..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE RATU TANAH TERBUANG

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


KALAU ada orang yang mau menggantung diri 

di sebuah pohon, tentunya dengan leher yang tercekik 

seutas tambang! Tetapi, yang tergantung di pohon itu 

justru kaki kanannya yang terikat pada seutas tam-

bang! Dan kalau begini adanya, hanya ada dua jawa-

ban dari kejadian itu.

Jawaban pertama, orang itu tak sengaja masuk 

ke perangkap hewan yang dipasang pemburu. Jawa-

ban kedua, ada orang yang telah memperlakukannya 

demikian!

Lelaki setengah baya berambut panjang itu 

menggoyang-goyangkan tubuhnya untuk menggapai 

tambang yang mengikat kakinya. Tetapi begitu tan-

gannya berhasil memegang tambang itu, seketika dile-

paskan kembali. Pinggulnya yang terhantam gelom-

bang angin kecil tetapi sangat menyengat terasa perih.

Dia bergelantungan dengan mata mendelik. Te-

riakannya keras diiringi makiannya, "Gadis keparat! 

Bila kau berani mencelakakan ku, tak akan pernah te-

nang hidupmu!!"

Gadis berpakaian putih bersih dengan dua 

kuntum mawar merah pada atas dada kanan kirinya 

itu, mendongak. Sepasang mata indahnya tak berkedip 

memandang lelaki bertelanjang badan yang kaki ka-

nannya terikat menggantung. Terkesan dingin dan 

bengis.

"Kau berani mendustai ku, maka itulah akibat-

nya!" serunya penuh ancaman. 

Sebagai sahutan, lelaki yang tergantung itu 

mendorong kedua tangannya ke bawah. 

Wrrsss!!


Serta-merta dua gelombang angin yang kemu-

dian menyatu meluncur ke arah si gadis. Yang dis-

erang hanya mendengus. Lalu dengan ringannya men-

gibaskan tangan kanannya setengah lingkaran di atas 

kepala.

Blaaaarrr!!!

Dua gelombang angin yang menjadi satu itu pu-

tus di tengah jalan terhantam satu sinar merah yang 

cukup pekat dan memperdengarkan suara letupan cu-

kup keras.

Lelaki yang tergantung di atas pohon mengge-

ram

"Keparat! Mengapa aku bisa dibodohi anak in-

gusan seperti gadis celaka itu!" makinya dalam hati. 

"Setan! Aku sama sekali tak mengenal Raja Naga wa-

laupun aku pernah mendengar julukannya! Tetapi ga-

ra-gara Raja Naga, aku jadi begini!"

Dengan tubuh yang terayun-ayun dan kaki ka-

nan yang terikat itu mulai terasa nyeri, lelaki ini mem-

bentak lagi, "Gadis celaka! Orang yang kau tuju adalah 

Raja Naga! Tetapi kau telah berani memperlakukan ku

seperti begini!!"

"Siapa pun orangnya yang kutanyakan tentang 

Raja Naga menjawab tidak tahu, maka dia harus ku-

bunuh! Apalagi orang yang berani mempermainkan ku! 

Kau mengatakan sebelumnya tahu di mana pemuda 

itu berada, tapi nyatanya kau tidak tahu sama sekali! 

Sebelum kubunuh, satu siksaan pedih agaknya paling 

tepat se-bagai ganjaran atas tindakanmu!"

"Setan terkutuk! Lepaskan aku! Kita bertarung 

sampai mampus!"

"Dalam keadaan tak tergantung seperti itu kau 

sudah tak mampu menghadapiku, apalagi sekarang 

ini! Kau hanya menjadi singa ompong!!"


"Terkutuk!!"

Lelaki yang tergantung ini meliukkan tubuhnya 

ke atas. Dan.... 

Tap!

Tangannya berhasil meraih tambang yang men-

gikat kaki kanannya. Dicobanya untuk membuka ika-

tan itu. Tetapi baru saja dilakukan, satu sengatan 

mengenai pinggulnya!

"Aaaakhhhh!!"

Tubuhnya meliuk, berayun dan tergantung lagi! 

Karena bantingan tubuhnya sendiri, ikatan pada kaki 

kanannya semakin menguat! 

"Setan!!" makinya dengan paras memerah kare-

na darah telah mengumpul pada wajahnya! Keringat 

bercucuran, jatuh ke tanah, tak jauh dari hadapan ga-

dis berpakaian putih yang sedang menyeringai itu.

"Pulung Jelaga! Yang kau lakukan hanyalah 

sebuah kesia-siaan!! Kau tak akan mampu melepaskan 

diri dari tambang itu, karena aku akan segera membu-

nuhmu!"

Wajah si lelaki yang bernama Pulung Jelaga itu 

kian memerah. Amarah dan kegusarannya bersatu pa-

du. Dia mulai diliputi rasa putus asa. Disesalinya 

mengapa sebelumnya dia menganggap enteng gadis 

yang sedang menyiksanya ini

Sebelumnya Pulung Jelaga tiba-tiba didatangi 

oleh seorang gadis yang mengaku berjuluk Ratu Tanah 

Terbuang. Ratu Tanah Terbuang menanyakan tentang 

Raja Naga. Merasa gadis itu bukanlah sebuah momok 

yang menakutkan, Pulung Jelaga menjawab tahu di 

mana orang yang dicari Ratu Tanah terbuang. Padahal 

saat itu, yang dikehendakinya adalah mencoba menge-

labui si gadis untuk mendapatkan kesenangan! Karena 

sepasang bukit kembar membusung yang dibalut pakaian putih itu telah membuatnya bergairah. Sudah 

tentu dia tak akan membiarkan gairahnya berlalu tan-

pa pelampiasan.

Dibawanya si gadis melangkah seolah hendak 

mencari Raja Naga. Di tengah perjalanan, dia menyer-

gap gadis itu yang sesaat terkejut tetapi kemudian pa-

srah saat direbahkan tubuhnya di atas tanah.

Mendapati hal itu, Pulung Jelaga menjadi kese-

nangan. Dia melupakan bahaya lain yang tidak ter-

tangkap matanya. Ratu Tanah Terbuang membiarkan 

dirinya diciumi bahkan diraba oleh Pulung Jelaga, se-

mentara hatinya murka laksana gunung berapi yang 

siap memuntahkan isi perutnya!

Di saat Pulung Jelaga sudah membuka pa-

kaiannya sambil tertawa-tawa karena merasa apa yang 

diinginkannya akan terlaksana, Ratu Tanah Terbuang 

justru memejamkan matanya. Makin kesenangan Pu-

lung Jelaga.

Namun secara tiba-tiba, tubuhnya tersentak 

naik, mumbul ke udara untuk kemudian terbanting di 

atas tanah!

Apa yang terjadi itu membuat Pulung Jelaga 

kebingungan, karena begitu dilihatnya keadaan Ratu 

Tanah Terbuang, gadis itu tetap berada dalam posisi 

terbaring dengan kedua mata terpejam. Untuk bebera-

pa saat dia memikirkan apa yang barusan menimpa di-

rinya. Melihat keadaan si gadis, rasanya tak mungkin 

kalau dia yang telah mendorongnya!

Kebingungannya itu tak berlangsung lama, me-

lihat keadaan si gadis. Tanpa mempedulikan apa yang 

barusan terjadi, Pulung Jelaga segera menghampiri 

Ratu Tanah Terbuang dengan terburu-buru.

Tetapi mendadak dia tersungkur dan terbanting 

untuk kedua kalinya di atas tanah. Belum lagi dia


bangkit, dilihatnya satu bayangan putih telah berkele-

bat dan tahu-tahu telah mengangkangi wajahnya den-

gan pandangan sengit.

Sadarlah Pulung Jelaga siapa yang telah mem-

buatnya tersungkur dua kali. Sebelum dia bangkit, Ra-

tu Tanah Terbuang sudah menginjak dadanya yang te-

rasa seperti mau pecah. Kemudian menempeleng wa-

jahnya keras-keras hingga memerah.

Lalu menyentaknya ke atas, menyeretnya se-

perti sedang membawa satu buntalan baju. Pulung Je-

laga berusaha berontak, tetapi satu totokan yang dila-

kukan Ratu Tanah Terbuang yang sama sekali tidak 

dilihatnya, membuat seluruh tulang belulangnya se-

perti dilolosi.

Sepanjang perjalanan Ratu Tanah Terbuang 

meneriakkan julukan Raja Naga. Bahkan di satu du-

sun, dia mengamuk karena tak seorang pun yang da-

pat mengatakan di mana Raja Naga berada. Dari se-

buah rumah, Ratu Tanah Terbuang mendapatkan se-

buah tambang yang cukup panjang.

Sambil terus menyeret Pulung Jelaga yang tak 

berdaya dan diliputi rasa kecut, Ratu Tanah Terbuang 

melangkah meninggalkan dusun itu. Langkahnya baru 

dihentikan di sebuah jalan setapak, di hadapan se-

buah pohon besar.

Kemudian dilemparkannya tambang itu ke da-

han sebuah pohon. Lalu diikatnya kaki kanan Pulung 

Jelaga yang berteriak-teriak keras tetapi tak dapat me-

lakukan apa-apa kecuali berteriak. Setelah mengikat 

kaki Pulung Jelaga, gadis itu segera melepaskan toto-

kannya.

Pulung Jelaga masih merasakan kalau tubuh-

nya sesaat mengejut, sebelum kemudian tubuhnya te-

lah tersentak naik dan kini tergantung di pohon itu


dengan kepala menghadap tanah!

"Ratu Tanah Terbuang!" seru Pulung Jelaga 

dengan suara putus asa. "Aku mohon ampun akan 

tindakanku ini! Percayalah... aku mengetahui di mana 

Raja Naga berada!"

"Seseorang tak akan mungkin mau terperosok 

ke lubang yang sama atau ke lubang lainnya sebanyak 

dua kali! Tindakanmu justru banyak membuang wak-

tuku! Dan untuk mempersempit waktu, sebaiknya kau 

kubunuh sekarang!"

"Jangan... jangan kau lakukan itu!" seru Pu-

lung Jelaga mengiba, tubuhnya terayun-ayun karena 

dia bergerak tadi. "Ampuni aku... ampuni aku... aku 

bersedia menjadi budakmu bila kau mau mengampu-

niku...."

"Urusanku adalah dengan Raja Naga! Aku tak 

membutuhkan bantuan siapa pun juga!" seru Ratu 

Tanah Terbuang dingin. "Jangan berharap terlalu jauh 

padaku!"

Pulung Jelaga tak berucap. Hanya wajahnya 

yang menyiratkan penyesalan, ketakutan sekaligus 

kemarahan.

"Kau tak berkomentar, berarti kau siap untuk 

pergi ke neraka!!"

Tangan kanan Ratu Tanah Terbuang perlahan-

lahan terangkat dan siap didorong ke atas.

Kedua mata Pulung Jelaga membuka lebar. Ke-

panikan sangat kentara. Dia menggerak-gerakkan ke-

dua tangannya, seraya mendesis panik, "Jangan... jan-

gan lakukan itu... ampuni aku... ampuni aku...."

Ratu Tanah Terbuang menyeringai lebar.

"Kau telah melakukan kesalahan yang tak akan 

pernah ku maafkan! Kau telah banyak membuang 

waktuku yang sedemikian sempit! Itu artinya kau


memperlambat keinginanku untuk menemukan dan 

membunuh Raja Naga!"

"Ratu Tanah Terbuang...," desis Pulung Jelaga 

resah, dia sudah kehilangan nyalinya. Rasa putus asa 

semakin menyiksa. Penyesalannya bertubi-tubi meng-

hantam dadanya. "Kuakui... apa yang kulakukan ini 

memang sebuah kesalahan.... Tetapi, apakah kau tidak 

mau memaafkan ku?"

"Tindakanmu sudah keterlaluan!"

"Aku memahami apa yang kulakukan yang ten-

tunya membuatmu murka," sahut Pulung Jelaga pe-

lan. Dia masih mencoba berusaha untuk membujuk 

Ratu Tanah Terbuang. "Dan... aku... aku berjanji, tak 

akan lancang lagi melakukannya...."

"Sayangnya, kematianmu justru semakin de-

kat!" sahut Ratu Tanah Terbuang geram. Diam-diam 

dia menyenangi apa yang dilakukannya ini. Melihat 

orang mengiba-ngiba padanya, dia semakin suka me-

nerus-kan tindakannya.

"Ya, ya... kuakui itu.... Tetapi, aku... aku... tahu 

di mana sebenarnya Raja Naga berada...."

"Sebelumnya kau telah berdusta padaku, apa-

kah sekarang aku bisa mempercayaimu?"

"Kita... kita bisa menanyakan pada sahabatku 

yang berjuluk Keranda Iblis! Aku yakin... dia tahu di 

mana Raja Naga berada...."

Ratu Tanah Terbuang tak bersuara. Mata in-

dahnya yang bengis itu memandang tak berkedip pada 

Pulung Jelaga yang masih tergantung.

Melihat gadis berpakaian putih itu terdiam, Pu-

lung Jelaga terus berkata-kata, "Keranda Iblis banyak 

mempunyai sahabat dan kambrat! Aku yakin, dia akan 

mencari keterangan untukmu tentang Raja Naga!" 

"Kau mencoba untuk mendustai ku lagi...."


"Kau tadi mengatakan tak mungkin ada orang 

yang mau terperosok pada lubang yang sama atau lu-

bang lainnya untuk kedua kalinya! Aku telah melaku-

kan kesalahan dan mendapatkan akibat dari tinda-

kanku ini! Sudah tentu... aku... aku tak ingin ini terja-

di untuk kedua kalinya...."

Lagi Ratu Tanah Terbuang tak bersuara. Dia 

sedang mempertimbangkan kata-kata Pulung Jelaga. 

Pulung Jelaga sendiri tak berkata lagi. Dibiarkan Ratu 

Tanah Terbuang memikirkan apa yang dikatakannya.

Sudah tentu Pulung Jelaga berharap kalau Ra-

tu Tanah Terbuang akan termakan ucapannya. Sebe-

narnya bila dia bebas, dia bermaksud untuk meminta 

bantuan Keranda Iblis untuk membunuh Ratu Tanah 

Terbuang!

Mendadak... 

Wuutttt! 

Tasss!!

Tali yang mengikat kaki kanannya dan mem-

buatnya tergantung tiba-tiba putus. Pulung Jelaga se-

saat memekik ketika tubuhnya meluncur deras ke atas 

tanah. Rasa lemas telah menggelayuti tubuhnya. Tena-

ganya seperti terkuras. Kaki kanannya yang terikat itu 

nyeri bukan main.

Namun dia masih mampu bertindak cepat bila 

tidak ingin kepalanya menghantam tanah! Didahului 

oleh teriakan keras, tubuhnya segera meliuk, dan 

mumbul di udara. Setelah memutar tubuh, dia hing-

gap di atas tanah.

Tetapi baru saja dia hinggap, tubuhnya sudah 

goyah. Ini dikarenakan kaki kanannya yang nyeri itu 

seolah tak memiliki tenaga lagi.

Goyahan tubuhnya tidak bisa dikuasai lagi. 

Hingga kemudian dia ambruk di atas tanah!


DUA


SENJA sudah memayungi belantara yang dipe-

nuhi pepohonan tinggi itu, seolah hendak menengge-

lamkan dalam keremangannya. Angin yang berhembus 

menggesek dedaunan, laksana sebuah musik yang 

mengiringi tarian para mambang.

Tiba-tiba terlihat satu bayangan ungu berkele-

bat cepat keluar dari belantara itu. Berjarak sekitar 

dua puluh kaki, sosok tubuh ini menghentikan lang-

kahnya.

Dipandangi sekelilingnya yang dipenuhi rang-

gasan semak. Di kejauhan nampak julangan bukit ter-

jal, dihiasi oleh kabut yang mulai turun.

Sosok tubuh yang ternyata seorang pemuda ini 

menarik napas pendek. Wajahnya tampan dengan 

rambut dikuncir ekor kuda yang bergerak dipermain-

kan angin. Dia mengenakan rompi berwarna ungu 

yang terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada bi-

dangnya yang penuh otot. Dari kegagahan yang ada 

pada diri si pemuda, adalah satu keangkeran yang ter-

sirat dari kedua matanya. Sepasang mata beningnya 

bersorot angker, mengerikan dan mampu menciutkan 

nyali yang melihatnya. Dan astaga! Kedua tangannya 

mulai jari jemari hingga batas siku, dipenuhi sisik cok-

lat yang halus!

Pemuda yang bukan lain Boma Paksi atau yang 

lebih dikenal dengan julukan Raja Naga ini meman-

dang bukit yang mulai dihiasi kabut tipis.

"Ratu Tanah Terbuang...," desisnya pelan. "Sia-

pa sesungguhnya gadis yang sedang mencariku itu? 

Tindakan ganasnya yang telah menghancurkan Pergu-

ruan Kencana semata untuk memancing kemunculan


ku, tak bisa dimaafkan. Tetapi, aku belum tahu men-

gapa dia mencariku? Apa yang diinginkannya? Julu-

kannya pun baru kudengar dari mulut Kirana, murid 

Pendekar Kencana yang telah tewas di tangan Mari-

nah, yang kemasukan ilmu hitam milik Sangga Lan-

git...."

Murid Dewa Naga merapatkan mulutnya. Tak 

bersuara lagi. Otaknya diperas habis-habisan untuk 

mengetahui siapakah Ratu Tanah Terbuang.

Kemudian setelah menghela napas panjang, 

terdengar desahannya lagi, "Kirana saat ini sedang 

menuju ke Sungai Matahari untuk menjumpai kakek 

bernama Kidang Gerhana. Ah, gadis itu sudah menun-

jukkan gelagat yang tidak baik. Dia telah memusuhi

ku. Untungnya, dia tidak tahu kalau akulah yang ber-

juluk Raja Naga...."

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini tak ber-

suara. Tatapan angkernya masih ditujukan pada bukit 

terjal yang cukup jauh dari hadapannya. Tetapi jelas 

dia tidak mengarahkan sepenuhnya pandangan pada 

bukit itu, karena perhatiannya lebih ditujukan pada 

masalah yang akan dihadapinya.

"Tindakan Kirana memang dapat ku benarkan, 

kendati aku tak menyesalinya. Dia menganggap akulah 

yang bersalah akan hancurnya Perguruan Kencana 

dan matinya gurunya. Ah, entah siapa lagi yang akan 

menganggap seperti itu? Aku memang harus mencari 

Ratu Tanah Terbuang sebelum dia menghancurkan 

siapa saja karena tak bisa mengatakan di manakah 

aku berada?"

Belum habis ucapannya terdengar, Raja Naga 

menoleh ke samping kiri. Mata angkernya tak berke-

dip. Mendadak dari balik ranggasan semak bermuncu-

lan tiga orang lelaki berpakaian serba hijau muda!


Ketiga orang yang berusia sekitar empat puluh 

lima tahun ini langsung mengurungnya tanpa berbasa-

basi. Melihat tindakan yang dilakukan ketiga orang itu, 

Raja Naga mengerutkan keningnya sejenak sebelum 

tersenyum. 

Matanya yang angker memandang wajah-wajah 

beringas yang mengurungnya satu persatu. Lalu den-

gan ketenangan yang luar biasa, dia berkata, "Orang-

orang yang tak kukenal! Kalian muncul secara menda-

dak dan langsung mengurung ku dengan sikap tak 

bersahabat! Apakah memang ada satu urusan yang 

harus kita selesaikan?!"

Ketiga orang itu tak ada yang bersuara. Seperti 

dikomando, masing-masing orang secara serempak 

melangkah dua tindak, semakin mendekati Raja Naga 

dengan kedudukan slap menyerang.

Raja Naga masih tersenyum. 

"Agar tidak terjadi salah paham dan silang uru-

san, apakah tidak sebaiknya kalian menjelaskan du-

duk perkaranya? Hingga semuanya menjadi jelas!"

Orang yang berdiri di hadapan Raja Naga men-

dengus. Kemudian meluncur ucapan dinginnya, 

"Orang muda! Kaukah yang bernama Boma Paksi dan 

berjuluk Raja Naga?!"

Raja Naga memandang orang di hadapannya. 

Sebelum dia menjawab, orang yang berdiri di sebelah 

kirinya sudah berseru, "Wedang Kurdo! Mengapa kau 

bertanya seperti itu? Ciri yang melekat padanya sudah 

menunjukkan kalau dialah Raja Naga yang pengecut, 

yang telah mengorbankan banyak orang lain karena 

kepengecutannya!!" 

Raja Naga melirik lelaki yang barusan memben-

tak. Dia seorang lelaki berwajah cekung dengan kuping 

sebelah kiri buntung! Sebelum murid Dewa Naga ini


berkata, orang di hadapannya sudah membentak,

"Pemuda pengecut! Kau telah mendengar apa 

yang dikatakan temanmu! Kami, Tiga Pendekar Lem-

bah Kidul, menuntut pertanggungjawaban mu!!"

Raja Naga tetap bersikap tenang. Sorot matanya 

tetap angker menusuk.

"Wedang Kurdo!" serunya memanggil orang di 

hadapannya sesuai panggilan yang dilakukan lelaki 

berkuping buntung. 

"Aku senang berkenalan dengan Tiga Pendekar 

Lembah Kidul! Hanya yang menjadi masalah sekarang, 

ada urusan apakah sebenarnya? Mengapa kalian tahu-

tahu muncul dan mengatakan aku harus memper-

tanggungjawabkan kepengecutan ku?!"

"Lembah Kidul telah didatangi seorang gadis 

berilmu tinggi! Rakyat di Lembah Kidul banyak yang 

celaka akibat tindakannya! Huh! Sayang kami tidak 

berada di sana saat peristiwa itu terjadi! Dari apa yang 

kami dengar, gadis berjuluk Ratu Tanah Terbuang 

memaksa orang-orang di Lembah Kidul menunjukkan 

di manakah Raja Naga berada!"

Ucapan Wedang Kurdo membuat Raja Naga 

menarik napas pendek. Untuk sesaat dia tidak berkata 

apa-apa. Hanya sorot matanya yang memandang tak 

berkedip pada orang di hadapannya.

"Lagi-lagi Ratu Tanah Terbuang," desisnya. Lalu 

berkata tetap dengan ketenangan tinggi, "Wedang Kur-

do! Sebelum ini, aku juga telah mendapat kabar dari 

seorang gadis bernama Kirana, tentang munculnya Ra-

tu Tanah Terbuang yang mencariku! Tetapi terus te-

rang, aku tidak tahu apa yang diinginkan Ratu Tanah 

Terbuang dariku!"

"Dengan bicara seperti itu, kau bermaksud 

mengatakan kalau kau tidak punya urusan dengan


nya?!" sahut Wedang Kurdo dingin.

"Betul sekali! Aku bukan hanya tidak punya 

urusan dengannya, tetapi aku juga tidak mengenal-

nya!"

Orang yang berdiri di sebelah kanannya sudah 

berseru, "Seminggu lamanya kita mencari pemuda ke-

parat ini, tetapi mengapa sekarang hanya bercakap-

cakap tak karuan?!"

Wedang Kurdo melirik orang yang bicara tadi. 

Dia tak mempedulikannya, justru dia berkata pada Ra-

ja Naga, "Kau boleh mendustai siapa pun juga kalau 

kau tidak mengenal dan punya urusan dengan Ratu 

Tanah Terbuang! Tetapi bagi kami, kau tetaplah orang 

yang harus bertanggung jawab atas tindakan Ratu Ta-

nah Terbuang!" 

"Sebelum kalian berada di sini, aku sudah hen-

dak mencari Ratu Tanah Terbuang untuk meminta ke-

jelasan, sekaligus mengetahui ada urusan apa dia 

mencariku," sahut pemuda yang kedua tangannya se-

batas siku ini bersisik coklat. "Dan bila kalian meminta 

ku untuk bertanggung jawab, aku hanya bisa melaku-

kannya setelah mengetahui semua ini secara jelas!"

Wedang Kurdo tak bersuara. Justru lelaki yang 

berdiri di sebelah kanan yang membentak keras. "Pe-

muda bersisik coklat! Tindakan Ratu Tanah Terbuang 

tak seharusnya dirasakan oleh orang-orang di Lembah 

Kidul! Hanya karena kepengecutanmu saja yang lari 

dari urusan yang menyebabkan petaka di Lembah Ki-

dul! Sudah tentu kami menuntut pertanggungjawaban 

mu"

"Seperti yang kukatakan tadi, aku akan ber-

tanggung jawab! Menurut Kirana, Ratu Tanah ter-

buang melakukan tindakan makar semata untuk me-

mancingku keluar! Padahal tidak seharusnya dia mengorbankan orang lain!"

"Kau sudah berkata demikian, berarti kau me-

nerima ganjaran atas kepengecutanmu!"

Belum habis ucapannya, lelaki berkepala lon-

jong ini sudah menerjang ke depan. Kedua tangan ka-

nan kirinya digerakkan mengarah pada dada dan wa-

jah Raja Naga.

Sejenak anak muda dari Lembah Naga itu men-

jerengkan matanya. Kejap lain dia sudah mengangkat 

kedua tangannya tanpa bergeser dari tempatnya!

Buk! Buuk!

Dua jotosan yang dilancarkan lelaki berkepala 

lonjong itu terhalang oleh papakan kedua tangan Raja 

Naga. Saat itu pula terdengar teriakan tertahan, dis-

usul tubuh mundur ke belakang. Lelaki berkepala lon-

jong ini membelalak sambil memandang kedua tan-

gannya yang membiru!

"Gila! Tenaga dalamnya sungguh luar biasa!" 

desisnya dalam hati antara kagum dan gusar.

Di tempatnya Raja Naga menarik napas pendek. 

Kekuatan yang dilakukan tadi itu bukanlah akibat 

pengaruh tenaga dalamnya. Dia belum mengeluarkan 

tenaga dalamnya. Tetapi kekuatan itu berasal dari si-

sik-sisik coklat yang terdapat pada kedua tangannya 

sebatas siku. Bahkan bila Boma Paksi mau, dia dapat 

membuat kedua tangan orang berkepala lonjong itu 

patah!

Melihat sahabatnya mundur dengan wajah be-

rubah, lelaki berkuping sebelah sudah menerjang. Kaki 

kanannya mendadak mencuat, disusul dengan puta-

ran tubuh setengah lingkaran sambil melepaskan ten-

dangan kaki kirinya.

Raja Naga menggeser sedikit kakinya ke belakang.


Buk! Buk!

Kembali dia menahan tendangan cepat dari 

orang berkuping sebelah itu. Yang begitu ditahan den-

gan kedua tangannya, lawan yang menyerangnya 

mundur dengan seruan kesakitan.

Mendapati kedua kawannya dapat dipecundan-

gi dengan mudah, wajah Wedang Kurdo memerah. Se-

sungguhnya lelaki ini masih dapat mempergunakan 

akal sehatnya, setelah mendengar pengakuan pemuda 

berompi ungu itu yang ternyata tidak mengenal Ratu 

Tanah Terbuang. Tetapi biar bagaimanapun juga, demi 

melihat kedua kawannya dipecundangi dengan mudah, 

kemarahannya terusik.

Dia mundur dua langkah sambil membentak 

keras, "Gamang Kurdo dan Bonang Kurdo! Bersatu! Ki-

ta pergunakan ilmu 'Menjerat Tambak Ikan' untuk 

menghajarnya!!"

Ucapan yang didengar itu segera disambut oleh 

masing-masing orang yang disebutkan namanya. Lela-

ki berkuping sebelah yang bernama Bonang Kurdo su-

dah menggeser kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya 

dibungkukkan dengan pandangan tak berkedip pada 

Boma Paksi. Sementara itu Gamang Kurdo mengang-

kat kaki kanannya dan menekuk. Dia berdiri dengan 

kaki kiri sementara kedua tangannya mengembang di 

atas. Di pihak lain, Wedang Kurdo yang berdiri di ten-

gah sudah merangkapkan kedua tangannya di depan 

dada.

Melihat pemandangan di depan matanya, Raja 

Naga menatap dalam. Sorot matanya yang angker lebih 

memperlihatkan keangkerannya. 

Tiga Pendekar Lembah Kidul sesaat merasa jeri 

melihat pandangan angker itu. Tetapi kemarahan di 

hati masing-masing orang telah terusik. Mereka tetap


menuduh Raja Naga-lah yang menyebabkan semua ini.

Di tempatnya Raja Naga menggeleng-gelengkan 

kepalanya.

"Aku bukanlah sasaran yang tepat dari apa 

yang kalian inginkan! Bila ingin sejalan, sebaiknya kita 

sama-sama mencari tahu apa yang sebenarnya diin-

ginkan Ratu Tanah Terbuang!"

Wedang Kurdo berseru menggeledek, "Sebelum 

kami membuktikan apakah kau memang benar tidak 

mengenal Ratu Tanah Terbuang, sebaiknya hadapi 

kami dulu! Sekarang!"

Seruan terakhir dari Wedang Kurdo disusul 

dengan lesatan tubuh Bonang Kurdo dan Gamang 

Kurdo. Masing-masing orang sudah menerjang dengan 

kecepatan luar biasa. Bonang Kurdo melayang di uda-

ra, sementara Gamang Kurdo menyusur tanah! Lesa-

tan keduanya disusul dengan terjangan Wedang Kurdo 

yang meluruk ke depan!

Raja Naga menegakkan kepala. Kejap itu pula 

dia melompat mundur sambil mendehem.

Gelombang angin yang menerjang dari atas dan 

tengah itu, putus tertahan satu tenaga tak nampak 

yang keluar dari kekuatan dehamannya.

Blaaarr!! 

Menyusul murid Dewa Naga menjejakkan kaki 

kanannya di atas tanah.

Serta-merta tanah itu bergelombang cepat 

mengarah pada Gamang Kurdo yang sedang mengge-

brak menyusur tanah. Wajah lelaki berkuping sebelah 

ini seketika berubah. Dia mencoba menghantam ge-

lombang tanah itu. Begitu pecah terhantam, dia me-

mekik tertahan. Karena satu gelombang angin kecil 

yang terlempar, seperti menampar wajahnya!

Kontan tubuhnya terlempar ke belakang, berputar seperti baling-baling.

Wedang Kurdo berteriak, "Astaga!!"

Segera dia mengempos tubuh untuk menang-

kap Gamang Kurdo yang terus meluncur berputaran. 

Tetapi satu bayangan ungu telah mendahului, dan 

menepak tubuh Gamang Kurdo. Dan dengan gerakan 

yang sukar diikuti oleh mata tangan kanannya yang 

tadi menepak Gamang Kurdo, hingga terlempar, sudah 

mendorong sebatang pohon. 

"Kraaakk!" 

Blaaam...!

Pohon itu berderak dan tumbang. Bayangan 

ungu tadi berputar di udara dua kali dan hinggap 

kembali di atas tanah. 

"Raja Naga...," desis Wedang Kurdo begitu men-

getahui siapa adanya orang.

Raja Naga tersenyum, sorot matanya tetap ang-

ker. "Kukatakan sekali lagi, tak ada gunanya kita per-

panjang kesalahpahaman ini. Karena hanya akan me-

libatkan kita pada satu keyakinan tak menentu yang 

bisa berubah menjadi satu dendam! Tiga Pendekar 

Lembah Kidul... urusan yang harus kita jalankan ada-

lah mencari Ratu Tanah Terbuang! Mungkin secara ti-

dak langsung aku mempunyai urusan dengannya! Te-

tapi sampai saat ini, sebelum kudapatkan kejelasan, 

aku masih belum mengerti mengapa dia mencariku, 

padahal aku mengenalnya saja tidak!"

Tak ada yang menyahuti kata-kata Raja Naga. 

Pemuda yang kedua lengannya sebatas siku bersisik 

coklat ini, memandangi mereka satu persatu.

"Mungkin kalian tidak bisa mempercayai kata-

kataku! Aku akan tetap membuktikan apa yang kuka-

takan!"

Habis kata-katanya, Raja Naga sudah melesat

meninggalkan tempat itu.

Wedang Kurdo dan Bonang Kurdo tak ada yang 

bersuara. Sementara Gamang Kurdo yang telah berdiri 

sedang menenangkan kepanikan yang sempat terjadi. 

Dia sama sekali tak menyangka kalau pemuda yang 

hendak diserangnya itu yang menyelamatkannya.

Demikian pula dengan Wedang Kurdo yang 

bermaksud menyelamatkan Gamang Kurdo tadi.

Bonang Kurdo mendekati Wedang Kurdo.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

Wedang Kurdo tak menjawab. Lelaki ini masih 

mencoba mencernakan apa yang dikatakan Raja Naga. 

Bonang Kurdo sendiri tidak memaksa untuk segera

mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

Justru Gamang Kurdo yang menyahut, "Aku 

mulai yakin, apa yang dikatakan pemuda itu memang 

benar."

Wedang Kurdo berkata, "Yah... aku juga mulai 

mempercayainya."

"Lantas, apa yang akan kita lakukan?" tanya 

Bonang Kurdo kemudian.

"Kita kembali ke Lembah Kidul. Tugas kita me-

mang mengamankan daerah itu, daerah di mana kita 

dibesarkan dan kita harus tetap kembali ke sana...."

Jawaban Wedang Kurdo disambut baik oleh 

Gamang Kurdo dan Bonang Kurdo.

Setelah beberapa saat, ketiga lelaki berpakaian 

serba hijau muda itu sudah meninggalkan tempat itu. 

Di hati masing-masing orang, terdapat kelegaan ter-

sendiri. Karena mereka hampir saja melakukan satu 

tindakan keji yang tidak pada tempatnya.

***


TIGA


HEMM... tak kusangka, kalau nasib Pendekar 

Kencana sedemikian tragis," desis lelaki berusia sekitar 

tujuh puluh tahun itu sambil menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Rambutnya yang serba putih itu berlompa-

tan. Kakek berpakaian putih yang terbuka di bahu kiri 

dan memperlihatkan bahu kurusnya ini menarik na-

pas panjang.

Lalu ditatapnya gadis yang duduk bersimpuh di 

hadapannya. Gadis itu juga sedang memandangnya. 

Dia berusia sekitar tujuh belas tahun mengenakan pa-

kaian ringkas warna biru. Parasnya sangat cantik den-

gan hidung bangir dan sepasang bibir lembut yang 

menawan. Rambutnya yang panjang hitam mengkilat, 

dikuncir ekor kuda. Di punggungnya bersilangan dua 

buah pedang.

Suara gemuruh air sungai di belakang si kakek 

terdengar cukup deras. Berkilat-kilat memantulkan si-

nar matahari pagi. Udara di sekitar sana masih terasa 

dingin. Bahkan kabut masih menutupi sebagian tem-

pat itu. Tetapi anehnya, dari gemuruh air sungai itu 

seperti memancar hawa panas!

"Kirana... ketika kau datang menyampaikan 

kabar tentang Ratu Tanah Terbuang, aku telah memi-

kirkan secara seksama. Tetapi yang tak ku mengerti, 

mengapa kau menyampaikan padaku kalau Ratu Ta-

nah Terbuang adalah seorang gadis?" 

Kirana mengerutkan keningnya. Dipandanginya 

kakek bernama Kidang Gerhana di hadapannya. Dia 

baru saja menceritakan tentang nasib yang menimpa 

gurunya, yang tewas di tangan seorang perempuan 

bertelanjang dada bernama Marinah.


Lalu katanya pelan, "Kakek.... Ratu Tanah Ter-

buang memang seorang gadis. Dan aku yakin, usianya 

tidak lebih tua dariku...." 

Kidang Gerhana mengangguk-anggukkan kepa-

lanya.

"Aku pernah menangkap kabar tentang seorang 

perempuan kontet yang pernah tinggal di Tanah Ter-

buang. Dia berjuluk Ratu Sejuta Setan. Lantas, men-

gapa tahu-tahu muncul seorang gadis yang berjuluk 

Ratu Tanah Terbuang?"

"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu, 

Kek. Karena pada kenyataannya, memang seperti itu-

lah yang terjadi."

Kidang Gerhana terdiam beberapa saat sebelum 

berkata, "Kirana... Ratu Sejuta Setan adalah seorang 

tokoh hitam yang telah lama sepak terjangnya kuden-

gar. Dia termasuk tokoh hitam kelas wahid yang julu-

kannya cukup mengkederkan orang. Aku punya satu 

dugaan, kalau Ratu Tanah Terbuang adalah murid-

nya...." 

"Kekejaman Ratu Tanah Terbuang sedemikian 

tinggi. Bagaimana halnya dengan Ratu Sejuta Setan?"

"Jelas lebih tinggi kekejamannya! Hanya saja, 

beberapa bulan lalu pernah kudengar, kalau Ratu Se-

juta Setan pernah dikalahkan oleh Raja Naga. Kalau 

memang Ratu Tanah Terbuang adalah muridnya, jelas 

sekali kemunculannya itu untuk membalas kekalahan 

gurunya...."

Kepala Kirana menegak.

"Kakek... sampai hari ini, aku tetap mengang-

gap kalau Raja Naga yang harus bertanggung jawab 

atas peristiwa hancurnya Perguruan Kencana!"

"Ya, mungkin kau bisa melaksanakannya. Te-

tapi bisa juga tidak...."


"Aku tidak mengerti maksud Kakek yang ke-

dua."

"Anakku... kalau memang Raja Naga mempu-

nyai urusan dengan Ratu Sejuta Setan. Mungkin yang 

diketahuinya hanyalah perempuan tua kontet itu. Bu-

kan terhadap muridnya yang berjuluk Ratu Tanah 

Terbuang. Kita anggap Ratu Tanah Terbuang adalah 

murid Ratu Sejuta Setan walaupun tak menutup ke-

mungkinan, anggapan kita salah...."

"Aku semakin tidak mengerti."

"Anggapan pertama kita tadi, Ratu Tanah Ter-

buang adalah murid dari Ratu Sejuta Setan. Sekarang, 

bagaimana dengan anggapan kedua yang menyatakan, 

kalau Ratu Tanah Terbuang telah mengalahkan Ratu 

Sejuta Setan yang tinggal di Tanah Terbuang? Kemu-

dian mempergunakan nama Tanah Terbuang sebagai 

julukannya?"

Penjelasan yang sekaligus pertanyaan itu, tak 

bisa dijawab oleh Kirana. Gadis jelita ini masih tetap 

memusatkan perhatian pada Raja Naga. 

Lalu katanya, "Tapi biar bagaimanapun juga, 

Ratu Tanah Terbuang jelas-jelas punya urusan dengan 

Raja Naga, terbukti dia berbuat makar demi memanc-

ing munculnya Raja Naga. Kakek... aku tetap berang-

gapan, kalau Raja Naga yang bertanggung jawab atas 

semua ini!" (Untuk mengetahui soal ini sebelumnya, si-

lakan baca: "Selubung Tabir Hitam").

Kidang Gerhana hanya mengangguk.

"Anakku... aku tidak akan mencoba menutupi 

emosi mu. Bila kau memang ingin melakukan satu 

tindakan terhadap Raja Naga, sebaiknya kau kaji dan 

perhitungkan lebih matang, agar tidak terjadi kesalah-

pahaman. Mengenai kematian gurumu, aku juga su-

dah mendengar tentang seorang perempuan yang diti


tisi ilmu hitam yang sangat keji. Dan kalau tak salah 

dengar, Raja Naga yang telah mengatasi semua itu...."

"Kakek!" Wajah Kirana sejenak berubah. "Men-

gapa Kakek selalu meninggikan orang pengecut itu? 

Sejak tadi Kakek selalu memujinya!"

Kidang Gerhana dapat memahami emosi yang 

ada pada diri Kirana. Dia menjawab lembut, "Kirana... 

seorang pemuda berompi ungu telah muncul di rimba 

persilatan! Bernama Boma Paksi dan berjuluk Raja 

Naga! Dalam waktu yang sangat singkat, julukannya 

itu sudah membubung tinggi sebagai orang dari golon-

gan lurus yang selalu membela kebenaran! Aku sama 

sekali tidak memuji tentang dirinya... tetapi terus te-

rang, aku kagum dengan apa yang dilakukannya...."

Jawaban Kidang Gerhana membuat kening Ki-

rana berkerut. Untuk beberapa lama murid mendiang 

Pendekar Kencana terdiam. Lalu tanyanya, lambat-

lambat, "Raja Naga... mengenakan rompi berwarna un-

gu?"

"Setahuku seperti itu. Dan yang paling khas da-

ri ciri yang melekat pada dirinya, mulai dari jari jemari 

hingga batas siku kedua tangannya, terdapat sisik-

sisik warna coklat...."

"Astaga! Dan... dan.... Raja Naga memiliki tata-

pan yang sedemikian angker?"

"Aku juga mendengar kabar seperti itu. Tata-

pannya mampu membuat orang ciut nyali!"

"Kakek!!" kepala Kirana benar-benar menegak.

Kendati merasakan kalau Kirana mengetahui 

sesuatu, Kidang Gerhana tetap berkata pelan, "Bagai-

mana, Kirana?"

"Kalau begitu... kalau begitu...."

"Ya?" 

"Aku... aku... telah berjumpa dengannya!"


"Maksudmu... dengan Raja Naga?"

"Ya!"

"Apa yang kau lakukan kemudian?"

Wajah tegang Kirana berubah menjadi kegera-

man.

"Brengsek! Pantas dia menyuruhku untuk 

mempertimbangkan keputusanku untuk meminta per-

tanggungjawaban Raja Naga! Tidak tahunya, dialah 

Raja Naga!"

"Hemmm... dia telah bertemu dengan Raja Na-

ga. Dan nampaknya Raja Naga merahasiakan tentang 

dirinya. Mungkin pemuda itu berpikir, bila dia menga-

takan siapa dirinya yang sebenarnya, Kirana bisa me-

radang," kata Kidang Gerhana dalam hati.

"Kakek... pemuda itu... pemuda itu... kurang 

asem! Dia sendiri Raja Naga!" seru Kirana lagi. Lalu di-

ceritakan perjumpaannya dengan pemuda berompi un-

gu beberapa hari lalu, sebelum dia mendatangi Sungai 

Matahari untuk menjumpai Kidang Gerhana (Baca:

"Selubung Tabir Hitam").

Kidang Gerhana tersenyum.

"Aku dapat memaklumi tindakannya...."

"Tetapi dia membohongi ku, Kakek!" seru Kira-

na dengan dada yang mendadak naik turun.

"Sekali lagi kukatakan, aku tak berhak mere-

damkan emosi mu, Kirana. Kau sedang dalam proses 

menuju kedewasaan. Kau sendiri yang akan menentu-

kan tindakanmu. Tetapi rasanya tidak berlebihan bila 

kukatakan, sebaiknya kau memang mempertimbang-

kan lagi apa yang akan kau lakukan. Raja Naga men-

gaku tidak mengenal Ratu Tanah Terbuang. Dan itu 

mungkin memang benar. Karena pantang bagi seorang 

pendekar lari dari segala masalah, apalagi bila me-

mang masalah itu harus diselesaikan...."


Kirana tidak menjawab. Pikirannya mulai dira-

sakan tidak menentu.

Kidang Gerhana berkata lagi, "Kirana... untuk 

mempersingkat waktu, sebaiknya kita mulai saja me-

lakukan pelacakan terhadap Ratu Tanah Terbuang...."

"Kakek... apa yang harus kulakukan sekarang 

terhadap Raja Naga?" tanya Kirana sambil memandang 

dalam-dalam pada kakek bermata teduh di hadapan-

nya.

"Sungguh, aku tidak tahu apakah tindakan 

yang sebelumnya hendak kulakukan terhadap Raja 

Naga itu benar atau salah."

Kidang Gerhana tersenyum. Sambil bangkit 

perlahan-lahan dia berkata, "Kau tanyakan pada diri-

mu sendiri, Kirana. Kita berangkat sekarang...."

Kemudian kakek berpakaian putih panjang 

yang terbuka di bahu kiri itu sudah melangkah men-

dahului. Kirana juga bangkit. Dipandanginya tubuh si 

kakek dari belakang dengan otak yang berpikir.

"Ah, mungkin aku memang terlalu jauh menu-

duh dan menduga. Bisa jadi kalau memang apa yang 

dikatakan pemuda berompi ungu yang pernah kutemui 

sebelumnya dan ternyata Raja Naga adanya memang 

benar." 

Setelah menarik napas beberapa kali, murid 

mendiang Pendekar Kencana ini segera menyusul per-

ginya Kidang Gerhana. 

***

Bersamaan matahari yang menurun di balik 

bukit, dua sosok tubuh tiba di sebuah tempat yang 

sangat sepi. Di sekitar tempat itu dipenuhi pepohonan 

dan ranggasan semak.


Keheningan terjaga, hanya suara burung yang 

terdengar beterbangan. 

Menyusul satu bentakan terdengar, "Pulung Je-

laga! Terakhir kalinya aku bertanya sebelum kubuat 

putus nyawamu! Di manakah tempat tinggal Keranda 

Iblis?!"

"Ratu Tanah Terbuang... kita telah memasuki 

daerah kediaman sahabatku itu...."

Gadis berpakaian putih bersih dengan dua 

kuntum mawar merah pada atas dada kanan kirinya 

itu, mendengus.

"Tunjukkan padaku! Kau terlalu banyak mem-

buang waktu!!"

Pulung Jelaga buru-buru mengangguk dan me-

langkah agak terseret, karena nyeri pada kaki kanan-

nya belum hilang sepenuhnya. Apalagi tak ada kesem-

patan baginya untuk beristirahat atau memulihkan ra-

sa nyerinya. Baru saja dia berhenti sejenak, satu tam-

paran telah mampir di telinganya.

Sambil melangkah lelaki bertelanjang badan 

karena pakaiannya entah berada di mana, berkata da-

lam hati, "Untuk saat ini aku mengaku kalah, Gadis 

keparat! Tetapi jangan berharap setelah aku berjumpa 

dengan Keranda Iblis kau tetap bisa berlaku semena-

mena! Dan... aku menyimpan satu rahasia yang tidak 

diketahuinya. Keranda Iblis selalu menyambut siapa 

pun juga baik itu sahabat maupun lawannya dengan 

kejadian yang mengejutkan! Huh! Barangkali saja aku 

tidak perlu melakukan rencanaku nanti karena gadis 

sial ini sudah akan mampus lebih dulu!"

Sementara itu, Ratu Tanah Terbuang sambil 

menyusul mendengus dalam hati, "Huh! Sedikit pun 

juga aku tak percaya dengan apa yang dikatakannya! 

Aku yakin dia mencoba mengambil keuntungan den


gan sikap percaya ku ini! Bisa jadi diam-diam telah 

merencanakan sesuatu bila berjumpa dengan saha-

batnya yang berjuluk Keranda Iblis! Huh! Dia akan ta-

hu akibatnya bila berani mendustai ku!"

Memasuki jalan setapak yang di kanan kiri pe-

nuh pepohonan tinggi dan semak belukar, masing-

masing orang tak ada yang bersuara. Tetapi masing-

masing orang memikirkan rencana yang akan mereka 

jalankan.

Mendadak....

Wuuuttt!!

Sebuah benda berwarna hitam mengkilat men-

dadak saja menerjang, menerobos semak belukar 

hingga membuyar, lalu menerjang ke arah keduanya 

yang sedang melangkah.

Pulung Jelaga yang memang sudah mengetahui 

akan hal itu, cepat melompat ke samping kanan. Di 

pihak lain, Ratu Tanah Terbuang tercengang. Bahkan 

dia hanya berdiri di tempatnya.

"Mampuslah kau, Gadis keparat!!" maki Pulung 

Jelaga dalam hati.

Tetapi yang terjadi kemudian sungguh menge-

jutkan. Karena Ratu Tanah Terbuang sudah memi-

ringkan tubuhnya ke kanan. Dan....

Wuuussss!!

Benda sepanjang satu setengah meter itu lewat 

di samping kirinya! Namun... astaga!

Benda itu mendadak saja berbalik dan kembali 

menerjang ganas ke arah Ratu Tanah Terbuang. Bah-

kan gelombang angin yang menderu mendahuluinya.

"Terkutuk!" maki Ratu Tanah Terbuang gusar. 

Segera dipalangkan kedua tangannya di depan dada. 

Ditunggunya sampai benda panjang yang dipenuhi be-

si-besi hitam mengkilat setengah lingkaran itu sampai


mendekat.

Kemudian....

Wrrrrr!!

Begitu kedua tangannya didorong, seketika 

menggebah gelombang angin besar yang menahan le-

satan benda aneh itu! Menyusul Ratu Tanah Terbuang 

menjejakkan kaki kanannya yang membuat tubuhnya 

melesat ke atas. Dengan memutar tubuh dua kali di 

udara, dijejakkan kaki kanan kirinya dengan gerakan 

cepat.

Zeebb...! Zeeeb...!!

Jari-jari besi hitam itu terhantam tendangan-

nya. Lesatan benda aneh itu tertahan dan berdebam di 

atas tanah. Tetapi kejap itu pula sudah melesat kem-

bali. Menaik ke atas dan berputar dengan desingan 

angin keras.

Ratu Tanah Terbuang menggeram gusar.

"Setan keparaaattt!!" makinya dan saat itu pula 

dia melesat ke depan. Bersamaan gelombang angin hi-

tam menggebrak, menahan lesatan benda itu, dia me-

nendang dengan kaki kanannya.

Zeeebbb!!

Benda aneh yang seperti memiliki mata itu ter-

pental balik ke belakang dengan deras. Menabrak se-

buah pohon yang langsung patah sementara lesatan 

tak terkendali dari benda itu masih terjadi.

Namun mendadak saja benda yang tak terken-

dali itu berhenti begitu saja. Lalu... 

Wuuuttt!!

Benda itu melesat ke depan. Kali ini dengan sa-

tu sosok tubuh yang berdiri di atas benda itu.

Suara keras terdengar, "Kau datang dengan 

membawa seorang kawan, Pulung Jelaga! Dan sudah 

tentu melihat kehebatannya aku bisa menerima keha


dirannya!!"

Orang yang bersuara dan berada di atas benda 

berbentuk keranda itu terbahak-bahak keras. Setelah 

berulang kali berputaran di udara dengan membuat 

semak belukar terpapas bagian atasnya, benda berben-

tuk keranda itu mendadak saja menyusur tanah. Ta-

nah berhamburan beberapa saat, sebelum benda itu 

berhenti.

Orang di atas keranda berseru lantang, "Aku 

menyukai sahabat yang kau bawa ini, Pulung Jelaga!!"

Pulung Jelaga yang tadi berharap dapat mence-

lakakan Ratu Tanah Terbuang akibat penyambutan 

yang biasa dilakukan Keranda Iblis, menarik napas 

panjang. Buru-buru dia berkata,

"Aku memang datang membawa seorang saha-

bat padamu, Keranda Iblis!"

Lelaki berambut panjang acak-acakan terba-

hak-bahak. Seluruh kulit tubuhnya hitam mengkilat! 

Mengenakan pakaian putih kecoklatan yang sudah bu-

ram warnanya. Paras lelaki ini dipenuhi sedikit keri-

put. Sepasang matanya selalu mengeluarkan air!

"Cukup lama aku berdiam di tempat ini dan se-

lalu kedatangan tamu sepertimu atau para perempuan

yang justru mematikan gairah! Tetapi sekarang, kau 

membawa satu anugerah yang jelas-jelas tak bisa ku-

tepiskan!"

Di pihak lain, Ratu Tanah Terbuang meman-

dang tak berkedip. Mata indahnya bersorot bengis. Se-

pasang bukit kembarnya yang membusung itu berge-

rak, membuat gambar bunga mawar itu seperti turun 

naik.

Setelah beberapa saat memandang, perlahan-

lahan terdengar seruannya, tajam, dalam dan kejam, 

"Keranda Iblis! Aku datang bukan untuk bersahabat

denganmu! Tetapi menanyakan satu persoalan! Perlu 

kau ketahui, bila kau tak bisa menjawab apa yang ku-

tanyakan, kau akan mampus di tanganku senja ini juga!!"


EMPAT


KERANDA Iblis terbahak-bahak. Suara tawanya 

dialiri tenaga dalam yang menggedor tempat itu, yang 

membuat beberapa pohon harus merelakan dedau-

nannya berguguran.

"Pulung Jelaga! Kau benar-benar membawa 

seekor kucing betina yang liar! Aku menyukainya, san-

gat menyukainya!" serunya di sela-sela tawanya.

Terdengar rahang dikertakkan. Paras jelita Ratu 

Tanah Terbuang meradang.

Melihat hal itu, Pulung Jelaga tertawa dalam 

hati. "Tak lama lagi aku akan melihat pembalasan yang 

mengerikan atas perbuatannya," desisnya dalam hati. 

Lalu berkata pada Keranda Iblis,

"Keranda Iblis! Ku perkenalkan kau pada saha-

bat baruku yang berjuluk Ratu Tanah Terbuang!" se-

saat Pulung Jelaga melirik Ratu Tanah Terbuang yang 

tajam menatapnya. Dia tidak mempedulikannya. "Ke-

tahuilah... saat ini dia sedang mencari seorang pemuda 

berjuluk Raja Naga! Dan aku yakin kau mengetahui di 

mana pemuda berada itu!"

Keranda Iblis memutus tawanya. Pandangan-

nya bengis pada Ratu Tanah Terbuang yang balas me-

mandang tak kalah bengisnya. Untuk beberapa lama 

Keranda Iblis hanya memandang saja sebelum mem-

bentak, "Gadis jelita! Ada urusan apa kau mencari Raja Naga?!"

"Kau tak perlu tahu apa urusanku!" sahut Ratu 

Tanah Terbuang dengan kedua tangan mengepal. "Bila 

kau bisa menjawab di mana Raja Naga berada, berarti 

kau masih sempat melihat rembulan nanti malam! Te-

tapi bila kau tidak bisa menjawab, tempat ini akan 

menjadi tempat tinggalmu selama-lamanya!"

"Setaaan keparat! Ucapanmu keren betul, Anak 

Gadis! Kau tidak melihat ke atas atau memandang ke 

bawah! Kau bersikap seolah aku hanyalah anak kema-

rin sore yang patut kau gertak! Dan itu adalah kesala-

han pertama!"

"Aku bukan hanya menggertak, tetapi akan ku-

buktikan apa yang kukatakan!!" sahut Ratu Tanah 

Terbuang dingin. Lalu lanjutnya penuh ejekan, "Apa-

kah yang kukatakan barusan itu adalah kesalahan ke-

dua hingga kau akan menghukumku sekarang juga? 

Atau... kau harus berpikir selama satu purnama untuk 

menghukumku?!"

"Keparaaatt!!" meradang lelaki berkulit hitam 

mengkilat itu. Tangan kanannya mengepal kuat. "Kau 

telah berlaku lancang di tempatku! Dan kau telah be-

rani menantangku! Itu artinya kau telah memutuskan 

untuk mati di sini!"

"Aku mempunyai kemampuan tinggi untuk 

menggebuk mu hingga aku berani datang ke sini! Ja-

wab pertanyaanku! Atau kau ingin kukirim ke neraka 

sekarang juga?!"

Mendengar ucapan demi ucapan yang keras da-

ri masing-masing orang, Pulung Jelaga tertawa dalam 

hati.

"Inilah yang ku mau... dan telah tiba saatnya 

untuk melaksanakan rencanaku...."

Dengan sedikit memperdengarkan tawanya, Pulung Jelaga mendekati Keranda Iblis.

"Selama ini, tak seorang berani menghinamu! 

Bahkan bila mendengar julukanmu, mereka sudah 

terkencing-kencing di celana! Sekarang telah muncul 

seorang gadis yang berani lancang melakukan tinda-

kan itu! Keranda Iblis... apakah kau akan mendiamkan 

saja dia berlaku demikian?!"

Keranda Iblis melirik tajam.

"Kau yang membawa gadis celaka ini ke tem-

patku, Pulung Jelaga! Dan kau berkata sedemikian ru-

pa! Aku menangkap kau mencoba mengalihkan uru-

sanmu padaku!" 

"Sebagai seorang sahabat, aku yakin kau mau 

membantuku! Ketahuilah, belum lama ini aku telah 

dikalahkannya! Sikap dan tindakannya tak akan per-

nah ku maafkan! Biar bagaimanapun juga, aku men-

ginginkan dia mampus!"

Sementara Ratu Tanah Terbuang menggeram 

gusar, Keranda Iblis terbahak-bahak keras. 

"Bagus! Sudah cukup lama aku tidak membu-

nuh orang! Tetapi, apakah kau tidak sayang bila gadis 

montok seperti itu harus kubunuh sebelum dinikma-

ti?"

"Sebelumnya aku juga punya pikiran yang sa-

ma, tetapi gadis itu dapat mengalahkanku!"

"Karena kau tak memahami bagaimana cara 

menjinakkan kucing liar!"

"Bagus!" seruan dingin Ratu Tanah Terbuang 

mendahului Pulung Jelaga untuk berkata-kata. Tata-

pannya penuh amarah pada Pulung Jelaga. "Manusia 

keparat! Sejak pertama aku sudah yakin kau mencoba 

menjebakku! Kalau sebelumnya kau ku gantung hanya 

kaki kananmu, sekarang lehermu yang akan jadi sasaran!!"



Habis ucapannya, Ratu Tanah Terbuang men-

dorong tangan kanannya di atas tanah. 

Pyaaarrr!!

Tanah yang terhantam gelombang angin puku-

lannya membuyar ke udara, sementara gelombang an-

gin itu tiba-tiba mencuat dan melesat cepat ke arah 

Pulung Jelaga dengan suara bergemuruh mengerikan!

Yang diserang membelalak. Tetapi sebelum dia 

menghindar atau melancarkan satu papakan, gemuruh 

dahsyat mendadak saja terdengar keras!

Keranda yang tergeletak di tanah mendadak sa-

ja membusur cepat! 

Blaaarrr!!

Gelombang angin itu pecah berhamburan, teta-

pi benda hitam mengkilat itu terus mengarah pada Ra-

tu Tanah Terbuang.

"Bila kau sudah pernah mengalahkannya, su-

dah barang tentu kemudahanlah yang akan kau da-

patkan!" seruan keras Keranda Iblis terdengar. Orang-

nya sendiri sudah melompat turun dari kerandanya 

dan berdiri dengan kedua tangan dilipat di depan da-

da. "Akulah lawanmu yang sebenarnya, yang akan 

menghukum mu sampai kau akan mengingat terus se-

panjang masa!"

Ratu Tanah Terbuang mengertakkan sepasang 

rahangnya. Menyusul dia sudah melompat maju den-

gan gerakan bersalto satu kali. Tangannya dikibaskan 

hingga melesat gelombang angin mengerikan.

Keranda yang dikendalikan Keranda Iblis mela-

lui tenaga dalamnya, terjajar ke belakang. Melabrak 

semak belukar yang pecah berhamburan.

Dan dengan gerakan yang luar biasa cepat, se-

belum benda aneh itu menerjang kembali, Ratu Tanah 

Terbuang sudah menggebrak ke arah Keranda Iblis.


Yang diserang hanya mundur satu tindak ke 

belakang. Lalu melancarkan jotosannya.

Buk! Buk!

Kedua tangan yang berbenturan itu membuat 

masing-masing orang mundur. Pada saat yang bersa-

maan, terdengar suara berkeretekan yang sangat ke-

ras, disusul dengan melesatnya kembali keranda hitam 

mengkilat itu ke arah Ratu Tanah Terbuang.

"Keparaattt!!" menggelegar makian Ratu Tanah 

Terbuang seraya merunduk.

Wuuunggg!!

Keranda hitam itu melesat di atas punggung-

nya. Walau tak mengenainya, tetapi geseran angin 

yang keras membuat punggungnya sedikit terasa nyeri. 

Dan mendadak sontak Ratu Tanah Terbuang berdiri 

seraya menyentak kedua tangannya ke atas.

Prakk! Praakkk!!

Kedua tangannya yang membuka menghajar 

keranda yang bergerak cepat itu. Keranda itu terlontar 

ke atas. Ratu Tanah Terbuang kembali mendorong ke-

dua tangannya.

Praasss!

Keranda yang terpental ke atas itu, berbalik 

berputaran. Angin yang keluar cukup keras. Saat itu-

lah Ratu Tanah Terbuang melompat dan menghan-

tamkan telapak tangannya pada bagian depan keranda 

itu.

Wuuunnggg!!

Kontan benda aneh itu meluncur deras ke arah 

si pemiliknya sendiri!

Keranda Iblis mengertakkan rahangnya. Me-

nyusul ditangkupkan kedua tangannya di depan dada 

sebelum kemudian diputarnya dengan cepat.

Wrrrr!!


Gelombang angin berputar menahan lesatan 

keranda hitam itu. Lalu dengan satu tepakan, keranda 

itu telah terhempas lagi di atas tanah.

Dipihak lain, Pulung Jelaga membuka kedua 

matanya lebar-lebar.

"Astaga! Kupikir gadis itu tak akan mampu 

menghadapi kehebatan Keranda Iblis! Tidak tahunya 

dia mampu menghadapinya! Celaka! Kalau begitu aku 

harus membantu!"

Sementara Pulung Jelaga membatin demikian, 

Keranda Iblis menggeram sengit, "Siapakah kau sebe-

narnya, Gadis celaka!"

"Tak perlu banyak tanya dan omongan! Kau te-

lah membangkitkan kemarahanku dan membuang 

waktuku! Itu artinya kau akan mampus juga sebelum 

Pulung Jelaga!"

Deg! Jantung Pulung Jelaga berdebar lebih ke-

ras. "Gadis keparat! Aku tahu kau sebenarnya jeri 

menghadapi sahabatku ini!" bentaknya sambil menin-

dih rasa takutnya. Dia sengaja berucap demikian agar 

mendapatkan keuntungan dari Keranda Iblis. "Jangan 

kau kira kau dapat mengalahkannya! Karena hari ini 

juga kau akan mampus di tangannya!"

"Tutup mulutmu!" bentak Ratu Tanah Terbuang 

sambil menunjuk.

Seketika menggebah awan-awan hitam yang 

menebarkan hawa dingin ke arah Pulung Jelaga.

Wajah Pulung Jelaga sesaat berubah. Di saat 

lain digerakkan tangan kanan kirinya bersilangan di 

depan wajah.

Blaaarrr!! 

Menyusul letupan keras terjadi, Keranda Iblis 

sudah menerjang ke depan.

Ratu Tanah Terbuang berteriak keras, "Kepa


raaat!"

Kejap itu pula didorong kedua tangannya ke 

depan. Serta-merta meluncur sinar-sinar merah me-

lingkar yang bergemuruh. Sesaat kepala Keranda Iblis 

menegak. Dia cepat mundur ke belakang. Mundurnya 

Keranda Iblis semakin membuat Ratu Tanah Terbuang 

bernafsu. 

Sinar-sinar merahnya yang berhasil dihindari 

oleh Keranda Iblis, mendadak saja berpentalan dan 

berbalik ganas! Bahkan sinar-sinar merah lainnya naik 

ke atas, lalu muncrat menyebar dan laksana hujan 

mengguyur Keranda Iblis yang memekik tertahan.

Dengan kecepatan tinggi dia menghindari se-

rangan itu.

Di pihak lain, Pulung Jelaga menggeram gusar.

"Keparat! Kulihat tadi Keranda Iblis terkejut. 

Seharusnya dipergunakannya kerandanya itu! Bukan-

nya menghindar seperti kucing buduk!"

Apa yang terjadi kemudian memang cukup 

mengejutkan. Karena berulangkali Keranda Iblis hanya 

menghindari serangan-serangan ganas Ratu Tanah 

Terbuang. Kalau tadi sinar merah yang dilepaskannya 

muncrat ke atas dan turun laksana hujan, kali ini di-

iringi gemuruh angin lintang pukang.

Keranda Iblis yang seperti kehilangan sasaran 

serangannya dan sejak tadi terus menghindar, sesaat 

menahan napas melihat ganasnya serangan lawan. Di-

cobanya untuk menahan serangan itu seraya mundur 

ke belakang! 

Jlegaaarrr!

Sinar-sinar hitam itu menghantam tanah yang 

membuat tempat itu bergetar beberapa lama. Mun-

cratnya tanah dibarengi dengan tumbangnya beberapa 

pepohonan, membuat suasana di tempat itu semakin


tak menentu.

Ratu Tanah Terbuang tak mau membuang wak-

tu, dia kembali mencelat. Pada saat itulah Keranda Ib-

lis berseru keras, "Tahan!!"

Mendadak sontak Ratu Tanah Terbuang men-

gurungkan serangannya, bersalto di udara tiga kali se-

belum kemudian hinggap kembali di atas tanah. Bibir-

nya langsung menyunggingkan seringaian lebar.

"Kini kau sudah mengetahui kehebatanku, Ma-

nusia Keparat! Menyembah dan jilati kakiku, maka 

aku tak akan mencabut nyawamu kecuali mematah-

kan kedua kakimu!!"

Ejekan orang tak disahuti oleh Keranda Iblis.

Sepasang matanya masih tajam pada Ratu Tanah Ter-

buang. Nafasnya sedikit memburu. Diliriknya Pulung 

Jelaga yang sedang menahan napas tegang.

"Ratu Tanah Terbuang! Di dunia ini, hanya ada 

dua orang yang memiliki ilmu 'Tebaran Sinar Merah'! 

Yang seorang berjuluk Raja Para Iblis yang entah bera-

da di mana! Dan yang seorang lagi berjuluk Ratu Seju-

ta Setan yang merupakan salah seorang muridnya! 

Jawab pertanyaanku... dari mana kau mendapatkan 

ilmu 'Tebaran Sinar Merah'?!"

Ratu Tanah Terbuang tak menjawab. Diam-

diam dia berkata dalam hati, "Hemm... pantas dia ti-

dak membalas seranganku. Rupanya dia mengetahui 

ilmu yang kuperlihatkan. Huh! Agar nyalinya ciut, 

akan kukatakan siapa yang mengajarkan ilmu 

'Tebaran Sinar Merah'!"

Memutuskan demikian, gadis jelita yang kejam 

ini mendesis dingin, "Kau mengetahui ilmuku! Itu ar-

tinya, kau sadar sedang berhadapan dengan siapa! Ke-

tahui-lah... Ratu Sejuta Setan yang mengajarkan ilmu 

itu padaku!"

"Mustahil! Seingatku, perempuan kontet itu tak 

mempunyai seorang murid!"

"Huh! Sebelumnya, aku adalah murid Dadung 

Bongkok, yang telah kudengar kabar kalau dia telah 

tewas di tangan Raja Naga! Dengan bimbingan Ratu 

Sejuta Setan yang kemudian mengangkat ku sebagai 

murid, aku muncul untuk mencabut nyawa Raja Na-

ga!"

"Pantas kau memiliki ilmu tinggi. Kehebatan 

Dadung Bongkok pernah kudengar! Dan satu hal yang 

perlu kau ketahui...." Keranda iblis memutus seruan-

nya. Diliriknya Pulung Jelaga yang mendadak semakin 

memucat. Kemudian diarahkan pandangannya lagi 

pada Ratu Tanah Terbuang, "Ratu Sejuta Setan adalah 

kakak seperguruanku!!"

Mendengar kata-kata orang, Ratu Tanah Ter-

buang menegakkan kepala. Pandangannya tak berke-

dip pada Keranda Iblis.

"Jangan berlaku bodoh dengan mengaku-ngaku 

sebagai adik seperguruan guruku!"

"Kau percaya atau tidak, itulah kenyataannya! 

Sekarang, katakan padaku, apa maksudmu mencari 

Raja Naga?"

"Tadi sudah kukatakan, Raja Naga telah mem-

bunuh guruku yang bernama Dadung Bongkok dengan 

menyebar fitnah kalau guruku itu adalah orang dari 

golongan hitam! Huh! Sampai kapan pun juga aku 

akan tetap mencari Raja Naga!"

"Sekarang kau adalah murid kakak seperguru-

anku, dan sudah tentu kau harus memanggilku Pa-

man! Dan sebagai paman, aku akan membantumu un-

tuk menemukan Raja Naga! Itu juga berarti, aku akan 

menghukum siapa saja yang berani menghalangi sega-

la niatan mu!"


Sambil mengucapkan kata-kata terakhirnya, 

Keranda iblis memutar tubuh ke arah Pulung Jelaga 

dan menatapnya dalam-dalam. Yang ditatap semakin 

memucat, bahkan keringat sudah deras mengalir.

"Pulung Jelaga! Kau telah melakukan satu ke-

salahan besar! Ratu Tanah Terbuang adalah murid ka-

kak seperguruanku! Dan kau telah mengecohnya! Itu 

berarti...."

"Astaga! Keranda Iblis! Kita adalah sahabat! 

Mengapa harus jadi seperti ini?" seru Pulung Jelaga 

dengan dada berdebar keras.

Keranda Iblis menyeringai penuh ancaman.

"Sekarang telah ku putuskan, untuk menghabi-

si persahabatan kita! Biar bagaimanapun juga, aku ti-

dak terima murid kakak seperguruanku dipermainkan 

oleh orang sepertimu!"

Sudah tentu perubahan yang terjadi itu menge-

jutkan Pulung Jelaga. Lelaki bertelanjang dada yang 

sedianya berharap agar Keranda Iblis mau memban-

tunya dan sekarang kenyataannya justru berbalik 

mengancamnya, mundur perlahan-lahan dengan mata 

liar seperti seekor kelinci masuk perangkap serigala.

Dia masih mencoba untuk membujuk Keranda 

Iblis.

"Sekian puluh tahun kita bersahabat, dan kini 

persahabatan itu akan kau putuskan! Apakah ini satu 

tindakan yang baik?! Keranda Iblis... aku sama sekali 

tidak tahu siapakah Ratu Tanah Terbuang...."

"Kau seharusnya ingat, kalau kakak sepergu-

ruanku yang berjuluk Ratu Sejuta Setan tinggal di Ta-

nah Terbuang!" bentak Keranda Iblis gusar. "Huh! Ter-

lalu banyak omong dengan manusia sepertimu adalah 

satu tindakan percuma! Bersiaplah untuk melakukan 

perjalanan ke neraka!!"


Belum habis ucapannya, Keranda Iblis sudah 

mencelat ke depan dengan tangan kanan siap mence-

kik leher Pulung Jelaga. Pulung Jelaga sendiri tidak 

mau mati begitu saja. Dia menghindar dan membalas

Tetapi satu gebrakan berikutnya, dia sudah 

menjerit keras.

"Kraaakk!"

Suara tulang patah terdengar cukup keras, 

menyusul tubuhnya meluncur terdorong oleh keranda 

yang tiba-tiba melesat dan menghantam punggungnya 

tadi.

Braaakkk! 

Wajah serta dadanya kontan remuk begitu 

menghantam sebuah pohon. 

Wuuungg!!

Keranda itu melesat berbalik dan jatuh lagi di 

hadapan Keranda Iblis setelah menyusur tanah.

Di lain pihak, Ratu Tanah Terbuang tersenyum 

puas. Dia juga tidak menyangka akan berjumpa den-

gan adik seperguruan gurunya. Ini merupakan satu 

kesenangan tersendiri.

"Paman...," panggilnya sambil merangkapkan 

kedua tangannya di depan dada. Meskipun suaranya 

sopan, tetapi tatapannya tetap mengandung kecuri-

gaan.

Keranda Iblis tersenyum.

"Kau boleh memanggilku 'Paman' atau tidak! 

Ratu Tanah Terbuang... aku akan membantumu untuk 

mencari Raja Naga!"

"Terima kasih, Paman. Sudah tentu aku senang 

kau bantu! Dan mengingat waktuku yang telah banyak 

terbuang, sebaiknya kita berangkat sekarang!"

Keranda Iblis mengangguk-anggukkan kepalanya.


"Sebelum berangkat, siapakah namamu sebe-

narnya? Dan julukan apa yang diberikan Dadung 

Bongkok sebelum kau berjuluk Ratu Tanah Terbuang 

yang tentunya diberikan oleh kakak seperguruanku?"

Ratu Tanah Terbuang tersenyum.

"Namaku.... Diah Harum. Sebelum aku me-

nyandang julukan Ratu Tanah Terbuang, julukanku 

adalah.... Dewi Bunga Mawar...."



LIMA


RAJA Naga yang baru saja tiba di jalan setapak 

itu tersentak kaget. Karena tahu-tahu telah muncul 

seorang lelaki berparang besar yang berlari dengan tu-

buh sempoyongan. Di dada lelaki berpakaian hitam 

dengan kain putih berselempang, telah dibanjiri darah. 

Gerakan tubuhnya semakin lama semakin goyah.

Dan tiba-tiba saja dia ambruk!

Raja Naga terburu-buru mendekati lelaki yang 

luka parah itu. Dibalikkan tubuh si lelaki yang kemu-

dian dipangkunya.

"Katakan padaku... apa yang terjadi...."

Lelaki itu membuka kedua matanya. Dari sela-

sela bibirnya merembas darah segar. Parang besar 

yang dipegangnya terlepas.

"Orang muda... aku... aku..."

"Tenanglah...."

"Orang muda... seorang perempuan tua kon-

tet... sedang mengamuk hebat...."

"Jangan bicara dulu...."

"Dia... dia... mencari... seorang pemuda... berju-

luk.... Raja Naga....


Hanya itulah kata-kata terakhir dari lelaki ga-

gah yang kemudian terkulai. Nyawanya telah lepas dari 

jasadnya. Raja Naga menggerak-gerakkan tubuh lelaki 

itu, sebelum dihentikan tindakannya karena merasa 

percuma.

Perlahan-lahan dia berdiri. Sorot matanya yang 

angker memandang arah dari mana datangnya lelaki 

yang telah tewas itu.

"Perempuan tua kontet... siapakah dia? Menga-

pa dia mencariku?" desisnya dengan perasaan amarah 

yang mendadak bergolak. Sisik-sisik coklat yang ter-

dapat mulai dari jari jemari hingga batas siku kedua 

lengannya, bersinar lebih terang. "Huh! Sebelum ini 

Ratu Tanah Terbuang yang mencariku! Sekarang pe-

rempuan tua kontet yang... heiii!!!"

Memutus kata-katanya sendiri, kepala Raja Na-

ga menegak. Sorot matanya yang mampu membuat 

ciut nyali yang melihatnya tak berkedip.

"Apakah... dia... dia orangnya?" desisnya terba-

ta dengan kening berkerut. "Kalau memang dia... be-

rarti... berarti... astaga! Ini gila! Gila!!" serunya seten-

gah berteriak.

Cukup lama pemuda tampan berambut dikun-

cir kuda ini terdiam. Mulutnya merapat. Kedua tan-

gannya mengepal kuat. Tetapi perlahan-lahan dia me-

nunduk seolah kehilangan tenaga.

"Bila memang dia yang berjuluk Ratu Tanah 

Terbuang... apakah ini ada urusannya dengan gurunya 

yang bernama Dadung Bongkok? Seingatku... dia... 

dia... ah, dia begitu gusar tatkala kukatakan... kalau 

Dadung Bongkok adalah pembunuh ibuku. Dia begitu 

marah hingga pernah menyerangku.... Lantas, lantas... 

ya, ya... aku ingat. Kala itu dia jatuh pingsan karena 

mau tak mau aku harus menghajarnya bila tidak ingin


mati, karena saat itu aku sedang menghadapi Dadung 

Bongkok dan... ah, urusan ini semakin tidak enak. Ka-

rena aku... aku... ah, tak tahukah dia kalau... kalau... 

dia telah merebut hatiku?"

Perasaan pemuda berompi ungu ini semakin 

gelisah. Digeleng-gelengkan kepalanya hingga rambut 

kuncirnya berlompatan.

"Tentunya... perempuan tua kontet itu yang te-

lah menanamkan dendam di dadanya terhadapku...," 

sambungnya lagi sambil menghela napas panjang. "Ah, 

aku harus cepat menemukannya. Aku harus menje-

laskan duduk perkaranya...."

Belum lagi Raja Naga memutuskan untuk sege-

ra meninggalkan tempat itu, seorang perempuan beru-

sia sekitar dua puluh tujuh tahun dengan tubuh pe-

nuh darah muncul tergontai-gontai. Pakaian perem-

puan ini acak-acakan dan robek di sana-sini, hingga 

memperlihatkan bagian-bagian tubuhnya. Bahkan pa-

kaian pada bagian bukit kembarnya sebelah kiri, robek 

besar. Hingga tatkala angin iseng berhembus, terlihat 

gundukan salah satu bukit kembar itu yang dihiasi 

bulatan kecil warna coklat pada ujungnya.

Perempuan itu langsung menjerit begitu meli-

hat sosok lelaki yang telah menjadi mayat. Seperti 

mendapatkan satu kekuatan, perempuan yang mau 

tak mau memperlihatkan bukit kembarnya sebelah kiri 

itu, sudah menubruk mayat si lelaki dengan teriakan 

keras,

"Kakang Sugalaaa!!"

Lalu dia menangis tersedu-sedu di atas mayat 

lelaki itu. Lama-lama tangisannya berubah menjadi te-

riakan-teriakan keras.

Raja Naga sesaat hanya memperhatikan sebe-

lum berkata, "Tenanglah... suamimu telah mati.


Kau...."

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Sorot 

matanya yang penuh duka kini laksana bara api yang 

menyala. Tajam menusuk!

"Pemuda celaka! Mengapa kau membiarkan su-

amiku mati, hah?! Mengapa?!" teriaknya kalap.

Raja Naga terdiam beberapa saat sebelum ber-

kata, "Aku tak bisa lagi menyelamatkan nyawanya. Dia 

muncul secara tiba-tiba dan sebelum aku sempat 

mengobatinya, dia sudah keburu tewas."

"Keparat! Ini gara-gara perempuan celaka itu! 

Dia harus mampus! Dia harus mampus!!"

Laksana banteng luka, perempuan yang pa-

kaiannya telah robek-robek itu tiba-tiba berdiri. Mera-

dang dan berlari kembali ke arah dari mana dia datang 

sebelumnya. Tetapi....

Brruukkk!!

Perempuan itu telah terhuyung dan ambruk di 

atas tanah. Raja Naga buru-buru mendekatinya. Dipe-

riksanya tubuh si perempuan yang tak bergerak itu. 

Sesaat pandangannya terbentur pada bukit kembar 

sebelah kiri milik si perempuan. Benda itu cukup 

menggiurkan dan mampu menggugah perasaan siapa 

saja yang melihatnya.

Tetapi di lain saat, murid Dewa Naga sudah 

kembali memeriksa tubuh si perempuan. Dia menarik 

napas lega tatkala mengetahui kalau si perempuan 

hanya pingsan.

"Tindakan perempuan tua kontet itu tak bisa 

dibiarkan terus menerus. Aku memang harus muncul, 

karena akulah yang dicarinya. Termasuk oleh Ratu 

Tanah Terbuang! Tetapi... sampai saat ini aku belum 

berhasil menemukan mereka!"

Untuk beberapa saat lamanya pemuda berompi


ungu ini terdiam memikirkan segala sesuatu yang se-

makin memusingkan kepalanya. Tatkala diingatnya la-

gi apa yang terjadi beberapa bulan lalu, dia menghela 

napas masygul.

"Ah... Ratu Tanah Terbuang. Kalau memang 

benar dia adanya, sungguh ini masalah yang besar ba-

giku. Dia telah merebut sebagian hatiku begitu perta-

ma kali melihatnya...."

Diperhatikannya lagi perempuan yang pingsan 

di hadapannya.

"Pakaiannya telah robek. Aku harus mencari-

kan pakaian untuknya.... Dan mungkin juga dia kela-

paran."

Perlahan-lahan diangkatnya tubuh perempuan 

yang pingsan itu, dibawanya ke balik ranggasan se-

mak, agak tersembunyi.

"Di tempat ini kau aman sebelum aku datang 

kembali," katanya pelan. Kemudian dia segera keluar 

dari semak belukar itu. Diperhatikan sekelilingnya 

yang sepi. "Aku akan mencari makanan dan mening-

galkan makanan itu di dekatnya. Aku harus tetap 

mencari Ratu Tanah Terbuang."

Tetapi sebelum Boma Paksi menjalankan mak-

sudnya, suara lirih sudah terdengar dari balik semak. 

Cepat dia kembali ke sana. Dilihatnya perempuan itu 

sedang menggeliat-geliat dengan wajah meringis seperti 

menahan sakit. Geliatan tubuhnya membuat pakaian-

nya yang telah robek di sana sini semakin melebar. 

Buah dadanya sebelah kiri bergerak-gerak menggiur-

kan.

Raja Naga berlutut, "Tenanglah...."

Suara lembut itu tertangkap telinga si perem-

puan yang rupanya sudah mendekati siuman. Raja 

Naga mengalirkan sedikit hawa panas ka tubuh si perempuan.

Setelah beberapa saat, perempuan itu membu-

ka kedua matanya. Baru dibuka kedua matanya, kejap 

itu pula dia berseru, "Mana suamiku?! Di mana dia?!"

"Tenanglah... suamimu sudah tewas...."

Laksana tak memiliki tenaga lagi, tubuh si pe-

rempuan ambruk di atas tanah. Dia tersedu-sedu.

Raja Naga membiarkan si perempuan untuk 

melampiaskan emosi kesedihannya. Setelah itu dia 

berkata pelan, "Aku tidak mengenalmu sebelumnya, 

juga tidak mengenal suamimu. Apakah kau keberatan 

untuk menceritakan apa yang terjadi?"

Pertanyaan yang didengarnya seperti menggu-

gah kemarahan dalam dadanya. Perempuan ini perla-

han-lahan bangkit, duduk berselonjor dengan kepala 

tegak. Sepasang matanya yang masih dibalut air mata, 

tegang tak berkedip. Sorotnya penuh amarah dendam 

membara.

"Perempuan tua kontet itu... dia tahu-tahu 

muncul begitu saja... dan mengganggu ketenangan hi-

dup kami. Kami... tak mengenal perempuan tua berku-

lit hitam legam itu sebelumnya... dia muncul mena-

nyakan Raja Naga!"

Si perempuan menatap pemuda di hadapannya 

tajam-tajam. Tapi di saat lain, dia sudah memalingkan 

kepalanya, matanya sedikit mengerjap-ngerjap.

"Anak muda... kenalkah kau dengan Raja Na-

ga?"

"Pertanyaan itu mengandung kemarahan. Bisa 

jadi seperti apa yang dirasakan Kirana beberapa hari 

lalu. Ah, bila kukatakan akulah Raja Naga, apa yang 

akan dilakukannya?"

Untuk beberapa saat Boma Paksi tak menja-

wab. Dia mempertimbangkan dulu sebelum memutuskan untuk menjawab. Perlahan-lahan dianggukkan 

kepalanya.

"Ya, aku mengenal Raja Naga...."

"Okh!" kepala si perempuan menegak. "Kata-

kan, katakan padaku, di mana dia berada saat ini?! 

Katakan! Dia harus bertanggung jawab atas kepenge-

cutannya! Dia yang punya urusan, kami yang menga-

lami nasib sial!"

Raja Naga tersenyum. Dialihkan pertanyaan-

nya, "Kenalkah kau dengan perempuan tua yang me-

nyerangmu dan suamimu?"

"Sebelum ini aku tak mengenalnya. Tetapi...," 

suara si perempuan menjadi geram. "Dia mengaku ber-

juluk.... Ratu Sejuta Setan!"

"Dugaanku benar. Ratu Sejuta Setan, Dan se-

makin jelas siapa gerangan gadis yang berjuluk Ratu 

Tanah Terbuang," katanya dalam hati.

Perempuan di hadapannya bertanya, "Anak 

muda... siapakah kau sebenarnya?"

"Hemm... namaku Boma Paksi."

"Namaku Nimas Ardini. Boma Paksi... melihat 

cirimu kau jelas orang rimba persilatan. Bersediakah 

kau membantuku untuk membalas perbuatan terku-

tuk Ratu Sejuta Setan?"

"Nimas... aku bukan hanya akan membantu-

mu, tetapi aku juga akan menghentikan sepak terjang 

Ratu Sejuta Setan. O ya, kenalkah kau dengan gadis 

berjuluk Ratu Tanah Terbuang?"

"Siapakah gadis itu?" tanya Nimas Ardini sam-

bil mengerutkan keningnya.

"Kalau aku tak salah menduga, dia adalah mu-

rid dari Ratu Sejuta Setan. Gadis itu juga sedang me-

rajalela dengan menghajar siapa pun juga yang tidak 

bisa mengatakan di mana Raja Naga berada."


"Keparat! Tak salah bila aku akan menuntut 

Raja Naga atas semua ini!"

Diam-diam pemuda bersorot mata angker ini 

menarik napas panjang.

Kemudian katanya, "Nimas.... Raja Naga me-

mang pernah punya urusan dengan perempuan yang 

telah membunuh suamimu dan mencelakakanmu. Te-

tapi bukan berarti dia pengecut dalam hal ini. Telah 

lama dia mencari jejak perempuan itu. Dari tindakan-

nya itu, jelas dia hendak bertanggung jawab! Tetapi, 

apakah memang dia yang harus bertanggung jawab?"

"Dari ucapanmu kau seperti membelanya...." 

"Aku hanya mencoba mencari kebenaran." 

Nimas Ardini tak bersuara. Dia mendumal tak 

karuan. Tiba-tiba kepalanya diangkat, ditatapnya pe-

muda di hadapannya tajam-tajam. Tetapi di saat lain 

sudah ditundukkan kepalanya, karena tak sanggup 

menatap betapa angkernya tatapan itu.

"Kau seperti bukan sedang menceritakan orang 

lain, Boma Paksi..,."

Boma Paksi tersenyum.

"Ya! Karena... aku sudah menceritakan diriku 

sendiri...."

"Apa?!" Kepala Nimas Ardini seketika terangkat. 

Tangannya menuding gemetar. Tanpa sadar dia meng-

geser tubuhnya ke belakang. "Jadi... jadi... kau...."

"Ya... akulah Raja Naga...."

Nimas Ardini menggeleng-gelengkan kepalanya. 

Dia tiba-tiba menjadi pusing

"Ah, aku tak tahu... aku tak mengerti...."

"Kau akan mendapatkan kejelasannya...," sahut 

Boma Paksi. Dibiarkan saja Nimas Ardini sedang me-

nindih segala apa yang ada di hatinya.

Tak lama kemudian, perempuan yang payudaranya sebelah kiri terpampang karena pakaiannya di 

bagian itu telah robek, mengangkat kepalanya. Me-

mandangnya beberapa saat.

"Aku tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin, 

mungkin yang kau katakan itu benar...."

"Aku berkata jujur...."

"Tetapi... ah, sudahlah! Kau telah menyela-

matkan nyawaku! Tetapi bukan berarti aku memper-

cayai apa yang kau katakan tadi! Kau harus membuk-

tikan ucapanmu padaku...."

"Aku akan membuktikannya...," kata Boma 

Paksi. Nimas Ardini perlahan-lahan berdiri. Buah da-

danya sebelah kiri yang terbuka lebar akibat pakaian-

nya telah robek, bergerak menggiurkan. Dan nampak-

nya perempuan ini seolah melupakan keadaan dirinya. 

Tak nampak tanda-tanda dia akan menutupi buah da-

da indahnya itu.

Raja Naga juga berdiri. Nimas Ardini memen-

danginya. "Kendati aku tak sepenuhnya memper-

cayaimu, tetapi aku yakin kau memiliki tanggung ja-

wab besar."

"Sekali lagi kukatakan, aku akan membukti-

kannya. Mungkin cara yang terbaik sekarang, adalah 

berpisah untuk menemukan Ratu Sejuta Setan mau-

pun Ratu Tanah Terbuang."

"Boma Paksi... bersama suamiku, aku tak 

sanggup menghadapi keganasan Ratu Sejuta Setan. 

Dan aku khawatir, bila aku sendiri yang menghada-

pinya, justru maut yang akan menimpa ku. Apakah 

kau keberatan berjalan bersamaku?"

Pertanyaan itu membuat Raja Naga tak bersua-

ra beberapa lamanya.

"Aku sama sekali tak berkeberatan. Tetapi bila 

aku melangkah bersamanya, bisa jadi urusan ini akan


semakin rumit. Bukan ku kecilkan dirinya yang ku ya-

kini juga mempunyai sedikit kemampuan. Tetapi...."

"Kau nampaknya keberatan, Boma?" kata-kata 

Nimas Ardini memutus kata batin Raja Naga.

Pemuda berompi ungu itu segera mengangkat 

wajahnya. Dipandanginya wajah yang penuh duka dan 

amarah di hadapannya. Lalu sambil tersenyum dia 

berkata,

"Sama sekali aku tak berkeberatan berjalan 

bersamamu.... Hanya saja...."

"Bagus!" putus Nimas Ardini sebelum Raja Naga 

melanjutkan. "Tak kusangka kalau aku berjumpa den-

gan Raja Naga! Dan aku yakin, kau mampu untuk 

mengalahkan perempuan tua kontet itu! Dan dengan 

kemampuanmu, urusanku akan mudah terlaksana!"

Raja Naga hanya menarik napas pendek. Dia 

tak melanjutkan kata-katanya. Sembari memandangi 

perempuan di hadapannya yang sedang memandang 

ke kejauhan dia berkata,

"Baiklah... kita akan mencarinya bersama-

sama...."

Nimas Ardini menatap Raja Naga. Binaran ke-

gembiraan terpampang di depan matanya.

"Ya... kita berangkat sekarang!"

Habis ucapannya, dengan wajah tidak sabar, 

Nimas Ardini sudah melangkah. Raja Naga menyusul 

dengan kepala yang dipenuhi binaran kepusingan.


ENAM



DUA sosok tubuh yang melangkah di jalan se-

tapak itu, sama-sama menghentikan langkahnya. Pandangan mereka tak berkedip pada sosok tubuh kontet 

berkulit hitam legam yang berdiri dengan kedua tan-

gan terlipat di depan dada.

Kirana melirik Kidang Gerhana yang sedang 

menatap pula perempuan kontet di hadapannya. Pe-

rempuan kontet itu memiliki wajah yang dipenuhi ke-

riput. Sekujur tubuhnya dilapisi kulit hitam. Semakin 

kelam karena pakaian yang dikenakannya pun ber-

warna hitam, panjang hingga ke mata kaki. Dan terbe-

lah hingga batas dengkul. Memperlihatkan sepasang 

kaki hitam yang keriput. Kepalanya bulat dengan ram-

but panjang acak-acakan hingga pinggul. Hidungnya 

juga bulat dengan bibir lebar tanpa gigi. Yang mengeri-

kan dari sosoknya adalah sepasang bola matanya, 

yang menyala-nyala merah.

Kejap lain terlihat bibir Kidang Gerhana terse-

nyum.

"Ratu Sejuta Setan...," desisnya.

Kirana cepat mengarahkan lagi pandangannya 

ke depan. Keningnya berkerut dan dia membatin da-

lam hati, "Ratu Sejuta Setan? Perempuan tua kontet 

inikah yang diduga oleh kakek Kidang Gerhana sebagai 

guru dari Ratu Tanah Terbuang?"

Perempuan tua kontet itu menggeram begitu 

mengenali siapa orang yang mendesiskan julukannya.

"Kidang Gerhana...," ucapnya. "Tak kusangka 

kau yang kujumpai di tempat ini! Bagus! Itu artinya 

kau ditakdirkan untuk punya urusan denganku!"

"Astaga! Urusan? Urusan apa? Bukankah kita 

baru kali ini berjumpa?!"

"Jangan banyak omong! Aku tak punya banyak 

waktu! Katakan padaku, di mana Raja Naga berada?!"

Kakek berpakaian putih yang terbuka di bahu 

kiri ini tersenyum.


"Ucapanmu begitu gusar! Kau nampaknya se-

dang dipenuhi amarah dan ambisi membunuh! Ratu 

Sejuta Setan... sebelum kujawab pertanyaanmu, apa-

kah gerangan yang menyebabkan kau mencari pemuda 

berjuluk Raja Naga? Tetapi menurut hematku, pemuda 

itu tak perlu kau cari, karena dia akan muncul begitu 

saja di hadapanmu!"

Paras kelam Ratu Sejuta Setan semakin meng-

kelam (Untuk mengetahui siapakah Ratu Sejuta Setan, 

silakan baca: "Tapak Dewa Naga" sampai "Misteri Me-

nara Berkabut").

"Orang bertanya dijawab dengan tanya pula, 

sungguh sebuah tindakan yang tak menyenangkan! 

Dan itu artinya, melakukan tindakan lancang yang tak 

bisa dimaafkan!"

"Siapa yang salah hingga kau mengatakan tak 

bisa memaafkan? Kita tak punya silang urusan! Tetapi 

tahu-tahu kau mengatakan tidak bisa memaafkan! Ra-

tu Sejuta Setan... apakah kau sudah gila berpikir de-

mikian?" 

"Keparaatt!!"

"Perempuan tua terkutuk! Kau berjuluk Ratu 

Sejuta Setan! Siapakah Ratu Tanah Terbuang yang te-

lah menghancurkan Perguruan Kencana?!"

Bentakan itu membuat Ratu Sejuta Setan men-

garahkan pandangannya ke kanan.

"Gadis celaka yang mau mampus! Kau begitu 

garang sekali, padahal kau menyimpan ketakutan di 

dadamu! Pertanyaanmu jelas dengan mudah kujawab! 

Ratu Tanah Terbuang adalah muridku! Orang yang ku-

tugaskan untuk membunuh Raja Naga!"

"Hemmm... berarti dugaan kakek Kidang Ger-

hana benar. Ratu Tanah Terbuang adalah murid Ratu 

Sejuta Setan."

Di pihak lain, Kidang Gerhana membatin, "Ratu 

Tanah Terbuang telah melakukan tindakan makar. 

Dan dia diperintah oleh perempuan tua kontet ini. Be-

rarti, dialah yang harus bertanggung jawab dari segala 

urusan..."

Habis membatin demikian, Kidang Gerhana 

berkata, "Ratu Sejuta Setan... tak habis-habisnya kau 

melakukan tindakan makar semenjak dulu hingga hari 

ini! Kalau dulu kau bertindak atas dirimu sendiri, kali 

ini kau bertindak dengan mempergunakan tangan mu-

ridmu! Apakah kau tak pernah menyesali segala tinda-

kan yang kau lakukan?"

"Aku menghadang langkahmu bukan untuk 

mendengar ceramah mu, Kidang Gerhana! Aku hanya 

ingin mendengar penjelasan di mana Raja Naga bera-

da!"

"Kau terlalu khawatir tidak bisa menemukan 

pemuda dari Lembah Naga itu! Padahal seharusnya 

kau merasa ketakutan karena pemuda itu bisa-bisa 

muncul secara tiba-tiba di hadapanmu!!"

"Terkutuk! Kau terlalu melecehkan ku, Kidang 

Gerhana!"

"Apa yang kukatakan ini memang sebuah ke-

nyataan, bukan?!" 

"Setaaannn!!"

Diiringi makian kerasnya tubuhnya sudah me-

nerjang ke depan seraya mendorong tangan kanan ki-

rinya. Saat itu pula menggebah sinar-sinar merah me-

lingkar yang dilepaskan perempuan tua kontet itu.

Kidang Gerhana hanya tersenyum. Seraya 

mendorong sedikit tubuh Kirana agar menjauh, dihin-

darinya serangan ganas itu. 

Namun sinar-sinar merah itu justru berpenta-

lan dan berbalik ke arahnya dengan ganas. Bahkan sinar-sinar merah lainnya naik ke atas, lalu muncrat 

menyebar dan laksana hujan mengguyur Kidang Ger-

hana.

Tanah di mana sebelumnya Kidang Gerhana 

berdiri, langsung meletup keras dan muncrat ke udara.

Mendapati setiap serangannya dapat dihindari 

oleh Kidang Gerhana, perempuan kontet berpakaian 

hitam itu semakin ganas. Serangan demi serangannya 

terus dilancarkan, yang membuat Kidang Gerhana mu-

lai terdesak. 

Kalau sejak tadi Kidang Gerhana tidak melaku-

kan serangan balasan, kali ini perlahan-lahan kema-

rahannya mulai naik.

Dia mendengus, "Ratu Sejuta Setan! Tinda-

kanmu ini sungguh keterlaluan! Seharusnya kau kem-

bali ke Tanah Terbuang untuk menanti ajalmu di sana! 

Dan seharusnya pula kau memanggil muridmu yang 

telah menimbulkan kekacauan itu! Karena sebagai 

seorang guru, sudah seharusnya kau mengasihi mu-

ridmu itu yang kini telah dianggap sebagai penjahat 

kelas satu!"

"Perlu kau ketahui sedikit tentang muridku itu, 

Kidang Gerhana! Sebelumnya dia adalah murid Da-

dung Bongkok yang kemudian kuambil sebagai murid-

ku! Dapat kau bayangkan kehebatannya, bukan? Dua 

orang yang memiliki ilmu tinggi telah menurunkan il-

munya masing-masing pada seorang murid!"

"Dan tega-teganya kau memperalat muridmu 

untuk kesenanganmu sendiri!" sahut Kidang Gerhana 

sambil mundur. Lalu....

Wuuussss!

Begitu tangan kanannya didorong ke depan, se-

gera menghampar sinar bening yang menebarkan hawa 

panas luar biasa. Bahkan ranggasan semak belukar


seketika mengering, lalu terhempas jauh terkena ge-

lombang angin yang keluar dari dorongan tangan ka-

nannya!

Ratu Sejuta Setan memekik tertahan. Dia cepat 

mundur begitu merasakan tubuhnya seperti tersengat! 

"Terkutuk!!"

"Jangan hanya bisa memaki, seharusnya kau 

menyesali segala tindakanmu!"

"Kau yang akan menyesali perbuatanmu!!" ben-

tak Ratu Sejuta Setan dengan kemarahan tinggi.

"O ya? Coba kau perlihatkan lagi kepadaku!"

Ucapan Kidang Gerhana semakin membuat ke-

ganasan Ratu Sejuta Setan kian menjadi-jadi. Kalau 

tadi sinar merah yang dilepaskannya muncrat ke atas 

dan turun laksana hujan, kali ini diiringi gemuruh an-

gin lintang pukang.

Kidang Gerhana sesaat menahan napas. Kejap 

lain dia sudah menerjang sambil mendorong tangan 

kanan kirinya. Sinar bening yang disertai gelombang 

panas mengerikan menghampar dahsyat.

Jlegaaarrr!

Bertemunya dua serangan dahsyat itu menim-

bulkan ledakan yang keras, diiringi muncratnya tanah 

ke udara. Saking kerasnya lagi-lagi tempat itu seperti 

bergetar. Mengiringi letupan keras itu, bermuncratan-

lah sinar-sinar merah yang berbenturan dengan sinar 

bening yang mengandung hawa panas luar biasa.

Di tempatnya, Kirana menahan napas.

"Astaga! Selama ini aku menduga, hanya ilmu 

gurulah yang paling tinggi. Tetapi pertarungan ini 

sungguh mengerikan!" desisnya dalam hati dengan 

pandangan tak berkedip ke depan.

Pertarungan sengit itu semakin mengganas. Ra-

tu Sejuta Setan semakin menggila. Dia benar-benar


jengkel karena setiap kali melancarkan serangan, se-

tiap kali pula dapat dilumpuhkan oleh Kidang Gerha-

na.

Bahkan dia harus terdesak hebat begitu Kidang 

Gerhana mencecar dengan ilmu dahsyatnya.

Tetapi rupanya si kakek tak menginginkan ke-

matian Ratu Sejuta Setan. Dia hanya ingin memberi 

pelajaran saja pada perempuan tua kontet itu.

Begitu Ratu Sejuta Setan sudah tidak bisa 

menghindari lagi serangannya, dihentikan melepaskan 

cahaya bening yang mengandung panas tinggi. Tubuh-

nya secara tiba-tiba meliuk, berputar dua kali di udara 

dan dari putaran tubuhnya keluar gelombang angin 

cukup keras.

Mendadak....

Bukkk!!

Ratu Sejuta Setan merasa mulas pada perutnya 

yang tiba-tiba terhantam jotosan Kidang Gerhana. Bila 

saja si kakek menginginkan lebih, sudah tentu dengan 

mudah dia akan menjatuhkan Ratu Sejuta Setan.

Perempuan tua kontet itu terjengkang.

Kidang Gerhana menghentikan serangannya. 

Dia melangkah sambil tersenyum.

"Ratu Sejuta Setan... apakah kau masih pena-

saran terhadapku? Bila masih, silakan kau bangkit 

dan kita mulai lagi permainan tadi!"

Mengkelap wajah perempuan tua kontet itu. 

Perlahan-lahan dia berdiri, tetapi belum lagi dia tegak, 

tubuhnya sudah tergontai-gontai ke belakang.

Kidang Gerhana berkata lagi, "Usiamu sudah 

semakin tua. Ada baiknya kau menghentikan segala 

tindakanmu ini. Aku tak bermaksud mengajari, tetapi 

aku meminta padamu. Panggil kembali muridmu yang 

berjuluk Ratu Tanah Terbuang. Perintahkan dia untuk


menghentikan pencariannya pada Raja Naga...."

"Aku belum mengeluarkan semua ilmuku!" ma-

ki Ratu Sejuta Setan geram. Dia berhasil berdiri tegak 

setelah menjejakkan kakinya kuat-kuat di atas tanah.

"Dengan berkata demikian, apakah kau ber-

maksud untuk meneruskan permainan ini?!"

"Sebelum kau mampus, tak akan pernah ku-

hentikan keinginanku untuk membunuhmu!" 

"Astaga! Jadi kau ingin membunuhku?" 

"Keparaattt!!" bergetar kedua tangan Ratu Seju-

ta Setan mendengar ejekan itu.

Kirana berseru, "Kakek! Perempuan tua itu 

adalah pangkal dari petaka yang diturunkan Ratu Ta-

nah Terbuang! Sudah seharusnya dia menerima hu-

kuman!"

"Kau dengar kata-kata gadis itu? Dan aku tak 

akan segan-segan untuk melakukannya!!" 

"Setan terkutuk! Mengapa aku harus mengha-

dang langkahnya tadi? Gila! Gila! Selama ini aku me-

mang belum pernah bertarung dengannya, jadi tidak 

mengetahui kekuatannya! Setan! Rasanya, untuk saat 

ini aku memang sebaiknya menuruti saja apa yang di-

katakannya! Huh! Akan kutemukan dulu muridku itu! 

Aku yakin, dia mampu mengalahkan kakek keparat 

ini! Dia adalah murid Dadung Bongkok yang kemudian 

kuangkat sebagai muridku!"

Beberapa saat lamanya Ratu Sejuta Setan tak 

bersuara. Di pihak lain, Kidang Gerhana masih terse-

nyum.

Sementara Kirana sudah tidak sabar untuk me-

lancarkan serangannya pada perempuan kontet berku-

lit hitam legam itu.

Kepala Ratu Sejuta Setan perlahan-lahan te-

rangkat. Sepasang matanya menyala-nyala.

"Kidang Gerhana... untuk saat ini aku mengaku 

kalah! Tetapi percayalah... tak lama lagi kita akan ber-

temu!"

"Apakah kau hendak berlindung di balik pung-

gung muridmu sendiri?" ejek Kidang Gerhana tetap 

tersenyum. "Kau mengatakan, kalau sebelumnya Ratu 

Tanah Terbuang adalah murid Dadung Bongkok! Den-

gan gabungan ilmumu dan ilmu Dadung Bongkok, kau 

merasa pasti kalau muridmu dapat menanggulangi se-

gala urusan? Ah! Seharusnya kau menyadari... dengan 

perintah yang kau berikan pada muridmu itu, kau 

hanya menjerumuskannya ke lembah nista!"

"Urusanku adalah dengan Raja Naga! Keingi-

nanku untuk membunuh pemuda itu masih sangat 

besar dan kuat!"

"Sungguh malang nasib Ratu Tanah Terbuang. 

Aku yakin... dia sebenarnya gadis baik-baik! Dia tak 

mengetahui kalau Dadung Bongkok adalah manusia 

keparat berhati kejam! Juga dirimu sendiri! Ah, sung-

guh malang nasib muridmu itu...."

"Dia adalah muridku! Kau tak ada urusan den-

gannya sama sekali!"

"Perempuan tua bertubuh kontet!" Kirana 

membentak dengan dada naik turun. "Bagaimana den-

gan saudara-saudara seperguruanku? Bagaimana den-

gan nasib guruku? Muridmu telah membunuhi para 

saudara seperguruanku! Dan nasib guruku...." 

"Tutup mulutmu, Gadis celaka!" Dibentak se-

perti itu, Kirana yang sejak tadi menahan amarahnya 

tak kuasa lagi menahannya. Mendadak sontak gadis 

ini sudah mencelat ke depan!

Ratu Sejuta Setan mendelik. Kedua tangannya 

siap terangkat. Tetapi sebelum dilakukannya, dilihat-

nya tubuh Kirana mendadak berhenti.


Kepala gadis itu menoleh pada Kidang Gerhana. 

"Kakek! Mengapa kau menahanku untuk meminta per-

tanggungjawabannya?"

Kidang Gerhana menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Anakku... aku mau membantu bukan untuk 

membunuh atau melihatmu menjadi seorang pembu-

nuh. Aku hanya mencoba meluruskan jalan yang telah 

menyimpang."

"Tetapi gara-gara dia semua ini terjadi!"

"Aku mengerti dan sangat mengerti. Tetapi aku 

tak mencoba menahan emosi mu. Aku hanya membe-

rikan satu pandangan padamu, agar kau tidak salah 

melangkah...."

Kirana menahan napas. Lalu dihembuskannya 

kuat-kuat. Perlahan-lahan kemarahan yang menggan-

jal di dadanya lenyap. Disadarinya betul makna dari 

kata-kata kakek berpakaian putih terbuka di bahu kiri 

itu

Melihat Kirana sudah sedikit tenang, Kidang 

Gerhana berkata pada Ratu Sejuta Setan, "Kau masih 

memasang kuda-kuda menyerang, padahal kau tadi 

sudah mengaku kalah! Sebaiknya segera berlalu dari 

sini sebelum aku berubah pikiran."

Ratu Sejuta Setan merandek gusar. Sorot ma-

tanya menyala-nyala pada Kidang Gerhana. Dengan 

mata yang kemudian sedikit dipicingkan, dia mendesis,

"Tak lama lagi... kita akan kembali berjumpa! 

Dan aku bersumpah untuk membuktikan ucapanku!"

Habis mengancam demikian, Ratu Sejuta Setan 

sudah melangkah meninggalkan tempat itu. Rasa mu-

las pada perutnya masih terasa.

Kidang Gerhana memandangi kepergian Ratu 

Sejuta Setan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.


"Sayang, sayang sekali.... Di usia yang semakin 

senja, bukannya bertobat, malah berlaku begitu bo-

doh...."

Kirana melirik.

"Kakek... apakah dengan begini urusan sudah 

selesai?"

"Siapa bilang demikian? Sudah tentu urusan 

ini belum selesai!" sahut Kidang Gerhana sambil mena-

tap Kirana. "Anakku... urusan ini akan semakin mem-

besar. Dan bahaya akan datang bertubi-tubi. Tetapi, 

kita akan menghadapinya...."

Kirana menganggukkan kepalanya, mantap.

"Aku juga tidak sabar untuk menuntut balas 

perbuatan Ratu Tanah Terbuang...."

Kidang Gerhana hanya tersenyum.

"Kita ikuti ke mana perginya perempuan kontet 

itu...," katanya sambil mendahului.

Kirana masih berdiri di tempatnya sejenak. Di-

pandanginya sekitarnya yang sepi. Lalu dihelanya na-

pas perlahan-lahan. Kemudian segera menyusul lang-

kah Kidang Gerhana.


TUJUH


BENTANGAN malam sudah merajai alam kem-

bali. Tempat yang dipenuhi ranggasan semak itu sepi. 

Keheningan terjaga, seolah tempat itu tak pernah dida-

tangi oleh manusia. Padahal bila pagi atau senja, tem-

pat itu merupakan jalan tersingkat dari satu desa ke 

desa seberang.

Mendadak saja kesepian itu dipecahkan oleh 

suara burung malam yang berkaok-kaok menyakitkan


telinga. Lalu beterbangan tetap dengan kaokannya.

Kedua orang yang baru saja tiba di tempat itu 

tak mempedulikannya. Mereka tak ada yang buka sua-

ra. Masing-masing orang memandang ke depan, ke ja-

lan yang nampak tumpang tindih. Saat rembulan ber-

hasil membebaskan diri dari gumpalan awan hitam, 

terlihat kalau yang berdiri di sebelah kanan adalah 

seorang pemuda berompi ungu. Sementara di sebelah-

nya, seorang perempuan yang pakaiannya telah robek 

di sana-sini.

"Boma Paksi... sudah cukup jauh kita melang-

kah, tetapi belum berhasil menemukan perempuan ce-

laka yang telah membunuh suamiku itu," kata si pe-

rempuan yang bukan lain Nimas Ardini. Dipandan-

ginya pemuda tampan di sebelahnya dengan mata ber-

kilat-kilat. "Bagaimana menurutmu?"

Murid Dewa Naga memperhatikan perempuan 

di sampingnya sejenak sebelum berkata, "Nimas... su-

dah tentu kita akan tetap mencari perempuan tua kon-

tet itu. Bukankah kita sama-sama tak ingin menyaksi-

kan petaka berkepanjangan yang diturunkan olehnya 

maupun muridnya yang berjuluk Ratu Tanah Ter-

buang?"

"Ya! Sudah tentu kita tak akan membuang wak-

tu lagi. Tetapi terus terang, kedua kakiku sudah seper-

ti tak memiliki tenaga lagi. Apakah tidak sebaiknya ki-

ta beristirahat dulu sebelum meneruskan perjalanan?"

"Bila kita beristirahat dulu, jelas akan banyak 

waktu yang terbuang. Dan kemungkinannya akan sulit 

mengatasi tindakan Ratu Sejuta Setan maupun mu-

ridnya yang berjuluk Ratu Tanah Terbuang. Karena, 

saat ini saja kita belum menjumpainya. Apalagi...."

"Kau berkata demikian, apakah kau hendak 

melarikan din dari kenyataan yang sebenarnya?" suara


Nimas Ardini tiba-tiba tajam, menusuk. Raja Naga 

mendesah pendek. Sambil menggelengkan kepalanya, 

pemuda yang mulai jari-jemarinya hingga batas siku 

kedua lengannya dipenuhi sisik-sisik coklat ini mem-

batin dalam hati, "Perempuan ini masih mencurigaiku. 

Berabe! Kalau aku tinggal, kecurigaannya akan sema-

kin membesar dan bisa jadi urusan ini akan beranta-

kan. Tetapi bila ku turuti apa kemauannya, akan ba-

nyak waktu yang terbuang. Sementara dalam waktu 

yang singkat saja, baik Ratu Sejuta Setan maupun Ra-

tu Tanah Terbuang tentunya sudah melakukan tinda-

kan-tindakan mengerikan!"

"Kau masih diam saja, Raja Naga!" sengat Ni-

mas Ardini lagi. "Dari sikapmu itu semakin memper-

kuat dugaanku kalau kau memang hendak memutar-

balikkan kenyataan yang sebenarnya!"

Raja Naga menggeram dalam hati.

"Brengsek! Kenapa aku harus jadi terpaku pada 

urusan perempuan ini? Tapi...."

Tak dilanjutkannya lagi kata-kata batinnya. 

Dengan tersenyum Raja Naga mengangguk.

"Ya... kau bisa beristirahat selama setengah pe-

nanakan nasi, sementara aku akan berkeliling untuk 

melihat keadaan."

"Dan setelah itu kau melarikan diri karena 

mendapatkan kesempatan!"

Raja Naga mendesah pendek.

"Ya... kita beristirahat dulu...."

Nimas Ardini tersenyum senang. Tanpa sung-

kan langsung direbahkan tubuhnya di atas tanah be-

rumput dalam posisi telentang. Dia tidak berusaha un-

tuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka karena 

pakaiannya telah robek.

Raja Naga sendiri mau tak mau duduk bersandar di bawah sebuah pohon. Dia berusaha untuk tidak 

melirik Nimas Ardini. Mulailah anak muda dari Lem-

bah Naga ini memikirkan lagi urusan yang akan diha-

dapinya.

Tiba pada Ratu Tanah Terbuang, dia mendesah 

pendek. Diingat-ingatnya wajah Diah Harum atau yang 

lebih dikenalnya dengan julukan Dewi Bunga Mawar.

"Ah, apakah memang dia orang yang berjuluk 

Ratu Tanah Terbuang?" desisnya pelan. "Diah... kalau 

memang benar kau orangnya, apakah kau tidak tahu 

kalau kau telah merebut sebagian hatiku?" sambung-

nya resah.

Boma Paksi berusaha untuk mengalihkan piki-

rannya itu. Ketika diliriknya Nimas Ardini, dilihatnya 

perempuan itu sudah tertidur. Dadanya yang membu-

sung dan sebelah kiri terbuka lebar, naik turun. Me-

mancing perhatian lelaki untuk menatapnya beberapa 

lama. Tetapi Raja Naga hanya mendesah pendek dan 

mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.

Mendadak, "Jangan... jangan bunuh suamiku! 

Jangan! Perempuan celaka! Kau harus mampus!!"

Tersentak Raja Naga berdiri. Diperhatikan seke-

lilingnya dengan tatapannya yang angker. Begitu dis-

adarinya kalau suara itu berasal dari mulut Nimas Ar-

dini, dia mendesah pendek.

"Astaga! Rupanya kejadian yang mengerikan 

yang telah menimpanya terbawa dalam tidurnya...."

Dan igauan Nimas Ardini semakin keras ter-

dengar. Tubuhnya mulai terguncang-guncang dengan 

teriakan yang membahana. Kedua matanya tetap ter-

pejam.

Boma Paksi cepat menghampirinya. Dia tidak 

mau perempuan itu masuk dalam emosi mimpinya. 

Makanya dia berusaha membangunkannya. Tetapi diluar dugaannya, Nimas Ardini justru menarik tubuh-

nya dalam pelukannya.

"Kakang Sugala... kau masih hidup? Masih hi-

dup? Peluk aku, Kakang... peluk aku...."

Sejenak Raja Naga gelagapan. Dia berusaha un-

tuk melepaskan diri. Tetapi rangkulan Nimas Ardini 

semakin kuat. Malah dengan satu sentakan, menarik 

tubuh Raja Naga hingga kepala si pemuda terbenam 

pada payudaranya yang terbuka.

"Busyet! Apa-apaan ini?" desis Raja Naga dalam 

hati.

"Kakang!" igauan si perempuan terdengar diser-

tai desahan. Tangannya semakin kuat menekan kepala 

Raja Naga pada payudaranya. Benda lembut yang 

menggunung itu menekan pula wajah Raja Naga yang 

menjadi gelagapan dan sedikit gemetar. Ketika dia be-

rusaha melepaskannya, tangan itu semakin menekan. 

Bahkan diiringi dengan geliatan tubuh yang menggoda. 

"Kakang... aku rindu padamu.... Rindu sekali...."

"Busyet! Nimas... aku bukan suamimu! Sua-

mimu sudah tewas, Nimas...."

"Ayo, Kakang... lakukan, lakukan untukku.... 

Sudah sekian lama aku merindukan kejantananmu...."

Kalau sebelumnya Raja Naga gelagapan, kali ini 

perasaannya sudah tak karuan. 

"Nimas... aku bukan suamimu.... Suamimu su-

dah tewas...," katanya berusaha membangunkan Ni-

mas Ardini.

Tetapi Nimas Ardini yang meracau dalam igau-

annya justru menarik paksa untuk membuka rompi 

yang dikenakan Raja Naga.

"Astaga! Dia benar-benar menyangka aku sua-

minya! Dan emosi mimpinya telah membesar.... Cela-

ka! Aku harus berontak...."


Memutuskan demikian, Raja Naga mengerah-

kan sedikit tenaganya untuk melepaskan diri dari de-

kapan Nimas Ardini. Tetapi tak semudah yang diki-

ranya. Karena dekapan Nimas Ardini semakin kuat, 

bahkan disertai gerakan tubuhnya hingga payuda-

ranya yang masih menempel ketat pada wajah Raja 

Naga bergerak-gerak. Untuk sejenak Raja Naga menge-

rutkan keningnya. "Heii! Mengapa tenaganya menjadi 

cukup kuat? Apakah emosi mimpinya sudah sedemi-

kian kuat mengikatnya?"

Setelah mengerahkan lagi sedikit tenaganya, 

Raja Naga berhasil membebaskan diri. Dia buru-buru 

sedikit menjauh sambil memperhatikan sosok Nimas 

Ardini yang masih menggeliat-geliat diiringi desahan 

demi desahannya yang mengundang.

Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga hanya me-

lihat bagian-bagian tubuh karena pakaian yang telah 

robek di sana-sini, kini dia melihat jelas dua bukit 

kembar yang terpampang lebar karena pakaiannya te-

lah terbuka!

"Baru kali ini kuketahui kalau emosi seseorang 

dalam mimpi begitu kuat!"

"Kakang Sugala... mengapa... mengapa kau 

menolak ku, Kakang? Apakah aku sudah tidak cantik 

lagi? Tidak molek lagi? Atau kau sudah tidak cinta la-

gi? Tidak sayang lagi, Kakang?"

Raja Naga mendesah pendek.

"Kasihan. Dia terlalu sedih akibat kematian su-

aminya. Ah.... Dia harus ku bangunkan...."

Memutuskan demikian, Raja Naga segera men-

jentikkan ibu jari dan telunjuknya.

Trikk!

Satu gelombang angin kecil melesat dan... 

Tass!


Tepat mengenai dengkul Nimas Ardini yang se-

saat tubuhnya mengejut. Kejap lain dia sudah terjing-

kat terduduk dengan kedua mata mengerjap-ngerjap.

"Di mana, di mana suamiku? Kakang... di mana 

kau?"

Raja Naga mendesah pendek. "Nimas... kau 

bermimpi...."

"Bermimpi?" desis Nimas Ardini dengan wajah 

tegang. Begitu dirasakan tubuhnya agak dingin, segera 

kepalanya ditundukkan. "Oh!" desisnya kemudian dan 

terburu-buru merapikan pakaiannya kembali. Tetapi 

karena pakaiannya sudah robek di sana-sini, tetap sa-

ja tidak semua tubuhnya yang tertutup. Terutama 

payudaranya sebelah kiri!

"Nimas... kupikir kau sudah cukup beristira-

hat... Sebaiknya, kita lanjutkan lagi perjalananmu. 

Atau bila kau masih ingin melepas lelah, lakukanlah. 

Tetapi aku akan segera berangkat kembali...."

Nimas Ardini memandang pemuda tampan di 

hadapannya. Sejenak terpancar sinar malu di kedua 

matanya, tetapi di saat lain yang terlihat hanyalah ke-

marahan belaka.

"Kau hendak melarikan diri dariku, Raja Naga?" 

Kali ini Raja Naga tak peduli, mengingat dia memiliki

waktu yang sangat sempit. Terutama bila menduga ka-

lau dalam waktu yang sedemikian sempit itu, baik Ra-

tu Sejuta Setan maupun Ratu Tanah Terbuang sudah 

melakukan tindakan keji.

"Nimas Ardini! Saat ini yang kubutuhkan ha-

nyalah kepercayaanmu! Dan aku telah berusaha untuk 

menjaganya! Hanya saja, sekarang aku tak peduli! Kau 

hendak menganggapku sebagai lawan aku akan teri-

ma! Karena, aku tetap akan melanjutkan perjalanan 

untuk mencari Ratu Sejuta Setan maupun Ratu Tanah


Terbuang!"

Nimas Ardini menatap dalam-dalam pemuda 

berompi ungu itu. Dilihatnya sisik-sisik coklat yang 

menghiasi kedua tangan si pemuda sebatas siku, sedi-

kit bersinar lebih terang, lebih nampak dari sebelum-

nya

Perlahan-lahan perempuan ini menghela napas 

masygul.

"Maafkan aku. Saat ini aku masih dirundung 

duka karena kematian suamiku, juga dirundung ama-

rah untuk membalas perbuatan terkutuk Ratu Sejuta 

Setan. Raja Naga... bila kau hendak meneruskan lang-

kahmu, lakukanlah...." 

"Bagaimana dengan kau sendiri?"

"Biarlah aku menunggu kabar darimu di sini," 

sahut Nimas Ardini. Lalu sambungnya dengan suara 

penuh emosi, "Bila kau berjumpa dengan Ratu Sejuta 

Setan, bunuh perempuan itu!"

Raja Naga tak menjawab. Dipandanginya pe-

rempuan yang kemudian menundukkan kepalanya itu.

"Aku dapat memaklumi keadaannya. Tetapi, 

keadaan yang harus kuhadapi pun harus segera kuse-

lesaikan. Aku tidak mau bila ada orang yang mengang-

gapku bersalah dalam urusan ini...," katanya dalam 

hati.

Kemudian berkata, "Nimas... baik-baiklah kau 

di tempat ini. Atau sebaiknya, kau kembali saja ke 

tempat asalmu...."

"Aku akan menunggumu di sini, Raja Naga. 

Dan aku berharap, kau datang kembali dengan mem-

bawa berita yang menyenangkan hatiku...."

"Aku berjanji, tak lama lagi aku akan muncul di 

hadapanmu...."

"Penuhi permintaanku tadi...."


Raja Naga hanya menganggukkan kepalanya. 

Kejap lain dia sudah melangkah meninggalkan tempat 

itu. Biar bagaimanapun juga, dia harus menyelesaikan 

urusannya secepat mungkin bila tidak ingin namanya 

cemar dan semakin banyak orang-orang yang akan 

bermunculan menyerangnya karena salah paham.

Tetapi diam-diam Raja Naga merasakan kegeli-

sahannya sendiri. Tanpa disadarinya, terbayang per-

jumpaannya pertama kali dengan Diah Harum, orang 

yang diduganya kini berjuluk Ratu Tanah Terbuang. 

Orang yang sedang mencarinya dengan menurunkan 

tangan telengas pada siapa saja.

"Aku tak boleh mendua hati. Ini urusan be-

sar...," desisnya pelan. "Aku harus menghentikan se-

pak terjang Ratu Tanah Terbuang, siapa pun dia 

adanya...."

Setelah beberapa saat melangkah sambil berpi-

kir, Raja Naga bersiap mengempos tubuhnya untuk 

berlari.

Namun sebelum dilakukannya, tiba-tiba ter-

dengar teriakan keras, "Bomaaaa!! Tolong akuu! Bo-

maaaa! Di mana kau? Tolong aku!! Aaaakhhh!!"

Serta-merta pemuda berompi ungu ini memba-

likkan tubuhnya. Rambutnya yang dikuncir berlompa-

tan sejenak. Di saat lain, dia sudah melesat ke tempat 

semula! 



DELAPAN



DILIHATNYA seorang perempuan tua kontet 

berkulit hitam legam sedang menelikungkan tangan 

kanannya pada leher Nimas Ardini yang tercekik dan


sukar bernapas. Nimas Ardini berusaha untuk mem-

bebaskan diri. Tetapi semakin dicobanya, semakin 

kuat telikungan tangan kanan perempuan kontet itu.

Raja Naga memandang tak berkedip.

"Ratu Sejuta Setan...," desisnya pelan.

Perempuan tua kontet yang memang Ratu Seju-

ta Setan adanya merandek dingin, penuh ejekan, "Huh! 

Sekian bulan tak bertemu, akhirnya kita bertemu lagi, 

Pemuda keparat! Hidupku tak akan pernah tenang se-

belum melihat kau mampus!"

Sorot mata angker itu semakin dipenuhi 

keangkeran. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada ke-

dua tangannya sebatas siku, nampak sedikit lebih te-

rang.

Dengan suara dingin Raja Naga mendesis, "Ra-

tu Sejuta Setan! Semenjak aku kecil, kau sudah menu-

runkan tangan telengas dan selalu membuat hidupku 

penuh kesusahan! Bahkan kau masih mencoba untuk 

melakukan tindakan busuk beberapa bulan lalu! Dan 

sekarang, kau telah mengumbar seluruh kejahatanmu 

hanya untuk memancingku muncul! Apakah memang 

ada bandingannya antara kejahatan yang telah kau la-

kukan dengan kejahatan lain?!"

"Menginginkan kematianmu, bukanlah suatu 

kejahatan! Sejak dulu aku bersumpah untuk mengha-

bisi keturunan Pendekar Lontar dan Dewi Lontar! Pen-

dekar Lontar telah tewas di tangan Hantu Menara Ber-

kabut dan Dewi Lontar telah mampus di tangan Da-

dung Bongkok! Lantas... kaulah yang telah mencabut 

nyawa kedua sahabatku itu! Apakah kau pikir aku 

akan berpangku tangan?! Tak menuntut balas semua 

perbuatanmu?!"

"Apa yang keduanya lakukan dan apa yang ku-

lakukan terhadap keduanya, adalah sebuah kejadian


sebab akibat! Kau tak pantas membela orang-orang 

seperti itu!" suara Raja Naga tetap dingin. Keangkeran 

matanya semakin nyata, menusuk dan menikam.

Diam-diam Ratu Sejuta Setan pun sedikit ciut. 

Tetapi tak dipedulikannya.

"Keinginanku untuk melihat kau mampus, ada-

lah keinginan lama yang tertunda!"

"Apakah ini ada hubungannya dengan Gumpa-

lan Daun Lontar milik mendiang ayahku?!"

"Peduli setan dengan benda itu! Nyawamu lebih 

kuinginkan ketimbang benda itu!"

Raja Naga menahan napas. Dilihatnya bagai-

mana Nimas Ardini seperti telah kehabisan napas. Wa-

jah perempuan itu sudah memucat sementara keringat 

membanjiri parasnya.

"Huh! Tak kusangka kalau dia akan muncul 

dan menyergap Nimas Ardini! Bila kuserang sekarang, 

bisa jadi nyawa Nimas Ardini tak akan tertolong! Ah... 

apa yang harus kulakukan sebaiknya?"

Untuk beberapa lama murid Dewa Naga tak 

bersuara. Hanya sorot matanya yang menampakkan 

kemarahan.

Di tempat lain, Ratu Sejuta Setan tertawa pe-

nuh kemenangan.

"Kau nampak sudah tak bisa mengendalikan 

amarahmu lagi, Raja Naga! Mengapa harus sungkan? 

Bila kau ingin menyerangku lebih dulu, aku akan me-

nerimanya!"

Raja Naga menggeram dingin. "Perempuan kon-

tet! Yang kau inginkan adalah diriku, nyawaku dan ini 

tak ada hubungannya sama sekali dengan perempuan 

itu!"

"Perempuan ini tak bisa menjawab pertanyaan-

ku! Telah ku putuskan, siapa saja yang tak bisa menjawab pertanyaanku maka dia akan mampus!"

"Dan kau telah melakukan perintah itu kepada 

muridmu yang berjuluk Ratu Tanah Terbuang!" Ratu 

Sejuta Setan terkikik.

"Ingatanmu rupanya masih kental, Raja Naga! 

Kau bisa menduga sedemikian rupa! Ya.... Ratu Tanah 

Terbuang adalah muridku! Kalau kau bisa menduga 

seperti itu, tentunya kau mengenal siapa gadis itu, bu-

kan?!"

"Dia adalah Diah Harum... murid Dadung 

Bongkok!"

"Luar biasa!" seru Ratu Sejuta Setan penuh eje-

kan. "Kupikir kau sudah melupakannya?! Yah.... Ratu 

Tanah Terbuang adalah Diah Harum! Murid Dadung 

Bongkok yang sebelumnya berjuluk Dewi Bunga Ma-

war! Raja Naga... seorang murid sudah barang tentu 

akan membela gurunya!"

"Kau telah memasukkan pikiran-pikiran sesat

mu pada Diah Harum!"

"Peduli setan! Aku hanya menginginkan kema-

tianmu!!"

Habis ucapannya, Ratu Sejuta Setan sudah 

mendorong tangan kanannya ke depan. Serta-merta 

menghampar gelombang angin berkekuatan tinggi.

Di tempatnya Raja Naga menjerengkan ma-

tanya. Kejap lain dia mendeham.

Blaaarrr!!

Gelombang angin itu putus di tengah jalan ter-

hantam kekuatan dari dehamannya.

"Bagus! Kau masih bisa mengandalkan ke-

mampuanmu rupanya! Tetapi... mengapa kau tak me-

nyerangku sekaligus?"

"Keparat! Perempuan kontet itu tahu benar si-

tuasi! Sudah tentu aku tak bisa menyerangnya begitu


saja karena aku tak ingin Nimas Ardini mendapat ce-

laka!" dengus Raja Naga dalam hati. Kemudian ka-

tanya, "Tadi kukatakan, kalau urusan ini hanyalah 

kau dan aku! Sebaiknya... kau lepaskan perempuan 

itu!"

"Melepaskannya?! Hik hik hik... kau rupanya 

tidak tahu falsafah seorang pemburu! Dia tak akan 

pernah melepaskan buruannya yang telah tertangkap 

untuk mendapatkan buruan lain! Bahkan dia akan 

mempergunakan buruannya yang telah tertangkap un-

tuk mendapatkan buruan lain!"

"Kedudukanku sangat tidak menguntungkan. 

Dengan tertawannya Nimas Ardini, perempuan itu da-

pat melakukan apa saja. Karena dia tahu, aku tak 

akan membiarkan dia merenggut nyawa...."

Kata batin pemuda berompi ungu ini terputus. 

Saat itu pula kepalanya sudah dipalingkan ke kanan. 

Mendadak sontak kepalanya menegak. Menyusul dia 

membuang tubuh ke kiri, karena tahu-tahu telah 

menderu sebuah benda besar agak panjang yang 

memperdengarkan suara bergemuruh.

"Heiiiii!" seru Raja Naga tertahan. Karena baru 

saja dia hinggap kembali di atas tanah, benda itu su-

dah menerjangnya lagi.

Kali ini Raja Naga tak menghindar. Ditung-

gunya sampai benda yang berkilat-kilat itu mendekat. 

Kejap berikutnya, dia sudah menggerakkan kedua tan-

gannya.

Bukk! Bukkk!!

Benda itu terhantam dan berputar terbalik ke 

belakang, ke arah Ratu Sejuta Setan yang sedang 

mengerutkan keningnya begitu benda yang tiba-tiba 

muncul itu langsung menyerang Raja Naga. Tetapi di 

saat lain, perempuan kontet berkulit hitam legam ini


sudah membuang tubuh seraya menyeret Nimas Ardi-

ni!

Blaaammm!!

Benda aneh berkilat-kilat itu sudah menghajar 

ranggasan semak yang seketika rengkah. Tetapi di saat 

lain, benda itu sudah mencelat kembali. Tidak menga-

rah pada Raja Naga yang telah bersiap, melakukan ke 

satu arah. Bersamaan dengan itu, satu sosok tubuh 

mencelat dari balik ranggasan semak. Berputar dua 

kali di udara sebelum akhirnya.... 

Tap!

Kedua kakinya hinggap di atas benda itu. Lalu 

dengan gerakan yang aneh dan mengagumkan, dia 

memutar tubuhnya sementara kedua kakinya laksana 

pelekat menempel pada benda berbentuk keranda yang 

juga berputar. Dua kejapan mata berikutnya, benda 

itu sudah tergeletak di atas tanah dengan sosok tubuh 

berkulit hitam berkilat-kilat di atasnya.

Belum lagi keheranan Raja Naga berlalu, satu 

sosok tubuh berpakaian putih bersih dengan dua buah 

bunga mawar di dada kanan kirinya, telah melesat ce-

pat. Gerakannya sangat luar biasa. Dan orang yang 

melesat ini menuju ke arah Ratu Sejuta Setan.

Begitu hinggap di atas tanah tanpa memper-

dengarkan suara sedikit pun, sosok tubuh yang ter-

nyata seorang gadis jelita ini segera merangkapkan ke-

dua tangannya di depan dada. "Guru...."

Ratu Sejuta Setan yang sebelumnya heran me-

lihat benda berbentuk keranda dan kemunculan lelaki 

berkulit hitam mengkilat, terkikik keras. Telikungan 

tangan kanannya semakin menguat pada Nimas Ardini 

yang nampak meringis kesakitan.

"Bagus! Kau muncul juga di hadapanku, Muridku...."


* * *

Kemunculan dua orang itu dengan cara yang 

mengejutkan, membuat Raja Naga menjadi lebih ber-

siaga. Dilihatnya gadis yang masih merangkapkan ke-

dua tangannya di hadapan Ratu Sejuta Setan. Kendati 

hanya melihat bagian belakang dari tubuh si gadis, Ra-

ja Naga yakin kalau gadis itu memang adalah orang 

yang dimaksud.

"Semuanya kini menjadi bukti, kalau gadis ber-

juluk Ratu Tanah Terbuang adalah Diah Harum...."

Di pihak lain, gadis jelita itu perlahan-lahan 

membalikkan tubuhnya. Tatapan bengisnya langsung 

menghujam pada kedua bola mata Boma Paksi. Sesaat 

si gadis agak sedikit gelagapan begitu menyadari beta-

pa angkernya tatapan orang yang ditatapnya.

"Raja Naga... kita berjumpa lagi di sini! Dan 

urusan yang tertunda, harus segera diselesaikan!!"

Pemuda yang mulai jari jemari hingga batas si-

ku kedua tangannya dipenuhi sisik coklat ini, diam-

diam menarik napas. Sesuatu bergolak di dadanya dan

membuatnya sedikit tidak tenang. Bahkan tatapan 

angkernya perlahan-lahan agak meredup.

"Diah... tidak tahukah kau, kalau kau semakin 

terjemurus dalam kesalahpahaman yang belum tun-

tas?" desisnya dalam hati. "Ah, tidak tahukah kau, ka-

lau sejak pertama kali berjumpa, kau telah merebut 

sebagian perhatianku?"

Tak mendapatkan sahutan dari seruannya, Ra-

tu Tanah Terbuang membentak lagi, "Aku datang un-

tuk mencabut nyawamu, Raja Naga! Kau memang he-

bat dapat mengalahkan guruku si Dadung Bongkok, 

yang sebelumnya kau fitnah habis-habisan! Tetapi se-

karang, aku datang untuk membalas sakit hatinya!!"


Raja Naga menenangkan gemuruh di dadanya. 

Setelah itu dia berkata, "Diah Harum... memang tak 

kusangka kita akan berjumpa lagi. Urusan yang kita 

hadapi memang belum terselesaikan, terutama kau te-

tap menuduhku memfitnah Dadung Bongkok. Padahal 

pada kenyataannya, Dadung Bongkok bukanlah seseo-

rang yang patut dihargai. Dia...."

"Tutup mulutmu!!" hardik Ratu Tanah Ter-

buang dengan pandangan semakin bengis. "Kau masih 

mencoba melunakkan hatiku dengan mengatakan ka-

lau semua itu adalah sebuah kebenaran! Tetapi pada 

kenyataannya, aku tahu mana yang benar dan mana 

yang salah!"

"Kau telah dibutakan oleh kemarahan mu sen-

diri, Diah! Dan sekarang, kau berguru pada perem-

puan tua kontet itu yang justru semakin menjeru-

muskan mu"

Sebelum Ratu Tanah Terbuang menyahut, satu 

bentakan dari samping kanan terdengar, "Siapa pun 

orangnya yang berani menghina kakak seperguruanku, 

dia akan mampus di tanganku! Mayatnya akan ku ma-

sukkan pada keranda ku ini dan akan kubawa hingga 

menyebarkan bau busuk!!"

Perlahan-lahan Raja Naga memalingkan kepa-

lanya. Menatap lelaki berambut panjang acak-acakan 

yang sedang menggeram. Seluruh kulit tubuhnya hi-

tam mengkilat! Mengenakan pakaian putih kecoklatan 

yang sudah buram warnanya.

"Aku tak mengenal siapa kau adanya!" seru Ra-

ja Naga dingin.

Lelaki yang kedua matanya selalu mengelua-

rkan air kental itu menggeram.

"Kau boleh mengingat ku dengan julukan Ke-

randa Iblis! Dan membawa julukanku ke liang lahat


mu!" serunya. Lalu melirik Ratu Tanah Terbuang. Dan 

begitu pandangannya terbentur pada buah dada sebe-

lah kiri Nimas Ardini yang terbuka, lelaki berkulit hi-

tam mengkilat ini menelan ludahnya.

"Keadaan semakin bertambah kacau. Kemun-

culan Ratu Tanah Terbuang dan Keranda Iblis semakin 

menyulitkan kedudukanku. Karena biar bagaimana-

pun juga, Ratu Sejuta Setan masih menyandera Nimas 

Ardini. Aku bisa saja mati-matian menghadapi seran-

gan masing-masing orang yang kemungkinan dilaku-

kan secara bersamaan. Tetapi bagaimana dengan Ni-

mas Ardini?"

Selagi Raja Naga membatin demikian, Keranda 

Iblis berkata, "Ratu Tanah Terbuang! Apakah kau akan 

berdiam diri setelah berjumpa dengan orang kau cari?! 

Dan sungguh keterlaluan sikapmu itu! Di hadapan gu-

rumu sendiri kau berlaku bodoh dengan banyak mem-

buang waktu!!"

Ratu Tanah Terbuang yang sedang memandang 

bengis pada Raja Naga, melirik Keranda Iblis sejenak. 

Lalu diarahkan lagi pandangannya pada pemuda be-

rompi ungu.

"Urusan ini memang harus segera diselesaikan! 

Raja Naga! Bersiaplah untuk mampus!!"

Habis bentakannya, Ratu Tanah Terbuang su-

dah menerjang ke depan. Dia sudah tidak sabar untuk 

menghabisi pemuda di hadapannya. Dia berharap, 

dengan matinya pemuda itu di tangannya, arwah gu-

runya akan tenang di alam sana. 

Bersamaan Ratu Tanah Terbuang menyerang, 

Keranda Iblis melompat turun dari kerandanya. Lalu 

dengan satu dorongan tangan kanan, kerandanya me-

luncur deras ke arah Raja Naga!!

Di pihak lain, Ratu Sejuta Setan tersenyum.


"Tak kusangka kalau muridku berjumpa den-

gan adik seperguruanku yang sudah sekian tahun tak 

berjumpa denganku. Bagus! Mereka tentunya mampu 

untuk membunuh Raja Naga! Tetapi bila tidak, ada se-

suatu yang akan mengejutkan Raja Naga!"


SEMBILAN


SERANGAN yang dilancarkan Ratu Tanah Ter-

buang, dihindari Raja Naga dengan cara memiringkan 

tubuhnya. Kejap lain dia sudah membuang tubuh ke 

samping kanan. 

Wuunggg!!

Keranda hitam berkilat-kilat yang menerjang 

ganas itu menghajar ranggasan semak, yang saat itu 

pula berputar dan kembali menderu ke arahnya!

Sesaat Raja Naga tersentak. Segera dikibaskan 

tangan kanannya untuk melepaskan ilmu 'Kibasan 

Naga Mengurung Lautan'!

Wrrrr!

Serta-merta menghampar gelombang angin me-

rah yang memperdengarkan suara bergemuruh. 

Blaaam! Blaaamm!!

Menghantam telak keranda hitam berkilat yang 

seketika terlempar tanpa kendali ke belakang. Pemilik-

nya membelalakkan kedua matanya dan segera me-

lompat ke depan, ke atas keranda yang meluncur de-

ras ke arahnya. 

Tap!

Kedua kakinya sudah menjejak lagi bagian atas 

keranda itu yang seketika berhenti.

Di pihak lain, Ratu Tanah Terbuang menjadi


geram. Kaki kanannya dijejakkan ke tanah yang mem-

buat tubuhnya mumbul dan seketika meluruk seraya 

mendorong tangan kanan kirinya. Seketika menggebah 

awan-awan hitam yang menebarkan hawa dingin.

Raja Naga tersentak.

"Heiii!!"

Cepat dikibaskan tangan kirinya.

Jlegaaaarrr!!

Bertemunya gelombang angin merah dan awan-

awan hitam itu menimbulkan letupan yang sangat ke-

ras. Tanah di mana bertemunya dua serangan tadi se-

ketika membuyar ke udara, menghalangi pandangan 

untuk beberapa saat. 

Mendadak dari gumpalan tanah itu melesat so-

sok Ratu Tanah Terbuang diiringi teriakan membaha-

na. Raja Naga sesaat menegakkan kepalanya. Untuk 

beberapa lama dia seperti tidak tahu apa yang harus 

dilakukannya. Ketika menyadari serangan yang datang 

itu sudah siap mencabut nyawanya, kembali dilakukan 

gebrakan yang sama.

Untuk kedua kalinya letupan keras terjadi. Kali 

ini terlihat muncratan angin merah dan pecahnya 

awan-awan hitam. Tetapi mendadak saja sinar-sinar 

merah menerjang serabutan yang mendadak muncrat 

ke atas dan turun laksana hujan, diiringi gemuruh an-

gin lintang pukang.

Di pihak lain, Ratu Sejuta Setan tersenyum.

"Bagus! Kalau sebelumnya Ratu Tanah Ter-

buang mempergunakan ilmu yang diajarkan Dadung 

Bongkok, kali ini dia menyerang dengan memperguna-

kan ilmu yang kuajarkan!"

Raja Naga menahan napas.

Segera ditepukkan tangan kanannya pada lengan kirinya.


Wuuuttt!!

Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar 

dan membuat tanah terangkat dalam pusarannya. 

Blaaarrr!!

Serangan ganas Ratu Tanah Terbuang dapat 

dipatahkan. Menyusul Keranda Iblis sudah melancar-

kan lagi serangan ganasnya. Raja Naga mendelik, tata-

pannya bertambah angker.

Kejap itu pula dijejakkan kaki kanannya di atas 

tanah melepaskan ilmu 'Barisan Naga Penghancur Ka-

rang'.

Blaaaarrr!!

Tempat itu laksana dihantam kiamat kecil. 

Ranggasan semak berhamburan. Menyusul.... 

Bukkk!

Raja Naga sudah masuk dengan jurus 

'Hamparan Naga Tidur'. Keranda Iblis yang tadi mun-

dur dengan napas terengah-engah, seketika terjeng-

kang karena perutnya terhantam telak satu jotosan 

yang keras!

"Tahan!!" seru murid Dewa Naga begitu melihat 

Ratu Tanah Terbuang sudah siap menyerangnya lagi.

Gadis jelita itu menggeram gusar.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu!!"

Di pihak lain, Ratu Sejuta Setan mendesis da-

lam hati, "Kehebatan pemuda ini memang sungguh 

luar biasa! Dan memang tak bisa dipungkiri lagi, men-

gingat selama ini tak seorang pun yang bisa mengalah-

kan Dewa Naga, guru dari pemuda bersisik coklat ini! 

Kalau begitu... aku akan menjalankan rencana ke-

dua...."

"Diah Harum... sekali lagi kukatakan, kalau 

kau telah dirasuki pikiran jahat milik perempuan kon-

tet itu! Kau tak pantas melakukan semua ini, Diah...


karena tempatmu bukan di sini!"

"Jangan mengajari ku! Aku adalah murid yang 

berbakti pada guruku! Siapa pun guruku akan ku jun-

jung tinggi! Dadung Bongkok adalah guruku yang te-

was di tanganmu! Dan sekarang...."

"Diah Harum! Urusan ini memang sulit ditemu-

kan titik temunya, karena kau masih dipengaruhi 

amarah." 

"Dan kau akan merasakan kehebatan amarah-

ku!!" Ratu Tanah Terbuang sudah siap melancarkan 

serangan, tetapi tertahan oleh suara Ratu Sejuta Se-

tan, "Muridku! Mundurlah! Biar aku yang menghadapi 

pemuda celaka itu!"

Meskipun tidak menyukai apa yang dikatakan 

gurunya, Ratu Tanah Terbuang menuruti.

Ratu Sejuta Setan menggeram, "Pemuda celaka! 

Biarlah aku yang akan menuntaskan semua urusan 

ini! Akan kubuktikan kalau apa yang kukatakan pada 

muridku selama ini adalah benar! Dan kau adalah bi-

ang dari segala kesalahan!!"

Habis bentakannya, dengan menyeret tubuh 

Nimas Ardini, Ratu Sejuta Setan menyerang ganas. Se-

jenak Raja Naga kesulitan untuk menghadapi serangan 

Ratu Sejuta Setan. Karena perempuan kontet berkulit 

hitam itu mempergunakan sosok Nimas Ardini sebagai 

tameng!

Hingga kejap lain, Raja Naga yang menjadi bu-

lan-bulanan serangan ganas Ratu Sejuta Setan. Meli-

hat hal itu, Keranda Iblis yang tadi terjengkang akibat 

jotosan Raja Naga, segera berdiri tegak. Dengan berdiri 

di atas kerandanya, dia menyerang ganas ke arah Raja 

Naga!

"Celaka! Aku tak mengharapkan kejadian se-

perti ini!" desis Raja Naga sambil berpikir keras. "Serangan Keranda Iblis bisa menyulitkan gerakanku. Se-

baiknya...."

Memutus kata batinnya sendiri, pemuda be-

rompi ungu itu mendadak membuang tubuh ke samp-

ing kanan. Dan langsung melepaskan ilmu 'Barisan 

Naga Penghancur Karang'. Tanah seketika berderak 

dan bergelombang ke arah Keranda Iblis yang sedang 

menyerangnya.

Menyusul dia mencelat ke depan. Tangan ka-

nan kirinya yang dipenuhi sisik coklat sebatas siku, 

memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Apa pun 

yang diinginkan oleh Raja Naga untuk dihancurkan 

maka akan dapat dihancurkan! Kali ini dia mengingin-

kan untuk menghancurkan benda berjari-jari setengah 

lingkaran itu!

Keranda Iblis tersentak tatkala tanah bergelom-

bang ke arahnya. Dia cepat melompat setelah mendo-

rong kerandanya dengan kaki kanannya, yang seketika 

meluncur deras ke arah Raja Naga. Raja Naga yang se-

dang meluruk segera menepak dan memukul benda 

itu.

Praaak! Praaak!

Begitu terhantam, seketika keranda itu berde-

rak dan pecah berhamburan.

Melihat benda kesayangannya dihancurkan 

orang, Keranda Iblis menjadi kalap. Dia menerjang ga-

nas ke depan. Tindakan ini justru membahayakan di-

rinya. Raja Naga sendiri tak punya kesempatan untuk 

berpikir lebih lanjut. Begitu lawan menyerang, ditang-

kisnya dengan tangan kanan kirinya. Dan....

Bukkk!!

"Aaaakhhhh!!"

Keranda Iblis mencelat ke belakang dengan da-

da remuk. Saat terbanting di atas tanah, nyawanya telah putus!

Ratu Tanah Terbuang tersentak melihat keja-

dian yang sangat cepat itu. Dia hendak menyerang, te-

tapi didahului oleh Ratu Sejuta Setan yang menerjang 

sambil menyeret tubuh Nimas Ardini. Bahkan dilem-

parnya tubuh Nimas Ardini ke depan yang dengan ce-

pat ditangkap oleh Raja Naga! Bersamaan dengan itu, 

anak muda berompi ungu ini segera membuang tubuh 

ke samping kanan!

Serangan Ratu Sejuta Setan hanya mengenai 

angin belaka. Raja Naga bersiap sambil memegang 

tangan Nimas Ardini yang lemas. Tetapi di luar du-

gaannya, Ratu Sejuta Setan tak meneruskan seran-

gannya.

Ratu Tanah Terbuang juga keheranan melihat 

tindakan yang dilakukan gurunya.

"Guru...," desisnya.

Ratu Sejuta Setan melirik tajam, tetapi tak ber-

kata apa-apa.

Raja Naga cepat-cepat mengalirkan tenaga da-

lamnya pada Nimas Ardini sementara kedua matanya 

bersiaga ke arah kedua lawannya yang memandang 

sengit.

Bersamaan dia selesai mengalirkan tenaga da-

lamnya, terdengar satu suara, "Kirana! Nampaknya ki-

ta terlambat untuk ikut meramaikan urusan ini! Tetapi 

yah... paling tidak kita masih punya kesempatan un-

tuk ikut!!"

Masing-masing orang segera mengarahkan 

pandangannya ke arah suara itu. Tak lama kemudian, 

muncul dua sosok tubuh dari balik ranggasan semak.

Melihat siapa yang muncul, Ratu Sejuta Setan 

mendelik.

"Celaka! Rencanaku bisa gagal!"


Salah seorang dari kedua orang yang baru da-

tang itu berseru lagi, "Kita berjumpa lagi, Ratu Sejuta 

Setan! Hemm.... Kirana... apakah gadis itu yang berju-

luk Ratu Tanah Terbuang?"

Gadis yang di punggungnya terdapat sepasang 

pedang bersilangan memandang tak berkedip pada Ra-

tu Tanah Terbuang yang menatapnya penuh kemara-

han.

Kidang Gerhana berkata lagi, "Waduh, waduh! 

Apa yang sebenarnya terjadi?" Pandangannya diarah-

kan pada Nimas Ardini yang kelihatan sedikit tegang 

sekarang. "Heran! Mengapa kau tahu-tahu berada di 

sini, Nyi Lara Ati?!"

Mendengar orang memanggil lain pada Nimas 

Ardini, seketika Raja Naga memandangnya. Baru saja 

dilakukannya, Nimas Ardini sudah menyerangnya den-

gan cepat!

Bukhkk!!

Jotosannya telak menghantam pinggang Raja 

Naga yang tergontai-gontai ke belakang!



SEPULUH



KALAU sebelumnya Nimas Ardini kelihatan le-

mah, kini menjadi garang bukan main. Bahkan dia te-

rus menyerang Raja Naga. Kendati dalam keadaan se-

dikit kesakitan, Raja Naga dapat menghindari serangan 

Nimas Ardini yang tiba-tiba menjadi ganas.

"Gila! Mengapa ini? Apa yang terjadi?!" desis 

Raja Naga sambil terus membuang tubuh. Dalam satu 

kesempatan dia berhasil menjauh, sementara Nimas 

Ardini sudah melenting dan hinggap di samping kanan 

Ratu Sejuta Setan.

Dia langsung berkata, "Keparat! Mengapa tahu-

tahu kakek celaka itu muncul?!"

"Tak perlu kau pikirkan sekarang! Yang penting 

pemuda itu sudah kau hantam!"

"Ya! Tak lama lagi dia akan merasakan ngilu 

pada seluruh tulang belulangnya dan satu hari kemu-

dian akan mampus terkena ilmu 'Pengilu Tulang'!" sa-

hut Nimas Ardini dengan suara dingin.

Di pihak lain, Raja Naga memandang tak ber-

kedip pada Nimas Ardini. Sesaat dia masih merasa ke-

heranan, tetapi di saat lain dia dapat memahami apa 

yang terjadi.

"Hemm... aku telah melakukan kesalahan ru-

panya...."

"Ya! Karena kebodohanmu itulah kau melaku-

kan kesalahan!" sahut Nimas Ardini. 

"Raja Naga... sejak semula aku sudah bersedia 

membantu Ratu Sejuta Setan untuk membunuhmu! 

Dan rencana itu nampaknya mulai menunjukkan ke-

berhasilannya! Aku tidak tahu siapa lelaki yang telah 

mampus sebelumnya dan kuakui sebagai suamiku! 

Bahkan namanya pun ku sebut asal saja! Dengan 

menceritakan kalau Ratu Sejuta Setan yang melaku-

kannya, aku berharap kau mau membantuku! Ternya-

ta semuanya berjalan mulus!"

Sorot mata Raja Naga bertambah angker. Sisik-

sisik coklat pada kedua tangannya sebatas siku lebih 

terang, pertanda dia mulai dirundung amarah.

"Dan tentunya, kaulah yang telah membunuh 

lelaki itu!"

"Siapa lagi?!" sahut Nimas Ardini sambil menye-

ringai. "Dan sayangnya, aku gagal menjerumuskan mu

ke lembah hina di saat kita beristirahat!"

"Terkutuk! Kau telah mengatur semua ru

panya!!"

Nimas Ardini tertawa keras.

Kidang Gerhana berkata, "Aku tidak tahu uru-

san apa yang sebenarnya terjadi! Aku muncul untuk 

meminta pada Ratu Sejuta Setan dan Ratu Tanah Ter-

buang untuk berlalu! Dan tak kusangka kau berada di 

sini, Nyi Lara Ati! Sayangnya, aku masih ingat tam-

pangmu?! Padahal sudah lama kita tidak bertemu."

Nimas Ardini yang sebenarnya bernama Nyi La-

ra Ati menatap tajam pada Kidang Gerhana. Payuda-

ranya sebelah kiri yang terbuka lebar dibiarkan ter-

pampang.

"Aku tak punya urusan denganmu! Kalau seka-

rang kau hendak buka urusan, aku akan menghajar-

mu sekarang juga!"

Kontan dia segera menyerang ke arah Kidang 

Gerhana, ganas dan mengerikan yang dilayani oleh Ki-

dang Gerhana sambil menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

Di pihak lain, Kirana sudah meloloskan kedua 

pedangnya. Pandangannya tajam pada Ratu Tanah 

Terbuang.

"Kita berjumpa lagi sekarang! Dan tibalah saat-

nya bagiku untuk membayar kekalahan ku dulu!"

Ratu Tanah Terbuang mendengus.

"Kau bukanlah tandinganku!"

Kirana tahu kalau dia memang bukan tandin-

gan Ratu Tanah Terbuang. Tetapi kemarahannya su-

dah tak bisa dibendung lagi. Murid mendiang Pendekar 

Kencana ini sudah menerjang ke arah Ratu Tanah Ter-

buang. Kedua pedangnya dikibaskan yang seketika 

terdengar suara angin membeset menggidikkan.

Sementara itu, Ratu Sejuta Setan diam-diam 

membatin sambil memandang Raja Naga yang mulai


agak limbung.

"Hemm... inilah kesempatan yang kutunggu!"

Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, pe-

rempuan kontet itu menerjang ke arah Raja Naga. 

Yang diserang tersentak. Dia berusaha untuk mena-

han serangan itu. Tetapi baru saja tangannya hendak 

digerakkan, seketika itu pula dirasakan ngilu pada se-

kujur tubuhnya. Akibatnya.... 

Desss!!

Jotosan tangan kanan kiri Ratu Sejuta Setan 

telah menghantam dadanya yang membuatnya tergon-

tai-gontai ke belakang. Raja Naga berusaha untuk 

mempertahankan keseimbangannya. Sepasang ma-

tanya kian bersorot angker, mengerikan. Sisik-sisik 

coklat pada kedua tangannya semakin kentara. Tetapi 

satu tendangan membuatnya tersungkur telungkup!

Melihat keadaan Raja Naga yang sudah tak 

berdaya akibat ilmu 'Pengilu Tulang' milik Nyi Lara Ati, 

dengan penuh bernafsu Ratu Sejuta Setan menerjang 

dengan kedua kaki yang siap menjejak patah tulang 

punggung Raja Naga!

"Tibalah pembalasan yang telah lama ku nan-

ti!!" Tubuhnya saat itu pula mumbul ke udara. Dengan 

kedua kaki yang siap menghantam punggung Raja Na-

ga, perempuan kontet itu meluncur deras. Namun se-

suatu yang mengejutkan terjadi!

Karena secara tiba-tiba melesat satu bayangan 

berbentuk naga hijau. Lesatannya sedemikian cepat 

dan tiba-tiba. Ratu Sejuta Setan sesaat melengak. Se-

belum dia menyadari apa yang terjadi, naga hijau itu 

telah melabraknya dengan ganas!

"Aaaakhhhh!!" perempuan kontet itu terlempar 

deras ke belakang. 

Braaak!


Punggungnya telak menghantam sebuah pohon 

yang sesaat bergetar. Tubuhnya terpental lagi ke depan 

dan ambruk di atas tanah dengan darah muncrat dari 

mulut. Dia menggeliat sejenak sebelum kemudian pu-

tus nyawanya.

Melihat nasib yang menimpa Ratu Sejuta Setan, 

Ratu Tanah Terbuang yang sedang mendesak Kirana 

berteriak tertahan, "Guruuuu!!"

Kejap itu pula dia melompat ke arah mayat gu-

runya. Kemarahannya seketika membludak tinggi. 

Pandangannya tak berkedip pada Raja Naga yang per-

lahan-lahan sedang bangkit.

"Keparat! Dulu kau membunuh guruku si Da-

dung Bongkok! Sekarang kau juga membunuh guruku! 

Mampuslah kau. Raja Naga!!"

Bentakan yang keras itu membuat Raja Naga 

menoleh. Wajahnya seketika berubah tatkala melihat 

betapa dekatnya serangan Ratu Tanah Terbuang. En-

tah mengapa saat itu pemuda berompi ungu ini memu-

tuskan untuk tidak menghindar. Dia berharap bila Ra-

tu Tanah Terbuang dapat menyarangkan serangannya, 

maka dendamnya akan terbalas.

Dia hanya berdiri dengan tubuh yang terasa 

ngilu.

Mendadak... 

Wuuuttt!!

Sebuah pedang telah meluncur ke arah tubuh 

Ratu Tanah Terbuang. Dalam kedudukan yang sangat 

sempit itu, Ratu Tanah Terbuang berhasil menyampok 

pedang yang meluncur ke arahnya. Namun pedang lain 

tak bisa dihindarinya.

Claaap...!!

"Aaaakhhh!!"

Tubuh Ratu Tanah Terbuang terbanting di atas


tanah dengan pedang yang menancap pada dadanya. 

"Diaaaahhh!!" seru Raja Naga tercekat. Dia 

memburu. Tetapi ngilu pada tulangnya semakin men-

jadi-jadi. Hingga pemuda itu ambruk. Tetapi dia masih 

berusaha untuk mendekati Diah Harum dengan me-

nyeret tubuhnya sendiri. "Diah.... Diah...."

Diah Harum membuka kedua matanya. Siratan 

duka tersimpan di sana. Di pihak lain, Kirana yang 

melemparkan kedua pedangnya tadi, jatuh terduduk. 

Tenaganya telah terkuras.

"Boma Paksi...," desis Diah Harum terputus-

putus.

"Diah... mengapa... mengapa kau tak mau... 

mendengar... penjelasanku?"

Kalau sebelumnya wajah Ratu Tanah Terbuang 

begitu bengis, kali ini terlihat bibirnya menyungging-

kan senyuman. Raja Naga menggenggam tangan ka-

nannya.

"Boma... maafkan aku...."

"Diah...."

"Aku... aku... tahu... apa yang sebenarnya... 

terjadi.... Tetapi...."

"Diah... jangan banyak bicara dulu. Biar kau...."

Telunjuk tangan kiri si gadis menempel pada 

bibir Boma Paksi.

"Terlambat, Raja Naga... terlambat.... Satu hal 

yang perlu kau ketahui... sesungguhnya... aku... aku 

ingin mengenalmu lebih... dekat...."

"Aku juga memiliki keinginan itu, Diah...."

"Tetapi... sayangnya, semuanya... sudah ter-

lambat...."

Habis ucapannya, kepala Ratu Tanah Terbuang 

terkulai ke samping kiri. Raja Naga hanya memandangi 

dengan perasaan gundah yang luar biasa. Dilihatnya


bibir gadis itu tersenyum.

"Diah...," desis Raja Naga pelan, sebelum jatuh 

pingsan.

Di pihak lain, Nyi Lara Ati tak kuasa untuk me-

nahan gempuran-gempuran hebat dari Kidang Gerha-

na. Serangan cahaya bening yang menebarkan hawa 

panas membuatnya tak bisa bertahan lebih lama. Pe-

rempuan yang telah mencelakakan Raja Naga ini me-

mutuskan untuk meloloskan diri. Dan dia berhasil me-

lakukannya. Kidang Gerhana tidak mengejar. Kakek 

ini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ketika menghindar dan melancarkan serangan-

nya, dia sempat melihat apa yang terjadi. Dan dia tak 

melakukan tindakan apa-apa kecuali memandangi se-

kelilingnya perlahan-lahan.

"Kakek...," terdengar desisan Kirana.

Kidang Gerhana menoleh dan tersenyum.

"Tak perlu menyesali keadaan.... Aku akan 

mencoba untuk menghilangkan pengaruh ilmu 'Pengilu 

Tulang' yang diderita Raja Naga...."

Kirana hanya menganggukkan kepalanya. Lalu 

diperhatikannya Kidang Gerhana yang mendekati Raja Naga....






                                 SELESAI























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive