"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE ISTANA GERBANG MERAH

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


HANYA orang tolol yang mau menyembu-

nyikan diri di dalam keranjang butut itu!" gumam 

perempuan berusia sekitar enam puluh tahun be-

gitu sebuah keranjang cukup besar muncul den-

gan cara melompat-lompat. Diperhatikannya ke-

ranjang yang telah berhenti berjarak sepuluh 

langkah dari tempatnya, Tanah bolong merata 

berjarak tiga langkah, sesuai dengan lompatan 

keranjang itu. Di lain saat, si nenek berpakaian 

hijau ini berseru, "Buntet Kalamangsang! Se-

umur hidupmu kau selalu berada di dalam keran-

jang tanpa berani menampakkan wajah! Apakah 

kau ingin sampai mampus berada di sana?! 

Atau... kau enggan meninggalkan keranjang bu-

suk itu karena tak mau orang lain melihat wajah 

burukmu?!"

Keranjang yang terbuat dari sulaman kayu 

lapis berpetak-petak sedikit bergerak. Menyusul 

suara bernada serak, "Monyet tua bernama Sekar 

Sengkuni! Kau mengundangku ke sini, apa hanya 

untuk mendengar ucapan busukmu itu?!"

Si perempuan menggeram. Parasnya yang 

mulai dihinggapi keriput menekuk hingga keriput 

itu terlihat semakin banyak. Bias-bias kecanti-

kannya masih tersisa. Rambutnya yang mulai 

memutih, bergerai dipermainkan angin, bertam-

bah acak-acakan. Mata celongnya memperhatikan 

keranjang itu penuh kebencian. Dia berusaha un-

tuk melihat bagaimana caranya Buntet Kala


mangsang bisa mendekam berpuluh tahun la-

manya di sana.

Saat ini setengah perjalanan malam telah 

melampaui batasnya. Tempat itu dipenuhi rang-

gasan semak dan pepohonan. Bukan jalan seta-

pak, melainkan sebuah tempat yang cukup la-

pang. Di atas sana, tak ada gerombolan awan hi-

tam sehingga rembulan dengan leluasa meman-

carkan sinar teduhnya.

"Manusia satu ini memang aneh, tetapi 

memiliki ilmu tinggi walaupun seimbang dengan-

ku!" geramnya dalam hati. "Aku tak pernah men-

gerti bagaimana dia bisa mendekam di sana terus 

menerus! Mungkin kalau mau makan sama 

buang air saja dia keluar! Tapi... huh! Bisa jadi 

dia juga buang air di tempat itu! Sungguh menji-

jikkan!"

"Kau tak buka suara! Dua tarikan napas 

kau tak mengatakan sebab-sebab mengundangku 

ke tempat celaka ini, kau akan mendapatkan se-

suatu yang tak menyenangkan karena telah ba-

nyak membuang waktuku!"

"Kampret!" maki si nenek dalam hati. Lalu 

memaki, "Apakah kau sudah merasa hebat dapat 

mengalahkanku?!"

"Mematahkan tulang di tubuhmu bukanlah 

hal yang sulit! Waktumu tinggal satu tarikan na-

pas lagi!"

Kembali si nenek menggeram. Sorot ma-

tanya tajam pada keranjang yang bergerak-gerak 

itu. Sambil menindih kegeramannya dia berseru, 

"Kau pernah mendengar sebuah tempat


bernama Istana Gerbang Merah?!"

"Kecuali orang tuli, tentunya tak akan per-

nah mendengar Istana Gerbang Merah!" sahut 

orang di dalam keranjang yang tak kelihatan so-

soknya.

"Bagus! Kuberikan kau emas permata yang 

banyak jumlahnya bila kau mau membantuku 

menghancurkan Istana Gerbang Merah!" seru Se-

kar Sengkuni lagi. Dia tetap berusaha untuk me-

lihat sosok orang di dalam keranjang. Berpuluh 

tahun dia hanya bisa bercakap-cakap dengan ke-

ranjang itu saja tanpa mengetahui wujud orang 

yang mendekam di dalamnya.

"Huh! Tawaran yang cukup menggiurkan! 

Sekar Sengkuni, apakah kau memang ingin 

menghancurkan Istana Gerbang Merah, atau 

menghancurkan Resi Tala Kangkang!"

"Jangan banyak mulut!"

"Bila saja kau masih muda, tubuhmu ma-

sih montok seperti aku pertama kali mengenalmu 

dulu, aku akan meminta tubuhmu sebagai imba-

lan!"

Walaupun kedua gendang telinganya me-

merah mendengar ucapan orang dalam keran-

jang, Sekar Sengkuni terkikik, mirip kuntilanak di 

siang bolong.

"Sampai hari ini aku belum pernah melihat 

tampangmu! Apakah memang tampan seperti seo-

rang pangeran atau tak lebih dari kodok belaka! 

Bila kau bertampang seorang pangeran, melaya-

nimu siang malam bukanlah suatu masalah! Te-

tapi bila kau tak lebih dari kodok buduk, lebih

baik kau kubur keinginanmu itu dalam-dalam...." 

Wuuuttt!!

Keranjang itu tiba-tiba melesat ke arah si 

nenek yang masih terkikik. Gemuruh angin ter-

dengar dan mendahului lesatan keranjang itu.

Si nenek memutus kikikannya seraya do-

rong kedua tangannya ke depan.

Plak! Plak!!

Keranjang itu terpental kembali ke bela-

kang setelah membentur kedua telapak tangan si 

nenek berpakaian hijau. Berputar di udara dua 

kali dan jatuh kembali di atas tanah dengan sua-

ra cukup keras. Di seberang Sekar Sengkuni ha-

rus surut tiga langkah.

"Keparat busuk!" geramnya sengit.

"Kau tetap memiliki ilmu yang lumayan! 

Hanya sayang, kau tak berani datang ke Istana 

Gerbang Merah sendiri!"

"Buntet busuk! Tanpa bantuanmu aku 

sanggup menghancurkan Istana Gerbang Merah, 

menghancurkan Resi Tala Kangkang yang ber-

diam di sana! Tetapi...."

"Kau tak sanggup untuk membunuh lelaki 

yang telah menyakiti hatimu itu, tetapi masih kau 

cintai!"

"Setan!!" bentak Sekar Sengkuni seraya 

mendorong tangan kanan kirinya.

Menggebrak dua gelombang angin yang 

menyeret tanah dan ranggasan semak ke arah 

orang dalam keranjang. Belum mengenai sasa-

rannya, keranjang itu telah melambung ke atas. 

Bahkan berpentalan di udara tanpa menyentuh

bumi.

Sekar Sengkuni sudah mencelat memburu 

diiringi teriakan tertahan, "Jangan kau ingatkan 

aku lagi pada masa laluku! Manusia itu harus 

mampus kubunuh!!"

"Kau tak mampu melakukannya karena 

kau masih mencintainya, Sekar Sengkuni!" seru 

orang dalam keranjang yang terus melambung-

lambung. "Itulah sebabnya kau mengajakku, agar 

aku yang membunuh Resi Tala Kangkang!" 

Mendadak saja keranjang itu meluncur de-

ras, bertepatan dengan Sekar Sengkuni yang me-

lompat sambil mendorong kedua tangannya.

Buk! Buk! 

Keranjang itu terpental lebih ke atas se-

mentara Sekar Sengkuni melompat ke bawah. Ke-

dua kakinya agak goyah ketika hinggap di atas 

tanah. Karena benturan yang cukup keras itu, si 

nenek tak mampu mengendalikan keseimbangan-

nya. Dia ambruk di atas tanah. 

Berjarak dua belas langkah dari tempat-

nya, keranjang itu jatuh di atas tanah. Terdengar 

suara orang muntah di dalamnya.

"Orang mengenal kita sebagai sahabat, te-

tapi kita kerap selalu bertentangan!" desis Sekar 

Sengkuni yang masih berlutut di atas tanah. Dita-

rik napasnya sedikit, ditahannya di dalam perut 

seiring dikerahkan tenaga dalamnya.

Sementara si nenek berpakaian hijau yang 

pada hidungnya terdapat sebuah anting ini perla-

han-lahan berdiri, orang dalam keranjang berse-

ru, "Kau betul! Kita memang selalu bertentangan!


Tetapi... hahaha... itulah salah satu keanehan ca-

ra bersahabat yang kita lakukan!" 

Sekar Sengkuni tertawa pula. "Bagaimana 

dengan usulku tadi? Kita sama-sama menghan-

curkan istana Gerbang Merah!"

"Kau rupanya masih mendendam pada Resi 

Tala Kangkang! Hampir tiga puluh lima tahun su-

dah berlalu, tetapi dendammu tetap utuh pa-

danya!"

Paras Sekar Sengkuni mengelam. Ingatan-

nya tiba pada peristiwa tiga puluh lima tahun la-

lu, di mana dulu dia bersahabat erat dengan Tala 

Kangkang yang belum mendapat julukan sebagai 

seorang resi. Persahabatan yang terbina itu ter-

nyata membuahkan benih-benih cinta di hati Se-

kar Sengkuni. Sayang, dia harus memendam cin-

tanya dalam-dalam bahkan berbuah kepedihan. 

Karena Tala Kangkang telah mencintai seorang 

gadis dari seberang yang bernama Woro Lolo.

Ke mana pun mereka pergi, Woro Lolo sela-

lu berada di samping Tala Kangkang. Sekar Seng-

kuni harus menahan pedih dan kecewanya bila 

mengintip Tala Kangkang dan Woro Lolo berme-

sraan. Sekali waktu dia berusaha untuk mening-

galkan Tala Kangkang, sekaligus mengubur cin-

tanya dalam-dalam. Namun hal itu tak kuasa di-

lakukannya, sehingga dibiarkan dirinya ter-

pendam dalam lubang kepedihan.

Kepedihan itu akhirnya menumbuhkan be-

nih cemburu pada Woro Lolo, benih dendam tak 

terkira. Hingga pada suatu hari, di saat Tala 

Kangkang sedang mencari makanan di sebuah


hutan, Sekar Sengkuni tak mampu menahan diri 

lagi. Diputuskan untuk membunuh Woro Lolo 

yang dianggapnya sebagai penghalang dari cinta-

nya. Dan telah diaturnya sebuah rencana. Bila 

Woro Lolo tewas, akan dikatakannya kalau sepe-

ninggal Tala Kangkang dia dan Woro Lolo dis-

erang oleh gerombolan. 

Woro Lolo sendiri bukanlah gadis yang tak 

berilmu, walaupun dia harus menderita kekala-

han dari Sekar Sengkuni. Saat Sekar Sengkuni 

hendak menurunkan tangan kematiannya, Tala 

Kangkang muncul yang segera menghalanginya. 

Perasaan kacau-balau berpadu di hati Se-

kar Sengkuni. Malu, gelisah, dendam, amarah 

berpilin geram. Terutama ketika mendengar ben-

takan marah dari Tala Kangkang. Diserangnya 

Tala Kangkang penuh kebencian tinggi seraya me-

lontarkan isi hatinya.

Tala Kangkang yang marah melihat gadis 

yang dicintainya dilukai Sekar Sengkuni seolah 

telah berubah menjadi seseorang yang mengang-

gap Sekar Sengkuni sebagai musuh. Pertarungan 

keduanya terjadi, sementara Woro Lolo berteriak-

teriak agar pertarungan dihentikan.

Tetapi keduanya telah dibuncah amarah, 

terutama Sekar Sengkuni yang malu luar biasa. 

Pertarungan itu dimenangkan oleh Tala Kangkang 

dan berhasil melukai Sekar Sengkuni yang kemu-

dian berlalu dengan sejuta kelaraan di hatinya.

"Buntet Kalamangsang! Sebelum kudengar 

Tala Kangkang mampus, dendamku tak akan 

pernah sirna! Berpuluh tahun kulacak jejaknya,


hingga kudengar tentang Istana Gerbang Merah di 

mana Tala Kangkang telah membangun dan men-

duduki tempat itu!" seru si nenek dengan kedua 

tangan mengepal. Sepasang rahangnya mengeras. 

Kedua pipinya yang telah peot menggembung. 

"Aku harus membunuhnya!!"

Orang dalam keranjang berseru, "Kita juga 

sama-sama mendengar kalau kemudian Woro Lo-

lo yang bernama asli Mayang Kinanti telah kem-

bali ke asalnya di Pulau Andalas! Berarti, dia tak 

pernah menikah dengan Tala Kangkang!"

"Peduli setan dengan semua itu!"

"Seharusnya yang kau bunuh adalah Woro 

Lolo!"

"Berulang kali aku berusaha untuk mem-

bunuhnya, tetapi berulang kali pula selalu diga-

galkan oleh Tala Kangkang! Orang dalam keran-

jang, tak perlu kita berbicara lebar akan semua 

ini! Sebaiknya kita segera menuju ke Istana Ger-

bang Merah!"

"Tunggu! Aku ingin melihat upah yang kau 

janjikan?!"

Sekar Sengkuni tertawa keras, tawa yang 

sekaligus mengandung amarah pada Resi Tala 

Kangkang.

"Sudah tentu aku tak akan bertindak bo-

doh, Buntet! Upahmu akan kuberikan bila kau te-

lah membunuh Tala Kangkang! Tetapi untuk 

membuktikan kebenaran ucapanku...."

Memutus kata-katanya, Sekar Sengkuni 

menghembuskan napas keras ke semak belukar 

di sebelah kanannya. Hembusan napas yang dila


kukan secara menyentak itu berubah menjadi 

gemuruh angin dan.... 

Blaaarrr!!

Semak belukar itu tercabut paksa dan 

memburai. Terlihat tumpukan emas batangan 

yang berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan.

Keranjang itu tiba-tiba melesat ke sana.

"Kau tak akan bisa mengambilnya karena 

emas-emas yang kujarah dari seorang juragan 

kaya di sebuah desa, telah kulumuri racun! Bila 

kau ingin mampus, kau dapat mengambilnya se-

karang!"

"Terkutuk!" seru orang dalam keranjang se-

raya melayang kembali ke tempat semula.

Sekar Sengkuni tertawa keras.

"Sebelum menuju ke Istana Gerbang Me-

rah, masih ada seorang lagi yang hendak kubu-

nuh!" 

Orang dalam keranjang menyahut geram, 

"Siapa?!"

"Raja Naga!"

Sesaat tak terdengar suara dari keranjang 

itu. Setelah beberapa saat, Buntet Kalamangsang 

berseru, "Ya! Bagus! Itu gagasan yang sangat ba-

gus! Pemuda dari Lembah Naga itu memiliki pen-

dengaran dan penciuman yang tajam! Dia seperti 

tahu tindakan yang akan dilakukan oleh orang-

orang golongan kita!"

Sekar Sengkuni tersenyum licik.

"Aku ingin membunuhnya bukan karena 

dia kuanggap sebagai penghalang! Tetapi...."

"Mengapa kau memutus kata-katamu.


hah?!"

Sekar Sengkuni tak segera angkat bicara. 

Setelah terdiam barulah dia berkata, "Apakah kau 

tidak pernah mendengar kalau pemuda itu memi-

liki Gumpalan Daun Lontar yang sangat dahsyat? 

Pemuda yang julukannya melesat naik setelah 

berhasil membunuh Hantu Menara Berkabut itu, 

akan kujadikan budakku bila Gumpalan Daun 

Lontar telah kudapatkan!" 

"Bagus!"

Sekar Sengkuni tak bersuara, Dia terse-

nyum dan berkata dalam hati, "Kau memang 

dungu! Sangat dungu! Begitu mudah kukendali-

kan hanya dengan emas batangan yang sebenar-

nya hanyalah bayangan yang kupergunakan den-

gan ilmu 'Muslihat Mata Bayangan'. Sudah tentu 

emas hasil jarahanku di sebuah desa tak akan 

pernah kuberikan padamu...."

Keranjang di hadapannya bergetar sedikit, 

menyusul terdengar suara, "Raja Naga adalah 

pemuda keparat yang selalu mengacaukan sepak 

terjang orang-orang seperti kita! Ya! Tanpa kau 

inginkan pun aku telah berniat untuk membunuh 

pemuda keparat itu! Karena biar bagaimanapun 

juga... aku punya hubungan dengan Hantu Mena-

ra Berkabut!"

"Astaga naga!" seru Sekar Sengkuni sambil 

tertawa. "Kau punya hubungan dengan Hantu 

Menara Berkabut? Keranjang busuk itu telah 

mengubahmu menjadi orang dungu! Apakah den-

gan bicara seperti itu kau menganggap orang-

orang akan jeri padamu?!"


"Setan terkutuk!" geram orang dalam ke-

ranjang. "Pemuda bersisik coklat itu memang ha-

rus diperhitungkan pula! Karena seperti biasanya, 

dia seperti mencium keonaran yang akan terjadi!"

Sekar Sengkuni berseru geram, "Kita tidak 

sedang membuat keonaran! Membunuh Resi Tala 

Kangkang sekaligus menghancurkan Istana Ger-

bang Merah, adalah sebuah kebajikan! Karena... 

dia tentunya akan mencari korban perempuan-

perempuan lain!"

"Seperti dirimu?"

"Setan!!" maki si nenek geram. Parasnya 

mengkelap. Tetapi kali ini dia tidak lontarkan se-

rangan. "Setelah Woro Lolo kembali ke Pulau An-

dalas, tentunya lelaki celaka itu akan mencari 

korban baru!"

Orang dalam keranjang tertawa.

"Apakah karena itu kau hendak membu-

nuhnya atau itu cuma sebuah...."

"Tutup mulutmu! Apakah kau tak pernah 

berpikir...."

"Aku tak mau memikirkan soal Resi Tala 

Kangkang!" kali ini orang dalam keranjang yang 

memutus seruan si nenek.

Sekar Sengkuni tertawa keras. Kepuasan 

membayang di wajah keriputnya.

"Kau akan melihat apa yang akan kulaku-

kan terhadapnya!!"

Orang dalam keranjang itu membatin, "Pe-

rempuan keparat ini memang berotak licik! Dia 

masih terbawa dendam karena ditolak oleh Resi 

Tata Kangkang! Aku yakin, setelah berhasil membunuh Resi Tala Kangkang, dia tak akan segan-

segan menyeberang ke Pulau Andalas untuk 

mencari Woro Lolo!"

Sekar Sengkuni berkata seraya menghem-

buskan napasnya keras-keras, "Kita berangkat 

sekarang!"

Belum habis terdengar ucapannya, si ne-

nek beranting di hidungnya sudah melesat ke 

arah barat.

Orang dalam keranjang menggeram dalam 

hati, "Kau boleh menghinaku sekarang! Tapi ke-

lak... kau akan mendapatkan balasan dari perbu-

atanmu itu!"

Keranjang itu bergerak cepat, tetapi terhen-

ti lagi. Bergerak sedikit ke arah semak di mana 

emas batangan yang dilihatnya berada di sana.

Menyusul makiannya terdengar keras, "Se-

tan alas! Bila saja emas-emas batangan itu tidak 

dilumuri racun, sudah tentu kuambil sekarang 

dan berlalu dari sini tanpa menjalankan apa yang 

diinginkannya! Terkutuk!"

Sambil memaki-maki tak karuan, Buntet 

Kalamangsang yang tidak ketahuan seperti apa 

wujudnya sudah bergerak. Yang terlihat hanyalah 

sebuah keranjang yang berlompat-lompat. 

Lima kejapan mata dari perginya Buntet 

Kalamangsang menyusul Sekar Sengkuni, emas-

emas batangan yang dilihatnya tadi tiba-tiba 

menguap. Bersama angin yang berhembus, emas-

emas batangan itu lenyap sama sekali.


DUA


HAMPARAN pagi telah menaungi alam. Bu-

tiran embun belum sepenuhnya mengering kare-

na matahari masih menampakkan bias-biasnya 

saja. Udara masih berhembus dingin, masih 

membuat orang lebih suka mendekam di balik se-

limutnya atau lebih erat mendekap pasangan ti-

durnya.

Tetapi di desa itu keramaian telah terjadi. 

Orang-orang berkumpul di depan sebuah rumah 

besar yang berhalaman luas. Dari dalam rumah 

itu terdengar isakan seorang perempuan yang 

berlutut di hadapan satu sosok tubuh yang ditu-

tupi sehelai kain putih.

Orang-orang yang berkumpul di depan ru-

mah itu tidak bisa masuk karena dihadang dua 

lelaki gagah dengan senjata tombak ramai berse-

ru-seru. Mereka nampaknya tidak puas untuk 

melihat keadaan di dalam rumah.

"Maafkan Kami...," kata salah seorang yang 

menjaga di depan pintu halaman. "Bukan kami 

hendak melarang kalian masuk, tetapi di dalam 

telah sesak dengan orang."

"Kami ingin melihat keadaan Juragan!" se-

ru salah seorang dari yang berkerumun.

"Ya! Kami ingin tahu siapa yang telah 

membunuhnya?!" 

Penjaga yang tadi berkata melirik teman-

nya, seperti meminta pendapat. Setelah melihat 

temannya mengangguk dia berkata, "Semalam,


seseorang berpakaian hijau telah menyelinap ma-

suk ke rumah ini. Membunuh beberapa orang 

penjaga. Juga membunuh Juragan Purna Setyo. 

Juragan Putri selamat karena semalam dia tidur 

di kamar Nimas Ken Fitria." 

Kata-kata si penjaga mengobarkan amarah 

di dada para penduduk yang berkerumun. Mereka 

tak pernah menerima keadaan itu karena selama 

ini Juragan Purna Setyo selalu memperhatikan 

keadaan mereka. Saat itu pula orang yang tadi 

buka mulut memerintahkan beberapa orang un-

tuk segera melacak si pembunuh.

Di antara salah seorang yang berkerumun 

ini, nampak satu sosok tubuh ramping berparas 

jelita. Sejak tadi gadis berusia sekitar tujuh belas 

tahun ini hanya terdiam, tetapi menguping apa 

yang telah terjadi.

"Seseorang berpakaian hijau? Siapa dia?' 

tanyanya dalam hati. Lalu menyeruak ke depan. 

Di hadapan kedua penjaga itu si Jelita berambut 

indah ini bertanya, "Apakah ada yang mengenali 

si pembunuh?"

"Menurut Toha yang masih bisa disela-

matkan, pembunuh itu seorang perempuan tua 

yang di hidungnya terdapat sebuah anting," sahut 

si penjaga setelah memandangi gadis berpakaian 

merah muda itu beberapa saat.

"Ketika terjadi kejadian itu, kalian berada 

di mana?"

Pertanyaan si gadis membuat wajah kedua 

penjaga itu memerah. Dengan kata lain, si gadis 

seperti menyelidik keberadaan mereka. Penjaga


yang berdiri di sebelah kanan menyahut, "Kami 

sedang berkeliling di luar sekitar rumah ini. Dan 

ketika kami kembali, keadaan sudah kacau-

balau. Juragan Purna Setyo telah tewas."

"Ke mana si pembunuh itu pergi?" tanya si 

gadis seperti tidak puas.

Lagi kedua penjaga itu tak segera menja-

wab. Dalam keadaan seperti ini, mereka agak 

jengkel karena didesak oleh pertanyaan-

pertanyaan si gadis. 

Tindakan gadis berpakaian merah muda 

itu tak luput dari sepasang mata yang berdiri di 

antara kerumunan itu di sebelah kanan. Dan... 

Astaga! Sepasang mata itu bersorot angker, men-

gerikan dan mampu membuat orang putus nyali. 

Si pemilik mata angker yang mengenakan rompi 

berwarna ungu ini membatin, "Dari pertanyaan 

yang diajukan gadis itu, nampaknya dia mencuri-

gai sesuatu. Atau mungkin... dia mengenal si 

pembunuh?"

Saat ini salah seorang penjaga sedang 

menjawab pertanyaan si gadis, "Tak ada yang me-

lihat ke arah mana si pembunuh pergi. Setelah 

menjarah emas batangan simpanan Juragan Pur-

na Setyo, dia lenyap begitu saja."

Si gadis tampaknya tidak puas dengan ja-

waban itu. Tetapi dia urung melontarkan perta-

nyaannya lagi, karena orang-orang yang berke-

rumun sudah mendesak masuk. Buru-buru si 

gadis menyingkir termasuk kedua penjaga itu, 

yang mau tak mau membiarkan para penduduk 

yang ingin melihat keadaan Juragan Purna Setyo.

Gadis berpakaian merah muda itu segera 

menyingkir, lalu berlari dengan gerakan yang 

mengagumkan.

Pemuda bermata angker yang sejak tadi 

memperhatikannya, segera menyusul ke mana 

perginya si gadis. Dijaga jaraknya agar tidak sam-

pai memancing perhatian si gadis.

Di sebuah tempat yang dipenuhi pepoho-

nan dan agak jauh dari desa itu, si gadis beram-

but indah menghentikan larinya. Tak ada napas 

terengah yang terdengar. Dada busungnya tetap 

bergerak, seirama napasnya yang tenang.

"Perempuan tua berpakaian hijau.... Me-

makai anting pada hidungnya.... Hemm... apakah 

memang dia yang melakukannya?" desisnya pelan 

seraya memperhatikan sekelilingnya.

Saat ini matahari mulai menampakkan ca-

hayanya, menerangi tempat itu. Untuk beberapa 

lama si gadis terdiam seraya menarik-narik hi-

dung mancungnya.

"Guru memerintahkanku untuk melacak 

jejak perempuan tua yang berciri seperti si pem-

bunuh. Guru tak pernah mengatakan padaku 

mengapa dia menyuruhku melakukan tindakan 

ini. Setelah aku mengetahui di mana dia berada, 

Guru menyuruhku untuk kembali ke Istana Ger-

bang Merah. Ah... apakah...."

Seraya memutus desisannya, si gadis me-

malingkan kepalanya ke samping kanan. Menyu-

sul bentakannya yang menggema, "Rupanya ada 

manusia iseng yang mencuri dengar seperti mal-

ing kesiangan!!"


Wuuutttt!!

Gelombang angin menggebrak setelah tan-

gan kanannya dikibaskan! 

Blaaarrr!!

Sebuah pohon yang ditujunya terhantam 

hingga bergetar. Dedaunannya kontan bergugu-

ran. Di lain saat pohon itu berderak dan patah di 

bagian tengah. Jatuh berdebam menindih semak 

belukar di belakangnya.

Secepat kilat si gadis memburu ke sana. 

Tetapi tak ditemukannya siapa pun juga. Justru 

satu suara terdengar di belakangnya,

"Ketelengasan yang kau lakukan dapat 

mencelakakan orang lain! Apakah tak ada tinda-

kan yang lebih baik seperti yang kau lakukan ba-

rusan?!"

Seketika si gadis memutar tubuhnya. Dili-

hatnya satu sosok tubuh gagah berompi ungu 

yang memperlihatkan dada bidang dipenuhi otot, 

telah berdiri berjarak dua belas langkah dari tem-

patnya. Kemarahan segera naik ke ubun-ubun si 

gadis. Dia hampir saja melontarkan bentakan ke-

ras, tetapi urung dilakukannya.

* * *

"Astaga!" desisnya dengan mata melebar. 

"Tatapannya... gila! Tatapannya sangat mengeri-

kan!" Tanpa disadarinya dadanya sedikit berde-

bar. "Dan tadi... aku sama sekali tak melihat ge-

rakannya menghindari seranganku. Hemm... ten-

tunya pemuda ini bukan orang sembarangan. Aku

harus bersiap bila dia bermaksud buruk!"

Pemuda berkuncir kuda itu masih terse-

nyum. Lalu menggaruk kepalanya yang sedikit 

gatal. Saat menggaruk itu terlihat sisik-sisik cok-

lat sebatas siku memenuhi tangan kanannya. Si-

sik yang sama pun terdapat di tangan kirinya. 

"Tak ada maksudku untuk bersikap seperti 

maling kesiangan!" katanya lembut. "Hanya rasa 

penasaranlah yang membuatku bertindak seperti 

ini!"

Gadis berpakaian merah muda itu tak bu-

ka suara. Masih dipandanginya wajah tampan di 

hadapannya.

"Tatapannya benar-benar mengerikan. Dan 

kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik cok-

lat. Hemm... siapa pemuda yang bersikap sopan 

tetapi telah berlaku seperti maling kesiangan ini?" 

gumamnya dalam hati.

Seraya mengangkat dagunya sedikit hingga 

memperlihatkan leher jenjang yang indah, si gadis 

berseru, "Aku tak suka mencari silang sengketa! 

Sebelum keadaan ini berubah menuju ke sana, 

sebaiknya tinggalkan tempat ini!"

Pemuda gagah itu masih tersenyum.

"Kukatakan tadi, karena rasa penasaran 

itulah yang membuatku mengikutimu...."

"Mengikutiku? Brengsek! Tentunya dia te-

lah mengikutiku dari rumah mendiang Juragan 

Purna Setyo! Hebat, mengapa aku baru tahu ke-

hadirannya di sini!" kata si gadis dalam hati. Ma-

sih mengangkat dagunya dan kali ini kedua tan-

gannya mengepal dia berseru,

"Aku bukanlah orang yang tepat untuk di-

jadikan sebagai tempat penumpahan rasa pena-

saran! Tetapi aku bukan pula orang yang suka 

membiarkan orang lain penasaran! Apa yang me-

nyebabkanmu penasaran seperti itu?!"

"Pertanyaan-pertanyaan yang kau lontar-

kan pada kedua penjaga Juragan Purna Setyo!" 

sahut si pemuda. "Dari pertanyaan-pertanyaan. 

yang kau lontarkan, kau nampaknya mengetahui 

sesuatu! Bahkan aku menduga, kau mengenal 

siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!"

Si gadis tak menjawab. Matanya meman-

dang tak berkedip pada si pemuda, yang kemu-

dian dikerjap-kerjapkannya karena tak mampu 

menatap lebih lama.

"Biar kau tidak penasaran kujawab kata-

katamu! Ya, dari ciri-ciri yang dikatakan kedua 

penjaga itu, aku seperti mengenali siapa pembu-

nuh Juragan Purna Setyo!" 

"Apakah kau keberatan untuk mengata-

kannya padaku?" 

"Kau terlalu lancang, terlalu banyak ingin 

tahu urusan orang!" 

"Karena masih ada rasa penasaran di hati-

ku!"

"Brengsek! Dia begitu tenang sekali," geram 

si gadis dalam hati. Kemudian berkata, "Aku 

mengatakan, seperti mengenali pembunuh itu, te-

tapi belum pasti benar apa yang kukatakan! Dia 

seorang nenek yang bernama Sekar Sengkuni!"

"Bila kau menduga seperti itu, berarti kau 

mengenal siapa Sekar Sengkuni!"

Si gadis menggeleng. Rambut indahnya 

bergerak manja.

"Tidak! Jangankan mengenalnya, melihat-

nya pun tidak pernah!" sahutnya.

"Kalau begitu... kau tentunya sedeng men-

cari perempuan tua Itu, bukan?"

"Kau terlalu lancang bertanya!" 

"Penasaranlah yang...." 

"Kurang ajar!!" si gadis tiba-tiba mendorong 

tangan kanan kirinya secara bersamaan, lalu me-

nyentak ke atas. Dua gelombang angin yang ke-

luar dari dorongan kedua tangannya menderu ke-

ras, lalu bertemu, berpilin menjadi satu dan tiba-

tiba menyentak ke atas!

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 

kirinya sebatas siku itu hanya menjerengkan ma-

tanya. Lalu melirik ke atas. Dilihatnya gelombang 

angin deras yang berpilin menjadi satu tiba-tiba 

meluruk turun dengan suara berdenging-denging.

"Hebat!" desisnya dalam hati. Mendadak 

dia mendehem cukup keras.

Blaaaammm!!

Luruhan angin deras itu tiba-tiba putus di 

tengah jalan seperti tertabrak satu tenaga yang 

tak nampak. Lalu menyebar dan membuat rang-

gasan semak hangus!

Sampai surut satu langkah si gadis melihat 

apa yang dilakukan si pemuda. 

"Gila! Hebat sekali! Sungguh hebat!" desis-

nya tanpa dapat menutupi kekagumannya. Tetapi 

di lain saat dia sudah menggeram dengan wajah 

mengkelap, "Pemuda bersisik! Jangan-jangan...

kau adalah orang Sekar Sengkuni!"

Si pemuda menggeleng.

"Tidak! Seperti dirimu, aku juga tidak per-

nah mengenal siapa Sekar Sengkuni! Tetapi sung-

guh, aku penasaran ingin mengenalnya! Dia ha-

rus mendapat hukuman atas perbuatan yang di-

lakukannya! Karena aku menduga, dia tak akan 

sekali itu saja membunuh dan menjarah harta 

orang!" 

"Sombong!"

Si pemuda hanya tersenyum. Yang dikata-

kannya tadi hanyalah ingin mengetahui akan si-

kap si gadis tentang perempuan tua bernama Se-

kar Sengkuni.

"Dari sikapnya, gadis ini nampaknya begitu 

muak pada orang bernama Sekar Sengkuni. Aku 

tidak tahu apa yang menyebabkannya demikian. 

Tetapi tak mustahil dia akan mencari perempuan 

tua itu, entah untuk apa," kata si pemuda dalam 

hati.

Lalu berkata, "Namaku Boma Paksi...."

"Siapa sudi mengetahui namamu, hah?!" 

seru si gadis.

"Berarti kau keberatan untuk menye-

butkan namamu, bukan?" 

"Aku bukan hanya keberatan untuk mela-

kukannya, tetapi juga berjanji tak akan berjumpa 

lagi denganmu!"

"Bagiku bukanlah sebuah masalah besar. 

Sebelum kita berpisah, masih ada yang ingin ku-

tanyakan padamu!" kata Boma Paksi alias Raja 

Naga sambil tersenyum.

Si gadis sudah menyambar, "Karena rasa 

penasaranmu lagi?!"

Pemuda dari Lembah Naga itu tertawa 

mendengar kata-kata si gadis.

"Mungkin, mungkin karena rasa penasa-

ranku! Mengapa kau mencari si pembunuh itu?"

"Itu urusanku!" 

"Betul, betul sekali! Itu memang urusan-

mu!" 

"Tak ada lagi yang perlu ditanyakan!" seru 

si gadis sambil berbalik dan melangkah bergegas. 

Raja Naga tersenyum.

"O ya! Bagaimana bila aku berjumpa den-

gan pembunuh itu, lalu kukatakan kalau kau 

mencarinya?"

"Katakan padanya, kalau aku, Galuh Tantri 

datang mencarinya!!" seru si gadis yang tiba-tiba 

berhenti melangkah. Kepalanya menegak. "Kepa-

rat! Dia menjebakku hingga kusebutkan nama-

ku!" geramnya.

Kejap itu pula dia berbalik dan siap mema-

ki. Tetapi pemuda bersorot mata angker itu sudah 

tidak ada di tempatnya.

"Brengsek! Brengsek!!" geramnya sambil 

menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah hingga 

mengepul ke udara dan membentuk sebuah lu-

bang.

Kejengkelan masih membias di wajahnya 

sampai kemudian dia tersenyum sendiri. 

"Ih! Ternyata pemuda itu cukup pintar! Dia 

dapat mengorek keterangan tanpa kusadari! 

Brengsek! Tetapi... wajahnya tampan sekali, walaupun matanya bersorot angker. Biarpun berso-

rot angker, dia bukanlah orang golongan sesat. 

Dan ilmunya sangat tinggi. Dia dapat mematah-

kan seranganku hanya dengan... ampun! Kenapa 

aku jadi memikirkan dia?!"

Walaupun jengkel dengan apa yang dipi-

kirkannya, tetapi wajah dara jelita bernama Ga-

luh Tantri ini memerah.

"Brengsek! Aku tidak mau lagi bertemu 

dengan pemuda bersisik coklat pada lengan ka-

nan kirinya!" desisnya lagi. Setelah terdiam bebe-

rapa saat, gadis ini segera meninggalkan tempat 

itu, berlawanan arah dengan yang ditempuh Raja 

Naga.

Tetapi herannya, wajah tampan dan sikap 

konyol pemuda berompi ungu itu masih mem-

bayang di benaknya.



TIGA


PEREMPUAN setengah baya berpakaian 

putih itu menghentikan langkahnya di sebuah da-

taran rendah. Tak jauh dari tempatnya berdiri se-

buah bukit karang. Di kejauhan sana, bayangan 

beberapa ekor burung melayang bermandikan 

matahari senja.

Perempuan ini menikmati keindahan itu 

beberapa saat. Sisa-sisa kecantikannya masih 

terbayang. Sepasang alisnya tebal dengan bulu 

mata lentik dan sepasang mata bersorot teduh. 

Sepasang payudaranya masih membusung kencang. Sebuah tahi lalat kecil pada dagu kirinya 

menambah bias-bias sisa kecantikannya.

"Tala Kangkang... di mana kau?" desisnya 

seraya menundukkan kepala. Kali ini terlihat wa-

jahnya dipenuhi kerinduan dalam. "Siang malam 

tak pernah kulupakan dirimu. Siang malam sela-

lu kurindui dirimu. Ah, apakah kau masih memi-

liki perasaan yang sama seperti diriku?"

Pelan-pelan perempuan ini mengangkat 

kepalanya. Mata indahnya dibaluri kerinduan 

yang sangat.

"Berpuluh tahun aku kembali ke tanah ke-

lahiranku untuk melupakan segala yang pernah 

terjadi. Tetapi aku tak pernah bisa melupakan-

nya...."

Perempuan yang ternyata Woro Lolo atau 

yang bernama asli Mayang Kinanti ini menarik 

napas pendek. Keputusan yang pernah diambil-

nya tiga puluh lima tahun lalu ternyata merupa-

kan keputusan yang menyiksa seluruh hidupnya.

Diputuskan untuk meninggalkan Tala 

Kangkang, orang yang sangat dicintainya karena 

tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-

kang. Kala itu Woro Lolo merasa sangat bersalah, 

karena dengan mencintai dan mendapatkan cinta 

Tala Kangkang, berarti dia telah mengorbankan 

perasaan Sekar Sengkuni, terutama semenjak dia 

tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kang-

kang. 

Saat itu Woro Lolo merasa kalau dia telah 

memusnahkan hubungan baik antara Sekar 

Sengkuni dan Tala Kangkang, hingga diambilnya

sebuah keputusan yang menyesakkan dadanya. 

Tala Kangkang berusaha menahannya, berusaha 

menjelaskan keadaan. Selama ini Sekar Sengkuni 

hanya dianggap sebagai sahabatnya belaka, tak 

ada benih cinta yang bersemayam dan tumbuh 

menjadi besar. 

Tetapi sebagai sesama wanita, Woro Lolo 

dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Se-

kar Sengkuni. Bahkan dimakluminya ketika bebe-

rapa kali Sekar Sengkuni berusaha membunuh-

nya. Hal itulah yang membuatnya bersikeras un-

tuk kembali ke Pulau Andalas, menghentikan jiwa 

petualang yang dimilikinya.

Dipikirnya setelah tiba di tanah kelahiran-

nya, dia dapat mengubur seluruh masa lalunya. 

Tetapi ternyata tak semudah yang diperkirakan-

nya. Benih cintanya semakin tumbuh. Kerin-

duannya semakin mendesak. Dicoba melupakan-

nya dengan jalan memperdalam ilmunya dan 

menciptakan jurus-jurus baru. Tetapi kerinduan-

nya semakin bergelora.

Setelah bertahan tiga puluh tahun lebih 

lamanya, Woro Lolo akhirnya memutuskan untuk 

kembali ke tanah Jawa, untuk mencari Tala 

Kangkang. Dia tidak tahu, apakah Tala Kangkang 

memang akhirnya menikah dengan Sekar Seng-

kuni, atau justru dengan orang lain.

Perempuan berpakaian putih bersih ini 

mendesah pendek, mengingat kalau dirinya be-

lum menikah hingga saat ini.

Senja terus menurun. Woro Lolo memu-

tuskan untuk meneruskan langkahnya seraya

mencari keterangan di manakah Tala Kangkang 

tinggal.

Pagi harinya dia mampir di sebuah kedai 

untuk mengisi perut. Tak jauh darinya tiga orang 

lelaki sedang bercakap-cakap sambil memegang 

beberapa helai baju.

"Orang-orang Istana Gerbang Merah me-

mang baik! Kalau tiga hari lalu dia memberi kita 

makanan, kali ini pakaian!" sahut yang bertubuh 

gemuk sambil mengunyah nasi kebuli di hada-

pannya. Porsinya lebih banyak dari dua orang te-

mannya. Baju baru yang dipegangnya diletakkan 

di sisi kanannya.

"Betul! Tetapi hingga saat ini, kita belum 

pernah melihat siapa orang yang memimpin Ista-

na Gerbang Merah kecuali mendengar namanya 

saja!" sahut yang bertubuh kerempeng. Mulutnya 

penuh dengan nasi dan sedikit berhamburan ke 

arah si Gemuk.

Si Gemuk melotot yang disambut dengan 

tawa oleh si Kerempeng.

Yang bertubuh sedang berkata, "Aku ingin 

suatu hari kita mendatangi istana Gerbang Me-

rah. Aku ingin mengucapkan terima kasih lang-

sung pada Resi Tala Kangkang...."

Woro Lolo yang sebenarnya tak begitu ber-

nafsu untuk menikmati sarapan paginya, mene-

gakkan kepala ketika mendengar nama itu dis-

ebutkan.

"Resi Tala Kangkang? Apakah... dia orang 

yang kurindukan?" tanyanya dalam hati. Tanpa 

sadar dadanya berdebar dan ditajamkan telinganya untuk mendengar percakapan itu lebih lan-

jut

"Aku juga begitu," kata si Kerempeng.

Woro Lolo makin tak berselera untuk 

menghabisi hidangannya. Setelah membayar dia 

melangkah mendekati ketiga orang itu. Sudah 

tentu kedatangannya mengejutkan mereka. Tetapi 

pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang 

ramah. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilon-

tarkan perempuan setengah baya itu mereka ja-

wab penuh kegembiraan.

Merasa keterangan yang didapatkannya 

sudah cukup, Wore Lolo segera meninggalkan 

orang-orang itu yang menatap kepergiannya den-

gan terkagum-kagum.

"Hebat! Ku taksir perempuan itu berusia 

lebih dari setengah abad," kata si Gemuk. "Tapi 

wajahnya... amboi! Masih cantik!"

"Hei, hei! Kalian perhatikan tidak dadanya 

tadi?" kata yang bertubuh sedang.

Si Gemuk yang duduk di sampingnya lang-

sung mendorong kening temannya.

"Kebluk! Matamu selalu ke benda keramat 

itu saja!" ejeknya. "Apa kau tidak puas dengan 

dada besar istrimu yang bertubuh lebih gemuk 

dariku?!"

Temannya mendengus.

"Seharusnya dia jadi istrimu! Dan istrimu 

jadi istriku!"

Si Gemuk tertawa.

"Kalau aku dapat istrimu yang bertubuh 

lebih gemuk dariku itu sudah tidak aneh! Ma

kanya kucari istri yang bertubuh langsing! Kalau 

kau mendapatkan istri yang gemuk itu, ya sudah 

rezekimu!" 

Si Kerempeng tertawa geli dan berkata, 

"Betul! Kau kan bisa menghisap bukit kembarnya 

yang gede betul!"

Temannya mendengus lagi.

"Brengsek kalian, ah! Sudah, sudah! Ayo 

makan! Kita harus segera pulang!"

"Hei! Kau tidak mau ke sawah lagi?!" tanya 

si Kerempeng.

"Gara-gara dada perempuan itu, aku jadi 

ingin membajak sawah istriku saja!"

Ketiganya tertawa bersamaan.

* * *

Sambil terus berlari ke arah barat, Woro 

Lolo membatin, "Istana Gerbang Merah... Resi Ta-

la Kangkang... apakah memang dia, orang yang 

kurindukan siang dan malam?"

Semakin dipikirkan, semakin bertambah 

kerinduannya. Rasa tak sabarnya untuk menge-

tahui siapakah Resi Tala Kangkang yang dimak-

sud oleh tiga lelaki di kedai itu, membuatnya un-

tuk terus berlari. Sekejap pun tak ada niatan un-

tuk menghentikan larinya.

Seperti yang dikatakan oleh salah seorang 

dari ketiga orang tadi, dia harus menuju ke barat. 

Di balik sebuah bukit kapur, di sanalah Istana 

Gerbang Merah berada.

Tepat matahari berada di atas kepala, perempuan berpakaian serba putih ini menghenti-

kan larinya di sebuah jalan setapak. Bukan kare-

na merasa lelah, bukan pula karena memutuskan 

untuk beristirahat. Tetapi, berjarak lima betas 

langkah di hadapannya telah berdiri seorang ka-

kek bertubuh bongkok yang mengenakan pakaian

merah acak-acakan.

Dari caranya berdiri yang tepat di tengah 

jalan, dapat dipastikan kalau si kakek memang 

sedang menantinya. Woro Lolo sendiri merasakan 

hal itu. Kendati agak sedikit jengkel mengingat 

dia harus tiba di Istana Gerbang Merah guna 

memuaskan perasaan ingin tahunya, Woro Lolo 

tersenyum seraya melangkah.

"Orang tua! Dari tempatmu berdiri nam-

paknya kau sedang menanti seseorang! Apakah 

memang demikian adanya?" serunya setelah 

memperpendek jarak.

Kakek berjenggot menjuntai itu mengang-

kat kepalanya. Mata celongnya yang berkilat-kilat 

merah memandang tak berkedip pada Woro Lolo. 

Woro Lolo melihat kalau kedua mata itu sesaat 

membelalak.

"Astaga naga!" desis si kakek sambil me-

nyeringai lebar. "Sejak dua hari lalu kutinggalkan 

Lembah Serigala, baru sekarang kulihat ada pe-

rempuan sedemikian jelita!"

Memerah kedua telinga Woro Lolo. Tetapi 

perempuan ini tetap tersenyum.

"Saat ini aku sedang terburu-buru, hingga 

sudilah kiranya kau memberi jalan padaku...," ka-

tanya.

"Jalan di samping kanan kiriku cukup le-

bar, kau dapat melewatinya. Atau... kau memang 

ingin melangkah pada tempat di mana aku berdiri 

sekarang?"

Woro Lolo paham arti ucapan itu, yang se-

cara tidak langsung mengejeknya

"Baiklah... aku mengambil jalan sebelah ki-

rimu...," katanya sambil melangkah. Kendati bi-

birnya tersenyum, diam-diam perempuan dari Pu-

lau Andalas ini bersiaga ketika melewati jalan di 

sebelah kiri si kakek bongkok. 

Mendadak... tap! 

Bahu kanannya dijamah dan dipegang erat 

oleh si kakek!

Woro Lolo menindih kemarahannya. Ham-

pir saja dikibaskan tangan itu. Tetapi karena tak 

mau membuka urusan, digerakkan bahunya se-

dikit. Jamahan tangan si kakek terlepas.

Kontan kakek bongkok itu terbahak-bahak 

keras. Debu di sekelilingnya berhamburan. 

"Aku menyukai perempuan yang galak! 

Dan itu artinya... kau tidak bisa kemana-mana, 

sebelum bermain-main denganku!"

Habis ucapannya, tiba-tiba saja si kakek 

melesat ke depan. Gerakannya sangat sukar di-

ikuti oleh mata. Hanya karena desiran angin yang 

mengarah padanya saja Woro Lolo segera berkelit. 

Dan menggerakkan tangannya untuk menahan 

tangan kanan si kakek yang mengarah pada se-

pasang bukit kembarnya

Plak! Plak!

Woro Lolo surut dua tindak dengan mata

mulai dibiasi amarah, sementara di pihak lain si 

kakek berpakaian merah compang camping mem-

buang tubuh ke belakang dan hinggap di atas ta-

nah dengan ringannya

Tawa kerasnya masih terdengar

"Menyenangkan, sangat menyenangkan! 

Sebelum kita teruskan main-main ini, aku hen-

dak bertanya padamu!"

Woro Lolo yang mulai dihinggapi rasa ma-

rah karena mendapati sikap kurang ajar si kakek 

mendesis dingin, "Aku sendiri baru tiba di tanah 

Jawa, dan belum mengetahui apa-apa! Tidak te-

pat kiranya bila kau hendak menjadikanku seba-

gai tempat bertanya!"

"Tidak tepat sebagai tempat bertanya, bu-

kan urusan penting! Karena yang pasti, kau ada-

lah tempat yang tepat sebagai pemuas nafsuku!!"

Hampir saja Woro Lolo melesat untuk me-

nampar mulut kurang ajar itu. Tetapi masih di-

tindih amarahnya

"Aku tak punya banyak waktu! Mungkin 

kelak, akan kulayani keinginanmu untuk ber-

main-main!" serunya sambil berlari kembali.

Tetapi gemuruh angin yang keluarkan sua-

ra berdenging-denging itu membuatnya menghen-

tikan larinya seraya membuang tubuh ke samping 

kiri.

Blaaaammm!!

Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar 

ke udara. Begitu tanah itu luruh, terlihat sebuah 

lubang yang mengeluarkan asap berbau busuk.

"Kau terlalu memaksa!" geram Woro Lolo

dengan mata menyipit.

Si kakek hanya terbahak-bahak saja.

"Aku ingin kita bermain-main sekarang! 

Kau akan berterima kasih bila sudah merasakan 

betapa hebatnya aku dalam bercinta!" serunya 

semakin membuat kegeraman Woro Lolo memun-

cak. "Dan biasanya... setelah puas bercinta, aku 

suka membunuh lawan mainku! Jadi... jawab 

pertanyaanku sekarang!"

"Keparat! Belum apa-apa aku sudah ber-

temu dengan manusia seperti ini!" geram Woro 

Lolo dalam hati. "Sebaiknya biar kudengar dulu 

apa pertanyaannya, barangkali saja ternyata me-

mang penting untukku."

Di seberang si kakek sudah angkat bicara, 

"Tahukah kau di mana Istana Gerbang Merah be-

rada?!"

Kepala Woro Lolo sedikit terangkat. Ma-

tanya memicing. Lalu menyahut, "Baru kudengar 

nama Istana Gerbang Merah!" 

"Sayang, sayang sekali...," si kakek meng-

geleng-geleng.

"Mengapa kau menanyakan tentang Istana 

Gerbang Merah?!"

"Percuma kukatakan padamu karena kau 

sendiri tidak tahu! Sebaiknya, kita langsung ber-

main cinta saja! Ayo, buka pakaianmu!!"

"Terkutuk!!" mengkelap wajah Woro Lolo. 

Kedua tangannya mengepal kuat pertanda dia se-

dang berusaha menahan kemarahannya.

Si kakek kali ini terkekeh.

"Ya, ya! Seperti juga kebiasaanku yang lain,

aku selalu membuat orang tidak penasaran!" ka-

tanya tiba-tiba. "Aku ingin menghancurkan Istana

Gerbang Merah!"

"Mengapa?" seru Woro Lolo.

"Huh! Manusia keparat yang memiliki Ista-

na Gerbang Merah telah menorehkan sebuah luka 

pada diri seorang perempuan tiga puluh lima ta-

hun yang lalu! Dan karena manusia itu pula pe-

rempuan yang kucintai akhirnya lenyap tanpa 

bekas!"

"Urusanmu adalah sesuatu yang berat! 

Kau hendak melampiaskan dendammu dengan 

cara yang salah! Apakah...."

"Tutup mulutmu!" hardik si kakek bong-

kok. "Kau tidak tahu betapa sakit hatiku ketika 

mendengar kata-kata perempuan yang kucintai! 

Kalau aku tidak pantas dicintainya, karena aku 

tidak seperti lelaki yang dicintanya! Dan kau ta-

hu... apa yang dikatakannya agar dia bisa men-

cintaiku? Aku harus membunuh lelaki keparat 

itu!"

"Kau semakin banyak membuang waktu-

ku!" 

Si kakek menggeram sengit. "Aku telah 

bersumpah demi langit dan bumi! Tala Kangkang 

harus mampus kubunuh! Biar Sekar Sengkuni 

utuh menjadi milikku!!" 

Sampai mundur tiga tindak Woro Lolo 

mendengar ucapan si kakek. Kepalanya menegak 

dengan mulut membuka yang memperlihatkan lo-

rong indah di dalamnya

"Astaga!" ucapnya dalam hati dengan dada

berdebar. "Jadi… Istana Gerbang Merah... Resi 

Tala Kangkang... memang dia… memang dia 

orang yang kucintai! Kakek celaka ini telah men-

jelaskan semuanya, Sekar Sengkuni...." 

Di seberang si kakek menggeram seraya 

menyipitkan matanya, "Perempuan cantik! Kau 

seperti terkejut! Aku yakin kau mengetahui sesu-

atu?!"

Woro Lolo tak menjawab. 

"Aku mengerti sekarang... sangat menger-

ti... Berarti, niat kakek ini harus kuhalangi..."

Habis membatin begitu perempuan bertahi 

lalat di dagu ini berkata, "Sejak anak manusia di-

ciptakan, urusan cinta tak pernah berkesudahan! 

Urusan cinta berbaur dendam! Kakek bongkok! 

Aku tak ingin melibatkan diri dalam urusanmu! 

Tetapi niat busukmu untuk membunuh seseorang 

bernama Tata Kangkang jelas-jelas harus dice-

gah!"

Kakek bongkok itu mengerutkan kening-

nya. Sorot matanya penuh kecurigaan. Beberapa 

saat kemudian, terdengar desisannya, dingin, "Pe-

rempuan cantik! Kau menyembunyikan sesuatu 

dariku, sesuatu yang tidak kuketahui dan kau ke-

tahui! Katakan sebelum ku ubah niatku untuk ti-

dak langsung membunuhmu!"

"Berbicaralah selagi kau, masih bisa berbi-

cara seenak perutmu, Kakek celaka!!" seru Woro 

Lolo dengan kaki sedikit dibuka.

"Perempuan keparat! Mencoba memusliha-

tiku adalah sebuah kebodohan! Keterkejutanmu 

kala ku sebutkan nama Tala Kangkang maupun

Sekar Sengkuni membuktikan kalau kau menge-

tahui sesuatu! Atau... jangan-jangan... kaulah 

Woro Lolo alias Mayang Kinanti, perempuan cela-

ka yang telah menghancurkan hidup perempuan 

yang kucintai?!"

"Tebaklah sesuka hatimu! Kelak kita ber-

temu lagi!" 

"Jangan harap kau bisa lari dari tangan-

ku!!" seru si kakek bongkok sambil mendorong 

tangan kanannya, disusul dengan dorongan tangan kiri!


EMPAT


WORO LOLO yang sudah melangkah harus 

membuang tubuh ke samping tatkala gelombang 

angin beruntun menggebrak ke arahnya. Baru sa-

ja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dia telah 

melenting ke depan seraya mendorong kedua tan-

gannya.

"Kau terlalu memaksa!!" 

Wussss! 

Wusss! 

Blaaam! Blaaamm!

Gelombang angin yang terlontar dari kedua 

tangannya putus di tengah jalan terhantam satu 

tenaga deras. Tubuh Woro Lolo terhuyung ke be-

lakang, keseimbangannya hilang sesaat.

"Astaga! Tenaga dalamnya luar biasa! Aku 

bisa celaka!" serunya dalam hati.

Di seberang kakek bongkok itu sudah

menderu kembali. Jari jemarinya membentuk ca-

kar. Dan dia menggereng keras laksana serigala 

murka.

Woro Lolo berhasil menghindari sambaran 

cakaran yang mengarah pada bagian-bagian tu-

buhnya. Bahkan dia berhasil memukul dada si 

kakek hingga terjajar ke belakang.

Kejadian itu membuat si kakek menggereng 

setinggi langit. Parasnya berubah mengerikan. 

Gerengan laksana seekor serigala terdengar keras 

disusul dengan satu lompatan seperti menerkam. 

Kedua tangannya membuka, dengan jari jemari 

melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua 

tangannya.

Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-

rasnya. Woro Lolo yang baru saja mengembalikan 

keseimbangannya, surut tiga tindak karena mera-

sakan satu dorongan tenaga menerpa dadanya. Di 

lain kejap, perempuan setengah baya jelita ini me-

lompat ke samping kiri.

Karena segumpal cahaya merah melesat 

dan tiba-tiba meletup pecah. Muncratannya me-

luncur ke arah Woro Lolo dengan suara mendeng-

ing-denging.

Woro Lolo mengertakkan rahangnya seraya 

palangkan kedua tangannya di depan dada. Terli-

hat cahaya putih merebak di hadapannya, lalu...

Wuuussss!!

Cahaya putih yang mengandung hawa din-

gin itu melesat ke depan, membentur keras mun-

cratan sinar merah yang berdenging-denging. Le-

tupan beberapa kali terdengar seiring berhamburannya sinar merah dan cahaya putih hingga 

tempat itu terang sesaat. Beberapa buah pohon 

besar yang tumbuh di sana bergetar karena kuat-

nya letupan itu, menyusul bertumbangan hingga 

menambah gemuruh di sekitar sana. 

Tanah yang menghambur ke udara belum 

luruh, gumpalan sinar merah telah mencelat 

kembali. Kali ini dua buah dan seperti yang per-

tama tadi, meletup pecah, lalu bermuncratan 

dengan suara berdenging-denging.

Woro Lolo mengulangi tindakannya yang 

pertama. Kembali letupan dahsyat terjadi. Di an-

tara letupan itu terdengar seruan tertahan Woro 

Lolo, "Aaaakhhhh!!"

Tubuhnya terdorong ke belakang. Tangan 

kirinya melepuh karena salah satu muncratan si-

nar merah itu menerpa tangannya. Cepat ditekap 

bagian yang melepuh itu dengan tangan kanan-

nya. Dialirkan hawa dingin, walau perih tak terki-

ra, tetap dipaksakannya. Asap menggebrus dan 

ketika diangkat tangan kanannya, luka itu tidak 

terlalu sakit meskipun meninggalkan bekas.

Diangkat kepalanya penuh amarah, dita-

tapnya kakek bongkok berpakaian merah com-

pang-camping yang berdiri di tempatnya sambil 

menyeringai.

"Aneh! Mengapa dia tidak melanjutkan se-

rangannya?" Woro Lolo bertanya dalam hati den-

gan sikap waspada. "Ada sesuatu yang aneh.... 

Bibirnya menyeringai, penuh ejekan. Apakah 

dia.... Heiii!!"

Wajah Woro Lolo menegang. Tubuhnya

bergetar.

"Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya yang 

mendadak limbung. Bersikeras perempuan berta-

hi lalat di dagu ini untuk menjaga keseimbangan-

nya. Tetapi hawa panas telah mendera sekujur 

tubuhnya, masuk dalam aliran darahnya. Dia 

berteriak keras, "Kakek keparat! Apa yang kau la-

kukan?!"

Kakek bongkok itu terkekeh penuh ejekan.

"Mengapa kau bertanya padaku? Memang-

nya apa yang telah kulakukan?" ejeknya. 

"Hemm... perempuan manis... apakah kau tidak 

merasa kepanasan? Ayo, buka saja pakaianmu... 

biarkan angin dingin menerpanya…"

"Gila! Mengapa jadi begini?" seru Woro Lolo 

dalam hati. Ketegangannya semakin kentara. Ha-

wa panas terus gencar menyelimuti dirinya. 

"Hehehe... ayo, buka pakaianmu bila kau 

tidak ingin kepanasan...."

"Terkutuk!!" maki Woro Lolo dan menerjang

ke depan. Tetapi tiba-tiba saja dia ambruk berlu-

tut. Getaran tubuhnya semakin kuat. Hawa panas 

dalam tubuhnya tak terkira lagi. "Celaka! Ten-

tunya ini berasal dari tanganku yang terkena 

muncratan sinar merah yang dilontarkannya. Ke-

parat! Rupanya serangan itu mengandung... 

aaakh...."

"Mengapa kau tak segera buka pakaian-

mu?" seru si Kakek bongkok sambil terkekeh. "Il-

mu 'Serigala Murka' mengandung satu keajaiban 

yang kini kau rasakan!!" 

Sekujur tubuh Woro Lolo semakin bergetar.

Keringat sebesar biji jagung sudah bermunculan 

membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya meme-

rah. Sesuatu yang ganjil merasuk ke tubuhnya.

"Celaka! Serangan yang dilontarkannya 

mengandung hawa birahi!" geramnya seraya 

menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan ge-

jolak yang merambah di dadanya. Tiba-tiba kedua 

tangannya terangkat ke atas, bergetar kuat dan 

dia berusaha menahan sepenuh hati. Tetapi ke-

dua tangannya telah hinggap pada pakaiannya. 

"Ayo, buka! Buka! Aku, Demit Serigala, su-

dah tidak sabar untuk melihat apa yang ada di 

hadapanku! Ayo, buka! Kita nikmati keindahan 

ini dulu sebelum kau mampus ku cabik-cabik!" 

Terlihat bagaimana Woro Lolo berusaha 

untuk menahan gelora dalam dadanya, menahan 

sesuatu yang tak diinginkannya. Tetapi dia justru 

menggeliat-geliat disertai desahan erotis. Perla-

han-lahan dia bangkit dengan gerakan-gerakan 

yang merangsang. Hawa birahi yang masuk ke 

tubuhnya telah sepenuhnya menguasai dirinya.

Si kakek yang ternyata berjuluk Demit Se-

rigala terkekeh-kekeh dengan mata nanar.

Dalam keadaan diamuk gelora birahi tak 

wajar, Woro Lolo memegang kedua payudaranya 

sendiri, meremas-remasnya dalam desahan gairah 

tinggi. Bahkan tanpa sadar dia mulai membuka 

pakaiannya. Selapis pakaian putih yang menera-

wang terpampang di depan mata Demit Serigala.

"Luar biasa! Sudah kuduga kau memiliki

bukit kembar yang indah!" serunya sambil mene-

lan ludah berkali-kali. "Ayo, buka pakaian da

lammu itu! Buka pula pakaian bagian bawah!!"

Perempuan setengah baya itu masih me-

remas-remas sepasang bukit montoknya yang 

membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis. 

Pinggulnya bergerak-gerak penuh gairah. Mulut-

nya mendesis-desis dengan wajah merona. Tu-

buhnya tiba-tiba jatuh di atas tanah terus meng-

geliat-geliat penuh gairah.

Demit Serigala tak bisa lagi menahan gejo-

lak nafsu di dadanya. Dengan menyeringai lebar 

dan menelan ludah berkali-kali dia mendekati 

Woro Lolo yang kini kedua tangannya menggapai-

gapai

"Hehehe... kau memang berilmu tinggi, te-

tapi tak akan mampu menandingiku..."

Lalu dengan penuh nafsu ditubruknya tu-

buh Woro Lolo yang sedang diamuk birahi tidak 

wajar. Perempuan itu menggeliat-geliat seraya 

mendesis-desis ketika tangan kanan kiri Demit 

Serigala merambah payudaranya, meremas-

remasnya. Bahkan tak disadarinya tangan kanan 

Demit Serigala menyelinap ke balik pakaian ba-

gian bawahnya.

Penuh nafsu diciuminya leher jenjang yang 

putih itu. Bibir yang meranum basah dan sepa-

sang matanya yang terpejam membuka diamuk 

gelora.

"Kuhabisi kau sampai tandas!" seru Demit 

Serigala seraya membuka pakaiannya. Dia harus 

menahan diri sekaligus menahan kedua tangan

Woro Lolo yang memaksanya untuk memeluk tu-

buhnya. "Sabar... sabar...."

Penuh nafsu kembali dicumbunya Woro 

Lolo. Tangan kanannya pun siap membuka pa-

kaian tipis yang masih dikenakan Woro Lolo, se-

mentara tangan kirinya siap menarik lepas pa-

kaian bagian bawah perempuan

Tetapi satu suara dingin telah terdengar, 

"Orang tua terkutuk! Sungguh memalukan apa 

yang telah kau lakukan?!" 

Serentak kakek berjenggot menjuntai itu 

menoleh ke belakang. Satu sosok tubuh berompi 

ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari 

tempatnya. Menatap tajam dengan sorot mata 

angker mengerikan.

* * *

"Terkutuk!!" geram Demit Serigala sambil 

menyentak lepas tangan Woro Lolo yang masih 

menggeliat diamuk birahi. Dibiarkan desisan-

desisan mengundang dan gapaian tangan Woro 

Lolo. Penuh kemarahan dipandanginya pemuda 

berompi ungu yang tadi membentaknya. Sesaat 

Demit Serigala tersentak tatkala melihat tatapan 

mengerikan yang terpancar dari sepasang mata si 

pemuda. Tetapi di lain saat dia sudah memben-

tak, "Pemuda berkuncir! Menyingkir dari sini se-

belum kulumat hancur tubuhmu!"

Pemuda tampan bersisik itu tak bergeming 

di tempatnya. Matanya memancarkan kebencian 

dalam.

"Keparat!" geram Demit Serigala. Saat itu-

lah dilihatnya lengan kanan kiri si pemuda sebatas siku dipenuhi sisik coklat. "Pemuda bersisik! 

Aku tak pernah memerintahkan orang lebih dari 

dua kali!"

Belum habis bentakannya, kakek yang te-

lah bertelanjang dada hingga memperlihatkan tu-

lang belulang di tubuhnya sudah melesat ke de-

pan. Tangan kanan kirinya membentuk cakar.

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-

ja Naga adanya menjerengkan sepasang matanya. 

Lalu mendehem keras. 

Wuuuttt!!

Satu tenaga tak nampak menderu keras ke 

arah Demit Serigala. Sesaat kakek bongkok itu 

tersentak. Tetapi diiringi gerengan semakin keras, 

diterobosnya tenaga tak nampak itu. 

Plaass!!

Raja Naga terkejut. 

"Gila!"

Segera digerakkan tangan kanan kirinya.

Plak! Plak!!

Benturan yang terjadi itu membuat mas-

ing-masing surut tiga tindak ke belakang.

"Gila! Tangannya keras sekali!" geram De-

mit Serigala separuh terkejut. "Siapa pemuda ke-

parat ini?"

Di pihak lain Raja Naga membatin, "Luar 

biasa! Dia mampu menerobos tenaga yang keluar 

dari dehemanku. Bahkan dia juga biasa saja ter-

kena benturan tadi. Padahal aku sudah mengelu-

arkan setengah dari kekuatan tangan kanan kiri-

ku yang bersisik ini."

Sementara itu Demit Serigala sudah mele

sat kembali ke depan. Gerengan serigala murka 

menggebah keras. Tangan kanan kirinya yang 

membentuk cakar dikibaskan, gelombang angin 

mendahului serangannya.

Raja Naga tak berkedip memandang ke de-

pan. Sorot matanya bertambah angker. Tiba-tiba 

saja dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Saat 

itu pula tanah berderak, menyusul laksana ge-

lombang di lautan menderu ke arah Demit Seriga-

la dengan suara berderak berulang-ulang.

"Gila!!" maki Demit Serigala seraya mem-

buang tubuh ke samping.

Blaaar! Blaaar! Blaaarrr!!

Letupan yang memuncratkan tanah ke 

udara. Itu terdengar tiga kali berturut-turut. Be-

lum lagi luruh muncratan tanah itu, Demit Seri-

gala sudah menerobos. Membuka kedua tangan-

nya lalu menepukkannya hingga terdengar suara 

yang sangat keras.

Raja Naga tersentak tatkala merasakan da-

danya seperti terhantam sesuatu yang keras. Ke-

palanya sendiri menegak dengan mata melebar 

tatkala melihat dua buah gumpalan sinar merah 

menderu ke arahnya. Belum lagi dia bertindak, 

gumpalan-gumpalan sinar merah itu meletup, la-

lu bermuncratan ke arahnya dengan suara ber-

denging-denging.

Raja Naga segera menepukkan tangan ki-

rinya dengan tangan kanannya. Menyusul satu 

tenaga yang melesat, didorong kedua tangannya 

untuk lepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung 

Lautan'. Gelombang angin yang disemburati asap

merah menggebrak ke depan.

Blaaam! Blaaammm!!

Seketika tempat itu bergetar dahsyat, rang-

gasan semak tercabut, pepohonan bertumbangan 

dan tanah berhamburan ke udara. Beberapa 

muncratan sinar merah yang tak terhalangi 

menghanguskan semak belukar. 

Raja Naga yang segera melompat ke samp-

ing kanan begitu benturan terjadi, terhuyung 

dengan kaki kiri sedikit terangkat. Diusahakan 

untuk mengembalikan keseimbangannya. 

Berjarak delapan langkah, Demit Serigala 

telah tegak di tempatnya. Sorot matanya tajam 

berapi-api. Sementara itu, tubuh Woro Lolo me-

lonjak-lonjak akibat tempat yang bergetar. Masih 

terpengaruh ilmu aneh dari Demit Serigala, pe-

rempuan itu terus menggeliat-geliat hebat seraya 

meremas-remas payudaranya sendiri. 

"Pemuda celaka! Siapa kau adanya?!" ge-

ram Demit Serigala keras.

Raja Naga menggeram.

"Manusia busuk seperti kau tak pantas un-

tuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" serunya 

yang dalam sekali lihat saja tadi, tahu kalau pe-

rempuan setengah baya itu berada dalam penga-

ruh yang tidak wajar. 

"Setan bersisik! Kau telah mengundang 

kemarahan di dalam dadaku!!"

Demit Serigala menerjang lebih mengeri-

kan. Raja Naga sendiri sudah melesat ke depan. 

Berulang kali tangan dan kaki mereka berbentu-

ran. Berulang kali tanah bergetar dan letupan

terdengar dahsyat.

Hingga kemudian masing-masing orang 

mundur beberapa langkah, lalu menderu dengan 

kedua telapak tangan mendorong.

"Heaaaa!!"

"Mampuslah kau, Pemuda, celaka!!"

Gelombang angin yang menderu berham-

buran. Lalu....

Tap! Tap!

Telapak tangan masing-masing orang ber-

temu satu sama lain. Satu sama lain berusaha 

untuk saling menjatuhkan. Demit Serigala meng-

gereng keras, seraya menekan. Raja Naga terseret 

dua tindak, lalu menambah tenaga dalamnya.

Bertemunya telapak tangan masing-masing 

orang mengakibatkan tanah di sekitarnya ber-

hamburan ke udara. Sementara itu lambat-

lambat terlihat asap hitam keluar dari telapak 

tangan yang bertemu. Getaran tubuh keduanya 

semakin menguat.

Tiba-tiba Demit Serigala menarik mundur 

tubuhnya seraya melepaskan telapak tangannya. 

Mau tak mau Raja Naga terjerunuk ke depan. Ma-

sih beruntung dia mampu menghindari sambaran 

cakar tangan kanan Demit Serigala. Bahkan....

Des!!

Sambil meliukkan tubuhnya pemuda dari 

Lembah Naga itu berhasil menyarangkan jotosan-

nya hingga si kakek terhuyung ke belakang, yang 

segera menerjang kembali disertai gerengan kuat!

"Gila! Ilmu kakek ini sungguh mengerikan! 

Aku harus... astaga! Perempuan itu telah merobek-robek pakaian dalamnya!"

Dengan wajah tegang Raja Naga menghin-

dari serangan ganas Demit Serigala. Dalam satu 

kesempatan, kaki kanannya menjejak tanah, me-

lepaskan jurus 'Barisan Naga Penghancur Ka-

rang'. Tanah bergelombang menggebrak disertai 

letupan-letupan mengerikan.

Demit Serigala menggeram seraya mem-

buang tubuh ke samping. Masih sempat dilihat-

nya bayangan ungu melesat ke samping kiri, me-

nyambar pakaian putih yang tergeletak dan me-

nyambar tubuh perempuan yang masih mengge-

liat-geliat karena pengaruh ilmu aneh miliknya.

Blaaammmm!!

Serangan yang dilancarkan Demit Serigala 

untuk menghalangi berlalunya Raja Naga meng-

hantam sebuah pohon yang seketika hancur be-

terbangan.

"Terkutuk!!" geramnya sengit dengan napas 

terengah-engah. "Akan kuingat wujudmu, Pemu-

da bersisik! Akan kuingat!!"

Dengan gusar dijejakkan kaki kanannya di 

atas tanah. Pakaian merah compang-campingnya 

yang tergeletak di atas tanah mencelat ke arahnya 

dan... tap, tap! Dengan gerakan cepat tangan ka-

nan kirinya digerakkan, lalu berputar dua kali. 

Tatkala tegak kembali, pakaian itu sudah me-

nempel di tubuhnya.

"Huh! Bila tak ingat aku harus membunuh 

Resi Tala Kangkang, sudah kukejar pemuda cela-

ka itu!!" geramnya sengit. Di kejap lain dia sudah 

berlari ke arah barat.



LIMA


NENEK keparat! Sebenarnya kau tahu atau 

tidak di mana Istana Gerbang Merah berada?!" 

makian itu terdengar dari balik sebuah pohon, 

bersamaan terlihat sebuah keranjang melompa-

tinya. Menyusul keranjang kemudian hinggap di 

tanah sedikit bergerak-gerak, satu sosok tubuh 

berpakaian hijau yang hinggap tak jauh dari ke-

ranjang itu. 

"Manusia busuk! Jangan banyak mulut! 

Kau tinggal mengikuti apa yang kuhendaki!" maki 

si perempuan keras. Mata celongnya dingin mena-

tap keranjang di hadapannya.

Dari keranjang itu terdengar dengusan.

"Demi tumpukan emas kuikuti apa yang 

kau hendaki! Tetapi, untuk berputar-putar tak 

karuan tanpa langsung pada sasaran sungguh 

bukan yang kuharapkan!" 

"Setan! Jangan banyak mulut kataku!" ma-

ki si perempuan yang bukan lain Sekar Sengkuni. 

"Aku hanya tahu kalau istana Gerbang Merah be-

rada di barat!"

Orang di dalam keranjang yang belum per-

nah dilihat wujudnya oleh Sekar Sengkuni men-

dengus.

"Benar-benar bodoh! Apakah kau...."

Kata-katanya terputus karena mendadak 

saja muncul sepuluh orang lelaki bersenjata pa-

rang. Mereka memandang tak berkedip pada Se-

kar Sengkuni yang mengerutkan kening.

Seraya melangkah dia berkata, "Aku datang un-

tuk menjarah harta seorang kaya yang bernama 

Purna Setyo! Dan aku telah membunuhnya!"

Menegak kepala masing-masing orang 

mendengar pengakuan itu. Serentak lima orang 

menerjang ke depan dengan parang terhunus. Te-

tapi serangan itu hanya sia-sia belaka. Bahkan 

sambil terkikik Sekar Sengkuni mengirim mereka 

ke akhirat!

"Membosankan!" dengusnya. Lalu me-

layang ke depan. Gerakannya begitu ringan. Dua 

orang tewas dengan kepala pecah karena terhan-

tam tendangannya.

Tindakannya yang telengas itu tak menyu-

rutkan keberanian tiga orang lainnya yang masih 

hidup. Bahkan dengan gigih mereka berusaha 

membacokkan parang-parang di tangan. 

Satu orang terbanting dan jatuh di samp-

ing keranjang yang tak bergerak. Dia tersentak 

melihat keranjang di sampingnya bergerak-gerak. 

Belum disadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....

Prak!

Keranjang itu telah menghantam wajahnya 

hingga remuk dan tewas seketika. Sudah tentu 

kejadian itu mengejutkan dua orang lainnya yang 

masih tersisa. Yang seorang nekat menyerbu Se-

kar Sengkuni. Tendangan yang mematahkan tu-

langnya memutus nyawanya. Sementara yang 

seorang lagi sudah bergulingan dengan parang 

dikibaskan.

"Bikin tanganku kotor saja!!" geram Sekar 

Sengkuni sambil menghindar. Dan....

Prak! 

"Aaaaakkhhhh!!"

Orang itu terbanting dengan tulang paha 

patah. Sekar Sengkuni melambung ke atas, melu-

ruk dengan kedua kaki mengarah pada dada 

orang itu!

Tetapi... wuuuttt!!!

Satu bayangan merah muda telah me-

nyambar tubuh si lelaki dengan gerakan yang 

sangat cepat.

Brrollll!! 

Bersamaan tanah yang ambrol karena in-

jakan kedua kaki Sekar Sengkuni, perempuan 

berpakaian hijau itu sudah keluarkan bentakan, 

"Siapa orang yang ingin mampus?!"

Wuuutttt!!

Satu gelombang angin memburu si bayan-

gan merah muda yang berteriak kaget seraya 

memutar tubuh. 

Blaaarrr!!

Sebuah pohon patah di tengah dan jatuh 

bergemuruh. Di pihak lain si bayangan merah 

muda yang semula berniat untuk segera berlalu 

setelah menyambar tubuh si lelaki, mau tak mau 

mengurungkan niatnya. Ringan dia hinggap di 

atas tanah. Dengan ringan pula diturunkan tu-

buh lelaki yang telah disambarnya. 

"Bertahan...," desisnya pelan. Lalu diangkat 

kepalanya. Wajah cantiknya berhadapan dengan 

Sekar Sengkuni yang mendengus gusar.

"Seorang gadis bau kencur yang ingin 

mampus rupanya!"

Gadis berambut indah itu tak buka mulut. 

Matanya tajam menatap Sekar Sengkuni, 

"Pakaiannya berwarna hijau. Wajahnya 

masih jelita dengan mata yang celong ke dalam. 

Ciri-cirinya mirip seperti yang dikatakan Guru. 

Apakah memang orang ini yang harus kuketahui

keberadaannya?" desisnya dalam hati. 

Di pihak lain, Sekar Sengkuni sudah tak 

bisa menahan diri untuk menghabisi si gadis. 

Tangan kanannya terangkat dan siap melancar-

kan satu pukulan jarak jauh.

Tetapi keranjang yang sejak tadi diam di 

tanah bergerak melayang ke arahnya disertai sua-

ra, "Aku menginginkannya!"

Sementara si gadis membelalakkan ma-

tanya pada keranjang itu. Sekar Sengkuni meng-

geram.

"Buntet Kalamangsang! Sampai hari ini 

aku belum pernah melihat wujudmu! Dan tidak 

tahunya kau memiliki birahi yang kuat pula!"

"Siapa bisa tahan melihat gadis ayu bertu-

buh montok seperti dia, hah?!"

"Di mana kau akan menggelutinya? Di da-

lam keranjang busukmu itu?!"

"Itu urusanku!"

"Cepat kau lakukan! Setelah itu... bunuh 

dia! Juga bunuh lelaki keparat dari desa Karang 

Permata itu!"

Gadis jelita berpakaian merah muda yang 

bukan lain Galuh Tantri adanya mengerutkan 

kening mendengar kata-kata terakhir Sekar Sengkuni.


"Lelaki yang patah kakinya ini berasal dari 

Karang Permata? Bisa jadi kalau mereka yang te-

lah menjadi mayat itu juga berasal dari tempat 

yang sama. Astaga! Jangan-jangan... perempuan 

ini adalah orang yang membunuh Juragan Purna 

Setyo? Bisa jadi pula kalau memang dia perem-

puan yang kucari, perempuan bernama Sekar 

Sengkuni...."

Selagi si gadis membatin, keranjang yang 

berada di samping Sekar Sengkuni sudah me-

layang ke arahnya. Desiran angin deras mengarah 

padanya.

"Astaga!!" seru si gadis sambil palangkan 

kedua tangannya di depan dada. Lalu dihentak-

kan kuat-kuat disusul dengan gerakan melesat ke 

depan.

Desiran angin yang keluar dari keranjang 

itu putus di tengah jalan. Dan....

Buk! Buk!

Si gadis meliukkan tubuhnya seraya lan-

carkan jotosannya pada keranjang itu. Keranjang 

itu melayang ke belakang. Kali ini disertai keke-

han penghuninya lalu keranjang itu melayang la-

gi, lebih cepat!

"Siapa orang yang berada dalam keranjang 

itu?!" seru si gadis sambil membuang tubuh.

Tetapi lesatan keranjang itu membuatnya 

kalang kabut. Nampak kalau dia hendak melan-

carkan satu serangan yang kemudian diurung-

kannya.

"Guru berpesan kalau aku tak boleh men-

geluarkan ilmu yang kumiliki bila berhadapan

dengan perempuan berpakaian hijau bermata ce-

long. Walaupun tak mengerti mengapa Guru me-

nyuruhku bersikap demikian, tetapi... ah, aku ha-

rus tetap mematuhinya."

Karena memegang pesan gurunya itulah 

Galuh Tantri hanya berusaha menghindar dan 

sesekali melancarkan serangan balasan dengan 

jotosan dan tendangannya.

Dari keranjang itu terdengar suara terke-

keh. "Ternyata dia tidak memiliki kemampuan 

apa-apa!" Lain halnya dengan Sekar Sengkuni. 

Perempuan setengah baya ini justru mengerutkan 

keningnya. "Mustahil kalau gadis ini tidak memi-

liki kemampuan berarti! Caranya menyambar tu-

buh lelaki itu sangat luar biasa! Karena berarti 

dalam mengalahkan kecepatan seranganku tadi! 

Mustahil... mustahil dia tidak bisa berbuat apa-

apa! Atau bisa jadi... dia menyembunyikan il-

munya!"

Berpikir demikian Sekar Sengkuni berseru, 

"Walaupun dia tidak memiliki kemampuan apa-

apa, kau belum juga berhasil mengalahkannya!"

"Kau akan melihatnya, Sekar Sengkuni!!"

Bersamaan lesatan yang semakin keras 

disertai gemuruh angin yang kuat, Galuh Tantri 

berseru kaget.

"Sekar Sengkuni?" serunya dalam hati se-

raya menghindar dengan mempergunakan ilmu 

peringan tubuhnya. "Jadi benar dia orangnya 

yang bernama Sekar Sengkuni! Dan jelas dia juga 

yang telah membunuh Juragan Purna Setyo dan 

orang-orang ini! Ah, apa yang harus kulakukan

sekarang? Guru menyuruhku mengetahui apa 

yang hendak dilakukan Sekar Sengkuni, setelah 

itu aku harus kembali ke tempat asa!!"

Sementara itu Buntet Kalamangsang 

menggeram sengit karena dia belum juga mampu 

melumpuhkan si gadis. Tiba-tiba saja keranjang 

itu melayang ke belakang dan hinggap di atas ta-

nah.

Di lain kejap terdengar suara angin mende-

ru-deru seiring dengan berputarnya keranjang 

itu. Tanah berhamburan melingkar, terbang di 

sekitarnya hingga menutupi keranjang itu dari 

pandangan.

Sekar Sengkuni membatin, "Kau tak akan 

bisa menyembunyikan ilmumu lagi, Gadis! Huh! 

Aku ingin tahu murid siapakah kau sebenar-

nya...."

Di seberang Galuh Tantri memicingkan ma-

tanya. Dadanya berdebar keras. Ketegangannya 

merambat.

"Tentunya orang dalam keranjang itu se-

dang melancarkan salah satu ilmunya yang he-

bat," desahnya gelisah dalam hati. "Oh! Bagaima-

na caraku menghadapinya? Aku tak boleh menge-

luarkan ilmuku? Segera meninggalkan tempat ini 

pun tak mudah! Ah, kalau saja tadi perempuan 

itu tak menghalangiku, mungkin aku sudah ber-

lalu bersama lelaki yang patah kaki itu...."

Keranjang itu telah melesat cepat. Asap hi-

tam mengiringi lesatannya.

Sepasang mata Galuh Tantri melebar. Dia 

masih dapat menghindari ganasnya serangan keranjang itu. Tetapi dua gebrakan berikutnya, ga-

dis itu tak ubahnya seperti seekor tikus yang ma-

suk perangkap seekor kucing.

"Aku harus menyelamatkan diri!" serunya 

dalam hati.

Seraya membuang tubuhnya ke samping 

kiri, Galuh Tantri menyilangkan kedua tangannya 

di depan dada. Bersamaan bertemunya pergelan-

gan tangan kanannya dengan pergelangan tangan 

kirinya, terlihat cahaya putih berkilau berulang-

ulang, semakin lama semakin membesar. Tiba-

tiba.... 

Wwrrrrr!!

Dipadu dengan gemuruh angin yang tinggi, 

cahaya putih yang membesar itu tiba-tiba mence-

lat. Suara yang memekakkan telinga terdengar 

berulang kali.

"Heeiiiii!!" seruan itu terdengar dari mulut 

Sekar Sengkuni yang tegak dengan mata melebar.

Dilihatnya bagaimana keranjang yang me-

lesat cepat itu, tiba-tiba saja berbelok. Asap hitam 

yang mengiringinya lenyap tertelan cahaya putih 

yang keluar dari silangan kedua tangan Galuh 

Tantri. Yang lebih mengejutkan, cahaya putih itu 

seperti memiliki mata. Berbalik dan menyergap 

laksana sebuah kain lebar.

Plupp! 

Keranjang yang masih melayang itu ter-

tangkup cahaya putih. Seperti hendak menelan 

bulat-bulat, cahaya putih itu menggulung Buntet 

Kalamangsang yang masih berada dalam keranjang.


Sementara Galuh Tantri makin memu-

satkan perhatiannya untuk mengendalikan se-

rangannya, terdengar teriakan keras orang yang 

tak diketahui seperti apa rupanya itu. Cahaya pu-

tih yang menyelimuti keranjang itu bergerak-

gerak, pertanda kalau keranjang itu berusaha 

membebaskan diri.

"Terkutuk!!" makian itu memecah suara 

yang memekakkan telinga yang berasal dari ca-

haya putih. Tiba-tiba gerakan-gerakan cahaya pu-

tih itu semakin menguat.

Galuh Tantri bergetar. Kedua tangannya 

yang menyilang di depan dada terasa panas.

Tiba-tiba... plaasss!!

Keranjang itu mental lebih tinggi ke udara 

laksana sebuah bola yang memantul dari bumi. 

Kejap lain keranjang itu menderu ke arah Galuh 

Tantri. Kalau sebelumnya asap hitam hanya men-

giringi gerakannya saja, kali ini asap hitam telah 

menderu mendahului.

Blaaarrrr!!

Asap hitam itu putus di tengah jalan kare-

na terhalang oleh cahaya putih yang tiba-tiba 

menghadang. Seketika bermuncratan asap-asap 

hitam ke udara dan cahaya putih ke berbagai 

penjuru.

Masih menyilangkan kedua tangannya di 

depan dada, Galuh Tantri menggeser tubuhnya 

sedikit ke kanan. Kemudian memutar kedua tan-

gannya di atas kepala dan disentak diiringi teriakan,

"Heaaaattt!!"


Blaaamm! 

Keranjang itu terpental lebih jauh terkena 

dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di 

udara sebelum terbanting di atas tanah dan ber-

gelundung. Setelah menabrak sebuah pohon yang 

menggugurkan dedaunan, keranjang itu baru 

berhenti.

Terdengar suara orang muntah darah be-

berapa kali.

"Setan alas!" memaki Sekar Sengkuni den-

gan tubuh bergetar hebat. Kemarahannya bukan 

karena melihat Buntet Kalamangsang berhasil di-

pecundangi si gadis. Tetapi satu hal yang sangat 

akrab dengannya. "Gadis celaka! Kau telah kelua-

rkan ilmu 'Tenaga Pusat Bumi' dan 'Tenaga Pusat 

Tanah'! Kedua ilmu itu hanya dimiliki oleh manu-

sia keparat bernama Resi Tala Kangkang!!"

Seketika Galuh Tantri tersentak. Wajahnya 

menjadi tegang. 

"Celaka! Aku telah melanggar perintah 

Guru!" serunya menyadari sesuatu.

Di seberang, Sekar Sengkuni sudah men-

deru dengan jotosan tangan kanan kiri.

"Rupanya lelaki celaka itu telah mengambil 

seorang murid! Bagus! Kaulah yang akan mam-

pus lebih dulu sebelum dirinya!!"

Serangan itu semakin bertambah dekat. 

Galuh Tantri masih tertegun di tempatnya. 

Masih menyesali kalau dia telah membuka siapa 

dirinya!

Gerakan Sekar Sengkuni semakin mende-

kat. Perempuan berpakaian hijau itu tak dapat

lagi menahan amarahnya setelah mengenali ilmu 

yang dikeluarkan oleh si gadis.

Galuh Tantri sendiri seperti orang bodoh. 

Dia tak berbuat apa-apa. Dapat dipastikan kalau 

nyawanya akan putus saat itu juga.

Akan tetapi di saat yang kritis tiba-tiba saja 

satu bayangan merah telah mencelat dari samp-

ing kanan. Lengannya mengibas. Terlihat cahaya 

merah dan putih menggebrak ke arah Sekar

Sengkuni.

Perempuan setengah baya yang dilanda 

murka itu menjerit tertahan. Cepat ditarik pulang 

kedua tangannya, lalu dipalangkan dan didorong.

Blaaamm! Blaaammm!!

Cahaya merah putih yang mengandung 

hawa panas tinggi itu putus di tengah jalan. Ken-

dati berhasil memutus serangan itu, tetapi Sekar 

Sengkuni terbanting di atas tanah.

Dilihatnya bagaimana bayangan merah itu 

menyambar tubuh Galuh Tantri yang masih terte-

gun dan menyambar tubuh lelaki yang telah pa-

tah kakinya.

Sekar Sengkuni menyumpah keras seraya 

mendorong kedua tangannya. Tetapi serangannya 

itu putus di tengah jalan, terhantam cahaya me-

rah dan putih!

Di lain kejap, bayangan merah itu telah le-

nyap dari pandangan.

"Keparat busuk! Kau...," seru Sekar Seng-

kuni setelah mengenali siapa orang yang menye-

rangnya dan berlalu itu. Pelan-pelan dia berdiri. 

Dada membusungnya turun naik dengan napas

terengah-engah. Dari sela-sela bibirnya merembas 

darah segar.

Dari dalam keranjang terdengar suara, 

"Kau mengenali orang itu, Sekar Sengkuni?!"

Sekar Sengkuni terdiam dengan napas 

memburu.

"Aku tidak melihat wajahnya! Tetapi... ilmu 

'Kabut Bayangan Menembus Gelap' sangat kuke-

nali!" sahutnya penuh amarah tinggi.

"Siapa orang yang memiliki ilmu itu?"

Sekar Sengkuni tak segera buka mulut. 

Sepasang mata celongnya seperti melompat ke-

luar karena gemuruh amarah di dadanya. Lam-

bat-lambat dia mendesis dingin,

"Manusia itu adalah orang yang hendak ki-

ta bunuh! Resi Tala Kangkang!!"


ENAM


PAGI telah menghampar dengan segenap 

keindahannya. Bukit kapur yang menjulang tinggi 

itu berkilat-kilat diterpa sinar matahari. Keseju-

kan udara masih terasa. Tak jauh dari bukit ka-

pur itu berdiri kokoh sebuah bangunan berben-

tuk sebuah istana. Tembok tinggi mengeliling is-

tana itu. Di muka pintu gerbang yang tinggi itu 

berdiri dua orang lelaki gagah bertelanjang badan. 

Dan gerbang itu berwarna merah!

Di bagian tengah Istana Gerbang Merah 

yang megah, Galuh Tantri sedang duduk bersim-

puh. Di sebuah kursi indah, seorang kakek berpakaian merah sedang duduk dan sesekali terse-

nyum. Kakek berwajah teduh ini mengusap ku-

misnya yang sudah memutih. Keriput pun mulai 

menghiasi wajahnya. Rambutnya yang mulai me-

mutih pula diikat ekor kuda.

"Galuh...," panggilnya lembut. "Tak usah 

berkecil hati. Tindakan yang kau lakukan sangat 

benar. Kau memang harus mempergunakan ilmu-

ilmu yang telah kau pelajari untuk mengatasi se-

rangan orang dalam keranjang."

Gadis berpakaian merah muda itu tak 

menjawab, bahkan mengangkat kepalanya tidak 

berani. Disesalinya mengapa dia tidak menjaga 

pesan kakek berpakaian merah di hadapannya 

ini. 

"Muridku, Galuh... kau tak bersalah. Kau 

melakukan satu tindakan yang tepat...." Galuh 

Tantri tetap tak bersuara.

"Ingatkah kau akan petuahku? Bila kita 

bersalah, tidak seharusnya kita berdiam diri. Tin-

dakan yang harus kita lakukan adalah mengakui 

kesalahan itu. Tetapi yang telah kau lakukan bu-

kanlah kesalahan. Kau menyelamatkan dirimu 

sendiri...," senyum si kakek yang ternyata adalah 

Resi Tala Kangkang.

Mendengar kata-kata lembut gurunya, per-

lahan-lahan gadis berambut indah itu berani 

mengangkat kepalanya, tetapi tidak berani mena-

tap wajah gurunya

"Aku mohon maaf, Guru...."

"Hei, hei!" senyum Resi Tala Kangkang. 

"Tak ada yang salah dalam hal ini, sehingga tak

perlu ada yang meminta maaf...."

"Secara tidak langsung aku telah mem-

bongkar siapa diriku sendiri."

"Kau melakukan tindakan yang tepat. Bila 

kau tidak melakukan tindakan seperti itu, justru 

aku menyalahkanmu...."

"Aku telah melanggar pesan Guru...."

"Tidak. Kau telah menjalankan perintahku 

dengan baik. Kau telah menemukan Sekar Seng-

kuni...."

''Aku tak sengaja menemukannya, Guru...."

"Itu artinya kau tetap telah menemukan-

nya, Galuh."

"Aku... ah, aku telah bertindak bodoh, 

Guru. Kesalahanku... aku justru merasa bersalah 

hingga seperti melupakan kalau bahaya siap me-

renggut nyawaku."

"Galuh...," senyum Resi Tala Kangkang. 

"Keberanianmu membuatku kagum. Kau berani 

menjalankan perintahku. Dan sudah tentu aku 

tak bisa melepasmu begitu saja, karena aku tahu 

tugas yang kuberikan padamu sungguh berat. 

Tanpa kau ketahui aku selalu mengikutimu, Ga-

luh...."

Kepala Galuh Tantri menegak.

"Guru...."

"Ya! Sekarang... kukatakan mengapa aku 

menyuruhmu untuk mencari perempuan berna-

ma Sekar Sengkuni...."

Resi Tala Kangkang segera menceritakan 

masa lalunya, termasuk menceritakan Sekar 

Sengkuni dan Woro Lolo.

"Aku merasa pasti kalau Sekar Sengkuni, 

tetap akan mencariku, tetapi untuk membalas 

sakit hatinya...." 

"Tak seharusnya perempuan itu sakit hati, 

Guru!" seru Galuh Tantri yang kini mengetahui 

siapa sebenarnya Sekar Sengkuni.

"Kau betul. Tetapi, tidak semua orang bisa 

menerima kenyataan dan kejujuran. Termasuk 

Sekar Sengkuni."

"Lantas... apa yang hendak Guru lakukan?" 

tanya Galuh Tantri. Dia sudah tidak segelisah dan 

merasa bersalah seperti tadi.

"Dari arah yang dituju oleh Sekar Sengkuni 

dan orang dalam keranjang yang bernama Buntet 

Kalamangsang, aku yakin dalam waktu dua hari 

mereka akan tiba di Istana Gerbang Merah." Resi 

Tala Kangkang menghela napas pendek. Ingatan-

nya sesaat kembali pada masa lalunya. Sambil 

memandang muridnya dia berkata lagi, "Dapat 

kubayangkan apa yang akan terjadi bila Sekar 

Sengkuni dan Buntet Kalamangsang tiba. Untuk 

itulah... siang nanti Istana Gerbang Merah harus 

sudah kosong kecuali diriku...."

Galuh Tantri mengerutkan kening. Ma-

tanya memandang tak berkedip.

"Aku tak mengerti. apa yang Guru mak-

sudkan?" 

"Mulai hari ini... seluruh penghuni Istana 

Gerbang Merah harus menyingkir. Termasuk kau, 

Muridku...." 

"Mengapa... mengapa Guru melakukan hal 

itu?" Resi Tala Kangkang tak menjawab. Dia tersenyum. 

"Kau pasti mengerti...." 

Kemudian dia turun dart kursinya dan me-

langkah dengan kedua tangan berada di atas 

pinggul. Galuh Tantri tak berani bersuara, hanya 

berani memandang gurunya saja dari belakang.

Tepat tengah hari di atas kepala, Istana 

Gerbang Merah telah sepi. Resi Tala Kangkang 

memberikan upah yang cukup banyak bagi orang-

orang yang telah mengabdi padanya.

Dia kembali ke tempat semula dan melihat 

Galuh Tantri masih berada di sana. 

"Tempat ini hampir kosong, Galuh. Silakan 

tinggal-kan tempat ini...."

"Guru!" protes Galuh Tantri. "Bukan mak-

sudku untuk membantah perintah Guru! Tetapi... 

aku tak bisa meninggalkan Guru seorang diri di 

sini!" 

Resi Tala Kangkang tersenyum. Sambil me-

langkah mondar-mandir dia berkata, "Kau me-

mang telah bertarung dengan Buntet Kalamang-

sang dan Sekar Sengkuni. Kau dapat mengalah-

kan Buntet Kalamangsang, tetapi itu terjadi kare-

na orang dalam keranjang yang tak pernah dike-

tahui seperti apa wujudnya, memandang sebelah 

mata padamu. Itu artinya, dia dapat mengalah-

kanmu. Demikian pula dengan Sekar Sengkuni. 

Muridku... bila kau masih berada di sini, itu sama 

artinya kalau aku membiarkan kau masuk dalam 

bahaya..."

"Aku tidak peduli!" sahut gadis itu keras 

kepala.

"Galuh... sejak kutemukan kau enam belas 

tahun yang lalu di bawah sebuah pohon, seluruh 

cinta kasih dan perhatianku kucurahkan bulat-

bulat untukmu. Tak ada yang tersisa. Kalau seka-

rang aku menyuruhmu meninggalkan Istana Ger-

bang Merah, bukan karena aku tidak sayang pa-

damu. Melainkan karena aku terlalu sayang pa-

damu, Galuh. Kau mengerti maksudku?"

Galuh Tantri tak buka suara. Matanya se-

dikit berkilat-kilat.

Resi Tala Kangkang berhenti melangkah. 

Mengusap lembut rambut si gadis yang masih 

duduk bersimpuh.

"Berpuluh tahun kubangun istana ini 

hingga namanya dikenal dengan sebutan Istana-

Gerbang Merah. Berpuluh tahun aku mendiami 

tempat ini. Dan berpuluh tahun aku berusaha 

mengubur masa laluku. Mengubur kenangan ber-

sama Woro Lolo atau Mayang Kinanti yang hingga 

saat ini masih kucintai. Mengubur kenangan ber-

sama Sekar Sengkuni yang berbalik memusuhi-

ku. Dan nampaknya... tak lama lagi semua ini 

akan lenyap."

"Maksud Guru.... Istana Gerbang Merah 

akan hancur?"

"Bukan hanya akan hancur. Tetapi mung-

kin.... di sinilah aku akan terkubur...."

"Guru!" suara Galuh Tantri tersekat. Resi 

Tala Kangkang tersenyum. "Bila kau mengerti 

maksudku, tinggalkan tempat ini, Galuh...,"

Hanya itu yang dikatakan kakek bijak ber-

pakaian panjang warna merah, karena di lain saat

dia sudah melangkah meninggalkan tempat itu. 

Galuh Tantri urung berucap. Kepalanya pe-

lan-pelan tertunduk. Batinnya gelisah. Kepedihan 

sangat dirasakannya. Dia tidak tahu apa yang ha-

rus dilakukannya, tetapi dia sangat mematuhi pe-

rintah gurunya dan dia harus mematuhi perintah 

gurunya sekarang ini.

Pelan-pelan dengan kegelisahan yang kian 

merambat, gadis itu berdiri. Ditundukkan kepa-

lanya, dirangkapkan kedua tangannya di depan 

dada. "Maafkan aku, Guru...."

Lalu dia berkelebat, melewati lorong istana 

yang biasanya ramai kini hening. Tiba di halaman 

istana Gerbang Merah yang luas, keheningan me-

nerpanya kembali. 

Bahkan Galuh Tantri seolah tak merasa-

kan desiran angin.

Dua kejapan mata kemudian, dia sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

* * *

Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan 

setapak yang sepi, Raja Naga memandangi pe-

rempuan setengah baya bertahi lalat di dagu se-

belah kiri itu. Dia telah mendengar semua keja-

dian yang menimpa si perempuan, termasuk sia-

pakah kakek bongkok berpakaian merah acak-

acakan.

"Terkadang cinta tak terbalas merupakan 

bibit permusuhan yang berbuah menjadi dendam 

tiada banding. Kakek bongkok berjuluk Demit Serigala itu mencintai seorang perempuan bernama 

Sekar Sengkuni. Tetapi Sekar Sengkuni tidak 

mencintainya, karena dia mencintai Resi Tala 

Kangkang. Sementara Resi Tala Kangkang tidak 

mencintai Sekar Sengkuni karena dia mencintai 

perempuan di hadapanku ini. Astaga! Begitu ru-

mitnya perjalanan cinta di antara orang-orang 

itu,..."

Habis membatin demikian, pemuda bersi-

sik coklat pada lengan kanan kirinya berkata, 

"Woro Lolo... bila Demit Serigala hendak menuju 

ke Istana Gerbang Merah untuk membunuh Resi 

Tala Kangkang, adakah kemungkinan perempuan 

bernama Sekar Sengkuni akan melakukan hal 

yang sama?"

Perempuan jelita berbulu mata lentik itu 

tak segera menjawab. Ditatapnya pemuda berma-

ta angker di hadapannya. Lalu katanya,

"Aku tidak bisa memastikan. Seperti yang 

kukatakan, aku baru beberapa hari di tanah Ja-

wa. Kedatanganku ke sini memang untuk mencari 

Tala Kangkang yang kemudian kudengar kabar 

seseorang bernama Resi Tala Kangkang tinggal di 

Istana Gerbang Merah. Perjumpaanku dengan 

Demit Serigala membuatku bertambah yakin ka-

lau penghuni Istana Gerbang Merah memang le-

laki yang sedang kucari...."

Raja Naga tak buka mulut. Dipandanginya 

kejauhan. Ditatapnya matahari yang semakin be-

ranjak naik dari sela-sela dedaunan. Masih me-

mandang kejauhan dia berkata, "Demit Serigala 

sedang memburu Resi Tala Kangkang demi mendapatkan cinta Sekar Sengkuni. Karena selama 

Resi Tala Kangkang masih hidup, maka dia tak 

akan pernah mendapatkan cinta Sekar Sengkuni. 

Dan tidak mustahil kalau ternyata Sekar Sengku-

ni sendiri juga sedang menuju ke Istana Gerbang 

Merah...."

Woro Lolo diam-diam menarik napas pen-

dek.

"Semenjak kutinggalkan Pulau Andalas, 

yang hanya kubayangkan adalah perjumpaan 

dengan Tala Kangkang. Bukan untuk menda-

patkan urusan segala macam seperti tindakan 

Demit Serigala. Apa yang dikatakan pemuda ber-

juluk Raja Naga ini memang benar. Tak mustahil 

kalau Sekar Sengkuni mempunyai niat yang sa-

ma." 

Raja Naga berkata, "Woro Lolo... sebenar-

nya Saat ini aku sedang mencari pembunuh Ju-

ragan Purna Setyo dari desa Karang Permata. Te-

tapi, aku juga penasaran ingin mengenal Resi Ta-

la Kangkang dan Sekar Sengkuni. Apakah kau 

tahu di mana Istana Gerbang Merah berada?" 

Woro Lolo menjawab, "Secara pasti tidak. 

Dari petunjuk yang kudapatkan, kita harus me-

nuju ke arah barat. Di belakang sebuah bukit ka-

pur, Istana Gerbang Merah berada."

"Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

"Aku akan tetap menuju ke Istana Gerbang 

Merah. Kejelasan sudah kudapatkan kalau Resi 

Tala Kangkang yang mendiami Istana Gerbang 

Merah adalah orang yang kucari," suara Woro Lo-

lo tak mampu menyembunyikan rasa rindunya

yang dalam. "Di samping itu, aku juga harus 

memberitahukannya kalau bahaya sedang men-

gancamnya...."

Raja Naga tak menjawab. Dipandanginya si 

perempuan yang sedang memandang kejauhan. 

Dilihatnya kilatan rindu pada sepasang mata jer-

nihnya, kerinduan dalam yang meletup-letup 

meminta pelampiasan.

Dibiarkan saja Woro Lolo yang terbuai oleh 

kerinduannya. Untuk beberapa saat hening terja-

ga. Pagi semakin beranjak menuju siang. Burung-

burung yang sejak tadi ramai beterbangan dan 

bernyanyi, mulai berkurang.

Raja Naga mengusik lamunan Woro Lolo, 

"Kita akan segera menuju ke Istana Gerbang Me-

rah. Hanya saja, aku akan tetap melacak si pem-

bunuh Juragan Purna Setyo."

Woro Lolo melirik.

"Anak muda... aku masih ingin berada di 

tempat ini. Apakah kau tidak memahami getar pe-

rasaan gelisah, bingung, dan juga rindu yang ber-

gelora di dadaku?" 

Murid Dewa Naga itu cuma tersenyum.

"Aku sangat memahaminya. Karena... aku 

juga pernah mengalami saat-saat seperti itu...." 

Woro Lolo hendak bertanya lebih lanjut, te-

tapi anak muda berompi ungu itu sudah berlari 

meninggalkannya.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Raja 

Naga...," desis Woro Lolo sepeninggal Raja Naga.

Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi 

bila pemuda bersisik coklat pada lengan kanan

kirinya sebatas siku itu tidak muncul. Kehorma-

tan dan harga dirinya akan tercabik-cabik! Hanya 

matilah jalan satu-satunya untuk melepas aib itu!

Bahkan tanpa disadarinya, saat Raja Naga 

mencoba menyadarkannya dari pengaruh ilmu 

aneh milik Demit Serigala, Woro Lolo berulang 

kali merangkul pemuda itu dengan geliatan-

geliatan tubuh penuh rangsangan. Mulutnya be-

rulang-ulang mendesiskan sesuatu yang mampu 

membuat gairah seorang lelaki bergelora. 

Raja Naga sendiri sempat beberapa kali 

terpana melihat sesuatu yang jarang dilihatnya. 

Tetapi dikuatkan hatinya untuk tidak terpenga-

ruh pada yang dilihatnya. Bahkan akan disesa-

linya bila dia tak dapat menyembuhkan Woro Lolo 

dari pengaruh ilmu busuk Demit Serigala.

Dengan mempergunakan Gumpalan Daun 

Lontar warisan dari mendiang ayahnya, Raja Naga 

berhasil memunahkan pengaruh jahat ilmu Demit 

Serigala pada Woro Lolo. Sementara itu, Woro Lo-

lo sendiri tidak tahu bagaimana caranya pemuda 

berkuncir kuda bermata angker itu mengoba-

tinya.

Dalam keadaan yang tidak wajar, Woro Lo-

lo hanya merasakan kalau dia diminumkan sesu-

atu oleh Raja Naga.

Perempuan berpakaian putih ini menarik 

napas pendek. Sorot matanya sarat kerinduan 

tinggi. Kegundahan tiba-tiba dirasakannya ketika 

die berpikir, "Apakah Tala Kangkang masih men-

gingatku?"

Untuk beberapa lamanya perempuan jelita

dari Pulau Andalas ini masih berdiri di tempat-

nya. Matanya sesekali menatap ke kejauhan. Di-

buang segenap kegelisahan yang ada di dadanya. 

Lima belas tarikan napas kemudian, Woro Lolo 

alias Mayang Kinanti segera meninggalkan tempat 

itu.


TUJUH


KETIKA senja tiba, pemuda dari Lembah 

Naga itu menghentikan larinya di sebuah jalan 

yang lengang. Diperhatikan sekelilingnya yang di-

penuhi pepohonan. 

Tiba-tiba matanya yang tajam menangkap 

satu bayangan merah muda datang dari arah ba-

rat. Dari gerakan yang dilakukan oleh bayangan 

itu yang semakin lama kelihatan siapa adanya, 

nampaknya dia tak terlalu memperhatikan sekeli-

lingnya. Bahkan tak dilihatnya Raja Naga padahal 

orang itu melintas hanya berjarak dua belas lang-

kah di hadapan Raja Naga.

Tetapi pemuda dari Lembah Naga ini meli-

hat siapa adanya orang itu.

"Galuh Tantri...," desisnya dalam hati. "Dia 

datang dari arah barat. Dan cukup aneh kalau 

gadis yang biasanya sigap dan tangkas itu berlalu 

begitu saja tanpa melihat kehadiranku di sini. 

Hemm... apakah telah terjadi sesuatu?"

Habis berpikir demikian, Boma Paksi su-

dah bergerak cepat menyusul gadis jelita berpa-

kaian merah muda.

Dalam waktu singkat saja dia sudah dapat 

memperpendek jaraknya dengan Galuh Tantri.

"Dugaanku benar, nampaknya telah terjadi 

sesuatu. Sepertinya dia berlari hanya mengikuti 

kedua langkahnya saja, tanpa tahu harus berlari 

ke mana...." 

Lalu... hup!

Dengan satu lompatan kecil Raja Naga te-

lah menjajari langkah gadis yang memang Galuh 

Tantri adanya. Gadis berambut indah itu sejenak 

terkejut begitu melihat seseorang di samping ka-

nannya. Tapi di saat lain dia sudah mendengus.

"Kau?!" serunya sambil berhenti berlari.

Raja Naga nyengir. "Ya, aku!"

"Mengapa kau berada di sini, hah?!"

"Astaga! Justru aku yang hendak bertanya 

demikian padamu!"

"Kau tak perlu banyak tahu!"

Pemuda berompi ungu itu cuma mengang-

kat kedua bahunya. Hanya sekali lihat saja Boma 

Paksi tahu kalau gadis jelita ini dalam keadaan 

gundah. Wajah jelitanya sedikit tegang. Sorot ma-

tanya beriak-riak, laksana getaran air di sebuah 

danau bening.

Raja Naga buru-buru tersenyum ketika me-

lihat sepasang bibir mungil indah itu hendak ke-

luarkan bentakan, "Kebetulan aku berjumpa den-

ganmu di sini...."

Gadis itu memandang curiga. Apa yang di-

alaminya belum lama ini membuatnya menjadi 

sedikit lebih pemarah.

"Apa maksudmu dengan kebetulan ber

jumpa denganku di sini?" suaranya menyelidik.

Raja Naga tersenyum.

"Aku sedang menuju ke arah barat, semen-

tara kau datang dari arah barat. Bukankah ini 

menunjukkan satu kebetulan?"

"Jangan banyak mulut!" bentak Galuh Tan-

tri gusar. Saat ini dia ingin menyendiri, mem-

buang segala gundah yang ada di hatinya. Apa 

yang dikatakan gurunya, Resi Tala Kangkang tak 

pernah bisa membuatnya tenang. Dan dia telah 

meninggalkan Istana Gerbang Merah, berarti me-

ninggalkan gurunya untuk menghadapi tindakan 

busuk dari Sekar Sengkuni dan Buntet Kala-

mangsang yang diperkirakan tak lama lagi akan 

tiba di sana. 

"Hemmm... aku bertambah yakin kalau be-

lum lama ini dia tengah mengalami hal-hal yang 

membuatnya sedih, gelisah, dan tak tahu harus 

berbuat apa," kata pemuda berompi ungu dalam 

hati sambil melirik si gadis. Lalu pelan-pelan dia 

berucap, "Aku hendak menuju ke Istana Gerbang 

Merah. Apakah kau mengetahui di mana tempat 

itu?"

Kepala Galuh Tantri menegak. Keningnya 

dikerutkan dengan mata tak berkedip pada pe-

muda di hadapannya yang juga sedang menatap-

nya. Lambat-lambat sorot matanya yang tadi pe-

nuh kesedihan berubah berkilat-kilat.

Raja Naga menangkapnya sebagai kilatan 

berbahaya!

"Mengapa kau hendak menuju ke Istana 

Gerbang Merah?" Galuh Tantri berseru dingin.

Tangan kanan kirinya mengepal keras. Tatapan-

nya tak berkedip. Kejadian yang dialaminya be-

lum lama ini justru membuatnya mudah curiga. 

Saat ini dia tahu kalau Sekar Sengkuni dan Bun-

tet Kalamangsang akan datang ke Istana Gerbang 

Merah untuk membunuh gurunya. Dan sekarang, 

pemuda yang dikenalnya bernama Boma Paksi ini 

menanyakan hal yang sama. "Bisa jadi kalau pe-

muda ini bermaksud buruk," kata batin Galuh 

Tantri.

Menangkap suara yang menjadi dingin dan 

gusar serta tatapan mengandung sorot berba-

haya, Raja Naga hanya tersenyum saja. Justru 

perubahan cepat yang terjadi pada gadis di hada-

pannya ini semakin memancing rasa penasaran-

nya, sekaligus membuktikan dugaannya kalau 

gadis ini sedang mengalami satu persoalan yang 

sukar dicari pemecahannya.

Boma Paksi menjawab, "Aku hanya ingin 

tahu, apakah Resi Tala Kangkang memang tinggal 

di Istana Gerbang Merah...."

"Mengapa kau ingin tahu soal itu, hah?! 

Ada urusan apa kau dengan Resi Tala Kang-

kang?!"

"Suaranya semakin keras. Tubuhnya mulai 

bergetar. Matanya semakin berbahaya. Hmmm... 

aku menangkap gelagat yang tidak enak. Tetapi, 

mengapa dia nampak begitu gusar ketika kuta-

nyakan tentang Istana Gerbang Merah dan Resi 

Tala Kangkang? Apakah dia punya hubungan 

dengan penghuni istana Gerbang Merah itu?"

"Pemuda bersisik!" menggelegar suara Ga

luh Tantri sementara kaki kanannya digeser sedi-

kit ke samping. "Apakah kau tiba-tiba tuli?!"

Raja Naga lagi-lagi hanya tersenyum.

"Galuh... mengapa kau menjadi pemberang 

seperti ini? Bila kau memang membutuhkan seo-

rang teman untuk berbicara, aku bersedia mela-

kukannya…"

"Kau belum jawab pertanyaanku, hah?!"

Raja Naga tak segera buka mulut. Tiba-tiba 

dirasakan satu tenaga seperti telah menameng-

kan diri Galuh Tantri.

"Astaga! Dia telah mengalirkan tenaga da-

lamnya, pertanda benar-benar dalam kedudukan 

siap menyerang! Hemmm… aku harus segera 

menjelaskan masalah ini biar tak jadi salah du-

ga…" kata pemuda berompi ungu ini dalam hati 

dan segera berkata, "Galuh… aku sama sekali ti-

dak tahu di mana Istana Gerbang Merah berada 

dan siapa Resi Tala Kangkang. Semua itu kuden-

gar dari seorang perempuan setengah baya ber-

nama Woro Lolo yang berasal dari Pulau Andalas. 

Secara tak sengaja aku telah menyelamatkan Wo-

ro Lolo dari bahaya yang akan dilakukan manusia 

busuk berjuluk Demit Serigala, yang ternyata 

adalah orang yang mencintai seorang perempuan 

bernama Sekar Sengkuni."

Raja Naga melihat kening Galuh Tantri 

berkerut. Dilanjutkan lagi kata-katanya, "Karena 

cintanya ditolak Sekar Sengkuni, Demit Serigala 

memutuskan untuk membunuh Resi Tala Kang-

kang yang hingga saat ini masih dicintai Sekar 

Sengkuni. Menurut Woro Lolo pula, dia sedikit

mendapat petunjuk di mana Resi Tala Kangkang 

berada. Di Istana Gerbang Merah. O ya… aku ti-

dak tahu, apakah Sekar Sengkuni yang mencintai 

Resi Tala Kangkang ini, sama dengan Sekar 

Sengkuni yang telah kau duga sebagai pembunuh 

Juragan Purna Setyo…"

Galuh Tantri tak buka mulut. Sorot ma-

tanya masih berkilat penuh bahaya.

Raja Naga berkata lagi, "Sebelum aku dan 

Woro Lolo berpisah, kami sama-sama memikirkan 

satu kemungkinan tentang Sekar Sengkuni. 

Hingga saat ini sebenarnya aku belum dapat 

mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi,

kendati telah kudengar dari mulut Woro Lolo, pe-

rempuan dari Pulau Andalas yang dicintai dan 

sangat mencintai Resi Tala Kangkang."

"Kemungkinan apa yang kau pikirkan ten-

tang Sekar Sengkuni?" walau sikapnya tidak sete-

gang tadi, tetapi suara Galuh Tantri tetap dingin.

"Aku dan Woro Lolo sama-sama menduga 

kalau Sekar Sengkuni akan datang ke Istana Ger-

bang Merah untuk menuntaskan sakit hatinya 

pada Resi Tala Kangkang."

"Apakah kebenaran ucapanmu itu dapat 

dipercaya?"

"Ucapan yang mana?"

"Tentang perempuan setengah baya ber-

nama Woro Lolo dan manusia busuk berjuluk 

Demit Serigala?"

Mendengar pertanyaan itu pemuda dari 

Lembah Naga justru membungkam. Matanya me-

nyelidik pada Galuh Tantri. Setelah beberapa

saat, lambat-lambat terdengar ucapannya, "Men-

gapa kau hanya menanyakan tentang Woro Lolo 

dan Demit Serigala? Mengapa kau tak menanya-

kan tentang Sekar Sengkuni?"

Galuh Tantri menarik napas pendek. Selu-

ruh ketegangannya menurun. Raja Naga tak lagi 

merasakan adanya getaran tenaga dalam yang 

menamengi seluruh tubuh si gadis.

Sebelum gadis itu menjawab, Raja Naga 

sudah mendahului. "Galuh... kau sebenarnya 

mengetahui di mana istana Gerbang Merah dan 

penghuninya yang bernama Resi Tala Kangkang 

berada. Bahkan aku menduga kalau kau punya 

hubungan erat dengannya. Pertanyaanmu yang 

seolah melupakan Sekar Sengkuni, semakin 

memperkuat dugaanku. Kalau kau juga mengenal 

siapa Sekar Sengkuni. Dan aku merasa yakin, ka-

lau Sekar Sengkuni yang sedang kita bicarakan 

ini, adalah Sekar Sengkuni yang kau duga seba-

gai pembunuh Juragan Purna Setyo. Galuh... be-

narkah apa yang kukatakan ini?"

Gadis jelita berambut indah itu tak menja-

wab. Justru pelan-pelan ditundukkan kepalanya. 

Raja Naga mendengar gadis berpakaian merah 

muda itu berulangkali menarik dan menghem-

buskan napas. Seolah membuang sebagian beban 

yang menyarati dadanya.

Dibiarkan saja gadis itu bersikap demikian. 

Lambat-lambat kepala gadis itu terangkat. Ma-

tanya memandang biasan senja di kejauhan, me-

natap bayangan beberapa ekor burung yang ter-

bang bermandikan sinar matahari senja.

Tanpa menoleh pada Raja Naga, Galuh 

Tantri berkata, "Semua yang kau duga itu benar, 

Boma.... Benar sekali. Bahkan aku tahu, kalau 

Sekar Sengkuni siap membunuh Resi Tala Kang-

kang bersama seorang temannya yang entah se-

perti apa rupanya yang bernama Buntet Kala-

mangsang...."

Raja Naga ingin bertanya tentang orang 

yang disebutkan terakhir oleh si gadis, tetapi per-

tanyaan lain yang lebih penting segera diutara-

kan, "Galuh... siapakah Resi Tala Kangkang sebe-

narnya?"

Galuh Tantri memutar kepalanya, menatap 

pemuda di hadapannya. 

"Dia... dia... adalah guruku...."

Raja Naga cuma mendesah pendek.

"Ah, kini aku bisa meraba semuanya. Resi 

Tala Kangkang menyuruh muridnya untuk me-

nyelidiki keberadaan Sekar Sengkuni karena dia 

yakin kalau perempuan itu akan menuntut balas. 

Kalaupun sebelumnya Galuh Tantri tak pernah 

mengenal Sekar Sengkuni, adalah sebuah kejuju-

ran. Bila dia sekarang mengetahui kalau Sekar 

Sengkuni bersama dengan temannya yang ber-

nama Buntet Kalamangsang sedang menuju ke Is-

tana Gerbang Merah, itu artinya dia pernah ber-

jumpa dengan kedua orang itu...." 

Setelah terdiam beberapa saat Raja Naga 

melontarkan jalan pikirannya yang segera diiya-

kan oleh Galuh Tantri. Gadis itu menceritakan 

kalau dia telah bertarung dengan Sekar Sengkuni 

dan Buntet Kalamangsang, bahkan secara tak

sengaja membuat Sekar Sengkuni mengetahui 

siapa dirinya dari jurus-jurus yang diperguna-

kannya untuk menghadapi Buntet Kalamangsang.

"Aku tak mengerti dengan jalan pikiran 

Guru," katanya kemudian sambil memandang 

pemuda berkuncir di hadapannya. "Setelah Guru 

menyelamatkanku dan kembali ke Istana Gerbang 

Merah, dia justru menyuruhku untuk meninggal-

kan Istana Gerbang Merah. Seluruh penghuni 

yang berlainan tempat pun telah meninggalkan is-

tana atas perintah Guru, termasuk lelaki dari de-

sa Karang Permata yang patah kakinya..."

Boma Paksi menarik napas pendek. Tanpa 

sadar ingatannya kembali ke Lembah Naga, di 

mana selama dua belas tahun dia digembleng 

oleh seorang tokoh sakti berjuluk Dewa Naga, 

yang dengan enaknya menyuruhnya meninggal-

kan Lembah Naga setelah dianggap telah mengu-

asai seluruh ilmu yang diberikan Dewa Naga (ba-

ca : "Tapak Dewa Naga").

Tiba-tiba ia mendengus ketika ingat akan 

sifat gurunya yang angin-angin. Bahkan selalu 

buang angin betulan semau jidat saja, di mana 

saja dan di hadapan siapa saja!

Dengusan itu membuat Galuh Tantri men-

gerutkan keningnya.

"Mengapa, Boma? Apakah kau anggap aku 

tak pantas untuk menolak perintah Guru itu?"

Raja Naga buru-buru tersenyum.

"Kau pantas melakukannya. Tetapi sebagai 

seorang murid yang menjunjung tinggi perintah 

gurunya, kau harus mematuhi perintah itu," sahutnya sambil menepiskan sehelai daun kering 

yang jatuh di bahu kanannya.

"Aku tak bisa melakukan hal itu sebenar-

nya! Dengan kata lain, aku membiarkan Guru 

menghadapi masalahnya seorang diri!"

"Resi Tala Kangkang tentunya telah memi-

kirkan semua ini sebaik-baiknya, Galuh. Gurumu 

tak mungkin tidak memikirkan ke depan, memi-

kirkan apa yang akan dialaminya...."

"Aku memahami apa yang kau maksudkan, 

Boma. Akan tetapi, tetap saja itu artinya aku 

membiarkan Guru menghadapi maut. Dua orang 

tokoh sesat tak lama lagi akan muncul di hada-

pan Guru, juga seorang tokoh yang berjuluk De-

mit Serigala. Bisakah kau bayangkan Boma, pera-

saan apa yang bergetar di dadaku membayangkan

Guru harus menghadapi tiga orang sesat itu seka-

ligus?"

Boma Paksi tak menjawab. Dimaklumi apa 

yang dirasakan Galuh Tantri. Memang sangat su-

kar menentukan pilihan terbaik di saat seperti ini. 

Akan tetapi, biar bagaimanapun juga, mematuhi 

perintah seorang Guru adalah sebuah tindakan 

bijak, keputusan tepat yang harus diambil.

Galuh Tantri berkata lagi, suaranya agak 

tersendat, "Guru mengatakan, mungkin Istana 

Gerbang Merah akan menjadi kuburannya. Bo-

ma... bayangkan, bayangkan apa yang kurasa-

kan? Aku seolah hanya menikmati apa yang me-

nyenangkan saja, tetapi langsung kabur sipat 

kuping bila ada masalah yang tidak menyenang-

kan! Aku tidak menginginkan seperti itu! Aku ingin membantu Guru!"

Raja Naga menarik napas pendek. Dipan-

danginya Galuh Tantri yang terdiam dengan na-

pas sedikit memburu. Sedikit banyaknya dibenar-

kan apa yang diinginkan Galuh Tantri. Di pihak 

lain, dia juga tidak bisa menyalahkan sikap Resi 

Tala Kangkang yang tak mau muridnya menerima 

akibat dari masa lalunya.

Pelan-pelan pemuda tampan dari Lembah 

Naga ini maju dua tindak. Dipegangnya kedua 

bahu si gadis yang berlahan-lahan mengangkat 

kepalanya untuk membalas menatapnya.

"Mungkin, apa yang akan kusulkan ini se-

suatu yang lebih baik…" katanya lembut.

"Apa…. Apa yang hendak kau usulkan, 

Boma? "

"Kau telah meninggalkan Istana Gerbang 

Merah, itu artinya kau tetap mematuhi perintah 

gurumu. Dan sekarang, aku yang mengajakmu ke 

Istana Gerbang Merah."

Kedua mata Galuh Tantri melebar cerah.

"Maksudmu… ah, ya, ya… dengan begitu, 

aku tidak melanggar perintah Guru, karena aku 

telah meninggalkan Istana Gerbang Merah sebe-

lumnya. Bukankah begitu maksudmu, Boma?"

"Kau gadis yang cerdik"

"Oh! Terima kasih, Boma! Terima kasih!" 

seru Galuh Tantri. Dan karena gembiranya men-

dapatkan cara yang sama sekali tidak melanggar 

perintah gurunya, si gadis merangkul pemuda di 

hadapannya yang sejenak tergagap tetapi kemu-

dian mendiamkan saja.

Rangkulan itu begitu erat, hingga akhirnya 

Raja Naga sedikit terbawa arus masa lalunya.

"Andaikata.. Diah Harum yang saat ini me-

rangkul ku… terasa akan lebih menyenangkan…" 

desisnya dalam hati. Diah Harum atau yang ber-

juluk Dewi Bunga Mawar, adalah gadis pertama 

yang dicintai Boma Paksi. Sayangnya, gadis itu 

akhirnya telah tewas. (Untuk mengetahui siapa 

Diah Harum, silakan baca : "Kutukan Manusia 

Sekarat" dan "Misteri Menara Berkabut". Dan un-

tuk mengetahui tewasnya Diah Harum, silakan 

teman-teman pembaca membaca episode: "Ratu 

Tanah Terbuang")

Sementara itu Galuh Tantri tiba-tiba mele-

paskan rangkulannya. Dipandanginya sejenak 

pemuda tampan yang sedang tersenyum. Rasa 

malu membiasi wajah Galuh Tantri yang seketika 

bersemu merah.

"Boma…," desisnya menahan malu. "Aku… 

aku…"

"Bila tak ada yang hendak dibicarakan lagi, 

kita berangkat sekarang ke Istana Gerbang Me-

rah…" kata Boma Paksi yang tidak ingin si gadis 

bertambah malu.

Galuh Tantri buru-buru mengangguk. Di-

biarkan pemuda berompi ungu itu mendahu-

luinya. Sejenak dipandanginya pemuda gagah itu 

dari belakang. Biasan malunya tiba-tiba lenyap, 

berganti dengan dada yang bergemuruh.

"Ah… mengapa aku melakukan hal itu? " 

desisnya. "Apakah karena aku merasa gembira 

atas usulnya… atau karena…"

Galuh Tantri tak mau meneruskan desi-

sannya. Kejap berikutnya buru-buru dia menyu-

sul pemuda berkuncir kuda itu.


DELAPAN


PAGI masih buta, butiran embun masih 

menggayut di pepohonan, udara masih sangat 

dingin tatkala bentakan membahana itu terden-

gar, "Tala Kangkang! Jangan menjadi tikus busuk 

yang hanya mendekam di istanamu yang bagus 

ini! Keluar kau!!"

Di ruang tengah Istana Gerbang Merah, 

kakek berpakaian merah mengangkat kepalanya 

sejenak.

"Dia telah datang...," desisnya pelan seraya 

mengusap kumis putihnya.

Di luar seruan yang mengalahkan petir di 

siang bolong menggema lagi, "Keluar kau! Atau... 

kuhancurkan Istana ini sekarang juga!"

Menyusul bentakan itu terdengar suara le-

tupan keras,

Brooollll!!

Batu-batu dinding bagian depan Istana 

Gerbang Merah berpentalan terhantam dorongan 

tangan kanan orang yang berseru.

"Sekar Sengkuni! Gerbang istana ini terbu-

ka! Hanya ada dua arti dari terbukanya gerbang 

itu!"

Sekar Sengkuni melirik tajam pada keran-

jang yang berada tak jauh darinya.

"Apa maksudmu?!" bentaknya sengit.

Dari dalam keranjang terdengar dengusan 

keras,

"Pertama, Resi Tala Kangkang memang 

mengetahui kita datang dan membiarkan gerbang 

ini terbuka untuk kita masuk! Kedua, dia telah 

menyiapkan sebuah jebakan!"

"Aku telah lama mengenal Tala Kangkang! 

Dia tak akan mungkin melakukan tindakan pen-

gecut!"

"Melarikan diri setelah menyelamatkan mu-

ridnya dan lelaki yang patah kakinya, apakah bu-

kan tindakan pengecut?" maki orang dalam ke-

ranjang.

"Buntet Kalamangsang! Kau belum menge-

nai dia!"

"Astaga!" keranjang itu bergoyang-goyang 

sesaat. "Sekar Sengkuni, kau ingin membunuh-

nya, atau mengajakku untuk mengenalnya lebih 

dekat?!"

Ucapan orang yang tidak diketahui seperti 

apa rupanya itu membuat Sekar Sengkuni men-

gertakkan rahangnya. 

"Terkutuk!" geramnya seraya melangkah 

memasuki pintu gerbang berwarna merah yang 

terbuka. Di belakangnya, keranjang itu melom-

pat-lompat mengikutinya.

Berjarak lima belas langkah dari pintu ma-

suk ke dalam istana Gerbang Merah, Sekar Seng-

kuni menghentikan langkahnya bersamaan satu 

sosok berpakaian merah muncul dari dalam.

Untuk beberapa saat perempuan setengah

baya berpakaian hijau ini terdiam tak berkedip. 

Napasnya memburu. Getaran di dadanya memacu 

amarahnya, tetapi juga memacu kerinduan yang 

telah lama dipendam. 

Resi Tala Kangkang mengembangkan se-

nyum.

"Selamat datang di kediamanku ini, Sekar 

Sengkuni...," sapanya ramah. 

Sekar Sengkuni masih terdiam. Seolah 

meyakinkan diri kalau lelaki itu memang lelaki 

yang pernah dan masih dicintainya.

Justru Buntet Kalamangsang yang menjadi 

geram.

"Perempuan celaka! Manusia yang telah 

menyakitimu telah berdiri di hadapanmu! Menga-

pa kau bersikap seperti kambing dungu, hah?!"

Bentakan itu menyadarkan Sekar Sengkuni 

dari tujuannya semula. Saat itu juga kemarahan-

nya muncul lagi. Kebenciannya menggebu-gebu 

kendati dia harus susah payah menindih kerin-

duan yang datang di hatinya. 

"Hampir tiga puluh tahun lewat tak jumpa, 

ternyata kau masih tetap gagah, Tala Kangkang!"

Sementara dari dalam keranjang terdengar 

dengusan, Resi Tala Kangkang tersenyum. Seraya 

melangkah dia berkata, "Kau pun tak berbeda 

jauh dari tiga puluh tahun yang lalu, Sekar Seng-

kuni!"

Sekar Sengkuni terdiam. Dadanya berde-

bar.

"Gila! Mengapa aku jadi gagap begini? Uca-

pannya tadi... ah, dia seperti tetap mengin

gatku...."

Selagi Sekar Sengkuni membatin begitu, 

Buntet Kalamangsang menggeram, "Perempuan 

celaka! Mengapa harus membuang waktu lagi? Ki-

ta bunuh manusia satu itu!"

Kembali amarah Sekar Sengkuni beranjak 

naik.

"Berhenti di sana!" bentaknya. Setelah Resi 

Tala Kangkang berhenti dia membentak lagi, "Aku 

datang untuk mencabut nyawamu, Tala Kang-

kang!"

"Meskipun aku telah menduga demikian, 

tetapi aku merasa heran mengapa kau begitu 

bernafsu menginginkan nyawaku!"

"Tiga puluh tahun lewat kau telah menya-

kiti hatiku! Dan rasa sakit hatiku itu telah ber-

buah dendam, baru akan padam setelah meli-

hatmu mampus!"

"Terkutuk!" desis Buntet Kalamangsang. 

"Mengapa dia masih banyak bicara? Kalau begi-

tu...."

Memutus kata batinnya sendiri dan sebe-

lum Resi Tala Kangkang menjawab, Buntet Kala-

mangsang telah melesat cepat. Gemuruh angin 

mendahului lesatan keranjang anyaman kayu la-

pis itu, di belakangnya mengikuti asap hitam 

yang pekat.

Sekar Sengkuni terkesiap melihat tindakan 

yang dilakukan Buntet Kalamangsang. Di sebe-

rang, Resi Tala Kangkang hanya memperhatikan 

saja lesatan keranjang yang mengarah pada dadanya.


Di saat lain, dia sudah menghindar dengan 

gerakan yang sukar diikuti mata.

Brrooolll!!!

Keranjang itu menghantam dinding di 

samping kanan pintu utama yang berpentalan ke 

dalam. Begitu menghantam dinding, keranjang itu 

sudah melesat, memburu ke arah Resi Tala Kang-

kang.

Kali ini kakek berpakaian merah tak 

menghindar seperti tadi. Kaki kanannya dis-

urutkan ke belakang, lalu dengan tangan ditekuk 

disongsongnya keranjang itu.

Plak!

Keranjang itu terpental dan membalik lagi. 

Di pihak lain Resi Tala Kangkang mundur dua 

tindak seraya menyilangkan kedua tangannya di 

depan dada. Kejap lain diputar kedua tangannya 

di atas kepala lalu dihentakkan. 

Blaaamm! 

Keranjang itu terpental lebih jauh terkena 

dorongan tenaga tak nampak, melayang-layang di 

udara. Terdengar suara membentak keras, me-

nyusul keranjang itu hinggap di atas tanah yang 

segera berhamburan.

"Perempuan celaka! Kau ingin melihatku 

mampus, hah?!" geramnya sengit.

Seperti disadarkan, Sekar Sengkuni meng-

geram sengit. Dia sudah menggebrak cepat dis-

usul Buntet Kalamangsang.

Resi Tala Kangkang menarik napas pan-

jang.

"Rasanya hal ini memang tak bisa dielak

kan lagi. Aku harus menyelamatkan diri."

Seraya menghindari dua serangan yang da-

tang susul menyusul, Resi tala Kangkang mengi-

baskan tangan kanan kirinya. Dari tangan ka-

nannya mencelat cahaya merah sementara dari 

tangan kirinya mencelat cahaya putih. 

Dengan ilmu 'Kabut Bayangan Menembus 

Gelap' Resi Tala Kangkang berhasil memukul 

mundur kedua lawannya. Tetapi di saat lain, Se-

kar Sengkuni sudah melesat disertai teriakan,

"Ilmu 'Kabut Bayangan Menembus Gelap' 

hanya akan menjadi sebuah nama belaka!!"

Masih melesat tiba-tiba saja tubuhnya ber-

balik dengan kepala di bawah. Kedua kakinya te-

rentang cepat dan memutar laksana baling-baling 

kapal berkecepatan tinggi.

Segera berhamburan gelombang angin 

yang perdengarkan suara bergemuruh. Tanah di 

sekitar Istana Gerbang Merah berhamburan. Pe-

pohonan yang tumbuh di sana tumbang dan ter-

pental menabrak dinding yang seketika roboh. 

Jendela-jendela Istana Gerbang Merah hancur be-

rantakan.

Resi Tala Kangkang tercekat begitu melihat 

cahaya merah dan putih yang keluar dari tangan 

kanan kirinya terhantam dan berbalik menderu 

ke arahnya.

"Astaga!!" serunya terkejut seraya bergulin-

gan.

Blaaam! Blaaammm!

Cahaya merah dan putih itu menabrak 

dinding istana hingga jebol dan bergetar. Belum

lagi si kakek berdiri, keranjang diiringi asap hitam 

sudah melesat ke arahnya. Resi Tala Kangkang 

masih berhasil memukul keranjang itu hingga 

terpental, tetapi dia harus cepat menghindari 

hamburan angin dahsyat yang keluar dari puta-

ran kaki Sekar Sengkuni seperti kepalanya tak 

menyentuh tanah.

"Luar biasa! Rupanya selama bertahun-

tahun ini Sekar Sengkuni telah menciptakan ju-

rus yang luar biasa untuk menandingi ilmu 

'Kabut Bayangan Menembus Gelap'," desisnya 

dengan napas memburu.

Keringat sudah membanjiri sekujur tubuh-

nya. Paras si kakek menjadi tegang. Sekar Seng-

kuni yang dilanda kemarahan tinggi terus mence-

car, sementara Buntet Kalamangsang hanya ter-

diam di dalam keranjangnya. Dia muntah darah 

akibat dorongan kedua tangan Resi Tala Kang-

kang.

Tetapi apa yang dilihatnya kemudian mem-

buatnya geram. Karena Sekar Sengkuni seperti 

sengaja menurunkan kecepatan menyerangnya. 

Terlihat dari gelombang angin yang tidak sedah-

syat sebelumnya.

"Terkutuk! Rupanya dia memang masih 

mencintai Tala Kangkang! Terbukti dia menurun-

kan daya serangannya! Ini tak boleh terjadi! Tak 

boleh terjadi!!" dengus Buntet Kalamangsang lalu 

berseru keras, "Sekar Sengkuni! Bila kau memang 

berniat untuk membunuhnya, putuskan segala 

apa yang kau rasakan! Hilangkan masa lalumu 

kalau kau pernah mencintainya! Dia adalah musuh besarmu yang telah menyakiti hatimu!!"

Sekar Sengkuni yang masih dalam kedu-

dukan kepala di bawah menggeram sengit.

"Keparat! Apa yang telah kulakukan?" de-

sisnya gusar pada dirinya sendiri. "Manusia cela-

ka itu harus mampus! Harus mampus!!"

"Perempuan bodoh!"' maki Buntet Kala-

mangsang lebih keras. "Tindakanmu itu justru 

akan mencelakakanmu sendiri!" 

"Diaaamm!!" bentak Sekar Sengkuni geram.

Kejap lain serangannya sudah sedahsyat 

sebelumnya. Resi Tala Kangkang masih terus ber-

lompatan menghindari serbuan gelombang angin 

raksasa yang mengerikan.

Bagian kiri Istana Gerbang Merah sudah 

porak poranda. Di bagian tengah terdengar suara 

atap ambruk.

"Celaka! Aku harus bertahan!" serunya. 

Tetapi tiba-tiba... dess!!

Resi Tala Kangkang terpental ke depan 

tatkala satu jotosan menghantam punggungnya. 

Dia sempoyongan tanpa dapat mengendalikan ke-

seimbangannya.

Sekar Sengkuni yang semakin gila dengan 

serangannya tiba-tiba saja menghentikan seran-

gannya, sehingga Resi Tala Kangkang urung ter-

kena sambaran gelombang angin memutar yang 

keluar dari kedua kakinya. Bersamaan dia tegak 

kembali di atas tanah, mulutnya membentak, 

"Kakek keparat! Mengapa kau ikut campur uru-

sanku, hah?!" 

Berjarak dua puluh langkah dari tempat


nya, Demit Serigala menyeringai. Dialah yang tadi 

membokong punggung Resi Tala Kangkang. 

"Kekasihku... aku tahu, kau tak akan per-

nah membalas cinta kasihku sebelum Tala Kang-

kang mampus kubunuh...." 

"Keparat!" geram Sekar Sengkuni penuh 

kebencian. Matanya berapi-api menatap kakek 

berpakaian compang-camping warna merah. "Bi-

arpun kau membunuh Tala Kangkang, kau tetap 

tak akan pernah mendapatkan cinta kasihku!" 

Seringaian di bibir Demit Serigala seketika 

lenyap.

Matanya berkilat-kilat penuh bahaya. 

"Perempuan celaka! Berpuluh tahun aku 

berusaha mendapatkan ketulusan cintamu, tetapi 

hingga sekarang belum juga kudapatkan! Bahkan 

kau berani menghina keputusanku untuk mem-

bunuh Tala Kangkang"

"Bila kau berani melakukannya... kau akan 

berhadapan denganku!" 

Sebelum Demit Serigala yang tiba-tiba 

muncul berseru, dari keranjang terdengar ma-

kian, "Perempuan bodoh! Apa yang dilakukan ka-

kek itu adalah sesuatu yang benar! Kau bisa 

mempergunakan tangannya untuk membunuh le-

laki yang kau benci!"

"Aku tak pernah berpikir demikian! Aku 

tak pernah berharap kalau dia yang membunuh 

Tala Kangkang!" seru Sekar Sengkuni tanpa meli-

hat pada Buntet Kalamangsang. 

Sementara itu, Resi Tala Kangkang sedang 

berusaha bangkit. Punggungnya terasa nyeri. Tubuhnya bergetar karena ngilu.

Demit Serigala berseru jengkel, "Kuda-

patkan atau tidak cintamu, lelaki yang kuanggap 

sebagai penghalang itu akan tetap kubunuh!"

Belum habis ucapannya Demit Serigala su-

dah melompat disertai gerengan laksana seekor 

serigala murka. Kedua tangannya membuka den-

gan jari jemari melebar. Masih melayang di udara 

ditepuk kedua tangannya.

Terdengar suara yang sangat luar biasa ke-

rasnya. Resi Tala Kangkang yang baru saja men-

gembalikan ke seimbangannya, terbanting lagi ka-

rena merasakan satu dorongan tenaga menerpa 

dadanya. Belum lagi dia mampu untuk menghin-

dar, segumpal cahaya merah melesat dan tiba-

tiba meletup pecah. Muncratannya meluncur ke 

arah Resi Tala Kangkang dengan suara mendeng-

ing-denging.

Tetapi sebelum serangan ganas Demit Seri-

gala mengenai sasarannya, tiba-tiba saja gelom-

bang angin berputar berhamburan menghantam 

muncratan cahaya merah itu.

Plas! Plas! Plas!!

Muncratan cahaya merah itu berpentalan 

ke sana kemari dan menghantam tanah hingga 

berlubang mengeluarkan asap.

Seketika bentakan Demit Serigala memba-

hana, "Perempuan celaka! Apa yang kau lakukan, 

hah?!"

Sekar Sengkuni yang tadi menghalangi se-

rangan Demit Serigala pada Resi Tala Kangkang 

menggeram sengit setelah kembali berdiri tegak,

"Jangan campuri urusanku! Lebih baik tinggalkan 

tempat ini sebelum kucabut nyawamu!"

"Perempuan setan! Kau benar-benar telah 

menghinaku!!"

Sebelum Demit Serigala lancarkan seran-

gannya pada Sekar Sengkuni, keranjang yang tadi 

bergerak-gerak melesat dan hinggap di tengah-

tengah antara Demit Serigala dan Sekar Sengku-

ni.

"Tahan! Kita sama-sama kawan! Kedatan-

gan kita ke sini dengan tujuan yang sama, sama-

sama ingin mencabut nyawa Tala Kangkang! Hen-

tikan pertikaian ini! Karena kita bukanlah lawan!"

Kendati masih tidak puas dengan apa yang 

dilakukan Sekar Sengkuni, Demit Serigala berse-

ru, "Kau dengar ucapan orang dalam keranjang 

itu! Bila kau tidak puas, setelah kita bunuh Tala 

Kangkang, kita bisa teruskan urusan kita sendi-

ri!"

Sekar Sengkuni tak menjawab. Parasnya 

diliputi oleh rasa bingungnya sendiri. Di satu pi-

hak, keinginan untuk membunuh Resi Tala 

Kangkang begitu mendesak. Tetapi di pihak lain, 

begitu melihat lelaki yang sangat dicintainya ini, 

kelembutannya sebagai seorang perempuan tiba-

tiba muncul.

Buntet Kalamangsang membentak, "Cepat 

kau ambil keputusan sebelum akhirnya berubah 

menjadi tak karuan!" 

Sekar Sengkuni masih tak buka mulut. Di-

perhatikannya bagaimana Tala Kangkang sedang 

berusaha berdiri dengan kedua kaki goyah. Dari

mulutnya telah merembas darah segar. 

"Perempuan keparat!" maki Demit Serigala. 

"Kau mau membalas cintaku atau tidak, aku su-

dah tidak peduli! Tetapi lelaki itu harus mampus 

saat ini juga!"

"Kau harus mengambil keputusan, Sekar 

Sengkuni!" seru orang dalam keranjang: "Aku tak 

mengerti akan sikapmu yang berubah menjadi 

lembek seperti itu! Orang yang hendak kau bu-

nuh sudah tak berdaya, melakukannya pun bu-

kan sebuah kesukaran lagi! Cepat ambil keputu-

san, sebelum aku berubah pikiran untuk berada 

sebagai pihak lawan denganmu!!"

Sekar Sengkuni memandangi orang-orang 

yang berada di sana bergantian. Sorot matanya 

memancarkan dendam dan kelembutan yang ter-

sisa. Gelora dadanya menyesakkan napasnya.

Ditariknya napas pelan-pelan sementara 

kedua tangannya mengepal. Di lain kejap, terden-

gar desisannya dingin, "Bunuh lelaki keparat 

itu!!"

Habis ucapannya, Demit Serigala sudah 

menerjang dengan jari-jari membuka membentuk 

cakar. Seperti serangan yang pertama tadi dila-

kukan, kembali segumpal cahaya merah melesat, 

meletup dan bermuncratan ke arah Resi Tala 

Kangkang yang hanya bisa memandang dengan 

mata tegar!

Namun mendadak saja terdengar suara 

deheman yang sangat keras, menyusul dua ge-

lombang angin yang disemburati asap merah 

menggebah.

Menghantam serangan Demit Serigala.

Blaaamm! Blaaammm!!

Bersamaan letupan itu terjadi, satu bayan-

gan putih melesat dari sebelah kiri dan menyam-

bar tubuh Tala Kangkang. 

"Woro Lolo!" seru Sekar Sengkuni terkejut 

begitu mengenali siapa orang yang menyambar 

Resi Tala Kangkang.



SEMBILAN


BAYANGAN putih yang memang Woro Lolo 

memandang dingin pada Sekar Sengkuni. "Kau 

tak pernah puas mencelakakan Tala Kangkang, 

Sekar Sengkuni!" desisnya sementara Tala Kang-

kang sendiri terkejut melihat kehadiran Woro Lo-

lo.

"Mayang Kinanti...," desisnya memanggil 

nama asli Woro Lolo. 

Di pihak lain, Demit Serigala menggeram 

setinggi langit pada pemuda berompi ungu yang 

tadi memutus serangannya. 

"Lagi-lagi kau, Pemuda celaka!!" geramnya 

berang seraya menerjang.

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Ra-

ja Naga segera menjejakkan kaki kanannya. Seke-

tika tanah berderak, bergelombang dahsyat ke 

arah Demit Serigala.

Sementara itu, Sekar Sengkuni menjadi 

bertambah berang melihat kehadiran Woro Lolo. 

Dia sama sekali tak menyangka kalau perempuan

itu akan muncul di sini. Kemarahannya kian me-

muncak. Segera diterjangnya Woro Lolo yang se-

gera melompat pula.

Di pihak lain, gadis berpakaian merah mu-

da sudah mendekati Resi Tala Kangkang. 

"Guru...." 

"Astaga! Kau datang kembali, Galuh...," de-

sis Resi Tala Kangkang.

Galuh Tantri mengangguk. Dia memang 

muncul bersama Raja Naga. Dan bersamaan Raja 

Naga hendak memutuskan serangan Demit Seri-

gala pada gurunya, satu sosok tubuh berpakaian 

putih tiba-tiba pula muncul menyelamatkan gu-

runya. Galuh Tantri sendiri baru sekarang men-

genal perempuan bernama Woro Lolo.

Dan gadis ini terpaksa harus menghindar 

dulu dari gurunya, karena keranjang anyaman 

kayu lapis sudah menderu. Rupanya Buntet Ka-

lamangsang tak mau membuang kesempatan. 

Tetapi dia harus ditahan oleh Galuh Tantri!

Tiga pertarungan yang seketika terjadi itu 

membuat tempat itu bertambah porak poranda. 

Bagian dalam Istana Gerbang Merah menjadi sa-

saran serangan yang luput dari sasaran.

Resi Tala kangkang yang masih dalam kea-

daan terluka dalam dengan punggung yang san-

gat nyeri, terpaksa beringsut mundur. Hati lelaki 

ini dipenuhi luka, dipenuhi kepedihan dalam 

mengingat kalau semua yang terjadi sekarang ini 

berasal dari dirinya. 

Disesalinya mengapa dia harus jatuh cinta 

pada Woro Lolo. Disesalinya mengapa dia tidak

mengetahui kalau Sekar Sengkuni mencintainya. 

Tetapi begitu didapat jawaban kalau pangkal dari 

keributan ini berasal dari Sekar Sengkuni, pera-

saan Reel Tala Kangkang sedikit tenang kendati 

hatinya pedih.

Raja Naga mencoba mencecar Demit Seri-

gala yang mengamuk. Dia memang agak kesulitan 

untuk menerobos serangan demi serangan dari 

Demit Serigala. Bahkan jurus 'Kibasan Naga Men-

gurung Lautan' dan 'Barisan Naga Penghancur 

Karang' tak berguna sama sekali. Pemuda bersisik 

coklat ini mencoba melepaskan jurus 'Hamparan 

Naga Tidur' sebuah jurus yang menyerang secara 

tiba-tiba. Tetapi jurus itu pun tak banyak berarti. 

Hingga kemudian diputuskan untuk men-

geluarkan ilmu 'Naga Mengamuk'. 

Di pihak lain, Woro Lolo tak sanggup 

menghadapi gempuran-gempuran Sekar Sengkuni 

yang semakin berang. Putaran angin dahsyat 

yang berhamburan itu membuatnya tak berani 

untuk lebih mendekat.

Sementara itu sesungguhnya Galuh Tantri 

bukan hanya mampu mengimbangi Buntet Kala-

mangsang yang telah terluka, bahkan dia dapat 

menjatuhkan keranjang itu dengan segera. Tetapi 

karena terhantam pusaran angin yang keluar dari 

putaran kedua kaki Sekar Sengkuni, gadis berpa-

kaian merah muda itu kini terdesak hebat. 

Dadanya terasa nyeri, napasnya sesak. Ali-

ran darahnya bertambah kacau dengan keringat 

yang membanjir.

Raja Naga melihat keadaan yang tak men

guntungkan itu. Tiba-tiba saja dia merangsek ma-

suk ke dalam pusaran serangan Demit Serigala. 

Selagi kakek bongkok berpakaian compang-

camping itu harus menghindar, dia segera mence-

lat ke arah Galuh Tantri. 

Tap!

Disambarnya Galuh Tantri. Dengan memu-

tar tubuh, tiba-tiba kakinya mencuat, menendang 

keranjang yang sedang menderu kencang.

Buk! 

Keranjang itu terpental.

Raja Naga bertindak lebih cepat. Masih 

membopong Galuh Tantri dia memburu keranjang 

yang terpental itu. Dengan kekuatan yang terda-

pat pada lengannya yang bersisik, dihantamnya 

keranjang itu dua kali.

Jeritan keras terdengar. 

Keranjang itu bergulung di atas tanah 

dan... plar! Plaarrr!

Anyamannya berpentalan lepas berhambu-

ran ke sana kemari. Sesuatu masih berguling de-

ras. Setelah menabrak dinding istana, barulah se-

suatu itu berhenti. Sesuatu yang ternyata seorang 

manusia bertubuh ringkih! Tanpa mengenakan 

pakaian, berada dalam keadaan polos. Wajah 

Buntet Kalamangsang ternyata mengerikan. Di-

penuhi dengan bopeng. Mata kirinya picak. Ram-

butnya hanya sejumput belaka. Tangan kanannya 

dipenuhi luka yang memerah. Dan dia tidak me-

miliki kaki! Dan sekarang, manusia aneh berwu-

jud mengerikan itu telah tewas!

Melihat kematian Buntet Kalamangsang

perhatian Sekar Sengkuni menjadi pecah. Diting-

galkannya Woro Lolo yang sebenarnya sudah tak 

berdaya. Diserbunya Raja Naga yang segera me-

lempar tubuh Galuh Tantri yang segera ditangkap 

oleh Woro Lolo.

Bersamaan Sekar Sengkuni menyerangnya, 

Demit Serigala juga melompat disertai gerengan 

keras. Menghadapi dua tokoh sesat berilmu ting-

gi, Raja Naga terdesak hebat. Berulang kali wa-

jahnya terterpa putaran gelombang angin yang 

keluar dari kedua kaki Sekar Sengkuni.

Perih tak terkira, tetapi masih ditahan se-

kuat tenaga. 

"Aku tak boleh menyerah!" desisnya men-

guatkan hati. "Bila aku menyerah, bukan hanya 

nyawaku yang putus, tetapi nyawa Resi Tala 

Kangkang, Galuh Tantri, dan Woro Lolo juga akan 

meninggalkan jasad!"

Dengan bara tekad yang kuat, Raja Naga 

terus bertahan. Dia sengaja agak menjauh dari 

yang lainnya agar tidak terkena sasaran seran-

gan.

Sementara itu baik Sekar Sengkuni mau-

pun Demit Serigala, sama-sama bertambah buas. 

Terutama setelah anak muda itu terkena tendan-

gan Demit Serigala pada perutnya yang mem-

buatnya tersungkur.

Bersamaan dengan itu Demit Serigala me-

lompat dan berbalik. Cakar-cakarnya siap men-

cabik-cabik punggung Raja Naga! 

Akan tetapi, sesuatu yang mengejutkan, 

sesuatu yang luar biasa terjadi! Karena mendadak

saja sebuah cahaya hijau melesat dari punggung 

Raja Naga.

Plaasss!

Dan menghantam Demit Serigala yang me-

lolong keras, "Aaaakhhhh!!" 

Tubuh kakek itu tergulung di atas tanah

Di pihak lain, Sekar Sengkuni yang siap 

menyerang dari depan urung melakukan seran-

gannya. Matanya membeliak lebar melihat cahaya 

hijau yang kini meliuk-liuk di atas punggung Raja 

Naga

Bukan hanya Sekar Sengkuni yang terke-

siap kaget, yang lainnya pun tersentak, termasuk 

Demit Serigala yang telah berhasil berdiri.

"Astaga!" seru Sekar Sengkuni tanpa sadar. 

"Cahaya hijau itu... berbentuk seekor naga!!"

* * *

Saat ini Raja Naga telah berdiri tegak. Ca-

haya hijau yang berbentuk seekor naga masih 

meliuk-liuk di atas punggungnya. Paras pemuda 

itu tiba-tiba berwibawa. Sorot matanya bertambah 

angker, bertambah mengerikan. Sisik-sisik coklat 

yang memenuhi kedua lengannya sebatas siku, 

semakin nyata.

"Aku bukanlah orang yang kejam... silakan 

tinggalkan tempat ini bila ingin selamat...," desis-

nya dingin.

Cahaya hijau yang menjelma menjadi see-

kor naga itu masih meliuk-liuk. Di punggung Raja 

Naga terdapat sebuah tato seekor naga berwarna

hijau, tato yang dibawanya sejak dia dilahirkan. 

Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ba-

gaimana tato naga hijau itu dapat menjelma men-

jadi seekor naga berbentuk cahaya

Bahkan Dewa Naga, guru Raja Naga pun 

tak bisa menjelaskan tentang naga yang keluar 

dari tato itu. Sebelum Raja Naga meninggalkan 

Lembah Naga, Dewa Naga pernah berpesan agar 

pemuda itu memecahkan rahasia tato naga hijau 

pada punggungnya (Bila teman-teman pembaca 

penasaran ingin mengetahui tentang tato naga di 

punggung Boma Paksi, silakan baca episode : 

"Tapak Dewa Naga").

Baik Sekar Sengkuni maupun Demit Seri-

gala yang telah berdiri di samping kanannya, tak 

ada yang buka suara. Mereka masih memandangi 

naga hijau berbentuk cahaya itu.

"Yang kudengar selama ini kalau Raja Naga 

memiliki kesaktian tinggi dan memiliki sebuah 

benda sakti bernama Gumpalan Daun Lontar. Te-

tapi tak pernah kuduga kalau dia memiliki ilmu 

yang aneh itu...," desis Sekar Sengkuni dalam ha-

ti.

Demit Serigala berbisik, "Kendati dia telah 

mengeluarkan ilmu pamungkasnya... aku tak 

akan mundur. Bagaimana dengan kau?"

Sekar Sengkuni melirik.

"Keinginanku untuk membunuh Tala 

Kangkang. Dan pemuda itu telah menghalan-

ginya. Kita bunuh dia sama-sama!"

Habis desisannya, kembali Sekar Sengkuni 

menerjang dengan kedua kaki berputar di atas.

Disusul oleh Demit Serigala.

Raja Naga menjerengkan sepasang ma-

tanya seraya membatin, "Manusia-manusia ini 

terlalu keras kepala. Dan rasanya...."

Memutus kata batinnya sendiri, tiba-tiba 

saja naga hijau yang masih meliuk-liuk di atas 

punggungnya menerjang keras. Sekar Sengkuni 

yang masih berputar dengan kedua kaki di atas 

itu terpelanting disertai jeritan tertahan. Di pihak 

lain, Demit Serigala menjerit keras karena terkena 

cakaran dari naga hijau itu.

Menyusul gelombang jeritannya memecah 

alam. Karena tubuhnya telah berada dalam gigi-

tan naga hijau itu yang menggoyang-goyangkan

kepalanya. Berulang kali terdengar suara berde-

rak keras sebelum kepala naga hijau itu bergerak 

ke samping kanan.

Tubuh Demit Serigala meluncur deras dan 

ambruk di atas tanah menjadi mayat!

Sekar Sengkuni telah bangkit. Tanpa keli-

hatan jeri sama sekali dia menyerang lagi. Keja-

dian yang dialami oleh Demit Serigala juga diala-

minya. Tubuhnya pun terbanting di atas tanah 

tanpa nyawa.

Setelah kedua orang itu telah putus nyawa, 

tiba-tiba saja naga hijau terbuat dari cahaya itu 

lenyap begitu saja. 

Raja Naga membatin, "Aku belum berhasil 

memecahkan rahasia Tato Naga Hijau pada pung-

gungku. Dan aku sama sekali tak menggerakkan 

naga hijau ini untuk menyerang. Ah, terlalu men-

gerikan akibatnya, karena naga hijau ini seperti

memiliki mata dan kemampuan yang sangat luar

biasa...."

Lalu ditarik napasnya pelan-pelan. Setelah 

tenaganya pulih didekatinya orang-orang yang 

masih terluka di sana. Diperiksanya tubuh mere-

ka satu persatu. Dengan air yang diambil di su-

mur belakang dan direndam Gumpalan Daun 

Lontar yang dikeluarkan dari balik rompinya, Ra-

ja Naga mengobati ketiga orang yang terluka itu. 

Lalu dimasukkannya kembali Gumpalan 

Daun Lontar sebesar dua kepalannya ke balik 

rompinya yang seketika seperti bersatu dengan 

perutnya.

Resi Tala Kangkang berkata, "Aku sempat 

bertanya tadi pada muridku tentang siapakah 

kau, Anak Muda. Tak tahunya... kaulah pemuda 

yang julukannya akhir-akhir ini begitu santer...." 

Raja Naga tersenyum. Sorot matanya tetap 

angker.

"Aku tak ubahnya seperti orang kebanya-

kan, Orang Tua...."

"Pemuda seperti kaulah yang dibutuhkan 

oleh rimba persilatan...."

"Banyak pemuda yang melakukan tindakan 

seperti yang kulakukan...," kata murid Dewa Naga 

sambil tersenyum. 

"Kau betul... tetapi jarang yang mau mem-

pergunakan ilmunya untuk membela orang lain. 

Di samping juga, jarang yang mempunyai kesem-

patan seperti apa yang kau raih...."

Raja Naga tersenyum.

"Orang tua... terlalu lama kau didera oleh

bayangan kerinduanmu sendiri terhadap Woro 

Lolo. Demikian pula dengannya. Dan sekarang 

tak ada alasan lagi yang bisa membuat kalian 

memutuskan untuk berpisah...."

Resi Tala Kangkang melirik Woro Lolo yang 

menunduk dengan wajah bersemu merah.

"Seperti gadis belasan tahun," kata Raja 

Naga dalam hati. "Tapi... itulah cinta...."

Kemudian dia berkata, "Perjalananku ma-

sih panjang. Sebaiknya aku berangkat seka-

rang...."

Tanpa menunggu jawaban dari ketiga 

orang itu, pemuda berompi ungu ini sudah me-

langkah.

"Boma...," panggilan itu menghentikan 

langkahnya.

Galuh Tantri mendekat. Menatap dalam-

dalam wajah tampan di hadapannya. Terlihat ga-

dis itu seperti didera perasaan tak menentu di ha-

tinya.

Boma Paksi bertanya lembut, "Ada apa, Ga-

luh?"

Gadis itu malah tertunduk. Rona merah 

mewarnai kedua belah pipinya.

"Aku... aku... ah... apakah kita akan ber-

jumpa lagi, Boma?"

Boma Paksi memegang dagu si gadis dan 

mengangkatnya perlahan-lahan.

"Bila Gusti Allah mengizinkan, kita pasti 

bertemu lagi...." katanya, lalu... cup!

Dikecupnya pipi kanan Galuh Tantri yang 

tercekat. Mulutnya urung berucap, karena pemuda itu sudah lenyap di hadapannya.

"Boma...," desisnya pada angin.

Resi Tala Kangkang memanggil, "Galuh... 

aku tahu apa yang kau rasakan...."

Gadis itu tetap terpaku di tempatnya.

Dibantu Woro Lolo, Resi Tala Kangkang 

mendekati Galuh Tantri. 

"Lupakan pemuda itu untuk sementara. 

Seperti yang dikatakannya tadi, bila Yang Maha 

Kuasa mengizinkan, pasti kalian akan bertemu 

lagi...." 

Galuh Tantri mendesah pendek.

"Guru benar...."

"Ayo, kita tinggalkan tempat ini. Istana 

Gerbang Merah kini hanya tinggal kenangan...."

Perlahan-lahan seiring hari yang beranjak 

siang, ketiganya melangkah meninggalkan Istana 

Gerbang Merah. Baru tiga langkah berada di luar 

pintu gerbang, tiba-tiba terdengar suara membe-

dah alam,

"Untuk saat ini aku gagal membunuhmu, 

Tala Kangkang! Tetapi kelak, aku akan mene-

ruskan niatku ini!"

Ketiganya terkejut. Galuh Tantri dan Woro 

Lolo bersiap karena mengenali suara yang telah 

lenyap itu.

Resi Tala Kangkang mendesis pelan, "Ter-

nyata dia belum mati...."

"Guru! Mayatnya masih berada di sana!" 

seru Galuh Tantri.

"Tidak! Kita tidak akan menemukannya la-

gi. Rupanya Sekar Sengkuni telah mengeluarkan

ilmu 'Muslihat Mata Bayangan' untuk mengelabui 

Raja Naga. Dan... aku sangat mempercayai uca-

pannya kalau dia akan datang lagi...."

Resi Tala Kangkang melangkah ditemani 

Woro Lolo. Galuh Tantri masih penasaran akan 

kata-kata gurunya. Dia berbalik ke halaman Ista-

na Gerbang Merah.

Dan tak menemukan mayat Sekar Sengku-

ni di sana....




                                   SELESAI



Segera menyusul!!

TERJEBAK DI GELOMBANG MAUT





















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive