..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 24 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE DEWA PENGASIH

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit



RINGKASAN EPISODE YANG LALU

(DEWA PENGASIH)

PENYAMARAN RATU DINDING KEMATIAN 

SEBAGAI NIMAS HERNING BERHASIL DIBONG-

KAR OLEH RAJA NAGA KENDATI PEREMPUAN 

ITU TETAP MEMBANTAH. DEWI LEMBAH AIR 

MATA SENDIRI MASIH BELUM PERCAYA PADA 

PENJELASAN RAJA NAGA TENTANG PENYAMA-

RAN RATU DINDING, DAN TETAP MENUNTUT 

RAJA NAGA ADALAH PENCURI BUNGA-BUNGA 

KERAMAT.

RATU DINDING KEMATIAN SENDIRI BER-

HASIL MELOLOSKAN DIRI DENGAN MEMBAWA 

PURWA YANG PINGSAN. AKAN DIJADIKANNYA 

PURWA SEBAGAI SANDERA SEMENTARA DIA 

SENDIRI BERUSAHA UNTUK MERENDAM BUN-

GA-BUNGA KERAMAT UNTUK MEMINUM AIR 

RENDAMANNYA.

SETELAH MEMINUM AIR RENDAMAN 

BUNGA-BUNGA KERAMAT ITU, TIBA-TIBA SAJA 

TUBUHNYA MENTAL KE UDARA, MENJEBOL 

ATAP DINDING BANGUNAN Di MANA DIA BERA-

DA! SESUATU TELAH TERJADI PADA RATU 

DINDING KEMATIAN, SESUATU YANG AKAN DI-

GUNAKAN UNTUK MEMBALAS DENDAM PADA 

ORANG-ORANG YANG DIBENCINYA! TERMA-

SUK... RAJA NAGA!



SATU


PEKIKAN keras yang memecah pagi itu terus 

menggema. Wajah Ratu Dinding Kematian menja-

di pias. Dia berusaha untuk menahan luncuran 

tubuhnya yang siap menghantam tanah!

"Celaka! Apa yang terjadi?! Aku bisa mam-

pus!" serunya panik. Dikerahkan ilmu peringan 

tubuhnya untuk menahan bahkan kalau bisa 

mengubah luncuran tubuhnya. Tetapi luncuran 

deras itu tak bisa ditahannya!

"Mampus aku!!"

Akan tetapi tiba-tiba saja dirasakan kepa-

lanya menghantam sebuah benda yang sangat 

lembut. Belum lagi sadar apa yang terjadi, perem-

puan berpakaian kuning keemasan ini tiba-tiba 

merasakan tubuhnya berputar dua kali di udara. 

Saat itu pula dirasakan kalau dia mampu men-

gendalikan tubuhnya!

Laksana seekor burung, Ratu Dinding Kema-

tian memutar gerakan tubuhnya dan... hup! Den-

gan ringan kedua kakinya kembali menginjak lan-

tai bangunan di mana dia berada.

Untuk beberapa lama Ratu Dinding Kema-

tian terdiam dengan rasa keheranan yang kian 

menggebubu. Diperhatikan sekujur tubuhnya 

yang tak kurang suatu apa. Bahkan dirasakan 

bobot tubuhnya lebih ringan dari sebelumnya. 

Mendadak saja perempuan bertahi lalat tepat 

di tengah keningnya memegang kepalanya yang 

tadi menghantam jebol atap bangunan. Tak ada


rasa nyeri. Bahkan ketika dilihat telapak tangan-

nya tak ada bekas-bekas luka atau noda darah.

"Astaga!" desisnya tertahan. Napasnya tiba-

tiba memburu tegang. "Apakah... apakah semua 

ini... sudah menunjukkan khasiat dari air renda-

man bunga-bunga keramat?"

Tak puas dengan apa yang dirasakannya, 

Ratu Dinding Kematian menjejakkan kakinya di 

atas tanah. Dan... wuuuttt!!

Tubuhnya langsung mencelat ke atas seting-

gi tiga tombak.

"Luar biasa!!" serunya keras seraya memutar 

tubuh ke belakang. Lalu... tap!

Kedua kakinya membentur dinding bangu-

nan. Seiring dengan itu tubuhnya mencelat lagi 

ke depan dan hinggap di atas tanah. Belum lagi 

dikagumi apa yang telah dilakukannya, tiba-tiba 

saja terdengar suara bergemuruh.

Terbelalak Ratu Dinding Kematian menga-

rahkan pandangannya pada dinding di mana tadi 

dijadikan sebagai tempat pantulan!

Dinding itu telah jebol!

Ratu Dinding Kematian terdiam dengan mu-

lut menganga. Dadanya berdebar lebih keras.

"Inilah yang kuharapkan! Inilah yang kuha-

rapkan!!" 

Di lain saat dia sudah melesat keluar ban-

gunan. Dipandangi sekelilingnya. Saat ini mata-

hari telah melewati batas sepenggalah. Sebagian 

sinarnya terhalang oleh dinding-dinding perbuki-

tan yang banyak berada di sana.

Di atas sebuah batu besar, Ratu Dinding

Kematian berdiri tegak. Matanya yang mengedar 

tadi dihentikan, dan diarahkan pada dinding bu-

kit sejarak lima belas tombak dari tempatnya. 

Lama kelamaan sorot tajam terpampang di ma-

tanya. Napasnya sedikit memburu tetapi bibirnya 

menyeringai.

Secara tiba-tiba diputar kedua tangannya ke 

atas, lalu didorong ke arah bukit yang dipan-

dangnya.

Tak ada desir angin yang keluar, tak ada su-

ara yang terdengar. Namun dua tarikan napas 

kemudian, tiba-tiba saja terdengar ledakan yang 

luar biasa kerasnya. 

Buuummm!!

Dinding bukit itu tiba-tiba jebol. Batu-batu 

berpentalan ke sana kemari, menyusul gemuruh 

terdengar keras. Karena sebagian batu bebatuan 

itu meluncur deras! Beberapa buah batu melun-

cur ke arahnya.

Masih terkagum-kagum dengan apa yang di-

lakukannya, Ratu Dinding Kematian kibaskan 

tangan kanannya.

Tiga buah batu besar yang menderu ke 

arahnya tiba-tiba saja berderak dan....

Blaaamm! Blaaamm! Blaaammmi!

Ketiga batu besar itu pecah dan membentuk 

kerikil-kerikil yang berpentalan!

Cukup lama gemuruh dahsyat itu masih ter-

dengar sebelum kemudian keadaan kembali se-

nyap. Dinding bukit yang terhantam tenaga tak 

nampak tadi telah bolong dan mengeluarkan asap 

yang cukup tebal!

Ratu Dinding Kematian masih berdiri di atas 

batu besar itu. Matanya tak berkedip memandang 

pada dinding bukit yang telah jebol. Di lain saat 

tawanya memecah kesunyian tempat itu.

"Tak lama lagi... tak lama lagi akan kukuasai 

semuanya!!"

Setelah beberapa saat berlalu. perempuan je-

lita itu melesat kembali ke dalam bangunan. Di-

angkatnya baki yang kini telah kering airnya.

"Akan kuhancurkan bunga-bunga yang su-

dah tak berguna ini!!"

Tiba-tiba saja jari jemarinya dilebarkan 

dan... tap!

Baki yang berisi bunga-bunga keramat yang 

telah hilang kesaktiannya itu melayang di udara. 

Lalu didorong kedua tangannya.

Des!!

Baki itu melayang ke atas melalui atap yang 

jebol dan jatuh entah di mana.

"Semuanya telah usai sekarang. Tinggal me-

nunggu saat yang tepat. Dan...." Perempuan ini 

memutus kata-katanya sendiri. Bibirnya tahu-

tahu menyeringai lebar. "Mengapa harus mem-

buang kesempatan? Kepenatan ini bisa kule-

paskan dengan segera! Kenikmatan harus kuca-

pai sekarang! Purwa! Ya! Purwa dapat kujadikan 

sebagai tempat pelampiasanku untuk mencari 

kenikmatan itu!" 

Dengan seringaian lebar yang masih ber-

tengger di bibirnya dan perasaan puas karena te-

lah berhasil mendapatkan kesaktian dari bunga-

bunga keramat, Ratu Dinding Kematian melompat

dari batu besar itu dan melangkah ke kamar yang 

terdapat di dalam bangunan itu. Saat melangkah, 

dia seperti tak menginjak bumi, begitu ringan dan 

seolah melayang.

Di dalam kamar itu terbaring Purwa yang 

masih pingsan. Setelah mendapat hajaran dari 

Raja Naga, lelaki berpakaian biru terbuka di dada 

itu jatuh pingsan, yang kemudian dibawa oleh Ra-

tu Dinding Kematian saat meloloskan diri. Sebe-

lumnya Purwa sudah hampir siuman, tetapi Ratu 

Dinding Kematian telah menotoknya lagi di saat 

dia hendak melakukan kegiatan untuk menda-

patkan kesaktian dari bunga-bunga keramat.

Diperhatikannya wajah tampan yang pingsan 

itu. Lalu pelan-pelan dibuka totokan yang sebe-

lumnya dilakukan. Tubuh Purwa mengejut se-

saat. Menyusul Ratu Dinding Kematian menekan 

dada Purwa dan mengalirkan tenaga dalamnya.

Tiga kejapan mata berikut, Purwa terbatuk-

batuk.

"Bangun, Sayang... bangun...," desis Ratu 

Dinding Kematian seraya membelai-belai pipi 

Purwa.

Sesaat Purwa merasakan getaran halus dan 

napas sedikit panas di pipinya. Di lain saat begitu 

sadar sepenuhnya, Purwa bangkit seketika den-

gan kedua tangan bersiaga.

"Mana? Di mana pemuda bersisik itu?!" se-

runya keras dengan mata berkeliling.

Ratu Dinding Kematian tersenyum.

"Siapa yang kau cari, Purwa?" panggilnya da-

ri atas tempat tidur yang lembut.

Seketika Purwa menoleh, kejap lain diperha-

tikan sekelilingnya. Lelaki penuh cambang ini 

mengerutkan keningnya sambil memandang 

kembali pada Ratu Dinding Kematian.

"Nimas... di mana kita?"

Ratu Dinding Kematian yang dikenal Purwa 

bernama Nimas Herning tersenyum.

"Tak usah kau pikirkan di mana sekarang ki-

ta berada. Yang harus kau pikirkan, justru apa 

yang sebentar lagi akan kita lakukan...."

"Tapi... tapi...."

Ratu Dinding Kematian menarik lembut tan-

gan lelaki itu.

"Kita berada di tempat yang aman. Dan un-

tuk sementara, kita lupakan dulu Raja Naga...."

Masih sedikit keheranan murid Dewa Segala 

Dewa itu mengikuti tarikan lembut Ratu Dinding 

Kematian. Dia masih memikirkan apa yang sebe-

narnya terjadi di saat Ratu Dinding Kematian mu-

lai mencumbunya.

Pelan-pelan kecupan-kecupan kecil di sekitar 

leher dan bibir Purwa, membangkitkan kejanta-

nan lelaki itu. Walaupun demikian Purwa masih 

berkata,

"Nimas... apakah kau berhasil membunuh 

Raja Naga?"

"Tidak usah kau pikirkan dulu. Tak lama lagi 

kita akan membunuhnya...." 

"Tetapi...."

Kata-kata Purwa terhenti, karena bibir me-

rah yang basah itu telah menyumbat bibirnya. 

Purwa merasakan gerakan lembut pada bibirnya

dan menyusup masuk ke dalam mulutnya. Dira-

sakan lidahnya dikilik-kilik benda lembut yang 

sangat halus.

"Kita sudahi dulu memikirkan Raja Naga. Ki-

ta gunakan kesempatan ini untuk bersenang-

senang...." desah Ratu Dinding Kematian sambil 

berdiri berlutut. Lalu dengan gerakan erotis, di-

bukanya pakaiannya sendiri. Gerakannya itu dis-

ertai dengan desisan-desisan penuh rangsangan. 

Lalu diremas-remasnya payudaranya sendiri yang 

telah terbebas dari belenggu pakaian yang dike-

nakannya. 

Melihat apa yang dilakukan perempuan jelita 

di hadapannya, Purwa sendiri akhirnya terbakar 

oleh gairahnya. Kalau tadi dia masih agak mera-

gu, kali ini dia tak mempedulikan lagi apa yang 

dipikirkannya. Yang ada sekarang, adalah me-

nikmati tubuh montok di hadapannya.

Sedikit kasar tangan kanan kirinya menja-

mah meremas-remas payudara montok yang mu-

lus itu. Si pemilik payudara terkikik. Kikikannya 

lebih liar ketika Purwa membungkuk dan meng-

hisap-hisap ujung payudara yang mulai mene-

gang itu.

"Ya, ya... betul... Lakukan terus, Purwa... 

Lakukan...," desah Ratu Dinding Kematian sambil 

membukai pakaian Purwa.

Purwa semakin menggila. Lelaki yang tidak 

tahu kalau dia sudah masuk perangkap birahi

Ratu Dinding Kematian semakin liar ketika pe-

rempuan itu merebahkan tubuhnya. Lalu meng-

geliat lembut seraya membuka pakaian bagian

bawahnya.

"Ayo, Purwa... kita arungi lagi keindahan 

ini...," desahnya seraya membuka kedua kakinya 

lebar-lebar.

Mata Purwa tak berkedip memandang benda 

yang masih terbungkus kain merah jambu.

"Tubuhku bukan untuk dipandangi saja, 

Purwa...," desah Ratu Dinding Kematian. Gairah 

telah membakar dirinya pula. Saat ini yang diin-

ginkan memang untuk mencari kesenangan terle-

bih dulu sebelum menjalankan rencananya.

Purwa sendiri segera bergerak. Tangannya 

menekan-nekan benda yang masih terbungkus 

kain berwarna merah jambu itu. Di lain saat, se-

dikit gemetar diturunkannya sisa kain yang masih 

melekat pada tubuh Ratu Dinding Kematian. Ma-

tanya menjadi nanar melihat bagian bawah perut 

perempuan itu yang sudah membuka lebar. Na-

pasnya bertambah memburu.

"Ayo, Purwa... ayo...!" seru Ratu Dinding Ke-

matian seraya meraih leher Purwa.

Purwa sendiri segera menyergap bibir meme-

rah itu, lalu turun ke leher dan hinggap lebih la-

ma di atas bukit kembar yang ranum. Mengecu-

pinya bergantian sementara tangan kanannya si-

buk meraba-raba bagian di bawah perut Ratu 

Dinding Kematian yang menggeliat-geliat diiringi 

dengusan napas liar.

Tiga kejapan mata kemudian, Purwa sudah 

memasuki tubuhnya dengan gerakan pelan dan 

tiba-tiba menyentak. Gerakan-gerakan yang ke-

mudian dilakukan lelaki itu sangat liar, sementa

ra di bawahnya Ratu Dinding Kematian terus 

memutar dan menggerak-gerakkan pinggulnya.

Jeritan lirih dari mulutnya berulang kali ter-

dengar seiring dengusan napas Purwa yang se-

makin memburu. 

"Lebih cepat. Purwa! Cepat! Ya, ya begitu! Ya! 

Ya! Tekan! Tekan sesekali!!" teriakan-teriakan me-

racau dari mulut perempuan mesum itu terus 

terdengar.

Tempat yang sunyi, matahari yang semakin 

meninggi, menjadi saksi bisu dari perbuatan ke-

dua anak manusia yang sudah diamuk birahi.



DUA


PADA saat yang bersamaan, di sebuah tem-

pat yang sepi dan hanya ditumbuhi beberapa po-

hon, Raja Naga memandang tak berkedip pada 

perempuan berpakaian biru keemasan di hada-

pannya. Dari balik cadar sutera yang dikenakan 

perempuan itu, pemuda bersisik coklat pada len-

gan kanan kiri sebatas siku, melihat senyuman-

nya.

"Tadi kukatakan, kalau kau tentunya sudah 

mendengar julukanku, bukan?"

Untuk beberapa lamanya murid Dewa Naga 

yang memiliki mata angker ini terdiam sebelum 

mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ya... aku memang pernah mendengar ten-

tang dirimu...," katanya pelan.

Perempuan beranting dan bergelang indah

tersenyum.

"Mudah-mudahan kau mendengar sesuatu 

yang baik tentang diriku...."

"Bahkan sesuatu yang sangat berguna sekali 

bagiku, Ratu Tanah Kayangan...," kata Raja Naga. 

Lalu katanya lagi, "Aku telah mendengar dirimu 

dari mulut muridmu sendiri...."

"Oh! Kau sudah berjumpa dengan murid-

ku?!"

"Ya! Aku sudah berjumpa dengan Puspa De-

wi!"

"Saat ini Puspa Dewi sedang kuperintahkan 

untuk mendatangi Daerah Tak Bertuan untuk 

menjumpai Dewa Segala Dewa. Anak muda be-

rompi ungu, kapan kau berjumpa dengannya?"

Raja Naga yang sedang melacak jejak Ratu 

Dinding Kematian ini tak segera menjawab. Dia 

sama sekali tak menyangka akan berjumpa den-

gan Ratu Tanah Kayangan (Baca: "Ratu Dinding 

Kematian). Kemudian diceritakannya pertemuan-

nya dengan Puspa Dewi (Baca: "Terjebak di Ge-

lombang Maut"). "Puspa Dewi sedang menuju ke 

Daerah Tak Bertuan...," katanya di akhir ceri-

tanya.

"Syukurlah kalau dia dalam keadaan baik-

baik," sahut Ratu Tanah Kayangan yang sebe-

lumnya sudah mendengar penyelamatan yang di-

lakukan oleh Raja Naga terhadap muridnya. Bah-

kan dari mulut dua lelaki yang ingin memperma-

lukan muridnya (Baca: "Ratu Dinding Kematian"). 

Lalu katanya dalam hati, "Bila ternyata keadaan-

nya seperti ini, perintah yang kuberikan pada

Puspa Dewi sudah tak ada gunanya. Karena su-

dah barang tentu Tiga Penguasa Bumi, terutama 

Dewa Segala Dewa telah mengetahui urusan pen-

curian bunga-bunga keramat. Aku tak bisa me-

nyalahkan Puspa Dewi yang terlambat tiba di 

Daerah Tak Bertuan untuk mengabarkan apa 

yang akan dilakukan oleh Ratu Dinding Kema-

tian."

Perempuan jelita bercadar sutera ini melan-

jutkan ucapannya, "Aku telah berjumpa dengan 

Setan Gundul Hutan Larangan. Dan aku terpaksa 

membunuh Jodro Kliwing." 

Raja Naga memandang tak berkedip.

"Kau mengatakan telah membunuh Jodro 

Kliwing, berarti Cokro Kliwing selamat?"

"Ya. Aku memang tak ingin membunuh sia-

pa-siapa. Kalaupun kubunuh Jodro Kliwing kare-

na aku melakukan tindakan penyelamatan diri. 

Raja Naga... sebelum ini aku telah berjumpa den-

gan Dewa Seribu Mata." 

"Ratu... aku pun telah berjumpa dengannya 

Dan terpaksa aku mengelabuinya tentang siapa 

diriku ini."

Ratu Tanah Kayangan mengangguk-angguk.

"Tindakan yang kau lakukan sangat tepat 

Karena bila tidak, tak mustahil Dewa Seribu Mata 

akan turunkan tangan padamu."

Raja Naga ganti mengangguk.

"Ya Seperti halnya yang telah dilakukan oleh

Dewi Lembah Air Mata. Masih beruntung kalau 

kemudian Dewi Lembah Air Mata mulai menyada-

ri siapa pencuri bunga-bunga keramat sesungguhnya. Hanya sayangnya, Ratu Dinding Kema-

tian berhasil meloloskan diri...."

Ratu Tanah Kayangan tak menjawab. Dari 

balik cadar sutera yang dikenakannya dipandan-

ginya pemuda di hadapannya.

"Pemuda ini berparas tampan dan bertubuh 

tegap. Sebagai murid Dewa Naga tentu ilmu yang 

dimilikinya tak bisa dipandang sebelah mata. Dan 

matanya... ya, matanyalah yang sangat mengeri-

kan di samping sisik-sisik coklat pada kedua tan-

gannya sebatas siku. Ah... sesungguhnya, dia 

sangat cocok bila menjadi pasangan Puspa De-

wi...." 

Karena perempuan di hadapannya tak ber-

kata-kata, Raja Naga berucap, "Apa yang kau pi-

kirkan sekarang, Ratu?"

Ratu Tanah Kayangan tersenyum.

Dia tidak mengutarakan apa yang dipikir-

kannya. Malah dia berkata, "Pada Dewa Seribu 

Mata telah kukatakan, kalau sesungguhnya bu-

kan kaulah yang telah melakukan serangkaian 

pencurian, melainkan Ratu Dinding Kematian."

Raja Naga membiarkan perempuan itu terus 

berkata-kata.

"Tindakan yang dilakukan Ratu Dinding Ke-

matian erat hubungannya dengan diriku. Mung-

kin Puspa Dewi telah menceritakan kejadian pahit 

yang kualami di Tanah Kayangan. Karena itulah 

kemudian kuperintahkan padanya untuk menga-

barkan apa yang akan dilakukan Ratu Dinding 

Kematian pada Dewa Segala Dewa. Aku juga ter-

paksa meninggalkan Tanah Kayangan dan beberapa orang yang setia terhadapku."

Raja Naga tak menyahut. Matanya lekat pa-

da mata Ratu Tanah Kayangan.

"Ratu... aku teringat akan sesuatu."

"Katakanlah...."

"Apakah... apakah kau orangnya yang bera-

da di dalam tandu warna biru yang sangat indah, 

yang pernah kulihat beberapa hari lalu?"

Ratu Tanah Kayangan tersenyum dan men-

gangguk.

"Kau benar! Tetapi aku sama sekali tak men-

getahui kalau kau melihat iringan tanduku."

"Yang kau maksudkan dengan orang-orang 

setia itu tentunya orang-orang yang menggotong 

tandu dan mengiringimu, bukan?"

"Sekali lagi kau benar! Aku tak bisa mem-

biarkan mereka terus menerus bersamaku kenda-

ti mereka berkeras hati untuk tetap bersamaku. 

Terpaksa hal itu kulakukan, mengingat bahaya 

yang mengancam diri mereka. Ratu Dinding Ke-

matian menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma 

yang kumiliki dan dia memutuskan untuk men-

curi bunga-bunga keramat agar ilmunya bertam-

bah. Itu sudah cukup bagiku membayangkan ka-

lau bahaya akan menghadang orang-orang setia-

ku. Dan sekarang... nampaknya Ratu Dinding 

Kematian telah berhasil mendapatkan bunga-

bunga keramat itu."

Raja Naga mengangguk.

"Kau betul. Ratu. Tak kusangsikan kalau Ra-

tu Dinding Kematian telah mendapatkan seluruh 

bunga-bunga keramat. Mengingat ketika pertama

kali aku berjumpa dengan Purwa dan Sibarani 

yang menuduhku telah mencuri Bunga Kecubung 

Putih dan Bunga Anggrek Biru, mereka berkata 

kalau empat bunga keramat lainnya telah dicuri 

orang. Dan tinggal Bunga Matahari Jingga saja. 

Tetapi aku pun yakin kalau bunga itu telah ber-

hasil didapatkan oleh Ratu Dinding Kematian."

"Dan itu pertanda buruk!" suara Ratu Tanah 

Kayangan sedikit bergetar.

"Seburuk apa pun yang akan terjadi, aku 

akan tetap menangkapnya. Dia harus kuha-

dapkan pada Tiga Penguasa Bumi, untuk mem-

bersihkan namaku yang telah coreng moreng."

Perempuan bercadar itu mengangguk-

angguk.

"Keadaan memang sukar dikendalikan seka-

rang. Ratu Dinding Kematian tentunya akan me-

rajalela."

"Sebagai saudara seperguruannya, tahukah 

kau di mana perempuan itu tinggal?"

"Dinding Kematian...," sahut Ratu Tanah 

Kayangan seraya mengangguk. "Dia tinggal di 

Dinding Kematian. Tetapi, apakah dia berada di 

sana mengingat kalau tindakannya telah diketa-

hui? Menurut penilaianku, Ratu Dinding Kema-

tian tidak berada di sana...."

"Kalau begitu... apakah kau punya satu piki-

ran lain di mana dia berada?"

Ratu Tanah Kayangan tak menjawab. Ma-

tanya dibawa ke kejauhan, menatap hamparan 

padi menguning.

"Sesungguhnya perempuan itu memiliki hati

yang lembut. Namun sayang, mempunyai sifat se-

rakah. Semenjak sama-sama menjadi murid Dewa 

Pengasih, dia selalu membangkang dan tidak me-

rasa puas. Bahkan dia pernah menuntut pada 

Guru, kalau Guru tidak menurunkan seluruh il-

mu yang dimilikinya kepada kami. Tetapi Guru 

memang berjiwa pengasih. Dia tidak gusar ditun-

tut seperti itu, bahkan menyerahkan dua buah ki-

tab kepada kami. Kitab Ajian Selaksa Sukma di-

berikannya kepadaku dan Kitab Ajian Selaksa Ji-

wa diberikannya pada Ratu Dinding Kematian. 

Tetapi sayang...."

Perempuan jelita itu menggeleng-gelengkan 

kepalanya, hingga cadar sutera yang dikenakan-

nya bergerak. Raja Naga sempat melihat betapa 

halus kulit pada wajah jelita itu.

"Dia tetap tidak merasa puas. Bahkan men-

coba merebut Kitab Ajian Selaksa Sukma dari 

tanganku." Ratu Tanah Kayangan menoleh. "Raja 

Naga... kalau kau tanyakan di mana kemungki-

nannya dia berada selain di Dinding Kematian, 

mungkin dia berada di Hutan Laknat."

Kening pemuda bermata angker itu berkerut.

"Hutan Laknat? Di manakah tempat itu? 

Dan mengapa dia berada di sana?"

"Tempat itu sangat jauh dari sini. Dan ka-

laupun dia memang berada di sana, tentunya dia 

menjumpai Bancak Bengek."

"Ratu... jelaskan padaku tentang Bancak 

Bengek."

"Bancak Bengek adalah seorang dukun ilmu 

hitam yang memiliki ilmu-ilmu aneh dan mengerikan. Sejak lama dia selalu bermusuhan dengan 

guruku; Dewa Pengasih. Tetapi dia tak berani un-

tuk menantangnya terang-terangan karena bebe-

rapa kali telah dikalahkan oleh Guru."

"Lantas bagaimana bisa Ratu Dinding Kema-

tian berhubungan dengannya?"

"Itulah yang tidak pernah kumengerti."

"Dan kau menduga dia berada di sana?"

"Kebenaran akan dugaan itu sangat kecil. 

Tetapi tidak ada salahnya bila kita menyelidik ke 

sana...."

Raja Naga terdiam. Matanya yang angker 

memandang ke kejauhan pula. Diam-diam murid 

Dewa Naga yang berkuncir kuda ini membatin, 

"Bila memang dugaan Ratu Tanah Kayangan be-

nar, berarti ada lagi seorang lawan yang patut di-

perhitungkan. Bancak Bengek. Namanya sungguh 

aneh. Seorang dukun ilmu hitam. Ah... mau tak 

mau aku memang harus ke sana."

Selagi Raja Naga membatin, Ratu Tanah 

Kayangan berkata, "Hutan Laknat adalah sebuah 

tempat yang penuh dengan jebakan. Jangankan 

orang yang baru menginjak tempat itu, orang 

yang telah sering ke sana pun masih bisa pula 

terjebak."

"Kau tahu bagaimana caranya untuk tiba di 

sana dengan selamat?"

Ratu Tanah Kayangan menggeleng.

"Kecuali Bancak Bengek sendiri dan Ratu 

Dinding Kematian, tak seorang pun yang bisa se-

lamat tiba di sana...."

Anak muda dari Lembah Naga itu terdiam.

Matanya tetap bersorot angker mengerikan. Sisik-

sisik yang memenuhi kedua lengannya sebatas 

siku sedikit lebih kentara.

Ratu Tanah Kayangan membatin, "Apa yang 

sedang dihadapi oleh pemuda ini memang sesua-

tu yang sulit. Dia sama sekali tak punya hubun-

gan dengan urusan ini sebenarnya. Tetapi na-

manya telah tercemar akibat tindakan Ratu Dind-

ing Kematian."

Raja Naga berkata, "Ratu Tanah Kayangan... 

kupikir, kita sudahi saja pertemuan ini. Tolong 

berikan petunjuk padaku arah mana yang harus 

kutempuh untuk tiba di Hutan Laknat?"

Ratu Tanah Kayangan tersenyum.

"Anak muda.... Ratu Dinding Kematian juga 

menginginkan nyawaku. Dan aku tak ingin nya-

waku lepas begitu saja. Juga, aku tak ingin meli-

hatnya melakukan tindakan makar di rimba per-

silatan. Bila kau tak berkeberatan, bagaimana bi-

la kita bersama-sama ke Hutan Laknat?"

Usul yang diberikan Ratu Tanah Kayangan 

sebenarnya memang sukar untuk ditolak. Karena 

dengan begitu berarti akan mendapatkan tamba-

han tenaga untuk menghadapi Ratu Dinding Ke-

matian yang kemungkinan besar bergabung den-

gan Bancak Bengek. Apalagi bila dibayangkan ka-

lau perempuan itu telah berhasil meminum air 

rendaman bunga-bunga keramat.

Tetapi Raja Naga justru menggelengkan ke-

palanya.

"Kita masih sama-sama menduga kebenaran 

tentang Ratu Dinding Kematian yang berada di

Hutan Laknat. Dan dugaan ini tentu juga bisa sa-

lah. Ratu Tanah Kayangan... apakah tidak se-

baiknya biar aku yang ke Hutan Laknat sementa-

ra kau dapat melacak jejak Ratu Dinding Kema-

tian di tempat lain?"

"Hemm... dari kata-katanya itu, aku tahu ka-

lau sebenarnya dia enggan untuk melangkah ber-

samaku. Dan itu dapat kumaklumi karena ten-

tunya dia hendak menuntaskan urusan sendiri. 

Yah... memang benar apa yang dikatakannya, ka-

rena belum tentu Ratu Dinding Kematian berada 

di Hutan Laknat."

Habis membatin demikian, Ratu Tanah 

Kayangan berkata, "Pergilah terus ke arah timur. 

Dari tempat ini kau akan menempuh perjalanan 

selama satu hari satu malam. Itu pun bila tidak 

ada halang rintang yang mengganggumu."

Raja Naga segera merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada.

"Ratu... apa yang kau lakukan padaku ini, 

tak akan pernah kulupakan. Dan aku bersyukur 

berjumpa dengan orang yang mengetahui kebena-

ran tentang siapa pelaku pencurian bunga-bunga 

keramat itu. Baiklah... aku berangkat sekarang."

"Tunggu! Raja Naga... kalau sebelumnya kau 

dapat mempercundangi Ratu Dinding Kematian, 

kemungkinan besar saat ini kau akan mengalami 

kesulitan. Juga kau akan mendapatkan kesulitan 

bila ternyata dia memang telah bergabung dengan 

Bancak Bengek!"

Raja Naga tersenyum.

"Aku dapat memahami keadaan itu. Dan se

berat apa pun yang akan kuhadapi, aku akan te-

tap berusaha untuk menangkapnya!" 

"Berhati-hatilah!"

Raja Naga segera berlalu ke arah yang dika-

takan oleh Ratu Tanah Kayangan. Perasaan anak 

muda ini sesungguhnya sedikit cemas. Tetapi se-

mua itu ditindihnya dengan satu harapan yang 

ada di benaknya. Dia harus tuntaskan urusan ini 

apa pun risikonya.

Sepeninggal Raja Naga, perempuan bercadar 

sutera itu menarik napas pendek.

"Ah, bila saja Puspa Dewi tidak terlambat 

untuk mengabarkan apa yang akan dilakukan 

Ratu Dinding Kematian pada Dewa Segala Dewa, 

mungkin anak muda dari Lembah Naga itu tak 

akan mengalami urusan seperti itu. Tetapi, aku 

memaklumi mengapa Puspa Dewi sampai terlam-

bat, karena dia sendiri belum pernah ke Daerah 

Tak Bertuan...."

Untuk beberapa lama perempuan bercadar 

sutera ini tak buka mulut. Angin yang masih te-

rasa dingin kendati saat ini matahari terus beran-

jak menggerak-gerakkan cadar sutera yang dike-

nakannya. Wajahnya sedikit terbelai lembut oleh 

sang bayu.

Ratu Tanah Kayangan menarik napas pen-

dek.

"Mudah-mudahan perjalanan Puspa Dewi ke 

Daerah Tak Bertuan tak mendapat halang rin-

tang. Dengan begitu aku bisa sedikit tenang un-

tuk mencari Ratu Dinding Kematian...."

Perempuan ini memandangi sekitarnya seje

nak sebelum mendesis, "Aku tak boleh mem-

buang waktu...."

Setelah menarik napas pendek, Ratu Tanah 

Kayangan segera berkelebat ke arah yang ditem-

puh oleh Raja Naga.



TIGA


KAU masih belum dapat bicara juga, hingga 

aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" ka-

ta-kata yang berkesan menggerutu itu terdengar 

dari sebuah tempat yang sepi. Gemuruh air sun-

gai samar-samar terdengar. "Sibarani! Bagaimana 

caranya kau dapat menjelaskan semuanya?!"

Perempuan berpakaian merah dengan pa-

kaian dalam warna hijau itu menundukkan kepa-

lanya. Dihela napasnya sebelum kemudian diang-

kat kepalanya. Matanya mengerjap-ngerjap saat 

memandang si nenek berkonde hijau yang berdiri 

di hadapannya.

Si nenek mendengus.

"Aku tak bisa mengartikan tatapanmu, Siba-

rani! Jalan satu-satunya kita memang harus 

mencari perempuan yang dikatakan oleh Raja Na-

ga adalah Ratu Dinding Kematian, sementara pe-

rempuan itu sendiri mengaku bernama Nimas 

Herning!"

Kali ini Sibarani mengangguk-angguk, tanpa 

mengeluarkan suara. Tetapi wajahnya berseri-

seri. Apa yang telah dilakukan oleh Ratu Dinding 

Kematian yang sebelumnya mengaku bernama

Nimas Herning ini membuat Sibarani sangat ge-

ram. Terutama bila mengingat bagaimana Purwa 

kemudian membela perempuan itu. Tetapi dimak-

luminya mengapa Purwa justru membela Nimas 

Herning, karena di saat Nimas Herning mencela-

kakannya dan mencabut Bunga Matahari Jingga 

yang sedang mereka jaga, Purwa tidak ada di 

tempat (Untuk mengetahui semua itu, silakan te-

man-teman pembaca membaca episode : "Terje-

bak di Gelombang Maut").

Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air 

Mata ini mendengus.

"Anggukanmu dapat kuartikan kalau kau se-

tuju untuk mencari perempuan yang mengaku 

bernama Nimas Herning itu!"

Sibarani mengangguk-angguk lagi. Ingin se-

kali dia berteriak sekeras-kerasnya, tetapi sua-

ranya tetap tak bisa keluar. 

Dewi Lembah Air Mata berkata, "Hari sudah 

semakin senja. Dan tak lama lagi malam pun 

akan tiba. Sebaiknya kita berangkat!"

Tanpa menunggu jawaban Sibarani, si nenek 

berpakaian hijau itu sudah melangkah mendahu-

lui yang disusul oleh Sibarani. Sambil melangkah 

mengikuti si nenek, Sibarani membatin resah, 

"Kakang Purwa... apa yang terjadi denganmu se-

karang? Kau harus sadar Kang, harus mengerti 

siapa Nimas Herning sesungguhnya...." 

Kedua perempuan berbeda usia ini terus me-

langkah. Menjelang tengah malam Dewi Lembah 

Air Mata berhenti di sebuah tempat yang cukup 

sepi dan hanya sesekali terdengar suara hewan

malam. Sibarani sendiri hanya mengikuti.

Dan ternyata berhentinya si nenek di tempat 

itu bukan dikarenakan tanpa sebab. Sesungguh-

nya dia mendengar suara getaran pada tanah se-

mentara Sibarani belum mendengarnya.

Makanya dia mengerutkan kening ketika 

mendengar dengusan si nenek. Ingin sekali dia 

bertanya ada apa, tetapi suaranya tetap tak ke-

luar.

Justru si nenek yang berkata, "Orang tua 

gemuk yang diperintah Dewa Segala Dewa ke 

Dinding Kematian rupanya yang sedang menuju 

ke sini!"

Sudah tentu kata-kata si nenek semakin 

membuat Sibarani merasa keheranan. Tetapi dia 

hanya bisa menindih rasa ingin tahunya saja ka-

rena tetap tak dapat bersuara.

Namun lima tarikan napas kemudian, baru-

lah didengarnya suara langkah yang sangat berat. 

Juga dirasakannya kalau tanah yang dipijaknya 

bergetar.

"Astaga! Ada apa ini? Siapa yang melangkah 

menimbulkan getaran seperti ini?" Sibarani hanya 

bisa bertanya-tanya dalam hati.

Sementara itu Dewi Lembah Air Mata me-

mandang ke arah kanan, menerobos jalan seta-

pak yang membentang.

"Kita tunggu sampai si Gemuk datang! Aku 

ingin tahu apa yang dialaminya!"

Sibarani tahu kalau kata-kata itu ditujukan 

kepadanya. Tetapi karena tak bisa bersuara dia 

hanya diam saja.

Tak lama kemudian keduanya mulai melihat 

satu sosok tubuh besar sedang melangkah ke 

arah mereka. Langkah orang gemuk itulah yang 

membuat tanah bergetar. Tetapi semakin dekat 

orang gemuk itu dengan mereka, tanak tak lagi 

bergetar.

Sementara Sibarani keheranan, Dewi Lem-

bah Air Mata justru mendengus, "Jalanmu seperti 

keledai mau mampus. Dewa Seribu Mata! Apakah

kau tak bisa mempercepat langkahmu sedikit?!"

Orang gemuk itu tertawa-tawa. Tawanya 

sangat keras, bahkan mengandung satu gelom-

bang yang membuat dedaunan berguguran.

"Gila! Siapa sangka di tempat gelap ini ber-

jumpa denganmu!!" serunya seraya hentikan 

langkah sejarak sepuluh langkah dari hadapan 

Dewi Lembah Air Mata dan Sibarani.

Sebelum Dewi Lembah Air Mata buka mulut, 

kakek gemuk berpakaian hitam yang tak mampu 

menutupi lemak pada tubuhnya sudah berkata, 

"Bukankah dia murid Dewa Segala Dewa yang di-

tugaskan untuk menjaga Bunga Matahari Jingga? 

Astaga! Mengapa berada di sini? Dan ke mana si 

lelaki bernama Purwa?"

"Jangan banyak tanya! Bagaimana dengan 

kerjamu di Dinding Kematian!!"

Orang tua gemuk berkepala bulat itu meng-

gerakkan lehernya yang seperti menyatu dengan 

tubuhnya.

"Aku telah datang ke sana dan tak menjum-

pai penghuninya! Aku juga telah datang ke tem-

pat Bunga Matahari Jingga dan tak menemukan

siapa-siapa di sana, termasuk Bunga Matahari 

Jingga sendiri! Sibarani! Kau sebelumnya berada 

di sana, sebaiknya ceritakan padaku apa yang 

terjadi?!" 

"Dia tidak bisa bersuara!"

Gemuk membelalak.

"Busyet! Dari mana omonganmu itu, Nenek 

peot?! Sejak dia masih kecil aku telah mengeta-

huinya dia pandai bicara!"

Sesungguhnya kalau di hadapan Dewa Sega-

la Dewa, Dewi Lembah Air Mata dan Dewa Seribu 

Mata tak pernah bertengkar. Ini disebabkan kare-

na mereka memandang Dewa Segala Dewa yang 

dijadikan pimpinan dari Tiga Penguasa Bumi. Te-

tapi bila tidak di hadapan Dewa Segala Dewa, me-

reka selalu saja bertengkar. Terkadang pertengka-

ran itu terlalu mengada-ngada. Mungkin itu me-

reka lakukan untuk menutupi perasaan masing-

masing yang sebenarnya, kalau mereka sama-

sama menyukai tetapi tak ada yang mau membu-

ka hati!

Dewi Lembah Air Mata membentak, "Orang 

gemuk! Ditanya balik tanya! Mungkin lidahmu 

sudah terlipat!"

Dewa Seribu Mata tertawa.

"Ya, ya... lidahku sudah terlipat rupanya! 

Apalagi bila lidahmu yang bau itu masuk ke da-

lam lidahku!"

"Tutup mulutmu yang busuk itu!"

"Astaga, Dewi! Mulutku yang busuk atau 

mulutmu?"

"Keparat! Jangan banyak omong! Mengapa

kau berada di sini?!"

"Sekali lagi astaga! Kau bertanya begitu, aku 

juga ingin bertanya yang sama! Huh! Jangan-

jangan sebenarnya kita berjodoh, Nenek peot!"

"Gila! Berjodoh denganmu? Benar-benar se-

suatu yang gila! Aku lebih baik mati berdiri!"

"Baguslah kau mati berdiri hingga aku masih 

bisa menguburmu! Bagaimana kalau kau mati 

dalam keadaan nungging? Apa tidak repot?!"

Mulut keriput Dewi Lembah Air Mata mem-

bentuk kerucut. Sibarani yang melihat pertengka-

ran itu mengerutkan keningnya,

"Aneh! Mengapa mereka bertengkar, padahal 

di hadapan Guru mereka akur-akur saja?" ka-

tanya dalam hati. Bila saja saat ini dia dapat ber-

bicara, sudah ditanyakannya soal itu.

Lalu didengarnya kata-kata Dewa Seribu Ma-

ta, "Aku punya dugaan lain tentang siapa pencuri 

bunga-bunga keramat sebenarnya! Hei! Kenapa 

kau melotot seperti itu, Peot?!'' 

Dewi Lembah Air Mata menggeram.

"Kakek gemuk seperti kodok bunting! Apa 

kau pikir kau saja yang punya dugaan lain?"

"Astaga! Jadi kau juga sudah menduga se-

perti itu? Gila! Ini pasti gila! Kita jelas-jelas berjo-

doh!"

"Kambing buduk pun tak akan mau berjodoh 

denganmu!"

"Ya, ya... kau benar sekali! Untungnya kau 

bukan kambing buduk, bukan?!"

Memerah wajah Dewi Lembah Air Mata. Di 

pihak lain Sibarani tertawa dalam hati mendengar

kata-kata Dewa Seribu Mata. Dibiarkan saja ke-

dua tokoh aneh itu bertengkar.

Kakek gemuk kelebihan lemak itu berkata 

lagi, "Selama ini kita terpaku pada satu orang saja 

yang kita anggap telah mencuri bunga-bunga ke-

ramat! Padahal ternyata bukan orang itu! Aku ti-

dak menyalahkan laporan dari Sibarani dan Pur-

wa yang mengatakan kalau orang itu yang telah 

melakukan serangkaian pencurian, karena mere-

ka menduga keberadaan orang itu di saat lenyap-

nya Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek 

Biru! Tetapi setelah kukaji lebih dalam, dugaanku 

mengarah pada orang lain!" 

"Siapa?!"

"Busyet! Apakah kau tidak bisa bersabar se-

dikit?!"

Dibentak seperti itu kedua tangan si nenek 

berkonde hijau seperti sudah gatal untuk mela-

brak si kakek gemuk. Tetapi ditindih kejengke-

lannya. 

Dewa Seribu Mata buka suara lagi, "Sebe-

lumnya aku keheranan mengapa Dewa Segala 

Dewa menyuruhku untuk mendatangi Dinding 

Kematian! Tetapi sekarang..."

"Jangan berbelit-belit!" potong si nenek ber-

kain kebaya lusuh.

"Iya, iya!" sepasang mata si kakek gemuk 

melotot gusar. "Kau memang tidak sabaran! Kau 

pasang kedua telingamu yang seiring usiamu se-

makin uzur tentunya sudah sedikit budek! Aku 

menduga kalau pencuri itu adalah salah seorang 

murid Dewa Pengasih yang berjuluk Ratu Dinding

Kematian!"

Dewi Lembah Air Mata menyambut dingin.

"Aku juga menduga seperti itu!"

"Ini benar-benar gila! Gila benar-benar!"

"Apa maksudmu dengan benar-benar gila 

dan gila benar-benar?!"

"Ya, ampun! Ke mana otakmu, Nek? Sudah 

tentu maksudku cuma membalik-balik kalimat!"

Mengkelam wajah Dewi Lembah Air Mata, 

sementara Sibarani mengakak sekeras-kerasnya 

dalam hati. Untuk sesaat dia melupakan apa yang 

sedang dialaminya.

"Kurang ajar!!"

"Ya, ya! Aku memang kurang ajar! Tapi cuma 

sedikit! Kau tak perlu gusar karena sesungguhnya 

kau sendiri yang dungu! Sekarang, bagaimana 

kau bisa mengatakan kalau Ratu Dinding Kema-

tian yang telah mencuri bunga-bunga keramat!"

Kendati hatinya jengkel Dewi Lembah Air 

Mata menceritakan juga (Baca: "Ratu Dinding 

Kematian").

"Nah! Bagus itu! Selama ini kita sudah salah 

orang!" Dewa Seribu Mata memandang Sibarani. 

"Kau sendiri... apakah masih menganggap Raja 

Naga yang melakukannya?"

Sibarani menggeleng.

"Dari pancaran matamu, kau seperti hendak 

terangkan suatu masalah! Cepat kau terangkan, 

terutama mengapa kau tak bisa menjaga Bunga 

Matahari Jingga! Juga... ke mana perginya si 

Purwa?!"

"Gemuk! Apa kau sudah tuli?! Tadi kukata

kan kalau dia tidak bisa bicara!"

Dewa Seribu Mata melongo.

"Jadi sungguhan, nih?"

"Gila! Di dunia ini banyak orang bodoh, teta-

pi tidak sebodoh kau!"

"Aku kan cuma menandaskan saja? Menga-

pa harus sewot?" balas si kakek gemuk santai. 

Lalu berkata pada Sibarani, "Kalau kau tidak bisa 

berkata-kata ya sudah! Nek! Sekarang, apa yang 

akan kau lakukan?!"

"Justru aku bertanya padamu, apa yang 

akan kau lakukan?!" balas Dewi Lembah Air Mata 

melotot.

"Apa yang akan kulakukan? Apa ya?" Dewa 

Seribu Mata mengerutkan keningnya sementara 

telunjuknya menempel pada bibir tebalnya. Lalu 

seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga 

dia berseru, "Bagaimana kalau kau kunikahi?!"

Kepala si nenek seketika menegak. Kedua 

matanya membeliak lebar seolah salah menden-

gar apa yang dikatakan kakek gemuk itu. Sibara-

ni melihat kalau pancaran mata si nenek men-

gandung kebahagiaan. Sempat pula dilihatnya ka-

lau si nenek sedikit tersipu-sipu.

Tetapi begitu mendengar kata-kata Dewa Se-

ribu Mata kemudian, seketika si nenek meradang, 

"Cuma apa untungnya menikahimu, ya? Badan-

mu cuma selebar papan? Dadamu tidak montok 

lagi! Pinggulmu... wah, mungkin cuma tinggal 

kentut saja! Apanya yang bisa kunikmati!"

"Kurang asem! Siapa sudi menikah dengan-

mu, hah?! Tubuh seperti buntalan kentut! Leher

dengan badan tidak bisa dibedakan! Beda kau 

dengan gajah sendiri orang tak bisa membedakan! 

Huh! Hanya orang bodoh yang mau menikah den-

ganmu?!"

"Tetapi kau kan tidak bodoh?!"

"Aku jelas tidak bodoh, dan jelas tidak akan 

mau menikahimu!"

"O... jadi kau tidak mau kunikahi? Ya, su-

dah!" sahut Dewa Seribu Mata berlagak tidak pe-

duli.

Dewi Lembah Air Mata masih mendelik gu-

sar. Padahal sesungguhnya, dia sangat mengha-

rapkan kalau Dewa Seribu Mata mengulangi lagi 

ucapannya tadi. Bahkan kalau mungkin sedikit 

merayunya. Biar bagaimanapun juga telah berpu-

luh tahun dipendam rasa cintanya pada manusia 

gemuk itu, semenjak mereka bergabung menjadi 

Tiga Penguasa Bumi.

Dan dia hanya bisa menelan harapannya sa-

ja ketika tanpa peduli Dewa Seribu Mata berbalik 

dan melangkah.

"Kau mau ke mana?"

"Apa urusannya denganmu aku mau ke ma-

na! Kau tidak mau kunikahi! Lantas buat apa aku 

berada di sini?!" 

Ingin sekali Dewi Lembah Air Mata berteriak 

kalau dia bersedia dinikahi. Tetapi sudah tentu 

dia tidak mau melakukannya. Terlalu menjatuh-

kan harga diri bila dia melakukan tindakan itu. 

Kendati demikian, dia bersedia melakukannya 

demi orang yang dicintainya.

Sibarani sendiri tak menyangka akan men

dengar kata-kata si kakek gemuk. Disadarinya be-

tul walaupun kelihatan main-main tetapi nada 

suara si kakek begitu tandas dan pasti. Sesaat 

Sibarani teringat lagi pada Purwa.

Telah lama dia mencintai kakak sepergu-

ruannya itu dan telah lama pula dia hanya berani 

memendam cintanya saja. Sibarani diam-diam ju-

ga tahu sekarang, kalau kedua tokoh aneh itu se-

benarnya saling mencintai.

Kalau begitu, dia harus dapat membujuk sa-

lah seorang dari mereka agar mau mengalah dan 

mengatasi rasa gengsinya. Dipegangnya segera

tangan Dewi Lembah Air Mata dan digerak-

gerakkannya sambil menunjuk si kakek gemuk 

yang terus melangkah menjauh.

Dewi Lembah Air Mata mengerti apa yang 

dimaksudkan Sibarani. Tetapi dia menggeleng.

"Tidak! Aku tidak sudi mengejarnya!"

Sibarani menyesali mengapa suaranya le-

nyap hingga dia tidak bisa bertindak segera. Tin-

dakan berikut yang dilakukannya hanyalah me-

narik tangan si nenek untuk menyusul Dewa Se-

ribu Mata yang kini telah lenyap dari pandangan.

"Tidak usah! Tidak perlu kau lakukan itu 

padaku! Aku tahu, kalau aku dan dia tidak 

mungkin bersatu!"

Sibarani terus menarik tangan si nenek yang 

tetap tak bergerak.

"Aku memang mencintainya! Tetapi aku ti-

dak tahu apakah dia mencintaiku juga atau ti-

dak!"

"Siapa bilang aku tidak mencintaimu, Peot?!"

seruan itu tiba-tiba terdengar. Tetapi sosok orang 

yang berseru itu belum kelihatan.

Tetapi baik Sibarani maupun Dewi Lembah 

Air Mata tahu kalau itu suara Dewa Seribu Mata. 

Si nenek berkonde hijau membelalak kaget men-

dengarnya.

"Terkutuk! Dia tahu kalau aku mencin-

tainya?!" geramnya dalam hati.

Tahu-tahu melenting satu sosok gemuk dari 

balik ranggasan semak yang sama sekali tak ber-

gerak akibat lentingan tubuh itu. Bahkan tak ada 

suara yang terdengar tatkala sepasang kaki ge-

muk itu hinggap di atas tanah.

Orang gemuk yang muncul dan memang 

Dewa Seribu Mata adanya sudah berkata sambil 

tertawa-tawa, "Kalau aku tidak mencintaimu, 

buat apa aku ingin menikahimu, Peot?!"

Dewi Lembah Air Mata menelan ludahnya 

kaget. Perasaannya tiba-tiba menjadi tidak me-

nentu.

Sibarani bertepuk tangan sambil ber-

jingkrak-jingkrak.


EMPAT


KAKEK kurus tanpa baju itu tertawa sangat 

keras, hingga merentak di tengah malam buta. 

Gema tawanya mengudara hingga ke batas hutan 

yang dipenuhi pepohonan tinggi.

Purwa sesaat bergidik mendengar tawa yang 

menyeramkan itu. Diliriknya perempuan berpakaian kuning keemasan yang sedang tersenyum 

di sampingnya.

"Sudah kuduga kau mengetahui kedatan-

ganku, Bancak Bengek!"

Kakek berambut beriap-riap tak beraturan 

itu belum memutus tawanya. Tulang-tulang yang 

menonjol keluar bergerak-gerak mengikuti gera-

kan tawanya. Mata si kakek celong ke dalam, dan 

memancarkan cahaya hitam, dingin dan kejam. 

Hidungnya bengkok seperti paruh betet. Kumis 

putihnya menjulai ke bawah, hampir sama pan-

jang dengan janggutnya yang jarang.

Di sela-sela tawanya yang keras, kakek be-

rusia sekitar delapan puluh tahun itu berkata, 

"Hanya kau seorang yang dapat tiba di Hutan 

Laknat ini dengan selamat! Bagus! Bagus sekali! 

Tiga kali kudatangi tempat kediamanmu, tetapi 

tak kujumpai kau di sana!"

Ratu Dinding Kematian memperhatikan ka-

kek di hadapannya.

"Manusia satu ini begitu mendendam pada 

guruku. Dan aku tak peduli dia punya urusan 

dendam dengan guruku. Bahkan aku ingin meli-

hatnya bertarung lagi dengan guruku itu," ka-

tanya dalam hati. Sambil tersenyum lebar, dia 

berkata, "Ada urusan apa kau mencariku, Bancak 

Bengek?!"

Kakek bernama Bancak Bengek itu melotot. 

Cahaya hitam yang menghiasi kedua matanya 

seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh sintal 

di hadapannya.

"Urusan apa?! Gila! Kita sudah lama tidak

bertemu! Dan sudah tentu aku sudah kegilaan 

untuk menik...."

"Kini aku sudah datang di hadapanmu," kata 

Ratu Dinding Kematian memutus kata-kata si ka-

kek kurus. Dia tahu apa yang hendak diucapkan 

Bancak Bengek. Bila sekarang ini Purwa tidak be-

rada di sisinya, dia tak peduli apakah Bancak 

Bengek akan mengatakannya beribu kali. Tetapi 

Purwa tidak boleh mengetahui rencananya.

Setelah mendapatkan kepuasan yang dica-

rinya, Ratu Dinding Kematian segera mengajak 

Purwa untuk menuju ke Hutan Laknat. Dikata-

kannya kalau mereka akan meminta bantuan dari 

seseorang bernama Bancak Bengek untuk me-

nangkap dan membunuh Raja Naga. Purwa yang 

hingga saat ini masih menganggap perempuan di 

sebelahnya itu bernama Nimas Herning, hanya 

mengikutinya.

Nasib Purwa memang benar-benar sudah 

sangat tragis. Tanpa sadar dia terus menerus ma-

suk ke jebakan yang diciptakan Ratu Dinding 

Kematian. Terkadang Purwa memang teringat pa-

da Sibarani. Tetapi setiap kali dia teringat pada 

Sibarani, setiap kali pula ditindih ingatannya. 

Bahkan dia mulai membenci Sibarani yang me-

nyerang Nimas Herning ketika Raja Naga berhasil 

mencuri Bunga Matahari Jingga. Purwa tidak ta-

hu, kalau yang didengarnya itu adalah muslihat 

dari Ratu Dinding Kematian.

Ketika memasuki jajaran pepohonan yang 

sangat besar dan menjulang tinggi itu, Ratu Dind-

ing Kematian menjelaskan, setiap kali mereka sudah berjalan dua puluh langkah, maka harus se-

rong dua langkah ke kanan. Begitu seterusnya.

Kendati sedikit merasa heran, tetapi Purwa 

tidak bertanya mengapa mereka harus melangkah 

demikian. Ratu Dinding Kematian sendiri tidak 

mau mengatakan, kalau pada setiap langkah ke-

dua puluh satu di sanalah Bancak Bengek mele-

takkan jebakannya yang mengerikan. Itulah se-

babnya, harus melangkah pada hitungan kedua 

puluh dan serong dua langkah ke kanan sebelum 

melangkah lagi. Kembali pada hitungan kedua 

puluh serong lagi dua langkah ke kanan dan begi-

tu seterusnya.

Dan tiba-tiba saja tawa yang menyeramkan 

menggema keras, hingga membuat masing-

masing orang berhenti melangkah. Kalau Purwa 

seketika bersiaga, Ratu Dinding Kematian justru 

tenang-tenang saja. Karena dia tahu, suara itu 

berasal dari mulut Bancak Bengek.

Bancak Bengek memandang perempuan di 

hadapannya sejenak sebelum melirik Purwa.

"Hemmm... dia sengaja memotong kata-

kataku. Aku tahu apa yang dimaksudnya," ka-

tanya dalam hati. Lalu seraya arahkan lagi pada 

perempuan sintal di hadapannya, si kakek ke-

rempeng berkata, "Sebagai tuan rumah yang baik, 

sudah tentu selayaknya aku menyambut keda-

tangan kalian secara baik-baik. Lelaki muda... 

bersediakah kau berjalan dulu hingga dua puluh 

lima langkah ke muka?"

Purwa tak menjawab. Diliriknya Ratu Dind-

ing Kematian yang berkata, "Ada yang hendak

kubicarakan dengan temanku ini."

Purwa kembali memandang si kakek yang 

sedang berkata, "Di sana kau akan menemukan 

sebuah bangunan kecil yang lumayan nyaman. 

Tunggulah kami di sana. Dan bila kau berkenan... 

hehehe... kau bisa memiliki salah seorang dari ti-

ga orang gadis yang menjadi pelayanku."

Purwa hanya mendengus. Setengah jengkel 

dia segera melangkah. Sepeninggal Purwa, Ban-

cak Bengek langsung menyergap Ratu Dinding 

Kematian.

"Keparat betul kau ini! Kau ingin membua-

tku mati karena tidak menggeluti tubuhmu, 

hah?!"

Ratu Dinding Kematian terkikik. Dibiarkan 

mulut busuk Bancak Bengek menjelajahi wajah-

nya. Dibiarkan pula ketika tangan kurus itu den-

gan kasar membukai seluruh pakaiannya. Kalau 

melayani Purwa, Ratu Dinding Kematian juga 

timbul gairah, tetapi melayani kakek kerempeng 

ini sama sekali dia tak memiliki gairah. Kalaupun 

hal itu dilakukannya, hanya untuk membuat 

Bancak Bengek senang.

Tetapi Bancak Bengek tidak peduli. Perem-

puan itu mau melayaninya atau diam, tetap saja 

dia akan mengejar kenikmatannya sendiri. 

Kini dipacunya tubuh kurusnya di atas tu-

buh polos Ratu Dinding Kematian. Tangan ku-

rusnya meremas-remas sepasang payudara mon-

tok perempuan itu.

Lewat setengah peminuman ten, Bancak 

Bengek berteriak keras seraya menjambak rambut Ratu Dinding Kematian. Dia menekan kuat-

kuat hingga akhirnya terkulai di atas tubuh polos 

itu.

Ratu Dinding Kematian yang tidak merasa-

kan gairah apa-apa segera mendorong tubuh ku-

rus itu. Seraya mengenakan pakaiannya dia ber-

kata, "Aku datang ke sini untuk meminta ban-

tuanmu...."

"Untuk mendapatkan bunga-bunga keramat, 

atau ada urusan lain?" desis Bancak Bengek 

sambil bangkit pula mengenakan pakaiannya.

Sesaat Ratu Dinding Kematian terkejut men-

dengar kata-kata si kakek kurus. Tetapi di lain 

saat dia tertawa. "Rupanya kau memantau kea-

daanku!" 

"Rimba persilatan bukanlah tempat yang da-

pat dijadikan sebagai penyimpan rahasia! Sejak 

kau terus menerus mengutarakan keinginanmu 

untuk mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Sukma 

dari tangan Ratu Tanah Kayangan, aku yakin ka-

lau kau akan melaksanakan keinginanmu itu. 

Dan aku tahu kalau kau gagal mendapatkannya. 

Lalu kau putuskan untuk mendapatkan bunga-

bunga keramat!"

Ratu Dinding Kematian tersenyum.

"Dan tentunya kau tahu urusan apa yang 

sekarang kuhadapi, bukan?"

"Dari pertanyaanmu itu berarti kau sudah 

mendapatkan bunga-bunga keramat!"

"Kau betul!"

"Bahkan kau sudah mendapatkan khasiat-

nya, bukan?!"

Kali ini Ratu Dinding Kematian menggeleng. 

"Belum! Bunga-bunga keramat itu kusembunyi-

kan di tempat yang sangat rahasia!" katanya ber-

dusta. Kali ini sepasang mata Bancak Bengek me-

lebar. "Mengapa kau tidak segera merendam bun-

ga-bunga keramat untuk kau minum air renda-

mannya?"

Ratu Dinding Kematian hanya tersenyum. 

Diam-diam dia membatin, "Aku tak mau dia tahu 

kalau aku telah mendapatkan kesaktian dari 

bunga-bunga keramat. Dari pancaran matanya, 

aku menangkap gelagat kalau dia menginginkan 

bunga itu. Bagus, berarti tak terlalu sulit memin-

ta bantuannya. Dan kalau semua urusan telah 

selesai, kakek keparat ini harus kubunuh!"

Bancak Bengek masih memandang pada pe-

rempuan bertahi lalat tepat pada tengah-tengah 

keningnya.

"Apa yang sebenarnya diinginkan perempuan 

ini dengan tidak segera mengambil keuntungan 

dari bunga-bunga keramat? Apa yang sedang di-

rencanakannya?" tanyanya dalam hati. Dan dia 

mendengus dalam hati seraya meneruskan uca-

pannya, "Peduli setan apa yang hendak dilaku-

kannya! Ini merupakan berita baik untukku! Ka-

rena... tak perlu bersusah payah, aku akan men-

dapatkan bunga-bunga itu dari tangannya! Aku 

tetap ingin membalas seluruh kekalahanku dari 

Dewa Pengasih!"

Habis membatin demikian, Bancak Bengek 

berkata, "Ratu... siapa lelaki itu?"

"Dia bernama Purwa," sahut Ratu Dinding

Kematian. Lalu diceritakan tentang Purwa.

"Hemm... jadi aku harus memanggilmu Ni-

mas Herning?"

"Itu pun lebih baik."

"Mengapa tidak kau bunuh lelaki itu?"

Ratu Dinding Kematian tersenyum.

"Dia adalah murid Dewa Segala Dewa. Den-

gan membiarkannya hidup, berarti aku memiliki 

seorang sandera."

"Huh! Dari ucapanmu kau nampaknya jeri, 

hah?!"

Ratu Dinding Kematian menggeleng. 

"Aku memang harus berhadapan dengan Ti-

ga Penguasa Bumi, pemilik bunga-bunga keramat 

itu. Tetapi aku juga harus berhadapan dengan 

Ratu Tanah Kayangan! Biar bagaimanapun juga, 

aku masih tetap menginginkan Kitab Ajian Selak-

sa Sukma!"

"Lawan-lawanmu tidak berarti bila mereka 

tidak bergabung! Untuk mengalahkan Tiga Pen-

guasa Bumi, kau harus membunuh mereka satu 

persatu!"

"Aku... atau kita?" senyum Ratu Dinding 

Kematian.

Bancak Bengek menyeringai. 

"Kita! Karena aku akan membantumu! Ra-

tu... di manakah kau sembunyikan bunga-bunga 

keramat?"

"Hemmm... dugaanku benar. Dari perta-

nyaannya itu tentunya dia ingin mengorek kete-

rangan tentang bunga-bunga keramat dan men-

dapatkan untuk dirinya sendiri," senyum Ratu

Dinding Kematian dalam hati. "Biar kumuslihati 

dia."

Lalu katanya, "Bunga-bunga keramat itu ku-

simpan di Dinding Kematian!"

"Di bagian mana tepatnya?" Bancak Bengek 

berusaha untuk tidak membuat suaranya tergesa-

gesa.

"Kau tentunya ingat sebuah batu besar yang 

biasa kududuki bukan? Di bawah batu itulah ku-

simpan bunga-bunga keramat."

Kakek tanpa baju itu tertawa keras.

"Kau memang sangat cerdik!"

"Karena dengan kecerdikan itulah aku dapat 

menjalankan seluruh rencanaku," kata Ratu 

Dinding Kematian. Lalu sambungnya dalam hati, 

"Dan memuslihati mu, Kakek celaka!"

Bancak Bengek berkata, "Kalau begitu, un-

tuk apa kita berdiam di Hutan Laknat ini lebih 

lama? Mengapa tidak segera kita cari orang-orang 

yang hendak kau bunuh itu? O ya, apakah mere-

ka tahu kalau kau orang yang telah mencuri bun-

ga-bunga keramat?"

Ratu Dinding Kematian mengangguk.

"Seorang pemuda keparat telah berhasil 

membongkar seluruh penyamaranku!"

"Siapa pemuda lancang yang ingin mampus 

itu?!"

Sepasang mata tajam Ratu Dinding Kema-

tian menyipit.

"Dia datang dari Lembah Naga dan berju-

luk.... Raja Naga...."

Kepala Bancak Bengek sesaat menegak. Ka

kek berambut beriap-riap ini tak segera buka mu-

lut. Setelah hening beberapa saat, barulah dia 

angkat bicara,

"Raja Naga! Ya, ya! Aku pernah mendengar 

julukan itu akhir-akhir ini! Kalau tak salah ingat, 

dialah yang telah mengatasi keinginan Sekar 

Sengkuni untuk membunuh Resi Tala Kangkang!"

"Aku tidak mendengar kabar itu!"

"Aku mendengarnya!"

(Bagi teman-teman pembaca yang ingin 

mengetahui persoalan apa yang terjadi antara Se-

kar Sengkuni dan Resi Tala Kangkang, silakan 

baca episode: "Istana Gerbang Merah").

Bancak Bengek berkata lagi, "Bagus kalau 

kau juga ingin membunuh pemuda itu! Aku sen-

diri sudah tidak sabar sebenarnya untuk melihat 

kehebatan pemuda itu!"

"Kau terlalu lama berdiam di Hutan Laknat!"

Kali ini Bancak Bengek mendengus.

"Aku sedang menuntaskan sebuah ilmu yang 

kuciptakan. Dengan ilmu itulah aku ingin mem-

balas kekalahanku dari Dewa Pengasih! Tetapi 

sayang, ilmu itu belum sempurna betul!"

"Tak perlu membicarakan tentang guruku 

itu! Urusan dendammu dengan dia adalah uru-

sanmu, bukan urusanku! Kalaupun aku mau 

menjalin kambrat denganmu, karena aku merasa 

kau lebih bisa menghargaiku daripada guruku 

sendiri!"

Bancak Bengek tertawa keras mendengar-

nya. Ketika secara tidak sengaja dia berjumpa 

dengan Ratu Dinding Kematian dua tahun yang

lalu, Bancak Bengek memang tidak mengenal sia-

pa Ratu Dinding Kematian sebelumnya. 

Saat itu birahinya sedang naik dan hendak 

dilampiaskannya pada Ratu Dinding Kematian. 

Sudah tentu kala itu Ratu Dinding Kematian be-

rontak habis-habisan, hingga pertarungan terjadi. 

Dari pertarungan itulah Bancak Bengek mengena-

li jurus-jurus yang dilakukan oleh si perempuan, 

jurus milik Dewa Pengasih!

Kalau sebelumnya dia hanya hendak me-

lampiaskan birahinya, kali ini dia ingin membu-

nuh Ratu Dinding Kematian! Tetapi di luar du-

gaannya, perempuan itu justru mengatakan kalau 

dia sudah tidak lagi menganggap Dewa Pengasih 

sebagai gurunya! Bahkan dia rela melayani apa 

pun kemauan Bancak Bengek.

Bancak Bengek menganggap bila dia berhasil 

mempermalukan perempuan itu, Dewa Pengasih 

akan merasa terpukul. Makanya digeluti saja tu-

buh itu siang malam tanpa mengenal puas. Dan 

rupanya Ratu Dinding Kematian memang tidak 

lagi mempedulikan gurunya!

Barulah kemudian Bancak Bengek mengeta-

hui sebab-sebabnya, ternyata Ratu Dinding Ke-

matian menginginkan pula Kitab Ajian Selaksa 

Sukma yang diberikan Dewa Pengasih pada Ratu 

Tanah Kayangan. Perempuan itu menginginkan 

ilmu yang setingkat dengan gurunya sendiri!

"Bagus! Kita berangkat sekarang!"

"Tunggu! Lawan yang kita hadapi ini adalah 

lawan-lawan yang tangguh dan bukan lawan yang 

bisa dipandang sebelah mata! Tetapi aku yakin

dengan kemampuan yang kau miliki dan siasat 

yang kau katakan tadi! Untuk membunuh Tiga 

Penguasa Bumi, tak akan pernah berhasil bila 

mereka bersatu! Itu artinya, kita memang harus 

membunuh mereka satu persatu! Bancak Bengek! 

Kini kita membagi dua tujuan!" 

"Apa maksudmu dengan dua tujuan?"

"Kita melangkah pada arah yang berlainan! 

Dengan cara seperti itu, kemungkinan untuk me-

lacak lawan-lawan kita akan lebih cepat tercapai!"

"Usul yang bagus! Tetapi... apakah kau 

mampu menghadapi mereka?"

Ratu Dinding Kematian menyeringai dan 

berkata dalam hati, "Inilah yang kutunggu."

Lalu katanya, "Kau sendiri tahu, kalau aku 

hanya menguasai 'Ajian Selaksa Jiwa' yang dapat 

kujadikan andalan. Menghadapi Ratu Tanah 

Kayangan sendiri aku tentunya akan kesulitan 

karena ilmu kami berimbang. Untuk itulah, aku 

berharap kau mau menurunkan ilmumu padaku!"

Menggema tawa Bancak Bengek. Sepasang 

telinga perempuan mesum itu memerah menden-

garnya.

"Keparat! Dia mentertawakanku!" makinya 

dalam hati. "Aku harus menahan amarahku dulu. 

Bila kudapatkan lagi tambahan ilmu darinya, 

maka kedudukanku akan lebih kuat. Bertemu 

dengan Tiga Penguasa Bumi sekaligus pun bukan 

masalah besar."

Kemudian didengarnya kata-kata Bancak 

Bengek, "Tak perlu khawatir! Kau akan kuturun-

kan sebuah ilmu yang sangat luar biasa!"

"Aku sudah tidak sabar menanti!"

"Ilmu yang hendak kuturunkan ini akan 

membuat lawan-lawanmu menderita gatal-gatal 

seumur hidupnya dan tak akan menemukan obat 

penyembuhnya!"

"Bagus! Segera kau turunkan padaku!"

"Baik! Mundur lima langkah dan berlutut!"

Ratu Dinding Kematian bersikap patuh. Di-

lakukannya perintah itu. Dilihatnya Bancak Ben-

gek berdiri dengan kedua kaki agak dilebarkan.

"Tanggalkan pakaianmu!"

Sesaat Ratu Dinding Kematian terkejut. Dan 

parasnya memerah geram ketika mendengar kata-

kata Bancak Bengek. "Astaga! Mengapa kau harus 

berpikir lebih lama? Setiap kali kau kugeluti, kau 

dalam keadaan polos! Bahkan kau tak peduli apa 

pun yang kulakukan terhadap tubuh montokmu 

itu! Dan sekarang... kau meragu hanya untuk 

menanggalkan pakaianmu?!"

"Terkutuk! Lama kelamaan rasanya tak akan 

sanggup kutahan amarahku ini!" maki Ratu Bind-

ing Kematian dalam hati. Lalu segera ditanggal-

kan seluruh pakaiannya hingga kini tubuhnya be-

tul-betul polos!

Bancak Bengek menyeringai dalam hati.

"Memang sangat sempurna tubuh yang dimi-

likinya! Siapa pun akan terlena bila sudah mema-

suki keindahan yang dimilikinya! Untuk menu-

runkan ilmu 'Kelabang Jinjit' tak perlu harus me-

nanggalkan pakaian! Tetapi ini lebih baik! Aku 

dapat lebih lama menikmati keindahan tubuhnya!"


Habis membatin demikian, Bancak Bengek 

membuka kedua matanya lebar-lebar. Ratu Dind-

ing Kematian yang berlutut dengan tubuh tegak 

itu melihat cahaya hitam pada mata Bancak Ben-

gek semakin mengelam.

Dilihatnya pula mulut kakek berambut be-

riap tak beraturan itu berkemak-kemik, sementa-

ra tangannya bergerak-gerak ke atas ke bawah. Di 

lain kejap, Ratu Dinding Kematian merasakan sa-

puan angin yang lembut namun agak berbau bu-

suk. Angin yang keluar dari tiupan mulut Bancak 

Bengek menyelimuti tubuhnya.

Saat itulah cahaya hitam melesat keluar dari 

kedua bola mata Bancak Bengek, tepat menerpa 

sepasang payudara montok yang berujung keme-

rahan itu!

Tap! Tap!

Ratu Dinding Kematian terdorong sedikit dan 

tubuhnya bergetar. Di lain saat dirasakan kalau 

seluruh tubuhnya gatal-gatal.

"Terkutuk! Apa yang dilakukannya?!" ma-

kinya dalam hati.

Rasa gatal-gatal itu kian terasa menyengat, 

semakin menyulitkannya untuk bergerak. Dan... 

astaga! Kedua tangannya tak mampu digerakkan!

"Gila! Kubunuh dia! Kubunuh dia!"

Bersamaan hendak dilepaskannya 'Ajian Se-

laksa Jiwa', terdengar seruan Bancak Bengek. 

"Selesai! Kau telah memiliki ilmu 'Kelabang Jinjit' 

sekarang!"

Ratu Dinding Kematian sendiri sudah tidak 

lagi merasa gatal-gatal pada tubuhnya.

"Kerahkan hawa murnimu dan letakkan di 

bawah perut. Bersamaan kau hembuskan napas-

nya, ilmu 'Kelabang Jinjit' akan keluar!" seru 

Bancak Bengek.

Ratu Dinding Kematian berseru, "Apakah 

aku masih harus tetap tak berpakaian seperti 

ini?!"

"Hahaha... kau memang keras. Ratu! Bahkan 

terlalu keras untuk seorang perempuan!"

Ratu Dinding Kematian mengenakan lagi pa-

kaian nya dan berdiri tegak. Matanya tak berke-

dip pada Bancak Bengek, "Kita susul Purwa un-

tuk kemudian tinggalkan Hutan Laknat!"

Bancak Bengek sendiri sudah mendahului 

langkah sambil tertawa-tawa.


LIMA


SEPASANG mata angker milik Raja Naga tak 

berkedip memandang sekitarnya yang sepi. Saat 

ini matahari, sudah memancarkan kembali ca-

haya keemasannya. Panasnya belum terlalu me-

nyengat tetapi membuat embun yang menggayuti 

setiap dedaunan mengering. Angin masih ber-

hembus cukup dingin. Tak jauh dari tempatnya, 

gumpalan kabut masih menggenang di udara.

"Dari petunjuk Ratu Tanah Kayangan, jelas 

Inilah tempat yang bernama Dinding Kematian. 

Tempat yang sunyi dan benar-benar tepat berna-

ma Dinding Kematian," desisnya dalam hati. 

Kembali diedarkan pandangannya ke sekeliling

tempat itu. "Hemm... tak ada tanda-tanda kalau 

tempat ini berpenghuni!" 

Untuk beberapa lamanya pemuda bersisik 

coklat pada lengan kanan kiri sebatas siku itu 

masih berdiam di tempatnya. Mata angkernya 

menelanjangi sekitar tempat itu.

"Tempat ini dipenuhi oleh bukit-bukit ber-

dinding landai. Batu-batu besar berserakan di 

sana-sini. Dan nampaknya... hei! Itu ada sebuah 

bangunan! Tetapi... tak kulihat adanya jalan un-

tuk tiba di bangunan itu!"

Raja Naga menimbang beberapa saat sebe-

lum memutuskan untuk mendatangi bangunan 

itu. Dengan penuh kewaspadaan, dipergunakan-

nya ilmu peringan tubuhnya. Gerakannya sangat 

lincah ketika melewati batu-batu besar itu sebe-

lum akhirnya hinggap di muka bangunan.

Dilihatnya dinding bangunan itu telah Jebol. 

Diputuskan untuk masuk ke dalamnya. Dilihat-

nya pula kalau atap bagian dalam bangunan itu 

telah jebol. Diperiksanya seluruh bagian bangu-

nan itu sebelum akhirnya berhenti di tempat se-

mula.

"Dugaanku ternyata benar. Tak ada tanda-

tanda Ratu Dinding Kematian berada di sini. Apa-

kah sebelumnya dia sudah di sini kemudian ber-

lalu lagi?" desisnya dengan kening dikerutkan.

Kemudian diangkat kepalanya untuk meliha-

ti atap dan dinding yang jebol.

"Apakah telah terjadi satu pertarungan di si-

ni? Atap dan dinding yang jebol itu sudah mengi-

syaratkan demikian. Tetapi anehnya, tempat ini

sama sekali tidak berantakan. Kalau tidak terjadi 

pertarungan, apa yang telah terjadi?"

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini me-

mikirkan kemungkinan Ratu Dinding Kematian 

telah tiba di tempat itu atau belum. Tiba-tiba ke-

ningnya berkerut dengan mata yang tetap me-

mancarkan keangkeran menggidikkan.

"Apakah aku salah tempat?"

"Kau tidak salah tempat, Anak muda! Me-

mang tempat inilah yang dinamakan Dinding Ke-

matian!"

Satu suara yang mengejutkan Raja Naga, 

membuat anak muda dari Lembah Naga itu sege-

ra membalikkan tubuh. Entah dari mana datang-

nya, di hadapannya telah berdiri seorang kakek 

agak bongkok yang mengenakan pakaian dan ju-

bah putih panjang. Jubahnya sangat bersih, tidak 

terlihat sedikit noda pun. Mata si kakek berusia 

sekitar delapan puluh tahun itu sangat teduh. Se-

luruh rambut dan bulu yang ada pada sekujur 

tubuhnya berwarna putih. Di tangan kanan ki-

rinya terdapat sebuah gelang berwarna putih yang 

terbuat dan baja.

Untuk beberapa lamanya pemuda berompi 

ungu yang terbuka hingga memperlihatkan dada 

bidangnya itu tak buka suara. Mata angkernya 

tak berkedip pada si kakek.

"Aku sama sekali tak menangkap suara apa-

apa, tahu-tahu kakek ini sudah berkata-kata dan 

berada di belakangku. Dari keadaan itu, dapat 

kusimpulkan kalau kakek ini bukan orang sem-

barangan. Siapakah kakek ini? Apakah dia termasuk lawan, atau kawan?"

Kakek bermata teduh penuh kasih itu terse-

nyum.

"Keheranan yang terpancar di wajah setiap 

orang bila baru pertama kali berjumpa dengan se-

seorang yang belum dikenalnya, memang sesuatu 

yang lumrah. Apalagi di saat perasaan sedang ka-

cau menimbang-nimbang, apakah orang yang ba-

ru dilihat itu lawan atau kawan...."

Kepala Raja Naga menegak. Matanya mele-

bar.

"Astaga! Dia seperti tahu kata hatiku!" se-

runya dalam hati. Lalu segera dirangkapkan ke-

dua tangannya di depan dada dan berkata lem-

but, "Orang tua berjubah putih... apa yang kau 

katakan tadi itu memang benar. Ya... aku me-

mang sedang menimbang-nimbang siapakah di-

rimu...." 

"Untuk menganggapku lawan atau kawan itu 

kupulangkan pada diri pribadi seseorang yang 

menilainya. Tetapi seumur hidupku, tak pernah 

aku menganggap seseorang itu lawan, baik dia 

orang yang baru kenal maupun seseorang yang 

menyimpan dendam membara padaku...."

"Kata-katanya teduh dan mendayu penuh 

kasih. Sikapnya luar biasa tenangnya. Siapakah 

kakek ini?" Raja Naga bertanya-tanya dalam hati.

"Orang muda... bila tak ada urusan yang 

penting, tak akan mau orang mendatangi Dinding 

Kematian. Dan karena kau sudah berada di sini, 

tentunya kau punya urusan yang penting," kata si 

kakek berjubah putih.

Raja Naga terdiam sesaat sebelum mengang-

guk.

"Ya! Aku memang punya urusan penting 

hingga sampai di tempat ini."

"Mungkin agak tidak enak bila aku ingin 

mengetahui urusan apa yang kau anggap penting 

itu."

"Ucapannya benar-benar sangat pengasih

dan berusaha untuk tidak melukai perasaan 

orang," kata Raja Naga dalam hati. Setelah mem-

pertimbangkan beberapa saat, diceritakannya se-

bab-sebab dia berada di Dinding Kematian.

Dilihatnya kakek berjubah putih itu menghe-

la napas pendek,

"Dugaanku ternyata benar. Ya... apa yang 

kau katakan itu memang suatu urusan panting."

"Orang tua... apakah kau juga tidak kebera-

tan mengapa kau mendatangi tempat ini?"

Kakek itu menghela napas pendek dulu se-

belum menjawab, "Aku datang ke sini untuk me-

nasihati muridku yang sudah berada di luar jalur 

yang ditentukan. Telah banyak keonaran yang di-

timbulkannya hingga aku yang telah memu-

tuskan untuk meninggalkan rimba persilatan 

mau tak mau harus datang lagi ke dunia ramai." 

Kening Raja Naga berkerut mendengar kata-

kata kakek bermata teduh itu.

"Untuk menasihati seorang murid? Apakah... 

astaga!" sepasang mata anak muda dari Lembah 

Naga itu melebar bersamaan kata batinnya terpu-

tus. Lalu dipandanginya orang tua di hadapannya 

dengan seksama, sebelum berkata, "Orang tua...

apakah... apakah kau yang berjuluk Dewa Penga-

sih?"

Sesaat suasana hening sebelum kakek di 

hadapannya menganggukkan kepalanya.

"Ya... akulah Dewa Pengasih, orang tua yang 

sedang sedih memikirkan kelakuan salah seorang 

muridnya yang telah berada di luar batas. Orang 

tua yang tak ingin muridnya terus menerus terbe-

lenggu oleh kesesatan dan orang tua yang merasa 

pilu karena tak berhasil mendidik salah seorang 

muridnya...."

Raja Naga tak berkata-kata. Dipandanginya 

kakek itu dengan seksama. Sama sekali tak dis-

angkanya kalau dia akan berjumpa dengan tokoh 

yang julukannya sering didengar. Seorang tokoh 

guru dari Ratu Tanah Kayangan dan Ratu Dind-

ing Kematian.

Kemudian didengarnya si kakek berkata-

kata lagi, "Sejak semula aku sudah mengetahui 

perbedaan sifat antara Retno Harum dan Ratna 

Wangi. Retno Harum memiliki sifat yang lembut, 

baik dan sopan. Padanyalah kupercayakan Tanah 

Kayangan didudukinya hingga dia dijuluki banyak 

orang dengan julukan Ratu Tanah Kayangan. Se-

mentara Ratna Wangi memiliki sifat yang jauh 

berbeda dengan Retno Harum. Dia kuberikan 

tempat di Dinding Kematian hingga dijuluki orang 

dengan sebutan Ratu Dinding Kematian."

Kakek itu menghentikan ucapannya. Setelah 

menghela napas pendek, dilanjutkan lagi kata-

katanya, "Semua ini adalah kesalahanku. Tak se-

harusnya kuberikan kedua kitab pusaka yang

kupunyai itu, yang ternyata memancing sifat se-

rakah Ratna Wangi untuk memiliki kedua-

duanya. Bahkan dia tega melakukan tindakan-

tindakan makar yang akan mencelakakan sauda-

ra seperguruannya. Tetapi... semuanya telah ter-

jadi dan aku harus meluruskan keadaan...."

"Dewa Pengasih...," kata Raja Naga. "Tanpa 

mengurangi rasa hormatku padamu, tentunya 

kau telah mendengar kabar tentang pencurian 

bunga-bunga keramat, bukan?" 

"Kabar memang telah sampai ke telingaku 

yang tua ini. Bunga-bunga keramat milik Tiga 

Penguasa Bumi telah dicuri seseorang. Selain Tiga 

Penguasa Bumi, aku dan tentunya Ratu Tanah 

Kayangan, Ratu Dinding Kematian juga memiliki 

ilmu yang dapat menghapus mantra yang dilaku-

kan Dewa Segala Dewa terhadap bunga-bunga ke-

ramat. Ya.... Ratna Wangi memang telah bertin-

dak lebih jauh dari apa yang telah digariskan...."

Raja Naga tak bersuara. Dia berkata dalam 

hati, "Kakek ini sangat begitu mengasihi murid-

muridnya. Tak sekali pun kudengar ungkapan 

marah atau cacian terhadap Ratu Dinding Kema-

tian. Bahkan dia sendiri hanya mengatakan da-

tang untuk menasihati perempuan itu. Ah, 

sayangnya Ratu Dinding Kematian tidak berada di 

sini...."

Kemudian murid Dewa Naga ini berkata, 

"Orang tua Pengasih... sebelum kau tiba di sini, 

aku sudah memeriksa sekeliling tempat ini. Tak 

ada tanda-tanda Ratu Dinding Kematian berada. 

Aku juga telah berjumpa dengan muridmu yang


berjuluk Ratu Tanah Kayangan. Dari mulutnyalah 

aku tahu kalau tak kujumpai Ratu Dinding Ke-

matian di sini, berarti dia berada atau sedang 

menuju ke Hutan Laknat...."

"Telah lama pula kudengar kalau dia menja-

lin hubungan dengan Bancak Bengek, yang beru-

lang kali berniat untuk membunuhku. Sama se-

kali aku tak bisa melarang apa yang akan dilaku-

kan oleh Ratna Wangi. Karena itu haknya, terma-

suk bersahabat dengan orang yang mengang-

gapku sebagai musuhnya. Tetapi Ratna Wangi 

benar-benar telah kelewat batas dan tindakan sa-

lahnya itu harus diberi nasihat agar dia tidak se-

makin jauh terjerumus ke lembah kesesatan."

"Lagi-lagi dia begitu pengasih. Nada sua-

ranya tetap tak berubah. Penuh pengertian," kata 

Raja Naga dalam hati. Sambil menatap kakek 

bermata teduh itu dia berkata, "Saat ini namaku 

telah coreng moreng akibat tindakan yang dilaku-

kan oleh Ratu Dinding Kematian. Orang tua... 

aku bermaksud untuk menangkapnya dan akan 

kuhadapkan pada Tiga Penguasa Bumi untuk 

mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan-

nya."

"Anak muda... lakukanlah sebisamu. Hanya 

satu pesanku, kau harus berhati-hati menghada-

pinya....." 

"Kata-katanya penuh nasihat dan ini mem-

buka mataku kalau kemungkinan besar Batu 

Dinding Kematian memang telah mendapatkan 

kesaktian dari bunga-bunga keramat," kata Raja 

Naga dalam hati. Lalu berhati-hati dia berkata,

"Aku tidak tahu kesaktian macam apa yang dida-

patkan oleh seseorang bila telah meminum air 

rendaman dari bunga-bunga keramat. Orang 

tua... apakah kau bisa memberiku satu nasihat?"

Dewa Pengasih menatap pemuda itu dalam-

dalam dengan mata teduhnya. Tak ada tanda-

tanda keterkejutannya melihat mata angker milik 

Raja Naga.

"Nasihatku mungkin tak banyak gunanya...."

"Aku akan tetap menjalankannya," sahut Ra-

ja Naga sambil memandang kakek di hadapannya.

Si kakek menarik napas pendek. Raja Naga 

menangkap nada masygul di dalam tarikan na-

pasnya.

"Berhati-hati menghadapinya. Itulah satu-

satunya nasihat yang dapat kuberikan padamu, 

Raja Naga."

Habis kata-katanya Dewa Pengasih berbalik 

dan melangkah. Langkahnya pelan sekali, seolah 

dia bukanlah seseorang yang berilmu tinggi. Teta-

pi dua kejapan mata berikutnya, Raja Naga hanya 

melihat satu bayangan putih saja yang berkelebat 

dan tahu-tahu lenyap dari pandangan.

Masih berdiri di tempatnya, pemuda beram-

but dikuncir ini menarik napas dalam-dalam.

"Kata-kata Dewa Pengasih semakin menya-

darkanku, kalau tentunya sangat sulit untuk 

menghadapi orang yang telah meminum air ren-

daman bunga-bunga keramat. Ah, apa yang ha-

rus kulakukan untuk menghadapi perempuan 

itu? Apakah aku... hei!!"

Anak muda itu tercekat, seolah baru sadar

akan sesuatu.

"Dia memanggil julukanku tadi! Astaga! Dia 

mengenalku rupanya!"

Untuk beberapa lama Raja Naga kemudian 

terdiam. Otaknya dibuncah pikiran sekaligus ke-

gelisahan yang tumpang tindih. Dia dapat mem-

bayangkan musibah besar yang akan terjadi pada 

dirinya. Dan dia lebih ngeri tatkala membayang-

kan, musibah yang jauh lebih besar dari apa yang 

akan dialaminya.

"Aku harus dapat menangkap Ratu Dinding 

Kematian kendati harus kukorbankan nyawaku. 

Karena... tak mustahil perempuan itu akan mela-

kukan keonaran yang sukar dibendung oleh siapa 

pun juga...."

Pelan-pelan pemuda bermata angker ini me-

narik napas pendek. Lalu melangkah keluar dari 

bangunan itu. Sinar matahari menerpa wajahnya, 

sedikit terasa panas. Dirasakan angin hanya ber-

putar-putar saja di sekitar sana, menabrak dind-

ing-dinding bukit dan berputar lagi.

"Apa pun yang terjadi... aku harus dapat 

menangkap Ratu Dinding Kematian...," katanya 

membulatkan tekad.

Tiga kejapan mata kemudian, dengan gera-

kan-gerakan lincah, pemuda itu segera mening-

galkan Dinding Kematian yang tetap direjam sepi.



ENAM


KETIKA matahari tepat berada di atas kepa-

la, kakek berpakaian serba biru dengan wajah te-

duh yang dipenuhi keriput itu menghentikan 

langkahnya. Matanya tak berkedip ke depan. Se-

sekali diusap jenggot putihnya yang menjulai tan-

pa keluarkan suara.

Gadis berpakaian ringkas warna kuning 

yang tadi melangkah bersamanya, mau tak mau 

juga menghentikan langkah. Sesaat diliriknya ka-

kek di sebelahnya sebelum mengikuti pandangan 

mata si kakek. Dicobanya untuk mencari tahu 

apa sebab-sebab si kakek menghentikan lang-

kahnya.

Sesaat tak ada yang bersuara. Jalan setapak 

itu senyap. Sengatan matahari tak begitu terasa, 

karena terhalang oleh tingginya pepohonan.

Tak enak berada dalam kebisuan, di samping 

juga ingin tahu mengapa orang tua berjanggut 

putih di sebelahnya berhenti melangkah, gadis 

berwajah manis dengan tahi lalat pada sisi kiri 

pelipisnya berkata, "Kek! Apakah ada sesuatu 

yang menarik perhatianmu hingga kita harus 

berhenti di sini?"

Kakek berpakaian serba biru itu melirik, se-

belum tersenyum seraya mengangguk.

"Ya! Ada sesuatu yang menarik perhatianku!"

Gadis manis itu mengerutkan kening. Lalu 

kembali mengarahkan pandangannya pada tem-

pat yang dipandang orang tua di sebelahnya.

"Aku tak melihat sesuatu yang menarik ke-

cuali pepohonan dan semak belukar! Aneh! Apa 

yang sebenarnya dilihat kakek berjuluk Dewa Se-

gala Dewa ini? Apakah dia tertarik dengan pepo-

honan dan semak belukar?"

Kembali tak ada yang buka suara. Si gadis 

berambut dikuncir ekor kuda dan diberi pita war-

na kuning membatin lagi, "Mungkin memang ada 

yang menarik perhatiannya, tetapi aku tak meli-

hatnya...."

Kakek berpakaian serba biru itu berkata, 

"Puspa Dewi... kau belum juga mengetahui apa 

yang menarik perhatianku?"

Gadis yang ternyata Puspa Dewi itu mengge-

leng. Diperhatikannya si kakek dengan seksama. 

Sesaat ada kekagumannya. Setelah berpisah den-

gan Raja Naga. Puspa Dewi meneruskan langkah-

nya menuju ke Daerah Tak Bertuan. Kegigihan 

murid Ratu Tanah Kayangan itu memang mem-

bawa hasil. Akhirnya dia tiba juga di Daerah Tak 

Bertuan. Kedatangannya di sana disambut oleh 

Dewa Segala Dewa yang kini hanya seorang diri.

Setelah memperkenalkan siapa dirinya, Pus-

pa Dewi menceritakan maksud kedatangannya. 

Dalam kesempatan itu pula Puspa Dewi menceri-

takan tentang Raja Naga, yang saat ini sedang di-

buru oleh orang-orang persilatan karena dianggap 

sebagai pencuri bunga-bunga keramat.

Dewa Segala Dewa menyuruhnya beristira-

hat sebelum malamnya diceritakan juga apa yang 

telah terjadi. Dan keesokan paginya mereka me-

ninggalkan Daerah Tak Bertuan.

"Kulihat satu kelebatan di sana tadi...," kata 

Dewa Segala Dewa. 

"Kelebatan?"

"Ya! Satu kelebatan!"

"Oh! Apakah dia Ratu Dinding Kematian?"

Dewa Segala Dewa menggeleng.

"Tidak! Orang yang berkelebat itu memang 

samar hingga sulit bagiku untuk melihat wajah-

nya secara jelas. Tetapi yang pasti, dia tidak men-

genakan pakaian dan usianya... lebih tua dariku. 

Walaupun hanya bersifat dugaan, aku bisa men-

getahuinya...."

"Siapakah dia, Kek?" tanya Puspa Dewi. Se-

dikit banyaknya dikagumi kerendahan hati si ka-

kek. Semula dikatakan kalau dia hanya samar-

samar melihat. Tetapi mengetahui orang yang 

berkelebat itu lebih tua dari dirinya, bukankah itu 

sudah menunjukkan ketinggian ilmu si kakek?

Dewa Segala Dewa mengusap usap janggut-

nya dulu sebelum menjawab, "Kalau tak salah in-

gat... dia adalah Bancak Bengek."

"Bancak Bengek? Kakek! Aku baru pertama 

kali mendengar nama Itu!"

"Tak heran bila kau memang baru menden-

gar nama itu. Kau masih muda. Kau belum ba-

nyak tahu urusan. Aku pun merasa pasti, kau 

baru pertama kali meninggalkan Tanah Kayan-

gan. Puspa... Bancak Bengek adalah orang yang 

memiliki niatan busuk pada Eyang Gurumu."

"Telah lama aku mendengar julukan Eyang 

Guru; Dewa Pengasih, tetapi hingga hari ini aku 

belum pernah berjumpa dengannya. Hingga aku

tidak tahu seperti apa rupanya. Dan aku tidak 

tahu ada urusan apa antara Eyang Guru dengan 

Bancak Bengek."

"Puspa... selama ini Bancak Bengek jarang 

keluar dari tempat tinggalnya di Hutan Laknat. 

Dan kalau memang benar orang yang berkelebat 

tadi adalah Bancak Bengek, sudah tentu ada uru-

san besar yang sedang dihadapinya."

"Apakah ini ada hubungannya dengan Eyang 

Guru?"

"Biasanya, keluarnya Bancak Bengek selalu 

dengan niatan untuk membunuh Dewa Pengasih! 

Tetapi aku tak bisa menduganya saat ini."

Puspa Dewi mengangguk-anggukkan kepa-

lanya. Gadis yang pada punggungnya terdapat 

sebilah pedang berhulu kepala burung elang ber-

kata, "Kek! Apakah ini ada hubungannya dengan 

Ratu Dinding Kematian?"

"Kemarin senja kita sudah tiba di Dinding 

Kematian dan tak berjumpa dengan penghuninya! 

Seperti yang pernah kuceritakan padamu, Pus-

pa... aku bukannya tidak mempercayai kata-kata 

Purwa dan Sibarani kedua muridku itu yang 

mengatakan kalau Raja Naga telah mencuri bun-

ga-bunga keramat. Justru ingatanku tiba pada 

Dewa Pengasih. Kukaji lebih jauh lagi dan ra-

sanya tak mungkin Dewa Pengasih melakukan 

tindakan keji. Menyusul ingatanku tiba pada ke-

dua muridnya dan kembali kukaji keadaan. Ah... 

hingga kemudian kusimpulkan, kalau salah seo-

rang dari murid Dewa Pengasih yang melakukan-

nya. Tetapi sayang... dugaan itu baru terlambat

menjadi kenyataan...." 

Dewa Segala Dewa menarik napas pendek 

sebelum melanjutkan ucapannya, "Puspa... bisa 

jadi apa yang kau katakan tadi itu benar. Karena 

aku juga pernah mendengar, kalau secara diam-

diam Ratu Dinding Kematian menjalin hubungan 

busuk dengan Bancak Bengek. Puspa... aku juga 

menduga kalau Ratu Dinding Kematian telah ber-

hasil mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke-

ramat."

Puspa Dewi ink segera buka mulut. "Kek! 

Adakah cara untuk menanggulangi khasiat dari 

bunga-bunga keramat?" 

Dewa Segala Dewa mengusap jenggot putih-

nya. Gerakannya begitu lambat, seolah hendak 

diresapi usapannya. Tetapi di balik itu, tersimpan 

satu kegelisahan yang berusaha untuk tidak dipe-

lihatkannya. 

Pelan-pelan kepala si kakek bergerak dan 

matanya menatap gadis bertahi lalat pada pelipis

sebelah kiri itu.

"Hingga saat ini, aku belum pernah tahu ba-

gaimana caranya menanggulangi kehebatan orang 

yang telah meminum air rendaman bunga-bunga 

keramat. Dan itu berarti...." 

Dewa Segala Dewa tak meneruskan kata-

katanya. Puspa Dewi tak mengusiknya. Diam-

diam dia dapat merasakan kegelisahan yang di-

alami oleh kakek berpakaian serba biru itu.

"Ternyata semuanya ini telah berada dalam 

satu lingkaran yang mengerikan. Tentunya kehe-

batan Ratu Dinding Kematian tak akan bisa di

hentikan. Dan itu berarti... astaga! Bagaimana 

dengan nasib Guru? Bagaimana?!" seru Puspa 

Dewi dalam hati. Perasaannya berdebar keras, 

kegelisahan pun dirasakan dan bertambah men-

jadi-jadi.

Dewa Segala Dewa melihat perubahan paras 

gadis manis itu.

"Aku tahu kau mengkhawatirkan gurumu, 

bukan?"

Puspa Dewi mengangguk-angguk.

"Bukan hanya gurumu yang kukhawatirkan, 

Puspa... tetapi seluruh kehidupan yang masih 

akan terus berlangsung ini. Kabar sudah kuden-

gar pula kalau saat ini Raja Naga sedang membu-

ru Ratu Dinding Kematian. Itu artinya dia me-

mang sedang memburu kematian! Dan bisa jadi 

ini akan melibatkan kemunculan Dewa Naga. 

Bancak Bengek sudah muncul dan tak mustahil 

Dewa Pengasih akan muncul pula. Berarti... akan 

semakin banyaknya para tokoh yang akan ber-

munculan kembali di rimba persilatan yang bisa 

jadi dapat menimbulkan kesalahpahaman...."

"Kek! Kita harus menghentikan semua itu!"

Dewa Segala Dewa mengangguk.

"Ya! Kita memang harus menghentikan sega-

la tindakan busuk yang akan dilakukan oleh Ratu 

Dinding Kematian! Karena bila tidak, itu artinya 

membiarkan petaka terus menerus berdatangan 

dan tak akan pernah berhenti sebelum ada yang 

berhasil mengatasi Ratu Dinding Kematian!"

Hati gadis berpakaian kuning itu semakin 

tak menentu. Lalu dilihatnya Dewa Segala Dewa

melangkah.

"Kita teruskan langkah. Firasatku mengata-

kan, tak lama lagi kejadian buruk akan mengge-

bah rimba persilatan!"



TUJUH


JAUH dari tempat Dewa Segala Dewa dan 

Puspa Dewi menghentikan langkah, orang yang 

kelebatannya dilihat oleh kakek berpakaian serba 

biru itu menghentikan langkahnya di sebuah 

tempat dipenuhi bebatuan. Semenjak tadi orang 

bertubuh kurus kerempeng tanpa baju ini merasa 

kalau dia melihat seseorang di saat berkelebat. 

Tetapi dia tidak terlalu mempedulikannya. Setelah 

tiba pada satu pikiran, barulah dihentikan lang-

kahnya.

"Terlalu lama aku tak libatkan urusan den-

gan dunia ramai. Kalaupun aku keluar dari Hu-

tan Laknat, hanya untuk menjumpai Ratu Dind-

ing Kematian untuk melampiaskan nafsuku. Ilmu 

yang kuciptakan untuk membunuh Dewa Penga-

sih belum sempurna, hingga belum kuputuskan 

untuk mencarinya dan membalas kekalahan

ku...."

Kakek berambut putih beriap-riap ini mem-

balikkan tubuhnya, memandangi jalan dari mana 

dia datang tadi. Sepasang matanya yang meman-

carkan cahaya hitam berkilat-kilat. Kekejian san-

gat kentara sekali.

Dia mendesis lagi, "Kalau tak salah ingat,

Dewa Segala Dewa selalu mengenakan pakaian 

serba biru! Astaga! Bisa jadi kalau orang yang ku-

lihat tadi itu Dewa Segala Dewa! Dan kalau tak 

salah pula, kulihat seorang gadis berpakaian kun-

ing di sebelahnya! Gila! Ratu Dinding Kematian 

juga mengenakan pakaian berwarna kuning? 

Apakah... tidak, tidak mungkin! Perempuan me-

sum itu menginginkan nyawa Tiga Penguasa Bu-

mi, tak mungkin dia mau bergabung dengan De-

wa Segala Dewa! Kalau begitu... perempuan ber-

pakaian kuning yang bersamanya itu bukanlah 

Ratu Dinding Kematian!"

Kakek kurus ini menarik napas dalam-

dalam, hingga tulang-tulang pada dadanya ber-

tonjolan keluar.

"Ratu Dinding Kematian telah memiliki bun-

ga-bunga keramat! Dan dia juga belum meman-

faatkan bunga-bunga itu! Berarti...," memutus 

ucapannya sendiri, bibir keriput menghitam itu 

menyeringai. "Begitu bodoh bila tidak segera ku

manfaatkan! Sebaiknya kudatangi Dinding Kema-

tian untuk mengambil bunga-bunga keramat itu!"

Si kakek tertawa puas pada pikirannya sen-

diri.

"Masa bodoh dengan Tiga Penguasa Bumi 

untuk saat ini! Sebaiknya...." 

Kata-katanya terputus begitu pendengaran-

nya yang tajam mendengar suara dari balik rang-

gasan semak. Kejap itu pula dia melesat menyer-

gap. 

"Siapa yang berani lancang mencuri dengar 

ucapanku, hah?!"

Semak belukar itu langsung tersibak dan 

berpentalan. Tangan kurus Bancak Bengek me-

nyambar dan... tap!

Sebuah leher jenjang yang halus tertangkap 

oleh tangan kurusnya! Tetapi saat itu pula dia 

membeliak sebelum tertawa keras.

'"Astaga! Tak kusangka kalau aku menda-

patkan daging segar seperti ini!!"

Sementara tawa Bancak Bengek semakin ke-

ras, perempuan yang lehernya dicengkeram tan-

gan kurus itu menggeliat-geliat berusaha mele-

paskan diri. Napasnya seketika terasa sesak. Se-

pasang payudaranya yang dibalut kain kebaya lu-

suh itu bergerak-gerak.

Bancak Bengek mengarahkan pandangannya 

pada sepasang benda yang bergerak lembut itu.

"Heepp... lepas... lepaskan aku...," desis si 

perempuan dengan suara memelas.

"Astaga! Kau datang pada saat yang tepat pe-

rempuan!" 

"Ampun... ampuni aku... kumohon... le-

paskan aku...."

Bancak Bengek hanya tertawa saja. Tanpa 

melepaskan cengkeraman pada leher jenjang mu-

lus itu dibantingnya tubuh sintal yang seketika 

terkapar di atas tanah. Saat terbanting kebaya 

bagian bawah si perempuan terlepas dan mem-

perlihatkan sepasang paha mulus yang gempal.

Mata bercahaya hitam milik Bancak Bengek 

semakin melebar.

"Kau tentunya sudah berpengalaman dalam 

urusan bawah perut! Ayo, layani aku!!"

"Tidak... ampun... jangan... jangan lakukan 

itu…" ratap si perempuan makin ketakutan.

Tiba-tiba Bancak Bengek membentak, hingga 

si perempuan merasa jantungnya seperti copot.

"Menolak keinginanku, berarti kau bersiap 

untuk mampus!!"

"Jangan... jangan lakukan itu...," ratap si pe-

rempuan ketakutan. Wajah jelitanya seketika 

pias. Dia beringsut mundur.

Tetapi kaki Bancak Bengek sudah menye-

paknya hingga dia terguling dan tengkurap. Be-

lum lagi si perempuan bangkit Bancak Bengek 

sudah menindihnya. Dirobek-robeknya kain ke-

baya yang dikenakan si perempuan yang menje-

rit-jerit ketakutan.

Masih menindih si perempuan yang dalam 

keadaan tengkurap, Bancak Bengek membuka ce-

lananya sendiri, sementara tangan kanannya me-

remas-remas pantat bulat yang sudah tak tertu-

tup apa-apa.

"Aku belum pernah melakukannya seperti 

ini! Kau sungguh pandai mencari posisi!!"

Sedikit paksa, disentakkan kedua paha si 

perempuan hingga terbuka lebar. Mata Bancak 

Bengek makin berkilat-kilat melihat tonjolan pan-

tat yang montok itu. Lebih bernafsu lagi ketika 

melihat agak ke bawah, sesuatu yang mencuat 

membuat napasnya mendengus-dengus.

Tetapi sebelum dilakukan niatnya itu, satu 

suara telah membentaknya, "Betul-betul kapiran! 

Kupikir aku tak akan berjumpa lagi denganmu, 

Kakek kerempeng! Dan selagi berjumpa, kau sedang berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang 

istimewa!!"

Serentak Bancak Bengek bangkit dan mem-

betulkan celananya. Sementara masih dalam kea-

daan polos, perempuan itu menangis dengan tu-

buh masih tengkurap.

"Kau benar-benar membuatku ngiri! Dulu 

kau selalu memuja tubuhku, terutama payudara-

ku yang kau bilang hanya payudara para bidadari 

yang dapat menandanginya! Tapi sial, sungguh 

sial! Aku tak bisa melawan waktu yang terus ber-

gerak hingga tubuhku sudah menjadi peot seperti 

ini!!"

Bancak Bengek sesaat tak buka suara. Ma-

tanya memandang tak berkedip pada nenek 

bongkok yang pada kepalanya terdapat tiga tang-

kai bunga mawar segar.

Kejap berikutnya dia sudah mendengus, "Se-

tan perempuan! Aku juga tak menyangka kau 

akan muncul di hadapanku sekarang! Sial betul, 

kedatanganmu mengganggu keasyikanku!!"

Si nenek yang berusia sekitar tujuh puluh 

lima tahun itu tertawa hingga kedua pipinya ter-

tarik ke dalam dan keluar, karena si nenek tidak 

mempunyai gigi lagi. Parasnya dipenuhi keriput 

yang sangat banyak. Di bawah matanya seperti 

ada daging tua yang menggelambir.

Nenek berpakaian merah menyala ini berse-

ru, "Mana mau aku mengganggu keasyikanmu, 

hah?! Kalaupun aku mau, karena aku iri saja 

dengan keberuntungan perempuan itu!"

Bancak Bengek sesaat melirik si perempuan

yang masih tengkurap menangis dalam keadaan 

polos. Matanya menghujam pada pantat montok 

yang mencuat itu.

Kemudian bentaknya pada si nenek tanpa 

gigi, "Nyai Darah Sumba! Siapa pun orangnya su-

dah tentu akan memilih daging segar ketimbang 

daging busuk yang sudah dipenuhi banyak ulat! 

Lebih baik kau menyingkir agar tidak timbul uru-

san!"

Bukannya gusar dibentak seperti itu, si ne-

nek yang pada rambut putihnya terdapat tiga 

buah bunga mawar segar justru terkikik-kikik. 

"Gila, sungguh gila! Siapa ingin bikin urusan 

denganmu, Bancak Bengek?! Tetapi kau boleh 

mengingat-ingat, kalau kau belum pernah menga-

lahkanku sekali juga! Dan kita tentunya sama-

sama tahu, setelah sekian lama berdiam diri di 

tempat sunyi, kita telah menciptakan banyak il-

mu-ilmu baru! Bagus, bagus sekali! Mungkin ini 

kesempatanku untuk menjajal ilmuku!!"

Bancak Bengek mendengus. Dia sama sekali 

tidak menyangka akan berjumpa dengan Nyai Da-

rah Sumba, perempuan yang pernah menjadi ke-

kasihnya lima puluh tahun yang lalu. Selama ber-

tahun-tahun Bancak Bengek mendapatkan tem-

pat pelampiasan nafsunya, sebelum kemudian dia 

terlibat urusan dengan Dewa Pengasih yang mau 

tak mau membuatnya meninggalkan Nyai Darah 

Sumba.

Sebelum kakek kerempeng itu buka mulut, 

si nenek sudah berseru lagi, "Biarpun aku ingin 

menjajal ilmuku, tetapi tidak perlu! Ya, tidak perlu kulakukan padamu! Asal...."

"Asal apa, hah?!"

"Kau serahkan perempuan itu kepadaku!"

"Gila! Sejak kapan kau suka pada perem-

puan, hah?!" 

Si nenek terkikik.

"Jangan berlaku aneh di depanku! Bancak 

Bengek, sejak dulu kita selalu berhubungan ba-

dan. Tetapi kau tahu sesuatu yang tidak pernah 

kita dapatkan? Sesuatu yang tak bisa mengikat-

mu untuk terus menjadi pendampingku?!"

Bancak Bengek mendengus.

"Sejak dulu perempuan ini menginginkan 

seorang anak, tetapi aku tak pernah berhasil 

memberikannya! Aku yakin, bukan aku yang 

mandul, tetapi dia!"

Habis membatin demikian, dengan suara ge-

ram Bancak Bengek berseru, "Nyai Darah Sumba! 

Kalaupun aku berhasil memberimu seorang anak, 

tak akan sudi aku menikahimu!"

"Gila, gila betul! Siapa yang ingin kau nika-

hi? Aku hanya kau ingin terikat padaku!"

"Siapa orangnya yang sudi berhubungan le-

bih lama dengan perempuan mandul seperti 

kau!!"

Diejek seperti itu, Nyai Darah Sumba cuma 

tertawa.

"Ya, kau betul sekali! Sangat betul! Itulah 

sebabnya, sekarang ini sedang kukumpulkan pe-

rempuan-perempuan cantik untuk menjadi pen-

gikut ku! Dan di antara mereka akan kuangkat 

seorang Ratu yang harus dihormati tetapi harus

menghormatiku! Lalu akan kucari seorang jejaka 

atau lelaki mana pun juga untuk membuahi sang 

Ratu! Dan anak yang akan terlahir itulah yang 

akan kudidik untuk kuturunkan seluruh ilmu 

yang kupunyai!"

"Terlalu berbelit-belit!"

"Itu urusanku! Sekarang, serahkan perem-

puan itu kepadaku! Karena kutangkap satu fira-

sat, kalau dialah sang Ratu yang akan kujadikan 

sebagai orang kepercayaanku!!"

"Walaupun aku tak bisa lagi menahan ama-

rah karena kemunculannya, tetapi aku tak ingin 

terlibat urusan lebih lama dengannya. Lagi pula, 

masih bisa kudapatkan perempuan-perempuan 

yang akan kujadikan sebagai tempat pelampiasan 

nafsuku selain perempuan montok itu!" 

Memutuskan demikian, Bancak Bengek ber-

kata, "Kau bawa perempuan itu, dan segera ting-

galkan tempat ini!!"

Nyai Darah Sumba tertawa-tawa.

"Bagus, bagus kalau kau mengerti keadaan," 

katanya seraya mendekati perempuan yang masih 

dalam keadaan polos itu. Nyai Darah Sumba ber-

kata lembut, "Perempuan... bangunlah. Kau tidak 

perlu takut dengan kakek jelek ini... Ayo, ban-

gun... dan sebutkan namamu...."

Mendengar ucapan lembut itu, si perempuan 

pelan-pelan bangkit seraya berusaha menutupi 

bagian-bagian tubuh terlarangnya dari mata Ban-

cak Bengek yang melotot.

"Terima... terima kasih atas... pertolongan-

mu, Nek...," katanya terbata.

"Jangan panggil aku seperti itu. Kau boleh 

panggil aku 'Nyai'. Katakan, siapa namamu...."

Perempuan itu melirik Bancak Bengek dulu 

dengan takut-takut sebelum berkata lirih, "Nama-

ku.... Ganda Arum... orang-orang di desaku, me-

manggilnya dengan sebutan Nyai Ganda Arum...."

"Hik hik hik... nama yang bagus, bagus seka-

li! Dan aku tak akan salah memilih orang! Ganda 

Arum... mengapa kau berada di tempat seperti 

ini?"

Nyai Ganda Arum terdiam sejenak. Ingatan-

nya kembali pada peristiwa beberapa hari lalu, di 

mana ketika dia sedang asyik bercinta dengan 

Dat Mala, suaminya tiba-tiba muncul dan mem-

bunuh Dat Mala. Nyawanya masih tertolong kare-

na munculnya Dewa Seribu Mata, yang mengu-

sirnya begitu saja (Teman-teman pembaca bisa 

mengetahui semua itu dalam episode: "Terjebak di 

Gelombang Maut").

Tiba-tiba sepasang mata Nyai Ganda Arum 

berkilat-kilat. Nyai Darah Sumba sesaat menge-

rutkan keningnya melihat perubahan mata si pe-

rempuan.

Kemudian didengarnya kata-kata Nyai Gan-

da Arum, "Nyai... ajari aku ilmu yang hebat, un-

tuk membalas sakit hatiku atas perlakuan Dewa 

Seribu Mata...."

Kepala Nyai Darah Sumba sesaat menegak 

sebelum kikikannya yang keras berkumandang.

"Ya, ya! Kau bukan hanya akan menda-

patkan ilmu yang hebat, tetapi kau akan menjadi 

seorang ratu!!" serunya. Lalu berkata pada Bancak Bengek, "Kapan-kapan... kita bertemu lagi! 

itu pun... kalau kau masih hidup! Karena dari 

pancaran matamu, kau sedang terlibat satu uru-

san! Aku tidak tahu apakah dugaanku ini benar 

atau tidak, tetapi yang pasti... sampai kapan pun 

juga kau tak akan pernah melupakan kekala-

hanmu dari Dewa Pengasih!"

Sebelum kakek kerempeng itu menyahut, 

Nyai Darah Sumba sudah berkata pada Nyai 

Ganda Arum, "Ikuti aku, Ganda Arum! Kita akan 

mencari pakaian untukmu di perjalanan!"

Masih dalam keadaan polos karena pakaian-

nya tak mungkin lagi bisa dipakai, Nyai Ganda 

Arum mengikuti langkah si nenek berpakaian me-

rah lusuh yang sudah mendahului.

Di tempatnya Bancak Bengek menelan lu-

dahnya berkali-kali melihat pantat mencuat yang 

bergoyang-goyang penuh gairah itu. Tetapi di lain 

saat dia sudah kembali pada tujuannya semula 

dan meninggalkan tempat itu.



DELAPAN



KELEBATAN Raja Naga seketika terhenti 

tatkala didengarnya suara letupan berulang-ulang 

dari satu tempat. Sejenak anak muda bersisik 

coklat pada lengan kanan kiri ini menajamkan 

pendengarannya. Samar-samar ditangkapnya 

bentakan demi bentakan bernada amarah. Kepala 

Raja Naga menegak ketika ditangkap bentakan 

yang membuat dadanya berdebar.

Kejap itu pula dia berkelebat untuk mencari 

asal letupan dan bentakan yang keras itu.

Belum lagi dia tiba di tempat itu, tiba-tiba 

saja sebuah pohon yang tumbang menderu keras 

ke arahnya. Dengan sigap Raja Naga menghantam 

luncuran pohon itu hingga terpecah menjadi dua 

dan berpentalan.

Lalu dilihatnya cahaya warna-warni bertabu-

ran di udara. Dadanya semakin berdebar ken-

cang, terutama ketika mendengar bentakan, "Se-

rahkan Kitab Ajian Selaksa Sukma bila kau masih 

ingin melihat matahari besok!!"

"Jangan berpikir semudah itu kau dapat 

mengalahkanku, Ratna Wangi! Tak mudah!"

"Akan kubuktikan kalau ucapanmu itu salah 

besar!!"

Buummm!!

Ledakan dahsyat itu menggebah keras. Raja 

Naga melihat tanah muncrat setinggi dua tombak 

disusul dengan cahaya warna-warni dan cahaya 

terang yang saling tumpang tindih.

Raja Naga tercekat dengan suara menjerit 

yang dikenalinya.

"Ratu Tanah Kayangan!" desisnya seraya me-

lesat ke depan. Saat itu dilihatnya satu bayangan 

kuning sudah menggebah dengan tangan kanan 

kiri bercahaya. Gerakannya luar biasa ringan. Ra-

ja Naga yang sedang melesat saja sudah merasa-

kan gemuruh angin ke arahnya, apalagi perem-

puan bercadar sutera yang sedang memekik keras 

itu!

Raja Naga segera mendeham untuk menga

tasi gemuruh angin. Tenaga tak nampak yang 

menderu dari dehamannya itu tertelan bulat-

bulat oleh gemuruh angin raksasa yang menyeret 

tanah. Seketika anak muda dari Lembah Naga itu 

mendorong tangan kanan kirinya. Gelombang an-

gin yang disaput asap merah menggebrak, tetapi 

lagi-lagi lenyap tertelan gemuruh dahsyat itu.

"Gila!!" pekikan tertahan terdengar dari mu-

lut si pemuda. Kini yang harus dilakukannya ada-

lah segera menyambar tubuh perempuan berpa-

kaian biru keemasan.

Ketika berhasil melakukannya, terdengar 

suara berdebam yang lintang pukang. Pepohonan 

berderak dan tumbang. Dahan-dahannya ber-

hamburan dan bertabrakan satu sama lain.

Sementara Raja Naga berusaha menyela-

matkan perempuan bercadar sutera, perempuan 

yang menyerang itu telah berdiri tegak dengan 

mata memicing.

"Hemmm... bagus! Raja Naga!" desisnya den-

gan bibir menyeringai. Dia sengaja tak segera me-

lakukan serangannya. Dibiarkan pemuda berompi 

ungu itu hinggap kembali di atas tanah.

Begitu Raja Naga tegak lagi, terdengar satu 

seruan keras, "Nimas! Pencuri bunga-bunga ke-

ramat itu!!"

Ratu Dinding Kematian mendesis, "Diam di 

tempat, Purwa! Biar kuhabisi dia sekarang!"

Lelaki yang berseru tadi urung untuk me-

nyerang. Matanya bersinar tajam memandang Ra-

ja Naga yang telah berdiri di samping Ratu Tanah 

Kayangan. Sementara itu, Ratu Tanah Kayangan

sendiri sedang berusaha mengatur napasnya yang 

terputus-putus. Dadanya bergemuruh hebat.

Dia memang telah membayangkan keheba-

tan Ratu Dinding Kematian yang diduganya telah 

berhasil meminum air rendaman bunga-bunga 

keramat. Tetapi sungguh di luar dugaan kalau 

ternyata lebih dahsyat dari perkiraannya.

Ratu Dinding Kematian mendengus dingin.

"Kalau sebelumnya hanya kutepuk seekor la-

lat, sekarang dua ekor lalat telah masuk perang-

kap!"

Pemuda bermata angker itu memandang tak 

berkedip. Diam-diam dadanya berdebar keras.

"Apa yang dikatakan Dewa Pengasih memang 

sebuah kenyataan. Perempuan itu sukar ditan-

dingi. Ini berbahaya! Bisa-bisa nyawaku dan nya-

wa Ratu Tanah Kayangan yang akan lenyap!"

Ratu Tanah Kayangan yang belum berhasil 

mengatur napasnya berbisik, "Hati-hati... kesak-

tiannya sungguh luar biasa...."

Raja Naga menyahut tanpa melirik, "Bagai-

mana kau bisa berjumpa dengannya?"

"Tahu-tahu dia muncul di hadapanku. Bila 

saja kau tadi tidak muncul, aku sudah mampus 

saat ini. Raja Naga... jangan bertindak gegabah. 

Perempuan ini memiliki kesaktian hebat seka-

rang."

"Retno Harum...," kata Raja Naga memanggil 

nama asli Ratu Tanah Kayangan. "Kita sama-

sama tak menyangsikan lagi kehebatan perem-

puan itu sekarang. Rasa-rasanya, nyawa kita 

memang bisa putus di sini. Dan aku tak ingin itu

terjadi."

"Apa maksudmu?"

"Kau segeralah menyingkir dari sini. Biar 

aku yang menghadapinya."

"Gila! Tak mungkin aku meninggalkanmu di 

sini untuk menghadapinya seorang diri, Raja Na-

ga! Kita sama-sama menghadapinya!"

Raja Naga menyahut, tetap tanpa melirik, 

"Tak ada waktu buat berdebat sekarang. Segera-

lah menyingkir."

"Tidak! Kau pikir aku semacam orang penge-

cut yang tak berani menghadapi segala urusan 

yang mengandung risiko besar? Raja Naga! Kita 

hadapi perempuan itu bersama-sama!"

Raja Naga cuma menahan napas.

Ratu Dinding Kematian berseru penuh eje-

kan, "Cepat kalian atur bagaimana caranya untuk 

mengalahkanku?! Kalian boleh pula tinggalkan 

tempat ini, asalkan telah tanggalkan nyawa!!"

Di lain saat kedua tangannya sudah me-

rangkap di depan dada. 

Raja Naga membatin, "Dia pernah keluarkan 

'Ajian Selaksa Jiwa'. Aku ingat gerakan pertama 

yang dilakukannya. Tetapi sekarang dia... astaga! 

Tentunya dia akan keluarkan kehebatan dari 

khasiat bunga-bunga keramat!!"

Ratu Tanah Kayangan sudah berbisik, "Hati-

hati! Dia akan keluarkan ilmu barunya itu!"

Di pihak lain, lelaki bercambang tebal itu 

memperhatikan Ratu Dinding Kematian dengan 

seksama. Dia sebenarnya merasa heran menda-

pati kemajuan Ratu Dinding Kematian.

"Ketika bertarung dengan Raja Naga sebe-

lumnya, Nimas Herning begitu keder dan kebin-

gungan. Tetapi sekarang dia bersikap penuh tan-

tangan. Bahkan, di saat Raja Naga bersama-sama 

dengan Ratu Tanah Kayangan. Aneh! Apa yang... 

heiii!! Tadi perempuan berjuluk Ratu Tanah 

Kayangan itu memanggilnya dengan sebutan Rat-

na Wangi! Astaga! Bukankah dia mengaku ber-

nama Nimas Herning?" 

Purwa mulai berpikir setelah menemukan 

kejanggalan demi kejanggalan. Terutama setelah 

menyaksikan kehebatan perempuan yang dipang-

gil dengan nama Ratna Wangi.

Tiba-tiba kedua telinganya menegak ketika 

perempuan bercadar sutera berseru, "Ratu Dind-

ing Kematian! Perbuatanmu sudah kelewat batas! 

Kau...."

"Kau yang akan mampus di tanganku!!" pu-

tus perempuan bertahi lalat tepat di tengah-

tengah keningnya, Di lain saat kedua tangannya 

yang merangkap tadi didorong ke depan.

Astaga! Gemuruh liar menggebrak mengeri-

kan, menyeret tanah hingga membentuk laksana 

ombak di tengah laut!

Baik Ratu Tanah Kayangan maupun Raja 

Naga sama-sama tersentak. Ratu Tanah Kayan-

gan sudah melepaskan 'Ajian Selaksa Sukma' 

yang menggebrak sengit, disusul dengan tanah 

yang bergerak membentuk gelombang dari ilmu 

'Barisan Naga Penghancur Karang'.

Ledakan susul menyusul membuat tempat 

itu bergetar dahsyat. Tetapi gemuruh angin yang

menggebah itu terus menderu ganas. Hingga mau 

tak mau Ratu Tanah Kayangan dan Raja Naga 

sama-sama melompat menghindar.

Buuummmmm!!

Lima batang pohon seketika berpentalan ter-

dorong. Tanah-tanah berhamburan, pekat laksa-

na gumpalan kabut hitam. Belum lagi Raja Naga 

dan Ratu Tanah Kayangan berdiri tegak, tiba-tiba 

saja satu bayangan kuning sudah melesat disertai 

geraman memecah langit.

Tetapi kali ini tak ada gemuruh angin dah-

syat seperti tadi walaupun Ratu Dinding Kema-

tian sudah memutar kedua tangannya ke atas 

dan tangan kanannya disentakkan ke arah Raja 

Naga, sementara tangan kirinya didorong ke arah 

Ratu Tanah Kayangan. 

Ratu Tanah Kayangan kelihatan sudah ber-

siap untuk membalas karena menduga tak ada 

serangan berbahaya seperti tadi. Namun sebelum 

dilakukannya, Raja Naga sudah mendorongnya 

hingga bergulingan.

"Menyingkirrrrr!!"

Buuummm!! 

Ledakan luar biasa kembali membuat tempat 

itu bergetar hebat. Ratu Tanah Kayangan berdiri 

lagi, kali ini dengan wajah pias.

"Gila! Tak ada suara apa pun yang kutang-

kap, tak ada desiran apa pun yang kurasa! Tetapi 

akibatnya... celaka! Sungguh celaka!" serunya da-

lam hati dengan napas kembang kempis.

Kejap berikutnya dilihatnya Raja Naga yang 

sedang berusaha berdiri.

"Raja Naga!" serunya tertahan tatkala meli-

hat betis kanan Raja Naga mengeluarkan darah.

Raja Naga menggerak-gerakkan tangan ka-

nannya.

"Aku tidak apa-apa!" desisnya menahan nye-

ri. Rupanya kakinya terserempet tenaga tak nam-

pak yang dilepaskan Ratu Dinding Kematian.

Di pihak lain perempuan itu tertawa sangat 

keras.

"Manusia-manusia tak berguna! Cukup su-

dah aku menaruh belas kasihan pada kalian! Kini 

tibalah saatnya untuk melihat kalian mampus!!"

Tetapi sebelum Ratu Dinding Kematian me-

lancarkan niat, seruan keras terdengar, "Tunggu, 

Nimas!"

Segera dipalingkan kepalanya. Matanya ta-

jam memandang pada Purwa yang juga sedang 

memandangnya.

"Mengapa kau menahanku, hah?!" geramnya 

sengit.

Purwa tak segera menjawab. Matanya terus 

menerus memandang. Tiba-tiba dia mendesis, 

"Siapakah kau sebenarnya, Nimas?"

Mendengar pertanyaan orang, Ratu Dinding 

Kematian melengak sejenak sebelum membentak.

"Purwa! Apa-apaan kau bertanya begitu, 

hah?!"

"Nimas... sebelumnya kau tidak mampu 

menghadapi Raja Naga. Tetapi sekarang tiba-tiba 

saja kau memiliki ilmu yang luar biasa tinggi. 

Bahkan kau dapat membuat Raja Naga dan Ratu 

Tanah Kayangan kocar-kacir!"

Ratu Dinding Kematian tertawa keras. 

Karena, aku bukanlah orang yang sombong!"

"Aku mulai menyangsikan siapa kau sebe-

narnya, Nimas! Aku mulai yakin kalau namamu 

bukan Nimas Herning! Karena perempuan berca-

dar sutera itu berulang kali memanggilmu Ratna 

Wangi! Tadi, tadi... dia memanggilmu dengan ju-

lukan Ratu Dinding Kematian! Nimas... aku jadi 

ingat tentang tuduhan Raja Naga waktu itu! Dia 

mengatakan dirimu adalah Ratu Dinding Kema-

tian!"

Sepasang mata Ratu Dinding Kematian be-

rapi-api.

Lelaki berpakaian biru terbuka itu sudah 

berkata lagi, "Aku juga mulai berpikir, sebab-

sebab Sibarani menyerangmu dengan kalap! Dan 

bagiku cukup mengherankan sekarang. Nimas 

Herning... katakan siapa kau sebenarnya? Dan 

apa yang terjadi dengan Bunga Matahari Jingga?!" 

"Keparat! Lelaki ini rupanya mulai menduga 

apa yang terjadi sebenarnya! Huh! Tak perlu lagi 

dia kubiarkan hidup, untuk kujadikan sandera 

yang akan memudahkanku untuk menghadapi 

Dewa Segala Dewa!"

Habis membatin geram seperti itu, Ratu 

Dinding Kematian berseru keras, "Purwa! Sebaik-

nya jangan banyak mulut bila ingin mampus!"

Bukannya jeri dengan ancaman itu, Purwa 

justru merandek gusar, "Aku ingin tahu apa yang 

telah terjadi! Aku tidak yakin lagi kalau Raja Na-

galah yang menyebabkan Sibarani tak bersuara! 

Nimas Herning! Kaulah yang telah melakukannya,

untuk menutup mulut Sibarani!"

Baru saja habis bentakannya, Purwa sudah 

menyerang dengan ilmu 'Bentang Gunung Bant-

ing Tanah'!

Ratu Dinding Kematian menggeram.

"Huh! Tidak, dia tidak boleh kubunuh lebih 

dulu! Tetapi... menyiksanya saat ini boleh juga!!"

Tanpa bergeser dari tempatnya, perempuan 

berpakaian kuning mengerahkan hawa murninya 

dan membawanya ke bawah perut. Bersamaan 

dihembuskan napasnya, tiba-tiba saja dia berges-

er ke samping kanan.

Serangan Purwa lolos.

Tangan kanan kiri Ratu Dinding Kematian 

sudah menepak punggung Purwa! 

Plak!

Tubuh Purwa meluncur deras dan ambruk di 

atas tanah.

Melihat hal itu Raja Naga bermaksud mem-

burunya, tetapi tangan Ratu Tanah Kayangan su-

dah menahannya.

"Jangan... jangan sentuh dia..."

Sebelum Raja Naga melontarkan keheranan-

nya, dilihatnya tubuh Purwa sudah menggeliat-

geliat. Menyusul bintik-bintik hitam menghiasi 

sekujur tubuh dan lelaki itu berteriak-teriak ke-

ras seraya menggaruki seluruh tubuhnya yang te-

rasa gatal.

"Dugaanku ternyata benar. Tentunya dia te-

lah berjumpa dengan Bancak Bengek dan menda-

patkan ilmu hitamnya," desis Ratu Tanah Kayangan.


Di pihak lain Ratu Dinding Kematian men-

dengus, "Nah! Kau bersenang-senanglah dulu 

dengan ilmu 'Kelabang Jinjit'!" 

Kemudian diarahkan pandangannya pada 

Raja Naga dan Ratu Tanah Kayangan. "Kini tiba-

lah saatnya kalian mampus!!"

Tangan kanan kirinya sudah didorong ke de-

pan.

Tak ada suara yang terdengar, tak ada desir 

angin yang terasa. Tetapi baik Raja Naga maupun 

Ratu Tanah Kayangan sudah membuang tubuh 

ke samping kanan.

Bummmm!!

Ledakan itu terdengar mengerikan. Raja Na-

ga mendorong tubuh Ratu Tanah Kayangan ke 

belakang. Dia sendiri segera melompat ke depan. 

Menghadapi keganasan Ratu Dinding Kematian 

memang harus memiliki keberanian sendiri. Dan 

Raja Naga bertekad menghadapinya terus. Kalau-

pun dia mendorong Ratu Tanah Kayangan, agar 

perempuan bercadar sutera itu menyingkir. Kare-

na dengan begitu, Raja Naga tak perlu memikir-

kan keselamatan si perempuan. Yang dipikir-kan 

hanyalah keselamatannya.

Dengan menggunakan ilmu 'Naga Menga-

muk' dan sesekali melepaskan ilmu 'Hamparan 

Naga Tidur' anak muda bermata angker itu me-

nerjang ke depan. Namun apa yang dilakukannya 

hanyalah kesia-siaan belaka. Karena kedua ilmu 

itu putus di tengah jalan. Bahkan Ratu Dinding 

Kematian kemudian berusaha untuk menyentuh 

bagian-bagian tubuh Raja Naga dengan ilmu

'Kelabang Jinjit'!

Masih beruntung Raja Naga terus berhasil 

menghindari tepakan kedua tangan si perem-

puan. Kendati demikian, luka pada betis kanan-

nya kian terasa nyeri dan sangat mengganggu ke-

seimbangannya. Anak muda itu tergontai-gontai 

ke belakang.

Blaaammm!!

Bila saja Ratu Tanah Kayangan tak segera 

menyambar tubuhnya dapat dipastikan kalau 

nyawanya telah melayang.

"Sudah kukatakan. Kita harus menghada-

pinya bersama-sama!" serunya.

Raja Naga cuma mengangguk-angguk. Na-

pasnya semakin megap-megap dan dirasakan da-

danya seperti hendak membuncah pecah.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" de-

sisnya terbata.

"Jalan satu-satunya harus menyingkir dulu."

"Tidak! Kita tidak boleh menyingkir dari sini! 

Kita harus terus menghadangnya agar dia tak 

punya kesempatan menurunkan onarnya di sana-

sini!"

Ratu Tanah Kayangan menggeram gemas.

"Kau lihat sendiri kehebatannya! Kita tak 

akan mampu menghadapinya!" 

"Apa pun yang terjadi kita akan tetap meng-

hadapinya!!" 

Di seberang, Ratu Dinding Kematian mulai 

bertambah gusar. Dia memang tak bisa dikalah-

kan oleh kedua lawannya, tetapi hingga saat ini 

dia sendiri belum berhasil membunuh keduanya.

"Terkutuk! Akan ku cecar mereka sekarang!!"

Namun sebelum dilakukannya, tiba-tiba saja 

dua sosok tubuh melayang dan hinggap di atas 

tanah. Berdiri tegak sejarak dua belas langkah 

dari Ratu Dinding Kematian. Sebelum ada yang 

memperhatikan mereka, terdengar suara keras 

dan langkah berdebam, "Kurang ajar! Kenapa ka-

lian meninggalkanku, hah?!" 

Bersamaan orang yang bersuara yang memi-

liki tubuh luar biasa gemuk Itu muncul, tiba-tiba 

salah seorang dari kedua perempuan yang mun-

cul lebih dulu tadi, telah memburu Purwa yang 

sekujur tubuhnya mulai merah-merah dan men-

geluarkan darah akibat terus menerus digaruk.

Raja Naga memekik keras. "Jangan, Sibara-

ni!! Jangan sentuh dia!!"

Tetapi terlambat. Perempuan berpakaian me-

rah dan berpakaian dalam hijau itu telah me-

nyentuh tubuh Purwa.



SEMBILAN


BEGITU memegang tubuh Purwa, sesaat Si-

barani tersentak kaget karena merasa begitu pa-

nas. Tetapi di kejap lain, seperti didorong satu te-

naga kuat, perempuan itu terbanting di atas ta-

nah. Bintik-bintik hitam segera menghiasi tubuh-

nya. Kedua tangannya menggaruk-garuk sekujur 

tubuhnya yang terasa gatal luar biasa. Sementara 

Raja Naga hanya bisa mundur tanpa berani me-

megangi tubuh Sibarani maupun Purwa

Nenek berpakaian hijau yang datang bersa-

manya mengerutkan kening.

"Aku mengenal ilmu itu. Kalau tak salah, sa-

lah satu ilmu hitam milik Bancak Bengek. Terku-

tuk! Apakah kakek kerempeng itu berada di sini? 

Atau...."

Memutus kata batinnya, si nenek yang seba-

gian rambutnya memutih tetapi rambut yang di-

kondenya berwarna hijau sudah menggeram pada 

Ratu Dinding Kematian.

"Kau tak akan bisa meloloskan diri dari tan-

ganku sekarang!!"

Ratu Dinding Kematian mendengus.

"Ingin kulihat kehebatan omonganmu, Pe-

rempuan tua!!"

Belum habis bentakannya Ratu Dinding Ke-

matian melompat. Lompatannya sangat cepat se-

kali sementara tanah di mana tadi dijadikan se-

bagai tumpuan kedua kakinya membuyar setinggi 

satu tombak dan membentuk lubang!

Gemuruh angin dahsyat seketika mengge-

bah. Si nenek yang bukan lain Dewi Lembah Air 

Mata adanya segera menghindar.

"Astaga! Bagaimana tahu-tahu dia memiliki 

kehebatan berlipat ganda?!" serunya tertahan dan 

saat itu pula dia berpikir, "Terkutuk! Jelas me-

mang dialah pencuri bunga-bunga keramat dan 

saat ini tentunya telah mendapatkan khasiat dari 

bunga-bunga itu! Aku tak boleh bertindak ayal!!"

Tetapi si nenek sendiri kesulitan untuk 

mundur dan mencari kesempatan. Sementara itu, 

kakek bertubuh luar biasa gemuk yang pakaian

nya tak mampu menutupi lemak-lemak tubuhnya 

mengerutkan kening.

"Kini sudah terbuka semuanya! Perempuan 

berpakaian kuning keemasan itulah pangkal dari 

semua urusan berbahaya ini! Hemmm... kubiar-

kan saja dulu Dewi Lembah Air Mata menghada-

pinya! Setelah itu... astaga! Sungguh mustahil ka-

lau nenek berkonde hijau itu berhasil didesaknya! 

Apakah... gila! Tentunya perempuan itu memang 

telah mendapatkan khasiat bunga-bunga kera-

mat!"

Dewi Lembah Air Mata sendiri berusaha un-

tuk menjaga jarak dengan Ratu Dinding Kema-

tian. Tatkala berhasil menghindar dan hinggap 

kembali di atas tanah, si nenek sudah merang-

kapkan kedua tangannya di depan dada. Kepa-

lanya agak ditundukkan hingga tubuhnya mem-

bungkuk sedikit. Di lain saat dia sudah mengisak.

Ratu Dinding Kematian terheran-heran men-

dengar isakan si nenek. Di kejap berikutnya dia 

menggeram, "Hemmm... aku ingat. Kalau isakan 

si nenek ini pernah membuat Raja Naga tergontai-

gontai. Keparat! Rupanya dia hendak menyerang-

ku dengan...."

Kata-katanya terputus karena tahu-tahu di-

rasakannya sesuatu menggedor keras kedua te-

linganya hingga berdenging-denging.

Dengan menggeram keras, Ratu Dinding 

Kematian berusaha menahan isakan itu. Tetapi 

isakan itu terus menerobos dahsyat ke kedua te-

linganya dan semakin keras terdengar. Dalam dua 

kejapan mata saja, tubuhnya bergetar hebat.

"Keparat! Terkutuk!!" makinya gusar. Sakit 

tak terkira membuat aliran darahnya bertambah 

cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti dihan-

tam gada besar berulang-ulang. Napasnya mulai 

terasa sesak.

Namun tiba-tiba saja perempuan mesum ini 

memutar kedua tangannya ke atas yang segera 

didorongnya. Dewi Lembah Air Mata melihat ge-

rakan itu. Sejenak dia hendak menghindar tetapi 

tetap melancarkan ilmu 'Air Mata Purnama'. Na-

mun karena tak merasakan sesuatu dari kedua 

dorongan tangan Ratu Dinding Kematian, dia te-

tap berlutut tanpa bergeser.

Raja Naga yang sedang berpikir mengelua-

rkan Gumpalan Daun Lontar yang sedianya digu-

nakan untuk mengikis penderitaan Sibarani dan 

Purwa, justru berteriak keras, "Menyingkir dari 

tempatmu!!"

Anak muda itu berusaha keras untuk men-

dorong tubuh si nenek. Tetapi dikarenakan kaki 

kanannya yang semakin melemah dan bertambah 

nyeri, tindakannya terlambat. Ya, terlambat! 

Plaaakkk!

Justru dirasakannya satu tepakan pada 

punggungnya hingga tubuhnya berguling ke 

samping kanan. Dilihatnya pula bagaimana orang 

yang menepaknya tadi juga menepak punggung 

Dewi Lembah Air Mata. 

Kendati demikian, jeritan Dewi Lembah Air 

Mata terdengar memecah tempat itu.

"Aaaakhhhhhh!!"

Kaki kirinya kutung terhantam tenaga tak

nampak.

Sementara itu Ratu Tanah Kayangan yang 

tadi berusaha bergerak cepat setelah melihat Raja 

Naga terganggu akibat luka pada betis kanannya 

pun terlempar ke belakang dengan tangan kanan 

kutung!

Dua sosok tubuh bergulingan hebat di sana. 

Berputaran menahan sakit yang luar biasa. Darah 

yang telah bercampur dengan tanah berceceran di 

sana.

"Retno Harummmm!" teriak Raja Naga dan 

segera menyambar tubuh si perempuan. Lagi-lagi 

karena kaki kanannya terluka, saat hinggap kem-

bali di atas tanah, tubuhnya goyah dan dia ter-

banting di atas tanah dengan tubuh Ratu Tanah 

Kayangan yang menindihnya.

Sakit pada dadanya tak terkira. Tetapi anak 

muda itu tak mempedulikannya. Segera ditotok-

nya urat darah pada pangkal lengan kanan Ratu 

Tanah Kayangan. Begitu ditotok, perempuan ber-

cadar sutera itu telah jatuh pingsan!

Dan kepanikan Raja Naga kian bertambah. 

Karena saat ini Ratu Dinding Kematian sudah 

menerjang ke arah Dewi Lembah Air Mata yang 

masih menggeliat-geliat menahan sakit! Tetapi 

sebelum serangan itu berhasil mengenai si nenek, 

sosok Ratu Dinding Kematian terpental ke bela-

kang tatkala kibasan tangan gempal melesat ke 

arahnya.

Menyusul gelombang angin dahsyat mengge-

bah menghantamnya! 

Bila saja saat ini Ratu Dinding Kematian be

lum mendapatkan khasiat dari bunga-bunga ke-

ramat, nyawanya tidak hanya lepas dengan tubuh 

utuh, melainkan dengan tubuh lebur! Akan teta-

pi, kesaktian yang didapatkannya dari bunga-

bunga keramat benar-benar membuatnya menjadi 

seseorang yang tangguh luar biasa.

Begitu tubuhnya terdorong ke belakang den-

gan deras, cepat diputar dengan cara mengam-

bang di udara. Kedua kakinya diluruskan dan 

menghantam sebuah pohon yang sekaligus dija-

dikan sebagai pantulan gerakannya.

Pohon itu bukan hanya tumbang, tetapi pe-

cah berhamburan sementara sosoknya melesat 

cepat ke arah Dewa Seribu Mata. Kakek gempal 

itu memandang tak berkedip. Dadanya dibuncah 

kemarahan tinggi. Dia memang terlambat berge-

rak karena dia sama sekali tak menyangka, apa 

yang akan terjadi ketika Ratu Dinding Kematian 

mendorong kedua tangannya. Dan sekarang, si 

kakek gemuk menjadi sangat gusar.

Kedua telapak tangannya diusap satu sama 

lain hingga mengeluarkan asap berwarna hitam 

yang pekat. Aroma wangi seketika menyebar dan 

menerpa indera penciuman masing-masing orang 

yang berada di sana.

Raja Naga yang sedang berusaha mengatasi 

rasa sakit pada diri Dewi Lembah Air Mata, segera 

melakukan totokan yang seperti dilakukannya 

pada Ratu Tanah Kayangan. Dan seperti yang ter-

jadi pada perempuan bercadar sutera itu, si ne-

nek berkonde hijau itu pun jatuh pingsan.

Kemudian diangkat kepalanya, diperhati

kannya bagaimana Dewa Seribu Mata sedang 

mendorong tangan kanan kirinya setelah asap hi-

tam pekat itu lenyap sama sekali!

Suara berdentum sangat keras menggebah, 

membuat tempat itu laksana bergetar hebat. Raja 

Naga harus menahan tubuh Dewi Lembah Air Ma-

ta yang terjingkat naik. Lalu menggerakkan tan-

gannya pada sosok pingsan Ratu Tanah Kayangan 

yang mencelat ke atas akibat tanah yang bergetar!

Menyusul didengarnya suara berdebam yang 

luar biasa keras!

Seketika Raja Naga menoleh. Dilihatnya tu-

buh gemuk berpakaian hitam itu terbanting di 

atas tanah! Untuk beberapa lamanya Dewa Seribu 

Mata terdiam sambil memegangi dadanya yang 

seperti remuk. Tapi di lain saat dia sudah berdiri. 

Kedua kakinya agak goyah hingga dia limbung ke 

kanan. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah se-

gar.

"Tiga Penguasa Bumi telah mengetahui ke-

hebatan apa yang akan didapatkan oleh orang 

yang telah meminum air rendaman dari bunga-

bunga keramat. Tetapi aku sama sekali tak me-

nyangka kalau kesaktian yang didapatkan dari 

bunga-bunga keramat itu lebih mengerikan dari 

apa pun juga!"

Di seberang begitu tanah yang berhamburan 

tadi luruh kembali ke bumi, terlihat Ratu Dinding 

Kematian tetap berdiri tegak tanpa kurang suatu 

apa. Dan tanpa berkata apa-apa, dia sudah mele-

sat ke arah Dewa Seribu Mata!

Melihat apa yang akan dialami kakek gemuk

luar biasa itu, tanpa pikir panjang lagi Raja Naga 

sudah melesat ke depan. Kendati kelihatan nekat 

karena menyongsong bahaya, Raja Naga masih 

dapat mempergunakan otaknya. Seraya melompat 

dikeluarkannya Gumpalan Daun Lontar yang se-

gera memancarkan sinar hijau.

Lalu diputarnya dan didorong untung-

untungan!

Selarik sinar hijau yang luar biasa terangnya 

menggebah. Ratu Dinding Kematian mendengus 

sejenak tanpa kurang kecepatannya. Bahkan dili-

patgandakan tenaga dalamnya.

Bummmmm!!

Benturan itu mengakibatkan ledakan yang 

sangat luar biasa dahsyatnya. Tempat itu bergetar 

untuk kesekian kalinya. Sinar-sinar hijau berpen-

talan ke udara, menerangi tempat itu beberapa 

saat.

Dan masing-masing orang yang saling ber-

benturan tadi sama-sama terpelanting ke bela-

kang. Raja Naga terbanting keras di atas tanah. 

Tulang punggungnya terasa seperti patah. Luka 

pada betisnya bertambah nyeri.

Di pihak lain Ratu Dinding Kematian juga 

terbanting di atas tanah. Namun perempuan me-

sum ini masih dapat berdiri kembali kendati agak 

goyah. Dan terlihat wajahnya menunjukkan ke-

kagetan.

"Gila! Apa yang terjadi? Mengapa aku bisa 

terhantam seperti ini?!" 

Di pihak lain Dewa Seribu Mata sudah ber-

seru keras, "Anak muda bersisik! Kau dapat menahan serangannya dengan benda sakti itu!!" 

Begitu mendengar seruan si kakek gemuk, 

dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya Raja 

Naga bangkit dan mempersiapkan diri kembali. 

Seluruh tulang di tubuhnya seperti memar dan 

sakitnya sangat menyengat, terutama pada betis 

kanannya yang terluka.

Sementara itu, Ratu Dinding Kematian men-

gerutkan keningnya. Matanya tak berkedip pada 

benda yang memancarkan sinar hijau yang masih 

berada di tangan Raja Naga.

"Gumpalan Daun Lontar! Gila! Rupanya 

benda itu mampu menahan seranganku! Apa-

kah... tidak! Itu hanya kebetulan saja! Biar kusi-

kat dia sekarang!!"

Dipandanginya pemuda berompi ungu yang 

dalam keadaan goyah itu. Ratu Dinding Kematian 

juga mempersiapkan ilmu 'Kelabang Jinjit'. Saat 

kembali dikeluarkan ilmu itu dia mendengus ke-

tika teringat pada Bancak Bengek.

"Terkutuk! Ke mana si Kerempeng itu?! Men-

gapa dia belum tiba juga di sini?!"

Di pihak lain Raja Naga sudah tak bisa me-

nahan goyahan tubuhnya. Diputuskan untuk se-

gera melancarkan serangannya sekarang. Setelah 

menguatkan diri dan meneguhkan perasaannya, 

murid Dewa Naga itu segera melesat ke depan. 

Gumpalan Daun Lontar didorongnya yang kali ini 

bukan hanya selarik sinar hijau saja yang mele-

sat. Tetapi sinar hijau berbentuk layar lebar 

menggebah!

Ratu Dinding Kematian menggeram dan se

gera menerjang pula!

Benturan tak terkira dahsyatnya terjadi 

kembali. Tanah yang bergetar hebat itu membuat 

tubuh pingsan Ratu Tanah Kayangan dan Dewi 

Lembah Air Mata terjingkat ke atas. Sementara 

itu baik Purwa maupun Sibarani sudah semakin 

menggila dengan garukan-garukan pada tubuh 

mereka.

Raja Naga terpental deras ke belakang. Tu-

buhnya menghantam sebuah pohon hingga patah. 

Keluhan tertahan terdengar cukup nyaring. Saat 

terbanting lagi ke depan, mulutnya menggembung 

dan....

"Huaaaakkk!!"

Pemuda itu muntah darah!

Di pihak lain, Ratu Dinding Kematian yang 

telah melipatgandakan tenaganya, langsung ber-

diri begitu terbanting di atas tanah. Walaupun di-

rasa punggungnya nyeri, tetapi dia segera berdiri 

lagi. Dan menyusul serangan ganasnya datang 

menyerbu Raja Naga!

Dewa Seribu Mata yang tiba-tiba matanya 

bergerak menjadi banyak, mencoba menahan. Dia 

mampu melakukannya dengan serangan melalui 

kedua matanya yang seakan menjadi banyak. Su-

ara laksana pasir disiram menggebah. Tetapi saat 

itu pula tubuhnya terbanting di atas tanah kare-

na dorongan angin yang kuat. Masih beruntung 

kakek gemuk luar biasa itu dapat menghindari 

sentuhan tangan Ratu Dinding Kematian yang te-

lah dialirkan ilmu 'Kelabang Jinjit'! 

Dan sekarang... nasib Raja Naga sudah be

rada di ujung tanduk!

Namun sebelum maut menjemput nyawa 

anak muda dari Lembah Naga itu, tiba-tiba saja 

terdengar suara bergetar yang berdenging-denging 

disusul satu suara,

"Mengapa harus menurunkan tangan telen-

gas mengerikan seperti ini, Ratna Wangi?!"

Blaaammmmm!!

Serangan ganas Ratu Dinding Kematian pu-

tus di tengah jalan. Orangnya sendiri sudah 

mundur ke belakang. Begitu tegak di atas tanah, 

kepalanya menegak dengan mata bergerak-gerak 

liar mencari orang yang bersuara sekaligus me-

nahan serangannya pada pemuda berompi ungu.

"Suara itu... suara itu...," desisnya sedikit 

panik dalam hati. Tetapi di lain kejap desisannya 

sudah berubah menjadi geraman, "Siapa pun 

yang menghalangi keinginanku, dia harus mam-

pus di tanganku!"

Kemudian dilihatnya seorang kakek agak 

bongkok yang mengenakan pakaian dan jubah 

putih panjang telah berdiri di samping kanan Raja 

Naga yang sedang berusaha bangkit. Kakek yang 

seluruh rambut dan bulu yang menghiasi tubuh-

nya ini berwarna putih, pandangi Ratu Dinding 

Kematian dengan mata teduhnya. Tertangkap ke-

san kalau mata teduh itu memancarkan sorot ke-

sedihan sekaligus penyesalan.

Tetapi Ratu Dinding Kematian tidak mempe-

dulikannya. Dia justru berteriak lantang, "Guru! 

Jangan ikut campur urusanku! Namun bila Guru 

berkehendak demikian, aku tak segan-segan untuk turunkan tangan!"



SEPULUH


KAKEK yang pada masing-masing pergelan-

gan tangannya terdapat sebuah gelang terbuat 

dari baja putih berkata lembut, "Ratna Wangi... 

kembalilah ke jalan yang benar. Kau telah salah 

melangkah, Muridku...."

Sesaat Ratu Dinding Kematian tak bersuara. 

Matanya yang kejam sedikit mengerjap-ngerjap 

pada kakek di hadapannya. Namun di saat lain 

dia sudah membentak gusar

"Guru! Jangan ikut campur urusanku!!"

"Hingga saat ini, aku tak pernah punya nia-

tan untuk ikut campur dalam urusan orang lain! 

Kalaupun aku ikut campur dalam urusan ini, ka-

rena kau adalah muridku, Ratna Wangi. Kau se-

makin dalam terjerumus pada jurang kesesatan. 

Sadarlah. Muridku... kembalilah ke jalan yang 

benar."

"Guru! Sekali lagi kukatakan, jangan ikut 

campur urusanku!!" geram Ratu Dinding Kema-

tian, namun kali ini suaranya agak bergetar.

Kakek bermata dan berwajah teduh yang 

bukan lain Dewa Pengasih adanya menggeleng.

"Sebelum kulihat kau menginsyafi semua ke-

salahanmu, aku akan tetap berada di sini, Murid-

ku...."

Ratu Dinding Kematian tak menjawab. Da-

danya dipenuhi gemuruh keras. Namun di kejap

lain dia sudah melesat ke depan.

Akan tetapi, sebelum dia bergerak, tiba-tiba 

saja tubuhnya terbanting di atas tanah. Karena 

dirasakan kedua kakinya seperti tersambar satu 

tenaga tak nampak.

"Maafkan aku, Muridku... terpaksa aku ha-

rus bertindak sedikit keras padamu...."

Ratu Dinding Kematian bangkit dengan ka-

lap. Wajahnya menghitam penuh amarah.

"Ke mana perginya Bancak Bengek?! Menga-

pa dia tidak muncul di sini?!" serunya dalam hati.

Dewa Pengasih berkata lagi, "Berpikir jernih-

lah, Muridku. Kau sudah berada di ambang ke-

hancuran dari jalan yang kau pilih. Aku sama se-

kali tak ingin turunkan tangan. Walaupun demi-

kian, tak ada jalan lain lagi untuk menghentikan 

sepak terjangmu selain mengatakan kelemahan-

mu."

"Orang tua keparat! Jangan berlaku som-

bong di hadapanku! Kau tak akan mampu meng-

hadapiku sekarang!"

"Siapa pun akan sulit menghadapi orang 

yang telah mendapatkan kesaktian dari bunga-

bunga keramat! Tetapi... kau melupakan satu hal! 

Ada seseorang yang sebenarnya mampu menga-

lahkanmu! Aku sendiri yakin, kalau orang itu se-

benarnya tak tahu kalau dia mampu mengalah-

kanmu!"

Huh! Tak seorang pun yang akan mampu 

melakukannya!" seru Ratu Dinding Kematian 

dengan kepala tegak. Sorot matanya penuh tantangan.


Dewa Pengasih menggeleng-gelengkan kepa-

lanya. 

Raja Naga yang telah berdiri kembali dengan 

sekujur tubuh terasa nyeri memandangi si kakek 

dengan keheranan.

"Sebelum ini, Dewa Pengasih mengatakan 

kepadaku, kalau tak seorang pun yang bisa men-

galahkan orang yang telah mendapatkan kesak-

tian dari bunga-bunga keramat. Tetapi sekarang 

dia justru berkata kebalikannya. Ada apa ini? 

Apakah dia sengaja mencoba meluluhkan hati Ra-

tu Dinding Kematian?"

Dewa Pengasih berkata lagi, kali ini sambil 

melirik Raja Naga, "Anak muda bersisik... aku ta-

hu apa yang kau pikirkan. Kalaupun aku tidak 

pernah mengatakan padamu kalau ada seseorang 

yang mampu mengalahkan orang yang telah 

mendapatkan kesaktian dari bunga-bunga kera-

mat, itu disebabkan karena aku tak ingin orang 

itu membunuh muridku ini. Anak muda... aku 

sangat menyayangi dan mengasihinya kendati dia 

telah murtad. Aku masih berkeinginan dia tetap 

menjadi muridku dan kembali ke jalan yang be-

nar. Tetapi sekarang... melihat sikap muridku ini, 

aku tak bisa berbuat banyak...." 

Raja Naga segera berseru, "Dewa Pengasih! 

Aku pun tak ingin mencelakakannya! Siapa pun 

orangnya juga tak punya pikiran demikian! Hanya 

saja... siapa pun orangnya pasti akan berusaha 

menghentikan segala sepak terjangnya yang su-

dah kelewat batas! Apakah tindakan itu salah?" 

Dewa Pengasih menggelengkan kepalanya.

"Tidak, itu tidak salah sama sekali. Tetapi...," 

kakek bermata teduh ini memutus kata-katanya 

sejenak. Seraya pandangi Ratu Dinding Kematian 

yang juga sedang memandangnya dilanjutkan 

ucapannya, "Ratna Wangi... apakah kau tetap ti-

dak mau menghentikan segala sepak terjangmu 

ini?"

"Kau terlalu banyak bicara, Orang tua! Kau 

pun akan kubunuh!!"

"Ratna Wangi!" membentak Raja Naga den-

gan suara bergetar. Dari sela-sela bibirnya men-

galir darah segar. "Kau benar-benar sudah digelu-

ti iblis! Hatimu sudah berubah liar! Kau tak lagi 

menghormati gurumu!"

"Siapa pun yang menghalangiku, maka dia 

akan mampus!!" geram Ratu Dinding Kematian 

keras dan bersiap untuk melancarkan serangan-

nya lagi.

Sebelum Raja Naga menyahut, Dewa Penga-

sih sudah berkata, "Anak muda... kuserahkan dia 

padamu. Karena... kaulah yang dapat membu-

nuhnya...."

* * *

Raja Naga melengak kaget. Matanya mem-

buka lebar.

"Orang tua...," katanya terbata. "Aku tak 

mengerti maksudmu...."

Dewa Pengasih menghela napas pendek.

"Kau memiliki tato gambar naga pada pung-

gungmu. Sebelum kau dipungut sebagai murid

oleh Dewa Naga, aku telah mendengar tato aneh 

yang kau bawa sejak kau dilahirkan. Kau harus 

dapat memecahkan rahasia tato itu, Anak mu-

da...."

Raja Naga hendak menyahut, tetapi urung 

karena Dewa Pengasih sudah berbalik dan me-

langkah.

Baru tiga tindak dia melangkah, gemuruh 

angin dahsyat sudah menerjang ke arahnya. Ka-

kek itu tidak berbalik, malah terus melangkah. 

Justru Raja Naga yang tersentak. Dia segera me-

lompat ke depan.

Tetapi begitu teringat akan kata-kata Dewa 

Pengasih, segera dibalikkan tubuhnya. Hingga ki-

ni dia melompat dengan punggung terlebih dulu. 

Raja Naga sendiri hingga saat ini belum berhasil 

memecahkan rahasia tato gambar naga yang ter-

dapat pada punggungnya. Bahkan kerap kali dia 

dibingungkan oleh tato itu. Karena tiba-tiba saja 

tato itu memiliki kekuatan dahsyat yang bisa ke-

luar secara tiba-tiba tanpa dipergunakan-nya. 

Dan bisa juga tidak keluar apa-apa, seperti sejak 

tadi dia berhadapan dengan Ratu Dinding Kema-

tian.

Namun kali ini dia bertindak lebih nekat!

Ratu Dinding Kematian yang telah dibuncah 

amarah tinggi, semakin bernafsu. Tangan kanan 

kirinya yang juga telah dialirkan ilmu 'Kelabang 

Jinjit' siap menepak punggung Raja Naga. Ten-

tunya bukan hanya akan membuat anak muda 

itu mengalami nasib naas seperti Purwa dan Siba-

rani. Tetapi selain gatal-gatal yang luar biasa, tentunya tubuhnya akan hancur karena kesaktian 

bunga-bunga keramat!

Raja Naga sendiri meringis tatkala merasa-

kan tubuhnya laksana ditampar oleh gemuruh 

angin yang menderu ke arahnya. Namun tiba-tiba 

saja....

Claasss!!

Seekor naga hijau berbentuk bayangan me-

lesat dari punggungnya. Ratu Dinding Kematian 

tersentak melihatnya. Namun di saat lain dia tak 

mempedulikan dan semakin bernafsu!

Blaaaarrrrr!!

Letupan keras itu terdengar. Raja Naga ter-

pelanting ke belakang sejenak. Bersamaan den-

gan itu satu suara terdengar sangat keras.

"Aaaaakhhhhh!!"

Tubuh Ratu Dinding Kematian terguling ke 

belakang dengan cepat. Dia baru bisa menghenti-

kan gulingan tubuhnya setelah menabrak sebuah 

pohon. Setelah dia berdiri, keningnya sedikit ber-

kerut tatkala melihat seekor naga hijau besar 

berbentuk bayangan melenggak-lenggok di hada-

pannya. Di seberang, Raja Naga sedang berdiri 

sambil memperhatikan naga hijau itu.

Telinganya menangkap suara, "Kau dapat 

mengalahkannya sekarang, Anak muda. Dan su-

dah seharusnya kau berusaha memecahkan ra-

hasia tato gambar naga pada punggungmu itu...."

Raja Naga mendesah pendek. Tak lagi dili-

hatnya sosok Dewa Pengasih di sana. Dan dia ju-

ga tidak lagi melihat sosok Ratu Tanah Kayangan 

yang pingsan dengan tangan kanan buntung.

"Tentunya dia dibawa oleh kakek berjubah 

putih itu," kata Raja Naga dalam hati. "Aku tak 

tahu apakah yang dikatakan Dewa Pengasih itu 

benar. Tetapi barangkali inilah kesempatan yang 

ada...." 

Kemudian diliriknya Dewa Seribu Mata yang 

sedang berdiri di hadapan tubuh Purwa yang ma-

sih menggaruk-garuki tubuhnya. Sekujur tubuh-

nya kini penuh luka akibat garukan kedua tan-

gannya.

"Kakek gemuk itu nampaknya sedang beru-

saha mengobati Purwa. Mudah-mudahan dia ber-

hasil melakukannya. Juga terhadap Sibarani...."

Habis membatin demikian, pemuda bermata 

angker itu mendesis, "Ratna Wangi! Kini habislah 

apa yang kau lakukan! Lebih baik menyerahkan 

diri untuk diadili!"

"Peduli setan dengan ucapanmu! Akan ku-

hancurkan naga siluman itu!!"

Di kejap lain Ratu Dinding Kematian sudah 

menggebrak ganas. Tangan kanan kirinya dido-

rong ke arah naga hijau berbentuk bayangan yang 

sedang melenggak-lenggok. Tak ada suara yang 

terdengar, tak ada apa-apa yang terasa!

Tetapi justru Raja Naga yang segera melom-

pat ke samping kanan, karena dilihatnya sesuatu 

menerobos bayangan naga hijau itu.

Blaaammmm!!

Ranggasan semak di belakangnya seketika 

hancur berantakan. Menyusul dilihatnya Ratu 

Dinding Kematian terperangah dan mundur tiga 

tindak. Matanya tak berkedip pada bayangan naga hijau yang masih melenggak-lenggok.

"Celaka! Rupanya yang dikatakan Dewa Pen-

gasih itu benar!" desisnya dalam hati dengan wa-

jah pias. "Peduli setan! Aku harus melabraknya! 

Harus kulakukan!"

Lalu dengan bertubi-tubi diiringi teriakan 

mengguntur, Ratu Dinding Kematian menyerang 

bayangan naga hijau itu. Tetapi semua serangan 

yang dilakukannya bagai menerobos asap. Bah-

kan dia memekik keras tatkala naga hijau itu me-

luruk ganas.

Ratu Dinding Kematian masih berhasil melo-

loskan diri. Tanah di mana dia berpijak tadi 

memburai terhantam moncong bayangan naga hi-

jau yang kini menyerangnya dengan cepat.

Berulang kali pekikan Ratu Dinding Kema-

tian terdengar. Wajahnya kali ini pucat bagai 

mayat. Tak ada lagi tawa mengejek maupun se-

ringaiannya. Yang terlihat hanyalah kepanikan 

belaka.

Raja Naga sendiri mendesah pendek melihat 

keadaan itu. Dan dipalingkan kepalanya ke bela-

kang tatkala dilihatnya mulut bayangan naga hi-

jau itu melebar dan....

Craasss!!

Mencaplok kepala Ratu Dinding Kematian 

yang berteriak setinggi langit. Tubuhnya terbant-

ing-banting di atas tanah karena naga hijau itu 

membanting-bantingnya. Setelah beberapa lama, 

kepala bayangan naga hijau itu menyentak.

Sosok Ratu Dinding Kematian terlempar de-

ras ke belakang! Begitu terbanting di atas tanah,

kepalanya telah terpisah dari tubuhnya!

Raja Naga menarik napas pendek melihat 

keadaan yang mengenaskan itu.

"Tak ada jalan lain.... Membiarkan perem-

puan itu hidup lebih lama, sama artinya dengan 

membiarkan puluhan nyawa berjatuhan...."

Lalu dilihatnya bayangan naga hijau yang 

masih melenggak-lenggok itu melesat dan lenyap 

pada punggungnya. Raja Naga mengejut sejenak 

ketika naga hijau itu masuk.

Setelah beberapa saat ditariknya napas da-

lam-dalam. Ada kepedihan pada sorot matanya 

yang angker. Kemudian dengan sempoyongan di-

dekatinya Dewa Seribu Mata yang rupanya belum 

berhasil mengobati Purwa.

Raja Naga mendesah pelan.

"Biar kucoba mengobatinya. Orang tua ge-

muk, tolong kau carikan aku air...."

Memerintah Dewa Seribu Mata sebenarnya 

enggan dilakukan oleh Raja Naga. Tetapi mau tak 

mau dia harus melakukannya. Setelah Dewa Se-

ribu Mata mencari air, dikeluarkannya Gumpalan 

Daun Lontar dari balik tubuhnya. Berhati-hati 

diusapinya seluruh tubuh Purwa dengan benda 

yang mengeluarkan cahaya hijau itu. Pada Siba-

rani pun dilakukan hal yang sama.

Raja Naga menunggu beberapa saat. Dilihat-

nya baik Purwa maupun Sibarani sudah tidak lagi 

menggeliat-geliat hebat seperti tadi. Mereka juga 

tidak menggaruk-garuk karena mereka kemudian 

telah jatuh pingsan. Namun luka pada tubuh 

masing-masing orang akibat garukan tadi masih

kelihatan.

Raja Naga segera mendekati Dewi Lembah 

Air Mata yang pingsan dengan kaki kiri remuk. 

Diusapkannya pula Gumpalan Daun Lontar itu 

pada kaki kiri Dewi Lembah Air Mata, setelah ter-

lebih dulu membuka totokannya.

Dewa Seribu Mata muncul dengan membawa 

air pada sebuah baki yang ditemukannya. Segera 

Raja Naga merendam Gumpalan Daun Lontar 

yang membuat air itu berwarna hijau. Selain 

menjadi sebuah senjata yang tangguh, Gumpalan 

Daun Lontar juga memiliki khasiat dapat me-

nyembuhkan berbagai macam penyakit

Dengan menahan napas, Raja Naga memi-

numkan air rendaman Gumpalan Daun Lontar itu 

pada Purwa. Dia berdiam dulu sejenak untuk me-

rasakan perubahan pada tubuhnya. Tak terjadi 

apa-apa. Rupanya akibat usapan Gumpalan Daun 

Lontar tadi, gatal-gatal akibat ilmu 'Kelabang Jin-

jit' yang mengenai Purwa tidak menularinya. Ke-

mudian air yang sama diminumkannya pada Si-

barani dan Dewi Lembah Air Mata. Setelah itu dia 

juga meminumnya sendiri. 

Kemudian ditarik napasnya pelan-pelan se-

belum kembali dimasukkannya Gumpalan Daun 

Lontar itu pada balik pakaiannya. Luka pada be-

tisnya tidak terasa menyengat lagi.

Pelan-pelan anak muda ini berdiri. Dipan-

danginya kakek gemuk luar biasa di hadapannya 

yang juga sedang memandangnya.

"Orang tua... nampaknya urusan ini telah selesai. Dan rasanya... aku harus segera meneruskan perjalananku."

"Ke mana kau akan meneruskan perjala-

nanmu, Anak muda?" tanya Dewa Seribu Mata 

kagum. Selama ini dia menduga kalau pemuda 

itulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat, 

hingga pemuda itu harus masuk dalam gelom-

bang maut yang diturunkannya juga oleh yang 

lainnya.

Raja Naga memandang ke kejauhan. "Aku 

masih memikirkan tentang Bancak Bengek. Me-

nurut Ratu Tanah Kayangan yang telah dibawa 

pergi oleh Dewa Pengasih, ilmu 'Kelabang Jinjit' 

telah diturunkan oleh Bancak Bengek pada Ratu 

Dinding Kematian. Bisa jadi kalau tak lama lagi 

Bancak Bengek yang akan menurunkan keona-

ran...."

Dewa Seribu Mata mengangguk-angguk. Di-

benarkannya apa yang dikatakan pemuda itu.

Didengarnya lagi pemuda bersisik coklat pa-

da lengan kanan kirinya berkata, "Sampaikan sa-

lamku pada Dewa Segala Dewa. Sampai saat ini 

aku belum pernah berjumpa dengannya. Barang-

kali, suatu ketika aku akan punya kesempatan 

untuk berkenalan dengannya. O ya, sampaikan 

juga salamku pada Puspa Dewi...."

Dewa Seribu Mata lagi-lagi tak menjawab. 

Dibiarkannya pemuda itu kemudian melangkah 

agak terpincang.

"Kau benar-benar memiliki ketabahan seo-

rang ksatria, Anak muda. Beruntung Dewa Naga 

mempunyai murid seperti kau...."

Setelah pemuda berompi ungu itu lenyap da

ri pandangannya, didekatinya Dewi Lembah Air 

Mata yang masih pingsan dengan kaki kiri bun-

tung.

"Nasibmu sungguh sial kasihku... Tetapi apa 

pun yang terjadi padamu... aku akan tetap meni-

kahimu... karena aku sangat mencintaimu...," de-

sisnya sambil memandangi wajah Dewi Lembah 

Air Mata.

Lalu diusapnya pipi kempot Dewi Lembah Air 

Mata yang masih pingsan. Kemudian, pelan-pelan 

dikecupnya kening si nenek berkonde hijau itu 

penuh kasih sayang.

Ditungguinya sampai Dewi Lembah Air Mata, 

Purwa dan Sibarani siuman dari pingsannya





                            SELESAI















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive