..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 19 Juni 2025

KERIS MERAH EPISODE ASMARA DI TANAH MINANG

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Asmara Di Tanah Minang


BINTANG terakhir yang masih ada diangkasa raya hilang

lenyap tiada berbekas seperti setitik air yang jatuh ketengah-

tengah gurun pasir tandus ketika cahaya pagi mulai

membayang keemasan diufuk timur. Air laut tampak tenang.

Angin pagi menghembus nyaman kearah pantai seakan-akan

mengiringi arusnya ombak-ombak kecil yang memecah ditepi

pasir. Ditengah laut, berpuluh-puluh perahu nelayan dari segala

macam bentuk dan besarnya tampak menghadap kearah pantai.

Semuanya sama menuju pulang. Layar perahu-perahu itu yang

rata-rata banyak tambal-tambalannya menggembung ditiup

angin laut dan perahu meluncur laju diatas air, berlomba-lomba

untuk mencapai pantai lebih dahulu. Sore kemarin nelayan- nelayan itu sama meninggalkan pantai menuju ketengah laut

lepas mencari nafkah yang telah disediakan Tuhan disana,

hanya tinggal mengambilnya saja lagi dengan usaha. Setelah

satu malam suntuk berada di tengah lautan diselimuti

kegelapan dan kedinginan maka ketika pagi mulai membayang

merekapun kembalilah pulang dengan hasil masing-masing

berupa ikan. Yang kembali dengan membawa ikan dalam

jumlah yang banyak berdendang dengan gembira sedang yang

memperoleh hasil sedikit tidak pula bersedih hati atau

menggerutu dalam hati. Mereka tahu bahwa cukup itulah rezeki

mereka hari itu. Besok mungkin lebih atau mungkin kurang.

Gugusan kepulauan Karimata yang terletak dipantai barat- daya pulau Kalimantan terdiri atas beberapa puluh buah pulau

yang kecil dan yang besar! Satu diantara pulau-pulau itu,

terletak jauh terpencil dari yang lain. Tak seorang nelayan atau

penduduk pantai yang pernah mendarat dipulau itu. Menurut

kata orang, pulau kecil yang letaknya terpencil itu mempunyai

‘penunggu’, mempunyai ‘penghuni’. Seringkali penduduk yang

tinggal ditepi pantai melihat benda aneh yang mengeluarkan

sinar berkilauan seperti pecahan bintang melesat dari pulau itu.

Kabar itu membuat setiap nelayan semakin menjauh dari pulau

tersebut sehingga boleh dikatakan tak satu manusiapun yang

pernah menginiak pulau itu, apa lagi tinggal disana. Penduduk


pantai menamakan pulau itu pulau Keramat. Tiga tahun yang

lalu pernah dua orang muda dengan maksud hendak

menyelidik mengarungi lautan dengan sebuah biluk menuju

kepulau itu. Tapi mereka tak pernah kembali. Kabar beritanya

juga tak ada. Mereka hilang lenyap tanpa bekas.

Tapi apa yang diduga oleh kaum nelayan tentang pulau itu

adalah salah sama sekali, jauh panggang dari api. Pulau

Keramat itu tak sampai seratus meter persegi luasnya, tapi

pohon-pohon kelapa dan pohon-pohon lainnya tumbuh sangat

rapatnya disitu. Dan kalau pulau-pulau lain pada waktu air

pasang digenangi air sampai seperempat bahkan ada yang

sampai sebagiannya, maka pulau yang satu ini tetap seperti

sediakala. Mungkin hal-hal yang aneh-aneh tentang pulau

inilah yang disampaikan dari mulut kemulut sehingga membuat

penduduk pantai menganggap pulau itu berpenghuni dan

keramat.

Sekali-kali angin laut bertiup agak kencang. Perahu-perahu

nelayan meluncur bertambah cepat. Daun-daun pepohonan

dipulau Keramat melambai-lambai seperti rambut gadis yang

ditiup angin nakal. Dipulau itu tampak banyak sekali buah- buah kelapa yang pecah-pecah berantakan bertebaran diatas

tanah. Hal apakah yang menyebabkannya? Kelapa-kelapa tua

yang jatuh ketanah tak mungkin akan pecah serupa itu

sekalipun bagaimana juga tinggi batangnya. Atau mungkin ada

kera-kera yang menggerogoti buah-buah itu yang menjadi

penghuni pulau seperti yang diduga oleh nelayan-nelayan ditepi

pantai? Kemungkinan ini pula masuk diakal.

Desiran-desiran daun pepohonan yang ditiup angin tak

sanggup memecahkan kesunyian yang membisu dtpulau itu.

Seekor bengkarung hijau meluncur dibawah semak-semak yang

lebat. Dimuka sana dia berhenti sebentar. Dengan kedua

matanya yang kecil itu dia memandang berkeliling. Setelah

dirasakannya keadaan sekelilingnya aman dia segera meluncur

kembali, menuju ketepi telaga yang berair jernih diseberangnya.

Ya, secara tak terduga, dipulau itu terdapat sebuah telaga kecil.

Dan lebih tak terduga lagi, ditepi telaga sebelah kekiri berdirilah

sebuah pondok kecil! Berdinding papan-papan kayu kasar dan

beratap daun-daun kelapa yang kering, Aneh, benar-benar

aneh. Pondok siapakah itu? Manusia mana pula yang berdiam

ditengh-tengah pulau yang disangkakan orang tak pernah

diinjak manusia itu?

Bengkarung hijau tadi membuka mulutnya yang panjang

kecil, mengulurkan lidahnya dan meminum air telaga beberapa

tetes banyaknya. Setelah puas, dengan cepat dia memutar

tubuh, meluncur seperti kilat dan manghilang diantara lebatnya

semak belukar. Sementara itu didalam pondok kecil tadi yang

ditepi telaga terdengar suara orang berkata-kata. Suaranya

satu-satu, tidak begitu keras tetapi tegas dan jelas.

Orang yang tengah berkata-kata itu berumur hampir delapan

puluh tahun. Janggutnya menjela sampai kepangkuannya.

Kumisnya yang lebat tapi lunak lembut menjadi satu dengan

janggutnya yang panjang. Keseluruhannya berwarna putih

seperti warna salju diatas puncak gunung yang tinggi. Orang tua

ini mempunyai hidung yang tinggi mancung. Keningnya lebar

dan penuh dengan guratan, ketuaan. Dibawah kedua alis mata

yang putih itu terletak kedua matanya yang besar bercahaya.

Diatas kepalanya terdapat sebuah sorban putih yang berjurai

benang sutera pada ujungnya. Pakaian yang dipakainya yaitu

jubah dalam juga terbuat dari kain putih yang berkilat tapi

bukan sutera. Dan dia duduk bersila diatas sebuah bantalan

kain yang bewarna hijau tua.

Dihadapannya, diatas sebuah permadani lama, duduklah dua

orang muda. Wajah keduanya sangat tampan, tapi agak lebih

tampan yang termuda usianya. Kulitnya lebih putih dan halus,

seperti kulit perempuan. Jari-jari tangannya panjang-panjang

dan halus lembut. Dari paras kedua anak muda ini dapatlah

diketahui bahwa mereka tentunya adalah dua bersaudara,

kakak dan adik. Keduanya duduk bersila dengan takzim dan

memandang kepada orang tua yang dihadapannya,

mendengarkan apa yang dikatakannya,

“Murid-muridku, anak-anakku, segala sesuatunya didunia ini

dijadikan Tuhan serba berlawanan. Kalau dijadikanNya maka

diciptakanNya pula bumi. Kalau diciptakannya daratan,

dibuatNya pula lautan. DijadikanNya laki-laki, dijadikanNya


perampuan. Ada baik ada buruk, ada senang dan ada susah.

Ada orang yang kaya dan ada pula yang miskin. Pokoknya

segala apa saja akan selalu terdapat perlawanannya, dan begitu

jugalah dengan kalian. Kalian dan aku, guramu. Bagi kita

manusia ada pula masa datang dan ada masa pergi, masa

berpisab. Tiga tahun yang lalu kalian berdua datang ketempat

ini dan kusambut dengan senang hati, dengan tangan terbuka.

Kujadikan kalian murid-muridku dan selama tiga tahun itu

kalian telah belajar segala macam ilmu dariku, ilmu dunia dan

ilmu akhirat. Selama tiga tahun kalian tinggai bersamaku,

mengabdi dan setia kepadaku, mematuhi segala perintahku

dengan setulus hati. Aku bangga anak-anak, aku senang dan

bersyukur kepada Tuhan seru sekalian alam yang telah

mengirim kalian untuk datang kesini. Sebelum kulepas kalian

kurasa perlu untuk memberikan nasihat dan wejangan- wejangan yang harus kau ingat betul-betul selama hayatmu.

Murid-muridku, ketahuilah, Tuhan menciptakan jagat raya ini,

termasuk bumi dimana kita tinggal atas dasar kasih sayang,

karena sifatnya yang Arrahman dan Arrahim. Dan karena itu

wajiblah kita hidup diatas bumi ini saling kasih mengasihi satu

sama lain, bukan saja kasih mengasihi terhadap orang tua dan

saudara tapi juga terhadap semua manusia, terhadap orang lain

yang sekalipun tidak kita kenal. Dan karena ilmu yang

kuberikan kepada kalian adalah ilmu yang direlakan Tuhan,

untuk kebaikan dunia dan akhirat maka pegang teguh tersebui,

pergunakan untuk kebaikan, pergunakan untuk membasmi

segala macam perbuatan jahat, pergunakan untuk menumpas

manusia-manusia yang terang-terangan menentang Tuhan,

menentang rasul-rasulNya, menentang ajaranNya, menentang

Agama yang diturunkanNya. Berjalanlah diatas garis

kebenaran, berbuat jujur, saling mengasihi sesama makhluk

tapi jangan sampai pula lupa memegang teguh sifat ksatria,

sifat kejantanan. Dan kau Suwantri, sekalipun kau seorang

perempuan tapi wajib dan harus bagimu bertindak jantan dan

gagah seperti kaum laki-laki, agar supaya segala macam

keburukan dunia, agar segala macam tipu daya dunia tidak

sampai mencelakaimu kelak. Dan juga demi keselamatanmulah,


Suwantri, maka kusuruh kau memakai pakaian laki-laki. Dunia

penuh dengan keserba salahan yang dibuat oleh manusia.

Perempuan cantik seperti kau ini akan menjadi perhatian setiap

mata laki-laki, menjadi sorotan mata si hidung belang, apalagi

kalau kau berada ditempat asing yang terpencil dimana akan

susah bagimu untuk menjaga diri bila terjadi sesuatu yang tak

diharapkan.

Murid-muridku, sebagai seorang guru yang miskin, aku tak

mempunyai apa-apa untukmu. Aku tak mempunyai senjata


senjata sakti dan keramat yang bisa kuwariskan kepada kalian.

Namun janganlah kalian berkecil hati......”.

“Ilmu dan kepandaian apa yang telah Kiai berikan selama

tiga tahun ini sudah lebih dari segala macam senjata sakti

manapun, dan selama hidup kami tak akan pernah rasanya

terbilas segala jasa Kiai itu oleh kami”, kata anak muda yang

duduk dimuka orang tua itu. Dia yang dipanggilkan Kiai

mengangguk-anggukkan kepalanya yang bersorban dan berkata

lagi : “Dengarlah baik-baik murid-muridku. Aku akan

menceritakan satu kisah nyata kepada kalian. Satu kisah nyata

yang akan dapat mewariskan senjata kepada kalian sekalipun

bukan warisan langsung dariku, tapi warisan yang harus kalian

terima dengan usaha dan jerih payah”.

Kedua orang muda yang duduk diatas permadani dihadapan

orang tua itu saling bertanya-tanya dalam hati, kisah apakah

yang akan dipaparkan guru mereka? Keduanya segera

memasang telinga ketika dilihatnya orang tua itu membuka

mulutnya kembali.

“Dahulu kala dimasa Nabi Muhammad s.a.w. bersama

sahabat-sahabatnya berjuang melawan orang-orang kafir yang

tak mau tunduk dan memeluk agama Islam bahkan menghina

dan memerangi Nabi bersama pengikut-pengikutnya maka

diantara orang-orang yang berperang difihak Nabi terdapat

sepasang suami istri yang turut berjuang membela agama

Tuhan. Kedua suami istri ini tak diketahui siapa namanya dan

dari mana asaInya. Namun setiap terjadi pertempuran antara

pasukan Nabi dan bala tentara orang-orang kafir keduanya

muncul dengan tiba-tiba tak diketahui. Sepasang suami istri ini

mempunyai sepasang pedang putih bercahaya yang terbuat dari

baja murni yang sangat ampuh dan sakti sekali. Hulu kedua

pedang itu terbuat dari emas. Pedang milik yang perempuan

pada hulunya terukir gambar sebuah bulan sabit sedang pada

hulu pedang kepunyaan yang laki-laki terukir lukisan bintang,

kedua suami istri disamping sahabat-sahabat Nabi lainnya

maka boleh dikatakan tak pernah Nabi mengalami kekalahan

didalam setiap pertempuran. Ketika Nabi wafat sepasang suami

istri itupun tak pernah dilihat orang lagi. Beberapa tahun

kemudian sepasang pedang yang pernah dipakai dalam

pertempuran-pertempuran oleh suami istri tadi berada

ditangan seorang saleh dikota Medinah. Namanya Ahmad yang

kemudin ternyata adalah putera satu-satunya dari sepasang

pendekar tadi. Ahmad kemudian kawin dengan seorang

perempuan Persi yang beragama Islam dan memiIiki dua orang

anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki

bernama Khatab dan yang perempuan Zubaidah. Ketika

berumur delapan tahun Zubaidah maninggal dunia dalam satu

serangan demam panas. Seperti ayahnya, Khatab juga berumah

tangga dengan seorang puteri Persi. Mempunyai satu anak laki-

laki yang dinamai Ibrahim mempunyai dua orang istri.

Disinilah pangkal mulanya terjadi perselisihan. Dari istrinya

yang pertama, Ibrahim mempunyai satu anak laki-laki dan satu

perempuan. Begitu juga dengan istrinya yang kedua. Timbullah

kesukaran yang rumit. Siapakah yang berhak menerima pedang

warisan yang turun temurun itu? Diberikan kepada anak-nak

dari istri pertama, anak-anak istri yang kedua tentu akan

menuntut haknya pula. Diberikan masing-masing satu pedang

tak mungkin pula. Ketika terjadi perselisihan yang hangat

karena warisan pedang sakti itu tiba-tiba terjadi kehebohan

dirumah Ibrahim bin Khatab. Lemari besi dimana disimpan

sepasang pedang keramat itu dibongkar orang, pedang lenyap!

Segera dilakukan penyelidikan yang teliti. Ternyata kedua

pedang itu dicuri oleh seorang kepala rampok. Pengejaran

segera dilakukan. Ibrahim bin Khatab menemui ajalnya dalam

pengejaran itu. Ditebas oleh pedang miliknya sendiri, yang

dilakukan oleh kepala perampok tadi. Begitu juga tiga dari

keempat orang anaknya yang turut melakukan pengejaran sama

menemui ajal diujung pedang ayahnya. Yang berhasil

menyelamatkan diri hanyalah anak tertua dari istri pertama

yaitu Sidik. Dengan seorang diri selama berminggu-minggu,

Sidik terus menerus membayangi jejak kepala rampok itu

sampai akhirnya pada suatu jejak-jejak yang diikutinya hilang

lenyap dan tak berhasil ditemui lagi. Sidik bin Ibrahim

kemudian pindah kenegeri Persi dan kawin dengan anak negeri

itu. Sekalipun dia sudah berada jauh dari tanah Arab namun

jejak dari pencuri pedang itu terus diselidikinya. Begitu juga

sampai keanak cucunya. Dan selama puluhan tahun, pedang

sakti itu telah berkali-kali berpindah tangan. Telah menjelajahi

berbagai macam negeri, seperti ketanah Utara ketangannya

orang-orang Viking, kemudian jatuh ketangan bangsa Noor,

lalu berpindah lagi kebeberapa negeri bangsa kulit putih.

Pernah pula jatuh ketangan seorang saudagar kaya dan

kemudian pedang itu dibeli oleh salah seorang raja Tiongkok

keturunan dinasti Wang Cu. Sepuluh tahun yang lalu pedang

yang berasal dari tanah Arab itu dikabarkan orang berada di

Tanah Melayu. Ketika pecah perang dinegeri itu, antara orang- orang Belanda dan orang-orang Portugis maka seorang sakti

tapi yang berhati jahat berhasil mencuri sepasang pedang tadi.

Kabarnya dia melarikan diri ketanah Nusantara ini dan

bersembunyi digunung Merapi. Kabar tentang adanya pedang

itu ditanah Nusantara ini sampai pula kepada turunan-turunan

Sidik, namun tak seorangpun dari mereka yang mengacuhkan

senjata-senjata keramat itu. Cuma satu dari mereka yang

mempunyai minat untuk memiliki kedua pedang itu kembali.

Orang ini mendengar kabar bahwa pedang-pedang tersebut

selama berpindah dari tangan ketangan telah dipakai untuk

perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat. Dipergunakan

untuk mengacau, untuk menebas leher manusia-manusia yang

tak berdosa dan lain sebagainya. Karena itulah sepasang senjata

itu harus kembali kepada pemiliknya sebelum dipakai lebih

banyak untuk merampas nyawa manusia yang tak bersalah.

Dan turunan Sidik yang kumaksudkan tadi, yaitu turunannya

yang kedua puluh sembilan berlayar mengarungi samudra luas

menuju kenegeri ini. Dan orangnya adalah aku sendiri..........”

“Kiai!” seru kedua muridnya dengan rasa terkejut. Keduanya

memandang kewajah gurunya. Seakan-akan mereka tak percaya

apa yang baru saja dikatakan orang tua itu.

“Kiai Ahmed Pasya, begitulah nama si orang tua tanpa

mengacuhkan rasa terkejut kedua muridnya meneruskan. “Aku

sampai kepulau Jawa ini kira-kira sepuluh tahun yang lalu.

Segera aku menuju kegunung Merapi yang terletak didaerah

Jawa Tengah. Enam bulan lamanya aku menyelidik didaerah


sekitar gunung itu, mulai dari kaki gunung sampai kepuncaknya

aku selidiki, setiap gua aku masuki namun sepasang pedang

yang dikabarkan dilarikan orang sakti itu kesana tidak juga

kunjung bersua. Sambil terus menyelidik menjelajahi setiap

tempat kukembangkan juga segala lImu pengetahuan dan

agamaku kepada penduduk pribumi. Aku tahu bahwa banyak

orang-orang dipulau Jawa ini yang telah memeluk agama Isiam

yang dikembangkan oleh para wali. Tapi ada pula segelintir

manusia durhaka yang menyebarkan sejenis agama yang

mereka katakan adalah agama Islam yang asli yang diturunkan

Tuhan kepada Nabi Muhmmad, tapi yang sesungguhnya telah

mereka selewengkan. Bertahun-tahun lamanya aku

memperbaiki penduduk yang telah tersesat itu. Mulai dari

ujung Timur pulau Jawa sampai keujung Barat. Umurku

semakin tua juga. Waktu aku pertama kali menginjakkan kaki

ditanah Jawa ini umurku sudah enam puluh tujuh tahun.

Akhirnya aku sampai kepulau ini. Entah mengapa hatiku

kemudian tertarik untuk tinggal menetap disini, bersunyi diri

menghabiskan umur sambil berbuat ibadat sebanyak- banyaknya. Dan kira-kira tiga minggu sebelum kalian tersesat

kepulau ini, aku mendengar kabar kedua pedang sakti yang

selama ini kucari-cari tersembunyi disatu gua dipuncak gunung

Merapi ditanah Minangkabau. Jadi selama ini aku sudah salah

duga menyangka bahwa pedang-pedang itu ada digunung

Merapi yang dipulau Jawa tak tahunya tersembunyi digunung

Merapi yang di Sumatera, dinegeri Minangkabau. Tapi pada

saat aku mendengar kabar itu, aku sudah terlampau tua. Sudah

mendekati umur delapan puluh tahun, tak mungkin lagi

rasanya untuk menentang arus menerjang ombak mengarungi

lautan pergi ketanah Minang. Dan didalam hatiku timbullah

niat hendak mempunyai murid yang baik yang akhirnya akan

pergi mengambil sepasang pedang bulan bintang itu sebagai

warisan sah dariku, sebagai pemberian dari seorang guru pada

murid-muridnya. Kalian berdua adalah kakak beradik. Satu

laki-laki dan satu perempuan. Tepat dan cocok sekali rasanya

kalau pedang itu jatuh ketanganmu. Maka karena itulah murid- muridku pergilah kalian mengarungi Samudra luas, menempuh


negeri Minang, mendaki gunung Merapi dan mengambil

senjata-senjata itu. Pedang-pedang yang suci itu telah terlalu

sering dipakai untuk kejahatan karena itu kalianlah yang akan

mensucikannya kembali. Dengan sepasang pedang itu didalam

tangan kalian, maka kalian akan menjadi dua pendekar kakak

beradik yang tak terkalahkan oleh musuh sakti manapun. Tapi

sesuai dengan sifat manusia-manusia yang tahu diri janganlah

kalian sampai lupa diri dan menjadi takabur dengan ketinggian

ilmu dan keampuhan senjata yang kalian miliki. Sesungguhnya

diatas orang yang bodoh ada lagi yang bodoh dan diatas orang

yang pandai lebih banyak pula orang yang lebih pandai.

Camkanlah murid-muridku.........”

Kedua muridnya, Suwantra dan Suwantri sama-sama

menjawab. “Akan kami camkan, Kiai......”

DUA

KIAI AHMED PASYA mengambil perasapan yang

disampingnya. Api perasapan itu ditiupnya beberapa kali

hembus kemudian disebarkannya setanggi. Lalu dengan kedua

telapak tangan menampung keatas dia mulai membaca doa-doa

suci. Selesai membaca doa, perasapan itu dikelilinginya

beberapa kali diatas kepala murid-muridnya satu demi satu.

Setelah meletakkan perasapan tadi ketempatnya semula, Kiai

Ahmed Pasya memandang murid-muridnya dan berkata,

“Suwantra, kau barsama adikmu Suwantri kuizinkan pergi

sekarang. Arungilah lautan luas, arungi daratan tanah Minang

dan kembalilah dengan cepat kekampung halamanmu bersama

kedua pedang sakti itu karena tentu ayah bundamu yang sudah

tua-tua itu sangat merindu, kedatanngan kalian. Selamat jalan

murid-muridku...... selamat berpisah anak-anakku. Restuku

bersamamu......” Kiai Ahmed Pasya berdiri. Kedua muridnya

mengikuti. Mereka memandang kewajah gurunya. Dan dalam

hati masing-masing mereka memaklumi bahwa itulah kali

terakhir mereka dapat menatap wajah Ahmed Pasya, guru yang

dihormati mereka. Sebelum turun dari tangga rumah, dipintu


belakang, Suwantra memeluk gurunya erat-erat dan mencium

tangan orang itu. Adiknya Suwantri meniru perbuatan

kakaknya. Diujung tangga sebelum menjejakkan kaki ketanah

mereka memandang berkeliling. Merenungi telaga kecil

dihadapan mereka tempat mereka selama ini mengambil air,

tempat selama ini mereka mandi pagi dan petang dan tempat

selama ini kawan bermenung bagi mereka kalau mereka tengah

merindui ayah dan ibu yang jauh dipedalaman daratan tanah

Kalimantan, ditanah Kayan. Kemudian sekali lagi mereka

menoleh kepada gurunya, tersenyum sedikit dan melangkahkan

kaki kebawah. Sebelum mereka menghilang dibalik batang- batang kelapa yang tumbuh rapat disebelah sana, keduanya

menoleh sekali lagi dan melambaikan tangan kearah orang tua

itu, Ahmed Pasya membalas lambaian tangan murid-muridnya.

Sebagaimana. Suwantra dan Suwantri memaklumi bahwa dia

tak akan lagi bertemu dengan gurunya itu, maka seperti itu

pulalah dimaklumi oleh si orang tua. Itulah penghabisan kali

baginya melihat kedua murid yang dikasihinya.

Kedua kakak beradik itu menyeruak dibalik semak-semak

dan berjalan kebagian timur pulau. Disebuah tempat yang

berbatu-batu dan tersembunyi dibalik pohon-pohon kelapa

yang dikelilingi oleh semak belukar setinggi kepala mereka

berhenti. Suwantra menguakkan semak belukar yang

dihadapannya. Sebelum memasuki semak-semak itu dia

bertanya pada adiknya, seorang gadis jelita yang berpakaian

laki-laki. “Apa tak salah agaknya bahwa disini dia kita

sembunyikan tempo hari?”. Adiknya mengangguk. Suwantra

menguakkan semak-semak lebih lebar dan masuk kedalam

sana. Tak berapa lama kemudian dia keluar menyeret sesuatu

barang yang besar panjang. Ketika sebagian dari benda itu

muncul dibalik semak-semak ternyata adalah sebuah biduk

yang lumayan juga besarnya. Biduk itu dibuat oleh kedua kakak

beradi itu kira-kira setahun yang lalu. Karena gurunya, Ahmed

Pasya memberikan pesan supaya biduk itu jangan diletakkan

ditepi pantai, takut akan kelihatan oleh nelayan-nelayan yang

banyak hilirr mudik ditempat itu, maka Suwantra

menyembunyikannya dibalik semak-semak yang lebat.


Terlindung dari hujan dan panas. Ternyata meskipun disimpan

sedemikian lamanya biduk itu tetap kuat utuh. Tak ada bagian- bagiannya yang dimakan tanah atau rayap. Layar tebal yang

digulung rapi dan dibungkus dengan sebuah terpal juga masih

utuh, tak ada yang berlubang-lubang meskipun beberapa

bagian agak kotor. Sampah-sampah daun kayu kering yang

memenuhi bagian dalam biduk itu segera dibersihkan. Setelah

diperiksa bahwa tak ada sesuatu kekuranganpun, kedua

bersaudara itu segera menyeret biduk itu ketepi pantai.

Kemudian mereka sibuk memasang layar dan tali temali.

“Naiklah, Suwantri...... kita segera berangkat”. Gadis yang

menyamar itu segera masuk kedalam biduk. Kakaknya

menyeret biduk lebih mendekat ketepi laut. Ketika ombak yang

mencapai pantai menarik diri surut kembali ketengah,

Suwantra segera mendorong biduk masuk kedalam air. Ombak

menyeretnya ketengah. Ketika air laut sampai kelututnya,

pemuda itu segera melompat kedalam biduk. Ilmu mengentengi

tubuh pemuda ini cukup mengagumkan karena meskipun

tubuhnya besar kukuh namun biduk itu tidak oleng sama sekali.

Dia segera mengambil pendayung. Kedua kakak beradik itu

mendayung dengan cepat karena kalau tidak demikian, ada

harapan ombak yang bergulung menuju ketepi pantai akan

menyeret mereka kembali ketepi pasir. Seperempat jam berlalu.

Lautan disekitar mereka tenang tiada berombak. Tapi angin

yang menghembus kearah pantai membuat mereka terpaksa

membuka layar dan mendayung melawan angin.

Ketika matahari telah condong kebarat, pulau Keramat telah

lenyap dari pandangan mereka, begitu juga gugusan lain dari

kepulauan Karimata. Semua pulau-pulau yang kecil itu hilang

menjadi satu dengan daratan Kalimantan yang merupakan satu

garis yang memanjang bewarna biru keabu-abuan yang

semakin lama semaki mengabur kelihatan dari tengah lautan.

Menjelang tengah hari keesokan harinya dari jauh tampaklah

deretan pulau-pulau, tersebar dimuka mereka. Arah biduk

segera ditujukan kegugusan pulau-pulau itu. Disatu pulau yang

terdekat mereka berhenti untuk beristirahat sebentar sambil

mengambil air persediaan dan mengisi perut serta membeli


bekal. Satu setengah jam kemudian mereka melanjutkan

perjalanan.

“Dalam perjalanan ketempat yang dituju, kita mempunyai

dua jurusan. Kita harus memilih salah satu dari keduanya” kata

Suwantra ketika hari mulai sore.

“Tentu saja kita harus memilih jalan yang terdekat......” ujar

adiknya Suwantri sambil mendayung dengan perlahan-lahan.

“Kalau kita mengambil jalan kearah selatan yang melalui

ujung pulau Andalas itu maka berarti hampir seluruh

perjalanan kita adalah mengarungi lautan. Sebaliknya kalau

kita mengambil jurusan keutara, maka setengah perjalanan

yang menuju ketempat tujuan adalah mengarungi daratan yang

penuh dengan hutan belukar. Kita harus mempunyai pilihan

yang tepat”.

“Mengambil arah keselatan berarti berputar ratusan kilo

jauhnya” kata Suwantri. “Terus-terusan berada ditengah lautan

adalah membosankan. Dan kita tak bisa selamanya mengarungi

lautan dengan biduk sekecil ini. Suwantra......”.

“Apa yang kau katakan benar. Mengambil jalan keutara

adalah jauh lebih dekat. Tapi daratan yang akan kita tempuh

dari sebelah timur pulau Andalas nanti akan penuh dengan

rawa-rawa, hutan belukar yang lebat dan binatang buas yang

tidak terperikan banyaknya, belum lagi halangan-halangan lain

yang datang dengan mendadak......”.

“Kau tahu dari mana hal itu......?” tanya adiknya.

“Banyak kawan-kawanku yang menceritakannya kepadaku”

jawab Suwantra.

“Lantas apa kau takut pada semua halangan itu? Apa kau

takut pada segala macam binatang buas itu? Percuma saja kalau

begitu kau menjadi murid Kiai Ahmed Pasya......”.

“Maksudku bukan begitu, Suwantri” ujar kakaknya dangan

nada gusar karena dikatakan penakut. “Aku hanya mengajukan

pilihan, jalan mana yang akan kita tempuh. Kalau disebuit- sebut segala macam halangan dan bahaya, raja yang sedang

duduk-duduk didalam istana dikelilingi oleh dayang-dayang

yang cantik-cantik, kalau mau diserang bahaya, ya diserang

juga


“Aku memilih jalan keutara!” ujar Suwantri sambil

memandang kepada matahari yang mulai pudar kemerahan

warnanya.

“Kalau itu pilihanmu, aku menurut......” desis Suwantra pula.

Air laut yang biru tampak kuning kemerahan kena cahaya

matahari yang hendak tenggelam. Angin berhembus kencang.

Biduk itu meluncur dengan laju. Karena mereka mengambil

jalan menyisip pesisir. Dikejauhan mulai tampak satu demi satu

perahu-perahu nelayan yang mulai turun kelaut. Kecilnya

hampir sebesar ujung korek api. Sungguh indah sekali

pemandangan saat itu. Burung-burung elang pemakan ikan

berterbangan diudara. Sekali-kali menukik kepermukaan air

laut bilamana matanya yang tajam melihat bayangan akan

muncul diair dan naik membubung kembali keudara dengan

mangsanya ikan kecil-kecil pada paruhnya. Yang tak berhasil

menangkap mangsanya terbang berputar-putar diudara untuk

kemudian menukik lagi. Begitulah mereka mencari makanan

sampai akhirnya perut masing-masing menjadi kenyang.

Ketika cahaya matahari yang terakhir lenyap dibalik awan

malam maka keadaan sudah menjadi gelap sekali. Air laut

menghitam. Kemanapun mata ditujukan hanya kegelapan yang

tampak menghantu. Saat biduk yang ditumpangi kedua kakak

beradik tadi berada dibarat laut palau Belitung bergerak

sejurusan dengan pulau Bangka. Menjelang tengah malam

angin mulai bertiup kencang tidak seperti biasanya. Dan jug

Suwantra sama sekali tak melihat kelap-kelip dari lampu

perahu-perahu nelayan. Apakah tak melihat kelap-kelip dari

lampu diperahu-perahu nelayan. Apakah tak ada nelayan

disekitar situ yang turun kelaut malam itu? Dia melihat

keangkasa raya. Tak ada bintang. Langit menghitam ditutupi

oleh awan gelap dan angin semakin mengencang.

“Sebaiknya kita membelokkan jurusen lebih kebarat. Kita

menyusuri pantai. Tampaknya akan timbul angin besar dan

hujan topan...” kata Suwantra. Adiknya yang berada dibelakang

yang bertugas sebagai pemegang kemudi segera membelokkan

arah biduk mereka enam puluh derajat kearah barat. Keduanya

mendayung lebih cepat. Ketika angin semakin kencang,


Suwantra segera menggulung layar. Sampai saat itu pantai

masih juga belum kelihatan. Dua jam kemudian hembusan

angin semakin menggila, menimbulkan desiran seperti suara

ribuan seruling yang ditiup secara bersamaan. Dimana-mana

tampak kilat menyambar dan suara guruh yang menggelegar

seakan-akan keluar dari dasar lautan yang gelap. Kedua kakak

beradik itu bekerja keras mendayung lebih cepat. Untung saja

keduanya memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi, kalau

hanya mengandalkan tenaga lahir saja mungkin keduanya saat

itu sudah menggeletak didalam biduk karena kehabisan tenaga.

Angin keras datang dari arah muka namun biduk meluncur

terus. Ombak bergulungan setinggi-tinggi rumah dan biduk itu

terombang-ambing kian kemari dipermainkan gelombang. Air

laut mulai masuk kedalam biduk. Dengan mendayung hanya

mempergunakan tangan kanan. Suwantra mempergunakan

tangan kiri untuk membuang air laut yang mulai menggenang

dasar biduk. Adiknya Suwantri juga mangikuti perbuatan

kakaknya itu.

Ketika pantai timur pulau Bangka mulai kelihatan

menghitam dikegelapan malam maka hujan rintik-rintik mulai

turun. Tiga menit kemudian dari rintik-rintik berubah menjadi

besar, semakin besar dan gelombang mengamuk gila tak

terkirakan besarnya sedang angin bertiup dengan hebat.

Semuanya itu membuat biduk kecil tadi terbanting kian kemari.

Kadang-kadang melambung keatas setinggi dua sampai tiga

kaki dan jatuh kembali keatas air untuk dipermain-mainkan

ombak dengan ganas. Tak jarang biduk berputar sampai lebih

dari seratus puluh derajat dari arah tujuannya membuat

Suwantri yang memegang kemudi harus memutar arah biduk

kembali setiap mereka diputar balikkan kelain jurusan.

“Kayuh lebih cepat!” teriak Suwantra. Air laut yang masuk

tiada terkirakan banyaknya. Baru saja dikeluarkan masuk lebih

banyak lagi. Pantai semakin dekat. Tapi ombak dan angin serta

hujan semakin keras pula. Suwantra memandang kearah

pantai, coba menembus kegelapan malam dengan matanya

yang tajam. Dia coba memperhitungkan jarak antara biduk dan

daratan saat itu. Mungkin sekitar delapan ratus meter lebih.


Suwantra dengan tangan kirinya mengambil sesuatu dari lantai

biduk yang digenangi air. Ternyata yang diambilnya adalah

seutas tali besar yang panjangnya tak lebih dari lima meter. Dia

mengikatkan tali itu ketangan kirinya. Kemudian sambil

melemparkan ujung tali yang satu lagi kepada adiknya dia

berteriak keras diantara deru gelombang dan hujan : “Ikatkan

kelengan kananmu, cepat!” Sebentar lagi biduk ini akan terbalik

dan tenggelam kedasar lautan. Kita harus berenang

kedaratan!”.

Dengan cepat Suwantri mengikat itu kelengan kanannya.

Semantara kakaknya berteriak lagi. “Periksa! Kalau-kalau ada

barang-barang kita yang ketinggalan didalam perahu......”.

Sebuah gelombang yang besar menderu diiringi oleh gelegar

guntur membuat suara teriakan Suwantra lenyap seperti

direnggutkan setan. Air laut yang menggejolak beberapa meter

tingginya menghempas kebawah dengan segala kedahsyatannya

dan jatuh tepat diatas biduk. Biduk pecah berantakan. Kedua

penumpangnya meluncur kedalam lautan untuk beberapa

kemudian muncul dimuka air kembali. Suwantra yang merasa

cemas kalau adiknya belum sempat mengikatkan tali

kelengannya berteriak sambil menyentakkan tali. “Wantri!

Dimana kau?!” Tak ada suara jawaban. Sekali lagi laki-laki itu

berteriak. Kali ini dia mengeluarkan tenaga dalamnya. Suaranya

menggelegar diantara deru gelombang, angin dan hujan.

“Suwantri! Kau dimana?”.

“Disini!” terdengar jawaban. “Kau tak apa-apa......?!”.

“Tadi itu sudah kau ikatkan?!” teriak Suwantra tanpa

mengacuhkan pertanyaan gadis itu.

“Beres, sudah!”.

“Kita mulai berenang!” perintah Suwantra. Didalam

kegelapan itu susah sekali bagi keduanya untuk melihat dimana

saudara masing-masing berada. Namun tali yang

menghubungkan mereka telah memberikan pertolongan yang

banyak sekali. Keduanya berenang dengan cepat ketepi menuju

pantai. Tak peduli bagaimana ombak yang bergulung-gulung

mempermainkan mereka dengan ganas. Menimpa kepala

mereka dan tubuh mereka dengan deras dan membuat


keduanya tenggelam beberapa ketika kedalam laut untuk

muncul kembali dengan gigih dan terus berenang menuju

pantai.

Dimuka mereka daratan semakin membesar. Merupakan

sebuah tembok raksasa yang menghitam karena tak satu cahaya

dikepekatan malam. Dua ratus meter dari pantai, diantara

taburan rapat dari hujan yang tetap melebat, mulai kelihatan

bintik-bintik cahaya yang mungkin datang dari kelap-kelip

pelita rumah-rumah penduduk. Akhirnya keduanya merasakan

mulai menginjak bagian laut yang dangkal. Keduanya berjalan

menuju ketepi pasir. Dimuka sana kelihatan beberapa buah

perahu besar. Tanpa pikir panjang, setelah melepaskan tali yang

mengikat, lengan masing-masing, keduanya segera masuk

kedalam dua buah perahu yang berjejer-jejer di pasir dalam

keadaan menelungkup. Tenpa pikir panjang, setelah

melepaskan tali yang mengikat lengan masing-masing

keduanya segera menyelinap kekolong dua buah perahu dan

berbaring disana. Hujan lebat masih turun terus tapi tubuh

mereka yang sudah basah kuyup itu kini terIindung dari hujan

itu. Keduanya berbaring tanpa berkata-kata. Mata terpejam dan

masing-masing mereka sama mengatur jalannya pernafasan.

Tanpa disadari akhirnya kedua kakak beradik itu tertidur pulas

diatas pasir dibawah kolong perahu itu.

TIGA

SINAR matahari yang menyiram mukanya dan perasaan

nalurinya yang menyatakan bahwa mereka berada dalam

keadaan yang tidak diingini membuat kedua kakak beradik itu

bangun. Perahu-perahu besar dibawah mana sebelumnya

mereka tidur sudah tak ada lagi, dipindahkan orang. Setengah

duduk, dengan satu tangan menopang kebelakang sedang satu

tangan lagi menggosok-gosok mata Suwantra melihat delapan

orang laki-laki berdiri mengelilingi mereka. Semuanya

berkeredong kain pada bahu masing-masing. Lima orang masih

muda-muda dan rata-rata bertubuh besar kukuh sedang


selebihnya pada tua-tua. Janggut dan kumis yang kasar tak

terpelihara dari ketiga orang terakhir ini kaku memutih.

Semuanya memandang dengan gaya yang sama pada kedua

orang itu. Dan pada masing-masing pinggang mereka tersembul

hulu golok.

Ketika Suwantra hendak bangkit berdiri, pemuda yang

dihadapannya membentak dengan keras. “Tetap ditempatmu!”

Dan pemuda yang mengancam itu menggeser kaki kanannya

yang besar kuat kebelakang, siap untuk melayangkan

tendangan bilamana orang yang diancam tak mengacuhkan

kata-katanya.

“Aku tak mengerti, apa-apaan ini semua......?” tanya

Suwantra dengan mengerenyitkan alisnya sambil memandang

berkeliling. Kedelapan laki-laki itu sama melontarkan seringai

buruk, menunjukkan gigi masing-masing yang rata-rata

semuanya berwarna coklat tanda terlampau banyak merokok.

“Kalian masih coba untuk berpura-pura? Setelah tertangkap

tangan kalian masih coba untuk berkelit dan tak tahu apa-apa?!

Kami nelayan-nelayan dari Sungailiat tak bisa ditipu! Kalianlah

yang selama ini kami cari-cari. Bangsat!” maki seorang dari

ketiga laki-laki yang tua-tua itu. Namanya Karman.

“Orang tua sinting!” teriak Suwantri karena panas hatinya

dituduh sebagai pencuri perahu. “Jangan kau menuduh

sembarangan!”. Gadis yang memakai baju laki-laki ini

menggerakkan tubuhnya. Satu detik kemudian dia sudah

berdiri dengan kedua kaki yang merenggang, siap memasang

kuda-kuda. Kedelapan nelayan-nelayan itu dengan gerakan

cepat sama mencabut golok masing-masing. Pemuda yang tadi

membentak Suwantra memandang tajam pada Suwantri

kemudian tertawa berkakakan. “Hua...... ha...... ha...... kau

pemuda hijau yang bertampang banci berani menghina kami?

Berani menghina ayahku? Kutebas batang lehermu, jahanam!”.

Pemuda itu yang bernama Saman, anak dari orang tua yang

dikatakan sinting oleh Suwantri melangkah maju kemuka.

Goloknya diacungkannya tapi sebelum benda itu diayunkannya,

Suwantri telah meloncat kemuka. Tangan kanannya bergerak

menampar mulut pemuda yang telah mengatakannya seperti


banci itu. Tamparan yang disertai oleh aliran tenaga dalam ini

membuat bibir Saman pecah dan berdarah. Dia terhuyung- huyung kebelakang menggerang menahan sakit. Tujuh orang

nelayan yang lainnya segera maju dengan serempak. Tapi tak

terduga lima orang diantaranya terpental lagi kebelakang ketika

Suwantra bersama adiknya meloncat dan berkelebat dengan

cepat. Suara teriakan ‘aduh’ terdengar disana sini. Lima orang

lagi tampak menyeringai menahan sakit. Ada yang kena

terpukul dadanya, ada yang kena serempetan siku dan ada pula

yang kena hajaran kaki. Tapi itu hanya sebentar. Kemarahan

membuat rasa sakit mereka jadi hilang. Kedelapan laki-laki itu,

termasuk Saman yang sekalipun menutup mulutnya dengan

tangan kiri menyenang dengan serentak. Matahari pagi

membuat golok ditangan nelayan-nelayan itu berkilauan. Kedua

kakak beradik itu meloncat mundur lima tombak kebelakang

sebelum serangan musuh sampai. Suwantra cepat membuka

mulut memberi keterangan : “Saudara-saudara, kalian salah

sangka! Kami bukan pencuri-pencuri perahu yang kalian cari- cari selama ini. Topan telah menghancurkan biduk kami

ditengah lautan dan untung saja kami masih punya kekuatan

untuk berenang mencapai daratan ini. Karena letih kami

merebahkan diri malam tadi dibawah perahu-perahu itu dan

akhirnya tertidur sampai pada saat kedatangan kalian. Sekali

lagi kami bukan pencuri-pencuri. Percayalah!”

“Dusta! Bohong!” teriak beberapa orang laki-laki itu

bersamaan.

“Memangnya kalian punya ilmu apa dapat menyelamatkan

diri dengan berenang menempuh lautan yang tengah

mengamuk dan sampai kesini! Kami bukan nelayan-nelayan

bodoh yang bisa kalian tipu! Mari kawan-kawan kita cincang

manusia-manusia celaka ini!” kata salah seorang dari mereka.

“Kami benar-benar bukan pencuri. Demi Tuhan!” teriak

Suwantra.

“Tutup mulutmu, bangsat!” tukas Karman.

“Biarkanlah mereka menyerang, dan mereka akan tahu rasa

nanti!” ujar Suwantri pula pada kakaknya. Kedelapan orang

yang mendengar kata-kata itu semakin naik darah dan


meloncat kemuka, menyebar mengurung kedua kakak beradik

itu. Delapan buah golok memapak dari segala jurusan.

Berkelebat dengan deras mencari sasaran ditubuh kedua

pemuda yang menghadapi semunya itu dengan tangan kosong.

“Saudara-saudara, hentikanlah pertempuran yang tiada

faedahnya ini. Hentikanlah sebelum terlambat!”

memperingatkan Suwantra dengan berteriak keras. Namun tak

seorangpun dari kedelapan musuh itu yang mengacuhkannya.

Gempuran mereka semakin menggencar. Melihat hal itu

Suwantra segera memberi bisikan pada adiknya. “Kau

menjauhlah, biar aku sendiri yang menjelesaikan mereka!”.

“Jangan ngaco belo! Aku sendiri juga punya hak untuk

menghajar bangsat-bangsat sinting ini!” tukas adiknya.

Suwantri bergerak lebih cepat. Pemuda yang diujung kirinya

mental kebelakang kena sambaran ujung kakinya yang

bersarang tepat pada pinggangnya. Orang itu melintir dan

terbanting kepasir. Bukan satu perbuatan yang mudah baginya

untuk dapat bangun pada saat itu juga. Dengan merintih

kesakitan dia berguling kian kemari dipasir. Disebelah kiri, Suwantra dengan sekaligus merobohkan dua

orang lawannya. Kedua golok yang ditangan nelayan muda itu

mental keudara. Suwantra segera menyambut salah satu dari

keduanya dan dengan golok ditangan dia mulai kembali

menghadapi sisa-sisa nelayan itu.

Sebaliknya melihat bagaimana fihak mereka dalam jurus

pertama itu mendapat hajaran yang hebat, nelayan-nelayan itu

jadi mulai kecut. Terlebih lagi ketika melihat Suwantra telah

menggenggam golok ditangan. Tak disangka pemuda yang

mereka duga sebagai pencuri-pencuri perahu dan masih hijau- hijau itu mempunyai kepandaian yang tinggi! Mereka mulai

berpikir-pikir. Akhirnya salah seorang dari ketiga nelayan- nelayan tua tadi berteriak memberikan aba-aba : “Hentikan

perkelahian ini. Tahan!”. Karena sudah terdesak, takut dan

kecut, sisa-sisa nelayan itu segera melompat mundur. Dengan

demikian perkelahian segera berhenti.

“Coba dari tadi kalian hentikan perkelahian ini, niscaya tak

satupun diantara kalian yang menderita!” teriak Suwantra


dengan agak gusar. Tak satu dari nelayan-nelatan itupun yang

membuka malut. Kawan-kawannya yang kena terpukul mulai

mencoba berdiri kembali.

“Lain kali janganlah bertindak ceroboh. Periksa dan selidiki

dulu. Kalau sudah ada bukti baru cabut golok!” tukas Suwantri

sambil menggamit kakaknya memberi syarat untuk

meninggalkan tempat itu.

“Jadi kalian siapa......” tanya salah seorang nelayan tua

sebelum kakak beradik itu sama memutar tubuh.

“Aku sudah terangkan siapa kami pada kalian sebelum

perkelahian tadi dimulai!” jawab Suwantra sambil melangkah

pergi bersama adiknya.

Mereka sampai disatu pasar kecil dimana pedagang ikan

lebih banyak jumlahnya dari pada penjual sayur mayur dan

barang-barang keperluan dapur lainnya. Ditepi pasar terdapat

satu-satunya kedai nasi kecil yang saat itu telah penuh oleh para

pengunjung yang hendak mengisi perut. Suwantra dan

Suwantri terpaksa menunggu beberapa lamanya sampai mereka

kebagian tempat duduk. Selesai makan pagi, keduanya menuju

kepangkalan perahu. Dari ujung jalan telah terlihat tiang-tiang

layar dari perahu-perahu dagang yang besar-besar kepunyaan

saudagar-saudagar kaya dari berbagai pelosok Nusantara.

Perahu-perahu kecil, biduk, tongkang dan lain-lain macam

kendaraan air itu tiada terhitungkan banyaknya. Pangkalan

perahu di Sungailiat terletak disatu teluk kecil yang berair

tenang dan indah pemandangannya. Setelah bertanya kesana

sini mencari perahu yang akan berangkat kepantai timur

Andalas maka akhirnya seorang pencalang menunjuk kesebuah

perahu besar yang tiang layarnya penuh dengan beraneka

ragam bendera kecil-kecil. Pada lambung muka dart dinding

perahu tertulis dengan huruf cetak ‘Angin Timur’, nama dari

perahu itu. “Angin Timur adalah sebuah dari enam perahu

besar yang selalu berlayar kejurusan utara. Pergilah kesana dan

tanyakan pada pemiliknya......” menerangkan pencalang tadi.

Setelah mengucapkan terima kasihnya, kedua kakak dan adik

itu berlalu. Dengan mengambil jalan diatas sampan-sampan


kecil, kolek dan biduk-biduk nelayan akhirnya mereka sampai

keatas Angin Timur.


Empat orang laki-laki yang rata-rata bertubuh kukuh besar,

dengan tampang-tampang yang kasar tapi yang berkata-kata

dengan mulut manis yang dibuat-buat tengah bercakap-cakap

dengan nakhoda Angin Timur, seorang yang sudah agak lanjut

usianya. Berperawakan sedikit kurus tapi bertubuh jangkung.

Mereka menghentikan percakapan ketika melihat

kedatangan kedua orang itu. Nakhoda Buang Alai segera

berdiri. Dia memandang kepada keempat orang yang


dihadapannya, meminta diri. “Maafkan sebentar. Biar saya

selesaikan tamu-tamu itu, kemudian kita teruskan lagi

percakapan sampai perahu berangkat......”. Buang Alai

mendekati tamunya yang baru. Mengangguk sedikit lalu

bertanya. “Ada keperluan saudara-saudara muda yang dapat

saya tolong......?”

Suwantra mengangguk pula dan bertanya. “Perahu nakhoda

hendak berlayar keutara?”.

“Benar” jawab Buang Alai. “Kalian hendak menumpang?”.

“Ya. Kami bermaksud mendarat dipantai timur Andalas......”

menerangkan Suwantra. Nakhoda Buang Alai menggaruk-garuk

tepi dagunya lalu menjawab. “Tujuan tetap kami adalah pulau

Bintan dan daerah sekitarnya. Kami hanya berhenti dipulau

Ingga atau pulau Ingkep, tak pernah kami berlabuh dipantai

timur Andalas sekalipun jurusan kami adalah menyisir pantai

itu”. (Yang dimakudkan nakhoda Buang Alai dengan pulau

Ingga dan Ingkep dalam pulau-pulau yang kini bernama Lingga

dan Singkep..Terletak dipantai timur Sumatera Tengah).

“Kami bersedia membayar ongkos lebih, asal nakhoda mau

singgah dipantai timur untuk menurunkan kami......” menyela

Suwantri. Nakhoda itu memutar kepalanya dan memandang

pada Suwantri beberapa saat lamanya. Sekalipun Suwantri

menyamar sebagai laki-laki dengan tiada diketahui seorangpun,

namun dia tidak bisa menyembunyikan sifat keperempuannya.

Kedua pipinya menjadi merah karena pandangan Buang Alai.

Sambil pura-pura batuk-batuk Suwantri bertanya untuk

menghilangkan kejengahannya. “Bagaimana......?”.

“Kau hanya berdua?” tanya Buang Alai. Yang ditanya

mengangguk.

“Ada membawa barang-barang?”.

“Tidak”.

“Kalau bayaran cocok nanti, aku terpaksa mencari muatan

barang-barang yang menuju ketempat tujuanmu sekalian” ujar

nakhoda Ang n Timur.

“Itu terserah nakhoda...... Kami tak berkeberatan. Ongkos

cocok dan kami sampai ditempat tujuan” jawab Suwantra.


Segera dtperundingkan mengenai ongkos perahu. Setelah sama

disetujui, Buang Alai berteriak memanggil anak buahnya.

“Siman!”.

Anak perahu yang bernama Siman segera muncul dari

haluan belakang.

“Nakhoda memanggil saya?”.

“Cari muatan baru untuk kepantai timur Andalas dan

percepat menaikkan barang-barang untuk ke Bintan” perintah

Buang Alai. Anak buahnya mengangguk dan berlalu. Buang Alai

memandang pada kedua anak muda yang dihadapannya dan

berkata. “Marilah kita bercakap-cakap dengan kawan-kawan

yang lainnya itu. Mereka juga menumpang dengan perahuku,

menuju ke Bintan”. Pemilik Angin Timur melangkah lebih

dahulu diikuti oleh Suwantra. Sedang Suwantri berjalan dengan

ragu-ragu. Suwantra berbisik pada adiknya. “Mulai saat ini aku

akan panggil kau dengan Iwan. Ingat, namamu Iwan kini......”.

Buang Alai memperkenalkan kedua penumpang barunya

pada keempat laki-laki yang tadi bercakap-cakap dengan dia.

Suwantra mengambil tempat duduk disatu peti kayu, adiknya

diatas peti yang lain.

“Saudara-saudara hendak menuju kemana......?” tanya salah

seorang dari keempat laki-laki itu. Namanya Soreng.

Tampangnya agak mendingan dari tampang kawan-kawan yang

tiga orang lagi.

Kepantai timur Andalas saudara” jawab Suwantra sedang

adiknya pura-pura memandang kejurusan lain, pura-pura

memperhatikan sesuatu. Meskipun sudah diterangkan oleh

nakhoda Angin Timur bahwa keempat penumpang itu hendak

menuju kepulau Bintan, tapi sebagat penambah bahan

pembicaraan, Suwantra bertanya juga, “Kalian berempat

hendak kemana......?”.

“Kami bermaksud kepulau Bintan” jawab Soreng.

“Dagang......?” tanya Suwantra lagi.

Soreng mengangguk lalu menerangkan. “Kami berempat

sudah sejak lama bekerja sama dalam perdagangan kelapa

sawit. Akhir-akhir ini banyak hai-hal yang tidak beres ditempat

penimbunan barang-barang kami di Pulau Bintan. Kami



Serial Keris Merah

berempat terpaksa datang sendiri kesana untuk

menyelidiknya......”. Dengan otaknya yang tajam, Suwantra dan

Suwantri segera menyelami kata-kata laki-laki itu. Mereka

mengaku pedagang-pedagang kelapa sawit dipulau Bintan. Tapt

selama ini mereka ada di tempat lain. Mereka menerangkan

bahwa ada yang tak beres dan pergi menyelidiki, tapi mengapa

harus keempat mereka yang pergi......? Dan tampang-tampang

mereka...... bukan tampang-tampang saudagar. Meskipun dia

tak percaya akan kata-kata Soreng tapi Suwantra dengan

mengangguk-anggukkan kepalanya berkata juga setelah

benseloroh. “Tentu banyak sekali untung yang kalian terima

dari penjualan kelapa sawit itu......”.

“Lumayan jugalah” jawab kawan Soreng yang duduk

disampingnya. Namanya Budin.

“Kemana saudara-saudara jual kelapa-kelapa sawit itu?”

tanya Suwantra lagi.

“Seorang saudagar di Tanah Melayu telah menjadi pembeli

kami sejak setahun yang lalu......” jawab Budin.

Nakhoda Buang Alai meminta diri kepada keenam orang itu

karena dia harus memimpin anak-anak buahnya untuk

mengatur pemasukan barang-barang muatan. Sementara

barang-barang dinaikkan keatas geladak, dimasukkan keperut

perahu, Suwantra dan keempat orang itu terus bercakap-cakap

kehilir dan kemudik. Suwantri hanya mengangguk-angguk saja

mengikuti jalannya percakapan.

Jundi orang ketiga dari saudagar kelapa sawit itu bertanya.

“Saudara sekalian ada maksud apa pergi kepulau Andalas?

Saudara-saudara juga pedagang?”.

Suwantra menggelengkan kepalanya. “Kami hanya ingin

menemui paman dan bibi disana......” dusta Suwantra. Kalau

tadi Suwantra dan adiknya yang tak mempercayai apa yang

dikatakan Soreng maka Soreng dan kawan-kawannya yang tak

mempercayai apa yang diterangkan oleh pemuda itu.

Semua barang muatan selesai dimuat. Seluruh anak buah

perahu yang berjumlah enam orang sudah siap ditempatnya

masing-masing. Layar sudah dipasang. Dan ketika nakhoda

Buang Alai memberikan aba-aba untuk berangkat, maka

perlahan-lahan perahu itu mulai bergerak disela-sela tongkang

dan biduk-biduk kecil disekelilingnya. Keluar dari pangkalan,

dua layar besar lainnya segera dikembangkan. Angin

berhembus dan Angin Timur bergerak cepat membelah ombak- ombak kecil yang datang berbaris-baris dari arah muka.

EMPAT

SUWANTRI bersama kakaknya berdiri ditepi kanan dari

jambatan perahu sebelah muka. Keempat orang saudagar

kelapa sawit kelihatan mengelompok ditepi kiri, asyik bercakap- cakap. Setelah memeriksa tugas yang dijalankan keenam anak

buahnya dan melihat-lihat keadaan perahu maka Buang Alai

pergi mendekati kedua kakak beradik itu. “Kalian sudah pernah

berlayar......?” tanya nakhoda itu membuka pembicaraan. Dia

berdiri disamping Suwantra dan memandang ketengah lautan.

“Sudah beberapa kali......” jawab Suwantra.

“Tidak pernah mabuk?” tanya Buang Alai lagi.

“Tidak...... tapi adik saya ini memang agak pemabuk......”.

“Oh, jadi dia adikmu? Pantas mukanya sama...... tapi

kelihatannya dia tidak suka bercakap-cakap. Pendiam” kata

Buang Alai pula.

“Benar, nakhoda. Dia seorang yang pendiam. Tapi

hendaknya nakhoda jangan lekas-lekas percaya pada orang

yang pendiam......” ujar Suwantra. Ketiga orang itu sama-sama

tertawa, tapi cuma Suwantri yang kemerahan kedua pipinya.

Dia memutar kepala dan memandang kelautan lepas kembali.

“Berapa hari kira-kira lamanya kita dalam perjalanan?” tanya

Suwantra.

“Maksudmu kemana? Kepantai timur Andalas atau kepulau

Bintan?” tanya Buang Alai.

“Ke Andalas......” menerangkan pemuda itu.

“Kira-kira lima hari empat malam” jawab si nakhoda.

“Tanpa berhenti-henti?” tanya Suwantri untuk pertama

kalinya. Pemilik perahu memutar kepalanya dan memandang

kepada Suwantri. Sudah parasnya seperti perempuan, suaranya


jua seperti perempuan, pikir kata Buang Alai dalam hatinya.

Beberapa detik kemudian baru dia membuka mulut

memberikan jawaban. “Kita singgah cuma sekali. Di pulau

Kedondong, untuk mengambil dan menambah bekal”.

“Nama pulau itu agak lucu juga. Mungkin banyak buah

kedondong disana?” tanya Suwantra.

“Benar. Pulau itu seakan-akan hanya ditumbuhi oleh pohon- pohon kedondong belaka. Kita boleh mengambil dan

memakannya seberapa kuat kita. Tak ada yang punya!”

Dipinggir kanan, Suwantri meneguk air liurnya mendengar

keterangan nakhoda Buang Alai tentang buah kedondong itu.

Seorang anak perahu menanyakan sesuatu pada pemimpin

mereka dan kemudian berlalu dengen cepat. Angin laut

menampar-nampar pipi ketiga orang itu. Semakin jauh

kelautan lepas semakin jarang mereka berpapasan dengan

pulau-pulau. Dan daratan pulau Bangka semakin mengecil

dikejauhan. Ketika senja datang, daratan itu hanya merupakan

satu garis yang halus saja lagi. Siang berganti dengan malam.

Angin barat digantikan oleh angin timur dan perahu itu

meluncur juga dengan laju dilautan yang tenang. Kepada kedua

kakak beradik Buang Alai memberikan sebuah kamar kosong

dimana terdapat dua buah tempat tidur kecil dari kayu yang

dipaku mati dengan dinding, kamar. Sedang keempat orang

penumpang lainnya mendapat sebuah kamar yang cukup besar

dibagian belakang. Setelah makan malam, Suwantri bersama

kakaknya keluar dari kamar. Malam gelap sekali. Air laut

menghitam sedang bulan baru masih juga belum muncul.

Kedua kakak beradik itu berdiri diatas geladak perahu dengan

bersidekap lengan diatas dada masing-masing. Coba

menghangatkan tubuh dengan cara seperti itu. Empat buah

lampu minyak yang tertutup rapat dengan kotak kaca empat

persegi terdapat dibagian tengah perahu. Dua ditepi atap

sebelah kanan dan dua lagi disebelah kiri. Kemudian satu buah

lagi lampu dengan ukuran yang lebih kecil tergantung dibagian

belakang perahu dekat tempat kemudi.


Kataku sudah mulai mengantuk. Sebaiknya aku masuk

lebih dahulu......” kata Suwantri beberapa lama kemudian.

“Pergilah” kata kakaknya. “Aku akan menyusul sebentar lagi”.

Pemuda itu membetulkan letak sarungnya. Dia memandang

berkeliling dan matanya membentur satu cahaya kecil

dikejauhan. Kadang-kadang kelihatan kadang tidak.

“Lampu sebuah perahu barang agaknya......”. Terdengar

suara seseorang dibelakangnya. Orang itu yang tak lain dari

nakhoda perahu Angin Timur berjalan mendekati Suwantra.

“Saudara masih tahan berada diluar? Kenapa tidak pergi tidur

saja......?” tanya nakhoda itu kemudian.

“Mata saya masih belum mau dipejamkan. Belum ngantuk!”

jawab Suwantra. “Saya tidak melihat keempat orang

penumpang yang lainnya. Kemana mereka? Pada mabuk...?”.

“Agaknya ada dikamar belakang......” jawab pemilik perahu.

Setelah memperhatikan riak ombak-ombak kecil dikegelapan

malam dia berkata lagi. “Sebenarnya aku merasa kurang senang

dengan keempat mereka itu”. Tanpa menoleh pada nakhoda

tersebut Suwantra bertanya. “Rasa kurang senang bagaimana

yang nakhoda maksudkan?”. Orang yang ditanya tak segera

menjawab. Dia memandang jauh kemuka seolah-olah coba

menembus kegelapan malam ditengah lautan itu. “Sebenarnya

saya merasa menyesal membawa mereka...” kata nakhoda tadi

tanpa menjawab pertanyaan Suwantra. Entah lupa entah

sengaja tak dijawab. “Kalau saya boleh bertanya sekali lagi, mengapa nakhoda

merasa tak senang dan merasa menYesal......? tanya Suwantra.

“Terus terang saja mereka kelihatannya bukan orang baik- baik”.

“Nakhoda curiga terhadap mereka?”.

“Begitulah......”.

“Mereka mengaku saudagar-saudagar kelapa sawit bukan?”.

“Saudara mempercayai keterangan mereka itu......?”

“Saya tidak bisa mengatakan ya tapi juga tidak bisa

mengatakan tidak......” jawab Suwantra.

“SebaIknya kita tak usah lagi membicarakan orang-orang

Itu” kata Buang AlaI dengan datar. Keduanya segera


mengalihkan pembicaraan. Setelah beberapa lama kemudian

kelihatan Suwantra meminta diri dan kambali kekamarnya.

Adiknya telah lama tertidur pulas.

Angin Timur bergerak terus dimalam buta. Nakhoda perahu

itu berkeliling beberapa lamanya memperhatikan anak buahnya

yang menjalankan tugas masing-masing sebelum dia masuk

kekamarnya.

Sukri anak buah perahu yang memegang kemudi mengambil

korek apinya. Dia menyalakan benda itu dengan perlindungan

kedua telapak tangannya. Satu kali korek apinya terbuang

percuma karena segera padam ditiup angin laut. Kedua kalinya

baru dia bisa menyalakan rokok daun nipahnya. Sambil

membuang puntung korek api kedalam laut dia mulai mengisap

rokoknya dengan penuh nikmat. Memang rokok adalah ‘istri’

yang paling setia bagi setiap orang perokok. Setia dalam saat- saat suka dan setia dalam saat-saat duka. Ketika Sukri

meletakkan ujung rokok nipah itu kembali kesudut bibirnya

untuk dihisap lagi dalam-dalam, sesosok bayangan hitam

membungkuk mengendap-endap dari arah belakangnya. Sudah

terlampau kasip bagi pengemudi Angin Timur itu untuk

mengetahui kedatangan sosok tubuh itu. Kepalanya baru

setengah berputar ketika sepotong kayu yang besar panjang

menghantam kepalanya bagian belakang dengan keras. Anak

perahu itu seperti melihat ribuan bintang-bintang kecil yang

bercahaya terang didepan matanya. Tapi satu detik kemudian

pemandangannya berubah menjadi gelap menghitam dan

akhirnya tubuhnya tergelimpang kelantai perahu. Dengan cepat

penyerang gelap itu berlalu dari situ.

Bersamaan dengan kejadian diatas, tiga orang dari keempat

saudagar kelapa sawit yang menumpang diperahu mendekati

dua orang anak buah yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Ketia laki-laki tadi mendekat sambil bercakap-cakap. Tak ada

hal yang mencurigakan tampaknya.

“Masih belum tidur, saudara-saudara?” tanya salah seorang

anak perahu.

“Belum...” jawab Soreng. Ketiganya melalui kedua orang

anak perahu. Tapi mendadak dengan tiba-tiba Soreng bersama


kedua kawannya membalikkan tubuh dengan cepat. Golok sama

dicabut kedua anak perahu itu telah dikurung ditengah-tengah.

Sambil melintangkan goloknya dimuka hidung anak perahu itu

Soreng berkata mengancam. “Kalau kalian berani berteriak,

kutebas batang leher kalian!”. Kemudian dia berpaling pada

kawannya. “Tutup mulut mereka dan ikat dengan erat!”. Budin

yang mendapat tugas itu segera bertindak. Dibawah lindungan

kedua kawannya, Soreng dan Simpak, Budin mula-mula sekali

menutup mulut kedua anak perahu itu dengan dua potong kain

yang sangat kotor sekali, kemudian baru mengikat tangan dan

kaki mereka.

“Seret keduanya kepojok yang gelap itu......” desis Soreng

kembali memberi perintah. Simpak dan Budin segera menyeret

orang-orang yang sudah tak berdaya itu ketempat gelap.

Sebelum ketiganya berlalu. Soreng berkata dengan

menyeringai. “Beristirahatlah dulu kalian disana sebelum kami

lemparkan ke dalam laut nanti!”

Siman tengah membersihkan lantai perahu bagian bawah

dan membuang sampah-sampah melalui sebuah lobang

dilambung perahu. Dua orang kawannya, Kamid dan Ista

sedang menjahit bagian-bagian yang robek dari layar cadangan.

Ketika dia selesai dengan pekerjaannya, empat orang

penumpang yang dikenalnya sebagai sudagar-saudagar kelapa

sawit menuruni tangga perahu menuju kebawah. “Ada apa

mereka malam-malam begini turun kebawah dan masih belum

tidur......” pikir Siman dalam hatinya. Tiga orang kemudian

dilihatnya mendekati kawan-kawannya juga tengah menjahit

layar sedang yang keempat melangkah mendekatinya dengan

senyum ramah.

Mata Siman jadi terbelalak ketika melihat ketiga orang yang

dimuka sana sama menghunus golok dan mengancam kawan- kawannya. Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika laki-laki

yang dihadapannya menekankan ujung pisau belati besar ke

perutnya.

“Tutup mulutnya dan ikat!”. Terdengar suara Soreng

memberikan perintah. “Kurang ajar......” rutuk Siman dalam

hati. “Rupanya mereka tak lain adalah manusia-manusia


bejat!”. Dengan kecepatan yang tak terduga sama sekali, Siman

memukul tangan kanan dari lawannya yang memegang belati.

Bersamaan dengan itu tangan kanannya melayang kemata kiri

lawan. Budin menggeram menahan sakit dan terjajar

kebelakang. Dengan cepat Siman mencabut goloknya. Sebelum

Budin berhasil mengimbangi dirinya golok yang ditangan

Siman telah menghantam dadanya, Budin terpekik dan roboh

kelantai perahu, berlumuran darah dadanya.

“Kurang ajar!” maki Soreng sambil meloncat kemuka Siman.

Dalam keadaan seperti itu kedua orang anak perahu yang tadi

menjahit layar segera pula mencabut goloknya. Tapi Kamid

karena kurang cepat mengelak, sebelum goloknya keluar dari

sarungnya telah dihantam kepalanya lebih dahulu oleh golok

lawan. Tanpa suara dia melosoh kelantai. Kawannya yang

seorang lagi terpaksa bertahan terhadap keroyokan dua orang

penyerangnya.

Siman melayani Soreng dengan gesit. Serangan-serangan

yang dilancarkan laki-laki itu ditangkisnya dengan gigih dan

sekali-sekali dia balas melancarkan serangan. Soreng lebih

tinggi dan lebih besar tubuhnya tapi dia kalah gesit dengan

Siman. Dua kali Siman dengan kecepatan dan kelincahannya

berhasil mengelakkan tebasan maut dari senjata lawan. Satu

kalI, Soreng dengan geram mengirimkan serangan berantai

yang gencar sekali. Siman terpaksa mundur terus sehingga

akhirnya terpepet kedinding perahu sebelah kanan. Dalam

keadaan seperti itu, matanya melirik sebuah kaleng kosong

bekas pengambil air yang terletak disampingnya. Ketika

lawannya membabatkan golok kearah kepalanya, Siman

merunduk dan kaki kanannya menendang kaleng. Tepi bawah

dari kaleng kosong itu menghantam tulang kering kaki kiri

Soreng dengan kerasnya. Laki-laki itu menggigit bibir menahan

sakit. Dengan terpincang-pincang dia terus mengirimkan

serangan kepada Siman namun tidak segencar tadi lagi dan

Siman mulai membalas serangan-serangannya.

Dibagian lain lsta yang dikeroyok oleh Jundi dan Simpak

telah terdesak hebat. Tapi laki-laki itu tidak kehilangan akal

atau gugup sedikitpun. Dia memahami bahwa kalau dia masih


terus bertahan dibagian bawah perahu yang sempit itu, mau tak

mau pasti senjata kedua lawannya akan mengakhiri riwayatnya.

Sambil bertahan dia melangkah mundur mendekati tangga.

Dari mulutnya, Ista tak henti-hentinya mengeluarkan caci maki

dan ejekan terhadap kedua penyerangnya, membuat kedua laki-

laki itu menjadi panas dan ketika Ista melompat keatas tangga,

keduanya dengan geram segera memburu.

Taktik kawannya itu segera diketahui oleh Siman. Dan dia

mulai menirunya. “Ha...... ha! Tak sangka manusia yang

mengaku saudagar kelapa sawit kiranya hanya seorang garong

picisan saja! Pantas kepalamu seperti kelapa sawit!”.

Soreng mengertakkan gerahamnya dan terus menyerang.

Saat itu Siman sudah sampai kebawah tangga. Ketika lawannya

membabatkan goloknya kearah perutnya dengan cepat dia

meloncat keanak tangga yang ketiga. Golok Soreng

menghantam kayu tangga dengan keras sedang satu detik

kemudian Siman sudah berada dibagian atas perahu. Soreng

meloncati tangga memburu lawannya.

Ketika Ista mengelakkan serangan dua buah golok dari kedua

lawannya, dengan meloncat kebelakang yang tengah perahu

menyambut kepalanya. Pemandangan laki-laki itu menjadi

gelap dan dia roboh pingsan diatas geladak. Dan setelah itu,

Simanpun dengan mudah meringkus hidup-hidup. Ketika dia

sibuk melayani Soreng, salah seorang kawan laki-laki itu

memukul kepalanya sampai dua kali dengan gagang golok.

Seperti Ista tadi, Simanpun roboh kelantai dan segera diikat

oleh Simpak. *

* * LIMA

SAAT itu Suwantra masih belum dapat memicingkan

matanya. Nakhoda Buang Alai belum lama membaringkan

dirinya. Dari dalam kamar masing-masing keduanya sama

menangkap suara-suara berisik yang datang dari bagian perahu


sebelah bawah. Mula-mula keduanya menyangka suara-suara

berisik itu adalah suara yang ditimbulkan oleh anak-anak

perahu yang tengah bekerja. Kamar Buang Alai adalah dibagian

tengah perahu sehingga dari sana dia dapat mendengar suara

bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata. Sedang kamar

Suwantra yang terletak agak kemuka membuat anak muda itu

tidak mendengar sama sekali suara beradunya senjata, cuma

suara berisik yang, dapat ditangkapnya. Tapi didalam hatinya

dia bertanya-tanya, mengapa jalan perahu tidak teratur seperti

sebelumnya, sebentar-bentar terasa berbelok kekanan, lurus

seketika lalu berkelok kekiri, lalu kekanan, begitulah tiada

hentinya.

Pemandangan yang pertama yang dilihat Buang Alai ketika

dia keluar dari kamarnya adalah salah seorang saudagar kelapa

sawit itu tengah mengikat anak buahnya yang bernama Siman.

Kemudian satu lagi anak buahnya yaitu Ista menggeletak

dilantai perahu dekat tiang tengah.

“Apa-apaan ini?!” bentak Buang Alai sambil mencabut

goloknya dengan cepat. Dia melangkah maju tapi segera

tubuhnya terhuyung-huyung. Seseorang yang datang dari

samping yang mengayunkan sebuah kayu besar kekepalnya

tidak dilihatnya sama sekali. Karena ketika sebelum kayu

tersebut sampai kekepalanya Buang Alai telah bergerak, maka

hantaman kayu itu agak meleset. Walaupun kepalanya benjol

besar namun tak sampai membuat dia jatuh pingsan. Goloknya

segera dirampas oleh Soreng dan seorang lain kemudian

mengikatnya.

“Beres semuanya.....?” tanya Soreng sambil memandang

berkeliling.

“Beres dan berhasil! Perahu ini sekarang milik kita bersama!”

jawab kawannya Jundi. Soreng mengangguk dan tersenyum

tanda girang. Tiba-tiba teringat pada Budin yang terluka parah

dibawah perahu. “Simpak, coba kau turun kebawah. Lihat

Budin...... apa dia masih hidup?”.

Simpak segera melangkah menuju kebagian tengah perahu

dimana tangga keruang bawah terletak. Tapi mendadak


langkahnya terhenti. Dua orang laki-laki berdiri didekat tangga

itu. Keduanya tak lain adalah Suwantra bersama adiknya.

“Kalian siapa sesungguhnya......?” tanya Suwantra sambil

melayangkan pandangan satu demi satu kepada ketiga laki-laki

yang dihadapannya. Soreng menyeringai dan sebelum laki-laki

itu membuka mulutnya, nakhoda Buang Alai yang berada

dalam keadaan terikat berkata dengan berteriak, “Perampok- perampok! Mereka tak lain adalah bajingan-bajingan jahanam,

bajingan-bajingan tengik! Mereka hendak merampok perahu ini

dan kemudian melemparkan aku bersama anak-anak satu demi

satu kedalam laut!”.

“Tutup mulutmu bangsat!” ujar Soreng dengan keras sambil

melayangkan tamparan kemuka nakhoda itu. Buang Alai

merasakan mulutnya asin karena darah yang keluar dari tepi

mulutnya yang terluka kena tamparan Soreng.

“Bangsat ini......” kata Soreng kemudian sambil menuding

hidung Buang Alai dengan jari telunjuk tangan kirinya. “Dia

bersama kawan-kawannyalah yang sesungguhnya merupakan

rampok-rampok bejat. Enam bulan yang lalu mereka telah

merampok perahu ini ditengah jalan dari pemiliknya, yaitu adik

kandungku sendiri. Dan setelah membaui jejaknya beberapa

lama akhirnya aku menemui bajingan ini. Dan sudah menjadi

hakku untuk merampas perahu ini kembali dari tangannya!”.

“Bohong! Dusta” teriak Buang Alai. “Demi Tuhan aku berani

bersumpah bahwa perahu ini adalah warisan ayahku. Anak

buahku semua mengetahui hal itu. Mereka bisa diminta

keterangannya. Mereka akan menjadi saksi!”

“Kawan-kawanku juga bisa diminta keterangannya. Mereka

juga akan menjadi saksi bahwa adik kandungkulah pemilik

perahu ini sebelumnya!” balas Soreng pula.

“Kau berani bersumpah?” tanya Suwantra.

“Demi setan, demi apapun aku berani bersumpah!” jawab

Soreng.

Suwantra melangkah beberapa tindak kemuka. Kemudian

bertanya lagi. “Mengapa sebelumnya kalian berdusta dengan

mengaku bahwa kalian adalah saudagar-saudagar kelapa

sawit?


“Tentu saja hal itu kami lakukan agar bangsat ini tidak

mencurigai maksud kami. Kalau tahu bahwa akulah kakak

kandung dari pemilik perahu ini tentu dia tidak akan

memperbolehkan kami turut menumpang!”.

“Baik” kata Suwartra pula. “Satu lagi pertanyaanku......”

Soreng mulat gusar kini. Dengan cepat dipotongnya kata-kata

Suwantra. “Anak muda, kepentingan apa yang membuat kau

ingin turut campur dalam urusan ini? Kau penumpang biasa

dan yang bisa kau lakukan, cuma tutup mulut! Mengerti?!”


“Dan kalau kau tak mau tutup mulut, kami akan lemparkan

kau bersama kawanmu itu kedalam laut biar menjadi santapan

ikan-ikan hiu!” menyambung Jundi.

Suwantra memandang kepada Buang Alai. “Nakhoda, telah

berapa lama sampai saat ini ayahmu mewarisi perahu ini?”

“Lebih dari dua tahun” jawab Buang Alai. Tangannya

senantiasa berusaha untuk melepaskan tali temali yang

mengikatnya. Suwantra memandang kembali kepada Soreng

dan bertanya, “Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku?

Kalau kau berada dipihak yang benar kau akan memberikan

jawaban tapi kalau tidak berarti kau bukan pemilik warisan dari

perahu ini!”.

Dengan geram Soreng berkata. “Baik, ajukanlah

pertanyaanmu!”

“Kalau kamu oang benar-benar pemilik sah dari perahu ini,

mengapa perampasan perahu ini tidak kalian lakukan dengan

secara wajar. Mengapa tidak kalian laporkan kepada pihak yang

berwenang. Mengapa tidak kalian bereskan didaratan

sebaliknya kalian rampas dengan kekerasan senjata ditengah

lautan?”.

“Cara yang kau katakan itu adalah caranya orang pengecut.

Dan kami bukanlah manusia-manusia pengecut. Apa yang

dapat kami lakukan dengan tangan dan senjata kami akan kami

lakukan tanpa pertolongan orang lain. Sekarang kalian berdua

sebaiknya masuk kembali kekamar kalian. Kecuali, ka!au kalian

ingin dilemparkan hidup-hidup kedalam lautan!”.

“Kalau benar perahu ini kepunyaan adikmu, aku akan tanya

lagi. Siapa nama adikmu itu. Berapa umurnya, berapa istrinya,

berapa anaknya dan berapa harga perahu ini waktu dibelinya

tempo hari. Siapa nama istri-istrinya, siapa nama anak- anaknya. Dimana dia tinggal. Siapa nama orang dari mana dia

membeli perahu ini, Siapa......”.

“Pertanyaanmu cukup sampai disitu!” bentak Soreng.

Goloknya diangkatnya tinggi-tinggi. “Masuk kedalam kamarmu

atau kutebas lehermu!”

“Dia bukan pemilik perahu ini...... juga bukan milik

adiknya...... Aku saksikan sendiri ayah dari nakhoda Buang  Alai



mewariskan perahu ini kepada Buang Alai......” terdengar satu

suara dari bagian belakang perahu. Orang yang berkata itu tak

lain adalah Sukri yang tadi dipukul kepalanya, kemudian diikat

dan yang saat itu telah sadar akan dirinya kembali. Setengah

dari perdebatan diatas perahu antara Suwantra, Buang Alai dan

Soreng telah didengarnya.

“Kau telah dengar kata-kata anak perahu itu......?” desis

Suwantra.

“Dan kawan-kawanku juga bisa memberikan keterangan

seperti itu!” tukas Soreng.

“Aku tahu” kata Suwantra. “Tapi untuk memastikan siapa

diantara kalian yang benar maka kita akan kembali ke

Sungailiat. Orang-orang disana akan memberikan bukti-bukti

nanti, siapa diantara kalian yang sesungguhnya pemilik sah dari

perahu ini!”

“Kaukah atau aku yang berkuasa diperahu ini?!” bentak

Soreng.

“Bukan kau dan bukan aku, tapi nakhoda Buang Alai”.

Suwantra menoleh pada nakhoda dan bertanya, “Bagaimana

nakhoda, kau setuju kita memutar haluan dan kembali ke

Sungailiat?”.

“Mengapa tidak?”.

“Dan kau bagaimana?”. Tanya Suwantra pada Soreng.

“Aku tidak!”.

“Kau takut menghadapi kenyataan?”.

“Apa yang kutakutkan?”.

“Kalau begitu kita kembali......”.

“Nyawa kalian yang akan kembali ke Sungailiat!” teriak

Soreng. Tangannya bergerak hendak mencekal leher baju

pemuda yang dihadapannya. Tapi Suwantra cepat mundur satu

langkah kebelakang dan berkata, “Bung, sudah terang kau

bukan pemilik perahu ini. Cerita tentang adikmu itu adalah kau

karang-karang sandiri!”

“Kau sudah bosan, hidup, anak muda?”. Jundi dan Simpak

melangkah maju dengan golok ditangan. Suwantr:a bersama

adiknya tetap berdiri ditempatnya. “Kalian pemuda-pemuda

hijau ingusan yang tak tahu diri. Kalian terlampau banyak


tingkah malam ini!”. Soreng memindahkan goloknya ketangan

kiri dan dengan tangan kanannya bermaksud hendak

menampar muka Suwantra. Tapi sebelum maksudnya

kesampaian, jotosan tangan kanan Suwantra telah lebih dahulu

bersarang dulu hatinya, Soreng menggeliat dan terhuyung- huyung kebelakang. Dengan cepat goloknya dipindahkannya

ketangan kanannya kembali. Dan bersama kedua kawannya dia

mulai mengurung kedua kakak beradik itu, kata Suwantri

membuka mulut untuk pertama kali.

“Kau pemuda banci jangan banyak mulut. Sebentar lagi akan

kulemparkan kau kedalam laut!” tukas Jundi sambil mendekati

Suwantri, Golok yang ditangannya mulai melancarkan serangan

kearah dada. Suwantri mundur satu langkah. Begitu senjata

lawan lewat dengan segera kaki kanannya melayang kemuka,

Jundi meloncat keatas dengan cepat. Tapi tak terduga tangan

kiri lawannya bergerak kearah dadanya. Jotosan Suwantri

bersarang dengan tepat didada laki-laki itu. Jundi terpelanting

kebelakang. Goloknya hampir terlepas.

“Bangsat! Kau akan rasakan nanti!” maki Jundi dangan

geram. Dengan cepat goloknya membabat kian kemari.

Suwantri mengelak dengan gesit. Semua serangan Jundi hanya

mengenai tempat kosong seakan-akan orang itu mengamuk

mela wan angin. “Sudah puas atau belum......?” ejek Suwantri

pada lawannya. Jundi jadi semakin geram. Dengan hati panas

dia mempercepat serangannya. Golok laki-laki itu dua kali

membalik dengan cepat kearah kepala dan kedada Suwantri,

membuat gadis yang berpakaian laki-laki itu terpaksa

mengurungkan niatnya untuk mulai melancarkan serangan.

Begitu senjata lawan berhasil dilewatkan maka Suwantri segera

menjejek lantai perahu. Tubuhnya melesat kemuka. Jundi cepat

membalikkan goloknya kearah lambung lawan. Tapi Suwantri

menendang siku laki-laki yang memegang senjata itu.

Sambungan siku lawannya terlepas. Jundi menjerit kesakitan.

Jeritannya hilang dengan serta merta ketika tangan kanan

Suwantri yang berisi kekuatan tenaga dalam yang ampuh itu

melabrak kepalanya. Muka laki-laki itu dengan serta merta

menjadi kehijauan. Dia roboh dangan tertelentang keras

dilantai perahu, pingsan.

Setiap sambaran golok Soreng mengeluarkan bunyi angin

yang bersiuran. Dia mengeroyok Suwantra bersama kawannya

Simpak. Simpak senantiasa selalu melancarkan serangan dari

samping sedang Soreng menggempur dari muka dengan ganas.

Kelihatannya Suwantra yang menghadapi kedua lawannya

dengan tangan kosong itu akan segera terdesak hebat. Tapi

tidak demikianlah keadaannya. Setelah mengelak dan bertahan

saja beberapa lamanya, pemuda itu mulai melancarkan

serangannya. Mula-mula sekali dia mengirimkan kedua

tinjunya secara berbarengan pada kedua lawannya itu. Soreng

yang sedari tadi sudah sedemikian gemasnya membalikkan

goloknya hendak membabat puntung lengan pemuda itu, begitu

juga Simpak. Tapi dengan lebih cepat Suwantra menarik pulang

tangannya sambil mundur kebelakang. Golok kedua lawannya

berlalu. Kedua tangan Suwantra bergerak kembali Soreng dan

Simpak merasakan rambutnya sama-sama dijambak. Dan

sebelum keduanya berhasil melepaskan diri Suwantra telah

mengadu kepala kedua orang itu. Satu kali, dua kali dan

sebelum kali yang ketiga Soreng berhasil melepaskan diri

dengan memukul iga kanan lawannya. Suwantra terjajar

kebelakang. Rambut Simpak masih didalam genggamannya.

Ketika Soreng membacok kemuka dengan cepat Suwantra

menarik rambut Simpak. Tuibuh laki-laki itu terdorong dengan

keras kemuka diantara tubuhnya sendiri dan sambaran golok

Soreng. Dengan sendirinya bacokan golok laki-laki itu

menghantam kawannya sendiri. Simpak menguak seperti

kerbau disembelih pada saat golok Soreng bersarang dipangkal

lehernya. Darah muncrat dan sebelum jatuh menggelinding

kelantai perahu nyawanya telah terlebih dahulu melayang.

Soreng menjadi semakin beringas. Bukan saja goloknya yang

melancarkan serangan, tapi juga kaki dan tangan kirinya turut

membantu. Kedua musuh itu berkelahi dengan cepat. Dua kali

Suwantra kena terpukul dadanya tapi tak di acuhkan sama

sekali. Pada jurus yang kelima Soreng terdesak kejambatan

perahu sebelah kanan. Ketika tinjunya lawan datang dengan


deras, dia menangkisnya dengan tangan kanan. Kedua tangan

beradu keras. Soreng merasakan tangannya seperti dipukul

dengan sebuah besi dan goloknya mental keudara. Dia hendak

meloncat kesamping tapi tinju kiri Suwantra bersarang lebih

dahulu diperutnya. Dia terbungkuk kemuka dan pada saat itu

tinju kanan lawan menghantam dagunya. Soreng terongak

kebelakang. Tubuhnya terangkat keudara, keluar dari perahu.

Laki-laki itu coba untuk menggapai tepi perahu tapi tidak

berhasil. Didalam kegelapan malam terengar jeritan laki-laki itu

sebelum tubuhnya tenggelam kedalam lautan.

Yang pertama kali dilepaskan ikatannya ialah nakhoda

Buang Alai, kemudian menyusul anak-anak perahu yang

lainnya. Mayat Budin dan Simpak dilemparkan kedalam laut

sedang mayat Kamid dibaringkan diatas sebuah tempat tidur

kayu. Jundi diikat ditiang tengah perahu. Yang terluka dan yang

bengkak-bengkak kena pukulan lawan segera mengobati diri

masing-masing. Perahu terpaksa dihentikan untuk beberapa

lamanya. Entah sudah berapa jauh Angin Timur menyasar dari

arah sebenarnya. Dua jam kemudian, sementara anak-anak

buahnya beristirahat dalam sakit masing-masing, nakhoda

Buang Alai sendiri yang memegang kemudi perahu, Suwantri

masuk kembali kedalam kamar meneruskan tidur sedang

Suwantra menemani nakhoda itu sampai menjelang dini hari. *

* * ENAM

SETELAH empat hari empat malam ditengah lautan, maka

pada pagi hari yang kelima, mereka telah berada ditengah-

tengah selat Berhala. Kalau dilayangkan pandangan kesebelah

kanan maka tampaklah gugusan Pulau Ingkep dan Ingga serta

puluhan pulau-pulau kecil lainnya. Sedang kalau ditolehkan

pandangan kekiri maka membujurlah dikejauhan pesisir timur

pulau Andala


Lepas tengah hari baru Angin Timur sampai ditempat

tujuannya. Mereka berlabuh disebuah pangkalan yang tak jauh

letaknya dari muara sungai Batang Kuantan. Disana tidak

seberapa banyak terdapat perahu-perahu besar. Tapi sampan- sampan kecil, biduk, tongkang dan lain-lainnya tiada terkirakan

banyaknya, baik yang berada dilautan maupun yang tengah

merapat dipangkalan. Orang-orang yang menjual ikan yang

masih segar-segar terdapat berkelompok-kelompok dimana- mana. Barang-barang muatan yang dibawa Angin Timur untuk

daerah itu segera diturunkan dan salah seorang anak perahu

mengantarkannya kepada si penerima. Pada mulanya, nakhoda

Buang Alai dengan keras menolak ongkos perahu yang-hendak

dibayar oleh Suwantra. Mungkin laki-laki itu merasa segan

karena mengingat jasa-jasa Suwantra ketika menghadapi

perampok Soreng dan kawan-kawannya. Setelah dipaksa,

akhirnya nakhoda itu mau tak mau terpaksa juga menerima

uang yang disodorkan Suwantra.

Setelah kedua kakak beradik itu pergi, mayat Kamid segera

diturunkan untuk dikuburkan didaratan. Jundi, satu-satunya

kawanan rampok yang tertawan setelah menerima bogem- bogem mentah dari anak buah perahu Angin Timur kemudian

dilepaskan. Dia berlalu dengan terhuyung-huyung. Mukanya

babak belur dan semua mata orang dipangkalan itu ditujukan

kepadanya. *

* * Suwantri memasuki sabuah lepau nasi bersama kakaknya.

Makan mereka siang itu enak dan banyak sekali Maklumlah

karena diperahu selama ini tak begitu banyak makan mereka,

lagi pula makanan yang diperahu tidak begitu sedap. Setelah

beristirahat beberapa lamanya untuk menurunkan nasi maka

keluarlah keduanya dari kedai tersebut. Lima menit kemudian

mereka sampai dimuara sungai Batang Kuantan dan mulai

mencari perahu sewaan yang hendak menuju kepedalaman. Tak

ada satu pemilik perahupun yang mau mengangkut mereka


sampai kepedalaman. Bahkan yang mau sampai

dipertengahanpun jarang serta ongkos yang diminta tinggi

sekali.

“Kami hanya sanggup membawa saudara-saudara sampai di

Tembilahan......” kata seorang pemilik perahu dari dalam

perahunya.

“Berapa jauhnya tempat itu kira-kira dari sini?” tanya

Suwantra.

“Kurang sedikit dari lima puluh kilo. Sampai di Tembilahan

kalian harus mencari perahu yan.g lain untuk sampai ketempat

tujuan kalian. Kurasa tak akan ada orang yang mau mengantar

kalian sampai kemudik......”.

“Kenapa begitu......?” tanya Suwantri.

“Banyak rampok-rampok sungai dan buaya!” jawab pemilik

perahu pula.

“Kalau begitu, sampai di Tembilahanpun jadilah” kata

Suwantra sambil masuk kedalam perahu.

“Tapi harga yang aku tawarkan sudah cocok?” tanya pemilik

perahu yang masih muda itu.

“Kalau tidak bisa dikurangkan lagi...... benar begitu?”.

“Harga mati itu, saudara”.

Suwantri duduk dimuka kakaknya. Pemilik perahu dan

pembantunya, seorang pemuda tanggung segera menggerakkan

pendayung mereka. Dan perahu itu mulai meluncur ke muka

melawan arus sungai.

“Berapa jam kita akan sampai ke Tembilahan?” tanya

Suwantra.

“Besok tengah hari......” jawab Kari, pemuda pemilik perahu.

“Jadi kita bermalam ditengah jalan?” tanya Suwantri

terkejut.

“Betul!”

“Tapi tak usah kakak khawatir. Dari sini sampai Tembilahan

tak ada bahaya yang ditakuti......” menyela pemuda-tanggung

yang dibelekang perahu. Namanya Tajudin.

Dikedua tepi sungai terdapat berderet-deret rumah

penduduk. Bentuknya agak aneh bagi mata kedua anak muda

yang berasal dari tanah Jawa itu. Pada malam hari arus sungai


agak perlahan. Suara jengkerik kedengaran disepanjang kedua

tepi sungai.

“Tak adakah pendayung yang lain?” tanya Suwantra pada

Tajudin. Anak itu menggeleng. Dengan acuh tak acuh, seperti

seorang anak kecil memain-mainkan tangannya. Suwantra

memasukkan tangan kanannya kedalam air,

mempergunakannya seperti pendayung. Dan secara aneh

perahu itu meluncur dengan lebih cepat lagi. Suwantri yang

melihat perbuatan kakaknya itu segera meniru. Kecepatan

perahu kecil jadi bertambah pula. Suara meluncurnya sampai

terdengar ketelinga. Kari dan Tajudin tak habis pikir bagaimana

dengan pertolongan tangan-tangan kedua penumpangnya itu

perahu mereka bisa jadi secepat itu.

Menjelang tengah malam mereka sampai kesebuah

pangkalan perahu. Sebuah kedai masih terbuka. Dan meskipun,

gulai yang dihidangkan sudah terasa agak basi, tapi Suwantri

dan Suwantra tidak menolak. Sementara mereka makan, kedua

anak perahu yang membawa bekal masing-masing, makan di

perahu mereka dan kemudian melunjurkan kaki beristirahat.

Satu jam kemudian perjalanan diteruskan kembali.

Seharusnya seperti telah dikatakan oleh Kari sebelum

berangkat, mereka baru akan sampai di Tembilahan pada

tengah hari keesokannya. Tapi saat itu baru saja matahari naik

maka kota kecil ditepi sungai itu telah kelihatan dimuka

mereka.

“Kita sudah hampir sampai!” kata Kari dengan nada tak

percaya sambil memandang kemuka.

Perahu merapat ditepi sungai. Setelah membayar sewanya

kedua kakak beradik itu segera melompat keluar. Ketika

keduanya berlalu dan mengucapkan terima kasih, berkatalah

Tajudin pada kawannya, “Kurasa kedua orang itu bukan

manusia biasa......”.

“Benar......” ujar Kari. “Kalau tidak dengan bantuannya, kita

tak akan sampai pagi ini. Padahal yang mereka perbuat sebagai

dayung hanyalah telapak-telapak tangan mereka yang halus

putih itu!”


“Mungkin mereka orang-orang yang pernah menuntut ilmu

juga” desis Tajudin.

“Sudah pasti. Dan kalau kita punya ilmu semacam dia, bukan

saja Batang Kuantan ini yang akan kita arungi, tapi juga

lautan!” kata Kari mencetuskan khayalannya.

“Kita kembali pagi ini juga? “ tanya Tajudin mengalihkan

pembicaraan. Kari mengangguk lalu berkata. “Carilah muatan

sesudahnya kita sarapan”. Kedua anak perahu itu ke luar dari

perahu menuju ketepi sungai.

Setelah sarapan pagi dan membeli bekal persediaan ditengah

jalan kedua kakak beradik itu segera mencari perahu yang biasa

mereka sewa kepedalaman. Tapi tak satu pemilik perahupun

yang mau membawa mereka. Seorang tua yang berdiri ditepi

pangkalan Tembilahan yang sedari tadi memperhatikan kedua

anak muda itu membuka mulut ketika Suwantra dan adiknya

lalu dihadapannya. “Kau akan sia-sia anak muda. Tak ada

seorangpun pemilik perahupun yang akan mau kau sewa

kepedalaman. Aku sudah lima puluh tahun tinggal disini.

Hanya pernah tiga buah perahu yang coba-coba memasuki

pedalaman melalui sungai ini. Dan ketiga-tiganya tak pernah

kembali. Yang dua ditenggelamkan buaya ditengah jalan.

Semua penumpangnya menjadi mangsa binatang air itu sedang

yang ketiga diserang oleh rampok sungai disekitar Petitih......”.

“Terima kasih atas keterangan Bapak” jawab Suwantra

dengan tersenyum ramah. “Tapi biarlah kami cari juga dahulu.

Kalau tak berhasil terpaksa kami beli saja sebuah perahu”.

“Ya, kalian boleh pergi mencari lebih dahulu. Dan kalau tidak

berhasil kembalilah kesini. Aku tahu seorang pemilik perahu

yang hendak menjual Perahunya. Kayunya bagus dan belum

lama dipakainya. Masih baru dan besar. Pendayungnya empat

buah......”.

“Baik...... baik, kalau tak berhasil mencari perahu sewaan

kami akan kembali kesini” kata Suwantra berjanji. Dia berlalu

bersama adiknya. Setengah jam kemudian keduanya kembali

ketempat itu. Si orang tua tadi masih berdiri ditempatnya.


“Apa kataku? Kalian akan sia-sia mencari perahu sewaan.

Bagaimana? Jadi kalian hendak membeli perahu yang

kukatakan tadi?”.

“Dimana tempatnya?” tanya Suwantra.

“Ikuti aku......” jawab orang tua itu. Dia membalikkan

tubuhnya dan berjalan lebih dahulu.

“Bagaimana kalau kita menempuh jalan darat saja?” tanya

Suwantri sambil berjalan disamping kakaknya.

“Kita tak tahu jalan dan seluk beluk didaerah ini. Itu berarti

kita memerlukan seorang atau beberapa orang penunjuk jalan.

Disamping itu akan makan waktu berminggu-minggu pula

sebelum sampai ketempat tujuan kita. Padahal kalau dapat kita

menyelesaikan rencana dalam waktu yang singkat dan kembali

dengan segera kekampung”.

Ketiga orang itu berjalan ditepi sungai Batang Kuantan. “Itu

rumahnya......” kata orang tua yang berjalan dimuka kedua

kakak beradik itu. “Dan itu perahunya. Masih bagus bukan?”.

Dibelakang sebuah rumah yang terletak ditepi sungai itu

terletak sebuah perahu. Tampaknya memang masih baru.

Si orang tua mengetuk pintu rumah. “Labai...... hai Labai.

Ado kau dirumah?”

“Siapo tuh? Masuklah!” terdengar suara jawaban dari dalam.

“Aku, Tua Ampa! Ada orang ndak melihat prahu kau nih!”

kata si orang tua dengan nada irama dan aksen penduduk asli.

Pintu rumah terbuka dan si orang tua masuk kedalam. “Si

apuh! Baru bangun tidur kau sesiang ini Labai? Dan blum pulo

mandi! Tuh ada orang yang ndak melihat perahumu. Jadi kau

jual?”.

“Jadi. Suruhlah masuk......... aku ndak mencuci muko Jadi

dulu!”.

Tua Ampa memunculkan kepalanya dari balik pintu.

“Saudara-saudara marilah masuk dahulu. Orang nan punyo

prahu tu baru bangun......”.

“Biarlah kami menunggu saja ini......” jawab Suwantra sambil

tersenyum. Tak berapa lama kemudian keluarlah Tua Ampa

dengan diiringi oleh Labai, orang yang empunya perah


Keempat orang itu menuju kebelakang rumah. “Cobalah

lihat-lihat dulu macam perahu awak nih. Kayunya bagus dan

masih baru......” kata Labai kepada Suwantra. Pemuda itu

segera memeriksa keadaan perahu dan kemudian menanyakan

harganya.

“Wah, apa tidak sangat tinggi harga yang saudara katakan

itu?” tanya Suwantra pada Labai ketika orang itu menyebutkan

harga perahutnya.

“Memang tinggi saudara. Tapi boleh ditawar sikit. Saudara

lihat sendiri perahu ini besar, kayunya bagus dan masih baru.

Coba bandingkan dengan perahu-perahu yang saudara lihat

dipangkalan. Uh...... ketinggalan jauhlah prahu-prahu orang

tuh!”.

Tawar menawar segera terjadi dan setelah cocok harga

dikedua belah pihak maka terjadilah jual beli itu. Dengan

bantuan Labai, Suwantra membawa perahu tersebut kesungai.

Sebelum berangkat dia menyelipkan sesuatu ketangan Tua

Ampa yang diterima orang tua itu dengan senyum dikulum.

Malam pertama tak ada halangan yang mereka temui.

Karena kedua orang yang mendayung itu tidak

mempergunakan tenaga biasa maka dalam tempo semalaman

saja setengah dari perjalanan telah mereka tempuh. Dan pada

pagi keesokan harinya itulah rintangan pertama mulai ditemui.

Di satu kelokan sungai yang airnya sangat tenang, seakan- akan air sungai itu tidak mengalir sama sekali, mata Suwantri

yang tajam memperhatikan dua buah benda yang meluncur

cepat kearah perahunya. “Suwantra! Awas ada buaya!”.

Suwantra memutar kepalanya kearah yang ditunjuk adiknya.

Kemudian dengan cepat kedua orang itu mengayuh perahu

ketepi. Tapi sebelum mencapai tepian kedua binatang itu telah

berhasil mencapai mereka. Tampaknya keduanya hendak

menubruk dan membalikkan perahu dengan kepala mereka.

“Pergunakan dayung dan pukul kepalanya!” teriak Suwantra.

Kedua kakak beradik itu berdiri diatas perahu dan sama

mengayunkan kayu pendayung yang ditangan masing-masing

kekepala kedua ekor buaya itu. Kepala buaya-buaya itu

tenggelam beberapa detik lamanya. Kemudian dua buah benda


panjang yang berduri-duri menyambar kearah perahu. Kedua

benda itu tak lain adalah ekor-ekor dari buaya tadi. Suwantra

dan adiknya meloncat kedaratan. Ekor kedua buaya lewat dan

menghantam tepi perahu. Melihat kedua orang itu berada

didaratan kedua buaya Itu terus berenang ketepi. Kedua

mulutnya ternganga lebar. Dengan mempergunakan kayu-kayu

pendayung itu sebagai senjata, Suwantra dan adiknya bertahan

dari serangan-serangan binatang buas itu. Mulut kedua

binatang itu pecah-pecah dan penuh berlumuran darah kena

hantaman kayu pendayung. Tapi mereka terus menyerang

dengan dahsyat. Kedua kakak beradik kalau tidak berloncatan

dengan gesit kian kemari entah sudah berapa kali terpukul oleh

ekor-ekor buaya itu. “Pukul kedua matanya!” teriak Suwantra sambil

menghantamkan kayu pendayung kearah mata kiri binatang

yang menjadi lawannya. Mata binatang itu hancur remuk.

Kemudian mata kanannya yang menjadi sasaran. Suwantri juga

telah berhasil memukul buta mata lawannya. Lima menit

kemudian, meskipun masih membantingkan ekornya kian

kemari dengan dahsyat tapi serangan kedua binatang itu sudah

tidak berarti sama sekali. Suwantri dan kakaknya segera

meloncat kedalam perahu kembali dan meneruskan perjalanan.

Lima kilo dari tempat itu, kembali tiga ekor buaya muncul

dibelakang mereka. Tapi karena jaraknya cukup jauh, dengan

mempercepat jalannya perahu, ketiga binatang itu tak berhasil

mengejar perahu. Kedua murid Ahmed Pasya itu berhasil

menyelamatkan diri setelah terjadi kejar mengejar antara

mereka dengan buaya itu selama hampir setengah jam lebih! *

* * TUJUH

PAGI itu mereka baru saja meninggalkan sebuah kampung

kecil dipinggiran sungai. Tiga jam setelah melewati kampung

itu, dikejauhan kelihatan dua buah perahu yang berisi beberapa


orang. Semakin lama ketiga perahu itu semakin dekat juga.

Tiba-tiba sejarak sepuluh meter dari sebelah muka, kedua

perahu yang berisi masing-masing lima orang itu bersibak.

Perahu Suwantra berada ditengah-tengah kini.

“Wantri...... waspadalah. Agaknia inilah rampok-rampok

sungai yang disebut-sebut orang itu......” bisik Suwantra pada

adiknya. Kedua orang itu memegang pendayung masing-masing

dengan erat dan siap sedia.

“Berhenti!” perintah seorang laki-laki yang berdiri dibarisan

sebelah muka diperahu yang sebelah kanan sambil mengangkat

tangan kanannya tinggi-tinggi. Tangan kirinya bersitekan pada

hulu senjatanya yang terselip dipinggang. Orang ini dan juga

kawan-kawannya yang lain memakai baju gunting cina,

bercelana yang bergelembung besar dan dipinggangnya melilit

kain sarung. Mereka semuanya memakai kain penutup kepala.

Dengan patuh Suwantra menghentikan perahunya. “Ada apa

saudara-saudara? Kalian dari mana?”.

Pemimpin rampok sungai itu mengerenyitkan alisnya dan

memandang pada kawan-kawannya. Kemudian terdengarlah

suara tertawanya yang diikuti oleh kawan-kawannya.

“Kelihatannya dia bukan penduduk sini. Hem...... tentu banyak

uang dan barang-barang berharga yang dibawanya...” bisik

salah seorang anak buah perampok bajak sungai itu pada

pemimpinnya.

“Saudara-saudara mau pergi kemana?” tanya Sampano

Kutai. Begitulah nama si pemimpin rampok.

“Kami bermaksud hendak kepedalaman. Ada sesuatu

pertolongan yang kalian butuhkan maka kalian menyuruh kami

berhenti?” jawab Suwantra.

“Benar, Benar...... memang ada yang akan kami minta tolong

pada saudara-saudara” kata Sampano Kutai.

“Katakanlah., mudah-mudahan kami bisa menolongnya”.

Semua perampok itu sama menyeringai.

“Tolonglah berikan semua uang dan barang-barang berharga

yang kalian bawa kepada kami. Kami percaya bahwa saudara- ssaudara berdua akan memberikannya” kata Sampano pula

dengan nada meninggi.


Suwantra pura-pura terkejut mendengar kata-kata itu.

Adiknya sudah tak tahan hati, namun dia tetap tak membuka

mulut sedang hatinya sudah gemas melihat tampang dan tindak

tanduk perampok-perampok itu.

“Uang dan barang-barang berharga......? Tapi kami tak punya

uang dan barang-barang itu. Kami tak punya apa-apa saudara- saudara......” jawab Suwantra kemudian.

“Ala...... jangan pula kami dikicuh kawan. Lah jelas dek kami

bahwa kalian bukan rang sini. Berikanlah apa yang kami minta

itu. Kami tak begitu suka bersitegang urat leher dan bersabung

tinju, apalagi bersabung senjata!” kata Sampano Kutai pula

dengan melontarkan seringai buruk kepada Suwantra.

“Sungguh tajam sekali mata saudara, mengetahui kami

bukan orang sini. Tapi sungguh, kami tak berdusta. Kami orang

miskin dan tak punya apa-apa......” Kepala bajak sungai itu

mulai barubah air mukanya. Matanya menyorot kejam kini dan

suaranya lantang ketika bertanya : “Kalian tahu siapa aku?

Kalian tahu siapa kami? Inilah Datuk Sampano Kutai, orang

yang ditakuti mulai dari muara sampai kehulu Batang Kuantan.

Kamilah bajak-bajak sungai yang malang melintang didaerah

ini dan kalianlah mangsa kami saat ini! Ada kalian dengar?

Kalau ada lekaslah berikan apa yang kukatakan tadi supaya

kembali juga kalian kekampung halaman kalian. Tapi kalau

kalian menolak dan bermaksud pula untuk coba-coba melawan

kami maka terpaksalah disungai ini kami jadikan kubur kalian!”

“Oh...... jadi rupanya kalianlah bajak-bajak sungai yang

disebut-sebut orang selama ini? Hemm...... memang cocok

benar, pantas benar dengan tampang-tampang kalian!” kata

Suwantri balas menjawab kata-kata Datuk Sampano Kutai.

“Ohoi! Pemuda yang suaranya seperti anak gadis itu pandai

pula membuka mulut rupanya......” kata salah seorang anak

buah Sampano.

“Kenapa tidak? Setiap orang yang punya mulut tentu pandai

bicara, kecuali orang bisu tentunya!”

“Dan kami sudah lama mencari-cari kalian. Untuk membuat

perhitungan dengan kalian!” menyambung Suwantra.


“Ha...... ha! Ini dia! Bertemu durian dengan mentimun.

Hendak melawan kancil terhadap gajah rupanya!” kata

Sampano Kutai sambil memberi isyarat pada anak buahnya.

Bersamaan dengan, itu, tiga orang dari perahu sebelah kiri dan

tiga orang pula dari perahu sebalah kanan meloncat kedalam

perahu Suwantra. Kedua kakak beradik yang telah lama

menanti dengan waspada itu segera tak membuang-buang

waktu lagi. Bagian Suwantra adalah musuh-musuh yang datang

dari samping kanan sedang adiknya yang sebelah kiri. Dayung

besar yang ditangan kedua kakak beradik itu membabat deras

kemuka. Bajak-bajak sungai yang datang dari samping kanan

terpental kedalam air dengan jeritan kesakitan. Yang terkena

pukulan dayung pada tangan kanannya, patah dua tulang

lengannya. Yang kedua patah-patah iganya sedang bajak yang

ketiga meskipun coba untuk mengelakkan pukulan dayung tapi

tak urung kena juga tersapu dadanya. Rampok-rampok yang

berloncatan dari kiri dua orang menderita luka-luka parah

sedang ketiga berhasil menyelamatkan diri.

“Bedebah laknat!” teriak Sampano sambil mencabut kerisnya

dan meloncat kedalam perahu Suwantra. Anak buahnya yang

lain segera pula menyerang. Dalam perkelahian jarak dekat

kedua kakak beradik itu tak bisa mempergunakan dayung

panjang yang ditangannya sebagai penggada. Tapi dengan cepat

mereka merubah pegangan pada dayung itu. Kalau tadi kedua

tangan mereka memegang pendayung pada ujungnya maka kini

kedua tangannya memegang benda itu pada bagian tengahnya

dalam jarak tertentu. Dan pendayung-pendayung itu

dipergunakan sebagai sebuah toya kini!

Empat orang mengurung kedua kakak dan adik itu. Perahu

bergoncang keras dan empat serangan keris berkelebatan kian

kemari. Permainan keris Sampano Kutai tak bisa dianggap

enteng. Senjatanya itu berkelebatan kian kemari, seakan-akan

menjadi berpuluh-puluh buah banyaknya. Gerakannya gesit

dan cepat. Kayu pendayung yang ditangan Suwantra telah

penuh dengan tusukan-tusukan keris. Salah seorang

pengeroyok Suwantri telah berhasil dirobohkan oleh gadis itu.

Beberapa saat kemudian pengeroyok yang kedua menemui


ajalnya ketika dayung yang ditangan Suwantri menghantam

dan mematahkan batang leher laki-laki itu.

Kawan-kawan perampok yang tadi terlempar kedalam sungai

dan yang masih mempunyai nyali untuk bertempur kembali

segera mendekati perahu tapi sebelum mereka naik keatas

perahu, kepala mereka dihantam; satu demi satu oleh Suwantri

sehingga tak satupun dari mereka itu yang kembali muncul

kepermukaan air. Perkelahian antara kakaknya dan pemimpin

bajak masih berjalan dangan seru. Belum satupun diantara

kedua musuh itu yang kena cedera oleh lawan sedang

pertempuran sudah berlangsung sebanyak empat jurus.


Walaupun Sampano Kutai tidak memiliki ilmu mengentengi

tubuh seperti Suwantra adanya, namun kegesitan dan

kecepatan gerak laki-laki itu benar-benar mengagumkan. Enam

kali dia berhasil mengelakkan pukulan pendayung yang

ditangan lawannya sampai saat itu kerisnya belum juga sanggup

melukai tubuh lawannya. Jangankan melukai, menggores baju

pemuda itupun tak berhasil dia. Perahu bergoncang tiada

hentinya. Datuk Sampano Kutai mengirimkan dua buah

tusukan berantai kedada lawannya. Dengan mundur dua

langkah Suwantra mengelakkan serangan itu. Dia membalas

serangan lawan dengan melayangkan ujung kiri pendayung

kearah perut laki-laki itu. Sampano memiringkan tubuhnya.

Pendayung lewat, Sampano balas menyerang. Kerisnya

menusuk cepat kearah tenggorokan Suwantra. Pemuda itu

memiringkan lehernya tapi senjata lawan dengan cepat

bergerak bertukar arah kejurusan dadanya. Dengan cepat

Suwantra menangkis tapi sekali lagi senjata lawannya berubah

arah. Kembali naik keatas menyerang tenggorokannya. Sambil

menunduk dengan kecepatan yang luar biasa Suwantra

mengirimkan tendangan keras keperut lawannya, Sampano

meloncat kebelakang. Perahu kembali bergoyang dengan hebat.

Sambil tegak kambali Suwantra mengirim serangan. Pendayung

yang ditangannya melesat kearah muka lawan. Sampano sekali

lagi mengelak dan berhasil. Pemuda itu maju lagi selangkah

memburu dan pernimpin bajak sungai terdesak keujung

belakang perahu. Dia bertahan dengan gigih sampai pada saat

senjata yang ditangannya mental keudara tersambar ujung

pendayung. Sebelum Suwantra menghantamnya kembali

dengan cepat laki-laki itu meloncati tubuh lawannya. Perahu

oleng dan kedua orang itu terjatuh kedalam air sedang Suwantri

cepat meloncat keperahu perampok yang disamping kiri.

Setelah hilang beberapa detik lamanya, kedua musuh itu

muncul kambali dari permukaan air. Tinju kanan Sampano tiba

didagu lawan. Suwantra tak mengacuhkannya sama sekali.

Pukulan lawan yang kedua dielakkannya sedang dengan tangan

kirinya dicekalnya leher baju lawannya. Sebelum tinju kanan

Suwantra meluncur kemuka, Sampano mencekik leher pemuda


itu dengan keras. Suwantra membenamkan dirinya kedalam air.

Dari bawah air ditangkapnya pinggang musuhnya dan beberapa

detik kemudian kelihatanlah tubuh pemimpin rampok itu

jungkir balik diudara. Kepala Datuk Sampano membentur

perahunya sendiri. Membuat pemandangannya jadi berkunang- kunang. Dan pada saat itulah Suwantra berenang mendekati

lawannya. Tinjunya datang seperti hujan. Darah bercucuran

dari kedua mata, lobang hidung dan mulut pemimpin bajak itu.

Tubuhnya mulai tenggelam. Dengan megap-megap dia coba

untuk memunculkan kepalanya kepermukaan air tapi semakin

dicoba semakin tenggelam juga tubuhnja. Dan akhirnya

tamatlah riwayat pemimpin bajak yang selama ini ditakuti oleh

penduduk mulai dari muara sampai kehulu Batang Kuantan itu. *

* * Semakin kepedalaman arus sungai semakin deras. Hutan

belantara disepanjang tepi sungai semakin lebat rapat. Seakan- akan dari dalam hutan itu terdengar suara auman binatang- binatang buas. Daerah sekitar situ diliputi kesunyian yang

mencengkam. Mereka berhenti disebuah kampung kecil hanya

untuk membeli bekal dan kemudian melanjutkan perjalanan

kembali.

Rembang petang mereka sampai disatu kampung yang

bernama Muara. Persis ditempat itulah Batang Kuantan

bercabang menjadi dua. Pegunungan Bukit Barisan mengapit

dan mengelilingi daerah itu. Suwantra dan adiknya setelah

menambatkan perahu ditepian segera naik kedarat. Disebuah

kedai, sambil menyuap nasinya pemuda itu bertanya pada

perempuan pemilik kedai. “Mak, disini sungai itu bercabang

dua. Kalau kita hendak kekaki gunung Merapi, cabang yang

manakah yang harus diikuti?”. Perempuan yang ditanya

memandang kepada Suwantra beberapa lamanya, baru

menjawab. “Cabang yang kekanan tentunya......”

“Dan dimanakah kami harus berhenti nanti?” tanya Suwantra lagi.


“Kalau tu tak tahu Amak......” jawab orang kedai.

“Saudara-saudara hendak kekaki gunung Merapi?” tanya

seorang separoh baya yang duduk makan disamping Suwantra.

“Benar, saudara” jawab pemuda itu.

“Ikuti terus cabang sungai yang kekanan itu. Tiga puluh kilo

dari sini ada sebuah kampung yang bernama Kuliki. Kalian

berhenti disitu dan melanjutkan perjalanan ke Batusangkar

lebih mudah dan lebih dekat sampai ketempat tujuan saudara- saudara itu”.

“Terima kasih atas keterangan itu......” kata Suwantra dengan

tersenyum senang.

Hujan rintik-rintik turun tak berapa lamanya setelah mereka

meninggalkan Muara. Tapi tiga menit kemudian hujan itu

segera pula berhenti. Disepanjang tepi sungai sebelah kiri

kedua kakak beradik itu melihat banyak sekali kera dipohon- pohon seakan-akan binatang itulah buah dari pohon-pohon itu.

Suaranya ramai sekali dan tingkah laku binatang itu bermacam- macam. Ada yang bermenung seperti anak muda yang

merindukan pacarnya. Ada pula yang berteriak-teriak dan

meloncat-loncat kian kemari. Induk-induk kera yang

mempunyai anak, memangku anaknya dan menyusuinya, tak

ubahnya seperti seorang perempuan menyusukan bayinya. Dan

yang kerjanya loncat meloncat tak manentu dari satu pohon

kelain pohon banyak pula. Perahu meluncur dengan cepat.

Lepas senja mereka sampai kekampung yang dinamakan Kuliki

itu.

“Kita mencari penginapan dan tidur disini malam ini. Besuk

pagi baru kita berangkat ke Batusangkar......” kata Suwantra

sambil turun dari perahu.

“Tubuhku juga sangat letih. Sudah sepantasnya kita

beristirahat semalam ini” jawab adiknya. Dan gadis itu

meloncat turun dari atas perahu.

Malam itu mereka menumpang tidur dirumah seorang

pembuat pedati. Keesokan harinya setelah menitipkan perahu

kepada seorang pencari ikan dengan perjanjian bahwa pencari

ikan itu boleh memakai perahu tersebut selama mereka pergi

asal dirawat dan dijaga baik-baik


*

* * DELAPAN

DIA berjalan juga sambil melayangkan pandangannya.

Rumah-rumah besar yang berukir indah dan yang atapnya

berkeluk seperti tanduk kerbau itu sangat menarik

perhatiannya. Orang laki-laki yang lalu dan berpapasan dengan

dia menganggukkan kepala dan tersenyum ramah, sekalipun

mereka tidak mengenal satu sama lain. Orang-orang

perempuan memakai baju kurung, bertutup kepala dengan

selendang. Yang bermaksud hendak kepasar, menjunjung

barang dagangannya diatas kepala. Berjalan dengan depat

tanpa memegang barang yang diatas kepalanya itu.

Udara pagi terasa nyaman sekali penuh kesegaran. Ketika

dilayangkannya matanya kesebelah kanan maka tampaklah

dikejauhan gunung Malintang. Berdiri laksana seorang raksasa

penjaga negeri. Dan ketika ditolenkannya pula pandang kekiri

maka tampaklah gunung Merapi menjulang tinggi dengan

segala kemegahannya. Sungguh indah tanah Minangkabau,

sungguh ramah budi bahasa penduduknya. Sudah empat hari

dia berada disana, namun belum bosan juga dia, belum puas

juga dia memandang dan menyelidiki rahasia keindahan alam

tanah Minang yang terletak digugusan Bukit Barisan itu.

Siapakah laki-laki itu? Bukan orang sanakah dia maka sampai

terpesona banar dia melihat segala keindahan alam yang bagi

penduduk sudah merupakan hal yang terbiasa? Memang dia

bukan orang sana!

Telah tersiar kabar dikalangan gadis dikampung Parak Jua,

telah menjadi tutur cakap oleh calon induk-induk itu bahwa

dikampung mereka telah datang seorang baru, seorang pemuda

yang katanya berasal dari tanah seberang, dari tanah Jama.

Anak muda itu kabarnya menumpang tinggal untuk semantara

dirumah Gaek Leman (Gaek — sebutan untuk orang yang sudah

tua seperti : Kakek). Kalau sekiranya tak ada keistimewaan


didiri orang baru itu tentu tidak dia menjadi buah tutur gadis- gadis, tidak pula akan menjadi bahan percakapan orang-orang

muda-muda.

Tubuhnya tinggi semampai. Tegap dan kukuh. Orangnya

ramah tamah dan parasnya tampan gagah. Menurut kata Gaek

Leman, laki-laki tua yang telah menjadi duda semenjak dua

puluh tahun yang lalu dan yang tak beranak barang seorang jua,

dimana pemuda yang menjadi buah bibir tadi tinggal, nama

orang yang baru datang itu adalah Aditiajaya. Sangat asing

memang nama orang itu bagi telinga gadis-gadis di Parak Jua.

Tapi sungguh sedap didengarnya. Dia bisa membawa diri dan

dapat berkawan. Sebanyak itu pemuda-pemuda yang berkawan

dengan dia, lebih banyak lagi yang membencinya, karena kalau

gadis-gadis di Parak Jua selama ini banyak menunjukkan

perhatian kepada mereka maka kini semua gadis-gadis itu

kelihatannya lebih tertarik pada orang baru itu. Bahkan Nurani,

gadis yang digelari ‘bunga mawar dari kayangan’, gadis yang

tercantik di Parak Jua mungkin tercantik diseluruh

Batusangkar itu dan mungkin pula diseluruh tanah Minang saat

itu, yang menjadi buah bibir anak-anak muda sekampung dari

pagi sampai petang diteruskan didalam mimpi pada malam

harinya, agaknya menaruh perhatian pula pada Aditia. Setiap

gadis-gadis membicarakan tentang pemuda itu, dipancuran

tempat mandi, ditengah jalan kepasar, dimana saja........ dia

kelihatanan senang sekali dan turut mencampuri percakapan

itu.

Hari itu adalah hari pasar di Batusangkar. Lepas tengah hari

langit tampak mulai mendung. Pedagang-pedagang mulai

bersiap-siap dengan barang dagangan mereka karena sebentar

lagi hendak turun hujan lebat. Orang-orang yang berbelanja

sudah usai ditengah dalam perjalanan pulang.

Aditia menyusuri jalan kecil yang menuju kekampungnya.

Suara guntur sudah mulai kedengaran dikejauhan. Dia

mempercepat jalannya. Tiba-tiba dimukanya, diliku jalan

terdengar pekik perempuan. Bukan seorang, tapi dua orang.

Murid Eyang Wilis melompat kemuka dan berlari dengan cepat.

Dua orang perempuan ditemuinya diliku jalan. Yang seorang

masih muda remaja dan parasaya cantik sekali meskipun

mukanya sangat pucat pasi saat itu. Yang seorang lagi sudah

separuh baya. Dia duduk tergelimpang ditengah jalan, merintih

kesakitan sedang pada kaki kanannya, diatas mata kaki

kelihatan sebuah luka yang mengeluarkan darah.

“Apa yang telah terjadi......?” tanya Aditia pada gadis itu yang

tak lain dari uada Nurani adanya, gadis cantik yang digelari

‘bunga mawar dan kayangan”.

Dengan gagap Nurani menjawab. Gagap karena masih belum

hilang rasa takutnya dan gagap karena berhadapan dengan laki-

laki yang sering dipercakapkannya bersama kawan-kawannya

selama ini. “Bi...... bibi saya dipatuk ular......” menerangkan

Nurani.

Aditia memandang kepada luka dikaki perempuan yang

duduk terhantar ditanah. Dia membungkuk dan berlutut

dihadapan perempuan itu. “Cobalah Etek luruskan kaki kanan

itu...” kata Aditia. (Etek — panggilan untuk perempuan yang

berumur sekitar tiga puluh lima tahun keatas).

Dengan menggigit bibir perempuan itu meluruskan kakinya.

“Harap maafkan...... Luka dipatuk ular sangat berbahaya

akibatnya. Izinkan saya memegang kaki Etek......”. Saripah,

begitulah nama perempuan separuh baya itu adalah bibi

Nurani, adik kandung dari ibu gadis itu. Dia hanya bisa

mengangguk memberi isyarat atas kata-kata Aditia. Mula-mula

sekali dengan kedua tangannya Aditia memijit betis perempuan

itu keras-keras. Etek Saripah merintih menahan sakit. Dari luka

bekas patukan ular keluarlah darah kental. Nurani memandang

ketempat lain, tak tahan melihat darah. Dengan ujung sebuah

sapu tangan dibersihkannya luka itu. Dari dalam sakunya

kemudian dikeluarkannya bubuk obat dan disiramkan diatas

luka. Kemudian ketika dia hendak mengikat luka tersebut

dengan sapu tangan tadi, Nurani yang telah memalingkan

kepalanya kembali depat menyela. “Tuan.... balut saja luka itu

dengan selendang ini. Jangan dipakai sapu tangan Tuan

itu........ nanti kotor”. Nurani mengulurkan selendang yang

ditangannya. (Tuan — panggilan untuk laki-laki yang lebih tua

dari yang memanggil — kakak).


Aditia memandang kepada gadis itu. Rambutnya kini tak

bertutup lagi. Panjang hitam dan indah sekali. Beberapa saat

lamnya pemuda itu menatap paras yang cantik dihadapannya.

Inikah dia yang digelari orang bunga mawar dari kayangan itu?

Ah sungguh cantik sekali. Sangguh tepat! Kata Aditia dalam

hatinya. Dan untuk baberapa lamanya mata ke dua orang itu

saling beradu pandang. Muka Nurani yang tadi pucat pasi

karena ketakutan, kini kembali berdarah, parasnya kemerah- merahan tanda bahwa darahnya mengalir cepat-cepat menuju

kemukanya.

“Tak apa-apa adik...... sapu tangan ini sudah kotor juga.

Biarlah dia dipakai untuk pembalut luka. Jangan pula

selendang yang bagus itu......” kata Aditia pada akhirnya.

Dengan cepat dia membalut luka dikaki Saripah. Sementara dia

melakukan pekerjaan itu, Nurani dan bibinya memperhatikan

muka Aditia terus manerus. “Sudah Etek...... sekarang

berdirilah......” . Aditia membantu perempuan itu berdiri.

“Dapatkah Etek berjalan atau perlu saya bantu agaknya......?”

“Tidak...... tak usah anak. Etek bisa berjalan sendiri. Biar

Nurani saja yang akan tolong memapah Etek. Terima kasih

anak, kau baik sekali. Terima kasih” kata Saripah sambil

melangkah maju. Tangan kiranya dibimbing oleh Nurani.

Sebelum meninggalkan tempat itu, si gadis melayangkan

pandangannya pada Aditia dan bertanya, “Kemanakah akan

saya antarkan kembali sapu tangan milik Tuan......?”

“Ah...... sapu tangan buruk itu. Antarkanlah kerumah Gaek

Leman. Tak usah dipulangkan juga tak apa......” jawab Aditia.

Aditia menunggu dulu sampai kedua orang itu berada jauh

dimukanya kemudian baru melangkah. Sebelum Nurani dan

bibinya berkelok mengambil jalan yang kearah rumahnya gadis

itu memutar kepalanya memandang kebelakang. Dia tersenyum

ketika pandangannya beradu dengan Aditia. Nurani cepat

memutar kepala kembali sedang Aditia berkelok ke kanan.

“Diakah orang baru yang dikabarkan datang dari seberang

itu, Rani?” tanya Etek Saripah pada gadis yang

membimbingnya.


“Agaknya memang dia orangnya, Etek. Saya baru sekali ini

bertemu dengan dia” jawab Nurani.

“Gagah sekali dia dan baik hati pula......” memuji Etek

Saripah sambil terus berjalan terjingkat-jingkat.

Dalam langkahnya kembali kerumah tempat dia menumpang

sesungguhnya Aditia lebih banyak bermenung. Maka itu tak

jarang langkahnya tertegun-tegun. Dia teringat tentang segala

macam pengalamannya masa lampau. Kemudian kembali

ingatannya pada perempuan yang dipatuk ular itu. Pada sapu

tangannya dan akhirnya pada gadis itu. Seperti yang dilihatnya

itulah paras Nurani. Gadis kebanggaan kampung Parak Jua.

Mukanja bujur telur. Hidungnya kacil mancung. Bibirnya

mungil tipis dan merah segar. Alisnya seperti semua beriring.

Kedua matanya bening bercahaya penuh keindahan dan berisi

segala macam rahasia hidupnya. Kulitnya kuning halus.

Senyumnya yang menimbulkan lesung pipit dipipinya sangat

menawan hati. Dan Aditia dapat merasakan betapa hatinya

terasa sejuk ketika dia menyaksikan senyum itu. Semua laman

itu berbagai-bagai mimpi Aditia. Semuanya indah-indah. *

* * Keesokan siangnya ketika orang-orang perempuan kembali

dari sawah dengan membawa nyiru dan penampi, ketika orang

laki-laki pulang kerumah dengan membawa pacul dan sabit,

seorang anak laki-laki yang berumur kira-kira sepuluh tahun

melangkah cepat kejurusan rumah Gaek Leman. Sejak

pertemuan kemarin dengan Nurani murid Eyang Wilis itu telah

berubah laku. Dia sudah jadi orang pemenung agaknya kini.

Ketika anak laki-laki tadi sampai dimuka pintu rumah dimana

Aditia duduk termenung. Segera dia memberikan sebuah benda

yang terlipat didalam genggamannya. “Uda...... Uni Rani suruh

menyampaikan sapu tangan ini kepada Uda. Didalamnya ada

surat......”. Aditia terkejut mendengar kata-kata anak itu. (Uda — kakak laki-laki, Uni — kakak perempuan).


au siapa......? Adiknya Nurani......?”, tanya Aditia sambil

menyambut sapu tangan yang diberikan anak itu.

“Benar, Uda” jawab anak itu.

“Namamu siapa buyung?” tanya Aditia lagi.

“Syamsul” jawab adik Nurani pula. “Saya pergi dulu,

Uda......” katanya kemudian minta diri.

“Tak ingin masuk dulu? Kau haus mungkin?”.

“Tak usalah, Uda......” dan anak itu pergi.

Beberapa lamanya Aditia termenung memandangi sapu

tangannya itu yang kini sudah disetrika dan bersih terlipat rapi.

Kemudian cepat dibukanya lipatan sapu tangan itu. Sepucuk

surat terdapat didalamnya. Dia segera berdiri dan masuk

kedalam rumah. Kebetulan Gaek Leman tak ada dirumah. Dia

duduk disebuah kursi tua dan mulai membuka lipatan surat

dengan hati berdebar-debar. Dalam menghadapi berbagai

bahaya maut pemuda itu tak pernah gemetar dan berdebar

seperti itu. Tapi kali ini hanya menghadapi sehelai kertas putih

yang bertuliskan kalimat-kalimat, hanya menghadapi sepucuk

surat mengapa tangannya bergetar dan mengapa dadanya

sampai berdebar? Aneh pikir Aditia. Tapi diam-diam dia tahu

pula bahwa hal itu tidak aneh sama sekali dan mukanya tampak

menjadi merah!

Tuan Aditiajaya,

Sekali lagi saya ucapkan terima kasih yang

setinggi-tingginya kepada Tuan atas pertolongan

Tuan kepada bibi saya kemarin. Bersama ini saya- kembalikan sapu tangan Tuan yang telah saya cuci

meskipun mungkin kurang bersih. Luka bibi cepat

benar sembuhnya. Sekarang beliau sudah dapat

berjalan seperti sedia kala seakan-akan tak pernah

kakinya itu mendapat cidera. Semoga kami dapat

membalas segala kebaikan Tuan itu kelak


Berulang-ulang Aditia membaca surat yang disampaikan

gadis itu. Surat yang tak berapa panjang itu enak benar

dibacanya. Setelah dibacanya sekali lagi dengan hati-hati

dilipatnya dan kemudian dimasukkannya kedalam saku. Dia

memandang berkeliling kemudian berdiri dari kursi tua itu.

Diambilnya sehelai kertas dan sebuah pena dan mulai menulis

sepucuk surat.

Nurani sahabatmu,

Aku tak tahu apakah engkau sudi dan senang

manerima suratku ini, tapi aku tahu bahwa

berkirim surat antara seorang pemuda terhadap

seorang gadis adalah menyalahi dan melanggar

adat negerimu. Dari itu sahabat, maafkanlah

perbuatanku ini kalau sekiranya kau anggap

lancang dan tak tahu sopan. Aku merasa bersyukur

mendapat kabar bahwa Etekmu sudah sembuh

kembali.

Nurani sababatku. Kupanggil kau dengan kata- kata sahabat karena memang itulah sesungguhnya

maksudku menulis surat ini kepadamu. Sudikah kau

menyambut diriku menjadi sahabatmu? Maukah

kau menerima sahabat seorang asing yang datang

dari jauh? Maukah kau bersahabat dengan orang

sepertiku ini. Itulah harapanku semoga kau terima

dengan tangan terbuka.

Wassalam sahabatmu,

Aditia.

Mengapa Aditia sampai menulis surat seperti itu? Apakah

yang telah mendorongnya? Mengapa dia menginginkan

persahabatan dengan gadis itu. Padahal bukankah dengan

pertemuannya diliku jalan kemarin itu sudah boleh dikatakan

sudah terjalin satu persahabatan meskipun tidak diucapkan

dengan kata-kata? Dan selama hidupnya, baru kali itulah dia

menulis sepucuk surat. Untuk seorang gadis pula! Pada waktu


menulis surat itu, apa sebabnya dia menyebut-nyebut ingin

bersahabat. Tertarikkah hatinya pada gadis itu? Terpikatkah dia

pada Nurani, bunga mawar dari kayangan itu?

Sehari rasa setahun bagi Aditia kini. Padahal sebelumnya tak

pernah dirasakannya yang seperti itu. Telah dua hari pula dia

menunggu dipintu rumah, telah panjang lehernya karena

menjenguk, telah putih matanya karena terus-terusan

memandang kearah jalan kecil dimuka rumah, namun anak

yang diharap2kannya tak juga muncul. Surat balasan dari

Nurani tak juga kunjung datang. Dan mulailah terpikir oleh

Aditia kalau gadis itu merasa dihinakan oleh kelancangannya

berkirim surat seperti itu. Tap; mengapa pula dia marah,

bukankah dia yang memulai berkirim surat kepadaku? Kata

Aditia pula dalam batinnya. Mungkin karena terpaksa berbuat

begitu, sebab Nurani telah berhutang budi karena

pertolongannya? Tiba-tiba dia sadar bahwa untuk pertama kali

itulah dia mengingat dan merenung-renung seorang gadis. Apa

perlunya? Dia jadi malu pada diri sendiri dan berusaha

menghilangkan pikiran yang bukan-bukan itu. Tapi semakin

dihilangkan semakin datang dia. Kembali seakan-akan

terdengar kata-kata Nurani yang lemah lembut itu, kembali

terbayang paras gadis itu, senyumnya yang menawan...... lesung

pipitnya...... Jadi, jadi kalau begitu bukan sebenarnya dia ingin

bersahabat dengan gadis itu seperti yang diterangkannya dalam

suratnya. Kata-kata ‘bersahabat’ sesungguhnya mengandung

maksud yang lain dan surat yang dikirimkannya itu adalah

‘pembukaannya’. Dan Aditia tahu akan hal itu. Untuk pertama

kali dalam hidupnya dia menipu orang lain dan lebih dari itu

dia telah menipu dirinya seadiri. Tapi itulah jiwa orang muda.

Yang ‘ia’ di ‘tidak’ kannya, padahal akhirnya terbukti juga

bahwa dia akan kembali juga ke ‘ia’ itu!

Malam itu tidur Aditia semakin gelisah. Sebentar dia

membalik kekiri sebentar membalik kekanan. Diantara

kegelisahannya itu timbul pula rasa penyesalannya karena telah

mengirim surat itu.

Keesokan harinya, lepas sembahyang asyar pemuda itu telah

bersiap-siap untuk pergi menemui sahabatnya yang tinggal di


tepi pasar. Baru saja dia merapatkan daun pintu, seorang anak

kecil dengan setengah berlari-lari datang dari arah mukanya.

Syamsul! Adiknya Nurani.

“Ada apa Syamsul?” tanya Aditia dengan cepat.

“Uni Rani menyuruh saya kesini. Katanya dia menunggu di

dangau ditepi sawah......” menerangkan Syamsul.

“Kalau begitu marilah kita segera kesana” kata Aditia pula.

Dia mengikuti anak itu yang berjalan dengan cepat. Semakin

dekat kedangau itu, semakin berdebar hati Aditia. Dari jauh

telah dilihatnya gadis itu duduk didalam dangau.

“Kau menyuruh saya datang, Rani......?” tanya Aditia begitu

dia sampai dimuka dangau. Gadis itu mengangguk. Keduanya

kini duduk sama-sama berhadapan. Nurani menundukkan

kepalanya dan Aditia memandang gadis itu dengan mata yang

tak percaya. Dia tak pernah menyangka akan dapat berada

dalam keadaan seperti itu. Duduk berhadap-hadapan dengan

orang yang selalu dikenangnya sebelum beberapa hari ini.

Untuk berapa lamanya tak satupun diantara mereka yang

membuka mulut. Adik laki-laki Nurani pergi ketengah sawah

mencari batang padi untuk dibuat puput.

“Sudah kau terima suratku, adik?” tanya Aditia membuka

pembicaraan. Dia bertanya itu sekalipun sudah tahu bahwa

suratnya telah sampai ketangan Nurani. Gadis itu mengangguk

kemudian coba untuk mengangkat kepalanya tapi segera

ditundukkan kembali begitu matanya membentur mata pemuda

yang duduk dihadapannya.

“Dan kau terimakah maksudku mengajak kau bersahabat..?”

tanya Aditia lagi.

“Kalau saya boleh bertanya, mengapa Tuan ingin bersahabat

dengan saya? Bukankah banyak orang lain yang lebih pantas

menjadi sahabat Tuan......?”

“Mungkin benar kata-katamu itu Rani, tapi engkaulah yang

saya inginkan jadi sahabatku,” jawab Aditia. Nurani tidak

menundukkan kepalanya lagi. Kedua orang muda itu saling

berpandangan beberapa saat lamanya. Kemudian Nurani

membuka mulutnya. “Tapi Tuan.......... mengapa justru

saya........?” Anak muda itu tak bisa memberikan jawabannya


dengan segera. Setelah melayangkan pandangannya berkeliling

baru Aditia menjawab. “Aku sendiri juga tidak tahu Rani. Aku

tidak tahu mengapa aku ingin bersahabat dengan kau......”

“Bagaimana pula Tuan ini?” tanya Nurani dengan herannya.

“Mung...... mungkin karena kau baik hati barangkali.....” kata

Aditia kemudian.

“Tapi kebaikan apakah yang pernah saya lakukan pada Tuan?

Sebaliknya saya dan Etek Saripahlah yang telah berhutang budi

kepada Tuan......” ujar Nurani pula.

“Itu bukan hutang budi namanya, Rani. Kalian tidak

berhutang apa-apa kepadaku. Itu cuma pertolongan biasa yang

sudah lazim. Kalau tiada ada aku disana saat itu, seorang lain

tentu akan memberikan pertolongan pula” kata Aditia. Ke dua

orang itu sama berdiam diri lagi.

“Pernakah kau bertemu dengan laki-laki lain seperti keadaan

kita sekarang ini, Rani?” tanya Aditia.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. Mukanya merah dan dia

tampak agak terkejut mendengar pertanyaan itu. “Mengapa

Tuan tanyakan hal itu?”

“Tak apa-apa......” jawab Aditia pula.

“Tuan......”.

“Jangan panggil aku Tuan Rani, namaku Aditia. Kau boleh

panggil nama itu potong Aditia.

“Aditia......” ujar Nurani dengan agak gemetar. “Yang

sebenarnyakah kau ingin bersahabat denganku? Tidakkah kau

akan malu dan menyesal punya sahabat seperti aku ini?”.

“Mengapa aku harus malu, mengapa harus menyesal? Aku

suka kepadamu. Habis perkara......”. Aditia sadar bahwa dia

kata-katanya telah terlompat. Mukanya menjadi merah dan jadi

tambah merah ketika Nurani memandangnya dengan mata

terbelalak. “Kau..... kau suka pdaku...... Aditia......?” desis gadis

itu antara terdengar dan tiada. Dia menatap paras pemuda itu

dengan tercengang.

Lagi-lagi kesunyian memutuskan percakapan itu. “Harap

maafkan aku, Nurani. Tak sepantasnya aku mengucapkan kata- kata itu” kata Aditia sambil memandang kemuka gadis itu. “Kau

marah......?


Untuk beberapa saat lamanya Nurani memandang pemuda

itu. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. “Tidak......”

katanya. “A...... aku juga manyukaimu, Aditia”.

“Rani, kau......!” dan kini Aditialah yang memandang dengan

tercengang kepadanya. “Benarkah...... benarkah Rani?”. Gadis

itu mengangguk. “Jadi kau terima permintaanku untuk

bersahabat?”

“Lebih dari bersahabat akan kuterima Aditia......”, jawab

Nurani. Kalau ada suara bunyi-bunyian yang datang dari surga

saat itu, tidaklah akan semerdu kata-kata gadis itu sampainya

ketelinga Aditia.


“Terima kasih adik. Terima kasih Nurani......”. Ada kira-kira

satu jam lebih kedua anak muda itu berada didalam dangau.

Dari bercakap-cakap lebih banyak mereka berdiam diri. Hanya

mata yang saling bertemu dengan mata. Lidah sama-sama

membisu tapi hati berkata dengan hati.

SEMBILAN

BEGITULAH, dari sehari kesehari hubungan kedua muda

remaja itu semakin erat juga. Surat dibalas dengan surat. Kata

dijalin dengan kata dan dipateri dengan janji. Janji untuk hidup

bersama! Janji saling setia menyetiai dari hidup sampai

mati...... sampai pula diakhirat nanti! Janji untuk membangun

satu masa depan yang bahagia, satu rumah tanggal! Dan

semuanya itu hanya terjadi dalam tempo tiga minggu. Begitulah

kalau hati sudah bertemu hati. Cintapun muncul! Dan dalam

satu jam bahkan mungkin cuma dalam satu menit terpaterilah

perjanjian bersama itu. Perjanjian yang tidak dibuat dengan

berdebat panjang, perjanjian yang tidak dibuat dimeja nan

bundar perjanjian yang tidak diketahui oleh siapapun, tidak

seperti perjanjian yang dibuat oleh pemimpin-pemimpin satu

negeri dengan negeri lain. Perjanjian mereka dibuat atas dasar

suka sama suka, setia sama setia dan cinta sama mencintai.

Kampung tidaklah sama dengan kota. Rahasia bisa lekas

diketahui orang dikampung dari pada dikota. Yang kecil jadi

besar. Dikampung berita yang sedikit jadi banyak, yang kecil

jadi besar dan yang pendek di-panjang-panjangkan. Lekas

sampainya dari mulut kemulut, lebih-lebih mulut perempuan.

Mulut perempuan kata orang! Dan ada lagi satu perbedaan

dikota dengan dikampung. Apa yang dikota dianggap orang

lumrah dikampung kebalikannya, dianggap hina dan tercela.

Dikota pergaulan serba terbuka dikampung lebih rapat dari

dinding kajang! Dikampung seperti di Parak Jua itu masih

banyak ninik mamak yang berpaham kolot yang berpijak diatas

adat! Disana tak akan dikenal orang istilah ‘pacar-pacaran’.

Disana tak akan dikenal orang percintaan antara dua orang



muda mudi dan berkirim-kiriman surat, apalagi sampai

bertemu muka satu sama lain bukan main celanya!

Dan itulah yang terjadi di Parak Jua. Itulah yang menjadi

bahan percakapan, buah mulut, tutur bicara, pergunjingan

orang didesa itu. Tersiar kabar yang mulanya pendek sejengkal

dan kemudiannya menjadi panjang sehasta, bahwa anak gadis

Datuk Majo Sati, Nurani, bunga mawar dari kayangan

kebanggaan kampung Parak Jua telah berkirim-kiriman surat

bahkan telah sering bertemu ditempat rahasia dengan anak

muda yang menumpang dirumah Gaek Leman, orang seberang

itu! (Datuk — gelar adat Minangkabau).

Dipancuran, ditepian tempat mandi, gadis-gadis sebaya

dengan Nurani, mengejek dengan berbagai tingkah laku yang

sangat menyinggung hati gadis itu. Sedang anak-anak muda

sama bermasam muka kalau melihat Aditia, terlebih lagi yang

pernah menaruh hati pada bunga mawar dari kayangan itu.

Yang benci jadi semakin benci pada Aditia sedang yang dulu

ramah dan suka menegurnya kini menjauhkan diri.

Semua tutur kata dan ejek cela orang kampung telah sampai

kerumah gadang (— besar) dimana Nurani tinggal bersama

ayah bundanya. Seisi rumah gadang geger dibuatnya. Dan telah

sampai pula kepada Mamak laki-laki Nurani, adik laki-laki dari

Ibu gadis itu yaitu Datuk Gampo Alam!

Malam itu datanglah Datuk Gampo Alam kerumah kakaknya.

Kebetuan Datuk Majo Sati sedang ada dirumah bersama

istrinya Nuriah, juga Etek Saripah. Ketiganya bersama-sama

dengan Nurani dan adiknya baru saja selesai makan malam.

Selesai mencuci piring gadis itu masuk kekamarnya dan pada

saat paman gadis itu muncul diambang pintu.

“Aku akan bicara dengan kalian!” kata Datuk Gampo Alam

sambil duduk bersila diatas tikar dihadapan ketiga orang itu.

Tanpa menunggu jawaban dari ayah atau ibu Nurani, dia segera

membuka mulut kembali.

“Apa isi rumah gadang ini selama ini sudah menjadi bisu dan

buta dengan desas desus, sindir ejekan dan segala macam fitnah

orang banyak diluaran? Apa buta tidak melihat bahwa anak

gadis kalian telah berani berhubungan dengan pemuda yang


baru datang itu secara diam-diam. Tulikah kalian sampai tak

mendengar segala ejekan yang dilontarkan orang kepada kita?

Anak bermain gila dengan pemuda lain dibiarkan saja,

didiamkan saja! Atau kalian bukan lagi orang-orang

Minangkabau yang beradat lembaga? Kalau kalian masih

mengaku orang Minang, .mengaku turunan Bundo Kandung

mengapa kalian biarkan orang lain merusak adat kita,

menginjak-injaknya, membuat kita serumah-rumah menjadi

bahan percakapan, menjadi bahan ejek dan fitnah diluaran?

Manakah perhatian dan tanggung jawab kalian terhadap anak

gadis kalian? Haruskah aku juga sebagai Mamaknya perlu

untuk turun tangan. Memang sebagai seorang Mamak aku

wajib menurut kata orang tua-orang tua kita, nenek moyang

kita yaitu anak didukung kemenakan dibimbing! Tapi sebagai

ayah bundanya apa kalian akan berlepas diri, berlagak seperti

orang buta, seperti orang bisu, seperti orang tuli, sama sekali

tidak mengambil tindakan?! Negeri kita negeri beradat! Kita

orang beradat! Jangan sampai orang lain menginjak adat kita

yang tak lapuk dek hujan dan tak lekang dek panas, yang

diwariskan oleh nenek moyang kita, oleh ninik mamak kita

semenjak ratusan tahun dahulu. Kalau adat kita sudah diinjak-

injak oleh orang lain berarti dia sudah menginjak batu kepala

kita!”. Datuk Gampo Alam berhenti sebentar. Dia menyeka

keringat yang memercik dikeningnya kemudian bertanya

kepada kakak perempuannya, Nuriah : “Mana anak itu.......?!”

“Ada didalam kamarnya......” jawab ibu Nurani.

“Saripah...... Panggil dia. Suruh kesini!”.

Perempuan itu, adik dari Nuriah dan adik pula dari Datuk

Gampo Alam segera berdiri untuk memanggil Nurani. Gadis itu

yang sejak mula sudah mendengarkan dengan diam-diam

segala kata-kata Mamaknya keluar dengan lutut gemetar. Dia

duduk disamping ibunya dan menundukkan kepala.

“Sudah berapa lama kau berhubungan dengan pemuda

luntang-lantung itu?!” Datuk Gampo Alam mulai dengan

pertanyaannya. Nurani tak segera menjawab. Dengan ujung jari

telunjuk dipermain-mainkannya sebutir rimah nasi yang

terletak diatas tikar.


“Apa anak muda itu sudah membuat telingamu tuli, sampai

tak mendengar lagi orang bertanya kepadamu?!” tukas Datuk

Gampo Alam dengan gusar karena pertanyaannya tak dijawab.

Didiamkan seperti angin lalu.

“Jawablah pertanyaan Mamakmu, Rani......” kata Datuk Majo

Sati, ayah Nurani.

“Belum lagi sampai sebulan. Mamak” jawab Nurani

kemudian. Kepalanya masih ditundukkannya.

“Belum lagi sebulan?! Dan dalam masa sesingkat itu sudah

demikian seringnya kau menemui anak muda itu. Berbalas- balasan surat! Kau tahu apa akibat dari perbuatanmu yang tak

senonoh itu......”.

“Saya tak pernah berbuat yang tak senonoh dengan pemuda

itu. Mamak” memotong Nurani.

“Jangan potong dulu bicaraku!” bantah Datuk Gampo Alam

seraya membelalakkan matanya membuat gadis itu

menundukkan kepalanya kembali. “Kau tahu apa akibat dari

perbuatanmu itu? Seluruh isi rumah gadang ini jadi mendapat

malu dan aku sebagai Mamak laki-lakimu, terlebih lagi. Tak ada

yang sepanas ini hatiku melihat kelakuanmu! Kau beri malu

ayah bundamu. Kau beri malu aku. Kau beri malu ninik mamak

kita. Kau langgar dan kau langkahi adat lembaga kita. Sungguh

kau telah mencorengkan arang kekening kami orang tua-orang

tua. Kau tahu apa kata orang diluaran? Kita sudah menjadi

bahan ejekan dan bahan fitnah di Parak Jua ini. Dikatakannya

aku sebagai Mamak laki-laki tak tahu menjaga kemenakan! Itu

semua karena ulahmu dengan pemuda asing itu!”.

“Tapi Mamak, hubungan saya dengan dia adalah jujur. Cinta

dia kepada saya adalah suci sebagaimana cinta saya

kepadanya......” kata Nurani ketika pamannya menghentikan

bicaranya.

“Ohoi...... kau masih hijau Rani, masih belum tahu apa-apa.

Karena itu tak usah kau sebut-sebut tentang cinta dihadapanku

ini! Aku sudah tua, aku Mamakmu sudah mengecap segala

garam didunia ini. Jangan sampai matamu dibutakan oleh

cinta, jangan pula sampai hatimu dimatikan oleh cinta sedang

kau sendiri masih tak tahu apa yang dinamakan cinta itu!


Jangan sampai dikicau oleh darah muda. Cinta itu bagi kami

orang tua-orang tua hanya ada sesudah hidup berumah tangga.

Cinta semasa muda ini adalah tidak ada, palsu belaka, hanya

nafsu, hanya nafsu semata-mata!”.

“Mungkin kata-kata Mamak itu ada benarnya. Tapi tidak

betul dengan kami. Kami saling mencintai dengan penuh

kejujuran. Tak ada adat yang kami langgar tidak ada pula adat

yang kami langkahi......”.

“Datuk Gampo Alam menjadi gusar karena merasa kata- katanya disanggah. Dia memandang pada kedua orang tua

kemenakannya dan berkata : Inilah akibat kalau anak

disekolahkan. Maksud kita menyekolahkannya supaya dia tahu

ditulis baca, supaya dia tidak dikatakan orang buta huruf,

supaya dia jangan sampai ketinggalan oleh zaman karena

katanya sekarang ini zaman kemajuan! Tapi bagaimana

jadinya? Sebaliknya! Kepandaian tulis bacanya

dipergunakannya untuk berkirim kiriman surat. Ketinggian

ilmunya dipakainya untuk bersilat kata melawan petuah dan

kata-kata kita ninik mamak!”.

“Saya tidak bermaksud melawan terhadap ninik mamak

disini, Mamak......” menyela Nurani. Kedua matanya mulai

merah sedang suaranya sandat.

“Tidak melawan katamu? Baik. Ringkas kata, mulai hari ini

harus kau putuskan hubunganmu dengan pemuda itu! Itu

perintahku dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Tak bisa

disanggah!”.

Kata-kata Datuk Gampo Alam itu seperti suara halilintar

datangnya ketelinga Nurani. Tanpa ditahan-tahan lagi dia

menangis tersedu-sedu. “Apa yang kau tangiskan? Hancur

hatimu mendengar keputusanku itu? Dan seperti itu pula

hancur hati kami ninik mamak dirumah ini melihat

kelakuanmu dengan pemuda itu! Bukan dia seorang pemuda

didunia ini. Banyak yang lain, yang berbangsa dan beradat.

Keturunan orang terpandang dan......”.

“Tidak Mamak...... saya tidak sudi orang lain itu. Saya

mencintai dia. Kalau Mamak putuskan hubungan saya dangan


dia samalah Mamak menyuruh mati saya. Lebih baik Mamak

bunuh saja saya. Lebih senang rasanya......”.

“Benar sudah pusung anak ini! Obat pekasih apa agaknya

yang telah diberikan oleh orang Jawa kepadamu sampai kau

tergila-gila kepadanya. Hai Nurani! Jawablah!” tanya Datuk

Gampo Alam setengah berteriak.

“Saya tidak tergila-gila padanya. Tidak pula dia memberi

obat pekasih kepada saya. Tapi kami sama-sama cinta

mencintai. Dari lubuk hati yang suci murni. Cinta kami jujur,

Mamak...... demi Tuhan seru sekalian alam......” jawab Nurani

diantara sedu sedannya.

“Sudahlah Nurani, hentikan tangismu dan seka matamu...”

kata ibu gadis itu. “Kalau terdengar suara tangismu oleh orang

diluar, banyak pula sangka orang nanti......”.

“Bolehkah saya berbicara sedikit......?”.

Semua mata ditujukan kepada Saripah, bibi Nurani yang

duduk disamping kanan gadis itu. “Apa yang hendak kau

katakan?!” tanya Datuk Gampo Alam.

“Pertama-tama hendak saya ingatkan bahwa rezeki, langkah,

maut dan jodoh itu tidak dapat ditentukan oleh kita manusia

ini. Semuanya itu kembali kepada Yang Kuasa, terletak didalam

tangannya Tuhan. Tuhan telah mempertemukan Nurani dengan

pemuda Jawa itu dan keduanya telah sama-sama terpikat,

sama-sama cinta mencintai dengan secara jujur dan suci.

Mungkin ini sudah menjadi ketentuan yang Kuasa bahwa jodoh

Nurani adalah pemuda itu. Saya masih muda sekalipun saya

seorang janda kini. Tapi saya dapat memahami hati kedua anak

muda itu. Saya bisa memaklumi bagaimana bekasnya cinta.

Cinta yang sebenarnya cinta, cinta sejati kata orang kukuh dan

suci laksana gunung karang yang tak pernah disentuh manusia.

Dicoba hendak menghancurkannya besar akibatnya, dicoba

hendak memutuskan cinta yang seperti itu, anak kita sendiri

juga yang akan menderita akibatnya. Dari itu, Datuk......

cobalah pikirkan sedikit. Soal rupa pemuda Jawa itu tak ada

yang segagah dia dikampung ini. Dan soal budi bahasa serta

keramah-tamahan jangan disebut lagi. Saya......


“Sudah, sudah, sudah!” kata Datuk Gampo Alam dengan

suara keras. “Jangan juga diteruskan cakap itu Saripah! Tak

kusangka bahwa ada musuh dalam selimut dirumah gadang ini.

Lebih tak kusangka lagi kalau orang itu adalah adik kandungku

sendiri. Bukannya kau yang hendak membela kami dan

memberi nasihat pada Nurani, tapi kau sendiri rupanya yang

hendak mencorengkan orang kemuka kami! Kau yang

seharusnya menunjuk mengajari anak-anak kita tapi sebaliknya

kau yang hendak mencelakakannya. Hendak memasukkannya

kedalam jurang kehinaan. Kau puji kegagahan rupa anak muda

itu. Ada kepentingan apa kau? Kau puji kebaikan budi orang


Jawa itu ada keunungan apa kau? Baik rupa belum tentu baik

hati. Belum tentu baik tabiat. Baik budi bisa pula dibuat-buat.

Orang lain yang kau puji-puji dan anak sendiri yang hendak kau

celakai. Sudah berubahkah ingatanmu Saripah. Oh...... kalau

kau bangkit-bangkit bahwa anak muda itu telah menolong kau

dari patukan ular, amboi! Tak ada dia masih ada orang lain

yang akan menolongmu. Cuma dia hanya kebetulan ada disana

saja saat itu. Kalian orang-orang perempuan tak tahu apa-apa,

dari itu tak usah angkat bicara!”.

“Memang kami orang perempuan tak tahu apa-apa. Dan

karena tak tahu apa-apa maka aku menjadi janda saat ini!”

tukas Saripah.

“Jangan pula kau sebut-sebut perkara nasib dirimu. Itu

sudah takdir Tuhan jatuh kepadamu. Tak bisa ditolak lagi!”.

Karena gusarnya, Saripah tak berkata-kata lagi. Dia

memandang ketempat lain. Datuk Gampo Alam memandang

kepada Nurani kembali dan berkata. “Sudah kau dengarkah

keputusanku, bahwa kau harus memutuskan semua

hubunganmu dengan orang itu?!”.

“Kalau begitu aku sendiri yang akan menemui pemuda itu.

Mengusirnya dari kampung ini. Disini dia tidak ada

berkepentingan apa-apa. Hanya mencari anak gadis orang

kerjanya!” gerutu Mamak laki-laki Nurani.

“Jangan, Mamak...... jangan diusir dia...... jangan!” tangis

kemenakannya.

“Kita tak punya kuasa untuk mengusir dia, Datuk” menyela

ayah gadis itu.

“Apa kata Datuk? Kita tak punya kuasa? Tanah ini tanah kita,

kampung ini kampung kita. Negeri ini negeri kita! Masih berani

Datuk mengatakan kita tak punya hak untuk mengusir dia?

Saya sendiri kelak yang akan menendangnya keluar dari sini!”

ujar Datuk Gampo Alam pula. Datuk Majo Sati terdiam dan tak

berkata apa-apa lagi. Sekali lagi Gampo Alam menyeka keringat

yang dikeningnya sebelum dia membuka mulut kembali.

“Aku tahu bahwa memang sudah tiba saatnya, sudah cukup

umurnya bagi Nurani untuk mencari kawan hidup. Aku juga

sudah memikirkan hal itu. Dan sebagai Mamaknya memang


akulah yang harus mencarikan, Datuk Maju tahu benar dengan

almarhum Datuk Rajo Kayo, bukan?” tanya Gampo Alam pada

iparnya, suami ibu Nurani.

“Lebih dari tahu, Datuk” jawab laki-laki itu.

“Engkau juga sudah tahu, bukan Nuriah? Nah, anak laki-laki

inilah yang tengah kupikir-pikir untuk jadi pasangan anak kita.

Anak almarhum Datuk Rajo Kayo itu lebih sempurna. Parasnya

tak kalah dengan anak Jawa itu. Warisan yang ditinggalkan

ayahnya tidak sedikit sedang dia adalah anak Datuk Rajo Kayo

satu-satunya. Kerbaunya puluhan ekor banyaknya. Sawahnya

berpiring-piring. Harta bendanya tiada sedikit. Dengan dia

barulah cocok Nurani disandingkan. Satu bulan satu matahari.

Sama-sama orang terpandang, sama-sama orang berketurunan,

orang beradat!”

“Siapa nama anak muda itu......?” tanya ayah Nurani.

“Bukhari...... itulah namanya. Tanda orang baik-baik juga

sudah ketahuan dari namanya” jawab Datuk Gampo Alam.

Datuk Majo Sati memandang kepada anaknya.

“Tidak! Tidak ayah, saya tidak mau kawin dengan laki-laki

itu. Pilihan hati saya sudah tetap dan tak akan barubah-ubah

lagi......” kata Nurani dan kembali tangisnya memenuhi rumah

gadang.

“Anak......” hampir saja keluar kutuk serapah dari mulut

Datuk Gampo Alam karena geramnya dia mendengar kata-kata

kemenakannya itu. “Nurani, sekarang kau bisa berkata tidak,

tapi kelak disatu ketika kau akan mengatakan betapa tidak

melesetnya pilihan Mamakmu ini. Bukhari orang pandai. Anak

orang kaya, anak orang beradat. Turunan baik-baik. Hidupmu

akan bahagia dengan pemuda itu Rani, percayalah. Kalau salah

dugaku nanti kau injak kepalaku ini. Jangan juga kau dipergila

oleh orang Jawa itu. Apa yang kau harapkan dari dia? Harta

tidak bangsapun tidak. Hidupnya luntang-lantung disini. Entah

siapa ibu bapaknya. Entah anak dapat. Dan orang yang seperti

itu yang kau sukai! Sudah terbalik rupanya dunia ini atau

pikiranmu yang sudah berubah......?”

“Kebahagiaan bukan datang dari harta benda yang

berlimpah-limpah, Datuk. Kesenangan hidup bukan datang dari


sawah yang berpiring-piring, bukan pula dari kerbau yang

berkandang-kandang. Tapi datangnya dari kedua belah pihak.

Datangnya dari lubuk hati yang saling kasih mengasihi. Apa

gunanya hidup bersayap uang kertas dan bertaburan intan

berlian, berenang dalam segala macam harta benda yang

mahal-mahal kalau hati tiada senang? Kalau hidup bukan

dengan orang yang dikasihi?! Apa gunanya emas intan kalau

hati berulam jantung? Kalau laki hanya kasih kepada tubuh

bukan cinta kepada hati? Kalau cinta suami bukan cinta yang

timbul dari hati sanubari yang murni tapi keluar dari nafsu

belaka?! Jangan karena mengharapkan harta benda dan orang

berbangsa, anak kita sampai kurus kering badannya, kusut

masai rupanya, tinggal kulit pembalut tulang karena selalu

makan hati. Karena hidupnya tidak berbahagia, karena bukan

dengan laki-laki yang di kasihinya. Kalau harta benda, kalau

sawah dan kerbau yang Datuk sebut-sebut, samalah saja Datuk

menjual anak kita kepada orang lain!”

“Cakapmu sudah melampaui batas Saripah. Tak pantas kau

berkata demikian. Kalau kau bukan adikku......”.

“Memang tak pantas bagi saya untuk berkata seperti iti,

Datuk. Tapi kalau bukan karena ulah perangai Datuk tak akan

saya keluarkan kata-kata itu! Datuk ingat waktu Datuk

mencarikan jodoh tempo hari bagi saya? Orang berbangsa kata

Datuk, orang kaya cakap Datuk, baik perangai dan murah hati!

Tapi apa buktinya?! Bukan dia orang berbangsa, tapi bajingan

benar, tukang kawin! Perusak rumah tangga orang lain.

Peminum! Memang dia baik hati, memang dia pemurah. Tapi

pemurah melekatkan tangan! Belanja sehari-hari tak pernah

diberikannya. Diminta oleh awak sebesar tungku matanya

membelalak! Itulah orang pilihan Datuk! Dan itu pula yang

hendak Datuk ulangi dengan diri Nurani!” kata Saripah dengan

geramnya. Kedua matanya berkaca-kaca.

“Saripah...... tak baik orang yang sudah mati kita umpat- umpat” kata kakaknya, Nuriah.

“Untung dia sudah mati! Kalau tidak saat ini saya tak lebih

dari mayat hidup, kurus kering karena kena tempelak dan

makan hati berulam jantung setiap hari. Dan ketika dia mati,


warisan peninggalan apa yang dapat saya terima sebagai

seorang istrinya? Secuil hartapun tidak, jangan pula diharapkan

sawah dan kerbau! Semuanya ditahan dan diambil mentah- mentah oleh sanak saudaranya, oleh ninik mamak laki-laki itu.

Padahal kata Datuk sebelum saya kawin, calon suami saya

adalah orang berbangsa, orang beradat, keturunan orang

terpandang, orang baik-baik! Itukah budi kelakuan orang

berbangsa? Begitukah laku keturunan orang beradat? Memakan

hak orang lain?! Saya keluarkan semua itu dihadapan Datuk

bukan maksud hendak membuka kaji lama, tapi sebagai

peringatan agar jangan sampai dua kali keluarga kita ditimpa

perbuatan seperti itu. Cukup saya sendiri yang menderitakan

sakitnya hidup, jangan pula sampai terjadi atas diri Nurani!”

Merah muka Datuk Gampo Alam mendengar kata-kata

adiknya itu. Diusapnya berkali-kali mukanya yang basah oleh

keringat dingin. Namun demikian akhirnya dia membuka mulut

juga. “Tak ada gunanya membuka halaman lama, mengaji-kaji

yang terdahulu. Sudah nasib kau yang demikian, sudah suratan

Tuhan jatuh padamu, Saripah. Tentang pilihanku kali ini yaitu

hendak mempersandingkan Nurani dengan Bukhari aku yakin

dan percaya bahwa ini aku tak akan meleset. Kalau tak bertemu

apa yang kukatakan pada kalian hari ini nanti, kalian injak

beramai-ramai kepalaku......”.

“Dan dulu ketika Datuk mencarikan saya suami, masih ingat

apa kata-kata datuk?!” sela Saripah pula. “Jangan akui lagi aku

sebagai kakak, sebagai ninik mamak... kalau meleset

tunjukku!”.

“Kataku jangan juga dikaji yang sudah lalu itu Saripah!” kata

Datuk Gampo Alam dengan gusarnya. “Sesungguhnya kita

manusia tak luput dari sifat kekhilafan!”.

“Kesalahan Datuk katakan kekhilafan!” desis Saripah.

“Sudah! Berhenti kamu berkata-kata Saripah. Kataku adalah

kataku juga. Keputusanku tak bisa disanggah. Hitam kataku

hitam! Putih harus putih! Nurani harus kita dijodohkan dengan

Bukhari. Ya, sekarang kau menangis Rani, mungkin pula kau

akan merutuk dalam hati karena keputusanku itu. Tapi lihatlah

nanti. Lihatlah nanti calon suamimu itu. Lusa dia datang dari

Bukittinggi. Dan kelak pada suatu hari kalau kau sudah

berumah tangga dan berbahagia dengan dia, kau akan memuji

Mamakmu ini dalam hati. Betapa tak meleset carianku!”.

Nurani tak sanggup lagi untuk membuka mulut. Isak

tangisnya memenuhi rumah gadang. Dan dengan dibimbing

oleh bibinya gadis itu masuk kedalam bilik dengan terhuyung- huyung.

SEPULUH

ADITIA sampai didangau ditepi sawah itu dimana Nurani

telah lama duduk menunggu. “Saya datang Rani...... sudah lama

benar aku tak melihatmu”, kata Aditia padahal baru dua hari

mereka tak bertemu. Tiba-tiba gadis itu mulai terisak-isak dan

kemudian menangis dengan tersedu-sedu.

“Rani...... mengapa kau menangis?” tanya Aditia dengan

heran. Nurani tak menjawab. Suara tangisnya semakin keras.

Aditia memegang dagu gadis itu dan mengangkat kepalanya.

Mata yang basah dengan air mata itu dipandangnya tenang-

tenang dan dia bertanya lagi. “Mengapa kau menangis Rani......

mengapa...... jawablah adik...... jawablah!”.

“Kekasihku, Tuan......” kata Nurani. Dan gadis itu diantara

sedu sedannya menceritakan segala apa yang telah di alaminya

dirumah gadang. Segala apa yang dikatakan oleh Datuk Gampo

Alam, Pamannya itu!

Lama Murid Eyang Wilis termenung memikirkan semua apa

yang dikatakan gadis itu. Kemudian Aditia mengeluarkan

sehelai sapu tangan putih dan menyeka mata Nurani.

“Hentikanlah tangis itu Rani, sudahlah. Agaknya inilah cobaan

bagi kita. Inilah ujian bagi suci murni dan sejatinya cinta kita

masing-masing. Tak ada yang harus kita lakukan selain berdoa

kepada Tuhan agar kita jangan dipisahkannya, agar kita

diselamatkannya, agar dikekal dan diabadikannya kasih sayang

kita mulai dari dunia ini sampai keakhirat, untuk selama-

lamanya.


“Ya. Aditia. Inilah ujian bagi cinta kita masing-masing. Tapi

percayalah Tuan, percayalah kekasihku bahwa kasih sayangku

kepadamu tidak akan pernah berubah, tidak akan pernah

berkurang barang sedikitpun, malahan dari sehari kesehari

semakin besar, semakin kukuh teguh. Jiwaku telah diisi

sepenuh-penuhnya oleh cintaku kepadamu. Hanya kaulah satu- satunya yang akan menjadi pelindungku, menjadi ayah dari

anak-anakku, hanya kau seorang Aditia yang kucintai. Aku tak

akan mengkhianati janji kita, aku tak akan berlaku khianat

terhadapmu, kekasih, karena engkaulah cahaya hidupku, aku

memerlukanmu, aku memerlukan kasih sayangmu. Ketahuilah

Aditia, aku lebih baik mati dari pada dipaksa kawin dengan

Bukhari pemuda pilihan Mamakku itu. Cintaku hanya

untukmu, diriku dan jiwa ragaku hanya untuk kau seorang

Aditia!”

Pemuda itu menggenggam erat-erat kedua tangan

kekasihnya. “Lapang dadaku dan betapa bahagia hatiku

mendengar kata-katamu itu adik. Sungguh besar benar rakhmat

yang diberikan Tuhan kepadaku. Dan kaulah rakhmat itu

Nurani. Aku juga mencintaimu sebagaimana kau mencintaiku.

Aku juga membutuhkan kau Rani. Aku tahu betapa putih

bersihnya hatimu. Betapa jujurnya kasih sayangmu, betapa

setianya kau kepadaku. Biarlah Mamakmu mencaci maki aku,

mengatakan aku anak dapat, biarlah semuanya itu. Mereka tak

tahu apa-apa tentang cinta. Mereka tidak tahu apa-apa tentang

kasih sayang yang dilimpahkan Tuhan pada kita, yang sama kita

simpan didalam hati masing-masing......” Lama kedua muda

remaja itu saling berdiam diri. Akhirnya Nurani berkata juga.

“Aditia, sudah terlampau lama agaknya saya berada disini.

Takut saya akan ketahuan oleh orang lain. Sebaiknya biarlah

saya kembali pulang. Nanti kita bertemu lagi......”.

“Benar, Rani. Pulanglah cepat dik, Nanti tahu ayah dan

ibumu, tahu Mamakmu. Pulanglah dan hati-hati meniti

pematang yang licin itu......”. Nurani menatap wajah kekasihnya

beberapa lamanya, kemudian dengan perlahan-lahan ditariknya

kedua tangannya yang digenggam Aditia.


* Hari itu Nurani bersama bibinya pergi kepasar. Dia

berharap-harap akan dapat bertemu dengan Aditia. Tapi

harapannya itu tidak terkabul. Sebaliknya dengan orang lainlah

dia berjumpa, dengan pemuda yang disebut-sebut Mamaknya,

Datuk Gampo Alam. Waktu itu keduanya tengah mencari bendi

untuk pulang ke Parak Jua karena banyak juga barang

belanjaan yang dibawa. Dalam sedang mencari-cari itu lalulah

sebuah bendi berisi dua orang penumpang. Satu perempuan

muda dan satu laki-laki, juga masih muda. Mula-mula Nurani

dan bibinya tak mengambil peduli dengan bendi yang sudah

berpenumpang itu. Tapi mendadak secara tak terduga gadis

remaja yang duduk didalam bendi itu memanggil Nurani. “Nur...... Nurani......!” Nurani menoleh kearah kendaraan yang

mulai berjalan dengan perlahan itu dan akhirnya berhenti

dimuka kedai seorang Tionghoa. Perempuan yang memanggil

Nurani tadi segera turun dari bendi dan setengah berlari

mendapatkannya. Dalam jarak kurang dari sepuluh langkah

barulah Nurani mengenali siapa adanya gadis itu.

“Aidar! Astaga...... kau rupanya. Kalau tak kau panggil tak

akan tahu aku. Maklumlah sudah lebih dari lima tahun kau

meninggalkan kampung, dan kembali sudah jauh berbeda

rupamu. Semakin cantik dan gayamu...... hemm......”. Etek

Saripah juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Karena dia

sendiri juga sudah lupa pada anak gadis yang dulu seriag

didukung-dukungnya itu.

“Bila kau kembali dari Bukittinggi......?” tanya Nurani.

“Hari ini......”.

“Jadi kau baru sampai benar saat ini?”. Aidar mangangguk.

Lalu gadis itu yang umurnya dua tahun lebih muda dari Nurani

bertanya. “Kalian hendak pulang ke Parak Jua?”.

“Ya, kami tengah mencari-cari bendi” jawab Etek Saripah.

“Kalau begitu sama-sama sajalah kita. Marilah!” Aidar

menarik tangan kawannya. Saripah memandang kebendi yang

diseberang jalan. Dia hendak mengatakan sesuatu pada Nurani,


tapi gads itu telah diseret Aidar. Mau tak mau dia mengambil

juga jinjingannya dan mengikuti kedua gadis itu. Pemuda yang

duduk didalam bendi mamperhatikan Nurani dengan

pandangan mata yang tidak berkesip. Nurani merasakan satu

perasaan yang ganjil ketika matanya menatap mata si pemuda.

Untuk menghilangkan kekakuannya dia pura-pura menoleh

kebelakang, melihat bibinya.

“Aku hampir lupa!” kata Aidar pula sambil meletakkan

keranjang sayur yang ditangan Nurani kedalam bendi. “Kalian

tentu belum saling mengenal. Rani, inilah kakakku Bukhari

yang baru saja kembali dari Bukittinggi. Sejak umur sepuluh

tahun dia tinggal bersama adik ayahnya!”.

Nurani mengerenyitkan alisnya. Lututnya terasa gemetar.

Matanya memandang besar-besar menatap paras pemuda itu

sedang mulutnya menganga. “Jadi inilah dia orangnya yang

bernama Bukhari itu......?!” kata Nurani dalam hatinya. Mau

rasanya gadis itu berlari meninggalkan tempat itu. Tubuhnya

serasa bayang-bayang. Dan dalam keadaan sadar dan tiada

Aidar telah menariknya naik kedalam bendi. “Ayo, pindahlah

kemuka sana. Biar Etek Saripah duduk disini!” kata Aidar

kepada kakaknya yang masih saja memandang Nurani seperti

cara tadi. Kemudian dia tersenyum pada gadis itu sambil

mengangguk sedikit, lalu kepada bibi Saripah dan kemudian

sambil memutar pandangannya kepada Nurani kembali dia

menggeser tempat duduk kesamping kusir bendi disebelah

muka.

Sepanjang jalan ramai benar percakapan kedua orang

sahabat lama ltu. Bukhari turut pula sekali-kali berbicara.

Pemuda ini karena banyak bergaul dikota pandai sekali bicara

dan memikat hati. Dan cakapnya itu sekali-kali diselingnya

dengan lawakan sehingga adiknya tertawa gelak-gelak sedang

Nurani tersenyum tersipu-sipu. Dalam berkata-kata itu tak pula

lepas matanya dari memandang kepada Nurani. Etek Saripah

sebenarnja sudah kesal melihat sikap pemuda itu. Dan semakin

gusar lagi dia karena lawakan Bukhari sampai pula membuat

Nurani tertawa, padahal pemuda itulah yang dikatakan

pamannya untuk dipersandingkan dengan di


Bukhari orangnya memang gagah. Rambutnya hitam

berombak. Parasnya tampan dan kulitnya kuning. Suaranya dan

caranya berkata-kata cepat menarik perhatian. Sehingga kalau

pada permulaan bertemu tadi Nurani merasa sangat benci dan

asing pada laki-laki itu, maka rasa benci tadi sedikit demi

sedikit mulai hilang. Kedua kakak beradik itu memakai pakaian

yang bagus dan mahal, maklumlah anak orang kaya.!

Dimuka rumah Nurani, bendi itu berhenti. Nurani dan

bibinya turun. “Kami tak usah singgah sekarang ini. Besok- besok sajalah...... sampaikan salam pada ayah dan ibumu..........”

kata Aidar sebelum Etek Saripah mendahului menawarkan

untuk singgah.

“Itulah pemuda yang dikatakan Mamakmu. Memang gagah

bukan? Anak orang kaya” kata Saripah sambil berjalan

ketangga rumah gadang. Muka Nurani menjadi merah. Dia

maklum apa maksud tujuan kata-kata perempuan itu. Dan dia

ingat betapa gembiranya dia tadi diatas bendi. Gembira

dihadapan orang yang dimuka Mamaknya kemarin malam di

bencinya!

SEBELAS

PERTEMUAN antara Aditia dengan Nurani didangau ditepi

sawah yang terakhir sebelum kedatangan Bukhari kekampung

itu telah bocor pula diketahui orang dan telah sampai pula

ketelinga Datuk Gampo Alam. Bukan main panas hati paman

gadis itu. Merah telinganya mendengar kabar itu. Siang itu juga

dia pergi kerumah kemenakannya dan selama satu jam lebih

habislah Nurani ditempelaknya dengan berbagai macam kata- kata yang membuat gadis itu kembali menangis.

Sebelum meninggalkan rumah gadang, dimuka pintu

menyemprot kata-katanya yang terakhir dari Datuk Gampo

Alam. “Dasar anak tak tahu diri. Dicarikan yang baik ingin yang

buruk. Ditunjukkan yang lurus ingin yang berkelok juga. Masih

juga ditemuinya orang Jawa anak dapat itu, padahal calon


orang yang hendak disandingkan denganmu sudah sampai

dikampung ini!”.

Dari rumah ayah Nurani. Datuk Gampo Alam menuju ke

rumah Gaek Leman. Jalannya cepat setengah berlari kerena

marahnya yang meluap-luap. Diketuknya pintu rumah dengan

keras. Gaek Leman yang membukakan pintu. “Ada anak muda

itu didalam?!” tanya Datuk Gampo Alam setengah membentak.

“Heh...... agak lain angin yang sekali ini......” pikir Gaek

Leman pula dalam hatinya melihat air muka dan cara bertanya

tamunya.

“Ada apa gerangan agaknya Datuk......?” tanya Gaek Leman.

“Tak usah bertanya, orang tua. Panggil pemuda itu dan

katakan bahwa aku, Mamak laki-laki Nurani ingin bicara

dengan dia!” kata Gampo Alam pula.

“Tapi, masuklah Datuk dahulu” kate Gaek Leman

menyilahkan tamunya yang beringas itu. Gampo Alam masuk

dan duduk disebuah kursi sementara Gaek Leman pergi

mamanggil Aditia. Saat itu Aditia baru saja mengucapkan

Assalammualaikum dari sembahyang zuhurnya.

“Ada orang mencarimu, anak. Mamak laki-laki Nurani,

Datuk Gampo Alam......” kata Gaek Leman. Seperti disengat

kalajengking, Aditia memandang kepintu dimana Gaek Leman

berdiri. “Aku tidak main-main, Aditia. Dia menunggumu

diruang tengah!”. Dengan cepat Aditia menukar sarungnya. Tak

lama kemudian dia keluar dari kamar itu menemui tamunya.

Baru saja pemuda itu mencapai ruang tengah terdengarlah

suara Gampo Alam. “Kau orangnya yang selama ini

mengadakan hubungan dengan kemenakanku, Nurani!?”.

Aditia menatap paras laki-laki yang duduk dihadapannya itu

beberapa lamanya, kemudian menganggukkan kepala.

“Aku Datuk Gampo Alam, Mamak laki-laki dari gadis

itu......”.

“Ada gerangan apa Datuk menemui saya?”.

“Aku ingin bicara padamu! Dengar! Mulai detik ini, mulai

hari ini harus kau putuskan hubunganmu dengan Nurani!

Harus kau putuskan......!”. Karena terkejutnya, pemuda itu tak

bisa berkata apa-apa. Dia memandang dengan mulut ternganga


pada Datuk Gampo Alam, sementara laki-laki itu membuka

mulutnya kembali. “Sebagai orang luar, orang asing yang tak

kami tahu asal usulnya, kau harus tahu diri sedikit, harus tahu

budi bahasa sedikit! Disini bukan berarti kau berada

dikampung halaman nenek moyangmu! Hubunganmu dengan

kemenakanku sungguh melanggar adab kesopanan! Kau tahu

siapa kami? Kau tahu siapa isi rumah gadang itu?! Kami orang

berketurunan baik-baik, orang bersuku dan berbangsa. Orang

beradat! Dan karena perbuatanmu itulah nama keluarga kami

menjadi bahan ejek pergunjingan orang sekampung. Difitnah

dimana-mana. Dikatakan aku tak pandai menjaga kemenakan, diperlepas saja! Kau telah merusak adat lembaga kami, kau

telah melangkahi kepala kami, ninik mamak dari Nurani. Dari

itu sebelum terlanjur aku peringatkan kepadamu, putuskan

hubunganmu dengan Nurani dan pergi dari kampung Parak Jua

ini! Mengerti?!”

“Apakah kiranya yang telah kami perbuat sampai sedemikian

benar marah Datuk? Kalau didengar kata orang sekampung,

yang pendek jadi panjang, yang kecil jadi besar. Padahal

hubungan saya dengan kemenakan Datuk adalah jujur dan suci.

Tak parnah saya berbuat yang tak senonoh terhadap diri

Nurani, demi Tuhan saya berani bersumpah!”.

“Mungkin, mungkin memang tak ada kau berbuat seperti itu.

Tapi apa yang telah terjadi dengan Nurani? Semenjak kau

datang kekampung ini, gadis itu telah menjadi seorang pusung,

gila kepada laki-laki seperti tampangmu ini. Entah apa yang

sudah termakan oleh dia!”.

“Datuk, jangan sampai berkata yang seperti itu hendaknya.

Jangan menuduh yang bukan-bukan. Nurani cinta kepada saya

bukan karena saya obati! Bukan pula karena saya beri ‘makan’,

tapi adalah karena cinta yang timbul dari hati nuraninya

sendiri. Atas rahmat Tuhan!” kata Aditia karena panas hatinya

dituduh mengobati anak gadis orang. Dituduh memberi ‘makan’

Nurani!

“Persetan dengan cinta gila kalian! Negeri kami tak ada

mengenal cinta seperti itu yang hanya palsu belaka! Nafsu

semata! Ringkas kata, sekali lagi kukatakan padamu, putuskan

hubunganmu dengan Nurani karena dia sudah berpunya dan

keluar kau dari kampung ini!”.

Aditia terkejut sangat mendengar kata-kata bahwa Nurani

sudah berpunya!. Tapi hatinya panas pula mendengar kata-kata

yang terakhir dari Datuk Gampo Alam itu. Dengan segera

disambutnya. “Hak dan kekuasaan apakah yang Datuk pakai

untuk mengusir saya dari sini?!”.

“Hak dan kekuasaan apa? Negeri ini negeri kami, kampung

ini kampung kami. Tidakkah kami berhak dan berkuasa disini?

Kau orang luar dan kalau kami tak senang kami akan tendang

kau dari sini!”.


“Percuma gelar Datuk melekat didirimu kalau pikiranmu

sepicik dan serendah itu!” Aditia tak memandang hormat lagi

terhadap laki-laki itu. “Datuk sangka, kalau Datuk tinggal

dinegeri ini. berumah dikampung ini, Datuk bisa saja berbuat

sekehendak hati Datuk? Tuhan menjadikan bumi ini bukan

untuk satu orang. Tuhan menjadikan pulau Andalas bukan

untuk satu orang. Tuhan menjadikan negeri ini bukan untuk

satu orang. Dan Tuhan menjadikan kampung ini bukan pula

untuk satu orang. Bukan untuk Datuk! Bukan pula untuk

keluarga dan keturunan Datuk seorang! Tapi adalah bagi semua

orang yang ingin tinggal disini, yang ingin berumah disini.

Jangan Datuk kira karena Datuk sudah bernenek dan

berkemenakan dinegeri ini, maka negeri ini punya Datuk,

kampung ini dibawah telapak kaki Datuk. Tidak! Jauh

panggang dari api! Datuk suruh kami memutuskan hubungan

kami. Tidak pernahkah Datuk hidup dialam muda remaja

agaknya? Tidak percayakah agaknya Datuk pada kekudusan

cinta yang dilimpahkan Allah kepada dua orang remaja yang

sama-sama terpikat. Dan tali cinta yang diberikan Tuhan itu

hendak Datuk putuskan! Samalah Datuk membunuh

kemenakan Datuk sendiri. Kalau saya tidak cinta kepadanya

dengan sebenarnya cinta, dengan sebenar-benarnya cinta,

dengan sejujurnya dan sesuci-sucinya masakan mau Nurani

menerima saya. Sebaliknya kalau bukan pula karena cintanya

yang suci dan jujur kepada saya, masakan pula akan mau saya

kepadanya? Ingatlah Datuk, membakar rumah itu mudah,

membangunnya yang susah. Merusak hati perempuan itu

sangat mudah, menyembunyikannya memerlukan waktu

berbilang tahun. Sangat sukar. Bahkan sampai mati mungkin

tak akan berhasil. Jangan kecewakan kemenakan Datuk. Kami

saling kasih mengasihi. Tidak ada permainan nafsu barang

secuilpun didalam cinta kami. Percayalah!”.

“Walaupun panjang mulutmu berbicara. Walaupun serak

tenggorokanmu berkata-kata namun semuanya itu tak ada

gunanya! Aku lebih tahu dari kau. Tak usah dinasihat diajari!

Kau masih hijau. Walau bagaimanapun kau tak akan bisa

memiliki Nurani. Walau bagaimanapun bukan orang

semacammu ini yang akan menjadi pasangan kemenakanku.

Kami orang berbangsa. Negeri kami negeri beradat. Kami orang

beradat. Sadang kau siapa? Siapa ibu bapakmu? Siapa

keturunanmu?! Apa kerjamu? Tahu dirilah sedikit, anak muda!

Tidak malukah kau pada diri sendiri? Awak orang yang tak tahu

kami asal usulnya, entah anak sah entah anak gampang,

menginginkan pula anak orang berbangsa berketurunan.

Hendak pula pada anak orang beradat! Dinegerimu mungkin

kau bisa berbuat seperti itu karena memang negerimu itu negeri

tak beradat!”.

Mendidih amarah Aditia mendengar dia dikatakan anak yang

tak tahu asal usul, tak tahu siapa ibu bapaknya, anak gampang,

anak dapat dan segala macam kata-kata yang keluar dari mulut

Datuk Gampo Alam! Dengan menyeringai menahan geramnya

menjawab : “Jadi adat negeri Datuk yang hendak Datuk sebut- sebut? Hendak Datuk bangga-banggakan? Memang ada juga

saya mendengar ketinggian dan kehebatan adat negeri Datuk

ini! Seorang pemuda yang berhubungan dengan seorang gadis

dengan maksud baik, saling kasih mengasihi penuh jujur dan

kesucian untuk membentuk satu rumah tangga, dianggap hina

dan difitnah, dikatakan melanggar adat, dikatakan menginjak

kepada ninik mamak! Sebaliknya seorang laki-laki yang sudah

berumur, yang bergelar Datuk, keturunan orang terpandang,

anak orang berbangsa, orang beradat tak dianggap hina kawin

cerai sesuka hatinya. Beranak dikampung ini, beranak

dikampung lain. Mengoak anak yang baru lahir dikampung

sana, dia tengah melangsungkan akad nikahnya dikampung

lain. Dan itu dianggap tinggi, dianggap patut, dianggap adat,

dianggap sudah kewajiban! Sungguh hebat dan tinggi adat

negeri Datuk. Tapi sayang adat yang semacam itu tidak laku

dinegeri saya, tidak dipakai orang dinegeri lain!”

Menggigil tubuh Datuk Gampo Alam karena mendidih

darahnya mendengar kata-kata Aditia itu. Dengan serta merta

dia berdiri dari kursinya. Dia melangkah maju mendekati

Aditia. Tangan kanannya hendak bergerak menampar muka

pemuda itu, Aditia tersenyum sinis. “Kalau maksud Datuk

datang kesini hanya untuk bicara, cukup mulut Datuk saja yang

bicara, jangan pula tempelak tangan diikut sertakan. Tapi kalau

niat Datuk ingin pula tangan ikut bicara, maka teruskanlah!”.

Kedua laki-laki itu saling tentang menentang mata beberapa

lamanya. Akhirnya sambil mundur selangkah kebelakang

berkatalah Datuk Gampo Alam. “Kukatakan sekali lagi padamu

putuskan hubunganmu dengan Nurani dan berangkat

selekasnya dari sini. Kalau kau coba untuk bersitegang urat

leher dan membangkang, maka hanya namamu yang akan

pulang kekampungmu nanti!”. Laki-laki itu memutar tubuhnya

kemudian keluar dari rumah itu setelah melirik kearah Gaek

Leman yang berdiri dengan menggigil disudut ruangan. *

* * Malam itu tak sekejappun Aditia memicingkan matanya.

Sore tadi dicobanya untuk, menemui Nurani, tapi tak berhasil.

Masih terngiang segala kata-kata Datuk Gampo Alam

ditelinganya. Pikirannya kacau balau. Haruskah dia surut dalam

hal ini? Tapi dipikirnya pula...... surut? Dia akan surut? Tidak!

Pantang baginya mundur. Lagi pula apa yang harus

disurutkannya. Bukankah Nurani sendiri yang mencintainya

sebagaimana dia mencintai gadis itu? Mereka telah sama

membuat janji untuk hidup bersama. Mereka sama berbulat

kata tak akan berpisah sekalipun apa yang akan terjadi. Janji

itulah yang harus dipegang teguh oleh kedua belah pihak,

terutama oleh dia sendiri sebagai pihak laki-laki!

Hari berlalu juga. Telah dua kali Aidar datang kerumah

Nurani. Dan telah sering pula Nurani diajak oleh berkunjung

kerumah kawannya itu. Dengan sendirinya dia acap kali pula

bertemu dengan Bukhari. Pertemuan yang terlalu sering, yang

penuh dengan kata-kata manis seperti madu, diselingi oleh

tawa berderai penuh kegembiraan membuat rasa benci Nurani

kini sudah lenyap tak berbekas sama sekali terhadap pemuda

itu. Bahkan rasa asingnyapun sudah tak ada lagi. Dirumah

Bukhari dia dilayani dengan tutur kata yang manis bak madu

dan dirumahnya sendiri Mamaknya hampir setiap malam selalu


menempelaknya dengan kata-kata yang keras, mencaci maki

dan memburuk-burukkan Aditia sehingga dari hari kesehari

hati yang dulunya lekat pada Aditia itu kini mulai berubah

sedikit demi sedikit, sekalipun dalam tempo kurang dari satu

minggu saja! Nurani mulai memperbandingkan antara Bukhari

dan Aditia. Sesungguhnya memang banyak kelebihan Bukhari

dari pada Aditia, menyadari gadis itu. Dan cinta, bila sudah tiba

pada banding membanding, ibarat umurnya tak akan lama lagi.

DUA BELAS

HAMPIR memasuki dua minggu kini dan Aditia belum juga

berhasil menemui Nurani. Seribu satu macam pertanyaan

timbul didalam hatinya. Apakah yang terjadi? Sakitkah gadis itu

atau...... ah tak mungkin! Tak mungkin akan berputar hati gadis

itu. Tak mungkin dia akan mengkhianati janjinya.

Pada suatu hari setelah sekian lamanya mencari maka

bertemulah kedua anak muda disatu persimpangan jalan yang

sunyi. Keduanya sama-sama terkejut.

“Rani...... kemana saja kau selama ini tak pernah kelihatan.

Telah lama aku mengharapkan pertemuan ini” kata Aditia

sambil membelai-belai rambut Syamsul adik Nurani.

“Sesungguhnya sayapun bermaksud hendak menemui kau,

Aditia......” kata Nurani pula. Pemuda itu memandang kepada

gadis disampingnya. Agak lain nada suara Nurani kali itu.

Mungkin karena sudah lama tak bertemu, karena telah lama tak

mendengar kata-katanya...... pikir Aditia.

“Ada yang hendak kubicarakan, Aditia. Tapi sebaiknya

marilah kita ketepi kampung. Jangan disini nanti kelihatan oleh

orang......”.

“Baiklah Rani. Aku juga banyak yang ingin kubicarakan

kepadamu. Beberapa hari yang lalu Mamak laki-lakimu datang

ketempat aku menumpang tinggal. Habis aku ditempelaknya

dengan berbagai kata-kata. Dan antara kami hampir terjadi

perkelahian yang tak diingini........” kata Aditia. Nurani hanya


menundukkan kepala. Dingin saja tampaknya sambutan gadis

itu. Aneh...... pikir Aditia. Ada apakah?

“Rani, hari ini lain benar lakumu. Ada apakah adik? Ada

sesuatu kesalahanku barangkali? Atau mungkin pernah ada

kata-kataku yang terlompat keluar yang menyinggung hati dan

perasaanmu......?”. Nurani menggelengkan kepalanya. Ketiga

orang itu sampai ketepi kampung. Syamsul seperti orang yang

sudah maklum segera menjauhkan diri. Aditia segera membuka

mulut menceritakan apa yang telah terjadi antara dia dengan

Datuk Gampo Alam.

“Saya juga sudah mendengar hal itu dari Mamak sendiri,

Aditia. Sebelumnya dia datang kerumah kami, lalu kerumahmu

dan kembali lagi kerumahku......”.

“Oh...... jadi kau sudah tahu? Syukurlah kalau begitu......”.

Nurani menatap muka Aditia beberapa lamanya. “Lain benar

pandanganmu sekali ini, Rani......” kata Aditia pada gadis itu

dan perasaannya mulai tidak enak.

“Aditia masih tetapkah cintamu kepadaku seperti saat yang

lalu?”

“Aneh! Mengapa kau tanyakan hal itu Rani? Kurasa kau lebih

dari tahu bagaimana jujur dan besarnya kasih sayang aku

kepadamu!” jawab Aditia pula.

“Terima kasih, terima kasih Aditia......” kata Nurani. Gadis itu

terdiam seketika. Dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk

selanjutnya. Akhirnya dia berkata juga. “Aditia...... kalau kau

benar-benar mengasihiku dengan sejujurnya, maukah kau

mengabulkan permintaanku?”.

“Mengabulkan permintaanmu...?” tanya Aditia semakin

heran karena kata-kata gadis itu.

“Sudikah kau mengabulkannya? Cuma satu permintaan saja

Aditia......”.

“Katakanlah, aku ingin tahu!”.

“Aditia, mungkin kita belum lagi berjodoh...... dari itu

marilah kita habiskan saja hubungan kita selama ini dan

marilah kita tetap bersahabat saja......”. Kalau ada guntur yang

menggelegar dianak telinganya dan kalau ada kilat yang


menyambar diujung hidungnya, mungkin tak akan seperti

mendengar kata-kata Nurani itulah terkejutnya Aditia.

“Nurani...... akukah yang bermimpi mendengar kata-kata itu

atau kaukah yang berasian?!” tanya Aditia.

“Tidak kau bermimpi Aditia dan tidak pula aku yang

berasian. Aditia, banyak benar halangan yang merintangi

hubungan kita sehingga sukar dan tak mungkinlah kita

melaksanakan cita-cita yang kita pateri bersama selama ini.

Mamakku tak setuju dengan hubungan kita ini, ibu dan ayahku

juga tidak, bahkan orang sekampung juga tidak. Susah bagi kita

untuk melepaskan diri dari mereka itu, sukar bagi kita untuk

melepaskan diri dari adat lembaga negeri ini. Kita tidak sama

orang sesuku. Aku orang Minang dan kau orang seberang.

Tidak diadatkan bagi orang disini mengambil menantu orang

jauh. Ada juga terpikir dihatiku bahwa semuanya itu adalah soal

remeh belaka tapi setelah kutinjau dalam-dalam ternyata yang

kuanggap remeh itu sangat berat dan besar persoalannya. Aku

harus melawan kedua orang tuaku, menentang kata Mamakku.

Aditia...... tak sanggup aku menghadapi itu. Tak sanggup aku

mendurhakai orang tua dan ninik mamak. Berat hatiku

mengatakan hal ini kepadamu, Tuan. Tapi sebelum terlanjur

baiklah kita sama surut kebelakang. Kabulkanlah permintaanku

ini Aditia, kabulkanlah!”

Lama pemuda itu berdiam termenung ditepi jalan kecil

setelah mendengar kata-kata Nurani. “Bagaimana kau bisa

berkata seperti itu Rani......?” tanya Aditia.

“Kalau selama ini aku tidak tahu dan tidak memahami Aditia,

maka setelah kubawa bertenang diri maka sadarlah aku bahwa

tak mungkin bagi kita untuk hidup berumah tangga dengan

segala macam perbedaan yang besar diantara hidup kita......”.

“Oh jadi perbedaan itukah sebabnya, Rani? Selama ini tak

pernah kau sebut-sebut hal itu. Mengapa sekarang kau buka

kaji itu? Kalau perbedaan yang kau katakan, Rani, memang

benar seperti langit dan bumi perbedaan kita. Kau orang

terpandang, aku orang terbuang, kau beribu dan berbapak, aku

anak gampang anak dapat. Kau turunan orang berbangsa, aku


bukan. Kau turanan orang beradat, aku tidak. Dan banyak lagi

perbedaan yang tidak bisa aku sebutkan......”.


“Maksudku bukan perbedaan seperti yang kau katakan itu,

Tuan. Tapi adalah perbedaan yang lain. Cara hidupmu sebagai

orang asing, orang Jawa adalah berbeda dengan kami orang

disini. Kau tak mungkin hidup ditengah-tengah alam kami dan

aku juga tak bisa hidup diantara alam Jawa......”.

“Mengapa tidak” potong Aditia. “Dan anggaplah tidak

mungkin, maka kita tak akan tinggal dikedua alam itu. Tidak

ditanah Minang ini, tidak pula di Jawa. Kita akan cari negeri

lain. Kita bangun satu rumah dan kita hidup disana bersama- sama!”.

“Tidak, Aditia. Itu hanya kata-kata, tak bisa dilaksanakan.

Ada satu lagi yang hendak kukatakan padamu, Tuan. Manusia

berumah tangga itu tak bisa hidup dengan memakan ‘cinta’.

Rumah tangga tak akan bisa bahagia kalau hanya kasih sayang

yang diharapkan. Orang hidup butuh pakaian, butuh makanan,

butuh uang. Orang hidup harus bermata pencaharian......”

“Dan aku tidak bermata pencaharian! Bukankah kesitu

maksud kata-katamu, Rani. Aku orang miskin, karena itu kau

ingin pergi dariku. Aku orang terbuang karena itu kau

kehendaki kita memutuskan hubungan. Sungguh jauh berbeda

sekali Nurani dua minggu yang lalu dengan Nurani hari ini?

Gerangan apakah yang menyebabkannya?! Ingatkah waktu kau

menyatakan dihadapan didangau tempo hari? Kau berkata

bahwa kau tak akan mengkhianati aku, tak akan mangkhianati

janji yang telah kita buat. Kau baik mati dari pada berpisah

dariku, tapi saat ini kau sendiri yang meminta berpisah dariku!

Kau katakan cintamu hanya untukku, dirimu hanya untuk aku

seorang. Lupakah kau semuanya itu, atau memang tak pernah

kau mengeluarkan kata-kata itu......?”.

Kedua mata gadis itu tampak berkaca-kaca. “Tidak, Aditia.....

aku tidak pernah melupakan kata-kata dan pengakuan itu. Tapi

waktu itu, waktu aku mengucapkan kata-kata itu kita sama

diselimuti arus darah muda yang melupakan segala pikir

panjang dan pertimbangan yang dalam......”.

“Nurani, katakanlah terus terang, apa sesungguhnya yang

membuat kau ingin memutuskan hubungan kita. Katakanlah.....

atau mungkin ada seorang lain yang lebih tampan dariku, orang

berbangsa dan beradat, kaya raya...... Bukhari agaknya......?!”

Nurani menundukkan kepalanya. Air matanya membasahi

pipinya. Aditia memandang jauh kemuka. Disana berdiri

dengan penuh kemegahan gunung Merapi dan ditempat itu

berdiri dia dengan hati yang hancur luluh. Dia teringat pada

gurunya. Di teringat pada dirinya yang tak tentu ibu dan bapak.

Perasaannya telah mengatakan bahwa kasih sayang yang dulu

pernah diberikan gadis itu kepadanya kini sudah diberikan


pada orang lain. Sudah menjadi milik orang lain. Dan dia telah

dapat menduga siapa orangnya itu. Sudah disebutkannya

namanya sebelumnya dihadapan Nurani sendiri! Tadi!

Benarkah ada cinta yang dapat ditukar dengan kekayaan,

harta didunia ini? Benarkah ada cinta yang dapat dibeli dengan

uang diatas bumi ini. Dan kenyataan itulah yang dihadapi

pendekar yang berjiwa ksatria gagah perkasa itu, tapi yang

bernasib malang......

Aditia memutar tubuhnya kembali. Setelah menatap paras

gadis itu beberapa jurus lamanya, dia bertanya. “Sudah

tetapkah hatimu, sudah bulatkah tekadmu untuk memutuskan

hubungan kita ini, Rani......”.

“Agaknya tab ada jalan lain, Aditia......”.

“Bagiku akan selalu ada jalan lain, Rani. Mungkin bagimu

memang tidak. Aku hargakan kebaktianmu kepada orang

tuamu. Aku hargakan kebaktianmu menuruti kata ninik

mamakmu, memang sudah sepatutnya kau sebagai anak

berlaku demikian Rani karena merekalah yang mengasuh dan

membesarkan kau semenjak kau masih kecil. Selama kau

berada disampingku, selama kasih sayangmu kau curahkan

padaku aku telah merasakan nikmat dan kebahagiaan yang

tiada taranya, adik. Terima kasih untuk semuanya itu, semoga

Tuhan akan melimpahkan rakhmat kebahagiaan yang lebih dari

itu dalam kehidupanmu selanjutnya. Atas kehendakmu, kita

putuskan hubungan kita selama ini!”. Kata-kata terakhir

diucapkan oleh Aditia dengan hati tetap dengan suara tidak

bergetar sedikitpun.

Dua orang yang sama-sama berpakaian putih menyeruak

dari balik semak-semak. “Kita menemui sebuah jalan kecil” kata

orang yang dimuka sekali. “Barangkali kita sudah dekat ke

Batusangkar. Kalau......” Orang yang berkata itu tiba-tiba

menghentikan kata-katanya. Dibalik semak-semak, diseberang

jalan kecil yang sunyi senyap itu dilihatnya dua orang tengah

berbicara. Satu laki-laki dan satu perempuan. “Ada orang

diseberang sana......” bisik laki-laki tadi. Yang seorang lagi maju

selangkah. Waktu itu Nurani tengah memandang paras Aditia

untuk penghabisan kalinya sedang pemuda itu berdiri dengan


membelakangi semak-semak. “Hem...... agaknya sedang

bercumbu-cumbuan” desis laki-laki yang dibalik semak-semak.

“Marilah keluar dari sini. Kalau mereka tahu nanti mungkin

disangkanya kita telah mengintip dari sejak tadi......”.

“Tunggulah dahulu”, kata laki-laki yang bersuara halus. Kita

lihat dulu acara ini...... agaknya kedua muda remaja itu berada

dalam satu persoalan hebat, aku bisa lihat dari wajah yang

perempuan. Matanya balut oleh air mata. Dia menangis!”

“Aditia, terima kasih atas kerelaanmu melepaskan aku.

Semoga kau akan berbahagia pula dalam hidupmu, dalam masa

depanmu...... Selamat tinggal, Tuan”.

“Selamat adik...... selamat......” balas Aditia. Ketika Nurani

membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah antara

kedengaran dan tiada, Aditia berkata, “Tiada kehidupan lagi

bagiku, Nurani. Hidupku telah kau bawa pergi. Tiada masa

depan bagiku adik, karena masa depanku telah musnah......”.

Aditia memutar tubuhnya dan mengikuti tubuh Nurani dengan

kedua matanya. Dijalan yang lurus itu tubuh Nurani semakin

lama semakin kecil dan akhirnya menghilang dikelok jalan.

Melepaskan seorang kekasih yang dicintai dalam perpisahan

untuk selama-lamanya bukan suatu hal yang mudah untuk

dihadapi. Hampir satu menit lamanya gadis itu menghilang

dikelok, mata Aditia masih juga memandang kearah sana. Tak

setetes air matapun yang meredup itu. Bukan karena dia tak

sedih dengan perpisahan itu, tapi tanda bahwa dia mempunyai

jiwa yang besar. Itulah sifat pemuda sejati, sifat seorang jantan.

Pantang bagi seorang laki-laki yang mengaku pendekar untuk

mengeluarkan air mata, sekalipun setetes, sekalipun dalam

persoalan apa saja! Tapi hati yang didalam?

Aditia merasakan tubuhnya seperti bayang-bayang.

Benarkah dia masih berpijak dibumi saat itu? Dia

melangkahkan kakinya, terasa ringan. Dia melangkah lagi dan

akhirnya berjalanlah pemuda itu dengan langkah gontai dan

tubuh terhuyung-huyung. Kepalanya ditundukkannya kebawah

seakan-akan takut dia memandang alam sekelilingnya.


Kedua orang yang berada dibalik semak-semak ditepi jalan

kecil itu saling berpandangan satu sama lain. “Kurasa memang

dia......” bisik yang seorang.

“Tak salah lagi agaknya. Benar dia...... tak disangka akan

bertemu ditempat ini......” keduanya segera berloncatan dari

balik semak dan setengah berlari dijalan kecil itu keduanya

berteriak : “Aditia.....! Aditia.....!”

“Aditia!”.

TIGA BELAS

ADITIA menghentikan langkahnya yang gontai. Dengan rasa

segan pemuda itu membalikkan tubuhnya. Peristiwa yang baru

saja dialaminya seakan-akan membuat matanya yang tajam itu

menjadi kabur. Untuk beberapa lamanya dia hanya

memandang kedua orang yang dihadapannya itu.

Pandangannya sayu redup. Cahaya matanya yang selama ini

hilang lenyap. Itulah cinta. Kalau disebut nikmatnya, tiada yang

senikmat cinta di dunia ini, manisnya lebih manls dari madu.

Tapi kalau disebut pula pahitnya, akan lebih pahit dan empedu.

Dan empedu cinta yang maha pahit itulah agaknya yang

tersendat melekat dikerongkongan pemuda itu saat itu agaknya.

“Aditia! Kau tak kenal aku lagi?!”. Laki-laki yang

dihadapannya itu membuka kain penutup kepalanya. “Aku

Suwantra! Kau lupa......?!”

Betapa terkejutnya Aditia mendengar kata-kata itu. Dia

memandang terbelalak kepada sahabat lamanya itu. Kemudian

menggelengkan kepala dan menjabat tangan Suwantra.

“Semuanya ini serba tak terduga, serba tak disangka-sangka.

Dengan tiba-tiba. Dan kau memakai penutup kepala pula. Mana

aku bisa mengenalimu dengan cepat!” Aditia menoleh kepada

orang yang berdiri disebelah Suwantra. Dia memandang paras

orang itu beberapa detik lamanya kemudian tersenyum lebar.

“Kali ini aku tak bisa ditipu lagi. Kau Suwantri


Orang yang berpakaian seperti laki-laki itu tersenyum pula.

Sesungguhnya memang dia adalah Suwantri. “Aku tak habis

heran mengapa kita sampai bisa bertemu disini. Dan kau

Suwantri, apa-apaan pula memakai pakaian laki serta bertutup

kepala seperti ini?!”

“Kalau kau heran sahabat, maka kami jauh lebih heran lagi

melihat kau ada disini. Siapa gadis cantik tadi? Kami tadi lama

memperhatikan kau dari balik semak-semak ditepi jalan itu!”

kata Suwantra pula.

“Apa... kau memperhatikan kami....” Aditia memandang pada

Suwantri dan lalu bertanya lagi. “Ka...... kalian mendengarkan

apa yang kami percakapkan......?”.

“Harap maafkan...... kami tak sengaja. Satu jam lamanya

kami menempuh hutan belantara dan tahu-tahu muncul ditepi

jalan itu. Dan persis ditempatmu. Agaknya kau akan jadi orang

sini Aditia?”. Pemuda itu tersenyum. Satu senyum yang pahit.

Dia memandang kepuncak gunung Merapi tapi matanya melirik

pada gadis yang berpakaian laki-laki disebelahnya. Suwantri

menundukkan kepalanya dan mencungkil-cungkil tanah yang

dipijaknya dengan empu jari kaki kanannya.

“Kau sudah lama berada disini, Aditia ?” tanya Suwantra

mengalihkan pembicaraan.

“Hampir satu bulan. Dan kalian...... bagaimana bisa sampai

disini dan agaknya punya urusan penting?”

“Benar. Tapi kali ini bukan urusan uang!” kata Suwantra pula

dengan bergurau. “Dan aku percaya bahwa dengan adanya kau

disini, urusan tersebut akan mudah dan cepat diselesaikan!”

“Urusan apakah agaknya......?” tanya Aditia pada kedua

kakak beradik itu.

“Sebelum kujawab kutanya dahulu, apakah nama tempat ini

dan masih jauhkah Batusangkar dari sini?”

“Ini adalah tepi kampung Parak Jua, dan daerah ini sudah

termasuk daerah Batusangkar”, jawab Aditia.

“Untung benar kita kalau begitu, Wantri!” kata Suwantra

kepada adiknya. Gadis itu mengangkat kepalanya den

tersenyum. “Kita sudah sampai!” Kemudian sambil menunjuk

kepuncak gunung yang jauh disebelah muka bertanyalah


Suwantra. “Bukankah itu gunung Merapi?”. Aditia

mengangguk. “Nah, disitulah terletaknya urusan yang akan

kami kerjakan. Yang akan kita selesaikan!”.

“Aku tak mengerti apa yang kalian maksudkan ini......” ujar

Aditia pula. “Terangkanlah dengan jelas!”

“Bukan disini tempatnya untuk menerangkan hal itu, sobat!

Jauhkah rumahmu dari sini......?”

“Tidak jauh...... tapi jangan salah sebut. Rumah itu bukan

rumahku...... aku hanya menumpang tinggal saja disana...” kata

Aditia bergurau.

“Dan.... dan tak adakah ‘orang’ yang marah kalau kami

datang kesana saat ini?” menyela Suwantri. Aditia memandang

gadis itu beberapa lamanya. Kedua mata saling beradu dan

Suwantri melihat betapa mata yang dulu bercahaya itu kini

hanya mengeluarkan sinar yang redup tiada gaya sama sekali.

“Ha...... harap maafkan, Aditia... aku tidak bermaksud apa-apa

dengan kata-kata itu. Aku hanya bergurau......” kata Suwantri

kemudian.

Aditia membawa sahabatnya itu kerumah tempatnya

menumpang. Gaek Leman merasa gembira mendapat tamu-

tamu yang baru. Dia ikut duduk bercakap-cakap dengan

ketiganya sekalipun bahasa Indonesianya hampir tiga

perempatnya memakai kata-kata negerinya sendiri. Atas

pertanyaan Aditia kamudian Suwantra segera menceritakan apa

sebabnya dia sampai disana, bagaimana kisahnya selama

ditengah jalan. Tentu saja semua itu tidak dibeberkannya

dimuka Gaek Leman.

“Hem...... aku tak pernah mendengar tentang riwayat kedua

pedang sakti itu......”.

“Jangankan kau, orang-orang disekitar kaki gunung merapi

itupun mungkin tak ada yang tahu......” kata Suwantra pula.

“Jadi kapan kalian akan menuju kesana?” tanya Aditia.

“Lebih cepat lebih balk. Dan kau harus ikut!” kata Suwantra.

Aditia tersenyum. Lagi-lagi senyum yang tiada daya sama

sekali. Senyum yang hambar kalau tak mau dikatakan pahit.

Dan semua keanehan itu dicatat oleh Suwantri didalam

hatinya. Banyak perbedaan yang dilihat gadis itu didiri Aditia


semenjak perpisahan mereka beberapa tahun yang lalu

diperkampungan ditengah-tengah pulau Kalimantan. (Baca seri

keris merah : Tertuduh di Kalimantan).

“Cakap punya cakap hari sudah petang juga. Kau tahu

mungkin dimana ada orang yang bisa menyewakan tempat buat

kami bermalam?” tanya Suwantra. Aditia memandang pada

Gaek Leman yang duduk disatu kursi reot dekat pintu dapur.

“Bapak...... apakah Bapak keberatan kalau kedua tamu kita ini

turut pula bermalam disini......?” Gaek Leman memutar

kepalanya dan menjawab. “Mengapa pula aku harus

keberatan?. Masih ada satu kamar kosong lagi dirumah ini.

Pakailah. Dan kalau kalian mau tidur sendiri-sendir, biarlah

Bapak tidur diluar diruang tengah malam ini......”.

“Tidak, tak usah...... kami bisa tidur berdua” jawab Suwantra.

Lalu sambil menunjuk pada adiknya dia berkata. “Kawan yang

seorang inilah yang agak lain sedikit. Dia tak biasa tidur

bersama-sama, musti seorang diri!”. Aditia tersenyum sedang

Suwantri menjadi merah pipinya.

Selesai sembahyang magrib ketiga orang itu bercakap-cakap

panjang lebar tentang segala pengalaman mereka. Berhenti

sebentar untuk sembahyang isya dan sesudah itu disambung

lagi. Gaek Leman sudah lama mendengkur didalam kamarnya.

Larut malam barulah percakapan dihentikan.

“Suwantri...... pergilah kau tidur. Dan kau juga Suwantra,

tidurlah duluan. Mataku masih belum mengantuk......” kata

Aditia pada kedua orang itu. Suwantri mengangguk dan masuk

kekamar yang telah disediakan untuknya. Begitu juga kakak

laki-lakinya. Suwantri tak bisa segera tidur. Ingatannya kembali

pada masa beberapa tahun yang lalu waktu Aditia datang

kekampung halamannya. Waktu dia melepas pemuda itu.

Waktu pemuda itu mencium keningnya...... Sebaliknya begitu

masuk membaringkan diri ditempat tidur, Suwantra segera

tertidur. Tapi dua jam kemudian dia bangun. Dilihatnya sampai

saat itu Aditia masih juga belum masuk kamar, belum tidur.

Mungkin dia pergi kebelakang, pikir Suwantra. Tapi lama

ditunggu-tunggu tidak juga Aditia kembali. Akhirnya dengan

perasaan ingin tahu Suwantra keluar dari kamar tidurnya.


Ruang tengah sunyi senyap. Dia menjenguk kekamar adiknya.

Gadis itu telah tertidur pulas. Ketika dilihatnya pintu luar,

ternyata pintu itu tidak terkunci sama sekali. Dia melangkah

kesana. Membuka daun pintu dan keluar. Sinar bulan empat

belas hari menerangi halaman samping. Seorang laki-laki

duduk bersandar diatas sebuah kursi dibawah cucuran atap

memandangi bulan yang bulat penuh.

“Aditia......”. Teguran itu membuat orang yang duduk di kursi

terkejut dan tersentak dari lamunannya. “Harap maafkan kalau

aku mengganggu dan mengejutkanmu... Tapi apa yang kau

kerjakan malam-malam seperti ini diluar? Mana dingin, banyak

nyamuk......”.

“Kau tidak tidur Suwantra?” tanya Aditia.

“Aku tertidur dan terbangun. Kulihat kau masih juga belum

masuk ketempat tidur lantas aku keluar”. Sinar bulan purnama

jatuh tepat dimuka Aditia. Suwantra memandang muka laki-

laki itu dan bertanya. “Kalau aku boleh bertanya, sesungguhnya

apakah yang kau pikirkan? Apa yang kau rusuhkan......?”.

“Aku tidak merusuhkan apa-apa, Suwantra!”

“Jangan kau sembunyikan rahasia tentang dirimu itu,

sahabat. Katakanlah terus terang apa yang menyusahkan

hatimu. Siapa tahu aku bisa menolongmu.....”. Aditia

tersenyum. Setelah termenung beberapa lamanya dan setelah

melayangkan pandangan kebulan purnama yang diangkasa raya

bertanyalah Aditia. “Suwantra, kau pernah mencintai seorang

perempuan...?”.

“Ibuku maksudmu......?”.

“Bukan...... maksudku seorang lain. Seorang gadis......”.

“Sampai saat ini tidak pernah” jawab Suwantra dengan jujur.

“Kau berjanji tak akan menceritakan apa yang akan

kukatakan padamu ini pada orang lain?”.

“Aku berjanji!”.

“Juga tidak kepada Suwantri?!”.

“Juga tidak kepadanya”.

“Baiklah. Semoga dengan menceritakan untung perasaanku

ini kepadamu akan terasa sedikit lapang dadaku jadinya.

Memang sahabat kariblah tempat membagi kesenangan dan


kesusahan......” Dan Murid Eyang Wilis mulai menceritakan apa

yang telah dialaminya sejak dia mulai menginjak negeri itu.

Adalah diluar dugaan kedua orang itu kalau ditengah malam

buta itu ada seorang lain, orang ketika yang turut

mendengarkan kisah cinta yang dituturkan oleh Aditia itu. Dan

orang tersebut tak lain adalah Suwantri. Gadis yang telah

mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam itu

terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara kedua orang

itu bercakap-cakap. Dari balik dinding gadis itu dengan

seksama dan jelas dapat mengikuti kisah yang dituturkan

Aditia. “Inilah rupanya yang membuat banyak perbedaan dalam

diri pemuda itu......” kata Suwantri dalam hatinya setelah

mendengar kisah itu sampai keakhirnya. “Kasihan dia......”.

Gadis itu memutar tubuhnya. Tanpa menimbulkan suara dia

kembali kekamar tidurnya. Kepalanya dibenamkannya dalam- dalam didalam bantal dan matanya basah. Mengapa? Mengapa

gadis itu menangis? Kelak akan kita ketahui juga apa sebabnya!

“Sungguh mengharukan kisahmu itu...... sahabat......” kata

Suwantra sambil memandang kearah kegelapan. Tiba-tiba

terdengar kokok ayam dikejauhan.

“Astaga...... sudah hampir pagi hari rupanya!” kata Aditia

dengan terkejut. Dia memandang kelangit. Rembulan telah jauh

diufuk sana. Warnanya telah memudar dan sekelompok awan

hitam kemudian menutupi wajah puteri malam itu.

“Sebaiknya kita masuk saja......” desis Aditia kemudian.

Ketika pintu rumah dirapatkan dari dalam terdengarlah tabuh

disurau dipukul orang. Dan beberapa saat kemudian

terdengarlah suara azan. “Allahu Akbar...... Allahu Akbar......”

EMPAT BELAS

KEESOKAN siangnya, belum lagi tabuh zuhur dipukul orang

telah tersiar sebuah kabar diseluruh penjuru Parak Jua, telah

menjadi bahan percakapan orang ramai dimana-mana di

pancuran air, disurau, dikedai nasi, didalam setiap rumah

gadang, pokoknya disegala tempat. Kampung kecil itu seakan


akan menjadi hangat oleh berita tadi. Tapi apakah berita yang

telah dihebohkan orang dengan kasak kusuk itu? Kalau berita

yang disampaikan dari mulut kemulut itu diringkaskan, maka

beginilah bunyinya, tak kurang dan tak lebih : “Nurani, gadis

yang digelari bunga mawar dari kayangan, kebanggaan

kampung Parak Jua, telah ada yang meminang, anak orang

kaya yang baru kembali dari Bukittinggi! Pinangan telah bulat

diterima oleh ninik mamak pihak gadis dan karena pekerjaan

itu adalah pekerjaan yang baik, jadi harus dikerjakan lekas-

lekas! Pernikahan akan dilangsungkan pada hari Jum'at lusa

sedang pesta perhelatan dilangsungkan mulai hari Sabtu

sampai hari Minggu secara besar-besaran. Kabarnya akan rebah

pula seekor kerbau karena sanak fimili, kaum kerabat dan ninik

mamak kedua belah pihak yang bertebaran dimana-mana, serta

orang sekampung akan turut pula meramaikan hari perkawinan

itu!”

Berita berjalan juga sampai ketelinga orang yang belum tahu.

Juga sampai ketelinga Aditiajaya. Sudah dapat dibayangkan

bagaimana hati seorang bekas kekasih menerima gadis yang

dicintainya akan dinikahkan, akan dikawinkan dengan orang

lain! Tapi tidak demikianlah dengan Aditia. Semuanya itu

diterimanya dengan hati tabah, masih dengan senyum tawa

juga, sekalipun senyum yang penuh dengan kepahitan. Dan

cuma dua orang yang mengetahui bagaimana sesungguhnya

hati pemuda itu. Keduanya adalah Suwantra dan Suwantri.

Ketika anak muda itu duduk seorang diri diruang tengah,

Suwantra dan adiknya datang mendekat. “Sahabat, kami telah

siap untuk berangkat. Sekali-kali kami tidak memaksamu untuk

pergi, tapi kalau kau sudi pergi bersama kami, kami akan sangat

berterima kasih”.

Aditia memandang kepada kedua orang itu. Sambil

mengusap mukanya kemudian dia berdiri. “Aku akan pergi

bersama kalian. Sudah saatnya aku akan meninggalkan tempat

ini. Sudah saatnya......”. Pemuda itu masuk kedalam kamarnya

dan ketika dia keluar kembali dia segera menemui Gaek Leman.

“Bapak, tak banyak yang dapat kami berikan untuk kebaikan

Bapak yang telah sudi menerima kami menumpang dirumak


ini. Terimalah uang yang tak seberapa ini. Terima kasih akan

segala-galanya. Dan kalau kami kembali nanti, mungkin kami

akan mampir pula untuk bermalam disini sebelum meneruskan

perjalanan pulang kekampung......”.

“Terima kasih...... terima kasih. Selamat jalan anak-anak

muda. Aku merasa senang kalau kalian dapat lagi mampir dan

menginap disini sebelum kalian berangkat pulang. Selamat......

selamat......” kata Gaek Leman sambil menerima uang yang

disodorkan Aditia. *

* * Dari Batusangkar sampai kekaki gunung Merapi perjalanan

adalah mudah. Dengan mempergunakan ilmu lari masing- masing ketiga orang itu hanya memerlukan waktu kurang dari

satu jam untuk mencapai tempat itu. Tapi perjalanan

selanjutnya bukanlah merupakan hal yang mudah. Gunung

dipulau Andalas tidaklah sama dengan gunung-gunung dipulau

Jawa. Apa lagi kalau gunung itu gunung Merapi pula adanya.

Hampir tak ada satu manusiapun yang pernah menginjakkan

kaki digunung itu. Jangan kata sampai dilerengnya, sedikit dari

kaki gunung sajapun tak ada yang pernah menginjaknya. Tak

ada bekas jalan yang pernah diretas manusia. Pohon kayu mulai

dari semak-semak liar sampai ke yang kecil-kecil, sampai pula

pada yang besar-besar, semuanya tumbuh dengan sangat rapat,

diliputi lumut lembab yang licin. Disatu kampung kira-kira satu

kilo dari kaki gunung Aditia membeli tiga buah golok besar.

Didalam hutan lebat digunung Merapi itu sangat dibutuhkan

sekali benda-benda tajam seperti itu guna menebas semak

belukar untuk membuka jalan. Mereka bergerak lambat sekali.

Ketika senja datang belum cukup tiga ratus meter mereka

memasuki hutan mendaki digunung itu, baju mereka, sudah

kotor dan koyak-koyak direnggutkan ranting-ranting sedang

tangan mereka sudah pedas menggenggam golok untuk dipakai

menebas segala macam semak belukar yang menghalangi

mereka, membuka jalan. Kalau kedua kakak beradik itu masih


ada juga terdengar sekali-sekali bercakap-cakap, maka Aditia

yang berjalan paling muka hampir tak pernah terdengar

membuka mulut.

Mereka terpaksa menumbangkan beberapa buah pohon dan

menebas semak-semak untuk meluangkan tanah guna

berkemah. Diantara dedaunan pohon-pohon kayu disekitar

mereka kelihatan sang rembulan mulai menampakkan diri.

Aditia segera membentangkan tiga helai terpal tebal yang

sengaja mereka bawa untuk keperluan dalam perjalanan itu.

Suara nyamuk-nyamuk mulai beterbangan kian kemari.

Semakin lama semakin banyak dan suaranya sangat

mengganggu telinga. Aditia hilang sabarnya. Setelah diusir dan

ditepuk mati sampai berpuluh-puluh banyaknya namun masih

saja nyamuk-nyamuk itu mengganggu, malahan semakin

banyak. Dikumpulkannya ranting-ranting kering.

Dionggokkannya diatas tanah ditengah-tengah ketiga terpal itu

lalu disulutnya dengan korek api. Sebentar saja ranting-ranting

kering itu telah dimakan api. Asap putih kemudian memenuhi

tempat itu dan kini serangan nyamuk-nyamuk itu mulai lenyap.

Tak satu ekorpun dari binatang itu yang berani mendekat. Pada

saat-saat tertentu, sambil duduk melipatkan lutut dimuka

perapian itu, Aditia menambahkan kayu perapian. Suwantri

membuka bungkusan yang berisi makanan-makanan kering

dan tak lama kemudian ketiganya mulai makan dengan

seadanya.

Aditia memandang perapian yang dihadapinya. Suwantri

sudah lama tidur. Kesunyian ditempat itu dipecahkan oleh

suara Suwantra. “Aditia, bolehkah aku bicara mengenai sesuatu

denganmu......?”

“Mengapa tidak?” jawab Aditia tanpa memalingkan

pandangannya dari perapian yang dimukanya.

“Aku bicara sebagai seorang adik kepada kakaknya. Dengan

terbuka dan terang-terangan. Kehilangan seseorang yang kita

cintai adalah suatu hal yang sangat menyedihkan. Apa lagi

kalau yang hilang itu adalah seorang kekasih yang kita harap- harapkan untuk teman sehidup semati. Kekasih sama dengan

kehidupan. Kalau dia pergi, samalah dengan perginya


kehidupan kita. Kekasih adalah jiwa, kalau dia hilang samalah

kita dengar kehilangan jiwa kita sendiri. Kehilangan kekasih

membuat masa depan seorang pemuda menjadi mengabur.

Menghilangkan kepercayaan terhadap perempuan. Hidupnya

lebih senang didalam alam lamunan, termenung setiap hari,

pendiam dan ingin selalu memencilkan diri. Aku dapat

memahami keadaanmu saat ini, Aditia, bahkan lebih dari

memahami. Tapi seorang laki-laki, sebagai seorang pemuda

yang berilmu tinggi sepertimu ini, sebagai seorang ksatria

jantan jangan sampai cinta membuat kita lupa diri, jangan

sampai cinta membuat mata kita seperti buta, mematikan hati.

Jangan biarkan cinta menipu kita dan yang penting jangan

sampai cinta itu merenggut kehidupan kita dan membawanya

lari! Adalah orang yang bodoh yang akan menganggap bahwa

kehilangan kekasih adalah berarti kehilangan kehidupan,

kehilangan kekasih adalah kehilangan jiwa raga dan masa

depan. Bodoh! Bodoh semuanya itu. Picik orang yang berpikir

seperti itu. Mengapa diperhabis waktu dengan membawa diri

bermenung melamun yang tak karuan, padahal banyak lagi

kerja lain yang menunggu. Begitu tinggi ilmu kepandaianmu

Aditia, berbagai ragam ujian dan cobaan yang pernah kau

alami. Semuanya itu kau terima dengan dada terbuka, dengan

jiwa ksatria. Dengan hati laki-laki! Tapi mengapa dihadapan

perempuan, didalam tangan seorang gadis yang telah

mengkhianati cinta dan janji kalian, tiba-tiba kau bersikap

lemah, lebih lemah dari sikap kaum perempuan yang telah

mencelakakanmu itu? Engkau bersedih disini sedang gadis itu

bersenang gembira disana. Engkau bermenung disini sedang

dia tertawa lebar dirumahnya menghadapi hari bahagianya,

tidak lagi teringat engkau olehnya. Mengapa pula engkau yang

telah dikhianati dan ditipunya, cuma diinjaknya saja yang tidak,

harus pula mengenang dia?! Wahai, pemuda yang berilmu

tinggi, yang sakti mandraguna, manakah jiwa besar dan hati

jantanmu yang selama ini kau perlihatkan? Musuh yang sakti

dan jahat yang tiada terkirakan banyaknya engkau kalahkan,

tapi mengapa dengan cinta engkau menjadi pecundang,

mengapa dihadapan perempuan engkau bertekuk lutut?! Celaka


Aditia, celaka dan terlalu hina bagi seorang laki-laki, bagi

seorang pemuda kalau sampai dibuat sengsara, kalau sampai

menjadi pikun dan pusung karena cinta, karena perempuan!

Dibiarkan hati dibawa bersedih, badan juga yang akan

Sansai. Jangan pula diri dibawa bermenung karena bermenung

akan menambahkan kesedihan, orang pemenung semakin

penghiba dan serta akan mudah pula mempedaya. Aditia

sahabatku, Tuhan menciptakan perempuan bukan hanya satu

orang, bukan hanya gadis itu saja. Tapi ratusan, ribuan, jutaan

dan tersebar bukan dinegeri ini saja tapi diseluruh jagat. Kalau

ditinggalkan perempuan hari ini apakah akan berparah hati kita

sampai mati? Patah hati bukan sifat laki-laki, Aditia. Kalau

ditinggalkan kekasih kita hari ini kita harus segera sadar bahwa

bukan dia seorang perempuan didunia ini, bukan dia seorang

gadis cantik dibumi ini tapi banyak lagi. Hari ini kita melihat

gadis cantik yang menawan hati besok akan kita temui pula

yang lain, yang lebih cantik, yang lebih menawan. Dan cinta,

kalau hanya mempertahankan kecantikan paras tanda umurnya

tak akan lama! Orang sepertimu ini, segagah kau ini, berilmu

pula, terlalu mudah untuk mencari seorang kekasih baru,

seorang yang lebih cantik dari yang lama, seorang yang lebih

setia dan lebih jujur dari yang hilang itu. Dari itu Aditia

busungkanlah dadamu yang selama ini kau bengkokkan.

Tegakkan kembali kepalamu yang selama ini kau tundukkan.

Kau masih muda...... masa depan menunggumu. Kalau diturut

arus cinta dan kemauan hati, kalau dikenang juga masa yang

silam, diingat juga orang yang hilang maka sesungguhnya orang

yang berbuat seperti itu sudah lama mati dialam hidupnya. Dan

sebagai seorang sahabat, sebagai seorang adik kataku pada

permulaan bicara tadi, aku tak ingin melihat kau hidup dalam

keputusasaan aku tak ingin melihat kau hidup didalam

kemurungan dan kekecewaan karena tertipu oleh cinta dan

dikhianati perempuan. Sekali kau jatuh bangkitlah kembali.

Engkau bukan seekor kodok yang dibawah tempurung,

perempuan tidak hanya seorang didunia ini dan dunia tidak

pula selebar tapak tangan!”


Termenung Aditia mendengar kata-kata sahabatnya itu.

“Semua yang kau katakan itu adalah benar belaka, Suwantra.

Kalau seandainya aku punya adik kandung, mungkin tak seperti

itu benar katanya memberi nasihat dan petunjuk padaku......”

“Terima kasih, kalau engkau bisa menerima dan memahami

kata-kataku itu” ujar Suwantra pula. “Kau sudah ngantuk dan

ingin tidur barangkali......?” Aditia menggelengkan kepalanya.

“Bicaralah terus Suwantra, aku belum ingin tidur” katanya

kemudian sambil menambah kayu perapian.

“Kau mungkin tidak tahu Aditia. Bahwa sesungguhnya kami

sampai mengadakan perjalanan ini, sampai kami mengarungi

lautan menuju rantau yang asing ini adalah tak lain karena

kau!”.

“Karena aku......?” tanya Aditia dengan herannya.

“Kadang-kadang ada manusia yang tak sadar bahwa dia

dicintai oleh seseorang, tapi ada pula orang yang pura-pura

sadar akan dicintai orang lain karena orang yang mencintainya

tak berkenan dihatinya, kurang rupa dan rendah pula derajat.

Semenjak kau meninggalkan kampung halaman kami aku

melihat perubahan pada diri adik perempuanku Suwantri.

Keriangannya tetap seperti biasa, senyumnya tetap seperti

dahulu juga. Tingkah laku dan budi bahasanya tetap tak

berubah. Tapi sebagai kakaknya, aku tahu. Dia pandai menutup

hati bathinnya dengan jiwa lahirnya. Dia dapat

menyembunyikan yang didalam dengan yang diluar. Enam

bulan berlalu. Enam bulan pula dia mengharap dan menunggu

akan kedatangan seorang yang dirinduinya. Telah berlalu pula

enam bulan kemudian namun orang itu belum juga kembali,

orang itu tak kunjung datang juga. Suwantri seorang

perempuan, seorang kaum lemah, tapi bagiku dia tidak lemah.

Dia tabah dan kuat menghadapi cobaan pertama dari masa

remajanya. Dia tabah dan kuat menghadapi rindu dendamnya,

menghadapi cinta pertamanya yang mungkin juga merupakan

cinta yang penghabisan baginya. Bukan seorang dua putera- putera kepala suku Dayak tetanga kami yang datang

memintanya untuk diambil menjadi istri, bukan pula seorang

dua orang pedagang yang kaya raya, yang semuanya berwajah


gagah-gagah datang meminangnya. Namun semuanya itu

ditolaknya. Ditolaknya bukan karena dia merasa cantik tapi

ditolaknya karena dia sudah tak punya hati lagi buat mereka.

Keseluruh hatinya, keseluruhan jiwanya dan keseluruhan

cintanya telah diberikannya pada seorang pemuda yang sampai

saat itu masih ditunggunya, masih diharapkannya akan datang

kembali. Dia menunggu terus, tapi yang ditunggu tak juga

kunjung muncul. Suatu hari dia datang menemuiku. Kami

bicara empat mata. Dia berkata bahwa dia hendak

meninggalkan kampung halaman. Entah sebentar entah lama,

entah sebulan entah berbilang tahun. Dia hendak merantau

katanya...... dia ingin melihat negeri lain yang kata orang lebih

indah dari negarinya, lebih permai dari kampung halamannya.

Dia hendak menjadi seorang pengelana. Tapi semuanya itu aku

tahu, aku tahu apa latar belakang mengapa jiwa kelana menarik

perhatiannya. Dia ingin berkelana karena dalam kelananya itu

dia ingin mencari sesuatu yang selama ini hilang lenyap tak

tentu rimbanya, mencari sesuatu yang selama ini ditunggunya

tapi tak kunjung tiba.

Betapapun kuat hatinya betapapun dia memiliki jiwa ksatria,

berhati jantan meskipun dia seorang perempuan, namun dia

tak akan menjadi laki-laki, dia tetap disebut orang perempuan

juga, kaum lemah! Aku tahu bahwa Suwantri seorang yang

keras hati, keras hati dalam hal yang wajar. Dan aku maklum

bahwa bukanlah orang semacam dia yang dapat dilarang dan

dibantah apa yang ingin dikerjakannya. Aku sadar bahwa

sebagai seorang perempuan dia tak bisa berkelana mencari

yang hilang itu dengan seorang diri. Dia harus berkawan dan

akulah yang harus mengawaninya. Kemudian aku sadar pula.

Berkelana berarti menempuh daratan lebar, mengarungi lautan

dan menghadapi bahaya besar. Dunia ini penuh dengan tipu

daya dan kejahatan-kejahatan. Siapa yang lemah akan ditelan

oleh tipu daya dan kejahatan itu. Kami tak bisa pergi tanpa

membawa secuil ilmupun. Ya, ilmu lahirnya, ya ilmu bathinnya.

Dalam kami mencari seorang guru yang dapat memberikan

pengajaran dalam hal yang kami ingini itu, terpesatlah kami

kesebuah pulau kecil dipantai barat daya pulau Kalimanta


Dan Tuhanlah rupanya yang membawa kami kepulau itu karena

dengan tak disangka-sangka dipulau yang diduga tak pernah

diinjak manusia itu, dipulau yang dianggap keramat itu

tingallah seorang tua sakti. Kami kemudian menjadi muridnya.

Tiga tahun lamanya kami dididik diajari berbagai macam ilmu

kebathinan dan kesaktian. Itulah yang kami harapkan karena

dengan ilmu itu akan mudahlah mengarungi dunia ini. Akan

mudahlah bagi kami menghindarkan segala macam bahaya dan

rintangan. Dan akan lebih mudahlah bagi Suwantri untuk

menemukan kembali orang yang hilang selama ini. Pesan guru

kami pertama, pesan dimana kami harus mencari kedua pedang

nenek moyangnya itu, itulah tugas yang harus kami lakukan

sebelum kami meneruskan pencarian terhadap orang tersebut.

Dan sungguh Tuhan Maha Kuasa. Dialah yang menentukan

langkah pertemuan kita. Sebelumnya siapa yang menduga

bahwa kita akan bertemu dinegeri ini? Sekali merangkuh

dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kami sampai dengan

selamat ditanah tersembunyi kedua pedang sakti itu. Dan dari

itu, adikku Suwantri telah menemukan kembali permatanya

yang hilang selama ini. Tapi sebagai kataku tadi sahabat, dia

pandai menyembunyikan yang didalam, dia pandai

menyembunyikan gelora hatinya, gelora kasih sayangnya

selama ini. Empat tahun lebih dia berpisah denganmu, dan

pada pertemuan pertamanya bukan kegembiraan luarlah yang

diperlihatkannya, bukan tawa dan gelak berderai karena

gembira bertemu dengan orang yang dirinduinya selama ini,

tapi rasa syukur yang dirasakannya dalam hatinya,

disembunyikannya. Dia mencintaimu Aditia...... cinta yang

sebenarnya cinta. Aku bukan memuji menyanjung adik sendiri.

Tapi memang itulah kenyataannya. Dia mengasihimu dengan

sepenuh hati, dengan sejujur-jujurnya. Dia tidak cantik, Aditia.

Suwantri bukan orang beradat, bukan orang kaya. Dia orang

kampung, orang Dayak yang dianggap hina oleh bangsa lainnya.

Tapi kalau ingin mencari cinta yang sebenar-benarnya cinta,

hanya pada dirinyalah terdapat cinta itu!”

Aditia menatap sahabatnya tenang-tenang. Kemudian

ditujukkannya pandangannya kenyala api dimukanya. Diantara


kepulan asap yang bergelung-gelung itu teringat dia masa

kembali masa tahun yang lalu. Ketika dia berada ditengah-

tengah suku Kayan dipedalaman Kalimantan, dia dituduh

sebagai pembunuh Amisah, adik perempuan dari Suwantri.

Kemudian ketika dia meninggalkan tempat itu Suwantri telah

menunggunya disatu tempat, memberinya bekal nasi,

melepasnya dengan penuh keharuan. Dia teringat ketika dia

kembali lagi ketempat gadis itu dengan membawa pembunuh

sebenarnya dari Amisah dan ketika dia kembali, dia mencium

kening gadis itu sebelum pergi......

Aditia memutar kepalanya. Dilihatnya gadis itu tertidur

nyenyak diseberang sana, Wajahnya yang diterangi nyala api

menghadap kepadanya. “Aku juga selalu mengingatmu

Suwantri......” kata pemuda itu dalam hatinya. Entah berapa

lamanya dia menatap paras gadis itu. Ketika dia memutar

kepala kembali. Suwantra telah berbaring, tertidur dengan

nyenyaknya. Aditia menggeser terpalnya kedekat pohon kayu.

Sebelum bersandar kepohon dia menambah kayu perapian.

Malam berlalu juga dengan kesunyian dan kedinginannya.

Selimut gadis itu tersibak sedikit sehingga kedua ujung kakinya

tersembul keluar. Aditia berdiri dan membetulkan letak selimut

itu kembali agar menutupi kedua kaki Suwantri. Ketika dia

kembali duduk ketempatnya, gadis itu terbangun. Mula-mula

dia membuka matanya dia memandang kearah kakinya.

Kemudian dilayangkannya pandangan berkeliling. Dan

matanya beradu dengan tubuh pemuda itu. Dia terkejut dan

duduk ditempatnya. “Aditia...... kau tidak tidur......?”.

Pemuda itu membetulkan duduknya dan menjawab dengan

menggelengkan kepalanya. “Tapi kau tentu letih...... tidurlah,

biar aku yang berjaga-jaga”. Aditia tersenyum. “Aku sudah biasa

dengan semuanya ini, Suwantri. Sebaliknya teruskanlah

tidurmu. Pagi hanya tinggal beberapa jam saja lagi......”.

Suwantri tak menjawab. Dia memandang kepada kakaknya

yang tengah pulas, kemudian kembali menoleh pada Aditia dan

bertanya. “Sudah lama dia tertidur......”

“Belum begitu lama. Kami bercakap-cakap panjang lebar

tadi......” menerangkan Aditia. Kesunyian menyeling seketika.


“Aku ada membawa bubuk dan gula. Kau ingin kubuatkan

kopi......?” tanya Suwantri pada pemuda itu. Aditia menatap

paras Suwantri beberapa lamanya. Hati pemuda mana yang tak

kan terharu dan bahagia mendengar kata-kata seperti itu, dari

seorang perempuan, dari seorang gadis yang diketahuinya

bahwa gadis itu mencintainya?

“Kau sungguh baik sekali Suwantri. Tapi tak usahlah lagi

Suwantri...... akan merepotkanmu saja......”

“Malahan aku senang dengan kesibukan-kesibukan

Aditia......”.

“Kalau kau ingin membuat kopi juga sebaiknya tunggulah

sampai pagi supaya dapat pula kakakmu menikmatinya nanti”

ujar Aditia.

“Kalau begitu katamu, aku menurut saja......” jawab Suwantri.

“Sebaiknya kita bercakap-cakap saja. Aku ingin bicara

denganmu......” kata Aditia. Kemudian dia berdiam diri karena

memang sesungguhnya dia tak tahu apa yang akan dibicarakan- dengan gadis itu. Dan kesunyian beringsut juga dari menit ke

menit.

“Apa yang ingin kau bicarakan Aditia, katakanlah........”

terdengar suara gadis itu. Aditia menarik nafas dalam.

Kelihatannya seperti orang memutuskan untuk mulai berbicara.

Tapi mulutnya tetap terkatup. Tak satu suarapun meluncur

keluar.

“Kau banyak sekali berbeda dari dahulu, Aditia......” kata

gadis itu sambil memandang keunggun api yang dimukanya.

“Begitu......? Tentang apa misalnya?” tanya Aditia.

“Aku tak bisa mengatakannya. Kau yang punya diri tentu

lebih mengetahui” jawab Suwantri dengan masih memandang

keunggun api itu.

“Segala apa yang ada didunia ini pasti berubah Suwantri.

Yang buruk bisa jadi baik dan sebaliknya. Nasib manusia tidak

selalu dibawah saja, kadang-kadang juga naik keatas, berubah.

Sebutlah apa saja dan sudah pasti dia berubah meskipun hanya

satu kali saja, hanya pada satu ketika saja”.

“Dan semua perubahan itu ada bersebab bukan? Lenyapkan

sebab itu, maka sebelum dia merubah kita, sebelum dia


merubah hidup kita dan niscaya tak sampai kita diputar

balikkannya, tak sampai kita dirubahnya. Tapi kebanyakan

manusia tidak sadar akan apa yang disebut sebab itu. Mereka

baru insyaf kalau si penyebab telah merobah hidup mereka,

telah menyiksa mereka!”


“Dan salah satu dari manusia yang kau sebutkan itu adalah

aku! Bukankah begitu Suwantri?”.

Gadis itu mengangguk. “Cinta telah merubah banyak sekali

sendi dan sifat kehidupanmu, padahal cinta itu, yang sampai

membuat kau jadi begini hanyalah cinta murah belaka, cinta

yang kemudiannya dibutakan oleh uang, oleh harta kekayaan!


Kau dikhianati oleh cinta, dan kau berhasil dtkalahkannya,

padahal bukan disana mestinya engkau bertekuk lutut. Seorang

gadis meninggalkanmu, mengingkari janjinya membuat kau

jadi menderita, padahal bukan hal itu yang harus membuat kau

menderita. Janganlah percaya pada cinta yang diiringi dengan

senyum manis, Aditia. Tapi percayalah pada cinta yang

ditimbulkan oleh kepahitan dari kesucian hidup. Cinta yang

timbul disaat penderitaan adalah lebih jujur, lebih setia dan

lebih suci dari pada cinta yang terbit dikala hati senang

gembira. Kau laki-laki, mengapa harus kalah oleh cinta?

Mengapa harus kalah oleh perempuan......”.

“Sudahlah Suwantri...... sudahlah!”.

“Tidak Aditia. Bicaraku belum habis...... aku akan

teruskan......”

“Suwantri......” kata Aditia sambil bangkit dari duduknya dan

berlutut dihadapan gadis itu. “Aku minta kepadamu Suwantri,

berhentilah! Jangan bicara tentang itu lagi. Jangan siksa aku

dengan kata-kata seperti itu!”.

“Kata-kataku membuat kau tersiksa, Aditia? Tidak, kau

sendirilah yang menyiksa hatimu, menyiksa jiwamu. menyiksa

dirimu!”. Aditia memegang bahu gadis itu dengan kedua

tangannya yang gemetar. Gadis its menggelengkan kepalanya.

Dan dengan perlahan-lahan dia melepaskan pegangan kedua

tangan Aditia dari bahunya. “Suwantri......!” desis Aditia ketika

dilihatnya gadis itu menyibakkan tangannya. Sesuatu

dirasakannya menyekat ditenggorokannya. Dengan suara

gemetar dan sambil kembali ketempatnya semula dia berkata.

“Baik Suwantri, katakanlah apa yang ingin kau katakan.

Keluarkanlah apa yang ingin kau keluarkan. Jangan kepalang

tanggung. Caci makilah aku. Katakanlah aku sesuka hatimu.

Memang semenjak aku menginjakkan kaki dinegeri ini maka

mulai saat itu sampai seterusnya hidupku adalah untuk dicaci

maki, untuk difitnah, dikatai orang kian kemari!”. Nafas

pemuda itu memburu dan dadanya terasa sesak. “Mengapa kau

diam Sawantri, mengapa! Katakanlah apa yang ingin kau

katakan. Ya, kau bisa berkata seperti itu karena apa? Karena


kau belum pernah mencintai seseorang, kau belum pernah

dikecewakan seseorang, kau tak pernah ditinggalkan......”.

“Oh...... kalau kau sebut itu, Aditia, terus terang aku katakan,

aku juga pernah mencintai seseorang, aku juga pernah

ditinggalkan seseorang, tapi aku tidak menganggap bahwa dia

mengecewakanku, tidak! Aku tidak mengatakan bahwa dia

mengkhianatiku karena kau tahu bahwa bukan gadis buruk

seperti ini yang akan dicintainya, bukan turunan hina seperti ini

yang akan dikasihinya. Tapi banyak lagi gadis-gadis lain. Yang

ribuan lebih cantik dariku, yang ratusan lebih tinggi derajatnya

dariku. Aku tidak akan mengatakan orang itu

mengecewakanku, tidak! Tak akan pernah. Cinta tidak pernah

mengajarkan kekecewaan padaku sebaliknya menambah

semangatku, cinta tidak mengajarkan kelemahan kepadaku

sebaliknya memperkuat jiwa ragaku!”

“Nasib diriku yang buruk rupanya......” ujar Aditia dengan

perlahan.

“Tidak Aditia! Jangan kau katakan nasibmu yang buruk,

jangan pula kau katakan sudah takdir, sudah suratan Tuhan,

jangan pula kau sebut bahwa salah bunda mengandung......

tidak bukan semua itu asal sebab musababnya. Tapi didirimu

sendirilah sebab asalnya. Kalau kau merasa dia jatuh hari ini,

bangun dengan segera pada hari ini juga, angkat kepala,

busungkan dada dan berjalanlah kembali. Itulah jiwa laki-laki.

Itulah sifat jantan!”

“Suwantri...... sebelumnya kakakmu juga pernah berkata

seperti itu padaku. Tapi kata-katamulah yang telah

mengembalikan jiwaku, yang telah mengembalikan hatiku,

yang telah mengembalikan segala-galanya. Aku merasa bahwa

aku telah kembali kepada diriku yang lalu. Sungguh adik......

sungguh!”

“Untuk itu harus dibuktikan dulu......” tukas Suwantri. Dan

betapa hati seorang gadis dipanggil ‘adik’ oleh seorang

pemuda......”

Langit diufuk timur kelihatan mulai terang. “Suwantri,

sekarang bolehlah kau jerangkan air dan membuat kopi...... “.

Gadis itu memandang pula keufuk timur kemudian kembali


pada pemuda yang dihadapannya. Mata dan mata saling

beradu. Mulut sama terkatup rapat, tapi hati dan jiwalah yang

berkata-kata saat itu. Keduanya saling tersenyum dan Suwantri

mulai menyiapkan segala sesuatunya.....

LIMA BELAS

KETIKA malam yang kedua tiba, maka ketiga orang itu baru

berada dilereng Merapi. Paginya mereka mengelilingi lereng

gunung itu baru meneruskan pendakian. Rembang petang

mereka hampir sampai dipuncak. Suwantra mengusulkan

untuk menyebar tapi dilarang oleh Aditia. “Keadaan disini serba

asing. Kita bisa tersesat dan terpisah jauh satu sama lain. Lebih

baik kita tetap dalam rombongan. Meskipun kita bergerak agak

lambat tapi keselamatan lebih terjamin......”.

Pagi harinya mereka mulai mendaki lagi. Semakin keatas

semakin susah jalan yang ditempuh. Tanah yang dipijak

semakin licin. Dibawah kelihatan rumah-rumah penduduk dan

dangau ditengah dan ditepi sawah. Semuanya kecil-kecil dan

memberikan satu pemandangan yang indah sekali, yang

menurut kata orang...... tak sanggup dilukiskan dengan kata- kata. Entah benar entah tidak...... tidak pula diketahui oleh

orang itu!

Mareka sampai dibelakang sebuah gugusan batu hitam yang

besar sekali. Tingginya lebih dari tiga meter sedang lebar

mencapai sepuluh meter. “Agaknya ini adalah bagian luar dari

sebuah gua batu......” kata Suwantra pada rombongannya.

“Kita harus berputar dan menuju kebagian muka batu ini”

ujar Aditia. Ketiga orang itu segera merambas pohon-pohon

kecil dan semak belukar disamping batu itu. Dan benarlah,

sebuah lubang yang besar terdapat dibagian muka batu besar

itu. Sebuah mulut gua yang semakin kedalam semakin lebar!

“Disini agaknya disembunyikan kedua pedang sakti itu...

bisik Suwantri. “Semuanya diliputi kesunyian dan hawa

dingin......”.

“Kita masuk sekarang ini juga?!” tanya Suwantra.


Aditia memberi isyarat dengan gerakan tangannya.

Diambilnya sebuah batu setelah dicarinya dengan susah payah.

Lalu batu itu dilemparkannya kemulut gua. Benda itu

menggelinding kedalam dengan mengeluarkan suara yang

semakin lama semakin kecil dan akhirnya menghilang sama

sekali. Ketiga orang itu menunggu. Tak ada suara apa-apa

terdengar dari dalam gua.

“Kita masuk!” kata Aditia dan berjalan paling muka sekali,

menyusul Suwantri dan kemudian baru Suwantra. Belum lama

mereka masuk mereka menemui sebuah tangga yang dibuat

dari susunan batu-batu hitam. Tangga batu didalam sebuah gua

dipuncak gunung yang tak pernah dijejak manusia adalah hal

yang hampir tak dapat dipercaya. Semakin kedalam semakin

lebar juga jalan yang mereka lalui dan semakin gelap.

Lima menit kemudian. “Ada sinar terang jauh dimuka

kita......” bisik Aditia. Ketiganya maju terus dengan hati

bertanya-tanya apakah yang menimbulkan sinar itu? Sebuah

lampu... sebuah pelita? Pada jarak dua puluh meter dari sumber

cahaya itu barulah mareka mengetahui bahwa yang

memancarkan sinar itu tak lain adalah dua buah pedang yang

terletak bergandengan diatas sebuah batu hitam licin berbentuk

empat persegi dan tersandar kedinding.

“Itu dia!” kata Suwantra setengah berteriak karena

gembiranya melihat benda yang mereka cari selama ini berada

di depan mata mereka. Mereka melangkah kemuka dengan

cepat, tapi penuh kewaspadaan. Batu dimana kedua pedang itu

terletak tersandar kedinding, berada didalam satu ruangan

empat persegi yang luas sekali. Tingginya diduga kira-kira

empat meter. Pada dinding kiri dan dinding kanan ruangan itu

terdapat dua buah terowongan yang tampak suram. Kedua

senjata yang diatas batu memancarkan dua macam cahaya.

Yang pertama cahaya putih yang menyilaukan dari baja putih,

sedang yang lain cahaya kuning gemerlapan dari hulunya yang

terbuat dari emas. Sungguh kedua benda itu mendatangkan

kagum bagi ketiga orang itu. Tengah mereka terpesona oleh

keindahan pedang-pedang yang dimuka mereka tiba-tiba dari

terowongan gelap suram yang dikiri kanan dinding ruangan itu


terdengar auman suara yang amat dahsyat, menggetarkan

ruangan itu, membuat ketiga manusia itu terkejut dan undur

kebelakang beberapa langkah.

“Suara harimau......” bisik Suwantri kepada kakaknya. Dan

begitu kata-katanya berakhir dari kedua terowongan itu,

meloncatlah dua ekor harimau yang tiada terkirakan besarnya.

Harimau didalam gua dipuncak gunung, benar-benar tak dapat

dipercaya! Tingginya hampir setinggi dada manusia.

Panjangnya juga lebih dari tiga meter. Kedua binatang itu

mengaum sekali lagi. Mulutnya menganga lebar, matanya

memandang beringas sedang ekornya dikeletik-keletikkannya

kian kemari. Tiba-tiba keduanya, secara berbarengan meleset

melompati ketiga orang itu. Seperti sudah diberi aba-aba, ketiga

orang itu menjatuhkan diri kelantai ruangan dan bergulingan

berpencaran. Serangan yang dahsyat itu dapat dielakkan. Aditia

dan kedua kakak beradik itu dapat merasakan sambaran angin

yang keluar dari tubuh kedua harimau tadi waktu melompati

mereka. “Hati-hatilah! Ini bukan sembarang harimau rupanya.

Suwantri, cepat bergabung dengan kakakmu!” kata Aditia,

Suwantri mendekati kakaknya. Pada saat itu kembali kedua

harimau tadi menyerang mereka. Yang seekor menyerang

Suwantra dan adiknya yang seorang lagi menyerang Aditia.

Murid Eyang Wilis merunduk. Musuhnya lewat diatas kepala.

Golok yang ditangannya ditusukkannya keperut binatang itu.

Tapi ajaib! Tak mempan sama sekali! Binatang itu hanya

terangkat keatas dan jatuh tetap dengan keempat kakinya lebih

dahulu.

Waktu harimau yang seekor lagi menyerang mereka, kedua

kakak beradik itu juga menangkis dengan bacokan-bacokan

golok. Suwantri memapas kebawah perutnya sedang golok

Suwantra menghantam kepalanya. Harimau itu meraung keras.

Tapi tubuhnya tidak terluka sama sekali! Melihat bagaimana

senjata itu tak berbekas ditubuh lawannya, Aditia segera

mambuang goloknya kelantai. Melihat hal itu, kedua kakak

beradik segera maklum dan masing-masing mereka

mengeluarkan aji pukulan masing-masing. Binatang itu

menyerang lagi. Aditia mengirimkan pukulan tangan kanan


kekepala lawannya. Harimau itu mengaum keras. Tubuhnya

mental beberapa tombak. Namun jatuhnya tetap dengan

keempat kaki lebih dahulu sekalipun agak terhuyung. Sadang

Aditia merasakan tangannya pedas. Jotosan tangan kanan

Suwantra menghantam rahang kiri harimau yang seekor lagi

sedang tinju adiknya menghajar rahang kanan sehingga

binatang itu tergenjet diantara dua buah pukulan yang keras

dan berisi tenaga ajian yang hebat. Harimau membuka kedua

mulutnya, mengeluarkan aum kesakitan. Dia terjatuh dengan

nanar, sebelum menyerang lagi kaki kanan Suwantra

menendang lehernya. Binatang itu terdongak keatas dan untuk

pertama kalinya terguling dilantai batu.

Serangan ketiga dari lawannya, disambut dengan pukulan

beruntun oleh Aditia. Tinju kiri mengirimkan aji tapak berapi

sedang tinju kanan aji gada dewata. Binatang itu mengaum

dahsyat. Mata kirinya yang terpukul, pecah berantakan sedang

hidungnya robek-robek berlumuran darah! Tapi binatang itu

masih menyerang. Masih berusaha menggapaikan kuku- kukunya yang panjang tajam ketubuh lawannya. Aditia

menangkap kedua kaki depan binatang itu, menariknya dengan

sekuat tenaga, semakin keras...... semakin kuat dan akhirnya

selangkangan kaki depan harimau itu robek terus sampai ke

bagian perutnya berbusaian keluar! Dengan satu bantingan

keras. Aditia mencampakkan tubuh binatang itu kesudut

ruangan. Harimau yang seekor lagi juga sudah menemui

ajalnya. Patah lehernya karena dihujani tendangan-tendangan

keras oleh kedua kakak beradik itu!

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang

laki-laki dengan potongan yang aneh dahsyat telah berada

didalam ruangan itu. Tubuhnya hampir dua meter. Lehernya

panjang. Kulitnya bewarna coklat. Tubuhnya hanya ditutupi

sebuah cawat yang ketat sekali. Otot-ototnya mulai dari kaki

sampai kebahu bertonjolan menandakan kekekasannya.

Dadanya yang bidang itu ditumbuhi oleh bulu. Begitu juga kaki

dan tangannya. Kepalanya yang sulah hanya mempunyai sedikit

rambut pada bagian atasnya yang diikat merupakan sebentuk

kuncir. Hidungnya bengkok tinggi dan matanya merah. Dia


berdiri dengan tangan kedua tangan diatas dada sedang kakinya

merenggang sedikit. Dia memandang pada ketiga orang itu

dengan matanya yang merah. Tiba-tiba dia tertawa berkakakan.

“Hua...... ha...... ha...... ha...... haa... ha...... Kalian berhasil

membunuh mereka......?! Hua...... ha...... ha...... ha...... ha......

Bagus! Hebat! Sungguh hebat! Kini perlihatkan kepandaianmu,

tunjukkan kesaktianmu padaku. Kalian ingin pedang itu

bukan...... ambil..... boleh ambil. Tapi serahkan kepadaku njawa

kalian! Hua...... ha...... ha...... ha......!”

Aditia menggeser kemuka. Tiba-tiba dia dibentak oleh orang

jangkung itu. “Tetap ditempatmu! Kau jangan ikut campur.

Yang punya urusan adalah mereka, kedua kakak beradik itu.

Mereka yang menginginkan pedang dan merekalah yang harus

menghadapiku. Aku tidak takut dikeroyok! Ayo maju kalian!”

Suwantri merasa ngeri juga melihat kedahsyatan laki-laki itu. Tapi ketika dilihatnya kakaknya maju dengan hati tetap dia pun

melangkah pula. “Hati-hatilah Suwantri......” bisik Aditia dari

samping. Suwantra datang dari samping kanan sedang adiknya

dari samping kiri. Mereka menggenggam golok masing-masing

dengan erat. Tiba-tiba mereka menyerang, Orang tinggi itu

melesat keatas. Tubuhnya mengapung secara aneh diudara.

Tiba-tiba kedua kakinya menendang kearah kedua musuhnya,

anginnya deras sekali! Suwantri dan kakaknya merunduk cepat.

Tangan mereka bergerak cepat, membabatkan golok kekaki

lawan, Serangan yang dilakukan dengan gerakan cepat itu

dielakkan dengan mudah oleh si tinggi, malahan dia hampir

saja berhasil menjambak kepala kedua orang itu. Mereka kini

bergerak cepat, menyerang musuhnya dari dua penjuru dengan

cepat dan gencar. Orang tinggi itu mengelak kian kemari

dengan gesitnya. Secara tak terduga, dia balas menyerang.

Suwantri yang diserang menangkis dengan lengan kiri. Kedua

tangan sama beradu dan Suwantri terhuyung-huyung

kebelakang hampir jatuh kelantai. Tangannya yang dipakai

untuk menangkis tampak merah. Aditia cepat memegang bahu

gadis itu. Tangannya yang terpukul segera diusap-usap oleh

Aditia. Pemuda itu mengalirkan tenaga dalamnya. Rasa sakit

segera hilang. Tangan yang terpukul itu pulih kembali sebagai


sediakala. “Majulah kembali, Suwantri...... tapi hati-hatilah. Aku

tak bisa membantu. Kita harus memegang adat ksatria. Aku

baru akan turun tangan kalau kalian sudah terdesak nanti! Aku

percaya bahwa kalian akan menang dan berhasil. Majulah aku

doakan kalian!”. Dengan tenaga dan kekuatan baru, gadis itu

maju kembali. Suwantra, telah terdesak hebat oleh musuhnya.

Waktu dia kepepet kedinding dia mempercepat gerakannya dan

balas menyerang. Musulnya harus hati-hati kini. Tangkisan-

tangkisan lengan Suwantra menggetarkan tangannya dan terasa

perih. Suwantri datang dari samping. Meloncat kemuka dan

mengirimkan tendangan kearah tulang rusuk lawannya.

Manusia bertubuh aneh itu memiringkan badannya. Dengan

tangan kanannya dia coba untuk menangkap kaki gadis itu.

Suwantri membabat tangan yang terulur dengan golok yang

ditangannya sambil menarik pulang kaki kanannya. Musuhnya

sama sekali tak mengacuhkan sambaran golok. Bagian yang

tajam dari senjata itu menghantam lengannya. Golok mental

sedang tangannya hanya bertanda merah! Suwantri terkejut

dan dalam terkejutnya itu hampir saja lawannya mencelakainya

kalau tidak kakaknya berhasil memukul perut laki-laki itu.

Satu menit kemudian, dalam satu serangan hebat, musuh

berhasil merampas golok yang ditangan Suwantra. “Pisau dapur

tengik dipakai untuk berkelahi!” ejek orang itu dan dengan satu

tangan dipatahkannya senjata itu, patahannya dilemparkan

kearah kedua musuhnya. Suwantra jumpalitan diudara sedang

adiknya membuang diri kesamping. Kini ketiganya bertempur

dengan tangan kosong. Dua kali Suwantra kena dipukul oleh

lawan, membuat pemuda itu terhuyung-huyung kebelakang.

Namun dengan gigih dia maju kembali. Pada jurus kesembilan,

Suwantra memberi isyarat kepada adiknya. Dan dengan tiba-

tiba gerakan ilmu pukulan kedua kakak beradik itu jadi

berubah. Mereka mengirim serangan-serangan aneh yang

gencar kearah lawannya sambil tubuh keduanya terputar-putar

cepat membentuk lingkaran mengurung musuh ditengah-

tengah. Gerakan-gerakan yang aneh ini membuat orang itu

terkesiap. Dan inilah kesalahannya. Dalam menghadapi ‘rantai

pamusing’ yang dibuat oleh kedua kakak beradik itu, seseorang


tak boleh berhenti atau gugup sekalipun hanya dalam beberapa

detik saja. Sekali dia memandang kearah putaran tubuh kedua

lawannya maka kepalanya akan dibikin pusing. Terlebih lagi

ketika arah putaran diubah-ubah oleh kedua kakak beradik itu.

Bertubi-tubi pukulan-pukulan Suwantra dan adiknya

menghujani kepala laki-laki itu. Darah mengalir dari hidung

dan telinganya. Dalam keadaan babak belur seperti itu tiba-tiba

dia melolong tinggi seperti serigala kelaparan ditengah malam

buta. Tubuhnya bergerak cepat dan Suwantra bersama adiknya

terlempar kesamping. Kini keduanya yang terpaksa menerima

hajaran-hajaran keras dari lawannya. Dua kali Suwantra jatuh

terjajar kelantai setelah dihantam dada dan tengkuknya.

Suwantri yang terserempet tinju terpelanting berputar-putar.

Namun keduanya bangun kembali dan mengurung lawan yang

tangguh itu dengan lebih rapat. Keduanya mengeluarkan

berbagai ilmu pukulan yang dilancarkas dengan cara aneh- aneh. Seluruh tubuh lawan telah babak belur oleh jotosan-

jotosan namum tampaknya orang itu semakin kuat, nafasnya

tidak berubah sedikitpun juga. Tubuhnya semakin licin liat

sehingga berkali-kali tinju kedua kakak beradik itu meleset dari

sasaran. Lima jurus lagi. Tampaknya perkelahian ini tak akan

ada akhirnya.

“Kurang ajar! Kalian manusia-manusia cilik punya ilmu

kepandaian juga, hah. Tunggu. Sebentar lagi akan kulumatkan

tubuh kalian”. Orang itu mundur dengan cepat kedinding.

Tangan kirinia memukul salah satu bagian dari batu dinding

dan tahu-tahu secara aneh, sebuah pintu terbuka. Sebuah

ruangan kecil terlihat. Didalamnya terdapat sebuah senjata

yang berbentuk dahsyat yaitu sebuah penggada berduri yang

panjangnya lebih dari satu meter. Aditia tahu tenaga manusia

biasa tak akan sanggup mengangkat penggada itu dengan dua

buah tangan. Tapi dia, manusia jangkung itu mengangkatnya

dengan hanya satu tangan! “Kalian lihat ini? Ha...... ha......

ha...... Akan kutumbuk lumat-lumat tubuhmu, tulang-tulangmu

dengan benda ini. Ayo majulah!”

Kedua kakak beradik itu memperhatikan gerakan musuhnya

dengan waspada. Si jangkung melesat kemuka. Senjatanya


memapas sekaligus kearah kepala kedua lawannya. Suwantra

dan adiknya merunduk. Angin senjata itu yang menyambar

kepala mereka terasa memusingkan mereka. Aditia sendiri yang

berada jauh dapat merasakan sambaran angin itu. Penggada itu

terus memapas dan membabat kian kemari. Dalam kurang dari

setengah menit saja Suwantra dan adiknya terdesak hebat. Dan

agaknya mereka tak akan sanggup lebih lama lagi bertahan dari

serangan lawannya.

Aditia menggerakkan tangannya, mengharap agar salah

seorang dari kedua kakak beradik itu melihatnya. Pada

lambaian tangan yang kedua barulah Suwantra dapat

menangkap gerakan tersebut dengan sudut matanya. Dia segera

memberi isyarat kepada adiknya. Dan kedua orang yang

didesak itu segera mundur kedekat Aditia. Pada jarak sepuluh

langkah, sebuah benda bersinar merah menyilaukan melesat

kearah Suwantra. “Pergunakan keris itu Suwantra!” teriak

Aditia. Dengan satu gerakan cepat pemuda itu menangkap hulu

keris merah yang dilemparkan kepadanya. Musuhnya coba

untuk menyampok tapi tak berhasil karena dari samping

Suwantri mengirimkan tendangan kearah bawah perutnya.

Manusia jangkung itu mengerenyitkan keningnya ketika

melihat keris yang ditangan Suwantra. Dia bergidik

memandang sinar yang keluar dan senjata itu. “Ayo Suwantra!

Tunggu apa lagi!” terdengar seruan Aditia. Dengan cepat

Suwantra melesat kemuka. Dia merasakan tubuhnya jauh lebih

enteng dari tadi sedang tangan kanannya yang memegang keris

itu seperti ada yang membimbing. Lawannya memapas dengan

penggada maut. Suwantra menunduk dan adiknya

mengirimkan jotosan kearah kepala lawan. Orang itu memutar

penggadanya. Maksudnya hendak menghantam pinggang

Suwantri. Tapi niatnya terpaksa diurungkan. Keris merah yang

ditangan lawannya yang satu lagi dengan tiada terduga-duga

meleset menyambar kearah tenggorokannya. Dia melompat

kebelakang. Suwantra terus mengejar. Sinar merah bergulung- gulung mengurung penggada. Orang tinggi berhidung bengkok

merasakan matanya perih karena sambaran angin dari keris

sakti itu. Dia terdesak kepojok kiri. Langkahnya terhenti waktu


punggungnya menbentur dinding. Dia tak bisa bergerak lagi.

Dikiri Suwantri. Itu tidak diacuhkannya tapi serangan dari

kanan adalah yang mengecutkan hatinya. Gulungan sinar

merah berbuntal-buntal dimuka hidungnya. Dia berusaha

mengelak kian kemari tapi percuma! Pada akhirnya dadanya

kena juga tertusuk senjata lawan. Dada itu rengkah dan

kulitnya hangus seperti terbakar. Dia melosoh dan jatuh duduk

dilantai. Gada yang ditangannya jatuh menimpa kedua kakinya

yang menjulur dan kaki itu hancur!


Untuk beberapa lamanya orang itu memandang kepada

kedua kakak beradik. Kemudian dia tersenyum aneh sekali.


Bibirnya terbuka. “Tiga puluh tahun aku menjaga kedua senjata

itu dan akhirnya kalian datang juga...... Sebelum kalian sudah

enam orang yang mencoba untuk mengambil benda-benda sakti

itu. Semuanya datang hanya untuk mengantar nyawa. Seluruh

tubuh mereka dimakan tak bersisa oleh kedua anak-anakku, si

Belang dan si Loreng. Kalian telah berhasil mengalahkan

mereka...... kalian telah berhasil mengalahkanku...... itulah satu

pertanda bahwa kalianlah yang berhak memiliki pedang

bintang bulan itu. Aku puas...... aku rela dan aku bahagia dapat

mati ditangan kalian...... kalian manusia-manusia yang gagah

perkasa. Ambil...... ambillah kedua pedang itu. Sucikanlah

mereka karena selama ini mereka dipakai untuk kejahatan......

Ambillah manusia-manusia gagah......”. Orang itu memutar

kepalanya ketempat dimana kedua pedang keramat itu terletak.

Begitu matanya menangkap kedua senjata itu maka bersamaan

dengan itu melayanglah njawanya. Suwantri memeluk

kakaknya erat-erat. Air matanya berlinang-linang dan kedua

kakak beradik itu melangkah kearah batu dimana kedua pedang

yang diwariskan oleh guru mereka Kiai Ahmed Pasya telah

berhasil mereka dapati melalui usaha yang berat!! *

* *

Mereka sampai dirumah itu dan disambut dengan gembira

oleh Gaek Leman. “Syukur kalian kembali dengan selamat.

Berhasilkah maksud kalian?”.

“Berkat doa Bapak, kami berhasil.....” jawab Suwantra.

“Selamat...... selamat...... selamat!” Orang tua itu melirik

kepada Aditia. “Sudahkah kalian tahu? Sudahkah kalian

mendengar kabar?!”

“Kabar apa Bapak......?” tanya Aditia ingin tahu, begitu juga

Suwantra dan adiknya.

“Heboh seluruh Parak Jua ini, heboh seluruh Batusangkar!

Pesta perkawinan dirumah Datuk Mayo Sati sedang

berlangsung dengan ramainya. Kedua Penganten telah duduk

bersanding. Tiba-tiba datanglah lima orang petugas keamanan


negeri dari Bukittinggi! Dihadapan tamu-tamu yang ramai itu,

dihadapan ninik mamak kedua mempelai maka dibacakanlah

surat perintah dari kepala negeri Bukittinggi yaitu Bukhari

ditangkap dan harus dibawa hari itu juga ke Bukittinggi. Dia

dituduh dengan bukti-bukti bahwa di Bukittinggi dia menipu

seorang saudagar, mencuri kalung seorang anak gadis dan

membuat perbuatan mesum dengan bini orang!”. Ketiga orang

itu, terlebih-lebih Aditia memandang kepada Gaek Leman

dengan mata terbelalak.

“Tapi...... dia anak orang kaya dan beradat, hendak berbuat

seperti itu......?” tanya Suwantri, Gaek Leman menjawab. “Kalau

manusia itu dasarnya dajal dan berhati jahat, bukan dia

keturunan orang kaya, bukan dia keturunan orang beradat,

kalau mau berbuat jahat, ya jahat juga! Kalau dasarnya dajal, ya

dajal juga?! Tapi dengarlah, keteranganku belum lagi habis.

Bukhari digiring kerumah orang tuanya, disana harus

ditanggalkannya pakaian raja seharinya, pakaian

pengantennya! Lalu petugas-petugas itu membawanya ke

Bukittinggi. Akan Nurani, begitu selesai pembawa surat

perintah membacakan surat, maka dia jatuh roboh, pingsan

dalam pangkuan pasumandan!”. “Kasihan gadis itu......” desis Suwantri.

“Dan......” kata Gaek Leman meneruskan keterangannya.

“Seluruh pesta perkawinan itu jadi heboh kacau balau. Yang

menangis, menangis juga sedang dibelakang, yang mencuri

gulai, mencuri juga! Pada sore hari jadi beberapa jam sesudah

panangkapan atas diri penganten laki-laki, maka ditemui

oranglah Datuk Gampo Alam. Mamak laki-laki Nurani, mati

menggantung diri didalam kamarnya!!!”.

“Ya Tuhan......” desis Aditia dengan suara gemetar. Tubuhnya

menggigil. “Semoga Kau ampunilah dosa mereka itu

semuanya...... Allahu Akbar......”. Pemuda itu memutar

tubuhnya dan masuk kekamar.

Setejah dilihatnya pemuda itu selesai sembahyang isya,

Suwantri berdiri diambang pintu. “Aditia...... bolehkah aku

bicara denganmu......


“Kau Suwantri, ada apa? Baik...... aku akan tukar pakaian

dulu......” jawab Aditia.

“Aku tunggu kau diluar, Aditia. Dibawah pohon

mengkudu......” dan gadis itu membalikkan dirinya.

“Mulailah, Suwantri...... apa yang ingin kau bicarakan

denganku!”

“Aditia. Kau masih mencintai gadis itu bukan......?”

“Suwantri!”

“Katakanlah terus terang...... kau masih mencintai Nurani

sebagai sediakala bukan?”.

“Suwantri, mengapa kau tanyakan hal itu......”.

“Kasihan dia, Aditia...... kembalilah kepadanya. Kembalilah,

aku seorang perempuan karena itu aku tahu bagaimana

perasaannya saat ini. Dalam saat seperti ini dia tentu

mengharap kedatanganmu...... Dia masih suci......”.

“Tapi cintanya tidak lagi suci, Suwantril”

“Kalau kau tak kembali kepadanya, berarti kau sangat kejam

Aditia!”

“Kejam? Aku kejam? Siapakah yang kejam antara aku

dengan dia? Dibawa larinya hatiku, dibawa larinya jiwa dan

kehidupanku dan diberikannya pada orang lain! Siapakah yang

kejam diantara kami Suwantri......? Memang dulu aku

mencintainya adik. Dulu! Dan aku ditinggalkannya. Sekarang

kau suruh aku kembali kepadanya, kau suruh aku

memperhambakan diri kepadanya kau suruh aku mengemis

cinta kepadanya! Dulu kau ajar kau tunjuki aku agar berhati

jantan dan bersikap satria, kini kau suruh aku berlemah diri.

Apakah maksudmu Suwantri?!”

“Tidak ada maksud apa-apa........ Aditia. Aku hanya kasihan

Pada Nurani”. Aditia menyeka peluh dingin yang membasahi

mukanya dan keheningan menyelimuti mereka. “Jadi itukah

yang ingin kau bicarakan padaku. Suwantri?” Gadis itu

mengangguk. “Dan sekarang bolehkah aku yang bicara

padamu?”. Suwantri memandang kemata pemuda itu

dikegelapan malam. Hatinya berdebar. Pertanyaan pemuda itu

dikeluarkan jauh berlainan dengan nada suaranya yang tadi-

tadi. Tanpa menunggu jawaban gadis itu Aditia berkata. “Dulu


aku pernah mengenal seorang gadis. Seorang gadis yang

menungguku dengan hati sabar, dengan cinta yang tak pernah

kuketahui. Aku tahu selama ini aku telah membuat dia kecewa.

Betapa besarnya dosa mengecewakan hati seorang gadis.

Bagiku tak ada jalan lain Suwantri...... aku harus kembali

kepadanya. Entah dia masih menungguku entah tidak......”.

Muka gadis itu tampak pucat pasi. Bibirnya bergetar dan

dadanya turun naik. Aditia melangkah mendekati, memegang

bahu gadis itu. Matanya memandang dalam-dalam kemata yang

berkaca-kaca dihadapannya. “Suwantri...... aku tak punya apa- apa di dunia ini...... kalau kau masih mengharapkan aku seperti

dulu, kalau kau benar mencintaiku, aku juga mengharapkanmu,

aku juga mencintaimu, adik. Sudikah kau menerima cintaku, mengabulkan harapanku. Aku tak punya apa-apa, aku hanya

punya hati dan kasih sayang untukmu. Wantri......”. Gadis itu

undur dua langkah, tapi langkahnya terhenti karena

punggungnya tertahan oleh batang mengkudu yang

dibelakangnya. Matanya terbuka lebar dan memandang tepat-

tepat kemuka pemuda itu dengan rasa tak percaya.

Benarkah...... tak salahkah pendengarannya tidak bermimpikah

dia? Pemuda itu mencintainya!

“Suwantri..... katakanlah bahwa kau masih mengharapkanku,

bahwa kau masih mencintaiku dan katakanlah kalau semua itu

tidak......” ujar Aditia pula sambil melangkah mendekati gadis

itu. Air mata semakin deras membasahi pipi Suwantri.

“Semenjak kau pergi Aditia, semenjak kau meninggalkan

aku, semenjak itulah aku selalu mengharapkanmu. Aku

mencintaimu kakak, bukan saat ini saja. Tapi sejak empat tahun

yang lalu, sampai sekarang, sampai nanti untuk selama-

lamanya......”.

Pemuda itu maju satu langkah lagi. Wajah gadis itu berada

dekat sekali dibawah dagunya. Dipegangnya pipi gadis itu

dengan kedua telapak tangannya. Diciumnya kedua mata yang

basah oleh air mata itu. Suwantri menurunkan kepalanya dan

membenamkannya dalam-dalam didada pemuda itu. Keduanya

berpelukan erat-erat seolah-olah tak hendak dilepaskan lagi!

Dua tubuh berangkul rapat, dua hati saling bertemu dan satu


paduan cinta murni mulai bersemi untuk kemudian tumbuh

ditaman bahagia, makin besar...... makin besar......

Mereka sampai dikampung Kuliki dan langsung menuju

kerumah pencari ikan dimana Suwantra menitipkan perahu.

Aditia berjalan disisi gadis itu. Sebelum mereka menuju ketepi

sungai, Aditia membalikkan tubuhnya, memandang kearah

gunung Merapi yang menjulang dikejauhan. “Selamat tinggal

tanah Minang, selamat tinggal negeri beradat. Burung yang

dulu hilang kini telah kudapat gantinya. Lebih cantik, lebih

setia, lebih jujur dan lebih kukasihi......”. Pemuda itu menoleh

pada kekasihnya, mengerlipkan matanya dan keduanya sama

tersenyum. Dipegangnya jari-jari yang halus lembut dari gadis

itu dan dengan bergandengan tangan mereka melangkah

menuju ketepi sungai, dimana Suwantra...... calon ipar dari

Aditia...... telah menunggu di dalam perahu.


                              Tamat

















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive