"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE BADAI DI KARANG LANGIT

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 
BADAI DI 
KARANG LANGIT
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108 
dalam episode:
Badai Di Karang Langit
128 hal

SATU

MALAM baru saja turun. Bentangan ang-
kasa perlahan tampak mulai terang karena bulan 
bulat penuh samar-samar mulai menunjukkan 
diri. Julangan batu karang di tengah Laut Utara 
yang berdiri angker diselimuti kabut putih perla-
han pula mulai tampak sosoknya.
Batu karang menjulang di tengah laut yang 
dikelilingi oleh beberapa batu karang itu tampak 
tetap tegar meski hempasan gelombang abadi 
menerpanya. Batu karang yang dalam rimba per-
silatan dikenal dengan nama Karang Langit itu 
terlihat semakin angker saat sang rembulan me-
mancarkan cahayanya, karena warnanya seakan 
berubah menjadi merah darah!
Ketika sang rembulan makin tinggi, samar-
samar terlihat sesosok tubuh duduk bersila di 
tengah pelataran batu karang yang menjulang. 
Kedua tangannya saling bertindih di depan dada. 
Sosok ini tak bergeming sedikitpun meski hembu-
san angin begitu kencang serta hawa dingin me-
nusuk tulang. Bibirnya komat-kamit tak henti-
hentinya memperdengarkan sesuatu yang tak je-
las, karena sangat pelan sekali.
Dia adalah seorang laki-laki berusia lanjut. 
Rambut dan jenggotnya panjang dan telah ber-
warna putih. Pakaian yang dikenakannya adalah 
sebuah jubah warna putih dan anehnya, meski 
angin kencang berhembus, baik rambut, jenggot 
serta jubah sosok ini tak berkibar, seolah tiada
angin yang menerpanya!
Kedua mata laki-laki ini tak tampak, kare-
na mata itu ditutup oleh sepotong kulit yang di-
ikatkan ke belakang kepalanya.
Melihat sikapnya, mudah diduga jika laki-
laki ini sedang memusatkan akal batinnya. Kare-
na hingga berselang lama, dia tetap bersikap se-
perti semula. Malah dari mulutnya yang tak henti 
bergerak-gerak itu mulai agak terdengar suara. 
Dia sepertinya sedang membaca mantera-
mantera.
Namun, kekhusukan laki-laki ini agaknya 
tak bisa terus berlangsung, karena tiba-tiba saja 
laki-laki ini menghentikan gerak bibirnya. Telin-
ganya tampak sedikit bergerak ke atas. Dan ber-
samaan dengan itu kepalanya perlahan pula ber-
gerak sedikit tengadah.
"Lamat-lamat, aku dengar suara kelebat 
seseorang sedang menuju kemari. Bukan, bukan 
seorang. Tapi dua orang. Hmm.... Siapa mereka? 
Bertahun-tahun diam di Karang Langit, baru kali 
ini aku merasa gelisah. Pertanda apa ini? Apa 
yang sedang menuju kemari adalah Aji...?" mem-
batin laki-laki yang sedang duduk bersila ini tan-
pa gerakkan kepalanya. Kepala itu tetap tengadah 
dengan dahi mengernyit.
Dari dugaan laki-laki ini makin nyata, ka-
rena dari arah pesisir memang tampak dua sosok 
bayangan sedang meluncur dengan derasnya 
membelah ganasnya gemuruh ombak.
Dua sosok bayangan ini juga tampaknya 
bukan orang sembarangan. Karena, keduanya
meluncur membelah gempuran ombak hanya 
dengan menggunakan kayu bulat pipih sebesar 
rangkulan tangan.
Dua orang ini tampak saling rentangkan 
tangan kiri kanannya. Salah satu tangan masing-
masing orang saling berpegangan. Hebatnya, mes-
ti tubuh keduanya diterpa ombak, pakaian serta 
tubuh keduanya tidak basah! Bahkan gempuran 
ombak seakan-akan menyibak begitu keduanya 
menerabas!
Orang di sebelah kanan adalah seorang la-
ki-laki yang berusia lanjut. Rambut, jenggot dan 
kumisnya panjang serta putih dan tampak awut-
awutan tak terawat, hingga seolah menyembunyi-
kan paras wajahnya. Dia bertelanjang dada, se-
mentara pakaian bawahnya hanya berupa celana 
pendek.
Di samping kiri laki-laki bertelanjang dada, 
adalah seorang perempuan. Parasnya cantik, be-
rusia kira-kira dua puluh lima tahun. Mengena-
kan pakaian warna gelap. Rambutnya panjang 
bergerai dan berombak. Sepasang matanya bun-
dar serta tajam. Hidungnya mancung ditingkah 
bibir yang membentuk bagus. Dadanya kencang 
membusung, sementara pinggulnya besar meng-
getarkan. Kulitnya putih, sedang bola matanya 
berwarna agak kebiruan.
Sejenak, sepasang mata laki-laki bertelan-
jang dada melirik pada sang perempuan di sam-
pingnya. Dia tampak menghela napas dalam-
dalam. Helaan nafasnya jelas bukan karena meli-
hat kecantikan sang gadis. Karena paras wajah
nya menunjukkan kekecewaan. Bahkan tak ja-
rang laki-laki ini gelengkan kepalanya perlahan 
setelah melirik.
"Kinanti, Kau tahu, aku sebenarnya lebih 
suka melihat wajah aslimu.... Bukan wajah palsu 
seperti ini! Dan seandainya bukan kau yang men-
gajak, aku lebih senang menyendiri di Lembah 
Rawa Buntek. Namun tak dapat ku ingkari, sejak 
bertemu denganmu lagi, aku merasa ingin hidup 
seribu tahun lagi...! Kalau saja kau...," laki-laki 
bertelanjang dada tak melanjutkan ucapan kata 
hatinya, karena saat itu perempuan di samping-
nya palingkan wajah dan berkata.
"Dadung Rantak. Sejak tadi kudengar kau 
menghela napas. Adakah sesuatu yang menggan-
jal di hatimu...? Katakanlah. Apa kau keberatan 
kuminta pertolongan?!"
"Hmm.... Dia tetap perasa seperti dahulu. 
Tapi aku tak akan mengatakan apa yang sebe-
narnya mengganjal di hatiku. Dia keras kepala. 
Jika tersinggung, bukan tak mungkin segala ke-
bahagiaan yang baru saja ku rasakan ini akan le-
nyap lagi...," membatin sang laki-laki yang di-
panggil Dadung Rantak.
Dadung Rantak dalam kancah sejarah rim-
ba persilatan adalah tokoh yang sudah tidak as-
ing lagi. Dia dikenal sebagai salah seorang dari 
sekian banyak tokoh jajaran atas golongan hitam. 
Dan karena ketinggian ilmunya, tak heran jika la-
ki-laki yang tak pernah mengenakan pakaian ba-
gian atas ini sangat ditakuti oleh sesama tokoh 
golongan sesat, dan sangat diperhitungkan oleh
tokoh-tokoh golongan putih. Tapi kebesaran dan 
keangkeran nama Dadung Rantak tiba-tiba le-
nyap begitu saja, karena laki-laki ini tidak pernah 
lagi muncul malah tersiar kabar jika Dadung Ran-
tak telah tewas. 
Namun yang sebenarnya terjadi adalah me-
lesetnya dugaan sebagian orang, karena Dadung 
Rantak tidaklah tewas. Dia memang sengaja men-
gasingkan diri di sebuah lembah yang dikenal 
dengan nama Lembah Rawa Buntek.
Bahkan tanpa ada seorang pun yang tahu, 
Dadung Rantak telah mengangkat seorang laki-
laki dan seorang perempuan untuk dijadikan mu-
rid. Mereka adalah Jogaskara dan Sarpakenaka 
yang kini mulai menggegerkan rimba persilatan 
dengan bergelar Dayang Naga Puspa. (Tentang 
Jogaskara dan Sarpakenaka atau Dayang Naga 
Puspa, baca serial Pendekar Mata Keranjang 108 
dalam episode: "Dayang Naga Puspa").
Tidak munculnya Dadung Rantak ke arena 
rimba persilatan dalam beberapa puluh tahun si-
lam, nyatanya hanya karena laki-laki ini hatinya 
sedang dilanda duka nestapa. Kekasihnya, yang 
bernama Kinanti yang dalam rimba persilatan di-
kenal dengan gelar Ratu Pulau Merah, tanpa se-
bab dan tanpa pesan telah meninggalkannya.
"Dadung Rantak! Kau dengar apa yang ku-
katakan. Jawablah!" kata Kinanti atau Ratu Pulau 
Merah menyentak lamunan Dadung Rantak. Se-
raya masih meluncur di atas gulungan amukan 
ombak, Dadung Rantak batuk-batuk sebentar lalu angkat bicara.
"Kinanti.... Kau seperti orang yang baru sa-
ja mengenalku. Apakah selama kita berhubungan,
aku pernah tak menyambuti apa yang kau min-
ta...? Demi kau, apa pun akan kulakukan. Walau 
harus menyabung nyawa sekalipun!" 
Ratu Pulau Merah palingkan wajah. Sepa-
sang matanya yang berwarna kebiruan menatap 
tajam pada laki-laki bertelanjang dada di sam-
pingnya. Dan sebagai rasa terima kasihnya, pe-
rempuan cantik ini melepaskan pegangan tan-
gannya lalu tangan kirinya itu dilingkarkan pada 
pinggang Dadung Rantak. Sementara tangan ka-
nannya tetap merentang seakan menjadi sayap 
luncuran tubuhnya.
Melihat tingkah Ratu Pulau Merah, Dadung 
Rantak sunggingkan senyum. Tangan kanannya 
yang tadi saling berpegangan dengan tangan kiri 
Ratu Pulau Merah serta-merta dilingkarkan di 
pinggang sang perempuan.
Kini, di atas laut tampak dua orang sedang 
berangkulan menembus ganasnya ombak. Hebat-
nya, begitu kedua orang ini saling melingkarkan 
tangan di pinggang lainnya, luncuran tubuh ke-
duanya semakin deras!
"Dadung Rantak! Kuharap kau mau me-
maafkan sikapku dulu!" berkata Ratu Pulau Me-
rah dengan tengadahkan sedikit kepalanya. Hing-
ga wajahnya menerpa helaian jenggot dan rambut 
Dadung Rantak yang awut-awutan. Herannya, pe-
rempuan cantik ini tidak merasa risih, malah se-
raya mendesah pelan, wajahnya disapu-sapukan 
pada helaian rambut Dadung Rantak.
Dadung Rantak terlihat berubah paras. 
Tubuhnya sedikit bergetar, nafasnya lebih ken-
cang dan tak teratur. Sepasang matanya yang ke-
labu sedikit berubah merah. Entah mengerti 
maksud Ratu Pulau Merah atau hanya karena tu-
juan lain, Dadung Rantak gerakkan tangan ki-
rinya perlahan dan merapikan jenggot serta ram-
butnya.
"Dadung Rantak. Kau maukan...?!" kata 
Ratu Pulau Merah mengulangi ucapannya, karena 
Dadung Rantak belum jawab pertanyaannya.
"Kinanti! Kalau aku tak memaafkanmu, 
perlu apa aku menuruti permintaanmu? Apalagi 
permintaanmu bukanlah permintaan yang sepele. 
Ini menyangkut nyawa. Karena orang yang akan 
kita hadapi adalah seorang tokoh yang ilmunya 
tak bisa kita perhitungkan, apalagi dia sudah un-
dur diri dari kancah persilatan, yang berarti ba-
nyak punya waktu untuk memperdalam ilmu!"
"Tapi kau tak takut menghadapinya-
kan...?!" Dadung Rantak mengeluarkan tawa 
mengekeh panjang. Karena kekehan tawanya bu-
kan sembarang kekehan, maka sejenak itu gemu-
ruh gelombang laut seakan tertindih lenyap suara 
tawa kekehannya.
"Kinanti. Dalam hidupku, hanya satu yang 
ku takutkan!"
Mengira bahwa yang ditakutkan Dadung 
Rantak adalah orang yang akan dihadapinya, bu-
ru-buru Kinanti berucap.
"Dadung Rantak. Kita sekarang belum tahu 
ketinggian orang yang akan kita hadapi. Untuk
apa kita harus merasa takut...? Lagi pula kita 
berdua!"
Mendengar ucapan Kinanti, Dadung Ran-
tak kembali tertawa. Kepalanya sedikit berpaling, 
hingga janggutnya menyentuh dahi Ratu Pulau 
Merah.
"Kinanti. Aku belum selesai dengan kata-
kataku. Dengar! Yang paling ku takutkan adalah 
jika kau meninggalkan ku lagi!"
Ratu Pulau Merah buka mulutnya. Sepa-
sang matanya membeliak. Dan serta-merta tan-
gan kirinya yang melingkar di pinggang Dadung 
Rantak dipererat. Lalu kepalanya disandarkan di 
dada Dadung Rantak yang telanjang.
"Percayalah. Aku tak akan meninggalkan-
mu lagi! Kita akan terus berdua! Sampai menutup 
mata...."
"Astaga!" tiba-tiba Dadung Rantak berseru, 
membuat Ratu Pulau Merah tarik kepalanya dan 
ikut-ikutan memandang ke depan, seperti yang 
dilakukan Dadung Rantak.
Ternyata, luncuran tubuh mereka telah 
hampir mencapai batu karang di tengah laut. Dan 
tak heran jika Dadung Rantak sedikit terkejut, 
karena batu karang itu sudah demikian dekatnya, 
sementara tubuh mereka terus meluncur dengan 
deras!
"Loncat!" teriak Dadung Rantak memberi 
aba-aba pada Ratu Pulau Merah. Belum usai sua-
ra Dadung Rantak, kedua orang ini telah lesatkan 
tubuh masing-masing. Dan tahu-tahu tubuh ke-
duanya telah berdiri kokoh di atas batu karang
seraya tetap berangkulan!
Kayu bulat pipih yang mereka jadikan se-
bagai alat untuk meluncur menembus gempuran 
ombak tampak terus meluncur deras dan meng-
hantam lamping batu karang. Bagian batu karang 
yang terkena luncuran kayu langsung hancur 
berkeping-keping. Malah batu karang itu sempat 
bergetar! Dari sini jelas bisa dilihat bagaimana ke-
tinggian ilmu kedua orang ini. 
Masih tetap berangkulan, kedua mata mas-
ing-masing orang ini lantas menyapu berkeliling. 
Dan berakhir pada batu karang yang berada di 
tengah dan tampak menjulang tinggi serta di-
bungkus kabut putih.
"Kinanti! Apa kau yakin bahwa kedua ben-
da yang kau inginkan itu benar-benar ada di tan-
gan Wong Agung?!" berkata Dadung Rantak sete-
lah agak lama di antara keduanya saling diam 
dengan mata masing-masing tak berkedip men-
gawasi julangan batu karang.
"Dalam hidup, aku tak mau bertindak se-
belum aku yakin benar bahwa apa yang akan ku-
lakukan tidak sia-sia!"
Sejenak Ratu Pulau Merah menghentikan 
ucapannya, lalu tak lama kemudian melanjutkan. 
"Apakah kau meragukan keyakinanku...?!"
Dadung Rantak menggeleng perlahan. "Me-
ragukan tidak. Namun menurut yang kuketahui, 
kipas hitam ciptaan Empu Jaladara telah jatuh ke 
tangan manusia yang bergelar Malaikat Berdarah 
Biru. Sementara bumbung bambu berisi jurus 
pamungkasnya ada di tangan seorang yang hingga saat ini tidak dikenal namanya! Jadi aku tak 
habis pikir jika kau katakan bahwa kedua benda 
tersebut ada di tangan Wong Agung...!" 
"Kau tak usah berpikir habis-habisan. Dan 
keteranganmu memang benar jika kipas hitam te-
lah jatuh pada Malaikat Berdarah Biru, sementa-
ra bumbung bambu berada di tangan orang yang 
tak dikenal namanya. Namun apakah kau telah 
dengar pula tentang seorang pemuda bergelar 
Pendekar Mata Keranjang 108?"
"Apa hubungannya dengan pemuda itu?!" 
kata Dadung Rantak sedikit terkejut, karena baru 
kali ini mendengar nama itu. Dan dalam hati di-
am-diam laki-laki bertelanjang dada ini berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108.... Hmm.... 
Apakah pemuda ini ada hubungannya dengan...," 
kata hati Dadung Rantak terputus, karena Ratu 
Pulau Merah telah berkata.
"Dadung Rantak. Aku tak heran jika kau 
tak mengetahui pemuda itu, karena kau telah 
berpuluh-puluh tahun tak muncul dari pengasin-
ganmu. Hanya yang perlu kau ketahui, pemuda 
itu kini telah membuat geger rimba persilatan!"
"Membuat geger...?!" ulang Dadung Rantak 
dengan paras terkejut. Lantas Dadung Rantak
melanjutkan kata hatinya. "Apakah pemuda itu 
telah mendapatkannya...? Jahanam. Jika benar, 
berarti aku terlambat bertindak. Bagaimana den-
gan Sarpakenaka dan Jogaskara...?"
"Betul!" kata Ratu Pulau Merah. "Pendekar 
Mata Keranjang 108 telah berhasil membuat Ma-
laikat Berdarah Biru bertekuk lutut, bahkan merampas kipas hitam dari tangannya. Kalau sam-
pai pemuda itu dapat menaklukkan seorang pe-
megang kipas hitam, apa tidak berarti bahwa pe-
muda itu telah mendapatkan jurus pemusnah-
nya...?!"
Dadung Rantak manggut-manggut. Seju-
rus, Ratu Pulau Merah menatap bola matanya, la-
lu berkata. "Kenapa aku yakin kedua benda itu di 
tangan Wong Agung, karena manusia bergelar 
Pendekar Mata Keranjang 108 adalah murid 
tunggalnya! Sementara menurut beberapa orang 
yang kusuruh untuk menyelidiki Pendekar Mata 
Keranjang 108, mereka mengatakan bila pemuda 
itu tak pernah menggunakan kipas berwarna hi-
tam. Yang selalu di tangannya adalah kipas ber-
warna ungu yang tertera angka 108 Jadi ke mana 
lagi kipas dan bumbung itu kalau tidak disimpan 
gurunya?"
Kembali Dadung Rantak angguk-
anggukkan kepalanya. Mulutnya lalu membuka 
hendak berkata. Namun sebelum ucapannya ter-
dengar, Ratu Pulau Merah kembali berucap.
"Dan yang lebih dari itu semua, Wong 
Agung harus membayar darah atas kematian gu-
ruku!" saat berkata, paras Ratu Pulau Merah 
tampak merah padam. Pelipisnya bergerak-gerak, 
sementara dagunya membatu. Wajahnya jelas 
mengisyaratkan amarah yang meluap.
"Kinanti! Darah yang tertumpah memang 
harus dibayar. Namun kau harus dapat meredam 
amarah. Marah hanya akan menjadi bumerang! 
Apalagi jika yang akan kita hadapi adalah orang
yang berpengalaman bertahun-tahun malang me-
lintang dalam rimba persilatan...!"
Mungkin menyadari kebenaran ucapan 
Dadung Rantak, Ratu Pulau Merah tindih hawa 
amarah di dadanya, bibirnya lantas tersenyum. 
Tubuhnya lantas bergerak memutar hendak 
menghadap Dadung Rantak. Namun tangan kiri 
Dadung Rantak cepat bergerak menahan bahunya 
dan berkata.
"Aku bukan tak mau. Nafsuku pun sejak 
tadi sebenarnya sudah menggebu-gebu. Namun
yang akan kita hadapi untuk kali ini tampaknya 
lebih penting. Jadi jangan membuang-buang wak-
tu percuma! Untuk berbasah-basah dalam nikmat 
masih banyak waktu. Ayo.... Kita segera mene-
muinya!"
Rona raut muka Ratu Pulau Merah terlihat 
merah padam. Dadanya yang membusung naik 
turun menindih gejolak nafsu yang mulai mengu-
asai dirinya. Dan selagi perempuan cantik ini se-
dang mencoba menguasai dirinya, Dadung Ran-
tak lepaskan lingkaran tangannya pada pinggang 
sang perempuan. Lalu melangkah pelan ke arah 
batu karang yang menjulang. Hebatnya meski 
tampak berjalan pelan, namun tahu-tahu tubuh-
nya telah berdiri di samping batu karang tinggi 
menjulang!
Ratu Pulau Merah seraya menggerendeng 
panjang pendek segera menyusul. Dan baru saja 
dia sampai di samping batu karang tinggi, dia ter-
kejut. Ternyata Dadung Rantak telah lenyap.
Seakan tahu ke mana arah perginya Da
dung Rantak, Ratu Pulau Merah segera donggak-
kan kepala. Sekilas dia masih melihat kelebat 
bayangan Dadung Rantak di puncak batu karang, 
lalu lenyap!
"Ilmunya benar-benar luar biasa! Bersa-
manya, aku yakin Wong Agung akan takluk! 
Hmm.... Sementara dia bertempur dengan Wong 
Agung, aku harus menyelinap dan mencari benda 
itu!"
Berpikir begitu, Ratu Pulau Merah lantas 
berkelebat menyusuri batu karang dan sampai 
sebelah barat batu karang tinggi, dia hentikan 
langkah. Kepalanya tengadah melihat puncak ba-
tu karang.
"Dadung Rantak muncul dari arah timur. 
Aku akan menyelinap dari arah barat...." Perem-
puan cantik itu lantas takupkan kedua tangannya 
di depan dada. Dan bagai terdorong hembusan 
angin, tubuhnya serta-merta melesat ke atas lalu 
lenyap di puncak batu karang yang tinggi menjulang!


DUA

Di pelataran batu karang tinggi menjulang, 
Wong Agung semakin kernyitkan kening. Te-
linganya makin tegak, dan perlahan pula ke-
palanya digerakkan ke samping kanan, di mana 
saat itu baru saja Dadung Rantak mendarat.
"Gerakannya tidak menimbulkan suara 
sama sekali. Hmm.... Ternyata bukan Aji. Tampaknya tamu tak diundang! Siapa dia...?" memba-
tin Wong Agung dengan kepala menghadap pada 
Dadung Rantak.
"Dia sendirian! Apa dugaanku meleset...? 
Atau dia memang bisa menyaru keadaan hingga 
kepekaanku terpengaruh? Melihat gerakannya dia 
bukan orang sembarangan! Lebih baik tidak kute-
gur dahulu, bahkan kalau perlu aku akan pura-
pura tidak mengetahui kedatangannya!"
Selesai membatin begitu, Wong Agung lan-
tas palingkan lagi kepalanya seperti semula. Mu-
lutnya komat-kamit.
Di sebelah timur sisi batu karang, Dadung 
Rantak membeliakkan sepasang matanya. Berkat 
terpaan cahaya rembulan, Dadung Rantak dapat 
segera bisa mengenali siapa adanya orang yang 
duduk bersila meski dahinya sedikit mengkerut 
serta hati bertanya-tanya.
"Potongan tubuhnya tidak berubah meski 
aku sudah berpuluh-puluh tahun tak lagi pernah 
jumpa. Tapi, kenapa kedua matanya ditutup den-
gan sepotong kulit...? Ciderakah...? Atau memang 
sedang semadi dengan menggunakan penutup 
mata...? Hmm.... Wong Agung! Puluhan tahun si-
lam, aku pernah kau pecundangi, bahkan adikku 
tewas di tanganmu! Kau tahu...? Peristiwa itu ku-
simpan sendiri tanpa ada orang lain yang tahu! 
Saat itu adalah saat pembayaran darah!" Dadung 
Rantak maju dua langkah. Sepasang matanya tak 
berkedip memandangi.
"Jangan dikira aku tak tahu tingkahmu 
yang berpura-pura! Aku yakin, kau tahu kedatanganku!"
"Wong Agung!" teriak Dadung Rantak. "Kau 
tak pantas berpura-pura begitu rupa!"
Meski Wong Agung tak palingkan kembali 
wajahnya, namun dalam hati diam-diam dia men-
gagumi kejelian orang yang datang. Tapi Wong 
Agung tetap menyembunyikan rasa tahunya atas 
kedatangan orang dengan palingkan wajah pada 
arah orang yang berteriak seraya berkata.
"Sahabat! Aku memang tidak tahu ada 
orang datang ke tempatku. Karena kedua mataku 
tak bisa lagi melihat, kuharap kau sudi mengata-
kan siapa kau adanya...! Tapi terlebih dahulu 
kuucapkan selamat datang di Karang Langit...."
Dadung Rantak tersenyum sinis. Kakinya 
kembali melangkah maju dua tindak. Sepasang 
matanya menatap tajam ke arah kedua mata 
Wong Agung yang tertutup potongan kulit.
"Hmm.... Rupanya dia memang tak bisa la-
gi dapat melihat. Namun demikian, bagi orang se-
perti dia, tanpa melihat pun pasti tahu akan ke-
datanganku, hanya mungkin tidak bisa memasti-
kan siapa diriku!" membatin Dadung Rantak, lan-
tas donggakkan kepala seraya berkata.
"Sebenarnya tak ada gunanya kau menge-
tahui siapa aku! Namun karena saat ini adalah 
saat-saat terakhir kehidupanmu, maka akan ku
turuti permintaanmu!" sejenak Dadung Rantak 
hentikan ucapannya, sementara Wong Agung 
sunggingkan senyum.
"Wong Agung. Tentunya kau masih ingat 
dengan Ragil Sedura! Aku adalah kakaknya, datang menuntut darah atas tewasnya adikku!" lan-
jut Dadung Rantak.
Kepala Wong Agung bergerak lurus meng-
hadap Dadung Rantak. Dahinya mengernyit sea-
kan mengingat sesuatu. Kepalanya lantas men-
gangguk perlahan.
"Ragil Sedura tokoh sesat yang bergelar Ib-
lis Dari Selatan. Hm.... Berarti orang ini adalah 
Dadung Rantak!" Wong Agung membatin. Pada 
orang di hadapannya Wong Agung lantas berucap.
"Dadung Rantak! Sebaiknya hal ini kita bi-
carakan baik-baik saja...."
Dadung Rantak keluarkan tawa panjang 
hingga rambut dan jenggot serta kumisnya ikut 
berkibar-kibar. Padahal sejak tadi rambut, jenggot 
serta kumisnya tidak bergerak-gerak meski di pe-
lataran Karang Langit berhembus angin kencang.
"Bicara hanya akan memperpanjang waktu. 
Bersiaplah!"
Habis berkata begitu, Dadung Rantak terli-
hat undurkan kakinya satu tindak ke belakang. 
Kedua tangannya disatukan dan ditakupkan seja-
jar dada. Bersamaan dengan gerakan tangannya, 
hembusan angin yang menghampar di pelataran 
Karang Langit terhenti seketika.
Situasi yang demikian tampaknya telah 
cukup membuat Wong Agung maklum jika Da-
dung Rantak telah siap untuk menyerang. Diam-
diam dia pun segera kerahkan tenaga dalam. Dia 
sadar, Dadung Rantak bukanlah orang semba-
rangan.
Selagi kedua orang ini sedang mengerah
kan tenaga masing-masing, tanpa mereka sadari 
sejak tadi sesosok bayangan terlihat mengendap-
endap di belakang bangunan batu yang ada di 
puncak batu karang. Sepasang mata sosok ini, 
yang bukan lain adalah Kinanti atau Ratu Pulau 
Merah tak kesiap memandang jauh ke depan.
"Hmm.... Dadung Rantak rupanya juga 
mempunyai masalah sendiri dengan Wong Agung. 
Ini kesempatan baik. Begitu mereka mulai berta-
rung, aku akan menyelinap masuk bangunan ba-
tu ini!"
Sementara itu, dalam hati Dadung Rantak 
sebenarnya dibuat cemas dengan tidak muncul-
nya Ratu Pulau Merah.
"Ke mana gerangan Kinanti...? Seharusnya 
dia sudah sampai di sini. Mustahil dia tak dapat 
melewati sisi batu karang, meski untuk melewa-
tinya dibutuhkan sedikit tenaga!"
Lain yang ada di benak Dadung Rantak, 
lain pula yang ada di hati Wong Agung. Guru 
Pendekar Mata Keranjang ini sebenarnya telah 
mengendus adanya orang ketiga di tempat itu.
"Aku tak bisa ditipu. Ada orang lain di 
tempat ini. Pertolongan hembusan angin menun-
jukkan orang ini adalah seorang perempuan. Sia-
pa dia? Teman Dadung Rantak...? Atau mereka 
datang sendiri-sendiri? Dugaanku ternyata tak 
meleset. Jika saja...."
Wong Agung tidak meneruskan kata ha-
tinya, karena saat itu juga dari mulut Dadung 
Rantak terdengar bentakan nyaring. Dan bersa-
maan dengan itu, kedua tangannya mendorong kedepan.
Wuuuttt!
Tak ada sambaran angin yang keluar, juga 
tak ada suara yang terdengar. Namun hebatnya, 
saat itu juga batu karang bergetar! Dan hawa din-
gin yang menyelimuti tempat itu berubah menjadi 
hamparan hawa panas menyengat! Hingga gun-
dukan beberapa batu karang di pelataran Karang 
Langit tampak rengkah dan tak lama kemudian 
berderak hancur dan hangus!
Bersamaan dengan mendorongnya kedua 
tangan Dadung Rantak, di seberang, Wong Agung 
tampak komat-kamit sebentar, kedua tangannya 
yang sedari tadi sedekap disatukan dan diangkat 
lurus dada. Dan tanpa didahului bentakan, tu-
buhnya tiba-tiba melesat dan lenyap dari pandan-
gan!
Saat getaran yang menghentak Karang 
Langit telah lenyap, entah dari mana datangnya, 
tiba-tiba sosok Wong Agung melayang dari udara 
dan mendarat dengan tetap bersila di atas sebuah 
gundukan batu karang!
Namun penghuni Karang Langit ini terke-
siap sejenak, karena batu karang yang didudu-
kinya tiba-tiba rengkah dan hancur. Tapi sebelum 
batu karang tadi hancur dan menghempaskan 
tubuhnya, Wong Agung kibaskan lengan jubah-
nya. Tubuhnya melesat dan tahu-tahu telah du-
duk kembali di atas gundukan batu karang lain-
nya. Akan tetapi, lagi-lagi batu karang yang baru 
saja didudukinya rengkah terus hancur, mem-
buat Wong Agung harus kebutkan kembali jubah
putihnya.
Seakan tahu akan apa yang terjadi, untuk 
kali ini Wong Agung tidak ingin mendarat di atas 
gundukan batu karang yang memang banyak di 
pelataran Karang Langit itu. Tubuhnya tahu-tahu 
telah mendarat dengan tetap duduk bersila di 
atas pelataran batu karang yang datar.
Namun kembali Wong Agung dibuat sedikit 
terkesiap. Batu karang pelataran Karang Langit 
yang didudukinya terasa bergerak-gerak, padahal 
batu karang di sekitarnya tidak bergeming!
"Luar biasa! Tenaga dalam orang ini benar-
benar tinggi sekali! Gundukan batu-batu karang 
telah hancur bagian dalamnya tanpa kelihatan di 
luarnya! Dan tanpa mengeluarkan suara!" puji 
Wong Agung dalam hati seraya kerahkan tenaga 
dalam untuk menahan gerakan-gerakan batu ka-
rang yang didudukinya.
Gerakan batu karang di bawah Wong 
Agung kontan berhenti. Wong Agung palingkan 
wajahnya pada Dadung Rantak yang enak-enakan 
mengawasi tingkahnya. Mulutnya membuka hen-
dak berkata. Namun sebelum kata-katanya ter-
dengar, Dadung Rantak mendahului angkat bica-
ra.
"Wong Agung! Kau sudah tua. Aku tak per-
lu mengingatkan lagi. Aku telah bertekad mele-
lehkan darahmu. Kau melawan atau tidak itu 
urusanmu!"
Wong Agung tersenyum, lalu kepalanya 
menggeleng perlahan.
"Dadung Rantak! Kalau aku sudah tua,
tentunya tak jauh beda denganmu. Hanya ku in-
gatkan, masih pantaskah orang-orang tua seperti 
kita melakukan hal-hal yang hanya layak diper-
buat oleh anak-anak muda yang penuh gejo-
lak...?"
"Bangsat rendah! Kau menyamakan aku 
dengan anak-anak! Kuhancurkan mulutmu!"
Bersamaan dengan berakhirnya ucapan-
nya, Dadung Rantak sedekapkan tangan. Mulut-
nya memperdengarkan sesuatu yang tak jelas. 
Sepasang matanya setengah memejam.
Mendadak tubuh Dadung Rantak bergerak-
gerak, seperti orang kedinginan. Dan perlahan 
pula dari sekujur tubuhnya mengepul asap putih.
Semakin lama gerakan-gerakan tubuh Dadung 
Rantak semakin keras, asap putih pun semakin 
banyak dan kini telah menelan lenyap tubuh Da-
dung Rantak.
Begitu tubuh Dadung Rantak lenyap di-
bungkus asap putih, tiba-tiba pelataran Karang 
Langit bergetar. Angin kencang berhembus den-
gan hawa panas luar biasa. Bukan hanya itu, dari 
tubuh Dadung Rantak yang dibungkus asap me-
nyambar kilatan-kilatan putih laksana pijar kilat
geledek. Dan bersamaan dengan melesatnya kila-
tan-kilatan terdengar suara letupan dahsyat!
Plarrr! Plarrr! Plarrr!
Mengetahui suasana berbahaya, Wong 
Agung cepat takupkan kedua tangannya. Kedua 
bahunya terlihat disentakkan ke bawah. Tiba-tiba 
tubuhnya melesat ke udara.
Dari atas udara, kedua tangan Wong Agung
digerakkan menyentak ke bawah. Terdengar sua-
ra angin menderu pelan. Namun bersamaan den-
gan keluarnya deruan angin, getaran pelataran 
Karang Langit berhenti seketika! Dan saat Wong 
Agung angkat kedua tangannya dan diputar-putar 
di depan dada, hamparan hawa panas perlahan-
lahan berubah kembali menjadi dingin seperti 
semula, malah kini hamparan hawa sangat dingin 
mulai menebar! Dan bukan hanya sampai di situ 
saja, masih dengan duduk mengapung di atas ke-
pala. Di kejap itu juga kabut tipis berarak ke
arahnya. Membungkus tubuhnya lalu menelan 
lenyap. Yang tampak hanyalah samar-samar ge-
rakan kedua tangannya yang diangkat ke samp-
ing kanan dan kiri. Hebatnya begitu tangannya 
diangkat ke kanan dan kiri, letupan keras yang 
ditimbulkan kilatan-kilatan asap putih Dadung 
Rantak laksana dibungkam tidak bisa meletup la-
gi!
Di seberang, asap putih yang membungkus 
Dadung Rantak bergerak-gerak lebih keras, per-
tanda Dadung Rantak lipat gandakan kekuatan 
tenaga dalamnya.
Pelataran Karang Langit kembali bergetar, 
malah kini makin keras laksana diguncang gempa 
dahsyat! Gundukan batu-batu karang yang ta-
dinya memang telah pecah bagian dalam meletup 
hancur dan hancurannya mengangkasa. Pelata-
ran Karang Langit pun mulai rengkah di sana-
sini, malah sebagian ada yang langsung terbong-
kar dan membentuk kubangan sedalam setengah 
tombak! Hawa dingin pun merambat lenyap berganti hawa panas! Dan letupan-letupan dahsyat 
makin bersahut-sahutan!
Dalam suasana demikian, tiba-tiba Dadung 
Rantak keluarkan suara bentakan dari balik 
bungkusan asap putih.
Seberkas cahaya hitam membersit keluar 
dari bungkusan asap putih. Meski hanya berkas 
sinar, namun suara yang menyertainya begitu 
menggemuruh dahsyat, bahkan hampir menindih 
lenyap suara letupan kilatan-kilatan!
Wong Agung tampaknya tidak terkejut 
dengan serangan itu, terbukti begitu getaran dan 
letupan terjadi serta seberkas sinar melesat ke 
arahnya, ia pun segera melayang turun. Kini dia 
mendarat dengan kedua kaki terpentang. Aneh-
nya, meski pelataran Karang Langit masih ber-
guncang, pijakan kedua kakinya tak tampak ber-
getar!
Bersamaan dengan mendaratnya kaki, 
Wong Agung cepat pula dorong kedua tangannya 
ke depan, karena saat itu seberkas sinar hitam 
menggebrak ke arahnya. 
Blaaammm!
Ledakan yang benar-benar dahsyat terden-
gar ketika dua pukulan yang dialiri tenaga dalam 
tinggi itu bertemu di udara.
Batu karang di bawah tempat bertemunya 
dua pukulan kontan hancur dan hancurannya 
bertebaran meninggalkan lobang menganga seda-
lam satu tombak! Batu karang di bawah Karang 
Langit pun tak luput dari getaran, malah lamping 
batu-batu karang tampak berguguran ke dalam
laut!
Begitu gema ledakan sirna, baik tubuh Da-
dung Rantak yang masih dibungkus asap putih 
maupun tubuh Wong Agung yang samar-samar 
dilapis kabut tipis, tak kelihatan di tempatnya 
masing-masing.
Dari tempatnya bersembunyi, Ratu Pulau 
Merah berulang kali gelengkan kepala seraya ke-
rahkan tenaga dalam. Karena jika tidak, dia pun 
akan tersungkur akibat bias pukulan tenaga da-
lam kedua orang yang sedang bertempur. Karena 
baik Dadung Rantak maupun Wong Agung me-
mang bertempur dengan adu tenaga dalam ting-
kat tinggi.
"Gila! Baru kali ini aku melihat pertempu-
ran begitu hebat! Mereka tampaknya tidak ba-
nyak membuat gerakan, tapi akibat yang ditim-
bulkannya sungguh luar biasa! Hmm.... Kalau 
aku datang sendirian, aku tidak akan mampu 
mengalahkan Wong Agung keparat itu!" membatin 
Ratu Pulau Merah dengan sepasang mata masih 
tak kesiap memandang ke depan, karena saat itu 
ternyata baik tubuh Dadung Rantak maupun 
Wong Agung sama-sama melayang ke belakang 
akibat pukulan masing-masing bertemu.
Memang, begitu Wong Agung lancarkan 
pukulan untuk menangkis serangan Dadung Ran-
tak dan terjadi ledakan dahsyat, tubuhnya me-
layang hingga beberapa tombak ke belakang. Se-
saat penghuni Karang Langit ini tampak bisa 
mendarat dengan kedua kaki di atas batu karang, 
namun getaran batu karang tampaknya masih
berguncang, hingga tak lama kemudian, kaki 
Wong Agung terlihat bergetar sebelum akhirnya 
meliuk dan menekuk membuat tubuhnya melorot 
dan jatuh bersimpuh.
Apa yang dialami Dadung Rantak pun tak 
jauh berbeda. Saat ledakan dahsyat membuncah, 
tubuhnya yang masih dibungkus asap putih me-
lenting lurus ke belakang. Untung laki-laki peng-
huni Lembah Rawa Buntek ini cepat kerahkan te-
naga dalamnya, jika tidak, bukan tak mungkin 
tubuhnya akan melayang jatuh dari pelataran Ka-
rang Langit! Karena saat dia berhasil menghenti-
kan laju tubuhnya, kaki kanannya telah menjun-
tai di bibir pelataran, hingga mau tak mau mem-
buat laki-laki bertelanjang dada ini harus sentak-
kan tubuhnya ke bawah dengan tangan cepat me-
raih gundukan batu karang di dekatnya. Karena 
jika tidak tubuhnya akan terus melaju ke bawah!
"Hm.... Bangsat ini rupanya tepat seperti 
yang kuduga. Meski telah undur diri dari rimba 
persilatan, bukan berarti harus berhenti menam-
bah ilmu! Tapi, ke mana gerangan Kinanti...? 
Kembali ke Lembah Rawa Buntek? Atau sengaja 
menunggu di bawah? Atau diam-diam naik ke 
atas dan...," belum habis Dadung Rantak mendu-
ga-duga, Wong Agung yang ini sudah bangkit 
angkat bicara.
"Dadung Rantak! Kukira tak ada gunanya 
semua ini diteruskan! Hanya kesia-siaan yang 
akan kita peroleh. Marilah kita bicara baik-baik 
dengan mengesampingkan prasangka buruk!"
Sambil bangkit, Dadung Rantak keluarkan
dengusan keras. Bibirnya sunggingkan senyum 
seringai. Lantas seraya dongakkan kepala dan ke-
luarkan tawa pendek, dia berkata. 
"Wong Agung! Darah tidak cukup hanya di-
tebus dengan kata-kata! Bersiaplah menghadapi 
kematianmu!"
Mendengar ucapan Dadung Rantak, Wong 
Agung kembali geleng-gelengkan kepala. Dari hi-
dungnya tampak berhembus napas dalam dan 
panjang.
"Dadung Rantak! Aku...."
"Dengar Wong Agung! Kata-katamu tak 
akan dapat membayar darah adikku!" tukas Da-
dung Rantak. Lalu laki-laki bertelanjang dada ini 
cepat jejakkan kedua kakinya. Tubuhnya melesat 
lenyap! Dan batu karang yang diinjaknya tampak 
berderak hancur!
"Apa hendak dikata. Aku harus memperta-
hankan diri...," gumam Wong Agung seraya kele-
batkan tubuhnya. Tubuhnya pun tiba-tiba sirna 
dari pandangan.
Tiba-tiba terdengar suara benturan keras 
di udara. Lalu terlihat dua bayangan saling men-
tal balik. Mungkin karena kerasnya benturan, 
dua bayangan tersebut yang bukan lain Dadung 
Rantak dan Wong Agung sama-sama menukik 
dengan derasnya. Meski keduanya saling kerah-
kan tenaga dalam untuk coba menghindari terje-
rembabnya tubuh masing-masing di atas batu ka-
rang, namun keduanya sama-sama gagal. Hingga 
secara bersamaan keduanya pun jatuh menyongsong batu karang!
Dadung Rantak terdengar keluarkan se-
ruan perlahan. Tangan kanannya segera bergerak 
memegangi dadanya yang terasa nyeri dan bagai 
dihimpit batangan benda berat hingga sulit untuk 
menarik napas. Dari dadanya yang terbuka tam-
pak warna kebiruan di ulu hati. Sementara kedua 
tangannya berubah kemerahan! Namun laki-laki 
bertelanjang dada ini segera bangkit lalu duduk 
bersila dengan mulut komat-kamit. Jelas Dadung 
Rantak coba kerahkan tenaga dalam untuk men-
gatasi nyeri di dada dan tangannya, sekaligus un-
tuk pulihkan tenaga.
Sepuluh tombak di hadapan Dadung Ran-
tak, Wong Agung tampak tekankan kedua tan-
gannya ke atas batu karang untuk menopang tu-
buhnya yang bangkit. Wajahnya meringis mena-
han sakit yang mendera dada dan juga tangan-
nya. Bahkan jubah bagian dadanya tampak robek 
memperlihatkan kulit di baliknya. Sementara ke-
dua tangannya tampak agak menghitam! Seperti 
halnya Dadung Rantak, Wong Agung pun mela-
kukan apa yang seperti dilakukan Dadung Ran-
tak.
Melihat kesempatan ini, Ratu Pulau Merah 
tak sia-siakan begitu saja. Seraya tetap kerahkan 
tenaga dalam takut jika sewaktu-waktu terjadi 
dua tenaga dalam antara Dadung Rantak dan 
Wong Agung yang bisa mengakibatkan pengin-
taiannya diketahui dengan terjerembabnya tu-
buhnya, perempuan berwajah cantik ini melang-
kah perlahan-lahan mendekati bangunan batu ke 
arah depan. Sepasang matanya tak berkedip memandangi Dadung Rantak dan Wong Agung. Dan 
begitu dirasa suasana memungkinkan, Ratu Pu-
lau Merah cepat berkelebat dan masuk ke bangu-
nan batu yang terasa bagian depannya telah po-
rak poranda dan salah satu penyangganya tum-
bang. 
"Hmm.... Bila aku berhasil mendapatkan 
kipas hitam serta bumbung bambu, untuk se-
mentara aku harus cepat tinggalkan tempat ini. 
Perhitungan dengan Wong Agung akan kulakukan 
setelah aku berhasil mempelajari isi bumbung 
bambu, dengan demikian, ilmuku akan bertam-
bah. Untung kalau Wong Agung bisa tewas di 
tangan Dadung Rantak...," membatin Ratu Pulau 
Merah seraya meneliti keadaan bagian dalam 
bangunan batu.
"Di sini tak ada apa-apa. Bahkan satu pe-
rabot pun! Di sana ada lobang pintu. Akan kuse-
lidiki...." Perempuan ini lantas berkelebat ke arah 
lobang yang memang mirip pintu di bagian bela-
kang.
Dan tanpa pikir panjang Ratu Pulau Merah 
pun segera masuk ke lobang pintu yang ternyata 
di baliknya ada sebuah tangga menurun dari ba-
tu-batu karang.

TIGA


SEBENARNYA Wong Agung samar-samar 
dapat menangkap seseorang berkelebat ke arah 
bangunan tempat tinggalnya. Namun karena saat
ini dia sedang menghadapi orang yang tak bisa 
dianggap remeh, maka dengan terpaksa penghuni 
Karang Langit ini tak mau bertindak ayal.
Hanya dalam hati, penghuni Karang Langit 
ini dilanda perasaan cemas.
"Siapa dia? Apa maksudnya secara sem-
bunyi-sembunyi masuk tempat tinggalku? Apa-
kah ini akal licik Dadung Rantak...? Apa yang me-
reka maksud dengan semua ini?" tiba-tiba paras 
muka Wong Agung berubah seakan menampak-
kan rasa terkejut dan cemas.
"Celaka! Jangan-jangan dia menemukan...," 
Wong Agung tak bisa meneruskan kata hatinya. 
Karena saat itu juga Dadung Rantak telah putar 
tubuhnya. Pada putaran ketiga, mendadak tu-
buhnya melesat lurus ke arah Wong Agung den-
gan sepasang kaki ditekuk, sementara kedua tan-
gan tetap menakup di depan dada. Hebatnya, ber-
samaan dengan melesatnya tubuh laki-laki berte-
lanjang dada ini, entah dari mana asalnya, kabut 
hitam berarak dan menggelayut di atas Karang 
Langit. Hingga cahaya pijar sang rembulan tak bi-
sa lagi menembus ke Karang Langit, membuat ba-
tu karang tinggi menjulang itu digenggam kegela-
pan. 
Merasakan adanya perubahan suasana 
dan kelebatnya tubuh, Wong Agung segera lipat 
gandakan tenaga dalamnya. Tangan kanannya 
menyentak ke bawah. Tiba-tiba tubuhnya melesat 
ke udara. Saat itulah, dari kegelapan berkelebat 
sosok Dadung Rantak.
Wong Agung angkat tangannya dengan
geser sedikit pundaknya. Sementara kaki kanan-
nya bergerak menyapu dari bawah!
Prakkk! Prakkk! Desss! Deesss! 
Terjadi dua benturan keras, dan terden-
garnya suara pukulan telak menghantam sasa-
ran.
Untuk kesekian kalinya tubuh kedua orang 
ini sama-sama mental ke belakang. Dari mulut 
masing-masing terdengar seruan tertahan. Bah-
kan karena kerasnya serangan masing-masing, 
baik dada Dadung Rantak maupun dada Wong 
Agung yang jubahnya makin menganga, tampak 
kehitaman! Sedang tangan Wong Agung tampak 
bergetar hebat dan kebiruan. Demikian juga kaki 
Dadung Rantak.
Sebelum kedua orang ini sama-sama ber-
kaparan di atas batu karang, tampak kedua orang 
ini sama-sama kerahkan tenaga dalamnya untuk 
menahan agar tubuhnya tak jatuh terkapar, na-
mun mungkin karena begitu tingginya tenaga 
yang mereka kerahkan saat melakukan serangan 
dan tangkisan, maka usaha masing-masing orang 
ini tak membawa hasil.
Begitu keduanya sama-sama terkapar, su-
asana kembali terang benderang, karena arakan 
kabut hitam sirna.
Dadung Rantak tampak batuk-batuk bebe-
rapa kali, lalu meludah di atas batu karang. Lu-
dah itu berwarna kehitaman. Jelas bahwa laki-
laki dari Lembah Rawa Buntek ini terluka dalam. 
Dia tampaknya menyadari hal itu, maka dengan 
menyeringai dan melirik ke arah Wong Agung, dia
urut-urut dadanya seraya salurkan tenaga dalam 
ke arah dadanya.
Di seberang, Wong Agung pun tampak ge-
leng-gelengkan kepala untuk menghilangkan rasa 
nyeri di kepalanya. Tangan kirinya tampak bersi-
tekan pada batu karang, sementara tangan ka-
nannya mengusap-usap dadanya. Sebagaimana 
Dadung Rantak, penghuni Karang Langit ini pun 
tampak mengeluarkan ludah berwarna kehita-
man.
* * *
Sementara Wong Agung dan Dadung Ran-
tak masih sama-sama mengatasi diri masing-
masing, di dalam bangunan batu Ratu Pulau Me-
rah tak henti-hentinya melangkah mondar-
mandir ke sana kemari mengelilingi ruangan. 
Namun paras wajah perempuan cantik ini tampak 
dibungkus rasa kecewa. Hal ini jelas terlihat dari 
mulutnya yang tak henti-hentinya keluarkan ma-
kian panjang pendek, malah tak jarang dia kepal-
kan tangannya dan menghantam tembok ruangan 
yang terbuat dari batu karang itu.
"Keparat! Di mana bangsat itu menyim-
pannya? Mustahil benda itu dibawanya!" geren-
deng Ratu Pulau Merah seraya usap-usap tembok 
ruangan. Dia khawatir jika tembok ruangan itu 
menyimpan rahasia ruangan lagi. Tapi hingga 
tangannya ngilu dan kesemutan mengusap-usap 
tembok ruangan, dia tak mendapatkan apa-apa 
dan tak ada tempat yang pantas dicurigai.
"Jahanam! Berarti dia membawanya! 
Hmm.... Jika demikian, aku harus ikut berta-
rung!" gumam Ratu Pulau Merah seraya sekali la-
gi menyapukan pandangannya ke seluruh ruan-
gan. Tapi tampaknya dia tak menemukan apa 
yang dicari.
"Anjing sialan!" maki Ratu Pulau Merah se-
raya banting-bantingkan kaki dan melangkah ke 
arah tangga. Sepasang matanya membeliak besar, 
sementara dadanya yang membusung tampak tu-
run naik menahan gejolak amarah. Ketika lang-
kahnya sampai tengah ruangan, dia berhenti. Di 
situ memang terdapat batu besar. Melihat cekun-
gan pada atas batu, jelas menunjukkan bahwa 
batu itu sering digunakan untuk duduk.
Sejenak sepasang mata Ratu Pulau Merah 
memperhatikan batu. Namun entah karena ama-
rah yang sudah tidak bisa ditahan lagi, kaki ka-
nannya serta-merta disapukan pada batu itu.
Prakkk!
Ratu Pulau Merah terperangah kaget. Batu 
besar itu tidak bergeming sama sekali, apalagi 
hancur! Penasaran, kembali perempuan ini sapu-
kan kaki kanannya. Kali ini dengan kerahkan te-
naga dalam.
Prakkk!
Ratu Pulau Merah terpekik kesakitan. 
Bahkan kakinya mental balik hingga ke belakang. 
Sementara batu besar itu hanya bergerak seben-
tar, lantas diam.
Dahi Ratu Pulau Merah mengernyit. Sepa-
sang matanya mendelik.
"Sialan! Baru kali ini aku menemui batu 
seperti ini. Padahal aku tadi telah kerahkan ham-
pir separo dari tenaga dalamku!"
Mungkin karena dirasuki rasa penasaran 
dan marah, Ratu Pulau Merah undurkan kakinya 
satu tindak ke belakang. Mulutnya komat-kamit 
sebentar, sementara matanya memejam. Dan ser-
ta-merta dia maju satu langkah. Kedua kakinya 
dijejakkan ke bawah. Tubuhnya terangkat. Lantas 
seraya membentak pelan, kedua kakinya dihan-
tamkan pada batu.
Prakkk!
Untuk kedua kalinya terdengar pekik kesa-
kitan dari mulut perempuan ini, malah tubuhnya 
mental balik dan punggungnya menghajar tembok 
ruangan. Namun, sepasang mata Ratu Pulau Me-
rah membelalak seketika, dan tak berkedip hing-
ga beberapa lama.
Batu besar yang dihajar sepasang kaki Ra-
tu Pulau Merah tak mental, hanya bergerak ter-
guling. Namun bukan tergulingnya batu ini yang 
membuat sepasang mata Ratu Pulau Merah 
membeliak tak berkesiap. Ternyata di bagian ba-
wah batu tampak lobang yang memancarkan si-
nar kehitaman!
Dengan dahi mengernyit, Ratu Pulau Me-
rah cepat bangkit dan melangkah ke arah batu 
yang telah terguling.
"Kalau batu ini batu biasa, tak mungkin 
tak hancur kena tendangan tadi! Hmm.... Batu ini 
menyimpan sesuatu. Dari pancaran sinar hitam 
yang keluar dari lobang bagian bawah, aku yakin
ada apa-apa di dalamnya!" duga perempuan ini 
seraya jongkok dan mengawasi lobang pada batu. 
Namun hingga lama mengawasi, matanya tak 
menemukan sesuatu dari dalam lobang batu.
Mungkin merasa belum yakin dengan pen-
glihatannya, tangan kanan Ratu Pulau Merah 
bergerak masuk ke lobang batu.
Ratu Pulau Merah tercekat, dan buru-buru 
tarik tangannya yang mulai masuk lobang batu. 
Karena begitu tangannya mulai masuk, hawa pa-
nas menyengat menghantam tangannya!
"Mungkin benda itu disimpan di sini! 
Hmm.... Mudah-mudahan dugaanku tidak mele-
set...!" berpikir begitu, Ratu Pulau Merah segera 
kerahkan tenaga dalam. Dan perlahan-lahan pula 
tangan kanannya dimasukkan kembali pada lo-
bang batu.
Hawa panas menyengat memang menerpa 
tangannya, namun karena perempuan ini telah 
kerahkan tenaga dalam, maka sengatan panas itu 
tak begitu terasa.
Untuk beberapa lama tangan Ratu Pulau 
Merah meraba-raba di dalam lobang dan dia ter-
peranjat saat tangannya menyentak sesuatu. 
Dengan hati berdegup kencang, sesuatu itu di-
ambilnya. Dan perempuan ini terpekik saat mera-
sakan apa yang ada dalam genggamannya.
"Aku berhasil mendapatkan kipas itu! Aku 
berhasil mendapatkannya!" katanya berulang-
ulang seraya tarik tangannya dari dalam batu.
Memang, ketika tangan kanan itu keluar 
dari batu, tampaklah di genggaman perempuan
ini sebuah kipas lipat berwarna hitam yang ujung 
sebelahnya terpangkas sedikit.
Dengan tangan dan tubuh bergetar, Ratu 
Pulau Merah pandangi kipas lipat hitam di tan-
gannya. Lalu dengan perlahan pula dikembang-
kan.
"Ya, memang ini benda yang kucari! Aku 
berhasil!" seru Ratu Pulau Merah dengan senyum 
lebar. Untuk beberapa lama, sepasang matanya 
tak berkesiap memandangi kipas yang telah ter-
pentang.
Setelah puas memandangi, kipas hitam itu 
kembali dilipat. Lalu disimpannya di balik pa-
kaiannya. Sepasang matanya kembali mengawasi 
ke dalam lobang batu.
"Kalau kipas ini disimpan di sini, berarti 
bumbung bambu itu pun ada di sini!" Perempuan 
ini lantas gerakkan tangannya kembali memasuki 
lobang, dan untuk beberapa lama tangannya 
mencari-cari di dalam batu.
Dan untuk kedua kalinya Ratu Pulau Me-
rah menjerit. Wajahnya tampak berseri-seri. Ma-
lah tak lama kemudian tawanya terdengar keluar 
dari mulutnya.
"Aku juga berhasil mendapatkan bumbung 
bambu itu!" seru Ratu Pulau Merah seraya tarik 
tangannya dari dalam batu. Di tangannya me-
mang tampak sebuah bumbung dari bambu kecil. 
Warnanya kuning kehitaman. Kedua ujungnya 
tampak ditutup dengan kayu gabus. 
"Hmm.... Perjalananku ternyata tidak sia-
sia! Aku harus cepat tinggalkan tempat ini! Biar
mereka berdua meneruskan pertarungan! Kalau 
bisa biar mereka berdua sama-sama mampus! 
Dadung Rantak! Kau manusia bodoh! Mampuslah 
kau dalam kebodohanmu! Siapa sudi berhangat-
hangat dengan orang tua dekil sepertimu! Aku 
masih bisa cari pemuda yang bisa membuatku 
berbasah-basah! Hik... hik... hik...!"
Setelah menyimpan bumbung bambu di 
balik pakaiannya, Ratu Pulau Merah cepat berke-
lebat ke ruangan atas. Lalu dengan mengendap-
endap, serta sepasang mata mengarah ke tempat 
pelataran di mana Dadung Rantak dan Wong 
Agung bertarung, perempuan ini melangkah per-
lahan ke arah pintu.
Untuk beberapa saat lamanya, Ratu Pulau 
Merah memandang ke arah Wong Agung dan Da-
dung Rantak. Dan begitu dirasa keadaan aman, 
perempuan ini pejamkan sepasang matanya. Ke-
dua tangannya ditakupkan sejajar dada. Mulut-
nya berkemik-kemik. Dan serta-merta sepasang 
matanya dibuka, kakinya menjejak lantai ruan-
gan.
Mendadak tubuh perempuan ini melesat 
dan lenyap dari pandangan. Hanya suara deru ke-
lebatnya yang terdengar. Dan tahu-tahu sosok 
Ratu Pulau Merah telah berada di sisi pelataran 
Karang Langit.
Di bawah cahaya rembulan, tampak bibir 
Ratu Pulau Merah tersenyum. Lalu masih dengan 
senyum menyungging, kepalanya berpaling pada 
Dadung Rantak dan Wong Agung yang ternyata 
sedang sama-sama duduk bersila berhadap
hadapan.
"Mampuslah kalian berdua! Dadung Ran-
tak selamat tinggal!"gumam Ratu Pulau Merah pe-
lan. Lalu tubuhnya berkelebat melayang turun 
dari pelataran Karang Langit.


EMPAT

KETIKA Ratu Pulau Merah berkelebat tu-
run, Wong Agung tampak palingkan wajah ke 
arahnya. Namun belum sampai penghuni Karang 
Langit ini dapat mengetahui siapa adanya orang, 
itu, Dadung Rantak telah tarik kedua tangannya 
ke belakang. Lalu sekonyong-konyong seraya le-
satkan tubuhnya ke depan, kedua tangannya di-
hantamkan ke arah Wong Agung. 
Wuuuttt!
Tak ada suara yang terdengar. Hanya seki-
las tampak memancar sinar hitam melesat dari 
kedua telapak tangan Dadung Rantak. Namun 
begitu menyambar, sinar hitam tersebut hilang 
lenyap! Dan bersamaan lenyapnya sinar hitam, 
suasana berubah dingin menusuk! Angin meng-
hampar sangat kencang dan kabut menutupi 
tempat itu.
Di seberang, Wong Agung tampak tenga-
dahkan kepala. Tiba-tiba tubuhnya bergetar he-
bat. Dan saat itu juga tubuhnya lantas melesat ke 
depan. Bersamaan itu, kedua tangannya pun 
menghentak!
Wuuuttt!
Dua larik sinar putih samar terlihat keluar 
dari kedua tangan penghuni Karang Langit ini. 
Bersamaan dengan melariknya sinar putih, pela-
taran Karang Langit bergetar hebat! Dan....
Blaarrr!
Dentuman dahsyat terdengar menggun-
cang pelataran Karang Langit. Gundukan-
gundukan batu karang yang banyak di tempat itu 
rengkah lalu hancur berkeping-keping. Hebatnya 
begitu terdengar dentuman, baik sosok Dadung 
Rantak maupun sosok Wong Agung terus melun-
cur ke depan! Mereka berdua seakan tak terpen-
garuh dengan dentuman akibat pukulan kasat-
mata Dadung Rantak bentrok dengan pukulan 
yang dilancarkan Wong Agung.
Begitu keduanya hampir bertemu di udara, 
kedua orang ini tampak saling angkat masing-
masing tangannya dan dibuka. Karena cepatnya 
luncuran sosok keduanya, hingga tak bisa dilihat 
dengan mata biasa. Yang terlihat kemudian ada-
lah saling menempelnya telapak tangan keduanya 
di udara! Sementara tubuh masing-masing tam-
pak lurus datar dan mengapung di udara!
Dadung Rantak tampak membeliakkan ma-
tanya. Keringat mulai membasahi wajah dan tu-
buhnya. Tubuhnya pun mulai bergetar dan tela-
pak tangannya yang masih menempel dengan te-
lapak tangan Wong Agung tampak mengepul dan 
berubah jadi agak kemerahan.
Tak jauh beda dengan Dadung Rantak, 
Wong Agung pun tampak tubuhnya bergetar. Ju-
bah putihnya berkibar-kibar keluarkan suara
menderu-deru. Sementara telapak tangannya 
yang menempel pada telapak tangan Dadung 
Rantak juga nampak mengepulkan asap.
Untuk sesaat lamanya kedua orang ini sal-
ing adu tenaga dalam lewat tangannya. Namun ti-
ba-tiba saja Dadung Rantak keluarkan bentakan 
keras. Tenaga dalamnya dilipatgandakan.
Mendadak tubuh Wong Agung nampak te-
rangkat. Tubuhnya makin bergetar.
Merasakan hal ini, Wong Agung pun lantas 
tambah tenaga dalamnya, hingga sesaat kemu-
dian tubuhnya kembali turun dan kini kembali 
sejajar dengan tubuh Dadung Rantak.
Beberapa saat berlalu. Kedua orang yang 
namanya pernah menggegerkan dunia persilatan 
pada beberapa puluh tahun yang silam ini keliha-
tannya sama-sama sanggup bertahan dari gem-
puran tenaga dalam lawan masing-masing. Tapi 
sesaat kemudian terjadilah sesuatu. Tubuh Da-
dung Rantak makin keras bergetar, keningnya 
makin mengeriput, sementara dari lobang hidung 
dan sudut bibirnya samar-samar terlihat darah 
kehitaman mulai meleleh! Bahkan tatkala Wong 
Agung genjot lagi tenaga dalamnya, dari lobang 
kecil-kecil di sekujur tubuh Dadung Rantak mulai 
keluarkan keringat bercampur darah! Demikian 
pula dari sudut mata dan lobang telinganya.
Tampaknya Dadung Rantak sadar jika di-
rinya dalam keadaan bahaya. Maka sebelum hal 
yang tidak ia inginkan terjadi, laki-laki bertelan-
jang dada ini cepat pejamkan sepasang matanya. 
Dari mulutnya terdengar suara bentakan keras.
Bersamaan bentakan Dadung Rantak, ke-
dua tangannya berubah warna menjadi hitam. 
Anehnya, warna hitam itu merambat dengan ce-
pat. Dan ini menjalar pula pada kedua tangan 
Wong Agung yang masih menempel dengan tan-
gannya.
Wong Agung tampak meringis tatkala tan-
gannya mulai dirambati warna hitam. Bahkan tak 
lama kemudian tubuhnya makin keras bergetar. 
Dan dari sekujur tubuhnya keluar asap hitam!
Wong Agung keluarkan seruan pelan terta-
han. Karena dari mulut serta hidung dan juga te-
linganya, terlihat pula darah mulai mengalir! Ma-
lah tak lama kemudian, jubah putihnya telah be-
rubah warna menjadi merah muda tanda seluruh 
pori-pori tubuhnya telah mengeluarkan darah pu-
la!
Tampaknya kedua orang ini pantang me-
nyerah begitu saja, walau telah jelas bahwa kedu-
anya telah sama-sama terluka bagian dalam. Ini 
terlihat ketika Dadung Rantak lipat gandakan te-
naga dalamnya, dan tampaknya ini adalah kekua-
tan terakhirnya.
Melihat hal ini, Wong Agung pun tak ting-
gal diam. Ia kerahkan pula sisa tenaga dalamnya.
Ketika kedua orang ini sama-sama kelua-
rkan tenaga dalam terakhirnya, tiba-tiba tubuh 
keduanya makin membumbung ke udara, namun 
tangan keduanya tetap saling menempel dan 
mendorong!
Saat itulah, entah naluri mereka yang 
mengatakan atau suatu kebetulan, kedua kaki
masing-masing menghantam ke depan! 
Bresss! Breesss!
Terdengar benturan keras tatkala kedua 
kaki masing-masing menghantam lawan. Bersa-
maan dengan terjadinya benturan, kedua tangan 
mereka yang saling menempel terpisah! Dan tu-
buh keduanya saling bermentalan ke belakang!
Wong Agung memperdengarkan keluhan 
keras tatkala tubuhnya harus terjerembab di atas 
batu karang setelah terlebih dahulu menghantam 
tembok bagian depan bangunan batu tempat 
tinggalnya. Sedangkan Dadung Rantak terdengar 
keluarkan pekikan keras tatkala punggungnya 
harus menghajar batu karang terlebih dahulu se-
belum tubuhnya terkapar dan bergulingan.
Beberapa saat kedua orang berilmu tinggi 
ini sama-sama diam tak bergerak di tempat mere-
ka roboh.
"Tampaknya aku harus memperdalam ilmu 
lagi untuk dapat menaklukkannya. Apa boleh 
buat. Aku telah kerahkan segala tenaga dalam 
dan ilmuku, namun tampaknya belum mampu. 
Aku harus pergi dari sini! Kalau ada umur pan-
jang tentu aku masih bisa membuat perhitungan 
lagi!" membatin Dadung Rantak seraya perlahan 
bangkit.
Di bawah cahaya sang rembulan, jelas se-
kali terlihat bahwa sekujur tubuh Dadung Rantak 
telah mandi darah. Malah untuk mengangkat tu-
buhnya agar bisa bangkit, ia menekankan kedua 
tangannya ke atas batu karang.
"Hmm.... Ilmunya demikian maju pesat.
Aku tak menduganya. Rupanya ia telah memper-
siapkan diri jauh sebelumnya...," Wong Agung 
berkata dalam hati seraya cari pegangan untuk 
bangkit. Pakaian yang dikenakan penghuni Ka-
rang Langit ini pun tampak robek di sana-sini.
"Heran.... Ke mana perginya Kinanti? Kalau 
saja ia berada di sini, kukira masalah ini akan se-
lesai, karena saat ini Wong Agung telah tak ber-
daya! Apakah dia keder lalu pulang...? Tapi sa-
mar-samar tadi kulihat ada bayangan berkelebat 
di dekat bangunan batu itu. Apa Kinanti...? Atau 
murid Wong Agung yang menyembunyikan diri...? 
Ah, lebih baik aku meninggalkan tempat ini. Sete-
lah kesehatanku pulih, aku akan cari Kinanti...." 
lalu Dadung Rantak luruskan pandangannya pa-
da Wong Agung yang kini telah duduk bersila di 
depan bangunan batu.
"Wong Agung! Semuanya belum berakhir! 
Suatu hari nanti aku akan tetap menagih darah 
Ragil Sedura!" desis Dadung Rantak dengan suara 
pelan. Namun suara itu cukup jelas didengar te-
linga Wong Agung.
Sambil menahan sakit di sekujur tubuh-
nya, Wong Agung luruskan kepalanya menghadap 
Dadung Rantak. Setelah mendehem beberapa 
kali, ia buka suara.
"Dadung Rantak! Semua itu kuserahkan 
padamu. Yang kuharap, kau mempertimbangkan 
kembali segala sesuatunya. Dan satu hal lagi, 
semoga niatmu itu tak dipergunakan orang lain 
untuk mengambil keuntungan tanpa kau sadari!"
Meski Dadung Rantak masih merasakan
sakit di seluruh tubuhnya, dan ingin cepat me-
ninggalkan Karang Langit, namun mendengar 
ucapan Wong Agung ia kernyitkan dahi. Niatnya 
untuk cepat meninggalkan Karang Langit dia 
urungkan, lalu dengan menahan dadanya ia ber-
kata.
"Wong Agung! Jaga mulutmu! Jangan kau 
berani menuduh tanpa bukti!"
Walau terasa sakit untuk digunakan terta-
wa, mendengar kata-kata Dadung Rantak, Wong 
Agung keluarkan tawa pelan.
"Dadung Rantak! Kukira kedatanganmu ke 
Karang Langit tidak sendirian! Aku tidak menu-
duh. Namun, melihat keadaannya, orang yang 
bersamamu telah mengambil keuntungan dari 
masalah kita! Aku belum tahu persis apa keun-
tungannya. Tapi hal itu dapat ku rasakan!"
Dadung Rantak terlihat terhenyak men-
dengar keterangan Wong Agung. Diam-diam da-
lam hati ia berkata.
"Hmm.... Rupanya dia telah mengetahui 
adanya Kinanti. Tapi, apa untungnya Kinanti 
dengan kejadian ini...? Tapi, kenapa ia tak mun-
cul di sini...? Apakah...?" laki-laki bertelanjang 
dada ini tak meneruskan kata hatinya, karena 
saat itu Wong Agung telah lanjutkan ucapannya.
"Dadung Rantak! Siapa pun adanya te-
manmu, yang pasti ia telah meninggalkan tempat 
ini!"
Dadung Rantak tak sepatah kata pun ke-
luarkan suara. Hanya sepasang matanya tak berkedip pandangi Wong Agung.
"Ah, aku masih belum bisa menduga apa 
tujuan Kinanti sebenarnya. Lebih baik aku ting-
galkan tempat ini, dan setelah itu menyelidiki Ki-
nanti. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres!"
Berpikir begitu, tanpa berkata-kata lagi 
Dadung Rantak lantas bangkit lalu balikkan tu-
buh dan melangkah perlahan ke arah sisi samp-
ing Karang Langit. Dan tanpa berpaling lagi, ia 
berkelebat turun dari Karang Langit.
"Hmm.... Daya tarik seorang perempuan 
nyatanya bisa mengalahkan segalanya. Hanya 
manusia yang mau belajar dari kehidupan yang 
bisa menyadarinya," gumam Wong Agung setelah 
kepergian Dadung Rantak. Penghuni Karang Lan-
git ini lantas bangkit dan dengan perlahan me-
langkah memasuki bangunan batu tempat tinggalnya.


LIMA

KETIKA memasuki ruangan bawah tempat 
tinggalnya, Wong Agung tiba-tiba hentikan lang-
kahnya. Kepalanya berputar seakan melihat seke-
liling.
"Heran. Hatiku makin gelisah. Pertanda 
apa ini...? Aku hampir yakin, teman Dadung Ran-
tak telah memasuki tempat ini. Apa yang ia ca-
ri...? Apakah ia...," penghuni Karang Langit ini tak 
meneruskan gumamannya. Ia cepat berkelebat.
Wong Agung terlihat melengak kaget tatka-
la mengetahui batu besar yang biasanya ia guna
kan untuk duduk telah terguling. Dan semakin 
tercekat tatkala tangannya yang dimasukkan ke 
lobang di bagian bawah batu yang terguling tak 
menemukan apa-apa.
"Ah, firasatku tak salah. Ternyata teman 
Dadung Rantak telah berhasil mengambil kipas 
hitam serta bumbung bambu!" gumam Wong 
Agung dengan tubuh agak lemas. Tubuhnya ber-
getar, lalu perlahan-lahan penghuni Karang Lan-
git ini duduk bersandar di tembok ruangan den-
gan kepala beberapa kali bergerak menggeleng. 
"Maha Besar Tuhan. Kipas hitam dan 
bumbung bambu berisi jurus pamungkas telah 
dapat dicuri orang. Rimba persilatan akan ter-
guncang lagi. Bagaimana aku harus mempertang-
gung jawabkan semua ini...? Semua ini adalah 
kesalahanku...! Aku harus...."
Mendadak Wong Agung hentikan guma-
mannya. Kepalanya digerakkan tengadah.
"Ada orang mendekati tempat ini! Siapa lagi 
dia...? Dadung Rantak...? Atau temannya?"
Selagi Wong Agung menduga-duga, sesosok 
bayangan tampak berkelebat memasuki ruangan 
di mana ia berada.
Sosok ini ternyata adalah seorang laki-laki 
berusia lanjut. Paras wajahnya tak jelas, karena 
kepalanya mengenakan sebuah caping lebar hing-
ga menutup sebagian wajahnya. Tapi melihat 
tingkahnya, sosok yang baru datang ini telah 
mengenal betul Karang Langit. Karena ia begitu 
saja memasuki ruangan di mana Wong Agung berada.
"Jayeng Parama! Apa yang telah terjadi...?" 
kata sosok bercaping begitu melihat keadaan 
Wong Agung yang pakaiannya masih bersimbah 
darah dan tergulingnya batu besar yang biasanya 
dibuat duduk.
Mendengar suara orang. tampaknya Wong 
Agung telah dapat menduga siapa adanya orang 
yang kini melangkah ke arahnya. Apalagi orang 
yang baru datang memanggilnya dengan sebutkan 
nama aslinya.
"Paman Selaksa.... Suatu keberuntungan 
kau datang. Duduklah Paman...." kata Wong 
Agung seraya membetulkan ikatan kulit pada ba-
gian belakang kepalanya
Sosok bercaping, yang bukan lain memang 
Eyang Selaksa, penghuni Kampung Blumbang 
yang juga adalah paman Wong Agung sejenak 
mengawasi keadaan Wong Agung lalu duduk di 
depan Wong Agung dan berkata.
"Jayeng Parama! Apa yang telah terjadi...?" 
tanya Eyang Selaksa mengulangi pertanyaannya.
Untuk beberapa saat lamanya Wong Agung 
tak segera memberi jawaban. Ia hanya menghela 
napas dalam-dalam seraya mengusap-usap da-
danya. Namun tampaknya Eyang Selaksa memak-
lumi keadaan Wong Agung. Ia pun tak lagi ulangi 
pertanyaannya. Ia diam menunggu seraya mem-
perhatikan.
"Paman...," kata Wong Agung setelah agak 
lama diam. "Sebenarnya aku sudah tak ingin be-
rurusan dengan dunia persilatan. Namun kali ini 
keadaan rupanya memaksa...!"
Eyang Selaksa angguk-anggukkan kepala. 
Tapi ia tak keluarkan suara. Tapi setelah agak 
lama ditunggu Wong Agung juga tetap diam, 
Eyang Selaksa akhirnya berkata.
"Kalau kau berniat turun lagi ke rimba per-
silatan, berarti memang ada sesuatu yang luar bi-
asa telah terjadi. Kau sudi menceritakan...?"
Wong Agung anggukkan kepalanya. Lalu ia 
menceritakan apa yang baru saja terjadi.
"Itulah. Paman. Karena aku yang bertang-
gung jawab atas kedua benda tersebut, maka aku 
harus dapat mengambil kembali kipas hitam serta 
bumbung bambu itu. Jika tidak, dapat kita 
bayangkan apa yang akan menimpa dunia persi-
latan. Apalagi kita tahu, Dadung Rantak adalah 
salah seorang dari tokoh hitam, jadi temannya 
yang telah berhasil mencuri benda itu adalah 
orang dari golongan sesat pula!"
Eyang Selaksa manggut-manggut.
"Jayeng Parama. Niatmu untuk turun 
kembali ke rimba persilatan dan merampas kem-
bali kipas hitam serta bumbung bambu memang 
baik. Tapi apa tidak lebih baik jika hal ini kau se-
rahkan saja pada Aji? Ini bukan berarti kita lepas 
tangan, lari dari tanggung jawab. Ini semata-mata 
untuk menempa kematangan anak itu!"
"Tidak, Paman. Aku tak mau mengalihkan 
tanggung jawab. Lagi pula sulit rasanya mencari 
di mana beradanya anak itu!"
Eyang Selaksa sunggingkan senyum. Kepa-
lanya menggeleng perlahan.
"Jayeng Parama. Sekali lagi kukatakan,
semua ini bukan berarti pelimpahan tanggung 
jawab. Namun justru untuk mematangkan anak 
itu agar ia lebih tahu tentang hidup dan perjuan-
gan. Suatu saat kita pasti meninggalkan anak itu, 
kalau tidak mulai sekarang kita tempa, aku kha-
watir anak itu akan kurang matang begitu kita te-
lah tiada. Dan soal di mana beradanya anak itu, 
itu bisa kita cari. Karena ancar-ancarnya aku te-
lah tahu!"
Sejenak Wong Agung terdiam. Ia seakan 
merenungkan ucapan Pamannya. Setelah agak 
lama baru ia berkata.
"Jika itu memang yang terbaik, aku menu-
rut saja. Tapi kita harus segera menemukan anak 
itu. Di mana kira-kira ia berada...?"
"Jayeng Parama. Kau tentunya telah den-
gar tentang hebohnya rimba persilatan saat ini...."
"Yang Paman maksud heboh tentang Arca 
Dewi Bumi?" sela Wong Agung.
"Benar. Aji memang telah kusuruh membu-
juk Dewi Kayangan agar mau menunjukkan di 
mana beradanya Arca Dewi Bumi!"
"Hmm.... Jika demikian, kita harus segera 
menyusulnya. Agar ia tahu apa yang telah terjadi 
di Karang Langit...," putus Wong Agung pada ak-
hirnya.
"Lebih cepat bertemu dengan anak itu, ten-
tunya lebih baik. Namun kau perlu pengobatan 
dahulu. Ayo, kubantu...!" kata Eyang Selaksa lalu 
menggeser duduknya lebih dekat pada Wong 
Agung.
Bersamaan dengan menggesernya Eyang
Selaksa, Wong Agung balikkan tubuh membela-
kangi Eyang Selaksa. Lalu kedua tangannya dita-
kupkan sejajar dada. Mulutnya berkemik-kemik.
Eyang Selaksa pun segera buka telapak 
tangannya dan ditempelkan pada punggung Wong 
Agung.
Begitu hawa murni yang dikerahkan Wong 
Agung dan Eyang Selaksa mulai merambat masuk 
tubuh Wong Agung, penghuni Karang Langit ini 
perlahan-lahan merasa hawa sejuk mulai mengi-
kis hawa panas yang sedari tadi mengoyak bagian 
dalam tubuhnya. Dan perlahan-lahan pula kedua 
tangan Wong Agung berubah warna seperti sedia-
kala.
"Cukup, Paman...," kata Wong Agung se-
raya luruhkan kembali kedua tangannya.
Eyang Selaksa tarik pulang kedua tangan-
nya. Lalu menghela napas dalam-dalam seraya 
mengusap keringat yang meleleh dari kening dan 
lehernya.
"Apa tidak istirahat dulu...?" kata Eyang 
Selaksa seraya geser kembali duduknya.
Wong Agung balikkan tubuh. Kepalanya 
menggeleng.
"Masalah ini tidak bisa kita tunda-tunda 
lagi, Paman. Dan aku pun merasa sudah cukup 
sehat!"
"Jika demikian, kita berangkat sekarang...," 
ujar Eyang Selaksa seraya bangkit berdiri. Demi-
kian pula Wong Agung. Kedua orang seperguruan 
ini lalu melangkah keluar ruangan.
Begitu keduanya telah berada di pelataran
Karang Langit, ujung laut sebelah timur tampak 
telah berwarna kemerahan pertanda sang surya 
tak lama lagi akan muncul.


ENAM

SEORANG pemuda berparas tampan, men-
genakan pakaian hijau yang dilapis dengan baju 
dalam warna kuning lengan panjang, rambut pan-
jang dikuncir ekor kuda, di siang yang dibungkus 
dengan sengatan terik sang mentari terlihat mon-
dar-mandir di kaki bukit sebelah barat Gunung 
Arjuna.
Mungkin karena panasnya udara, pemuda 
ini seraya mondar-mandir tampak menggerakkan 
tangannya yang memegang kipas ungu pulang ba-
lik di bawah dagunya. Tangan kirinya pun tak ja-
rang terlihat mengusap-usap ujung hidungnya ju-
ga sesekali menarik-narik kuncir rambutnya yang 
berkibar-kibar diterpa angin gunung. Dari mulut-
nya terdengar nyanyian yang tak bisa ditangkap 
maknanya.
"Heran, hampir tiga hari tiga malam ku
aduk-aduk tempat di sekitar sini, namun tak juga 
kutemukan orang yang kucari! Apakah aku salah 
alamat...? Atau kabar tentang Arca Dewi Bumi itu 
hanya bohong belaka? Tapi, kenapa Dewi Kayan-
gan mengisyaratkan adanya arca itu? Malah ia 
yang memberi petunjuk...," gumam sang pemuda 
dengan paras kecewa.
Pemuda yang bukan lain adalah Aji alias
Pendekar Mata Keranjang 108 lalu melangkah ke 
arah sebuah pohon besar. Disandarkannya tu-
buhnya seraya berkipas-kipas. Sepasang matanya 
tak henti-hentinya menebar berkeliling di sekitar 
tempat itu.
"Namun kalau melihat banyaknya tokoh 
yang tiba-tiba muncul dan kebanyakan dari me-
reka adalah bukan tokoh sembarangan, kabar 
tentang arca itu nampaknya bukan hanya kabar 
kosong. Aku tak habis pikir, bagaimana bentuk 
area dan apa keistimewaannya sehingga rimba 
persilatan begitu guncang dengan berita tentang 
arca itu? Ah, hal itu tak perlu terlalu kupikirkan. 
Yang penting aku bisa bertemu dahulu dengan 
orang yang bernama Sahyang Resi Gopala.... Tapi 
di mana dia...?"
Entah karena jengkel tak bisa menemukan 
orang yang dicari atau karena lelah, Pendekar 108 
lantas menggelosokan tubuhnya dengan pung-
gung bersandar pada batang pohon. Tangannya 
tetap bergerak pulang baik berkipas-kipas, na-
mun sepasang matanya tampak mulai menyipit. 
Sementara dendang nyanyian tak lagi terdengar 
dari mulutnya. Malah mulut itu berulang kali 
menguap.
Selagi murid Wong Agung ini didera kan-
tuk, tiba-tiba tiga bayangan terlihat berkelebat 
cepat dan tahu-tahu telah berada di sekitar Pen-
dekar 108 dengan posisi berpencar mengurung.
Yang berada di tengah dan tepat di hada-
pan Aji adalah seorang perempuan bertubuh ge-
muk besar. Sepasang matanya besar melotot dan
masuk dalam cekungan rongga yang sangat da-
lam. Bibirnya merah dipoles. Rambutnya putih 
dan disanggul ke atas. Telinganya mengenakan 
anting-anting hanya sebelah. Namun, anting-
anting itu begitu besar dan dimuati beberapa ant-
ing-anting kecil. 
Sementara di sebelah kanan Aji adalah seo-
rang laki-laki berusia lanjut. Mengenakan jubah 
putih yang bercak-bercak merah bekas darah 
yang telah mengering. Sepasang matanya ditutup 
dengan sepotong kain yang diikatkan ke belakang 
kepala. Rambut dan jenggotnya panjang serba pu-
tih. Beberapa kali laki-laki ini nampak mengelus 
dadanya.
Sedangkan di sebelah kiri Aji adalah juga 
seorang laki-laki yang usianya juga sudah lanjut. 
Mengenakan pakaian putih panjang dan di kepa-
lanya tampak sebuah caping lebar yang menutupi 
hampir sebagian wajahnya. Rambut dan jenggot-
nya juga telah putih dan panjang.
Merasa ada beberapa orang yang menge-
pung, tanpa melihat terlebih dahulu siapa adanya 
orang itu, Aji kibaskan kipas ungunya seraya le-
satkan diri di atas pohon.
Wuuttt!
Serangkum angin keras deras putih berki-
lau yang membentuk sebuah kipas menebar leng-
kung dari kiri ke kanan.
Ketiga orang yang mengurung saling pan-
dang sejenak. Lalu hanya dengan miringkan mas-
ing-masing bahunya, ketiga orang ini bisa meng-
hindari sambaran angin yang melesat dari kipas
Pendekar 108.
"Anak geblek! Turun! Hik... hik... hik...!" ti-
ba-tiba orang yang di sebelah tengah keluarkan 
suara menegur seraya tertawa cekikikan. Lalu pe-
rempuan ini bantingkan sepasang kakinya dua 
kali ke atas tanah.
Blekkk! Blekkk!
Hebatnya, meski bantingan kakinya hanya 
perlahan, namun suara yang ditimbulkannya de-
mikian dahsyat. Dan kejap itu juga batangan po-
hon di mana Pendekar 108 berada bergoyang-
goyang. Anehnya, meski batangan pohon itu ber-
goyang-goyang, tak satu pun daunnya yang gu-
gur!
Dari sini jelas terlihat betapa tingginya il-
mu orang itu. Karena meski mampu menggoyang-
kan batang pohon, namun dia juga mampu mere-
dam jatuhnya daun!
Begitu batangan pohon bergoyang, Pende-
kar Mata Keranjang cepat buka sepasang ma-
tanya. Dan murid Wong Agung ini seketika be-
liakkan sepasang matanya demi mengetahui siapa 
adanya orang yang menegur serta dua orang di 
sampingnya.
Dengan masih membelalak seakan tak per-
caya dengan penglihatannya, buru-buru Aji me-
layang turun. Dan ketika ia yakin, serta-merta Aji 
menjura hormat pada orang di sebelah kanannya 
lalu beralih ke tengah dan berakhir pada laki-laki 
yang mengenakan caping lebar.
"Eyang Wong Agung, Dewi Kayangan, 
Eyang Selaksa. Maaf atas tindakanku tadi yang
tidak terlebih dahulu melihat...," kata Aji seraya 
angkat kepalanya dan palingkan wajahnya pada 
orang di sebelah kanannya yang memang bukan 
lain adalah Wong Agung.
Pendekar dari Karang Langit ini untuk be-
berapa saat memandang tak kesiap. Dahinya 
mengernyit melihat gurunya terus usap-usap da-
da.
"Sesuatu tampaknya telah terjadi atas 
Eyang Wong Agung...," membatin Pendekar 108. 
Lalu ia buka mulut hendak bertanya. Namun se-
belum suaranya keluar, perempuan bertubuh 
gemuk besar dan mengenakan anting-anting se-
belah yang bukan lain memang Dewi Kayangan 
telah terlebih dahulu bicara. 
"Aku bangga melihatmu menuruti segala 
petunjukku. Apa kau telah menemukan orang 
yang kau cari...? Hik... hik... hik...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 urungkan 
niat untuk bertanya tentang Wong Agung, ia pa-
lingkan wajah menghadapi Dewi Kayangan. Sete-
lah menatapi perempuan ini berlama-lama, Pen-
dekar 108 buka mulut seraya gelengkan kepala.
"Dewi. Aku sudah tiga hari tiga malam ke-
panasan kedinginan di sini. Semua tempat di se-
kitar sini telah ku aduk-aduk sampai ludes! Tapi 
batang hidung apalagi kepalanya orang yang kau 
sebutkan tak kutemukan! Apa dia pindah ala-
mat...?"
Dewi Kayangan keraskan cekikikannya, 
sementara baik Wong Agung maupun Eyang Selaksa tampak gelengkan kepalanya masing
masing.
"Pindah alamat tidak. Hanya saat itu 
mungkin kau salah dengar atau aku yang salah 
ucap! Hik... hik... hik...!"
"Maksud Dewi...?"
"Aku dulu bilang apa...?" Dewi Kayangan 
balik bertanya.
Meski agak mangkel dengan tingkah Dewi 
Kayangan, namun murid Wong Agung ini menja-
wab juga.
"Dewi menyuruhku pergi ke arah utara. 
Mencari daerah bernama Bajul Mati serta seorang 
petapa bernama Sahyang Resi Gopala...!"
Dewi Kayangan makin deras cekikikannya 
demi mendengar keterangan Aji, membuat Pende-
kar 108 ini makin tak mengerti. Setelah puas 
dengan cekikikannya, perempuan beranting-
anting sebelah ini berkata.
"Kalau begitu benar...!"
"Apanya yang benar? Setiap orang yang ku-
tanyai, mengatakan bahwa kaki bukit ini adalah 
daerah Bajul Mati. Namun kenyataannya, orang 
yang bernama Sahyang Resi Gopala tak juga ada 
bayang-bayangnya!" seru Aji dengan lipat kipas-
nya dan disimpan ke balik pakaiannya. Namun 
sambil menyimpan kipas ungunya matanya tak 
berkedip memandangi Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan angguk-anggukkan kepala 
hingga terdengar gemerincing anting-antingnya.
"Aku belum selesai dengan ucapanku. Yang 
kumaksud dengan benar adalah benar, jika wak-
tu itu kau salah dengar dengan ucapanku!"
Pendekar 108 kernyitkan dahi. Telinganya 
ia tarik-tarik hingga melebar. Ia seakan tak per-
caya dengan ucapan Dewi Kayangan.
"Dewi! Rasa-rasanya telingaku masih nor-
mal. Aku tak mungkin salah dengar!" Dewi 
Kayangan kembali tertawa cekikikan. "Ucapmu 
benar. Telingamu memang masih sehat. Namun 
kau salah dengar karena waktu itu aku memang 
salah ucap! Hingga meski kau telah aduk-aduk 
tempat ini, kau tak menemukan orang yang kau 
cari! Hik... hik... hik...!"
"Sialan! Ternyata dia telah mengucapkan 
tempat yang salah! Bagaimana ini bisa terjadi? 
Apa ia main-main...?" kata Pendekar 108 dalam 
hati seraya membesarkan sepasang matanya, ka-
rena merasa dipermainkan Dewi Kayangan.
Melihat hal ini Eyang Selaksa keluarkan 
batuk-batuk beberapa kali, lalu angkat bicara.
"Aji. Kau tak bisa menyalahkan Dewi 
Kayangan karena salah ucapnya!"
"Tapi, Eyang...." '
"Aji. Sebelum mencarimu, aku dan gurumu 
Jayeng Parama telah menemui Dewi Kayangan 
terlebih dahulu. Ia menceritakan segalanya. 
Sampai pada masalah salah ucap itu!"
"Jadi salah ucapnya itu memang disenga-
ja...?"
Eyang Selaksa anggukkan kepalanya se-
raya berkata.
"Namun semua itu ada maksudnya! Kau 
jangan terburu menduga yang tidak-tidak!"
"Maksudnya...?" tanya Pendekar Mata Ke
ranjang seolah tak sabar melihat Eyang Selaksa 
tidak segera melanjutkan ucapannya.
"Kau tahu, masalah Arca Dewi Bumi ada-
lah persoalan yang amat rahasia. Tak seorang 
pun boleh mengetahui di mana berada arca serta 
orang yang memegangnya. Karena saat itu Dewi 
Kayangan masih khawatir Dewi Bunga Iblis masih 
berada di situ dan mencuri dengar pembicaraan 
kalian, maka Dewi Kayangan sengaja mengu-
capkan petunjuk yang salah!"
Mendengar keterangan Eyang Selaksa, Aji 
tampak menarik napas dalam-dalam. Meski da-
lam hati masih jengkel, namun akhirnya ia bisa 
memaklumi.
"Eyang Selaksa. Tampaknya ada sesuatu 
yang sangat penting hingga Eyang bersama Eyang 
Wong Agung serta Dewi Kayangan mencariku...," 
berkata Pendekar 108 setelah di antara mereka 
tidak ada yang mulai lagi buka pembicaraan.
Eyang Selaksa sejenak alihkan pandan-
gannya pada Dewi Kayangan, lalu pada Wong 
Agung. Wong Agung terlihat batuk sebentar, lalu 
berkata.
"Paman. Sebaiknya Paman saja yang mene-
rangkan...."
"Aji, memang ada hal penting yang harus 
kau ketahui selain apa yang nanti hendak dikata-
kan Dewi Kayangan...," sejenak Eyang Selaksa 
hentikan kata-katanya. Lalu melanjutkan.
"Perlu kau ketahui, bahwa kipas hitam ser-
ta bumbung bambu yang disimpan gurumu telah 
lenyap dicuri orang!"
Aji terhenyak mendengar keterangan Eyang 
Selaksa hingga sepasang matanya mendelik be-
sar. Dadanya terlihat bergetar, sementara mulut-
nya menganga.
"Siapa yang mencurinya, Eyang...?"
"Kalau aku atau Jayeng Parama tahu, tak 
usah jauh-jauh mencarimu!"
"Jadi Eyang menugaskan aku untuk men-
cari sang pencuri itu?"
Eyang Selaksa dan Wong Agung yang nama 
aslinya Jayeng Parama anggukkan kepala mas-
ing-masing. 
Pendekar 108 tampak usap-usap hidung-
nya. Dalam hati dia berkata.
"Tugas satu belum selesai, datang lagi tu-
gas baru. Hmm.... Tapi apa boleh buat. Ini tugas 
dari guruku. Bagaimanapun juga aku harus men-
jalankannya...," lalu Aji berkata.
"Baiklah, Eyang. Perintahmu akan kuja-
lankan! Tapi dapatkan Eyang memberi sedikit pe-
tunjuk agar aku tak buta sama sekali tentang 
sang pencuri itu?"
Eyang Selaksa palingkan wajahnya pada 
Wong Agung. Seakan tahu bahwa dirinya dipan-
dang, Wong Agung lantas mengangguk dan berka-
ta.
"Aku memang tak tahu siapa adanya pen-
curi itu. Namun satu hal yang pasti, ia adalah 
seorang perempuan. Dan untuk lebih jelasnya, 
kau harus menyelidiki seorang bernama Dadung 
Rantak. Karena perempuan itu datang bersama 
Dadung Rantak...."
"Dadung Rantak...?" ulang Pendekar Mata 
Keranjang 108 seraya tengadahkan kepala dengan 
kening mengkerut. Ia seakan-akan coba mengin-
gat-ingat nama yang baru saja disebutkan Wong 
Agung.
"Benar. Dadung Rantak adalah seorang to-
koh tua dari golongan hitam. Ia adalah seorang 
berilmu tinggi. Sebenarnya ia telah berpuluh-
puluh tahun tak muncul lagi ke rimba persilatan. 
Ketidak munculannya mungkin karena ia sedang 
memperdalam ilmu. Ia tinggal di sebuah lembah 
bernama Lembah Rawa Buntek. Kabar yang per-
nah kudengar, ia pun telah mengangkat dua 
orang sebagai muridnya. Hanya itu yang kuketa-
hui tentang Dadung Rantak...."
Pendekar 108 terlihat angguk-anggukkan 
kepala meski dalam hati ia diselimuti berbagai pe-
rasaan. Eyang Selaksa rupanya menyadari akan 
apa yang ada di benak Pendekar 108 ini. Sambil 
melangkah mendekati Aji laki-laki penghuni 
Kampung Blumbang ini berkata perlahan.
"Aji. Tugasmu memang berat, karena harus 
mencari orang yang belum diketahui nama serta 
tempat tinggalnya. Namun kau harus sadar. Ini 
semua demi ketenteraman dan kedamaian rimba 
persilatan. Kau bisa bayangkan apa yang terjadi 
nanti seandainya senjata berbahaya itu disalah-
gunakan!"
Kembali Pendekar 108 anggukkan kepa-
lanya.
"Baiklah, Eyang. Aku siap mengemban tu-
gas itu!"
"Bagus. Hanya pesanku, kau harus lebih
berhati-hati dan waspada. Dadung Rantak adalah 
tokoh tua yang ketinggian ilmunya tidak bisa dis-
angsikan lagi. Aku yang baru saja menghadapinya 
harus bersusah payah untuk dapat menggagalkan 
niatnya!" kali ini yang berkata adalah Wong 
Agung. Sambil berkata, penghuni Karang Langit 
ini tetap usap-usap dadanya. Wajahnya pun terli-
hat masih pucat.
"Aji...!" berkata Eyang Selaksa, setelah agak 
lama di antara mereka tidak ada yang buka sua-
ra. "Dewi Kayangan mungkin akan mengatakan 
sesuatu padamu!" sambil berkata, Eyang Selaksa 
palingkan wajahnya pada Dewi Kayangan, lalu 
memberi isyarat dengan anggukkan kepalanya.
Dewi Kayangan bukannya langsung angkat 
bicara. Perempuan bertubuh gemuk besar ini ce-
kikikan terlebih dahulu, hingga gemerincing ant-
ing-antingnya seakan bersahut-sahutan dengan 
suara cekikikannya. Mendadak Dewi Kayangan 
hentikan cekikikannya, lalu berkata.
"108, menyusuli mulutku yang salah ucap 
dahulu, sekarang dengar baik-baik! Pergilah kau 
ke arah selatan. Di daerah Bokor, kau akan me-
nemukan dua buah gunung yang berdiri berdam-
pingan. Orang-orang menyebutnya Gunung Kem-
bar. Di antara dua gunung tersebut ada sebuah 
hutan kecil. Di sana kau akan menemukan se-
buah kuil tua. Di sanalah Sahyang Resi Gopala 
berada!"
Sejurus Pendekar Mata Keranjang 108 
memandangi Dewi Kayangan dengan tak berkedip. Lalu seraya rapikan rambutnya ia berkata.
"Dewi. Harap dewi suka mengulanginya. 
Aku khawatir salah dengar seperti dahulu!"
Kali ini perempuan yang suka cekikikan ini 
tak lagi keluarkan tawa cekikikannya. Malah se-
pasang matanya yang besar membeliak. Sementa-
ra kakinya ia bantingkan ke tanah. Namun sesaat 
kemudian ia turuti juga permintaan Pendekar 
108.
"Dewi yakin jika kali ini tak salah ucap la-
gi...?" kata Aji dengan arahkan pandangannya 
pada Eyang Selaksa yang tampak tersenyum.
Yang ditanya bukannya menjawab. Namun 
tertawa cekikikan dengan kerasnya, hingga Pen-
dekar 108 harus keluarkan tenaga dalam ke gen-
dang telinganya.
"Kalau kali ini aku salah ucap, berarti kau 
yang benar-benar salah dengar'!"
Pendekar Mata Keranjang sunggingkan se-
nyum seraya berkata.
"Mudah-mudahan, Dewi tidak salah ucap
dan aku tidak salah dengar!"
"Nah, kurasa kau telah tahu untuk apa 
kami mencarimu. Sekarang aku, Dewi Kayangan 
serta gurumu harus meninggalkan tempat ini. 
Bukankah begitu?" sambil berkata Eyang Selaksa 
arahkan pandangannya pada Dewi Kayangan dan 
Eyang Wong Agung.
Dewi Kayangan keluarkan tawa cekikikan 
sambil anggukkan kepala, sementara Wong Agung 
tersenyum seraya mengangguk.
Ketiga orang ini lantas balikkan tubuh
masing-masing hendak pergi. Namun Pendekar 
Mata Keranjang cepat meloncat ke arah Eyang Se-
laksa.
"Eyang. Apakah antara Eyang dan Dewi 
Kayangan telah berbaik-baikan? Kulihat paras 
Dewi Kayangan lebih cerah dan tak henti-
hentinya tertawa."
Eyang Selaksa urungkan niat untuk pergi. 
Ia berpaling sebentar. Bibirnya sunggingkan se-
nyum. Ia lantas berkata, namun wajahnya berpal-
ing pada Dewi Kayangan.
"Kali Nyamat!" panggil Eyang Selaksa me-
nyebut nama asli Dewi Kayangan.
"Anak ini menanyakan tentang kita! Harap 
kau saja yang memberi jawabannya!"
Kali Nyamat atau Dewi Kayangan berpal-
ing. Sepasang matanya tampak mendelik besar.
"Anak geblek! Untuk apa kau tahu masalah 
orang tua, he...?!" 
Pendekar Mata Keranjang 108 moncongkan 
mulutnya, tangan kanannya mengusap-usap 
ujung hidungnya.
"Untuk sekadar tahu kan tidak apa-apa, 
Dewi. Karena jika sudah jelas, rencanaku ku
urungkan!"
"Rencana? Kau punya rencana apa, he...?" 
tanya Dewi Kayangan seraya balikkan tubuh 
kembali menghadap Aji.
Sejenak Pendekar 108 tertawa perlahan, la-
lu berkata.
"Aku punya banyak kenalan gadis-gadis 
cantik. Kalau memang di antara Dewi dan Eyang
Selaksa tidak ada hubungan lagi, aku berniat 
memperkenalkan beberapa orang pada Eyang Se-
laksa, barangkali salah satu di antaranya ada 
yang berkenan di hati Eyang...."
"Kurang ajar! Jadi kau hendak menjodoh-
kan Tua bau tanah itu dengan gadis-gadis cantik 
kenalanmu? Bagus! Dengar Anak kurang ajar! 
Meski begini-begini, aku masih bisa cari pemuda 
tampan dan gagah! Kau ingin bukti...?!" seraya 
berkata sepasang mata Dewi Kayangan makin 
membeliak. Sementara Pendekar Mata Keranjang 
108 menahan tawanya. Dan baik Eyang Selaksa 
maupun Wong Agung tampak tersenyum-senyum. 
"Maaf, Dewi. Makanya aku ingin tahu hu-
bungan Dewi dengan Eyang Selaksa agar nan-
tinya tak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. 
Namun melihat sikap Dewi, tanpa dijawab pun 
aku sudah tahu!" 
"Tahu apa...?!"
"Bahwa antara Eyang Selaksa dan Dewi te-
lah...,"
Aji tidak meneruskan ucapannya, karena 
saat itu Dewi Kayangan telah banting-bantingkan 
kaki menghentak tanah seraya menggerendeng 
panjang pendek.
"Kau memang seharusnya diberi pelajaran!" 
habis berkata, Dewi Kayangan maju dua langkah. 
Namun sebelum melangkah lagi dan gerakkan 
kedua tangannya, Eyang Selaksa mendekati dan 
berkata.
"Kali Nyamat. Kalau sejak tadi kau menja-
wab ya, mungkin kau tak usah menampakkan rasa cemburumu begitu rupa...."
"Sialan! Siapa cemburu padamu! Aku 
hanya tak suka ia memperkenalkan kenalan ga-
disnya padamu! Tak ada cemburu! Sekali lagi tak 
ada cemburu!"
"Betul. Tak ada cemburu, tapi kau takut 
aku tertarik salah satu teman Aji. Benarkan....?"
"Edan! Siapa takut kau tertarik pada seo-
rang gadis?!" kini sepasang mata Dewi Kayangan 
melotot pada Eyang Selaksana.
"Ah, sudahlah. Waktu kita tak banyak. Kita 
harus cepat tinggalkan tempat ini...!" kali ini yang 
angkat bicara adalah Wong Agung.
Seraya mengomel tak karuan, Dewi Kayan-
gan balikkan tubuh. Tapi ekor matanya sempat 
melirik pada Eyang Selaksa yang tampak terse-
nyum-senyum, bahkan kerdipkan sebelah ma-
tanya pada Pendekar 108, yang dibalas dengan 
tawa tertahan oleh Aji.
"Aji. Selamat tinggal...," ujar Wong Agung 
seraya berkelebat meninggalkan tempat itu. Tak 
lama kemudian, Dewi Kayangan dan Eyang Se-
laksa tampak saling pandang. Lalu tanpa berkata 
apa-apa lagi kedua orang ini pun berkelebat me-
nyusul Wong Agung. Namun bersamaan dengan 
berkelebatnya Dewi Kayangan terdengar suara 
tawa cekikikannya yang bersahutan dengan ge-
merincing anting-antingnya.
Begitu ketiga orang telah berkelebat, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 tertawa terbahak-
bahak.
"Cemburu tidak, tapi takut kehilangan ya,
Ha-ha... ha...!"


TUJUH

SETENGAH purnama berlalu.... Pendekar 
Mata Keranjang 108 terlihat melangkah perlahan 
memasuki sebuah perkampungan yang padat 
penduduk. Selain padat penduduk hingga jalan-
jalan tampak ramai, perkampungan ini tampak-
nya dihuni beberapa orang kaya, karena sepan-
jang jalan tampak berdiri rumah-rumah megah 
dengan pekarangan luas.
"Hmm.... Rasanya perutku sudah minta di-
isi. Sambil istirahat, memang sebaiknya aku 
mengisi perut. Lagi pula, menurut orang yang tadi 
sempat kutanya, daerah Bokor terletak di sebelah 
timur daerah ini, dan sudah tidak jauh.... Mudah-
mudahan ucapan Dewi Kayangan tak salah lagi.... 
Dan aku dapat segera menemukan orang yang 
bernama Sahyang Resi Gopala...," Aji membatin 
seraya terus melangkah. Sepasang matanya terus 
menebar mengawasi tempat-tempat yang dila-
luinya.
Ketika matanya melihat sebuah kedai, 
Pendekar 108 hentikan langkahnya. Ia tampak 
bimbang. Namun sesaat kemudian ia sudah men-
dendangkan nyanyian seraya melangkah ke arah 
kedai yang hari ini rupanya ramai pengunjung.
Dengan hanya sekilas menebar pandan-
gannya, Aji tahu mana tempat duduk yang ko-
song. Ia dengan pandangan acuh lantas melangkah ke bangku yang kosong dan kebetulan ada di 
bagian samping, hingga bisa melihat ke halaman 
kedai.
Seorang pelayan mendekat. Setelah Pende-
kar 108 mengatakan pesanannya, sang pelayan 
lantas ke belakang. Dan tak berapa lama kemu-
dian telah kembali dengan membawa pesanan Aji.
Mungkin karena lapar, begitu makanan 
terhidang, Murid dari Karang Langit ini pun sege-
ra melahapnya.
Selagi Pendekar 108 tengah menyantap 
makanan, tiba-tiba terdengar derap ladam kaki-
kaki kuda menghentak. Lalu terdengar suara 
ringkik kuda bersahut-sahutan bersamaan den-
gan lenyapnya derap langkah. Debu nampak 
mengepul dan sebagian masuk ke dalam kedai, 
karena kuda-kuda itu sengaja dihentikan dengan 
tiba-tiba di halaman depan kedai.
Meski Pendekar Mata Keranjang sempat 
keluarkan gerendengan panjang pendek, karena 
harus menepiskan kepulan debu, namun ia te-
ruskan makannya. Bahkan ketika tiga orang ber-
tampang angker memasuki kedai, murid Wong 
Agung ini seakan-akan tak terpengaruh, padahal 
beberapa pengunjung kedai tampak cepat-cepat 
selesaikan makannya, malah sebagian tak mene-
ruskan makannya.
Tiga orang yang baru saja injakkan kaki 
masing-masing ke dalam kedai sejenak saling 
pandang satu sama lain. Lalu ketiganya menya-
pukan pandangannya pada para pengunjung.
Tak satu pun dari pengunjung yang masih
selesaikan makannya berani angkat kepala untuk 
membalas pandangan tiga orang ini. Malah bebe-
rapa orang tampak tubuhnya bergetar.
Melihat tingkah para pengunjung kedai, ti-
ga orang ini lantas keluarkan tawa bergelak-gelak. 
Ketiga orang ini adalah semuanya laki-laki.
Yang tengah laki-laki berusia setengah 
baya. Mengenakan pakaian hitam-hitam. Tubuh-
nya besar dengan perut buncit. Parasnya bulat. 
Rambutnya panjang, kumisnya lebat hingga me-
nutupi mulutnya. Tapi yang membuat laki-laki ini 
tampak angker, mata sebelah kanan tampak me-
nonjol ke depan seolah hendak meloncat keluar. 
Sedangkan mata sebelah kiri masuk terlalu dalam 
pada cekungannya. 
Sementara orang yang di sebelah kanan la-
ki-laki bertubuh besar berperut buncit ini adalah 
laki-laki yang usianya juga setengah baya. Tu-
buhnya kecil kurus. Rambutnya panjang dan ja-
rang, demikian pula kumisnya. Ia mengenakan 
pakaian warna merah menyala agak gombrong. 
Sepasang matanya amat sipit sedangkan hidung-
nya besar. Yang membuat laki-laki ini seram, pa-
da wajahnya tampak codet menyilang panjang da-
ri kening samping kiri hingga dagu sebelah ka-
nan.
Sedangkan laki-laki paling kiri, usianya ju-
ga setengah baya. Mengenakan pakaian warna 
kuning dengan ikat kepala juga berwarna kuning. 
Tubuhnya gemuk agak pendek. Kepalanya gun-
dul. Laki-laki ini terlihat angker, karena pada se-
luruh wajahnya yang bulat lebar itu terdapat tato.
"Pelayan! Cepat sediakan makan untuk ki-
ta!" tiba-tiba laki-laki bertubuh besar berperut 
buncit yang mengenakan pakaian hitam-hitam 
keluarkan bentakan. 
Beberapa orang pelayan yang sedari tadi 
hanya berdiri tanpa berani memandang buru-
buru melangkah ke belakang. Sementara ketiga 
orang laki-laki ini langsung henyakkan pantat 
masing-masing pada bangku yang kini banyak 
yang kosong.
Tak berapa lama tiga orang pelayan terlihat 
melangkah dengan tubuh bergetar ke arah meja 
tiga laki-laki berwajah angker ini.
Selesai menghidangkan makanan dan mi-
numan, tiga pelayan segera melangkah kembali 
ke belakang tanpa berani lagi berpaling.
Seraya tertawa tergelak-gelak, ketiga laki-
laki ini langsung menyantap makanan di atas me-
ja.
"Kita tak perlu tergesa-gesa. Waktu kita 
masih panjang. Lagi pula apa enaknya melakukan 
perjalanan tanpa terlebih dahulu mengasah pe-
dang? Kulihat di sini banyak perempuan cantik 
yang menjanjikan kehangatan! Apakah kau akan 
sia-siakan kesempatan ini...?!"
"Tapi...," sahut yang berpakaian kuning. 
Namun sebelum ia melanjutkan ucapannya, laki-
laki yang berpakaian hitam telah menyela.
"Tak ada tapi. Perjalanan ini akulah yang 
memimpin. Kalian berdua menurut saja! Apa ka-
lian memang sudah bosan dengan tubuh molek 
perempuan, he...?"

"Ah, hanya orang bodoh yang bosan den-
gan kemolekan tubuh perempuan! Kalau Kakang 
masih ingin, tentunya aku pun masih mengge-
bu...!" berkata yang berpakaian merah seraya ter-
tawa. Ketiga orang laki-laki ini pun lantas kembali 
tergelak-gelak.
"Hentikan tawa kalian! Lihat!" mendadak 
laki-laki yang mengenakan pakaian hitam-hitam 
membentak dan mengarahkan pandangan ma-
tanya pada pintu masuk kedai.
Laki-laki berpakaian merah dan kuning ce-
pat palingkan wajah masing-masing ke arah pan-
dangan mata laki-laki yang berpakaian hitam-
hitam.
Seorang perempuan berparas cantik tam-
pak melangkah masuk kedai. Ia mengenakan pa-
kaian tipis warna biru gelap. Usianya kira-kira 
masih dua puluh lima tahun. Rambutnya bergerai 
panjang dan berombak. Hidungnya mancung di-
hias bibir yang membentuk bagus. Sedangkan se-
pasang matanya tampak bulat tajam serta ber-
warna kebiruan. Dadanya membusung kencang, 
sementara pinggulnya tampak mencuat besar.
Sejenak perempuan ini layangkan sepasang 
matanya yang berbola kebiruan ke seluruh ruan-
gan. Untuk beberapa saat matanya terhenti pada 
sosok pemuda duduk sendirian di meja samping 
yang tak acuh dengan keadaan. Malah pemuda 
ini terdengar mendendangkan nyanyian sambil 
melahap makanan.
Lalu perempuan cantik ini alihkan pan-
dangannya pada tiga laki-laki yang memandanginya seakan hendak menelan habis. Pada tiga 
laki-laki ini sang perempuan hanya memandang 
sekilas, lalu melangkah perlahan pada bangku 
yang kini tampak kosong semua.
Sang perempuan tampaknya memilih 
bangku kosong yang lurus dengan bangku sang 
pemuda yang bukan lain adalah Aji.
Begitu sang perempuan duduk, laki-laki 
berpakaian hitam berkata.
"Dengar! Untuk yang ini kalian tak kuizin-
kan mencicipi! Ia khusus untukku!" habis berka-
ta, laki-laki berpakaian hitam ini melangkah ke 
arah meja sang perempuan, sementara bibirnya 
yang tertutup kumis lebat terlihat tersenyum le-
bar.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sedari 
tadi acuh dengan keadaan di situ, angkat kepa-
lanya demi mendengar kata-kata laki-laki berpa-
kaian hitam. Dan begitu melihat sang perempuan 
yang memang lurus dengannya, murid Wong 
Agung ini tampak sunggingkan senyum. Sepasang 
matanya yang tajam memandangi sang perem-
puan dari rambut hingga kaki.
"Gila! Perempuan ini benar-benar mempe-
sona! Pakaiannya yang amat ketat dan tipis seper-
tinya sengaja dibuat untuk menambah daya ta-
riknya! Dada serta pinggulnya begitu serasi. 
Hmm...," namun pandangan Aji segera beralih 
pada laki-laki berpakaian hitam yang kini telah 
berdiri di samping sang perempuan. Sang perem-
puan tampaknya acuh didekati begitu, malah bi-
birnya terlihat sunggingkan senyum.
"Manis! Kuharap kau tak keberatan bila ku 
temani makan!" berkata laki-laki berpakaian hi-
tam dan langsung duduk di hadapan sang pe-
rempuan.
Sang perempuan hanya sunggingkan se-
nyum tanpa memandang, namun diam-diam tan-
pa diketahui sang laki-laki, ia gerakkan tangan 
kanannya di bawah meja.
Kejap itu juga bangku yang diduduki laki-
laki berpakaian hitam berderak dan hancur ber-
keping-keping. Namun dugaan sang perempuan 
ternyata meleset. Karena bersamaan dengan han-
curnya bangku, tubuh laki-laki berpakaian hitam 
bukannya ikut terhumbalang jatuh. Tubuh besar 
itu tetap tak bergeming! Dari sini bisa dilihat jika 
baik sang perempuan maupun laki-laki berpa-
kaian hitam bukanlah orang yang bisa dianggap 
remeh. Sang perempuan, meski hanya mengge-
rakkan tangannya begitu amat pelan, namun 
mampu membuat bangku hancur berkeping-
keping. Sementara sang laki-laki berpakaian hi-
tam, dapat menahan tubuhnya meski hancurnya 
bangku itu secara tiba-tiba.
Melihat dugaannya meleset, sang perem-
puan bukannya menunjukkan rasa kejut, seba-
liknya bibir perempuan ini makin lebar terse-
nyum. Dan bersamaan itu tangannya yang di ba-
wah meja kembali bergerak pelan.
Saat itu juga serangkum angin deras 
menggebrak di bawah meja dan menyapu ke arah 
kedua kaki laki-laki berpakaian hitam yang pan-
tatnya masih tampak mengapung di udara.
"Ha... ha... ha.... Rupanya kau ingin men-
gajak main-main di sini sebelum main-main di 
atas ranjang jerami. Baiklah!" bersamaan dengan 
selesainya ucapannya, laki-laki berpakaian hitam 
ini sentakkan tangan kanannya ke bawah.
Wuuttt!
Tiba-tiba tubuhnya yang besar melesat ke 
udara. Dengan gerakan lincah, laki-laki ini mem-
buat gerakan berputar satu kali di udara. Namun 
tubuhnya mendadak melesat lurus ke arah sang 
perempuan dengan tangan kiri menggapai.
Pendekar Mata Keranjang yang mengetahui 
hal ini segera angkat tangannya dan hendak dido-
rong ke depan untuk menghalangi gerak tubuh 
laki-laki berpakaian hitam agar tidak menggapai-
kan tangan kirinya yang tampak mengarah pada 
dada sang perempuan.
Namun gerakan tangan pendekar murid 
Wong Agung ini diurungkan, karena sang perem-
puan cantik tampak tarik tubuhnya ke belakang 
dan serta merta disorongkan kembali ke depan. 
Hebatnya, meski hanya gerakkan tubuhnya ke 
depan, namun gapaian dan gerak laju tubuh sang 
laki-laki kontan tertahan! Malah kalau laki-laki 
ini tidak segera tambah tenaga dalamnya dan me-
lesat ke udara, niscaya tubuhnya akan jatuh ter-
jengkang!
"Jahanam...! Siapa kau...?!" laki-laki ber-
pakaian hitam berteriak begitu telah mendarat 
kembali. Sepasang matanya tampak berkilat.
Yang ditanya hanya tersenyum. Malah se-
pasang matanya memandang pada Pendekar 108
berlama-lama. Yang dipandang sunggingkan se-
nyum dan kerdipkan mata kirinya. Namun demi-
kian diam-diam dalam hati Aji berkata.
"Perempuan cantik ini tak bisa dianggap 
sebelah mata. Tenaga dalamnya tampak cukup 
tinggi. Siapa dia...? Rupanya makin banyak saja 
tokoh-tokoh rimba persilatan yang tak kukenal te-
lah muncul. Apakah ia juga memburu Arca Dewi 
Bumi, seperti tokoh-tokoh lainnya...? Atau...," 
Pendekar 108 tak meneruskan kata hatinya, ka-
rena saat itu juga terdengar lagi bentakan dari la-
ki-laki berpakaian hitam-hitam.
"Aku hanya mengulangi sekali. Siapa 
kau...?!"
Lagi-lagi yang dibentak hanya sunggingkan 
senyum. Mulutnya memang tampak membuka 
seakan hendak berkata, namun ditunggu agak 
lama perempuan ini tak juga keluarkan kata-
kata.
"Rupanya kau tak bisa diajak berhalus-
halus!" kata laki-laki berpakaian hitam seraya 
maju selangkah. Kedua tangannya ditarik ke be-
lakang. Namun sebelum laki-laki ini sempat ki-
rimkan serangan, laki-laki berpakaian merah dan 
kuning bangkit dari duduknya. Salah satu di an-
taranya melangkah dan berkata.
"Kakang. Kalau soal yang begini, Kakang 
tak usah turun tangan sendiri! Serahkan padaku 
dan Datuk Kumbang. Kakang nanti tinggal terima 
masaknya! Bukankah begitu, Datuk Kumbang...?" 
kata laki-laki yang ternyata berpakaian merah se-
raya palingkan wajah pada laki-laki berpakaian
kuning yang dipanggilnya dengan Datuk Kum-
bang.
Datuk Kumbang tersenyum menyeringai. 
Sepasang matanya memandang silih berganti pa-
da dada dan pinggul sang perempuan, lalu berka-
ta.
"Benar! Kakang Pragolo tak usah repot-
repot! Perempuan ini serahkan saja padaku dan 
Suro Dadak! Kakang tinggal siap-siap saja untuk 
menikmatinya!"
Mendengar perkataan dua laki-laki ini, la-
ki-laki berpakaian hitam yang dipanggil dengan 
Pragolo tertawa ngakak, sementara laki-laki ber-
pakaian merah yang dipanggil Suro Dadak tam-
pak melangkah maju.
Sementara itu baik para pelayan maupun 
pemilik kedai tampak sudah sama berlarian ke-
luar begitu merasa akan timbul keributan. Se-
dangkan Pendekar 108 terlihat meneruskan ma-
kannya meski sepasang matanya tak henti melirik 
pada sang perempuan.
"Sial benar! Selera makanku tiba-tiba ikut 
lenyap!" gumam Pendekar Mata Keranjang seraya 
usap-usap hidungnya. Pandangannya diarahkan 
ke luar halaman kedai. 
"Baiklah jika itu kehendak kalian berdua. 
Tapi ingat, aku tak mau dia cedera, apalagi sam-
pai kulitnya lecet-lecet. Nanti akan mengurangi 
kenikmatan. Kalian dengar...?" kata Pragolo sam-
bil melangkah ke arah meja dan duduk ongkang-
ongkang, tawanya terus terdengar dari mulutnya.
"Kau tak usah khawatir, Kakang! Kulitnya
kujamin tetap mulus!" kata si kecil kurus berbaju 
merah Suro Dadak sambil terus maju.
"Bahkan kujamin kami tak akan menyen-
tuhnya! Asal Kakang berlaku seperti biasanya!" 
kali ini yang bicara adalah si pendek gundul ber-
pakaian kuning yakni Datuk Kumbang. 
Pragolo hentikan tawanya. Dipandanginya 
satu persatu Suro Dadak dan Datuk Kumbang.
"Rupanya kalian juga berminat. Baiklah! 
Aku akan berlaku seperti biasanya. Aku yang 
mendahului, lantas Suro Dadak dan terakhir kau, 
Datuk Kumbang! Melihat gesitnya dia, tampaknya 
kita masih kekurangan tenaga untuk menggilir-
nya! Bagaimana kalau pemuda itu kita ajak seka-
lian...?"
Suro Dadak dan Datuk Kumbang paling-
kan wajahnya masing-masing pada Aji. Mendadak 
Datuk Kumbang tertawa tergerai-gerai.
"Kakang! Jika laki-laki masih ingusan se-
perti dia kita ajak serta dalam pesta nikmat ini, 
aku khawatir dia akan terkapar terlebih dahulu 
sebelum sampai tujuan! Ha... ha... ha...!"
"Benar, Kakang. Malah akan terkencing-
kencing dahulu! Sebaiknya kita tak usah tambah 
tenaga kalau hanya dengan satu perempuan. Aku 
rasa, aku masih sanggup biar semalam suntuk! 
Ha... ha... ha...!" berkata si kecil kurus Suro Da-
dak seraya alihkan kembali pandangannya pada 
sang perempuan.
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108 
terlihat membelalakkan sepasang matanya men-
dengar ucapan-ucapan yang keluar dari Datuk
Kumbang dan Suro Dadak. Namun ia tak hendak 
menyahuti. Ia memang ingin melihat bagaimana 
sepak terjang tiga laki-laki ini. Maka meski den-
gan memaki dalam hati, Aji pun alihkan pandan-
gannya, dan seolah acuh dengan apa yang hen-
dak diperbuat oleh Pragolo, Datuk Kumbang, ser-
ta Suro Dadak.
Sang perempuan sendiri hanya tersenyum-
senyum mendengar ucapan tiga laki-laki ini. Tak 
segurat pun tanda ketakutan di wajahnya.
Suro Dadak dan Datuk Kumbang saling 
berpandangan sebentar. Lantas kedua-duanya 
sama-sama melangkah mendekat. Tiba-tiba saja 
si kecil kurus Suro Dadak kelebatkan tangannya, 
demikian juga si pendek gundul Datuk Kumbang.
Wuttt! Wuuttt!
Dua tangan tampak berkelebat cepat. Dan 
jelas yang dituju adalah bagian dada serta pung-
gung sang perempuan!
Yang diserang hanya gerakkan tubuh ke 
samping. Tangan Suro Dadak dan Datuk Kum-
bang menerobos angin sejengkal di samping tu-
buh sang perempuan. Bukan hanya sampai di si-
tu, begitu gerakkan tubuhnya perempuan ini ce-
pat pula angkat kakinya ke atas dan disapukan 
ke depan menyamping! 
Deesss! Deesss!
Terdengar seruan tertahan dari mulut Suro 
Dadak dan Datuk Kumbang begitu kaki sang pe-
rempuan menghantam paha masing-masing 
orang ini.
Dua laki-laki ini terlihat kerahkan tenaga
dalamnya untuk menghentikan laju tubuh mas-
ing-masing yang menyuruk lurus. Namun tam-
paknya sapuan kaki sang perempuan demikian 
derasnya, hingga keduanya tak sanggup lagi me-
nahan laju tubuh masing-masing. Maka kejap itu 
juga kedua orang ini langsung terjerembab di atas 
lantai kedai setelah terlebih dahulu menghantam 
meja.
Baik Pendekar 108 maupun Pragolo tam-
pak sedikit terkejut melihat hal ini. Meski sapuan 
kaki perempuan itu tampak tanpa tenaga, namun 
kenyataannya mampu membuat Suro Dadak dan 
Datuk Kumbang terjerembab!
"Bangsat! Kupatahkan kakimu!" teriak si 
kecil kurus Suro Dadak sambil bangkit. Sepasang 
matanya berubah merah dan membesar. Pelipis-
nya bergerak-gerak membuat codetnya seakan 
hendak membuka kembali. Datuk Kumbang pun 
ikut-ikutan marah. Sambil bangkit dari mulutnya 
terdengar umpatan tak karuan. Tampaknya ren-
cana mereka yang akan tidak melecetkan kulit 
sang perempuan terlupa seketika.
Kedua laki-laki ini serentak lesatkan tubuh 
masing-masing, namun baru saja mereka menda-
rat, sang perempuan telah melesat dan serta-
merta kakinya kembali menggebrak ke arah dada 
Suro Dadak dan Datuk Kumbang!
Wuuttt! Wuutttt!
Demikian cepatnya gerakan sang perem-
puan, hingga baik Suro Dadak maupun Datuk 
Kumbang walau sempat menghindar namun ge-
rakannya kalah cepat. Hingga....
Desss! Dessss!
Suro Dadak dan Datuk Kumbang memekik 
tinggi. Tubuh keduanya melayang jauh menghan-
tam meja dan bangku hingga patah dan hancur.
Tubuh keduanya baru terhenti ketika punggung 
masing-masing orang ini menghantam sisi samp-
ing bangunan kedai yang terbuat dari batu bata. 
Batu bata itu tampak rengkah!
"Jahanam busuk! Kubunuh kau, Perem-
puan Liar!" bentak si pendek gundul Datuk Kum-
bang seraya meludah dan bangkit. Ludah yang 
muncrat tampak berwarna kehitaman, menanda-
kan bahwa Datuk Kumbang telah terluka dalam. 
Tak jauh beda dengan Datuk Kumbang, demikian 
pula yang dialami Suro Dadak. Malah laki-laki ini 
tampaknya lebih parah, karena seraya bangkit 
tangan kanannya mendekap dada dan berulang 
kali mengurutnya. Dan tak lama kemudian melu-
dah. Ludahnya pun berwarna kehitaman, bahkan 
tampak mengental!
Perempuan berparas cantik dongakkan ke-
palanya menatap langit-langit kedai. Tiba-tiba da-
ri mulutnya terdengar suara tawa panjang. Lalu 
tanpa peduli pada Suro Dadak dan Datuk Kum-
bang, perempuan ini balikkan tubuh dan melang-
kah keluar kedai.
"Jangan harap bisa lari sebelum ku aduk-
aduk tubuhmu!" teriak Datuk Kumbang seraya 
melesat keluar yang kemudian disusul oleh Suro 
Dadak.
Sampai halaman kedai, Datuk Kumbang 
serta Suro Dadak langsung kirimkan serangan
dengan sentakkan tangan masing-masing. Kedua 
orang ini tampaknya tak lagi menganggap enteng 
sang perempuan. Karena serangannya kini dialiri 
dengan tenaga dalam penuh, hingga saat itu juga 
empat gelombang angin kencang melesat dari be-
lakang sang perempuan!
Sang perempuan hentikan langkahnya. 
Tanpa berpaling ke belakang, ia jejakkan kakinya 
di atas tanah. Tubuhnya mengangkasa, hingga 
serangan Suro Dadak dan Datuk Kumbang 
menghajar tempat kosong.
Hebatnya, begitu di atas udara, perempuan 
ini langsung putar tubuhnya dan dengan sekali 
membentak, tubuhnya melesat cepat ke arah Su-
ro Dadak dan Datuk Kumbang!
Suro Dadak dan Datuk Kumbang terkejut 
besar. Keduanya segera melompat ke samping. 
Namun bersamaan dengan itu, tangan kiri kanan 
sang perempuan mendorong. 
Wuuttt! Wuutttt!
Dua larik sinar hitam menyambar keluar 
dengan disertai suara menggemuruh.
Suro Dadak dan Datuk Kumbang tercekat. 
Paras wajah kedua orang ini berubah seketika. 
Dan mungkin karena terperangah, keduanya tak 
lagi berbuat sesuatu, hingga tak ampun lagi sinar 
hitam itu menghantam dada masing-masing laki-
laki ini!
Desss! Deesssss!
Tak ada suara terdengar dari mulut Suro 
Dadak dan Datuk Kumbang. Yang kemudian ter-
lihat adalah mencelatnya tubuh kedua laki-laki
ini sampai kira-kira sepuluh tombak ke belakang.
Begitu bergelimpangan di atas tanah, tu-
buh Suro Dadak dan Datuk Kumbang terlihat 
bergerak-gerak sebentar, namun tak lama kemu-
dian diam kaku dengan darah hitam meleleh dari 
mulut, hidung, dan telinganya!
Ketika sang perempuan mengirimkan se-
rangan tadi, sebenarnya Pragolo telah tahu ba-
haya, dan buru-buru sentakkan kedua tangannya 
untuk menangkis. Namun pukulan sang perem-
puan tampaknya lebih cepat, hingga tangkisan 
yang dilancarkan Pragolo hanya menerabas tem-
pat kosong.
Melihat dua temannya roboh bersimbah 
darah, Pragolo kertakkan rahang. Mata sebelah 
kanannya makin menonjol ke luar, sementara ge-
rahamnya keluarkan suara bergemeretak.
Namun diam-diam Pragolo tak urung me-
rasa terguncang juga dan sadar jika dugaannya 
pada perempuan ini jauh meleset. Tapi sebagai 
orang yang telah lama terjun dalam rimba persila-
tan, ia tak mau menunjukkan rasa gentarnya. 
Malah seolah acuh dengan kedua temannya, laki-
laki berpakaian hitam-hitam ini melangkah men-
dekati sang perempuan.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 
108 yang melihat kejadian itu dari dalam kedai, 
tampak sedikit terkejut. Meski ia telah menduga 
bahwa sang perempuan mempunyai ilmu, namun 
ia tak menyangka jika perempuan ini demikian 
cepat bertindak bahkan menewaskan Suro Dadak 
dan Datuk Kumbang.
"Siapa perempuan ini? Tak dapat dipungki-
ri, ilmunya sangat tinggi! Belum sampai aku ber-
tindak untuk mencegah, ia telah berhasil mene-
waskan dua laki-laki itu! Memang sudah layak la-
ki-laki itu diberi pelajaran, tapi tewas adalah hu-
kuman terlalu berat! Apakah aku harus turun 
tangan untuk mencegahnya...?" membatin Pende-
kar Mata Keranjang tatkala dilihatnya Pragolo te-
lah melangkah dan telah ancang-ancang hendak
kirimkan serangan.
"Kalau aku ikut campur. apakah tidak 
mendatangkan persoalan baru? Hm.... Kulihat sa-
ja perkembangannya...!" lanjut Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dalam hati sambil geleng-gelangkan 
kepala dan mata mengarah pada sang perempuan 
dan Pragolo yang kini telah saling berhadapan.
"Keparat busuk! Sebelum mampus, kata-
kan dahulu siapa kau!" bentak Pragolo dengan 
sepasang mata menyengat menusuk pada bola 
mata kebiruan sang perempuan. 
Sang perempuan alihkan pandangan pada 
jurusan lain, lalu ke arah kedai di mana Pendekar 
Mata Keranjang berada dan sedang memandang 
ke arahnya.
"Laki-laki binatang! Dengar baik-baik. Agar 
arwahmu tak penasaran, untukmu akan kuse-
butkan yang kau minta. Melihat tingkahmu, aku 
yakin kau adalah seorang pesilat. Dan jika kau 
bukan pesilat kelas teri tentunya kau pernah 
dengar orang yang bergelar Ratu Pulau Merah! 
Nah, kau sekarang sedang berhadapan dengannya!"
Pragolo buka sedikit mulutnya karena ter-
kejut. Malah tanpa diketahui sang perempuan, 
yang berjuluk Ratu Pulau Merah, Pragolo undur-
kan langkahnya dua tindak ke belakang.
Memang siapa saja yang berkecimpung da-
lam rimba persilatan pasti pernah mendengar 
nama itu. Ia adalah seorang tokoh dari jajaran 
atas golongan hitam yang telah lama tak muncul. 
Sesuai dengan gelar yang disandang, perempuan 
ini memang berguru pada tokoh yang bermukim 
di Pulau Merah. Selain dikenal sebagai tokoh se-
sat, Ratu Pulau Merah juga dikenal manusia be-
rilmu tinggi yang sangat kejam. Perkara membu-
nuh bagi Ratu Pulau Merah bukan lagi masalah 
besar. Anehnya, meski ia tokoh yang bisa dibilang 
tua, namun parasnya tetap muda dan cantik!
Sambil undur diri ke belakang, Pragolo ke-
rutkan dahi, sepasang matanya makin membesar.
"Aku pernah dengar gelar Ratu Pulau Me-
rah, tapi itu kudengar sudah beberapa puluh ta-
hun silam. Kalau ia memang Ratu Pulau Merah, 
kenapa wajahnya tetap muda...? Apakah ia tak 
mengada-ada sebagai Ratu Pulau Merah? Tapi, 
melihat hanya dalam beberapa gebrakan telah 
berhasil menewaskan Suro Dadak dan Datuk 
Kumbang, siapa pun ia adanya, aku harus berha-
ti-hati!"
Sama dengan Pragolo, demi mendengar 
sang perempuan sebutkan nama, Pendekar Mata 
Keranjang juga terperangah kaget. Sepasang ma-
tanya makin tak kesiap mengawasi Ratu Pulau 
Merah.
"Hmm.... Ratu Pulau Merah. Aku pernah 
mendengar nama tokoh itu. Tapi kalau begini 
orangnya, aku tak menduga sama sekali! Aku ha-
rus berhati-hati, kudengar Ratu Pulau Merah 
adalah tokoh golongan hitam! Ia berada di sini, 
apakah ia tengah memburu Arca Dewi Bumi ju-
ga...? Aku harus mengawasinya!"
Meski Pragolo dihantui rasa kaget, namun 
ia tak mau menunjukkan rasa terkejutnya. Malah 
sambil menyeringai, ia berkata.
"Hari ini aku sangat beruntung sekali da-
pat berjumpa dengan sahabat satu golongan, tapi 
karena kau telah bertindak ceroboh pada kedua 
temanku, maka mau tak mau kau harus meng-
gantinya!"
Ratu Pulau Merah mendengus keras.
"Kau akan dapat ganti jika telah menyusul 
dua temanmu!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah 
kelebatkan tubuhnya. Sosoknya mendadak lenyap 
dari halaman kedai. Namun sesaat kemudian 
muncul lagi dari atas udara dengan kedua telapak 
tangan Ratu Pulau Merah terarah menuju kepala 
Pragolo.
Tahu keadaan berbahaya dan tak mau ma-
ti konyol, Pragolo segera hantamkan pula kedua 
tangannya.
Plaarrr!
Dua buah pukulan bertenaga dalam ben-
trok di udara mengeluarkan suara letupan keras. 
Sebentar kemudian terdengar seruan tertahan da-
ri mulut Pragolo. Tubuhnya terseret ke belakang
sampai dua tombak! Ia memang berhasil mena-
han tubuhnya hingga tak jatuh terkapar, namun 
sesaat kemudian, paras laki-laki ini pucat pasi.
Karena secara tidak terduga, Ratu Pulau Merah 
telah melesat ke arahnya. Padahal ia belum siap 
untuk menangkis apalagi melancarkan serangan!
"Celaka! Tamat riwayatku!" gumam Pragolo. 
Dan belum selesai ia berkata, dua larik sinar hi-
tam telah menghantam dadanya.
Deesss!
Jeritan melengking tinggi keluar dari mulut 
Pragolo bersamaan dengan melayangnya tubuh-
nya. Anehnya, untuk beberapa saat tubuh besar 
Pragolo mengapung diam di udara, lalu tak lama 
kemudian jatuh terkapar di atas tanah dengan 
baju bagian dada robek besar dan hangus!
Pragolo terlihat diam, namun tak lama ke-
mudian ia bergerak-gerak akan bangkit. Dari sini 
bisa dilihat, jika Pragolo adalah laki-laki yang ta-
han pukul, jika tidak tentu nasibnya akan sama 
dengan Suro Dadak dan Datuk Kumbang.
Melihat lawan masih bisa bergerak, bahkan 
hendak bangkit, Ratu Pulau Merah melangkah 
mendekat. Kedua tangannya ditarik sedikit ke be-
lakang, lalu dengan gerakan cepat kedua tangan-
nya didorong ke depan.

DELAPAN


DUA larik sinar hitam menggebrak ke arah 
Pragolo. Pragolo palingkan wajah. Ia terlihat
membuka mulutnya. Wajahnya telah pias seperti 
orang kehabisan darah. Ia tampak kerahkan sisa-
sisa tenaganya untuk bergerak menghindar. Na-
mun karena tubuhnya telah terluka dalam, maka 
gerakannya tak mampu melebihi kecepatan puku-
lan Ratu Pulau Merah. Hingga laki-laki ini tampak 
pasrah. Sepasang matanya ia pejamkan dan me-
nanti maut menjemput!
Namun sebelum pukulan Ratu Pulau Me-
rah mengantar Pragolo ke liang kubur, sesosok 
bayangan berkelebat. Dan bersamaan dengan itu, 
serangkum angin kencang menggemuruh mema-
pasi pukulan Ratu Pulau Merah. 
Plaarrr!
Terdengar letupan. Ratu Pulau Merah ter-
surut dua langkah ke belakang. Sepasang ma-
tanya tampak membeliak besar. Bibirnya saling 
menggegat pertanda marah.
"Bangsat rendah! Siapa berani campuri 
urusan orang?!" bentak Ratu Pulau Merah seraya 
menebar pandangan. Karena bayangan yang tadi 
menghadang serangannya tiba-tiba lenyap bagai 
ditelan bumi.
Selagi Ratu Pulau Merah mencari-cari, ter-
dengar orang mendendangkan nyanyian. Sambil 
memaki, Ratu Pulau Merah palingkan wajah ke 
arah sumber nyanyian.
Perempuan berparas cantik ini melotot 
dengan dahi mengkerut. Kedua tangannya yang 
hendak melepaskan pukulan serta-merta ia lu-
ruhkan. Matanya tak berkedip memandang ke atas atap kedai.
Di atap kedai yang terbuat dari ijuk tam-
pak seorang berpakaian hijau sedang tiduran 
dengan berkipas-kipas, dari mulutnya terdengar 
nyanyian yang tak bisa ditangkap maknanya.
"Hmm.... Pemuda itu...! Siapa dia? Paras-
nya tampan dan tampaknya seperti pemuda suka 
perempuan! Di dalam kedai tadi, ia sempat ker-
dipkan sebelah matanya padaku...! Dan siapa pun 
ia adanya, yang pasti ia memiliki ilmu yang tidak 
rendah. Gerakannya begitu cepat dan mampu 
menangkis seranganku!" Ratu Pulau Merah mem-
batin. Lalu tanpa mengacuhkan lagi pada Pragolo 
ia melangkah ke arah sang pemuda yang bukan 
lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 
108.
Sementara itu tatkala terdengar letupan, 
Pragolo tampak mengejang, namun ia buru-buru 
membuka kelopak matanya ketika dirasa ada an-
gin menderu kencang dan tubuhnya tidak kena 
hantam.
Sejenak sepasang mata Pragolo mengawasi 
Ratu Pulau Merah, lalu beralih ke atap kedai saat 
dilihatnya Ratu Pulau Merah menengadah seraya 
melangkah ke arah kedai.
"Edan! Apakah pemuda itu yang menyela-
matkan jiwaku? Siapa dia...? Dan tingkahnya se-
perti anak-anak sedang main-main. Apa dia tak 
merasa, sedang berhadapan dengan siapa kali 
ini...?"
Hampir sampai kedai, Ratu Pulau Merah 
menghentikan langkahnya.
"He...! Siapa kau...? Dan apa hubunganmu
dengan laki-laki binatang itu...?!" Ratu Pulau Me-
rah membentak.
Aji sepertinya tak mendengar bentakan 
orang. Malah nyanyiannya semakin ia keraskan.
Ratu Pulau Merah makin kernyitkan ken-
ing. Dari mulutnya terdengar gumam tak jelas. 
Namun mendadak ia berteriak lagi.
"He...! Kalau kau tak mau jawab, jangan 
menyesal jika tubuhmu terjerembab!"
Tiba-tiba Pendekar Mata Keranjang 108 
hentikan nyanyiannya. Perlahan kepalanya dige-
rakkan berpaling ke bawah. Bibirnya menyung-
gingkan seulas senyum.
"Ratu.... Aku tak ada hubungan apa-apa 
dengan laki-laki itu. Kenal pun tidak!" kata Pen-
dekar 108 setelah berlama-lama memandang Ra-
tu Pulau Merah.
"Hmm.... Begitu? Lantas apa maksudmu 
mencampuri urusanku? Dan sebutkan siapa kau 
dan apa gelarmu!"
Pendekar 108 lipat kipas ungunya, dima-
sukkan ke balik pakaiannya jalu dengan gerakan 
ringan, ia melayang turun.
Sejenak, kembali Aji pandangi Ratu Pulau 
Merah, lalu berkata.
"Nama memang aku punya, tapi untuk ge-
lar, bagaimana kalau Ratu saja yang mencarikan 
untukku? Tapi.... Ah, itu tak pantas. Aku yang 
hanya seorang pengelana jalanan tak enak ra-
sanya membawa-bawa gelar! Kata orang-orang 
'gelar' itu berat untuk dibawa. Apa betul...?"
Mendengar ucapan Pendekar Mata Keran
jang 108, Ratu Pulau Merah tertawa pendek. Se-
mentara Pragolo geser tubuhnya pelan-pelan ke 
sebuah pagar yang tampaknya tidak terpakai.
Namun mendadak Ratu Pulau Merah hen-
takkan tangannya ke bawah. Kepalanya ia don-
gakkan ke atas, hingga tampak jelas lehernya 
yang putih dan jenjang, membuat murid Wong 
Agung tak kesiapkan matanya. 
Bersamaan dengan menyentaknya tangan 
Ratu Pulau Merah, tanah di sekitar situ bergetar. 
Ratu Pulau Merah lantas membentak garang.
"He...! Kau tak usah banyak omong. Jawab 
saja pertanyaanku!"
Pendekar 108 anggukkan kepalanya perla-
han. "Namaku Aji. Orang menggelariku Aji Sapu-
tra. Seorang pengelana jalanan yang tak punya 
arah tujuan. Dan kalau boleh, aku tak segan-
segan ikut dengan Ratu Pulau Merah! Aku tidak 
akan...."
"Cukup!" bentak Ratu Pulau Merah menye-
la ucapan Pendekar 108. Namun Pendekar dari 
Karang Langit ini tampaknya tak mengindahkan 
bentakan perempuan di hadapannya. Ia terus me-
lanjutkan ucapannya.
"Aku tidak akan meminta seperti tiga laki-
laki tadi jika Ratu memang bersedia mengajak-
ku.... Aku...."
"Diam!" lagi-lagi Ratu Pulau Merah mem-
bentak. Sepasang matanya melotot besar mem-
perhatikan Aji dari kaki hingga rambut.
"Ada yang tak beres dengan diriku...?" 
tanya Pendekar 108 seraya memandangi tubuh
nya sendiri seperti apa yang dilakukan Ratu Pu-
lau Merah.
"Hmm.... Siapa sebenarnya pemuda ini...? 
Tingkahnya seperti orang tidak waras. Tapi tam-
pangnya menarik.... Seandainya aku tak harus 
mempelajari isi bumbung bambu, pemuda ini 
layak kujadikan selimut malamku. Hmm.... Sung-
guh sayang sekali...."
Ratu Pulau Merah gerakkan tangannya me-
raba pinggangnya. Ia tampak menarik napas lega. 
Ternyata tangannya masih merasakan adanya ki-
pas lipat dan bumbung bambu di balik pakaian-
nya.
"He...! Dengar baik-baik. Kalau kau me-
mang tak kenal dengan laki-laki binatang itu, 
nyawamu kuampuni! Tapi cepat tinggalkan tem-
pat ini!" sambil berkata, tangan kanan Ratu Pulau 
Merah menunjuk Pragolo yang tampak kerahkan 
tenaga dalam untuk memulihkan dirinya.
Pendekar Mata Keranjang 108 usap-usap 
hidungnya dengan punggung tangan.
"Ratu. Terima kasih kau masih berbaik hati 
mengampuniku. Tapi jika aku tak meninggalkan 
tempat ini, apa kau akan menarik ampunan
mu...?"
"Waktuku tak banyak. Kau tak perlu ba-
nyak omong. Lekas tinggalkan tempat ini!"
"Ah!" Aji keluarkan seruan seperti orang 
terkejut. Kepalanya menggeleng pulang balik.
"Ratu! Menyesal sekali. Aku sepertinya tak 
bisa meninggalkan tempat ini. Aku adalah penge-
lana yang menurutkan ke mana kaki melangkah.
Kali ini rupanya kakiku tak mau melangkah, jadi 
terpaksa aku pun tak bisa meninggalkan tempat 
ini! Entah kalau Ratu yang mengajak...."
"Hmm.... Ternyata kau memang komplotan 
laki-laki binatang itu! Dan kau harus pula mene-
rima hajaran!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah 
dorong tangannya ke depan. 
Wuuuttt!
Serangkum angin menderu kencang ke 
arah Pendekar 108. Meski Ratu Pulau Merah 
tampak marah, namun melihat serangan yang di-
kirimkan, ia rupanya tidak bersungguh-sungguh.
Pendekar Mata Keranjang yang tampak ter-
senyum-senyum cepat melompat ke samping ka-
nan. Pukulan Ratu Pulau Merah menyambar satu 
depa di samping Pendekar Mata Keranjang 108.
Begitu dapat menghindar dari serangan 
Ratu Pulau Merah, Pendekar 108 cepat tunduk-
kan kepala seperti orang memberi hormat. Lalu 
seraya melirik , ia berkata.
"Ratu. Kuharap Ratu Pulau Merah tak sa-
lah paham. Aku bukan komplotan dia! Hanya ku-
rang layak jika kesalahan yang begitu saja harus 
ditebus dengan nyawa! Hajaran yang kini telah di-
terima, kurasa itu lebih dari cukup!"
Ratu Pulau Merah tampak mulai jengkel. 
Sambil melompat dan kirimkan serangan, perem-
puan ini berteriak lantang.
"Siapa percaya mulutmu! Kau tampaknya 
pandai omong! Mulutmu pantas mendapat tam-
paran!" Dua tangan Ratu Pulau Merah berkelebat
cepat mengarah pada kepala dan dada Pendekar 
Mata Keranjang 108! Sebelum tangan itu berkele-
bat menghantam sasaran, dua larik angin mende-
ru.
Begitu cepatnya gerakan Ratu Pulau Me-
rah, hingga sebelum Aji sempat untuk menghin-
dar, kedua tangan Ratu Pulau Merah telah di de-
pan matanya!
"Gila! Gerakannya sangat cepat!" gumam 
Pendekar Mata Keranjang 108 sambil angkat satu 
tangannya di atas kepala dan satunya disilangkan 
di depan dada.
Desss! Deessss!
Terdengar dua kali benturan. Ratu Pulau 
Merah terlihat membelalakkan sepasang matanya 
karena terkejut. Tubuhnya mental balik. Tangan-
nya terasa seakan menghantam benda keras.
"Hmm.... Semuda ini tenaga dalamnya be-
gitu hebat! Siapa dia sebenarnya? Daripada di 
kemudian hari menjadi penghalang, mumpung 
masih baru mekar lebih baik ditebas dahulu!" Ra-
tu Pulau Merah membatin. Niatnya yang semula 
tidak ingin berlama-lama di situ berganti dengan 
ingin melenyapkan Pendekar 108! Namun begitu 
pandangan matanya bentrok lagi dengan pandan-
gan Pendekar 108, hati perempuan ini dilanda 
kebimbangan.
"Tapi, kalau ia memang berilmu tinggi, 
apakah tidak sebaiknya jika dia kujadikan te-
man...? Bukankah setelah mempelajari isi bum-
bung bambu aku masih punya rencana memburu 
Arca Dewi Bumi yang kini menggegerkan rimba
persilatan...? Memburu arca itu kurasa pekerjaan 
berat, dan aku butuh teman! Kalau dia tidak 
mau...?"
Selagi Ratu Pulau Merah dirundung ke-
bimbangan, Pendekar Mata Keranjang cepat ba-
likkan tubuh hendak pergi. Ia berbuat begitu ka-
rena dilihatnya Pragolo secara diam-diam ternyata 
telah meninggalkan tempat itu sewaktu Ratu Pu-
lau Merah menyerang Pendekar 108.
Namun belum sampai Aji melangkah, Ratu 
Pulau Merah telah berteriak. Teriakannya nampak 
bernada marah, apalagi tatkala dilihatnya Pragolo 
sudah pergi. 
"Tunggu! Tidak semudah itu kau bisa me-
ninggalkan tempat ini!"
Tanpa palingkan wajah Pendekar 108 ber-
kata.
"Ratu. Bukankah kau tadi menyuruhku 
meninggalkan tempat ini...? Sekarang ketika ka-
kiku mengajak pergi, kau balik mencegahku! Apa 
maksudmu sebenarnya...?!"
Ratu Pulau Merah keluarkan dengusan. 
Matanya berkilat-kilat menindih hawa marah.
"Karena kau, laki-laki binatang tadi ming-
gat tanpa sepengetahuanku! Maka sebagai gan-
tinya, kau harus rela menyerahkan nyawamu!"
"Jadi aku harus menanggung hukuman la-
ki-laki tadi...?"
"Kau jangan berpura-pura tolol! Hadapilah 
kematianmu!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah 
cepat jejakkan sepasang kakinya ke atas tanah.
Tubuhnya melesat lenyap! Sesaat kemudian so-
soknya tiba-tiba telah satu langkah di belakang 
Pendekar 108. Dan serta-merta tangannya dihan-
tamkan pada kepala dan punggung Aji.
Tanpa balikkan tubuh, Pendekar 108 cepat 
lorotkan tubuhnya hingga duduk menggelosoh di 
atas tanah. Hingga hantaman Ratu Pulau Merah 
hanya menghajar tempat kosong. Namun perem-
puan ini tak buang kesempatan, begitu dilihatnya 
Pendekar 108 duduk menggelosoh, sepasang ka-
kinya ia majukan ke depan seraya membuat lon-
catan. 
Wuuttt! Wuutttt!
Tampaknya Pendekar 108 telah dapat 
membaca apa yang hendak dilakukan oleh Ratu 
Pulau Merah, hingga sebelum dua kaki sempat 
menggebrak punggungnya, murid Wong Agung ini 
gelundungkan tubuhnya, namun bersamaan itu 
tangan kanannya bergerak menelikung ke bela-
kang.
Wuuuttt!
Praakkk! Praaakkkk!
Ratu Pulau Merah keluarkan seruan terta-
han tatkala kakinya terpapak tangan Pendekar 
Mata Keranjang. Ia segera mundur sampai lima 
langkah. Wajahnya meringis menahan sakit. Se-
mentara Aji terus menggelundungkan tubuhnya 
agak menjauh. Setelah dirasa agak jauh, Pende-
kar Mata Keranjang 108 cepat membuat gerakan 
menghentak. Tubuhnya melenting, lalu mendarat 
dengan kaki kokoh.
"Setan jahanam! Ternyata pemuda ini be
nar-benar berilmu tinggi! Hm.... Apakah dia bu-
kan...," sepasang mata Ratu Pulau Merah mem-
perhatikan Aji lebih seksama. 
"Apakah dia bukan pemuda yang bergelar 
Pendekar Mata Keranjang 108...? Bukankah tadi 
dia berkipas-kipas...? Sial! Kenapa aku baru ingat 
sekarang? Hm.... Sebelum membalas pada gu-
runya, muridnya dahulu pun tak jadi apa!"
Kini keputusan hati Ratu Pulau Merah un-
tuk membunuh Pendekar Mata Keranjang 108 
pun jadi bulat. Apalagi setelah agak yakin jika 
pemuda berbaju hijau di hadapannya adalah mu-
rid tunggal Wong Agung, seorang yang pernah 
menewaskan gurunya pada beberapa puluh ta-
hun silam.
Di seberang, begitu melihat Ratu Pulau Me-
rah tercenung memandangi dirinya, Pendekar 108 
berkata dalam hati.
"Pragolo telah berhasil melarikan diri. Se-
baiknya aku pun cepat meninggalkan tempat ini. 
Aku harus segera sampai di Bokor. Lagi pula 
tampaknya cuaca sebentar lagi akan hujan...."
Berpikir begitu, Pendekar 108 lantas jejak-
kan kakinya. Tubuhnya melenting lurus ke atas.
Ratu Pulau Merah sedikit terkejut melihat 
Pendekar 108 membuat gerakan. Ia menduga Aji 
akan melakukan serangan. Namun perhitungan 
Ratu Pulau Merah meleset. Karena begitu lurus di 
atas udara, Pendekar Mata Keranjang 108 segera 
balikkan tubuh dan berkelebat meninggalkan 
tempat itu!
"Jahanam pengecut! Jangan mimpi bisa lo
los dari tanganku!" teriak Ratu Pulau Merah seraya berkelebat menyusul.

SEMBILAN

KEPARAT! Ke mana lenyapnya manusia 
itu? Sesaat ia kulihat masih di sini!" maki Ratu 
Pulau Merah sambil menebarkan pandangan ma-
tanya ke sekeliling tempat di mana dia berdiri. 
Tempat itu amat sepi dan di kanan kirinya hanya 
ada deretan pohon-pohon besar serta semak be-
lukar. "Heran, gerakannya begitu cepat! Aku ma-
kin yakin jika manusia itu adalah pemuda yang 
berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108! Murid sa-
tu-satunya si jahanam Wong Agung....!" ia lantas 
tengadahkan kepalanya ke atas.
"Brengsek! Malam rupanya sebentar lagi 
akan datang dan hujan tampaknya mulai turun. 
Ini menambah kesulitan dalam mencarinya" Ratu 
Pulau Merah luruskan lagi kepalanya. Sepasang 
matanya yang berwarna kebiruan kembali mene-
bar kian kemari. Tampaknya perempuan ini di-
landa kebingungan antara meneruskan perjala-
nan menuju Pulau Merah tempat tinggalnya dan 
mempelajari isi dalam bumbung bambu yang ber-
hasil dicurinya dari Karang Langit atau mene-
ruskan mencari pemuda yang diyakini Pendekar 
108.
Selagi dia mempertimbangkan langkah 
yang hendak diambil, tiba-tiba semak belukar se-
puluh langkah di sebelah kanannya terlihat bergerak-gerak. Tanpa berpikir panjang lagi, Ratu 
Pulau Merah segera meloncat dengan kedua tan-
gan siap kirimkan pukulan.
Namun Ratu Pulau Merah mengomel pan-
jang pendek tatkala tak satu manusia pun yang 
ditemuinya di semak belukar itu. Mungkin karena 
jengkel, tangan kanannya yang telah dialiri tenaga 
dalam disentakkan ke arah semak belukar.
Breettt!
Serangkum angin keras menderu. Sekejap 
kemudian, semak belukar itu terbabat rata, ma-
lah sebagian ada yang terbongkar tanahnya!
Namun setelah melepaskan kejengkelan-
nya, perempuan ini tercenung.
"Kurasa tidak ada angin, dan hujan pun 
baru rintik-rintik, kalau tidak ada yang mengge-
rakkan tak mungkin semak tadi bergerak-gerak! 
Dan kalau binatang, tentunya telah ikut terbang 
ke atas bersama bongkaran semak belukar! Hm.... 
Yang menggerakkan pasti dia! Dan kalau ia telah 
lari lagi, mestinya masih belum jauh dari sini!" 
otak cerdik perempuan berparas cantik ini men-
duga-duga.
Tanpa berkata-kata lagi, ia pun lantas ber-
kelebat ke jurusan lurus dengan semak belukar 
yang baru saja terbongkar.
Sementara itu, hampir memasuki daerah 
Bokor, Pendekar Mata Keranjang memperlambat 
larinya. Ia sebentar-sebentar palingkan wajahnya 
ke belakang.
"Untung aku tadi bergerak cepat, jika tidak 
Ratu Pulau Merah sudah pasti dapat menemukanku! Perempuan itu benar-benar gila. Ia tega-
teganya membunuh hanya karena masalah kecil! 
Hmm.... Aku juga heran, kalau ia memang Ratu 
Pulau Merah kenapa masih muda begitu? Padahal 
menurut yang pernah kudengar, tokoh yang ber-
nama Ratu Pulau Merah adalah tokoh yang mun-
cul pada beberapa puluh tahun yang lalu. Bagai-
mana ini bisa terjadi...? Apakah dia hanya men-
gaku-aku sebagai Ratu Pulau Merah...? Atau dia 
punya ilmu awet muda...? Aku masih belum bisa 
memastikannya. Hanya satu yang bisa kupasti-
kan, dia adalah seorang perempuan berparas can-
tik! Dadanya menantang dan pinggulnya meng-
gemaskan...," Pendekar 108 berkata dalam hati 
seraya senyum-senyum dan gelengkan kepalanya.
Selagi murid Wong Agung ini senyum-
senyum membayangkan Ratu Pulau Merah, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat seraya berseru 
lantang.
"Bumi terlalu sempit untuk dapat mem-
buatmu lolos dari tanganku, Bocah!"
Bersamaan dengan terdengarnya seruan, 
serangkum angin menderu dahsyat.
Pendekar 108 terkejut besar, namun ia tak 
hendak berlaku ceroboh karena dia telah dapat 
menduga siapa adanya orang yang keluarkan se-
ruan. Maka sambil menindih rasa terkejut, ia ce-
pat melompat ke depan. Namun gerakannya ter-
tahan karena saat itu sosok yang keluarkan suara 
tiba-tiba telah menghadang di depannya, mem-
buat pendekar murid Wong Agung ini segera be-
lokkan tubuhnya ke samping.
"Sialan betul! Kukira dia telah tak menge-
jarku lagi!" gumam Pendekar 108 seraya arahkan 
pandangan matanya ke depan, di mana seorang 
perempuan berwajah cantik yang bukan lain ada-
lah Ratu Pulau Merah telah berdiri sambil terse-
nyum menyeringai.
"Ratu Pulau Merah. Aku mohon maaf pa-
damu atas kelancanganku tadi ikut campur uru-
sanmu. Tapi percayalah, aku tidak kenal apalagi 
berkomplot dengan laki-laki bernama Pragolo itu! 
Aku hanya merasa kasihan, dan memang tidak 
selayaknya hukuman mati dijatuhkan padanya! 
Seperti yang dialami kedua temannya!"
Ratu Pulau Merah mendengus keras. Sepa-
sang matanya membeliak besar.
"Hm.... Begitu? Baik. Sekarang jawab per-
tanyaanku. Ingat, aku hanya sekali mengu-
capkannya...!" sejenak Ratu Pulau Merah henti-
kan ucapannya. Seraya alihkan pandangannya 
pada jurusan lain ia melanjutkan.
"Apakah benar kau manusia yang bergelar 
Pendekar Mata Keranjang 108 murid tunggal 
Wong Agung?!"
Aji kerutkan dahi mendengar pertanyaan 
Ratu Pulau Merah. Dalam hati ia berkata.
"Bagaimana ini? Apa aku harus terus te-
rang? Hmm.... Tidak! Aku harus merahasiakan 
siapa diriku! Siapa tahu ia mengetahui rahasia 
tentang Arca Dewi Bumi. Itu akan menambah ke-
sulitan...," berpikir begitu, murid Wong Agung ini 
lantas berkata.
"Ratu. Seperti kukatakan tadi, namaku
adalah Aji. Dan aku tak punya gelar. Karena aku 
adalah seorang pengelana jalanan yang tak pan-
tas menyandang gelar. Tentang orang bernama 
Wong Agung, aku memang pernah mendengar. 
Tapi aku bukan muridnya! Jelas...?"
Ratu Pulau Merah memandang tajam me-
nusuk bola mata Pendekar 108. Ia tampak dige-
layuti rasa bimbang. Lalu tak lama kemudian, ke-
palanya mengangguk perlahan.
"Coba tunjukkan kipasmu padaku!"
Aji terkejut mendengar permintaan perem-
puan di hadapannya. Namun sejenak kemudian 
bibirnya telah menyunggingkan seulas senyum.
"Maaf, Ratu. Aku menemukan kipas di da-
lam kedai. Sudah usang dan berkarat. Tadi waktu 
berjalan kemari ku buang! Apa Ratu suka ki-
pas...? Nanti akan kucarikan...."
Ratu Pulau Merah tertawa pendek.
"Kau nyatanya tidak hanya pandai omong, 
tapi juga pandai berkata bohong. Kuberi kesem-
patan sekali lagi. Jawab dengan jujur perta-
nyaanku!"
"Ratu. Rasanya tidak ada gunanya berkata 
bohong padamu. Kau telah mendengar kata-
kataku dengan jujur!"
Ratu Pulau Merah sunggingkan senyum ge-
lak. Kesabarannya telah habis. Seraya melangkah 
satu tindak ke depan ia berkata.
"Nampaknya kau lebih suka dikasari dari-
pada berkata jujur!"
Bersamaan dengan selesainya ucapannya, 
tubuhnya melesat ke depan. Kedua tangannya
disentakkan ke arah kepala Pendekar 108.
Wuutttt!
Pendekar 108 tidak tinggal diam. Kedua 
tangannya pun diangkat ke atas kepala.
Desss! Deessss! 
Kedua tangan Ratu Pulau Merah beradu 
dengan tangan Pendekar 108. Perempuan berpa-
ras cantik ini keluarkan seruan perlahan. Kakinya 
surut dua langkah. Sepasang matanya menyipit 
dan membesar. Ia memang sengaja mengadu tan-
gannya lagi, untuk meyakinkan bahwa sang pe-
muda adalah seperti yang ia duga. Dan ia sema-
kin yakin, karena meski kedua tangannya tidak 
cedera namun ia segera maklum jika sang pemu-
da memiliki tenaga dalam kuat. Sadar akan hal 
itu, Ratu Pulau Merah tak mau main-main lagi. 
Ketika untuk kesekian kalinya melancarkan se-
rangan, ia kerahkan seluruh tenaga dalamnya. 
Hingga saat itu juga gelombang angin dahsyat 
serta berlarik-larik sinar hitam mendera ke arah 
Pendekar 108!
Pendekar 108 menggumam tak karuan. Se-
raya membentak ia lesatkan dirinya ke udara. Da-
ri atas udara kedua tangannya dihantamkan ke 
depan menangkis serangan Ratu Pulau Merah.
Plaarrrr!
Letupan keras segera membuncah tempat 
itu. Karena Ratu Pulau Merah telah kerahkan se-
luruh tenaga dalamnya, hingga meski terjadi ben-
trok pukulan, tubuhnya tak bergeming sama se-
kali.
Aji segera undurkan langkah. Tapi baru sa
ja melangkah, Ratu Pulau Merah telah kembali 
menerjang dengan kedua kaki terpentang!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera men-
gelak dengan melompat ke samping kanan, na-
mun gerakannya tertahan karena kaki kiri Ratu 
Pulau Merah telah menghadang. Untuk menghin-
dar, tak ada jalan lain bagi murid Wong Agung ini 
kecuali dengan tarik kembali tubuhnya ke samp-
ing kanan. Namun gerakannya kalah cepat den-
gan kaki kiri Ratu Pulau Merah yang tampaknya 
telah tahu ke mana arah tubuh Pendekar Mata 
Keranjang hendak bergerak. 
Deessss!
Pendekar Mata Keranjang keluarkan se-
ruan tertahan. Tubuhnya mencelat ke samping 
begitu kaki kiri Ratu Pulau Merah menghajar ba-
hu kanannya. Dan pekikan dari mulut Aji terden-
gar saat tubuhnya menghantam pohon besar dan 
jatuh terduduk.
Ratu Pulau Merah tertawa panjang. Den-
gan sepasang mata tak kesiap, ia melangkah per-
lahan mendekat.
"Meski kau tak mau mengatakan siapa kau 
sebenarnya, aku yakin kaulah manusia bergelar 
Pendekar Mata Keranjang 108! Nasibmu sungguh 
malang, Pendekar! Karena kau harus ikut me-
nanggung dosa gurumu Wong Agung keparat itu, 
yang telah membunuh guruku!"
"Ratu. Rupanya kau belum bisa memisah-
misahkan masalah. Urusanmu adalah dengan 
Wong Agung, bukan dengan aku! Terlalu bodoh 
jika kau menumpahkan dendammu padaku! Lagi
pula, gurumu pastilah orang sesat jika sampai 
guruku bertindak padanya!"
Ratu Pulau Merah kembali keluarkan tawa 
panjang mendengar ucapan Pendekar 108. Na-
mun tiba-tiba tawanya terhenti. Tubuhnya berke-
lebat dan tahu-tahu telah dua langkah di hada-
pan Aji dan serta-merta kedua tangannya meng-
hantam ke arah kepala Pendekar108!
Meski terkejut, namun murid Wong Agung 
ini segera rundukkan kepalanya dan dihantam-
kan ke arah perut Ratu Pulau Merah. 
Deesss!
Ratu Pulau Merah keluarkan keluhan pen-
dek. Namun bersamaan itu, kedua tangannya 
menghentak ke bawah.
Pendekar Mata Keranjang 108 menyambuti 
pukulan itu dengan dorong tangannya. Hingga ke-
jap itu juga terdengar kembali letupan keras. Na-
mun belum lenyap suara letupan, Ratu Pulau Me-
rah telah menerjang!
Pendekar 108 tampaknya tertipu, karena 
serangan yang dilancarkan Ratu Pulau Merah tadi 
hanya untuk mencari kesempatan ruang gerak 
Aji. Karena begitu Pendekar 108 kirimkan seran-
gan tangkisan, ia segera menerjang! Aji mau tak 
mau jadi terkejut. Namun murid Wong Agung ini 
tak mau begitu saja menyerah. Begitu terjangan 
datang, ia cepat angkat tangannya dan dihantam-
kan menyamping. Namun lagi-lagi ia tertipu, ka-
rena Ratu Pulau Merah tarik pulang kakinya. Tu-
buhnya berputar dan serta-merta kakinya melayang ke arah kepala Pendekar 108.
Pendekar 108 merinding tengkuknya. Ka-
rena ia sudah kirimkan serangan, ia tak bisa 
mengelak lagi. Meski tangan satunya sempat di-
angkat untuk menangkis, namun terjangan kaki 
Ratu Pulau Merah telah terlebih dahulu mener-
jang tengkuknya!.
Beekkkk!
Tubuh Pendekar 108 berputar kencang, la-
lu roboh di atas tanah!
"Hmm.... Dia tak main-main, dan memang 
ingin membunuhku! Meski dia tak menggunakan 
senjata, aku terpaksa menggunakan kipasku! Dia 
terlalu bahaya jika dilawan dengan tangan ko-
song!" kata Aji dalam hati seraya merayap bang-
kit. Sepasang matanya melirik ke arah Ratu Pulau 
Merah yang saat itu tampak memejamkan sepa-
sang matanya.
Melihat sikapnya ternyata diam-diam Ratu 
Pulau Merah sedang kerahkan tenaga dalamnya, 
karena sesaat kemudian tangannya telah berge-
rak menghantam ke arah Pendekar 108, padahal 
saat itu Pendekar Mata Keranjang sedang tarik 
kipas ungu dari balik baju hijaunya.
"Celaka! Serangannya harus kuhindari da-
hulu!" gumam Pendekar 108 seraya cepat bangkit 
dan berkelebat, namun gerakan murid Wong 
Agung ini tertahan, karena dari arah samping 
menderu angin kencang. Lalu.... 
Plaarrrr!
Hamparan angin pukulan Ratu Pulau Me-
rah terhadang dan ambyar di tengah jalan sebe-
lum mengenai sasaran. Bahkan baik tubuh Aji
maupun tubuh Ratu Pulau Merah tampak tersu-
rut masing-masing tiga langkah.
"Bangsat! Siapa jahanam yang ikut-ikutan 
urusan orang?!" teriak Ratu Pulau Merah dan ce-
pat palingkan wajah ke samping, demikian juga Pendekar 108.


SEPULUH

BERSAMAAN dengan berpalingnya Ratu 
Pulau Merah dan Pendekar 108, terdengar suara 
cekikikan tawa panjang bersahut-sahutan dengan 
suara gemerincing anting-anting.
Ratu Pulau Merah geser kakinya ke bela-
kang karena terkejut. Sedangkan Pendekar 108 
urungkan niat untuk keluarkan kipas ungunya 
demi mengetahui siapa adanya yang keluarkan 
cekikikan.
"Dewi Kayangan...," gumam Aji dengan 
pandangan tak berkedip. "Bagaimana dia tahu-
tahu muncul di sini...? Mengikuti perjalananku? 
Atau...? Dan ke mana Eyang Selaksa...? Bukan-
kah dia sewaktu di lereng Gunung Arjuna masih 
sama-sama Eyang Selaksa...?" Habis membatin 
begitu, murid Wong Agung ini melangkah hendak 
mendekat, karena saat itu orang yang keluarkan 
tawa cekikikan dan bukan lain adalah Dewi 
Kayangan tampak tengadah tak memandang Pen-
dekar 108 dan Ratu Pulau Merah.
Namun belum sampai Pendekar Mata Ke-
ranjang bergerak, Dewi Kayangan telah angkat bicara.
"Anak monyet! Kenapa kau masih berku-
tat-kutat di daerah sini? Dengan gadis cantik lagi. 
Apa dia kekasihmu...?"
Ratu Pulau Merah kernyitkan dahi. Sepa-
sang matanya membesar memperhatikan. "Pe-
rempuan bertubuh gemuk besar. Bibirnya merah 
menyala. Rambutnya disanggulkan ke atas, se-
mentara telinganya hanya mengenakan anting-
anting sebelah. Hmm...," sejenak kepala Ratu Pu-
lau Merah mendongak.
"Di rimba persilatan ini hanya seorang ber-
gelar Dewi Kayangan yang mempunyai ciri-ciri 
demikian. Apa dia Dewi Kayangan...? Hmm.... Apa 
hubungannya dengan pemuda itu? Bukankah 
Dewi Kayangan telah lama tak muncul ke rimba 
persilatan? Urusan akan kacau jika dia ikut-
ikutan. Kudengar Dewi Kayangan adalah seorang 
berilmu tinggi! Seandainya aku telah berhasil 
mempelajari isi bumbung bambu, aku tak akan 
berpikir dua kali untuk menghadapinya! Tapi aku 
tak akan diam begitu saja!" lalu perempuan ber-
paras cantik ini luruskan kepalanya dan keluar-
kan bentakan galak.
"Tua bangka! Siapa kau...? Jangan berani 
berlaku lancang jika tak ingin babak belur!"
Dewi Kayangan cekikikan. Kali ini meski 
kepalanya ikut bergerak-gerak, namun gemerinc-
ing anting-antingnya tak lagi terdengar.
"Anak monyet!" kata Dewi Kayangan sambil 
arahkan pandangan matanya yang besar ke arah 
Pendekar108.

"Kau dengar kekasihmu itu mengancam-
ku...? Apa kau tak pernah cerita padanya tentang 
nenekmu yang cantik ini, he...? Hik... hik... 
hik...!"
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya 
dengan punggung tangan kanan, kepalanya ber-
gerak menggeleng.
"Dewi. Dia bukan...," Aji tak meneruskan 
ucapannya, karena saat itu pula Ratu Pulau Me-
rah telah menyela dengan suara tinggi.
"Tua bangka! Jaga mulutmu! Siapa bilang 
pemuda tengik itu kekasihku?! Jangan banyak 
omong, lekas jawab tanyaku!"
"Ooo.... Jadi kalian bukan sepasang keka-
sih...? Tapi kenapa berada di tempat sepi berdua-
duaan...?!"
Wajah cantik Ratu Pulau Merah berubah 
merah mengelam. Namun perempuan ini belum 
berani bertindak, ia sadar perempuan tua bertu-
buh gemuk besar bukanlah orang yang bisa di-
anggap remeh. Dan untuk meyakinkan diri bahwa 
yang dihadapinya adalah orang yang bergelar De-
wi Kayangan, ia berkata.
"Tua keparat! Kalau tak salah, bukankah 
kau manusia jelek berjuluk Dewi Kayangan?!"
Mendengar dirinya disebut manusia jelek, 
Dewi Kayangan memperkeras cekikikannya.
"Hik... hik... hik...! Ternyata kau manusia 
berotak bebal! Sudah tahu masih juga bertanya-
tanya!"
Paras Ratu Pulau Merah makin mengelam. 
Sepasang matanya berkilat-kilat dengan tangan
mengepal, namun ia masih menahan amarahnya. 
Dan untuk menggertak Dewi Kayangan ia berka-
ta.
"Bagus! Dewi Kayangan. Buka matamu le-
bar-lebar. Apa kau sudah tahu berhadapan den-
gan siapa saat ini?!"
Yang ditanya menyambuti kata-kata Ratu 
Pulau Merah dengan mendongak seraya tawa ce-
kikikan malah cekikikannya dibuat tersendat-
sendat seperti orang tersedak.
"Kalau kau suruh menebak, baiklah. Kalau 
tak salah...," Dewi Kayangan hentikan ucapannya 
sebentar, lalu melanjutkan.
"Kalau tak salah kau adalah manusia ber-
gelar Kontal-Kantil! Betul...? Hik... hik... hik...! 
Jawabanku pasti tak salah!"
Ratu Pulau Merah menggeram. Dadanya 
berdegup makin kencang.
"Manusia setan ini tak bisa diancam atau 
digertak. Hm.... Tak ada salahnya aku mencoba 
ilmunya. Hitung-hitung sebagai penjajakan...," 
membatin Ratu Pulau Merah. Lalu ia melangkah 
maju, mulutnya membuka hendak keluarkan ka-
ta-kata. Namun sebelum kata-katanya terdengar, 
Dewi Kayangan telah berucap.
"Kontal-Kantil! Meski wajahmu cantik, na-
mun baumu tidak enak! Sebaiknya kau segera 
tinggalkan tempat ini, sebelum aku muntah men-
cium baumu! Hik... hik... hik...!"
Mendengar ucapan Dewi Kayangan, Pende-
kar 108 mau tak mau tertawa, sementara Ratu 
Pulau Merah mendengus keras. Kesabaran perempuan ini sudah tak dapat ditahan lagi. Maka 
begitu Dewi Kayangan selesai berkata, ia mem-
bentak garang, tubuhnya berkelebat. Dan tahu-
tahu kakinya telah lurus mengarah pada kepala 
Dewi Kayangan.
Cekikikan Dewi Kayangan tiba-tiba lenyap. 
Kedua kakinya menekuk. Begitu terjangan kaki 
Ratu Pulau Merah lewat sejengkal di atas kepa-
lanya, dia segera angkat tangannya.
Beekkk! 
Angin deras laksana gelombang menyam-
but tubuh Ratu Pulau Merah yang ada di atasnya. 
Perempuan cantik ini terpekik kaget. Meski dia 
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menghin-
dar, namun gerakan Dewi Kayangan lebih cepat. 
Hingga tak ampun lagi pantat Ratu Pulau Merah 
terhantam tangan Dewi Kayangan.
Tubuh Ratu Pulau Merah membumbung 
tinggi ke atas. Tapi tiba-tiba perempuan cantik ini
keluarkan seruan. Tubuhnya mendadak lenyap. 
Dan tahu-tahu gelombang angin dahsyat me-
nyambar deras ke arah Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan keluarkan gerendengan 
panjang pendek. Kedua tangannya diangkat ke 
atas kepala lalu diputar-putar.
Terjadi hal yang hampir tak dapat diper-
caya. Gelombang angin yang datang menyambar 
ke arah Dewi Kayangan tiba-tiba tertahan. Dan 
Dewi Kayangan luruhkan tangannya dan dido-
rong, gelombang angin itu melesat balik ke udara! 
Dan hebatnya, lesatan balik gelombang angin ini 
lebih cepat daripada datangnya!
Bersamaan dengan mentalnya kembali ge-
lombang angin, tiba-tiba terdengar pekikan terta-
han. Ternyata Ratu Pulau Merah yang baru saja 
lancarkan serangan dari udara tidak dapat meng-
hindar dari mentalan serangannya sendiri, hingga 
kejap itu juga tubuhnya berputar dan menukik 
deras sebelum akhirnya jatuh terduduk!
Namun, perempuan cantik ini sepertinya 
tak merasakan sakit. Ia bergerak bangkit dengan 
cepat. Dan serta-merta kedua tangannya dihan-
tamkan ke depan.
Wuuttt!
Dewi Kayangan yang masih berdiri dengan 
celingukan putar tubuhnya. Hebatnya. saat itu 
juga entah dari mana datangnya, tiba-tiba asap 
putih menghampar. Lalu terdengar suara cekiki-
kan sebentar kemudian lenyap.
Anehnya, bersamaan lenyapnya suara ce-
kikikan, hamparan asap putih pun lenyap dan se-
rangan yang dilancarkan Ratu Pulau Merah 
menghajar tempat kosong.
"Jahanam! Ke mana perempuan gendut 
itu?! Seandainya saja ... Ya, seandainya saja aku 
telah mempelajari bumbung bambu.... Akan ku-
pergunakan kipas hitam ini!" kata Ratu Pulau Me-
rah dalam hati dengan sepasang mata menebar 
mencari-cari, karena sosok Dewi Kayangan ter-
nyata telah lenyap!
Pendekar 108 yang sedari tadi hanya diam 
memperhatikan juga ikut-ikutan melayangkan 
pandangannya mencari sosok Dewi Kayangan. 
Namun sampai agak lama, baik Ratu Pulau Merah maupun Pendekar 108 tak menemukan sosok 
Dewi Kayangan.
"Gila! Ke mana perginya...?" gumam Aji 
sambil tarik-tarik kuncir rambutnya.
"Keparat! Apa dia sudah mampus? Tapi ji-
ka benar mampus ke mana mayatnya?!" sekali la-
gi Ratu Pulau Merah tebarkan pandangannya 
berkeliling. Mendadak perempuan ini terperan-
gah. Lima tombak di sampingnya terlihat pohon 
besar yang kulitnya telah mengelupas hangus dan 
daunnya berguguran berdiri kokoh.
"Gila! Bukankah pohon itu tadi telah tum-
bang? Kenapa sekarang berdiri lagi...?!"
Pendekar 108 ikut-ikutan melengak kaget 
dengan berdirinya pohon yang tadi telah tumbang 
akibat terkena terjangan Ratu Pulau Merah.
"Apa ada setan gundul yang main-main ba-
tang pohon...?"
Mungkin karena penasaran, Ratu Pulau 
Merah cepat melangkah ke arah pohon yang ku-
litnya telah mengelupas dan tiba-tiba berdiri itu. 
Namun seraya melangkah mendekati, perempuan 
ini siapkan pukulan.
Tiba-tiba dari balik pohon itu terdengar su-
ara tawa cekikikan. Lalu sekonyong-konyong 
muncul kepala Dewi Kayangan dengan mengge-
leng pulang balik.
Pendekar 108 tak bisa lagi menahan leda-
kan tawanya. Sementara Ratu Pulau Merah cepat 
hantamkan kedua tangannya.
Namun bersamaan dengan menghantam-
nya tangan Ratu Pulau Merah, pohon itu bergerak
roboh menyongsong pukulan Ratu Pulau Merah!
Braakkk!
Batang pohon mental dan hancur berkep-
ing-keping.
Tiba-tiba terdengar suara cekikikan. Ratu 
Pulau Merah cepat berpaling ke samping.
"Jahanam! Mampus kau kali ini!" secepat 
kilat Ratu Pulau Merah sentakkan kedua tangan-
nya.
Seberkas sinar hitam berkilat dan memba-
wa hawa panas segera menggebrak ke arah Dewi 
Kayangan yang saat itu berada enam langkah di 
sampingnya.
Dewi Kayangan bantingkan dua kakinya di 
atas tanah. Tubuhnya melenting ke udara. Dari 
atas udara tiba-tiba menghampar bayangan me-
rah meliuk yang disertai dengan suara deruan.
Ratu Pulau Merah yang tidak menduga jika 
lawan bisa menghindari serangannya tampak ter-
kejut. Dan makin kaget tatkala dari udara tampak 
meliuk bayangan berwarna merah.
Belum sempat Ratu Pulau Merah bergerak 
menghindar, liukan bayangan merah yang ternya-
ta adalah sehelai selendang merah telah melilit 
tubuh dan tangannya. Meski perempuan ini ke-
rahkan segenap tenaga dalamnya, namun lilitan 
itu tak bisa dilepaskannya. Bahkan tatkala dari 
atas udara Dewi Kayangan putar pergelangan 
tangan kanannya yang memegang ujung selen-
dang, Ratu Pulau Merah terpekik kesakitan.
Dewi Kayangan seraya cekikikan lantas 
melayang turun dan bersamaan dengan itu tangannya diangkat lalu ditarik lagi ke bawah. Ratu 
Pulau Merah makin keras memekik, dan tiba-tiba 
tubuhnya terangkat ke atas.
Dewi Kayangan tarik sedikit ujung selen-
dangnya pulang balik, membuat tubuh Ratu Pu-
lau Merah terlihat maju mundur di udara.
"Anak monyet! Apa kau tak ingin main 
layang-layang...?" seraya berkata ujung selendang 
di tangan kanannya dilemparkan pada Aji. Dan 
belum sampai Pendekar 108 menangkap ujung 
selendang, di udara Ratu Pulau Merah menjerit 
lengking. Karena bersamaan dengan bergeraknya 
ujung selendang, tubuh Ratu Pulau Merah makin 
terlilit dan tertarik kencang.
"Hik... hik... hik...! Aneh. Baru kali ini ada 
layang-layang bisa keluarkan suara menjerit-
jerit...!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan mele-
sat menyambar kembali ujung selendangnya. Lalu 
tiba-tiba tubuhnya berputar. Kembali terdengar 
jeritan Ratu Pulau Merah. Tapi kali ini tubuhnya 
tampak menukik turun dengan derasnya. Dan se-
tengah depa lagi tubuh Ratu Pulau Merah meng-
hempas tanah, tangan Dewi Kayangan menyen-
tak.
Weerrrr!
Lilitan selendang pada tubuh Ratu Pulau 
Merah terlepas, namun bersamaan dengan itu, 
tubuh Ratu Pulau Merah berputar dan jatuh ber-
gulingan di atas tanah!
"Jahanam! Aku harus segera tinggalkan 
tempat ini. Aku harus cepat mempelajari isi dalam bumbung bambu. Rupanya banyak tokoh-
tokoh yang telah lama menghilang muncul lagi. 
Hmm.... Ini mungkin ada kaitannya dengan geger 
Arca Dewi Bumi. Jika aku tidak segera mempela-
jari, bukan tak mungkin aku hanya sebagai anak 
bawang...," membatin Ratu Pulau Merah. Lalu 
dengan perlahan-lahan sambil melirik pada Dewi 
Kayangan, perempuan ini merambat bangkit. 
"Dewi Kayangan, dan kau, anak monyet! 
Aku belum kalah, suatu hari nanti kita buktikan 
siapa yang berhak mampus terlebih dahulu! Ingat 
itu!"
Habis berkata begitu, Ratu Pulau Merah 
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Pendekar Mata Keranjang 108 sebenarnya 
hendak bergerak mengejar, namun gerakannya 
tertahan tatkala Dewi Kayangan cekikikan seraya 
berkata.
"Apa kau tertarik padanya...?"


SEBELAS


PENDEKAR 108 hentikan langkah dan ber-
paling pada Dewi Kayangan. "Dewi, ini bukan soal 
tertarik atau tidak. Tapi orang macam dia perlu 
diberi peringatan keras. Dia mendendam pada 
Eyang Wong Agung, dan...," Aji tak meneruskan 
kata-katanya, karena Dewi Kayangan telah me-
nyahut.
"Sudahlah! Suatu hari kelak, dia pasti 
akan memperoleh ganjarannya sendiri! Dan aku
yakin, kau akan bertemu dengannya lagi!"
Pendekar Mata Keranjang 108 anggukkan 
kepala.
"Dewi. Beberapa hari yang lalu Eyang Se-
laksa bersamamu, apa dia telah balik ke Kam-
pung Blumbang...?"
"Hikkk... hik... hik...! Kau rupanya suka 
usil dengan hubungan orang tua. Pulang atau ti-
dak apa pedulimu? Dengar baik-baik, anak mo-
nyet! Kau sekarang tak usah berpikir macam-
macam! Tugasmu kali ini amat berat. Kau tahu, 
siapa perempuan yang baru saja minggat itu...?"
Pendekar 108 gelengkan kepala.
"Dia adalah seorang tokoh sesat seangka-
tan dengan gurumu Wong Agung. Kalau orang 
macam dia telah berkeliaran lagi, demikian juga 
munculnya Dadung Rantak, dan kudengar telah 
muncul pula Dayang Naga Puspa, Jogaskara, Ba-
wuk Raga Ginting, Gembong Raja Muda, Restu 
Canggir Rumekso, Malaikat Berdarah Biru, Datuk 
Lembah Neraka, serta banyak lagi tokoh berilmu 
tinggi, maka rimba persilatan sudah pasti akan 
diguncang kegegeran. Dan munculnya tokoh-
tokoh tersebut tentunya bukan tanpa sebab...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersurut dua 
tindak mendengar keterangan Dewi Kayangan.
"Jadi.... Tokoh-tokoh tersebut telah berke-
liaran lagi...?"
"Hmm… Begitulah. Tapi kemunculan me-
reka kali ini dengan jalan sembunyi-sembunyi. 
Dan satu hal yang tampak, di antara mereka ti-
dak mau kedahuluan satu sama lain!"
"Apakah tujuan mereka memburu Arca 
Dewi Bumi?" tanya Aji.
"Kalau melihat kemunculan mereka ber-
samaan dengan tersebarnya berita tentang arca 
itu, maka sudah barang tentu tujuan mereka ada-
lah memburu arca itu. Namun bisa jadi di antara 
mereka ada yang muncul karena ingin balas den-
dam! Maka dari itu aku sengaja mengikuti perja-
lananmu. Tapi ingat, aku hanya bisa sampai di 
sini saja. Masih ada yang harus kuselesaikan! 
Lain kali kau harus lebih berhati-hati!"
Pendekar Mata Keranjang memandang le-
kat-lekat pada Dewi Kayangan.
"Hmm.... Dewi Kayangan, Dewi Bayang-
Bayang, Gongging Baladewa, mereka rupanya be-
gitu memperhatikan diriku. Aku berhutang budi 
pada mereka...," kata Aji dalam hati. Lalu sambil 
menjura hormat, Pendekar 108 berkata. 
"Dewi. Aku berterima kasih atas jerih 
payahmu selama ini...."
Melihat sikap Pendekar Mata Keranjang, 
Dewi Kayangan keluarkan cekikikannya.
"Anak monyet bodoh! Kau tak perlu berte-
rima kasih begitu rupa! Semua ini semata-mata 
demi ketenangan rimba persilatan, dan itu sudah 
menjadi tugas setiap manusia yang berjalan di ja-
lur kebenaran! Nah, aku sudah capek omong me-
lulu! Aku ingin tertawa!"
Habis berkata begitu, dari mulut Dewi 
Kayangan keluar suara cekikikan. Panjang dan 
bersahut-sahutan dengan gemerincing anting-antingnya.

Pendekar Mata Keranjang 108 hanya bisa 
geleng-gelengkan kepala seraya kerahkan tenaga 
dalamnya untuk menangkis suara cekikikan dan 
gemerincing anting-anting yang begitu menusuk 
telinga!
"Gila! Bicara masalah penting ujung-
ujungnya hanya ingin cekikikan!" omel Pendekar 
Mata Keranjang dalam hati lantas bergerak jong-
kok dan memandangi Dewi Kayangan dengan 
tangan bertopang pada dagu.
Setelah puas dengan cekikikannya, tanpa 
berkata dan memandang, Dewi Kayangan balik-
kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat 
itu.
"Dewi. Tunggu...!" tahan Pendekar 108 
dengan bangkit dan berkelebat menyusul. Namun 
sosok Dewi Kayangan telah lenyap. Yang ada ha-
nyalah suara cekikikannya yang bersahut-
sahutan dengan gemerincing anting-antingnya-
yang makin lama makin menjauh sebelum akhir-
nya tak terdengar sama sekali.
Pendekar Mata Keranjang 108 usap wajah-
nya dengan telapak tangan. Lalu menghela napas 
panjang.
"Menurut keterangan Dewi Kayangan, ru-
panya rimba persilatan telah bagaikan api dalam 
sekam dan setiap saat bisa menyala dan memba-
kar ke mana-mana! Hmm.... Aku harus segera 
menemukan Sahyang Resi Gopala!" 
Berpikir demikian, Pendekar dari Karang 
Langit ini pun lantas berkelebat ke arah timur di 
mana telah tampak gugusan dua buah gunung
yang berhadap-hadapan.

DUA BELAS

DUA penunggang kuda terlihat berpacu ce-
pat melintasi malam yang sudah kian mengelam. 
Hawa dingin menusuk serta hembusan angin 
yang menebar kencang seakan tak dihiraukan 
oleh kedua penunggang ini. Mereka terus melari-
kan kuda tunggangannya masing-masing bahkan 
tak jarang tangan kanan sang penunggang me-
nyentak punggung kuda tunggangannya agar da-
pat berlari lebih kencang.
Baru ketika memasuki kawasan hutan ke-
cil di kaki dua buah gunung yang berhadap-
hadapan, dua penunggang kuda ini hentikan ku-
da masing-masing.
"Apakah benar dua gunung di hadapan ki-
ta itu yang disebut orang Gunung Kembar?!" ber-
kata penunggang kuda di sebelah kiri. Dia adalah 
seorang gadis berparas jelita. Kulitnya putih mu-
lus. Mengenakan pakaian warna putih tipis yang 
dibuat memanjang sampai paha. Sementara pa-
kaian bawahnya berupa sarung gombrong kem-
bang-kembang. Walau pakaian bawahnya ini 
gombrong, namun di bagian tengahnya dibuat 
membelah panjang. Hingga tatkala duduk di atas 
kuda, sepasang pahanya yang putih mulus terli-
hat jelas. Sepasang matanya bulat dan tajam. Bu-
lu matanya panjang dan lentik. Meski rautnya je-
lita, namun gadis ini tampak garang. Bibirnya tak
pernah menyunggingkan seulas senyum. Semen-
tara sepasang matanya terus berputar liar. Ram-
butnya yang sengaja dipotong pendek menambah 
kegarangan tampangnya
Gadis jelita ini memang baru dua tahun 
muncul. Dia muncul dari kawasan timur, tepat-
nya dari Pulau Bima. Di kawasan timur, kemun-
culannya langsung menebar keguncangan. Ba-
nyak tokoh-tokoh berilmu tinggi di kawasan timur 
dibuatnya tewas. Beberapa tokoh yang coba-coba 
bersekutu dan hendak membuat perhitungan 
dengannya bukan saja tak berhasil, namun satu 
persatu di antara mereka raib begitu saja dan ta-
hu-tahu telah tewas dengan keadaan menge-
naskan!
Karena kecantikan dan kekejamannya itu-
lah, orang-orang rimba persilatan di kawasan ti-
mur menggelari gadis ini Bidadari Bertangan Iblis.
Sedang penunggang kuda di sebelah kiri 
adalah juga seorang gadis muda, parasnya juga 
jelita. Mengenakan pakaian warna hijau muda 
yang di bagian dadanya dibuat agak rendah, 
hingga dadanya yang tampak membusung ken-
cang terlihat sedikit menyembul. Rambutnya pan-
jang dan dikepang dua. Seperti halnya Bidadari 
Bertangan Iblis, pakaian bawah gadis berbaju hi-
jau ini pun dibuat membelah di bagian tengah, 
hingga pahanya pun terlihat jelas.
Tak beda dengan Bidadari Bertangan Iblis, 
meski berwajah cantik jelita, namun kesan berin-
gas tak bisa disembunyikan dari raut muka gadis 
berbaju hijau ini. Malah beberapa kali gadis ini
tampak meludah ke tanah dengan kedua tangan 
berkacak di atas pinggang.
Konon, kemunculan gadis berbaju hijau ini 
memang bersamaan dengan munculnya Bidadari 
Bertangan Iblis. Dan kemunculannya pun lang-
sung membawa kegegeran. Karena tak segan-
segan gadis ini mendatangi beberapa tokoh dan 
ditantangnya. Banyak tokoh silat baik dari golon-
gan hitam apalagi dari golongan putih yang telah 
berhasil dikalahkan dan dibunuh.
Karena keganasan ini pulalah yang menye-
babkan orang-orang di kawasan timur menggelari 
gadis berbaju hijau ini dengan julukan Singa Be-
tina Dari Timur. 
Menurut kabar yang tersebar, kedua gadis 
berparas cantik jelita ini memang masih saudara 
seperguruan. 
Setelah menguasai rimba persilatan di dae-
rah timur, tampaknya dua gadis ini ingin mele-
barkan langkahnya, apalagi ketika mereka berdua 
mendengar keterangan gurunya tentang rahasia 
Arca Dewi Bumi. Maka dengan berbekal ilmu 
tinggi, kedua gadis ini pun melakukan perjalanan 
ke tanah Jawa. Sampai akhirnya kedua gadis ini 
tiba di hutan kecil di kaki Gunung Kembar.
"Kau yakin jika gunung itu yang bernama 
Gunung Kembar?!" kembali gadis berbaju putih 
atau Bidadari Bertangan Iblis ajukan pertanyaan. 
Kali ini kepalanya ikut berpaling pada Singa Beti-
na Dari Timur.
Sejenak si gadis berbaju hijau Singa Betina 
Dari Timur luruskan pandangannya memandang
ke arah gunung. Lalu kepalanya menunduk sedi-
kit dan tanpa menoleh ia berkata.
"Menurut yang kudengar, di tanah Jawa 
hanya ada satu daerah yang memiliki dua buah 
gunung yang saling berhadapan. Daerah itu ada-
lah daerah Bokor. Dan gunung itu adalah Gu-
nung Kembar!"
Bidadari Bertangan Iblis palingkan kembali 
wajahnya memandang ke arah Gunung Kembar.
"Kalau itu benar, berarti sebelum matahari 
terbit kita telah sampai di tempat tujuan. Bukan-
kah yang kita tuju adalah daerah di sela dua gu-
nung itu?!"
Singa Betina Dari Timur anggukkan kepa-
lanya. Namun tiba-tiba wajahnya dirambahi ke-
bimbangan.
"Apakah benar tentang adanya Arca Dewi 
Bumi itu? Kalau benar ada kenapa tokoh-tokoh di 
tanah Jawa tak ada yang mencoba memburunya? 
Kulihat di sini sepi-sepi saja. Bahkan nyamuk 
pun tak tampak berkeliaran...! Apakah cerita arca 
itu bohong belaka...?" Singa Betina Dari Timur ini 
mengatakan apa yang ada dalam benaknya pada 
Bidadari Bertangan Iblis. Kemudian ajukan per-
tanyaan. "Menurutmu bagaimana...?" 
"Aku belum bisa menduga. Tapi kita tak 
perlu terpancing dengan semua itu. Mungkin saja 
tokoh-tokoh di tanah Jawa belum tahu rahasia 
tentang Arca Dewi Bumi. Dan jika itu benar, ma-
ka itu adalah sebuah keuntungan besar bagi kita!"
Singa Betina Dari Timur yang berbaju hijau
anggukkan kepalanya. Namun kegundahan tam-
paknya belum bisa dihapus dari raut wajahnya.
"Kalau ternyata keterangan Guru tidak ter-
bukti...?" tanya Singa Betina Dari Timur sambil 
mengusap lehernya yang dibasahi keringat.
"Guru bukan orang sembarangan. Kalau 
dia memberi petunjuk pada kita, apalagi perjala-
nannya saja sudah memerlukan berminggu-
minggu, kukira dia tak akan berdusta! Lagi pula 
apa untungnya jika dia berkata dusta pada ki-
ta...?"
"Yah, semuanya kita buktikan nanti!" tukas 
Singa Betina Dari Timur. la lalu tengadah ke lan-
git. Mendadak gadis cantik ini terkejut. Saking 
terkejutnya dari mulutnya keluar jeritan perla-
han.
Melihat tingkah saudara seperguruannya. 
Bidadari Bertangan Iblis ikut-ikutan tengadahkan 
kepala. Seperti halnya Singa Betina Dari Timur. 
gadis ini pun melengak kaget.
Di atas angkasa tampak rembulan bersinar 
terang. Padahal sesaat yang lalu angkasa tampak 
gelap gulita. Anehnya, sang bulan itu tidak ber-
warna putih kekuningan seperti biasanya, me-
lainkan berwarna merah darah!
"Isyarat apa ini...?!" tanya Singa Betina Da-
ri Timur seraya memandangi bulan tanpa berke-
dip.
Meski hatinya dihantui perasaan bercam-
pur aduk, namun si baju putih Bidadari Bertan-
gan Iblis tampaknya lebih tegar. Tanpa mengalih-
kan pandangan ke angkasa, ia berkata.
"Kalau kita menurutkan perasaan dan 
isyarat macam-macam, kita tak akan sampai tu-
juan dengan mulus! Kita teruskan perjalanan! Ki-
ta jangan tersurut hanya karena rembulan beru-
bah warna!"
Habis berkata, Bidadari Bertangan Iblis ce-
pat sentakkan tali kekang kuda tunggangannya.
Singa Betina Dari Timur sejenak masih te-
tap mendongak.
"Isyarat kadang-kadang memang terbukti, 
namun kali ini aku tak percaya akan hal itu!"
Gadis cantik berbaju hijau ini pun lantas 
tarik tali kekang kuda tunggangannya dan me-
nyusul saudara seperguruannya.


                            SELESAI


Ikuti kisah selanjutnya:
ARCA DEWI BUMI

















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive