MENEBUS PUTERA MAHKOTA
OLEH
B A S T I A N ⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊
Hak Pengarang dan Hak Mencetak buku ini dipegang
sepenuhnya oleh Pustaka Penerbit “ANALISA” c.v. ~
Jakarta dibawah lindungan UNDANG-UNDANG. ⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊
SATU
SUASANA gembira dan bahagia masih tampak dan terasa
ditengah-tengah suku Kayan yang mendiami rumah besar
didekat sungai meskipun pesta perkawinan besar-besaran itu
telah berlalu hampir satu bulan lamanya. Gaba-gaba serta
hiasan-hiasan yang terdapat disetiap sudut rumah besar masih
belum ditanggalkan. Isi rumah besar diselubungi dengan
kegembiraan dan kebahagiaan yang dapat dilihat dari gelak
berderai dan wajah yang berseri-seri dari penghuninya,
terutama sekali kedua orang yang baru saja menempuh hidup
baru itu, kedua penganten yang berbahagia. Aditiajaya dan
Suwantri. Pesta perkawinan itu telah dilangsungkan dengan
segala kemeriahan dan kebesarannya. Raja-raja suku tetangga
yang bersahabat diundang. Bahkan Eyang Wilis yang boleh
dikatakan tak pernah turun dari pertapaannya telah
memerlukan datang menghadiri upacara perkawinan muridnya
yang dikasihinya itu. Dia mendapat tahu karena sebelumnya
Aditia dan Suwantri bersama kakaknya telah menyambangi
guru sakti itu. Cuma sedikit disayangkan karena Kiai Ahmed
Pasya, guru Suwantri telah terlebih dahulu menutup mata
sehingga tak dapat menyaksikan peristiwa tersebut.
Aditia kini merasakan hidupnya jauh lebih bahagia. Lebih
menyegarkan dan tubuhnya yang kekar itu kini tampak sudah
tambah gemuk. Begitu juga istrinya, Suwantri. Memang
kebahagiaan mana pula yang melebihi hidup berumah tangga
dengan orang yang sangat dikasihi dan mengasihi kita? Setiap
pagi Aditia bersama pemuda-pemuda lainnya turun kesawah
dan bekerja disana, kadang-kadang dia pergi pula keladang-
ladang untuk mencangkul dan membantu menanam sayur- mayur. Sekalipun Suwantra dan pemuda-pemuda lainnya
melarangnya namun tidak dipedulikan oleh Aditia. Bekerja
adalah jauh lebih baik dan menyegarkan dari pada duduk- duduk dirumah tak tentu apa yang dikerjakan, sekalipun dia
seorang penganten baru......
Saat itu dia baru saja selesai makan siang. Tanyakanlah pada
setiap penganten baru bagaimana sedap dan bahagianya makan
berhadap-hadap dengan istri yang cantik dan dikasihi, dan
itulah yang dialami Aditia sejak sebulan yang lalu. Semakin
dipandang sang istri, semakin sedap juga . makan dan baru
sadar kalau nasi dibakul sudah tinggal rimah-rimahnya saja......
dan karena banyak makan itulah mungkin yang membuat
Aditia jadi tambah kekar dan gemukan!
Sementara istrinya membawa piring-piring kebelakang,
Aditia menuju keruang tengah. Beberapa orang pemuda tampak
duduk-duduk bersila disana. Mereka sama-sama tersenyum dan
memberi salam ketika Aditia datang kesana.
“Asyik sekali kalian tampaknya. Apa yang dipercakapkan?”
tanya Aditia sambil duduk pula bersila ditikar. Sebagai seorang
menantu dari raja suku Kayan maka adalah tidak pantas bagi
Aditia duduk bercengkerama seenaknya saja seperti saat itu.
Tapi pemuda kita tidak biasa dengan adat yang terlampau
berlebih-lebihan, dia tidak biasa dianjung-anjung. Kerendahan
hati Aditia inilah yang membuat setiap orang dipesukuan itu
sangat menyukainya. Kata orang-orang itu pula, sungguh
beruntung Suwantri mendapatkan seorang suami yang baik
budi bahasanya, rendah hati serta berilmu tinggi. Dan rasa
beruntung itu seakan-akan dapat pula mereka kecap dan resapi.
“Itulah kak......” kata salah seorang dari pemuda-pemuda itu
menjawab pertanyaan Aditia tadi. “Hampir disetiap pelosok
negeri kini terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bunuh dan
rampok terjadi di mana-mana. Dan yang paling hebat adalah di
Kuala. Gerombolan rampok disana telah membunuh beberapa
orang, diantaranya Kepala kota Kuala sendiri. Mereka
merampok dengan tiada hentinya. Penduduk pada mengungsi.
Setiap batas kota dijaga oleh kawan-kawan rampok itu. Orang
keluar jarang diizinkan sedang yang masuk diperbolehkan
karena semakin banyak yang masuk semakin bertambah juga
hasil rampokan mereka. Kami telah merencanakan untuk pergi
kesana tapi dicegah oleh kepala suku. Kemudian kami dengar
kabar bahwa putera mahkota sendiri yang hendak menyelidiki
peristiwa itu. Kini kamilah yang melarangnya karena hal itu
sangat berbahaya sekali bagi keselamatannya. Kepala suku
sudah begitu tua sedang putera satu-satunya hanyalah
Suwantra......”.
“Hemm...... jadi itu yang saudara-saudaraku susahkan?
Sayang sekali baru saat ini hal tersebut kuketahui. Tapi biarlah,
tak usah dicemaskan lagi. Biar aku sendiri yang pergi......” kata
Aditia. Semua mata terbeliak dan pemiliknya saling
berpandangan satu sama lain. Mirta yang duduk merapat
kedinding menggeser duduknya dan membuka mulut : “Sangat
kami hargakan kehendakmu itu, Aditia. Tapi menyesal sekali
kami tak bisa menerimanya. Kau baru saja berumah
tangga......”.
“Lagi-lagi kata-kata itu, lagi-lagi itu juga yang kalian sebut- sebut. Dulu waktu aku hendak turun kesawah dan keladang
membantu kalian, kalian ucapkan juga kata-kata itu. Aku baru
saja berumah tangga, seorang menantu raja tak boleh bekerja
apa-apa, dia hanya sebagai penghuni yang dihormati dirumah
besar ini...... Sahabat-sahabatku, kita ini semuanya sama.
Sebagai laki-laki hak dan kewajiban kita juga sama. Aku tinggal
bersama kalian, dirumah besar kalian, istriku dari suku kalian.
Semuanya itu sudah sepatutnya membuat aku juga mempunyai
tanggung jawab terhadap isi rumah ini, terhadap suku
disini......”.
“Semuanya itu benar Aditia”, menyela Mirta. “Tapi selama
sesuatu pekerjaan dapat kami selesaikan, akan kami kerjakan.
Bukan kami tak menghargai maksud dan ketinggian ilmumu,
tapi walau bagaimanapun kau tetap orang yang kami hormati
dan kami khawatirkan keselamatannya. Biarlah saya dan
kawan-kawan yang pergi. Meskipun Kepala suku melarang
namun kita tak bisa menunggu-nunggu lagi. Beberapa orang- orang kita yang berdagang ke Kuala telah dirampok. Tiga orang
luka-luka, satu orang menemui ajalnya ketika dia melawan.
Saya dan kawan-kawan akan pergi besok pagi-pagi sekali......”.
“Kau dan aku, Mirta. Kawan-kawan tetap tinggal disini......!”
terdengar satu suara dari samping. Semua orang menoleh
kearah datangnya suara itu. Ternyata yang berkata adalah tak
lain dari Suwantra.
“Tapi Suwantra......
“Tak ada tapi-tapi Mirta. Kataku kau dan aku. Kita berangkat
besok pagi!” Suwantra memutar tubuhnya dan meninggalkan
tempat itu. *
* *
“Kau tak membawa pedangmu......?” tanya Suwantri pada
kakaknya ketika laki-laki itu naik kepunggung kuda
disampingnya. Suwantra menggelengkan kepalanya. “Untuk
menghadapi perampok-perampok tengik itu tak usah pakai
membawa senjata segala! Senjata-senjata mereka sendiri yang
akan membunuh dan mencabut nyawa mereka!”.
“Hati-hatilah Suwantra dan jangan lama-lama......” kata
adiknya.
“Sampaikan salamku pada suamimu. Aku pergi......”. Pemuda
itu menepuk tubuh kudanya dan bersama Mirta dia segera
berlalu. Kuala terletak kurang sedikit dari lima belas kilo.
Sebelum sampai kekota kecil itu, mereka harus melalui lagi
sebuah kampung yang bernama Srimbilan, yang terletak lima
kilo dari Kuala. Satu jam kemudian sinar matahari pagi mulai
terasa panas. Dikejauhan telah kelihatan kampung Srimbilan
yang terletak disatu lembah kecil yang diapit oleh dua buah
bukit. Mereka menuruni bukit dan sepuluh menit kemudian
telah memasuki satu jalan kecil yang menuju kekampung itu.
“Kita berhenti atau terus saja......?” tanya Mirta.
“Kita berhenti sebentar, aku merasa haus” jawab Suwantra.
Disatu pohon yang terletak diseberang sebuah kedai
keduanya menambatkan kuda masing-masing dan segera
menyeberangi jalan. Tiba-tiba terdengar satu suara memanggil.
“Suwantra......!”. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan satu
seruan gembira terdengar keluar dari mulutnya. “Kiman..... tak
kusangka kita bisa bertemu disini. Kemana saja kau selama
lima tahun ini. Kenapa tak pernah datang kekampungku
lagi......?”. Laki-laki yang bernama Kiman itu segera menjabat
tangan Suwantra. Lalu bersalaman pula dengan Mirta.
“Kau yang tak pernah kelihatan, Wantra! Dulu aku pernah
datang ketempatmu. Orang tuamu bilang sudah hampir dua
tahun kau pergi bersama adikmu. Ketika kutanya kemana, dia
hanya angkat bahu dengan cara yang membayangkan
kekhawatiran!”.
“Kau tinggal disini?”.
“Sudah setahun!.” jawab Kiman.
“Dan anakmu sudah berapa kini......?”
“Dua setengah......” jawab yang ditanya.
“Dua setengah bagaimana?” tanya Suwantra hampir
bersamaan dengan Mirta. Kiman tersenyum. “Dua orang sudah
berada diluar, masing-masing berumur dua tahun dan satu
tahun. Yang seorang lagi baru empat setengah bulan dan masih
dalam perut ibunya!”...... ketiga orang itu sama-sama tertawa
dengan riuh.
“Tapi ngomong-ngomong kalian mau kemana ini? Kalau mau
masuk kedalam kedai itu...... aku tak segan-segan untuk
mengawani. Memang pagi ini aku belum sarapan!” kata Kiman
kemudian.
“Belum sarapan?” Percuma kau punya istri! Apa tak
dibuatkannya kopi untukmu?” tukas Mirta.
“Pada saat-saat mengandung, istriku punya kebiasaan- kebiasaan tertentu! Makannya banyak! Tidurnya jangan
disebut. Duduk dikursi tahu-tahu tidur. Tak boleh ketemu
bantal terus pulas dan pagi-pagi bangunnya agak siang
pula......” menerangkan Kiman. Ketiga sababat-sahabat lama itu
kemudian masuk kedalam kedai.
Didalam sana terdapat dua buah meja yang diapit masing- masing oleh dua buah bangku kayu panjang. Pada salah satu
meja dan kedua bangku yang mengapitnya, tidur tiga orang
laki-laki dengan seenaknya. Orang yang keempat berbaring
dibangku panjang dari meja yang lain. Suwantra dan Mirta
sama-sama terkejut dengan pemandangan ini. “Heh......
rupanya ada kue manusia dijual orang disini......” kata
Suwantra.
“Sst...... jangan bicara seperti itu” berbisik Kiman
“Mengapa? Sekalipun mereka yang memiliki kedai ini tapi
adalah sangat tak sopan tidur diatas meja dan dibangku-bangku
dengan seenaknya seperti itu padahal disini bukannya
penginapan. Dan sudah sesiang ini pula!”. Ketiga orang itu
duduk dibangku yang masih kosong.
“Siapa mereka itu......?” tanya Mirta.
“Kalian pernah dengar tentang satu gerombolan rampok
yang dipimpin oleh Mali Kodra......?” Suwantra dan Mirta sama
mengangguk karena memang kepala rampok itulah yang akan
mereka temui untuk meminta pertanggungan jawab atas
perbuatan mereka selama ini.
“Mali Kodra mempunyai anak buah yang banyak sekali.
Hampir disetiap pelosok tersebar anak-anak buahnya. Dia
sendiri memimpin langsung dari Kuala. Kodra menunjuk
beberapa orang anak buah yang dipercayainya untuk
mengepalai gerombolannya yang tersebar dimana-mana......”
“Jadi keempat orang adalah anak-anak buahnya Mali Kodra
itu?” tanya Mirta. Kiman mengangguk.
“Yang mana kepalanya?” tanya Suwantra. Kiman
memperhatikan satu demi satu orang yang tidur itu. Lalu
sambil memanjangkan bibirnya kearah orang yang
dimaksudkannya dia berkata. “Itu...... namanya Gaspar......”.
“Lantas apa kedai ini menjadi penginapannya?” tanya
Suwantra.
“Mungkin semalam mereka habis main judi dan mabuk- mabukan dengan uang hasil rampokan. LaIu tidur disini karena
kecapaian......” menduga Kiman.
“Saudara-saudara ingin minum apa.....?” tanya pelayan,
seorang laki-laki yang cuma mempunyai satu daun telinga.
“Tiga gelas kopi, dan goreng pisang itu bawa kesini......” kata
Kiman.
Tak berapa lama kemudian hidangan itu segera sampai
dihadapan mereka. Masing-masing meneguk kopinya. Sambil
mengunyah pisang gorengnya yang masih hangat. Kiman
bertanya pada Suwantra. “Kau kapan kawin......?”
Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan
menjawab. “Masih pikir-pikir dan cari-cari dulu......”.
“Pikir-pikir dan cari-cari. Terlampau pikir dan cari nanti
tahu-tahu kau sudah ketuaan!” ujar Kiman. Suwantra
menyeringai. “Kau sudah tahu bahwa adikku telah kawin?!”.
“Heh! Yang benar?!” tanya Kiman tak percaya. Dia menoleh
pada Mirta lalu pandangan matanya kembali pada Suwantra.
“Masa aku dusta?!” kata Suwantra.
“Bukan aku tak percaya pada keteranganmu, tapi aku heran
dan gusar mengapa kau tak mengundangku!” kata Kiman pula.
“Mana aku tahu kau tinggal disini. Walau tak bertemu saat
ini mungkin kami tak akan pernah tahu!” jawab Suwantra.
“Sudah lama? Siapa suaminya, sudah punya anak?” tanya
Kiman seperti senapan mesin otomatis.
“Baru saja bulan yang lalu. Suaminya orang Jawa...”.
“Orang Jawa..... mengapa bukan sukumu sendiri? Apa bapak
ibumu dan kau sendiri setuju?”
“Kalau kami tidak setuju masakah dilangsungkan
perkawinan itu.....” jawab Suwantra sambil mengambil pisang
goreng yang kedua.
“Tentu pesta besar-besaran, ya? Sayang aku tak hadir. Tapi
sebenarnya kalian ini mau pergi kemana?”.
“Ke Kuala......” jawab Suwantra sambil memandang kepada
keempat orang laki-laki yang tidur diatas meja dan di bangku.
“Ke Kuala? Untung kau ketemu aku! Kau sudah tahu bahwa
kota itu kini berada dalam tangan Mali Kodra. Pemimpin dari
satu gerombolan besar yang tadi kuterangkan padamu.
Sebaiknya kau jangan pergi kesitu. Kalian pasti akan
dirampok!”
“Lantas apa keempat orang anak buahnya ini tak pernah
melakukan perampokan disini. Mengapa engkau tidak takut
dan cemas pada perampok-perampok yang ada dimata
hidungmu.....?”.
“Anak-anak buah Mali Kodra yang berada disini memang
ditakuti penduduk. Tapi mereka tidak kejam-kejam seperti
perampok-perampok yang di Kuala......”.
“Jadi kalian biarkan saja dia berbuat semaunya disini......?”
tanya Mirta.
“Penduduk tak bisa berbuat apa-apa karena takut akan
akibatnya. Tapi aku bersama empat orang kawan dengan diam- diam telak membuat satu rencana untuk melenyapkan keempat
orang ini......” menerangkan Kiman dengan berbisik.
“Dan rencana itu harus kita laksanakan hari ini juga......
Karena memang itulah maksud kami datang kesini!” ujar
Suwantra.
“Kau......?!” Dengan mata terbeliak Kiman memandang pada
orang yang disampingnya.
Suwantra sengaja membalikkan gelas kopi yang masih berisi
sampai setengahnya. Kopi hangat itu tertumpah diatas meja
mengalir perlahan-lahan menuju ketepi meja dan mengucur
kebawah tepat kekening salah seorang perampok yang tidur
diatas bangku panjang disamping meja itu. Mirta dan Kiman
sama sekali tidak mengerti apa maksud Suwantra
menumpahkan kopinya.
“Mari kita bicara lagi bisik Suwantra. “Apa saja kerjamu
akhir-akhir ini. Dagang?”.
“Dagang kecil-kecilan dan sembunyi-sembunyi......” jawab
Kiman tapi pikirannya masih coba untuk menduga maksud
Suwantra tadi. Sementara itu perampok yang ketumpahan kopi
hangat pada keningnya tampak memencong-mencongkan
mulutnya. Matanya digerak-gerakannya. Dia menyeka
keningnya. Saat itu barulah dia sadar kalau keningnya bukan
basah oleh air keringat, tapi oleh air yang lain. Dia membuka
matanya sedang telinganya menangkap suara orang bercakap- cakap disampingnya. “Sialan! Siapa yang bicara ribut-ribut
sepagi ini!” rutuk perampok itu. Namanya Lasa. Dia menyeka
keningnya sekali lagi. Lalu bangkit dari tidurnya dengan kaki
masih tetap melunjur dibangku panjang itu. Lasa memandang
pada ketiga orang yang bercakap-cakap dihadapannya dengan
mata merah dan besar, lalu mata itu memperhatikan air kopi
yang tertumpah diatas meja. Sedang ketiga orang yang
bercakap-cakap terus asyik bicara seakan-akan tidak
mengetahui adanya dia disitu.
“Setan! Kalian seten-setan semua!” teriak Lasa sambil
meninju meja yang dihadapannya. Meja bergetar dengan keras
dan ketiga gelas kopi yang terletak diatasnya terbalik.
DUA
KIMAN, Mirta dan Suwantra pura-pura terkejut dan sama
memandang pada Lasa. “Eh...... ada apa saudara?” tanya
Suwantra kemudian.
“Ada apa...... ada apa!” bentak Lasa. “Kalian setan tahu?!
Pagi-pagi sudah bicara berisik! Ribut! Kalian kira ini rumah
kalian?! Lihat air kopi itu, tumpah dan mengenai mukaku
“Oh...... kalau begitu harap dimaafkan saudara. Kami tidak
tahu hal itu. Tapi kalau saat ini kami bicara agak ribut karena
memang hari sudah siang, bukan masih pagi seperti yang
saudara katakan!” jawab Suwantra.
“Apa kalian kira ini rumah nenek moyangmu? Bicara sudah
berisik dan minum kopi seperti binatang. Kalau manusia
niscaya tak akan tumpah!”.
“Tak baik bicara seperti itu, saudara. Memang ini bukan
rumah kami. Tapi ini juga bukan rumah kaIian bukan? Ini
adalah kedai tempat orang makan dan minum. Bukan tempat
tidur!” ujar Suwantra. Lasa memukul meja itu sekali lagi.
Kawan-kawannya yang tiga orang sudah pada bangun dan satu
demi satu mulai berdiri.
“Ada apa......?” terdengar salah satu dari mereka bertanya.
Dia tak lain adalah Gaspar, pemimpin rampok yang ditunjuk
MaIi Kodra untuk daerah itu.
“Setan-setan ini. Bicara dengan berisik membuat aku
bangun. Salah seorang dari mereka menumpahkan air kopi dan
jatuh persis dikeningku......”.
“Itu memang keterlaluan...... tapi mungkin mereka belum
tahu siapa kita?! kata Gaspar.
“Setan yang seorang ini adalah penduduk sini!” kata Lasa
sambil menunjuk tepat-tepat kehidung Kiman. “Tentu dia
sudah mengatakan pada kedua setan-setan lainnya itu. Kurasa
bangsat-bangsat ini sengaja mencari gara-gara!”.
“Benar kalian sengaja mencari gara-gara?” tanya Gaspar
sambil maju satu langkah. “Sama sekali tidak. Walau bagaimanapun hal itu adalah
kesalahan kalian. Siapa suruh tidur didalam kedai ini?!” jawab
Suwantra. Gaspar menyeringai dan maju satu langkah lagi.
“Kau orang bagus, rupanya kau punya nyali juga untuk berkata
seperti itu kepada kami, hah! Kesini!”
Suwantra diam tak bergerak. “Kesini!” bentak pemimpin
rampok itu dengan lebih keras. Suwantra tetap berdiri
ditempatnya malahan melontarkan seringai mengejek membuat
panas hati Gaspar. “Bagus...... baru sekali ini ada orang yang
berani berbuat kurang ajar pada anak buahku dan pada aku
sendiri!”. Dengan cepat dia mendekati Suwantra. Tangan
kanannya bergerak menampar pipi kanan pemuda itu.
Suwantra sama sekali tidak berusaha untuk mengelak. Telapak
tangan dan pipi beradu keras menimbulkan suara yang nyaring!
Kalau tidak malu terhadap anak buahnya maulah Gaspar
melolong setinggi langit seperti seekor serigala lapar ditengah
malam buta karena pada saat itu dirasakannya jari-jari
tangannya yang dipakai untuk menampar seperti hancur luluh.
Untuk menahan sakit dia menggigit bibirnya sampai berdarah.
Ketika dia melihat tangan kanannya itu ternyata daging jari-
jarinya telah terkelupas lecet. Tulang-tulang jarinya dibeberapa
bagian kelihatan dengan jelas! Itulah ajian yang bernama
‘remuk kermuk’ yang dimiliki Suwantra pada mukanya, warisan
dari guru sakti Ahmed Pasya. Kalau saja Gaspar tidak punya
sedikit tenaga dalam, maka mungkin saat itu jari-jari tangannya
sudah hancur remuk. Ketiga anak buahnya melihat dengan
mata terbelalak ketika darah mulai mengucur keluar dari
tangan pemimpin mereka. Sedang pipi Suwantra yang kena
ditampar hanya tampak kemerahan sedikit yang kemudian
segera hilang.
Sambil mencabut pisau belatinya yang bersisip dipinggang
dengan tangan kirinya. Gaspar menyemburkan ludahnya
kemuka Suwantra. Air ludah yang merupakan senjata yang
cukup hebat dari pemimpin rampok itu melesat dengan cepat
kearah mata dan muka Suwantra. Kali ini baru laki-laki itu
bergerak untuk mengelak. Sambil merunduk Suwantra
menyeruduk kemuka melayangkan tinju kanannya kearah perut
lawan. Gaspar menyambut tinju itu dengan tusukan belati
membuat Suwantra terpaksa menarik pulang tangannya. Kini
tangan yang datang dari samping mencari sasaran diiga lawan.
Gaspar yang tangan kanannya sudah tak bisa dipergunakan
kini, menangkis dengan menaikkan lutut kanannya, tapi sayang
kurang tinggi sehingga jotosan Suwantra tetap lolos dan
menghantam tulang iganya. Terdengar suara tulang patah dan
Gaspar terhuyung-huyung kebelakang. Nafasnya sesak. Dia
mengimbangi diri dengan cepat sebelum lawannya datang
menyerang kembali.
Pada saat Suwantra merunduk dan mulai melancarkan
serangan terhadap pemimpin rampok itu, tiga orang anak buah
Gaspar yang berada didalam kedai itu yaitu Lasa, Gulam dan
Samin dengan serentak menghunus belati masing-masing dan
mengurung Mirta bersama Kiman.
Sebelum ketiganya mulai menyerang, dengan sigap Mirta
mengambil salah sebuah dari tiga gelas kopi yang menggeletak
dialas meja disampingnya. Gelas itu dengan kecepatan yang
luar biasa dilemparkannya kekepala Samin. Laki-laki itu tak
mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Gelas
menghantam mata kirinya dengan keras. Benda itu pecah
berantakan dimukanya. Dari mata laki-laki itu keluar mengucur
darah merah. Samin terduduk kedinding, melosoh kelantai
kedai dan duduk menjelepok ditanah menahan sakit sebelum
nyawanya melayang karena kehabisan darah.
Kini Mirta dan Kiman menghadapi masing-masing satu
lawan. Mirta dengan cepat mencabut goloknya. Malang bagi
Kiman, dia tak punya senjata sama sekali. Sedang matanya
mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan senjata kesetiap
sudut kedai. Lasa telah mulai melancarkan serangannya dengan
belati ditangan. Begitu juga duel antara Gulam dengan Mirya
dimulai sudah. Suasana dalam kedai itu jadi centang perenang.
Meja dan bangku-bangku terbalik kacau balau. Pemilik kedai
berdiri disudut kedai dengan tegang. Pelayan yang bertelinga
satu merasakan lututnya gemetaran.
Tikaman pertama dan kedua dari senjata lawannya dapat
dielakkan oleh Kiman. Dengan gusar dan marah Lasa terus
mendesak. Dalam keadaan kepepet, Kiman mengangkat bangku
panjang yang didekatnya dan melemparkan benda itu kearah
lawan. Lasa cepat mengelak. Bangku panjang jatuh
disampingnya dengan keras. Salah satu kaki bangku kayu itu
patah. Patahan kayu kaki bangku itulah kini yang menjadi
incaran Kiman. Dengan tangkas dia mengelakkan tiga kali
tikaman-tikaman cepat yang dilancarkan lawannya. Ketika dia
mempunyai kesempatan dia segera memungut patahan kaki
bangku itu. Tapi pada saat itu, Gulam yang tengah menghadapi
Mirta meloncat kedekat tubuhnya dalam mengelakkan tebasan
golok Mirta. Kiman yang sedang membelakang itu dan masih
setengah membungkuk segera ditikamnya pada punggungnya.
Kiman merintih menahan sakit. Dia berdiri dengan terhuyung- huyung.
Karena telah melancarkan serangan licik pada lawan yang
sedang lengah, maka dengan sendirinya Gulam telah
melupakan pertahanan dirinya. Mirta yang melihat kawannya
ditikam secara pengecut itu melompat kemuka. Kaki kanannya
menendang pinggul Gulam membuat laki-laki itu miring
kekanan. Dan sebelum tubuhnya kembali seimbang, golok
Mirta telah memapas dari samping kiri kearah lambungnya.
Lambung laki-laki itu robek besar. Dia berputar-putar seperti
orang diserang sawan isi perutnya mulai membusai keluar!
Kiman yang kena tertikam pada punggungnya, meskipun
berhasil mengambil patahan kaki bangku dan
mempergunakannya sebagai senjata, namun karena luka yang
dideritanya dalam keadaan sebentar saja dia sudah didesak oleh
Lasa. Punggung baju Kiman telah kuyup oleh darah dan
keringat.
“Kiman, kau bantu Suwantra......! Biar aku yang menghadapi
bajingan ini!” teriak Mirta sambil menangkis tusukan belati
Lasa yang mengarah dada Kiman. Kiman meloncat mundur
kebelakang. Dilihatnya Suwantra tengah berhadap-hadapan
dengan Gaspar. Muka pemimpin rampok itu telah babak belur
kena pukulan-pukulan Suwantra. Ketika dia hendak membantu,
Suwantra melarangnya. Kiman berdiri dengan bersandar
kedinding dekat pintu keluar. Yang bisa dilakukannya hanyalah
memperhatikan baku hantam satu lawan satu itu dari
tempatnya berdiri sementara darah yang dipunggungnya mulai
membeku.
Gerakan-gerakan yang dibuat oleh Gaspar mulai lamban
tanda bahwa dia sudah mulai lelah dan kehabisan nafas. Ketika
dua tinju Suwantra menghantamnya secara bersamaan yaitu
kearah ulu hati dan pelipisnya dia roboh kelantai kedai tanpa
sadarkan diri. Mukanya lecet dan benjal-benjol. Kedua matanya
matang biru sedang bibirnya pecah-pecah.
Kini tinggal Lasa yang masih bertahan terhadap serangan
Mirta. Kedua laki-laki itu mempunyai potongan dan tinggi
tubuh yang sama sedang kepandaian merekapun juga
berimbangan. Namun perbedaan senjata yang ditangan masing- masing itulah yang menentukan. Walau bagaimanapun sebuah
golok bukanlah tandingan sebuah belati. Kalau golok bisa
dipergunakan dalam jarak agak jauh dan bisa membabat serta
memapas kian kemari maka belati cuma bisa dipakai untuk
musuh yang berjarak dekat. Lagi pula tidak bisa dibuat
memapas dan membabat seperti golok. Tusukan-tusukan yang
dilancarkan Lasa tak berarti sama sekali. Semua serangannya
terbendung malahan terdesak hebat oleh sambaran-sambaran
golok lawan yang datang dari segala penjuru.
Dalam hal apa saja, keragu-raguan adalah pangkal kerugian
kalau tidak mau dikatakan pangkal bahaya. Serangan golok
Mirta datang dari muka dengan gencar. Satu kali Lasa
bertindak ragu-ragu dalam mengambil sikap mengelak.
Maksudnya hendak meloncat kesamping untuk melewatkan
sambaran golok yang datang dimuka dadanya itu. Tapi ketika
loncatan itu telah sampai setengahnya dilakukannya, dia ragu- ragu karena dilihatnya Mirta menggeser kedudukannya. Dia
mengangkat tangan kanannya, maksudnya mempergunakan
belati yang ditangannya itu untuk menangkis senjata lawan.
Dan inilah kesalahannya! Karena dia sudah berada dalam
keadaan meloncat, maka ujung senjata yang dipakainya untuk
menangkis itu berada lebih tinggi dari sambaran golok. Senjata
Mirta datang bersiuran menyambar kearah pergelangan tangan
Lasa, membabat daging dan tulang itu sampai putus puntung.
Pisau belati bersama puntungan tangan laki-laki itu mental
menghantam dinding kedai dan jatuh kelantai. Darah seperti
air mancur mengucur keluar dari pembuluh nadi Lasa. Laki-laki
itu menjerit tak karuan seperti orang kemasukan. Dari lolongan
yang tinggi keras lama kelamaan menjadi kecil...... makin pelan,
makin pelan akhirnya berubah menjadi rintihan, erangan halus
dan akhirnya hilang lenyap sama sekali. Beberapa detik
kemudian Lasa menggeletak tak bergerak.
Setelah mengobati luka Kiman, Suwantra berkata :
“Sebaiknya kau lekas kembali kerumah. Siapkan barang- barangmu dan pergilah kekampungku untuk sementara.
Setelah kejadian ini kau tak bisa tetap tinggal di Srimbilan......”
“Aku mengerti......” jawab Kiman. “Kalian tidak ingin
kerumahku?”.
“Lain kali saja. Pergilah. Kalau kau ditanya nanti, katakan
bahwa aku yang menyuruh kau untuk menetap selama
beberapa hari dirumah besar” kata Suwantra pula. Dengan
terhuyung-huyung Kiman keluar dari kedai itu. Suwantra
menyeret satu demi satu keempat perampok-perampok itu.
Lasa, Samin dan Gulam sudah tak bernyawa sama sekali.
Tubuhnya tak lebih dari mayat-mayat kaku yang berlumuran
darah. Satu-satunya orang yang hidup adalah Gaspar dan saat
itu masih dalam keadaan pingsan. Suwantra menyandarkan
laki-laki itu kedinding kedai sebelah luar. Setelah beberapa
lama kedua pipinya ditampar-tampar dengan perlahan
akhirnya pemimpin rampok yang babak belur itu membukakan
matanya, yang menyipit karena bengkak-bengkak bekas
jotosan-jotosan Suwantra.
“Kau lihat kawan-kawanmu yang tiga orang itu......?” tanya
Suwantra sambil menunjuk kepada tiga tubuh yang
menggeletak disampingnya. Dengan perlahan Gaspar memutar
lehernya. “Ketiga mereka itu sudah tidak bernyawa! Kau
seorang yang masih hidup sampai saat ini. Kau akan selamat
dan nyawamu tetap berada dalam tubuhmu kalau kau segera
sadar dan merubah segala tindak tandukmu selama ini.
Berhenti menjadi anah buah Mali Kodra. Pergi dari sini dan cari
pekerjaan yang jujur ditempat lain. Ini perintah, bukan
permintaan! Kau dengar?! Dan kalau kau tak mau sadar dan tak
mau ambil peduli dengan apa yang aku katakan itu...... nasibmu
tak akan berbeda dengan kawan-kawan yang tiga orang itu!”
Suwantra berdiri dan memanggil pelayan kedai. “Tolong
bereskan meja-meja dan bangku-bangku yang didalam. Ini
uang pisang goreng dan kopi, ditambah dengan harga gelas- gelas yang pecah dan lebihnya ambil buat kau!”. Pelayan yang
cuma telinga satu itu menerima uang yang disodorkan
Suwantra dengan tangan gemetar tanpa mengucapkan terima
kasih. Bukan karena dia tidak tahu adat sopan santun, tapi
adalah karena apa yang terjadi tadi masih terbayang dan
merasuk didalam pikirannya. Suwantra memberi isyarat pada
kawannya. Keduanya menyeberangi jalan kearah mana mereka
menambatkan kuda mereka.
TIGA
MENJELANG tengah hari mereka mulai memasuki Kuala.
Diperbatasan kota mereka berpapasan dengan beberapa orang
laki-laki yang diduga adalah anak-anak buahnya Mali Kodra.
Didalam kota kecil itu suasana tampak tenang-tenang saja. Dua
buah pedati lalu dengan perlahan-lahan, penuh sarat dengan
kayu bakar. Penduduknya tak begitu ramai. Pada seorang
penduduk Suwantra bertanya dimana letak rumah Kepala kota.
Setelah mendapat tahu keduanya segera menuju kesana. Disatu
kelok jalan yang berdebu dan dipagar dengan pagar bambu
setinggi dada, disitulah letak rumah Kepala kota. Suwantra
memperhatikan dari seberang jalan. Rumah itu besar juga dan
beratap seng. Halamannya yang agak luas penuh dengan
guguran daun-daun kering dari pohon-pohon kayu
sekelilingnya tanda tak pernah disapu. Sedang pintu dan
jendela rumah tampak tertutup. Sunyi. tak seorangpun yang
kelihatan. “Kita masuk kesana......?” tanya Mirta sambil
mengusap-usap tengkuk kudanya.
“Tak perlu......” jawab Suwantra. “Kira harus mencari tempat
bermalam lebih dahulu dan menyusun rencana!”
Setengah menit kemudian kedua orang itu telah
meninggalkan tempat tadi. Hampir setengah jam mereka
mencari-cari tapi tak juga ditemui orang yang mau
menyewakan kamar tempat menginap selama beberapa hari.
Rumah-rumah kosong banyak yang ditinggalkan penduduk
yang pergi mengungsi karena takut pada gerombolan Mali
Kodra. Mirta mengusulkan agar mereka menempati saja salah
sebuah dari rumah-rumah kosong itu. Tapi Suwantra tak dapat
menerimanya karena selain didalam rumah-rumah itu masih
terdapat banyak barang-barang perabotan yang berharga juga
mereka tidak mendapat izin dari pemiliknya. Kalau timbul hal- hal yang tak diingini mau tak mau mereka harus bertanggung
jawab.
Mereka melewati sebuah kedai makanan. Bau masakan yang
sedap yang keluar dari kedai itu membuat hidung kedua
pemuda tersebut jadi kembang kempis. Air liur terbit dan perut
tak pula tinggal diam. “Kita makan dulu dikedai ini” kata
Suwantra sambil memperlambat jalan kudanya. “Kalau tak
berhasil mendapat rumah didalam kota terpaksa kita mencari
dipinggiran kota nanti”. Dibelakang kedai nasi ada sebuah
tempat titipan kuda. Kedua orang itu membawa kuda mereka
kesana, kemudian baru masuk kedalam kedai.
Kedai itu merupakan satu ruangasn besar dengan sebuah
meja besar tempat segala macam makanan disudut muka
sebelah kiri. Macam meja dan bangku-bangkunya sama dengan
yang terdapat dikedai Srimbilan cuma disini jumlahnya banyak
yaitu ada lima buah. Dari dapur yang terletak dibelakang
terdengar suara orang menggoreng kerupuk. Tiga dari lima
buah meja disitu telah diisi oleh tamu-tamu. Jumlah mereka
semuanya dua belas orang. Tampang-tampang mereka memang
berlainan tapi sama membayangkan satu hal yaitu kekejaman!
Mereka makan sambil bicara ribut sekali. Dan ketika Suwantra
bersama Mirta mengambil tempat disalah satu meja yang masih
kosong, beberapa orang diantara tamu-tamu itu yang melihat
mereka masuk, terus memperhatikan mereka dengan seksama.
“Agaknya mereka adalah orang-orangnya Mali Kodra.........”
bisik Mirta pada Suwantra.
“Benar. Aku duga demikian.........”.
Dengan sudut matanya Suwantra memperhatikan orang- orang itu satu demi satu sementara Mirta memesan makanan.
Salah seorang diantara yang dua belas itu memperhatikan
Suwantra dengan tiada hentinya mulai dari ujung rambut
sampai keujung kaki. Kemudian tampak laki-laki itu berbisik- bisik dengan kawan-kawan yang duduk makan disampingnya.
memang tepat sekali karena sesungguhnya laki-laki yang
bertubuh kurus jangkung itu adalah Mali Kodra. Mali Kodra
makannya cepat sekali. Dia lebih dahulu selesai dari pada
Suwantra dan Mirta sekalipun kedua orang terakhir ini lebih
dahulu makan. Sambil bersandar kedinding dan menyilangkan
kaki kirinya diatas pada kaki kanan, pemimpin rampok itu
kembali menikmati pipanya. Salah seorang dari anak buahnya
yang bernama Markim yaitu yang semenjak tadi
memperhatikan Suwantra terus-terusan berdiri dari bangkunya
dan duduk disamping pemimpinnya.
“Ada apa kau duduk mendekat kesini......?” tanya Mali Kodra
sambil meludah kelantai kedai dengan seenaknya. Anak
buahnya mulai mengatakan sesuatu dengan berbisik-bisik.
Beberapa saat kemudian Mali Kodra tampak memandang
dengan mata besar pada Suwantra. Kemudian kembali
pandangannya pada anak buahnya. “Kau merasa pasti Markim?
Atau cuma rasa-rasa sasa? Mungkin tampangnya sama dengan
orang yang kau katakan?!”
“Demi jin pelayangan, saya berani bersumpah, memang
dialah orangnya, anak Praya Giana, putera mahkota suku
Kayan......” jawab Markim dengan berbisik-bisik. Mali Kodra
menoleh lagi pada Suwantra. “Dan yang duduk disebelahnya itu
siapa......?”
“Saya tidak tahu. Mungkin kawannya atau mungkin pula
orang sesukunya......”.
Mali Kodra memandang keluar pintu kedai. Dia menggigit- gigit bibirnya. Matanya menyipit dan keningnya mengerenyit.
Satu tanda bahwa laki-laki itu tengah memikir sesuatu. Tiba-
tiba dia memukul keningnya dengan ujung jari-jari tangan
kanannya sambil memandang berkeliling pada anak buahnya.
“Aku punya rencana. Kalian tak usah tanya apa-apa saat ini.
Rencana hebat dan kita pasti akan dapat mengeduk keuntungan
yang lebih besar...... Aman. Isim dan Sasam, kalian pergi keluar
dan berjaga-jaga dipintu muka. Dan kau Masa, Simpun serta
Ikas pergi kebelakang, berjaga-jaga dipintu dapur!. Keenam
orang-orang yang disebutkan namanya itu segera berdiri dan
pergi keluar ketempat yang telah ditentukan. Semua kejadian
itu diperhatikan Suwantra dengan sudut matanya sedang dia
coba menduga apakah yang tengah direncanakan Mali Kodra
saat itu. Pemimpin rampok itu memasukkannya pipa emasnya
kedalam saku baju dan berdiri. Dia menggeliat dulu dan
kemudian sambil batuk-batuk melangkah mendekati media
dimana Mirta dan Suwantra duduk. “Apa kabar kawan-kawan...... Sudah selesai makan?
Bagaimana masakan orang sini. Ada enak?!” tanya Mali Kodra
sambil menyeringai menunjukkan gigi-gigi depannya yang
berwarna kehitaman karena terlampau banyak merokok.
Suwantra menyentuh lutut Mirta dengan kakinya. Dalam
hatinya dia merasa heran. “Angin apa pula yang tengah dibawa
oleh pemimpin rampok kepadanya?” pikir Suwantra.
“Masakan orang kedai ini enak sekali dan kami lapar
pula......” kata Suwantra memberikan jawaban.
Pemimpin gerombolan rampok itu mengulurkan tangannya
yang kasar berurat. Suwantra menyambut salam itu. Juga
Mirta. “Aku Mali Kodra. Mungkin kalian sudah terlalu sering
mendengar namaku bukan?” kata laki-laki itu memperkenalkan
namanya dengan nada bangga dan sambil menyeringai.
“Senang sekali berkenalan denganmu, Mali Kodra. Memang
namamu sering kami dengar......”. Mali Kodra mengharapkan
agar kedua orang itu memperkenalkan diri. Tapi harapannya itu
tidak menjadi kenyataan. Sambil mengeluarkan pipa emasnya
dari dalam saku dia berkata sambil memandang pada Suwantra.
“Kalau aku tak salah duga, kau adalah puteranya Praya Giana,
Kepala suku Kayan dipedalaman, bukan......?”.
Sebelum menjawab Suwantra mempergunakan otaknya dulu.
Setelah dia merasa tetap baru membuka mulut. “Bagaimana
kau bisa tahu saudara?”.
“Hemm...... percuma aku bernama Mali Kodra, jago ilmu luar
dan ilmu dalam kalau tak dapat mengetahui siapa adanya kau!”
jawab pemimpin rampok itu dengan congkak, padahal
Suwantra telah tahu bahwa anak buahnya yang bernama
Markim tadilah yang telah memberi tahukan kepadanya.
Mali Kodra mengisi tembakau kedalam lobang pipanya dan
bertanya. “Kalian sudah cukup tahu siapa aku bukan? Mereka
itu semua anak-anak buahku. Dan kalian apa sudah mendengar
kabar bahwa kota ini tidak mempunyai kepala kota?”.
“Tidak, kami tak pernah mendengar hal itu. Apa Kepala kota
itu dilepas dari jabatannya?” tanya Suwantra pura-pura tidak
tahu.
“Ya, memang dilepas dari jabatannya. Dilepas untuk
selamanya alias mati bin tiwas!” tukas Mali Kodra.
“Tiwas?!” tanya Suwantra dengan terkejut. “Siapa yang
membunuhnya?! Apa salah laki-laki itu?”.
Mali Kodra menepuk dadanya. “Aku terpaksa membunuh
laki-laki itu. Dia terlampau konyol untuk memegang jabatan
Kepala kota. Anak buahku dicelakainya bahkan aku sendiri
ditantang dan dilawannya, padahal manusia itu tahu siapa aku.
Melawan aku berarti mencari mati dan memang dia sudah
mati!”. Mali Kodra meludah ketanah, lalu menyalakan api
pipanya. Kemudian sambil menghembuskan asap rokoknya dia
berkata. “Aku ada rencana yang bagus sekali. Kuala tidak
mempunyai Kepala kota. Bagaimana kalau kau kuangkat
menjadi Kepala kota disini? Sebagai putera raja suku Kayan kau
akan diterima dan dipercayai penduduk!”.
Suwantra terkejut. Kali ini rasa terkejut yang bukan dibuat- buat. “Apa? Aku ditunjuk untuk memegang jabatan Kepala kota
disini......? Agaknya kau berseloroh kawan!”.
“Tidak! Aku sama sekali tidak berseloroh. Yang kukatakan
adalah sebenarnya dan harus menjadi kenyataan!”. Suwantra
menatap muka pemimpin rampok itu. Lalu sambil tersenyum
dia berkata. “Tak mungkin. Aku bukan orang sini, mana bisa
memegang jabatan itu. Kalau kalian hendak mengangkat kepala
kota juga, kalian harus cari penduduk sini. Aku orang luar dan
pasti tak akan diterima penduduk”.
“Soal diterima atau tidaknya itu adalah soal kami. Yang
penting saat ini adalah bahwa kau harus menerima kedudukan
itu!”.
“Agaknya kau memaksaku Mali Kodra? Dan aku bukan orang
yang bisa dipaksa dengan seenaknya. Antara kau dan aku tak
ada hubungan atau urusan apa-apa. Mengapa kau sengaja
“Kau bukan orang yang bisa dipaksa katamu? Bagus! Tapi
harap kau ketahui juga bahwa aku adalah orang yang suka
memaksa!” kata Mali Kodra dengan menyeringai. “Dengarlah
sobat. Aku tahu sukumu, suku Kayan bukanlah suku yang kaya
raya. Semua orang ingin mencari kaya bukan? Ingin harta dan
ingin uang banyak. Nah, inilah kesempatan bagimu untuk
mencari kaya. Kita akan bekerja sama. Dengan usahaku dan
anak buahku kau pasti akan menjadi Kepala kota Kuala ini.
Kalau kau sudah menduduki jabatan itu nanti, aku bersama
anak buahku akan menyingkir untuk sementara dari sini.
Dengan demikian kota ini akan aman. Lalu kau harus membuat
semacam pajak peraturan yaitu penduduk Kuala diharuskan
membayar beberapa ringgit selama dua minggu berturut-turut.
Uang itu kau katakan saja untuk perbaikan kota atau
membantu penduduk yang telah kami rampok. Percayalah
bahwa dari penduduk kau akan dapat uang banyak. Dan uang
hasil itu nanti kita bagi dua. Aku dan anak buahku mendapat
empat perlima bagian dan yang seperlimanya untuk kalian.
Disamping itu di Kuala ini terdapat lima orang kaya raya. Yang
dua telah berhasil kami preteli, tapi yang tiga lagi berhasil
menyelamatkan diri bersama harta bendanya. Dengan amannya
kota dibawahmu nanti, maka ketiga orang kaya yang mengungsi
itu pasti akan kembali lagi kesini. Dan kalau mereka sudah ada
disini lagi, kami akan menjalankan aksi. Dan kau kembali akan
dapat seperlima bagian. Cobalah kau pikir, pangkatmu tinggi
dan dihormati orang. Kerjamu cuma ongkang-ongkang dan
dapat pula bagian yang sangat besar!”
Suwantra sebenarnya sudah mendidih darahnya mendengar
maksud licik pemimpin rampok itu. Tapi dia masih dapat
menahan diri. Mali Kodra tengah menjalankan satu taktik yang
licin dan keji terhadapnya. Dan pemuda itu berpendapat bahwa
taktik harus dibalas dengan taktik. Dan dia mulai. “Bagaimana
kalau aku tidak mau menerima usul gilamu itu?!”.
Mali Kodra menyeringai lalu tertawa terkekeh-kekeh.
“Itupun bagus juga sobat, tapi sayang parasmu yang bagus itu.
Apa kau ingin kami memaksamu? Apa kau ingin kami
menyiksamu? Memotong kedua telingamu dan hidungmu
membuat kau lebih buruk dari setan dirimba raya?!” Kembali
laki-laki itu terkekeh-kekeh. “Sebagai putera pemimpin suku,
aku tahu kau bukan seorang yang pengecut! Tapi melawanku,
menyanggah kehendakku adalah tertampau konyol kalau tak
mau dikatakan sia-sia. Kau lihat berapa jumlah anak buahku
yang ada didalam sini dan berapa orang yang berjaga-jaga
dipintu depan dan pintu belakang, serta berapa orang kawanmu
disini? Jangan bodoh sobat! Kau diberi pekerjaan murah
dengan hasil tak ternilai tapi coba hendak membantah, mencari
celaka! Pikir-pikir sedikit sobat!”. Suwantra pura-pura
memandang berkeliling seperti orang yang sedang menghitung
kekuatan lawan. Kemudian Mali Kodra melihat bagaimana
paras anak muda itu menjadi kecut. “Bagaimana?” tanyanya
dengan menyeringai.
Suwantra memandang pada pemimpin rampok itu dengan
ragu-raga, lalu berkata, “Apa penduduk mau menerimaku
sebagai Kepala kota mereka?”.
“Kukatakan semua itu adalah soalku. Jadi kau terima?”.
“Belum...... Aku tak setuju dengan pembagian keuntungan
itu. Meskipun kalian banyak tapi pembagian adalah sangat tak
bersesuaian......!”.
“Jadi maumu bagaimana?” Tanya Mali Kodra.
“Kalian tiga perlima bagian dan kami berdua dua perlima
bagian!”
“Hemm......”, pemimpin rampok itu berpikir-pikir sebentar.
Lalu katanya kemudian. “Baiklah!”.
“Aku ingin tahu bagaimana caranya engkau mengangkatku
jadi Kepala kota Kuala ini!” tanya Suwantra.
“Aku akan katakan bahwa kau adalah putera raja Kayan......
dan kau akan dapat pengaruhi serta dipercayai oleh
penduduk!”.
“Tapi kau bersama anak buahmu dibenci dan ditakuti oleh
penduduk. Mereka mana mau percaya dengan orang yang kau
angkat!” tukas Mirta. Dia membuka mulut untuk pertama kali.
“Aku punya taktik tersendiri. Kukatakan pada penduduk
bahwa aku bersama anak buahku telah sadar akan segala
perbuatan yang lalu dan akan kembali kejalan yang benar.
Kukatakan pada mereka bahwa aku bersama anak buahku
segera meninggalkan Kuala dan tak akan kembali-kembali lagi.
Pokoknya kau tak usah khawatir. Semuanya akan beres!”.
“Satu hal, Mali Kodra!” memotong Suwantra. “Jangan sebut- sebut aku sebagai anak dari pemimpin suku Kayan. Tapi
katakan saja dari suku Kenia. Kau mengerti?!”
“Dengan senang hati sobat! Mari kita berjabatan tangan
tanda rencana itu telah sama kita setujui!”. Suwantra dan Mali
Kodra berjabatan tangan dengan erat
“Kalian menginap dimana?!” tanya pemimpin rampok itu
sambil menghidupkan kembali api rokoknya yang telah mati
sejak tadi.
“Kami masih sedang mencari-cari.....” menerangkan Mirta.
Lalu Suwantra berkata, “Mungkin kau ada tempat yang baik
untuk kami?”
“Mengapa tidak?! Rumah Kepala kota yang mati itu!”
“Tapi tentu ada anak istrinya disana”, tukas Suwantra.
“Lakinya tiwas! Anak istrinya kabur entah kemana. Rumah
mereka ditinggalkan kosong. Kalian bisa pakai itu kalau mau.
Perabotannya masih lengkap!”.
“Baiklah kalau begitu.” kata Suwantra pula. “Tadi kau bilang
bahwa kau bersama anak buahmu akan menyingkir dari Kuala
untuk sementara. Kalau uang dari penduduk sudah terkumpul
nanti kemana harus kukirimkan? Atau aku simpan saja dulu?!”.
“Aku akan kirim anak buahku untuk mengambilnya
ketempatmu” jawab Mali Kodra. “Sebaiknya mari kita kerumah
Kepala kota itu dan meneruskan perundingan disana” Suwantra
berdiri, begitu juga Mirta. Dengan diikuti empat orang anak
buahnya, Mali Kodra pergi bersama-sama.
EMPAT
ESOK paginya dengan mengendarai kuda, delapan orang
anak buah Mali Kodra berkeliling kota untuk menyebar berita
dan menyuruh penduduk berkumpul ditanah lapang ditengah
kota. Karena takut dan juga karena rasa ingin tahu maka
hampir semua penduduk kota, terutama orang laki-lakinya
pergi ketanah lapang itu. Ditengah-tengah tanah lapang terletak
sebuah meja besar. Suara orang ramai yang kasak-kusuk saling
tanya menanya sesama kenalan terdengar berisik sekali.
Setengah jam kemudian meloncatlah Mali Kodra keatas meja
tadi dan berdiri disana sambil memandang berkeliling. Dengan
spontan suara desas-desus gaduh dari orang banyak itu menjadi
lenyap. Semua mata memandang pada Mali Kodra dan semua
telinga telah siap dipasang untuk mendengar
“Penduduk Kuala sekalian....” begitulah Mali Kodra memulai
bicaranya. Suaranya besar tinggi. “Sengaja kukumpulkan disini
saat ini lain tidak adalah karena akan terjadi satu dua hal yang
sangat penting bagi kalian untuk diketahui. Aku tahu
bagaimana kalian sangat membenci aku bersama orang- orangku. Semua itu dapat kumaklumi karena memang apa yang
telah kulakukan akhir-akhir ini terhadap penduduk disini
memang tidak pantas sekali. Tapi penduduk sekalian ketahuilah
bahwa orang-orang yang buruk dan jahat itu tidak akan selama-
lamanya berlaku buruk dan berbuat tanpa tercelanya segala
perbuatan kami itu...”. Mali Kodra yang pandai berpura-pura
itu sengaja mengeluarkan kata-kata dalam kalimat-kalimat
terakhir itu dengan suara penuh keharuan dan tertahan-tahan.
Lalu dia meneruskan. “Kami menyesal saudara-saudara
sungguh menyesal dan merasa berdosa. Karena itu kusuruh
kalian berkumpul disini untuk mendengar dan menyaksikan
sendiri bahwa mulai hari ini, mulai detik ini kami akan kembali
kejalan yang benar. Yang lalu biarlah berlalu tak usah diingat-
ingat lagi. Aku bersama orang-orangku akan segera
meninggalkan kota ini dan tak akan kembali untuk selama-
lamanya”.
Seluruh tanah lapang sunyi senyap. Tak satu suarapun yang
terdengar. Mali Kodra membuka mulut kembali. “Aku tahu
mungkin kalian tidak mempercayai apa yang aku katakan itu.
Kalian ragu-ragu. Tapi itu pulang terserah pada kalian. Percaya
atau tidak, terserah! Aku telah utarakan hal yang sesungguhnya.
Dan saudara-saudara sekalian, sebelum meninggalkan kota ini
aku ingin juga membuat sedikit kebajikan pada kalian. Dan
untuk kebajikan yang tak ada artinya ini, tak usah kalian
berterima kasih kepadaku. Saudara-saudara. Kepala kota Kuala
semenjak meninggalnya Kepala yang Iama masih belum ada
gantinya sampai saat ini. Kelowongan ini harus segera diisi.
Dan untuk itu aku telah mempunyai seorang calon yang sangat
tepat dan yang aku percaya bahwa kalian pasti menerimanya
sebagai Kepala kota kalian yang baru!” Mali Kodra memberi
isyarat pada Suwantra. Pemuda itu segera meloncat keatas meja
dan berdiri disamping Mali Kodra. Semua mata kini dialihkan
kepada Suwantra dan kini lapangan kembali ramai oleh suara
bisik-bisik. Mali Kodra mengangkat tangan kanannya dan
kembali angkat bicara : “Saudara-saudara sekalian, saudara
muda ini adalah anak sahabat pamanku. Namanya Prata dan
dia adalah adik dari putera mahkota suku Kenia yang mati
dalam peperangan tempo hari. Dialah yang telah menasehat
mengajariku agar aku insyaf dan sadar serta kembali ke jalan
yang benar. Syukur dan untung sekali segala apa yang
dikatakan itu masuk kedalam hatiku. Dari itu saudara-saudara
sekalian, terimalah dia sebagai Kepala kota kalian. Dia masih
muda, jujur dan keturunan raja-raja yang mempunyai bakat
memimpin. Kota Kuala pasti akan aman tenteram seperti sedia
kala!”.
Suara dari kalangan orang banyak semakin membising.
Masing-masing orang mengutarakan pendapatnya pada kawan- kawan disampingnya. Pemuda itu masih muda. Air mukanya
membayangkan bahwa dia seorang jujur. Dia keturunan
raja......? Memang agaknya dapat dipercayai dari gerak- geriknya.
“Bagaimana saudara-saudara? Setuju dengan pemuda
ini....?”. Tak ada yang menjawab kata-kata Mali Kodra itu.
“Kalau diam artinya setuju!” kata Mali Kodra lagi. “Tapi supaya
jelas cobalah angkat tangan beberapa orang diantara penduduk
laki-laki disini yang tak setuju dengan dia. Yang laki-laki saja!”.
Tangan-tangan tampak diacungkan dari segala penjuru. Mali
Kodra menghitungnya dengan teliti. “Satu...... dua...... tiga......
empat...... delapan...... lima...... belas...... sembilan belas!
Sembilan belas yang tak setuju. Kalian berjumlah dari dua ratus
orang kurasa. Jadi yang selebihnya setuju?!” Tak ada yang
menyahut, tak ada lagi tangan-tangan yang diacungkan.
“Bagus kalau begitu! Pengangkatan Kepala kota yang baru
telah sah!”. Mali Kodra menoIeh pada Suwantra dan bertanya.
“Kau ingin bicara?”. Yang ditanya menggelengkan kepala dan
Mali Kodra memutar kepala memandang kekhalayak ramai.
“Dengan demikian selesailah pertemuan kita ini. Aku yang akan
pergi bersama orang-orangku mengucapkan selamat tinggal
pada kalian dan juga selamat pada Kepala kota baru...... Kalian
boleh bubar!”.
Orang ramai meninggalkan tanah lapang dengan berbagai
macam pembicaraan.
“Aku sebenarnya tak setuju dengan Kepala kota yang baru
itu” kata seorang laki-laki pada kawan yang disampingnya.
“Kalau kau tak setuju mengapa tak angkat tangan tadi?”
tanya kawannya.
“Percuma saja. JumIah yang tak setuju sedikit sekali. Aku
angkat tangan juga tak akan ada artinya! Aku heran mengapa
orang banyak mau saja menerima laki-laki itu sebagai Kepala
kota......”.
“Mereka bukan menerima, tapi membungkam!” jawab
kawannya.
“Kita tidak kenal dengan pemuda itu......” desis yang
pertama.
“Tampaknya dia seorang jujur.”
“Tampaknya...... tapi yang sebenarnya kita tak tahu. Yang
mengangkatnya seorang bekas kepala gerombolan kejam yang
mengaku bahwa dia sudah sadar dan ingin kembali kejalan
yang benar. Kalau ini semua hanya sandiwara......? Siapa tahu!”.
Kawan yang berjalan disamping laki-laki itu memandang pada
si pembicara untuk beberapa lamanya. Tapi tak berkata apa- apa. *
* * Dua hari sesudah pengangkatannya sebagai Kepala kota
Kuala, Prata alias Suwantra segera menjalankan tugas yang
telah ddiktekan Mali Kodra kepadanya. Kepada tiap-tiap
keluarga di Kuala diwajibkan dalam akhir minggu itu
memberikan uang sumbangan serendah-rendahnya satu ringgit
bagi perbaikan kota dan untuk bantuan pada penduduk yang
pernah kerampokan atau dibakar rumahnya oleh gerombolan
Mali Kodra tempo hari. Uang sumbangan itu hanya akan
diambil selama dua minggu. Karena maksud yang baik dari
tujuan pengambilan uang itu maka penduduk Kuala tak ragu- ragu untuk mengeluarkan uangnya. Ada yang memberi sampai
dua ringgit sedang penduduk yang kaya-kaya lebih banyak lagi.
Dan ada yang sekaligus membayar untuk dua minggu. Dua
minggu kemudian pengumpulan uang sumbangan telah selesai.
Dari sumbangan seluruh kepala keluarga di Kuala berhasil
dikumpulkan sebanyak 704 ringgit! Satu jumlah yang sangat
besar pada saat itu. Dan kini hanya tinggal menunggu anak
buah Mali Kodra yang akan mengambil uang tersebut.
Telah dua malam Suwantra bersama Mirta menunggu orang
yang dikirim oleh Mali Kodra untuk mengambil uang itu namun
sampai saat itu belum juga ada yang muncul. Malam itu adalah
malam ketiga dan hari telah agak larut.
“Agaknya malam ini juga mereka tak akan menjemput,
mungkin besok-besok” ujar Mirta sambil menguap lebar-lebar.
“Akupun sudah mulai ngantuk. Barangka.........”. Suwantra
menghentikan kata-katanya. Telinganya yang tajam mendengar
suara tapak-tapak kaki kuda dikejauhan. Kawannya Mirta yang
masih belum mendengar apa-apa bertanya. “Ada apa......?”.
“Suara kaki-kaki kuda...... mungkin mereka......” jawab
Suwantra perlahan. Makin lama suara itu semakin jelas dan
keras. Suwantra bangkit dari kursinya, begitu juga Mirta.
Beberapa saat kemudian tapak-tapak kaki kuda itu terdengar
memasuki halaman rumah. Dan kemudian terdengar ketukan
dipintu muka. Mula-mula tiga kali berturut-turut dengan cepat,
lalu dua kali lagi sebagai tambahan. Itulah kode yang telah
ditetapkan. Suwantra memberi isyarat pada Mirta untuk
membuka pintu. Mirta segera membuka pintu muka. Tiga orang
laki-laki yang berpakaian basah oleh keringat masuk kedalam.
“Kalian cuma bertiga......?” tanya Suwantra.
“Satu orang lagi menunggu kuda diluar.....” jawab salah
seorang dari anak buah Mali Kodra yang bernama Ikas. “Uang
itu sudah kau sediakan?” tanya Ikas.
“Sudah, tapi belum dibagi. Kalian duduklah” ujar Suwantra
pula. Ikas duduk dikursi sedang kawannya yang dua orang tetap
berdiri. Suwantra mengambil bungkusan kantong uang dari
dalam kamar. “Semuanya ada 704 ringgit!” kata Suwantra
sambil meletakkan kantong uang itu diatas meja. Suaranya
berdering berat, Ikas tampak menghitung-hitung dalam
kepalanya. “704 agak susah dibagi lima. Sebaiknya yang empat
ringgit itu kita sisihkan dulu. Jadi sesuai dengan peraturan bagi
hasil kita, kau mendapat 280 ringgit!”. Ikas membuka ikatan
kantong uang dan mulai menghitung sebanyak 280 ringgit.
Uang itu kemudian disusunnya diatas meja. Kantong uang
diikatnya kembali dan dia bangkit berdiri.
“Kau akan segera berangkat?” tanya Mirta. “Kenapa cepat- cepat benar?”.
“Kami harus cepat. Itu perintah pemimpin kami......” jawab
Ikas sambil memutar tubuh.
Pemimpin kalian ada baik?” tanya Suwantra. Ikas
mengangguk. “Sampaikan salam kami kepadanya......”.
Ikas membuka pintu dan bersama kedua orang kawannya
keluar dari ruangan itu. Begitu keempat anak buah Mali Kodra
keluar dari pekarangan rumah, Suwantra dengan cepat
menutup pintu dan masuk kedalam. Bajunya dibukanya, begitu
juga celana luarnya. Dari dalam kamar diambilnya sebuah baju
dan celana bewarna hitam pekat dan dengan cepat dipakainya.
Sambil mengenakan pakaian itu dia berkata pada Mirta. “Cepat
bawa kuda itu kehalaman muka......” Mirta berlalu. Suwantra
menyambar sehelai sapu tangan hitam yang telah disiapkannya.
Sapu tangan besar itu dilipatnya berbentuk segi tiga dan dengan
kain itu ditutupnya mukanya sebatas mata kebawah. Dengan
cepat dia membuka pintu. Diluar telah menanti Mirta bersama
kuda. Suwantra meloncat keatas punggung kuda.
“Beres......?” tanya Mirta.
“Beres. Aku pergi!” kata Suwantra. Pinggul kuda ditepuknya
dan seperti anak panah lepas dari busurnya kuda itu melesat
kemuka.
Sinar bulan purnama yang menembus disela-sela dedaunan
pohon ditepi jalan menerangi jalan kecil yang ditempuh
Suwantra sekalipun tidak begitu terang. Dia mempercepat lari
kudanya. Lima menit kemudian telinganya mulai menangkap
suara tapak-tapak kaki kuda dari orang-orang yang diburunya.
Lepas dari pengkolan jalan yang menurun itu. Suwantra telah
melihat Ikas bersama tiga orang lainnya dibawah sana, memacu
kuda dikegelapan malam.
“Berhenti!”, terdengar suara memerintah dari
bayangan hitam dibawah pohon. Ikas dan
kawan-kawannya segera menarik tali kekang
kudanya.
Lima jam sesudah kepergian Mali Kodra bersama anak-anak
buahnya yang berjumlah delapan belas orang pada dua minggu
yang lalu. Suwantra bersama Mirta telah menyelidiki daerah
yang ditempuh pemimpin rampok itu. Ketika dia menemui satu
persimpangan jalan dia segera mengambil jalan yang kekiri
sedang orang yang diburunya berada di jalan yang sebelah
kanan. Dua ratus meter dari persimpangan tali. Suwantra
menemui satu jalan kecil yang liar. Dia membelok menempuh
jalan itu. Baju hitam yang dipakainya seringkali tersangkut
diranting-ranting kayu kering yang tumbuh memanjang ditepi
jalan tersebut. Lari kudanya makin lama makin dipercepat.
Seperempat jam kemudian dia telah berada disatu jalan diluar
kota. Dibawah sebuah pohon beringin besar dia berhenti. Tanpa
turun dari kudanya dia bersembunyi dibalik batang pohon yang
besar itu. Sinar bulan tak kuasa menembus lebatnja pohon- pohon daun-daun pohon raksasa itu membuat Suwantra
bersama kudanya hilang lenyap ditelan kegelapan malam. Dia
menunggu dengan sabar sambil mengusap-usap tengkuk
kudanya. Satu menit berlalu. Kemudian satu menit lagi. Masih
belum terdengar apa-apa ditelinganya. Ketika menit ketiga
hampir habis maka dikejauhan mulai masuk ketelinganya suara
tapak-tapak kaki kuda yang dipacu kearahnya. Suwantra
membetulkan letak kain penutup mukanya.
Ikas yang membawa kantong uang berjalan dimuka sekali
bersama kawannya Tara. Dibelakangnya menyusul kedua
kawan-kawannya masing-masing Masa dan Aman. Keempatnya
semakin dekat juga dengan pohon beringin itu. Lima belas
meter mereka akan sampai kesana tiba-tiba seorang
penunggang kuda yang berpakaian serba hitam muncul dari
balik pohon laksana hantu yang turun dari puncak beringin itu.
“Berhenti!” terdengar suara memerintih dari orang dibawah
pohon. Suaranya parau keras dan menggetar tanda bahwa dia
mempergunakan tenaga dalamnya.
Ikas menarik tali kekang kudanya, juga Tara dan dua kawan
yang dibelakangnya. Keempatnya berhenti. Kuda tunggangan
Ikas meringkik karena terkejut. Laki-laki itu berusaha untuk
menenangkan binatang itu.
“Siapa kau bangsat!?!” tanya Ikas dengan keras. Tangan
kanannya menyelinap kepinggangnya sebelah muka. Kawan- kawannya yang tiga orang juga berbuat seperti itu. Orang yang
bercadar memalang kudanya ditengah jalan, kemudian dengan
berjalan miring kuda tunggangannya mendekati keempat anak
buah Mali Kodra itu
“Jangan banyak tanya bajingan! Serahkan uang itu!”
terdengar suara musuh gelap itu.
“Kurang ajar! Kau perampok tengik hendak main-main pada
kami? Kau tahu kami siapa?!”, bentak Ikas dengan geram.
“Kataku jangan banyak tanya! Serahkan uang yang kau bawa
itu kalau kau ingin batang lehermu selamat!”.
“Jahanam!” maki Ikas. Tangannya bergerak dan goloknya
keluar dari dalam sarungnya. Kemudian menyusul tiga buah
golok lagi. Terdengar tawa bergumam dari mulut orang yang
bercadar hitam. Dia menggerakkan kudanya sedikit. Tebasan
golok Ikas lewat diatas kepalanya. Tangan kanannya bergerak
memukul sambungan siku yang memegang golok. Ikas menjerit
kesakitan. Senjatanya mental ke udara dan segera disambut
dengan cara yang mengagumkan oleh si cadar hitam. Aman,
Tala dan Masa segera mengurung Suwantra. Pertempuran
golok lawan golok diatas kuda itu berlangsung dengan seru.
Golok beradu dengan golok menimbulkan suara nyaring. Aman
yang berada disamping belakang membacok dengan deras
kearah punggung lawan yang tak dikenalnya itu. Bersamaan
dengan itu, Masa dan Tara yang berada disamping kiri kanan
sebelah muka saling mengirimkan serangan serempak yang
berbahaya pula. Tanpa gugup sedikitpun Suwantra dengan
cepat mencekal leher kudanya dengan tangan kiri. Tubuhnya
kemudian miring kekiri. Kaki kanannya naik kesamping
menghajar pergelangan tangan dari Aman sedang goloknya
menangkis menyapu serangan kedua senjata lawan yang datang
dari muka. Suara patahnya tulang lengan Aman, suara jeritan
laki-laki itu dan suara beradunya senjata Suwantra dengan
senjata Tara serta Masa bergabung menjadi satu menimbulkan
suara dahsyat yang menegakkan bulu kuduk!
Aman terpelanting ketanah dengan kepala lebih dahulu. Batu
kepalanya menghantam akar besar dari pohon beringin,
lehernya patah dan nyawanya meninggalkan tubuhnya detik itu
juga. Dimuka sana Tara dan Masa merasakan tangannya perih
ketika bentrokan senjata dengan lawan. Suwantra kembali
duduk dipunggung kudanya sebagaimana biasa. Dan pada saat
itulah Ikas yang sambungan sikunya kena dipukul sampai lepas
oleh Suwantra melompat dari kudanya dan mendarat
dipunggung Suwantra. Suwantra terhuyung-huyung kemuka
dan kedua orang itu akhirnya terguling kebawah jatuh ketanah.
Suwantra berada disebelah bawah sedang lawannya diatas.
Dengan jari-jari tangan kirinya yang besar-besar, Ikas mencekik
leher lawannya dengan keras. Suwantra coba untuk
membalikkan lawannya tapi sia-sia karena selain tubuh Ikas
besar, juga lutut kanan laki-laki itu menekan perutnya.
Suwantra memencet pergelangan tangan kiri Ikas. Ketika dia
hendak mematahkan tulang lengan laki-laki itu, Ikas cepat
melepaskan cekikannya. Tangan kirinya kini dipakai untuk
menjotos muka lawan. Sebelum Suwantra menyodokkan ujung
golok yang ditangan kanannya ke lambung Ikas, laki-laki itu
masih sempat mengirimkan dua jotoson cepat berturut-turut
kemuka Suwantra. Kemudian terdengar seruan tertahan dari
Ikas. Lambungnya yang terluka hebat mulai menyemburkan
darah. Suwantra membalikkan tubuh laki-laki itu sebelum
darah lawan membasahi bajunya. Ikas terguling kesamping. Dia
mencoba untuk berdiri sambil tangan kirinya memegang
lambungnya yang robek tapi tersungkur kembali ketanah. Dia
menelungkup tak bergerak-gerak. Nafasnya mulai satu-satu dan
akhirnya nyawanya tak ada lagi.
Masa dan Tara melihat kehebatan lawan menjadi kecut dan
tak punya nyali lagi untuk meneruskan perkelahian. Pada saat
Suwantra membalikkan tubuh Ikas yang menghimpitnya, pada
saat itulah kedua orang tadi memutar kuda masing-masing dan
meninggalkan tempat itu. Suwantra dengan cepat melemparkan
golok yang ditangannya pada salah seorang dari yang lari itu.
Golok berdesing diudara dan menancap dipunggung
penunggang kuda yang disebelah kanan. Penunggang kuda itu
masih mencoba untuk kabur terus sambil memegang tengkuk
kudanya erat-erat. Tapi ketika sampai disatu kelokan yang
tajam dia tak dapat lagi mempertahankan diri. Tubuhnya
terlempar kesamping dan jatuh ditanah dengan menelentang
mengakibatkan golok yang menancap dipunggungnya masuk
menembus tubuhnya sampai kejantung dan tak ampun lagi dia
mati konyol disitu juga! Ternyata orang ketiga yang menemui
ajalnya malam itu adalah Masa. Jadi Tara-lah yang berhasiI
menyelamatkan diri. Dan hal itu memang disengaja oleh
Suwantra.
Pemuda itu melangkah mendekati tubuh Ikas. Ikatan
kantong uang dipinggang mayat itu dibukanya dan kemudian
dengan cepat dia meloncat kepunggung kudanya meninggalkan
tempat itu.
Malam berlalu dan semakin gelap jua. Kesunyian yang
menghantu dipecahkan oleh suara burung hantu yang
menggidikkan serta menegakkan bulu roma. Pohon beringin itu
tampak menyeramkan sekali dan tiga mayat bertebaran
disekitar sana.
LIMA
SETENGAH jam kemudian dia sampai kepengkolan jalan itu.
Dia membelok tanpa mengurangi kecepatan lari kudanya.
Pohon-pohon yang dilaluinya seakan-akan melesat cepat dikiri
kanannya. Akhirnya dia sampai juga ketempat yang ditujunya.
Kudanya diperlambatnya dan dia memasuki jalan kecil
disamping kirinya. Rumah besar ditengah hutan itu mulai
tampak disela-sela pepohonan. Beberapa orang tampak
menghitam dikejauhan. Duduk berkelompok-kelompok sambil
bercakap-cakap. Dan semua mereka itu sama berdiri ketika
melihat kedatangan si penunggang kuda. Semuanya mencabut
golok dan salah seorang diantara mereka membentak keras.
“Siapa itu?! Berhenti!!”.
Penunggang kuda itu turun dari kudanya dan melangkah
mendekati rumah dan sama sekali tak mengacuhkan ancaman
tadi.
“Bangsat! Siapa kau?!” terdengar lagi bentakan dari muka
rumah.
“Sialan kau! Apa tidak mengenali kawan sendiri?! Aku
Tara!”, jawab orang yang dibentak dengan membentak pula.
“Tara! Kau?! Mana kawan-kawan yang lain!”. Semua anak
buah Mali Kodra memandang pada kawannya yang kembali
dengan seorang diri dengan perasaan heran. “Mana Masa, mana Ikas dan Aman?!” tanya salah seorang
dari mereka.
“Tiwas! Mereka sudah mampus semua!” jawab Tara sambil
mengikatkan tali kudanya kesebuah palang kayu di muka
rumah.
“Apa yang terjadi?” tanya kawan Tara yang lain.
“Aku akan ceritakan nanti. Yang penting aku harus temui
pemimpin saat ini dan jangan banyak tanya dulu!”. Tara masuk
kedalam rumah langsung keruang tengah dimana MaIi Kodra
duduk melunjur disebuah kursi malas yang terbuat dari bambu.
Disudut bibirnya terselip pipa emas kesayangannya. Ketika
Tara muncul dihadapannya pipa itu segera dicabutnya. Dia
memperhatikan tampang anak buahnya itu beberapa ketika dan
berkata. “Kau seperti monyet yang baru keluar dari liang kubur!
Mana Ikas dan kawan-kawanmu yang lain?!”.
“Celaka pemimpin, celaka!”Celaka!” jawab Tara dengan suara
gemetar datar.
“Heh...... apa? Celaka?! Tara, katakan apa yang terjadi!”. Mali
Kodra jadi tak senang diam. Dia bangkit dari kursi malasnya.
Duduk ditepi kursi itu, kemudian menghentakkan kakinya
kelantai, lalu berdiri. Tenggorokannya nampak turun naik. “Apa
yang terjadi?! Mana uang itu?! Tara......!”
“Ka...... kami dirampok orang, pemimpin!” menerangkan
Tara. Seperti disengat kalajengking, begitulah terkejutnya Mali
Kodra. “Apa? Kalian dirampok? Jangan bergurau Tara. Nanti
kupintir batang lehermu!” kata pemimpin rampok itu dengan
mata yang berapi-api.
“Sungguh mati saya tidak main-main pemimpin. Uang yang
disuruh ambil itu telah kami bawa. Dalam perjalanan pulang
seorang rampok yang mempunyai kepandaian tinggi luar biasa
mencegat kami. Kami mengeroyoknya tapi sia-sia saja. Ikas,
Masa dan Aman menemui ajalnya ditangan bangsat itu. Hanya
saya sendiri yang berhasil menyelamatkan diri......”.
“Tara! Kau?! Mana kawan-kawan yang lain!”. Semua anak
buah Mali Kodra memandang pada kawannya yang kembali
dengan seorang diri dengan perasaan heran. “Mana Masa, mana Ikas dan Aman?!” tanya salah seorang
dari mereka.
“Tiwas! Mereka sudah mampus semua!” jawab Tara sambil
mengikatkan tali kudanya kesebuah palang kayu di muka
rumah.
“Apa yang terjadi?” tanya kawan Tara yang lain.
“Aku akan ceritakan nanti. Yang penting aku harus temui
pemimpin saat ini dan jangan banyak tanya dulu!”. Tara masuk
kedalam rumah langsung keruang tengah dimana MaIi Kodra
duduk melunjur disebuah kursi malas yang terbuat dari bambu.
Disudut bibirnya terselip pipa emas kesayangannya. Ketika
Tara muncul dihadapannya pipa itu segera dicabutnya. Dia
memperhatikan tampang anak buahnya itu beberapa ketika dan
berkata. “Kau seperti monyet yang baru keluar dari liang kubur!
Mana Ikas dan kawan-kawanmu yang lain?!”.
“Celaka pemimpin, celaka!”Celaka!” jawab Tara dengan suara
gemetar datar.
“Heh...... apa? Celaka?! Tara, katakan apa yang terjadi!”. Mali
Kodra jadi tak senang diam. Dia bangkit dari kursi malasnya.
Duduk ditepi kursi itu, kemudian menghentakkan kakinya
kelantai, lalu berdiri. Tenggorokannya nampak turun naik. “Apa
yang terjadi?! Mana uang itu?! Tara......!”
“Ka...... kami dirampok orang, pemimpin!” menerangkan
Tara. Seperti disengat kalajengking, begitulah terkejutnya Mali
Kodra. “Apa? Kalian dirampok? Jangan bergurau Tara. Nanti
kupintir batang lehermu!” kata pemimpin rampok itu dengan
mata yang berapi-api.
“Sungguh mati saya tidak main-main pemimpin. Uang yang
disuruh ambil itu telah kami bawa. Dalam perjalanan pulang
seorang rampok yang mempunyai kepandaian tinggi luar biasa
mencegat kami. Kami mengeroyoknya tapi sia-sia saja. Ikas,
Masa dan Aman menemui ajalnya ditangan bangsat itu. Hanya
saya sendiri yang berhasil menyelamatkan diri......”.
“Aku tidak peduli apa kau selamat atau tidak. Yang penting
harus kau selamatkan uang itu. Dan kau bawa uang itu?
Mana?!”
“Ampun pemimpin...... ampun! Saya dan kawan-kawan tak
berdaya menghadapi begal laknat itu. Di...... dia berhasil
membawa lari uang itu......”. Tangan kanan Mali Kodra
melayang kemuka Tara bertubi-tubi seperti hujan. “Ampun
pemimpin...... ampun......” Rintih Tara. “Ini ampun untukmu!”
maki Mali Kodra sambil melayangkan kakinya keperut Tara.
Tara terjajar berputar-putar dan jatuh duduk dilantai.
“Kau bohong Tara. Ini semua tentu sudah kalian rencanakan.
Kalian berkhianat kepadaku hah?!”. Sambil menahan sakit
perutnya yang kena tendang Tara menjawab. “Ampun...... saya
sama sekali tidak bohong dan khianat. Kalau pemimpin tak
percaya...... dibawah pohon beringin...... disana Ikas, Masa dan
Aman menemui ajalnya...... kami......”. “Apa kau melihat tampang rampok itu? Mengenalinya?!”
“Malam gelap dan dia memakai cadar hitam sebatas
mata......” jawab Tara. Ketika Tara hendak menyambung
bicaranya kembali, segera dibentak oleh Mali Kodra. Pemimpin
rampok itu kemudian menoleh kepintu memanggil dua orang
anak buahnya. Ketika orang-orang yang dipanggil muncul,
pemimpin rampok itu berkata pada mereka. “Seret anjing ini
keluar! Tebas batang lehernya. Dia telah mengkhianatiku!”
“Ampun pemimpin! Ampun! Saya sama sekali tidak bohong
dan tidak berkhianat......”. Dua pasang tangan yang kokoh kuat
memegang lengan Tara dan menyeretnya keluar pintu.
“Ampun...... ampun...... saya tidak berkhianat...... ampun......
terdengar raungan Tara tiada hentinya. Mali Kodra mondar- mandir didalam ruangan itu. Dia seakan-akan berada diatas
bara api layaknya saat itu. Diluar lolongan Tara masih
terdengar sayup-sayup. Kemudian terdengar jeritan dahsyat
dan sudah itu sunyi seyap.
Mali Kodra mematikan api pipanya dan melangkah keluar.
“Siapkan kudaku dan empat orang segera turut bersamaku!”
teriak pemimpin rampok tersebut pada anak buahnya. Segera
terjadi kesibukan-kesibukan. Begitu kuda dibawa
kehadapannya. Mali Kodra segera meloncat naik kepunggung
binatang itu. Tali kekang disentakkannya dan empat orang anak
buahnya segera mengikutinya dari belakang.
Mereka sampai ketempat terjadinya peristiwa itu. Keempat
kuda yang mereka tunggangi sama meringkik keras menambah
keseraman. Yang pertama sekali mereka temui mayatnya
adalah mayat Masa yang mati jatuh dari atas kudanya setelah
dihajar dengan golok pada punggungnya yang kemudian
menembus sampai kejantungnya. Mali Kodra dan juga anak
buahnya turun dari kuda masing-masing.
“Sialan! Benar-benar terkutuk!” desis Mali Kodra dengan
geram. Dia melangkah mendekati tubuh kedua yang
menggeletak ditepi jalan. Dan kembali pemimpin rampok itu
memaki. “Mana satu lagi? Dimana mayatnya Aman......?” kata
Mali Kodra sambil memandang berkeliling. Keempat orang
anak buahnya juga mencari-cari dengan mata masing-masing
berusaha menembus kegelapan malam. Ketika salah seorang
dari mereka hendak menyalakan korek api, pemimpinnya telah
melihat apa yang dicarinya. Mayat Aman, yang patah lehernya
menggeletak diantara akar-akar pohon beringin sehingga susah
untuk dikenali dimalam pekat gelap itu.
“Benar-benar terkutuk! Bagaimana ini bisa terjadi......? Satu
begal gila bisa mengalahkan empat orang anak buahku! Siapa
manusia jahanam itu, benar-benar edan! Jahanam!”. Mali
Kodra menggigit bibirnya berkata lagi. “Periksa seluruh tubuh
mereka dan ambil milik-milik mereka yang berharga!”.
Keempat orang anak buah Mali Kodra segera menjalankan
perintah pemimpinnya.
“Selesai pemimpin” kata salah seorang dari mereka beberapa
ketika kemudian. Mali Kodra naik keatas kudanya. “Kita ke
Kuala!” katanya sambil menyentakkan tali kekang.
Suara dari kelima ekor kaki-kaki kuda itu memecah
kesunyian sepanjang jalan dan memasuki Kuala dengan cepat.
Suwantra segera memberi isyarat pada Mirta yang berbaring
diruang tengah itu ketika ketukan-ketukan keras terdengar
dipintu luar. Begitu pintu dibukanya, masuklah Mali Kodra
bersama dua orang anak buahnya. Yang lain menunggu diluar
“Bangsat! Jahanaml Benar-benar terkutuk, benar-benar
terkutuk!”
“Heh...... ada apa sobat? Kau datang malam-malam begini
dan memaki tak karuan seperti itu. Ada apa?!” tanya Suwantra
dengan terkejut dan pura-pura heran.
“Ikas dan tiga orang kawanya kusuruh mengambil uang itu
kesini. Mereka telah mengambilnya darimu bukan?!”.
“Benar, kira-kira dua jam yang lalu. Dan uang itu tentu
sudah sampai ketanganmu......”.
“Uang itu ada dineraka sekarang!” teriak Mali Kodra karena
marahnya. Suwantra memandang pada Mirta, lalu pada kedua
anak buah Mali Kodra dan akhirnya pandangannya kembali
pada pemimpin rampok itu.
“Apa anak buahmu itu tak kembali? Mereka membawa lari
uang tersebut......?” tanya Suwantra menduga.
“Dalam perjalanan pulang mereka telah dihadang oleh
seorang perampok dan uang itu berhasil disikatnya!” kata Mali
Kodra pula.
“Apa?!”. Suwantra tampak terkejut sekali.
“Mereka dirampok!” teriak Mali Kodra. “Empat orang
perampok dirampok oleh satu orang begal! Benar-benar gila
atau tidak? Jawab, benar-benar gila atau tidak hal itu?!”
“Benar-benar gila. Memang benar-benar gila......” kata
Suwantra dengan perlahan. “Tapi kalau hal itu sungguh- sungguh, bagaimana mungkin mereka yang tubuhnya kokoh- kokoh itu bisa dipreteli oleh seorang lawan......?”.
“Aku juga tidak percaya. Tapi Tara menerangkan begitu.
Katanya begal gelap itu mempunyai ilmu yang tinggi sekali.
Ketiga kawannya terbunuh!”.
“Jadi cuma Tara seorang yang selamat?” tanya Mirta.
“Cuma dia seorang yang selamat. Dan aku telah suruh tebas
leher bangsat yang bodoh itu......!” kata Mali Kodra.
“Kasihan...... mengapa kau bunuh dia? Barangkali dia bisa
mengetahui siapa begal itu. Sekurang-kurangnya mengenali
tampangnya!” kata Suwantra pula.
“Rampok edan itu menutup mukanya dengan cadar hitam!”
jawab Mali Kodra.
“Hemm...... benar-benar gila! Kepandaiannya tinggi dan dia
menutup mukanya dengan kain hitam!” desis Suwantra. Lalu
tanyanya. “Apa sebelum ini pernah kejadian yang seperti itu
atau kalian pernah dengar tentang rampok yang bercadar
hitam?”. Mali Kodra menggelengkan kepalanya.
“Apa yang harus kita perbuat sekarang?” tanya Suwantra
kemudian setelah masing-masing mereka berdiam diri
beberapa lamanya.
“Apa yang harus kita perbuat......” desis Mali Kodra.
“Bagaimana keadaan disini?” tanyanya kemudian.
“Penduduk yang dulu mengungsi kini sudah memasuki kota.
Tampaknya suasana sudah seperti semula lagi” jawab
Suwantra.
“Dan ketiga orang-orang kaya itu apa sudah kembali kesini
semuanya?”.
“Cuma satu orang baru. Yang dua lainnya kudengar kabar
hari ini, mungkin besok” jawab Suwantra.
“Uang itu..... sialan!”. Mali Kedra kembali menggerutu ketika
dia teringat pada uang yang dibegal dari anak buahnya.
“Bagaimana kalau kita adakan sekali lagi pemungutan uang
sumbangan pada penduduk?”.
Suwantra tampak berpikir-pikir. Kemudian memberikan,
jawaban. “Disamping agak terlalu berat bagi penduduk
mungkin pula mereka akan menaruh curiga...... Sebaliknya kita
tunggu beberapa minggu lagi. Bagaimana?”.
“Aku sudah tak bisa menunggu lagi sebenarnya” jawab Mali
Kodra sambil mengusap mukanya. “Beginilah...... kalau kedua
orang kaya itu sudah tiba disini, lekas beritahukan padaku!”.
“Tapi aku tak tahu dimana kau bersembunyi......”.
“Hemm...... kalau begitu biar anak buahku saja yang datang
menyelidiki kesini nanti. Sebelum kami melakukan
perampokan aku akan singgah kemari untuk
memberitahukannya padamu......”. Laki-laki itu berdiri dan
melangkah menuju kepintu. * *
*
Kedatangan Mali Kodra bersama anak buahnya itu memang
sudah diduga sebelumnya oleh Suwantra dan dia telah
mempersiapkan segala apa yang hendak direncanakannya.
Ketika Mali Kodra bersama anak-anak buahnya baru saja
keluar dari halaman rumah dengan cepat dia mengenakan baju
hitam dan cadarnya kembali. Dari sebuah laci diambilnya pisau
belati yang pada gagangnya diikatkan sepucuk surat. Kemudian
dia keluar dari rumah mengejar rombongan perampok tadi.
Saat itu malam sudah sangat larut dan dinginnya tiada
terkirakan, apalagi karena dia memacu kuda dengan secepat- cepatanya.
Dibawah pohon beringin, Mali Kodra menghentikan kudanya
dan berkata pada anak-anak buahnya. “Cepat ambil ketiga
mayat kawan-kawanmu itu dan bawa ketempat kita!”.
Pekerjaan menggotong mayat-mayat itu keatas kuda hanya
kurang dari lima menit. Sesudah selesai Mali Kodra bersama
anak buahnya segera meneruskan perjalanan. Sesosok tubuh
yang bersenbunyi dibalik semak-semak dipinggir jalan
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Sebuah benda
tajam melesat dari tangan itu dengan kecepatan yang luar biasa
dan dengan deras menancap dipunggung salah seorang dari
anak buah Mali Kodra.
“Uuhh......” terdengar suara laki-laki yang punggungnya
menjadi sasaran belati. Karena gelap kawan-kawannya tak
dapat melihat pisau belati yang dipunggungnya dan mereka
mengira hanya mengeluh karena lelah atau sebab lain. Tapi
ketika dilihat mereka kawannya itu mulai terhuyung-huyung
diatas pelana kudanya yang lain mulai curiga. “Hai Mong......
kau ini mimpi apa? Naik kuda seperti itu. Kau mau mampus
terbanting ketanah......”. Dan buuk! Orang yang bernama
Mongmong itu benar-benar jatuh terjungkal ketanah. Mali
Kodra terkejut, begitu juga anak-anak buahnya yang lain.
Semuanya berhenti dan turun dari kuda masing-masing. Dan
saat itu terdengar suara kaki-kaki kuda yang dipacu
meninggalkan tempat itu. Mali Kodra memandang kearah suara
kaki-kaki kuda tersebut beberapa saat lamanya kemudian
membungkuk meneliti punggung anak buahnya. “Setan! Benar- benar terkutuk! Dia dilempar dengan pisau secara gelap!”. Mali
Kodra mencabut pisau yang tertancap hampir kegagangnya itu
membuat darah keluar mengucur dengan deras dari luka
dipunggung Mongmong. “Dan ada surat! Apa-apaan ini? Benar- benar gila!”. Dengan rasa tak sabar Mali Kudra membuka
lipatan surat. Tangannya gemetar karena geram. “Markim, coba
nyalakan korek! Aku tak dapat melihat apa yang tertulis
dikertas gila ini!”.
Anak buahnya yang bernama Markim segera menyalakan
korek api sementara kawan-kawannya yang lain mendekat
karena ingin tahu apa yang tertulis dikertas yang ditangan
pemimpin. Korek api menyala dan diatas kertas itu tertulis :
Mali Kodra,
Tiga orang anak buahmu telah menemui ajalnya
ditanganku. Itu peringatanku yang pertama. Dan
saat ini menyusul peringatanku yang kedua.
Bubarkan gerombolan terkutukmu dan pergi jauh-
jauh dari negeri ini. Kecuali kalau kau ingin hancur
semuanya!
Cadar Hitam. “Kurang ajar, berani mengancamku dengan cara seperti ini!
Bangsat! Manusia yang mengaku bernama Cadar Hitam itu
belum tahu siapa aku rupanya......!” maki Mali Kodra sambil
merobek-robek kertas surat yang ditangannya dan meludah
ketanah. Dia memandang berkeliling. Kemudian seperti orang
gila dia berteriak keras : “Hai manusia yang bernama Cadar
Hitam, keluarlah kau dari persembunyianmu. Ini aku Mali
Kodra ada disini! Ayo bangsat pengecut tunjukkan kalau kau
memang laki-laki!”.
Tak ada suara jawaban selain dari gema kata-katanya sendiri.
Dan kembali pemimpin rampok itu merutuk tiada henti- hentinya. Dengan langkah yang penuh geram dia akhirnya
mendekati kudanya. Dan kembali tempat itu diliputi kesunyian
ketika Mali Kodra bersama rombongannya menghilang
digelapnya malam. ENAM
KEESOKAN paginya Mali Kodra datang lagi ketempat
Suwantra. Semua apa yang dialaminya tadi malam
diceritakannya dengan geram kepada Kepala kota itu.
“Jadi engkau mendapat surat ancaman itu pula?” tanya
Suwantra. “Kau mungkin tak akan percaya kalau kukatakan
bahwa aku juga menerima ancaman seperti itu!”. Mata Mali
Kodra tampak membesar sementara Suwantra masuk kedalam
kamar dan keluar dengan membawa sehelai kertas dan sebuah
pisau belati.
“Tengah malam aku mendengar seperti ada suara ketukan
dipintu muka. Tapi anehnya cuma satu kali saja dan tak aku
acuhkan karena kuduga mungkin tikus atau binatang-binatang
lainnya. Tapi paginya ketika Mirta membuka pintu muka,
disana sudah tertancap sebuah belati dan digagangnya
diikatkan surat ini!”
Suwantra meletakkan pisau diatas meja sedang surat yang
ditangannya diberikannya pada Mali Kodra. Laki-laki itu mulai
membacanya.
Kepala Kota palsu,
Aku tahu bahwa kau adalah manusia terkutuk
yang bekerja sama dengan Mali Kodra. Hentikan
perbuatanmu itu sebelum terlambat dan pergi dari
Kuala. Ini ancamanku yang pertama. Ancamanku
yang kedua adalah golok dan batang lehermu!
Cadar Hitam.
Mali Kodra menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi
begitu selesai membaca surat tersebut. “Aku benar-benar tak
habis pikir, siapa adanya manusia gila yang menyebut dirinya
Cadar Hitam ini! Kalau kuketahui......” dan laki-laki itu
memukul meja yang dihadapannya tanda marah dan geram.
“Kuduga orang ini adalah penduduk sini juga......” desis
Suwantra perlahan.
“Taksiranku begitu juga. Tapi disini tak ada seseorang yang
punya kepandaian ilmu setinggi dia, kecuali aku tentunya!” kata
Mali Kodra pula sambil jari-jari tangannya mencabut-cabuti
janggutnya yang mulai memanjang tak teratur
“Walau bagaimanapun manusia ini harus kita tangkap hidup
atau mati sebelum dia merusakkan semua rencana kita......”
kata Suwantra. Dia memandang pada pemimpin rampok itu
beberapa lamanya, kemudian berkata lagi. “Aku ada rencana,
bagaimana kalau kita jebak si Cadar Hitam itu?!”.
“Caranya?” tanya Mali Kodra pula.
“Kita lakukan perampokan kerumah salah seorang penduduk
disini, tapi cuma pura-pura saja. Dan kalau si Cadar Hitam
datang nanti akan kita tangkap dia hidup-hidup!”.
“Rencanamu itu memang bagus. Tapi apa kedua orang kaya
yang kutanyakan tempo hari itu sudah pindah ke sini?”.
“Belum lagi” jawab Suwantra.
“Kalau kita lakukan perampokan, sekalipun cuma umpan
belaka, namun penduduk di KuaIa ini akan kembali gelisah dan
merasa tak aman. Akibatnya orang kaya yang sudah pindah
kesini akan mengungsi lagi sedang dua kaya yang lainnya tak
jadi memasuki kota. Dan kita akan makan angin saja selama
dua minggu ini! Begini saja, kita tunggu dulu sampai kedua
orang kaya yang lain itu datang kesini dan kalau si Cadar Hitam
masih juga coba-coba main gila dengan kita orang, baru kita
buat umpan dan selesaikan bangsat itu! Caraku ini lebih baik!”.
Suwantra tampak mengangguk-angguk tanda setuju. “Tepat,
memang tepat sekali!” katanya. “Supaya rencana kita lebih
cepat dijalankan sebaiknya suruh saja salah seorang anak
buahmu menginap disini. Kalau kedua orang kaya itu sudah
tiba dikota, dia bisa memberitahukanmu dengan segera.
“Setuju!” kata. Mali Kodra sambil menepuk bahu Suwantra.
Tak berapa lama kemudian diapun meninggalkan tempat itu
dengan dua orang anak buahnya. Anak buahnya yang ketiga
yang bernama Isim ditinggalkan sebagai mana yang telah
disetujuinya tadi.
Karena terdengar kabar bahwa Mali Kodra bersama anak- anak buahnya yang banyak itu telah meninggalkan kota sedang
Kuala sudak pula mendapat seorang Kepala kota yang baik dan
ramah, yang kesemuanya itu menyebabkan kota menjadi aman
kembali maka dua orang kaya yang telah meninggalkan
rumahnya sejak dua minggu yang lalu, tiga hari kemudian
kembali kekota dan menempati rumahnya lagi. Keadaan di
Kuala memng sudah pulih seperti sediakala. Pada saat
diketahuinya kembalinya kedua orang kaya itu kekota, maka
pada saat itu juga Isim segera meninggalkan Kuala untuk
memberi kabar pada pemlmpinnya. Dengan cara yang halus
sekali tanpa mencurigai Isim, Suwantra menyurruh Mirta untuk
pergi bersama anak buah Mali Kodra itu dengan mengatakan
bahwa dia agak cemas kalau Isim ditengah jalan diserang oleh
orang yang menamakan dirinya si Cadar Hitam itu dengan
mendadak. Dua orang adalah lebih baik dari pada sendirian.
Tapi maksud yang sesungguhnya dari Suwantra adalah agar
Mirta dapat mengetahui dimana letak markas besar dari
gerombolan rampok itu.
Sorenya baru Isim dan Mirta kembali. “Bagaimana...... sudah
kau sampaikan berita itu?” tanya Suwantra pada Isim.
“Beres! Pemimpin dan kawan-kawanku akan datang tengah
malam nanti. Rencana perampokan tidak diberitahukan bila
saatnya, tapi kuduga seperti yang sudah-sudah dilakukan, pada
waktu dinihari......” kata Isim memberikan jawaban.
“Dinihari waktu yang tepat sekali! Saatnya semua orang
menarik selimut masing-masing dan tertidur nyenyak
didinginnya hari......” ujar Suwantra dengan rasa puas.
Menit demi menit terasa seperti lambatnya siput yang
merayap-rayap namun Suwantra dan Mirta menanti dengan
sabar. Lewat tengah malam baru Mali Kodra bersama lima
belas orang anak buahnya memasuki kota dan langsung menuju
ketempat kediaman Suwantra.
“Bagaimana? Sudah matang rencanamu? Beres?!” tanya
Suwantra begitu Mali Kodra duduk dikursi.
“Kita akan kaya! Ha...... ha...... ha...... Mula-mula kita datangi
rumah orang kaya yang didekat pasar, lalu yang dibelakang
surau dan baru rumah orang kaya yang terakhir. Kalau dapat
semuanya dibereskan tanpa keributan, tanpa diketahui seorang
pendudukpun......”.
“Dan kalau dapat tanpa pembunuhan!” sela Suwantra.
“Benar, kecuali kalau terpaksa! Kecuali kalau si Cadar Hitam
datang untuk membuat ulah dan mengantarkan nyawa!” ujar
Mali Kodra pula dengan satu seringai bermain dimulutnya. Lalu
sambungnya. “Aku akan merasa senang kalau nanti dapat
berhadapan dengan manusia keparat itu!”
Mereka bercaka-cakap terus untuk menunggu waktu. Satu
setengah jam kemudian Mali Kodra bangkit dari kursinya.
“Sudah saatnya, sobat! Kau tunggu saja disini berdua Dengan
Mirta. Segala sesuatunya akan beres dan kau akan terima
pembagian seperti yang telah kita tetapkan.”
“Dua perlima bagian heh......”.
“Dua perlima bagian!” kata Mali Kodra dengan menyeringai.
Dia melangkah menuju keluar diikuti oleh dua orang anak
buahnya yang turut masuk bersamanya kedalam rumah.
Sambil memegang tali kekang kudanya Mali Kodra
memandang berkeliling pada anak buahnya yang telah duduk
diatas kuda masing-masing. “Semuanya beres?” tanyanya.
“Beres!” terdengar jawaban dari salah seorang rampok- rampok itu. Dan kuda Mali Kodra mulai bergerak maju,
kemudian diikuti oleh lima belas ekor kuda-kuda lainnya.
Keluar dari halaman rumah salah seorang anak buah Mali
Kodra yang berjalan disisi pemimpin rampok itu berkata.
“Pemimpin, sebenarnya pembagian rampokan antara kita
dengan kedua orang itu sangat tidak sebanding. Dia hanya
berdua, dan kerjanya cuma duduk ongkang-ongkangan sedang
kita yang pergi melakukan perampokan ini sama juga dengan
menyabung nyawa dan jumlah kita banyak pula sehingga
pembagian keuntungan dari hasil rampokan tak akan berarti
sama sekali!”
“Aku tahu semuanya itu, Markim dan aku tidak bodoh. Kau
liliat saja nanti. Kalau semuanya sudah beres, kita datangi
rumah Kepala kota itu, merampok kembali uang pembagian
dan baru kita benar-benar meninggalkan daerah ini......” jawab
Mali Kodra sambil menyeringai. Sementara itu dibelakang
mereka dua orang penunggang kuda yang memakai baju serba
bitam dan menutup mukanya sebatas mata mengikuti
rombongan perampok itu dengan hati-hati. Keduanya tak lain
adalah Suwantra dan Mirta.
Seperti yang telah direncanakan Mali Kodra bersama
rombongan rampoknya mendatangi rumah orang kaya yang
dekat pasar. Mereka bergerak dengan perlahan-lahan. Dimuka
rumah batu yang besar itu mereka menyebar. Lima orang
disamping kiri rumah, lima orang disamping kanan sedang lima
orang lagi masuk dari pintu belakang, dipimpin langsung oleh
Mali Kodra sendiri.
Suwantra dan kawannya mengendap-endap dibalik semak- semak. Mereka telah menyembunyikan kuda mereka disatu
tempat kira-kira dua rumah dari rumah orang kaya itu.
Keduanya datang dari samping kanan. Ditangan Suwantra
tergenggam dua buah pisau belati .sedang Mirta yang
disampingnya memegang sebuah kantong terpal kecil berisi
delapan buah pisau yang sebentuk. Lima orang anak buah Mali
Kodra tampak berjaga-jaga disamping kanan rumah sementara
pemimpin mereka mulai membuka dengan paksa pintu rumah
sebelah belakang.
Dari balik semak-semak ditempat gelap melesat dua buah
benda tajam dengan derasnya. Sebuah menancap dikuduk salah
seorang anak buah Mali Kodra sedang yang kedua menancap
dipunggung perampok yang lain. Kedua rampok yang kena
sasaran maut itu menjerit terkejut dan terhuyung-huyung
kemuka lalu jatuh ketanah. Kawananya yang tiga orang lagi jadi
panik. “Si Cadar Hitam......” desis salah seorang dari mereka.
Dengan segera dicabutnya goloknya, kedua kawannya
mengikuti gerakannya. Ketiga orang itu merunduk mengendap- endap dan coba menembus kegelapan malam dengan mata
mereka mencari dimana musuh gelap yang telah menyerang itu.
Tiba-tiba telinga mereka menangkap suara berdesing dari arah
muka. Ketiganya menjatuhkan diri ketanah, tapi yang seorang
terlambat. Pisau menancap dipipinya dan kepalanya
terdongkak kebelakang. Dia menemui ajalnya beberapa detik
kemudian. Kawannya yang dua orang lagi berhasil mengetahui
dimana persembunyian Suwantra. Keduanya segera
bergulingan ditanah, kemudian berdiri dengan cepat sebelum
Suwantra sempat melemparkan dua buah pisau selanjutnya
“Mirta......” bisik Suwantra dengan cepat. “Kau tetap disini.
Keluar kalau sudah kuberikan isyarat. Biar aku yang
menghadapi kedua bangsat ini!”
Pemuda itu mencabut goloknya dan meloncat keluar dari
balik semak-semak. “Ha...... ha...... kalian rampok-rampok yang
keras kepala, yang tak mau mengindahkan peringatanku, mari
sini. Aku akan tebas batang lehermu satu demi satu!” ujar
Suwantra sambil melintangkan goloknya menangkis serangan
yang dilancarkan kedua anak buah Mali Kodra. Kedua rampok
itu sama-sama terkejut dalam hati ketika merasakan bagaimana
tangan mereka yang memegang senjata jadi tergetar pedas
begitu senjata mereka saling bentrokan. Keduanya melancarkan
serangan dengan lebih cepat lagi. Tapi itu tak lama. Setengah
menit kemudian setelah meloncat kesamping mengelakkan
golok-golok lawan, Suwantra menggeser kaki kanannya dengan
cepat, tubuhnya kemudian mengapung setinggi pinggang dan
kedua perampok itu terpelanting kebelakang beberapa tombak.
Yang sebelah kanan meregang nyawa dengan seketika karena
golok yang ditangan Suwantra hampir memutuskan batang
lehernya sedang rampok yang disebelah kiri rengkah tulang
tengkorak kepalanya kena dihantam pukulan tangan kiri yang
dahsyat dari murid Ahmed Pasya itu.
Suara tubuh-tubuh yang jatuh ketanah, suara berisik dan
suara beradunya senjata, semuanya itu telah ditangkap oleh
telinga pemimpin rampok yang tajam itu. Mali Kodra memberi
isyarat pada anak buahnya yang mengikutinya dibelakang. Dia
menjauhi pintu rumah yang saat itu tinggal didorong saja lagi.
“Kita diserang...... mungkin si Cadar Hitam......” bisik Mali
Kodra. Dia mencabut golok panjangnya dan melangkah
mengendap-endap. “Panggil kawan-kawanmu yang disamping
kiri rumah, cepat!” perintah pemimpin rampok itu pada anak
buahnya.
“Ha...... ha...... kau mengendap-endap mencari apa sobat?
Mencari tikus?! Aku si Cadar Hitam! Mali Kodra, kau bersama
anak buahmu tak mengindahkan peringatanku heh?! Ini yang
penghabisan kalinya. Pergi dari sini dan jangan kembali- kembali lagi
Mali Kodra berdiri lurus-lurus. Dia memandang kemuka
yang memakai cadar hitam itu. “Kalau kau laki-laki, buka kain
penutup mukamu itu, sobat!” tukas Mali Kodra sementara
kelima anak buahnya yang berada disamping kiri rumah telah
datang ketempat itu. Mali Kodra menggerakkan tangannya
memberi tanda dan sepuluh orang anak buahnya bergerak
cepat mengurung Suwantra ditengah-tengah. Satu kurungan
yang rapat sekali dan masing-masing mereka sama menghunus
golok. “Aku suruh kau angkat kaki dari sini, Mali Kodra. Dan bukan
menyuruh kau untuk angkat bicaral” ujar si Cadar Hitam.
Pemimpin rampok itu coba untuk menduga siapa adanya laki-
laki yang dihadapannya itu. Suaranya serak dan dia tak pernah
mendengar seseorang yang mempunyai suara seperti itu. Tapi
suara bisa dibuat-buat. Dia memperhatikan potongan tubuh
lawannya, juga terlalu banyak orang yang mempunyai
perawakan seperti laki-laki tersebut. Mali Kodra coba-coba
mengangkat golok panjangnya tinggi-tonggi dan bertanya. “Kau
lihat benda apa yang ditanganku ini......?”
“Jadi kau tak mau pergi dari sini?...... Bagus, aku juga punya
senjata yang semacammu itu, Mali!” jawab Suwantra sambil
mengacungkan golok yang ditangannya. Mali Kodra meloncat
kemuka dan dimulailah pertempuran antara satu lawan sebelas
itu!
Tubuh Suwantra berkelebat cepat menimbulkan bunyi angin
yang bersiuran. Golok yang ditangannya bergulung-gulung
disekeliling tubuhnya. Bukan saja senjata itu dipergunakannya
untuk membentengi badannya dari senjata lawan sebaliknya
juga dipakai untuk balas menyerang. Tangan kiri dan kedua
kakinya juga tak tinggal diam. Dalam dua jurus saja, tiga dari
pengeroyoknya terjungkal kena dihantam dengan keras dan
melosoh ditanah tak sadarkan diri. Salah seorang anak buah
Kodra melemparkan golok yang ditangannya kedada Suwantra.
Senjata itu mental kembali. “Celaka! Tubuhnya kebal!” teriak
laki-laki itu.
“Jangan banyak mulut, kurung dan gempur terus!” teriak
Mali Kodra yang diam-diam juga terkejut melihat hal itu. Golok
panjang yang ditangannya memapas deras sedang tangan
kirinya mengeluarkan sebuah senjata seperti tongkat. Ternyata
adalah sebuah potongan bambu kuning. Satu orang lagi berhasil
dirubuhkan oleh Suwantra tapi tak urung kini dia mulai
terdesak. Permainan silat Mali Kodra yang memegang dua
senjata itu benar-benar tak bisa dianggap enteng. Tubuhnya
yang kurus jangkung itu bergerak ringan dengan cepat. Kedua
senjata yang ditangannya datang ganti berganti dengan bertubi-
tubi. Gempuran lawan-lawannya semakin dahsyat sedang
mereka mengurung tambah rapat. Sebuah golok lawan
menghantam bahunya dengan keras. Baju hitamnya robek tapi
kulitnya sendiri tak apa-apa.
Ketika Suwantra mengelakkan ujung senjata Mali Kodra
yang datang dengan cepat dari muka kearah mata kirinya,
tongkat bambu kuning yang ditangan kiri kepala rampok itu
berhasil menghantam pelipisnya. Suwantra menggeram
menahan sakit. Dia segera mencari balas. Dalam keadaan
sedikit pening, tubuhnya melesat kemuka. Golok salah seorang
anak buah rampok memapas dari depan. Dia menendang
lengan yang memegang golok itu sedang tangan kirinya
menjotos kearah lambung Mali Kodra. Laki-laki itu melompat
kesamping. Kaki kanan Suwantra menyambut loncatan itu
sementara dia sendiri terpaksa merunduk menghindarkan
sambaran senjata lawan yang datang dari belakang. Tendangan
lawannya juga berhasil dielakkan oleh Mali Kodra dan ketika
golok Suwantra memapas cepat kekepalanya, dia menangkis
dengan bambu kuning yang ditangan kirinya. Bambu dan golok
bentrokan! Bagian golok yang tajam seakan-akan menghantam
satu benda yang sangat keras dan licin sehingga senjata yang
ditangan Suwantra itu meleset menyerosot. Pemuda itu tak mau
membiarkan serangannya lepas percuma. Goloknya yang
meleset itu diteruskannya kearah tangan Mali Kodra, tapi
pemimpin rampok itu juga tidak bodoh. Sebelum tangannya
kena disambar puntung oleh senjata lawan, dia menghantam
golok Suwantra hingga patah dua dengan golok panjang yang
ditangannya
“Ha ha! Sebutlah nama Tuhanmu, sobat! Satu detik lagi
nyawamu akan meninggalkan tubuhmu menuju keneraka
jahanam!” ejek Mali Kodra dengan tertawa gembira. Kedua
senjatanya kembali menyerang dengan hebat deras, begitu juga
senjata-senjata anak buahnya yang lain. Suwantra bertahan
dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa keadaannya sangat
berbahaya sekali. Dari mulutnya keluar satu siulan tinggi. Mirta
yang mendengar tanda yang diberikan oleh Suwantra itu, yang
sedari tadi sudah sangat tak sabar menunggu, dengan cepat dia
keluar dari persembunyiannya. Ditangan kirinya tergenggam
sebuah belati sedang ditangan kanannya sebuah golok.
“Dua orang hadapi setan yang baru muncul itu. Yang lain
tetap mengurung setan hitam ini!” terdengar perintah Mali
Kodra. Dua orang rampok keluar dari kalangan pertempuran
dan menghadapi Mirta. Yang empat lagi tetap mengurung
Suwantra bersama pemimpin mereka. Saat itu Suwantra masih
bertahan dengan tangan kosong. Dalam satu serangan dahsyat
yang dilancarkan kedadanya, sambil mengelak dan bertalian
gigih, Suwantra coba untuk merampas salah sebuah dari golok
lawannya. Dan dia berhasil. Tapi saat itu serangan berantai
yang dikirimkan oleh Mali Kodra datang dengan cepat. Dengan
golok yang ditangannya Suwantra menangkis tetakan golok
panjang lawan dan tangan kirinya mengirimkan jotosan kedada
laki-laki itu. Mali Kodra merasakan nafasnya sesak. Dia
mengatur jalan nafasnya dengan cepat sementara satu orang
anak buahnya berhasil lagi dirobohkan oleh Suwantra.
Ketika jalan nafasnya dan sakit dadanya yang kena terpukul
sudak pulih kembali. Mali Kodra dengan cepat melancarkan
serangan balasan. Caranya berkelahi kini mengalami perubahan
total. Kedua tangannya yang memegang senjata terbentang
lebar, bagian dadanya lowong sama sekali. Tapi Suwantra
cukup maklum dengan tipu dari ilmu pukulan semacam itu. Dia
tak mau melancarkan serangan langsung kearah dada lawan,
sebaliknya menggempur dari samping kiri atau kanan. Dua
jurus lagi berlalu, dua kali Suwantra kena terpukul bambu
kuning yang ditangan kiri Mali Kodra. Pemandangannya agak
berkunang-kunang. Dan ketika dia mengelakkan sambaran
golok lawannya itu, salah seorang dari anak buah Mali Kodra
meloncatinya dari belakang, mencekal lehernya dan bergantung
seerat-eratnya. Suwantra dengan kecepatan yang luar biasa
membantingkan laki-laki itu ketanah tapi dengan demikian dia
telah melupakan pertahanan dirinya meskipun hanya beberapa
detik saja. Mali Kodra yang sudah mengetahui kekebalan
lawannya tak mau mempergunakan goloknya untuk
menghantam Suwantra. Sebaliknya dengan ujung bambu
kuning yang ditangan kirinya dengan cepat ditotoknya urat nadi
peredaran darah yang ditengkuk pemuda itu. Suwantra megap- megap, dia coba untuk mengalirkan tenaga dalamnya kebagian
yang kena totok itu tapi sebelum berhasil kembali Mali Kodra
menotok bagian lain dari tubuhnya. Tubuh Suwantra menjadi
kejang kaku dengan seketika. Dia bardiri seperti patung batu
tak bergerak barang sedikitpun!
“Hem...... cuma sedemikian saja kehebatanmu, manusia
setan!” ejek Mali Kodra. Dia melangkah maju dan
merenggutkan kain hitam penutup muka si pemuda. Dan
mulutnya terdengar seruan tertahan ketika matanya melihat
tampang orang yang dihadapannya. “Dia! Kepala kota itu!
Benar-benar gila! Benar-benar tak kusangka!” Semua mata
memandang terbeliak pada Suwantra yang berdiri kaku tak
tahu apa-apa. Mali Kodra mengalihkan pandangannya pada
kedua anak buahnya yang masih bertempur melawan laki-laki
yang berpakaian serba hitam dan juga memakai kain penutup
muka. “Dia tentunya Mirta......” desis Mali Kodra dengan geram.
“Mirta! Kau manusia sialan, sebaiknya menyerah saja.
Kawanmu sudah tak berdaya!”. Mirta tak mengacuhkan
peringatan itu. Dia terus mengirimkan serangan balasan pada
kedua lawannya yang mulai mendesaknya. Sementara itu
didalam rumah orang kaya yang hendak dirampok itu karena
ribut-ribut dihalaman samping seluruh penghuninya jadi
terbangun. Sumansyah, si orang kaya mengintip melalui celah- celah jendela dengan hati berdebar-debar. Diluar dilihatnya
tengah berlangsung pertempuran seru. Golok berkelebatan kian
kemari. Dan debaran jantungnya semakin mengeras ketika dia
mengenali tampang Mali Kodra. Apa yang hendak diperbuatnya
bersama keluarganya? Hendak lari keluar...... dia jadi cemas.
Dia lari kebagian belakang rumah, dilihatnya pintu dapur sudah
didobrak orang. “Celaka! Untung aku tahu!.
“Ujung! kata Sumasyah pada anak laki-lakinya. “Tolong aku!
Seret lemari itu kesini untuk menutupi pintu itu! Kedua anak
dan bapak sama bekerja keras menyeret lemari makan kepintu
dapur yang telah didobrak. “Letakkan kursi-kursi dan tambah
palang-palang pada setiap pintu dan jendela lainnya! Dan mari
kita sama-sama berteriak minta tolong!”.
Dan beberapa saat kemudian, suara bentakan-bentakan dan
beradunya senjata oleh teriakan-teriakan minta tolong oleh
keluarga orang kaya itu. “Kurang ajar!” maki Mali Kodra. Dia
memandang dua orang anak buahnya. “Gotong laki-laki ini
kekudamu dan yang lain bantu menangkap hidup-hidup
bangsat yang seorang itu. Ingat, hidup-hidup. Aku sudah punya
rencana untuk bangsat-bangsat kepala dua ini!”
Tubuh Suwantra yang kaku itu dinaikkan kepunggung kuda
sedang dimuka sana Mirta dikurung hebat oleh tiga orang anak
buah Mali Kodra. Dalam keadaan terdesak hebat akhirnya laki-
laki itu kena dipukul kepalanya dengan gagang golok oleh salah
seorang anak buah Mali Kodra. Mirta terhuyung-huyung, dia
pingsan dalam pelukan musuhnya. Juga Mirta dalam keadaan
tak sadar dinaikkan keatas kuda!
“Ayo cepat tinggalkan tempat ini! Semua rencana kita jadi
gagal berantakan karena anjing-anjing setan ini! Mereka akan
menerima pembalasanku kelak!”. Mali Kodra meloncat keatas
punggung kudanya. Dan dalam sekejap mata sisa-sisa
rombongan rampok itu segera berlalu meninggalkan kawan- kawannya yang pingsan dan mati.
TUJUH
SEPEREMPAT jam sebelum fajar menyingsing Mali Kodra
bersama rombongan dan tawanannya sampai ditempat
persembunyian mereka. Suwantra dan Mirta dibawa keruang
tengah dari rumah dimana terdapat tiga buah tiang besar.
“Ikat kaki dan tangan mereka!” perintah Mali Kodra.
“Kemudian ikatkan ketiang-tiang itu!”. Beberapa orang anggota
rampok segera mengikat tangan dan kaki Suwantra serta Mirta
dengan tali-tali yang besar kokoh. Kemudian kedua orang itu
diikatkan ketiang rumah.
“Tambah lagi ikatan binatang itu!” ujar Mali Kodra sambil
menunjuk pada tubuh Suwantra. Sampai saat itu kedua
tawanan masih belum sadar. Suwantra tak sadarkan diri karena
ditotok jalan darahnya pada dua tempat sedang Mirta karena
kena dipukul kepalanya.
Mali Kodra kemudian melepaskan kedua totokan yang
ditubuh Suwantra. Perlahan-lahan pemuda yang mulai
sadarkan dirinya itu membuka kedua matanya. Dia mendapati
dirinya terikat erat disatu tiang ditengah rumah.
Disekelilingnya banyak sekali orang. Ditiang samping tampak
Mirta, juga terikat sedang matanya tertutup, kepalanya terkulai.
Kemudian matanya membentur muka Mali Kodra. Pemimpin
rampok itu menyeringai, lalu tertawa berkakakan.
“Bagaimana sobat? Kau masih ingin menerima bagianmu
dalam hasil rampokan? Ha...... ha...... ha......?!” Mali Kodra
melangkah maju mendekati Suwantra. “Aku akan tepati janji.
Ini bagianmu!” Tangan rampok itu melayang menghantam
muka Suwantra dua kali berturut-turut.
“Heh......” desis Mali Kodra dengan menyeringai kesakitan
sambil memandang ketangannya yang lecet kemerahan.
Sementara itu Suwantra mengeluarkan aji kekuatannya untuk
dapat memutuskan tali-tali yang mengikat tubulnya. Si
pemimpin rampok jadi penasaran. Dia menghujani dada
Suwantra berulang-ulang dengan kedua tinjunya. Suwantra
menggigit bibir menahan sakit dan geram. Tali besar pengikat
pergelangan lengannya sudah berhasil diputuskannya. Tapi
salah seorang anak buah Mali Kodra yang mengelilinginya
melihat kejadian itu. “Awas, bangsat itu telah berhasil
memutuskan tali pengikatnya!”. Semua orang terkejut,
termasuk Mali Kodra. Dia memperhatikan tali-tali yang putus
lalu memandang pada Suwantra.
“Ilmumu boleh juga sobat. Tapi sayang kau pakai untuk
mengkhianatiku!”. Dengan jari tangannya Mali Kodra menjotos
kebawah ketiak Suwantra. Detik itu juga Suwantra merasakan
tubuhnya mendadak menjadi lemah lunglai. Tenaganya punah
sama sekali. Itulah ilmu totokan yang dinamai orang ‘pelemah
raga’, yang membuat setiap orang yang kena totokan itu akan
lemah tiada berdaya sama sekali tapi tidak sampai jatuh
pingsan, otak dan perasaannya tetap berjalan normal.
“Nah...... coba sekarang perlihatkan kesaktianmu, sobat!”
ujar Mali Kodra sambil meninju hidung tawanannya dengan
keras. Hidung Suwantra tampak merah sekali dan darah
mengucur dari kedua lubangnya. Pukulan tadi juga
menyebabkan kepala bagian belakang pemuda itu beradu keras
dengan tiang kayu dimana dia diikatkan. Pemimpin rampok itu
memandang kepada anak buahnya yang kini hanya tinggal
enam orang saja. “Bangsat ini telah mengkhianatiku, berarti
juga telah mengkhianati kalian. Ayo mengapa diam saja?! Beri
dia sedikit pelajaran!”. Kemudian satu demi satu keenam orang
anggota rampok itu menghadiahkan tinju-tinju mereka kemuka
Suwantra. Muka pemuda yang tampan itu kini penuh dengan
bengkak-bengkak yang matang merah kebiruan. Bibirnya
pecah-pecah, darah dari bibir itu bercampur menjadi satu
dengan darah yang mengucur dari hidung sedang matanya
hampir merapat karena bengkak bekas-bekas pukulan. Setiap
menerima hantaman tinju-tinju yang dilancarkan dengan
sekuat tenaga itu, Suwantra menggigit bibirnya yang penuh
dengan darah, berusaha untuk tidak merintih dan menahan
sakit. Ketika tinju terakhir dari rampok yang keenam sampai
dipipinya. pemandangannya telah berkunang-kunang. “Ha.....
ha..... ha.....!” terdengar suara Mali Kodra tertawa. Tampaknya
dia senang sekali melihat hal itu. “Kepala kota palsu, alias anak
raja, alias si Cadar Hitam, alias manusia sakti, tapi sinting! Kini
rasakan olehmu bagaimana akibat dari berlaku khianat kepada
Mali Kodra. Apa yang telah kau terima belum apa-apa, sobat!.
Semuanya baru permulaan saja, baru pembukaan! Sebentar lagi
akan kusuruh potong kedua daun telingamu, hidungmu dan
kemudian aku sendiri yang akan mencungkil kedua matamu.
Aku masih punya hati untuk tidak membunuhmu, sobat.
Biarlah kau jadi manusia yang jauh lebih seram dari pada setan!
Ha...... ha...... ha...... anak raja, putera mahkota dengan tampang
seperti setan! Hua...... ha...... ha...... ha......!”.
Ditiang yang sebelah kiri, Mirta mulai sadar akan dirinya.
Dengan matanya yang kuyu sayu dia memandang berkeliling.
Beberapa saat lamanya dia tak dapat memahami keadaan
dimana dia berada, bagaimana dia sampai disitu dan apa yang
terjadi atas dirinya.
“Bagus, kau juga sudah mulai sadar, sobat......?” terdengar
suara Mali Kodra ketika pemimpin rampok itu dengan sudut
matanya menangkap gerakan yang dibuat oleh Mirta. Semua
mata kini dialihkan pada Mirta sedang ditiang yang satu lagi,
Suwantra antara sadar dan tidak akan dirinya.
“Anak-anak, ayo beri sedikit ajaran pada bangsat itu!”
perintah Mali Kodra. Dan kini hujan tinju menghantam muka
Mirta tiada hentinya sampai muka pemuda itu penuh darah dan
babak belur. Mirta jatuh pingsan kembali namun beberapa
orang diantara rampok-rampok itu masih saja melayangkan
tinju-tinjunya. “Cukup!” kata Mali Kodra sambil mengeluarkan
pipa emasnya. Lubang pipa diisinya dengan tembakau,
kemudian dinyalakannya. Sambil menghirup pipanya dalam- dalam, laki-laki itu melangkah mendekati Suwantra. Asap
rokoknya dihembuskannya kemuka Suwantra. “Bagaimana
rasanya, kawan......? Sedap......?! Aku heran, mengapa kau yang
sudah kujanjikan bagian yang sangat menguntungkan mau
berkhianat kepadaku? Bodoh itu namanya kawan! Atau kau
memang sudah benar-benar sinting?!”.
Suwantra mengangkat kepalanya yang baginya terasa berat
sekali. Dengan matanya yang kuyu bengkak dia menatap muka
pemimpin rampok itu. Dia berusaha dengan susah payah untuk
membuka mulut sekalipun suaranya terdengar sendat parau
dan terteguin-tegun. “Kau yang sinting, Mali! Kau setan, bukan
manusia! Kalau kau manusia tentu kau tak akan melakukan
semua ini!”.
“Justru aku manusai maka aku melakukan semua ini sobat!”
jawab Mali Kodra sambil melayangkan tangannya menampar
pipi Suwantra. “Setiap pengekhianat harus diberi ganjaran yang
setimpal!”
“Bukan aku yang menjadi pengkhianat, Mali! Tapi kau dan
anak-anak buahmu. Kau bersama mereka menjadi pengkhianat
besar terhadap peri kemanusiaan, pengkhianat besar sesama
bangsa dan tanah air, merampok, membunuh! Bahkan kau
pengkhianat besar dihadapan agama dan Tuhanmu, atau
mungkin kau tidak mempunyai agama? Tidak percaya adanya
Tuhan?! Beragama atau tidak beragama ber-Tuhan atau tidak
ber-Tuhan, tapi ingat, pembalasan akan datang kepadamu atas
apa yang telah kau lakukan selama ini!”
“Bagus...... bagus...... sebagai seorang putera raja kau
memang pandai bicara! Dan aku lupa mengatakan padamu,
bahwa selain memotong kedua daun telinga, hidung dan
mencungkil matamu, aku juga akan memotong lidahmu yang
pandai bicara itu!” tukas Mali Kodra pula.
“Aku tidak takut semuanya itu, bangsat! Bahkan dibunuhpun
aku tidak takut! Kau boleh lakukan sekarang juga!”
“Bunuh? Oh...... tidak, bung! Aku tidak akan membunuhmu!
Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa aku akan membuat
mukamu menjadi lebih seram dari segala macam setan dijagat
ini? Ha... ha... ha...!”. Pemimpin rampok itu tertawa terbahak- bahak, kemudian menoleh pada anak buahnya. “Simpun, ambil
pisau yang tajam! Aku ingin cepat-cepat merubah tampang
anak raja ini! Suku Kayan akan mendapat raja yang luar biasa
hebatnya!. Tentu saja kalau mereka masih mau menerima
putera mahkota ini sebagai raja mereka. Syukur kalau mereka
tidak lari kabur karena ketakutan......!”. Orang yang disuruh
segera berlalu. Mali Kodra duduk kesebuah kursi dan
menghisap rokoknya kembali.
Markim, anak buah kepercayaan Mali Kodra melangkah
mendekati pemimpinnya. “Pemimpin, bolehkah saya
mengatakan sesuatu?” tanya Markim. Tanpa menoleh pada
anak buahnya, Mali Kodra menganggukkan kepala. “Seperti
yang kita sekalian mengetahui, pemuda itu anak raja suku
Kayan bukan?”.
“Lalu ada apa?” tanya Mali Kodra memotong. “Apa kau takut
bahwa sukunya akan melakukan pembalasan?”.
“Bukan...... bukan itu maksud bicara saya, pemimpin” jawab
Markim. “Kalau kita bisa menunggu sedikit lama, sesungguhnya
pemuda itu bisa memberikan keuntungan yang besar bagi kita!”
Kali ini baru Mali Kodra memutar kepalanya. Dia memandang
anak buahnya itu dengan mengerenyitkan alis. Markim
melanjutkan. “Mengapa kita harus terburu-buru pemimpin?
Dengarlah apa yang saya katakan selanjutnya, niscaya
pemimpin akan sangat menyetujuinya. Pemuda itu dan
kawannya bisa kita pergunakan sebagai alat......”. Markim
menghentikan bicaranya karena kawannya Simpun yang
disuruh mengambil sebuah pisau besar yang sangat tajam
datang kehadapan pemimpinnya. Mali Kodra menerima pisau
itu, lalu katanya pada Markim. “Teruskan bicaramu......”.
“Keduanya bisa kita pergunakan sebagai alat, kata saya. Kita
bebaskan Mirta dengan ancaman bahwa dia boleh kembali
kekampungnya tapi segera mengumpulkan uang sebanyak
seribu ringgit sebagai tebusan bagi Suwantra. Kalau dia tidak
kembali dengan uang yang seribu ringgit itu sebagai tebusan,
maka baru kita perbuat sekehendak hati kita dengan anak raja
itu. Percayalah, niscaya orang-orang Kayan tak akan kehilangan
putera mahkota mereka dan mereka akan mau secara suka rela
ataupun terpaksa mengumpulkan uang demi keselamatan
Suwantra. Dan kalau Mirta kembali membawa uang itu, apa
sulitnya untuk membunuh atau menyiksa Suwantra sekehendak
hati pemimpin? Suwantra telah mengkhianati kita, kini tiba
saatnya bagi kita untuk membalas khianat itu, bahkan dengan
keuntungan seribu ringgit! Bayangkan!”.
“Astaga! Kau benar-benar cerdik, akalmu benar-benar
panjang Markim!” kata Mali Kodra sambil menepuk-nepuk
punggung anak buahnya dengan tangan kirinya. “Mengapa aku
tidak pikirkan sejak tadi hal itu......? Benar...... benar! Aku
setuju rencanamu itu. Tapi......”.
“Tapi bagaimana kalau Mirta bukan kembali dengan uang,
melainkan dengan ratusan prajurit-prajurit Kayan? Kita akan
celaka semuanya. Kekuatan kita cuma sedikit sekali!”.
“Mana bisa jadi begitu......” jawab Markim. “Orang-orang
Kayan tak akan berani berbuat seperti itu. Melanggar pesan
berarti kematian bagi calon raja mereka. Lagi pula kita jangan
bertindak bodoh. Kita suruh Mirta sendiri yang harus
mengantarkan uang itu kesatu tempat, sedang kita tanpa setahu
dia pindah tempat dari sini. Kalau sekiranya orang-orang Kayan
datang menyergap kesini, mereka hanya akan mendapati rumah
kosong!”.
“Benar-benar kau panjang akal, Markim. Kau akan dapat
bagian besar dariku!” kata Mali Kodra sambil bangkit berdiri
dari kursinya sementara Markim senyum-senyum kecil karena
gembira dijanjikan hadiah besar oleh pemimpinnya.
“Hai! Dengar apa yang kukatakan ini, pengkhianat- pengkhianat!” kata Mali Kodra dengan keras. Suwantra
mengangkat kepalanya. Begitu juga Mirta, yang sudah sadar
setengah menit belakangan ini.
“Apa perlu mendengar pidato orang bejat sinting sepertimu
ini?!” ujar Mirta.
“Kurang ajar!” bentak Mali Kodra dengan melangkah cepat- cepat mendekati laki-laki itu. Tamparannya melayang dua kali
menghajar pipi Mirta. “Apa kau ingin anak rajamu kubikin
mampus saat ini juga?!”.
“Kau hendak membunuh kami? Silahkan! Kami tidak ikut
mati! Kami bukan manusia-manusia pengecut macam kalian.
Ayo bunuhlah!”.
“Baik bangsat, kelak kau akan kami bunuh juga! Sekarang
dengar apa yang akan kukatakan! Kau Mirta akan kulepaskan
hari ini juga. Kau harus kembali kekampungmu sedang
Suwantra tetap kami tahan disini. Kau harus kembali dalam
tempo tiga hari dengan membawa uang tebusan sebanyak
seribu ringgit bagi Suwantra. Ingat, tiga hari, mulai dari hari
ini. Kalau kau tidak kembali dalam tempo yang telah
kutentukan itu serta membawa uang seribu ringgit, atau kau
kembali dengan membawa prajurit-prahurit suku Kayan, maka
ingat-ingat ini...... Suwantra akan kami cincang tubuhnya
sampai lumat dan kepalanya akan kusuruh kirim kehadapan
rajamu!”.
“Jangan dengarkan celoteh gilanya itu Mirta. Apapun yang
terjadi aku tidak takut mati. Kalau mereka melepaskanmu,
pergilah selamatkan dirimu. Tak usal kembali dengan
membawa uang. Kembalilah dengan pasukan-pasukan kita, biar
aku mati ditangan manusia dajal ini asal kau dan kawan-kawan
kita dapat menghancurkan mereka sampai ke akar-akarnya!”.
“Ya....... ya! Itu memang boleh kalian lakukan. Boleh! Dan
satu rencana yang bagus sekali kalau kau bermaksud
menghancurkan kami dan lebih hebat lagi kalau sekiranya
kalian berhasil!” ujar Mali Kodra sambil menyeringai. “Anak
anak, lepaskan ikatan Mirta!” perintahnya kemudian. Dua
orang anak buah Mali Kodra segera membuka ikatan Mirta.
Pemuda itu berdiri dengan bersandar pada tiang. Seluruh
tubuhnya terasa sakit-sakit sedang rumah itu dirasakanya
seperti bergoyang-goyang. Kemudian didengarnya suara Mali
Kodra kembali : “Ingat, sobat! Kau harus kembali dalam waktu
tiga hari dengan membawa uang itu. Uang itu tak usah susah- susah kau antarkan sampai kesini. Bawa kekedai nasi tempo
hari. Disana salah seorang anak buahku akan mengambilnya.
Kau lakukan atau tidak, terserah kepadamu. Nyawa putera
mahkota ada ditanganmu, Mirta! Sekarang keluar dari sini.
Pergi!”. Mali Kodra mendorong tubuh laki-laki itu hingga Mirta
terhuyung-huyung ke arah pintu. Tapi dia tak mau
meninggalkan ruangan tersebut melainkan tetap berdiri dengan
pandangan mata yang mengancam.
“Seret bangsat gila itu keluar!” perintah Mali Kodra. Dua
orang anak buahnya segera bergerak. Keduanya merenggutkan
tangan Mirta dan menyeret pemuda itu keluar pintu. Mirta
dilemparkan diantara semak-semak dan kedua rampok itu
kemudian masuk kembali kedalam rumah.
Diluar, pagi yang dingin menyambut kedatangan Mirta. Dia
mulai menggigil. Bukan saja karena dingin, tapi juga
disebabkan oleh luka-luka dan bengkak-bengkak yang diseluruh
kepalanya mulai terasa perih sakit serta berdenyut-denyut. Saat
itu dia terhantar diatas semak-semak dengan tubuh
menelentang keatas. Entak berapa lamanya dia berada dalam
keadaan seperti itu. Tiba-tiba dia sadar bahwa tidak seharusnya
dia berbuat seperti itu. Dia harus berbuat sesuatu, harus
melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Suwantra.
Dikumpulkannya seluruh kekuatannya. Dengan perlahan-lahan
dia berdiri diatas kedua kakinya meskipun sempoyongan. Apa
yang harus dilakukannya? Tanpa senjata dan tanpa kekuatan
dia tak bisa membebaskan Suwantra. Atau haruskah dia cepat- cepat meninggalkan tempat itu kembali kekampungnya dan
menurut apa yang diperintahkan oleh pemimpin rampok itu?
Dia berpikir-pikir mencari akal. Saat itu pintu rumah tampak
terbuka dan Mali Kodra keluar dengan bertolak pinggang.
“Benar-benar terkutuk kau, Mirta. Mengapa kau masih berdiri
disitu menghabiskan waktu saja? Ayo cepat angkat kaki dari
sini!”.
“Kau yang terkutuk Mali Kodra. Aku bukan manusia setan
sepertimu yang bisa berlari secepat kilat! Mana bisa aku pulang
pergi kekampungku dalam waktu tiga hari tanpa mengendarai
kuda......?” jawab Mirta dengan berteriak keras dari tempatnya
berdiri. Pemimpin rampok itu tampak berpikir-pikir sebentar,
kemudian menoleh kedalam. “Markim, pergi ambil seekor kuda
dan berikan pada bangsat itu!”. Orang yang diperintahkan
melangkah kepintu belakang, membuka pintu itu dan keluar.
Dibelakang rumah disebuah kandang kuda terdapat enam ekor
kuda ditambah dengan tiga ekor kuda-kuda cadangan. Markim
mengambil salah seekor dari ketiga kuda cadangan itu dan
membawanya keluar kandang kemudian memberikannya pada
Mirta. Mirta menerima tali kekang kuda itu sambil memandang
tajam pada Markim dia berkata, “Aku tahu, bung. Semuanya ini
adalah rencana busukmu bukan? Tunggulah, aku akan kembali
untuk menebas batang lehermu!”. Markim menyeringai
mengejek dan tak berkata apa-apa. Perlahan-lahan Mirta naik
keatas kuda yang diberikan kepadanya. Dia menarik tali kekang
dan berlalu dari tempat itu. Mali Kodra dan Markim
memperhatikannya sampai Mirta menghilang dibalik semak- semak.
Mirta juga punya akal yang panjang. Dia segera dapat
menduga bahwa tak mungkin bagi perampok-perampok itu
untuk tetap berdiam dirumah tersebut. Walaupun mereka
menawan Suwantra saat itu, tapi tentu mereka juga
memikirkan keselamatan diri masing-masing. Mau tak mau
mereka pasti akan khawatir terhadap serangan mendadak yang
akan dilancarkan oleh orang-orang suku Kayan. Disatu tempat
laki-laki itu membelokkan kudanya. Dia menyelinap diantara
semak belukar. Mirta tak mempedulikan lagi bagaimana
bajunya yang basah dengan keringat itu habis robek-robek
direnggutkan oleh semak-semak tajam dan ranting-ranting
runcing. Bahkan rasa sakit dikepalanya juga tidak
diacuhkannya. Kurang dari lima menit kemudian atap rumah
itu telah tampak kembali dimukanya. Dia mendekat dengan
hati-hati tanpa menimbulkan suara. Mirta datang dari bagian
belakang rumah. Dibalik semak-semak yang lebat dia
menunggu dengan sabar sementara matahari semakin naik
juga.
Sepuluh menit menunggu akhirnya pintu belakang itu
tampak dibuka. Tiga orang anak buah Mali Kodra keluar dari
dalam langsung menuju kekandang. Mereka mengeluarkan
tujuh ekor kuda dan membawanya kehalaman samping. Salah
seorang dari mereka kemudian kembali lagi untuk menambah
makanan bagi sisa kuda-kuda yang tinggal. Mirta melihat
Suwantra dalam keadaan masih terikat didudukkan
kepunggung seekor kuda kemudian Markam naik pula keatas
kuda yang sama. Lalu kelihatan Mali Kodra bersama yang lain-
lainnya. Pemimpin rampok itu mengendarai kudanya dimuka
sekali bersama Markim dan tawanan, kemudian baru menyusul
anak-anak buahnya. Mirta keluar dari persembunyiannya dan
dalam jarak yang agak jauh mulai mengikuti rombongan itu.
Mali Kodra mempunyai banyak sekali sarang-sarang rahasia.
Dan saat itu Suwantra tengah dibawanya kesatu sarang rahasia
yang terletak kurang dari tiga kilo dari sarangnya yang tadi.
Tapi seperti sarang-sarangnya yang lain, maka sarang kemana
Suwantra dibawa saat itu sangat susah untuk diketahui,
meskipun jarak antara sarangnya yang satu dengan yang lain
tidak begitu berjauhan. Setelah mengetahui tempat dimana- mana Suwantra dibawa itu, maka Mirta memutar kudanya. Dia
mengambil jalan yang menuju kekota kembali untuk terus
menuju kekampungnya melalui Srimbilan.
DELAPAN
TIGA hari sesudah Suwantra dan Mirta meninggalkan rumah
besar, maka datanglah Kiman bersama istrinya yang sedang
hamil besar beserta anak-anaknya. Kepada ayah Suwantra di
Srimbilan. Dan karena peristiwa itulah maka dia terpaksa
mengungsi untuk sementara kesana. Aditiajaya dan istrinya
Suwantri juga turut mendengarkan cerita yang dituturkan
Kiman.
Seminggu berlalu. Suwantra dan Mirta belum juga kembali.
Orang serumah besar terutama kedua orang tua pemuda itu
dan juga Suwantri mulai resah. Kini memasuki minggu kedua.
Minggu kemudian berakhir pula dan kedua pemuda itu belum
juga kembali. Dan kini minggu ketiga hampir habis pula.
Keresahan dan kegelisahan yang mula-mula hanya dan
disimpan didalam hati kini mulai diutarakan dengan ucapan- ucapan. Hanya Aditia seorang yang kelihatan masih tenang-
tenang.
Siang itu, selesai makan Aditia masuk kekamarnya. Dia
tampak bersiap-siap seperti orang yang hendak berangkat. “Kau
mau kemana, Aditia?” tanya istrinya. Pertanyaan itu hanya
dijawab dengan senyuman oleh sang suami. “Aku akan
meninggalkan kau sebentar, Wantra. Mungkin seminggu atau
lebih......”.
“Tapi kau mau kemana?” tanya Suwantri lagi.
“Masa kau tidak tahu......? Semua orang disini diliputi
kecemasan. Kedua orang tuamu, juga kau. Aku akan menyusul
kakakmu. Agaknya ada sesuatu yang tak beres dengan dia dan
Mirta. Dan sebelum kau menyatakannya, sebaiknya kudahului
saja. Kau tak boleh ikut Wantri! Dengar-dengar. Dan itu bukan
perintah orang yang bernama Aditia heh, tapi perintah seorang
suami. Dan wajib ditaati!” kata Aditia sambil tersenyum.
Perempuan itu menggelengkan kepalanya dan mencubit lengan
suaminya. “Kalau aku boleh tanya, mengapa aku tak boleh pergi
bersamamu. Aditia......?”.
Aditia mencium kening istrinya dan menjawab, “Adat negeri
mana saja ditanah air ini adalah satu kejanggalan bagi seorang
perempuan yang baru bersuami untuk keluar jauh-jauh dari
rumahnya. Dan kau adalah penganten baru!”. Suwantri
menarik nafas dalam. “Apa kau sudah katakan pada ayah dan
ibu?”. Aditia menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu baiklah. Kau boleh pergi asal......”.
“Asal apa puteriku......?” tanya Aditia sambil memegang dagu
istrinya yang lembut mungil
“Asal kau jangan coba main gila diluaran cari pacar baru!”
kata Suwantri pula. Aditia tertawa gelak-gelak. “Kau ini ada-ada
saja, Wantri...... Kalau aku masih seorang jejaka mungkin aku
akan main gila diluaran, cari pacar dimana-mana. Tapi kini aku
bukan perjaka lagi, bukan? Mungkin sudah hampir menjadi
seorang ayah dari seorang bayi yang masih disimpan Tuhan
disana.....” dan Aditia menunjuk keperut istrinya. Muka
Suwantri menjadi merah dan dengan tangan kanannya
ditinjunya dada Aditia. “Tobat! Kau mau bikin mati aku
Suwantri? Memukulku seperti itu......?”.
“Habis kau yang buat gara-gara! Waktu masih belum kawin
kau bersikap alim, bicaranya sopan. Tapi kini sesudah kawin
mulutmu kenapa jadi usil sekali?!”
“Jadi kau marah?!” tanya Aditia.
“Ya! Memang aku marah! Mari kesini dekat-dekat!”. Aditia
melangkah mendekati istrinya dan perempuan itu merangkul
suaminya dengan mesranya......”. Selamat jalan Aditia, selamat
jalan suamiku. Hati-hati dan lekaslah kembali......”.
“Baik tuan puteriku yang manis......” jawab Aditia dengan
senyum dan mengecup bibir perempuan itu.
Walaupun banyak kuda-kuda yang besar-besar dan tegap-
tegap yang dapat dipergunakan Aditia dalam perjalanannya
namun dia memutuskan untuk pergi dengan kedua kakinya
alias berlari. Dengan mempergunakan ilmu larinya, menjelang
rembang petang dia sampai di Srimbilan. Sorenya dia tidak
meneruskan perjalanan dan malam itu dia menginap dirumah
kosong yang ditinggalkan Kiman. Rumah itu dicarinya dengan
agak susah payah setelah tanya sana tanya sini pada penduduk.
Gaspar, anak buah Mali Kodra yang menjadi pemimpin
rampok dikota Srimbilan telah lama kasak kusuk sibuk mencari
keterangan dimana adanya Kiman bersama anak istrinya. Dia
sangat mendendam kepada Kiman karena Kimanlah yang
menjadi gara-gara sampai dia bersama anak buahnya dihajar
habis-habisan oleh Suwantra dan Mirta tempo hari, bahkan
ketiga orang anak buahnya itu, yaitu Lasa, Samin dan Gulam
menemui ajalnya ditangan kedua pemuda tersebut. Meskipun
setiap orang ditanya dan dimintakannya keterangan, namun
kemana perginya Kiman sekeluarga masih juga tidak diketahui
oleh Gaspar. Setiap saat rumah yang ditinggalkan Kiman selalu
diawasinya. Dia sudah mulai bosan dengan pekerjaan mencari
keterangan dan mengintai-intai seperti itu. Malam itu sebelum
dia memutuskan untuk pergi ke Kuala guna menemui
pemimpin besarnya yaitu Mali Kodra. maka Gaspar sekali lagi
melakukan pengintaian dirumah Kiman.
Saat itu Aditia dalam perjalanan kembali dari kedai nasi
setelah makan malam disana. Menjelang akan sampai kerumah
Kiman dibelakangnya didengarnya langkah-langkah kaki. Apa
pula yang dicurigakan Aditia terhadap orang yang berjalan
dibelakangnya itu? Dia memasuki halaman rumah. Tanpa
diketahuinya, orang yang berjalan dibelakangnya tadi
mendadak menghentikan langkah. Ordng itu tak lain adalah
Gaspar yang tengah hendak melakukan pengintaian kerumah
Kiman. Dia terkejut ketika melihat orang yang berjalan
dimukanya berkelok kerumah yang menjadi intaiannya terus-
terusan selama ini. Jalan dan potongan tubuh Aditia memang
agak mirip dengan Kiman, meskipun Aditia sedikit lebih tinggi
dan lebih tegap. Tapi pada malam hari perbedaan itu tak akan
kelihatan dengan tegas, apalagi dijalan yang gelap. Dia
mempercepat langkahnya. Sepuluh meter dari rumah Kiman
dia membelok memasuki halaman rumah lain dan melalui
pagar samping dia kemudian sampai dibelakang rumah Kiman.
Dia mengendap-endap dikegelapan. Seluruh rumah dilihatnya
diliputi kegelapan.
Karena pintu keruangan dalam dikunci, maka Aditia
terpaksa tidur diruangan depan dengan mempergunakan empat
buah kursi yang disusun rapat sebagai tempat tidur. Karena
perjalanan yang cukup meletihkan tadi siang, ditambah dengan
perut yang kenyang padat maka kedua matanya mulai terasa
mengantuk. Dia menguap dua kali berturut-turut. Saat itu
Gaspar telah sampai diruangan depan. Dia mengintai kedalam.
Dikegelapan dilihatnya orang yang dicarinya selama ini tengah
membaringkan dirinya diatas jejeran kursi-kursi. “Aneh,
mengapa bangsat itu tidur disana? Tidak pergi kedalam......”
pikir Gaspar. Tapi ketika dia ingat apa yang telah dialami ketiga
kawan-kawannya dan dia sendiri, maka rasa amarahnya yang
kembali timbul meluap-luap tidak membuat dia untuk
menyelidiki keanehan itu lebih lanjut. Dengan cepat dicabutnya
goloknya dan dia menghambur masuk keruangan depan itu.
Murid Eyang Wilis yang saat itu hampir hendak merapatkan
matanya karena perasaan dan pendengarannya yang tajam
cepat menyadari bahwa dirinya berada dalam keadaan bahaya.
Matanya melihat satu sosok tubuh yang memegang sebuah
golok mendatanginya dari pintu depan dengan cepat. Lebih
cepat dari gerakan musuh gelap yang menyerangnya itu. Aditia
membalikkan diri. Dia jungkir balik bersama keempat kursi itu.
Dan pada detik itu pula golok yang ditangan Gaspar
menghantam salah satu dari kursi yang tadi bekas ditiduri
Aditia. Kursi kayu itu pecah berantakan berkeping-keping!
“Siapa kau yang menyerang orang secara pengecut?!” bentak
Aditia dengan keras dan gusar. Kalau Gaspar mau meneliti
sedikit suara Aditia itu maka dia akan segera menyadari bahwa
orang yang diserangnya bukanlah Kiman. Tapi karena dendam
dan amarah yang meluap-luap dia tak memperhatikan semua
itu. Kini dia menyerang kembali dengan ganas. Untuk kedua
kalinya Aditia mengelak. Gaspar semakin kalap. Dia mengamuk
dan mendesak Aditia.
“Katakan siapa kau, bangsat!” teriak Aditia sekali lagi.
“Monyet, jangan banyak tanya! Jangan pura-pura tidak tahu!
Kau lupa peristiwa dua mingu yang lalu dimana tiga orang
kawanku menemui ajalnya karena engkau?!”
“Kalau begitu kau salah sangka bung, aku bukan orang yang
kau maksudkan itu. Aku baru saja datang sore tadi dari luar
kota!” menerangkan Aditia.
“Aku juga tahu bahwa kau bersembunyi ditempat lain,
bangsat. Saat ini kau kembali kesini dan detik ini juga kau harus
serahkan nyawamu!” ujar Gaspar dan dia menyerang lagi. Lebih
cepat dan lebih ganas. Goloknya berkelebat deras didalam
gelap. Aditia masih belum mau memberikan perlawanan.
“Tahan, kawan! Hentikan seranganmu. Mari kita bicara dulu!”.
“Bicaralah nanti dengan setan-setan dineraka!” balas Gaspar.
“Kau keras kepala, bung! Tapi baiklah.........” Aditia
menggeser kakinya. Serangan lawan datang dari sebelah muka
kearah kepalanya. Dengan cepat Aditia memiringkan kepalanya
sedang kedua tangannya turut bergerak. Golok lewat disamping
kanan. Dengan tangan kanannya dirampasnya senjata itu
sedang tangan kirinya menghantam dada lawan. Gaspar
menjerit kesakitan dan tubuhnya mental kebelakang
menghantam dinding dengan keras sehingga dinding itu bobol!
Gaspar melosoh kelantai dan punggungnya serasa hancur.
Pemandangannya menggelap dan dari mulutnya keluar suara
rintihan.
“Bagaimana, bung? Aku sudah katakan bahwa aku bukan
orang yang kau cari. Sekarang rasakan sendiri!” kata Aditia.
Kemudian dia meraba-raba kantong Gaspar yang saat itu
melonjor tak berdaya dilantai rumah. Benda yang dicarinya
akhirnya ditemuinya juga yaitu korek api. Korek dinyalakan dan
diterangkan kemukanya. “Buka matamu lebar-lebar, sobat! Dan
lihat apakah aku Kiman atau bukan?”. Gaspar mengangkat
kepalanya dan memandang kemuka Aditia yang diterangi oleh
nyala korek api.
“Kau siapa...... mengapa berada dirumah ini......” terdengar
pertanyaan dari Gaspar.
“Aku bukan Kiman. Aku cuma kawannya. Dan kau tentunya
Gaspar bukan? Hem...... sungguh perkenalan yang dimulai
dengan cara yang tak enak sekali!” kata Aditia. Samar-samar
melalui penerangan korek api yang ditangannya yang hampir
mati. Aditia melihat sebuah lampu gantung diruangan itu. Dia
menyalakan sebuah korek api lagi dan menghidupkan lampu
itu. Kemudian dia mengambil kursi dan duduk menghadap
kepada ‘kenalan’ barunya itu.
“Aku tahu mengapa kau menyerang aku......” kata Aditia
sambil memandang pada Gaspar yang duduk dilantai bersandar
kedinding yang bobol dibelakangnya. “Kau menyangka aku
Kiman bukan? Dan terhadap Kiman kau punya dendam
kesumat! Seharusnya apa yang telah dialami oleh ketiga kawan- kawanmu yang kini berada dalam kubur-kubur gelap didalam
tanah itu sudah cukup menjadi peringatan bagimu. Sudah
cukup menjadi peringatan untuk segera meninggalkan segala
macam perbuatan jahat yang kau lakukan selama ini. Tapi
sebaliknya malahan kau mengikuti rasa dendammu, kau masih
tetap berbuat jahat!”.
“Sudah......! Aku muak mendengar pidatomu......” ujar
Gaspar.
“Dan aku juga muak melihat tampangmu. Pergi dari tempat
ini sebelum kuseret kau keluar sana!” hardik Aditia. Gaspar
berdiri dengan susah payah. Dadanya yang tadi kena terpukul
masih terasa sakit. “Aku tak akan melupakan tampangmu,
bangsat!” Kelak kau akan terima pembalasan dariku!” kata
Gaspar sebelum memutar tubuhnya.
“Bagus kalau begitu. Pergilah cepat-cepat obati dadamu itu
dan nanti kembali kesini guna melanjutkan perhitungan kita.
Tapi kalau kau datang kesini dan aku tidak ada...... cari saja ke
Kuala. Dan kalau kau anggap perlu, boleh juga bawa kira-kira
selusin kawan-kawanmu, bung!” jawab Aditia. Gaspar
melangkah dengan tertatih-tatih. Ketika laki-laki itu telah
menghilang dari pemandangannya. Aditia menyusun kursi yang
centang perenang tadi. Kini cuma tiga buah kursi yang bisa
dipakainya sebagai tempat tidur karena kursi yang keempat
sudah patah-patah tak bisa dipergunakan lagi. Dia terpaksa
tidur dengan melipat kakinya. Dan malam itu murid Eyang
Wilis bermimpi. Rasanya dia melihat sebuah perahu ditengah
lautan berisi dua orang penumpang laki-laki. Ternyata
keduanya adalah Suwantra dan Mirta. Tiba-tiba laut yang tadi
tenang menjadi bergelombang dan topan mengamuk dengan
dahsyatnya. Perahu itu melambung keudara dihempaskan
ombak besar dan kedua orang yang didalamnya berpelantingan
keudara untuk kemudian masuk kedalam laut dan tak muncul- muncul lagi. Pada akhir mimpi itu Aditia terjaga dari tidurnya.
Lama dia merenungi arti dari mimpi tersebut. Makin direnung
makin tak enak hatinya. Dia bangkit dari kursi itu dan menuju
keluar. Dilangit dilihatnya bulan telah mulai condong kearah
tenggelamnya. Dia menduga saat itu kira-kira pukul tiga
malam.
Karena khawatir akan terjadi apa-apa terhadap kedua orang
yang baru saja diimpikannya itu Aditia akhirnya memutuskan
untuk meneruskan perjalanan malam itu juga. Semalam- malaman itu dia berlari terus dengan cepat tiada berhenti- henti. Ketika fajar mulai menyingsing dia sampai ketepi sungai.
Dia membersihkan diri disana dan ketika pagi tiba dia telah
memasuki kota. Kini dia tidak berlari lagi melainkan berjalan
biasa sambil memasang mata kesetiap jurusan melihat-lihat
kalau-kalau orang yang dicarinya berada disekitar jalan yang
dilaluinya
Akhirnya dia sampai kemuka kedai itu. Dia berpikir-pikir
apakah dia makan dulu lalu baru meneruskan penyelidikan
ataukah menyelidik dulu lalu baru pergi makan. Bau sedap yang
keluar dari rumah makan itu akhirnya membuat murid Eyang
Wilis memasuki kedai.
Pada saat Aditia mencapai pintu kedai, pada detik itu pula
Mirta mengendarai kudanya dengan cepat dijalan dimuka
kedai. Dan adalah satu kebetulan saja saat itu Mirta
melayangkan pandangannya kesamping muka kearah kedai
sehingga walaupun sekilas saja tapi dia berhasil melihat Aditia
yang tengah memasuki kedai. Dengan cepat ditahannya tali
kekang. Kuda itu berhenti lima meter melewati kedai. Mirta
memutar arah kembali. Tanpa menambatkan binatang itu dia
segera memasuki kedai.
“Aditia!” katanya dengan gembira ketika Aditia tengah
mencari-cari tempat duduk yang baik. Murid Eyang Wilis
membalikkan tubuhnya. “Mirta! Kau! Astaga......... apa yang
terjadi dengan mukamu. Dan Suwantra mana?!” tanya Aditia
dengan terkejut.
“Mari kita ambil tempat duduk dipojok sana......” bisik Mirta.
Kedua orang itu melangkah kearah meja yang terdapat disudut
kedai.
“Suwantra berada dalam bahaya besar! Dia ditawan oleh
kepala rampok Mali Kodra!”.. Menerangkan Mirta begitu
keduanya duduk ditempat masing-masing.
“Apa?!” tanya Aditia dengan terkejut. Dia hampir-hampir tak
bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh laki-laki itu.
“Bagaimana bisa terjadi hal yang demikian?” tanyanya
kemudian. Dan Mirta mulai menceritakan segala sesuatunya
mulai dari pertemuan mereka dengan Mali Kodra bersama anak
buahnya kira-kira tiga minggu yang lalu dikedai dimana mereka
berada saat itu. “Dan dikedai inilah aku harus datang untuk
menyerahkan uang yang seribu ringgit itu!” kata Mirta
mengakhiri keterangannya. Kedua orang itu kemudian sama- sama termenung beberapa lamanya. “Apa yang harus kita
lakukan? Pergi kesarangnya Mali Kodra saat ini juga......?”
“Suwantra berada ditangan mereka. Kita harus berhati-hati
dalam bertindak. Agaknya kita tak akan bisa membebaskan dia
dengan cara kekerasan. Meskipun kita berhasil menyapu semua
perampok-perampok itu tapi keselamatan jiwa Suwantra yang
ada diantara mereka akan sangat terancam. Pada saat kita
bertempur menghadapi mereka, salah seorang dari mereka bisa
saja membereskan Suwantra. Dan kalau sudah demikian tak
ada artinya pertolongan kita” kata Aditia pula.
“Jadi kita harus kembali kekampung guna mengumpulkan
uang tebusan yang seribu ringgit itu......?” tanya Mirta. Aditia
menggeleng dan menatap wajah yang bengkak-bengkak dan
celemongan dari kawannya itu. “Sebaiknya kau mintalah air
didapur dan cucilah dulu mukamu yang kotor itu......” kata
Aditia. Mirta baru ingat akan keadaannya dan segera bangkit
lalu pergi kebelakang. Selesai mencuci mukanya, dan segera
bangkit lalu pergi kebelakang. Selesai mencuci mukanya, ketika
dia kembali dimeja telah terletak dua gelas teh hangat dan nasi
beserta gulai. Keduanya segera makan dengan cepat.
“Kembali pada persoalan semula” kata Aditia begitu selesai
keduanya makan. “Aku punya rencana. Menurut keteranganmu
dulu kalian telah mendapat bagian uang dari hasil
pengumpulan uang penduduk disini. Apa uang itu masih ada
padamu?”.
“Masih! Kami simpan disatu tempat dirumah Kepala
kota......” jawab Mirta.
“Menurut perjanjian kau harus menyerahkan uang itu dalam
tiga hari. Jadi berarti lusa......” Kemudian Aditia segera
menerangkan rencana yang telah tersusun diotaknya saat itu
kepada Mirta. Mirta tampak mengangguk-angguk tanda setuju.
“Sekarang mari kita kerumah Kepala kota untuk mengambil
uang itu. Apa kau rasa cukup baik kalau aman kalau kita
menginap disana?” tanya Mirta.
“Aku akan lihat dulu keadaan rumah itu......” jawab Aditia
sambil berdiri.
Setelah membayar harga makanan, kedua orang itu segera
keluar dari kedai.
SEMBILAN
PADA hari perjanjian, semenjak jam sepuluh pagi Mirta telah
berada dikedai itu. Dibangku disamping kirinya terletak sebuah
kantong kain yang besar. Kopi yang terhidang didepannya
belum juga diminumnya. Begitu juga anak buah Mali Kodra
yang akan mengambil uang tebusan belum juga datang.
Sebentar-sebentar Mirta menoleh kepintu kedai, memandang
keluar. Dia sudah mulai kesal. Setengah jam kemudian baru
seorang penunggang kuda yang ternyata adalah Markim, anak
buah Mali Kodra berhenti dimuka kedai. Dia masuk sambil
melayangkan pandangannya kesetiap bagian kedai. Akhirnya
dia melihat Mirta. Markim segera menuju ketempat dimana
Mirta duduk.
“Sudah lama......?” tanya laki-laki itu. Mirta mengangguk.
Markim memandang kekantong kain yang disamping Mirta.
“Itu......?” tanyanya, dan Mirta mengangguk lagi. Markim
menggeser duduknya dan membuka ikatan kantong tersebut.
Senyum gembira tersungging disudut bibirnya ketika matanya
melihat uang-uang ringgit yang didalam kantong kain itu. Dia
mengikatnya kembali padahal kalau saja dia menyibakkan
uang-uang ringgit tersebut, maka dibawah tumpukan uang yang
hanya berjumlah 28o ringgit itu akan ditemuinya tumpukan
batu-batu kerikil!
“Seribu ringgit?” tanya Markim.
“Seribu ringgit! Tak lebih dan tak kurang! Sesuai dengan
perjanjian!” jawab Mirta pula sambil meneguk kopinya.
“Kita berangkat sekarang.” kata Markim sambil berdiri dan
tangannya memegang kantong uang itu.
“Kita tidak minum dulu?” tanya Mirta. Markim menggeleng.
“Biar aku yang bawa kantong uang itu!” kata Mirta kemudian.
“Biar aku saja! ujar Markim.
“Siapa yang membawa uang tidak ada dalam perjanjian
bukan? Dan sebagai musuh aku sudah tentu tak bisa
mempercayaimu. Suka atau tidak suka aku yang akan
membawa uang itu!” tukas Mirta sambil mengangkat kantong
uang. Markim tak menjawab dan keduanya keluar dari kedai.
Tiga menit kemudian mereka telah meninggalkan kota.
Tanpa setahu Markim, seorang laki-laki yang berlari secepat
angin mengikutinya dari belakang sedang Mirta sendiri sudah
maklum bahwa Aditia tentu membuntuti mereka karena itu dia
tak mau menoleh-noleh kebelakang karena takut akan
mencurigakan Markim. Sampai didalam hutan mereka
memperlambat jalan kuda masing-masing. Mirta mulai
bersikap waspada. Anak buah Mali Kodra itu disuruhnya jalan
lebih dahulu sedang dia mengikuti dari belakang. Satu jam
kemudian telah kelihatan dari balik semak-semak tempat
persembunyian Mali Kodra. *
* * Dipulau Kalimantan disamping Mali Kodra, terdapat lagi
lima orang kepala rampok lain yang masing-masing dari
mereka mempunyai daerah-daerah kekuasaan tersendiri.
Seperti Mali Kodra, kelima kepala-kepala rampok itu juga
mempunyai banyak anak buah dan rata-rata mempunyai
kesaktian yang tinggi. Antara masing-masing kepala rampok
tersebut terdapat persatuan. Dan sekali tiga bulan mereka
mengadakan pertemuan. Kebetulan saat itu adalah saatnya
mereka mengadaan pertemuan. Dan pada nertemuan tiga bulan
yang lalu mereka telah sama berjanji bahwa pertemuan yang
akan datang akan dilangsungkan ditempatnya Mali Kodra yaitu
dirumah besar didalam hutan dimana Suwantra mula-mulai
sekali ditawan bersama Mirta.
Karena dalam membereskan urusan yang membawa
keuntungan seribu ringgit tersebut, Mali Kodra sebagai yang
telah diceritakan sebelumnya telah pergi kesarangnya yang lain
guna menghindarkan hal-hal yang tak diingini. Ketika Mali
Kodra teringat akan rencana pertemuan itu, dengan segera
dikirimnya seorang anak buahnya untuk menyambut
kedatangan sobat-sobat seperjuangannya itu
Kena kepala-kepala rampok yang rata-rata berwajah seram
angker itu datang pada hari yang sama dengan hari perjanjian.
Ikut bersama mereka saat itu adalah dua orang gadis kakak
beradik yang parasnya cantik-cantik. Keduanya adalah tawanan
dari salah seorang kepala rampok yang bernama Somaha.
Simpun, anak buah Mali Kodra segera menyambut kedatangan
mereka.
“Mana pemimpinmu? Kenapa sepi saja disini? Apa Mali
Kodra lupa akan janji pertemuan itu?”, tanya kepala rampok
yang bernama Kukas.
“Beliau tidak lupa. Beliau menyuruh saya menyambut
kedatangan pemimpin-pemimpin sekalian karena saat ini
pemimpin saya tengah berada disarangnya yang lain, tengah
menghadapi satu persoalan penting. Beliau berpesan kalau
pemimpin-pemimpin sekalian suka menunggu disini, silahkan
masuk dan menunggu. Tapi kalau ingin lekas-lekas bertemu,
saya telah siap mengantarkan pemimpin-pemimpin sekalian
kesana”, kata Simpun dengan hormatnya. Kelima kepala
rampok itu segera berunding dan akhirnya memutuskan untuk
pergi saja menemui rekannya itu disarangnya.
Pertemuan antara Mali Kodra dengan kelima sahabat- sahabatnya itu sangat hangat sekali. Seperti saudara-saudara
kandung yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu
layaknya. Mali Kodra memeluk kawan-kawannya satu demi
satu.
“Selamat datang. selamat datang. Kalian datang pada saat
yang baik sekali. Aku tengah menantikan satu keuntungan
besar yang akan datang beberapa saat lagi. Dan kita semua akan
pesta besar! Ha...... ha...... ha......” Keenam kawan seperjuangan
itu sama-sama tertawa terbahak-bahak. Mali Kodra melirik
pada kedua gadis yang masih duduk diatas punggung dua ekor
kuda disampingnya kemudian menoleh pada kelima
sahabatnya. “Siapa adanya gadis-gadis cantik itu......?”
tanyanya.
Kepala rampok yang bernama Somaha, seorang yang
mempunyai kepala yang luar biasa besarnya serta berambut
gondrong menyeringai dan membuka mulut : “Mereka adalah
anak-anak perempuan dari seorang saudagar intan di Negara.
Aku bersama anak buahku berhasil menculiknya. Lalu aku
minta uang tebusan sebanyak 5000 ringgit. Tapi orang tuanya
yang bodoh itu mengirim orang-orang bayarannya. Karena hari
pertemuan kita sudah dekat maka aku memutuskan untuk
membawa saja kedua gadis ini ketempatmu untuk penambah
semarak pesta pertemuan kita!”.
“Akur! Akur!” teriak Mali Kodra dengan gembira. “Masih
gadis dan cantik sekali. Ha...... ha...... ha......! Astaga aku sampat
lupa menyilahkan kalian masuk. Ayo mari masuk kawan- kawan. Mari masuk! Dan dewi-dewi yang jelita itu apa perlu
aku tolong menurunkan dari atas kuda......?” Kedua anak
saudagar intan itu hanya menundukkan kepala. Dalam
perjalanan tak henti-hentinya mereka menangis dan menjerit-
jerit. Sehingga saat itu seakan-akan air mata mereka telah
kering karena menangis terus-terusan, sedang kerongkongan
mereka juga sudah terasa sakit karena menjerit tiada hentinya.
Kedua gadis itu tahu apa yang akan mereka alami beberapa saat
lagi. Mereka tahu apa artinya kalau mereka memasuki rumah
itu dan karena itulah mereka tetap duduk diam tak bergerak
diatas punggung kuda masing-masing.
“Kenapa malu-malu dewi-dewi manis...... ayo mari masuk.
Lama-lama diluar nanti kulit kalian yang putih mulus itu
menjadi hitam ditimpa sinar matahari......” kata salah seorang
kepala rampok yang bernama Tisna, seorang yang bertubuh
gemuk pendek dengan daging yang sangat besar gempal di
tengkuknya. Tiba-tiba semua orang memutar kepala dan
memandang kesatu arah yang sama.
“Anak buahku!” kata Mali Kodra sambil menyeringai. Dan
apa yang dikatakannya itu ternyata benar. Dua orang
penunggang kuda muncul dari balik semak-semak. Yang
didepan adalah Markim sedang menyusul dibelakangnya adalah
Mirta. Sekeluarnya dari balik semak-semak, Mirta segera mulai
dengan sandiwaranya. Dengan sengaja dia memegang kantong
uang yang ikatannya telah dibukanya dengan diam-diam
ditengah jalan. Beberapa puluh dari uang-uang ringgit yang
didalam tumpah berhamburan ketanah. Mirta pura-pura
terkejut dan cepat turun dari kudanya. Semua orang yang
berada dihalaman rumah, terutama Mali Kodra segera
melangkah. Semua perhatian tertuju pada uang yang
berhamburan. Begitu juga anak-anak buah Mali Kodra yang
berada didalam rumah cepat keluar untuk membantu mereka
mengumpulkan uang tersebut sedang ketika turun dari atas
kuda, Mirta sekali lagi sengaja menjatuhkan uang yang didalam
kantong, membuat Mali Kodra yang sejak tadi menahan geram
menjadi menyumpah-nyumpah. Dan pada saat itulah, pada saat
semua mata dan perhatian tertuju kepada kedatangan Mirta
dan Markim, tertuju pada uang-uang ringgit yang berceceran
dimana-mana, pada saat tak seorangpun yang ada didalam
rumah, dengan cepat sesosok tubuh meloncat jendela yang
terbuka dari rumah itu. Suwantra yang terikat diruangan
tengah menjadi terkejut ketika melihat bayangan sosok tubuh
itu. Dia mengangkat kepalanya. “Aditia!” katanya dengan lebih
terkejut dan tak percaya. Aditiajaya memberi isyarat agar
Suwantra berdiam diri. Dengan cepat dibukanya seluruh tali
yang mengikat tubuh laki-laki itu.
“Aku ditotok pada ketiakku sebelah sin......... tolong
lepaskan!” bisik Suwantra. Aditia tak menjawab. Dia
membungkuk dan dengan satu gerakan yang cepat tubuh
Suwantra telah berada diatas bahu kanannya. Dan kemudian
tanpa diketahui satu orangpun dia keluar melompati jendela
semula dan menghilang dibalik semak-semak.
Disatu tempat yang rapat dengan semak belukar Aditia
menurunkan Suwantra dari bahunya. Dan baru disana dia
melepaskan totokan yang melemahkan tubuh pemuda itu.
Begitu totokan terlepas Suwantra badannya mengalami
perubakan besar. Meskipun mukanya yang bengkak dan penuh
darah itu terasa sakit, namun kekuatan tubuhnya yang selama
ini mengalami totokan, kini boleh dikatakan telah pulih sebagai
sedia kala. Aditia mengeluarkan sebuah benda kecil yang
terbungkus seperti permen. Kertas pembungkusnya dibukanya
dan sambil menyodorkan benda itu kepada Suwantra dia
berkata. “Kunyah obat ini dan telan, cepat!”. Tanpa banyak
tanya, Suwantra segera melakukan apa yang dikatakan oleh
Aditia. Beberapa detik kemudian sesudahnya obat itu berada
didalam perutnya, dia merasakan tubuhnya sehat seperti tak
mengalami apa-apa sebelumnya.
“Kau sudah siap?” tanya Aditia. Orang yang ditanya
mengangguk. Dan dengan cepat keduanya meninggalkan
tempat itu.
Dihalaman samping rumah...... Selesai mengumpulkan uang
yang berceceran ditanah, Mali Kodra segera merampas kantong
uang yang ditangan Mirta. Dia membalik dan memandang pada
keempat orang anak buahnya. “Ikat bangsat ini!” katanya
memerintah. Mirta undur beberapa langkah dengan sangat
terkejut sekali. “Mali Kodra, kau lupa perjanjian yang telah kita
buat?! Uang itu, seribu ringgit telah kuberikan ketanganmu,
sekarang kewajibanmu untuk melepaskan Suwantra! Mengapa
kau suruh orang-orangmu menangkapnya?! Tepati
perjanjianmu, Mali!”.
“Jangan banyak mulut!” bentak Mali Kodra dengan mata
yang dibesarkan. “Ayo anak-anak, cepat tangkap dia dan ikat!”.
Mirta melompat kepunggung kudanya, tapi sebelum dia
berhasil meninggalkan tempat itu, salah seorang anak buah
Mali Kodra telah menjambret bajunya membuat Mirta
terhuyung-huyung dan jatuh ketanah. Ketika dia bangun
sebuah tali telah mulai diikatkan ketangannya. Dia berontak
tapi tak berhasil.
Seorang laki-laki yang berpakaian putih-putih melesat dari
balik semak-semak. Semua orang yang berada ditempat itu
terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika orang yang tak dikenal
itu dengan satu gerakan yang luar biasa hebatnya berhasil
menghantam mental keempat orang anak buah Mali Kodra
yang tengah menangkap dan mengikat Mirta. Dua dari keempat
orang itu jungkir balik ditanah dan tak bangun-bangun lagi.
Yang dua orang lagi yaitu Markim dan Isim cepat berdiri dan
mencabut golok masing-masing.
Mali Kodra cepat mengangkat tangannya memberi tanda
pada kedua anak buahnya yang hendak menyerang laki-laki tak
dikenal itu. Isim dan Markim menghentikan langkah mereka.
Mali Kodra berdiri dengan bertolak pinggang kira-kira lima
langkah dari hadapan orang yang berpakaian serba putih
sedang kelima orang kawan-kawannya juga memandang pada
orang itu. Masing-masing mereka telah melihat serangan tiba-
tiba yang dilakukan laki-laki itu dan sama memaklumi bahwa
musuh tak dikenaI itu adalah seorang yang berilmu tinggi.
“Orang asing, siapa kau adanya yang berani datang kesini
mencari urusan?!” tanya Mali Kodra dengan suara gemetar
karena geram. Orang yang berdiri dihadapan Mali Kodra
menyeringai. Dia tak lain adalah Aditia. Murid Eyang Wilis
membuka mulut, bukan untuk memberikan jawaban,
sebaliknya balas bertanya. “Apa kau manusianya yang bernama
Mali Kodra?!”.
“Kurang ajar!” maki Mali Kodra sambil memukulkan tinju
kanannya ketelapak tangan kirinya. “Ditanya malahan
menanya! Memang aku Mali Kodra. Aku Mali Kodra yang akan
merobek mulutmu yang sinting itu!”. Pemimpin rampok ini
maju mendekati Aditia. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika
sesosok tubuh lain muncul dibalik semak-semak dibelakang
Aditia. Ketika dia melihat orang yang baru datang itu dia
terkejut.
“Bangsat! Jahanam, siapa yang melepaskan kau?!” rutuk
Mali Kodra dengan geram.
“Tak usah banyak tanya Mali Kodra! Mari kita selesaikan
perhitungan!” jawab Suwantra sambil melangkah mendekati
pemimpin rampok itu. Ditangannya tergenggam sebuah kayu
besar. Mali Kodra undur beberapa langkah kebelakang sambil
memandang buas pada Suwantra. Kemudian matanya yang
menyala itu menoleh pada Aditia. “Jadi kau bangsatnya yang
telah melepaskan tawananku hah?!” Kau kawannya?! Baik!
Setelah dia kubikin binasa, kelak kau akan mendapat bagianmu
pula. Jangan lari, bung!”.
“Aku tidak akan lari, Mali Kodra. Kulihat disini banyak pula
kawan-kawanmu. Aku percaya bahwa kau akan menghadapi
lawanmu secara laki-laki, satu demi satu!” balas Aditia sambil
melangkah mundur. Saat itu Mali Kodra telah mengeluarkan
kedua senjatanya yaitu sebuah golok panjang dan sebuah
bambu kuning. Golok ditangan kanan dan bambu ditangan kiri
maka laki-laki itu mulai menyerang. Mata Aditia
memperhatikan dua jurusan. yang pertama adalah
memperhatikan perkelahian, sedang yang kedua adalah
memperhatikan kelima orang kepala-kepala rampok yang
berdiri dekat tangga rumah. Kedua orang gadis yang sejak tadi
masih duduk dipunggung kuda masing-masing, pada saat
perkelahian dimulai segera turun dari atas kuda itu dan
menjauhkan diri ketempat yang aman.
Kepala rampok yang bernama Somaha memperhatikan
kedua gadis itu dan berkata. “Tetap ditempatmu itu! Kalau kau
berani melarikan diri, nasibmu akan lebih celaka!”. Kedua gadis
itu berdiri dengan lutut gemetar. Aditia melirik pada Somaha,
lalu pada kedua gadis kakak beradik itu. Dia segera memahami
apa yang telah dilakukan Somaha terhadap gadis-gadis cantik
itu. Dari pakaian yang dipakai gadis-gadis tersebut Aditia telah
mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak orang yang kaya
raya tentunya.
Jurus pertama dimulai dengan serangan Mali Kodra. Kedua
senjata yang ditangannya datang dari jurusan samping secara
berlawanan, memapas kearah dada dan kepala. Suwantra yang
kekuatannya sudah seperti sedia kala segera memhungkuk
dengan cepat. Kayu besar yang ditangannya memapas kearah
pinggang lawan. Mali Kodra menjejak tanah dan tubuhnya
melesat keudara. Serangan lawan sama-sama dapat dielakkan.
Suwantra cepat membalikkan tubuhnya pada saat tongkat
bambu kuning lawannya menusuk kearah punggung. Waktu dia
berhasil mengelakkan serangan bambu kuning, senjata Mali
Kodra yang kedua datang dari samping kirinya kearah iga.
Dengan kayu yang ditangan kanannya, Suwantra coba memukul
lengan kanan laki-laki itu. Tapi serangan golok yang diancarkan
oleh Mali Kodra hanya satu tipuan belaka. Mali Kodra menarik
tangan kanannya dengan cepat. Golok itu berputar arah
membabat kearah dada sedang bambu kuning menghantam
kebagian bawah perutnya. Suwantra membuang diri
kebelakang. Dia berjumpalitan ditanah dan cepat berdiri. Mali
Kodra tak memberi kesempatan untuk menyerang pada
lawannya. Golok dan bambu kuningnya mengirimkan
gempuran berantai yang sangat cepat. Suwantra menambah
kecepatan bergeraknya untuk mengelakkan semua serangan itu.
Pada saat serangan dahsyat lawannya terhenti seketika
karena dia menjauhkan diri dengan sengaja, maka Suwantra
merubah permainan silatnya. Kayu besar yang ditanganya
berputar bergulung-gulung.
“Ha...... ha...... ha. Ilmu semacam ini ada didalam kantongku,
bung!” ejek Mali Kodra sambil balas menyerang dengan kedua
senjatanya. Tapi tiba-tiba dia mengeluarkan seruan terkejut
karena kayu yang ditangan Suwantra dengan kecepatan yang
amat sangat hampir saja meremukkan pinggangnya. Mali Kodra
berlaku lebih hati-hati kini. Memasuki jurus keenam dia mulai
terdesak. Lebih-lebih ketika Suwantra mulai pula
mempergunakan pukulan-pukulan tangan kirinya yang berisi
tenaga dalam yang tinggi. Mali Kodra mulai sibuk dan dipaksa
mundur terus-terusan. Jurus ketujuh berlangsung sangat seru
sekali. Kedua lawan itu sama-sama bergerak cepat. Berputar- putar sambil menangkis dan menyerang. Kedua senjata Mali
Kodra setelah mengurung Suwantra beberapa detik lamanya
akhirnya terpaksa dipakai untuk bertahan menangkis
hantaman-hantaman kayu dan tangan kiri Suwantra. Kayu
besar yang ditangan pemuda itu mencari sasaran dilutut kanan
lawan. Mali Kodra melompat keatas. Tapi dari atas, tinju kiri
lawan datang bersamaan kearah kepalanya. Dengan tongkat
bambu kuning yang ditangannya Mali Kodra coba memukul
lengan kiri Suwantra. Suwantra memiringkan lengan kirinya
dan ketika Mali Kodra menjejak tanah kembali, ujung bambu
kuning itu telah berhasil dipegang oleh Suwantra. Suwantra
menarik senjata itu dengan keras, tapi lawannya
mempertahankan dengan gigih. Terjadilah tarik menarik yang
dahsyat. Tenaga dalam kedua orang itu saling bentrokan. Mali
Kodra segera memaklumi bahwa tenaga dalam lawannya jauh
lebih unggul dari tenaga dalamnya sendiri. Maka itu sebelum
berhasil merampas bambu kuning itu dari tangannya, dengan
sigap dia melancarkan dua buah serangan secara sekaligus.
Serangan yang pertama adalah datang dari golok panjangnya
yang menyambar kearah tangan Suwantra yang memegang
bambu kuning. Sedang serangan kedua adalah berupa
tendangan kaki kanan yang mengarah kebawah perut. Suwantra
terpaksa melepaskan pegangannya pada senjata lawan. Sambil
meloncat mundur dia menggerakkan tangan kanannya. Kayu
yang dipakainya sebagai senjata datang dengan kecepatan yang
luar biasa menghantam kearah golok lawan. Golok dan kayu
besar itu beradu keras. Ujung kayu terbabat puntung sedang
golok Mali Kodra mental keudara dan jatuh diantara semak- semak. Kedua musuh sama-sama menjauhkan diri.
Kini dengan senjata hanya sebuah tongkat bambu kuning itu
Mali Kodra menghadapi lawan tangguhnya. Rasa kecutnya
menjadi hilang karena amarah yang meluap-luap dan nafsu
besar untuk segera dapat memusnahkan lawannya. Kedua
musuh itu saling berhadap-hadapan kembali. Dan pertempuran
selanjutnya adalah dikuasai oleh Suwantra sekalipun Mali
Kodra bertahan dengan gigih dan mengeluarkan seluruh
kepandaiannya.
Saat itu memasuki jurus keempat belas. Pemimpin rampok
itu telah terdesak hebat. Kayu yang ditangan Suwantra benar- benar telah mengurung lawan. Pukulan-pukulan tongkat
bambu ditangkis dengan lengan sehingga lengan Suwantra
penuh dengan bekas-bekas tanda memerah yang sakitnya tidak
dirasakan sama sekali oleh pemuda itu. Selain sudah terdesak
hebat. Mali Kodra juga sudah mulai kehabisan tenaga. Seluruh
pakaiannya telah basah oleh keringat. Saat itu kalau tidak malu
maulah dia berteriak pada kawan-kawannya untuk minta
bantuan. Jurus keempat belas berlalu. Kini datang jurus kelima
belas. Suwamtra memutar-mutar kayunya mulai dari kaki terus
kearah kepala lawan. Mali Kodra sudah tak berdaya lagi.
Nasibnya hanya tinggal beberapa detik saja. Ketika kayu besar
yang ditangan Suwantra tiba-tiba berubah arah dan melayang
kekepalanya dengan deras, dia tak punya kesempatan lagi
untuk mengelak!. Dan pada saat yang menentukan itu pulalah
Aditia melihat salah seorang dari kelima laki-laki yang berdiri
dekat tangga rumah melemparkan sebuah pisau besar kearah
tubuh Suwantra. Sebelum senjata yang dilemparkan secara
gelap itu menemui sasarannya dipunggung Suwantra. Murid
Eyang Wilis mengangkat tangan kanannya dan
memukulkannya kearah senjata itu. Pukulan tenaga dalam yang
maha besar menghantam pisau tadi hingga mental ketempat
lain. Suwantra selamat sedang kayu besar yang ditangannya
telah menghantam deras mengenai sasarannya dikepala Mali
Kodra. Pemimpin rampok iiu meraung seperti kerbau
disembelih. Kepalanya rengkah dan tubuhnya terbanting
ketanah dengan keras sedang nyawanya tamat disitu juga
SEPULUH
PADA saat sebelum Mali Kodra jatuh tergelimpang ditanah
tanpa nyawa, pada detik itu pula kelima orang kepala rampok
kawan-kawan Mali Kodra bergerak menyebar dengan cepat dan
mengurung Suwantra.
“Kalian manusia-manusia pengecut hendak mengeroyokku
berramai-ramai? Ayo majulah dan nasibmu akan sama dengan
nasib bangsat itu!” bentak Suwantra tanpa gentar sama sekali.
Sementara itu, dengan satu gerakan yang sangat cepat
Aditiajaya meloncat kedekat mayat Mali Kodra mengambil
senjata bekas pemimpin rampok itu yaitu sebuah golok panjang
dan tongkat bambu kuning. Kemudian sambil meloncat
ketengah kalangan disamping Suwantra, Aditia berteriak pada
Mirta. “Mirta menghindar dari sini dan bawa kedua gadis itu
ketempat yang aman!”. Mendengar teriakan tersebut, kepala
rampok yang bernama Somaha yang telah menculik kedua
gadis itu segera menyerang kearah Aditia.
Yang dihadapi oleh kedua pendekar itu bukanlah lawan-
lawan yang enteng lembek. Orang pertama yang membuka
serangan yaitu Somaha adalah murid seorang guru sakti
digunung Niut. Kalimantan barat. Dia telah menuntut ilmu silat
yang tinggi selama lima tahun sambil melakukan perampokan.
Orang yang kedua adalah kepala rampok yang bernama Jantra.
Tubuhnya gemuk pendek, ilmu meringankan tubuhnya sudah
mencapai taraf yang tinggi, begitu juga tenaga dalamnya.
Gurunya adalah seorang pertapa sakti didanau Jempang,
Kalimantan timur. yang ketiga adalah Kukas. seorang
keturunan Gorontalo yang telah lama tinggal dipulau
Kalimantan. Ketinggian ilmunya juga tak bisa dianggap enteng.
Kepala rampok keempat bernama Tisna, asli turunan Madura.
Tisna dulunya bekas anak buah kepercayaan dari seorang
pemimpin bajak laut yang kemudian beralih menjadi rampok
darat dan memimpin segerombolan perampok disekitar
pegunungan Kapuas Hulu. Siapa gurunya tak ada diantara
kawan-kawannya yang mengetahui, tapi kehebatan ilmu
silatnya sangat dikagumi oleh kawan-kawannya. Yang kelima
adalah Luntra. Orang yang terakhir ini mempunyai tampang
yang paling menyeramkan diantara kepala-kepala rampok itu.
Kabarnya dia menuntut ilmu dari seorang pertapa perempuan
dilereng gunung Kinibalu, Kalimantan Utara. Selain menjadi
murid dari pertapa perempuan yang sakti itu, Luntra juga
menjadi ‘suami’ tidak sah dari gurunya sendiri!
Karena kelima orang itu telah sama bertekad bulat untuk
menamatkan riwayat Suwantra dan Aditia, disamping mereka
juga mengetahui kehebatan pendekar-pendekar itu, maka
masing-masing dari mereka segera mengeluarkan senjata- senjata simpanan mereka. Somaha mengeluarkan sebuah
pedang yang berkeluk ditengahnya. Kukas mencabut sebuah
tongkat besi yang ujungnya bercabang dua, dan masing-masing
ujung kedua cabang senjata tersebut berbentuk lancip seperti
anak panah. Senjata Jantra adalah sebentuk pecut yang terbuat
dari kulit badak yang kuat atos. Tisna mengeluarkan sebuah
penggada yang berbentuk seperti palu penumbuk satu bata, dan
akhirnya senjata orang yang kelima yaitu Luntra adalah sebuah
rantai besi yang diujungnya dicantolkan sebuah bola besi
berduri. Memang sangat hebat tentok senjata pemberian
gurunya Luntra, alias istrinya sendiri! Lima kepala rampok,
murid dari guru-guru sakti melawan dua pendekar kawakan,
sungguh satu pertempuran yang hebat sekali!.
Sambil mengelakkan sambaran pedang berkeluk dari
Somaha, Aditia melemparkan pedang kepunyaan Mali Kodra
yang tadi diambilnya kepada Suwantra yang segera disambut
dengan cepat dan cekatan oleh adik iparnya itu. Dengan
masing-masing memegang senjata kepunyaan Mali Kodra
ditangan, kedua pendekar menghadapi kelima pengeroyok itu.
Keduanya saling bertolak punggung. Somaha, Kukas dan Jantra
menyerang Aditia sedang Suwantra menghadapi dua
pengeroyok lainnya yaitu Tisna dan Luntra.
Pedang Somaha membabat kearah pinggang. Senjata Kukas
meluncur kearah mukanya sedang pecut kulit badak dari Jantra
menghantam kearah kaki. Tiga serangain yang dahsyat
mematikan dan serba cepat itulah yang harus dihadapi oleh
Aditia. Aditia tahu bahwa dia tak bisa mengelakkan ketiga
serangan cepat itu dengan mundur atau meloncat kebelakang
karena tubuhnya akan membentur tubuh Suwantra. Kalau
perbenturan sesama kawan itu terjadi bukan saja Aditia tak
berhasil mengelakkan serangan lawan-lawannya tapi juga akan
membahayakan bagi diri Suwantra. Karena itu dengan ilmu
mengentengi tubuh yang sudah sampai kepuncaknya dia
membuang kesamping kiri. Tangan kiri mencapai tanah dan
tubuhnya berjumpalitan diudara. Kepala kebawah kaki keatas.
Sekaligus senjata Somaha yang mengarah kepinggang dan
senjata Jantra yang menghantam ke kaki dapat dielakkan Aditia
sedang senjata Kukas yang kini jadi menusuk kearah perutnya
dipukulnya dengan tongkat bambu kuning yang ditangannya.
Kedua senjata, besi dan bambu sama beradu keras, saling
menggetarkan tangan orang-orang yang memegangnya. Satu
detik kemudian Aditia telah berdiri diatas kedua kakinya
kembali.
Bersamaan dengan saat Aditia mengalami tiga serangan
dahsyat itu, dibelakangnya Suwantra juga mendapat serangan
dari kedua lawan yang dihadapinya. Senjata yang berbentuk
palu yang ditangan Tisna melayang kearah kepalanya, datang
dari samping kanan sedang rantai berbola besi dari Luntra
membabat kepinggang terus arah perut. Dengan menundukkan
kepala Suwantra mengelakkan serangan pertama sedang
dengan golok panjangnya ditangkisnya sambaran rantai maut
dari Luntra. Sementara itu karena serangan Somaha dan Jantra
mengenai tempat kosong maka tubuh kedua orang itu sedikit
terhuyung-huyung kemuka dan dengan demikian dia berada
dekat sekali dibelakang punggung Suwantra. Kedua orang itu
segera menyerang Suwantra yang tengah membelakang itu.
“Suwantra awas serangan dari belakang!” teriak Aditia
memperingatkan pemuda itu. Sekalipun tidak diperingatkan
seperti itu namun Suwantra juga telah dapat mendengar
sambaran angin dari senjata kedua lawannya yang menyerang
secara licik itu. Dengan cepat Suwantra menjatuhkan dirinya
ketanah. Sambil bergulingan ditanah Suwantra memutar golok
panjang yang ditangannya diatas tubuhnya. Tiga orang
lawannya yaitu Tisna, Somaha dan Kukas terpaksa meloncat
keudara untuk menyelamatkan kaki masing-masing dari
babatan golok. Sebelum ketiganya menjejak tanah kembali
Aditia telah menyerbu kemuka. Bambu kuning yang
ditangannya berputar-putar dengan deras kearah tiga sasaran
yang masih mengapung diudara. Tisna membuang diri
kebelakang. Luntra jungkir balik tapi gerakannya itu
membentur badan kawan sendiri yaitu Jantra. Akibatnya Jantra
terpelanting kemuka dan laki-laki itu tak sempat lagi
mengelakkan sambaran bambu kuning yang datang menuju
paha kirinya. Jantra menjerit keras begitu bambu kuning
menghantam pahanya. Dia terjungkal kesamping. Tulang
pahanya terasa seperti remuk dan dagingnya yang terpukul
perih panas. Laki-laki ini berguling ditanah dan menjauhi
gelanggang pertempuran. Dia menahan jalan nafasnya
beberapa lama sambil mengalirkan tenaga dalamnya kebagian
yang kena terpukul oleh senjata kawannya sendiri yaitu senjata
Mali Kodra yang dipergunakan oleh Aditia.
Keadaan kini berubah. Yang dihadapi oleh Suwantra adalah
Somaha dan Tisna sedang Kukas bersama Luntra mengurung
Aditia dibagian lain. Suwantra memutar golok yang
ditangannya dengan cepat. Suara senjata itu bersiuran. Dengan
senjata masing-masing yaitu pedang berkeluk dan penggada
berbentuk palu. Somaha bersama Tisna berusaha membendung
serangan golok dan mendesak Suwantra. Beberapa kali ketiga
senjata mereka itu saling bentrokan dengan keras. Ketika
gempurannya mulai terbendung, maka sebelum terdesak
Suwantra mempercepat permainan goloknya. Somaha dan
Tisna juga mempercepat gerakannya namun masih kalah cepat
dengan gerakan lawan yang dikeroyoknya. Golok panjang
Suwantra membabat kearah tengah tubuh kedua lawannya.
Tisna meloncat kebelakang sedang Somaha memalangkan
pedangnya untuk menangkis serangan itu. Tapi mendadak arah
senjata Suwantra berubah membalik memapas kembali kearah
leher Somaha. Lawannya merunduk sambil menangkis kembali
dengan pedangnya. Karena dalam bertahan seperti itu
kedudukan Somaha kurang kuat maka ketika kedua senjata
mereka saling bentrokan pedang yang ditangan Somaha
terlepas dan terpelanting kesamping. Laki-laki itu cepat-cepat
meloncat dan mengulurkan tangannya untuk mengambil
kembali pedangnya. Suwantra cepat memapaskan goloknya
kearah lengan lawan. Tapi dia terpaksa menarik serangannya
itu karena penggada besar dari Tisna hendak mencari sasaran
diperut bagian bawahnya. Terpaksa Suwantra mempergunakan
goloknya menangkis serangan tersebut.
Tisna dan Somaha kini mulai mempergunakan tangan-
tangan kiri mereka untuk melancarkan pukulan-pukulan tenaga
dalam yang dahsyat. Suwantra mengerahkan tenaga dalamnya
pula untuk mempertahankan diri. Bilamana tenaga dalam
kedua lawannya datang secara bersamaan maka dirasakannya
tubuhnya tergetar hebat. Tapi untung karena dia memiliki
kekuatan yang tangguh maka tubuhnya bagian dalam tak
sampai kena dicelakai oleh kedua lawannya itu. Sambaran
pedang dan penggada datang dengan cepat kearah lambung dan
dadanya. Suwantra menggeser kaki kirinya kebelakang.
Tubuhnya miring kesamping kiri. Pedang Somaha lewat tapi
masih sempat merobek pakaiannya sedang dengan goloknya
dihantamnya senjata lawan yang kedua. Somaha melancarkan
serangan beruntun kearah kaki dan kepala. Suwantra
berkelebat cepat mengelakkan serangan itu. Golok panjang
yang ditangannya bergulung-gulung sedang kakinya melayang
kian mencari sasaran. Somaha dan Tisna mulai merasakan
kedahsyatan lawannya. Mereka hampir tak punya kesempatan
untuk menyerang kini. Ketlka Tisna menghantamkan
senjatanya keperut Suwantra, pemuda itu meloncat kesamping.
Tisna menggeser kakinya dan menyerang sekali lagi tapi
Suwantra menyapu serangannya itu dengan tebasan golok.
Tisna mundur selangkah, sebelum dia dapat memasang kuda- kuda yang baru. Suwantra telah menyerang dengan cepat
kearah kepalanya. Tisna merunduk tapi bersamaan dengan itu
kaki kanan lawannya datang dari muka. Dia membanting diri
kesamping namun tetap pinggul kanannya kena terserempet
tendangan Suwantra. Tisna terjerongkang kebelakang hampir
menubruk kawannya sendiri. Laki-laki itu bangun dengan
tubuh sedikit miring. Tendangan lawannya, walaupun tidak
tepat datangnya tapi cukup untuk membuat Tisna
mengerenyitkan kening menahan sakit. Sebelum Tisna maju
kembali, Suwantra cepat menggempur Somaha. Pedang dan
golok panjang bersilang cepat kian kemari. Sekali-kali saling
bentrokan dengan memercikkan bunga api. Dalam setengah
jurus saja Somaha mulai mundur kebelakang. Dia segera
merubah permainan pedangnya. Tubuhnya meloncat kian
kemari. Sebentar dikiri, sebentar dikanan bahkan kadang- kadang dia berhasil berada dibelakang tubuh lawannya. Namun
sebelum dia berhasil mengayunkan pedangnya, Suwantra telak
terlebih daluhu membalikkan tubuh. Diam-diam Somaha mulai
merasakan tanganya yang menggenggam pedang menjadi pedas
panas. Dia maklum bahwa tenaga dalam lawannya lebih hebat
dari tenaga dalamnya sendiri. Karena itu dia kini bertempur
dengan agak merenggang. Namun lawannya terus datang
merapat mengirimkan sambaran-sambaran golok yang keras
dan cepat. Ketika golok lawan menusuk dari samping kiri,
Somaha meloncat kekanan. Lawannya memburu menghantam
kebawah kakinya. Kini Somaha terpaksa melompat keatas
sambil membacokkan pedangnya kearah kepala Suwantra. Tapi
sebelum pedang itu sempat diayunkannya kebawah, dengan
ketepatan yang luar biasa Suwantra melompat kemuka.
Kepalanya yang keras seperti batu itu menghantam perut
Somaha dengan keras membuat laki-laki itu mengeluarkan
suara seperti orang muntah. Dia terpelanting kebelakang. Saat
itulah Suwantra mempergunakan goloknya, membabat kearah
pinggang Somaha. Tapi Somaha masih sanggup
memelintangkan pedangnya dimuka tubuhnya. Sehingga
meskipun paha kanannya kini yang kena sambaran senjata
lawan namun nyawanya selamat dari kematian.
Bersamaan dengan Somaha jatuh tertelentang ditanah, pada
saat itu pula, datang sambaran angin dari sampingnya. Tisna
yang tadi kena ditendang pinggulnya kini maju kembali. Tapi
segera dia dibuat tak berdaya oleh Suwantra. Senjata palu yang
pendek ditangannya sama sekali merupakan senjata mati yang
tak bisa dipakai untuk menghadapi golok panjang dari
Suwantra. Palu itu hanya bisa dipakainya untuk
mempertahankan diri, sama sekali tak bisa untuk balas
menyerang. Tisna mempergunakan kekuatan tenaga dalamnya
dengan memukulkan tinju-tinju kirinya dari jarak jauh kepada
lawannya. Tapi cuma baju Suwantra yang tampak berkibaran
kena pukulan tenaga dalam itu sedang tubuhnya tak bisa
terluka sama sekali. Pada saat itu Somaha sibuk mengobati
lukanya dan belum bisa maju kegelanggang pertempuran
kembali untuk membantu Tisna yang sudah terdesak hebat.
Golok Suwantra menyambar tiada henti mengurung tubuh
lawannya. Tisna melompat kian kemari. Ketika dia berhasil
mengelakkan, satu sambaran yang cepat, dia coba untuk
menendang perut lawannya tapi golok Suwantra datang
membalik ke arah kakinya itu. Tisna buru-buru menarik pulang
kakinya dan ganti menyerang dengan palu besarnya namun
sempat di elakkan lawan. Kini kembali senjata Suwantra
membabat kearah kepalanya. Tisna merunduk sambil
mengirimkan jotosan tangan kiri kebawah perut lawan tapi
serangan itu gagal dengan serta merta karena Suwantra lebih
cepat mengangkat lutut kanannya. Dan Tisna tak menduga
sama sekali kalau kaki yang diangkat itu akan terus
melancarkan serangan kearahnya. Dengan sedapat-dapatnya
dia coba menangkis tendangan kaki kanan Suwantra dengan
tangan kiri. Dia tahu bahwa lengannya akan hancur atau patah
terkena tendangan itu. Tapi dia lebih suka menerima hal
tersebut dari pada tendangan lawan menghantam bawah
perutnya membuat dia mampus disitu juga. Begitulah, Tisna
terpaksa mengorbankan lengan kirinya dimakan tendangan
kaki kanan Suwantra sehingga tulang lengannya menjadi patah.
Dia menjerit keras dan bergulingan ditanah. Tapi seperti orang
kalap dia bangkit kembali dan mengamuk seperti orang yang
kemasukan setan. Saat itu Somaha telah masuk kekalangan
pertempuran kembali. Melihat cara berkelahi Tisna yang seperti
orang gila itu. Somaha segera memperingati kawannya. “Tisna!
Kuasai dirimu. Jangan berkelahi secara ceroboh tak karuan
seperti itu......”.
“Auuu!”. Belum lagi habis kata-kata peringatan Somaha,
telah terdengar jeritan kematian dari Tisna. Golok panjang
menancap diperutnya terus tembus sampai kepunggung!
Somaha mengertakkan geraham tanda amarahnya mendidih.
Dia meloncati pembunuh kawannya itu. Dengan cepat
Suwantra mencabut goloknya dan menangkis tetakan pedang
Somaha. Pada detik kedua senjata itu beradu keras dengan
mengeluarkan suara dan percikan bunga api, pada saat itu pula
tubuh Tisna yang sudah tak bernyawa itu jatuh mencium tanah!
Somaha melancarkan serangan terus menerus dengan cepat.
Dia tahu kalau dia memberi kesempatan sekali saja pada
lawannya untuk balas menyerang maka dia akan dibuat tak
berdaya sama sekali. Suwantra mengetahui taktik lawannya itu.
Karena itu dia terus bertahan dengan gigih. Dia menunggu
sampai saat yang ditentukannya. Lima jurus kemudian setelah
menyerang terus menerus, Somaha mulai letih. Nafasnya sengal
sedang tangannya yang memegang pedang mulai pegal dan
pedas. Serangannya mulai mengendur karena dia terpaksa
harus mengatur jalannya pernafasan dan menggerakkan tenaga
dalamnya kembali. Dan kesempatan inilah yang dinantikan
oleh Suwantra. Sebelum lawannya sempat mengatur nafas,
golok panjangnya berkelebat cepat, membuat Somaha menjadi
gugup. Dia bertahan dengan gigih, lalu terpaksa mundur satu
langkah kebelakang, lalu dua langkah dan kemudian selangkah
lagi sampai seterusnya. Somaha terdesak hebat kini!
Salah seorang dari ketiga kepala-kepala rampok yang
mengurung Aditia melihat keadaan kawannya yang terpepet itu.
Dia adalah Jantra yang tadi telah kena ditendang oleh Aditia.
Jantra yang telah merasai bekas kaki Aditia meskipun dia
bukan seorang yang pengecut tapi memaklumi bahwa lawan
yang dikeroyoknya itu bukan orang sembarangan sedang
dibagian lain Somaha dilihatnya berada dalam keadaan
terancam. Sambil meloncat keluar dari kalangan pertempuran
dia berteriak pada kawan-kawannya : “Kurung terus bangsat
itu! Dia sudah mulai kehabisan tenaga! Aku akan bantu
Somaha......!” Jantra menghentikan teriakannya karena
dilihatnya Aditia melambaikan tangannya kearahnya. Dia
bergulingan pada saat yang tepat yaitu ketika pukulan tenaga
dalam Aditia menghantam kearah tubuhnya. Meskipun dia
berhasil menyelamatkan diri namun sambaran angin pukulan
itu cukup membuat bulu tengkuknya berdiri dan menggigilkan
tubuhnya.
Kini masing-masing pendekar tersebut dikeroyok oleh dua
orang. Somalia dan Jantra mengoroyok Suwantra sedang Kukas
dan Luntra mengeroyok Aditia. Sampai saat itu Aditia masih
belum dapat merubuhkan salah seorangpun dari lawan-
lawannya meskipun Luntra telah berhasil dipukulnya dua kali
berturut-turut pada dadanya dengan jotosan tinju kiri yang
berisi aji tapak besi berapi. Hanya pakaian yang dipakai Luntra
tampak hangus sedang kulit dadanya hanya menghitam
sekalipun dia dengan kesaktian dan kekuatan tenaga dalamnya
dia masih sanggup menahan kedua pukulan yang dahsyat dari
murid Eyang Wilis itu. Kukas, dengan ilmu mengentengi
tubuhnya yang tinggi berhasil mengelakkan pukulan-pukulan
tangan kiri dan sambaran-sambaran bambu kuning Aditia, tapi
kini ketika Jantra memisahkan diri untuk membantu Somalia
yang tengah didesak hebat oleh Suwantra, maka pertempuran
antra Aditia dan kedua pengeroyoknya mulai berubah. Kukas
dan Luntra mulai hati-hati dan terus menggempur dengan
serangan-serangan hebat. Aditia berkelebat cepat diantara
kedua lawannya. Bambu kuning yang ditangannya bergerak
deras berputar-putar. Kedua kaki dan tangan kirinyapun tak
tinggal diam. Makin lama gerakan ketiga orang itu semakin
cepat dan ketiganya hanya berupa bayang-bayang yang
mengeluarkan angin bersiuran. Tiba-tiba Aditia menghentikan
gerakanya sama sekali. Besi bercabang runcing dari Kukas dan
rantai bola berduri dari Luntra sama-sama melayang kearah
kepalanya. Murid Eyang Wilis merunduk. Tangan kirinya
memukul kesamping kearah lengan Luntra sedang bambu
kuning yang ditangan kanan menghantam kebawah ketiak
Kukas. Luntra bersama Kukas sama-sama meloncat kesamping.
Malang bagi Luntra, kakinya masih sempat dikait oleh Aditia.
Tubuhya miring kesamping dengan keras dan jatuh berdambin
ketanah. Sebelum dia dapat berdiri kembali sekali lagi
tendangan Aditia menghajar pinggangnya. Untung saja tidak
begitu tepat, tapi cukup membuat Luntra meliuk-liuk kesakitan.
Kukas datang dari samping kiri. Senjatanya mengeluarkan
angin bersiuran ketika membabat kearah punggung Aditia.
Tanpa memutar tubuhnya, Aditia memalangkan bambu kuning
yang ditangan kanannya. Satu detik sebelum bambu dan besi
beradu, dengan kecepatan yang luar biasa Aditia meloncat satu
langkah kemuka. Serangan yang dilancarkan dengan tenaga
luar dalam yang kuat deras itu mengenai tempat kosong,
akibatnya membuat tubuh Kukas terhuyung-huyung kemuka
karena kehilangan keseimbangannya. Saat itu Aditia bisa
memukul tubuh lawannya dengan senjata yang ditangannya,
tapi dia tidak melakukan yang serupa itu sebaliknya melompati
lawannya, menangkap pinggang laki-laki itu dan
membantingkan kearah Luntra yang saat itu baru saja coba
untuk berdiri. Kedua kepala rampok itu jatuh bergulingan
ditanah. Luntra merintih kesakitan karena tubuhnya tertimpa
dan terhimpit oleh tubuh Kukas sedang Kukas sendiri
mengalami lecet pada siku kirinya. Kedua orang itu bangkit
kembali sementara menunggu dengan tangan kiri bertolak
pinggang.
Luntra menyumpah-nyumpah. Pandangannya membentur
pada keenam orang anak buah Mali Kodra yang berdiri ditepi
kalangan pertempuran memperhatikan adu kekuatan itu.
:Kalian manusia-manusia sontoloyo! Kalian kira ini sandiwara
yang hanya untuk ditonton?! Ayo bantu kami cepat!” teriak
Luntra. Keenam anak buah Mali Kodra yang berdiri dekat
tangga rumah saling berpandangan satu sama lain kemudian
sama mencabut golok masing-masing dan maju karena
pertempuran. Tiga orang kesebelah kiri dan tiga orang lagi
kesebelah kanan. Kini jumlah orang-orang yang mengeroyok
kedua pendekar itu menjadi semakin banyak!
SEBELAS
MELIHAT jumlah pengeroyok menjadi semakin banyak,
Mirta yang bersembunyi dibalik semak-semak dan mengawal
kedua gadis culikan tadi segera menghunus goloknya. Tapi
salah seorang dari kedua gadis itu memegang lengannya.
“Saudara kau mau kemana? Jangan tinggalkan kami! Biar
mereka bertempur, tak usah bantu! Kedua kawanmu cukup
kuat menghadapi pengeroyok-pengeroyoknya. Sebaliknya mari
kita meninggalkan tempat ini. Kalau kami selamat sampai
kerumah, orang tua kami akan menghadiahkan uang dalam
jumlah yang besar sekali padamu!”
“Aku tidak butuh uangmu, saudari!” jawab Mirta dengan
gusar. “Aku lebih membutuhkan keselamatan kawan-kawanku.
Kalau ingin pergi menyelamatkan diri dari sini silahkan
pergi......!”. Kedua gadis itu menjadi merah mukanya dan kakak
dari gadis yang pertama tadi membuka mulut dengan tenang.
“Aku tahu bagaimana hati seorang kawan. Tapi saudara, kalau
kau keluar dari sini dan membantu kedua kawan-kawanmu,
siapa yang akan menjaga keselamatan kami? Percuma saja kau
mengawal kami semenjak tadi. Kami cuma perempuan- perempuan yang tak punya daya apa-apa. Kalau salah seorang
dari kepala-kepala rampok itu menyingkir dan menuju kesini,
kau cukup tahu apa artinya. Kami lebih membutuhkan
pertolongan dari pada kedua sabahatmu itu......”.
Mirta tak menjawab dan beberapa saat kemudian goloknya
dimasukkannya kedalam sarungnya kembali. Dia
memperhatikan pertempuran selanjutnya.
Meskipun jumlah pengeroyokan jadi lebih banyak, namun
hal itu tidak menjadi suatu apa bagi Suwantra maupun Aditia.
Pengeroyok-pengeroyok yang baru datang hanya mengandalkan
tenaga luar belaka. Dalam dua jurus saja Suwantra dan Aditia
telah berhasil menyapu pengeroyok-pengeroyok yang baru
datang itu sehingga dalam memasuki jurus selanjutnya kembali
jumlah pengeroyok mereka masing-masing seperti semula.
Baju Aditia dan baju kedua pengeroyok telah basah oleh
keringat, begitu juga baju Suwantra dan lawan-lawannya.
Murid Eyang Wilis memutar-mutar bambu kuning yang
menjadi senjatanya. Kedua lawannya juga bergerak cepat.
Dalam satu gebrakan yang seru, besi bercabang yang ditangan
Kukas berhasil menjepit senjata Aditia sementara dari samping
rantai bola berduri melayang deras kearah kepalanya. Sambil
merunduk Aditia menarik senjatanya namun karena hal itu
dilakukannya sambil merunduk maka dia kalah cepat dengan
Kukas. Kukas terlebih dahulu memutar senjatanya. Bambu
kuning yang ditangan Aditia patah dua! Senjata Kukas terus
meluncur kearah mata murid Eyang Wilis. Kini dalam
kemarahannya. Aditia memukul senjata lawannya dengan
tangan kanan sedang tangan kirinya menyambar keperut
Luntra. Luntra yang tiada menyangka serangan yang secepat itu
tidak punya kesempatan untuk mengelak. Jotosan yang berisi
aji gada dewata bersarang diperutnya. Mata laki-laki itu
membeliak, nafasnya sesak dan tubuhnya rebah ketanah tapi
dia tidak mati. Dia berjuang untuk tidak pingsan. Mengatur
jalan darahnya dan mengerahkan tenaga dalamnya kebagian
perut. Aditia berkelebat. Kedua tangannya berhasil meraih
tubuh Kukas. Apa yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana
tubuh Kukas jungkir balik diudara. Aditia menyambutnya
dengan tendangan tapak besi berapi tapi dengan cara yang
sangat lihay. Kukas yang tubuhnya masih mengapung diudara
berhasil mengelakkan tendangan itu bahkan dengan senjata
yang masih berada ditangannya dia berhasil memukul kaki
kanan Aditia. Murid Eyang Wilis menggigit bibirnya keras- keras menahan sakit. Dan kesabarannya lenyap sudah! Kukas
yang masih mengapung diudara kembali diserangnya. Kukas
sekali lagi mempergunakan senjatanya untuk membendung
serangan Aditia. Tapi dengan cepat Aditia memukul lengan
laki-laki itu merampas senjatanya dan mencengkeram lehernya.
Kukas menjadi sesak nafasnya karena cengkeraman Aditia
seperti cepitan besi yang teguh. Karena gagat melepaskan
cekikan itu, sementara kedua kakinya telah menjejak tanah
kembali. Kukas segera menghujani perut dan dada Aditia
dengan jotosan-jotosan keras dan cepat. Ketika terdengar
sambaran angin dibelakangnya. Aditia membawa lawannya
jatuh bergulingan bersama-sama. Cekikan pada leher Kukas
tetap tak dilepaskannya. Kukas melejang-lejangkan kakinya.
Nafasnya semakin menyesak. Luntra kembali menyerang Aditia
dengan senjata dahsyatnya. Inilah yang ditunggu oleh murid
Eyang Wilis. Begitu bola besi berduri itu melayang kemukanya,
Aditia menarik leher dan tubuh Kukas untuk menangkis senjata
Luntra. Kukas hendak menjerit setinggi langit melihat bahaya
maut yang mengancam dari senjata kawannya sendiri. Tapi
teriakannya tak keluar karena sampai saat itu lehernya masih
tetap dicekik oleh Aditia. Bola besi beradu dengan keras kedada
Kukas. Tulang dadanya hancur dan melesak kedalam
menggencet jantungnya, membuat jantung itu berhenti bekerja
dengan serta merta dan menyebabkan nyawa Kukas melayang
saat itu juga!
Luntra terkesiap melihat kejadian itu. Dia membunuh
kawannya sendiri meskipun hal tersebut tidak disengajanya.
Dia segera meloncat kesamping sambil memutar senjatanya
diatas kepala waktu Aditia datang menerkam kearahnya.
“Kau lihat senjata yang ditanganku ini......?” tanya Aditia
pada Luntra sambil mengacungkan senjata besi bercabang
kepunyaan Kukas yang berhasil dirampasnya. “Senjatamu telah
membunuh kawanmu sendiri dan sebentar lagi senjata kawan
yang kau bunuh itu akan menuntut balas. Akan mengakhiri
riwayatmu pula!”. Keringat dingin keluar dari muka Luntra tapi
kembali dia melancarkan serangan. Kita tinggalkan kedua
orang yang bertempur satu lawan satu ini. Kini kita tujukan
perhatian pada Suwantra yang dikeroyok oleh Somaha dan
Jantra.
Dua kali pecut kulit badak yang ditangan Jantra berhasil
menghantam tubuh Suwantra dengan keras sehingga bajunya
menjadi robek-robek. Luka yang diderita Somaha menyebabkan
laki-laki itu agak lamban dalam melancarkan serangannya.
Namun bagi Suwantra manusia ini tetap berbahaya, terutama
karena Somaha selalu berlaku licik dalam perkelahian itu.
Seringkali Somaha menyelinap menyerang dari belakang
namun sampai saat itu dia masih gagal dalam melancarkan
serangan-serangan liciknya. Golok yang ditangan Suwantra kini
hanya bayangannya saja yang kelihatan. Seperti juga Aditia,
pemuda ini kini sudah kehilangan kesabarannya. Melihat
permainan golok yang hebat ini, Somaha yang saat itu hendak
mulai dengan serangan yang licik, dengan cepat bergabung
kembali pada kawannya. Keduanya membendung gempuran
Suwantra dengan gigih. Tapi sepuluh detik kemudian mereka
mulai terdesak. Jantra tampak mengeruk saku bajunya dengan
tangan kiri. Gerakan lawannya itu tidak lepas dari perhatian
Suwantra dan ketika Jantra melepaskan sebuah pisau belati
kearah tenggorokannya. Suwantra telah lebih dahulu
merundukkan kepalanya. Pisau lewat, Suwantra menggeser
kakinya kemuka dan membabat deras kearah perut kedua
lawannya. Sambil meloncat mundur Janlra masih sempat
melecutkan senjatanya kepunggung Suwantra. Pemuda itu
merutuk dalam hatinya. Dia memburu kemuka. Tapi pada saat
yang bersamaan kedua senjata lawannya datang dengan cepat.
Cambuk dan pedang berkeluk menjepit senjata Suwantra di
tengah-tengah. Suwantra cepat-cepat menarik senjatanya tapi
cambuk Jantra lebih cepat lagi melilit golok panjangnya sedang
bersamaan dengan saat Somaha menghunjamkan senjatanya
kearah leher, maka pada saat itu pula Jantra menarik
cambuknya. Suwantra segera melepaskan senjatanya yang
terlibat dan menjatuhkan diri lalu bergulingan ditanah.
Matanya yang tajam melihat senjata kepunyaan Tisna yang
menggeletak ditanah. Tanpa setahu kedua lawannya, Suwantra
mengambil palu itu dan ketika dia bangkit berdiri benda itu
dilemparkannya kearah Jantra. Karena berhasiI merampas
senjata lawan dengan pecutnya, Jantra menjadi sangat gembira
dan bertindak lengah. Dia melihat palu tersebut ketika sudah
terlampau kasip untuk mengelakkan diri. Dengan segala
kedahsyatannya palu besar itu menghantam pelipis kirinya.
Jantra meraung hebat. Tubuhnya terpelanting kesamping.
Pemandangannya dengan serta merta menjadi gelap dan
malaikat maut mulai menjalankan kewajibannya, mencabut
nyawa laki-laki itu! Jantra mati dengan kening rengkah!
Melihat kematian kawannya yang dimuka hidung didepan
mata kepalanya sendiri, Somaha menjadi kecut. Nyalinya untuk
maju lagi karena pertempuran menjadi lenyap. Cepat-cepat dia
memutar tubuh dan meloncat kebalik semak-semak dimana
kedua gadis culikannya bersembunyi bersama Mirta. Kedua
gadis sama menjerit terkejut melihat kedatangan Somaha. Laki-
laki itu segera menyarungkan pedangnya dan dengan cepat
menangkap pinggang kedua gadis itu. Tapi sebelum dia bisa
angkat kaki dari tempat itu Mirta telah memukul kepalanya
dengan gagang golok. Cekalan Somaha pada kedua gadis
terlepas dan dalam keadaan terhuyung-huyung dia memutar
tubuhnya. Pedang segera dicabut dari sarungnya. “Bangsat! Kau
berani memukulku?! Rasakan!”. Senjata Somaha menetak
kedada Mirta. laki-laki itu mengelak kesamping sementara
kedua gadis kakak beradik tadi menjauhkan diri mencari
selamat. Somaha segera mendesak Mirta dalam tempo dua
detik saja. Hal ini bukanlah satu keanehan. Selain perbedaan
tinggi ilmu, juga perbedaan senjata kedua musuh itu turut
menentukan. Namun bahaya yang mengancam Mirta tidak
berjalan lama. Ketika Somaha hendak menetakkan pedangnya
ke arah bahu kanan lawannya, satu tangan yang kuat kukuh
mencekal lengan Somaha. Sebelum dia bisa berontak, jotosan
yang sangat keras menghantam tulang-tulang iganya. Dalam
keadaan terpental kesamping, Somaha masih sempat meninju
muka lawannya yaitu Suwantra yang datang tepat pada
waktunya. Tapi apa yang terjadi semakin merugikannya. Muka
Suwantra yang berisi aji ‘remuk-kermuk’ membuat jari-jari
tangannya yang dipakai untuk memukul menjadi lecet. Dua kali
jeritan berturut-turut terdengar dari mulutnya dan jeritan yang
terakhir berhenti ketika tendangan Mirta dan Suwantra datang
secara bersamaan kearah pinggang dan perutnya. Somaha
melintir berputar-putar beberapa lamanya sebelum tubuhnya
yang tanpa nyawa itu kemudian jatuh diantara semak-semak.
Sambil memandang ke mayat laki-laki itu Mirta menyarungkan
senjatanya kembali.
Suwantra memandang kepada kedua gadis kakak beradik
yang berdiri dibalik pohon dimuka sana. “Saudari-saudari, tak
usah takut-takut dan sembunyi disana. Keluarlah, kami bukan
orang-orang jahat!” kata Suwantra. Kedua gadis itu melangkah
dari balik pohon. Keduanya sama menundukkan kepala dan
paras-paras mereka yang cantik itu masih pucat pasi karena
ketakutan.
“Kalian siapa?” tanya Suwantra.
Gadis yang tua menjawab. “Sa...... saya Sarti dan dia Sarni
adik saya. Kami telah diculik dua hari yang lalu oleh laki-laki
itu......”. Sarti menunjuk ke mayat Somaha.
“Kalian tinggal dimana?” bertanya Mirta.
“Negara......” jawab Sarti sedang adiknya masih tetap
menundukkan kepala. Kemudian gadis itu bertanya. “Kalian
sendiri siapa......?” Mirta hendak menjawab tapi didahului oleh
Suwantra. “Kami hanya pemuda luntang lantung dari suku
Kayan dipedalaman......”
“Kalian telah menolong kami. Kami sangat berhutang budi
bahkan berhutang nyawa. Kalau kalian bisa mengantarkan
kami......”.
“Baik! Baik! Itu perkara belakangan tak usah dibicarakan
sekarang. Mari kita lihat pertempuran antara iparku dan kepala
rampok yang terakhir itu!” memotong Suwantra sambil
memutar tubuhnya. Mirta, dan kedua gadis kakak beradik tadi
melangkah mengikuti.
Melihat perkelahian antara Aditia dan Luntra dihalaman
samping rumah perampok itu sudah dapat ditentukan siapa
yang akan keluar sebagai pemenang dan siapa yang bakal
menemui ajalnya. Meskipun hanya dengan tangan kosong
belaka tapi Aditia berhasil mendesak hebat lawannya yang
bersenjatakan rantai bola berduri itu. Pukulan-pukulan tapak
besi berapi dari murid Eyang Wilis tampaknya tak begitu
dirasakan oleh Luntra. Meskipun sudah terdesak tapi dia tetap
tenang dan bertahan dengan gigih. Dia mempercepat
gerakannya dengan mengadakan ilmu mengentengi tubuh yang
sangat tinggi yang didapatnya dari gurunya atau istrinya
sendiri! Satu kali, ketika berhasil mengelakkan sambaran rantai
bola besi berduri itu Aditia sempat pula mengirim jotosan yang
berisi ajian halilintar kedada lawannya. Luntra terhuyung- huyung nanar kebelakang sambil mengusap-usap dadanya yang
terpukul. Tiba-tiba dia meloncat kemuka dan menyerang ganas.
Tangan kiri dan kedua kakinya bergerak kian kemari. Ilmu
silatnya ini hampir bersamaan dengan ilmu dimiliki oleh Aditia
sendiri sehingga boleh dikatakan segala seluk beluk dan tipu-
tipu dari permainan silat Luntra sudah berada didalam
kantognya Aditia sehingga ilmu silat yang sangat diandalkan
Luntra itu mengalami kegagalan total.
Kini Aditia yang balas melakukan penyerangan. Kedua
tangannya terpentang lurus kemuka. Setiap Luntra memukul
lengan-lengan yang tampaknya seperti sasaran yang sangat
empuk itu, setiap kali pula dia meleset. Bahkan dua kali
berturut-turut jotosan halilintar menghantam bawah ketiak dan
dagunya. Kekalahan itu membuat Luntra menjadi kalap.
Senjatanya diputar-putar dengan kecepatan luar biasa
mengelilingi tubulnya. Aditia tak berani melakukan serangan
terobosan kearah lawannya. Agaknya Luntra mengeluarkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya saat itu karena senjatanya
yang berputar kencang itu mengeluarkan angin yang sangat
deras. Aditia merasakan tubuhnya mendingin. Dia segera
membalas dengan pukulan-pukulan tenaga dalam pula. Kedua
tenaga dalam mereka saling bentrokan keras. Putaran senjata
Luntra meliak-liuk tak karuan ketika senjata itu tersambar
tenaga dalam lawannya, tapi tubuhnya sendiri tak apa-apa.
Sebaliknya Aditia merasakan badannya bergetar. Ketika dia
hendak mengeluarkan tenaga dalamnya yang lebih tinggi untuk
merobohkan lawannya tiba-tiba dia mendapat satu akal. Dia
sengaja melangkah mundur dan pura-pura terdesak oleh
serangan lawannya. Tapi begitu dia berada dua tombak dari
mayatnya Tisna, dengan cepat dicekalnya kedua kaki mayat itu
dan beberapa detik kemudian tubuh Tisna telah berputar-putar
pula sebagimana berputar-putar senjata bola besi yang ditangan
Luntra. Luntra menjadi tertegun melihat hal itu. Bukan saja dia
tertegun melihat kekuatan lawannya yang sanggup mengangkat
mayat yang sedemikian besarnya dan memutar-mutarnya tapi
dia juga tertegun karena dia kini sama sekali tak bisa
menyerang lagi. Menyerang Aditia berarti menyerang kawannya
sendiri, menyerang Tisna, sekalipun laki-laki itu telah menjadi
mayat. Dan dalam keadaan bingung seperti itulah tiba-tiba
mayat Tisna dilemparkan Aditia kemuka Luntra. Luntra tak
punya kesempalan lagi unluk mengelak. Dia terhuyung-huyung
kebelakang dengan mayat kawannya dalam pelukannya.
Sebelum Luntra dapat menguasai dirinya. Aditia memukul
tangan laki-laki yang memegang senjata itu hingga senjatanya
jatuh ketanah. Kemudian kedua tinjunya kiri kanan yang berisi
aji kekuatan halilintar dan gada dewata datang bertubi-tubi
tiada tertahankan dimukanya Luntra. Seluruh muka Luntra
menjadi babak belur tiada mempunyai rupa lagi. Disana sini
penuh dengan bengkak-bengkak dan luka-luka sedang darah
campur keringat membasahi seluruh mukanya. Laki-laki itu
mengerang kesakitan dan jatuh melosoh ketanah. Dia
berguling-guling kian kemari beberapa kali sebelum menarik
nafasnya yang penghabisan.
DUA BELAS
DUA belas tubuh manusia diseluruh pekarangan rumah itu.
Bau darah yang anyir menambah seramnya keadaan disitu.
Mirta berjalan diantara tubuh-tubuh yang bergeletakan dan
memungut kantong kain yang berisi uang sebanyak 280 ringgit
dan batu-batu kerikil. Mirta mengeluarkan batu-batu kerikil itu
dan kemudian memasukkan uang-uang ringgit tadi kedalamnya
kembali. Kemudian dia memandang berkeliling pada Aditia dan
Suwantra. “Segala sesuatunya telah beres. Apa yang harus kita
lakukan sekarang?” tanya Mirta.
“Kita kembali ke Kuala......” jawab Suwantra dengan pendek.
“Dan...... dan kami bagaimana......?” tanya satu suara halus
dengan nada cemas. Suwantra, Mirta dan Aditia sama memutar
kepala dan menoleh pada kedua kakak beradik itu. “Kami tidak
dapat kembali pulang tanpa bantuan kalian. Kami sangat
membutuhkan pertolongan kalian, saudara-saudara. Dan kami
niscaya tak akan menyia-nyiakan budi baik kalian. Percayalah
dan tolonglah!” kata Sarti.
“Jangan khawatir saudari-saudari. Kami juga tak akan
meninggalkan kalian begitu saja disini. Saudara Suwantra dan
Mirta akan bersedia mengantar kalian sampai kerumah. Kalian
kakak beradik bukan?” tanya Aditia. Kedua gadis itu
mengangguk. Dan Aditia berkata lagi. “Sebelum kalian diantar
pulang, terlebih dahulu kami harus menyelesaikan urusan di
Kuala. Bagaimana? Kalian tak keberatan?”.
“Tidak......” jawab Sarti.
Kelima orang itu segera mengambil masing-masing seekor
kuda dan kemudian meninggalkan tempat itu sementara
matahari telah condong kebarat. Sampai di Kuala mereka
langsung menuju kerumah Kepala kota. Sore itu, atas usaha
Mirta dan Aditia maka dikumpulkanlah hampir seluruh
penduduk Kuala ditanah lapang. Masing-masing mereka saling
bertanya-tanya dalam hati. Apa pulakah yang akan dibicarakan
Kepala kota mereka?
Suwantra berdiri diatas sebuah kursi dan mengangkat tangan
kanannya keatas. Suara berisik dari orang banyak segera
berhenti dan putera raja itu mulai bicara.
“Saudara-saudara sekalian, untuk kedua kalinya kita saling
bertemu muka lagi ditempat ini. Pertama kali kira-kira tiga
minggu yang lalu yaitu ketika saudara telah memberikan
kepercayaan pada saya dan menyetujui pengangkatan saya
sebagai Kepala kota kalian meskipun pengangkatan saya
tersebut boleh dikatakan dijalankan secara paksa oleh orang
yang kalian sangat benci yaitu Mali Kodra! Saudara-saudara
penduduk Kuala sekalian, baiklah saya terangkan segala
sesuatunya dari latar belakang semua peristiwa pengangkatan
tersebut. Saya telah bertemu secara tak sengaja dengan Mali
Kodra. Salah seorang dari anak buahnya mengetahui siapa saya
sebenarnya dan kemudian Mali Kodra memaksa saya agar
menerima pengangkatan saya sebagai wali kota dan
mengancam keselamatan saya bilamana saya menolaknya. Akhirnya setelah memikirkan semasak-masaknya akan rencana
pemimpin rampok itu maka saya terimalah pengangkatan itu.
Mali Kodra pura-pura meninggalkan kota dan mengangkat saya
dengan satu maksud yaitu tak lain adalah agar mendapat
keuntungan yang lebih besar dari hasil rampokannya yang
sudah-sudah. Karena kota sudah mempunyai Kepala kota yang
baru sedang Mali Kodra bersama anak buahnya telah sadar dan
meninggalkan kota maka tentu semua penduduk yang
mengungsi terutama orang-orang kayanya akan kembali
kerumah masing-masing di Kuala ini. Dan pada saat itulah Mali
Kodra akan memasuki kota dan melakukan perampokan besar- besaran!”.
Seluruh tanah lapang itu menjadi ribut oleh suara orang
banyak. Ada yang menyumpah dan mengutuk Mali Kodra, ada
pula yang menggeleng-gelengkan kepala karena tak menduga
rencana tersebut dan ada pula yang hanya bisa menganga
seakan-akan tak percaya apa yang diterangkan oleh Suwantra
itu. Suwantra mengangkat tangannya kembali dan meneruskan.
“Dan juga mengenai pemungutan uang tempo hari. Itu juga
adalah rencana busuknya Mali Kodra yang dipaksakan kepada
saya. Tapi syukur uang itu masih utuh berada ditangan kami
dan lebih syukur lagi bahwa tak sampai terjadi hal-hal yang tak
diinginkan dengan penduduk disini semuanya. Mali Kodra
bersama seluruh anak buahnya dan kawan-kawannya kepala- kepala rampok yang lain telah menemui ajalnya disarangnya
sendiri. Ini berarti bahwa sejak detik ini kota Kuala telah berada
dalam keadaan aman seperti sedia kala. Dan dengan demikian
tugas saya sebagai kepala kota palsu yang dipaksakan berarti
sudah selesai! Kalian harus memilih Kepala kota yang baru.
Dan kepada saudara-saudara sekalian yang dulu telah
menyumbangkan uang yang saya katakan adalah untuk
membantu penduduk yang kerampokan serta untuk
pembangunan kota, sore ini saya tunggu dirumah Kepala kota
yang lama untuk mengambil uang masing-masing sebanyak
yang telah disumbangkan tempo hari!”
Ketika Suwantra hendak turun dari atas bangku itu terdengar
beberapa orang laki-laki berteriak. “Tunggu! Tunggu dulu!
Terangkan siapa saudara! Kami ingin tahu!”
“Jadi saudara sendiri siapa......?” tanya seorang yang lain
yang usianya sudah agak lanjut dan berdiri dibarisan paling
muka dan akhirnya seluruh tanah lapang itu menjadi hiruk
pikuk dengan suara orang-orang yang ingin minta keterangan
siapa Suwantra adanya.
Suwantra memandang berkeliling. Senyum kecil tersungging
disudut bibirnya. Ketika kebisingan ditanah lapang itu sudah
mulai reda kembali, maka Suwantra membuka mulut lagi.
“Dulu waktu Mali Kodra mengangkat saya sebagai Kepala kota
dia telah memperkenalkan saya sebagai Prata bukan? Nah
memang itulah nama saya”.
“Bohong!”
“Dusta!”
“Kami tak percaya!” begitulah berbagai macam sambutan
teriakan dari orang ramai.
“Saudara-saudara sebenarnya nama dan siapa saya bukanlah
merupakan hal yang penting bagi saudara-saudara. Kalau
saudaraa telah mengenal muka saya dan menganggap saya
sebagai sahabat-sahabat kalian, maka itu sudah cukup!”. Dari
kalangan orang ramai terdengar suara-suara yang tidak senang
dengan kata-kata Suwantra itu. Tiba-tiba seorang pemuda
tampil kemuka, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan
berkata dengan suaranya yang besar tinggi. “Saudara-saudara,
mengapa kita harus meributkan soal nama dan siapa saudara
kita ini. Dengar, saya punya usul. Bagaimana kalau detik ini
juga dengan suara bulat kita angkat dia menjadi Kepala kota
kita!”
“Setujuuuu!!!” menggema suara jawaban dari seluruh
pelosok tanah lapang yang ramai itu.
“Hidup Kepala kota kita yang baru!” teriak si pemuda tadi.
“Hidup......!” balas orang banyak pula. Dan si pemuda
kembali ketempatnya. Suwantra melambai-lambaikan
tangannya dan berkata. “Terima kasih...... terima kasih,
saudara-saudara sekalian. Terima kasih atas kepercayaan yang
saudara berikan kepada saya. Tapi dengan sangat menyesal
harap dimaafkan. Saya tidak bisa menerima kerelaan hati
saudara sekalian itu. Saya bukan orang sini dan tidak begitu
memahami seluk-beluk keadaan dikota ini. Adalah lebih baik
kalau saudara memilih sebagai Kepala kota yang baru salah
seorang dan penduduk disini juga. Seperti saudara itu
misalnya......” dan Suwantra menunjuk kepada pemuda yang
tadi mengusulkannya untuk diangkat sebagai Kepala kota.
Kembali tanah lapang menjadi riuh rendah oleh suara orang
ramai. Ketika keriuhan itu mereda sedikit Suwantra cepat
menyela. “Jadi saya tunggu saudara-saudara sekalian sore ini
dirumah Kepala kota untuk mengambil uang saudara masing- masing!” Suwantra cepat-cepat meloncat dari atas kursi. Tapi
pada saat dia menjejakkan kaki ditanah kembali pemuda tadi
maju kemuka dan naik kekursi. “Saudara-saudara sekalian
bagaimana kalau uang itu tak usah kita ambil tapi kita serahkan
saja kepada dia......?!”
“Akur!” jawab orang banyak.
“Benar, berikan saja kepada dia!” teriak sebagian lain.
Suwantra menghentikan langkahnya. Ketika dia memutar
tubuh untuk naik kekursi kembali. Mirta telah menarik
tangannya. Mirta, Suwantra dan Aditia segera meninggalkan
tanah lapang yang masih tetap riuh rendah oleh suara orang
banyak. Dan benar saja, sore itu sampai semalam-malamannya
hari tak seorangpun dari penduduk Kuala yang datang untuk
mengambil uangnya kembali. *
* *
Semenjak kejadian malam itu dimana dia dalam mencari
Kiman tapi sebaliknya mendapat hajaran dari Aditia, pemimpin
rampok di Srimbilan, anak buah Mali Kodra yaitu Gaspar
menjadi semakin besar dendamnya terhadap Kiman, bahkan
juga terhadap Suwantra serta Mirta dan ditambah lagi dengan
Aditia. Karena dia tahu bahwa dia tak bisa melawan kesemua
musuh-musuhnya itu seorang diri, maka Gaspar pergi ke Kuala
untuk mengadukan apa yang telah dialaminya kepada
pemimpinnya Mali Kodra, padahal manusia yang bernama Mali
Kodra itu sudah lama menjadi mayat!
Sesampainya di Kuala barulah Gaspar mendapat keterangan
dari penduduk apa yang telah terjadi dengan Mali Kodra
beserta anak buahnya. Gaspar seperti orang yang kehilangan
tempat berpijak mendengar keterangan itu. “Semuanya
menemui ajal......? Semuanya mati ditangan manusia-manusia
keparat itu......?! Aku tak percaya!”. Pagi itu Gaspar pergi
kesarangnya Mali Kodra dimana telah terjadi pertempuran yang
hebat itu. Dan ketika dia sampai disana, ketika dia melihat
dengan mata kepalanya sendiri mayat-mayat yang bergeletakan
dan sudah mulai membusuk dihalaman samping rumah, maka
barulah dia mau percaya. Dia memandang dengan tubuh
menggigil dan lutut gemetar. Akhirnya dia duduk termenung
ditangga rumah yang kosong itu sambil menutup hidungnya.
Apakah yang harus dilakukannya? Bagaimanakah caranya
untuk dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatnya
kepada orang-orang itu? Bagaimana caranya dia harus
menuntut balas bagi kematian kawan-kawannya, bagi kematian
pemimpinnya dan kawan-kawan dari pemimpinnya itu?.
Pikirannya kacau balau. Marah, geram, dendam dan kesedihan
ditinggalkan kawan-kawan serta pemimpinnya semua itu
bercampur menjadi satu. Dia memandangi mayat-mayat itu
satu demi satu dari tempatnya duduk. Kemudian dia bangkit
berdiri, tertegun sebentar dan tiba-tiba saling memukulkan
kedua tangannya. Dia berjalan cepat-cepat mendapati kudanya.
Sambil berjalan berkata seorang diri. “Rasakan...... rasakan oleh
kalian nanti. Aku akan katakan pada guru-guru dari kawan- kawan pemimpinku apa yang telah kalian lakukan disini. Aku
akan adukan semua peristiwa ini. Rasakan!”. Dia meloncat
keatas punggung kudanya, menarik tali kekang dan berlalu dari
tempat itu. Apa yang direncanakan oleh Gaspar itu kelak akan
menjadi kenyataan. Sebagai seorang anak buah kepercayaan
dan Mali Kodra, Gaspar mengetahui siapa guru dari Mali
Kodra. Juga beberapa orang guru dan kawan-kawan Mali Kodra
yang lima orang itu yaitu guru merangkap istri dari Luntra,
gurunya Somaha dan gurunya Jantra. Yang dua orang lagi dia
tidak tahu, tapi tiga orang guru-guru sakti ditambah dengan
guru dan Mali Kodra sendiri itu sudah lebih dari cukup.
Masakah musuh-musuhnya itu akan sanggup mengalahkan
keempat guru-guru sakti luar biasa itu...... adalah tidak masuk
akal bagi Gaspar. Begitulah setelah berbulan-bulan menjelajahi
daratan Kalimantan mencari dan menemui guru-guru sakti itu
maka ditetapkanlah rencana untuk mengadakan pembalasan
dendam itu. Untuk itu dipersilahkan pembaca mengikuti seri
keris merah yang selanjutnya.
TIGA BELAS
KETIKA matahari mulai naik kelima orang itu telah
meninggalkan Kuala sejauh satu kilo lebih. Jalan yang mereka
lalui masih sunyi. Sekali-kali mereka berpapasan dengan
pedagan-pedagang sayur yang membawa dagangannya kekota.
Disatu persimpangan jalan, tiga kilo dari kota mereka berhenti.
Sambil memandang pada keempat orang itu Aditia berkata.
“Bagaimana...... kita berpisah disini. Sahabat-sahabatku Sarti
dan Sarni selamat jalan, aku tak bisa mengantarkan kalian
sampai ke Negara. Satu pesanku, kalau sudah sampai dirumah
nanti, jangan ditahan lama-lama kedua sahabatku ini......”.
Muka kedua kakak beradik itu menjadi kemerahan. Tapi Sarti
tak mau kalah dan menjawab. “Kami memaklumi mengapa kau
tak bisa mengantarkan kami sampai di Negara. Aditia.......
maklumlah penganten baru!”. Dan kini Aditialah yang menjadi
merah mukanya. Dia mengangguk pada kedua gadis itu lalu
pada Mirta dan Suwantra dan kemudian menarik tali kekang
kudanya. Binatang itu meloncat kemuka mengambil jalan yang
disebelah kiri.
Suwantra dan kawan-kawannyapun meneruskan perjalanan.
Negara terletak kira-kira seratus lima puluh kilometer dari
Kuala. Karena itu rombongan tersebut hanya berhenti pada
saat-saat mengisi perut saja. Pada malam hari kalau jalan yang
mereka tempuh cukup baik maka mereka tidak berkemah tapi
terus menunggangi kuda masing-masing dengan kecepatan
penuh. Jalan yang mereka tempuh banyak sekali sungai-sungai
yang harus diseberangi. Kadang-kadang mereka terpaksa
menunggu atau mencari sampai berjam-jam rakit-rakit yang
dapat menyeberangi mereka bersama kuda-kuda mereka. Pada
hari yang ketiga barulah mereka mulai memasuki daerah
perbatasan luar kota Negara.
Ayah Sarti dan Sarni adalah seorang saudagar intan berlian
yang terkenal disekitar Negara. Namanya Karmansyah.
Bersamaan pada hari penculikan kedua orang anak gadisnya itu
maka Karmansyah telah menerima sepucuk surat ancaman dari
si penculik yaitu Somaha. Dalam surat itu Somaha meminta
uang tebusan sebesar 5000 ringgit pada Karmansyah kalau
saudagar intan tersebut ingin kedua anaknya kembali dengan
selamat. Menerima surat itu, Karmansyah bukannya menjadi
takut tapi sebaliknya menjadi naik pitam. Sebagai seorang yang
kaya raya dia mempunyai banyak sekali centeng-centeng dan
tukang-tukang pukul bayaran. Seluruh tukang-tukang pukul di
Negara, termasuk centeng-centengnya bahkan juga anak laki-
lakinya serta dia sendiri segera mencari jejak Somaha dan anak
buahnya. Namun jejak kepala rampok itu seakan-akan lenyap
ditelan bumi. Somaha kemudian membawa kedua gadis itu
ketempat janji pertemuannya dengan sahabat-sahabatnya
kepala-kepala rampok yang lain. Pesta pertemuan akan
dimeriahkan dengan adanya kedua gadis cantik tersebut. Tapi
untung maksud Somaha itu tidak kesampaian bahkan dia
terpaksa meregang nyawa, menebus maksud terkutuknya itu
dengan kematian!
Meskipun Somaha dan anak buahnya tidak lagi diketahui
dimana adanya namun Armansyah, kakak laki-laki dari kedua
gadis itu bersama delapan orang tukang-tukang pukul ayahnya
masih terus melakukan penyelidikan. Karmansyah karena
menderita sakit ditengah jalan terpaksa diantar pulang oleh
yang lain-lainnya. Setelah berhari-hari mencari tanpa hasil
akhirnya rombongan yang dipimpin Armansyah itu mulai putus
asa. Hari itu mereka merencanakan untuk pulang saja. Sambil
memasuki daerah perbatasan kota, Armansyah dan
rombongannya melayangkan mata juga kesegala penjuru.
Ketika mereka mencapai sebuah lembah diluar kota tiba-tiba
salah seorang dari tukang-tukang pukul itu menghentikan
kudanya dan menunjuk kelereng bukit dikejauhan.
“Lihat! Ada rombongan pengendara kuda!” teriaknya.
Armansyah menghentikan kudanya begitu juga yang lain-lain.
Semuanya memandang kearah yang ditunjukkan kawannya
tadi. Dikejauhan, dilereng bukit kelihatan empat orang
pengendara kuda bergerak dengan cepat. “Agaknya mereka
menuju kesini......” kata Armansyah tanpa melepaskan keempat
penunggang kuda itu dari pandangan matanya. Dua menit
kemudian keempat penunggang kuda itu telah mencapai kaki
bukit, semakin lama semakin dekat kepada rombongan itu.
“Hai! Dua orang dari mereka adalah perempuan!” teriak
salah seorang dari tukang-tukang pukul bayaran itu. Semua
mata makin dibesarkan.
“Mungkin Sarti dan Sarni!” kata yang lain.
“Tapi mengapa mereka menuju kesini? Menuju kekota?!
Seharusnya kedua perampok itu tidak herada disekitar sini!”
menyela orang yang disamping Armansyah.
“Sebaliknya mari kita cepat-cepat menyebar dan
bersembunyi menghadang mereka. Sebagian diseberang sini
dan sebagian lagi diseberang sana. Mereka pasti akan melalui
jalan ini. Kita sergap mereka. Cepat!”. Armansyah menarik tali
kekang. Sebagian dari rombongan segera menyeberang jalan itu
dan bersembunyi dibalik semak-semak sedang yang sebagian
lagi ketepi jalan yang semula.
Semakin lama keempat orang tadi semakin dekat juga dari
tempat itu dan suara kaki-kaki kuda mereka semakin jelas dan
keras
Kurang lima belas meter akan sampai ketempat itu
Armansyah bersama rombongan yang ditepi jalan sebelah
kanan keluar dari balik semak-semak menghadang dijalan
sedang yang ditepi jalan sebelah kiri mengurung dari belakang.
Keempat kuda yang dihadang sama terkejut, begitu juga
penunggang-penunggangnya. Keempat binatang itu
mengangkat kaki-kaki depan mereka tinggi-tinggi dan
meringkik panjang. Bersamaan dengan suara ringkikan itu
maka terdengarlah teriak aba-aba dari Armansyah : “Kurung
dan serang kedua bangsat ini!”. Sembilan orang dengan
berbagai senjata ditangan segera maju menyerang kemuka.
Sarti dan adiknya yang tadi karena terkejut tak bisa berkata
apa-apa, kini ketika melihat kakaknya pemimpin pengeroyokan
itu segera berteriak. “Armansyah! Jangan! Tahan, hentikan
semua ini. Mereka bukan perampok-perampok! Mereka bukan
penculik-penculik itu. Tahan!”. Kakak kedua gadis itu tampak
membesarkan matanya. Dia memandang aneh dengan cara
yang aneh pada kedua adiknya. “Kalau begitu siapa mereka?!
Mengapa kalian berada bersama kedua orang ini?!”.
“Aku akan terangkan Arman, aku akan terangkan!” jawab
Sarti.
“Kalau begitu menyingkirlah kalian berdua dari mereka dan
kawan-kawan yang lain kurung terus orang-orang asing ini!”
kata Armansyah. Kedua gadis itu segera menyisih dari tempat
Suwantra dan Mirta. Kemudian kepada kakaknya, dihadapan
orang-orang itu Sarti menerangkan apa yang telah dialaminya
berdua adiknya dan siapa sesungguhnya Suwantra dan Mirta
adanya. Setelah segala sesuatunya jelas maka dengan
tersenyum gembira Armansyah mendekati kedua pemuda itu.
Dia menjabat tangan mereka satu demi satu dan berkata.
“Untung saja tak sampai terjadi suatu apa antara kita. Tak
tahunya kalian adalah kawan-kawan sendiri. Selaku kakak
kedua gadis itu saya sangat berhutang budi pada saudara
berdua. Harap maafkan kalau kami tadi bertindak kasar
terhadap kalian dan terima kasih atas semua pertolongan yang
telah saudara-saudara berikan sampai disini......”.
“Tak ada yang harus dimaafkan saudara Armansyah. Kami
sangat senang dapat berbuat sedikit kebaikan sesama kita......”
jawab Suwantra. Dia memandang pada Mirta dan kawannya itu
mengangguk tapi anggukan yang dilakukan dengan ragu-ragu.
Suwantra memandang pada Sarti, lalu pada Sarni. Kedua gadis
itu memandang kepada kedua pemuda itu, kemudian sama
menundukkan kepala. Sebelum berlangsung kekakuan lebih
lanjut, Suwantra segera membuka mulut : “Saudara Arman,
kami hanya bisa mengantarkan kedua adik saudara sampai
disini. Kebetulan sekali kita bertemu disini. Kami mohon
diri......”.
“Armansyah yang umurnya hampir bersamaan dengan
Suwantra tak segera menjawab kata-kata Suwantra itu. Dia
memandang pada Suwantra, lalu pada Mirta dan kemudian
pada kedua adiknya. “Pertolongan saudara-saudara berdua
sangat besar artinya bagi kami. Karena itu saya tak bisa melepas
kalian begini saja. Kedua adik saya juga akan keberatan
agaknya. Karena itu sangat saya harapkan agar kalian sudi ikut
serta kerumah kami. Kedua orang tua kami juga harus
menyatakan sekurang-kurangnya rasa terimakasihnya pada
kalian......”. Suwantra tak menjawab begitu juga Mirta.
Keduanya hanya bisa berdiam diri sedang semakin lama wajah
kedua pemuda itu menjadi semakin memerah.
“Dulu kalian berdua berjanji akan mengantarkan kami
sampai kerumah!” kata Sarti sambil memandang tepat-tepat
kepada Suwantra.
“Dan janji harus ditepati! sambung adiknya Sarni sambil
memandang pula kepada Mirta. Kedua pemuda itu jadi salah
tingkah dan akhirnya sama-sama mengangguk. Dan beberapa
saat kemudian rombongan berkuda itu segera berlalu dengan
cepat. Seperempat jam kemudian mereka sudah memasuki
kota. Setiap orang yang melihat kembalinya kedua gadis itu
segera memberi tahukan pada kawan-kawan lainnya dan dalam
waktu sebentar saja sudah tersiar berita bahwa kedua anak
gadis saudagar intan yang kaya diculik oleh perampok tempo
hari telah kembali dengan selamat! Dan orang-orang yang usil
mulut menambahkan berita itu sebagai berikut. “Kedua anak
saudagar Karmansyah telah kembali dengan selamat! Selamat,
tapi entah tetap masih gadis entah sudah tidak lagi...
Disatu rumah yang besar mewah dengan pekarangan yang
luas dan ditanami dengan pohon-pohon bunga aneka warna
berhentilah rombongan itu. Itulah rumahnya kedua gadis tadi.
Semua orang turun dari kuda masing-masing. Dua orang
pembantu rumah segera membawa kuda-kuda yang ditingalkan
dihalaman kedalam kandang dan diberi makan. Dari dalam
rumah keluar seorang perempuan yang sudah agak lanjut
usianya. Matanya balut dengan air mata dan agak membengkak
sedang tubuhnya kurus.
“Ibu......!” teriak Sarti dan Sarni hampir bersamaan. Kedua
gadis itu lari mendapatkan perempuan tadi dan ketiganya
saling berangkulan, saling meratap menangis......
“Anakku...... anakku...... tak sangka kau akan kembali lagi.
Kau tak apa-apa nak? Kau tak apa-apa Sarti? Sarni......?”.
“Tidak apa-apa bu. Kami selamat......” jawab Sarni. Saat itu
Karmansyah, ayah kedua gadis itu belum lagi sembuh dari
sakitnya. Tapi ketika dia mendengar suara ratap tangis diluar,
suara kedua anak gadisnya yang hilang selama ini, sakitnya
seakan-akan lenyap. Dia bangkit berdiri dari tempat tidur dan
melangkah keluar.
“Anak-anakku......!” seru orang tua itu. Sarti dan Sarni
melepaskan dirinya dari rangkulan ibu mereka dan berlari
memeluk ayahnya. Karmansyah membelai-belai rambut kedua
gadis itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tak bisa berkata
apa-apa karena gembiranya.
Waktu seakan-akan sangat cepat berlalunya. Tanpa terasa
lagi saat itu sudah rembang petang. Diruang muka sejak selesai
makan siang tadi. Suwantra, Armansyah dan beberapa orang
kawan-kawan lainnya asyik bercakap-cakap di ruang depan.
Ketika mereka hendak minta diri sore itu, Karmansyah yang
menjadi sembuh karena kembalinya si anak hilang itu menahan
mereka dan berkata : “Kalian harus menginap disini malam ini.
Aku dan istriku telah membuat niat. Kalau sekiranya kedua
anak-anak itu kembali maka kami akan memotong seekor
kerbau, mengadakan selamatan besar-besaran dengan
memanggil seluruh isi kota kecil ini. Kami akan melakukannya
besok, kebetulan besok hari Jum'at pula. Dan mana bisa kalian
hendak pergi dari sini......?!” Kalian menginap malam ini. Kalau
sudah selesai selamatan itu nanti, kalian mau pergi kemana
juga tak ada yang melarang!”. Suwantra dan Mirta tak bisa
menjawab apa-apa sedang kedua gadis itu yang berdiri disudut
ruangan hanja senyum-senyum kecil saja.
Banyak hal-hal yang aneh diatas dunia ini. Dan salah satu
dari padanya adalah cinta. Cinta itu memang aneh. Ada yang
datang dan bersemi dalam masa yang tempo yang sangat
singkat cepat seperti kilat dan ada pula yang datang berlama
berlarut-larut. Ada yang datangnya mula-muila secara tak
disadari ada pula yang sebelumnya memang sudah disadari.
Kata kebanyakan orang cinta itu datangnya dari mata lalu turun
kehati. mendekam disana, berkecamuk menimbulkan satu
penyakit yang sukar obatnya yaitu rindu! Obat satu-satunya
hanyalah pertemuan muka dengan orang yang dirindui itu!
Cinta dari mata turun kehati adalah benar, tak dapat dibantah.
Tapi kalau dikatakan pula bahwa cinta itu datang dari mata,
terus kehati dan turun kekaki, maka juga tak akan ada yang
membantahnya! Cinta itu tak ubahnya seperti iman seorarg
hamba kepada Tuhan dan agamaNya,'mempunyai tingkat-
tingkat tertentu. Cinta bisa berubah dan sangat mudah
berubah. Dan kalau cinta sudah berubah menjadi kasihan maka
umurnya sudah tidak akan lama lagi. Tiinta yang dulu turun
kehati kini mulai menuju kekaki. Istri yang dulu dikasihi dan
dicintai kini sudah sering dimarahi, sering ditempelak dengan
tangan dan ada pula yang sering ditendang dengan kakai. Itulah
dia cinta yang dari mata turun kekaki!. Sebabnya sampai begitu
banyak sekali. Ada yang karena sang istri sudah mulai peot, ada
karena sang suami sudah mulai benci ada ini...... ada itu!
Pokoknya ada saja yang kelihatan ada saja cacat celanya. Cacat
cela yang datang kemudian yang dulu selagi masa romantis- romatisan tak pernah kelihatan, kalau kelihatan malahan
dianggap itulah keindahan dan kelebihan sang kekasih. Cinta
membutakan, benar membutakan! Dia bisa memberi
bimbingan kejalan yang baik tapi juga bisa menuntun kejalan
yang buruk. Cinta bisa merupakan obor bagi penerangan hidup,
tapi bisa juga menjadi awan gelap penyelubung jalan kehidupan
itu. Orang bisa mati karena cinta, tapi yang sakit keras juga bisa
sembuh oleh cinta. Bahagia cinta tiada terkirakan nikmatnya.
Dunia serasa kita yang punya, segala sesuatunya seakan-akan
tersenyum kepada kita, seakan-akan turut merasakan
kebahagiaan kita itu. Orang yang sedang bercintaan kadang- kadang bertingkah laku seperti orang setengah gila. Tapi
bilamana seseorang sudah ditinggalkan oleh cinta itu, karena
sang cinta mencari pujaan yang lain maka orang bisa dibuat gila
benar?! Cinta memang aneh!
Dibelakang rumah terdapat sebuah taman kecil dengan
sebuah kolam ditengah-tengahnya. Disana terdapat tiga buah
bangku-bangku. Bau semerbaknya bunga-bunga yang tengah
mekar sungguh menyegarkan sekali.
Dua buah dari ketiga bangku-bangku panjang yang terletak
saling berjauhan didalam taman itu tampak diduduki oleh
masing-masing dua orang. Satu laki-laki dan satu perempuan.
Siapakah mereka? Sinar bulan purnama cukup memberi
penerangan disekitar sana sehingga dalam jarak yang agak jauk
kita sudah dapat mengenali kedua pasangan yang tengah
duduk-duduk itu. Mereka tak lain adalah Suwantra dan Sarti
dibangku sebelah kanan sedang yang lain adalah Mirta bersama
Sarni dibangku yang dibawah pohon seri. Dua pasang muda
remaja, dimalam yang berbulan purnama. Hemm..... agaknya
cinta mulai pula menunjukkan keanehannya? Agaknya masin- masing mereka sudah menemui pasangan? Sudah menemui
pilihan hati? Entahlah!
Mereka telah duduk hampir selama lima menit ditempat itu.
Tapi belum seorangpun yang membuka mulut memulai
pembicaraan. Dan ini adalah lagi-lagi dari keanehan cinta.
Cinta bisa membuat manusia menjadi bisu tak bisa berkata- kata tapi bisa pula membuat manusia berbicara terus-terusan,
merayu dengan berbagai kata-kata yang manis sampai
akhirnya...... bosan dan muak sendiri!
Suwantra dan Mirta sebelumnya tak pernah berada dalam
keadaan seperti saat itu. Begitu juga kedua gadis kakak beradik
itu. Sebentar-sebentar salah seorang dari mereka menarik nafas
dalam atau kadang-kadang mempermainkan tanah dengan
ujung-ujung kaki mereka sedang yang perempuan
menundukkan kepala atau mempermainkan jari-jari tangan
mereka.
“Kau bekerja berat sekali siang tadi. Apa kau tak lelah...?”
tanya Suwantra akhirnya membuka pembicaraan setelah
demikian lamanya berdiam diri. Suaranya tidak seperti biasa
dan terdengar kaku.
“Kerja hanya mengiris bawang, buncis dan menggulai itu
bukan kerja berat...... Itu memang sudah kerjanya perempuan
Seharusnya kau yang lelah malam ini” jawab Sarti. Suwantra
tersenyum lalu berkata. “Sungguh baru pertama kali ini aku
melihat selamatan yang dilakukan secara besar-besaran. Orang
sekota semua dipanggil!” Itu baru selamatan, bagaimana pula
nanti kalau pesta perkawinanmu. Aku tak bisa
membayangkan!”.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Kemudian tanpa
menoleh kepada pemuda itu dia berkata. “Heran, mengapa kau
selalu sembunyi-sembunyi terhadapku, Wantra?”.
“Aku ada disini didekatmu, kenapa kau bilang sembunyi- sembunyi?” tanya Suwantra bergurau.
“Maksudku kau menyembunyikan segala sesuatu tentang
dirimu. Begitu juga kawanmu Mirta. Aku tanya kalian orang
mana, tinggal dimana tak pernah kalian berikan jawaban. Ada
apa sesungguhnya......?”.
“Hemm......” desis Suwantra. “Mengapa kau tanyakan semua
itu? Kita berkenalan dan bersahabat, bukankah itu cukup?!”.
“Setiap sahabat sudah semustinya mengetahui siapa
sahabatnya itu dan dimana tinggalnya!” ujar Sarti.
“Kau dulu sudah kukatakan bahwa kami hanya dua orang
keturunan Dayak suku Kayan yang dianggap hina oleh orang- orang kota...... Apa kau tidak percaya?!”. Gadis itu
menggelengkan kepalanya. “Aku pernah melihat orang-orang
Dayak dari suku lain. Ciri-ciri mereka tidak seperti kalian.
Kalian gagah-gagah dan sopan serta baik hati”.
“Banyak orang yang lebih gagah, lebih sopan dan lebih baik
dari kami......”.
“Tapi yang tak pernah aku temui......” potong Sarti. Pemuda
itu memandang ke gadis yang disampingnya. Gadis itu
tersenyum manis sekali. Dan benih pertama dari cinta agaknya
mulai ditaburkan kini. “Aku merasa senang kalau berada
dekatmu Sarti......” kata Suwantra dengan perlahan.
“Aku juga Wantra......” bisik si gadis......
Bagaimana pula dengan Mirta dan Sarni? Keduanya masih
sama-sama membisu. Sama-sama salah tingkah. Mirta
memandang kelangit, pada bulan purnama empat belas hari.
Gadis yang duduk disampingnya mengikuti pandangannya.
“Bulan itu indah......” kata Sarni. Dengan demikian pembicaraan
dimulai.
“Seindah wajahmu Sarni, malahan kau lebih indah lagi dari
itu......” kata Mirta. Sarni menundukkan kepalanya. Mukanya
merah. Dan pembicaraan terhenti sampai disitu. Kesunyian
menggerayangi mereka kembali. Tiga menit kemudian. “Aku
hanya seorang gadis yang buruk Mirta......”.
“Dan aku juga pemuda kampung yang luntang-lantung tak
karuan......” jawab Mirta.
“Kau masih saja menyatakan dirimu seperti itu, Mirta. Tak
baik begitu. Sekalipun kau siapa adanya tapi aku lebih tahu
siapa engkau. Kau seorang yang gagah, baik dan tahu
peradatan......”.
“Terima kasib Sarni. Tapi itu katamu saja. Orang lain akan
berkata sebaliknya!” jawab Mirta.
“Sudahlah, mengapa harus kita ributkan orang lain itu? Aku
senang punya sahabat sepertimu ini. Habis perkara!.”.
“Aku juga senang dan juga habis perkara!” kata Mirta pula
dari kedua orang itu sama-sama tersenyum. Senyum yang
dilontarkan semanis dan semesra mungkin......!
“Jadi kalian pergi besok?” tanya Sarni kemudian.
“Ya......” jawab si pemuda. “Dulu aku berjanji akan
mengantarkan kalian sampai kerumah. Sampai disini aku
disuruh nginap dan sampai dua malam pula dengan saat ini!
Aku malu sebenarnya dan kampung kami jauh pula dari
sini......”.
“Bagi sahabat-sahabat yang baik tak ada tempat yang jauh,
kecuali kalau aku bukan sahabatmu yang baik......” merajuk
sang gadis.
“Maksudku bukan begitu Sarni......”.
“Hemm...... mungkin kau sudah punya pacar dikampung?
Yang gelisah menantimu saat ini......?”.
“Kampung tidak sama dengan kota. Kampung tidak
mengenal istilah pacar-pacaran, Sarni...... Lagi pula siapa yang
mau pada orang semacamku ini...... Aku sudah lama mencari- cari, tapi tak seorangpun yang sudi!”.
“Apa sulit syarat-syaratnya untuk menjadi kekasihmu?”
tanya gadis itu.
“Tak ada syarat apa-apa kecuali setia......!”
“Syarat kecantikan tak ada?”.
“Tidak! Apa guna punya istri cantik kalau dia membuat
suami makan hati......?”.
“Aku seorang gadis yang buruk. Bagaimana kalau aku
mengajukan permohonan jadi pacar?”. Mirta tertawa terbahak- bahak. Kemudian sambil menarik nafas panjang dia berkata :
“Kau ini ada-ada saja Sarni......”.
“Kau tak percaya Mirta? Kau tak percaya kalau kukatakan
terus terang bahwa...... bahwa......”.
“Bahwa kau mencintaiku.....?” sambung Mirta. Gadis itu
mengangguk. Mirta berdiri dari bangkunya seperti orang
disentakkan karena terkejutnya dan tak percayanya. Gadis itu
memegang lengannya dan menyuruhnya duduk kembali.
Bermimpi aku agaknya......” kata Mirta perlahan.
“Tidak Mirta...... tidak. Kau tidak bermimpi. Aku juga tidak!”.
“Kalau begitu kau main-main!”
“Juga tidak!” Mirta memegang bahu gadis itu. “Kau
mencintai aku Sarni...... benar...... sungguh?”.
“Aku mencintaimu, Mirta. Dan aku akan setia padamu......”.
“Tapi ayahmu orang kaya, aku orang miskin......”.
“Lantas apa ayahku yang akan kawin denganmu......?
Mirta...... Mirta. Kau ini laki-laki yang lucu sekali. Yang banyak
tanya dan sembunyi-sembunyinya. Tapi satu hal yang tak dapat
kau sembunyikan dan itu kuketahui!”
“Apa?” tanya Mirta.
“Kau juga mencintaiku!”.
“Sarni......” dan Mirta merangkul gadis itu erat-erat
kedadanya.
“Eh...... apa-apaan ini. Jangan lupa daratan kawan. Kau tahu
kita berada dimana dan kau lihat bahwa Suwantra dan Sarti
juga berada ditaman ini. Lihat mereka......! Mirta memutar
kepalanya memandang kearah bangku yang diujung sana. Dan
diatas bangku itu, didalam kegelapan yang samar-samar,
Suwantra dan Sarti juga tengah berangkulan mesra satu sama
lain!
“Mereka juga sudah seperti kita agaknya..... Sarni......” dan
kedua pasangan itu saling berangkulan kembali. Itulah
kemesraan cinta. Itulah kebahagiaan kalau dua hati sudah
saling bertemu.
Dan malam itu empat mulut dan empat hati saling
mengucapkan dan menyatakan “Aku cinta padamu......”!
Keesokan paginya setelah meminta diri dan mengucapkan
terima kasih pada kedua orang tua gadis itu dan juga pada
Armansyah maka Mirta dan Suwantra sama menemui kekasih
masing-masing. Kekasih yang mereka dapati hanya dalam
tempo tiga hari. Cinta yang mereka temui hanya dalam saat 3
kali 24 jam!
“Aku pergi hari ini, Sarti, dan aku akan kembali lagi kesini.
Aku akan melamarmu......” kata Suwantra sambil memegang
jari-jari gadis itu.
“Selamat jalan Suwantra. Aku akan menunggumu disini......”
jawab Sarti.
Sementara itu dibagian muka rumah sebelah sana......
“Selamat tinggal adik, aku akan kembali dalam waktu yang
singkat. Nantikan aku disini. Sarni......” kata Mirta. Dia coba
untuk tersenyum. “Kembalilah cepat-cepat. Aku tak bisa
menunggu lama-lama disini. Mirta dan selamat jalan....”
Kedua orang itu naik keatas kuda masing-masing.
Karmansyah dan istrinya serta anak laki-lakinya berdiri
dipintu. Sarti dan Sarni melepas kekasih mereka sampai dipintu
pagar. Sebelum kedua pemuda itu berlalu, kedua gadis itu
sama-sama memberikan sebuah bungkusan kecil pada pujaan
hati mereka. Benda yang dibungkus dengan kain putih itu
adalah batu-batu cincin dari jenis yang sangat mahal harganya
dan diikat dengan emas. Itulah lagi keanehan dari cinta. Cinta
sejati memberikan apa saja dari milik kita yang paling berharga,
sekalipun jiwa raga!
“Ingat!” kata Sarti pula. “Bungkusan itu baru boleh kalian
buka kalau sudah sampai dirumah nanti. Begitu di buka begitu
dipakai!
Mirta dan Suwantra sama-sama tersenyum. Tali kekang
sama-sama ditarik dan kedua kuda itu mulai bergerak maju
Mula-mula perlahan lalu makin cepat, tambah cepat dan
akhirnya mereka hilang ditikungan jalan. Kedua gadis itu Sarti
dan Sarni memutar tubuh mereka dan kembali kerumah
dengan satu kenangan indah dan satu janji suci tentang masa
depan yang bahagia.
Tamat
0 comments:
Posting Komentar