..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 28 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE DAYANG NAGA PUSPA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 DAYANG 

NAGA PUSPA

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Dayang Naga Puspa

128 hal.


SATU


HARI itu cuaca cerah sekali. Langit begitu te-

rang tanpa secuil pun awan mengambang, membuat 

sinar sang mentari leluasa menerabas sela-sela rimbu-

nan pucuk dedaunan di bentangan bumi. Namun, be-

gitu bola penerang Mayapada ini mulai bergeser dari ti-

tik tengahnya, mendadak awan hitam bergulung-

gulung berarak-arakan menghiasi angkasa langit yang 

datang dari segala penjuru. Bumi tiba-tiba disentak 

kegelapan. Angin berhembus kencang keluarkan suara 

mendesis-desis. Sesaat kemudian kilat menyambar 

disusul dengan menyalaknya guntur yang bersahut-

sahutan seakan hendak menelan lenyap segala mak-

hluk di kolong langit. Bersamaan dengan menyambar-

nya kilat untuk kelima kalinya, hujan deras menghu-

jam dengan deru yang memekakkan telinga.

Di suasana yang demikian menggidikkan itu, 

sesosok bayangan berkelebat cepat menuju sebuah da-

taran lembah berpasir yang membentuk sebuah ling-

karan. Melihat kelebatan sosoknya yang laksana bersi-

tan sinar, dapat ditebak jika bayangan ini memiliki il-

mu peringan tubuh yang cukup tinggi. Dan menilik si-

kapnya yang tak menghiraukan suasana, mudah didu-

ga jika sosok bayangan ini mempunyai masalah yang 

sangat penting. Kilat menghampar. Sekilas lembah 

berpasir berubah terang. Tahu-tahu sosok bayangan 

tadi telah duduk ditengah-tengah lembah berpasir 

dengan kedua tangan disatukan sejajar dada.

Guntur menggelegar bersahutan. Hujan men-

curah makin deras. Bersamaan dengan menyalaknya 

guntur, kembali bentangan bumi digenggam kege-

lapan.

Ketika cahaya kilat kembali menyambar, tampak agak jelas adanya sosok yang duduk di tengah 

lembah berpasir. Dia adalah seorang perempuan yang 

tidak muda lagi. Ini jelas terlihat dari kerutan yang 

menghiasi kulit wajahnya. Perempuan ini mengenakan 

pakaian panjang berwarna hitam. Anehnya meski dia 

seorang perempuan, pakaian panjangnya itu dilapis 

dengan jubah besar berwarna putih. Rambutnya yang 

panjang dibiarkan bergerai hingga menutupi sebagian 

punggung dan wajahnya, membuat paras perempuan 

ini terlihat samar-samar. Sepasang matanya bulat be-

sar dan tajam. Di lubang hidungnya yang mancung se-

belah kiri terlihat melingkar sebuah anting-anting kun-

ing.

Melihat sikapnya yang menakupkan kedua tan-

gan sejajar dada, sepasang mata terpejam rapat serta 

mulut berkemik-kemik menggumam, perempuan ini 

sedang memusatkan perhatian. Dan melihat ketaba-

han serta ketegarannya melawan gejolak alam yang ti-

dak sedang bersahabat, masalah yang dihadapi pe-

rempuan ini sungguh amat penting.

Untuk beberapa lama, perempuan ini tetap da-

lam posisi semula. Bahkan, ketika untuk kesekian ka-

linya guntur menggelegar dan menggetarkan lembah 

berpasir serta menumbangkan beberapa pohon besar 

di sekitarnya, perempuan ini tak bergeming. Jubah 

serta seluruh badannya yang basah kuyup tak juga 

membuatnya menggigil atau meninggalkan lembah 

berpasir.

Selagi perempuan berjubah ini pusatkan perha-

tian batinnya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba 

sebongkah awan putih berarak pelan menyusur lem-

bah berpasir dan berhenti lima belas langkah di hada-

pan perempuan berjubah.

Bersamaan dengan beraraknya awan putih, 

lembah berpasir perlahan-lahan diselimuti kehangatan, meski hujan dan angin tetap mencurah dan 

menghembus.

Merasakan perubahan suasana, perempuan 

berjubah putih besar buka kedua kelopak matanya. 

Lalu perlahan sekali dia membuat gerakan mengang-

kat kepalanya. Sementara kedua tangannya tetap me-

nakup sejajar dada.

Di hadapan sang perempuan, bongkahan awan 

putih samar-samar membumbung menerabas kegela-

pan. Begitu awan putih sirna, sama-samar terlihat se-

sosok tubuh duduk bersila. Anehnya, meski hujan te-

tap mencurah, sosok yang baru datang ini baik rambut 

dan pakaian yang dikenakannya tak terlihat basah!

"Guru...!" keluar seruan perlahan dari mulut 

perempuan berjubah begitu mengenali siapa adanya 

sosok di hadapannya yang baru saja muncul. Sepa-

sang mata perempuan berjubah ini memandang lurus 

ke depan tak berkesiap. Lalu dengan tubuh agak kaku 

seakan dipaksakan, perempuan berjubah ini menjura 

hormat.

Orang yang baru muncul dan dipanggil guru 

oleh perempuan berjubah sejenak mendehem dan me-

mandang dengan senyum rawan. Kepalanya mengang-

guk sebentar tanpa sepatah kata pun terdengar keluar 

dari mulutnya.

Orang yang baru muncul ternyata adalah se-

orang laki-laki berusia amat lanjut. Seluruh kulit wa-

jahnya telah berkerut. Sepasang matanya sipit dengan 

rambut putih dan tampak dibiarkan awut-awutan se-

hingga di beberapa bagian tampak mengempal dan ka-

ku. Kumis, jambang serta jenggotnya juga berwarna 

putih dan dibiarkan panjang tanpa terawat hingga me-

rangas hampir menutupi wajahnya.

Hebatnya, meski tampak duduk bersila dengan 

enaknya, ternyata tubuh orang tua ini ada sejengkal di

atas lembah berpasir!

Setelah saling tak ada yang buka mulut, pe-

rempuan berjubah putih angkat kembali kepalanya. 

Sepasang matanya kembali memandang pada orang 

tua di hadapannya. Mulutnya membuka seakan hen-

dak angkat bicara. Namun mulut perempuan ini kem-

bali mengatup sebelum keluarkan ucapan. Tampaknya 

perempuan ini dilanda kebimbangan.

"Percuma melakukan perjalanan jauh dan me-

lawan suasana jelek jika setelah sampai hanya diam 

membisu! Apa pun yang nanti terjadi, itu urusan bela-

kang. Yang penting, aku harus menyampaikan keingi-

nanku...!" membatin perempuan berjubah putih. Lalu 

buka mulutnya kembali hendak berkata.

Namun sebelum terdengar ucapan dari mulut 

perempuan berjubah putih, orang tua di hadapannya, 

yang ternyata bertelanjang dada dan mengenakan ce-

lana pendek gombrang warna gelap, mendahului buka 

suara.

"Sarpakenaka! Menurut apa yang pernah kuu-

capkan padamu serta kakak seperguruanmu Jo-

gaskara, pada beberapa puluh tahun silam sebelum 

kalian berdua meninggalkan Lembah Rawa Buntek ini, 

bahwa kalian berdua hanya kuberi kesempatan satu 

kali lagi bertemu denganku. Kau masih ingat kata-

kataku itu?!"

"Tentu! Aku tentu masih ingat...!" jawab perem-

puan berjubah putih yang dipanggil Sarpakenaka. Se-

raya menjawab, sepasang mata Sarpakenaka tetap 

memandang tak kesiap.

"Hmmm.... Bagus. Berarti kau telah mengerti, 

bahwa setelah pertemuan ini kau tak akan dapat me-

nemuiku lagi!"

Diam-diam dalam hati Sarpakenaka berkata.

"Kalau tak ada urusan sangat penting, aku pun

sebenarnya tak ingin melihat tampangmu lagi!" Lalu 

Sarpakenaka anggukkan kepala menyambuti ucapan 

gurunya.

Setelah mendehem beberapa kali, orang tua di 

hadapan Sarpakenaka tengadahkan kepala. Curahan 

air hujan menerpa wajahnya, namun air hujan itu sea-

kan menerabas masuk ke kulit paras wajahnya tanpa 

meninggalkan bekas. Hingga meski wajahnya tercurah 

air, namun tetap tak basah.

"Sarpakenaka, tentunya kau punya masalah 

penting hingga kau gunakan kesempatan yang hanya 

kuberikan sekali ini. Katakanlah!"

Untuk beberapa saat lamanya Sarpakenaka 

terdiam. Wajahnya jelas masih digelayuti perasaan ra-

gu-ragu. Hingga meski perempuan ini telah buka mu-

lut, namun belum terdengar suaranya.

"Sarpakenaka!" kata orang tua bertelanjang da-

da masih dengan kepala menengadah. "Kau tampak-

nya bimbang. Apa kau juga tak ingat kata-kataku du-

lu, bahwa karena kesempatan itu hanya sekali, maka 

segala permintaanmu dan juga saudara seperguru-

anmu tidak akan kutolak. Dan juga segala tanyamu 

pasti kujawab! Nah, sekarang apa kau masih ragu-

ragu...?!"

"Hmm.... Mudah-mudahan ucapannya itu tidak 

hanya di mulut!" kata Sarpakenaka dalam hati. Tapi 

seketika itu paras wajah Sarpakenaka berubah. Malah 

tubuhnya sempat bergetar. "Jogaskara! Apa dia telah 

mendahuluiku menemui Guru dan telah meminta apa 

yang akan kuminta? Celaka jika hal itu terjadi!"

Sarpakenaka memperhatikan gurunya, lalu 

berkata.

"Eyang guru Dadung Rantak.... Apakah sebe-

lum ini Kakang Jogaskara telah menggunakan kesem-

patannya...?"

Yang ditanya tertawa pendek.

"Apakah itu penting bagimu?" kata orang tua 

yang dipanggil Dadung Rantak di sela tawanya. Lalu 

dia menyambung. "Namun karena aku telah berjanji 

akan menjawab segala tanyamu, maka meski itu uru-

san tak berarti, akan kujawab juga!"

Sejenak Dadung Rantak hentikan ucapannya, 

lalu berkata lagi seraya gelengkan kepalanya perlahan.

"Jogaskara belum menemuiku!"

Paras Sarpakenaka berbinar. Bibirnya mengu-

las sebuah senyum.

"Hmmm.... Syukur jika begitu. Berarti apa yang 

kuharapkan akan terkabul! Dan kau Jogaskara, akan 

gigit jari. He he he...!" kata Sarpakenaka dalam hati. 

Lantas berkata.

"Eyang guru. Aku datang hanya dengan satu 

permintaan dan tiga pertanyaanku. Kuharap Guru tak 

menolak, seperti yang pernah Guru janjikan!"

"Sarpakenaka. Meski aku dikenal sebagai seo-

rang yang berhaluan hitam, dan tak segan-segan 

membunuh siapa saja yang merintangi keinginanku, 

namun pantang bagiku menarik ludah di tanah!" 

meski nada suara Dadung Rantak perlahan, namun 

mau tak mau membuat Sarpakenaka merah padam, 

karena kecurigaannya mudah ditangkap oleh Dadung 

Rantak.

"Katakan apa permintaanmu dan tiga perta-

nyaanmu!"

Sarpakenaka menghela napas dalam seakan 

menegarkan hati. Setelah dapat menekan perasaan, 

dia berkata.

"Aku minta agar kau mewariskan Tombak Naga 

Puspa padaku!"

Seolah tersentak saking kagetnya, kepala Da-

dung Rantak bergerak cepat lurus ke depan, sepasang

matanya yang sipit dilebarkan, sementara mulutnya 

komat-kamit, membuat kumis dan jenggotnya berge-

rak-gerak.

"Tak kuduga itu permintaannya. Dari mana dia 

tahu, bahwa aku menyimpan senjata mustika itu?"

Dadung Rantak tercenung. Parasnya berubah 

sulit diartikan. Sebentar-sebentar kepalanya tampak 

menggeleng perlahan. Sementara Sarpakenaka hanya 

mengawasi dengan pandangan tak kesiap. Dia juga di-

landa kecemasan, apalagi tatkala dilihatnya sang guru 

geleng-gelengkan kepala.

"Apa berita yang kudengar, bahwa dia menyim-

pan Tombak Naga Puspa hanya omong kosong belaka? 

Atau dia memang menyimpan dan enggan memenuhi 

permintaanku...? Tapi menurut kabar yang kusirap se-

lama bertahun-tahun merambah rimba persilatan, 

meski dia adalah termasuk jajaran atas golongan hi-

tam dari zamannya, namun dia adalah seorang yang 

tidak pernah berkata bohong. Hmm.... Semoga dia 

memang menyimpan tombak itu!" membatin Sarpake-

naka tanpa alihkan pandangannya.

Karena ditunggu agak lama Dadung Rantak 

masih tampak merenung dan tak menunjukkan tanda-

tanda hendak angkat bicara, Sarpakenaka yang tam-

paknya sudah hilang kesabaran ingin mengetahui bu-

ka mulut.

"Eyang guru. Bagaimana pendapatmu tentang 

permintaanku?"

Seakan tak mendengar ucapan muridnya, Da-

dung Rantak masih saja bersikap seperti semula. Me-

renung seraya gelengkan kepala. Namun, tiba-tiba saja 

Dadung Rantak memandang lekat-lekat pada Sarpake-

naka.

"Apa boleh buat! Janji memang harus ditepati 

meski sebenarnya berat sekali! Lagi pula benda itu sudah tak ada gunanya lagi di tanganku. Aku sudah san-

gat tua dan tak layak lagi berkeliaran di belantara per-

silatan.... Hanya aku khawatir.... Tapi itu urusanmu!" 

Lalu Dadung Rantak berkata. 

"Muridku. Janji memang harus dijunjung ting-

gi. Ludah tak harus dijilat lagi. Permintaanmu kuka-

bulkan!"

Laksana disambar petir, Sarpakenaka menjerit 

tertahan. Sepasang matanya membeliak besar, tubuh-

nya bergetar. Kedua tangannya ditakupkan pada wa-

jahnya. Lalu dengan tangan dan kaki gemetaran, Sar-

pakenaka membungkuk dalam-dalam beberapa kali. 

Kalau kali pertama bertemu dengan gurunya juraan 

hormat terasa kaku dipaksakan, kini bungkukan tu-

buhnya tampak tulus, membuat orang tua di hada-

pannya sedikit terharu meski dalam hati masih berka-

ta.

"Aku tahu, hal ini kau lakukan karena permin-

taanmu kupenuhi. Aku tahu bagaimana sifatmu sebe-

narnya! Tapi, tak apalah.... Toh ini adalah pertemuan 

terakhirmu denganku! Setelah ini aku tak ada hubun-

gan apa-apa lagi denganmu! Kau adalah kau, dan aku 

adalah Dadung Rantak.... Hmmm...," Dadung Rantak 

lantas menggerakkan tangan kanannya ke belakang 

menelikung pinggangnya. Begitu tangan itu kembali ke 

depan, di genggamannya terlihat sebuah kotak pipih 

terbuat dari kayu tipis yang dilapis kulit ular berwarna 

kuning, putih dan hitam.

Sepasang mata Sarpakenaka yang memandang 

ke depan, terbelalak lebar. Tubuhnya tampak kembali 

bergetar sementara kedua tangannya gemetar laksana 

orang menggigil. Meski saat itu tubuhnya basah 

kuyup, namun keringat mulai membasahi leher dan 

keningnya.

Selagi murid Dadung Rantak ini terhanyut an

tara haru dan gembira, Dadung Rantak lemparkan ko-

tak pipih di tangan kanannya. Kotak itu melayang dan 

jatuh tepat di hadapan Sarpakenaka.

"Ambillah apa yang kau inginkan! Tombak Naga 

Puspa sekarang telah menjadi milikmu!" kata Dadung 

Rantak pula. Sepasang mata orang tua bertelanjang 

dada ini masih tetap memandangi muridnya.

"Tentunya kau masih dengar berita tentang 

benda mustika itu. Sekarang kau bisa melihatnya. Bu-

kalah!" lanjut Dadung Rantak seraya usap-usap wajah-

nya.

Dengan mata semakin membelalak dan tangan 

makin gemetar Sarpakenaka gerakkan kedua ta-

ngannya hendak mengambil kotak berlapis kulit ular 

di hadapannya. Namun dia tiba-tiba hentikan gerakan 

tangannya tanpa menariknya kembali ke belakang. 

Kepalanya sedikit mendongak pandangi gurunya. Wa-

jahnya mengisyaratkan keragu-raguan.

Namun ketika melihat yang dipandangi sung-

gingkan senyum meski tak dapat menyembunyikan ke-

terpaksaan, Sarpakenaka teruskan gerakan kedua 

tangannya.

Begitu kedua tangan perempuan berjubah pu-

tih ini menyentuh kotak, kedua tangan itu semakin ge-

metar. Dadanya terlihat bergetar, hingga karena ke-

rasnya getaran itu, jubah yang dikenakannya berge-

rak-gerak turun naik.

Setelah kotak berada di tangan dan ditarik 

mendekat tubuhnya, sepasang mata Sarpakenaka 

mengamati dengan seksama. Lalu perlahan pula tan-

gan kanannya membuka.

Seberkas sinar hitam berkilat-kilat tiba-tiba 

menebar begitu kotak terbuka. Meski suasana saat itu 

telah gelap karena awan hitam serta hujan deras na-

mun kilatan-kilatan yang dipancarkan benda dalam

kotak itu jelas-jelas terlihat.

Sepasang mata Sarpakenaka melotot lebar-

lebar. Mulutnya ternganga dan jantungnya makin ber-

degup kencang.

"Hmmm.... Naga Puspa! Naga Puspa benar-

benar jadi milikku! Aku akan jadi orang yang punya 

nama besar! Orang-orang yang selama ini menjadi pe-

rintang ku dan orang-orang yang berhasil mengalah-

kan aku, akan kubuat bertekuk lutut! Aku akan jadi 

orang yang paling ditakuti! Rimba kancah persilatan 

akan kubuat geger! Apalagi jika aku berhasil menda-

patkan Arca Dewi Bumi yang kini mulai ramai diper-

bincangkan orang. Hmm...! Aku akan menobatkan diri 

jadi raja di atas raja dalam kancah persilatan. Se-

karang saatnya aku tanya pada orang tua itu tentang 

petunjuk beradanya Arca Dewi Bumi!" membatin Sar-

pakenaka seraya terus memperhatikan benda di dalam 

kotak.

Benda yang pancarkan kilatan-kilatan sinar hi-

tam itu ternyata adalah sebuah tombak berwarna hi-

tam logam. Panjangnya tidak lebih dari dua kali ren-

tangan telapak tangan. Ujung tombak itu bercabang ti-

ga. Kedua sisi cabang lebih panjang dari pada cabang 

yang di tengah. Cabang yang tengah agak pendek ka-

rena ternyata ujungnya menekuk membentuk kail. Ba-

tang tombak ini hanya sebesar ibu jari tangan, yang 

agak aneh, ternyata batang tombak ini tidak lurus me-

lainkan berkelok-kelok agak panjang dan bersisik-sisik 

laksana tubuh seekor ular. Pangkalnya sangat kecil 

dan membentuk lancip seperti ekor ular.

Sarpakenaka gerakkan tangan kanan hendak 

mengambil Tombak Naga Puspa. Dia sedikit terkejut. 

Ada hawa aneh yang menyambar begitu tangannya 

menyentuh badan tombak. Dan perempuan berjubah 

putih ini tercengang tatkala tangan kanannya tak ber

hasil mengangkat tombak.

"Sarpakenaka! Itu adalah benda mustika. Tidak 

sembarang orang bisa memegangnya. Kerahkan tenaga 

dalam!" berkata Dadung Rantak begitu melihat keter-

kejutan muridnya.

Tanpa memandang lagi pada gurunya, Sarpake-

naka kerahkan tenaga dalam pada tangan kanan. Lalu 

perlahan tangan kanannya bergerak mengambil tom-

bak.

Benar saja, tombak itu kini bisa terangkat. Be-

berapa saat lamanya Sarpakenaka memperhatikan 

bentuk tombak dengan seksama. Dalam hati dia ber-

kata.

"Tanpa kucoba di sini pun aku percaya jika 

tombak ini menyimpan kedahsyatan tiada tara. Hawa 

di sekitar tombak ini begitu aneh dan kilatan-

kilatannya mampu menembus kepekatan cuaca...."

Setelah puas memperhatikan, Sarpakenaka me-

letakkan kembali Tombak Naga Puspa dan menu-

tupkan kembali kotak kayu yang berlapis kulit ular. 

Lalu dimasukkan ke balik jubah putihnya.

"Eyang guru. Muridmu mengucapkan terima 

kasih atas kebajikanmu yang rela memberikan permin-

taan yang kuajukan...!" habis berkata, sepasang mata 

murid Dadung Rantak ini kembali memandang ke de-

pan. Lalu menyambung kata-katanya. "Sekarang 

Eyang guru kuharap bisa menjawab pertanyaanku...!"

Dadung Rantak donggakkan kepala. Setelah 

mendehem dia berkata. "Katakan!"

"Sebagai salah seorang tokoh yang pernah ma-

lang melintang dalam belantara persilatan, sudah ba-

rang tentu Eyang guru pernah dengar tentang Arca 

Dewi Bumi...," 

Sarpakenaka sejenak hentikan ucapannya. Dia 

seakan ingin melihat reaksi gurunya setelah mendengar ucapannya.

Di seberang, begitu mendengar keterangan Sar-

pakenaka, untuk kedua kali Dadung Rantak dibuat 

terperangah. Malah mungkin karena terlalu terkejut, 

dia mengulang kata-kata terakhir Sarpakenaka dengan 

setengah berteriak.

"Arca Dewi Bumi...!" seraya berkata, paras wa-

jah Dadung Rantak berubah. Keningnya mengernyit 

dengan mata dipejamkan.

"Hmm.... Berpuluh-puluh tahun tak berhubun-

gan dengan dunia luar ternyata telah banyak peruba-

han terjadi. Kalau Sarpakenaka telah mengetahui bah-

wa aku penyimpan Tombak Naga Puspa, lebih-lebih dia 

menyebut tentang Arca Dewi Bumi, maka berarti dunia 

persilatan telah geger seperti pada puluhan tepatnya 

sembilan puluh delapan tahun silam! Tentunya saat ini 

telah banyak pula tokoh-tokoh baru yang muncul. Me-

lihat keadaan begini, ingin rasanya aku kumpul-

kumpul lagi dengan teman-teman lama. Ah, tapi itu 

tak mungkin kulakukan sebelum muridku yang sa-

tunya menggunakan kesempatan untuk menemui-

ku...."

Selagi Dadung Rantak berkata-kata sendiri da-

lam hati, Sarpakenaka yang sekilas menangkap keter-

kejutan gurunya berkata pula dalam hati.

"Dia terkejut dan bahkan mengulang nama Ar-

ca Dewi Bumi. Berarti dia tahu tentang arca itu! 

Hmm.... Aku sungguh beruntung!"

"Eyang guru...!" berkata Sarpakenaka mem-

buyarkan angan-angan Dadung Rantak. "Harap Eyang 

jawab. Kepada siapa aku harus minta petunjuk ten-

tang beradanya Arca Dewi Bumi. Di mana adanya 

orang yang bisa memberi petunjuk itu. Dan yang ter-

akhir, adakah persyaratan yang harus dipenuhi jika 

ingin mendapatkan arca itu?!"

Dadung Rantak yang masih sedikit terkejut, lu-

ruskan matanya menatap tajam pada Sarpakenaka.

"Hmm.... Aku telah menduga pertanyaan yang 

bakal diajukan itu! Sebenarnya ini hal yang sangat ra-

hasia sekali. Dan aku pun sebetulnya masih mengin-

ginkan arca itu. Tapi.... Sekali lagi aku terbentur de-

ngan janji. Maka, apa hendak dikata. Pertanyaannya 

harus kujawab...!" berpikir begitu, kepala Dadung Ran-

tak lantas mendongak. Lalu dari mulutnya terdengar 

ucapan. 

"Muridku Sarpakenaka. Kalau masalah itu yang 

kau tanyakan, dengar baik-baik! Orang yang dapat 

memberi petunjuk tentang beradanya arca itu hanya 

satu di kolong langit ini. Dia seorang perempuan ber-

nama Kali Nyamat yang dalam rimba persilatan lebih 

dikenal dengan gelar Dewi Kayangan. Dia bertempat 

tinggal di sebuah dusun kecil di bawah kaki bukit. Du-

sun itu bernama dusun Kepatihan...!" Dadung Rantak 

hentikan keterangannya. Namun kepalanya tetap 

mendongak ke atas.

Di seberang, mendengar keterangan gurunya, 

Sarpakenaka terkejut.

"Dewi Kayangan.... Aku memang pernah men-

dengar nama itu. Dan kabarnya dia adalah juga seo-

rang tokoh perempuan yang ilmunya sulit dijajaki. 

Hmm.... Tapi siapa pun dia adanya, aku harus mene-

mukan dan mendapatkan yang kuinginkan. Kalau dia 

menolak, Tombak Naga Puspa telah ada di tanganku.... 

Lagi pula...," Sarpakenaka tak lanjutkan kata hatinya, 

karena saat itu Dadung Rantak telah melanjutkan ke-

terangan atas pertanyaannya.

"Soal pertanyaanmu yang terakhir, aku sendiri 

sebetulnya masih sangat meragukan. Namun ada 

baiknya kau dengar. Memang, untuk mengambil Arca 

Dewi Bumi diperlukan syarat lagi...."

"Apa syarat itu Eyang...?!" sergah Sarpakenaka 

seakan tak sabar melihat sikap gurunya yang meng-

hentikan sejenak keterangannya.

"Muridku! Apa pun yang terjadi, kenyataan ha-

rus kita terima dengan hati tegar!"

"Maksud Eyang guru...?"

"Menurut apa yang kuketahui, kelak hanya seo-

rang yang dapat mengambil Arca Dewi Bumi. Tapi kau 

jangan tergoyah dengan hal itu, ini jika kau memang 

benar menginginkan arca itu! Tapi sekali lagi kenya-

taan akhir harus kita terima...!"

 "Katakan. Siapa orang itu!"

"Aku sendiri tak tahu namanya. Hanya orang 

itu mempunyai tanda guratan angka 108 dalam tubuh-

nya yang dibawa sejak lahir! Itulah yang kuketahui...!"

Beberapa saat Sarpakenaka terdiam. Keningnya 

berkerut seakan-akan mengingat sesuatu. "Apa mung-

kin ada hubungannya dengan seorang pemuda yang 

kesohor dengan gelar Pendekar Mata Keranjang 108? 

Ah, tak mungkin. Meski aku belum pernah bertemu 

dengan pemuda itu, namun berita yang sampai pada-

ku mengatakan dia bergelar begitu karena dia bersen-

jata sebuah kipas yang tertera angka 108. Padahal 

yang dikatakan guru adalah bahwa guratan angka 108 

ada pada tubuhnya! Hmm.... Mungkin ini hanya kebe-

tulan angkanya sama!" membatin Sarpakenaka.

"Nah, Sarpakenaka, kurasa keterangan yang 

kuberikan sudah cukup!" kata Dadung Rantak me-

nyentak kediaman.

"Tapi Eyang...."

"Sarpakenaka. Ludah tidak harus dijilat lagi! 

Kau telah ajukan tiga pertanyaan, dan aku telah men-

jawabnya. Kesempatanmu telah habis, dan kau tahu 

apa yang selanjutnya harus kau lakukan!"

Sarpakenaka mendengus perlahan. Dia telah

paham apa yang dimaksud dengan Eyang gurunya. Dia 

harus angkat kaki dari tempat itu.

"Jahanam! Jika tidak mengingat kau telah 

memberikan apa yang kuminta, mulutmu akan kuha-

jar habis! Peduli kau guruku!" membatin Sarpakenaka 

seraya pandangi gurunya.

Dengan suara agak bergetar dan parau, Sarpa-

kenaka angkat bicara.

"Baiklah, Eyang guru. Aku mohon diri seka-

rang!"

Habis berkata begitu Sarpakenaka bangkit lalu 

dengan gerakan kaku dia menjura hormat seraya 

bungkukkan sedikit tubuhnya. Setelah itu bersamaan 

dengan menyalaknya gelegar guntur, perempuan ber-

jubah putih besar ini berkelebat menerjang kepekatan 

cuaca dan derasnya hujan.

Ketika kilat untuk yang kesekian kalinya me-

nyambar, dan sekilas lembah berpasir terang bende-

rang, sosok Sarpakenaka telah lenyap dari pedataran 

pasir.

***

DUA


SESAAT setelah kepergian Sarpakenaka, Da-

dung Rantak yang pada zamannya adalah seorang to-

koh berilmu tinggi yang dalam rimba persilatan lebih 

dikenal dengan gelar Iblis Penyapu Jagad gerakkan ke-

palanya ke samping kanan dan kiri. Telinganya terlihat 

bergerak-gerak perlahan, sementara sepasang matanya 

memejam.

"Hmm.... Ada orang berkelebat mendatangi 

tempat ini. Siapa dia? Bertahun-tahun tinggal di sini

tak ada seorang tamu pun yang datang berkunjung.... 

Lagi pula hanya dua muridku yang tahu di mana aku 

berada. Apa benar dia...?"

Seraya membatin, sepasang mata orang tua ini 

membuka dan memandang lurus ke depan. Sementara 

hujan masih tetap mendera, kilat menyambar serta 

guntur menyalak bersahutan.

Dugaan Dadung Rantak ternyata tidak meleset. 

Begitu kilat menyambar dan suasana sejenak terang 

benderang, samar-samar sesosok bayangan terlihat 

berkelebat menuju arah lembah berpasir.

Saat sampai tengah lembah, bayangan itu hen-

tikan langkah. Dan sosok itu serta-merta surutkan 

langkah sampai tiga tindak ke belakang begitu samar-

samar terlihat olehnya sesosok tubuh sedang duduk 

bersila.

Untuk beberapa saat lamanya sosok yang baru 

datang besarkan sepasang matanya menatap tak ber-

kedip ke depan. Saat kilat kembali menyambar dan 

agak jelas siapa adanya sosok yang duduk, sosok yang 

baru datang sekonyong-konyong menjura hormat se-

raya berseru tertahan.

"Eyang guru...!" 

Dadung Rantak yang tampaknya sudah dapat 

menduga siapa adanya orang yang baru datang ang-

gukkan kepala seraya memandang lurus ke depan.

"Jogaskara.... Hmm.... Ini kesengajaan atau ha-

nya sebuah kebetulan? Murid-muridku yang pergi be-

berapa puluh tahun silam datang pada hari yang sama 

hanya berbeda waktu...," membatin Dadung Rantak. 

Lalu setelah mendehem beberapa kali dia berkata.

"Jogaskara. Pasti ada hal yang sangat penting 

hingga kau pergunakan kesempatan yang kuberikan 

hanya sekali padamu! Hmm.... Sekarang bicaralah apa 

kepentinganmu!"

Orang yang dipanggil Jogaskara perlahan du-

duk. Kepalanya bergerak menengadah, sepasang ma-

tanya menatap lekat-lekat. Ternyata dia adalah seo-

rang laki-laki yang tidak muda lagi. Ini bisa dilihat dari 

rambut panjangnya yang telah berwarna dua, sebagian 

hitam dan sebagian putih. Paras wajahnya masih me-

ninggalkan sisa-sisa ketampanan. Namun pada wajah 

itu terdapat codet bekas luka yang memanjang dari pe-

lipis kiri hingga pipi. Laki-laki ini mengenakan pakaian 

jubah panjang hingga sebatas lutut berwarna biru mu-

da.

Setelah terdiam agak lama, Jogaskara angkat 

bicara.

"Eyang guru...! Memang ada hal penting yang 

membuatku datang menemuimu. Aku hanya ada satu 

permintaan serta dua pertanyaan!"

"Hmm.... Katakan!"

Jogaskara tidak segera angkat bicara lagi. Dia 

sepertinya ragu-ragu. Namun pada akhirnya, setelah 

dapat menguasai keraguan hati dia berkata.

"Eyang guru...! Aku hanya minta kau sudi me-

wariskan Tombak Naga Puspa padaku...!"

Dadung Rantak melengak kaget. Kepalanya ber-

gerak mendongak. Diam-diam dalam hati dia berkata.

"Astaga! Tampaknya berita tentang Tombak Na-

ga Puspa yang ada padaku telah bocor dan merebak di 

rimba persilatan. Hmm.... Siapa gerangan yang mem-

bocorkan masalah ini? Ternyata pelataran rimba persi-

latan tak pernah berubah sejak dahulu kala. Selalu 

dan selalu mengejar benda! Tapi.... Nasibmu tidak baik 

Jogaskara. Adik seperguruanmu telah mendahului.... 

Apa hendak dikata, segalanya telah terjadi...," memba-

tin Dadung Rantak lalu berkata seraya tetap menenga-

dah.

"Jogaskara. Kalau bisa aku tahu, dari mana

kau tahu bahwa aku menyimpan benda itu...?"

Mendengar pertanyaan gurunya, Jogaskara ti-

dak segera menjawab. Dalam hati dia berkata.

"Hmm.... Berarti benar dia menyimpan tombak 

itu. Ah, sungguh beruntungnya aku. Benda yang men-

jadi bahan pembicaraan orang-orang rimba persilatan, 

dan diburu banyak orang, akan jatuh ke tanganku...."

"Eyang guru...!" kata Jogaskara pada akhirnya. 

"Siapa pun orang yang telah menamakan dirinya seba-

gai salah seorang pesilat, saat ini pasti tahu jika tom-

bak itu ada padamu! Saat sekarang, rimba persilatan 

telah diguncang oleh Tombak Naga Puspa dan kabar 

tentang sebuah arca!"

"Astaga! Pasti Arca Dewi Bumi!" membatin Da-

dung Rantak.

"Jogaskara! Tombak Naga Puspa memang bera-

da di tanganku...." Dadung Rantak tak meneruskan 

ucapannya, karena saat itu juga, entah karena girang, 

atau terkejut, Jogaskara menyela.

"Aku sudah menduga hal itu, Eyang...!"

"Hanya saja kau datang terlambat!" sambung 

Dadung Rantak dengan suara agak dikeraskan, karena 

saat itu guntur sedang menggelegar.

Jogaskara kerutkan kening. Perasaan terkejut 

tak dapat dia sembunyikan dari raut wajahnya. Seolah 

ingin mendapat penjelasan, Jogaskara cepat menyam-

buti ucapan gurunya.

"Maksud Eyang...?!"

"Sarpakenaka, adik seperguruanmu telah da-

tang dan meminta barang yang kau inginkan! Karena 

aku telah ikrarkan janji sewaktu kau dan adikmu hen-

dak keluar dari Lembah Rawa Buntek beberapa puluh 

tahun silam bahwa aku tidak akan menolak segala 

permintaan dan pertanyaan kalian berdua, maka aku 

harus tepati janji itu! Tombak Naga Puspa telah kuberikan pada adikmu!"

Jogaskara beliakkan sepasang matanya. Da-

gunya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak. Dan 

seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diden-

gar, dia geleng-gelengkan kepala dan berkata.

"Eyang! Eyang tidak sedang bergurau, bu-

kan...?"

Dadung Rantak keluarkan tawa berderai-derai 

hingga bahunya yang terbuka tampak berguncang-

guncang turun naik.

"Dalam masalah penting seperti ini, tak layak 

bergurau, Jogaskara! Jadi, kau harus dapat menerima 

kenyataan ini!"

"Jahanam! Kenapa aku masih kurang percaya 

saat pertama kali kudengar bahwa Tombak Naga Pus-

pa ada di tangan Guru? Jika saat itu aku cepat datang 

menemui Guru, tak mungkin hal ini terjadi! Sarpake-

naka.... Aku akan mencari sekaligus merebut tombak 

itu dari tanganmu! Saudara seperguruan tinggal sau-

dara. Aku yang lebih tua, seharusnya lebih berhak 

atas tombak itu!"

"Jogaskara. Aku tahu kau kecewa. Tapi sekali 

lagi kau harus dapat menerima kenyataan ini, karena 

aku pun tak bisa mengingkari apa yang pernah kuu-

capkan! Jadi, dalam hal ini kau tak bisa menyalahkan 

adikmu atau aku!" kata Dadung Rantak demi melihat 

perubahan pada wajah muridnya.

Jogaskara tak menyahuti ucapan gurunya. Dia 

seakan masih tenggelam dalam kegeraman dan keke-

cewaan. Beberapa kali terlihat Jogaskara mengusap 

leher dan keningnya karena keringat dingin yang telah 

bercampur dengan air hujan berlelehan semakin deras.

"Jogaskara!" berkata Dadung Rantak menying-

kap keterdiaman yang berlangsung agak lama.

"Kau tak usah terlalu kecewa. Aku masih me

nyimpan satu lagi benda yang kehebatannya tak kalah 

dengan Tombak Naga Puspa. Jika kau menginginkan 

aku akan berikan padamu, sebagai ganti dari Tombak 

Naga Puspa!"

"Sialan! Mana ada orang percaya jika ada benda 

yang kehebatannya menyamai Tombak Naga Puspa? 

Tapi.... Dari pada pulang dengan berhampa tangan, 

ada baiknya juga benda itu kuterima. Toh, setelah ini 

aku akan merampas Tombak Naga Puspa dari tangan 

Sarpakenaka....!"

Berpikir begitu, dengan raut wajah dibuat seo-

lah-olah masih kecewa, Jogaskara anggukkan kepala 

seraya berkata.

"Bila itu kehendak Eyang guru, aku turut saja!"

Dadung Rantak manggut. Tangan kirinya lan-

tas bergerak menelikung ke belakang. Dan begitu dita-

rik ke depan kembali, di tangannya terlihat sebuah ko-

tak pipih terbuat dari kayu yang dilapis dengan kulit 

kambing berwarna hitam.

Dan tanpa berkata-kata lagi, Dadung Rantak 

melemparkan kotak di tangan kirinya ke depan, dan 

jatuh tepat di hadapan Jogaskara.

"Ambillah!"

Dengan berat, perlahan-lahan Jogaskara meng-

ambil kotak pipih di hadapannya. Lalu dengan perla-

han pula dibukanya kotak itu.

Begitu kotak terbuka, Jogaskara terperangah 

kaget. Bahkan hampir saja kotak di tangannya terjatuh 

jika dia tak segera mengatasi rasa kagetnya. Karena 

begitu kotak terbuka, seberkas cahaya hitam menebar 

seakan menindih lenyap kepekatan suasana saat itu! 

Bukan hanya itu saja, bersamaan dengan menebarnya 

cahaya hitam, suasana disentak oleh hawa panas yang 

menyambar keluar dari benda di dalam kotak.

Setelah dapat menguasai diri dan matanya terbiasa oleh kepekatan cahaya yang ditimbulkan benda 

dari dalam kotak, Jogaskara baru dapat melihat benda 

yang ada di dalam kotak.

Ternyata benda itu adalah sebuah keris. War-

nanya hitam legam. Panjangnya kira-kira dua rentan-

gan telapak tangan. Keris itu berkelok empat. Aneh-

nya, batangan keris itu membentuk bulatan kecil-kecil 

yang saling tindih seperti sisik-sisik ular! Sementara 

besar batangan keris mulai pangkal hingga ujung sa-

ma besarnya! Gagang keris terbuat dari semacam kaca 

tembus pandang berwarna merah yang pangkalnya 

berbentuk kepala seekor ular dengan lidah terjulur ke-

luar!

Setelah meneliti beberapa lama, baru Jogaskara 

mengerti, jika cahaya hitam yang menebar, keluar dari 

batangan keris, sementara hawa panas keluar dari ga-

gang keris yang ternyata juga merah membara!

"Hmm.... Meski dilihat dari pancaran sinar hi-

tam dan merah yang dikeluarkan benda ini menunjuk-

kan bahwa benda ini mempunyai kehebatan, namun 

apa dapat dibuktikan jika benda ini tak kalah hebat-

nya dengan Tombak Naga Puspa? Aku masih ragu de-

ngan keterangan Guru!" membatin Jogaskara, lalu 

alihkan pandangan matanya pada Dadung Rantak. Dia 

hendak mengutarakan apa yang ada dalam hatinya. 

Namun baru saja mulutnya membuka hendak bicara, 

Dadung Rantak telah mendahului angkat bicara.

"Muridku. Rimba persilatan atau apalagi kau, 

tentunya belum pernah mendengar dan melihat benda 

itu. Keris itu bernama Papak Geni. Dan bila kau ingin 

membuktikan kehebatannya, ambil keris itu dan 

acungkan ke atas, lalu lemparkan!"

Mendapati kata-kata gurunya yang seolah men-

gerti jalan pikirannya, Jogaskara sedikit terkejut. Na-

mun perasaan itu segera dienyahkan. Tangan kanannya segera mengambil keris. Ada hawa aneh yang 

menelusup masuk ke tubuhnya ketika tangan kanan-

nya memegang gagang keris. Dan Jogaskara tersentak 

kaget saat tangannya tak dapat mengangkat keris.

Otak cerdik Jogaskara segera mengerti. Dan 

sekejap itu juga Jogaskara alirkan tenaga dalam pada 

tangan kanannya. Serta-merta keris itu bisa diangkat.

Dadung Rantak anggukkan kepala melihat mu-

ridnya dapat memaklumi keadaan. Sepasang matanya 

terus mengawasi gerak-gerik muridnya.

Di seberang, setelah keris berhasil diangkat da-

ri kotak, Jogaskara melakukan apa yang dikatakan gu-

runya. Keris diacungkan ke atas dan serta-merta di-

lemparkan.

Keris berwarna hitam itu melesat ke udara. Ki-

ra-kira satu setengah tombak, keris itu membalik dan 

kini melayang ke bawah. Hebatnya, begitu keris itu 

menukik, serangkum angin deras menghampar! Dan 

sebelum keris itu menerabas tanah becek, tanah di 

bawah keris terbongkar hingga muncrat sampai se-

tinggi satu tombak! Bukan hanya sampai di situ, keti-

ka kilat menyambar dan menerangi sekitar tempat itu, 

jelas terlihat jika tanah yang muncrat itu berubah 

menjadi merah membara!

Keris terus menerabas ke bawah, namun sebe-

lum amblas ke dalam tanah becek yang telah ter-

bongkar, mendadak keris itu terhenti dan mengapung 

di udara!

Di seberang, Dadung Rantak mendehem bebe-

rapa kali, lalu sentakkan tangan kanannya menyamp-

ing dengan perlahan. Bersamaan dengan bergeraknya 

tangan kanan Dadung Rantak, keris itu bergerak kem-

bali dan jatuh di hadapan Jogaskara.

Jogaskara yang tampaknya masih terkesima 

dengan apa yang terjadi di hadapannya terdiam dengan mulut menganga seolah tak tahu apa yang harus 

diperbuat.

"Jogaskara! Kuharap kau tak kecewa sekarang. 

Itu baru sebagian dari kehebatan yang tersimpan da-

lam Keris Papak Geni. Selebihnya kau dapat buktikan 

sendiri nantinya! Ambil dan simpan kembali keris itu!"

Dengan masih dibungkus rasa kagum, Jo-

gaskara mengambil keris yang tergeletak di hadapan-

nya dan dimasukkan kembali dalam kotak, lalu disim-

pannya ke balik jubahnya.

"Terima kasih, Eyang...," kata Jogaskara seraya 

menjura hormat.

Dadung Rantak anggukkan kepala, lalu berka-

ta.

"Nah, sekarang katakan apa yang hendak ingin 

kau tanyakan!"

Sejurus Jogaskara memandang wajah gurunya. 

Dengan suara perlahan, dia berkata.

"Eyang guru.... Rimba persilatan saat ini dibuat 

geger dengan munculnya berita tentang Arca Dewi 

Bumi...," Jogaskara hentikan sebentar kata-katanya. 

Setelah menarik napas dalam-dalam, dia menyam-

bung.

"Apakah benar berita tentang adanya Arca Dewi 

Bumi itu? Dan siapa orang yang memegangnya saat 

ini...?!"

Dadung Rantak yang sejak semula telah men-

getahui apa yang hendak diajukan muridnya segera 

donggakkan kepala.

"Muridku. Dengar baik-baik! Arca Dewi Bumi 

memang ada, dan bukan cerita yang dibuat-buat. Se-

dangkan orang yang memegang saat ini adalah seorang 

Resi yang berusia amat lanjut. Dia bernama Sahyang 

Resi Gopala. Seakan sudah disuratkan, meski Sahyang 

Resi Gopala sudah berusia amat lanjut, namun dia belum juga meninggal dunia sebelum berhasil mewa-

riskan arca itu pada seseorang!"

Jogaskara angguk-anggukan kepala. Dalam ha-

ti dia berkata.

"Hmm.... Dengan kehebatan Keris Papak Geni 

aku yakin bisa mendapatkan arca itu! Apalagi jika aku 

berhasil merampas Tombak Naga Puspa dari tangan 

Sarpakenaka! Peduli dengan orang yang bernama Sa-

hyang Resi Gopala. Kalau dia tak mau memberikan ar-

ca itu, maka aku pun tak segan-segan membabatnya! 

Sebaiknya kutanyakan di mana orang bernama Sa-

hyang Resi Gopala itu berada!" Lalu Jogaskara lu-

ruskan matanya dengan membuka mulut.

"Eyang guru.... Di manakah orang yang...," be-

lum tuntas Jogaskara ucapkan kata-kata, Dadung 

Rantak telah menyahut.

"Jogaskara! Siapa pun kita adanya, dan golon-

gan apa pun kita berada, janji harus dijunjung tinggi-

tinggi!"

Seakan tak mengerti maksud ucapan gurunya, 

Jogaskara segera ajukan pertanyaan.

"Yang Eyang guru maksud..,?"

"Kau tadi telah mengatakan hendak ajukan dua 

pertanyaan. Dan itu telah kau tanyakan dan aku pun 

telah menjawab. Jadi kau sudah tak bisa ajukan per-

tanyaan lagi!"

Jogaskara pelototkan sepasang matanya. Wa-

jahnya tak diselimuti rasa kecewa, justru isyarat geram 

dan marah jelas tampak pada raut wajahnya.

"Bangsat! Bila tak mengingat jasa baikmu yang 

telah menurunkan ilmu padaku, akan kucabut anggo-

ta tubuhmu hingga kau menjawab segala pertanyaan-

ku!"

Meski sekilas melihat, Dadung Rantak tampak-

nya telah dapat membaca apa yang terpikir dalam benak muridnya. Tanpa memandang lagi pada sang mu-

rid, Dadung Rantak berkata.

"Jogaskara! Aku tahu, kau kecewa dengan ka-

ta-kataku. Namun kau harus dapat menelaah siapa 

yang salah dalam hal ini. Aku tak mau mengatakan-

nya, karena kau mungkin sudah tahu! Hanya kunasi-

hatkan padamu, segala hal yang pernah terjadi jadi-

kanlah sebagai tonggak agar kesalahan tidak terulang 

untuk yang kedua kalinya! Nah, waktuku sudah habis. 

Aku harus meninggalkanmu!"

Habis berkata begitu, orang tua bertelanjang 

dada ini takupkan kedua tangannya di atas kepala. Se-

pasang matanya saling mengatup, sementara mulut-

nya komat-kamit.

Mendadak dari tanah becek di bawah tubuh 

Dadung Rantak mengepul sebongkah awan putih, 

membungkus sekujur tubuh Dadung Rantak, lalu per-

lahan sekali bongkahan awan putih itu membumbung 

ke udara.

Bersamaan dengan membumbungnya awan pu-

tih, sosok Dadung Rantak lenyap!

"Terlambat! Jahanam betul!" kata Jogaskara se-

tengah berteriak.

Sebenarnya Jogaskara ingin menahan keper-

gian gurunya. Bahkan diam-diam Jogaskara telah sa-

lurkan tenaga dalam pada kedua tangannya dan siap 

dipukulkan ke arah sang guru. Namun entah karena 

terkesima atau mencari saat yang tepat, Jogaskara ter-

lambat untuk bertindak. Hingga saat kedua tangannya 

siap menyentak, Dadung Rantak telah lenyap dari ha-

dapannya.

Namun Jogaskara tidak begitu saja menyerah, 

begitu awan putih yang membungkus tubuh Dadung 

Rantak membumbung, kedua tangannya disentakkan!

Tapi Jogaskara terlengak, karena angin deras


yang menyambar keluar dari kedua tangannya mental 

balik sebelum menghantam sasaran! Bahkan mentalan 

serangan itu menggebrak ke arahnya! Membuat salah 

seorang murid Dadung Rantak ini harus cepat le-

satkan dirinya ke samping seraya bergulingan untuk 

menghindari pukulannya sendiri.

Setelah dapat menghindari pukulannya sendiri, 

laki-laki ini segera bangkit. Jubah birunya semakin ko-

tor karena bercampur tanah bongkaran!

Sesaat sepasang mata Jogaskara menyapu ber-

keliling. Lalu dengan menggerendeng panjang pendek 

tubuhnya berkelebat meninggalkan Lembah Rawa 

Buntek yang masih dibungkus kepekatan.

***

TIGA


SEORANG pemuda berparas tampan, menge-

nakan pakaian hijau yang dilapis dengan pakaian da-

lam warna kuning lengan panjang, rambut panjang 

dan dikuncir ekor kuda tampak melangkah perlahan. 

Melihat wajah serta lehernya yang basah oleh keringat, 

demikian pula pakaian yang dikenakannya, jelas sekali 

bahwa pemuda ini sedang melakukan perjalanan jauh. 

Dan melihat sikapnya, yang berjalan pelan serta meng-

gerak-gerakkan tangan kanannya pulang balik di de-

pan dada, mengibas-ngibaskan kipas ungu di tangan, 

nampaknya pemuda ini tengah menghilangkan rasa le-

lah dan panas.

Seraya berkipas-kipas, dari mulut pemuda ini 

terdengar dendangan nyanyian yang tak bisa ditang-

kap artinya karena sesekali terdengar menggumam 

dan tak jarang diseling dengan suara tawa. Sepasang

matanya yang tajam menebar memperhatikan keadaan 

serta suasana tempat yang dilalui.

"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Menurut Dewi 

Kayangan, hanya orang bertanda gurat 108 dalam tu-

buhnya yang bakal bisa mengambil dan mewarisinya, 

apa hal itu dapat dipercaya kebenarannya? Ah, aku be-

lum bisa memastikan sebelum membuktikannya sen-

diri! Daerah Bajul Mati dan Sahyang Resi Gopala.... Itu 

satu-satunya petunjuk Dewi Kayangan. Aku harus se-

gera menemukan daerah itu!" sang pemuda yang bu-

kan lain adalah Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 

berkata sendiri seraya terus melangkah perlahan sam-

bil berkipas.

"Aku sebenarnya tidak begitu berminat dengan 

segala macam benda seperti itu, namun menuruti ka-

ta-kata Eyang Selaksa serta gegernya dunia persilatan 

saat ini dengan kabar tentang Arca Dewi Bumi mem-

buatku harus bertindak agar arca itu tidak jatuh ke 

tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Hmm.... 

Apa sih keistimewaan arca itu hingga Eyang Selaksa 

begitu khawatir jika jatuh ke tangan orang yang tidak 

bertanggung jawab? Dan semua orang bagai disentak 

dengan munculnya berita tentang arca itu...? Aku jadi 

penasaran... Apa...."

Tiba-tiba langkah Pendekar 108 tertahan, gu-

maman dari mulutnya terpenggal dan tangan kanan-

nya yang pulang balik berkipas berhenti bergerak.

"Aku mendengar suara orang mengerang lirih 

laksana orang sekarat...."

Sepasang mata Pendekar 108 menyapu berke-

liling, telinganya dia tajamkan. "Di sebelah depan sa-

na...!"

Pendekar 108 berkelebat ke arah sumber suara. 

Di bawah sebuah pohon yang tidak begitu besar tam-

pak sesosok tubuh sedang terkapar dengan mulut

mengerang. Sosok ini tampaknya sedang bergulat den-

gan kematian.

Dengan cepat Pendekar 108 mendekati sosok 

yang terkapar. Dia adalah seorang laki-laki. Baik usia 

maupun raut wajahnya tak bisa dikenali. Karena wa-

jah serta anggota tubuh dan pakaian orang itu hitam 

legam! Namun tak ada darah yang terlihat berceceran 

baik di tubuh atau di sekitar tempat itu.

Dengan sedikit kerutkan dahi, Pendekar 108 

memeriksa laki itu.

"Tampaknya masih baru saja terjadi. Dia masih 

hidup, namun mungkin tak akan bertahan lama...," 

pikir Aji seraya letakkan kedua tangan salurkan tenaga 

dalam pada dada laki-laki yang sedang bertarung den-

gan ajal itu.

"Sobat. Katakan apa yang baru saja menimpa-

mu!"

Mulut laki-laki di hadapan Aji bergerak mem-

buka sedikit. Namun bukannya suara yang terdengar, 

melainkan mengalirnya darah hitam dari sudut-sudut 

bibirnya. Pendekar 108 bisa segera menebak, jika ang-

gota tubuh laki-laki ini berubah hitam karena terkena 

pukulan atau senjata yang sangat hebat.

Pendekar 108 lipat gandakan tenaga dalamnya. 

Mulut laki-laki itu semakin lebar membuka, dan darah 

hitam semakin banyak keluar. Namun bersamaan itu 

kelopak mata laki-laki ini bergerak membuka. Mata itu 

telah redup dan sepertinya tak bisa dibuka lebar-lebar.

"Sobat! Katakan apa yang telah terjadi!" Pende-

kar 108 ulangi pertanyaannya. Suaranya agak dike-

raskan, khawatir jika laki-laki itu tidak mendengar.

Sepasang mata laki-laki itu memandang lurus 

ke atas. Lalu perlahan sekali bola matanya bergerak ke 

samping, di mana Pendekar 108 sedang jongkok.

Laki-laki ini tampak terkejut. Namun anggota

tubuhnya tak bisa mengisyaratkan keterkejutannya, 

hanya sepasang matanya tampak sedikit membesar 

dengan tangan bergerak-gerak pelan, namun sesaat 

kemudian lunglai kembali.

"Sobat. Aku akan berusaha menolongmu. Kata-

kan apa yang sedang kau alami!" kata Pendekar 108 

begitu menangkap rasa terkejut pada laki-laki di sam-

pingnya.

Untuk beberapa saat lamanya laki-laki ini tak 

terdengarkan suara untuk menjawab meski mulutnya 

tampak bergerak-gerak.

Mendapati hal ini, Pendekar 108 segera alihkan 

tangan kanannya ke leher sementara tangan kiri tetap 

di atas dada sang laki-laki.

"Seseorang.... Yang..., yang menamakan diri... 

Dayang... Naga... Puspa. Dia... memaksaku...." Sejenak 

laki-laki ini hentikan ucapannya. Dadanya bergerak 

perlahan turun naik tak teratur. Pendekar Mata Keran-

jang 108 menunggu dengan sesekali memperhatikan 

anggota tubuh sang laki-laki.

Setelah dapat mengatasi sendatan napasnya, 

laki-laki ini meneruskan kata-katanya. Pelan sekali, 

hingga Pendekar 108 harus dekatkan telinganya ke 

mulut sang laki-laki.

"Dia memaksaku untuk... mengatakan di mana 

letaknya dusun Kepatihan, lalu..., bertanya panjang... 

lebar tentang Dewi Kayangan. Meski aku... telah men-

gatakan namun..., dia menyerangku. Dia berilmu san-

gat tinggi, aku tak sanggup...." 

"Dapat kau sebutkan ciri-cirinya...?" 

Kembali laki-laki ini atur napasnya sebelum 

akhirnya berkata kembali.

"Seorang perempuan..., memakai jubah putih 

besar. Dia baru.., saja menuju arah sana...," seraya 

berkata, laki-laki ini arahkan pandangannya ke sebelah barat, arah yang hendak diambil Pendekar 108.

"Aku harus menyusulnya meski aku tahu, jalan 

yang diambil orang yang bernama Dayang Naga Puspa 

adalah salah jika memang ingin ke dusun Kepatihan!" 

lalu Aji lipat gandakan tenaga dalamnya pada sang la-

ki-laki agar dia dapat bertahan agak lama.

"Sobat. Kau tunggulah di sini. Aku akan me-

nyusul orang yang kau sebutkan tadi! Dia mungkin 

membawa obat penawar racun yang telah disarangkan 

padamu!"

Habis berkata, Pendekar 108 segera bangkit 

dan bergerak berkelebat ke arah yang ditunjuk sang 

laki-laki.

"Anak Muda.... Jangan kau..., buat urusan de-

ngan orang itu! Dia...," laki-laki ini tak meneruskan 

ucapannya karena dilihatnya pemuda berjubah hijau 

itu telah lenyap.

Sesaat setelah kepergian Pendekar Mata Keran-

jang 108, sesosok bayangan tampak berkelebat. Dan 

tahu-tahu telah berdiri dengan kacak pinggang di 

samping sang laki-laki yang terkapar. Sepasang mata 

sosok yang baru datang mengawasi sang laki-laki den-

gan pandangan sinis. Lalu dengan membentak garang, 

orang yang baru datang bertanya.

"He...! Mana dia...?!"

Laki-laki yang terkapar terkejut besar. Sepa-

sang matanya yang redup sejenak memperhatikan 

orang yang membentak. Ternyata dia adalah seorang 

perempuan setengah baya. Wajahnya tak bisa dikenali 

karena mengenakan penutup kulit tipis yang berwarna 

putih. Pakaian yang dikenakannya pun agak gom-

brong, seolah ingin menyembunyikan bentuk anggota 

tubuhnya. Satu-satunya tanda yang menunjukkan 

bahwa dia adalah seorang perempuan adalah lehernya 

yang tak menampakkan jakun.

"He...! Kalau kau tak segera jawab, nyawamu 

akan kuputus sekarang!" bentak perempuan berjubah 

putih ketika ditunggu-tunggu sang laki-laki tidak sege-

ra menjawab pertanyaannya.

Mendapat ancaman, sang laki-laki bukannya 

segera menjawab. Dia tampak sunggingkan senyum 

sinis meski dilakukan dengan susah payah.

"Siapa kau...? Dan siapa.... Yang kau mak-

sud..., dengan dia?!"

"Jahanam! Sudah akan masuk tanah masih 

bertanya-tanya! Kau tak berhak tahu siapa aku! Ja-

wab. Mana pemuda berbaju hijau tadi!"

"Rupanya perempuan ini punya niat tidak baik. 

Lain dengan pemuda tadi! Akan kukerjai dia!" mem-

batin sang laki-laki. Setelah mengatur napas, dia ber-

kata.

"Kalau kau..., tak sebutkan nama, aku..., tidak 

akan mengatakan kemana perginya..., pemuda tadi!"

"Bangsat! Kau memang sudah bosan hidup!"

Habis berkata begitu, tanpa diduga sama sekali 

oleh sang laki-laki, perempuan ini kebutkan pakaian

gombrongnya.

Wuttt!

Serangkum angin deras menggebrak dengan 

keluarkan suara menggemuruh.

Laki-laki yang terkapar coba membuka ma-

tanya lebar-lebar. Tenggorokannya bagai disekat. Na-

mun laki-laki ini tak bisa berbuat banyak, karena ang-

gota tubuhnya tak bisa digerakkan. Hingga tanpa am-

pun lagi serangan dari perempuan itu tak bisa dielak-

kannya.

Desss!

Terdengar seruan pelan dari mulut sang laki-la-

ki. Dan bersamaan dengan itu, tubuh sang laki-laki 

terguncang sebentar lalu diam tak bergerak. Hebatnya,

meski serangan sang perempuan ini berupa angin de-

ras, namun sambaran itu tak membuat tubuh orang 

yang terkena sasaran melayang atau bergulingan! Ini 

jelas menunjukkan jika sang perempuan adalah seo-

rang berilmu tinggi, karena bisa meredam pukulannya 

dari jarak jauh!

Perempuan berwajah putih tersenyum sinis. La-

lu balikkan tubuh. Sejenak sepasang matanya mene-

bar berkeliling di tempat itu.

"Brengsek! Apa aku akan kehilangan dia lagi? 

Kulihat tadi dia berkelebat, namun begitu cepatnya 

hingga aku tak dapat menentukan arah yang diambil-

nya...! Jahanam betul!"

Perempuan berwajah putih ini lalu bungkukkan 

sedikit tubuhnya. Hidungnya kembang kempis men-

gendus-endus.

"Hmmm.... Berarti dia masih belum jauh dari 

sini. Bau tubuhnya masih dapat kuendus. Dia berada 

di arah sana!" gumam perempuan berwajah hitam se-

raya luruskan tubuhnya. Lalu setelah memandang ber-

keliling sekali lagi, perempuan ini berkelebat ke arah 

berkelebatnya Pendekar Mata Keranjang 108.

***

EMPAT


PENDEKAR 108 memacu larinya dengan cepat. 

Seraya berlari tak henti-hentinya dia bertanya-tanya 

dan menduga. "Dayang Naga Puspa... siapa dia sebe-

narnya? Melihat keadaan laki-laki tadi, pastilah orang 

ini berilmu sangat tinggi. Tanpa meninggalkan bekas 

pukulan sama sekali, dia bisa membuat orang hitam 

legam laksana orang dijerang dalam tungku. Selain berilmu tinggi, dia adalah orang kejam. Hmm.... Dia me-

nuju dusun Kepatihan, dan bertanya tentang Dewi 

Kayangan. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan 

Arca Dewi Bumi...? Jika benar, kebocoran tentang ra-

hasia arca itu telah merebak ke mana-mana!"

Mendadak Pendekar 108 hentikan larinya. Sa-

mar-samar sepasang matanya menangkap sesosok 

bayangan melangkah perlahan jauh di depannya.

"Mengenakan jubah putih besar.... Dan melihat 

rambutnya yang panjang bergerai dia adalah seorang 

perempuan. Seperti ciri-ciri yang dikatakan laki-laki 

tadi. Akan kulihat dahulu sepak terjangnya dari 

jauh...."

Berpikir begitu, Pendekar 108 segera berkelebat 

ke depan dengan jalan mengendap-endap. Sepasang 

matanya terus mengawasi jauh ke depan, pada sosok 

berjubah putih yang tiba-tiba saja hentikan langkah-

nya.

"Sialan! Apa dia mengetahui jika sedang kuiku-

ti...? Dia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Aku 

harus menghindar dahulu...." Aji segera rundukkan 

kepala dan duduk mendekam di balik semak belukar. 

Namun sepasang matanya serta telinganya dipasang 

baik-baik. 

Tak jauh di depan, orang yang diikuti Pendekar 

Mata Keranjang dongakkan kepala. Sepasang matanya 

yang bulat besar berputar liar di kelopaknya. Tangan 

kanan orang ini bergerak ke atas, mengusap hidung-

nya yang ternyata mengenakan sebuah anting-anting 

berwarna kuning di sebelah kiri.

"Hmm.... Aku merasa diikuti orang. Dia mende-

kam tak jauh dari sini...!" Lalu hidung orang ini berge-

rak-gerak seiring tarikan napasnya. "Hm.... Bau tu-

buhnya tak harum, berarti dia seorang laki-laki! Siapa 

laki-laki bangsat ini? Akan kubuat babak belur sebelum kubunuh!"

Orang ini dengan gerakan luar biasa cepat sege-

ra balikkan tubuh. Sepasang matanya yang bulat be-

sar menyapu berkeliling. Dagunya sedikit terangkat 

dengan gigi saling menggigit.

Dari tempatnya mendekam, Pendekar 108 sedi-

kit terkejut ketika matanya telah dapat melihat orang 

yang diikutinya. Ternyata dia adalah seorang perem-

puan yang usianya tidak muda lagi. Namun demikian 

sisa kecantikannya masih tampak terlihat. Sepasang 

matanya bulat dan tajam. Rambutnya panjang dan di-

biarkan tergerai, hingga menutupi sebagian wajahnya. 

Pada hidungnya yang mancung sebelah kiri nampak 

melingkar sebuah anting-anting berwarna kuning. 

Mengenakan pakaian hitam panjang yang dirangkap 

dengan jubah putih besar.

"Hmm.... Memang ini orang yang dikatakan la-

ki-laki tadi! Dayang Naga Puspa. Julukan bagus! Meli-

hat raut mukanya, pastilah dia seorang gadis cantik 

waktu mudanya. Sayang, dada dan pinggulnya tak je-

las tampak. Tapi aku percaya, dia masih merawat tu-

buhnya dengan baik. Bibirnya masih menggunakan 

polesan pemerah. Hmm...."

Namun murid Wong Agung ini sekonyong-

konyong melengak dengan membesarkan sepasang 

matanya. Dadanya berdegup agak keras. Sementara 

keningnya mengernyit. Perempuan yang diikutinya dan 

bukan lain memang Dayang Naga Puspa melangkah 

pelan ke arah di mana Pendekar Mata Keranjang 108 

mendekam.

"Busyet! Nampaknya dia tahu aku di sini! Ba-

gaimana ini? Sebaiknya aku segera keluar...!" memba-

tin Aji seraya bangkit dari tengah semak belukar.

Tapi gerakan Pendekar 108 tertahan, demikian 

juga gerak langkah Sarpakenaka alias Dayang Naga

Puspa. Dari balik sebuah pohon yang tidak jauh dari 

tempat Dayang Naga Puspa, berkelebat sesosok ba-

yangan dengan keluarkan seruan. "Mana dia...?!"

Meski terkejut sedikit, namun Dayang Naga 

Puspa cepat menyembunyikannya dengan tersenyum 

lebar. Lalu dengan sepasang mata menyengat tajam, 

memperhatikan sosok yang kini tegak di hadapannya, 

dia berkata.

"Tak ada badai, tak ada gempa, tak ada setan 

gundul, kau tiba-tiba berteriak! Siapa yang kau cari? 

Dan siapa kau yang berlaku pengecut menyembunyi-

kan tampang di balik kulit penutup?!"

Orang yang baru datang mendengus keras. La-

lu balas memandang dengan tatapan yang tak kalah 

galaknya. Dia adalah seorang perempuan mengenakan 

pakaian agak gombrang dan menutupi wajahnya den-

gan kulit berwarna putih. Dari tempat persembunyian-

nya, Pendekar 108 melengak kaget.

"Mekar Sari! Ah, tampaknya dia mengikutiku 

setelah kejadian di Kepatihan! Ah.... Nampaknya kea-

daan akan runyam, apalagi jika Dayang Naga Puspa 

memang mengetahui aku di sini!" batin Pendekar 108, 

seraya memandang ke arah orang berwajah putih yang 

bukan lain memang Mekar Sari atau Dewi Bunga Iblis, 

Adik bungsu Dewi Kayangan.

"Hmm.... Memakai pakaian dalam warna hitam 

yang dilapis dengan jubah putih besar. Hidung kirinya 

dihiasi anting-anting kuning. Meski aku belum pernah 

bertemu sebelumnya, namun ciri-ciri itu dalam rimba 

persilatan hanya dimiliki oleh tokoh sesat yang berna-

ma Sarpakenaka. Hmm.... Menurut kabar yang kuden-

gar, dia mempunyai ilmu tinggi. Aku harus bertindak 

hati-hati! Tapi ke mana perginya pemuda berbaju hijau 

itu? Aku yakin dia ke arah sini! Apa disembunyikan 

oleh dia...?!" batin orang yang berwajah putih ini. Lalu

dengan tersenyum sinis pula dia angkat bicara.

"Sarpakenaka! Kau tak usah berpura-pura. Apa 

kau masih suka menyimpan pemuda-pemuda? Jika 

betul, aku bisa carikan untukmu berapa yang kau in-

ginkan. Asal pemuda tadi kau serahkan padaku!"

Dayang Naga Puspa atau Sarpakenaka dongak-

kan kepala. Dari mulutnya terdengar suara tawa ber-

derai-derai.

"Bagus! Kau telah tahu siapa diriku. Jadi aku 

tak usah repot-repot menerangkan. Hanya yang perlu 

kau ketahui, ternyata kau adalah perempuan tolol! 

Dungu! Dan tak tahu malu! Kau tadi menuduhku me-

nyimpan seorang pemuda, kau lihat! Aku memang 

mempunyai kantong besar-besar, tapi anak kecil pun 

tahu, jika kantong jubahku ini tak cukup untuk me-

nyembunyikan seorang pemuda!" kata Dayang Naga 

Puspa di sela-sela tawanya. Lantas dia menyambung.

"Apakah kata-katamu tadi tidak salah? Bukan-

kah kau yang saat ini sedang mengejar-ngejar seorang 

pemuda? Ah, kukira pemuda tadi ngeri melihat tam-

pangmu yang begitu cantik! Sungguh kasihan kau! 

Tentunya kau sudah bersusah payah merayunya, bah-

kan mungkin sampai berguling-gulingan di atas tanah! 

Bagaimana kalau kucarikan saja seseorang untuk 

pengganti? Kalau pilihanku, kau tak usah khawatir! 

Dia pasti sip...!"

Orang yang memang Mekar Sari atau Dewi Bu-

nga Iblis parasnya berubah hitam mengelam. Sepasang 

matanya membeliak besar-besar seakan meloncat dari 

rongganya. Dagunya membatu dengan pelipis berge-

rak-gerak keras.

Di tempat mendekamnya, kembali Pendekar 

Mata Keranjang dibuat terkejut. Diam-diam dia ber-

kata. "Yang dimaksud Dayang Naga Puspa tentunya 

adalah aku! Lebih baik kulihat dahulu perkembangan

nya!"

"Sarpakenaka! Perempuan tua bermulut jorok! 

Kuberi kesempatan kau sekali lagi untuk menjawab 

pertanyaanku sebelum kesabaranku habis!" bentak 

Dewi Bunga Iblis dengan kedua tangan telah dialiri te-

naga dalam dan siap untuk dipukulkan.

Dayang Naga Puspa bukannya segera menyam-

buti kata-kata Dewi Bunga Iblis dengan menjawab per-

tanyaannya, malah dia semakin keraskan tawanya. 

Namun mendadak tawanya dia putus. Kepalanya dia 

luruskan ke depan, sepasang matanya melotot.

"Orang bertampang jelek! Aku sebenarnya tak 

suka diancam orang. Namun kali ini biarlah. Dengar! 

Aku akan memberitahukan di mana pemuda yang kau 

kejar-kejar, dengan syarat kau harus membuka penu-

tupmu! Aku khawatir kau adalah seorang laki-laki 

yang menyaru dan menyukai sesama laki-laki. Kalau 

kau memang betul seorang perempuan, apa boleh 

buat, tentunya kau sedang jatuh cinta pada pemuda 

itu! Aku tak akan menghalangi orang yang sedang 

kasmaran!"

Mendengar kata-kata Dayang Naga Puspa, Pen-

dekar 108 terperanjat. Keringat dingin mulai keluar 

membasahi tubuhnya.

"Sialan! Kalau Dewi Bunga Iblis benar-benar 

membuka penutup wajahnya, dan Dayang Naga Puspa 

memberitahukan di mana aku berada, masalah akan 

benar-benar bertambah panjang.... Sialnya diriku!"

Jika Pendekar 108 merinding kuduknya serta 

keluar keringat dingin dan membatin demikian rupa, 

lain halnya dengan Dewi Bunga Iblis. Begitu mende-

ngar kata-kata Dayang Naga Puspa, perempuan ber-

wajah putih ini menyeringai. Giginya saling beradu ke-

luarkan suara gemeratak. Dalam hati dia berkata.

"Hm.... Aku bukannya takut menghadapi setan

ini, namun karena pemuda itu lebih penting bagiku, 

lebih baik aku turuti saja permintaannya.... Toh dia 

pasti tak tahu kegunaan pemuda itu!"

Berpikir begitu, Dewi Bunga Iblis lantas angkat 

tangan kanannya seraya berkata.

"Sarpakenaka! Kalau itu pemintaanmu, baik-

lah! Tapi jika kau menipuku, jangan mimpi kau akan 

meninggalkan tempat ini dengan nyawa masih utuh!"

Sarpakenaka hanya tersenyum sinis tanpa me-

nyahuti ancaman Dewi Bunga Iblis. Bahkan dengan 

tersenyum pula dia melihat gerakan tangan kanan De-

wi Bunga Iblis yang membuka penutup kulit putih di 

wajahnya.

Begitu penutup wajah Dewi Bunga Iblis terbu-

ka, sepasang mata Sarpakenaka membeliak besar. Ke-

ningnya berkerut, sementara mulutnya komat-kamit.

"Dewi Bunga Iblis!" seru Sarpakenaka atau Da-

yang Naga Puspa begitu mengenali wajah di balik pe-

nutup yang telah dibuka. "Hmm.... Ternyata dia tidak 

tewas seperti berita yang selama ini beredar. Siapa 

pemuda yang dikejarnya? Kekasihnya...? Aku tahu, 

pemuda itu masih ada di sekitar sini! Kalau...," Dayang 

Naga Puspa tidak meneruskan kata hatinya, karena 

saat itu Dewi Bunga Iblis telah keluarkan bentakan.

"Sarpakenaka! Lekas katakan di mana pemuda 

itu!"

Yang dibentak sunggingkan senyum mengejek. 

Dan tanpa memandang dia berkata.

"Bunga Iblis! Kau tampaknya benar-benar pe-

rempuan tolol! Apa kau telah menuruti segala per-

mintaanku?"

"Jahanam! Kau jangan banyak mulut. Lihat! 

Aku telah membuka penutup wajahku!" bentak Dewi 

Bunga Iblis dengan mata berkilat-kilat.

Lagi-lagi bentakan Dewi Bunga Iblis hanya di

balas dengan sunggingan senyum oleh Dayang Naga 

Puspa. Bahkan sesaat kemudian tawanya meledak, 

membuat Dewi Bunga Iblis semakin geram.

"Bunga Iblis! Aku tidak memancing kemara-

hanmu. Hanya saja kau memang belum sepenuhnya 

menuruti segala syarat yang kuajukan! Kau saat ini 

masih membuka wajahmu! Padahal aku mengajukan 

syarat kau harus membuka penutupmu! Jadi kau ha-

rus buka seluruh penutupmu! Baik wajah atau ang-

gota tubuh lainnya! Hik... hik... hik...!"

Dari tempat mendekamnya, mau tak mau Pen-

dekar Mata Keranjang 108 sunggingkan senyum men-

dengar kata-kata Dayang Naga Puspa. Dia merasa se-

dikit lega, karena dia berpikir tak mungkin Dewi Bun-

ga Iblis untuk menuruti persyaratan Dayang Naga 

Puspa.

Di lain pihak, begitu mendengar ucapan 

Dayang Naga Puspa, serta-merta Dewi Bunga Iblis 

campakkan kulit putih di tangannya yang tadi dipakai 

untuk menutupi wajahnya. Dan kejap itu juga kedua 

tangannya disentakkan ke depan.

Dua larik sinar hitam menyambar cepat keluar 

dari kedua tangan Dewi Bunga Iblis. Bersamaan de-

ngan melesatnya sinar hitam, suara bergemuruh me-

nyentak tempat itu!

Di seberang, Dayang Naga Puspa tak bergeming 

dari tempatnya. Malah dia tersenyum sinis seperti me-

nunggu. Dan begitu sedepa lagi larikan sinar hitam 

menghantam tubuhnya, perempuan berjubah putih ini 

segera melompat ke samping kanan. Serangan Dewi 

Bunga Iblis menerobos angin dan menghantam tempat 

kosong.

Sementara itu, dari tempatnya yang baru, Da-

yang Naga Puspa segera tengadahkan kepala. Dari mu-

lutnya terdengar suara tawa panjang tergelak-gelak.

Kedua tangannya bergerak menyibak bagian depan ju-

bah putihnya. Seberkas sinar hitam berkilat-kilat tam-

pak keluar dari pinggang kirinya.

Dewi Bunga Iblis gertakkan rahang melihat se-

rangan pembukanya begitu mudah dielakkan lawan. 

Dia segera hendak kirimkan kembali serangan, namun 

gerakannya tertahan ketika sepasang matanya me-

nangkap bersitan sinar hitam berkilat memancar ke-

luar dari pinggang kiri Dayang Naga Puspa.

Bukan hanya Dewi Bunga Iblis yang terkejut, 

dari tempat persembunyiannya Pendekar 108 pun 

membelalakkan sepasang matanya.

"Tombak aneh! Bukan hanya bentuknya, na-

mun juga kilatannya! Hmm.... Pasti senjata yang mem-

punyai kekuatan luar biasa! Ah, laki-laki tadi pastilah 

terkena racun tombak itu! Bagaimana nasibnya se-

karang? Tak mungkin lagi bagiku untuk menolong. 

Keadaan tidak memungkinkan...!"

"Baru kali ini aku melihat tombak yang bentuk-

nya begitu rupa! Aku harus hati-hati, kalau keadaan 

tak menguntungkan, aku akan cepat meloloskan di-

ri...!" batin Dewi Bunga Iblis. Tampaknya diam-diam 

dia ciut juga nyalinya, namun sebagai tokoh yang pen-

galaman bertahun-tahun dalam rimba persilatan, dia 

tak hendak menunjukkan sikap takut, malah dengan 

suara lantang dia berkata mengejek.

"Tombak butut! Apa yang ditakutkan!"

Habis berkata, seakan tak mau didahului, Dewi 

Bunga Iblis kembali kirimkan serangan. Kali ini tu-

buhnya dia putar, mendadak saja tubuhnya lenyap da-

ri pandangan. Dan tahu-tahu tubuh Dewi Bunga Iblis 

telah menukik deras dengan sepasang kaki mengarah 

pada kepala Dayang Naga Puspa, sementara kedua 

tangannya mengepal dan mengayun dari bawah!

Sepertinya sudah dapat menduga gerakan lawan, Dayang Naga Puspa segera angkat tubuhnya se-

tinggi setengah tombak memapak tubuh Dewi Bunga 

Iblis! Kedua tangannya dipalangkan di depan kepala, 

sementara kedua kakinya disapukan dari bawah ke 

atas, menyongsong kedua tangan lawan.

"Prakk! Prakkk! Prakk! Prakkk!"

Terdengar empat kali benturan berturut-turut. 

Lalu disusul terdengarnya dua seruan tertahan. Tubuh 

Dewi Bunga Iblis mental ke atas lebih tinggi, namun 

perempuan berpakaian agak gombrang ini segera buat 

gerakan berputar dua kali di udara, hingga tubuhnya 

selamat dari terjerembab di tanah. Sementara itu, tu-

buh Dayang Naga Puspa melayang ke belakang. Na-

mun perempuan berjubah putih ini segera pula jungkir 

balik dan mendarat di atas tanah dengan kedua kaki 

terpentang kokoh!

"Hmm.... Apa yang dikatakan laki-laki itu ter-

nyata benar. Dayang Naga Puspa berilmu tinggi! Na-

mun nampaknya kedua orang ini seimbang...," pikir Aji 

seraya tenis mengawasi kedua orang yang kini sedang 

saling bentrok pandang!

"Sarpakenaka.... Hm.... Kabar tentang dia ru-

panya benar juga, dia berilmu tak cetek. Tangan dan 

kakiku serasa terpenggal. Dadaku berdenyut sedikit 

sakit...," batin Dewi Bunga Iblis seraya tak kesiapkan 

sepasang matanya.

Sedangkan Dayang Naga Puspa, diam-diam ju-

ga berkata dalam hati.

"Nama Dewi Bunga Iblis nyatanya tidak omong 

kosong! Selama bertahun-tahun tak menampakkan di-

ri hingga tersiar kabar bahwa dia telah tewas mungkin 

digunakan perempuan ini untuk memperdalam ilmu. 

Tenaga dalamnya begitu kuat. Namun aku tak takut, 

Tombak Naga Puspa ada di tanganku! Dia boleh ber-

nama besar dan ditakuti banyak tokoh, namun di hadapan Tombak Naga Puspa semuanya akan lain!"

"Perempuan pemakan pemuda! Sudah siapkah 

kau menghadapi kematian?!" kata Dayang Naga Puspa 

seraya melangkah maju. Kedua tangannya disatukan 

lantas disejajarkan dengan dada. Mulutnya berkemik, 

namun sepasang matanya tak berkedip menyengat ke 

arah Dewi Bunga Iblis.

Dewi Bunga Iblis tertawa pendek penuh ejekan. 

Kedua tangannya pun menakup dan disejajarkan da-

da. Matanya sedikit memejam.

"Kau tak usah banyak mulut! Dari tadi aku su-

dah menunggu! ujar Dewi Bunga Iblis.

Begitu kata-kata Dewi Bunga Iblis usai, Dayang 

Naga Puspa sentakkan kedua tangannya.

Sebongkah awan hitam menyambar cepat ke 

arah Dewi Bunga Iblis. Hebatnya, sebelum bongkahan 

awan itu melesat, serangkum angin dahsyat yang 

menggemuruh mendahului!

Di seberang, Dewi Bunga Iblis segera jejak ta-

nah. Tubuhnya melesat ke depan seakan menyongsong 

pukulan Dayang Naga Puspa.

Setengah depa lagi angin dahsyat yang menda-

hului serangan Dayang Naga Puspa menggebrak, ke-

dua tangan Dewi Bunga Iblis bergerak mendorong!

Blammm! Blammm!

Terdengar dua kali ledakan keras. Tanah di 

tempat itu laksana diguncang gempa. Tanahnya berge-

tar dan terbongkar, sementara semak belukar di tem-

pat bertemunya kedua pukulan terbabat habis!

Pendekar Mata Keranjang 108 yang ada di seki-

tar tempat itu terkejut besar. Dia buru-buru sejajarkan 

tubuhnya dengan tanah.

"Busyet! Terlambat sedikit, masalah akan teru-

lur panjang! Aku harus cepat mencari tempat yang ter-

lindung agak jauh dari sini! Mumpung mereka sedang

tak memperhatikan keadaan...!" Murid Wong Agung ini 

lantas dongakkan kepalanya dengan mata berputar liar 

mencari-cari tempat.

"Hm.... Pohon besar itu tampaknya cocok untuk 

menyaksikan pertandingan! Daunnya rimbun dan agak 

jauh, namun leluasa melihat ke tempat pertandingan!"

Mata Pendekar 108 lantas mengarah pada dua 

orang yang kini sedang bertarung. Lalu dengan ge-

rakan cepat, kedua tangan dan kakinya disentakkan 

ke atas tanah. Tubuhnya melesat cepat dan masuk ke 

rimbunan pohon besar.

"He... he... he.... Dari sini baru asyik...! Dan jika 

salah satu telah roboh, aku harus cepat tinggalkan 

tempat ini!" membatin Aji seraya tersenyum-senyum. 

Sementara sepasang matanya tetap tak beranjak dari 

dua orang di bawahnya.

Di bawah, tubuh Dewi Bunga Iblis tampak me-

layang balik dengan derasnya, meski perempuan ini 

terlihat mencoba kerahkan tenaga dalam untuk meng-

hentikan gerakan tubuhnya, namun nampaknya tak 

berhasil, karena ternyata tubuhnya tetap melayang ke 

belakang. Lalu sesaat kemudian terdengar seruan ter-

tahan tatkala tubuh Dewi Bunga Iblis terkapar di atas 

tanah! Dari sudut bibirnya tampak meleleh darah se-

gar, sementara sepasang matanya memejam rapat 

dengan dada bergetar hebat. Namun, perempuan ini 

segera bangkit dengan tangan bersedekap! 

Di lain pihak, Dayang Naga Puspa tak jauh le-

bih baik. Karena dorongan kedua tangan Dewi Bunga 

Iblis dilakukan dengan jarak agak dekat, membuat 

daya sentaknya lebih deras. Hingga begitu ledakan ter-

jadi, tubuh perempuan berjubah putih ini melayang 

berputar dan jatuh terbanting dengan derasnya!

Untuk sesaat lamanya Dayang Naga Puspa di-

am tak bergerak-gerak di atas tanah. Darah juga terlihat meleleh dari bibirnya. Malah dari mulutnya terden-

gar pula erangan panjang.

Dewi Bunga Iblis yang mengetahui lawan masih 

tak bergerak di atas tanah sementara dirinya sudah 

bangkit, segera saja tak menyia-nyiakan kesempatan.

Tanpa memperdengarkan suara bentakan, tu-

buhnya segera berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya 

telah satu depa di atas tubuh Dayang Naga Puspa den-

gan sepasang kaki siap menyapu ke arah kepala!

Saat itulah, tanpa diduga sama sekali oleh Dewi 

Bunga Iblis, sekonyong-konyong Dayang Naga Puspa 

jejakkan tumitnya ke tanah. Tubuhnya bergeser ke 

atas. Lalu dengan gerakan yang sulit ditangkap mata 

biasa, tangannya berkelebat ke atas menyongsong tu-

buh Dewi Bunga Iblis.

Bersamaan dengan berkelebatnya tangan Da-

yang Naga Puspa, seberkas sinar hitam membersit.

Dewi Bunga Iblis terperangah hingga keluar je-

ritan dari mulutnya. Namun tak ada lagi kesempatan 

untuk menghindar. Hingga dengan menindih berbagai 

perasaan, Dewi Bunga Iblis meneruskan terjangan ke-

dua kakinya ke arah tubuh Dayang Naga Puspa! Malah 

untuk menambah serangan kedua tangannya pun ikut 

disentakkan!

Prakkk! 

Brettt!

Terdengar benturan keras, lalu disusul dengan 

terdengarnya pakaian robek. Karena begitu cepatnya 

benturan itu terjadi, hingga apa yang terjadi saat itu 

tak dapat disiasati dengan mata. Yang kemudian terli-

hat adalah melayangnya tubuh Dewi Bunga Iblis dan 

raungan keras dari mulutnya. Lalu terdengar suara 

gedebukan terbantingnya tubuh Dewi Bunga Iblis!

Sementara Dayang Naga Puspa tubuhnya tam-

pak terguling-guling di atas tanah, dan baru terhenti

tatkala tubuhnya membentur sebuah pohon! Namun 

perempuan ini cepat jejakkan kakinya ke batang po-

hon. Tubuhnya melesat ke atas dan setelah membuat 

gerakan berputar dua kali, dia mendarat di atas tanah 

dengan senyum tersungging meski wajahnya tak dapat 

menyembunyikan rasa kesakitan yang amat sangat. Di 

tangan kanannya tampak tombak hitam tergenggam.

Sementara itu, begitu tubuhnya terbanting, 

Dewi Bunga Iblis segera pula berusaha bangkit, kedua 

kakinya tampak goyah. Dan sesaat kemudian tubuh-

nya kembali terjatuh. Dengan paras agak pucat, se-

pasang matanya melirik ke paha kirinya yang terasa 

laksana dibakar.

Sepasang mata Dewi Bunga Iblis mendadak 

membeliak besar. Ternyata pakaian bagian paha itu te-

lah robek besar. Namun bukan itu yang membuat se-

pasang mata orang ini membelalak. Ternyata kulit di 

balik robekan pakaian yang gombrong itu terkelupas 

dan sedikit berlobang, dan berwarna hitam legam! 

"Racun Ular Naga!" seru Dewi Bunga Iblis de-

ngan wajah tercekat. Kedua tangannya segera bergerak 

menotok jalan darah pahanya.

"Tombak itu ternyata mengandung Racun Ular 

Naga! Hm.... Sementara aku harus menyembuhkan du-

lu paha ini dari racun jahat itu. Aku harus, me-

ninggalkan tempat ini!"

Berpikir begitu, Dewi Bunga Iblis segera ta-

kupkan kedua tangannya. Secepat kilat Dewi Bunga 

Iblis segera sentakkan kedua tangannya ke arah 

Dayang Naga Puspa yang tampak memperhatikan la-

wan dengan senyum sinis. Dia tampaknya menduga ji-

ka lawan tidak akan berdaya lagi, karena Tombak Naga 

Puspa telah berhasil menembus pahanya.

Begitu kedua tangan Dewi Bunga Iblis menyen-

tak, terlihat beberapa benda hitam menebar dan berpelesatan ke arah Dayang Naga Puspa dari segala juru-

san!

Dayang Naga Puspa terperangah kaget melihat 

lawan masih bisa kirimkan serangan. Maka dengan 

menindih rasa geram dan hampir tak percaya, Dayang 

Naga Puspa segera berkelebat berputar dengan tangan 

dan kaki bersiutan menghentak!

Beberapa benda hitam yang ternyata adalah be-

berapa bunga berwarna hitam legam bermentalan dan 

berhamburan jatuh di atas tanah. Namun karena ba-

nyaknya, meski kedua tangan dan kaki Dayang Naga 

Puspa bergerak tiada henti-hentinya, dua buah bunga 

masih sempat menerabas tubuhnya!

Dayang Naga Puspa melengak kaget, karena 

meski hanya sekuntum bunga ternyata mampu me-

nembus jubah putihnya, bahkan tembus hingga kulit 

di baliknya!

"Setan alas! Bunga-bunga jahanam!" teriak Da-

yang Naga Puspa begitu mendarat kembali di atas ta-

nah seraya pandangi pundak dan pinggangnya yang 

terterabas bunga hitam. Ternyata bunga itu menancap 

dan kulit di sekitarnya telah berubah kebiruan!

Serta-merta Dayang Naga Puspa campakkan 

bunga-bunga itu dari pundak dan pinggangnya. Wa-

jahnya meringis menahan panas dan perih. Namun 

semua itu tak dihiraukannya. Sepasang matanya me-

mandang ke tempat Dewi Bunga Iblis berada.

Namun sepasang mata Dayang Naga Puspa 

membeliak, lalu berputar liar berkeliling. Kedua ka-

kinya dibantingkan ke atas tanah.

"Jahanam bedebah! Dia melarikan diri!" kata 

Dayang Naga Puspa setengah berteriak tatkala mata-

nya tak lagi menemukan sosok Dewi Bunga Iblis.

Dengan wajah masih menahan sakit dan ge-

ram, Dayang Naga Puspa segera simpan kembali tombaknya ke balik jubah putihnya. Lalu tangan kanan-

nya bergerak mengurut-urut kulit di sekitar pundak 

dan pinggangnya yang tertancap bunga-bunga hitam 

oleh Dewi Bunga Iblis.

Sesaat kemudian, wajahnya bergerak mendekat 

ke pundak. Mulutnya menghisap kulit yang tadi ter-

tancap bunga. Begitu mulutnya ditarik dan memun-

tahkan sesuatu di mulutnya, tampak darah hitam 

muncrat!

Dayang Naga Puspa melakukan hal itu beru-

lang-ulang. Dan begitu muntahan di mulutnya tidak 

lagi berwarna hitam, Dayang Naga Puspa hentikan 

perbuatannya.

"Hmm... kau tak akan bertahan lama dari ra-

cun tombakku! Hidupmu bisa dihitung dengan jari!" 

gumam Dayang Naga Puspa. Orang ini lantas melang-

kah hendak meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba 

saja Dayang Naga Puspa urungkan niat. Bahkan kini 

sepasang matanya berputar liar seakan-akan mencari 

sesuatu.

"Sial! Mungkin dia teringat akan aku! Kenapa 

aku terkesima dan tak segera tinggalkan tempat ini be-

gitu Dewi Bunga Iblis berkelebat pergi? Tololnya 

aku...!" membatin Pendekar 108 dari atas pohon tem-

patnya bersembunyi.

"Hm.... Baunya masih di sekitar sini! Berarti dia 

masih berada di sini! Siapa dia? Akan kupaksa untuk 

keluar dari persembunyiannya! Kalau Dewi Bunga Iblis 

sampai mengejar-ngejar orang ini, berarti orang ini 

sangat berarti! Siapa tahu orang ini dapat menunjuk-

kan di mana beradanya Dewi Kayangan...!"

Berpikir begitu, Dayang Naga Puspa lantas ber-

teriak lantang.

"Orang yang bersembunyi! Aku tahu kau masih 

di sini! Lekas keluarlah!"

Dayang Naga Puspa menunggu sejenak. Dan 

tatkala tidak ada tanda-tanda orang keluar dari per-

sembunyiannya, kembali Dayang Naga Puspa berte-

riak.

"Kuberi kesempatan sekali lagi. Cepat keluar 

dari persembunyianmu!"

Di atas pohon, Pendekar 108 tampak bimbang. 

Mungkin karena ragu-ragu seperti hendak turun atau 

tetap bersembunyi, tangan kanannya tak sadar me-

nyentuh ranting kering.

"Sial!" rutuk Pendekar 108 dalam hati seraya 

memandang ke arah Dayang Naga Puspa.

Pendekar 108 menarik napas lega, karena Da-

yang Naga Puspa sepertinya tak curiga dengan jatuh-

nya ranting. Perempuan berjubah putih ini malah me-

langkah hendak meninggalkan tempat itu.

"Hmm... selamatlah aku! Memang untuk saat 

ini tak ada gunanya meladeni orang seperti dia. Men-

cari di mana beradanya Sahyang Resi Gopala jauh le-

bih penting! Lagipula...," Aji tak meneruskan kata ha-

tinya, karena saat itu juga dari arah bawah menderu 

angin deras. Bahkan bersamaan dengan itu terdengar 

suara gemeretak.

Pohon di mana Aji bersembunyi sekonyong-

konyong bergerak oleng, dan tak lama kemudian tum-

bang!

***

LIMA


SEBELUM pohon itu tumbang, Pendekar 108 

yang tahu situasi segera berkelebat dan mendarat agak 

jauh. Lalu tanpa mempedulikan apa-apa lagi, murid

Wong Agung ini berkelebat meninggalkan tempat itu.

Namun gerakannya tertahan. Karena bersama-

an dengan akan berkelebat, sesosok bayangan telah 

berdiri menghadang tepat lima langkah di hadapan 

Pendekar 108. Meski Aji telah dapat menduga siapa 

adanya sosok yang kini ada di hadapannya, namun tak 

urung juga dia terkejut. Karena gerakan berkelebat 

yang ingin dilakukan tadi telah secepatnya diusaha-

kan, namun orang yang menghadang ternyata lebih 

cepat!

"Pengecut busuk! Akan lari ke mana kau?!" se-

ru sang penghadang yang ternyata adalah Dayang Na-

ga Puspa seraya memandang tak berkedip dengan ta-

tapan menyelidik.

"Sialan betul! terpaksa perjalanan ini harus ter-

tunda!" membatin Pendekar 108. Untuk beberapa saat 

dia tak tahu harus berbuat apa. Hingga sambil usap-

usap ujung hidung dengan punggung telapak tangan, 

murid Wong Agung ini hanya senyum-senyum seraya 

balas pandangan Dayang Naga Puspa, membuat pe-

rempuan berjubah putih ini kernyitkan kening.

"Hm.... Siapa gerangan pemuda ini? Parasnya 

memang tampan, hingga mungkin Dewi Bunga Iblis 

tergila-gila. Tapi sikapnya seperti orang tolol! Namun 

begitu, dia tampaknya menyimpan sesuatu di balik si-

kap tololnya! Dia sepertinya tak menunjukkan rasa ta-

kut sama sekali, meski aku tahu dia tadi melihat per-

tarunganku dengan Dewi Bunga Iblis!" ujar Dayang 

Naga Puspa dalam hati. Lalu dia bertanya. "Siapa 

kau...?!"

Sejurus Pendekar 108 masih memandangi wa-

jah Dayang Naga Puspa, membuat orang yang dipan-

dangi merah padam seraya alihkan pandangan pada 

jurusan lain. Pendekar Mata Keranjang 108 sungging-

kan senyum melihat sikap Dayang Naga Puspa, lalu

dengan tetap tak mengalihkan pandangan dia menja-

wab.

"Namaku Aji. Aji Saputra, Dayang! Seorang 

pengelana jalanan yang tak tentu juntrungan! Harap 

Dayang suka memberi jalan padaku! Aku akan menu-

rutkan langkah kakiku entah hendak ke mana!"

Dayang Naga Puspa luruskan pandangan mata-

nya kembali pada Pendekar 108. Dahinya semakin 

berkerut.

"Hmm.... Dia telah tahu nama gelarku! Berarti 

dia salah seorang dari orang persilatan!"

"Apa hubunganmu dengan Dewi Bunga Iblis?!" 

tanya Dayang Naga Puspa dengan suara agak dike-

raskan.

"Aku tak ada hubungan apa-apa. Hanya dia 

memang selama ini selalu mengejar-ngejar diriku, ka-

rena dia mengharapkan cinta dariku! Aneh ya...? 

Orang yang tak punya juntrungan, dikejar-kejar malah 

diharapkan cintanya!" berkata Pendekar 108 seraya 

tersenyum-senyum. Dia sengaja berkata begitu agar 

urusannya segera selesai. Namun dugaan Pendekar 

108 ternyata meleset, karena Dayang Naga Puspa sege-

ra ajukan tanya kembali.

"Kalau dia mengharapkan cinta darimu, berarti 

kau memang pernah memberi harapan padanya! Dan 

itu menandakan kalian berdua telah saling mengenal 

agak lama. Dan berarti kau telah tahu pula Dewi 

Kayangan, karena dia adalah kakak kandung dari De-

wi Bunga Iblis! Sekarang katakan, di mana aku dapat 

menemui kakak kandung Dewi Bunga Iblis itu!"

Pendekar 108 terkejut. Dia tak menduga jika 

kata-katanya tadi membuatnya dalam posisi sulit.

Di balik semua itu, sebenarnya Dayang Naga 

Puspa pun telah tahu di mana Dewi Kayangan bertem-

pat tinggal. Dia sengaja menanyakan hal itu pada Pendekar 108 sekadar hanya ingin mengetahui lebih jauh 

tentang Pendekar 108.

"Dayang Naga Puspa! Aku baru saja mengenal 

Dewi Bunga Iblis. Jadi dia belum pernah menceritakan 

tentang orang yang bernama Dewi Kayangan. Bahkan 

aku pun baru mendengar kali ini!"

"Hm..., begitu? Tampaknya kau berani berkata 

bohong padaku! Kuingatkan sekali ini! Katakan di ma-

na aku bisa menemui Dewi Kayangan!"

Pendekar Mata Keranjang tarik-tarik kuncir 

rambutnya. Meski mendapat ancaman, namun sikap-

nya tak menampakkan rasa takut sama sekali. Malah 

seraya tarik-tarik kuncir rambutnya, Aji berkata.

"Dayang! Tadi sudah kukatakan, Dewi Bunga 

Iblis tak pernah menceritakan tentang Dewi Keme-

nyan...!"

"Dewi Kayangan!" bentak Dayang Naga Puspa 

membetulkan kata-kata Pendekar Mata Keranjang 108.

"Ah, Dewi apa pun, pokoknya dia tak pernah 

cerita tentang dewi-dewi! Ia memang pernah cerita, tapi 

tentang dewa-dewa!"

"Bangsat ini anak! Diancam orang masih bisa-

bisanya bercanda! Aku tahu dia menyimpan sesuatu, 

bahkan tentang Dewi Kayangan! Aku penasaran siapa 

dia sebenarnya! Kalau dia tak menampakkan rasa ta-

kut diancam, berarti dia mempunyai sesuatu yang dis-

impan!" membatin Dayang Naga Puspa. Lalu dengan 

masih mengawasi Pendekar 108 dari ujung rambut 

sampai ujung kaki, dia berkata.

"Anak tolol! Kau telah kuberi kesempatan un-

tuk mengatakan yang sebenarnya, namun kau masih 

tetap berani berkata bohong. Kau layak menerima hu-

kuman dariku!"

"Ah, nasibku jelek betul! Sudah mengatakan se-

jujurnya, masih juga menerima hukuman! Betul-betul

nasib jelek! Seumur-umur, tak pernah hal ini kuimpi-

kan, apalagi jadi kenyataan!"

"Nasibmu memang jelek, Anak Tolol! Bahkan le-

bih jelek lagi, karena kau akan menemui ajal di tengah 

kejelekan nasibmu!"

Habis berkata begitu, Dayang Naga Puspa si-

bakkan jubah putihnya. Seberkas sinar hitam berkilat-

kilat membersit. Dan bersamaan tersingkapnya jubah 

putih, serangan angin deras menggebrak ke arah Pen-

dekar Mata Keranjang 108!

"Dayang! Sungguh tega kau menjatuhkan hu-

kuman pada orang yang bernasib jelek!" seraya ber-

kata, Pendekar 108 segera miringkan tubuh. Serangan 

Dayang Naga Puspa yang sepertinya tak disengaja itu 

menerabas sejengkal di samping tubuh Aji.

"Dugaanku sepertinya tidak meleset! Dia me-

nyimpan sesuatu di balik sikapnya! Aku makin pena-

saran!" kata Dayang Naga Puspa dalam hati begitu 

mengetahui dengan mudahnya Pendekar 108 menge-

lakkan diri dari serangannya.

"Uh, untung sewaktu kecil aku sering main ku-

da-kudaan, jika tidak bahuku mungkin sudah copot. 

Dayang! hentikan hukuman! Aku akan pergi saja dari 

hadapanmu, dan berjanji akan mencarimu begitu ku-

peroleh keterangan tentang Dewi yang kau katakan!"

"Anak tolol banyak mulut! Aku tak perlu lagi 

keterangan! Yang kuperlukan sekarang adalah siapa 

kau sebenarnya!"

"Tapi bukankah itu sudah kukatakan juga pa-

damu? Apa perlu kuulangi lagi? Aku bernama...."

"Tutup mulutmu!" sergah Dayang Naga Puspa 

dengan suara tinggi. Kemarahan tampaknya sudah tak 

dapat dibendung oleh perempuan ini. Dengan suara 

masih tinggi, dia menyambung.

"Anak tolol! Kalau kau masih ingin hidup, kata

kan siapa kau sebenarnya! Siapa gelarmu, siapa nama 

gurumu, siapa nama kedua orangtuamu, dari mana 

kau berasal, dan hendak ke mana sekarang!"

Pendekar 108 geleng-geleng kepala.

"Wah, urusan benar-benar jadi panjang lebar 

dan bulat! Lebih baik tak kuladeni dia! Pertanyaannya 

tak mungkin kujawab. Dia tampaknya bukan orang 

baik-baik!"

Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang lan-

tas berkelebat menuju arah dari mana dia datang. Dia 

sengaja membalik, dengan tujuan begitu bisa lolos dari 

kejaran Dayang Naga Puspa dia akan kembali lagi le-

wat jalan berputar. Karena itulah jalan yang harus di-

lewatinya jika ingin menuju ke Bajul Mati di mana Sa-

hyang Resi Gopala berada.

***

ENAM


PENDEKAR Mata Keranjang 108 terus memacu 

larinya dengan cepat. Bahkan dia kerahkan ilmu me-

ringankan tubuh hampir seluruhnya. Tubuh dan pa-

kaian hijaunya telah basah kuyup oleh keringat. Na-

mun sepertinya Pendekar 108 tak hendak menghenti-

kan larinya.

Baru setelah dirasa Dayang Naga Puspa tak 

mengejar, pendekar murid dari Karang langit ini henti-

kan larinya. Namun sebelum itu sepasang matanya 

menebar berkeliling dengan kepala pulang balik dipa-

lingkan ke belakang.

"Hm.... Tampaknya Dayang Naga Puspa tak 

mengejarku lagi! Aku bisa santai sekarang...," gumam 

Pendekar 108 seraya melangkah berputar hendak menuju arah asal.

Mungkin karena panas dari tubuh dan sinar 

mata hari yang menerpanya, Pendekar Mata Keranjang 

keluarkan kipas ungu dari balik pakaiannya. Lalu se-

raya berkipas-kipas ia melangkah. Dari mulutnya mu-

lai terdengar alunan nyanyian yang tak bisa dimenger-

ti.

"Aku harus tetap waspada. Bukan tak mungkin 

Dayang Naga Puspa atau Dewi Bunga Iblis tahu-tahu 

berada di sekitar sini!" kata Aji dalam hati seraya terus 

melangkah sambil berkipas-kipas.

"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Rupanya sekarang 

telah banyak diketahui orang. Dan ini akan menyeret 

munculnya tokoh-tokoh kelas tinggi! Aku harus segera 

bertemu dengan orang yang bernama Sahyang Resi 

Gopala sebelum ada orang lain yang mendahului! Me-

lihat tokoh-tokoh yang mulai muncul dan memburu 

arca itu, aku hampir yakin jika arca itu benar-benar 

hebat!" membatin Pendekar 108.

Namun mendadak Aji hentikan langkahnya. 

Matanya berputar liar mengedari tempat di sekeliling-

nya. Kedua telinganya dipertajam.

"Aku merasa diawasi seseorang.... Apakah Da-

yang Naga Puspa? Atau Dewi Bunga Iblis? Sialan betul! 

Padahal aku telah memilih jalan berputar!"

Murid Wong Agung ini segera berkelebat. Na-

mun sebelum dia sempat bergerak, sekonyong-

konyong semak belukar sepuluh langkah di samping-

nya menguak! Sesosok tubuh muncul dengan mem-

perdengarkan suara tawa berderai panjang. Lalu ter-

dengar seruan.

"Anak tolol! Jangan bermimpi kau dapat lolos 

dari tanganku, sebelum kau menjawab segala perta-

nyaanku!"

"Dayang Naga Puspa!" seru Pendekar Mata Keranjang 108 dengan paras terkejut. Gerakan tangan 

kanannya yang berkipas-kipas serta-merta terhenti. 

Malah kakinya undur dua tindak ke belakang.

"Apa boleh dikata. Kalau harus beradu jurus 

dahulu sebelum meneruskan perjalanan!" kata Pende-

kar 108 dalam hati dengan sepasang mata tak berke-

dip mengawasi Dayang Naga Puspa yang kini tampak 

melangkah mendekat ke arahnya.

Tiba-tiba Dayang Naga Puspa hentikan lang-

kah. Sepasang matanya membelalak besar. Bukan me-

mandang ke arah Pendekar 108, melainkan ke tangan 

kanan Pendekar 108 yang memegang kipas ungu.

"Kipas ungu berangka 108! Astaga! Jadi dia 

manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 108! 

Hmm.... Kalau Dewi Bunga Iblis mengejar dia, berarti 

ada apa-apa di balik semua ini! Dan keterangan anak 

ini tentang cinta-cintaannya dengan Dewi Bunga Iblis 

adalah bohong! Apakah manusia ini dalam tubuhnya 

juga ada guratan angka 108? Hmm.... Itu perlu diseli-

diki! Kalau memang benar, aku telah menemukan sya-

rat untuk memperoleh Arca Dewi Bumi. Tinggal men-

cari Dewi Kayangan! Dan itu soal mudah, karena aku 

telah tahu di mana beradanya orang itu!" membatin 

Dayang Naga Puspa seraya terus memperhatikan kipas 

ungu di tangan Pendekar Mata Keranjang.

Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 ke-

rutkan dahi melihat sikap Dayang Naga Puspa yang 

tak memperhatikan dirinya, malah sebaliknya meng-

awasi kipas di tangan kanannya.

"Hmm.... Rupanya dia tertarik dengan kipasku! 

Apa dia berkeinginan juga untuk memiliki? Aku akan 

pertaruhkan nyawa jika dia menginginkan kipas ini!"

"Anak tolol! Menyerahlah padaku dan ikut den-

ganku!" bentak Dayang Naga Puspa.

"Dayang Naga Puspa! Dengar baik-baik! Aku sedang dalam perjalanan jauh. Kalau kau masih saja 

menghalangi perjalananku, aku tak bisa lagi hanya di-

am!"

Dayang Naga Puspa tengadahkan kepala. Dari 

mulutnya terdengar tawa pendek. "Bagus! Ternyata 

kau tak hanya bisa bercanda! Namun juga bisa men-

gancam! Dengar baik-baik! Kuburlah dahulu keingi-

nanmu! Sekali ini kau harus ikut denganku!"

Pendekar 108 ganti keluarkan tawa. Lalu tanpa 

lagi memandang pada Dayang Naga Puspa, dia angkat 

bicara.

"Sekali ini juga, tanamlah dalam-dalam hara-

panmu untuk mengajakku! Lain kali, setelah aku me-

nyelesaikan perjalanan ini, aku akan turuti permin-

taanmu! Bahkan sampai menemanimu tidur!"

"Bangsat!" maki Dayang Naga Puspa. Dia serta-

merta sentakkan kedua tangannya.

Serangan angin deras menggebrak ke arah Pen-

dekar Mata Keranjang 108!

Mendapati serangan, kali ini Pendekar 108 tak 

mau lagi hanya menghindar. Dia segera pula angkat 

kedua tangannya dan didorong ke depan.

Blarrr! 

Terdengar suara ledakan dahsyat begitu kedua 

pukulan yang sama-sama dialiri tenaga dalam itu ber-

temu. Tanah di bawah bertemunya dua pukulan ter-

bongkar dengan membumbungkan bongkarannya. Tu-

buh Dayang Naga Puspa nampak terseret sampai bebe-

rapa langkah ke belakang. Untung perempuan ini ce-

pat kerahkan tenaga untuk menahan goyahan tubuh-

nya. Jika tidak, niscaya tubuhnya akan terjengkang 

dan terkapar di atas tanah!

Sementara Pendekar 108 sendiri juga terseret 

ke belakang, namun dia cepat melompat ke samping 

dan berdiri kokoh dengan kaki sedikit terpentang!

"Anak ini tak bisa dianggap sebelah mata. Tena-

ga dalamnya sangat kuat! Padahal aku yakin, dia be-

lum sepenuhnya keluarkan tenaga!" membatin Dayang 

Naga Puspa. Lalu dengan didahului bentakan nyaring, 

tubuhnya berkelebat ke depan. Tangannya menyibak-

kan jubah putihnya. Dan serta-merta tangan kanan-

nya menyambar tombak hitam di pinggang kirinya. 

Dan disentakkan ke arah Pendekar 108!

Wuuttt!

Seberkas sinar hitam berkelebat cepat bersa-

maan dengan melesatnya tombak. Namun sebelum 

berkas sinar hitam berkelebat, serangkum angin deras 

melesat mendahului!

Pendekar Mata Keranjang 108 yang tahu kea-

daan bahaya segera saja melompat ke samping. Ta-

ngan kanannya yang memegang kipas segera diki-

baskan memapak hantaman tombak!

Prreekk!

Terdengar benturan keras tatkala kedua sisi-

sisi tombak Dayang Naga Puspa menerpa kipas ungu 

Pendekar 108! Hebatnya, meski hanya senjata yang 

bertemu, namun tubuh kedua orang ini sama-sama 

mental ke belakang! Bahkan wajah kedua orang ini 

sama-sama saling meringis menahan rasa nyeri dan 

panas di dada masing-masing!

"Hmm.... Meski aku menggunakan tombak, na-

mun aku harus bisa menjaga agar tombak ini tak 

mengenai tubuhnya, karena pemuda ini masih ingin 

kuselidiki!" membatin Dayang Naga Puspa seraya me-

lesat kembali ke depan. Tombaknya diputar-putar, se-

mentara tangan kirinya siap kirimkan pukulan.

Sinar hitam berkilat-kilat segera saja menebar 

di tempat itu bersamaan dengan berputarnya tombak 

di tangan Dayang Naga Puspa.

Aji tak tinggal diam. Begitu tombak berputar

putar, Pendekar 108 pun segera putar-putar kipas un-

gunya. Serta-merta kilauan sinar putih bertebaran dis-

ertai menderunya suara angin!

Dayang Naga Puspa sedikit terkejut, namun dia 

segera menambah tenaga pada putaran tombaknya.

Blaammm! Blaammm!

Beberapa kali letupan terdengar begitu sinar-

sinar hitam bentrok dengan kilauan sinar putih! Tu-

buh Dayang Naga Puspa yang melesat tiba-tiba ber-

henti di udara laksana ditahan! Sedang tubuh Pende-

kar Mata Keranjang 108 bergetar hebat dan terseret ke 

belakang! Saat itulah Dayang Naga Puspa cepat sen-

takkan tangan kirinya.

Wuuttt!

Serangkum angin dahsyat menggebrak keluar 

dari tangan Dayang Naga Puspa.

Pendekar 108 yang sedang menahan tubuhnya 

agar tak terseret makin ke belakang sedikit terkejut. 

Dia segera rebahkan tubuh sejajar tanah seraya bergu-

lingan. Hingga serangan tangan kiri Dayang Naga Pus-

pa menerabas di atas tubuhnya. Namun elakan Pende-

kar 108 membuat putaran kipasnya terhenti, hingga 

tubuh Dayang Naga Puspa yang tadi tertahan kini me-

luncur lagi ke depan!

Dayang Naga Puspa tak sia-siakan kesempatan. 

Begitu tubuhnya bisa lagi melesat, sepasang kakinya 

segera saja menyapu menyusur sejengkal di atas ta-

nah! Sementara kedua tangannya berkelebat menung-

gu di atas!

Begitu Pendekar 108 mendapati dirinya terku-

rung dari bawah dan atas, cepat menambah tekanan 

tenaga dalamnya, hingga gulingan tubuhnya semakin 

cepat!

Namun tampaknya Dayang Naga Puspa tak 

mau kehilangan buruan. Dia pun segera menggenjot

tubuhnya. Hingga tubuhnya melayang mengikuti gu-

lingan tubuh Pendekar Mata Keranjang!

Nasib tak baik rupanya menimpa pendekar mu-

rid Wong Agung ini, karena saat itu gulingan tubuhnya 

hampir mendekati sebatang pohon besar.

"Sial! Terpaksa aku harus adu badan!" memba-

tin Pendekar 108 saat mengetahui tak jauh dari tem-

patnya berdiri kokoh sebatang pohon. Ia segera perce-

pat gulingan tubuhnya, dan begitu tubuhnya mentok 

pada batang pohon, serta-merta dia jejakkan kakinya 

di atas tanah!

Namun gerakannya sedikit terlambat, karena 

saat itu juga terjangan kaki Dayang Naga Puspa meng-

gebrak! Untung saja murid Wong Agung ini urungkan 

niat untuk lesatkan tubuhnya ke atas! Jika tidak, nis-

caya tubuhnya akan terhajar kedua kaki Dayang Naga 

Puspa.

Saat mengetahui sepasang kaki lawan terus 

menerabas, Pendekar 108 himpitkan tubuhnya rapat-

rapat ke atas tanah. Terjangan sepasang kaki Dayang 

Naga Puspa menderu sejengkal di atas tubuhnya.

Braakkk!

Terdengar suara patahnya pohon di belakang 

Pendekar 108. Pohon besar itu lantas tumbang dengan 

suara bergemuruh dahsyat.

Pendekar 108 segera bangkit. Namun dia terpe-

rangah kaget, karena ternyata tubuh Dayang Naga 

Puspa yang tadi kakinya menghantam pohon mental 

balik. Lalu diputar dan disapukan, saat mana Pende-

kar 108 bangkit.

Deesss!

Terdengar suara tertahan dari mulut Pendekar 

Mata Keranjang 108 tatkala kaki kiri Dayang Naga 

Puspa menghantam bahu kanannya! Bersamaan de-

ngan itu tubuh Pendekar 108 kembali rebah di atas

tanah!

"Disuruh ikut secara baik-baik saja malah cari 

babak belur!"

Dayang Naga Puspa putar kembali tubuhnya. 

Lalu sekonyong-konyong kakinya menyapu ke arah tu-

buh Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih rebah 

di dekat tumbangan pohon.

Deesss!

Kembali terdengar suara tertahan dari mulut 

Pendekar Mata Keranjang. Tubuhnya melayang ringan 

bagai kapas ke udara. Meski pendekar murid dari Ka-

rang Langit ini berusaha kerahkan tenaga dalam un-

tuk menghentikan layangan tubuhnya, namun nya-

tanya tak ada guna. Hingga tanpa ampun lagi tubuh-

nya menukik terkapar di atas tanah!

Dayang Naga Puspa yang tampaknya segera in-

gin memeriksa, segera saja menyusul berkelebat. Na-

mun bersamaan dengan berkelebatnya tubuh Dayang 

Naga Puspa, satu bayangan terlihat berkelebat mema-

pak kelebatan Dayang Naga Puspa.

Bersamaan dengan berkelebatnya bayangan 

yang memapak tubuh Dayang Naga Puspa, serangkum 

angin dahsyat yang tak keluarkan suara menyambar 

seakan menahan gerakan Dayang Naga Puspa!

Dayang Naga Puspa terperangah kaget, karena 

saat itu juga tubuhnya melenceng. Sambil jungkir ba-

lik menahan kelebat tubuhnya yang meluncur me-

lenceng, keluar teriakan marah dari mulutnya. Namun 

diam-diam perempuan berjubah putih ini segera mak-

lum jika orang yang tampaknya berusaha menghalangi 

adalah orang yang tidak bisa dianggap sebelah mata. 

Karena sambaran anginnya saja telah mampu mem-

buat kelebatan dirinya melenceng!

Tanpa melihat lagi siapa adanya yang mengha-

langi, kedua tangan Dayang Naga Puspa segera disentakkan ke arah sosok yang kini ada di hadapannya.

Namun Dayang Naga Puspa melengak kaget. 

Bersamaan dengan menyentaknya kedua tangannya, 

sosok di hadapannya tiba-tiba lenyap bagai ditelan 

bumi! Hingga sentakan kedua tangannya hanya meng-

hantam angin.

Belum hilang rasa kejut Dayang Naga Puspa, 

dari arah belakangnya terdengar debum-debum bebe-

rapa kali seperti mendekati ke arahnya.

Dayang Naga Puspa dengan menindih rasa ke-

jut yang amat sangat segera palingkan wajahnya ke be-

lakang. Kedua tangannya siap kembali kirimkan puku-

lan.

Namun Dayang Naga Puspa segera urungkan 

niat untuk kirimkan pukulan, malah sepasang mata-

nya membeliak mengawasi orang yang kini melangkah 

ke arahnya. Dahinya berkerut seakan-akan mengingat. 

Namun tampaknya dia tak bisa mengenali siapa 

adanya orang yang melangkah ke arahnya.

Ternyata orang yang sedang melangkah ke arah 

Dayang Naga Puspa adalah seorang laki-laki bertubuh 

gemuk besar. Dia melangkah tidak menggunakan kaki, 

karena laki-laki ini ternyata tak punya sepasang kaki. 

Dia melangkah menggunakan dua bambu kecil yang 

dikepitkan di kedua ketiaknya. Hebatnya meski hanya 

bambu kecil, namun mampu menopang tubuhnya 

yang begitu besar. Bahkan suara ketukan bambu 

mampu membuat telinga berdengung sakit!

***

TUJUH


SIAPA laki-laki gajah ini? Dan apa hubungan

nya dengan pemuda itu? Tapi siapa pun dia adanya, 

dia telah mencampuri urusanku! Aku harus enyahkan 

dia, kalau perlu kubunuh jika dia tak mau enyah!" 

membatin Dayang Naga Puspa seraya memperhatikan 

laki-laki bertubuh besar yang melangkah mengguna-

kan bambu kecil sebagai penyangga tubuhnya.

"Gongging Baladewa!" seru Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 begitu bangkit dan mengetahui siapa 

adanya orang yang melangkah dengan ketukan-

ketukan bambu kecil di ketiaknya yang keluarkan sua-

ra berdebum-debum.

Sejenak baik Dayang Naga Puspa maupun Pen-

dekar 108 kerahkan tenaga dalamnya pada gendang 

telinga masing-masing yang terasa seakan-akan ditu-

suk-tusuk!

"He...! Siapa kau? Dan apa hubunganmu den-

gan pemuda tolol itu hingga kau turut campur urusan 

ini?!" bentak Dayang Naga Puspa.

Laki-laki bersangga bambu yang bukan lain 

memang Gongging Baladewa adanya tengadahkan ke-

pala. Langkahnya dia hentikan. Lalu dari mulutnya 

terdengar suara tawa gelak-gelak.

"Harap maafkan aku jika aku turut campur 

urusanmu! Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku 

mencari tukang rumput kuda-kudaku. Dia seperti ka-

tamu, memang agak tolol bahkan sedikit agak gini!" 

kata Gongging Baladewa seraya hadapkan wajahnya 

pada Dayang Naga Puspa dan meletakkan jari tangan-

nya miring di kening.

Dayang Naga Puspa kerutkan dahi. Dia berpal-

ing memandang Pendekar 108 yang kini tampak du-

duk seraya komat-kamitkan mulut. Tangan kanannya 

tarik-tarik kuncir rambutnya, sementara wajahnya me-

ringis seakan merasa sakit dengan tarikan pada ram-

butnya. Namun demikian dia tak hendak hentikan tarikan-tarikan tangannya.

Lalu Dayang Naga Puspa alihkan pandangan 

pada Gongging Baladewa.

"Hm.... Begitu masalahmu. Lantas kenapa kau 

ikut campur urusanku?! Dan siapa kau...?!"

Gongging Baladewa kembali keluarkan tawa. 

Tapi kali ini pendek dan agak pelan. Lalu berkata.

"Sarpakenaka! Pertanyaanmu banyak sekali. 

Tapi baiklah, akan kujawab!"

Sejenak Gongging Baladewa hentikan kata-

katanya. Dia batuk-batuk beberapa kali. Sementara 

itu, Dayang Naga Puspa tampak menyembunyikan ra-

sa kejutnya demi mendapati laki-laki gemuk besar di 

hadapannya tahu siapa nama aslinya.

"Aku hanyalah seorang kampung biasa. Orang 

kampung biasa menyebutku Gondal-Gandul! Dan aku 

dengan berat hati sengaja mencampuri urusanmu, ka-

rena orang yang kucari itu adalah orang yang tadi kau 

sebut dengan pemuda tolol itu! Dia orangnya!" Gongg-

ing Baladewa tudingkan jari tangannya lurus-lurus ke 

arah Aji yang tampak masih bersikap seperti semula. 

Malah kini murid Wong Agung ini terlihat sesenggukan 

tanpa keluarkan air mata!

"Hm.... Aku tak percaya dengan ucapan laki-

laki gajah ini! Mustahil kalau dia orang kampung bi-

asa. Gerak kelebatnya telah mampu membuatku me-

lenceng, lebih-lebih dia berhasil menghindari seran-

ganku dengan gerak yang begitu cepat. Dan ketukan-

ketukan tongkat bambunya bukanlah ketukan tongkat 

bambu biasa! Apalagi pemuda itu, dia semakin seperti 

orang gila! Sandiwara apa yang diperagakan oleh dua 

orang ini? Jika mereka bisa bersandiwara, kenapa aku 

tidak...?"

"Gondal-Gandul!" kata Dayang Naga Puspa de-

ngan dingin seraya mendongak.

Mendengar Gongging Baladewa disebut Gondal-

Gandul oleh Dayang Naga Puspa, Aji takupkan kedua 

telapak tangannya ke mulut, menahan tawa. Sementa-

ra Gongging Baladewa mendelik pada Pendekar 108.

"Kalau anak tolol itu memang benar-benar tu-

kang mencari rumput kuda-kudamu, sungguh sayang 

sekali. Kau tahu, dia tadi berusaha memaksakan ke-

hendak nafsunya padaku! Jadi, sebagai ganjarannya, 

untuk sementara ini dia harus ikut denganku! Seperti 

kau, aku pun mempunyai beberapa ekor kuda. Dia ha-

rus ikut denganku dan mencarikan rumput kuda-

kudaku selama satu purnama. Itu sebagai imbalan 

perbuatannya! Setelah itu kau bisa menjemputnya!"

Pendekar 108 sepertinya termakan oleh kata-

kata Dayang Naga Puspa. Hingga dia cepat menyahut.

"Gondal-Gandul! Harap jangan percaya dengan 

omongan perempuan ini!"

Dayang Naga Puspa tertawa gelak-gelak men-

dengar ucapan Aji. Dia merasa lega bahwa Aji terma-

kan oleh kata-katanya.

Gongging Baladewa membeliakkan sepasang 

matanya. Mulutnya bergumam tak jelas. Setelah ba-

tuk-batuk beberapa kali, akhirnya dia berkata.

"Sarpakenaka! Seperti kataku tadi, dia memang 

orang agak sinting. Jadi harap maafkan tingkahnya 

yang telah berani meraba-raba tubuhmu...! Tapi...," 

Gongging Baladewa tak meneruskan kata-katanya, ka-

rena saat itu Dayang Naga Puspa menyela dengan sua-

ra membentak garang.

"Gondal-Gandul! Bicara yang benar! Siapa bi-

lang diraba-raba?!" 

Gongging Baladewa tertawa terbahak-bahak.

Pendekar 108 yang mula-mula berusaha mena-

han tawa, kali ini tampaknya tak bisa, hingga saat itu 

juga tawanya juga meledak membuat Dayang Naga

tubuhnya laksana dihantam gelombang dahsyat hing-

ga tersurut sampai empat tombak ke belakang. Paras 

wajahnya berubah seketika, sementara sepasang ma-

tanya membelalak hampir tak percaya. Meski tidak be-

radu anggota tubuh secara langsung, namun dari ben-

trokan pukulan jarak jauh tadi Dayang Naga Puspa 

memaklumi jika lawan adalah orang yang benar-benar 

berilmu tinggi. Ayunan tubuhnya saja telah mampu 

membuatnya terseret sampai empat tombak ke bela-

kang, serta dadanya berdenyut sakit!

Namun perempuan berjubah putih ini tak mau 

begitu larut dalam ketidak percayaan. Seraya sibakkan 

jubah putihnya dan meraih tombak hitam di pinggang 

kirinya, dia melompat keatas. Di atas udara, tubuhnya 

diputar. Mendadak tubuhnya lenyap dari pandangan. 

Sekejap kemudian, tubuhnya muncul dan melesat ke 

arah Gongging Baladewa dengan tombak mengarah 

pada kepala, sementara kakinya ditekuk sebatas lutut!

"Tombak Naga Puspa!" seru Gongging Baladewa 

tanpa menunjukkan rasa terkejut Sepasang bambu 

penyangganya dihentakkan di atas tanah. Tubuhnya 

melesat ke udara. Namun Dayang Naga Puspa tam-

paknya kerahkan seluruh tenaga dalamnya, hingga ge-

rakan tubuhnya begitu amat cepat. Hingga walau 

Gongging Baladewa melesat ke udara menghindar, tak 

urung pakaian bagian bawahnya yang menutup poton-

gan sepasang kakinya tersambar tombak hitam!

Breettt!

Pakaian bawah Gongging Baladewa langsung 

terbakar! Namun laki-laki ini tetap tak menunjukkan 

rasa terperangah. Malah begitu tombak lawan berhasil 

menyambar pakaian bawahnya, laki-laki ini menarik 

kedua bambunya ke belakang lalu diputar ke depan 

dengan cepatnya. 

Takk! Taakkk!

Dayang Naga Puspa memekik. Tangan kanan-

nya yang memegang Tombak Naga Puspa bergetar he-

bat tatkala bambu sebelah kanan Gongging Baladewa 

menghantam tepat pergelangan tangannya. Dan belum 

hilang suara pekikannya, bambu kiri laki-laki gemuk 

besar ini menyambar pinggangnya!

Dayang Naga Puspa merasa seolah pinggangnya 

dihantam batangan pohon besar, hingga tubuhnya ter-

suruk ke depan. Sejenak perempuan ini mencoba ke-

rahkan tenaga luar dalam untuk menahan agar tu-

buhnya tidak terjerembab dan pegangan pada tom-

baknya tidak terlepas. Namun dengan gerakan aneh, 

Gongging Baladewa mendarat dan serta-merta menu-

sukkan ujung bambu pada pantat Dayang Naga Puspa 

yang sedang menahan tubuhnya! Hingga membuat pe-

rempuan ini menjerit lagi dan tubuhnya semakin deras 

terseok ke depan, sebelum akhirnya menyungsup den-

gan wajah mencium tanah! Tombak di tangannya pun 

terlepas dan menggeletak di atas tanah!

Gongging Baladewa kibas-kibaskan pakaiannya 

yang terbakar dengan ujung bambunya. Sekilas dia 

tampak sedikit terkejut, karena bara yang ditimbulkan 

tombak lawan begitu cepatnya menjalar. Kalau saja la-

ki-laki ini tidak segera kibaskan bambunya, bukan tak 

mungkin anggota rahasianya akan terlihat jelas!

"Walah! Untung tidak sampai ke atas sedikit, 

kalau saja terlambat bergerak sedikit, anak tolol itu 

pasti akan menertawakanku!" gumam Gongging Ba-

ladewa seraya balikkan tubuh dan pandang Dayang 

Naga Puspa yang geser tubuhnya di atas tanah dan 

mengambil kembali tombak hitamnya.

"Gongging! Coba angkat saja sedikit pakaian 

bawahmu itu. Perempuan itu pasti tidak akan menye-

rangmu, malah dia akan melotot dan langsung tinggal-

kan tempat ini!" seru Pendekar Mata Keranjang 108

sambil terpingkal-pingkal.

"Anak kurang ajar! beraninya suruh orang tua 

tunjukkan senjata! Awas kau!" ujar Gongging Baladewa 

dengan pelototkan sepasang matanya. Namun, seben-

tar kemudian dari mulutnya terdengar ledakan ta-

wanya.

Di seberang, mendengar Pendekar 108 menye-

but laki-laki yang tadi mengaku Gondal-Gandul de-

ngan Gongging, paras muka Dayang Naga Puspa kon-

tan berubah. Perempuan ini, yang kini telah berdiri se-

raya pandangi Gongging Baladewa dan mengusap-usap 

pantatnya yang seolah ditusuk besi panas kernyitkan 

dahi.

"Gongging...? Di dunia persilatan hanya satu 

orang yang bernama Gongging. Apakah dia Gongging 

Baladewa? Seorang tokoh persilatan yang namanya 

pernah menyentak rimba persilatan pada beberapa pu-

luh tahun yang lalu? Peduli setan, dia Gondal-Gandul 

atau Gongging Baladewa!"

Dayang Naga Puspa lantas komat-kamit, sepa-

sang matanya terpejam. Lantas, didahului suara ben-

takan dahsyat, perempuan ini melesat ke depan. Na-

mun begitu satu tombak lagi di depan Gongging Bala-

dewa, tubuhnya berbelok ke samping. Dan serta-merta 

tubuhnya berputar-putar mengitari Gongging Balade-

wa yang tampak masih berdiri dengan kepala mendon-

gak.

Angin kencang menggemuruh tampak mengu-

rung Gongging Baladewa. Bahkan, karena dahsyatnya 

angin, perlahan-lahan tubuh Gongging Baladewa te-

rangkat ke atas! Sementara tubuh Dayang Naga Puspa 

seakan lenyap berganti dengan bayang-bayang yang 

berputar begitu cepat hingga sulit ditentukan yang 

mana sosok aslinya!

Tiba-tiba seberkas sinar hitam menyambar kearah perut Gongging Baladewa yang tubuhnya mengu-

dara akibat putaran angin.

Wuuttt!

Gongging Baladewa sentakkan bambu kecil di 

tangan kanannya. 

Weesss!

Praakkk! 

Taasss! 

Traakkk!

Terdengar benturan keras tatkala sisi tombak 

Dayang Naga Puspa beradu dengan bambu kecil pe-

nyangga tubuh Gongging Baladewa.

Dayang Naga Puspa terpekik. Tangannya berge-

tar hebat dan serasa hendak terpenggal. Sementara 

tubuhnya mental ke udara. Setelah membuat gerakan 

jumpalitan dua kali, akhirnya tubuh perempuan ini 

mendarat di atas tanah. Namun, perempuan berjubah 

putih ini tercekat. Karena kedua kakinya tiba-tiba 

goyah, dan tak lama kemudian tubuhnya jatuh terdu-

duk bersamaan dengan meliuknya kaki! Paras Dayang 

Naga Puspa tampak pucat pasi. Dia lantas memandang 

pada kakinya. Parasnya makin pias. Ternyata pada 

pergelangan kaki tampak larikan berwarna kebiruan 

seperti larikan bekas pukulan rotan!

"Jahanam! Aku tadi sepertinya tidak merasa ji-

ka bambu butut itu mengenai pergelangan kakiku! 

Hmm.... Kurasa untuk kali ini aku harus hentikan per-

tarungan ini. Waktu untuk membalas masih panjang! 

Aku harus mencari Dewi Kayangan...!" membatin Da-

yang Naga Puspa. Perempuan ini tampaknya maklum 

jika belum mampu untuk menandingi lawan. Hingga 

saat itu juga dia bangkit dan hendak berkelebat me-

ninggalkan tempat itu.

Namun gerakan Dayang Naga Puspa tertahan. 

Karena saat itu terdengar suara berdebum-debum

dengan selisih waktu agak panjang.

Mengira yang keluarkan suara debuman adalah 

Gongging Baladewa, Dayang Naga Puspa cepat paling-

kan wajah. Namun Gongging Baladewa terlihat diam 

berdiri dengan menggunakan bambu di sebelah kiri. 

Karena ternyata bambu penyangga tubuhnya sebelah 

kanan tampak patah dan kini tinggal setengah! Ini aki-

bat benturan keras dengan sisi tombak Dayang Naga 

Puspa.

Selagi Dayang Naga Puspa mencari-cari, dari 

semak belukar menerabas sesosok tubuh melangkah 

dengan terseok-seok. Anehnya, meski di sebelah semak 

belukar itu terdapat jalan setapak, namun sosok ini 

seakan tidak tahu. Dia melangkah melewati semak be-

lukar! Dan bersamaan dengan langkahnya yang ter-

seok-seok terdengar debuman dahsyat!

Pendekar Mata Keranjang 108 yang juga ikut 

mencari-cari, terperanjat dengan sepasang mata mem-

besar tak kesiap mengawasi pada sosok yang melang-

kah menerabas semak belukar. Lalu dari mulutnya 

terdengar seruan.

"Dewi Bayang-Bayang!"

Mendengar seruan, Gongging Baladewa yang 

sedari tadi juga menebak-nebak palingkan wajah. Mu-

lutnya menggumam sesuatu yang tak jelas. Kali ini 

Gongging Baladewa rupanya tak dapat sembunyikan 

perubahan pada wajahnya.

Sosok tubuh yang melangkah terseok-seok hen-

tikan langkah. Tubuhnya yang agak bungkuk dilu-

ruskan. Ternyata dia adalah seorang perempuan yang 

usianya agak lanjut. Rambutnya tipis putih dan kaku, 

serta disanggul ke atas. Karena tipis dan kakunya 

rambut, saat disanggul ke atas menyerupai tusuk 

konde. Mengenakan pakaian agak gombrang yang me-

nutup sekujur tubuhnya. Perempuan ini mengenakan

terompah besar berwarna hitam. Mungkin karena be-

sarnya terompah, hingga saat melangkah dia terseok-

seok seperti keberatan.

Kalau ada sumur di kubur, 

Aku akan ke sana sendiri. 

Ternyata umurku terulur, 

Hingga bisa bertemu lagi.

"Gonggong! Eeh, Gongging! Apa kabarmu...?! 

Lama kita tak jumpa, tampaknya kau masih suka 

bermain-main dengan perempuan!" berkata sosok pe-

rempuan yang baru datang dan bukan lain memang 

Dewi Bayang-Bayang.

Seraya berkata, bibir Dewi Bayang-Bayang terli-

hat mengumbar senyum. Padahal saat itu tak ada se-

suatu yang lucu. Dan sambil menunggu sambutan 

Gongging Baladewa, sepasang mata Dewi Bayang-

Bayang yang sipit ini memandang satu persatu pada 

Pendekar Mata Keranjang 108 lalu beralih pada Da-

yang Naga Puspa.

Pendekar 108 anggukkan kepala saat Dewi Ba-

yang-Bayang melihat ke arahnya, lalu bibirnya terse-

nyum, membuat Dewi Bayang-Bayang semakin lebar-

kan mulut untuk tersenyum.

"Arena rimba persilatan memang tak akan ter-

gelak-gelak jika tak ada orang-orang seperti ini! Tapi 

aku melihat perubahan pada paras muka Gondal-

Gandul saat melihat Dewi Bayang-Bayang. Ada apa...?" 

membatin Pendekar 108.

Sementara itu, melihat siapa adanya orang 

yang datang, Dayang Naga Puspa kernyitkan kening.

"Astaga! Bukankah perempuan ini manusia 

pengumbar senyum yang bergelar Dewi Bayang-Ba-

yang? Kakak dari Dewi Bunga Iblis...? Dan adik kan

dung dari Dewi Kayangan...? Orang yang kucari...?!" 

kata Dayang Naga Puspa dalam hati. Lalu dia mene-

ruskan kata hatinya.

"Aku akan bertahan sebentar di sini! Melihat 

perkembangan. Kalau nantinya keadaan tidak me-

mungkinkan, aku akan pergi! Siapa tahu Dewi Bayang-

Bayang punya urusan dengan Gongging Baladewa? Itu 

kesempatan bagiku! Tadi kulihat Gongging Baladewa 

berubah paras saat melihat kedatangan perempuan 

aneh ini!"

Sedangkan Gongging Baladewa yang mende-

ngar sapaan dari Dewi Bayang-Bayang tidak segera 

menyahuti. Dalam hati, sebenarnya Gongging Bala-

dewa berkata.

"Rayi Seroja! Kau dari dulu tampaknya tak me-

nunjukkan perubahan berarti. Tapi semoga saja kau 

bisa melupakan sesuatu yang pernah terjadi antara ki-

ta pada beberapa puluh tahun yang lalu! Aku sudah 

ingin berbaik-baik denganmu lagi! Apalagi aku sudah 

tua. Aku membutuhkan seorang pendamping.... Aku 

membutuhkan...."

Gongging Baladewa putuskan kata hatinya, ka-

rena saat itu Dewi Bayang-Bayang memperdengarkan 

suara.

"Kau, anak kurang ajar! Kenapa pula ada di si-

ni?! Apa kau ikut-ikutan temanmu itu mempermain-

kan perempuan? Atau kalian berdua sedang mempere-

butkannya...?!" sambil berkata dan tersenyum, pan-

dangan mata Dewi Bayang-Bayang menatap tajam 

Pendekar 108 lalu pada Gongging Baladewa.

Pendekar 108 tarik-tarik kuncir rambutnya. Dia 

tak bisa segera menjawab pertanyaan Dewi Bayang-

Bayang.

"Bagaimana aku harus menjawab...? Aku akan 

mendekat. Akan kubisiki saja. Tampaknya di antara

Dewi dan Gondal-Gandul ada masalah!" lalu pendekar 

murid Wong Agung ini bangkit dan melangkah ke arah 

Dewi Bayang-Bayang. Namun baru tiga langkahan ka-

ki, Dewi Bayang-Bayang telah berkata lagi.

"Aku tak suruh kau mendekat! Aku tanya pada-

mu...!"

"Rayi Seroja!" berkata Gongging Baladewa de-

ngan menyebut nama asli Dewi Bayang-Bayang. "Kau 

jangan terlalu berburuk sangka. Aku kebetulan lewat 

dan melihat anak kurang ajar itu sedang dihajar pe-

rempuan itu! Aku hendak menolongnya!"

Tanpa berpaling pada Gongging Baladewa, Dewi 

Bayang-Bayang berkata.

"Aku tak tanya padamu! Aku tanya pada dia!"

"Walah, ternyata benar. Antara kedua orang ini 

tampaknya ada masalah!" Pendekar 108 usap-usap hi-

dungnya. Sepasang matanya memandang silih berganti 

pada Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.

"Dewi! Betul apa yang dikatakan Gondal-

Gandul itu!"

Dewi Bayang-Bayang kernyitkan kening mende-

ngar ucapan Pendekar Mata Keranjang 108. Merasa 

ada yang salah pada ucapannya, Pendekar Mata Ke-

ranjang buru-buru menyambung.

"Maksudku Gongging Baladewa...!" seraya ber-

kata, Pendekar 108 coba menahan tawanya. Semen-

tara itu Gongging Baladewa membesarkan sepasang 

matanya.

"Anak edan! Tak tahu orang tua sedang dirun-

dung bingung! Tapi itu juga salahku sendiri. Kenapa 

aku tadi seenaknya saja menyebutkan nama Gondal-

Gandul!" Laki-laki tak berkaki ini lantas tertawa, 

membuat Aji ikut-ikutan keluarkan suara tawanya 

yang sejak tadi ditahan-tahan.

"Orang-orang sinting! Apa yang kalian tertawa

kan?!" bentak Dewi Bayang-Bayang. Anehnya, meski 

nada suaranya membentak, namun bibirnya terse-

nyum!

Pendekar 108 segera hentikan tawanya begitu 

mendengar bentakan Dewi Bayang-Bayang. Namun tak 

demikian halnya dengan Gongging Baladewa. Dia se-

makin keraskan tawanya, membuat Dewi Bayang-

Bayang geram.

"Tunggulah, Gondal-Gandul! Aku akan mena-

nyai perempuan itu dulu!"

Mendengar Dewi Bayang-Bayang ikut-ikutan 

menyebut Gongging Baladewa dengan Gondal-Gandul, 

Gongging Baladewa tambah keras tawanya, sementara 

Pendekar Mata Keranjang kembali keluarkan tawa.

"Sial! Kenapa aku ikut-ikutan...?" membatin 

Dewi Bayang-Bayang seraya tersenyum-senyum. Lalu 

alihkan pandangannya pada Dayang Naga Puspa.

"Apa benar yang diucapkan dua laki-laki sinting 

itu?!"

Meski sejak tadi menahan rasa geram mende-

ngar kata-kata Dewi Bayang-Bayang, namun Dayang 

Naga Puspa menjawab juga pertanyaan Dewi Bayang-

Bayang.

"Orang yang kuhormati dan kupanggil dengan 

Dewi Bayang-Bayang, ucapan kedua laki-laki itu men-

gada-ada! Yang terjadi sebenarnya adalah, Gondal-

Gandul itu mencoba memperkosaku! Lalu datang pe-

muda kurang ajar itu. Kukira dia hendak menolongku, 

nyatanya dia malah memegangi kedua kakiku agar 

Gondal-Gandul dapat melaksanakan kehendak bejat-

nya!"

"Dewi Bayang-Bayang! Jangan percaya ucapan-

nya! Itu fitnah!" teriak Pendekar 108 seraya melangkah 

maju mendekat.

"Sekali lagi melangkah, kubuat putus kakimu!

Tetap di tempatmu!" bentak Dewi Bayang-Bayang. Se-

pasang matanya yang sipit dipelototkan pada Pendekar 

108 dan Gongging Baladewa, dan sepasang mata itu 

semakin membelalak tatkala mendapati pakaian ba-

gian bawah Gongging Baladewa nampak robek dan 

hangus. Namun sesaat kemudian Dewi Bayang-Bayang 

alihkan kembali pandangannya pada Dayang Naga 

Puspa. Dan sambil tersenyum dia berkata.

"Aku sudah tua. Mataku telah rabun. Telingaku 

hampir tuli. Terima kasih kau bisa mengenaliku. Tapi 

maaf, bagiku mungkin sulit mengenali siapa dirimu. 

Kalau boleh tahu, siapakah kau...?"

Sejenak Dayang Naga Puspa menghela napas 

dalam-dalam. Sedangkan Pendekar Mata Keranjang 

108 dan Gongging Baladewa saling berpandangan satu 

sama lain.

"Orang-orang memanggilku dengan sebutan 

Dayang Naga Puspa!" jawab Dayang Naga Puspa seraya 

mengawasi terompah hitam Dewi Bayang-Bayang.

"Hmm.... Gelar bagus! Dengar, Dayang Naga 

Puspa, serahkan kedua laki-laki itu padaku. Biar aku 

yang jatuhkan hukuman pada mereka. Sekarang kau 

bisa tinggalkan tempat ini!"

Dayang Naga Puspa sepertinya tak puas dengan 

ucapan Dewi Bayang-Bayang, dia masih meragukan 

kata-kata perempuan berterompah besar ini.

"Dewi Bayang-Bayang! Karena aku yang menga-

lami, maka sudah sepantasnya jika aku yang menja-

tuhkan hukuman pada mereka. Namun demi meng-

hormati nama besarmu, aku harap kamu memberi ke-

leluasaan padaku untuk membawa pemuda kurang 

ajar itu! Biarlah untuk dia aku yang menjatuhkan hu-

kuman! Untuk satunya terserah kau!"

"Hmm.... Dia tampaknya tertarik sekali dengan 

anak geblek itu! Apa dia tahu tentang rahasia Arca

Dewi Bumi? Berarti kata-kata perempuan ini tak bisa 

dipercaya. Ada apa-apa di balik dia menginginkan 

anak geblek itu!" membatin Dewi Bayang-Bayang. Lalu 

berkata pada Dayang Naga Puspa.

"Wah, permintaanmu rasanya berat untuk ku-

terima. Kau mungkin tahu, aku adalah perempuan 

yang tak punya suami. Dan tak usah kukatakan, ba-

gaimana tak enaknya malam-malam sepi sendiri hanya 

berteman bintang bertabur di langit. Kalau dia men-

ginginkan dirimu, apa dia juga tak tertarik padaku...?!" 

seraya berkata Dewi Bayang-Bayang merapikan sang-

gulan rambutnya. Malah pinggulnya diliukkan ke ka-

nan dan ke kiri, lalu mengusap-usap wajahnya.

"Brengsek! Perempuan sundal tak tahu malu!" 

maki Dayang Naga Puspa dalam hati. Lalu dia mene-

ruskan.

"Menurut kabar yang kudengar, Dewi Bayang-

Bayang adalah tokoh yang ilmunya sukar untuk di-

ukur. Hmm... apa boleh buat. Keinginanku harus ter-

tunda! Tapi ada baiknya aku minta yang seperti gajah 

itu!" lalu Dayang Naga Puspa berkata.

"Jika itu maumu, apa hendak dikata. Hasrat 

kalau terlalu lama dipendam memang bikin pusing ke-

pala. Lantas bagaimana kalau yang Gondal-Gandul sa-

ja?"

Dewi Bayang-Bayang luruskan tubuh. Bibirnya 

tersenyum.

"Wah, itu juga sepertinya tak bisa kupenuhi. 

Kau mungkin tahu, pada malam hari aku tidur di 

sembarang tempat. Dan tak usah kuceritakan bagai-

mana gelisahnya tidur hanya berselimut awan di lan-

git. Dia bertubuh gemuk besar, kukira dia bisa untuk 

menahan dinginnya angin malam, hingga tidurku bisa 

ngorok...! Jadi, aku tak bisa penuhi permintaanmu!"

"Anjing keparat! Kalau saja tak ada laki-laki itu,

dan aku tak sedang terluka, aku akan mengadu jiwa 

denganmu!" kembali Dayang Naga Puspa memaki da-

lam hati.

Sementara itu, mendengar tawar-menawar an-

tara Dewi Bayang-Bayang, dan Dayang Naga Puspa, 

baik Pendekar 108 atau Gongging Baladewa tekapkan 

telapak tangan masing-masing ke mulut, menahan 

agar suara tawanya tidak terdengar keluar.

Mendadak Dewi Bayang-Bayang dongakkan ke-

pala memandang langit.

"Astaga! Rupanya sebentar lagi hari akan ma-

lam. Nah, Dayang Naga Puspa. Kuharap kau suka me-

ninggalkan tempat ini. Hari akan gelap. Itu adalah 

saat-saat yang paling kunantikan. Atau kau suka me-

lihat aku beraksi...?!"

"Perempuan sundal! Perempuan jorok! Perem-

puan gila nafsu!" maki Dayang Naga Puspa dalam hati.

Mungkin karena merasa tak sanggup mengha-

dapi Dewi Bayang-Bayang apalagi jika nanti dibantu 

Gongging Baladewa, akhirnya Dayang Naga Puspa 

memutuskan meninggalkan tempat itu.

"Dewi Bayang-Bayang! Hari ini kau beruntung 

mendapatkan kedua laki-laki itu. Namun ingat! Per-

soalan ini tak hanya sampai di sini. Bahkan suatu hari 

kelak, kau juga harus mendapatkan hukuman, karena 

berani turut campur urusanku!" Habis berkata begitu, 

Dayang Naga Puspa balikkan tubuh dan berkelebat 

meninggalkan tempat itu.

Dewi Bayang-Bayang pandangi kepergian Da-

yang Naga Puspa. Lalu berteriak agak keras.

"Kepastian kata-katamu kutunggu! Dan kalau 

bisa bawakan sekalian beberapa pemuda untuk seli-

mut malam! Hik... hik... hik...!"

Begitu sosok Dayang Naga Puspa lenyap, masih 

sambil tertawa Dewi Bayang-Bayang arahkan pandan

gannya pada Gongging Baladewa.

***

DELAPAN


MENDADAK tawa Dewi Bayang-Bayang lenyap. 

Sepasang matanya membeliak tak kesiap. Pelipisnya 

bergerak-gerak, sementara dagunya sedikit terangkat. 

Namun kemudian wajahnya telah berubah kembali 

dengan senyum tersungging. Mulutnya membuka dan 

memperdengarkan suara.

"Gongging! Bertahun aku mengharapkan berte-

mu denganmu. Namun baru hari ini harapanku terpe-

nuhi. Kau tentunya tahu apa yang hendak kuminta 

darimu! Dan kau juga tentunya sudah siap!"

Ada keanehan waktu Dewi Bayang-Bayang ber-

kata, yakni walau suaranya terdengar garang, namun 

bibirnya tetap menyunggingkan senyum.

Mendengar ucapan Dewi Bayang-Bayang, 

Gongging Baladewa yang sedari tadi tampaknya meng-

hindari tatapan Dewi Bayang-Bayang, menghela napas 

dalam-dalam. Untuk beberapa saat lamanya laki-laki 

tak berkaki ini terdiam. Sementara Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 tarik-tarik kuncir rambutnya seraya ber-

kata dalam hati.

"Dugaanku tidak meleset. Di antara dua orang 

ini ada masalah! Wah, dalam hal ini aku tak bisa ber-

buat banyak! Keduanya adalah orang-orang yang su-

dah kuanggap sebagai guruku. Lagi pula aku belum 

tahu masalahnya...."

"Bagaimana, Gongging? kau sudah siap...?!" ka-

ta Dewi Bayang-Bayang setelah ditunggu agak lama 

Gongging Baladewa tetap diam tak keluarkan sepatah

kata pun. Hanya helaan napasnya yang terdengar be-

berapa kali seakan menyatakan rasa tidak mengerti 

dan menyesal. Tapi pada akhirnya Gongging Baladewa 

berkata. 

"Rayi Seroja! Ternyata apa yang kuharapkan se-

lama ini tak akan jadi kenyataan. Kau tahu, selama ini 

aku pun mengharapkan bertemu denganmu! Lebih da-

ri itu, aku punya keinginan untuk berbaik-baikan den-

ganmu lagi!"

Rayi Seroja atau Dewi Bayang-Bayang tertawa 

mengekeh.

"Gongging! Kuburlah keinginanmu itu bersama 

terkuburnya tubuhmu!"

Gongging Baladewa kembali tampak menghela 

napas dalam-dalam. Kepalanya menggeleng perlahan. 

Dalam hati dia berkata.

"Rayi Seroja! Ah, nyatanya kau tak berubah. 

Hatimu tetap setangguh karang. Sifatmu tetap sega-

rang singa! Kau tetap menduga wanita yang bersama-

ku itu adalah kekasihku. Dan kau tak mungkin lagi bi-

sa dijelaskan! Kalau kau memang ingin membalas sa-

kit hatimu, aku pun rela...," lalu Gongging Baladewa 

melanjutkan. "Rayi Seroja. Baiklah, kalau kau ingin 

menguburku, aku pun tak akan melakukan perlawa-

nan. Itu sebagai tebusan atas dosa-dosaku padamu!"

Dewi Bayang-Bayang tersenyum lebar.

"Gongging! Ternyata kau telah berubah jadi la-

ki-laki pengecut! Sungguh memalukan!"

Gongging Baladewa hanya bisa menghela napas 

panjang. Dengan melirik dia berkata.

"Rayi, aku tidak berubah! Hal ini semata-mata 

karena aku menuruti permintaanmu! Meski yang se-

benarnya terjadi adalah kau salah paham! Perempuan 

yang bersamaku itu adalah adik seperguruanku!"

Dewi Bayang-Bayang tertawa mengekeh.

"Apakah kata-katamu hanya untuk menutupi 

kelakuan busukmu di hadapan anak tolol itu? Dengan 

adik seperguruan bisa berlaku sedemikian mesra?" se-

raya berkata, Dewi Bayang-Bayang arahkan pan-

dangannya pada Pendekar Mata Keranjang, lalu se-

pasang matanya yang sipit berputar memperhatikan 

sekeliling.

Gongging Baladewa gelengkan kepalanya per-

lahan.

"Rayi Seroja, kau keliru! Aku sedang mengobati 

luka di tubuhnya ketika itu. Dan aku tidak berbuat 

apa pun terhadapnya. Hanya kau salah paham dalam 

melihat kejadian itu!"

Senyum Dewi Bayang-Bayang terulas. Namun 

senyum sinis.

"Dasar pengecut! Kau masih saja mengulangi 

kata-kata tak sedap itu! Kau dengar! Apa pun alasan 

yang kau kemukakan, itu tak akan merubah maksud-

ku untuk menguburmu!"

"Gawat! Masalah mereka tampaknya begitu da-

lam, hingga sampai menjurus ke soal kubur-

mengubur...?!" membatin Aji dengan masih tak berani 

membuka suara.

"Rayi Seroja! Tadi sudah kukatakan, kalau kau 

ingin menguburku silakan. Namun ada satu hal yang 

ingin kutanyakan...."

"Kuberi kesempatan kau untuk bertanya!" sa-

hut Dewi Bayang-Bayang.

"Apa dengan kematianku kau mendapatkan ke-

puasan?!"

Sejenak Dewi Bayang-Bayang terdiam. Sepa-

sang matanya menyengat tajam memandangi Gongging 

Baladewa yang saat itu tidak melihat padanya.

"Kau dengar kata-kataku, Rayi Seroja! Jawab-

lah! Kalau ya, lakukanlah kehendakmu. Jika tidak,

untuk apa dendam itu terus kau simpan? Padahal aku 

telah mengaku bersalah padamu, dan ini hanyalah sa-

lah paham!"

"Gongging Baladewa!" kata Dewi Bayang-Ba-

yang setelah terdiam agak lama. "Dalam hidupku, se-

menjak kisah beberapa puluh tahun itu terjadi, hanya 

ada dua tujuan! Pertama, menegakkan kebenaran da-

lam rimba persilatan. Ini untuk menebus kesalahanku 

pada waktu lalu yang berkomplot dengan orang-orang 

sesat! Kedua, mengubur jasadmu dengan tanganku 

sendiri! Karena kau telah menyalahgunakan keper-

cayaan dan cinta suciku!"

Mendengar penuturan Dewi Bayang-Bayang, 

Pendekar 108 tercengang. Segala teka-teki yang me-

landa hatinya jelas sudah. Dalam hati dia berkata. 

"Masalah cinta!? Cinta ternyata mampu membuat 

orang untuk berbuat apa saja, termasuk mengubur 

kekasihnya! Benar-benar gila itu namanya cinta...!"

"Rayi Seroja! Aku sangat gembira sekali mende-

ngar ucapanmu. Namun itu bukan jawaban dari per-

tanyaanku tadi...! Apa kau merasa akan mendapat ke-

puasan dengan kematianku?!" ulang Gongging Bala-

dewa.

Dewi Bayang-Bayang menyeringai. Lalu tertawa 

mengekeh.

"Hanya orang bodoh yang tak merasa puas de-

ngan tercapainya apa yang dikehendaki!"

"Hm... begitu? Baiklah. Hanya kuingatkan pa-

damu. Seseorang baru akan terasa begitu sangat be-

rarti jika orang itu telah tiada! Semoga aku bukanlah 

orang yang begitu berarti bagimu baik selama ini mau-

pun setelah tiada! Lakukanlah!"

Dewi Bayang-Bayang sejenak seperti terhenyak 

dengan kata-kata Gongging Baladewa. Hingga untuk 

beberapa saat perempuan berterompah besar ini hanya

memandangi Gongging Baladewa. Dia tampak dibung-

kus kebimbangan.

"Dewi!" Aji memberanikan diri angkat bicara se-

telah agak lama di antara Dewi Bayang-Bayang dan 

Gongging Baladewa saling diam.

"Maafkan jika aku ikut bicara. Semua ini sema-

ta-mata demi kebaikan...."

Sejurus Pendekar 108 menghentikan ucapan-

nya. Dia ingin melihat sambutan Dewi Bayang-Bayang 

yang sedang diamuk amarah. Begitu dilihatnya Dewi 

Bayang-Bayang diam tak menyambuti, Pendekar 108 

lanjutkan ucapannya.

"Apa yang dikatakan Gongging Baladewa benar. 

Untuk apa dendam terus-terusan disimpan. Toh, dia 

telah mengaku salah!"

Sepasang mata Dewi Bayang-Bayang meman-

dang lurus-lurus pada Pendekar Mata keranjang.

"Anak ingusan! Kau membela dia?!" bentak De-

wi Bayang-Bayang dengan bibir tersenyum sinis.

"Maaf, Dewi. Aku tidak membela siapa-siapa. 

Soal pengalaman asam garam dunia mungkin kau le-

bih matang, namun aku yakin tak ada persoalan yang 

tak bisa diselesaikan dengan jalan baik-baik. Dan aku 

percaya. Semua orang rimba persilatan akan merasa 

kehilangan jika Gongging benar-benar mati di tangan-

mu. Lebih-lebih kau tentunya!"

"Kurang ajar! Kau mengguruiku?!"

Pendekar Mata Keranjang 108 tak segera men-

jawab. Dipandanginya Dewi Bayang-Bayang dengan 

pandangan tak mengerti. Saat itulah tiba-tiba Gong-

ging menyela.

"Rayi Seroja. Ucapan anak ingusan itu betul! 

Tak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan. Dan 

yang harus kau ketahui, sampai sekarang pun aku 

masih mencintaimu!"

Paras Dewi Bayang-Bayang seketika berubah. 

Keningnya mengernyit. Sikapnya seperti orang salah 

tingkah.

"Dia mengatakan masih mencintaiku...? Apa ini 

bukan akal bulusnya saja untuk menghindari kema-

tiannya di tanganku...?"

"Nah, Dewi. Gongging Baladewa telah mengata-

kan masih mencintaimu. Apa kau tega menurunkan 

tangan maut pada orang yang mencintaimu? Dan me-

lihat perubahan padamu, maaf, kau pun tampaknya 

masih menyayanginya! Tunggu apa lagi?"

"Anak ini benar-benar kurang ajar! Tapi kata-

katanya ada benarnya juga...," membatin Dewi 

Bayang-Bayang dengan rona merah semakin meraupi 

parasnya. Sementara Gongging Baladewa tampak mu-

lai bisa tersenyum. Malah kerdipkan sebelah matanya 

pada Pendekar Mata Keranjang 108. Yang dikerdipi ba-

las mengerdip sambil menahan tawa, malah memberi 

isyarat agar Gongging Baladewa mendekati Dewi 

Bayang-Bayang.

Meski dengan perasaan yang masih dilanda ke-

bimbangan, Gongging Baladewa akhirnya melangkah 

mendekati Dewi Bayang-Bayang. Yang didekati hanya 

lirikkan sepasang matanya tanpa berusaha untuk 

menghindar atau keluarkan ucapan yang mencegah, 

membuat Gongging Baladewa meneruskan langkah.

"Rayi Seroja," panggil Gongging begitu agak de-

kat. "Percayalah. Perempuan yang bersamaku dulu 

adalah adik seperguruanku! Dan kuharap kau mau 

memaafkan sikapku yang membuatmu jadi salah pa-

ham, sekarang, untukmu kuserahkan segalanya...," 

seraya berkata, Gongging Baladewa tundukkan ke-

palanya seperti orang memberi hormat.

Dewi Bayang-Bayang laksana dicekat tenggoro-

kannya, hingga untuk beberapa lama dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Setelah memejamkan sepa-

sang matanya yang ternyata tampak berkaca-kaca, 

akhirnya dia berkata-kata.

"Gongging.... Aku pun minta maaf atas sikapku 

yang selama ini seperti anak-anak!"

Mendengar ucapan kedua orang ini, mau tak 

mau Pendekar 108 tak dapat lagi menahan gelak ta-

wanya.

"Kata orang-orang tua benar adanya, bahwa ba-

dai pasti berlalu! Dan, masih ada gerobak sapi tera-

khir!" katanya di sela tawa.

Gongging dan Dewi Bayang-Bayang sama-sama 

palingkan wajah ke arah Pendekar Mata Keranjang

108. Paras kedua orang ini sama-sama merah saga. 

Malah Dewi Bayang-Bayang tampak komat-kamitkan 

mulut seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun 

hingga lama tak ada terdengar suara dari mulutnya. 

Sedangkan Gongging hanya mendelik dengan bibir se-

nyum-senyum.

"Rayi Seroja! Sebenarnya kau hendak ke ma-

na?" tanya Gongging setelah ketiganya tidak ada yang 

buka suara.

"Anak kurang ajar ini. Setelah kepergiannya, 

aku merasa tidak enak. Lalu aku mengejarnya. Ternya-

ta dugaanku tidak meleset! Dan kau sendiri...?"

"Aku kebetulan lewat, dan kulihat anak ingu-

san ini sedang main guling-gulingan dengan Sarpake-

naka. Lagi pula aku sebenarnya memang mencari anak 

ini, karena kabar tentang Arca Dewi Bumi rupanya te-

lah menggegerkan rimba persilatan. Aku berharap dia 

yang bisa menyelamatkan arca itu!"

Dewi Bayang-Bayang angguk-anggukkan kepa-

la. Bibirnya kini terus mengumbar senyum, entah ka-

rena senang dapat jumpa lagi dengan Gongging Ba-

ladewa atau memang itu sifat kebiasaannya.

"Anak kurang ajar! Kau telah dengar kata-kata 

orang. Berarti kau harus mengerti, bahwa orang-orang 

menaruh harapan besar agar kaulah satu-satunya 

manusia yang dapat menyelamatkan arca itu! Jangan 

kau kecewakan harapan orang banyak!"

"Aku mengerti, Dewi, Gongging! Dan aku tak 

akan menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberi-

kan padaku!"

"Bagus! Aku gembira kau sadar akan hal itu!" 

ujar Gongging Baladewa. Lalu kepala ditengadah-

kannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu, na-

mun diurungkan. Sementara itu, Dewi Bayang-Bayang 

pun dongakkan kepalanya. Seperti Gongging, perem-

puan berterompah besar ini pun seperti hendak 

ucapkan sesuatu, namun diurungkan juga.

Melihat sikap kedua orang ini, Pendekar 108 

kernyitkan kening. Seolah ingin melihat apa yang ada 

di atas dan membuat kedua orang di hadapannya 

urungkan niat untuk ucapkan kata-kata, Pendekar 

108 pun tengadahkan kepala.

Saat itu rembang petang memang telah turun 

melingkupi pelataran bumi. Pancaran sinar mentari te-

lah terkikis oleh gelapnya malam yang menjelang.

"Astaga! Rupanya malam telah menjelang. 

Hm.... Aku mengerti sekarang. Mereka sebenarnya 

hendak menyuruhku untuk melanjutkan perjalanan, 

namun tampaknya mereka tak sampai hati...! Mungkin 

mereka masih menganggapku berjasa menengahi ma-

salah mereka. Padahal.... He... he... he...!"

Pendekar Mata Keranjang 108 lantas arahkan 

pandangannya pada Gongging dan Dewi Bayang-

Bayang.

"Gongging, Dewi! Aku akan melanjutkan perja-

lananku sekarang...!"

Masih sambil tengadah Gongging Baladewa

berkata.

"Ah, nyatanya kau pintar. Sebelum diusir telah 

berpamitan...!"

"Betul! Sebelum mendapat malu memang se-

baiknya segera tinggalkan tempat ini...!" sambung Dewi 

Bayang-Bayang dengan bibir tetap tersenyum.

"Sialan! Mereka tampaknya mengerjai diriku! 

Hm...," kata Aji dalam hati. Lalu berkata.

"Sebelum aku pergi menunaikan tugas, ada sa-

tu permintaanku. Kuharap kalian tak menolak!"

Gongging Baladewa dan Dewi Bayang-Bayang 

sama-sama luruskan kepalanya. Kedua orang ini sa-

ling berpandangan. Mungkin entah karena ingin segera 

agar Pendekar 108 meninggalkan tempat itu, Dewi 

Bayang-Bayang memberi isyarat dengan anggukan ke-

palanya pada Gongging Baladewa.

"Kau benar-benar anak kurang ajar! Lekas ka-

takan apa permintaanmu!" bentak Gongging Baladewa. 

Meski membentak, namun bibirnya sedikit mengulas 

senyum.

Pendekar 108 tampak menahan tawa. Lalu ber-

kata.

"Untuk menentramkan hatiku. Aku ingin meli-

hat kepergian kalian berdua dengan mata dan kepala-

ku. Ini untuk menyaksikan bahwa di antara kalian 

berdua memang tak ada masalah lagi..."

"Kurang ajar!" maki Dewi Bayang-Bayang de-

ngan rona memerah. Sementara Gongging Baladewa 

pun tak ketinggalan memaki. "Kau benar-benar anak 

geblek!"

"Kalau kalian tak mau memenuhi permintaan-

ku, aku pun tak akan tinggalkan tempat ini!" kata Pen-

dekar 108 masih dengan coba menahan tawanya. Se-

benarnya Pendekar 108 hanya ingin bercanda dengan 

ucapannya itu, karena kalau pun permintaannya tak

dipenuhi dia akan segera tinggalkan tempat itu.

Sejurus kembali Dewi Bayang-Bayang dan 

Gongging Baladewa saling pandang.

"Dia sedikit banyak telah berjasa pada kita. Apa 

salahnya kali ini kita turuti permintaannya? Lagi pula 

aku sudah kangen jalan-jalan denganmu! Ayo...!" bisik 

Gongging Baladewa.

Dewi Bayang-Bayang sejenak masih pandangi 

laki-laki gemuk kekasihnya itu, lalu beralih pada Pen-

dekar Mata Keranjang yang mengawasinya dengan 

menahan tawa.

"Anak edan! Awas kau. Suatu saat kau pasti 

kukerjai lebih dari ini...!" ujar Dewi Bayang-Bayang 

perlahan tanpa bisa didengar Pendekar 108. Lalu de-

ngan senyum menyungging tubuhnya berbalik dan me-

langkah menjajari Gongging yang ternyata telah men-

dahului.

Begitu dilihatnya Dewi Bayang-Bayang ada 

menjajari langkahnya, Gongging ulurkan tangan hen-

dak menggandeng tangan Dewi Bayang-Bayang. Na-

mun Dewi Bayang-Bayang segera tepiskan tangan 

Gongging Baladewa.

"Kau jangan berbuat yang tidak-tidak di sini! 

Anak kurang ajar itu masih mengawasi kita...!"

"Ha... ha... ha.... Dasar perempuan. Di hadapan 

orang malu, tak ada orang mau!"

Habis berkata begitu, dengan gerakan cepat ta-

ngan Gongging Baladewa menyambar tangan kanan 

Dewi Bayang-Bayang. Sebentar Dewi Bayang-Bayang 

nampak berontak, namun tak lama kemudian diam 

dalam pegangan tangan Gongging Baladewa.

"Cinta.... Oh, cinta.... Segalanya memang jadi 

indah bila dilandanya. Tak peduli siapa dan di mana 

orang itu...!" gumam Pendekar Mata keranjang 108 

dengan tertawa tergelak-gelak melihat tingkah Dewi

Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa.

Namun tiba-tiba saja pendekar murid Wong 

Agung ini terperangah. Sosok Gongging Baladewa dan 

Dewi Bayang-Bayang lenyap dari pandangannya. Yang 

terdengar kini hanyalah debuman bersahut-sahutan 

yang makin lama menjauh sebelum akhirnya lenyap 

dari pendengaran.

***

SEMBILAN


SANG Surya baru saja merambat dari titik ti-

durnya. Titik-titik embun perlahan menguap lalu sirna 

tak berbekas. Nun jauh di sebelah utara, tepatnya di 

kaki Gunung Arjuna, seorang pemuda berbaju hijau 

yang bukan lain Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 

tampak berdiri seraya pandangi julangan gunung yang 

masih diselimuti awan kelabu.

Sejak berpisah dengan Dewi Bayang-Bayang 

dan Gongging Baladewa beberapa hari lalu, Pendekar 

108 memang meneruskan perjalanan untuk mencari 

daerah Bajul Mati. Dan menurut beberapa orang yang 

ditanyai, Pendekar 108 mendapat penjelasan bahwa 

daerah itu ada di sebelah barat Gunung Arjuna.

Merasa begitu pentingnya perjalanan ini, Pen-

dekar Mata Keranjang sengaja menuju Gunung Arjuna 

dengan jalan berputar. Hingga seandainya ditempuh 

dengan jalan tanpa berputar hanya memakan waktu 

dua hari dua malam, kali ini Aji baru sampai kaki gu-

nung setelah melakukan perjalanan tiga hari tiga ma-

lam.

Namun kenyataanya, meski Pendekar 108 telah 

menempuh perjalanan yang berputar-putar, dia masih

merasa diikuti seseorang. Yang membuat murid Wong 

Agung ini tampak kesal dan geram, setiap kali dia me-

lakukan penjebakan untuk memergoki sekaligus men-

getahui siapa adanya orang yang mengikuti perjala-

nannya, orang yang akan dijebak seolah tahu dan begi-

tu saja menghilang laksana masuk ke dasar bumi.

"Sialan betul! Siapa sebenarnya orang yang se-

lalu mengikutiku ini...? Dia memiliki ilmu tinggi. Ge-

rakannya selalu lebih cepat dari gerakanku yang men-

coba menjebaknya! Terpaksa aku harus menunda dulu 

perjalananku sampai dapat kupastikan siapa adanya 

orang ini!" membatin murid Wong Agung ini seraya 

pandangi Gunung Arjuna yang perlahan-lahan me-

nampakkan diri seiring lenyapnya kabut yang mem-

bungkus. Meski sepasang mata Pendekar 108 meman-

dangi puncak gunung, namun telinganya dipasang 

baik-baik. Malah tak jarang ekor matanya menerabas 

tempat di sekitarnya.

Pendekar 108 menduga bahwa yang mengiku-

tinya saat itu adalah Dayang Naga Puspa atau Dewi 

Bayang-Bayang bersama Gongging Baladewa. Dugaan 

itu muncul karena Dayang Naga Puspa jelas-jelas ingin 

mengetahui siapa sebenarnya Pendekar Mata Keran-

jang 108. Sementara dugaan pada Dewi Bayang-

Bayang dan Gongging Baladewa mungkin kedua orang 

ini masih mengkhawatirkan ada halangan yang bakal 

ditemui murid Wong Agung dalam perjalanannya.

"Edan betul orang ini!" maki Pendekar 108 sete-

lah sekian lama ditunggu tak juga ada tanda-tanda 

orang yang mengikutinya unjuk diri.

"Bagaimana aku harus menjebaknya...?" gu-

mam Aji seraya kernyitkan dahi mencari jalan untuk 

menjebak orang yang selalu mengikuti perjalanannya.

Selagi murid Wong Agung ini putar otak, men-

dadak dari arah belakang terdengar suara tawa nyaring. Sigap, murid Wong Agung ini segera alirkan tenaga 

dalamnya pada kedua tangan, dan serta-merta balik-

kan tubuh dengan tangan siap kirimkan pukulan. Aji 

merasa perjalanannya kali ini amat rahasia, hingga tak 

seorang pun boleh mengetahuinya.

Namun begitu berbalik, Pendekar Mata Keran-

jang 108 terperangah kaget, tak seorang pun terlihat.

Bahkan daun dan semak belukar pun tidak ada 

yang bergerak akibat baru saja diinjak orang!

"Sialan! Dia tampaknya sengaja mempermain-

kan diriku!"

Selagi Pendekar 108 terbengong, kembali terde-

ngar tawa nyaring dari arah belakangnya. Kembali mu-

rid Wong Agung balikkan tubuh. Namun lagi-lagi ma-

tanya tak menemukan seseorang!

Karena merasa jengkel dipermainkan, Pendekar 

108 tengadahkan kepala dan berkata lantang.

"Siapa pun adanya kau, kalau tak mau disebut 

seorang pengecut, tunjukkan dirimu!"

Bersamaan dengan lenyapnya suara Pendekar 

108, sesosok bayangan terlihat melayang turun dari 

sebuah pohon tak jauh dari tempat Pendekar 108 ber-

diri.

"Kau...!" seru Pendekar Mata Keranjang setelah 

sosok itu berdiri tepat lima langkah di hadapannya. 

Bulu kuduk Pendekar dari Karang Langit ini serta-

merta berdiri. Malah di kejap itu juga kakinya tersurut 

dua langkah ke belakang.

"Anak keparat! Ke mana langkahmu pergi, jan-

gan harap bisa lolos dari pengawasanku!" bentak sosok 

di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108 dengan se-

pasang mata tak berkedip.

"Dayang Naga Puspa! Apa maumu sebenar-

nya...?!"

Sosok di hadapan Pendekar 108 yang bukan

lain memang Dayang Naga Puspa adanya, keluarkan 

tawa mengekeh panjang.

"Aku hanya ingin mengetahui siapa kau sebe-

narnya!"

"Itu sudah kukatakan padamu!"

"Anak tolol! Dengar baik-baik! Aku ingin tahu 

apakah di tubuhmu ada sesuatu yang kuinginkan!" ka-

ta Dayang Naga Puspa masih dengan tak alihkan pan-

dangan matanya.

"Jangkrik! Rupanya dia telah tahu banyak ten-

tang rahasia Arca Dewi Bumi. Aku harus hati-hati!" 

membatin Pendekar 108. "Aku harus dapat memper-

mainkan dia. Lalu pergi jauh-jauh. Terlalu banyak re-

siko meladeni orang seperti dia. Tapi kalau keadaan ti-

dak memungkinkan, apa boleh buat. Mengadu jiwa 

pun jadilah...!" Lalu murid Wong Agung ini berkata se-

raya senyum-senyum.

"Dayang Naga Puspa! Meski aku anak tolol, na-

mun aku dapat menebak arah bicaramu. Sesuatu yang 

kau inginkan di tubuhku sudah pasti kupunya. Na-

mun sayang sekali, sesuatu itu tidak boleh kau ambil! 

Kalau cuma pegang-pegang saja silakan.... Tapi dengan 

syarat, jangan diremas apalagi dipencet-pencet!"

Ucapan Pendekar 108 membuat perempuan di 

hadapannya yang masih berwajah cantik ini merah 

mengelam parasnya. Sepasang matanya semakin 

membelalak. Mulutnya komat-kamit memperdengar-

kan suara yang tak jelas. Namun dapat ditebak jika 

perempuan ini sedang marah besar.

"Mulutmu ternyata sama saja dengan laki-laki 

lainnya! Jorok dan memandang rendah perempuan! 

Cepat mendekat dan jangan coba-coba bergerak sela-

ma aku mencari sesuatu itu!"

"Dayang Naga Puspa! Kau terlalu berpura-pura 

rupanya. Kau telah tahu letaknya barang yang kau cari. Kau tak usah mencari-cari lagi! Dan, seharusnyalah 

kau yang mendekat ke arahku! Bukankah kau yang 

menginginkan barang itu...?!"

"Setan alas! Tampaknya kau sengaja mengalih-

kan pembicaraan dan mempermainkan aku! Terimalah 

ganjarannya!" teriak Dayang Naga Puspa. Tangannya 

serta-merta didorong ke depan!

Pendekar Mata Keranjang 108 yang walau se-

ngaja mempermainkan Dayang Naga Puspa tapi ke-

waspadaannya tak mengendor, segera melompat ke 

samping. Dari arah samping kedua tangannya pun ce-

pat menyentak memapak serangan lawan.

Deeesss!

Dua pukulan yang sama-sama dialiri tenaga 

dalam bentrok di udara. Tubuh Dayang Naga Puspa 

tampak sedikit terhuyung-huyung. Tapi setelah pe-

rempuan ini kerahkan tenaga dalam untuk menahan 

huyungan tubuhnya, dia segera tegak kembali dengan 

kokohnya. Pendekar 108 sendiri tampak tersurut satu 

langkah ke belakang.

Dalam menghadapi Pendekar Mata Keranjang 

108, Dayang Naga Puspa tampaknya tak berani kelu-

arkan segenap tenaga dalamnya. Hal ini bisa dimak-

lumi karena perempuan ini masih penasaran ingin 

menyelidiki apakah Aji benar-benar orang yang di tu-

buhnya terdapat guratan angka 108 sebagai salah satu 

syarat orang yang kelak akan dapat mengambil Arca 

Dewi Bumi. Dan hal ini diam-diam disadari murid 

Wong Agung, hingga dia merasa sedikit lega meski si-

kap waspada tak hendak dikesampingkan.

"Jahanam! Aku serba salah dalam menghadapi 

anak ini! Kalau aku berlaku keras, dan ternyata dia 

memang orangnya, maka segala impianku menda-

patkan arca itu hanyalah angan-angan kosong! Jika ti-

dak berlaku keras, anak ini rupanya membandel!"

membatin Dayang Naga Puspa seraya gelengkan ke-

palanya perlahan.

"Dia mungkin tak akan bersungguh-sungguh 

dalam menghadapiku. Karena dia khawatir aku cedera! 

Ini kesempatan yang harus dapat kupergunakan!" 

membatin Pendekar Mata Keranjang setelah sekilas 

melihat serangan Dayang Naga Puspa.

"Dayang Naga Puspa!" kata Pendekar Mata Ke-

ranjang pada akhirnya setelah dilihatnya Dayang Naga 

Puspa diam tak melakukan apa-apa. "Tampaknya kau 

hanya bergurau, sementara aku ada pekerjaan yang 

harus segera kuselesaikan. Selamat tinggal!" Pendekar 

108 lantas balikkan tubuh hendak berkelebat. Namun 

gerakannya tertahan, karena tahu-tahu Dayang Naga 

Puspa telah ada di sampingnya dan pukulkan tangan 

kanannya pada kepala Pendekar 108.

Wuuttt!

Karena tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar 

108 untuk menghindari pukulan tangan Dayang Naga 

Puspa, Pendekar Mata Keranjang 108 segera angkat 

tangan kirinya sementara tangan kanannya siap ki-

rimkan pukulan susulan.

Bukkk!

Tubuh Pendekar 108 tiba-tiba laksana dihan-

tam batangan pohon besar. Ternyata murid Wong 

Agung ini salah perhitungan. Karena bersamaan den-

gan kirimkan pukulan tangan kanan, kaki kanan 

Dayang Naga Puspa juga bergerak menghantam. Hing-

ga tanpa bisa dielakkan lagi tubuh Pendekar 108 lan-

tas meliuk dan jatuh di atas tanah!

Namun sebelum tubuh Pendekar 108 benar-be-

nar jatuh, murid Wong Agung ini masih sempat ki-

rimkan serangan dengan sentakkan tangan kanannya.

Dayang Naga Puspa yang tidak menduga, sedi-

kit terkejut. Namun kesadarannya terlambat. Hingga

sebelum dia bergerak untuk menghindar, pukulan ja-

rak jauh Pendekar Mata Keranjang 108 telah meng-

hantam pundaknya!

Desss!

Terdengar seruan tertahan dari mulut Dayang 

Naga Puspa. Tubuhnya terjengkang dan jatuh terdu-

duk juga di atas tanah!

"Jahanam rendah! Rupanya kau tak bisa diajak 

baik-baik!" teriak Dayang Naga Puspa seraya bangkit. 

Keinginannya semula yang tidak akan mencederai 

Pendekar 108 terlepas dan tertindih amarah yang me-

luap. Hingga yang terpikir sekarang adalah mengadu 

jiwa dan membunuh Pendekar 108!

Dayang Naga Puspa segera sibakkan jubah pu-

tihnya, tangan kanannya meraih Tombak Naga Puspa 

sementara tangan kirinya terbuka di depan dada,

Mengetahui lawan tidak main-main lagi, Pende-

kar Mata Keranjang 108 pun tidak mau ambil resiko. 

Tangan kanannya segera pula mengambil kipas ungu 

di balik baju hijaunya, sementara tangan kiri siap ki-

rimkan pukulan sakti ‘Bayu Cakra Buana’

Didahului bentakan nyaring tinggi, Dayang Na-

ga Puspa kelebatkan tubuhnya. Bersitan sinar hitam 

berpencaran ke sana kemari bersamaan dengan berge-

raknya tangan kanan Dayang Naga Puspa, sementara 

dari tangan kirinya menyambar serangan angin dah-

syat yang keluarkan suara menggemuruh!

Tahu jika serangan itu tak boleh hanya dihin-

dari, Pendekar Mata Keranjang 108 cepat pula me-

nyongsong dengan kelebatkan tubuh. Kipas di tangan 

kanan dikibaskan dari arah kiri ke kanan, sementara 

tangan kiri menghantam!

Bummmm!

Gerak kelebat kedua orang ini sama-sama ter-

tahan di udara. Sekejap kemudian terdengar ledakan

dahsyat saat terjadi pertemuan serangan keduanya.

Tubuh Dayang Naga Puspa mental balik ke be-

lakang, dari mulutnya terdengar seruan tertahan. Sete-

lah membuat gerakan salto dua kali di udara, perem-

puan ini dapat mendarat di atas tanah. Namun karena 

kakinya masih terluka akibat pukulan bambu Gongg-

ing Baladewa, hingga saat kakinya mendarat, kakinya 

terlihat goyah. Dan saat itu juga tubuhnya melorot ja-

tuh terduduk!

Pendekar Mata Keranjang sendiri tubuhnya me-

layang sampai dua tombak ke belakang. Namun murid 

Wong Agung ini segera bisa kuasai keadaan, hingga 

dengan kaki terpentang tubuhnya mendarat!

"Anjing kurap! Kubunuh kau!" teriak Dayang 

Naga Puspa seraya bangkit. Kemarahan tidak dapat 

disembunyikan lagi dari sikap dan ucapannya. Hal ini 

tak lepas dari penglihatan Pendekar Mata Keranjang 

108, hingga dia tampak lebih waspada dan hati-hati. 

Dalam hatinya dia berucap.

"Dia marah besar, ini kesempatan. Karena se-

rangannya tidak akan lagi terarah...! Dan...," Pendekar 

108 tak meneruskan ucapan hatinya, karena saat itu 

juga tiba-tiba bersitan sinar hitam telah menggebrak 

dari atas kepalanya, seakan hendak membelah tubuh-

nya dari kepala hingga perut!

Pendekar Mata Keranjang 108 membentak. Ki-

pas ungunya diangkat sementara tangan kirinya di-

ayun dari bawah.

Kilauan sinar keputihan yang menebar mem-

bentuk sebuah kipas menyambar ke atas. 

Braakkk! 

Blaamm!

Terdengar benturan dua benda, disusul kemu-

dian dengan terdengarnya ledakan menggelegar. 

Dayang Naga Puspa merasa tangan kanannya seakan

lunglai tak bertenaga. Sementara tangan kirinya berge-

tar hebat dan seolah penggal! Untuk kesekian kalinya 

dari mulut perempuan ini terdengar pekik tertahan 

bersamaan dengan membumbungnya tubuh ke udara. 

Mungkin karena kerahkan segenap tenaga dalamnya 

saat melancarkan serangan tadi, hingga saat tubuhnya 

kembali menukik dia tak bisa lagi menahan. Tak am-

pun lagi tubuhnya terjerembab mencium tanah! Darah 

segar tampak meleleh dari sudut bibirnya, wajahnya 

berubah pucat, sementara dari mulutnya tak henti-

hentinya terdengar makian panjang pendek!

Murid Wong Agung pun terdengar keluarkan 

seruan tertahan. Bersamaan dengan bertemunya kipas 

di tangan kanannya dengan tombak milik Dayang Naga 

Puspa, Pendekar Mata Keranjang merasa sekujur tu-

buhnya seakan dipanggang bara! Dan ketika terjadi le-

dakan saat tangan kirinya memapak serangan tangan 

kiri Dayang Naga Puspa, tubuh Pendekar 108 tampak 

terpelanting ke belakang. Tubuhnya baru terhenti saat 

kakinya menyambar sebuah batang pohon. Batang po-

hon yang tak begitu besar itu berderak roboh, namun 

hal ini membuat tubuh murid Wong Agung ini terbant-

ing dengan derasnya! Bahkan kepalanya terlebih dahu-

lu menghantam tanah!

Seraya merambat bangkit, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 tampak pegangi dadanya yang berdenyut 

sakit. Tangan kanannya terasa panas seolah dibakar!

Sambil mengusap-usap darah yang meleleh da-

ri sudut bibirnya dengan lengannya, Dayang Naga 

Puspa takupkan kedua tangannya di depan dada, tom-

baknya dikepit di antara takupan tangannya, sepasang 

matanya memejam rapat, sedangkan mulutnya berke-

mik.

Tampaknya Dayang Naga Puspa siapkan pukul-

an mematikan yang menjadi andalannya. Mendapati

hal ini, Pendekar 108 tak mau bertindak ayal. Dia pun 

pindahkan kipas ke tangan kiri, sementara tangan ka-

nan dibuka di depan dada. Rupanya pendekar murid 

Wong Agung sedang siapkan pukulan sakti 'Bayu Ken-

cana' yang didapatnya dari perempuan aneh tak ber-

nama. (Tentang pukulan Bayu Kencana dan pe-

rempuan aneh tak bernama, baca serial Pendekar Mata 

Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Ib-

lis").

Namun sebelum kedua orang ini saling menye-

rang, terdengar seruan bersamaan berkelebatnya seso-

sok bayangan.

"Tahan serangan!"

***

SEPULUH


KARENA seruan sosok yang baru datang bukan 

sembarang seruan, membuat konsentrasi Dayang Naga 

Puspa maupun Pendekar Mata Keranjang 108 buyar.

Dengan wajah merah padam dan mulut ter-

kancing rapat saling menggegat, Dayang Naga Puspa 

buka kelopak matanya. Demikian pula Pendekar 108.

Sepasang mata kedua orang yang hendak saling me-

nyerang ini bentrok sejenak. Lalu bersamaan mata ke-

duanya memandang ke samping, di mana tampak se-

seorang telah berdiri dengan memandang silih berganti 

pada Dayang Naga Puspa dan Pendekar 108.

Sepasang mata Dayang Naga Puspa sekilas ma-

kin membesar, lalu menyipit, dari mulutnya mendadak 

terdengar seruan.

"Kakang Jogaskara!"

Orang yang dipanggil Jogaskara sejenak masih

tak menyahuti sapaan Dayang Naga Puspa. Sepasang 

matanya memperhatikan dengan seksama. Setelah 

agak lama bibir orang ini sunggingkan senyum. Lalu 

berkata.

"Sarpakenaka...."

Dayang Naga Puspa melangkah mendekat. Yang 

didekati hanya memandang seraya tersenyum. Dalam 

hati, laki-laki yang mengenakan pakaian jubah pan-

jang sebatas lutut berwarna biru muda ini berucap.

"Hmm.... Saatnya bagiku merebut Tombak Naga 

Puspa dari tanganmu! Peduli kau adalah adik sepergu-

ruanku...!"

"Kakang, sudah lama aku mencarimu. Kau 

baik-baik saja...?!" kata Dayang Naga Puspa seraya 

simpan tombak hitamnya karena sejak tadi Jogaskara 

selalu memperhatikan tombak itu.

"Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja! 

Hmm.... Siapa pemuda itu...? Dan ada masalah apa di 

antara kalian...? Kulihat kau tadi hendak lancarkan 

serangan berbahaya!"

Dayang Naga Puspa arahkan pandangannya 

pada Pendekar 108 yang saat itu sedang memandang 

tak berkedip pada Dayang Naga Puspa dan Jogaskara. 

"Hmm.... Siapa laki-laki ini? Tampaknya mereka begitu 

akrab. Kekasihnya? Atau saudara...? Sialan benar! 

Pasti laki-laki yang dipanggil Jogaskara ini akan mem-

bantu Dayang Naga Puspa!"

"Kakang Jogaskara.... Hmm.... Kebetulan kita 

dipertemukan di sini. Aku akan bicara terus terang 

siapa adanya pemuda itu, meski aku sendiri belum ya-

kin benar. Dengan begitu, dia pasti akan membantuku. 

Namun setelah nanti Arca Dewi Bumi benar-benar di 

depan mata, akan kuhabisi dia! Tak pandang dia ada-

lah kakak seperguruanku. Itu kalau dia juga mengin-

ginkan Arca Dewi Bumi!" diam-diam Dayang Naga

Puspa berkata dalam hati saat arahkan pandangannya 

pada Pendekar Mata Keranjang. Lalu dengan suara li-

rih, dia berucap.

"Kakang! Tentunya kau sudah dengar tentang 

Arca Dewi Bumi yang saat ini sedang menggegerkan 

rimba persilatan. Tapi apakah Kakang juga tahu ten-

tang syarat untuk mendapatkannya...?"

"Meski aku telah tahu siapa pemegang arca itu 

sekarang, namun aku memang belum tahu kalau ada 

persyaratan lain untuk mendapatkan arca itu. Hmm.... 

Ini sebuah kesempatan aku mengetahuinya lebih lan-

jut. Dan sebaiknya aku memang tak menunjukkan 

pengetahuanku tentang arca itu. Sarpakenaka tam-

paknya tahu banyak tentang rahasia arca itu! Dari na-

da bicaranya aku bisa menduga! Sementara ini aku 

harus menyimpan rasa keinginanku pada arca itu, 

sampai saatnya datang!" membatin Jogaskara lalu ber-

kata.

"Sarpakenaka! Aku tidak begitu tertarik dengan 

segala macam arca. Apalagi yang belum tentu ada ti-

daknya. Jadi, aku pun tak tahu segala macam syarat 

untuk mendapatkan arca!"

"Tapi, Kakang. Apakah Kakang mau memban-

tuku?"

"Sebagai kakak seperguruan, kepala pun akan 

kurelakan untuk membantu!"

Dayang Naga Puspa tersenyum. Namun dalam 

hati sebenarnya dia masih meragukan ucapan kakak 

seperguruannya.

"Aku belum percaya ucapannya. Mustahil jika 

orang rimba persilatan tak menginginkan arca itu! Tapi 

itu urusan nanti, yang penting dia mau membantuku 

menangkap anak tengik itu!" batin Dayang Naga Puspa

Jika Dayang Naga Puspa meragukan kakak se-

perguruannya, lain halnya dengan kata hati Jogaskara.


"Dia tampaknya begitu menggebu, tak mustahil 

jika segala sepak terjangnya sekarang ini pasti ada hu-

bungannya dengan arca itu. Dengan membantunya, 

aku berarti mendapat pengetahuan tentang rahasia ar-

ca itu!"

"Kakang! Menurut yang kuketahui, orang yang 

kelak dapat mengambil Arca Dewi Bumi adalah seseo-

rang yang di anggota tubuhnya terdapat guratan 108! 

Dan orang yang tubuhnya terdapat angka 108 adalah 

pemuda itu!" ujar Dayang Naga Puspa dengan arahkan 

pandangannya pada Pendekar Mata Keranjang 108 

yang tetap mengawasi dengan sikap waspada.

Meski terkejut, namun Jogaskara cepat me-

nyembunyikan rasa terkejutnya dengan tersenyum le-

bar, hingga codet bekas luka di pipi kirinya seakan 

hendak membuka kembali.

"Sarpakenaka! Apa kau tidak salah dengar de-

ngan apa yang baru kau katakan? Dan kau yakin de-

ngan berita itu?!" Jogaskara berkata demikian untuk 

memancing dari mana berita itu didapat Sarpakenaka.

"Kakang. Eyang guru Dadung Rantak apakah 

pernah berkata dusta?" Dayang Naga Puspa balik ber-

tanya.

"Jadi kau dengar hal itu dari Eyang guru...?!"

Dayang Naga Puspa mengangguk-anggukkan 

kepalanya perlahan. Sementara Jogaskara menarik 

napas lega. Lalu manggut-manggut.

"Lalu bantuan apa yang kau minta dariku...?!"

"Kakang. Pemuda itu adalah manusia yang ber-

gelar Pendekar Mata Keranjang 108! Dia berilmu tidak 

cetek. Sekarang bantulah aku menangkapnya! Kalau 

bisa tanpa mencederainya, karena dia kubutuhkan!"

"Hanya itu...?!"

"Untuk saat sekarang hanya itu. Namun setelah 

ini tentunya aku masih butuh juga bantuanmu. Kau

masih bersedia membantuku untuk selanjutnya, bu-

kan?"

Jogaskara keluarkan suara tawa perlahan.

"Sarpakenaka. Demi adik seperguruan, sampai 

kapan pun sekiranya aku bisa, aku akan membantu-

mu!"

"Terima kasih, Kakang...."

Kedua orang seperguruan ini lantas sama-sama 

memandang pada Pendekar Mata Keranjang 108.

"Hmm.... Dugaanku tidak meleset. Dia pasti 

akan membantu perempuan itu! Apa boleh buat. Akan 

kuhadapi mereka berdua!"

Dayang Naga Puspa melirik pada Jogaskara. 

Dua orang saudara seperguruan murid Dadung Ran-

tak dari Lembah Rawa Buntek ini saling memberi isya-

rat dengan anggukan kepala masing-masing. Dan di 

saat itu juga keduanya segera melompat ke depan den-

gan dorong kedua tangan masing-masing.

Empat bongkahan sinar hitam menyambar ce-

pat ke arah Pendekar 108. Dua dari arah bawah dan 

dua dari atas!

Meski sedikit terkejut dengan paduan serangan 

lawan, namun murid Wong Agung ini tak mau larut. 

Tangan kirinya yang kini memegang kipas disabetkan 

menyilang, sementara tangan kanannya kirimkan pu-

kulan 'Bayu Cakra Buana'.

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara saling lirik. 

Dan seakan tahu apa yang harus mereka lakukan, ke-

dua orang ini lantas kerahkan tenaga dalam susulan 

seraya melangkah maju. Namun kedua orang ini se-

makin melengak, karena meski keduanya telah lipat 

gandakan tenaga dalam, kilauan sinar putih seakan ti-

dak bisa ditembus, malah bongkahan sinar hitam per-

lahan bergerak membalik tertindih gerak kilauan sinar 

putih.

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kembali li-

pat gandakan tenaga dalam. Namun tampaknya masih 

tak bisa menerobos, malah ketika Pendekar 108 mem-

buat gerakan jungkir balik dan sentakkan kipas serta 

tangan kanannya, terdengar dua pekik tertahan, lalu 

disusul dengan terjengkangnya tubuh Dayang Naga 

Puspa dan Jogaskara di atas tanah!

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara cepat bang-

kit. Tak sadar, kedua orang ini sama-sama sibakkan 

jubah masing-masing. Dan secara bersamaan pula 

tangan kanan masing-masing menyahut senjata yang 

ada di balik jubah.

Baik Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara 

saling pandang dan membeliakkan mata masing-

masing. Namun pandangan mata masing-masing orang 

ini terpaku pada senjata di tangan kanan orang lain-

nya.

"Aku tadi belum jelas benar lihat bentuk tom-

bak itu! Hm.... Benar-benar aneh dan tentunya hebat! 

Saatnya akan tiba untuk merebutnya!" membatin Jo-

gaskara seraya terus pandangi tombak di tangan Da-

yang Naga Puspa yang keluarkan bersitan hitam berki-

lat-kilat.

"Baru kali ini aku melihat keris yang bentuknya 

demikian rupa! Dari mana dia dapat? Dari Eyang gu-

ru...? Hmm.... Tentunya senjata yang sakti. Setelah Ar-

ca Dewi Bumi berhasil kudapatkan, tak sulit merebut 

keris itu dari tangannya.... Dengan demikian, aku akan 

semakin ditakuti siapa pun!" diam-diam Dayang Naga 

Puspa pun berkata dalam hati, dan pandangannya tak 

berkedip menatapi keris bersisik berwarna hitam di 

tangan kanan Jogaskara.

Namun kedua orang ini tak bisa berlama-lama 

saling diam dan saling pandangi senjata, karena saat 

itu juga dari arah depan menggebrak kilauan sinar putih menebar membentuk kipas sementara kilauan 

lainnya menggebrak dengan keluarkan suara mengge-

muruh!

Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah 

lancarkan serangan susulan, hal ini dilakukan agar 

kedua lawan tak ada kesempatan lagi untuk padukan 

serangan, apalagi dilihatnya kedua orang lawan telah 

keluarkan senjata masing-masing.

Jogaskara undurkan langkah tindak ke bela-

kang, lalu serta-merta tangan kirinya menyentak, ber-

samaan dengan menyentaknya tangan, Jogaskara ke-

lebatkan tubuh!

Sementara Dayang Naga Puspa geser tubuhnya 

ke samping. Dan dari arah samping tangan kirinya 

pun menghantam ke depan, memapak serangan Pen-

dekar 108! Dan sehabis kirimkan serangan, tubuhnya 

pun berputar dan lenyap dari pandangan!

Blaarrr! Blaarrrr!

Bumi laksana diguncang gempa dahsyat tatkala 

tiga pukulan bertemu! Tanah tampak bergetar dan ter-

bongkar, sementara semak belukar tercabut dari akar-

nya dan mengangkasa.

Tubuh Pendekar 108 tampak terseret ke bela-

kang. Dan sebelum murid Wong Agung ini dapat men-

guasai diri, tiba-tiba dari arah samping menderu angin 

kencang lalu disusul dengan berkelebatnya seberkas 

sinar hitam dan merah!

Pendekar 108 merasakan udara di sekitarnya

mendadak panas membara. Lalu bersitan sinar hitam

dan merah datang mengarah pada pundaknya.

Wuuttt!

Pendekar 108 terkejut, bukan hanya karena se-

rangan mendadak itu, namun juga oleh hawa panas 

yang menebar dari tangan Jogaskara yang memegang 

Keris Papak Geni!

Untung Pendekar dari Karang Langit cepat mi-

ringkan pundaknya, hingga keris Jogaskara hanya 

mampu menyerempet pakaiannya. Tapi tak urung 

Pendekar 108 terbelalak. Pakaian yang terserempet ke-

ris Jogaskara tampak robek dan hangus, dan panas-

nya tetap membara di pundaknya!

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 terkesima 

dengan apa yang baru saja dialami, mendadak dari 

samping kiri berkelebat sinar hitam berkilat.

Wuutttt!

Untuk kedua kalinya Pendekar Mata Keranjang 

masih dapat menghindari serangan mendadak itu yang 

ternyata dilancarkan Dayang Naga Puspa. Namun, tak 

urung juga senjata tombak Dayang Naga Puspa sempat 

menerabas pahanya sebelah kanan!

Seraya menahan huyungan tubuhnya yang ba-

ru saja menghindar dari serangan, Aji melirik pahanya 

yang terasa laksana dipanggang api!

Murid Wong Agung tercekat. Bukan hanya ka-

rena melihat darah yang mulai meleleh dari pahanya, 

namun karena kulit di pahanya perlahan-lahan mulai 

berubah menghitam!

"Busyet! Racun jahat!" gumam Aji seraya me-

lompat mundur menghindari serangan susulan.

Jogaskara yang mendarat terlebih dahulu me-

langkah maju hendak mendekat ke arah Pendekar 108. 

Namun langkahnya tertahan ketika dari arah samping 

Dayang Naga Puspa menjajarinya dan berkata.

"Kakang, dia telah terluka! Kita harus hentikan 

serangan. Aku yakin, tanpa obat pemunah dariku, dia 

tak akan tahan sampai tengah hari!"

"Lantas apa yang kita lakukan sekarang...?!"

"Kita tangkap dahulu dan kita sekap! Setelah 

tiba waktunya, kita gunakan!"

Habis berkata, Dayang Naga Puspa mendahului

Jogaskara melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-

ranjang 108.

Sedangkan Pendekar 108 sendiri parasnya tam-

pak memucat, tubuhnya sedikit bergetar. Kedua ka-

kinya lantas goyah dan tak lama kemudian, tubuhnya 

pun jatuh di atas tanah!

Begitu tubuhnya jatuh, murid Wong Agung ini 

merasa matanya berkunang-kunang, tubuhnya panas. 

Meski dia telah berusaha kerahkan tenaga dalam, na-

mun tampaknya tak ada hasil. Tubuhnya sulit untuk 

digerakkan dan lebih dari itu, sekujur tubuhnya sea-

kan dipanggang di atas api!

"Celaka! Apa yang harus kulakukan?" gumam 

Aji seraya pandangi Dayang Naga Puspa yang samar-

samar tampak melangkah ke arahnya.

Saat itulah, mendadak sebuah bayangan ber-

kelebat seakan menghadang gerak langkah Dayang 

Naga Puspa. Bersamaan dengan berkelebatnya ba-

yangan ini, serangkum angin deras menghantam pada 

Dayang Naga Puspa.

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara kaget. Da-

yang Naga Puspa yang dekat dengan serangan segera 

melompat ke samping seraya mengumpat.

***

SEBELAS


BANGSAT! Siapa berani ikut campur urusan 

orang?!" bentak suatu suara yang sangat mengejutkan.

"Tak pantas menjatuhkan tangan pada orang 

yang sudah tak berdaya!" sahut sosok yang baru saja 

berkelebat seraya menghadang gerak langkah Dayang 

Naga Puspa. Ternyata dia adalah seorang gadis muda

berparas cantik jelita. Mengenakan pakaian warna cok-

lat bergaris-garis. Rambutnya panjang sebahu dengan 

sepasang mata bulat berbinar.

Untuk beberapa saat lamanya baik Dayang Na-

ga Puspa maupun Jogaskara mengawasi gadis yang 

baru datang dengan tatapan menyelidik. Sementara 

Pendekar 108 yang masih kebingungan untuk mencari

jalan keluar saat Dayang Naga Puspa hendak melang-

kah ke arahnya, sejenak mengernyitkan kening. Sepa-

sang matanya membesar lalu menyipit.

"Sakawuni!" seru Pendekar 108 perlahan begitu 

mengenali siapa adanya gadis yang telah berhasil me-

nahan gerak Dayang Naga Puspa.

Setelah agak lama mengawasi, tampaknya baik 

Dayang Naga Puspa maupun Jogaskara tak bisa me-

ngenali siapa adanya sang gadis. Namun demikian, 

Dayang Naga Puspa maklum jika gadis bermata bulat 

ini punya kepandaian tinggi. Itu bisa dilihat dari kele-

batannya saat menahan langkahnya.

"Gadis lancang! Siapa kau?!" bentak Dayang 

Naga Puspa dengan sepasang mata berkilat merah. Se-

mentara Jogaskara nampak memandangi seraya se-

nyum-senyum aneh. Ternyata diam-diam Jogaskara 

menaruh nafsu pada gadis bermata bulat yang bukan 

lain memang Sakawuni adanya. Salah satu murid dari 

Ageng Panangkaran (Mengenai Sakawuni baca serial 

Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode: "Malaikat 

Berdarah Biru").

Yang dibentak sepintas memandang pada Pen-

dekar 108. Lalu beralih pada Dayang Naga Puspa dan 

Jogaskara. Namun dari mulut sang Gadis tak keluar 

suara jawaban, membuat Dayang Naga Puspa geram 

dan memaki-maki dalam hati, apalagi dilihat tatapan 

sang gadis pada Pendekar Mata Keranjang seperti pan-

dangan orang yang lama terpisah mendadak bertemu!

"Gadis liar! Apa hubunganmu dengan pemuda 

tolol itu?!" sambung Dayang Naga Puspa begitu per-

tanyaan pertamanya tak dijawab oleh sang Gadis.

Sesaat sang gadis murid Ageng Panangkaran ini 

masih diam. Namun begitu dilihatnya Dayang Naga 

Puspa hendak membentak lagi, Sakawuni angkat bi-

cara.

"Siapa pun aku dan apa pun hubunganku de-

ngan pemuda itu, tak layak kau ketahui. Yang layak 

kau dengar adalah 'Lekas tinggalkan tempat ini'!"

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara serentak 

tertawa bergelak-gelak.

"Kakang, kau dengar apa yang dikatakan gadis 

bau kencur itu?! Dia mengusirku dari sini. Apa dikira 

ini tanah nenek moyangnya! Hik... hik... hik...!"

"Sarpakenaka!" sahut Jogaskara. "Bagaimana 

kalau kita turuti saja permintaan gadis ini. Tapi dia 

harus ikut denganku dahulu! Tak usah terlalu lama, 

satu malam saja cukuplah!"

"Laki-laki codet! Jaga mulutmu jika tidak ingin 

kurobek-robek!"

Dimaki demikian, Jogaskara bukannya marah, 

sebaliknya tawanya semakin keras. "Sarpakenaka. Kau 

dengar, dia mengancamku! Ha... ha... ha...!"

Namun mendadak saja Dayang Naga Puspa 

hentikan tawanya. 

"Gadis liar! Kali ini aku masih berbaik hati mau 

mengampunimu dengan tidak menampar mulutmu 

yang telah berani mengusirku. Lekas menyingkirlah 

dari hadapanku!"

"Kalau aku berani mengusirmu, aku juga bera-

ni tak meninggalkan tempat ini! Kalian mau apa?!" tan-

tang Sakawuni. Kedua tangannya terlihat perlahan-

lahan diangkat ke atas. Sementara ekor matanya sese-

kali melirik pada Pendekar Mata Keranjang. Yang dilirik bukannya senang. Dia malah terlihat cemas. Bah-

kan sepertinya ingin berteriak agar Sakawuni mening-

galkan tempat itu. Karena Aji yakin, Sakawuni pasti ti-

dak akan mampu menghadapi Dayang Naga Puspa 

apalagi kini ada Jogaskara.

"Sarpakenaka. Dia tak mau meninggalkan tem-

pat ini, rupanya dia memang ingin merasakan yang 

semalam itu! Ha... ha... ha...!"

Dayang Naga Puspa tak menyambuti kata-kata 

kakak seperguruannya. Kemarahannya pada Sakawuni 

tampaknya sudah tak dapat dibendung lagi, hingga 

tanpa bicara apa-apa lagi perempuan ini melesat ke 

depan.

"Kau rupanya ingin cari mampus!" teriaknya se-

raya hantamkan tangan kanannya ke arah kepala Sa-

kawuni.

Sakawuni yang tampaknya telah waspada cepat 

lesatkan diri ke samping. Begitu kakinya mendarat di 

atas tanah, kedua tangannya bergerak kirimkan puku-

lan jarak jauh. Namun malang bagi Sakawuni, sebelum 

tangannya benar-benar hantamkan pukulan, Jogaska-

ra telah melesat dan tiba-tiba kakinya menyapu ke 

arah dada Sakawuni. Mau tak mau Sakawuni urung-

kan niat untuk menghantam. Tangannya ditarik sedi-

kit ke belakang lalu dipalangkan di depan dada!

Namun lagi-lagi murid Ageng Panangkaran ini 

urungkan niat palangkan tangan, karena saat itu juga 

Jogaskara tarik pulang kakinya dan serta-merta pu-

kulkan tangan kanannya pada kepala Sakawuni, se-

mentara tangan kirinya menyusup ke bawah ketiak!

Seraya membentak marah. Sakawuni angkat 

tangan kanannya sementara tangan kirinya menyapu 

dari arah bawah!

Praakkk! Praakkk!

Terdengar dua kali benturan keras. Sakawuni

keluarkan pekik kesakitan, tubuhnya tampak ter-

huyung mundur sampai beberapa langkah. Saat itulah 

mendadak dari arah belakang Dayang Naga Puspa 

berkelebat dan kirimkan serangan dengan kaki kanan 

ke arah punggung!

Deesss!

Untuk kedua kalinya Sakawuni terpekik. Tu-

buhnya kembali terhuyung ke depan. Kesempatan ini 

tak disia-siakan oleh Jogaskara yang saat itu masih 

berdiri di hadapannya. Laki-laki bercodet ini serta-

merta kelebatkan kedua tangannya dari samping ka-

nan ke kiri!

Sakawuni tampak terkejut besar. Namun gadis 

ini tak hendak diam begitu saja. Dengan kerahkan te-

naga dalam penuh, tangan kanan kirinya diangkat 

memapaki kedua tangan Jogaskara. Sayang, gerakan 

Sakawuni sedikit terlambat. Hingga tanpa ampun lagi 

tangan kanan Jogaskara menerabas masuk ke ba-

hunya! Sementara tangan kirinya mental balik karena

berhasil ditangkis Sakawuni!

Tubuh Sakawuni berputar. Saat itulah Dayang 

Naga Puspa melompat dan sapukan kaki kirinya.

Deesss!

Jeritan lengking merobek langit keluar dari mu-

lut Sakawuni. Tubuhnya terpelanting jauh dan terka-

par di samping Pendekar 108.

"Sakawuni! Kau terlalu menganggap remeh me-

reka. Mereka adalah orang-orang sesat berilmu tinggi. 

Kau tak apa-apa...?!" tanya Pendekar 108 dengan sua-

ra tersendat dan parau.

Seraya mengeluh, Sakawuni gelengkan kepala-

nya perlahan. Namun sepasang matanya tak beranjak 

memandangi pemuda yang kini ada di sampingnya.

"Siapa mereka? Dan ada persoalan apa antara 

kau dan mereka...?!" tanya Sakawuni seraya pegangi

dadanya yang berdenyut sakit. Pakaian bagian dada 

itu tampak robek akibat terjangan kaki Dayang Naga 

Puspa.

"Nanti saja kuceritakan. Sekarang lebih baik 

kau tinggalkan tempat ini. Selamatkan dirimu. Kau ta-

hu, aku terluka. berarti sulit bagiku untuk menolong-

mu jika sampai terjadi apa-apa terhadap dirimu!"

Sejurus Sakawuni menatap bola mata pendekar 

murid Wong Agung ini.

"Ah, rupanya dia masih begitu memperhatikan 

diriku. Apakah dia juga tak pernah melupakanku, se-

perti aku yang tak pernah melupakannya...?" mem-

batin Sakawuni. "Dia terluka. Hmm.... Tak mungkin 

aku tinggalkan dia sendirian di sini! Apalagi dia terlu-

ka. Mati pun akan kulakukan untuk menghalangi ke-

dua orang itu jika mereka benar-benar ingin membu-

nuh Pendekar 108!"

"Sakawuni. Kau dengar kata-kataku bukan...? 

Lekas tinggalkan tempat ini!" pinta Pendekar 108 saat 

dilihatnya Sakawuni tak juga mencoba meninggalkan 

tempat itu.

Sakawuni menggeleng perlahan.

"Aji.... Aku akan tinggalkan tempat ini jika ber-

samamu! Jika kau di sini, aku pun akan tetap di sini! 

Apa pun yang akan terjadi! Kau terluka. Aji! Aku akan 

melindungimu sampai titik darah penghabisan!"

Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disekat 

tenggorokannya mendengar kata-kata Sakawuni.

"Ah, gadis ini benar-benar tabah dan tegar! Dia 

rela mengorbankan dirinya demi aku! Hmm.... Saka-

wuni...."

Pendekar 108 memandang lekat-lekat pada Sa-

kawuni. Saat itu pun Sakawuni sedang memandang ke 

arahnya. Dua orang yang sudah lama tidak jumpa ini 

seakan melepas kerinduan hati masing-masing lewat

pandangan mata. Sebenarnya Pendekar 108 ingin se-

kali mendekat bahkan memberi kecupan di keningnya, 

namun hal itu tak mungkin dilakukan. Karena pada 

saat itu juga tiba-tiba Dayang Naga Puspa melangkah 

ke arah keduanya dan berkata.

"Anak-anak ingusan! Cukup waktunya bagi ka-

lian untuk berbasa-basi. Sekarang bersiaplah kalian 

untuk menghuni alam baru! Terlebih-lebih kau, Pe-

rempuan liar! Kau harus menuju alam baru dahulu, 

lantas baru pemuda tolol ini menyusul!"

"Sarpakenaka!" berkata Jogaskara seraya men-

jajari langkah Dayang Naga Puspa. "Sebelum yang ga-

dis menjadi penghuni alam yang baru, serahkan dahu-

lu padaku! Sudah beberapa malam ini aku tidur berse-

limut dingin. Dia tampaknya cukup untuk menghan-

gatkan dinginnya malam. Ha... ha... ha...!"

Walau Dayang Naga Puspa tampaknya tak suka 

dengan tingkah kakak seperguruannya, namun dia tak 

dapat mencegah. Apalagi dia masih mengharap ban-

tuan dari kakak seperguruannya itu. Hingga tatkala 

Jogaskara melangkah mendahului mendekat ke arah 

Sakawuni, Dayang Naga Puspa hanya diam malah ter-

senyum sinis dengan alihkan pandangan.

"Manis! Kuharap kau suka dengan ajakanku. 

Dan kalau pun kau nantinya masih ingin, aku tak ke-

beratan menambah dua malam lagi! Ha... ha... ha...!" 

seraya tertawa bergelak-gelak Jogaskara terus me-

langkah ke arah Sakawuni dan Pendekar Mata Ke-

ranjang.

Sakawuni merah mengelam wajahnya. Tanpa 

mempedulikan dadanya yang masih berdenyut sakit, 

gadis ini bangkit dengan sepasang mata menyengat ta-

jam.

"Sakawuni! Kau harus berhati-hati!" Pendekar 

Mata Keranjang 108 mengingatkan gadis itu seraya ke

rahkan sisa tenaga dalamnya pada kedua tangannya 

dan siap dipukulkan jika Jogaskara tak mengurung-

kan niat.

Sepuluh langkah lagi Jogaskara sampai pada 

Sakawuni, dan baik Sakawuni maupun Pendekar 108 

telah siapkan pukulan masing-masing, mendadak ter-

dengar suara orang tertawa mengekeh panjang. Belum 

lenyap suara tawa, terdengar suara berdebum-debum 

bersahut-sahutan seakan membuncah keheningan dan 

ketegangan tempat itu. Di sela debuman-debuman ter-

dengar orang bicara. Namun nada bicaranya seperti 

orang sedang menyanyi.

"Sedang apa, sedang apa, sedang apa sekarang. 

Sekarang sedang apa, sedang apa sekarang...?"

Siapa pun yang mendengar, pasti dapat mene-

bak jika yang sedang memperdengarkan adalah se-

orang perempuan. Namun begitu suara nyanyian ini 

habis tiba-tiba terdengar nyanyian lagi. Ini jelas suara 

seorang laki-laki.

"Sedang ngajak. Sedang ngajak sekarang. Se-

karang ngajak apa, ngajak apa sekarang...?"

"Ngajak tidur, ngajak tidur, ngajak tidur seka-

rang. Sekarang tidur apa, tidur apa sekarang...?" kem-

bali terdengar suara perempuan yang tadi.

"Tidur paksa, tidur paksa, tidur paksa seka-

rang. Sekarang paksa apa, paksa apa sekarang...?"

Nyanyian itu tak ada sahutan lagi. Namun yang 

terdengar kemudian adalah omelan sang perempuan.

"Dasar laki-laki! Maunya ngajak tidur melulu! 

Tak lihat-lihat dulu, apakah yang diajak tidur dalam 

keadaan sakit apa waras!"

Jogaskara hentikan langkahnya. Darahnya si-

rap oleh nyanyian yang tampaknya menyindir pa-

danya. Dengan muka merah padam, ia cepat palingkan 

wajah ke arah sumber suara.

Lain yang dialami Jogaskara, lain pula yang di-

rasakan Dayang Naga Puspa. Begitu terdengar suara 

debuman bersahut-sahutan, kontan saja tengkuknya 

merinding. Rupanya dia sudah dapat menebak siapa 

adanya dua orang yang tadi memperdengarkan nya-

nyian.

Dan sekarang, Pendekar 108 tampak menghela 

napas lega, sementara Sakawuni tampak terbengong, 

apalagi ketika diliriknya paras wajah Pendekar Mata 

Keranjang berubah, malah sedikit tersenyum.

Bersamaan dengan berpalingnya wajah Jogas-

kara, dari semak belukar tak jauh dari tempat itu 

muncul dua orang. Laki-laki dan perempuan. Yang la-

ki-laki bertubuh gemuk besar, sementara yang pe-

rempuan kurus dengan pakaian agak gombrang.

Dan yang membuat Jogaskara melengak, ter-

nyata debuman bersahut-sahutan tadi keluar dari ke-

tukan-ketukan bambu kecil di ketiak laki-laki gemuk 

besar yang digunakan sebagai penyangga tubuhnya, 

karena laki-laki ini tak punya kaki! Sedangkan debu-

man yang lain keluar dari terompah besar berwarna hi-

tam yang dikenakan oleh sang perempuan.

"Jahanam busuk! Siapa adanya dua makhluk 

jelek ini? Mereka tampaknya mengerti tujuanku pada 

gadis ini!"

Habis membatin begitu. Jogaskara dengan wa-

jah masih merah padam segera menyongsong kedua 

orang yang kini tampak melangkah acuh dengan pan-

dangan beberapa mata di situ!

"Tua bangka keparat! Siapa kalian sebenar-

nya...?!"

Yang dibentak bukannya hentikan langkah 

apalagi menjawab. Malah seraya terus melangkah ke 

arah Pendekar 108, kedua orang ini yang bukan lain 

adalah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa

saling pandang lalu sama-sama tertawa mengekeh.

"Dewi, Gongging!" seru Aji perlahan.

Mendengar Pendekar Mata Keranjang berseru, 

Sakawuni bungkukkan tubuh hingga rambutnya men-

julai ke wajah Pendekar 108 yang masih tampak du-

duk.

"Kau kenal mereka. Siapa mereka...?!"

"Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa. 

Sahabat juga teman...!" jawab Pendekar Mata Keran-

jang 108 seraya sibakkan rambut Sakawuni yang me-

nutupi pandangannya. Namun sejenak kemudian, mu-

rid Wong Agung ini tampak mengendus-endus.

"Bau tubuhnya begitu harum...!"

"He.... Apa yang kau lakukan...?" seru Sakawu-

ni dengan wajah heran.

Pendekar 108 tak menjawab. Malah hidungnya 

semakin dikembang-kempiskan, membuat Sakawuni 

jadi jengah, namun tak berusaha menjauh.

Sementara itu kemarahan Jogaskara telah di 

ambang batas begitu melihat dua orang yang ditanya 

tidak juga menjawab, malah tertawa-tawa.

"Kalian rupanya tua-tua keparat yang ingin ce-

pat mampus!" teriak Jogaskara seraya hantamkan ke-

dua tangannya kirimkan pukulan jarak jauh!

Tiba-tiba suara tawa lenyap. Jogaskara terpe-

rangah kaget dan heran. Karena serangannya mengha-

jar angin! Sepasang mata laki-laki berjubah biru ini 

terbelalak besar-besar, karena ternyata sosok kedua 

orang yang diserang lenyap dari pandangannya!

"Anjing! Ke mana lenyapnya orang-orang tua 

keparat itu!" maki Jogaskara dalam hati. Diam-diam 

hatinya didera rasa kecut. Dia tampaknya sadar, ke-

dua orang laki-laki dan perempuan tadi bukanlah 

orang sembarangan. Kalau tidak, mungkin kedua 

orang tadi sudah terhajar pukulannya, karena serangan itu dilakukan dari jarak dekat dan tenaga dalam 

hampir separo.

Selagi Jogaskara termangu mencari-cari, terde-

ngar lagi suara tawa bersahut-sahutan panjang.

Berpaling ke samping, tampak Dewi Bayang-

Bayang dan Gongging Baladewa melangkah perlahan-

lahan, malah saling berpegangan tangan! Hebatnya, 

debuman tadi tidak lagi terdengar baik dari ketukan 

bambu penyangga tubuh sang laki-laki maupun te-

rompah sang perempuan!

Merasa dipermainkan, Jogaskara makin naik 

pitam. Tanpa berkata-kata lagi tubuhnya melesat ke 

arah Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa. 

Hampir sampai, kedua kakinya dipentangkan dan di-

hantamkan ke arah kepala Dewi Bayang-Bayang dan 

kepala Gongging Baladewa. Bukan hanya sampai di si-

tu, begitu kedua kakinya menghantam, kedua ta-

ngannya pun ikut menggebrak ke arah dada lawan 

dengan jalan diputar ke belakang dan disusupkan le-

wat bawah kakinya!

Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Baladewa 

hentikan langkah. Tangan mereka yang berpegangan 

mereka lepas. Dan dengan gerak aneh, Dewi Bayang-

Bayang tampak rundukkan kepalanya, tubuhnya di-

geser ke depan dengan kedua tangan lurus ke depan. 

Tahu-tahu kedua tangan Jogaskara yang hendak su-

supkan serangan dari bawah kakinya tercekal perem-

puan ini.

Jogaskara tersentak kaget, namun belum le-

nyap rasa kagetnya, Gongging Baladewa yang juga 

rundukkan kepala hindari terjangan kaki, angkat ba-

hunya setinggi satu jengkal lalu disentakkan ke arah 

kaki Jogaskara!

Wuuuttt! 

Deesss! Dessss!

Jogaskara terpekik tatkala kakinya terhantam 

bambu Gongging Baladewa. Tubuhnya mental. Saat 

itulah dengan tiba-tiba Dewi Bayang-Bayang sentak-

kan tangannya yang mencekal kedua tangan Jogas-

kara.

Wuuttt!

Jogaskara terkejut bukan alang kepalang. Na-

mun dia tak bisa berbuat banyak. Hingga tanpa am-

pun lagi tubuhnya terbanting keras di atas tanah de-

ngan wajah dan dada terlebih dahulu!

Melihat hal ini, Dayang Naga Puspa yang telah 

mengenal siapa Dewi Bayang-Bayang dan Gongging 

Baladewa cepat berteriak memperingati.

"Kakang! Kita tinggalkan tempat ini!"

Mendengar teriakan Dayang Naga Puspa, Jo-

gaskara yang nyalinya telah punah merambat bangkit 

dengan tak berani lagi memandang Dewi Bayang-

Bayang maupun Gongging Baladewa yang masih tegak 

seraya tertawa, sedangkan Dewi Bayang-Bayang terse-

nyum-senyum.

Namun baru saja Jogaskara bangkit, Gongging 

Baladewa gerakkan bambu di tangan kanannya, se-

mentara Dewi Bayang-Bayang gerakkan kaki kirinya.

Meski Jogaskara telah berusaha mengelak, na-

mun hentakan tangan Gongging Baladewa tampaknya 

lebih kuat, hingga saat itu juga tubuh Jogaskara tam-

pak menyusur setengah depa di atas tanah dengan ka-

ki melangkah cepat karena terdorong oleh tenaga da-

lam Gongging Baladewa.

Saat tubuh Jogaskara menyusur hendak terje-

rembab, kaki kiri Dewi Bayang-Bayang yang ternyata 

melepaskan terompahnya bergerak. Terompah hitam 

besar itu melesat cepat menghajar punggung Jogaska-

ra!

Jogaskara kembali keluarkan pekik kesakitan.

Tubuhnya makin cepat menyusur dan tak lama ke-

mudian terjerembab mencium tanah!

Mendapati hal demikian, Dayang Naga Puspa 

cepat berkelebat dan dengan gerak cepat pula ditarik-

nya tangan Jogaskara agar segera bangkit. Walau ma-

sih terasa sakit, Jogaskara menurut saja. Begitu tu-

buhnya telah bangkit, secepat kilat tangan Dayang Na-

ga Puspa meraih tangan Jogaskara dan segera me-

ninggalkan tempat itu.

"Ha... ha... ha.... Rupanya mereka ingin juga 

bergandeng-gandengan tangan seperti kita!" kata 

Gongging Baladewa tanpa memandangi kepergian 

Dayang Naga Puspa dan Jogaskara.

Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah pada 

Pendekar Mata Keranjang 108. Lalu pada Sakawuni. 

Dahi perempuan ini berkerut.

"Dewi.... Untuk kesekian kalinya aku ucapkan 

terima kasih!" kata Aji seraya menjura hormat. Semen-

tara Sakawuni anggukkan kepala seraya tersenyum, 

karena dilihatnya sedari tadi Dewi Bayang-Bayang 

memandang dengan bibir tersenyum!

"Rayi Seroja!" bisik Gongging Baladewa. "Tam-

paknya anak kurang ajar itu iri melihat kita. Lihat, dia 

telah menggandeng seorang gadis. Cantik lagi! Dari 

mana dia mendapatkannya...?!"

"Dasar laki-laki. Tua-tua masih usil tanya-

tanya!" bentak Dewi Bayang-Bayang dengan mata me-

lotot, namun bibirnya tersenyum.

"Alah, apakah perasaan cemburu masih ada di 

hatimu?"

"Kau terlalu besar kepala jika dicemburui!"

"Jadi, kau sudah tak menyimpan rasa cemburu 

padaku? Astaga! Berarti kau sudah tidak...," Gongging 

Baladewa tidak meneruskan kata-katanya, karena De-

wi Bayang-Bayang telah menyela dengan suara agak

keras.

"Sudah! Jangan terus nyerocos soal yang bu-

kan-bukan. Cepat tolong anak kurang ajar itu! Dia 

tampaknya terluka...!"

Meski masih menggerendeng tak karuan, Gong-

ging cepat berkelebat ke arah Pendekar 108. Sekali me-

lihat, laki-laki ini ternyata sudah mengetahui di mana 

luka Aji.

"Gongging...! Aku...," belum selesai kata-kata 

Pendekar 108, Gongging Baladewa telah berkata.

"Simpan dulu basa-basi terima kasihmu! Ren-

tangkan kakimu!" seraya berkata Gongging Baladewa 

memandang pada Sakawuni yang diam di sebelah 

Pendekar 108. Sakawuni mengangguk sambil terse-

nyum. Gongging Baladewa balas dengan senyum.

Begitu pendekar murid Wong Agung telah ren-

tangkan kakinya ke depan, Gongging Baladewa ketuk-

ketukkan tongkat bambunya pada daerah sekitar luka 

Pendekar 108.

Pendekar Mata Keranjang 108 memekik kesa-

kitan. Sementara Sakawuni pandangi dengan bibir sal-

ing menggigit.

Begitu selesai ketukan-ketukan bambu. Gong-

ging Baladewa tekankan bambu pada kulit dekat luka 

Pendekar 108. Terjadi keanehan. Dari lobang luka 

Pendekar 108 muncrat darah berwarna kehitam-

hitaman.

"Rayi Seroja! Berikan obat itu!" kata Gongging 

Baladewa seraya ulurkan tangan pada Dewi Bayang-

Bayang yang ternyata telah dekat di situ.

Dari pakaian gombrangnya, Dewi Bayang-Ba-

yang keluarkan kantong kecil berwarna merah. Lalu 

diangsurkan pada Gongging Baladewa.

Gongging Baladewa membuka kantong dan 

mengeluarkan dua butiran kecil berwarna putih. Diberikan pada Pendekar 108 dan disuruhnya telan.

Begitu butiran tertelan, rasa panas yang me-

nyengat sekujur tubuh Aji perlahan-lahan sirna.

"Ini kau simpan untuk oleh-oleh!" kata Gongg-

ing Baladewa seraya memberikan kantong merah pada 

Pendekar Mata Keranjang.

"Terima kasih..., Gongging, Dewi...!"

"Gongging! Apa kau ingin ganti diusir anak ku-

rang ajar ini? Lihat...! Kepalanya sudah tengadah beru-

lang kali! Kita harus tahu diri! Penyakit asmara tam-

paknya saat ini sedang bermekaran di mana-mana!"

"Astaga! Kenapa aku tak sadar!" sahut Gongg-

ing Baladewa seraya tepuk jidatnya. "Bukankah orang 

yang sedang kasmaran hanya ingin berdua-dua tanpa 

ada orang lain seperti kita muda dulu?" sambung 

Gongging sambil arahkan pandangannya pada Dewi 

Bayang-Bayang.

"Bukan hanya ingin berdua-dua, tapi juga men-

cari tempat rimbun dan sepi-sepi..." sahut Dewi Ba-

yang-Bayang seraya balikkan tubuh dan berkelebat. 

Gongging Baladewa tak tinggal diam, laki-laki bertu-

buh gemuk besar dan tak berkaki ini pun cepat ber-

kelebat ke arah berkelebatnya Dewi Bayang-Bayang.

"Dewi.... Gongging...! Tunggu!" seru Pendekar 

108 seraya bangkit. Namun kedua orang tadi telah le-

nyap. Hanya debuman bersahut-sahutan yang masih 

tertinggal.

Begitu Dewi Bayang-Bayang dan Gongging Ba-

ladewa telah tiada, Pendekar Mata Keranjang 108 ber-

paling pada Sakawuni yang tampak merona merah 

mendengar kata-kata Dewi Bayang-Bayang dan Gongg-

ing Baladewa.

"Sakawuni.... Tak perlu kau ambil hati ucapan 

orang-orang tadi!"

Sakawuni tersenyum dan memandang Pendekar Mata Keranjang dengan tatapan aneh. Lalu gadis 

itu berkata.

"Sekarang kau hendak ke mana...?"

"Ah, bagaimana ini? Apakah aku harus berte-

rus terang padanya? Tidak! Masalah yang sedang ku-

tempuh adalah sangat rahasia sekali. Siapa pun tak 

boleh mengetahuinya sebelum aku berhasil!" Pendekar 

108 tampak menarik napas dalam-dalam, lalu berkata.

"Sakawuni! Untuk saat ini kuharap kau men-

gerti. Aku tak bisa mengatakan padamu ke mana aku 

hendak pergi!"

Sakawuni kerutkan dahi, lalu sibakkan anak 

rambut yang menghalangi pandangan matanya. Untuk 

beberapa saat gadis cantik ini diam seraya menduga-

duga. "Apa dia hendak mencari arca yang saat ini se-

dang menggegerkan rimba persilatan itu...? Atau ada 

perlu lain? Ah, sialnya aku. Kalau kepergiannya saja 

dirahasiakan, tentunya dia juga tak membutuhkan 

teman! Hmm.... Lama aku menginginkan bertemu den-

gannya, setelah bertemu, ternyata dia sedang tak ingin 

ditemui!"

"Sakawuni! Sebenarnya aku kecewa dengan 

pertemuan ini. Karena aku harus segera pergi. Tapi 

percayalah, kau masih tetap kuingat! Dan akan selalu 

kuingat!"

Ucapan Pendekar 108 membuat gadis di hadap-

annya berubah paras. Sebenarnya gadis ini meng-

harapkan bisa menjadi teman perjalanan. Namun tam-

paknya Pendekar 108 sedang tak ingin ditemani. Hing-

ga seraya mengangguk perlahan Sakawuni berkata.

"Baiklah. Jika itu yang harus kau lakukan. Per-

gilah...."

Pendekar Mata Keranjang 108 pandangi gadis 

di hadapannya lekat-lekat. Mulutnya membuka hen-

dak mengucapkan sesuatu. Namun tak sepatah kata

pun terdengar. Apalagi tatkala guliran air bening mulai 

menetes dari sudut kedua mata Sakawuni.

Dengan masih diselimuti berbagai perasaan, 

Pendekar Mata Keranjang 108 balikkan tubuh dan 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

Sakawuni angkat kepalanya. Guliran air bening 

semakin banyak keluar. Dan dengan tekap wajahnya 

gadis ini pun meninggalkan tempat yang kini digenggam kesepian.



                             SELESAI



Ikuti kisah selanjutnya:

BADAI DI KARANG LANGIT


































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive