"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE SELUBUNG TABIR HITAM

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU



NAUNGAN mata langit kini mulai memerah. Si-

nar matahari tak lagi segarang siang tadi. Bersamaan 

senja yang datang, kendati masih menampakkan sisa-

sisa kegarangannya, tetapi matahari kali ini lebih ba-

nyak bersikap berteman dengan penghuni bumi. Tidak 

lagi bersorot ganas.

Pemuda berompi ungu yang kedua tangannya 

sebatas siku bersisik coklat itu menegakkan kepala di 

sebuah jalan setapak. Sebelumnya pemuda berwajah 

tampan ini baru saja berlari, tetapi mendadak dihenti-

kannya larinya. Rambutnya yang gondrong beriap-riap 

dipermainkan angin.

Si pemuda yang bukan lain Boma Paksi alias 

Raja Naga ini, mengarahkan pandangannya ke depan. 

Sorot matanya sedemikian tajam dan angker. Seperti 

mengandung satu kekuatan yang dapat melemahkan 

mental lawan.

Dilihatnya satu sosok tubuh yang sedang berja-

lan terhuyung ke arahnya. Kepala sosok tubuh yang 

ternyata seorang kakek ini menegak sesaat. Matanya 

yang agak memerah meredup memandangnya. Kehadi-

ran kakek itulah yang membuat Boma Paksi menghen-

tikan langkahnya. Bukan dikarenakan dia mengenali si 

kakek, melainkan dia melihat langkah si kakek yang 

limbung seperti sedang mengalami penderitaan. 

Boma Paksi hendak berkata, tetapi kakek ber-

pakaian hitam dengan jubah biru itu mendadak saja 

terhuyung disertai suara tertahan.

"Heiiii!!" Raja Naga cepat bertindak. Segera dis-

ambarnya tubuh tua yang hampir terbanting di atas 

tanah. Begitu berhasil disambarnya, si kakek berjubah


biru sudah jatuh pingsan.

"Astaga! Baru pertama kali berjumpa, sudah ja-

tuh pingsan seperti ini! Ada apa ini?" desisnya sambil 

merebahkan tubuh si kakek di atas tanah. Segera di-

periksanya keadaan si kakek. "Hemmm... pada bebera-

pa bagian tubuhnya terdapat bekas pukulan. Mungkin 

pukulan-pukulan itulah yang menyebabkannya ping-

san. Tetapi bisa jadi dia pingsan karena tenaganya te-

lah banyak terkuras...."

Di lain saat, pemuda tampan berompi ungu 

yang memperlihatkan dada bidangnya ini segera men-

galirkan tenaga dalamnya melalui kedua ibu jari kaki 

si kakek. Cukup lama dia melakukannya sebelum dili-

hatnya wajah pucat si kakek agak memerah.

Dihentikannya mengaliri tenaga dalamnya. Se-

jenak dipandanginya wajah si kakek yang kedua ma-

tanya masih terpejam.

"Siapakah kakek berjubah biru ini? Sebelum ini 

aku belum pernah melihatnya. Dan dari bekas puku-

lan di tubuhnya tentunya dia habis bertarung dengan 

seseorang. Ah, urusan apa lagi yang kuhadapi seka-

rang?" desisnya pelan. Lalu diedarkan pandangannya 

ke sekelilingnya. Sekelilingnya tetap sepi. Angin senja 

terus berhembus semilir. Beberapa helai dedaunan 

berguguran, melayang dan jatuh entah ke mana.

Setelah beberapa saat terdiam, pemuda gagah 

dari Lembah Naga ini berkata lagi, "Aku masih harus 

mencari Marinah yang telah dikuasai oleh ilmu hitam! 

Bila aku gagal mencarinya, bisa jadi dia telah banyak 

memakan korban. Padahal sampai sejauh ini aku be-

lum dapat memahami apa yang sebenarnya dikehen-

daki oleh Marinah...."

Lalu diingat-ingatnya awal mula dia berhada-

pan dengan istri Jaka yang telah tertitisi ilmu hitam


milik seorang manusia durjana. Juga diingatnya per-

jumpaannya lagi dengan Dewi Kerudung Jingga.

"Menurut Peramal Sakti, ilmu hitam itu berasal 

dari Patung Darah Dewa, yang keluar dikarenakan 

masuknya Kain Pusaka Setan. Ah, pantas tatkala Kain 

Pusaka Setan terbetot masuk ke dalam tubuh Patung 

Darah Dewa, ketegangan terpancar pada wajah si ka-

kek yang selalu mengusap-usap jenggot putih pan-

jangnya. Tetapi seperti yang dikatakannya belum lama 

ini, dia menjadi sedikit tenang ketika tak terjadi apa-

apa. Tetapi... ramalannya justru mengatakan lain. Ah, 

sebenarnya aku masih bingung siapakah yang harus 

kuhadapi...."

Kembali murid Dewa Naga itu terdiam seraya 

memandang si kakek yang masih pingsan. Dicobanya 

untuk mengingat-ingat apakah sebelumnya dia pernah 

berjumpa dengan kakek berjubah biru ini atau belum. 

Setelah sekali lagi diyakininya dia belum pernah ber-

temu dengan si kakek, diputuskan untuk menung-

guinya sampai siuman.

Setelah satu kali penanakan nasi berlalu, baru-

lah didengarnya si kakek mengeluarkan suara terta-

han.

"Jangan banyak bergerak!" desis Boma Paksi 

tatkala melihat si kakek telah membuka kedua ma-

tanya dan hendak bangkit.

Mendengar kata-kata orang di samping kanan-

nya, si kakek berjubah biru ini merebahkan lagi tu-

buhnya di atas tanah. Matanya dipejamkan rapat-

rapat. Kepalanya masih dirasakan pusing. Sesaat ke-

mudian dirasakannya satu aliran tenaga halus masuk 

melalui dadanya. Setelah beberapa saat, dirasakannya 

kalau nafasnya mulai teratur.

Boma Paksi yang tadi meletakkan telapak tangan kanannya di atas dada si kakek dan mengalirkan 

tenaga dalamnya, tersenyum begitu mendengar desa-

han napas teratur dari orang di hadapannya.

"Atur tenaga dalammu, Orang Tua...."

Si kakek segera melakukan apa yang dikatakan 

orang di samping kanannya. Dia sempat melihat seki-

las paras si pemuda tadi. Tak lama kemudian dibuka 

kedua matanya. Dipandanginya si pemuda yang se-

dang memandangnya sambil tersenyum.

Saat itu pula terlihat paras si kakek berubah.

"Astaga! Sorot matanya... sorot itu... begitu 

angker dan mengerikan!" desisnya dalam hati.

Boma Paksi tahu akan arti tatapan si kakek. 

Dia segera berkata, "Keadaanmu sudah normal kemba-

li. Bila kau tak keberatan, aku bersedia mendengarkan 

sebab-sebab kau terluka seperti ini...."

Kata-kata itu diucapkan penuh kesopanan, 

membuat si kakek mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Seraya menarik napas panjang, dia bangkit dengan 

kedua kaki perlahan-lahan dilipat bersila. Dipandan-

ginya pemuda tampan di hadapannya ini lagi.

"Sorot mata itu benar-benar membikin jantung 

yang melihatnya kian berdebar! Sungguh... oh! Dari 

mulai jari jemari hingga batas siku kedua tangannya, 

terdapat sisik-sisik coklat. Ah, siapakah pemuda be-

rompi ungu ini?"

Untuk beberapa saat tak ada yang bersuara. 

Boma Paksi sendiri hanya membiarkan saja si kakek 

berada dalam jalan pikirannya sendiri.

Setelah itu barulah si kakek angkat bicara, 

"Anak muda... kuucapkan terima kasih atas pertolon-

ganmu..."

"Aku hanya kebetulan lewat di tempat ini dan 

kebetulan melihatmu yang hendak terjatuh...."


Si kakek terdiam dulu sebelum melanjutkan, 

"Sudah tentu aku tak keberatan untuk mengatakan 

mengapa aku berada dalam keadaan seperti ini. Tapi 

sebelumnya... keberatankah kau mengatakan siapakah 

dirimu?"

Raja Naga menggeleng.

"Sudah tentu tidak. Namaku Boma... Boma 

Paksi. Dan julukanku... Raja Naga...."

Kepala si kakek mendadak menegak. Sepasang 

matanya membuka lebih lebar.

"Katakan... katakan... apa julukanmu?"

Meskipun merasa agak keheranan tetapi Boma 

Paksi menjawab juga pertanyaan si kakek. Kemudian 

dilihatnya si kakek menggeleng-gelengkan kepala.

"Ada apakah, Orang Tua?"

Si kakek tak menjawab. Diam-diam dia berkata 

dalam hati. "Jadi pemuda inilah yang berjuluk Raja 

Naga. Orang yang telah membunuh Hantu Menara 

Berkabut, kakek dari Setan Pemetik Bunga. Hemmm... 

kutangkap sesuatu yang jauh lebih menyenangkan da-

ri apa yang ku rasakan sekarang karena aku masih 

bertahan hidup...."

Perlahan-lahan si kakek mengangkat kepa-

lanya. Sambil memandang si pemuda dan sesekali 

mengalihkan pandangannya dia berkata, "Raja Naga... 

aku yang tua ini bernama Junjung Tala. Orang yang 

datang dari selatan untuk mengembara."

"Kakek Junjung Tala... aku tak punya banyak 

waktu. Bila kau tak keberatan menceritakan apa yang 

terjadi, aku akan menunggu. Tetapi bila...."

"Sudah tentu tidak," sahut Junjung Taia. Bebe-

rapa saat dia terdiam. Kemudian katanya, "Sebelum ini 

aku mempunyai beberapa orang teman. Antara lain 

Gada Iblis, Resi Kawula, Setan Gempal dan Setan Pemetik Bunga. Kami kemudian mengadakan pesta be-

sar-besaran di kediaman Setan Pemetik Bunga. Dan 

siapa nyana kalau ternyata Setan Pemetik Bunga 

mempunyai maksud keji?! Di dalam arak yang kami 

minum, rupanya lelaki itu telah menaruh racun! Dan 

kami mendapatkan musibah yang berkepanjangan, 

bahkan boleh dikatakan beruntun...."

"Kau berhasil meloloskan diri?"

"Begitulah keadaannya. Tetapi ketiga temanku 

yang lain tewas. Di antaranya ada yang diakibatkan 

oleh perbuatan Setan Pemetik Bunga dan di antaranya 

ada yang tewas dibunuh oleh seorang perempuan ber-

telanjang dada yang mendadak muncul dan mempu-

nyai kesaktian yang tinggi."

Kening Raja Naga berkerut.

"Perempuan bertelanjang dada?"

"Ya!"

"Oh! Kapan... kapan itu terjadi?"

"Kejadian itu sudah dua hari lamanya...."

Raja Naga menarik napas dan berkata dalam 

hati, "Sayang sekali... padahal aku berharap masih da-

pat menemukan jejak perempuan bertelanjang dada 

yang ku yakini adalah Marinah." 

Lalu katanya, "Kek... karena masih ada urusan 

yang harus kuselesaikan, sebaiknya kita...."

"Tunggu dulu, Anak Muda..." kata Junjung Tala 

yang hendak menjalankan siasatnya.”Kau harus men-

getahui satu hal."

Raja Naga mengurungkan niatnya.

"Apakah itu?"

"Setan Pemetik Bunga adalah cucu dari Hantu 

Menara Berkabut!"

"Astaga! Benarkah yang kau katakan?"

"Ya! Dia meminta ku dan ketiga kawanku yang


lain untuk bergabung dengannya! Untuk menuntaskan 

segala dendam yang ada di dadanya! Ketahuilah... Se-

tan Pemetik Bunga hendak membalas kematian ka-

keknya. Dan itu artinya...."

"Dia hendak membunuhku?"

"Begitulah kenyataannya! Kematian Hantu Me-

nara Berkabut sangat menggegerkan rimba persilatan! 

Ketahuilah, kalau julukanmu sudah menjulang, Anak 

Muda...."

Raja Naga tak menghiraukan pujian itu. Dia 

berkata, "Setelah itu, apa yang terjadi?"

"Aku dan ketiga kawanku yang lain menolak 

permintaannya mengajak kami bergabung! Itulah yang 

menyebabkannya hendak membunuh kami dengan ra-

cun yang dimilikinya!"

Raja Naga menarik napas pendek.

"Ah, lagi-lagi urusan dendam. Mengapa harus 

begini kejadiannya? Mengapa selalu saja ada orang 

yang tidak puas dengan keadaannya?"

Selagi Raja Naga membatin, Junjung Tala ber-

kata, "Anak muda... aku berada di pihakmu karena 

aku tak ingin membantu Setan Pemetik Bunga untuk 

membunuhmu. Tetapi tak menutup kemungkinan ka-

lau masih ada orang yang mau membantunya untuk 

membunuhmu...."

Raja Naga tersenyum.

"Kakek Junjung Tala... bukan kuanggap apa 

yang kau ceritakan itu urusan kecil. Tetapi untuk se-

mentara biarlah ku kesampingkan...."

"Kau memang tak menganggap urusan ini uru-

san kecil. Tetapi seharusnya kau sudah bersiap untuk 

menghadapinya."

"Apa maksudmu?"

"Membunuhnya lebih dulu akan memudahkan


mu untuk menangani urusan lain yang sedang kau ja-

lankan...."

Raja Naga tersenyum seraya menggelengkan 

kepalanya.

"Bila dia memang ingin melakukannya, biar-

lah.... Dan sudah tentu aku akan mempertahankan se-

lembar nyawaku dari keinginannya itu. Hanya saja, 

aku tak berkeinginan dia melaksanakan semuanya, ju-

ga tak berkeinginan untuk membunuhnya. Aku berha-

rap dapat berjumpa dengannya dalam waktu yang ce-

pat dan menjelaskan segala persoalan yang membuat-

nya mendendam...."

"Astaganaga!" desis Junjung Tala dalam hati. 

"Baru sekarang ini aku berjumpa dengan seseorang 

yang tak menghiraukan keadaannya sendiri. Padahal 

jelas jelas dia terancam. Huh! Kalau aku yang menga-

lami hal seperti itu, orang itu sudah kucari untuk ku-

bunuh lebih dulu!"

Raja Naga berdiri, "Orang tua... seperti yang 

kukatakan tadi, masih ada urusan yang harus kusele-

saikan. Jadi sebaiknya kita berpisah saja di sini...."

Junjung Tala mengangguk dan ikut-ikutan ber-

diri. Tubuhnya sudah dirasakan segar kembali. Dipan-

danginya si pemuda yang sedang memandang ke ke-

jauhan.

Lalu katanya, "Pesanku hanya satu, berhati-

hatilah menghadapinya...."

"Aku akan memenuhi pesanmu itu...."

"Orang yang hendak mencarimu itu memiliki 

wajah tampan tetapi berhati busuk! Kebiasaannya ada-

lah memetik bunga-bunga indah pada diri seorang pe-

rawan! Dia mengenakan pakaian serba keperakan...."

Mendengar kata-kata terakhir Junjung Tala, 

kening Raja Naga berkerut. Tetapi di saat lain murid


Dewa Naga ini sudah tersenyum kembali.

"Kau juga harus berhati-hati...," katanya yang 

kemudian segera melangkah meninggalkan Junjung 

Tala.

Junjung Tala terus memperhatikan sampai pe-

muda gagah berompi ungu itu menghilang di balik 

ranggasan semak belukar. Beberapa saat kemudian 

dia menarik dan menghela napas panjang.

"Dari apa yang dikatakannya, jelas-jelas aku bi-

sa gagal membunuh Setan Pemetik Bunga dengan 

mempergunakan tangannya. Pemuda itu kelihatan be-

gitu tegar, dan emosinya tidak terpancing sedikit juga 

mendengar apa yang kuceritakan. Sungguh ketabahan 

tebal yang dimilikinya...."

Kakek berjubah biru ini terdiam kembali sebe-

lum kemudian mendesis lagi, "Kalau begitu, seperti 

janji ku pada Setan Gempal dan Gada Iblis, juga ter-

hadap Resi Kawula, sebaiknya kuteruskan langkah un-

tuk mencari Setan Pemetik Bunga! Lelaki keparat itu 

harus menerima ganjaran atas perbuatannya!!"

Beberapa saat Junjung Tala terdiam dengan 

dada yang mendadak naik turun. Nafasnya terdengar 

mendengus-dengus tak beraturan. Parasnya menjadi 

tegang, penuh kemarahan.

Saat lain, kakek berjubah biru ini sudah berke-

lebat meninggalkan tempat itu.


DUA


KAKEK berjubah merah itu berkelebat laksana 

bayangan. Gerakannya sungguh tak ubahnya setan 

belaka. Bahkan kelebatannya sendiri sangat sukar di-

ikuti oleh mata. Dalam satu tarikan napas saja, si kakek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Se-

buah ilmu peringan tubuh yang telah mendekati tahap 

sempurna yang dimiliki si kakek!

Di sebuah jalan setapak, si kakek menghenti-

kan langkahnya. Malam mulai datang dan sang rem-

bulan saat ini bersinar cukup terang. Sepasang bola 

matanya yang tajam memperhatikan sejenak sekeli-

lingnya. Lalu kepalanya yang lonjong itu digerak-

gerakkannya hingga rambut putihnya yang dikuncir 

ekor kuda berlompatan. Di atas bola matanya terdapat 

sepasang alis yang bertemu pada atas hidungnya. Dan 

nampaknya si kakek berkumis putih panjang yang tu-

run ke bawah ini memang tak berniat melanjutkan 

langkahnya lagi. Dia tetap berada di sana dengan ke-

dua tangan terlipat di depan dada.

Dan... astaga! Sekujur kulit si kakek ternyata 

bersisik hijau! Mendadak.... 

Bruuuttt!!

Dari pantat si kakek terdengar suara yang cu-

kup keras. Tetapi si kakek bersisik hijau ini tak mem-

pedulikannya, kendati matanya berkeliling. Waswas 

seolah khawatir ada yang mendengar suara dari pan-

tatnya.

Lima kejapan mata kemudian, satu sosok tu-

buh berpakaian dan mengenakan jubah putih panjang 

telah tiba di tempat itu. Si kakek sejenak menatap pa-

da kakek bersisik hijau saat melangkah mendekat. Ju-

bah putihnya berkibar-kibar. Sosoknya agak sedikit 

bongkok. Wajahnya yang dipenuhi kerut merut itu 

bergetar-getar sejenak sebelum berkata,

"Maafkan keterlambatan ku!"

Kakek bersisik hijau itu hanya mendengus.

"Aku tak punya banyak waktu! Kau tentunya 

telah mendengar apa yang terjadi, Gede Arum?!"


Si kakek berjubah putih menganggukkan kepa-

lanya. 

"Ya! Aku telah mendengarnya! Ilmu manusia 

keparat bernama Sangga Langit itu telah keluar dari 

Patung Darah Dewa, akibat Kain Pusaka Setan yang 

masuk ke dalamnya!"

"Sesungguhnya ada yang membingungkan! Ada 

hubungan apa antara Durjana Kayangan dengan 

Sangga Langit?!"

"Sangga Langit adalah guru dari Durjana 

Kayangan yang telah tewas di tangan muridku, si Pe-

ramal Sakti yang bersama-sama dengan Ki Dundung 

Kali! Kain Pusaka Setan sesungguhnya adalah milik 

Sangga Langit!"

"Gede Arum! Hingga saat ini tak seorang pun 

yang mengetahui kalau kau masih hidup! Baik murid-

mu sendiri ataupun orang lain! Tetapi kabar telah 

sampai ke telingaku, kalau murid murtad mu yang 

berjuluk Ratu Dayang-dayang telah tewas di tangan 

muridku, si Raja Naga! Dan tinggal Peramal Sakti yang 

tentunya sampai saat ini sedang memikirkan keadaan 

yang terjadi! Tetapi jelas dia tidak tahu kalau kau se-

benarnya masih hidup!"

Kakek berjubah putih yang bukan lain Kiai 

Gede Arum adanya menganggukkan kepala.

"Ya! Bila saja aku tak bisa bertahan lebih lama, 

mungkin aku akan mampus akibat racun yang diberi-

kan Ratu Dayang-dayang di makananku!"

"Bahkan kau sempat dikuburkan oleh muridmu 

yang satunya lagi: si Peramal Sakti!"

"Ya!"

"Dan yang membingungkan ku, mengapa kau 

berlagak sudah mampus saat itu?!"

"Aku tak ingin mendengar adanya rengekan dari Ratu Dayang-dayang yang ingin tahu rahasia ten-

tang Patung Darah Dewa! Di samping itu, aku ingin dia 

menyesali tindakannya."

"Gede Arum! Bila aku yang diperlakukan seperti 

itu, akan kuhajar habis-habisan murid celaka itu!!" 

sahut si kakek bersisik hijau keras. Sisik-sisik hijau 

pada wajahnya sedikit menyala.

Kiai Gede Arum hanya menganggukkan kepala.

"Dan aku sama sekali tak menyangka kalau Ra-

tu Dayang-dayang justru semakin bernafsu untuk 

mengetahui rahasia dari Patung Darah Dewa!"

"Itu adalah kesalahanmu!"

"Sedikit banyaknya kuakui kesalahanku itu! 

Juga akibat dan sikap yang kulakukan! Peramal Sakti 

justru menjadi murka dengan tindakan yang dilaku-

kan Ratu Dayang-dayang! Tetapi aku salut padanya 

yang kemudian tidak lagi meneruskan kemarahannya! 

Hanya saja, karena sikap Ratu Dayang-dayanglah yang 

membuatnya menjadi marah kembali!"

"Dan dalam keadaan terluka kau bangkit dari 

kuburmu kemudian mencariku! Beruntung kau men-

gisyaratkan nya kepadaku! Bila tidak, mungkin dalam 

perjalanan menuju ke Lembah Naga kau sudah mam-

pus!" sahut si kakek bersisik hijau yang bukan lain 

Dewa Naga adanya. Ketika dia hendak menyambung 

kata-katanya, mendadak....

Brruutt!!

Suara dari pantatnya terdengar lagi. Wajahnya 

sedikit memerah tetapi dia tak mempedulikannya. Ta-

tapannya semakin tajam pada kakek berjubah putih di 

hadapannya.

"Kau tertawa sedikit saja, jangan menyesali ka-

lau mulutmu akan mencong ke kanan!"

Kiai Gede Arum tak menyahuti ucapan itu. Dewa Naga menyumpah-nyumpah dalam hati.

"Brengsek betul pantat ku ini! Selalu bunyi dan 

berbunyi! Huh! Kalau aku lagi ingin mengeluarkannya, 

susah betul! Tetapi kalau tidak disuruh, malah ber-

bunyi! Brengsek!"

Habis menyumpah-nyumpah dalam hati, kakek 

muka lonjong ini berkata, "Kumpulan ilmu hitam milik 

Sangga Langit kini telah menitis pada seorang gadis 

bernama Marinah! Aku yakin kau juga sudah menden-

garnya! Gede Arum! Kupikir, tibalah saatnya bagimu 

untuk keluar dari persembunyianmu setelah sekian 

lama orang menganggapmu telah mati!"

Kepala Kiai Gede Arum mengangguk-angguk.

"Yah... aku bertanggung jawab atas kejadian 

itu!"

"Satu hal yang masih membingungkan ku, 

mengapa kau justru mengatakan tentang rahasia Pa-

tung Darah Dewa pada Peramal Sakti tetapi kau tidak 

mau mengatakannya pada Ratu Dayang-dayang?"

"Dewa Naga! Aku lebih mengerti tentang murid-

muridku ketimbang siapa pun juga!"

"Brengsek! Jadi kau menganggapku telah me-

lontarkan pertanyaan bodoh?!"

"Tidak! Sama sekali aku tidak menganggap de-

mikian!" sahut Kiai Gede Arum sambil menggelengkan 

kepalanya. Wajahnya dipenuhi dengan duka yang ber-

kepanjangan. Lalu setelah menghela napas, kakek ber-

jubah putih ini berkata, "Peramal Sakti memiliki kesa-

baran hati yang tinggi. Sejak pertama kali aku men-

gambilnya sebagai murid, aku sudah tahu tentang si-

kapnya yang sedemikian santun. Lain halnya dengan 

apa yang dimiliki oleh Ratu Dayang-dayang. Muridku 

yang satu itu...."

"Kau masih menganggapnya sebagai murid?!"


bentak Dewa Naga cukup keras.

"Biar bagaimanapun juga, dia pernah menjadi 

muridku," sahut Kiai Gede Arum pelan. Bersamaan 

suara 'brutt' dari pantat Dewa Naga, Kiai Gede Arum 

melanjutkan, "Ratu Dayang-dayang memiliki kekera-

san hati yang tinggi! Sikapnya yang pertama kali diper-

lihatkan, di saat dia merasa tidak puas dengan ilmu 

yang kuturunkan padanya! Dia menganggap aku lebih 

banyak menurunkan ilmuku pada Peramal Sakti! Pa-

dahal tidak sama sekali! Ilmu yang kuturunkan pada 

Peramal Sakti, memang diperuntukkan buat seorang 

lelaki! Demikian pula halnya dengan ilmu yang kutu-

runkan pada Ratu Dayang-dayang!"

"Lepas dari semua itu, pada akhirnya kau akan 

tetap muncul juga di rimba persilatan ini!" seru Dewa 

Naga. "Aku menangkap satu hal yang mungkin akan 

jadi pikiranmu! Tentunya, dengan munculnya kembali 

kau ke rimba persilatan, akan banyak memancing ke-

luar tokoh-tokoh yang pernah kau kalahkan!"

"Aku juga sudah membayangkan hal itu! Tapi 

memang pada akhirnya aku harus muncul kembali di 

rimba persilatan! Karena biar bagaimanapun juga na-

sib gadis malang bernama Marinah itu adalah tang-

gung jawabku!" 

"Satu hal yang...." Bruttt!! "Busyet! Nih pantat 

tidak bisa tenang juga!" dengus Dewa Naga pada di-

rinya sendiri. Di hadapannya Kiai Gede Arum tak ber-

suara. Kemudian katanya lagi, "Aku menangkap 

bayangan kalau muridku yang bernama Boma Paksi 

akan turut hadir dalam urusan yang seharusnya kau 

pegang! Gede Arum! Tak ada yang perlu dibicarakan 

kecuali bila memang masih ada yang hendak kau bica-

rakan!"

Kakek berjubah putih itu menggelengkan kepalanya.

"Terima kasih karena kau mau menemuiku di 

tempat ini!"

"Bila ini tidak ada urusannya dengan muridku, 

mana sudi aku...." Bruuuttt!! "Eh, busyet! Kenapa ti-

dak mau tenang juga pantat ku ini! Gede Arum! Perlu 

kau ingat-ingat ciri muridku! Dia memiliki paras tam-

pan dengan rambut gondrong! Tatapannya sangat ang-

ker dan mampu membuat nyali putus! Kedua tangan-

nya mulai dari jari jemari hingga siku terdapat sisik 

kecoklatan! Bila kau berjumpa dengannya, jangan 

mengatakan kalau kita pernah bertemu seperti seka-

rang!"

Kiai Gede Arum mengangguk.

Kakek berjubah merah itu mendengus. Di lain 

saat dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu di-

iringi ucapannya yang ngawur. Dan bunyi pantatnya 

tersisa di sana.

Sepeninggal Dewa Naga, Kiai Gede Arum mena-

rik napas panjang. Mengusap-usap dagunya yang ke-

limis.

"Mau tak mau aku memang harus muncul 

kembali ke rimba persilatan! Siapa pun orangnya su-

dah tentu akan menghadapi banyak waktu untuk me-

nandingi kekuatan ilmu hitam milik Sangga Langit 

yang telah menitis pada gadis bernama Marinah. Ah... 

hanya aku seorang yang mengetahui kelemahannya. 

Tetapi... di usia yang sudah bertambah ini, apakah aku 

masih sanggup menghadapinya?"

Kakek berjubah putih ini menengadahkan ke-

palanya. Dipandanginya langit cerah yang dipenuhi 

gumpalan awan putih. Saat lain dia memandang ke 

arah perginya Dewa Naga.

"Kini memang sudah saatnya...," desisnya kemudian dan segera melangkah ke arah yang berlawa-

nan yang ditempuh oleh Dewa Naga.

Jalan setapak itu kembali direjam sepi.

* * *

Pada saat yang bersamaan, lelaki berpakaian 

terbuat dari keperakan itu berkata pada orang di 

samping kanannya,

"Semua telah menjadi jejas. Pemuda itulah yang 

memang hendak kubunuh! Lantas, kapan kau akan 

membantuku untuk melaksanakan semua ini?"

Orang di hadapannya tersenyum.

"Jangan terlalu gegabah. Biarkanlah pemuda 

dari Lembah Naga itu menuntaskan urusannya dengan 

perempuan bertelanjang dada yang telah dirasuki sinar 

hitam dari Patung Darah Dewa."

Lelaki tampan berhati licik yang bukan lain Se-

tan Pemetik Bunga mengerutkan kening.

"Aku tak memahami kata-katamu. Sebelumnya 

kau mengatakan, kalau kau hendak mencari perem-

puan bernama Marinah yang telah berubah menjadi 

sedemikian kejam untuk mengajaknya bergabung. Se-

karang kau mengatakan untuk membiarkan dulu Raja 

Naga berhadapan dengan perempuan itu!"

"Jangan terlalu tegang! Setan Pemetik Bunga, 

kemarahan mu ini didasari dengan rasa tak sabar un-

tuk membunuh pemuda itu! Dan kupikir, bila kita se-

dikit tenang, apa yang kita inginkan akan tercapai!"

"Perempuan celaka!" maki Setan Pemetik Bunga 

dalam hati sambil memandang orang di hadapannya. 

Dan dia menggeram pelan setelah mengetahui apa 

yang diinginkan orang itu sebenarnya. "Terkutuk! Su-

dah jelas kalau dia hendak mempergunakan tenaga


sakti dari perempuan bertelanjang dada yang telah di-

masuki sinar hitam dari Patung Darah Dewa! Dengan 

begitu... dia tak akan terlalu banyak menguras tenaga 

untuk membunuh Raja Naga! Keparat terkutuk!"

Tak bisa menahan kemarahannya, Setan Peme-

tik Bunga sudah berseru, "Dengan memutuskan demi-

kian, aku tahu kalau kau sebenarnya tak ingin mem-

bantuku!"

Perempuan di hadapannya tersenyum, yang 

semakin membuat gusar dada Setan Pemetik Bunga.

"Aku telah menjalankan apa yang kau inginkan! 

Keempat orang yang kau katakan sebagai pesaingmu 

itu telah mampus kuracuni! Aku yakin Gada Iblis dan 

Junjung Tala juga telah mampus, tetapi mampus di 

tangan perempuan bertelanjang dada yang mendadak 

muncul!"

"Sudah kukatakan tadi, kau tidak perlu tegang. 

Bila kau mau tenang sedikit, urusan ini dapat disele-

saikan dengan mudah," kata perempuan di hadapan-

nya sambil tetap tersenyum. "Murid Dewa Naga itu 

masih melacak ke mana perginya perempuan bertelan-

jang dada yang telah menimbulkan keonaran. Dan ini 

berarti, kau tak perlu tegang. Untuk apa kita buang 

tenaga percuma bila pemuda itu dapat dibunuh bukan 

dengan tangan kita?"

"Aku telah melaksanakan apa yang kau ingin-

kan!" desis Setan Pemetik Bunga dengan suara agak 

meradang. Kedua matanya menyipit dengan gemuruh 

amarah di dada sulit dipertahankan. "Dan kau berjanji 

untuk membantuku membunuh Raja Naga! Tetapi dari 

apa yang kau katakan, kau hanya memperalat ku!!"

Perempuan di hadapannya tertawa keras.

"Sejak tadi kukatakan janganlah terlalu gusar! 

Kau telah melaksanakan apa yang kuinginkan, sudah


tentu kau akan mendapatkan apa yang kujanjikan!"

"Tetapi...."

"Setan Pemetik Bunga! Di dunia ini hanya ada 

dua sifat manusia yang sama sekali terkadang tak bisa 

diduga! Pertama, orang yang bersikap baik tetapi sebe-

narnya memiliki sifat yang sangat jahat! Kedua, adalah 

kebalikan dari sifat yang pertama tadi!"

"Dengan kata lain kau hendak mengatakan, ka-

lau kau berpura-pura membantuku agar aku mau me-

laksanakan keinginanmu?"

"Aku tak berkata demikian," sahut orang di ha-

dapannya sambil tersenyum.

"Keparat! Kau benar-benar membuatku murka! 

Kelicikanmu itu akan mendapatkan balasan!" geram 

Setan Pemetik Bunga keras. Dia sama sekali tak me-

nyangka kalau orang di hadapannya telah memperalat 

dan mengkhianatinya.

Sebelumnya Setan Pemetik Bunga merasa ya-

kin kalau orang di hadapannya akan membantunya 

untuk membunuh Raja Naga. Orang itu memang telah 

mengajukan satu syarat, dia akan membantunya bila 

Setan Pemetik Bunga berhasil membunuh Junjung Ta-

la, Resi Kawula, Setan Gempal dan Gada Iblis. Keem-

pat orang itu sebenarnya adalah para kambratnya 

yang sama-sama malang melintang di dunia hitam! Te-

tapi kenyataannya sekarang? (Untuk mengetahui keli-

cikan Setan Pemetik Bunga sebelumnya, silakan baca : 

"Patung Darah Dewa").

Orang di hadapannya tersenyum. Lalu dengan 

suara tenang berkata, "Katamu tadi aku telah berlaku 

licik. Lantas bagaimana dengan kau sendiri? Apakah 

kau tidak berlaku licik?"

"Terkutuk!!" kemarahan Setan Pemetik Bunga 

semakin menjadi-jadi.


Orang di hadapannya kembali tertawa, lebih 

keras dari sebelumnya. Dedaunan yang berada di seki-

tar mereka meranggas, bertebaran karena gelombang 

tawa orang itu telah dialiri tenaga dalam.

"Dari kata-katamu tadi, kau menyimpan rasa 

tak percaya kepadaku rupanya!"

"Aku bukan hanya telah menyimpannya, tetapi 

melontarkan ketidakpercayaan itu!"

"Justru dengan sikap yang kau perlihatkan aku 

bertambah yakin akan keinginanmu untuk membunuh 

Raja Naga! Dan kau tidak setengah-setengah meminta 

bantuanku!"

"Karena aku telah melakukan apa yang kau in-

ginkan!"

"Bagus! Kau tak perlu gusar dan menyimpan 

rasa tidak percaya mu itu kepadaku lebih lama! Kare-

na, aku akan tetap membantumu! Tetapi sebaiknya... 

kita berpisah di sini!"

"Apa maksudmu dengan berpisah di sini?"

Orang di hadapannya tersenyum. Lalu menge-

mukakan alasannya yang membuat lelaki berpakaian 

keperakan itu mengangguk-anggukkan kepala.

"Baiklah! Bila alasanmu demikian adanya, aku 

setuju dengan apa yang kau inginkan!"

"Dan kau akan mendapatkan keuntungan be-

sar dengan janji ku ini!"

Habis berkata demikian, orang itu sudah berke-

lebat diiringi tawa yang panjang. Di tempatnya, Setan 

Pemetik Bunga menggeram dalam hati.

"Aku tidak tahu apakah harus mempercayainya 

atau tidak! Tetapi dari apa yang dikatakannya, rasanya 

tak perlu mencurigainya sekarang! Huh! Sebaiknya 

aku segera melacak jejak Raja Naga! Padahal sebelum-

nya, dia sudah berada tak jauh dariku! Membunuhnya


adalah yang kuinginkan! Tetapi perempuan keparat itu 

menghendaki lain!"

Kejap kemudian, Setan Pemetik Bunga sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu, ke arah yang ber-

lawanan dengan orang yang setengah dipercayainya 

dan setengah lagi tidak.



TIGA


TEPAT matahari muncul kembali di persada 

bumi, dua sosok tubuh yang sama-sama berkelebat 

dari arah yang berlawanan sama-sama menghentikan 

langkah. Kedua orang ini sejenak saling pandang sebe-

lum kemudian sama-sama melangkah lagi, mendekati 

satu sama lain.

"Kirana! Bagaimana? Apakah kau berhasil men-

jumpainya?" tanya orang yang datang dari sebelah ka-

nan. Dia seorang lelaki yang berusia sekitar enam pu-

luh tahun. Parasnya sedikit keriput. Rambutnya yang 

sudah mulai memutih tergerai dipermainkan angin. Le-

laki ini mengenakan pakaian putih dengan dua selen-

dang hijau bersilangan di depan dan di belakang dada.

Gadis berusia sekitar tujuh belas tahun yang 

mengenakan pakaian ringkas warna biru merang-

kapkan kedua tangannya di depan dada. Wajahnya 

yang jelita disaput sedikit keringat. Dadanya yang agak 

membusung turun naik dengan napas yang sedikit te-

rengah. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Di punggung-

nya bersilangan dua buah pedang.

"Aku sudah menemuinya, Guru! Dan beliau 

mau turut membantu kita untuk membasmi gadis 

yang mengaku berjuluk Ratu Tanah Terbuang!


Si lelaki mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Wajahnya menyiratkan sedikit kepuasan.

"Bagus! Rupanya dia masih ingat padaku!"

"Bahkan dia menyesali mengapa Guru baru 

mengutus ku untuk menjumpainya sekarang ini."

Lelaki tua berpakaian putih dengan selendang 

hijau yang berselempangan di depan dan di belakang 

dadanya menarik napas pendek.

"Sudah lama sebenarnya aku ingin menjum-

painya. Berbicara banyak dengannya tanpa mengenal 

waktu. Mengulang lagi kebersamaan yang pernah ku

alami bersamanya...."

Kirana merasa tidak enak menyampaikan kata-

kata orang yang dijumpainya kepada gurunya. Dia 

mencoba mengalihkan pembicaraan. "Guru... bagai-

mana dengan hasil yang Guru capai? Apakah Guru 

berhasil mengikuti ke mana perginya Ratu Tanah Ter-

buang, hingga Guru mengetahui di mana gadis kejam 

itu tinggal?" 

Si lelaki yang berjuluk Pendekar Kencana 

menggelengkan kepalanya.

"Aku gagal mengikutinya! Gadis itu sungguh 

memiliki ilmu peringan tubuh yang sangat tinggi!"

Diam-diam Kirana menyesali itu, tetapi sudah 

tentu dia tidak mengatakannya. Apa yang dilakukan 

gurunya mungkin sudah batas dari kemampuannya.

"Guru... baru-baru ini kita sudah diguncangkan 

oleh kehadirannya! Tahu-tahu gadis yang mengaku 

berjuluk Ratu Tanah Terbuang itu datang dan meng-

hancurkan Perguruan Kencana! Ah, aku sungguh tidak 

sabar untuk membalas apa yang telah dilakukannya 

itu! Apakah Guru mengetahui sebab-sebabnya?"

Pendekar Kencana menggelengkan kepalanya. 

Diingatnya bagaimana pada malam itu mendadak saja


seorang gadis berjuluk Ratu Tanah Terbuang muncul. 

Dan tanpa basa-basi lagi gadis itu telah membunuhi 

murid-muridnya yang berjumlah sembilan orang. Pen-

dekar Kencana bukanlah seorang pendekar sembaran-

gan, dia cukup disegani oleh kawan maupun lawan. 

Tetapi malam itu dia tak bisa berbuat banyak. Bahkan 

memutuskan untuk meloloskan diri, bersama Kirana, 

satu-satunya muridnya yang berhasil diselamatkan.

Setelah dua hari dua malam bersembunyi dari 

kejaran Ratu Tanah Terbuang, Pendekar Kencana 

mengutus muridnya untuk menjumpai sahabatnya 

yang bernama Kidang Gerhana di Lembah Gerhana 

untuk meminta bantuan. Sementara dia sendiri men-

coba menemukan jejak Ratu Tanah Terbuang. Meski-

pun dia berhasil menjumpai gadis itu, tetapi dia gagal 

mengikuti ke mana perginya Ratu Tanah Terbuang.

"Aku tidak tahu secara pasti tentang hal itu, Ki-

rana! Tetapi, aku sempat menangkap ucapannya yang 

menyebutkan satu julukan!"

"Siapakah orang yang disebutkan itu Guru?" 

tanya Kirana sambil mengatur nafasnya.

"Aku belum pernah berjumpa dengannya. Teta-

pi, aku sudah pernah mendengar julukannya yang ti-

ba-tiba merebak ke permukaan!" sahut Pendekar Ken-

cana kemudian terdiam untuk beberapa saat. Lalu 

sambil memandang muridnya yang memiliki paras jeli-

ta itu dia melanjutkan, "Pemuda itu bernama Boma 

Paksi dan berjuluk Raja Naga!"

"Guru pernah menceritakannya kepadaku! Bu-

kankah dia yang telah menghancurkan Menara Berka-

but sekaligus membunuh penghuninya yang berjuluk 

Hantu Menara Berkabut?"

Pendekar Kencana menganggukkan kepalanya.

"Kau betul! Ratu Tanah Terbuang sedang mencarinya! Gadis kejam berilmu tinggi itu memang tak 

mengatakan apa yang diingininya dengan mencari Raja 

Naga! Tetapi dari tindakan brutalnya, aku yakin dia 

mencoba memancing kemunculan Raja Naga! Dengan 

kata lain, dia berharap Raja Naga muncul dan menca-

rinya! Mungkin... mungkin untuk dibunuhnya!"

Kirana sedikit menegakkan kepala mendengar 

kata-kata terakhir gurunya.

"Huh! Urusan orang lain ternyata harus kami 

yang menanggung! Ratu Tanah Terbuang melakukan 

tindakan kejamnya untuk memancing munculnya Raja 

Naga! Tetapi, mengapa harus kami yang menjadi kor-

ban? Padahal kami tak punya urusan apa-apa den-

gannya, juga tak mengenal Raja Naga kecuali menden-

gar julukannya saja!" desisnya dengan hati sedikit gu-

sar.

Lalu katanya dengan suara kesal yang tak dis-

embunyikan, "Guru! Biar bagaimanapun juga, kita tak 

bisa membiarkan Ratu Tanah Terbuang terus menerus 

membunuhi siapa saja, semata untuk memancing ke-

munculan Raja Naga!"

"Kau betul! Tetapi kita sama-sama tahu akan 

kesaktian Ratu Tanah Terbuang! Kirana.. apakah yang 

dikatakan oleh Kidang Gerhana?"

"Selain apa yang kusampaikan tadi pada Guru, 

dia juga mengatakan, sebagai seorang sahabat, dia 

bersedia membantu kita, Guru!"

"Bagus! Dan kau sudah mengatakan padanya 

seperti yang kukatakan padamu?"

"Ya! Dia berjanji tiga hari di muka akan muncul 

di Sungai Matahari, tempat yang Guru katakan!"

Pendekar Kencana terdiam beberapa saat. Ki-

rana dapat melihat bagaimana wajah gurunya dipenu-

hi oleh kedukaan.


Kemudian katanya, "Guru... aku dapat mema-

hami apa yang Guru rasakan...."

Pendekar Kencana mengangkat kepalanya. Di-

pandanginya muridnya itu. Perlahan-lahan dia terse-

nyum.

"Sudahlah... tak sepatutnya aku bersikap se-

perti ini. Mungkin apa yang kita hadapi ini sebagai sa-

lah satu cobaan hidup yang diturunkan oleh Sang Ma-

ha Penguasa Jagat! Kirana... kita berangkat sekarang 

menuju ke Sungai Matahari...."

Kirana menganggukkan kepalanya. Hati gadis 

berkuncir ini sedih bukan main. Dia tak pernah me-

nyangka kalau kehidupannya bersama-sama para 

saudara seperguruannya akan berakhir secepat itu.

Namun belum lagi keduanya sama-sama me-

langkah meninggalkan tempat, mendadak saja terjadi 

perubahan angin. Angin yang semula berhembus se-

juk, kini mendadak berubah menjadi cepat. Lintang 

pukang dengan menyambar dedaunan yang segera 

berguguran.

"Guru!" desis Kirana dengan wajah agak tegang.

Dilihatnya gurunya terdiam dengan paras kaku. 

Sepasang matanya dibuka lebih lebar. Pendengarannya 

disapukan bersih untuk menangkap suara di sekitar-

nya.

Kemudian terdengar desisan, "Bersiaplah... se-

seorang sedang menunjukkan kesaktiannya..."

Perlahan-lahan Kirana mendekati dan berdiri di 

samping kanan gurunya.

"Guru... apakah Ratu Tanah Terbuang yang 

muncul?" tanyanya dalam bisikan.

"Tidak! Bila gadis itu yang muncul, akan segera 

tersebar aroma wangi!"

Kirana hanya mengangguk-anggukkan kepa


lanya. Diliriknya gurunya yang kendati kelihatan agak 

tegang tetapi masih bisa bersikap tenang.

Mendadak satu gelombang angin menderu dah-

syat dengan suara menggebu. Di lain kejap....

Jlggaaarrr!

Pohon yang berdiri berjarak sepuluh langkah 

dari samping kanan keduanya, mendadak terhantam. 

Rengkahnya pohon itu membuat keduanya tersentak. 

Dan masing-masing orang segera melompat ke depan 

tatkala bagian atas pohon yang terhantam itu tumbang 

ke arah mereka!

Blaaammm!!

Jatuhnya pohon itu di atas tanah menimbulkan 

suara yang cukup keras, disusul muncratnya tanah 

yang diselingi dedaunan dari pohon itu.

Belum lagi masing-masing orang mengetahui 

apa yang terjadi, belum lagi muncratan tanah dan de-

daunan itu berguguran lagi ke bumi, suara dingin itu 

terdengar angker, "Kalian adalah bagian dari hidupku! 

Akulah yang menentukan hidup matinya kalian! Kali 

ini, aku menghendaki kalian hidup asalkan dapat 

menjawab pertanyaan!!"

* * *

Baik Pendekar Kencana maupun muridnya, 

sama-sama mengarahkan pandangan ke depan. Mas-

ing-masing orang terdiam beberapa lama begitu meli-

hat orang yang muncul dengan memperlihatkan satu 

serangan yang mengerikan itu.

Perempuan itu berwajah jelita, tetapi sorot ma-

tanya bengis dengan kejelitaan yang seperti kabur. 

Rambutnya tergerai dan nampak acak-acakan. Satu 

hal yang membuat Kirana mendengus, karena perempuan yang tiba-tiba muncul itu bertelanjang dada. 

Memperlihatkan bukit kembarnya yang mengkal dan 

menggiurkan tanpa kelihatan risih sama sekali.

"Perempuan tak tahu malu!" geram Kirana den-

gan kedua tangan terkepal.

Perempuan itu tak bersuara. Sorot matanya 

yang memancarkan kebengisan memandang tak ber-

kedip pada keduanya.

Lain halnya dengan apa yang melintas di benak 

Kirana, lain dengan apa yang dipikirkan oleh Pendekar 

Kencana. Lelaki ini masih bisa bersikap tenang, wa-

laupun perempuan di hadapannya sudah memperli-

hatkan tindakan makar.

"Sorot matanya begitu bengis, wajahnya tegang 

kaku. Dan dia membiarkan buah dadanya terbuka se-

perti itu. Hemm... biasanya, bila seseorang menganut 

ilmu hitam dan ilmu itu sedang dipergunakan, tak 

akan ada tanda-tanda dia akan malu dengan apa yang 

dilakukannya. Hanya saja... dari sorot mata yang ben-

gis itu kutangkap satu siksaan yang dalam. Seperti 

ada gejolak yang diingininya untuk melawan tindakan 

yang dilakukannya. Astaga! Apakah...."

"Kalian adalah bagian dari hidupku!"

"Perempuan tak tahu malu!" seru Kirana yang 

sudah tidak dapat menahan amarahnya. "Kau datang 

dengan tindakan busuk! Dan sekarang berkata kalau 

kami adalah bagian dari hidupmu! Keparat! Apakah 

kau sebenarnya punya nyali? Atau... kau termasuk pe-

rempuan yang terjerumus ke dalam selokan!!"

Tatapan perempuan bertelanjang dada yang 

bukan lain Marinah, yang kemasukan ilmu hitam yang 

sekian puluh tahun lamanya berdiam di tubuh Patung 

Darah Dewa, memandang tak berkedip pada Kirana. 

Sorot matanya bengis dan mengandung ketidaksabaran untuk menghabisi si gadis.

Kirana bukanlah gadis yang memiliki nyali 

pendek. Keberaniannya tinggi. Tanpa rasa takut, di-

pentangkan kedua matanya lebar-lebar untuk memba-

las sorot mata si perempuan.

Pendekar Kencana berbisik, "Kirana... jangan 

bertindak gegabah. Perempuan ini nampaknya tak 

memiliki rasa perikemanusiaan...."

Mendengar kata-kata gurunya walaupun ha-

tinya sedikit mangkel, Kirana yang tadi sudah hendak 

bersuara, kini merapatkan mulutnya.

Pendekar Kencana berkata, "Perempuan! Aku 

tak pernah melihatmu sebelumnya! Dan aku yakin kau 

juga baru melihatku sekarang! Tetapi... mengapa kau 

sudah pertunjukkan satu kejadian yang sama sekali 

tak bisa kuterima?!"

"Kalian adalah bagian dari hidupku...," desis 

Marinah dingin. Sorot matanya bertambah bengis.

"Hemmm... aku makin kuat menduga, kalau 

perempuan ini dipengaruhi oleh ilmunya sendiri...," ka-

ta Pendekar Kencana dalam hati. Kemudian dia berka-

ta, "Aku tak yakin kalau kau mengenal dirimu sendiri!"

"Bagian dari hidupku tak berhak untuk ber-

tanya! Siapa pun orangnya!" sahut perempuan berte-

lanjang dada dingin. Lalu sambungnya dibarengi tata-

pan yang semakin bengis, "Ini semua gara-gara Kiai 

Gede Arum! Manusia celaka yang menyebabkan aku 

kehilangan jasad! Bila kalian dapat mengatakan di 

mana manusia celaka itu berada, maka kalian tak 

akan pernah celaka!"

"Kiai Gede Arum? Rasa-rasanya... aku pernah 

mendengar nama itu? Oh! Bukankah dia yang tewas 

akibat racun muridnya sendiri yang berjuluk Ratu 

Dayang-dayang? Astaga! Perempuan tak tahu malu ini


sedang mencari Kiai Gede Arum?! Ada urusan apa se-

benarnya?! Tadi dia mengatakan kalau dia kehilangan 

jasad? Gila! Bagaimana mungkin?! Sudah jelas jasad-

nya itu terpampang di depan mata! Gila! Ini urusan gi-

la! Apakah ini urusan dendam? Tetapi... dendam yang 

bagaimana mengingat dia masih sedemikian muda? 

Bisa jadi kalau sebenarnya dia adalah kaki tangan se-

seorang, yang memanfaatkannya untuk membunuh 

Kiai Gede Arum."

Selagi Pendekar Kencana membatin, perem-

puan bertubuh sintal yang memamerkan buah da-

danya itu mendesis lagi, "Di mana manusia keparat itu 

berada?!"

Pendekar Kencana menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Kau hanya membuang waktu belaka dengan 

mencarinya! Sampai usiamu habis pun kau tak akan 

menemukan di mana Kiai Gede Arum berada!"

Mata bengis di hadapannya itu semakin nya-

lang.

"Kalian mencoba membagi kehidupan untuk di-

ri kalian sendiri! Padahal akulah yang berhak atas hi-

dup kalian!"

"Kiai Gede Arum sudah tewas dibunuh oleh 

muridnya sendiri!" seru Pendekar Kencana.

Untuk beberapa lama perempuan bertelanjang 

dada itu merapatkan mulut. Matanya bertambah nya-

lang. Kejap lain dia sudah mengeluarkan suara meng-

gelegar.

"Kau berkata demikian, karena kau mencoba 

membebaskan diri dari kehidupan yang kuberikan! 

Maka...."

"Tunggu! Kau nampaknya tidak tahu kalau 

orang yang kau cari sudah tewas?"


"Kau pandai bicara! Kau hebat memutarbalik-

kan fakta! Orang yang biasa berdusta, akan mengang-

gap kata-katanya adalah sebuah kebenaran! Tetapi je-

las-jelas kalau orang itu mencoba untuk mengelabui 

seseorang atau memanfaatkan kesempatan! Kiai Gede 

Arum sampai hari ini masih hidup!"

Pendekar Kencana tak mempedulikan kata-kata 

itu.

"Ada urusan apa kau mencarinya?"

"Berpuluh tahun lamanya dia mengunci diriku 

pada Patung Darah Dewa! Berpuluh tahun pula aku 

tak bisa bergerak lagi dalam kebebasan! Tetapi sesuatu 

telah terjadi! Sesuatu yang sekian lama kutunggu agar 

aku dapat bebas dari Patung Darah Dewa! Dan tibalah 

saatnya untuk membalas perlakuan terkutuk yang di-

lakukannya terhadapku!"

Pendekar Kencana mengerutkan keningnya.

"Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang

dibicarakannya! Perempuan itu nampaknya baru beru-

sia sekitar dua puluh limaan. Tetapi dia mengatakan 

telah berpuluh tahun terkunci pada sebuah patung 

yang bernama Patung Darah Dewa! Astaga! Jangan-

jangan aku sedang menghadapi seorang perempuan gi-

la yang memiliki kesaktian tinggi!"

"Guru... apakah kita akan berdiam begini te-

rus?" usik Kirana dalam bisikan. Dia sejenak melirik 

gurunya, lalu mengarahkan lagi pandangannya pada 

perempuan bertelanjang dada di hadapannya. "Aku 

sudah tidak sabar untuk menghajarnya! Lagi pula, kita 

harus menemui kakek Kidang Gerhana! Kalau kita te-

rus meladeninya, ini hanya membuang waktu saja, 

Guru."

"Kirana... aku belum tahu siapa perempuan itu 

sebenarnya. Dari ucapannya tadi, jelas kalau sebelum


nya dia pernah bertarung dengan Kiai Gede Arum pada 

rentang waktu yang lama dari sekarang. Hanya yang 

mengherankan ku, bagaimana mungkin dia bertarung 

dengan Kiai Gede Arum bila melihat parasnya yang 

masih sedemikian muda? Juga dikatakannya kalau dia 

telah mendekam berpuluh tahun di dalam tubuh Pa-

tung Darah Dewa."

"Mungkin perempuan ini sudah miring otaknya, 

Guru," kata Kirana sambil memandang tak berkedip 

pada perempuan bersorot mata bengis di hadapannya.

Pendekar Kencana mengangguk-anggukkan ke-

palanya.

"Kalian adalah bagian dari hidupku! Akulah 

yang memutuskan apakah kalian masih boleh hidup 

atau tidak! Tadi ku putuskan untuk membiarkan ka-

lian hidup sementara waktu! Tetapi kalian tidak mem-

pergunakan kesempatan yang kuberikan untuk men-

gatakan di mana Kiai Gede Arum berada! Itu artinya 

kalian menyia-nyiakan waktu! Dan... kalian sekarang 

harus mampus!!"

Habis kata-kata yang seolah keluar dari dalam 

sumur itu, perempuan bertelanjang dada itu sudah 

menyambung dengan tatapan dingin, "Gadis manis 

berkuncir kuda! Kau adalah bagian dari hidupku!"

Kirana sejenak mengerutkan keningnya men-

dengar kata-kata itu ditujukan padanya. Di saat lain 

gadis itu sudah melangkah mendekati si perempuan. 

Langkahnya kaku. Wajahnya kaku. Sikapnya kaku.

"Kirana!" seru Pendekar Kencana terkejut.

Tetapi muridnya itu terus melangkah seolah ti-

dak mendengar panggilannya.

***

EMPAT


PENDEKAR KENCANA tercekat. Untuk bebera-

pa lama dia hanya memandangi saja muridnya yang 

terus mendekati perempuan bertelanjang dada. Pera-

saan keheranan semakin merajai hatinya. Di saat lain 

mendadak dia sudah berseru lagi, "Kiranaaaa!!"

Seruan itu sedemikian keras, bahkan terdengar 

sampai ke kejauhan. Tetapi Kirana terus melangkah, 

seolah tak mendengar seruannya.

"Kiranaaa!!"

"Dia adalah bagian dari hidupku! Bila aku su-

dah berkehendak, siapa pun atau apa pun tak akan 

mampu menghalangiku! Aku menginginkan kematian-

nya sekarang, yang akan segera disusul dengan kema-

tianmu!!"

"Astaga!" desis Pendekar Kencana dengan wajah 

tegang. "Kirana sudah masuk ke dalam ilmu aneh yang 

dikeluarkan perempuan bertelanjang dada itu! Aku ha-

rus melakukan sesuatu, bila tak ingin terjadi sesua-

tu!!"

Memutuskan demikian, Pendekar Kencana su-

dah menerjang ke depan seraya mendorong tangan ka-

nannya ke arah perempuan bertelanjang dada. Saat itu 

pula menghampar satu gelombang angin berkekuatan 

tinggi!

Bersamaan gelombang angin yang melesat ke 

arah Marinah. Tangan kirinya ditepakkan pada bahu 

kanan muridnya.

Plak!!

Kirana terlempar cukup jauh dari tempatnya 

semula. Beruntung dia terbanting di atas tanah be-

rumput. Begitu terbanting di sana, si gadis tergagap,


lalu menggeleng-gelengkan kepalanya kebingungan.

"Aneh! Apa yang telah terjadi?" desisnya terba-

ta.

Blaaaammmm!!

Letupan yang keras itu segera membuat Kirana 

mengangkat kepalanya. Dilihatnya gurunya sedang 

mundur beberapa tindak karena perempuan bertelan-

jang dada itu sudah memutuskan serangannya.

"Astaga! Perempuan bertelanjang dada itu?! 

Heiii! Kapan dimulainya Guru sudah terlibat bentrok 

dengan perempuan itu?! Aneh! Mengapa aku tak men-

getahuinya sama sekali?!"

Di depan Pendekar Kencana terus mencoba 

mencecar perempuan bertelanjang dada yang mengge-

ram dingin.

Kirana yang sudah berdiri memandang tak ber-

kedip. Rasa cemas, gelisah sekaligus amarah menjadi 

satu di dadanya. Mendadak dia mendesis, "Aku harus 

membantu Guru!!"

Tanpa memikirkan lagi apa yang dialaminya ba-

rusan, Kirana sudah meloloskan sepasang pedangnya. 

Dengan memegang kedua pedang itu, gadis berpakaian 

ringkas warna biru ini sudah menerjang ke depan.

"Guru! Kita hadapi perempuan itu bersama-

sama!!" 

Begitu kedua pedangnya diayunkan, segera ter-

dengar suara besetan yang menggidikkan.

Pendekar Kencana yang telah menguasai ke-

seimbangannya kembali setelah terkena sampokan 

tangan kanan lawan, menegakkan kepala. Dilihatnya 

perempuan bertelanjang dada itu dengan mudah 

menghindar serangan Kirana.

"Kalian benar-benar menyalahi kodrat! Padahal 

kalian adalah bagian dari hidupku! Dengan menantangku seperti ini, itu artinya kau telah melangkahi ga-

ris yam kutentukan!" desis si perempuan dingin.

"Kau yang bagian dari hidup kami! Dan kami

menghendakimu mati hari ini juga!!" seru Kirana se-

raya melancarkan serangannya kembali. Namun sam-

pai sejauh itu dia belum dapat mengenai bagian-

bagian tubuh si perempuan. Padahal Kirana sudah 

mempergunakan jurus 'Membelah Langit Memecah 

Guntur'.

Bahkan si perempuan sudah mendorong kedua 

tangannya.

Kirana memekik tertahan. Pendekar Kencana 

membeliak matanya yang kejap itu pula sudah berge-

rak untuk menyelamatkan muridnya. Begitu berhasil 

menyambar tubuh muridnya, terdengar letupan keras.

Blaaaammm!!

Gelombang angin hitam yang keluar dari do-

rongan kedua tangan si perempuan, menghantam ta-

nah hingga bermuncratan. Sebagian membuyar ke 

udara. Namun di saat lain, buyaran angin yang ber-

pencar itu mendadak bersatu kembali. Dan menyergap 

cepat ke arah Pendekar Kencana yang telah menyela-

matkan muridnya.

Mendelik sepasang mata Pendekar Kencana 

melihat apa yang terjadi. Disertai teriakan kecil, dia 

segera melempar tubuh muridnya yang terhuyung ke 

belakang. Sementara dia sendiri sudah mendorong ke-

dua tangannya ke depan.

Jlegaaarrr!!

Bertemunya dua gelombang angin berkekuatan 

dahsyat itu membuat tempat itu laksana bergetar! Be-

berapa buah pohon bertumbangan. Tanah di mana 

bertemunya dua kekuatan itu terdongkrak naik seting-

gi dua tombak.


Gelombang angin hitam yang pecah berantakan 

itu berhamburan menghantam apa saja yang dike-

nainya, yang seketika menghangus hitam legam!

Di pihak lain, begitu serangannya berhasil me-

mapaki serangan ganas si perempuan, Pendekar Ken-

cana terhuyung-huyung ke belakang sambil menekap 

dadanya dengan tangan kanan. 

"Gila! Ilmunya sangat tinggi! Lebih mengerikan 

dari ilmu milik Ratu Tanah Terbuang!" desisnya geli-

sah. Keringat sudah mengaliri sekujur tubuhnya.

"Guru! Jangan khawatir, aku akan membantu!" 

suara Kirana tahu-tahu sudah terdengar di samping 

kirinya. Muridnya itu telah berdiri dengan mata mem-

buka lebar dan dada naik turun.

"Kirana... menyingkir dari sini! Perempuan ini 

lebih kejam dari Ratu Tanah Terbuang!"

"Tidak! Kita akan bersama-sama menghada-

pinya!"

"Kirana! Jangan banyak membantah! Kau tidak 

tahu siapa yang kita hadapi!"

"Guru juga tidak tahu siapa yang sedang kita 

hadapi! Kita hanya sama-sama tahu kalau perempuan 

itu memiliki keganasan tinggi dan sedang mencari Kiai 

Gede Arum!"

"Kirana...."

Kata-kata Pendekar Kencana terputus karena 

suara menggemuruh sudah menerjang dari depan. 

Disusul dengan lesatan tubuhnya disertai tangan ka-

nan kirinya yang digerakkan membentuk jotosan.

Melihat datangnya serangan, Pendekar Kencana 

segera berseru, "Menyingkir, Kirana! Menyingkir!!"

Kemudian dia melesat ke depan dengan kegigi-

han yang kentara.

Buk! Buk!


Benturan tangan itu terjadi dua kali. Kejap itu 

pula Pendekar Kencana terlempar ke belakang. Kedua 

tangannya terasa seperti patah. Belum lagi dia mengu-

asai keseimbangannya, perempuan bertelanjang dada 

itu sudah menepukkan tangannya. Tak ada suara yang 

keluar akibat tepukan tangannya itu.

Akan tetapi yang terjadi kemudian, menderu 

gelombang angin hitam yang bergerak berputar-putar 

lima langkah di hadapannya. Putaran angin hitam itu 

semakin lama semakin membesar. Menyeret tanah dan 

ranggasan semak yang masuk ke dalam putaran angin 

itu yang kemudian terlempar deras ke beberapa tem-

pat!

Pendekar Kencana menegakkan kepalanya. Ke-

dua kakinya dijejakkan di atas tanah untuk menghen-

tikan gontaian tubuhnya. Begitu putaran angin hitam 

itu bergerak ke arahnya, dia sudah mendorong kedua 

tangannya berkali-kali.

Gelombang-gelombang angin keras yang keluar 

dari dorongan kedua tangan Pendekar Kencana, terte-

lan oleh putaran angin hitam yang keluar dari tepukan 

kedua tangan perempuan bertelanjang dada, untuk 

kemudian lenyap!

Menyusul putaran angin itu menderu ke arah-

nya. Tak ada jalan lain yang bisa dilakukan Pendekar 

Kencana kecuali menghindari serangan itu disertai do-

rongan kedua tangannya. 

Di tempatnya Kirana memperhatikan dengan 

kedua mata terbelalak. Gemuruh jantung si gadis ber-

detak lebih cepat. Kengerian terpampang di matanya. 

Keinginan untuk membantu gurunya sedemikian be-

sar. Tetapi disadarinya kalau dia nekat membantu se-

karang maka akan mengakibatkan kematian belaka,

Jlegaaarrr!!


Gelombang angin tadi menabrak putaran angin 

hitam yang terus memburu ke arah Pendekar Kencana! 

Sesaat terlihat gelombang angin itu masuk pada puta-

ran angin hitam. Terdengar suara letupan susul me-

nyusul yang sangat keras! Kejap lain terdengar letupan 

membahana!

Blaaaarrr!!

Putaran angin hitam itu berpentalan ke sana 

kemari! Beberapa pohon yang tumbang terseret jauh. 

Berhamburannya angin hitam disertai muncratan ta-

nah menambah kepekatan tempat itu hingga sangat 

sukar ditembus oleh pandangan. Suara gerengan dari 

mulut si perempuan bertelanjang dada yang telah di-

kuasai oleh ilmu hitam milik Sangga Langit, terdengar 

sangat keras disusul dengan tanah yang bergetar-getar 

hebat!

Rupanya perempuan bertelanjang dada itu su-

dah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa-

ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya me-

layang ke depan. Jotosannya meluncur cepat.

Desss!!

Dari bubungan tanah yang menghalangi pan-

dangan, terlempar satu sosok tubuh deras ke bela-

kang.

Kirana membelalak, 

"Guru!!"

Kejap itu pula dia melesat untuk menyambar 

tubuh gurunya. Karena kerasnya lemparan tubuh 

Pendekar Kencana, begitu berhasil menyambar tubuh 

gurunya, Kirana pun terseret beberapa langkah. Gadis 

ini berusaha keras untuk menghentikan seretan tu-

buhnya sendiri.

Dia berhasil melakukannya ketika tubuhnya 

terbentur pada sebuah pohon. Tak dipedulikannya rasa sakit pada punggungnya akibat benturan dengan 

pohon itu. Dengan kepanikan tinggi dia melihat kea-

daan gurunya.

Seketika terdengar teriakannya yang memba-

hana, 

"Guruuuu!!"

Pendekar Kencana telah tewas begitu berhasil 

disambar oleh Kirana tadi!

"Kini tinggal kau, Gadis Manis! Kau adalah ba-

gian dari hidupku!"

Suara menggereng dingin itu disusul dengan 

labrakan ganas dari gelombang angin hitam. Dalam 

waktu yang sangat sempit, Kirana berhasil mengenda-

likan dirinya. Serta-merta dia melompat ke samping 

kanan sambil membawa jenazah gurunya.

Blaaarrr!!

Pohon di belakangnya seketika pecah bermun-

cratan. Bersamaan pecahnya pohon itu, Kirana memu-

tuskan untuk melarikan diri. Sekencang-kencangnya 

dia berusaha berlari untuk menghindari perempuan 

bertelanjang dada. 

Di tempat semula, Marinah yang telah dikuasai 

ilmu hitam milik mendiang Sangga Langit menggeram 

keras untuk kemudian segera meninggalkan tempat 

itu.

* * *

Senja merambah alam lagi. Senja yang menyi-

ratkan kepedihan dalam. Terutama pada hati gadis 

berpakaian ringkas warna biru itu yang duduk ber-

simpuh di hadapan sebuah gundukan tanah yang ma-

sih baru.

Gadis ini berusaha untuk tidak menangis, kendati tubuhnya sedikit bergetar.

"Guru... maafkan aku yang tak bisa memban-

tumu...," desisnya pelan. Hati Kirana laksana disayat 

oleh sembilu bermata tiga, pedih dan sangat pedih.

Tiga helai daun jatuh tepat di atas gundukan 

tanah itu. Disingkirkannya dengan gerakan lemah. Su-

ara tekukur yang entah berada di mana, menambah si 

gadis larut dalam kesedihan.

"Guru... belum lama rasanya kita bersama-

sama, tetapi musibah sudah menimpa beruntun. Ratu 

Tanah Terbuanglah yang menjadi pangkai dari petaka 

ini. Bila dia tidak muncul ke Perguruan Kencana, su-

dah jelas kita masih tetap berada di sana, bersama 

dengan saudara-saudara seperguruanku yang lain-

nya."

Untuk beberapa lama gadis ini menumpahkan 

seluruh perasaan dukanya. Dia tetap menahan air ma-

tanya jangan sampai keluar. Setelah beberapa saat, 

barulah dia berdiri dengan pandangan masih tertuju 

pada gundukan tanah itu. Dia sepertinya tak menghi-

raukan keadaan sekelilingnya sebelum menumpahkan 

segala duka di hatinya.

"Guru... masih ada amanat mu yang belum ku-

jalankan. Aku harus tetap ke Sungai Matahari untuk 

menjumpai kakek Kidang Gerhana. Aku akan mencari 

Ratu Tanah Terbuang. Juga... juga perempuan berte-

lanjang dada yang telah merenggut nyawamu...."

Setelah terdiam beberapa saat, Kirana mende-

sah, "Aku berangkat sekarang, Guru. Damailah Guru 

di sisi Yang Maha Kuasa...."

Kejap lain dia sudah bersiap untuk meninggal-

kan tempat itu. Baru saja dibalikkan tubuhnya ke 

samping kanan, kejap itu pula dia menegakkan kepa-

lanya.


Satu sosok tubuh berompi ungu telah berdiri di 

hadapannya. Untuk beberapa saat Kirana terdiam 

memandang pemuda yang sedang tersenyum padanya.

"Maafkan kalau kehadiranku ini mengagetkan

mu...."

Kirana tak segera menjawab. Dipandanginya 

pemuda tampan berambut gondrong itu. Entah men-

gapa Kirana mendadak bergetar begitu melihat tatapan 

angker dari si pemuda.

"Oh! Tatapan itu... tatapan itu begitu mengeri-

kan...," desisnya dalam hati.

Si pemuda tersenyum.

"Aku tak bermaksud mengusik hatimu. Kebetu-

lan aku sedang melewati tempat ini dan melihat kau 

bersimpuh di hadapan gundukan tanah itu. Maafkan 

aku... siapakah yang telah membunuh gurumu?"

Kirana tak menjawab.

"Dia bertanya seperti itu, berarti dia tahu kalau 

yang berada di dalam tanah ini adalah guruku. Dan itu 

artinya dia sudah lama berada di sini. Tetapi aku tak 

mengetahuinya sama sekali...."

Karena mendapati pertanyaan dan sikap yang 

sopan, Kirana menjawab, "Aku tidak tahu secara pasti 

siapakah yang telah membunuh guruku. Dia tahu-

tahu muncul di hadapanku dan guruku. Muncul den-

gan satu tindakan yang mengerikan...."

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja 

Naga adanya terdiam sebelum berkata, "Kau tidak tahu 

siapa orang yang telah membunuh gurumu, apakah 

itu hanya sebatas kau tidak mengetahui siapa orang 

itu atau kau tidak melihat wujudnya?"

"Aku tidak tahu siapa perempuan ganas itu, te-

tapi aku tahu wujudnya. Dia seorang perempuan tak 

tahu malu yang sedang mencari Kiai Gede Arum. Guruku mengatakan kalau Kiai Gede Arum telah lama 

tewas, tetapi dia justru menuduh guruku berdusta," 

sahut Kirana pelan. Tetapi di saat lain suaranya sudah 

berubah menjadi dingin, "Dia... perempuan bertelan-

jang dada!"

Mendengar kata-kata terakhir si gadis, Raja 

Naga menegakkan kepala. Untuk beberapa saat dia tak 

bersuara, sebelum keluar suaranya yang menyentak,

"Di mana perempuan itu sekarang?!"

Kirana menggelengkan kepala walaupun seje-

nak merasa keheranan melihat perubahan paras pe-

muda tampan di hadapannya.

"Aku tidak tahu. Sobat... apakah kau mengenal 

siapa perempuan itu?"

Raja Naga mengangguk-anggukkan kepalanya. 

Lalu diceritakannya tentang perempuan bertelanjang 

dada yang telah menewaskan guru dari si gadis.

"Hingga saat ini aku masih melacak di mana 

perempuan itu berada. Perempuan yang semula adalah 

seorang istri yang sabar, santun, sopan, dan selalu 

menjunjung tinggi kehormatannya. Tetapi kini, telah 

berubah menjadi sedemikian ganas karena tertitis ilmu 

hitam milik manusia berhati kejam...."

"Jadi yang kau maksudkan, perempuan itu bu-

kan bertindak atas nuraninya sendiri?"

"Sama sekali tidak. Dia telah dikuasai oleh ilmu 

hitam dari orang yang pernah dibunuh Kiai Gede 

Arum."

Kirana tak menjawab. Hatinya yang berduka 

tadi tetap diliputi kemarahan.

Kemudian dia mendesis pelan, "Ini semua gara-

gara Ratu Tanah Terbuang."

"Ratu Tanah Terbuang? Siapa pula orang itu? 

Dan apa yang telah terjadi?" desis Boma Paksi dalam

hati. Kemudian sambil memandang gadis di hadapan-

nya dia berkata, "Siapakah Ratu Tanah Terbuang itu?"

Kirana segera menceritakan apa yang diala-

minya. Di sela-sela kata-katanya, dia menyebutkan pu-

la namanya. Dia juga mengatakan kalau saat ini dia 

harus segera menuju ke Sungai Matahari untuk men-

jumpai kakek bernama Kidang Gerhana.

"Tanpa sebab yang pasti, tak mungkin gadis 

yang dari tubuhnya mengeluarkan aroma wangi itu ta-

hu-tahu menyerang Perguruan Kencana." 

"Ya! Memang tak mungkin!" 

"Apakah kau mengetahui sebab-sebabnya?" 

"Guruku hanya mengetahui sedikit saja. Menu-

rut Guru, Ratu Tanah Terbuang sedang mencari seo-

rang pemuda! Menurut Guru pula, kalau Ratu Tanah 

Terbuang melakukan tindakan makar itu karena dia 

menghendaki pemuda itu muncul."

"Siapakah pemuda yang dicarinya?"

Kirana mendadak menggeram. Kedua tangan-

nya dikepalkan hingga wajahnya menjadi tertarik ke-

ras.

"Kami tak punya urusan apa-apa dengan Ratu 

Tanah Terbuang, juga dengan pemuda yang sedang di-

carinya! Tetapi tentunya antara Ratu Tanah Terbuang 

dengan pemuda itu telah terlibat satu urusan dalam, 

berkepanjangan yang mungkin menimbulkan dendam 

tinggi di hati salah seorang atau mungkin keduanya! 

Dan kami yang kemudian menjadi korban! Huh! Bila 

saja aku bertemu dengan pemuda itu, dia akan kuha-

jar habis-habisan!"

"Mengapa?"

"Karena pemuda itulah yang telah menyebab-

kan semua ini! Dialah yang dicari oleh Ratu Tanah 

Terbuang! Dialah yang diinginkan oleh gadis ganas


yang memiliki ilmu tinggi itu! Huh! Aku sudah tidak 

sabar untuk berjumpa dengan pemuda bernama Boma 

Paksi atau yang berjuluk Raja Naga itu!"


LIMA


MENDENGAR nama dan julukannya dis-

ebutkan, pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 

dipenuhi sisik-sisik coklat itu menegakkan kepala. So-

rot matanya tetap angker dan tajam.

"Astaga! Jadi... jadi akulah yang sedang dicari 

oleh perempuan berjuluk Ratu Tanah Terbuang? Asta-

ga! Mengapa? Baru kali ini aku mendengar julukan itu! 

Aku tak tahu siapa Ratu Tanah Terbuang sebenarnya! 

Tetapi tahu-tahu dia sedang mencariku. Apakah ada 

urusan yang terpendam selama ini? Kalau memang 

benar, mengapa aku tidak tahu?"

Kirana yang masih dilamun kegusarannya ka-

rena menganggap pemuda berjuluk Raja Naga-lah pe-

nyebab dari semua ini, memandang tak berkedip pada 

pemuda di hadapannya. Diperhatikannya beberapa 

lama, tetapi tidak berani langsung menghujam pada

sepasang mata angker di depannya.

Kening gadis ini lamat-lamat berkerut karena 

pemuda di hadapannya tak bersuara. Kemudian den-

gan suara terdengar agak menyelidik, dia berkata, 

"Kau sepertinya mengenal siapa pemuda yang berjuluk 

Raja Naga!"

Raja Naga tersenyum, lalu menganggukkan ke-

palanya. Melihat anggukan si pemuda, Kirana sudah 

berseru-seru keras,

"Katakan, katakan di mana pemuda itu berada!


Dia harus membayar semua ini!"

"Kau terlalu dibawa oleh emosimu sendiri yang 

menurutku tak patut kau lakukan," kata Raja Naga te-

nang.

Kata-kata si pemuda membuat Kirana tidak se-

nang.

"Mengapa kau berkata demikian, hah?! Sudah 

jelas-jelas aku dan guruku serta saudara-saudara se-

perguruanku yang menjadi korban urusan antara Ratu 

Tanah Terbuang dengan Raja Naga!"

"Apa yang kau katakan memang benar. Sung-

guh tak menyenangkan bila kita ternyata jadi korban 

atau tumbal dari urusan orang lain. Hanya saja bila 

Raja Naga memang mengenal Ratu Tanah Terbuang 

dan punya urusan dengannya. Tetapi bagaimana bila 

ternyata dia sama sekali tak mengenalnya, yang berarti 

tidak punya urusan dengan Ratu Tanah Terbuang?"

"Mengenalnya atau tidak, tetaplah Raja Naga 

yang sedang dicari oleh Ratu Tanah Terbuang hingga

kami yang menjadi korban!" sahut Kirana tegas. "Pe-

rempuan itu sedang memancing munculnya Raja Naga! 

Coba kau pikir baik-baik! Seberapa banyak korban 

akan berjatuhan lagi akibat keinginan Ratu Tanah 

Terbuang agar Raja Naga muncul?! Bisa jadi pula ka-

lau kami bukanlah korban pertama dari urusan ini! 

Apakah kau tidak memikirkan soal itu?!"

Raja Naga hanya mengangguk.

"Bagus kalau kau memikirkannya juga! Berarti, 

kau memahami kesulitan yang ada! Dan kuharap kau 

dapat memaklumi perasaanku! Sekarang... katakan 

padaku, di mana pemuda itu berada?! Dia harus bera-

ni tampil untuk menghentikan sepak terjang Ratu Ta-

nah Terbuang dan mempertanggungjawabkan kepen-

gecutannya!"


Raja Naga memandang si gadis yang sedang ka-

lap itu.

"Sebaiknya aku tetap tak mengaku kalau aku-

lah pemuda yang dimaksudnya. Ini memang tidak 

baik. Tetapi bila aku mengatakan yang sebenarnya, bi-

sa jadi kalau gadis itu akan menyerangku. Dan aku 

yakin dia akan melakukan tindakan seperti itu, semata 

untuk melampiaskan kedukaan sekaligus kekesalan-

nya," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Maafkan aku. 

Aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu dia 

berada di mana saat ini."

Kirana mendengus.

"Huh! Dari sikapmu sebelumnya, aku tahu kau 

menyembunyikan yang sebenarnya! Padahal kau tahu 

di mana pemuda itu berada!"

Raja Naga tak menjawab. Kirana berkata lagi 

seraya mengepalkan kedua tinjunya, "Pemuda itu ha-

rus merasakan akibat dari semua ini!"

"Kirana... sebaiknya kau pendam kemarahan

mu itu, karena belum tentu memang pemuda itu yang 

harus kau jadikan sebagai pelampiasan kemarahan

mu."

"Kukatakan tadi, aku tak peduli! Dia yang se-

dang dicari perempuan itu, dan dialah yang harus ber-

tanggung jawab!!"

Raja Naga mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baiklah... bila aku berjumpa dengannya, akan 

kuceritakan semua ini!"

"Katakan... dia harus berhadapan denganku!"

Kembali Raja Naga mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

"O ya.... Kau tadi mengatakan kalau kau seka-

rang hendak menjumpai Kidang Gerhana di Sungai 

Matahari. Berhati-hatilah. Sementara aku akan tetap

mencari perempuan bertelanjang dada yang bernama 

Marinah."

"Aku akan mencarinya juga!" desis Kirana ge-

ram.

Raja Naga menganggukkan kepalanya.

Kirana sesaat memandangi pemuda tampan di 

hadapannya. Di hatinya ada sedikit ketidakpuasan. Te-

tapi begitu mengingat dia harus segera menuju ke 

Sungai Matahari, gadis ini pun segera berlari tanpa be-

rucap apa-apa lagi.

Raja Naga menarik napas pendek.

"Ah, siapa Ratu Tanah Terbuang sebenarnya?" 

desisnya pelan. "Mengapa urusan selalu datang bertu-

bi-tubi? Urusan Marinah belum dapat kuselesaikan. 

Demikian pula apa yang dikatakan Junjung Tala ten-

tang Setan Pemetik Bunga yang sedang mencariku, ka-

rena dia adalah cucu dari Hantu Menara Berkabut 

yang tewas di tanganku...."

Untuk beberapa lama pemuda dari Lembah Na-

ga ini terdiam, sebelum kemudian memutuskan lagi 

untuk segera mencari Marinah yang telah dikuasai 

oleh ilmu hitam.

Lima kejapan mata dari perginya Raja Naga, sa-

tu sosok tubuh berpakaian putih melompat dari atas 

sebuah pohon. Gerakan kakek bertubuh sedikit bong-

kok ini sungguh ringan, tak ada suara yang terdengar. 

Bahkan di saat kedua kakinya hinggap, tak ada debu 

yang membuyar sedikit pun juga.

Angin senja menggerakkan jubahnya yang juga 

berwarna putih dan rambutnya yang tak beraturan. 

Wajah si kakek sedikit bergetar-getar saat dia berkata,

"Dari ciri yang ada pada diri pemuda itu, aku 

yakin, dialah murid Dewa Naga. Tindakan pemuda be-

rompi ungu itu memang benar. Dia sengaja tak mau


mengatakan siapakah dirinya sebenarnya, karena dia 

tahu kalau gadis yang ternyata murid Pendekar Ken-

cana itu sedang gusar. Ah, tak kusangka kalau Pende-

kar Kencana akan tewas di tangan perempuan yang te-

lah dikuasai oleh ilmu hitam milik mendiang Sangga 

Langit...."

Untuk beberapa lamanya si kakek yang bukan 

lain Kiai Gede Arum ini terdiam. Wajahnya menyi-

ratkan keresahan dalam. Sepasang matanya menger-

jap-ngerjap dipenuhi kegelisahan.

"Biar bagaimanapun juga, aku yang harus ber-

tanggung jawab dalam urusan ini. Aku harus lebih du-

lu menemukan perempuan bernama Marinah sebelum 

perempuan yang dikuasai ilmu hitam itu akan semakin 

jauh bertindak...."

Habis mendesis demikian, Kiai Gede Arum me-

lirik makam Pendekar Kencana sejenak. Saat lain dia 

sudah meninggalkan tempat itu.

* * *

Larinya Raja Naga yang menyusuri malam yang 

baru datang itu, tertahan karena satu gelombang an-

gin sudah menerjang ganas ke arahnya.

Wuuutttt!!

Serta-merta anak muda tampan ini membuang 

tubuh ke samping kanan.

Blaaammm!!

Tanah di mana dia sebelumnya hendak me-

langkah tadi seketika rengkah, bermuncratan ke uda-

ra. Baru saja dia hinggap kembali di atas tanah, sudah 

menderu gelombang angin lainnya, yang lebih ganas 

dan lebih dahsyat!

Sepasang mata angker itu meradang gusar. Kepalanya menegak kaku. Lalu....

"Ehm!" terdengar dehemannya yang disusul 

dengan letupan keras,

Blaaarrr!!

Gelombang angin yang kembali menderu itu 

putus di tengah jalan terhantam kekuatan tak nampak 

yang terpancar dari deheman Raja Naga. Di lain saat, 

Raja Naga sudah menjejakkan kaki kanannya di atas 

tanah. Begitu kaki kanannya dijejakkan, mendadak sa-

ja tanah itu bergerak membujur ke arah kanannya.

Blaam! Blaaammm!!

Ranggasan semak yang diarahkan serangannya 

membuyar ke udara.

Raja Naga menunggu beberapa saat sambil 

memicingkan matanya. Tetapi tak ada satu sosok tu-

buh pun yang keluar dari balik semak yang telah lebur 

itu.

"Hemmm... orang yang menyerangku ini jelas-

jelas memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Semula 

aku yakin dia berada di balik ranggasan semak itu, te-

tapi pada akhirnya aku tak melihat siapa pun keluar 

dari sana. Siapakah dia? Dan mengapa dia menye-

rangku?" desisnya sambil bersiaga penuh. Sepasang 

mata angkernya diedarkan berkeliling. "Tak ada tanda-

tanda penyerang ku ini berada di mana. Bisa jadi dia 

adalah perempuan bertelanjang dada, atau Ratu Tanah 

Terbuang? Tetapi menurut Kirana, kehadiran Ratu Ta-

nah Terbuang akan didahului oleh aroma wangi yang 

menyengat. Tak ku cium adanya aroma wangi pertan-

da kemunculan Ratu Tanah Terbuang."

Kembali pemuda berompi ungu dan bermata 

angker terdiam. Kesiagaannya tetap terjadi. Tiba-tiba 

terlintas satu pikiran di benaknya.

"Hemm... jangan-jangan... dia adalah Setan


Pemetik Bunga, cucu Hantu Menara Berkabut yang 

menurut Junjung Tala hendak membalas dendam pa-

daku? Atau..." 

Wuussss!!

Mendadak dua buah gelombang angin mener-

jang kembali dengan keganasan tinggi. Raja Naga sege-

ra mendehem kembali yang membuat dua bokongan 

itu putus mendadak. Tetapi di saat lain dia sudah 

menggerakkan tangan kanan kirinya.

Karena secara tiba-tiba gelombang angin itu 

mencuat ke atas dan turun laksana hujan anak panah.

Gerakan tangan kanan kiri Raja Naga berhasil 

memutus serangan aneh itu. Menyusul dia melesat ke 

depan, ke balik sebuah ranggasan semak. Tetapi sam-

pai di sana, dia tak melihat adanya orang.

"Hemm... orang ini mengajakku main kucing-

kucingan! Baik! Bila dia menginginkan seperti itu, aku 

akan mengikuti apa yang diinginkannya!"

Memutuskan demikian, seolah tanpa adanya 

kejadian yang menjengkelkan sekaligus dapat mereng-

gut jiwanya, Raja Naga melangkah seperti hendak me-

ninggalkan tempat itu. Dia yakin kalau orang yang en-

tah berada di mana akan melancarkan serangannya 

lagi.

Apa yang diperkirakannya memang benar, ka-

rena mendadak saja dua gelombang angin melesat dari 

arah belakang dan siap menghantam punggungnya!

Raja Naga belum timbul kemarahannya, dia 

hanya jengkel saja. Segera dia bersalto ke belakang la-

lu memutar tubuhnya dalam keadaan berdiri beberapa 

kali untuk kemudian tiba di balik semak di mana dua 

gelombang angin tadi melesat.

Tetapi lagi-lagi pemuda yang sebatas sikunya 

terdapat sisik-sisik coklat ini kecele, karena dia tak

melihat siapa pun di sana.

Tiga kejapan mata kemudian, terdengar suara, 

"Keparat! Aku gagal mengejarnya! Aku gagal!"

Segera Boma Paksi memutar tubuhnya. Dili-

hatnya Dewi Kerudung Jingga sedang berlari mendeka-

tinya. Sebelum perempuan jelita berkerudung jingga 

itu tiba di hadapannya, Raja Naga mengerutkan ke-

ningnya.

"Siapa orang yang kau maksudkan gagal kau 

kejar?" tanyanya kemudian setelah Dewi Kerudung 

Jingga tiba di hadapannya.

Perempuan itu menggeram.

"Siapa lagi orangnya kalau bukan orang yang 

hendak mencabut nyawamu?!"

"Maksudmu... Setan Pemetik Bunga?"

Dewi Kerudung Jingga mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Wajah jelitanya menampakkan kejengkelan 

luar biasa.

"Sayang aku terlambat datang ke sini! Kalau ti-

dak, aku sudah lebih dulu menangkapnya sebelum dia 

mencelakakanmu!! Dan sungguh sial, dia dapat berge-

rak sedemikian cepat!"

Raja Naga mengerutkan keningnya sejenak, se-

belum kemudian tersenyum.

"Sudahlah. Toh pada kenyataannya aku tak ku-

rang suatu apa, meskipun aku merasa penasaran un-

tuk mengetahui siapakah orang yang membokongku."

"Dari gelagat yang kau perlihatkan, nampaknya 

kau tak menghiraukan apa yang kukatakan!" dengus 

Dewi Kerudung Jingga keras. Tatapannya tajam me-

mandang Raja Naga, tetapi segera diarahkannya ke 

tempat lain. Karena sorot mata itu begitu angker ke 

arahnya.

Raja Naga menggeleng.


"Sama sekali aku tak melakukan apa yang kau 

katakan. Biar bagaimanapun juga aku harus berhati-

hati terhadap Setan Pemetik Bunga. Manusia itu telah 

memperlihatkan kelasnya yang tak bisa dipandang se-

belah mata."

"Huh! Kau sudah meninggikan orang yang hen-

dak membunuhmu! Tak sepatutnya kau melakukan 

hal itu!" dengus Dewi Kerudung Jingga untuk kesekian 

kalinya.

Lagi-lagi Raja Naga tersenyum.

"Aku memang ingin berjumpa dengan Setan 

Pemetik Bunga. Tetapi bukan untuk mencari urusan, 

melainkan menjelaskan apa yang sesungguhnya terja-

di."

"Kau hanya datang menerima undangan kema-

tiannya belaka! Seharusnya manusia seperti itu kau 

bunuh saja!"

"Aku tak berhak melakukan, dan siapa pun 

orangnya tak berhak melakukan tindakan itu."

Perempuan cantik berkerudung jingga itu 

menggeram. Tetapi dia tidak lagi membicarakan ten-

tang Setan Pemetik Bunga.

Kemudian katanya, "Bagaimana dengan perem-

puan bernama Marinah itu?"

"Sampai saat ini aku belum berhasil menemu-

kannya. Tetapi kekejamannya telah terjadi lagi! Belum 

lama ini dia telah membunuh Pendekar Kencana. Ah, 

entah berapa banyak lagi jumlah orang-orang yang 

akan dibunuhinya itu sebelum dia menemukan Kiai 

Gede Arum! Tetapi menemukan Kiai Gede Arum jelas 

tak mungkin dilakukannya mengingat Kiai Gede Arum 

telah tewas. Dan ini berarti, sepak terjang perempuan 

yang telah dimasuki ilmu hitam itu akan semakin 

mengganas."


"Lantas... kau masih akan tetap mencarinya?"

Boma Paksi menganggukkan kepala.

"Sampai kapan pun juga aku akan menca-

rinya."

"Aku juga sudah tidak sabar untuk mencari pe-

rempuan itu! Raja Naga... kesaktian perempuan itu 

tentunya sangat tinggi! Aku mengemukakan usulku la-

gi yang telah ku kemukakan beberapa hari lalu...."

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang 

angker memandang pada Dewi Kerudung Jingga. Un-

tuk beberapa lama dia terdiam sebelum mengangguk-

kan kepala. 

"Ya... sebaiknya kita memang bersama-sama...."

"Hemmm... kalau sebelumnya dia menolak 

usulku, tetapi sekarang dia justru menyetujuinya. Apa 

yang menyebabkannya berubah seperti ini?" desis Dewi 

Kerudung Jingga dalam hati. Tetapi dia tak mengung-

kapkannya.

Kemudian katanya, "Sekarang juga kita be-

rangkat! Aku khawatir kalau perempuan itu akan se-

makin menelan korban yang entah berapa banyak 

jumlahnya...."

Raja Naga menganggukkan kepala. Sekilas ter-

lihat kalau dia sedang berpikir. Tak lama kemudian 

keduanya sudah melangkah bersama-sama.



ENAM


MENJELANG pagi, nampak dua sosok tubuh 

tergesa-gesa keluar dari balik ranggasan semak. Sepa-

sang anak manusia itu nampak terburu-buru pula me-

rapikan pakaiannya. Si perempuan yang berkulit hitam 

manis sedang merapikan rambutnya yang acak


acakan, sementara si pemuda sedang mengikat celana 

pangsinya. Melihat paras masing-masing orang, jelas 

kalau si perempuan lebih tua usianya daripada si pe-

muda.

Setelah mengikat celana pangsinya, si pemuda 

meraih pinggang ramping si perempuan diiringi suara 

penuh gairah, 

"Nyi... aku masih ingin lagi...."

"Gila!" seru si perempuan sambil tertawa, tetapi 

tidak berusaha melepaskan tangan si pemuda yang 

melingkar pada pinggang rampingnya. "Aku harus ce-

pat kembali ke rumah. Kalau tidak suamiku bisa curi-

ga...."

"Ah, kan dia tahu kalau kau semalam berjualan 

di kotapraja!" sahut si pemuda sambil mencium pipi 

halus si perempuan. Tangan kanannya menggelitik 

pinggang ramping si perempuan hingga menggelinjang.

"Iya, iya! Tetapi jarak tempat ini dari tempat 

tinggal kita cukup jauh. Lagi pula, jajanan yang ku da-

gangkan di kotapraja belum habis. Brengsek betul! 

Kupikir akan ada pesta besar di sana, tidak tahu tidak 

sama sekali! Apa yang harus kukatakan pada suamiku 

nanti?"

"Katakan saja... kalau kau tidak berani pulang 

malam. Toh, dia kan tidak tahu kalau sebelumnya aku 

sudah menunggu di ujung jalan?"

"Iya! Tetapi terkadang dia suka banyak tanya!"

"Biarkan saja! Salahnya sendiri, mengapa harus 

sakit-sakitan? Yang mengherankan ku, kok orang sakit 

pakai banyak tanya segala!"

Perempuan itu tersenyum.

"Karena dia sakit itulah kau mendapatkan ba-

gian yang sebenarnya bukan milikmu...."

"Tetapi kau menyukainya, bukan? Lagi pula


kau mengatakan, kalau bersamanya kau tidak menda-

pat kan kepuasan. Ayo, Nyi! Kau akan kuberikan ke-

puasan lagi...."

"Sudah, sudah... aku harus pulang. Ayo, kau 

juga harus pulang, kan?!"

"Sekali lagi saja, Nyi..."

Si perempuan terkikik. Tangannya membelai 

pipi si pemuda yang menyeringai lebar.

"Besok masih ada kesempatan untuk kita. Dan 

masih akan banyak lagi kesempatan yang akan kita 

dapatkan...."

"Aku masih ingin sekarang...," sahut si pemuda 

sambil membukai pakaian atas si perempuan yang 

hanya tertawa-tawa. Dibiarkan tangan si pemuda me-

megang, meremas dan memilin buah dadanya yang se-

gar dan cukup besar itu.

Ketika si pemuda hendak menghujamkan ci-

umannya pada dada besarnya, si perempuan mundur.

"Sudahlah, Angga... besok masih ada waktu...."

"Aku tak sabar menunggu besok...."

"Tubuhku sudah pegal-pegal."

Tetapi si pemuda tak peduli. Dia terus menyu-

supkan ciumannya pada bukit kembar yang kini ter-

buka lebar itu. Diciuminya penuh nafsu membara.

Tindakan yang dilakukan si pemuda membuat 

si perempuan menggelinjang sambil terkikik-kikik. Si 

pemuda begitu pandai memainkan peranannya untuk 

membangkitkan gairah si perempuan. Dia tahu kalau 

perempuan itu sebenarnya memiliki nafsu yang besar. 

Dan dia harus membangkitkannya.

Perempuan itu terus tertawa-tawa, sesekali 

menolak tetapi tak ada tindakan yang mengarah pada 

penolakannya. Si pemuda semakin ganas melakukan 

tindakannya. Meremas apa saja yang bisa diremasnya


agar dapat membangkitkan gairah si perempuan lagi. 

Tindakannya itu berhasil, karena si perempuan telah 

pasrah tatkala dia mengangkat tubuh bahenol itu 

kembali ke balik ranggasan semak di belakang mereka.

Bahkan perempuan itu hanya mendesah-desah 

tatkala tangan si pemuda dengan kasar menyusuri se-

luruh tubuhnya. Membukai kembali pakaiannya satu 

persatu dan membiarkan si pemuda kemudian mema-

suki tubuhnya.

Kedua orang yang sedang bermesraan itu sama 

sekali tidak mengetahui, kalau satu sosok tubuh telah 

berada di sana. Dan memandangi keduanya dengan 

sorot mata bengis.

"Ah... ayo, Angga! Lebih cepat! Lebih cepat!" su-

ara si perempuan meracau.

Di udara pagi yang masih dingin ini, tubuh ke-

duanya sudah berkeringat. Orang yang telah berada 

tak jauh dari mereka, memperhatikan dengan sorot 

mata bengis.

Yang pertama kali melihat keberadaan orang 

itu, adalah si perempuan yang saat ini sedang meringis 

keenakan. Tanpa sadar dia membuka matanya untuk 

melihat paras si pemuda yang sedang sibuk di atas tu-

buhnya. Dia tertawa senang dalam hati karena dapat 

memberikan sekaligus mendapatkan kepuasan. Saat 

itulah si perempuan melihat sosok orang yang telah 

berdiri tak jauh dari tempat mereka,

"Oh!!"

Seruan tertahan itu dianggap oleh Angga kalau 

perempuan yang berada di bawah tubuhnya merasa 

puas. Dia terus bergerak-gerak memacu tubuh. Tetapi 

mendadak saja dirasakan satu dorongan pada da-

danya.

"Heiiii!!" serunya dan tubuhnya terlepas dari


tubuh si perempuan, "Mengapa, Nyi? Ada apa?" ta-

nyanya heran dengan napas masih mendengus-

dengus.

Nyi Rukmini menunjuk-nunjuk ke belakang. 

Seketika Angga menoleh. Dilihatnya seorang perem-

puan berwajah jelita telah berdiri di hadapannya. Ka-

lau Nyi Rukmini kelihatan malu dan kecut, Angga ju-

stru tersenyum.

Terutama melihat si perempuan yang berdiri di 

hadapannya memamerkan buah dada mengkal yang 

menggiurkan!

"Nyi... mengapa harus terkejut seperti itu? Kita 

ajak sekalian perempuan ini...."

Seketika Nyi Rukmini merengut.

"Apa-apaan yang kau bicarakan itu, hah?! Pu-

kul dia! Usir!!" seru Nyi Rukmini sambil mengenakan 

pakaiannya kembali.

Angga cuma tertawa-tawa. Sambil merapikan 

pakaiannya dia berkata, "Mengapa harus diusir pe-

rempuan seperti ini, Nyi?! Biar dia kuajak dalam per-

mainan yang kita lakukan!"

Perempuan bertelanjang dada itu tak bergem-

ing. Sorot matanya tetap bengis.

"Perempuan bahenol... mengapa kau diam saja? 

Ayo, ikutlah bersama-sama kami menikmati keindahan 

ini! Jangan khawatir, aku mampu membuatmu me-

layang sampai ke langit tujuh!" seru Angga sambil ter-

bahak-bahak.

Perempuan bertelanjang dada yang bukan lain 

Marinah menggeram, "Kalian adalah bagian dari hi-

dupku!"

Angga tertawa-tawa senang.

"Ya, ya! Aku adalah bagian dari hidupmu!!" se-

runya. Dan gairah yang tak tertuntaskan tadi naik


kembali. Dipandanginya perempuan di hadapannya 

sambil menyeringai. Dijilat bibirnya saat pandangan-

nya memandang tak berkedip pada sepasang bukit 

kembar yang menggantung manja.

Tiba-tiba pemuda ini sudah menubruk Mari-

nah! Dia langsung merangkulnya. Tangan kanannya 

sibuk meremas buah dada Marinah sementara mulut-

nya menciumi sekujur wajah Marinah.

Melihat hal itu, Nyi Rukmini menjadi gusar.

"Brengsek! Brengsek!" makinya jengkel. "Angga! 

Apa-apaan yang kau lakukan ini, hah?!"

Tetapi Angga tak mempedulikan ucapannya. 

Dia seperti menemukan durian runtuh. Apalagi pe-

rempuan itu tak melakukan tindakan apa-apa. Mem-

biarkan sepasang bukit mengkalnya diremas-remas.

Nyi Rukmini menjadi jengkel. Saat itulah dia 

sadar kalau apa yang telah dilakukan adalah sebuah 

kesalahan besar. Pengkhianatan terhadap suaminya 

ini membuatnya merasa malu.

Dengan mencoba untuk tidak lagi melihat apa 

yang dilakukan oleh Angga, Nyi Rukmini mengambil 

bakul jajanan yang sedianya akan dijual di kotapraja. 

Lalu bergegas dia meninggalkan tempat itu dengan 

kemarahan yang besar terhadap Angga dan penyesalan 

dalam pada suaminya.

"Aaaakhhhhh!!!"

Teriakan yang keras itu membuat Nyi Rukmini 

menghentikan langkahnya. Dia mencoba melihat kem-

bali ke belakang, tetapi terhalang ranggasan semak.

"Huh! Pemuda brengsek itu tentunya sedang 

keenakan!" dengusnya gusar dan melangkah lagi.

Tapi lagi-lagi dihentikannya tatkala terdengar 

teriakan untuk kedua kalinya. Kali ini Nyi Rukmini 

terdiam dengan kening berkerut.

"Teriakan itu... itu... itu teriakan kesakitan! Oh! 

Kesakitan?!" desis Nyi Rukmini bingung.

Selagi dia kebingungan, mendadak saja satu 

sosok tubuh terlempar dan jatuh tepat di hadapannya.

Brukkkk!!

Seketika terdengar jeritan Nyi Rukmini lintang 

pukang seraya mundur. Bakul jajanannya terlepas, 

isinya bertumpahan. Nyi Rukmini mundur dengan wa-

jah pucat.

"Tidak! Tidak! Tidaaaakkkk!!"

Kejap itu pula dia berteriak keras seraya berlari 

kencang. Tubuh yang terlempar tadi adalah tubuh 

Angga yang telah menjadi mayat dengan luka yang 

menganga lebar pada leher yang masih mengeluarkan 

darah!

Teriakan Nyi Rukmini didengar oleh kakek ber-

jubah putih yang kebetulan lewat di tempat itu. Segera 

saja kakek berjubah putih ini yang bukan lain Kiai 

Gede Arum adanya, memutuskan untuk mencari orang 

yang berteriak itu. Begitu melihat siapa yang berteriak, 

Kiai Gede Arum berdiri menghadang.

"Perempuan... ada apa?!"

"Huaaaa!!" Nyi Rukmini berteriak keras. Dia 

berbalik dan siap berlari dengan wajah pucat luar bi-

asa.

Merasa ada sesuatu yang terjadi Kiai Gede 

Arum segera menyambar perempuan itu. Nyi Rukmini 

meronta-ronta diiringi teriakan tertahan.

"Lepaskan! Lepaskan! Toloong! Tolooonggg!!"

Kiai Gede Arum berusaha menenangkan pe-

rempuan itu. Sempat dilihatnya wajahnya menunjuk-

kan ketakutan yang luar biasa. Sepasang matanya 

memancarkan kepanikan tinggi.

Kiai Gede Arum memutuskan untuk menotok si


perempuan yang sesaat tubuhnya mengejut untuk 

kemudian menggelosoh pingsan seolah tak memiliki 

tulang.

Perlahan-lahan Kiai Gede Arum meletakkan tu-

buh Nyi Rukmini di atas tanah. Diperhatikannya se-

saat Nyi Rukmini dengan kening berkerut.

"Perempuan ini seperti melihat setan di siang 

bolong. Ah, apa yang menyebabkannya seperti ini? Apa 

iya ada setan di pagi seperti ini?!"

Kemudian diperiksanya tubuh Nyi Rukmini. 

Tak ditemukannya tanda-tanda luka atau lainnya yang 

membuat si perempuan sedemikian paniknya. Kiai 

Gede Arum bertambah yakin kalau sesuatu yang san-

gat mengerikanlah yang membuat perempuan berke-

baya ini menjadi sangat ketakutan.

Belum lagi dia mengetahui apa yang terjadi, sa-

tu suara terdengar, "Sekian lama kucari, baru kali ini 

kujumpai! Kiai Gede Arum, kau adalah bagian dari hi-

dupku! Dan sekaranglah saatnya untuk menuntaskan 

segala urusan lama!!"

Serta-merta Kiai Gede Arum mengangkat kepa-

lanya. Masih memandangi orang yang berdiri di hada-

pannya, kakek berjubah putih ini perlahan-lahan ber-

diri. Ketegangan perlahan-lahan merambati hatinya. 

Tetapi segera ditindihnya dengan cara menarik lalu 

menghembuskannya lambat-lambat.

Perempuan bertelanjang dada itu mendesis lagi, 

sorot matanya bengis mengerikan, "Berpuluh tahun 

lamanya aku tak kuasa melakukan apa-apa, terkubur

pada jasad kaku Patung Darah Dewa! Berpuluh tahun 

lamanya pula aku hidup dalam kungkungan sepi men-

gerikan! Dan sekarang semuanya sudah berakhir! Sa-

ma dengan akan berakhirnya perjalanan hidupmu!!"

Kiai Gede Arum menahan napas sejenak sebelum bersuara, "Sangga Langit! Ilmu yang kau miliki 

adalah ilmu setan! Sebagai penganut setan kau masih 

dapat hidup melalui ilmumu yang terkumpul pada si-

nar hitam! Sebaiknya... tinggalkan perempuan malang 

itu!"

Marinah yang tertitisi ilmu hitam milik Sangga 

Langit, tertawa keras.

"Begitu bodoh bila aku mau melakukannya! 

Kau tahu kalau aku tak bisa melakukan tindakan apa-

apa tanpa sebuah jasad sebagai perantara! Gede Arum! 

Kini tiba saatnya untuk membalas semua perlakuan-

mu dulu!"

"Kau terlalu gegabah, Sangga Langit!" desis Kiai 

Gede Arum tenang, tetapi sesungguhnya hatinya tidak 

tenang. Rasa khawatir semakin kuat mengikatnya.

"Jangan katakan aku terlalu gegabah! Keingi-

nanku adalah membunuhmu! Dan aku sudah memu-

tuskan untuk menjadikan perempuan ini sebagai pe-

rantara kehidupanku! Seharusnya dia bersyukur kare-

na aku telah memilihnya!"

Kiai Gede Arum tak menjawab.

"Perempuan itu memang bernasib malang, dia 

telah dipilih untuk dijadikan sebagai perantara oleh 

Sangga Langit yang masih hidup dalam ilmu hitamnya. 

Dan bila aku menyerangnya, itu artinya aku menye-

rang perempuan malang itu...."

Lalu dengan ketenangan tinggi, Kiai Gede Arum 

berkata, "Sangga Langit... zaman sudah berubah! Lain 

dulu lain sekarang! Dan tak seharusnya kau menitis 

pada perempuan itu untuk menjalankan apa yang kau 

inginkan! Kau masih beruntung hidup di dalam ilmu-

mu!"

"Grrrrhhh!! Ucapanmu hampir sama dengan 

yang kau katakan puluhan tahun lalu, di saat aku masih hidup dalam jasad ku! Gede Arum! Zaman memang 

telah berubah, tetapi dendam ku padamu tak akan 

pernah berubah!"

"Padahal bila kau mau membenarkan apa yang 

kulakukan, kau seharusnya bersyukur karena...." 

"Grrrhhhh! Tutup mulutmu!!" Kiai Gede Arum 

bersiaga.

"Sangga Langit... bila kau memang memaksa, 

aku bukan hanya menghabisi jasad mu! Tetapi juga 

kehidupanmu yang berada dalam lingkaran ilmu hi-

tam!"

"Bagus kau berani berucap demikian! Seka-

rang, bersiaplah untuk mampus!!"

Habis kata-kata itu terdengar, kedua tangan 

Marinah terangkat, lalu disilangkan perlahan-lahan. 

Kejap lain silangan kedua tangannya sudah didorong 

ke depan. Serta-merta menghampar gelombang angin 

hitam yang bersilangan dan semakin lama bertambah 

membesar.

Kiai Gede Arum menahan napas, untuk kemu-

dian disemburkan dengan cepat ke depan. 

Wrrrrr!!

Semburan napas itu melesat pelan, tetapi se-

makin lama semakin melebar dan.... 

Jlegaaar! Bjaaarrr!!!

Benturan dahsyat itu terjadi hingga tempat itu 

seperti bergoyang. Beberapa buah pohon langsung 

tumbang. Sosok Nyi Rukmini yang jatuh pingsan ter-

lempar ke belakang dan jatuh kembali di atas tanah 

dalam keadaan telungkup.

Masing-masing orang yang sama-sama mele-

paskan serangan mundur tiga langkah ke belakang.

Perempuan bertelanjang dada yang tertitisi ilmu 

hitam milik mendiang Sangga Langit menggeram keras


yang merentakkan kesunyian tempat itu. Di saat lain, 

dia sudah kembali menerjang dengan ganas"


TUJUH


KIAI GEDE ARUM menjerengkan sepasang ma-

tanya. Jubah putihnya sudah berkibar-kibar terkena 

terpaan angin yang keluar dari lesatan tubuh Marinah. 

Bersamaan dengan itu, kaki kanannya digeser ke mu-

ka setengah lingkaran. Tanah segera terangkat naik 

akibat geseran kakinya.

Marinah menggeram keras sambil menggerak-

kan tangan kanannya. Tanah yang menghambur ke 

arahnya beterbangan tertepis angin yang keluar dari 

gerakan tangannya. Menyusul tubuhnya meluruk den-

gan gerakan yang sukar diikuti mata. Bersamaan den-

gan itu, kaki kanannya mendadak mencuat. Gerakan 

yang diperlihatkan sungguh menakjubkan.

Kiai Gede Arum mau tak mau mundur dengan 

cepat.

Wuuuttt!!

Cuatan kaki kanan lawan menderu ke atas. 

Masih dengan kaki kanan berada di atas, mendadak 

tubuh Marinah terangkat pula. Naik seraya mengge-

rakkan kaki kirinya.

Wrrrrr!!

Gelombang angin menghempas dari tendangan 

kaki kirinya. Kiai Gede Arum menggeser tubuhnya 

dan.... 

Plak!

Tangannya sudah membentur tendangan kaki 

kiri Marinah. Kejap itu pula dia mundur sambil men-

dorong tangan kanan kirinya. Suara letupan keras terdengar tatkala perempuan bertelanjang dada yang di-

kuasai ilmu hitam itu memutus serangannya.

Di saat tanah muncrat menghalangi pandan-

gan, tubuhnya sudah melesat. Kiai Gede Arum masih 

dapat menghalangi serangan ganasnya itu. Namun...

Desss!!

Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu Ma-

rinah sudah berhasil menjotos dada kurus Kiai Gede 

Arum, yang membuat si kakek mundur beberapa lang-

kah dengan dada yang saat itu juga dirasakan nyeri. 

Jalan nafasnya terasa sesak. Belum lagi dia dapat 

menguasai keseimbangannya, gelombang angin hitam 

sudah menghempas bersilangan, semakin lama ber-

tambah membesar. Menyeret tanah dan semak belu-

kar.

"Astaga!!" desis Kiai Gede Arum. Segera dia ber-

gulingan ke belakang, sedikit menyusup untuk meng-

hindari labrakan angin yang bersilangan!

Blaaam! Blaaaammm!!

Ranggasan semak di belakangnya rengkah ber-

hamburan. Menyusul dua buah pohon berderak lalu 

ambruk terbanting di atas tanah dengan suara meng-

gidikkan.

Kiai Gede Arum yang sudah berdiri tegak men-

desis dengan wajah agak sedikit tegang, "Astaga! Men-

gapa ilmunya jadi sedemikian hebat?! Seingatku dulu, 

Sangga Langit tak memiliki kekuatan seperti ini."

Tetapi serangan yang datang kemudian mem-

buat Kiai Gede Arum tak sempat berpikir lebih lama. 

Kakek ini segera menghindarinya dengan gerakan ce-

pat. Dan serangan yang datang ke arahnya semakin 

beruntun, ganas dan brutal! Dalam waktu singkat saja 

tempat itu sudah porak poranda. Bahkan....

Breettt!!


Jubah putih Kiai Gede Arum sudah sobek ter-

sambar gelombang angin hitam yang keluar dari kedua 

tangan lawan!

"Jubah mu telah sobek, Gede Arum! Tak lama 

lagi tubuhmu yang bukan hanya akan sobek laksana 

sebuah kain, tetapi akan hancur berantakan!!"

"Kalau ku diamkan terus menerus, bisa jadi 

aku akan celaka! Tetapi bila kubalas serangannya, ju-

stru nasib perempuan itu akan bertambah malang!" 

desis Kiai Gede Arum dengan pandangan tak berkedip.

Untuk beberapa lama kakek berjubah putih ini 

terdiam. Dia terus memikirkan kemungkinan untuk 

menyerang. Tetapi tak ada cara lain untuk menghenti-

kan tindakan brutal dari Marinah yang telah tertitis 

ilmu hitam milik Sangga Langit, kecuali memang harus 

menyerangnya.

Kiai Gede Arum tak bisa lagi meneruskan piki-

rannya, karena serangan berikut sudah datang. Kali 

ini beberapa gelombang angin beruntun melesat ganas 

dengan suara bergemuruh. Sebagian meluncur deras, 

sebagian naik ke atas disusul dengan meluruk jatuh, 

sebagian lagi berdiri dan menyilang!

"Aku tak akan membiarkannya merenggut nya-

waku!" kata Kiai Gede Arum memutuskan. Habis me-

mutuskan demikian, kepalanya ditegakkan. Sepasang 

matanya dijerengkan hingga cahaya bening seperti 

berpendar-pendar di sekeliling kedua matanya.

Kejap lain, dari kedua matanya melesat cahaya 

bening yang berputar-putar ganas. Menderunya ca-

haya bening yang mengeluarkan angin besar itu mela-

brak tanah dan membuatnya membubung naik. Me-

nyusul letupan-letupan yang membuat tempat itu ber-

goncang.

Kiai Gede Arum mempertahankan keseimbangannya sambil terus melancarkan serangannya yang 

berbahaya. Di pihak lain, Marinah semakin mengga-

nas. Terus menerus dia mendorong kedua tangannya 

dengan gerakan yang semakin liar dan kacau. Bahkan 

suatu ketika dia sudah melesat ke depan!

"Astaga!" justru Kiai Gede Arum yang berteriak 

tertahan. Karena biar bagaimanapun juga, dengan tu-

buh si perempuan bertelanjang dada melesat ke depan, 

itu artinya menyongsong kematian! Karena saat ini 

Kiai Gede Arum sedang terus melancarkan serangan-

nya.

Saat itu pula Kiai Gede Arum memutuskan un-

tuk menghentikan serangannya. Tetapi justru nasib 

malang berpihak padanya. Karena begitu dihentikan 

serangannya, mendadak saja menggebah gelombang 

angin hitam yang ganas! 

"Heiiii!!"

Kiai Gede Arum berusaha untuk menghindari 

ganasnya serangan yang datang. Tetapi satu jotosan 

yang serasa meremukkan tulang paha kanannya, 

membuatnya terhuyung ke belakang. Selagi tubuhnya 

tergontai-gontai, sosok perempuan bertelanjang dada 

itu sudah menyerbu ke arahnya.

"Astaga!" seru Kiai Gede Arum tercekat. Dia be-

rusaha untuk merunduk, tetapi sapuan kaki kanan 

lawan membuatnya terbanting di atas tanah.

Saat itu pula diiringi gerengan keras, Marinah 

mumbul ke atas dan siap meluncur dengan kaki kanan 

mengarah pada kepala. Gelombang angin kaki kanan-

nya mendahului.

Dengan mata terbeliak, kakek yang jubah pu-

tihnya telah robek itu masih berhasil menghindari 

sambaran angin yang mendahului injakan kaki kanan 

Marinah.


Blaaarrrt!

Tanah itu membuyar. Kiai Gede Arum bergulin-

gan seraya merapatkan kedua matanya. Tetapi bila dia 

terus memejamkan matanya untuk menghindari buya-

ran tanah, bisa jadi kalau nyawanya akan putus saat 

itu juga. Makanya Kiai Gede Arum segera membuka 

matanya.

Justru ini yang mengakibatkan kefatalan ber-

pihak padanya. Karena tanah yang membuyar itu se-

bagian menerpa ke dua matanya. Kontan terdengar te-

riakannya. Gulingan tubuhnya semakin liar, membuat 

tanah membuyar tatkala tubuhnya terus bergulingan 

sambil menahan sakit.

"Kau adalah bagian dari hidupku!!"

Gelombang angin hitam mencecar ganas ke 

arah Kiai Gede Arum yang tak bisa membuka kedua 

matanya. Perih tak terkira. Bahkan kedua matanya 

sudah mengeluarkan air. Hanya karena naluri saja 

Kiai Gede Arum masih bisa menyelamatkan diri.

Tetapi dalam keadaan tak bisa melihat, siapa 

pun orangnya akan sulit menghadapi serangan bertu-

bi-tubi itu. Hingga satu ketika, satu jotosan telak 

menghantam punggungnya, yang membuatnya melen-

gak diiringi teriakan keras.

"Aaaakhhhh!!"

Tubuhnya terasa terpantek di tanah. Pakaian 

putihnya sudah kotor. Marinah mencelat ke atas dan 

meluruk dengan kedua kaki di atas, sementara kedua 

jotosannya siap menghantam punggung Kiai Gede 

Arum yang sekaligus akan mengakhiri hidupnya!

Tetapi rupanya maut berkehendak lain. Karena 

tiba-tiba saja terdengar satu deheman cukup keras.

"Ehhhmmmm!!"

Menyusul sosok Marinah terlempar ke samping


kanan dan terbanting di atas tanah. Perempuan berte-

lanjang dada ini cepat berdiri. Bukit kembarnya agak 

kotor. Gerengannya terdengar sangat keras.

"Manusia terkutuk!" makinya gusar.

Berjarak dua belas langkah, Kiai Gede Arum 

sudah berdiri dipapah seorang pemuda berompi ungu. 

Sambil memapah, si pemuda berbisik dengan mata te-

rarah pada perempuan bertelanjang dada, "Orang 

tua... sebaiknya kau mundur dulu...."

Kiai Gede Arum mengangguk-anggukkan kepa-

la. Dia bersyukur karena seseorang yang tak bisa dili-

hatnya karena kedua matanya masih kemasukan ta-

nah, telah menyelamatkannya.

Kemudian didengarnya suara itu berkata, "Dewi 

Kerudung Jingga! Tolong kau jagai orang tua ini! Ban-

tu dia untuk menghilangkan tanah pada kedua ma-

tanya!"

Perempuan berparas cantik yang mengenakan 

kerudung jingga itu menganggukkan kepala, lalu men-

dekati si pemuda yang bukan lain Raja Naga. Berhati-

hati dan penuh kesiagaan Dewi Kerudung Jingga me-

mapah Kiai Gede Arum.

Raja Naga memandang tajam pada perempuan 

bertelanjang dada yang bengis menatapnya.

* * *

"Kita berjumpa lagi, Pemuda Keparat! Kau ada-

lah bagian dari hidupku!!" seruan dingin itu terdengar 

mengerikan.

Raja Naga menahan napas. Dadanya tiba-tiba 

bergolak lebih hebat. Rasa kecut nampak di wajahnya. 

Tetapi di saat lain, yang tersisa hanyalah ketenangan 

dan sorot mata angker yang terpancar! Dengan kemarahan yang perlahan-lahan merambat naik.

"Lama kucari akhirnya berjumpa juga!" desis-

nya sambil memperhitungkan keadaan. Diliriknya De-

wi Kerudung Jingga yang sedang mengalirkan tenaga 

dalam pada kakek berjubah putih melalui punggung.

"Kau adalah bagian dari hidupku!" desis Mari-

nah dingin dengan tatapan bengisnya yang menghujam 

tajam.

Raja Naga terdiam tak berkedip. Mulutnya me-

rapat tanpa ada suara yang keluar.

"Aku harus berhati-hati menghadapinya! Aku 

pernah terkena pengaruh gaib dari kata-katanya itu 

yang jelas-jelas terpancar dari kedua matanya. Biar 

bagaimanapun juga, aku harus menghadapinya...."

Memutuskan demikian, Raja Naga mendesis, 

"Marinah... sadarlah... apa yang terjadi sekarang ini, 

kau tidak tahu sama sekali. Kau bukanlah dirimu yang 

sebenarnya. Kau mempunyai seorang suami, Mari-

nah...."

Perempuan bertelanjang dada itu terdiam. Sorot 

matanya tetap bengis.

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 

dipenuhi sisik-sisik coklat berkata lagi, "Sadarlah, Ma-

rinah... Kau masih punya kehidupan lain dari yang se-

karang kau hadapi. Kau bukanlah dirimu, Marinah. 

Ingatkah kau pada suamimu yang bernama Jaka? Saat 

ini dia sedang menunggumu penuh kerinduan, Mari-

nah. Sadarlah..."

"Keparaaat!! Kau adalah bagian dari hidupku!!"

Sebelum Raja Naga berkata lagi, Kiai Gede 

Arum sudah bersuara, "Anak muda! Tindakan yang 

kau lakukan hanyalah sebuah kesia-siaan! Karena pe-

rempuan itu tak akan mengerti apa yang kau katakan! 

Dia tak memiliki naluri atau nurani! Dia telah dikuasai


oleh ilmu hitam!"

Raja Naga mengangguk-anggukkan kepala.

"Nampaknya kau mengetahui apa yang terjadi 

dengan perempuan ini, Orang Tua!"

"Aku sangat mengetahuinya!"

"Oh! Apakah kau sudah beberapa kali berta-

rung dengannya?!" tanya Raja Naga tetap memandang 

pada perempuan bertelanjang dada yang sedang me-

mandangnya dengan bengis!

"Untuk kali ini, adalah yang pertama bagiku!"

"Orang tua... kalau memang ini yang pertama 

bagimu, bagaimana kau bisa mengetahui tentang pe-

rempuan ini?!"

Kiai Gede Arum yang masih belum dapat mem-

buka kedua matanya, menarik napas pendek. Hawa 

hangat yang dialiri oleh Dewi Kerudung Jingga melalui 

aliran tenaga dalamnya, terasa menyegarkan tubuh-

nya. Matanya tetap perih. Air yang keluar semakin ba-

nyak. Dia tak lagi berusaha untuk mengucak-ngucak 

matanya, karena justru akan membuat tanah yang 

masuk pada kedua matanya semakin tak menentu.

Perlahan-lahan dia berkata, "Anak muda... se-

jak kau muncul dan bersuara tadi, aku tahu siapa kau 

adanya..."

Raja Naga sejenak melirik. Saat dia mengarah-

kan lagi pandangannya ke depan, mendadak satu ge-

lombang angin hitam telah menggebrak.

"Heiiii!!" serunya tertahan sambil mundur. Ber-

samaan dia mundur dia mendehem.

Gelombang angin hitam itu pecah di udara ter-

hantam satu tenaga tak nampak yang keluar dari 

deheman Boma Paksi. Seraya menggeser kakinya ke 

samping kiri, murid Dewa Naga ini berseru, "Orang 

tua! Baru kali ini aku melihatmu, tetapi kau mengatakan sudah mengenalku! Bahkan hebatnya, kau men-

genalku dari suaraku!! Apakah kau tidak salah beru-

cap?!"

Kiai Gede Arum terbatuk. Air dari matanya se-

makin banyak mengalir. 

"Mungkin kau pernah mendengar cerita tentang 

seorang lelaki yang pernah berhadapan dengan lawan 

berilmu hitam bernama Sangga Langit!" 

"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan!"

"Mungkin kau pernah mendengar tentang Kain 

Pusaka Setan yang berhubungan dengan Patung Da-

rah Dewa! Kain Pusaka Setan yang merupakan nyawa 

dari Patung Darah Dewa, yang sesungguhnya merupa-

kan titik kehidupan pada kumpulan ilmu hitam yang 

bergabung dalam sebuah sinar hitam!"

Kepala Raja Naga menegak. Dia tak berani meli-

rik lagi khawatir serangan dari perempuan bertelan-

jang dada yang masih memandang bengis di hadapan-

nya terjadi lagi.

Lalu dengan suara agak tersendat, dia berkata, 

"Orang tua... apakah... apakah kau... kau yang 

bernama Kiai Gede Arum? Guru dari kakek berjuluk 

Peramal Sakti dan perempuan berjuluk Ratu Dayang-

dayang?!"

"Tak salah dugaanmu, Raja Naga!"

"Astaga! Mengapa jadi begini?!"

"Kau akan sulit memahaminya, Raja Naga!"

"Tapi... tapi... bukankah kau telah...."

Seruan Raja Naga terputus, karena gelombang 

angin bersilangan telah menggebrak dahsyat ke arah-

nya!

***


DELAPAN


WUUUSSS!! 

Gelombang angin hitam bersilangan yang se-

makin lama semakin besar itu bergerak sangat cepat. 

Suaranya membuat bulu roma berdiri.

Raja Naga pernah menghadapi kedahsyatan il-

mu dari lawan, makanya dia tak mau bertindak ayal. 

Seketika dia menjejakkan kaki kanannya. Tanah yang 

terjejak itu seketika bergerak. Membentuk gelombang 

laksana di lautan. Memburu ke arah gelombang angin 

hitam yang menggempur.

Mendadak tanah bergelombang itu meletup ke 

udara. Tenaga kuat menggebrak ke atas, menghantam 

gelombang angin hitam. 

Jlegaaarrr!! 

Kontan tempat itu laksana diguncang badai 

dahsyat. Dewi Kerudung Jingga langsung mengangkat 

tubuh Kiai Gede Arum dan membawanya ke tempat 

yang aman. 

"Orang tua... maafkan aku. Aku tak bisa mene-

ruskan mengobatimu. Aku harus membantu Raja Na-

ga," katanya agak terburu-buru.

Kiai Gede Arum menganggukkan kepalanya.

"Perempuan... kesaktian ilmu hitam milik men-

diang Sangga Langit sangat berbahaya dan tinggi. Ka-

takan pada pemuda itu, di saat membalas atau meng-

hindar usahakan untuk tidak menatap matanya. Ka-

rena dapat dipengaruhi jalan pikirannya dengan keku-

atan ilmu hitam yang masuk ke perempuan malang 

itu...."

Dewi Kerudung Jingga mengangguk-anggukkan 

kepalanya.


"Terima kasih atas nasihatmu...."

Habis berkata demikian, perempuan jelita ini 

sudah menggebrak ke depan dengan kekuatan tinggi. 

Sambil menyerang dia menyerukan apa yang dikata-

kan oleh Kiai Gede Arum sebelumnya.

"Dewi! Sebaiknya kau menjaga Kiai Gede 

Arum!" seru Raja Naga keras seraya mendorong kedua 

tangannya ke depan.

"Raja Naga! Kita telah sama-sama memutuskan 

untuk menghadapi perempuan yang tertitisi ilmu hi-

tam itu! Biar bagaimanapun juga, aku akan memban-

tumu!"

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot ma-

tanya bertambah angker. Berulang kali tangan kanan 

kirinya berbenturan dengan kedua tangan Marinah. 

Tangan Boma Paksi yang sebatas siku dipenuhi sisik 

coklat, memiliki kekuatan tinggi. Senjata apa pun akan 

dengan mudah dipatahkannya. Tetapi yang dihada-

pinya ini adalah ilmu hitam milik orang berilmu tinggi. 

Berulang kali tangan kanan kirinya berbenturan, beru-

langkali pula dia merasa ngilu!

Dewi Kerudung Jingga sudah menyusup masuk 

dengan sinar-sinar jingganya yang menebarkan hawa 

panas, yang membuat perempuan bertelanjang dada 

itu berteriak penuh kegeraman.

Mendadak sontak gelombang angin hitam yang 

dilepaskannya membuyar begitu saja. Tetapi justru 

melesat laksana butiran air ke arah Dewi Kerudung 

Jingga.

Perempuan jelita itu memekik. Cepat dilo-

loskannya kerudung yang dikenakannya, lalu diki-

baskan! 

Cltaaarrr! Brrett! Brreeettt!

Angin hitam yang melesat laksana puluhan butiran air itu tertahan kekuatan kerudung jingga. Tetapi 

akibatnya, kerudung itu bolong berjumlah lebih dari 

sepuluh!

Dan butiran angin hitam itu terus menerjang ke 

arah Dewi Kerudung Jingga. Membuat si perempuan 

memekik tertahan. 

Melihat keadaan yang membahayakan si pe-

rempuan, Raja Naga segera meluruk ke depan seraya 

melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. 

Sisik-sisik coklat yang terdapat pada tangan sebatas 

sikunya bersinar lebih terang, menandakan kalau pe-

muda itu telah diliputi amarah.

Blaaarrr!!

Serangan angin berputar dari Marinah, terhan-

tam serangan dahsyat Raja Naga. Dalam keadaan yang 

kritis itu, Raja Naga cepat menyambar tubuh Dewi Ke-

rudung Jingga. Lalu berputar dua kali di udara.

Blaam! Blaaammm!!

Berhamburannya angin hitam disertai muncra-

tan tanah menambah kepekatan tempat itu hingga 

sangat sukar ditembus oleh pandangan! Suara geren-

gan dari mulut Marinah terdengar sangat keras disusul 

dengan tanah yang bergetar-getar hebat!

Rupanya perempuan bertelanjang dada itu su-

dah menjejakkan kaki kanan kirinya dengan kegusa-

ran tinggi di atas tanah. Secara tiba-tiba tubuhnya me-

layang ke depan. Jotosannya meluncur cepat. Raja Na-

ga menggeram sengit. Dia masih bisa mengatasi seran-

gan itu. 

Tetapi dia mau tak mau harus menyelamatkan 

Dewi Kerudung Jingga. Dengan jiwa ksatria yang ting-

gi, Raja Naga membalik dan mendekap tubuh si pe-

rempuan hingga dia membelakangi Marinah yang saat 

ini sedang menyerang ganas!


Dan mendadak sontak melesat dari punggung-

nya cahaya kehijauan yang kemudian tergambar see-

kor naga hijau!

Blaaaarrr!!

Letupan yang membuat tempat itu kian porak 

poranda membahana. Terdengar jeritan Marinah keras, 

disusul tubuhnya yang terpental ke belakang.

Di pihak lain, Raja Naga sendiri terjerunuk ke 

depan dan jatuh di atas tanah dengan mau tak mau 

harus menindih tubuh Dewi Kerudung Jingga.

Secepat itu pula dia berdiri seraya berkata, 

"Dewi... menyingkir! Keadaan ini akan membahayakan 

mu!"

Dewi Kerudung Jingga yang perlahan-lahan 

berdiri, mengangguk-anggukkan kepalanya. Mendadak 

dia berteriak keras,

"Awaassss!!"

Raja Naga mencoba berbalik. Tetapi serangan 

yang datang itu lebih cepat dari gerakannya. Namun 

yang terjadi, kembali bayangan naga hijau melesat dari 

punggungnya.

Blaaammm!!

"Aaaakhhhh!!!"

Sosok Marinah yang dikuasai ilmu hitam milik 

Sangga Langit terlempar deras dan terbanting di atas 

tanah.

"Raja Naga! Apa yang terjadi?!" desis Dewi Ke-

rudung Jingga tersentak. 

Pemuda tampan berompi ungu itu tak menja-

wab. Dia segera membalikkan tubuhnya. Dilihatnya 

Marinah menggeliat-geliat seperti orang sekarat. Na-

mun lima tarikan napas berikut, dia sudah berdiri 

kembali. Payudaranya semakin kotor.

Matanya bertambah bengis. Mulutnya merapat


dingin. Kedua tangannya mengepal.

"Kau adalah bagian dari hidupku!!" desisnya 

garang.

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot ma-

tanya tetap angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat 

pada kedua tangannya sebatas siku semakin terang.

"Sejak tadi kuhadapi dia dengan ilmu pembe-

rian Guru, aku tak mendapatkan satu keuntungan 

apa-apa. Nampaknya dia hanya bisa kuhadapi dengan 

mempergunakan tato naga hijau yang terdapat pada 

punggungku. Tetapi bila dia menyerang dari depan 

atau dari samping bisa jadi risiko yang harus kuhadapi 

akan semakin besar! Berabe! Ini artinya...."

Mendadak saja kepala Raja Naga menegak. So-

rot matanya kian angker menikam.

"Astaga! Seingatku... seingatku... Guru pernah 

menyerahkan gumpalan daun lontar milik mendiang 

ayahku. Daun lontar yang dulu hendak direbut oleh 

Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok! Apakah... 

apakah gumpalan daun lontar itu dapat kupergunakan 

sekarang?"

Sambil membatin, murid Dewa Naga ini meraba 

pinggangnya. Dirasakan sesuatu yang menempel pada 

tubuhnya.

"Aku tak tahu apakah ini memang akan berha-

sil atau tidak. Tetapi aku harus mencobanya...."

Kemudian perlahan-lahan diambilnya benda 

yang menempel pada pinggangnya. Benda itu berben-

tuk gepeng dan bersinar terang kehijauan. Tetapi begi-

tu terpegang pada tangannya, benda yang merupakan 

gumpalan daun lontar yang sebelumnya berbentuk ge-

peng itu, mendadak menggumpal sebesar dua kali ke-

palan tangannya.

Dewi Kerudung Jingga yang sudah mengenakan

kerudungnya lagi tetapi sudah penuh dengan bolongan 

kecil, memandang sambil mengerutkan keningnya.

"Aneh! Pemuda ini memiliki hal-hal yang aneh! 

Dua kali tadi kulihat dari punggungnya keluar bayan-

gan seekor naga hijau. Dan sekarang di tangannya su-

dah terpegang gumpalan daun lontar yang segar dan 

bersinar terang. Ah, kalau begini keadaannya... bisa 

jadi...."

Kata-kata Dewi Kerudung Jingga terputus, ka-

rena sudah terdengar gerengan keras dari perempuan 

bertelanjang dada. Disusul dengan lesatan tubuh ke 

arah Raja Naga.

Raja Naga terdiam dengan wajah kaku. Ma-

tanya tegang tak berkedip. Mendadak sontak dilem-

parnya gumpalan daun lontar itu ke arah Marinah 

yang sedang menerjang ke arahnya!

Sinar terang kehijauan yang keluar dari gumpa-

lan daun lontar itu mendadak melesat cepat. Seperti 

menerangi tempat itu laksana api unggun di malam 

buta!

Lesatan tubuh Marinah tertahan. Wajah ka-

kunya berubah. Mata bengisnya menjadi kecut. Secara 

tiba-tiba dia berbalik ke belakang!

Blaaaammm!!

Gumpalan daun lontar yang dilempar oleh Raja 

Naga menghantam sebuah pohon, dan langsung berba-

lik! Lesatannya yang terdengar bergemuruh, sinar hi-

jaunya semakin terang. Pohon yang tertabrak tadi 

mendadak menghangus layu!

Marinah yang tadi menghindari gempuran 

mengerikan itu memekik tertahan. Dia berusaha untuk 

menghindari datangnya gumpalan daun lontar itu.

Di pihak lain, Raja Naga menarik napas pan-

jang.


"Mungkin inilah apa yang dimaksud oleh Guru 

mengapa Ratu Sejuta Setan dan Dadung Bongkok 

menginginkan gumpalan daun lontar milik mendiang 

ayahku!" katanya dalam hati.

Lalu dilihatnya sosok Marinah menjadi tegang, 

menyusul bergetar sangat hebat! Sebelum gumpalan 

daun lontar itu menghantamnya, satu sinar hitam te-

lah keluar melalui kepalanya. Seperti terbetot keras 

hingga Marinah memekik tertahan!

"Aaaakhhhh!!"

Kejap lain dia menggelosoh pingsan!

Lesatan gumpalan daun lontar yang didahului 

oleh sinar terang kehijauan itu langsung menyergap 

sinar hitam yang melesat keluar dari ubun-ubun kepa-

la Marinah. Menabrak dan menelannya. Terlihat sesua-

tu yang menakjubkan.

Karena seperti memiliki mata, gumpalan daun 

lontar itu berkutat hebat dengan sinar hitam. Masing-

masing berusaha untuk melepaskan diri. Gelombang 

angin berubah mengerikan. Dedaunan berguguran. 

Semak belukar tercabut dan beterbangan. Tanah 

membuyar ke udara.

Melihat keadaan yang mengerikan itu, Raja Na-

ga cepat melesat untuk menyambar tubuh Marinah 

yang pingsan dan membawanya ke dekat Dewi Keru-

dung Jingga yang berdiri dengan mata terbelalak.

Letupan-letupan kecil mulai terdengar di udara. 

Berulang kali sinar hitam itu berusaha melepaskan di-

ri, tetapi gumpalan daun lontar milik Raja Naga terus 

mengejarnya, menabraknya lagi dan mencoba mene-

lannya lagi!

Untuk kemudian terlihat sesuatu yang menge-

jutkan. Karena sinar hitam itu semakin lama nampak 

semakin mengecil. Terangnya sinar itu pun mulai


menghilang dan bertambah meredup untuk kemudian 

lenyap sama sekali!

Tetapi gumpalan daun lontar itu terus berge-

rak-gerak sedemikian liar. Melesat ke sana kemari 

dengan suara bergemuruh. Menabrak apa saja yang 

berada di sekitarnya, yang begitu ditabrak langsung 

hancur berantakan.


SEMBILAN


"RAJA NAGA... apa yang terjadi?" terdengar se-

ruan Kiai Gede Arum. Orangnya sedang menelengkan 

kepala, mempertajam pendengaran!

"Orang tua! Aku tak bisa menjelaskannya seka-

rang!"

"Desingan itu... bukankah berasal dari benda 

pusaka berbentuk gumpalan daun lontar? Kalau aku 

tak salah ingat... benda itu adalah milik Pendekar Lon-

tar yang kabarnya telah tewas dibunuh Hantu Menara 

Berkabut?!"

"Kau benar, Orang Tua!" sahut Boma Paksi 

sambil memperhatikan lesatan gumpalan daun lontar 

itu.

"Tapi bagaimana bisa berada di tanganmu?"

"Aku adalah putra dari mendiang Pendekar 

Lontar dan Dewi Lontar!"

Kiai Gede Arum menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. Matanya tetap tak bisa dibuka, karena rasa sa-

kit yang menggigit.

"Ternyata banyak yang tidak kuketahui...."

Sementara hati Raja Naga menjadi waswas ka-

rena sampai sejauh ini gumpalan daun lontar itu masih terus melesat ke sana kemari.

"Aku harus merebutnya!"

Memutuskan demikian, anak muda dari Lem-

bah Naga ini segera melesat untuk menangkap gumpa-

lan daun lontar yang bergerak liar itu. Tetapi tak se-

mudah yang diduganya, karena gumpalan daun lontar 

itu justru berbalik menyerang ke arahnya! 

"Heiiii!!"

Raja Naga cepat berkelit. Begitu kakinya men-

ginjak tanah, tubuhnya sudah terlontar kembali dan.... 

Tap!

Dengan melipatgandakan tenaga dalamnya, 

gumpalan daun lontar itu berhasil ditangkap! Aneh-

nya, begitu terpegang olehnya liarnya gerakan gumpa-

lan daun lontar itu lenyap sama sekali!

Raja Naga menarik napas lega.

"Astaga! Sungguh sesuatu yang mengerikan...."

"Raja Naga... apakah sinar hitam itu telah le-

nyap tertelan oleh gumpalan daun lontar milikmu?"

Boma Paksi menganggukkan kepala.

"Kau benar, Orang Tua! Sinar hitam itu telah 

hilang...."

Terdengar desahan Kiai Gede Arum, lega. 

Orangnya perlahan-lahan berdiri. Kedua matanya te-

tap tak bisa dibuka.

Lalu dengan agak tertatih dia mendekati Raja 

Naga. "Kau masih tak bisa membuka matamu, Orang 

Tua?" tanya Raja Naga pelan.

Kiai Gede Arum tersenyum dan menggeleng. 

"Mungkin, aku sudah ditakdirkan untuk tak lagi dapat 

mempergunakan indera penglihatanku ini. Sudahlah... 

aku sama sekali tak menyesalinya. Anak Muda, terima 

kasih atas bantuanmu...."

"Aku sudah tak sanggup menghadapi ilmu hi


tam yang mengerikan itu sebenarnya. Hanya keberun-

tunganlah yang berpihak padaku...."

"Kau terlalu merendah."

"Kiai Gede Arum, menurut kabar yang kuden-

gar, kau telah tewas akibat racun yang dilakukan oleh 

muridmu sendiri yang berjuluk Ratu Dayang-dayang. 

Dan hingga saat ini, muridmu yang berjuluk Peramal 

Sakti menganggapmu telah tewas...."

"Cerita ini terlalu panjang. Aku tak bisa menga-

takannya. Raja Naga, sudah saatnya kita harus berpi-

sah...."

Sesungguhnya pemuda berompi ungu itu masih 

penasaran ingin mengetahui apa yang sebenarnya di-

alami oleh Kiai Gede Arum. Tetapi dia pun tak mau 

memaksanya.

"Aku akan mencoba mengobati kedua matamu, 

Orang Tua. Khasiat lain dari gumpalan daun lontar ini, 

bila dimasukkan ke dalam air akan berubah menjadi 

air sakti yang dapat menyembuhkan penyakit apa pun. 

Aku akan mencari air. Harap kau bersedia menunggu 

sejenak...."

Kiai Gede Arum menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. 

"Kau tak perlu melakukannya. Ini mungkin su-

dah garis hidupku. Bila kau berjumpa dengan Peramal 

Sakti, katakan padanya, kalau aku masih hidup...."

Raja Naga terdiam dulu sebelum berkata, "Ba-

gaimana bila Peramal Sakti menyatakan keheranannya 

dan meminta padaku kejelasan sejelas-jelasnya?"

"Katakan padanya... ini adalah sebagian dari 

rahasia hidup...." kata Kiai Gede Arum. Kemudian ka-

kek yang jubah putihnya sudah sobek, segera melang-

kah meninggalkan tempat itu. Tak ada kedukaan di 

wajahnya. Tak ada kepedihan. Tak ada penyesalan walaupun kedua matanya tak akan berfungsi lagi selama-

lamanya.

Raja Naga memandang kepergian Kiai Gede 

Arum dengan sejuta tanya yang masih melekat di di-

rinya.

"Aku tak habis mengerti akan sikap kakek satu 

ini. Baru pertama kali berjumpa, dan baru pertama 

kali kuketahui kalau dia masih hidup, sebelum men-

dapat kejelasan semuanya sudah berakhir...." desisnya 

pelan.

Cukup lama tak ada suara yang terdengar. Ke-

senyapan terjadi beberapa lama. Raja Naga menarik 

napas pendek. Namun mendadak sontak menggebrak 

gelombang angin berwarna keperakan ke arahnya!

* * *

Raja Naga segera menegakkan kepala. Menyu-

sul dia mendehem cukup keras.

Blaaammm!!

Tenaga yang keluar dari dehemannya itu me-

mutus pecah gelombang angin keperakan. Menyusul 

terdengar suara,

"Kau telah membunuh kakekku! Kini tiba saat-

nya kau untuk menerima semuanya!!"

Kejap itu pula terlihat satu bayangan kepera-

kan menggebrak ke arah Raja Naga. Cepat anak muda 

dari Lembah Naga ini surutkan langkah dua tindak. 

Lalu....

Buk! Buk!

Jotosan yang tiba-tiba mengarah padanya ter-

tahan papakan kedua tangannya. Terdengar teriakan 

tertahan, menyusul satu sosok tubuh yang tergontai-

gontai ke belakang.


"Setan Pemetik Bunga!!" terdengar seruan Dewi

Kerudung Jingga yang terperanjat melihat datangnya 

serangan ganas ke arah Raja Naga.

Perempuan jelita ini segera melompat diiringi 

teriakan, "Manusia jahanam! Kau adalah lawanku!!"

Segera dia melancarkan serangannya pada 

orang yang tadi melancarkan serangan pada Raja Naga 

yang ternyata adalah Setan Pemetik Bunga. Mendapati 

datangnya serangan, Setan Pemetik Bunga segera 

mendorong kedua tangannya.

Blaaamm! Blaaammm!!

Seketika bermuncratan sinar jingga dan kepe-

rakan ke udara. Dewi Kerudung Jingga langsung me-

mutar tubuh ke udara, dan melancarkan serangannya 

lagi.

Setan Pemetik Bunga mendongak. Mulutnya 

membuka, "Kau?!"

"Tutup mulutmu! Kau adalah bagianku!!" seru 

si perempuan dan terus menyerang ganas.

Apa yang terjadi itu cukup mengejutkan Raja 

Naga, karena dia belum sepenuhnya menyadari apa 

yang terjadi. Dilihatnya dua sosok tubuh saling mener-

jang dengan ganas. Sesekali terdengar teriakan Setan 

Pemetik Bunga, "Apa-apaan ini?!"

Tetapi Dewi Kerudung Jingga tak mempeduli-

kannya. Dia terus mencecar sampai kemudian berhasil 

meringkus Setan Pemetik Bunga. 

"Keparat! Kau...."

"Tutup mulutmu! Kau tak akan mampu meng-

hadapi Raja Naga! Kau hanya keroco busuk yang su-

dah berusaha membesarkan nyali!"

"Apa-apaan ini?!" geram Setan Pemetik Bunga 

sambil berusaha meronta.

"Kau hanya melakukan tindakan bodoh dengan


mencoba menantang sekaligus membunuh Raja Naga! 

Kau tak akan mampu menghadapinya!!" bentak Dewi 

Kerudung Jingga bengis.

Setan Pemetik Bunga mengertakkan sepasang 

rahangnya.

"Apa-apaan perempuan ini?! Mengapa dia ju-

stru berbalik menyerangku?! Keparat!" makinya dalam 

hati. Dia hendak bersuara, tetapi terpotong oleh se-

ruan Dewi Kerudung Jingga,

"Menghadapiku saja kau tak mampu, apalagi 

menghadapi Raja Naga! Ilmu Raja Naga sangat tinggi! 

Ia memiliki senjata aneh berbentuk gumpalan daun 

lontar! Juga memiliki ilmu yang dapat mengeluarkan 

bayangan naga hijau!!" 

"Mengapa dia berseru seperti itu? Begitu lan-

tang seolah berusaha agar aku mendengarnya, padah-

al aku tidak tuli! Atau jangan-jangan... perempuan 

ini.... ah, aku mengerti sekarang... aku mengerti...." 

kata Setan Pemetik Bunga dalam hati. Dan dia mera-

patkan mulutnya tetapi sorot matanya tajam pada Raja 

Naga yang sedang memasukkan kembali gumpalan 

daun lontar ke balik pakaiannya.

Serta-merta gumpalan daun lontar itu kembali 

menjadi berbentuk lempeng.

Dewi Kerudung Jingga membawa tubuh Setan 

Pemetik Bunga ke hadapan Raja Naga.

"Aku tak tahu apa yang akan kau lakukan ter-

hadap manusia terkutuk ini?! Membunuhnya adalah 

sesuatu yang lebih baik! Tetapi... itu artinya kita mem-

berikan kesenangan tersendiri padanya! Dia harus dis-

iksa terlebih dulu sebelum dibunuh!"

Raja Naga tersenyum. Lalu menggelengkan ke-

palanya.

"Kita tak boleh menjadi orang yang kejam, Dewi," katanya. Lalu sambungnya, "Setan Pemetik Bun-

ga... mungkin kau tak menyadari, betapa kakekmu 

yang berjuluk Hantu Menara Berkabut bukanlah orang 

yang patut kau bela! Dia telah membunuh ayahku! 

Dan melakukan tindakan yang sangat mengerikan! Bi-

la dia dibiarkan hidup, keadaan akan semakin ber-

tambah kacau! Ada baiknya kau mau mengerti kata-

kataku ini!"

Setan Pemetik Bunga membuka kedua matanya 

lebar-lebar. Kegusaran sangat nampak.

"Huh! Bila saja Dewi Kerudung Jingga tak 

memberikan isyarat terlebih dulu, aku tak peduli! Dan 

rasanya, aku memang tak boleh membuang tenaga 

atau nyawa pemuda di sini! Aku harus menunggu saat 

yang tepat untuk membalas kematian kakekku!!"

"Jawaaaabb!!" bentakan itu terdengar keras. 

Dewi Kerudung Jingga menarik tangan kanan Setan 

Pemetik Bunga yang ditelikungnya, yang seketika men-

jerit.

"Iya, iya!" serunya keras. "Raja Naga! Nyawa ha-

rus dibayar nyawa! Itu adalah prinsip hidupku!!"

"Bodoh! Kau hanya mengantar nyawa sia-sia 

sekalipun kau dibantu oleh sobat-sobatmu!!" bentak 

Dewi Kerudung Jingga gusar. 

Raja Naga mengangkat tangan kanannya.

"Dewi... jangan terlalu kejam terhadapnya!"

"Jangan terlalu kejam terhadapnya?! Raja Naga! 

Dia menginginkan nyawamu! Dan manusia seperti ini 

akan menjadi duri di dalam kehidupanmu! Bila kau 

keberatan menghabisi nyawanya, biar aku yang mela-

kukan!"

"Tunggu! Jangan gegabah! Biarkan dia! Malah 

lebih baik... kau melepaskannya!"

"Melepaskan manusia jahanam seperti dia?!


Huh! Kau terlalu bermurah hati pada orang yang 

menghendaki nyawamu!"

"Aku hanya tak ingin terjadi urusan yang lebih 

panjang lagi! Urusan dendam bukanlah jalan keluar 

dari setiap persoalan! Lepaskan dia!"

Dewi Kerudung Jingga nampak masih ngotot 

dengan kata-kata Raja Naga. Dia tidak melepaskan Se-

tan Pemetik Bunga. Malah semakin kuat menelikung

tangan lelaki licik itu yang menjerit kesakitan

"Dengan caramu seperti itu, kau hanya akan 

menambah bibit permusuhan saja...," desis Raja Naga.

Dewi Kerudung Jingga melotot gusar. Dia tidak 

puas dengan apa yang dikatakan pemuda bersisik cok-

lat itu. Tiba-tiba saja dia mendorong tubuh Setan Pe-

metik Bunga hingga terjerunuk di atas tanah.

Lalu berkata bengis, "Menyingkir dari sini! Jan-

gan coba-coba lagi untuk memperlihatkan wajah sialan 

mu di hadapanku! Bila kau masih nekat melakukan-

nya, aku tak segan-segan untuk mencabut nyawamu!!"

Setan Pemetik Bunga bangkit terburu-buru. 

Wajahnya sedemikian gusar, terutama pandangannya 

yang tajam mengarah pada Raja Naga. Dia berusaha 

mempertahankan pandangan tajamnya itu, tetapi se-

gera dipalingkan kepalanya sejenak ke tempat lain ka-

rena tak kuasa menahan keangkeran sorot mata si 

pemuda.

Kemudian dengusnya gusar, "Untuk saat ini 

aku mengaku kalah! Raja Naga... kelak aku akan da-

tang lagi untuk membuat perhitungan yang belum tun-

tas ini!"

"Setan keparat! Menyingkir dari sini!!" memben-

tak Dewi Kerudung Jingga dengan kemarahan tinggi.

Melihat tangan kanan Dewi Kerudung Jingga 

sudah terangkat, Setan Pemetik Bunga menggeram.


Tanpa berkata apa-apa dia sudah meninggalkan tem-

pat itu.

Raja Naga memperhatikannya dengan seksama. 

Sesuatu yang aneh mulai dirasakannya. Tetapi dia tak 

berusaha untuk mengutarakannya. Cukup dipendam 

di hatinya. 

Dewi Kerudung Jingga berbalik dan menatap-

nya.

"Tak seharusnya kau biarkan manusia keparat 

itu meloloskan diri! Dia harus mampus!"

Raja Naga tersenyum.

"Keadaan ini tak memaksa siapa pun juga un-

tuk mati. Apa yang dilakukan oleh Setan Pemetik Bun-

ga semata didorong oleh kemarahannya belaka karena 

kematian kakeknya. Tetapi aku yakin, suatu saat dia 

akan menyadari kalau tindakannya itu salah...."

"Huh! Kau terlalu lembut pada orang yang hen-

dak membunuhmu!! Dan tak akan mungkin manusia 

seperti dia akan menganggap kalau apa yang diingin-

kannya adalah sebuah kesalahan! Raja Naga... dalam 

hal ini, kaulah yang melakukan kesalahan besar den-

gan membiarkannya pergi begitu saja!"

"Kau telah membuatnya merasa tersiksa tadi"

"Bila ini urusanku, aku tak akan segan-segan 

untuk membunuhnya!"

"Aku tak ingin urusan menjadi panjang!"

Dewi Kerudung Jingga tidak menyahut, tetapi 

mulutnya berkemak-kemik. Kemudian diangkat kepa-

lanya menatap langit yang berubah menjadi senja. Cu-

kup lama tak ada yang membuka suara. Angin ber-

hembus sejuk. Beberapa helai dedaunan berguguran.

"Tak ada lagi yang bisa kuperbuat di sini...," de-

sisnya sambil tetap memandang ke atas.

"Ya! Sebaiknya kita memang berpisah...," sahut


Raja Naga sambil menganggukkan kepalanya. Pelan-

pelan dibuka rompi ungunya. Lalu dipakaikannya pa-

da Marinah yang masih pingsan. Saat dia memakaikan 

rompi itu, Dewi Kerudung Jingga melihat tato gambar 

naga pada punggung Raja Naga.

"Astaga! Jangan-jangan... dari tato itulah 

bayangan naga yang menghalangi serangan ganas pe-

rempuan bertelanjang dada itu tadi? Gila! Bila Setan 

Pemetik Bunga masih nekat mau membunuh pemuda 

ini juga, dia bisa mati konyol! Dengan bantuanku pun 

akan percuma saja!" desisnya dalam hati. "Huh! Be-

runtung dia mengerti apa yang kukatakan tadi, kalau 

tidak urusan akan jadi berabe! Sampai saat ini aku 

yakin Raja Naga tidak tahu apa yang sebenarnya ku

kehendaki! Aku sudah tak sabar pula untuk membu-

nuhnya, agar apa yang kujanjikan pada Setan Pemetik 

Bunga, setelah manusia itu membunuh Resi Kawula, 

Gada Iblis, Junjung Tala dan Setan Gempal akan ter-

laksana.... Dengan cara seperti ini, aku bisa menyusun 

rencana baru bersama Setan Pemetik Bunga untuk 

membunuhnya. Ada dua hal yang sangat mengerikan 

dari pemuda ini...."

Raja Naga yang sudah memanggul tubuh ping-

san Marinah berkata, "Dewi Kerudung Jingga... aku 

masih harus menunaikan janji ku pada Kakang Jaka! 

Aku akan membawa istrinya ini kembali padanya...."

Dewi Kerudung Jingga menganggukkan kepala.

"Pemuda ini jelas-jelas tidak mengetahui siapa 

aku sebenarnya. Dan dia juga tidak mengetahui kalau 

akulah yang pernah membokongnya beberapa saat la-

lu. Tetapi pemuda ini sungguh hebat. dia dapat meng-

hindari seranganku. Beruntung aku bisa mempergu-

nakan akal ku untuk mengatakan kalau Setan Pemetik 

Bunga-lah yang telah menyerangnya. Dengan cara berlagak memburu manusia itu, aku muncul di hadapan-

nya."

Habis membatin demikian, Dewi Kerudung 

Jingga berkata, "Ya! Mudah-mudahan tak ada halan-

gan yang merintangimu di jalan!"

Raja Naga tersenyum.

"Kuharap... kita akan berjumpa lagi...."

Dewi Kerudung Jingga mengangguk.

"Pasti... pasti kita akan berjumpa lagi...."

Habis kata-katanya, Dewi Kerudung Jingga su-

dah berbalik meninggalkan tempat itu. Seperginya De-

wi Kerudung Jingga, pemuda tampan ini menghela na-

pas.

Lalu berkata pelan, "Hemm... aku menangkap 

satu gelagat yang kau sembunyikan, Dewi. Dan aku 

tahu mengapa kau berulang kali meneriakkan kalau 

Setan Pemetik Bunga tak mampu menghadapiku.... 

Aku juga tak percaya kalau Setan Pemetik Bunga per-

nah menyerangku waktu itu. Kau yang muncul men-

dadak dan bersikap seolah habis mengejar Setan Pe-

metik Bunga, adalah satu kesalahan besar. Karena se-

belumnya tak kutangkap siapa pun di sana kecuali 

kau yang mendadak muncul. Ah, lebih baik aku me-

mang berlaku bodoh saja...."

Kemudian pemuda ini memandangi dulu sekeli-

lingnya.

"Masih ada yang harus kulakukan. Setelah ku-

serahkan Marinah pada suaminya, aku akan mencari 

gadis bernama Kirana yang sedang menuju ke Sungai 

Matahari untuk menjumpai seorang kakek bernama 

Kidang Gerhana.... Dan nampaknya, urusan Ratu Ta-

nah Terbuang yang mencariku tanpa kuketahui sebab-

sebabnya, sudah semakin dekat di depan mata...."

Setelah terdiam beberapa saat, pemuda dari


Lembah Naga ini melesat meninggalkan tempat itu 

dengan membawa tubuh Marinah.

Sepuluh kali kejapan mata, satu sosok tubuh 

berjubah biru telah melompat dari satu tempat. Berdiri 

tepat pada tanah di mana sebelumnya Raja Naga ber-

diri.

"Dewi Kerudung Jingga sudah melakukan satu 

tindakan pengecut. Aku yakin, dia tak berani mengha-

dapi pemuda itu. Dan sandiwaranya tadi cukup berha-

sil. Dia begitu ngotot agar Setan Pemetik Bunga dibu-

nuh. Padahal... huh! Akal liciknya memang boleh juga! 

Padahal dialah satu-satunya orang yang bersedia 

membantu Setan Pemetik Bunga untuk membunuh 

Raja Naga!" desis orang ini yang bukan lain Junjung 

Tala adanya.

Sejenak lelaki setengah baya ini terdiam, mem-

perhatikan tempat yang porak poranda.

"Huh! Jangan-jangan... tindakan yang dilaku-

kan Setan Pemetik Bunga dengan meracuni ku dan 

yang lainnya, atas usulnya?! Keparat! Biar bagaimana-

pun juga, aku tak akan pernah tinggal diam! Dewi Ke-

rudung Jingga berhasil membohongi Raja Naga! Dan 

tentunya Raja Naga tidak tahu kalau sesungguhnya 

Dewi Kerudung Jingga menghendaki nyawanya! Hebat! 

Sungguh permainan yang hebat dilakukan oleh Dewi 

Kerudung Jingga!!"

Junjung Tala tak bersuara lagi. Parasnya se-

makin lama semakin dipenuhi ketegangan. Dadanya 

dibuncah amarah.

"Mungkin aku gagal mempergunakan tangan 

Raja Naga untuk membalas perbuatan Setan Pemetik 

Bunga! Tetapi, aku akan tetap mencarinya! Akan tetap 

membalas perbuatannya!!"

Habis mendesis demikian, kakek berjubah biru


ini. sudah berkelebat meninggalkan tempat itu. Ke 

arah yang diambil oleh Dewi Kerudung Jingga!




                                 SELESAI




                      Segera menyusul:

             RATU TANAH TERBUANG











Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive