DAYANG
NAGA PUSPA
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Dayang Naga Puspa
128 hal.
SATU
HARI itu cuaca cerah sekali. Langit begitu te-
rang tanpa secuil pun awan mengambang, membuat
sinar sang mentari leluasa menerabas sela-sela rimbu-
nan pucuk dedaunan di bentangan bumi. Namun, be-
gitu bola penerang Mayapada ini mulai bergeser dari ti-
tik tengahnya, mendadak awan hitam bergulung-
gulung berarak-arakan menghiasi angkasa langit yang
datang dari segala penjuru. Bumi tiba-tiba disentak
kegelapan. Angin berhembus kencang keluarkan suara
mendesis-desis. Sesaat kemudian kilat menyambar
disusul dengan menyalaknya guntur yang bersahut-
sahutan seakan hendak menelan lenyap segala mak-
hluk di kolong langit. Bersamaan dengan menyambar-
nya kilat untuk kelima kalinya, hujan deras menghu-
jam dengan deru yang memekakkan telinga.
Di suasana yang demikian menggidikkan itu,
sesosok bayangan berkelebat cepat menuju sebuah da-
taran lembah berpasir yang membentuk sebuah ling-
karan. Melihat kelebatan sosoknya yang laksana bersi-
tan sinar, dapat ditebak jika bayangan ini memiliki il-
mu peringan tubuh yang cukup tinggi. Dan menilik si-
kapnya yang tak menghiraukan suasana, mudah didu-
ga jika sosok bayangan ini mempunyai masalah yang
sangat penting. Kilat menghampar. Sekilas lembah
berpasir berubah terang. Tahu-tahu sosok bayangan
tadi telah duduk ditengah-tengah lembah berpasir
dengan kedua tangan disatukan sejajar dada.
Guntur menggelegar bersahutan. Hujan men-
curah makin deras. Bersamaan dengan menyalaknya
guntur, kembali bentangan bumi digenggam kege-
lapan.
Ketika cahaya kilat kembali menyambar, tampak agak jelas adanya sosok yang duduk di tengah
lembah berpasir. Dia adalah seorang perempuan yang
tidak muda lagi. Ini jelas terlihat dari kerutan yang
menghiasi kulit wajahnya. Perempuan ini mengenakan
pakaian panjang berwarna hitam. Anehnya meski dia
seorang perempuan, pakaian panjangnya itu dilapis
dengan jubah besar berwarna putih. Rambutnya yang
panjang dibiarkan bergerai hingga menutupi sebagian
punggung dan wajahnya, membuat paras perempuan
ini terlihat samar-samar. Sepasang matanya bulat be-
sar dan tajam. Di lubang hidungnya yang mancung se-
belah kiri terlihat melingkar sebuah anting-anting kun-
ing.
Melihat sikapnya yang menakupkan kedua tan-
gan sejajar dada, sepasang mata terpejam rapat serta
mulut berkemik-kemik menggumam, perempuan ini
sedang memusatkan perhatian. Dan melihat ketaba-
han serta ketegarannya melawan gejolak alam yang ti-
dak sedang bersahabat, masalah yang dihadapi pe-
rempuan ini sungguh amat penting.
Untuk beberapa lama, perempuan ini tetap da-
lam posisi semula. Bahkan, ketika untuk kesekian ka-
linya guntur menggelegar dan menggetarkan lembah
berpasir serta menumbangkan beberapa pohon besar
di sekitarnya, perempuan ini tak bergeming. Jubah
serta seluruh badannya yang basah kuyup tak juga
membuatnya menggigil atau meninggalkan lembah
berpasir.
Selagi perempuan berjubah ini pusatkan perha-
tian batinnya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba
sebongkah awan putih berarak pelan menyusur lem-
bah berpasir dan berhenti lima belas langkah di hada-
pan perempuan berjubah.
Bersamaan dengan beraraknya awan putih,
lembah berpasir perlahan-lahan diselimuti kehangatan, meski hujan dan angin tetap mencurah dan
menghembus.
Merasakan perubahan suasana, perempuan
berjubah putih besar buka kedua kelopak matanya.
Lalu perlahan sekali dia membuat gerakan mengang-
kat kepalanya. Sementara kedua tangannya tetap me-
nakup sejajar dada.
Di hadapan sang perempuan, bongkahan awan
putih samar-samar membumbung menerabas kegela-
pan. Begitu awan putih sirna, sama-samar terlihat se-
sosok tubuh duduk bersila. Anehnya, meski hujan te-
tap mencurah, sosok yang baru datang ini baik rambut
dan pakaian yang dikenakannya tak terlihat basah!
"Guru...!" keluar seruan perlahan dari mulut
perempuan berjubah begitu mengenali siapa adanya
sosok di hadapannya yang baru saja muncul. Sepa-
sang mata perempuan berjubah ini memandang lurus
ke depan tak berkesiap. Lalu dengan tubuh agak kaku
seakan dipaksakan, perempuan berjubah ini menjura
hormat.
Orang yang baru muncul dan dipanggil guru
oleh perempuan berjubah sejenak mendehem dan me-
mandang dengan senyum rawan. Kepalanya mengang-
guk sebentar tanpa sepatah kata pun terdengar keluar
dari mulutnya.
Orang yang baru muncul ternyata adalah se-
orang laki-laki berusia amat lanjut. Seluruh kulit wa-
jahnya telah berkerut. Sepasang matanya sipit dengan
rambut putih dan tampak dibiarkan awut-awutan se-
hingga di beberapa bagian tampak mengempal dan ka-
ku. Kumis, jambang serta jenggotnya juga berwarna
putih dan dibiarkan panjang tanpa terawat hingga me-
rangas hampir menutupi wajahnya.
Hebatnya, meski tampak duduk bersila dengan
enaknya, ternyata tubuh orang tua ini ada sejengkal di
atas lembah berpasir!
Setelah saling tak ada yang buka mulut, pe-
rempuan berjubah putih angkat kembali kepalanya.
Sepasang matanya kembali memandang pada orang
tua di hadapannya. Mulutnya membuka seakan hen-
dak angkat bicara. Namun mulut perempuan ini kem-
bali mengatup sebelum keluarkan ucapan. Tampaknya
perempuan ini dilanda kebimbangan.
"Percuma melakukan perjalanan jauh dan me-
lawan suasana jelek jika setelah sampai hanya diam
membisu! Apa pun yang nanti terjadi, itu urusan bela-
kang. Yang penting, aku harus menyampaikan keingi-
nanku...!" membatin perempuan berjubah putih. Lalu
buka mulutnya kembali hendak berkata.
Namun sebelum terdengar ucapan dari mulut
perempuan berjubah putih, orang tua di hadapannya,
yang ternyata bertelanjang dada dan mengenakan ce-
lana pendek gombrang warna gelap, mendahului buka
suara.
"Sarpakenaka! Menurut apa yang pernah kuu-
capkan padamu serta kakak seperguruanmu Jo-
gaskara, pada beberapa puluh tahun silam sebelum
kalian berdua meninggalkan Lembah Rawa Buntek ini,
bahwa kalian berdua hanya kuberi kesempatan satu
kali lagi bertemu denganku. Kau masih ingat kata-
kataku itu?!"
"Tentu! Aku tentu masih ingat...!" jawab perem-
puan berjubah putih yang dipanggil Sarpakenaka. Se-
raya menjawab, sepasang mata Sarpakenaka tetap
memandang tak kesiap.
"Hmmm.... Bagus. Berarti kau telah mengerti,
bahwa setelah pertemuan ini kau tak akan dapat me-
nemuiku lagi!"
Diam-diam dalam hati Sarpakenaka berkata.
"Kalau tak ada urusan sangat penting, aku pun
sebenarnya tak ingin melihat tampangmu lagi!" Lalu
Sarpakenaka anggukkan kepala menyambuti ucapan
gurunya.
Setelah mendehem beberapa kali, orang tua di
hadapan Sarpakenaka tengadahkan kepala. Curahan
air hujan menerpa wajahnya, namun air hujan itu sea-
kan menerabas masuk ke kulit paras wajahnya tanpa
meninggalkan bekas. Hingga meski wajahnya tercurah
air, namun tetap tak basah.
"Sarpakenaka, tentunya kau punya masalah
penting hingga kau gunakan kesempatan yang hanya
kuberikan sekali ini. Katakanlah!"
Untuk beberapa saat lamanya Sarpakenaka
terdiam. Wajahnya jelas masih digelayuti perasaan ra-
gu-ragu. Hingga meski perempuan ini telah buka mu-
lut, namun belum terdengar suaranya.
"Sarpakenaka!" kata orang tua bertelanjang da-
da masih dengan kepala menengadah. "Kau tampak-
nya bimbang. Apa kau juga tak ingat kata-kataku du-
lu, bahwa karena kesempatan itu hanya sekali, maka
segala permintaanmu dan juga saudara seperguru-
anmu tidak akan kutolak. Dan juga segala tanyamu
pasti kujawab! Nah, sekarang apa kau masih ragu-
ragu...?!"
"Hmm.... Mudah-mudahan ucapannya itu tidak
hanya di mulut!" kata Sarpakenaka dalam hati. Tapi
seketika itu paras wajah Sarpakenaka berubah. Malah
tubuhnya sempat bergetar. "Jogaskara! Apa dia telah
mendahuluiku menemui Guru dan telah meminta apa
yang akan kuminta? Celaka jika hal itu terjadi!"
Sarpakenaka memperhatikan gurunya, lalu
berkata.
"Eyang guru Dadung Rantak.... Apakah sebe-
lum ini Kakang Jogaskara telah menggunakan kesem-
patannya...?"
Yang ditanya tertawa pendek.
"Apakah itu penting bagimu?" kata orang tua
yang dipanggil Dadung Rantak di sela tawanya. Lalu
dia menyambung. "Namun karena aku telah berjanji
akan menjawab segala tanyamu, maka meski itu uru-
san tak berarti, akan kujawab juga!"
Sejenak Dadung Rantak hentikan ucapannya,
lalu berkata lagi seraya gelengkan kepalanya perlahan.
"Jogaskara belum menemuiku!"
Paras Sarpakenaka berbinar. Bibirnya mengu-
las sebuah senyum.
"Hmmm.... Syukur jika begitu. Berarti apa yang
kuharapkan akan terkabul! Dan kau Jogaskara, akan
gigit jari. He he he...!" kata Sarpakenaka dalam hati.
Lantas berkata.
"Eyang guru. Aku datang hanya dengan satu
permintaan dan tiga pertanyaanku. Kuharap Guru tak
menolak, seperti yang pernah Guru janjikan!"
"Sarpakenaka. Meski aku dikenal sebagai seo-
rang yang berhaluan hitam, dan tak segan-segan
membunuh siapa saja yang merintangi keinginanku,
namun pantang bagiku menarik ludah di tanah!"
meski nada suara Dadung Rantak perlahan, namun
mau tak mau membuat Sarpakenaka merah padam,
karena kecurigaannya mudah ditangkap oleh Dadung
Rantak.
"Katakan apa permintaanmu dan tiga perta-
nyaanmu!"
Sarpakenaka menghela napas dalam seakan
menegarkan hati. Setelah dapat menekan perasaan,
dia berkata.
"Aku minta agar kau mewariskan Tombak Naga
Puspa padaku!"
Seolah tersentak saking kagetnya, kepala Da-
dung Rantak bergerak cepat lurus ke depan, sepasang
matanya yang sipit dilebarkan, sementara mulutnya
komat-kamit, membuat kumis dan jenggotnya berge-
rak-gerak.
"Tak kuduga itu permintaannya. Dari mana dia
tahu, bahwa aku menyimpan senjata mustika itu?"
Dadung Rantak tercenung. Parasnya berubah
sulit diartikan. Sebentar-sebentar kepalanya tampak
menggeleng perlahan. Sementara Sarpakenaka hanya
mengawasi dengan pandangan tak kesiap. Dia juga di-
landa kecemasan, apalagi tatkala dilihatnya sang guru
geleng-gelengkan kepala.
"Apa berita yang kudengar, bahwa dia menyim-
pan Tombak Naga Puspa hanya omong kosong belaka?
Atau dia memang menyimpan dan enggan memenuhi
permintaanku...? Tapi menurut kabar yang kusirap se-
lama bertahun-tahun merambah rimba persilatan,
meski dia adalah termasuk jajaran atas golongan hi-
tam dari zamannya, namun dia adalah seorang yang
tidak pernah berkata bohong. Hmm.... Semoga dia
memang menyimpan tombak itu!" membatin Sarpake-
naka tanpa alihkan pandangannya.
Karena ditunggu agak lama Dadung Rantak
masih tampak merenung dan tak menunjukkan tanda-
tanda hendak angkat bicara, Sarpakenaka yang tam-
paknya sudah hilang kesabaran ingin mengetahui bu-
ka mulut.
"Eyang guru. Bagaimana pendapatmu tentang
permintaanku?"
Seakan tak mendengar ucapan muridnya, Da-
dung Rantak masih saja bersikap seperti semula. Me-
renung seraya gelengkan kepala. Namun, tiba-tiba saja
Dadung Rantak memandang lekat-lekat pada Sarpake-
naka.
"Apa boleh buat! Janji memang harus ditepati
meski sebenarnya berat sekali! Lagi pula benda itu sudah tak ada gunanya lagi di tanganku. Aku sudah san-
gat tua dan tak layak lagi berkeliaran di belantara per-
silatan.... Hanya aku khawatir.... Tapi itu urusanmu!"
Lalu Dadung Rantak berkata.
"Muridku. Janji memang harus dijunjung ting-
gi. Ludah tak harus dijilat lagi. Permintaanmu kuka-
bulkan!"
Laksana disambar petir, Sarpakenaka menjerit
tertahan. Sepasang matanya membeliak besar, tubuh-
nya bergetar. Kedua tangannya ditakupkan pada wa-
jahnya. Lalu dengan tangan dan kaki gemetaran, Sar-
pakenaka membungkuk dalam-dalam beberapa kali.
Kalau kali pertama bertemu dengan gurunya juraan
hormat terasa kaku dipaksakan, kini bungkukan tu-
buhnya tampak tulus, membuat orang tua di hada-
pannya sedikit terharu meski dalam hati masih berka-
ta.
"Aku tahu, hal ini kau lakukan karena permin-
taanmu kupenuhi. Aku tahu bagaimana sifatmu sebe-
narnya! Tapi, tak apalah.... Toh ini adalah pertemuan
terakhirmu denganku! Setelah ini aku tak ada hubun-
gan apa-apa lagi denganmu! Kau adalah kau, dan aku
adalah Dadung Rantak.... Hmmm...," Dadung Rantak
lantas menggerakkan tangan kanannya ke belakang
menelikung pinggangnya. Begitu tangan itu kembali ke
depan, di genggamannya terlihat sebuah kotak pipih
terbuat dari kayu tipis yang dilapis kulit ular berwarna
kuning, putih dan hitam.
Sepasang mata Sarpakenaka yang memandang
ke depan, terbelalak lebar. Tubuhnya tampak kembali
bergetar sementara kedua tangannya gemetar laksana
orang menggigil. Meski saat itu tubuhnya basah
kuyup, namun keringat mulai membasahi leher dan
keningnya.
Selagi murid Dadung Rantak ini terhanyut an
tara haru dan gembira, Dadung Rantak lemparkan ko-
tak pipih di tangan kanannya. Kotak itu melayang dan
jatuh tepat di hadapan Sarpakenaka.
"Ambillah apa yang kau inginkan! Tombak Naga
Puspa sekarang telah menjadi milikmu!" kata Dadung
Rantak pula. Sepasang mata orang tua bertelanjang
dada ini masih tetap memandangi muridnya.
"Tentunya kau masih dengar berita tentang
benda mustika itu. Sekarang kau bisa melihatnya. Bu-
kalah!" lanjut Dadung Rantak seraya usap-usap wajah-
nya.
Dengan mata semakin membelalak dan tangan
makin gemetar Sarpakenaka gerakkan kedua ta-
ngannya hendak mengambil kotak berlapis kulit ular
di hadapannya. Namun dia tiba-tiba hentikan gerakan
tangannya tanpa menariknya kembali ke belakang.
Kepalanya sedikit mendongak pandangi gurunya. Wa-
jahnya mengisyaratkan keragu-raguan.
Namun ketika melihat yang dipandangi sung-
gingkan senyum meski tak dapat menyembunyikan ke-
terpaksaan, Sarpakenaka teruskan gerakan kedua
tangannya.
Begitu kedua tangan perempuan berjubah pu-
tih ini menyentuh kotak, kedua tangan itu semakin ge-
metar. Dadanya terlihat bergetar, hingga karena ke-
rasnya getaran itu, jubah yang dikenakannya berge-
rak-gerak turun naik.
Setelah kotak berada di tangan dan ditarik
mendekat tubuhnya, sepasang mata Sarpakenaka
mengamati dengan seksama. Lalu perlahan pula tan-
gan kanannya membuka.
Seberkas sinar hitam berkilat-kilat tiba-tiba
menebar begitu kotak terbuka. Meski suasana saat itu
telah gelap karena awan hitam serta hujan deras na-
mun kilatan-kilatan yang dipancarkan benda dalam
kotak itu jelas-jelas terlihat.
Sepasang mata Sarpakenaka melotot lebar-
lebar. Mulutnya ternganga dan jantungnya makin ber-
degup kencang.
"Hmmm.... Naga Puspa! Naga Puspa benar-
benar jadi milikku! Aku akan jadi orang yang punya
nama besar! Orang-orang yang selama ini menjadi pe-
rintang ku dan orang-orang yang berhasil mengalah-
kan aku, akan kubuat bertekuk lutut! Aku akan jadi
orang yang paling ditakuti! Rimba kancah persilatan
akan kubuat geger! Apalagi jika aku berhasil menda-
patkan Arca Dewi Bumi yang kini mulai ramai diper-
bincangkan orang. Hmm...! Aku akan menobatkan diri
jadi raja di atas raja dalam kancah persilatan. Se-
karang saatnya aku tanya pada orang tua itu tentang
petunjuk beradanya Arca Dewi Bumi!" membatin Sar-
pakenaka seraya terus memperhatikan benda di dalam
kotak.
Benda yang pancarkan kilatan-kilatan sinar hi-
tam itu ternyata adalah sebuah tombak berwarna hi-
tam logam. Panjangnya tidak lebih dari dua kali ren-
tangan telapak tangan. Ujung tombak itu bercabang ti-
ga. Kedua sisi cabang lebih panjang dari pada cabang
yang di tengah. Cabang yang tengah agak pendek ka-
rena ternyata ujungnya menekuk membentuk kail. Ba-
tang tombak ini hanya sebesar ibu jari tangan, yang
agak aneh, ternyata batang tombak ini tidak lurus me-
lainkan berkelok-kelok agak panjang dan bersisik-sisik
laksana tubuh seekor ular. Pangkalnya sangat kecil
dan membentuk lancip seperti ekor ular.
Sarpakenaka gerakkan tangan kanan hendak
mengambil Tombak Naga Puspa. Dia sedikit terkejut.
Ada hawa aneh yang menyambar begitu tangannya
menyentuh badan tombak. Dan perempuan berjubah
putih ini tercengang tatkala tangan kanannya tak ber
hasil mengangkat tombak.
"Sarpakenaka! Itu adalah benda mustika. Tidak
sembarang orang bisa memegangnya. Kerahkan tenaga
dalam!" berkata Dadung Rantak begitu melihat keter-
kejutan muridnya.
Tanpa memandang lagi pada gurunya, Sarpake-
naka kerahkan tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu
perlahan tangan kanannya bergerak mengambil tom-
bak.
Benar saja, tombak itu kini bisa terangkat. Be-
berapa saat lamanya Sarpakenaka memperhatikan
bentuk tombak dengan seksama. Dalam hati dia ber-
kata.
"Tanpa kucoba di sini pun aku percaya jika
tombak ini menyimpan kedahsyatan tiada tara. Hawa
di sekitar tombak ini begitu aneh dan kilatan-
kilatannya mampu menembus kepekatan cuaca...."
Setelah puas memperhatikan, Sarpakenaka me-
letakkan kembali Tombak Naga Puspa dan menu-
tupkan kembali kotak kayu yang berlapis kulit ular.
Lalu dimasukkan ke balik jubah putihnya.
"Eyang guru. Muridmu mengucapkan terima
kasih atas kebajikanmu yang rela memberikan permin-
taan yang kuajukan...!" habis berkata, sepasang mata
murid Dadung Rantak ini kembali memandang ke de-
pan. Lalu menyambung kata-katanya. "Sekarang
Eyang guru kuharap bisa menjawab pertanyaanku...!"
Dadung Rantak donggakkan kepala. Setelah
mendehem dia berkata. "Katakan!"
"Sebagai salah seorang tokoh yang pernah ma-
lang melintang dalam belantara persilatan, sudah ba-
rang tentu Eyang guru pernah dengar tentang Arca
Dewi Bumi...,"
Sarpakenaka sejenak hentikan ucapannya. Dia
seakan ingin melihat reaksi gurunya setelah mendengar ucapannya.
Di seberang, begitu mendengar keterangan Sar-
pakenaka, untuk kedua kali Dadung Rantak dibuat
terperangah. Malah mungkin karena terlalu terkejut,
dia mengulang kata-kata terakhir Sarpakenaka dengan
setengah berteriak.
"Arca Dewi Bumi...!" seraya berkata, paras wa-
jah Dadung Rantak berubah. Keningnya mengernyit
dengan mata dipejamkan.
"Hmm.... Berpuluh-puluh tahun tak berhubun-
gan dengan dunia luar ternyata telah banyak peruba-
han terjadi. Kalau Sarpakenaka telah mengetahui bah-
wa aku penyimpan Tombak Naga Puspa, lebih-lebih dia
menyebut tentang Arca Dewi Bumi, maka berarti dunia
persilatan telah geger seperti pada puluhan tepatnya
sembilan puluh delapan tahun silam! Tentunya saat ini
telah banyak pula tokoh-tokoh baru yang muncul. Me-
lihat keadaan begini, ingin rasanya aku kumpul-
kumpul lagi dengan teman-teman lama. Ah, tapi itu
tak mungkin kulakukan sebelum muridku yang sa-
tunya menggunakan kesempatan untuk menemui-
ku...."
Selagi Dadung Rantak berkata-kata sendiri da-
lam hati, Sarpakenaka yang sekilas menangkap keter-
kejutan gurunya berkata pula dalam hati.
"Dia terkejut dan bahkan mengulang nama Ar-
ca Dewi Bumi. Berarti dia tahu tentang arca itu!
Hmm.... Aku sungguh beruntung!"
"Eyang guru...!" berkata Sarpakenaka mem-
buyarkan angan-angan Dadung Rantak. "Harap Eyang
jawab. Kepada siapa aku harus minta petunjuk ten-
tang beradanya Arca Dewi Bumi. Di mana adanya
orang yang bisa memberi petunjuk itu. Dan yang ter-
akhir, adakah persyaratan yang harus dipenuhi jika
ingin mendapatkan arca itu?!"
Dadung Rantak yang masih sedikit terkejut, lu-
ruskan matanya menatap tajam pada Sarpakenaka.
"Hmm.... Aku telah menduga pertanyaan yang
bakal diajukan itu! Sebenarnya ini hal yang sangat ra-
hasia sekali. Dan aku pun sebetulnya masih mengin-
ginkan arca itu. Tapi.... Sekali lagi aku terbentur de-
ngan janji. Maka, apa hendak dikata. Pertanyaannya
harus kujawab...!" berpikir begitu, kepala Dadung Ran-
tak lantas mendongak. Lalu dari mulutnya terdengar
ucapan.
"Muridku Sarpakenaka. Kalau masalah itu yang
kau tanyakan, dengar baik-baik! Orang yang dapat
memberi petunjuk tentang beradanya arca itu hanya
satu di kolong langit ini. Dia seorang perempuan ber-
nama Kali Nyamat yang dalam rimba persilatan lebih
dikenal dengan gelar Dewi Kayangan. Dia bertempat
tinggal di sebuah dusun kecil di bawah kaki bukit. Du-
sun itu bernama dusun Kepatihan...!" Dadung Rantak
hentikan keterangannya. Namun kepalanya tetap
mendongak ke atas.
Di seberang, mendengar keterangan gurunya,
Sarpakenaka terkejut.
"Dewi Kayangan.... Aku memang pernah men-
dengar nama itu. Dan kabarnya dia adalah juga seo-
rang tokoh perempuan yang ilmunya sulit dijajaki.
Hmm.... Tapi siapa pun dia adanya, aku harus mene-
mukan dan mendapatkan yang kuinginkan. Kalau dia
menolak, Tombak Naga Puspa telah ada di tanganku....
Lagi pula...," Sarpakenaka tak lanjutkan kata hatinya,
karena saat itu Dadung Rantak telah melanjutkan ke-
terangan atas pertanyaannya.
"Soal pertanyaanmu yang terakhir, aku sendiri
sebetulnya masih sangat meragukan. Namun ada
baiknya kau dengar. Memang, untuk mengambil Arca
Dewi Bumi diperlukan syarat lagi...."
"Apa syarat itu Eyang...?!" sergah Sarpakenaka
seakan tak sabar melihat sikap gurunya yang meng-
hentikan sejenak keterangannya.
"Muridku! Apa pun yang terjadi, kenyataan ha-
rus kita terima dengan hati tegar!"
"Maksud Eyang guru...?"
"Menurut apa yang kuketahui, kelak hanya seo-
rang yang dapat mengambil Arca Dewi Bumi. Tapi kau
jangan tergoyah dengan hal itu, ini jika kau memang
benar menginginkan arca itu! Tapi sekali lagi kenya-
taan akhir harus kita terima...!"
"Katakan. Siapa orang itu!"
"Aku sendiri tak tahu namanya. Hanya orang
itu mempunyai tanda guratan angka 108 dalam tubuh-
nya yang dibawa sejak lahir! Itulah yang kuketahui...!"
Beberapa saat Sarpakenaka terdiam. Keningnya
berkerut seakan-akan mengingat sesuatu. "Apa mung-
kin ada hubungannya dengan seorang pemuda yang
kesohor dengan gelar Pendekar Mata Keranjang 108?
Ah, tak mungkin. Meski aku belum pernah bertemu
dengan pemuda itu, namun berita yang sampai pada-
ku mengatakan dia bergelar begitu karena dia bersen-
jata sebuah kipas yang tertera angka 108. Padahal
yang dikatakan guru adalah bahwa guratan angka 108
ada pada tubuhnya! Hmm.... Mungkin ini hanya kebe-
tulan angkanya sama!" membatin Sarpakenaka.
"Nah, Sarpakenaka, kurasa keterangan yang
kuberikan sudah cukup!" kata Dadung Rantak me-
nyentak kediaman.
"Tapi Eyang...."
"Sarpakenaka. Ludah tidak harus dijilat lagi!
Kau telah ajukan tiga pertanyaan, dan aku telah men-
jawabnya. Kesempatanmu telah habis, dan kau tahu
apa yang selanjutnya harus kau lakukan!"
Sarpakenaka mendengus perlahan. Dia telah
paham apa yang dimaksud dengan Eyang gurunya. Dia
harus angkat kaki dari tempat itu.
"Jahanam! Jika tidak mengingat kau telah
memberikan apa yang kuminta, mulutmu akan kuha-
jar habis! Peduli kau guruku!" membatin Sarpakenaka
seraya pandangi gurunya.
Dengan suara agak bergetar dan parau, Sarpa-
kenaka angkat bicara.
"Baiklah, Eyang guru. Aku mohon diri seka-
rang!"
Habis berkata begitu Sarpakenaka bangkit lalu
dengan gerakan kaku dia menjura hormat seraya
bungkukkan sedikit tubuhnya. Setelah itu bersamaan
dengan menyalaknya gelegar guntur, perempuan ber-
jubah putih besar ini berkelebat menerjang kepekatan
cuaca dan derasnya hujan.
Ketika kilat untuk yang kesekian kalinya me-
nyambar, dan sekilas lembah berpasir terang bende-
rang, sosok Sarpakenaka telah lenyap dari pedataran
pasir.
***
DUA
SESAAT setelah kepergian Sarpakenaka, Da-
dung Rantak yang pada zamannya adalah seorang to-
koh berilmu tinggi yang dalam rimba persilatan lebih
dikenal dengan gelar Iblis Penyapu Jagad gerakkan ke-
palanya ke samping kanan dan kiri. Telinganya terlihat
bergerak-gerak perlahan, sementara sepasang matanya
memejam.
"Hmm.... Ada orang berkelebat mendatangi
tempat ini. Siapa dia? Bertahun-tahun tinggal di sini
tak ada seorang tamu pun yang datang berkunjung....
Lagi pula hanya dua muridku yang tahu di mana aku
berada. Apa benar dia...?"
Seraya membatin, sepasang mata orang tua ini
membuka dan memandang lurus ke depan. Sementara
hujan masih tetap mendera, kilat menyambar serta
guntur menyalak bersahutan.
Dugaan Dadung Rantak ternyata tidak meleset.
Begitu kilat menyambar dan suasana sejenak terang
benderang, samar-samar sesosok bayangan terlihat
berkelebat menuju arah lembah berpasir.
Saat sampai tengah lembah, bayangan itu hen-
tikan langkah. Dan sosok itu serta-merta surutkan
langkah sampai tiga tindak ke belakang begitu samar-
samar terlihat olehnya sesosok tubuh sedang duduk
bersila.
Untuk beberapa saat lamanya sosok yang baru
datang besarkan sepasang matanya menatap tak ber-
kedip ke depan. Saat kilat kembali menyambar dan
agak jelas siapa adanya sosok yang duduk, sosok yang
baru datang sekonyong-konyong menjura hormat se-
raya berseru tertahan.
"Eyang guru...!"
Dadung Rantak yang tampaknya sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang baru datang ang-
gukkan kepala seraya memandang lurus ke depan.
"Jogaskara.... Hmm.... Ini kesengajaan atau ha-
nya sebuah kebetulan? Murid-muridku yang pergi be-
berapa puluh tahun silam datang pada hari yang sama
hanya berbeda waktu...," membatin Dadung Rantak.
Lalu setelah mendehem beberapa kali dia berkata.
"Jogaskara. Pasti ada hal yang sangat penting
hingga kau pergunakan kesempatan yang kuberikan
hanya sekali padamu! Hmm.... Sekarang bicaralah apa
kepentinganmu!"
Orang yang dipanggil Jogaskara perlahan du-
duk. Kepalanya bergerak menengadah, sepasang ma-
tanya menatap lekat-lekat. Ternyata dia adalah seo-
rang laki-laki yang tidak muda lagi. Ini bisa dilihat dari
rambut panjangnya yang telah berwarna dua, sebagian
hitam dan sebagian putih. Paras wajahnya masih me-
ninggalkan sisa-sisa ketampanan. Namun pada wajah
itu terdapat codet bekas luka yang memanjang dari pe-
lipis kiri hingga pipi. Laki-laki ini mengenakan pakaian
jubah panjang hingga sebatas lutut berwarna biru mu-
da.
Setelah terdiam agak lama, Jogaskara angkat
bicara.
"Eyang guru...! Memang ada hal penting yang
membuatku datang menemuimu. Aku hanya ada satu
permintaan serta dua pertanyaan!"
"Hmm.... Katakan!"
Jogaskara tidak segera angkat bicara lagi. Dia
sepertinya ragu-ragu. Namun pada akhirnya, setelah
dapat menguasai keraguan hati dia berkata.
"Eyang guru...! Aku hanya minta kau sudi me-
wariskan Tombak Naga Puspa padaku...!"
Dadung Rantak melengak kaget. Kepalanya ber-
gerak mendongak. Diam-diam dalam hati dia berkata.
"Astaga! Tampaknya berita tentang Tombak Na-
ga Puspa yang ada padaku telah bocor dan merebak di
rimba persilatan. Hmm.... Siapa gerangan yang mem-
bocorkan masalah ini? Ternyata pelataran rimba persi-
latan tak pernah berubah sejak dahulu kala. Selalu
dan selalu mengejar benda! Tapi.... Nasibmu tidak baik
Jogaskara. Adik seperguruanmu telah mendahului....
Apa hendak dikata, segalanya telah terjadi...," memba-
tin Dadung Rantak lalu berkata seraya tetap menenga-
dah.
"Jogaskara. Kalau bisa aku tahu, dari mana
kau tahu bahwa aku menyimpan benda itu...?"
Mendengar pertanyaan gurunya, Jogaskara ti-
dak segera menjawab. Dalam hati dia berkata.
"Hmm.... Berarti benar dia menyimpan tombak
itu. Ah, sungguh beruntungnya aku. Benda yang men-
jadi bahan pembicaraan orang-orang rimba persilatan,
dan diburu banyak orang, akan jatuh ke tanganku...."
"Eyang guru...!" kata Jogaskara pada akhirnya.
"Siapa pun orang yang telah menamakan dirinya seba-
gai salah seorang pesilat, saat ini pasti tahu jika tom-
bak itu ada padamu! Saat sekarang, rimba persilatan
telah diguncang oleh Tombak Naga Puspa dan kabar
tentang sebuah arca!"
"Astaga! Pasti Arca Dewi Bumi!" membatin Da-
dung Rantak.
"Jogaskara! Tombak Naga Puspa memang bera-
da di tanganku...." Dadung Rantak tak meneruskan
ucapannya, karena saat itu juga, entah karena girang,
atau terkejut, Jogaskara menyela.
"Aku sudah menduga hal itu, Eyang...!"
"Hanya saja kau datang terlambat!" sambung
Dadung Rantak dengan suara agak dikeraskan, karena
saat itu guntur sedang menggelegar.
Jogaskara kerutkan kening. Perasaan terkejut
tak dapat dia sembunyikan dari raut wajahnya. Seolah
ingin mendapat penjelasan, Jogaskara cepat menyam-
buti ucapan gurunya.
"Maksud Eyang...?!"
"Sarpakenaka, adik seperguruanmu telah da-
tang dan meminta barang yang kau inginkan! Karena
aku telah ikrarkan janji sewaktu kau dan adikmu hen-
dak keluar dari Lembah Rawa Buntek beberapa puluh
tahun silam bahwa aku tidak akan menolak segala
permintaan dan pertanyaan kalian berdua, maka aku
harus tepati janji itu! Tombak Naga Puspa telah kuberikan pada adikmu!"
Jogaskara beliakkan sepasang matanya. Da-
gunya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak. Dan
seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diden-
gar, dia geleng-gelengkan kepala dan berkata.
"Eyang! Eyang tidak sedang bergurau, bu-
kan...?"
Dadung Rantak keluarkan tawa berderai-derai
hingga bahunya yang terbuka tampak berguncang-
guncang turun naik.
"Dalam masalah penting seperti ini, tak layak
bergurau, Jogaskara! Jadi, kau harus dapat menerima
kenyataan ini!"
"Jahanam! Kenapa aku masih kurang percaya
saat pertama kali kudengar bahwa Tombak Naga Pus-
pa ada di tangan Guru? Jika saat itu aku cepat datang
menemui Guru, tak mungkin hal ini terjadi! Sarpake-
naka.... Aku akan mencari sekaligus merebut tombak
itu dari tanganmu! Saudara seperguruan tinggal sau-
dara. Aku yang lebih tua, seharusnya lebih berhak
atas tombak itu!"
"Jogaskara. Aku tahu kau kecewa. Tapi sekali
lagi kau harus dapat menerima kenyataan ini, karena
aku pun tak bisa mengingkari apa yang pernah kuu-
capkan! Jadi, dalam hal ini kau tak bisa menyalahkan
adikmu atau aku!" kata Dadung Rantak demi melihat
perubahan pada wajah muridnya.
Jogaskara tak menyahuti ucapan gurunya. Dia
seakan masih tenggelam dalam kegeraman dan keke-
cewaan. Beberapa kali terlihat Jogaskara mengusap
leher dan keningnya karena keringat dingin yang telah
bercampur dengan air hujan berlelehan semakin deras.
"Jogaskara!" berkata Dadung Rantak menying-
kap keterdiaman yang berlangsung agak lama.
"Kau tak usah terlalu kecewa. Aku masih me
nyimpan satu lagi benda yang kehebatannya tak kalah
dengan Tombak Naga Puspa. Jika kau menginginkan
aku akan berikan padamu, sebagai ganti dari Tombak
Naga Puspa!"
"Sialan! Mana ada orang percaya jika ada benda
yang kehebatannya menyamai Tombak Naga Puspa?
Tapi.... Dari pada pulang dengan berhampa tangan,
ada baiknya juga benda itu kuterima. Toh, setelah ini
aku akan merampas Tombak Naga Puspa dari tangan
Sarpakenaka....!"
Berpikir begitu, dengan raut wajah dibuat seo-
lah-olah masih kecewa, Jogaskara anggukkan kepala
seraya berkata.
"Bila itu kehendak Eyang guru, aku turut saja!"
Dadung Rantak manggut. Tangan kirinya lan-
tas bergerak menelikung ke belakang. Dan begitu dita-
rik ke depan kembali, di tangannya terlihat sebuah ko-
tak pipih terbuat dari kayu yang dilapis dengan kulit
kambing berwarna hitam.
Dan tanpa berkata-kata lagi, Dadung Rantak
melemparkan kotak di tangan kirinya ke depan, dan
jatuh tepat di hadapan Jogaskara.
"Ambillah!"
Dengan berat, perlahan-lahan Jogaskara meng-
ambil kotak pipih di hadapannya. Lalu dengan perla-
han pula dibukanya kotak itu.
Begitu kotak terbuka, Jogaskara terperangah
kaget. Bahkan hampir saja kotak di tangannya terjatuh
jika dia tak segera mengatasi rasa kagetnya. Karena
begitu kotak terbuka, seberkas cahaya hitam menebar
seakan menindih lenyap kepekatan suasana saat itu!
Bukan hanya itu saja, bersamaan dengan menebarnya
cahaya hitam, suasana disentak oleh hawa panas yang
menyambar keluar dari benda di dalam kotak.
Setelah dapat menguasai diri dan matanya terbiasa oleh kepekatan cahaya yang ditimbulkan benda
dari dalam kotak, Jogaskara baru dapat melihat benda
yang ada di dalam kotak.
Ternyata benda itu adalah sebuah keris. War-
nanya hitam legam. Panjangnya kira-kira dua rentan-
gan telapak tangan. Keris itu berkelok empat. Aneh-
nya, batangan keris itu membentuk bulatan kecil-kecil
yang saling tindih seperti sisik-sisik ular! Sementara
besar batangan keris mulai pangkal hingga ujung sa-
ma besarnya! Gagang keris terbuat dari semacam kaca
tembus pandang berwarna merah yang pangkalnya
berbentuk kepala seekor ular dengan lidah terjulur ke-
luar!
Setelah meneliti beberapa lama, baru Jogaskara
mengerti, jika cahaya hitam yang menebar, keluar dari
batangan keris, sementara hawa panas keluar dari ga-
gang keris yang ternyata juga merah membara!
"Hmm.... Meski dilihat dari pancaran sinar hi-
tam dan merah yang dikeluarkan benda ini menunjuk-
kan bahwa benda ini mempunyai kehebatan, namun
apa dapat dibuktikan jika benda ini tak kalah hebat-
nya dengan Tombak Naga Puspa? Aku masih ragu de-
ngan keterangan Guru!" membatin Jogaskara, lalu
alihkan pandangan matanya pada Dadung Rantak. Dia
hendak mengutarakan apa yang ada dalam hatinya.
Namun baru saja mulutnya membuka hendak bicara,
Dadung Rantak telah mendahului angkat bicara.
"Muridku. Rimba persilatan atau apalagi kau,
tentunya belum pernah mendengar dan melihat benda
itu. Keris itu bernama Papak Geni. Dan bila kau ingin
membuktikan kehebatannya, ambil keris itu dan
acungkan ke atas, lalu lemparkan!"
Mendapati kata-kata gurunya yang seolah men-
gerti jalan pikirannya, Jogaskara sedikit terkejut. Na-
mun perasaan itu segera dienyahkan. Tangan kanannya segera mengambil keris. Ada hawa aneh yang
menelusup masuk ke tubuhnya ketika tangan kanan-
nya memegang gagang keris. Dan Jogaskara tersentak
kaget saat tangannya tak dapat mengangkat keris.
Otak cerdik Jogaskara segera mengerti. Dan
sekejap itu juga Jogaskara alirkan tenaga dalam pada
tangan kanannya. Serta-merta keris itu bisa diangkat.
Dadung Rantak anggukkan kepala melihat mu-
ridnya dapat memaklumi keadaan. Sepasang matanya
terus mengawasi gerak-gerik muridnya.
Di seberang, setelah keris berhasil diangkat da-
ri kotak, Jogaskara melakukan apa yang dikatakan gu-
runya. Keris diacungkan ke atas dan serta-merta di-
lemparkan.
Keris berwarna hitam itu melesat ke udara. Ki-
ra-kira satu setengah tombak, keris itu membalik dan
kini melayang ke bawah. Hebatnya, begitu keris itu
menukik, serangkum angin deras menghampar! Dan
sebelum keris itu menerabas tanah becek, tanah di
bawah keris terbongkar hingga muncrat sampai se-
tinggi satu tombak! Bukan hanya sampai di situ, keti-
ka kilat menyambar dan menerangi sekitar tempat itu,
jelas terlihat jika tanah yang muncrat itu berubah
menjadi merah membara!
Keris terus menerabas ke bawah, namun sebe-
lum amblas ke dalam tanah becek yang telah ter-
bongkar, mendadak keris itu terhenti dan mengapung
di udara!
Di seberang, Dadung Rantak mendehem bebe-
rapa kali, lalu sentakkan tangan kanannya menyamp-
ing dengan perlahan. Bersamaan dengan bergeraknya
tangan kanan Dadung Rantak, keris itu bergerak kem-
bali dan jatuh di hadapan Jogaskara.
Jogaskara yang tampaknya masih terkesima
dengan apa yang terjadi di hadapannya terdiam dengan mulut menganga seolah tak tahu apa yang harus
diperbuat.
"Jogaskara! Kuharap kau tak kecewa sekarang.
Itu baru sebagian dari kehebatan yang tersimpan da-
lam Keris Papak Geni. Selebihnya kau dapat buktikan
sendiri nantinya! Ambil dan simpan kembali keris itu!"
Dengan masih dibungkus rasa kagum, Jo-
gaskara mengambil keris yang tergeletak di hadapan-
nya dan dimasukkan kembali dalam kotak, lalu disim-
pannya ke balik jubahnya.
"Terima kasih, Eyang...," kata Jogaskara seraya
menjura hormat.
Dadung Rantak anggukkan kepala, lalu berka-
ta.
"Nah, sekarang katakan apa yang hendak ingin
kau tanyakan!"
Sejurus Jogaskara memandang wajah gurunya.
Dengan suara perlahan, dia berkata.
"Eyang guru.... Rimba persilatan saat ini dibuat
geger dengan munculnya berita tentang Arca Dewi
Bumi...," Jogaskara hentikan sebentar kata-katanya.
Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menyam-
bung.
"Apakah benar berita tentang adanya Arca Dewi
Bumi itu? Dan siapa orang yang memegangnya saat
ini...?!"
Dadung Rantak yang sejak semula telah men-
getahui apa yang hendak diajukan muridnya segera
donggakkan kepala.
"Muridku. Dengar baik-baik! Arca Dewi Bumi
memang ada, dan bukan cerita yang dibuat-buat. Se-
dangkan orang yang memegang saat ini adalah seorang
Resi yang berusia amat lanjut. Dia bernama Sahyang
Resi Gopala. Seakan sudah disuratkan, meski Sahyang
Resi Gopala sudah berusia amat lanjut, namun dia belum juga meninggal dunia sebelum berhasil mewa-
riskan arca itu pada seseorang!"
Jogaskara angguk-anggukan kepala. Dalam ha-
ti dia berkata.
"Hmm.... Dengan kehebatan Keris Papak Geni
aku yakin bisa mendapatkan arca itu! Apalagi jika aku
berhasil merampas Tombak Naga Puspa dari tangan
Sarpakenaka! Peduli dengan orang yang bernama Sa-
hyang Resi Gopala. Kalau dia tak mau memberikan ar-
ca itu, maka aku pun tak segan-segan membabatnya!
Sebaiknya kutanyakan di mana orang bernama Sa-
hyang Resi Gopala itu berada!" Lalu Jogaskara lu-
ruskan matanya dengan membuka mulut.
"Eyang guru.... Di manakah orang yang...," be-
lum tuntas Jogaskara ucapkan kata-kata, Dadung
Rantak telah menyahut.
"Jogaskara! Siapa pun kita adanya, dan golon-
gan apa pun kita berada, janji harus dijunjung tinggi-
tinggi!"
Seakan tak mengerti maksud ucapan gurunya,
Jogaskara segera ajukan pertanyaan.
"Yang Eyang guru maksud..,?"
"Kau tadi telah mengatakan hendak ajukan dua
pertanyaan. Dan itu telah kau tanyakan dan aku pun
telah menjawab. Jadi kau sudah tak bisa ajukan per-
tanyaan lagi!"
Jogaskara pelototkan sepasang matanya. Wa-
jahnya tak diselimuti rasa kecewa, justru isyarat geram
dan marah jelas tampak pada raut wajahnya.
"Bangsat! Bila tak mengingat jasa baikmu yang
telah menurunkan ilmu padaku, akan kucabut anggo-
ta tubuhmu hingga kau menjawab segala pertanyaan-
ku!"
Meski sekilas melihat, Dadung Rantak tampak-
nya telah dapat membaca apa yang terpikir dalam benak muridnya. Tanpa memandang lagi pada sang mu-
rid, Dadung Rantak berkata.
"Jogaskara! Aku tahu, kau kecewa dengan ka-
ta-kataku. Namun kau harus dapat menelaah siapa
yang salah dalam hal ini. Aku tak mau mengatakan-
nya, karena kau mungkin sudah tahu! Hanya kunasi-
hatkan padamu, segala hal yang pernah terjadi jadi-
kanlah sebagai tonggak agar kesalahan tidak terulang
untuk yang kedua kalinya! Nah, waktuku sudah habis.
Aku harus meninggalkanmu!"
Habis berkata begitu, orang tua bertelanjang
dada ini takupkan kedua tangannya di atas kepala. Se-
pasang matanya saling mengatup, sementara mulut-
nya komat-kamit.
Mendadak dari tanah becek di bawah tubuh
Dadung Rantak mengepul sebongkah awan putih,
membungkus sekujur tubuh Dadung Rantak, lalu per-
lahan sekali bongkahan awan putih itu membumbung
ke udara.
Bersamaan dengan membumbungnya awan pu-
tih, sosok Dadung Rantak lenyap!
"Terlambat! Jahanam betul!" kata Jogaskara se-
tengah berteriak.
Sebenarnya Jogaskara ingin menahan keper-
gian gurunya. Bahkan diam-diam Jogaskara telah sa-
lurkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan siap
dipukulkan ke arah sang guru. Namun entah karena
terkesima atau mencari saat yang tepat, Jogaskara ter-
lambat untuk bertindak. Hingga saat kedua tangannya
siap menyentak, Dadung Rantak telah lenyap dari ha-
dapannya.
Namun Jogaskara tidak begitu saja menyerah,
begitu awan putih yang membungkus tubuh Dadung
Rantak membumbung, kedua tangannya disentakkan!
Tapi Jogaskara terlengak, karena angin deras
yang menyambar keluar dari kedua tangannya mental
balik sebelum menghantam sasaran! Bahkan mentalan
serangan itu menggebrak ke arahnya! Membuat salah
seorang murid Dadung Rantak ini harus cepat le-
satkan dirinya ke samping seraya bergulingan untuk
menghindari pukulannya sendiri.
Setelah dapat menghindari pukulannya sendiri,
laki-laki ini segera bangkit. Jubah birunya semakin ko-
tor karena bercampur tanah bongkaran!
Sesaat sepasang mata Jogaskara menyapu ber-
keliling. Lalu dengan menggerendeng panjang pendek
tubuhnya berkelebat meninggalkan Lembah Rawa
Buntek yang masih dibungkus kepekatan.
***
TIGA
SEORANG pemuda berparas tampan, menge-
nakan pakaian hijau yang dilapis dengan pakaian da-
lam warna kuning lengan panjang, rambut panjang
dan dikuncir ekor kuda tampak melangkah perlahan.
Melihat wajah serta lehernya yang basah oleh keringat,
demikian pula pakaian yang dikenakannya, jelas sekali
bahwa pemuda ini sedang melakukan perjalanan jauh.
Dan melihat sikapnya, yang berjalan pelan serta meng-
gerak-gerakkan tangan kanannya pulang balik di de-
pan dada, mengibas-ngibaskan kipas ungu di tangan,
nampaknya pemuda ini tengah menghilangkan rasa le-
lah dan panas.
Seraya berkipas-kipas, dari mulut pemuda ini
terdengar dendangan nyanyian yang tak bisa ditang-
kap artinya karena sesekali terdengar menggumam
dan tak jarang diseling dengan suara tawa. Sepasang
matanya yang tajam menebar memperhatikan keadaan
serta suasana tempat yang dilalui.
"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Menurut Dewi
Kayangan, hanya orang bertanda gurat 108 dalam tu-
buhnya yang bakal bisa mengambil dan mewarisinya,
apa hal itu dapat dipercaya kebenarannya? Ah, aku be-
lum bisa memastikan sebelum membuktikannya sen-
diri! Daerah Bajul Mati dan Sahyang Resi Gopala.... Itu
satu-satunya petunjuk Dewi Kayangan. Aku harus se-
gera menemukan daerah itu!" sang pemuda yang bu-
kan lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
berkata sendiri seraya terus melangkah perlahan sam-
bil berkipas.
"Aku sebenarnya tidak begitu berminat dengan
segala macam benda seperti itu, namun menuruti ka-
ta-kata Eyang Selaksa serta gegernya dunia persilatan
saat ini dengan kabar tentang Arca Dewi Bumi mem-
buatku harus bertindak agar arca itu tidak jatuh ke
tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Hmm....
Apa sih keistimewaan arca itu hingga Eyang Selaksa
begitu khawatir jika jatuh ke tangan orang yang tidak
bertanggung jawab? Dan semua orang bagai disentak
dengan munculnya berita tentang arca itu...? Aku jadi
penasaran... Apa...."
Tiba-tiba langkah Pendekar 108 tertahan, gu-
maman dari mulutnya terpenggal dan tangan kanan-
nya yang pulang balik berkipas berhenti bergerak.
"Aku mendengar suara orang mengerang lirih
laksana orang sekarat...."
Sepasang mata Pendekar 108 menyapu berke-
liling, telinganya dia tajamkan. "Di sebelah depan sa-
na...!"
Pendekar 108 berkelebat ke arah sumber suara.
Di bawah sebuah pohon yang tidak begitu besar tam-
pak sesosok tubuh sedang terkapar dengan mulut
mengerang. Sosok ini tampaknya sedang bergulat den-
gan kematian.
Dengan cepat Pendekar 108 mendekati sosok
yang terkapar. Dia adalah seorang laki-laki. Baik usia
maupun raut wajahnya tak bisa dikenali. Karena wa-
jah serta anggota tubuh dan pakaian orang itu hitam
legam! Namun tak ada darah yang terlihat berceceran
baik di tubuh atau di sekitar tempat itu.
Dengan sedikit kerutkan dahi, Pendekar 108
memeriksa laki itu.
"Tampaknya masih baru saja terjadi. Dia masih
hidup, namun mungkin tak akan bertahan lama...,"
pikir Aji seraya letakkan kedua tangan salurkan tenaga
dalam pada dada laki-laki yang sedang bertarung den-
gan ajal itu.
"Sobat. Katakan apa yang baru saja menimpa-
mu!"
Mulut laki-laki di hadapan Aji bergerak mem-
buka sedikit. Namun bukannya suara yang terdengar,
melainkan mengalirnya darah hitam dari sudut-sudut
bibirnya. Pendekar 108 bisa segera menebak, jika ang-
gota tubuh laki-laki ini berubah hitam karena terkena
pukulan atau senjata yang sangat hebat.
Pendekar 108 lipat gandakan tenaga dalamnya.
Mulut laki-laki itu semakin lebar membuka, dan darah
hitam semakin banyak keluar. Namun bersamaan itu
kelopak mata laki-laki ini bergerak membuka. Mata itu
telah redup dan sepertinya tak bisa dibuka lebar-lebar.
"Sobat! Katakan apa yang telah terjadi!" Pende-
kar 108 ulangi pertanyaannya. Suaranya agak dike-
raskan, khawatir jika laki-laki itu tidak mendengar.
Sepasang mata laki-laki itu memandang lurus
ke atas. Lalu perlahan sekali bola matanya bergerak ke
samping, di mana Pendekar 108 sedang jongkok.
Laki-laki ini tampak terkejut. Namun anggota
tubuhnya tak bisa mengisyaratkan keterkejutannya,
hanya sepasang matanya tampak sedikit membesar
dengan tangan bergerak-gerak pelan, namun sesaat
kemudian lunglai kembali.
"Sobat. Aku akan berusaha menolongmu. Kata-
kan apa yang sedang kau alami!" kata Pendekar 108
begitu menangkap rasa terkejut pada laki-laki di sam-
pingnya.
Untuk beberapa saat lamanya laki-laki ini tak
terdengarkan suara untuk menjawab meski mulutnya
tampak bergerak-gerak.
Mendapati hal ini, Pendekar 108 segera alihkan
tangan kanannya ke leher sementara tangan kiri tetap
di atas dada sang laki-laki.
"Seseorang.... Yang..., yang menamakan diri...
Dayang... Naga... Puspa. Dia... memaksaku...." Sejenak
laki-laki ini hentikan ucapannya. Dadanya bergerak
perlahan turun naik tak teratur. Pendekar Mata Keran-
jang 108 menunggu dengan sesekali memperhatikan
anggota tubuh sang laki-laki.
Setelah dapat mengatasi sendatan napasnya,
laki-laki ini meneruskan kata-katanya. Pelan sekali,
hingga Pendekar 108 harus dekatkan telinganya ke
mulut sang laki-laki.
"Dia memaksaku untuk... mengatakan di mana
letaknya dusun Kepatihan, lalu..., bertanya panjang...
lebar tentang Dewi Kayangan. Meski aku... telah men-
gatakan namun..., dia menyerangku. Dia berilmu san-
gat tinggi, aku tak sanggup...."
"Dapat kau sebutkan ciri-cirinya...?"
Kembali laki-laki ini atur napasnya sebelum
akhirnya berkata kembali.
"Seorang perempuan..., memakai jubah putih
besar. Dia baru.., saja menuju arah sana...," seraya
berkata, laki-laki ini arahkan pandangannya ke sebelah barat, arah yang hendak diambil Pendekar 108.
"Aku harus menyusulnya meski aku tahu, jalan
yang diambil orang yang bernama Dayang Naga Puspa
adalah salah jika memang ingin ke dusun Kepatihan!"
lalu Aji lipat gandakan tenaga dalamnya pada sang la-
ki-laki agar dia dapat bertahan agak lama.
"Sobat. Kau tunggulah di sini. Aku akan me-
nyusul orang yang kau sebutkan tadi! Dia mungkin
membawa obat penawar racun yang telah disarangkan
padamu!"
Habis berkata, Pendekar 108 segera bangkit
dan bergerak berkelebat ke arah yang ditunjuk sang
laki-laki.
"Anak Muda.... Jangan kau..., buat urusan de-
ngan orang itu! Dia...," laki-laki ini tak meneruskan
ucapannya karena dilihatnya pemuda berjubah hijau
itu telah lenyap.
Sesaat setelah kepergian Pendekar Mata Keran-
jang 108, sesosok bayangan tampak berkelebat. Dan
tahu-tahu telah berdiri dengan kacak pinggang di
samping sang laki-laki yang terkapar. Sepasang mata
sosok yang baru datang mengawasi sang laki-laki den-
gan pandangan sinis. Lalu dengan membentak garang,
orang yang baru datang bertanya.
"He...! Mana dia...?!"
Laki-laki yang terkapar terkejut besar. Sepa-
sang matanya yang redup sejenak memperhatikan
orang yang membentak. Ternyata dia adalah seorang
perempuan setengah baya. Wajahnya tak bisa dikenali
karena mengenakan penutup kulit tipis yang berwarna
putih. Pakaian yang dikenakannya pun agak gom-
brong, seolah ingin menyembunyikan bentuk anggota
tubuhnya. Satu-satunya tanda yang menunjukkan
bahwa dia adalah seorang perempuan adalah lehernya
yang tak menampakkan jakun.
"He...! Kalau kau tak segera jawab, nyawamu
akan kuputus sekarang!" bentak perempuan berjubah
putih ketika ditunggu-tunggu sang laki-laki tidak sege-
ra menjawab pertanyaannya.
Mendapat ancaman, sang laki-laki bukannya
segera menjawab. Dia tampak sunggingkan senyum
sinis meski dilakukan dengan susah payah.
"Siapa kau...? Dan siapa.... Yang kau mak-
sud..., dengan dia?!"
"Jahanam! Sudah akan masuk tanah masih
bertanya-tanya! Kau tak berhak tahu siapa aku! Ja-
wab. Mana pemuda berbaju hijau tadi!"
"Rupanya perempuan ini punya niat tidak baik.
Lain dengan pemuda tadi! Akan kukerjai dia!" mem-
batin sang laki-laki. Setelah mengatur napas, dia ber-
kata.
"Kalau kau..., tak sebutkan nama, aku..., tidak
akan mengatakan kemana perginya..., pemuda tadi!"
"Bangsat! Kau memang sudah bosan hidup!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali
oleh sang laki-laki, perempuan ini kebutkan pakaian
gombrongnya.
Wuttt!
Serangkum angin deras menggebrak dengan
keluarkan suara menggemuruh.
Laki-laki yang terkapar coba membuka ma-
tanya lebar-lebar. Tenggorokannya bagai disekat. Na-
mun laki-laki ini tak bisa berbuat banyak, karena ang-
gota tubuhnya tak bisa digerakkan. Hingga tanpa am-
pun lagi serangan dari perempuan itu tak bisa dielak-
kannya.
Desss!
Terdengar seruan pelan dari mulut sang laki-la-
ki. Dan bersamaan dengan itu, tubuh sang laki-laki
terguncang sebentar lalu diam tak bergerak. Hebatnya,
meski serangan sang perempuan ini berupa angin de-
ras, namun sambaran itu tak membuat tubuh orang
yang terkena sasaran melayang atau bergulingan! Ini
jelas menunjukkan jika sang perempuan adalah seo-
rang berilmu tinggi, karena bisa meredam pukulannya
dari jarak jauh!
Perempuan berwajah putih tersenyum sinis. La-
lu balikkan tubuh. Sejenak sepasang matanya mene-
bar berkeliling di tempat itu.
"Brengsek! Apa aku akan kehilangan dia lagi?
Kulihat tadi dia berkelebat, namun begitu cepatnya
hingga aku tak dapat menentukan arah yang diambil-
nya...! Jahanam betul!"
Perempuan berwajah putih ini lalu bungkukkan
sedikit tubuhnya. Hidungnya kembang kempis men-
gendus-endus.
"Hmmm.... Berarti dia masih belum jauh dari
sini. Bau tubuhnya masih dapat kuendus. Dia berada
di arah sana!" gumam perempuan berwajah hitam se-
raya luruskan tubuhnya. Lalu setelah memandang ber-
keliling sekali lagi, perempuan ini berkelebat ke arah
berkelebatnya Pendekar Mata Keranjang 108.
***
EMPAT
PENDEKAR 108 memacu larinya dengan cepat.
Seraya berlari tak henti-hentinya dia bertanya-tanya
dan menduga. "Dayang Naga Puspa... siapa dia sebe-
narnya? Melihat keadaan laki-laki tadi, pastilah orang
ini berilmu sangat tinggi. Tanpa meninggalkan bekas
pukulan sama sekali, dia bisa membuat orang hitam
legam laksana orang dijerang dalam tungku. Selain berilmu tinggi, dia adalah orang kejam. Hmm.... Dia me-
nuju dusun Kepatihan, dan bertanya tentang Dewi
Kayangan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan
Arca Dewi Bumi...? Jika benar, kebocoran tentang ra-
hasia arca itu telah merebak ke mana-mana!"
Mendadak Pendekar 108 hentikan larinya. Sa-
mar-samar sepasang matanya menangkap sesosok
bayangan melangkah perlahan jauh di depannya.
"Mengenakan jubah putih besar.... Dan melihat
rambutnya yang panjang bergerai dia adalah seorang
perempuan. Seperti ciri-ciri yang dikatakan laki-laki
tadi. Akan kulihat dahulu sepak terjangnya dari
jauh...."
Berpikir begitu, Pendekar 108 segera berkelebat
ke depan dengan jalan mengendap-endap. Sepasang
matanya terus mengawasi jauh ke depan, pada sosok
berjubah putih yang tiba-tiba saja hentikan langkah-
nya.
"Sialan! Apa dia mengetahui jika sedang kuiku-
ti...? Dia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Aku
harus menghindar dahulu...." Aji segera rundukkan
kepala dan duduk mendekam di balik semak belukar.
Namun sepasang matanya serta telinganya dipasang
baik-baik.
Tak jauh di depan, orang yang diikuti Pendekar
Mata Keranjang dongakkan kepala. Sepasang matanya
yang bulat besar berputar liar di kelopaknya. Tangan
kanan orang ini bergerak ke atas, mengusap hidung-
nya yang ternyata mengenakan sebuah anting-anting
berwarna kuning di sebelah kiri.
"Hmm.... Aku merasa diikuti orang. Dia mende-
kam tak jauh dari sini...!" Lalu hidung orang ini berge-
rak-gerak seiring tarikan napasnya. "Hm.... Bau tu-
buhnya tak harum, berarti dia seorang laki-laki! Siapa
laki-laki bangsat ini? Akan kubuat babak belur sebelum kubunuh!"
Orang ini dengan gerakan luar biasa cepat sege-
ra balikkan tubuh. Sepasang matanya yang bulat be-
sar menyapu berkeliling. Dagunya sedikit terangkat
dengan gigi saling menggigit.
Dari tempatnya mendekam, Pendekar 108 sedi-
kit terkejut ketika matanya telah dapat melihat orang
yang diikutinya. Ternyata dia adalah seorang perem-
puan yang usianya tidak muda lagi. Namun demikian
sisa kecantikannya masih tampak terlihat. Sepasang
matanya bulat dan tajam. Rambutnya panjang dan di-
biarkan tergerai, hingga menutupi sebagian wajahnya.
Pada hidungnya yang mancung sebelah kiri nampak
melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning.
Mengenakan pakaian hitam panjang yang dirangkap
dengan jubah putih besar.
"Hmm.... Memang ini orang yang dikatakan la-
ki-laki tadi! Dayang Naga Puspa. Julukan bagus! Meli-
hat raut mukanya, pastilah dia seorang gadis cantik
waktu mudanya. Sayang, dada dan pinggulnya tak je-
las tampak. Tapi aku percaya, dia masih merawat tu-
buhnya dengan baik. Bibirnya masih menggunakan
polesan pemerah. Hmm...."
Namun murid Wong Agung ini sekonyong-
konyong melengak dengan membesarkan sepasang
matanya. Dadanya berdegup agak keras. Sementara
keningnya mengernyit. Perempuan yang diikutinya dan
bukan lain memang Dayang Naga Puspa melangkah
pelan ke arah di mana Pendekar Mata Keranjang 108
mendekam.
"Busyet! Nampaknya dia tahu aku di sini! Ba-
gaimana ini? Sebaiknya aku segera keluar...!" memba-
tin Aji seraya bangkit dari tengah semak belukar.
Tapi gerakan Pendekar 108 tertahan, demikian
juga gerak langkah Sarpakenaka alias Dayang Naga
Puspa. Dari balik sebuah pohon yang tidak jauh dari
tempat Dayang Naga Puspa, berkelebat sesosok ba-
yangan dengan keluarkan seruan. "Mana dia...?!"
Meski terkejut sedikit, namun Dayang Naga
Puspa cepat menyembunyikannya dengan tersenyum
lebar. Lalu dengan sepasang mata menyengat tajam,
memperhatikan sosok yang kini tegak di hadapannya,
dia berkata.
"Tak ada badai, tak ada gempa, tak ada setan
gundul, kau tiba-tiba berteriak! Siapa yang kau cari?
Dan siapa kau yang berlaku pengecut menyembunyi-
kan tampang di balik kulit penutup?!"
Orang yang baru datang mendengus keras. La-
lu balas memandang dengan tatapan yang tak kalah
galaknya. Dia adalah seorang perempuan mengenakan
pakaian agak gombrang dan menutupi wajahnya den-
gan kulit berwarna putih. Dari tempat persembunyian-
nya, Pendekar 108 melengak kaget.
"Mekar Sari! Ah, tampaknya dia mengikutiku
setelah kejadian di Kepatihan! Ah.... Nampaknya kea-
daan akan runyam, apalagi jika Dayang Naga Puspa
memang mengetahui aku di sini!" batin Pendekar 108,
seraya memandang ke arah orang berwajah putih yang
bukan lain memang Mekar Sari atau Dewi Bunga Iblis,
Adik bungsu Dewi Kayangan.
"Hmm.... Memakai pakaian dalam warna hitam
yang dilapis dengan jubah putih besar. Hidung kirinya
dihiasi anting-anting kuning. Meski aku belum pernah
bertemu sebelumnya, namun ciri-ciri itu dalam rimba
persilatan hanya dimiliki oleh tokoh sesat yang berna-
ma Sarpakenaka. Hmm.... Menurut kabar yang kuden-
gar, dia mempunyai ilmu tinggi. Aku harus bertindak
hati-hati! Tapi ke mana perginya pemuda berbaju hijau
itu? Aku yakin dia ke arah sini! Apa disembunyikan
oleh dia...?!" batin orang yang berwajah putih ini. Lalu
dengan tersenyum sinis pula dia angkat bicara.
"Sarpakenaka! Kau tak usah berpura-pura. Apa
kau masih suka menyimpan pemuda-pemuda? Jika
betul, aku bisa carikan untukmu berapa yang kau in-
ginkan. Asal pemuda tadi kau serahkan padaku!"
Dayang Naga Puspa atau Sarpakenaka dongak-
kan kepala. Dari mulutnya terdengar suara tawa ber-
derai-derai.
"Bagus! Kau telah tahu siapa diriku. Jadi aku
tak usah repot-repot menerangkan. Hanya yang perlu
kau ketahui, ternyata kau adalah perempuan tolol!
Dungu! Dan tak tahu malu! Kau tadi menuduhku me-
nyimpan seorang pemuda, kau lihat! Aku memang
mempunyai kantong besar-besar, tapi anak kecil pun
tahu, jika kantong jubahku ini tak cukup untuk me-
nyembunyikan seorang pemuda!" kata Dayang Naga
Puspa di sela-sela tawanya. Lantas dia menyambung.
"Apakah kata-katamu tadi tidak salah? Bukan-
kah kau yang saat ini sedang mengejar-ngejar seorang
pemuda? Ah, kukira pemuda tadi ngeri melihat tam-
pangmu yang begitu cantik! Sungguh kasihan kau!
Tentunya kau sudah bersusah payah merayunya, bah-
kan mungkin sampai berguling-gulingan di atas tanah!
Bagaimana kalau kucarikan saja seseorang untuk
pengganti? Kalau pilihanku, kau tak usah khawatir!
Dia pasti sip...!"
Orang yang memang Mekar Sari atau Dewi Bu-
nga Iblis parasnya berubah hitam mengelam. Sepasang
matanya membeliak besar-besar seakan meloncat dari
rongganya. Dagunya membatu dengan pelipis berge-
rak-gerak keras.
Di tempat mendekamnya, kembali Pendekar
Mata Keranjang dibuat terkejut. Diam-diam dia ber-
kata. "Yang dimaksud Dayang Naga Puspa tentunya
adalah aku! Lebih baik kulihat dahulu perkembangan
nya!"
"Sarpakenaka! Perempuan tua bermulut jorok!
Kuberi kesempatan kau sekali lagi untuk menjawab
pertanyaanku sebelum kesabaranku habis!" bentak
Dewi Bunga Iblis dengan kedua tangan telah dialiri te-
naga dalam dan siap untuk dipukulkan.
Dayang Naga Puspa bukannya segera menyam-
buti kata-kata Dewi Bunga Iblis dengan menjawab per-
tanyaannya, malah dia semakin keraskan tawanya.
Namun mendadak tawanya dia putus. Kepalanya dia
luruskan ke depan, sepasang matanya melotot.
"Orang bertampang jelek! Aku sebenarnya tak
suka diancam orang. Namun kali ini biarlah. Dengar!
Aku akan memberitahukan di mana pemuda yang kau
kejar-kejar, dengan syarat kau harus membuka penu-
tupmu! Aku khawatir kau adalah seorang laki-laki
yang menyaru dan menyukai sesama laki-laki. Kalau
kau memang betul seorang perempuan, apa boleh
buat, tentunya kau sedang jatuh cinta pada pemuda
itu! Aku tak akan menghalangi orang yang sedang
kasmaran!"
Mendengar kata-kata Dayang Naga Puspa, Pen-
dekar 108 terperanjat. Keringat dingin mulai keluar
membasahi tubuhnya.
"Sialan! Kalau Dewi Bunga Iblis benar-benar
membuka penutup wajahnya, dan Dayang Naga Puspa
memberitahukan di mana aku berada, masalah akan
benar-benar bertambah panjang.... Sialnya diriku!"
Jika Pendekar 108 merinding kuduknya serta
keluar keringat dingin dan membatin demikian rupa,
lain halnya dengan Dewi Bunga Iblis. Begitu mende-
ngar kata-kata Dayang Naga Puspa, perempuan ber-
wajah putih ini menyeringai. Giginya saling beradu ke-
luarkan suara gemeratak. Dalam hati dia berkata.
"Hm.... Aku bukannya takut menghadapi setan
ini, namun karena pemuda itu lebih penting bagiku,
lebih baik aku turuti saja permintaannya.... Toh dia
pasti tak tahu kegunaan pemuda itu!"
Berpikir begitu, Dewi Bunga Iblis lantas angkat
tangan kanannya seraya berkata.
"Sarpakenaka! Kalau itu pemintaanmu, baik-
lah! Tapi jika kau menipuku, jangan mimpi kau akan
meninggalkan tempat ini dengan nyawa masih utuh!"
Sarpakenaka hanya tersenyum sinis tanpa me-
nyahuti ancaman Dewi Bunga Iblis. Bahkan dengan
tersenyum pula dia melihat gerakan tangan kanan De-
wi Bunga Iblis yang membuka penutup kulit putih di
wajahnya.
Begitu penutup wajah Dewi Bunga Iblis terbu-
ka, sepasang mata Sarpakenaka membeliak besar. Ke-
ningnya berkerut, sementara mulutnya komat-kamit.
"Dewi Bunga Iblis!" seru Sarpakenaka atau Da-
yang Naga Puspa begitu mengenali wajah di balik pe-
nutup yang telah dibuka. "Hmm.... Ternyata dia tidak
tewas seperti berita yang selama ini beredar. Siapa
pemuda yang dikejarnya? Kekasihnya...? Aku tahu,
pemuda itu masih ada di sekitar sini! Kalau...," Dayang
Naga Puspa tidak meneruskan kata hatinya, karena
saat itu Dewi Bunga Iblis telah keluarkan bentakan.
"Sarpakenaka! Lekas katakan di mana pemuda
itu!"
Yang dibentak sunggingkan senyum mengejek.
Dan tanpa memandang dia berkata.
"Bunga Iblis! Kau tampaknya benar-benar pe-
rempuan tolol! Apa kau telah menuruti segala per-
mintaanku?"
"Jahanam! Kau jangan banyak mulut. Lihat!
Aku telah membuka penutup wajahku!" bentak Dewi
Bunga Iblis dengan mata berkilat-kilat.
Lagi-lagi bentakan Dewi Bunga Iblis hanya di
balas dengan sunggingan senyum oleh Dayang Naga
Puspa. Bahkan sesaat kemudian tawanya meledak,
membuat Dewi Bunga Iblis semakin geram.
"Bunga Iblis! Aku tidak memancing kemara-
hanmu. Hanya saja kau memang belum sepenuhnya
menuruti segala syarat yang kuajukan! Kau saat ini
masih membuka wajahmu! Padahal aku mengajukan
syarat kau harus membuka penutupmu! Jadi kau ha-
rus buka seluruh penutupmu! Baik wajah atau ang-
gota tubuh lainnya! Hik... hik... hik...!"
Dari tempat mendekamnya, mau tak mau Pen-
dekar Mata Keranjang 108 sunggingkan senyum men-
dengar kata-kata Dayang Naga Puspa. Dia merasa se-
dikit lega, karena dia berpikir tak mungkin Dewi Bun-
ga Iblis untuk menuruti persyaratan Dayang Naga
Puspa.
Di lain pihak, begitu mendengar ucapan
Dayang Naga Puspa, serta-merta Dewi Bunga Iblis
campakkan kulit putih di tangannya yang tadi dipakai
untuk menutupi wajahnya. Dan kejap itu juga kedua
tangannya disentakkan ke depan.
Dua larik sinar hitam menyambar cepat keluar
dari kedua tangan Dewi Bunga Iblis. Bersamaan de-
ngan melesatnya sinar hitam, suara bergemuruh me-
nyentak tempat itu!
Di seberang, Dayang Naga Puspa tak bergeming
dari tempatnya. Malah dia tersenyum sinis seperti me-
nunggu. Dan begitu sedepa lagi larikan sinar hitam
menghantam tubuhnya, perempuan berjubah putih ini
segera melompat ke samping kanan. Serangan Dewi
Bunga Iblis menerobos angin dan menghantam tempat
kosong.
Sementara itu, dari tempatnya yang baru, Da-
yang Naga Puspa segera tengadahkan kepala. Dari mu-
lutnya terdengar suara tawa panjang tergelak-gelak.
Kedua tangannya bergerak menyibak bagian depan ju-
bah putihnya. Seberkas sinar hitam berkilat-kilat tam-
pak keluar dari pinggang kirinya.
Dewi Bunga Iblis gertakkan rahang melihat se-
rangan pembukanya begitu mudah dielakkan lawan.
Dia segera hendak kirimkan kembali serangan, namun
gerakannya tertahan ketika sepasang matanya me-
nangkap bersitan sinar hitam berkilat memancar ke-
luar dari pinggang kiri Dayang Naga Puspa.
Bukan hanya Dewi Bunga Iblis yang terkejut,
dari tempat persembunyiannya Pendekar 108 pun
membelalakkan sepasang matanya.
"Tombak aneh! Bukan hanya bentuknya, na-
mun juga kilatannya! Hmm.... Pasti senjata yang mem-
punyai kekuatan luar biasa! Ah, laki-laki tadi pastilah
terkena racun tombak itu! Bagaimana nasibnya se-
karang? Tak mungkin lagi bagiku untuk menolong.
Keadaan tidak memungkinkan...!"
"Baru kali ini aku melihat tombak yang bentuk-
nya begitu rupa! Aku harus hati-hati, kalau keadaan
tak menguntungkan, aku akan cepat meloloskan di-
ri...!" batin Dewi Bunga Iblis. Tampaknya diam-diam
dia ciut juga nyalinya, namun sebagai tokoh yang pen-
galaman bertahun-tahun dalam rimba persilatan, dia
tak hendak menunjukkan sikap takut, malah dengan
suara lantang dia berkata mengejek.
"Tombak butut! Apa yang ditakutkan!"
Habis berkata, seakan tak mau didahului, Dewi
Bunga Iblis kembali kirimkan serangan. Kali ini tu-
buhnya dia putar, mendadak saja tubuhnya lenyap da-
ri pandangan. Dan tahu-tahu tubuh Dewi Bunga Iblis
telah menukik deras dengan sepasang kaki mengarah
pada kepala Dayang Naga Puspa, sementara kedua
tangannya mengepal dan mengayun dari bawah!
Sepertinya sudah dapat menduga gerakan lawan, Dayang Naga Puspa segera angkat tubuhnya se-
tinggi setengah tombak memapak tubuh Dewi Bunga
Iblis! Kedua tangannya dipalangkan di depan kepala,
sementara kedua kakinya disapukan dari bawah ke
atas, menyongsong kedua tangan lawan.
"Prakk! Prakkk! Prakk! Prakkk!"
Terdengar empat kali benturan berturut-turut.
Lalu disusul terdengarnya dua seruan tertahan. Tubuh
Dewi Bunga Iblis mental ke atas lebih tinggi, namun
perempuan berpakaian agak gombrang ini segera buat
gerakan berputar dua kali di udara, hingga tubuhnya
selamat dari terjerembab di tanah. Sementara itu, tu-
buh Dayang Naga Puspa melayang ke belakang. Na-
mun perempuan berjubah putih ini segera pula jungkir
balik dan mendarat di atas tanah dengan kedua kaki
terpentang kokoh!
"Hmm.... Apa yang dikatakan laki-laki itu ter-
nyata benar. Dayang Naga Puspa berilmu tinggi! Na-
mun nampaknya kedua orang ini seimbang...," pikir Aji
seraya tenis mengawasi kedua orang yang kini sedang
saling bentrok pandang!
"Sarpakenaka.... Hm.... Kabar tentang dia ru-
panya benar juga, dia berilmu tak cetek. Tangan dan
kakiku serasa terpenggal. Dadaku berdenyut sedikit
sakit...," batin Dewi Bunga Iblis seraya tak kesiapkan
sepasang matanya.
Sedangkan Dayang Naga Puspa, diam-diam ju-
ga berkata dalam hati.
"Nama Dewi Bunga Iblis nyatanya tidak omong
kosong! Selama bertahun-tahun tak menampakkan di-
ri hingga tersiar kabar bahwa dia telah tewas mungkin
digunakan perempuan ini untuk memperdalam ilmu.
Tenaga dalamnya begitu kuat. Namun aku tak takut,
Tombak Naga Puspa ada di tanganku! Dia boleh ber-
nama besar dan ditakuti banyak tokoh, namun di hadapan Tombak Naga Puspa semuanya akan lain!"
"Perempuan pemakan pemuda! Sudah siapkah
kau menghadapi kematian?!" kata Dayang Naga Puspa
seraya melangkah maju. Kedua tangannya disatukan
lantas disejajarkan dengan dada. Mulutnya berkemik,
namun sepasang matanya tak berkedip menyengat ke
arah Dewi Bunga Iblis.
Dewi Bunga Iblis tertawa pendek penuh ejekan.
Kedua tangannya pun menakup dan disejajarkan da-
da. Matanya sedikit memejam.
"Kau tak usah banyak mulut! Dari tadi aku su-
dah menunggu! ujar Dewi Bunga Iblis.
Begitu kata-kata Dewi Bunga Iblis usai, Dayang
Naga Puspa sentakkan kedua tangannya.
Sebongkah awan hitam menyambar cepat ke
arah Dewi Bunga Iblis. Hebatnya, sebelum bongkahan
awan itu melesat, serangkum angin dahsyat yang
menggemuruh mendahului!
Di seberang, Dewi Bunga Iblis segera jejak ta-
nah. Tubuhnya melesat ke depan seakan menyongsong
pukulan Dayang Naga Puspa.
Setengah depa lagi angin dahsyat yang menda-
hului serangan Dayang Naga Puspa menggebrak, ke-
dua tangan Dewi Bunga Iblis bergerak mendorong!
Blammm! Blammm!
Terdengar dua kali ledakan keras. Tanah di
tempat itu laksana diguncang gempa. Tanahnya berge-
tar dan terbongkar, sementara semak belukar di tem-
pat bertemunya kedua pukulan terbabat habis!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang ada di seki-
tar tempat itu terkejut besar. Dia buru-buru sejajarkan
tubuhnya dengan tanah.
"Busyet! Terlambat sedikit, masalah akan teru-
lur panjang! Aku harus cepat mencari tempat yang ter-
lindung agak jauh dari sini! Mumpung mereka sedang
tak memperhatikan keadaan...!" Murid Wong Agung ini
lantas dongakkan kepalanya dengan mata berputar liar
mencari-cari tempat.
"Hm.... Pohon besar itu tampaknya cocok untuk
menyaksikan pertandingan! Daunnya rimbun dan agak
jauh, namun leluasa melihat ke tempat pertandingan!"
Mata Pendekar 108 lantas mengarah pada dua
orang yang kini sedang bertarung. Lalu dengan ge-
rakan cepat, kedua tangan dan kakinya disentakkan
ke atas tanah. Tubuhnya melesat cepat dan masuk ke
rimbunan pohon besar.
"He... he... he.... Dari sini baru asyik...! Dan jika
salah satu telah roboh, aku harus cepat tinggalkan
tempat ini!" membatin Aji seraya tersenyum-senyum.
Sementara sepasang matanya tetap tak beranjak dari
dua orang di bawahnya.
Di bawah, tubuh Dewi Bunga Iblis tampak me-
layang balik dengan derasnya, meski perempuan ini
terlihat mencoba kerahkan tenaga dalam untuk meng-
hentikan gerakan tubuhnya, namun nampaknya tak
berhasil, karena ternyata tubuhnya tetap melayang ke
belakang. Lalu sesaat kemudian terdengar seruan ter-
tahan tatkala tubuh Dewi Bunga Iblis terkapar di atas
tanah! Dari sudut bibirnya tampak meleleh darah se-
gar, sementara sepasang matanya memejam rapat
dengan dada bergetar hebat. Namun, perempuan ini
segera bangkit dengan tangan bersedekap!
Di lain pihak, Dayang Naga Puspa tak jauh le-
bih baik. Karena dorongan kedua tangan Dewi Bunga
Iblis dilakukan dengan jarak agak dekat, membuat
daya sentaknya lebih deras. Hingga begitu ledakan ter-
jadi, tubuh perempuan berjubah putih ini melayang
berputar dan jatuh terbanting dengan derasnya!
Untuk sesaat lamanya Dayang Naga Puspa di-
am tak bergerak-gerak di atas tanah. Darah juga terlihat meleleh dari bibirnya. Malah dari mulutnya terden-
gar pula erangan panjang.
Dewi Bunga Iblis yang mengetahui lawan masih
tak bergerak di atas tanah sementara dirinya sudah
bangkit, segera saja tak menyia-nyiakan kesempatan.
Tanpa memperdengarkan suara bentakan, tu-
buhnya segera berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya
telah satu depa di atas tubuh Dayang Naga Puspa den-
gan sepasang kaki siap menyapu ke arah kepala!
Saat itulah, tanpa diduga sama sekali oleh Dewi
Bunga Iblis, sekonyong-konyong Dayang Naga Puspa
jejakkan tumitnya ke tanah. Tubuhnya bergeser ke
atas. Lalu dengan gerakan yang sulit ditangkap mata
biasa, tangannya berkelebat ke atas menyongsong tu-
buh Dewi Bunga Iblis.
Bersamaan dengan berkelebatnya tangan Da-
yang Naga Puspa, seberkas sinar hitam membersit.
Dewi Bunga Iblis terperangah hingga keluar je-
ritan dari mulutnya. Namun tak ada lagi kesempatan
untuk menghindar. Hingga dengan menindih berbagai
perasaan, Dewi Bunga Iblis meneruskan terjangan ke-
dua kakinya ke arah tubuh Dayang Naga Puspa! Malah
untuk menambah serangan kedua tangannya pun ikut
disentakkan!
Prakkk!
Brettt!
Terdengar benturan keras, lalu disusul dengan
terdengarnya pakaian robek. Karena begitu cepatnya
benturan itu terjadi, hingga apa yang terjadi saat itu
tak dapat disiasati dengan mata. Yang kemudian terli-
hat adalah melayangnya tubuh Dewi Bunga Iblis dan
raungan keras dari mulutnya. Lalu terdengar suara
gedebukan terbantingnya tubuh Dewi Bunga Iblis!
Sementara Dayang Naga Puspa tubuhnya tam-
pak terguling-guling di atas tanah, dan baru terhenti
tatkala tubuhnya membentur sebuah pohon! Namun
perempuan ini cepat jejakkan kakinya ke batang po-
hon. Tubuhnya melesat ke atas dan setelah membuat
gerakan berputar dua kali, dia mendarat di atas tanah
dengan senyum tersungging meski wajahnya tak dapat
menyembunyikan rasa kesakitan yang amat sangat. Di
tangan kanannya tampak tombak hitam tergenggam.
Sementara itu, begitu tubuhnya terbanting,
Dewi Bunga Iblis segera pula berusaha bangkit, kedua
kakinya tampak goyah. Dan sesaat kemudian tubuh-
nya kembali terjatuh. Dengan paras agak pucat, se-
pasang matanya melirik ke paha kirinya yang terasa
laksana dibakar.
Sepasang mata Dewi Bunga Iblis mendadak
membeliak besar. Ternyata pakaian bagian paha itu te-
lah robek besar. Namun bukan itu yang membuat se-
pasang mata orang ini membelalak. Ternyata kulit di
balik robekan pakaian yang gombrong itu terkelupas
dan sedikit berlobang, dan berwarna hitam legam!
"Racun Ular Naga!" seru Dewi Bunga Iblis de-
ngan wajah tercekat. Kedua tangannya segera bergerak
menotok jalan darah pahanya.
"Tombak itu ternyata mengandung Racun Ular
Naga! Hm.... Sementara aku harus menyembuhkan du-
lu paha ini dari racun jahat itu. Aku harus, me-
ninggalkan tempat ini!"
Berpikir begitu, Dewi Bunga Iblis segera ta-
kupkan kedua tangannya. Secepat kilat Dewi Bunga
Iblis segera sentakkan kedua tangannya ke arah
Dayang Naga Puspa yang tampak memperhatikan la-
wan dengan senyum sinis. Dia tampaknya menduga ji-
ka lawan tidak akan berdaya lagi, karena Tombak Naga
Puspa telah berhasil menembus pahanya.
Begitu kedua tangan Dewi Bunga Iblis menyen-
tak, terlihat beberapa benda hitam menebar dan berpelesatan ke arah Dayang Naga Puspa dari segala juru-
san!
Dayang Naga Puspa terperangah kaget melihat
lawan masih bisa kirimkan serangan. Maka dengan
menindih rasa geram dan hampir tak percaya, Dayang
Naga Puspa segera berkelebat berputar dengan tangan
dan kaki bersiutan menghentak!
Beberapa benda hitam yang ternyata adalah be-
berapa bunga berwarna hitam legam bermentalan dan
berhamburan jatuh di atas tanah. Namun karena ba-
nyaknya, meski kedua tangan dan kaki Dayang Naga
Puspa bergerak tiada henti-hentinya, dua buah bunga
masih sempat menerabas tubuhnya!
Dayang Naga Puspa melengak kaget, karena
meski hanya sekuntum bunga ternyata mampu me-
nembus jubah putihnya, bahkan tembus hingga kulit
di baliknya!
"Setan alas! Bunga-bunga jahanam!" teriak Da-
yang Naga Puspa begitu mendarat kembali di atas ta-
nah seraya pandangi pundak dan pinggangnya yang
terterabas bunga hitam. Ternyata bunga itu menancap
dan kulit di sekitarnya telah berubah kebiruan!
Serta-merta Dayang Naga Puspa campakkan
bunga-bunga itu dari pundak dan pinggangnya. Wa-
jahnya meringis menahan panas dan perih. Namun
semua itu tak dihiraukannya. Sepasang matanya me-
mandang ke tempat Dewi Bunga Iblis berada.
Namun sepasang mata Dayang Naga Puspa
membeliak, lalu berputar liar berkeliling. Kedua ka-
kinya dibantingkan ke atas tanah.
"Jahanam bedebah! Dia melarikan diri!" kata
Dayang Naga Puspa setengah berteriak tatkala mata-
nya tak lagi menemukan sosok Dewi Bunga Iblis.
Dengan wajah masih menahan sakit dan ge-
ram, Dayang Naga Puspa segera simpan kembali tombaknya ke balik jubah putihnya. Lalu tangan kanan-
nya bergerak mengurut-urut kulit di sekitar pundak
dan pinggangnya yang tertancap bunga-bunga hitam
oleh Dewi Bunga Iblis.
Sesaat kemudian, wajahnya bergerak mendekat
ke pundak. Mulutnya menghisap kulit yang tadi ter-
tancap bunga. Begitu mulutnya ditarik dan memun-
tahkan sesuatu di mulutnya, tampak darah hitam
muncrat!
Dayang Naga Puspa melakukan hal itu beru-
lang-ulang. Dan begitu muntahan di mulutnya tidak
lagi berwarna hitam, Dayang Naga Puspa hentikan
perbuatannya.
"Hmm... kau tak akan bertahan lama dari ra-
cun tombakku! Hidupmu bisa dihitung dengan jari!"
gumam Dayang Naga Puspa. Orang ini lantas melang-
kah hendak meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba
saja Dayang Naga Puspa urungkan niat. Bahkan kini
sepasang matanya berputar liar seakan-akan mencari
sesuatu.
"Sial! Mungkin dia teringat akan aku! Kenapa
aku terkesima dan tak segera tinggalkan tempat ini be-
gitu Dewi Bunga Iblis berkelebat pergi? Tololnya
aku...!" membatin Pendekar 108 dari atas pohon tem-
patnya bersembunyi.
"Hm.... Baunya masih di sekitar sini! Berarti dia
masih berada di sini! Siapa dia? Akan kupaksa untuk
keluar dari persembunyiannya! Kalau Dewi Bunga Iblis
sampai mengejar-ngejar orang ini, berarti orang ini
sangat berarti! Siapa tahu orang ini dapat menunjuk-
kan di mana beradanya Dewi Kayangan...!"
Berpikir begitu, Dayang Naga Puspa lantas ber-
teriak lantang.
"Orang yang bersembunyi! Aku tahu kau masih
di sini! Lekas keluarlah!"
Dayang Naga Puspa menunggu sejenak. Dan
tatkala tidak ada tanda-tanda orang keluar dari per-
sembunyiannya, kembali Dayang Naga Puspa berte-
riak.
"Kuberi kesempatan sekali lagi. Cepat keluar
dari persembunyianmu!"
Di atas pohon, Pendekar 108 tampak bimbang.
Mungkin karena ragu-ragu seperti hendak turun atau
tetap bersembunyi, tangan kanannya tak sadar me-
nyentuh ranting kering.
"Sial!" rutuk Pendekar 108 dalam hati seraya
memandang ke arah Dayang Naga Puspa.
Pendekar 108 menarik napas lega, karena Da-
yang Naga Puspa sepertinya tak curiga dengan jatuh-
nya ranting. Perempuan berjubah putih ini malah me-
langkah hendak meninggalkan tempat itu.
"Hmm... selamatlah aku! Memang untuk saat
ini tak ada gunanya meladeni orang seperti dia. Men-
cari di mana beradanya Sahyang Resi Gopala jauh le-
bih penting! Lagipula...," Aji tak meneruskan kata ha-
tinya, karena saat itu juga dari arah bawah menderu
angin deras. Bahkan bersamaan dengan itu terdengar
suara gemeretak.
Pohon di mana Aji bersembunyi sekonyong-
konyong bergerak oleng, dan tak lama kemudian tum-
bang!
***
LIMA
SEBELUM pohon itu tumbang, Pendekar 108
yang tahu situasi segera berkelebat dan mendarat agak
jauh. Lalu tanpa mempedulikan apa-apa lagi, murid
Wong Agung ini berkelebat meninggalkan tempat itu.
Namun gerakannya tertahan. Karena bersama-
an dengan akan berkelebat, sesosok bayangan telah
berdiri menghadang tepat lima langkah di hadapan
Pendekar 108. Meski Aji telah dapat menduga siapa
adanya sosok yang kini ada di hadapannya, namun tak
urung juga dia terkejut. Karena gerakan berkelebat
yang ingin dilakukan tadi telah secepatnya diusaha-
kan, namun orang yang menghadang ternyata lebih
cepat!
"Pengecut busuk! Akan lari ke mana kau?!" se-
ru sang penghadang yang ternyata adalah Dayang Na-
ga Puspa seraya memandang tak berkedip dengan ta-
tapan menyelidik.
"Sialan betul! terpaksa perjalanan ini harus ter-
tunda!" membatin Pendekar 108. Untuk beberapa saat
dia tak tahu harus berbuat apa. Hingga sambil usap-
usap ujung hidung dengan punggung telapak tangan,
murid Wong Agung ini hanya senyum-senyum seraya
balas pandangan Dayang Naga Puspa, membuat pe-
rempuan berjubah putih ini kernyitkan kening.
"Hm.... Siapa gerangan pemuda ini? Parasnya
memang tampan, hingga mungkin Dewi Bunga Iblis
tergila-gila. Tapi sikapnya seperti orang tolol! Namun
begitu, dia tampaknya menyimpan sesuatu di balik si-
kap tololnya! Dia sepertinya tak menunjukkan rasa ta-
kut sama sekali, meski aku tahu dia tadi melihat per-
tarunganku dengan Dewi Bunga Iblis!" ujar Dayang
Naga Puspa dalam hati. Lalu dia bertanya. "Siapa
kau...?!"
Sejurus Pendekar 108 masih memandangi wa-
jah Dayang Naga Puspa, membuat orang yang dipan-
dangi merah padam seraya alihkan pandangan pada
jurusan lain. Pendekar Mata Keranjang 108 sungging-
kan senyum melihat sikap Dayang Naga Puspa, lalu
dengan tetap tak mengalihkan pandangan dia menja-
wab.
"Namaku Aji. Aji Saputra, Dayang! Seorang
pengelana jalanan yang tak tentu juntrungan! Harap
Dayang suka memberi jalan padaku! Aku akan menu-
rutkan langkah kakiku entah hendak ke mana!"
Dayang Naga Puspa luruskan pandangan mata-
nya kembali pada Pendekar 108. Dahinya semakin
berkerut.
"Hmm.... Dia telah tahu nama gelarku! Berarti
dia salah seorang dari orang persilatan!"
"Apa hubunganmu dengan Dewi Bunga Iblis?!"
tanya Dayang Naga Puspa dengan suara agak dike-
raskan.
"Aku tak ada hubungan apa-apa. Hanya dia
memang selama ini selalu mengejar-ngejar diriku, ka-
rena dia mengharapkan cinta dariku! Aneh ya...?
Orang yang tak punya juntrungan, dikejar-kejar malah
diharapkan cintanya!" berkata Pendekar 108 seraya
tersenyum-senyum. Dia sengaja berkata begitu agar
urusannya segera selesai. Namun dugaan Pendekar
108 ternyata meleset, karena Dayang Naga Puspa sege-
ra ajukan tanya kembali.
"Kalau dia mengharapkan cinta darimu, berarti
kau memang pernah memberi harapan padanya! Dan
itu menandakan kalian berdua telah saling mengenal
agak lama. Dan berarti kau telah tahu pula Dewi
Kayangan, karena dia adalah kakak kandung dari De-
wi Bunga Iblis! Sekarang katakan, di mana aku dapat
menemui kakak kandung Dewi Bunga Iblis itu!"
Pendekar 108 terkejut. Dia tak menduga jika
kata-katanya tadi membuatnya dalam posisi sulit.
Di balik semua itu, sebenarnya Dayang Naga
Puspa pun telah tahu di mana Dewi Kayangan bertem-
pat tinggal. Dia sengaja menanyakan hal itu pada Pendekar 108 sekadar hanya ingin mengetahui lebih jauh
tentang Pendekar 108.
"Dayang Naga Puspa! Aku baru saja mengenal
Dewi Bunga Iblis. Jadi dia belum pernah menceritakan
tentang orang yang bernama Dewi Kayangan. Bahkan
aku pun baru mendengar kali ini!"
"Hm..., begitu? Tampaknya kau berani berkata
bohong padaku! Kuingatkan sekali ini! Katakan di ma-
na aku bisa menemui Dewi Kayangan!"
Pendekar Mata Keranjang tarik-tarik kuncir
rambutnya. Meski mendapat ancaman, namun sikap-
nya tak menampakkan rasa takut sama sekali. Malah
seraya tarik-tarik kuncir rambutnya, Aji berkata.
"Dayang! Tadi sudah kukatakan, Dewi Bunga
Iblis tak pernah menceritakan tentang Dewi Keme-
nyan...!"
"Dewi Kayangan!" bentak Dayang Naga Puspa
membetulkan kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108.
"Ah, Dewi apa pun, pokoknya dia tak pernah
cerita tentang dewi-dewi! Ia memang pernah cerita, tapi
tentang dewa-dewa!"
"Bangsat ini anak! Diancam orang masih bisa-
bisanya bercanda! Aku tahu dia menyimpan sesuatu,
bahkan tentang Dewi Kayangan! Aku penasaran siapa
dia sebenarnya! Kalau dia tak menampakkan rasa ta-
kut diancam, berarti dia mempunyai sesuatu yang dis-
impan!" membatin Dayang Naga Puspa. Lalu dengan
masih mengawasi Pendekar 108 dari ujung rambut
sampai ujung kaki, dia berkata.
"Anak tolol! Kau telah kuberi kesempatan un-
tuk mengatakan yang sebenarnya, namun kau masih
tetap berani berkata bohong. Kau layak menerima hu-
kuman dariku!"
"Ah, nasibku jelek betul! Sudah mengatakan se-
jujurnya, masih juga menerima hukuman! Betul-betul
nasib jelek! Seumur-umur, tak pernah hal ini kuimpi-
kan, apalagi jadi kenyataan!"
"Nasibmu memang jelek, Anak Tolol! Bahkan le-
bih jelek lagi, karena kau akan menemui ajal di tengah
kejelekan nasibmu!"
Habis berkata begitu, Dayang Naga Puspa si-
bakkan jubah putihnya. Seberkas sinar hitam berkilat-
kilat membersit. Dan bersamaan tersingkapnya jubah
putih, serangan angin deras menggebrak ke arah Pen-
dekar Mata Keranjang 108!
"Dayang! Sungguh tega kau menjatuhkan hu-
kuman pada orang yang bernasib jelek!" seraya ber-
kata, Pendekar 108 segera miringkan tubuh. Serangan
Dayang Naga Puspa yang sepertinya tak disengaja itu
menerabas sejengkal di samping tubuh Aji.
"Dugaanku sepertinya tidak meleset! Dia me-
nyimpan sesuatu di balik sikapnya! Aku makin pena-
saran!" kata Dayang Naga Puspa dalam hati begitu
mengetahui dengan mudahnya Pendekar 108 menge-
lakkan diri dari serangannya.
"Uh, untung sewaktu kecil aku sering main ku-
da-kudaan, jika tidak bahuku mungkin sudah copot.
Dayang! hentikan hukuman! Aku akan pergi saja dari
hadapanmu, dan berjanji akan mencarimu begitu ku-
peroleh keterangan tentang Dewi yang kau katakan!"
"Anak tolol banyak mulut! Aku tak perlu lagi
keterangan! Yang kuperlukan sekarang adalah siapa
kau sebenarnya!"
"Tapi bukankah itu sudah kukatakan juga pa-
damu? Apa perlu kuulangi lagi? Aku bernama...."
"Tutup mulutmu!" sergah Dayang Naga Puspa
dengan suara tinggi. Kemarahan tampaknya sudah tak
dapat dibendung oleh perempuan ini. Dengan suara
masih tinggi, dia menyambung.
"Anak tolol! Kalau kau masih ingin hidup, kata
kan siapa kau sebenarnya! Siapa gelarmu, siapa nama
gurumu, siapa nama kedua orangtuamu, dari mana
kau berasal, dan hendak ke mana sekarang!"
Pendekar 108 geleng-geleng kepala.
"Wah, urusan benar-benar jadi panjang lebar
dan bulat! Lebih baik tak kuladeni dia! Pertanyaannya
tak mungkin kujawab. Dia tampaknya bukan orang
baik-baik!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang lan-
tas berkelebat menuju arah dari mana dia datang. Dia
sengaja membalik, dengan tujuan begitu bisa lolos dari
kejaran Dayang Naga Puspa dia akan kembali lagi le-
wat jalan berputar. Karena itulah jalan yang harus di-
lewatinya jika ingin menuju ke Bajul Mati di mana Sa-
hyang Resi Gopala berada.
***
ENAM
PENDEKAR Mata Keranjang 108 terus memacu
larinya dengan cepat. Bahkan dia kerahkan ilmu me-
ringankan tubuh hampir seluruhnya. Tubuh dan pa-
kaian hijaunya telah basah kuyup oleh keringat. Na-
mun sepertinya Pendekar 108 tak hendak menghenti-
kan larinya.
Baru setelah dirasa Dayang Naga Puspa tak
mengejar, pendekar murid dari Karang langit ini henti-
kan larinya. Namun sebelum itu sepasang matanya
menebar berkeliling dengan kepala pulang balik dipa-
lingkan ke belakang.
"Hm.... Tampaknya Dayang Naga Puspa tak
mengejarku lagi! Aku bisa santai sekarang...," gumam
Pendekar 108 seraya melangkah berputar hendak menuju arah asal.
Mungkin karena panas dari tubuh dan sinar
mata hari yang menerpanya, Pendekar Mata Keranjang
keluarkan kipas ungu dari balik pakaiannya. Lalu se-
raya berkipas-kipas ia melangkah. Dari mulutnya mu-
lai terdengar alunan nyanyian yang tak bisa dimenger-
ti.
"Aku harus tetap waspada. Bukan tak mungkin
Dayang Naga Puspa atau Dewi Bunga Iblis tahu-tahu
berada di sekitar sini!" kata Aji dalam hati seraya terus
melangkah sambil berkipas-kipas.
"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Rupanya sekarang
telah banyak diketahui orang. Dan ini akan menyeret
munculnya tokoh-tokoh kelas tinggi! Aku harus segera
bertemu dengan orang yang bernama Sahyang Resi
Gopala sebelum ada orang lain yang mendahului! Me-
lihat tokoh-tokoh yang mulai muncul dan memburu
arca itu, aku hampir yakin jika arca itu benar-benar
hebat!" membatin Pendekar 108.
Namun mendadak Aji hentikan langkahnya.
Matanya berputar liar mengedari tempat di sekeliling-
nya. Kedua telinganya dipertajam.
"Aku merasa diawasi seseorang.... Apakah Da-
yang Naga Puspa? Atau Dewi Bunga Iblis? Sialan betul!
Padahal aku telah memilih jalan berputar!"
Murid Wong Agung ini segera berkelebat. Na-
mun sebelum dia sempat bergerak, sekonyong-
konyong semak belukar sepuluh langkah di samping-
nya menguak! Sesosok tubuh muncul dengan mem-
perdengarkan suara tawa berderai panjang. Lalu ter-
dengar seruan.
"Anak tolol! Jangan bermimpi kau dapat lolos
dari tanganku, sebelum kau menjawab segala perta-
nyaanku!"
"Dayang Naga Puspa!" seru Pendekar Mata Keranjang 108 dengan paras terkejut. Gerakan tangan
kanannya yang berkipas-kipas serta-merta terhenti.
Malah kakinya undur dua tindak ke belakang.
"Apa boleh dikata. Kalau harus beradu jurus
dahulu sebelum meneruskan perjalanan!" kata Pende-
kar 108 dalam hati dengan sepasang mata tak berke-
dip mengawasi Dayang Naga Puspa yang kini tampak
melangkah mendekat ke arahnya.
Tiba-tiba Dayang Naga Puspa hentikan lang-
kah. Sepasang matanya membelalak besar. Bukan me-
mandang ke arah Pendekar 108, melainkan ke tangan
kanan Pendekar 108 yang memegang kipas ungu.
"Kipas ungu berangka 108! Astaga! Jadi dia
manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108!
Hmm.... Kalau Dewi Bunga Iblis mengejar dia, berarti
ada apa-apa di balik semua ini! Dan keterangan anak
ini tentang cinta-cintaannya dengan Dewi Bunga Iblis
adalah bohong! Apakah manusia ini dalam tubuhnya
juga ada guratan angka 108? Hmm.... Itu perlu diseli-
diki! Kalau memang benar, aku telah menemukan sya-
rat untuk memperoleh Arca Dewi Bumi. Tinggal men-
cari Dewi Kayangan! Dan itu soal mudah, karena aku
telah tahu di mana beradanya orang itu!" membatin
Dayang Naga Puspa seraya terus memperhatikan kipas
ungu di tangan Pendekar Mata Keranjang.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 ke-
rutkan dahi melihat sikap Dayang Naga Puspa yang
tak memperhatikan dirinya, malah sebaliknya meng-
awasi kipas di tangan kanannya.
"Hmm.... Rupanya dia tertarik dengan kipasku!
Apa dia berkeinginan juga untuk memiliki? Aku akan
pertaruhkan nyawa jika dia menginginkan kipas ini!"
"Anak tolol! Menyerahlah padaku dan ikut den-
ganku!" bentak Dayang Naga Puspa.
"Dayang Naga Puspa! Dengar baik-baik! Aku sedang dalam perjalanan jauh. Kalau kau masih saja
menghalangi perjalananku, aku tak bisa lagi hanya di-
am!"
Dayang Naga Puspa tengadahkan kepala. Dari
mulutnya terdengar tawa pendek. "Bagus! Ternyata
kau tak hanya bisa bercanda! Namun juga bisa men-
gancam! Dengar baik-baik! Kuburlah dahulu keingi-
nanmu! Sekali ini kau harus ikut denganku!"
Pendekar 108 ganti keluarkan tawa. Lalu tanpa
lagi memandang pada Dayang Naga Puspa, dia angkat
bicara.
"Sekali ini juga, tanamlah dalam-dalam hara-
panmu untuk mengajakku! Lain kali, setelah aku me-
nyelesaikan perjalanan ini, aku akan turuti permin-
taanmu! Bahkan sampai menemanimu tidur!"
"Bangsat!" maki Dayang Naga Puspa. Dia serta-
merta sentakkan kedua tangannya.
Serangan angin deras menggebrak ke arah Pen-
dekar Mata Keranjang 108!
Mendapati serangan, kali ini Pendekar 108 tak
mau lagi hanya menghindar. Dia segera pula angkat
kedua tangannya dan didorong ke depan.
Blarrr!
Terdengar suara ledakan dahsyat begitu kedua
pukulan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu ber-
temu. Tanah di bawah bertemunya dua pukulan ter-
bongkar dengan membumbungkan bongkarannya. Tu-
buh Dayang Naga Puspa nampak terseret sampai bebe-
rapa langkah ke belakang. Untung perempuan ini ce-
pat kerahkan tenaga untuk menahan goyahan tubuh-
nya. Jika tidak, niscaya tubuhnya akan terjengkang
dan terkapar di atas tanah!
Sementara Pendekar 108 sendiri juga terseret
ke belakang, namun dia cepat melompat ke samping
dan berdiri kokoh dengan kaki sedikit terpentang!
"Anak ini tak bisa dianggap sebelah mata. Tena-
ga dalamnya sangat kuat! Padahal aku yakin, dia be-
lum sepenuhnya keluarkan tenaga!" membatin Dayang
Naga Puspa. Lalu dengan didahului bentakan nyaring,
tubuhnya berkelebat ke depan. Tangannya menyibak-
kan jubah putihnya. Dan serta-merta tangan kanan-
nya menyambar tombak hitam di pinggang kirinya.
Dan disentakkan ke arah Pendekar 108!
Wuuttt!
Seberkas sinar hitam berkelebat cepat bersa-
maan dengan melesatnya tombak. Namun sebelum
berkas sinar hitam berkelebat, serangkum angin deras
melesat mendahului!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang tahu kea-
daan bahaya segera saja melompat ke samping. Ta-
ngan kanannya yang memegang kipas segera diki-
baskan memapak hantaman tombak!
Prreekk!
Terdengar benturan keras tatkala kedua sisi-
sisi tombak Dayang Naga Puspa menerpa kipas ungu
Pendekar 108! Hebatnya, meski hanya senjata yang
bertemu, namun tubuh kedua orang ini sama-sama
mental ke belakang! Bahkan wajah kedua orang ini
sama-sama saling meringis menahan rasa nyeri dan
panas di dada masing-masing!
"Hmm.... Meski aku menggunakan tombak, na-
mun aku harus bisa menjaga agar tombak ini tak
mengenai tubuhnya, karena pemuda ini masih ingin
kuselidiki!" membatin Dayang Naga Puspa seraya me-
lesat kembali ke depan. Tombaknya diputar-putar, se-
mentara tangan kirinya siap kirimkan pukulan.
Sinar hitam berkilat-kilat segera saja menebar
di tempat itu bersamaan dengan berputarnya tombak
di tangan Dayang Naga Puspa.
Aji tak tinggal diam. Begitu tombak berputar
putar, Pendekar 108 pun segera putar-putar kipas un-
gunya. Serta-merta kilauan sinar putih bertebaran dis-
ertai menderunya suara angin!
Dayang Naga Puspa sedikit terkejut, namun dia
segera menambah tenaga pada putaran tombaknya.
Blaammm! Blaammm!
Beberapa kali letupan terdengar begitu sinar-
sinar hitam bentrok dengan kilauan sinar putih! Tu-
buh Dayang Naga Puspa yang melesat tiba-tiba ber-
henti di udara laksana ditahan! Sedang tubuh Pende-
kar Mata Keranjang 108 bergetar hebat dan terseret ke
belakang! Saat itulah Dayang Naga Puspa cepat sen-
takkan tangan kirinya.
Wuuttt!
Serangkum angin dahsyat menggebrak keluar
dari tangan Dayang Naga Puspa.
Pendekar 108 yang sedang menahan tubuhnya
agar tak terseret makin ke belakang sedikit terkejut.
Dia segera rebahkan tubuh sejajar tanah seraya bergu-
lingan. Hingga serangan tangan kiri Dayang Naga Pus-
pa menerabas di atas tubuhnya. Namun elakan Pende-
kar 108 membuat putaran kipasnya terhenti, hingga
tubuh Dayang Naga Puspa yang tadi tertahan kini me-
luncur lagi ke depan!
Dayang Naga Puspa tak sia-siakan kesempatan.
Begitu tubuhnya bisa lagi melesat, sepasang kakinya
segera saja menyapu menyusur sejengkal di atas ta-
nah! Sementara kedua tangannya berkelebat menung-
gu di atas!
Begitu Pendekar 108 mendapati dirinya terku-
rung dari bawah dan atas, cepat menambah tekanan
tenaga dalamnya, hingga gulingan tubuhnya semakin
cepat!
Namun tampaknya Dayang Naga Puspa tak
mau kehilangan buruan. Dia pun segera menggenjot
tubuhnya. Hingga tubuhnya melayang mengikuti gu-
lingan tubuh Pendekar Mata Keranjang!
Nasib tak baik rupanya menimpa pendekar mu-
rid Wong Agung ini, karena saat itu gulingan tubuhnya
hampir mendekati sebatang pohon besar.
"Sial! Terpaksa aku harus adu badan!" memba-
tin Pendekar 108 saat mengetahui tak jauh dari tem-
patnya berdiri kokoh sebatang pohon. Ia segera perce-
pat gulingan tubuhnya, dan begitu tubuhnya mentok
pada batang pohon, serta-merta dia jejakkan kakinya
di atas tanah!
Namun gerakannya sedikit terlambat, karena
saat itu juga terjangan kaki Dayang Naga Puspa meng-
gebrak! Untung saja murid Wong Agung ini urungkan
niat untuk lesatkan tubuhnya ke atas! Jika tidak, nis-
caya tubuhnya akan terhajar kedua kaki Dayang Naga
Puspa.
Saat mengetahui sepasang kaki lawan terus
menerabas, Pendekar 108 himpitkan tubuhnya rapat-
rapat ke atas tanah. Terjangan sepasang kaki Dayang
Naga Puspa menderu sejengkal di atas tubuhnya.
Braakkk!
Terdengar suara patahnya pohon di belakang
Pendekar 108. Pohon besar itu lantas tumbang dengan
suara bergemuruh dahsyat.
Pendekar 108 segera bangkit. Namun dia terpe-
rangah kaget, karena ternyata tubuh Dayang Naga
Puspa yang tadi kakinya menghantam pohon mental
balik. Lalu diputar dan disapukan, saat mana Pende-
kar 108 bangkit.
Deesss!
Terdengar suara tertahan dari mulut Pendekar
Mata Keranjang 108 tatkala kaki kiri Dayang Naga
Puspa menghantam bahu kanannya! Bersamaan de-
ngan itu tubuh Pendekar 108 kembali rebah di atas
tanah!
"Disuruh ikut secara baik-baik saja malah cari
babak belur!"
Dayang Naga Puspa putar kembali tubuhnya.
Lalu sekonyong-konyong kakinya menyapu ke arah tu-
buh Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih rebah
di dekat tumbangan pohon.
Deesss!
Kembali terdengar suara tertahan dari mulut
Pendekar Mata Keranjang. Tubuhnya melayang ringan
bagai kapas ke udara. Meski pendekar murid dari Ka-
rang Langit ini berusaha kerahkan tenaga dalam un-
tuk menghentikan layangan tubuhnya, namun nya-
tanya tak ada guna. Hingga tanpa ampun lagi tubuh-
nya menukik terkapar di atas tanah!
Dayang Naga Puspa yang tampaknya segera in-
gin memeriksa, segera saja menyusul berkelebat. Na-
mun bersamaan dengan berkelebatnya tubuh Dayang
Naga Puspa, satu bayangan terlihat berkelebat mema-
pak kelebatan Dayang Naga Puspa.
Bersamaan dengan berkelebatnya bayangan
yang memapak tubuh Dayang Naga Puspa, serangkum
angin dahsyat yang tak keluarkan suara menyambar
seakan menahan gerakan Dayang Naga Puspa!
Dayang Naga Puspa terperangah kaget, karena
saat itu juga tubuhnya melenceng. Sambil jungkir ba-
lik menahan kelebat tubuhnya yang meluncur me-
lenceng, keluar teriakan marah dari mulutnya. Namun
diam-diam perempuan berjubah putih ini segera mak-
lum jika orang yang tampaknya berusaha menghalangi
adalah orang yang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Karena sambaran anginnya saja telah mampu mem-
buat kelebatan dirinya melenceng!
Tanpa melihat lagi siapa adanya yang mengha-
langi, kedua tangan Dayang Naga Puspa segera disentakkan ke arah sosok yang kini ada di hadapannya.
Namun Dayang Naga Puspa melengak kaget.
Bersamaan dengan menyentaknya kedua tangannya,
sosok di hadapannya tiba-tiba lenyap bagai ditelan
bumi! Hingga sentakan kedua tangannya hanya meng-
hantam angin.
Belum hilang rasa kejut Dayang Naga Puspa,
dari arah belakangnya terdengar debum-debum bebe-
rapa kali seperti mendekati ke arahnya.
Dayang Naga Puspa dengan menindih rasa ke-
jut yang amat sangat segera palingkan wajahnya ke be-
lakang. Kedua tangannya siap kembali kirimkan puku-
lan.
Namun Dayang Naga Puspa segera urungkan
niat untuk kirimkan pukulan, malah sepasang mata-
nya membeliak mengawasi orang yang kini melangkah
ke arahnya. Dahinya berkerut seakan-akan mengingat.
Namun tampaknya dia tak bisa mengenali siapa
adanya orang yang melangkah ke arahnya.
Ternyata orang yang sedang melangkah ke arah
Dayang Naga Puspa adalah seorang laki-laki bertubuh
gemuk besar. Dia melangkah tidak menggunakan kaki,
karena laki-laki ini ternyata tak punya sepasang kaki.
Dia melangkah menggunakan dua bambu kecil yang
dikepitkan di kedua ketiaknya. Hebatnya meski hanya
bambu kecil, namun mampu menopang tubuhnya
yang begitu besar. Bahkan suara ketukan bambu
mampu membuat telinga berdengung sakit!
***
TUJUH
SIAPA laki-laki gajah ini? Dan apa hubungan
nya dengan pemuda itu? Tapi siapa pun dia adanya,
dia telah mencampuri urusanku! Aku harus enyahkan
dia, kalau perlu kubunuh jika dia tak mau enyah!"
membatin Dayang Naga Puspa seraya memperhatikan
laki-laki bertubuh besar yang melangkah mengguna-
kan bambu kecil sebagai penyangga tubuhnya.
"Gongging Baladewa!" seru Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 begitu bangkit dan mengetahui siapa
adanya orang yang melangkah dengan ketukan-
ketukan bambu kecil di ketiaknya yang keluarkan sua-
ra berdebum-debum.
Sejenak baik Dayang Naga Puspa maupun Pen-
dekar 108 kerahkan tenaga dalamnya pada gendang
telinga masing-masing yang terasa seakan-akan ditu-
suk-tusuk!
"He...! Siapa kau? Dan apa hubunganmu den-
gan pemuda tolol itu hingga kau turut campur urusan
ini?!" bentak Dayang Naga Puspa.
Laki-laki bersangga bambu yang bukan lain
memang Gongging Baladewa adanya tengadahkan ke-
pala. Langkahnya dia hentikan. Lalu dari mulutnya
terdengar suara tawa gelak-gelak.
"Harap maafkan aku jika aku turut campur
urusanmu! Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku
mencari tukang rumput kuda-kudaku. Dia seperti ka-
tamu, memang agak tolol bahkan sedikit agak gini!"
kata Gongging Baladewa seraya hadapkan wajahnya
pada Dayang Naga Puspa dan meletakkan jari tangan-
nya miring di kening.
Dayang Naga Puspa kerutkan dahi. Dia berpal-
ing memandang Pendekar 108 yang kini tampak du-
duk seraya komat-kamitkan mulut. Tangan kanannya
tarik-tarik kuncir rambutnya, sementara wajahnya me-
ringis seakan merasa sakit dengan tarikan pada ram-
butnya. Namun demikian dia tak hendak hentikan tarikan-tarikan tangannya.
Lalu Dayang Naga Puspa alihkan pandangan
pada Gongging Baladewa.
"Hm.... Begitu masalahmu. Lantas kenapa kau
ikut campur urusanku?! Dan siapa kau...?!"
Gongging Baladewa kembali keluarkan tawa.
Tapi kali ini pendek dan agak pelan. Lalu berkata.
"Sarpakenaka! Pertanyaanmu banyak sekali.
Tapi baiklah, akan kujawab!"
Sejenak Gongging Baladewa hentikan kata-
katanya. Dia batuk-batuk beberapa kali. Sementara
itu, Dayang Naga Puspa tampak menyembunyikan ra-
sa kejutnya demi mendapati laki-laki gemuk besar di
hadapannya tahu siapa nama aslinya.
"Aku hanyalah seorang kampung biasa. Orang
kampung biasa menyebutku Gondal-Gandul! Dan aku
dengan berat hati sengaja mencampuri urusanmu, ka-
rena orang yang kucari itu adalah orang yang tadi kau
sebut dengan pemuda tolol itu! Dia orangnya!" Gongg-
ing Baladewa tudingkan jari tangannya lurus-lurus ke
arah Aji yang tampak masih bersikap seperti semula.
Malah kini murid Wong Agung ini terlihat sesenggukan
tanpa keluarkan air mata!
"Hm.... Aku tak percaya dengan ucapan laki-
laki gajah ini! Mustahil kalau dia orang kampung bi-
asa. Gerak kelebatnya telah mampu membuatku me-
lenceng, lebih-lebih dia berhasil menghindari seran-
ganku dengan gerak yang begitu cepat. Dan ketukan-
ketukan tongkat bambunya bukanlah ketukan tongkat
bambu biasa! Apalagi pemuda itu, dia semakin seperti
orang gila! Sandiwara apa yang diperagakan oleh dua
orang ini? Jika mereka bisa bersandiwara, kenapa aku
tidak...?"
"Gondal-Gandul!" kata Dayang Naga Puspa de-
ngan dingin seraya mendongak.
Mendengar Gongging Baladewa disebut Gondal-
Gandul oleh Dayang Naga Puspa, Aji takupkan kedua
telapak tangannya ke mulut, menahan tawa. Sementa-
ra Gongging Baladewa mendelik pada Pendekar 108.
"Kalau anak tolol itu memang benar-benar tu-
kang mencari rumput kuda-kudamu, sungguh sayang
sekali. Kau tahu, dia tadi berusaha memaksakan ke-
hendak nafsunya padaku! Jadi, sebagai ganjarannya,
untuk sementara ini dia harus ikut denganku! Seperti
kau, aku pun mempunyai beberapa ekor kuda. Dia ha-
rus ikut denganku dan mencarikan rumput kuda-
kudaku selama satu purnama. Itu sebagai imbalan
perbuatannya! Setelah itu kau bisa menjemputnya!"
Pendekar 108 sepertinya termakan oleh kata-
kata Dayang Naga Puspa. Hingga dia cepat menyahut.
"Gondal-Gandul! Harap jangan percaya dengan
omongan perempuan ini!"
Dayang Naga Puspa tertawa gelak-gelak men-
dengar ucapan Aji. Dia merasa lega bahwa Aji terma-
kan oleh kata-katanya.
Gongging Baladewa membeliakkan sepasang
matanya. Mulutnya bergumam tak jelas. Setelah ba-
tuk-batuk beberapa kali, akhirnya dia berkata.
"Sarpakenaka! Seperti kataku tadi, dia memang
orang agak sinting. Jadi harap maafkan tingkahnya
yang telah berani meraba-raba tubuhmu...! Tapi...,"
Gongging Baladewa tak meneruskan kata-katanya, ka-
rena saat itu Dayang Naga Puspa menyela dengan sua-
ra membentak garang.
"Gondal-Gandul! Bicara yang benar! Siapa bi-
lang diraba-raba?!"
Gongging Baladewa tertawa terbahak-bahak.
Pendekar 108 yang mula-mula berusaha mena-
han tawa, kali ini tampaknya tak bisa, hingga saat itu
juga tawanya juga meledak membuat Dayang Naga
tubuhnya laksana dihantam gelombang dahsyat hing-
ga tersurut sampai empat tombak ke belakang. Paras
wajahnya berubah seketika, sementara sepasang ma-
tanya membelalak hampir tak percaya. Meski tidak be-
radu anggota tubuh secara langsung, namun dari ben-
trokan pukulan jarak jauh tadi Dayang Naga Puspa
memaklumi jika lawan adalah orang yang benar-benar
berilmu tinggi. Ayunan tubuhnya saja telah mampu
membuatnya terseret sampai empat tombak ke bela-
kang, serta dadanya berdenyut sakit!
Namun perempuan berjubah putih ini tak mau
begitu larut dalam ketidak percayaan. Seraya sibakkan
jubah putihnya dan meraih tombak hitam di pinggang
kirinya, dia melompat keatas. Di atas udara, tubuhnya
diputar. Mendadak tubuhnya lenyap dari pandangan.
Sekejap kemudian, tubuhnya muncul dan melesat ke
arah Gongging Baladewa dengan tombak mengarah
pada kepala, sementara kakinya ditekuk sebatas lutut!
"Tombak Naga Puspa!" seru Gongging Baladewa
tanpa menunjukkan rasa terkejut Sepasang bambu
penyangganya dihentakkan di atas tanah. Tubuhnya
melesat ke udara. Namun Dayang Naga Puspa tam-
paknya kerahkan seluruh tenaga dalamnya, hingga ge-
rakan tubuhnya begitu amat cepat. Hingga walau
Gongging Baladewa melesat ke udara menghindar, tak
urung pakaian bagian bawahnya yang menutup poton-
gan sepasang kakinya tersambar tombak hitam!
Breettt!
Pakaian bawah Gongging Baladewa langsung
terbakar! Namun laki-laki ini tetap tak menunjukkan
rasa terperangah. Malah begitu tombak lawan berhasil
menyambar pakaian bawahnya, laki-laki ini menarik
kedua bambunya ke belakang lalu diputar ke depan
dengan cepatnya.
Takk! Taakkk!
Dayang Naga Puspa memekik. Tangan kanan-
nya yang memegang Tombak Naga Puspa bergetar he-
bat tatkala bambu sebelah kanan Gongging Baladewa
menghantam tepat pergelangan tangannya. Dan belum
hilang suara pekikannya, bambu kiri laki-laki gemuk
besar ini menyambar pinggangnya!
Dayang Naga Puspa merasa seolah pinggangnya
dihantam batangan pohon besar, hingga tubuhnya ter-
suruk ke depan. Sejenak perempuan ini mencoba ke-
rahkan tenaga luar dalam untuk menahan agar tu-
buhnya tidak terjerembab dan pegangan pada tom-
baknya tidak terlepas. Namun dengan gerakan aneh,
Gongging Baladewa mendarat dan serta-merta menu-
sukkan ujung bambu pada pantat Dayang Naga Puspa
yang sedang menahan tubuhnya! Hingga membuat pe-
rempuan ini menjerit lagi dan tubuhnya semakin deras
terseok ke depan, sebelum akhirnya menyungsup den-
gan wajah mencium tanah! Tombak di tangannya pun
terlepas dan menggeletak di atas tanah!
Gongging Baladewa kibas-kibaskan pakaiannya
yang terbakar dengan ujung bambunya. Sekilas dia
tampak sedikit terkejut, karena bara yang ditimbulkan
tombak lawan begitu cepatnya menjalar. Kalau saja la-
ki-laki ini tidak segera kibaskan bambunya, bukan tak
mungkin anggota rahasianya akan terlihat jelas!
"Walah! Untung tidak sampai ke atas sedikit,
kalau saja terlambat bergerak sedikit, anak tolol itu
pasti akan menertawakanku!" gumam Gongging Ba-
ladewa seraya balikkan tubuh dan pandang Dayang
Naga Puspa yang geser tubuhnya di atas tanah dan
mengambil kembali tombak hitamnya.
"Gongging! Coba angkat saja sedikit pakaian
bawahmu itu. Perempuan itu pasti tidak akan menye-
rangmu, malah dia akan melotot dan langsung tinggal-
kan tempat ini!" seru Pendekar Mata Keranjang 108
sambil terpingkal-pingkal.
"Anak kurang ajar! beraninya suruh orang tua
tunjukkan senjata! Awas kau!" ujar Gongging Baladewa
dengan pelototkan sepasang matanya. Namun, seben-
tar kemudian dari mulutnya terdengar ledakan ta-
wanya.
Di seberang, mendengar Pendekar 108 menye-
but laki-laki yang tadi mengaku Gondal-Gandul de-
ngan Gongging, paras muka Dayang Naga Puspa kon-
tan berubah. Perempuan ini, yang kini telah berdiri se-
raya pandangi Gongging Baladewa dan mengusap-usap
pantatnya yang seolah ditusuk besi panas kernyitkan
dahi.
"Gongging...? Di dunia persilatan hanya satu
orang yang bernama Gongging. Apakah dia Gongging
Baladewa? Seorang tokoh persilatan yang namanya
pernah menyentak rimba persilatan pada beberapa pu-
luh tahun yang lalu? Peduli setan, dia Gondal-Gandul
atau Gongging Baladewa!"
Dayang Naga Puspa lantas komat-kamit, sepa-
sang matanya terpejam. Lantas, didahului suara ben-
takan dahsyat, perempuan ini melesat ke depan. Na-
mun begitu satu tombak lagi di depan Gongging Bala-
dewa, tubuhnya berbelok ke samping. Dan serta-merta
tubuhnya berputar-putar mengitari Gongging Balade-
wa yang tampak masih berdiri dengan kepala mendon-
gak.
Angin kencang menggemuruh tampak mengu-
rung Gongging Baladewa. Bahkan, karena dahsyatnya
angin, perlahan-lahan tubuh Gongging Baladewa te-
rangkat ke atas! Sementara tubuh Dayang Naga Puspa
seakan lenyap berganti dengan bayang-bayang yang
berputar begitu cepat hingga sulit ditentukan yang
mana sosok aslinya!
Tiba-tiba seberkas sinar hitam menyambar kearah perut Gongging Baladewa yang tubuhnya mengu-
dara akibat putaran angin.
Wuuttt!
Gongging Baladewa sentakkan bambu kecil di
tangan kanannya.
Weesss!
Praakkk!
Taasss!
Traakkk!
Terdengar benturan keras tatkala sisi tombak
Dayang Naga Puspa beradu dengan bambu kecil pe-
nyangga tubuh Gongging Baladewa.
Dayang Naga Puspa terpekik. Tangannya berge-
tar hebat dan serasa hendak terpenggal. Sementara
tubuhnya mental ke udara. Setelah membuat gerakan
jumpalitan dua kali, akhirnya tubuh perempuan ini
mendarat di atas tanah. Namun, perempuan berjubah
putih ini tercekat. Karena kedua kakinya tiba-tiba
goyah, dan tak lama kemudian tubuhnya jatuh terdu-
duk bersamaan dengan meliuknya kaki! Paras Dayang
Naga Puspa tampak pucat pasi. Dia lantas memandang
pada kakinya. Parasnya makin pias. Ternyata pada
pergelangan kaki tampak larikan berwarna kebiruan
seperti larikan bekas pukulan rotan!
"Jahanam! Aku tadi sepertinya tidak merasa ji-
ka bambu butut itu mengenai pergelangan kakiku!
Hmm.... Kurasa untuk kali ini aku harus hentikan per-
tarungan ini. Waktu untuk membalas masih panjang!
Aku harus mencari Dewi Kayangan...!" membatin Da-
yang Naga Puspa. Perempuan ini tampaknya maklum
jika belum mampu untuk menandingi lawan. Hingga
saat itu juga dia bangkit dan hendak berkelebat me-
ninggalkan tempat itu.
Namun gerakan Dayang Naga Puspa tertahan.
Karena saat itu terdengar suara berdebum-debum
dengan selisih waktu agak panjang.
Mengira yang keluarkan suara debuman adalah
Gongging Baladewa, Dayang Naga Puspa cepat paling-
kan wajah. Namun Gongging Baladewa terlihat diam
berdiri dengan menggunakan bambu di sebelah kiri.
Karena ternyata bambu penyangga tubuhnya sebelah
kanan tampak patah dan kini tinggal setengah! Ini aki-
bat benturan keras dengan sisi tombak Dayang Naga
Puspa.
Selagi Dayang Naga Puspa mencari-cari, dari
semak belukar menerabas sesosok tubuh melangkah
dengan terseok-seok. Anehnya, meski di sebelah semak
belukar itu terdapat jalan setapak, namun sosok ini
seakan tidak tahu. Dia melangkah melewati semak be-
lukar! Dan bersamaan dengan langkahnya yang ter-
seok-seok terdengar debuman dahsyat!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang juga ikut
mencari-cari, terperanjat dengan sepasang mata mem-
besar tak kesiap mengawasi pada sosok yang melang-
kah menerabas semak belukar. Lalu dari mulutnya
terdengar seruan.
"Dewi Bayang-Bayang!"
Mendengar seruan, Gongging Baladewa yang
sedari tadi juga menebak-nebak palingkan wajah. Mu-
lutnya menggumam sesuatu yang tak jelas. Kali ini
Gongging Baladewa rupanya tak dapat sembunyikan
perubahan pada wajahnya.
Sosok tubuh yang melangkah terseok-seok hen-
tikan langkah. Tubuhnya yang agak bungkuk dilu-
ruskan. Ternyata dia adalah seorang perempuan yang
usianya agak lanjut. Rambutnya tipis putih dan kaku,
serta disanggul ke atas. Karena tipis dan kakunya
rambut, saat disanggul ke atas menyerupai tusuk
konde. Mengenakan pakaian agak gombrang yang me-
nutup sekujur tubuhnya. Perempuan ini mengenakan
terompah besar berwarna hitam. Mungkin karena be-
sarnya terompah, hingga saat melangkah dia terseok-
seok seperti keberatan.
Kalau ada sumur di kubur,
Aku akan ke sana sendiri.
Ternyata umurku terulur,
Hingga bisa bertemu lagi.
"Gonggong! Eeh, Gongging! Apa kabarmu...?!
Lama kita tak jumpa, tampaknya kau masih suka
bermain-main dengan perempuan!" berkata sosok pe-
rempuan yang baru datang dan bukan lain memang
Dewi Bayang-Bayang.
Seraya berkata, bibir Dewi Bayang-Bayang terli-
hat mengumbar senyum. Padahal saat itu tak ada se-
suatu yang lucu. Dan sambil menunggu sambutan
Gongging Baladewa, sepasang mata Dewi Bayang-
Bayang yang sipit ini memandang satu persatu pada
Pendekar Mata Keranjang 108 lalu beralih pada Da-
yang Naga Puspa.
Pendekar 108 anggukkan kepala saat Dewi Ba-
yang-Bayang melihat ke arahnya, lalu bibirnya terse-
nyum, membuat Dewi Bayang-Bayang semakin lebar-
kan mulut untuk tersenyum.
"Arena rimba persilatan memang tak akan ter-
gelak-gelak jika tak ada orang-orang seperti ini! Tapi
aku melihat perubahan pada paras muka Gondal-
Gandul saat melihat Dewi Bayang-Bayang. Ada apa...?"
membatin Pendekar 108.
Sementara itu, melihat siapa adanya orang
yang datang, Dayang Naga Puspa kernyitkan kening.
"Astaga! Bukankah perempuan ini manusia
pengumbar senyum yang bergelar Dewi Bayang-Ba-
yang? Kakak dari Dewi Bunga Iblis...? Dan adik kan
dung dari Dewi Kayangan...? Orang yang kucari...?!"
kata Dayang Naga Puspa dalam hati. Lalu dia mene-
ruskan kata hatinya.
"Aku akan bertahan sebentar di sini! Melihat
perkembangan. Kalau nantinya keadaan tidak me-
mungkinkan, aku akan pergi! Siapa tahu Dewi Bayang-
Bayang punya urusan dengan Gongging Baladewa? Itu
kesempatan bagiku! Tadi kulihat Gongging Baladewa
berubah paras saat melihat kedatangan perempuan
aneh ini!"
Sedangkan Gongging Baladewa yang mende-
ngar sapaan dari Dewi Bayang-Bayang tidak segera
menyahuti. Dalam hati, sebenarnya Gongging Bala-
dewa berkata.
"Rayi Seroja! Kau dari dulu tampaknya tak me-
nunjukkan perubahan berarti. Tapi semoga saja kau
bisa melupakan sesuatu yang pernah terjadi antara ki-
ta pada beberapa puluh tahun yang lalu! Aku sudah
ingin berbaik-baik denganmu lagi! Apalagi aku sudah
tua. Aku membutuhkan seorang pendamping.... Aku
membutuhkan...."
Gongging Baladewa putuskan kata hatinya, ka-
rena saat itu Dewi Bayang-Bayang memperdengarkan
suara.
"Kau, anak kurang ajar! Kenapa pula ada di si-
ni?! Apa kau ikut-ikutan temanmu itu mempermain-
kan perempuan? Atau kalian berdua sedang mempere-
butkannya...?!" sambil berkata dan tersenyum, pan-
dangan mata Dewi Bayang-Bayang menatap tajam
Pendekar 108 lalu pada Gongging Baladewa.
Pendekar 108 tarik-tarik kuncir rambutnya. Dia
tak bisa segera menjawab pertanyaan Dewi Bayang-
Bayang.
"Bagaimana aku harus menjawab...? Aku akan
mendekat. Akan kubisiki saja. Tampaknya di antara
Dewi dan Gondal-Gandul ada masalah!" lalu pendekar
murid Wong Agung ini bangkit dan melangkah ke arah
Dewi Bayang-Bayang. Namun baru tiga langkahan ka-
ki, Dewi Bayang-Bayang telah berkata lagi.
"Aku tak suruh kau mendekat! Aku tanya pada-
mu...!"
"Rayi Seroja!" berkata Gongging Baladewa de-
ngan menyebut nama asli Dewi Bayang-Bayang. "Kau
jangan terlalu berburuk sangka. Aku kebetulan lewat
dan melihat anak kurang ajar itu sedang dihajar pe-
rempuan itu! Aku hendak menolongnya!"
Tanpa berpaling pada Gongging Baladewa, Dewi
Bayang-Bayang berkata.
"Aku tak tanya padamu! Aku tanya pada dia!"
"Walah, ternyata benar. Antara kedua orang ini
tampaknya ada masalah!" Pendekar 108 usap-usap hi-
dungnya. Sepasang matanya memandang silih berganti
pada Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
"Dewi! Betul apa yang dikatakan Gondal-
Gandul itu!"
Dewi Bayang-Bayang kernyitkan kening mende-
ngar ucapan Pendekar Mata Keranjang 108. Merasa
ada yang salah pada ucapannya, Pendekar Mata Ke-
ranjang buru-buru menyambung.
"Maksudku Gongging Baladewa...!" seraya ber-
kata, Pendekar 108 coba menahan tawanya. Semen-
tara itu Gongging Baladewa membesarkan sepasang
matanya.
"Anak edan! Tak tahu orang tua sedang dirun-
dung bingung! Tapi itu juga salahku sendiri. Kenapa
aku tadi seenaknya saja menyebutkan nama Gondal-
Gandul!" Laki-laki tak berkaki ini lantas tertawa,
membuat Aji ikut-ikutan keluarkan suara tawanya
yang sejak tadi ditahan-tahan.
"Orang-orang sinting! Apa yang kalian tertawa
kan?!" bentak Dewi Bayang-Bayang. Anehnya, meski
nada suaranya membentak, namun bibirnya terse-
nyum!
Pendekar 108 segera hentikan tawanya begitu
mendengar bentakan Dewi Bayang-Bayang. Namun tak
demikian halnya dengan Gongging Baladewa. Dia se-
makin keraskan tawanya, membuat Dewi Bayang-
Bayang geram.
"Tunggulah, Gondal-Gandul! Aku akan mena-
nyai perempuan itu dulu!"
Mendengar Dewi Bayang-Bayang ikut-ikutan
menyebut Gongging Baladewa dengan Gondal-Gandul,
Gongging Baladewa tambah keras tawanya, sementara
Pendekar Mata Keranjang kembali keluarkan tawa.
"Sial! Kenapa aku ikut-ikutan...?" membatin
Dewi Bayang-Bayang seraya tersenyum-senyum. Lalu
alihkan pandangannya pada Dayang Naga Puspa.
"Apa benar yang diucapkan dua laki-laki sinting
itu?!"
Meski sejak tadi menahan rasa geram mende-
ngar kata-kata Dewi Bayang-Bayang, namun Dayang
Naga Puspa menjawab juga pertanyaan Dewi Bayang-
Bayang.
"Orang yang kuhormati dan kupanggil dengan
Dewi Bayang-Bayang, ucapan kedua laki-laki itu men-
gada-ada! Yang terjadi sebenarnya adalah, Gondal-
Gandul itu mencoba memperkosaku! Lalu datang pe-
muda kurang ajar itu. Kukira dia hendak menolongku,
nyatanya dia malah memegangi kedua kakiku agar
Gondal-Gandul dapat melaksanakan kehendak bejat-
nya!"
"Dewi Bayang-Bayang! Jangan percaya ucapan-
nya! Itu fitnah!" teriak Pendekar 108 seraya melangkah
maju mendekat.
"Sekali lagi melangkah, kubuat putus kakimu!
Tetap di tempatmu!" bentak Dewi Bayang-Bayang. Se-
pasang matanya yang sipit dipelototkan pada Pendekar
108 dan Gongging Baladewa, dan sepasang mata itu
semakin membelalak tatkala mendapati pakaian ba-
gian bawah Gongging Baladewa nampak robek dan
hangus. Namun sesaat kemudian Dewi Bayang-Bayang
alihkan kembali pandangannya pada Dayang Naga
Puspa. Dan sambil tersenyum dia berkata.
"Aku sudah tua. Mataku telah rabun. Telingaku
hampir tuli. Terima kasih kau bisa mengenaliku. Tapi
maaf, bagiku mungkin sulit mengenali siapa dirimu.
Kalau boleh tahu, siapakah kau...?"
Sejenak Dayang Naga Puspa menghela napas
dalam-dalam. Sedangkan Pendekar Mata Keranjang
108 dan Gongging Baladewa saling berpandangan satu
sama lain.
"Orang-orang memanggilku dengan sebutan
Dayang Naga Puspa!" jawab Dayang Naga Puspa seraya
mengawasi terompah hitam Dewi Bayang-Bayang.
"Hmm.... Gelar bagus! Dengar, Dayang Naga
Puspa, serahkan kedua laki-laki itu padaku. Biar aku
yang jatuhkan hukuman pada mereka. Sekarang kau
bisa tinggalkan tempat ini!"
Dayang Naga Puspa sepertinya tak puas dengan
ucapan Dewi Bayang-Bayang, dia masih meragukan
kata-kata perempuan berterompah besar ini.
"Dewi Bayang-Bayang! Karena aku yang menga-
lami, maka sudah sepantasnya jika aku yang menja-
tuhkan hukuman pada mereka. Namun demi meng-
hormati nama besarmu, aku harap kamu memberi ke-
leluasaan padaku untuk membawa pemuda kurang
ajar itu! Biarlah untuk dia aku yang menjatuhkan hu-
kuman! Untuk satunya terserah kau!"
"Hmm.... Dia tampaknya tertarik sekali dengan
anak geblek itu! Apa dia tahu tentang rahasia Arca
Dewi Bumi? Berarti kata-kata perempuan ini tak bisa
dipercaya. Ada apa-apa di balik dia menginginkan
anak geblek itu!" membatin Dewi Bayang-Bayang. Lalu
berkata pada Dayang Naga Puspa.
"Wah, permintaanmu rasanya berat untuk ku-
terima. Kau mungkin tahu, aku adalah perempuan
yang tak punya suami. Dan tak usah kukatakan, ba-
gaimana tak enaknya malam-malam sepi sendiri hanya
berteman bintang bertabur di langit. Kalau dia men-
ginginkan dirimu, apa dia juga tak tertarik padaku...?!"
seraya berkata Dewi Bayang-Bayang merapikan sang-
gulan rambutnya. Malah pinggulnya diliukkan ke ka-
nan dan ke kiri, lalu mengusap-usap wajahnya.
"Brengsek! Perempuan sundal tak tahu malu!"
maki Dayang Naga Puspa dalam hati. Lalu dia mene-
ruskan.
"Menurut kabar yang kudengar, Dewi Bayang-
Bayang adalah tokoh yang ilmunya sukar untuk di-
ukur. Hmm... apa boleh buat. Keinginanku harus ter-
tunda! Tapi ada baiknya aku minta yang seperti gajah
itu!" lalu Dayang Naga Puspa berkata.
"Jika itu maumu, apa hendak dikata. Hasrat
kalau terlalu lama dipendam memang bikin pusing ke-
pala. Lantas bagaimana kalau yang Gondal-Gandul sa-
ja?"
Dewi Bayang-Bayang luruskan tubuh. Bibirnya
tersenyum.
"Wah, itu juga sepertinya tak bisa kupenuhi.
Kau mungkin tahu, pada malam hari aku tidur di
sembarang tempat. Dan tak usah kuceritakan bagai-
mana gelisahnya tidur hanya berselimut awan di lan-
git. Dia bertubuh gemuk besar, kukira dia bisa untuk
menahan dinginnya angin malam, hingga tidurku bisa
ngorok...! Jadi, aku tak bisa penuhi permintaanmu!"
"Anjing keparat! Kalau saja tak ada laki-laki itu,
dan aku tak sedang terluka, aku akan mengadu jiwa
denganmu!" kembali Dayang Naga Puspa memaki da-
lam hati.
Sementara itu, mendengar tawar-menawar an-
tara Dewi Bayang-Bayang, dan Dayang Naga Puspa,
baik Pendekar 108 atau Gongging Baladewa tekapkan
telapak tangan masing-masing ke mulut, menahan
agar suara tawanya tidak terdengar keluar.
Mendadak Dewi Bayang-Bayang dongakkan ke-
pala memandang langit.
"Astaga! Rupanya sebentar lagi hari akan ma-
lam. Nah, Dayang Naga Puspa. Kuharap kau suka me-
ninggalkan tempat ini. Hari akan gelap. Itu adalah
saat-saat yang paling kunantikan. Atau kau suka me-
lihat aku beraksi...?!"
"Perempuan sundal! Perempuan jorok! Perem-
puan gila nafsu!" maki Dayang Naga Puspa dalam hati.
Mungkin karena merasa tak sanggup mengha-
dapi Dewi Bayang-Bayang apalagi jika nanti dibantu
Gongging Baladewa, akhirnya Dayang Naga Puspa
memutuskan meninggalkan tempat itu.
"Dewi Bayang-Bayang! Hari ini kau beruntung
mendapatkan kedua laki-laki itu. Namun ingat! Per-
soalan ini tak hanya sampai di sini. Bahkan suatu hari
kelak, kau juga harus mendapatkan hukuman, karena
berani turut campur urusanku!" Habis berkata begitu,
Dayang Naga Puspa balikkan tubuh dan berkelebat
meninggalkan tempat itu.
Dewi Bayang-Bayang pandangi kepergian Da-
yang Naga Puspa. Lalu berteriak agak keras.
"Kepastian kata-katamu kutunggu! Dan kalau
bisa bawakan sekalian beberapa pemuda untuk seli-
mut malam! Hik... hik... hik...!"
Begitu sosok Dayang Naga Puspa lenyap, masih
sambil tertawa Dewi Bayang-Bayang arahkan pandan
gannya pada Gongging Baladewa.
***
DELAPAN
MENDADAK tawa Dewi Bayang-Bayang lenyap.
Sepasang matanya membeliak tak kesiap. Pelipisnya
bergerak-gerak, sementara dagunya sedikit terangkat.
Namun kemudian wajahnya telah berubah kembali
dengan senyum tersungging. Mulutnya membuka dan
memperdengarkan suara.
"Gongging! Bertahun aku mengharapkan berte-
mu denganmu. Namun baru hari ini harapanku terpe-
nuhi. Kau tentunya tahu apa yang hendak kuminta
darimu! Dan kau juga tentunya sudah siap!"
Ada keanehan waktu Dewi Bayang-Bayang ber-
kata, yakni walau suaranya terdengar garang, namun
bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
Mendengar ucapan Dewi Bayang-Bayang,
Gongging Baladewa yang sedari tadi tampaknya meng-
hindari tatapan Dewi Bayang-Bayang, menghela napas
dalam-dalam. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki
tak berkaki ini terdiam. Sementara Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tarik-tarik kuncir rambutnya seraya ber-
kata dalam hati.
"Dugaanku tidak meleset. Di antara dua orang
ini ada masalah! Wah, dalam hal ini aku tak bisa ber-
buat banyak! Keduanya adalah orang-orang yang su-
dah kuanggap sebagai guruku. Lagi pula aku belum
tahu masalahnya...."
"Bagaimana, Gongging? kau sudah siap...?!" ka-
ta Dewi Bayang-Bayang setelah ditunggu agak lama
Gongging Baladewa tetap diam tak keluarkan sepatah
kata pun. Hanya helaan napasnya yang terdengar be-
berapa kali seakan menyatakan rasa tidak mengerti
dan menyesal. Tapi pada akhirnya Gongging Baladewa
berkata.
"Rayi Seroja! Ternyata apa yang kuharapkan se-
lama ini tak akan jadi kenyataan. Kau tahu, selama ini
aku pun mengharapkan bertemu denganmu! Lebih da-
ri itu, aku punya keinginan untuk berbaik-baikan den-
ganmu lagi!"
Rayi Seroja atau Dewi Bayang-Bayang tertawa
mengekeh.
"Gongging! Kuburlah keinginanmu itu bersama
terkuburnya tubuhmu!"
Gongging Baladewa kembali tampak menghela
napas dalam-dalam. Kepalanya menggeleng perlahan.
Dalam hati dia berkata.
"Rayi Seroja! Ah, nyatanya kau tak berubah.
Hatimu tetap setangguh karang. Sifatmu tetap sega-
rang singa! Kau tetap menduga wanita yang bersama-
ku itu adalah kekasihku. Dan kau tak mungkin lagi bi-
sa dijelaskan! Kalau kau memang ingin membalas sa-
kit hatimu, aku pun rela...," lalu Gongging Baladewa
melanjutkan. "Rayi Seroja. Baiklah, kalau kau ingin
menguburku, aku pun tak akan melakukan perlawa-
nan. Itu sebagai tebusan atas dosa-dosaku padamu!"
Dewi Bayang-Bayang tersenyum lebar.
"Gongging! Ternyata kau telah berubah jadi la-
ki-laki pengecut! Sungguh memalukan!"
Gongging Baladewa hanya bisa menghela napas
panjang. Dengan melirik dia berkata.
"Rayi, aku tidak berubah! Hal ini semata-mata
karena aku menuruti permintaanmu! Meski yang se-
benarnya terjadi adalah kau salah paham! Perempuan
yang bersamaku itu adalah adik seperguruanku!"
Dewi Bayang-Bayang tertawa mengekeh.
"Apakah kata-katamu hanya untuk menutupi
kelakuan busukmu di hadapan anak tolol itu? Dengan
adik seperguruan bisa berlaku sedemikian mesra?" se-
raya berkata, Dewi Bayang-Bayang arahkan pan-
dangannya pada Pendekar Mata Keranjang, lalu se-
pasang matanya yang sipit berputar memperhatikan
sekeliling.
Gongging Baladewa gelengkan kepalanya per-
lahan.
"Rayi Seroja, kau keliru! Aku sedang mengobati
luka di tubuhnya ketika itu. Dan aku tidak berbuat
apa pun terhadapnya. Hanya kau salah paham dalam
melihat kejadian itu!"
Senyum Dewi Bayang-Bayang terulas. Namun
senyum sinis.
"Dasar pengecut! Kau masih saja mengulangi
kata-kata tak sedap itu! Kau dengar! Apa pun alasan
yang kau kemukakan, itu tak akan merubah maksud-
ku untuk menguburmu!"
"Gawat! Masalah mereka tampaknya begitu da-
lam, hingga sampai menjurus ke soal kubur-
mengubur...?!" membatin Aji dengan masih tak berani
membuka suara.
"Rayi Seroja! Tadi sudah kukatakan, kalau kau
ingin menguburku silakan. Namun ada satu hal yang
ingin kutanyakan...."
"Kuberi kesempatan kau untuk bertanya!" sa-
hut Dewi Bayang-Bayang.
"Apa dengan kematianku kau mendapatkan ke-
puasan?!"
Sejenak Dewi Bayang-Bayang terdiam. Sepa-
sang matanya menyengat tajam memandangi Gongging
Baladewa yang saat itu tidak melihat padanya.
"Kau dengar kata-kataku, Rayi Seroja! Jawab-
lah! Kalau ya, lakukanlah kehendakmu. Jika tidak,
untuk apa dendam itu terus kau simpan? Padahal aku
telah mengaku bersalah padamu, dan ini hanyalah sa-
lah paham!"
"Gongging Baladewa!" kata Dewi Bayang-Ba-
yang setelah terdiam agak lama. "Dalam hidupku, se-
menjak kisah beberapa puluh tahun itu terjadi, hanya
ada dua tujuan! Pertama, menegakkan kebenaran da-
lam rimba persilatan. Ini untuk menebus kesalahanku
pada waktu lalu yang berkomplot dengan orang-orang
sesat! Kedua, mengubur jasadmu dengan tanganku
sendiri! Karena kau telah menyalahgunakan keper-
cayaan dan cinta suciku!"
Mendengar penuturan Dewi Bayang-Bayang,
Pendekar 108 tercengang. Segala teka-teki yang me-
landa hatinya jelas sudah. Dalam hati dia berkata.
"Masalah cinta!? Cinta ternyata mampu membuat
orang untuk berbuat apa saja, termasuk mengubur
kekasihnya! Benar-benar gila itu namanya cinta...!"
"Rayi Seroja! Aku sangat gembira sekali mende-
ngar ucapanmu. Namun itu bukan jawaban dari per-
tanyaanku tadi...! Apa kau merasa akan mendapat ke-
puasan dengan kematianku?!" ulang Gongging Bala-
dewa.
Dewi Bayang-Bayang menyeringai. Lalu tertawa
mengekeh.
"Hanya orang bodoh yang tak merasa puas de-
ngan tercapainya apa yang dikehendaki!"
"Hm... begitu? Baiklah. Hanya kuingatkan pa-
damu. Seseorang baru akan terasa begitu sangat be-
rarti jika orang itu telah tiada! Semoga aku bukanlah
orang yang begitu berarti bagimu baik selama ini mau-
pun setelah tiada! Lakukanlah!"
Dewi Bayang-Bayang sejenak seperti terhenyak
dengan kata-kata Gongging Baladewa. Hingga untuk
beberapa saat perempuan berterompah besar ini hanya
memandangi Gongging Baladewa. Dia tampak dibung-
kus kebimbangan.
"Dewi!" Aji memberanikan diri angkat bicara se-
telah agak lama di antara Dewi Bayang-Bayang dan
Gongging Baladewa saling diam.
"Maafkan jika aku ikut bicara. Semua ini sema-
ta-mata demi kebaikan...."
Sejurus Pendekar 108 menghentikan ucapan-
nya. Dia ingin melihat sambutan Dewi Bayang-Bayang
yang sedang diamuk amarah. Begitu dilihatnya Dewi
Bayang-Bayang diam tak menyambuti, Pendekar 108
lanjutkan ucapannya.
"Apa yang dikatakan Gongging Baladewa benar.
Untuk apa dendam terus-terusan disimpan. Toh, dia
telah mengaku salah!"
Sepasang mata Dewi Bayang-Bayang meman-
dang lurus-lurus pada Pendekar Mata keranjang.
"Anak ingusan! Kau membela dia?!" bentak De-
wi Bayang-Bayang dengan bibir tersenyum sinis.
"Maaf, Dewi. Aku tidak membela siapa-siapa.
Soal pengalaman asam garam dunia mungkin kau le-
bih matang, namun aku yakin tak ada persoalan yang
tak bisa diselesaikan dengan jalan baik-baik. Dan aku
percaya. Semua orang rimba persilatan akan merasa
kehilangan jika Gongging benar-benar mati di tangan-
mu. Lebih-lebih kau tentunya!"
"Kurang ajar! Kau mengguruiku?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tak segera men-
jawab. Dipandanginya Dewi Bayang-Bayang dengan
pandangan tak mengerti. Saat itulah tiba-tiba Gong-
ging menyela.
"Rayi Seroja. Ucapan anak ingusan itu betul!
Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Dan
yang harus kau ketahui, sampai sekarang pun aku
masih mencintaimu!"
Paras Dewi Bayang-Bayang seketika berubah.
Keningnya mengernyit. Sikapnya seperti orang salah
tingkah.
"Dia mengatakan masih mencintaiku...? Apa ini
bukan akal bulusnya saja untuk menghindari kema-
tiannya di tanganku...?"
"Nah, Dewi. Gongging Baladewa telah mengata-
kan masih mencintaimu. Apa kau tega menurunkan
tangan maut pada orang yang mencintaimu? Dan me-
lihat perubahan padamu, maaf, kau pun tampaknya
masih menyayanginya! Tunggu apa lagi?"
"Anak ini benar-benar kurang ajar! Tapi kata-
katanya ada benarnya juga...," membatin Dewi
Bayang-Bayang dengan rona merah semakin meraupi
parasnya. Sementara Gongging Baladewa tampak mu-
lai bisa tersenyum. Malah kerdipkan sebelah matanya
pada Pendekar Mata Keranjang 108. Yang dikerdipi ba-
las mengerdip sambil menahan tawa, malah memberi
isyarat agar Gongging Baladewa mendekati Dewi
Bayang-Bayang.
Meski dengan perasaan yang masih dilanda ke-
bimbangan, Gongging Baladewa akhirnya melangkah
mendekati Dewi Bayang-Bayang. Yang didekati hanya
lirikkan sepasang matanya tanpa berusaha untuk
menghindar atau keluarkan ucapan yang mencegah,
membuat Gongging Baladewa meneruskan langkah.
"Rayi Seroja," panggil Gongging begitu agak de-
kat. "Percayalah. Perempuan yang bersamaku dulu
adalah adik seperguruanku! Dan kuharap kau mau
memaafkan sikapku yang membuatmu jadi salah pa-
ham, sekarang, untukmu kuserahkan segalanya...,"
seraya berkata, Gongging Baladewa tundukkan ke-
palanya seperti orang memberi hormat.
Dewi Bayang-Bayang laksana dicekat tenggoro-
kannya, hingga untuk beberapa lama dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah memejamkan sepa-
sang matanya yang ternyata tampak berkaca-kaca,
akhirnya dia berkata-kata.
"Gongging.... Aku pun minta maaf atas sikapku
yang selama ini seperti anak-anak!"
Mendengar ucapan kedua orang ini, mau tak
mau Pendekar 108 tak dapat lagi menahan gelak ta-
wanya.
"Kata orang-orang tua benar adanya, bahwa ba-
dai pasti berlalu! Dan, masih ada gerobak sapi tera-
khir!" katanya di sela tawa.
Gongging dan Dewi Bayang-Bayang sama-sama
palingkan wajah ke arah Pendekar Mata Keranjang
108. Paras kedua orang ini sama-sama merah saga.
Malah Dewi Bayang-Bayang tampak komat-kamitkan
mulut seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun
hingga lama tak ada terdengar suara dari mulutnya.
Sedangkan Gongging hanya mendelik dengan bibir se-
nyum-senyum.
"Rayi Seroja! Sebenarnya kau hendak ke ma-
na?" tanya Gongging setelah ketiganya tidak ada yang
buka suara.
"Anak kurang ajar ini. Setelah kepergiannya,
aku merasa tidak enak. Lalu aku mengejarnya. Ternya-
ta dugaanku tidak meleset! Dan kau sendiri...?"
"Aku kebetulan lewat, dan kulihat anak ingu-
san ini sedang main guling-gulingan dengan Sarpake-
naka. Lagi pula aku sebenarnya memang mencari anak
ini, karena kabar tentang Arca Dewi Bumi rupanya te-
lah menggegerkan rimba persilatan. Aku berharap dia
yang bisa menyelamatkan arca itu!"
Dewi Bayang-Bayang angguk-anggukkan kepa-
la. Bibirnya kini terus mengumbar senyum, entah ka-
rena senang dapat jumpa lagi dengan Gongging Ba-
ladewa atau memang itu sifat kebiasaannya.
"Anak kurang ajar! Kau telah dengar kata-kata
orang. Berarti kau harus mengerti, bahwa orang-orang
menaruh harapan besar agar kaulah satu-satunya
manusia yang dapat menyelamatkan arca itu! Jangan
kau kecewakan harapan orang banyak!"
"Aku mengerti, Dewi, Gongging! Dan aku tak
akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberi-
kan padaku!"
"Bagus! Aku gembira kau sadar akan hal itu!"
ujar Gongging Baladewa. Lalu kepala ditengadah-
kannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu, na-
mun diurungkan. Sementara itu, Dewi Bayang-Bayang
pun dongakkan kepalanya. Seperti Gongging, perem-
puan berterompah besar ini pun seperti hendak
ucapkan sesuatu, namun diurungkan juga.
Melihat sikap kedua orang ini, Pendekar 108
kernyitkan kening. Seolah ingin melihat apa yang ada
di atas dan membuat kedua orang di hadapannya
urungkan niat untuk ucapkan kata-kata, Pendekar
108 pun tengadahkan kepala.
Saat itu rembang petang memang telah turun
melingkupi pelataran bumi. Pancaran sinar mentari te-
lah terkikis oleh gelapnya malam yang menjelang.
"Astaga! Rupanya malam telah menjelang.
Hm.... Aku mengerti sekarang. Mereka sebenarnya
hendak menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan,
namun tampaknya mereka tak sampai hati...! Mungkin
mereka masih menganggapku berjasa menengahi ma-
salah mereka. Padahal.... He... he... he...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas arahkan
pandangannya pada Gongging dan Dewi Bayang-
Bayang.
"Gongging, Dewi! Aku akan melanjutkan perja-
lananku sekarang...!"
Masih sambil tengadah Gongging Baladewa
berkata.
"Ah, nyatanya kau pintar. Sebelum diusir telah
berpamitan...!"
"Betul! Sebelum mendapat malu memang se-
baiknya segera tinggalkan tempat ini...!" sambung Dewi
Bayang-Bayang dengan bibir tetap tersenyum.
"Sialan! Mereka tampaknya mengerjai diriku!
Hm...," kata Aji dalam hati. Lalu berkata.
"Sebelum aku pergi menunaikan tugas, ada sa-
tu permintaanku. Kuharap kalian tak menolak!"
Gongging Baladewa dan Dewi Bayang-Bayang
sama-sama luruskan kepalanya. Kedua orang ini sa-
ling berpandangan. Mungkin entah karena ingin segera
agar Pendekar 108 meninggalkan tempat itu, Dewi
Bayang-Bayang memberi isyarat dengan anggukan ke-
palanya pada Gongging Baladewa.
"Kau benar-benar anak kurang ajar! Lekas ka-
takan apa permintaanmu!" bentak Gongging Baladewa.
Meski membentak, namun bibirnya sedikit mengulas
senyum.
Pendekar 108 tampak menahan tawa. Lalu ber-
kata.
"Untuk menentramkan hatiku. Aku ingin meli-
hat kepergian kalian berdua dengan mata dan kepala-
ku. Ini untuk menyaksikan bahwa di antara kalian
berdua memang tak ada masalah lagi..."
"Kurang ajar!" maki Dewi Bayang-Bayang de-
ngan rona memerah. Sementara Gongging Baladewa
pun tak ketinggalan memaki. "Kau benar-benar anak
geblek!"
"Kalau kalian tak mau memenuhi permintaan-
ku, aku pun tak akan tinggalkan tempat ini!" kata Pen-
dekar 108 masih dengan coba menahan tawanya. Se-
benarnya Pendekar 108 hanya ingin bercanda dengan
ucapannya itu, karena kalau pun permintaannya tak
dipenuhi dia akan segera tinggalkan tempat itu.
Sejurus kembali Dewi Bayang-Bayang dan
Gongging Baladewa saling pandang.
"Dia sedikit banyak telah berjasa pada kita. Apa
salahnya kali ini kita turuti permintaannya? Lagi pula
aku sudah kangen jalan-jalan denganmu! Ayo...!" bisik
Gongging Baladewa.
Dewi Bayang-Bayang sejenak masih pandangi
laki-laki gemuk kekasihnya itu, lalu beralih pada Pen-
dekar Mata Keranjang yang mengawasinya dengan
menahan tawa.
"Anak edan! Awas kau. Suatu saat kau pasti
kukerjai lebih dari ini...!" ujar Dewi Bayang-Bayang
perlahan tanpa bisa didengar Pendekar 108. Lalu de-
ngan senyum menyungging tubuhnya berbalik dan me-
langkah menjajari Gongging yang ternyata telah men-
dahului.
Begitu dilihatnya Dewi Bayang-Bayang ada
menjajari langkahnya, Gongging ulurkan tangan hen-
dak menggandeng tangan Dewi Bayang-Bayang. Na-
mun Dewi Bayang-Bayang segera tepiskan tangan
Gongging Baladewa.
"Kau jangan berbuat yang tidak-tidak di sini!
Anak kurang ajar itu masih mengawasi kita...!"
"Ha... ha... ha.... Dasar perempuan. Di hadapan
orang malu, tak ada orang mau!"
Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat ta-
ngan Gongging Baladewa menyambar tangan kanan
Dewi Bayang-Bayang. Sebentar Dewi Bayang-Bayang
nampak berontak, namun tak lama kemudian diam
dalam pegangan tangan Gongging Baladewa.
"Cinta.... Oh, cinta.... Segalanya memang jadi
indah bila dilandanya. Tak peduli siapa dan di mana
orang itu...!" gumam Pendekar Mata keranjang 108
dengan tertawa tergelak-gelak melihat tingkah Dewi
Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Namun tiba-tiba saja pendekar murid Wong
Agung ini terperangah. Sosok Gongging Baladewa dan
Dewi Bayang-Bayang lenyap dari pandangannya. Yang
terdengar kini hanyalah debuman bersahut-sahutan
yang makin lama menjauh sebelum akhirnya lenyap
dari pendengaran.
***
SEMBILAN
SANG Surya baru saja merambat dari titik ti-
durnya. Titik-titik embun perlahan menguap lalu sirna
tak berbekas. Nun jauh di sebelah utara, tepatnya di
kaki Gunung Arjuna, seorang pemuda berbaju hijau
yang bukan lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
tampak berdiri seraya pandangi julangan gunung yang
masih diselimuti awan kelabu.
Sejak berpisah dengan Dewi Bayang-Bayang
dan Gongging Baladewa beberapa hari lalu, Pendekar
108 memang meneruskan perjalanan untuk mencari
daerah Bajul Mati. Dan menurut beberapa orang yang
ditanyai, Pendekar 108 mendapat penjelasan bahwa
daerah itu ada di sebelah barat Gunung Arjuna.
Merasa begitu pentingnya perjalanan ini, Pen-
dekar Mata Keranjang sengaja menuju Gunung Arjuna
dengan jalan berputar. Hingga seandainya ditempuh
dengan jalan tanpa berputar hanya memakan waktu
dua hari dua malam, kali ini Aji baru sampai kaki gu-
nung setelah melakukan perjalanan tiga hari tiga ma-
lam.
Namun kenyataanya, meski Pendekar 108 telah
menempuh perjalanan yang berputar-putar, dia masih
merasa diikuti seseorang. Yang membuat murid Wong
Agung ini tampak kesal dan geram, setiap kali dia me-
lakukan penjebakan untuk memergoki sekaligus men-
getahui siapa adanya orang yang mengikuti perjala-
nannya, orang yang akan dijebak seolah tahu dan begi-
tu saja menghilang laksana masuk ke dasar bumi.
"Sialan betul! Siapa sebenarnya orang yang se-
lalu mengikutiku ini...? Dia memiliki ilmu tinggi. Ge-
rakannya selalu lebih cepat dari gerakanku yang men-
coba menjebaknya! Terpaksa aku harus menunda dulu
perjalananku sampai dapat kupastikan siapa adanya
orang ini!" membatin murid Wong Agung ini seraya
pandangi Gunung Arjuna yang perlahan-lahan me-
nampakkan diri seiring lenyapnya kabut yang mem-
bungkus. Meski sepasang mata Pendekar 108 meman-
dangi puncak gunung, namun telinganya dipasang
baik-baik. Malah tak jarang ekor matanya menerabas
tempat di sekitarnya.
Pendekar 108 menduga bahwa yang mengiku-
tinya saat itu adalah Dayang Naga Puspa atau Dewi
Bayang-Bayang bersama Gongging Baladewa. Dugaan
itu muncul karena Dayang Naga Puspa jelas-jelas ingin
mengetahui siapa sebenarnya Pendekar Mata Keran-
jang 108. Sementara dugaan pada Dewi Bayang-
Bayang dan Gongging Baladewa mungkin kedua orang
ini masih mengkhawatirkan ada halangan yang bakal
ditemui murid Wong Agung dalam perjalanannya.
"Edan betul orang ini!" maki Pendekar 108 sete-
lah sekian lama ditunggu tak juga ada tanda-tanda
orang yang mengikutinya unjuk diri.
"Bagaimana aku harus menjebaknya...?" gu-
mam Aji seraya kernyitkan dahi mencari jalan untuk
menjebak orang yang selalu mengikuti perjalanannya.
Selagi murid Wong Agung ini putar otak, men-
dadak dari arah belakang terdengar suara tawa nyaring. Sigap, murid Wong Agung ini segera alirkan tenaga
dalamnya pada kedua tangan, dan serta-merta balik-
kan tubuh dengan tangan siap kirimkan pukulan. Aji
merasa perjalanannya kali ini amat rahasia, hingga tak
seorang pun boleh mengetahuinya.
Namun begitu berbalik, Pendekar Mata Keran-
jang 108 terperangah kaget, tak seorang pun terlihat.
Bahkan daun dan semak belukar pun tidak ada
yang bergerak akibat baru saja diinjak orang!
"Sialan! Dia tampaknya sengaja mempermain-
kan diriku!"
Selagi Pendekar 108 terbengong, kembali terde-
ngar tawa nyaring dari arah belakangnya. Kembali mu-
rid Wong Agung balikkan tubuh. Namun lagi-lagi ma-
tanya tak menemukan seseorang!
Karena merasa jengkel dipermainkan, Pendekar
108 tengadahkan kepala dan berkata lantang.
"Siapa pun adanya kau, kalau tak mau disebut
seorang pengecut, tunjukkan dirimu!"
Bersamaan dengan lenyapnya suara Pendekar
108, sesosok bayangan terlihat melayang turun dari
sebuah pohon tak jauh dari tempat Pendekar 108 ber-
diri.
"Kau...!" seru Pendekar Mata Keranjang setelah
sosok itu berdiri tepat lima langkah di hadapannya.
Bulu kuduk Pendekar dari Karang Langit ini serta-
merta berdiri. Malah di kejap itu juga kakinya tersurut
dua langkah ke belakang.
"Anak keparat! Ke mana langkahmu pergi, jan-
gan harap bisa lolos dari pengawasanku!" bentak sosok
di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108 dengan se-
pasang mata tak berkedip.
"Dayang Naga Puspa! Apa maumu sebenar-
nya...?!"
Sosok di hadapan Pendekar 108 yang bukan
lain memang Dayang Naga Puspa adanya, keluarkan
tawa mengekeh panjang.
"Aku hanya ingin mengetahui siapa kau sebe-
narnya!"
"Itu sudah kukatakan padamu!"
"Anak tolol! Dengar baik-baik! Aku ingin tahu
apakah di tubuhmu ada sesuatu yang kuinginkan!" ka-
ta Dayang Naga Puspa masih dengan tak alihkan pan-
dangan matanya.
"Jangkrik! Rupanya dia telah tahu banyak ten-
tang rahasia Arca Dewi Bumi. Aku harus hati-hati!"
membatin Pendekar 108. "Aku harus dapat memper-
mainkan dia. Lalu pergi jauh-jauh. Terlalu banyak re-
siko meladeni orang seperti dia. Tapi kalau keadaan ti-
dak memungkinkan, apa boleh buat. Mengadu jiwa
pun jadilah...!" Lalu murid Wong Agung ini berkata se-
raya senyum-senyum.
"Dayang Naga Puspa! Meski aku anak tolol, na-
mun aku dapat menebak arah bicaramu. Sesuatu yang
kau inginkan di tubuhku sudah pasti kupunya. Na-
mun sayang sekali, sesuatu itu tidak boleh kau ambil!
Kalau cuma pegang-pegang saja silakan.... Tapi dengan
syarat, jangan diremas apalagi dipencet-pencet!"
Ucapan Pendekar 108 membuat perempuan di
hadapannya yang masih berwajah cantik ini merah
mengelam parasnya. Sepasang matanya semakin
membelalak. Mulutnya komat-kamit memperdengar-
kan suara yang tak jelas. Namun dapat ditebak jika
perempuan ini sedang marah besar.
"Mulutmu ternyata sama saja dengan laki-laki
lainnya! Jorok dan memandang rendah perempuan!
Cepat mendekat dan jangan coba-coba bergerak sela-
ma aku mencari sesuatu itu!"
"Dayang Naga Puspa! Kau terlalu berpura-pura
rupanya. Kau telah tahu letaknya barang yang kau cari. Kau tak usah mencari-cari lagi! Dan, seharusnyalah
kau yang mendekat ke arahku! Bukankah kau yang
menginginkan barang itu...?!"
"Setan alas! Tampaknya kau sengaja mengalih-
kan pembicaraan dan mempermainkan aku! Terimalah
ganjarannya!" teriak Dayang Naga Puspa. Tangannya
serta-merta didorong ke depan!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang walau se-
ngaja mempermainkan Dayang Naga Puspa tapi ke-
waspadaannya tak mengendor, segera melompat ke
samping. Dari arah samping kedua tangannya pun ce-
pat menyentak memapak serangan lawan.
Deeesss!
Dua pukulan yang sama-sama dialiri tenaga
dalam bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga Puspa
tampak sedikit terhuyung-huyung. Tapi setelah pe-
rempuan ini kerahkan tenaga dalam untuk menahan
huyungan tubuhnya, dia segera tegak kembali dengan
kokohnya. Pendekar 108 sendiri tampak tersurut satu
langkah ke belakang.
Dalam menghadapi Pendekar Mata Keranjang
108, Dayang Naga Puspa tampaknya tak berani kelu-
arkan segenap tenaga dalamnya. Hal ini bisa dimak-
lumi karena perempuan ini masih penasaran ingin
menyelidiki apakah Aji benar-benar orang yang di tu-
buhnya terdapat guratan angka 108 sebagai salah satu
syarat orang yang kelak akan dapat mengambil Arca
Dewi Bumi. Dan hal ini diam-diam disadari murid
Wong Agung, hingga dia merasa sedikit lega meski si-
kap waspada tak hendak dikesampingkan.
"Jahanam! Aku serba salah dalam menghadapi
anak ini! Kalau aku berlaku keras, dan ternyata dia
memang orangnya, maka segala impianku menda-
patkan arca itu hanyalah angan-angan kosong! Jika ti-
dak berlaku keras, anak ini rupanya membandel!"
membatin Dayang Naga Puspa seraya gelengkan ke-
palanya perlahan.
"Dia mungkin tak akan bersungguh-sungguh
dalam menghadapiku. Karena dia khawatir aku cedera!
Ini kesempatan yang harus dapat kupergunakan!"
membatin Pendekar Mata Keranjang setelah sekilas
melihat serangan Dayang Naga Puspa.
"Dayang Naga Puspa!" kata Pendekar Mata Ke-
ranjang pada akhirnya setelah dilihatnya Dayang Naga
Puspa diam tak melakukan apa-apa. "Tampaknya kau
hanya bergurau, sementara aku ada pekerjaan yang
harus segera kuselesaikan. Selamat tinggal!" Pendekar
108 lantas balikkan tubuh hendak berkelebat. Namun
gerakannya tertahan, karena tahu-tahu Dayang Naga
Puspa telah ada di sampingnya dan pukulkan tangan
kanannya pada kepala Pendekar 108.
Wuuttt!
Karena tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar
108 untuk menghindari pukulan tangan Dayang Naga
Puspa, Pendekar Mata Keranjang 108 segera angkat
tangan kirinya sementara tangan kanannya siap ki-
rimkan pukulan susulan.
Bukkk!
Tubuh Pendekar 108 tiba-tiba laksana dihan-
tam batangan pohon besar. Ternyata murid Wong
Agung ini salah perhitungan. Karena bersamaan den-
gan kirimkan pukulan tangan kanan, kaki kanan
Dayang Naga Puspa juga bergerak menghantam. Hing-
ga tanpa bisa dielakkan lagi tubuh Pendekar 108 lan-
tas meliuk dan jatuh di atas tanah!
Namun sebelum tubuh Pendekar 108 benar-be-
nar jatuh, murid Wong Agung ini masih sempat ki-
rimkan serangan dengan sentakkan tangan kanannya.
Dayang Naga Puspa yang tidak menduga, sedi-
kit terkejut. Namun kesadarannya terlambat. Hingga
sebelum dia bergerak untuk menghindar, pukulan ja-
rak jauh Pendekar Mata Keranjang 108 telah meng-
hantam pundaknya!
Desss!
Terdengar seruan tertahan dari mulut Dayang
Naga Puspa. Tubuhnya terjengkang dan jatuh terdu-
duk juga di atas tanah!
"Jahanam rendah! Rupanya kau tak bisa diajak
baik-baik!" teriak Dayang Naga Puspa seraya bangkit.
Keinginannya semula yang tidak akan mencederai
Pendekar 108 terlepas dan tertindih amarah yang me-
luap. Hingga yang terpikir sekarang adalah mengadu
jiwa dan membunuh Pendekar 108!
Dayang Naga Puspa segera sibakkan jubah pu-
tihnya, tangan kanannya meraih Tombak Naga Puspa
sementara tangan kirinya terbuka di depan dada,
Mengetahui lawan tidak main-main lagi, Pende-
kar Mata Keranjang 108 pun tidak mau ambil resiko.
Tangan kanannya segera pula mengambil kipas ungu
di balik baju hijaunya, sementara tangan kiri siap ki-
rimkan pukulan sakti ‘Bayu Cakra Buana’
Didahului bentakan nyaring tinggi, Dayang Na-
ga Puspa kelebatkan tubuhnya. Bersitan sinar hitam
berpencaran ke sana kemari bersamaan dengan berge-
raknya tangan kanan Dayang Naga Puspa, sementara
dari tangan kirinya menyambar serangan angin dah-
syat yang keluarkan suara menggemuruh!
Tahu jika serangan itu tak boleh hanya dihin-
dari, Pendekar Mata Keranjang 108 cepat pula me-
nyongsong dengan kelebatkan tubuh. Kipas di tangan
kanan dikibaskan dari arah kiri ke kanan, sementara
tangan kiri menghantam!
Bummmm!
Gerak kelebat kedua orang ini sama-sama ter-
tahan di udara. Sekejap kemudian terdengar ledakan
dahsyat saat terjadi pertemuan serangan keduanya.
Tubuh Dayang Naga Puspa mental balik ke be-
lakang, dari mulutnya terdengar seruan tertahan. Sete-
lah membuat gerakan salto dua kali di udara, perem-
puan ini dapat mendarat di atas tanah. Namun karena
kakinya masih terluka akibat pukulan bambu Gongg-
ing Baladewa, hingga saat kakinya mendarat, kakinya
terlihat goyah. Dan saat itu juga tubuhnya melorot ja-
tuh terduduk!
Pendekar Mata Keranjang sendiri tubuhnya me-
layang sampai dua tombak ke belakang. Namun murid
Wong Agung ini segera bisa kuasai keadaan, hingga
dengan kaki terpentang tubuhnya mendarat!
"Anjing kurap! Kubunuh kau!" teriak Dayang
Naga Puspa seraya bangkit. Kemarahan tidak dapat
disembunyikan lagi dari sikap dan ucapannya. Hal ini
tak lepas dari penglihatan Pendekar Mata Keranjang
108, hingga dia tampak lebih waspada dan hati-hati.
Dalam hatinya dia berucap.
"Dia marah besar, ini kesempatan. Karena se-
rangannya tidak akan lagi terarah...! Dan...," Pendekar
108 tak meneruskan ucapan hatinya, karena saat itu
juga tiba-tiba bersitan sinar hitam telah menggebrak
dari atas kepalanya, seakan hendak membelah tubuh-
nya dari kepala hingga perut!
Pendekar Mata Keranjang 108 membentak. Ki-
pas ungunya diangkat sementara tangan kirinya di-
ayun dari bawah.
Kilauan sinar keputihan yang menebar mem-
bentuk sebuah kipas menyambar ke atas.
Braakkk!
Blaamm!
Terdengar benturan dua benda, disusul kemu-
dian dengan terdengarnya ledakan menggelegar.
Dayang Naga Puspa merasa tangan kanannya seakan
lunglai tak bertenaga. Sementara tangan kirinya berge-
tar hebat dan seolah penggal! Untuk kesekian kalinya
dari mulut perempuan ini terdengar pekik tertahan
bersamaan dengan membumbungnya tubuh ke udara.
Mungkin karena kerahkan segenap tenaga dalamnya
saat melancarkan serangan tadi, hingga saat tubuhnya
kembali menukik dia tak bisa lagi menahan. Tak am-
pun lagi tubuhnya terjerembab mencium tanah! Darah
segar tampak meleleh dari sudut bibirnya, wajahnya
berubah pucat, sementara dari mulutnya tak henti-
hentinya terdengar makian panjang pendek!
Murid Wong Agung pun terdengar keluarkan
seruan tertahan. Bersamaan dengan bertemunya kipas
di tangan kanannya dengan tombak milik Dayang Naga
Puspa, Pendekar Mata Keranjang merasa sekujur tu-
buhnya seakan dipanggang bara! Dan ketika terjadi le-
dakan saat tangan kirinya memapak serangan tangan
kiri Dayang Naga Puspa, tubuh Pendekar 108 tampak
terpelanting ke belakang. Tubuhnya baru terhenti saat
kakinya menyambar sebuah batang pohon. Batang po-
hon yang tak begitu besar itu berderak roboh, namun
hal ini membuat tubuh murid Wong Agung ini terbant-
ing dengan derasnya! Bahkan kepalanya terlebih dahu-
lu menghantam tanah!
Seraya merambat bangkit, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tampak pegangi dadanya yang berdenyut
sakit. Tangan kanannya terasa panas seolah dibakar!
Sambil mengusap-usap darah yang meleleh da-
ri sudut bibirnya dengan lengannya, Dayang Naga
Puspa takupkan kedua tangannya di depan dada, tom-
baknya dikepit di antara takupan tangannya, sepasang
matanya memejam rapat, sedangkan mulutnya berke-
mik.
Tampaknya Dayang Naga Puspa siapkan pukul-
an mematikan yang menjadi andalannya. Mendapati
hal ini, Pendekar 108 tak mau bertindak ayal. Dia pun
pindahkan kipas ke tangan kiri, sementara tangan ka-
nan dibuka di depan dada. Rupanya pendekar murid
Wong Agung sedang siapkan pukulan sakti 'Bayu Ken-
cana' yang didapatnya dari perempuan aneh tak ber-
nama. (Tentang pukulan Bayu Kencana dan pe-
rempuan aneh tak bernama, baca serial Pendekar Mata
Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Ib-
lis").
Namun sebelum kedua orang ini saling menye-
rang, terdengar seruan bersamaan berkelebatnya seso-
sok bayangan.
"Tahan serangan!"
***
SEPULUH
KARENA seruan sosok yang baru datang bukan
sembarang seruan, membuat konsentrasi Dayang Naga
Puspa maupun Pendekar Mata Keranjang 108 buyar.
Dengan wajah merah padam dan mulut ter-
kancing rapat saling menggegat, Dayang Naga Puspa
buka kelopak matanya. Demikian pula Pendekar 108.
Sepasang mata kedua orang yang hendak saling me-
nyerang ini bentrok sejenak. Lalu bersamaan mata ke-
duanya memandang ke samping, di mana tampak se-
seorang telah berdiri dengan memandang silih berganti
pada Dayang Naga Puspa dan Pendekar 108.
Sepasang mata Dayang Naga Puspa sekilas ma-
kin membesar, lalu menyipit, dari mulutnya mendadak
terdengar seruan.
"Kakang Jogaskara!"
Orang yang dipanggil Jogaskara sejenak masih
tak menyahuti sapaan Dayang Naga Puspa. Sepasang
matanya memperhatikan dengan seksama. Setelah
agak lama bibir orang ini sunggingkan senyum. Lalu
berkata.
"Sarpakenaka...."
Dayang Naga Puspa melangkah mendekat. Yang
didekati hanya memandang seraya tersenyum. Dalam
hati, laki-laki yang mengenakan pakaian jubah pan-
jang sebatas lutut berwarna biru muda ini berucap.
"Hmm.... Saatnya bagiku merebut Tombak Naga
Puspa dari tanganmu! Peduli kau adalah adik sepergu-
ruanku...!"
"Kakang, sudah lama aku mencarimu. Kau
baik-baik saja...?!" kata Dayang Naga Puspa seraya
simpan tombak hitamnya karena sejak tadi Jogaskara
selalu memperhatikan tombak itu.
"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja!
Hmm.... Siapa pemuda itu...? Dan ada masalah apa di
antara kalian...? Kulihat kau tadi hendak lancarkan
serangan berbahaya!"
Dayang Naga Puspa arahkan pandangannya
pada Pendekar 108 yang saat itu sedang memandang
tak berkedip pada Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
"Hmm.... Siapa laki-laki ini? Tampaknya mereka begitu
akrab. Kekasihnya? Atau saudara...? Sialan benar!
Pasti laki-laki yang dipanggil Jogaskara ini akan mem-
bantu Dayang Naga Puspa!"
"Kakang Jogaskara.... Hmm.... Kebetulan kita
dipertemukan di sini. Aku akan bicara terus terang
siapa adanya pemuda itu, meski aku sendiri belum ya-
kin benar. Dengan begitu, dia pasti akan membantuku.
Namun setelah nanti Arca Dewi Bumi benar-benar di
depan mata, akan kuhabisi dia! Tak pandang dia ada-
lah kakak seperguruanku. Itu kalau dia juga mengin-
ginkan Arca Dewi Bumi!" diam-diam Dayang Naga
Puspa berkata dalam hati saat arahkan pandangannya
pada Pendekar Mata Keranjang. Lalu dengan suara li-
rih, dia berucap.
"Kakang! Tentunya kau sudah dengar tentang
Arca Dewi Bumi yang saat ini sedang menggegerkan
rimba persilatan. Tapi apakah Kakang juga tahu ten-
tang syarat untuk mendapatkannya...?"
"Meski aku telah tahu siapa pemegang arca itu
sekarang, namun aku memang belum tahu kalau ada
persyaratan lain untuk mendapatkan arca itu. Hmm....
Ini sebuah kesempatan aku mengetahuinya lebih lan-
jut. Dan sebaiknya aku memang tak menunjukkan
pengetahuanku tentang arca itu. Sarpakenaka tam-
paknya tahu banyak tentang rahasia arca itu! Dari na-
da bicaranya aku bisa menduga! Sementara ini aku
harus menyimpan rasa keinginanku pada arca itu,
sampai saatnya datang!" membatin Jogaskara lalu ber-
kata.
"Sarpakenaka! Aku tidak begitu tertarik dengan
segala macam arca. Apalagi yang belum tentu ada ti-
daknya. Jadi, aku pun tak tahu segala macam syarat
untuk mendapatkan arca!"
"Tapi, Kakang. Apakah Kakang mau memban-
tuku?"
"Sebagai kakak seperguruan, kepala pun akan
kurelakan untuk membantu!"
Dayang Naga Puspa tersenyum. Namun dalam
hati sebenarnya dia masih meragukan ucapan kakak
seperguruannya.
"Aku belum percaya ucapannya. Mustahil jika
orang rimba persilatan tak menginginkan arca itu! Tapi
itu urusan nanti, yang penting dia mau membantuku
menangkap anak tengik itu!" batin Dayang Naga Puspa
Jika Dayang Naga Puspa meragukan kakak se-
perguruannya, lain halnya dengan kata hati Jogaskara.
"Dia tampaknya begitu menggebu, tak mustahil
jika segala sepak terjangnya sekarang ini pasti ada hu-
bungannya dengan arca itu. Dengan membantunya,
aku berarti mendapat pengetahuan tentang rahasia ar-
ca itu!"
"Kakang! Menurut yang kuketahui, orang yang
kelak dapat mengambil Arca Dewi Bumi adalah seseo-
rang yang di anggota tubuhnya terdapat guratan 108!
Dan orang yang tubuhnya terdapat angka 108 adalah
pemuda itu!" ujar Dayang Naga Puspa dengan arahkan
pandangannya pada Pendekar Mata Keranjang 108
yang tetap mengawasi dengan sikap waspada.
Meski terkejut, namun Jogaskara cepat me-
nyembunyikan rasa terkejutnya dengan tersenyum le-
bar, hingga codet bekas luka di pipi kirinya seakan
hendak membuka kembali.
"Sarpakenaka! Apa kau tidak salah dengar de-
ngan apa yang baru kau katakan? Dan kau yakin de-
ngan berita itu?!" Jogaskara berkata demikian untuk
memancing dari mana berita itu didapat Sarpakenaka.
"Kakang. Eyang guru Dadung Rantak apakah
pernah berkata dusta?" Dayang Naga Puspa balik ber-
tanya.
"Jadi kau dengar hal itu dari Eyang guru...?!"
Dayang Naga Puspa mengangguk-anggukkan
kepalanya perlahan. Sementara Jogaskara menarik
napas lega. Lalu manggut-manggut.
"Lalu bantuan apa yang kau minta dariku...?!"
"Kakang. Pemuda itu adalah manusia yang ber-
gelar Pendekar Mata Keranjang 108! Dia berilmu tidak
cetek. Sekarang bantulah aku menangkapnya! Kalau
bisa tanpa mencederainya, karena dia kubutuhkan!"
"Hanya itu...?!"
"Untuk saat sekarang hanya itu. Namun setelah
ini tentunya aku masih butuh juga bantuanmu. Kau
masih bersedia membantuku untuk selanjutnya, bu-
kan?"
Jogaskara keluarkan suara tawa perlahan.
"Sarpakenaka. Demi adik seperguruan, sampai
kapan pun sekiranya aku bisa, aku akan membantu-
mu!"
"Terima kasih, Kakang...."
Kedua orang seperguruan ini lantas sama-sama
memandang pada Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia pasti
akan membantu perempuan itu! Apa boleh buat. Akan
kuhadapi mereka berdua!"
Dayang Naga Puspa melirik pada Jogaskara.
Dua orang saudara seperguruan murid Dadung Ran-
tak dari Lembah Rawa Buntek ini saling memberi isya-
rat dengan anggukan kepala masing-masing. Dan di
saat itu juga keduanya segera melompat ke depan den-
gan dorong kedua tangan masing-masing.
Empat bongkahan sinar hitam menyambar ce-
pat ke arah Pendekar 108. Dua dari arah bawah dan
dua dari atas!
Meski sedikit terkejut dengan paduan serangan
lawan, namun murid Wong Agung ini tak mau larut.
Tangan kirinya yang kini memegang kipas disabetkan
menyilang, sementara tangan kanannya kirimkan pu-
kulan 'Bayu Cakra Buana'.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara saling lirik.
Dan seakan tahu apa yang harus mereka lakukan, ke-
dua orang ini lantas kerahkan tenaga dalam susulan
seraya melangkah maju. Namun kedua orang ini se-
makin melengak, karena meski keduanya telah lipat
gandakan tenaga dalam, kilauan sinar putih seakan ti-
dak bisa ditembus, malah bongkahan sinar hitam per-
lahan bergerak membalik tertindih gerak kilauan sinar
putih.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kembali li-
pat gandakan tenaga dalam. Namun tampaknya masih
tak bisa menerobos, malah ketika Pendekar 108 mem-
buat gerakan jungkir balik dan sentakkan kipas serta
tangan kanannya, terdengar dua pekik tertahan, lalu
disusul dengan terjengkangnya tubuh Dayang Naga
Puspa dan Jogaskara di atas tanah!
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara cepat bang-
kit. Tak sadar, kedua orang ini sama-sama sibakkan
jubah masing-masing. Dan secara bersamaan pula
tangan kanan masing-masing menyahut senjata yang
ada di balik jubah.
Baik Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara
saling pandang dan membeliakkan mata masing-
masing. Namun pandangan mata masing-masing orang
ini terpaku pada senjata di tangan kanan orang lain-
nya.
"Aku tadi belum jelas benar lihat bentuk tom-
bak itu! Hm.... Benar-benar aneh dan tentunya hebat!
Saatnya akan tiba untuk merebutnya!" membatin Jo-
gaskara seraya terus pandangi tombak di tangan Da-
yang Naga Puspa yang keluarkan bersitan hitam berki-
lat-kilat.
"Baru kali ini aku melihat keris yang bentuknya
demikian rupa! Dari mana dia dapat? Dari Eyang gu-
ru...? Hmm.... Tentunya senjata yang sakti. Setelah Ar-
ca Dewi Bumi berhasil kudapatkan, tak sulit merebut
keris itu dari tangannya.... Dengan demikian, aku akan
semakin ditakuti siapa pun!" diam-diam Dayang Naga
Puspa pun berkata dalam hati, dan pandangannya tak
berkedip menatapi keris bersisik berwarna hitam di
tangan kanan Jogaskara.
Namun kedua orang ini tak bisa berlama-lama
saling diam dan saling pandangi senjata, karena saat
itu juga dari arah depan menggebrak kilauan sinar putih menebar membentuk kipas sementara kilauan
lainnya menggebrak dengan keluarkan suara mengge-
muruh!
Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah
lancarkan serangan susulan, hal ini dilakukan agar
kedua lawan tak ada kesempatan lagi untuk padukan
serangan, apalagi dilihatnya kedua orang lawan telah
keluarkan senjata masing-masing.
Jogaskara undurkan langkah tindak ke bela-
kang, lalu serta-merta tangan kirinya menyentak, ber-
samaan dengan menyentaknya tangan, Jogaskara ke-
lebatkan tubuh!
Sementara Dayang Naga Puspa geser tubuhnya
ke samping. Dan dari arah samping tangan kirinya
pun menghantam ke depan, memapak serangan Pen-
dekar 108! Dan sehabis kirimkan serangan, tubuhnya
pun berputar dan lenyap dari pandangan!
Blaarrr! Blaarrrr!
Bumi laksana diguncang gempa dahsyat tatkala
tiga pukulan bertemu! Tanah tampak bergetar dan ter-
bongkar, sementara semak belukar tercabut dari akar-
nya dan mengangkasa.
Tubuh Pendekar 108 tampak terseret ke bela-
kang. Dan sebelum murid Wong Agung ini dapat men-
guasai diri, tiba-tiba dari arah samping menderu angin
kencang lalu disusul dengan berkelebatnya seberkas
sinar hitam dan merah!
Pendekar 108 merasakan udara di sekitarnya
mendadak panas membara. Lalu bersitan sinar hitam
dan merah datang mengarah pada pundaknya.
Wuuttt!
Pendekar 108 terkejut, bukan hanya karena se-
rangan mendadak itu, namun juga oleh hawa panas
yang menebar dari tangan Jogaskara yang memegang
Keris Papak Geni!
Untung Pendekar dari Karang Langit cepat mi-
ringkan pundaknya, hingga keris Jogaskara hanya
mampu menyerempet pakaiannya. Tapi tak urung
Pendekar 108 terbelalak. Pakaian yang terserempet ke-
ris Jogaskara tampak robek dan hangus, dan panas-
nya tetap membara di pundaknya!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima
dengan apa yang baru saja dialami, mendadak dari
samping kiri berkelebat sinar hitam berkilat.
Wuutttt!
Untuk kedua kalinya Pendekar Mata Keranjang
masih dapat menghindari serangan mendadak itu yang
ternyata dilancarkan Dayang Naga Puspa. Namun, tak
urung juga senjata tombak Dayang Naga Puspa sempat
menerabas pahanya sebelah kanan!
Seraya menahan huyungan tubuhnya yang ba-
ru saja menghindar dari serangan, Aji melirik pahanya
yang terasa laksana dipanggang api!
Murid Wong Agung tercekat. Bukan hanya ka-
rena melihat darah yang mulai meleleh dari pahanya,
namun karena kulit di pahanya perlahan-lahan mulai
berubah menghitam!
"Busyet! Racun jahat!" gumam Aji seraya me-
lompat mundur menghindari serangan susulan.
Jogaskara yang mendarat terlebih dahulu me-
langkah maju hendak mendekat ke arah Pendekar 108.
Namun langkahnya tertahan ketika dari arah samping
Dayang Naga Puspa menjajarinya dan berkata.
"Kakang, dia telah terluka! Kita harus hentikan
serangan. Aku yakin, tanpa obat pemunah dariku, dia
tak akan tahan sampai tengah hari!"
"Lantas apa yang kita lakukan sekarang...?!"
"Kita tangkap dahulu dan kita sekap! Setelah
tiba waktunya, kita gunakan!"
Habis berkata, Dayang Naga Puspa mendahului
Jogaskara melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang 108.
Sedangkan Pendekar 108 sendiri parasnya tam-
pak memucat, tubuhnya sedikit bergetar. Kedua ka-
kinya lantas goyah dan tak lama kemudian, tubuhnya
pun jatuh di atas tanah!
Begitu tubuhnya jatuh, murid Wong Agung ini
merasa matanya berkunang-kunang, tubuhnya panas.
Meski dia telah berusaha kerahkan tenaga dalam, na-
mun tampaknya tak ada hasil. Tubuhnya sulit untuk
digerakkan dan lebih dari itu, sekujur tubuhnya sea-
kan dipanggang di atas api!
"Celaka! Apa yang harus kulakukan?" gumam
Aji seraya pandangi Dayang Naga Puspa yang samar-
samar tampak melangkah ke arahnya.
Saat itulah, mendadak sebuah bayangan ber-
kelebat seakan menghadang gerak langkah Dayang
Naga Puspa. Bersamaan dengan berkelebatnya ba-
yangan ini, serangkum angin deras menghantam pada
Dayang Naga Puspa.
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kaget. Da-
yang Naga Puspa yang dekat dengan serangan segera
melompat ke samping seraya mengumpat.
***
SEBELAS
BANGSAT! Siapa berani ikut campur urusan
orang?!" bentak suatu suara yang sangat mengejutkan.
"Tak pantas menjatuhkan tangan pada orang
yang sudah tak berdaya!" sahut sosok yang baru saja
berkelebat seraya menghadang gerak langkah Dayang
Naga Puspa. Ternyata dia adalah seorang gadis muda
berparas cantik jelita. Mengenakan pakaian warna cok-
lat bergaris-garis. Rambutnya panjang sebahu dengan
sepasang mata bulat berbinar.
Untuk beberapa saat lamanya baik Dayang Na-
ga Puspa maupun Jogaskara mengawasi gadis yang
baru datang dengan tatapan menyelidik. Sementara
Pendekar 108 yang masih kebingungan untuk mencari
jalan keluar saat Dayang Naga Puspa hendak melang-
kah ke arahnya, sejenak mengernyitkan kening. Sepa-
sang matanya membesar lalu menyipit.
"Sakawuni!" seru Pendekar 108 perlahan begitu
mengenali siapa adanya gadis yang telah berhasil me-
nahan gerak Dayang Naga Puspa.
Setelah agak lama mengawasi, tampaknya baik
Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara tak bisa me-
ngenali siapa adanya sang gadis. Namun demikian,
Dayang Naga Puspa maklum jika gadis bermata bulat
ini punya kepandaian tinggi. Itu bisa dilihat dari kele-
batannya saat menahan langkahnya.
"Gadis lancang! Siapa kau?!" bentak Dayang
Naga Puspa dengan sepasang mata berkilat merah. Se-
mentara Jogaskara nampak memandangi seraya se-
nyum-senyum aneh. Ternyata diam-diam Jogaskara
menaruh nafsu pada gadis bermata bulat yang bukan
lain memang Sakawuni adanya. Salah satu murid dari
Ageng Panangkaran (Mengenai Sakawuni baca serial
Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode: "Malaikat
Berdarah Biru").
Yang dibentak sepintas memandang pada Pen-
dekar 108. Lalu beralih pada Dayang Naga Puspa dan
Jogaskara. Namun dari mulut sang Gadis tak keluar
suara jawaban, membuat Dayang Naga Puspa geram
dan memaki-maki dalam hati, apalagi dilihat tatapan
sang gadis pada Pendekar Mata Keranjang seperti pan-
dangan orang yang lama terpisah mendadak bertemu!
"Gadis liar! Apa hubunganmu dengan pemuda
tolol itu?!" sambung Dayang Naga Puspa begitu per-
tanyaan pertamanya tak dijawab oleh sang Gadis.
Sesaat sang gadis murid Ageng Panangkaran ini
masih diam. Namun begitu dilihatnya Dayang Naga
Puspa hendak membentak lagi, Sakawuni angkat bi-
cara.
"Siapa pun aku dan apa pun hubunganku de-
ngan pemuda itu, tak layak kau ketahui. Yang layak
kau dengar adalah 'Lekas tinggalkan tempat ini'!"
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara serentak
tertawa bergelak-gelak.
"Kakang, kau dengar apa yang dikatakan gadis
bau kencur itu?! Dia mengusirku dari sini. Apa dikira
ini tanah nenek moyangnya! Hik... hik... hik...!"
"Sarpakenaka!" sahut Jogaskara. "Bagaimana
kalau kita turuti saja permintaan gadis ini. Tapi dia
harus ikut denganku dahulu! Tak usah terlalu lama,
satu malam saja cukuplah!"
"Laki-laki codet! Jaga mulutmu jika tidak ingin
kurobek-robek!"
Dimaki demikian, Jogaskara bukannya marah,
sebaliknya tawanya semakin keras. "Sarpakenaka. Kau
dengar, dia mengancamku! Ha... ha... ha...!"
Namun mendadak saja Dayang Naga Puspa
hentikan tawanya.
"Gadis liar! Kali ini aku masih berbaik hati mau
mengampunimu dengan tidak menampar mulutmu
yang telah berani mengusirku. Lekas menyingkirlah
dari hadapanku!"
"Kalau aku berani mengusirmu, aku juga bera-
ni tak meninggalkan tempat ini! Kalian mau apa?!" tan-
tang Sakawuni. Kedua tangannya terlihat perlahan-
lahan diangkat ke atas. Sementara ekor matanya sese-
kali melirik pada Pendekar Mata Keranjang. Yang dilirik bukannya senang. Dia malah terlihat cemas. Bah-
kan sepertinya ingin berteriak agar Sakawuni mening-
galkan tempat itu. Karena Aji yakin, Sakawuni pasti ti-
dak akan mampu menghadapi Dayang Naga Puspa
apalagi kini ada Jogaskara.
"Sarpakenaka. Dia tak mau meninggalkan tem-
pat ini, rupanya dia memang ingin merasakan yang
semalam itu! Ha... ha... ha...!"
Dayang Naga Puspa tak menyambuti kata-kata
kakak seperguruannya. Kemarahannya pada Sakawuni
tampaknya sudah tak dapat dibendung lagi, hingga
tanpa bicara apa-apa lagi perempuan ini melesat ke
depan.
"Kau rupanya ingin cari mampus!" teriaknya se-
raya hantamkan tangan kanannya ke arah kepala Sa-
kawuni.
Sakawuni yang tampaknya telah waspada cepat
lesatkan diri ke samping. Begitu kakinya mendarat di
atas tanah, kedua tangannya bergerak kirimkan puku-
lan jarak jauh. Namun malang bagi Sakawuni, sebelum
tangannya benar-benar hantamkan pukulan, Jogaska-
ra telah melesat dan tiba-tiba kakinya menyapu ke
arah dada Sakawuni. Mau tak mau Sakawuni urung-
kan niat untuk menghantam. Tangannya ditarik sedi-
kit ke belakang lalu dipalangkan di depan dada!
Namun lagi-lagi murid Ageng Panangkaran ini
urungkan niat palangkan tangan, karena saat itu juga
Jogaskara tarik pulang kakinya dan serta-merta pu-
kulkan tangan kanannya pada kepala Sakawuni, se-
mentara tangan kirinya menyusup ke bawah ketiak!
Seraya membentak marah. Sakawuni angkat
tangan kanannya sementara tangan kirinya menyapu
dari arah bawah!
Praakkk! Praakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Sakawuni
keluarkan pekik kesakitan, tubuhnya tampak ter-
huyung mundur sampai beberapa langkah. Saat itulah
mendadak dari arah belakang Dayang Naga Puspa
berkelebat dan kirimkan serangan dengan kaki kanan
ke arah punggung!
Deesss!
Untuk kedua kalinya Sakawuni terpekik. Tu-
buhnya kembali terhuyung ke depan. Kesempatan ini
tak disia-siakan oleh Jogaskara yang saat itu masih
berdiri di hadapannya. Laki-laki bercodet ini serta-
merta kelebatkan kedua tangannya dari samping ka-
nan ke kiri!
Sakawuni tampak terkejut besar. Namun gadis
ini tak hendak diam begitu saja. Dengan kerahkan te-
naga dalam penuh, tangan kanan kirinya diangkat
memapaki kedua tangan Jogaskara. Sayang, gerakan
Sakawuni sedikit terlambat. Hingga tanpa ampun lagi
tangan kanan Jogaskara menerabas masuk ke ba-
hunya! Sementara tangan kirinya mental balik karena
berhasil ditangkis Sakawuni!
Tubuh Sakawuni berputar. Saat itulah Dayang
Naga Puspa melompat dan sapukan kaki kirinya.
Deesss!
Jeritan lengking merobek langit keluar dari mu-
lut Sakawuni. Tubuhnya terpelanting jauh dan terka-
par di samping Pendekar 108.
"Sakawuni! Kau terlalu menganggap remeh me-
reka. Mereka adalah orang-orang sesat berilmu tinggi.
Kau tak apa-apa...?!" tanya Pendekar 108 dengan sua-
ra tersendat dan parau.
Seraya mengeluh, Sakawuni gelengkan kepala-
nya perlahan. Namun sepasang matanya tak beranjak
memandangi pemuda yang kini ada di sampingnya.
"Siapa mereka? Dan ada persoalan apa antara
kau dan mereka...?!" tanya Sakawuni seraya pegangi
dadanya yang berdenyut sakit. Pakaian bagian dada
itu tampak robek akibat terjangan kaki Dayang Naga
Puspa.
"Nanti saja kuceritakan. Sekarang lebih baik
kau tinggalkan tempat ini. Selamatkan dirimu. Kau ta-
hu, aku terluka. berarti sulit bagiku untuk menolong-
mu jika sampai terjadi apa-apa terhadap dirimu!"
Sejurus Sakawuni menatap bola mata pendekar
murid Wong Agung ini.
"Ah, rupanya dia masih begitu memperhatikan
diriku. Apakah dia juga tak pernah melupakanku, se-
perti aku yang tak pernah melupakannya...?" mem-
batin Sakawuni. "Dia terluka. Hmm.... Tak mungkin
aku tinggalkan dia sendirian di sini! Apalagi dia terlu-
ka. Mati pun akan kulakukan untuk menghalangi ke-
dua orang itu jika mereka benar-benar ingin membu-
nuh Pendekar 108!"
"Sakawuni. Kau dengar kata-kataku bukan...?
Lekas tinggalkan tempat ini!" pinta Pendekar 108 saat
dilihatnya Sakawuni tak juga mencoba meninggalkan
tempat itu.
Sakawuni menggeleng perlahan.
"Aji.... Aku akan tinggalkan tempat ini jika ber-
samamu! Jika kau di sini, aku pun akan tetap di sini!
Apa pun yang akan terjadi! Kau terluka. Aji! Aku akan
melindungimu sampai titik darah penghabisan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disekat
tenggorokannya mendengar kata-kata Sakawuni.
"Ah, gadis ini benar-benar tabah dan tegar! Dia
rela mengorbankan dirinya demi aku! Hmm.... Saka-
wuni...."
Pendekar 108 memandang lekat-lekat pada Sa-
kawuni. Saat itu pun Sakawuni sedang memandang ke
arahnya. Dua orang yang sudah lama tidak jumpa ini
seakan melepas kerinduan hati masing-masing lewat
pandangan mata. Sebenarnya Pendekar 108 ingin se-
kali mendekat bahkan memberi kecupan di keningnya,
namun hal itu tak mungkin dilakukan. Karena pada
saat itu juga tiba-tiba Dayang Naga Puspa melangkah
ke arah keduanya dan berkata.
"Anak-anak ingusan! Cukup waktunya bagi ka-
lian untuk berbasa-basi. Sekarang bersiaplah kalian
untuk menghuni alam baru! Terlebih-lebih kau, Pe-
rempuan liar! Kau harus menuju alam baru dahulu,
lantas baru pemuda tolol ini menyusul!"
"Sarpakenaka!" berkata Jogaskara seraya men-
jajari langkah Dayang Naga Puspa. "Sebelum yang ga-
dis menjadi penghuni alam yang baru, serahkan dahu-
lu padaku! Sudah beberapa malam ini aku tidur berse-
limut dingin. Dia tampaknya cukup untuk menghan-
gatkan dinginnya malam. Ha... ha... ha...!"
Walau Dayang Naga Puspa tampaknya tak suka
dengan tingkah kakak seperguruannya, namun dia tak
dapat mencegah. Apalagi dia masih mengharap ban-
tuan dari kakak seperguruannya itu. Hingga tatkala
Jogaskara melangkah mendahului mendekat ke arah
Sakawuni, Dayang Naga Puspa hanya diam malah ter-
senyum sinis dengan alihkan pandangan.
"Manis! Kuharap kau suka dengan ajakanku.
Dan kalau pun kau nantinya masih ingin, aku tak ke-
beratan menambah dua malam lagi! Ha... ha... ha...!"
seraya tertawa bergelak-gelak Jogaskara terus me-
langkah ke arah Sakawuni dan Pendekar Mata Ke-
ranjang.
Sakawuni merah mengelam wajahnya. Tanpa
mempedulikan dadanya yang masih berdenyut sakit,
gadis ini bangkit dengan sepasang mata menyengat ta-
jam.
"Sakawuni! Kau harus berhati-hati!" Pendekar
Mata Keranjang 108 mengingatkan gadis itu seraya ke
rahkan sisa tenaga dalamnya pada kedua tangannya
dan siap dipukulkan jika Jogaskara tak mengurung-
kan niat.
Sepuluh langkah lagi Jogaskara sampai pada
Sakawuni, dan baik Sakawuni maupun Pendekar 108
telah siapkan pukulan masing-masing, mendadak ter-
dengar suara orang tertawa mengekeh panjang. Belum
lenyap suara tawa, terdengar suara berdebum-debum
bersahut-sahutan seakan membuncah keheningan dan
ketegangan tempat itu. Di sela debuman-debuman ter-
dengar orang bicara. Namun nada bicaranya seperti
orang sedang menyanyi.
"Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang.
Sekarang sedang apa, sedang apa sekarang...?"
Siapa pun yang mendengar, pasti dapat mene-
bak jika yang sedang memperdengarkan adalah se-
orang perempuan. Namun begitu suara nyanyian ini
habis tiba-tiba terdengar nyanyian lagi. Ini jelas suara
seorang laki-laki.
"Sedang ngajak. Sedang ngajak sekarang. Se-
karang ngajak apa, ngajak apa sekarang...?"
"Ngajak tidur, ngajak tidur, ngajak tidur seka-
rang. Sekarang tidur apa, tidur apa sekarang...?" kem-
bali terdengar suara perempuan yang tadi.
"Tidur paksa, tidur paksa, tidur paksa seka-
rang. Sekarang paksa apa, paksa apa sekarang...?"
Nyanyian itu tak ada sahutan lagi. Namun yang
terdengar kemudian adalah omelan sang perempuan.
"Dasar laki-laki! Maunya ngajak tidur melulu!
Tak lihat-lihat dulu, apakah yang diajak tidur dalam
keadaan sakit apa waras!"
Jogaskara hentikan langkahnya. Darahnya si-
rap oleh nyanyian yang tampaknya menyindir pa-
danya. Dengan muka merah padam, ia cepat palingkan
wajah ke arah sumber suara.
Lain yang dialami Jogaskara, lain pula yang di-
rasakan Dayang Naga Puspa. Begitu terdengar suara
debuman bersahut-sahutan, kontan saja tengkuknya
merinding. Rupanya dia sudah dapat menebak siapa
adanya dua orang yang tadi memperdengarkan nya-
nyian.
Dan sekarang, Pendekar 108 tampak menghela
napas lega, sementara Sakawuni tampak terbengong,
apalagi ketika diliriknya paras wajah Pendekar Mata
Keranjang berubah, malah sedikit tersenyum.
Bersamaan dengan berpalingnya wajah Jogas-
kara, dari semak belukar tak jauh dari tempat itu
muncul dua orang. Laki-laki dan perempuan. Yang la-
ki-laki bertubuh gemuk besar, sementara yang pe-
rempuan kurus dengan pakaian agak gombrang.
Dan yang membuat Jogaskara melengak, ter-
nyata debuman bersahut-sahutan tadi keluar dari ke-
tukan-ketukan bambu kecil di ketiak laki-laki gemuk
besar yang digunakan sebagai penyangga tubuhnya,
karena laki-laki ini tak punya kaki! Sedangkan debu-
man yang lain keluar dari terompah besar berwarna hi-
tam yang dikenakan oleh sang perempuan.
"Jahanam busuk! Siapa adanya dua makhluk
jelek ini? Mereka tampaknya mengerti tujuanku pada
gadis ini!"
Habis membatin begitu. Jogaskara dengan wa-
jah masih merah padam segera menyongsong kedua
orang yang kini tampak melangkah acuh dengan pan-
dangan beberapa mata di situ!
"Tua bangka keparat! Siapa kalian sebenar-
nya...?!"
Yang dibentak bukannya hentikan langkah
apalagi menjawab. Malah seraya terus melangkah ke
arah Pendekar 108, kedua orang ini yang bukan lain
adalah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa
saling pandang lalu sama-sama tertawa mengekeh.
"Dewi, Gongging!" seru Aji perlahan.
Mendengar Pendekar Mata Keranjang berseru,
Sakawuni bungkukkan tubuh hingga rambutnya men-
julai ke wajah Pendekar 108 yang masih tampak du-
duk.
"Kau kenal mereka. Siapa mereka...?!"
"Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Sahabat juga teman...!" jawab Pendekar Mata Keran-
jang 108 seraya sibakkan rambut Sakawuni yang me-
nutupi pandangannya. Namun sejenak kemudian, mu-
rid Wong Agung ini tampak mengendus-endus.
"Bau tubuhnya begitu harum...!"
"He.... Apa yang kau lakukan...?" seru Sakawu-
ni dengan wajah heran.
Pendekar 108 tak menjawab. Malah hidungnya
semakin dikembang-kempiskan, membuat Sakawuni
jadi jengah, namun tak berusaha menjauh.
Sementara itu kemarahan Jogaskara telah di
ambang batas begitu melihat dua orang yang ditanya
tidak juga menjawab, malah tertawa-tawa.
"Kalian rupanya tua-tua keparat yang ingin ce-
pat mampus!" teriak Jogaskara seraya hantamkan ke-
dua tangannya kirimkan pukulan jarak jauh!
Tiba-tiba suara tawa lenyap. Jogaskara terpe-
rangah kaget dan heran. Karena serangannya mengha-
jar angin! Sepasang mata laki-laki berjubah biru ini
terbelalak besar-besar, karena ternyata sosok kedua
orang yang diserang lenyap dari pandangannya!
"Anjing! Ke mana lenyapnya orang-orang tua
keparat itu!" maki Jogaskara dalam hati. Diam-diam
hatinya didera rasa kecut. Dia tampaknya sadar, ke-
dua orang laki-laki dan perempuan tadi bukanlah
orang sembarangan. Kalau tidak, mungkin kedua
orang tadi sudah terhajar pukulannya, karena serangan itu dilakukan dari jarak dekat dan tenaga dalam
hampir separo.
Selagi Jogaskara termangu mencari-cari, terde-
ngar lagi suara tawa bersahut-sahutan panjang.
Berpaling ke samping, tampak Dewi Bayang-
Bayang dan Gongging Baladewa melangkah perlahan-
lahan, malah saling berpegangan tangan! Hebatnya,
debuman tadi tidak lagi terdengar baik dari ketukan
bambu penyangga tubuh sang laki-laki maupun te-
rompah sang perempuan!
Merasa dipermainkan, Jogaskara makin naik
pitam. Tanpa berkata-kata lagi tubuhnya melesat ke
arah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.
Hampir sampai, kedua kakinya dipentangkan dan di-
hantamkan ke arah kepala Dewi Bayang-Bayang dan
kepala Gongging Baladewa. Bukan hanya sampai di si-
tu, begitu kedua kakinya menghantam, kedua ta-
ngannya pun ikut menggebrak ke arah dada lawan
dengan jalan diputar ke belakang dan disusupkan le-
wat bawah kakinya!
Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa
hentikan langkah. Tangan mereka yang berpegangan
mereka lepas. Dan dengan gerak aneh, Dewi Bayang-
Bayang tampak rundukkan kepalanya, tubuhnya di-
geser ke depan dengan kedua tangan lurus ke depan.
Tahu-tahu kedua tangan Jogaskara yang hendak su-
supkan serangan dari bawah kakinya tercekal perem-
puan ini.
Jogaskara tersentak kaget, namun belum le-
nyap rasa kagetnya, Gongging Baladewa yang juga
rundukkan kepala hindari terjangan kaki, angkat ba-
hunya setinggi satu jengkal lalu disentakkan ke arah
kaki Jogaskara!
Wuuuttt!
Deesss! Dessss!
Jogaskara terpekik tatkala kakinya terhantam
bambu Gongging Baladewa. Tubuhnya mental. Saat
itulah dengan tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang sentak-
kan tangannya yang mencekal kedua tangan Jogas-
kara.
Wuuttt!
Jogaskara terkejut bukan alang kepalang. Na-
mun dia tak bisa berbuat banyak. Hingga tanpa am-
pun lagi tubuhnya terbanting keras di atas tanah de-
ngan wajah dan dada terlebih dahulu!
Melihat hal ini, Dayang Naga Puspa yang telah
mengenal siapa Dewi Bayang-Bayang dan Gongging
Baladewa cepat berteriak memperingati.
"Kakang! Kita tinggalkan tempat ini!"
Mendengar teriakan Dayang Naga Puspa, Jo-
gaskara yang nyalinya telah punah merambat bangkit
dengan tak berani lagi memandang Dewi Bayang-
Bayang maupun Gongging Baladewa yang masih tegak
seraya tertawa, sedangkan Dewi Bayang-Bayang terse-
nyum-senyum.
Namun baru saja Jogaskara bangkit, Gongging
Baladewa gerakkan bambu di tangan kanannya, se-
mentara Dewi Bayang-Bayang gerakkan kaki kirinya.
Meski Jogaskara telah berusaha mengelak, na-
mun hentakan tangan Gongging Baladewa tampaknya
lebih kuat, hingga saat itu juga tubuh Jogaskara tam-
pak menyusur setengah depa di atas tanah dengan ka-
ki melangkah cepat karena terdorong oleh tenaga da-
lam Gongging Baladewa.
Saat tubuh Jogaskara menyusur hendak terje-
rembab, kaki kiri Dewi Bayang-Bayang yang ternyata
melepaskan terompahnya bergerak. Terompah hitam
besar itu melesat cepat menghajar punggung Jogaska-
ra!
Jogaskara kembali keluarkan pekik kesakitan.
Tubuhnya makin cepat menyusur dan tak lama ke-
mudian terjerembab mencium tanah!
Mendapati hal demikian, Dayang Naga Puspa
cepat berkelebat dan dengan gerak cepat pula ditarik-
nya tangan Jogaskara agar segera bangkit. Walau ma-
sih terasa sakit, Jogaskara menurut saja. Begitu tu-
buhnya telah bangkit, secepat kilat tangan Dayang Na-
ga Puspa meraih tangan Jogaskara dan segera me-
ninggalkan tempat itu.
"Ha... ha... ha.... Rupanya mereka ingin juga
bergandeng-gandengan tangan seperti kita!" kata
Gongging Baladewa tanpa memandangi kepergian
Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.
Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah pada
Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu pada Sakawuni.
Dahi perempuan ini berkerut.
"Dewi.... Untuk kesekian kalinya aku ucapkan
terima kasih!" kata Aji seraya menjura hormat. Semen-
tara Sakawuni anggukkan kepala seraya tersenyum,
karena dilihatnya sedari tadi Dewi Bayang-Bayang
memandang dengan bibir tersenyum!
"Rayi Seroja!" bisik Gongging Baladewa. "Tam-
paknya anak kurang ajar itu iri melihat kita. Lihat, dia
telah menggandeng seorang gadis. Cantik lagi! Dari
mana dia mendapatkannya...?!"
"Dasar laki-laki. Tua-tua masih usil tanya-
tanya!" bentak Dewi Bayang-Bayang dengan mata me-
lotot, namun bibirnya tersenyum.
"Alah, apakah perasaan cemburu masih ada di
hatimu?"
"Kau terlalu besar kepala jika dicemburui!"
"Jadi, kau sudah tak menyimpan rasa cemburu
padaku? Astaga! Berarti kau sudah tidak...," Gongging
Baladewa tidak meneruskan kata-katanya, karena De-
wi Bayang-Bayang telah menyela dengan suara agak
keras.
"Sudah! Jangan terus nyerocos soal yang bu-
kan-bukan. Cepat tolong anak kurang ajar itu! Dia
tampaknya terluka...!"
Meski masih menggerendeng tak karuan, Gong-
ging cepat berkelebat ke arah Pendekar 108. Sekali me-
lihat, laki-laki ini ternyata sudah mengetahui di mana
luka Aji.
"Gongging...! Aku...," belum selesai kata-kata
Pendekar 108, Gongging Baladewa telah berkata.
"Simpan dulu basa-basi terima kasihmu! Ren-
tangkan kakimu!" seraya berkata Gongging Baladewa
memandang pada Sakawuni yang diam di sebelah
Pendekar 108. Sakawuni mengangguk sambil terse-
nyum. Gongging Baladewa balas dengan senyum.
Begitu pendekar murid Wong Agung telah ren-
tangkan kakinya ke depan, Gongging Baladewa ketuk-
ketukkan tongkat bambunya pada daerah sekitar luka
Pendekar 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 memekik kesa-
kitan. Sementara Sakawuni pandangi dengan bibir sal-
ing menggigit.
Begitu selesai ketukan-ketukan bambu. Gong-
ging Baladewa tekankan bambu pada kulit dekat luka
Pendekar 108. Terjadi keanehan. Dari lobang luka
Pendekar 108 muncrat darah berwarna kehitam-
hitaman.
"Rayi Seroja! Berikan obat itu!" kata Gongging
Baladewa seraya ulurkan tangan pada Dewi Bayang-
Bayang yang ternyata telah dekat di situ.
Dari pakaian gombrangnya, Dewi Bayang-Ba-
yang keluarkan kantong kecil berwarna merah. Lalu
diangsurkan pada Gongging Baladewa.
Gongging Baladewa membuka kantong dan
mengeluarkan dua butiran kecil berwarna putih. Diberikan pada Pendekar 108 dan disuruhnya telan.
Begitu butiran tertelan, rasa panas yang me-
nyengat sekujur tubuh Aji perlahan-lahan sirna.
"Ini kau simpan untuk oleh-oleh!" kata Gongg-
ing Baladewa seraya memberikan kantong merah pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Terima kasih..., Gongging, Dewi...!"
"Gongging! Apa kau ingin ganti diusir anak ku-
rang ajar ini? Lihat...! Kepalanya sudah tengadah beru-
lang kali! Kita harus tahu diri! Penyakit asmara tam-
paknya saat ini sedang bermekaran di mana-mana!"
"Astaga! Kenapa aku tak sadar!" sahut Gongg-
ing Baladewa seraya tepuk jidatnya. "Bukankah orang
yang sedang kasmaran hanya ingin berdua-dua tanpa
ada orang lain seperti kita muda dulu?" sambung
Gongging sambil arahkan pandangannya pada Dewi
Bayang-Bayang.
"Bukan hanya ingin berdua-dua, tapi juga men-
cari tempat rimbun dan sepi-sepi..." sahut Dewi Ba-
yang-Bayang seraya balikkan tubuh dan berkelebat.
Gongging Baladewa tak tinggal diam, laki-laki bertu-
buh gemuk besar dan tak berkaki ini pun cepat ber-
kelebat ke arah berkelebatnya Dewi Bayang-Bayang.
"Dewi.... Gongging...! Tunggu!" seru Pendekar
108 seraya bangkit. Namun kedua orang tadi telah le-
nyap. Hanya debuman bersahut-sahutan yang masih
tertinggal.
Begitu Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Ba-
ladewa telah tiada, Pendekar Mata Keranjang 108 ber-
paling pada Sakawuni yang tampak merona merah
mendengar kata-kata Dewi Bayang-Bayang dan Gongg-
ing Baladewa.
"Sakawuni.... Tak perlu kau ambil hati ucapan
orang-orang tadi!"
Sakawuni tersenyum dan memandang Pendekar Mata Keranjang dengan tatapan aneh. Lalu gadis
itu berkata.
"Sekarang kau hendak ke mana...?"
"Ah, bagaimana ini? Apakah aku harus berte-
rus terang padanya? Tidak! Masalah yang sedang ku-
tempuh adalah sangat rahasia sekali. Siapa pun tak
boleh mengetahuinya sebelum aku berhasil!" Pendekar
108 tampak menarik napas dalam-dalam, lalu berkata.
"Sakawuni! Untuk saat ini kuharap kau men-
gerti. Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku
hendak pergi!"
Sakawuni kerutkan dahi, lalu sibakkan anak
rambut yang menghalangi pandangan matanya. Untuk
beberapa saat gadis cantik ini diam seraya menduga-
duga. "Apa dia hendak mencari arca yang saat ini se-
dang menggegerkan rimba persilatan itu...? Atau ada
perlu lain? Ah, sialnya aku. Kalau kepergiannya saja
dirahasiakan, tentunya dia juga tak membutuhkan
teman! Hmm.... Lama aku menginginkan bertemu den-
gannya, setelah bertemu, ternyata dia sedang tak ingin
ditemui!"
"Sakawuni! Sebenarnya aku kecewa dengan
pertemuan ini. Karena aku harus segera pergi. Tapi
percayalah, kau masih tetap kuingat! Dan akan selalu
kuingat!"
Ucapan Pendekar 108 membuat gadis di hadap-
annya berubah paras. Sebenarnya gadis ini meng-
harapkan bisa menjadi teman perjalanan. Namun tam-
paknya Pendekar 108 sedang tak ingin ditemani. Hing-
ga seraya mengangguk perlahan Sakawuni berkata.
"Baiklah. Jika itu yang harus kau lakukan. Per-
gilah...."
Pendekar Mata Keranjang 108 pandangi gadis
di hadapannya lekat-lekat. Mulutnya membuka hen-
dak mengucapkan sesuatu. Namun tak sepatah kata
pun terdengar. Apalagi tatkala guliran air bening mulai
menetes dari sudut kedua mata Sakawuni.
Dengan masih diselimuti berbagai perasaan,
Pendekar Mata Keranjang 108 balikkan tubuh dan
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sakawuni angkat kepalanya. Guliran air bening
semakin banyak keluar. Dan dengan tekap wajahnya
gadis ini pun meninggalkan tempat yang kini digenggam kesepian.
SELESAI
Ikuti kisah selanjutnya:
BADAI DI KARANG LANGIT
0 comments:
Posting Komentar