..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 18 Juni 2025

KERIS MERAH EPISODE PUTRA MAHKOTA

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com




MENEBUS PUTERA MAHKOTA

OLEH

B A S T I A N ⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊

Hak Pengarang dan Hak Mencetak buku ini dipegang

sepenuhnya oleh Pustaka Penerbit “ANALISA” c.v. ~

Jakarta dibawah lindungan UNDANG-UNDANG. ⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊⚊


SATU


SUASANA gembira dan bahagia masih tampak dan terasa

ditengah-tengah suku Kayan yang mendiami rumah besar

didekat sungai meskipun pesta perkawinan besar-besaran itu

telah berlalu hampir satu bulan lamanya. Gaba-gaba serta

hiasan-hiasan yang terdapat disetiap sudut rumah besar masih

belum ditanggalkan. Isi rumah besar diselubungi dengan

kegembiraan dan kebahagiaan yang dapat dilihat dari gelak

berderai dan wajah yang berseri-seri dari penghuninya,

terutama sekali kedua orang yang baru saja menempuh hidup

baru itu, kedua penganten yang berbahagia. Aditiajaya dan

Suwantri. Pesta perkawinan itu telah dilangsungkan dengan

segala kemeriahan dan kebesarannya. Raja-raja suku tetangga

yang bersahabat diundang. Bahkan Eyang Wilis yang boleh

dikatakan tak pernah turun dari pertapaannya telah

memerlukan datang menghadiri upacara perkawinan muridnya

yang dikasihinya itu. Dia mendapat tahu karena sebelumnya

Aditia dan Suwantri bersama kakaknya telah menyambangi

guru sakti itu. Cuma sedikit disayangkan karena Kiai Ahmed

Pasya, guru Suwantri telah terlebih dahulu menutup mata

sehingga tak dapat menyaksikan peristiwa tersebut.

Aditia kini merasakan hidupnya jauh lebih bahagia. Lebih

menyegarkan dan tubuhnya yang kekar itu kini tampak sudah

tambah gemuk. Begitu juga istrinya, Suwantri. Memang

kebahagiaan mana pula yang melebihi hidup berumah tangga

dengan orang yang sangat dikasihi dan mengasihi kita? Setiap

pagi Aditia bersama pemuda-pemuda lainnya turun kesawah

dan bekerja disana, kadang-kadang dia pergi pula keladang-

ladang untuk mencangkul dan membantu menanam sayur- mayur. Sekalipun Suwantra dan pemuda-pemuda lainnya

melarangnya namun tidak dipedulikan oleh Aditia. Bekerja

adalah jauh lebih baik dan menyegarkan dari pada duduk- duduk dirumah tak tentu apa yang dikerjakan, sekalipun dia

seorang penganten baru......

Saat itu dia baru saja selesai makan siang. Tanyakanlah pada

setiap penganten baru bagaimana sedap dan bahagianya makan


berhadap-hadap dengan istri yang cantik dan dikasihi, dan

itulah yang dialami Aditia sejak sebulan yang lalu. Semakin

dipandang sang istri, semakin sedap juga . makan dan baru

sadar kalau nasi dibakul sudah tinggal rimah-rimahnya saja......

dan karena banyak makan itulah mungkin yang membuat

Aditia jadi tambah kekar dan gemukan!

Sementara istrinya membawa piring-piring kebelakang,

Aditia menuju keruang tengah. Beberapa orang pemuda tampak

duduk-duduk bersila disana. Mereka sama-sama tersenyum dan

memberi salam ketika Aditia datang kesana.

“Asyik sekali kalian tampaknya. Apa yang dipercakapkan?”

tanya Aditia sambil duduk pula bersila ditikar. Sebagai seorang

menantu dari raja suku Kayan maka adalah tidak pantas bagi

Aditia duduk bercengkerama seenaknya saja seperti saat itu.

Tapi pemuda kita tidak biasa dengan adat yang terlampau

berlebih-lebihan, dia tidak biasa dianjung-anjung. Kerendahan

hati Aditia inilah yang membuat setiap orang dipesukuan itu

sangat menyukainya. Kata orang-orang itu pula, sungguh

beruntung Suwantri mendapatkan seorang suami yang baik

budi bahasanya, rendah hati serta berilmu tinggi. Dan rasa

beruntung itu seakan-akan dapat pula mereka kecap dan resapi.

“Itulah kak......” kata salah seorang dari pemuda-pemuda itu

menjawab pertanyaan Aditia tadi. “Hampir disetiap pelosok

negeri kini terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Bunuh dan

rampok terjadi di mana-mana. Dan yang paling hebat adalah di

Kuala. Gerombolan rampok disana telah membunuh beberapa

orang, diantaranya Kepala kota Kuala sendiri. Mereka

merampok dengan tiada hentinya. Penduduk pada mengungsi.

Setiap batas kota dijaga oleh kawan-kawan rampok itu. Orang

keluar jarang diizinkan sedang yang masuk diperbolehkan

karena semakin banyak yang masuk semakin bertambah juga

hasil rampokan mereka. Kami telah merencanakan untuk pergi

kesana tapi dicegah oleh kepala suku. Kemudian kami dengar

kabar bahwa putera mahkota sendiri yang hendak menyelidiki

peristiwa itu. Kini kamilah yang melarangnya karena hal itu

sangat berbahaya sekali bagi keselamatannya. Kepala suku


sudah begitu tua sedang putera satu-satunya hanyalah

Suwantra......”.

“Hemm...... jadi itu yang saudara-saudaraku susahkan?

Sayang sekali baru saat ini hal tersebut kuketahui. Tapi biarlah,

tak usah dicemaskan lagi. Biar aku sendiri yang pergi......” kata

Aditia. Semua mata terbeliak dan pemiliknya saling

berpandangan satu sama lain. Mirta yang duduk merapat

kedinding menggeser duduknya dan membuka mulut : “Sangat

kami hargakan kehendakmu itu, Aditia. Tapi menyesal sekali

kami tak bisa menerimanya. Kau baru saja berumah

tangga......”.

“Lagi-lagi kata-kata itu, lagi-lagi itu juga yang kalian sebut- sebut. Dulu waktu aku hendak turun kesawah dan keladang

membantu kalian, kalian ucapkan juga kata-kata itu. Aku baru

saja berumah tangga, seorang menantu raja tak boleh bekerja

apa-apa, dia hanya sebagai penghuni yang dihormati dirumah

besar ini...... Sahabat-sahabatku, kita ini semuanya sama.

Sebagai laki-laki hak dan kewajiban kita juga sama. Aku tinggal

bersama kalian, dirumah besar kalian, istriku dari suku kalian.

Semuanya itu sudah sepatutnya membuat aku juga mempunyai

tanggung jawab terhadap isi rumah ini, terhadap suku

disini......”.

“Semuanya itu benar Aditia”, menyela Mirta. “Tapi selama

sesuatu pekerjaan dapat kami selesaikan, akan kami kerjakan.

Bukan kami tak menghargai maksud dan ketinggian ilmumu,

tapi walau bagaimanapun kau tetap orang yang kami hormati

dan kami khawatirkan keselamatannya. Biarlah saya dan

kawan-kawan yang pergi. Meskipun Kepala suku melarang

namun kita tak bisa menunggu-nunggu lagi. Beberapa orang- orang kita yang berdagang ke Kuala telah dirampok. Tiga orang

luka-luka, satu orang menemui ajalnya ketika dia melawan.

Saya dan kawan-kawan akan pergi besok pagi-pagi sekali......”.

“Kau dan aku, Mirta. Kawan-kawan tetap tinggal disini......!”

terdengar satu suara dari samping. Semua orang menoleh

kearah datangnya suara itu. Ternyata yang berkata adalah tak

lain dari Suwantra.

“Tapi Suwantra......


“Tak ada tapi-tapi Mirta. Kataku kau dan aku. Kita berangkat

besok pagi!” Suwantra memutar tubuhnya dan meninggalkan

tempat itu. *

* *

“Kau tak membawa pedangmu......?” tanya Suwantri pada

kakaknya ketika laki-laki itu naik kepunggung kuda

disampingnya. Suwantra menggelengkan kepalanya. “Untuk

menghadapi perampok-perampok tengik itu tak usah pakai

membawa senjata segala! Senjata-senjata mereka sendiri yang

akan membunuh dan mencabut nyawa mereka!”.

“Hati-hatilah Suwantra dan jangan lama-lama......” kata

adiknya.

“Sampaikan salamku pada suamimu. Aku pergi......”. Pemuda

itu menepuk tubuh kudanya dan bersama Mirta dia segera

berlalu. Kuala terletak kurang sedikit dari lima belas kilo.

Sebelum sampai kekota kecil itu, mereka harus melalui lagi

sebuah kampung yang bernama Srimbilan, yang terletak lima

kilo dari Kuala. Satu jam kemudian sinar matahari pagi mulai

terasa panas. Dikejauhan telah kelihatan kampung Srimbilan

yang terletak disatu lembah kecil yang diapit oleh dua buah

bukit. Mereka menuruni bukit dan sepuluh menit kemudian

telah memasuki satu jalan kecil yang menuju kekampung itu.

“Kita berhenti atau terus saja......?” tanya Mirta.

“Kita berhenti sebentar, aku merasa haus” jawab Suwantra.

Disatu pohon yang terletak diseberang sebuah kedai

keduanya menambatkan kuda masing-masing dan segera

menyeberangi jalan. Tiba-tiba terdengar satu suara memanggil.

“Suwantra......!”. Pemuda itu membalikkan tubuhnya dan satu

seruan gembira terdengar keluar dari mulutnya. “Kiman..... tak

kusangka kita bisa bertemu disini. Kemana saja kau selama

lima tahun ini. Kenapa tak pernah datang kekampungku

lagi......?”. Laki-laki yang bernama Kiman itu segera menjabat

tangan Suwantra. Lalu bersalaman pula dengan Mirta.


“Kau yang tak pernah kelihatan, Wantra! Dulu aku pernah

datang ketempatmu. Orang tuamu bilang sudah hampir dua

tahun kau pergi bersama adikmu. Ketika kutanya kemana, dia

hanya angkat bahu dengan cara yang membayangkan

kekhawatiran!”.

“Kau tinggal disini?”.

“Sudah setahun!.” jawab Kiman.

“Dan anakmu sudah berapa kini......?”

“Dua setengah......” jawab yang ditanya.

“Dua setengah bagaimana?” tanya Suwantra hampir

bersamaan dengan Mirta. Kiman tersenyum. “Dua orang sudah

berada diluar, masing-masing berumur dua tahun dan satu

tahun. Yang seorang lagi baru empat setengah bulan dan masih

dalam perut ibunya!”...... ketiga orang itu sama-sama tertawa

dengan riuh.

“Tapi ngomong-ngomong kalian mau kemana ini? Kalau mau

masuk kedalam kedai itu...... aku tak segan-segan untuk

mengawani. Memang pagi ini aku belum sarapan!” kata Kiman

kemudian.

“Belum sarapan?” Percuma kau punya istri! Apa tak

dibuatkannya kopi untukmu?” tukas Mirta.

“Pada saat-saat mengandung, istriku punya kebiasaan- kebiasaan tertentu! Makannya banyak! Tidurnya jangan

disebut. Duduk dikursi tahu-tahu tidur. Tak boleh ketemu

bantal terus pulas dan pagi-pagi bangunnya agak siang

pula......” menerangkan Kiman. Ketiga sababat-sahabat lama itu

kemudian masuk kedalam kedai.

Didalam sana terdapat dua buah meja yang diapit masing- masing oleh dua buah bangku kayu panjang. Pada salah satu

meja dan kedua bangku yang mengapitnya, tidur tiga orang

laki-laki dengan seenaknya. Orang yang keempat berbaring

dibangku panjang dari meja yang lain. Suwantra dan Mirta

sama-sama terkejut dengan pemandangan ini. “Heh......

rupanya ada kue manusia dijual orang disini......” kata

Suwantra.

“Sst...... jangan bicara seperti itu” berbisik Kiman


“Mengapa? Sekalipun mereka yang memiliki kedai ini tapi

adalah sangat tak sopan tidur diatas meja dan dibangku-bangku

dengan seenaknya seperti itu padahal disini bukannya

penginapan. Dan sudah sesiang ini pula!”. Ketiga orang itu

duduk dibangku yang masih kosong.

“Siapa mereka itu......?” tanya Mirta.

“Kalian pernah dengar tentang satu gerombolan rampok

yang dipimpin oleh Mali Kodra......?” Suwantra dan Mirta sama

mengangguk karena memang kepala rampok itulah yang akan

mereka temui untuk meminta pertanggungan jawab atas

perbuatan mereka selama ini.


“Mali Kodra mempunyai anak buah yang banyak sekali.

Hampir disetiap pelosok tersebar anak-anak buahnya. Dia

sendiri memimpin langsung dari Kuala. Kodra menunjuk

beberapa orang anak buah yang dipercayainya untuk

mengepalai gerombolannya yang tersebar dimana-mana......”

“Jadi keempat orang adalah anak-anak buahnya Mali Kodra

itu?” tanya Mirta. Kiman mengangguk.

“Yang mana kepalanya?” tanya Suwantra. Kiman

memperhatikan satu demi satu orang yang tidur itu. Lalu

sambil memanjangkan bibirnya kearah orang yang

dimaksudkannya dia berkata. “Itu...... namanya Gaspar......”.

“Lantas apa kedai ini menjadi penginapannya?” tanya

Suwantra.

“Mungkin semalam mereka habis main judi dan mabuk- mabukan dengan uang hasil rampokan. LaIu tidur disini karena

kecapaian......” menduga Kiman.

“Saudara-saudara ingin minum apa.....?” tanya pelayan,

seorang laki-laki yang cuma mempunyai satu daun telinga.

“Tiga gelas kopi, dan goreng pisang itu bawa kesini......” kata

Kiman.

Tak berapa lama kemudian hidangan itu segera sampai

dihadapan mereka. Masing-masing meneguk kopinya. Sambil

mengunyah pisang gorengnya yang masih hangat. Kiman

bertanya pada Suwantra. “Kau kapan kawin......?”

Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan

menjawab. “Masih pikir-pikir dan cari-cari dulu......”.

“Pikir-pikir dan cari-cari. Terlampau pikir dan cari nanti

tahu-tahu kau sudah ketuaan!” ujar Kiman. Suwantra

menyeringai. “Kau sudah tahu bahwa adikku telah kawin?!”.

“Heh! Yang benar?!” tanya Kiman tak percaya. Dia menoleh

pada Mirta lalu pandangan matanya kembali pada Suwantra.

“Masa aku dusta?!” kata Suwantra.

“Bukan aku tak percaya pada keteranganmu, tapi aku heran

dan gusar mengapa kau tak mengundangku!” kata Kiman pula.

“Mana aku tahu kau tinggal disini. Walau tak bertemu saat

ini mungkin kami tak akan pernah tahu!” jawab Suwantra.


“Sudah lama? Siapa suaminya, sudah punya anak?” tanya

Kiman seperti senapan mesin otomatis.

“Baru saja bulan yang lalu. Suaminya orang Jawa...”.

“Orang Jawa..... mengapa bukan sukumu sendiri? Apa bapak

ibumu dan kau sendiri setuju?”

“Kalau kami tidak setuju masakah dilangsungkan

perkawinan itu.....” jawab Suwantra sambil mengambil pisang

goreng yang kedua.

“Tentu pesta besar-besaran, ya? Sayang aku tak hadir. Tapi

sebenarnya kalian ini mau pergi kemana?”.

“Ke Kuala......” jawab Suwantra sambil memandang kepada

keempat orang laki-laki yang tidur diatas meja dan di bangku.

“Ke Kuala? Untung kau ketemu aku! Kau sudah tahu bahwa

kota itu kini berada dalam tangan Mali Kodra. Pemimpin dari

satu gerombolan besar yang tadi kuterangkan padamu.

Sebaiknya kau jangan pergi kesitu. Kalian pasti akan

dirampok!”

“Lantas apa keempat orang anak buahnya ini tak pernah

melakukan perampokan disini. Mengapa engkau tidak takut

dan cemas pada perampok-perampok yang ada dimata

hidungmu.....?”.

“Anak-anak buah Mali Kodra yang berada disini memang

ditakuti penduduk. Tapi mereka tidak kejam-kejam seperti

perampok-perampok yang di Kuala......”.

“Jadi kalian biarkan saja dia berbuat semaunya disini......?”

tanya Mirta.

“Penduduk tak bisa berbuat apa-apa karena takut akan

akibatnya. Tapi aku bersama empat orang kawan dengan diam- diam telak membuat satu rencana untuk melenyapkan keempat

orang ini......” menerangkan Kiman dengan berbisik.

“Dan rencana itu harus kita laksanakan hari ini juga......

Karena memang itulah maksud kami datang kesini!” ujar

Suwantra.

“Kau......?!” Dengan mata terbeliak Kiman memandang pada

orang yang disampingnya.

Suwantra sengaja membalikkan gelas kopi yang masih berisi

sampai setengahnya. Kopi hangat itu tertumpah diatas meja

mengalir perlahan-lahan menuju ketepi meja dan mengucur

kebawah tepat kekening salah seorang perampok yang tidur

diatas bangku panjang disamping meja itu. Mirta dan Kiman

sama sekali tidak mengerti apa maksud Suwantra

menumpahkan kopinya.

“Mari kita bicara lagi bisik Suwantra. “Apa saja kerjamu

akhir-akhir ini. Dagang?”.

“Dagang kecil-kecilan dan sembunyi-sembunyi......” jawab

Kiman tapi pikirannya masih coba untuk menduga maksud

Suwantra tadi. Sementara itu perampok yang ketumpahan kopi

hangat pada keningnya tampak memencong-mencongkan

mulutnya. Matanya digerak-gerakannya. Dia menyeka

keningnya. Saat itu barulah dia sadar kalau keningnya bukan

basah oleh air keringat, tapi oleh air yang lain. Dia membuka

matanya sedang telinganya menangkap suara orang bercakap- cakap disampingnya. “Sialan! Siapa yang bicara ribut-ribut

sepagi ini!” rutuk perampok itu. Namanya Lasa. Dia menyeka

keningnya sekali lagi. Lalu bangkit dari tidurnya dengan kaki

masih tetap melunjur dibangku panjang itu. Lasa memandang

pada ketiga orang yang bercakap-cakap dihadapannya dengan

mata merah dan besar, lalu mata itu memperhatikan air kopi

yang tertumpah diatas meja. Sedang ketiga orang yang

bercakap-cakap terus asyik bicara seakan-akan tidak

mengetahui adanya dia disitu.

“Setan! Kalian seten-setan semua!” teriak Lasa sambil

meninju meja yang dihadapannya. Meja bergetar dengan keras

dan ketiga gelas kopi yang terletak diatasnya terbalik.


DUA


KIMAN, Mirta dan Suwantra pura-pura terkejut dan sama

memandang pada Lasa. “Eh...... ada apa saudara?” tanya

Suwantra kemudian.

“Ada apa...... ada apa!” bentak Lasa. “Kalian setan tahu?!

Pagi-pagi sudah bicara berisik! Ribut! Kalian kira ini rumah

kalian?! Lihat air kopi itu, tumpah dan mengenai mukaku


“Oh...... kalau begitu harap dimaafkan saudara. Kami tidak

tahu hal itu. Tapi kalau saat ini kami bicara agak ribut karena

memang hari sudah siang, bukan masih pagi seperti yang

saudara katakan!” jawab Suwantra.

“Apa kalian kira ini rumah nenek moyangmu? Bicara sudah

berisik dan minum kopi seperti binatang. Kalau manusia

niscaya tak akan tumpah!”.

“Tak baik bicara seperti itu, saudara. Memang ini bukan

rumah kami. Tapi ini juga bukan rumah kaIian bukan? Ini

adalah kedai tempat orang makan dan minum. Bukan tempat

tidur!” ujar Suwantra. Lasa memukul meja itu sekali lagi.

Kawan-kawannya yang tiga orang sudah pada bangun dan satu

demi satu mulai berdiri.

“Ada apa......?” terdengar salah satu dari mereka bertanya.

Dia tak lain adalah Gaspar, pemimpin rampok yang ditunjuk

MaIi Kodra untuk daerah itu.

“Setan-setan ini. Bicara dengan berisik membuat aku

bangun. Salah seorang dari mereka menumpahkan air kopi dan

jatuh persis dikeningku......”.

“Itu memang keterlaluan...... tapi mungkin mereka belum

tahu siapa kita?! kata Gaspar.

“Setan yang seorang ini adalah penduduk sini!” kata Lasa

sambil menunjuk tepat-tepat kehidung Kiman. “Tentu dia

sudah mengatakan pada kedua setan-setan lainnya itu. Kurasa

bangsat-bangsat ini sengaja mencari gara-gara!”.

“Benar kalian sengaja mencari gara-gara?” tanya Gaspar

sambil maju satu langkah. “Sama sekali tidak. Walau bagaimanapun hal itu adalah

kesalahan kalian. Siapa suruh tidur didalam kedai ini?!” jawab

Suwantra. Gaspar menyeringai dan maju satu langkah lagi.

“Kau orang bagus, rupanya kau punya nyali juga untuk berkata

seperti itu kepada kami, hah! Kesini!”

Suwantra diam tak bergerak. “Kesini!” bentak pemimpin

rampok itu dengan lebih keras. Suwantra tetap berdiri

ditempatnya malahan melontarkan seringai mengejek membuat

panas hati Gaspar. “Bagus...... baru sekali ini ada orang yang

berani berbuat kurang ajar pada anak buahku dan pada aku

sendiri!”. Dengan cepat dia mendekati Suwantra. Tangan

kanannya bergerak menampar pipi kanan pemuda itu.

Suwantra sama sekali tidak berusaha untuk mengelak. Telapak

tangan dan pipi beradu keras menimbulkan suara yang nyaring!

Kalau tidak malu terhadap anak buahnya maulah Gaspar

melolong setinggi langit seperti seekor serigala lapar ditengah

malam buta karena pada saat itu dirasakannya jari-jari

tangannya yang dipakai untuk menampar seperti hancur luluh.

Untuk menahan sakit dia menggigit bibirnya sampai berdarah.

Ketika dia melihat tangan kanannya itu ternyata daging jari-

jarinya telah terkelupas lecet. Tulang-tulang jarinya dibeberapa

bagian kelihatan dengan jelas! Itulah ajian yang bernama

‘remuk kermuk’ yang dimiliki Suwantra pada mukanya, warisan

dari guru sakti Ahmed Pasya. Kalau saja Gaspar tidak punya

sedikit tenaga dalam, maka mungkin saat itu jari-jari tangannya

sudah hancur remuk. Ketiga anak buahnya melihat dengan

mata terbelalak ketika darah mulai mengucur keluar dari

tangan pemimpin mereka. Sedang pipi Suwantra yang kena

ditampar hanya tampak kemerahan sedikit yang kemudian

segera hilang.

Sambil mencabut pisau belatinya yang bersisip dipinggang

dengan tangan kirinya. Gaspar menyemburkan ludahnya

kemuka Suwantra. Air ludah yang merupakan senjata yang

cukup hebat dari pemimpin rampok itu melesat dengan cepat

kearah mata dan muka Suwantra. Kali ini baru laki-laki itu

bergerak untuk mengelak. Sambil merunduk Suwantra

menyeruduk kemuka melayangkan tinju kanannya kearah perut

lawan. Gaspar menyambut tinju itu dengan tusukan belati

membuat Suwantra terpaksa menarik pulang tangannya. Kini

tangan yang datang dari samping mencari sasaran diiga lawan.

Gaspar yang tangan kanannya sudah tak bisa dipergunakan

kini, menangkis dengan menaikkan lutut kanannya, tapi sayang

kurang tinggi sehingga jotosan Suwantra tetap lolos dan

menghantam tulang iganya. Terdengar suara tulang patah dan

Gaspar terhuyung-huyung kebelakang. Nafasnya sesak. Dia

mengimbangi diri dengan cepat sebelum lawannya datang

menyerang kembali.

Pada saat Suwantra merunduk dan mulai melancarkan

serangan terhadap pemimpin rampok itu, tiga orang anak buah

Gaspar yang berada didalam kedai itu yaitu Lasa, Gulam dan

Samin dengan serentak menghunus belati masing-masing dan

mengurung Mirta bersama Kiman.

Sebelum ketiganya mulai menyerang, dengan sigap Mirta

mengambil salah sebuah dari tiga gelas kopi yang menggeletak

dialas meja disampingnya. Gelas itu dengan kecepatan yang

luar biasa dilemparkannya kekepala Samin. Laki-laki itu tak

mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Gelas

menghantam mata kirinya dengan keras. Benda itu pecah

berantakan dimukanya. Dari mata laki-laki itu keluar mengucur

darah merah. Samin terduduk kedinding, melosoh kelantai

kedai dan duduk menjelepok ditanah menahan sakit sebelum

nyawanya melayang karena kehabisan darah.

Kini Mirta dan Kiman menghadapi masing-masing satu

lawan. Mirta dengan cepat mencabut goloknya. Malang bagi

Kiman, dia tak punya senjata sama sekali. Sedang matanya

mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikan senjata kesetiap

sudut kedai. Lasa telah mulai melancarkan serangannya dengan

belati ditangan. Begitu juga duel antara Gulam dengan Mirya

dimulai sudah. Suasana dalam kedai itu jadi centang perenang.

Meja dan bangku-bangku terbalik kacau balau. Pemilik kedai

berdiri disudut kedai dengan tegang. Pelayan yang bertelinga

satu merasakan lututnya gemetaran.

Tikaman pertama dan kedua dari senjata lawannya dapat

dielakkan oleh Kiman. Dengan gusar dan marah Lasa terus

mendesak. Dalam keadaan kepepet, Kiman mengangkat bangku

panjang yang didekatnya dan melemparkan benda itu kearah

lawan. Lasa cepat mengelak. Bangku panjang jatuh

disampingnya dengan keras. Salah satu kaki bangku kayu itu

patah. Patahan kayu kaki bangku itulah kini yang menjadi

incaran Kiman. Dengan tangkas dia mengelakkan tiga kali

tikaman-tikaman cepat yang dilancarkan lawannya. Ketika dia

mempunyai kesempatan dia segera memungut patahan kaki

bangku itu. Tapi pada saat itu, Gulam yang tengah menghadapi

Mirta meloncat kedekat tubuhnya dalam mengelakkan tebasan

golok Mirta. Kiman yang sedang membelakang itu dan masih

setengah membungkuk segera ditikamnya pada punggungnya.

Kiman merintih menahan sakit. Dia berdiri dengan terhuyung- huyung.

Karena telah melancarkan serangan licik pada lawan yang

sedang lengah, maka dengan sendirinya Gulam telah

melupakan pertahanan dirinya. Mirta yang melihat kawannya

ditikam secara pengecut itu melompat kemuka. Kaki kanannya

menendang pinggul Gulam membuat laki-laki itu miring

kekanan. Dan sebelum tubuhnya kembali seimbang, golok

Mirta telah memapas dari samping kiri kearah lambungnya.

Lambung laki-laki itu robek besar. Dia berputar-putar seperti

orang diserang sawan isi perutnya mulai membusai keluar!

Kiman yang kena tertikam pada punggungnya, meskipun

berhasil mengambil patahan kaki bangku dan

mempergunakannya sebagai senjata, namun karena luka yang

dideritanya dalam keadaan sebentar saja dia sudah didesak oleh

Lasa. Punggung baju Kiman telah kuyup oleh darah dan

keringat.

“Kiman, kau bantu Suwantra......! Biar aku yang menghadapi

bajingan ini!” teriak Mirta sambil menangkis tusukan belati

Lasa yang mengarah dada Kiman. Kiman meloncat mundur

kebelakang. Dilihatnya Suwantra tengah berhadap-hadapan

dengan Gaspar. Muka pemimpin rampok itu telah babak belur

kena pukulan-pukulan Suwantra. Ketika dia hendak membantu,

Suwantra melarangnya. Kiman berdiri dengan bersandar

kedinding dekat pintu keluar. Yang bisa dilakukannya hanyalah

memperhatikan baku hantam satu lawan satu itu dari

tempatnya berdiri sementara darah yang dipunggungnya mulai

membeku.

Gerakan-gerakan yang dibuat oleh Gaspar mulai lamban

tanda bahwa dia sudah mulai lelah dan kehabisan nafas. Ketika

dua tinju Suwantra menghantamnya secara bersamaan yaitu

kearah ulu hati dan pelipisnya dia roboh kelantai kedai tanpa

sadarkan diri. Mukanya lecet dan benjal-benjol. Kedua matanya

matang biru sedang bibirnya pecah-pecah.


Kini tinggal Lasa yang masih bertahan terhadap serangan

Mirta. Kedua laki-laki itu mempunyai potongan dan tinggi

tubuh yang sama sedang kepandaian merekapun juga

berimbangan. Namun perbedaan senjata yang ditangan masing- masing itulah yang menentukan. Walau bagaimanapun sebuah

golok bukanlah tandingan sebuah belati. Kalau golok bisa

dipergunakan dalam jarak agak jauh dan bisa membabat serta

memapas kian kemari maka belati cuma bisa dipakai untuk

musuh yang berjarak dekat. Lagi pula tidak bisa dibuat

memapas dan membabat seperti golok. Tusukan-tusukan yang

dilancarkan Lasa tak berarti sama sekali. Semua serangannya

terbendung malahan terdesak hebat oleh sambaran-sambaran

golok lawan yang datang dari segala penjuru.

Dalam hal apa saja, keragu-raguan adalah pangkal kerugian

kalau tidak mau dikatakan pangkal bahaya. Serangan golok

Mirta datang dari muka dengan gencar. Satu kali Lasa

bertindak ragu-ragu dalam mengambil sikap mengelak.

Maksudnya hendak meloncat kesamping untuk melewatkan

sambaran golok yang datang dimuka dadanya itu. Tapi ketika

loncatan itu telah sampai setengahnya dilakukannya, dia ragu- ragu karena dilihatnya Mirta menggeser kedudukannya. Dia

mengangkat tangan kanannya, maksudnya mempergunakan

belati yang ditangannya itu untuk menangkis senjata lawan.

Dan inilah kesalahannya! Karena dia sudah berada dalam

keadaan meloncat, maka ujung senjata yang dipakainya untuk

menangkis itu berada lebih tinggi dari sambaran golok. Senjata

Mirta datang bersiuran menyambar kearah pergelangan tangan

Lasa, membabat daging dan tulang itu sampai putus puntung.

Pisau belati bersama puntungan tangan laki-laki itu mental

menghantam dinding kedai dan jatuh kelantai. Darah seperti

air mancur mengucur keluar dari pembuluh nadi Lasa. Laki-laki

itu menjerit tak karuan seperti orang kemasukan. Dari lolongan

yang tinggi keras lama kelamaan menjadi kecil...... makin pelan,

makin pelan akhirnya berubah menjadi rintihan, erangan halus

dan akhirnya hilang lenyap sama sekali. Beberapa detik

kemudian Lasa menggeletak tak bergerak.


Setelah mengobati luka Kiman, Suwantra berkata :

“Sebaiknya kau lekas kembali kerumah. Siapkan barang- barangmu dan pergilah kekampungku untuk sementara.

Setelah kejadian ini kau tak bisa tetap tinggal di Srimbilan......”

“Aku mengerti......” jawab Kiman. “Kalian tidak ingin

kerumahku?”.

“Lain kali saja. Pergilah. Kalau kau ditanya nanti, katakan

bahwa aku yang menyuruh kau untuk menetap selama

beberapa hari dirumah besar” kata Suwantra pula. Dengan

terhuyung-huyung Kiman keluar dari kedai itu. Suwantra

menyeret satu demi satu keempat perampok-perampok itu.

Lasa, Samin dan Gulam sudah tak bernyawa sama sekali.

Tubuhnya tak lebih dari mayat-mayat kaku yang berlumuran

darah. Satu-satunya orang yang hidup adalah Gaspar dan saat

itu masih dalam keadaan pingsan. Suwantra menyandarkan

laki-laki itu kedinding kedai sebelah luar. Setelah beberapa

lama kedua pipinya ditampar-tampar dengan perlahan

akhirnya pemimpin rampok yang babak belur itu membukakan

matanya, yang menyipit karena bengkak-bengkak bekas

jotosan-jotosan Suwantra.

“Kau lihat kawan-kawanmu yang tiga orang itu......?” tanya

Suwantra sambil menunjuk kepada tiga tubuh yang

menggeletak disampingnya. Dengan perlahan Gaspar memutar

lehernya. “Ketiga mereka itu sudah tidak bernyawa! Kau

seorang yang masih hidup sampai saat ini. Kau akan selamat

dan nyawamu tetap berada dalam tubuhmu kalau kau segera

sadar dan merubah segala tindak tandukmu selama ini.

Berhenti menjadi anah buah Mali Kodra. Pergi dari sini dan cari

pekerjaan yang jujur ditempat lain. Ini perintah, bukan

permintaan! Kau dengar?! Dan kalau kau tak mau sadar dan tak

mau ambil peduli dengan apa yang aku katakan itu...... nasibmu

tak akan berbeda dengan kawan-kawan yang tiga orang itu!”

Suwantra berdiri dan memanggil pelayan kedai. “Tolong

bereskan meja-meja dan bangku-bangku yang didalam. Ini

uang pisang goreng dan kopi, ditambah dengan harga gelas- gelas yang pecah dan lebihnya ambil buat kau!”. Pelayan yang

cuma telinga satu itu menerima uang yang disodorkan


Suwantra dengan tangan gemetar tanpa mengucapkan terima

kasih. Bukan karena dia tidak tahu adat sopan santun, tapi

adalah karena apa yang terjadi tadi masih terbayang dan

merasuk didalam pikirannya. Suwantra memberi isyarat pada

kawannya. Keduanya menyeberangi jalan kearah mana mereka

menambatkan kuda mereka.

TIGA

MENJELANG tengah hari mereka mulai memasuki Kuala.

Diperbatasan kota mereka berpapasan dengan beberapa orang

laki-laki yang diduga adalah anak-anak buahnya Mali Kodra.

Didalam kota kecil itu suasana tampak tenang-tenang saja. Dua

buah pedati lalu dengan perlahan-lahan, penuh sarat dengan

kayu bakar. Penduduknya tak begitu ramai. Pada seorang

penduduk Suwantra bertanya dimana letak rumah Kepala kota.

Setelah mendapat tahu keduanya segera menuju kesana. Disatu

kelok jalan yang berdebu dan dipagar dengan pagar bambu

setinggi dada, disitulah letak rumah Kepala kota. Suwantra

memperhatikan dari seberang jalan. Rumah itu besar juga dan

beratap seng. Halamannya yang agak luas penuh dengan

guguran daun-daun kering dari pohon-pohon kayu

sekelilingnya tanda tak pernah disapu. Sedang pintu dan

jendela rumah tampak tertutup. Sunyi. tak seorangpun yang

kelihatan. “Kita masuk kesana......?” tanya Mirta sambil

mengusap-usap tengkuk kudanya.

“Tak perlu......” jawab Suwantra. “Kira harus mencari tempat

bermalam lebih dahulu dan menyusun rencana!”

Setengah menit kemudian kedua orang itu telah

meninggalkan tempat tadi. Hampir setengah jam mereka

mencari-cari tapi tak juga ditemui orang yang mau

menyewakan kamar tempat menginap selama beberapa hari.

Rumah-rumah kosong banyak yang ditinggalkan penduduk

yang pergi mengungsi karena takut pada gerombolan Mali

Kodra. Mirta mengusulkan agar mereka menempati saja salah

sebuah dari rumah-rumah kosong itu. Tapi Suwantra tak dapat

menerimanya karena selain didalam rumah-rumah itu masih

terdapat banyak barang-barang perabotan yang berharga juga

mereka tidak mendapat izin dari pemiliknya. Kalau timbul hal- hal yang tak diingini mau tak mau mereka harus bertanggung

jawab.

Mereka melewati sebuah kedai makanan. Bau masakan yang

sedap yang keluar dari kedai itu membuat hidung kedua

pemuda tersebut jadi kembang kempis. Air liur terbit dan perut

tak pula tinggal diam. “Kita makan dulu dikedai ini” kata

Suwantra sambil memperlambat jalan kudanya. “Kalau tak

berhasil mendapat rumah didalam kota terpaksa kita mencari

dipinggiran kota nanti”. Dibelakang kedai nasi ada sebuah

tempat titipan kuda. Kedua orang itu membawa kuda mereka

kesana, kemudian baru masuk kedalam kedai.

Kedai itu merupakan satu ruangasn besar dengan sebuah

meja besar tempat segala macam makanan disudut muka

sebelah kiri. Macam meja dan bangku-bangkunya sama dengan

yang terdapat dikedai Srimbilan cuma disini jumlahnya banyak

yaitu ada lima buah. Dari dapur yang terletak dibelakang

terdengar suara orang menggoreng kerupuk. Tiga dari lima

buah meja disitu telah diisi oleh tamu-tamu. Jumlah mereka

semuanya dua belas orang. Tampang-tampang mereka memang

berlainan tapi sama membayangkan satu hal yaitu kekejaman!

Mereka makan sambil bicara ribut sekali. Dan ketika Suwantra

bersama Mirta mengambil tempat disalah satu meja yang masih

kosong, beberapa orang diantara tamu-tamu itu yang melihat

mereka masuk, terus memperhatikan mereka dengan seksama.

“Agaknya mereka adalah orang-orangnya Mali Kodra.........”

bisik Mirta pada Suwantra.

“Benar. Aku duga demikian.........”.

Dengan sudut matanya Suwantra memperhatikan orang- orang itu satu demi satu sementara Mirta memesan makanan.

Salah seorang diantara yang dua belas itu memperhatikan

Suwantra dengan tiada hentinya mulai dari ujung rambut

sampai keujung kaki. Kemudian tampak laki-laki itu berbisik- bisik dengan kawan-kawan yang duduk makan disampingnya.


memang tepat sekali karena sesungguhnya laki-laki yang

bertubuh kurus jangkung itu adalah Mali Kodra. Mali Kodra

makannya cepat sekali. Dia lebih dahulu selesai dari pada

Suwantra dan Mirta sekalipun kedua orang terakhir ini lebih

dahulu makan. Sambil bersandar kedinding dan menyilangkan

kaki kirinya diatas pada kaki kanan, pemimpin rampok itu

kembali menikmati pipanya. Salah seorang dari anak buahnya

yang bernama Markim yaitu yang semenjak tadi

memperhatikan Suwantra terus-terusan berdiri dari bangkunya

dan duduk disamping pemimpinnya.

“Ada apa kau duduk mendekat kesini......?” tanya Mali Kodra

sambil meludah kelantai kedai dengan seenaknya. Anak

buahnya mulai mengatakan sesuatu dengan berbisik-bisik.

Beberapa saat kemudian Mali Kodra tampak memandang

dengan mata besar pada Suwantra. Kemudian kembali

pandangannya pada anak buahnya. “Kau merasa pasti Markim?

Atau cuma rasa-rasa sasa? Mungkin tampangnya sama dengan

orang yang kau katakan?!”

“Demi jin pelayangan, saya berani bersumpah, memang

dialah orangnya, anak Praya Giana, putera mahkota suku

Kayan......” jawab Markim dengan berbisik-bisik. Mali Kodra

menoleh lagi pada Suwantra. “Dan yang duduk disebelahnya itu

siapa......?”

“Saya tidak tahu. Mungkin kawannya atau mungkin pula

orang sesukunya......”.

Mali Kodra memandang keluar pintu kedai. Dia menggigit- gigit bibirnya. Matanya menyipit dan keningnya mengerenyit.

Satu tanda bahwa laki-laki itu tengah memikir sesuatu. Tiba-

tiba dia memukul keningnya dengan ujung jari-jari tangan

kanannya sambil memandang berkeliling pada anak buahnya.

“Aku punya rencana. Kalian tak usah tanya apa-apa saat ini.

Rencana hebat dan kita pasti akan dapat mengeduk keuntungan

yang lebih besar...... Aman. Isim dan Sasam, kalian pergi keluar

dan berjaga-jaga dipintu muka. Dan kau Masa, Simpun serta

Ikas pergi kebelakang, berjaga-jaga dipintu dapur!. Keenam

orang-orang yang disebutkan namanya itu segera berdiri dan

pergi keluar ketempat yang telah ditentukan. Semua kejadian

itu diperhatikan Suwantra dengan sudut matanya sedang dia

coba menduga apakah yang tengah direncanakan Mali Kodra

saat itu. Pemimpin rampok itu memasukkannya pipa emasnya

kedalam saku baju dan berdiri. Dia menggeliat dulu dan

kemudian sambil batuk-batuk melangkah mendekati media

dimana Mirta dan Suwantra duduk. “Apa kabar kawan-kawan...... Sudah selesai makan?

Bagaimana masakan orang sini. Ada enak?!” tanya Mali Kodra

sambil menyeringai menunjukkan gigi-gigi depannya yang

berwarna kehitaman karena terlampau banyak merokok.

Suwantra menyentuh lutut Mirta dengan kakinya. Dalam

hatinya dia merasa heran. “Angin apa pula yang tengah dibawa

oleh pemimpin rampok kepadanya?” pikir Suwantra.

“Masakan orang kedai ini enak sekali dan kami lapar

pula......” kata Suwantra memberikan jawaban.

Pemimpin gerombolan rampok itu mengulurkan tangannya

yang kasar berurat. Suwantra menyambut salam itu. Juga

Mirta. “Aku Mali Kodra. Mungkin kalian sudah terlalu sering

mendengar namaku bukan?” kata laki-laki itu memperkenalkan

namanya dengan nada bangga dan sambil menyeringai.

“Senang sekali berkenalan denganmu, Mali Kodra. Memang

namamu sering kami dengar......”. Mali Kodra mengharapkan

agar kedua orang itu memperkenalkan diri. Tapi harapannya itu

tidak menjadi kenyataan. Sambil mengeluarkan pipa emasnya

dari dalam saku dia berkata sambil memandang pada Suwantra.

“Kalau aku tak salah duga, kau adalah puteranya Praya Giana,

Kepala suku Kayan dipedalaman, bukan......?”.

Sebelum menjawab Suwantra mempergunakan otaknya dulu.

Setelah dia merasa tetap baru membuka mulut. “Bagaimana

kau bisa tahu saudara?”.

“Hemm...... percuma aku bernama Mali Kodra, jago ilmu luar

dan ilmu dalam kalau tak dapat mengetahui siapa adanya kau!”

jawab pemimpin rampok itu dengan congkak, padahal

Suwantra telah tahu bahwa anak buahnya yang bernama

Markim tadilah yang telah memberi tahukan kepadanya.

Mali Kodra mengisi tembakau kedalam lobang pipanya dan

bertanya. “Kalian sudah cukup tahu siapa aku bukan? Mereka


itu semua anak-anak buahku. Dan kalian apa sudah mendengar

kabar bahwa kota ini tidak mempunyai kepala kota?”.

“Tidak, kami tak pernah mendengar hal itu. Apa Kepala kota

itu dilepas dari jabatannya?” tanya Suwantra pura-pura tidak

tahu.

“Ya, memang dilepas dari jabatannya. Dilepas untuk

selamanya alias mati bin tiwas!” tukas Mali Kodra.

“Tiwas?!” tanya Suwantra dengan terkejut. “Siapa yang

membunuhnya?! Apa salah laki-laki itu?”.

Mali Kodra menepuk dadanya. “Aku terpaksa membunuh

laki-laki itu. Dia terlampau konyol untuk memegang jabatan

Kepala kota. Anak buahku dicelakainya bahkan aku sendiri

ditantang dan dilawannya, padahal manusia itu tahu siapa aku.

Melawan aku berarti mencari mati dan memang dia sudah

mati!”. Mali Kodra meludah ketanah, lalu menyalakan api

pipanya. Kemudian sambil menghembuskan asap rokoknya dia

berkata. “Aku ada rencana yang bagus sekali. Kuala tidak

mempunyai Kepala kota. Bagaimana kalau kau kuangkat

menjadi Kepala kota disini? Sebagai putera raja suku Kayan kau

akan diterima dan dipercayai penduduk!”.

Suwantra terkejut. Kali ini rasa terkejut yang bukan dibuat- buat. “Apa? Aku ditunjuk untuk memegang jabatan Kepala kota

disini......? Agaknya kau berseloroh kawan!”.

“Tidak! Aku sama sekali tidak berseloroh. Yang kukatakan

adalah sebenarnya dan harus menjadi kenyataan!”. Suwantra

menatap muka pemimpin rampok itu. Lalu sambil tersenyum

dia berkata. “Tak mungkin. Aku bukan orang sini, mana bisa

memegang jabatan itu. Kalau kalian hendak mengangkat kepala

kota juga, kalian harus cari penduduk sini. Aku orang luar dan

pasti tak akan diterima penduduk”.

“Soal diterima atau tidaknya itu adalah soal kami. Yang

penting saat ini adalah bahwa kau harus menerima kedudukan

itu!”.

“Agaknya kau memaksaku Mali Kodra? Dan aku bukan orang

yang bisa dipaksa dengan seenaknya. Antara kau dan aku tak

ada hubungan atau urusan apa-apa. Mengapa kau sengaja


“Kau bukan orang yang bisa dipaksa katamu? Bagus! Tapi

harap kau ketahui juga bahwa aku adalah orang yang suka

memaksa!” kata Mali Kodra dengan menyeringai. “Dengarlah

sobat. Aku tahu sukumu, suku Kayan bukanlah suku yang kaya

raya. Semua orang ingin mencari kaya bukan? Ingin harta dan

ingin uang banyak. Nah, inilah kesempatan bagimu untuk

mencari kaya. Kita akan bekerja sama. Dengan usahaku dan

anak buahku kau pasti akan menjadi Kepala kota Kuala ini.

Kalau kau sudah menduduki jabatan itu nanti, aku bersama


anak buahku akan menyingkir untuk sementara dari sini.

Dengan demikian kota ini akan aman. Lalu kau harus membuat

semacam pajak peraturan yaitu penduduk Kuala diharuskan

membayar beberapa ringgit selama dua minggu berturut-turut.

Uang itu kau katakan saja untuk perbaikan kota atau

membantu penduduk yang telah kami rampok. Percayalah

bahwa dari penduduk kau akan dapat uang banyak. Dan uang

hasil itu nanti kita bagi dua. Aku dan anak buahku mendapat

empat perlima bagian dan yang seperlimanya untuk kalian.

Disamping itu di Kuala ini terdapat lima orang kaya raya. Yang

dua telah berhasil kami preteli, tapi yang tiga lagi berhasil

menyelamatkan diri bersama harta bendanya. Dengan amannya

kota dibawahmu nanti, maka ketiga orang kaya yang mengungsi

itu pasti akan kembali lagi kesini. Dan kalau mereka sudah ada

disini lagi, kami akan menjalankan aksi. Dan kau kembali akan

dapat seperlima bagian. Cobalah kau pikir, pangkatmu tinggi

dan dihormati orang. Kerjamu cuma ongkang-ongkang dan

dapat pula bagian yang sangat besar!”

Suwantra sebenarnya sudah mendidih darahnya mendengar

maksud licik pemimpin rampok itu. Tapi dia masih dapat

menahan diri. Mali Kodra tengah menjalankan satu taktik yang

licin dan keji terhadapnya. Dan pemuda itu berpendapat bahwa

taktik harus dibalas dengan taktik. Dan dia mulai. “Bagaimana

kalau aku tidak mau menerima usul gilamu itu?!”.

Mali Kodra menyeringai lalu tertawa terkekeh-kekeh.

“Itupun bagus juga sobat, tapi sayang parasmu yang bagus itu.

Apa kau ingin kami memaksamu? Apa kau ingin kami

menyiksamu? Memotong kedua telingamu dan hidungmu

membuat kau lebih buruk dari setan dirimba raya?!” Kembali

laki-laki itu terkekeh-kekeh. “Sebagai putera pemimpin suku,

aku tahu kau bukan seorang yang pengecut! Tapi melawanku,

menyanggah kehendakku adalah tertampau konyol kalau tak

mau dikatakan sia-sia. Kau lihat berapa jumlah anak buahku

yang ada didalam sini dan berapa orang yang berjaga-jaga

dipintu depan dan pintu belakang, serta berapa orang kawanmu

disini? Jangan bodoh sobat! Kau diberi pekerjaan murah

dengan hasil tak ternilai tapi coba hendak membantah, mencari


celaka! Pikir-pikir sedikit sobat!”. Suwantra pura-pura

memandang berkeliling seperti orang yang sedang menghitung

kekuatan lawan. Kemudian Mali Kodra melihat bagaimana

paras anak muda itu menjadi kecut. “Bagaimana?” tanyanya

dengan menyeringai.

Suwantra memandang pada pemimpin rampok itu dengan

ragu-raga, lalu berkata, “Apa penduduk mau menerimaku

sebagai Kepala kota mereka?”.

“Kukatakan semua itu adalah soalku. Jadi kau terima?”.

“Belum...... Aku tak setuju dengan pembagian keuntungan

itu. Meskipun kalian banyak tapi pembagian adalah sangat tak

bersesuaian......!”.

“Jadi maumu bagaimana?” Tanya Mali Kodra.

“Kalian tiga perlima bagian dan kami berdua dua perlima

bagian!”

“Hemm......”, pemimpin rampok itu berpikir-pikir sebentar.

Lalu katanya kemudian. “Baiklah!”.

“Aku ingin tahu bagaimana caranya engkau mengangkatku

jadi Kepala kota Kuala ini!” tanya Suwantra.

“Aku akan katakan bahwa kau adalah putera raja Kayan......

dan kau akan dapat pengaruhi serta dipercayai oleh

penduduk!”.

“Tapi kau bersama anak buahmu dibenci dan ditakuti oleh

penduduk. Mereka mana mau percaya dengan orang yang kau

angkat!” tukas Mirta. Dia membuka mulut untuk pertama kali.

“Aku punya taktik tersendiri. Kukatakan pada penduduk

bahwa aku bersama anak buahku telah sadar akan segala

perbuatan yang lalu dan akan kembali kejalan yang benar.

Kukatakan pada mereka bahwa aku bersama anak buahku

segera meninggalkan Kuala dan tak akan kembali-kembali lagi.

Pokoknya kau tak usah khawatir. Semuanya akan beres!”.

“Satu hal, Mali Kodra!” memotong Suwantra. “Jangan sebut- sebut aku sebagai anak dari pemimpin suku Kayan. Tapi

katakan saja dari suku Kenia. Kau mengerti?!”

“Dengan senang hati sobat! Mari kita berjabatan tangan

tanda rencana itu telah sama kita setujui!”. Suwantra dan Mali

Kodra berjabatan tangan dengan erat


“Kalian menginap dimana?!” tanya pemimpin rampok itu

sambil menghidupkan kembali api rokoknya yang telah mati

sejak tadi.

“Kami masih sedang mencari-cari.....” menerangkan Mirta.

Lalu Suwantra berkata, “Mungkin kau ada tempat yang baik

untuk kami?”

“Mengapa tidak?! Rumah Kepala kota yang mati itu!”

“Tapi tentu ada anak istrinya disana”, tukas Suwantra.

“Lakinya tiwas! Anak istrinya kabur entah kemana. Rumah

mereka ditinggalkan kosong. Kalian bisa pakai itu kalau mau.

Perabotannya masih lengkap!”.

“Baiklah kalau begitu.” kata Suwantra pula. “Tadi kau bilang

bahwa kau bersama anak buahmu akan menyingkir dari Kuala

untuk sementara. Kalau uang dari penduduk sudah terkumpul

nanti kemana harus kukirimkan? Atau aku simpan saja dulu?!”.

“Aku akan kirim anak buahku untuk mengambilnya

ketempatmu” jawab Mali Kodra. “Sebaiknya mari kita kerumah

Kepala kota itu dan meneruskan perundingan disana” Suwantra

berdiri, begitu juga Mirta. Dengan diikuti empat orang anak

buahnya, Mali Kodra pergi bersama-sama.

EMPAT

ESOK paginya dengan mengendarai kuda, delapan orang

anak buah Mali Kodra berkeliling kota untuk menyebar berita

dan menyuruh penduduk berkumpul ditanah lapang ditengah

kota. Karena takut dan juga karena rasa ingin tahu maka

hampir semua penduduk kota, terutama orang laki-lakinya

pergi ketanah lapang itu. Ditengah-tengah tanah lapang terletak

sebuah meja besar. Suara orang ramai yang kasak-kusuk saling

tanya menanya sesama kenalan terdengar berisik sekali.

Setengah jam kemudian meloncatlah Mali Kodra keatas meja

tadi dan berdiri disana sambil memandang berkeliling. Dengan

spontan suara desas-desus gaduh dari orang banyak itu menjadi

lenyap. Semua mata memandang pada Mali Kodra dan semua

telinga telah siap dipasang untuk mendengar


“Penduduk Kuala sekalian....” begitulah Mali Kodra memulai

bicaranya. Suaranya besar tinggi. “Sengaja kukumpulkan disini

saat ini lain tidak adalah karena akan terjadi satu dua hal yang

sangat penting bagi kalian untuk diketahui. Aku tahu

bagaimana kalian sangat membenci aku bersama orang- orangku. Semua itu dapat kumaklumi karena memang apa yang

telah kulakukan akhir-akhir ini terhadap penduduk disini

memang tidak pantas sekali. Tapi penduduk sekalian ketahuilah

bahwa orang-orang yang buruk dan jahat itu tidak akan selama-

lamanya berlaku buruk dan berbuat tanpa tercelanya segala

perbuatan kami itu...”. Mali Kodra yang pandai berpura-pura

itu sengaja mengeluarkan kata-kata dalam kalimat-kalimat

terakhir itu dengan suara penuh keharuan dan tertahan-tahan.

Lalu dia meneruskan. “Kami menyesal saudara-saudara

sungguh menyesal dan merasa berdosa. Karena itu kusuruh

kalian berkumpul disini untuk mendengar dan menyaksikan

sendiri bahwa mulai hari ini, mulai detik ini kami akan kembali

kejalan yang benar. Yang lalu biarlah berlalu tak usah diingat-

ingat lagi. Aku bersama orang-orangku akan segera

meninggalkan kota ini dan tak akan kembali untuk selama-

lamanya”.

Seluruh tanah lapang sunyi senyap. Tak satu suarapun yang

terdengar. Mali Kodra membuka mulut kembali. “Aku tahu

mungkin kalian tidak mempercayai apa yang aku katakan itu.

Kalian ragu-ragu. Tapi itu pulang terserah pada kalian. Percaya

atau tidak, terserah! Aku telah utarakan hal yang sesungguhnya.

Dan saudara-saudara sekalian, sebelum meninggalkan kota ini

aku ingin juga membuat sedikit kebajikan pada kalian. Dan

untuk kebajikan yang tak ada artinya ini, tak usah kalian

berterima kasih kepadaku. Saudara-saudara. Kepala kota Kuala

semenjak meninggalnya Kepala yang Iama masih belum ada

gantinya sampai saat ini. Kelowongan ini harus segera diisi.

Dan untuk itu aku telah mempunyai seorang calon yang sangat

tepat dan yang aku percaya bahwa kalian pasti menerimanya

sebagai Kepala kota kalian yang baru!” Mali Kodra memberi

isyarat pada Suwantra. Pemuda itu segera meloncat keatas meja

dan berdiri disamping Mali Kodra. Semua mata kini dialihkan


kepada Suwantra dan kini lapangan kembali ramai oleh suara

bisik-bisik. Mali Kodra mengangkat tangan kanannya dan

kembali angkat bicara : “Saudara-saudara sekalian, saudara

muda ini adalah anak sahabat pamanku. Namanya Prata dan

dia adalah adik dari putera mahkota suku Kenia yang mati

dalam peperangan tempo hari. Dialah yang telah menasehat

mengajariku agar aku insyaf dan sadar serta kembali ke jalan

yang benar. Syukur dan untung sekali segala apa yang

dikatakan itu masuk kedalam hatiku. Dari itu saudara-saudara

sekalian, terimalah dia sebagai Kepala kota kalian. Dia masih

muda, jujur dan keturunan raja-raja yang mempunyai bakat

memimpin. Kota Kuala pasti akan aman tenteram seperti sedia

kala!”.

Suara dari kalangan orang banyak semakin membising.

Masing-masing orang mengutarakan pendapatnya pada kawan- kawan disampingnya. Pemuda itu masih muda. Air mukanya

membayangkan bahwa dia seorang jujur. Dia keturunan

raja......? Memang agaknya dapat dipercayai dari gerak- geriknya.

“Bagaimana saudara-saudara? Setuju dengan pemuda

ini....?”. Tak ada yang menjawab kata-kata Mali Kodra itu.

“Kalau diam artinya setuju!” kata Mali Kodra lagi. “Tapi supaya

jelas cobalah angkat tangan beberapa orang diantara penduduk

laki-laki disini yang tak setuju dengan dia. Yang laki-laki saja!”.

Tangan-tangan tampak diacungkan dari segala penjuru. Mali

Kodra menghitungnya dengan teliti. “Satu...... dua...... tiga......

empat...... delapan...... lima...... belas...... sembilan belas!

Sembilan belas yang tak setuju. Kalian berjumlah dari dua ratus

orang kurasa. Jadi yang selebihnya setuju?!” Tak ada yang

menyahut, tak ada lagi tangan-tangan yang diacungkan.

“Bagus kalau begitu! Pengangkatan Kepala kota yang baru

telah sah!”. Mali Kodra menoIeh pada Suwantra dan bertanya.

“Kau ingin bicara?”. Yang ditanya menggelengkan kepala dan

Mali Kodra memutar kepala memandang kekhalayak ramai.

“Dengan demikian selesailah pertemuan kita ini. Aku yang akan

pergi bersama orang-orangku mengucapkan selamat tinggal

pada kalian dan juga selamat pada Kepala kota baru...... Kalian

boleh bubar!”.

Orang ramai meninggalkan tanah lapang dengan berbagai

macam pembicaraan.

“Aku sebenarnya tak setuju dengan Kepala kota yang baru

itu” kata seorang laki-laki pada kawan yang disampingnya.

“Kalau kau tak setuju mengapa tak angkat tangan tadi?”

tanya kawannya.

“Percuma saja. JumIah yang tak setuju sedikit sekali. Aku

angkat tangan juga tak akan ada artinya! Aku heran mengapa

orang banyak mau saja menerima laki-laki itu sebagai Kepala

kota......”.

“Mereka bukan menerima, tapi membungkam!” jawab

kawannya.

“Kita tidak kenal dengan pemuda itu......” desis yang

pertama.

“Tampaknya dia seorang jujur.”

“Tampaknya...... tapi yang sebenarnya kita tak tahu. Yang

mengangkatnya seorang bekas kepala gerombolan kejam yang

mengaku bahwa dia sudah sadar dan ingin kembali kejalan

yang benar. Kalau ini semua hanya sandiwara......? Siapa tahu!”.

Kawan yang berjalan disamping laki-laki itu memandang pada

si pembicara untuk beberapa lamanya. Tapi tak berkata apa- apa. *

* * Dua hari sesudah pengangkatannya sebagai Kepala kota

Kuala, Prata alias Suwantra segera menjalankan tugas yang

telah ddiktekan Mali Kodra kepadanya. Kepada tiap-tiap

keluarga di Kuala diwajibkan dalam akhir minggu itu

memberikan uang sumbangan serendah-rendahnya satu ringgit

bagi perbaikan kota dan untuk bantuan pada penduduk yang

pernah kerampokan atau dibakar rumahnya oleh gerombolan

Mali Kodra tempo hari. Uang sumbangan itu hanya akan

diambil selama dua minggu. Karena maksud yang baik dari


tujuan pengambilan uang itu maka penduduk Kuala tak ragu- ragu untuk mengeluarkan uangnya. Ada yang memberi sampai

dua ringgit sedang penduduk yang kaya-kaya lebih banyak lagi.

Dan ada yang sekaligus membayar untuk dua minggu. Dua

minggu kemudian pengumpulan uang sumbangan telah selesai.

Dari sumbangan seluruh kepala keluarga di Kuala berhasil

dikumpulkan sebanyak 704 ringgit! Satu jumlah yang sangat

besar pada saat itu. Dan kini hanya tinggal menunggu anak

buah Mali Kodra yang akan mengambil uang tersebut.

Telah dua malam Suwantra bersama Mirta menunggu orang

yang dikirim oleh Mali Kodra untuk mengambil uang itu namun

sampai saat itu belum juga ada yang muncul. Malam itu adalah

malam ketiga dan hari telah agak larut.

“Agaknya malam ini juga mereka tak akan menjemput,

mungkin besok-besok” ujar Mirta sambil menguap lebar-lebar.

“Akupun sudah mulai ngantuk. Barangka.........”. Suwantra

menghentikan kata-katanya. Telinganya yang tajam mendengar

suara tapak-tapak kaki kuda dikejauhan. Kawannya Mirta yang

masih belum mendengar apa-apa bertanya. “Ada apa......?”.

“Suara kaki-kaki kuda...... mungkin mereka......” jawab

Suwantra perlahan. Makin lama suara itu semakin jelas dan

keras. Suwantra bangkit dari kursinya, begitu juga Mirta.

Beberapa saat kemudian tapak-tapak kaki kuda itu terdengar

memasuki halaman rumah. Dan kemudian terdengar ketukan

dipintu muka. Mula-mula tiga kali berturut-turut dengan cepat,

lalu dua kali lagi sebagai tambahan. Itulah kode yang telah

ditetapkan. Suwantra memberi isyarat pada Mirta untuk

membuka pintu. Mirta segera membuka pintu muka. Tiga orang

laki-laki yang berpakaian basah oleh keringat masuk kedalam.

“Kalian cuma bertiga......?” tanya Suwantra.

“Satu orang lagi menunggu kuda diluar.....” jawab salah

seorang dari anak buah Mali Kodra yang bernama Ikas. “Uang

itu sudah kau sediakan?” tanya Ikas.

“Sudah, tapi belum dibagi. Kalian duduklah” ujar Suwantra

pula. Ikas duduk dikursi sedang kawannya yang dua orang tetap

berdiri. Suwantra mengambil bungkusan kantong uang dari

dalam kamar. “Semuanya ada 704 ringgit!” kata Suwantra


sambil meletakkan kantong uang itu diatas meja. Suaranya

berdering berat, Ikas tampak menghitung-hitung dalam

kepalanya. “704 agak susah dibagi lima. Sebaiknya yang empat

ringgit itu kita sisihkan dulu. Jadi sesuai dengan peraturan bagi

hasil kita, kau mendapat 280 ringgit!”. Ikas membuka ikatan

kantong uang dan mulai menghitung sebanyak 280 ringgit.

Uang itu kemudian disusunnya diatas meja. Kantong uang

diikatnya kembali dan dia bangkit berdiri.

“Kau akan segera berangkat?” tanya Mirta. “Kenapa cepat- cepat benar?”.

“Kami harus cepat. Itu perintah pemimpin kami......” jawab

Ikas sambil memutar tubuh.

Pemimpin kalian ada baik?” tanya Suwantra. Ikas

mengangguk. “Sampaikan salam kami kepadanya......”.

Ikas membuka pintu dan bersama kedua orang kawannya

keluar dari ruangan itu. Begitu keempat anak buah Mali Kodra

keluar dari pekarangan rumah, Suwantra dengan cepat

menutup pintu dan masuk kedalam. Bajunya dibukanya, begitu

juga celana luarnya. Dari dalam kamar diambilnya sebuah baju

dan celana bewarna hitam pekat dan dengan cepat dipakainya.

Sambil mengenakan pakaian itu dia berkata pada Mirta. “Cepat

bawa kuda itu kehalaman muka......” Mirta berlalu. Suwantra

menyambar sehelai sapu tangan hitam yang telah disiapkannya.

Sapu tangan besar itu dilipatnya berbentuk segi tiga dan dengan

kain itu ditutupnya mukanya sebatas mata kebawah. Dengan

cepat dia membuka pintu. Diluar telah menanti Mirta bersama

kuda. Suwantra meloncat keatas punggung kuda.

“Beres......?” tanya Mirta.

“Beres. Aku pergi!” kata Suwantra. Pinggul kuda ditepuknya

dan seperti anak panah lepas dari busurnya kuda itu melesat

kemuka.

Sinar bulan purnama yang menembus disela-sela dedaunan

pohon ditepi jalan menerangi jalan kecil yang ditempuh

Suwantra sekalipun tidak begitu terang. Dia mempercepat lari

kudanya. Lima menit kemudian telinganya mulai menangkap

suara tapak-tapak kaki kuda dari orang-orang yang diburunya.

Lepas dari pengkolan jalan yang menurun itu. Suwantra telah

melihat Ikas bersama tiga orang lainnya dibawah sana, memacu

kuda dikegelapan malam.

“Berhenti!”, terdengar suara memerintah dari

bayangan hitam dibawah pohon. Ikas dan

kawan-kawannya segera menarik tali kekang

kudanya.

Lima jam sesudah kepergian Mali Kodra bersama anak-anak

buahnya yang berjumlah delapan belas orang pada dua minggu

yang lalu. Suwantra bersama Mirta telah menyelidiki daerah

yang ditempuh pemimpin rampok itu. Ketika dia menemui satu

persimpangan jalan dia segera mengambil jalan yang kekiri

sedang orang yang diburunya berada di jalan yang sebelah

kanan. Dua ratus meter dari persimpangan tali. Suwantra


menemui satu jalan kecil yang liar. Dia membelok menempuh

jalan itu. Baju hitam yang dipakainya seringkali tersangkut

diranting-ranting kayu kering yang tumbuh memanjang ditepi

jalan tersebut. Lari kudanya makin lama makin dipercepat.

Seperempat jam kemudian dia telah berada disatu jalan diluar

kota. Dibawah sebuah pohon beringin besar dia berhenti. Tanpa

turun dari kudanya dia bersembunyi dibalik batang pohon yang

besar itu. Sinar bulan tak kuasa menembus lebatnja pohon- pohon daun-daun pohon raksasa itu membuat Suwantra

bersama kudanya hilang lenyap ditelan kegelapan malam. Dia

menunggu dengan sabar sambil mengusap-usap tengkuk

kudanya. Satu menit berlalu. Kemudian satu menit lagi. Masih

belum terdengar apa-apa ditelinganya. Ketika menit ketiga

hampir habis maka dikejauhan mulai masuk ketelinganya suara

tapak-tapak kaki kuda yang dipacu kearahnya. Suwantra

membetulkan letak kain penutup mukanya.

Ikas yang membawa kantong uang berjalan dimuka sekali

bersama kawannya Tara. Dibelakangnya menyusul kedua

kawan-kawannya masing-masing Masa dan Aman. Keempatnya

semakin dekat juga dengan pohon beringin itu. Lima belas

meter mereka akan sampai kesana tiba-tiba seorang

penunggang kuda yang berpakaian serba hitam muncul dari

balik pohon laksana hantu yang turun dari puncak beringin itu.

“Berhenti!” terdengar suara memerintih dari orang dibawah

pohon. Suaranya parau keras dan menggetar tanda bahwa dia

mempergunakan tenaga dalamnya.

Ikas menarik tali kekang kudanya, juga Tara dan dua kawan

yang dibelakangnya. Keempatnya berhenti. Kuda tunggangan

Ikas meringkik karena terkejut. Laki-laki itu berusaha untuk

menenangkan binatang itu.

“Siapa kau bangsat!?!” tanya Ikas dengan keras. Tangan

kanannya menyelinap kepinggangnya sebelah muka. Kawan- kawannya yang tiga orang juga berbuat seperti itu. Orang yang

bercadar memalang kudanya ditengah jalan, kemudian dengan

berjalan miring kuda tunggangannya mendekati keempat anak

buah Mali Kodra itu


“Jangan banyak tanya bajingan! Serahkan uang itu!”

terdengar suara musuh gelap itu.

“Kurang ajar! Kau perampok tengik hendak main-main pada

kami? Kau tahu kami siapa?!”, bentak Ikas dengan geram.

“Kataku jangan banyak tanya! Serahkan uang yang kau bawa

itu kalau kau ingin batang lehermu selamat!”.

“Jahanam!” maki Ikas. Tangannya bergerak dan goloknya

keluar dari dalam sarungnya. Kemudian menyusul tiga buah

golok lagi. Terdengar tawa bergumam dari mulut orang yang

bercadar hitam. Dia menggerakkan kudanya sedikit. Tebasan

golok Ikas lewat diatas kepalanya. Tangan kanannya bergerak

memukul sambungan siku yang memegang golok. Ikas menjerit

kesakitan. Senjatanya mental ke udara dan segera disambut

dengan cara yang mengagumkan oleh si cadar hitam. Aman,

Tala dan Masa segera mengurung Suwantra. Pertempuran

golok lawan golok diatas kuda itu berlangsung dengan seru.

Golok beradu dengan golok menimbulkan suara nyaring. Aman

yang berada disamping belakang membacok dengan deras

kearah punggung lawan yang tak dikenalnya itu. Bersamaan

dengan itu, Masa dan Tara yang berada disamping kiri kanan

sebelah muka saling mengirimkan serangan serempak yang

berbahaya pula. Tanpa gugup sedikitpun Suwantra dengan

cepat mencekal leher kudanya dengan tangan kiri. Tubuhnya

kemudian miring kekiri. Kaki kanannya naik kesamping

menghajar pergelangan tangan dari Aman sedang goloknya

menangkis menyapu serangan kedua senjata lawan yang datang

dari muka. Suara patahnya tulang lengan Aman, suara jeritan

laki-laki itu dan suara beradunya senjata Suwantra dengan

senjata Tara serta Masa bergabung menjadi satu menimbulkan

suara dahsyat yang menegakkan bulu kuduk!

Aman terpelanting ketanah dengan kepala lebih dahulu. Batu

kepalanya menghantam akar besar dari pohon beringin,

lehernya patah dan nyawanya meninggalkan tubuhnya detik itu

juga. Dimuka sana Tara dan Masa merasakan tangannya perih

ketika bentrokan senjata dengan lawan. Suwantra kembali

duduk dipunggung kudanya sebagaimana biasa. Dan pada saat

itulah Ikas yang sambungan sikunya kena dipukul sampai lepas


oleh Suwantra melompat dari kudanya dan mendarat

dipunggung Suwantra. Suwantra terhuyung-huyung kemuka

dan kedua orang itu akhirnya terguling kebawah jatuh ketanah.

Suwantra berada disebelah bawah sedang lawannya diatas.

Dengan jari-jari tangan kirinya yang besar-besar, Ikas mencekik

leher lawannya dengan keras. Suwantra coba untuk

membalikkan lawannya tapi sia-sia karena selain tubuh Ikas

besar, juga lutut kanan laki-laki itu menekan perutnya.

Suwantra memencet pergelangan tangan kiri Ikas. Ketika dia

hendak mematahkan tulang lengan laki-laki itu, Ikas cepat

melepaskan cekikannya. Tangan kirinya kini dipakai untuk

menjotos muka lawan. Sebelum Suwantra menyodokkan ujung

golok yang ditangan kanannya ke lambung Ikas, laki-laki itu

masih sempat mengirimkan dua jotoson cepat berturut-turut

kemuka Suwantra. Kemudian terdengar seruan tertahan dari

Ikas. Lambungnya yang terluka hebat mulai menyemburkan

darah. Suwantra membalikkan tubuh laki-laki itu sebelum

darah lawan membasahi bajunya. Ikas terguling kesamping. Dia

mencoba untuk berdiri sambil tangan kirinya memegang

lambungnya yang robek tapi tersungkur kembali ketanah. Dia

menelungkup tak bergerak-gerak. Nafasnya mulai satu-satu dan

akhirnya nyawanya tak ada lagi.

Masa dan Tara melihat kehebatan lawan menjadi kecut dan

tak punya nyali lagi untuk meneruskan perkelahian. Pada saat

Suwantra membalikkan tubuh Ikas yang menghimpitnya, pada

saat itulah kedua orang tadi memutar kuda masing-masing dan

meninggalkan tempat itu. Suwantra dengan cepat melemparkan

golok yang ditangannya pada salah seorang dari yang lari itu.

Golok berdesing diudara dan menancap dipunggung

penunggang kuda yang disebelah kanan. Penunggang kuda itu

masih mencoba untuk kabur terus sambil memegang tengkuk

kudanya erat-erat. Tapi ketika sampai disatu kelokan yang

tajam dia tak dapat lagi mempertahankan diri. Tubuhnya

terlempar kesamping dan jatuh ditanah dengan menelentang

mengakibatkan golok yang menancap dipunggungnya masuk

menembus tubuhnya sampai kejantung dan tak ampun lagi dia

mati konyol disitu juga! Ternyata orang ketiga yang menemui


ajalnya malam itu adalah Masa. Jadi Tara-lah yang berhasiI

menyelamatkan diri. Dan hal itu memang disengaja oleh

Suwantra.

Pemuda itu melangkah mendekati tubuh Ikas. Ikatan

kantong uang dipinggang mayat itu dibukanya dan kemudian

dengan cepat dia meloncat kepunggung kudanya meninggalkan

tempat itu.

Malam berlalu dan semakin gelap jua. Kesunyian yang

menghantu dipecahkan oleh suara burung hantu yang

menggidikkan serta menegakkan bulu roma. Pohon beringin itu

tampak menyeramkan sekali dan tiga mayat bertebaran

disekitar sana.

LIMA

SETENGAH jam kemudian dia sampai kepengkolan jalan itu.

Dia membelok tanpa mengurangi kecepatan lari kudanya.

Pohon-pohon yang dilaluinya seakan-akan melesat cepat dikiri

kanannya. Akhirnya dia sampai juga ketempat yang ditujunya.

Kudanya diperlambatnya dan dia memasuki jalan kecil

disamping kirinya. Rumah besar ditengah hutan itu mulai

tampak disela-sela pepohonan. Beberapa orang tampak

menghitam dikejauhan. Duduk berkelompok-kelompok sambil

bercakap-cakap. Dan semua mereka itu sama berdiri ketika

melihat kedatangan si penunggang kuda. Semuanya mencabut

golok dan salah seorang diantara mereka membentak keras.

“Siapa itu?! Berhenti!!”.

Penunggang kuda itu turun dari kudanya dan melangkah

mendekati rumah dan sama sekali tak mengacuhkan ancaman

tadi.

“Bangsat! Siapa kau?!” terdengar lagi bentakan dari muka

rumah.

“Sialan kau! Apa tidak mengenali kawan sendiri?! Aku

Tara!”, jawab orang yang dibentak dengan membentak pula.


“Tara! Kau?! Mana kawan-kawan yang lain!”. Semua anak

buah Mali Kodra memandang pada kawannya yang kembali

dengan seorang diri dengan perasaan heran. “Mana Masa, mana Ikas dan Aman?!” tanya salah seorang

dari mereka.

“Tiwas! Mereka sudah mampus semua!” jawab Tara sambil

mengikatkan tali kudanya kesebuah palang kayu di muka

rumah.

“Apa yang terjadi?” tanya kawan Tara yang lain.

“Aku akan ceritakan nanti. Yang penting aku harus temui

pemimpin saat ini dan jangan banyak tanya dulu!”. Tara masuk

kedalam rumah langsung keruang tengah dimana MaIi Kodra

duduk melunjur disebuah kursi malas yang terbuat dari bambu.

Disudut bibirnya terselip pipa emas kesayangannya. Ketika

Tara muncul dihadapannya pipa itu segera dicabutnya. Dia

memperhatikan tampang anak buahnya itu beberapa ketika dan

berkata. “Kau seperti monyet yang baru keluar dari liang kubur!

Mana Ikas dan kawan-kawanmu yang lain?!”.

“Celaka pemimpin, celaka!”Celaka!” jawab Tara dengan suara

gemetar datar.

“Heh...... apa? Celaka?! Tara, katakan apa yang terjadi!”. Mali

Kodra jadi tak senang diam. Dia bangkit dari kursi malasnya.

Duduk ditepi kursi itu, kemudian menghentakkan kakinya

kelantai, lalu berdiri. Tenggorokannya nampak turun naik. “Apa

yang terjadi?! Mana uang itu?! Tara......!”

“Ka...... kami dirampok orang, pemimpin!” menerangkan

Tara. Seperti disengat kalajengking, begitulah terkejutnya Mali

Kodra. “Apa? Kalian dirampok? Jangan bergurau Tara. Nanti

kupintir batang lehermu!” kata pemimpin rampok itu dengan

mata yang berapi-api.

“Sungguh mati saya tidak main-main pemimpin. Uang yang

disuruh ambil itu telah kami bawa. Dalam perjalanan pulang

seorang rampok yang mempunyai kepandaian tinggi luar biasa

mencegat kami. Kami mengeroyoknya tapi sia-sia saja. Ikas,

Masa dan Aman menemui ajalnya ditangan bangsat itu. Hanya

saya sendiri yang berhasil menyelamatkan diri......”.


“Tara! Kau?! Mana kawan-kawan yang lain!”. Semua anak

buah Mali Kodra memandang pada kawannya yang kembali

dengan seorang diri dengan perasaan heran. “Mana Masa, mana Ikas dan Aman?!” tanya salah seorang

dari mereka.

“Tiwas! Mereka sudah mampus semua!” jawab Tara sambil

mengikatkan tali kudanya kesebuah palang kayu di muka

rumah.

“Apa yang terjadi?” tanya kawan Tara yang lain.

“Aku akan ceritakan nanti. Yang penting aku harus temui

pemimpin saat ini dan jangan banyak tanya dulu!”. Tara masuk

kedalam rumah langsung keruang tengah dimana MaIi Kodra

duduk melunjur disebuah kursi malas yang terbuat dari bambu.

Disudut bibirnya terselip pipa emas kesayangannya. Ketika

Tara muncul dihadapannya pipa itu segera dicabutnya. Dia

memperhatikan tampang anak buahnya itu beberapa ketika dan

berkata. “Kau seperti monyet yang baru keluar dari liang kubur!

Mana Ikas dan kawan-kawanmu yang lain?!”.

“Celaka pemimpin, celaka!”Celaka!” jawab Tara dengan suara

gemetar datar.

“Heh...... apa? Celaka?! Tara, katakan apa yang terjadi!”. Mali

Kodra jadi tak senang diam. Dia bangkit dari kursi malasnya.

Duduk ditepi kursi itu, kemudian menghentakkan kakinya

kelantai, lalu berdiri. Tenggorokannya nampak turun naik. “Apa

yang terjadi?! Mana uang itu?! Tara......!”

“Ka...... kami dirampok orang, pemimpin!” menerangkan

Tara. Seperti disengat kalajengking, begitulah terkejutnya Mali

Kodra. “Apa? Kalian dirampok? Jangan bergurau Tara. Nanti

kupintir batang lehermu!” kata pemimpin rampok itu dengan

mata yang berapi-api.

“Sungguh mati saya tidak main-main pemimpin. Uang yang

disuruh ambil itu telah kami bawa. Dalam perjalanan pulang

seorang rampok yang mempunyai kepandaian tinggi luar biasa

mencegat kami. Kami mengeroyoknya tapi sia-sia saja. Ikas,

Masa dan Aman menemui ajalnya ditangan bangsat itu. Hanya

saya sendiri yang berhasil menyelamatkan diri......”.


“Aku tidak peduli apa kau selamat atau tidak. Yang penting

harus kau selamatkan uang itu. Dan kau bawa uang itu?

Mana?!”

“Ampun pemimpin...... ampun! Saya dan kawan-kawan tak

berdaya menghadapi begal laknat itu. Di...... dia berhasil

membawa lari uang itu......”. Tangan kanan Mali Kodra

melayang kemuka Tara bertubi-tubi seperti hujan. “Ampun

pemimpin...... ampun......” Rintih Tara. “Ini ampun untukmu!”

maki Mali Kodra sambil melayangkan kakinya keperut Tara.

Tara terjajar berputar-putar dan jatuh duduk dilantai.

“Kau bohong Tara. Ini semua tentu sudah kalian rencanakan.

Kalian berkhianat kepadaku hah?!”. Sambil menahan sakit

perutnya yang kena tendang Tara menjawab. “Ampun...... saya

sama sekali tidak bohong dan khianat. Kalau pemimpin tak

percaya...... dibawah pohon beringin...... disana Ikas, Masa dan

Aman menemui ajalnya...... kami......”. “Apa kau melihat tampang rampok itu? Mengenalinya?!”

“Malam gelap dan dia memakai cadar hitam sebatas

mata......” jawab Tara. Ketika Tara hendak menyambung

bicaranya kembali, segera dibentak oleh Mali Kodra. Pemimpin

rampok itu kemudian menoleh kepintu memanggil dua orang

anak buahnya. Ketika orang-orang yang dipanggil muncul,

pemimpin rampok itu berkata pada mereka. “Seret anjing ini

keluar! Tebas batang lehernya. Dia telah mengkhianatiku!”

“Ampun pemimpin! Ampun! Saya sama sekali tidak bohong

dan tidak berkhianat......”. Dua pasang tangan yang kokoh kuat

memegang lengan Tara dan menyeretnya keluar pintu.

“Ampun...... ampun...... saya tidak berkhianat...... ampun......

terdengar raungan Tara tiada hentinya. Mali Kodra mondar- mandir didalam ruangan itu. Dia seakan-akan berada diatas

bara api layaknya saat itu. Diluar lolongan Tara masih

terdengar sayup-sayup. Kemudian terdengar jeritan dahsyat

dan sudah itu sunyi seyap.

Mali Kodra mematikan api pipanya dan melangkah keluar.

“Siapkan kudaku dan empat orang segera turut bersamaku!”

teriak pemimpin rampok tersebut pada anak buahnya. Segera

terjadi kesibukan-kesibukan. Begitu kuda dibawa


kehadapannya. Mali Kodra segera meloncat naik kepunggung

binatang itu. Tali kekang disentakkannya dan empat orang anak

buahnya segera mengikutinya dari belakang.

Mereka sampai ketempat terjadinya peristiwa itu. Keempat

kuda yang mereka tunggangi sama meringkik keras menambah

keseraman. Yang pertama sekali mereka temui mayatnya

adalah mayat Masa yang mati jatuh dari atas kudanya setelah

dihajar dengan golok pada punggungnya yang kemudian

menembus sampai kejantungnya. Mali Kodra dan juga anak

buahnya turun dari kuda masing-masing.

“Sialan! Benar-benar terkutuk!” desis Mali Kodra dengan

geram. Dia melangkah mendekati tubuh kedua yang

menggeletak ditepi jalan. Dan kembali pemimpin rampok itu

memaki. “Mana satu lagi? Dimana mayatnya Aman......?” kata

Mali Kodra sambil memandang berkeliling. Keempat orang

anak buahnya juga mencari-cari dengan mata masing-masing

berusaha menembus kegelapan malam. Ketika salah seorang

dari mereka hendak menyalakan korek api, pemimpinnya telah

melihat apa yang dicarinya. Mayat Aman, yang patah lehernya

menggeletak diantara akar-akar pohon beringin sehingga susah

untuk dikenali dimalam pekat gelap itu.

“Benar-benar terkutuk! Bagaimana ini bisa terjadi......? Satu

begal gila bisa mengalahkan empat orang anak buahku! Siapa

manusia jahanam itu, benar-benar edan! Jahanam!”. Mali

Kodra menggigit bibirnya berkata lagi. “Periksa seluruh tubuh

mereka dan ambil milik-milik mereka yang berharga!”.

Keempat orang anak buah Mali Kodra segera menjalankan

perintah pemimpinnya.

“Selesai pemimpin” kata salah seorang dari mereka beberapa

ketika kemudian. Mali Kodra naik keatas kudanya. “Kita ke

Kuala!” katanya sambil menyentakkan tali kekang.

Suara dari kelima ekor kaki-kaki kuda itu memecah

kesunyian sepanjang jalan dan memasuki Kuala dengan cepat.

Suwantra segera memberi isyarat pada Mirta yang berbaring

diruang tengah itu ketika ketukan-ketukan keras terdengar

dipintu luar. Begitu pintu dibukanya, masuklah Mali Kodra

bersama dua orang anak buahnya. Yang lain menunggu diluar


“Bangsat! Jahanaml Benar-benar terkutuk, benar-benar

terkutuk!”

“Heh...... ada apa sobat? Kau datang malam-malam begini

dan memaki tak karuan seperti itu. Ada apa?!” tanya Suwantra

dengan terkejut dan pura-pura heran.

“Ikas dan tiga orang kawanya kusuruh mengambil uang itu

kesini. Mereka telah mengambilnya darimu bukan?!”.

“Benar, kira-kira dua jam yang lalu. Dan uang itu tentu

sudah sampai ketanganmu......”.

“Uang itu ada dineraka sekarang!” teriak Mali Kodra karena

marahnya. Suwantra memandang pada Mirta, lalu pada kedua

anak buah Mali Kodra dan akhirnya pandangannya kembali

pada pemimpin rampok itu.

“Apa anak buahmu itu tak kembali? Mereka membawa lari

uang tersebut......?” tanya Suwantra menduga.

“Dalam perjalanan pulang mereka telah dihadang oleh

seorang perampok dan uang itu berhasil disikatnya!” kata Mali

Kodra pula.

“Apa?!”. Suwantra tampak terkejut sekali.

“Mereka dirampok!” teriak Mali Kodra. “Empat orang

perampok dirampok oleh satu orang begal! Benar-benar gila

atau tidak? Jawab, benar-benar gila atau tidak hal itu?!”

“Benar-benar gila. Memang benar-benar gila......” kata

Suwantra dengan perlahan. “Tapi kalau hal itu sungguh- sungguh, bagaimana mungkin mereka yang tubuhnya kokoh- kokoh itu bisa dipreteli oleh seorang lawan......?”.

“Aku juga tidak percaya. Tapi Tara menerangkan begitu.

Katanya begal gelap itu mempunyai ilmu yang tinggi sekali.

Ketiga kawannya terbunuh!”.

“Jadi cuma Tara seorang yang selamat?” tanya Mirta.

“Cuma dia seorang yang selamat. Dan aku telah suruh tebas

leher bangsat yang bodoh itu......!” kata Mali Kodra.

“Kasihan...... mengapa kau bunuh dia? Barangkali dia bisa

mengetahui siapa begal itu. Sekurang-kurangnya mengenali

tampangnya!” kata Suwantra pula.

“Rampok edan itu menutup mukanya dengan cadar hitam!”

jawab Mali Kodra.


“Hemm...... benar-benar gila! Kepandaiannya tinggi dan dia

menutup mukanya dengan kain hitam!” desis Suwantra. Lalu

tanyanya. “Apa sebelum ini pernah kejadian yang seperti itu

atau kalian pernah dengar tentang rampok yang bercadar

hitam?”. Mali Kodra menggelengkan kepalanya.

“Apa yang harus kita perbuat sekarang?” tanya Suwantra

kemudian setelah masing-masing mereka berdiam diri

beberapa lamanya.

“Apa yang harus kita perbuat......” desis Mali Kodra.

“Bagaimana keadaan disini?” tanyanya kemudian.

“Penduduk yang dulu mengungsi kini sudah memasuki kota.

Tampaknya suasana sudah seperti semula lagi” jawab

Suwantra.

“Dan ketiga orang-orang kaya itu apa sudah kembali kesini

semuanya?”.

“Cuma satu orang baru. Yang dua lainnya kudengar kabar

hari ini, mungkin besok” jawab Suwantra.

“Uang itu..... sialan!”. Mali Kedra kembali menggerutu ketika

dia teringat pada uang yang dibegal dari anak buahnya.

“Bagaimana kalau kita adakan sekali lagi pemungutan uang

sumbangan pada penduduk?”.

Suwantra tampak berpikir-pikir. Kemudian memberikan,

jawaban. “Disamping agak terlalu berat bagi penduduk

mungkin pula mereka akan menaruh curiga...... Sebaliknya kita

tunggu beberapa minggu lagi. Bagaimana?”.

“Aku sudah tak bisa menunggu lagi sebenarnya” jawab Mali

Kodra sambil mengusap mukanya. “Beginilah...... kalau kedua

orang kaya itu sudah tiba disini, lekas beritahukan padaku!”.

“Tapi aku tak tahu dimana kau bersembunyi......”.

“Hemm...... kalau begitu biar anak buahku saja yang datang

menyelidiki kesini nanti. Sebelum kami melakukan

perampokan aku akan singgah kemari untuk

memberitahukannya padamu......”. Laki-laki itu berdiri dan

melangkah menuju kepintu. * *

*

Kedatangan Mali Kodra bersama anak buahnya itu memang

sudah diduga sebelumnya oleh Suwantra dan dia telah

mempersiapkan segala apa yang hendak direncanakannya.

Ketika Mali Kodra bersama anak-anak buahnya baru saja

keluar dari halaman rumah dengan cepat dia mengenakan baju

hitam dan cadarnya kembali. Dari sebuah laci diambilnya pisau

belati yang pada gagangnya diikatkan sepucuk surat. Kemudian

dia keluar dari rumah mengejar rombongan perampok tadi.

Saat itu malam sudah sangat larut dan dinginnya tiada


terkirakan, apalagi karena dia memacu kuda dengan secepat- cepatanya.

Dibawah pohon beringin, Mali Kodra menghentikan kudanya

dan berkata pada anak-anak buahnya. “Cepat ambil ketiga

mayat kawan-kawanmu itu dan bawa ketempat kita!”.

Pekerjaan menggotong mayat-mayat itu keatas kuda hanya

kurang dari lima menit. Sesudah selesai Mali Kodra bersama

anak buahnya segera meneruskan perjalanan. Sesosok tubuh

yang bersenbunyi dibalik semak-semak dipinggir jalan

mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Sebuah benda

tajam melesat dari tangan itu dengan kecepatan yang luar biasa

dan dengan deras menancap dipunggung salah seorang dari

anak buah Mali Kodra.

“Uuhh......” terdengar suara laki-laki yang punggungnya

menjadi sasaran belati. Karena gelap kawan-kawannya tak

dapat melihat pisau belati yang dipunggungnya dan mereka

mengira hanya mengeluh karena lelah atau sebab lain. Tapi

ketika dilihat mereka kawannya itu mulai terhuyung-huyung

diatas pelana kudanya yang lain mulai curiga. “Hai Mong......

kau ini mimpi apa? Naik kuda seperti itu. Kau mau mampus

terbanting ketanah......”. Dan buuk! Orang yang bernama

Mongmong itu benar-benar jatuh terjungkal ketanah. Mali

Kodra terkejut, begitu juga anak-anak buahnya yang lain.

Semuanya berhenti dan turun dari kuda masing-masing. Dan

saat itu terdengar suara kaki-kaki kuda yang dipacu

meninggalkan tempat itu. Mali Kodra memandang kearah suara

kaki-kaki kuda tersebut beberapa saat lamanya kemudian

membungkuk meneliti punggung anak buahnya. “Setan! Benar- benar terkutuk! Dia dilempar dengan pisau secara gelap!”. Mali

Kodra mencabut pisau yang tertancap hampir kegagangnya itu

membuat darah keluar mengucur dengan deras dari luka

dipunggung Mongmong. “Dan ada surat! Apa-apaan ini? Benar- benar gila!”. Dengan rasa tak sabar Mali Kudra membuka

lipatan surat. Tangannya gemetar karena geram. “Markim, coba

nyalakan korek! Aku tak dapat melihat apa yang tertulis

dikertas gila ini!”.


Anak buahnya yang bernama Markim segera menyalakan

korek api sementara kawan-kawannya yang lain mendekat

karena ingin tahu apa yang tertulis dikertas yang ditangan

pemimpin. Korek api menyala dan diatas kertas itu tertulis :

Mali Kodra,

Tiga orang anak buahmu telah menemui ajalnya

ditanganku. Itu peringatanku yang pertama. Dan

saat ini menyusul peringatanku yang kedua.

Bubarkan gerombolan terkutukmu dan pergi jauh-

jauh dari negeri ini. Kecuali kalau kau ingin hancur

semuanya!

Cadar Hitam. “Kurang ajar, berani mengancamku dengan cara seperti ini!

Bangsat! Manusia yang mengaku bernama Cadar Hitam itu

belum tahu siapa aku rupanya......!” maki Mali Kodra sambil

merobek-robek kertas surat yang ditangannya dan meludah

ketanah. Dia memandang berkeliling. Kemudian seperti orang

gila dia berteriak keras : “Hai manusia yang bernama Cadar

Hitam, keluarlah kau dari persembunyianmu. Ini aku Mali

Kodra ada disini! Ayo bangsat pengecut tunjukkan kalau kau

memang laki-laki!”.

Tak ada suara jawaban selain dari gema kata-katanya sendiri.

Dan kembali pemimpin rampok itu merutuk tiada henti- hentinya. Dengan langkah yang penuh geram dia akhirnya

mendekati kudanya. Dan kembali tempat itu diliputi kesunyian

ketika Mali Kodra bersama rombongannya menghilang

digelapnya malam. ENAM

KEESOKAN paginya Mali Kodra datang lagi ketempat

Suwantra. Semua apa yang dialaminya tadi malam

diceritakannya dengan geram kepada Kepala kota itu.


“Jadi engkau mendapat surat ancaman itu pula?” tanya

Suwantra. “Kau mungkin tak akan percaya kalau kukatakan

bahwa aku juga menerima ancaman seperti itu!”. Mata Mali

Kodra tampak membesar sementara Suwantra masuk kedalam

kamar dan keluar dengan membawa sehelai kertas dan sebuah

pisau belati.

“Tengah malam aku mendengar seperti ada suara ketukan

dipintu muka. Tapi anehnya cuma satu kali saja dan tak aku

acuhkan karena kuduga mungkin tikus atau binatang-binatang

lainnya. Tapi paginya ketika Mirta membuka pintu muka,

disana sudah tertancap sebuah belati dan digagangnya

diikatkan surat ini!”

Suwantra meletakkan pisau diatas meja sedang surat yang

ditangannya diberikannya pada Mali Kodra. Laki-laki itu mulai

membacanya.

Kepala Kota palsu,

Aku tahu bahwa kau adalah manusia terkutuk

yang bekerja sama dengan Mali Kodra. Hentikan

perbuatanmu itu sebelum terlambat dan pergi dari

Kuala. Ini ancamanku yang pertama. Ancamanku

yang kedua adalah golok dan batang lehermu!

Cadar Hitam.

Mali Kodra menghempaskan tubuhnya kesandaran kursi

begitu selesai membaca surat tersebut. “Aku benar-benar tak

habis pikir, siapa adanya manusia gila yang menyebut dirinya

Cadar Hitam ini! Kalau kuketahui......” dan laki-laki itu

memukul meja yang dihadapannya tanda marah dan geram.

“Kuduga orang ini adalah penduduk sini juga......” desis

Suwantra perlahan.

“Taksiranku begitu juga. Tapi disini tak ada seseorang yang

punya kepandaian ilmu setinggi dia, kecuali aku tentunya!” kata

Mali Kodra pula sambil jari-jari tangannya mencabut-cabuti

janggutnya yang mulai memanjang tak teratur


“Walau bagaimanapun manusia ini harus kita tangkap hidup

atau mati sebelum dia merusakkan semua rencana kita......”

kata Suwantra. Dia memandang pada pemimpin rampok itu

beberapa lamanya, kemudian berkata lagi. “Aku ada rencana,

bagaimana kalau kita jebak si Cadar Hitam itu?!”.

“Caranya?” tanya Mali Kodra pula.

“Kita lakukan perampokan kerumah salah seorang penduduk

disini, tapi cuma pura-pura saja. Dan kalau si Cadar Hitam

datang nanti akan kita tangkap dia hidup-hidup!”.

“Rencanamu itu memang bagus. Tapi apa kedua orang kaya

yang kutanyakan tempo hari itu sudah pindah ke sini?”.

“Belum lagi” jawab Suwantra.

“Kalau kita lakukan perampokan, sekalipun cuma umpan

belaka, namun penduduk di KuaIa ini akan kembali gelisah dan

merasa tak aman. Akibatnya orang kaya yang sudah pindah

kesini akan mengungsi lagi sedang dua kaya yang lainnya tak

jadi memasuki kota. Dan kita akan makan angin saja selama

dua minggu ini! Begini saja, kita tunggu dulu sampai kedua

orang kaya yang lain itu datang kesini dan kalau si Cadar Hitam

masih juga coba-coba main gila dengan kita orang, baru kita

buat umpan dan selesaikan bangsat itu! Caraku ini lebih baik!”.

Suwantra tampak mengangguk-angguk tanda setuju. “Tepat,

memang tepat sekali!” katanya. “Supaya rencana kita lebih

cepat dijalankan sebaiknya suruh saja salah seorang anak

buahmu menginap disini. Kalau kedua orang kaya itu sudah

tiba dikota, dia bisa memberitahukanmu dengan segera.

“Setuju!” kata. Mali Kodra sambil menepuk bahu Suwantra.

Tak berapa lama kemudian diapun meninggalkan tempat itu

dengan dua orang anak buahnya. Anak buahnya yang ketiga

yang bernama Isim ditinggalkan sebagai mana yang telah

disetujuinya tadi.

Karena terdengar kabar bahwa Mali Kodra bersama anak- anak buahnya yang banyak itu telah meninggalkan kota sedang

Kuala sudak pula mendapat seorang Kepala kota yang baik dan

ramah, yang kesemuanya itu menyebabkan kota menjadi aman

kembali maka dua orang kaya yang telah meninggalkan

rumahnya sejak dua minggu yang lalu, tiga hari kemudian


kembali kekota dan menempati rumahnya lagi. Keadaan di

Kuala memng sudah pulih seperti sediakala. Pada saat

diketahuinya kembalinya kedua orang kaya itu kekota, maka

pada saat itu juga Isim segera meninggalkan Kuala untuk

memberi kabar pada pemlmpinnya. Dengan cara yang halus

sekali tanpa mencurigai Isim, Suwantra menyurruh Mirta untuk

pergi bersama anak buah Mali Kodra itu dengan mengatakan

bahwa dia agak cemas kalau Isim ditengah jalan diserang oleh

orang yang menamakan dirinya si Cadar Hitam itu dengan

mendadak. Dua orang adalah lebih baik dari pada sendirian.

Tapi maksud yang sesungguhnya dari Suwantra adalah agar

Mirta dapat mengetahui dimana letak markas besar dari

gerombolan rampok itu.

Sorenya baru Isim dan Mirta kembali. “Bagaimana...... sudah

kau sampaikan berita itu?” tanya Suwantra pada Isim.

“Beres! Pemimpin dan kawan-kawanku akan datang tengah

malam nanti. Rencana perampokan tidak diberitahukan bila

saatnya, tapi kuduga seperti yang sudah-sudah dilakukan, pada

waktu dinihari......” kata Isim memberikan jawaban.

“Dinihari waktu yang tepat sekali! Saatnya semua orang

menarik selimut masing-masing dan tertidur nyenyak

didinginnya hari......” ujar Suwantra dengan rasa puas.

Menit demi menit terasa seperti lambatnya siput yang

merayap-rayap namun Suwantra dan Mirta menanti dengan

sabar. Lewat tengah malam baru Mali Kodra bersama lima

belas orang anak buahnya memasuki kota dan langsung menuju

ketempat kediaman Suwantra.

“Bagaimana? Sudah matang rencanamu? Beres?!” tanya

Suwantra begitu Mali Kodra duduk dikursi.

“Kita akan kaya! Ha...... ha...... ha...... Mula-mula kita datangi

rumah orang kaya yang didekat pasar, lalu yang dibelakang

surau dan baru rumah orang kaya yang terakhir. Kalau dapat

semuanya dibereskan tanpa keributan, tanpa diketahui seorang

pendudukpun......”.

“Dan kalau dapat tanpa pembunuhan!” sela Suwantra.

“Benar, kecuali kalau terpaksa! Kecuali kalau si Cadar Hitam

datang untuk membuat ulah dan mengantarkan nyawa!” ujar


Mali Kodra pula dengan satu seringai bermain dimulutnya. Lalu

sambungnya. “Aku akan merasa senang kalau nanti dapat

berhadapan dengan manusia keparat itu!”

Mereka bercaka-cakap terus untuk menunggu waktu. Satu

setengah jam kemudian Mali Kodra bangkit dari kursinya.

“Sudah saatnya, sobat! Kau tunggu saja disini berdua Dengan

Mirta. Segala sesuatunya akan beres dan kau akan terima

pembagian seperti yang telah kita tetapkan.”

“Dua perlima bagian heh......”.

“Dua perlima bagian!” kata Mali Kodra dengan menyeringai.

Dia melangkah menuju keluar diikuti oleh dua orang anak

buahnya yang turut masuk bersamanya kedalam rumah.

Sambil memegang tali kekang kudanya Mali Kodra

memandang berkeliling pada anak buahnya yang telah duduk

diatas kuda masing-masing. “Semuanya beres?” tanyanya.

“Beres!” terdengar jawaban dari salah seorang rampok- rampok itu. Dan kuda Mali Kodra mulai bergerak maju,

kemudian diikuti oleh lima belas ekor kuda-kuda lainnya.

Keluar dari halaman rumah salah seorang anak buah Mali

Kodra yang berjalan disisi pemimpin rampok itu berkata.

“Pemimpin, sebenarnya pembagian rampokan antara kita

dengan kedua orang itu sangat tidak sebanding. Dia hanya

berdua, dan kerjanya cuma duduk ongkang-ongkangan sedang

kita yang pergi melakukan perampokan ini sama juga dengan

menyabung nyawa dan jumlah kita banyak pula sehingga

pembagian keuntungan dari hasil rampokan tak akan berarti

sama sekali!”

“Aku tahu semuanya itu, Markim dan aku tidak bodoh. Kau

liliat saja nanti. Kalau semuanya sudah beres, kita datangi

rumah Kepala kota itu, merampok kembali uang pembagian

dan baru kita benar-benar meninggalkan daerah ini......” jawab

Mali Kodra sambil menyeringai. Sementara itu dibelakang

mereka dua orang penunggang kuda yang memakai baju serba

bitam dan menutup mukanya sebatas mata mengikuti

rombongan perampok itu dengan hati-hati. Keduanya tak lain

adalah Suwantra dan Mirta.


Seperti yang telah direncanakan Mali Kodra bersama

rombongan rampoknya mendatangi rumah orang kaya yang

dekat pasar. Mereka bergerak dengan perlahan-lahan. Dimuka

rumah batu yang besar itu mereka menyebar. Lima orang

disamping kiri rumah, lima orang disamping kanan sedang lima

orang lagi masuk dari pintu belakang, dipimpin langsung oleh

Mali Kodra sendiri.

Suwantra dan kawannya mengendap-endap dibalik semak- semak. Mereka telah menyembunyikan kuda mereka disatu

tempat kira-kira dua rumah dari rumah orang kaya itu.

Keduanya datang dari samping kanan. Ditangan Suwantra

tergenggam dua buah pisau belati .sedang Mirta yang

disampingnya memegang sebuah kantong terpal kecil berisi

delapan buah pisau yang sebentuk. Lima orang anak buah Mali

Kodra tampak berjaga-jaga disamping kanan rumah sementara

pemimpin mereka mulai membuka dengan paksa pintu rumah

sebelah belakang.

Dari balik semak-semak ditempat gelap melesat dua buah

benda tajam dengan derasnya. Sebuah menancap dikuduk salah

seorang anak buah Mali Kodra sedang yang kedua menancap

dipunggung perampok yang lain. Kedua rampok yang kena

sasaran maut itu menjerit terkejut dan terhuyung-huyung

kemuka lalu jatuh ketanah. Kawananya yang tiga orang lagi jadi

panik. “Si Cadar Hitam......” desis salah seorang dari mereka.

Dengan segera dicabutnya goloknya, kedua kawannya

mengikuti gerakannya. Ketiga orang itu merunduk mengendap- endap dan coba menembus kegelapan malam dengan mata

mereka mencari dimana musuh gelap yang telah menyerang itu.

Tiba-tiba telinga mereka menangkap suara berdesing dari arah

muka. Ketiganya menjatuhkan diri ketanah, tapi yang seorang

terlambat. Pisau menancap dipipinya dan kepalanya

terdongkak kebelakang. Dia menemui ajalnya beberapa detik

kemudian. Kawannya yang dua orang lagi berhasil mengetahui

dimana persembunyian Suwantra. Keduanya segera

bergulingan ditanah, kemudian berdiri dengan cepat sebelum

Suwantra sempat melemparkan dua buah pisau selanjutnya


“Mirta......” bisik Suwantra dengan cepat. “Kau tetap disini.

Keluar kalau sudah kuberikan isyarat. Biar aku yang

menghadapi kedua bangsat ini!”

Pemuda itu mencabut goloknya dan meloncat keluar dari

balik semak-semak. “Ha...... ha...... kalian rampok-rampok yang

keras kepala, yang tak mau mengindahkan peringatanku, mari

sini. Aku akan tebas batang lehermu satu demi satu!” ujar

Suwantra sambil melintangkan goloknya menangkis serangan

yang dilancarkan kedua anak buah Mali Kodra. Kedua rampok

itu sama-sama terkejut dalam hati ketika merasakan bagaimana

tangan mereka yang memegang senjata jadi tergetar pedas

begitu senjata mereka saling bentrokan. Keduanya melancarkan

serangan dengan lebih cepat lagi. Tapi itu tak lama. Setengah

menit kemudian setelah meloncat kesamping mengelakkan

golok-golok lawan, Suwantra menggeser kaki kanannya dengan

cepat, tubuhnya kemudian mengapung setinggi pinggang dan

kedua perampok itu terpelanting kebelakang beberapa tombak.

Yang sebelah kanan meregang nyawa dengan seketika karena

golok yang ditangan Suwantra hampir memutuskan batang

lehernya sedang rampok yang disebelah kiri rengkah tulang

tengkorak kepalanya kena dihantam pukulan tangan kiri yang

dahsyat dari murid Ahmed Pasya itu.

Suara tubuh-tubuh yang jatuh ketanah, suara berisik dan

suara beradunya senjata, semuanya itu telah ditangkap oleh

telinga pemimpin rampok yang tajam itu. Mali Kodra memberi

isyarat pada anak buahnya yang mengikutinya dibelakang. Dia

menjauhi pintu rumah yang saat itu tinggal didorong saja lagi.

“Kita diserang...... mungkin si Cadar Hitam......” bisik Mali

Kodra. Dia mencabut golok panjangnya dan melangkah

mengendap-endap. “Panggil kawan-kawanmu yang disamping

kiri rumah, cepat!” perintah pemimpin rampok itu pada anak

buahnya.

“Ha...... ha...... kau mengendap-endap mencari apa sobat?

Mencari tikus?! Aku si Cadar Hitam! Mali Kodra, kau bersama

anak buahmu tak mengindahkan peringatanku heh?! Ini yang

penghabisan kalinya. Pergi dari sini dan jangan kembali- kembali lagi


Mali Kodra berdiri lurus-lurus. Dia memandang kemuka

yang memakai cadar hitam itu. “Kalau kau laki-laki, buka kain

penutup mukamu itu, sobat!” tukas Mali Kodra sementara

kelima anak buahnya yang berada disamping kiri rumah telah

datang ketempat itu. Mali Kodra menggerakkan tangannya

memberi tanda dan sepuluh orang anak buahnya bergerak

cepat mengurung Suwantra ditengah-tengah. Satu kurungan

yang rapat sekali dan masing-masing mereka sama menghunus

golok. “Aku suruh kau angkat kaki dari sini, Mali Kodra. Dan bukan

menyuruh kau untuk angkat bicaral” ujar si Cadar Hitam.

Pemimpin rampok itu coba untuk menduga siapa adanya laki-

laki yang dihadapannya itu. Suaranya serak dan dia tak pernah

mendengar seseorang yang mempunyai suara seperti itu. Tapi

suara bisa dibuat-buat. Dia memperhatikan potongan tubuh

lawannya, juga terlalu banyak orang yang mempunyai

perawakan seperti laki-laki tersebut. Mali Kodra coba-coba

mengangkat golok panjangnya tinggi-tonggi dan bertanya. “Kau

lihat benda apa yang ditanganku ini......?”

“Jadi kau tak mau pergi dari sini?...... Bagus, aku juga punya

senjata yang semacammu itu, Mali!” jawab Suwantra sambil

mengacungkan golok yang ditangannya. Mali Kodra meloncat

kemuka dan dimulailah pertempuran antara satu lawan sebelas

itu!

Tubuh Suwantra berkelebat cepat menimbulkan bunyi angin

yang bersiuran. Golok yang ditangannya bergulung-gulung

disekeliling tubuhnya. Bukan saja senjata itu dipergunakannya

untuk membentengi badannya dari senjata lawan sebaliknya

juga dipakai untuk balas menyerang. Tangan kiri dan kedua

kakinya juga tak tinggal diam. Dalam dua jurus saja, tiga dari

pengeroyoknya terjungkal kena dihantam dengan keras dan

melosoh ditanah tak sadarkan diri. Salah seorang anak buah

Kodra melemparkan golok yang ditangannya kedada Suwantra.

Senjata itu mental kembali. “Celaka! Tubuhnya kebal!” teriak

laki-laki itu.

“Jangan banyak mulut, kurung dan gempur terus!” teriak

Mali Kodra yang diam-diam juga terkejut melihat hal itu. Golok


panjang yang ditangannya memapas deras sedang tangan

kirinya mengeluarkan sebuah senjata seperti tongkat. Ternyata

adalah sebuah potongan bambu kuning. Satu orang lagi berhasil

dirubuhkan oleh Suwantra tapi tak urung kini dia mulai

terdesak. Permainan silat Mali Kodra yang memegang dua

senjata itu benar-benar tak bisa dianggap enteng. Tubuhnya

yang kurus jangkung itu bergerak ringan dengan cepat. Kedua

senjata yang ditangannya datang ganti berganti dengan bertubi-

tubi. Gempuran lawan-lawannya semakin dahsyat sedang

mereka mengurung tambah rapat. Sebuah golok lawan

menghantam bahunya dengan keras. Baju hitamnya robek tapi

kulitnya sendiri tak apa-apa.

Ketika Suwantra mengelakkan ujung senjata Mali Kodra

yang datang dengan cepat dari muka kearah mata kirinya,

tongkat bambu kuning yang ditangan kiri kepala rampok itu

berhasil menghantam pelipisnya. Suwantra menggeram

menahan sakit. Dia segera mencari balas. Dalam keadaan

sedikit pening, tubuhnya melesat kemuka. Golok salah seorang

anak buah rampok memapas dari depan. Dia menendang

lengan yang memegang golok itu sedang tangan kirinya

menjotos kearah lambung Mali Kodra. Laki-laki itu melompat

kesamping. Kaki kanan Suwantra menyambut loncatan itu

sementara dia sendiri terpaksa merunduk menghindarkan

sambaran senjata lawan yang datang dari belakang. Tendangan

lawannya juga berhasil dielakkan oleh Mali Kodra dan ketika

golok Suwantra memapas cepat kekepalanya, dia menangkis

dengan bambu kuning yang ditangan kirinya. Bambu dan golok

bentrokan! Bagian golok yang tajam seakan-akan menghantam

satu benda yang sangat keras dan licin sehingga senjata yang

ditangan Suwantra itu meleset menyerosot. Pemuda itu tak mau

membiarkan serangannya lepas percuma. Goloknya yang

meleset itu diteruskannya kearah tangan Mali Kodra, tapi

pemimpin rampok itu juga tidak bodoh. Sebelum tangannya

kena disambar puntung oleh senjata lawan, dia menghantam

golok Suwantra hingga patah dua dengan golok panjang yang

ditangannya


“Ha ha! Sebutlah nama Tuhanmu, sobat! Satu detik lagi

nyawamu akan meninggalkan tubuhmu menuju keneraka

jahanam!” ejek Mali Kodra dengan tertawa gembira. Kedua

senjatanya kembali menyerang dengan hebat deras, begitu juga

senjata-senjata anak buahnya yang lain. Suwantra bertahan

dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa keadaannya sangat

berbahaya sekali. Dari mulutnya keluar satu siulan tinggi. Mirta

yang mendengar tanda yang diberikan oleh Suwantra itu, yang

sedari tadi sudah sangat tak sabar menunggu, dengan cepat dia

keluar dari persembunyiannya. Ditangan kirinya tergenggam

sebuah belati sedang ditangan kanannya sebuah golok.

“Dua orang hadapi setan yang baru muncul itu. Yang lain

tetap mengurung setan hitam ini!” terdengar perintah Mali

Kodra. Dua orang rampok keluar dari kalangan pertempuran

dan menghadapi Mirta. Yang empat lagi tetap mengurung

Suwantra bersama pemimpin mereka. Saat itu Suwantra masih

bertahan dengan tangan kosong. Dalam satu serangan dahsyat

yang dilancarkan kedadanya, sambil mengelak dan bertalian

gigih, Suwantra coba untuk merampas salah sebuah dari golok

lawannya. Dan dia berhasil. Tapi saat itu serangan berantai

yang dikirimkan oleh Mali Kodra datang dengan cepat. Dengan

golok yang ditangannya Suwantra menangkis tetakan golok

panjang lawan dan tangan kirinya mengirimkan jotosan kedada

laki-laki itu. Mali Kodra merasakan nafasnya sesak. Dia

mengatur jalan nafasnya dengan cepat sementara satu orang

anak buahnya berhasil lagi dirobohkan oleh Suwantra.

Ketika jalan nafasnya dan sakit dadanya yang kena terpukul

sudak pulih kembali. Mali Kodra dengan cepat melancarkan

serangan balasan. Caranya berkelahi kini mengalami perubahan

total. Kedua tangannya yang memegang senjata terbentang

lebar, bagian dadanya lowong sama sekali. Tapi Suwantra

cukup maklum dengan tipu dari ilmu pukulan semacam itu. Dia

tak mau melancarkan serangan langsung kearah dada lawan,

sebaliknya menggempur dari samping kiri atau kanan. Dua

jurus lagi berlalu, dua kali Suwantra kena terpukul bambu

kuning yang ditangan kiri Mali Kodra. Pemandangannya agak

berkunang-kunang. Dan ketika dia mengelakkan sambaran


golok lawannya itu, salah seorang dari anak buah Mali Kodra

meloncatinya dari belakang, mencekal lehernya dan bergantung

seerat-eratnya. Suwantra dengan kecepatan yang luar biasa

membantingkan laki-laki itu ketanah tapi dengan demikian dia

telah melupakan pertahanan dirinya meskipun hanya beberapa

detik saja. Mali Kodra yang sudah mengetahui kekebalan

lawannya tak mau mempergunakan goloknya untuk

menghantam Suwantra. Sebaliknya dengan ujung bambu

kuning yang ditangan kirinya dengan cepat ditotoknya urat nadi

peredaran darah yang ditengkuk pemuda itu. Suwantra megap- megap, dia coba untuk mengalirkan tenaga dalamnya kebagian

yang kena totok itu tapi sebelum berhasil kembali Mali Kodra

menotok bagian lain dari tubuhnya. Tubuh Suwantra menjadi

kejang kaku dengan seketika. Dia bardiri seperti patung batu

tak bergerak barang sedikitpun!

“Hem...... cuma sedemikian saja kehebatanmu, manusia

setan!” ejek Mali Kodra. Dia melangkah maju dan

merenggutkan kain hitam penutup muka si pemuda. Dan

mulutnya terdengar seruan tertahan ketika matanya melihat

tampang orang yang dihadapannya. “Dia! Kepala kota itu!

Benar-benar gila! Benar-benar tak kusangka!” Semua mata

memandang terbeliak pada Suwantra yang berdiri kaku tak

tahu apa-apa. Mali Kodra mengalihkan pandangannya pada

kedua anak buahnya yang masih bertempur melawan laki-laki

yang berpakaian serba hitam dan juga memakai kain penutup

muka. “Dia tentunya Mirta......” desis Mali Kodra dengan geram.

“Mirta! Kau manusia sialan, sebaiknya menyerah saja.

Kawanmu sudah tak berdaya!”. Mirta tak mengacuhkan

peringatan itu. Dia terus mengirimkan serangan balasan pada

kedua lawannya yang mulai mendesaknya. Sementara itu

didalam rumah orang kaya yang hendak dirampok itu karena

ribut-ribut dihalaman samping seluruh penghuninya jadi

terbangun. Sumansyah, si orang kaya mengintip melalui celah- celah jendela dengan hati berdebar-debar. Diluar dilihatnya

tengah berlangsung pertempuran seru. Golok berkelebatan kian

kemari. Dan debaran jantungnya semakin mengeras ketika dia

mengenali tampang Mali Kodra. Apa yang hendak diperbuatnya


bersama keluarganya? Hendak lari keluar...... dia jadi cemas.

Dia lari kebagian belakang rumah, dilihatnya pintu dapur sudah

didobrak orang. “Celaka! Untung aku tahu!.

“Ujung! kata Sumasyah pada anak laki-lakinya. “Tolong aku!

Seret lemari itu kesini untuk menutupi pintu itu! Kedua anak

dan bapak sama bekerja keras menyeret lemari makan kepintu

dapur yang telah didobrak. “Letakkan kursi-kursi dan tambah

palang-palang pada setiap pintu dan jendela lainnya! Dan mari

kita sama-sama berteriak minta tolong!”.

Dan beberapa saat kemudian, suara bentakan-bentakan dan

beradunya senjata oleh teriakan-teriakan minta tolong oleh

keluarga orang kaya itu. “Kurang ajar!” maki Mali Kodra. Dia

memandang dua orang anak buahnya. “Gotong laki-laki ini

kekudamu dan yang lain bantu menangkap hidup-hidup

bangsat yang seorang itu. Ingat, hidup-hidup. Aku sudah punya

rencana untuk bangsat-bangsat kepala dua ini!”

Tubuh Suwantra yang kaku itu dinaikkan kepunggung kuda

sedang dimuka sana Mirta dikurung hebat oleh tiga orang anak

buah Mali Kodra. Dalam keadaan terdesak hebat akhirnya laki-

laki itu kena dipukul kepalanya dengan gagang golok oleh salah

seorang anak buah Mali Kodra. Mirta terhuyung-huyung, dia

pingsan dalam pelukan musuhnya. Juga Mirta dalam keadaan

tak sadar dinaikkan keatas kuda!

“Ayo cepat tinggalkan tempat ini! Semua rencana kita jadi

gagal berantakan karena anjing-anjing setan ini! Mereka akan

menerima pembalasanku kelak!”. Mali Kodra meloncat keatas

punggung kudanya. Dan dalam sekejap mata sisa-sisa

rombongan rampok itu segera berlalu meninggalkan kawan- kawannya yang pingsan dan mati.

TUJUH

SEPEREMPAT jam sebelum fajar menyingsing Mali Kodra

bersama rombongan dan tawanannya sampai ditempat

persembunyian mereka. Suwantra dan Mirta dibawa keruang

tengah dari rumah dimana terdapat tiga buah tiang besar.


“Ikat kaki dan tangan mereka!” perintah Mali Kodra.

“Kemudian ikatkan ketiang-tiang itu!”. Beberapa orang anggota

rampok segera mengikat tangan dan kaki Suwantra serta Mirta

dengan tali-tali yang besar kokoh. Kemudian kedua orang itu

diikatkan ketiang rumah.

“Tambah lagi ikatan binatang itu!” ujar Mali Kodra sambil

menunjuk pada tubuh Suwantra. Sampai saat itu kedua

tawanan masih belum sadar. Suwantra tak sadarkan diri karena

ditotok jalan darahnya pada dua tempat sedang Mirta karena

kena dipukul kepalanya.

Mali Kodra kemudian melepaskan kedua totokan yang

ditubuh Suwantra. Perlahan-lahan pemuda yang mulai

sadarkan dirinya itu membuka kedua matanya. Dia mendapati

dirinya terikat erat disatu tiang ditengah rumah.

Disekelilingnya banyak sekali orang. Ditiang samping tampak

Mirta, juga terikat sedang matanya tertutup, kepalanya terkulai.

Kemudian matanya membentur muka Mali Kodra. Pemimpin

rampok itu menyeringai, lalu tertawa berkakakan.

“Bagaimana sobat? Kau masih ingin menerima bagianmu

dalam hasil rampokan? Ha...... ha...... ha......?!” Mali Kodra

melangkah maju mendekati Suwantra. “Aku akan tepati janji.

Ini bagianmu!” Tangan rampok itu melayang menghantam

muka Suwantra dua kali berturut-turut.

“Heh......” desis Mali Kodra dengan menyeringai kesakitan

sambil memandang ketangannya yang lecet kemerahan.

Sementara itu Suwantra mengeluarkan aji kekuatannya untuk

dapat memutuskan tali-tali yang mengikat tubulnya. Si

pemimpin rampok jadi penasaran. Dia menghujani dada

Suwantra berulang-ulang dengan kedua tinjunya. Suwantra

menggigit bibir menahan sakit dan geram. Tali besar pengikat

pergelangan lengannya sudah berhasil diputuskannya. Tapi

salah seorang anak buah Mali Kodra yang mengelilinginya

melihat kejadian itu. “Awas, bangsat itu telah berhasil

memutuskan tali pengikatnya!”. Semua orang terkejut,

termasuk Mali Kodra. Dia memperhatikan tali-tali yang putus

lalu memandang pada Suwantra.


“Ilmumu boleh juga sobat. Tapi sayang kau pakai untuk

mengkhianatiku!”. Dengan jari tangannya Mali Kodra menjotos

kebawah ketiak Suwantra. Detik itu juga Suwantra merasakan

tubuhnya mendadak menjadi lemah lunglai. Tenaganya punah

sama sekali. Itulah ilmu totokan yang dinamai orang ‘pelemah

raga’, yang membuat setiap orang yang kena totokan itu akan

lemah tiada berdaya sama sekali tapi tidak sampai jatuh

pingsan, otak dan perasaannya tetap berjalan normal.

“Nah...... coba sekarang perlihatkan kesaktianmu, sobat!”

ujar Mali Kodra sambil meninju hidung tawanannya dengan


keras. Hidung Suwantra tampak merah sekali dan darah

mengucur dari kedua lubangnya. Pukulan tadi juga

menyebabkan kepala bagian belakang pemuda itu beradu keras

dengan tiang kayu dimana dia diikatkan. Pemimpin rampok itu

memandang kepada anak buahnya yang kini hanya tinggal

enam orang saja. “Bangsat ini telah mengkhianatiku, berarti

juga telah mengkhianati kalian. Ayo mengapa diam saja?! Beri

dia sedikit pelajaran!”. Kemudian satu demi satu keenam orang

anggota rampok itu menghadiahkan tinju-tinju mereka kemuka

Suwantra. Muka pemuda yang tampan itu kini penuh dengan

bengkak-bengkak yang matang merah kebiruan. Bibirnya

pecah-pecah, darah dari bibir itu bercampur menjadi satu

dengan darah yang mengucur dari hidung sedang matanya

hampir merapat karena bengkak bekas-bekas pukulan. Setiap

menerima hantaman tinju-tinju yang dilancarkan dengan

sekuat tenaga itu, Suwantra menggigit bibirnya yang penuh

dengan darah, berusaha untuk tidak merintih dan menahan

sakit. Ketika tinju terakhir dari rampok yang keenam sampai

dipipinya. pemandangannya telah berkunang-kunang. “Ha.....

ha..... ha.....!” terdengar suara Mali Kodra tertawa. Tampaknya

dia senang sekali melihat hal itu. “Kepala kota palsu, alias anak

raja, alias si Cadar Hitam, alias manusia sakti, tapi sinting! Kini

rasakan olehmu bagaimana akibat dari berlaku khianat kepada

Mali Kodra. Apa yang telah kau terima belum apa-apa, sobat!.

Semuanya baru permulaan saja, baru pembukaan! Sebentar lagi

akan kusuruh potong kedua daun telingamu, hidungmu dan

kemudian aku sendiri yang akan mencungkil kedua matamu.

Aku masih punya hati untuk tidak membunuhmu, sobat.

Biarlah kau jadi manusia yang jauh lebih seram dari pada setan!

Ha...... ha...... ha...... anak raja, putera mahkota dengan tampang

seperti setan! Hua...... ha...... ha...... ha......!”.

Ditiang yang sebelah kiri, Mirta mulai sadar akan dirinya.

Dengan matanya yang kuyu sayu dia memandang berkeliling.

Beberapa saat lamanya dia tak dapat memahami keadaan

dimana dia berada, bagaimana dia sampai disitu dan apa yang

terjadi atas dirinya.


“Bagus, kau juga sudah mulai sadar, sobat......?” terdengar

suara Mali Kodra ketika pemimpin rampok itu dengan sudut

matanya menangkap gerakan yang dibuat oleh Mirta. Semua

mata kini dialihkan pada Mirta sedang ditiang yang satu lagi,

Suwantra antara sadar dan tidak akan dirinya.

“Anak-anak, ayo beri sedikit ajaran pada bangsat itu!”

perintah Mali Kodra. Dan kini hujan tinju menghantam muka

Mirta tiada hentinya sampai muka pemuda itu penuh darah dan

babak belur. Mirta jatuh pingsan kembali namun beberapa

orang diantara rampok-rampok itu masih saja melayangkan

tinju-tinjunya. “Cukup!” kata Mali Kodra sambil mengeluarkan

pipa emasnya. Lubang pipa diisinya dengan tembakau,

kemudian dinyalakannya. Sambil menghirup pipanya dalam- dalam, laki-laki itu melangkah mendekati Suwantra. Asap

rokoknya dihembuskannya kemuka Suwantra. “Bagaimana

rasanya, kawan......? Sedap......?! Aku heran, mengapa kau yang

sudah kujanjikan bagian yang sangat menguntungkan mau

berkhianat kepadaku? Bodoh itu namanya kawan! Atau kau

memang sudah benar-benar sinting?!”.

Suwantra mengangkat kepalanya yang baginya terasa berat

sekali. Dengan matanya yang kuyu bengkak dia menatap muka

pemimpin rampok itu. Dia berusaha dengan susah payah untuk

membuka mulut sekalipun suaranya terdengar sendat parau

dan terteguin-tegun. “Kau yang sinting, Mali! Kau setan, bukan

manusia! Kalau kau manusia tentu kau tak akan melakukan

semua ini!”.

“Justru aku manusai maka aku melakukan semua ini sobat!”

jawab Mali Kodra sambil melayangkan tangannya menampar

pipi Suwantra. “Setiap pengekhianat harus diberi ganjaran yang

setimpal!”

“Bukan aku yang menjadi pengkhianat, Mali! Tapi kau dan

anak-anak buahmu. Kau bersama mereka menjadi pengkhianat

besar terhadap peri kemanusiaan, pengkhianat besar sesama

bangsa dan tanah air, merampok, membunuh! Bahkan kau

pengkhianat besar dihadapan agama dan Tuhanmu, atau

mungkin kau tidak mempunyai agama? Tidak percaya adanya

Tuhan?! Beragama atau tidak beragama ber-Tuhan atau tidak


ber-Tuhan, tapi ingat, pembalasan akan datang kepadamu atas

apa yang telah kau lakukan selama ini!”

“Bagus...... bagus...... sebagai seorang putera raja kau

memang pandai bicara! Dan aku lupa mengatakan padamu,

bahwa selain memotong kedua daun telinga, hidung dan

mencungkil matamu, aku juga akan memotong lidahmu yang

pandai bicara itu!” tukas Mali Kodra pula.

“Aku tidak takut semuanya itu, bangsat! Bahkan dibunuhpun

aku tidak takut! Kau boleh lakukan sekarang juga!”

“Bunuh? Oh...... tidak, bung! Aku tidak akan membunuhmu!

Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa aku akan membuat

mukamu menjadi lebih seram dari segala macam setan dijagat

ini? Ha... ha... ha...!”. Pemimpin rampok itu tertawa terbahak- bahak, kemudian menoleh pada anak buahnya. “Simpun, ambil

pisau yang tajam! Aku ingin cepat-cepat merubah tampang

anak raja ini! Suku Kayan akan mendapat raja yang luar biasa

hebatnya!. Tentu saja kalau mereka masih mau menerima

putera mahkota ini sebagai raja mereka. Syukur kalau mereka

tidak lari kabur karena ketakutan......!”. Orang yang disuruh

segera berlalu. Mali Kodra duduk kesebuah kursi dan

menghisap rokoknya kembali.

Markim, anak buah kepercayaan Mali Kodra melangkah

mendekati pemimpinnya. “Pemimpin, bolehkah saya

mengatakan sesuatu?” tanya Markim. Tanpa menoleh pada

anak buahnya, Mali Kodra menganggukkan kepala. “Seperti

yang kita sekalian mengetahui, pemuda itu anak raja suku

Kayan bukan?”.

“Lalu ada apa?” tanya Mali Kodra memotong. “Apa kau takut

bahwa sukunya akan melakukan pembalasan?”.

“Bukan...... bukan itu maksud bicara saya, pemimpin” jawab

Markim. “Kalau kita bisa menunggu sedikit lama, sesungguhnya

pemuda itu bisa memberikan keuntungan yang besar bagi kita!”

Kali ini baru Mali Kodra memutar kepalanya. Dia memandang

anak buahnya itu dengan mengerenyitkan alis. Markim

melanjutkan. “Mengapa kita harus terburu-buru pemimpin?

Dengarlah apa yang saya katakan selanjutnya, niscaya

pemimpin akan sangat menyetujuinya. Pemuda itu dan


kawannya bisa kita pergunakan sebagai alat......”. Markim

menghentikan bicaranya karena kawannya Simpun yang

disuruh mengambil sebuah pisau besar yang sangat tajam

datang kehadapan pemimpinnya. Mali Kodra menerima pisau

itu, lalu katanya pada Markim. “Teruskan bicaramu......”.

“Keduanya bisa kita pergunakan sebagai alat, kata saya. Kita

bebaskan Mirta dengan ancaman bahwa dia boleh kembali

kekampungnya tapi segera mengumpulkan uang sebanyak

seribu ringgit sebagai tebusan bagi Suwantra. Kalau dia tidak

kembali dengan uang yang seribu ringgit itu sebagai tebusan,

maka baru kita perbuat sekehendak hati kita dengan anak raja

itu. Percayalah, niscaya orang-orang Kayan tak akan kehilangan

putera mahkota mereka dan mereka akan mau secara suka rela

ataupun terpaksa mengumpulkan uang demi keselamatan

Suwantra. Dan kalau Mirta kembali membawa uang itu, apa

sulitnya untuk membunuh atau menyiksa Suwantra sekehendak

hati pemimpin? Suwantra telah mengkhianati kita, kini tiba

saatnya bagi kita untuk membalas khianat itu, bahkan dengan

keuntungan seribu ringgit! Bayangkan!”.

“Astaga! Kau benar-benar cerdik, akalmu benar-benar

panjang Markim!” kata Mali Kodra sambil menepuk-nepuk

punggung anak buahnya dengan tangan kirinya. “Mengapa aku

tidak pikirkan sejak tadi hal itu......? Benar...... benar! Aku

setuju rencanamu itu. Tapi......”.

“Tapi bagaimana kalau Mirta bukan kembali dengan uang,

melainkan dengan ratusan prajurit-prajurit Kayan? Kita akan

celaka semuanya. Kekuatan kita cuma sedikit sekali!”.

“Mana bisa jadi begitu......” jawab Markim. “Orang-orang

Kayan tak akan berani berbuat seperti itu. Melanggar pesan

berarti kematian bagi calon raja mereka. Lagi pula kita jangan

bertindak bodoh. Kita suruh Mirta sendiri yang harus

mengantarkan uang itu kesatu tempat, sedang kita tanpa setahu

dia pindah tempat dari sini. Kalau sekiranya orang-orang Kayan

datang menyergap kesini, mereka hanya akan mendapati rumah

kosong!”.

“Benar-benar kau panjang akal, Markim. Kau akan dapat

bagian besar dariku!” kata Mali Kodra sambil bangkit berdiri


dari kursinya sementara Markim senyum-senyum kecil karena

gembira dijanjikan hadiah besar oleh pemimpinnya.

“Hai! Dengar apa yang kukatakan ini, pengkhianat- pengkhianat!” kata Mali Kodra dengan keras. Suwantra

mengangkat kepalanya. Begitu juga Mirta, yang sudah sadar

setengah menit belakangan ini.

“Apa perlu mendengar pidato orang bejat sinting sepertimu

ini?!” ujar Mirta.

“Kurang ajar!” bentak Mali Kodra dengan melangkah cepat- cepat mendekati laki-laki itu. Tamparannya melayang dua kali

menghajar pipi Mirta. “Apa kau ingin anak rajamu kubikin

mampus saat ini juga?!”.

“Kau hendak membunuh kami? Silahkan! Kami tidak ikut

mati! Kami bukan manusia-manusia pengecut macam kalian.

Ayo bunuhlah!”.

“Baik bangsat, kelak kau akan kami bunuh juga! Sekarang

dengar apa yang akan kukatakan! Kau Mirta akan kulepaskan

hari ini juga. Kau harus kembali kekampungmu sedang

Suwantra tetap kami tahan disini. Kau harus kembali dalam

tempo tiga hari dengan membawa uang tebusan sebanyak

seribu ringgit bagi Suwantra. Ingat, tiga hari, mulai dari hari

ini. Kalau kau tidak kembali dalam tempo yang telah

kutentukan itu serta membawa uang seribu ringgit, atau kau

kembali dengan membawa prajurit-prahurit suku Kayan, maka

ingat-ingat ini...... Suwantra akan kami cincang tubuhnya

sampai lumat dan kepalanya akan kusuruh kirim kehadapan

rajamu!”.

“Jangan dengarkan celoteh gilanya itu Mirta. Apapun yang

terjadi aku tidak takut mati. Kalau mereka melepaskanmu,

pergilah selamatkan dirimu. Tak usal kembali dengan

membawa uang. Kembalilah dengan pasukan-pasukan kita, biar

aku mati ditangan manusia dajal ini asal kau dan kawan-kawan

kita dapat menghancurkan mereka sampai ke akar-akarnya!”.

“Ya....... ya! Itu memang boleh kalian lakukan. Boleh! Dan

satu rencana yang bagus sekali kalau kau bermaksud

menghancurkan kami dan lebih hebat lagi kalau sekiranya

kalian berhasil!” ujar Mali Kodra sambil menyeringai. “Anak


anak, lepaskan ikatan Mirta!” perintahnya kemudian. Dua

orang anak buah Mali Kodra segera membuka ikatan Mirta.

Pemuda itu berdiri dengan bersandar pada tiang. Seluruh

tubuhnya terasa sakit-sakit sedang rumah itu dirasakanya

seperti bergoyang-goyang. Kemudian didengarnya suara Mali

Kodra kembali : “Ingat, sobat! Kau harus kembali dalam waktu

tiga hari dengan membawa uang itu. Uang itu tak usah susah- susah kau antarkan sampai kesini. Bawa kekedai nasi tempo

hari. Disana salah seorang anak buahku akan mengambilnya.

Kau lakukan atau tidak, terserah kepadamu. Nyawa putera

mahkota ada ditanganmu, Mirta! Sekarang keluar dari sini.

Pergi!”. Mali Kodra mendorong tubuh laki-laki itu hingga Mirta

terhuyung-huyung ke arah pintu. Tapi dia tak mau

meninggalkan ruangan tersebut melainkan tetap berdiri dengan

pandangan mata yang mengancam.

“Seret bangsat gila itu keluar!” perintah Mali Kodra. Dua

orang anak buahnya segera bergerak. Keduanya merenggutkan

tangan Mirta dan menyeret pemuda itu keluar pintu. Mirta

dilemparkan diantara semak-semak dan kedua rampok itu

kemudian masuk kembali kedalam rumah.

Diluar, pagi yang dingin menyambut kedatangan Mirta. Dia

mulai menggigil. Bukan saja karena dingin, tapi juga

disebabkan oleh luka-luka dan bengkak-bengkak yang diseluruh

kepalanya mulai terasa perih sakit serta berdenyut-denyut. Saat

itu dia terhantar diatas semak-semak dengan tubuh

menelentang keatas. Entak berapa lamanya dia berada dalam

keadaan seperti itu. Tiba-tiba dia sadar bahwa tidak seharusnya

dia berbuat seperti itu. Dia harus berbuat sesuatu, harus

melakukan sesuatu untuk menyelamatkan Suwantra.

Dikumpulkannya seluruh kekuatannya. Dengan perlahan-lahan

dia berdiri diatas kedua kakinya meskipun sempoyongan. Apa

yang harus dilakukannya? Tanpa senjata dan tanpa kekuatan

dia tak bisa membebaskan Suwantra. Atau haruskah dia cepat- cepat meninggalkan tempat itu kembali kekampungnya dan

menurut apa yang diperintahkan oleh pemimpin rampok itu?

Dia berpikir-pikir mencari akal. Saat itu pintu rumah tampak

terbuka dan Mali Kodra keluar dengan bertolak pinggang.


“Benar-benar terkutuk kau, Mirta. Mengapa kau masih berdiri

disitu menghabiskan waktu saja? Ayo cepat angkat kaki dari

sini!”.

“Kau yang terkutuk Mali Kodra. Aku bukan manusia setan

sepertimu yang bisa berlari secepat kilat! Mana bisa aku pulang

pergi kekampungku dalam waktu tiga hari tanpa mengendarai

kuda......?” jawab Mirta dengan berteriak keras dari tempatnya

berdiri. Pemimpin rampok itu tampak berpikir-pikir sebentar,

kemudian menoleh kedalam. “Markim, pergi ambil seekor kuda

dan berikan pada bangsat itu!”. Orang yang diperintahkan

melangkah kepintu belakang, membuka pintu itu dan keluar.

Dibelakang rumah disebuah kandang kuda terdapat enam ekor

kuda ditambah dengan tiga ekor kuda-kuda cadangan. Markim

mengambil salah seekor dari ketiga kuda cadangan itu dan

membawanya keluar kandang kemudian memberikannya pada

Mirta. Mirta menerima tali kekang kuda itu sambil memandang

tajam pada Markim dia berkata, “Aku tahu, bung. Semuanya ini

adalah rencana busukmu bukan? Tunggulah, aku akan kembali

untuk menebas batang lehermu!”. Markim menyeringai

mengejek dan tak berkata apa-apa. Perlahan-lahan Mirta naik

keatas kuda yang diberikan kepadanya. Dia menarik tali kekang

dan berlalu dari tempat itu. Mali Kodra dan Markim

memperhatikannya sampai Mirta menghilang dibalik semak- semak.

Mirta juga punya akal yang panjang. Dia segera dapat

menduga bahwa tak mungkin bagi perampok-perampok itu

untuk tetap berdiam dirumah tersebut. Walaupun mereka

menawan Suwantra saat itu, tapi tentu mereka juga

memikirkan keselamatan diri masing-masing. Mau tak mau

mereka pasti akan khawatir terhadap serangan mendadak yang

akan dilancarkan oleh orang-orang suku Kayan. Disatu tempat

laki-laki itu membelokkan kudanya. Dia menyelinap diantara

semak belukar. Mirta tak mempedulikan lagi bagaimana

bajunya yang basah dengan keringat itu habis robek-robek

direnggutkan oleh semak-semak tajam dan ranting-ranting

runcing. Bahkan rasa sakit dikepalanya juga tidak

diacuhkannya. Kurang dari lima menit kemudian atap rumah


itu telah tampak kembali dimukanya. Dia mendekat dengan

hati-hati tanpa menimbulkan suara. Mirta datang dari bagian

belakang rumah. Dibalik semak-semak yang lebat dia

menunggu dengan sabar sementara matahari semakin naik

juga.

Sepuluh menit menunggu akhirnya pintu belakang itu

tampak dibuka. Tiga orang anak buah Mali Kodra keluar dari

dalam langsung menuju kekandang. Mereka mengeluarkan

tujuh ekor kuda dan membawanya kehalaman samping. Salah

seorang dari mereka kemudian kembali lagi untuk menambah

makanan bagi sisa kuda-kuda yang tinggal. Mirta melihat

Suwantra dalam keadaan masih terikat didudukkan

kepunggung seekor kuda kemudian Markam naik pula keatas

kuda yang sama. Lalu kelihatan Mali Kodra bersama yang lain-

lainnya. Pemimpin rampok itu mengendarai kudanya dimuka

sekali bersama Markim dan tawanan, kemudian baru menyusul

anak-anak buahnya. Mirta keluar dari persembunyiannya dan

dalam jarak yang agak jauh mulai mengikuti rombongan itu.

Mali Kodra mempunyai banyak sekali sarang-sarang rahasia.

Dan saat itu Suwantra tengah dibawanya kesatu sarang rahasia

yang terletak kurang dari tiga kilo dari sarangnya yang tadi.

Tapi seperti sarang-sarangnya yang lain, maka sarang kemana

Suwantra dibawa saat itu sangat susah untuk diketahui,

meskipun jarak antara sarangnya yang satu dengan yang lain

tidak begitu berjauhan. Setelah mengetahui tempat dimana- mana Suwantra dibawa itu, maka Mirta memutar kudanya. Dia

mengambil jalan yang menuju kekota kembali untuk terus

menuju kekampungnya melalui Srimbilan.

DELAPAN

TIGA hari sesudah Suwantra dan Mirta meninggalkan rumah

besar, maka datanglah Kiman bersama istrinya yang sedang

hamil besar beserta anak-anaknya. Kepada ayah Suwantra di

Srimbilan. Dan karena peristiwa itulah maka dia terpaksa

mengungsi untuk sementara kesana. Aditiajaya dan istrinya

Suwantri juga turut mendengarkan cerita yang dituturkan

Kiman.

Seminggu berlalu. Suwantra dan Mirta belum juga kembali.

Orang serumah besar terutama kedua orang tua pemuda itu

dan juga Suwantri mulai resah. Kini memasuki minggu kedua.

Minggu kemudian berakhir pula dan kedua pemuda itu belum

juga kembali. Dan kini minggu ketiga hampir habis pula.

Keresahan dan kegelisahan yang mula-mula hanya dan

disimpan didalam hati kini mulai diutarakan dengan ucapan- ucapan. Hanya Aditia seorang yang kelihatan masih tenang-

tenang.

Siang itu, selesai makan Aditia masuk kekamarnya. Dia

tampak bersiap-siap seperti orang yang hendak berangkat. “Kau

mau kemana, Aditia?” tanya istrinya. Pertanyaan itu hanya

dijawab dengan senyuman oleh sang suami. “Aku akan

meninggalkan kau sebentar, Wantra. Mungkin seminggu atau

lebih......”.

“Tapi kau mau kemana?” tanya Suwantri lagi.

“Masa kau tidak tahu......? Semua orang disini diliputi

kecemasan. Kedua orang tuamu, juga kau. Aku akan menyusul

kakakmu. Agaknya ada sesuatu yang tak beres dengan dia dan

Mirta. Dan sebelum kau menyatakannya, sebaiknya kudahului

saja. Kau tak boleh ikut Wantri! Dengar-dengar. Dan itu bukan

perintah orang yang bernama Aditia heh, tapi perintah seorang

suami. Dan wajib ditaati!” kata Aditia sambil tersenyum.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya dan mencubit lengan

suaminya. “Kalau aku boleh tanya, mengapa aku tak boleh pergi

bersamamu. Aditia......?”.

Aditia mencium kening istrinya dan menjawab, “Adat negeri

mana saja ditanah air ini adalah satu kejanggalan bagi seorang

perempuan yang baru bersuami untuk keluar jauh-jauh dari

rumahnya. Dan kau adalah penganten baru!”. Suwantri

menarik nafas dalam. “Apa kau sudah katakan pada ayah dan

ibu?”. Aditia menganggukkan kepalanya.

“Kalau begitu baiklah. Kau boleh pergi asal......”.

“Asal apa puteriku......?” tanya Aditia sambil memegang dagu

istrinya yang lembut mungil


“Asal kau jangan coba main gila diluaran cari pacar baru!”

kata Suwantri pula. Aditia tertawa gelak-gelak. “Kau ini ada-ada

saja, Wantri...... Kalau aku masih seorang jejaka mungkin aku

akan main gila diluaran, cari pacar dimana-mana. Tapi kini aku

bukan perjaka lagi, bukan? Mungkin sudah hampir menjadi

seorang ayah dari seorang bayi yang masih disimpan Tuhan

disana.....” dan Aditia menunjuk keperut istrinya. Muka

Suwantri menjadi merah dan dengan tangan kanannya

ditinjunya dada Aditia. “Tobat! Kau mau bikin mati aku

Suwantri? Memukulku seperti itu......?”.

“Habis kau yang buat gara-gara! Waktu masih belum kawin

kau bersikap alim, bicaranya sopan. Tapi kini sesudah kawin

mulutmu kenapa jadi usil sekali?!”

“Jadi kau marah?!” tanya Aditia.

“Ya! Memang aku marah! Mari kesini dekat-dekat!”. Aditia

melangkah mendekati istrinya dan perempuan itu merangkul

suaminya dengan mesranya......”. Selamat jalan Aditia, selamat

jalan suamiku. Hati-hati dan lekaslah kembali......”.

“Baik tuan puteriku yang manis......” jawab Aditia dengan

senyum dan mengecup bibir perempuan itu.

Walaupun banyak kuda-kuda yang besar-besar dan tegap-

tegap yang dapat dipergunakan Aditia dalam perjalanannya

namun dia memutuskan untuk pergi dengan kedua kakinya

alias berlari. Dengan mempergunakan ilmu larinya, menjelang

rembang petang dia sampai di Srimbilan. Sorenya dia tidak

meneruskan perjalanan dan malam itu dia menginap dirumah

kosong yang ditinggalkan Kiman. Rumah itu dicarinya dengan

agak susah payah setelah tanya sana tanya sini pada penduduk.

Gaspar, anak buah Mali Kodra yang menjadi pemimpin

rampok dikota Srimbilan telah lama kasak kusuk sibuk mencari

keterangan dimana adanya Kiman bersama anak istrinya. Dia

sangat mendendam kepada Kiman karena Kimanlah yang

menjadi gara-gara sampai dia bersama anak buahnya dihajar

habis-habisan oleh Suwantra dan Mirta tempo hari, bahkan

ketiga orang anak buahnya itu, yaitu Lasa, Samin dan Gulam

menemui ajalnya ditangan kedua pemuda tersebut. Meskipun

setiap orang ditanya dan dimintakannya keterangan, namun


kemana perginya Kiman sekeluarga masih juga tidak diketahui

oleh Gaspar. Setiap saat rumah yang ditinggalkan Kiman selalu

diawasinya. Dia sudah mulai bosan dengan pekerjaan mencari

keterangan dan mengintai-intai seperti itu. Malam itu sebelum

dia memutuskan untuk pergi ke Kuala guna menemui

pemimpin besarnya yaitu Mali Kodra. maka Gaspar sekali lagi

melakukan pengintaian dirumah Kiman.


Saat itu Aditia dalam perjalanan kembali dari kedai nasi

setelah makan malam disana. Menjelang akan sampai kerumah

Kiman dibelakangnya didengarnya langkah-langkah kaki. Apa

pula yang dicurigakan Aditia terhadap orang yang berjalan


dibelakangnya itu? Dia memasuki halaman rumah. Tanpa

diketahuinya, orang yang berjalan dibelakangnya tadi

mendadak menghentikan langkah. Ordng itu tak lain adalah

Gaspar yang tengah hendak melakukan pengintaian kerumah

Kiman. Dia terkejut ketika melihat orang yang berjalan

dimukanya berkelok kerumah yang menjadi intaiannya terus-

terusan selama ini. Jalan dan potongan tubuh Aditia memang

agak mirip dengan Kiman, meskipun Aditia sedikit lebih tinggi

dan lebih tegap. Tapi pada malam hari perbedaan itu tak akan

kelihatan dengan tegas, apalagi dijalan yang gelap. Dia

mempercepat langkahnya. Sepuluh meter dari rumah Kiman

dia membelok memasuki halaman rumah lain dan melalui

pagar samping dia kemudian sampai dibelakang rumah Kiman.

Dia mengendap-endap dikegelapan. Seluruh rumah dilihatnya

diliputi kegelapan.

Karena pintu keruangan dalam dikunci, maka Aditia

terpaksa tidur diruangan depan dengan mempergunakan empat

buah kursi yang disusun rapat sebagai tempat tidur. Karena

perjalanan yang cukup meletihkan tadi siang, ditambah dengan

perut yang kenyang padat maka kedua matanya mulai terasa

mengantuk. Dia menguap dua kali berturut-turut. Saat itu

Gaspar telah sampai diruangan depan. Dia mengintai kedalam.

Dikegelapan dilihatnya orang yang dicarinya selama ini tengah

membaringkan dirinya diatas jejeran kursi-kursi. “Aneh,

mengapa bangsat itu tidur disana? Tidak pergi kedalam......”

pikir Gaspar. Tapi ketika dia ingat apa yang telah dialami ketiga

kawan-kawannya dan dia sendiri, maka rasa amarahnya yang

kembali timbul meluap-luap tidak membuat dia untuk

menyelidiki keanehan itu lebih lanjut. Dengan cepat dicabutnya

goloknya dan dia menghambur masuk keruangan depan itu.

Murid Eyang Wilis yang saat itu hampir hendak merapatkan

matanya karena perasaan dan pendengarannya yang tajam

cepat menyadari bahwa dirinya berada dalam keadaan bahaya.

Matanya melihat satu sosok tubuh yang memegang sebuah

golok mendatanginya dari pintu depan dengan cepat. Lebih

cepat dari gerakan musuh gelap yang menyerangnya itu. Aditia

membalikkan diri. Dia jungkir balik bersama keempat kursi itu.


Dan pada detik itu pula golok yang ditangan Gaspar

menghantam salah satu dari kursi yang tadi bekas ditiduri

Aditia. Kursi kayu itu pecah berantakan berkeping-keping!

“Siapa kau yang menyerang orang secara pengecut?!” bentak

Aditia dengan keras dan gusar. Kalau Gaspar mau meneliti

sedikit suara Aditia itu maka dia akan segera menyadari bahwa

orang yang diserangnya bukanlah Kiman. Tapi karena dendam

dan amarah yang meluap-luap dia tak memperhatikan semua

itu. Kini dia menyerang kembali dengan ganas. Untuk kedua

kalinya Aditia mengelak. Gaspar semakin kalap. Dia mengamuk

dan mendesak Aditia.

“Katakan siapa kau, bangsat!” teriak Aditia sekali lagi.

“Monyet, jangan banyak tanya! Jangan pura-pura tidak tahu!

Kau lupa peristiwa dua mingu yang lalu dimana tiga orang

kawanku menemui ajalnya karena engkau?!”

“Kalau begitu kau salah sangka bung, aku bukan orang yang

kau maksudkan itu. Aku baru saja datang sore tadi dari luar

kota!” menerangkan Aditia.

“Aku juga tahu bahwa kau bersembunyi ditempat lain,

bangsat. Saat ini kau kembali kesini dan detik ini juga kau harus

serahkan nyawamu!” ujar Gaspar dan dia menyerang lagi. Lebih

cepat dan lebih ganas. Goloknya berkelebat deras didalam

gelap. Aditia masih belum mau memberikan perlawanan.

“Tahan, kawan! Hentikan seranganmu. Mari kita bicara dulu!”.

“Bicaralah nanti dengan setan-setan dineraka!” balas Gaspar.

“Kau keras kepala, bung! Tapi baiklah.........” Aditia

menggeser kakinya. Serangan lawan datang dari sebelah muka

kearah kepalanya. Dengan cepat Aditia memiringkan kepalanya

sedang kedua tangannya turut bergerak. Golok lewat disamping

kanan. Dengan tangan kanannya dirampasnya senjata itu

sedang tangan kirinya menghantam dada lawan. Gaspar

menjerit kesakitan dan tubuhnya mental kebelakang

menghantam dinding dengan keras sehingga dinding itu bobol!

Gaspar melosoh kelantai dan punggungnya serasa hancur.

Pemandangannya menggelap dan dari mulutnya keluar suara

rintihan.


“Bagaimana, bung? Aku sudah katakan bahwa aku bukan

orang yang kau cari. Sekarang rasakan sendiri!” kata Aditia.

Kemudian dia meraba-raba kantong Gaspar yang saat itu

melonjor tak berdaya dilantai rumah. Benda yang dicarinya

akhirnya ditemuinya juga yaitu korek api. Korek dinyalakan dan

diterangkan kemukanya. “Buka matamu lebar-lebar, sobat! Dan

lihat apakah aku Kiman atau bukan?”. Gaspar mengangkat

kepalanya dan memandang kemuka Aditia yang diterangi oleh

nyala korek api.

“Kau siapa...... mengapa berada dirumah ini......” terdengar

pertanyaan dari Gaspar.

“Aku bukan Kiman. Aku cuma kawannya. Dan kau tentunya

Gaspar bukan? Hem...... sungguh perkenalan yang dimulai

dengan cara yang tak enak sekali!” kata Aditia. Samar-samar

melalui penerangan korek api yang ditangannya yang hampir

mati. Aditia melihat sebuah lampu gantung diruangan itu. Dia

menyalakan sebuah korek api lagi dan menghidupkan lampu

itu. Kemudian dia mengambil kursi dan duduk menghadap

kepada ‘kenalan’ barunya itu.

“Aku tahu mengapa kau menyerang aku......” kata Aditia

sambil memandang pada Gaspar yang duduk dilantai bersandar

kedinding yang bobol dibelakangnya. “Kau menyangka aku

Kiman bukan? Dan terhadap Kiman kau punya dendam

kesumat! Seharusnya apa yang telah dialami oleh ketiga kawan- kawanmu yang kini berada dalam kubur-kubur gelap didalam

tanah itu sudah cukup menjadi peringatan bagimu. Sudah

cukup menjadi peringatan untuk segera meninggalkan segala

macam perbuatan jahat yang kau lakukan selama ini. Tapi

sebaliknya malahan kau mengikuti rasa dendammu, kau masih

tetap berbuat jahat!”.

“Sudah......! Aku muak mendengar pidatomu......” ujar

Gaspar.

“Dan aku juga muak melihat tampangmu. Pergi dari tempat

ini sebelum kuseret kau keluar sana!” hardik Aditia. Gaspar

berdiri dengan susah payah. Dadanya yang tadi kena terpukul

masih terasa sakit. “Aku tak akan melupakan tampangmu,


bangsat!” Kelak kau akan terima pembalasan dariku!” kata

Gaspar sebelum memutar tubuhnya.

“Bagus kalau begitu. Pergilah cepat-cepat obati dadamu itu

dan nanti kembali kesini guna melanjutkan perhitungan kita.

Tapi kalau kau datang kesini dan aku tidak ada...... cari saja ke

Kuala. Dan kalau kau anggap perlu, boleh juga bawa kira-kira

selusin kawan-kawanmu, bung!” jawab Aditia. Gaspar

melangkah dengan tertatih-tatih. Ketika laki-laki itu telah

menghilang dari pemandangannya. Aditia menyusun kursi yang

centang perenang tadi. Kini cuma tiga buah kursi yang bisa

dipakainya sebagai tempat tidur karena kursi yang keempat

sudah patah-patah tak bisa dipergunakan lagi. Dia terpaksa

tidur dengan melipat kakinya. Dan malam itu murid Eyang

Wilis bermimpi. Rasanya dia melihat sebuah perahu ditengah

lautan berisi dua orang penumpang laki-laki. Ternyata

keduanya adalah Suwantra dan Mirta. Tiba-tiba laut yang tadi

tenang menjadi bergelombang dan topan mengamuk dengan

dahsyatnya. Perahu itu melambung keudara dihempaskan

ombak besar dan kedua orang yang didalamnya berpelantingan

keudara untuk kemudian masuk kedalam laut dan tak muncul- muncul lagi. Pada akhir mimpi itu Aditia terjaga dari tidurnya.

Lama dia merenungi arti dari mimpi tersebut. Makin direnung

makin tak enak hatinya. Dia bangkit dari kursi itu dan menuju

keluar. Dilangit dilihatnya bulan telah mulai condong kearah

tenggelamnya. Dia menduga saat itu kira-kira pukul tiga

malam.

Karena khawatir akan terjadi apa-apa terhadap kedua orang

yang baru saja diimpikannya itu Aditia akhirnya memutuskan

untuk meneruskan perjalanan malam itu juga. Semalam- malaman itu dia berlari terus dengan cepat tiada berhenti- henti. Ketika fajar mulai menyingsing dia sampai ketepi sungai.

Dia membersihkan diri disana dan ketika pagi tiba dia telah

memasuki kota. Kini dia tidak berlari lagi melainkan berjalan

biasa sambil memasang mata kesetiap jurusan melihat-lihat

kalau-kalau orang yang dicarinya berada disekitar jalan yang

dilaluinya


Akhirnya dia sampai kemuka kedai itu. Dia berpikir-pikir

apakah dia makan dulu lalu baru meneruskan penyelidikan

ataukah menyelidik dulu lalu baru pergi makan. Bau sedap yang

keluar dari rumah makan itu akhirnya membuat murid Eyang

Wilis memasuki kedai.

Pada saat Aditia mencapai pintu kedai, pada detik itu pula

Mirta mengendarai kudanya dengan cepat dijalan dimuka

kedai. Dan adalah satu kebetulan saja saat itu Mirta

melayangkan pandangannya kesamping muka kearah kedai

sehingga walaupun sekilas saja tapi dia berhasil melihat Aditia

yang tengah memasuki kedai. Dengan cepat ditahannya tali

kekang. Kuda itu berhenti lima meter melewati kedai. Mirta

memutar arah kembali. Tanpa menambatkan binatang itu dia

segera memasuki kedai.

“Aditia!” katanya dengan gembira ketika Aditia tengah

mencari-cari tempat duduk yang baik. Murid Eyang Wilis

membalikkan tubuhnya. “Mirta! Kau! Astaga......... apa yang

terjadi dengan mukamu. Dan Suwantra mana?!” tanya Aditia

dengan terkejut.

“Mari kita ambil tempat duduk dipojok sana......” bisik Mirta.

Kedua orang itu melangkah kearah meja yang terdapat disudut

kedai.

“Suwantra berada dalam bahaya besar! Dia ditawan oleh

kepala rampok Mali Kodra!”.. Menerangkan Mirta begitu

keduanya duduk ditempat masing-masing.

“Apa?!” tanya Aditia dengan terkejut. Dia hampir-hampir tak

bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh laki-laki itu.

“Bagaimana bisa terjadi hal yang demikian?” tanyanya

kemudian. Dan Mirta mulai menceritakan segala sesuatunya

mulai dari pertemuan mereka dengan Mali Kodra bersama anak

buahnya kira-kira tiga minggu yang lalu dikedai dimana mereka

berada saat itu. “Dan dikedai inilah aku harus datang untuk

menyerahkan uang yang seribu ringgit itu!” kata Mirta

mengakhiri keterangannya. Kedua orang itu kemudian sama- sama termenung beberapa lamanya. “Apa yang harus kita

lakukan? Pergi kesarangnya Mali Kodra saat ini juga......?”


“Suwantra berada ditangan mereka. Kita harus berhati-hati

dalam bertindak. Agaknya kita tak akan bisa membebaskan dia

dengan cara kekerasan. Meskipun kita berhasil menyapu semua

perampok-perampok itu tapi keselamatan jiwa Suwantra yang

ada diantara mereka akan sangat terancam. Pada saat kita

bertempur menghadapi mereka, salah seorang dari mereka bisa

saja membereskan Suwantra. Dan kalau sudah demikian tak

ada artinya pertolongan kita” kata Aditia pula.

“Jadi kita harus kembali kekampung guna mengumpulkan

uang tebusan yang seribu ringgit itu......?” tanya Mirta. Aditia

menggeleng dan menatap wajah yang bengkak-bengkak dan

celemongan dari kawannya itu. “Sebaiknya kau mintalah air

didapur dan cucilah dulu mukamu yang kotor itu......” kata

Aditia. Mirta baru ingat akan keadaannya dan segera bangkit

lalu pergi kebelakang. Selesai mencuci mukanya, dan segera

bangkit lalu pergi kebelakang. Selesai mencuci mukanya, ketika

dia kembali dimeja telah terletak dua gelas teh hangat dan nasi

beserta gulai. Keduanya segera makan dengan cepat.

“Kembali pada persoalan semula” kata Aditia begitu selesai

keduanya makan. “Aku punya rencana. Menurut keteranganmu

dulu kalian telah mendapat bagian uang dari hasil

pengumpulan uang penduduk disini. Apa uang itu masih ada

padamu?”.

“Masih! Kami simpan disatu tempat dirumah Kepala

kota......” jawab Mirta.

“Menurut perjanjian kau harus menyerahkan uang itu dalam

tiga hari. Jadi berarti lusa......” Kemudian Aditia segera

menerangkan rencana yang telah tersusun diotaknya saat itu

kepada Mirta. Mirta tampak mengangguk-angguk tanda setuju.

“Sekarang mari kita kerumah Kepala kota untuk mengambil

uang itu. Apa kau rasa cukup baik kalau aman kalau kita

menginap disana?” tanya Mirta.

“Aku akan lihat dulu keadaan rumah itu......” jawab Aditia

sambil berdiri.

Setelah membayar harga makanan, kedua orang itu segera

keluar dari kedai.


SEMBILAN

PADA hari perjanjian, semenjak jam sepuluh pagi Mirta telah

berada dikedai itu. Dibangku disamping kirinya terletak sebuah

kantong kain yang besar. Kopi yang terhidang didepannya

belum juga diminumnya. Begitu juga anak buah Mali Kodra

yang akan mengambil uang tebusan belum juga datang.

Sebentar-sebentar Mirta menoleh kepintu kedai, memandang

keluar. Dia sudah mulai kesal. Setengah jam kemudian baru

seorang penunggang kuda yang ternyata adalah Markim, anak

buah Mali Kodra berhenti dimuka kedai. Dia masuk sambil

melayangkan pandangannya kesetiap bagian kedai. Akhirnya

dia melihat Mirta. Markim segera menuju ketempat dimana

Mirta duduk.

“Sudah lama......?” tanya laki-laki itu. Mirta mengangguk.

Markim memandang kekantong kain yang disamping Mirta.

“Itu......?” tanyanya, dan Mirta mengangguk lagi. Markim

menggeser duduknya dan membuka ikatan kantong tersebut.

Senyum gembira tersungging disudut bibirnya ketika matanya

melihat uang-uang ringgit yang didalam kantong kain itu. Dia

mengikatnya kembali padahal kalau saja dia menyibakkan

uang-uang ringgit tersebut, maka dibawah tumpukan uang yang

hanya berjumlah 28o ringgit itu akan ditemuinya tumpukan

batu-batu kerikil!

“Seribu ringgit?” tanya Markim.

“Seribu ringgit! Tak lebih dan tak kurang! Sesuai dengan

perjanjian!” jawab Mirta pula sambil meneguk kopinya.

“Kita berangkat sekarang.” kata Markim sambil berdiri dan

tangannya memegang kantong uang itu.

“Kita tidak minum dulu?” tanya Mirta. Markim menggeleng.

“Biar aku yang bawa kantong uang itu!” kata Mirta kemudian.

“Biar aku saja! ujar Markim.

“Siapa yang membawa uang tidak ada dalam perjanjian

bukan? Dan sebagai musuh aku sudah tentu tak bisa

mempercayaimu. Suka atau tidak suka aku yang akan


membawa uang itu!” tukas Mirta sambil mengangkat kantong

uang. Markim tak menjawab dan keduanya keluar dari kedai.

Tiga menit kemudian mereka telah meninggalkan kota.

Tanpa setahu Markim, seorang laki-laki yang berlari secepat

angin mengikutinya dari belakang sedang Mirta sendiri sudah

maklum bahwa Aditia tentu membuntuti mereka karena itu dia

tak mau menoleh-noleh kebelakang karena takut akan

mencurigakan Markim. Sampai didalam hutan mereka

memperlambat jalan kuda masing-masing. Mirta mulai

bersikap waspada. Anak buah Mali Kodra itu disuruhnya jalan

lebih dahulu sedang dia mengikuti dari belakang. Satu jam

kemudian telah kelihatan dari balik semak-semak tempat

persembunyian Mali Kodra. *

* * Dipulau Kalimantan disamping Mali Kodra, terdapat lagi

lima orang kepala rampok lain yang masing-masing dari

mereka mempunyai daerah-daerah kekuasaan tersendiri.

Seperti Mali Kodra, kelima kepala-kepala rampok itu juga

mempunyai banyak anak buah dan rata-rata mempunyai

kesaktian yang tinggi. Antara masing-masing kepala rampok

tersebut terdapat persatuan. Dan sekali tiga bulan mereka

mengadakan pertemuan. Kebetulan saat itu adalah saatnya

mereka mengadaan pertemuan. Dan pada nertemuan tiga bulan

yang lalu mereka telah sama berjanji bahwa pertemuan yang

akan datang akan dilangsungkan ditempatnya Mali Kodra yaitu

dirumah besar didalam hutan dimana Suwantra mula-mulai

sekali ditawan bersama Mirta.

Karena dalam membereskan urusan yang membawa

keuntungan seribu ringgit tersebut, Mali Kodra sebagai yang

telah diceritakan sebelumnya telah pergi kesarangnya yang lain

guna menghindarkan hal-hal yang tak diingini. Ketika Mali

Kodra teringat akan rencana pertemuan itu, dengan segera

dikirimnya seorang anak buahnya untuk menyambut

kedatangan sobat-sobat seperjuangannya itu


Kena kepala-kepala rampok yang rata-rata berwajah seram

angker itu datang pada hari yang sama dengan hari perjanjian.

Ikut bersama mereka saat itu adalah dua orang gadis kakak

beradik yang parasnya cantik-cantik. Keduanya adalah tawanan

dari salah seorang kepala rampok yang bernama Somaha.

Simpun, anak buah Mali Kodra segera menyambut kedatangan

mereka.

“Mana pemimpinmu? Kenapa sepi saja disini? Apa Mali

Kodra lupa akan janji pertemuan itu?”, tanya kepala rampok

yang bernama Kukas.

“Beliau tidak lupa. Beliau menyuruh saya menyambut

kedatangan pemimpin-pemimpin sekalian karena saat ini

pemimpin saya tengah berada disarangnya yang lain, tengah

menghadapi satu persoalan penting. Beliau berpesan kalau

pemimpin-pemimpin sekalian suka menunggu disini, silahkan

masuk dan menunggu. Tapi kalau ingin lekas-lekas bertemu,

saya telah siap mengantarkan pemimpin-pemimpin sekalian

kesana”, kata Simpun dengan hormatnya. Kelima kepala

rampok itu segera berunding dan akhirnya memutuskan untuk

pergi saja menemui rekannya itu disarangnya.

Pertemuan antara Mali Kodra dengan kelima sahabat- sahabatnya itu sangat hangat sekali. Seperti saudara-saudara

kandung yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertemu

layaknya. Mali Kodra memeluk kawan-kawannya satu demi

satu.

“Selamat datang. selamat datang. Kalian datang pada saat

yang baik sekali. Aku tengah menantikan satu keuntungan

besar yang akan datang beberapa saat lagi. Dan kita semua akan

pesta besar! Ha...... ha...... ha......” Keenam kawan seperjuangan

itu sama-sama tertawa terbahak-bahak. Mali Kodra melirik

pada kedua gadis yang masih duduk diatas punggung dua ekor

kuda disampingnya kemudian menoleh pada kelima

sahabatnya. “Siapa adanya gadis-gadis cantik itu......?”

tanyanya.

Kepala rampok yang bernama Somaha, seorang yang

mempunyai kepala yang luar biasa besarnya serta berambut

gondrong menyeringai dan membuka mulut : “Mereka adalah


anak-anak perempuan dari seorang saudagar intan di Negara.

Aku bersama anak buahku berhasil menculiknya. Lalu aku

minta uang tebusan sebanyak 5000 ringgit. Tapi orang tuanya

yang bodoh itu mengirim orang-orang bayarannya. Karena hari

pertemuan kita sudah dekat maka aku memutuskan untuk

membawa saja kedua gadis ini ketempatmu untuk penambah

semarak pesta pertemuan kita!”.

“Akur! Akur!” teriak Mali Kodra dengan gembira. “Masih

gadis dan cantik sekali. Ha...... ha...... ha......! Astaga aku sampat

lupa menyilahkan kalian masuk. Ayo mari masuk kawan- kawan. Mari masuk! Dan dewi-dewi yang jelita itu apa perlu

aku tolong menurunkan dari atas kuda......?” Kedua anak

saudagar intan itu hanya menundukkan kepala. Dalam

perjalanan tak henti-hentinya mereka menangis dan menjerit-

jerit. Sehingga saat itu seakan-akan air mata mereka telah

kering karena menangis terus-terusan, sedang kerongkongan

mereka juga sudah terasa sakit karena menjerit tiada hentinya.

Kedua gadis itu tahu apa yang akan mereka alami beberapa saat

lagi. Mereka tahu apa artinya kalau mereka memasuki rumah

itu dan karena itulah mereka tetap duduk diam tak bergerak

diatas punggung kuda masing-masing.

“Kenapa malu-malu dewi-dewi manis...... ayo mari masuk.

Lama-lama diluar nanti kulit kalian yang putih mulus itu

menjadi hitam ditimpa sinar matahari......” kata salah seorang

kepala rampok yang bernama Tisna, seorang yang bertubuh

gemuk pendek dengan daging yang sangat besar gempal di

tengkuknya. Tiba-tiba semua orang memutar kepala dan

memandang kesatu arah yang sama.

“Anak buahku!” kata Mali Kodra sambil menyeringai. Dan

apa yang dikatakannya itu ternyata benar. Dua orang

penunggang kuda muncul dari balik semak-semak. Yang

didepan adalah Markim sedang menyusul dibelakangnya adalah

Mirta. Sekeluarnya dari balik semak-semak, Mirta segera mulai

dengan sandiwaranya. Dengan sengaja dia memegang kantong

uang yang ikatannya telah dibukanya dengan diam-diam

ditengah jalan. Beberapa puluh dari uang-uang ringgit yang

didalam tumpah berhamburan ketanah. Mirta pura-pura


terkejut dan cepat turun dari kudanya. Semua orang yang

berada dihalaman rumah, terutama Mali Kodra segera

melangkah. Semua perhatian tertuju pada uang yang

berhamburan. Begitu juga anak-anak buah Mali Kodra yang

berada didalam rumah cepat keluar untuk membantu mereka

mengumpulkan uang tersebut sedang ketika turun dari atas

kuda, Mirta sekali lagi sengaja menjatuhkan uang yang didalam

kantong, membuat Mali Kodra yang sejak tadi menahan geram

menjadi menyumpah-nyumpah. Dan pada saat itulah, pada saat

semua mata dan perhatian tertuju kepada kedatangan Mirta

dan Markim, tertuju pada uang-uang ringgit yang berceceran

dimana-mana, pada saat tak seorangpun yang ada didalam

rumah, dengan cepat sesosok tubuh meloncat jendela yang

terbuka dari rumah itu. Suwantra yang terikat diruangan

tengah menjadi terkejut ketika melihat bayangan sosok tubuh

itu. Dia mengangkat kepalanya. “Aditia!” katanya dengan lebih

terkejut dan tak percaya. Aditiajaya memberi isyarat agar

Suwantra berdiam diri. Dengan cepat dibukanya seluruh tali

yang mengikat tubuh laki-laki itu.

“Aku ditotok pada ketiakku sebelah sin......... tolong

lepaskan!” bisik Suwantra. Aditia tak menjawab. Dia

membungkuk dan dengan satu gerakan yang cepat tubuh

Suwantra telah berada diatas bahu kanannya. Dan kemudian

tanpa diketahui satu orangpun dia keluar melompati jendela

semula dan menghilang dibalik semak-semak.

Disatu tempat yang rapat dengan semak belukar Aditia

menurunkan Suwantra dari bahunya. Dan baru disana dia

melepaskan totokan yang melemahkan tubuh pemuda itu.

Begitu totokan terlepas Suwantra badannya mengalami

perubakan besar. Meskipun mukanya yang bengkak dan penuh

darah itu terasa sakit, namun kekuatan tubuhnya yang selama

ini mengalami totokan, kini boleh dikatakan telah pulih sebagai

sedia kala. Aditia mengeluarkan sebuah benda kecil yang

terbungkus seperti permen. Kertas pembungkusnya dibukanya

dan sambil menyodorkan benda itu kepada Suwantra dia

berkata. “Kunyah obat ini dan telan, cepat!”. Tanpa banyak

tanya, Suwantra segera melakukan apa yang dikatakan oleh


Aditia. Beberapa detik kemudian sesudahnya obat itu berada

didalam perutnya, dia merasakan tubuhnya sehat seperti tak

mengalami apa-apa sebelumnya.


“Kau sudah siap?” tanya Aditia. Orang yang ditanya

mengangguk. Dan dengan cepat keduanya meninggalkan

tempat itu.

Dihalaman samping rumah...... Selesai mengumpulkan uang

yang berceceran ditanah, Mali Kodra segera merampas kantong

uang yang ditangan Mirta. Dia membalik dan memandang pada

keempat orang anak buahnya. “Ikat bangsat ini!” katanya

memerintah. Mirta undur beberapa langkah dengan sangat

terkejut sekali. “Mali Kodra, kau lupa perjanjian yang telah kita

buat?! Uang itu, seribu ringgit telah kuberikan ketanganmu,

sekarang kewajibanmu untuk melepaskan Suwantra! Mengapa

kau suruh orang-orangmu menangkapnya?! Tepati

perjanjianmu, Mali!”.

“Jangan banyak mulut!” bentak Mali Kodra dengan mata

yang dibesarkan. “Ayo anak-anak, cepat tangkap dia dan ikat!”.

Mirta melompat kepunggung kudanya, tapi sebelum dia

berhasil meninggalkan tempat itu, salah seorang anak buah

Mali Kodra telah menjambret bajunya membuat Mirta

terhuyung-huyung dan jatuh ketanah. Ketika dia bangun

sebuah tali telah mulai diikatkan ketangannya. Dia berontak

tapi tak berhasil.

Seorang laki-laki yang berpakaian putih-putih melesat dari

balik semak-semak. Semua orang yang berada ditempat itu

terkejut. Dan lebih terkejut lagi ketika orang yang tak dikenal

itu dengan satu gerakan yang luar biasa hebatnya berhasil

menghantam mental keempat orang anak buah Mali Kodra

yang tengah menangkap dan mengikat Mirta. Dua dari keempat

orang itu jungkir balik ditanah dan tak bangun-bangun lagi.

Yang dua orang lagi yaitu Markim dan Isim cepat berdiri dan

mencabut golok masing-masing.

Mali Kodra cepat mengangkat tangannya memberi tanda

pada kedua anak buahnya yang hendak menyerang laki-laki tak

dikenal itu. Isim dan Markim menghentikan langkah mereka.

Mali Kodra berdiri dengan bertolak pinggang kira-kira lima

langkah dari hadapan orang yang berpakaian serba putih

sedang kelima orang kawan-kawannya juga memandang pada

orang itu. Masing-masing mereka telah melihat serangan tiba-

tiba yang dilakukan laki-laki itu dan sama memaklumi bahwa

musuh tak dikenaI itu adalah seorang yang berilmu tinggi.

“Orang asing, siapa kau adanya yang berani datang kesini

mencari urusan?!” tanya Mali Kodra dengan suara gemetar

karena geram. Orang yang berdiri dihadapan Mali Kodra

menyeringai. Dia tak lain adalah Aditia. Murid Eyang Wilis

membuka mulut, bukan untuk memberikan jawaban,


sebaliknya balas bertanya. “Apa kau manusianya yang bernama

Mali Kodra?!”.

“Kurang ajar!” maki Mali Kodra sambil memukulkan tinju

kanannya ketelapak tangan kirinya. “Ditanya malahan

menanya! Memang aku Mali Kodra. Aku Mali Kodra yang akan

merobek mulutmu yang sinting itu!”. Pemimpin rampok ini

maju mendekati Aditia. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika

sesosok tubuh lain muncul dibalik semak-semak dibelakang

Aditia. Ketika dia melihat orang yang baru datang itu dia

terkejut.

“Bangsat! Jahanam, siapa yang melepaskan kau?!” rutuk

Mali Kodra dengan geram.

“Tak usah banyak tanya Mali Kodra! Mari kita selesaikan

perhitungan!” jawab Suwantra sambil melangkah mendekati

pemimpin rampok itu. Ditangannya tergenggam sebuah kayu

besar. Mali Kodra undur beberapa langkah kebelakang sambil

memandang buas pada Suwantra. Kemudian matanya yang

menyala itu menoleh pada Aditia. “Jadi kau bangsatnya yang

telah melepaskan tawananku hah?!” Kau kawannya?! Baik!

Setelah dia kubikin binasa, kelak kau akan mendapat bagianmu

pula. Jangan lari, bung!”.

“Aku tidak akan lari, Mali Kodra. Kulihat disini banyak pula

kawan-kawanmu. Aku percaya bahwa kau akan menghadapi

lawanmu secara laki-laki, satu demi satu!” balas Aditia sambil

melangkah mundur. Saat itu Mali Kodra telah mengeluarkan

kedua senjatanya yaitu sebuah golok panjang dan sebuah

bambu kuning. Golok ditangan kanan dan bambu ditangan kiri

maka laki-laki itu mulai menyerang. Mata Aditia

memperhatikan dua jurusan. yang pertama adalah

memperhatikan perkelahian, sedang yang kedua adalah

memperhatikan kelima orang kepala-kepala rampok yang

berdiri dekat tangga rumah. Kedua orang gadis yang sejak tadi

masih duduk dipunggung kuda masing-masing, pada saat

perkelahian dimulai segera turun dari atas kuda itu dan

menjauhkan diri ketempat yang aman.

Kepala rampok yang bernama Somaha memperhatikan

kedua gadis itu dan berkata. “Tetap ditempatmu itu! Kalau kau

berani melarikan diri, nasibmu akan lebih celaka!”. Kedua gadis

itu berdiri dengan lutut gemetar. Aditia melirik pada Somaha,

lalu pada kedua gadis kakak beradik itu. Dia segera memahami

apa yang telah dilakukan Somaha terhadap gadis-gadis cantik

itu. Dari pakaian yang dipakai gadis-gadis tersebut Aditia telah

mengetahui bahwa mereka adalah anak-anak orang yang kaya

raya tentunya.

Jurus pertama dimulai dengan serangan Mali Kodra. Kedua

senjata yang ditangannya datang dari jurusan samping secara

berlawanan, memapas kearah dada dan kepala. Suwantra yang

kekuatannya sudah seperti sedia kala segera memhungkuk

dengan cepat. Kayu besar yang ditangannya memapas kearah

pinggang lawan. Mali Kodra menjejak tanah dan tubuhnya

melesat keudara. Serangan lawan sama-sama dapat dielakkan.

Suwantra cepat membalikkan tubuhnya pada saat tongkat

bambu kuning lawannya menusuk kearah punggung. Waktu dia

berhasil mengelakkan serangan bambu kuning, senjata Mali

Kodra yang kedua datang dari samping kirinya kearah iga.

Dengan kayu yang ditangan kanannya, Suwantra coba memukul

lengan kanan laki-laki itu. Tapi serangan golok yang diancarkan

oleh Mali Kodra hanya satu tipuan belaka. Mali Kodra menarik

tangan kanannya dengan cepat. Golok itu berputar arah

membabat kearah dada sedang bambu kuning menghantam

kebagian bawah perutnya. Suwantra membuang diri

kebelakang. Dia berjumpalitan ditanah dan cepat berdiri. Mali

Kodra tak memberi kesempatan untuk menyerang pada

lawannya. Golok dan bambu kuningnya mengirimkan

gempuran berantai yang sangat cepat. Suwantra menambah

kecepatan bergeraknya untuk mengelakkan semua serangan itu.

Pada saat serangan dahsyat lawannya terhenti seketika

karena dia menjauhkan diri dengan sengaja, maka Suwantra

merubah permainan silatnya. Kayu besar yang ditanganya

berputar bergulung-gulung.

“Ha...... ha...... ha. Ilmu semacam ini ada didalam kantongku,

bung!” ejek Mali Kodra sambil balas menyerang dengan kedua

senjatanya. Tapi tiba-tiba dia mengeluarkan seruan terkejut

karena kayu yang ditangan Suwantra dengan kecepatan yang

amat sangat hampir saja meremukkan pinggangnya. Mali Kodra

berlaku lebih hati-hati kini. Memasuki jurus keenam dia mulai

terdesak. Lebih-lebih ketika Suwantra mulai pula

mempergunakan pukulan-pukulan tangan kirinya yang berisi

tenaga dalam yang tinggi. Mali Kodra mulai sibuk dan dipaksa

mundur terus-terusan. Jurus ketujuh berlangsung sangat seru

sekali. Kedua lawan itu sama-sama bergerak cepat. Berputar- putar sambil menangkis dan menyerang. Kedua senjata Mali

Kodra setelah mengurung Suwantra beberapa detik lamanya

akhirnya terpaksa dipakai untuk bertahan menangkis

hantaman-hantaman kayu dan tangan kiri Suwantra. Kayu

besar yang ditangan pemuda itu mencari sasaran dilutut kanan

lawan. Mali Kodra melompat keatas. Tapi dari atas, tinju kiri

lawan datang bersamaan kearah kepalanya. Dengan tongkat

bambu kuning yang ditangannya Mali Kodra coba memukul

lengan kiri Suwantra. Suwantra memiringkan lengan kirinya

dan ketika Mali Kodra menjejak tanah kembali, ujung bambu

kuning itu telah berhasil dipegang oleh Suwantra. Suwantra

menarik senjata itu dengan keras, tapi lawannya

mempertahankan dengan gigih. Terjadilah tarik menarik yang

dahsyat. Tenaga dalam kedua orang itu saling bentrokan. Mali

Kodra segera memaklumi bahwa tenaga dalam lawannya jauh

lebih unggul dari tenaga dalamnya sendiri. Maka itu sebelum

berhasil merampas bambu kuning itu dari tangannya, dengan

sigap dia melancarkan dua buah serangan secara sekaligus.

Serangan yang pertama adalah datang dari golok panjangnya

yang menyambar kearah tangan Suwantra yang memegang

bambu kuning. Sedang serangan kedua adalah berupa

tendangan kaki kanan yang mengarah kebawah perut. Suwantra

terpaksa melepaskan pegangannya pada senjata lawan. Sambil

meloncat mundur dia menggerakkan tangan kanannya. Kayu

yang dipakainya sebagai senjata datang dengan kecepatan yang

luar biasa menghantam kearah golok lawan. Golok dan kayu

besar itu beradu keras. Ujung kayu terbabat puntung sedang

golok Mali Kodra mental keudara dan jatuh diantara semak- semak. Kedua musuh sama-sama menjauhkan diri.


Kini dengan senjata hanya sebuah tongkat bambu kuning itu

Mali Kodra menghadapi lawan tangguhnya. Rasa kecutnya

menjadi hilang karena amarah yang meluap-luap dan nafsu

besar untuk segera dapat memusnahkan lawannya. Kedua

musuh itu saling berhadap-hadapan kembali. Dan pertempuran

selanjutnya adalah dikuasai oleh Suwantra sekalipun Mali

Kodra bertahan dengan gigih dan mengeluarkan seluruh

kepandaiannya.

Saat itu memasuki jurus keempat belas. Pemimpin rampok

itu telah terdesak hebat. Kayu yang ditangan Suwantra benar- benar telah mengurung lawan. Pukulan-pukulan tongkat

bambu ditangkis dengan lengan sehingga lengan Suwantra

penuh dengan bekas-bekas tanda memerah yang sakitnya tidak

dirasakan sama sekali oleh pemuda itu. Selain sudah terdesak

hebat. Mali Kodra juga sudah mulai kehabisan tenaga. Seluruh

pakaiannya telah basah oleh keringat. Saat itu kalau tidak malu

maulah dia berteriak pada kawan-kawannya untuk minta

bantuan. Jurus keempat belas berlalu. Kini datang jurus kelima

belas. Suwamtra memutar-mutar kayunya mulai dari kaki terus

kearah kepala lawan. Mali Kodra sudah tak berdaya lagi.

Nasibnya hanya tinggal beberapa detik saja. Ketika kayu besar

yang ditangan Suwantra tiba-tiba berubah arah dan melayang

kekepalanya dengan deras, dia tak punya kesempatan lagi

untuk mengelak!. Dan pada saat yang menentukan itu pulalah

Aditia melihat salah seorang dari kelima laki-laki yang berdiri

dekat tangga rumah melemparkan sebuah pisau besar kearah

tubuh Suwantra. Sebelum senjata yang dilemparkan secara

gelap itu menemui sasarannya dipunggung Suwantra. Murid

Eyang Wilis mengangkat tangan kanannya dan

memukulkannya kearah senjata itu. Pukulan tenaga dalam yang

maha besar menghantam pisau tadi hingga mental ketempat

lain. Suwantra selamat sedang kayu besar yang ditangannya

telah menghantam deras mengenai sasarannya dikepala Mali

Kodra. Pemimpin rampok iiu meraung seperti kerbau

disembelih. Kepalanya rengkah dan tubuhnya terbanting

ketanah dengan keras sedang nyawanya tamat disitu juga


SEPULUH

PADA saat sebelum Mali Kodra jatuh tergelimpang ditanah

tanpa nyawa, pada detik itu pula kelima orang kepala rampok

kawan-kawan Mali Kodra bergerak menyebar dengan cepat dan

mengurung Suwantra.

“Kalian manusia-manusia pengecut hendak mengeroyokku

berramai-ramai? Ayo majulah dan nasibmu akan sama dengan

nasib bangsat itu!” bentak Suwantra tanpa gentar sama sekali.

Sementara itu, dengan satu gerakan yang sangat cepat

Aditiajaya meloncat kedekat mayat Mali Kodra mengambil

senjata bekas pemimpin rampok itu yaitu sebuah golok panjang

dan tongkat bambu kuning. Kemudian sambil meloncat

ketengah kalangan disamping Suwantra, Aditia berteriak pada

Mirta. “Mirta menghindar dari sini dan bawa kedua gadis itu

ketempat yang aman!”. Mendengar teriakan tersebut, kepala

rampok yang bernama Somaha yang telah menculik kedua

gadis itu segera menyerang kearah Aditia.

Yang dihadapi oleh kedua pendekar itu bukanlah lawan-

lawan yang enteng lembek. Orang pertama yang membuka

serangan yaitu Somaha adalah murid seorang guru sakti

digunung Niut. Kalimantan barat. Dia telah menuntut ilmu silat

yang tinggi selama lima tahun sambil melakukan perampokan.

Orang yang kedua adalah kepala rampok yang bernama Jantra.

Tubuhnya gemuk pendek, ilmu meringankan tubuhnya sudah

mencapai taraf yang tinggi, begitu juga tenaga dalamnya.

Gurunya adalah seorang pertapa sakti didanau Jempang,

Kalimantan timur. yang ketiga adalah Kukas. seorang

keturunan Gorontalo yang telah lama tinggal dipulau

Kalimantan. Ketinggian ilmunya juga tak bisa dianggap enteng.

Kepala rampok keempat bernama Tisna, asli turunan Madura.

Tisna dulunya bekas anak buah kepercayaan dari seorang

pemimpin bajak laut yang kemudian beralih menjadi rampok

darat dan memimpin segerombolan perampok disekitar

pegunungan Kapuas Hulu. Siapa gurunya tak ada diantara

kawan-kawannya yang mengetahui, tapi kehebatan ilmu

silatnya sangat dikagumi oleh kawan-kawannya. Yang kelima

adalah Luntra. Orang yang terakhir ini mempunyai tampang

yang paling menyeramkan diantara kepala-kepala rampok itu.

Kabarnya dia menuntut ilmu dari seorang pertapa perempuan

dilereng gunung Kinibalu, Kalimantan Utara. Selain menjadi

murid dari pertapa perempuan yang sakti itu, Luntra juga

menjadi ‘suami’ tidak sah dari gurunya sendiri!

Karena kelima orang itu telah sama bertekad bulat untuk

menamatkan riwayat Suwantra dan Aditia, disamping mereka

juga mengetahui kehebatan pendekar-pendekar itu, maka

masing-masing dari mereka segera mengeluarkan senjata- senjata simpanan mereka. Somaha mengeluarkan sebuah

pedang yang berkeluk ditengahnya. Kukas mencabut sebuah

tongkat besi yang ujungnya bercabang dua, dan masing-masing

ujung kedua cabang senjata tersebut berbentuk lancip seperti

anak panah. Senjata Jantra adalah sebentuk pecut yang terbuat

dari kulit badak yang kuat atos. Tisna mengeluarkan sebuah

penggada yang berbentuk seperti palu penumbuk satu bata, dan

akhirnya senjata orang yang kelima yaitu Luntra adalah sebuah

rantai besi yang diujungnya dicantolkan sebuah bola besi

berduri. Memang sangat hebat tentok senjata pemberian

gurunya Luntra, alias istrinya sendiri! Lima kepala rampok,

murid dari guru-guru sakti melawan dua pendekar kawakan,

sungguh satu pertempuran yang hebat sekali!.

Sambil mengelakkan sambaran pedang berkeluk dari

Somaha, Aditia melemparkan pedang kepunyaan Mali Kodra

yang tadi diambilnya kepada Suwantra yang segera disambut

dengan cepat dan cekatan oleh adik iparnya itu. Dengan

masing-masing memegang senjata kepunyaan Mali Kodra

ditangan, kedua pendekar menghadapi kelima pengeroyok itu.

Keduanya saling bertolak punggung. Somaha, Kukas dan Jantra

menyerang Aditia sedang Suwantra menghadapi dua

pengeroyok lainnya yaitu Tisna dan Luntra.

Pedang Somaha membabat kearah pinggang. Senjata Kukas

meluncur kearah mukanya sedang pecut kulit badak dari Jantra

menghantam kearah kaki. Tiga serangain yang dahsyat

mematikan dan serba cepat itulah yang harus dihadapi oleh


Aditia. Aditia tahu bahwa dia tak bisa mengelakkan ketiga

serangan cepat itu dengan mundur atau meloncat kebelakang

karena tubuhnya akan membentur tubuh Suwantra. Kalau

perbenturan sesama kawan itu terjadi bukan saja Aditia tak

berhasil mengelakkan serangan lawan-lawannya tapi juga akan

membahayakan bagi diri Suwantra. Karena itu dengan ilmu

mengentengi tubuh yang sudah sampai kepuncaknya dia

membuang kesamping kiri. Tangan kiri mencapai tanah dan

tubuhnya berjumpalitan diudara. Kepala kebawah kaki keatas.

Sekaligus senjata Somaha yang mengarah kepinggang dan

senjata Jantra yang menghantam ke kaki dapat dielakkan Aditia

sedang senjata Kukas yang kini jadi menusuk kearah perutnya

dipukulnya dengan tongkat bambu kuning yang ditangannya.

Kedua senjata, besi dan bambu sama beradu keras, saling

menggetarkan tangan orang-orang yang memegangnya. Satu

detik kemudian Aditia telah berdiri diatas kedua kakinya

kembali.

Bersamaan dengan saat Aditia mengalami tiga serangan

dahsyat itu, dibelakangnya Suwantra juga mendapat serangan

dari kedua lawan yang dihadapinya. Senjata yang berbentuk

palu yang ditangan Tisna melayang kearah kepalanya, datang

dari samping kanan sedang rantai berbola besi dari Luntra

membabat kepinggang terus arah perut. Dengan menundukkan

kepala Suwantra mengelakkan serangan pertama sedang

dengan golok panjangnya ditangkisnya sambaran rantai maut

dari Luntra. Sementara itu karena serangan Somaha dan Jantra

mengenai tempat kosong maka tubuh kedua orang itu sedikit

terhuyung-huyung kemuka dan dengan demikian dia berada

dekat sekali dibelakang punggung Suwantra. Kedua orang itu

segera menyerang Suwantra yang tengah membelakang itu.

“Suwantra awas serangan dari belakang!” teriak Aditia

memperingatkan pemuda itu. Sekalipun tidak diperingatkan

seperti itu namun Suwantra juga telah dapat mendengar

sambaran angin dari senjata kedua lawannya yang menyerang

secara licik itu. Dengan cepat Suwantra menjatuhkan dirinya

ketanah. Sambil bergulingan ditanah Suwantra memutar golok

panjang yang ditangannya diatas tubuhnya. Tiga orang


lawannya yaitu Tisna, Somaha dan Kukas terpaksa meloncat

keudara untuk menyelamatkan kaki masing-masing dari

babatan golok. Sebelum ketiganya menjejak tanah kembali

Aditia telah menyerbu kemuka. Bambu kuning yang

ditangannya berputar-putar dengan deras kearah tiga sasaran

yang masih mengapung diudara. Tisna membuang diri

kebelakang. Luntra jungkir balik tapi gerakannya itu

membentur badan kawan sendiri yaitu Jantra. Akibatnya Jantra

terpelanting kemuka dan laki-laki itu tak sempat lagi

mengelakkan sambaran bambu kuning yang datang menuju

paha kirinya. Jantra menjerit keras begitu bambu kuning

menghantam pahanya. Dia terjungkal kesamping. Tulang

pahanya terasa seperti remuk dan dagingnya yang terpukul

perih panas. Laki-laki ini berguling ditanah dan menjauhi

gelanggang pertempuran. Dia menahan jalan nafasnya

beberapa lama sambil mengalirkan tenaga dalamnya kebagian

yang kena terpukul oleh senjata kawannya sendiri yaitu senjata

Mali Kodra yang dipergunakan oleh Aditia.

Keadaan kini berubah. Yang dihadapi oleh Suwantra adalah

Somaha dan Tisna sedang Kukas bersama Luntra mengurung

Aditia dibagian lain. Suwantra memutar golok yang

ditangannya dengan cepat. Suara senjata itu bersiuran. Dengan

senjata masing-masing yaitu pedang berkeluk dan penggada

berbentuk palu. Somaha bersama Tisna berusaha membendung

serangan golok dan mendesak Suwantra. Beberapa kali ketiga

senjata mereka itu saling bentrokan dengan keras. Ketika

gempurannya mulai terbendung, maka sebelum terdesak

Suwantra mempercepat permainan goloknya. Somaha dan

Tisna juga mempercepat gerakannya namun masih kalah cepat

dengan gerakan lawan yang dikeroyoknya. Golok panjang

Suwantra membabat kearah tengah tubuh kedua lawannya.

Tisna meloncat kebelakang sedang Somaha memalangkan

pedangnya untuk menangkis serangan itu. Tapi mendadak arah

senjata Suwantra berubah membalik memapas kembali kearah

leher Somaha. Lawannya merunduk sambil menangkis kembali

dengan pedangnya. Karena dalam bertahan seperti itu

kedudukan Somaha kurang kuat maka ketika kedua senjata


mereka saling bentrokan pedang yang ditangan Somaha

terlepas dan terpelanting kesamping. Laki-laki itu cepat-cepat

meloncat dan mengulurkan tangannya untuk mengambil

kembali pedangnya. Suwantra cepat memapaskan goloknya

kearah lengan lawan. Tapi dia terpaksa menarik serangannya

itu karena penggada besar dari Tisna hendak mencari sasaran

diperut bagian bawahnya. Terpaksa Suwantra mempergunakan

goloknya menangkis serangan tersebut.


Tisna dan Somaha kini mulai mempergunakan tangan-

tangan kiri mereka untuk melancarkan pukulan-pukulan tenaga

dalam yang dahsyat. Suwantra mengerahkan tenaga dalamnya


pula untuk mempertahankan diri. Bilamana tenaga dalam

kedua lawannya datang secara bersamaan maka dirasakannya

tubuhnya tergetar hebat. Tapi untung karena dia memiliki

kekuatan yang tangguh maka tubuhnya bagian dalam tak

sampai kena dicelakai oleh kedua lawannya itu. Sambaran

pedang dan penggada datang dengan cepat kearah lambung dan

dadanya. Suwantra menggeser kaki kirinya kebelakang.

Tubuhnya miring kesamping kiri. Pedang Somaha lewat tapi

masih sempat merobek pakaiannya sedang dengan goloknya

dihantamnya senjata lawan yang kedua. Somaha melancarkan

serangan beruntun kearah kaki dan kepala. Suwantra

berkelebat cepat mengelakkan serangan itu. Golok panjang

yang ditangannya bergulung-gulung sedang kakinya melayang

kian mencari sasaran. Somaha dan Tisna mulai merasakan

kedahsyatan lawannya. Mereka hampir tak punya kesempatan

untuk menyerang kini. Ketlka Tisna menghantamkan

senjatanya keperut Suwantra, pemuda itu meloncat kesamping.

Tisna menggeser kakinya dan menyerang sekali lagi tapi

Suwantra menyapu serangannya itu dengan tebasan golok.

Tisna mundur selangkah, sebelum dia dapat memasang kuda- kuda yang baru. Suwantra telah menyerang dengan cepat

kearah kepalanya. Tisna merunduk tapi bersamaan dengan itu

kaki kanan lawannya datang dari muka. Dia membanting diri

kesamping namun tetap pinggul kanannya kena terserempet

tendangan Suwantra. Tisna terjerongkang kebelakang hampir

menubruk kawannya sendiri. Laki-laki itu bangun dengan

tubuh sedikit miring. Tendangan lawannya, walaupun tidak

tepat datangnya tapi cukup untuk membuat Tisna

mengerenyitkan kening menahan sakit. Sebelum Tisna maju

kembali, Suwantra cepat menggempur Somaha. Pedang dan

golok panjang bersilang cepat kian kemari. Sekali-kali saling

bentrokan dengan memercikkan bunga api. Dalam setengah

jurus saja Somaha mulai mundur kebelakang. Dia segera

merubah permainan pedangnya. Tubuhnya meloncat kian

kemari. Sebentar dikiri, sebentar dikanan bahkan kadang- kadang dia berhasil berada dibelakang tubuh lawannya. Namun

sebelum dia berhasil mengayunkan pedangnya, Suwantra telak

terlebih daluhu membalikkan tubuh. Diam-diam Somaha mulai

merasakan tanganya yang menggenggam pedang menjadi pedas

panas. Dia maklum bahwa tenaga dalam lawannya lebih hebat

dari tenaga dalamnya sendiri. Karena itu dia kini bertempur

dengan agak merenggang. Namun lawannya terus datang

merapat mengirimkan sambaran-sambaran golok yang keras

dan cepat. Ketika golok lawan menusuk dari samping kiri,

Somaha meloncat kekanan. Lawannya memburu menghantam

kebawah kakinya. Kini Somaha terpaksa melompat keatas

sambil membacokkan pedangnya kearah kepala Suwantra. Tapi

sebelum pedang itu sempat diayunkannya kebawah, dengan

ketepatan yang luar biasa Suwantra melompat kemuka.

Kepalanya yang keras seperti batu itu menghantam perut

Somaha dengan keras membuat laki-laki itu mengeluarkan

suara seperti orang muntah. Dia terpelanting kebelakang. Saat

itulah Suwantra mempergunakan goloknya, membabat kearah

pinggang Somaha. Tapi Somaha masih sanggup

memelintangkan pedangnya dimuka tubuhnya. Sehingga

meskipun paha kanannya kini yang kena sambaran senjata

lawan namun nyawanya selamat dari kematian.

Bersamaan dengan Somaha jatuh tertelentang ditanah, pada

saat itu pula, datang sambaran angin dari sampingnya. Tisna

yang tadi kena ditendang pinggulnya kini maju kembali. Tapi

segera dia dibuat tak berdaya oleh Suwantra. Senjata palu yang

pendek ditangannya sama sekali merupakan senjata mati yang

tak bisa dipakai untuk menghadapi golok panjang dari

Suwantra. Palu itu hanya bisa dipakainya untuk

mempertahankan diri, sama sekali tak bisa untuk balas

menyerang. Tisna mempergunakan kekuatan tenaga dalamnya

dengan memukulkan tinju-tinju kirinya dari jarak jauh kepada

lawannya. Tapi cuma baju Suwantra yang tampak berkibaran

kena pukulan tenaga dalam itu sedang tubuhnya tak bisa

terluka sama sekali. Pada saat itu Somaha sibuk mengobati

lukanya dan belum bisa maju kegelanggang pertempuran

kembali untuk membantu Tisna yang sudah terdesak hebat.

Golok Suwantra menyambar tiada henti mengurung tubuh

lawannya. Tisna melompat kian kemari. Ketika dia berhasil


mengelakkan, satu sambaran yang cepat, dia coba untuk

menendang perut lawannya tapi golok Suwantra datang

membalik ke arah kakinya itu. Tisna buru-buru menarik pulang

kakinya dan ganti menyerang dengan palu besarnya namun

sempat di elakkan lawan. Kini kembali senjata Suwantra

membabat kearah kepalanya. Tisna merunduk sambil

mengirimkan jotosan tangan kiri kebawah perut lawan tapi

serangan itu gagal dengan serta merta karena Suwantra lebih

cepat mengangkat lutut kanannya. Dan Tisna tak menduga

sama sekali kalau kaki yang diangkat itu akan terus

melancarkan serangan kearahnya. Dengan sedapat-dapatnya

dia coba menangkis tendangan kaki kanan Suwantra dengan

tangan kiri. Dia tahu bahwa lengannya akan hancur atau patah

terkena tendangan itu. Tapi dia lebih suka menerima hal

tersebut dari pada tendangan lawan menghantam bawah

perutnya membuat dia mampus disitu juga. Begitulah, Tisna

terpaksa mengorbankan lengan kirinya dimakan tendangan

kaki kanan Suwantra sehingga tulang lengannya menjadi patah.

Dia menjerit keras dan bergulingan ditanah. Tapi seperti orang

kalap dia bangkit kembali dan mengamuk seperti orang yang

kemasukan setan. Saat itu Somaha telah masuk kekalangan

pertempuran kembali. Melihat cara berkelahi Tisna yang seperti

orang gila itu. Somaha segera memperingati kawannya. “Tisna!

Kuasai dirimu. Jangan berkelahi secara ceroboh tak karuan

seperti itu......”.

“Auuu!”. Belum lagi habis kata-kata peringatan Somaha,

telah terdengar jeritan kematian dari Tisna. Golok panjang

menancap diperutnya terus tembus sampai kepunggung!

Somaha mengertakkan geraham tanda amarahnya mendidih.

Dia meloncati pembunuh kawannya itu. Dengan cepat

Suwantra mencabut goloknya dan menangkis tetakan pedang

Somaha. Pada detik kedua senjata itu beradu keras dengan

mengeluarkan suara dan percikan bunga api, pada saat itu pula

tubuh Tisna yang sudah tak bernyawa itu jatuh mencium tanah!

Somaha melancarkan serangan terus menerus dengan cepat.

Dia tahu kalau dia memberi kesempatan sekali saja pada

lawannya untuk balas menyerang maka dia akan dibuat tak


berdaya sama sekali. Suwantra mengetahui taktik lawannya itu.

Karena itu dia terus bertahan dengan gigih. Dia menunggu

sampai saat yang ditentukannya. Lima jurus kemudian setelah

menyerang terus menerus, Somaha mulai letih. Nafasnya sengal

sedang tangannya yang memegang pedang mulai pegal dan

pedas. Serangannya mulai mengendur karena dia terpaksa

harus mengatur jalannya pernafasan dan menggerakkan tenaga

dalamnya kembali. Dan kesempatan inilah yang dinantikan

oleh Suwantra. Sebelum lawannya sempat mengatur nafas,

golok panjangnya berkelebat cepat, membuat Somaha menjadi

gugup. Dia bertahan dengan gigih, lalu terpaksa mundur satu

langkah kebelakang, lalu dua langkah dan kemudian selangkah

lagi sampai seterusnya. Somaha terdesak hebat kini!

Salah seorang dari ketiga kepala-kepala rampok yang

mengurung Aditia melihat keadaan kawannya yang terpepet itu.

Dia adalah Jantra yang tadi telah kena ditendang oleh Aditia.

Jantra yang telah merasai bekas kaki Aditia meskipun dia

bukan seorang yang pengecut tapi memaklumi bahwa lawan

yang dikeroyoknya itu bukan orang sembarangan sedang

dibagian lain Somaha dilihatnya berada dalam keadaan

terancam. Sambil meloncat keluar dari kalangan pertempuran

dia berteriak pada kawan-kawannya : “Kurung terus bangsat

itu! Dia sudah mulai kehabisan tenaga! Aku akan bantu

Somaha......!” Jantra menghentikan teriakannya karena

dilihatnya Aditia melambaikan tangannya kearahnya. Dia

bergulingan pada saat yang tepat yaitu ketika pukulan tenaga

dalam Aditia menghantam kearah tubuhnya. Meskipun dia

berhasil menyelamatkan diri namun sambaran angin pukulan

itu cukup membuat bulu tengkuknya berdiri dan menggigilkan

tubuhnya.

Kini masing-masing pendekar tersebut dikeroyok oleh dua

orang. Somalia dan Jantra mengoroyok Suwantra sedang Kukas

dan Luntra mengeroyok Aditia. Sampai saat itu Aditia masih

belum dapat merubuhkan salah seorangpun dari lawan-

lawannya meskipun Luntra telah berhasil dipukulnya dua kali

berturut-turut pada dadanya dengan jotosan tinju kiri yang

berisi aji tapak besi berapi. Hanya pakaian yang dipakai Luntra


tampak hangus sedang kulit dadanya hanya menghitam

sekalipun dia dengan kesaktian dan kekuatan tenaga dalamnya

dia masih sanggup menahan kedua pukulan yang dahsyat dari

murid Eyang Wilis itu. Kukas, dengan ilmu mengentengi

tubuhnya yang tinggi berhasil mengelakkan pukulan-pukulan

tangan kiri dan sambaran-sambaran bambu kuning Aditia, tapi

kini ketika Jantra memisahkan diri untuk membantu Somalia

yang tengah didesak hebat oleh Suwantra, maka pertempuran

antra Aditia dan kedua pengeroyoknya mulai berubah. Kukas

dan Luntra mulai hati-hati dan terus menggempur dengan

serangan-serangan hebat. Aditia berkelebat cepat diantara

kedua lawannya. Bambu kuning yang ditangannya bergerak

deras berputar-putar. Kedua kaki dan tangan kirinyapun tak

tinggal diam. Makin lama gerakan ketiga orang itu semakin

cepat dan ketiganya hanya berupa bayang-bayang yang

mengeluarkan angin bersiuran. Tiba-tiba Aditia menghentikan

gerakanya sama sekali. Besi bercabang runcing dari Kukas dan

rantai bola berduri dari Luntra sama-sama melayang kearah

kepalanya. Murid Eyang Wilis merunduk. Tangan kirinya

memukul kesamping kearah lengan Luntra sedang bambu

kuning yang ditangan kanan menghantam kebawah ketiak

Kukas. Luntra bersama Kukas sama-sama meloncat kesamping.

Malang bagi Luntra, kakinya masih sempat dikait oleh Aditia.

Tubuhya miring kesamping dengan keras dan jatuh berdambin

ketanah. Sebelum dia dapat berdiri kembali sekali lagi

tendangan Aditia menghajar pinggangnya. Untung saja tidak

begitu tepat, tapi cukup membuat Luntra meliuk-liuk kesakitan.

Kukas datang dari samping kiri. Senjatanya mengeluarkan

angin bersiuran ketika membabat kearah punggung Aditia.

Tanpa memutar tubuhnya, Aditia memalangkan bambu kuning

yang ditangan kanannya. Satu detik sebelum bambu dan besi

beradu, dengan kecepatan yang luar biasa Aditia meloncat satu

langkah kemuka. Serangan yang dilancarkan dengan tenaga

luar dalam yang kuat deras itu mengenai tempat kosong,

akibatnya membuat tubuh Kukas terhuyung-huyung kemuka

karena kehilangan keseimbangannya. Saat itu Aditia bisa

memukul tubuh lawannya dengan senjata yang ditangannya,


tapi dia tidak melakukan yang serupa itu sebaliknya melompati

lawannya, menangkap pinggang laki-laki itu dan

membantingkan kearah Luntra yang saat itu baru saja coba

untuk berdiri. Kedua kepala rampok itu jatuh bergulingan

ditanah. Luntra merintih kesakitan karena tubuhnya tertimpa

dan terhimpit oleh tubuh Kukas sedang Kukas sendiri

mengalami lecet pada siku kirinya. Kedua orang itu bangkit

kembali sementara menunggu dengan tangan kiri bertolak

pinggang.

Luntra menyumpah-nyumpah. Pandangannya membentur

pada keenam orang anak buah Mali Kodra yang berdiri ditepi

kalangan pertempuran memperhatikan adu kekuatan itu.

:Kalian manusia-manusia sontoloyo! Kalian kira ini sandiwara

yang hanya untuk ditonton?! Ayo bantu kami cepat!” teriak

Luntra. Keenam anak buah Mali Kodra yang berdiri dekat

tangga rumah saling berpandangan satu sama lain kemudian

sama mencabut golok masing-masing dan maju karena

pertempuran. Tiga orang kesebelah kiri dan tiga orang lagi

kesebelah kanan. Kini jumlah orang-orang yang mengeroyok

kedua pendekar itu menjadi semakin banyak!

SEBELAS

MELIHAT jumlah pengeroyok menjadi semakin banyak,

Mirta yang bersembunyi dibalik semak-semak dan mengawal

kedua gadis culikan tadi segera menghunus goloknya. Tapi

salah seorang dari kedua gadis itu memegang lengannya.

“Saudara kau mau kemana? Jangan tinggalkan kami! Biar

mereka bertempur, tak usah bantu! Kedua kawanmu cukup

kuat menghadapi pengeroyok-pengeroyoknya. Sebaliknya mari

kita meninggalkan tempat ini. Kalau kami selamat sampai

kerumah, orang tua kami akan menghadiahkan uang dalam

jumlah yang besar sekali padamu!”

“Aku tidak butuh uangmu, saudari!” jawab Mirta dengan

gusar. “Aku lebih membutuhkan keselamatan kawan-kawanku.

Kalau ingin pergi menyelamatkan diri dari sini silahkan


pergi......!”. Kedua gadis itu menjadi merah mukanya dan kakak

dari gadis yang pertama tadi membuka mulut dengan tenang.

“Aku tahu bagaimana hati seorang kawan. Tapi saudara, kalau

kau keluar dari sini dan membantu kedua kawan-kawanmu,

siapa yang akan menjaga keselamatan kami? Percuma saja kau

mengawal kami semenjak tadi. Kami cuma perempuan- perempuan yang tak punya daya apa-apa. Kalau salah seorang

dari kepala-kepala rampok itu menyingkir dan menuju kesini,

kau cukup tahu apa artinya. Kami lebih membutuhkan

pertolongan dari pada kedua sabahatmu itu......”.

Mirta tak menjawab dan beberapa saat kemudian goloknya

dimasukkannya kedalam sarungnya kembali. Dia

memperhatikan pertempuran selanjutnya.

Meskipun jumlah pengeroyokan jadi lebih banyak, namun

hal itu tidak menjadi suatu apa bagi Suwantra maupun Aditia.

Pengeroyok-pengeroyok yang baru datang hanya mengandalkan

tenaga luar belaka. Dalam dua jurus saja Suwantra dan Aditia

telah berhasil menyapu pengeroyok-pengeroyok yang baru

datang itu sehingga dalam memasuki jurus selanjutnya kembali

jumlah pengeroyok mereka masing-masing seperti semula.

Baju Aditia dan baju kedua pengeroyok telah basah oleh

keringat, begitu juga baju Suwantra dan lawan-lawannya.

Murid Eyang Wilis memutar-mutar bambu kuning yang

menjadi senjatanya. Kedua lawannya juga bergerak cepat.

Dalam satu gebrakan yang seru, besi bercabang yang ditangan

Kukas berhasil menjepit senjata Aditia sementara dari samping

rantai bola berduri melayang deras kearah kepalanya. Sambil

merunduk Aditia menarik senjatanya namun karena hal itu

dilakukannya sambil merunduk maka dia kalah cepat dengan

Kukas. Kukas terlebih dahulu memutar senjatanya. Bambu

kuning yang ditangan Aditia patah dua! Senjata Kukas terus

meluncur kearah mata murid Eyang Wilis. Kini dalam

kemarahannya. Aditia memukul senjata lawannya dengan

tangan kanan sedang tangan kirinya menyambar keperut

Luntra. Luntra yang tiada menyangka serangan yang secepat itu

tidak punya kesempatan untuk mengelak. Jotosan yang berisi

aji gada dewata bersarang diperutnya. Mata laki-laki itu


membeliak, nafasnya sesak dan tubuhnya rebah ketanah tapi

dia tidak mati. Dia berjuang untuk tidak pingsan. Mengatur

jalan darahnya dan mengerahkan tenaga dalamnya kebagian

perut. Aditia berkelebat. Kedua tangannya berhasil meraih

tubuh Kukas. Apa yang terjadi selanjutnya adalah bagaimana

tubuh Kukas jungkir balik diudara. Aditia menyambutnya

dengan tendangan tapak besi berapi tapi dengan cara yang

sangat lihay. Kukas yang tubuhnya masih mengapung diudara

berhasil mengelakkan tendangan itu bahkan dengan senjata

yang masih berada ditangannya dia berhasil memukul kaki

kanan Aditia. Murid Eyang Wilis menggigit bibirnya keras- keras menahan sakit. Dan kesabarannya lenyap sudah! Kukas

yang masih mengapung diudara kembali diserangnya. Kukas

sekali lagi mempergunakan senjatanya untuk membendung

serangan Aditia. Tapi dengan cepat Aditia memukul lengan

laki-laki itu merampas senjatanya dan mencengkeram lehernya.

Kukas menjadi sesak nafasnya karena cengkeraman Aditia

seperti cepitan besi yang teguh. Karena gagat melepaskan

cekikan itu, sementara kedua kakinya telah menjejak tanah

kembali. Kukas segera menghujani perut dan dada Aditia

dengan jotosan-jotosan keras dan cepat. Ketika terdengar

sambaran angin dibelakangnya. Aditia membawa lawannya

jatuh bergulingan bersama-sama. Cekikan pada leher Kukas

tetap tak dilepaskannya. Kukas melejang-lejangkan kakinya.

Nafasnya semakin menyesak. Luntra kembali menyerang Aditia

dengan senjata dahsyatnya. Inilah yang ditunggu oleh murid

Eyang Wilis. Begitu bola besi berduri itu melayang kemukanya,

Aditia menarik leher dan tubuh Kukas untuk menangkis senjata

Luntra. Kukas hendak menjerit setinggi langit melihat bahaya

maut yang mengancam dari senjata kawannya sendiri. Tapi

teriakannya tak keluar karena sampai saat itu lehernya masih

tetap dicekik oleh Aditia. Bola besi beradu dengan keras kedada

Kukas. Tulang dadanya hancur dan melesak kedalam

menggencet jantungnya, membuat jantung itu berhenti bekerja

dengan serta merta dan menyebabkan nyawa Kukas melayang

saat itu juga!


Luntra terkesiap melihat kejadian itu. Dia membunuh

kawannya sendiri meskipun hal tersebut tidak disengajanya.

Dia segera meloncat kesamping sambil memutar senjatanya

diatas kepala waktu Aditia datang menerkam kearahnya.

“Kau lihat senjata yang ditanganku ini......?” tanya Aditia

pada Luntra sambil mengacungkan senjata besi bercabang

kepunyaan Kukas yang berhasil dirampasnya. “Senjatamu telah

membunuh kawanmu sendiri dan sebentar lagi senjata kawan

yang kau bunuh itu akan menuntut balas. Akan mengakhiri

riwayatmu pula!”. Keringat dingin keluar dari muka Luntra tapi

kembali dia melancarkan serangan. Kita tinggalkan kedua

orang yang bertempur satu lawan satu ini. Kini kita tujukan

perhatian pada Suwantra yang dikeroyok oleh Somaha dan

Jantra.

Dua kali pecut kulit badak yang ditangan Jantra berhasil

menghantam tubuh Suwantra dengan keras sehingga bajunya

menjadi robek-robek. Luka yang diderita Somaha menyebabkan

laki-laki itu agak lamban dalam melancarkan serangannya.

Namun bagi Suwantra manusia ini tetap berbahaya, terutama

karena Somaha selalu berlaku licik dalam perkelahian itu.

Seringkali Somaha menyelinap menyerang dari belakang

namun sampai saat itu dia masih gagal dalam melancarkan

serangan-serangan liciknya. Golok yang ditangan Suwantra kini

hanya bayangannya saja yang kelihatan. Seperti juga Aditia,

pemuda ini kini sudah kehilangan kesabarannya. Melihat

permainan golok yang hebat ini, Somaha yang saat itu hendak

mulai dengan serangan yang licik, dengan cepat bergabung

kembali pada kawannya. Keduanya membendung gempuran

Suwantra dengan gigih. Tapi sepuluh detik kemudian mereka

mulai terdesak. Jantra tampak mengeruk saku bajunya dengan

tangan kiri. Gerakan lawannya itu tidak lepas dari perhatian

Suwantra dan ketika Jantra melepaskan sebuah pisau belati

kearah tenggorokannya. Suwantra telah lebih dahulu

merundukkan kepalanya. Pisau lewat, Suwantra menggeser

kakinya kemuka dan membabat deras kearah perut kedua

lawannya. Sambil meloncat mundur Janlra masih sempat

melecutkan senjatanya kepunggung Suwantra. Pemuda itu


merutuk dalam hatinya. Dia memburu kemuka. Tapi pada saat

yang bersamaan kedua senjata lawannya datang dengan cepat.

Cambuk dan pedang berkeluk menjepit senjata Suwantra di

tengah-tengah. Suwantra cepat-cepat menarik senjatanya tapi

cambuk Jantra lebih cepat lagi melilit golok panjangnya sedang

bersamaan dengan saat Somaha menghunjamkan senjatanya

kearah leher, maka pada saat itu pula Jantra menarik

cambuknya. Suwantra segera melepaskan senjatanya yang

terlibat dan menjatuhkan diri lalu bergulingan ditanah.

Matanya yang tajam melihat senjata kepunyaan Tisna yang

menggeletak ditanah. Tanpa setahu kedua lawannya, Suwantra

mengambil palu itu dan ketika dia bangkit berdiri benda itu

dilemparkannya kearah Jantra. Karena berhasiI merampas

senjata lawan dengan pecutnya, Jantra menjadi sangat gembira

dan bertindak lengah. Dia melihat palu tersebut ketika sudah

terlampau kasip untuk mengelakkan diri. Dengan segala

kedahsyatannya palu besar itu menghantam pelipis kirinya.

Jantra meraung hebat. Tubuhnya terpelanting kesamping.

Pemandangannya dengan serta merta menjadi gelap dan

malaikat maut mulai menjalankan kewajibannya, mencabut

nyawa laki-laki itu! Jantra mati dengan kening rengkah!

Melihat kematian kawannya yang dimuka hidung didepan

mata kepalanya sendiri, Somaha menjadi kecut. Nyalinya untuk

maju lagi karena pertempuran menjadi lenyap. Cepat-cepat dia

memutar tubuh dan meloncat kebalik semak-semak dimana

kedua gadis culikannya bersembunyi bersama Mirta. Kedua

gadis sama menjerit terkejut melihat kedatangan Somaha. Laki-

laki itu segera menyarungkan pedangnya dan dengan cepat

menangkap pinggang kedua gadis itu. Tapi sebelum dia bisa

angkat kaki dari tempat itu Mirta telah memukul kepalanya

dengan gagang golok. Cekalan Somaha pada kedua gadis

terlepas dan dalam keadaan terhuyung-huyung dia memutar

tubuhnya. Pedang segera dicabut dari sarungnya. “Bangsat! Kau

berani memukulku?! Rasakan!”. Senjata Somaha menetak

kedada Mirta. laki-laki itu mengelak kesamping sementara

kedua gadis kakak beradik tadi menjauhkan diri mencari

selamat. Somaha segera mendesak Mirta dalam tempo dua

detik saja. Hal ini bukanlah satu keanehan. Selain perbedaan

tinggi ilmu, juga perbedaan senjata kedua musuh itu turut

menentukan. Namun bahaya yang mengancam Mirta tidak

berjalan lama. Ketika Somaha hendak menetakkan pedangnya

ke arah bahu kanan lawannya, satu tangan yang kuat kukuh

mencekal lengan Somaha. Sebelum dia bisa berontak, jotosan

yang sangat keras menghantam tulang-tulang iganya. Dalam

keadaan terpental kesamping, Somaha masih sempat meninju

muka lawannya yaitu Suwantra yang datang tepat pada

waktunya. Tapi apa yang terjadi semakin merugikannya. Muka

Suwantra yang berisi aji ‘remuk-kermuk’ membuat jari-jari

tangannya yang dipakai untuk memukul menjadi lecet. Dua kali

jeritan berturut-turut terdengar dari mulutnya dan jeritan yang

terakhir berhenti ketika tendangan Mirta dan Suwantra datang

secara bersamaan kearah pinggang dan perutnya. Somaha

melintir berputar-putar beberapa lamanya sebelum tubuhnya

yang tanpa nyawa itu kemudian jatuh diantara semak-semak.

Sambil memandang ke mayat laki-laki itu Mirta menyarungkan

senjatanya kembali.

Suwantra memandang kepada kedua gadis kakak beradik

yang berdiri dibalik pohon dimuka sana. “Saudari-saudari, tak

usah takut-takut dan sembunyi disana. Keluarlah, kami bukan

orang-orang jahat!” kata Suwantra. Kedua gadis itu melangkah

dari balik pohon. Keduanya sama menundukkan kepala dan

paras-paras mereka yang cantik itu masih pucat pasi karena

ketakutan.

“Kalian siapa?” tanya Suwantra.

Gadis yang tua menjawab. “Sa...... saya Sarti dan dia Sarni

adik saya. Kami telah diculik dua hari yang lalu oleh laki-laki

itu......”. Sarti menunjuk ke mayat Somaha.

“Kalian tinggal dimana?” bertanya Mirta.

“Negara......” jawab Sarti sedang adiknya masih tetap

menundukkan kepala. Kemudian gadis itu bertanya. “Kalian

sendiri siapa......?” Mirta hendak menjawab tapi didahului oleh

Suwantra. “Kami hanya pemuda luntang lantung dari suku

Kayan dipedalaman......”


“Kalian telah menolong kami. Kami sangat berhutang budi

bahkan berhutang nyawa. Kalau kalian bisa mengantarkan

kami......”.

“Baik! Baik! Itu perkara belakangan tak usah dibicarakan

sekarang. Mari kita lihat pertempuran antara iparku dan kepala

rampok yang terakhir itu!” memotong Suwantra sambil

memutar tubuhnya. Mirta, dan kedua gadis kakak beradik tadi

melangkah mengikuti.

Melihat perkelahian antara Aditia dan Luntra dihalaman

samping rumah perampok itu sudah dapat ditentukan siapa

yang akan keluar sebagai pemenang dan siapa yang bakal

menemui ajalnya. Meskipun hanya dengan tangan kosong

belaka tapi Aditia berhasil mendesak hebat lawannya yang

bersenjatakan rantai bola berduri itu. Pukulan-pukulan tapak

besi berapi dari murid Eyang Wilis tampaknya tak begitu

dirasakan oleh Luntra. Meskipun sudah terdesak tapi dia tetap

tenang dan bertahan dengan gigih. Dia mempercepat

gerakannya dengan mengadakan ilmu mengentengi tubuh yang

sangat tinggi yang didapatnya dari gurunya atau istrinya

sendiri! Satu kali, ketika berhasil mengelakkan sambaran rantai

bola besi berduri itu Aditia sempat pula mengirim jotosan yang

berisi ajian halilintar kedada lawannya. Luntra terhuyung- huyung nanar kebelakang sambil mengusap-usap dadanya yang

terpukul. Tiba-tiba dia meloncat kemuka dan menyerang ganas.

Tangan kiri dan kedua kakinya bergerak kian kemari. Ilmu

silatnya ini hampir bersamaan dengan ilmu dimiliki oleh Aditia

sendiri sehingga boleh dikatakan segala seluk beluk dan tipu-

tipu dari permainan silat Luntra sudah berada didalam

kantognya Aditia sehingga ilmu silat yang sangat diandalkan

Luntra itu mengalami kegagalan total.

Kini Aditia yang balas melakukan penyerangan. Kedua

tangannya terpentang lurus kemuka. Setiap Luntra memukul

lengan-lengan yang tampaknya seperti sasaran yang sangat

empuk itu, setiap kali pula dia meleset. Bahkan dua kali

berturut-turut jotosan halilintar menghantam bawah ketiak dan

dagunya. Kekalahan itu membuat Luntra menjadi kalap.

Senjatanya diputar-putar dengan kecepatan luar biasa


mengelilingi tubulnya. Aditia tak berani melakukan serangan

terobosan kearah lawannya. Agaknya Luntra mengeluarkan

seluruh kekuatan tenaga dalamnya saat itu karena senjatanya

yang berputar kencang itu mengeluarkan angin yang sangat

deras. Aditia merasakan tubuhnya mendingin. Dia segera

membalas dengan pukulan-pukulan tenaga dalam pula. Kedua

tenaga dalam mereka saling bentrokan keras. Putaran senjata

Luntra meliak-liuk tak karuan ketika senjata itu tersambar

tenaga dalam lawannya, tapi tubuhnya sendiri tak apa-apa.

Sebaliknya Aditia merasakan badannya bergetar. Ketika dia

hendak mengeluarkan tenaga dalamnya yang lebih tinggi untuk

merobohkan lawannya tiba-tiba dia mendapat satu akal. Dia

sengaja melangkah mundur dan pura-pura terdesak oleh

serangan lawannya. Tapi begitu dia berada dua tombak dari

mayatnya Tisna, dengan cepat dicekalnya kedua kaki mayat itu

dan beberapa detik kemudian tubuh Tisna telah berputar-putar

pula sebagimana berputar-putar senjata bola besi yang ditangan

Luntra. Luntra menjadi tertegun melihat hal itu. Bukan saja dia

tertegun melihat kekuatan lawannya yang sanggup mengangkat

mayat yang sedemikian besarnya dan memutar-mutarnya tapi

dia juga tertegun karena dia kini sama sekali tak bisa

menyerang lagi. Menyerang Aditia berarti menyerang kawannya

sendiri, menyerang Tisna, sekalipun laki-laki itu telah menjadi

mayat. Dan dalam keadaan bingung seperti itulah tiba-tiba

mayat Tisna dilemparkan Aditia kemuka Luntra. Luntra tak

punya kesempalan lagi unluk mengelak. Dia terhuyung-huyung

kebelakang dengan mayat kawannya dalam pelukannya.

Sebelum Luntra dapat menguasai dirinya. Aditia memukul

tangan laki-laki yang memegang senjata itu hingga senjatanya

jatuh ketanah. Kemudian kedua tinjunya kiri kanan yang berisi

aji kekuatan halilintar dan gada dewata datang bertubi-tubi

tiada tertahankan dimukanya Luntra. Seluruh muka Luntra

menjadi babak belur tiada mempunyai rupa lagi. Disana sini

penuh dengan bengkak-bengkak dan luka-luka sedang darah

campur keringat membasahi seluruh mukanya. Laki-laki itu

mengerang kesakitan dan jatuh melosoh ketanah. Dia


berguling-guling kian kemari beberapa kali sebelum menarik

nafasnya yang penghabisan.

DUA BELAS

DUA belas tubuh manusia diseluruh pekarangan rumah itu.

Bau darah yang anyir menambah seramnya keadaan disitu.

Mirta berjalan diantara tubuh-tubuh yang bergeletakan dan

memungut kantong kain yang berisi uang sebanyak 280 ringgit

dan batu-batu kerikil. Mirta mengeluarkan batu-batu kerikil itu

dan kemudian memasukkan uang-uang ringgit tadi kedalamnya

kembali. Kemudian dia memandang berkeliling pada Aditia dan

Suwantra. “Segala sesuatunya telah beres. Apa yang harus kita

lakukan sekarang?” tanya Mirta.

“Kita kembali ke Kuala......” jawab Suwantra dengan pendek.

“Dan...... dan kami bagaimana......?” tanya satu suara halus

dengan nada cemas. Suwantra, Mirta dan Aditia sama memutar

kepala dan menoleh pada kedua kakak beradik itu. “Kami tidak

dapat kembali pulang tanpa bantuan kalian. Kami sangat

membutuhkan pertolongan kalian, saudara-saudara. Dan kami

niscaya tak akan menyia-nyiakan budi baik kalian. Percayalah

dan tolonglah!” kata Sarti.

“Jangan khawatir saudari-saudari. Kami juga tak akan

meninggalkan kalian begitu saja disini. Saudara Suwantra dan

Mirta akan bersedia mengantar kalian sampai kerumah. Kalian

kakak beradik bukan?” tanya Aditia. Kedua gadis itu

mengangguk. Dan Aditia berkata lagi. “Sebelum kalian diantar

pulang, terlebih dahulu kami harus menyelesaikan urusan di

Kuala. Bagaimana? Kalian tak keberatan?”.

“Tidak......” jawab Sarti.

Kelima orang itu segera mengambil masing-masing seekor

kuda dan kemudian meninggalkan tempat itu sementara

matahari telah condong kebarat. Sampai di Kuala mereka

langsung menuju kerumah Kepala kota. Sore itu, atas usaha

Mirta dan Aditia maka dikumpulkanlah hampir seluruh

penduduk Kuala ditanah lapang. Masing-masing mereka saling


bertanya-tanya dalam hati. Apa pulakah yang akan dibicarakan

Kepala kota mereka?

Suwantra berdiri diatas sebuah kursi dan mengangkat tangan

kanannya keatas. Suara berisik dari orang banyak segera

berhenti dan putera raja itu mulai bicara.

“Saudara-saudara sekalian, untuk kedua kalinya kita saling

bertemu muka lagi ditempat ini. Pertama kali kira-kira tiga

minggu yang lalu yaitu ketika saudara telah memberikan

kepercayaan pada saya dan menyetujui pengangkatan saya

sebagai Kepala kota kalian meskipun pengangkatan saya

tersebut boleh dikatakan dijalankan secara paksa oleh orang

yang kalian sangat benci yaitu Mali Kodra! Saudara-saudara

penduduk Kuala sekalian, baiklah saya terangkan segala

sesuatunya dari latar belakang semua peristiwa pengangkatan

tersebut. Saya telah bertemu secara tak sengaja dengan Mali

Kodra. Salah seorang dari anak buahnya mengetahui siapa saya

sebenarnya dan kemudian Mali Kodra memaksa saya agar

menerima pengangkatan saya sebagai wali kota dan

mengancam keselamatan saya bilamana saya menolaknya. Akhirnya setelah memikirkan semasak-masaknya akan rencana

pemimpin rampok itu maka saya terimalah pengangkatan itu.

Mali Kodra pura-pura meninggalkan kota dan mengangkat saya

dengan satu maksud yaitu tak lain adalah agar mendapat

keuntungan yang lebih besar dari hasil rampokannya yang

sudah-sudah. Karena kota sudah mempunyai Kepala kota yang

baru sedang Mali Kodra bersama anak buahnya telah sadar dan

meninggalkan kota maka tentu semua penduduk yang

mengungsi terutama orang-orang kayanya akan kembali

kerumah masing-masing di Kuala ini. Dan pada saat itulah Mali

Kodra akan memasuki kota dan melakukan perampokan besar- besaran!”.

Seluruh tanah lapang itu menjadi ribut oleh suara orang

banyak. Ada yang menyumpah dan mengutuk Mali Kodra, ada

pula yang menggeleng-gelengkan kepala karena tak menduga

rencana tersebut dan ada pula yang hanya bisa menganga

seakan-akan tak percaya apa yang diterangkan oleh Suwantra

itu. Suwantra mengangkat tangannya kembali dan meneruskan.


“Dan juga mengenai pemungutan uang tempo hari. Itu juga

adalah rencana busuknya Mali Kodra yang dipaksakan kepada

saya. Tapi syukur uang itu masih utuh berada ditangan kami

dan lebih syukur lagi bahwa tak sampai terjadi hal-hal yang tak

diinginkan dengan penduduk disini semuanya. Mali Kodra

bersama seluruh anak buahnya dan kawan-kawannya kepala- kepala rampok yang lain telah menemui ajalnya disarangnya

sendiri. Ini berarti bahwa sejak detik ini kota Kuala telah berada

dalam keadaan aman seperti sedia kala. Dan dengan demikian

tugas saya sebagai kepala kota palsu yang dipaksakan berarti

sudah selesai! Kalian harus memilih Kepala kota yang baru.

Dan kepada saudara-saudara sekalian yang dulu telah

menyumbangkan uang yang saya katakan adalah untuk

membantu penduduk yang kerampokan serta untuk

pembangunan kota, sore ini saya tunggu dirumah Kepala kota

yang lama untuk mengambil uang masing-masing sebanyak

yang telah disumbangkan tempo hari!”

Ketika Suwantra hendak turun dari atas bangku itu terdengar

beberapa orang laki-laki berteriak. “Tunggu! Tunggu dulu!

Terangkan siapa saudara! Kami ingin tahu!”

“Jadi saudara sendiri siapa......?” tanya seorang yang lain

yang usianya sudah agak lanjut dan berdiri dibarisan paling

muka dan akhirnya seluruh tanah lapang itu menjadi hiruk

pikuk dengan suara orang-orang yang ingin minta keterangan

siapa Suwantra adanya.

Suwantra memandang berkeliling. Senyum kecil tersungging

disudut bibirnya. Ketika kebisingan ditanah lapang itu sudah

mulai reda kembali, maka Suwantra membuka mulut lagi.

“Dulu waktu Mali Kodra mengangkat saya sebagai Kepala kota

dia telah memperkenalkan saya sebagai Prata bukan? Nah

memang itulah nama saya”.

“Bohong!”

“Dusta!”

“Kami tak percaya!” begitulah berbagai macam sambutan

teriakan dari orang ramai.

“Saudara-saudara sebenarnya nama dan siapa saya bukanlah

merupakan hal yang penting bagi saudara-saudara. Kalau


saudaraa telah mengenal muka saya dan menganggap saya

sebagai sahabat-sahabat kalian, maka itu sudah cukup!”. Dari

kalangan orang ramai terdengar suara-suara yang tidak senang

dengan kata-kata Suwantra itu. Tiba-tiba seorang pemuda

tampil kemuka, mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan

berkata dengan suaranya yang besar tinggi. “Saudara-saudara,

mengapa kita harus meributkan soal nama dan siapa saudara

kita ini. Dengar, saya punya usul. Bagaimana kalau detik ini

juga dengan suara bulat kita angkat dia menjadi Kepala kota

kita!”


“Setujuuuu!!!” menggema suara jawaban dari seluruh

pelosok tanah lapang yang ramai itu.

“Hidup Kepala kota kita yang baru!” teriak si pemuda tadi.

“Hidup......!” balas orang banyak pula. Dan si pemuda

kembali ketempatnya. Suwantra melambai-lambaikan

tangannya dan berkata. “Terima kasih...... terima kasih,

saudara-saudara sekalian. Terima kasih atas kepercayaan yang

saudara berikan kepada saya. Tapi dengan sangat menyesal

harap dimaafkan. Saya tidak bisa menerima kerelaan hati

saudara sekalian itu. Saya bukan orang sini dan tidak begitu

memahami seluk-beluk keadaan dikota ini. Adalah lebih baik

kalau saudara memilih sebagai Kepala kota yang baru salah

seorang dan penduduk disini juga. Seperti saudara itu

misalnya......” dan Suwantra menunjuk kepada pemuda yang

tadi mengusulkannya untuk diangkat sebagai Kepala kota.

Kembali tanah lapang menjadi riuh rendah oleh suara orang

ramai. Ketika keriuhan itu mereda sedikit Suwantra cepat

menyela. “Jadi saya tunggu saudara-saudara sekalian sore ini

dirumah Kepala kota untuk mengambil uang saudara masing- masing!” Suwantra cepat-cepat meloncat dari atas kursi. Tapi

pada saat dia menjejakkan kaki ditanah kembali pemuda tadi

maju kemuka dan naik kekursi. “Saudara-saudara sekalian

bagaimana kalau uang itu tak usah kita ambil tapi kita serahkan

saja kepada dia......?!”

“Akur!” jawab orang banyak.

“Benar, berikan saja kepada dia!” teriak sebagian lain.

Suwantra menghentikan langkahnya. Ketika dia memutar

tubuh untuk naik kekursi kembali. Mirta telah menarik

tangannya. Mirta, Suwantra dan Aditia segera meninggalkan

tanah lapang yang masih tetap riuh rendah oleh suara orang

banyak. Dan benar saja, sore itu sampai semalam-malamannya

hari tak seorangpun dari penduduk Kuala yang datang untuk

mengambil uangnya kembali. *

* *


Semenjak kejadian malam itu dimana dia dalam mencari

Kiman tapi sebaliknya mendapat hajaran dari Aditia, pemimpin

rampok di Srimbilan, anak buah Mali Kodra yaitu Gaspar

menjadi semakin besar dendamnya terhadap Kiman, bahkan

juga terhadap Suwantra serta Mirta dan ditambah lagi dengan

Aditia. Karena dia tahu bahwa dia tak bisa melawan kesemua

musuh-musuhnya itu seorang diri, maka Gaspar pergi ke Kuala

untuk mengadukan apa yang telah dialaminya kepada

pemimpinnya Mali Kodra, padahal manusia yang bernama Mali

Kodra itu sudah lama menjadi mayat!

Sesampainya di Kuala barulah Gaspar mendapat keterangan

dari penduduk apa yang telah terjadi dengan Mali Kodra

beserta anak buahnya. Gaspar seperti orang yang kehilangan

tempat berpijak mendengar keterangan itu. “Semuanya

menemui ajal......? Semuanya mati ditangan manusia-manusia

keparat itu......?! Aku tak percaya!”. Pagi itu Gaspar pergi

kesarangnya Mali Kodra dimana telah terjadi pertempuran yang

hebat itu. Dan ketika dia sampai disana, ketika dia melihat

dengan mata kepalanya sendiri mayat-mayat yang bergeletakan

dan sudah mulai membusuk dihalaman samping rumah, maka

barulah dia mau percaya. Dia memandang dengan tubuh

menggigil dan lutut gemetar. Akhirnya dia duduk termenung

ditangga rumah yang kosong itu sambil menutup hidungnya.

Apakah yang harus dilakukannya? Bagaimanakah caranya

untuk dapat membalaskan sakit hati dan dendam kesumatnya

kepada orang-orang itu? Bagaimana caranya dia harus

menuntut balas bagi kematian kawan-kawannya, bagi kematian

pemimpinnya dan kawan-kawan dari pemimpinnya itu?.

Pikirannya kacau balau. Marah, geram, dendam dan kesedihan

ditinggalkan kawan-kawan serta pemimpinnya semua itu

bercampur menjadi satu. Dia memandangi mayat-mayat itu

satu demi satu dari tempatnya duduk. Kemudian dia bangkit

berdiri, tertegun sebentar dan tiba-tiba saling memukulkan

kedua tangannya. Dia berjalan cepat-cepat mendapati kudanya.

Sambil berjalan berkata seorang diri. “Rasakan...... rasakan oleh

kalian nanti. Aku akan katakan pada guru-guru dari kawan- kawan pemimpinku apa yang telah kalian lakukan disini. Aku


akan adukan semua peristiwa ini. Rasakan!”. Dia meloncat

keatas punggung kudanya, menarik tali kekang dan berlalu dari

tempat itu. Apa yang direncanakan oleh Gaspar itu kelak akan

menjadi kenyataan. Sebagai seorang anak buah kepercayaan

dan Mali Kodra, Gaspar mengetahui siapa guru dari Mali

Kodra. Juga beberapa orang guru dan kawan-kawan Mali Kodra

yang lima orang itu yaitu guru merangkap istri dari Luntra,

gurunya Somaha dan gurunya Jantra. Yang dua orang lagi dia

tidak tahu, tapi tiga orang guru-guru sakti ditambah dengan

guru dan Mali Kodra sendiri itu sudah lebih dari cukup.

Masakah musuh-musuhnya itu akan sanggup mengalahkan

keempat guru-guru sakti luar biasa itu...... adalah tidak masuk

akal bagi Gaspar. Begitulah setelah berbulan-bulan menjelajahi

daratan Kalimantan mencari dan menemui guru-guru sakti itu

maka ditetapkanlah rencana untuk mengadakan pembalasan

dendam itu. Untuk itu dipersilahkan pembaca mengikuti seri

keris merah yang selanjutnya.

TIGA BELAS

KETIKA matahari mulai naik kelima orang itu telah

meninggalkan Kuala sejauh satu kilo lebih. Jalan yang mereka

lalui masih sunyi. Sekali-kali mereka berpapasan dengan

pedagan-pedagang sayur yang membawa dagangannya kekota.

Disatu persimpangan jalan, tiga kilo dari kota mereka berhenti.

Sambil memandang pada keempat orang itu Aditia berkata.

“Bagaimana...... kita berpisah disini. Sahabat-sahabatku Sarti

dan Sarni selamat jalan, aku tak bisa mengantarkan kalian

sampai ke Negara. Satu pesanku, kalau sudah sampai dirumah

nanti, jangan ditahan lama-lama kedua sahabatku ini......”.

Muka kedua kakak beradik itu menjadi kemerahan. Tapi Sarti

tak mau kalah dan menjawab. “Kami memaklumi mengapa kau

tak bisa mengantarkan kami sampai di Negara. Aditia.......

maklumlah penganten baru!”. Dan kini Aditialah yang menjadi

merah mukanya. Dia mengangguk pada kedua gadis itu lalu

pada Mirta dan Suwantra dan kemudian menarik tali kekang

kudanya. Binatang itu meloncat kemuka mengambil jalan yang

disebelah kiri.

Suwantra dan kawan-kawannyapun meneruskan perjalanan.

Negara terletak kira-kira seratus lima puluh kilometer dari

Kuala. Karena itu rombongan tersebut hanya berhenti pada

saat-saat mengisi perut saja. Pada malam hari kalau jalan yang

mereka tempuh cukup baik maka mereka tidak berkemah tapi

terus menunggangi kuda masing-masing dengan kecepatan

penuh. Jalan yang mereka tempuh banyak sekali sungai-sungai

yang harus diseberangi. Kadang-kadang mereka terpaksa

menunggu atau mencari sampai berjam-jam rakit-rakit yang

dapat menyeberangi mereka bersama kuda-kuda mereka. Pada

hari yang ketiga barulah mereka mulai memasuki daerah

perbatasan luar kota Negara.

Ayah Sarti dan Sarni adalah seorang saudagar intan berlian

yang terkenal disekitar Negara. Namanya Karmansyah.

Bersamaan pada hari penculikan kedua orang anak gadisnya itu

maka Karmansyah telah menerima sepucuk surat ancaman dari

si penculik yaitu Somaha. Dalam surat itu Somaha meminta

uang tebusan sebesar 5000 ringgit pada Karmansyah kalau

saudagar intan tersebut ingin kedua anaknya kembali dengan

selamat. Menerima surat itu, Karmansyah bukannya menjadi

takut tapi sebaliknya menjadi naik pitam. Sebagai seorang yang

kaya raya dia mempunyai banyak sekali centeng-centeng dan

tukang-tukang pukul bayaran. Seluruh tukang-tukang pukul di

Negara, termasuk centeng-centengnya bahkan juga anak laki-

lakinya serta dia sendiri segera mencari jejak Somaha dan anak

buahnya. Namun jejak kepala rampok itu seakan-akan lenyap

ditelan bumi. Somaha kemudian membawa kedua gadis itu

ketempat janji pertemuannya dengan sahabat-sahabatnya

kepala-kepala rampok yang lain. Pesta pertemuan akan

dimeriahkan dengan adanya kedua gadis cantik tersebut. Tapi

untung maksud Somaha itu tidak kesampaian bahkan dia

terpaksa meregang nyawa, menebus maksud terkutuknya itu

dengan kematian!

Meskipun Somaha dan anak buahnya tidak lagi diketahui

dimana adanya namun Armansyah, kakak laki-laki dari kedua


gadis itu bersama delapan orang tukang-tukang pukul ayahnya

masih terus melakukan penyelidikan. Karmansyah karena

menderita sakit ditengah jalan terpaksa diantar pulang oleh

yang lain-lainnya. Setelah berhari-hari mencari tanpa hasil

akhirnya rombongan yang dipimpin Armansyah itu mulai putus

asa. Hari itu mereka merencanakan untuk pulang saja. Sambil

memasuki daerah perbatasan kota, Armansyah dan

rombongannya melayangkan mata juga kesegala penjuru.

Ketika mereka mencapai sebuah lembah diluar kota tiba-tiba

salah seorang dari tukang-tukang pukul itu menghentikan

kudanya dan menunjuk kelereng bukit dikejauhan.

“Lihat! Ada rombongan pengendara kuda!” teriaknya.

Armansyah menghentikan kudanya begitu juga yang lain-lain.

Semuanya memandang kearah yang ditunjukkan kawannya

tadi. Dikejauhan, dilereng bukit kelihatan empat orang

pengendara kuda bergerak dengan cepat. “Agaknya mereka

menuju kesini......” kata Armansyah tanpa melepaskan keempat

penunggang kuda itu dari pandangan matanya. Dua menit

kemudian keempat penunggang kuda itu telah mencapai kaki

bukit, semakin lama semakin dekat kepada rombongan itu.

“Hai! Dua orang dari mereka adalah perempuan!” teriak

salah seorang dari tukang-tukang pukul bayaran itu. Semua

mata makin dibesarkan.

“Mungkin Sarti dan Sarni!” kata yang lain.

“Tapi mengapa mereka menuju kesini? Menuju kekota?!

Seharusnya kedua perampok itu tidak herada disekitar sini!”

menyela orang yang disamping Armansyah.

“Sebaliknya mari kita cepat-cepat menyebar dan

bersembunyi menghadang mereka. Sebagian diseberang sini

dan sebagian lagi diseberang sana. Mereka pasti akan melalui

jalan ini. Kita sergap mereka. Cepat!”. Armansyah menarik tali

kekang. Sebagian dari rombongan segera menyeberang jalan itu

dan bersembunyi dibalik semak-semak sedang yang sebagian

lagi ketepi jalan yang semula.

Semakin lama keempat orang tadi semakin dekat juga dari

tempat itu dan suara kaki-kaki kuda mereka semakin jelas dan

keras


Kurang lima belas meter akan sampai ketempat itu

Armansyah bersama rombongan yang ditepi jalan sebelah

kanan keluar dari balik semak-semak menghadang dijalan

sedang yang ditepi jalan sebelah kiri mengurung dari belakang.

Keempat kuda yang dihadang sama terkejut, begitu juga

penunggang-penunggangnya. Keempat binatang itu

mengangkat kaki-kaki depan mereka tinggi-tinggi dan

meringkik panjang. Bersamaan dengan suara ringkikan itu

maka terdengarlah teriak aba-aba dari Armansyah : “Kurung

dan serang kedua bangsat ini!”. Sembilan orang dengan

berbagai senjata ditangan segera maju menyerang kemuka.

Sarti dan adiknya yang tadi karena terkejut tak bisa berkata

apa-apa, kini ketika melihat kakaknya pemimpin pengeroyokan

itu segera berteriak. “Armansyah! Jangan! Tahan, hentikan

semua ini. Mereka bukan perampok-perampok! Mereka bukan

penculik-penculik itu. Tahan!”. Kakak kedua gadis itu tampak

membesarkan matanya. Dia memandang aneh dengan cara

yang aneh pada kedua adiknya. “Kalau begitu siapa mereka?!

Mengapa kalian berada bersama kedua orang ini?!”.

“Aku akan terangkan Arman, aku akan terangkan!” jawab

Sarti.

“Kalau begitu menyingkirlah kalian berdua dari mereka dan

kawan-kawan yang lain kurung terus orang-orang asing ini!”

kata Armansyah. Kedua gadis itu segera menyisih dari tempat

Suwantra dan Mirta. Kemudian kepada kakaknya, dihadapan

orang-orang itu Sarti menerangkan apa yang telah dialaminya

berdua adiknya dan siapa sesungguhnya Suwantra dan Mirta

adanya. Setelah segala sesuatunya jelas maka dengan

tersenyum gembira Armansyah mendekati kedua pemuda itu.

Dia menjabat tangan mereka satu demi satu dan berkata.

“Untung saja tak sampai terjadi suatu apa antara kita. Tak

tahunya kalian adalah kawan-kawan sendiri. Selaku kakak

kedua gadis itu saya sangat berhutang budi pada saudara

berdua. Harap maafkan kalau kami tadi bertindak kasar

terhadap kalian dan terima kasih atas semua pertolongan yang

telah saudara-saudara berikan sampai disini......”.


“Tak ada yang harus dimaafkan saudara Armansyah. Kami

sangat senang dapat berbuat sedikit kebaikan sesama kita......”

jawab Suwantra. Dia memandang pada Mirta dan kawannya itu

mengangguk tapi anggukan yang dilakukan dengan ragu-ragu.

Suwantra memandang pada Sarti, lalu pada Sarni. Kedua gadis

itu memandang kepada kedua pemuda itu, kemudian sama

menundukkan kepala. Sebelum berlangsung kekakuan lebih

lanjut, Suwantra segera membuka mulut : “Saudara Arman,

kami hanya bisa mengantarkan kedua adik saudara sampai

disini. Kebetulan sekali kita bertemu disini. Kami mohon

diri......”.

“Armansyah yang umurnya hampir bersamaan dengan

Suwantra tak segera menjawab kata-kata Suwantra itu. Dia

memandang pada Suwantra, lalu pada Mirta dan kemudian

pada kedua adiknya. “Pertolongan saudara-saudara berdua

sangat besar artinya bagi kami. Karena itu saya tak bisa melepas

kalian begini saja. Kedua adik saya juga akan keberatan

agaknya. Karena itu sangat saya harapkan agar kalian sudi ikut

serta kerumah kami. Kedua orang tua kami juga harus

menyatakan sekurang-kurangnya rasa terimakasihnya pada

kalian......”. Suwantra tak menjawab begitu juga Mirta.

Keduanya hanya bisa berdiam diri sedang semakin lama wajah

kedua pemuda itu menjadi semakin memerah.

“Dulu kalian berdua berjanji akan mengantarkan kami

sampai kerumah!” kata Sarti sambil memandang tepat-tepat

kepada Suwantra.

“Dan janji harus ditepati! sambung adiknya Sarni sambil

memandang pula kepada Mirta. Kedua pemuda itu jadi salah

tingkah dan akhirnya sama-sama mengangguk. Dan beberapa

saat kemudian rombongan berkuda itu segera berlalu dengan

cepat. Seperempat jam kemudian mereka sudah memasuki

kota. Setiap orang yang melihat kembalinya kedua gadis itu

segera memberi tahukan pada kawan-kawan lainnya dan dalam

waktu sebentar saja sudah tersiar berita bahwa kedua anak

gadis saudagar intan yang kaya diculik oleh perampok tempo

hari telah kembali dengan selamat! Dan orang-orang yang usil

mulut menambahkan berita itu sebagai berikut. “Kedua anak


saudagar Karmansyah telah kembali dengan selamat! Selamat,

tapi entah tetap masih gadis entah sudah tidak lagi...

Disatu rumah yang besar mewah dengan pekarangan yang

luas dan ditanami dengan pohon-pohon bunga aneka warna

berhentilah rombongan itu. Itulah rumahnya kedua gadis tadi.

Semua orang turun dari kuda masing-masing. Dua orang

pembantu rumah segera membawa kuda-kuda yang ditingalkan

dihalaman kedalam kandang dan diberi makan. Dari dalam

rumah keluar seorang perempuan yang sudah agak lanjut

usianya. Matanya balut dengan air mata dan agak membengkak

sedang tubuhnya kurus.


“Ibu......!” teriak Sarti dan Sarni hampir bersamaan. Kedua

gadis itu lari mendapatkan perempuan tadi dan ketiganya

saling berangkulan, saling meratap menangis......

“Anakku...... anakku...... tak sangka kau akan kembali lagi.

Kau tak apa-apa nak? Kau tak apa-apa Sarti? Sarni......?”.

“Tidak apa-apa bu. Kami selamat......” jawab Sarni. Saat itu

Karmansyah, ayah kedua gadis itu belum lagi sembuh dari

sakitnya. Tapi ketika dia mendengar suara ratap tangis diluar,

suara kedua anak gadisnya yang hilang selama ini, sakitnya

seakan-akan lenyap. Dia bangkit berdiri dari tempat tidur dan

melangkah keluar.

“Anak-anakku......!” seru orang tua itu. Sarti dan Sarni

melepaskan dirinya dari rangkulan ibu mereka dan berlari

memeluk ayahnya. Karmansyah membelai-belai rambut kedua

gadis itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tak bisa berkata

apa-apa karena gembiranya.

Waktu seakan-akan sangat cepat berlalunya. Tanpa terasa

lagi saat itu sudah rembang petang. Diruang muka sejak selesai

makan siang tadi. Suwantra, Armansyah dan beberapa orang

kawan-kawan lainnya asyik bercakap-cakap di ruang depan.

Ketika mereka hendak minta diri sore itu, Karmansyah yang

menjadi sembuh karena kembalinya si anak hilang itu menahan

mereka dan berkata : “Kalian harus menginap disini malam ini.

Aku dan istriku telah membuat niat. Kalau sekiranya kedua

anak-anak itu kembali maka kami akan memotong seekor

kerbau, mengadakan selamatan besar-besaran dengan

memanggil seluruh isi kota kecil ini. Kami akan melakukannya

besok, kebetulan besok hari Jum'at pula. Dan mana bisa kalian

hendak pergi dari sini......?!” Kalian menginap malam ini. Kalau

sudah selesai selamatan itu nanti, kalian mau pergi kemana

juga tak ada yang melarang!”. Suwantra dan Mirta tak bisa

menjawab apa-apa sedang kedua gadis itu yang berdiri disudut

ruangan hanja senyum-senyum kecil saja.

Banyak hal-hal yang aneh diatas dunia ini. Dan salah satu

dari padanya adalah cinta. Cinta itu memang aneh. Ada yang

datang dan bersemi dalam masa yang tempo yang sangat

singkat cepat seperti kilat dan ada pula yang datang berlama

berlarut-larut. Ada yang datangnya mula-muila secara tak

disadari ada pula yang sebelumnya memang sudah disadari.

Kata kebanyakan orang cinta itu datangnya dari mata lalu turun

kehati. mendekam disana, berkecamuk menimbulkan satu

penyakit yang sukar obatnya yaitu rindu! Obat satu-satunya

hanyalah pertemuan muka dengan orang yang dirindui itu!

Cinta dari mata turun kehati adalah benar, tak dapat dibantah.

Tapi kalau dikatakan pula bahwa cinta itu datang dari mata,

terus kehati dan turun kekaki, maka juga tak akan ada yang

membantahnya! Cinta itu tak ubahnya seperti iman seorarg

hamba kepada Tuhan dan agamaNya,'mempunyai tingkat-

tingkat tertentu. Cinta bisa berubah dan sangat mudah

berubah. Dan kalau cinta sudah berubah menjadi kasihan maka

umurnya sudah tidak akan lama lagi. Tiinta yang dulu turun

kehati kini mulai menuju kekaki. Istri yang dulu dikasihi dan

dicintai kini sudah sering dimarahi, sering ditempelak dengan

tangan dan ada pula yang sering ditendang dengan kakai. Itulah

dia cinta yang dari mata turun kekaki!. Sebabnya sampai begitu

banyak sekali. Ada yang karena sang istri sudah mulai peot, ada

karena sang suami sudah mulai benci ada ini...... ada itu!

Pokoknya ada saja yang kelihatan ada saja cacat celanya. Cacat

cela yang datang kemudian yang dulu selagi masa romantis- romatisan tak pernah kelihatan, kalau kelihatan malahan

dianggap itulah keindahan dan kelebihan sang kekasih. Cinta

membutakan, benar membutakan! Dia bisa memberi

bimbingan kejalan yang baik tapi juga bisa menuntun kejalan

yang buruk. Cinta bisa merupakan obor bagi penerangan hidup,

tapi bisa juga menjadi awan gelap penyelubung jalan kehidupan

itu. Orang bisa mati karena cinta, tapi yang sakit keras juga bisa

sembuh oleh cinta. Bahagia cinta tiada terkirakan nikmatnya.

Dunia serasa kita yang punya, segala sesuatunya seakan-akan

tersenyum kepada kita, seakan-akan turut merasakan

kebahagiaan kita itu. Orang yang sedang bercintaan kadang- kadang bertingkah laku seperti orang setengah gila. Tapi

bilamana seseorang sudah ditinggalkan oleh cinta itu, karena

sang cinta mencari pujaan yang lain maka orang bisa dibuat gila

benar?! Cinta memang aneh!


Dibelakang rumah terdapat sebuah taman kecil dengan

sebuah kolam ditengah-tengahnya. Disana terdapat tiga buah

bangku-bangku. Bau semerbaknya bunga-bunga yang tengah

mekar sungguh menyegarkan sekali.

Dua buah dari ketiga bangku-bangku panjang yang terletak

saling berjauhan didalam taman itu tampak diduduki oleh

masing-masing dua orang. Satu laki-laki dan satu perempuan.

Siapakah mereka? Sinar bulan purnama cukup memberi

penerangan disekitar sana sehingga dalam jarak yang agak jauk

kita sudah dapat mengenali kedua pasangan yang tengah

duduk-duduk itu. Mereka tak lain adalah Suwantra dan Sarti

dibangku sebelah kanan sedang yang lain adalah Mirta bersama

Sarni dibangku yang dibawah pohon seri. Dua pasang muda

remaja, dimalam yang berbulan purnama. Hemm..... agaknya

cinta mulai pula menunjukkan keanehannya? Agaknya masin- masing mereka sudah menemui pasangan? Sudah menemui

pilihan hati? Entahlah!

Mereka telah duduk hampir selama lima menit ditempat itu.

Tapi belum seorangpun yang membuka mulut memulai

pembicaraan. Dan ini adalah lagi-lagi dari keanehan cinta.

Cinta bisa membuat manusia menjadi bisu tak bisa berkata- kata tapi bisa pula membuat manusia berbicara terus-terusan,

merayu dengan berbagai kata-kata yang manis sampai

akhirnya...... bosan dan muak sendiri!

Suwantra dan Mirta sebelumnya tak pernah berada dalam

keadaan seperti saat itu. Begitu juga kedua gadis kakak beradik

itu. Sebentar-sebentar salah seorang dari mereka menarik nafas

dalam atau kadang-kadang mempermainkan tanah dengan

ujung-ujung kaki mereka sedang yang perempuan

menundukkan kepala atau mempermainkan jari-jari tangan

mereka.

“Kau bekerja berat sekali siang tadi. Apa kau tak lelah...?”

tanya Suwantra akhirnya membuka pembicaraan setelah

demikian lamanya berdiam diri. Suaranya tidak seperti biasa

dan terdengar kaku.

“Kerja hanya mengiris bawang, buncis dan menggulai itu

bukan kerja berat...... Itu memang sudah kerjanya perempuan

Seharusnya kau yang lelah malam ini” jawab Sarti. Suwantra

tersenyum lalu berkata. “Sungguh baru pertama kali ini aku

melihat selamatan yang dilakukan secara besar-besaran. Orang

sekota semua dipanggil!” Itu baru selamatan, bagaimana pula

nanti kalau pesta perkawinanmu. Aku tak bisa

membayangkan!”.

Gadis itu menundukkan kepalanya. Kemudian tanpa

menoleh kepada pemuda itu dia berkata. “Heran, mengapa kau

selalu sembunyi-sembunyi terhadapku, Wantra?”.

“Aku ada disini didekatmu, kenapa kau bilang sembunyi- sembunyi?” tanya Suwantra bergurau.

“Maksudku kau menyembunyikan segala sesuatu tentang

dirimu. Begitu juga kawanmu Mirta. Aku tanya kalian orang

mana, tinggal dimana tak pernah kalian berikan jawaban. Ada

apa sesungguhnya......?”.

“Hemm......” desis Suwantra. “Mengapa kau tanyakan semua

itu? Kita berkenalan dan bersahabat, bukankah itu cukup?!”.

“Setiap sahabat sudah semustinya mengetahui siapa

sahabatnya itu dan dimana tinggalnya!” ujar Sarti.

“Kau dulu sudah kukatakan bahwa kami hanya dua orang

keturunan Dayak suku Kayan yang dianggap hina oleh orang- orang kota...... Apa kau tidak percaya?!”. Gadis itu

menggelengkan kepalanya. “Aku pernah melihat orang-orang

Dayak dari suku lain. Ciri-ciri mereka tidak seperti kalian.

Kalian gagah-gagah dan sopan serta baik hati”.

“Banyak orang yang lebih gagah, lebih sopan dan lebih baik

dari kami......”.

“Tapi yang tak pernah aku temui......” potong Sarti. Pemuda

itu memandang ke gadis yang disampingnya. Gadis itu

tersenyum manis sekali. Dan benih pertama dari cinta agaknya

mulai ditaburkan kini. “Aku merasa senang kalau berada

dekatmu Sarti......” kata Suwantra dengan perlahan.

“Aku juga Wantra......” bisik si gadis......

Bagaimana pula dengan Mirta dan Sarni? Keduanya masih

sama-sama membisu. Sama-sama salah tingkah. Mirta

memandang kelangit, pada bulan purnama empat belas hari.

Gadis yang duduk disampingnya mengikuti pandangannya.


“Bulan itu indah......” kata Sarni. Dengan demikian pembicaraan

dimulai.

“Seindah wajahmu Sarni, malahan kau lebih indah lagi dari

itu......” kata Mirta. Sarni menundukkan kepalanya. Mukanya

merah. Dan pembicaraan terhenti sampai disitu. Kesunyian

menggerayangi mereka kembali. Tiga menit kemudian. “Aku

hanya seorang gadis yang buruk Mirta......”.

“Dan aku juga pemuda kampung yang luntang-lantung tak

karuan......” jawab Mirta.

“Kau masih saja menyatakan dirimu seperti itu, Mirta. Tak

baik begitu. Sekalipun kau siapa adanya tapi aku lebih tahu

siapa engkau. Kau seorang yang gagah, baik dan tahu

peradatan......”.

“Terima kasib Sarni. Tapi itu katamu saja. Orang lain akan

berkata sebaliknya!” jawab Mirta.

“Sudahlah, mengapa harus kita ributkan orang lain itu? Aku

senang punya sahabat sepertimu ini. Habis perkara!.”.

“Aku juga senang dan juga habis perkara!” kata Mirta pula

dari kedua orang itu sama-sama tersenyum. Senyum yang

dilontarkan semanis dan semesra mungkin......!

“Jadi kalian pergi besok?” tanya Sarni kemudian.

“Ya......” jawab si pemuda. “Dulu aku berjanji akan

mengantarkan kalian sampai kerumah. Sampai disini aku

disuruh nginap dan sampai dua malam pula dengan saat ini!

Aku malu sebenarnya dan kampung kami jauh pula dari

sini......”.

“Bagi sahabat-sahabat yang baik tak ada tempat yang jauh,

kecuali kalau aku bukan sahabatmu yang baik......” merajuk

sang gadis.

“Maksudku bukan begitu Sarni......”.

“Hemm...... mungkin kau sudah punya pacar dikampung?

Yang gelisah menantimu saat ini......?”.

“Kampung tidak sama dengan kota. Kampung tidak

mengenal istilah pacar-pacaran, Sarni...... Lagi pula siapa yang

mau pada orang semacamku ini...... Aku sudah lama mencari- cari, tapi tak seorangpun yang sudi!”.

“Apa sulit syarat-syaratnya untuk menjadi kekasihmu?”

tanya gadis itu.

“Tak ada syarat apa-apa kecuali setia......!”

“Syarat kecantikan tak ada?”.

“Tidak! Apa guna punya istri cantik kalau dia membuat

suami makan hati......?”.

“Aku seorang gadis yang buruk. Bagaimana kalau aku

mengajukan permohonan jadi pacar?”. Mirta tertawa terbahak- bahak. Kemudian sambil menarik nafas panjang dia berkata :

“Kau ini ada-ada saja Sarni......”.

“Kau tak percaya Mirta? Kau tak percaya kalau kukatakan

terus terang bahwa...... bahwa......”.

“Bahwa kau mencintaiku.....?” sambung Mirta. Gadis itu

mengangguk. Mirta berdiri dari bangkunya seperti orang

disentakkan karena terkejutnya dan tak percayanya. Gadis itu

memegang lengannya dan menyuruhnya duduk kembali.

Bermimpi aku agaknya......” kata Mirta perlahan.

“Tidak Mirta...... tidak. Kau tidak bermimpi. Aku juga tidak!”.

“Kalau begitu kau main-main!”

“Juga tidak!” Mirta memegang bahu gadis itu. “Kau

mencintai aku Sarni...... benar...... sungguh?”.

“Aku mencintaimu, Mirta. Dan aku akan setia padamu......”.

“Tapi ayahmu orang kaya, aku orang miskin......”.

“Lantas apa ayahku yang akan kawin denganmu......?

Mirta...... Mirta. Kau ini laki-laki yang lucu sekali. Yang banyak

tanya dan sembunyi-sembunyinya. Tapi satu hal yang tak dapat

kau sembunyikan dan itu kuketahui!”

“Apa?” tanya Mirta.

“Kau juga mencintaiku!”.

“Sarni......” dan Mirta merangkul gadis itu erat-erat

kedadanya.

“Eh...... apa-apaan ini. Jangan lupa daratan kawan. Kau tahu

kita berada dimana dan kau lihat bahwa Suwantra dan Sarti

juga berada ditaman ini. Lihat mereka......! Mirta memutar

kepalanya memandang kearah bangku yang diujung sana. Dan

diatas bangku itu, didalam kegelapan yang samar-samar,

Suwantra dan Sarti juga tengah berangkulan mesra satu sama

lain!

“Mereka juga sudah seperti kita agaknya..... Sarni......” dan

kedua pasangan itu saling berangkulan kembali. Itulah

kemesraan cinta. Itulah kebahagiaan kalau dua hati sudah

saling bertemu.

Dan malam itu empat mulut dan empat hati saling

mengucapkan dan menyatakan “Aku cinta padamu......”!

Keesokan paginya setelah meminta diri dan mengucapkan

terima kasih pada kedua orang tua gadis itu dan juga pada

Armansyah maka Mirta dan Suwantra sama menemui kekasih

masing-masing. Kekasih yang mereka dapati hanya dalam

tempo tiga hari. Cinta yang mereka temui hanya dalam saat 3

kali 24 jam!

“Aku pergi hari ini, Sarti, dan aku akan kembali lagi kesini.

Aku akan melamarmu......” kata Suwantra sambil memegang

jari-jari gadis itu.

“Selamat jalan Suwantra. Aku akan menunggumu disini......”

jawab Sarti.

Sementara itu dibagian muka rumah sebelah sana......

“Selamat tinggal adik, aku akan kembali dalam waktu yang

singkat. Nantikan aku disini. Sarni......” kata Mirta. Dia coba

untuk tersenyum. “Kembalilah cepat-cepat. Aku tak bisa

menunggu lama-lama disini. Mirta dan selamat jalan....”

Kedua orang itu naik keatas kuda masing-masing.

Karmansyah dan istrinya serta anak laki-lakinya berdiri

dipintu. Sarti dan Sarni melepas kekasih mereka sampai dipintu

pagar. Sebelum kedua pemuda itu berlalu, kedua gadis itu

sama-sama memberikan sebuah bungkusan kecil pada pujaan

hati mereka. Benda yang dibungkus dengan kain putih itu

adalah batu-batu cincin dari jenis yang sangat mahal harganya

dan diikat dengan emas. Itulah lagi keanehan dari cinta. Cinta

sejati memberikan apa saja dari milik kita yang paling berharga,

sekalipun jiwa raga!

“Ingat!” kata Sarti pula. “Bungkusan itu baru boleh kalian

buka kalau sudah sampai dirumah nanti. Begitu di buka begitu

dipakai!

Mirta dan Suwantra sama-sama tersenyum. Tali kekang

sama-sama ditarik dan kedua kuda itu mulai bergerak maju

Mula-mula perlahan lalu makin cepat, tambah cepat dan

akhirnya mereka hilang ditikungan jalan. Kedua gadis itu Sarti

dan Sarni memutar tubuh mereka dan kembali kerumah

dengan satu kenangan indah dan satu janji suci tentang masa

depan yang bahagia.


                               Tamat















 







Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive