

bawahnya hingga yang tinggal hanya sehelai kain 

berwarna merah jambu yang masih melekat di 

pangkal pahanya.

Dikaguminya lagi tubuhnya yang indah itu, 

yang mampu membuat setiap laki-laki terpesona 

dan rela mengorbankan nyawa untuk dapat meni-

durinya.

Mendadak perempuan ini mengeluh. Dipe-

ganginya dadanya yang kini terasa sesak.

"Pemuda keparat!" geramnya dengan wajah 

murka. "Kau tak akan kulepaskan lagi! Kaulah 

yang menjadi tumbal bunga-bunga keramat ini! 

Orang pertama yang akan kubunuh sebelum ku-

bunuh Ratu Tanah Kayangan!"

Sesaat perempuan yang tanpa pakaian ini 

mengingat lagi peristiwa kemarin. Dia memang tak 

mampu menghadapi Raja Naga, apalagi saat itu 

Dewi Lembah Air Mata pun sudah berpihak pada 

Raja Naga. Makanya diputuskan untuk meninggalkan mereka dan satu-satunya tempat yang bisa 

didatanginya dengan aman hanyalah tempat ting-

galnya di Dinding Kematian.

Lalu diliriknya Purwa yang masih pingsan.

"Lelaki itu masih berguna untukku...," de-

sisnya.

Kembali dipandangi tubuhnya di cermin be-

sar. Pelan-pelan diturunkannya sisa kain yang me-

lekat pada pangkal pahanya, hingga kini dia dalam 

keadaan polos.

"Luar biasa! Pantas... pantas setiap laki-laki 

tergila-gila oleh tubuhku!!"

Dalam keadaan polos, Ratu Dinding Kema-

tian masuk ke kamar mandi yang ada di kamar-

nya. Dibersihkan tubuhnya sebersih-bersihnya. 

Lalu dikenakan pakaian yang tadi diambilnya dari 

lemari besar itu.

"Aku tak boleh membuang waktu. Pagi ini 

juga harus kurendam bunga-bunga keramat untuk 

mendapatkan kesaktian darinya. Setelah itu...," si 

perempuan terdiam sejenak sebelum terlihat se-

ringaian di bibirnya, "Bodoh! Mengapa tidak kuhu-

bungi Bancak Bengek?! Kakek kurus kerempeng 

itu sudah tentu akan bersedia membantuku! Huh! 

Dengan modal tubuhku ini, tak ada yang perlu ku-

risaukan untuk meminta bantuan pada orang se-

perti Bancak Bengek maupun Setan Gundul Hutan 

Larangan!"

Teringat pada dua lelaki kepala gundul ber-

pakaian ala pendeta yang pernah mengancamnya, 

Ratu Dinding Kematian menggeram sengit.

"Kedua manusia gundul itu harus mampus

pula di tanganku! Bukan untuk menutup mulut 

mereka, karena rahasiaku sudah terbongkar! Te-

tapi... agar mereka tahu kalau aku tak bisa disem-

barangkan begitu saja!"

Kejap kemudian, dengan gerakan-gerakan 

yang sangat cepat Ratu Dinding Kematian me-

nyiapkan sebuah baki yang telah berisi air. Lalu 

duduk bersemadi di hadapan baki yang cukup be-

sar itu. Mulutnya berkemak-kemik sementara tan-

gannya mengulap-ngulap di atas air itu.

Setelah beberapa saat dihela napas pan-

jang-panjang.

"Kini tibalah saatnya untuk menjalankan 

seluruh keinginan yang telah kudapatkan...." 

Habis berucap demikian, kali ini Ratu Dind-

ing Kematian merangkapkan kedua tangannya di 

depan dada. Kejap itu pula nampak cahaya warna-

warni bertebaran di atas kepalanya yang ketika 

kedua tangannya diangkat serta ditepukkan pada 

cahaya warna-warni itu, cahaya itu lenyap.

Menyusul, "Datanglah kemari!!"

Tujuh gelombang angin tiba-tiba saja men-

deru-deru, menabrak dinding bangunan itu yang 

menimbulkan suara cukup keras. Ratu Dinding 

Kematian menggerakkan tangannya ke depan dan 

memancangkan matanya tajam-tajam!

Saat itu pula tujuh gelombang angin yang 

menabrak dinding tadi berhenti dan sebagai gan-

tinya terlihat tujuh buah bunga berlainan jenis 

dan beraneka warna di hadapannya!

Seketika pecah tawa Ratu Dinding Kema-

tian. Matanya memandang ketujuh bunga berlainan jenis yang mengambang di udara. Amarahnya 

pada Raja Naga, dendamnya pada Ratu Tanah 

Kayangan dan murkanya pada Setan Gundul Hu-

tan Larangan seperti lenyap seketika.

"Bunga-bunga keramat!" desisnya penuh 

kepuasan. "Tiga Penguasa Bumi ternyata orang-

orang bodoh! Tak pernah memikirkan kemungki-

nan bunga-bunga keramat diambil orang! Berun-

tung aku yang pernah mendengar cerita Dewa 

Pengasih tentang bunga-bunga keramat."

Perempuan ini menghentikan desisannya.

"Dengan 'Ajian Selaksa Jiwa' aku dapat me-

nutupi keberadaan bunga-bunga keramat yang te-

lah kucuri tanpa seorang pun dapat melihatnya. 

Dan sekarang... tibalah saatnya untuk memulai 

seluruh yang kuinginkan!!"

Habis desisannya, tangan kanan kiri Ratu 

Dinding Kematian mengulap ke arah bunga-bunga 

keramat. Lalu pelan-pelan mengarahkan tangan-

nya pada air di dalam baki.

Ketujuh bunga yang terdiri dari Bunga Me-

lati Hijau, Bunga Mawar Ungu, Bunga Anyelir 

Kuning, Bunga Kamboja Merah. Bunga Kecubung 

Putih, Bunga Anggrek Biru dan Bunga Matahari 

Jingga masuk ke dalam baki berisi air itu. Air ben-

ing di dalam baki berubah menjadi warna hijau 

tatkala Bunga Melati Hijau masuk ke dalamnya. 

Terus berubah menjadi ungu, kuning, merah, pu-

tih, biru dan jingga.

Ketujuh warna itu beraduk-aduk menjadi 

satu, sementara bunga-bunga itu mengambang. 

Pelan-pelan air di dalam baki itu bergerak memutar, semakin lama bertambah cepat hingga terden-

gar desingan-desingan yang kuat.

Seringaian di bibir Ratu Dinding Kematian 

semakin melebar. Dia tak sabar untuk menunggu 

putaran air itu berhenti. Ditunggunya dengan sek-

sama tanpa mengalihkan perhatiannya dari air 

yang telah berubah warna laksana warna pelangi.

Cukup lama air itu berputar hingga kemu-

dian berhenti. Kalau sebelumnya bunga-bunga itu 

mengambang, kali ini tenggelam.

"Inilah saatnya...."

Pelan-pelan Ratu Dinding Kematian mengu-

lurkan tangannya untuk memegang baki itu. Teta-

pi kejap itu pula tangannya ditarik ke belakang 

dengan mata membelalak.

"Astaga! Aku seperti memegang besi yang 

sangat panas!" serunya tertahan. Dipandanginya 

baki berisi air di hadapannya. "Dapat kupastikan 

kalau panas itu berasal dari bunga-bunga keramat 

ini."

Segera ditariknya napas kuat-kuat, lalu di-

tahannya di bawah perut. Hawa murni di dalam 

tubuhnya dialirkan hingga kini dia merasa tubuh-

nya melayang. Dan... gila! Bukan hanya dirasa tu-

buhnya melayang, tetapi tubuhnya memang men-

gambang dua jengkal dari lantai.

Lalu pelan-pelan dijamahnya baki itu. Wa-

lau masih terasa panas, tidak seperti sebelumnya. 

Kemudian diangkatnya dengan mulut berkemak-

kemik. Sesaat diperhatikannya air yang berwarna-

warni itu sebelum kemudian didekatkan bibir baki 

itu pada mulutnya.

Kejap berikutnya... 

Gluk... gluk... gluk....

Air yang mengisi penuh baki itu kini telah 

habis seluruhnya. Saat meminum tadi, Ratu Bind-

ing Kematian berjaga-jaga agar jangan setetes air 

pun yang tumpah ke bumi.

Tak ada perubahan apa-apa pada dirinya. 

Ditunggunya beberapa saat. Tetapi perubahan itu 

tetap tidak dirasakannya.

"Astaga! Apakah ada yang salah? Mengapa 

aku tidak merasa apa-apa?" serunya sedikit mera-

sa aneh dan terkejut. "Apakah aku... heiii!!!"

Tiba-tiba saja tubuh Ratu Dinding Kematian 

yang masih mengambang dua jengkal dari tanah, 

melesat ke atas! Dan menabrak atap hingga jebol!

Ratu Dinding Kematian menjerit tertahan. 

Tanpa sadar dadanya berdebar keras. Seluruh ke-

gembiraannya karena merasa telah berhasil memi-

num air rendaman dari bunga-bunga keramat sir-

na seketika.

Tubuhnya terus meluncur ke atas. Namun 

seperti ditahan satu tenaga, celatan tubuhnya ti-

ba-tiba terhenti. Berbalik dan menukik deras ke 

bawah! Kecepatannya melebihi sebuah batu bin-

tang yang jatuh dari langit.

Perempuan mesum berpakaian kuning 

keemasan itu memekik keras, memecah pagi dan 

memantul di antara dinding-dinding bukit. Karena, 

dia tak mampu menahan luncuran tubuhnya yang 

sangat cepat itu, sementara kepalanya berada di 

bawah



                            SELESAI



Ikuti kelanjutan serial ini:

DEWA PENGASIH





































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive