Asmara Di Tanah Minang
BINTANG terakhir yang masih ada diangkasa raya hilang
lenyap tiada berbekas seperti setitik air yang jatuh ketengah-
tengah gurun pasir tandus ketika cahaya pagi mulai
membayang keemasan diufuk timur. Air laut tampak tenang.
Angin pagi menghembus nyaman kearah pantai seakan-akan
mengiringi arusnya ombak-ombak kecil yang memecah ditepi
pasir. Ditengah laut, berpuluh-puluh perahu nelayan dari segala
macam bentuk dan besarnya tampak menghadap kearah pantai.
Semuanya sama menuju pulang. Layar perahu-perahu itu yang
rata-rata banyak tambal-tambalannya menggembung ditiup
angin laut dan perahu meluncur laju diatas air, berlomba-lomba
untuk mencapai pantai lebih dahulu. Sore kemarin nelayan- nelayan itu sama meninggalkan pantai menuju ketengah laut
lepas mencari nafkah yang telah disediakan Tuhan disana,
hanya tinggal mengambilnya saja lagi dengan usaha. Setelah
satu malam suntuk berada di tengah lautan diselimuti
kegelapan dan kedinginan maka ketika pagi mulai membayang
merekapun kembalilah pulang dengan hasil masing-masing
berupa ikan. Yang kembali dengan membawa ikan dalam
jumlah yang banyak berdendang dengan gembira sedang yang
memperoleh hasil sedikit tidak pula bersedih hati atau
menggerutu dalam hati. Mereka tahu bahwa cukup itulah rezeki
mereka hari itu. Besok mungkin lebih atau mungkin kurang.
Gugusan kepulauan Karimata yang terletak dipantai barat- daya pulau Kalimantan terdiri atas beberapa puluh buah pulau
yang kecil dan yang besar! Satu diantara pulau-pulau itu,
terletak jauh terpencil dari yang lain. Tak seorang nelayan atau
penduduk pantai yang pernah mendarat dipulau itu. Menurut
kata orang, pulau kecil yang letaknya terpencil itu mempunyai
‘penunggu’, mempunyai ‘penghuni’. Seringkali penduduk yang
tinggal ditepi pantai melihat benda aneh yang mengeluarkan
sinar berkilauan seperti pecahan bintang melesat dari pulau itu.
Kabar itu membuat setiap nelayan semakin menjauh dari pulau
tersebut sehingga boleh dikatakan tak satu manusiapun yang
pernah menginiak pulau itu, apa lagi tinggal disana. Penduduk
pantai menamakan pulau itu pulau Keramat. Tiga tahun yang
lalu pernah dua orang muda dengan maksud hendak
menyelidik mengarungi lautan dengan sebuah biluk menuju
kepulau itu. Tapi mereka tak pernah kembali. Kabar beritanya
juga tak ada. Mereka hilang lenyap tanpa bekas.
Tapi apa yang diduga oleh kaum nelayan tentang pulau itu
adalah salah sama sekali, jauh panggang dari api. Pulau
Keramat itu tak sampai seratus meter persegi luasnya, tapi
pohon-pohon kelapa dan pohon-pohon lainnya tumbuh sangat
rapatnya disitu. Dan kalau pulau-pulau lain pada waktu air
pasang digenangi air sampai seperempat bahkan ada yang
sampai sebagiannya, maka pulau yang satu ini tetap seperti
sediakala. Mungkin hal-hal yang aneh-aneh tentang pulau
inilah yang disampaikan dari mulut kemulut sehingga membuat
penduduk pantai menganggap pulau itu berpenghuni dan
keramat.
Sekali-kali angin laut bertiup agak kencang. Perahu-perahu
nelayan meluncur bertambah cepat. Daun-daun pepohonan
dipulau Keramat melambai-lambai seperti rambut gadis yang
ditiup angin nakal. Dipulau itu tampak banyak sekali buah- buah kelapa yang pecah-pecah berantakan bertebaran diatas
tanah. Hal apakah yang menyebabkannya? Kelapa-kelapa tua
yang jatuh ketanah tak mungkin akan pecah serupa itu
sekalipun bagaimana juga tinggi batangnya. Atau mungkin ada
kera-kera yang menggerogoti buah-buah itu yang menjadi
penghuni pulau seperti yang diduga oleh nelayan-nelayan ditepi
pantai? Kemungkinan ini pula masuk diakal.
Desiran-desiran daun pepohonan yang ditiup angin tak
sanggup memecahkan kesunyian yang membisu dtpulau itu.
Seekor bengkarung hijau meluncur dibawah semak-semak yang
lebat. Dimuka sana dia berhenti sebentar. Dengan kedua
matanya yang kecil itu dia memandang berkeliling. Setelah
dirasakannya keadaan sekelilingnya aman dia segera meluncur
kembali, menuju ketepi telaga yang berair jernih diseberangnya.
Ya, secara tak terduga, dipulau itu terdapat sebuah telaga kecil.
Dan lebih tak terduga lagi, ditepi telaga sebelah kekiri berdirilah
sebuah pondok kecil! Berdinding papan-papan kayu kasar dan
beratap daun-daun kelapa yang kering, Aneh, benar-benar
aneh. Pondok siapakah itu? Manusia mana pula yang berdiam
ditengh-tengah pulau yang disangkakan orang tak pernah
diinjak manusia itu?
Bengkarung hijau tadi membuka mulutnya yang panjang
kecil, mengulurkan lidahnya dan meminum air telaga beberapa
tetes banyaknya. Setelah puas, dengan cepat dia memutar
tubuh, meluncur seperti kilat dan manghilang diantara lebatnya
semak belukar. Sementara itu didalam pondok kecil tadi yang
ditepi telaga terdengar suara orang berkata-kata. Suaranya
satu-satu, tidak begitu keras tetapi tegas dan jelas.
Orang yang tengah berkata-kata itu berumur hampir delapan
puluh tahun. Janggutnya menjela sampai kepangkuannya.
Kumisnya yang lebat tapi lunak lembut menjadi satu dengan
janggutnya yang panjang. Keseluruhannya berwarna putih
seperti warna salju diatas puncak gunung yang tinggi. Orang tua
ini mempunyai hidung yang tinggi mancung. Keningnya lebar
dan penuh dengan guratan, ketuaan. Dibawah kedua alis mata
yang putih itu terletak kedua matanya yang besar bercahaya.
Diatas kepalanya terdapat sebuah sorban putih yang berjurai
benang sutera pada ujungnya. Pakaian yang dipakainya yaitu
jubah dalam juga terbuat dari kain putih yang berkilat tapi
bukan sutera. Dan dia duduk bersila diatas sebuah bantalan
kain yang bewarna hijau tua.
Dihadapannya, diatas sebuah permadani lama, duduklah dua
orang muda. Wajah keduanya sangat tampan, tapi agak lebih
tampan yang termuda usianya. Kulitnya lebih putih dan halus,
seperti kulit perempuan. Jari-jari tangannya panjang-panjang
dan halus lembut. Dari paras kedua anak muda ini dapatlah
diketahui bahwa mereka tentunya adalah dua bersaudara,
kakak dan adik. Keduanya duduk bersila dengan takzim dan
memandang kepada orang tua yang dihadapannya,
mendengarkan apa yang dikatakannya,
“Murid-muridku, anak-anakku, segala sesuatunya didunia ini
dijadikan Tuhan serba berlawanan. Kalau dijadikanNya maka
diciptakanNya pula bumi. Kalau diciptakannya daratan,
dibuatNya pula lautan. DijadikanNya laki-laki, dijadikanNya
perampuan. Ada baik ada buruk, ada senang dan ada susah.
Ada orang yang kaya dan ada pula yang miskin. Pokoknya
segala apa saja akan selalu terdapat perlawanannya, dan begitu
jugalah dengan kalian. Kalian dan aku, guramu. Bagi kita
manusia ada pula masa datang dan ada masa pergi, masa
berpisab. Tiga tahun yang lalu kalian berdua datang ketempat
ini dan kusambut dengan senang hati, dengan tangan terbuka.
Kujadikan kalian murid-muridku dan selama tiga tahun itu
kalian telah belajar segala macam ilmu dariku, ilmu dunia dan
ilmu akhirat. Selama tiga tahun kalian tinggai bersamaku,
mengabdi dan setia kepadaku, mematuhi segala perintahku
dengan setulus hati. Aku bangga anak-anak, aku senang dan
bersyukur kepada Tuhan seru sekalian alam yang telah
mengirim kalian untuk datang kesini. Sebelum kulepas kalian
kurasa perlu untuk memberikan nasihat dan wejangan- wejangan yang harus kau ingat betul-betul selama hayatmu.
Murid-muridku, ketahuilah, Tuhan menciptakan jagat raya ini,
termasuk bumi dimana kita tinggal atas dasar kasih sayang,
karena sifatnya yang Arrahman dan Arrahim. Dan karena itu
wajiblah kita hidup diatas bumi ini saling kasih mengasihi satu
sama lain, bukan saja kasih mengasihi terhadap orang tua dan
saudara tapi juga terhadap semua manusia, terhadap orang lain
yang sekalipun tidak kita kenal. Dan karena ilmu yang
kuberikan kepada kalian adalah ilmu yang direlakan Tuhan,
untuk kebaikan dunia dan akhirat maka pegang teguh tersebui,
pergunakan untuk kebaikan, pergunakan untuk membasmi
segala macam perbuatan jahat, pergunakan untuk menumpas
manusia-manusia yang terang-terangan menentang Tuhan,
menentang rasul-rasulNya, menentang ajaranNya, menentang
Agama yang diturunkanNya. Berjalanlah diatas garis
kebenaran, berbuat jujur, saling mengasihi sesama makhluk
tapi jangan sampai pula lupa memegang teguh sifat ksatria,
sifat kejantanan. Dan kau Suwantri, sekalipun kau seorang
perempuan tapi wajib dan harus bagimu bertindak jantan dan
gagah seperti kaum laki-laki, agar supaya segala macam
keburukan dunia, agar segala macam tipu daya dunia tidak
sampai mencelakaimu kelak. Dan juga demi keselamatanmulah,
Suwantri, maka kusuruh kau memakai pakaian laki-laki. Dunia
penuh dengan keserba salahan yang dibuat oleh manusia.
Perempuan cantik seperti kau ini akan menjadi perhatian setiap
mata laki-laki, menjadi sorotan mata si hidung belang, apalagi
kalau kau berada ditempat asing yang terpencil dimana akan
susah bagimu untuk menjaga diri bila terjadi sesuatu yang tak
diharapkan.
Murid-muridku, sebagai seorang guru yang miskin, aku tak
mempunyai apa-apa untukmu. Aku tak mempunyai senjata
senjata sakti dan keramat yang bisa kuwariskan kepada kalian.
Namun janganlah kalian berkecil hati......”.
“Ilmu dan kepandaian apa yang telah Kiai berikan selama
tiga tahun ini sudah lebih dari segala macam senjata sakti
manapun, dan selama hidup kami tak akan pernah rasanya
terbilas segala jasa Kiai itu oleh kami”, kata anak muda yang
duduk dimuka orang tua itu. Dia yang dipanggilkan Kiai
mengangguk-anggukkan kepalanya yang bersorban dan berkata
lagi : “Dengarlah baik-baik murid-muridku. Aku akan
menceritakan satu kisah nyata kepada kalian. Satu kisah nyata
yang akan dapat mewariskan senjata kepada kalian sekalipun
bukan warisan langsung dariku, tapi warisan yang harus kalian
terima dengan usaha dan jerih payah”.
Kedua orang muda yang duduk diatas permadani dihadapan
orang tua itu saling bertanya-tanya dalam hati, kisah apakah
yang akan dipaparkan guru mereka? Keduanya segera
memasang telinga ketika dilihatnya orang tua itu membuka
mulutnya kembali.
“Dahulu kala dimasa Nabi Muhammad s.a.w. bersama
sahabat-sahabatnya berjuang melawan orang-orang kafir yang
tak mau tunduk dan memeluk agama Islam bahkan menghina
dan memerangi Nabi bersama pengikut-pengikutnya maka
diantara orang-orang yang berperang difihak Nabi terdapat
sepasang suami istri yang turut berjuang membela agama
Tuhan. Kedua suami istri ini tak diketahui siapa namanya dan
dari mana asaInya. Namun setiap terjadi pertempuran antara
pasukan Nabi dan bala tentara orang-orang kafir keduanya
muncul dengan tiba-tiba tak diketahui. Sepasang suami istri ini
mempunyai sepasang pedang putih bercahaya yang terbuat dari
baja murni yang sangat ampuh dan sakti sekali. Hulu kedua
pedang itu terbuat dari emas. Pedang milik yang perempuan
pada hulunya terukir gambar sebuah bulan sabit sedang pada
hulu pedang kepunyaan yang laki-laki terukir lukisan bintang,
kedua suami istri disamping sahabat-sahabat Nabi lainnya
maka boleh dikatakan tak pernah Nabi mengalami kekalahan
didalam setiap pertempuran. Ketika Nabi wafat sepasang suami
istri itupun tak pernah dilihat orang lagi. Beberapa tahun
kemudian sepasang pedang yang pernah dipakai dalam
pertempuran-pertempuran oleh suami istri tadi berada
ditangan seorang saleh dikota Medinah. Namanya Ahmad yang
kemudin ternyata adalah putera satu-satunya dari sepasang
pendekar tadi. Ahmad kemudian kawin dengan seorang
perempuan Persi yang beragama Islam dan memiIiki dua orang
anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki
bernama Khatab dan yang perempuan Zubaidah. Ketika
berumur delapan tahun Zubaidah maninggal dunia dalam satu
serangan demam panas. Seperti ayahnya, Khatab juga berumah
tangga dengan seorang puteri Persi. Mempunyai satu anak laki-
laki yang dinamai Ibrahim mempunyai dua orang istri.
Disinilah pangkal mulanya terjadi perselisihan. Dari istrinya
yang pertama, Ibrahim mempunyai satu anak laki-laki dan satu
perempuan. Begitu juga dengan istrinya yang kedua. Timbullah
kesukaran yang rumit. Siapakah yang berhak menerima pedang
warisan yang turun temurun itu? Diberikan kepada anak-nak
dari istri pertama, anak-anak istri yang kedua tentu akan
menuntut haknya pula. Diberikan masing-masing satu pedang
tak mungkin pula. Ketika terjadi perselisihan yang hangat
karena warisan pedang sakti itu tiba-tiba terjadi kehebohan
dirumah Ibrahim bin Khatab. Lemari besi dimana disimpan
sepasang pedang keramat itu dibongkar orang, pedang lenyap!
Segera dilakukan penyelidikan yang teliti. Ternyata kedua
pedang itu dicuri oleh seorang kepala rampok. Pengejaran
segera dilakukan. Ibrahim bin Khatab menemui ajalnya dalam
pengejaran itu. Ditebas oleh pedang miliknya sendiri, yang
dilakukan oleh kepala perampok tadi. Begitu juga tiga dari
keempat orang anaknya yang turut melakukan pengejaran sama
menemui ajal diujung pedang ayahnya. Yang berhasil
menyelamatkan diri hanyalah anak tertua dari istri pertama
yaitu Sidik. Dengan seorang diri selama berminggu-minggu,
Sidik terus menerus membayangi jejak kepala rampok itu
sampai akhirnya pada suatu jejak-jejak yang diikutinya hilang
lenyap dan tak berhasil ditemui lagi. Sidik bin Ibrahim
kemudian pindah kenegeri Persi dan kawin dengan anak negeri
itu. Sekalipun dia sudah berada jauh dari tanah Arab namun
jejak dari pencuri pedang itu terus diselidikinya. Begitu juga
sampai keanak cucunya. Dan selama puluhan tahun, pedang
sakti itu telah berkali-kali berpindah tangan. Telah menjelajahi
berbagai macam negeri, seperti ketanah Utara ketangannya
orang-orang Viking, kemudian jatuh ketangan bangsa Noor,
lalu berpindah lagi kebeberapa negeri bangsa kulit putih.
Pernah pula jatuh ketangan seorang saudagar kaya dan
kemudian pedang itu dibeli oleh salah seorang raja Tiongkok
keturunan dinasti Wang Cu. Sepuluh tahun yang lalu pedang
yang berasal dari tanah Arab itu dikabarkan orang berada di
Tanah Melayu. Ketika pecah perang dinegeri itu, antara orang- orang Belanda dan orang-orang Portugis maka seorang sakti
tapi yang berhati jahat berhasil mencuri sepasang pedang tadi.
Kabarnya dia melarikan diri ketanah Nusantara ini dan
bersembunyi digunung Merapi. Kabar tentang adanya pedang
itu ditanah Nusantara ini sampai pula kepada turunan-turunan
Sidik, namun tak seorangpun dari mereka yang mengacuhkan
senjata-senjata keramat itu. Cuma satu dari mereka yang
mempunyai minat untuk memiliki kedua pedang itu kembali.
Orang ini mendengar kabar bahwa pedang-pedang tersebut
selama berpindah dari tangan ketangan telah dipakai untuk
perbuatan-perbuatan yang buruk dan jahat. Dipergunakan
untuk mengacau, untuk menebas leher manusia-manusia yang
tak berdosa dan lain sebagainya. Karena itulah sepasang senjata
itu harus kembali kepada pemiliknya sebelum dipakai lebih
banyak untuk merampas nyawa manusia yang tak bersalah.
Dan turunan Sidik yang kumaksudkan tadi, yaitu turunannya
yang kedua puluh sembilan berlayar mengarungi samudra luas
menuju kenegeri ini. Dan orangnya adalah aku sendiri..........”
“Kiai!” seru kedua muridnya dengan rasa terkejut. Keduanya
memandang kewajah gurunya. Seakan-akan mereka tak percaya
apa yang baru saja dikatakan orang tua itu.
“Kiai Ahmed Pasya, begitulah nama si orang tua tanpa
mengacuhkan rasa terkejut kedua muridnya meneruskan. “Aku
sampai kepulau Jawa ini kira-kira sepuluh tahun yang lalu.
Segera aku menuju kegunung Merapi yang terletak didaerah
Jawa Tengah. Enam bulan lamanya aku menyelidik didaerah
sekitar gunung itu, mulai dari kaki gunung sampai kepuncaknya
aku selidiki, setiap gua aku masuki namun sepasang pedang
yang dikabarkan dilarikan orang sakti itu kesana tidak juga
kunjung bersua. Sambil terus menyelidik menjelajahi setiap
tempat kukembangkan juga segala lImu pengetahuan dan
agamaku kepada penduduk pribumi. Aku tahu bahwa banyak
orang-orang dipulau Jawa ini yang telah memeluk agama Isiam
yang dikembangkan oleh para wali. Tapi ada pula segelintir
manusia durhaka yang menyebarkan sejenis agama yang
mereka katakan adalah agama Islam yang asli yang diturunkan
Tuhan kepada Nabi Muhmmad, tapi yang sesungguhnya telah
mereka selewengkan. Bertahun-tahun lamanya aku
memperbaiki penduduk yang telah tersesat itu. Mulai dari
ujung Timur pulau Jawa sampai keujung Barat. Umurku
semakin tua juga. Waktu aku pertama kali menginjakkan kaki
ditanah Jawa ini umurku sudah enam puluh tujuh tahun.
Akhirnya aku sampai kepulau ini. Entah mengapa hatiku
kemudian tertarik untuk tinggal menetap disini, bersunyi diri
menghabiskan umur sambil berbuat ibadat sebanyak- banyaknya. Dan kira-kira tiga minggu sebelum kalian tersesat
kepulau ini, aku mendengar kabar kedua pedang sakti yang
selama ini kucari-cari tersembunyi disatu gua dipuncak gunung
Merapi ditanah Minangkabau. Jadi selama ini aku sudah salah
duga menyangka bahwa pedang-pedang itu ada digunung
Merapi yang dipulau Jawa tak tahunya tersembunyi digunung
Merapi yang di Sumatera, dinegeri Minangkabau. Tapi pada
saat aku mendengar kabar itu, aku sudah terlampau tua. Sudah
mendekati umur delapan puluh tahun, tak mungkin lagi
rasanya untuk menentang arus menerjang ombak mengarungi
lautan pergi ketanah Minang. Dan didalam hatiku timbullah
niat hendak mempunyai murid yang baik yang akhirnya akan
pergi mengambil sepasang pedang bulan bintang itu sebagai
warisan sah dariku, sebagai pemberian dari seorang guru pada
murid-muridnya. Kalian berdua adalah kakak beradik. Satu
laki-laki dan satu perempuan. Tepat dan cocok sekali rasanya
kalau pedang itu jatuh ketanganmu. Maka karena itulah murid- muridku pergilah kalian mengarungi Samudra luas, menempuh
negeri Minang, mendaki gunung Merapi dan mengambil
senjata-senjata itu. Pedang-pedang yang suci itu telah terlalu
sering dipakai untuk kejahatan karena itu kalianlah yang akan
mensucikannya kembali. Dengan sepasang pedang itu didalam
tangan kalian, maka kalian akan menjadi dua pendekar kakak
beradik yang tak terkalahkan oleh musuh sakti manapun. Tapi
sesuai dengan sifat manusia-manusia yang tahu diri janganlah
kalian sampai lupa diri dan menjadi takabur dengan ketinggian
ilmu dan keampuhan senjata yang kalian miliki. Sesungguhnya
diatas orang yang bodoh ada lagi yang bodoh dan diatas orang
yang pandai lebih banyak pula orang yang lebih pandai.
Camkanlah murid-muridku.........”
Kedua muridnya, Suwantra dan Suwantri sama-sama
menjawab. “Akan kami camkan, Kiai......”
DUA
KIAI AHMED PASYA mengambil perasapan yang
disampingnya. Api perasapan itu ditiupnya beberapa kali
hembus kemudian disebarkannya setanggi. Lalu dengan kedua
telapak tangan menampung keatas dia mulai membaca doa-doa
suci. Selesai membaca doa, perasapan itu dikelilinginya
beberapa kali diatas kepala murid-muridnya satu demi satu.
Setelah meletakkan perasapan tadi ketempatnya semula, Kiai
Ahmed Pasya memandang murid-muridnya dan berkata,
“Suwantra, kau barsama adikmu Suwantri kuizinkan pergi
sekarang. Arungilah lautan luas, arungi daratan tanah Minang
dan kembalilah dengan cepat kekampung halamanmu bersama
kedua pedang sakti itu karena tentu ayah bundamu yang sudah
tua-tua itu sangat merindu, kedatanngan kalian. Selamat jalan
murid-muridku...... selamat berpisah anak-anakku. Restuku
bersamamu......” Kiai Ahmed Pasya berdiri. Kedua muridnya
mengikuti. Mereka memandang kewajah gurunya. Dan dalam
hati masing-masing mereka memaklumi bahwa itulah kali
terakhir mereka dapat menatap wajah Ahmed Pasya, guru yang
dihormati mereka. Sebelum turun dari tangga rumah, dipintu
belakang, Suwantra memeluk gurunya erat-erat dan mencium
tangan orang itu. Adiknya Suwantri meniru perbuatan
kakaknya. Diujung tangga sebelum menjejakkan kaki ketanah
mereka memandang berkeliling. Merenungi telaga kecil
dihadapan mereka tempat mereka selama ini mengambil air,
tempat selama ini mereka mandi pagi dan petang dan tempat
selama ini kawan bermenung bagi mereka kalau mereka tengah
merindui ayah dan ibu yang jauh dipedalaman daratan tanah
Kalimantan, ditanah Kayan. Kemudian sekali lagi mereka
menoleh kepada gurunya, tersenyum sedikit dan melangkahkan
kaki kebawah. Sebelum mereka menghilang dibalik batang- batang kelapa yang tumbuh rapat disebelah sana, keduanya
menoleh sekali lagi dan melambaikan tangan kearah orang tua
itu, Ahmed Pasya membalas lambaian tangan murid-muridnya.
Sebagaimana. Suwantra dan Suwantri memaklumi bahwa dia
tak akan lagi bertemu dengan gurunya itu, maka seperti itu
pulalah dimaklumi oleh si orang tua. Itulah penghabisan kali
baginya melihat kedua murid yang dikasihinya.
Kedua kakak beradik itu menyeruak dibalik semak-semak
dan berjalan kebagian timur pulau. Disebuah tempat yang
berbatu-batu dan tersembunyi dibalik pohon-pohon kelapa
yang dikelilingi oleh semak belukar setinggi kepala mereka
berhenti. Suwantra menguakkan semak belukar yang
dihadapannya. Sebelum memasuki semak-semak itu dia
bertanya pada adiknya, seorang gadis jelita yang berpakaian
laki-laki. “Apa tak salah agaknya bahwa disini dia kita
sembunyikan tempo hari?”. Adiknya mengangguk. Suwantra
menguakkan semak-semak lebih lebar dan masuk kedalam
sana. Tak berapa lama kemudian dia keluar menyeret sesuatu
barang yang besar panjang. Ketika sebagian dari benda itu
muncul dibalik semak-semak ternyata adalah sebuah biduk
yang lumayan juga besarnya. Biduk itu dibuat oleh kedua kakak
beradi itu kira-kira setahun yang lalu. Karena gurunya, Ahmed
Pasya memberikan pesan supaya biduk itu jangan diletakkan
ditepi pantai, takut akan kelihatan oleh nelayan-nelayan yang
banyak hilirr mudik ditempat itu, maka Suwantra
menyembunyikannya dibalik semak-semak yang lebat.
Terlindung dari hujan dan panas. Ternyata meskipun disimpan
sedemikian lamanya biduk itu tetap kuat utuh. Tak ada bagian- bagiannya yang dimakan tanah atau rayap. Layar tebal yang
digulung rapi dan dibungkus dengan sebuah terpal juga masih
utuh, tak ada yang berlubang-lubang meskipun beberapa
bagian agak kotor. Sampah-sampah daun kayu kering yang
memenuhi bagian dalam biduk itu segera dibersihkan. Setelah
diperiksa bahwa tak ada sesuatu kekuranganpun, kedua
bersaudara itu segera menyeret biduk itu ketepi pantai.
Kemudian mereka sibuk memasang layar dan tali temali.
“Naiklah, Suwantri...... kita segera berangkat”. Gadis yang
menyamar itu segera masuk kedalam biduk. Kakaknya
menyeret biduk lebih mendekat ketepi laut. Ketika ombak yang
mencapai pantai menarik diri surut kembali ketengah,
Suwantra segera mendorong biduk masuk kedalam air. Ombak
menyeretnya ketengah. Ketika air laut sampai kelututnya,
pemuda itu segera melompat kedalam biduk. Ilmu mengentengi
tubuh pemuda ini cukup mengagumkan karena meskipun
tubuhnya besar kukuh namun biduk itu tidak oleng sama sekali.
Dia segera mengambil pendayung. Kedua kakak beradik itu
mendayung dengan cepat karena kalau tidak demikian, ada
harapan ombak yang bergulung menuju ketepi pantai akan
menyeret mereka kembali ketepi pasir. Seperempat jam berlalu.
Lautan disekitar mereka tenang tiada berombak. Tapi angin
yang menghembus kearah pantai membuat mereka terpaksa
membuka layar dan mendayung melawan angin.
Ketika matahari telah condong kebarat, pulau Keramat telah
lenyap dari pandangan mereka, begitu juga gugusan lain dari
kepulauan Karimata. Semua pulau-pulau yang kecil itu hilang
menjadi satu dengan daratan Kalimantan yang merupakan satu
garis yang memanjang bewarna biru keabu-abuan yang
semakin lama semaki mengabur kelihatan dari tengah lautan.
Menjelang tengah hari keesokan harinya dari jauh tampaklah
deretan pulau-pulau, tersebar dimuka mereka. Arah biduk
segera ditujukan kegugusan pulau-pulau itu. Disatu pulau yang
terdekat mereka berhenti untuk beristirahat sebentar sambil
mengambil air persediaan dan mengisi perut serta membeli
bekal. Satu setengah jam kemudian mereka melanjutkan
perjalanan.
“Dalam perjalanan ketempat yang dituju, kita mempunyai
dua jurusan. Kita harus memilih salah satu dari keduanya” kata
Suwantra ketika hari mulai sore.
“Tentu saja kita harus memilih jalan yang terdekat......” ujar
adiknya Suwantri sambil mendayung dengan perlahan-lahan.
“Kalau kita mengambil jalan kearah selatan yang melalui
ujung pulau Andalas itu maka berarti hampir seluruh
perjalanan kita adalah mengarungi lautan. Sebaliknya kalau
kita mengambil jurusan keutara, maka setengah perjalanan
yang menuju ketempat tujuan adalah mengarungi daratan yang
penuh dengan hutan belukar. Kita harus mempunyai pilihan
yang tepat”.
“Mengambil arah keselatan berarti berputar ratusan kilo
jauhnya” kata Suwantri. “Terus-terusan berada ditengah lautan
adalah membosankan. Dan kita tak bisa selamanya mengarungi
lautan dengan biduk sekecil ini. Suwantra......”.
“Apa yang kau katakan benar. Mengambil jalan keutara
adalah jauh lebih dekat. Tapi daratan yang akan kita tempuh
dari sebelah timur pulau Andalas nanti akan penuh dengan
rawa-rawa, hutan belukar yang lebat dan binatang buas yang
tidak terperikan banyaknya, belum lagi halangan-halangan lain
yang datang dengan mendadak......”.
“Kau tahu dari mana hal itu......?” tanya adiknya.
“Banyak kawan-kawanku yang menceritakannya kepadaku”
jawab Suwantra.
“Lantas apa kau takut pada semua halangan itu? Apa kau
takut pada segala macam binatang buas itu? Percuma saja kalau
begitu kau menjadi murid Kiai Ahmed Pasya......”.
“Maksudku bukan begitu, Suwantri” ujar kakaknya dangan
nada gusar karena dikatakan penakut. “Aku hanya mengajukan
pilihan, jalan mana yang akan kita tempuh. Kalau disebuit- sebut segala macam halangan dan bahaya, raja yang sedang
duduk-duduk didalam istana dikelilingi oleh dayang-dayang
yang cantik-cantik, kalau mau diserang bahaya, ya diserang
juga
“Aku memilih jalan keutara!” ujar Suwantri sambil
memandang kepada matahari yang mulai pudar kemerahan
warnanya.
“Kalau itu pilihanmu, aku menurut......” desis Suwantra pula.
Air laut yang biru tampak kuning kemerahan kena cahaya
matahari yang hendak tenggelam. Angin berhembus kencang.
Biduk itu meluncur dengan laju. Karena mereka mengambil
jalan menyisip pesisir. Dikejauhan mulai tampak satu demi satu
perahu-perahu nelayan yang mulai turun kelaut. Kecilnya
hampir sebesar ujung korek api. Sungguh indah sekali
pemandangan saat itu. Burung-burung elang pemakan ikan
berterbangan diudara. Sekali-kali menukik kepermukaan air
laut bilamana matanya yang tajam melihat bayangan akan
muncul diair dan naik membubung kembali keudara dengan
mangsanya ikan kecil-kecil pada paruhnya. Yang tak berhasil
menangkap mangsanya terbang berputar-putar diudara untuk
kemudian menukik lagi. Begitulah mereka mencari makanan
sampai akhirnya perut masing-masing menjadi kenyang.
Ketika cahaya matahari yang terakhir lenyap dibalik awan
malam maka keadaan sudah menjadi gelap sekali. Air laut
menghitam. Kemanapun mata ditujukan hanya kegelapan yang
tampak menghantu. Saat biduk yang ditumpangi kedua kakak
beradik tadi berada dibarat laut palau Belitung bergerak
sejurusan dengan pulau Bangka. Menjelang tengah malam
angin mulai bertiup kencang tidak seperti biasanya. Dan jug
Suwantra sama sekali tak melihat kelap-kelip dari lampu
perahu-perahu nelayan. Apakah tak melihat kelap-kelip dari
lampu diperahu-perahu nelayan. Apakah tak ada nelayan
disekitar situ yang turun kelaut malam itu? Dia melihat
keangkasa raya. Tak ada bintang. Langit menghitam ditutupi
oleh awan gelap dan angin semakin mengencang.
“Sebaiknya kita membelokkan jurusen lebih kebarat. Kita
menyusuri pantai. Tampaknya akan timbul angin besar dan
hujan topan...” kata Suwantra. Adiknya yang berada dibelakang
yang bertugas sebagai pemegang kemudi segera membelokkan
arah biduk mereka enam puluh derajat kearah barat. Keduanya
mendayung lebih cepat. Ketika angin semakin kencang,
Suwantra segera menggulung layar. Sampai saat itu pantai
masih juga belum kelihatan. Dua jam kemudian hembusan
angin semakin menggila, menimbulkan desiran seperti suara
ribuan seruling yang ditiup secara bersamaan. Dimana-mana
tampak kilat menyambar dan suara guruh yang menggelegar
seakan-akan keluar dari dasar lautan yang gelap. Kedua kakak
beradik itu bekerja keras mendayung lebih cepat. Untung saja
keduanya memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi, kalau
hanya mengandalkan tenaga lahir saja mungkin keduanya saat
itu sudah menggeletak didalam biduk karena kehabisan tenaga.
Angin keras datang dari arah muka namun biduk meluncur
terus. Ombak bergulungan setinggi-tinggi rumah dan biduk itu
terombang-ambing kian kemari dipermainkan gelombang. Air
laut mulai masuk kedalam biduk. Dengan mendayung hanya
mempergunakan tangan kanan. Suwantra mempergunakan
tangan kiri untuk membuang air laut yang mulai menggenang
dasar biduk. Adiknya Suwantri juga mangikuti perbuatan
kakaknya itu.
Ketika pantai timur pulau Bangka mulai kelihatan
menghitam dikegelapan malam maka hujan rintik-rintik mulai
turun. Tiga menit kemudian dari rintik-rintik berubah menjadi
besar, semakin besar dan gelombang mengamuk gila tak
terkirakan besarnya sedang angin bertiup dengan hebat.
Semuanya itu membuat biduk kecil tadi terbanting kian kemari.
Kadang-kadang melambung keatas setinggi dua sampai tiga
kaki dan jatuh kembali keatas air untuk dipermain-mainkan
ombak dengan ganas. Tak jarang biduk berputar sampai lebih
dari seratus puluh derajat dari arah tujuannya membuat
Suwantri yang memegang kemudi harus memutar arah biduk
kembali setiap mereka diputar balikkan kelain jurusan.
“Kayuh lebih cepat!” teriak Suwantra. Air laut yang masuk
tiada terkirakan banyaknya. Baru saja dikeluarkan masuk lebih
banyak lagi. Pantai semakin dekat. Tapi ombak dan angin serta
hujan semakin keras pula. Suwantra memandang kearah
pantai, coba menembus kegelapan malam dengan matanya
yang tajam. Dia coba memperhitungkan jarak antara biduk dan
daratan saat itu. Mungkin sekitar delapan ratus meter lebih.
Suwantra dengan tangan kirinya mengambil sesuatu dari lantai
biduk yang digenangi air. Ternyata yang diambilnya adalah
seutas tali besar yang panjangnya tak lebih dari lima meter. Dia
mengikatkan tali itu ketangan kirinya. Kemudian sambil
melemparkan ujung tali yang satu lagi kepada adiknya dia
berteriak keras diantara deru gelombang dan hujan : “Ikatkan
kelengan kananmu, cepat!” Sebentar lagi biduk ini akan terbalik
dan tenggelam kedasar lautan. Kita harus berenang
kedaratan!”.
Dengan cepat Suwantri mengikat itu kelengan kanannya.
Semantara kakaknya berteriak lagi. “Periksa! Kalau-kalau ada
barang-barang kita yang ketinggalan didalam perahu......”.
Sebuah gelombang yang besar menderu diiringi oleh gelegar
guntur membuat suara teriakan Suwantra lenyap seperti
direnggutkan setan. Air laut yang menggejolak beberapa meter
tingginya menghempas kebawah dengan segala kedahsyatannya
dan jatuh tepat diatas biduk. Biduk pecah berantakan. Kedua
penumpangnya meluncur kedalam lautan untuk beberapa
kemudian muncul dimuka air kembali. Suwantra yang merasa
cemas kalau adiknya belum sempat mengikatkan tali
kelengannya berteriak sambil menyentakkan tali. “Wantri!
Dimana kau?!” Tak ada suara jawaban. Sekali lagi laki-laki itu
berteriak. Kali ini dia mengeluarkan tenaga dalamnya. Suaranya
menggelegar diantara deru gelombang, angin dan hujan.
“Suwantri! Kau dimana?”.
“Disini!” terdengar jawaban. “Kau tak apa-apa......?!”.
“Tadi itu sudah kau ikatkan?!” teriak Suwantra tanpa
mengacuhkan pertanyaan gadis itu.
“Beres, sudah!”.
“Kita mulai berenang!” perintah Suwantra. Didalam
kegelapan itu susah sekali bagi keduanya untuk melihat dimana
saudara masing-masing berada. Namun tali yang
menghubungkan mereka telah memberikan pertolongan yang
banyak sekali. Keduanya berenang dengan cepat ketepi menuju
pantai. Tak peduli bagaimana ombak yang bergulung-gulung
mempermainkan mereka dengan ganas. Menimpa kepala
mereka dan tubuh mereka dengan deras dan membuat
keduanya tenggelam beberapa ketika kedalam laut untuk
muncul kembali dengan gigih dan terus berenang menuju
pantai.
Dimuka mereka daratan semakin membesar. Merupakan
sebuah tembok raksasa yang menghitam karena tak satu cahaya
dikepekatan malam. Dua ratus meter dari pantai, diantara
taburan rapat dari hujan yang tetap melebat, mulai kelihatan
bintik-bintik cahaya yang mungkin datang dari kelap-kelip
pelita rumah-rumah penduduk. Akhirnya keduanya merasakan
mulai menginjak bagian laut yang dangkal. Keduanya berjalan
menuju ketepi pasir. Dimuka sana kelihatan beberapa buah
perahu besar. Tanpa pikir panjang, setelah melepaskan tali yang
mengikat, lengan masing-masing, keduanya segera masuk
kedalam dua buah perahu yang berjejer-jejer di pasir dalam
keadaan menelungkup. Tenpa pikir panjang, setelah
melepaskan tali yang mengikat lengan masing-masing
keduanya segera menyelinap kekolong dua buah perahu dan
berbaring disana. Hujan lebat masih turun terus tapi tubuh
mereka yang sudah basah kuyup itu kini terIindung dari hujan
itu. Keduanya berbaring tanpa berkata-kata. Mata terpejam dan
masing-masing mereka sama mengatur jalannya pernafasan.
Tanpa disadari akhirnya kedua kakak beradik itu tertidur pulas
diatas pasir dibawah kolong perahu itu.
TIGA
SINAR matahari yang menyiram mukanya dan perasaan
nalurinya yang menyatakan bahwa mereka berada dalam
keadaan yang tidak diingini membuat kedua kakak beradik itu
bangun. Perahu-perahu besar dibawah mana sebelumnya
mereka tidur sudah tak ada lagi, dipindahkan orang. Setengah
duduk, dengan satu tangan menopang kebelakang sedang satu
tangan lagi menggosok-gosok mata Suwantra melihat delapan
orang laki-laki berdiri mengelilingi mereka. Semuanya
berkeredong kain pada bahu masing-masing. Lima orang masih
muda-muda dan rata-rata bertubuh besar kukuh sedang
selebihnya pada tua-tua. Janggut dan kumis yang kasar tak
terpelihara dari ketiga orang terakhir ini kaku memutih.
Semuanya memandang dengan gaya yang sama pada kedua
orang itu. Dan pada masing-masing pinggang mereka tersembul
hulu golok.
Ketika Suwantra hendak bangkit berdiri, pemuda yang
dihadapannya membentak dengan keras. “Tetap ditempatmu!”
Dan pemuda yang mengancam itu menggeser kaki kanannya
yang besar kuat kebelakang, siap untuk melayangkan
tendangan bilamana orang yang diancam tak mengacuhkan
kata-katanya.
“Aku tak mengerti, apa-apaan ini semua......?” tanya
Suwantra dengan mengerenyitkan alisnya sambil memandang
berkeliling. Kedelapan laki-laki itu sama melontarkan seringai
buruk, menunjukkan gigi masing-masing yang rata-rata
semuanya berwarna coklat tanda terlampau banyak merokok.
“Kalian masih coba untuk berpura-pura? Setelah tertangkap
tangan kalian masih coba untuk berkelit dan tak tahu apa-apa?!
Kami nelayan-nelayan dari Sungailiat tak bisa ditipu! Kalianlah
yang selama ini kami cari-cari. Bangsat!” maki seorang dari
ketiga laki-laki yang tua-tua itu. Namanya Karman.
“Orang tua sinting!” teriak Suwantri karena panas hatinya
dituduh sebagai pencuri perahu. “Jangan kau menuduh
sembarangan!”. Gadis yang memakai baju laki-laki ini
menggerakkan tubuhnya. Satu detik kemudian dia sudah
berdiri dengan kedua kaki yang merenggang, siap memasang
kuda-kuda. Kedelapan nelayan-nelayan itu dengan gerakan
cepat sama mencabut golok masing-masing. Pemuda yang tadi
membentak Suwantra memandang tajam pada Suwantri
kemudian tertawa berkakakan. “Hua...... ha...... ha...... kau
pemuda hijau yang bertampang banci berani menghina kami?
Berani menghina ayahku? Kutebas batang lehermu, jahanam!”.
Pemuda itu yang bernama Saman, anak dari orang tua yang
dikatakan sinting oleh Suwantri melangkah maju kemuka.
Goloknya diacungkannya tapi sebelum benda itu diayunkannya,
Suwantri telah meloncat kemuka. Tangan kanannya bergerak
menampar mulut pemuda yang telah mengatakannya seperti
banci itu. Tamparan yang disertai oleh aliran tenaga dalam ini
membuat bibir Saman pecah dan berdarah. Dia terhuyung- huyung kebelakang menggerang menahan sakit. Tujuh orang
nelayan yang lainnya segera maju dengan serempak. Tapi tak
terduga lima orang diantaranya terpental lagi kebelakang ketika
Suwantra bersama adiknya meloncat dan berkelebat dengan
cepat. Suara teriakan ‘aduh’ terdengar disana sini. Lima orang
lagi tampak menyeringai menahan sakit. Ada yang kena
terpukul dadanya, ada yang kena serempetan siku dan ada pula
yang kena hajaran kaki. Tapi itu hanya sebentar. Kemarahan
membuat rasa sakit mereka jadi hilang. Kedelapan laki-laki itu,
termasuk Saman yang sekalipun menutup mulutnya dengan
tangan kiri menyenang dengan serentak. Matahari pagi
membuat golok ditangan nelayan-nelayan itu berkilauan. Kedua
kakak beradik itu meloncat mundur lima tombak kebelakang
sebelum serangan musuh sampai. Suwantra cepat membuka
mulut memberi keterangan : “Saudara-saudara, kalian salah
sangka! Kami bukan pencuri-pencuri perahu yang kalian cari- cari selama ini. Topan telah menghancurkan biduk kami
ditengah lautan dan untung saja kami masih punya kekuatan
untuk berenang mencapai daratan ini. Karena letih kami
merebahkan diri malam tadi dibawah perahu-perahu itu dan
akhirnya tertidur sampai pada saat kedatangan kalian. Sekali
lagi kami bukan pencuri-pencuri. Percayalah!”
“Dusta! Bohong!” teriak beberapa orang laki-laki itu
bersamaan.
“Memangnya kalian punya ilmu apa dapat menyelamatkan
diri dengan berenang menempuh lautan yang tengah
mengamuk dan sampai kesini! Kami bukan nelayan-nelayan
bodoh yang bisa kalian tipu! Mari kawan-kawan kita cincang
manusia-manusia celaka ini!” kata salah seorang dari mereka.
“Kami benar-benar bukan pencuri. Demi Tuhan!” teriak
Suwantra.
“Tutup mulutmu, bangsat!” tukas Karman.
“Biarkanlah mereka menyerang, dan mereka akan tahu rasa
nanti!” ujar Suwantri pula pada kakaknya. Kedelapan orang
yang mendengar kata-kata itu semakin naik darah dan
meloncat kemuka, menyebar mengurung kedua kakak beradik
itu. Delapan buah golok memapak dari segala jurusan.
Berkelebat dengan deras mencari sasaran ditubuh kedua
pemuda yang menghadapi semunya itu dengan tangan kosong.
“Saudara-saudara, hentikanlah pertempuran yang tiada
faedahnya ini. Hentikanlah sebelum terlambat!”
memperingatkan Suwantra dengan berteriak keras. Namun tak
seorangpun dari kedelapan musuh itu yang mengacuhkannya.
Gempuran mereka semakin menggencar. Melihat hal itu
Suwantra segera memberi bisikan pada adiknya. “Kau
menjauhlah, biar aku sendiri yang menjelesaikan mereka!”.
“Jangan ngaco belo! Aku sendiri juga punya hak untuk
menghajar bangsat-bangsat sinting ini!” tukas adiknya.
Suwantri bergerak lebih cepat. Pemuda yang diujung kirinya
mental kebelakang kena sambaran ujung kakinya yang
bersarang tepat pada pinggangnya. Orang itu melintir dan
terbanting kepasir. Bukan satu perbuatan yang mudah baginya
untuk dapat bangun pada saat itu juga. Dengan merintih
kesakitan dia berguling kian kemari dipasir. Disebelah kiri, Suwantra dengan sekaligus merobohkan dua
orang lawannya. Kedua golok yang ditangan nelayan muda itu
mental keudara. Suwantra segera menyambut salah satu dari
keduanya dan dengan golok ditangan dia mulai kembali
menghadapi sisa-sisa nelayan itu.
Sebaliknya melihat bagaimana fihak mereka dalam jurus
pertama itu mendapat hajaran yang hebat, nelayan-nelayan itu
jadi mulai kecut. Terlebih lagi ketika melihat Suwantra telah
menggenggam golok ditangan. Tak disangka pemuda yang
mereka duga sebagai pencuri-pencuri perahu dan masih hijau- hijau itu mempunyai kepandaian yang tinggi! Mereka mulai
berpikir-pikir. Akhirnya salah seorang dari ketiga nelayan- nelayan tua tadi berteriak memberikan aba-aba : “Hentikan
perkelahian ini. Tahan!”. Karena sudah terdesak, takut dan
kecut, sisa-sisa nelayan itu segera melompat mundur. Dengan
demikian perkelahian segera berhenti.
“Coba dari tadi kalian hentikan perkelahian ini, niscaya tak
satupun diantara kalian yang menderita!” teriak Suwantra
dengan agak gusar. Tak satu dari nelayan-nelatan itupun yang
membuka malut. Kawan-kawannya yang kena terpukul mulai
mencoba berdiri kembali.
“Lain kali janganlah bertindak ceroboh. Periksa dan selidiki
dulu. Kalau sudah ada bukti baru cabut golok!” tukas Suwantri
sambil menggamit kakaknya memberi syarat untuk
meninggalkan tempat itu.
“Jadi kalian siapa......” tanya salah seorang nelayan tua
sebelum kakak beradik itu sama memutar tubuh.
“Aku sudah terangkan siapa kami pada kalian sebelum
perkelahian tadi dimulai!” jawab Suwantra sambil melangkah
pergi bersama adiknya.
Mereka sampai disatu pasar kecil dimana pedagang ikan
lebih banyak jumlahnya dari pada penjual sayur mayur dan
barang-barang keperluan dapur lainnya. Ditepi pasar terdapat
satu-satunya kedai nasi kecil yang saat itu telah penuh oleh para
pengunjung yang hendak mengisi perut. Suwantra dan
Suwantri terpaksa menunggu beberapa lamanya sampai mereka
kebagian tempat duduk. Selesai makan pagi, keduanya menuju
kepangkalan perahu. Dari ujung jalan telah terlihat tiang-tiang
layar dari perahu-perahu dagang yang besar-besar kepunyaan
saudagar-saudagar kaya dari berbagai pelosok Nusantara.
Perahu-perahu kecil, biduk, tongkang dan lain-lain macam
kendaraan air itu tiada terhitungkan banyaknya. Pangkalan
perahu di Sungailiat terletak disatu teluk kecil yang berair
tenang dan indah pemandangannya. Setelah bertanya kesana
sini mencari perahu yang akan berangkat kepantai timur
Andalas maka akhirnya seorang pencalang menunjuk kesebuah
perahu besar yang tiang layarnya penuh dengan beraneka
ragam bendera kecil-kecil. Pada lambung muka dart dinding
perahu tertulis dengan huruf cetak ‘Angin Timur’, nama dari
perahu itu. “Angin Timur adalah sebuah dari enam perahu
besar yang selalu berlayar kejurusan utara. Pergilah kesana dan
tanyakan pada pemiliknya......” menerangkan pencalang tadi.
Setelah mengucapkan terima kasihnya, kedua kakak dan adik
itu berlalu. Dengan mengambil jalan diatas sampan-sampan
kecil, kolek dan biduk-biduk nelayan akhirnya mereka sampai
keatas Angin Timur.
Empat orang laki-laki yang rata-rata bertubuh kukuh besar,
dengan tampang-tampang yang kasar tapi yang berkata-kata
dengan mulut manis yang dibuat-buat tengah bercakap-cakap
dengan nakhoda Angin Timur, seorang yang sudah agak lanjut
usianya. Berperawakan sedikit kurus tapi bertubuh jangkung.
Mereka menghentikan percakapan ketika melihat
kedatangan kedua orang itu. Nakhoda Buang Alai segera
berdiri. Dia memandang kepada keempat orang yang
dihadapannya, meminta diri. “Maafkan sebentar. Biar saya
selesaikan tamu-tamu itu, kemudian kita teruskan lagi
percakapan sampai perahu berangkat......”. Buang Alai
mendekati tamunya yang baru. Mengangguk sedikit lalu
bertanya. “Ada keperluan saudara-saudara muda yang dapat
saya tolong......?”
Suwantra mengangguk pula dan bertanya. “Perahu nakhoda
hendak berlayar keutara?”.
“Benar” jawab Buang Alai. “Kalian hendak menumpang?”.
“Ya. Kami bermaksud mendarat dipantai timur Andalas......”
menerangkan Suwantra. Nakhoda Buang Alai menggaruk-garuk
tepi dagunya lalu menjawab. “Tujuan tetap kami adalah pulau
Bintan dan daerah sekitarnya. Kami hanya berhenti dipulau
Ingga atau pulau Ingkep, tak pernah kami berlabuh dipantai
timur Andalas sekalipun jurusan kami adalah menyisir pantai
itu”. (Yang dimakudkan nakhoda Buang Alai dengan pulau
Ingga dan Ingkep dalam pulau-pulau yang kini bernama Lingga
dan Singkep..Terletak dipantai timur Sumatera Tengah).
“Kami bersedia membayar ongkos lebih, asal nakhoda mau
singgah dipantai timur untuk menurunkan kami......” menyela
Suwantri. Nakhoda itu memutar kepalanya dan memandang
pada Suwantri beberapa saat lamanya. Sekalipun Suwantri
menyamar sebagai laki-laki dengan tiada diketahui seorangpun,
namun dia tidak bisa menyembunyikan sifat keperempuannya.
Kedua pipinya menjadi merah karena pandangan Buang Alai.
Sambil pura-pura batuk-batuk Suwantri bertanya untuk
menghilangkan kejengahannya. “Bagaimana......?”.
“Kau hanya berdua?” tanya Buang Alai. Yang ditanya
mengangguk.
“Ada membawa barang-barang?”.
“Tidak”.
“Kalau bayaran cocok nanti, aku terpaksa mencari muatan
barang-barang yang menuju ketempat tujuanmu sekalian” ujar
nakhoda Ang n Timur.
“Itu terserah nakhoda...... Kami tak berkeberatan. Ongkos
cocok dan kami sampai ditempat tujuan” jawab Suwantra.
Segera dtperundingkan mengenai ongkos perahu. Setelah sama
disetujui, Buang Alai berteriak memanggil anak buahnya.
“Siman!”.
Anak perahu yang bernama Siman segera muncul dari
haluan belakang.
“Nakhoda memanggil saya?”.
“Cari muatan baru untuk kepantai timur Andalas dan
percepat menaikkan barang-barang untuk ke Bintan” perintah
Buang Alai. Anak buahnya mengangguk dan berlalu. Buang Alai
memandang pada kedua anak muda yang dihadapannya dan
berkata. “Marilah kita bercakap-cakap dengan kawan-kawan
yang lainnya itu. Mereka juga menumpang dengan perahuku,
menuju ke Bintan”. Pemilik Angin Timur melangkah lebih
dahulu diikuti oleh Suwantra. Sedang Suwantri berjalan dengan
ragu-ragu. Suwantra berbisik pada adiknya. “Mulai saat ini aku
akan panggil kau dengan Iwan. Ingat, namamu Iwan kini......”.
Buang Alai memperkenalkan kedua penumpang barunya
pada keempat laki-laki yang tadi bercakap-cakap dengan dia.
Suwantra mengambil tempat duduk disatu peti kayu, adiknya
diatas peti yang lain.
“Saudara-saudara hendak menuju kemana......?” tanya salah
seorang dari keempat laki-laki itu. Namanya Soreng.
Tampangnya agak mendingan dari tampang kawan-kawan yang
tiga orang lagi.
Kepantai timur Andalas saudara” jawab Suwantra sedang
adiknya pura-pura memandang kejurusan lain, pura-pura
memperhatikan sesuatu. Meskipun sudah diterangkan oleh
nakhoda Angin Timur bahwa keempat penumpang itu hendak
menuju kepulau Bintan, tapi sebagat penambah bahan
pembicaraan, Suwantra bertanya juga, “Kalian berempat
hendak kemana......?”.
“Kami bermaksud kepulau Bintan” jawab Soreng.
“Dagang......?” tanya Suwantra lagi.
Soreng mengangguk lalu menerangkan. “Kami berempat
sudah sejak lama bekerja sama dalam perdagangan kelapa
sawit. Akhir-akhir ini banyak hai-hal yang tidak beres ditempat
penimbunan barang-barang kami di Pulau Bintan. Kami
Serial Keris Merah
berempat terpaksa datang sendiri kesana untuk
menyelidiknya......”. Dengan otaknya yang tajam, Suwantra dan
Suwantri segera menyelami kata-kata laki-laki itu. Mereka
mengaku pedagang-pedagang kelapa sawit dipulau Bintan. Tapt
selama ini mereka ada di tempat lain. Mereka menerangkan
bahwa ada yang tak beres dan pergi menyelidiki, tapi mengapa
harus keempat mereka yang pergi......? Dan tampang-tampang
mereka...... bukan tampang-tampang saudagar. Meskipun dia
tak percaya akan kata-kata Soreng tapi Suwantra dengan
mengangguk-anggukkan kepalanya berkata juga setelah
benseloroh. “Tentu banyak sekali untung yang kalian terima
dari penjualan kelapa sawit itu......”.
“Lumayan jugalah” jawab kawan Soreng yang duduk
disampingnya. Namanya Budin.
“Kemana saudara-saudara jual kelapa-kelapa sawit itu?”
tanya Suwantra lagi.
“Seorang saudagar di Tanah Melayu telah menjadi pembeli
kami sejak setahun yang lalu......” jawab Budin.
Nakhoda Buang Alai meminta diri kepada keenam orang itu
karena dia harus memimpin anak-anak buahnya untuk
mengatur pemasukan barang-barang muatan. Sementara
barang-barang dinaikkan keatas geladak, dimasukkan keperut
perahu, Suwantra dan keempat orang itu terus bercakap-cakap
kehilir dan kemudik. Suwantri hanya mengangguk-angguk saja
mengikuti jalannya percakapan.
Jundi orang ketiga dari saudagar kelapa sawit itu bertanya.
“Saudara sekalian ada maksud apa pergi kepulau Andalas?
Saudara-saudara juga pedagang?”.
Suwantra menggelengkan kepalanya. “Kami hanya ingin
menemui paman dan bibi disana......” dusta Suwantra. Kalau
tadi Suwantra dan adiknya yang tak mempercayai apa yang
dikatakan Soreng maka Soreng dan kawan-kawannya yang tak
mempercayai apa yang diterangkan oleh pemuda itu.
Semua barang muatan selesai dimuat. Seluruh anak buah
perahu yang berjumlah enam orang sudah siap ditempatnya
masing-masing. Layar sudah dipasang. Dan ketika nakhoda
Buang Alai memberikan aba-aba untuk berangkat, maka
perlahan-lahan perahu itu mulai bergerak disela-sela tongkang
dan biduk-biduk kecil disekelilingnya. Keluar dari pangkalan,
dua layar besar lainnya segera dikembangkan. Angin
berhembus dan Angin Timur bergerak cepat membelah ombak- ombak kecil yang datang berbaris-baris dari arah muka.
EMPAT
SUWANTRI bersama kakaknya berdiri ditepi kanan dari
jambatan perahu sebelah muka. Keempat orang saudagar
kelapa sawit kelihatan mengelompok ditepi kiri, asyik bercakap- cakap. Setelah memeriksa tugas yang dijalankan keenam anak
buahnya dan melihat-lihat keadaan perahu maka Buang Alai
pergi mendekati kedua kakak beradik itu. “Kalian sudah pernah
berlayar......?” tanya nakhoda itu membuka pembicaraan. Dia
berdiri disamping Suwantra dan memandang ketengah lautan.
“Sudah beberapa kali......” jawab Suwantra.
“Tidak pernah mabuk?” tanya Buang Alai lagi.
“Tidak...... tapi adik saya ini memang agak pemabuk......”.
“Oh, jadi dia adikmu? Pantas mukanya sama...... tapi
kelihatannya dia tidak suka bercakap-cakap. Pendiam” kata
Buang Alai pula.
“Benar, nakhoda. Dia seorang yang pendiam. Tapi
hendaknya nakhoda jangan lekas-lekas percaya pada orang
yang pendiam......” ujar Suwantra. Ketiga orang itu sama-sama
tertawa, tapi cuma Suwantri yang kemerahan kedua pipinya.
Dia memutar kepala dan memandang kelautan lepas kembali.
“Berapa hari kira-kira lamanya kita dalam perjalanan?” tanya
Suwantra.
“Maksudmu kemana? Kepantai timur Andalas atau kepulau
Bintan?” tanya Buang Alai.
“Ke Andalas......” menerangkan pemuda itu.
“Kira-kira lima hari empat malam” jawab si nakhoda.
“Tanpa berhenti-henti?” tanya Suwantri untuk pertama
kalinya. Pemilik perahu memutar kepalanya dan memandang
kepada Suwantri. Sudah parasnya seperti perempuan, suaranya
jua seperti perempuan, pikir kata Buang Alai dalam hatinya.
Beberapa detik kemudian baru dia membuka mulut
memberikan jawaban. “Kita singgah cuma sekali. Di pulau
Kedondong, untuk mengambil dan menambah bekal”.
“Nama pulau itu agak lucu juga. Mungkin banyak buah
kedondong disana?” tanya Suwantra.
“Benar. Pulau itu seakan-akan hanya ditumbuhi oleh pohon- pohon kedondong belaka. Kita boleh mengambil dan
memakannya seberapa kuat kita. Tak ada yang punya!”
Dipinggir kanan, Suwantri meneguk air liurnya mendengar
keterangan nakhoda Buang Alai tentang buah kedondong itu.
Seorang anak perahu menanyakan sesuatu pada pemimpin
mereka dan kemudian berlalu dengen cepat. Angin laut
menampar-nampar pipi ketiga orang itu. Semakin jauh
kelautan lepas semakin jarang mereka berpapasan dengan
pulau-pulau. Dan daratan pulau Bangka semakin mengecil
dikejauhan. Ketika senja datang, daratan itu hanya merupakan
satu garis yang halus saja lagi. Siang berganti dengan malam.
Angin barat digantikan oleh angin timur dan perahu itu
meluncur juga dengan laju dilautan yang tenang. Kepada kedua
kakak beradik Buang Alai memberikan sebuah kamar kosong
dimana terdapat dua buah tempat tidur kecil dari kayu yang
dipaku mati dengan dinding, kamar. Sedang keempat orang
penumpang lainnya mendapat sebuah kamar yang cukup besar
dibagian belakang. Setelah makan malam, Suwantri bersama
kakaknya keluar dari kamar. Malam gelap sekali. Air laut
menghitam sedang bulan baru masih juga belum muncul.
Kedua kakak beradik itu berdiri diatas geladak perahu dengan
bersidekap lengan diatas dada masing-masing. Coba
menghangatkan tubuh dengan cara seperti itu. Empat buah
lampu minyak yang tertutup rapat dengan kotak kaca empat
persegi terdapat dibagian tengah perahu. Dua ditepi atap
sebelah kanan dan dua lagi disebelah kiri. Kemudian satu buah
lagi lampu dengan ukuran yang lebih kecil tergantung dibagian
belakang perahu dekat tempat kemudi.
Kataku sudah mulai mengantuk. Sebaiknya aku masuk
lebih dahulu......” kata Suwantri beberapa lama kemudian.
“Pergilah” kata kakaknya. “Aku akan menyusul sebentar lagi”.
Pemuda itu membetulkan letak sarungnya. Dia memandang
berkeliling dan matanya membentur satu cahaya kecil
dikejauhan. Kadang-kadang kelihatan kadang tidak.
“Lampu sebuah perahu barang agaknya......”. Terdengar
suara seseorang dibelakangnya. Orang itu yang tak lain dari
nakhoda perahu Angin Timur berjalan mendekati Suwantra.
“Saudara masih tahan berada diluar? Kenapa tidak pergi tidur
saja......?” tanya nakhoda itu kemudian.
“Mata saya masih belum mau dipejamkan. Belum ngantuk!”
jawab Suwantra. “Saya tidak melihat keempat orang
penumpang yang lainnya. Kemana mereka? Pada mabuk...?”.
“Agaknya ada dikamar belakang......” jawab pemilik perahu.
Setelah memperhatikan riak ombak-ombak kecil dikegelapan
malam dia berkata lagi. “Sebenarnya aku merasa kurang senang
dengan keempat mereka itu”. Tanpa menoleh pada nakhoda
tersebut Suwantra bertanya. “Rasa kurang senang bagaimana
yang nakhoda maksudkan?”. Orang yang ditanya tak segera
menjawab. Dia memandang jauh kemuka seolah-olah coba
menembus kegelapan malam ditengah lautan itu. “Sebenarnya
saya merasa menyesal membawa mereka...” kata nakhoda tadi
tanpa menjawab pertanyaan Suwantra. Entah lupa entah
sengaja tak dijawab. “Kalau saya boleh bertanya sekali lagi, mengapa nakhoda
merasa tak senang dan merasa menYesal......? tanya Suwantra.
“Terus terang saja mereka kelihatannya bukan orang baik- baik”.
“Nakhoda curiga terhadap mereka?”.
“Begitulah......”.
“Mereka mengaku saudagar-saudagar kelapa sawit bukan?”.
“Saudara mempercayai keterangan mereka itu......?”
“Saya tidak bisa mengatakan ya tapi juga tidak bisa
mengatakan tidak......” jawab Suwantra.
“SebaIknya kita tak usah lagi membicarakan orang-orang
Itu” kata Buang AlaI dengan datar. Keduanya segera
mengalihkan pembicaraan. Setelah beberapa lama kemudian
kelihatan Suwantra meminta diri dan kambali kekamarnya.
Adiknya telah lama tertidur pulas.
Angin Timur bergerak terus dimalam buta. Nakhoda perahu
itu berkeliling beberapa lamanya memperhatikan anak buahnya
yang menjalankan tugas masing-masing sebelum dia masuk
kekamarnya.
Sukri anak buah perahu yang memegang kemudi mengambil
korek apinya. Dia menyalakan benda itu dengan perlindungan
kedua telapak tangannya. Satu kali korek apinya terbuang
percuma karena segera padam ditiup angin laut. Kedua kalinya
baru dia bisa menyalakan rokok daun nipahnya. Sambil
membuang puntung korek api kedalam laut dia mulai mengisap
rokoknya dengan penuh nikmat. Memang rokok adalah ‘istri’
yang paling setia bagi setiap orang perokok. Setia dalam saat- saat suka dan setia dalam saat-saat duka. Ketika Sukri
meletakkan ujung rokok nipah itu kembali kesudut bibirnya
untuk dihisap lagi dalam-dalam, sesosok bayangan hitam
membungkuk mengendap-endap dari arah belakangnya. Sudah
terlampau kasip bagi pengemudi Angin Timur itu untuk
mengetahui kedatangan sosok tubuh itu. Kepalanya baru
setengah berputar ketika sepotong kayu yang besar panjang
menghantam kepalanya bagian belakang dengan keras. Anak
perahu itu seperti melihat ribuan bintang-bintang kecil yang
bercahaya terang didepan matanya. Tapi satu detik kemudian
pemandangannya berubah menjadi gelap menghitam dan
akhirnya tubuhnya tergelimpang kelantai perahu. Dengan cepat
penyerang gelap itu berlalu dari situ.
Bersamaan dengan kejadian diatas, tiga orang dari keempat
saudagar kelapa sawit yang menumpang diperahu mendekati
dua orang anak buah yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Ketia laki-laki tadi mendekat sambil bercakap-cakap. Tak ada
hal yang mencurigakan tampaknya.
“Masih belum tidur, saudara-saudara?” tanya salah seorang
anak perahu.
“Belum...” jawab Soreng. Ketiganya melalui kedua orang
anak perahu. Tapi mendadak dengan tiba-tiba Soreng bersama
kedua kawannya membalikkan tubuh dengan cepat. Golok sama
dicabut kedua anak perahu itu telah dikurung ditengah-tengah.
Sambil melintangkan goloknya dimuka hidung anak perahu itu
Soreng berkata mengancam. “Kalau kalian berani berteriak,
kutebas batang leher kalian!”. Kemudian dia berpaling pada
kawannya. “Tutup mulut mereka dan ikat dengan erat!”. Budin
yang mendapat tugas itu segera bertindak. Dibawah lindungan
kedua kawannya, Soreng dan Simpak, Budin mula-mula sekali
menutup mulut kedua anak perahu itu dengan dua potong kain
yang sangat kotor sekali, kemudian baru mengikat tangan dan
kaki mereka.
“Seret keduanya kepojok yang gelap itu......” desis Soreng
kembali memberi perintah. Simpak dan Budin segera menyeret
orang-orang yang sudah tak berdaya itu ketempat gelap.
Sebelum ketiganya berlalu. Soreng berkata dengan
menyeringai. “Beristirahatlah dulu kalian disana sebelum kami
lemparkan ke dalam laut nanti!”
Siman tengah membersihkan lantai perahu bagian bawah
dan membuang sampah-sampah melalui sebuah lobang
dilambung perahu. Dua orang kawannya, Kamid dan Ista
sedang menjahit bagian-bagian yang robek dari layar cadangan.
Ketika dia selesai dengan pekerjaannya, empat orang
penumpang yang dikenalnya sebagai sudagar-saudagar kelapa
sawit menuruni tangga perahu menuju kebawah. “Ada apa
mereka malam-malam begini turun kebawah dan masih belum
tidur......” pikir Siman dalam hatinya. Tiga orang kemudian
dilihatnya mendekati kawan-kawannya juga tengah menjahit
layar sedang yang keempat melangkah mendekatinya dengan
senyum ramah.
Mata Siman jadi terbelalak ketika melihat ketiga orang yang
dimuka sana sama menghunus golok dan mengancam kawan- kawannya. Rasa terkejutnya semakin bertambah ketika laki-laki
yang dihadapannya menekankan ujung pisau belati besar ke
perutnya.
“Tutup mulutnya dan ikat!”. Terdengar suara Soreng
memberikan perintah. “Kurang ajar......” rutuk Siman dalam
hati. “Rupanya mereka tak lain adalah manusia-manusia
bejat!”. Dengan kecepatan yang tak terduga sama sekali, Siman
memukul tangan kanan dari lawannya yang memegang belati.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya melayang kemata kiri
lawan. Budin menggeram menahan sakit dan terjajar
kebelakang. Dengan cepat Siman mencabut goloknya. Sebelum
Budin berhasil mengimbangi dirinya golok yang ditangan
Siman telah menghantam dadanya, Budin terpekik dan roboh
kelantai perahu, berlumuran darah dadanya.
“Kurang ajar!” maki Soreng sambil meloncat kemuka Siman.
Dalam keadaan seperti itu kedua orang anak perahu yang tadi
menjahit layar segera pula mencabut goloknya. Tapi Kamid
karena kurang cepat mengelak, sebelum goloknya keluar dari
sarungnya telah dihantam kepalanya lebih dahulu oleh golok
lawan. Tanpa suara dia melosoh kelantai. Kawannya yang
seorang lagi terpaksa bertahan terhadap keroyokan dua orang
penyerangnya.
Siman melayani Soreng dengan gesit. Serangan-serangan
yang dilancarkan laki-laki itu ditangkisnya dengan gigih dan
sekali-sekali dia balas melancarkan serangan. Soreng lebih
tinggi dan lebih besar tubuhnya tapi dia kalah gesit dengan
Siman. Dua kali Siman dengan kecepatan dan kelincahannya
berhasil mengelakkan tebasan maut dari senjata lawan. Satu
kalI, Soreng dengan geram mengirimkan serangan berantai
yang gencar sekali. Siman terpaksa mundur terus sehingga
akhirnya terpepet kedinding perahu sebelah kanan. Dalam
keadaan seperti itu, matanya melirik sebuah kaleng kosong
bekas pengambil air yang terletak disampingnya. Ketika
lawannya membabatkan golok kearah kepalanya, Siman
merunduk dan kaki kanannya menendang kaleng. Tepi bawah
dari kaleng kosong itu menghantam tulang kering kaki kiri
Soreng dengan kerasnya. Laki-laki itu menggigit bibir menahan
sakit. Dengan terpincang-pincang dia terus mengirimkan
serangan kepada Siman namun tidak segencar tadi lagi dan
Siman mulai membalas serangan-serangannya.
Dibagian lain lsta yang dikeroyok oleh Jundi dan Simpak
telah terdesak hebat. Tapi laki-laki itu tidak kehilangan akal
atau gugup sedikitpun. Dia memahami bahwa kalau dia masih
terus bertahan dibagian bawah perahu yang sempit itu, mau tak
mau pasti senjata kedua lawannya akan mengakhiri riwayatnya.
Sambil bertahan dia melangkah mundur mendekati tangga.
Dari mulutnya, Ista tak henti-hentinya mengeluarkan caci maki
dan ejekan terhadap kedua penyerangnya, membuat kedua laki-
laki itu menjadi panas dan ketika Ista melompat keatas tangga,
keduanya dengan geram segera memburu.
Taktik kawannya itu segera diketahui oleh Siman. Dan dia
mulai menirunya. “Ha...... ha! Tak sangka manusia yang
mengaku saudagar kelapa sawit kiranya hanya seorang garong
picisan saja! Pantas kepalamu seperti kelapa sawit!”.
Soreng mengertakkan gerahamnya dan terus menyerang.
Saat itu Siman sudah sampai kebawah tangga. Ketika lawannya
membabatkan goloknya kearah perutnya dengan cepat dia
meloncat keanak tangga yang ketiga. Golok Soreng
menghantam kayu tangga dengan keras sedang satu detik
kemudian Siman sudah berada dibagian atas perahu. Soreng
meloncati tangga memburu lawannya.
Ketika Ista mengelakkan serangan dua buah golok dari kedua
lawannya, dengan meloncat kebelakang yang tengah perahu
menyambut kepalanya. Pemandangan laki-laki itu menjadi
gelap dan dia roboh pingsan diatas geladak. Dan setelah itu,
Simanpun dengan mudah meringkus hidup-hidup. Ketika dia
sibuk melayani Soreng, salah seorang kawan laki-laki itu
memukul kepalanya sampai dua kali dengan gagang golok.
Seperti Ista tadi, Simanpun roboh kelantai dan segera diikat
oleh Simpak. *
* * LIMA
SAAT itu Suwantra masih belum dapat memicingkan
matanya. Nakhoda Buang Alai belum lama membaringkan
dirinya. Dari dalam kamar masing-masing keduanya sama
menangkap suara-suara berisik yang datang dari bagian perahu
sebelah bawah. Mula-mula keduanya menyangka suara-suara
berisik itu adalah suara yang ditimbulkan oleh anak-anak
perahu yang tengah bekerja. Kamar Buang Alai adalah dibagian
tengah perahu sehingga dari sana dia dapat mendengar suara
bentakan-bentakan dan suara beradunya senjata. Sedang kamar
Suwantra yang terletak agak kemuka membuat anak muda itu
tidak mendengar sama sekali suara beradunya senjata, cuma
suara berisik yang, dapat ditangkapnya. Tapi didalam hatinya
dia bertanya-tanya, mengapa jalan perahu tidak teratur seperti
sebelumnya, sebentar-bentar terasa berbelok kekanan, lurus
seketika lalu berkelok kekiri, lalu kekanan, begitulah tiada
hentinya.
Pemandangan yang pertama yang dilihat Buang Alai ketika
dia keluar dari kamarnya adalah salah seorang saudagar kelapa
sawit itu tengah mengikat anak buahnya yang bernama Siman.
Kemudian satu lagi anak buahnya yaitu Ista menggeletak
dilantai perahu dekat tiang tengah.
“Apa-apaan ini?!” bentak Buang Alai sambil mencabut
goloknya dengan cepat. Dia melangkah maju tapi segera
tubuhnya terhuyung-huyung. Seseorang yang datang dari
samping yang mengayunkan sebuah kayu besar kekepalnya
tidak dilihatnya sama sekali. Karena ketika sebelum kayu
tersebut sampai kekepalanya Buang Alai telah bergerak, maka
hantaman kayu itu agak meleset. Walaupun kepalanya benjol
besar namun tak sampai membuat dia jatuh pingsan. Goloknya
segera dirampas oleh Soreng dan seorang lain kemudian
mengikatnya.
“Beres semuanya.....?” tanya Soreng sambil memandang
berkeliling.
“Beres dan berhasil! Perahu ini sekarang milik kita bersama!”
jawab kawannya Jundi. Soreng mengangguk dan tersenyum
tanda girang. Tiba-tiba teringat pada Budin yang terluka parah
dibawah perahu. “Simpak, coba kau turun kebawah. Lihat
Budin...... apa dia masih hidup?”.
Simpak segera melangkah menuju kebagian tengah perahu
dimana tangga keruang bawah terletak. Tapi mendadak
langkahnya terhenti. Dua orang laki-laki berdiri didekat tangga
itu. Keduanya tak lain adalah Suwantra bersama adiknya.
“Kalian siapa sesungguhnya......?” tanya Suwantra sambil
melayangkan pandangan satu demi satu kepada ketiga laki-laki
yang dihadapannya. Soreng menyeringai dan sebelum laki-laki
itu membuka mulutnya, nakhoda Buang Alai yang berada
dalam keadaan terikat berkata dengan berteriak, “Perampok- perampok! Mereka tak lain adalah bajingan-bajingan jahanam,
bajingan-bajingan tengik! Mereka hendak merampok perahu ini
dan kemudian melemparkan aku bersama anak-anak satu demi
satu kedalam laut!”.
“Tutup mulutmu bangsat!” ujar Soreng dengan keras sambil
melayangkan tamparan kemuka nakhoda itu. Buang Alai
merasakan mulutnya asin karena darah yang keluar dari tepi
mulutnya yang terluka kena tamparan Soreng.
“Bangsat ini......” kata Soreng kemudian sambil menuding
hidung Buang Alai dengan jari telunjuk tangan kirinya. “Dia
bersama kawan-kawannyalah yang sesungguhnya merupakan
rampok-rampok bejat. Enam bulan yang lalu mereka telah
merampok perahu ini ditengah jalan dari pemiliknya, yaitu adik
kandungku sendiri. Dan setelah membaui jejaknya beberapa
lama akhirnya aku menemui bajingan ini. Dan sudah menjadi
hakku untuk merampas perahu ini kembali dari tangannya!”.
“Bohong! Dusta” teriak Buang Alai. “Demi Tuhan aku berani
bersumpah bahwa perahu ini adalah warisan ayahku. Anak
buahku semua mengetahui hal itu. Mereka bisa diminta
keterangannya. Mereka akan menjadi saksi!”
“Kawan-kawanku juga bisa diminta keterangannya. Mereka
juga akan menjadi saksi bahwa adik kandungkulah pemilik
perahu ini sebelumnya!” balas Soreng pula.
“Kau berani bersumpah?” tanya Suwantra.
“Demi setan, demi apapun aku berani bersumpah!” jawab
Soreng.
Suwantra melangkah beberapa tindak kemuka. Kemudian
bertanya lagi. “Mengapa sebelumnya kalian berdusta dengan
mengaku bahwa kalian adalah saudagar-saudagar kelapa
sawit?
“Tentu saja hal itu kami lakukan agar bangsat ini tidak
mencurigai maksud kami. Kalau tahu bahwa akulah kakak
kandung dari pemilik perahu ini tentu dia tidak akan
memperbolehkan kami turut menumpang!”.
“Baik” kata Suwartra pula. “Satu lagi pertanyaanku......”
Soreng mulat gusar kini. Dengan cepat dipotongnya kata-kata
Suwantra. “Anak muda, kepentingan apa yang membuat kau
ingin turut campur dalam urusan ini? Kau penumpang biasa
dan yang bisa kau lakukan, cuma tutup mulut! Mengerti?!”
“Dan kalau kau tak mau tutup mulut, kami akan lemparkan
kau bersama kawanmu itu kedalam laut biar menjadi santapan
ikan-ikan hiu!” menyambung Jundi.
Suwantra memandang kepada Buang Alai. “Nakhoda, telah
berapa lama sampai saat ini ayahmu mewarisi perahu ini?”
“Lebih dari dua tahun” jawab Buang Alai. Tangannya
senantiasa berusaha untuk melepaskan tali temali yang
mengikatnya. Suwantra memandang kembali kepada Soreng
dan bertanya, “Kau masih tidak mau menjawab pertanyaanku?
Kalau kau berada dipihak yang benar kau akan memberikan
jawaban tapi kalau tidak berarti kau bukan pemilik warisan dari
perahu ini!”.
Dengan geram Soreng berkata. “Baik, ajukanlah
pertanyaanmu!”
“Kalau kamu oang benar-benar pemilik sah dari perahu ini,
mengapa perampasan perahu ini tidak kalian lakukan dengan
secara wajar. Mengapa tidak kalian laporkan kepada pihak yang
berwenang. Mengapa tidak kalian bereskan didaratan
sebaliknya kalian rampas dengan kekerasan senjata ditengah
lautan?”.
“Cara yang kau katakan itu adalah caranya orang pengecut.
Dan kami bukanlah manusia-manusia pengecut. Apa yang
dapat kami lakukan dengan tangan dan senjata kami akan kami
lakukan tanpa pertolongan orang lain. Sekarang kalian berdua
sebaiknya masuk kembali kekamar kalian. Kecuali, ka!au kalian
ingin dilemparkan hidup-hidup kedalam lautan!”.
“Kalau benar perahu ini kepunyaan adikmu, aku akan tanya
lagi. Siapa nama adikmu itu. Berapa umurnya, berapa istrinya,
berapa anaknya dan berapa harga perahu ini waktu dibelinya
tempo hari. Siapa nama istri-istrinya, siapa nama anak- anaknya. Dimana dia tinggal. Siapa nama orang dari mana dia
membeli perahu ini, Siapa......”.
“Pertanyaanmu cukup sampai disitu!” bentak Soreng.
Goloknya diangkatnya tinggi-tinggi. “Masuk kedalam kamarmu
atau kutebas lehermu!”
“Dia bukan pemilik perahu ini...... juga bukan milik
adiknya...... Aku saksikan sendiri ayah dari nakhoda Buang Alai
mewariskan perahu ini kepada Buang Alai......” terdengar satu
suara dari bagian belakang perahu. Orang yang berkata itu tak
lain adalah Sukri yang tadi dipukul kepalanya, kemudian diikat
dan yang saat itu telah sadar akan dirinya kembali. Setengah
dari perdebatan diatas perahu antara Suwantra, Buang Alai dan
Soreng telah didengarnya.
“Kau telah dengar kata-kata anak perahu itu......?” desis
Suwantra.
“Dan kawan-kawanku juga bisa memberikan keterangan
seperti itu!” tukas Soreng.
“Aku tahu” kata Suwantra. “Tapi untuk memastikan siapa
diantara kalian yang benar maka kita akan kembali ke
Sungailiat. Orang-orang disana akan memberikan bukti-bukti
nanti, siapa diantara kalian yang sesungguhnya pemilik sah dari
perahu ini!”
“Kaukah atau aku yang berkuasa diperahu ini?!” bentak
Soreng.
“Bukan kau dan bukan aku, tapi nakhoda Buang Alai”.
Suwantra menoleh pada nakhoda dan bertanya, “Bagaimana
nakhoda, kau setuju kita memutar haluan dan kembali ke
Sungailiat?”.
“Mengapa tidak?”.
“Dan kau bagaimana?”. Tanya Suwantra pada Soreng.
“Aku tidak!”.
“Kau takut menghadapi kenyataan?”.
“Apa yang kutakutkan?”.
“Kalau begitu kita kembali......”.
“Nyawa kalian yang akan kembali ke Sungailiat!” teriak
Soreng. Tangannya bergerak hendak mencekal leher baju
pemuda yang dihadapannya. Tapi Suwantra cepat mundur satu
langkah kebelakang dan berkata, “Bung, sudah terang kau
bukan pemilik perahu ini. Cerita tentang adikmu itu adalah kau
karang-karang sandiri!”
“Kau sudah bosan, hidup, anak muda?”. Jundi dan Simpak
melangkah maju dengan golok ditangan. Suwantr:a bersama
adiknya tetap berdiri ditempatnya. “Kalian pemuda-pemuda
hijau ingusan yang tak tahu diri. Kalian terlampau banyak
tingkah malam ini!”. Soreng memindahkan goloknya ketangan
kiri dan dengan tangan kanannya bermaksud hendak
menampar muka Suwantra. Tapi sebelum maksudnya
kesampaian, jotosan tangan kanan Suwantra telah lebih dahulu
bersarang dulu hatinya, Soreng menggeliat dan terhuyung- huyung kebelakang. Dengan cepat goloknya dipindahkannya
ketangan kanannya kembali. Dan bersama kedua kawannya dia
mulai mengurung kedua kakak beradik itu, kata Suwantri
membuka mulut untuk pertama kali.
“Kau pemuda banci jangan banyak mulut. Sebentar lagi akan
kulemparkan kau kedalam laut!” tukas Jundi sambil mendekati
Suwantri, Golok yang ditangannya mulai melancarkan serangan
kearah dada. Suwantri mundur satu langkah. Begitu senjata
lawan lewat dengan segera kaki kanannya melayang kemuka,
Jundi meloncat keatas dengan cepat. Tapi tak terduga tangan
kiri lawannya bergerak kearah dadanya. Jotosan Suwantri
bersarang dengan tepat didada laki-laki itu. Jundi terpelanting
kebelakang. Goloknya hampir terlepas.
“Bangsat! Kau akan rasakan nanti!” maki Jundi dangan
geram. Dengan cepat goloknya membabat kian kemari.
Suwantri mengelak dengan gesit. Semua serangan Jundi hanya
mengenai tempat kosong seakan-akan orang itu mengamuk
mela wan angin. “Sudah puas atau belum......?” ejek Suwantri
pada lawannya. Jundi jadi semakin geram. Dengan hati panas
dia mempercepat serangannya. Golok laki-laki itu dua kali
membalik dengan cepat kearah kepala dan kedada Suwantri,
membuat gadis yang berpakaian laki-laki itu terpaksa
mengurungkan niatnya untuk mulai melancarkan serangan.
Begitu senjata lawan berhasil dilewatkan maka Suwantri segera
menjejek lantai perahu. Tubuhnya melesat kemuka. Jundi cepat
membalikkan goloknya kearah lambung lawan. Tapi Suwantri
menendang siku laki-laki yang memegang senjata itu.
Sambungan siku lawannya terlepas. Jundi menjerit kesakitan.
Jeritannya hilang dengan serta merta ketika tangan kanan
Suwantri yang berisi kekuatan tenaga dalam yang ampuh itu
melabrak kepalanya. Muka laki-laki itu dengan serta merta
menjadi kehijauan. Dia roboh dangan tertelentang keras
dilantai perahu, pingsan.
Setiap sambaran golok Soreng mengeluarkan bunyi angin
yang bersiuran. Dia mengeroyok Suwantra bersama kawannya
Simpak. Simpak senantiasa selalu melancarkan serangan dari
samping sedang Soreng menggempur dari muka dengan ganas.
Kelihatannya Suwantra yang menghadapi kedua lawannya
dengan tangan kosong itu akan segera terdesak hebat. Tapi
tidak demikianlah keadaannya. Setelah mengelak dan bertahan
saja beberapa lamanya, pemuda itu mulai melancarkan
serangannya. Mula-mula sekali dia mengirimkan kedua
tinjunya secara berbarengan pada kedua lawannya itu. Soreng
yang sedari tadi sudah sedemikian gemasnya membalikkan
goloknya hendak membabat puntung lengan pemuda itu, begitu
juga Simpak. Tapi dengan lebih cepat Suwantra menarik pulang
tangannya sambil mundur kebelakang. Golok kedua lawannya
berlalu. Kedua tangan Suwantra bergerak kembali Soreng dan
Simpak merasakan rambutnya sama-sama dijambak. Dan
sebelum keduanya berhasil melepaskan diri Suwantra telah
mengadu kepala kedua orang itu. Satu kali, dua kali dan
sebelum kali yang ketiga Soreng berhasil melepaskan diri
dengan memukul iga kanan lawannya. Suwantra terjajar
kebelakang. Rambut Simpak masih didalam genggamannya.
Ketika Soreng membacok kemuka dengan cepat Suwantra
menarik rambut Simpak. Tuibuh laki-laki itu terdorong dengan
keras kemuka diantara tubuhnya sendiri dan sambaran golok
Soreng. Dengan sendirinya bacokan golok laki-laki itu
menghantam kawannya sendiri. Simpak menguak seperti
kerbau disembelih pada saat golok Soreng bersarang dipangkal
lehernya. Darah muncrat dan sebelum jatuh menggelinding
kelantai perahu nyawanya telah terlebih dahulu melayang.
Soreng menjadi semakin beringas. Bukan saja goloknya yang
melancarkan serangan, tapi juga kaki dan tangan kirinya turut
membantu. Kedua musuh itu berkelahi dengan cepat. Dua kali
Suwantra kena terpukul dadanya tapi tak di acuhkan sama
sekali. Pada jurus yang kelima Soreng terdesak kejambatan
perahu sebelah kanan. Ketika tinjunya lawan datang dengan
deras, dia menangkisnya dengan tangan kanan. Kedua tangan
beradu keras. Soreng merasakan tangannya seperti dipukul
dengan sebuah besi dan goloknya mental keudara. Dia hendak
meloncat kesamping tapi tinju kiri Suwantra bersarang lebih
dahulu diperutnya. Dia terbungkuk kemuka dan pada saat itu
tinju kanan lawan menghantam dagunya. Soreng terongak
kebelakang. Tubuhnya terangkat keudara, keluar dari perahu.
Laki-laki itu coba untuk menggapai tepi perahu tapi tidak
berhasil. Didalam kegelapan malam terengar jeritan laki-laki itu
sebelum tubuhnya tenggelam kedalam lautan.
Yang pertama kali dilepaskan ikatannya ialah nakhoda
Buang Alai, kemudian menyusul anak-anak perahu yang
lainnya. Mayat Budin dan Simpak dilemparkan kedalam laut
sedang mayat Kamid dibaringkan diatas sebuah tempat tidur
kayu. Jundi diikat ditiang tengah perahu. Yang terluka dan yang
bengkak-bengkak kena pukulan lawan segera mengobati diri
masing-masing. Perahu terpaksa dihentikan untuk beberapa
lamanya. Entah sudah berapa jauh Angin Timur menyasar dari
arah sebenarnya. Dua jam kemudian, sementara anak-anak
buahnya beristirahat dalam sakit masing-masing, nakhoda
Buang Alai sendiri yang memegang kemudi perahu, Suwantri
masuk kembali kedalam kamar meneruskan tidur sedang
Suwantra menemani nakhoda itu sampai menjelang dini hari. *
* * ENAM
SETELAH empat hari empat malam ditengah lautan, maka
pada pagi hari yang kelima, mereka telah berada ditengah-
tengah selat Berhala. Kalau dilayangkan pandangan kesebelah
kanan maka tampaklah gugusan Pulau Ingkep dan Ingga serta
puluhan pulau-pulau kecil lainnya. Sedang kalau ditolehkan
pandangan kekiri maka membujurlah dikejauhan pesisir timur
pulau Andala
Lepas tengah hari baru Angin Timur sampai ditempat
tujuannya. Mereka berlabuh disebuah pangkalan yang tak jauh
letaknya dari muara sungai Batang Kuantan. Disana tidak
seberapa banyak terdapat perahu-perahu besar. Tapi sampan- sampan kecil, biduk, tongkang dan lain-lainnya tiada terkirakan
banyaknya, baik yang berada dilautan maupun yang tengah
merapat dipangkalan. Orang-orang yang menjual ikan yang
masih segar-segar terdapat berkelompok-kelompok dimana- mana. Barang-barang muatan yang dibawa Angin Timur untuk
daerah itu segera diturunkan dan salah seorang anak perahu
mengantarkannya kepada si penerima. Pada mulanya, nakhoda
Buang Alai dengan keras menolak ongkos perahu yang-hendak
dibayar oleh Suwantra. Mungkin laki-laki itu merasa segan
karena mengingat jasa-jasa Suwantra ketika menghadapi
perampok Soreng dan kawan-kawannya. Setelah dipaksa,
akhirnya nakhoda itu mau tak mau terpaksa juga menerima
uang yang disodorkan Suwantra.
Setelah kedua kakak beradik itu pergi, mayat Kamid segera
diturunkan untuk dikuburkan didaratan. Jundi, satu-satunya
kawanan rampok yang tertawan setelah menerima bogem- bogem mentah dari anak buah perahu Angin Timur kemudian
dilepaskan. Dia berlalu dengan terhuyung-huyung. Mukanya
babak belur dan semua mata orang dipangkalan itu ditujukan
kepadanya. *
* * Suwantri memasuki sabuah lepau nasi bersama kakaknya.
Makan mereka siang itu enak dan banyak sekali Maklumlah
karena diperahu selama ini tak begitu banyak makan mereka,
lagi pula makanan yang diperahu tidak begitu sedap. Setelah
beristirahat beberapa lamanya untuk menurunkan nasi maka
keluarlah keduanya dari kedai tersebut. Lima menit kemudian
mereka sampai dimuara sungai Batang Kuantan dan mulai
mencari perahu sewaan yang hendak menuju kepedalaman. Tak
ada satu pemilik perahupun yang mau mengangkut mereka
sampai kepedalaman. Bahkan yang mau sampai
dipertengahanpun jarang serta ongkos yang diminta tinggi
sekali.
“Kami hanya sanggup membawa saudara-saudara sampai di
Tembilahan......” kata seorang pemilik perahu dari dalam
perahunya.
“Berapa jauhnya tempat itu kira-kira dari sini?” tanya
Suwantra.
“Kurang sedikit dari lima puluh kilo. Sampai di Tembilahan
kalian harus mencari perahu yan.g lain untuk sampai ketempat
tujuan kalian. Kurasa tak akan ada orang yang mau mengantar
kalian sampai kemudik......”.
“Kenapa begitu......?” tanya Suwantri.
“Banyak rampok-rampok sungai dan buaya!” jawab pemilik
perahu pula.
“Kalau begitu, sampai di Tembilahanpun jadilah” kata
Suwantra sambil masuk kedalam perahu.
“Tapi harga yang aku tawarkan sudah cocok?” tanya pemilik
perahu yang masih muda itu.
“Kalau tidak bisa dikurangkan lagi...... benar begitu?”.
“Harga mati itu, saudara”.
Suwantri duduk dimuka kakaknya. Pemilik perahu dan
pembantunya, seorang pemuda tanggung segera menggerakkan
pendayung mereka. Dan perahu itu mulai meluncur ke muka
melawan arus sungai.
“Berapa jam kita akan sampai ke Tembilahan?” tanya
Suwantra.
“Besok tengah hari......” jawab Kari, pemuda pemilik perahu.
“Jadi kita bermalam ditengah jalan?” tanya Suwantri
terkejut.
“Betul!”
“Tapi tak usah kakak khawatir. Dari sini sampai Tembilahan
tak ada bahaya yang ditakuti......” menyela pemuda-tanggung
yang dibelekang perahu. Namanya Tajudin.
Dikedua tepi sungai terdapat berderet-deret rumah
penduduk. Bentuknya agak aneh bagi mata kedua anak muda
yang berasal dari tanah Jawa itu. Pada malam hari arus sungai
agak perlahan. Suara jengkerik kedengaran disepanjang kedua
tepi sungai.
“Tak adakah pendayung yang lain?” tanya Suwantra pada
Tajudin. Anak itu menggeleng. Dengan acuh tak acuh, seperti
seorang anak kecil memain-mainkan tangannya. Suwantra
memasukkan tangan kanannya kedalam air,
mempergunakannya seperti pendayung. Dan secara aneh
perahu itu meluncur dengan lebih cepat lagi. Suwantri yang
melihat perbuatan kakaknya itu segera meniru. Kecepatan
perahu kecil jadi bertambah pula. Suara meluncurnya sampai
terdengar ketelinga. Kari dan Tajudin tak habis pikir bagaimana
dengan pertolongan tangan-tangan kedua penumpangnya itu
perahu mereka bisa jadi secepat itu.
Menjelang tengah malam mereka sampai kesebuah
pangkalan perahu. Sebuah kedai masih terbuka. Dan meskipun,
gulai yang dihidangkan sudah terasa agak basi, tapi Suwantri
dan Suwantra tidak menolak. Sementara mereka makan, kedua
anak perahu yang membawa bekal masing-masing, makan di
perahu mereka dan kemudian melunjurkan kaki beristirahat.
Satu jam kemudian perjalanan diteruskan kembali.
Seharusnya seperti telah dikatakan oleh Kari sebelum
berangkat, mereka baru akan sampai di Tembilahan pada
tengah hari keesokannya. Tapi saat itu baru saja matahari naik
maka kota kecil ditepi sungai itu telah kelihatan dimuka
mereka.
“Kita sudah hampir sampai!” kata Kari dengan nada tak
percaya sambil memandang kemuka.
Perahu merapat ditepi sungai. Setelah membayar sewanya
kedua kakak beradik itu segera melompat keluar. Ketika
keduanya berlalu dan mengucapkan terima kasih, berkatalah
Tajudin pada kawannya, “Kurasa kedua orang itu bukan
manusia biasa......”.
“Benar......” ujar Kari. “Kalau tidak dengan bantuannya, kita
tak akan sampai pagi ini. Padahal yang mereka perbuat sebagai
dayung hanyalah telapak-telapak tangan mereka yang halus
putih itu!”
“Mungkin mereka orang-orang yang pernah menuntut ilmu
juga” desis Tajudin.
“Sudah pasti. Dan kalau kita punya ilmu semacam dia, bukan
saja Batang Kuantan ini yang akan kita arungi, tapi juga
lautan!” kata Kari mencetuskan khayalannya.
“Kita kembali pagi ini juga? “ tanya Tajudin mengalihkan
pembicaraan. Kari mengangguk lalu berkata. “Carilah muatan
sesudahnya kita sarapan”. Kedua anak perahu itu ke luar dari
perahu menuju ketepi sungai.
Setelah sarapan pagi dan membeli bekal persediaan ditengah
jalan kedua kakak beradik itu segera mencari perahu yang biasa
mereka sewa kepedalaman. Tapi tak satu pemilik perahupun
yang mau membawa mereka. Seorang tua yang berdiri ditepi
pangkalan Tembilahan yang sedari tadi memperhatikan kedua
anak muda itu membuka mulut ketika Suwantra dan adiknya
lalu dihadapannya. “Kau akan sia-sia anak muda. Tak ada
seorangpun pemilik perahupun yang akan mau kau sewa
kepedalaman. Aku sudah lima puluh tahun tinggal disini.
Hanya pernah tiga buah perahu yang coba-coba memasuki
pedalaman melalui sungai ini. Dan ketiga-tiganya tak pernah
kembali. Yang dua ditenggelamkan buaya ditengah jalan.
Semua penumpangnya menjadi mangsa binatang air itu sedang
yang ketiga diserang oleh rampok sungai disekitar Petitih......”.
“Terima kasih atas keterangan Bapak” jawab Suwantra
dengan tersenyum ramah. “Tapi biarlah kami cari juga dahulu.
Kalau tak berhasil terpaksa kami beli saja sebuah perahu”.
“Ya, kalian boleh pergi mencari lebih dahulu. Dan kalau tidak
berhasil kembalilah kesini. Aku tahu seorang pemilik perahu
yang hendak menjual Perahunya. Kayunya bagus dan belum
lama dipakainya. Masih baru dan besar. Pendayungnya empat
buah......”.
“Baik...... baik, kalau tak berhasil mencari perahu sewaan
kami akan kembali kesini” kata Suwantra berjanji. Dia berlalu
bersama adiknya. Setengah jam kemudian keduanya kembali
ketempat itu. Si orang tua tadi masih berdiri ditempatnya.
“Apa kataku? Kalian akan sia-sia mencari perahu sewaan.
Bagaimana? Jadi kalian hendak membeli perahu yang
kukatakan tadi?”.
“Dimana tempatnya?” tanya Suwantra.
“Ikuti aku......” jawab orang tua itu. Dia membalikkan
tubuhnya dan berjalan lebih dahulu.
“Bagaimana kalau kita menempuh jalan darat saja?” tanya
Suwantri sambil berjalan disamping kakaknya.
“Kita tak tahu jalan dan seluk beluk didaerah ini. Itu berarti
kita memerlukan seorang atau beberapa orang penunjuk jalan.
Disamping itu akan makan waktu berminggu-minggu pula
sebelum sampai ketempat tujuan kita. Padahal kalau dapat kita
menyelesaikan rencana dalam waktu yang singkat dan kembali
dengan segera kekampung”.
Ketiga orang itu berjalan ditepi sungai Batang Kuantan. “Itu
rumahnya......” kata orang tua yang berjalan dimuka kedua
kakak beradik itu. “Dan itu perahunya. Masih bagus bukan?”.
Dibelakang sebuah rumah yang terletak ditepi sungai itu
terletak sebuah perahu. Tampaknya memang masih baru.
Si orang tua mengetuk pintu rumah. “Labai...... hai Labai.
Ado kau dirumah?”
“Siapo tuh? Masuklah!” terdengar suara jawaban dari dalam.
“Aku, Tua Ampa! Ada orang ndak melihat prahu kau nih!”
kata si orang tua dengan nada irama dan aksen penduduk asli.
Pintu rumah terbuka dan si orang tua masuk kedalam. “Si
apuh! Baru bangun tidur kau sesiang ini Labai? Dan blum pulo
mandi! Tuh ada orang yang ndak melihat perahumu. Jadi kau
jual?”.
“Jadi. Suruhlah masuk......... aku ndak mencuci muko Jadi
dulu!”.
Tua Ampa memunculkan kepalanya dari balik pintu.
“Saudara-saudara marilah masuk dahulu. Orang nan punyo
prahu tu baru bangun......”.
“Biarlah kami menunggu saja ini......” jawab Suwantra sambil
tersenyum. Tak berapa lama kemudian keluarlah Tua Ampa
dengan diiringi oleh Labai, orang yang empunya perah
Keempat orang itu menuju kebelakang rumah. “Cobalah
lihat-lihat dulu macam perahu awak nih. Kayunya bagus dan
masih baru......” kata Labai kepada Suwantra. Pemuda itu
segera memeriksa keadaan perahu dan kemudian menanyakan
harganya.
“Wah, apa tidak sangat tinggi harga yang saudara katakan
itu?” tanya Suwantra pada Labai ketika orang itu menyebutkan
harga perahutnya.
“Memang tinggi saudara. Tapi boleh ditawar sikit. Saudara
lihat sendiri perahu ini besar, kayunya bagus dan masih baru.
Coba bandingkan dengan perahu-perahu yang saudara lihat
dipangkalan. Uh...... ketinggalan jauhlah prahu-prahu orang
tuh!”.
Tawar menawar segera terjadi dan setelah cocok harga
dikedua belah pihak maka terjadilah jual beli itu. Dengan
bantuan Labai, Suwantra membawa perahu tersebut kesungai.
Sebelum berangkat dia menyelipkan sesuatu ketangan Tua
Ampa yang diterima orang tua itu dengan senyum dikulum.
Malam pertama tak ada halangan yang mereka temui.
Karena kedua orang yang mendayung itu tidak
mempergunakan tenaga biasa maka dalam tempo semalaman
saja setengah dari perjalanan telah mereka tempuh. Dan pada
pagi keesokan harinya itulah rintangan pertama mulai ditemui.
Di satu kelokan sungai yang airnya sangat tenang, seakan- akan air sungai itu tidak mengalir sama sekali, mata Suwantri
yang tajam memperhatikan dua buah benda yang meluncur
cepat kearah perahunya. “Suwantra! Awas ada buaya!”.
Suwantra memutar kepalanya kearah yang ditunjuk adiknya.
Kemudian dengan cepat kedua orang itu mengayuh perahu
ketepi. Tapi sebelum mencapai tepian kedua binatang itu telah
berhasil mencapai mereka. Tampaknya keduanya hendak
menubruk dan membalikkan perahu dengan kepala mereka.
“Pergunakan dayung dan pukul kepalanya!” teriak Suwantra.
Kedua kakak beradik itu berdiri diatas perahu dan sama
mengayunkan kayu pendayung yang ditangan masing-masing
kekepala kedua ekor buaya itu. Kepala buaya-buaya itu
tenggelam beberapa detik lamanya. Kemudian dua buah benda
panjang yang berduri-duri menyambar kearah perahu. Kedua
benda itu tak lain adalah ekor-ekor dari buaya tadi. Suwantra
dan adiknya meloncat kedaratan. Ekor kedua buaya lewat dan
menghantam tepi perahu. Melihat kedua orang itu berada
didaratan kedua buaya Itu terus berenang ketepi. Kedua
mulutnya ternganga lebar. Dengan mempergunakan kayu-kayu
pendayung itu sebagai senjata, Suwantra dan adiknya bertahan
dari serangan-serangan binatang buas itu. Mulut kedua
binatang itu pecah-pecah dan penuh berlumuran darah kena
hantaman kayu pendayung. Tapi mereka terus menyerang
dengan dahsyat. Kedua kakak beradik kalau tidak berloncatan
dengan gesit kian kemari entah sudah berapa kali terpukul oleh
ekor-ekor buaya itu. “Pukul kedua matanya!” teriak Suwantra sambil
menghantamkan kayu pendayung kearah mata kiri binatang
yang menjadi lawannya. Mata binatang itu hancur remuk.
Kemudian mata kanannya yang menjadi sasaran. Suwantri juga
telah berhasil memukul buta mata lawannya. Lima menit
kemudian, meskipun masih membantingkan ekornya kian
kemari dengan dahsyat tapi serangan kedua binatang itu sudah
tidak berarti sama sekali. Suwantri dan kakaknya segera
meloncat kedalam perahu kembali dan meneruskan perjalanan.
Lima kilo dari tempat itu, kembali tiga ekor buaya muncul
dibelakang mereka. Tapi karena jaraknya cukup jauh, dengan
mempercepat jalannya perahu, ketiga binatang itu tak berhasil
mengejar perahu. Kedua murid Ahmed Pasya itu berhasil
menyelamatkan diri setelah terjadi kejar mengejar antara
mereka dengan buaya itu selama hampir setengah jam lebih! *
* * TUJUH
PAGI itu mereka baru saja meninggalkan sebuah kampung
kecil dipinggiran sungai. Tiga jam setelah melewati kampung
itu, dikejauhan kelihatan dua buah perahu yang berisi beberapa
orang. Semakin lama ketiga perahu itu semakin dekat juga.
Tiba-tiba sejarak sepuluh meter dari sebelah muka, kedua
perahu yang berisi masing-masing lima orang itu bersibak.
Perahu Suwantra berada ditengah-tengah kini.
“Wantri...... waspadalah. Agaknia inilah rampok-rampok
sungai yang disebut-sebut orang itu......” bisik Suwantra pada
adiknya. Kedua orang itu memegang pendayung masing-masing
dengan erat dan siap sedia.
“Berhenti!” perintah seorang laki-laki yang berdiri dibarisan
sebelah muka diperahu yang sebelah kanan sambil mengangkat
tangan kanannya tinggi-tinggi. Tangan kirinya bersitekan pada
hulu senjatanya yang terselip dipinggang. Orang ini dan juga
kawan-kawannya yang lain memakai baju gunting cina,
bercelana yang bergelembung besar dan dipinggangnya melilit
kain sarung. Mereka semuanya memakai kain penutup kepala.
Dengan patuh Suwantra menghentikan perahunya. “Ada apa
saudara-saudara? Kalian dari mana?”.
Pemimpin rampok sungai itu mengerenyitkan alisnya dan
memandang pada kawan-kawannya. Kemudian terdengarlah
suara tertawanya yang diikuti oleh kawan-kawannya.
“Kelihatannya dia bukan penduduk sini. Hem...... tentu banyak
uang dan barang-barang berharga yang dibawanya...” bisik
salah seorang anak buah perampok bajak sungai itu pada
pemimpinnya.
“Saudara-saudara mau pergi kemana?” tanya Sampano
Kutai. Begitulah nama si pemimpin rampok.
“Kami bermaksud hendak kepedalaman. Ada sesuatu
pertolongan yang kalian butuhkan maka kalian menyuruh kami
berhenti?” jawab Suwantra.
“Benar, Benar...... memang ada yang akan kami minta tolong
pada saudara-saudara” kata Sampano Kutai.
“Katakanlah., mudah-mudahan kami bisa menolongnya”.
Semua perampok itu sama menyeringai.
“Tolonglah berikan semua uang dan barang-barang berharga
yang kalian bawa kepada kami. Kami percaya bahwa saudara- ssaudara berdua akan memberikannya” kata Sampano pula
dengan nada meninggi.
Suwantra pura-pura terkejut mendengar kata-kata itu.
Adiknya sudah tak tahan hati, namun dia tetap tak membuka
mulut sedang hatinya sudah gemas melihat tampang dan tindak
tanduk perampok-perampok itu.
“Uang dan barang-barang berharga......? Tapi kami tak punya
uang dan barang-barang itu. Kami tak punya apa-apa saudara- saudara......” jawab Suwantra kemudian.
“Ala...... jangan pula kami dikicuh kawan. Lah jelas dek kami
bahwa kalian bukan rang sini. Berikanlah apa yang kami minta
itu. Kami tak begitu suka bersitegang urat leher dan bersabung
tinju, apalagi bersabung senjata!” kata Sampano Kutai pula
dengan melontarkan seringai buruk kepada Suwantra.
“Sungguh tajam sekali mata saudara, mengetahui kami
bukan orang sini. Tapi sungguh, kami tak berdusta. Kami orang
miskin dan tak punya apa-apa......” Kepala bajak sungai itu
mulai barubah air mukanya. Matanya menyorot kejam kini dan
suaranya lantang ketika bertanya : “Kalian tahu siapa aku?
Kalian tahu siapa kami? Inilah Datuk Sampano Kutai, orang
yang ditakuti mulai dari muara sampai kehulu Batang Kuantan.
Kamilah bajak-bajak sungai yang malang melintang didaerah
ini dan kalianlah mangsa kami saat ini! Ada kalian dengar?
Kalau ada lekaslah berikan apa yang kukatakan tadi supaya
kembali juga kalian kekampung halaman kalian. Tapi kalau
kalian menolak dan bermaksud pula untuk coba-coba melawan
kami maka terpaksalah disungai ini kami jadikan kubur kalian!”
“Oh...... jadi rupanya kalianlah bajak-bajak sungai yang
disebut-sebut orang selama ini? Hemm...... memang cocok
benar, pantas benar dengan tampang-tampang kalian!” kata
Suwantri balas menjawab kata-kata Datuk Sampano Kutai.
“Ohoi! Pemuda yang suaranya seperti anak gadis itu pandai
pula membuka mulut rupanya......” kata salah seorang anak
buah Sampano.
“Kenapa tidak? Setiap orang yang punya mulut tentu pandai
bicara, kecuali orang bisu tentunya!”
“Dan kami sudah lama mencari-cari kalian. Untuk membuat
perhitungan dengan kalian!” menyambung Suwantra.
“Ha...... ha! Ini dia! Bertemu durian dengan mentimun.
Hendak melawan kancil terhadap gajah rupanya!” kata
Sampano Kutai sambil memberi isyarat pada anak buahnya.
Bersamaan dengan, itu, tiga orang dari perahu sebelah kiri dan
tiga orang pula dari perahu sebalah kanan meloncat kedalam
perahu Suwantra. Kedua kakak beradik yang telah lama
menanti dengan waspada itu segera tak membuang-buang
waktu lagi. Bagian Suwantra adalah musuh-musuh yang datang
dari samping kanan sedang adiknya yang sebelah kiri. Dayung
besar yang ditangan kedua kakak beradik itu membabat deras
kemuka. Bajak-bajak sungai yang datang dari samping kanan
terpental kedalam air dengan jeritan kesakitan. Yang terkena
pukulan dayung pada tangan kanannya, patah dua tulang
lengannya. Yang kedua patah-patah iganya sedang bajak yang
ketiga meskipun coba untuk mengelakkan pukulan dayung tapi
tak urung kena juga tersapu dadanya. Rampok-rampok yang
berloncatan dari kiri dua orang menderita luka-luka parah
sedang ketiga berhasil menyelamatkan diri.
“Bedebah laknat!” teriak Sampano sambil mencabut kerisnya
dan meloncat kedalam perahu Suwantra. Anak buahnya yang
lain segera pula menyerang. Dalam perkelahian jarak dekat
kedua kakak beradik itu tak bisa mempergunakan dayung
panjang yang ditangannya sebagai penggada. Tapi dengan cepat
mereka merubah pegangan pada dayung itu. Kalau tadi kedua
tangan mereka memegang pendayung pada ujungnya maka kini
kedua tangannya memegang benda itu pada bagian tengahnya
dalam jarak tertentu. Dan pendayung-pendayung itu
dipergunakan sebagai sebuah toya kini!
Empat orang mengurung kedua kakak dan adik itu. Perahu
bergoncang keras dan empat serangan keris berkelebatan kian
kemari. Permainan keris Sampano Kutai tak bisa dianggap
enteng. Senjatanya itu berkelebatan kian kemari, seakan-akan
menjadi berpuluh-puluh buah banyaknya. Gerakannya gesit
dan cepat. Kayu pendayung yang ditangan Suwantra telah
penuh dengan tusukan-tusukan keris. Salah seorang
pengeroyok Suwantri telah berhasil dirobohkan oleh gadis itu.
Beberapa saat kemudian pengeroyok yang kedua menemui
ajalnya ketika dayung yang ditangan Suwantri menghantam
dan mematahkan batang leher laki-laki itu.
Kawan-kawan perampok yang tadi terlempar kedalam sungai
dan yang masih mempunyai nyali untuk bertempur kembali
segera mendekati perahu tapi sebelum mereka naik keatas
perahu, kepala mereka dihantam; satu demi satu oleh Suwantri
sehingga tak satupun dari mereka itu yang kembali muncul
kepermukaan air. Perkelahian antara kakaknya dan pemimpin
bajak masih berjalan dangan seru. Belum satupun diantara
kedua musuh itu yang kena cedera oleh lawan sedang
pertempuran sudah berlangsung sebanyak empat jurus.
Walaupun Sampano Kutai tidak memiliki ilmu mengentengi
tubuh seperti Suwantra adanya, namun kegesitan dan
kecepatan gerak laki-laki itu benar-benar mengagumkan. Enam
kali dia berhasil mengelakkan pukulan pendayung yang
ditangan lawannya sampai saat itu kerisnya belum juga sanggup
melukai tubuh lawannya. Jangankan melukai, menggores baju
pemuda itupun tak berhasil dia. Perahu bergoncang tiada
hentinya. Datuk Sampano Kutai mengirimkan dua buah
tusukan berantai kedada lawannya. Dengan mundur dua
langkah Suwantra mengelakkan serangan itu. Dia membalas
serangan lawan dengan melayangkan ujung kiri pendayung
kearah perut laki-laki itu. Sampano memiringkan tubuhnya.
Pendayung lewat, Sampano balas menyerang. Kerisnya
menusuk cepat kearah tenggorokan Suwantra. Pemuda itu
memiringkan lehernya tapi senjata lawan dengan cepat
bergerak bertukar arah kejurusan dadanya. Dengan cepat
Suwantra menangkis tapi sekali lagi senjata lawannya berubah
arah. Kembali naik keatas menyerang tenggorokannya. Sambil
menunduk dengan kecepatan yang luar biasa Suwantra
mengirimkan tendangan keras keperut lawannya, Sampano
meloncat kebelakang. Perahu kembali bergoyang dengan hebat.
Sambil tegak kambali Suwantra mengirim serangan. Pendayung
yang ditangannya melesat kearah muka lawan. Sampano sekali
lagi mengelak dan berhasil. Pemuda itu maju lagi selangkah
memburu dan pernimpin bajak sungai terdesak keujung
belakang perahu. Dia bertahan dengan gigih sampai pada saat
senjata yang ditangannya mental keudara tersambar ujung
pendayung. Sebelum Suwantra menghantamnya kembali
dengan cepat laki-laki itu meloncati tubuh lawannya. Perahu
oleng dan kedua orang itu terjatuh kedalam air sedang Suwantri
cepat meloncat keperahu perampok yang disamping kiri.
Setelah hilang beberapa detik lamanya, kedua musuh itu
muncul kambali dari permukaan air. Tinju kanan Sampano tiba
didagu lawan. Suwantra tak mengacuhkannya sama sekali.
Pukulan lawan yang kedua dielakkannya sedang dengan tangan
kirinya dicekalnya leher baju lawannya. Sebelum tinju kanan
Suwantra meluncur kemuka, Sampano mencekik leher pemuda
itu dengan keras. Suwantra membenamkan dirinya kedalam air.
Dari bawah air ditangkapnya pinggang musuhnya dan beberapa
detik kemudian kelihatanlah tubuh pemimpin rampok itu
jungkir balik diudara. Kepala Datuk Sampano membentur
perahunya sendiri. Membuat pemandangannya jadi berkunang- kunang. Dan pada saat itulah Suwantra berenang mendekati
lawannya. Tinjunya datang seperti hujan. Darah bercucuran
dari kedua mata, lobang hidung dan mulut pemimpin bajak itu.
Tubuhnya mulai tenggelam. Dengan megap-megap dia coba
untuk memunculkan kepalanya kepermukaan air tapi semakin
dicoba semakin tenggelam juga tubuhnja. Dan akhirnya
tamatlah riwayat pemimpin bajak yang selama ini ditakuti oleh
penduduk mulai dari muara sampai kehulu Batang Kuantan itu. *
* * Semakin kepedalaman arus sungai semakin deras. Hutan
belantara disepanjang tepi sungai semakin lebat rapat. Seakan- akan dari dalam hutan itu terdengar suara auman binatang- binatang buas. Daerah sekitar situ diliputi kesunyian yang
mencengkam. Mereka berhenti disebuah kampung kecil hanya
untuk membeli bekal dan kemudian melanjutkan perjalanan
kembali.
Rembang petang mereka sampai disatu kampung yang
bernama Muara. Persis ditempat itulah Batang Kuantan
bercabang menjadi dua. Pegunungan Bukit Barisan mengapit
dan mengelilingi daerah itu. Suwantra dan adiknya setelah
menambatkan perahu ditepian segera naik kedarat. Disebuah
kedai, sambil menyuap nasinya pemuda itu bertanya pada
perempuan pemilik kedai. “Mak, disini sungai itu bercabang
dua. Kalau kita hendak kekaki gunung Merapi, cabang yang
manakah yang harus diikuti?”. Perempuan yang ditanya
memandang kepada Suwantra beberapa lamanya, baru
menjawab. “Cabang yang kekanan tentunya......”
“Dan dimanakah kami harus berhenti nanti?” tanya Suwantra lagi.
“Kalau tu tak tahu Amak......” jawab orang kedai.
“Saudara-saudara hendak kekaki gunung Merapi?” tanya
seorang separoh baya yang duduk makan disamping Suwantra.
“Benar, saudara” jawab pemuda itu.
“Ikuti terus cabang sungai yang kekanan itu. Tiga puluh kilo
dari sini ada sebuah kampung yang bernama Kuliki. Kalian
berhenti disitu dan melanjutkan perjalanan ke Batusangkar
lebih mudah dan lebih dekat sampai ketempat tujuan saudara- saudara itu”.
“Terima kasih atas keterangan itu......” kata Suwantra dengan
tersenyum senang.
Hujan rintik-rintik turun tak berapa lamanya setelah mereka
meninggalkan Muara. Tapi tiga menit kemudian hujan itu
segera pula berhenti. Disepanjang tepi sungai sebelah kiri
kedua kakak beradik itu melihat banyak sekali kera dipohon- pohon seakan-akan binatang itulah buah dari pohon-pohon itu.
Suaranya ramai sekali dan tingkah laku binatang itu bermacam- macam. Ada yang bermenung seperti anak muda yang
merindukan pacarnya. Ada pula yang berteriak-teriak dan
meloncat-loncat kian kemari. Induk-induk kera yang
mempunyai anak, memangku anaknya dan menyusuinya, tak
ubahnya seperti seorang perempuan menyusukan bayinya. Dan
yang kerjanya loncat meloncat tak manentu dari satu pohon
kelain pohon banyak pula. Perahu meluncur dengan cepat.
Lepas senja mereka sampai kekampung yang dinamakan Kuliki
itu.
“Kita mencari penginapan dan tidur disini malam ini. Besuk
pagi baru kita berangkat ke Batusangkar......” kata Suwantra
sambil turun dari perahu.
“Tubuhku juga sangat letih. Sudah sepantasnya kita
beristirahat semalam ini” jawab adiknya. Dan gadis itu
meloncat turun dari atas perahu.
Malam itu mereka menumpang tidur dirumah seorang
pembuat pedati. Keesokan harinya setelah menitipkan perahu
kepada seorang pencari ikan dengan perjanjian bahwa pencari
ikan itu boleh memakai perahu tersebut selama mereka pergi
asal dirawat dan dijaga baik-baik
*
* * DELAPAN
DIA berjalan juga sambil melayangkan pandangannya.
Rumah-rumah besar yang berukir indah dan yang atapnya
berkeluk seperti tanduk kerbau itu sangat menarik
perhatiannya. Orang laki-laki yang lalu dan berpapasan dengan
dia menganggukkan kepala dan tersenyum ramah, sekalipun
mereka tidak mengenal satu sama lain. Orang-orang
perempuan memakai baju kurung, bertutup kepala dengan
selendang. Yang bermaksud hendak kepasar, menjunjung
barang dagangannya diatas kepala. Berjalan dengan depat
tanpa memegang barang yang diatas kepalanya itu.
Udara pagi terasa nyaman sekali penuh kesegaran. Ketika
dilayangkannya matanya kesebelah kanan maka tampaklah
dikejauhan gunung Malintang. Berdiri laksana seorang raksasa
penjaga negeri. Dan ketika ditolenkannya pula pandang kekiri
maka tampaklah gunung Merapi menjulang tinggi dengan
segala kemegahannya. Sungguh indah tanah Minangkabau,
sungguh ramah budi bahasa penduduknya. Sudah empat hari
dia berada disana, namun belum bosan juga dia, belum puas
juga dia memandang dan menyelidiki rahasia keindahan alam
tanah Minang yang terletak digugusan Bukit Barisan itu.
Siapakah laki-laki itu? Bukan orang sanakah dia maka sampai
terpesona banar dia melihat segala keindahan alam yang bagi
penduduk sudah merupakan hal yang terbiasa? Memang dia
bukan orang sana!
Telah tersiar kabar dikalangan gadis dikampung Parak Jua,
telah menjadi tutur cakap oleh calon induk-induk itu bahwa
dikampung mereka telah datang seorang baru, seorang pemuda
yang katanya berasal dari tanah seberang, dari tanah Jama.
Anak muda itu kabarnya menumpang tinggal untuk semantara
dirumah Gaek Leman (Gaek — sebutan untuk orang yang sudah
tua seperti : Kakek). Kalau sekiranya tak ada keistimewaan
didiri orang baru itu tentu tidak dia menjadi buah tutur gadis- gadis, tidak pula akan menjadi bahan percakapan orang-orang
muda-muda.
Tubuhnya tinggi semampai. Tegap dan kukuh. Orangnya
ramah tamah dan parasnya tampan gagah. Menurut kata Gaek
Leman, laki-laki tua yang telah menjadi duda semenjak dua
puluh tahun yang lalu dan yang tak beranak barang seorang jua,
dimana pemuda yang menjadi buah bibir tadi tinggal, nama
orang yang baru datang itu adalah Aditiajaya. Sangat asing
memang nama orang itu bagi telinga gadis-gadis di Parak Jua.
Tapi sungguh sedap didengarnya. Dia bisa membawa diri dan
dapat berkawan. Sebanyak itu pemuda-pemuda yang berkawan
dengan dia, lebih banyak lagi yang membencinya, karena kalau
gadis-gadis di Parak Jua selama ini banyak menunjukkan
perhatian kepada mereka maka kini semua gadis-gadis itu
kelihatannya lebih tertarik pada orang baru itu. Bahkan Nurani,
gadis yang digelari ‘bunga mawar dari kayangan’, gadis yang
tercantik di Parak Jua mungkin tercantik diseluruh
Batusangkar itu dan mungkin pula diseluruh tanah Minang saat
itu, yang menjadi buah bibir anak-anak muda sekampung dari
pagi sampai petang diteruskan didalam mimpi pada malam
harinya, agaknya menaruh perhatian pula pada Aditia. Setiap
gadis-gadis membicarakan tentang pemuda itu, dipancuran
tempat mandi, ditengah jalan kepasar, dimana saja........ dia
kelihatanan senang sekali dan turut mencampuri percakapan
itu.
Hari itu adalah hari pasar di Batusangkar. Lepas tengah hari
langit tampak mulai mendung. Pedagang-pedagang mulai
bersiap-siap dengan barang dagangan mereka karena sebentar
lagi hendak turun hujan lebat. Orang-orang yang berbelanja
sudah usai ditengah dalam perjalanan pulang.
Aditia menyusuri jalan kecil yang menuju kekampungnya.
Suara guntur sudah mulai kedengaran dikejauhan. Dia
mempercepat jalannya. Tiba-tiba dimukanya, diliku jalan
terdengar pekik perempuan. Bukan seorang, tapi dua orang.
Murid Eyang Wilis melompat kemuka dan berlari dengan cepat.
Dua orang perempuan ditemuinya diliku jalan. Yang seorang
masih muda remaja dan parasaya cantik sekali meskipun
mukanya sangat pucat pasi saat itu. Yang seorang lagi sudah
separuh baya. Dia duduk tergelimpang ditengah jalan, merintih
kesakitan sedang pada kaki kanannya, diatas mata kaki
kelihatan sebuah luka yang mengeluarkan darah.
“Apa yang telah terjadi......?” tanya Aditia pada gadis itu yang
tak lain dari uada Nurani adanya, gadis cantik yang digelari
‘bunga mawar dan kayangan”.
Dengan gagap Nurani menjawab. Gagap karena masih belum
hilang rasa takutnya dan gagap karena berhadapan dengan laki-
laki yang sering dipercakapkannya bersama kawan-kawannya
selama ini. “Bi...... bibi saya dipatuk ular......” menerangkan
Nurani.
Aditia memandang kepada luka dikaki perempuan yang
duduk terhantar ditanah. Dia membungkuk dan berlutut
dihadapan perempuan itu. “Cobalah Etek luruskan kaki kanan
itu...” kata Aditia. (Etek — panggilan untuk perempuan yang
berumur sekitar tiga puluh lima tahun keatas).
Dengan menggigit bibir perempuan itu meluruskan kakinya.
“Harap maafkan...... Luka dipatuk ular sangat berbahaya
akibatnya. Izinkan saya memegang kaki Etek......”. Saripah,
begitulah nama perempuan separuh baya itu adalah bibi
Nurani, adik kandung dari ibu gadis itu. Dia hanya bisa
mengangguk memberi isyarat atas kata-kata Aditia. Mula-mula
sekali dengan kedua tangannya Aditia memijit betis perempuan
itu keras-keras. Etek Saripah merintih menahan sakit. Dari luka
bekas patukan ular keluarlah darah kental. Nurani memandang
ketempat lain, tak tahan melihat darah. Dengan ujung sebuah
sapu tangan dibersihkannya luka itu. Dari dalam sakunya
kemudian dikeluarkannya bubuk obat dan disiramkan diatas
luka. Kemudian ketika dia hendak mengikat luka tersebut
dengan sapu tangan tadi, Nurani yang telah memalingkan
kepalanya kembali depat menyela. “Tuan.... balut saja luka itu
dengan selendang ini. Jangan dipakai sapu tangan Tuan
itu........ nanti kotor”. Nurani mengulurkan selendang yang
ditangannya. (Tuan — panggilan untuk laki-laki yang lebih tua
dari yang memanggil — kakak).
Aditia memandang kepada gadis itu. Rambutnya kini tak
bertutup lagi. Panjang hitam dan indah sekali. Beberapa saat
lamnya pemuda itu menatap paras yang cantik dihadapannya.
Inikah dia yang digelari orang bunga mawar dari kayangan itu?
Ah sungguh cantik sekali. Sangguh tepat! Kata Aditia dalam
hatinya. Dan untuk baberapa lamanya mata ke dua orang itu
saling beradu pandang. Muka Nurani yang tadi pucat pasi
karena ketakutan, kini kembali berdarah, parasnya kemerah- merahan tanda bahwa darahnya mengalir cepat-cepat menuju
kemukanya.
“Tak apa-apa adik...... sapu tangan ini sudah kotor juga.
Biarlah dia dipakai untuk pembalut luka. Jangan pula
selendang yang bagus itu......” kata Aditia pada akhirnya.
Dengan cepat dia membalut luka dikaki Saripah. Sementara dia
melakukan pekerjaan itu, Nurani dan bibinya memperhatikan
muka Aditia terus manerus. “Sudah Etek...... sekarang
berdirilah......” . Aditia membantu perempuan itu berdiri.
“Dapatkah Etek berjalan atau perlu saya bantu agaknya......?”
“Tidak...... tak usah anak. Etek bisa berjalan sendiri. Biar
Nurani saja yang akan tolong memapah Etek. Terima kasih
anak, kau baik sekali. Terima kasih” kata Saripah sambil
melangkah maju. Tangan kiranya dibimbing oleh Nurani.
Sebelum meninggalkan tempat itu, si gadis melayangkan
pandangannya pada Aditia dan bertanya, “Kemanakah akan
saya antarkan kembali sapu tangan milik Tuan......?”
“Ah...... sapu tangan buruk itu. Antarkanlah kerumah Gaek
Leman. Tak usah dipulangkan juga tak apa......” jawab Aditia.
Aditia menunggu dulu sampai kedua orang itu berada jauh
dimukanya kemudian baru melangkah. Sebelum Nurani dan
bibinya berkelok mengambil jalan yang kearah rumahnya gadis
itu memutar kepalanya memandang kebelakang. Dia tersenyum
ketika pandangannya beradu dengan Aditia. Nurani cepat
memutar kepala kembali sedang Aditia berkelok ke kanan.
“Diakah orang baru yang dikabarkan datang dari seberang
itu, Rani?” tanya Etek Saripah pada gadis yang
membimbingnya.
“Agaknya memang dia orangnya, Etek. Saya baru sekali ini
bertemu dengan dia” jawab Nurani.
“Gagah sekali dia dan baik hati pula......” memuji Etek
Saripah sambil terus berjalan terjingkat-jingkat.
Dalam langkahnya kembali kerumah tempat dia menumpang
sesungguhnya Aditia lebih banyak bermenung. Maka itu tak
jarang langkahnya tertegun-tegun. Dia teringat tentang segala
macam pengalamannya masa lampau. Kemudian kembali
ingatannya pada perempuan yang dipatuk ular itu. Pada sapu
tangannya dan akhirnya pada gadis itu. Seperti yang dilihatnya
itulah paras Nurani. Gadis kebanggaan kampung Parak Jua.
Mukanja bujur telur. Hidungnya kacil mancung. Bibirnya
mungil tipis dan merah segar. Alisnya seperti semua beriring.
Kedua matanya bening bercahaya penuh keindahan dan berisi
segala macam rahasia hidupnya. Kulitnya kuning halus.
Senyumnya yang menimbulkan lesung pipit dipipinya sangat
menawan hati. Dan Aditia dapat merasakan betapa hatinya
terasa sejuk ketika dia menyaksikan senyum itu. Semua laman
itu berbagai-bagai mimpi Aditia. Semuanya indah-indah. *
* * Keesokan siangnya ketika orang-orang perempuan kembali
dari sawah dengan membawa nyiru dan penampi, ketika orang
laki-laki pulang kerumah dengan membawa pacul dan sabit,
seorang anak laki-laki yang berumur kira-kira sepuluh tahun
melangkah cepat kejurusan rumah Gaek Leman. Sejak
pertemuan kemarin dengan Nurani murid Eyang Wilis itu telah
berubah laku. Dia sudah jadi orang pemenung agaknya kini.
Ketika anak laki-laki tadi sampai dimuka pintu rumah dimana
Aditia duduk termenung. Segera dia memberikan sebuah benda
yang terlipat didalam genggamannya. “Uda...... Uni Rani suruh
menyampaikan sapu tangan ini kepada Uda. Didalamnya ada
surat......”. Aditia terkejut mendengar kata-kata anak itu. (Uda — kakak laki-laki, Uni — kakak perempuan).
au siapa......? Adiknya Nurani......?”, tanya Aditia sambil
menyambut sapu tangan yang diberikan anak itu.
“Benar, Uda” jawab anak itu.
“Namamu siapa buyung?” tanya Aditia lagi.
“Syamsul” jawab adik Nurani pula. “Saya pergi dulu,
Uda......” katanya kemudian minta diri.
“Tak ingin masuk dulu? Kau haus mungkin?”.
“Tak usalah, Uda......” dan anak itu pergi.
Beberapa lamanya Aditia termenung memandangi sapu
tangannya itu yang kini sudah disetrika dan bersih terlipat rapi.
Kemudian cepat dibukanya lipatan sapu tangan itu. Sepucuk
surat terdapat didalamnya. Dia segera berdiri dan masuk
kedalam rumah. Kebetulan Gaek Leman tak ada dirumah. Dia
duduk disebuah kursi tua dan mulai membuka lipatan surat
dengan hati berdebar-debar. Dalam menghadapi berbagai
bahaya maut pemuda itu tak pernah gemetar dan berdebar
seperti itu. Tapi kali ini hanya menghadapi sehelai kertas putih
yang bertuliskan kalimat-kalimat, hanya menghadapi sepucuk
surat mengapa tangannya bergetar dan mengapa dadanya
sampai berdebar? Aneh pikir Aditia. Tapi diam-diam dia tahu
pula bahwa hal itu tidak aneh sama sekali dan mukanya tampak
menjadi merah!
Tuan Aditiajaya,
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada Tuan atas pertolongan
Tuan kepada bibi saya kemarin. Bersama ini saya- kembalikan sapu tangan Tuan yang telah saya cuci
meskipun mungkin kurang bersih. Luka bibi cepat
benar sembuhnya. Sekarang beliau sudah dapat
berjalan seperti sedia kala seakan-akan tak pernah
kakinya itu mendapat cidera. Semoga kami dapat
membalas segala kebaikan Tuan itu kelak
Berulang-ulang Aditia membaca surat yang disampaikan
gadis itu. Surat yang tak berapa panjang itu enak benar
dibacanya. Setelah dibacanya sekali lagi dengan hati-hati
dilipatnya dan kemudian dimasukkannya kedalam saku. Dia
memandang berkeliling kemudian berdiri dari kursi tua itu.
Diambilnya sehelai kertas dan sebuah pena dan mulai menulis
sepucuk surat.
Nurani sahabatmu,
Aku tak tahu apakah engkau sudi dan senang
manerima suratku ini, tapi aku tahu bahwa
berkirim surat antara seorang pemuda terhadap
seorang gadis adalah menyalahi dan melanggar
adat negerimu. Dari itu sahabat, maafkanlah
perbuatanku ini kalau sekiranya kau anggap
lancang dan tak tahu sopan. Aku merasa bersyukur
mendapat kabar bahwa Etekmu sudah sembuh
kembali.
Nurani sababatku. Kupanggil kau dengan kata- kata sahabat karena memang itulah sesungguhnya
maksudku menulis surat ini kepadamu. Sudikah kau
menyambut diriku menjadi sahabatmu? Maukah
kau menerima sahabat seorang asing yang datang
dari jauh? Maukah kau bersahabat dengan orang
sepertiku ini. Itulah harapanku semoga kau terima
dengan tangan terbuka.
Wassalam sahabatmu,
Aditia.
Mengapa Aditia sampai menulis surat seperti itu? Apakah
yang telah mendorongnya? Mengapa dia menginginkan
persahabatan dengan gadis itu. Padahal bukankah dengan
pertemuannya diliku jalan kemarin itu sudah boleh dikatakan
sudah terjalin satu persahabatan meskipun tidak diucapkan
dengan kata-kata? Dan selama hidupnya, baru kali itulah dia
menulis sepucuk surat. Untuk seorang gadis pula! Pada waktu
menulis surat itu, apa sebabnya dia menyebut-nyebut ingin
bersahabat. Tertarikkah hatinya pada gadis itu? Terpikatkah dia
pada Nurani, bunga mawar dari kayangan itu?
Sehari rasa setahun bagi Aditia kini. Padahal sebelumnya tak
pernah dirasakannya yang seperti itu. Telah dua hari pula dia
menunggu dipintu rumah, telah panjang lehernya karena
menjenguk, telah putih matanya karena terus-terusan
memandang kearah jalan kecil dimuka rumah, namun anak
yang diharap2kannya tak juga muncul. Surat balasan dari
Nurani tak juga kunjung datang. Dan mulailah terpikir oleh
Aditia kalau gadis itu merasa dihinakan oleh kelancangannya
berkirim surat seperti itu. Tap; mengapa pula dia marah,
bukankah dia yang memulai berkirim surat kepadaku? Kata
Aditia pula dalam batinnya. Mungkin karena terpaksa berbuat
begitu, sebab Nurani telah berhutang budi karena
pertolongannya? Tiba-tiba dia sadar bahwa untuk pertama kali
itulah dia mengingat dan merenung-renung seorang gadis. Apa
perlunya? Dia jadi malu pada diri sendiri dan berusaha
menghilangkan pikiran yang bukan-bukan itu. Tapi semakin
dihilangkan semakin datang dia. Kembali seakan-akan
terdengar kata-kata Nurani yang lemah lembut itu, kembali
terbayang paras gadis itu, senyumnya yang menawan...... lesung
pipitnya...... Jadi, jadi kalau begitu bukan sebenarnya dia ingin
bersahabat dengan gadis itu seperti yang diterangkannya dalam
suratnya. Kata-kata ‘bersahabat’ sesungguhnya mengandung
maksud yang lain dan surat yang dikirimkannya itu adalah
‘pembukaannya’. Dan Aditia tahu akan hal itu. Untuk pertama
kali dalam hidupnya dia menipu orang lain dan lebih dari itu
dia telah menipu dirinya seadiri. Tapi itulah jiwa orang muda.
Yang ‘ia’ di ‘tidak’ kannya, padahal akhirnya terbukti juga
bahwa dia akan kembali juga ke ‘ia’ itu!
Malam itu tidur Aditia semakin gelisah. Sebentar dia
membalik kekiri sebentar membalik kekanan. Diantara
kegelisahannya itu timbul pula rasa penyesalannya karena telah
mengirim surat itu.
Keesokan harinya, lepas sembahyang asyar pemuda itu telah
bersiap-siap untuk pergi menemui sahabatnya yang tinggal di
tepi pasar. Baru saja dia merapatkan daun pintu, seorang anak
kecil dengan setengah berlari-lari datang dari arah mukanya.
Syamsul! Adiknya Nurani.
“Ada apa Syamsul?” tanya Aditia dengan cepat.
“Uni Rani menyuruh saya kesini. Katanya dia menunggu di
dangau ditepi sawah......” menerangkan Syamsul.
“Kalau begitu marilah kita segera kesana” kata Aditia pula.
Dia mengikuti anak itu yang berjalan dengan cepat. Semakin
dekat kedangau itu, semakin berdebar hati Aditia. Dari jauh
telah dilihatnya gadis itu duduk didalam dangau.
“Kau menyuruh saya datang, Rani......?” tanya Aditia begitu
dia sampai dimuka dangau. Gadis itu mengangguk. Keduanya
kini duduk sama-sama berhadapan. Nurani menundukkan
kepalanya dan Aditia memandang gadis itu dengan mata yang
tak percaya. Dia tak pernah menyangka akan dapat berada
dalam keadaan seperti itu. Duduk berhadap-hadapan dengan
orang yang selalu dikenangnya sebelum beberapa hari ini.
Untuk berapa lamanya tak satupun diantara mereka yang
membuka mulut. Adik laki-laki Nurani pergi ketengah sawah
mencari batang padi untuk dibuat puput.
“Sudah kau terima suratku, adik?” tanya Aditia membuka
pembicaraan. Dia bertanya itu sekalipun sudah tahu bahwa
suratnya telah sampai ketangan Nurani. Gadis itu mengangguk
kemudian coba untuk mengangkat kepalanya tapi segera
ditundukkan kembali begitu matanya membentur mata pemuda
yang duduk dihadapannya.
“Dan kau terimakah maksudku mengajak kau bersahabat..?”
tanya Aditia lagi.
“Kalau saya boleh bertanya, mengapa Tuan ingin bersahabat
dengan saya? Bukankah banyak orang lain yang lebih pantas
menjadi sahabat Tuan......?”
“Mungkin benar kata-katamu itu Rani, tapi engkaulah yang
saya inginkan jadi sahabatku,” jawab Aditia. Nurani tidak
menundukkan kepalanya lagi. Kedua orang muda itu saling
berpandangan beberapa saat lamanya. Kemudian Nurani
membuka mulutnya. “Tapi Tuan.......... mengapa justru
saya........?” Anak muda itu tak bisa memberikan jawabannya
dengan segera. Setelah melayangkan pandangannya berkeliling
baru Aditia menjawab. “Aku sendiri juga tidak tahu Rani. Aku
tidak tahu mengapa aku ingin bersahabat dengan kau......”
“Bagaimana pula Tuan ini?” tanya Nurani dengan herannya.
“Mung...... mungkin karena kau baik hati barangkali.....” kata
Aditia kemudian.
“Tapi kebaikan apakah yang pernah saya lakukan pada Tuan?
Sebaliknya saya dan Etek Saripahlah yang telah berhutang budi
kepada Tuan......” ujar Nurani pula.
“Itu bukan hutang budi namanya, Rani. Kalian tidak
berhutang apa-apa kepadaku. Itu cuma pertolongan biasa yang
sudah lazim. Kalau tiada ada aku disana saat itu, seorang lain
tentu akan memberikan pertolongan pula” kata Aditia. Ke dua
orang itu sama berdiam diri lagi.
“Pernakah kau bertemu dengan laki-laki lain seperti keadaan
kita sekarang ini, Rani?” tanya Aditia.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Mukanya merah dan dia
tampak agak terkejut mendengar pertanyaan itu. “Mengapa
Tuan tanyakan hal itu?”
“Tak apa-apa......” jawab Aditia pula.
“Tuan......”.
“Jangan panggil aku Tuan Rani, namaku Aditia. Kau boleh
panggil nama itu potong Aditia.
“Aditia......” ujar Nurani dengan agak gemetar. “Yang
sebenarnyakah kau ingin bersahabat denganku? Tidakkah kau
akan malu dan menyesal punya sahabat seperti aku ini?”.
“Mengapa aku harus malu, mengapa harus menyesal? Aku
suka kepadamu. Habis perkara......”. Aditia sadar bahwa dia
kata-katanya telah terlompat. Mukanya menjadi merah dan jadi
tambah merah ketika Nurani memandangnya dengan mata
terbelalak. “Kau..... kau suka pdaku...... Aditia......?” desis gadis
itu antara terdengar dan tiada. Dia menatap paras pemuda itu
dengan tercengang.
Lagi-lagi kesunyian memutuskan percakapan itu. “Harap
maafkan aku, Nurani. Tak sepantasnya aku mengucapkan kata- kata itu” kata Aditia sambil memandang kemuka gadis itu. “Kau
marah......?
Untuk beberapa saat lamanya Nurani memandang pemuda
itu. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. “Tidak......”
katanya. “A...... aku juga manyukaimu, Aditia”.
“Rani, kau......!” dan kini Aditialah yang memandang dengan
tercengang kepadanya. “Benarkah...... benarkah Rani?”. Gadis
itu mengangguk. “Jadi kau terima permintaanku untuk
bersahabat?”
“Lebih dari bersahabat akan kuterima Aditia......”, jawab
Nurani. Kalau ada suara bunyi-bunyian yang datang dari surga
saat itu, tidaklah akan semerdu kata-kata gadis itu sampainya
ketelinga Aditia.
“Terima kasih adik. Terima kasih Nurani......”. Ada kira-kira
satu jam lebih kedua anak muda itu berada didalam dangau.
Dari bercakap-cakap lebih banyak mereka berdiam diri. Hanya
mata yang saling bertemu dengan mata. Lidah sama-sama
membisu tapi hati berkata dengan hati.
SEMBILAN
BEGITULAH, dari sehari kesehari hubungan kedua muda
remaja itu semakin erat juga. Surat dibalas dengan surat. Kata
dijalin dengan kata dan dipateri dengan janji. Janji untuk hidup
bersama! Janji saling setia menyetiai dari hidup sampai
mati...... sampai pula diakhirat nanti! Janji untuk membangun
satu masa depan yang bahagia, satu rumah tanggal! Dan
semuanya itu hanya terjadi dalam tempo tiga minggu. Begitulah
kalau hati sudah bertemu hati. Cintapun muncul! Dan dalam
satu jam bahkan mungkin cuma dalam satu menit terpaterilah
perjanjian bersama itu. Perjanjian yang tidak dibuat dengan
berdebat panjang, perjanjian yang tidak dibuat dimeja nan
bundar perjanjian yang tidak diketahui oleh siapapun, tidak
seperti perjanjian yang dibuat oleh pemimpin-pemimpin satu
negeri dengan negeri lain. Perjanjian mereka dibuat atas dasar
suka sama suka, setia sama setia dan cinta sama mencintai.
Kampung tidaklah sama dengan kota. Rahasia bisa lekas
diketahui orang dikampung dari pada dikota. Yang kecil jadi
besar. Dikampung berita yang sedikit jadi banyak, yang kecil
jadi besar dan yang pendek di-panjang-panjangkan. Lekas
sampainya dari mulut kemulut, lebih-lebih mulut perempuan.
Mulut perempuan kata orang! Dan ada lagi satu perbedaan
dikota dengan dikampung. Apa yang dikota dianggap orang
lumrah dikampung kebalikannya, dianggap hina dan tercela.
Dikota pergaulan serba terbuka dikampung lebih rapat dari
dinding kajang! Dikampung seperti di Parak Jua itu masih
banyak ninik mamak yang berpaham kolot yang berpijak diatas
adat! Disana tak akan dikenal orang istilah ‘pacar-pacaran’.
Disana tak akan dikenal orang percintaan antara dua orang
muda mudi dan berkirim-kiriman surat, apalagi sampai
bertemu muka satu sama lain bukan main celanya!
Dan itulah yang terjadi di Parak Jua. Itulah yang menjadi
bahan percakapan, buah mulut, tutur bicara, pergunjingan
orang didesa itu. Tersiar kabar yang mulanya pendek sejengkal
dan kemudiannya menjadi panjang sehasta, bahwa anak gadis
Datuk Majo Sati, Nurani, bunga mawar dari kayangan
kebanggaan kampung Parak Jua telah berkirim-kiriman surat
bahkan telah sering bertemu ditempat rahasia dengan anak
muda yang menumpang dirumah Gaek Leman, orang seberang
itu! (Datuk — gelar adat Minangkabau).
Dipancuran, ditepian tempat mandi, gadis-gadis sebaya
dengan Nurani, mengejek dengan berbagai tingkah laku yang
sangat menyinggung hati gadis itu. Sedang anak-anak muda
sama bermasam muka kalau melihat Aditia, terlebih lagi yang
pernah menaruh hati pada bunga mawar dari kayangan itu.
Yang benci jadi semakin benci pada Aditia sedang yang dulu
ramah dan suka menegurnya kini menjauhkan diri.
Semua tutur kata dan ejek cela orang kampung telah sampai
kerumah gadang (— besar) dimana Nurani tinggal bersama
ayah bundanya. Seisi rumah gadang geger dibuatnya. Dan telah
sampai pula kepada Mamak laki-laki Nurani, adik laki-laki dari
Ibu gadis itu yaitu Datuk Gampo Alam!
Malam itu datanglah Datuk Gampo Alam kerumah kakaknya.
Kebetuan Datuk Majo Sati sedang ada dirumah bersama
istrinya Nuriah, juga Etek Saripah. Ketiganya bersama-sama
dengan Nurani dan adiknya baru saja selesai makan malam.
Selesai mencuci piring gadis itu masuk kekamarnya dan pada
saat paman gadis itu muncul diambang pintu.
“Aku akan bicara dengan kalian!” kata Datuk Gampo Alam
sambil duduk bersila diatas tikar dihadapan ketiga orang itu.
Tanpa menunggu jawaban dari ayah atau ibu Nurani, dia segera
membuka mulut kembali.
“Apa isi rumah gadang ini selama ini sudah menjadi bisu dan
buta dengan desas desus, sindir ejekan dan segala macam fitnah
orang banyak diluaran? Apa buta tidak melihat bahwa anak
gadis kalian telah berani berhubungan dengan pemuda yang
baru datang itu secara diam-diam. Tulikah kalian sampai tak
mendengar segala ejekan yang dilontarkan orang kepada kita?
Anak bermain gila dengan pemuda lain dibiarkan saja,
didiamkan saja! Atau kalian bukan lagi orang-orang
Minangkabau yang beradat lembaga? Kalau kalian masih
mengaku orang Minang, .mengaku turunan Bundo Kandung
mengapa kalian biarkan orang lain merusak adat kita,
menginjak-injaknya, membuat kita serumah-rumah menjadi
bahan percakapan, menjadi bahan ejek dan fitnah diluaran?
Manakah perhatian dan tanggung jawab kalian terhadap anak
gadis kalian? Haruskah aku juga sebagai Mamaknya perlu
untuk turun tangan. Memang sebagai seorang Mamak aku
wajib menurut kata orang tua-orang tua kita, nenek moyang
kita yaitu anak didukung kemenakan dibimbing! Tapi sebagai
ayah bundanya apa kalian akan berlepas diri, berlagak seperti
orang buta, seperti orang bisu, seperti orang tuli, sama sekali
tidak mengambil tindakan?! Negeri kita negeri beradat! Kita
orang beradat! Jangan sampai orang lain menginjak adat kita
yang tak lapuk dek hujan dan tak lekang dek panas, yang
diwariskan oleh nenek moyang kita, oleh ninik mamak kita
semenjak ratusan tahun dahulu. Kalau adat kita sudah diinjak-
injak oleh orang lain berarti dia sudah menginjak batu kepala
kita!”. Datuk Gampo Alam berhenti sebentar. Dia menyeka
keringat yang memercik dikeningnya kemudian bertanya
kepada kakak perempuannya, Nuriah : “Mana anak itu.......?!”
“Ada didalam kamarnya......” jawab ibu Nurani.
“Saripah...... Panggil dia. Suruh kesini!”.
Perempuan itu, adik dari Nuriah dan adik pula dari Datuk
Gampo Alam segera berdiri untuk memanggil Nurani. Gadis itu
yang sejak mula sudah mendengarkan dengan diam-diam
segala kata-kata Mamaknya keluar dengan lutut gemetar. Dia
duduk disamping ibunya dan menundukkan kepala.
“Sudah berapa lama kau berhubungan dengan pemuda
luntang-lantung itu?!” Datuk Gampo Alam mulai dengan
pertanyaannya. Nurani tak segera menjawab. Dengan ujung jari
telunjuk dipermain-mainkannya sebutir rimah nasi yang
terletak diatas tikar.
“Apa anak muda itu sudah membuat telingamu tuli, sampai
tak mendengar lagi orang bertanya kepadamu?!” tukas Datuk
Gampo Alam dengan gusar karena pertanyaannya tak dijawab.
Didiamkan seperti angin lalu.
“Jawablah pertanyaan Mamakmu, Rani......” kata Datuk Majo
Sati, ayah Nurani.
“Belum lagi sampai sebulan. Mamak” jawab Nurani
kemudian. Kepalanya masih ditundukkannya.
“Belum lagi sebulan?! Dan dalam masa sesingkat itu sudah
demikian seringnya kau menemui anak muda itu. Berbalas- balasan surat! Kau tahu apa akibat dari perbuatanmu yang tak
senonoh itu......”.
“Saya tak pernah berbuat yang tak senonoh dengan pemuda
itu. Mamak” memotong Nurani.
“Jangan potong dulu bicaraku!” bantah Datuk Gampo Alam
seraya membelalakkan matanya membuat gadis itu
menundukkan kepalanya kembali. “Kau tahu apa akibat dari
perbuatanmu itu? Seluruh isi rumah gadang ini jadi mendapat
malu dan aku sebagai Mamak laki-lakimu, terlebih lagi. Tak ada
yang sepanas ini hatiku melihat kelakuanmu! Kau beri malu
ayah bundamu. Kau beri malu aku. Kau beri malu ninik mamak
kita. Kau langgar dan kau langkahi adat lembaga kita. Sungguh
kau telah mencorengkan arang kekening kami orang tua-orang
tua. Kau tahu apa kata orang diluaran? Kita sudah menjadi
bahan ejekan dan bahan fitnah di Parak Jua ini. Dikatakannya
aku sebagai Mamak laki-laki tak tahu menjaga kemenakan! Itu
semua karena ulahmu dengan pemuda asing itu!”.
“Tapi Mamak, hubungan saya dengan dia adalah jujur. Cinta
dia kepada saya adalah suci sebagaimana cinta saya
kepadanya......” kata Nurani ketika pamannya menghentikan
bicaranya.
“Ohoi...... kau masih hijau Rani, masih belum tahu apa-apa.
Karena itu tak usah kau sebut-sebut tentang cinta dihadapanku
ini! Aku sudah tua, aku Mamakmu sudah mengecap segala
garam didunia ini. Jangan sampai matamu dibutakan oleh
cinta, jangan pula sampai hatimu dimatikan oleh cinta sedang
kau sendiri masih tak tahu apa yang dinamakan cinta itu!
Jangan sampai dikicau oleh darah muda. Cinta itu bagi kami
orang tua-orang tua hanya ada sesudah hidup berumah tangga.
Cinta semasa muda ini adalah tidak ada, palsu belaka, hanya
nafsu, hanya nafsu semata-mata!”.
“Mungkin kata-kata Mamak itu ada benarnya. Tapi tidak
betul dengan kami. Kami saling mencintai dengan penuh
kejujuran. Tak ada adat yang kami langgar tidak ada pula adat
yang kami langkahi......”.
“Datuk Gampo Alam menjadi gusar karena merasa kata- katanya disanggah. Dia memandang pada kedua orang tua
kemenakannya dan berkata : Inilah akibat kalau anak
disekolahkan. Maksud kita menyekolahkannya supaya dia tahu
ditulis baca, supaya dia tidak dikatakan orang buta huruf,
supaya dia jangan sampai ketinggalan oleh zaman karena
katanya sekarang ini zaman kemajuan! Tapi bagaimana
jadinya? Sebaliknya! Kepandaian tulis bacanya
dipergunakannya untuk berkirim kiriman surat. Ketinggian
ilmunya dipakainya untuk bersilat kata melawan petuah dan
kata-kata kita ninik mamak!”.
“Saya tidak bermaksud melawan terhadap ninik mamak
disini, Mamak......” menyela Nurani. Kedua matanya mulai
merah sedang suaranya sandat.
“Tidak melawan katamu? Baik. Ringkas kata, mulai hari ini
harus kau putuskan hubunganmu dengan pemuda itu! Itu
perintahku dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Tak bisa
disanggah!”.
Kata-kata Datuk Gampo Alam itu seperti suara halilintar
datangnya ketelinga Nurani. Tanpa ditahan-tahan lagi dia
menangis tersedu-sedu. “Apa yang kau tangiskan? Hancur
hatimu mendengar keputusanku itu? Dan seperti itu pula
hancur hati kami ninik mamak dirumah ini melihat
kelakuanmu dengan pemuda itu! Bukan dia seorang pemuda
didunia ini. Banyak yang lain, yang berbangsa dan beradat.
Keturunan orang terpandang dan......”.
“Tidak Mamak...... saya tidak sudi orang lain itu. Saya
mencintai dia. Kalau Mamak putuskan hubungan saya dangan
dia samalah Mamak menyuruh mati saya. Lebih baik Mamak
bunuh saja saya. Lebih senang rasanya......”.
“Benar sudah pusung anak ini! Obat pekasih apa agaknya
yang telah diberikan oleh orang Jawa kepadamu sampai kau
tergila-gila kepadanya. Hai Nurani! Jawablah!” tanya Datuk
Gampo Alam setengah berteriak.
“Saya tidak tergila-gila padanya. Tidak pula dia memberi
obat pekasih kepada saya. Tapi kami sama-sama cinta
mencintai. Dari lubuk hati yang suci murni. Cinta kami jujur,
Mamak...... demi Tuhan seru sekalian alam......” jawab Nurani
diantara sedu sedannya.
“Sudahlah Nurani, hentikan tangismu dan seka matamu...”
kata ibu gadis itu. “Kalau terdengar suara tangismu oleh orang
diluar, banyak pula sangka orang nanti......”.
“Bolehkah saya berbicara sedikit......?”.
Semua mata ditujukan kepada Saripah, bibi Nurani yang
duduk disamping kanan gadis itu. “Apa yang hendak kau
katakan?!” tanya Datuk Gampo Alam.
“Pertama-tama hendak saya ingatkan bahwa rezeki, langkah,
maut dan jodoh itu tidak dapat ditentukan oleh kita manusia
ini. Semuanya itu kembali kepada Yang Kuasa, terletak didalam
tangannya Tuhan. Tuhan telah mempertemukan Nurani dengan
pemuda Jawa itu dan keduanya telah sama-sama terpikat,
sama-sama cinta mencintai dengan secara jujur dan suci.
Mungkin ini sudah menjadi ketentuan yang Kuasa bahwa jodoh
Nurani adalah pemuda itu. Saya masih muda sekalipun saya
seorang janda kini. Tapi saya dapat memahami hati kedua anak
muda itu. Saya bisa memaklumi bagaimana bekasnya cinta.
Cinta yang sebenarnya cinta, cinta sejati kata orang kukuh dan
suci laksana gunung karang yang tak pernah disentuh manusia.
Dicoba hendak menghancurkannya besar akibatnya, dicoba
hendak memutuskan cinta yang seperti itu, anak kita sendiri
juga yang akan menderita akibatnya. Dari itu, Datuk......
cobalah pikirkan sedikit. Soal rupa pemuda Jawa itu tak ada
yang segagah dia dikampung ini. Dan soal budi bahasa serta
keramah-tamahan jangan disebut lagi. Saya......
“Sudah, sudah, sudah!” kata Datuk Gampo Alam dengan
suara keras. “Jangan juga diteruskan cakap itu Saripah! Tak
kusangka bahwa ada musuh dalam selimut dirumah gadang ini.
Lebih tak kusangka lagi kalau orang itu adalah adik kandungku
sendiri. Bukannya kau yang hendak membela kami dan
memberi nasihat pada Nurani, tapi kau sendiri rupanya yang
hendak mencorengkan orang kemuka kami! Kau yang
seharusnya menunjuk mengajari anak-anak kita tapi sebaliknya
kau yang hendak mencelakakannya. Hendak memasukkannya
kedalam jurang kehinaan. Kau puji kegagahan rupa anak muda
itu. Ada kepentingan apa kau? Kau puji kebaikan budi orang
Jawa itu ada keunungan apa kau? Baik rupa belum tentu baik
hati. Belum tentu baik tabiat. Baik budi bisa pula dibuat-buat.
Orang lain yang kau puji-puji dan anak sendiri yang hendak kau
celakai. Sudah berubahkah ingatanmu Saripah. Oh...... kalau
kau bangkit-bangkit bahwa anak muda itu telah menolong kau
dari patukan ular, amboi! Tak ada dia masih ada orang lain
yang akan menolongmu. Cuma dia hanya kebetulan ada disana
saja saat itu. Kalian orang-orang perempuan tak tahu apa-apa,
dari itu tak usah angkat bicara!”.
“Memang kami orang perempuan tak tahu apa-apa. Dan
karena tak tahu apa-apa maka aku menjadi janda saat ini!”
tukas Saripah.
“Jangan pula kau sebut-sebut perkara nasib dirimu. Itu
sudah takdir Tuhan jatuh kepadamu. Tak bisa ditolak lagi!”.
Karena gusarnya, Saripah tak berkata-kata lagi. Dia
memandang ketempat lain. Datuk Gampo Alam memandang
kepada Nurani kembali dan berkata. “Sudah kau dengarkah
keputusanku, bahwa kau harus memutuskan semua
hubunganmu dengan orang itu?!”.
“Kalau begitu aku sendiri yang akan menemui pemuda itu.
Mengusirnya dari kampung ini. Disini dia tidak ada
berkepentingan apa-apa. Hanya mencari anak gadis orang
kerjanya!” gerutu Mamak laki-laki Nurani.
“Jangan, Mamak...... jangan diusir dia...... jangan!” tangis
kemenakannya.
“Kita tak punya kuasa untuk mengusir dia, Datuk” menyela
ayah gadis itu.
“Apa kata Datuk? Kita tak punya kuasa? Tanah ini tanah kita,
kampung ini kampung kita. Negeri ini negeri kita! Masih berani
Datuk mengatakan kita tak punya hak untuk mengusir dia?
Saya sendiri kelak yang akan menendangnya keluar dari sini!”
ujar Datuk Gampo Alam pula. Datuk Majo Sati terdiam dan tak
berkata apa-apa lagi. Sekali lagi Gampo Alam menyeka keringat
yang dikeningnya sebelum dia membuka mulut kembali.
“Aku tahu bahwa memang sudah tiba saatnya, sudah cukup
umurnya bagi Nurani untuk mencari kawan hidup. Aku juga
sudah memikirkan hal itu. Dan sebagai Mamaknya memang
akulah yang harus mencarikan, Datuk Maju tahu benar dengan
almarhum Datuk Rajo Kayo, bukan?” tanya Gampo Alam pada
iparnya, suami ibu Nurani.
“Lebih dari tahu, Datuk” jawab laki-laki itu.
“Engkau juga sudah tahu, bukan Nuriah? Nah, anak laki-laki
inilah yang tengah kupikir-pikir untuk jadi pasangan anak kita.
Anak almarhum Datuk Rajo Kayo itu lebih sempurna. Parasnya
tak kalah dengan anak Jawa itu. Warisan yang ditinggalkan
ayahnya tidak sedikit sedang dia adalah anak Datuk Rajo Kayo
satu-satunya. Kerbaunya puluhan ekor banyaknya. Sawahnya
berpiring-piring. Harta bendanya tiada sedikit. Dengan dia
barulah cocok Nurani disandingkan. Satu bulan satu matahari.
Sama-sama orang terpandang, sama-sama orang berketurunan,
orang beradat!”
“Siapa nama anak muda itu......?” tanya ayah Nurani.
“Bukhari...... itulah namanya. Tanda orang baik-baik juga
sudah ketahuan dari namanya” jawab Datuk Gampo Alam.
Datuk Majo Sati memandang kepada anaknya.
“Tidak! Tidak ayah, saya tidak mau kawin dengan laki-laki
itu. Pilihan hati saya sudah tetap dan tak akan barubah-ubah
lagi......” kata Nurani dan kembali tangisnya memenuhi rumah
gadang.
“Anak......” hampir saja keluar kutuk serapah dari mulut
Datuk Gampo Alam karena geramnya dia mendengar kata-kata
kemenakannya itu. “Nurani, sekarang kau bisa berkata tidak,
tapi kelak disatu ketika kau akan mengatakan betapa tidak
melesetnya pilihan Mamakmu ini. Bukhari orang pandai. Anak
orang kaya, anak orang beradat. Turunan baik-baik. Hidupmu
akan bahagia dengan pemuda itu Rani, percayalah. Kalau salah
dugaku nanti kau injak kepalaku ini. Jangan juga kau dipergila
oleh orang Jawa itu. Apa yang kau harapkan dari dia? Harta
tidak bangsapun tidak. Hidupnya luntang-lantung disini. Entah
siapa ibu bapaknya. Entah anak dapat. Dan orang yang seperti
itu yang kau sukai! Sudah terbalik rupanya dunia ini atau
pikiranmu yang sudah berubah......?”
“Kebahagiaan bukan datang dari harta benda yang
berlimpah-limpah, Datuk. Kesenangan hidup bukan datang dari
sawah yang berpiring-piring, bukan pula dari kerbau yang
berkandang-kandang. Tapi datangnya dari kedua belah pihak.
Datangnya dari lubuk hati yang saling kasih mengasihi. Apa
gunanya hidup bersayap uang kertas dan bertaburan intan
berlian, berenang dalam segala macam harta benda yang
mahal-mahal kalau hati tiada senang? Kalau hidup bukan
dengan orang yang dikasihi?! Apa gunanya emas intan kalau
hati berulam jantung? Kalau laki hanya kasih kepada tubuh
bukan cinta kepada hati? Kalau cinta suami bukan cinta yang
timbul dari hati sanubari yang murni tapi keluar dari nafsu
belaka?! Jangan karena mengharapkan harta benda dan orang
berbangsa, anak kita sampai kurus kering badannya, kusut
masai rupanya, tinggal kulit pembalut tulang karena selalu
makan hati. Karena hidupnya tidak berbahagia, karena bukan
dengan laki-laki yang di kasihinya. Kalau harta benda, kalau
sawah dan kerbau yang Datuk sebut-sebut, samalah saja Datuk
menjual anak kita kepada orang lain!”
“Cakapmu sudah melampaui batas Saripah. Tak pantas kau
berkata demikian. Kalau kau bukan adikku......”.
“Memang tak pantas bagi saya untuk berkata seperti iti,
Datuk. Tapi kalau bukan karena ulah perangai Datuk tak akan
saya keluarkan kata-kata itu! Datuk ingat waktu Datuk
mencarikan jodoh tempo hari bagi saya? Orang berbangsa kata
Datuk, orang kaya cakap Datuk, baik perangai dan murah hati!
Tapi apa buktinya?! Bukan dia orang berbangsa, tapi bajingan
benar, tukang kawin! Perusak rumah tangga orang lain.
Peminum! Memang dia baik hati, memang dia pemurah. Tapi
pemurah melekatkan tangan! Belanja sehari-hari tak pernah
diberikannya. Diminta oleh awak sebesar tungku matanya
membelalak! Itulah orang pilihan Datuk! Dan itu pula yang
hendak Datuk ulangi dengan diri Nurani!” kata Saripah dengan
geramnya. Kedua matanya berkaca-kaca.
“Saripah...... tak baik orang yang sudah mati kita umpat- umpat” kata kakaknya, Nuriah.
“Untung dia sudah mati! Kalau tidak saat ini saya tak lebih
dari mayat hidup, kurus kering karena kena tempelak dan
makan hati berulam jantung setiap hari. Dan ketika dia mati,
warisan peninggalan apa yang dapat saya terima sebagai
seorang istrinya? Secuil hartapun tidak, jangan pula diharapkan
sawah dan kerbau! Semuanya ditahan dan diambil mentah- mentah oleh sanak saudaranya, oleh ninik mamak laki-laki itu.
Padahal kata Datuk sebelum saya kawin, calon suami saya
adalah orang berbangsa, orang beradat, keturunan orang
terpandang, orang baik-baik! Itukah budi kelakuan orang
berbangsa? Begitukah laku keturunan orang beradat? Memakan
hak orang lain?! Saya keluarkan semua itu dihadapan Datuk
bukan maksud hendak membuka kaji lama, tapi sebagai
peringatan agar jangan sampai dua kali keluarga kita ditimpa
perbuatan seperti itu. Cukup saya sendiri yang menderitakan
sakitnya hidup, jangan pula sampai terjadi atas diri Nurani!”
Merah muka Datuk Gampo Alam mendengar kata-kata
adiknya itu. Diusapnya berkali-kali mukanya yang basah oleh
keringat dingin. Namun demikian akhirnya dia membuka mulut
juga. “Tak ada gunanya membuka halaman lama, mengaji-kaji
yang terdahulu. Sudah nasib kau yang demikian, sudah suratan
Tuhan jatuh padamu, Saripah. Tentang pilihanku kali ini yaitu
hendak mempersandingkan Nurani dengan Bukhari aku yakin
dan percaya bahwa ini aku tak akan meleset. Kalau tak bertemu
apa yang kukatakan pada kalian hari ini nanti, kalian injak
beramai-ramai kepalaku......”.
“Dan dulu ketika Datuk mencarikan saya suami, masih ingat
apa kata-kata datuk?!” sela Saripah pula. “Jangan akui lagi aku
sebagai kakak, sebagai ninik mamak... kalau meleset
tunjukku!”.
“Kataku jangan juga dikaji yang sudah lalu itu Saripah!” kata
Datuk Gampo Alam dengan gusarnya. “Sesungguhnya kita
manusia tak luput dari sifat kekhilafan!”.
“Kesalahan Datuk katakan kekhilafan!” desis Saripah.
“Sudah! Berhenti kamu berkata-kata Saripah. Kataku adalah
kataku juga. Keputusanku tak bisa disanggah. Hitam kataku
hitam! Putih harus putih! Nurani harus kita dijodohkan dengan
Bukhari. Ya, sekarang kau menangis Rani, mungkin pula kau
akan merutuk dalam hati karena keputusanku itu. Tapi lihatlah
nanti. Lihatlah nanti calon suamimu itu. Lusa dia datang dari
Bukittinggi. Dan kelak pada suatu hari kalau kau sudah
berumah tangga dan berbahagia dengan dia, kau akan memuji
Mamakmu ini dalam hati. Betapa tak meleset carianku!”.
Nurani tak sanggup lagi untuk membuka mulut. Isak
tangisnya memenuhi rumah gadang. Dan dengan dibimbing
oleh bibinya gadis itu masuk kedalam bilik dengan terhuyung- huyung.
SEPULUH
ADITIA sampai didangau ditepi sawah itu dimana Nurani
telah lama duduk menunggu. “Saya datang Rani...... sudah lama
benar aku tak melihatmu”, kata Aditia padahal baru dua hari
mereka tak bertemu. Tiba-tiba gadis itu mulai terisak-isak dan
kemudian menangis dengan tersedu-sedu.
“Rani...... mengapa kau menangis?” tanya Aditia dengan
heran. Nurani tak menjawab. Suara tangisnya semakin keras.
Aditia memegang dagu gadis itu dan mengangkat kepalanya.
Mata yang basah dengan air mata itu dipandangnya tenang-
tenang dan dia bertanya lagi. “Mengapa kau menangis Rani......
mengapa...... jawablah adik...... jawablah!”.
“Kekasihku, Tuan......” kata Nurani. Dan gadis itu diantara
sedu sedannya menceritakan segala apa yang telah di alaminya
dirumah gadang. Segala apa yang dikatakan oleh Datuk Gampo
Alam, Pamannya itu!
Lama Murid Eyang Wilis termenung memikirkan semua apa
yang dikatakan gadis itu. Kemudian Aditia mengeluarkan
sehelai sapu tangan putih dan menyeka mata Nurani.
“Hentikanlah tangis itu Rani, sudahlah. Agaknya inilah cobaan
bagi kita. Inilah ujian bagi suci murni dan sejatinya cinta kita
masing-masing. Tak ada yang harus kita lakukan selain berdoa
kepada Tuhan agar kita jangan dipisahkannya, agar kita
diselamatkannya, agar dikekal dan diabadikannya kasih sayang
kita mulai dari dunia ini sampai keakhirat, untuk selama-
lamanya.
“Ya. Aditia. Inilah ujian bagi cinta kita masing-masing. Tapi
percayalah Tuan, percayalah kekasihku bahwa kasih sayangku
kepadamu tidak akan pernah berubah, tidak akan pernah
berkurang barang sedikitpun, malahan dari sehari kesehari
semakin besar, semakin kukuh teguh. Jiwaku telah diisi
sepenuh-penuhnya oleh cintaku kepadamu. Hanya kaulah satu- satunya yang akan menjadi pelindungku, menjadi ayah dari
anak-anakku, hanya kau seorang Aditia yang kucintai. Aku tak
akan mengkhianati janji kita, aku tak akan berlaku khianat
terhadapmu, kekasih, karena engkaulah cahaya hidupku, aku
memerlukanmu, aku memerlukan kasih sayangmu. Ketahuilah
Aditia, aku lebih baik mati dari pada dipaksa kawin dengan
Bukhari pemuda pilihan Mamakku itu. Cintaku hanya
untukmu, diriku dan jiwa ragaku hanya untuk kau seorang
Aditia!”
Pemuda itu menggenggam erat-erat kedua tangan
kekasihnya. “Lapang dadaku dan betapa bahagia hatiku
mendengar kata-katamu itu adik. Sungguh besar benar rakhmat
yang diberikan Tuhan kepadaku. Dan kaulah rakhmat itu
Nurani. Aku juga mencintaimu sebagaimana kau mencintaiku.
Aku juga membutuhkan kau Rani. Aku tahu betapa putih
bersihnya hatimu. Betapa jujurnya kasih sayangmu, betapa
setianya kau kepadaku. Biarlah Mamakmu mencaci maki aku,
mengatakan aku anak dapat, biarlah semuanya itu. Mereka tak
tahu apa-apa tentang cinta. Mereka tidak tahu apa-apa tentang
kasih sayang yang dilimpahkan Tuhan pada kita, yang sama kita
simpan didalam hati masing-masing......” Lama kedua muda
remaja itu saling berdiam diri. Akhirnya Nurani berkata juga.
“Aditia, sudah terlampau lama agaknya saya berada disini.
Takut saya akan ketahuan oleh orang lain. Sebaiknya biarlah
saya kembali pulang. Nanti kita bertemu lagi......”.
“Benar, Rani. Pulanglah cepat dik, Nanti tahu ayah dan
ibumu, tahu Mamakmu. Pulanglah dan hati-hati meniti
pematang yang licin itu......”. Nurani menatap wajah kekasihnya
beberapa lamanya, kemudian dengan perlahan-lahan ditariknya
kedua tangannya yang digenggam Aditia.
* Hari itu Nurani bersama bibinya pergi kepasar. Dia
berharap-harap akan dapat bertemu dengan Aditia. Tapi
harapannya itu tidak terkabul. Sebaliknya dengan orang lainlah
dia berjumpa, dengan pemuda yang disebut-sebut Mamaknya,
Datuk Gampo Alam. Waktu itu keduanya tengah mencari bendi
untuk pulang ke Parak Jua karena banyak juga barang
belanjaan yang dibawa. Dalam sedang mencari-cari itu lalulah
sebuah bendi berisi dua orang penumpang. Satu perempuan
muda dan satu laki-laki, juga masih muda. Mula-mula Nurani
dan bibinya tak mengambil peduli dengan bendi yang sudah
berpenumpang itu. Tapi mendadak secara tak terduga gadis
remaja yang duduk didalam bendi itu memanggil Nurani. “Nur...... Nurani......!” Nurani menoleh kearah kendaraan yang
mulai berjalan dengan perlahan itu dan akhirnya berhenti
dimuka kedai seorang Tionghoa. Perempuan yang memanggil
Nurani tadi segera turun dari bendi dan setengah berlari
mendapatkannya. Dalam jarak kurang dari sepuluh langkah
barulah Nurani mengenali siapa adanya gadis itu.
“Aidar! Astaga...... kau rupanya. Kalau tak kau panggil tak
akan tahu aku. Maklumlah sudah lebih dari lima tahun kau
meninggalkan kampung, dan kembali sudah jauh berbeda
rupamu. Semakin cantik dan gayamu...... hemm......”. Etek
Saripah juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Karena dia
sendiri juga sudah lupa pada anak gadis yang dulu seriag
didukung-dukungnya itu.
“Bila kau kembali dari Bukittinggi......?” tanya Nurani.
“Hari ini......”.
“Jadi kau baru sampai benar saat ini?”. Aidar mangangguk.
Lalu gadis itu yang umurnya dua tahun lebih muda dari Nurani
bertanya. “Kalian hendak pulang ke Parak Jua?”.
“Ya, kami tengah mencari-cari bendi” jawab Etek Saripah.
“Kalau begitu sama-sama sajalah kita. Marilah!” Aidar
menarik tangan kawannya. Saripah memandang kebendi yang
diseberang jalan. Dia hendak mengatakan sesuatu pada Nurani,
tapi gads itu telah diseret Aidar. Mau tak mau dia mengambil
juga jinjingannya dan mengikuti kedua gadis itu. Pemuda yang
duduk didalam bendi mamperhatikan Nurani dengan
pandangan mata yang tidak berkesip. Nurani merasakan satu
perasaan yang ganjil ketika matanya menatap mata si pemuda.
Untuk menghilangkan kekakuannya dia pura-pura menoleh
kebelakang, melihat bibinya.
“Aku hampir lupa!” kata Aidar pula sambil meletakkan
keranjang sayur yang ditangan Nurani kedalam bendi. “Kalian
tentu belum saling mengenal. Rani, inilah kakakku Bukhari
yang baru saja kembali dari Bukittinggi. Sejak umur sepuluh
tahun dia tinggal bersama adik ayahnya!”.
Nurani mengerenyitkan alisnya. Lututnya terasa gemetar.
Matanya memandang besar-besar menatap paras pemuda itu
sedang mulutnya menganga. “Jadi inilah dia orangnya yang
bernama Bukhari itu......?!” kata Nurani dalam hatinya. Mau
rasanya gadis itu berlari meninggalkan tempat itu. Tubuhnya
serasa bayang-bayang. Dan dalam keadaan sadar dan tiada
Aidar telah menariknya naik kedalam bendi. “Ayo, pindahlah
kemuka sana. Biar Etek Saripah duduk disini!” kata Aidar
kepada kakaknya yang masih saja memandang Nurani seperti
cara tadi. Kemudian dia tersenyum pada gadis itu sambil
mengangguk sedikit, lalu kepada bibi Saripah dan kemudian
sambil memutar pandangannya kepada Nurani kembali dia
menggeser tempat duduk kesamping kusir bendi disebelah
muka.
Sepanjang jalan ramai benar percakapan kedua orang
sahabat lama ltu. Bukhari turut pula sekali-kali berbicara.
Pemuda ini karena banyak bergaul dikota pandai sekali bicara
dan memikat hati. Dan cakapnya itu sekali-kali diselingnya
dengan lawakan sehingga adiknya tertawa gelak-gelak sedang
Nurani tersenyum tersipu-sipu. Dalam berkata-kata itu tak pula
lepas matanya dari memandang kepada Nurani. Etek Saripah
sebenarnja sudah kesal melihat sikap pemuda itu. Dan semakin
gusar lagi dia karena lawakan Bukhari sampai pula membuat
Nurani tertawa, padahal pemuda itulah yang dikatakan
pamannya untuk dipersandingkan dengan di
Bukhari orangnya memang gagah. Rambutnya hitam
berombak. Parasnya tampan dan kulitnya kuning. Suaranya dan
caranya berkata-kata cepat menarik perhatian. Sehingga kalau
pada permulaan bertemu tadi Nurani merasa sangat benci dan
asing pada laki-laki itu, maka rasa benci tadi sedikit demi
sedikit mulai hilang. Kedua kakak beradik itu memakai pakaian
yang bagus dan mahal, maklumlah anak orang kaya.!
Dimuka rumah Nurani, bendi itu berhenti. Nurani dan
bibinya turun. “Kami tak usah singgah sekarang ini. Besok- besok sajalah...... sampaikan salam pada ayah dan ibumu..........”
kata Aidar sebelum Etek Saripah mendahului menawarkan
untuk singgah.
“Itulah pemuda yang dikatakan Mamakmu. Memang gagah
bukan? Anak orang kaya” kata Saripah sambil berjalan
ketangga rumah gadang. Muka Nurani menjadi merah. Dia
maklum apa maksud tujuan kata-kata perempuan itu. Dan dia
ingat betapa gembiranya dia tadi diatas bendi. Gembira
dihadapan orang yang dimuka Mamaknya kemarin malam di
bencinya!
SEBELAS
PERTEMUAN antara Aditia dengan Nurani didangau ditepi
sawah yang terakhir sebelum kedatangan Bukhari kekampung
itu telah bocor pula diketahui orang dan telah sampai pula
ketelinga Datuk Gampo Alam. Bukan main panas hati paman
gadis itu. Merah telinganya mendengar kabar itu. Siang itu juga
dia pergi kerumah kemenakannya dan selama satu jam lebih
habislah Nurani ditempelaknya dengan berbagai macam kata- kata yang membuat gadis itu kembali menangis.
Sebelum meninggalkan rumah gadang, dimuka pintu
menyemprot kata-katanya yang terakhir dari Datuk Gampo
Alam. “Dasar anak tak tahu diri. Dicarikan yang baik ingin yang
buruk. Ditunjukkan yang lurus ingin yang berkelok juga. Masih
juga ditemuinya orang Jawa anak dapat itu, padahal calon
orang yang hendak disandingkan denganmu sudah sampai
dikampung ini!”.
Dari rumah ayah Nurani. Datuk Gampo Alam menuju ke
rumah Gaek Leman. Jalannya cepat setengah berlari kerena
marahnya yang meluap-luap. Diketuknya pintu rumah dengan
keras. Gaek Leman yang membukakan pintu. “Ada anak muda
itu didalam?!” tanya Datuk Gampo Alam setengah membentak.
“Heh...... agak lain angin yang sekali ini......” pikir Gaek
Leman pula dalam hatinya melihat air muka dan cara bertanya
tamunya.
“Ada apa gerangan agaknya Datuk......?” tanya Gaek Leman.
“Tak usah bertanya, orang tua. Panggil pemuda itu dan
katakan bahwa aku, Mamak laki-laki Nurani ingin bicara
dengan dia!” kata Gampo Alam pula.
“Tapi, masuklah Datuk dahulu” kate Gaek Leman
menyilahkan tamunya yang beringas itu. Gampo Alam masuk
dan duduk disebuah kursi sementara Gaek Leman pergi
mamanggil Aditia. Saat itu Aditia baru saja mengucapkan
Assalammualaikum dari sembahyang zuhurnya.
“Ada orang mencarimu, anak. Mamak laki-laki Nurani,
Datuk Gampo Alam......” kata Gaek Leman. Seperti disengat
kalajengking, Aditia memandang kepintu dimana Gaek Leman
berdiri. “Aku tidak main-main, Aditia. Dia menunggumu
diruang tengah!”. Dengan cepat Aditia menukar sarungnya. Tak
lama kemudian dia keluar dari kamar itu menemui tamunya.
Baru saja pemuda itu mencapai ruang tengah terdengarlah
suara Gampo Alam. “Kau orangnya yang selama ini
mengadakan hubungan dengan kemenakanku, Nurani!?”.
Aditia menatap paras laki-laki yang duduk dihadapannya itu
beberapa lamanya, kemudian menganggukkan kepala.
“Aku Datuk Gampo Alam, Mamak laki-laki dari gadis
itu......”.
“Ada gerangan apa Datuk menemui saya?”.
“Aku ingin bicara padamu! Dengar! Mulai detik ini, mulai
hari ini harus kau putuskan hubunganmu dengan Nurani!
Harus kau putuskan......!”. Karena terkejutnya, pemuda itu tak
bisa berkata apa-apa. Dia memandang dengan mulut ternganga
pada Datuk Gampo Alam, sementara laki-laki itu membuka
mulutnya kembali. “Sebagai orang luar, orang asing yang tak
kami tahu asal usulnya, kau harus tahu diri sedikit, harus tahu
budi bahasa sedikit! Disini bukan berarti kau berada
dikampung halaman nenek moyangmu! Hubunganmu dengan
kemenakanku sungguh melanggar adab kesopanan! Kau tahu
siapa kami? Kau tahu siapa isi rumah gadang itu?! Kami orang
berketurunan baik-baik, orang bersuku dan berbangsa. Orang
beradat! Dan karena perbuatanmu itulah nama keluarga kami
menjadi bahan ejek pergunjingan orang sekampung. Difitnah
dimana-mana. Dikatakan aku tak pandai menjaga kemenakan, diperlepas saja! Kau telah merusak adat lembaga kami, kau
telah melangkahi kepala kami, ninik mamak dari Nurani. Dari
itu sebelum terlanjur aku peringatkan kepadamu, putuskan
hubunganmu dengan Nurani dan pergi dari kampung Parak Jua
ini! Mengerti?!”
“Apakah kiranya yang telah kami perbuat sampai sedemikian
benar marah Datuk? Kalau didengar kata orang sekampung,
yang pendek jadi panjang, yang kecil jadi besar. Padahal
hubungan saya dengan kemenakan Datuk adalah jujur dan suci.
Tak parnah saya berbuat yang tak senonoh terhadap diri
Nurani, demi Tuhan saya berani bersumpah!”.
“Mungkin, mungkin memang tak ada kau berbuat seperti itu.
Tapi apa yang telah terjadi dengan Nurani? Semenjak kau
datang kekampung ini, gadis itu telah menjadi seorang pusung,
gila kepada laki-laki seperti tampangmu ini. Entah apa yang
sudah termakan oleh dia!”.
“Datuk, jangan sampai berkata yang seperti itu hendaknya.
Jangan menuduh yang bukan-bukan. Nurani cinta kepada saya
bukan karena saya obati! Bukan pula karena saya beri ‘makan’,
tapi adalah karena cinta yang timbul dari hati nuraninya
sendiri. Atas rahmat Tuhan!” kata Aditia karena panas hatinya
dituduh mengobati anak gadis orang. Dituduh memberi ‘makan’
Nurani!
“Persetan dengan cinta gila kalian! Negeri kami tak ada
mengenal cinta seperti itu yang hanya palsu belaka! Nafsu
semata! Ringkas kata, sekali lagi kukatakan padamu, putuskan
hubunganmu dengan Nurani karena dia sudah berpunya dan
keluar kau dari kampung ini!”.
Aditia terkejut sangat mendengar kata-kata bahwa Nurani
sudah berpunya!. Tapi hatinya panas pula mendengar kata-kata
yang terakhir dari Datuk Gampo Alam itu. Dengan segera
disambutnya. “Hak dan kekuasaan apakah yang Datuk pakai
untuk mengusir saya dari sini?!”.
“Hak dan kekuasaan apa? Negeri ini negeri kami, kampung
ini kampung kami. Tidakkah kami berhak dan berkuasa disini?
Kau orang luar dan kalau kami tak senang kami akan tendang
kau dari sini!”.
“Percuma gelar Datuk melekat didirimu kalau pikiranmu
sepicik dan serendah itu!” Aditia tak memandang hormat lagi
terhadap laki-laki itu. “Datuk sangka, kalau Datuk tinggal
dinegeri ini. berumah dikampung ini, Datuk bisa saja berbuat
sekehendak hati Datuk? Tuhan menjadikan bumi ini bukan
untuk satu orang. Tuhan menjadikan pulau Andalas bukan
untuk satu orang. Tuhan menjadikan negeri ini bukan untuk
satu orang. Dan Tuhan menjadikan kampung ini bukan pula
untuk satu orang. Bukan untuk Datuk! Bukan pula untuk
keluarga dan keturunan Datuk seorang! Tapi adalah bagi semua
orang yang ingin tinggal disini, yang ingin berumah disini.
Jangan Datuk kira karena Datuk sudah bernenek dan
berkemenakan dinegeri ini, maka negeri ini punya Datuk,
kampung ini dibawah telapak kaki Datuk. Tidak! Jauh
panggang dari api! Datuk suruh kami memutuskan hubungan
kami. Tidak pernahkah Datuk hidup dialam muda remaja
agaknya? Tidak percayakah agaknya Datuk pada kekudusan
cinta yang dilimpahkan Allah kepada dua orang remaja yang
sama-sama terpikat. Dan tali cinta yang diberikan Tuhan itu
hendak Datuk putuskan! Samalah Datuk membunuh
kemenakan Datuk sendiri. Kalau saya tidak cinta kepadanya
dengan sebenarnya cinta, dengan sebenar-benarnya cinta,
dengan sejujurnya dan sesuci-sucinya masakan mau Nurani
menerima saya. Sebaliknya kalau bukan pula karena cintanya
yang suci dan jujur kepada saya, masakan pula akan mau saya
kepadanya? Ingatlah Datuk, membakar rumah itu mudah,
membangunnya yang susah. Merusak hati perempuan itu
sangat mudah, menyembunyikannya memerlukan waktu
berbilang tahun. Sangat sukar. Bahkan sampai mati mungkin
tak akan berhasil. Jangan kecewakan kemenakan Datuk. Kami
saling kasih mengasihi. Tidak ada permainan nafsu barang
secuilpun didalam cinta kami. Percayalah!”.
“Walaupun panjang mulutmu berbicara. Walaupun serak
tenggorokanmu berkata-kata namun semuanya itu tak ada
gunanya! Aku lebih tahu dari kau. Tak usah dinasihat diajari!
Kau masih hijau. Walau bagaimanapun kau tak akan bisa
memiliki Nurani. Walau bagaimanapun bukan orang
semacammu ini yang akan menjadi pasangan kemenakanku.
Kami orang berbangsa. Negeri kami negeri beradat. Kami orang
beradat. Sadang kau siapa? Siapa ibu bapakmu? Siapa
keturunanmu?! Apa kerjamu? Tahu dirilah sedikit, anak muda!
Tidak malukah kau pada diri sendiri? Awak orang yang tak tahu
kami asal usulnya, entah anak sah entah anak gampang,
menginginkan pula anak orang berbangsa berketurunan.
Hendak pula pada anak orang beradat! Dinegerimu mungkin
kau bisa berbuat seperti itu karena memang negerimu itu negeri
tak beradat!”.
Mendidih amarah Aditia mendengar dia dikatakan anak yang
tak tahu asal usul, tak tahu siapa ibu bapaknya, anak gampang,
anak dapat dan segala macam kata-kata yang keluar dari mulut
Datuk Gampo Alam! Dengan menyeringai menahan geramnya
menjawab : “Jadi adat negeri Datuk yang hendak Datuk sebut- sebut? Hendak Datuk bangga-banggakan? Memang ada juga
saya mendengar ketinggian dan kehebatan adat negeri Datuk
ini! Seorang pemuda yang berhubungan dengan seorang gadis
dengan maksud baik, saling kasih mengasihi penuh jujur dan
kesucian untuk membentuk satu rumah tangga, dianggap hina
dan difitnah, dikatakan melanggar adat, dikatakan menginjak
kepada ninik mamak! Sebaliknya seorang laki-laki yang sudah
berumur, yang bergelar Datuk, keturunan orang terpandang,
anak orang berbangsa, orang beradat tak dianggap hina kawin
cerai sesuka hatinya. Beranak dikampung ini, beranak
dikampung lain. Mengoak anak yang baru lahir dikampung
sana, dia tengah melangsungkan akad nikahnya dikampung
lain. Dan itu dianggap tinggi, dianggap patut, dianggap adat,
dianggap sudah kewajiban! Sungguh hebat dan tinggi adat
negeri Datuk. Tapi sayang adat yang semacam itu tidak laku
dinegeri saya, tidak dipakai orang dinegeri lain!”
Menggigil tubuh Datuk Gampo Alam karena mendidih
darahnya mendengar kata-kata Aditia itu. Dengan serta merta
dia berdiri dari kursinya. Dia melangkah maju mendekati
Aditia. Tangan kanannya hendak bergerak menampar muka
pemuda itu, Aditia tersenyum sinis. “Kalau maksud Datuk
datang kesini hanya untuk bicara, cukup mulut Datuk saja yang
bicara, jangan pula tempelak tangan diikut sertakan. Tapi kalau
niat Datuk ingin pula tangan ikut bicara, maka teruskanlah!”.
Kedua laki-laki itu saling tentang menentang mata beberapa
lamanya. Akhirnya sambil mundur selangkah kebelakang
berkatalah Datuk Gampo Alam. “Kukatakan sekali lagi padamu
putuskan hubunganmu dengan Nurani dan berangkat
selekasnya dari sini. Kalau kau coba untuk bersitegang urat
leher dan membangkang, maka hanya namamu yang akan
pulang kekampungmu nanti!”. Laki-laki itu memutar tubuhnya
kemudian keluar dari rumah itu setelah melirik kearah Gaek
Leman yang berdiri dengan menggigil disudut ruangan. *
* * Malam itu tak sekejappun Aditia memicingkan matanya.
Sore tadi dicobanya untuk, menemui Nurani, tapi tak berhasil.
Masih terngiang segala kata-kata Datuk Gampo Alam
ditelinganya. Pikirannya kacau balau. Haruskah dia surut dalam
hal ini? Tapi dipikirnya pula...... surut? Dia akan surut? Tidak!
Pantang baginya mundur. Lagi pula apa yang harus
disurutkannya. Bukankah Nurani sendiri yang mencintainya
sebagaimana dia mencintai gadis itu? Mereka telah sama
membuat janji untuk hidup bersama. Mereka sama berbulat
kata tak akan berpisah sekalipun apa yang akan terjadi. Janji
itulah yang harus dipegang teguh oleh kedua belah pihak,
terutama oleh dia sendiri sebagai pihak laki-laki!
Hari berlalu juga. Telah dua kali Aidar datang kerumah
Nurani. Dan telah sering pula Nurani diajak oleh berkunjung
kerumah kawannya itu. Dengan sendirinya dia acap kali pula
bertemu dengan Bukhari. Pertemuan yang terlalu sering, yang
penuh dengan kata-kata manis seperti madu, diselingi oleh
tawa berderai penuh kegembiraan membuat rasa benci Nurani
kini sudah lenyap tak berbekas sama sekali terhadap pemuda
itu. Bahkan rasa asingnyapun sudah tak ada lagi. Dirumah
Bukhari dia dilayani dengan tutur kata yang manis bak madu
dan dirumahnya sendiri Mamaknya hampir setiap malam selalu
menempelaknya dengan kata-kata yang keras, mencaci maki
dan memburuk-burukkan Aditia sehingga dari hari kesehari
hati yang dulunya lekat pada Aditia itu kini mulai berubah
sedikit demi sedikit, sekalipun dalam tempo kurang dari satu
minggu saja! Nurani mulai memperbandingkan antara Bukhari
dan Aditia. Sesungguhnya memang banyak kelebihan Bukhari
dari pada Aditia, menyadari gadis itu. Dan cinta, bila sudah tiba
pada banding membanding, ibarat umurnya tak akan lama lagi.
DUA BELAS
HAMPIR memasuki dua minggu kini dan Aditia belum juga
berhasil menemui Nurani. Seribu satu macam pertanyaan
timbul didalam hatinya. Apakah yang terjadi? Sakitkah gadis itu
atau...... ah tak mungkin! Tak mungkin akan berputar hati gadis
itu. Tak mungkin dia akan mengkhianati janjinya.
Pada suatu hari setelah sekian lamanya mencari maka
bertemulah kedua anak muda disatu persimpangan jalan yang
sunyi. Keduanya sama-sama terkejut.
“Rani...... kemana saja kau selama ini tak pernah kelihatan.
Telah lama aku mengharapkan pertemuan ini” kata Aditia
sambil membelai-belai rambut Syamsul adik Nurani.
“Sesungguhnya sayapun bermaksud hendak menemui kau,
Aditia......” kata Nurani pula. Pemuda itu memandang kepada
gadis disampingnya. Agak lain nada suara Nurani kali itu.
Mungkin karena sudah lama tak bertemu, karena telah lama tak
mendengar kata-katanya...... pikir Aditia.
“Ada yang hendak kubicarakan, Aditia. Tapi sebaiknya
marilah kita ketepi kampung. Jangan disini nanti kelihatan oleh
orang......”.
“Baiklah Rani. Aku juga banyak yang ingin kubicarakan
kepadamu. Beberapa hari yang lalu Mamak laki-lakimu datang
ketempat aku menumpang tinggal. Habis aku ditempelaknya
dengan berbagai kata-kata. Dan antara kami hampir terjadi
perkelahian yang tak diingini........” kata Aditia. Nurani hanya
menundukkan kepala. Dingin saja tampaknya sambutan gadis
itu. Aneh...... pikir Aditia. Ada apakah?
“Rani, hari ini lain benar lakumu. Ada apakah adik? Ada
sesuatu kesalahanku barangkali? Atau mungkin pernah ada
kata-kataku yang terlompat keluar yang menyinggung hati dan
perasaanmu......?”. Nurani menggelengkan kepalanya. Ketiga
orang itu sampai ketepi kampung. Syamsul seperti orang yang
sudah maklum segera menjauhkan diri. Aditia segera membuka
mulut menceritakan apa yang telah terjadi antara dia dengan
Datuk Gampo Alam.
“Saya juga sudah mendengar hal itu dari Mamak sendiri,
Aditia. Sebelumnya dia datang kerumah kami, lalu kerumahmu
dan kembali lagi kerumahku......”.
“Oh...... jadi kau sudah tahu? Syukurlah kalau begitu......”.
Nurani menatap muka Aditia beberapa lamanya. “Lain benar
pandanganmu sekali ini, Rani......” kata Aditia pada gadis itu
dan perasaannya mulai tidak enak.
“Aditia masih tetapkah cintamu kepadaku seperti saat yang
lalu?”
“Aneh! Mengapa kau tanyakan hal itu Rani? Kurasa kau lebih
dari tahu bagaimana jujur dan besarnya kasih sayang aku
kepadamu!” jawab Aditia pula.
“Terima kasih, terima kasih Aditia......” kata Nurani. Gadis itu
terdiam seketika. Dia tak tahu bagaimana harus memulai untuk
selanjutnya. Akhirnya dia berkata juga. “Aditia...... kalau kau
benar-benar mengasihiku dengan sejujurnya, maukah kau
mengabulkan permintaanku?”.
“Mengabulkan permintaanmu...?” tanya Aditia semakin
heran karena kata-kata gadis itu.
“Sudikah kau mengabulkannya? Cuma satu permintaan saja
Aditia......”.
“Katakanlah, aku ingin tahu!”.
“Aditia, mungkin kita belum lagi berjodoh...... dari itu
marilah kita habiskan saja hubungan kita selama ini dan
marilah kita tetap bersahabat saja......”. Kalau ada guntur yang
menggelegar dianak telinganya dan kalau ada kilat yang
menyambar diujung hidungnya, mungkin tak akan seperti
mendengar kata-kata Nurani itulah terkejutnya Aditia.
“Nurani...... akukah yang bermimpi mendengar kata-kata itu
atau kaukah yang berasian?!” tanya Aditia.
“Tidak kau bermimpi Aditia dan tidak pula aku yang
berasian. Aditia, banyak benar halangan yang merintangi
hubungan kita sehingga sukar dan tak mungkinlah kita
melaksanakan cita-cita yang kita pateri bersama selama ini.
Mamakku tak setuju dengan hubungan kita ini, ibu dan ayahku
juga tidak, bahkan orang sekampung juga tidak. Susah bagi kita
untuk melepaskan diri dari mereka itu, sukar bagi kita untuk
melepaskan diri dari adat lembaga negeri ini. Kita tidak sama
orang sesuku. Aku orang Minang dan kau orang seberang.
Tidak diadatkan bagi orang disini mengambil menantu orang
jauh. Ada juga terpikir dihatiku bahwa semuanya itu adalah soal
remeh belaka tapi setelah kutinjau dalam-dalam ternyata yang
kuanggap remeh itu sangat berat dan besar persoalannya. Aku
harus melawan kedua orang tuaku, menentang kata Mamakku.
Aditia...... tak sanggup aku menghadapi itu. Tak sanggup aku
mendurhakai orang tua dan ninik mamak. Berat hatiku
mengatakan hal ini kepadamu, Tuan. Tapi sebelum terlanjur
baiklah kita sama surut kebelakang. Kabulkanlah permintaanku
ini Aditia, kabulkanlah!”
Lama pemuda itu berdiam termenung ditepi jalan kecil
setelah mendengar kata-kata Nurani. “Bagaimana kau bisa
berkata seperti itu Rani......?” tanya Aditia.
“Kalau selama ini aku tidak tahu dan tidak memahami Aditia,
maka setelah kubawa bertenang diri maka sadarlah aku bahwa
tak mungkin bagi kita untuk hidup berumah tangga dengan
segala macam perbedaan yang besar diantara hidup kita......”.
“Oh jadi perbedaan itukah sebabnya, Rani? Selama ini tak
pernah kau sebut-sebut hal itu. Mengapa sekarang kau buka
kaji itu? Kalau perbedaan yang kau katakan, Rani, memang
benar seperti langit dan bumi perbedaan kita. Kau orang
terpandang, aku orang terbuang, kau beribu dan berbapak, aku
anak gampang anak dapat. Kau turunan orang berbangsa, aku
bukan. Kau turanan orang beradat, aku tidak. Dan banyak lagi
perbedaan yang tidak bisa aku sebutkan......”.
“Maksudku bukan perbedaan seperti yang kau katakan itu,
Tuan. Tapi adalah perbedaan yang lain. Cara hidupmu sebagai
orang asing, orang Jawa adalah berbeda dengan kami orang
disini. Kau tak mungkin hidup ditengah-tengah alam kami dan
aku juga tak bisa hidup diantara alam Jawa......”.
“Mengapa tidak” potong Aditia. “Dan anggaplah tidak
mungkin, maka kita tak akan tinggal dikedua alam itu. Tidak
ditanah Minang ini, tidak pula di Jawa. Kita akan cari negeri
lain. Kita bangun satu rumah dan kita hidup disana bersama- sama!”.
“Tidak, Aditia. Itu hanya kata-kata, tak bisa dilaksanakan.
Ada satu lagi yang hendak kukatakan padamu, Tuan. Manusia
berumah tangga itu tak bisa hidup dengan memakan ‘cinta’.
Rumah tangga tak akan bisa bahagia kalau hanya kasih sayang
yang diharapkan. Orang hidup butuh pakaian, butuh makanan,
butuh uang. Orang hidup harus bermata pencaharian......”
“Dan aku tidak bermata pencaharian! Bukankah kesitu
maksud kata-katamu, Rani. Aku orang miskin, karena itu kau
ingin pergi dariku. Aku orang terbuang karena itu kau
kehendaki kita memutuskan hubungan. Sungguh jauh berbeda
sekali Nurani dua minggu yang lalu dengan Nurani hari ini?
Gerangan apakah yang menyebabkannya?! Ingatkah waktu kau
menyatakan dihadapan didangau tempo hari? Kau berkata
bahwa kau tak akan mengkhianati aku, tak akan mangkhianati
janji yang telah kita buat. Kau baik mati dari pada berpisah
dariku, tapi saat ini kau sendiri yang meminta berpisah dariku!
Kau katakan cintamu hanya untukku, dirimu hanya untuk aku
seorang. Lupakah kau semuanya itu, atau memang tak pernah
kau mengeluarkan kata-kata itu......?”.
Kedua mata gadis itu tampak berkaca-kaca. “Tidak, Aditia.....
aku tidak pernah melupakan kata-kata dan pengakuan itu. Tapi
waktu itu, waktu aku mengucapkan kata-kata itu kita sama
diselimuti arus darah muda yang melupakan segala pikir
panjang dan pertimbangan yang dalam......”.
“Nurani, katakanlah terus terang, apa sesungguhnya yang
membuat kau ingin memutuskan hubungan kita. Katakanlah.....
atau mungkin ada seorang lain yang lebih tampan dariku, orang
berbangsa dan beradat, kaya raya...... Bukhari agaknya......?!”
Nurani menundukkan kepalanya. Air matanya membasahi
pipinya. Aditia memandang jauh kemuka. Disana berdiri
dengan penuh kemegahan gunung Merapi dan ditempat itu
berdiri dia dengan hati yang hancur luluh. Dia teringat pada
gurunya. Di teringat pada dirinya yang tak tentu ibu dan bapak.
Perasaannya telah mengatakan bahwa kasih sayang yang dulu
pernah diberikan gadis itu kepadanya kini sudah diberikan
pada orang lain. Sudah menjadi milik orang lain. Dan dia telah
dapat menduga siapa orangnya itu. Sudah disebutkannya
namanya sebelumnya dihadapan Nurani sendiri! Tadi!
Benarkah ada cinta yang dapat ditukar dengan kekayaan,
harta didunia ini? Benarkah ada cinta yang dapat dibeli dengan
uang diatas bumi ini. Dan kenyataan itulah yang dihadapi
pendekar yang berjiwa ksatria gagah perkasa itu, tapi yang
bernasib malang......
Aditia memutar tubuhnya kembali. Setelah menatap paras
gadis itu beberapa jurus lamanya, dia bertanya. “Sudah
tetapkah hatimu, sudah bulatkah tekadmu untuk memutuskan
hubungan kita ini, Rani......”.
“Agaknya tab ada jalan lain, Aditia......”.
“Bagiku akan selalu ada jalan lain, Rani. Mungkin bagimu
memang tidak. Aku hargakan kebaktianmu kepada orang
tuamu. Aku hargakan kebaktianmu menuruti kata ninik
mamakmu, memang sudah sepatutnya kau sebagai anak
berlaku demikian Rani karena merekalah yang mengasuh dan
membesarkan kau semenjak kau masih kecil. Selama kau
berada disampingku, selama kasih sayangmu kau curahkan
padaku aku telah merasakan nikmat dan kebahagiaan yang
tiada taranya, adik. Terima kasih untuk semuanya itu, semoga
Tuhan akan melimpahkan rakhmat kebahagiaan yang lebih dari
itu dalam kehidupanmu selanjutnya. Atas kehendakmu, kita
putuskan hubungan kita selama ini!”. Kata-kata terakhir
diucapkan oleh Aditia dengan hati tetap dengan suara tidak
bergetar sedikitpun.
Dua orang yang sama-sama berpakaian putih menyeruak
dari balik semak-semak. “Kita menemui sebuah jalan kecil” kata
orang yang dimuka sekali. “Barangkali kita sudah dekat ke
Batusangkar. Kalau......” Orang yang berkata itu tiba-tiba
menghentikan kata-katanya. Dibalik semak-semak, diseberang
jalan kecil yang sunyi senyap itu dilihatnya dua orang tengah
berbicara. Satu laki-laki dan satu perempuan. “Ada orang
diseberang sana......” bisik laki-laki tadi. Yang seorang lagi maju
selangkah. Waktu itu Nurani tengah memandang paras Aditia
untuk penghabisan kalinya sedang pemuda itu berdiri dengan
membelakangi semak-semak. “Hem...... agaknya sedang
bercumbu-cumbuan” desis laki-laki yang dibalik semak-semak.
“Marilah keluar dari sini. Kalau mereka tahu nanti mungkin
disangkanya kita telah mengintip dari sejak tadi......”.
“Tunggulah dahulu”, kata laki-laki yang bersuara halus. Kita
lihat dulu acara ini...... agaknya kedua muda remaja itu berada
dalam satu persoalan hebat, aku bisa lihat dari wajah yang
perempuan. Matanya balut oleh air mata. Dia menangis!”
“Aditia, terima kasih atas kerelaanmu melepaskan aku.
Semoga kau akan berbahagia pula dalam hidupmu, dalam masa
depanmu...... Selamat tinggal, Tuan”.
“Selamat adik...... selamat......” balas Aditia. Ketika Nurani
membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah antara
kedengaran dan tiada, Aditia berkata, “Tiada kehidupan lagi
bagiku, Nurani. Hidupku telah kau bawa pergi. Tiada masa
depan bagiku adik, karena masa depanku telah musnah......”.
Aditia memutar tubuhnya dan mengikuti tubuh Nurani dengan
kedua matanya. Dijalan yang lurus itu tubuh Nurani semakin
lama semakin kecil dan akhirnya menghilang dikelok jalan.
Melepaskan seorang kekasih yang dicintai dalam perpisahan
untuk selama-lamanya bukan suatu hal yang mudah untuk
dihadapi. Hampir satu menit lamanya gadis itu menghilang
dikelok, mata Aditia masih juga memandang kearah sana. Tak
setetes air matapun yang meredup itu. Bukan karena dia tak
sedih dengan perpisahan itu, tapi tanda bahwa dia mempunyai
jiwa yang besar. Itulah sifat pemuda sejati, sifat seorang jantan.
Pantang bagi seorang laki-laki yang mengaku pendekar untuk
mengeluarkan air mata, sekalipun setetes, sekalipun dalam
persoalan apa saja! Tapi hati yang didalam?
Aditia merasakan tubuhnya seperti bayang-bayang.
Benarkah dia masih berpijak dibumi saat itu? Dia
melangkahkan kakinya, terasa ringan. Dia melangkah lagi dan
akhirnya berjalanlah pemuda itu dengan langkah gontai dan
tubuh terhuyung-huyung. Kepalanya ditundukkannya kebawah
seakan-akan takut dia memandang alam sekelilingnya.
Kedua orang yang berada dibalik semak-semak ditepi jalan
kecil itu saling berpandangan satu sama lain. “Kurasa memang
dia......” bisik yang seorang.
“Tak salah lagi agaknya. Benar dia...... tak disangka akan
bertemu ditempat ini......” keduanya segera berloncatan dari
balik semak dan setengah berlari dijalan kecil itu keduanya
berteriak : “Aditia.....! Aditia.....!”
“Aditia!”.
TIGA BELAS
ADITIA menghentikan langkahnya yang gontai. Dengan rasa
segan pemuda itu membalikkan tubuhnya. Peristiwa yang baru
saja dialaminya seakan-akan membuat matanya yang tajam itu
menjadi kabur. Untuk beberapa lamanya dia hanya
memandang kedua orang yang dihadapannya itu.
Pandangannya sayu redup. Cahaya matanya yang selama ini
hilang lenyap. Itulah cinta. Kalau disebut nikmatnya, tiada yang
senikmat cinta di dunia ini, manisnya lebih manls dari madu.
Tapi kalau disebut pula pahitnya, akan lebih pahit dan empedu.
Dan empedu cinta yang maha pahit itulah agaknya yang
tersendat melekat dikerongkongan pemuda itu saat itu agaknya.
“Aditia! Kau tak kenal aku lagi?!”. Laki-laki yang
dihadapannya itu membuka kain penutup kepalanya. “Aku
Suwantra! Kau lupa......?!”
Betapa terkejutnya Aditia mendengar kata-kata itu. Dia
memandang terbelalak kepada sahabat lamanya itu. Kemudian
menggelengkan kepala dan menjabat tangan Suwantra.
“Semuanya ini serba tak terduga, serba tak disangka-sangka.
Dengan tiba-tiba. Dan kau memakai penutup kepala pula. Mana
aku bisa mengenalimu dengan cepat!” Aditia menoleh kepada
orang yang berdiri disebelah Suwantra. Dia memandang paras
orang itu beberapa detik lamanya kemudian tersenyum lebar.
“Kali ini aku tak bisa ditipu lagi. Kau Suwantri
Orang yang berpakaian seperti laki-laki itu tersenyum pula.
Sesungguhnya memang dia adalah Suwantri. “Aku tak habis
heran mengapa kita sampai bisa bertemu disini. Dan kau
Suwantri, apa-apaan pula memakai pakaian laki serta bertutup
kepala seperti ini?!”
“Kalau kau heran sahabat, maka kami jauh lebih heran lagi
melihat kau ada disini. Siapa gadis cantik tadi? Kami tadi lama
memperhatikan kau dari balik semak-semak ditepi jalan itu!”
kata Suwantra pula.
“Apa... kau memperhatikan kami....” Aditia memandang pada
Suwantri dan lalu bertanya lagi. “Ka...... kalian mendengarkan
apa yang kami percakapkan......?”.
“Harap maafkan...... kami tak sengaja. Satu jam lamanya
kami menempuh hutan belantara dan tahu-tahu muncul ditepi
jalan itu. Dan persis ditempatmu. Agaknya kau akan jadi orang
sini Aditia?”. Pemuda itu tersenyum. Satu senyum yang pahit.
Dia memandang kepuncak gunung Merapi tapi matanya melirik
pada gadis yang berpakaian laki-laki disebelahnya. Suwantri
menundukkan kepalanya dan mencungkil-cungkil tanah yang
dipijaknya dengan empu jari kaki kanannya.
“Kau sudah lama berada disini, Aditia ?” tanya Suwantra
mengalihkan pembicaraan.
“Hampir satu bulan. Dan kalian...... bagaimana bisa sampai
disini dan agaknya punya urusan penting?”
“Benar. Tapi kali ini bukan urusan uang!” kata Suwantra pula
dengan bergurau. “Dan aku percaya bahwa dengan adanya kau
disini, urusan tersebut akan mudah dan cepat diselesaikan!”
“Urusan apakah agaknya......?” tanya Aditia pada kedua
kakak beradik itu.
“Sebelum kujawab kutanya dahulu, apakah nama tempat ini
dan masih jauhkah Batusangkar dari sini?”
“Ini adalah tepi kampung Parak Jua, dan daerah ini sudah
termasuk daerah Batusangkar”, jawab Aditia.
“Untung benar kita kalau begitu, Wantri!” kata Suwantra
kepada adiknya. Gadis itu mengangkat kepalanya den
tersenyum. “Kita sudah sampai!” Kemudian sambil menunjuk
kepuncak gunung yang jauh disebelah muka bertanyalah
Suwantra. “Bukankah itu gunung Merapi?”. Aditia
mengangguk. “Nah, disitulah terletaknya urusan yang akan
kami kerjakan. Yang akan kita selesaikan!”.
“Aku tak mengerti apa yang kalian maksudkan ini......” ujar
Aditia pula. “Terangkanlah dengan jelas!”
“Bukan disini tempatnya untuk menerangkan hal itu, sobat!
Jauhkah rumahmu dari sini......?”
“Tidak jauh...... tapi jangan salah sebut. Rumah itu bukan
rumahku...... aku hanya menumpang tinggal saja disana...” kata
Aditia bergurau.
“Dan.... dan tak adakah ‘orang’ yang marah kalau kami
datang kesana saat ini?” menyela Suwantri. Aditia memandang
gadis itu beberapa lamanya. Kedua mata saling beradu dan
Suwantri melihat betapa mata yang dulu bercahaya itu kini
hanya mengeluarkan sinar yang redup tiada gaya sama sekali.
“Ha...... harap maafkan, Aditia... aku tidak bermaksud apa-apa
dengan kata-kata itu. Aku hanya bergurau......” kata Suwantri
kemudian.
Aditia membawa sahabatnya itu kerumah tempatnya
menumpang. Gaek Leman merasa gembira mendapat tamu-
tamu yang baru. Dia ikut duduk bercakap-cakap dengan
ketiganya sekalipun bahasa Indonesianya hampir tiga
perempatnya memakai kata-kata negerinya sendiri. Atas
pertanyaan Aditia kamudian Suwantra segera menceritakan apa
sebabnya dia sampai disana, bagaimana kisahnya selama
ditengah jalan. Tentu saja semua itu tidak dibeberkannya
dimuka Gaek Leman.
“Hem...... aku tak pernah mendengar tentang riwayat kedua
pedang sakti itu......”.
“Jangankan kau, orang-orang disekitar kaki gunung merapi
itupun mungkin tak ada yang tahu......” kata Suwantra pula.
“Jadi kapan kalian akan menuju kesana?” tanya Aditia.
“Lebih cepat lebih balk. Dan kau harus ikut!” kata Suwantra.
Aditia tersenyum. Lagi-lagi senyum yang tiada daya sama
sekali. Senyum yang hambar kalau tak mau dikatakan pahit.
Dan semua keanehan itu dicatat oleh Suwantri didalam
hatinya. Banyak perbedaan yang dilihat gadis itu didiri Aditia
semenjak perpisahan mereka beberapa tahun yang lalu
diperkampungan ditengah-tengah pulau Kalimantan. (Baca seri
keris merah : Tertuduh di Kalimantan).
“Cakap punya cakap hari sudah petang juga. Kau tahu
mungkin dimana ada orang yang bisa menyewakan tempat buat
kami bermalam?” tanya Suwantra. Aditia memandang pada
Gaek Leman yang duduk disatu kursi reot dekat pintu dapur.
“Bapak...... apakah Bapak keberatan kalau kedua tamu kita ini
turut pula bermalam disini......?” Gaek Leman memutar
kepalanya dan menjawab. “Mengapa pula aku harus
keberatan?. Masih ada satu kamar kosong lagi dirumah ini.
Pakailah. Dan kalau kalian mau tidur sendiri-sendir, biarlah
Bapak tidur diluar diruang tengah malam ini......”.
“Tidak, tak usah...... kami bisa tidur berdua” jawab Suwantra.
Lalu sambil menunjuk pada adiknya dia berkata. “Kawan yang
seorang inilah yang agak lain sedikit. Dia tak biasa tidur
bersama-sama, musti seorang diri!”. Aditia tersenyum sedang
Suwantri menjadi merah pipinya.
Selesai sembahyang magrib ketiga orang itu bercakap-cakap
panjang lebar tentang segala pengalaman mereka. Berhenti
sebentar untuk sembahyang isya dan sesudah itu disambung
lagi. Gaek Leman sudah lama mendengkur didalam kamarnya.
Larut malam barulah percakapan dihentikan.
“Suwantri...... pergilah kau tidur. Dan kau juga Suwantra,
tidurlah duluan. Mataku masih belum mengantuk......” kata
Aditia pada kedua orang itu. Suwantri mengangguk dan masuk
kekamar yang telah disediakan untuknya. Begitu juga kakak
laki-lakinya. Suwantri tak bisa segera tidur. Ingatannya kembali
pada masa beberapa tahun yang lalu waktu Aditia datang
kekampung halamannya. Waktu dia melepas pemuda itu.
Waktu pemuda itu mencium keningnya...... Sebaliknya begitu
masuk membaringkan diri ditempat tidur, Suwantra segera
tertidur. Tapi dua jam kemudian dia bangun. Dilihatnya sampai
saat itu Aditia masih juga belum masuk kamar, belum tidur.
Mungkin dia pergi kebelakang, pikir Suwantra. Tapi lama
ditunggu-tunggu tidak juga Aditia kembali. Akhirnya dengan
perasaan ingin tahu Suwantra keluar dari kamar tidurnya.
Ruang tengah sunyi senyap. Dia menjenguk kekamar adiknya.
Gadis itu telah tertidur pulas. Ketika dilihatnya pintu luar,
ternyata pintu itu tidak terkunci sama sekali. Dia melangkah
kesana. Membuka daun pintu dan keluar. Sinar bulan empat
belas hari menerangi halaman samping. Seorang laki-laki
duduk bersandar diatas sebuah kursi dibawah cucuran atap
memandangi bulan yang bulat penuh.
“Aditia......”. Teguran itu membuat orang yang duduk di kursi
terkejut dan tersentak dari lamunannya. “Harap maafkan kalau
aku mengganggu dan mengejutkanmu... Tapi apa yang kau
kerjakan malam-malam seperti ini diluar? Mana dingin, banyak
nyamuk......”.
“Kau tidak tidur Suwantra?” tanya Aditia.
“Aku tertidur dan terbangun. Kulihat kau masih juga belum
masuk ketempat tidur lantas aku keluar”. Sinar bulan purnama
jatuh tepat dimuka Aditia. Suwantra memandang muka laki-
laki itu dan bertanya. “Kalau aku boleh bertanya, sesungguhnya
apakah yang kau pikirkan? Apa yang kau rusuhkan......?”.
“Aku tidak merusuhkan apa-apa, Suwantra!”
“Jangan kau sembunyikan rahasia tentang dirimu itu,
sahabat. Katakanlah terus terang apa yang menyusahkan
hatimu. Siapa tahu aku bisa menolongmu.....”. Aditia
tersenyum. Setelah termenung beberapa lamanya dan setelah
melayangkan pandangan kebulan purnama yang diangkasa raya
bertanyalah Aditia. “Suwantra, kau pernah mencintai seorang
perempuan...?”.
“Ibuku maksudmu......?”.
“Bukan...... maksudku seorang lain. Seorang gadis......”.
“Sampai saat ini tidak pernah” jawab Suwantra dengan jujur.
“Kau berjanji tak akan menceritakan apa yang akan
kukatakan padamu ini pada orang lain?”.
“Aku berjanji!”.
“Juga tidak kepada Suwantri?!”.
“Juga tidak kepadanya”.
“Baiklah. Semoga dengan menceritakan untung perasaanku
ini kepadamu akan terasa sedikit lapang dadaku jadinya.
Memang sahabat kariblah tempat membagi kesenangan dan
kesusahan......” Dan Murid Eyang Wilis mulai menceritakan apa
yang telah dialaminya sejak dia mulai menginjak negeri itu.
Adalah diluar dugaan kedua orang itu kalau ditengah malam
buta itu ada seorang lain, orang ketika yang turut
mendengarkan kisah cinta yang dituturkan oleh Aditia itu. Dan
orang tersebut tak lain adalah Suwantri. Gadis yang telah
mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam itu
terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara kedua orang
itu bercakap-cakap. Dari balik dinding gadis itu dengan
seksama dan jelas dapat mengikuti kisah yang dituturkan
Aditia. “Inilah rupanya yang membuat banyak perbedaan dalam
diri pemuda itu......” kata Suwantri dalam hatinya setelah
mendengar kisah itu sampai keakhirnya. “Kasihan dia......”.
Gadis itu memutar tubuhnya. Tanpa menimbulkan suara dia
kembali kekamar tidurnya. Kepalanya dibenamkannya dalam- dalam didalam bantal dan matanya basah. Mengapa? Mengapa
gadis itu menangis? Kelak akan kita ketahui juga apa sebabnya!
“Sungguh mengharukan kisahmu itu...... sahabat......” kata
Suwantra sambil memandang kearah kegelapan. Tiba-tiba
terdengar kokok ayam dikejauhan.
“Astaga...... sudah hampir pagi hari rupanya!” kata Aditia
dengan terkejut. Dia memandang kelangit. Rembulan telah jauh
diufuk sana. Warnanya telah memudar dan sekelompok awan
hitam kemudian menutupi wajah puteri malam itu.
“Sebaiknya kita masuk saja......” desis Aditia kemudian.
Ketika pintu rumah dirapatkan dari dalam terdengarlah tabuh
disurau dipukul orang. Dan beberapa saat kemudian
terdengarlah suara azan. “Allahu Akbar...... Allahu Akbar......”
EMPAT BELAS
KEESOKAN siangnya, belum lagi tabuh zuhur dipukul orang
telah tersiar sebuah kabar diseluruh penjuru Parak Jua, telah
menjadi bahan percakapan orang ramai dimana-mana di
pancuran air, disurau, dikedai nasi, didalam setiap rumah
gadang, pokoknya disegala tempat. Kampung kecil itu seakan
akan menjadi hangat oleh berita tadi. Tapi apakah berita yang
telah dihebohkan orang dengan kasak kusuk itu? Kalau berita
yang disampaikan dari mulut kemulut itu diringkaskan, maka
beginilah bunyinya, tak kurang dan tak lebih : “Nurani, gadis
yang digelari bunga mawar dari kayangan, kebanggaan
kampung Parak Jua, telah ada yang meminang, anak orang
kaya yang baru kembali dari Bukittinggi! Pinangan telah bulat
diterima oleh ninik mamak pihak gadis dan karena pekerjaan
itu adalah pekerjaan yang baik, jadi harus dikerjakan lekas-
lekas! Pernikahan akan dilangsungkan pada hari Jum'at lusa
sedang pesta perhelatan dilangsungkan mulai hari Sabtu
sampai hari Minggu secara besar-besaran. Kabarnya akan rebah
pula seekor kerbau karena sanak fimili, kaum kerabat dan ninik
mamak kedua belah pihak yang bertebaran dimana-mana, serta
orang sekampung akan turut pula meramaikan hari perkawinan
itu!”
Berita berjalan juga sampai ketelinga orang yang belum tahu.
Juga sampai ketelinga Aditiajaya. Sudah dapat dibayangkan
bagaimana hati seorang bekas kekasih menerima gadis yang
dicintainya akan dinikahkan, akan dikawinkan dengan orang
lain! Tapi tidak demikianlah dengan Aditia. Semuanya itu
diterimanya dengan hati tabah, masih dengan senyum tawa
juga, sekalipun senyum yang penuh dengan kepahitan. Dan
cuma dua orang yang mengetahui bagaimana sesungguhnya
hati pemuda itu. Keduanya adalah Suwantra dan Suwantri.
Ketika anak muda itu duduk seorang diri diruang tengah,
Suwantra dan adiknya datang mendekat. “Sahabat, kami telah
siap untuk berangkat. Sekali-kali kami tidak memaksamu untuk
pergi, tapi kalau kau sudi pergi bersama kami, kami akan sangat
berterima kasih”.
Aditia memandang kepada kedua orang itu. Sambil
mengusap mukanya kemudian dia berdiri. “Aku akan pergi
bersama kalian. Sudah saatnya aku akan meninggalkan tempat
ini. Sudah saatnya......”. Pemuda itu masuk kedalam kamarnya
dan ketika dia keluar kembali dia segera menemui Gaek Leman.
“Bapak, tak banyak yang dapat kami berikan untuk kebaikan
Bapak yang telah sudi menerima kami menumpang dirumak
ini. Terimalah uang yang tak seberapa ini. Terima kasih akan
segala-galanya. Dan kalau kami kembali nanti, mungkin kami
akan mampir pula untuk bermalam disini sebelum meneruskan
perjalanan pulang kekampung......”.
“Terima kasih...... terima kasih. Selamat jalan anak-anak
muda. Aku merasa senang kalau kalian dapat lagi mampir dan
menginap disini sebelum kalian berangkat pulang. Selamat......
selamat......” kata Gaek Leman sambil menerima uang yang
disodorkan Aditia. *
* * Dari Batusangkar sampai kekaki gunung Merapi perjalanan
adalah mudah. Dengan mempergunakan ilmu lari masing- masing ketiga orang itu hanya memerlukan waktu kurang dari
satu jam untuk mencapai tempat itu. Tapi perjalanan
selanjutnya bukanlah merupakan hal yang mudah. Gunung
dipulau Andalas tidaklah sama dengan gunung-gunung dipulau
Jawa. Apa lagi kalau gunung itu gunung Merapi pula adanya.
Hampir tak ada satu manusiapun yang pernah menginjakkan
kaki digunung itu. Jangan kata sampai dilerengnya, sedikit dari
kaki gunung sajapun tak ada yang pernah menginjaknya. Tak
ada bekas jalan yang pernah diretas manusia. Pohon kayu mulai
dari semak-semak liar sampai ke yang kecil-kecil, sampai pula
pada yang besar-besar, semuanya tumbuh dengan sangat rapat,
diliputi lumut lembab yang licin. Disatu kampung kira-kira satu
kilo dari kaki gunung Aditia membeli tiga buah golok besar.
Didalam hutan lebat digunung Merapi itu sangat dibutuhkan
sekali benda-benda tajam seperti itu guna menebas semak
belukar untuk membuka jalan. Mereka bergerak lambat sekali.
Ketika senja datang belum cukup tiga ratus meter mereka
memasuki hutan mendaki digunung itu, baju mereka, sudah
kotor dan koyak-koyak direnggutkan ranting-ranting sedang
tangan mereka sudah pedas menggenggam golok untuk dipakai
menebas segala macam semak belukar yang menghalangi
mereka, membuka jalan. Kalau kedua kakak beradik itu masih
ada juga terdengar sekali-sekali bercakap-cakap, maka Aditia
yang berjalan paling muka hampir tak pernah terdengar
membuka mulut.
Mereka terpaksa menumbangkan beberapa buah pohon dan
menebas semak-semak untuk meluangkan tanah guna
berkemah. Diantara dedaunan pohon-pohon kayu disekitar
mereka kelihatan sang rembulan mulai menampakkan diri.
Aditia segera membentangkan tiga helai terpal tebal yang
sengaja mereka bawa untuk keperluan dalam perjalanan itu.
Suara nyamuk-nyamuk mulai beterbangan kian kemari.
Semakin lama semakin banyak dan suaranya sangat
mengganggu telinga. Aditia hilang sabarnya. Setelah diusir dan
ditepuk mati sampai berpuluh-puluh banyaknya namun masih
saja nyamuk-nyamuk itu mengganggu, malahan semakin
banyak. Dikumpulkannya ranting-ranting kering.
Dionggokkannya diatas tanah ditengah-tengah ketiga terpal itu
lalu disulutnya dengan korek api. Sebentar saja ranting-ranting
kering itu telah dimakan api. Asap putih kemudian memenuhi
tempat itu dan kini serangan nyamuk-nyamuk itu mulai lenyap.
Tak satu ekorpun dari binatang itu yang berani mendekat. Pada
saat-saat tertentu, sambil duduk melipatkan lutut dimuka
perapian itu, Aditia menambahkan kayu perapian. Suwantri
membuka bungkusan yang berisi makanan-makanan kering
dan tak lama kemudian ketiganya mulai makan dengan
seadanya.
Aditia memandang perapian yang dihadapinya. Suwantri
sudah lama tidur. Kesunyian ditempat itu dipecahkan oleh
suara Suwantra. “Aditia, bolehkah aku bicara mengenai sesuatu
denganmu......?”
“Mengapa tidak?” jawab Aditia tanpa memalingkan
pandangannya dari perapian yang dimukanya.
“Aku bicara sebagai seorang adik kepada kakaknya. Dengan
terbuka dan terang-terangan. Kehilangan seseorang yang kita
cintai adalah suatu hal yang sangat menyedihkan. Apa lagi
kalau yang hilang itu adalah seorang kekasih yang kita harap- harapkan untuk teman sehidup semati. Kekasih sama dengan
kehidupan. Kalau dia pergi, samalah dengan perginya
kehidupan kita. Kekasih adalah jiwa, kalau dia hilang samalah
kita dengar kehilangan jiwa kita sendiri. Kehilangan kekasih
membuat masa depan seorang pemuda menjadi mengabur.
Menghilangkan kepercayaan terhadap perempuan. Hidupnya
lebih senang didalam alam lamunan, termenung setiap hari,
pendiam dan ingin selalu memencilkan diri. Aku dapat
memahami keadaanmu saat ini, Aditia, bahkan lebih dari
memahami. Tapi seorang laki-laki, sebagai seorang pemuda
yang berilmu tinggi sepertimu ini, sebagai seorang ksatria
jantan jangan sampai cinta membuat kita lupa diri, jangan
sampai cinta membuat mata kita seperti buta, mematikan hati.
Jangan biarkan cinta menipu kita dan yang penting jangan
sampai cinta itu merenggut kehidupan kita dan membawanya
lari! Adalah orang yang bodoh yang akan menganggap bahwa
kehilangan kekasih adalah berarti kehilangan kehidupan,
kehilangan kekasih adalah kehilangan jiwa raga dan masa
depan. Bodoh! Bodoh semuanya itu. Picik orang yang berpikir
seperti itu. Mengapa diperhabis waktu dengan membawa diri
bermenung melamun yang tak karuan, padahal banyak lagi
kerja lain yang menunggu. Begitu tinggi ilmu kepandaianmu
Aditia, berbagai ragam ujian dan cobaan yang pernah kau
alami. Semuanya itu kau terima dengan dada terbuka, dengan
jiwa ksatria. Dengan hati laki-laki! Tapi mengapa dihadapan
perempuan, didalam tangan seorang gadis yang telah
mengkhianati cinta dan janji kalian, tiba-tiba kau bersikap
lemah, lebih lemah dari sikap kaum perempuan yang telah
mencelakakanmu itu? Engkau bersedih disini sedang gadis itu
bersenang gembira disana. Engkau bermenung disini sedang
dia tertawa lebar dirumahnya menghadapi hari bahagianya,
tidak lagi teringat engkau olehnya. Mengapa pula engkau yang
telah dikhianati dan ditipunya, cuma diinjaknya saja yang tidak,
harus pula mengenang dia?! Wahai, pemuda yang berilmu
tinggi, yang sakti mandraguna, manakah jiwa besar dan hati
jantanmu yang selama ini kau perlihatkan? Musuh yang sakti
dan jahat yang tiada terkirakan banyaknya engkau kalahkan,
tapi mengapa dengan cinta engkau menjadi pecundang,
mengapa dihadapan perempuan engkau bertekuk lutut?! Celaka
Aditia, celaka dan terlalu hina bagi seorang laki-laki, bagi
seorang pemuda kalau sampai dibuat sengsara, kalau sampai
menjadi pikun dan pusung karena cinta, karena perempuan!
Dibiarkan hati dibawa bersedih, badan juga yang akan
Sansai. Jangan pula diri dibawa bermenung karena bermenung
akan menambahkan kesedihan, orang pemenung semakin
penghiba dan serta akan mudah pula mempedaya. Aditia
sahabatku, Tuhan menciptakan perempuan bukan hanya satu
orang, bukan hanya gadis itu saja. Tapi ratusan, ribuan, jutaan
dan tersebar bukan dinegeri ini saja tapi diseluruh jagat. Kalau
ditinggalkan perempuan hari ini apakah akan berparah hati kita
sampai mati? Patah hati bukan sifat laki-laki, Aditia. Kalau
ditinggalkan kekasih kita hari ini kita harus segera sadar bahwa
bukan dia seorang perempuan didunia ini, bukan dia seorang
gadis cantik dibumi ini tapi banyak lagi. Hari ini kita melihat
gadis cantik yang menawan hati besok akan kita temui pula
yang lain, yang lebih cantik, yang lebih menawan. Dan cinta,
kalau hanya mempertahankan kecantikan paras tanda umurnya
tak akan lama! Orang sepertimu ini, segagah kau ini, berilmu
pula, terlalu mudah untuk mencari seorang kekasih baru,
seorang yang lebih cantik dari yang lama, seorang yang lebih
setia dan lebih jujur dari yang hilang itu. Dari itu Aditia
busungkanlah dadamu yang selama ini kau bengkokkan.
Tegakkan kembali kepalamu yang selama ini kau tundukkan.
Kau masih muda...... masa depan menunggumu. Kalau diturut
arus cinta dan kemauan hati, kalau dikenang juga masa yang
silam, diingat juga orang yang hilang maka sesungguhnya orang
yang berbuat seperti itu sudah lama mati dialam hidupnya. Dan
sebagai seorang sahabat, sebagai seorang adik kataku pada
permulaan bicara tadi, aku tak ingin melihat kau hidup dalam
keputusasaan aku tak ingin melihat kau hidup didalam
kemurungan dan kekecewaan karena tertipu oleh cinta dan
dikhianati perempuan. Sekali kau jatuh bangkitlah kembali.
Engkau bukan seekor kodok yang dibawah tempurung,
perempuan tidak hanya seorang didunia ini dan dunia tidak
pula selebar tapak tangan!”
Termenung Aditia mendengar kata-kata sahabatnya itu.
“Semua yang kau katakan itu adalah benar belaka, Suwantra.
Kalau seandainya aku punya adik kandung, mungkin tak seperti
itu benar katanya memberi nasihat dan petunjuk padaku......”
“Terima kasih, kalau engkau bisa menerima dan memahami
kata-kataku itu” ujar Suwantra pula. “Kau sudah ngantuk dan
ingin tidur barangkali......?” Aditia menggelengkan kepalanya.
“Bicaralah terus Suwantra, aku belum ingin tidur” katanya
kemudian sambil menambah kayu perapian.
“Kau mungkin tidak tahu Aditia. Bahwa sesungguhnya kami
sampai mengadakan perjalanan ini, sampai kami mengarungi
lautan menuju rantau yang asing ini adalah tak lain karena
kau!”.
“Karena aku......?” tanya Aditia dengan herannya.
“Kadang-kadang ada manusia yang tak sadar bahwa dia
dicintai oleh seseorang, tapi ada pula orang yang pura-pura
sadar akan dicintai orang lain karena orang yang mencintainya
tak berkenan dihatinya, kurang rupa dan rendah pula derajat.
Semenjak kau meninggalkan kampung halaman kami aku
melihat perubahan pada diri adik perempuanku Suwantri.
Keriangannya tetap seperti biasa, senyumnya tetap seperti
dahulu juga. Tingkah laku dan budi bahasanya tetap tak
berubah. Tapi sebagai kakaknya, aku tahu. Dia pandai menutup
hati bathinnya dengan jiwa lahirnya. Dia dapat
menyembunyikan yang didalam dengan yang diluar. Enam
bulan berlalu. Enam bulan pula dia mengharap dan menunggu
akan kedatangan seorang yang dirinduinya. Telah berlalu pula
enam bulan kemudian namun orang itu belum juga kembali,
orang itu tak kunjung datang juga. Suwantri seorang
perempuan, seorang kaum lemah, tapi bagiku dia tidak lemah.
Dia tabah dan kuat menghadapi cobaan pertama dari masa
remajanya. Dia tabah dan kuat menghadapi rindu dendamnya,
menghadapi cinta pertamanya yang mungkin juga merupakan
cinta yang penghabisan baginya. Bukan seorang dua putera- putera kepala suku Dayak tetanga kami yang datang
memintanya untuk diambil menjadi istri, bukan pula seorang
dua orang pedagang yang kaya raya, yang semuanya berwajah
gagah-gagah datang meminangnya. Namun semuanya itu
ditolaknya. Ditolaknya bukan karena dia merasa cantik tapi
ditolaknya karena dia sudah tak punya hati lagi buat mereka.
Keseluruh hatinya, keseluruhan jiwanya dan keseluruhan
cintanya telah diberikannya pada seorang pemuda yang sampai
saat itu masih ditunggunya, masih diharapkannya akan datang
kembali. Dia menunggu terus, tapi yang ditunggu tak juga
kunjung muncul. Suatu hari dia datang menemuiku. Kami
bicara empat mata. Dia berkata bahwa dia hendak
meninggalkan kampung halaman. Entah sebentar entah lama,
entah sebulan entah berbilang tahun. Dia hendak merantau
katanya...... dia ingin melihat negeri lain yang kata orang lebih
indah dari negarinya, lebih permai dari kampung halamannya.
Dia hendak menjadi seorang pengelana. Tapi semuanya itu aku
tahu, aku tahu apa latar belakang mengapa jiwa kelana menarik
perhatiannya. Dia ingin berkelana karena dalam kelananya itu
dia ingin mencari sesuatu yang selama ini hilang lenyap tak
tentu rimbanya, mencari sesuatu yang selama ini ditunggunya
tapi tak kunjung tiba.
Betapapun kuat hatinya betapapun dia memiliki jiwa ksatria,
berhati jantan meskipun dia seorang perempuan, namun dia
tak akan menjadi laki-laki, dia tetap disebut orang perempuan
juga, kaum lemah! Aku tahu bahwa Suwantri seorang yang
keras hati, keras hati dalam hal yang wajar. Dan aku maklum
bahwa bukanlah orang semacam dia yang dapat dilarang dan
dibantah apa yang ingin dikerjakannya. Aku sadar bahwa
sebagai seorang perempuan dia tak bisa berkelana mencari
yang hilang itu dengan seorang diri. Dia harus berkawan dan
akulah yang harus mengawaninya. Kemudian aku sadar pula.
Berkelana berarti menempuh daratan lebar, mengarungi lautan
dan menghadapi bahaya besar. Dunia ini penuh dengan tipu
daya dan kejahatan-kejahatan. Siapa yang lemah akan ditelan
oleh tipu daya dan kejahatan itu. Kami tak bisa pergi tanpa
membawa secuil ilmupun. Ya, ilmu lahirnya, ya ilmu bathinnya.
Dalam kami mencari seorang guru yang dapat memberikan
pengajaran dalam hal yang kami ingini itu, terpesatlah kami
kesebuah pulau kecil dipantai barat daya pulau Kalimanta
Dan Tuhanlah rupanya yang membawa kami kepulau itu karena
dengan tak disangka-sangka dipulau yang diduga tak pernah
diinjak manusia itu, dipulau yang dianggap keramat itu
tingallah seorang tua sakti. Kami kemudian menjadi muridnya.
Tiga tahun lamanya kami dididik diajari berbagai macam ilmu
kebathinan dan kesaktian. Itulah yang kami harapkan karena
dengan ilmu itu akan mudahlah mengarungi dunia ini. Akan
mudahlah bagi kami menghindarkan segala macam bahaya dan
rintangan. Dan akan lebih mudahlah bagi Suwantri untuk
menemukan kembali orang yang hilang selama ini. Pesan guru
kami pertama, pesan dimana kami harus mencari kedua pedang
nenek moyangnya itu, itulah tugas yang harus kami lakukan
sebelum kami meneruskan pencarian terhadap orang tersebut.
Dan sungguh Tuhan Maha Kuasa. Dialah yang menentukan
langkah pertemuan kita. Sebelumnya siapa yang menduga
bahwa kita akan bertemu dinegeri ini? Sekali merangkuh
dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kami sampai dengan
selamat ditanah tersembunyi kedua pedang sakti itu. Dan dari
itu, adikku Suwantri telah menemukan kembali permatanya
yang hilang selama ini. Tapi sebagai kataku tadi sahabat, dia
pandai menyembunyikan yang didalam, dia pandai
menyembunyikan gelora hatinya, gelora kasih sayangnya
selama ini. Empat tahun lebih dia berpisah denganmu, dan
pada pertemuan pertamanya bukan kegembiraan luarlah yang
diperlihatkannya, bukan tawa dan gelak berderai karena
gembira bertemu dengan orang yang dirinduinya selama ini,
tapi rasa syukur yang dirasakannya dalam hatinya,
disembunyikannya. Dia mencintaimu Aditia...... cinta yang
sebenarnya cinta. Aku bukan memuji menyanjung adik sendiri.
Tapi memang itulah kenyataannya. Dia mengasihimu dengan
sepenuh hati, dengan sejujur-jujurnya. Dia tidak cantik, Aditia.
Suwantri bukan orang beradat, bukan orang kaya. Dia orang
kampung, orang Dayak yang dianggap hina oleh bangsa lainnya.
Tapi kalau ingin mencari cinta yang sebenar-benarnya cinta,
hanya pada dirinyalah terdapat cinta itu!”
Aditia menatap sahabatnya tenang-tenang. Kemudian
ditujukkannya pandangannya kenyala api dimukanya. Diantara
kepulan asap yang bergelung-gelung itu teringat dia masa
kembali masa tahun yang lalu. Ketika dia berada ditengah-
tengah suku Kayan dipedalaman Kalimantan, dia dituduh
sebagai pembunuh Amisah, adik perempuan dari Suwantri.
Kemudian ketika dia meninggalkan tempat itu Suwantri telah
menunggunya disatu tempat, memberinya bekal nasi,
melepasnya dengan penuh keharuan. Dia teringat ketika dia
kembali lagi ketempat gadis itu dengan membawa pembunuh
sebenarnya dari Amisah dan ketika dia kembali, dia mencium
kening gadis itu sebelum pergi......
Aditia memutar kepalanya. Dilihatnya gadis itu tertidur
nyenyak diseberang sana, Wajahnya yang diterangi nyala api
menghadap kepadanya. “Aku juga selalu mengingatmu
Suwantri......” kata pemuda itu dalam hatinya. Entah berapa
lamanya dia menatap paras gadis itu. Ketika dia memutar
kepala kembali. Suwantra telah berbaring, tertidur dengan
nyenyaknya. Aditia menggeser terpalnya kedekat pohon kayu.
Sebelum bersandar kepohon dia menambah kayu perapian.
Malam berlalu juga dengan kesunyian dan kedinginannya.
Selimut gadis itu tersibak sedikit sehingga kedua ujung kakinya
tersembul keluar. Aditia berdiri dan membetulkan letak selimut
itu kembali agar menutupi kedua kaki Suwantri. Ketika dia
kembali duduk ketempatnya, gadis itu terbangun. Mula-mula
dia membuka matanya dia memandang kearah kakinya.
Kemudian dilayangkannya pandangan berkeliling. Dan
matanya beradu dengan tubuh pemuda itu. Dia terkejut dan
duduk ditempatnya. “Aditia...... kau tidak tidur......?”.
Pemuda itu membetulkan duduknya dan menjawab dengan
menggelengkan kepalanya. “Tapi kau tentu letih...... tidurlah,
biar aku yang berjaga-jaga”. Aditia tersenyum. “Aku sudah biasa
dengan semuanya ini, Suwantri. Sebaliknya teruskanlah
tidurmu. Pagi hanya tinggal beberapa jam saja lagi......”.
Suwantri tak menjawab. Dia memandang kepada kakaknya
yang tengah pulas, kemudian kembali menoleh pada Aditia dan
bertanya. “Sudah lama dia tertidur......”
“Belum begitu lama. Kami bercakap-cakap panjang lebar
tadi......” menerangkan Aditia. Kesunyian menyeling seketika.
“Aku ada membawa bubuk dan gula. Kau ingin kubuatkan
kopi......?” tanya Suwantri pada pemuda itu. Aditia menatap
paras Suwantri beberapa lamanya. Hati pemuda mana yang tak
kan terharu dan bahagia mendengar kata-kata seperti itu, dari
seorang perempuan, dari seorang gadis yang diketahuinya
bahwa gadis itu mencintainya?
“Kau sungguh baik sekali Suwantri. Tapi tak usahlah lagi
Suwantri...... akan merepotkanmu saja......”
“Malahan aku senang dengan kesibukan-kesibukan
Aditia......”.
“Kalau kau ingin membuat kopi juga sebaiknya tunggulah
sampai pagi supaya dapat pula kakakmu menikmatinya nanti”
ujar Aditia.
“Kalau begitu katamu, aku menurut saja......” jawab Suwantri.
“Sebaiknya kita bercakap-cakap saja. Aku ingin bicara
denganmu......” kata Aditia. Kemudian dia berdiam diri karena
memang sesungguhnya dia tak tahu apa yang akan dibicarakan- dengan gadis itu. Dan kesunyian beringsut juga dari menit ke
menit.
“Apa yang ingin kau bicarakan Aditia, katakanlah........”
terdengar suara gadis itu. Aditia menarik nafas dalam.
Kelihatannya seperti orang memutuskan untuk mulai berbicara.
Tapi mulutnya tetap terkatup. Tak satu suarapun meluncur
keluar.
“Kau banyak sekali berbeda dari dahulu, Aditia......” kata
gadis itu sambil memandang keunggun api yang dimukanya.
“Begitu......? Tentang apa misalnya?” tanya Aditia.
“Aku tak bisa mengatakannya. Kau yang punya diri tentu
lebih mengetahui” jawab Suwantri dengan masih memandang
keunggun api itu.
“Segala apa yang ada didunia ini pasti berubah Suwantri.
Yang buruk bisa jadi baik dan sebaliknya. Nasib manusia tidak
selalu dibawah saja, kadang-kadang juga naik keatas, berubah.
Sebutlah apa saja dan sudah pasti dia berubah meskipun hanya
satu kali saja, hanya pada satu ketika saja”.
“Dan semua perubahan itu ada bersebab bukan? Lenyapkan
sebab itu, maka sebelum dia merubah kita, sebelum dia
merubah hidup kita dan niscaya tak sampai kita diputar
balikkannya, tak sampai kita dirubahnya. Tapi kebanyakan
manusia tidak sadar akan apa yang disebut sebab itu. Mereka
baru insyaf kalau si penyebab telah merobah hidup mereka,
telah menyiksa mereka!”
“Dan salah satu dari manusia yang kau sebutkan itu adalah
aku! Bukankah begitu Suwantri?”.
Gadis itu mengangguk. “Cinta telah merubah banyak sekali
sendi dan sifat kehidupanmu, padahal cinta itu, yang sampai
membuat kau jadi begini hanyalah cinta murah belaka, cinta
yang kemudiannya dibutakan oleh uang, oleh harta kekayaan!
Kau dikhianati oleh cinta, dan kau berhasil dtkalahkannya,
padahal bukan disana mestinya engkau bertekuk lutut. Seorang
gadis meninggalkanmu, mengingkari janjinya membuat kau
jadi menderita, padahal bukan hal itu yang harus membuat kau
menderita. Janganlah percaya pada cinta yang diiringi dengan
senyum manis, Aditia. Tapi percayalah pada cinta yang
ditimbulkan oleh kepahitan dari kesucian hidup. Cinta yang
timbul disaat penderitaan adalah lebih jujur, lebih setia dan
lebih suci dari pada cinta yang terbit dikala hati senang
gembira. Kau laki-laki, mengapa harus kalah oleh cinta?
Mengapa harus kalah oleh perempuan......”.
“Sudahlah Suwantri...... sudahlah!”.
“Tidak Aditia. Bicaraku belum habis...... aku akan
teruskan......”
“Suwantri......” kata Aditia sambil bangkit dari duduknya dan
berlutut dihadapan gadis itu. “Aku minta kepadamu Suwantri,
berhentilah! Jangan bicara tentang itu lagi. Jangan siksa aku
dengan kata-kata seperti itu!”.
“Kata-kataku membuat kau tersiksa, Aditia? Tidak, kau
sendirilah yang menyiksa hatimu, menyiksa jiwamu. menyiksa
dirimu!”. Aditia memegang bahu gadis itu dengan kedua
tangannya yang gemetar. Gadis its menggelengkan kepalanya.
Dan dengan perlahan-lahan dia melepaskan pegangan kedua
tangan Aditia dari bahunya. “Suwantri......!” desis Aditia ketika
dilihatnya gadis itu menyibakkan tangannya. Sesuatu
dirasakannya menyekat ditenggorokannya. Dengan suara
gemetar dan sambil kembali ketempatnya semula dia berkata.
“Baik Suwantri, katakanlah apa yang ingin kau katakan.
Keluarkanlah apa yang ingin kau keluarkan. Jangan kepalang
tanggung. Caci makilah aku. Katakanlah aku sesuka hatimu.
Memang semenjak aku menginjakkan kaki dinegeri ini maka
mulai saat itu sampai seterusnya hidupku adalah untuk dicaci
maki, untuk difitnah, dikatai orang kian kemari!”. Nafas
pemuda itu memburu dan dadanya terasa sesak. “Mengapa kau
diam Sawantri, mengapa! Katakanlah apa yang ingin kau
katakan. Ya, kau bisa berkata seperti itu karena apa? Karena
kau belum pernah mencintai seseorang, kau belum pernah
dikecewakan seseorang, kau tak pernah ditinggalkan......”.
“Oh...... kalau kau sebut itu, Aditia, terus terang aku katakan,
aku juga pernah mencintai seseorang, aku juga pernah
ditinggalkan seseorang, tapi aku tidak menganggap bahwa dia
mengecewakanku, tidak! Aku tidak mengatakan bahwa dia
mengkhianatiku karena kau tahu bahwa bukan gadis buruk
seperti ini yang akan dicintainya, bukan turunan hina seperti ini
yang akan dikasihinya. Tapi banyak lagi gadis-gadis lain. Yang
ribuan lebih cantik dariku, yang ratusan lebih tinggi derajatnya
dariku. Aku tidak akan mengatakan orang itu
mengecewakanku, tidak! Tak akan pernah. Cinta tidak pernah
mengajarkan kekecewaan padaku sebaliknya menambah
semangatku, cinta tidak mengajarkan kelemahan kepadaku
sebaliknya memperkuat jiwa ragaku!”
“Nasib diriku yang buruk rupanya......” ujar Aditia dengan
perlahan.
“Tidak Aditia! Jangan kau katakan nasibmu yang buruk,
jangan pula kau katakan sudah takdir, sudah suratan Tuhan,
jangan pula kau sebut bahwa salah bunda mengandung......
tidak bukan semua itu asal sebab musababnya. Tapi didirimu
sendirilah sebab asalnya. Kalau kau merasa dia jatuh hari ini,
bangun dengan segera pada hari ini juga, angkat kepala,
busungkan dada dan berjalanlah kembali. Itulah jiwa laki-laki.
Itulah sifat jantan!”
“Suwantri...... sebelumnya kakakmu juga pernah berkata
seperti itu padaku. Tapi kata-katamulah yang telah
mengembalikan jiwaku, yang telah mengembalikan hatiku,
yang telah mengembalikan segala-galanya. Aku merasa bahwa
aku telah kembali kepada diriku yang lalu. Sungguh adik......
sungguh!”
“Untuk itu harus dibuktikan dulu......” tukas Suwantri. Dan
betapa hati seorang gadis dipanggil ‘adik’ oleh seorang
pemuda......”
Langit diufuk timur kelihatan mulai terang. “Suwantri,
sekarang bolehlah kau jerangkan air dan membuat kopi...... “.
Gadis itu memandang pula keufuk timur kemudian kembali
pada pemuda yang dihadapannya. Mata dan mata saling
beradu. Mulut sama terkatup rapat, tapi hati dan jiwalah yang
berkata-kata saat itu. Keduanya saling tersenyum dan Suwantri
mulai menyiapkan segala sesuatunya.....
LIMA BELAS
KETIKA malam yang kedua tiba, maka ketiga orang itu baru
berada dilereng Merapi. Paginya mereka mengelilingi lereng
gunung itu baru meneruskan pendakian. Rembang petang
mereka hampir sampai dipuncak. Suwantra mengusulkan
untuk menyebar tapi dilarang oleh Aditia. “Keadaan disini serba
asing. Kita bisa tersesat dan terpisah jauh satu sama lain. Lebih
baik kita tetap dalam rombongan. Meskipun kita bergerak agak
lambat tapi keselamatan lebih terjamin......”.
Pagi harinya mereka mulai mendaki lagi. Semakin keatas
semakin susah jalan yang ditempuh. Tanah yang dipijak
semakin licin. Dibawah kelihatan rumah-rumah penduduk dan
dangau ditengah dan ditepi sawah. Semuanya kecil-kecil dan
memberikan satu pemandangan yang indah sekali, yang
menurut kata orang...... tak sanggup dilukiskan dengan kata- kata. Entah benar entah tidak...... tidak pula diketahui oleh
orang itu!
Mareka sampai dibelakang sebuah gugusan batu hitam yang
besar sekali. Tingginya lebih dari tiga meter sedang lebar
mencapai sepuluh meter. “Agaknya ini adalah bagian luar dari
sebuah gua batu......” kata Suwantra pada rombongannya.
“Kita harus berputar dan menuju kebagian muka batu ini”
ujar Aditia. Ketiga orang itu segera merambas pohon-pohon
kecil dan semak belukar disamping batu itu. Dan benarlah,
sebuah lubang yang besar terdapat dibagian muka batu besar
itu. Sebuah mulut gua yang semakin kedalam semakin lebar!
“Disini agaknya disembunyikan kedua pedang sakti itu...
bisik Suwantri. “Semuanya diliputi kesunyian dan hawa
dingin......”.
“Kita masuk sekarang ini juga?!” tanya Suwantra.
Aditia memberi isyarat dengan gerakan tangannya.
Diambilnya sebuah batu setelah dicarinya dengan susah payah.
Lalu batu itu dilemparkannya kemulut gua. Benda itu
menggelinding kedalam dengan mengeluarkan suara yang
semakin lama semakin kecil dan akhirnya menghilang sama
sekali. Ketiga orang itu menunggu. Tak ada suara apa-apa
terdengar dari dalam gua.
“Kita masuk!” kata Aditia dan berjalan paling muka sekali,
menyusul Suwantri dan kemudian baru Suwantra. Belum lama
mereka masuk mereka menemui sebuah tangga yang dibuat
dari susunan batu-batu hitam. Tangga batu didalam sebuah gua
dipuncak gunung yang tak pernah dijejak manusia adalah hal
yang hampir tak dapat dipercaya. Semakin kedalam semakin
lebar juga jalan yang mereka lalui dan semakin gelap.
Lima menit kemudian. “Ada sinar terang jauh dimuka
kita......” bisik Aditia. Ketiganya maju terus dengan hati
bertanya-tanya apakah yang menimbulkan sinar itu? Sebuah
lampu... sebuah pelita? Pada jarak dua puluh meter dari sumber
cahaya itu barulah mareka mengetahui bahwa yang
memancarkan sinar itu tak lain adalah dua buah pedang yang
terletak bergandengan diatas sebuah batu hitam licin berbentuk
empat persegi dan tersandar kedinding.
“Itu dia!” kata Suwantra setengah berteriak karena
gembiranya melihat benda yang mereka cari selama ini berada
di depan mata mereka. Mereka melangkah kemuka dengan
cepat, tapi penuh kewaspadaan. Batu dimana kedua pedang itu
terletak tersandar kedinding, berada didalam satu ruangan
empat persegi yang luas sekali. Tingginya diduga kira-kira
empat meter. Pada dinding kiri dan dinding kanan ruangan itu
terdapat dua buah terowongan yang tampak suram. Kedua
senjata yang diatas batu memancarkan dua macam cahaya.
Yang pertama cahaya putih yang menyilaukan dari baja putih,
sedang yang lain cahaya kuning gemerlapan dari hulunya yang
terbuat dari emas. Sungguh kedua benda itu mendatangkan
kagum bagi ketiga orang itu. Tengah mereka terpesona oleh
keindahan pedang-pedang yang dimuka mereka tiba-tiba dari
terowongan gelap suram yang dikiri kanan dinding ruangan itu
terdengar auman suara yang amat dahsyat, menggetarkan
ruangan itu, membuat ketiga manusia itu terkejut dan undur
kebelakang beberapa langkah.
“Suara harimau......” bisik Suwantri kepada kakaknya. Dan
begitu kata-katanya berakhir dari kedua terowongan itu,
meloncatlah dua ekor harimau yang tiada terkirakan besarnya.
Harimau didalam gua dipuncak gunung, benar-benar tak dapat
dipercaya! Tingginya hampir setinggi dada manusia.
Panjangnya juga lebih dari tiga meter. Kedua binatang itu
mengaum sekali lagi. Mulutnya menganga lebar, matanya
memandang beringas sedang ekornya dikeletik-keletikkannya
kian kemari. Tiba-tiba keduanya, secara berbarengan meleset
melompati ketiga orang itu. Seperti sudah diberi aba-aba, ketiga
orang itu menjatuhkan diri kelantai ruangan dan bergulingan
berpencaran. Serangan yang dahsyat itu dapat dielakkan. Aditia
dan kedua kakak beradik itu dapat merasakan sambaran angin
yang keluar dari tubuh kedua harimau tadi waktu melompati
mereka. “Hati-hatilah! Ini bukan sembarang harimau rupanya.
Suwantri, cepat bergabung dengan kakakmu!” kata Aditia,
Suwantri mendekati kakaknya. Pada saat itu kembali kedua
harimau tadi menyerang mereka. Yang seekor menyerang
Suwantra dan adiknya yang seorang lagi menyerang Aditia.
Murid Eyang Wilis merunduk. Musuhnya lewat diatas kepala.
Golok yang ditangannya ditusukkannya keperut binatang itu.
Tapi ajaib! Tak mempan sama sekali! Binatang itu hanya
terangkat keatas dan jatuh tetap dengan keempat kakinya lebih
dahulu.
Waktu harimau yang seekor lagi menyerang mereka, kedua
kakak beradik itu juga menangkis dengan bacokan-bacokan
golok. Suwantri memapas kebawah perutnya sedang golok
Suwantra menghantam kepalanya. Harimau itu meraung keras.
Tapi tubuhnya tidak terluka sama sekali! Melihat bagaimana
senjata itu tak berbekas ditubuh lawannya, Aditia segera
mambuang goloknya kelantai. Melihat hal itu, kedua kakak
beradik segera maklum dan masing-masing mereka
mengeluarkan aji pukulan masing-masing. Binatang itu
menyerang lagi. Aditia mengirimkan pukulan tangan kanan
kekepala lawannya. Harimau itu mengaum keras. Tubuhnya
mental beberapa tombak. Namun jatuhnya tetap dengan
keempat kaki lebih dahulu sekalipun agak terhuyung. Sadang
Aditia merasakan tangannya pedas. Jotosan tangan kanan
Suwantra menghantam rahang kiri harimau yang seekor lagi
sedang tinju adiknya menghajar rahang kanan sehingga
binatang itu tergenjet diantara dua buah pukulan yang keras
dan berisi tenaga ajian yang hebat. Harimau membuka kedua
mulutnya, mengeluarkan aum kesakitan. Dia terjatuh dengan
nanar, sebelum menyerang lagi kaki kanan Suwantra
menendang lehernya. Binatang itu terdongak keatas dan untuk
pertama kalinya terguling dilantai batu.
Serangan ketiga dari lawannya, disambut dengan pukulan
beruntun oleh Aditia. Tinju kiri mengirimkan aji tapak berapi
sedang tinju kanan aji gada dewata. Binatang itu mengaum
dahsyat. Mata kirinya yang terpukul, pecah berantakan sedang
hidungnya robek-robek berlumuran darah! Tapi binatang itu
masih menyerang. Masih berusaha menggapaikan kuku- kukunya yang panjang tajam ketubuh lawannya. Aditia
menangkap kedua kaki depan binatang itu, menariknya dengan
sekuat tenaga, semakin keras...... semakin kuat dan akhirnya
selangkangan kaki depan harimau itu robek terus sampai ke
bagian perutnya berbusaian keluar! Dengan satu bantingan
keras. Aditia mencampakkan tubuh binatang itu kesudut
ruangan. Harimau yang seekor lagi juga sudah menemui
ajalnya. Patah lehernya karena dihujani tendangan-tendangan
keras oleh kedua kakak beradik itu!
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang
laki-laki dengan potongan yang aneh dahsyat telah berada
didalam ruangan itu. Tubuhnya hampir dua meter. Lehernya
panjang. Kulitnya bewarna coklat. Tubuhnya hanya ditutupi
sebuah cawat yang ketat sekali. Otot-ototnya mulai dari kaki
sampai kebahu bertonjolan menandakan kekekasannya.
Dadanya yang bidang itu ditumbuhi oleh bulu. Begitu juga kaki
dan tangannya. Kepalanya yang sulah hanya mempunyai sedikit
rambut pada bagian atasnya yang diikat merupakan sebentuk
kuncir. Hidungnya bengkok tinggi dan matanya merah. Dia
berdiri dengan tangan kedua tangan diatas dada sedang kakinya
merenggang sedikit. Dia memandang pada ketiga orang itu
dengan matanya yang merah. Tiba-tiba dia tertawa berkakakan.
“Hua...... ha...... ha...... ha...... haa... ha...... Kalian berhasil
membunuh mereka......?! Hua...... ha...... ha...... ha...... ha......
Bagus! Hebat! Sungguh hebat! Kini perlihatkan kepandaianmu,
tunjukkan kesaktianmu padaku. Kalian ingin pedang itu
bukan...... ambil..... boleh ambil. Tapi serahkan kepadaku njawa
kalian! Hua...... ha...... ha...... ha......!”
Aditia menggeser kemuka. Tiba-tiba dia dibentak oleh orang
jangkung itu. “Tetap ditempatmu! Kau jangan ikut campur.
Yang punya urusan adalah mereka, kedua kakak beradik itu.
Mereka yang menginginkan pedang dan merekalah yang harus
menghadapiku. Aku tidak takut dikeroyok! Ayo maju kalian!”
Suwantri merasa ngeri juga melihat kedahsyatan laki-laki itu. Tapi ketika dilihatnya kakaknya maju dengan hati tetap dia pun
melangkah pula. “Hati-hatilah Suwantri......” bisik Aditia dari
samping. Suwantra datang dari samping kanan sedang adiknya
dari samping kiri. Mereka menggenggam golok masing-masing
dengan erat. Tiba-tiba mereka menyerang, Orang tinggi itu
melesat keatas. Tubuhnya mengapung secara aneh diudara.
Tiba-tiba kedua kakinya menendang kearah kedua musuhnya,
anginnya deras sekali! Suwantri dan kakaknya merunduk cepat.
Tangan mereka bergerak cepat, membabatkan golok kekaki
lawan, Serangan yang dilakukan dengan gerakan cepat itu
dielakkan dengan mudah oleh si tinggi, malahan dia hampir
saja berhasil menjambak kepala kedua orang itu. Mereka kini
bergerak cepat, menyerang musuhnya dari dua penjuru dengan
cepat dan gencar. Orang tinggi itu mengelak kian kemari
dengan gesitnya. Secara tak terduga, dia balas menyerang.
Suwantri yang diserang menangkis dengan lengan kiri. Kedua
tangan sama beradu dan Suwantri terhuyung-huyung
kebelakang hampir jatuh kelantai. Tangannya yang dipakai
untuk menangkis tampak merah. Aditia cepat memegang bahu
gadis itu. Tangannya yang terpukul segera diusap-usap oleh
Aditia. Pemuda itu mengalirkan tenaga dalamnya. Rasa sakit
segera hilang. Tangan yang terpukul itu pulih kembali sebagai
sediakala. “Majulah kembali, Suwantri...... tapi hati-hatilah. Aku
tak bisa membantu. Kita harus memegang adat ksatria. Aku
baru akan turun tangan kalau kalian sudah terdesak nanti! Aku
percaya bahwa kalian akan menang dan berhasil. Majulah aku
doakan kalian!”. Dengan tenaga dan kekuatan baru, gadis itu
maju kembali. Suwantra, telah terdesak hebat oleh musuhnya.
Waktu dia kepepet kedinding dia mempercepat gerakannya dan
balas menyerang. Musulnya harus hati-hati kini. Tangkisan-
tangkisan lengan Suwantra menggetarkan tangannya dan terasa
perih. Suwantri datang dari samping. Meloncat kemuka dan
mengirimkan tendangan kearah tulang rusuk lawannya.
Manusia bertubuh aneh itu memiringkan badannya. Dengan
tangan kanannya dia coba untuk menangkap kaki gadis itu.
Suwantri membabat tangan yang terulur dengan golok yang
ditangannya sambil menarik pulang kaki kanannya. Musuhnya
sama sekali tak mengacuhkan sambaran golok. Bagian yang
tajam dari senjata itu menghantam lengannya. Golok mental
sedang tangannya hanya bertanda merah! Suwantri terkejut
dan dalam terkejutnya itu hampir saja lawannya mencelakainya
kalau tidak kakaknya berhasil memukul perut laki-laki itu.
Satu menit kemudian, dalam satu serangan hebat, musuh
berhasil merampas golok yang ditangan Suwantra. “Pisau dapur
tengik dipakai untuk berkelahi!” ejek orang itu dan dengan satu
tangan dipatahkannya senjata itu, patahannya dilemparkan
kearah kedua musuhnya. Suwantra jumpalitan diudara sedang
adiknya membuang diri kesamping. Kini ketiganya bertempur
dengan tangan kosong. Dua kali Suwantra kena dipukul oleh
lawan, membuat pemuda itu terhuyung-huyung kebelakang.
Namun dengan gigih dia maju kembali. Pada jurus kesembilan,
Suwantra memberi isyarat kepada adiknya. Dan dengan tiba-
tiba gerakan ilmu pukulan kedua kakak beradik itu jadi
berubah. Mereka mengirim serangan-serangan aneh yang
gencar kearah lawannya sambil tubuh keduanya terputar-putar
cepat membentuk lingkaran mengurung musuh ditengah-
tengah. Gerakan-gerakan yang aneh ini membuat orang itu
terkesiap. Dan inilah kesalahannya. Dalam menghadapi ‘rantai
pamusing’ yang dibuat oleh kedua kakak beradik itu, seseorang
tak boleh berhenti atau gugup sekalipun hanya dalam beberapa
detik saja. Sekali dia memandang kearah putaran tubuh kedua
lawannya maka kepalanya akan dibikin pusing. Terlebih lagi
ketika arah putaran diubah-ubah oleh kedua kakak beradik itu.
Bertubi-tubi pukulan-pukulan Suwantra dan adiknya
menghujani kepala laki-laki itu. Darah mengalir dari hidung
dan telinganya. Dalam keadaan babak belur seperti itu tiba-tiba
dia melolong tinggi seperti serigala kelaparan ditengah malam
buta. Tubuhnya bergerak cepat dan Suwantra bersama adiknya
terlempar kesamping. Kini keduanya yang terpaksa menerima
hajaran-hajaran keras dari lawannya. Dua kali Suwantra jatuh
terjajar kelantai setelah dihantam dada dan tengkuknya.
Suwantri yang terserempet tinju terpelanting berputar-putar.
Namun keduanya bangun kembali dan mengurung lawan yang
tangguh itu dengan lebih rapat. Keduanya mengeluarkan
berbagai ilmu pukulan yang dilancarkas dengan cara aneh- aneh. Seluruh tubuh lawan telah babak belur oleh jotosan-
jotosan namum tampaknya orang itu semakin kuat, nafasnya
tidak berubah sedikitpun juga. Tubuhnya semakin licin liat
sehingga berkali-kali tinju kedua kakak beradik itu meleset dari
sasaran. Lima jurus lagi. Tampaknya perkelahian ini tak akan
ada akhirnya.
“Kurang ajar! Kalian manusia-manusia cilik punya ilmu
kepandaian juga, hah. Tunggu. Sebentar lagi akan kulumatkan
tubuh kalian”. Orang itu mundur dengan cepat kedinding.
Tangan kirinia memukul salah satu bagian dari batu dinding
dan tahu-tahu secara aneh, sebuah pintu terbuka. Sebuah
ruangan kecil terlihat. Didalamnya terdapat sebuah senjata
yang berbentuk dahsyat yaitu sebuah penggada berduri yang
panjangnya lebih dari satu meter. Aditia tahu tenaga manusia
biasa tak akan sanggup mengangkat penggada itu dengan dua
buah tangan. Tapi dia, manusia jangkung itu mengangkatnya
dengan hanya satu tangan! “Kalian lihat ini? Ha...... ha......
ha...... Akan kutumbuk lumat-lumat tubuhmu, tulang-tulangmu
dengan benda ini. Ayo majulah!”
Kedua kakak beradik itu memperhatikan gerakan musuhnya
dengan waspada. Si jangkung melesat kemuka. Senjatanya
memapas sekaligus kearah kepala kedua lawannya. Suwantra
dan adiknya merunduk. Angin senjata itu yang menyambar
kepala mereka terasa memusingkan mereka. Aditia sendiri yang
berada jauh dapat merasakan sambaran angin itu. Penggada itu
terus memapas dan membabat kian kemari. Dalam kurang dari
setengah menit saja Suwantra dan adiknya terdesak hebat. Dan
agaknya mereka tak akan sanggup lebih lama lagi bertahan dari
serangan lawannya.
Aditia menggerakkan tangannya, mengharap agar salah
seorang dari kedua kakak beradik itu melihatnya. Pada
lambaian tangan yang kedua barulah Suwantra dapat
menangkap gerakan tersebut dengan sudut matanya. Dia segera
memberi isyarat kepada adiknya. Dan kedua orang yang
didesak itu segera mundur kedekat Aditia. Pada jarak sepuluh
langkah, sebuah benda bersinar merah menyilaukan melesat
kearah Suwantra. “Pergunakan keris itu Suwantra!” teriak
Aditia. Dengan satu gerakan cepat pemuda itu menangkap hulu
keris merah yang dilemparkan kepadanya. Musuhnya coba
untuk menyampok tapi tak berhasil karena dari samping
Suwantri mengirimkan tendangan kearah bawah perutnya.
Manusia jangkung itu mengerenyitkan keningnya ketika
melihat keris yang ditangan Suwantra. Dia bergidik
memandang sinar yang keluar dan senjata itu. “Ayo Suwantra!
Tunggu apa lagi!” terdengar seruan Aditia. Dengan cepat
Suwantra melesat kemuka. Dia merasakan tubuhnya jauh lebih
enteng dari tadi sedang tangan kanannya yang memegang keris
itu seperti ada yang membimbing. Lawannya memapas dengan
penggada maut. Suwantra menunduk dan adiknya
mengirimkan jotosan kearah kepala lawan. Orang itu memutar
penggadanya. Maksudnya hendak menghantam pinggang
Suwantri. Tapi niatnya terpaksa diurungkan. Keris merah yang
ditangan lawannya yang satu lagi dengan tiada terduga-duga
meleset menyambar kearah tenggorokannya. Dia melompat
kebelakang. Suwantra terus mengejar. Sinar merah bergulung- gulung mengurung penggada. Orang tinggi berhidung bengkok
merasakan matanya perih karena sambaran angin dari keris
sakti itu. Dia terdesak kepojok kiri. Langkahnya terhenti waktu
punggungnya menbentur dinding. Dia tak bisa bergerak lagi.
Dikiri Suwantri. Itu tidak diacuhkannya tapi serangan dari
kanan adalah yang mengecutkan hatinya. Gulungan sinar
merah berbuntal-buntal dimuka hidungnya. Dia berusaha
mengelak kian kemari tapi percuma! Pada akhirnya dadanya
kena juga tertusuk senjata lawan. Dada itu rengkah dan
kulitnya hangus seperti terbakar. Dia melosoh dan jatuh duduk
dilantai. Gada yang ditangannya jatuh menimpa kedua kakinya
yang menjulur dan kaki itu hancur!
Untuk beberapa lamanya orang itu memandang kepada
kedua kakak beradik. Kemudian dia tersenyum aneh sekali.
Bibirnya terbuka. “Tiga puluh tahun aku menjaga kedua senjata
itu dan akhirnya kalian datang juga...... Sebelum kalian sudah
enam orang yang mencoba untuk mengambil benda-benda sakti
itu. Semuanya datang hanya untuk mengantar nyawa. Seluruh
tubuh mereka dimakan tak bersisa oleh kedua anak-anakku, si
Belang dan si Loreng. Kalian telah berhasil mengalahkan
mereka...... kalian telah berhasil mengalahkanku...... itulah satu
pertanda bahwa kalianlah yang berhak memiliki pedang
bintang bulan itu. Aku puas...... aku rela dan aku bahagia dapat
mati ditangan kalian...... kalian manusia-manusia yang gagah
perkasa. Ambil...... ambillah kedua pedang itu. Sucikanlah
mereka karena selama ini mereka dipakai untuk kejahatan......
Ambillah manusia-manusia gagah......”. Orang itu memutar
kepalanya ketempat dimana kedua pedang keramat itu terletak.
Begitu matanya menangkap kedua senjata itu maka bersamaan
dengan itu melayanglah njawanya. Suwantri memeluk
kakaknya erat-erat. Air matanya berlinang-linang dan kedua
kakak beradik itu melangkah kearah batu dimana kedua pedang
yang diwariskan oleh guru mereka Kiai Ahmed Pasya telah
berhasil mereka dapati melalui usaha yang berat!! *
* *
Mereka sampai dirumah itu dan disambut dengan gembira
oleh Gaek Leman. “Syukur kalian kembali dengan selamat.
Berhasilkah maksud kalian?”.
“Berkat doa Bapak, kami berhasil.....” jawab Suwantra.
“Selamat...... selamat...... selamat!” Orang tua itu melirik
kepada Aditia. “Sudahkah kalian tahu? Sudahkah kalian
mendengar kabar?!”
“Kabar apa Bapak......?” tanya Aditia ingin tahu, begitu juga
Suwantra dan adiknya.
“Heboh seluruh Parak Jua ini, heboh seluruh Batusangkar!
Pesta perkawinan dirumah Datuk Mayo Sati sedang
berlangsung dengan ramainya. Kedua Penganten telah duduk
bersanding. Tiba-tiba datanglah lima orang petugas keamanan
negeri dari Bukittinggi! Dihadapan tamu-tamu yang ramai itu,
dihadapan ninik mamak kedua mempelai maka dibacakanlah
surat perintah dari kepala negeri Bukittinggi yaitu Bukhari
ditangkap dan harus dibawa hari itu juga ke Bukittinggi. Dia
dituduh dengan bukti-bukti bahwa di Bukittinggi dia menipu
seorang saudagar, mencuri kalung seorang anak gadis dan
membuat perbuatan mesum dengan bini orang!”. Ketiga orang
itu, terlebih-lebih Aditia memandang kepada Gaek Leman
dengan mata terbelalak.
“Tapi...... dia anak orang kaya dan beradat, hendak berbuat
seperti itu......?” tanya Suwantri, Gaek Leman menjawab. “Kalau
manusia itu dasarnya dajal dan berhati jahat, bukan dia
keturunan orang kaya, bukan dia keturunan orang beradat,
kalau mau berbuat jahat, ya jahat juga! Kalau dasarnya dajal, ya
dajal juga?! Tapi dengarlah, keteranganku belum lagi habis.
Bukhari digiring kerumah orang tuanya, disana harus
ditanggalkannya pakaian raja seharinya, pakaian
pengantennya! Lalu petugas-petugas itu membawanya ke
Bukittinggi. Akan Nurani, begitu selesai pembawa surat
perintah membacakan surat, maka dia jatuh roboh, pingsan
dalam pangkuan pasumandan!”. “Kasihan gadis itu......” desis Suwantri.
“Dan......” kata Gaek Leman meneruskan keterangannya.
“Seluruh pesta perkawinan itu jadi heboh kacau balau. Yang
menangis, menangis juga sedang dibelakang, yang mencuri
gulai, mencuri juga! Pada sore hari jadi beberapa jam sesudah
panangkapan atas diri penganten laki-laki, maka ditemui
oranglah Datuk Gampo Alam. Mamak laki-laki Nurani, mati
menggantung diri didalam kamarnya!!!”.
“Ya Tuhan......” desis Aditia dengan suara gemetar. Tubuhnya
menggigil. “Semoga Kau ampunilah dosa mereka itu
semuanya...... Allahu Akbar......”. Pemuda itu memutar
tubuhnya dan masuk kekamar.
Setejah dilihatnya pemuda itu selesai sembahyang isya,
Suwantri berdiri diambang pintu. “Aditia...... bolehkah aku
bicara denganmu......
“Kau Suwantri, ada apa? Baik...... aku akan tukar pakaian
dulu......” jawab Aditia.
“Aku tunggu kau diluar, Aditia. Dibawah pohon
mengkudu......” dan gadis itu membalikkan dirinya.
“Mulailah, Suwantri...... apa yang ingin kau bicarakan
denganku!”
“Aditia. Kau masih mencintai gadis itu bukan......?”
“Suwantri!”
“Katakanlah terus terang...... kau masih mencintai Nurani
sebagai sediakala bukan?”.
“Suwantri, mengapa kau tanyakan hal itu......”.
“Kasihan dia, Aditia...... kembalilah kepadanya. Kembalilah,
aku seorang perempuan karena itu aku tahu bagaimana
perasaannya saat ini. Dalam saat seperti ini dia tentu
mengharap kedatanganmu...... Dia masih suci......”.
“Tapi cintanya tidak lagi suci, Suwantril”
“Kalau kau tak kembali kepadanya, berarti kau sangat kejam
Aditia!”
“Kejam? Aku kejam? Siapakah yang kejam antara aku
dengan dia? Dibawa larinya hatiku, dibawa larinya jiwa dan
kehidupanku dan diberikannya pada orang lain! Siapakah yang
kejam diantara kami Suwantri......? Memang dulu aku
mencintainya adik. Dulu! Dan aku ditinggalkannya. Sekarang
kau suruh aku kembali kepadanya, kau suruh aku
memperhambakan diri kepadanya kau suruh aku mengemis
cinta kepadanya! Dulu kau ajar kau tunjuki aku agar berhati
jantan dan bersikap satria, kini kau suruh aku berlemah diri.
Apakah maksudmu Suwantri?!”
“Tidak ada maksud apa-apa........ Aditia. Aku hanya kasihan
Pada Nurani”. Aditia menyeka peluh dingin yang membasahi
mukanya dan keheningan menyelimuti mereka. “Jadi itukah
yang ingin kau bicarakan padaku. Suwantri?” Gadis itu
mengangguk. “Dan sekarang bolehkah aku yang bicara
padamu?”. Suwantri memandang kemata pemuda itu
dikegelapan malam. Hatinya berdebar. Pertanyaan pemuda itu
dikeluarkan jauh berlainan dengan nada suaranya yang tadi-
tadi. Tanpa menunggu jawaban gadis itu Aditia berkata. “Dulu
aku pernah mengenal seorang gadis. Seorang gadis yang
menungguku dengan hati sabar, dengan cinta yang tak pernah
kuketahui. Aku tahu selama ini aku telah membuat dia kecewa.
Betapa besarnya dosa mengecewakan hati seorang gadis.
Bagiku tak ada jalan lain Suwantri...... aku harus kembali
kepadanya. Entah dia masih menungguku entah tidak......”.
Muka gadis itu tampak pucat pasi. Bibirnya bergetar dan
dadanya turun naik. Aditia melangkah mendekati, memegang
bahu gadis itu. Matanya memandang dalam-dalam kemata yang
berkaca-kaca dihadapannya. “Suwantri...... aku tak punya apa- apa di dunia ini...... kalau kau masih mengharapkan aku seperti
dulu, kalau kau benar mencintaiku, aku juga mengharapkanmu,
aku juga mencintaimu, adik. Sudikah kau menerima cintaku, mengabulkan harapanku. Aku tak punya apa-apa, aku hanya
punya hati dan kasih sayang untukmu. Wantri......”. Gadis itu
undur dua langkah, tapi langkahnya terhenti karena
punggungnya tertahan oleh batang mengkudu yang
dibelakangnya. Matanya terbuka lebar dan memandang tepat-
tepat kemuka pemuda itu dengan rasa tak percaya.
Benarkah...... tak salahkah pendengarannya tidak bermimpikah
dia? Pemuda itu mencintainya!
“Suwantri..... katakanlah bahwa kau masih mengharapkanku,
bahwa kau masih mencintaiku dan katakanlah kalau semua itu
tidak......” ujar Aditia pula sambil melangkah mendekati gadis
itu. Air mata semakin deras membasahi pipi Suwantri.
“Semenjak kau pergi Aditia, semenjak kau meninggalkan
aku, semenjak itulah aku selalu mengharapkanmu. Aku
mencintaimu kakak, bukan saat ini saja. Tapi sejak empat tahun
yang lalu, sampai sekarang, sampai nanti untuk selama-
lamanya......”.
Pemuda itu maju satu langkah lagi. Wajah gadis itu berada
dekat sekali dibawah dagunya. Dipegangnya pipi gadis itu
dengan kedua telapak tangannya. Diciumnya kedua mata yang
basah oleh air mata itu. Suwantri menurunkan kepalanya dan
membenamkannya dalam-dalam didada pemuda itu. Keduanya
berpelukan erat-erat seolah-olah tak hendak dilepaskan lagi!
Dua tubuh berangkul rapat, dua hati saling bertemu dan satu
paduan cinta murni mulai bersemi untuk kemudian tumbuh
ditaman bahagia, makin besar...... makin besar......
Mereka sampai dikampung Kuliki dan langsung menuju
kerumah pencari ikan dimana Suwantra menitipkan perahu.
Aditia berjalan disisi gadis itu. Sebelum mereka menuju ketepi
sungai, Aditia membalikkan tubuhnya, memandang kearah
gunung Merapi yang menjulang dikejauhan. “Selamat tinggal
tanah Minang, selamat tinggal negeri beradat. Burung yang
dulu hilang kini telah kudapat gantinya. Lebih cantik, lebih
setia, lebih jujur dan lebih kukasihi......”. Pemuda itu menoleh
pada kekasihnya, mengerlipkan matanya dan keduanya sama
tersenyum. Dipegangnya jari-jari yang halus lembut dari gadis
itu dan dengan bergandengan tangan mereka melangkah
menuju ketepi sungai, dimana Suwantra...... calon ipar dari
Aditia...... telah menunggu di dalam perahu.
Tamat
0 comments:
Posting Komentar