TITISAN
DARAH TERKUTUK
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Titisan Darah Terkutuk
128 hal.
SATU
HAMPARAN bumi menggeliat gersang terpang-
gang jilatan sinar matahari. Rimbunan daun pohon-
pohon besar berusia ratusan tahun yang berdiri kokoh
tampak berguguran diterpa angin kemarau dengan ke-
luarkan desau. Awan putih tak sebongkah pun meng-
gelantung di angkasa, membuat sengatan bola jagad
itu semakin leluasa menikmati gerak geliat bumi.
Di Lereng Gunung Mahameru, tepatnya di Du-
sun Amadanom, di dalam sebuah bangunan rumah
tua yang terletak di ujung dusun, seorang laki-laki tua
tampak melangkah perlahan mengelilingi sebuah batu
yang membentuk altar, di mana di atasnya terlihat
seorang perempuan tidur telentang.
Laki-laki ini mengenakan pakaian putih pan-
jang. Bentuk tubuhnya telah doyong ke depan, mem-
buat punggungnya sedikit melengkung. Janggut laki-
laki ini tampak telah ditumbuhi jenggot panjang dan
memutih. Meski beg itu wajah laki-laki ini tak begitu
jelas, karena dia mengenakan caping dari daun pan-
dan lebar.
"Hmm.... Kurasa tak berapa lama lagi, jabang
bayi yang kuharapkan itu akan lahir...," gumam laki-
laki bercaping seraya terus melangkah mengelilingi ba-
tu altar. Sambil bergumam, orang tua ini menggerak-
kan tangan kirinya, mengangkat caping pandan di atas
kepalanya, hingga wajahnya kini jelas terlihat. Ternya-
ta kepala bagian atas dan samping laki-laki tua ini tak
ditumbuhi rambut sama sekali. Rambut itu hanya
tumbuh mulai kepala bagian belakang dan memanjang
hingga punggung. Keningnya telah membentuk bebe-
rapa lipatan, pertanda usianya telah lanjut. Sepasang
matanya agak sipit, namun demikian, sepasang mata
itu menyorot tajam.
Dalam kancah perjalanan panjang sejarah per-
silatan, laki-laki tua ini sudah tidak asing lagi. Dia di-
kenal dengan nama Restu Canggir Rumekso. Seorang
tokoh dari jajaran atas golongan sesat yang tingkat ke-
pandaiannya tidak diragukan lagi, karena selama ber-
kecimpung dalam kancah rimba persilatan telah ba-
nyak tokoh-tokoh silat yang memiliki nama besar ha-
rus mengakui ketinggian ilmunya. Hingga wajar saja
jika laki-laki ini dimasukkan dalam salah satu barisan
dari momok-momok rimba persilatan yang disegani
dan ditakuti. Lain daripada itu, selain dikenal sebagai
tokoh hitam yang berilmu tinggi, laki-laki tua itu juga
dikenal sebagai seorang tabib, hingga membuat dirinya
semakin ditakuti, baik oleh kawan maupun lawan.
Namun setelah sekian puluh tahun malang me-
lintang dengan nama besar, Restu Canggir Rumekso
tiba-tiba saja menghilang dari percaturan dunia persi-
latan. Orang-orang tak ada yang tahu, apa sebabnya
momok ini mendadak lenyap begitu saja tanpa ada ka-
bar berita. Hanya kabar burung yang tersiar waktu itu,
Restu Canggir Rumekso melakukan tapa sambil mem-
perdalam ilmu ketabiban. Karena lama tak muncul itu-
lah, membuat nama besar Restu Canggir Rumekso per-
lahan-lahan dilupakan orang.
"Ha... ha... ha.... Tak lama lagi, tak lama lagi
nama besar Restu Canggir Rumekso akan kembali ber-
gaung. Menyentak rimba persilatan...," Restu Canggir
Rumekso berkata seraya mendongakkan kepala me-
mandang langit-langit bangunan. Tawa-nya meledak
menyibak kesunyian bangunan. Namun ledakan tawa
Restu Canggir Rumekso serta merta terputus menda-
dak saat dari mulut perempuan di atas altar terdengar
erangan perlahan. Kepala laki-laki ini menunduk den-
gan sepasang mata menatap tak kesiap ke arah pe-
rempuan di atas batu altar.
"Tenang-tenanglah manis. Segalanya akan se-
gera berakhir...," kata Restu Canggir Rumekso sambil
melangkah mendekati perempuan di atas altar.
Seolah mendengar kata-kata orang, kedua ke-
lopak mata perempuan yang di atas altar perlahan
membuka. Bola mata itu sejenak memandang lurus-
lurus ke atas, memandang langit-langit bangunan. Se-
saat kemudian, bola mata itu memutar ke samping, ke
arah Restu Canggir Rumekso.
Untuk beberapa saat lamanya dua mata gadis
ini terpaku memandangi laki-laki di sampingnya. Na-
mun agak lama, karena tak mengenali siapa adanya
laki-laki di sampingnya, kening perempuan ini men-
gernyit menampakkan keterkejutan hebat. Dan seiring
dengan itu dari mulutnya terdengar suara bernada
menegur.
"Si..., siapa kau...?!" suara perempuan ini datar
dan agak tersendat.
Restu Canggir Rumekso tak menjawab. Dia
hanya sunggingkan senyum, membuat perempuan di
atas batu altar semakin nampak ketakutan. Dia terli-
hat hendak bergerak bangkit, namun perempuan ini
makin terperangah tatkala mendapati tubuhnya lemas
tak bisa digerakkan. Hingga sebagai nada protes dia
berkata kembali.
"Siapa kau...?! Dan apa yang kau perbuat ter-
hadapku...?!"
Lagi-lagi Restu Canggir Rumekso menjawab
pertanyaan nada menegur sang perempuan dengan
seulas senyum. Namun tak berapa kemudian, dia buka
mulut.
"Kau tak usah banyak berkata dulu. Nanti se-
muanya akan jelas! Yang kau perlukan sekarang ada-
lah istirahat, agar saat melahirkan nanti, kau tak ke-
habisan tenaga!"
Mendengar ucapan Restu Canggir Rumekso,
perempuan di atas altar yang ternyata adalah seorang
gadis muda berwajah cantik jelita, mengenakan pa-
kaian warna kuning terlihat terkejut. Terbukti dari se-
pasang matanya yang tiba-tiba membelalak besar
meski mata itu sayu redup. Mulutnya menganga den-
gan dahi mengkerut. Lantas kedua bola mata gadis
muda ini menatap pada Restu Canggir Rumekso sesaat
kemudian beralih pada perutnya. Raut muka sang ga-
dis semakin terlihat kaget, karena ternyata perutnya
sudah kelihatan besar dan terasa bergerak-gerak.
"Aku.... Perutku kenapa sudah begini besar...?"
"Bukankah waktu itu aku ditolong oleh Pende-
kar Mata Keranjang? Dan bukankah waktu itu perutku
belum tampak buncit? Ke mana Pendekar Mata Keran-
jang...? Dan siapa laki-laki tua ini...?!"
Segala pertanyaan sang gadis yang tersimpan
dalam benaknya terputus seketika tatkala perutnya di-
rasa bergerak-gerak lebih keras dan di bagian samping
terasa ditendang-tendang. Makin lama gerakan itu
makin keras, membuat gadis ini keluarkan suara jeri-
tan tertahan menahan rasa sakit.
"Oh, Anakku...," kata sang gadis dalam hati
dengan meringis.
Sementara itu, melihat perut gadis di hadapan-
nya bergerak-gerak keras, Restu Canggir Rumekso ma-
ju mendekat. Bibirnya mengulas senyum. Lalu tan-
gannya bergerak menepuk-nepuk perut gadis di hada-
pannya, membuat gadis itu terkejut. Dia tampak hen-
dak menepis tangan Restu Canggir Rumekso, namun
gadis itu tak kuasa menggerakkan kedua tangannya,
hingga hanya nada mencegah dari mulutnya yang ter-
dengar.
"Orang tua! Jangan kau berani berbuat yang ti-
dak-tidak!"
Restu Canggir Rumekso seakan tak mendengar
kata-kata gadis di hadapannya, yang bernada sedikit
mengancam. Orang tua ini terus menepuk-nepuk, ma-
lah kini mengurut-urut perut sang gadis seraya berka-
ta.
"He... he... he.... Kau benar-benar bayi istime-
wa! Apa kau sudah ingin keluar sekarang...?!"
Seakan-akan mengerti kata-kata Restu Canggir
Rumekso, gadis muda itu merasakan bayi dalam kan-
dungannya semakin bergerak keras, menendang dan
menyodok, hingga tak ampun lagi gadis muda ini se-
makin meringis dengan erangan tertahan-tahan.
"Putri Tunjung Kuning...!" panggil Restu Cang-
gir Rumekso pada gadis di hadapannya. Gadis muda
itu yang bukan lain memang Putri Tunjung Kuning
terperangah kaget demi mendapati orang tua di hada-
pannya itu mengetahui siapa dirinya. Namun sebelum
Putri Tunjung Kuning sempat berkata, Restu Canggir
Rumekso telah berkata melanjutkan ucapannya.
"Kau tidak usah risau. Kuatkan sedikit. Bayi
dalam kandungan mu memang lain daripada yang lain.
Aku akan berusaha menolongmu...."
Sebenarnya Putri Tunjung Kuning hendak me-
nolak, namun karena tubuhnya begitu lemas dan tak
bisa digerakkan, membuat dia hanya diam pasrah,
meski dalam hati masih didera beberapa pertanyaan.
"Pejamkan matamu!" tiba-tiba Restu Canggir
Rumekso keluarkan kata memerintah. Seraya berkata,
Restu Canggir Rumekso nampak memejamkan sepa
sang matanya, mulutnya berkemik-kemik mengu-
capkan sesuatu yang tak jelas. Tak berapa lama ke-
mudian, Restu Canggir Rumekso membuka kelopak
matanya. Dia pandang sejenak Putri Tunjung Kuning.
Dan demi dilihatnya Putri Tunjung Kuning tidak juga
memejamkan mata, malah memandang padanya,
orang tua ini melotot sedikit matanya dan berkata agak
keras.
"Pejamkan matamu! Atau aku terpaksa meme-
jamkan dengan tanganku!"
Mendengar nada ancaman orang, meski dong-
kol akhirnya Putri Tunjung Kuning memejamkan juga
matanya. Bersamaan dengan itu kedua tangan Restu
Canggir Rumekso bergerak mengurut perut Putri Tun-
jung Kuning, dan dengan cepat pula pakaian bagian
bawah Putri Tunjung Kuning disingkapkan hingga pa-
ha, membuat Putri Tunjung Kuning sedikit terkejut.
Namun begitu tahu kain itu hanya disingkap sebatas
paha, dia tampak menarik napas lega. Namun pera-
saan lega itu hanya sekejap. Karena saat itu juga pe-
rutnya seperti diaduk-aduk.
"Tarik napas panjang dalam-dalam!" terdengar
Restu Canggir Rumekso berkata seraya mengurut-urut
perut Putri Tunjung Kuning.
Menyadari kalau orang tua di hadapannya hen-
dak menolong, Putri Tunjung Kuning menuruti kata-
katanya. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Bagus. Bagus.... Lepaskan pelan-pelan sambil
ditekan...."
Dengan menahan sakit tak terperikan, Putri
Tunjung Kuning terus mengikuti perintah Restu Cang-
gir Rumekso. Hingga tak lama kemudian tubuhnya te-
lah basah kuyup oleh keringat. Sementara Restu
Canggir Rumekso sendiri tak jauh berbeda. Keringat
mulai tampak menetes dari pelipis dan lehernya. Dan
mungkin karena dia ingin bayi dalam kandungan Putri
Tunjung Kuning lahir dengan selamat, membuat orang
tua ini bertindak dengan sangat hati-hati sekali.
Hingga pada suatu kesempatan, Putri Tunjung
Kuning merasakan seluruh persendian tubuhnya sea-
kan tercerabut. Hingga gadis ini menjerit lengking.
Dan bersamaan dengan jeritan Putri Tunjung
Kuning, kedua tangan Restu Canggir Rumekso berge-
rak ke bawah paha Putri Tunjung Kuning yang nam-
pak telah sedikit diangkat.
Restu Canggir Rumekso tidak terlalu lama me-
nunggu. Dia lantas merasakan sesuatu membasahi
kedua tangannya, lalu seonggok daging lembut me-
nyentuh tangannya. Dengan perasaan was-was, Restu
Canggir Rumekso terus menunggu. Dan begitu daging
lembut di atas kedua tangannya terasa bergerak-gerak,
dengan cepat tangannya bergerak keluar dari bawah
paha Putri Tunjung Kuning.
Ketika kedua tangan Restu Canggir Rumekso
ditarik keluar, tampaklah di atas tangan itu sesosok
bayi mungil dan sehat serta berwarna merah.
Sejenak Restu Canggir Rumekso memperhati-
kan orok itu, senyumnya lantas menyeruak di bibir-
nya. Bersamaan dengan sunggingan senyum Restu
Canggir Rumekso terdengar ledakan sang orok!
DUA
AKU.... Aku masih hidup...?" Itulah suara per-
tama yang terdengar dari mulut Putri Tunjung Kuning
saat dia siuman. Dengan masih merasakan ngilu di
sekujur tubuh serta perih di pangkal pahanya, gadis
berwajah cantik ini membuka kelopak matanya. Diker-
jap-kerjapkan mata itu sebentar, setelah dapat me-
nyiasati keadaan sekelilingnya, dia palingkan wajah ke
samping kanan dan kiri. Dia terlihat kaget, karena dia
tidak lagi menemukan Restu Canggir Rumekso.
"Apakah aku bermimpi...?" seraya bergumam,
Putri Tunjung Kuning melirik sepasang matanya ke
bawah. Dia masih berada di atas bahu altar. Dan begi-
tu matanya menumbuk ke perutnya, dia terlengak.
"Tidak! Aku tidak bermimpi. Perutku telah
mengecil, berarti aku telah benar-benar melahirkan
seorang bayi! Mana bayiku...? Dan mana orang tua
itu?"
Didorong ingin mengetahui bayi yang telah di-
lahirkannya, Putri Tunjung Kuning segera bergerak
bangkit. Dia heran, tubuhnya kini tak lagi lemas dan
bisa digerakkan meski ngilu di persendiannya masih
terasa sakit.
"Ya, pasti orang tua itu yang mengambil bayi-
ku!" gumam Putri Tunjung Kuning seraya duduk. "Jika
orang tua itu sampai berbuat yang tidak-tidak, siapa-
pun dia adanya, tak akan kubiarkan hidup!"
Selagi Putri Tunjung Kuning bergumam sendiri,
telinganya menangkap langkah-langkah kaki dari arah
belakangnya mendekat. Serta merta Putri Tunjung
Kuning palingkan wajah ke belakang.
"Mana anakku...?!" tanya Putri Tunjung Kuning
begitu tahu siapa adanya orang yang melangkah ke
arahnya.
Orang yang ditanya hanya menyunggingkan
senyum sebagai jawaban. Orang yang ditanya yang
bukan lain adalah Restu Canggir Rumekso terus me-
langkah mendekati altar di mana Putri Tunjung Kuning duduk.
"Mana anakku!" tanya ulang Putri Tunjung
Kuning dengan suara agak tinggi. Habis bertanya, tan-
pa mempedulikan rasa sakit yang mendera sekujur tu-
buhnya Putri Tunjung Kuning melompat turun dari
atas altar dan menyongsong langkah Restu Canggir
Rumekso.
"Siapa kau sebenarnya...?! Jangan coba-coba
memisahkan aku dengan anakku!" ancam Putri Tun-
jung Kuning seraya membelalakkan sepasang ma-
tanya.
Restu Canggir Rumekso hentikan langkahnya.
Dia masih tersenyum meski sepasang matanya mem-
balas tatapan mata gadis di hadapannya. Setelah ba-
tuk-batuk beberapa kali, Restu Canggir Rumekso ber-
kata dengan suara perlahan dan berat.
"Putri Tunjung Kuning! Kau tak usah cemas,
anakmu dalam keadaan sehat. Dia seorang laki-laki!"
"Laki-laki...?!" ulang Putri Tunjung Kuning.
"Oh...," Putri Tunjung Kuning seakan-akan mengeluh,
meski kegembiraan tak dapat dia sembunyikan dari
pancaran wajahnya.
"Di mana dia sekarang...? Aku ingin melihat-
nya...!"
"Dengan syarat!" kata Restu Canggir Rumekso,
membuat Putri Tunjung Kuning mengernyit. Wajahnya
berubah merah padam mendengar kata-kata orang tua
di hadapannya. Sambil menahan marah yang mulai
mendesak dadanya, Putri Tunjung Kuning berkata.
"Orang tua! Kau jangan macam-macam. Dia
adalah anakku, darah daging ku! Kau tak berhak men-
gajukan syarat!"
"Terserah apa katamu, hanya saja, jika kau ti-
dak menyetujui syarat yang ku ajukan, kau tak akan
bisa melihat darah dagingmu!"
"Bajingan! Kau kira aku gentar kau takut-
takuti, he...?!" kata Putri Tunjung Kuning seraya me-
langkah maju dengan kedua tangan siap melepaskan
pukulan. Dia sebenarnya merasakan sakit yang tak
terperikan saat mengerahkan tenaga dalam yang dis-
alurkan pada kedua tangannya, namun rasa sakit itu
ditindihnya.
Di seberang, mendapati Putri Tunjung Kuning
melangkah maju dengan siap menyerang, Restu Cang-
gir Rumekso hanya tersenyum dingin. Dia tak berusa-
ha untuk ambil ancang-ancang meski tahu Putri Tun-
jung Kuning hendak menyerang.
"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir
Rumekso perlahan. "Ingat.... Tenagamu masih lemah,
kau masih perlu istirahat!"
"Persetan dengan itu. Kalau kau tak menun-
jukkan dan memberikan anakku, terpaksa aku bertin-
dak kasar padamu, meski kau telah menolongku!"
"Begitu...?" kata Restu Canggir Rumekso den-
gan tertawa kecil. "Kau telah berpikir masak-masak
dengan ucapanmu itu...?!"
"He, Orang Tua! Kau jangan terlalu banyak
omong! Lekas tunjukkan!" bentak Putri Tunjung Kun-
ing.
Belum lenyap gema suara bentakan, kedua ka-
ki Restu Canggir Rumekso menghentak dua kali di
atas tanah pijakannya. Mendadak bangunan itu bagai
dilanda gempa. Bangunan itu bergetar hebat.
Putri Tunjung Kuning terperangah kaget. Dia
buru-buru mengerahkan tenaga untuk menahan tu-
buhnya yang tampak oleng. Namun tenaga Putri Tun-
jung Kuning seakan tak berarti apa-apa. Hingga tak
berapa lama kemudian tubuh Putri Tunjung Kuning
terhuyung-huyung dan roboh terduduk!
"Orang tua! Siapa kau sebenarnya...?!" tanya
Putri Tunjung Kuning seraya merambat bangkit den-
gan mata menusuk tajam.
Untuk beberapa saat Restu Canggir Rumekso
tak segera menjawab. Baru setelah agak lama dan se-
telah batuk beberapa kali Restu Canggir Rumekso
angkat bicara.
"Orang-orang di luar memanggilku Restu Cang-
gir Rumekso!"
Demi mendengar orang tua di hadapannya me-
nyebutkan nama, terkejutlah Putri Tunjung Kuning.
"Astaga! Jadi inikah orang yang dahulu kabar-
nya pernah menggegerkan dunia persilatan, yang lan-
tas menghilang begitu saja tanpa ada kabar berita...?
Menurut kabar di luar, orang yang bernama Restu
Canggir Rumekso adalah seorang berkepandaian tinggi
dan juga seorang ahli pengobatan...," membatin Putri
Tunjung Kuning seraya memperhatikan dengan sek-
sama orang tua di hadapannya dari atas hingga ba-
wah.
"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir
Rumekso. "Kuharap kau menuruti kata-kataku. Tak
ada gunanya kau berkeras kepala. Itu tindakan bo-
doh!"
"Tapi...," belum sampai Putri Tunjung Kuning
meneruskan kata-katanya, Restu Canggir Rumekso te-
lah menyela.
"Aku tahu. Dia adalah anakmu, darah daging-
mu. Namun untuk sementara ini kau harus turut pe-
rintahku! Kau untuk sementara ini hanya boleh meli-
hat, tanpa bisa menyentuhnya!"
"Gila! Apa maksudmu sebenarnya? Dan kau
apakan anakku?!"
"Aku bermaksud baik dengan anakmu. Dengar
baik-baik. Anakmu adalah seorang bayi yang lain dari-
pada yang lain. Dia memiliki kelebihan yang tidak di-
miliki bayi-bayi lain di jagad ini!"
Mendengar keterangan Restu Canggir Rumekso,
Putri Tunjung Kuning sedikit terkejut dan hampir tak
percaya, hingga dia bergumam mengulangi.
"Kelebihan? Kelebihan apa...?!"
"Aku tak bisa menjelaskan sekarang. Kalau kau
ingin melihat, ikut aku. Tapi ingat, kau hanya bisa me-
lihat tanpa bisa menyentuh!"
Habis berkata, tanpa menunggu jawaban dari
Putri Tunjung Kuning, Restu Canggir Rumekso balik-
kan tubuh dan melangkah menuju ke sebuah ruangan
yang pintunya tampak tertutup. Dengan dorongkan
tangan kirinya, pintu itu terbuka, sejenak Restu Cang-
gir Rumekso memandang pada Putri Tunjung Kuning,
namun dari mulutnya tak terdengar ucapan.
Di lain pihak, Putri Tunjung Kuning tampak ra-
gu-ragu. Namun sesaat kemudian ia melangkah ke
arah Restu Canggir Rumekso yang telah masuk ke da-
lam ruangan.
Begitu memasuki ruangan, Putri Tunjung Kun-
ing serentak membelalakkan sepasang matanya. Bibir-
nya saling menggegat. Setelah bisa menguasai diri, dia
melangkah menghampiri Restu Canggir Rumekso yang
berdiri di samping sebuah meja bundar agak besar.
"Lepaskan ikatan itu! Kau jangan berbuat gila!"
tiba-tiba terdengar suara membentak dari mulut Putri
Tunjung Kuning. Sambil membentak, mata gadis ini
tak kesiap memandang ke arah atas meja, di mana
tampak sesosok bayi mungil sedang tidur lelap. Namun
ada suatu yang membuat gadis ini trenyuh. Bayi itu
seluruh tubuhnya diikat dengan seutas tali. Demikian
ketatnya ikatan tali itu, hingga kulit tubuh sang bayi
terlihat berkerut-kerut. Anehnya, meski kulitnya masih
kemerah-merahan, kulit itu tak lecet! Apalagi menge-
luarkan darah,
Merasa ucapannya tak didengar Restu Canggir
Rumekso, Putri Tunjung Kuning melangkah maju
mendekati meja. Namun baru akan bergerak, Restu
Canggir Rumekso membentak garang.
"Ingat kata-kataku! Kalau kau memaksa, aku
tak segan-segan bertindak kasar padamu!"
Putri Tunjung Kuning hentikan gerakan ka-
kinya. Matanya menusuk pada orang tua di samping-
nya.
"Kau jangan berbuat tidak-tidak pada bayi yang
baru lahir! Dia bisa mati!" kata Putri Tunjung Kuning
seraya berpaling memandang pada bayi di atas meja
Restu Canggir Rumekso tertawa bergelak-gelak
mendengar kata-kata Putri Tunjung Kuning, membuat
gadis ini heran dan geram.
Belum lenyap gema suara tawanya, Restu
Canggir Rumekso telah berkata.
"Tadi sudah kukatakan, bayimu adalah bayi
lain daripada yang lain. Lihat! Dalam waktu satu hari
dia sudah seperti bayi berumur tiga bulan! Dan kau li-
hat sendiri, kulitnya tidak lecet atau mengeluarkan da-
rah! Dengar Putri Tunjung Kuning, bayimu kelak tidak
akan mempan senjata atau pukulan apa pun juga! Dia
kelak akan menjadi seorang sakti tiada tanding...!"
"Tapi dia masih memerlukan air susu...," ujar
Putri Tunjung Kuning seraya tak berkedip memandang
bayi yang baru saja dilahirkannya.
"Dia tak memerlukan air susu! Karena dalam
jangka waktu sepuluh hari, dia akan seperti bocah be-
rumur dua tahun yang sudah tak perlu lagi menyusui"
"Apa kata-katanya bisa dipercaya? Tapi melihat
sekarang, kata-kata orang tua ini benar adanya. Lan-
tas kelainan apa yang sebenarnya merasuki tubuh
anakku ini...? Apa darah dari ayahnya...?" membatin
Putri Tunjung Kuning. Tatkala berpikir begitu, ingatan
gadis ini melayang pada sosok ayah sang bayi.
"Bagaimana jika besar nanti dia tanya soal ba-
paknya...? Apakah aku harus mengatakan terus terang
dan menceritakan siapa sesungguhnya ayahnya...?
Seorang dedengkot tokoh sesat yang berjuluk Malaikat
Berdarah Biru, hmm.... Tak pernah kuduga, jika ak-
hirnya aku harus melahirkan benihnya. Tapi apa boleh
buat, dia adalah anakku.... Siapa pun dia ayahnya!"
"Kau sudah puas...?" Restu Canggir Rumekso
menegur.
Putri Tunjung Kuning tidak menjawab. Dia ba-
gai terbuai dengan alam pikirannya sendiri. Namun ke-
tika tangan kanan Restu Canggir Rumekso menyentuh
pundaknya, Putri Tunjung Kuning berpaling, dan me-
natap tajam. Restu Canggir Rumekso mengangguk,
memberi isyarat agar Putri Tunjung Kuning segera ke-
luar.
"Restu Canggir Rumekso, ku mohon padamu
izinkanlah untuk sejenak aku menimang anakku....
Aku...," Putri Tunjung Kuning hendak menghambur,
namun tangan Restu Canggir Rumekso telah mena-
hannya.
"Dengar! Jika bayi itu tersentuh tangan seseo-
rang sebelum satu purnama, maka kekuatan yang ada
dalam dirinya akan punah!"
Selesai berkata, Restu Canggir Rumekso mena-
rik tangan kanannya yang masih mencekal pundak Pu-
tri Tunjung Kuning. Anehnya, meski Putri Tunjung
Kuning mengerahkan tenaga untuk memberontak, ka-
kinya tetap saja terseret mengikuti langkah Restu
Canggir Rumekso keluar dari ruangan!
Begitu sampai di luar ruangan, dan tiba di
ruangan di mana terdapat altar, Restu Canggir Ru-
mekso melepaskan cekalan tangannya.
"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir
Rumekso. "Sekarang terserah padamu. Ka mau tinggal
di sini boleh, atau ingin meninggalkan tempat ini sila-
kan. Dan juga perlu kau camkan, kau baru bisa me-
nyentuh anakmu jika anak itu telah berusia satu pur-
nama!"
Untuk beberapa lama Putri Tunjung Kuning
tercenung. Lantas tanpa memandang pada Restu
Canggir Rumekso dia ajukan pertanyaan.
"Di mana Pendekar Mata Keranjang yang telah
menolongku...?"
Restu Canggir Rumekso tersenyum lebar men-
dengar pertanyaan Putri Tunjung Kuning.
"Apa dia ayah dari anakmu...?" Restu Canggir
Rumekso balik bertanya.
Putri Tunjung Kuning berpaling memandang
pada orang tua itu. Wajahnya berubah merah padam.
"Siapa ayah dari anakku, kau tak berhak men-
getahuinya! Itu urusanku!"
"Ucapanmu benar, namun aku perlu mengeta-
huinya. Karena tak mustahil dia suatu saat kelak akan
menanyakannya padaku!"
"Hmm.... Sayang sekali aku tak bisa mengata-
kannya padamu. Biar aku sendiri kelak yang akan
mengatakannya padanya!" ujar Putri Tunjung Kuning
seraya melangkah hendak pergi.
"Jika demikian, baiklah. Aku pun tak memerlu-
kan siapa ayahnya. Yang kubutuhkan adalah anak
itu!" kata Restu Canggir Rumekso pula.
"Orang tua! Aku sekarang akan pergi. Dan satu
purnama kemudian aku akan datang lagi ke sini!"
Restu Canggir Rumekso tak menanggapi uca-
pan Putri Tunjung Kuning. Dia hanya tersenyum sinis.
Dalam hati orang tua itu berkata.
"Hmm.... Kau kira satu purnama kemudian kau
akan menemukan anak itu...? Kau bermimpi, Bocah
Ayu! Satu purnama kemudian, anak itu sudah akan
malang melintang menggegerkan rimba persilatan. Dan
kau tahu, anak itu tidak akan memiliki rasa perikema-
nusiaan, karena sejak lahir dia tak merasakan sentu-
han atau air susu ibu yang membuat seorang anak
mempunyai rasa kemanusiaan.... Dan satu purnama
kemudian, nama Restu Canggir Rumekso akan kemba-
li bergema, ditakuti dan disegani. Ha... ha... ha...!"
Di lain pihak, sambil melangkah meninggalkan
bangunan, Putri Tunjung Kuning juga membatin
"Aku harus mencari Pendekar Mata Keranjang.
Aku..., sepertinya tak bisa melupakannya. Tapi apakah
dia juga mengetahui perasaan yang selama ini kupen-
dam...? Kalau dia kelak tahu aku sudah mempunyai
seorang anak, apakah dia mau mengerti...?"
Lantas pikiran gadis itu melayang pada seseo-
rang lainnya.
"Malaikat Berdarah Biru.... Hmm.... Meski kau
adalah ayah dari anakku, namun kau tetap musuhku!
Apakah waktu itu Pendekar Mata Keranjang berhasil
menewaskannya atau bangsat itu berhasil lolos...?
Hmm.... Kejadian itu berarti enam purnama yang lalu,
tapi sepertinya masih kemarin. Apa karena usia kan-
dungan ku yang begitu cepat...? Seperti pertumbuhan
bayiku...? Restu Canggir Rumekso orangnya aneh. Apa
sebenarnya yang diharapkan dari anakku...? Tapi ba-
gaimana caranya, suatu saat nanti aku harus memba-
wa anak itu...!"
Selagi Putri Tunjung Kuning berpikir begitu,
mendadak terdengar suara tangisan. Tangisan seorang
bayi. Serta merta Putri Tunjung Kuning menghentikan
langkahnya. Dia balikkan tubuh memandangi bangu-
nan, di mana Restu Canggir Rumekso tinggal, karena
suara tangisan itu bersumber dari sana.
"Anakku...," gumam Putri Tunjung Kuning se-
raya bergegas melangkah. Namun baru lima langkah
kakinya, terdengar suara menegur keras.
"Kau teruskan perjalanan Putri Tunjung Kun-
ing! Anak itu tidak apa-apa!"
Namun Putri Tunjung Kuning tidak menghi-
raukan kata-kata teguran yang dia tahu pasti di-
ucapkan oleh Restu Canggir Rumekso.
Putri Tunjung Kuning terus melangkah menuju
arah bangunan. Namun belum sampai masuk, serang-
kum angin deras menyambar keluar dari pintu bangu-
nan dan menggebrak ke arah Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning terperangah kaget. Na-
mun gerakannya untuk menghindar terlalu lambat,
hingga tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar deras-
nya angin dan melayang jauh sebelum akhirnya jatuh
bergulingan di atas tanah.
Dan baru saja Putri Tunjung Kuning merambat
bangkit, telinganya menangkap suara. Meski suara itu
diucapkan dari jarak jauh, namun jelas sekali seperti
di depan telinga.
"Putri Tunjung Kuning! Jika kau tetap mem-
bandel, membunuhmu bagai membuka telapak tangan
bagiku!"
Putri Tunjung Kuning mendengus keras. Mu-
kanya merah padam, pelipisnya bergerak-gerak. Na-
mun merasa dia bukan tandingan Restu Canggir Ru-
mekso, pada akhirnya dengan membawa perasaan geram dan kecewa Putri Tunjung Kuning melangkah
menjauhi bangunan.
Seiring langkahan kaki Putri Tunjung Kuning
yang menjauhi bangunan, terdengar suara tawa berge-
lak yang makin lama makin keras.
"Orang tua gila! Aku tak akan membiarkan
anakku dalam cengkeraman mu selamanya!" seraya
berkata Putri Tunjung Kuning kerahkan tenaga dan
berkelebat cepat.
TIGA
SEORANG pemuda tampan berbadan tegap,
mengenakan pakaian warna hijau yang dilapis dengan
baju kuning lengan panjang, rambut panjang dan di-
kuncir ekor kuda terlihat melangkah perlahan menyu-
suri jalan setapak dalam hutan kecil yang sunyi. Na-
mun demikian, wajah pemuda ini yang bukan lain ada-
lah Aji Saputra, atau Pendekar Mata Keranjang 108
tampak riang. Sesekali dia tersenyum lebar, malah ter-
tawa tergelak-gelak.
"Ayo, kejar aku...," kata Pendekar 108 seraya
palingkan wajahnya ke belakang. Ternyata meski dia
nampak melangkah perlahan, namun karena langkah-
nya dengan pengerahan tenaga dalam, membuat di-
rinya bagai terbang di atas jalan setapak.
"Pendekar Mata Keranjang! Tunggu. Aku men-
gaku kalah...," terdengar suara memanggil dari arah
belakang. Dan bersamaan dengan itu dari belokan ja-
lan setapak muncul seorang dara jelita. Dia mengena-
kan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang dan di-
biarkan bergerai. Sepasang matanya bulat dan berbi-
nar. Kulitnya putih agak kemerahan karena ditimpa terik matahari. Di leher dara ini nampak melingkar
seuntai kalung dari bunga-bunga berwarna hitam. Di
atas telinga kirinya juga tampak menyelip sekuntum
bunga berwarna hitam.
Mendengar teriakan sang dara, Pendekar Mata
Keranjang 108 menghentikan langkahnya. Dan begitu
sang dara sampai di dekatnya, Pendekar Mata Keran-
jang 108 cepat berpaling dan berkata seraya terse-
nyum lebar.
"Sesuai perjanjian, jika kau tak dapat menang-
kapku, maka...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak
meneruskan ucapannya. Sebaliknya kedua tangannya
segera mencekal bahu dara di sampingnya. Dan di lain
kejap, bibir Pendekar Mata Keranjang 108 telah me-
rambat memagut bibir dara di sampingnya.
Karena begitu cepat gerakan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108, hingga dara itu tak bisa lagi berkelit
menghindar. Mula-mula dia memang terlihat hendak
meronta memberosot dari rengkuhan tangan Pendekar
Mata Keranjang 108. Namun hal itu hanya berjalan
sekejap. Sesaat kemudian, dara ini membalas pagutan-
pagutan Pendekar Mata Keranjang 108 dengan berapi-
api. Hingga dadanya yang membusung kencang dan
menempel di dada Pendekar Mata Keranjang 108 itu
terlihat bergerak cepat turun naik, membuat Pendekar
Mata Keranjang 108 lebih merapatkan dadanya.
Selagi kedua orang ini sedang dibuai kenikma-
tan, terdengar suara tawa perlahan. Namun hebatnya
meski tawa itu begitu perlahan, suaranya begitu me-
nusuk gendang telinga.
Serta merta Pendekar Mata Keranjang 108 me-
lepaskan pagutan bibirnya, dia memandang sejenak
pada dara di depannya.
"Ratu Sekar Langit. Menilik suara tawanya, aku
bisa memastikan jika si pemilik suara adalah seorang
yang berilmu tinggi. Kau menjauhlah...," kata Pendekar
108 perlahan.
Yang diajak bicara, yang ternyata adalah Ratu
Sekar Langit tidak mengangguk dan tidak menggeleng.
Dia hanya menatap pada Pendekar Mata Keranjang
108. Wajahnya jelas mengisyaratkan kekecewaan. Se-
mentara dadanya masih tampak turun naik.
Tanpa mempedulikan perasaan Ratu Sekar
Langit yang masih tampak kecewa, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 berpaling pada sumber suara, demikian
juga Ratu Sekar Langit.
Kedua orang ini sama melengak. Tak jauh dari
tempat mereka terlihat sesosok manusia berdiri tanpa
memandang ke arah mereka. Namun sikapnya mengi-
syaratkan mengejek.
Setelah mendehem, sosok manusia itu menga-
lihkan pandangan, menatap pada Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dan Ratu Sekar Langit dengan senyum si-
nis. Ia adalah sesosok manusia bertubuh pendek.
Rambutnya panjang sebahu, namun rambut bagian
atas dan samping dipotong demikian pendek hingga
tampak jabrik. Menilik pakaian dan dandanannya, bisa
segera ditebak jika sosok manusia pendek ini adalah
seorang perempuan, karena wajahnya dibedaki dengan
bedak putih demikian tebal, sementara bibirnya yang
tebal sebelah atas diberi pemerah. Sepasang matanya
lebar dengan hidung besar agak bengkok.
Pendekar Mata Keranjang sejenak menatap se-
raya berpikir keras.
"Siapa manusia ini...? Aku tak pernah dengar
dan lihat tokoh dunia persilatan yang mempunyai ciri-
ciri seperti dia. Apakah dia tokoh yang baru saja mun-
cul? Namun siapa pun dia adanya, rupanya dia beril
mu tinggi. Suara tawanya saja mampu membuat telin-
ga berdenging sakit...," membatin Pendekar 108 den-
gan memperhatikan lebih seksama.
Merasa dipandangi rupa, sosok manusia pen-
dek yang ternyata berdiri dengan menyilangkan kaki
kanannya di atas betis kaki kirinya, serta tangan ka-
nannya mencengkeram sebuah tombak yang pangkal-
nya membentuk sekuntum bunga berwarna hitam,
mendelik dan berkata.
"Bocah! Kalau kau mendampingiku terus, jan-
gan menyesal jika kedua matamu akan kutembus den-
gan tombakku!"
Seraya berkata manusia pendek ini pindahkan
tombaknya ke samping kiri tubuhnya. Dan bersamaan
dengan itu bersiur serangkum angin deras yang men-
deru.
"Hmm.... Manusia ini tampaknya sengaja unjuk
kebolehan...," pikir Pendekar Mata Keranjang 108 den-
gan alihkan pandangan seraya tersenyum-senyum. La-
lu dia berkata.
"Kalau boleh kami tahu, siapakah kau...?"
"Siapa kau...?!" ulang si manusia pendek den-
gan nada sinis mengejek. Tawanya lalu meledak, mem-
buat Pendekar Mata Keranjang 108 dan Ratu Sekar
Langit segera mengerahkan tenaga dalam untuk me-
nangkis tenaga dalam yang keluar bersama dengan
suara tawa si manusia pendek.
"He.... Jangan hanya berha.... Ha... ha... ha....
Siapa kau?!" kali ini yang keluarkan teguran adalah
Ratu Sekar Langit.
Mendapat teguran, manusia pendek ini serta
merta memenggal suara tawanya secara mendadak.
Sepasang matanya yang lebar menyengat tajam pada
Ratu Sekar Langit dengan pandangan tak senang. Dia
lantas berkata dengan nada membentak.
"Gadis jelek! Kalau kau ingin mulutmu tak be-
rubah bentuknya, jaga ucapanmu. Dengar kalian se-
mua! Aku tak suka ditanyai, kalianlah yang harus ka-
takan siapa kalian sebenarnya. Manusia-manusia yang
tak tahu malu bermain cinta di jalanan!"
Mendengar kata-kata manusia pendek, Pende-
kar Mata Keranjang 108 serta Ratu Sekar Langit beru-
bah wajah masing-masing menjadi merah padam. Na-
mun sesaat kemudian, Pendekar Mata Keranjang 108
segera palingkan wajah memandang pada Ratu Sekar
Langit seraya mengerdipkan sebelah matanya, mem-
buat gadis ini semakin merah mengelam.
"Kalau kau tak ingin ditanyai, sebaiknya kau
segera tinggalkan tempat ini, karena kami juga tak se-
nang ditanyai dan diganggu. Bukankah begitu keka-
sihku...?" kata Pendekar Mata Keranjang dengan tak
mengalihkan pandangannya pada Ratu Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit semakin salah tingkah den-
gan perasaan bercampur aduk mendengar dirinya dis-
ebut kekasih oleh Pendekar Mata Keranjang 108.
Di lain pihak, manusia pendek di seberang ter-
lihat tersenyum hambar namun adanya menghina.
"Kekasih.... Hik... hik... hik.... Rupanya kalian
sepasang kekasih. Huah.... Aku tahu.... Tahu jika se-
pasang kekasih sedang dimabuk asmara mereka tak
ingin diganggu. Namun karena kalian telah telanjur
menanyai ku, terpaksa aku tidak bisa meninggalkan
kalian sebelum aku mengetahui siapa adanya kalian!
Dan bila kalian tak mau jawab, aku tak segan-segan
memaksa!"
Wesss! Blemmm!
Si manusia pendek pindahkan lagi tombaknya,
serta pindahkan kaki kirinya dari betis dan dihentak
kan di atas tanah, hingga serangkum angin deras yang
disertai berguncangnya tanah seraya menyentak tem-
pat itu.
"Hmm.... Manusia macam begini kalau dituruti
bisa menjadikan penghalang dalam perjalananku ke le-
reng Gunung Mahameru. Lebih baik aku turuti saja
permintaannya, biar segalanya lekas beres...," lalu
Pendekar Mata Keranjang 108 berkata.
"Baik. Kemauanmu ku turuti. Aku akan mem-
beri tahu siapa aku dan kekasihku itu. Aku bernama
Aji Saputra, seorang pengelana jalanan. Sementara ke-
kasihku adalah Ratu Sekar Langit...."
Manusia pendek di hadapan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tak menunjukkan rasa terkejut sama se-
kali. Sebaliknya dia seakan tak percaya dengan ucapan
Pendekar 108. Dia menatap menyelidik.
"Hmm.... Melihat ciri-ciri bocah laki-laki ini, dia
tampaknya berdusta. Aku tahu, dia berilmu tinggi. Aku
harus mengujinya. Apakah dia pemuda seperti du-
gaanku...."
Berpikir begitu, si manusia pendek ini lantas
membentak garang.
"Bocah. Aku tak suka dibohongi. Kau telah
menjawab pertanyaanku dengan dusta, dan sebagai
bayarannya, aku inginkan barang mu, biar kau tak
seenaknya saja bermain cinta. Hik... hik... hik...."
Ratu Sekar Langit katupkan bibirnya dengan
raut muka berubah mendengar kata-kata manusia
pendek. Dia segera melangkah maju dan siap hendak
menyerang, namun dia urungkan tatkala Pendekar
Mata Keranjang 108 berkata.
"Tahan...!" dia lantas memandang pada manu-
sia pendek dan berkata.
"Kami telah mengatakan apa adanya siapa ka"
mi. Kalau kau tak percaya itu urusanmu. Dan kalau
kau tetap memaksa berarti kau memang cari masalah!"
"Benar! Katakan saja apa maksudmu sebenar-
nya? Kalau kau ingin barang' aku bisa mencarikan un-
tukmu. Kau minta yang bagaimana...?" timpal Ratu
Sekar Langit, meski dalam hatinya diam-diam dia
mengutuk dirinya sendiri mengatakan hal begitu.
Si manusia pendek menyeringai. Dia berpaling
memandang pada Ratu Sekar Langit. Matanya berkilat
dengan dahi mengkerut, membuat bedaknya rengkah
dan jatuh sedikit.
"Gadis liar! Mulutmu memang pantas dirubah
bentuknya!" habis berkata, si manusia pendek batuk
dua kali, lalu tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap,
meninggalkan tombaknya yang menancap hampir se-
tengah ke dalam tanah.
Sebuah seruan tertahan segera terdengar. Dan
di lain kejap si manusia pendek telah kembali tegak di
samping tombaknya. Dia berdiri dengan kaki kiri dis-
ilangkan di atas betis kaki kanan sementara tangan
kanannya memegang ujung tombak dengan tersenyum
menyeringai.
Pendekar 108 terkesiap melihat apa yang terja-
di, dan semakin terperangah ketika mengetahui Ratu
Sekar Langit tampak mundur dua langkah ke belakang
dengan muka pias.
Ternyata, bibir Ratu Sekar Langit yang tadinya
telah merah tanpa pemerah, kini semakin merah me-
nyala. Jika saja si manusia pendek benar-benar ingin
melaksanakan ancamannya, maka sewaktu tubuhnya
lenyap dan mengolesi bibir Ratu Sekar Langit dengan
pemerah di bibirnya, si manusia pendek ini bisa
menghantam bibir Ratu Sekar Langit hingga berubah
bentuknya seperti ancamannya!
"Aku masih merasa kasihan jika kekasihmu tak
bisa mencium bibirmu lagi, maka untuk kali ini cukup
itu saja sebagai pelajaran agar kau tahu, membunuh
kalian berdua bukanlah hal sulit bagiku. Sekarang ka-
takan siapa kau bocah!"
"Tadi sudah kukatakan. Namaku Aji Saputra!"
jawab Pendekar Mata Keranjang 108 agak tinggi seraya
menahan rasa geram.
"Bohong!" bentak manusia pendek.
Di sebelah belakang, Ratu Sekar Langit terden-
gar batuk-batuk beberapa kali seraya menutup hi-
dungnya, karena ternyata pemerah yang dioleskan si
manusia pendek itu berbau anyir! Dan bersamaan
dengan itu tangan kanannya segera bergerak mengu-
sap bibirnya dengan mengumpat habis-habisan.
"Beraninya kau berkata dusta padaku!" sam-
bung manusia pendek seraya melangkah maju mende-
kati Pendekar Mata Keranjang 108. Namun begitu ma-
nusia pendek ini melangkah maju, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera menyongsong.
"Pendekar Mata Keranjang!" seru Ratu Sekar
Langit. "Serahkan manusia itu padaku!" seraya berkata
Ratu Sekar Langit pun melangkah maju.
Mendengar seruan Ratu Sekar Langit yang me-
manggil Aji dengan Pendekar Mata Keranjang, manusia
pendek menghentikan langkah. Matanya menyorot ta-
jam.
"Pendekar Mata Keranjang...," membatin manu-
sia pendek. "Hm.... Dugaanku nyatanya tidak meleset.
Meski aku telah lama tak muncul ke gelanggang dunia
persilatan, aku telah menyirap kabar jika manusia sa-
tu ini berkepandaian tinggi. Namun yang lebih dari
semua itu, dia adalah murid Wong Agung. Musuh be-
sarku. Tak ada salahnya aku mencoba ilmunya dan
kalau perlu membunuhnya sekalian. Setelah itu baru
gurunya...."
"Pendekar Mata Keranjang!" ucap manusia
pendek dengan sinis. "Agar kau nantinya tak penasa-
ran saat memasuki alam kubur, dengarkan baik-baik
aku akan mengatakan siapa diriku. Orang-orang dahu-
lu memanggilku dengan nama Bawuk Raga Ginting!"
Pendekar Mata Keranjang 108 dan Ratu Sekar
Langit sating bertukar pandang mendengar manusia
pendek menyebutkan siapa dirinya. Malah Ratu Sekar
Langit undurkan langkah ke belakang. Raut wajahnya
memperlihatkan keterkejutan sementara Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 meski dalam hati diam-diam terce-
kat, namun dia tetap bersikap tenang. Di lain pihak,
melihat perubahan wajah Ratu Sekar Langit, Bawuk
Raga Ginting tertawa bergelak.
"Hmm.... Aku lamat-lamat memang pernah
dengar nama itu.... Lantas aku tak habis pikir kenapa
tiba-tiba dia membuka sengketa...? Apa maksud-
nya...?!" membatin Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu
dia berkata.
"Sobat! Aku memang telah dengar siapa kau
adanya. Manusia berilmu tinggi yang sukar dicari tan-
dingnya, namun antara kita tak ada silang sengketa
sebelumnya! Mengapa kau mendadak bertingkah begi-
tu...?!"
"Tanyalah nanti di alam kubur pada gurumu
yang nanti akan menyusulmu!" jawab Bawuk Raga
Ginting dengan mata melotot angker.
Selesai berkata, Bawuk Raga Ginting segera
meloncat ke atas setinggi setengah tombak. Lalu dia
hentakkan sepasang kakinya empat kali berturut-
turut, sementara tangan kanannya bertumpu pada
pangkal tombak.
Pangkal tombak itu melesak, membuat ujung-
nya amblas ke dalam tubuh, dan bersamaan dengan
itu bumi tempatnya menghentak tiba-tiba bergetar he-
bat bagai dilanda gempa.
Pendekar 108 cepat kerahkan tenaga dalamnya
untuk menangkis agar tubuhnya tidak ikut bergetar.
Demikian juga Ratu Sekar Langit.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berkutat
mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba saja Bawuk Raga
Ginting berkelebat dan di kejap lain tahu-tahu sepa-
sang tangan dan kakinya telah satu depa di de-pan hi-
dung dan perut Pendekar Mata Keranjang 108.
Murid Wong Agung dari Karang Langit ini sege-
ra angkat kedua tangannya. Satu dia angkat menutupi
mukanya sementara satunya lagi dia palangkan di de-
pan perut.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut
bukan alang kepalang, karena ternyata Bawuk Raga
Ginting tidak meneruskan hantaman tangan dan ka-
kinya. Sebaliknya dia membuat gerakan jungkir balik
di udara, dan dengan cepat mendarat di sebelah kanan
Pendekar Mata Keranjang 108! Lalu didahului dengan
bentakan nyaring, Bawuk Raga Ginting sentakkan ke-
dua tangannya.
Terdengar seperti deru gelombang dahsyat
menghampar di tempat itu. Bersamaan dengan itu ki-
latan-kilatan warna hitam redup yang membias hawa
panas segera menggebrak ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108.
"Gila! Serangannya sulit diduga!" keluh Pende-
kar 108 seraya miringkan tubuhnya menyongsong se-
rangan lawan dengan hantaman kedua tangannya le-
paskan pukulan 'Segara Geni'.
Untuk kali kedua Pendekar Mata Keranjang
108 dibuat melengak. Pukulan sakti 'Segara Geni', ju-
rus ke empat dari Karang Langit bagai lenyap ditelan
kilatan-kilatan hitam serangan Bawuk Raga Ginting,
membuat serangan manusia pendek ini menerobos te-
rus ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang 108!
Dengan menindih rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat kerahkan pukulan 'Bayu Cakra
Buana'. Hingga kejap itu juga udara terang benderang.
Dan bersamaan dengan itu terdengar letupan beberapa
kali. Bumi tempat itu berguncang hebat. Debu beter-
bangan melingkupi suasana. Sementara begitu letupan
lenyap, tanah tempat bertemunya dua serangan yang
telah sama-sama dialiri tenaga dalam itu terbongkar
dan membentuk lobang besar sedalam setengah tom-
bak.
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 ter-
huyung-huyung dan jatuh terduduk, sementara tubuh
Bawuk Raga Ginting yang pendek dan kecil melayang
ke belakang, namun sebelum tubuhnya terjerembab,
Bawuk Raga Ginting membentak. Tubuhnya melenting
ke udara lebih tinggi, lalu membuat gerakan salto di
udara sebelum akhirnya mendarat kembali di samping
tombaknya dengan berdiri kokoh!
"Rupanya kabar yang tersebar selama ini benar
adanya. Manusia satu ini berilmu tinggi...," membatin
Bawuk Raga Ginting dengan tersenyum beringas.
Manusia pendek ini lantas kembali melangkah
maju. Matanya yang lebar memejam rapat sementara
kedua tangannya diputar-putar di samping tubuhnya.
Angin menderu-deru segera terdengar, dan di
kejap lain secara cepat Bawuk Raga Ginting hantam-
kan kedua tangannya. Matanya tetap tak dibuka.
Angin menderu-deru lebih dahsyat segera ter-
dengar tanpa terlihat adanya kilatan atau warna. Namun sejenak sempat membuat Pendekar Mata Keran-
jang 108 seakan hendak tersapu.
Melihat serangan lawan, dan sebelum tubuhnya
sampai tersapu tunggang langgang, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 cepat lepaskan kembali 'Bayu Cakra Bua-
na'.
Hantaman angin dari Bawuk Raga Ginting
mendadak seperti tertahan di udara, namun suara de-
ruannya tetap mendengung dahsyat, membuat tempat
itu semakin terbongkar.
Bawuk Raga Ginting terhenyak hampir tak per-
caya. Dengan berteriak keras dan mata mendelik, dia
hantamkan kembali tangannya, sementara kakinya tak
henti-hentinya dibanting-banting di atas tanah.
Pendekar Mata Keranjang 108 tambah tekanan
tenaga dalamnya. Beberapa kali kedua tangannya juga
menghantam ke depan menangkis angin pukulan la-
wan yang semakin deras dan dahsyat, hingga pakaian
dan rambutnya tampak berkibar-kibar.
Keringat mulai membasahi sosok-sosok Pende-
kar Mata Keranjang 108 dan Bawuk Raga Ginting. Se-
mentara tanah tempat mereka berpijak terus bergetar,
membuat kaki Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit
demi sedikit melesak masuk! Di lain pihak tubuh Ba-
wuk Raga Ginting tak bergeming karena dengan cerdik
dia segera memegangi tombaknya.
Dan mendadak setelah sekian lama saling ber-
tahan dengan mengerahkan tenaga dalam masing-
masing, Bawuk Raga Ginting berkelebat cepat menero-
bos pertemuan dua serangan.
Hebatnya, tubuhnya seperti tak mengalami bias
serangan, hingga tubuh kecil itu nyelonong mengge-
brak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108 yang ma-
sih tampak menduga-duga arah serangan lawan.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 menduga-
duga itulah, serangan Bawuk Raga Ginting datang me-
nerjang.
Dess! Desss!
Kedua tangan kecil Bawuk Raga Ginting meng-
hantam deras ke bahu Pendekar Mata Keranjang 108.
Meski tangan itu kecil namun karena telah dialiri tena-
ga dalam, membuat Pendekar Mata Keranjang 108
menjerit keras dan bersamaan dengan itu tubuhnya
berputar keras dan terbanting menghujam tanah!
"Ratu Sekar Langit, kau menyingkirkan! Manu-
sia satu ini benar-benar ingin nyawaku!," kata Pende-
kar Mata Keranjang 108 tatkala dilihatnya Ratu Sekar
Langit yang sedari tadi hanya melihat bergerak me-
langkah maju.
Dan tanpa diduga sama sekali, begitu tubuh
Pendekar Mata Keranjang roboh, dua serangan yang
tadi bertemu di udara itu ambyar seketika dengan ke-
luarkan ledakan dahsyat.
Bawuk Raga Ginting yang telah waspada dan
telah memikirkan hal itu, segera melompat jungkir ba-
lik ke belakang.
"Ratu Sekar Langit! Cepat menyingkir!" ingat
Pendekar Mata Keranjang 108. Namun peringatan itu
datangnya sudah terlambat. Bias ledakan dahsyat itu
menerpa tubuh Ratu Sekar Langit. Hingga saat itu juga
dari mulut gadis cantik itu terdengar jeritan lengking.
Tubuhnya mencelat.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang baru saja
bangkit segera melesat mengikuti arah tubuh Ratu Se-
kar Langit, dan sebelum tubuh itu menghempas di
atas tanah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera me-
nangkapnya, dan dengan agak sempoyongan keduanya
mendarat di atas tanah.
"Kau berdiamlah di sini!" kata Pendekar 108.
Lalu tanpa melihat Ratu Sekar Langit yang ingin men-
gucapkan sesuatu, Pendekar Mata Keranjang 108 ba-
likkan tubuh dan melangkah ke arah Bawuk Raga
Ginting dengan tangan kanan memegang kipas yang
telah dibuka.
Sepasang mata Bawuk Raga Ginting sejenak
memandang tak kesiap ke arah kipas ungu di tangan
kanan Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Pasti itu kipas yang puluhan tahun la-
lu pernah jadi rebutan tokoh-tokoh silat...," membatin
Bawuk Raga Ginting. Diam-diam dalam hati manusia
pendek ini jerih juga. Namun dia tampak menindihnya
dengan berkata.
"Kipas mainan. Siapa takut!" Belum lenyap sua-
ranya, Bawuk Raga Ginting telah menyerbu dengan le-
paskan hantaman tangan kosong kiri kanan.
Pendekar Mata Keranjang yang belum sempat
kibaskan kipasnya merasa tubuhnya terhantam angin
deras. Dengan menggereng murid Wong Agung ini lan-
tas berkelit dengan meloncat ke samping. Namun lagi-
lagi belum sempat gerakkan kakinya. Bawuk Raga
Ginting telah menerjang kembali. Kali ini sepasang ka-
ki mungilnya menerjang hebat ke arah dada!
"Edan! Dia sepertinya tak memberiku kesempa-
tan untuk menyerang. Dia rupanya tahu, serangan te-
naga dalam akan terbendung jika terkibas kipas ini.
Hingga dia tak melancarkan serangan jarak jauh...,"
batin Pendekar Mata Keranjang 108 sambil palangkan
kedua tangannya di depan dada.
Prakk! Prakk!
Terdengar dua kali benturan keras tatkala se-
pasang tangan mungil Bawuk Raga Ginting menghan-
tam punggung kedua tangan Pendekar Mata Keranjang
108.
Pendekar Mata Keranjang 108 terjengkang dan
jatuh terduduk, sementara Bawuk Raga Ginting men-
tal balik. Dia mencoba membuat gerakan berputar,
namun karena jaraknya terlalu rendah dengan tanah,
membuatnya tak ada ruang untuk bergerak, hingga
tak ampun lagi tubuh kecil pendek itu menghujam di
atas tanah.
"Jahanam!" seru Bawuk Raga Ginting seraya
bangkit. Bedak tebal di wajahnya telah jatuh berlulu-
ran, karena menuruk ke atas tanah dan terkena kerin-
gat yang membasahi wajahnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum meli-
hat hal itu, karena ternyata wajah Bawuk Raga Ginting
bopeng-bopeng, sementara bibirnya berwarna hitam!
Melihat senyuman Pendekar Mata Keranjang
108 yang bernada menertawakan, membuat Bawuk
Raga Ginting marah besar. Seraya melompat disertai
bentakan keras dia sentakan kedua tangannya!
EMPAT
DUA rangkum angin deras berhawa panas me-
nyambar cepat ke arah Pendekar Mata Keranjang. Dan
belum sampai serangan ini melabrak, Bawuk Raga
Ginting telah bergerak cepat, mencabut tombaknya
dan serta merta dilemparkannya ke depan. Hebatnya,
di udara tombak itu pecah. Pangkalnya yang memben-
tuk sekuntum bunga mencelat dan membubung tinggi
ke atas, namun sekejap kemudian, kuntuman bunga
itu menukik deras ke bawah. Sementara tombaknya
lurus menerabas.
Mendapati hujan serangan yang bertubi-tubi
itu mau tak mau Pendekar Mata Keranjang tergagap
juga. Namun dia segera sadar dan dengan kibasan ki-
pasnya dia melompat ke samping.
Angin deras itu mendadak mental balik, namun
pangkal tombak itu sepertinya tak terpengaruh. Pang-
kal tombak yang membentuk kuntum bunga berwarna
hitam itu terus menukik sementara batangan tombak-
nya juga terus melabrak.
"Gila!" umpat Pendekar Mata Keranjang 108 se-
raya hantamkan kedua tangannya melepas pukulan
sakti 'Bayu Cakra Buana'.
Sinar putih segera menyelimuti tempat itu dan
mendadak terdengar berderaknya dua benda hancur.
Begitu suasana kembali terang, tombak serta kuntum
bunga itu telah hancur berantakan di atas tanah.
Bawuk Raga Ginting melenggak marah melihat
serangannya begitu mudah ditangkis lawan. Dengan
membentak marah, manusia pendek ini langsung pu-
tar tubuhnya, hingga detik itu juga sosoknya lenyap
dari pandangan.
Pendekar Mata Keranjang cepat pasang mata
dan telinganya untuk mengetahui di mana beradanya
lawan. Namun murid Wong Agung ini tiba-tiba terke-
sima. Karena mendadak saja dari segala jurusan tam-
pak sosok-sosok manusia pendek menerjang ke arah-
nya.
Karena tak bisa menentukan mana Bawuk Ra-
ga Ginting sebenarnya, membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang putar-putar kipas dan tangannya di atas kepa-
la.
Suara angin menderu-deru segera berputar
menyelimuti tubuh Pendekar Mata Keranjang seakan
melindungi dirinya dari segala penjuru angin. Sosok
Bawuk Raga Ginting yang kini tampak menjadi empat
sosok itu bagai tertahan dan tersapu tunggang lang-
gang. Namun saat itu juga terdengar beberapa teria-
kan, dan sosok-sosok Bawuk Raga Ginting membalik
seraya menerjang. Tapi sosok-sosok ini tampaknya tak
mampu menembus pertahanan yang menyelimuti tu-
buh Pendekar Mata Keranjang. Hingga keempat sosok
Bawuk Raga Ginting ini mengapung di udara.
Pendekar Mata Keranjang terus menambah pu-
taran kedua tangannya untuk mementalkan sosok-
sosok manusia pendek ini. Namun sosok-sosok ini se-
pertinya mampu membendung, hingga keempatnya te-
tap mengapung di udara.
"Hmm.... Salah seorang di antaranya pasti Ba-
wuk Raga Ginting yang asli. Tapi yang mana? Keem-
patnya tak bisa dibedakan, padahal kekuatannya pasti
berada di yang asli...," batin Pendekar 108 seraya men-
gawasi satu persatu manusia pendek yang kini mengi-
tari dirinya dari empat penjuru dan siap menerjang ji-
ka Pendekar Mata Keranjang lengah sedikit saja.
Keringat sudah membasahi seluruh tubuh Pen-
dekar Mata Keranjang, namun murid Wong Agung ini
nambah tekanan tenaga dalamnya, keempat sosok itu
tak juga bergeming. Bahkan ketika sosok yang berada
di samping kanan keluarkan bentakan dahsyat, perta-
hanan Pendekar Mata Keranjang ambrol!
Sosok ini langsung melejit menerabas dinding
pertahanan Pendekar Mata Keranjang dengan kedua
kaki lurus sementara kedua tangannya terpentang,
siap hendak memecah batok kepala.
"Celaka!" seru Pendekar Mata Keranjang kebin-
gungan, karena jika dia menangkis serangan sosok
yang berhasil menerabas ini, mau tak mau pertahanan
lainnya akan lowong, dan ini makin membahayakan
jiwanya.
Dengan menggerutu panjang pendek, akhirnya
Pendekar Mata Keranjang 108 berkelit dengan miring-
kan tubuhnya ke samping, sedangkan kepalanya dia
rundukkan sedikit. Hingga sosok yang berhasil mene-
rabas pertahanan itu menghujam tempat kosong di
samping Pendekar Mata Keranjang. Namun gerakan
Pendekar Mata Keranjang 108 itu membuat pertaha-
nan di samping kiri goyah dan ambrol. Hingga kali ini
sosok Bawuk Raga Ginting yang dari sebelah kiri me-
nerjang deras.
"Sialan! Aku tak bisa bertahan begini terus-
terusan...," Pendekar Mata Keranjang segera hentikan
putaran tangannya dan dihantamkan ke kiri dan ke
depan.
Sosok Bawuk Raga Ginting yang menerjang dari
arah kiri mental balik, sementara yang hendak mener-
jang dari arah depan tersapu dan melayang jauh den-
gan keluarkan jeritan tertahan.
Namun sosok yang berada di belakang, melihat
pertahanan Pendekar Mata Keranjang 108 bobol segera
meluncur deras. Karena saat itu Pendekar Mata Keran-
jang sedang menangkis sosok yang datang dari arah
kiri dan depan, membuat Pendekar Mata Keranjang
108 tak bisa lagi menghindar dari terjangan sosok yang
datang dari belakang. Hingga sesaat kemudian terden-
gar seruan keras dari mulut Pendekar Mata Keranjang.
Dan bersamaan dengan itu tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang terjerembab ke depan dengan menyusup ta-
nah!
Dadanya terasa sesak menghantam tanah, se-
mentara punggungnya bagai ditembus kayu batangan.
Dari hidungnya serta sudut bibir keluar darah segar.
Matanya berkunang-kunang.
Sementara itu, keempat sosok Bawuk Raga
Ginting sama-sama keluarkan kekehan. Dan sesaat
kemudian tiga di antaranya dari kepalanya mengepul
asap putih yang makin lama makin membungkus. Be-
gitu asap itu lenyap, ketiga sosok Bawuk Raga Ginting
yang terbungkus asap hilang lenyap, tinggal satu yang
ternyata tadi melepaskan terjangan dari arah belakang!
Melihat Pendekar Mata Keranjang roboh, Ba-
wuk Raga Ginting melangkah mendekat. Bibirnya yang
hitam legam tampak sunggingkan senyum buruk. Se-
mentara kedua tangannya siap hendak lepaskan puku-
lan.
Saat itulah berkelebat bayangan putih, mem-
bentak sambil menyongsong Bawuk Raga Ginting yang
hendak lepaskan pukulan pada Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang masih mulai merambat bangkit dengan
meringis kesakitan.
Bawuk Raga Ginting urungkan niat, dan ber-
paling pada bayangan yang menyongsongnya. Dan ber-
samaan dengan itu Bawuk Raga Ginting menjejak ta-
nah, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu telah berada
di belakang bayangan putih yang ternyata adalah Ratu
Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit nampak terkejut melihat ke-
cepatan lawan. Hingga sebelum dia sempat bergerak,
kedua tangan Bawuk Raga Ginting telah bergerak me-
notok jalan darah Ratu Sekar Langit bagian punggung
dan bahu, membuat gadis ini tegang kaku tak bisa
bergerak.
Bawuk Raga Ginting tertawa terkekeh panjang,
hingga matanya menyipit.
"Bangsat keji. Lepaskan diriku!" raung Ratu Se-
kar Langit keras. Namun gadis ini hanya bisa berteriak
tanpa dapat menggerakkan anggota tubuhnya.
Bawuk Raga Ginting tak menghiraukan teria
kan Ratu Sekar Langit, dia melangkah perlahan ke
arah Pendekar Mata Keranjang yang kini telah berdiri
dengan pelipis bergerak-gerak, dagunya terangkat me-
nahan amarah.
"Keparat! Bebaskan dia. Kalau tidak...." Pende-
kar Mata Keranjang tidak meneruskan ucapannya, ka-
rena Bawuk Raga Ginting telah menyela.
"Kalau tidak kenapa...?" tanya Bawuk Raga
Ginting sambil menyeringai. "Kalau kau berilmu tinggi,
tentunya kau bisa bebaskan kekasihmu itu. Hik...
hik... hik...!"
"Kau benar-benar cari gara-gara untuk mam-
pus!" bentak Pendekar Mata Keranjang seraya han-
tamkan tangan kirinya melepas pukulan 'Bayu Cakra
Buana' sedangkan tangan kanannya kibaskan kipas
ungu.
Sinar putih yang membawa suara gemuruh
dahsyat dan hawa panas serta angin deras segera me-
lesat menyambar ke arah Bawuk Raga Ginting yang
tampak melangkah ke arahnya. Sambil lepaskan puku-
lan, sepasang mata Pendekar Mata Keranjang tak ke-
siap memperhatikan sosok Bawuk Raga Ginting, dia
waspada jika sewaktu-waktu manusia pendek ini me-
rubah dirinya menjadi beberapa sosok.
Di seberang, melihat serangan datang padanya,
Bawuk Raga Ginting tersenyum. Lantas masih dengan
tersenyum manusia pendek ini dorong kedua tangan-
nya ke depan dengan gerak perlahan.
Sinar berwarna hitam kelam yang disertai asap
melesat keluar dari kedua tangan Bawuk Raga Ginting
menyongsong serangan Pendekar Mata Keranjang.
Keadaan di tempat itu mendadak redup gelap
karena bertemunya dua serangan. Dan bersamaan
dengan itu terdengar ledakan dahsyat.
Blarrr!
Sinar putih dan sinar hitam pecah dan lenyap
begitu bentrok di udara. Tanahnya bergetar hebat dan
rengkah-rengkah. Tubuh Ratu Sekar Langit yang tak
bisa bergerak tersapu hingga tiga tombak dan baru
terhenti ketika tubuhnya mengantuk sebatang pohon
besar.
Begitu gema ledakan lenyap dan keadaan sedi-
kit terang, tiba-tiba Bawuk Raga Ginting meloncat dan
tahu-tahu kedua tangannya telah mencengkeram bahu
kiri Pendekar Mata Keranjang!
Sambil memaki panjang pendek, Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 segera ayunkan tangan kanannya
untuk menghantam tubuh kecil Bawuk Raga Ginting
yang kini mengapung di udara dengan kedua tangan
mencengkeram bahunya. Namun begitu tangan kanan
Pendekar Mata Keranjang 108 bergerak menghantam,
kaki kecil Bawuk Raga Ginting bergerak memapasi.
Prakkk!
Astaga! Pendekar Mata Keranjang hampir tak
percaya. Tangkisan kaki mungil Bawuk Raga Ginting
itu ternyata mampu membuat tubuh Pendekar Mata
Keranjang berputar. Dan tatkala tubuhnya berputar,
Bawuk Raga Ginting menyentakkan tangannya yang
mencengkeram bahu. Hingga membuat putaran tubuh
Pendekar Mata Keranjang semakin deras.
Dalam keadaan berputar itulah tiba-tiba Bawuk
Raga Ginting meloncat ke udara. Lalu sepasang tan-
gannya dia satukan dan dengan gerak cepat dia han-
tamkan ke tangan kanan Pendekar Mata Keranjang
yang memegang kipas.
Pendekar Mata Keranjang meraung keras. Dan
bersamaan dengan itu tangan kanannya terasa dihan-
tam batangan pohon besar. Kipas ungunya terlepas,
dan jatuh di atas tanah. Namun dalam keadaan seke-
jap itu Pendekar Mata Keranjang sempat hantamkan
tangan kiri ke tubuh Bawuk Raga Ginting.
Tubuh Bawuk Raga Ginting melayang jauh.
Manusia pendek ini coba kerahkan tenaga untuk
menghentikan gerak laju tubuhnya, namun usahanya
sia-sia. Hingga sambil menjerit-jerit tubuhnya terus
melayang dan jatuh terkapar di atas tanah dengan ke-
pala terlebih dahulu, membuat rambut jabriknya sebe-
lah atas terpangkas rata. Dadanya berdenyut sakit dan
sukar untuk bernapas. Seraya bangkit, manusia pen-
dek ini batuk-batuk beberapa kali, lalu meludah ke ta-
nah. Ludah itu telah berwarna merah kehitaman, per-
tanda dia mengalami luka dalam cukup parah akibat
hantaman tangan kiri Pendekar Mata Keranjang.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang tak
jauh berbeda. Tubuhnya yang tadi berputar deras ak-
hirnya menukik deras menghujam tanah dengan bahu
terlebih dahulu, membuat pakaian di bagian bahunya
robek lebar dan bahu kirinya mengucur deras akibat
cengkeraman kedua tangan Bawuk Raga Ginting yang
ternyata berkuku runcing dan tajam!
"Manusia edan!" teriak Pendekar 108 sembari
bangkit meski dengan memegangi bahunya dan men-
cari-cari kipasnya.
Selagi pendekar murid Wong Agung ini menya-
pukan pandangannya berkeliling mencari kipasnya,
Bawuk Raga Ginting telah kirimkan serangan. Hingga
saat itu juga keadaan tempat itu menjadi gelap.
Dengan menahan rasa sakit dan terkejut, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 cepat pula hantamkan ke-
dua tangannya ke depan memapak serangan Bawuk
Raga Ginting.
Blarrr!
Kembali hutan kecil itu disentak dengan leda-
kan dahsyat. Pohon-pohon berderak tumbang, semen-
tara angin kencang menggemuruh bersiutan menderu-
deru menyambar ke sana kemari.
Saat keadaan jelas kembali, Pendekar Mata Ke-
ranjang terkejut.
"Sialan! Ke mana sirnanya manusia edan itu?!"
ujar Pendekar Mata Keranjang sambil melayangkan
pandangannya berkeliling. Namun hingga agak lama
matanya tidak menemukan sosok Bawuk Raga Ginting.
Dan Pendekar Mata Keranjang semakin tercengang
tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit juga tak terlihat di
tempatnya dia menggeletak.
"Bajingan. Dia kabur! Namun ke mana geran-
gan Ratu Sekar Langit...?" Dia lantas menarik napas
dalam-dalam. Sepasang matanya menyapu kembali
berkeliling, dan Pendekar Mata Keranjang 108 merasa
lega tatkala masih menangkap kipasnya yang tergele-
tak di atas tanah.
Dengan cepat Pendekar Mata Keranjang 108
berkelebat dan memungut kipas ungunya lalu dilipat
dan dimasukkan ke balik baju hijaunya.
Tatkala itulah, sepasang matanya melihat se-
buah tulisan di tanah. Tulisan itu tak karuan namun
masih bisa dibaca.
Kekasihmu kubawa. Kalau kau benar mencin-
tainya, kau pasti bisa menemukanku.
"Manusia gila! Apa maksud dia sebenarnya
dengan semua ini...? Jangkrik betul. Urusan satu be-
lum selesai kini timbul lagi urusan lain. Namun aku
harus meneruskan dahulu perjalanan ke lereng Gu-
nung Mahameru, mencari tahu keadaan Putri Tunjung
Kuning, karena bagaimanapun juga akulah yang me-
nyerahkan gadis itu pada Restu Canggir Rumekso yang
ternyata adalah tokoh sesat. Ah, kenapa aku selalu ter-
tipu melulu...?"
Seraya berpikir, Pendekar Mata Keranjang 108
bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Namun
baru dua langkah, dia menghentikan gerakan kakinya.
Sepasang ekor matanya melirik tajam, sementara telin-
ganya ditarik sedikit ke atas. Kedua tangannya siap
melepas pukulan. Dan begitu dapat menentukan letak
orang yang dirasa membuntuti, Pendekar Mata Keran-
jang cepat balikkan tubuh.
Pendekar Mata Keranjang 108 serta merta
urungkan niat untuk melepaskan serangan. Dia terli-
hat menarik napas dalam-dalam dan sesaat kemudian
tersenyum demi mengetahui siapa adanya orang yang
kini berada di hadapannya.
"Manik Angkeran!" seru Pendekar 108 seraya
melangkah mendekat.
Yang dipanggil hanya tersenyum seraya anggu-
kan kepala. Dia adalah seorang laki-laki setengah
baya. Namun jenggotnya telah panjang dan memutih.
Rambutnya demikian juga, panjang dan memutih. Dia
mengenakan jubah putih panjang di tangannya tam-
pak seuntai tasbih yang terus bergerak-gerak memutar
seiring bergeraknya tangan. Di lehernya juga terlihat
untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau yang
berkilau.
"Bagaimana kau selama ini...?" tanya Pendekar
Mata Keranjang 108 begitu dekat dengan laki-laki yang
baru datang yang bukan lain memang Manik Angke-
ran. Seorang tokoh putih sahabat Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang turut serta membasmi para tokoh go-
longan hitam waktu terjadi peristiwa diteluk Gonggong.
"Yakh. Aku baik-baik saja. Aku sangat gembira
sekali tanpa kuduga bisa bertemu denganmu lagi. Dan
lebih suka lagi tatkala aku dengar kabar bahwa kau te-
lah berhasil menumpas gerombolan Malaikat Berdarah
Biru. Ngg.... Bagaimana tentang gadis berjuluk Ratu
Sekar Langit yang dahulu pergi bersamamu itu?"
"Ya begitulah. Aku memang telah berhasil me-
numpas gerombolan Malaikat Berdarah Biru. Namun
seperti pada waktu di teluk Gonggong, dia masih ber-
hasil melarikan diri. Dan soal gadis itu, baru saja dia
bersamaku, tapi...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak
meneruskan kata-katanya.
"Tapi kenapa? Apa yang terjadi...? Kulihat kau
tadi juga sepertinya sedang tegang...."
Pendekar Mata Keranjang lantas menceritakan
perjalanannya bersama Ratu Sekar Langit dan perte-
muannya dengan Bawuk Raga Ginting.
"Kau menyebut Bawuk Raga Ginting!" kata Ma-
nik Angkeran setengah terkejut, begitu mendengar ce-
rita Pendekar Mata Keranjang.
"Kau harus berhati-hati menghadapi manusia
itu. Dia adalah seorang tokoh golongan sesat yang te-
lah lama tak terdengar kabar beritanya, namun dia
adalah tokoh yang ilmunya sukar dijajaki..."
"Kau benar. Namun aku tak habis pikir, kenapa
tanpa ujung pangkal tiba-tiba saja dia mencari gara-
gara bahkan tampaknya menginginkan nyawaku!"
Manik Angkeran berdehem beberapa kali, lalu
menarik napas dalam-dalam.
"Yang pernah kudengar, manusia pendek ini
menaruh dendam pada gurumu! Juga pada orang-
orang yang dahulu pernah mengucilkannya. Kau tahu?
Bawuk Raga Ginting adalah manusia yang diciptakan
Tuhan dengan keadaan kurang sempurna. Hanya
sayangnya, Bawuk Raga Ginting tak menyadari hal itu.
Dia terlalu ambisi. Hingga waktu itu katanya banyak
orang yang mengucilkannya. Bahkan orang yang diam-
diam dicintainya pun menghinanya. Waktu itu Bawuk
Raga Ginting lantas menghilang. Namun selang bebe-
rapa tahun kemudian muncul dan membuat semua
orang hampir tak percaya, karena dia telah menguasai
ilmu silat tinggi hingga waktu itu banyak orang rimba
persilatan tumbang di tangannya. Namun, pada akhir-
nya lantas tersiar kabar jika Bawuk Raga Ginting da-
pat dikalahkan oleh Wong Agung dan Ageng Panangka-
ran. Aku tak tahu apa masalahnya sampai Bawuk Ra-
ga Ginting bersengketa dengan Wong Agung dan Ageng
Panangkaran...."
Mendengar keterangan Manik Angkeran, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 angguk-anggukkan kepala.
"Kalau dia sekarang muncul lagi, dan tiba-tiba
ingin membunuhmu, maka kau tentu tahu apa sebab-
nya...," sambung Manik Angkeran pula.
"Hmm.... Lantas apakah kau juga tahu tentang
seseorang yang bernama Restu Canggir Rumekso...?"
tanya Pendekar Mata Keranjang.
Raut wajah Manik Angkeran kembali menam-
pakkan keterkejutan. Hingga untuk beberapa saat la-
manya sepasang matanya menatap pada Pendekar Ma-
ta Keranjang seakan ingin meyakinkan ucapan pemu-
da di hadapannya.
"Kau juga mempunyai sengketa dengan orang
itu...?!" Manik Angkeran balik bertanya.
"Sebenarnya tidak. Hanya saja sahabatku telah
kuserahkan padanya untuk diobati. Namun karena
aku lantas mendengar bahwa Restu Canggir Rumekso
adalah seorang tokoh sesat, aku berusaha untuk men-
carinya. Karena orang yang kuserahkan itu adalah
menjadi tanggung jawabku jika terjadi apa-apa den-
gannya!"
"Melihat nada kekhawatiran ucapanmu, apakah
sahabatmu itu juga seorang gadis muda, dan can-
tik...?"
Wajah Pendekar Mata Keranjang berubah agak
merah padam. Namun sesaat kemudian dia tersenyum
meski dalam hatinya dia menyumpah habis-habisan
demi dilihatnya Manik Angkeran berkata seraya terse-
nyum penuh arti.
Melihat perubahan wajah Pendekar Mata Ke-
ranjang yang meski hanya sesaat, Manik Angkeran ter-
tawa lebar.
"Kau tak perlu menjawab. Dari raut muka dan
nada bicaramu tadi aku tahu, sahabatmu adalah seo-
rang gadis muda berwajah cantik jelita, dan mungkin
kau jatuh cinta padanya...," Manik Angkeran meng-
hentikan ucapannya. Lantas matanya memandang ke
jurusan lain.
"Orang itu dugaannya hebat juga. Semoga dia
juga mengetahui tentang Ratu Sekar Langit, biar aku
memperoleh sedikit jalan...," membatin Pendekar Mata
Keranjang.
"Pendekar Mata Keranjang! Kalau kau memang
berurusan dengan orang bernama Restu Canggir Ru-
mekso, kau juga harus lebih hati-hati. Selain berilmu
tinggi dan ahli pengobatan, dia juga terkenal sangat li-
cin dan licik!" kata Manik Angkeran setelah agak lama
berdiam diri.
"Namun sungguh kau kali ini menghadapi situ-
asi sulit. Karena sebenarnya Restu Canggir Rumekso
adalah orang yang dahulu diam-diam dicintai oleh Ba-
wuk Raga Ginting...."
Pendekar Mata Keranjang membelalakkan sepasang matanya mendengar keterangan Manik Angke-
ran. Manik Angkeran lantas tengadahkan kepala meli-
hat ke atas. "Nampaknya sebentar lagi senja akan tu-
run. Kalau benar apa yang telah kau ceritakan, se-
baiknya kau lekas meninggalkan tempat ini. Perjala-
nanmu ke lereng Gunung Mahameru masih jauh. Lagi
pula kurasa kau telah rindu dengan gadismu yang kini
berada di tangan Restu Canggir Rumekso, Bukankah
begitu...?"
Meski dalam hati mengumpat habis-habisan,
Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya mengangguk
juga. Dia lantas maju selangkah, dan berkata.
"Aku berterima kasih atas keteranganmu. Me-
nuruti perkataan mu, memang sebaiknya aku pergi
sekarang. Tapi sebelumnya aku ingin tanya, apakah
kau tak ingin pesan sesuatu padaku. Gadis cantik un-
tuk pendamping hidup misalnya?"
Manik Angkeran tertawa lebar. Dalam hati laki-
laki ini membatin. "Anak ini benar-benar edan. Apa di-
kiranya aku tak bisa cari sendiri?" Setelah mendehem
beberapa kali Manik Angkeran berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Aku tahu, te-
man-teman perempuanmu memang cantik-cantik, na-
mun mungkin dari sekian banyak temanmu itu tak
ada yang cocok untukku. Apalagi yang bekas kau jadi-
kan kekasihmu. Jadi terpaksa aku harus cari sendi-
ri...."
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk
perlahan seraya tersenyum.
"Jika demikian, baiklah. Aku pergi sekarang.
Tapi tawaranku padamu tetap berlaku. Dan jika se-
waktu-waktu kau membutuhkan, kau dapat mencari-
ku!"
Habis berkata Pendekar Mata Keranjang 108
balikkan tubuh dan berkelebat meninggalkan Manik
Angkeran yang memandangi kepergiannya dengan ge-
leng-geleng kepala.
LIMA
SETELAH melakukan perjalanan selama tiga
hari tiga malam, dan setelah bertanya kian kemari ak-
hirnya Pendekar Mata keranjang 108 dapat menemu-
kan di mana Restu Canggir Rumekso berada.
Seraya melangkah perlahan-lahan dan tetap
waspada, Pendekar Mata Keranjang 108 mendatangi
bangunan tua di sudut desa yang menurut orang-
orang itu adalah tempat kediaman Restu Canggir Ru-
mekso.
"Hmm.... Benar apa yang dikatakan Manik
Angkeran. Restu Canggir Rumekso adalah seorang to-
koh hitam yang licin dan licik. Terbukti dari sekian
banyak penduduk kampung yang kutanyai, mereka
hampir semuanya mengenal, dan wajah mereka seper-
tinya tak menaruh curiga atau cemas tatkala kutanya-
kan tentang Restu Canggir Rumekso. Malah mereka
sepertinya menaruh hormat.... Hmm.... Menghadapi
orang demikian memang lebih sulit...."
Sambil membatin Pendekar Mata Keranjang
108 terus melangkah, namun sampai dekat bangunan,
tak ada tanda-tanda orang akan muncul atau sesuatu
yang mencurigakan.
"He...! Ada orangkah di dalam?" teriak Pendekar
Mata Keranjang keras begitu ditunggu agak lama be-
lum juga ada tanda-tanda orang. Namun seperti hal-
nya ketika dia menunggu, tak ada jawaban keluar dari
dalam bangunan.
"Aku harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin
ini adalah jebakan...," batin Pendekar 108 seraya me-
layangkan pandangan ke dalam bangunan lewat sela-
sela pintu depan yang sudah agak keropos.
Namun hingga matanya pedas dan kakinya le-
lah berdiri, orang yang diharapkan tak juga menam-
pakkan diri. Akhirnya dengan hati-hati sekali Pendekar
Mata Keranjang 108 memutuskan untuk masuk.
Dengan kaki kanan didorongnya pintu depan.
Ternyata pintu itu tak direkatkan pakai paku, hingga
tatkala kaki kanan Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
gerak mendorong, pintu itu jatuh terhumbalang den-
gan keluarkan suara berderak, membuat Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 terkejut sendiri.
"Sialan!" seru pendekar murid Wong Agung ini
sambil melangkah memasuki bangunan. Sejenak sepa-
sang matanya memandang berkeliling. Tak tampak pe-
rabotan rumah tangga di ruang itu. Yang ada hanyalah
sebuah batu berbentuk altar.
"Apakah orang itu sudah meninggalkan tempat
ini...? Di sana ada ruangan, akan kulihat...," dia lantas
melangkah ke sebuah ruangan yang pintunya juga
tampak tertutup.
Takut jika pintu itu seperti pintu bagian depan,
Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak meneliti sisi
pintu. Dan begitu merasa yakin pintu itu direkatkan,
dengan hati-hati didorongnya pintu itu menggunakan
kaki. Sementara kedua tangannya siap jika sewaktu-
waktu ada sesuatu mendadak muncul.
"Sial! Dia memang benar-benar telah tidak be-
rada di sini lagi...," gumam Pendekar Mata Keranjang
begitu pintu ruangan terbuka dan matanya tak juga
menemukan siapa-siapa.
Belum yakin benar, akhirnya Pendekar Mata
Keranjang melangkah masuk, di ruangan itu hanya
ada sebuah meja bundar agak besar, dan seutas tam-
bang besar yang dibiarkan berserakan begitu saja di
bawah meja.
"Hmm.... Ke mana gerangan Restu Canggir Ru-
mekso...? Dan Putri Tunjung Kuning bagaimana? Apa
dia tak mengalami halangan...?" seraya bergumam
sendiri, Pendekar Mata Keranjang 108 jongkok dan
meneliti tambang besar itu dengan lebih seksama. Ke-
cewa tak mendapati apa-apa Pendekar Mata Keranjang
108 lantas kembali berdiri. Saat itulah sepasang ma-
tanya melihat bekas darah yang telah mengering di
atas meja.
"Darah.... Darah siapa ini? Jangan-jangan Putri
Tunjung Kuning mengalami hal yang tidak-tidak...,"
merasa khawatir dengan keadaan Putri Tunjung Kun-
ing, Pendekar Mata Keranjang 108 memperhatikan
dengan seksama setiap sudut ruangan bahkan tak ja-
rang tangannya memukul-mukul tembok ruangan ta-
kut jika tembok itu memiliki ruangan rahasia.
Namun hingga lama memperhatikan dan me-
nyelidik Pendekar Mata Keranjang 108 tidak menemu-
kan apa-apa.
"Keparat! Ke mana sekarang aku harus menca-
rinya...? Hmm.... Bagaimana kalau sekarang aku mela-
cak jejak Ratu Sekar Langit yang dibawa Bawuk Raga
Ginting...? Tapi aku juga tak tahu di mana dia bertem-
pat tinggal. Ah, benar-benar sial aku!" seraya terus
bergumam menggerutu panjang pendek, Pendekar 108
melangkah keluar dari dalam bangunan, dan berkele-
bat pergi ke arah mana tadi dia datang.
***
Sementara itu di sebuah ruangan bawah tanah,
di bawah bangunan tempat tinggal Restu Canggir Ru-
mekso terlihat sesuatu pemandangan aneh. Seorang
anak laki-laki berusia dua tahun sedang menggelan-
tung terbalik dengan kedua pergelangan kaki terikat
jadi satu. Ikatan tali itu menjulur ke atas dan ditalikan
pada sebuah tiang yang terdiri dari ranting kecil. He-
batnya ranting itu tidak patah ataupun bergerak-
gerak, padahal anak yang menggelantung itu sesekali
tubuhnya bergoyang-goyang, bahkan tak jarang berpu-
tar-putar.
Meski anak ini baru berusia sepuluh hari tetapi
besarnya sama seperti anak berusia dua tahun. Ram-
butnya amat tebal dan panjang, hingga saat mengge-
lantung begitu, wajahnya menjadi tak terlihat jelas.
Hanya dari sela-sela rambutnya yang menjuntai pan-
jang itu terlihat sepasang mata yang berkilat-kilat.
Di depan anak yang menggelantung terbalik,
tampak seorang laki-laki tua sedang duduk bersila. Dia
mengenakan jubah hitam agak kusam. Rambutnya
panjang hingga punggung, hanya saja rambut itu tum-
buh mulai dari bagian belakang kepala. Sementara ke-
pala bagian samping dan atas tak ditumbuhi rambut
sama sekali.
"He... he... he.... Bagus, bagus!" terdengar nada
suara memuji dari laki-laki yang duduk bersila yang
bukan lain adalah Restu Canggir Rumekso, begitu me-
lihat anak kecil di hadapannya bergerak-gerak seperti
yang dia perintahkan.
"Seandainya waktunya telah tiba, tamu kita ta-
di yang tidak kita undang kedatangannya pasti sudah
merasakan bagaimana kedahsyatan mu. Ha... ha...
ha.... Namun aku tidak kecewa, suatu saat kelak kita
pasti akan dipertemukan lagi dengan manusia berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108 itu, dan kita akan
mendapatkan apa yang kita inginkan...," kata Restu
Canggir Rumekso seperti berkata pada dirinya sendiri.
Lantas laki-laki ini menggerakkan tangan ka-
nannya menyentak ke atas, ke arah ikatan yang ada di
ranting.
Tasss!
Tali pengikat di ranting putus tanpa menimbul-
kan bunyi. Anehnya anak laki-laki yang menggelan-
tung itu tidak jatuh, tubuhnya tetap terbalik dengan
ujung pergelangan kaki terikat jadi satu.
"Hmm.... Ilmu peringan tubuhmu rupanya telah
benar-benar tinggi.... Aku tak salah memilihmu.... Kau
benar-benar anak ajaib!"
Ternyata tubuh anak kecil itu tak jatuh karena
tubuhnya ditopang oleh untaian rambutnya yang men-
julur ke bawah menyentuh tanah. Bahkan rambut itu
ujung-ujungnya hanya sedikit menyentuh tanah!
Tidak berselang lama, tanpa didahului bicara
atau bentakan, Restu Canggir Rumekso sentakan
kembali kedua tangannya ke arah rambut anak kecil
yang tampak kaku menopang tubuhnya.
Wesss!
Sulit dipercaya, begitu serangkum angin deras
menyambar dari kedua tangan Restu Canggir Rumek-
so, anak kecil ini bergerak cepat membuat putaran sa-
tu kali di udara dan akhirnya berdiri dengan kedua
tangan sedekap di depan dada. Hingga sambaran an-
gin deras itu menghajar tempat kosong.
Begitu berdiri kedua tangan anak kecil ini me-
rapikan rambutnya yang rupanya menghalangi pan-
dangannya, hingga kini tampak jelas raut wajahnya.
Ternyata raut wajah anak laki-laki ini tampan dan
mungil, sama seperti anak-anak berusia sebaya dengannya. Hanya saja sepasang matanya terlihat berki-
lat-kilat beringas, sementara bibirnya tak henti-
hentinya mengeluarkan seringaian, serta tubuhnya te-
lah tampak berotot!
Anak laki-laki ini yang bukan lain adalah anak
Putri Tunjung Kuning memang lahir dan tumbuh se-
perti yang diharapkan dan diyakini Restu Canggir Ru-
mekso. Begitu lahir, perkembangan anak ini begitu pe-
sat. Dalam sepuluh hari perkembangan badannya su-
dah menyerupai anak berusia dus tahun.
Dan yang lebih membuat Restu Canggir Ru-
mekso bertambah girang, ternyata kecerdasan anak ini
sungguh luar biasa. Dia dapat segera menangkap apa
yang diajarkan dengan hanya melihat sepintas lalu.
Dan di lain pihak ternyata tubuh anak ini tahan terha-
dap pukulan dan tak mengeluarkan darah meski kulit
tubuhnya robek!
"Hmm.... Dua puluh hari lagi usiamu akan ge-
nap satu purnama. Aku sebenarnya sudah tak sabar
menanti hari. Aku ingin rasanya segera memasukkan
tenaga sakti ke dalam tubuhmu, namun karena tu-
buhmu tidak boleh tersentuh tangan manusia sebelum
usiamu genap satu purnama, maka aku harus bersa-
bar...."
Restu Canggir Rumekso lantas melirik pada
anak laki-laki yang berdiri tak jauh dari hadapannya.
Dan serta merta laki-laki tua ini sentakkan kedua tan-
gannya ke arah sang anak.
Wesss! Wesss!
Dua rangkum angin menggemuruh yang ber-
hawa panas melesat menerjang ke depan mengarah
pada anak kecil.
Melihat serangan, anak kecil ini keluarkan se-
ringai ganas, namun dia tak berusaha untuk bergerak
menghindar. Hingga tanpa ampun lagi serangan Restu
Canggir Rumekso menghantam telak tubuhnya. Na-
mun, seakan janggal, pukulan yang dilancarkan Restu
Canggir Rumekso yang mampu menumbangkan bebe-
rapa tokoh pada zamannya itu hanya mampu mem-
buat anak kecil ini bergoyang sedikit! Dan sesaat ke-
mudian telah tegak kokoh kembali.
"Bagus.... Bagus...," ujar Restu Canggir Rumek-
so seraya memberi isyarat pada sang anak untuk balik
menyerangnya. Hingga tak lama kemudian di ruang
bawah tanah itu terjadilah pertukaran jurus yang
mengakibatkan ruang itu porak poranda.
Demikianlah hari-hari terus dipergunakan oleh
Restu Canggir Rumekso untuk mendidik sang anak
dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya.
ENAM
DUA puluh hari kemudian.... Di lereng Gunung
Mahameru tampak dua bayangan berkelebat cepat me-
lewati sela-sela pohon yang berjajar rapat tak beratu-
ran. Dan hanya sekejap saja dua bayangan ini telah
sampai di kaki gunung. Lalu sepertinya sedang menge-
jar sesuatu, dua sosok bayangan ini terus berkelebat
ke arah barat.
Dan memang benar, begitu kedua bayangan ini
sampai pada sebuah hutan lebat, mereka menghenti-
kan gerakannya. Kedua bayangan ini ternyata adalah
seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan pa-
kaian jubah warna putih. Di atas kepalanya terlihat
caping dari daun pandan lebar, membuat wajahnya ti-
dak begitu jelas. Sementara satunya lagi adalah seo-
rang anak kira-kira berusia tujuh tahun.
Namun meski begitu tubuh anak ini tampak te-
gap dan berotot, dan yang lebih dari itu sepasang ma-
tanya berkilat-kilat dengan bibir terus menerus menye-
ringai.
Dua orang yang bukan lain adalah Restu Cang-
gir Rumekso dan anak muridnya ini tampak berdiri
dengan memandang lurus ke arah depan, di mana ter-
lihat sebuah belokan.
"Saatnya kita menggegerkan rimba persilatan!"
ujar Restu Canggir Rumekso dengan melirik pada anak
yang berdiri di sampingnya.
Sang anak yang diajak bicara diam tak menya-
hut. Hanya sepasang matanya balas melirik tanpa
memalingkan wajah.
Restu Canggir Rumekso tersenyum rawan, da-
lam hati dia berkata.
"Hmm.... Harapanku menjadi anak ini tak
punya perasaan dengan tidak memberinya air susu ibu
serta sentuhan tangan, rupanya berhasil. Dengan de-
mikian anak ini tak segan-segan melakukan tindakan
apa saja tanpa mempedulikan batas-batas...," orang
tua ini lantas berucap seraya matanya memandang lu-
rus ke arah belokan yang agak jauh di depannya.
"Abilowo!" panggil Restu Canggir Rumekso pada
sang anak. "Korban pertama mu akan segera datang!
Habisi mereka!"
Belum selesai Restu Canggir Rumekso berkata,
dari arah belokan muncul dua orang penunggang ku-
da. Kedua penunggang kuda ini serta merta menghen-
tikan kuda tunggangan masing-masing tatkala mereka
mengetahui dua orang sedang berdiri pada jalan yang
hendak mereka lalui dengan sikap menghadang.
Seraya menadangkan tangan masing-masing di
depan kening menangkis silaunya matahari, kedua penunggang kuda ini memandang ke depan dengan me-
nyipit dan membelalak. Keduanya lantas saling ber-
pandangan satu sama lain.
"Tampaknya ada tikus tua dan muda yang sen-
gaja menghadang perjalanan kita!" kata penunggang
kuda sebelah kanan. "Sudah beberapa hari ini me-
mang tanganku gatal-gatal, rupanya ada orang yang
ingin diantar tanganku pergi ke liang kubur!"
Penunggang kuda yang sebelah kiri tak me-
nyambuti ucapan temannya, sebaliknya sepasang ma-
tanya menatap tajam pada dua orang penghadang di
depannya dengan tak kesiap.
"Kau kenal dengan manusia bercaping lebar
berjubah kusam itu...?" tanya penunggang kuda sebe-
lah kiri ini tanpa berpaling pada temannya.
"Untuk mengirim orang ke neraka kita tak perlu
tahu siapa mereka!" sahut penunggang kuda sebelah
kanan seraya kepalkan kedua tangannya dan diperte-
mukan menjadi satu di depan dada.
Penunggang kuda sebelah kiri tertawa bergelak-
gelak. "Ucapanmu benar. Tapi tak ada salahnya jika
kali ini kita tanya dahulu siapa mereka. Karena seper-
tinya aku mengenali tikus yang tua!"
Penunggang sebelah kanan berpaling meman-
dang pada temannya. Lalu beralih pada orang yang
mengenakan caping lebar di hadapannya.
"Memakai caping lebar, rambut panjang, berju-
bah putih kusam.... Hmm...," dahi penunggang kuda
sebelah kanan ini mengerut. Matanya menyipit. Dan
setelah memperhatikan sekali lagi, penunggang kuda
ini serta merta tersenyum sinis. "Keparat ini rupanya
belum tewas ketika kita hajar di kotaraja beberapa pu-
luh tahun yang lalu. Restu Canggir Rumekso! Seorang
tokoh sesat segolongan kita yang sangat licik dan pengecut!" kata penunggang sebelah kanan perlahan, na-
mun masih bisa ditangkap oleh temannya.
"Betul, dia memang Restu Canggir Rumekso.
Manusia yang pernah kita pecundangi beberapa puluh
tahun yang lalu...," sahut penunggang kuda sebelah
kiri sambil alihkan pandangannya pada anak kecil di
samping Restu Canggir Rumekso. "Yang kecil itu kau
mengenalnya...?"
"Tidak!" jawab penunggang kuda sebelah ka-
nan. "Kita harus cepat sampai di kotaraja. Berarti sia-
pa pun orang yang menghadang kita, harus segera kita
selesaikan!"
Kedua penunggang ini sejenak saling berpan-
dangan, lalu seperti dikomando keduanya meneruskan
langkah. Baru kuda masing-masing bergerak melang-
kah, Restu Canggir Rumekso berteriak lantang.
"Resi Rangrang Geni, Resi Jala Sukma! Kema-
tian kalian sudah digariskan berada di hadapanku!"
Restu Canggir Rumekso lantas berpaling pada anak
kecil di sampingnya yang tadi dipanggil Abilowo.
"Habisi mereka"
Begitu suara perintah Restu Canggir Rumekso
lenyap, Abilowo segera merentangkan kedua tangan-
nya ke samping. Lalu dengan tersenyum menyeringai
dihantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuuut! Wuuut!
Dua rangkum angin deras laksana gelombang
amat dahsyat menggebrak ke arah dua penunggang
kuda di hadapannya yang tadi disebut Restu Canggir
Rumekso dengan nama Resi Rangrang Geni dan Resi
Jala Sukma.
Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma sa-
ma-sama berseru keras dan dengan menahan rasa ter-
kejut dalam diri masing-masing mereka segera melompat melayang dari kuda masing-masing selamatkan di-
ri. Kuda tunggangan mereka kaget dan segera pula me-
lompat ke depan. Namun tak urung bagian pantat ku-
da itu tersambar angin pukulan jarak jauh Abilowo,
membuat kedua binatang itu terbanting dan roboh di
atas tanah. Namun karena binatang malang itu tadi
masih sempat melompat, membuat badannya selamat
dari hantaman telak, hingga tak berapa lama kemu-
dian, kedua binatang malang itu bangkit dengan ter-
huyung-huyung sebelum akhirnya keluarkan ringki-
han keras dan menghambur kencang masuk ke dalam
hutan.
Sunyi sejenak. Lalu tak berapa lama kemudian
terdengar kekehan tawa keras dan panjang keluar dari
mulut Restu Canggir Rumekso.
"Rangrang Geni. Aku hampir tak percaya den-
gan anak itu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Resi Jala
Sukma. Resi Jala Sukma adalah seorang laki-laki be-
rusia lanjut. Dia mengenakan pakaian dari kain sutera
yang diselempangkan menyilang di bahu kirinya, se-
mentara tubuh kanannya terbuka. Kepalanya besar
dan tak ditumbuhi rambut sama sekali. Sedangkan
temannya Resi Rangrang Geni, adalah juga seorang la-
ki-laki, usianya tak jauh beda dengan Resi Jala Suk-
ma, yang membedakan antara kedua orang ini adalah
warna pakaian yang dikenakannya. Resi Jala Sukma
memakai pakaian warna merah, sedangkan Resi Ran-
grang Geni warna biru gelap.
Konon, kedua resi ini adalah orang-orang pan-
dai besi yang terkenal. Hingga keduanya dipanggil oleh
raja di kawasan barat untuk dijadikan resi-resi kera-
jaan. Namun tatkala diketahui selain pandai besi juga
berilmu tinggi, pada akhirnya sang raja menjadikan
kedua orang ini sebagai penasihatnya. Dan nama kedua orang ini semakin disegani ketika keduanya ber-
hasil menumpas pemberontak yang salah satu pimpi-
nannya adalah seorang yang waktu itu sangat ditakuti
yaitu Restu Canggir Rumekso.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, kedua
orang itu tampaknya terpengaruh dengan lingkungan.
Sikap dan perbuatan kedua orang ini sedikit demi se-
dikit berubah. Malah mereka bersahabat dengan to-
koh-tokoh golongan hitam. Hingga pada akhirnya ke-
dua orang ini menjadi lain. Keduanya menjadi beringas
dan tak segan-segan menjatuhkan tangan pada siapa
saja!
"Persetan dengan tikus cilik itu siapa lagi! Lagi
pula apa yang kita takutkan?!" berkata Resi Rangrang
Geni lalu berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri lima
langkah di hadapan Restu Canggir Rumekso dan Ab-
ilowo. Sementara itu Resi Jala Sukma tak tinggal diam.
Dia pun ikut berkelebat dan berdiri menjajari sahabat-
nya.
"Tak perlu ku ingatkan. Kalian mestinya telah
tahu masalah di antara kita beberapa puluh tahun si-
lam. Nakh, sekarang sebelum menghadapi aku, akan
ku coba kehebatan kalian dengan muridku ini!" lantas
Restu Canggir Rumekso melirik pada Abilowo dan ber-
kata singkat.
"Habisi mereka!"
Tanpa berbicara, Abilowo langsung melompat
ke depan dan serta merta kirimkan serangan dengan
hantaman kedua tangannya ke arah kepala Resi Ran-
grang Geni dan Resi Jala Sukma.
Kedua orang yang diserang, tahu kalau hanta-
man tangan anak kecil itu bukan sembarang hanta-
man, maka mereka berdua segera rundukkan kepala
masing-masing. Hingga hantaman tangan Abilowo menerpa tempat kosong sejengkal di atas kepala Resi
Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma.
Namun tak urung kedua orang ini dibuat terpe-
rangah. Meski hantaman kedua tangan Abilowo tak
mengenai sasaran, tapi bias sambarannya mampu
membuat kedua resi ini terhuyung-huyung dan un-
durkan kaki masing-masing ke belakang satu tindak.
Mendapati hantaman tangannya tak mengenai
sasaran, Abilowo keluarkan dengusan keras. Bibirnya
menyeringai dengan tatapan berkilat-kilat marah.
Dan sepertinya ingin segera menghabisi lawan,
Abilowo lantas kembali maju dan dengan bentakan ke-
ras kaki kanannya dia sapukan berputar dari kiri ke
kanan. Yang dituju kali ini adalah Resi Jala Sukma.
Wesss!
Merasa penasaran, kali ini Resi Jala Sukma ti-
dak lagi menghindar. Dengan tegakkan kembali tu-
buhnya, resi ini sambut sapuan kaki Abilowo dengan
hujamkan tangan kanannya.
Prakkk!
Terdengar benturan hebat ketika tangan sang
resi menyambut kaki Abilowo. Sang resi terkejut bukan
alang kepalang. Raut wajahnya meringis menahan sa-
kit di pergelangan tangan. Sementara tubuhnya terdo-
rong dua langkah ke belakang.
Melihat sahabatnya bisa dibuat terdorong dan
meringis menahan sakit, Resi Rangrang Geni melompat
ke depan, memanfaatkan situasi karena dilihatnya
sang anak hendak tarik kakinya yang baru saja ben-
trok dengan tangan Resi Jala Sukma.
Sambil melompat, Resi Rangrang Gent lu-
ruskan sepasang tangannya menjurus pada dada Ab-
ilowo.
Seeett!
Namun Resi Rangrang Geni terkesima. Seran-
gannya yang begitu cepat dan pernah merontokkan
beberapa tokoh itu hanya menyambar angin di sebelah
kanan sang anak. Malah tatkala serangannya lolos,
dan belum sempat bergerak hendak melancarkan se-
rangan susulan, Abilowo telah lentingkan tubuhnya ke
udara setinggi setengah tombak, dan dengan gerakan
yang sukar diikuti pandangan mata biasa, Abilowo
menukik deras dengan kaki lurus. Dan tahu-tahu se-
pasang kaki anak ini telah menjepit leher Resi Ran-
grang Geni.
Seraya meraung keras Resi Rangrang Geni pu-
tar-putar tubuhnya. Anehnya tubuh Abilowo bukannya
jatuh terhumbalang, malah sang resi merasakan le-
hernya hendak copot. Hingga dia menghentikan puta-
ran tubuhnya dan dengan sentakan keras kedua tan-
gannya dia hempaskan ke atas menepis kedua kaki
sang anak. Namun sebelum tangan Resi Rangrang Ge-
ni menepis, Abilowo telah sentakkan tubuhnya ke
samping dengan keras seraya melompat. Akibatnya tu-
buh Resi Rangrang Geni terbanting deras menghujam
tanah! Sementara di lain pihak, Abilowo mendarat
dengan kaki kokoh.
Abilowo tampak melangkah perlahan mendekat,
membuat Resi Rangrang Geni yang masih berusaha
bangkit terkejut apalagi ketika dilihatnya sepasang ma-
ta lawan berkilat-kilat merah. Resi ini lantas berpaling
cepat pada sahabatnya seakan minta pertolongan.
Mengerti isyarat bahaya mengancam sahabat-
nya, Resi Jala Sukma segera takupkan kedua tangan-
nya di depan dada. Lantas sesaat kemudian kedua
tangan itu dihantamkan ke depan, ke arah Abilowo
yang kini semakin dekat dengan tempat Resi Rangrang
Geni.
Serangan angin deras bersuara menggeledek
yang disertai kilatan-kilatan menyilaukan segera ke-
luar menyambar ke arah Abilowo.
Mendapat serangan berbahaya, Abilowo tam-
paknya tidak berusaha untuk menghindar. Malah dia
menghentikan langkah seakan hendak menyongsong
serangan dengan tubuhnya.
Benar saja, Abilowo memang tak berusaha
mengelak apalagi menangkis. Dia diam tak bergeming
menyongsong serangan Resi Jala Sukma.
Hingga tanpa ampun lagi hantaman tangan Re-
si Jala Sukma menghajar tubuh Abilowo.
Desss!
Ketika pukulan Resi Jala Sukma menghajar tu-
buh Abilowo, asap hitam segera melingkupi tempat di
sekitar Abilowo. Hal ini bisa dimengerti, karena saat itu
Resi Jala Sukma melancarkan pukulan 'Sukma Hitam'.
Sebuah pukulan sakti yang akan mengeluarkan asap
hitam jika mengena sasaran, dan setelah itu orang
yang terbungkus asap hitam akan melayang dan me-
nyuruk tanah dengan tubuh hangus dan nyawa le-
nyap!
Begitu tahu pukulannya menghajar lawan, dan
asap hitam sudah membungkus tubuh lawan, Resi Ja-
la Sukma tertawa terkekeh-kekeh. Dia sudah bisa
membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Namun kekehan tawa Resi Jala Sukma terpu-
tus tiba-tiba. Malah kedua kakinya kini mundur dua
tindak ke belakang. Sepasang mata Abilowo meman-
dang tak kesiap.
Apa yang dibayangkan Resi Jala Sukma ternya-
ta keliru. Abilowo yang baru saja terhantam serangan
'Sukma Hitam' tetap kokoh berdiri. Pakaian yang dike-
nakannya pun tak hangus sama sekali. Malah sepasang matanya menyengat tajam berganti pada Resi Ja-
la Sukma dan Resi Rangrang Geni.
"Ha... ha... ha...! Rangrang Geni, Jala Sukma.
Kemampuan kalian ternyata tidak ada kemajuannya.
Kalian menghadapi anak didik ku saja sudah morat-
marit. Jadi terimalah kematian kalian hari ini dengan
lapang dada! Ha... ha... ha...!" kata Restu Canggir Ru-
mekso dengan tertawa gelak-gelak, hingga air matanya
keluar.
Meski dalam hati masing-masing resi ini diam-
diam kecut, namun karena mereka sudah pernah ma-
lang melintang berpuluh tahun dalam rimba persila-
tan, membuat mereka tidak begitu saja mudah menye-
rah kalah. Malah keduanya kini segera melompat agak
menjauh dan berdiri berjajar.
"Aku tak habis pikir anak apa ini. Pukulanku
tidak ada apa-apanya ketika menghajar dirinya...!" ka-
ta Resi Jala Sukma tanpa menoleh.
"Aku pun heran. Dari mana bang sat itu mem-
peroleh murid demikian hebat?" tanya Resi Rangrang
Geni dengan pandangan menyorot pada Abilowo yang
kini melangkah mendekati tempat mereka.
"Kita coba menyerang bersama-sama!" kata Resi
Jala Sukma. Resi Rangrang Geni mengangguk perla-
han. Lantas kedua orang ini sama-sama keluarkan
bentakan dahsyat. Dan bersamaan dengan itu, kedua
orang ini dorong tangannya masing-masing ke depan.
Larikan-larikan sinar berkilau berhawa panas
segera bersiutan menggebrak ke arah Abilowo. Namun
kali ini pun Abilowo tak juga berusaha berkelit. Dia te-
tap melangkah seakan tak ada serangan yang menuju
ke arahnya. Hingga tanpa ampun lagi hantaman tan-
gannya yang telah dialiri tenaga dalam tinggi dari Resi
Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma itu menghujam
telak ke tubuh Abilowo.
Sebenarnya Restu Canggir Rumekso khawatir
juga melihat Abilowo tak berusaha mengelak. Karena
dia tahu, bahwa jika serangan kedua orang ini telah
menyatu, sukar orang bisa selamat. Dia yang pernah
dipecundangi kedua resi ini pada beberapa puluh ta-
hun yang lalu pernah merasakan hal itu, untung saja
waktu itu Restu Canggir Rumekso telah menguasai il-
mu pengobatan, jika tidak nyawanya mungkin sudah
amblas waktu itu.
Namun untuk meyakinkan kedigdayaan murid-
nya, akhirnya Restu Canggir Rumekso tak hendak
memperingati muridnya untuk menghindar. Dia hanya
melihat, meski dalam hati dicekam perasaan khawatir.
Di lain pihak, Abilowo yang terhantam serangan
kedua orang resi mendengus keras. Tubuhnya ter-
humbalang satu tombak ke belakang dan roboh meng-
hantam tanah.
Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma kelu-
arkan tawa pendek. Kepuasan nyata jelas meraupi raut
wajah mereka. Sementara Restu Canggir Rumekso ter-
belalak kaget.
Namun semua itu hanya sesaat. Tak lama ke-
mudian, ganti Restu Canggir Rumekso yang tertawa
dengan mata mengejek, sementara kedua orang resi itu
putus tawa masing-masing berganti dengan belalakkan
mata tak percaya.
Abilowo tanpa mengeluarkan keluhan, bangkit.
Tubuhnya tak mengalami cedera sama sekali dan tak
setetes darah pun yang mengalir.
"Jala Sukma. Kita rupanya tak mampu meng-
hadapi anak gila ini. Lebih baik kita segera kabur ting-
galkan tempat ini!" kata Resi Rangrang Geni seraya
memperhatikan anak yang kini mulai melangkah kem
bali ke arahnya.
"Betul. Kita harus segera meloloskan diri. Dan
untuk memecahkan perhatiannya, kau ke sebelah se-
latan, aku ke sebelah utara...," jawab Resi Jala Sukma
seraya melirik keadaan sekeliling.
Habis berkata, Resi Jala Sukma segera ancang-
ancang hendak berkelebat, demikian juga Resi Ran-
grang Geni. Namun naluri sang anak rupanya tahu.
Sebelum kedua orang ini berkelebat melarikan diri, Ab-
ilowo telah jejakkan sepasang kakinya. Tubuhnya me-
luncur deras ke depan, dan berdiri di tengah-tengah
dua resi ini, dan belum sempat kedua resi berbuat se-
suatu, Abilowo telah melesatkan dirinya ke atas den-
gan kedua kaki dipentangkan ke samping kiri dan ka-
nan, menghantam iga kanan Resi Ranggang Geni dan
iga kiri Resi Jala Sukma.
Kedua orang ini masih berusaha menangkis,
namun gerakan tangan menangkis mereka terlambat.
Hingga saat itu juga terdengar raungan keras bersahu-
tan.
Tubuh Resi Rangrang Geni terbanting ke kiri
sedangkan Resi Jala Sukma terbanting ke kanan. Dan
belum sempat kedua orang ini merambat bangkit, Ab-
ilowo telah banting-bantingkan kedua kakinya ke atas
tanah.
Bumm! Bummm! Bummm!
Tanah di hutan itu laksana didera gempa dah-
syat, hingga membuat tanahnya rengkah-rengkah
bahkan tak jarang yang terbongkar. Bersamaan itu,
Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma berubah
tampang masing-masing menjadi pucat pasi, karena
tanah di bawahnya terasa bergerak hebat membelah.
Mereka berdua berusaha mengerahkan tenaga dalam
untuk segera bangkit dan menghentikan gerak tubuh
nya yang sedikit demi sedikit bagai tersedot masuk ke
dalam tanah yang semakin menganga di bawah tubuh
masing-masing.
Namun usaha mereka tampaknya sia-sia bela-
ka. Karena Abilowo menambah tenaga dalamnya pada
kedua kaki yang terus menerus dibanting-bantingkan.
Hingga tak lama kemudian kedua resi ini menjerit ke-
ras bersamaan dengan masuknya tubuh keduanya ke
dalam tanah.
Melihat kedua lawan telah masuk ke dalam ta-
nah, Abilowo menghentikan bantingan kakinya. Den-
gan mata tetap nyalang beringas, dia dorongkan kedua
tangannya ke tanah rengkah tempat kedua resi masuk.
Tanah rengkah itu mendadak laksana didorong
kekuatan dahsyat dan perlahan-lahan bergerak menu-
tup!
Terdengar beberapa umpatan dan raungan ke-
ras bersahutan, makin lama makin lemah sebelum ak-
hirnya lenyap dengan menutupnya tanah tempat ke-
dua resi masuk dan hanya menyisakan empat perge-
langan tangan yang tampak kaku di atas tanah!
"Ha... ha... ha... Bagus.... Bagus...," kata Restu
Canggir Rumekso sambil melangkah mendekati Abilo-
wo. Diusapnya kepala anak itu, dan disibakkan ram-
butnya yang menghalangi pandangannya. Lalu dengan
tersenyum lebar dia berkata.
"Abilowo, kita teruskan perjalanan ini. Namamu
dan namaku akan segera ditakuti bahkan oleh setan
sekalipun. Ha... ha... ha...!"
Seakan mengerti perkataan orang di samping-
nya, Abilowo mengangguk perlahan. Lantas keduanya
pun melangkah perlahan meninggalkan tempat itu
dengan tawa tetap terdengar keluar dari mulut Restu
Canggir Rumekso.
TUJUH
SEORANG pemuda tampan mengenakan pa-
kaian hijau yang dilapis dengan baju dalam lengan
panjang warna kuning, dan bukan lain adalah Aji Sa-
putra alias Pendekar Mata Keranjang 108, terlihat me-
langkah hendak memasuki sebuah dusun yang tak
jauh di depannya.
"Sudah dua puluh hari menyelidik dan tanya ke
sana kemari, namun aku belum juga mendapatkan
kepastian di mana beradanya Restu Canggir Rumekso
serta Putri Tunjung Kuning.... Hmm.... Ke mana lagi
aku harus mencari...?" membatin murid Wong Agung
ini seraya terus melangkah perlahan.
Selagi Pendekar Mata Keranjang. 108 batinnya
disarati dengan berbagai hal yang belum bisa dipecah-
kannya, dari arah belakang dia mendengar derap la-
dam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya.
"Aku masih punya urusan yang belum selesai.
Menilik derap langkahnya, yang datang dari belakang
ini adalah beberapa orang. Lebih baik aku menyingkir
dulu, daripada ada masalah lagi...."
Berpikir begitu, Aji segera berkelebat masuk ke
balik semak belukar, dan mengendap-endap memper-
hatikan siapa gerangan yang datang.
"Hmm.... Melihat pakaian seragam yang mereka
kenakan, mereka adalah pasukan kerajaan...," duga
Pendekar Mata Keranjang 108 begitu rombongan ber-
kuda melintas di dekat tempatnya sembunyi. Rombon-
gan berkuda ini ternyata terdiri dari delapan orang,
semuanya mengenakan pakaian seragam kerajaan.
Hanya satu orang di antaranya yang mengenakan pa-
kaian lain. Dia berada paling belakang. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kurus dan tinggi luar biasa.
Raut wajahnya hampir tak jelas kelihatan, karena wa-
jah laki-laki dipenuhi dengan jambang dan kumis le-
bat. Sepasang matanya sipit. Hidungnya kecil tetapi
bibirnya begitu tebal dan lebar. Kepalanya tak ditum-
buhi rambut sama sekali.
Pendekar Mata Keranjang 108 dongakkan kepa-
la, memandang langit seraya coba menduga-duga siapa
adanya laki-laki berpakaian dan bertampang lain dari
rombongan berkuda.
"Tubuh tinggi kurus, rambut tak ada sama se-
kali di kepalanya, bibir tebal dan lebar, Hmm.... Aku
tak bisa mengenalinya, tapi melihat mereka berbon-
dong-bondong dan tergesa-gesa, pasti ada sesuatu
yang penting. Namun ah, peduli apa dengan mereka....
Aku tak ada urusan dengan pasukan kerajaan...."
Setelah rombongan lewat, Aji segera keluar dari
tempat persembunyiannya. Memandangi rombongan
yang terus berpacu memasuki dusun.
"Derap langkah mereka tampaknya lenyap.
Hmm.... Barangkali mereka singgah di kedai. Aku se-
benarnya juga sudah lapar, namun tak enak rasanya
makan bersama-sama dengan pasukan kerajaan. Lebih
baik aku mencari sumber air, sambil menunggu rom-
bongan tadi meninggalkan kedai...," Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 lantas putar tubuhnya, melangkah ke se-
buah danau berair jernih yang tak jauh dari tempatnya
bersembunyi tadi.
Sementara itu, dugaan Pendekar Mata Keran-
jang 108 benar adanya. Rombongan berkuda ini ber-
henti di sebuah kedai besar yang berhalaman luas. Se-
telah menambatkan kuda masing-masing, rombongan
ini satu persatu memasuki kedai.
Melihat siapa yang datang, pemilik kedai segera
memberi isyarat pada para pelayan untuk segera me-
nyambut. Para pengunjung kedai yang saat itu ramai
segera menyelesaikan makanannya masing-masing
dan keluar satu persatu dengan bersungut-sungut.
Melihat sikap para pengunjung kedai, kesepu-
luh orang berseragam kerajaan saling pandang satu
sama lain. Lalu meledaklah tawa mereka, keras dan
panjang bersahut-sahutan.
"Apa tampang kita mirip hantu pocong hingga
orang-orang tadi sampai lari ketakutan. He...?" kata
salah seorang sambil menyeret kursi kayu dan meng-
hempaskan tubuhnya hingga kursi itu berderak-derak.
"He pelayan, sediakan untuk kami makanan
dan minuman. Cepat!" kata salah seorang lainnya pada
dua orang pelayan yang datang hendak menyambut.
"Untukku sediakan satu bumbung besar arak
murni!" seru laki-laki yang duduk sendirian dan ber-
pakaian serta bertampang lain itu. Meski dia berpa-
kaian lain, namun tampaknya dia adalah pimpinan
rombongan, terbukti ketika dia angkat bicara ke dela-
pan orang berseragam itu serta merta menghentikan
tawa masing-masing.
Ketika beberapa pelayan sibuk menyiapkan
makanan dan minuman serta membersihkan meja,
terdengar seseorang berkata dari ambang pintu kedai.
"Kami juga perlu makan dan minum. Sediakan
seperti pesanan tamu-tamu agung ini!"
Ke delapan orang berseragam, yang ternyata
adalah pasukan prajurit kerajaan sama-sama paling-
kan kepala masing-masing ke arah pintu. Hanya laki-
laki yang duduk sendirian tak memandang, malah dia
memandang ke jurusan lain.
Ke delapan prajurit melihat dua orang melang-
kah masuk kedai, lalu tanpa memandang kedua orang
ini memilih duduk agak menjauh. Yang satu adalah
seorang laki-laki mengenakan caping lebar. Sementara
satunya adalah seorang anak yang bertubuh seperti
anak tujuh tahun. Berbadan tegap dan bermata tajam.
Laki-laki yang duduk sendirian dan menjadi
pimpinan rombongan melirikkan sepasang matanya.
Dari nada bicara dan sikap, laki-laki ini segera me-
nangkap gelagat buruk pada kedua orang yang baru
masuk, yang bukan lain adalah Restu Canggir Rumek-
so dan Abilowo. Namun laki-laki berjambang dan ber-
kumis lebat serta bertubuh tinggi kurus ini menam-
pakkan sikap tenang.
"Rasa-rasanya aku mengenal siapa laki-laki
bercaping itu...," membatin laki-laki tinggi kurus sam-
bil mendehem beberapa kali. Dia lantas mendongak
sambil berpikir terus mengingat-ingat.
"Benar! Aku ingat. Dia pasti manusia bernama
Restu Canggir Rumekso bekas pimpinan pemberontak
yang berhasil ditumpas oleh Kakang Resi Rangrang
Geni dan Kakang Resi Jala Sukma pada beberapa pu-
luh tahun silam. Hmm.... Kukira anak yang bersa-
manya...? Aku tak bisa mengenalinya. Ada apa dia
muncul kembali...? Ingin melakukan makar lagi?" laki-
laki tinggi kurus batinnya disemaki beberapa dugaan.
"Kakang Resi Rangrang Geni dan Kakang Resi Jala
Sukma, seharusnya mereka berdua kemarin telah
sampai di kotaraja. Hingga tak merepotkan aku untuk
menyusulnya.... Apa mereka dapat halangan di jalan?"
"Abilowo! Puaskan minum mu kali ini, karena
minuman itu adalah minuman terakhir yang kau rasa-
kan!" tiba-tiba Restu Canggir Rumekso berkata.
Nadanya memang ditujukan pada anak yang
duduk di hadapannya, namun wajah dan matanya lu-
rus menatap pada laki-laki tinggi kurus.
Laki-laki tinggi kurus tersentak kaget. Dia sege-
ra palingkan wajah. Hingga untuk beberapa saat la-
manya terjadi bentrok pandangan antara Restu Cang-
gir Rumekso dan laki-laki tinggi kurus.
Laki-laki tinggi kurus tersenyum sinis. Lantas
menyapukan pandangan pada prajurit, dan berkata.
"Prajurit! Hari ini kalian akan mendapatkan
hadiah besar. Domba yang berpuluh tahun menjadi
buruan kita, sedang siap menyerahkan nyawanya!"
Para prajurit yang tak mengerti maksud kata-
kata laki-laki tinggi kurus hanya saling pandang satu
sama lain. Lantas menyantap hidangan yang kini telah
dihidangkan di meja mereka.
"Abilowo!" kata Restu Canggir Rumekso dengan
suara keras, hingga semua orang yang ada di dalam
kedai mendengar. "Delapan kecoak itu sudah terlalu
kenyang makan enak. Jangan sampai makanan kedai
ini masuk seluruhnya dalam perut mereka. Sisakan
makanannya untuk anjing-anjing jalanan yang lebih
terhormat dari kecoa-kecoa itu!"
Sekonyong-konyong ke delapan kepala prajurit
melengak dan menoleh pada Restu Canggir Rumekso
dan Abilowo. Mata-mata mereka menyengat tajam
memandang silih berganti pada dua orang ini. Dua
orang di antaranya tampak berdiri dan dengan langkah
lebar keduanya mendekati meja Restu Canggir Rumek-
so.
"Orang tua! Buka matamu lebar-lebar. Kau ta-
hu sedang berhadapan dengan siapa saat ini, he...?!"
kata salah seorang sambil siap cabut golok dari selipan
bajunya.
Restu Canggir Rumekso tertawa gelak-gelak
mendengar ucapan prajurit. "Sedang berhadapan den-
gan siapa?" ulang Restu Canggir Rumekso disela tawanya. "Apa kau tadi tidak dengar ucapanku. Dengar
baik-baik. Aku berhadapan dengan manusia-manusia
yang lebih hina dari anjing jalanan!"
"Keparat!" bentak sang prajurit seraya cabut go-
loknya dan serta merta dibabatkan pada Restu Canggir
Rumekso. Sementara itu keenam prajurit lainnya sege-
ra pula berdiri dan melangkah ke arah meja Restu
Canggir Rumekso lalu berdiri mengurung.
Mendapati babatan golok, Restu Canggir Ru-
mekso tak berusaha mengelak. Dia hanya angkat tan-
gannya dan secepat kilat disentakkan ke pergelangan
tangan sang prajurit.
Tasss!
Prajurit itu berseru tertahan. Pegangan pada
goloknya terlepas, membuat golok itu mencelat dan
menancap pada meja. Di lain kejap, Restu Canggir
Rumekso angkat pantatnya, dan kaki kirinya menen-
dang kursi yang didudukinya.
Settt!
Kursi itu meluncur deras ke arah prajurit yang
tadi hendak membabat, karena sang prajurit tidak
menduga, hingga dia tak punya kesempatan untuk
menghindar, hingga tanpa halangan lagi kursi itu
menghantam kakinya, membuat jatuh bergedebukan
di lantai kedai.
Seett! Seett!
Tujuh orang prajurit kontan mencabut golok
masing-masing dan dengan gerak cepat ketujuh orang
ini langsung menghujamkan golok masing-masing ke
arah Restu Canggir Rumekso.
Bersamaan dengan gerak ayunan tangan ketu-
juh prajurit, Abilowo yang sedari tadi hanya meman-
dang dengan tatapan tajam bergerak cepat. Tubuhnya
berkelebat lenyap dari pandangan. Dan tahu-tahu kejap itu juga terdengar jeritan tujuh kali berturut-turut.
Tubuh ketujuh prajurit itu mental dan mence-
lat masing-masing dua tombak ke belakang, di anta-
ranya ada yang menumbuk meja dan kursi serta tiang
kedai, hingga saat itu terdengar berderaknya meja-
meja patah, serta pecahnya beberapa piring.
Abilowo kini tegak di samping Restu Canggir
Rumekso dengan mata nyalang memandang ketujuh
prajurit. Bibirnya menyeringai tak henti-henti. Dan di
tangannya tergenggam tujuh golok!
Restu Canggir Rumekso makin ngakak. Semen-
tara diam-diam laki-laki kurus tinggi membelalakkan
sepasang matanya yang sipit. Dia hampir saja tidak
mempercayai apa yang baru saja dilihat. Namun dia
menindih perasaan terkesimanya dengan tersenyum
sinis.
Di lain pihak, ketujuh prajurit nyalinya meng-
keret seketika. Namun salah satu dari mereka, yakni
yang tadi terhajar kursi Restu Canggir Rumekso berte-
riak lantang.
"Jangan takut! Dia hanya anak kecil"
Meski nyali mereka telah lumer, melihat salah
seorang temannya memberi semangat, serta merta me-
reka pun berdiri kembali dan dengan tampang masing-
masing merah padam, mereka pun merangsek maju
seraya hantamkan tangan masing-masing ke arah Ab-
ilowo.
Terdengar suara menggereng dari mulut Abilo-
wo. Dia tak bergerak sama sekali mendapati serangan
hantaman tangan para prajurit itu. Namun sejengkal
lagi tangan-tangan itu menghantam tubuhnya, Abilowo
bergerak memutar dengan cepat.
Jeritan menyayat terdengar menyalak berturut-
turut. Begitu jeritan itu lenyap, tampak tujuh prajurit
roboh dengan perut masing-masing tertancap golok!
Sementara yang satu tubuhnya hangus dengan tangan
hampir sempal!
Melihat keadaan, si empunya kedai serta para
pelayan segera menghambur keluar melarikan diri.
"Jambu Naga!" seru Restu Canggir Rumekso
pada laki-laki tinggi kurus yang masih tampak duduk
di mejanya.
"Cepat bunuh dirimu dengan tanganmu sendi-
ri!" seraya berkata Restu Canggir Rumekso lemparkan
salah satu golok yang dicabutnya dari salah seorang
prajurit ke meja laki-laki tinggi kurus yang dipanggil
dengan Jambu Naga.
"Bedebah! Kau kira aku takut menghadapi ma-
nusia macam kau dan anjing kecilmu itu!" ucap Jam-
bu Naga sambil berdiri dan melesat keluar kedai.
"Abilowo! Habisi bapak anjing-anjing itu!" kata
Restu Canggir Rumekso seraya melangkah menuju
ambang pintu kedai.
Jika Restu Canggir Rumekso melangkah perla-
han hendak keluar dari kedai, tak demikian halnya
dengan Abilowo. Seakan tak sabar, bocah ini segera
berkelebat ke udara, menembus langit-langit kedai dan
serta merta melayang turun dengan kirimkan serangan
hantaman kedua tangannya pada Jambu Naga yang
tampak berdiri menunggu di halaman kedai.
Wuutt! Wuutt!
Dengan menahan rasa terkejut, Jambu Naga
segera berkelit rebahkan diri ke samping. Hampir seja-
jar tanah, kedua tangan laki-laki kurus ini menyentak
ke bawah, membuat tubuhnya membumbung ke uda-
ra. Dari udara setelah membuat gerakan jungkir balik
dua kali, sepasang kakinya yang panjang menyapu de-
ras ke arah kepala Abilowo.
Abilowo keluarkan dengusan marah, karena se-
rangannya dapat dihindari. Tapi mendapati serangan
balik ini dia tak bergerak sedikit pun. Hingga sapuan
kaki Jambu Naga menghantam telak kepalanya.
Prakk!
Tubuh bocah ini oleng dengan kepala mendon-
gak, lalu roboh ke atas tanah, membuat Jambu Naga
tertawa mengejek lalu melangkah mendekati Abilowo
yang masih diam tak bergerak di atas tanah.
Namun lima langkah lagi sampai, dan Jambu
Naga baru ancang-ancang akan kirimkan pukulan, ke-
dua kali Abilowo bergerak menendang tanah, hingga
tubuhnya melesat ke atas.
Jambu Naga yang ternyata adalah salah satu
penasihat raja dan pengawal pribadi raja segera jatuh-
kan diri bergulingan, saat gulingan ke tiga, dan dili-
hatnya sang bocah terus menukik ke arahnya, dia ce-
pat kirimkan serangan dengan sentakan kedua tan-
gannya.
Sett! Settt!
Sepuluh senjata rahasia berupa pisau kecil-
kecil berwarna hitam redup melesat keluar dari kedua
tangan Jambu Naga.
Karena jaraknya begitu dekat, hingga tak ada
ruang lagi untuk Abilowo bisa menghindar dari senjata
rahasia Jambu Naga. Sepuluh senjata rahasia itu pun
tak terbendung menghujam. Namun sepasang mata
Jambu Naga kembali dibuat mendelik. Senjata raha-
sianya yang berisi racun jahat itu bermentalan bahkan
diantaranya ada yang mental keras mengarah pada di-
rinya yang masih rebah di atas tanah!
"Jahanam!" teriak Jambu Naga sambil melom-
pat berdiri menghindari senjata rahasianya sendiri
yang mental. Saat itulah Abilowo mendarat di atas tanah dan hantamkan kedua tangannya.
Wess! Wesss!
Dua rangkum angin deras menggeledek melesat
menyambar. Jambu Naga tak tinggal diam, dia pun se-
gera sentakkan kedua tangannya menangkis serangan.
Bumm! Bumm!
Terdengar dentuman keras tatkala kedua puku-
lan itu bertemu di udara. Begitu tingginya tenaga da-
lam sang bocah, membuat tubuh Jambu Naga ter-
huyung-huyung ke belakang. Pada saat itulah, Abilowo
jejakkan sepasang kakinya ke tanah. Tubuhnya mele-
sat cepat ke depan.
Jambu Naga yang kerahkan tenaga untuk me-
nahan tubuhnya agar tidak roboh terkejut besar. Dia
coba berkelit, namun gerakannya terlambat. Hingga
sepasang kaki Abilowo tak terhalang lagi menggebrak
dadanya!
Dess! Desss!
Bukan hanya sampai di situ, begitu sepasang
kakinya berhasil menggebrak dada lawan, kaki kanan-
nya cepat bergerak ke atas, dan menghantam kepala.
Prakkk!
Darah muncrat dari bibir dan hidung Jambu
Naga. Tubuhnya deras menghujam tanah dengan
punggung terlebih dahulu. Sebentar Jambu Naga tam-
pak bergerak-gerak, namun sesaat kemudian tubuh
itu diam kaku!
Restu Canggir Rumekso tersenyum puas meli-
hat kejadian itu. Lantas dia melambaikan tangan. Ab-
ilowo melangkah mendekat.
"Masih ada yang harus kita kerjakan. Kita ting-
galkan tempat ini...," kata Restu Canggir Rumekso
sambil mengangguk pada Abilowo. Abilowo tidak mem-
balas anggukan sang guru, dia hanya menatap tanpa
berkata, lalu melangkah begitu dilihatnya Restu Cang-
gir Rumekso bergerak melangkah meninggalkan hala-
man kedai yang telah sepi.
DELAPAN
DUA orang terlihat berlari kencang sampai
ujung desa, mereka tampaknya ketakutan. Terbukti
sambil berlari kencang, keduanya sesekali berpaling ke
belakang hingga tak heran jika salah satu dari mereka
tak jarang jatuh menyusup tanah karena tak dapat
menyiasati jalanan di depannya. Bahkan tak jarang
kedua orang ini saling terguling bersamaan karena
bertubrukan satu sama lain.
"He...? Apa yang terjadi...?!" mendadak ada
orang menegur tatkala kedua orang ini hampir keluar
dari ujung desa.
Kedua orang yang ternyata adalah sebagian da-
ri para pelayan kedai sama palingkan wajah masing-
masing pada orang yang menegur.
"Kau.... Apakah kau.... Bu..., bukan teman me-
reka...?" tanya salah seorang di antara dua orang pe-
layan ini dengan tergagap dan memandang pada orang
yang menegur dengan tatapan menyelidik.
Yang ditanya, seorang pemuda berpakaian hi-
jau dan bukan lain adalah Aji atau Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 kernyitkan kening dengan mata membela-
lak.
"Sialan! Ditanya malah ganti bertanya!" bentak
Aji sambil tersenyum. "Lekas katakan ada apa...!"
sambung Pendekar Mata Keranjang 108 dengan me-
mandang bergantian pada orang di hadapannya yang
masih tampak ketakutan
Setelah dapat menguasai diri dan yakin bahwa
pemuda di hadapannya bukan orang jahat, salah seo-
rang dari pelayan kedai itu berkata. Suaranya bergetar
dan parau.
"Di kedai.... Ada orang berkelahi...!" Belum sele-
sai sang pelayan ini dengan ucapannya, Pendekar Ma-
ta Keranjang telah menyela.
"Sialan! Ada perkelahian saja kalian lari tung-
gang langgang...."
"Tapi.... Ini lain. Para prajurit kerajaan itu di-
buat mati hanya dalam satu ginian...!" kata salah seo-
rang sambil ayunkan tangan dari bawah ke atas. "Dan
yang membuat mati itu adalah.... Seorang anak kecil!"
timpal satunya seraya menoleh ke belakang.
"Heran. Tampaknya mereka sangat ketakutan
sekali. Namun aku belum begitu jelas dengan maksud
kata-kata mereka. Dasar orang-orang penakut!" Pen-
dekar Mata Keranjang 108 melangkah mendekat, dan
berkata.
"Kalian tak perlu takut. Ceritakan dengan jelas
apa yang terjadi!"
Setelah merasa yakin tak ada orang yang men-
gejar, salah satu dari pelayan ini menceritakan apa
yang terjadi dalam kedai.
"Kau ingat ciri-ciri mereka. Maksudku anak ke-
cil itu...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108.
"Dia berusia kira-kira delapan atau tujuh ta-
hun. Badannya tegap dan berotot, matanya berkilat-
kilat garang. Dia tak pernah tertawa. Justru yang tua
yang terus-terusan tertawa bergelak-gelak...."
"Yang tua...?" sela Pendekar 108.
"Benar. Anak itu datang bersama seorang laki-
laki agak tua. Raut wajahnya tak jelas kulihat, karena
dia mengenakan caping lebar. Pakaiannya jubah putih
kusam, rambutnya panjang sepunggung...."
"Restu...," Pendekar Mata Keranjang 108 bisa
menduga siapa adanya laki-laki yang diceritakan orang
di hadapannya. Hingga tanpa menunggu orang mene-
ruskan kata-katanya, Pendekar Mata Keranjang 108
balikkan tubuh dan berkelebat cepat ke arah desa.
"Orang edan! Tanya-tanya belum selesai sudah
minggat tanpa bilang ba, bu!" rutuk salah seorang pe-
layan itu seraya pandangi arah berkelebatnya Pende-
kar Mata Keranjang 108.
"Jangan-jangan dia orang gila. Kau lihat tadi,
sambil terus bertanya, dia tak henti-hentinya cen-
gengesan! Sial betul kita. Dikibuli orang gila...," kata
satunya sambil tertawa.
"Ah, persetan dengan dia. Gila atau tidak. Yang
penting sekarang kita harus cepat tinggalkan tempat
ini!" ujar yang tadi bercerita seraya bergerak melang-
kah meninggalkan tempat itu, lalu diikuti temannya.
Sementara itu, Pendekar Mata Keranjang 108
menggenjot larinya, dan dalam waktu singkat telah
sampai pada halaman kedai.
"Jangan-jangan aku terlambat. Suasana seper-
tinya sudah sunyi!" gumam Pendekar Mata Keranjang
108 seraya menyapukan pandangannya berkeliling di
halaman kedai. Ketika sepasang matanya tertumbuk
pada seseorang yang menggeletak, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera berkelebat mendatangi.
"Astaga! Orang yang paling belakang dari rom-
bongan prajurit...," membatin Pendekar Mata Keran-
jang 108 dengan memperhatikan lebih seksama.
"Hm.... Pasti yang membunuhnya adalah seorang be-
rilmu tinggi...." Dia lantas memandang sekali lagi ber-
keliling. "Tapi ke mana Restu Canggir Rumekso...? Dan
siapa anak kecil itu...."
Mendapati di halaman kedai tak ada orang lagi,
Pendekar Mata Keranjang melangkah memasuki kedai.
Dan baru sampai di ambang pintu, dia hentikan lang-
kahnya. Matanya mengawasi berkeliling. Mata itu me-
nyipit lantas membeliak.
"Benar-benar tidak berperikemanusiaan orang
yang melakukan ini...," gumam Pendekar Mata Keran-
jang 108 sambil memperhatikan mayat-mayat prajurit
yang masing-masing perutnya tertembus golok.
Pendekar 108 balikkan tubuh, melangkah
kembali ke halaman kedai. "Ke arah mana aku harus
mengejar...?"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berpikir
keras untuk menentukan arah mana yang harus di-
tempuh untuk melakukan pengejaran, mendadak ter-
dengar langkah-langkah ladam kuda berderap.
"Hmm.... Tampaknya derap ladam kuda itu
menuju kemari!" batin Pendekar Mata Keranjang 108
seraya palingkan wajah ke arah datangnya langkah-
langkah derap kuda.
Baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 pa-
lingkan wajah, dari arah barat tampak tiga orang ber-
kuda mendatangi. Sampai halaman kedai, ketiga pe-
nunggang ini hentikan kuda masing-masing.
Ketiga penunggang itu serentak membelalakkan
mata masing-masing bahkan salah satu di antaranya
berseru keras kala mereka mengetahui siapa adanya
orang yang tewas menggeletak di halaman kedai.
"Keparat busuk! Kau harus bayar kematian Re-
si Jambu Naga dengan nyawamu!"
Salah seorang dari ketiga penunggang kuda ini
membentak garang.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih tak
mengerti pada siapa bentakan ditujukan, hanya senyum-senyum bahkan hendak bergerak meninggalkan
halaman kedai.
"Jahanam! Mau lari ke mana kau, he...?!" ben-
tak salah satunya sambi meloncat turun dari kuda
tunggangannya, dan menghadang langkah Pendekar
Mata Keranjang 108. Sementara dua lainnya segera
pula loncat dari punggung kuda masing-masing dan
mengurung Pendekar Mata Keranjang 108.
"Ada apa sebenarnya ini...?!" tanya Pendekar
Mata Keranjang sambil memandang berputar ke arah
tiga orang yang mengurungnya.
"Keparat! Justru kami yang harus tanya pada-
mu! Siapa kau dan apa yang telah kau lakukan pada
Resi Jambu Naga!" kata salah seorang dengan nada
membentak.
"Jangkrik! Kenapa aku selalu dan selalu ditim-
pa nasib jelek! Dasar apes...," batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 sambil gelengkan kepala.
"Manusia! Jawab pertanyaan kami!" bentak sa-
tunya dengan mata mendelik.
Pendekar 108 usap-usap cuping hidungnya.
Lantas dengan tetap tersenyum dia angkat bicara.
"Aku bernama Aji Saputra. Aku tiba di sini su-
dah dalam keadaan begini. Kalau tak percaya tanya
pada mayat temanmu itu!"
Tiga orang ini saling berpandangan satu sama
lain. Tampang mereka berubah merah padam. Mereka
ini yang ternyata adalah tiga laki-laki berusia setengah
baya. Mengenakan pakaian seragam kerajaan. Namun
melihat pakaiannya yang begitu mentereng, bisa segera
ditebak jika mereka adalah para perwira tinggi kera-
jaan. Yang membedakan ketiga orang ini adalah ban
dari kain yang diikatkan pada lengan masing-masing.
Salah seorang di antaranya memakai warna merah, satunya putih, sedang satunya lagi warna kuning.
"Manusia! Sekali lagi kuperingatkan. Jawab
dengan jujur pertanyaan kami!" kata laki-laki yang
mengenakan ban warna merah, dan tampaknya lebih
tua dibanding dua lainnya.
"Manusia!" kata Aji ikut-ikutan memanggil pada
orang yang baru berkata. "Sudah kukatakan, kalau ka-
lian tak percaya, tanya pada temanmu itu!" sambil
berkata Pendekar Mata Keranjang 108 serahkan pan-
dangannya pada mayat Jambu Naga.
"Bangsat!" serapah laki-laki yang memakai ban
merah seraya member! isyarat pada laki-laki yang
mengenakan ban putih.
Laki-laki yang mengenakan ban putih segera
melangkah maju, dan tanpa berkata-kata lagi, dia me-
loncat sambil hantamkan kedua tangannya ke arah
kepala Pendekar Mata Keranjang 108.
Sambil mengusap cuping hidungnya Pendekar
Mata Keranjang 108 memiringkan bahunya, hingga
hantaman tangan ini lewat menghajar tempat kosong
sejengkal di samping kepala Pendekar Mata Keranjang
108.
"Setan alas! Kucincang tubuhmu!" kertak laki-
laki yang mengenakan ban putih ini dengan tarik pu-
lang kedua tangannya dan didahului dengan bentakan
menggeledek, dia merangsek maju dengan tangan kiri
menjotos, sementara tangan kanan di depan dada. Ka-
ki kanannya juga bergerak menerjang.
"Benar-benar apes! Aku tak akan meladeni me-
reka. Lebih baik aku menyingkir...," sambil berpikir
begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 cepat jejakkan
kaki, tubuhnya melenting tinggi, menghindari seran-
gan laki-laki berbaju putih. Lalu setelah membuat ge-
rakan salto dua kali di udara, murid Wong Agung ini
mendarat agak jauh dari kurungan tiga laki-laki.
Begitu mendarat, Pendekar Mata Keranjang 108
segera hendak berkelebat pergi. Namun langkahnya
terhenti ketika tahu-tahu tiga laki-laki itu sudah tegak
di hadapannya menghadang.
"Dengar!" kata Pendekar Mata Keranjang lan-
tang. Benaknya telah disarati dengan kejengkelan.
"Aku tak tahu menahu dengan semua hal yang telah
terjadi. Harap kalian jangan menghalangi langkahku!"
Laki-laki yang mengenakan ban kuning terse-
nyum sinis. Lalu dengan mata membeliak angker dia
berkata.
"Siapa percaya dengan omongan mu. Melihat
gerakanmu, tak mustahil kaulah yang membuat ulah
itu! Sekarang terimalah hukumanmu!"
Habis berkata, laki-laki itu sentakkan kedua
tangannya ke depan.
Wesss!
Serangkum angin bertenaga dalam tinggi
menggebrak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
"Rupanya kalian memaksa!" ujar Pendekar 108
seraya melangkah tiga tindak ke samping. Dari samp-
ing Pendekar Mata Keranjang 108 kirimkan serangan
tangkisan dengan sentakan kedua tangannya, le-
paskan pukulan 'Ombak Membelah Karang'.
Blem!
Dentuman keras segera menyeruak di tempat
itu. Laki-laki yang mengenakan ban kuning terkejut.
Tubuhnya terseret hingga lima langkah ke belakang.
Untung dia masih sempat kerahkan tenaga untuk me-
nahan huyungan tubuhnya, kalau tidak, pasti tubuh-
nya telah terjengkang menyuruk tanah.
Sementara itu di seberang, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tampak tetap tak bergeming, membuat tiga laki-laki di hadapannya kernyitkan dahi masing-
masing. Dalam benak mereka, ditumbuhi berbagai per-
tanyaan tentang pemuda berbaju hijau di hadapannya.
"Kakang...," kata laki-laki berbaju putih pada
laki-laki berbaju merah. "Siapa gerangan pemuda ini.
Dia sepertinya tak sepenuh hati dalam menghadapi ki-
ta. Dan kalau mau tentunya dia tadi telah mengerah-
kan jurus yang mematikan. Kurasa kata-katanya be-
nar. Bukan dia yang menewaskan Resi Jambu Naga!"
"Lantas siapa?" laki-laki berbaju merah mem-
bentak.
Dibentak seperti itu, laki-laki berbaju putih ge-
lengkan kepalanya. "Namun satu hal yang pasti, kuat
dugaan bukan dia yang membuat ulah itu!"
Laki-laki berbaju merah tertawa pendek. "Kalau
kau jerih menghadapinya, kau pergilah. Biar aku yang
hadapi!"
Mendengar kata-kata temannya itu, meski ha-
tinya dongkol, laki-laki mengenakan ban putih ini te-
tap berdiri di tempatnya tanpa memandang pada laki-
laki di sampingnya yang kini tampak melangkah maju
hendak lepaskan pukulan pada Pendekar Mata Keran-
jang.
"Keparat jahanam! Kalau kau masih tetap tak
mengaku, mampuslah kau!" hardik laki-laki berbaju
merah dengan meloncat ke depan. Kakinya lantas dia
angkat tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya diputar cepat,
tiba-tiba kaki kirinya menyapu deras.
Wesss!
Begitu derasnya sapuan kaki itu, hingga sebe-
lum kaki itu sampai, angin kencang mendahului,
membuat Pendekar Mata Keranjang 108 harus undur-
kan kakinya satu tindak ke belakang, menghindari sa-
puan angin yang mendahului serangan.
Pada saat itulah sapuan kaki sesungguhnya da-
tang. Karena tak ada waktu lagi jika menghindar,
membuat mau tak mau Pendekar Mata Keranjang 108
tangkis sapuan kaki itu dengan ayunkan kedua tan-
gannya.
Prakk! Prakk!
Dua kali terdengar benturan hebat, lantas dis-
usul dengan seruan tertahan keluar dari mulut laki-
laki berbaju merah. Tubuh laki-laki ini mental balik
dan terjungkal di atas tanah. Di lain pihak, Pendekar
Mata Keranjang 108 hanya terhuyung-huyung seben-
tar, lalu kembali tegak meski tampak meringis.
Melihat temannya jatuh terjungkal, laki-laki
berbaju putih dan kuning segera berdiri berjajar. Mata
mereka masing-masing menghujam tajam ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108.
Laki-laki berbaju kuning mengangguk. Lantas
kedua orang ini melangkah masing-masing satu tindak
ke depan. Kedua tangan mereka menakup di depan
dada masing-masing, lalu sesaat kemudian tangan itu
mereka rentangkan dan siap hendak kirimkan seran-
gan.
Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan
kuning disertai teguran keras.
"Hentikan pertempuran!"
Dua laki-laki yang hendak menyerang, urung-
kan niat dan memandang tajam pada orang yang baru
datang. Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
paling ke kanan.
***
SEMBILAN
PUTRI Tunjung Kuning!" seru murid Wong
Agung, begitu mengetahui siapa adanya orang yang ki-
ni tegak di hadapan dua laki-laki yang siap menye-
rangnya.
"Bukan mata kalian lebar-lebar! Kau sedang
berhadapan dengan siapa kali ini!" bentak orang yang
baru datang, yang ternyata adalah seorang gadis can-
tik jelita dan bukan lain adalah Putri Tunjung Kuning,
Dua laki-laki yang tadi hendak menyerang,
memandang tak kesiap ke arah Putri Tunjung Kuning.
Bukan karena marah sebab urusannya dicampuri,
namun karena melihat bentuk tubuh gadis di hada-
pannya yang memang membentuk bagus karena tubuh
itu dibungkus dengan pakaian warna kuning tipis dan
ketat, membuat lekukan tubuhnya membayang jelas.
"Cepat tinggalkan tempat ini!" sambung Putri
Tunjung Kuning begitu melihat dua laki-laki di hada-
pannya bengong memandangi dirinya. Sementara laki-
laki berbaju merah yang baru saja bangkit juga me-
langkah menjajari temannya, dan ikut-ikutan menatap
pada Putri Tunjung Kuning dengan tatapan gairah.
"Gadis cantik! Baiklah. Menuruti kemauanmu,
kami akan meninggalkan tempat ini. Namun kau ha-
rus ikut dengan kami sebagai ganti pemuda itu!" kata
laki-laki berbaju merah seraya mengerdipkan sebelah
matanya.
Dua laki-laki temannya menyambuti ucapan
laki-laki berbaju merah dengan tawa gelak-gelak dan
angguk-anggukkan kepala.
"Tua bangka tak tahu diri!" teriak Putri Tunjung
Kuning dengan raut muka berubah merah padam. "Kalau kalian tak lekas minggat dari hadapanku, aku tak
segan-segan merobek mulut kalian!"
Laki-laki berbaju merah walau sangat marah
mendengar ucapan gadis di depannya, namun dia ma-
sih tersenyum.
"Gadis cantik. Kau tak perlu khawatir jika ikut
dengan kami. Segala maumu akan ku turuti. Daripada
kau ikut pemuda gembel itu, apa yang akan dia beri-
kan padamu...?"
"Benar. Pemuda itu paling-paling hanya punya
biji. Ha... ha... ha...!" sahut laki-laki berbaju putih
dengan kerjap-kerjapkan matanya.
"Tidurnya pun di sembarang tempat. Mana ada
nikmatnya...!" timpal satunya sambil tertawa terbatuk-
batuk.
Paras Putri Tunjung Kuning makin merah men-
gelam. Bibirnya bergetar menahan marah. Sepasang
matanya yang bulat membeliak berkilat.
"Kalian boleh menghina dia. Namun dengar du-
lu siapa dia adanya!" kata Putri Tunjung Kuning den-
gan menindih hawa amarah yang menyesaki dadanya.
"Katakan siapa dia!" seru laki-laki berbaju me-
rah dengan mata beralih memandang Pendekar Mata
Keranjang 108.
"Pasang telinga kalian baik-baik. Dia adalah
pemuda yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108!"
ucap Putri Tunjung Kuning, lantang.
Ketiga laki-laki di hadapannya serentak saling
berpandangan satu sama lain. Malah tanpa sadar keti-
ganya undurkan langkah masing-masing satu tindak
ke belakang. Mata-mata mereka memandang tak ke-
siap. Lantas bagai dikomando ketiganya melangkah
maju. Laki-laki yang mengenakan ban merah berkata
dengan membungkukkan sedikit badannya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Maafkan kami
yang tak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kami
gembira dapat bertemu dengan pendekar bernama be-
sar. Sekali lagi maafkan sikap kami tadi...."
Pendekar Mata Keranjang merasa jengah diper-
lakukan seperti itu, membuatnya hanya mengangguk
seraya mengerling pada Putri Tunjung Kuning.
Putri Tunjung Kuning melangkah mendekati
Pendekar 108, wajahnya disembunyikan dengan me-
mandang ke jurusan lain, membuat Pendekar Mata
Keranjang 108 heran dan bertanya-tanya.
"Dia tampaknya pucat. Apakah dia...," Pendekar
Mata Keranjang 108 tak meneruskan kata hatinya, ka-
rena saat itu Putri Tunjung Kuning telah berada di
sampingnya dan berkata.
"Pendekar 108, syukur kita dipertemukan di si-
ni. Aku sudah bermaksud menyusulmu ke Kampung
Blumbang...."
"Menyusul ku...?" ulang Pendekar Mata Keran-
jang 108 dengan kernyitkan kening. Matanya meman-
dang menyelidik.
"Ya. Aku hanya ingin mengucapkan terima ka-
sih atas pertolongan yang kau berikan padaku...," kata
Putri Tunjung Kuning sambil menundukkan kepala.
"Ah, lupakan masalah itu. Justru kalau tidak
ada kau, mungkin waktu itu nyawaku sudah melayang
di tangan Malaikat Berdarah Biru. Ngg.... Lantas ba-
gaimana dengan Restu Canggir Rumekso...?" tanya
Pendekar Mata Keranjang 108 hati-hati.
Sejenak Putri Tunjung Kuning melayangkan
pandangannya. Dan demi dilihatnya ketiga laki-laki
masih tegak dengan memandang ke arah mereka, Putri
Tunjung Kuning palingkan wajah dan berkata perla-
han.
"Pendekar 108. Kita tak bisa membicarakan hai
itu di sini. Kita harus cari tempat lain...."
Tanpa menunggu sahutan dari Pendekar Mata
Keranjang, Putri Tunjung Kuning berkelebat mening-
galkan tempat itu. Sejenak Pendekar Mata Keranjang
hanya memandangi kepergian Putri Tunjung Kuning.
Lalu dia pun lantas berkelebat menyusul Putri Tun-
jung Kuning.
"Hmm.... Pendekar muda tampan, sudah se-
mestinya banyak yang menggandrungi. Apalagi berge-
lar Mata Keranjang...," gumam laki-laki berbaju merah.
Lalu menoleh pada dua temannya.
"Kita lanjutkan perjalanan. Mayat Resi Jambu
Naga nanti kita bisa suruh orang untuk mengubur-
nya!"
Di satu tempat agak sepi, Putri Tunjung Kuning
menghentikan larinya. Dan tatkala Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 sampai juga di tempat itu, gadis ini aju-
kan pertanyaan.
"Pendekar 108, kau tak keberatan jika kuminta
untuk menceritakan bagaimana jalinan kisahnya,
hingga aku berada di tangan Restu Canggir Rumek-
so...?"
Sesaat Pendekar Mata Keranjang 108 seperti
terkejut. Namun setelah dipikir agak lama, dia pun
berkata.
"Waktu itu aku kebingungan harus membawa-
mu ke mana, karena saat itu keadaanmu sungguh pa-
rah. Nah, saat itulah datang Restu Canggir Rumekso.
Karena siapapun juga telah mengenai jika Restu Cang-
gir Rumekso adalah seorang tabib, dan juga waktu itu
dia mengulurkan tangan untuk menolong, maka aku
pun merelakan mu dibawa olehnya. Apa yang terjadi
dengan dirimu di tangan Restu Canggir Rumekso...?
Apa dia menyakitimu...?"
Gadis di depan Pendekar Mata Keranjang 108
ini menggeleng perlahan. Namun pandangannya mene-
rawang jauh.
"Apakah aku harus berterus terang padanya
bahwa aku sebenarnya telah melahirkan seorang anak,
dan anak itu.... Tidak. Aku harus menyimpan semua
ini...," kata Putri Tunjung Kuning dalam hati.
"Katakan apa sebenarnya yang terjadi!" kata
Pendekar Mata Keranjang makin penasaran dan agak
jengkel. Namun perasaan itu ditahannya dalam-dalam,
karena dia juga merasa salah menyerahkan Putri Tun-
jung Kuning pada orang yang baru dikenalnya. Hingga
dengan nada menyesal, murid Wong Agung berkata.
"Putri Tunjung Kuning, kalau kau tak mau
mengatakannya tak apa. Semua ini memang salahku.
Aku begitu percaya pada orang, hingga tanpa pikir
panjang lagi aku menyerahkanmu pada Restu Canggir
Rumekso. Tapi percayalah.... Hal itu kulakukan karena
aku mengkhawatirkan keadaanmu!"
"Aku mengerti...," kata Putri Tunjung Kuning
perlahan.
"Putri Tunjung Kuning. Aku perlu memberitahu
padamu, sesungguhnya Restu Canggir Rumekso ada-
lah seorang tokoh dari jajaran atas golongan hitam. Ia
telah lama menyembunyikan diri, namun tampaknya
kini mulai unjuk diri lagi. Aku tak tahu apa yang dica-
rinya saat ini. Tapi satu hal yang pasti, dia mulai me-
nebar maut di sana-sini. Mayat yang menggeletak di
depan halaman kedai tadi adalah salah satu dari kor-
bannya!"
"Aku sekarang juga telah tahu, siapa sebenar-
nya Restu Canggir Rumekso!"
"Juga tahu, tentang anak yang bersamanya...?"
Pendekar Mata Keranjang 108 ajukan pertanyaan.
Putri Tunjung Kuning terkesiap kaget menden-
gar pertanyaan Pendekar Mata Keranjang 108. Sepa-
sang matanya membelalak lebar, dahinya mengernyit
penuh keheranan.
"Anak...?" kata Putri Tunjung Kuning seakan
tak sadar dengan ucapannya.
"Benar. Restu Canggir Rumekso kini gentayan-
gan bersama dengan anak kira-kira berusia tujuh ta-
hun. Hebatnya anak itu telah pula memiliki kepan-
daian yang mengagumkan. Aku sendiri hanya menyi-
rap kabar, hal yang sesungguhnya aku belum tahu...."
Putri Tunjung Kuning makin terkesiap kaget.
Diam-diam dia ingat kata-kata Restu Canggir Rumek-
so. "Bayimu adalah bayi lain daripada yang lain. Dalam
waktu satu hari dia sudah seperti bayi berumur tiga
bulan. Bayimu kelak tidak akan mempan senjata atau
pukulan apa pun juga. Dia kelak akan menjadi seo-
rang sakti tiada tanding...," Putri Tunjung Kuning don-
gakkan kepala berpikir.
"Sekarang bayi itu sudah berumur satu pur-
nama. Kalau satu hari sama dengan umur tiga bulan,
satu purnama berarti sama dengan umur tujuh tahun.
Berarti yang bersama Restu Canggir Rumekso adalah
anakku. Oh, anakku...."
"Kau tahu...?" ulang Pendekar Mata Keranjang
108 setelah ditunggu agak lama Putri Tunjung Kuning
tak juga menjawab.
Sambil menindih rasa gagap, Putri Tunjung
Kuning menggelengkan kepala.
"Hmm.... Aku harus pergi sekarang, mencari je-
jak Restu Canggir Rumekso dan mengambil kembali
anakku...," berpikir begitu Putri Tunjung Kuning lantas
berpaling pada Pendekar Mata Keranjang dan berkata.
"Aku ada masalah yang harus kuselesaikan.
Jadi maaf aku tidak bisa bicara lebih lama. Sebelum
aku pergi ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kalau
kau keberatan, kau boleh tidak menjawab. Setelah ter-
jadi pertempuran antara kau dan Malaikat Berdarah
Biru, apakah Malaikat Berdarah Biru tewas...?"
"Aneh. Kenapa kau tanya tentang dia...?"
"Jawab saja!" tukas Putri Tunjung Kuning ce-
pat. Meski dipenuhi perasaan heran akhirnya Pende-
kar Mata Keranjang 108 menjawab. "Dia berhasil mela-
rikan diri. Namun sudah dalam keadaan luka parah....
Ada...."
Pendekar Mata Keranjang belum sampai mene-
ruskan kata-katanya Putri Tunjung Kuning telah ba-
likkan tubuh dan berkata menukas.
"Terima kasih. Kalau umur panjang, aku masih
ingin bertemu denganmu lagi...," habis berkata, Putri
Tunjung Kuning berkelebat tinggalkan Pendekar Mata
Keranjang 108.
"Tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang 108.
Tapi Putri Tunjung Kuning terus berkelebat dan meng-
hilang.
Begitu Putri Tunjung Kuning pergi, Pendekar
Mata Keranjang 108 usap-usap hidungnya. "Rasa-
rasanya ada yang tak beres antara Putri Tunjung Kun-
ing, Restu Canggir Rumekso dan Malaikat Berdarah
Biru.... Ada apa sebenarnya di balik semua ini...?"
SEPULUH
RESTU Canggir Rumekso dan Abilowo terus
berkelebat cepat. Mereka telah dua hari dua malam
berlari. Hingga wajar saja jika Restu Canggir Rumekso
sudah nampak lelah. Wajahnya kusut masai, nafasnya
berhembus tak teratur dan terengah-engah. Namun
sebaliknya, Abilowo tak sedikit pun terlihat payah. Bo-
cah ini masih kelihatan segar bugar.
"Gila! Aku bisa mati kelelahan kalau terus ber-
lari. Sebaiknya aku istirahat dahulu. Di depan tam-
paknya ada kedai...," lalu orang tua bercaping lebar ini
berkata pada Abilowo.
"Abilowo. Kita singgah sebentar di kedai itu. Pe-
rutmu pun kukira sudah minta diisi!"
Abilowo tak menyahut. Dia hanya palingkan
wajahnya sebentar. Lalu menatap ke arah kedai yang
memang sudah terlihat dari tempatnya.
Begitu sampai di depan kedai yang tidak begitu
besar, Restu Canggir Rumekso dan Abilowo hentikan
larinya. Keduanya lantas melangkah beriringan menu-
ju kedai.
Saat itu matahari sudah menggelincir dari titik
tengahnya, hingga kedai itu nampak sepi dari pengun-
jung.
Pemilik kedai, seorang laki-laki tua segera me-
langkah menyambut begitu terlihat ada orang masuk.
Dia sejenak menatap pada pengunjungnya dengan ta-
tapan sedikit heran.
"Laki-laki ini nampaknya baru saja melakukan
perjalanan jauh. Peluhnya masih nampak meleleh di
sekujur tubuhnya. Tapi kenapa anak ini kelihatan se-
gar sekali.... Dan aneh, anak ini tidak seperti anak
yang umurnya sebaya dengannya. Tidak mau omong
atau tersenyum, padahal anak yang...."
Pemilik kedai tak meneruskan kata hatinya, ka-
rena saat itu Restu Canggir Rumekso telah berkata.
"Sediakan makan dan minum!"
"Ngg.... Baik, Den...."
Sang pemilik kedai lantas balikkan tubuh un-
tuk menyediakan pesanan, namun saat membalik, ma-
tanya sempat melirik pada sang anak. Kuduk pemilik
kedai ini merinding seketika, dan dia buru-buru berla-
lu.
"Mata, ya. Mata anak itu tajam berkilat dan bi-
birnya menyeringai...," batin sang pemilik kedai seraya
menyediakan pesanan.
Setelah pesanan selesai dan diantar ke meja di
mana Restu Canggir Rumekso dan Abilowo berada,
pemilik kedai ini cepat berlalu dan tak berani lagi me-
mandang pada tamunya.
Selagi kedua orang ini sedang menyantap ma-
kanannya, seorang pemuda tampak celingak-celinguk
di depan kedai. Lantas pemuda ini kelihatan mengu-
sap-usap cuping hidungnya, lalu tangan kirinya berge-
rak menarik-narik kuncir rambutnya. Dari mulutnya
terdengar dendang nyanyian yang tak jelas ditangkap
telinga.
Orang tua pemilik kedai beranjak ke depan. Dia
tampaknya curiga dengan tingkah sang pemuda.
Begitu sampai pintu kedai dan melihat sikap
sang pemuda, sang pemilik kedai ini geleng-geleng ke-
pala seraya bergumam pelan.
"Kasihan. Tampangnya sikh boleh. Tapi gila...,"
lalu orang tua pemilik kedai ini berkata sedikit mem-
bentak.
"He.... Hari ini tak ada jatah makan untuk
orang gila. Lekas tinggalkan tempat ini. Kau hanya
akan membuat tamuku takut dan mengurungkan niat
untuk masuk kemari!"
Sang pemuda tak mengacungkan kata-kata
pemilik kedai. Malah kini melangkah menuju pintu.
Kepalanya tetap celingak-celinguk, dan nyanyiannya
juga tak berhenti.
"Kalau kau meneruskan langkah, kuhajar kau!"
hardik sang pemilik kedai seraya acungkan kepalan
tangannya. Matanya yang sudah sayu melotot.
Namun lagi-lagi yang diancam tak menghirau-
kan. Dia tetap melangkah, membuat pemilik kedai itu
akhirnya menyingkir sendiri, berlalu ke belakang hen-
dak mengambilkan makanan.
Namun begitu pemilik kedai telah kembali ke
depan dengan membawa bungkusan, dia hentikan
langkahnya mendadak. Dia memandang heran pada
sang pemuda yang terus menatap pada laki-laki ber-
caping dan anak kecil yang menyantap makanan di
sudut kedai.
"Hmm.... Rupanya arah yang kutempuh tak me-
leset. Mereka kutemukan di sini. Akan kutunggu me-
reka di luar. Tidak layak menanyai orang sedang ber-
santap...," membatin sang pemuda yang bukan lain
adalah Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas balikkan
tubuh dan keluar dari kedai, lalu berkelebat menyeli-
nap di balik sebuah pohon tak jauh dari kedai, mende-
kam seraya mengawasi pintu kedai.
Pemilik kedai yang berteriak memanggil tak di-
hiraukannya, membuat orang tua ini jengkel dan me-
lemparkan bungkusan nasi ke halaman kedai seraya
berkata.
"Dasar orang gila!"
"Tapi pandangan pemuda tadi pada tamu itu
sepertinya pandangan orang waras. Atau pandangan
yang sudah lamur, hingga salah mengartikan pandan-
gan orang...? Ah, kenapa aku harus memikirkan orang
edan. He... he... he...!" batin pemilik kedai dengan ter-
tawa sendiri dalam hati seraya kembali masuk.
Pendekar Mata Keranjang 108 tak menunggu
lama. Dari pintu kedai tampak Restu Canggir Rumekso
dan Abilowo melangkah keluar. Laki-laki tua bercaping
lebar ini sejenak memandang berkeliling. Dia sebenar-
nya ingin tahu pemuda yang dikatakan gila oleh sang
pemilik kedai. Namun ketika pandangannya tak me-
nemukan siapa-siapa lagi di luar, kedua orang ini mu-
lai melangkah menuju arah barat.
Baru tiga langkah, dari balik pohon tiba-tiba
melesat seorang pemuda, dan tahu-tahu telah berdiri
sepuluh langkah di hadapan Restu Canggir Rumekso
dan Abilowo.
"Kuharap kau tak lupa padaku, Orang Tua!"
berkata Pendekar Mata Keranjang 108 sambil terse-
nyum. Namun matanya tak memandang pada Restu
Canggir Rumekso. Sepasang mata Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tak kesiap menatap pada anak di sebelah
Restu Canggir Rumekso.
Langkah Restu Canggir Rumekso dan Abilowo
terhenti seketika. Keduanya menatap tajam ke depan.
"Pendekar Mata Keranjang 108!" seru Restu
Canggir Rumekso lantas melangkah maju mendekat
dengan tersenyum. Sementara Abilowo tetap di tem-
patnya. Namun matanya tak henti-hentinya menyengat
tajam pada Pendekar Mata Keranjang.
"Jadi rupanya kau yang dikatakan pemuda gila
oleh pemilik kedai tadi! Sungguh kebetulan sekali. Aku
hari ini memang bermaksud ke tempat gurumu si
Wong Agung. Untuk menagih nyawanya serta men-
gambil bumbung bambu dan kipas hitam. Bukankah
benda pusaka itu kau berikan padanya...?"
Pendekar 108 tak menyambuti kata-kata Restu
Canggir Rumekso. Dalam hati murid Wong Agung ini
bertanya-tanya sendiri.
"Dari mana dia tahu aku memberikan benda
pusaka itu pada Eyang Wong Agung...? Hmm.... Ki-
ranya itu yang menjadi niatannya.... Terpaksa aku ha-
rus mencegahnya. Mereka rupanya orang-orang yang
tak boleh dibiarkan hidup. Dunia persilatan akan
gempar jika mereka merajalela...,"
"Restu Canggir Rumekso! Kau salah alamat jika
pergi ke Karang Langit untuk mencari benda itu. Ben-
da itu sudah musnah!"
Restu Canggir Rumekso tertawa lebar menden-
gar kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108.
"Aku bukan orang yang bisa kau bodohi. Lagi
pula hidupku tidak akan tenang sebelum bisa mengan-
tar gurumu ke alam baka. Beberapa puluh tahun yang
lalu, gurumu memang pantas disebut-sebut sebagai
orang tiada tanding. Namun sekarang hal itu akan di-
lupakan orang. Sekarang orang-orang rimba persilatan
akan mempunyai orang baru yang pantas disebut ma-
nusia tiada tanding!"
Lalu Restu Canggir Rumekso berpaling pada
Abilowo dan berkata.
"Abilowo! Habisi kecoa itu!"
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
mendelik hampir tak percaya, Abilowo nampak me-
langkah maju dengan senyum seringai. Matanya tak
kesiap menyengat tajam pada Pendekar Mata Keran-
jang 108.
"Siapa sebenarnya anak ini...?"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 bertanya-
tanya, Abilowo telah meloncat seraya kirimkan seran-
gan dengan hantamkan kedua tangannya.
Pemandangan di tempat itu serentak agak gelap
redup. Pendekar Mata Keranjang 108 terlengak kaget
melihat dari kedua telapak tangan Abilowo melesat keluar berlarik-larik sinar hitam dengan suara menggi-
dikkan.
Sambil menahan rasa tak percaya pada pengli-
hatannya, Pendekar 108 segera berkelebat ke samping
selamatkan diri. Selagi Pendekar 108 berkelit inilah,
Abilowo kembali melompat menyusur ke samping dan
kembali sentakkan kedua tangannya dengan menge-
rahkan tenaga dalam penuh. Terbukti serangannya
kali ini membuat tanah di halaman kedai itu bergetar
hebat!
"Edan! Bagaimana mungkin anak sekecil dia bi-
sa melakukan serangan sehebat ini...?" membatin Pen-
dekar Mata Keranjang seraya kembali melompat ke
samping. Hingga dua serangan hebat pembuka itu me-
nerpa tempat kosong.
Walau serangan itu menghantam tempat ko-
song, Pendekar Mata Keranjang 108 segera sadar jika
anak ini tak boleh diberi kesempatan lagi untuk lan-
carkan serangan. Hingga tanpa menunggu sang anak
lancarkan serangan, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera berkelebat. Dan tahu-tahu kaki kirinya melesat ke
arah kepala Abilowo. Sebenarnya lesatan kaki kiri ini
hanyalah sebuah gerak tipu. Karena begitu bergerak
menghindar, kaki kiri itu dia tarik cepat dan tangan
kanan dan kiri segera menghantam dari arah samping!
Namun kali ini serangan Pendekar Mata Keran-
jang 108 itu hanya disambut senyum seringai oleh Ab-
ilowo. Bocah ini secepat kilat rundukkan kepalanya
dan kedua kakinya dia geser ke belakang, hingga tu-
buhnya sedikit menyusur di atas tanah. Dan serta
merta Abilowo bergerak menyusup melewati selang-
kangan Pendekar Mata Keranjang 108. Begitu berada
di belakang Pendekar Mata Keranjang 108, kedua kaki
Abilowo cepat menyapu kaki kanan Pendekar Mata Keranjang 108 yang kini dibuat tumpuan tubuhnya.
Desss!
Pendekar Mata Keranjang 108 keluarkan se-
ruan keras. Kaki kanannya goyah, dan hampir saja dia
jatuh terjerembab ke depan jika dia tidak segera le-
satkan diri ke udara dan mendarat kembali dengan
kaki kanan kesemutan.
"Sialan!" sumpah Pendekar Mata Keranjang ge-
ram. Dia tak habis pikir, bagaimana Abilowo bisa men-
duga serangannya, padahal serangannya tadi begitu
cepat.
Dengan katupkan rahang, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 balikkan tubuh. Kini murid Wong Agung
ini tak main-main lagi. Dia sadar, meski nakal kecil,
Abilowo adalah lawan tangguh.
Pendekar Mata Keranjang 109 kembali berkele-
bat. Kedua tangannya lantas bergerak cepat menghan-
tam dari samping kiri kanan mengarah pada kepala
Abilowo. Sedangkan tubuhnya mengapung di udara
dengan sepasang kaki diangkat sedikit berjaga-jaga ji-
ka lawan melesat ke udara. Namun apa lacur. Abilowo
memburu gerakan salto. Begitu kepalanya berada di
bawah, tubuhnya lantas kaku dan kini bergerak meng-
gelundung dengan cepat.
Kira-kira satu tombak jauhnya, Abilowo henti-
kan gerakan tubuhnya. Lalu dengan miringkan tubuh,
anak ini hantamkan kedua tangannya lepas serangan
jarak jauh yang dialiri tenaga dalam kuat.
Sinar hitam berlarik-larik yang menghalangi
pandangan segera melesat keluar dan menyambar ke
arah murid Wong Agung yang masih tegak keheranan.
Melihat serangan berbahaya, Pendekar Mata
Keranjang 108 segera berkelebat. Tubuhnya lenyap da-
ri pandangan sebelum larikan-larikan sinar hitam yang
berhawa panas itu menyambar. Hingga larikan sinar
hitam serangan Abilowo menerabas terus dan mela-
brak kedai.
Kedai yang terbuat dari kayu dan pelepah daun
kelapa itu berderak roboh dan mengeluarkan asap! Da-
ri sini bisa dilihat bagaimana dahsyatnya pukulan Ab-
ilowo.
"Gila! Sebelum terlambat, aku harus melum-
puhkannya dahulu!" batin Pendekar Mata Keranjang
108 seraya keluarkan kipas ungunya.
Melihat Pendekar 108 keluarkan senjata, Restu
Canggir Rumekso tertawa mengekeh.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Keluarkan selu-
ruh kepandaianmu. Kalau kau bisa mengalahkan dia,
baru hadapi aku!"
Ucapan bernada mengejek Restu Canggir Ru-
mekso membuat telinga dan wajah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 merah mengelam. Tanpa menunggu lama
lagi, dia segera melesat ke depan dengan kibasan ki-
pasnya, sementara tangan kirinya lepaskan pukulan
'Bayu Cakra Buana'.
Sinar putih yang berkilau melesat dari tangan
kiri Pendekar Mata Keranjang 108, sementara dari ki-
pasnya menyambar angin deras menggemuruh.
Di seberang, Abilowo hanya menyeringai meli-
hat serangan itu. Bahkan tampaknya dia tidak beru-
saha untuk menghindari. Malah dia melangkah me-
nyongsong serangan dengan kedua tangan merentang.
Weesss! Deesss!
Sambaran kipas dan hantaman pukulan 'Bayu
Cakra Buana' menggebrak telak tubuh Abilowo, mem-
buat tubuh anak kecil itu mencelat jauh dan jatuh
bergedebuk di atas tanah, dan diam tak bergerak-
gerak lagi.
Restu Canggir Rumekso sangat cemas menyak-
sikan kejadian itu. Senyumnya yang sedari tadi ter-
sungging pupus tiba-tiba. Dia segera melangkah men-
dekati Abilowo. Namun langkahnya tertahan tatkala di-
lihatnya Abilowo bangkit berdiri dan memandang tajam
ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar Mata Keranjang hampir tak percaya.
Bocah kecil yang terhantam telak pukulan 'Bayu Cakar
Buana' ini tak cedera sama sekali. Setetes darah pun
tak terlihat keluar dari hidung atau sudut bibirnya.
Padahal pukulan sakti 'Bayu Cakra Buana' telah ba-
nyak membuat tokoh-tokoh hitam babak belur dan tak
jarang pula yang menemui ajal!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-
gah heran, Abilowo telah merangsek maju dengan me-
lompat seraya hantamkan kedua tangannya. Namun
Pendekar Mata Keranjang 108 dibuat bingung bukan
alang kepalang, karena tubuh anak ini berkelebat ce-
pat dan mengitari dirinya dari bawah ke atas dan sese-
kali memutar.
Karena baru pertama kali ini menemui seran-
gan macam begini, Pendekar Mata Keranjang 108 kehi-
langan akal. Hingga dengan memutar otak bagaimana
mencari jalan untuk melumpuhkan sang anak, Pende-
kar Mata Keranjang 108 putar-putar kipasnya, semen-
tara tangan kirinya dia putar pula di atas kepala.
Hingga saat itu juga tubuh murid Wong Agung ini di-
bungkus sinar putih dan angin yang menderu-deru
dahsyat.
Melihat lawan bagai dibentengi dinding tebal,
Abilowo kertakan rahang, dia segera sentakkan kedua
tangannya tak putus-putus ke arah sinar putih yang
membungkus tubuh Pendekar Mata Keranjang 108.
Kini Pendekar Mata Keranjang 108 dan Abilowo sama
sama kerahkan tenaga. Yang satu membentengi di-
rinya seraya sesekali lancarkan serangan, sementara
satunya tak putus-putusnya lancarkan serangan un-
tuk menjebol pertahanan lawan.
Setelah sekian lama saling mengerahkan tena-
ga, benteng pertahanan Pendekar Mata Keranjang 108
yang terus menerus dihujani serangan itu tampak mu-
lai goyah. Dan pada suatu kesempatan, dengan mem-
bentak lengking, Abilowo tubrukkan tubuhnya.
Sinar putih yang membungkus Pendekar Mata
Keranjang 108 menguak, dan seketika itu juga kedua
tangan Abilowo menelusup masuk menghantam! Meski
Pendekar Mata Keranjang 108 berhasil berkelit, namun
tangan kiri Abilowo menggebrak bahunya!
Tubuh Pendekar 108 terhuyung. Dan pada saat
itulah kaki kanan Abilowo datang menghajar dada!
Desss!
Pendekar Mata Keranjang keluarkan pekik ke-
ras. Dadanya terasa terhantam batangan kayu besar
hingga untuk beberapa saat lamanya tak bisa diguna-
kan untuk bernapas. Tubuhnya melesat sampai dua
tombak dan terkapar di atas tanah dengan baju robek
sebelah bahu dan dada.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera kerahkan
tenaga dalam untuk mengurangi sakit yang mendera
dada dan bahunya. Lalu dengan tertatih-tatih dia me-
rambat bangkit. Keringat dingin membasahi sekujur
tubuhnya.
Di seberang, Restu Canggir Rumekso tertawa
terbahak-bahak. Sementara Abilowo tegak memandang
sambil menyeringai.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Rupanya kau
ditulis untuk tewas mendahului gurumu!" kata Restu
Canggir Rumekso di sela-sela tawanya.
Pendekar Mata Keranjang 108 kertakkan gera-
ham. Rautnya merah padam seraya meringis menahan
sakit dan sesak.
"Hmm.... Terpaksa aku harus menggunakan ju-
rus 'Bayu Kencana'!" batin Pendekar Mata Keranjang
sambil memindahkan kipas ke tangan kirinya semen-
tara tangan kanannya dibuka.
Abilowo yang melihat lawan masih siap hendak
menyerang segera palingkan wajah pada Restu Canggir
Rumekso seakan minta perintah.
"Habisi dia!" kata Restu Canggir Rumekso lan-
tang.
Abilowo segera melesat ke depan, dan begitu
empat langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang
108, dia cepat sentakkan kedua tangannya.
Larikan-larikan sinar hitam melesat lurus ke
arah murid Wong Agung ini. Bersamaan dengan itu,
Pendekar Mata Keranjang 108 tarik tangan kanannya
sedikit ke belakang. Terjadi suatu keanehan.
Larikan-larikan sinar hitam yang melesat dari
kedua tangan Abilowo bagai tertahan sesuatu yang tak
terlihat, dan perlahan-lahan menerabas terus masuk
ke telapak tangan Pendekar Mata Keranjang 108.
Abilowo yang nampak tersentak kaget menam-
bah tenaga dalamnya. Namun begitu hampir mengge-
brak, sinar yang keluar dari sentakan tangannya ber-
gerak pelan dan perlahan-lahan masuk ke telapak tan-
gan kanan Pendekar Mata Keranjang 108.
Abilowo merasakan bahunya kebas dan ngilu
bukan main, dadanya bergetar sakit karena perlahan-
lahan tubuhnya juga mulai tertarik ke depan. Namun
anak ini tak hendak menyerah begitu saja. Dia coba
hentakkan kedua kakinya ke atas tanah, hingga tanah
itu bergetar dan membentuk kubangan.
Untuk beberapa saat Abilowo memang berhasil
menahan gerak tubuhnya yang bergerak maju. Namun
begitu Pendekar Mata Keranjang 108 membentak sam-
bil menarik tangan kanannya, tanah tempat pijakan
Abilowo yang membentuk kubangan itu pecah, dan
bersamaan dengan itu kembali tubuh Abilowo bergerak
ke depan.
Begitu dua langkah lagi tubuh Abilowo sampai
di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108, murid
Wong Agung ini sentakkan tangan kanannya cepat,
sementara tangan kirinya yang memegang kipas dia
tusukkan ke depan.
Desss!
Untuk pertama kali dari mulut Abilowo terden-
gar seruan lengking. Bersamaan dengan itu, tubuhnya
tertahan oleh tusukan kipas Pendekar Mata Keranjang
108. Hebatnya, tubuh Abilowo tak mengeluarkan da-
rah setetes pun meski tusukan ujung kipas itu mero-
bek bahunya. Malah dalam keadaan demikian, kedua
tangannya masih sempat bergerak hendak merampas
kipas.
Pendekar Mata Keranjang 108 yang tahu gela-
gat, cepat tarik kipasnya dan dengan gerak kilat tan-
gan kanannya dia sentakkan ke depan.
Desss!
Abilowo meraung keras. Tubuhnya melayang
jauh dan jatuh terkapar di atas tanah. Untuk beberapa
lamanya tubuh kecil itu tidak tampak bergerak-gerak.
Namun tak lama kemudian, tubuh kecil itu bergerak
merambat bangkit. Tapi begitu bangkit, tubuh Abilowo
kembali oleng dan jatuh telungkup, membuat Restu
Canggir Rumekso segera berkelebat mendatangi.
Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah men-
dekat. Kedua tangannya siap akan kirimkan serangan.
Namun saat itu berkelebat sebuah bayangan seraya
menegur.
"Apa layak melakukan pembunuhan pada la-
wan yang sudah tak berdaya?"
Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan wajah
ke arah bayangan yang baru saja menegur.
"Ah, Putri Tunjung Kuning!" kata Pendekar Ma-
ta Keranjang 108.
"Menghadapi orang berbahaya seperti mereka,
terlalu enak jika peraturan begitu diterapkan! Alam
kubur lebih baik bagi mereka daripada hidup menebar
maut di mana-mana!"
"Ucapanmu benar. Namun kali ini kuharap kau
melihatku. Beri mereka kesempatan demi aku!" kata
Putri Tunjung Kuning perlahan. Dari sudut matanya
terlihat air mata hendak bergulir.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
menyipit dan melebar. Keningnya mengernyit. Dari
mulut murid Wong Agung ini keluar ucapan bernada
heran.
"Putri Tunjung Kuning. Apa arti ucapanmu?
Apa hubunganmu dengan anak itu...?"
Putri Tunjung Kuning tidak menjawab. Dia ma-
lah balikkan tubuh dan menghambur ke arah Abilowo
yang kini telah ada di bopongan kedua tangan Restu
Canggir Rumekso.
"Serahkan anak itu padaku! Kau tak berhak
atas anak itu!" seru Putri Tunjung Kuning begitu dekat
dengan Restu Canggir Rumekso.
Restu Canggir Rumekso tersenyum sinis. Lalu
berkata.
"Siapa pun tak berhak atas anak ini!"
Habis berkata, Restu Canggir Rumekso balik-
kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
Mungkin karena masih terkesima dengan keadaan, Pu-
tri Tunjung Kuning terlambat untuk mencegah keper-
gian Restu Canggir Rumekso. Dia baru sadar tatkala
Restu Canggir Rumekso telah berkelebat hilang dari
pandangan.
Menyadari hal itu, Putri Tunjung Kuning segera
pula hendak berkelebat mengejar. Namun Pendekar
Mata Keranjang menghadang dan berkata.
"Putri Tunjung Kuning. Katakan terus terang,
apa hubunganmu dengan anak itu!"
Sejenak Putri Tunjung Kuning menatap bola
mata Pendekar Mata Keranjang 108. Dari mata gadis
cantik ini telah bergulir air bening membasahi pipinya.
"Aku tak bisa mengatakan sekarang. Suatu
saat kelak kau akan tahu sendiri...."
Habis berkata, Putri Tunjung Kuning segera
berkelebat ke arah menghilangnya Restu Canggir Ru-
mekso.
"Tunggu!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108.
Namun Putri Tunjung Kuning tak menghiraukan teria-
kan Pendekar Mata Keranjang 108. Dia terus berkele-
bat dan meninggalkan murid Wong Agung dengan ba-
tin disarati beberapa pertanyaan.
SELESAI
Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
GEMBONG RAJA MUDA
0 comments:
Posting Komentar