"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 26 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE TITISAN DARAH TERKUTUK

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


 

TITISAN 

DARAH TERKUTUK

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Titisan Darah Terkutuk

128 hal.


SATU


HAMPARAN bumi menggeliat gersang terpang-

gang jilatan sinar matahari. Rimbunan daun pohon-

pohon besar berusia ratusan tahun yang berdiri kokoh 

tampak berguguran diterpa angin kemarau dengan ke-

luarkan desau. Awan putih tak sebongkah pun meng-

gelantung di angkasa, membuat sengatan bola jagad 

itu semakin leluasa menikmati gerak geliat bumi.

Di Lereng Gunung Mahameru, tepatnya di Du-

sun Amadanom, di dalam sebuah bangunan rumah 

tua yang terletak di ujung dusun, seorang laki-laki tua 

tampak melangkah perlahan mengelilingi sebuah batu 

yang membentuk altar, di mana di atasnya terlihat 

seorang perempuan tidur telentang.

Laki-laki ini mengenakan pakaian putih pan-

jang. Bentuk tubuhnya telah doyong ke depan, mem-

buat punggungnya sedikit melengkung. Janggut laki-

laki ini tampak telah ditumbuhi jenggot panjang dan 

memutih. Meski beg itu wajah laki-laki ini tak begitu 

jelas, karena dia mengenakan caping dari daun pan-

dan lebar.

"Hmm.... Kurasa tak berapa lama lagi, jabang 

bayi yang kuharapkan itu akan lahir...," gumam laki-

laki bercaping seraya terus melangkah mengelilingi ba-

tu altar. Sambil bergumam, orang tua ini menggerak-

kan tangan kirinya, mengangkat caping pandan di atas 

kepalanya, hingga wajahnya kini jelas terlihat. Ternya-

ta kepala bagian atas dan samping laki-laki tua ini tak 

ditumbuhi rambut sama sekali. Rambut itu hanya 

tumbuh mulai kepala bagian belakang dan memanjang 

hingga punggung. Keningnya telah membentuk bebe-

rapa lipatan, pertanda usianya telah lanjut. Sepasang

matanya agak sipit, namun demikian, sepasang mata 

itu menyorot tajam.

Dalam kancah perjalanan panjang sejarah per-

silatan, laki-laki tua ini sudah tidak asing lagi. Dia di-

kenal dengan nama Restu Canggir Rumekso. Seorang 

tokoh dari jajaran atas golongan sesat yang tingkat ke-

pandaiannya tidak diragukan lagi, karena selama ber-

kecimpung dalam kancah rimba persilatan telah ba-

nyak tokoh-tokoh silat yang memiliki nama besar ha-

rus mengakui ketinggian ilmunya. Hingga wajar saja 

jika laki-laki ini dimasukkan dalam salah satu barisan 

dari momok-momok rimba persilatan yang disegani 

dan ditakuti. Lain daripada itu, selain dikenal sebagai 

tokoh hitam yang berilmu tinggi, laki-laki tua itu juga 

dikenal sebagai seorang tabib, hingga membuat dirinya 

semakin ditakuti, baik oleh kawan maupun lawan.

Namun setelah sekian puluh tahun malang me-

lintang dengan nama besar, Restu Canggir Rumekso 

tiba-tiba saja menghilang dari percaturan dunia persi-

latan. Orang-orang tak ada yang tahu, apa sebabnya 

momok ini mendadak lenyap begitu saja tanpa ada ka-

bar berita. Hanya kabar burung yang tersiar waktu itu, 

Restu Canggir Rumekso melakukan tapa sambil mem-

perdalam ilmu ketabiban. Karena lama tak muncul itu-

lah, membuat nama besar Restu Canggir Rumekso per-

lahan-lahan dilupakan orang.

"Ha... ha... ha.... Tak lama lagi, tak lama lagi 

nama besar Restu Canggir Rumekso akan kembali ber-

gaung. Menyentak rimba persilatan...," Restu Canggir 

Rumekso berkata seraya mendongakkan kepala me-

mandang langit-langit bangunan. Tawa-nya meledak 

menyibak kesunyian bangunan. Namun ledakan tawa 

Restu Canggir Rumekso serta merta terputus menda-

dak saat dari mulut perempuan di atas altar terdengar

erangan perlahan. Kepala laki-laki ini menunduk den-

gan sepasang mata menatap tak kesiap ke arah pe-

rempuan di atas batu altar.

"Tenang-tenanglah manis. Segalanya akan se-

gera berakhir...," kata Restu Canggir Rumekso sambil 

melangkah mendekati perempuan di atas altar.

Seolah mendengar kata-kata orang, kedua ke-

lopak mata perempuan yang di atas altar perlahan 

membuka. Bola mata itu sejenak memandang lurus-

lurus ke atas, memandang langit-langit bangunan. Se-

saat kemudian, bola mata itu memutar ke samping, ke 

arah Restu Canggir Rumekso.

Untuk beberapa saat lamanya dua mata gadis 

ini terpaku memandangi laki-laki di sampingnya. Na-

mun agak lama, karena tak mengenali siapa adanya 

laki-laki di sampingnya, kening perempuan ini men-

gernyit menampakkan keterkejutan hebat. Dan seiring 

dengan itu dari mulutnya terdengar suara bernada 

menegur.

"Si..., siapa kau...?!" suara perempuan ini datar 

dan agak tersendat.

Restu Canggir Rumekso tak menjawab. Dia 

hanya sunggingkan senyum, membuat perempuan di 

atas batu altar semakin nampak ketakutan. Dia terli-

hat hendak bergerak bangkit, namun perempuan ini 

makin terperangah tatkala mendapati tubuhnya lemas 

tak bisa digerakkan. Hingga sebagai nada protes dia 

berkata kembali.

"Siapa kau...?! Dan apa yang kau perbuat ter-

hadapku...?!"

Lagi-lagi Restu Canggir Rumekso menjawab 

pertanyaan nada menegur sang perempuan dengan 

seulas senyum. Namun tak berapa kemudian, dia buka 

mulut.

"Kau tak usah banyak berkata dulu. Nanti se-

muanya akan jelas! Yang kau perlukan sekarang ada-

lah istirahat, agar saat melahirkan nanti, kau tak ke-

habisan tenaga!"

Mendengar ucapan Restu Canggir Rumekso, 

perempuan di atas altar yang ternyata adalah seorang 

gadis muda berwajah cantik jelita, mengenakan pa-

kaian warna kuning terlihat terkejut. Terbukti dari se-

pasang matanya yang tiba-tiba membelalak besar 

meski mata itu sayu redup. Mulutnya menganga den-

gan dahi mengkerut. Lantas kedua bola mata gadis 

muda ini menatap pada Restu Canggir Rumekso sesaat 

kemudian beralih pada perutnya. Raut muka sang ga-

dis semakin terlihat kaget, karena ternyata perutnya 

sudah kelihatan besar dan terasa bergerak-gerak.

"Aku.... Perutku kenapa sudah begini besar...?"

"Bukankah waktu itu aku ditolong oleh Pende-

kar Mata Keranjang? Dan bukankah waktu itu perutku 

belum tampak buncit? Ke mana Pendekar Mata Keran-

jang...? Dan siapa laki-laki tua ini...?!"

Segala pertanyaan sang gadis yang tersimpan 

dalam benaknya terputus seketika tatkala perutnya di-

rasa bergerak-gerak lebih keras dan di bagian samping 

terasa ditendang-tendang. Makin lama gerakan itu 

makin keras, membuat gadis ini keluarkan suara jeri-

tan tertahan menahan rasa sakit.

"Oh, Anakku...," kata sang gadis dalam hati 

dengan meringis.

Sementara itu, melihat perut gadis di hadapan-

nya bergerak-gerak keras, Restu Canggir Rumekso ma-

ju mendekat. Bibirnya mengulas senyum. Lalu tan-

gannya bergerak menepuk-nepuk perut gadis di hada-

pannya, membuat gadis itu terkejut. Dia tampak hen-

dak menepis tangan Restu Canggir Rumekso, namun

gadis itu tak kuasa menggerakkan kedua tangannya, 

hingga hanya nada mencegah dari mulutnya yang ter-

dengar.

"Orang tua! Jangan kau berani berbuat yang ti-

dak-tidak!"

Restu Canggir Rumekso seakan tak mendengar 

kata-kata gadis di hadapannya, yang bernada sedikit 

mengancam. Orang tua ini terus menepuk-nepuk, ma-

lah kini mengurut-urut perut sang gadis seraya berka-

ta.

"He... he... he.... Kau benar-benar bayi istime-

wa! Apa kau sudah ingin keluar sekarang...?!"

Seakan-akan mengerti kata-kata Restu Canggir 

Rumekso, gadis muda itu merasakan bayi dalam kan-

dungannya semakin bergerak keras, menendang dan 

menyodok, hingga tak ampun lagi gadis muda ini se-

makin meringis dengan erangan tertahan-tahan.

"Putri Tunjung Kuning...!" panggil Restu Cang-

gir Rumekso pada gadis di hadapannya. Gadis muda 

itu yang bukan lain memang Putri Tunjung Kuning 

terperangah kaget demi mendapati orang tua di hada-

pannya itu mengetahui siapa dirinya. Namun sebelum 

Putri Tunjung Kuning sempat berkata, Restu Canggir 

Rumekso telah berkata melanjutkan ucapannya.

"Kau tidak usah risau. Kuatkan sedikit. Bayi 

dalam kandungan mu memang lain daripada yang lain. 

Aku akan berusaha menolongmu...."

Sebenarnya Putri Tunjung Kuning hendak me-

nolak, namun karena tubuhnya begitu lemas dan tak 

bisa digerakkan, membuat dia hanya diam pasrah, 

meski dalam hati masih didera beberapa pertanyaan.

"Pejamkan matamu!" tiba-tiba Restu Canggir 

Rumekso keluarkan kata memerintah. Seraya berkata, 

Restu Canggir Rumekso nampak memejamkan sepa

sang matanya, mulutnya berkemik-kemik mengu-

capkan sesuatu yang tak jelas. Tak berapa lama ke-

mudian, Restu Canggir Rumekso membuka kelopak 

matanya. Dia pandang sejenak Putri Tunjung Kuning. 

Dan demi dilihatnya Putri Tunjung Kuning tidak juga 

memejamkan mata, malah memandang padanya, 

orang tua ini melotot sedikit matanya dan berkata agak 

keras.

"Pejamkan matamu! Atau aku terpaksa meme-

jamkan dengan tanganku!"

Mendengar nada ancaman orang, meski dong-

kol akhirnya Putri Tunjung Kuning memejamkan juga 

matanya. Bersamaan dengan itu kedua tangan Restu 

Canggir Rumekso bergerak mengurut perut Putri Tun-

jung Kuning, dan dengan cepat pula pakaian bagian 

bawah Putri Tunjung Kuning disingkapkan hingga pa-

ha, membuat Putri Tunjung Kuning sedikit terkejut. 

Namun begitu tahu kain itu hanya disingkap sebatas 

paha, dia tampak menarik napas lega. Namun pera-

saan lega itu hanya sekejap. Karena saat itu juga pe-

rutnya seperti diaduk-aduk.

"Tarik napas panjang dalam-dalam!" terdengar 

Restu Canggir Rumekso berkata seraya mengurut-urut 

perut Putri Tunjung Kuning.

Menyadari kalau orang tua di hadapannya hen-

dak menolong, Putri Tunjung Kuning menuruti kata-

katanya. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Bagus. Bagus.... Lepaskan pelan-pelan sambil 

ditekan...."

Dengan menahan sakit tak terperikan, Putri 

Tunjung Kuning terus mengikuti perintah Restu Cang-

gir Rumekso. Hingga tak lama kemudian tubuhnya te-

lah basah kuyup oleh keringat. Sementara Restu 

Canggir Rumekso sendiri tak jauh berbeda. Keringat

mulai tampak menetes dari pelipis dan lehernya. Dan 

mungkin karena dia ingin bayi dalam kandungan Putri 

Tunjung Kuning lahir dengan selamat, membuat orang 

tua ini bertindak dengan sangat hati-hati sekali.

Hingga pada suatu kesempatan, Putri Tunjung 

Kuning merasakan seluruh persendian tubuhnya sea-

kan tercerabut. Hingga gadis ini menjerit lengking.

Dan bersamaan dengan jeritan Putri Tunjung 

Kuning, kedua tangan Restu Canggir Rumekso berge-

rak ke bawah paha Putri Tunjung Kuning yang nam-

pak telah sedikit diangkat.

Restu Canggir Rumekso tidak terlalu lama me-

nunggu. Dia lantas merasakan sesuatu membasahi 

kedua tangannya, lalu seonggok daging lembut me-

nyentuh tangannya. Dengan perasaan was-was, Restu 

Canggir Rumekso terus menunggu. Dan begitu daging 

lembut di atas kedua tangannya terasa bergerak-gerak, 

dengan cepat tangannya bergerak keluar dari bawah 

paha Putri Tunjung Kuning.

Ketika kedua tangan Restu Canggir Rumekso 

ditarik keluar, tampaklah di atas tangan itu sesosok 

bayi mungil dan sehat serta berwarna merah.

Sejenak Restu Canggir Rumekso memperhati-

kan orok itu, senyumnya lantas menyeruak di bibir-

nya. Bersamaan dengan sunggingan senyum Restu 

Canggir Rumekso terdengar ledakan sang orok!


DUA



AKU.... Aku masih hidup...?" Itulah suara per-

tama yang terdengar dari mulut Putri Tunjung Kuning 

saat dia siuman. Dengan masih merasakan ngilu di 

sekujur tubuh serta perih di pangkal pahanya, gadis

berwajah cantik ini membuka kelopak matanya. Diker-

jap-kerjapkan mata itu sebentar, setelah dapat me-

nyiasati keadaan sekelilingnya, dia palingkan wajah ke 

samping kanan dan kiri. Dia terlihat kaget, karena dia 

tidak lagi menemukan Restu Canggir Rumekso.

"Apakah aku bermimpi...?" seraya bergumam, 

Putri Tunjung Kuning melirik sepasang matanya ke 

bawah. Dia masih berada di atas bahu altar. Dan begi-

tu matanya menumbuk ke perutnya, dia terlengak.

"Tidak! Aku tidak bermimpi. Perutku telah 

mengecil, berarti aku telah benar-benar melahirkan 

seorang bayi! Mana bayiku...? Dan mana orang tua 

itu?"

Didorong ingin mengetahui bayi yang telah di-

lahirkannya, Putri Tunjung Kuning segera bergerak 

bangkit. Dia heran, tubuhnya kini tak lagi lemas dan 

bisa digerakkan meski ngilu di persendiannya masih 

terasa sakit.

"Ya, pasti orang tua itu yang mengambil bayi-

ku!" gumam Putri Tunjung Kuning seraya duduk. "Jika 

orang tua itu sampai berbuat yang tidak-tidak, siapa-

pun dia adanya, tak akan kubiarkan hidup!"

Selagi Putri Tunjung Kuning bergumam sendiri, 

telinganya menangkap langkah-langkah kaki dari arah 

belakangnya mendekat. Serta merta Putri Tunjung 

Kuning palingkan wajah ke belakang.

"Mana anakku...?!" tanya Putri Tunjung Kuning 

begitu tahu siapa adanya orang yang melangkah ke 

arahnya.

Orang yang ditanya hanya menyunggingkan 

senyum sebagai jawaban. Orang yang ditanya yang 

bukan lain adalah Restu Canggir Rumekso terus me-

langkah mendekati altar di mana Putri Tunjung Kuning duduk.

"Mana anakku!" tanya ulang Putri Tunjung 

Kuning dengan suara agak tinggi. Habis bertanya, tan-

pa mempedulikan rasa sakit yang mendera sekujur tu-

buhnya Putri Tunjung Kuning melompat turun dari 

atas altar dan menyongsong langkah Restu Canggir 

Rumekso.

"Siapa kau sebenarnya...?! Jangan coba-coba 

memisahkan aku dengan anakku!" ancam Putri Tun-

jung Kuning seraya membelalakkan sepasang ma-

tanya.

Restu Canggir Rumekso hentikan langkahnya. 

Dia masih tersenyum meski sepasang matanya mem-

balas tatapan mata gadis di hadapannya. Setelah ba-

tuk-batuk beberapa kali, Restu Canggir Rumekso ber-

kata dengan suara perlahan dan berat.

"Putri Tunjung Kuning! Kau tak usah cemas, 

anakmu dalam keadaan sehat. Dia seorang laki-laki!"

"Laki-laki...?!" ulang Putri Tunjung Kuning. 

"Oh...," Putri Tunjung Kuning seakan-akan mengeluh, 

meski kegembiraan tak dapat dia sembunyikan dari 

pancaran wajahnya.

"Di mana dia sekarang...? Aku ingin melihat-

nya...!"

"Dengan syarat!" kata Restu Canggir Rumekso, 

membuat Putri Tunjung Kuning mengernyit. Wajahnya 

berubah merah padam mendengar kata-kata orang tua 

di hadapannya. Sambil menahan marah yang mulai 

mendesak dadanya, Putri Tunjung Kuning berkata.

"Orang tua! Kau jangan macam-macam. Dia 

adalah anakku, darah daging ku! Kau tak berhak men-

gajukan syarat!"

"Terserah apa katamu, hanya saja, jika kau ti-

dak menyetujui syarat yang ku ajukan, kau tak akan 

bisa melihat darah dagingmu!"

"Bajingan! Kau kira aku gentar kau takut-

takuti, he...?!" kata Putri Tunjung Kuning seraya me-

langkah maju dengan kedua tangan siap melepaskan 

pukulan. Dia sebenarnya merasakan sakit yang tak 

terperikan saat mengerahkan tenaga dalam yang dis-

alurkan pada kedua tangannya, namun rasa sakit itu 

ditindihnya.

Di seberang, mendapati Putri Tunjung Kuning 

melangkah maju dengan siap menyerang, Restu Cang-

gir Rumekso hanya tersenyum dingin. Dia tak berusa-

ha untuk ambil ancang-ancang meski tahu Putri Tun-

jung Kuning hendak menyerang. 

"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir 

Rumekso perlahan. "Ingat.... Tenagamu masih lemah, 

kau masih perlu istirahat!"

"Persetan dengan itu. Kalau kau tak menun-

jukkan dan memberikan anakku, terpaksa aku bertin-

dak kasar padamu, meski kau telah menolongku!"

"Begitu...?" kata Restu Canggir Rumekso den-

gan tertawa kecil. "Kau telah berpikir masak-masak 

dengan ucapanmu itu...?!"

"He, Orang Tua! Kau jangan terlalu banyak 

omong! Lekas tunjukkan!" bentak Putri Tunjung Kun-

ing.

Belum lenyap gema suara bentakan, kedua ka-

ki Restu Canggir Rumekso menghentak dua kali di 

atas tanah pijakannya. Mendadak bangunan itu bagai 

dilanda gempa. Bangunan itu bergetar hebat.

Putri Tunjung Kuning terperangah kaget. Dia 

buru-buru mengerahkan tenaga untuk menahan tu-

buhnya yang tampak oleng. Namun tenaga Putri Tun-

jung Kuning seakan tak berarti apa-apa. Hingga tak 

berapa lama kemudian tubuh Putri Tunjung Kuning 

terhuyung-huyung dan roboh terduduk!

"Orang tua! Siapa kau sebenarnya...?!" tanya 

Putri Tunjung Kuning seraya merambat bangkit den-

gan mata menusuk tajam.

Untuk beberapa saat Restu Canggir Rumekso 

tak segera menjawab. Baru setelah agak lama dan se-

telah batuk beberapa kali Restu Canggir Rumekso 

angkat bicara.

"Orang-orang di luar memanggilku Restu Cang-

gir Rumekso!"

Demi mendengar orang tua di hadapannya me-

nyebutkan nama, terkejutlah Putri Tunjung Kuning.

"Astaga! Jadi inikah orang yang dahulu kabar-

nya pernah menggegerkan dunia persilatan, yang lan-

tas menghilang begitu saja tanpa ada kabar berita...? 

Menurut kabar di luar, orang yang bernama Restu 

Canggir Rumekso adalah seorang berkepandaian tinggi 

dan juga seorang ahli pengobatan...," membatin Putri 

Tunjung Kuning seraya memperhatikan dengan sek-

sama orang tua di hadapannya dari atas hingga ba-

wah.

"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir 

Rumekso. "Kuharap kau menuruti kata-kataku. Tak 

ada gunanya kau berkeras kepala. Itu tindakan bo-

doh!"

"Tapi...," belum sampai Putri Tunjung Kuning 

meneruskan kata-katanya, Restu Canggir Rumekso te-

lah menyela.

"Aku tahu. Dia adalah anakmu, darah daging-

mu. Namun untuk sementara ini kau harus turut pe-

rintahku! Kau untuk sementara ini hanya boleh meli-

hat, tanpa bisa menyentuhnya!"

"Gila! Apa maksudmu sebenarnya? Dan kau 

apakan anakku?!"

"Aku bermaksud baik dengan anakmu. Dengar

baik-baik. Anakmu adalah seorang bayi yang lain dari-

pada yang lain. Dia memiliki kelebihan yang tidak di-

miliki bayi-bayi lain di jagad ini!"

Mendengar keterangan Restu Canggir Rumekso, 

Putri Tunjung Kuning sedikit terkejut dan hampir tak 

percaya, hingga dia bergumam mengulangi.

"Kelebihan? Kelebihan apa...?!"

"Aku tak bisa menjelaskan sekarang. Kalau kau 

ingin melihat, ikut aku. Tapi ingat, kau hanya bisa me-

lihat tanpa bisa menyentuh!"

Habis berkata, tanpa menunggu jawaban dari 

Putri Tunjung Kuning, Restu Canggir Rumekso balik-

kan tubuh dan melangkah menuju ke sebuah ruangan 

yang pintunya tampak tertutup. Dengan dorongkan 

tangan kirinya, pintu itu terbuka, sejenak Restu Cang-

gir Rumekso memandang pada Putri Tunjung Kuning, 

namun dari mulutnya tak terdengar ucapan.

Di lain pihak, Putri Tunjung Kuning tampak ra-

gu-ragu. Namun sesaat kemudian ia melangkah ke 

arah Restu Canggir Rumekso yang telah masuk ke da-

lam ruangan.

Begitu memasuki ruangan, Putri Tunjung Kun-

ing serentak membelalakkan sepasang matanya. Bibir-

nya saling menggegat. Setelah bisa menguasai diri, dia 

melangkah menghampiri Restu Canggir Rumekso yang 

berdiri di samping sebuah meja bundar agak besar.

"Lepaskan ikatan itu! Kau jangan berbuat gila!" 

tiba-tiba terdengar suara membentak dari mulut Putri 

Tunjung Kuning. Sambil membentak, mata gadis ini 

tak kesiap memandang ke arah atas meja, di mana 

tampak sesosok bayi mungil sedang tidur lelap. Namun 

ada suatu yang membuat gadis ini trenyuh. Bayi itu 

seluruh tubuhnya diikat dengan seutas tali. Demikian 

ketatnya ikatan tali itu, hingga kulit tubuh sang bayi

terlihat berkerut-kerut. Anehnya, meski kulitnya masih 

kemerah-merahan, kulit itu tak lecet! Apalagi menge-

luarkan darah,

Merasa ucapannya tak didengar Restu Canggir 

Rumekso, Putri Tunjung Kuning melangkah maju 

mendekati meja. Namun baru akan bergerak, Restu 

Canggir Rumekso membentak garang.

"Ingat kata-kataku! Kalau kau memaksa, aku 

tak segan-segan bertindak kasar padamu!"

Putri Tunjung Kuning hentikan gerakan ka-

kinya. Matanya menusuk pada orang tua di samping-

nya.

"Kau jangan berbuat tidak-tidak pada bayi yang 

baru lahir! Dia bisa mati!" kata Putri Tunjung Kuning 

seraya berpaling memandang pada bayi di atas meja

Restu Canggir Rumekso tertawa bergelak-gelak 

mendengar kata-kata Putri Tunjung Kuning, membuat 

gadis ini heran dan geram.

Belum lenyap gema suara tawanya, Restu 

Canggir Rumekso telah berkata.

"Tadi sudah kukatakan, bayimu adalah bayi 

lain daripada yang lain. Lihat! Dalam waktu satu hari 

dia sudah seperti bayi berumur tiga bulan! Dan kau li-

hat sendiri, kulitnya tidak lecet atau mengeluarkan da-

rah! Dengar Putri Tunjung Kuning, bayimu kelak tidak 

akan mempan senjata atau pukulan apa pun juga! Dia 

kelak akan menjadi seorang sakti tiada tanding...!"

"Tapi dia masih memerlukan air susu...," ujar 

Putri Tunjung Kuning seraya tak berkedip memandang 

bayi yang baru saja dilahirkannya.

"Dia tak memerlukan air susu! Karena dalam 

jangka waktu sepuluh hari, dia akan seperti bocah be-

rumur dua tahun yang sudah tak perlu lagi menyusui"

"Apa kata-katanya bisa dipercaya? Tapi melihat

sekarang, kata-kata orang tua ini benar adanya. Lan-

tas kelainan apa yang sebenarnya merasuki tubuh 

anakku ini...? Apa darah dari ayahnya...?" membatin 

Putri Tunjung Kuning. Tatkala berpikir begitu, ingatan 

gadis ini melayang pada sosok ayah sang bayi.

"Bagaimana jika besar nanti dia tanya soal ba-

paknya...? Apakah aku harus mengatakan terus terang 

dan menceritakan siapa sesungguhnya ayahnya...? 

Seorang dedengkot tokoh sesat yang berjuluk Malaikat 

Berdarah Biru, hmm.... Tak pernah kuduga, jika ak-

hirnya aku harus melahirkan benihnya. Tapi apa boleh 

buat, dia adalah anakku.... Siapa pun dia ayahnya!"

"Kau sudah puas...?" Restu Canggir Rumekso 

menegur.

Putri Tunjung Kuning tidak menjawab. Dia ba-

gai terbuai dengan alam pikirannya sendiri. Namun ke-

tika tangan kanan Restu Canggir Rumekso menyentuh 

pundaknya, Putri Tunjung Kuning berpaling, dan me-

natap tajam. Restu Canggir Rumekso mengangguk, 

memberi isyarat agar Putri Tunjung Kuning segera ke-

luar.

"Restu Canggir Rumekso, ku mohon padamu 

izinkanlah untuk sejenak aku menimang anakku.... 

Aku...," Putri Tunjung Kuning hendak menghambur, 

namun tangan Restu Canggir Rumekso telah mena-

hannya.

"Dengar! Jika bayi itu tersentuh tangan seseo-

rang sebelum satu purnama, maka kekuatan yang ada 

dalam dirinya akan punah!"

Selesai berkata, Restu Canggir Rumekso mena-

rik tangan kanannya yang masih mencekal pundak Pu-

tri Tunjung Kuning. Anehnya, meski Putri Tunjung 

Kuning mengerahkan tenaga untuk memberontak, ka-

kinya tetap saja terseret mengikuti langkah Restu

Canggir Rumekso keluar dari ruangan!

Begitu sampai di luar ruangan, dan tiba di 

ruangan di mana terdapat altar, Restu Canggir Ru-

mekso melepaskan cekalan tangannya.

"Putri Tunjung Kuning!" kata Restu Canggir 

Rumekso. "Sekarang terserah padamu. Ka mau tinggal 

di sini boleh, atau ingin meninggalkan tempat ini sila-

kan. Dan juga perlu kau camkan, kau baru bisa me-

nyentuh anakmu jika anak itu telah berusia satu pur-

nama!"

Untuk beberapa lama Putri Tunjung Kuning 

tercenung. Lantas tanpa memandang pada Restu 

Canggir Rumekso dia ajukan pertanyaan.

"Di mana Pendekar Mata Keranjang yang telah 

menolongku...?"

Restu Canggir Rumekso tersenyum lebar men-

dengar pertanyaan Putri Tunjung Kuning.

"Apa dia ayah dari anakmu...?" Restu Canggir 

Rumekso balik bertanya.

Putri Tunjung Kuning berpaling memandang 

pada orang tua itu. Wajahnya berubah merah padam.

"Siapa ayah dari anakku, kau tak berhak men-

getahuinya! Itu urusanku!"

"Ucapanmu benar, namun aku perlu mengeta-

huinya. Karena tak mustahil dia suatu saat kelak akan 

menanyakannya padaku!"

"Hmm.... Sayang sekali aku tak bisa mengata-

kannya padamu. Biar aku sendiri kelak yang akan 

mengatakannya padanya!" ujar Putri Tunjung Kuning 

seraya melangkah hendak pergi.

"Jika demikian, baiklah. Aku pun tak memerlu-

kan siapa ayahnya. Yang kubutuhkan adalah anak 

itu!" kata Restu Canggir Rumekso pula.

"Orang tua! Aku sekarang akan pergi. Dan satu

purnama kemudian aku akan datang lagi ke sini!"

Restu Canggir Rumekso tak menanggapi uca-

pan Putri Tunjung Kuning. Dia hanya tersenyum sinis. 

Dalam hati orang tua itu berkata.

"Hmm.... Kau kira satu purnama kemudian kau 

akan menemukan anak itu...? Kau bermimpi, Bocah 

Ayu! Satu purnama kemudian, anak itu sudah akan 

malang melintang menggegerkan rimba persilatan. Dan 

kau tahu, anak itu tidak akan memiliki rasa perikema-

nusiaan, karena sejak lahir dia tak merasakan sentu-

han atau air susu ibu yang membuat seorang anak 

mempunyai rasa kemanusiaan.... Dan satu purnama 

kemudian, nama Restu Canggir Rumekso akan kemba-

li bergema, ditakuti dan disegani. Ha... ha... ha...!"

Di lain pihak, sambil melangkah meninggalkan 

bangunan, Putri Tunjung Kuning juga membatin 

"Aku harus mencari Pendekar Mata Keranjang. 

Aku..., sepertinya tak bisa melupakannya. Tapi apakah 

dia juga mengetahui perasaan yang selama ini kupen-

dam...? Kalau dia kelak tahu aku sudah mempunyai 

seorang anak, apakah dia mau mengerti...?"

Lantas pikiran gadis itu melayang pada seseo-

rang lainnya.

"Malaikat Berdarah Biru.... Hmm.... Meski kau 

adalah ayah dari anakku, namun kau tetap musuhku! 

Apakah waktu itu Pendekar Mata Keranjang berhasil 

menewaskannya atau bangsat itu berhasil lolos...? 

Hmm.... Kejadian itu berarti enam purnama yang lalu, 

tapi sepertinya masih kemarin. Apa karena usia kan-

dungan ku yang begitu cepat...? Seperti pertumbuhan 

bayiku...? Restu Canggir Rumekso orangnya aneh. Apa 

sebenarnya yang diharapkan dari anakku...? Tapi ba-

gaimana caranya, suatu saat nanti aku harus memba-

wa anak itu...!"

Selagi Putri Tunjung Kuning berpikir begitu, 

mendadak terdengar suara tangisan. Tangisan seorang 

bayi. Serta merta Putri Tunjung Kuning menghentikan 

langkahnya. Dia balikkan tubuh memandangi bangu-

nan, di mana Restu Canggir Rumekso tinggal, karena 

suara tangisan itu bersumber dari sana.

"Anakku...," gumam Putri Tunjung Kuning se-

raya bergegas melangkah. Namun baru lima langkah 

kakinya, terdengar suara menegur keras.

"Kau teruskan perjalanan Putri Tunjung Kun-

ing! Anak itu tidak apa-apa!"

Namun Putri Tunjung Kuning tidak menghi-

raukan kata-kata teguran yang dia tahu pasti di-

ucapkan oleh Restu Canggir Rumekso.

Putri Tunjung Kuning terus melangkah menuju 

arah bangunan. Namun belum sampai masuk, serang-

kum angin deras menyambar keluar dari pintu bangu-

nan dan menggebrak ke arah Putri Tunjung Kuning.

Putri Tunjung Kuning terperangah kaget. Na-

mun gerakannya untuk menghindar terlalu lambat, 

hingga tanpa ampun lagi tubuhnya tersambar deras-

nya angin dan melayang jauh sebelum akhirnya jatuh 

bergulingan di atas tanah.

Dan baru saja Putri Tunjung Kuning merambat 

bangkit, telinganya menangkap suara. Meski suara itu 

diucapkan dari jarak jauh, namun jelas sekali seperti 

di depan telinga.

"Putri Tunjung Kuning! Jika kau tetap mem-

bandel, membunuhmu bagai membuka telapak tangan 

bagiku!"

Putri Tunjung Kuning mendengus keras. Mu-

kanya merah padam, pelipisnya bergerak-gerak. Na-

mun merasa dia bukan tandingan Restu Canggir Ru-

mekso, pada akhirnya dengan membawa perasaan geram dan kecewa Putri Tunjung Kuning melangkah 

menjauhi bangunan.

Seiring langkahan kaki Putri Tunjung Kuning 

yang menjauhi bangunan, terdengar suara tawa berge-

lak yang makin lama makin keras.

"Orang tua gila! Aku tak akan membiarkan 

anakku dalam cengkeraman mu selamanya!" seraya 

berkata Putri Tunjung Kuning kerahkan tenaga dan 

berkelebat cepat.


TIGA


SEORANG pemuda tampan berbadan tegap, 

mengenakan pakaian warna hijau yang dilapis dengan 

baju kuning lengan panjang, rambut panjang dan di-

kuncir ekor kuda terlihat melangkah perlahan menyu-

suri jalan setapak dalam hutan kecil yang sunyi. Na-

mun demikian, wajah pemuda ini yang bukan lain ada-

lah Aji Saputra, atau Pendekar Mata Keranjang 108 

tampak riang. Sesekali dia tersenyum lebar, malah ter-

tawa tergelak-gelak.

"Ayo, kejar aku...," kata Pendekar 108 seraya 

palingkan wajahnya ke belakang. Ternyata meski dia 

nampak melangkah perlahan, namun karena langkah-

nya dengan pengerahan tenaga dalam, membuat di-

rinya bagai terbang di atas jalan setapak.

"Pendekar Mata Keranjang! Tunggu. Aku men-

gaku kalah...," terdengar suara memanggil dari arah

belakang. Dan bersamaan dengan itu dari belokan ja-

lan setapak muncul seorang dara jelita. Dia mengena-

kan pakaian putih-putih. Rambutnya panjang dan di-

biarkan bergerai. Sepasang matanya bulat dan berbi-

nar. Kulitnya putih agak kemerahan karena ditimpa terik matahari. Di leher dara ini nampak melingkar 

seuntai kalung dari bunga-bunga berwarna hitam. Di 

atas telinga kirinya juga tampak menyelip sekuntum 

bunga berwarna hitam.

Mendengar teriakan sang dara, Pendekar Mata 

Keranjang 108 menghentikan langkahnya. Dan begitu 

sang dara sampai di dekatnya, Pendekar Mata Keran-

jang 108 cepat berpaling dan berkata seraya terse-

nyum lebar.

"Sesuai perjanjian, jika kau tak dapat menang-

kapku, maka...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak 

meneruskan ucapannya. Sebaliknya kedua tangannya 

segera mencekal bahu dara di sampingnya. Dan di lain 

kejap, bibir Pendekar Mata Keranjang 108 telah me-

rambat memagut bibir dara di sampingnya.

Karena begitu cepat gerakan Pendekar Mata Ke-

ranjang 108, hingga dara itu tak bisa lagi berkelit 

menghindar. Mula-mula dia memang terlihat hendak 

meronta memberosot dari rengkuhan tangan Pendekar 

Mata Keranjang 108. Namun hal itu hanya berjalan 

sekejap. Sesaat kemudian, dara ini membalas pagutan-

pagutan Pendekar Mata Keranjang 108 dengan berapi-

api. Hingga dadanya yang membusung kencang dan 

menempel di dada Pendekar Mata Keranjang 108 itu 

terlihat bergerak cepat turun naik, membuat Pendekar 

Mata Keranjang 108 lebih merapatkan dadanya.

Selagi kedua orang ini sedang dibuai kenikma-

tan, terdengar suara tawa perlahan. Namun hebatnya 

meski tawa itu begitu perlahan, suaranya begitu me-

nusuk gendang telinga.

Serta merta Pendekar Mata Keranjang 108 me-

lepaskan pagutan bibirnya, dia memandang sejenak 

pada dara di depannya.

"Ratu Sekar Langit. Menilik suara tawanya, aku

bisa memastikan jika si pemilik suara adalah seorang 

yang berilmu tinggi. Kau menjauhlah...," kata Pendekar 

108 perlahan.

Yang diajak bicara, yang ternyata adalah Ratu 

Sekar Langit tidak mengangguk dan tidak menggeleng. 

Dia hanya menatap pada Pendekar Mata Keranjang 

108. Wajahnya jelas mengisyaratkan kekecewaan. Se-

mentara dadanya masih tampak turun naik.

Tanpa mempedulikan perasaan Ratu Sekar 

Langit yang masih tampak kecewa, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 berpaling pada sumber suara, demikian 

juga Ratu Sekar Langit.

Kedua orang ini sama melengak. Tak jauh dari 

tempat mereka terlihat sesosok manusia berdiri tanpa 

memandang ke arah mereka. Namun sikapnya mengi-

syaratkan mengejek.

Setelah mendehem, sosok manusia itu menga-

lihkan pandangan, menatap pada Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 dan Ratu Sekar Langit dengan senyum si-

nis. Ia adalah sesosok manusia bertubuh pendek. 

Rambutnya panjang sebahu, namun rambut bagian 

atas dan samping dipotong demikian pendek hingga 

tampak jabrik. Menilik pakaian dan dandanannya, bisa 

segera ditebak jika sosok manusia pendek ini adalah 

seorang perempuan, karena wajahnya dibedaki dengan 

bedak putih demikian tebal, sementara bibirnya yang 

tebal sebelah atas diberi pemerah. Sepasang matanya 

lebar dengan hidung besar agak bengkok.

Pendekar Mata Keranjang sejenak menatap se-

raya berpikir keras. 

"Siapa manusia ini...? Aku tak pernah dengar 

dan lihat tokoh dunia persilatan yang mempunyai ciri-

ciri seperti dia. Apakah dia tokoh yang baru saja mun-

cul? Namun siapa pun dia adanya, rupanya dia beril

mu tinggi. Suara tawanya saja mampu membuat telin-

ga berdenging sakit...," membatin Pendekar 108 den-

gan memperhatikan lebih seksama.

Merasa dipandangi rupa, sosok manusia pen-

dek yang ternyata berdiri dengan menyilangkan kaki 

kanannya di atas betis kaki kirinya, serta tangan ka-

nannya mencengkeram sebuah tombak yang pangkal-

nya membentuk sekuntum bunga berwarna hitam, 

mendelik dan berkata.

"Bocah! Kalau kau mendampingiku terus, jan-

gan menyesal jika kedua matamu akan kutembus den-

gan tombakku!"

Seraya berkata manusia pendek ini pindahkan 

tombaknya ke samping kiri tubuhnya. Dan bersamaan 

dengan itu bersiur serangkum angin deras yang men-

deru.

"Hmm.... Manusia ini tampaknya sengaja unjuk 

kebolehan...," pikir Pendekar Mata Keranjang 108 den-

gan alihkan pandangan seraya tersenyum-senyum. La-

lu dia berkata.

"Kalau boleh kami tahu, siapakah kau...?" 

"Siapa kau...?!" ulang si manusia pendek den-

gan nada sinis mengejek. Tawanya lalu meledak, mem-

buat Pendekar Mata Keranjang 108 dan Ratu Sekar 

Langit segera mengerahkan tenaga dalam untuk me-

nangkis tenaga dalam yang keluar bersama dengan 

suara tawa si manusia pendek.

"He.... Jangan hanya berha.... Ha... ha... ha.... 

Siapa kau?!" kali ini yang keluarkan teguran adalah 

Ratu Sekar Langit.

Mendapat teguran, manusia pendek ini serta 

merta memenggal suara tawanya secara mendadak. 

Sepasang matanya yang lebar menyengat tajam pada 

Ratu Sekar Langit dengan pandangan tak senang. Dia

lantas berkata dengan nada membentak.

"Gadis jelek! Kalau kau ingin mulutmu tak be-

rubah bentuknya, jaga ucapanmu. Dengar kalian se-

mua! Aku tak suka ditanyai, kalianlah yang harus ka-

takan siapa kalian sebenarnya. Manusia-manusia yang 

tak tahu malu bermain cinta di jalanan!"

Mendengar kata-kata manusia pendek, Pende-

kar Mata Keranjang 108 serta Ratu Sekar Langit beru-

bah wajah masing-masing menjadi merah padam. Na-

mun sesaat kemudian, Pendekar Mata Keranjang 108 

segera palingkan wajah memandang pada Ratu Sekar 

Langit seraya mengerdipkan sebelah matanya, mem-

buat gadis ini semakin merah mengelam.

"Kalau kau tak ingin ditanyai, sebaiknya kau 

segera tinggalkan tempat ini, karena kami juga tak se-

nang ditanyai dan diganggu. Bukankah begitu keka-

sihku...?" kata Pendekar Mata Keranjang dengan tak 

mengalihkan pandangannya pada Ratu Sekar Langit.

Ratu Sekar Langit semakin salah tingkah den-

gan perasaan bercampur aduk mendengar dirinya dis-

ebut kekasih oleh Pendekar Mata Keranjang 108.

Di lain pihak, manusia pendek di seberang ter-

lihat tersenyum hambar namun adanya menghina.

"Kekasih.... Hik... hik... hik.... Rupanya kalian 

sepasang kekasih. Huah.... Aku tahu.... Tahu jika se-

pasang kekasih sedang dimabuk asmara mereka tak 

ingin diganggu. Namun karena kalian telah telanjur 

menanyai ku, terpaksa aku tidak bisa meninggalkan 

kalian sebelum aku mengetahui siapa adanya kalian! 

Dan bila kalian tak mau jawab, aku tak segan-segan 

memaksa!"

Wesss! Blemmm!

Si manusia pendek pindahkan lagi tombaknya, 

serta pindahkan kaki kirinya dari betis dan dihentak

kan di atas tanah, hingga serangkum angin deras yang 

disertai berguncangnya tanah seraya menyentak tem-

pat itu.

"Hmm.... Manusia macam begini kalau dituruti 

bisa menjadikan penghalang dalam perjalananku ke le-

reng Gunung Mahameru. Lebih baik aku turuti saja 

permintaannya, biar segalanya lekas beres...," lalu 

Pendekar Mata Keranjang 108 berkata.

"Baik. Kemauanmu ku turuti. Aku akan mem-

beri tahu siapa aku dan kekasihku itu. Aku bernama 

Aji Saputra, seorang pengelana jalanan. Sementara ke-

kasihku adalah Ratu Sekar Langit...."

Manusia pendek di hadapan Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 tak menunjukkan rasa terkejut sama se-

kali. Sebaliknya dia seakan tak percaya dengan ucapan 

Pendekar 108. Dia menatap menyelidik.

"Hmm.... Melihat ciri-ciri bocah laki-laki ini, dia 

tampaknya berdusta. Aku tahu, dia berilmu tinggi. Aku 

harus mengujinya. Apakah dia pemuda seperti du-

gaanku...."

Berpikir begitu, si manusia pendek ini lantas 

membentak garang.

"Bocah. Aku tak suka dibohongi. Kau telah 

menjawab pertanyaanku dengan dusta, dan sebagai 

bayarannya, aku inginkan barang mu, biar kau tak 

seenaknya saja bermain cinta. Hik... hik... hik...."

Ratu Sekar Langit katupkan bibirnya dengan 

raut muka berubah mendengar kata-kata manusia 

pendek. Dia segera melangkah maju dan siap hendak 

menyerang, namun dia urungkan tatkala Pendekar 

Mata Keranjang 108 berkata.

"Tahan...!" dia lantas memandang pada manu-

sia pendek dan berkata.

"Kami telah mengatakan apa adanya siapa ka"

mi. Kalau kau tak percaya itu urusanmu. Dan kalau 

kau tetap memaksa berarti kau memang cari masalah!"

"Benar! Katakan saja apa maksudmu sebenar-

nya? Kalau kau ingin barang' aku bisa mencarikan un-

tukmu. Kau minta yang bagaimana...?" timpal Ratu 

Sekar Langit, meski dalam hatinya diam-diam dia 

mengutuk dirinya sendiri mengatakan hal begitu.

Si manusia pendek menyeringai. Dia berpaling 

memandang pada Ratu Sekar Langit. Matanya berkilat 

dengan dahi mengkerut, membuat bedaknya rengkah 

dan jatuh sedikit.

"Gadis liar! Mulutmu memang pantas dirubah 

bentuknya!" habis berkata, si manusia pendek batuk 

dua kali, lalu tiba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap, 

meninggalkan tombaknya yang menancap hampir se-

tengah ke dalam tanah.

Sebuah seruan tertahan segera terdengar. Dan 

di lain kejap si manusia pendek telah kembali tegak di 

samping tombaknya. Dia berdiri dengan kaki kiri dis-

ilangkan di atas betis kaki kanan sementara tangan 

kanannya memegang ujung tombak dengan tersenyum 

menyeringai.

Pendekar 108 terkesiap melihat apa yang terja-

di, dan semakin terperangah ketika mengetahui Ratu 

Sekar Langit tampak mundur dua langkah ke belakang 

dengan muka pias.

Ternyata, bibir Ratu Sekar Langit yang tadinya 

telah merah tanpa pemerah, kini semakin merah me-

nyala. Jika saja si manusia pendek benar-benar ingin 

melaksanakan ancamannya, maka sewaktu tubuhnya 

lenyap dan mengolesi bibir Ratu Sekar Langit dengan 

pemerah di bibirnya, si manusia pendek ini bisa 

menghantam bibir Ratu Sekar Langit hingga berubah 

bentuknya seperti ancamannya!

"Aku masih merasa kasihan jika kekasihmu tak 

bisa mencium bibirmu lagi, maka untuk kali ini cukup 

itu saja sebagai pelajaran agar kau tahu, membunuh 

kalian berdua bukanlah hal sulit bagiku. Sekarang ka-

takan siapa kau bocah!"

"Tadi sudah kukatakan. Namaku Aji Saputra!" 

jawab Pendekar Mata Keranjang 108 agak tinggi seraya 

menahan rasa geram. 

"Bohong!" bentak manusia pendek.

Di sebelah belakang, Ratu Sekar Langit terden-

gar batuk-batuk beberapa kali seraya menutup hi-

dungnya, karena ternyata pemerah yang dioleskan si 

manusia pendek itu berbau anyir! Dan bersamaan 

dengan itu tangan kanannya segera bergerak mengu-

sap bibirnya dengan mengumpat habis-habisan.

"Beraninya kau berkata dusta padaku!" sam-

bung manusia pendek seraya melangkah maju mende-

kati Pendekar Mata Keranjang 108. Namun begitu ma-

nusia pendek ini melangkah maju, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 segera menyongsong.

"Pendekar Mata Keranjang!" seru Ratu Sekar 

Langit. "Serahkan manusia itu padaku!" seraya berkata 

Ratu Sekar Langit pun melangkah maju.

Mendengar seruan Ratu Sekar Langit yang me-

manggil Aji dengan Pendekar Mata Keranjang, manusia 

pendek menghentikan langkah. Matanya menyorot ta-

jam.

"Pendekar Mata Keranjang...," membatin manu-

sia pendek. "Hm.... Dugaanku nyatanya tidak meleset. 

Meski aku telah lama tak muncul ke gelanggang dunia 

persilatan, aku telah menyirap kabar jika manusia sa-

tu ini berkepandaian tinggi. Namun yang lebih dari 

semua itu, dia adalah murid Wong Agung. Musuh be-

sarku. Tak ada salahnya aku mencoba ilmunya dan

kalau perlu membunuhnya sekalian. Setelah itu baru 

gurunya...."

"Pendekar Mata Keranjang!" ucap manusia 

pendek dengan sinis. "Agar kau nantinya tak penasa-

ran saat memasuki alam kubur, dengarkan baik-baik 

aku akan mengatakan siapa diriku. Orang-orang dahu-

lu memanggilku dengan nama Bawuk Raga Ginting!"

Pendekar Mata Keranjang 108 dan Ratu Sekar 

Langit sating bertukar pandang mendengar manusia 

pendek menyebutkan siapa dirinya. Malah Ratu Sekar 

Langit undurkan langkah ke belakang. Raut wajahnya 

memperlihatkan keterkejutan sementara Pendekar Ma-

ta Keranjang 108 meski dalam hati diam-diam terce-

kat, namun dia tetap bersikap tenang. Di lain pihak, 

melihat perubahan wajah Ratu Sekar Langit, Bawuk 

Raga Ginting tertawa bergelak.

"Hmm.... Aku lamat-lamat memang pernah 

dengar nama itu.... Lantas aku tak habis pikir kenapa 

tiba-tiba dia membuka sengketa...? Apa maksud-

nya...?!" membatin Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu 

dia berkata.

"Sobat! Aku memang telah dengar siapa kau 

adanya. Manusia berilmu tinggi yang sukar dicari tan-

dingnya, namun antara kita tak ada silang sengketa 

sebelumnya! Mengapa kau mendadak bertingkah begi-

tu...?!"

"Tanyalah nanti di alam kubur pada gurumu 

yang nanti akan menyusulmu!" jawab Bawuk Raga 

Ginting dengan mata melotot angker.

Selesai berkata, Bawuk Raga Ginting segera 

meloncat ke atas setinggi setengah tombak. Lalu dia 

hentakkan sepasang kakinya empat kali berturut-

turut, sementara tangan kanannya bertumpu pada 

pangkal tombak.

Pangkal tombak itu melesak, membuat ujung-

nya amblas ke dalam tubuh, dan bersamaan dengan 

itu bumi tempatnya menghentak tiba-tiba bergetar he-

bat bagai dilanda gempa.

Pendekar 108 cepat kerahkan tenaga dalamnya 

untuk menangkis agar tubuhnya tidak ikut bergetar. 

Demikian juga Ratu Sekar Langit.

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berkutat 

mengerahkan tenaga dalam, tiba-tiba saja Bawuk Raga 

Ginting berkelebat dan di kejap lain tahu-tahu sepa-

sang tangan dan kakinya telah satu depa di de-pan hi-

dung dan perut Pendekar Mata Keranjang 108.

Murid Wong Agung dari Karang Langit ini sege-

ra angkat kedua tangannya. Satu dia angkat menutupi 

mukanya sementara satunya lagi dia palangkan di de-

pan perut.

Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut 

bukan alang kepalang, karena ternyata Bawuk Raga 

Ginting tidak meneruskan hantaman tangan dan ka-

kinya. Sebaliknya dia membuat gerakan jungkir balik 

di udara, dan dengan cepat mendarat di sebelah kanan 

Pendekar Mata Keranjang 108! Lalu didahului dengan 

bentakan nyaring, Bawuk Raga Ginting sentakkan ke-

dua tangannya.

Terdengar seperti deru gelombang dahsyat 

menghampar di tempat itu. Bersamaan dengan itu ki-

latan-kilatan warna hitam redup yang membias hawa 

panas segera menggebrak ke arah Pendekar Mata Ke-

ranjang 108. 

"Gila! Serangannya sulit diduga!" keluh Pende-

kar 108 seraya miringkan tubuhnya menyongsong se-

rangan lawan dengan hantaman kedua tangannya le-

paskan pukulan 'Segara Geni'.

Untuk kali kedua Pendekar Mata Keranjang

108 dibuat melengak. Pukulan sakti 'Segara Geni', ju-

rus ke empat dari Karang Langit bagai lenyap ditelan 

kilatan-kilatan hitam serangan Bawuk Raga Ginting, 

membuat serangan manusia pendek ini menerobos te-

rus ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang 108!

Dengan menindih rasa terkejut, Pendekar Mata 

Keranjang 108 cepat kerahkan pukulan 'Bayu Cakra 

Buana'. Hingga kejap itu juga udara terang benderang. 

Dan bersamaan dengan itu terdengar letupan beberapa 

kali. Bumi tempat itu berguncang hebat. Debu beter-

bangan melingkupi suasana. Sementara begitu letupan 

lenyap, tanah tempat bertemunya dua serangan yang 

telah sama-sama dialiri tenaga dalam itu terbongkar 

dan membentuk lobang besar sedalam setengah tom-

bak.

Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 ter-

huyung-huyung dan jatuh terduduk, sementara tubuh 

Bawuk Raga Ginting yang pendek dan kecil melayang 

ke belakang, namun sebelum tubuhnya terjerembab, 

Bawuk Raga Ginting membentak. Tubuhnya melenting 

ke udara lebih tinggi, lalu membuat gerakan salto di 

udara sebelum akhirnya mendarat kembali di samping 

tombaknya dengan berdiri kokoh!

"Rupanya kabar yang tersebar selama ini benar 

adanya. Manusia satu ini berilmu tinggi...," membatin 

Bawuk Raga Ginting dengan tersenyum beringas.

Manusia pendek ini lantas kembali melangkah 

maju. Matanya yang lebar memejam rapat sementara 

kedua tangannya diputar-putar di samping tubuhnya.

Angin menderu-deru segera terdengar, dan di 

kejap lain secara cepat Bawuk Raga Ginting hantam-

kan kedua tangannya. Matanya tetap tak dibuka.

Angin menderu-deru lebih dahsyat segera ter-

dengar tanpa terlihat adanya kilatan atau warna. Namun sejenak sempat membuat Pendekar Mata Keran-

jang 108 seakan hendak tersapu.

Melihat serangan lawan, dan sebelum tubuhnya 

sampai tersapu tunggang langgang, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 cepat lepaskan kembali 'Bayu Cakra Bua-

na'.

Hantaman angin dari Bawuk Raga Ginting 

mendadak seperti tertahan di udara, namun suara de-

ruannya tetap mendengung dahsyat, membuat tempat 

itu semakin terbongkar.

Bawuk Raga Ginting terhenyak hampir tak per-

caya. Dengan berteriak keras dan mata mendelik, dia 

hantamkan kembali tangannya, sementara kakinya tak 

henti-hentinya dibanting-banting di atas tanah.

Pendekar Mata Keranjang 108 tambah tekanan 

tenaga dalamnya. Beberapa kali kedua tangannya juga 

menghantam ke depan menangkis angin pukulan la-

wan yang semakin deras dan dahsyat, hingga pakaian 

dan rambutnya tampak berkibar-kibar.

Keringat mulai membasahi sosok-sosok Pende-

kar Mata Keranjang 108 dan Bawuk Raga Ginting. Se-

mentara tanah tempat mereka berpijak terus bergetar, 

membuat kaki Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit 

demi sedikit melesak masuk! Di lain pihak tubuh Ba-

wuk Raga Ginting tak bergeming karena dengan cerdik 

dia segera memegangi tombaknya.

Dan mendadak setelah sekian lama saling ber-

tahan dengan mengerahkan tenaga dalam masing-

masing, Bawuk Raga Ginting berkelebat cepat menero-

bos pertemuan dua serangan.

Hebatnya, tubuhnya seperti tak mengalami bias 

serangan, hingga tubuh kecil itu nyelonong mengge-

brak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108 yang ma-

sih tampak menduga-duga arah serangan lawan.

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 menduga-

duga itulah, serangan Bawuk Raga Ginting datang me-

nerjang. 

Dess! Desss!

Kedua tangan kecil Bawuk Raga Ginting meng-

hantam deras ke bahu Pendekar Mata Keranjang 108. 

Meski tangan itu kecil namun karena telah dialiri tena-

ga dalam, membuat Pendekar Mata Keranjang 108 

menjerit keras dan bersamaan dengan itu tubuhnya 

berputar keras dan terbanting menghujam tanah!

"Ratu Sekar Langit, kau menyingkirkan! Manu-

sia satu ini benar-benar ingin nyawaku!," kata Pende-

kar Mata Keranjang 108 tatkala dilihatnya Ratu Sekar 

Langit yang sedari tadi hanya melihat bergerak me-

langkah maju. 

Dan tanpa diduga sama sekali, begitu tubuh 

Pendekar Mata Keranjang roboh, dua serangan yang 

tadi bertemu di udara itu ambyar seketika dengan ke-

luarkan ledakan dahsyat.

Bawuk Raga Ginting yang telah waspada dan 

telah memikirkan hal itu, segera melompat jungkir ba-

lik ke belakang.

"Ratu Sekar Langit! Cepat menyingkir!" ingat 

Pendekar Mata Keranjang 108. Namun peringatan itu 

datangnya sudah terlambat. Bias ledakan dahsyat itu 

menerpa tubuh Ratu Sekar Langit. Hingga saat itu juga 

dari mulut gadis cantik itu terdengar jeritan lengking. 

Tubuhnya mencelat.

Pendekar Mata Keranjang 108 yang baru saja 

bangkit segera melesat mengikuti arah tubuh Ratu Se-

kar Langit, dan sebelum tubuh itu menghempas di 

atas tanah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera me-

nangkapnya, dan dengan agak sempoyongan keduanya 

mendarat di atas tanah.

"Kau berdiamlah di sini!" kata Pendekar 108. 

Lalu tanpa melihat Ratu Sekar Langit yang ingin men-

gucapkan sesuatu, Pendekar Mata Keranjang 108 ba-

likkan tubuh dan melangkah ke arah Bawuk Raga 

Ginting dengan tangan kanan memegang kipas yang 

telah dibuka.

Sepasang mata Bawuk Raga Ginting sejenak 

memandang tak kesiap ke arah kipas ungu di tangan 

kanan Pendekar Mata Keranjang 108. 

"Hmm.... Pasti itu kipas yang puluhan tahun la-

lu pernah jadi rebutan tokoh-tokoh silat...," membatin 

Bawuk Raga Ginting. Diam-diam dalam hati manusia 

pendek ini jerih juga. Namun dia tampak menindihnya 

dengan berkata.

"Kipas mainan. Siapa takut!" Belum lenyap sua-

ranya, Bawuk Raga Ginting telah menyerbu dengan le-

paskan hantaman tangan kosong kiri kanan.

Pendekar Mata Keranjang yang belum sempat 

kibaskan kipasnya merasa tubuhnya terhantam angin 

deras. Dengan menggereng murid Wong Agung ini lan-

tas berkelit dengan meloncat ke samping. Namun lagi-

lagi belum sempat gerakkan kakinya. Bawuk Raga

Ginting telah menerjang kembali. Kali ini sepasang ka-

ki mungilnya menerjang hebat ke arah dada!

"Edan! Dia sepertinya tak memberiku kesempa-

tan untuk menyerang. Dia rupanya tahu, serangan te-

naga dalam akan terbendung jika terkibas kipas ini. 

Hingga dia tak melancarkan serangan jarak jauh...," 

batin Pendekar Mata Keranjang 108 sambil palangkan 

kedua tangannya di depan dada. 

Prakk! Prakk!

Terdengar dua kali benturan keras tatkala se-

pasang tangan mungil Bawuk Raga Ginting menghan-

tam punggung kedua tangan Pendekar Mata Keranjang

108. 

Pendekar Mata Keranjang 108 terjengkang dan 

jatuh terduduk, sementara Bawuk Raga Ginting men-

tal balik. Dia mencoba membuat gerakan berputar, 

namun karena jaraknya terlalu rendah dengan tanah, 

membuatnya tak ada ruang untuk bergerak, hingga 

tak ampun lagi tubuh kecil pendek itu menghujam di 

atas tanah.

"Jahanam!" seru Bawuk Raga Ginting seraya 

bangkit. Bedak tebal di wajahnya telah jatuh berlulu-

ran, karena menuruk ke atas tanah dan terkena kerin-

gat yang membasahi wajahnya.

Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum meli-

hat hal itu, karena ternyata wajah Bawuk Raga Ginting 

bopeng-bopeng, sementara bibirnya berwarna hitam!

Melihat senyuman Pendekar Mata Keranjang 

108 yang bernada menertawakan, membuat Bawuk 

Raga Ginting marah besar. Seraya melompat disertai 

bentakan keras dia sentakan kedua tangannya!


EMPAT


DUA rangkum angin deras berhawa panas me-

nyambar cepat ke arah Pendekar Mata Keranjang. Dan 

belum sampai serangan ini melabrak, Bawuk Raga 

Ginting telah bergerak cepat, mencabut tombaknya 

dan serta merta dilemparkannya ke depan. Hebatnya, 

di udara tombak itu pecah. Pangkalnya yang memben-

tuk sekuntum bunga mencelat dan membubung tinggi 

ke atas, namun sekejap kemudian, kuntuman bunga 

itu menukik deras ke bawah. Sementara tombaknya 

lurus menerabas.

Mendapati hujan serangan yang bertubi-tubi


itu mau tak mau Pendekar Mata Keranjang tergagap 

juga. Namun dia segera sadar dan dengan kibasan ki-

pasnya dia melompat ke samping.

Angin deras itu mendadak mental balik, namun 

pangkal tombak itu sepertinya tak terpengaruh. Pang-

kal tombak yang membentuk kuntum bunga berwarna 

hitam itu terus menukik sementara batangan tombak-

nya juga terus melabrak.

"Gila!" umpat Pendekar Mata Keranjang 108 se-

raya hantamkan kedua tangannya melepas pukulan 

sakti 'Bayu Cakra Buana'.

Sinar putih segera menyelimuti tempat itu dan 

mendadak terdengar berderaknya dua benda hancur. 

Begitu suasana kembali terang, tombak serta kuntum 

bunga itu telah hancur berantakan di atas tanah.

Bawuk Raga Ginting melenggak marah melihat 

serangannya begitu mudah ditangkis lawan. Dengan 

membentak marah, manusia pendek ini langsung pu-

tar tubuhnya, hingga detik itu juga sosoknya lenyap 

dari pandangan.

Pendekar Mata Keranjang cepat pasang mata 

dan telinganya untuk mengetahui di mana beradanya 

lawan. Namun murid Wong Agung ini tiba-tiba terke-

sima. Karena mendadak saja dari segala jurusan tam-

pak sosok-sosok manusia pendek menerjang ke arah-

nya.

Karena tak bisa menentukan mana Bawuk Ra-

ga Ginting sebenarnya, membuat Pendekar Mata Ke-

ranjang putar-putar kipas dan tangannya di atas kepa-

la.

Suara angin menderu-deru segera berputar 

menyelimuti tubuh Pendekar Mata Keranjang seakan 

melindungi dirinya dari segala penjuru angin. Sosok 

Bawuk Raga Ginting yang kini tampak menjadi empat

sosok itu bagai tertahan dan tersapu tunggang lang-

gang. Namun saat itu juga terdengar beberapa teria-

kan, dan sosok-sosok Bawuk Raga Ginting membalik 

seraya menerjang. Tapi sosok-sosok ini tampaknya tak 

mampu menembus pertahanan yang menyelimuti tu-

buh Pendekar Mata Keranjang. Hingga keempat sosok 

Bawuk Raga Ginting ini mengapung di udara. 

Pendekar Mata Keranjang terus menambah pu-

taran kedua tangannya untuk mementalkan sosok-

sosok manusia pendek ini. Namun sosok-sosok ini se-

pertinya mampu membendung, hingga keempatnya te-

tap mengapung di udara.

"Hmm.... Salah seorang di antaranya pasti Ba-

wuk Raga Ginting yang asli. Tapi yang mana? Keem-

patnya tak bisa dibedakan, padahal kekuatannya pasti 

berada di yang asli...," batin Pendekar 108 seraya men-

gawasi satu persatu manusia pendek yang kini mengi-

tari dirinya dari empat penjuru dan siap menerjang ji-

ka Pendekar Mata Keranjang lengah sedikit saja.

Keringat sudah membasahi seluruh tubuh Pen-

dekar Mata Keranjang, namun murid Wong Agung ini 

nambah tekanan tenaga dalamnya, keempat sosok itu 

tak juga bergeming. Bahkan ketika sosok yang berada 

di samping kanan keluarkan bentakan dahsyat, perta-

hanan Pendekar Mata Keranjang ambrol!

Sosok ini langsung melejit menerabas dinding 

pertahanan Pendekar Mata Keranjang dengan kedua 

kaki lurus sementara kedua tangannya terpentang, 

siap hendak memecah batok kepala.

"Celaka!" seru Pendekar Mata Keranjang kebin-

gungan, karena jika dia menangkis serangan sosok 

yang berhasil menerabas ini, mau tak mau pertahanan 

lainnya akan lowong, dan ini makin membahayakan 

jiwanya.

Dengan menggerutu panjang pendek, akhirnya 

Pendekar Mata Keranjang 108 berkelit dengan miring-

kan tubuhnya ke samping, sedangkan kepalanya dia 

rundukkan sedikit. Hingga sosok yang berhasil mene-

rabas pertahanan itu menghujam tempat kosong di 

samping Pendekar Mata Keranjang. Namun gerakan 

Pendekar Mata Keranjang 108 itu membuat pertaha-

nan di samping kiri goyah dan ambrol. Hingga kali ini 

sosok Bawuk Raga Ginting yang dari sebelah kiri me-

nerjang deras.

"Sialan! Aku tak bisa bertahan begini terus-

terusan...," Pendekar Mata Keranjang segera hentikan 

putaran tangannya dan dihantamkan ke kiri dan ke 

depan.

Sosok Bawuk Raga Ginting yang menerjang dari 

arah kiri mental balik, sementara yang hendak mener-

jang dari arah depan tersapu dan melayang jauh den-

gan keluarkan jeritan tertahan.

Namun sosok yang berada di belakang, melihat 

pertahanan Pendekar Mata Keranjang 108 bobol segera 

meluncur deras. Karena saat itu Pendekar Mata Keran-

jang sedang menangkis sosok yang datang dari arah 

kiri dan depan, membuat Pendekar Mata Keranjang 

108 tak bisa lagi menghindar dari terjangan sosok yang 

datang dari belakang. Hingga sesaat kemudian terden-

gar seruan keras dari mulut Pendekar Mata Keranjang. 

Dan bersamaan dengan itu tubuh Pendekar Mata Ke-

ranjang terjerembab ke depan dengan menyusup ta-

nah!

Dadanya terasa sesak menghantam tanah, se-

mentara punggungnya bagai ditembus kayu batangan. 

Dari hidungnya serta sudut bibir keluar darah segar. 

Matanya berkunang-kunang.

Sementara itu, keempat sosok Bawuk Raga

Ginting sama-sama keluarkan kekehan. Dan sesaat 

kemudian tiga di antaranya dari kepalanya mengepul 

asap putih yang makin lama makin membungkus. Be-

gitu asap itu lenyap, ketiga sosok Bawuk Raga Ginting 

yang terbungkus asap hilang lenyap, tinggal satu yang 

ternyata tadi melepaskan terjangan dari arah belakang!

Melihat Pendekar Mata Keranjang roboh, Ba-

wuk Raga Ginting melangkah mendekat. Bibirnya yang 

hitam legam tampak sunggingkan senyum buruk. Se-

mentara kedua tangannya siap hendak lepaskan puku-

lan.

Saat itulah berkelebat bayangan putih, mem-

bentak sambil menyongsong Bawuk Raga Ginting yang 

hendak lepaskan pukulan pada Pendekar Mata Keran-

jang 108 yang masih mulai merambat bangkit dengan 

meringis kesakitan.

Bawuk Raga Ginting urungkan niat, dan ber-

paling pada bayangan yang menyongsongnya. Dan ber-

samaan dengan itu Bawuk Raga Ginting menjejak ta-

nah, tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu telah berada 

di belakang bayangan putih yang ternyata adalah Ratu 

Sekar Langit.

Ratu Sekar Langit nampak terkejut melihat ke-

cepatan lawan. Hingga sebelum dia sempat bergerak, 

kedua tangan Bawuk Raga Ginting telah bergerak me-

notok jalan darah Ratu Sekar Langit bagian punggung 

dan bahu, membuat gadis ini tegang kaku tak bisa 

bergerak.

Bawuk Raga Ginting tertawa terkekeh panjang, 

hingga matanya menyipit.

"Bangsat keji. Lepaskan diriku!" raung Ratu Se-

kar Langit keras. Namun gadis ini hanya bisa berteriak 

tanpa dapat menggerakkan anggota tubuhnya.

Bawuk Raga Ginting tak menghiraukan teria

kan Ratu Sekar Langit, dia melangkah perlahan ke 

arah Pendekar Mata Keranjang yang kini telah berdiri 

dengan pelipis bergerak-gerak, dagunya terangkat me-

nahan amarah.

"Keparat! Bebaskan dia. Kalau tidak...." Pende-

kar Mata Keranjang tidak meneruskan ucapannya, ka-

rena Bawuk Raga Ginting telah menyela. 

"Kalau tidak kenapa...?" tanya Bawuk Raga 

Ginting sambil menyeringai. "Kalau kau berilmu tinggi, 

tentunya kau bisa bebaskan kekasihmu itu. Hik... 

hik... hik...!" 

"Kau benar-benar cari gara-gara untuk mam-

pus!" bentak Pendekar Mata Keranjang seraya han-

tamkan tangan kirinya melepas pukulan 'Bayu Cakra 

Buana' sedangkan tangan kanannya kibaskan kipas 

ungu.

Sinar putih yang membawa suara gemuruh 

dahsyat dan hawa panas serta angin deras segera me-

lesat menyambar ke arah Bawuk Raga Ginting yang 

tampak melangkah ke arahnya. Sambil lepaskan puku-

lan, sepasang mata Pendekar Mata Keranjang tak ke-

siap memperhatikan sosok Bawuk Raga Ginting, dia 

waspada jika sewaktu-waktu manusia pendek ini me-

rubah dirinya menjadi beberapa sosok.

Di seberang, melihat serangan datang padanya, 

Bawuk Raga Ginting tersenyum. Lantas masih dengan 

tersenyum manusia pendek ini dorong kedua tangan-

nya ke depan dengan gerak perlahan.

Sinar berwarna hitam kelam yang disertai asap 

melesat keluar dari kedua tangan Bawuk Raga Ginting 

menyongsong serangan Pendekar Mata Keranjang.

Keadaan di tempat itu mendadak redup gelap 

karena bertemunya dua serangan. Dan bersamaan 

dengan itu terdengar ledakan dahsyat.

Blarrr!

Sinar putih dan sinar hitam pecah dan lenyap 

begitu bentrok di udara. Tanahnya bergetar hebat dan 

rengkah-rengkah. Tubuh Ratu Sekar Langit yang tak 

bisa bergerak tersapu hingga tiga tombak dan baru 

terhenti ketika tubuhnya mengantuk sebatang pohon 

besar.

Begitu gema ledakan lenyap dan keadaan sedi-

kit terang, tiba-tiba Bawuk Raga Ginting meloncat dan 

tahu-tahu kedua tangannya telah mencengkeram bahu 

kiri Pendekar Mata Keranjang!

Sambil memaki panjang pendek, Pendekar Ma-

ta Keranjang 108 segera ayunkan tangan kanannya 

untuk menghantam tubuh kecil Bawuk Raga Ginting 

yang kini mengapung di udara dengan kedua tangan 

mencengkeram bahunya. Namun begitu tangan kanan 

Pendekar Mata Keranjang 108 bergerak menghantam, 

kaki kecil Bawuk Raga Ginting bergerak memapasi.

Prakkk!

Astaga! Pendekar Mata Keranjang hampir tak 

percaya. Tangkisan kaki mungil Bawuk Raga Ginting 

itu ternyata mampu membuat tubuh Pendekar Mata 

Keranjang berputar. Dan tatkala tubuhnya berputar, 

Bawuk Raga Ginting menyentakkan tangannya yang 

mencengkeram bahu. Hingga membuat putaran tubuh 

Pendekar Mata Keranjang semakin deras.

Dalam keadaan berputar itulah tiba-tiba Bawuk 

Raga Ginting meloncat ke udara. Lalu sepasang tan-

gannya dia satukan dan dengan gerak cepat dia han-

tamkan ke tangan kanan Pendekar Mata Keranjang 

yang memegang kipas.

Pendekar Mata Keranjang meraung keras. Dan 

bersamaan dengan itu tangan kanannya terasa dihan-

tam batangan pohon besar. Kipas ungunya terlepas,

dan jatuh di atas tanah. Namun dalam keadaan seke-

jap itu Pendekar Mata Keranjang sempat hantamkan 

tangan kiri ke tubuh Bawuk Raga Ginting.

Tubuh Bawuk Raga Ginting melayang jauh. 

Manusia pendek ini coba kerahkan tenaga untuk 

menghentikan gerak laju tubuhnya, namun usahanya 

sia-sia. Hingga sambil menjerit-jerit tubuhnya terus 

melayang dan jatuh terkapar di atas tanah dengan ke-

pala terlebih dahulu, membuat rambut jabriknya sebe-

lah atas terpangkas rata. Dadanya berdenyut sakit dan 

sukar untuk bernapas. Seraya bangkit, manusia pen-

dek ini batuk-batuk beberapa kali, lalu meludah ke ta-

nah. Ludah itu telah berwarna merah kehitaman, per-

tanda dia mengalami luka dalam cukup parah akibat 

hantaman tangan kiri Pendekar Mata Keranjang.

Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang tak 

jauh berbeda. Tubuhnya yang tadi berputar deras ak-

hirnya menukik deras menghujam tanah dengan bahu 

terlebih dahulu, membuat pakaian di bagian bahunya 

robek lebar dan bahu kirinya mengucur deras akibat 

cengkeraman kedua tangan Bawuk Raga Ginting yang 

ternyata berkuku runcing dan tajam!

"Manusia edan!" teriak Pendekar 108 sembari 

bangkit meski dengan memegangi bahunya dan men-

cari-cari kipasnya.

Selagi pendekar murid Wong Agung ini menya-

pukan pandangannya berkeliling mencari kipasnya, 

Bawuk Raga Ginting telah kirimkan serangan. Hingga 

saat itu juga keadaan tempat itu menjadi gelap.

Dengan menahan rasa sakit dan terkejut, Pen-

dekar Mata Keranjang 108 cepat pula hantamkan ke-

dua tangannya ke depan memapak serangan Bawuk 

Raga Ginting.

Blarrr!

Kembali hutan kecil itu disentak dengan leda-

kan dahsyat. Pohon-pohon berderak tumbang, semen-

tara angin kencang menggemuruh bersiutan menderu-

deru menyambar ke sana kemari.

Saat keadaan jelas kembali, Pendekar Mata Ke-

ranjang terkejut.

"Sialan! Ke mana sirnanya manusia edan itu?!" 

ujar Pendekar Mata Keranjang sambil melayangkan 

pandangannya berkeliling. Namun hingga agak lama 

matanya tidak menemukan sosok Bawuk Raga Ginting. 

Dan Pendekar Mata Keranjang semakin tercengang 

tatkala dilihatnya Ratu Sekar Langit juga tak terlihat di 

tempatnya dia menggeletak.

"Bajingan. Dia kabur! Namun ke mana geran-

gan Ratu Sekar Langit...?" Dia lantas menarik napas 

dalam-dalam. Sepasang matanya menyapu kembali 

berkeliling, dan Pendekar Mata Keranjang 108 merasa 

lega tatkala masih menangkap kipasnya yang tergele-

tak di atas tanah.

Dengan cepat Pendekar Mata Keranjang 108 

berkelebat dan memungut kipas ungunya lalu dilipat 

dan dimasukkan ke balik baju hijaunya.

Tatkala itulah, sepasang matanya melihat se-

buah tulisan di tanah. Tulisan itu tak karuan namun 

masih bisa dibaca.

Kekasihmu kubawa. Kalau kau benar mencin-

tainya, kau pasti bisa menemukanku.

"Manusia gila! Apa maksud dia sebenarnya 

dengan semua ini...? Jangkrik betul. Urusan satu be-

lum selesai kini timbul lagi urusan lain. Namun aku 

harus meneruskan dahulu perjalanan ke lereng Gu-

nung Mahameru, mencari tahu keadaan Putri Tunjung

Kuning, karena bagaimanapun juga akulah yang me-

nyerahkan gadis itu pada Restu Canggir Rumekso yang 

ternyata adalah tokoh sesat. Ah, kenapa aku selalu ter-

tipu melulu...?"

Seraya berpikir, Pendekar Mata Keranjang 108 

bergerak melangkah meninggalkan tempat itu. Namun 

baru dua langkah, dia menghentikan gerakan kakinya. 

Sepasang ekor matanya melirik tajam, sementara telin-

ganya ditarik sedikit ke atas. Kedua tangannya siap 

melepas pukulan. Dan begitu dapat menentukan letak 

orang yang dirasa membuntuti, Pendekar Mata Keran-

jang cepat balikkan tubuh.

Pendekar Mata Keranjang 108 serta merta 

urungkan niat untuk melepaskan serangan. Dia terli-

hat menarik napas dalam-dalam dan sesaat kemudian 

tersenyum demi mengetahui siapa adanya orang yang 

kini berada di hadapannya.

"Manik Angkeran!" seru Pendekar 108 seraya 

melangkah mendekat.

Yang dipanggil hanya tersenyum seraya anggu-

kan kepala. Dia adalah seorang laki-laki setengah 

baya. Namun jenggotnya telah panjang dan memutih. 

Rambutnya demikian juga, panjang dan memutih. Dia 

mengenakan jubah putih panjang di tangannya tam-

pak seuntai tasbih yang terus bergerak-gerak memutar 

seiring bergeraknya tangan. Di lehernya juga terlihat 

untaian kalung dari manik-manik berwarna hijau yang 

berkilau.

"Bagaimana kau selama ini...?" tanya Pendekar 

Mata Keranjang 108 begitu dekat dengan laki-laki yang 

baru datang yang bukan lain memang Manik Angke-

ran. Seorang tokoh putih sahabat Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 yang turut serta membasmi para tokoh go-

longan hitam waktu terjadi peristiwa diteluk Gonggong.

"Yakh. Aku baik-baik saja. Aku sangat gembira 

sekali tanpa kuduga bisa bertemu denganmu lagi. Dan 

lebih suka lagi tatkala aku dengar kabar bahwa kau te-

lah berhasil menumpas gerombolan Malaikat Berdarah 

Biru. Ngg.... Bagaimana tentang gadis berjuluk Ratu 

Sekar Langit yang dahulu pergi bersamamu itu?"

"Ya begitulah. Aku memang telah berhasil me-

numpas gerombolan Malaikat Berdarah Biru. Namun 

seperti pada waktu di teluk Gonggong, dia masih ber-

hasil melarikan diri. Dan soal gadis itu, baru saja dia 

bersamaku, tapi...," Pendekar Mata Keranjang 108 tak 

meneruskan kata-katanya.

"Tapi kenapa? Apa yang terjadi...? Kulihat kau 

tadi juga sepertinya sedang tegang...."

Pendekar Mata Keranjang lantas menceritakan 

perjalanannya bersama Ratu Sekar Langit dan perte-

muannya dengan Bawuk Raga Ginting.

"Kau menyebut Bawuk Raga Ginting!" kata Ma-

nik Angkeran setengah terkejut, begitu mendengar ce-

rita Pendekar Mata Keranjang.

"Kau harus berhati-hati menghadapi manusia 

itu. Dia adalah seorang tokoh golongan sesat yang te-

lah lama tak terdengar kabar beritanya, namun dia 

adalah tokoh yang ilmunya sukar dijajaki..."

"Kau benar. Namun aku tak habis pikir, kenapa 

tanpa ujung pangkal tiba-tiba saja dia mencari gara-

gara bahkan tampaknya menginginkan nyawaku!"

Manik Angkeran berdehem beberapa kali, lalu 

menarik napas dalam-dalam.

"Yang pernah kudengar, manusia pendek ini 

menaruh dendam pada gurumu! Juga pada orang-

orang yang dahulu pernah mengucilkannya. Kau tahu? 

Bawuk Raga Ginting adalah manusia yang diciptakan 

Tuhan dengan keadaan kurang sempurna. Hanya

sayangnya, Bawuk Raga Ginting tak menyadari hal itu. 

Dia terlalu ambisi. Hingga waktu itu katanya banyak 

orang yang mengucilkannya. Bahkan orang yang diam-

diam dicintainya pun menghinanya. Waktu itu Bawuk 

Raga Ginting lantas menghilang. Namun selang bebe-

rapa tahun kemudian muncul dan membuat semua 

orang hampir tak percaya, karena dia telah menguasai 

ilmu silat tinggi hingga waktu itu banyak orang rimba 

persilatan tumbang di tangannya. Namun, pada akhir-

nya lantas tersiar kabar jika Bawuk Raga Ginting da-

pat dikalahkan oleh Wong Agung dan Ageng Panangka-

ran. Aku tak tahu apa masalahnya sampai Bawuk Ra-

ga Ginting bersengketa dengan Wong Agung dan Ageng 

Panangkaran...."

Mendengar keterangan Manik Angkeran, Pen-

dekar Mata Keranjang 108 angguk-anggukkan kepala.

"Kalau dia sekarang muncul lagi, dan tiba-tiba 

ingin membunuhmu, maka kau tentu tahu apa sebab-

nya...," sambung Manik Angkeran pula.

"Hmm.... Lantas apakah kau juga tahu tentang 

seseorang yang bernama Restu Canggir Rumekso...?" 

tanya Pendekar Mata Keranjang.

Raut wajah Manik Angkeran kembali menam-

pakkan keterkejutan. Hingga untuk beberapa saat la-

manya sepasang matanya menatap pada Pendekar Ma-

ta Keranjang seakan ingin meyakinkan ucapan pemu-

da di hadapannya.

"Kau juga mempunyai sengketa dengan orang 

itu...?!" Manik Angkeran balik bertanya.

"Sebenarnya tidak. Hanya saja sahabatku telah 

kuserahkan padanya untuk diobati. Namun karena 

aku lantas mendengar bahwa Restu Canggir Rumekso 

adalah seorang tokoh sesat, aku berusaha untuk men-

carinya. Karena orang yang kuserahkan itu adalah

menjadi tanggung jawabku jika terjadi apa-apa den-

gannya!"

"Melihat nada kekhawatiran ucapanmu, apakah 

sahabatmu itu juga seorang gadis muda, dan can-

tik...?" 

Wajah Pendekar Mata Keranjang berubah agak 

merah padam. Namun sesaat kemudian dia tersenyum 

meski dalam hatinya dia menyumpah habis-habisan 

demi dilihatnya Manik Angkeran berkata seraya terse-

nyum penuh arti.

Melihat perubahan wajah Pendekar Mata Ke-

ranjang yang meski hanya sesaat, Manik Angkeran ter-

tawa lebar.

"Kau tak perlu menjawab. Dari raut muka dan 

nada bicaramu tadi aku tahu, sahabatmu adalah seo-

rang gadis muda berwajah cantik jelita, dan mungkin 

kau jatuh cinta padanya...," Manik Angkeran meng-

hentikan ucapannya. Lantas matanya memandang ke 

jurusan lain. 

"Orang itu dugaannya hebat juga. Semoga dia 

juga mengetahui tentang Ratu Sekar Langit, biar aku 

memperoleh sedikit jalan...," membatin Pendekar Mata 

Keranjang.

"Pendekar Mata Keranjang! Kalau kau memang 

berurusan dengan orang bernama Restu Canggir Ru-

mekso, kau juga harus lebih hati-hati. Selain berilmu 

tinggi dan ahli pengobatan, dia juga terkenal sangat li-

cin dan licik!" kata Manik Angkeran setelah agak lama 

berdiam diri.

"Namun sungguh kau kali ini menghadapi situ-

asi sulit. Karena sebenarnya Restu Canggir Rumekso 

adalah orang yang dahulu diam-diam dicintai oleh Ba-

wuk Raga Ginting...."

Pendekar Mata Keranjang membelalakkan sepasang matanya mendengar keterangan Manik Angke-

ran. Manik Angkeran lantas tengadahkan kepala meli-

hat ke atas. "Nampaknya sebentar lagi senja akan tu-

run. Kalau benar apa yang telah kau ceritakan, se-

baiknya kau lekas meninggalkan tempat ini. Perjala-

nanmu ke lereng Gunung Mahameru masih jauh. Lagi 

pula kurasa kau telah rindu dengan gadismu yang kini 

berada di tangan Restu Canggir Rumekso, Bukankah 

begitu...?"

Meski dalam hati mengumpat habis-habisan, 

Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya mengangguk 

juga. Dia lantas maju selangkah, dan berkata.

"Aku berterima kasih atas keteranganmu. Me-

nuruti perkataan mu, memang sebaiknya aku pergi 

sekarang. Tapi sebelumnya aku ingin tanya, apakah 

kau tak ingin pesan sesuatu padaku. Gadis cantik un-

tuk pendamping hidup misalnya?"

Manik Angkeran tertawa lebar. Dalam hati laki-

laki ini membatin. "Anak ini benar-benar edan. Apa di-

kiranya aku tak bisa cari sendiri?" Setelah mendehem 

beberapa kali Manik Angkeran berkata.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Aku tahu, te-

man-teman perempuanmu memang cantik-cantik, na-

mun mungkin dari sekian banyak temanmu itu tak 

ada yang cocok untukku. Apalagi yang bekas kau jadi-

kan kekasihmu. Jadi terpaksa aku harus cari sendi-

ri...."

Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk 

perlahan seraya tersenyum.

"Jika demikian, baiklah. Aku pergi sekarang. 

Tapi tawaranku padamu tetap berlaku. Dan jika se-

waktu-waktu kau membutuhkan, kau dapat mencari-

ku!"

Habis berkata Pendekar Mata Keranjang 108

balikkan tubuh dan berkelebat meninggalkan Manik 

Angkeran yang memandangi kepergiannya dengan ge-

leng-geleng kepala.



LIMA


SETELAH melakukan perjalanan selama tiga 

hari tiga malam, dan setelah bertanya kian kemari ak-

hirnya Pendekar Mata keranjang 108 dapat menemu-

kan di mana Restu Canggir Rumekso berada.

Seraya melangkah perlahan-lahan dan tetap 

waspada, Pendekar Mata Keranjang 108 mendatangi 

bangunan tua di sudut desa yang menurut orang-

orang itu adalah tempat kediaman Restu Canggir Ru-

mekso.

"Hmm.... Benar apa yang dikatakan Manik 

Angkeran. Restu Canggir Rumekso adalah seorang to-

koh hitam yang licin dan licik. Terbukti dari sekian 

banyak penduduk kampung yang kutanyai, mereka 

hampir semuanya mengenal, dan wajah mereka seper-

tinya tak menaruh curiga atau cemas tatkala kutanya-

kan tentang Restu Canggir Rumekso. Malah mereka 

sepertinya menaruh hormat.... Hmm.... Menghadapi 

orang demikian memang lebih sulit...."

Sambil membatin Pendekar Mata Keranjang 

108 terus melangkah, namun sampai dekat bangunan, 

tak ada tanda-tanda orang akan muncul atau sesuatu 

yang mencurigakan.

"He...! Ada orangkah di dalam?" teriak Pendekar 

Mata Keranjang keras begitu ditunggu agak lama be-

lum juga ada tanda-tanda orang. Namun seperti hal-

nya ketika dia menunggu, tak ada jawaban keluar dari 

dalam bangunan.

"Aku harus berhati-hati. Bukan tidak mungkin 

ini adalah jebakan...," batin Pendekar 108 seraya me-

layangkan pandangan ke dalam bangunan lewat sela-

sela pintu depan yang sudah agak keropos.

Namun hingga matanya pedas dan kakinya le-

lah berdiri, orang yang diharapkan tak juga menam-

pakkan diri. Akhirnya dengan hati-hati sekali Pendekar 

Mata Keranjang 108 memutuskan untuk masuk.

Dengan kaki kanan didorongnya pintu depan. 

Ternyata pintu itu tak direkatkan pakai paku, hingga 

tatkala kaki kanan Pendekar Mata Keranjang 108 ber-

gerak mendorong, pintu itu jatuh terhumbalang den-

gan keluarkan suara berderak, membuat Pendekar Ma-

ta Keranjang 108 terkejut sendiri.

"Sialan!" seru pendekar murid Wong Agung ini 

sambil melangkah memasuki bangunan. Sejenak sepa-

sang matanya memandang berkeliling. Tak tampak pe-

rabotan rumah tangga di ruang itu. Yang ada hanyalah 

sebuah batu berbentuk altar.

"Apakah orang itu sudah meninggalkan tempat 

ini...? Di sana ada ruangan, akan kulihat...," dia lantas 

melangkah ke sebuah ruangan yang pintunya juga 

tampak tertutup.

Takut jika pintu itu seperti pintu bagian depan, 

Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak meneliti sisi

pintu. Dan begitu merasa yakin pintu itu direkatkan, 

dengan hati-hati didorongnya pintu itu menggunakan 

kaki. Sementara kedua tangannya siap jika sewaktu-

waktu ada sesuatu mendadak muncul.

"Sial! Dia memang benar-benar telah tidak be-

rada di sini lagi...," gumam Pendekar Mata Keranjang 

begitu pintu ruangan terbuka dan matanya tak juga 

menemukan siapa-siapa.

Belum yakin benar, akhirnya Pendekar Mata

Keranjang melangkah masuk, di ruangan itu hanya 

ada sebuah meja bundar agak besar, dan seutas tam-

bang besar yang dibiarkan berserakan begitu saja di 

bawah meja.

"Hmm.... Ke mana gerangan Restu Canggir Ru-

mekso...? Dan Putri Tunjung Kuning bagaimana? Apa 

dia tak mengalami halangan...?" seraya bergumam 

sendiri, Pendekar Mata Keranjang 108 jongkok dan 

meneliti tambang besar itu dengan lebih seksama. Ke-

cewa tak mendapati apa-apa Pendekar Mata Keranjang 

108 lantas kembali berdiri. Saat itulah sepasang ma-

tanya melihat bekas darah yang telah mengering di 

atas meja.

"Darah.... Darah siapa ini? Jangan-jangan Putri 

Tunjung Kuning mengalami hal yang tidak-tidak...," 

merasa khawatir dengan keadaan Putri Tunjung Kun-

ing, Pendekar Mata Keranjang 108 memperhatikan 

dengan seksama setiap sudut ruangan bahkan tak ja-

rang tangannya memukul-mukul tembok ruangan ta-

kut jika tembok itu memiliki ruangan rahasia.

Namun hingga lama memperhatikan dan me-

nyelidik Pendekar Mata Keranjang 108 tidak menemu-

kan apa-apa.

"Keparat! Ke mana sekarang aku harus menca-

rinya...? Hmm.... Bagaimana kalau sekarang aku mela-

cak jejak Ratu Sekar Langit yang dibawa Bawuk Raga 

Ginting...? Tapi aku juga tak tahu di mana dia bertem-

pat tinggal. Ah, benar-benar sial aku!" seraya terus 

bergumam menggerutu panjang pendek, Pendekar 108 

melangkah keluar dari dalam bangunan, dan berkele-

bat pergi ke arah mana tadi dia datang.

***

Sementara itu di sebuah ruangan bawah tanah, 

di bawah bangunan tempat tinggal Restu Canggir Ru-

mekso terlihat sesuatu pemandangan aneh. Seorang 

anak laki-laki berusia dua tahun sedang menggelan-

tung terbalik dengan kedua pergelangan kaki terikat 

jadi satu. Ikatan tali itu menjulur ke atas dan ditalikan 

pada sebuah tiang yang terdiri dari ranting kecil. He-

batnya ranting itu tidak patah ataupun bergerak-

gerak, padahal anak yang menggelantung itu sesekali 

tubuhnya bergoyang-goyang, bahkan tak jarang berpu-

tar-putar.

Meski anak ini baru berusia sepuluh hari tetapi 

besarnya sama seperti anak berusia dua tahun. Ram-

butnya amat tebal dan panjang, hingga saat mengge-

lantung begitu, wajahnya menjadi tak terlihat jelas. 

Hanya dari sela-sela rambutnya yang menjuntai pan-

jang itu terlihat sepasang mata yang berkilat-kilat.

Di depan anak yang menggelantung terbalik, 

tampak seorang laki-laki tua sedang duduk bersila. Dia 

mengenakan jubah hitam agak kusam. Rambutnya 

panjang hingga punggung, hanya saja rambut itu tum-

buh mulai dari bagian belakang kepala. Sementara ke-

pala bagian samping dan atas tak ditumbuhi rambut 

sama sekali.

"He... he... he.... Bagus, bagus!" terdengar nada 

suara memuji dari laki-laki yang duduk bersila yang 

bukan lain adalah Restu Canggir Rumekso, begitu me-

lihat anak kecil di hadapannya bergerak-gerak seperti 

yang dia perintahkan.

"Seandainya waktunya telah tiba, tamu kita ta-

di yang tidak kita undang kedatangannya pasti sudah 

merasakan bagaimana kedahsyatan mu. Ha... ha... 

ha.... Namun aku tidak kecewa, suatu saat kelak kita 

pasti akan dipertemukan lagi dengan manusia berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108 itu, dan kita akan 

mendapatkan apa yang kita inginkan...," kata Restu 

Canggir Rumekso seperti berkata pada dirinya sendiri.

Lantas laki-laki ini menggerakkan tangan ka-

nannya menyentak ke atas, ke arah ikatan yang ada di 

ranting.

Tasss!

Tali pengikat di ranting putus tanpa menimbul-

kan bunyi. Anehnya anak laki-laki yang menggelan-

tung itu tidak jatuh, tubuhnya tetap terbalik dengan 

ujung pergelangan kaki terikat jadi satu.

"Hmm.... Ilmu peringan tubuhmu rupanya telah 

benar-benar tinggi.... Aku tak salah memilihmu.... Kau 

benar-benar anak ajaib!"

Ternyata tubuh anak kecil itu tak jatuh karena 

tubuhnya ditopang oleh untaian rambutnya yang men-

julur ke bawah menyentuh tanah. Bahkan rambut itu 

ujung-ujungnya hanya sedikit menyentuh tanah!

Tidak berselang lama, tanpa didahului bicara 

atau bentakan, Restu Canggir Rumekso sentakan 

kembali kedua tangannya ke arah rambut anak kecil 

yang tampak kaku menopang tubuhnya.

Wesss!

Sulit dipercaya, begitu serangkum angin deras 

menyambar dari kedua tangan Restu Canggir Rumek-

so, anak kecil ini bergerak cepat membuat putaran sa-

tu kali di udara dan akhirnya berdiri dengan kedua 

tangan sedekap di depan dada. Hingga sambaran an-

gin deras itu menghajar tempat kosong.

Begitu berdiri kedua tangan anak kecil ini me-

rapikan rambutnya yang rupanya menghalangi pan-

dangannya, hingga kini tampak jelas raut wajahnya. 

Ternyata raut wajah anak laki-laki ini tampan dan 

mungil, sama seperti anak-anak berusia sebaya dengannya. Hanya saja sepasang matanya terlihat berki-

lat-kilat beringas, sementara bibirnya tak henti-

hentinya mengeluarkan seringaian, serta tubuhnya te-

lah tampak berotot!

Anak laki-laki ini yang bukan lain adalah anak 

Putri Tunjung Kuning memang lahir dan tumbuh se-

perti yang diharapkan dan diyakini Restu Canggir Ru-

mekso. Begitu lahir, perkembangan anak ini begitu pe-

sat. Dalam sepuluh hari perkembangan badannya su-

dah menyerupai anak berusia dus tahun.

Dan yang lebih membuat Restu Canggir Ru-

mekso bertambah girang, ternyata kecerdasan anak ini 

sungguh luar biasa. Dia dapat segera menangkap apa 

yang diajarkan dengan hanya melihat sepintas lalu. 

Dan di lain pihak ternyata tubuh anak ini tahan terha-

dap pukulan dan tak mengeluarkan darah meski kulit 

tubuhnya robek!

"Hmm.... Dua puluh hari lagi usiamu akan ge-

nap satu purnama. Aku sebenarnya sudah tak sabar 

menanti hari. Aku ingin rasanya segera memasukkan 

tenaga sakti ke dalam tubuhmu, namun karena tu-

buhmu tidak boleh tersentuh tangan manusia sebelum 

usiamu genap satu purnama, maka aku harus bersa-

bar...."

Restu Canggir Rumekso lantas melirik pada 

anak laki-laki yang berdiri tak jauh dari hadapannya. 

Dan serta merta laki-laki tua ini sentakkan kedua tan-

gannya ke arah sang anak. 

Wesss! Wesss!

Dua rangkum angin menggemuruh yang ber-

hawa panas melesat menerjang ke depan mengarah 

pada anak kecil.

Melihat serangan, anak kecil ini keluarkan se-

ringai ganas, namun dia tak berusaha untuk bergerak

menghindar. Hingga tanpa ampun lagi serangan Restu 

Canggir Rumekso menghantam telak tubuhnya. Na-

mun, seakan janggal, pukulan yang dilancarkan Restu 

Canggir Rumekso yang mampu menumbangkan bebe-

rapa tokoh pada zamannya itu hanya mampu mem-

buat anak kecil ini bergoyang sedikit! Dan sesaat ke-

mudian telah tegak kokoh kembali.

"Bagus.... Bagus...," ujar Restu Canggir Rumek-

so seraya memberi isyarat pada sang anak untuk balik 

menyerangnya. Hingga tak lama kemudian di ruang 

bawah tanah itu terjadilah pertukaran jurus yang 

mengakibatkan ruang itu porak poranda.

Demikianlah hari-hari terus dipergunakan oleh 

Restu Canggir Rumekso untuk mendidik sang anak 

dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya.



ENAM


DUA puluh hari kemudian.... Di lereng Gunung 

Mahameru tampak dua bayangan berkelebat cepat me-

lewati sela-sela pohon yang berjajar rapat tak beratu-

ran. Dan hanya sekejap saja dua bayangan ini telah 

sampai di kaki gunung. Lalu sepertinya sedang menge-

jar sesuatu, dua sosok bayangan ini terus berkelebat 

ke arah barat.

Dan memang benar, begitu kedua bayangan ini 

sampai pada sebuah hutan lebat, mereka menghenti-

kan gerakannya. Kedua bayangan ini ternyata adalah 

seorang laki-laki berusia lanjut yang mengenakan pa-

kaian jubah warna putih. Di atas kepalanya terlihat 

caping dari daun pandan lebar, membuat wajahnya ti-

dak begitu jelas. Sementara satunya lagi adalah seo-

rang anak kira-kira berusia tujuh tahun.

Namun meski begitu tubuh anak ini tampak te-

gap dan berotot, dan yang lebih dari itu sepasang ma-

tanya berkilat-kilat dengan bibir terus menerus menye-

ringai.

Dua orang yang bukan lain adalah Restu Cang-

gir Rumekso dan anak muridnya ini tampak berdiri 

dengan memandang lurus ke arah depan, di mana ter-

lihat sebuah belokan.

"Saatnya kita menggegerkan rimba persilatan!" 

ujar Restu Canggir Rumekso dengan melirik pada anak 

yang berdiri di sampingnya.

Sang anak yang diajak bicara diam tak menya-

hut. Hanya sepasang matanya balas melirik tanpa 

memalingkan wajah.

Restu Canggir Rumekso tersenyum rawan, da-

lam hati dia berkata.

"Hmm.... Harapanku menjadi anak ini tak 

punya perasaan dengan tidak memberinya air susu ibu 

serta sentuhan tangan, rupanya berhasil. Dengan de-

mikian anak ini tak segan-segan melakukan tindakan 

apa saja tanpa mempedulikan batas-batas...," orang 

tua ini lantas berucap seraya matanya memandang lu-

rus ke arah belokan yang agak jauh di depannya.

"Abilowo!" panggil Restu Canggir Rumekso pada 

sang anak. "Korban pertama mu akan segera datang! 

Habisi mereka!"

Belum selesai Restu Canggir Rumekso berkata, 

dari arah belokan muncul dua orang penunggang ku-

da. Kedua penunggang kuda ini serta merta menghen-

tikan kuda tunggangan masing-masing tatkala mereka 

mengetahui dua orang sedang berdiri pada jalan yang 

hendak mereka lalui dengan sikap menghadang.

Seraya menadangkan tangan masing-masing di 

depan kening menangkis silaunya matahari, kedua penunggang kuda ini memandang ke depan dengan me-

nyipit dan membelalak. Keduanya lantas saling ber-

pandangan satu sama lain.

"Tampaknya ada tikus tua dan muda yang sen-

gaja menghadang perjalanan kita!" kata penunggang 

kuda sebelah kanan. "Sudah beberapa hari ini me-

mang tanganku gatal-gatal, rupanya ada orang yang 

ingin diantar tanganku pergi ke liang kubur!"

Penunggang kuda yang sebelah kiri tak me-

nyambuti ucapan temannya, sebaliknya sepasang ma-

tanya menatap tajam pada dua orang penghadang di 

depannya dengan tak kesiap.

"Kau kenal dengan manusia bercaping lebar 

berjubah kusam itu...?" tanya penunggang kuda sebe-

lah kiri ini tanpa berpaling pada temannya.

"Untuk mengirim orang ke neraka kita tak perlu 

tahu siapa mereka!" sahut penunggang kuda sebelah 

kanan seraya kepalkan kedua tangannya dan diperte-

mukan menjadi satu di depan dada.

Penunggang kuda sebelah kiri tertawa bergelak-

gelak. "Ucapanmu benar. Tapi tak ada salahnya jika 

kali ini kita tanya dahulu siapa mereka. Karena seper-

tinya aku mengenali tikus yang tua!"

Penunggang sebelah kanan berpaling meman-

dang pada temannya. Lalu beralih pada orang yang 

mengenakan caping lebar di hadapannya.

"Memakai caping lebar, rambut panjang, berju-

bah putih kusam.... Hmm...," dahi penunggang kuda 

sebelah kanan ini mengerut. Matanya menyipit. Dan 

setelah memperhatikan sekali lagi, penunggang kuda 

ini serta merta tersenyum sinis. "Keparat ini rupanya 

belum tewas ketika kita hajar di kotaraja beberapa pu-

luh tahun yang lalu. Restu Canggir Rumekso! Seorang 

tokoh sesat segolongan kita yang sangat licik dan pengecut!" kata penunggang sebelah kanan perlahan, na-

mun masih bisa ditangkap oleh temannya.

"Betul, dia memang Restu Canggir Rumekso. 

Manusia yang pernah kita pecundangi beberapa puluh 

tahun yang lalu...," sahut penunggang kuda sebelah 

kiri sambil alihkan pandangannya pada anak kecil di 

samping Restu Canggir Rumekso. "Yang kecil itu kau 

mengenalnya...?"

"Tidak!" jawab penunggang kuda sebelah ka-

nan. "Kita harus cepat sampai di kotaraja. Berarti sia-

pa pun orang yang menghadang kita, harus segera kita 

selesaikan!"

Kedua penunggang ini sejenak saling berpan-

dangan, lalu seperti dikomando keduanya meneruskan 

langkah. Baru kuda masing-masing bergerak melang-

kah, Restu Canggir Rumekso berteriak lantang.

"Resi Rangrang Geni, Resi Jala Sukma! Kema-

tian kalian sudah digariskan berada di hadapanku!" 

Restu Canggir Rumekso lantas berpaling pada anak 

kecil di sampingnya yang tadi dipanggil Abilowo.

"Habisi mereka"

Begitu suara perintah Restu Canggir Rumekso 

lenyap, Abilowo segera merentangkan kedua tangan-

nya ke samping. Lalu dengan tersenyum menyeringai 

dihantamkan kedua tangannya ke depan.

Wuuut! Wuuut!

Dua rangkum angin deras laksana gelombang 

amat dahsyat menggebrak ke arah dua penunggang 

kuda di hadapannya yang tadi disebut Restu Canggir 

Rumekso dengan nama Resi Rangrang Geni dan Resi 

Jala Sukma.

Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma sa-

ma-sama berseru keras dan dengan menahan rasa ter-

kejut dalam diri masing-masing mereka segera melompat melayang dari kuda masing-masing selamatkan di-

ri. Kuda tunggangan mereka kaget dan segera pula me-

lompat ke depan. Namun tak urung bagian pantat ku-

da itu tersambar angin pukulan jarak jauh Abilowo, 

membuat kedua binatang itu terbanting dan roboh di 

atas tanah. Namun karena binatang malang itu tadi 

masih sempat melompat, membuat badannya selamat 

dari hantaman telak, hingga tak berapa lama kemu-

dian, kedua binatang malang itu bangkit dengan ter-

huyung-huyung sebelum akhirnya keluarkan ringki-

han keras dan menghambur kencang masuk ke dalam 

hutan.

Sunyi sejenak. Lalu tak berapa lama kemudian 

terdengar kekehan tawa keras dan panjang keluar dari 

mulut Restu Canggir Rumekso.

"Rangrang Geni. Aku hampir tak percaya den-

gan anak itu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Resi Jala 

Sukma. Resi Jala Sukma adalah seorang laki-laki be-

rusia lanjut. Dia mengenakan pakaian dari kain sutera 

yang diselempangkan menyilang di bahu kirinya, se-

mentara tubuh kanannya terbuka. Kepalanya besar 

dan tak ditumbuhi rambut sama sekali. Sedangkan 

temannya Resi Rangrang Geni, adalah juga seorang la-

ki-laki, usianya tak jauh beda dengan Resi Jala Suk-

ma, yang membedakan antara kedua orang ini adalah 

warna pakaian yang dikenakannya. Resi Jala Sukma 

memakai pakaian warna merah, sedangkan Resi Ran-

grang Geni warna biru gelap.

Konon, kedua resi ini adalah orang-orang pan-

dai besi yang terkenal. Hingga keduanya dipanggil oleh 

raja di kawasan barat untuk dijadikan resi-resi kera-

jaan. Namun tatkala diketahui selain pandai besi juga 

berilmu tinggi, pada akhirnya sang raja menjadikan 

kedua orang ini sebagai penasihatnya. Dan nama kedua orang ini semakin disegani ketika keduanya ber-

hasil menumpas pemberontak yang salah satu pimpi-

nannya adalah seorang yang waktu itu sangat ditakuti 

yaitu Restu Canggir Rumekso.

Namun dalam perjalanan selanjutnya, kedua 

orang itu tampaknya terpengaruh dengan lingkungan. 

Sikap dan perbuatan kedua orang ini sedikit demi se-

dikit berubah. Malah mereka bersahabat dengan to-

koh-tokoh golongan hitam. Hingga pada akhirnya ke-

dua orang ini menjadi lain. Keduanya menjadi beringas 

dan tak segan-segan menjatuhkan tangan pada siapa 

saja!

"Persetan dengan tikus cilik itu siapa lagi! Lagi 

pula apa yang kita takutkan?!" berkata Resi Rangrang 

Geni lalu berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri lima 

langkah di hadapan Restu Canggir Rumekso dan Ab-

ilowo. Sementara itu Resi Jala Sukma tak tinggal diam. 

Dia pun ikut berkelebat dan berdiri menjajari sahabat-

nya.

"Tak perlu ku ingatkan. Kalian mestinya telah 

tahu masalah di antara kita beberapa puluh tahun si-

lam. Nakh, sekarang sebelum menghadapi aku, akan 

ku coba kehebatan kalian dengan muridku ini!" lantas 

Restu Canggir Rumekso melirik pada Abilowo dan ber-

kata singkat.

"Habisi mereka!"

Tanpa berbicara, Abilowo langsung melompat 

ke depan dan serta merta kirimkan serangan dengan 

hantaman kedua tangannya ke arah kepala Resi Ran-

grang Geni dan Resi Jala Sukma.

Kedua orang yang diserang, tahu kalau hanta-

man tangan anak kecil itu bukan sembarang hanta-

man, maka mereka berdua segera rundukkan kepala 

masing-masing. Hingga hantaman tangan Abilowo menerpa tempat kosong sejengkal di atas kepala Resi 

Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma.

Namun tak urung kedua orang ini dibuat terpe-

rangah. Meski hantaman kedua tangan Abilowo tak 

mengenai sasaran, tapi bias sambarannya mampu 

membuat kedua resi ini terhuyung-huyung dan un-

durkan kaki masing-masing ke belakang satu tindak.

Mendapati hantaman tangannya tak mengenai 

sasaran, Abilowo keluarkan dengusan keras. Bibirnya 

menyeringai dengan tatapan berkilat-kilat marah.

Dan sepertinya ingin segera menghabisi lawan, 

Abilowo lantas kembali maju dan dengan bentakan ke-

ras kaki kanannya dia sapukan berputar dari kiri ke 

kanan. Yang dituju kali ini adalah Resi Jala Sukma.

Wesss!

Merasa penasaran, kali ini Resi Jala Sukma ti-

dak lagi menghindar. Dengan tegakkan kembali tu-

buhnya, resi ini sambut sapuan kaki Abilowo dengan 

hujamkan tangan kanannya. 

Prakkk!

Terdengar benturan hebat ketika tangan sang 

resi menyambut kaki Abilowo. Sang resi terkejut bukan 

alang kepalang. Raut wajahnya meringis menahan sa-

kit di pergelangan tangan. Sementara tubuhnya terdo-

rong dua langkah ke belakang.

Melihat sahabatnya bisa dibuat terdorong dan 

meringis menahan sakit, Resi Rangrang Geni melompat 

ke depan, memanfaatkan situasi karena dilihatnya 

sang anak hendak tarik kakinya yang baru saja ben-

trok dengan tangan Resi Jala Sukma.

Sambil melompat, Resi Rangrang Gent lu-

ruskan sepasang tangannya menjurus pada dada Ab-

ilowo. 

Seeett!

Namun Resi Rangrang Geni terkesima. Seran-

gannya yang begitu cepat dan pernah merontokkan 

beberapa tokoh itu hanya menyambar angin di sebelah 

kanan sang anak. Malah tatkala serangannya lolos, 

dan belum sempat bergerak hendak melancarkan se-

rangan susulan, Abilowo telah lentingkan tubuhnya ke 

udara setinggi setengah tombak, dan dengan gerakan 

yang sukar diikuti pandangan mata biasa, Abilowo 

menukik deras dengan kaki lurus. Dan tahu-tahu se-

pasang kaki anak ini telah menjepit leher Resi Ran-

grang Geni.

Seraya meraung keras Resi Rangrang Geni pu-

tar-putar tubuhnya. Anehnya tubuh Abilowo bukannya 

jatuh terhumbalang, malah sang resi merasakan le-

hernya hendak copot. Hingga dia menghentikan puta-

ran tubuhnya dan dengan sentakan keras kedua tan-

gannya dia hempaskan ke atas menepis kedua kaki 

sang anak. Namun sebelum tangan Resi Rangrang Ge-

ni menepis, Abilowo telah sentakkan tubuhnya ke 

samping dengan keras seraya melompat. Akibatnya tu-

buh Resi Rangrang Geni terbanting deras menghujam 

tanah! Sementara di lain pihak, Abilowo mendarat 

dengan kaki kokoh.

Abilowo tampak melangkah perlahan mendekat, 

membuat Resi Rangrang Geni yang masih berusaha 

bangkit terkejut apalagi ketika dilihatnya sepasang ma-

ta lawan berkilat-kilat merah. Resi ini lantas berpaling 

cepat pada sahabatnya seakan minta pertolongan.

Mengerti isyarat bahaya mengancam sahabat-

nya, Resi Jala Sukma segera takupkan kedua tangan-

nya di depan dada. Lantas sesaat kemudian kedua 

tangan itu dihantamkan ke depan, ke arah Abilowo 

yang kini semakin dekat dengan tempat Resi Rangrang 

Geni.

Serangan angin deras bersuara menggeledek 

yang disertai kilatan-kilatan menyilaukan segera ke-

luar menyambar ke arah Abilowo.

Mendapat serangan berbahaya, Abilowo tam-

paknya tidak berusaha untuk menghindar. Malah dia 

menghentikan langkah seakan hendak menyongsong 

serangan dengan tubuhnya.

Benar saja, Abilowo memang tak berusaha 

mengelak apalagi menangkis. Dia diam tak bergeming 

menyongsong serangan Resi Jala Sukma.

Hingga tanpa ampun lagi hantaman tangan Re-

si Jala Sukma menghajar tubuh Abilowo. 

Desss!

Ketika pukulan Resi Jala Sukma menghajar tu-

buh Abilowo, asap hitam segera melingkupi tempat di 

sekitar Abilowo. Hal ini bisa dimengerti, karena saat itu 

Resi Jala Sukma melancarkan pukulan 'Sukma Hitam'. 

Sebuah pukulan sakti yang akan mengeluarkan asap 

hitam jika mengena sasaran, dan setelah itu orang 

yang terbungkus asap hitam akan melayang dan me-

nyuruk tanah dengan tubuh hangus dan nyawa le-

nyap!

Begitu tahu pukulannya menghajar lawan, dan 

asap hitam sudah membungkus tubuh lawan, Resi Ja-

la Sukma tertawa terkekeh-kekeh. Dia sudah bisa 

membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Namun kekehan tawa Resi Jala Sukma terpu-

tus tiba-tiba. Malah kedua kakinya kini mundur dua 

tindak ke belakang. Sepasang mata Abilowo meman-

dang tak kesiap.

Apa yang dibayangkan Resi Jala Sukma ternya-

ta keliru. Abilowo yang baru saja terhantam serangan 

'Sukma Hitam' tetap kokoh berdiri. Pakaian yang dike-

nakannya pun tak hangus sama sekali. Malah sepasang matanya menyengat tajam berganti pada Resi Ja-

la Sukma dan Resi Rangrang Geni.

"Ha... ha... ha...! Rangrang Geni, Jala Sukma. 

Kemampuan kalian ternyata tidak ada kemajuannya. 

Kalian menghadapi anak didik ku saja sudah morat-

marit. Jadi terimalah kematian kalian hari ini dengan 

lapang dada! Ha... ha... ha...!" kata Restu Canggir Ru-

mekso dengan tertawa gelak-gelak, hingga air matanya 

keluar.

Meski dalam hati masing-masing resi ini diam-

diam kecut, namun karena mereka sudah pernah ma-

lang melintang berpuluh tahun dalam rimba persila-

tan, membuat mereka tidak begitu saja mudah menye-

rah kalah. Malah keduanya kini segera melompat agak 

menjauh dan berdiri berjajar.

"Aku tak habis pikir anak apa ini. Pukulanku 

tidak ada apa-apanya ketika menghajar dirinya...!" ka-

ta Resi Jala Sukma tanpa menoleh.

"Aku pun heran. Dari mana bang sat itu mem-

peroleh murid demikian hebat?" tanya Resi Rangrang 

Geni dengan pandangan menyorot pada Abilowo yang 

kini melangkah mendekati tempat mereka.

"Kita coba menyerang bersama-sama!" kata Resi 

Jala Sukma. Resi Rangrang Geni mengangguk perla-

han. Lantas kedua orang ini sama-sama keluarkan 

bentakan dahsyat. Dan bersamaan dengan itu, kedua 

orang ini dorong tangannya masing-masing ke depan.

Larikan-larikan sinar berkilau berhawa panas 

segera bersiutan menggebrak ke arah Abilowo. Namun 

kali ini pun Abilowo tak juga berusaha berkelit. Dia te-

tap melangkah seakan tak ada serangan yang menuju 

ke arahnya. Hingga tanpa ampun lagi hantaman tan-

gannya yang telah dialiri tenaga dalam tinggi dari Resi 

Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma itu menghujam

telak ke tubuh Abilowo.

Sebenarnya Restu Canggir Rumekso khawatir 

juga melihat Abilowo tak berusaha mengelak. Karena 

dia tahu, bahwa jika serangan kedua orang ini telah 

menyatu, sukar orang bisa selamat. Dia yang pernah 

dipecundangi kedua resi ini pada beberapa puluh ta-

hun yang lalu pernah merasakan hal itu, untung saja 

waktu itu Restu Canggir Rumekso telah menguasai il-

mu pengobatan, jika tidak nyawanya mungkin sudah 

amblas waktu itu.

Namun untuk meyakinkan kedigdayaan murid-

nya, akhirnya Restu Canggir Rumekso tak hendak 

memperingati muridnya untuk menghindar. Dia hanya 

melihat, meski dalam hati dicekam perasaan khawatir.

Di lain pihak, Abilowo yang terhantam serangan 

kedua orang resi mendengus keras. Tubuhnya ter-

humbalang satu tombak ke belakang dan roboh meng-

hantam tanah.

Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma kelu-

arkan tawa pendek. Kepuasan nyata jelas meraupi raut 

wajah mereka. Sementara Restu Canggir Rumekso ter-

belalak kaget.

Namun semua itu hanya sesaat. Tak lama ke-

mudian, ganti Restu Canggir Rumekso yang tertawa 

dengan mata mengejek, sementara kedua orang resi itu 

putus tawa masing-masing berganti dengan belalakkan 

mata tak percaya.

Abilowo tanpa mengeluarkan keluhan, bangkit. 

Tubuhnya tak mengalami cedera sama sekali dan tak 

setetes darah pun yang mengalir.

"Jala Sukma. Kita rupanya tak mampu meng-

hadapi anak gila ini. Lebih baik kita segera kabur ting-

galkan tempat ini!" kata Resi Rangrang Geni seraya 

memperhatikan anak yang kini mulai melangkah kem

bali ke arahnya.

"Betul. Kita harus segera meloloskan diri. Dan 

untuk memecahkan perhatiannya, kau ke sebelah se-

latan, aku ke sebelah utara...," jawab Resi Jala Sukma 

seraya melirik keadaan sekeliling.

Habis berkata, Resi Jala Sukma segera ancang-

ancang hendak berkelebat, demikian juga Resi Ran-

grang Geni. Namun naluri sang anak rupanya tahu. 

Sebelum kedua orang ini berkelebat melarikan diri, Ab-

ilowo telah jejakkan sepasang kakinya. Tubuhnya me-

luncur deras ke depan, dan berdiri di tengah-tengah 

dua resi ini, dan belum sempat kedua resi berbuat se-

suatu, Abilowo telah melesatkan dirinya ke atas den-

gan kedua kaki dipentangkan ke samping kiri dan ka-

nan, menghantam iga kanan Resi Ranggang Geni dan 

iga kiri Resi Jala Sukma.

Kedua orang ini masih berusaha menangkis, 

namun gerakan tangan menangkis mereka terlambat. 

Hingga saat itu juga terdengar raungan keras bersahu-

tan.

Tubuh Resi Rangrang Geni terbanting ke kiri 

sedangkan Resi Jala Sukma terbanting ke kanan. Dan 

belum sempat kedua orang ini merambat bangkit, Ab-

ilowo telah banting-bantingkan kedua kakinya ke atas 

tanah.

Bumm! Bummm! Bummm!

Tanah di hutan itu laksana didera gempa dah-

syat, hingga membuat tanahnya rengkah-rengkah 

bahkan tak jarang yang terbongkar. Bersamaan itu, 

Resi Rangrang Geni dan Resi Jala Sukma berubah 

tampang masing-masing menjadi pucat pasi, karena

tanah di bawahnya terasa bergerak hebat membelah. 

Mereka berdua berusaha mengerahkan tenaga dalam 

untuk segera bangkit dan menghentikan gerak tubuh

nya yang sedikit demi sedikit bagai tersedot masuk ke 

dalam tanah yang semakin menganga di bawah tubuh 

masing-masing.

Namun usaha mereka tampaknya sia-sia bela-

ka. Karena Abilowo menambah tenaga dalamnya pada 

kedua kaki yang terus menerus dibanting-bantingkan. 

Hingga tak lama kemudian kedua resi ini menjerit ke-

ras bersamaan dengan masuknya tubuh keduanya ke 

dalam tanah.

Melihat kedua lawan telah masuk ke dalam ta-

nah, Abilowo menghentikan bantingan kakinya. Den-

gan mata tetap nyalang beringas, dia dorongkan kedua 

tangannya ke tanah rengkah tempat kedua resi masuk.

Tanah rengkah itu mendadak laksana didorong 

kekuatan dahsyat dan perlahan-lahan bergerak menu-

tup!

Terdengar beberapa umpatan dan raungan ke-

ras bersahutan, makin lama makin lemah sebelum ak-

hirnya lenyap dengan menutupnya tanah tempat ke-

dua resi masuk dan hanya menyisakan empat perge-

langan tangan yang tampak kaku di atas tanah!

"Ha... ha... ha... Bagus.... Bagus...," kata Restu 

Canggir Rumekso sambil melangkah mendekati Abilo-

wo. Diusapnya kepala anak itu, dan disibakkan ram-

butnya yang menghalangi pandangannya. Lalu dengan 

tersenyum lebar dia berkata.

"Abilowo, kita teruskan perjalanan ini. Namamu 

dan namaku akan segera ditakuti bahkan oleh setan 

sekalipun. Ha... ha... ha...!"

Seakan mengerti perkataan orang di samping-

nya, Abilowo mengangguk perlahan. Lantas keduanya 

pun melangkah perlahan meninggalkan tempat itu 

dengan tawa tetap terdengar keluar dari mulut Restu 

Canggir Rumekso.


TUJUH


SEORANG pemuda tampan mengenakan pa-

kaian hijau yang dilapis dengan baju dalam lengan 

panjang warna kuning, dan bukan lain adalah Aji Sa-

putra alias Pendekar Mata Keranjang 108, terlihat me-

langkah hendak memasuki sebuah dusun yang tak 

jauh di depannya.

"Sudah dua puluh hari menyelidik dan tanya ke 

sana kemari, namun aku belum juga mendapatkan 

kepastian di mana beradanya Restu Canggir Rumekso 

serta Putri Tunjung Kuning.... Hmm.... Ke mana lagi 

aku harus mencari...?" membatin murid Wong Agung 

ini seraya terus melangkah perlahan.

Selagi Pendekar Mata Keranjang. 108 batinnya 

disarati dengan berbagai hal yang belum bisa dipecah-

kannya, dari arah belakang dia mendengar derap la-

dam kaki-kaki kuda menuju ke arahnya.

"Aku masih punya urusan yang belum selesai. 

Menilik derap langkahnya, yang datang dari belakang 

ini adalah beberapa orang. Lebih baik aku menyingkir 

dulu, daripada ada masalah lagi...."

Berpikir begitu, Aji segera berkelebat masuk ke 

balik semak belukar, dan mengendap-endap memper-

hatikan siapa gerangan yang datang.

"Hmm.... Melihat pakaian seragam yang mereka 

kenakan, mereka adalah pasukan kerajaan...," duga 

Pendekar Mata Keranjang 108 begitu rombongan ber-

kuda melintas di dekat tempatnya sembunyi. Rombon-

gan berkuda ini ternyata terdiri dari delapan orang, 

semuanya mengenakan pakaian seragam kerajaan. 

Hanya satu orang di antaranya yang mengenakan pa-

kaian lain. Dia berada paling belakang. Dia adalah seorang laki-laki bertubuh kurus dan tinggi luar biasa. 

Raut wajahnya hampir tak jelas kelihatan, karena wa-

jah laki-laki dipenuhi dengan jambang dan kumis le-

bat. Sepasang matanya sipit. Hidungnya kecil tetapi 

bibirnya begitu tebal dan lebar. Kepalanya tak ditum-

buhi rambut sama sekali.

Pendekar Mata Keranjang 108 dongakkan kepa-

la, memandang langit seraya coba menduga-duga siapa 

adanya laki-laki berpakaian dan bertampang lain dari 

rombongan berkuda.

"Tubuh tinggi kurus, rambut tak ada sama se-

kali di kepalanya, bibir tebal dan lebar, Hmm.... Aku

tak bisa mengenalinya, tapi melihat mereka berbon-

dong-bondong dan tergesa-gesa, pasti ada sesuatu 

yang penting. Namun ah, peduli apa dengan mereka.... 

Aku tak ada urusan dengan pasukan kerajaan...."

Setelah rombongan lewat, Aji segera keluar dari 

tempat persembunyiannya. Memandangi rombongan 

yang terus berpacu memasuki dusun.

"Derap langkah mereka tampaknya lenyap. 

Hmm.... Barangkali mereka singgah di kedai. Aku se-

benarnya juga sudah lapar, namun tak enak rasanya 

makan bersama-sama dengan pasukan kerajaan. Lebih 

baik aku mencari sumber air, sambil menunggu rom-

bongan tadi meninggalkan kedai...," Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 lantas putar tubuhnya, melangkah ke se-

buah danau berair jernih yang tak jauh dari tempatnya 

bersembunyi tadi.

Sementara itu, dugaan Pendekar Mata Keran-

jang 108 benar adanya. Rombongan berkuda ini ber-

henti di sebuah kedai besar yang berhalaman luas. Se-

telah menambatkan kuda masing-masing, rombongan 

ini satu persatu memasuki kedai.

Melihat siapa yang datang, pemilik kedai segera

memberi isyarat pada para pelayan untuk segera me-

nyambut. Para pengunjung kedai yang saat itu ramai 

segera menyelesaikan makanannya masing-masing 

dan keluar satu persatu dengan bersungut-sungut.

Melihat sikap para pengunjung kedai, kesepu-

luh orang berseragam kerajaan saling pandang satu 

sama lain. Lalu meledaklah tawa mereka, keras dan 

panjang bersahut-sahutan.

"Apa tampang kita mirip hantu pocong hingga 

orang-orang tadi sampai lari ketakutan. He...?" kata 

salah seorang sambil menyeret kursi kayu dan meng-

hempaskan tubuhnya hingga kursi itu berderak-derak.

"He pelayan, sediakan untuk kami makanan 

dan minuman. Cepat!" kata salah seorang lainnya pada 

dua orang pelayan yang datang hendak menyambut.

"Untukku sediakan satu bumbung besar arak 

murni!" seru laki-laki yang duduk sendirian dan ber-

pakaian serta bertampang lain itu. Meski dia berpa-

kaian lain, namun tampaknya dia adalah pimpinan 

rombongan, terbukti ketika dia angkat bicara ke dela-

pan orang berseragam itu serta merta menghentikan 

tawa masing-masing.

Ketika beberapa pelayan sibuk menyiapkan 

makanan dan minuman serta membersihkan meja, 

terdengar seseorang berkata dari ambang pintu kedai.

"Kami juga perlu makan dan minum. Sediakan 

seperti pesanan tamu-tamu agung ini!"

Ke delapan orang berseragam, yang ternyata 

adalah pasukan prajurit kerajaan sama-sama paling-

kan kepala masing-masing ke arah pintu. Hanya laki-

laki yang duduk sendirian tak memandang, malah dia 

memandang ke jurusan lain.

Ke delapan prajurit melihat dua orang melang-

kah masuk kedai, lalu tanpa memandang kedua orang

ini memilih duduk agak menjauh. Yang satu adalah 

seorang laki-laki mengenakan caping lebar. Sementara 

satunya adalah seorang anak yang bertubuh seperti 

anak tujuh tahun. Berbadan tegap dan bermata tajam.

Laki-laki yang duduk sendirian dan menjadi 

pimpinan rombongan melirikkan sepasang matanya. 

Dari nada bicara dan sikap, laki-laki ini segera me-

nangkap gelagat buruk pada kedua orang yang baru 

masuk, yang bukan lain adalah Restu Canggir Rumek-

so dan Abilowo. Namun laki-laki berjambang dan ber-

kumis lebat serta bertubuh tinggi kurus ini menam-

pakkan sikap tenang.

"Rasa-rasanya aku mengenal siapa laki-laki 

bercaping itu...," membatin laki-laki tinggi kurus sam-

bil mendehem beberapa kali. Dia lantas mendongak 

sambil berpikir terus mengingat-ingat.

"Benar! Aku ingat. Dia pasti manusia bernama 

Restu Canggir Rumekso bekas pimpinan pemberontak 

yang berhasil ditumpas oleh Kakang Resi Rangrang 

Geni dan Kakang Resi Jala Sukma pada beberapa pu-

luh tahun silam. Hmm.... Kukira anak yang bersa-

manya...? Aku tak bisa mengenalinya. Ada apa dia 

muncul kembali...? Ingin melakukan makar lagi?" laki-

laki tinggi kurus batinnya disemaki beberapa dugaan. 

"Kakang Resi Rangrang Geni dan Kakang Resi Jala 

Sukma, seharusnya mereka berdua kemarin telah 

sampai di kotaraja. Hingga tak merepotkan aku untuk 

menyusulnya.... Apa mereka dapat halangan di jalan?"

"Abilowo! Puaskan minum mu kali ini, karena 

minuman itu adalah minuman terakhir yang kau rasa-

kan!" tiba-tiba Restu Canggir Rumekso berkata.

Nadanya memang ditujukan pada anak yang 

duduk di hadapannya, namun wajah dan matanya lu-

rus menatap pada laki-laki tinggi kurus.

Laki-laki tinggi kurus tersentak kaget. Dia sege-

ra palingkan wajah. Hingga untuk beberapa saat la-

manya terjadi bentrok pandangan antara Restu Cang-

gir Rumekso dan laki-laki tinggi kurus.

Laki-laki tinggi kurus tersenyum sinis. Lantas 

menyapukan pandangan pada prajurit, dan berkata.

"Prajurit! Hari ini kalian akan mendapatkan 

hadiah besar. Domba yang berpuluh tahun menjadi 

buruan kita, sedang siap menyerahkan nyawanya!"

Para prajurit yang tak mengerti maksud kata-

kata laki-laki tinggi kurus hanya saling pandang satu 

sama lain. Lantas menyantap hidangan yang kini telah 

dihidangkan di meja mereka.

"Abilowo!" kata Restu Canggir Rumekso dengan 

suara keras, hingga semua orang yang ada di dalam 

kedai mendengar. "Delapan kecoak itu sudah terlalu 

kenyang makan enak. Jangan sampai makanan kedai 

ini masuk seluruhnya dalam perut mereka. Sisakan 

makanannya untuk anjing-anjing jalanan yang lebih 

terhormat dari kecoa-kecoa itu!"

Sekonyong-konyong ke delapan kepala prajurit 

melengak dan menoleh pada Restu Canggir Rumekso 

dan Abilowo. Mata-mata mereka menyengat tajam 

memandang silih berganti pada dua orang ini. Dua 

orang di antaranya tampak berdiri dan dengan langkah 

lebar keduanya mendekati meja Restu Canggir Rumek-

so.

"Orang tua! Buka matamu lebar-lebar. Kau ta-

hu sedang berhadapan dengan siapa saat ini, he...?!" 

kata salah seorang sambil siap cabut golok dari selipan 

bajunya.

Restu Canggir Rumekso tertawa gelak-gelak 

mendengar ucapan prajurit. "Sedang berhadapan den-

gan siapa?" ulang Restu Canggir Rumekso disela tawanya. "Apa kau tadi tidak dengar ucapanku. Dengar 

baik-baik. Aku berhadapan dengan manusia-manusia 

yang lebih hina dari anjing jalanan!"

"Keparat!" bentak sang prajurit seraya cabut go-

loknya dan serta merta dibabatkan pada Restu Canggir 

Rumekso. Sementara itu keenam prajurit lainnya sege-

ra pula berdiri dan melangkah ke arah meja Restu 

Canggir Rumekso lalu berdiri mengurung.

Mendapati babatan golok, Restu Canggir Ru-

mekso tak berusaha mengelak. Dia hanya angkat tan-

gannya dan secepat kilat disentakkan ke pergelangan 

tangan sang prajurit.

Tasss!

Prajurit itu berseru tertahan. Pegangan pada 

goloknya terlepas, membuat golok itu mencelat dan 

menancap pada meja. Di lain kejap, Restu Canggir 

Rumekso angkat pantatnya, dan kaki kirinya menen-

dang kursi yang didudukinya.

Settt!

Kursi itu meluncur deras ke arah prajurit yang 

tadi hendak membabat, karena sang prajurit tidak 

menduga, hingga dia tak punya kesempatan untuk 

menghindar, hingga tanpa halangan lagi kursi itu 

menghantam kakinya, membuat jatuh bergedebukan 

di lantai kedai.

Seett! Seett!

Tujuh orang prajurit kontan mencabut golok 

masing-masing dan dengan gerak cepat ketujuh orang 

ini langsung menghujamkan golok masing-masing ke 

arah Restu Canggir Rumekso.

Bersamaan dengan gerak ayunan tangan ketu-

juh prajurit, Abilowo yang sedari tadi hanya meman-

dang dengan tatapan tajam bergerak cepat. Tubuhnya 

berkelebat lenyap dari pandangan. Dan tahu-tahu kejap itu juga terdengar jeritan tujuh kali berturut-turut.

Tubuh ketujuh prajurit itu mental dan mence-

lat masing-masing dua tombak ke belakang, di anta-

ranya ada yang menumbuk meja dan kursi serta tiang 

kedai, hingga saat itu terdengar berderaknya meja-

meja patah, serta pecahnya beberapa piring.

Abilowo kini tegak di samping Restu Canggir 

Rumekso dengan mata nyalang memandang ketujuh 

prajurit. Bibirnya menyeringai tak henti-henti. Dan di 

tangannya tergenggam tujuh golok!

Restu Canggir Rumekso makin ngakak. Semen-

tara diam-diam laki-laki kurus tinggi membelalakkan 

sepasang matanya yang sipit. Dia hampir saja tidak 

mempercayai apa yang baru saja dilihat. Namun dia 

menindih perasaan terkesimanya dengan tersenyum 

sinis.

Di lain pihak, ketujuh prajurit nyalinya meng-

keret seketika. Namun salah satu dari mereka, yakni 

yang tadi terhajar kursi Restu Canggir Rumekso berte-

riak lantang.

"Jangan takut! Dia hanya anak kecil"

Meski nyali mereka telah lumer, melihat salah 

seorang temannya memberi semangat, serta merta me-

reka pun berdiri kembali dan dengan tampang masing-

masing merah padam, mereka pun merangsek maju 

seraya hantamkan tangan masing-masing ke arah Ab-

ilowo.

Terdengar suara menggereng dari mulut Abilo-

wo. Dia tak bergerak sama sekali mendapati serangan 

hantaman tangan para prajurit itu. Namun sejengkal 

lagi tangan-tangan itu menghantam tubuhnya, Abilowo 

bergerak memutar dengan cepat.

Jeritan menyayat terdengar menyalak berturut-

turut. Begitu jeritan itu lenyap, tampak tujuh prajurit

roboh dengan perut masing-masing tertancap golok! 

Sementara yang satu tubuhnya hangus dengan tangan 

hampir sempal!

Melihat keadaan, si empunya kedai serta para 

pelayan segera menghambur keluar melarikan diri.

"Jambu Naga!" seru Restu Canggir Rumekso 

pada laki-laki tinggi kurus yang masih tampak duduk 

di mejanya.

"Cepat bunuh dirimu dengan tanganmu sendi-

ri!" seraya berkata Restu Canggir Rumekso lemparkan 

salah satu golok yang dicabutnya dari salah seorang 

prajurit ke meja laki-laki tinggi kurus yang dipanggil 

dengan Jambu Naga.

"Bedebah! Kau kira aku takut menghadapi ma-

nusia macam kau dan anjing kecilmu itu!" ucap Jam-

bu Naga sambil berdiri dan melesat keluar kedai.

"Abilowo! Habisi bapak anjing-anjing itu!" kata 

Restu Canggir Rumekso seraya melangkah menuju 

ambang pintu kedai.

Jika Restu Canggir Rumekso melangkah perla-

han hendak keluar dari kedai, tak demikian halnya 

dengan Abilowo. Seakan tak sabar, bocah ini segera 

berkelebat ke udara, menembus langit-langit kedai dan 

serta merta melayang turun dengan kirimkan serangan 

hantaman kedua tangannya pada Jambu Naga yang 

tampak berdiri menunggu di halaman kedai.

Wuutt! Wuutt!

Dengan menahan rasa terkejut, Jambu Naga 

segera berkelit rebahkan diri ke samping. Hampir seja-

jar tanah, kedua tangan laki-laki kurus ini menyentak 

ke bawah, membuat tubuhnya membumbung ke uda-

ra. Dari udara setelah membuat gerakan jungkir balik 

dua kali, sepasang kakinya yang panjang menyapu de-

ras ke arah kepala Abilowo.

Abilowo keluarkan dengusan marah, karena se-

rangannya dapat dihindari. Tapi mendapati serangan 

balik ini dia tak bergerak sedikit pun. Hingga sapuan 

kaki Jambu Naga menghantam telak kepalanya.

Prakk!

Tubuh bocah ini oleng dengan kepala mendon-

gak, lalu roboh ke atas tanah, membuat Jambu Naga 

tertawa mengejek lalu melangkah mendekati Abilowo 

yang masih diam tak bergerak di atas tanah.

Namun lima langkah lagi sampai, dan Jambu 

Naga baru ancang-ancang akan kirimkan pukulan, ke-

dua kali Abilowo bergerak menendang tanah, hingga 

tubuhnya melesat ke atas.

Jambu Naga yang ternyata adalah salah satu 

penasihat raja dan pengawal pribadi raja segera jatuh-

kan diri bergulingan, saat gulingan ke tiga, dan dili-

hatnya sang bocah terus menukik ke arahnya, dia ce-

pat kirimkan serangan dengan sentakan kedua tan-

gannya. 

Sett! Settt!

Sepuluh senjata rahasia berupa pisau kecil-

kecil berwarna hitam redup melesat keluar dari kedua 

tangan Jambu Naga.

Karena jaraknya begitu dekat, hingga tak ada 

ruang lagi untuk Abilowo bisa menghindar dari senjata 

rahasia Jambu Naga. Sepuluh senjata rahasia itu pun 

tak terbendung menghujam. Namun sepasang mata 

Jambu Naga kembali dibuat mendelik. Senjata raha-

sianya yang berisi racun jahat itu bermentalan bahkan 

diantaranya ada yang mental keras mengarah pada di-

rinya yang masih rebah di atas tanah!

"Jahanam!" teriak Jambu Naga sambil melom-

pat berdiri menghindari senjata rahasianya sendiri 

yang mental. Saat itulah Abilowo mendarat di atas tanah dan hantamkan kedua tangannya.

Wess! Wesss!

Dua rangkum angin deras menggeledek melesat 

menyambar. Jambu Naga tak tinggal diam, dia pun se-

gera sentakkan kedua tangannya menangkis serangan.

Bumm! Bumm!

Terdengar dentuman keras tatkala kedua puku-

lan itu bertemu di udara. Begitu tingginya tenaga da-

lam sang bocah, membuat tubuh Jambu Naga ter-

huyung-huyung ke belakang. Pada saat itulah, Abilowo 

jejakkan sepasang kakinya ke tanah. Tubuhnya mele-

sat cepat ke depan.

Jambu Naga yang kerahkan tenaga untuk me-

nahan tubuhnya agar tidak roboh terkejut besar. Dia 

coba berkelit, namun gerakannya terlambat. Hingga 

sepasang kaki Abilowo tak terhalang lagi menggebrak 

dadanya!

Dess! Desss!

Bukan hanya sampai di situ, begitu sepasang 

kakinya berhasil menggebrak dada lawan, kaki kanan-

nya cepat bergerak ke atas, dan menghantam kepala.

Prakkk!

Darah muncrat dari bibir dan hidung Jambu 

Naga. Tubuhnya deras menghujam tanah dengan 

punggung terlebih dahulu. Sebentar Jambu Naga tam-

pak bergerak-gerak, namun sesaat kemudian tubuh 

itu diam kaku!

Restu Canggir Rumekso tersenyum puas meli-

hat kejadian itu. Lantas dia melambaikan tangan. Ab-

ilowo melangkah mendekat.

"Masih ada yang harus kita kerjakan. Kita ting-

galkan tempat ini...," kata Restu Canggir Rumekso 

sambil mengangguk pada Abilowo. Abilowo tidak mem-

balas anggukan sang guru, dia hanya menatap tanpa

berkata, lalu melangkah begitu dilihatnya Restu Cang-

gir Rumekso bergerak melangkah meninggalkan hala-

man kedai yang telah sepi.


DELAPAN


DUA orang terlihat berlari kencang sampai 

ujung desa, mereka tampaknya ketakutan. Terbukti 

sambil berlari kencang, keduanya sesekali berpaling ke 

belakang hingga tak heran jika salah satu dari mereka 

tak jarang jatuh menyusup tanah karena tak dapat 

menyiasati jalanan di depannya. Bahkan tak jarang

kedua orang ini saling terguling bersamaan karena 

bertubrukan satu sama lain.

"He...? Apa yang terjadi...?!" mendadak ada 

orang menegur tatkala kedua orang ini hampir keluar 

dari ujung desa.

Kedua orang yang ternyata adalah sebagian da-

ri para pelayan kedai sama palingkan wajah masing-

masing pada orang yang menegur.

"Kau.... Apakah kau.... Bu..., bukan teman me-

reka...?" tanya salah seorang di antara dua orang pe-

layan ini dengan tergagap dan memandang pada orang 

yang menegur dengan tatapan menyelidik.

Yang ditanya, seorang pemuda berpakaian hi-

jau dan bukan lain adalah Aji atau Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 kernyitkan kening dengan mata membela-

lak.

"Sialan! Ditanya malah ganti bertanya!" bentak 

Aji sambil tersenyum. "Lekas katakan ada apa...!" 

sambung Pendekar Mata Keranjang 108 dengan me-

mandang bergantian pada orang di hadapannya yang 

masih tampak ketakutan

Setelah dapat menguasai diri dan yakin bahwa 

pemuda di hadapannya bukan orang jahat, salah seo-

rang dari pelayan kedai itu berkata. Suaranya bergetar 

dan parau.

"Di kedai.... Ada orang berkelahi...!" Belum sele-

sai sang pelayan ini dengan ucapannya, Pendekar Ma-

ta Keranjang telah menyela.

"Sialan! Ada perkelahian saja kalian lari tung-

gang langgang...."

"Tapi.... Ini lain. Para prajurit kerajaan itu di-

buat mati hanya dalam satu ginian...!" kata salah seo-

rang sambil ayunkan tangan dari bawah ke atas. "Dan 

yang membuat mati itu adalah.... Seorang anak kecil!" 

timpal satunya seraya menoleh ke belakang.

"Heran. Tampaknya mereka sangat ketakutan 

sekali. Namun aku belum begitu jelas dengan maksud 

kata-kata mereka. Dasar orang-orang penakut!" Pen-

dekar Mata Keranjang 108 melangkah mendekat, dan 

berkata.

"Kalian tak perlu takut. Ceritakan dengan jelas 

apa yang terjadi!"

Setelah merasa yakin tak ada orang yang men-

gejar, salah satu dari pelayan ini menceritakan apa 

yang terjadi dalam kedai.

"Kau ingat ciri-ciri mereka. Maksudku anak ke-

cil itu...?" tanya Pendekar Mata Keranjang 108.

"Dia berusia kira-kira delapan atau tujuh ta-

hun. Badannya tegap dan berotot, matanya berkilat-

kilat garang. Dia tak pernah tertawa. Justru yang tua 

yang terus-terusan tertawa bergelak-gelak...."

"Yang tua...?" sela Pendekar 108.

"Benar. Anak itu datang bersama seorang laki-

laki agak tua. Raut wajahnya tak jelas kulihat, karena 

dia mengenakan caping lebar. Pakaiannya jubah putih

kusam, rambutnya panjang sepunggung...."

"Restu...," Pendekar Mata Keranjang 108 bisa 

menduga siapa adanya laki-laki yang diceritakan orang 

di hadapannya. Hingga tanpa menunggu orang mene-

ruskan kata-katanya, Pendekar Mata Keranjang 108 

balikkan tubuh dan berkelebat cepat ke arah desa.

"Orang edan! Tanya-tanya belum selesai sudah 

minggat tanpa bilang ba, bu!" rutuk salah seorang pe-

layan itu seraya pandangi arah berkelebatnya Pende-

kar Mata Keranjang 108.

"Jangan-jangan dia orang gila. Kau lihat tadi, 

sambil terus bertanya, dia tak henti-hentinya cen-

gengesan! Sial betul kita. Dikibuli orang gila...," kata 

satunya sambil tertawa.

"Ah, persetan dengan dia. Gila atau tidak. Yang 

penting sekarang kita harus cepat tinggalkan tempat 

ini!" ujar yang tadi bercerita seraya bergerak melang-

kah meninggalkan tempat itu, lalu diikuti temannya. 

Sementara itu, Pendekar Mata Keranjang 108 

menggenjot larinya, dan dalam waktu singkat telah 

sampai pada halaman kedai.

"Jangan-jangan aku terlambat. Suasana seper-

tinya sudah sunyi!" gumam Pendekar Mata Keranjang 

108 seraya menyapukan pandangannya berkeliling di 

halaman kedai. Ketika sepasang matanya tertumbuk 

pada seseorang yang menggeletak, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 segera berkelebat mendatangi. 

"Astaga! Orang yang paling belakang dari rom-

bongan prajurit...," membatin Pendekar Mata Keran-

jang 108 dengan memperhatikan lebih seksama. 

"Hm.... Pasti yang membunuhnya adalah seorang be-

rilmu tinggi...." Dia lantas memandang sekali lagi ber-

keliling. "Tapi ke mana Restu Canggir Rumekso...? Dan 

siapa anak kecil itu...."

Mendapati di halaman kedai tak ada orang lagi, 

Pendekar Mata Keranjang melangkah memasuki kedai. 

Dan baru sampai di ambang pintu, dia hentikan lang-

kahnya. Matanya mengawasi berkeliling. Mata itu me-

nyipit lantas membeliak.

"Benar-benar tidak berperikemanusiaan orang 

yang melakukan ini...," gumam Pendekar Mata Keran-

jang 108 sambil memperhatikan mayat-mayat prajurit 

yang masing-masing perutnya tertembus golok.

Pendekar 108 balikkan tubuh, melangkah 

kembali ke halaman kedai. "Ke arah mana aku harus 

mengejar...?"

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berpikir 

keras untuk menentukan arah mana yang harus di-

tempuh untuk melakukan pengejaran, mendadak ter-

dengar langkah-langkah ladam kuda berderap.

"Hmm.... Tampaknya derap ladam kuda itu 

menuju kemari!" batin Pendekar Mata Keranjang 108 

seraya palingkan wajah ke arah datangnya langkah-

langkah derap kuda.

Baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 pa-

lingkan wajah, dari arah barat tampak tiga orang ber-

kuda mendatangi. Sampai halaman kedai, ketiga pe-

nunggang ini hentikan kuda masing-masing.

Ketiga penunggang itu serentak membelalakkan 

mata masing-masing bahkan salah satu di antaranya 

berseru keras kala mereka mengetahui siapa adanya 

orang yang tewas menggeletak di halaman kedai.

"Keparat busuk! Kau harus bayar kematian Re-

si Jambu Naga dengan nyawamu!"

Salah seorang dari ketiga penunggang kuda ini 

membentak garang.

Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih tak 

mengerti pada siapa bentakan ditujukan, hanya senyum-senyum bahkan hendak bergerak meninggalkan 

halaman kedai.

"Jahanam! Mau lari ke mana kau, he...?!" ben-

tak salah satunya sambi meloncat turun dari kuda 

tunggangannya, dan menghadang langkah Pendekar 

Mata Keranjang 108. Sementara dua lainnya segera 

pula loncat dari punggung kuda masing-masing dan 

mengurung Pendekar Mata Keranjang 108.

"Ada apa sebenarnya ini...?!" tanya Pendekar 

Mata Keranjang sambil memandang berputar ke arah 

tiga orang yang mengurungnya.

"Keparat! Justru kami yang harus tanya pada-

mu! Siapa kau dan apa yang telah kau lakukan pada 

Resi Jambu Naga!" kata salah seorang dengan nada 

membentak.

"Jangkrik! Kenapa aku selalu dan selalu ditim-

pa nasib jelek! Dasar apes...," batin Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 sambil gelengkan kepala.

"Manusia! Jawab pertanyaan kami!" bentak sa-

tunya dengan mata mendelik.

Pendekar 108 usap-usap cuping hidungnya. 

Lantas dengan tetap tersenyum dia angkat bicara.

"Aku bernama Aji Saputra. Aku tiba di sini su-

dah dalam keadaan begini. Kalau tak percaya tanya 

pada mayat temanmu itu!"

Tiga orang ini saling berpandangan satu sama 

lain. Tampang mereka berubah merah padam. Mereka 

ini yang ternyata adalah tiga laki-laki berusia setengah 

baya. Mengenakan pakaian seragam kerajaan. Namun 

melihat pakaiannya yang begitu mentereng, bisa segera 

ditebak jika mereka adalah para perwira tinggi kera-

jaan. Yang membedakan ketiga orang ini adalah ban 

dari kain yang diikatkan pada lengan masing-masing. 

Salah seorang di antaranya memakai warna merah, satunya putih, sedang satunya lagi warna kuning.

"Manusia! Sekali lagi kuperingatkan. Jawab 

dengan jujur pertanyaan kami!" kata laki-laki yang 

mengenakan ban warna merah, dan tampaknya lebih 

tua dibanding dua lainnya.

"Manusia!" kata Aji ikut-ikutan memanggil pada 

orang yang baru berkata. "Sudah kukatakan, kalau ka-

lian tak percaya, tanya pada temanmu itu!" sambil 

berkata Pendekar Mata Keranjang 108 serahkan pan-

dangannya pada mayat Jambu Naga.

"Bangsat!" serapah laki-laki yang memakai ban 

merah seraya member! isyarat pada laki-laki yang 

mengenakan ban putih.

Laki-laki yang mengenakan ban putih segera 

melangkah maju, dan tanpa berkata-kata lagi, dia me-

loncat sambil hantamkan kedua tangannya ke arah 

kepala Pendekar Mata Keranjang 108.

Sambil mengusap cuping hidungnya Pendekar 

Mata Keranjang 108 memiringkan bahunya, hingga 

hantaman tangan ini lewat menghajar tempat kosong 

sejengkal di samping kepala Pendekar Mata Keranjang 

108.

"Setan alas! Kucincang tubuhmu!" kertak laki-

laki yang mengenakan ban putih ini dengan tarik pu-

lang kedua tangannya dan didahului dengan bentakan 

menggeledek, dia merangsek maju dengan tangan kiri 

menjotos, sementara tangan kanan di depan dada. Ka-

ki kanannya juga bergerak menerjang.

"Benar-benar apes! Aku tak akan meladeni me-

reka. Lebih baik aku menyingkir...," sambil berpikir 

begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 cepat jejakkan 

kaki, tubuhnya melenting tinggi, menghindari seran-

gan laki-laki berbaju putih. Lalu setelah membuat ge-

rakan salto dua kali di udara, murid Wong Agung ini

mendarat agak jauh dari kurungan tiga laki-laki.

Begitu mendarat, Pendekar Mata Keranjang 108 

segera hendak berkelebat pergi. Namun langkahnya 

terhenti ketika tahu-tahu tiga laki-laki itu sudah tegak 

di hadapannya menghadang.

"Dengar!" kata Pendekar Mata Keranjang lan-

tang. Benaknya telah disarati dengan kejengkelan. 

"Aku tak tahu menahu dengan semua hal yang telah 

terjadi. Harap kalian jangan menghalangi langkahku!"

Laki-laki yang mengenakan ban kuning terse-

nyum sinis. Lalu dengan mata membeliak angker dia 

berkata.

"Siapa percaya dengan omongan mu. Melihat 

gerakanmu, tak mustahil kaulah yang membuat ulah 

itu! Sekarang terimalah hukumanmu!"

Habis berkata, laki-laki itu sentakkan kedua 

tangannya ke depan.

Wesss!

Serangkum angin bertenaga dalam tinggi

menggebrak ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.

"Rupanya kalian memaksa!" ujar Pendekar 108 

seraya melangkah tiga tindak ke samping. Dari samp-

ing Pendekar Mata Keranjang 108 kirimkan serangan 

tangkisan dengan sentakan kedua tangannya, le-

paskan pukulan 'Ombak Membelah Karang'. 

Blem!

Dentuman keras segera menyeruak di tempat 

itu. Laki-laki yang mengenakan ban kuning terkejut. 

Tubuhnya terseret hingga lima langkah ke belakang. 

Untung dia masih sempat kerahkan tenaga untuk me-

nahan huyungan tubuhnya, kalau tidak, pasti tubuh-

nya telah terjengkang menyuruk tanah.

Sementara itu di seberang, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 tampak tetap tak bergeming, membuat tiga laki-laki di hadapannya kernyitkan dahi masing-

masing. Dalam benak mereka, ditumbuhi berbagai per-

tanyaan tentang pemuda berbaju hijau di hadapannya.

"Kakang...," kata laki-laki berbaju putih pada 

laki-laki berbaju merah. "Siapa gerangan pemuda ini. 

Dia sepertinya tak sepenuh hati dalam menghadapi ki-

ta. Dan kalau mau tentunya dia tadi telah mengerah-

kan jurus yang mematikan. Kurasa kata-katanya be-

nar. Bukan dia yang menewaskan Resi Jambu Naga!"

"Lantas siapa?" laki-laki berbaju merah mem-

bentak.

Dibentak seperti itu, laki-laki berbaju putih ge-

lengkan kepalanya. "Namun satu hal yang pasti, kuat 

dugaan bukan dia yang membuat ulah itu!"

Laki-laki berbaju merah tertawa pendek. "Kalau 

kau jerih menghadapinya, kau pergilah. Biar aku yang 

hadapi!"

Mendengar kata-kata temannya itu, meski ha-

tinya dongkol, laki-laki mengenakan ban putih ini te-

tap berdiri di tempatnya tanpa memandang pada laki-

laki di sampingnya yang kini tampak melangkah maju 

hendak lepaskan pukulan pada Pendekar Mata Keran-

jang.

"Keparat jahanam! Kalau kau masih tetap tak 

mengaku, mampuslah kau!" hardik laki-laki berbaju

merah dengan meloncat ke depan. Kakinya lantas dia 

angkat tinggi-tinggi ke atas. Tubuhnya diputar cepat, 

tiba-tiba kaki kirinya menyapu deras. 

Wesss!

Begitu derasnya sapuan kaki itu, hingga sebe-

lum kaki itu sampai, angin kencang mendahului, 

membuat Pendekar Mata Keranjang 108 harus undur-

kan kakinya satu tindak ke belakang, menghindari sa-

puan angin yang mendahului serangan.

Pada saat itulah sapuan kaki sesungguhnya da-

tang. Karena tak ada waktu lagi jika menghindar, 

membuat mau tak mau Pendekar Mata Keranjang 108 

tangkis sapuan kaki itu dengan ayunkan kedua tan-

gannya.

Prakk! Prakk!

Dua kali terdengar benturan hebat, lantas dis-

usul dengan seruan tertahan keluar dari mulut laki-

laki berbaju merah. Tubuh laki-laki ini mental balik 

dan terjungkal di atas tanah. Di lain pihak, Pendekar 

Mata Keranjang 108 hanya terhuyung-huyung seben-

tar, lalu kembali tegak meski tampak meringis.

Melihat temannya jatuh terjungkal, laki-laki 

berbaju putih dan kuning segera berdiri berjajar. Mata 

mereka masing-masing menghujam tajam ke arah 

Pendekar Mata Keranjang 108.

Laki-laki berbaju kuning mengangguk. Lantas 

kedua orang ini melangkah masing-masing satu tindak 

ke depan. Kedua tangan mereka menakup di depan 

dada masing-masing, lalu sesaat kemudian tangan itu 

mereka rentangkan dan siap hendak kirimkan seran-

gan.

Pada saat itulah berkelebat sebuah bayangan 

kuning disertai teguran keras.

"Hentikan pertempuran!"

Dua laki-laki yang hendak menyerang, urung-

kan niat dan memandang tajam pada orang yang baru 

datang. Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 ber-

paling ke kanan.

***

SEMBILAN


PUTRI Tunjung Kuning!" seru murid Wong 

Agung, begitu mengetahui siapa adanya orang yang ki-

ni tegak di hadapan dua laki-laki yang siap menye-

rangnya.

"Bukan mata kalian lebar-lebar! Kau sedang 

berhadapan dengan siapa kali ini!" bentak orang yang 

baru datang, yang ternyata adalah seorang gadis can-

tik jelita dan bukan lain adalah Putri Tunjung Kuning,

Dua laki-laki yang tadi hendak menyerang, 

memandang tak kesiap ke arah Putri Tunjung Kuning. 

Bukan karena marah sebab urusannya dicampuri, 

namun karena melihat bentuk tubuh gadis di hada-

pannya yang memang membentuk bagus karena tubuh 

itu dibungkus dengan pakaian warna kuning tipis dan 

ketat, membuat lekukan tubuhnya membayang jelas.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" sambung Putri 

Tunjung Kuning begitu melihat dua laki-laki di hada-

pannya bengong memandangi dirinya. Sementara laki-

laki berbaju merah yang baru saja bangkit juga me-

langkah menjajari temannya, dan ikut-ikutan menatap 

pada Putri Tunjung Kuning dengan tatapan gairah.

"Gadis cantik! Baiklah. Menuruti kemauanmu, 

kami akan meninggalkan tempat ini. Namun kau ha-

rus ikut dengan kami sebagai ganti pemuda itu!" kata 

laki-laki berbaju merah seraya mengerdipkan sebelah 

matanya.

Dua laki-laki temannya menyambuti ucapan 

laki-laki berbaju merah dengan tawa gelak-gelak dan 

angguk-anggukkan kepala.

"Tua bangka tak tahu diri!" teriak Putri Tunjung 

Kuning dengan raut muka berubah merah padam. "Kalau kalian tak lekas minggat dari hadapanku, aku tak 

segan-segan merobek mulut kalian!"

Laki-laki berbaju merah walau sangat marah 

mendengar ucapan gadis di depannya, namun dia ma-

sih tersenyum.

"Gadis cantik. Kau tak perlu khawatir jika ikut 

dengan kami. Segala maumu akan ku turuti. Daripada 

kau ikut pemuda gembel itu, apa yang akan dia beri-

kan padamu...?"

"Benar. Pemuda itu paling-paling hanya punya 

biji. Ha... ha... ha...!" sahut laki-laki berbaju putih 

dengan kerjap-kerjapkan matanya.

"Tidurnya pun di sembarang tempat. Mana ada 

nikmatnya...!" timpal satunya sambil tertawa terbatuk-

batuk.

Paras Putri Tunjung Kuning makin merah men-

gelam. Bibirnya bergetar menahan marah. Sepasang 

matanya yang bulat membeliak berkilat.

"Kalian boleh menghina dia. Namun dengar du-

lu siapa dia adanya!" kata Putri Tunjung Kuning den-

gan menindih hawa amarah yang menyesaki dadanya.

"Katakan siapa dia!" seru laki-laki berbaju me-

rah dengan mata beralih memandang Pendekar Mata 

Keranjang 108.

"Pasang telinga kalian baik-baik. Dia adalah 

pemuda yang berjuluk Pendekar Mata Keranjang 108!" 

ucap Putri Tunjung Kuning, lantang.

Ketiga laki-laki di hadapannya serentak saling 

berpandangan satu sama lain. Malah tanpa sadar keti-

ganya undurkan langkah masing-masing satu tindak 

ke belakang. Mata-mata mereka memandang tak ke-

siap. Lantas bagai dikomando ketiganya melangkah 

maju. Laki-laki yang mengenakan ban merah berkata 

dengan membungkukkan sedikit badannya.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Maafkan kami 

yang tak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Kami 

gembira dapat bertemu dengan pendekar bernama be-

sar. Sekali lagi maafkan sikap kami tadi...."

Pendekar Mata Keranjang merasa jengah diper-

lakukan seperti itu, membuatnya hanya mengangguk 

seraya mengerling pada Putri Tunjung Kuning.

Putri Tunjung Kuning melangkah mendekati 

Pendekar 108, wajahnya disembunyikan dengan me-

mandang ke jurusan lain, membuat Pendekar Mata 

Keranjang 108 heran dan bertanya-tanya.

"Dia tampaknya pucat. Apakah dia...," Pendekar 

Mata Keranjang 108 tak meneruskan kata hatinya, ka-

rena saat itu Putri Tunjung Kuning telah berada di 

sampingnya dan berkata.

"Pendekar 108, syukur kita dipertemukan di si-

ni. Aku sudah bermaksud menyusulmu ke Kampung 

Blumbang...."

"Menyusul ku...?" ulang Pendekar Mata Keran-

jang 108 dengan kernyitkan kening. Matanya meman-

dang menyelidik.

"Ya. Aku hanya ingin mengucapkan terima ka-

sih atas pertolongan yang kau berikan padaku...," kata 

Putri Tunjung Kuning sambil menundukkan kepala.

"Ah, lupakan masalah itu. Justru kalau tidak 

ada kau, mungkin waktu itu nyawaku sudah melayang 

di tangan Malaikat Berdarah Biru. Ngg.... Lantas ba-

gaimana dengan Restu Canggir Rumekso...?" tanya 

Pendekar Mata Keranjang 108 hati-hati.

Sejenak Putri Tunjung Kuning melayangkan 

pandangannya. Dan demi dilihatnya ketiga laki-laki 

masih tegak dengan memandang ke arah mereka, Putri 

Tunjung Kuning palingkan wajah dan berkata perla-

han.

"Pendekar 108. Kita tak bisa membicarakan hai 

itu di sini. Kita harus cari tempat lain...."

Tanpa menunggu sahutan dari Pendekar Mata 

Keranjang, Putri Tunjung Kuning berkelebat mening-

galkan tempat itu. Sejenak Pendekar Mata Keranjang 

hanya memandangi kepergian Putri Tunjung Kuning. 

Lalu dia pun lantas berkelebat menyusul Putri Tun-

jung Kuning.

"Hmm.... Pendekar muda tampan, sudah se-

mestinya banyak yang menggandrungi. Apalagi berge-

lar Mata Keranjang...," gumam laki-laki berbaju merah. 

Lalu menoleh pada dua temannya.

"Kita lanjutkan perjalanan. Mayat Resi Jambu 

Naga nanti kita bisa suruh orang untuk mengubur-

nya!"

Di satu tempat agak sepi, Putri Tunjung Kuning 

menghentikan larinya. Dan tatkala Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 sampai juga di tempat itu, gadis ini aju-

kan pertanyaan.

"Pendekar 108, kau tak keberatan jika kuminta 

untuk menceritakan bagaimana jalinan kisahnya, 

hingga aku berada di tangan Restu Canggir Rumek-

so...?"

Sesaat Pendekar Mata Keranjang 108 seperti 

terkejut. Namun setelah dipikir agak lama, dia pun 

berkata.

"Waktu itu aku kebingungan harus membawa-

mu ke mana, karena saat itu keadaanmu sungguh pa-

rah. Nah, saat itulah datang Restu Canggir Rumekso. 

Karena siapapun juga telah mengenai jika Restu Cang-

gir Rumekso adalah seorang tabib, dan juga waktu itu 

dia mengulurkan tangan untuk menolong, maka aku 

pun merelakan mu dibawa olehnya. Apa yang terjadi 

dengan dirimu di tangan Restu Canggir Rumekso...?

Apa dia menyakitimu...?"

Gadis di depan Pendekar Mata Keranjang 108 

ini menggeleng perlahan. Namun pandangannya mene-

rawang jauh.

"Apakah aku harus berterus terang padanya 

bahwa aku sebenarnya telah melahirkan seorang anak, 

dan anak itu.... Tidak. Aku harus menyimpan semua 

ini...," kata Putri Tunjung Kuning dalam hati.

"Katakan apa sebenarnya yang terjadi!" kata 

Pendekar Mata Keranjang makin penasaran dan agak 

jengkel. Namun perasaan itu ditahannya dalam-dalam, 

karena dia juga merasa salah menyerahkan Putri Tun-

jung Kuning pada orang yang baru dikenalnya. Hingga 

dengan nada menyesal, murid Wong Agung berkata.

"Putri Tunjung Kuning, kalau kau tak mau 

mengatakannya tak apa. Semua ini memang salahku. 

Aku begitu percaya pada orang, hingga tanpa pikir 

panjang lagi aku menyerahkanmu pada Restu Canggir 

Rumekso. Tapi percayalah.... Hal itu kulakukan karena 

aku mengkhawatirkan keadaanmu!"

"Aku mengerti...," kata Putri Tunjung Kuning 

perlahan.

"Putri Tunjung Kuning. Aku perlu memberitahu 

padamu, sesungguhnya Restu Canggir Rumekso ada-

lah seorang tokoh dari jajaran atas golongan hitam. Ia 

telah lama menyembunyikan diri, namun tampaknya 

kini mulai unjuk diri lagi. Aku tak tahu apa yang dica-

rinya saat ini. Tapi satu hal yang pasti, dia mulai me-

nebar maut di sana-sini. Mayat yang menggeletak di 

depan halaman kedai tadi adalah salah satu dari kor-

bannya!"

"Aku sekarang juga telah tahu, siapa sebenar-

nya Restu Canggir Rumekso!"

"Juga tahu, tentang anak yang bersamanya...?"

Pendekar Mata Keranjang 108 ajukan pertanyaan.

Putri Tunjung Kuning terkesiap kaget menden-

gar pertanyaan Pendekar Mata Keranjang 108. Sepa-

sang matanya membelalak lebar, dahinya mengernyit 

penuh keheranan.

"Anak...?" kata Putri Tunjung Kuning seakan 

tak sadar dengan ucapannya. 

"Benar. Restu Canggir Rumekso kini gentayan-

gan bersama dengan anak kira-kira berusia tujuh ta-

hun. Hebatnya anak itu telah pula memiliki kepan-

daian yang mengagumkan. Aku sendiri hanya menyi-

rap kabar, hal yang sesungguhnya aku belum tahu...."

Putri Tunjung Kuning makin terkesiap kaget. 

Diam-diam dia ingat kata-kata Restu Canggir Rumek-

so. "Bayimu adalah bayi lain daripada yang lain. Dalam 

waktu satu hari dia sudah seperti bayi berumur tiga 

bulan. Bayimu kelak tidak akan mempan senjata atau 

pukulan apa pun juga. Dia kelak akan menjadi seo-

rang sakti tiada tanding...," Putri Tunjung Kuning don-

gakkan kepala berpikir. 

"Sekarang bayi itu sudah berumur satu pur-

nama. Kalau satu hari sama dengan umur tiga bulan, 

satu purnama berarti sama dengan umur tujuh tahun. 

Berarti yang bersama Restu Canggir Rumekso adalah 

anakku. Oh, anakku...."

"Kau tahu...?" ulang Pendekar Mata Keranjang 

108 setelah ditunggu agak lama Putri Tunjung Kuning 

tak juga menjawab.

Sambil menindih rasa gagap, Putri Tunjung 

Kuning menggelengkan kepala.

"Hmm.... Aku harus pergi sekarang, mencari je-

jak Restu Canggir Rumekso dan mengambil kembali 

anakku...," berpikir begitu Putri Tunjung Kuning lantas 

berpaling pada Pendekar Mata Keranjang dan berkata.

"Aku ada masalah yang harus kuselesaikan. 

Jadi maaf aku tidak bisa bicara lebih lama. Sebelum 

aku pergi ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kalau 

kau keberatan, kau boleh tidak menjawab. Setelah ter-

jadi pertempuran antara kau dan Malaikat Berdarah 

Biru, apakah Malaikat Berdarah Biru tewas...?" 

"Aneh. Kenapa kau tanya tentang dia...?" 

"Jawab saja!" tukas Putri Tunjung Kuning ce-

pat. Meski dipenuhi perasaan heran akhirnya Pende-

kar Mata Keranjang 108 menjawab. "Dia berhasil mela-

rikan diri. Namun sudah dalam keadaan luka parah.... 

Ada...."

Pendekar Mata Keranjang belum sampai mene-

ruskan kata-katanya Putri Tunjung Kuning telah ba-

likkan tubuh dan berkata menukas.

"Terima kasih. Kalau umur panjang, aku masih 

ingin bertemu denganmu lagi...," habis berkata, Putri 

Tunjung Kuning berkelebat tinggalkan Pendekar Mata 

Keranjang 108.

"Tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang 108. 

Tapi Putri Tunjung Kuning terus berkelebat dan meng-

hilang.

Begitu Putri Tunjung Kuning pergi, Pendekar 

Mata Keranjang 108 usap-usap hidungnya. "Rasa-

rasanya ada yang tak beres antara Putri Tunjung Kun-

ing, Restu Canggir Rumekso dan Malaikat Berdarah 

Biru.... Ada apa sebenarnya di balik semua ini...?"


SEPULUH



RESTU Canggir Rumekso dan Abilowo terus 

berkelebat cepat. Mereka telah dua hari dua malam 

berlari. Hingga wajar saja jika Restu Canggir Rumekso

sudah nampak lelah. Wajahnya kusut masai, nafasnya

berhembus tak teratur dan terengah-engah. Namun 

sebaliknya, Abilowo tak sedikit pun terlihat payah. Bo-

cah ini masih kelihatan segar bugar.

"Gila! Aku bisa mati kelelahan kalau terus ber-

lari. Sebaiknya aku istirahat dahulu. Di depan tam-

paknya ada kedai...," lalu orang tua bercaping lebar ini 

berkata pada Abilowo.

"Abilowo. Kita singgah sebentar di kedai itu. Pe-

rutmu pun kukira sudah minta diisi!"

Abilowo tak menyahut. Dia hanya palingkan 

wajahnya sebentar. Lalu menatap ke arah kedai yang 

memang sudah terlihat dari tempatnya.

Begitu sampai di depan kedai yang tidak begitu 

besar, Restu Canggir Rumekso dan Abilowo hentikan 

larinya. Keduanya lantas melangkah beriringan menu-

ju kedai.

Saat itu matahari sudah menggelincir dari titik 

tengahnya, hingga kedai itu nampak sepi dari pengun-

jung.

Pemilik kedai, seorang laki-laki tua segera me-

langkah menyambut begitu terlihat ada orang masuk. 

Dia sejenak menatap pada pengunjungnya dengan ta-

tapan sedikit heran.

"Laki-laki ini nampaknya baru saja melakukan 

perjalanan jauh. Peluhnya masih nampak meleleh di 

sekujur tubuhnya. Tapi kenapa anak ini kelihatan se-

gar sekali.... Dan aneh, anak ini tidak seperti anak 

yang umurnya sebaya dengannya. Tidak mau omong 

atau tersenyum, padahal anak yang...."

Pemilik kedai tak meneruskan kata hatinya, ka-

rena saat itu Restu Canggir Rumekso telah berkata.

"Sediakan makan dan minum!"

"Ngg.... Baik, Den...."

Sang pemilik kedai lantas balikkan tubuh un-

tuk menyediakan pesanan, namun saat membalik, ma-

tanya sempat melirik pada sang anak. Kuduk pemilik 

kedai ini merinding seketika, dan dia buru-buru berla-

lu.

"Mata, ya. Mata anak itu tajam berkilat dan bi-

birnya menyeringai...," batin sang pemilik kedai seraya 

menyediakan pesanan.

Setelah pesanan selesai dan diantar ke meja di 

mana Restu Canggir Rumekso dan Abilowo berada, 

pemilik kedai ini cepat berlalu dan tak berani lagi me-

mandang pada tamunya.

Selagi kedua orang ini sedang menyantap ma-

kanannya, seorang pemuda tampak celingak-celinguk 

di depan kedai. Lantas pemuda ini kelihatan mengu-

sap-usap cuping hidungnya, lalu tangan kirinya berge-

rak menarik-narik kuncir rambutnya. Dari mulutnya 

terdengar dendang nyanyian yang tak jelas ditangkap 

telinga.

Orang tua pemilik kedai beranjak ke depan. Dia 

tampaknya curiga dengan tingkah sang pemuda.

Begitu sampai pintu kedai dan melihat sikap 

sang pemuda, sang pemilik kedai ini geleng-geleng ke-

pala seraya bergumam pelan.

"Kasihan. Tampangnya sikh boleh. Tapi gila...," 

lalu orang tua pemilik kedai ini berkata sedikit mem-

bentak.

"He.... Hari ini tak ada jatah makan untuk 

orang gila. Lekas tinggalkan tempat ini. Kau hanya 

akan membuat tamuku takut dan mengurungkan niat 

untuk masuk kemari!"

Sang pemuda tak mengacungkan kata-kata 

pemilik kedai. Malah kini melangkah menuju pintu. 

Kepalanya tetap celingak-celinguk, dan nyanyiannya

juga tak berhenti.

"Kalau kau meneruskan langkah, kuhajar kau!" 

hardik sang pemilik kedai seraya acungkan kepalan 

tangannya. Matanya yang sudah sayu melotot.

Namun lagi-lagi yang diancam tak menghirau-

kan. Dia tetap melangkah, membuat pemilik kedai itu 

akhirnya menyingkir sendiri, berlalu ke belakang hen-

dak mengambilkan makanan.

Namun begitu pemilik kedai telah kembali ke 

depan dengan membawa bungkusan, dia hentikan 

langkahnya mendadak. Dia memandang heran pada 

sang pemuda yang terus menatap pada laki-laki ber-

caping dan anak kecil yang menyantap makanan di 

sudut kedai.

"Hmm.... Rupanya arah yang kutempuh tak me-

leset. Mereka kutemukan di sini. Akan kutunggu me-

reka di luar. Tidak layak menanyai orang sedang ber-

santap...," membatin sang pemuda yang bukan lain 

adalah Pendekar Mata Keranjang 108.

Pendekar Mata Keranjang 108 lantas balikkan 

tubuh dan keluar dari kedai, lalu berkelebat menyeli-

nap di balik sebuah pohon tak jauh dari kedai, mende-

kam seraya mengawasi pintu kedai.

Pemilik kedai yang berteriak memanggil tak di-

hiraukannya, membuat orang tua ini jengkel dan me-

lemparkan bungkusan nasi ke halaman kedai seraya 

berkata.

"Dasar orang gila!"

"Tapi pandangan pemuda tadi pada tamu itu 

sepertinya pandangan orang waras. Atau pandangan 

yang sudah lamur, hingga salah mengartikan pandan-

gan orang...? Ah, kenapa aku harus memikirkan orang 

edan. He... he... he...!" batin pemilik kedai dengan ter-

tawa sendiri dalam hati seraya kembali masuk.

Pendekar Mata Keranjang 108 tak menunggu 

lama. Dari pintu kedai tampak Restu Canggir Rumekso 

dan Abilowo melangkah keluar. Laki-laki tua bercaping 

lebar ini sejenak memandang berkeliling. Dia sebenar-

nya ingin tahu pemuda yang dikatakan gila oleh sang 

pemilik kedai. Namun ketika pandangannya tak me-

nemukan siapa-siapa lagi di luar, kedua orang ini mu-

lai melangkah menuju arah barat.

Baru tiga langkah, dari balik pohon tiba-tiba 

melesat seorang pemuda, dan tahu-tahu telah berdiri 

sepuluh langkah di hadapan Restu Canggir Rumekso 

dan Abilowo.

"Kuharap kau tak lupa padaku, Orang Tua!" 

berkata Pendekar Mata Keranjang 108 sambil terse-

nyum. Namun matanya tak memandang pada Restu 

Canggir Rumekso. Sepasang mata Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 tak kesiap menatap pada anak di sebelah 

Restu Canggir Rumekso.

Langkah Restu Canggir Rumekso dan Abilowo 

terhenti seketika. Keduanya menatap tajam ke depan.

"Pendekar Mata Keranjang 108!" seru Restu 

Canggir Rumekso lantas melangkah maju mendekat 

dengan tersenyum. Sementara Abilowo tetap di tem-

patnya. Namun matanya tak henti-hentinya menyengat 

tajam pada Pendekar Mata Keranjang.

"Jadi rupanya kau yang dikatakan pemuda gila 

oleh pemilik kedai tadi! Sungguh kebetulan sekali. Aku 

hari ini memang bermaksud ke tempat gurumu si 

Wong Agung. Untuk menagih nyawanya serta men-

gambil bumbung bambu dan kipas hitam. Bukankah 

benda pusaka itu kau berikan padanya...?"

Pendekar 108 tak menyambuti kata-kata Restu 

Canggir Rumekso. Dalam hati murid Wong Agung ini 

bertanya-tanya sendiri.

"Dari mana dia tahu aku memberikan benda 

pusaka itu pada Eyang Wong Agung...? Hmm.... Ki-

ranya itu yang menjadi niatannya.... Terpaksa aku ha-

rus mencegahnya. Mereka rupanya orang-orang yang 

tak boleh dibiarkan hidup. Dunia persilatan akan 

gempar jika mereka merajalela...,"

"Restu Canggir Rumekso! Kau salah alamat jika 

pergi ke Karang Langit untuk mencari benda itu. Ben-

da itu sudah musnah!"

Restu Canggir Rumekso tertawa lebar menden-

gar kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108.

"Aku bukan orang yang bisa kau bodohi. Lagi 

pula hidupku tidak akan tenang sebelum bisa mengan-

tar gurumu ke alam baka. Beberapa puluh tahun yang 

lalu, gurumu memang pantas disebut-sebut sebagai 

orang tiada tanding. Namun sekarang hal itu akan di-

lupakan orang. Sekarang orang-orang rimba persilatan 

akan mempunyai orang baru yang pantas disebut ma-

nusia tiada tanding!"

Lalu Restu Canggir Rumekso berpaling pada 

Abilowo dan berkata.

"Abilowo! Habisi kecoa itu!"

Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108 

mendelik hampir tak percaya, Abilowo nampak me-

langkah maju dengan senyum seringai. Matanya tak 

kesiap menyengat tajam pada Pendekar Mata Keran-

jang 108.

"Siapa sebenarnya anak ini...?"

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 bertanya-

tanya, Abilowo telah meloncat seraya kirimkan seran-

gan dengan hantamkan kedua tangannya.

Pemandangan di tempat itu serentak agak gelap 

redup. Pendekar Mata Keranjang 108 terlengak kaget 

melihat dari kedua telapak tangan Abilowo melesat keluar berlarik-larik sinar hitam dengan suara menggi-

dikkan.

Sambil menahan rasa tak percaya pada pengli-

hatannya, Pendekar 108 segera berkelebat ke samping 

selamatkan diri. Selagi Pendekar 108 berkelit inilah, 

Abilowo kembali melompat menyusur ke samping dan 

kembali sentakkan kedua tangannya dengan menge-

rahkan tenaga dalam penuh. Terbukti serangannya 

kali ini membuat tanah di halaman kedai itu bergetar 

hebat!

"Edan! Bagaimana mungkin anak sekecil dia bi-

sa melakukan serangan sehebat ini...?" membatin Pen-

dekar Mata Keranjang seraya kembali melompat ke 

samping. Hingga dua serangan hebat pembuka itu me-

nerpa tempat kosong.

Walau serangan itu menghantam tempat ko-

song, Pendekar Mata Keranjang 108 segera sadar jika 

anak ini tak boleh diberi kesempatan lagi untuk lan-

carkan serangan. Hingga tanpa menunggu sang anak 

lancarkan serangan, Pendekar Mata Keranjang 108 se-

gera berkelebat. Dan tahu-tahu kaki kirinya melesat ke 

arah kepala Abilowo. Sebenarnya lesatan kaki kiri ini 

hanyalah sebuah gerak tipu. Karena begitu bergerak 

menghindar, kaki kiri itu dia tarik cepat dan tangan 

kanan dan kiri segera menghantam dari arah samping!

Namun kali ini serangan Pendekar Mata Keran-

jang 108 itu hanya disambut senyum seringai oleh Ab-

ilowo. Bocah ini secepat kilat rundukkan kepalanya 

dan kedua kakinya dia geser ke belakang, hingga tu-

buhnya sedikit menyusur di atas tanah. Dan serta 

merta Abilowo bergerak menyusup melewati selang-

kangan Pendekar Mata Keranjang 108. Begitu berada 

di belakang Pendekar Mata Keranjang 108, kedua kaki 

Abilowo cepat menyapu kaki kanan Pendekar Mata Keranjang 108 yang kini dibuat tumpuan tubuhnya. 

Desss!

Pendekar Mata Keranjang 108 keluarkan se-

ruan keras. Kaki kanannya goyah, dan hampir saja dia 

jatuh terjerembab ke depan jika dia tidak segera le-

satkan diri ke udara dan mendarat kembali dengan 

kaki kanan kesemutan.

"Sialan!" sumpah Pendekar Mata Keranjang ge-

ram. Dia tak habis pikir, bagaimana Abilowo bisa men-

duga serangannya, padahal serangannya tadi begitu 

cepat.

Dengan katupkan rahang, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 balikkan tubuh. Kini murid Wong Agung 

ini tak main-main lagi. Dia sadar, meski nakal kecil, 

Abilowo adalah lawan tangguh.

Pendekar Mata Keranjang 109 kembali berkele-

bat. Kedua tangannya lantas bergerak cepat menghan-

tam dari samping kiri kanan mengarah pada kepala 

Abilowo. Sedangkan tubuhnya mengapung di udara 

dengan sepasang kaki diangkat sedikit berjaga-jaga ji-

ka lawan melesat ke udara. Namun apa lacur. Abilowo 

memburu gerakan salto. Begitu kepalanya berada di 

bawah, tubuhnya lantas kaku dan kini bergerak meng-

gelundung dengan cepat.

Kira-kira satu tombak jauhnya, Abilowo henti-

kan gerakan tubuhnya. Lalu dengan miringkan tubuh, 

anak ini hantamkan kedua tangannya lepas serangan 

jarak jauh yang dialiri tenaga dalam kuat.

Sinar hitam berlarik-larik yang menghalangi 

pandangan segera melesat keluar dan menyambar ke 

arah murid Wong Agung yang masih tegak keheranan.

Melihat serangan berbahaya, Pendekar Mata 

Keranjang 108 segera berkelebat. Tubuhnya lenyap da-

ri pandangan sebelum larikan-larikan sinar hitam yang

berhawa panas itu menyambar. Hingga larikan sinar 

hitam serangan Abilowo menerabas terus dan mela-

brak kedai.

Kedai yang terbuat dari kayu dan pelepah daun 

kelapa itu berderak roboh dan mengeluarkan asap! Da-

ri sini bisa dilihat bagaimana dahsyatnya pukulan Ab-

ilowo.

"Gila! Sebelum terlambat, aku harus melum-

puhkannya dahulu!" batin Pendekar Mata Keranjang 

108 seraya keluarkan kipas ungunya.

Melihat Pendekar 108 keluarkan senjata, Restu 

Canggir Rumekso tertawa mengekeh.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Keluarkan selu-

ruh kepandaianmu. Kalau kau bisa mengalahkan dia, 

baru hadapi aku!"

Ucapan bernada mengejek Restu Canggir Ru-

mekso membuat telinga dan wajah Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 merah mengelam. Tanpa menunggu lama 

lagi, dia segera melesat ke depan dengan kibasan ki-

pasnya, sementara tangan kirinya lepaskan pukulan 

'Bayu Cakra Buana'.

Sinar putih yang berkilau melesat dari tangan 

kiri Pendekar Mata Keranjang 108, sementara dari ki-

pasnya menyambar angin deras menggemuruh.

Di seberang, Abilowo hanya menyeringai meli-

hat serangan itu. Bahkan tampaknya dia tidak beru-

saha untuk menghindari. Malah dia melangkah me-

nyongsong serangan dengan kedua tangan merentang.

Weesss! Deesss!

Sambaran kipas dan hantaman pukulan 'Bayu 

Cakra Buana' menggebrak telak tubuh Abilowo, mem-

buat tubuh anak kecil itu mencelat jauh dan jatuh 

bergedebuk di atas tanah, dan diam tak bergerak-

gerak lagi.

Restu Canggir Rumekso sangat cemas menyak-

sikan kejadian itu. Senyumnya yang sedari tadi ter-

sungging pupus tiba-tiba. Dia segera melangkah men-

dekati Abilowo. Namun langkahnya tertahan tatkala di-

lihatnya Abilowo bangkit berdiri dan memandang tajam 

ke arah Pendekar Mata Keranjang 108.

Pendekar Mata Keranjang hampir tak percaya. 

Bocah kecil yang terhantam telak pukulan 'Bayu Cakar 

Buana' ini tak cedera sama sekali. Setetes darah pun 

tak terlihat keluar dari hidung atau sudut bibirnya. 

Padahal pukulan sakti 'Bayu Cakra Buana' telah ba-

nyak membuat tokoh-tokoh hitam babak belur dan tak 

jarang pula yang menemui ajal!

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-

gah heran, Abilowo telah merangsek maju dengan me-

lompat seraya hantamkan kedua tangannya. Namun 

Pendekar Mata Keranjang 108 dibuat bingung bukan 

alang kepalang, karena tubuh anak ini berkelebat ce-

pat dan mengitari dirinya dari bawah ke atas dan sese-

kali memutar.

Karena baru pertama kali ini menemui seran-

gan macam begini, Pendekar Mata Keranjang 108 kehi-

langan akal. Hingga dengan memutar otak bagaimana 

mencari jalan untuk melumpuhkan sang anak, Pende-

kar Mata Keranjang 108 putar-putar kipasnya, semen-

tara tangan kirinya dia putar pula di atas kepala. 

Hingga saat itu juga tubuh murid Wong Agung ini di-

bungkus sinar putih dan angin yang menderu-deru 

dahsyat.

Melihat lawan bagai dibentengi dinding tebal, 

Abilowo kertakan rahang, dia segera sentakkan kedua 

tangannya tak putus-putus ke arah sinar putih yang 

membungkus tubuh Pendekar Mata Keranjang 108. 

Kini Pendekar Mata Keranjang 108 dan Abilowo sama

sama kerahkan tenaga. Yang satu membentengi di-

rinya seraya sesekali lancarkan serangan, sementara 

satunya tak putus-putusnya lancarkan serangan un-

tuk menjebol pertahanan lawan.

Setelah sekian lama saling mengerahkan tena-

ga, benteng pertahanan Pendekar Mata Keranjang 108 

yang terus menerus dihujani serangan itu tampak mu-

lai goyah. Dan pada suatu kesempatan, dengan mem-

bentak lengking, Abilowo tubrukkan tubuhnya.

Sinar putih yang membungkus Pendekar Mata 

Keranjang 108 menguak, dan seketika itu juga kedua 

tangan Abilowo menelusup masuk menghantam! Meski 

Pendekar Mata Keranjang 108 berhasil berkelit, namun 

tangan kiri Abilowo menggebrak bahunya!

Tubuh Pendekar 108 terhuyung. Dan pada saat 

itulah kaki kanan Abilowo datang menghajar dada! 

Desss!

Pendekar Mata Keranjang keluarkan pekik ke-

ras. Dadanya terasa terhantam batangan kayu besar 

hingga untuk beberapa saat lamanya tak bisa diguna-

kan untuk bernapas. Tubuhnya melesat sampai dua 

tombak dan terkapar di atas tanah dengan baju robek 

sebelah bahu dan dada.

Pendekar Mata Keranjang 108 segera kerahkan 

tenaga dalam untuk mengurangi sakit yang mendera 

dada dan bahunya. Lalu dengan tertatih-tatih dia me-

rambat bangkit. Keringat dingin membasahi sekujur 

tubuhnya.

Di seberang, Restu Canggir Rumekso tertawa 

terbahak-bahak. Sementara Abilowo tegak memandang 

sambil menyeringai.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Rupanya kau 

ditulis untuk tewas mendahului gurumu!" kata Restu 

Canggir Rumekso di sela-sela tawanya.

Pendekar Mata Keranjang 108 kertakkan gera-

ham. Rautnya merah padam seraya meringis menahan 

sakit dan sesak.

"Hmm.... Terpaksa aku harus menggunakan ju-

rus 'Bayu Kencana'!" batin Pendekar Mata Keranjang 

sambil memindahkan kipas ke tangan kirinya semen-

tara tangan kanannya dibuka.

Abilowo yang melihat lawan masih siap hendak 

menyerang segera palingkan wajah pada Restu Canggir 

Rumekso seakan minta perintah.

"Habisi dia!" kata Restu Canggir Rumekso lan-

tang.

Abilowo segera melesat ke depan, dan begitu 

empat langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang 

108, dia cepat sentakkan kedua tangannya.

Larikan-larikan sinar hitam melesat lurus ke

arah murid Wong Agung ini. Bersamaan dengan itu, 

Pendekar Mata Keranjang 108 tarik tangan kanannya 

sedikit ke belakang. Terjadi suatu keanehan.

Larikan-larikan sinar hitam yang melesat dari 

kedua tangan Abilowo bagai tertahan sesuatu yang tak 

terlihat, dan perlahan-lahan menerabas terus masuk 

ke telapak tangan Pendekar Mata Keranjang 108.

Abilowo yang nampak tersentak kaget menam-

bah tenaga dalamnya. Namun begitu hampir mengge-

brak, sinar yang keluar dari sentakan tangannya ber-

gerak pelan dan perlahan-lahan masuk ke telapak tan-

gan kanan Pendekar Mata Keranjang 108.

Abilowo merasakan bahunya kebas dan ngilu 

bukan main, dadanya bergetar sakit karena perlahan-

lahan tubuhnya juga mulai tertarik ke depan. Namun 

anak ini tak hendak menyerah begitu saja. Dia coba 

hentakkan kedua kakinya ke atas tanah, hingga tanah 

itu bergetar dan membentuk kubangan.

Untuk beberapa saat Abilowo memang berhasil 

menahan gerak tubuhnya yang bergerak maju. Namun 

begitu Pendekar Mata Keranjang 108 membentak sam-

bil menarik tangan kanannya, tanah tempat pijakan 

Abilowo yang membentuk kubangan itu pecah, dan 

bersamaan dengan itu kembali tubuh Abilowo bergerak 

ke depan.

Begitu dua langkah lagi tubuh Abilowo sampai 

di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108, murid 

Wong Agung ini sentakkan tangan kanannya cepat, 

sementara tangan kirinya yang memegang kipas dia 

tusukkan ke depan.

Desss!

Untuk pertama kali dari mulut Abilowo terden-

gar seruan lengking. Bersamaan dengan itu, tubuhnya 

tertahan oleh tusukan kipas Pendekar Mata Keranjang 

108. Hebatnya, tubuh Abilowo tak mengeluarkan da-

rah setetes pun meski tusukan ujung kipas itu mero-

bek bahunya. Malah dalam keadaan demikian, kedua 

tangannya masih sempat bergerak hendak merampas 

kipas.

Pendekar Mata Keranjang 108 yang tahu gela-

gat, cepat tarik kipasnya dan dengan gerak kilat tan-

gan kanannya dia sentakkan ke depan. 

Desss!

Abilowo meraung keras. Tubuhnya melayang 

jauh dan jatuh terkapar di atas tanah. Untuk beberapa 

lamanya tubuh kecil itu tidak tampak bergerak-gerak. 

Namun tak lama kemudian, tubuh kecil itu bergerak 

merambat bangkit. Tapi begitu bangkit, tubuh Abilowo 

kembali oleng dan jatuh telungkup, membuat Restu 

Canggir Rumekso segera berkelebat mendatangi.

Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah men-

dekat. Kedua tangannya siap akan kirimkan serangan.

Namun saat itu berkelebat sebuah bayangan seraya 

menegur.

"Apa layak melakukan pembunuhan pada la-

wan yang sudah tak berdaya?"

Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan wajah 

ke arah bayangan yang baru saja menegur.

"Ah, Putri Tunjung Kuning!" kata Pendekar Ma-

ta Keranjang 108.

"Menghadapi orang berbahaya seperti mereka, 

terlalu enak jika peraturan begitu diterapkan! Alam 

kubur lebih baik bagi mereka daripada hidup menebar 

maut di mana-mana!"

"Ucapanmu benar. Namun kali ini kuharap kau 

melihatku. Beri mereka kesempatan demi aku!" kata 

Putri Tunjung Kuning perlahan. Dari sudut matanya 

terlihat air mata hendak bergulir.

Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108 

menyipit dan melebar. Keningnya mengernyit. Dari 

mulut murid Wong Agung ini keluar ucapan bernada 

heran.

"Putri Tunjung Kuning. Apa arti ucapanmu? 

Apa hubunganmu dengan anak itu...?"

Putri Tunjung Kuning tidak menjawab. Dia ma-

lah balikkan tubuh dan menghambur ke arah Abilowo 

yang kini telah ada di bopongan kedua tangan Restu 

Canggir Rumekso.

"Serahkan anak itu padaku! Kau tak berhak 

atas anak itu!" seru Putri Tunjung Kuning begitu dekat 

dengan Restu Canggir Rumekso.

Restu Canggir Rumekso tersenyum sinis. Lalu 

berkata.

"Siapa pun tak berhak atas anak ini!"

Habis berkata, Restu Canggir Rumekso balik-

kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.

Mungkin karena masih terkesima dengan keadaan, Pu-

tri Tunjung Kuning terlambat untuk mencegah keper-

gian Restu Canggir Rumekso. Dia baru sadar tatkala 

Restu Canggir Rumekso telah berkelebat hilang dari 

pandangan.

Menyadari hal itu, Putri Tunjung Kuning segera

pula hendak berkelebat mengejar. Namun Pendekar 

Mata Keranjang menghadang dan berkata.

"Putri Tunjung Kuning. Katakan terus terang, 

apa hubunganmu dengan anak itu!"

Sejenak Putri Tunjung Kuning menatap bola 

mata Pendekar Mata Keranjang 108. Dari mata gadis 

cantik ini telah bergulir air bening membasahi pipinya.

"Aku tak bisa mengatakan sekarang. Suatu 

saat kelak kau akan tahu sendiri...."

Habis berkata, Putri Tunjung Kuning segera 

berkelebat ke arah menghilangnya Restu Canggir Ru-

mekso.

"Tunggu!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108. 

Namun Putri Tunjung Kuning tak menghiraukan teria-

kan Pendekar Mata Keranjang 108. Dia terus berkele-

bat dan meninggalkan murid Wong Agung dengan ba-

tin disarati beberapa pertanyaan.


                             SELESAI



Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:



GEMBONG RAJA MUDA






















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive