..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 23 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE TERJEBAK DI GELOMBANG MAUT

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


JLEGAAAARRRR!! 

Ledakan dahsyat yang membedah malam 

itu mengejutkan seorang pemuda yang baru saja 

memejamkan matanya. Kontan pemuda ini berdiri 

dengan mata memperhatikan sekelilingnya. Saat 

itu rembulan sedang terang bersinar, tak ada 

gumpalan awan hitam yang menghalanginya. Di 

sekitar tempat itu pun tak banyak tumbuh pepo-

honan tinggi hingga sinar rembulan dapat menyo-

rot jelas siapa si pemuda.

Pemuda itu mengenakan rompi berwarna 

ungu. Rambutnya yang panjang dikuncir ekor 

kuda, bergerak-gerak saat kepalanya dipalingkan 

ke kanan kiri. Parasnya tampan dengan... astaga! 

Sorot mata pemuda itu... gila, benar-benar gila! 

Sorot mata si pemuda sangat mengerikan! Angker 

berkilat-kilat dan mampu menciutkan nyali siapa 

saja yang melihatnya. 

Pemuda ini membatin, "Ledakan itu sung-

guh luar biasa kerasnya! Aku yakin, ledakan itu 

berasal dari satu tempat yang agak jauh dari sini. 

Tetapi... ledakannya membuat tempat ini berge-

tar...." 

Pelan-pelan pemuda berusia tujuh belas 

tahun ini mengangkat tangan kanannya. Saat itu-

lah terlihat tangan kanannya sebatas siku dipe-

nuhi sisik berwarna coklat. Sisik yang sama pun 

terdapat pada tangan kirinya.

Dari ciri yang melekat pada diri si pemuda,

dapat ditebak siapa dia adanya. Pemuda itu bu-

kan lain Boma Paksi atau yang lebih dikenal den-

gan julukan Raja Naga.

Pemuda dari Lembah Naga ini baru saja 

memutuskan untuk beristirahat, melewati malam. 

Dia memang tak punya tujuan tertentu. Yang di-

lakukannya hanyalah memuaskan jiwa petualan-

gan yang ada di dadanya. Tetapi ledakan dahsyat 

yang menggetarkan tempatnya, mengejutkannya.

"Hemmm... dari ilmu 'Rabaan Naga' dapat 

kupastikan kalau ledakan itu berasal dari barat 

laut," katanya sambil menurunkan lagi tangan 

kanannya. Pemuda bersisik coklat ini terdiam be-

berapa saat sebelum berkelebat ke arah barat 

laut.

Sambil berlari, pemuda ini menajamkan 

penglihatan dan pendengarannya. Tak ada sesua-

tu yang berubah kecuali malam yang terus berge-

rak. Ledakan itu pun tidak terdengar lagi. Raja 

Naga masih mempergunakan ilmu ‘Rabaan Naga’ 

untuk menentukan sumber ledakan itu lebih te-

pat.

Mendadak.... Jlegaaarrr!!

"Gila!" serunya tertahan sambil menghenti-

kan larinya. "Ada apa ini? Apakah saat ini bumi 

sedang mengamuk? Tanah ini lagi-lagi bergetar!"

Raja Naga terus memikirkan kemungkinan 

asal ledakan itu. Diteruskan langkahnya. Setelah 

melewati hampir sepenanakan nasi, dari kejau-

han dilihatnya tanah berhamburan di udara. 

Asap putih menyelimuti tempat itu.

Raja Naga memicingkan matanya untuk

melihat lebih jelas. Tetapi asap putih yang menye-

limuti udara ditambah hamburan tanah yang be-

lum luruh, membuatnya tak dapat melihat secara 

jelas. Diputuskan untuk segera mendekati tempat 

itu. Dan entah mengapa dia menjadi sedikit te-

gang.

"Asap putih itu masih mengepul di udara, 

tanah juga belum luruh," katanya berjarak dua 

belas langkah dari kepulan asap dan tanah. 

"Aneh! Tak ada tanda-tanda seseorang berada di 

sini! Lantas... apa yang menyebabkan ledakan itu 

terjadi? Apakah... hei! Di sana tanah dan asap 

putih telah mereda. Berarti... kedua ledakan tadi 

memang berasal dari sini...."

Berhati-hati pemuda pewaris ilmu Dewa 

Naga ini melangkah. Dari sela-sela asap putih 

yang masih menghalangi pandangan, dilihatnya 

sebuah lubang di bawah asap itu. Sebuah lubang 

yang kecil!

"Astaga! Apakah lubang sebesar lingkaran 

jari telunjuk dan jempol itu yang menyebabkan 

ledakan tadi?" desisnya sambil bergerak ke tem-

pat yang satunya lagi. Di tempat yang mulai lebih 

jelas terlihat karena tanah sudah luruh kembali 

dan asap putih telah meregang lepas, Raja Naga 

juga melihat lubang yang sama. "Aneh! Di tempat 

ini masing-masing ada dua buah lubang! Berar-

ti... sukar bagiku untuk mempercayai ini sebe-

narnya, kalau lubang itulah yang menyebabkan 

ledakan tadi."

Raja Naga berlutut. Diperiksanya lubang 

itu. Ada sedikit hawa panas yang menerpa tangannya saat dimasukkan tangannya ke dalam lu-

bang.

"Ledakan tadi benar-benar dahsyat! Tetapi 

hanya lubang sebesar ini yang terbentuk! Ra-

sanya tidak masuk di akal! Karena... heiii!!"

Pemuda berompi ungu ini memutus kata-

katanya, karena saat itu dari ekor matanya dili-

hatnya satu sosok tubuh bergerak sangat cepat. 

Melompati ranggasan semak tanpa mengeluarkan 

suara.

Segera Raja Naga bergerak untuk menyu-

sul bayangan tadi yang semakin menjauh. Yang 

sempat dilihat, hanyalah warna kuning yang be-

rasal dari pakaian yang dikenakan orang yang 

berkelebat tadi.

Belum lagi Boma Paksi menemukan kejela-

san dari kejadian aneh yang dialaminya ini, tiba-

tiba terdengar seruan di belakangnya, "Pemuda 

celaka! Rupanya kau-ah pencuri celaka yang telah 

mencuri bunga-bunga keramat!"

Serta-merta Raja Naga membalikkan tu-

buh. Dilihatnya dua sosok tubuh telah berdiri 

berjarak sepuluh langkah dari tempatnya. Mata 

masing-masing orang tegang, bersinar penuh ba-

haya!

"Ada apa lagi ini?" desis Raja Naga yang be-

lum menemukan kejelasan dari apa yang diala-

minya. "Tadi yang laki-laki mengatakan aku men-

curi bunga?. Astaga Bunga? Sekuntum bunga?!"

Orang yang berdiri di sebelah kanan men-

gertakkan rahangnya. Dia seorang lelaki berusia 

sekitar tiga puluh tahun. Bertubuh tegap dengan

cambang di pipi kanan kirinya, hingga menam-

pakkan kejantanannya. Dia mengenakan pakaian 

berwarna biru yang terbuka di dada, hingga 

memperlihatkan dadanya yang bidang.

Lelaki itu telah membentak, "Pemuda kepa-

rat! Serahkan Bunga Kecubung Putih dan Bunga 

Anggrek Biru!"

Raja Naga yang masih belum memahami 

keadaan hanya mengerutkan kening. Dia tak bu-

ka suara. Matanya memandangi si lelaki.

Lelaki itu sudah siap untuk keluarkan ben-

takan lagi, tetapi nampak dia sedikit terkejut se-

karang.

"Gila! Tatapan pencuri keparat ini sungguh 

mengerikan! Jantungku seperti diremas-remas!" 

desisnya dalam hati. "Dapat kupastikan kalau 

pemuda bermata angker ini bukan orang semba-

rangan! Terbukti dia dapat mencabut Bunga Ke-

cubung Putih dan Bunga Anggrek Biru, yang be-

rarti berhasil menyingkirkan mantra yang dilaku-

kan Guru!" 

Perempuan berparas jelita yang berdiri di 

sebelahnya sudah membentak, "Kakang Purwa! 

Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar Ungu telah 

lenyap beberapa hari lalu! Demikian pula dengan 

Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kamboja Me-

rah! Dan sekarang, Bunga Kecubung Putih dan 

Bunga Anggrek Biru juga telah lenyap! Berhari-

hari kita melacak pencuri terkutuk! Dan sekarang 

dia sudah tertangkap basah! Kita tangkap seka-

rang juga, Kakang!!"

Habis bentakannya, perempuan berpa

kaian merah dengan baju dalam berwarna hijau 

ini sudah melesat ke depan. Kedua tangannya di-

rangkapkan menjadi satu, lurus ke depan. Masih 

melesat tiba-tiba saja kedua tangannya itu dite-

kuk, lalu diputar ke atas dan ke bawah.

Mendadak... wrrrrr!!

Gelombang angin dahsyat yang diiringi 

dengan asap merah dan hijau yang menyilaukan 

mata, menggebrak ke arah Raja Naga.

Sudah tentu Raja Naga tidak mau mati ko-

nyol. Tetapi dibiarkan saja gelombang serangan 

itu mendekatinya. Berjarak tiga langkah, tiba-tiba 

dia mendeham.

Blaaammmm!!

Gelombang angin deras itu putus di tengah 

jalan, terhantam tenaga tak nampak yang keluar 

dari dehemannya. Tetapi asap merah dan hijau 

terus meluruk ke arahnya.

"Hebat!" desis anak muda ini sambil meng-

geser tubuhnya ke kanan. Bersamaan dengan itu 

ditepuknya lengan kanannya.

Wuuuttt!

Blaamm! Blaaammm!! 

Asap merah dan hijau yang menerangi 

tempat itu, putus di tengah jalan, muncrat ke 

udara dan laksana air mancur berhamburan ke 

sana kemari. Sebagian ranggasan semak menger-

ing terkena siraman asap yang muncrat itu, seba-

gian tanah meletup di sana-sini.

"Tahan!" seru Raja Naga tatkala melihat si 

perempuan sudah siap menyerang kembali. Juga 

dilihatnya lelaki bercambang itu siap membantu

si perempuan.

Kedua orang itu menghentikan gerakan 

mereka. Raja Naga tak mau menyia-nyiakan ke-

sempatan. Segera dia angkat bicara, "Kita sama-

sama belum saling kenal! Tetapi kalian telah me-

nyerangku begitu saja tanpa memberikan satu 

penjelasan! Yang lebih mengherankan lagi, kalian 

menuduhku melakukan satu tindakan yang sama 

sekali tak ku mengerti!"

"Di mana-mana... tak ada pencuri yang 

mau mengaku sebagai pencuri!" seru si perem-

puan yang masih penasaran. Sesungguhnya dia 

kaget karena serangannya tadi dapat dipatahkan 

dengan mudah. "Tempat yang layak bagi seorang 

pencuri hanyalah di neraka!!" 

Kembali si perempuan menggebrak, men-

gulangi serangannya seperti yang pertama. Raja 

Naga pun bertindak cepat mengatasi serangan 

itu. Tetapi sekarang, si lelaki yang dipanggil Pur-

wa tadi sudah menerjang pula. Serangannya lebih 

mengerikan dari si perempuan. Setiap kali diki-

baskan tangannya, gelombang angin yang menge-

luarkan suara berdenging-denging menggebrak 

dengan kecepatan tinggi.

Raja Naga menahan napas seraya meng-

hindari serangan itu

"Ada sesuatu yang aneh di sini..." desisnya 

memaklumi apa yang dilakukan kedua lawannya. 

Kendati demikian dia juga gusar karena tak diberi 

kesempatan untuk menjelaskan keadaan yang 

sebenarnya.

"Sibarani! Kurung dia dengan ilmu

'Bentang Gunung Banting Tanah'!" seru Purwa 

sambil terus melancarkan serangan. 

Mendengar seruan itu Raja Naga kembali 

menahan napas. Matanya dijerengkan seraya 

menghindar. Dia memang belum membalas. Tin-

dakan itu dilakukan agar kedua orang ini menger-

ti kalau mereka salah paham terhadapnya. 

Dilihatnya bagaimana perempuan jelita 

bernama Sibarani itu tiba-tiba duduk berlutut. 

Kedua tangannya ditangkupkan di depan dada. 

Kepalanya sedikit diangkat dengan mata berkilat-

kilat penuh amarah.

Seraya menghindari sergapan ganas Purwa, 

Boma Paksi melihat tubuh Sibarani bergetar he-

bat. Dia terkejut ketika melihat dari kepala si pe-

rempuan mengeluarkan asap putih yang sangat 

pekat.

"Astaga! Ini tidak main-main lagi! Kedua-

nya tetap menyangkaku sebagai seorang pencuri! 

Tetapi mencuri bunga? Gila! Bunga apa? Mengapa 

bunga-bunga itu membuat keduanya menjadi be-

ringas liar seperti ini?!"

Tiba-tiba dilihatnya lelaki berpakaian biru 

yang terbuka di dada itu mundur beberapa tin-

dak. Sesaat Raja Naga tidak mengerti mengapa le-

laki itu seperti sengaja menghentikan serangan-

nya. Tetapi di lain saat, murid Raja Naga ini ter-

sentak kaget dengan mata membuka lebar.

Karena mundurnya lelaki itu, bermaksud 

memberi kesempatan pada Sibarani untuk me-

lancarkan serangannya!!

Gemuruh liar laksana curahan air hujan

yang sangat deras, menggebrak ke arah Raja Na-

ga! Anak muda ini tersentak. Dia buru-buru 

mundur dua tindak seraya mendorong kedua tan-

gannya.

Wrrrrr!!

Gelombang angin disemburati asap merah 

menggebrak dari dorongan kedua tangannya.

Blaaaammmm!!

Bertemunya dua serangan itu membuat 

tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan 

semak di sekitar tercabut dan berpentalan. Dua 

buah potion bergetar dan tubuh bergemuruh. Ta-

nah di mana bertemunya dua serangan itu ber-

hamburan di udara setinggi dua tombak!

Yang mengejutkan Raja Naga, jurus ‘Kiba-

san Naga Mengurung Lautan’ yang dilepaskannya 

tadi seperti tertelan ilmu aneh Sibarani yang ma-

sih berlutut dengan kedua tangan merangkap di 

depan dada. Bahkan serangan Sibarani terus 

menggebrak ke arahnya dengan kecepatan tinggi!

"Astaga! Ini memang tidak main-main! Aku 

bisa celaka!!" serunya seraya bergulingan ke 

samping dan langsung berdiri tegak. Saat itu pula 

dilipatgandakan tenaga dalamnya untuk melan-

carkan jurus yang sama. Ditambah dengan jeja-

kan kaki kanan di atas tanah untuk melepaskan 

jurus 'Barisan Naga Penghancur Karang' yang se-

ketika tanah berderak, bergelombang dan meng-

gebah hebat.

Blaaammm! Blaaaammmm!! 

Kali ini serangan Sibarani putus. Tetapi itu 

bukan berarti bahaya yang dihadapi Raja Naga

berakhir. Karena Purwa sudah menggebrak den-

gan jurus yang sama!

Pontang-panting Raja Naga dibuatnya.

"Pemuda keparat! Kembalikan bunga-

bunga yang telah kau curi sebelum nyawamu le-

pas dari badan!"

Raja Naga tak sempat menjawab karena se-

rangan itu benar-benar mengerikan. Dia hanya 

bisa menghindar sekarang dengan kecepatan 

tinggi.

"Bila begini terus, nyawaku memang bisa 

putus tanpa kuketahui masalah yang sebenar-

nya!!" serunya dalam hati. 

Dan tiba-tiba saja anak muda ini membuat 

gerakan memutar dengan kepala meliuk dan ke-

dua kaki berzig-zag. Purwa yang berlutut dengan 

kedua tangan merangkap di depan dada, mengge-

ram melihat tindakan si pemuda. Dipercepat se-

rangannya! 

Astaga! Kalau sebelumnya Raja Naga beru-

saha menghindar, tiba-tiba saja dia melesat ke 

depan dengan berzigzag. Melihat hal itu Purwa 

semakin bernafsu. Dalam bayangannya pemuda 

itu telah menyongsong maut!

Akan tetapi, sesuatu yang tak terduga ter-

jadi. Karena mendadak saja Purwa terbanting di 

atas tanah disertai seruan tertahan "Aaaakhhhh!!"

Melihat hal itu, Sibarani bertambah murka.

"Pencuri hina laknat! Kau semakin me-

nambah beban dosamu saja!!"

Raja Naga menghindari sambaran asap me-

rah dan hijau itu, lalu meluruk ke depan dengan

cara yang sama.

Dan... des!!

Sibarani terjengkang pula di atas tanah. 

Mulutnya menyembur darah segar!

Raja Naga sendiri melompat di udara bebe-

rapa kali sebelum hinggap di atas tanah. Rupanya 

dia sudah mengeluarkan ilmu 'Hamparan Naga 

Tidur' yang sulit diikuti oleh mata. Bahkan lawan 

tak mampu melihatnya.

Mata si pemuda yang angker memandang 

kedua orang itu yang sedang berusaha untuk 

berdiri.

"Aku hanya mengenal kalian bernama 

Purwa dan Sibarani! Tetapi aku tidak tahu men-

gapa kalian menuduhku telah mencuri bunga-

bunga yang kalian sebutkan! Apakah tidak se-

baiknya kalian jelaskan bunga-bunga apa yang 

kalian maksud?!"

Sambil menahan sakit di dadanya, Purwa 

menggeram.

"Terkutuk! Kau bukan hanya telah mencuri 

bunga-bunga keramat itu, tetapi kau juga men-

dustai telah melakukannya!!"

Kendati gusar karena pertanyaannya tak 

dijawab, Boma Paksi masih dapat menindih kegu-

sarannya.

"Biar urusan tidak berlarut-larut, sebaik-

nya kalian jelaskan semuanya!"

"Setan alas! Apa yang harus dijelaskan lagi, 

hah?! Sebutkan siapa kau adanya sebelum orang-

orang rimba persilatan memburumu!!"

Raja Naga menahan napas. Rasa penasa

rannya membuatnya menjadi sangat gusar. Tetapi 

lagi-lagi ditindih kegusarannya. Lalu dengan sua-

ra dingin dia berkata, "Namaku Boma Paksi... 

orang-orang menjulukiku Raja Naga..."

Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama 

berpandangan dengan mata membeliak. Di kejap 

lain sama-sama mendengus. 

Sibarani berseru, "Julukan Raja Naga telah 

terdengar ke segenap penjuru sebagai seorang 

pendekar yang membela kebenaran! Tetapi seka-

rang... ternyata tak ubahnya seorang pesakitan 

belaka! Dan berani-beraninya mencuri bunga-

bunga keramat yang tentunya bila sudah berjum-

lah tujuh akan dipakai sebagai penambah kekua-

tan!!"

Raja Naga mengerutkan keningnya.

"Aku semakin tak mengerti apa yang mere-

ka maksudkan. Tetapi untuk meminta penjelasan 

rasanya... astaga! Aku ingat sekarang! Ya, ya... 

aku mulai bisa memahaminya..." 

Habis membatin demikian dia berkata, 

"Aku mulai mengerti apa yang kalian maksudkan 

sekarang. Apakah kedua lubang sebesar lingka-

ran jari telunjuk dan jempol itu tempat bunga 

yang kalian maksudkan?!"

"Terkutuk! Seorang pendekar mulia ternya-

ta tak Lebih dari setan hina!" bentak Purwa den-

gan wajah geram. Kemarahannya semakin menja-

di, terutama mengingat kalau dia tidak mampu 

menghadapi pemuda di hadapannya yang ternya-

ta Raja Naga.

Raja Naga tak mempedulikan bentakan itu.

Dia berkata lagi, "Tadi Sibarani menyebutkan be-

berapa bunga yang telah dicuri dan berjumlah 

enam buah! Lantas dikatakan masih ada sebuah 

lagi sehingga berjumlah tujuh! Apakah...." 

"Jangan banyak tanya!!" Sibarani telah 

mendorong tangan kanannya. 

Gelombang angin deras itu dihindari den-

gan mudah oleh Raja Naga. Tindakan yang dila-

kukan Sibarani tadi mencelakakannya sendiri. 

Karena terluka dalam, dia memaksakan diri un-

tuk menyerang. Akibatnya perempuan itu ter-

sungkur ke depan dengan mulut mengeluarkan

darah.

Raja Naga tercekat dan bermaksud meno-

long. Tetapi bentakan Purwa menghentikan gera-

kannya.

"Jangan berlagak suci di hadapan kami! 

Kau telah melakukan tindakan yang tak pernah 

bisa dimaafkan!!" geramnya dan perlahan-lahan 

mengangkat tubuh Sibarani. Sambil memanggul 

tubuh si perempuan, dengan suara bergetar ka-

rena marah, Purwa berseru, "Ingat Raja Naga... 

semua ini belum berakhir! Dan tak akan kubiar-

kan kau mencuri Bunga Matahari Jingga!!"

Dipandanginya pemuda berompi ungu itu 

dengan tatapan berapi-api. Kejap kemudian, den-

gan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Purwa 

meninggalkan tempat itu dengan membopong Si-

barani.

Tinggal Raja Naga yang urung untuk me-

nahan. Karena bila itu dilakukan, maka kesalah-

pahaman ini akan semakin terjadi. Kendati demikian, perasaannya mulai tidak enak.

Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan 

kirinya sebatas siku ini menggeleng-gelengkan 

kepalanya seraya menghela napas panjang.

"Belum kuketahui secara pasti penyebab 

ledakan dahsyat tadi, telah datang tuduhan yang 

membuatku tidak enak. Keduanya benar-benar 

menginginkan nyawaku, terbukti serangan-

serangan yang mereka lakukan tadi sangat ber-

bahaya. Ya... hanya seorang yang bisa menje-

laskan semua ini. Orang berpakaian kuning yang 

sempat kulihat sebelumnya. Ah, bisa jadi kalau 

orang berpakaian kuning itu yang telah mencuri 

Bunga Kecubung Putih dan Bunga Anggrek Bi-

ru...."

Anak muda dari Lembah Naga ini terdiam. 

Otaknya diperas untuk memikirkan apa yang ter-

jadi dan apa yang akan dilakukannya. 

"Jalan satu-satunya aku memang harus 

menemukan orang berpakaian kuning yang tidak 

kuketahui siapa dia adanya. Bahkan aku tidak 

tahu apakah dia seorang perempuan atau lelaki. 

Tetapi... nampaknya urusan ini tidak bisa ku di-

amkan saja. Mengingat bunga-bunga yang telah 

dicuri dan dianggap keramat itu dapat menjadi 

sebuah tenaga dahsyat bila telah terkumpul men-

jadi tujuh. Dan itu... tinggal Bunga Matahari

Jingga...." 

Setelah terdiam beberapa saat, Raja Naga 

segera meninggalkan tempat yang telah porak po-

randa itu, menuju ke arah orang berpakaian kun-

ing yang sempat dilihat sebelumnya.



DUA


DUA hari kemudian setelah peristiwa itu.

Di ruangan tengah sebuah bangunan yang 

cukup besar, yang terletak di depan sebuah gu-

nung yang menjulang tinggi, nampak beberapa 

orang telah berkumpul di sana. Di hadapan me-

reka duduk seorang lelaki tua berpakaian serba 

biru. Paras si kakek yang dipenuhi keriput ini ke-

lihatan galau. Berulang kali dia menarik dan 

menghela napas seraya mengelus jenggotnya yang 

putih.

Mata teduhnya menatap satu per satu 

orang-orang yang berada di sana. Di sana juga 

duduk Purwa dan Sibarani yang sudah sembuh 

dari luka dalamnya.

Saat ini matahari baru muncul di balik bu-

kit. Sebagian sinarnya menerobos masuk melalui 

jendela yang terbuka pada bangunan itu.

"Aku mengundang kalian ke sini, karena 

ada peristiwa penting yang harus ku kabarkan," 

kata si kakek dengan suara lembutnya. "Dua pu-

luh tahun yang lalu, kau Dewa Seribu Mata telah 

menanam Bunga Melati Hijau dan Bunga Mawar 

Ungu! Dan kau Dewi Lembah Air Mata, telah me-

nanam Bunga Anyelir Kuning dan Bunga Kambo-

ja Merah! Sementara aku menanam Bunga Kecu-

bung Putih, Bunga Anggrek Biru, dan Bunga Ma-

tahari Jingga! Ketujuh bunga keramat yang kita 

tanam di tempat terpisah itu, telah kuberi mantra 

yang rasanya tak mungkin dapat dilewati orang,

apalagi untuk mencabut bunga-bunga keramat 

yang kita dapatkan di Bukit Genangan Setan! Te-

tapi sekarang, kejadian demi kejadian telah terja-

di! Bunga-bunga itu telah dicuri oleh se-seorang 

yang sudah barang tentu memiliki ilmu tinggi 

hingga dapat mengambilnya! Ketika orang itu se-

dang mencuri Bunga Kecubung Putih dan Bunga 

Anggrek Biru, kedua muridku ini memergo-

kinya...."

"Dewa Segala Dewa," panggil lelaki bertu-

buh gemuk yang duduk di sebelah kanannya. Le-

laki berusia sekitar enam puluh tahun ini jelas-

jelas kelebihan lemak di beberapa bagian tubuh-

nya. Dia mengenakan pakaian hitam yang tak bi-

sa menutupi lemak di tubuhnya. Orang inilah 

yang berjuluk Dewa Seribu Mata. "Siapakah pen-

curi laknat yang berilmu tinggi itu?"

Kakek bermata teduh yang berjuluk Dewa 

Segala Dewa menarik napas pendek.

"Sesungguhnya, sangat sulit kupercaya. 

Sangat sulit sekali. Tetapi kenyataan telah berbi-

cara. Kedua muridku ini telah memergoki si pen-

curi yang bukan lain... Raja Naga...."

Kepala Dewa Seribu Mata menegak.

"Raja Naga?!" serunya kaget.

Dewa Segala Dewa mengangguk lemah.

"Ya... Raja Naga-lah si pencuri itu...."

Perempuan tua berpakaian hijau dengan 

kain kebaya lusuh berkata kaget, suaranya cem-

preng, "Apakah kedua muridmu itu tidak salah 

melihat?!"

Dewa Segala Dewa menggeleng.

"Mereka bukan hanya melihat, tetapi juga 

bertarung dengan pemuda murid Dewa Naga itu,

Dewi Lembah Air Mata...."

"Terkutuk!" geram si perempuan berkonde 

warna hijau ini. "Tak kusangka... sama sekali tak 

kusangka... Dewa Segala Dewa... memburu Raja 

Naga, itu sama artinya memancing keluar Dewa 

Naga...."

"Aku pun memikirkan hal itu. Tetapi, kita 

tak bisa berdiam diri. Raja Naga harus ditangkap. 

Dan tentunya... saat ini dia sedang memburu 

Bunga Matahari Jingga yang kutanam di sebuah 

lembah yang sangat jauh dari sini...."

Dewa Seribu Mata berkata, "Apa yang dika-

takan Dewi Lembah Air Mata sangat benar, Dewa 

Segala Dewa. Raja Naga murid tunggal Dewa Na-

ga. Memburunya dapat memancing kemarahan 

Dewa Naga. Kita sama-sama tahu, tokoh sakti itu 

memiliki sifat angin-anginan. Kalau lagi datang si-

fat baiknya, mungkin dia tidak akan mengambil 

pusing kita memburu muridnya. Tetapi bila dia 

membantah, kita bisa diremuknya!"

Tak ada yang buka suara. Masing-masing 

orang mengenal Dewa Naga, majikan Lembah Na-

ga yang memiliki ilmu setinggi dewa. Ketegangan 

meliputi wajah masing-masing orang. 

Purwa berkata, "Guru... maaf bila aku lan-

cang bicara. Tindakan yang dilakukan Raja Naga 

tak bisa dimaafkan. Aku pikir. Dewa Naga dapat 

mengerti bila kita memburu muridnya...."

Dewa Segala Dewa tersenyum.

"Kau belum pernah mengenal Dewa Naga,

Purwa. Tak ada yang bisa menebak kakek bersisik 

hijau yang memiliki ilmu mengerikan. Aku tak in-

gin memancing pertikaian dengannya...."

"Tetapi Guru, tindakan Raja Naga dapat 

mengacaukan rimba persilatan. Bukankah Guru 

sendiri mengatakan, bila Bunga Matahari Jingga 

yang masih tersisa itu berhasil dicurinya, dia 

akan memiliki ilmu tiada banding? Dari tinda-

kannya jelas-jelas Raja Naga mementingkan di-

rinya sendiri...."

"Dewa Segala Dewa... yang dikatakan mu-

ridmu itu memang benar. Dewa Naga tentunya 

dapat mengerti tindakan yang akan kita laku-

kan...."

"Kau benar, Dewi Lembah Air Mata. Teta-

pi…"

"Apa yang kau khawatirkan?"

Dewa Segala Dewa tak buka suara. Di-

usapnya jenggot putihnya dengan wajah bertam-

bah galau. Kemudian pelan-pelan dia berucap, 

"Bagaimana bila ternyata bukan Raja Naga yang 

melakukan pencurian itu?"

"Hei! Apa maksudmu berkata demikian?" 

seru Dewi Lembah Air Mata heran. 

"Terkadang manusia yang telah berada di 

jalan lurus, dapat berbelok arah dan mengubah 

segalanya menjadi buruk. Hal itu tak luput dari 

apa yang ada di diri Raja Naga. Tetapi... bagaima-

na bila ternyata memang bukan dia yang melaku-

kannya? Maksudku, dia kebetulan berada di sana 

dan masih berada di sana saat kedua muridku tiba?"


Masing-masing orang bungkam. Tak ada 

yang membantah kata-kata Dewa Segala Dewa 

Kendati mulut mereka ingin berbunyi.

Sibarani memecah kesunyian, "Guru... 

maaf aku juga lancang bicara. Pada kenyataanlah 

kita harus berpijak. Raja Naga jelas-jelas telah 

mencuri bunga-bunga keramat itu dan kami tidak 

menyangsikannya lagi...."

Dewa Segala Dewa menghela napas pen-

dek.

"Ya... memang kita harus berpijak pada 

kenyataan yang ada. Mungkin memang Raja Naga 

yang telah mencuri bunga-bunga keramat itu...."

"Guru... keadaan itu bukan lagi sesuatu 

yang mungkin. Tetapi sebuah kenyataan...."

Dewa Segala Dewa mengangguk.

"Ya... kau benar, Sibarani."

"Kau harus mengambil keputusan seka-

rang juga," kata kakek bertubuh gemuk luar bi-

asa.

"Ya, aku memang harus mengambil kepu-

tusan."

"Segeralah kau putuskan," kata Dewi Lem-

bah Air Mata. "Tak kupedulikan lagi apakah kita 

memang harus berhadapan dengan Dewa Naga 

atau tidak. Tindakan Raja Naga harus dihentikan 

sebelum dia menemukan Bunga Matahari Jing-

ga...."

"Untuk menemukan Bunga Matahari Jing-

ga, bukanlah sesuatu yang mudah. Karena bunga 

keramat itu ditanam di antara tanaman bunga 

matahari. Tetapi seperti kita ketahui, Raja Naga

memiliki ilmu tinggi hingga kemungkinan untuk 

mendapatkan bunga itu bukanlah sesuatu yang 

mustahil. Ya, aku harus mengambil keputusan. 

Kita kesampingkan dulu masalah Dewa Naga 

akan muncul dan ikut campur dalam urusan ini. 

Kalaupun dia tidak mau mengerti, terpaksa kita 

harus menghadapinya." 

"Katakan keputusanmu," kata Dewa Seribu 

Mata.

Dewa Segala Dewa tak segera berbicara. Di-

tarik napasnya dalam-dalam. Dipandanginya 

orang-orang yang berada di sana satu per satu.

Setelah itu barulah dia berkata, "Yah... kita harus 

memburu Raja Naga sekarang juga. Kau Purwa 

dan Sibarani, pergilah ke arah barat laut. Jangan 

kalian berhenti sebelum menemukan sebuah 

lembah yang dikelilingi oleh perbukitan. Di lem-

bah itu banyak tumbuh Bunga Matahari Jingga. 

Kalian harus menjaga bunga-bunga itu...."

"Guru... kami tidak mengetahui yang ma-

nakah Bunga yang dimaksudkan...," ujar Purwa.

"Dari dinding bukit sebelah kanan yang 

menghadap ke utara, kalian bergerak ke depan. 

Pada hitungan langkah kedua puluh tiga, kalian 

berhenti. Tepat pada langkah kedua puluh empat, 

Bunga Matahari Jingga berada. Ingat, kalian jan-

gan mencabutnya. Jangan sama sekali...."

"Mengapa, Guru?"

"Kalian hanya menjaganya saja," kata Dewa 

Segala Dewa seperti menyembunyikan sesuatu. 

Purwa tidak banyak bertanya lagi. Setelah 

mengaturkan sembah, bersama Sibarani dia segera melaksanakan perintah itu.

Dewa Segala Dewa berkata, "Dewa Seribu 

Mata... bila kau berkenan... kau kutugaskan un-

tuk mendatangi Dinding Kematian di perbukitan 

Mamerah!"

"Hei! Mengapa kau menyuruhku ke tempat 

itu? Apakah kau menyuruhku menjumpai Ratu 

Dinding Kematian?" seru Dewa Seribu Mata den-

gan kening berkerut.

"Aku tidak menyuruhmu menjumpainya. 

Tetapi aku menyuruhmu mengamat-ngamatinya 

saja...."

"Aku tidak memahami maksudmu...."

"Aku menduga ini berkaitan dengan Ratu 

Dinding Kematian...." 

"Kau terlalu mengada-ngada!" dengus Dewa 

Seribu Mata. Dia ingin meneruskan bantahannya, 

tetapi diurungkan. Lalu dengan gerakan yang 

sangat ringan, berlainan sekali dengan bobot tu-

buhnya, kakek itu bangkit dan meninggalkan 

tempat itu dengan pinggul bergerak-gerak.

"Dewa Segala Dewa...," berkata Dewi Lem-

bah Air Mata. "Selama ini dan sampai hari ini aku 

dan kakek buntal itu tetap menganggap kau se-

bagai pemimpin dari Tiga Penguasa Bumi. Aku 

juga tidak mengerti mengapa kau tiba-tiba men-

gaitkan urusan ini dengan Ratu Dinding Kema-

tian?"

"Aku hanya punya satu dugaan."

"Baiklah. Seperti sifatmu, kau memang tak 

bisa terbuka sebelum mendapatkan kejelasan. 

Lantas... apa tugasku?"

Kakek bermata teduh itu menatap si pe-

rempuan berkonde hijau.

"Cari Raja Naga dan bawa dia mengha-

dapku. Sementara aku sendiri, akan bersiap-siap 

bila Dewa Naga muncul..."

Dewi Lembah Air Mata mengangguk den-

gan wajah puas. Sambil berdiri dia berkata, "Aku 

sudah tidak sabar untuk mencekik leher pemuda 

celaka itu!"

Lalu dia berbalik dan melangkah, mening-

galkan Dewa Segala Dewa yang terdiam di tem-

patnya. Dinding-dinding bangunan menatapnya 

hampa, sehampa perasaan dalam dirinya.

***

Ketika senja menurun, pemuda dari Lem-

bah Naga menghentikan langkahnya di hadapan 

sebuah sungai yang mengalir deras. Mata angker-

nya memandangi arus sungai itu. Beberapa helai 

daun kering yang dahannya menjuntai di atas 

sungai, gugur dan terbawa arus yang entah akan 

berakhir di mana.

"Dua hari aku melacak siapa orang berpa-

kaian kuning itu, tetapi hingga hari ini belum ku-

dapatkan jejak yang berarti," desisnya sambil me-

narik napas. "Persoalan yang datang ini begitu 

menghimpit perasaanku. Dapat kubayangkan se-

karang kalau aku menjadi seorang tertuduh...."

Anak muda dari Lembah Naga ini menen-

dang sebuah kerikil yang ada di hadapannya.

Wuuuttt!

Kerikil itu mencelat, melewati sungai yang 

cukup lebar dan bergulingan di seberang entah 

berhenti di mana.

"Purwa dan Sibarani telah menganggapku 

sebagai pencuri. Bila berita ini menyebar, sudah 

tentu aku laksana telur di ujung tanduk. Ah, se-

belum masalah ini berlarut-larut... aku harus se-

gera menyelesaikannya...."

Lalu diperhatikan sekelilingnya. Tak jauh 

dari tempatnya berdiri nampak sebuah jalan se-

tapak. Raja Naga memutuskan untuk mengambil 

jalan itu.

Baru dua langkah dia bergerak, tiba-tiba 

pendengarannya yang tajam menangkap satu ge-

rakan di belakangnya. Bersamaan dia balikkan 

tubuh, satu sosok tubuh telah berdiri di hada-

pannya. Tersenyum manis dengan sepasang bola 

mata indah. 

"Maaf... kalau aku mengagetkanmu," kata 

orang yang baru muncul dan ternyata seorang 

gadis.

Raja Naga memandang tak berkedip pada 

gadis itu. Wajahnya manis dengan tahi lalat pada 

sisi kiri pelipisnya. Rambutnya indah dikuncir 

ekor kuda dan diberi pita berwarna kuning. Di 

punggung si gadis terdapat sebuah pedang berwa-

rangka indah dan pada ujung tangkai pedang ter-

dapat ukiran sebuah kepala burung elang.

Bukan karena keadaan itu yang membuat 

Raja Naga tak berucap beberapa saat. Tetapi, ka-

rena dara itu mengenakan pakaian berwarna 

kuning!

Di pihak lain senyuman di bibir si dara le-

nyap. Keningnya berkerut karena tak menda-

patkan sahutan apa-apa dari pemuda di hada-

pannya. Sesaat matanya membeliak ketika ber-

benturan dengan mata angker si pemuda.

"Brengsek!" geramnya dalam hati. "Aku 

menyapanya baik-baik, dia justru memandangku 

seperti aku ini tidak berpakaian!"

Raja Naga masih terpaku di tempatnya, te-

tap tak berkedip memandangi gadis di hadapan-

nya.

Si gadis berkata, "Heiii! Apakah kau tidak 

bisa bersuara?"

Mendengar ucapan si gadis, Raja Naga ter-

gagap sejenak sebelum tersenyum.

"Oh! Sudah tentu aku bisa bersuara...." 

"Bagus!" kata si gadis yang kembali terse-

nyum. Rupanya dia memiliki sifat ceria. "Kupikir 

aku bertemu dengan orang bisu!"

Raja Naga mencoba tersenyum

"Setelah peristiwa tidak mengenakan itu 

terjadi, baru sekarang aku berjumpa dengan 

orang berpakaian kuning. Apakah gadis ini orang 

yang sedang kucari? Tetapi sudah tentu aku tak 

bisa menduga seperti itu sebelum mendapat ke-

pastian," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Aku 

juga beruntung bertemu dengan seorang gadis 

manis yang tidak bisu...."

Gadis itu tertawa renyah, memperlihatkan 

lorong indah pada mulutnya. Sepasang dadanya 

yang membusung sedikit bergerak.

"Ya, ya... kita sama-sama beruntung! Dan

kupikir, aku akan lebih beruntung bila kau dapat 

menjawab pertanyaanku...."

"Aku tidak tahu apakah aku memang bisa 

menjawab pertanyaanmu atau tidak. Tetapi se-

baiknya segera kau perdengarkan sebelum aku 

tiba-tiba menjadi tuli dan bisu?"

Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu 

tertawa kecil. 

"Kau ternyata pandai melucu juga," ka-

tanya dan menyambung dalam hati, "Wajahmu 

tampan kendati memiliki mata yang angker."

Masih tersenyum dilanjutkan kata-

katanya, "Sudah hampir tujuh hari ini aku men-

cari sebuah tempat yang bernama Daerah Tak 

Bertuan."

Mendengar kata-kata itu, kepala Raja Naga 

sedikit menegak.

"Daerah Tak Bertuan? Baru kali ini kuden-

gar nama tempat itu. Apakah... astaga! Aku ingat 

sekarang! Sibarani dan Purwa mengatakan, masih 

ada sebuah bunga keramat lagi yang bernama 

Bunga Matahari Jingga. Jangan-jangan, gadis ini 

mencari Daerah Tak Bertuan karena di sanalah 

Bunga Matahari Jingga berada," kata Raja Naga 

dalam hati.

"Hei! Kenapa kau tidak menjawab? Kau 

sudah mendadak tuli dan bisu, ya?" tegur si gadis 

sambil tertawa.

Raja Naga tersenyum tipis.

"Mengapa kau mencari tempat itu?" 

"O ya? Karena... aku sedang mencari seseo-

rang yang berjuluk Dewa Segala Dewa. Apakah

kau mengenal orang itu?"

Raja Naga mengerutkan kening. "Dugaanku 

salah. Tetapi dia bisa saja mengelabuiku," ka-

tanya dalam hati.

Dan berkata, "Aku baru mendengar julu-

kan itu."

"Ah, sayang sekali."

"Kejadian yang kualami sebelumnya masih 

membingungkanku. Pertemuanku dengan gadis 

ini juga membingungkanku. Gadis ini mencari 

Daerah Tak Bertuan untuk bertemu dengan orang 

berjuluk Dewa Segala Dewa. Ah, apakah sebenar-

nya dia memang orang yang sedang kucari? Teta-

pi, nampaknya dia tidak membawa sesuatu atau 

menyembunyikan sesuatu kalau memang dialah 

orang yang telah mencuri bunga-bunga keramat 

itu. Tetapi, bukankah dia bisa menyembunyikan-

nya di satu tempat?" tanya Raja Naga pada di-

rinya sendiri dalam hati.

Sambil memandang si gadis anak muda 

dari Lembah Naga Itu berkata, "Tempat bernama 

Daerah Tak Bertuan dan Dewa Segala Dewa baru 

kali ini kudengar. Bila kau tak keberatan, sudilah 

kiranya kau menceritakan padaku mengapa kau 

mencari Dewa Segala Dewa." 

"Maaf, aku tak bisa menceritakannya. Te-

tapi kau boleh mengetahui, kalau guruku yang 

memerintahkanku melakukan semua ini...."

"Kau juga keberatan mengatakan siapa gu-

rumu?"

"Kalau mengatakan siapa namaku, aku ti-

dak keberatan sama sekali. Namaku Puspa Dewi.

Dan tentunya...," si gadis menyeringai lucu, "Kau 

juga punya nama, bukan?"

Terpaksa Raja Naga menelan keinginta-

huannya itu. Sambil mengangguk dia berkata, 

"Namaku Boma Paksi...."

"Nama yang bagus! Baiklah Boma... bukan 

maksudku untuk menjauhimu. Tetapi aku belum 

menyelesaikan tugasku ini. Bukankah lebih baik 

kita berpisah di sini?"

Raja Naga yang masih berusaha mencari 

kejelasan tentang siapa gadis ini adanya segera 

berkata, "Aku sama sekali tak berkeberatan kau 

meninggalkan aku di sini. Dan aku juga sama se-

kali tak berkeberatan bila kau berkenan kutemani 

untuk mencari Dewa Segala Dewa."

Raja Naga terpaksa melakukan tindakan 

itu. Karena itulah satu-satunya cara agar dia bisa 

mengetahui siapa gadis ini. Dengan berada di de-

katnya, berarti dapat diketahuinya apa yang akan 

dilakukannya.

Di luar dugaannya, si gadis segera men-

ganggukkan kepala.

"Sangat menyenangkan! Selama tujuh hari 

aku melangkah sendiri dan rasanya sangat lebih 

baik bila ada teman berbicara...."

Raja Naga mengangguk.

"Terima kasih atas kesediaanmu. Melang-

kah bersama gadis cantik juga merupakan kese-

nangan tersendiri..."

Puspa Dewi cuma tertawa dan segera me-

langkah yang diikuti oleh Raja Naga.



TIGA


HAMPARAN malam kembali merambat. 

Udara dingin menyengat hingga ke tulang sum-

sum bagian dalam. Namun satu sosok tubuh ber-

pakaian kuning itu tak menghiraukan segalanya. 

Dia tetap berdiri di hadapan sebuah bukit, di ma-

na perbukitan yang lain berada di sekitarnya 

mengelilingi lembah sunyi di mana dia berdiri se-

karang. Saat ini gumpalan awan hitam berayun-

ayun di mata langit, tak bergerak sama sekali 

hingga sinar rembulan tak mampu menembu-

sinya.

Bayangan Kuning itu mendengus, "Tak ku-

sangka kalau di tempat ini juga ditumbuhi ba-

nyak bunga matahari. Keparat! Sulit bagiku un-

tuk menemukan bunga yang kucari..."

Untuk beberapa lama Bayangan Kuning ini 

terdiam di tempatnya. Matanya memicing mem-

perhatikan hamparan bunga-bunga matahari di 

hadapannya.

"Huh! Apakah sebenarnya aku salah tem-

pat?" desisnya setengah meragu. "Tetapi tidak! 

Lembah yang dikelilingi perbukitan ini adalah 

tanda di mana bunga yang kuinginkan berada! 

Hanya saja... bunga-bunga matahari banyak 

tumbuh di sini! Keparat busuk! Ketimbang buang 

waktu, biar kusingkirkan saja seluruh bunga ma-

tahari ini!" desisnya dan lambat-lambat tangan 

kanannya terangkat. Seketika membersit cahaya 

hitam menggumpal pada tangannya yang mengepal. Tetapi di saat lain sudah diturunkannya 

tangannya itu. "Setan alas! Bila kuhancurkan 

bunga-bunga itu tak mustahil bunga yang kuke-

hendaki pun akan terbawa. Dan ini semakin sulit 

bagiku untuk menemukan bunga yang kucari!"

Si Bayangan Kuning menggeram beberapa 

kali pertanda dia sangat gusar. Tak pernah terpi-

kirkan olehnya kalau dia akan menghadapi ha-

langan seperti ini.

"Enam bunga keramat lainnya telah kuda-

patkan dan dapat kupetik dengan mudah. Tetapi 

Bunga Matahari Jingga... keparat busuk! Benar-

benar di luar dugaanku!!"

Si Bayangan Kuning memaki-maki sendiri, 

jengkel pada kenyataan yang ada di hadapannya. 

Tiba-tiba saja dihentikan makiannya tatkala pen-

dengararmya menangkap dua kelebatan dari se-

belah kanan.

Dengan gerakan ringan, si Bayangan Kun-

ing melompat ke balik sebuah batu besar yang 

berada di sana. Dari balik batu itu, dilihatnya dua 

orang yang berlari semakin mendekat.

"Kakang Purwa! Kita telah tiba di tempat di 

mana Bunga Matahari Jingga berada!" berseru sa-

lah seorang setelah menghentikan larinya.

"Ya! Seperti yang dikatakan Guru... di tem-

pat ini banyak ditumbuhi bunga matahari," sahu-

tan itu terdengar. "Sibarani... apa yang akan kita 

lakukan sekarang?"

"Guru menyuruh kita untuk menjaga Bun-

ga Matahari Jingga dari tangan si pencuri yang 

kita ketahui Raja Naga! Sebaiknya, apa pun yang

terjadi kita memang harus tetap berada di sini!"

Di balik batu besar si Bayangan Kuning 

mengerutkan keningnya

"Raja Naga yang telah mencuri? Astaga! 

Mencuri bunga-bunga keramat? Hahaha... ini ba-

ru berita yang menyenangkan! Aku bisa menebak 

siapa kedua orang itu sekarang. Dewa Seribu Ma-

ta dan Dewi Lembah Air Mata tak pernah terden-

gar memiliki murid. Hanya Dewa Segala Dewa 

yang terdengar memiliki murid. Dan tiga orang 

berjuluk Tiga Penguasa Bumi itulah yang telah 

memiliki bunga-bunga keramat dan menanamnya 

di tempat-tempat tertentu agar tak mudah dite-

mukan orang. Aku tahu siapa kedua orang ini, 

mereka tentunya adalah murid-murid Dewa Sega-

la Dewa...."

Terdengar lagi suara yang perempuan, "Ka-

kang Purwa! Apakah menurutmu Raja Naga akan 

muncul di sini?"

Purwa mendengus geram. Dipandanginya 

Sibarani yang juga berwajah geram.

"Aku sangat berharap pencuri busuk itu 

akan muncul di sini! Aku telah bulatkan tekad 

untuk mengadu jiwa dengannya!"

Di balik batu besar itu, si Bayangan Kun-

ing membatin senang, "Kerjaku memang bagus, 

hingga tak seorang pun yang mengetahui kalau 

akulah yang telah mencuri bunga-bunga keramat 

ini! Aha, aku tahu! Aku tahu! Tentunya pemuda 

berompi ungu yang sempat kulihat mendatangi 

tempat setelah Bunga Kecubung Putih dan Bunga 

Anggrek Biru kucabut, yang dimaksud dengan

Raja Naga! Ini sesuatu yang sama sekali tak ku-

sangka dan rasanya... aku dapat memuslihati ke-

dua orang itu. Tapi... biarlah mereka tenggelam 

dalam amarah pada Raja Naga...."

Si Bayangan Kuning terus mendekam di 

balik batu besar itu dengan tajamkan pendenga-

rannya.

Purwa berkata lagi, "Dari dinding bukit se-

belah kanan yang menghadap ke utara ini, kita 

harus melangkah ke depan dan pada hitungan 

langkah kedua puluh tiga kita harus berhenti, ka-

rena pada langkah kedua puluh empat itulah 

Bunga Matahari Jingga berada...."

"Lantas, apakah kita hanya mengamat-

ngamati saja dari sini, atau kita langsung menuju 

ke Bunga Matahari Jingga?" 

"Sibarani... bila kita berada di dekat Bunga 

Matahari Jingga, sudah pasti Raja Naga tak akan 

mau bertindak gegabah bila dia telah muncul di 

sini. Sebaiknya kita bersembunyi saja untuk 

mengamat-ngamati kedatangannya. Kita akan 

mempergokinya lagi dan sekarang... akan ku kor-

bankan nyawaku untuk menangkap pemuda ce-

laka itu!"

Sibarani memandang kakak seperguruan-

nya yang berwajah tampan. Dalam keremangan 

malam, Purwa merasa kalau Sibarani sedang me-

natapnya. Tanpa sadar dia balas menatap. Mas-

ing-masing orang menajamkan penglihatan untuk 

melihat satu sama lain.

Sibarani berkata tersendat, "Kakang Pur-

wa... apa yang kita alami beberapa hari lalu itu

sebenarnya sangat memalukan. Pencuri busuk itu 

telah kita pergoki tetapi kita tak mampu menang-

kapnya...."

"Kau benar, Sibarani. Beruntung Guru 

memaklumi apa yang terjadi. Tetapi yang meng-

herankanku, mengapa Guru kelihatan masih ti-

dak mempercayai kalau Raja Naga yang telah me-

lakukan pencurian itu?"

Perempuan berpakaian merah dengan baju 

dalam berwarna hijau di sampingnya tak segera 

angkat bicara. Sesungguhnya Sibarani juga me-

mikirkan akan hal itu.

Keheningan merambat pelan. Malam terus 

menuju titik puncaknya. Sinar rembulan masih 

tetap tak mampu menerobos gumpalan awan hi-

tam yang menggelayut di hadapannya.

Lambat-lambat Sibarani buka mulut, 

"Mungkin... Guru masih terpengaruh oleh nama 

besar Dewa Naga...."

"Apa yang dipikirkan Guru memang kita ti-

dak tahu sama sekali. Tetapi menurutku, Dewa 

Naga tentunya memaklumi apa yang akan dilaku-

kan orang-orang rimba persilatan terhadap mu-

ridnya yang telah mencoreng arang di rimba per-

silatan ini? Seperti yang Guru katakan, kita me-

mang tak mengenal siapa dan bagaimana sifat 

Raja Naga, akan tetapi itu bukan berarti Raja Na-

ga akan selalu membela muridnya bila berada di 

jalan yang salah...."

Sibarani dapat memaklumi kegusaran hati 

Purwa. Sedikit banyaknya dia juga gusar akan ke-

jadian ini. Kemudian katanya, "Sudahlah, Ka

kang, kita tak perlu lagi memikirkan soal itu. 

Yang pasti sekarang, kita akan tetap menunggu 

Raja Naga datang ke tempat ini...."

Sibarani melangkah ke muka beberapa tin-

dak. Lalu... hup!

Dia melompat dan hinggap dalam kedudu-

kan bersila di sebuah batu besar. Berada di tem-

pat yang lebih tinggi, angin lebih keras mener-

panya. 

Purwa sendiri masih mencoba menemukan 

apa yang dipikirkan gurunya. Setelah mencoba 

dan tak mampu menemukan, akhirnya lelaki ber-

pakaian biru terbuka di dada itu melompat ke be-

lakang dan... hup! Hinggap di atas batu di sebelah 

batu yang diduduki Sibarani.

Tanpa sepengetahuan keduanya si Bayan-

gan Kuning yang masih mendekam di balik batu 

besar itu, membatin dengan kening berkerut, "Se-

cara tidak sengaja aku mendapat keterangan yang 

lebih baik. Keterangan yang benar-benar mengun-

tungkan. Raja Naga kini sebagai tersangka pelaku 

pencurian dan pernah bentrok dengan murid-

murid Dewa Segala Dewa. Dari mulut masing-

masing orang, nampaknya mereka telah melapor-

kan semua ini pada Dewa Segala Dewa. Ini sangat 

menguntungkan! Dan yang lebih membuatku be-

runtung, karena kini kuketahui yang mana bunga 

yang kuinginkan dari sejumlah bunga matahari 

yang berserakan itu...."

Si Bayangan Kuning mengikik puas dalam 

hati. Dia sudah tak sabar untuk mendapatkan 

Bunga Matahari Jingga, bunga terakhir dari tujuh

bunga keramat yang dicurinya. Tetapi saat ini 

murid-murid Dewa Segala Dewa menjaganya. Si 

Bayangan Kuning memaklumi kalau kedua murid 

Dewa Segala Dewa tak bisa dipandang sebelah 

mata kendati dia yakin dapat mengalahkan mere-

ka.

Tetapi itu artinya akan banyak tenaga dan 

waktu yang terbuang.

Tiba-tiba senyuman cerah terpampang di 

bibirnya. Dalam keremangan malam, matanya 

berkilat-kilat karena satu rencana yang menda-

dak muncul di kepalanya.

"Sangat bodoh bila aku tidak melakukan-

nya, karena tak ada alasan yang menyebabkan 

aku harus tidak melakukannya," desisnya. "Mere-

ka tidak tahu kalau akulah si pencuri itu....?"

Berpikir demikian, dengan gerakan yang 

tak menimbulkan suara si Bayangan Kuning ber-

kelebat ke belakang, lalu memutar dengan cepat. 

Dalam waktu singkat dia sudah berada di jalan 

setapak menuju ke lembah itu. Dengan cara se-

perti ini si Bayangan Kuning berharap kedua 

orang itu tidak tahu kalau sebelumnya dia berada 

di sana dan mencuri dengar percakapan mereka. 

Sengaja ditampilkan sosoknya agar kedua

orang yang menjaga di sana melihat kehadiran-

nya. Dan seperti yang diharapkan, kedua orang 

itu memang melihatnya dan melompat turun dari 

batu besar yang diduduki masing-masing.

Baik Purwa maupun Sibarani sama-sama 

memicingkan mata. Karena saat ini malam sangat 

pekat, mereka tak bisa melihat secara jelas paras

orang yang telah berhenti berjarak delapan lang-

kah dari hadapan mereka. Yang dapat mereka 

pastikan, kalau orang itu bukanlah Raja Naga. 

Karena pakaian kuning yang dikenakan orang itu 

cukup kentara.

Si Bayangan Kuning tak buka suara. Di-

perhatikannya kedua orang itu dengan seksama. 

Keheningan itu dipecahkan olehnya sendiri, "Maaf 

kalau kemunculanku di hadapan kalian cukup 

mengejutkan...."

Purwa membatin, "Suaranya menunjukkan 

dia seorang perempuan. Sayang aku tak bisa me-

lihat wajahnya." 

Sibarani sudah angkat bicara, "Orang da-

lam gelap... kemunculanmu di sini cukup menge-

jutkan sebenarnya. Tetapi kami memakluminya. 

Apakah ada sesuatu yang penting?"

Si Bayangan Kuning mengangguk dan bu-

ru-buru berkata, "Ya... menurutku ini sangat 

penting dan kuharap, kalian dapat membantuku 

untuk memecahkan persoalan yang kuhadapi...."

"Kami belum mengetahui apa persoalan 

yang sedang kau hadapi. Tetapi, bila kami dapat 

membantu, sudah tentu kami akan melakukan-

nya...."

Si Bayangan Kuning menarik napas dan 

menghembuskannya. Sengaja keras-keras agar 

kedua orang di hadapannya mendengar. Paling ti-

dak, dia telah membuat helaan napasnya bernada 

gelisah.

"Saat ini aku sedang mencari Raja Naga...."

Kata-kata yang tak disangka itu membuat

Purwa dan Sibarani terdiam dengan mata makin 

memicing. Kening mereka berkerut. Purwa yang 

sesungguhnya tidak begitu senang karena ke-

munculan orang ini di saat dia sedang menjalan-

kan perintah yang menurutnya cukup menegang-

kan, angkat bicara, "Mengapa kau mencari pemu-

da itu?"

Sambutan seperti itulah yang dikehendaki 

si Bayangan Kuning. Dengan suara sesekali di-

buat geram dan masygul dia berkata, "Raja Naga 

telah membunuh adik seperguruanku!" 

"Keparat!" amarah di dada Purwa seketika 

menggelora. Kebenciannya pada Raja Naga sema-

kin menjadi-jadi mendengar kata-kata orang. 

"Orang dalam gelap, kami dapat merasakan ke-

marahanmu, karena kami juga sedang murka pa-

da pemuda celaka itu!"

Sibarani masih lebih dapat menguasai di-

rinya. "Bila kau tak keberatan, dapatkah kau

menceritakan mengapa pemuda yang juga kami 

cari itu membunuh adik seperguruanmu?" 

Si Bayangan Kuning yang telah menyusun 

rencana busuknya, sudah tentu dengan segera 

dapat menciptakan cerita bohongnya. Dengan su-

ara dibuat geram dia berkata, "Sepuluh hari yang 

lalu, secara tak sengaja adikku berjumpa dengan 

Raja Naga. Pemuda yang julukannya amat keso-

hor itu sudah tentu dikenal oleh adik seperguru-

anku kendati tidak pernah melihat sosoknya. Da-

lam perjumpaan itu, Raja Naga merayu adikku. 

Sayangnya... adikku yang belum banyak makan 

asam garam di rimba persilatan ini, terlena oleh

rayuannya. Dan... akh... aku tak bisa mencerita-

kan kelanjutannya kecuali satu, kalau adikku 

kemudian dibunuhnya."

"Terkutuk!!" geram Purwa seraya menger-

takkan rahangnya.

Si Bayangan Kuning semakin menggila 

dengan rencana busuknya. "Dan aku tak pernah 

membiarkan pemuda hidung belang itu banyak 

menelan korbannya. Di balik tindakannya yang 

selalu membela kebenaran, dia tak lebih dari ma-

nusia busuk!"

Purwa menggeram.

"Perlu kau ketahui, kami juga sedang men-

cari pemuda keparat itu!" 

"Keberatankah kau menceritakannya pa-

daku?"

Kebencian yang ada di dada Purwa menye-

babkan pemuda itu menceritakan segala-galanya. 

Sibarani sendiri sebenarnya tak menyetujui tin-

dakan kakak seperguruannya, karena secara ti-

dak langsung, dia telah mengungkapkan apa yang 

sedang mereka lakukan saat ini.

"Aku pernah mendengar tentang bunga-

bunga keramat itu," kata si Bayangan Kuning. 

"Huh! Raja Naga ternyata bukan hanya telah me-

malingkan kepala orang-orang darinya, tetapi ju-

ga telah menorehkan peristiwa buruk rimba persi-

latan! Kawan... kita punya keinginan yang sama 

untuk membunuh Raja Naga. Bagaimana bila kita 

saling bantu?" 

"Sudan tentu usulmu itu kami sambut 

dengan gembira!" sahut Purwa.

Sibarani buka mulut, "Kawan berpakaian 

kuning! Sejak tadi kita banyak bicara, tetapi kau 

belum memperkenalkan diri...." 

Si Bayangan Kuning tak segera menjawab. 

Dia berkata dalam hati, "Hemm... kejelasan sudah 

kudapatkan. Tinggal mencari kesempatan untuk 

mendapatkan Bunga Matahari Jingga. Tetapi un-

tuk saat ini biarlah kutahan keinginan itu. Biar 

kurasuki kebencian masing-masing orang pada 

Raja Naga,..."

Kemudian katanya, "Kalian boleh menge-

nalku sebagai Nimas Herning!" Lalu sambungnya 

dalam hati, "Nama yang bagus. Ya, Nimas Herning 

nama yang bagus dan mudah-mudahan mereka 

tidak curiga kalau itu hanyalah nama palsu."

"Nimas Herning...." Purwa berkata lagi. 

"Saat ini kami sedang menunggu kedatangan Raja 

Naga! Kami yakin kalau dia akan datang ke sini 

untuk mendapatkan Bunga Matahari Jingga, 

bunga keramat ketujuh! Seperti yang telah kita 

sepakati sebaiknya kau tetap berada di sini!"

Purwa memutuskan demikian mengingat 

dia dan Sibarani pernah dipecundangi oleh Raja 

Naga. Dengan kehadiran Nimas Herning yang ten-

tunya memiliki ilmu tak bisa dipandang sebelah 

mata, itu berarti menambah kekuatan mereka.

Lain yang dipikirkan Purwa, lain pula yang 

dipikirkan Sibarani. Perempuan berpakaian me-

rah dengan baju dalam warna hijau itu sesung-

guhnya menyesali apa yang dilakukan kakak se-

perguruannya. Karena tugas yang mereka emban 

sekarang ini adalah tugas sangat rahasia. Tak

seorang pun boleh mengetahuinya kecuali Dewa 

Segala Dewa, Dewa Seribu Mata dan Dewi Lem-

bah Air Mata. Tetapi apa hendak dikata, Purwa 

telah membeberkan semuanya.

Di pihak lain, Si Bayangan Kuning yang 

sebenarnya bukan bernama asli Nimas Herning, 

semakin mendapat kesempatan dengan kata-kata 

Purwa. Dia akan menunggu kesempatan untuk 

mendapatkan Bunga Matahari Jingga yang dica-

rinya.

Menyerang keduanya saat ini, itu berarti 

hanya akan membuang banyak tenaga. Terutama 

setelah mengetahui kalau Raja Naga dapat dijadi-

kan kambing hitam. Ketimbang membuang tena-

ga, lebih baik merasuki hati keduanya dengan ke-

bencian pada Raja Naga. Juga, akan ditunggunya 

kesempatan baik. 

Si Bayangan Kuning memutuskan, paling 

lambat besok senja dia sudah harus menda-

patkan Bunga Matahari Jingga.

Lalu katanya, "Terima kasih atas kesediaan 

dan penjelasan kalian hingga aku tak perlu ber-

susah payah melacak di mana Raja Naga berada!"

Purwa melenting ke belakang dan hinggap 

di atas batu yang tadi didudukinya.

"Kita tunggu kedatangan pemuda itu...."

Si Bayangan Kuning sudah melompat ke 

batu besar di dekatnya. Sibarani sendiri, walau-

pun menyesali apa yang dikatakan Purwa, mau 

tak mau hanya menuruti saja. Perasaannya saat 

ini mengatakan, sesuatu yang tidak enak akan 

terjadi.


EMPAT


PADA saat yang bersamaan, Raja Naga 

menghentikan larinya di sebuah tempat yang se-

pi. Di sekelilingnya ditumbuhi oleh ranggasan be-

lukar dan pepohonan tinggi. Matanya yang angker 

tak berkedip pada sebatang pohon, di mana tadi 

Puspa Dewi berada sebelum ditinggalkannya 

mencari makanan.

Dengan kening berkerut Raja Naga mende-

kati pohon itu. 

"Hemmm... ke mana dia pergi?" desisnya. 

Tiga ekor kelinci yang diburunya jatuh di atas ta-

nah. Mats angkernya memandang sekeliling. "Ru-

panya dia telah meninggalkanku. Bodoh! Bodoh 

sekali aku ini!!"

Untuk beberapa saat pemuda dari Lembah 

Naga ini terdiam, menyesali apa yang telah terja-

di.

"Bisa jadi kalau Puspa Dewi mengetahui 

kalau sesungguhnya aku mencurigainya. Dengan 

kepergiannya ini, semakin menguatkan dugaan-

ku, kalau dialah si Bayangan Kuning yang kulihat 

melarikan diri dan dialah si pencuri bunga-bunga 

keramat sesungguhnya. Brengsek! Aku tertipu 

mentah-mentah!"

Anak muda ini memaki-maki tak karuan, 

menyesali kelalaiannya sendiri. Diingatnya ba-

gaimana sebelumnya Puspa Dewi nampak begitu 

kelelahan hingga memutuskan untuk beristirahat 

dulu sebelum melanjutkan langkah menuju keDaerah Tak Bertuan.

Karena tak mau memancing kecurigaan si 

gadis berpakaian kuning, Raja Naga menyetujui

usulnya. Bahkan disetujuinya untuk mencari 

makanan.

"Brengsek! Aku telah ditipunya! Huh! Pasti 

saat ini dia sedang mencari Bunga Matahari Jing-

ga! Sayang, aku tidak tahu di mana bunga kera-

mat yang belum dicuri itu,..."

Kekesalan Raja Naga kian menjadi-jadi. Te-

tapi kemudian ditindih kekesalannya itu mengin-

gat kalau itu memang kelalaiannya sendiri.

"Dia pasti belum jauh, karena aku belum 

terlalu lama meninggalkannya. Tetapi, ke mana 

arah yang harus kutempuh?"

Raja Naga menimbang-nimbang sesaat se-

belum diangkat tangan kanannya yang dipenuhi 

sisik sebatas siku. Dipergunakannya ilmu 

'Rabaan Naga' yang dapat melacak jejak apa pun 

yang diinginkannya. Namun dia terkejut ketika 

tak mendapatkan jejak apa-apa!

"Astaga! Apa yang telah terjadi?" desisnya 

kaget seraya menurunkan tangan kanannya lagi. 

"Ilmu 'Rabaan Naga' seperti tak berguna. Celaka! 

Dia memang tahu kalau aku mencurigainya, dan 

ini semakin menambah keyakinanku kalau dialah 

si pencuri bunga-bunga keramat. Gadis itu ten-

tunya telah mempergunakan ilmunya, entah ilmu 

apa, hanya yang pasti dapat menangkap ilmu 

'Rabaan Naga' yang kupergunakan...."

Raja Naga benar-benar di ambang kemara-

hannya mengingat semua itu.

"Huh! Saat ini namaku sudah coreng mo-

reng karena tuduhan itu. Aku harus segera mem-

bersihkan namaku sebelum..."

"Ternyata ada manusia di sini! Bagus! Aku 

bisa bertanya sesuatu padamu!" suara cempreng 

itu memutus kata-kata Raja Naga. Belum lagi ha-

bis terdengar suara cempreng itu, satu sosok tu-

buh telah berdiri berjarak sepuluh langkah dari 

tempatnya.

Raja Naga memicingkan matanya untuk 

melihat siapa yang datang.

"Hemmm... seorang perempuan tua berke-

baya lusuh dengan baju berwarna hijau. Ram-

butnya hitam, tetapi... kondenya berwarna hijau!" 

katanya dalam hati.

Perempuan tua yang baru muncul itu me-

micingkan matanya sebelum berkata, "Anak mu-

da! Kau berada di tempat sesunyi ini, apakah se-

dang menunggu seseorang atau kau memang 

hendak menjadikan tempat ini sebagai tempat pe-

lepas lelah?"

Raja Naga tak segera menjawab. Kembali 

diperhatikannya sosok si perempuan yang ternya-

ta Dewi Lembah Air Mata adanya.

Setelah itu barulah dia berkata, "Aku sebe-

narnya bersama seseorang. Tetapi sayang, orang 

itu sudah pergi.... "

"Satu pergi satu datang! Ya, aku yang da-

tang ke hadapanmu sekarang! Anak muda... aku 

tidak mengenal siapa kau adanya! Dan kau ten-

tunya... hei!! Gila! Mengapa matamu bersorot 

angker mengerikan seperti itu?! Apakah kau tidak

suka dengan kehadiranku di sini?!" 

Raja Naga mendengus pelan. 

"Tak perlu kau hiraukan tentang mataku 

ini..."

"Ya! Memang tak perlu kuhiraukan!" sahut 

Dewi Lembah Air Mata sambil mengingat-ngingat 

sesuatu.

Raja Naga yang merasa harus segera men-

cari Puspa Dewi segera berkata, "Nek... aku tak 

punya banyak waktu. Aku harus segera menemu-

kan temanku itu."

"Mendengar nada bicaramu yang agak geli-

sah, aku dapat menebak siapa temanmu itu! Kau 

masih muda, dan tentunya temanmu adalah seo-

rang gadis belia! Atau boleh dikatakan, tentunya 

dia adalah kekasihmu!"

Raja Naga tidak menyahut. 

Dewi Lembah Air Mata berkata lagi, "Kau 

tentunya orang rimba persilatan dari pakaian 

yang kau kenakan! Dan tentunya tak asing bagi 

seorang rimba persilatan pernah mendengar satu 

julukan yang menggemparkan rimba persilatan!"

"Aku tak paham maksud kata-katamu...."

"Apakah kau pernah mendengar julukan 

Raja Naga?" seru Dewi Lembah Air Mata.

Raja Naga sesaat meragu sebelum berkata, 

"Ya... kenapa dengan dia?"

"Aku juga pernah mendengar julukan yang 

menggemparkan rimba persilatan karena sepak 

terjangnya yang menggegerkan! Tetapi sayangnya, 

aku belum pernah berjumpa dengan pemuda ber-

juluk Raja Naga hingga aku kesulitan untuk menemukannya!"

Perasaan Raja Naga mulai dibaluri sesuatu 

yang tidak enak. Dia menjadi gelisah sendiri. 

"Harap jangan bicara berbelit-belit! Sebaik-

nya kau jelaskan saja apa maumu...."

"Orang yang hidup di rimba persilatan sela-

lu mau bertindak cepat, tak mengherankan me-

mang. Anak muda... saat ini aku sedang mencari 

Raja Naga!"

Raja Naga menjerengkan matanya. "Kenapa

kau mencari Raja Naga?"

"Pemuda yang bersembunyi di balik tinda-

kannya yang menggegerkan, ternyata seorang 

pencundang yang pengecut! Dia telah menanam-

kan bibit permusuhan di rimba persilatan ini dan 

mencoreng namanya yang sudah melambung!"

"Aku memang mendengar julukan orang 

yang kau maksud, tetapi aku makin tidak men-

gerti tentang apa yang kau katakan," kata Raja 

Naga. Kendati mulutnya berbunyi demikian, na-

mun hatinya menduga sesuatu yang tidak enak.

Dewi Lembah Air Mata menyahut, "Raja 

Naga telah mencuri bunga-bunga keramat! Kau 

masih sedemikian muda, tentunya kau belum 

mendengar tentang bunga-bunga keramat! Aku 

tak punya waktu untuk menjelaskan tentang 

bunga-bunga itu! Dan yang kuminta sekarang, 

apakah kau tahu di mana Raja Naga berada?"

Murid Dewa Naga itu diam-diam menarik 

napas masygul.

"Firasat tidak enakku ini membawa kenya-

taan. Tentunya berita buruk itu telah menyebar.

Aku terpaksa harus berbohong sekarang agar 

urusan tidak semakin kapiran," katanya dalam 

hati. Lalu dengan menindih gemuruh di dadanya, 

pemuda berompi ungu itu berkata, "Nek... kalau 

kau tanyakan aku pernah mendengar julukan itu 

atau tidak, kujawab pernah. Tetapi aku tidak ta-

hu di mana orang yang kau maksudkan bera-

da...."

"Sayang sekali, sayang sekali. Padahal aku 

berharap kau dapat memberikan kejelasan pada-

ku."

"Apa yang hendak kau lakukan bila kau 

berjumpa dengannya?" tanya Raja Naga berhati-

hati.

"Kecuali menangkap dan membawanya ke 

hadapan Dewa Segala Dewa, tak ada keinginan 

yang lain di hatiku! Dia, harus mempertanggung-

jawabkan tindakan busuknya! Bahkan kalau da-

pat, dia harus dihadapkan pada gurunya sendiri 

hingga tak terjadi kesalahpahaman!"

Raja Naga menahan napas sejenak. "Dewa 

Segala Dewa?" katanya dalam hati. "Bukankah 

orang itu yang hendak dijumpai Puspa Dewi?"

Kemudian dia berkata, "Nek... apakah De-

wa Segala Dewa orang yang berdiam di Daerah 

Tak Bertuan?"

"Ya! Dialah majikan Daerah Tak Bertuan! 

Dan tak mengherankan kalau kau mengeta-

huinya!"

"Kau tadi mengatakan bunga-bunga kera-

mat, apa yang kau maksudkan dengan bunga-

bunga keramat itu?" tanya Raja Naga setelah terdiam beberapa jenak.

"Huh! Tadi sudah kukatakan, aku tak 

punya banyak waktu untuk menjelaskannya! Te-

tapi kau boleh tahu sedikit saja! Bunga-bunga ke-

ramat berjumlah tujuh buah! Bila dijadikan satu 

dan direndam di dalam air, maka air yang dimi-

num oleh seseorang akan menjadikan orang itu 

kebal terhadap senjata apa pun. Dan memiliki 

kekuatan seorang raksasa!" 

"Astaga! Sungguh menakjubkan! Dan 

sungguh mengerikan bila orang yang meminum 

air itu melakukannya untuk tindakan kejaha-

tan...." desis anak muda dari Lembah Naga itu da-

lam hati. "Aku harus menemukan Puspa Dewi. 

Gadis itu tentunya si pencuri yang se-

sungguhnya. Tetapi... mengapa dia mencari Dewa 

Segala Dewa dan Daerah Tak Bertuan? Apakah 

Bunga Matahari Jingga sesungguhnya berada di 

Daerah Tak Bertuan?" 

Raja Naga tak mencoba untuk menemukan 

pertanyaannya sendiri. Kemudian berhati-hati 

anak muda itu berkata, "Nek... sebaiknya kita 

berpisah di sini. Karena aku harus menemukan 

temanku itu...."

"Baik! Bila kau berjumpa dengan Raja Na-

ga, katakan padanya, Dewi Lembah Air Mata da-

tang untuk menangkapnya!"

Raja Naga hanya mengangguk. Di kejap 

lain dia sudah melangkah untuk meninggalkan 

tempat itu. Perasaan tidak enaknya semakin, 

menjadi-jadi.

"Ah, beruntung dia mempercayai ucapan

ku. Kalau tidak, urusan bisa jadi panjang! Aku 

akan banyak kehilangan waktu untuk mengejar 

Puspa Dewi, sementara menjelaskan keadaan 

yang sebenarnya pun percuma saja. Tentunya dia 

telah berjumpa dengan Purwa dan Sibarani yang 

menceritakan kesalahpahaman yang telah terjadi. 

Ah, apakah Purwa dan Sibarani menganggap ka-

lau ini hanya kesalahpahaman saja?" 

Sambil terus melangkah, anak muda be-

rompi ungu ini terus membatin. Tetapi apa yang 

dipikirkannya hanya sesaat membawa sedikit ke-

tenangan. Karena tiba-tiba saja satu suara cem-

preng yang sangat nyaring membentak keras, 

"Pemuda celaka! Kau mencoba mengelabui Dewi 

Lembah Air Mata rupanya! Untung aku ingat, ka-

lau Raja Naga memiliki sorot mata angker!"

Bersamaan bentakan itu terdengar, meng-

gebrak satu gelombang angin yang menyeret ta-

nah ke arah si pemuda! 

***

"Heeiiii!!" teriak Raja Naga tertahan dan ke-

jap itu pula dia membuang tubuh ke samping ka-

nan. Blaaarrrr!!

Ranggasan belukar di hadapannya terpa-

pas rata ujungnya. Dan tak jauh dari sana, suara 

letupan disusul dengan gemuruh tumbangnya se-

buah pohon terdengar keras.

"Menurut cerita orang, Raja Naga memiliki 

sorot mata angker! Dan mengenakan pakaian be-

rompi ungu! Dasar aku yang bodoh tidak tahu gelagat! Pemuda keparat, kau hampir berhasil me-

muslihatiku, padahal kaulah Raja Naga sebenar-

nya!!"

Dewi Lembah Air Mata melesat diiringi te-

riakan mengguntur. Kemarahannya tiba-tiba 

mencuat dan harus dituntaskan.

Raja Naga sendiri merasa tak akan ada gu-

nanya untuk menjelaskan kejadian yang sebenar-

nya. Cepat didorong kedua tangannya ke depan.

Wuutttt!! 

Blaaam! Blaaammm!!

Suara letupan dua kali berturut-turut ter-

dengar. Tanah di mana terjadinya benturan itu 

berhamburan setinggi satu tombak. Belum lagi 

tanah itu luruh kembali, satu bayangan hijau te-

lah melesat, menerobos ke depan dengan tangan 

kanan kiri digerakkan.

Tap! Tap!

Raja Naga mundur dua tindak. Lalu.... 

Buk! Buk!

Dihadangnya jotosan si nenek dengan tan-

gan kanan kirinya. Kedua tangannya sebatas siku 

yang dipenuhi sisik coklat, memiliki kekuatan ter-

sendiri yang mampu mematahkan sebuah godam. 

Tetapi benturan yang terjadi itu tak membawa 

akibat apa-apa pada Dewi Lembah Air Mata.

Bahkan tiba-tiba saja si nenek berkonde 

hijau ini mencelat ke atas. Lalu meluruk ke ba-

wah diiringi suara dengingan yang memekakkan 

telinga.

Cepat, Raja Naga palangkan kedua tan-

gannya di depan dada. Didahului satu dehaman

keras, disentak kedua tangannya ke atas.

Dehaman yang mengandung tenaga tak 

nampak itu tak mampu menahan lurukan tubuh 

Dewi Lembah Air Mata. Tetapi ketika gelombang 

angin disemburati asap merah yang keluar dari 

jurus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' mengge-

brak, membuat si nenek mengubah gerakannya.

Dia melenting ke samping dan hinggap di 

atas tanah dengan ringannya. 

Suara geramnya terdengar, "Tak menghe-

rankan kalau julukan Raja Naga telah membedah 

langit, karena memang memiliki ilmu yang tak bi-

sa dipandang sebelah mata! Malam ini aku masih 

memberimu kesempatan hidup, bila kau mau 

menyerahkan bunga-bunga keramat yang telah 

kau curi!"

Di tempatnya Raja Naga menjadi agak geli-

sah. 

"Apa yang harus kujelaskan kalau tuduhan 

itu telah melekat padaku? Tentunya bukan hanya 

dia yang sedang mencariku, tetapi orang berjuluk 

Dewa Segala Dewa juga sedang mencariku. Bisa 

pula masih ada orang-orang yang lain...."

"Tak banyak waktu yang kau punyai, Pe-

muda keparat!!" bentak Dewi Lembah Air Mata ge-

ram.

Raja Naga menghela napas pendek.

"Kau tak mengerti apa yang telah terjadi 

dan tak seorang pun yang bisa mengerti...."

"Ya! Siapa pun orangnya tak akan mau 

mengerti apa pun yang dikatakan pencuri busuk! 

Serahkan bunga-bunga keramat itu padaku!!"

Raja Naga tak menjawab. Bergeming pun 

tidak. Matanya yang angker semakin bertambah 

angker. Dilihatnya bagaimana perlahan-lahan 

Dewi Lembah Air Mata rangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada. Kalau sejak tadi dia me-

mandang ke depan, kali ini kepalanya agak di-

tundukkan hingga tubuhnya membungkuk sedi-

kit. Jelas kalau si nenek telah siap melancarkan 

satu serangan. 

Kendati Raja Naga dapat memahami apa 

yang akan dilakukan Dewi Lembah Air Mata, te-

tapi dia tercekat tatkala tiba-tiba mendengar pe-

rempuan tua itu terisak.

"Astaga! Apa yang terjadi? Mengapa dia te-

risak?"

Untuk beberapa saat pemuda berkuncir 

kuda ini merasa heran dengan apa yang diden-

garnya. Namun di kejap lain, dia tersentak. Kare-

na isakan yang pelan itu telah menggedor kedua 

telinganya hingga berdenging-denging!


LIMA


CELAKA! Apa yang terjadi? Ada apa ini?" 

serunya seraya alirkan tenaga dalamnya pada in-

dera pendengarannya. Tetapi isakan pelan yang 

menerobos dahsyat ke kedua telinganya, semakin 

keras terdengar. Dalam dua kejapan mata saja, 

tubuh Raja Naga bergetar hebat.

Menyusul suara letupan berulang kali ter-

dengar. Tanah berhamburan ke udara yang segera membuat tempat itu laksana diselimuti kabut 

tebal.

"Aku harus berbuat sesuatu bila tidak in-

gin celaka!" seru anak muda itu sambil tutup ke-

dua telinganya dengan tangan kanan kirinya. Kini 

disadari kalau isakan yang dilakukan si nenek 

ternyata merupakan satu serangan mengerikan.

Tiba-tiba dia berteriak setinggi langit se-

raya mendehem berkali-kali.

Letupan demi letupan keras terdengar. Te-

naga tak nampak yang keluar dari dehemannya 

berbenturan dengan tenaga aneh yang keluar dari 

isakan Dewi Lembah Air Mata. Tetapi isakan yang 

berdenging-denging keras itu semakin kuat me-

nerpa kedua telinganya

Telinga adalah salah satu alat keseimban-

gan tubuh selain dagu dan kedua bahu. Akibat 

dari terobosan suara isakan yang berdenging-

denging itu, Raja Naga terhuyung ke belakang. 

Sakit tak terkira membuat aliran darahnya ber-

tambah cepat dan mulai kacau. Kepalanya seperti 

dihantam gada besar berulang-ulang. Napasnya 

mulai terasa sesak.

"Celaka... aku bisa celaka!" serunya beru-

lang-ulang sambil terus mengerahkan tenaga da-

lamnya.

Dari sela-sela bibirnya telah mengalir da-

rah segar. Keseimbangannya semakin terganggu, 

sementara di seberang, Dewi Lembah Air Mata te-

tap bersikap seperti sebelumnya. Isakannya tetap 

terdengar hanya pelan saja.

Mendadak anak muda dari Lembah Naga

itu melepaskan tangan kanan kirinya dari kedua 

telinganya. Lalu diputar ke atas dan didorong ke 

depan dengan wajah tegang.

Wuussss!!

Gelombang angin disemburati asap merah 

menggebrak deras dan.... Blaaammm!

Laksana terhantam tenaga tak nampak, se-

rangan yang dilakukan Raja Naga guna memu-

tuskan ilmu aneh si nenek putus di tengah jalan. 

Raja Naga tidak putus nyali. Dia harus mele-

paskan diri dari isakan mengerikan itu.

Dengan mencoba mengembalikan keseim-

bangannya, dijejakkan kaki kanannya. Disusul 

dengan kaki kirinya. Tanah di hadapannya seke-

tika berderak, terangkat naik dan menyusur den-

gan suara bergemuruh ke arah Dewi Lembah Air 

Mata yang masih menunduk.

Masih tetap terisak, Dewi Lembah Air Mata 

tiba-tiba menepukkan kedua tangannya di tanah. 

Akibatnya.... 

Jlegaaarrrr!! 

Letupan yang membuat tempat itu seperti 

bergetar terjadi. Tanah semakin berhamburan ke 

udara. Namun kali ini Raja Naga merasakan te-

kanan menyakitkan pada kedua telinganya sedikit 

berkurang. Ini terjadi karena Dewi Lembah Air 

Mata terpaksa menurunkan tangannya yang di-

rangkapkan di depan dada tadi.

Kesempatan itu dipergunakan Raja Naga 

untuk melesat ke depan. Jalan satu-satunya un-

tuk menghentikan serangan aneh itu dengan ja-

lan menghentikan sumbernya. Tetapi....

"Aaaakkhhhh!!"

Anak muda itu menjerit keras bersamaan 

tubuhnya terpelanting ke belakang, karena Dewi 

Lembah Air Mata telah merangkapkan kembali 

kedua tangannya di depan dada disertai isakan-

nya yang tetap pelan namun terus terdengar.

Disusul dengan tubuhnya yang berguling-

guling berulang-ulang. 

"Kau terlalu keras kepala, Pemuda terku-

tuk! Tak mau menyerahkan kembali bunga-bunga 

keramat yang telah kau curi, itu artinya akan 

menambah penderitaan yang kau alami!" seru 

Dewi Lembah Air Mata tetap terisak dan sejauh 

ini tak ada air mata yang mengalir.

Raja Naga merasa punggungnya remuk se-

telah menghantam sebuah pohon. Sempoyongan 

pemuda tampan ini mencoba berdiri. Tulang-

tulang pada kakinya seperti telah terlolosi.

"Aku yakin, dalam dua gebrakan berikut-

nya... aku tak akan mampu menghadapi serangan 

aneh si nenek...," desisnya dengan wajah tegang. 

Darah yang merembes melalui sela-sela bibirnya 

makin banyak. Diusap dengan punggung tangan-

nya yang terasa nyeri saat dilakukan.

Tenaga dalamnya masih dikerahkan untuk 

menghindari terobosan isakan berdenging-

denging yang dahsyat itu.

"Aku harus mencoba lagi...," desisnya da-

lam hati. Masih sedikit sempoyongan, anak muda 

bersisik coklat ini memasukkan tangannya ke ba-

lik rompi yang dikenakannya. Tersentuh olehnya 

sebuah benda yang seperti menempel pada kulit

perutnya tetapi tidak menimbulkan tonjolan. Se-

gera diambil keluar benda yang memancarkan si-

nar hijau. Anehnya, benda yang tadi seperti lem-

pengan, begitu dipegangnya berubah bentuk. 

Menjadi sebuah gumpalan berwarna hijau!

Itulah benda sakti warisan dari mendiang 

ayahnya, Gumpalan Daun Lontar.

Di seberang Dewi Lembah Air Mata sempat 

melihat benda di tangan Raja Naga.

"Kabar telah sampai di telingaku, kalau 

mendiang Pendekar Lontar memiliki sebuah ben-

da berwujud gumpalan daun lontar. Rupanya 

benda itu diwarisi oleh Raja Naga. Huh! Ingin ku-

lihat kebenaran cerita... apakah memang benda 

itu sesuatu yang pantas diperebutkan!"

Memutuskan demikian, Dewi Lembah Air 

Mata bertambah terisak. Ilmu anehnya ini me-

mang sukar dibendung. Isakan yang pelan itu te-

tapi akan melesat tajam mendenging-denging 

dahsyat pada telinga orang-orang yang ditujunya.

Raja Naga sendiri terbanting lagi. Gumpa-

lan Daun Lontar itu masih erat dipegangnya. Lalu 

tiba-tiba saja Gumpalan Daun Lontar itu dipecah 

menjadi dua dengan gerakan yang sangat ringan. 

Di kejap lain, kedua telinganya sudah ditutupi 

Gumpalan Daun Lontar yang terbagi dua.

Begitu Gumpalan Daun Lontar yang terbagi 

dua menutupi kedua telinganya, Raja Naga tak 

lagi mendengar suara dahsyat berdenging-denging

yang hampir memutus nyawanya. Dan anak mu-

da ini melakukan satu siasat yang baik. Kendati 

tak lagi dirasakan kedahsyatan suara yang menerobos telinganya, tetapi dia sengaja membuat tu-

buhnya terbanting dan terhuyung. Hal ini dilaku-

kan untuk mengelabui Dewi Lembah Air Mata.

Karena Raja Naga berpikir tak akan mung-

kin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pa-

da Dewi Lembah Air Mata. Bila dihadapinya si 

nenek, itu artinya semakin menambah keyakinan 

si nenek kalau dia memang bersalah.

Di seberang Dewi Lembah Air Mata men-

dengus penuh kebencian. 

"Gumpalan Daun Lontar bukan sesuatu 

yang hebat!" dengusnya. "Terbukti ilmu 'Air Mata 

Purnama' ini tetap membuatnya seperti orang bo-

doh! Akan kusiksa dia lebih dulu sampai aku 

puas, sebelum kuserahkan pada Dewa Segala 

Dewa!"

Dewi Lembah Air Mata semakin kuat men-

gerahkan ilmu anehnya itu. Berkali-kali dia men-

dengus puas melihat pemuda berompi ungu yang 

kedua telinganya tertutup Gumpalan Daun Lontar 

terhuyung, terbanting dan muntah darah. 

Yang tak disadarinya, kalau jarak dirinya 

dengan anak muda itu semakin lama cukup jauh. 

Kalau sebelumnya Raja Naga hanya terbanting 

sekitar jarak delapan langkah, sekarang anak 

muda itu makin terhuyung dan menjauh.

Tiba-tiba Dewi Lembah Air Mata tersentak 

seraya berseru, "Kurang ajar! Kau...." 

Seruannya itu terputus karena Raja Naga 

sudah melompat ke balik ranggasan semak dan 

berlari. Dia berseru keras, "Dewi Lembah Air Ma-

ta! Kelak kau akan tahu kebenaran dari apa yang

terjadi!"

Dewi Lembah Air Mata menggeram sengit 

seraya menghentikan ilmu 'Air Mata Purnama'. 

Parasnya mengeras dengan rahang berkali-kali 

dikertakkan.

"Terkutuk! Terkutuk! Mengapa aku baru 

menyadari itu?" geramnya sengit. "Ilmu 'Air Mata 

Purnama' menyerang telinga dan jantung. Kedua 

indera itu bila terendam hebat, maka akan men-

gakibatkan pendarahan. Dan tadi... terkutuk! Se-

jak dia menutup kedua telinganya dengan Gum-

palan Daun Lontar itu, tak lagi kulihat kalau dia 

muntah darah atau mengeluarkan darah dari se-

la-sela mulutnya..."

Kemarahan Dewi Lembah Air Mata sema-

kin tinggi mengingat kalau dia berhasil dimusliha-

ti oleh pemuda dari Lembah Naga itu. Di lain saat 

terdengar geramannya setinggi langit. Disusul so-

soknya melesat ke arah perginya Raja Naga.

"Tak akan pernah kulepaskan kau, Pemuda 

celaka!!"

***

Menjelang pagi, Raja Naga menghentikan 

langkahnya di jalan setapak. Diperhatikannya se-

keliling tempat itu, barangkali saja perempuan 

tua berkonde warna hijau itu menyusulnya. Sete-

lah ditunggu beberapa saat tak juga ada tanda-

tanda kemunculannya, Raja Naga menarik napas 

pendek. Gumpalan Daun Lontar yang tadi dibagi 

dua sudah disatukan kembali ketika berlari tadi.

Dia baru saja merendam Gumpalan Daun Lontar 

itu di dalam air yang kemudian air itu diminum-

nya. Luka dalam yang dideritanya akibat hanta-

man ilmu aneh Dewi Lembah Air Mata berangsur-

angsur lenyap hingga kini Raja Naga merasa telah 

pulih kembali. Gumpalan Daun Lontar itu sendiri 

telah dimasukkan ke balik rompinya yang seketi-

ka menyatu kembali dengan kulit perutnya. 

"Urusan ini semakin melebar sementara 

aku semakin kehilangan jejak Puspa Dewi. Huh! 

Dasar aku yang lalai! Tak seharusnya aku menu-

ruti keinginannya untuk beristirahat!" geramnya 

sengit. "Tak ada sama sekali jejak yang berarti, 

yang dapat membawaku kepadanya!"

Raja Naga terus berpikir keras. Kehadiran 

Dewi Lembah Air Mata sesungguhnya memang ti-

dak disengaja. Dan itu terjadi karena permintaan 

Puspa Dewi yang beristirahat di sana. Bila saja 

tak dipenuhinya permintaan itu, mungkin saat ini 

Puspa Dewi tak akan terlepas dari perhatiannya, 

juga tak perlu melibat urusan dengan Dewi Lem-

bah Air Mata.

"Tak ada yang perlu disesali," desahnya 

kemudian seraya menghela napas pendek. Mata 

angkernya memandang ke depan. "Yang perlu ku-

atasi saat ini, secepatnya meluruskan tuduhan 

yang kualami. Juga menemukan Puspa Dewi...." 

Memutuskan demikian, pemuda yang len-

gan kanan kirinya sebatas siku bersisik coklat ini 

kembali meneruskan langkahnya. Sambil me-

langkah setengah berlari, mata angkernya me-

mandang ke sana-kemari penuh perhatian.

Perasaannya masih dibuncah kejengkelan 

yang terus ditindihnya sampai dia tak lagi mera-

sakan kejengkelan itu, kecuali bertekad untuk 

menemukan Puspa Dewi yang dipikirnya pelaku 

dari semua pencurian bunga-bunga keramat. Ka-

lau dia sudah berhasil menangkap si pencuri 

yang sesungguhnya, maka dengan mudah dapat 

dibersihkan namanya dari segala tuduhan yang 

menyerang. 

Setelah melewati sebuah hutan dan tiba 

pada jalan berdebu, Raja Naga terpaksa menyem-

bunyikan diri, ketika melihat sejumlah orang yang 

melangkah gagah. Empat orang lainnya sedang 

menggotong sebuah tandu bagus.

Rombongan itu lewat di hadapannya tanpa 

ada yang keluarkan kata-kata. Hanya derap lang-

kah mereka saja yang terdengar teratur. Raja Na-

ga tak sempat melihat apa atau siapa yang berada 

di dalam tandu indah berwarna biru yang dipe-

nuhi untaian benang dan bunga keemasan, kare-

na tandu itu rapat dan tak tembus pandang. 

Setelah rombongan itu berlalu, barulah Ra-

ja Naga keluar dari persembunyiannya. Dipan-

danginya orang-orang itu yang semakin menjauh.

"Siapa lagi mereka?" desisnya sambil mem-

perhatikan sekelilingnya sejenak. "Baru kali ini 

aku berjumpa dengan rombongan itu.... Ah, aku 

menangkap sesuatu yang tidak enak dari kehadi-

ran orang-orang yang membopong tandu itu. Sia-

pa pula orang yang berada di dalam tandu itu? 

Ah, apakah memang orang atau sesuatu yang be-

rada di sana?"

Raja Naga tak mau meneruskan lagi jalan 

pikirannya, karena dia harus menemukan Puspa 

Dewi. Anak muda ini tetap berkeyakinan kalau 

Puspa Dewi adalah orang yang bertanggung jawab 

atas urusan ini.

Dan tanpa sepengetahuannya, orang yang 

berada di dalam tandu yang kini melewati hutan 

yang tadi dilewati Raja Naga, membatin, "Kulihat 

ada tarikan dan helaan napas ketika kulewati ja-

lan berdebu tadi. Jelas kalau ada seseorang yang 

mengintai. Kalau memang dia orang yang kucari, 

tak mungkin dia bersembunyi atau menghindar. 

Karena orang itu juga sedang mencariku. Berarti 

bukan dia...."

Orang di dalam tandu ini ternyata seorang 

perempuan berpakaian biru keemasan dengan 

perhiasan pada kedua lengan dan pergelangan 

tangannya. Anting-anting indah menghiasi kedua 

daun telinganya, bertakhta mutu manikam. Ram-

butnya hitam berkilat, disanggul ke atas dengan 

diberi sebuah jepitan terbuat dari emas. Parasnya 

hanya samar-samar terlihat, karena cadar dari 

sutera warna keemasan itu menghalangi di depan 

wajahnya. Walaupun demikian, parasnya telah 

memperlihatkan kejelitaannya. Hidungnya man-

cung dengan bibir memerah ranum menggiurkan. 

Sepasang matanya indah, berkilat-kilat menan-

dakan kalau dia seorang perempuan yang cerdik.

Perempuan berusia sekitar tiga puluh lima 

tahun itu tiba-tiba berseru di pertengahan hutan 

yang sedang mereka lewati, "Berhentiiii!!!"

Orang-orang berpakaian putih yang mem

bopong tandu maupun yang mengiringi, seketika 

berhenti. Empat orang yang membopong tandu 

tak perlu menurunkan tandu itu di atas tanah, 

karena....

Wuuuttt!! 

Tandu itu tiba-tiba saja melesat dengan 

ringan. Menabrak beberapa ranting pohon sebe-

lum kemudian bertengger di antara cabang se-

buah pohon.

Sentakan tandu itu sama sekali tak meng-

goyahkan keseimbangan pada penggotongnya. Ka-

laupun kemudian mereka duduk berlutut, karena 

memang itulah kebiasaan yang mereka lakukan 

bila orang dalam tandu memerintahkan berhenti 

dan telah mencari sebuah tempat. 

Suara merdu terdengar dari balik tandu 

berwarna biru keemasan itu, "Hampir sebulan 

lamanya kita meninggalkan Tanah Kayangan, te-

tapi hingga saat ini belum menemukan orang 

yang kucari! Dan mulai hari ini… aku membe-

baskan kalian untuk pergi!!"

Salah seorang berkata sambil merang-

kapkan kedua tangannya, "Ketua! Sudah lima ta-

hun kami mengabdi, dan rasanya tak mungkin 

kami akan meninggalkan Ketua!"

"Urusan yang kuhadapi ini bukan urusan 

ringan! Kalaupun aku mengajak kalian dalam 

bentuk rombongan, karena aku tak mau mening-

galkan kalian di Tanah Kayangan! Karena tak 

mustahil perempuan itu akan muncul dan meng-

hancurkan kalian selagi aku mencarinya!"

"Ketua... kami tak peduli dengan apa yang

akan terjadi pada kami! Tetapi...."

"Tahan ucapanmu, Menggala!" seruan pe-

rempuan dalam tandu yang tetap bernada merdu 

itu terdengar lagi. "Dengarkan ucapanku seka-

rang... aku sama sekali tak menyangsikan kese-

tiaan kalian kepadaku! Sejak lima tahun lalu ka-

lian mengabdi setulus hati padaku, hingga ra-

sanya aku tak pernah menganggap kalian sebagai 

abdi-abdiku! Karena selama ini aku telah men-

ganggap kalian sebagai teman-temanku dan ku-

harap kalian juga menganggapku seperti itu, bu-

kan sebagai seorang Ketua yang harus kalian 

hormati!" 

Si perempuan menghentikan ucapannya. 

Lalu melanjutkan, "Dan pada malam purnama 

bulan lalu, perempuan berjuluk Ratu Dinding 

Kematian telah datang dengan membawa suasana 

tak mengenakkan. Untung saat itu aku berada di 

tempat hingga kehadirannya tak banyak menelan 

korban!"

"Dan seperti yang kalian ketahui" si perem-

puan melanjutkan, "Ratu Dinding Kematian ada-

lah kakak seperguruanku yang telah lama mem-

benciku! Aku sendiri tak pernah mengerti menga-

pa dia membenciku kecuali, kalau dia sebenarnya 

juga menghendaki Kitab Ajian Selaksa Sukma 

yang diberikan guruku padaku. Padahal, dia telah 

mendapatkan Kitab Ajian Selaksa Jiwa yang juga 

tak kalah dahsyatnya. Kitab Ajian Selaksa Sukma 

telah kusembunyikan di satu tempat setelah ku-

pelajari isinya. Rupanya, Ratu Dinding Kematian 

tak pernah membiarkan keinginannya itu tertu

tup hingga dia terus menerus berusaha untuk 

mendapatkannya kembali. Dan pada purnama la-

lu, dia datang kembali, tetapi berhasil kugagal-

kan. Namun aku masih ingat apa yang dikata-

kannya kemudian...." 

"Kami pun ingat, Ketua... karena kami 

memang berada di sana...," sahut Menggala.

"Ya! Ratu Dinding Kematian mengatakan, 

kalau dia akan mencariku dan menjumpaiku lagi 

dua bulan mendatang dari kedatangannya waktu 

itu! Dikatakannya juga, kalau dia telah menemu-

kan jejak bunga-bunga keramat milik Tiga Pengu-

asa Bumi yang akan dicabut dan dimilikinya! 

Dengan kesaktian yang akan didapatkan itulah 

dia akan membunuhku!"

"Ketua! Kami tak akan membiarkan hal itu 

terjadi!" seru Menggala yang disahuti oleh yang 

lainnya.

Perempuan dalam tandu itu tersenyum. 

"Ya... aku dapat mengerti semua itu karena 

kalian memang orang-orang yang penuh bakti. 

Tetapi, aku juga telah membayangkan kesaktian 

macam apa yang akan didapatkan oleh Ratu 

Dinding Kematian bila dia telah menyatukan 

bunga-bunga keramat itu. Mungkin, aku sendiri 

tak akan dapat mengalahkannya. Jadi kuminta 

kalian dapat memaklumi keadaan ini, hingga ber-

sedia meninggalkanku sekarang juga...."

Kesepuluh lelaki berpakaian putih itu tak 

ada yang menyahut. Bahkan mengangkat kepala 

saja tidak.

Di dalam tandu si perempuan menarik na

pas masygul. Dia berkata sendiri, "Dengan 'Ajian 

Selaksa Jiwa', tak mustahil Ratna Wangi atau 

yang berjuluk Ratu Dinding Kematian dapat men-

gambil dengan mudah bunga-bunga keramat itu. 

Tentunya dia telah mengetahui mantra yang dila-

kukan oleh Dewa Segala Dewa. Tetapi, semua 

mantra apa pun akan punah oleh 'Ajian Selaksa 

Jiwa' maupun 'Ajian Selaksa Sukma'. Karena pa-

da dasarnya, Dewa Segala Dewa adalah paman 

guruku dan paman guru Ratna Wangi. Ah, apa-

kah Ratna Wangi memang sudah mendapatkan 

bunga-bunga keramat itu? Aku jadi ingat pada 

Puspa Dewi, gadis yang kudidik menjadi muridku 

dan sekarang kuperintahkan untuk menjumpai 

Dewa Segala Dewa di Daerah Tak Bertuan. Mu-

dah-mudahan Puspa Dewi membawa berita yang 

cukup menggembirakan kalau sesungguhnya 

bunga-bunga keramat itu masih berada di bawah 

pengawasan Tiga Penguasa Bumi."

Setelah hening beberapa saat, si perem-

puan berkata, "Aku tak ingin mengorbankan ka-

lian! Jadi lebih baik kita berpisah untuk sementa-

ra waktu! Bila aku masih memiliki umur panjang, 

kita dapat bertemu lagi di Tanah Kayangan!" 

Habis seruan itu terdengar, tiba-tiba saja 

tandu yang berada di atas pohon itu meledak ke-

ras dan berhamburan segala yang telah beranta-

kan.

Orang-orang di bawah segera berdiri den-

gan mata membuka lebar. Mereka hanya sempat 

melihat, bayangan biru keemasan melesat dari sa-

tu pohon ke pohon lain dan kemudian lenyap dari

pandangan.

Tak ada yang buka suara. Masing-masing 

orang dilanda kebingungan dan tanggung jawab. 

Lalu Menggala memutuskan untuk segera me-

ninggalkan tempat itu. Tidak menuju ke Tanah 

Kayangan.


ENAM


MENUNGGU semalaman hingga matahari 

sudah melewati batas kepala, sungguh suatu pe-

kerjaan yang tidak menyenangkan. Terutama ka-

rena orang yang diharapkan datang tak kunjung 

tiba. Perasaan itu melanda Purwa dan Sibarani 

yang terus menerus duduk di atas batu besar.

Di pihak lain, si Bayangan Kuning hanya 

terdiam kendati otaknya terus merencanakan saat 

yang tepat. Tak lama lagi senja akan datang. Se-

malam diputuskan untuk mendapatkan Bunga 

Matahari Jingga paling lambat pada senja hari ini.

Diliriknya Purwa yang sedang menggeram. 

Dilihatnya Sibarani yang kendati parasnya mem-

biaskan kebosanan tetapi sangat dipaksakan. Si 

Bayangan Kuning sendiri tak memungkiri kalau 

perutnya sudah berteriak-teriak minta diisi. Dia 

juga merasa pasti kalau Purwa dan Sibarani juga 

sudah kelaparan. Karena sejak semalam, tak seo-

rang pun yang turun dari batu yang masing-

masing duduki. Tak terkecuali untuk buang air. 

Si Bayangan Kuning berkata, "Mengapa Ra-

ja Naga belum muncul juga?"

Purwa melirik. Lelaki bercambang tebal itu 

tak menjawab. Kembali menatap ke depan. Ken-

dati bersikap acuh, Sibarani melihat ada sedikit 

cahaya di mata Purwa.

Dia berkata, "Kami juga sedang menunggu 

kedatangannya, jadi tak bisa menjawab perta-

nyaanmu."

Si Bayangan Kuning tersenyum. Di saat 

matahari menyalang garang ini, terlihat jelas so-

soknya. Dia seorang perempuan jelita berusia se-

kitar tiga puluh tujuh tahun. Hidungnya bangir 

dengan bibir menawan. Tepat pada bagian tengah 

keningnya, nampak sebuah tahi lalat. Rambutnya 

digelung ke atas dan diberi pita warna kuning. 

Pakaian kuning yang dikenakannya ternyata di-

penuhi dengan sulaman benang keemasan.

"Menunggu adalah pekerjaan yang membo-

sankan," kata si Bayangan Kuning mencoba men-

cari kesempatan. "Tetapi biar bagaimanapun juga, 

aku tak akan mundur sebelum membunuh pe-

muda yang telah mempermalukan dan membu-

nuh adik seperguruanku." 

"Nimas Herning... mengapa kau jadi begitu 

banyak omong?" tanya Sibarani dengan mata me-

nyelidik. Lalu menyambung dalam hati. "Ku-

sayangkan kalau Kakang Purwa mengatakan apa 

yang sedang kami lakukan. Ah, rasanya ada se-

suatu yang disembunyikan oleh Nimas Herning. 

Tetapi aku tidak tahu apa yang disembunyikan-

nya....!"

Si Bayangan Kuning yang mengaku ber-

nama Nimas Herning tersenyum.

"Apakah kau memungkiri kalau kau juga 

sudah jadi tidak sabaran, Sibarani?"

Dibalik ucap seperti itu membuat Sibarani 

mendengus. Tetapi dibenarkan juga apa yang di-

katakan Nimas Herning. 

Purwa buka suara seraya melompat turun.

"Aku akan mencari makanan!"

Itulah yang ditunggu oleh si Bayangan 

Kuning. Dia berharap salah seorang dari kedua-

nya memutuskan untuk mencari makanan. Den-

gan cara seperti itu dapat dijalankan rencananya 

dengan segera. Karena dia yakin, untuk menca-

but Bunga Matahari Jingga adalah sebuah peker-

jaan yang mempertaruhkan nyawa. Bila sekarang 

dia hanya menghadapi salah seorang dari kedua-

nya, tentunya tak akan banyak membuang tena-

ga.

Buru-buru dia berkata, "Aku menyukai ke-

linci panggang...."

Purwa tersenyum.

"Aku juga menyukai kelinci panggang."

Nimas Herning tertawa, sementara Sibarani 

diam-diam mendengus. Entah mengapa dia men-

jadi gusar mendengar tawa dan sikap mesra Ni-

mas Herning. Terutama melihat Purwa terse-

nyum. Sungguh, sekali pun Sibarani belum per-

nah mendapatkan senyuman seperti itu. 

Purwa sendiri sudah melesat meninggalkan 

tempat itu. Sepeninggalnya, Sibarani berkata din-

gin, "Nimas Herning... siapa kau sebenarnya?"

Si Bayangan Kuning mengalihkan pandan-

gannya pada Sibarani. Bibirnya tersenyum.

"Astaga! Sungguh aneh pertanyaanmu, Si-

barani...."

"Setiap pertanyaan yang kulontarkan, tak 

ada yang aneh!" sahut Sibarani dingin. Perasaan 

tak sukanya pada Nimas Herning semakin menja-

di-jadi. "Kau tahu aku dan Kakang Purwa sedang 

menjalankan tugas yang tak bisa dipandang en-

teng. Lebih baik kau menyingkir dari sini...."

"Sibarani, Sibarani… mengapa kau berkata 

begitu? Semalam kau tak banyak ucap tatkala 

kuputuskan untuk bergabung dengan kalian, Te-

tapi sekarang... ah" Nimas Herning tersenyum 

yang membuat Sibarani bertambah jengkel. "Aku 

tahu apa yang menyebabkanmu bersikap demi-

kian...."

"Kau tahu atau tidak, aku tidak peduli!"

"Sibarani... kalaupun Purwa tiba-tiba me-

nyukaiku, bukankah itu haknya?" kata Nimas 

Herning sambil tersenyum. 

Wajah Sibarani kontan memerah. Perem-

puan berpakaian dalam warna hijau itu menga-

lihkan perhatiannya ke tempat lain.

"Brengsek! Dia dapat menebak perasaan-

ku!" geramnya dalam hati. "Tetapi... ah, mengapa 

perasaanku jadi begin!?"

Si Bayangan Kuning sendiri tak mau pedu-

li. Dia memang sengaja menyakiti hati Sibarani 

setelah mengetahui perasaan perempuan itu pada 

Purwa.

"Dan rasanya aku juga tak bersalah bila 

aku menyukai Purwa, bukan?" 

"Tutup mulutmu itu!"

"Astaga! Mengapa kau menjadi gusar? Apa 

yang kukatakan ini memang sebuah kenyataan! 

Semalam aku belum melihat wajah kalian dengan 

jelas! Dan begitu melihat wajah Purwa yang tam-

pan rasanya aku jatuh cinta padanya...."

Ingin Sibarani membungkam mulut usil 

perempuan berpakaian kuning itu. Disesalinya 

mengapa semalam dibiarkan saja Nimas Herning 

bergabung. 

Perempuan berpakaian kuning keemasan 

itu tersenyum dalam hati. "Ini kesempatan yang 

tak boleh ku sia-siakan! Akan kucecar hatinya 

hingga dia menjadi marah. Dan rasanya dia tak 

punya alasan untuk menyerangku. Berarti... ya, 

aku harus menyingkirkannya dari sini. Bila dalam 

dua puluh kejapan mata dia tak menyingkir, be-

rarti dia harus kubunuh dan Bunga Matahari 

Jingga harus kudapatkan sebelum Purwa kemba-

li."

Kemudian dicecarnya Sibarani dengan 

ucapan demi ucapan yang membuat telinga pe-

rempuan itu memerah. Tangan kanan kiri Siba-

rani sudah mengepal kuat. Ditahan amarahnya 

yang sudah mendidih.

"Ya... kupikir memang tak ada salahnya bi-

la aku mencintai Purwa dan Purwa mencintaiku. 

Sibarani... apakah kau merestui percintaan ka-

mi?" 

Sibarani tak menjawab. Melirik pun tidak. 

Dikuatkan perasaannya agar tidak meledak ama-

rah. Dia memang tak punya alasan untuk mem-

bungkam mulut perempuan itu. Apa yang dikata

kannya memang benar. Sungguh tak ada sesuatu 

yang salah bila ternyata Purwa dan Nimas Hern-

ing akhirnya saling mencinta. Tetapi cara bicara 

perempuan itulah yang membuat Sibarani ham-

pir-hampir tak mampu untuk menahan diri.

"Nimas Herning...," desisnya dengan tata-

pan tajam. "Sebaiknya kau membuat api untuk 

memanggang daging kelinci...." 

"Kupikir juga begitu. Seorang lelaki ten-

tunya akan semakin menyayangi seorang perem-

puan bila perempuan itu dapat bersikap lembut, 

anggun, dan penuh perhatian...." 

"Bagus! Buatlah api itu!"

Nimas Herning menyeringai. 

Sibarani mengangguk-angguk dalam hati, 

"Bagus! Aku tak punya alasan untuk membung-

kam mulut keparatnya. Tetapi aku bisa mem-

buatnya menjadi budakku! Menyuruhnya mem-

buat api termasuk pekerjaan pertama untuknya!"

Namun yang diduga Sibarani jauh dari ke-

nyataan. Karena tiba-tiba saja Nimas Herning 

berkata, "Sibarani... bukanlah lebih baik bila yang 

membuat api adalah Purwa? Membuat api adalah 

tugas seorang laki-laki. Menguliti kelinci atau 

ayam hutan juga tugas laki-laki. Tugas kita seba-

gai seorang perempuan... hanya memanggang lalu 

memakannya...."

Mendidih darah Sibarani sekarang. Perem-

puan berpakaian merah itu tak bisa lagi menahan 

diri. Kontan dia berdiri dengan tangan menuding.

"Siapa kau sebenarnya, Nimas Herning?!" 

serunya berapi-api. Perubahan yang terjadi pada

Nimas Herning membuatnya bertambah heran. 

Semalam perempuan itu bersikap begitu sopan 

dan sekarang begitu pandai menyakiti hatinya. 

Nimas Herning juga berdiri. Dipandanginya 

Sibarani sambil berkata dalam hati, "Senja telah 

datang. Saat ini juga aku harus mendapatkan 

Bunga Matahari Jingga."

Sambil menyeringai dia berkata, "Aku ada-

lah... perempuan jelita yang mencintai dan dicin-

tai Purwa. Sungguh menyedihkan memang, bila 

kita mencintai orang lain tetapi tak mendapatkan 

balasan darinya...!"

"Tutup mulutmu!!" 

Wuuuduuttt!!

Gelombang angin menggebrak ke arah pe-

rempuan berpakaian kuning itu yang masih ter-

tawa hanya mengibaskan tangan kanannya di 

atas.

Blaaarrr!!

Serangan itu putus di tengah jalan. Siba-

rani memicingkan matanya.

"Ah, mengapa aku jadi tak bisa menahan 

diri? Tidak, tidak! Aku akan makin bikin kesala-

han bila kuserang dia! Yang dikatakannya itu 

memang benar! Kalau Kang Purwa mencintainya, 

aku memang tak bisa…"

"Mengapa kau hentikan seranganmu, Siba-

rani?" seruan Nimas Herning memutus kata batin 

Sibarani. "Ayo, tak usah tanggung-tanggung! Tun-

jukkan kemampuanmu untuk menghadapiku! Ini 

sungguh kebetulan! Selagi Purwa tak ada di sini, 

kita bisa mengadu kepandaian! Karena, yang

pandailah yang akan dipilih oleh Purwa!!"

Sibarani yang sudah memutuskan untuk 

menahan sabar hanya menggeram.

"Tak perlu diperpanjang urusan!"

"Mendadak saja kau jadi penakut, hah?!" 

ejek si Bayangan Kuning sambil tertawa keras. 

Dia sengaja memancing amarah Sibarani "Atau 

kau kini mulai sadar kalau Purwa memang men-

cintaiku? Di samping itu juga, kau merasa tak 

akan mampu menghadapiku?"

"Keparat! Akan kuberi pelajaran perem-

puan keparat ini!!" geram Sibarani dalam hati.

Karena kemarahan yang membara di da-

danya, Sibarani tak mau bertindak tanggung. Ti-

ba-tiba saja dia melompat dari batu besar yang 

didudukinya. Begitu hinggap di tanah, dia lang-

sung duduk berlutut.

Sambil menatap tajam pada perempuan 

berpakaian kuning keemasan yang sedang me-

nyeringai di hadapannya, pelan-pelan Sibarani 

rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Ke-

palanya sedikit diangkat. Sepasang matanya ber-

kilat-kilat penuh kebencian.

Di seberang, perempuan bermaksud busuk 

itu membatin, "Nampaknya Sibarani tak mampu 

lagi menahan kemarahannya. Bagus! Akan kuha-

bisi dia, dan kucabut Bunga Matahari Jingga lalu 

meninggalkan tempat ini. Tapi...," perempuan ini 

memutus kata batinnya. "Mengapa aku begitu 

bodoh? Akan kubuat satu permainan yang mena-

rik! Dan satu-satunya cara, adalah membuat Si-

barani tak bisa lagi bersuara!"

Pelan-pelan perempuan berambut digelung 

ke atas ini melihat tubuh Sibarani bergetar. Ke-

ningnya berkerut tatkala melihat dari kepala Si-

barani keluar asap putih yang sangat pekat.

Di saat lain, sambil merapatkan mulutnya, 

perempuan berpakaian kuning keemasan ini 

menggeser kaki kanannya ke belakang.

"Aku belum tahu seberapa dahsyat seran-

gan yang akan dilakukan Sibarani, Tetapi jelas-

jelas dia ingin mencelakakanku...."

Sibarani yang tak mampu lagi menahan 

ejekan-ejekan Nimas Herning menggeram dingin. 

Di dasar hatinya, dia merasa ada sesuatu yang di-

tutupi perempuan di hadapannya.

Akan diberinya perempuan itu pelajaran 

agar bisa menahan mulut! Diiringi teriakan keras, 

Sibarani mendorong kedua tangannya tanpa ber-

geser dari tempatnya. Laksana curahan air hujan 

yang sangat deras, tiba-tiba saja menggebrak ge-

lombang angin dahsyat!

Perempuan berpakaian keemasan itu men-

dengus sebelum mendorong kedua tangannya pu-

la.

Wrrrrr!!

Gelombang angin disemburati asap kuning 

menggebubu melesat dari dorongan kedua tan-

gannya. 

Jlegaaarrr!!

Bertemunya dua serangan itu membuat 

tempat di sekitar sana bergetar hebat. Ranggasan 

semak di sekitar sana tercabut dan berpentalan. 

Beberapa buah tangkai bunga matahari berwarna

jingga beterbangan. Tanah di mana bertemunya 

dua serangan itu berhamburan di udara setinggi 

satu tombak.

Terlihat bagaimana sosok Nimas Herning 

terlempar ke belakang. Masih untung dia dapat 

berbalik dan menepakkan tangannya pada batu 

besar yang siap menyambut tubuhnya. Di saat 

lain, dia melenting ke atas dan hinggap di atas 

batu yang tadi didudukinya. 

"Sibarani! Kau terlalu menantang!" 

Sibarani menyeringai. 

"Sekarang sudah terbukti, siapa yang takut 

dan siapa yang berani menghadapi maut?!"

"Sombong! Kau akan celaka!!"

Tiba-tiba saja si perempuan mengangkat 

kedua tangannya ke udara. Menyusul terlihat ca-

haya berwarna-warni bertebaran di sekitar kedua 

tangannya yang terangkat. Di saat lain tebaran 

cahaya warna-warni itu menggumpal menjadi sa-

tu dan masuk serta lenyap pada kedua tangan si 

perempuan yang kini terlihat seperti mengelua-

rkan cahaya.

Sibarani hanya mendengus.

"Biar dia tahu siapa aku?!"

Saat itu pula dilancarkan serangannya lagi 

pada si perempuan, yang mengertakkan rahang 

dan menepukkan kedua tangannya. Suara tepu-

kan yang sangat keras itu menggema, menyusul 

gelombang angin dahsyat yang diiringi oleh ca-

haya berwarna-warni menggebrak.

Blaaammm!!

Kembali letupan keras itu terdengar. Na

mun kali ini diiringi teriakan tertahan yang be-

rasal dari mulut Sibarani. Karena serangan yang 

dilancarkannya seperti tertelan serangan menge-

rikan dari Nimas Herning. Bahkan serangan itu 

terus menggebrak ke arahnya dengan kecepatan 

tinggi!

Seketika kepala Sibarani menegak. Dia sa-

dar kalau bahaya mengancamnya. Serentak dia 

berguling ke samping kanan.

Blaaammm! Blaaammmm!!!

Tanah di mana dia tadi duduk berlutut, 

seketika rengkah terhantam serangan itu. Belum 

lagi dapat dikuasai keseimbangannya, tiba-tiba 

saja dirasakan lehernya seperti disambar sesuatu. 

Seketika dirasakan dingin yang cukup 

menggigit, sebelum tubuhnya terbanting di atas 

tanah dan bergulingan. Bunga-bunga matahari 

berwarna Jingga hancur tertindih gulingan tu-

buhnya.

"Itulah akibatnya bila berani menantang-

ku...," desis si perempuan berpakaian kuning. 

"Sekarang saatnya untuk menjalankan rencana 

berikut...."

Sementara Sibarani masih bergulingan 

sambil memegangi lehernya yang terasa dingin, si 

perempuan sudah berlari ke bukit sebelah kanan. 

Lalu menghadap ke utara. Ditahan napasnya se-

jenak sebelum melangkah. Pada langkah kedua 

puluh tiga, dia berhenti. Di hadapannya terlihat 

sebuah bunga matahari berwarna jingga yang tak 

jauh berbeda dengan bunga-bunga yang lain. 

"Ini hitungan kedua puluh empat, seperti

yang kudengar sebelumnya di kala Sibarani dan 

Purwa bercakap-cakap. Berarti, memang bunga 

inilah yang kucari. Bagus! Setelah urusan selesai, 

tinggal memburu Ratu Tanah Kayangan untuk 

kubunuh!!" 

Pelan-pelan Nimas Herning yang sesung-

guhnya adalah Ratu, Dinding Kematian, meman-

dangi Bunga Matahari Jingga di hadapannya. 

Kemudian ditahan napasnya sejenak. Sepasang 

bola matanya tiba-tiba berkilat-kilat dan wajah-

nya dipenuhi dengan cahaya kemerahan.

Lalu terlihat bayangan-bayangan orang 

yang bergerak-gerak, disekelilingnya yang kemu-

dian menyatu ke kedua tangannya. Itulah 'Ajian 

Selaksa Jiwa' yang dimilikinya, yang mampu 

mengalahkan mantra Dewa Segala Dewa.

Gerakan yang dilakukannya kemudian su-

kar diikuti oleh pandangan. Karena secara tiba-

tiba Ratu Dinding Kematian menyambar Bunga 

Matahari Jingga

Tap!

Begitu dicabut, dia langsung melompat ke 

belakang

Jlegaaaarrrr!!!

Suara ledakan yang sangat dahsyat mem-

bahana di tempat itu. Tanah diiringi asap putih 

berhamburan ke udara dibukit-bukit di sekitar 

sana bergetar. Bebatuan di bagian timur berham-

buran menimbulkan suara bergemuruh.

Sibarani yang telah mampu mengatasi rasa 

nyeri dan hawa dingin pada lehernya segera ber-

diri tegak. Matanya membeliak melihat apa yang

dilakukan Nimas Herning. Lebih terkejut lagi 

tatkala melihat Bunga Matahari Jingga berada di 

tangan perempuan itu.

Sibarani segera membentak. Namun... 

mendadak saja dia mundur beberapa tindak ke 

belakang dengan wajah panik. 

"Astaga! Suaraku... suaraku...!" serunya 

dalam hati. Kepanikan jelas membayangi wajah-

nya. Dia mencoba berteriak lagi. Tetapi suaranya 

tetap lenyap. Lenyap sama sekali. 

Ratu Dinding Kematian yang kemudian 

melihatnya tertawa keras.

"Sibarani... semua rencanaku telah berja-

lan dengan baik. Kini... kau tinggal mengikuti saja 

apa yang akan terjadi...."

Lalu... breekkk!! 

Dengan sengaja perempuan itu merobek 

pakaiannya di bagian dada. Juga merobek sedikit 

pakaian bawahnya hingga memperlihatkan paha 

yang gempal. Setelah itu dilemparnya Bunga Ma-

tahari Jingga yang lenyap entah ke mana. Hanya 

dia yang tahu. 

Sementara Sibarani masih berusaha men-

geluarkan suaranya yang tiba-tiba lenyap


TUJUH



BERSAMAAN ayam jantan berkumandang 

di kejauhan, tarikan napas kencang itu terdengar 

keras disertai dengusan dan engahan. Menyusul

suara keresek di bali semak terdengar, pertanda 

seseorang bergulingan di atas rumput.

Perempuan berusia sekitar tiga puluh ta-

hun yang masih dalam keadaan polos itu meme-

jamkan matanya. Sepasang payudaranya yang 

besar bergerak turun naik, sedikit memerah se-

merah wajahnya saat ini. Diresapinya sesaat ke-

nikmatan yang baru saja diraihnya sebelum ter-

buru-buru meraih pakaiannya. Pemuda yang juga 

dalam keadaan polos yang tergolek di samping-

nya, melirik.

"Mau ke mana Nyai? Pagi masih buta…" 

katanya dengan napas setengah memburu.

Si perempuan tersenyum. Membiarkan 

payudaranya yang berputing merah itu di remas-

remas si pemuda.

"Aku harus pulang…"

"Pulang? " si pemuda menyahut segan. Se-

kujur tubuhnya lemas karena baru saja menum-

pahkan kejantanannya. Dibalikkan tubuhnya, 

memandang pada si perempuan yang sedang ber-

pakaian. "Mengapa terburu-buru? Tidak ada 

orang di sini…"

"Hei, hei! Sebentar lagi tempat ini dilalui 

banyak orang," kata si perempuan sambil terse-

nyum.

"Masih lama...," si pemuda merangkulnya.

Walaupun setengah menolak, tetapi si pe-

rempuan bertubuh sintal itu membiarkan saja. 

Dia jatuh dalam pelukan si pemuda yang segera 

menciuminya sambil tertawa-tawa. 

"Sudah, Dat Mala... sudah...."

"Aku masih ingin lagi...."

"Besok kita bisa mengulanginya lagi...," sa-

hut si perempuan berusaha menolak. Tetapi di-

biarkan bibir si pemuda mencari-cari bibirnya. 

Dibiarkan pula tangan si pemuda masuk ke balik 

pakaiannya.

Pemuda bernama Dat Mala itu sangat tahu, 

bagian mana dari tubuh Nyai Ganda Arum yang 

mengandung rangsangan tinggi. Sambil menciumi 

bibir memerah itu, tangannya terus meremas-

remas payudara sebelah kanan Nyai Ganda Arum.

"Dat Mala... besok kita... 

ehmmpphmmmphmm...."

"Aku mau sekarang...."

"Sudah, sudah, Dat Mala. Ayo, kita harus 

segera pulang. Kalau orang-orang desa melihat ki-

ta berdua di sini, aku bisa kacau...." 

Dat Mala kontan menghentikan kegiatan-

nya. Matanya mendelik tanda tak senang men-

dengar ucapan Nyai Ganda Arum. .

"Kau takut pada suamimu?"

"Hei, hei! Mengapa kau jadi tegang begitu? 

Bukannya aku takut. Tetapi...."

"Katakan saja kalau kau masih mencin-

tainya!" Dat Mala bangkit, menyambar pakaian-

nya. 

Melihat sikap si anak muda bertubuh tegap 

itu, membuat Nyai Ganda Arum menjadi tidak 

enak. Sesungguhnya memang dia yang mulai le-

bih dulu mendekati Dat Mala. Bermula ketika di-

ketahuinya Dat Mala sering mengintipnya mandi 

di sungai. Perasaan marah saat itu menggebah

hatinya. Biar bagaimanapun juga, Nyai Ganda 

Arum tak sudi tubuhnya dalam keadaan polos di-

lihat orang lain kecuali suaminya

Tetapi sesampai di rumah, dia justru mem-

bayangkan Dat Mala. Untuk ukuran orang de-

sanya, Dat Mala memiliki paras lumayan dan tu-

buh yang tegap. Nyai Ganda Arum sering melihat 

tubuh si pemuda bila sedang membajak sawah

Namun ditekan semua itu mengingat dia 

adalah istri dari seseorang. Tetapi ketika dilihat-

nya Dat Mala kembali mengintipnya saat mandi, 

perasaan aneh menyelinap di hatinya. Seperti 

anak tujuh belasan yang senang tubuhnya dika-

gumi seorang pemuda, Nyai Ganda Arum mem-

biarkan tubuhnya dilahap mata Dat Mala. Bah-

kan sering kali dia sengaja bersabun sambil ber-

diri, hingga sepasang buah dadanya yang besar 

dan montok itu mengarah pada Dat Mala

Rupanya membiarkan tubuhnya dilihat 

oleh Dat Mala memberikan kesenangan tersendiri 

bagi Nyai Ganda Arum. Kini dia tidak hanya 

membiarkan bagian atas tubuhnya yang dilihat 

oleh Dat Mala. Tetapi seluruh tubuhnya! 

Ketika diketahuinya suaminya ada main 

dengan janda di desa seberang, Nyai Ganda Arum 

menjadi muak. Dia hendak membalas perbuatan 

suaminya. Dan pikirannya tiba pada Dat Mala.

Sejuta rencana pun terpasang di benaknya 

untuk menjerat anak muda itu. Dengan bermo-

dalkan kecantikan dan kesintalan tubuhnya, Nyai 

Ganda Arum dapat menggiring Dat Mala untuk 

melakukan apa yang di diinginkannya. Kendati

demikian, dia tak mau perbuatannya diketahui 

oleh orang lain, apalagi suaminya.

Nyai Ganda Arum membelai pipi anak mu-

da itu.

"Hei, hei… jangan merajuk seperti itu."

"Kau pernah bilang padaku, kalau kau 

mencintaiku, Nyai…"

"Itu betul." 

"Tapi nyatanya kau masih mencintai sua-

mimu"

"Habis aku harus berbuat apa lagi? Aku 

masih hidup dengan suamiku. Kalau tidak, ba-

gaimana aku dan kedua anakku makan?"

Dat Mala berdiri. Parasnya kaku.

"Kita kembali saja!"

Kali ini Nyai Ganda Arum yang jadi tidak 

enak. Biar bagaimanapun juga, Dat Mala memiliki 

kelebihan dibandingkan suaminya. Pemuda itu 

dapat memuaskannya, bahkan selalu menuruti 

bila ini-itu dimintanya. 

Buru-buru ditariknya tangan Dat Mala.

"Tidak usah marah seperti itu." 

Dat Mala diam. Masih diam juga ketika 

Nyai Ganda Arum mencoba membangkitkan gai-

rah anak muda itu. Tetapi tak lama kemudian, 

pemuda itu sudah menubruknya. Membukai lagi 

pakaiannya. Nyai Ganda Arum sendiri hanya ter-

kikik. Dibiarkan tangan si pemuda memegang, 

meremas dan memilin buah dadanya yang segar 

dan cukup besar itu. Dia menggelinjang ketika 

Dat Mala menciumi sepasang bukit kembarnya.

Gerakan itu semakin membangkitkan gai

rah Dat Mala. Anak muda itu terus menyusupkan 

ciumannya. Memilin payudara itu sementara tan-

gan kanannya menjelajah bagian bawah tubuh

Nyai Ganda Arum. 

Kedua orang yang sedang dipacu birahi itu 

sama sekali tidak mengetahui, kalau satu sosok 

tubuh telah berada di sana. Dan memandangi ke-

duanya dengan sorot mata bengis.

"Ayo, Sayang... ayo! Cepat! Lebih cepat!! 

Jangan lembek kayak suamiku!" suara Nyai Gan-

da Arum meracau. Kehangatan itu telah memba-

kar tubuhnya.

Orang yang telah berada tak jauh dari me-

reka, memperhatikan dengan sorot mata bengis. 

Di tangannya terpegang sebuah parang besar.

"Manusia-manusia keparat!!" geramnya 

mengguntur.

Laksana disengat kalajengking, kedua 

orang itu seketika menoleh. Dat Mala kontan me-

lompat dari tubuh Nyai Ganda Arum. Dengan pa-

nik disambar pakaiannya. Namun....

Crasss!!

Parang besar itu telah menyambar pung-

gungnya. Seiring jeritan Nyai Ganda Arum, tubuh 

Dat Mala ambruk bersimbah darah. 

"Kau…" seru Nyai Ganda Arum tertahan

Suaminya yang tiba-tiba muncul itu meng-

geram sengit.

"Perempuan terkutuk! Kau tak pantas un-

tuk hidup!!" bentaknya seraya mengayunkan pa-

rang besarnya.

Nyai Ganda Arum memekik setinggi langit.

Hatinya menjerit-jerit, mengapa suaminya harus 

muncul? Mengapa?

Dan parang besar itu hanya tinggal bebe-

rapa jengkal saja sebelum tiba-tiba...

Tak!

Sesuatu telah menyambarnya, sesuatu 

yang nampak begitu keras. Karena bukan hanya 

parang itu yang melenceng dari sasarannya, teta-

pi juga terlepas dari genggaman tangan si lelaki 

bertubuh tegap! Dan begitu jatuh terlihatlah ka-

lau sesuatu yang menahan parang Kalamonto 

hanyalah sehelai daun! 

Seraya menahan tangannya yang seketika 

kesemutan, lelaki bernama Kalamonto itu meno-

leh ke samping kanan diiringi bentakannya yang 

keras

"Siapa kau yang lancang campuri urusan 

rumah tangga orang?!" 

***

Seorang lelaki tua bertubuh luar biasa ge-

muknya, telah muncul di sana dengan langkah 

yang terasa sangat berat. Lehernya yang seperti 

menyatu dengan badannya menggeleng-geleng.

"Huh! Memang keterlaluan kalau melihat 

seorang istri berbuat serong seperti itu," katanya 

sambil memandang Nyai Ganda Arum yang be-

ringsut dengan wajah sangat pucat. Gairahnya 

yang tadi berkobar seketika padam. Yang ada ha-

nyalah ketakutan yang luar biasa.

Kalamonto menggeram sengit.

"Orang tua bertubuh tambun! Jangan suka 

ikut campur urusan orang! Aku berhak melaku-

kan apa saja pada perempuan jahanam ini!"

Kakek berpakaian hitam yang tak mampu 

menutupi besar tubuhnya mendengus.

"Aku tak suka mencampuri urusan orang! 

Tapi lebih baik berdamai! Ingat, kau telah menca-

but satu nyawa!"

"Pemuda seperti itu lebih baik mampus, 

karena hidup hanya untuk mengganggu rumah 

tangga orang!"

"Aku tak mau mengganggu urusan orang! 

Ayo, pergi, pergi dari sini!!"

Diusir seperti itu amarah Kalamonto yang 

sudah sampai ke ubun-ubun segera membludak 

keluar. Tiba-tiba saja dia menerjang dengan teria-

kan keras. Kalamonto memang tak memiliki ilmu 

apa-apa kecuali keberanian. Tetapi jotosan tan-

gannya mampu merobohkan sebatang pohon pi-

sang.

Si kakek gemuk cuma mendengus. Mem-

biarkan Kalamonto memukuli tubuhnya.

"Lumayan kau menggaruki tubuhku...."

Semakin berang Kalamonto mendengar ka-

ta-kata itu. Dikerahkan seluruh tenaganya, diper-

cepat jotosan demi jotosannya. Tetapi sampai dia 

lelah, si kakek gemuk tetap berdiri di tempatnya. 

"Sudah, sana pergi!" usir si kakek ketika 

Kalamonto ambruk dengan napas terengah-

engah. Lalu dipalingkan kepalanya pada Nyai 

Ganda Arum. "Kau telah melakukan satu kesala-

han yang membuat harga diri seorang laki-laki

menjadi runtuh! Ingat, bila kau melakukannya la-

gi, kubiarkan suamimu berbuat apa saja pada-

mu...."

"Aku ingin membunuhnya sekarang!" seru 

Kalamonto keras.

"Membunuhnya bukan urusanku? Tetapi 

membunuhnya di depanku adalah urusanku...."

Kalamonto tak berani membantah begitu 

melihat mata si kakek yang tiba-tiba seperti men-

jadi sangat banyak. Ketakutan mulai merambati 

hatinya. Tiba-tiba dia beringsut dan berlari pon-

tang-panting. 

"Pakai lagi pakaianmu!" dengus si kakek 

gemuk pada Nyai Ganda Arum.

Terburu-buru penuh gemetar Nyai Ganda 

Arum mengenakan pakaiannya kembali.

"Terima kasih... terima kasih atas pertolon-

ganmu, Orang tua...."

Si kakek gemuk cuma mendengus. Tak 

menatap pada Nyai Ganda Arum yang menatap-

nya dengan takut-takut.

"Huh! Perempuan sepertimu memang tak 

perlu dikasihani, tak perlu diampuni! Kau tak 

pernah menghargai perhatian seseorang yang se-

benarnya kau kasihi dan mengasihimu!"

Nyai Ganda Arum ingin meneriakkan sesu-

atu yang dilakukan suaminya. Tetapi suara keras 

penuh tekanan itu tak berani membuatnya mela-

kukan demikian.

"Perempuan! Kau tahu bukan, kalau kau 

tak mungkin kembali kepada suamimu lagi! Bila 

kau masih mengharapkan belas kasihan suami

mu, itu adalah sebuah kebodohan! Suamimu te-

lah mempergoki perbuatan busuk yang kau laku-

kan! Sekarang pergi jauh-jauh dari hadapanku!" 

Kepanikan kini menghiasi wajah Nyai Gan-

da Arum. Apa yang dikatakan kakek gemuk itu 

memang benar. Tak mungkin dia kembali pada 

suaminya yang sudah tentu akan membunuhnya. 

Tetapi untuk pergi dari sana, dia tidak tahu harus 

ke mana. Dat Mala sudah menjadi may at. Kini 

dia seorang diri.

Sesungguhnya tempat dia bergantung 

hanya pada suaminya saja. Tak tahu harus ber-

buat apa, Nyai Ganda Arum menangis.

Kakek gemuk itu justru menjadi geram.

"Jangan suka mempergunakan senjatamu 

untuk membuat orang merasa mengasihimu! Ka-

rena tak pantas orang seperti kau yang melaku-

kannya! Sana pergi, kau juga membuatku muak!"

Bentakan itu menghentikan tangis Nyai 

Ganda Arum. Walaupun sorot matanya mengata-

kan dia telah memutuskan untuk pergi sejauh-

jauhnya, tetapi di hatinya timbul kebencian pada 

siapa pun juga. Terutama pada laki-laki.

Tanpa berkata apa-apa, perempuan bertu-

buh sintal itu segera meninggalkan tempat itu 

dengan langkah tersaruk-saruk. Keletihannya 

akibat bercinta dengan Dat Mala, semakin ditam-

bah lagi dengan keletihan yang timbul akibat ke-

takutan. 

Nyai Ganda Arum terus berlari dengan ke-

bencian yang semakin menjadi-jadi. Saat berlari, 

dia bersumpah, bersumpah untuk membunuh setiap laki-laki!

Sepeninggal Nyai Ganda Arum, kakek ge-

muk itu mendengus. Tanpa berkata apa-apa, diin-

jaknya tanah di hadapannya. 

Brrooll!!

Berjarak satu tombak dari tempatnya ber-

diri, tanah ambrol dan membentuk sebuah lu-

bang. Sekali lagi dijejakkan kaki kanannya. Mayat 

Dat Mala tiba-tiba terangkat naik dan terlempar 

ke dalam lubang itu. Anehnya, tanah-tanah di se-

kitar sana bergerak untuk menutupi lubang itu. 

"Keterlaluan! Amat keterlaluan!" maki si 

kakek kelebihan lemak ini. "Belum juga dapat 

kupikirkan ke mana perginya Ratu Dinding Kema-

tian... sudah ada persoalan keparat seperti itu! 

Memalukan! Apakah tak ada kerjaan lain selain 

berzina dan berzina?!" 

Sambil menggerutu, si kakek gemuk meng-

gerakkan lehernya, memandang ke sekitarnya.

"Huh! Aku benar-benar tak habis mengerti, 

apa maunya Dewa Segala Dewa menyuruhku ke 

Dinding Kematian! Untuk apa dia menyuruhku 

menjumpai Ratu Dinding Kematian yang ternyata 

tak ada di tempat!" makinya lagi dengan napas se-

tengah memburu.

Kakek yang ternyata Dewa Seribu Mata ini 

menggeram panjang pendek. Wajahnya menun-

jukkan betapa dia sedang memikirkan sesuatu 

yang benar-benar membuatnya heran.

"Kenyataan sudah di depan mata, kalau 

Raja Naga yang telah mencuri bunga-bunga ke-

ramat! Purwa dan Sibarani telah memergokinya!

Apa yang menyebabkan Dewa Segala Dewa me-

nyuruhku menjumpai Ratu Dinding Kematian? 

Apakah dia mencurigai perempuan aneh itu?"

Udara dingin terus berhembus. Kendati 

pakaian yang dikenakannya tak mampu menutu-

pi tubuhnya, si kakek gemuk sama sekali tak me-

rasakan hawa dingin itu.

"Ketimbang bikin pusing kepala, sebaiknya 

aku menuju ke tempat Bunga Matahari Jingga 

berada...."

Memutuskan demikian, si kakek gemuk ini 

mulai melangkah. Anehnya, sambil melangkah 

dia berkata seolah pada dirinya sendiri, "Sejak ta-

di aku tahu kau berada di sini, Perempuan! Men-

gapa kau tidak juga mau muncul? Atau ingin ku-

tampar dulu pantatmu baru muncul?!" 


DELAPAN


PEREMPUAN yang berada di balik semak 

melengak mendengar kata-kata si kakek gemuk. 

Sejak tadi dia memang berada di sana, tepat keti-

ka Kalamonto mengayunkan parangnya pada Dat 

Mala. Sebenarnya perempuan ini tadi hendak 

menghalangi sabetan parang Kalamonto pada 

Nyai Ganda Arum. Tetapi sesuatu telah mengha-

dang parang itu.

Diperhatikannya siapa orang yang baru 

muncul, yang menghalangi parang besar itu den-

gan lemparan sehelai daun. Diingat-ingatnya sia

pa kakek gemuk itu. Walaupun sudah diingatnya, 

tetapi perempuan ini memutuskan untuk tidak 

keluar. Dikerahkan ilmu peringan tubuhnya agar 

kehadirannya di sana tidak diketahui si kakek 

gembrot. Dan yang mengejutkannya, si kakek 

gemuk itu mengetahui keberadaannya di sana!

Mau tak mau akhirnya perempuan ini ke-

luar bertepatan dengan Dewa Seribu Mata meng-

hentikan langkahnya. 

Dewa Seribu Mata memicingkan matanya 

melihat pada perempuan berpakaian biru keema-

san dengan perhiasan pada kedua lengan dan 

pergelangan tangannya. Wajah perempuan ini 

terhalang oleh cadar terbuat dari sutera berwarna 

keemasan.

"Hemm... rasa-rasanya, aku pernah men-

dengar seorang perempuan bercadar sutera seper-

ti ini," kata Dewa Seribu Mata. Sepasang matanya 

tiba-tiba bergerak-gerak di atas dan bawah wa-

jahnya, laksana beberapa buah bayangan. Di lain 

saat dia mendengus, "Sungguh kebetulan! Ratu 

Tanah Kayangan, di mana saudara seperguruan-

mu yang berjuluk Ratu Dinding Kematian itu be-

rada?!" 

Dibentak seperti itu, perempuan berambut 

indah dengan anting-anting menghiasi kedua te-

linganya ini mengerutkan kening. Matanya tak 

berkedip pada kakek

"Astaga! Apa-apaan ini? Mengapa tahu-

tahu dia menyerocos tentang Ratu Dinding Kema-

tian?" tanyanya dalam hati tanpa mengalihkan 

sedikit pun pandangannya dari wajah kelebihan

lemak di hadapannya.

Setelah beberapa saat barulah dia angkat 

bicara, "Kalau tak salah ingat, tentunya engkau-

lah tokoh yang berjuluk Dewa Seribu Mata...." 

Bukannya sahuti kata-kata si perempuan 

baik-baik, kakek gembrot itu malah membentak, 

"Jawab pertanyaanku tadi, jangan bikin kesaba-

ranku habis!" 

Rata Tanah Kayangan segera tersenyum.

"Kau salah menduga kalau menganggap 

aku tahu di mana Ratu Dinding Kematian. Karena 

saat ini, aku juga sedang mencarinya," sahutnya. 

"Sedang mencarinya atau tidak, tentunya 

kau tahu apa yang dilakukannya akhir-akhir ini?! 

Jelaskan padaku!"

Ratu Tanah Kayangan tak buka mulut. Bi-

ar bagaimanapun juga, dia tak suka dibentak-

bentak seperti itu. Tetapi karena nampaknya ka-

kek gemuk ini memang punya urusan penting 

dengan Ratu Dinding Kematian dia segera berka-

ta,

"Aku sama sekali tak mengetahui apa yang 

dilakukannya akhir-akhir ini. Yang pasti, aku se-

dang mencarinya."

"Astaga! Sejak tadi kau berkata sedang 

mencarinya! Aku tak peduli! Kau tak bisa menun-

jukkan di mana Ratu Dinding Kematian, mengapa 

kau tetap berada di sini?"

Perempuan yang rambutnya disanggul ke 

atas dengan diberi sebuah jepitan terbuat dari 

emas membatin seraya pandangi si kakek gemuk, 

"Dari suaranya dia begitu tak sabaran sekali. Aku

memang pernah mendengar kabar, kalau kakek 

gemuk ini memiliki sifat tak sabaran. Kalaupun 

dia menanyakan Ratu Dinding Kematian, nam-

paknya dia baru saja dari Dinding Kematian dan 

tak menjumpai perempuan itu di sana. Ah, sudah 

jelas dia tak menjumpainya...."

"Kau belum juga jawab pertanyaanku!"

Ratu Tanah Kayangan tetap tak buka mu-

lut. Dia teringat akan sesuatu.

"Jangan-jangan... dia mencari Ratu Dind-

ing Kematian sehubungan dengan bunga-bunga 

keramat? Dewa Seribu Mata adalah salah seorang 

dari Tiga Penguasa Bumi yang memiliki bunga-

bunga keramat. Kalau memang demikian adanya, 

berarti Ratu Dinding Kematian telah menjalankan 

rencananya untuk mendapatkan bunga-bunga 

keramat yang kelak akan dipergunakan untuk 

membunuhku."

Belum habis Ratu Tanah Kayangan mem-

batin, tiba-tiba saja dirasakan tanah yang dipi-

jaknya bergerak. Menyusul satu sentakan kuat 

menerobos dari bawah.

Walaupun terkejut dengan kejadian yang 

mendadak itu, tetapi perempuan bercadar ini te-

tap tenang. Bahkan tubuhnya tetap terangkat 

naik tanpa kurang suatu apa tatkala tanah yang 

mencelat ke atas itu menggebrak. Bersamaan 

dengan tanah yang sirap kembali ke bumi, pe-

rempuan itu telah berdiri lagi, bergeser dua tin-

dak dari tempat semula.

Melihat hal itu Dewa Seribu Mata menden-

gus.

"Mau pamer ilmu di hadapanku rupanya?"

"Tunggu!" seru Ratu Tanah Kayangan. Biar 

bagaimana pun juga, dia tak ingin memancing 

kemarahan kakek gemuk ini. Disadarinya pula 

kalau dia tak akan bisa menang menghadapi De-

wa Seribu Mata. Berarti, dia harus berusaha jan-

gan sampai Dewa Seribu Mata menjadi gusar. Be-

gitu melihat si kakek gemuk mendengus, buru-

buru dia berkata,

"Apakah tidak sebaiknya kau menjelaskan

dulu sebab-sebab kau mencari Ratu Dinding Ke-

matian?" 

"Kau adalah saudara seperguruannya, sa-

ma-sama murid Dewa Pengasih! Dan tentunya ka-

lian terus berhubungan! Jadi tak ada gunanya 

kau bertanya kecuali menjelaskan apa yang dila-

kukan Ratu Dinding Kematian akhir-akhir ini!" 

kata Dewa Seribu Mata. Sesungguhnya dia me-

mang masih tidak tahu mengapa Dewa Segala 

Dewa menyuruhnya menjumpai Ratu Dinding 

Kematian. Kendati demikian, Dewa Seribu Mata 

mulai menangkap satu isyarat mengapa Dewa Se-

gala Dewa menyuruhnya seperti itu.

"Kau salah besar, Orang tua gemuk! Sela-

ma ini orang memang memandang aku dan Ratu 

Dinding Kematian adalah dua orang murid Dewa 

Pengasih yang berdamai. Padahal tidak sama se-

kali."

"Jangan dusta!" 

"Kami selalu menjunjung tinggi kejujuran 

dan selalu menghormati nama besar Dewa Penga-

sih! Bila pertikaian yang belum lama ini terjadi diantara kami sampai terdengar dunia luar, secara 

tidak langsung kami telah mencoreng arang di 

wajah Dewa Pengasih!"

"Kau pandai bicara rupanya!"

"Kenyataan seperti ini memang tak ada 

yang mengetahui kecuali aku dan Ratu Dinding 

Kematian! Hingga bila kau menanyakan apa yang 

dilakukan olehnya akhir-akhir aku jelas tidak ta-

hu kecuali dia hendak membunuhku!"

Memicing mata orang tua gemuk itu. Le-

hernya yang menyatu dengan badannya bergerak-

gerak sejenak.

"Mengapa dia hendak membunuhmu?" Ra-

tu Tanah Kayangan tersenyum. Seraya merang-

kapkan kedua tangannya di depan dada dia men-

jawab, "Biarpun kau hendak membunuhku saat 

ini juga, aku tak bisa mengatakannya padamu. 

Karena kau tentunya tahu Orang tua, kalau seo-

rang anak manusia berhak untuk menyimpan se-

gala rahasia yang menurutnya patut disimpan...."

Dewa Seribu Mata mendengus jengkel.

"Kau pandai bicara! Apakah tindakan yang 

kau lakukan itu semata untuk menutupi keadaan 

yang sebenarnya?"

"Apa maksudmu untuk menutupi keadaan 

yang sebenarnya, Orang tua?"

"Kau mencoba mengalihkan perhatianku 

dari Ratu Dinding Kematian...."

Kendati hatinya mulai geram, perempuan 

berpakaian biru keemasan ini hanya tersenyum.

"Sebelum melihat kenyataan yang ada, je-

las kau tak akan bisa menerima setiap jawaban

ku...."

Dewa Seribu Mata mendengus. "Aku juga 

tidak tahu mengapa aku jadi memaksa seperti ini. 

Jelas-jelas Ratu Dinding Kematian tak ada hu-

bungannya dengan pencurian bunga-bunga ke-

ramat. Dewa Segala Dewa nampaknya mencurigai 

keterlibatan Ratu Dinding Kematian. Aha! Aku 

tahu! Dewa Pengasih satu-satunya orang yang di-

ketahui yang dapat mematahkan mantra Dewa 

Segala Dewa. Tak mustahil memang bila Ratu 

Dinding Kematian memiliki ilmu itu sehingga De-

wa Segala Dewa mencurigainya? Tetapi… Dewa 

Pengasih memiliki dua orang murid. Mengapa 

Dewa Segala Dewa tidak menyuruhku untuk 

menjumpai perempuan di hadapanku ini?"

Suasana hening. Beberapa helai daun ber-

guguran, sebagian melayang dihembus angin pagi 

dan jatuh entah ke mana. Pagi sudah merambat 

pelan. Bias-bias sang fajar kini telah berubah 

menjadi cahaya yang nanti akan datang segumpal 

sinar terang menjadi penerang persada.

Tiba-tiba Ratu Tanah Kayangan berkata, 

"Orang tua gemuk, bila kau tetap membungkam 

mengapa kau mencari Ratu Dinding Kematian, 

sebaiknya kita berpisah di sini! Tanpa menguran-

gi rasa hormatku padamu, aku suka berjumpa 

denganmu, tetapi urusan yang ada di depanku 

harus segera kuselesaikan!"

Dewa Seribu Mata hanya mendengus. Ratu 

Tanah Kayangan menganggap dengusan itu seba-

gai satu tanda. Setelah menganggukkan kepa-

lanya sekali, perempuan jelita ini sudah berlari ke

arah timur. Hatinya dipenuhi tanya yang tak ber-

kesudahan. Juga dipenuhi kegelisahan ketika 

menyadari kalau Ratu Dinding Kematian telah 

menguasai bunga-bunga keramat. Hanya itulah 

satu-satunya jawaban yang bisa dipergunakan 

sebagai pegangan atas sikap Dewa Seribu Mata.

Dewa Seribu Mata sendiri tetap terdiam di 

tempatnya. Sesaat terlihat matanya seperti mem-

bayang di bagian atas dan bawah wajahnya.

"Semuanya bikin otakku pusing! Pusing! 

Padahal jelas-jelas Raja Naga yang bikin semua 

urusan yang berantakan seperti ini! Huh! Seperti 

niatku semula, sebaiknya aku pergi untuk meli-

hat Purwa dan Sibarani yang menjaga Bunga Ma-

tahari Jingga. Karena bunga itulah satu-satunya 

yang belum didapatkan oleh Raja Naga!" 

Setelah mendengus berulang-ulang, kakek 

gembrot ini melangkah. Langkahnya terlihat san-

gat berat, tapi dua kejapan mata berikutnya, so-

soknya telah lenyap dari pandangan.


SEMBILAN


PADA saat yang bersamaan, Raja Naga 

bangkit dari duduknya di bawah sebatang pohon. 

Hampir dua penanakan nasi dia memutuskan un-

tuk beristirahat. Sisa daging panggang dan bekas 

kayu-kayu bakar masih nampak. Aroma sisa dag-

ing panggang itu masih menguar, sedikit menerpa 

hidungnya.

Anak muda bersisik coklat ini memandangi 

sekelilingnya. Perasaannya kian tak menentu. 

Keinginan yang ada di hatinya adalah menun-

taskan persoalan yang teramat mengganggunya. 

Raja Naga masih beranggapan, kalau Puspa Dewi-

lah yang melakukan semua ini.

"Aku bertambah yakin, kalau akan sema-

kin banyak orang-orang seperti Dewi Lembah Air 

Mata yang memburuku. Kemungkinan besar 

Purwa dan Sibarani telah mengatakannya pada 

semua orang. Ah, bunga-bunga keramat. Aku 

sendiri tidak tahu apa yang di maksudkan dengan 

bunga-bunga keramat."

Raja Naga melangkah. Di hadapannya ada 

sebuah pohon manggis hutan yang sedang ber-

buah lebat. Diambilnya sebatang kerikil yang se-

gera dilemparnya ke atas.

Tas! 

Serenceng manggis hutan meluncur ketika 

tangkainya patah terhantam kerikil itu. Cekatan 

sekali Raja Naga menyambarnya. Sambil menik-

mati manggis hutan itu, dia kembali memikirkan 

kejadian yang dialaminya.

"Kalau kuputuskan untuk mencari Puspa 

Dewi nampaknya juga tidak membawa keberun-

tungan. Mencari Purwa dan Sibarani untuk men-

jelaskan duduk masalah yang sebenarnya, bu-

kanlah sebuah tindakan yang bijak. Namaku su-

dah coreng moreng di benak mereka, termasuk 

orang-orang yang tentunya berhubungan erat 

dengan bunga-bunga keramat. Berarti...."

Sambil mengupas lagi sebuah manggis hu

tan dan menikmati rasanya yang sedikit asam, 

Raja Naga meneruskan ucapannya, "Ya... berarti 

satu-satunya cara yang tepat, adalah mendatangi 

Bunga Matahari Jingga. Mungkin aku bisa me-

nunggu kedatangan si pencuri yang sebenarnya 

dan menangkap basah tindakannya. Cuma kesu-

litannya, aku tidak tahu di mana Bunga Matahari 

Jingga itu berada..."

Lima buah manggis hutan telah masuk ke 

perutnya. Sebagian sisanya diletakkan di tempat 

yang langsung terlihat.

"Mudah-mudahan ada yang lewat dan me-

makannya hingga buah-buahan ini tidak sia-sia."

Kembali diperhatikan sekelilingnya yang 

sepi. Angin yang berhembus cukup mendirire-

mangkan bulu roma, karena suaranya laksana 

bisikan setan. Beberapa helai daun jatuh. Sejak 

tadi burung-burung ramai beterbangan. Cahaya 

matahari telah menerobos sela-sela dedaunan.

"Puspa Dewi! Aku harus bulatkan tekad 

untuk mencarinya!!"

Segera anak muda berompi ungu ini berlari 

untuk keluar dari hutan itu. Perasaannya benar-

benar tidak tenang. Hatinya juga geram. Karena 

orang lain yang berbuat, dia yang harus memikul 

beban tanggung jawab. 

Tepat matahari sepenggalah, pemuda dari 

Lembah Naga ini menghentikan langkahnya di ja-

lan setapak, tak jauh dari hutan yang baru dilin-

tasinya. Saat itu pula pendengarannya yang tajam 

mendengar suara orang berteriak-teriak keras, 

penuh amarah.

Segera Raja Naga berkelebat untuk mencari 

sumber keributan itu. Setelah ditemukannya, di-

lihatnya Puspa Dewi sedang menghindari serga-

pan-sergapan ganas dua lelaki berkepala gundul. 

Kedua lawannya itu berusia sekitar empat puluh 

tahun. Mengenakan jubah berwarna jingga laksa-

na seorang pendeta. Di leher mereka melingkar 

butiran tasbih yang cukup besar. Yang sebelah 

kanan menyerang Puspa Dewi dengan tangan ko-

song, sementara yang sebelah kiri menyergap 

dengan tongkat yang bagian ujungnya bundar

Raja Naga sendiri hanya memperhatikan 

saja dari balik pohon. Dia senang kalau akhirnya 

dapat menemukan Puspa Dewi lagi. Tetapi yang 

membuatnya heran, mengapa kedua lelaki seperti 

pendeta itu nampak berusaha untuk membunuh 

Puspa Dewi yang menghindar dan melawan den-

gan mempergunakan pedangnya.

Dan anak muda berompi ungu itu tersen-

tak tatkala melihat pakaian bagian belakang yang 

dikenakan Puspa Dewi. Pakaian itu telah robek 

hingga memperlihatkan kulit punggungnya yang 

mulus!

"Apa yang sebenarnya terjadi?" desisnya te-

tap berada di balik pohon itu. "Sebaiknya kubiar-

kan saja dulu...."

Pertarungan sengit itu terus berlangsung 

alot. Dua lelaki berkepala plontos terus mendesak 

Puspa Dewi yang memainkan pedangnya dengan 

kelincahan luar biasa. Sesekali gadis jelita itu 

membuat gebrakan yang mengejutkan. Tetapi di 

lain saat dia mundur dengan tubuh tergontai

gontai. Rambut indahnya yang dikuncir ekor ku-

da dan diberi pita berwarna kuning, melompat-

lompat seiring wajahnya yang mendadak pucat.

Raja Naga yang melihat akan hal itu ter-

sentak.

"Astaga! Ada yang tidak beres pada Puspa 

Dewi! Dari gerakan yang diperlihatkan, seharus-

nya dia sudah dapat mengalahkan kedua pendeta 

itu! Tetapi, nampaknya dia mengalami gangguan 

pernapasan hingga kesulitan untuk mengatur na-

pas guna keluarkan tenaga dalam. Tapi... biar 

kuperhatikan sekali lagi...."

Letupan demi letupan yang terdengar se-

makin ramai. Ranggasan semak yang terpapas ra-

ta, tanah yang berhamburan ke udara, pepoho-

nan yang tumbang dan teriakan-teriakan keras, 

mengudara. Membuat tempat itu bertambah po-

rak poranda.

Di tempatnya Raja Naga mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Darah yang keluar dari bibir Puspa Dewi 

memang menunjukkan kalau dia mengalami 

gangguan pernapasan. Tenaga dalamnya jadi ter-

tahan dan itu menyebabkan pendarahan di da-

lam. Gadis itu tak boleh terluka, aku masih harus 

mengorek keterangan tentang bunga-bunga ke-

ramat...."

Di seberang, lelaki gundul bersenjata tong-

kat tiba-tiba melayang ke udara. Tangan kanan 

kirinya erat menggenggam tongkatnya yang siap 

mengetok pecah kepala Puspa Dewi. Di pihak 

lain, temannya meluruk laksana banteng ketaton

mengamuk dengan kepala plontos yang siap 

menghajar perut Puspa Dewi!

Puspa Dewi sendiri nampak kepayahan. 

Napasnya terasa sangat sesak. Dia hanya mem-

buang tubuh ke samping kanan. Dua letupan ke-

ras terdengar. Namun pada serangan berikutnya, 

gadis manis bertahi lalat pada pelipis sebelah ki-

rinya memekik tertahan. Pedang berhulu kepala 

elangnya terlepas ketika tersambar tongkat si 

pendeta gundul.

Sementara lawannya yang seorang lagi, me-

luruk kembali dengan kepala siap menghantam 

perutnya!

Tiba-tiba saja terdengar suara orang men-

deham keras, disusul dengan menggebraknya ge-

lombang angin deras yang disemburati asap me-

reka!

Tongkat si pendeta gundul yang siap 

menghancurkan kepala Puspa Dewi tiba-tiba saja 

tertahan satu tenaga yang tak nampak. Bersa-

maan orang itu tersentak ke belakang, lelaki yang 

satunya lagi merandek gusar seraya buang tubuh 

ke samping kanan tatkala merasakan adanya de-

ru gelombang angin deras ke arahnya.

Blaaammmm!!

Gelombang angin itu menghantam sebuah 

pohon yang seketika bergetar dan menggugurkan 

dedaunannya. Dua kejapan mata berikut, pohon 

itu tumbang perdengarkan suara bergemuruh.

Tiga pasang mata segera mengarahkan 

pandangan ke depan. Puspa Dewi yang lebih dulu 

berseru, "Boma Paksi!!"

* * *

Boma Paksi tersenyum dan berkata, "Me-

nyingkir...."

Dua lelaki berkepala plontos itu sudah ten-

tu gusar bukan main. Mereka segera berdiri tegak 

dengan mata membelalak lebar. Sorot kebencian 

nampak jelas di mata masing-masing orang.

"Pemuda berompi ungu! Bila kau ingin 

mampus, kau dapat tunggu giliran!!" bentak yang 

memegang tongkat. Wajahnya menekuk. Saat itu-

lah terlihat codetan pada keningnya.

Raja Naga tak menjawab. Bibirnya merapat 

dingin. Sorot matanya yang angker menghujam 

masing-masing orang. 

"Aku tak pernah suka memperpanjang 

urusan! Gadis itu adalah sahabatku dan aku ber-

hak untuk membantunya! Kuminta dengan san-

gat pada kalian, agar segera tinggalkan tempat 

ini!" 

"Terkutuk! Anak kemarin sore berani ber-

tingkah di hadapan Setan Gundul Hutan Laran-

gan!!"

Raja Naga tersenyum. 

"Setan Gundul? Astaga! Mengapa begun-

dal-begundal busuk macam kalian memakai baju 

pendeta?"

"Bunuh kedua manusia celaka itu, Boma!!" 

seru Puspa Dewi sambil mengatur napasnya. Ke-

dua tangannya bergetar saat dirangkapkan di de-

pan dada. "Terkutuk!" makinya dalam hati. "Un-

tung aku masih bisa mengendalikan uap busuk

ini. Kalau tidak...."

Si gadis tak lagi meneruskan kata batin-

nya. Dia segera bersemadi memulihkan keadaan-

nya.

Di pihak lain, lelaki gundul bersenjata 

tongkat yang bernama Cokro Kliwing sudah me-

nerjang dengan ayunan tongkatnya berujung bu-

lat.

Wuuuttt!!

Desiran angin keras menggebrak. Raja Na-

ga cuma menggeleng-gelengkan kepala sambil 

merunduk. Di lain saat dia harus mundur karena 

lelaki bernama Jodro Kliwing pun sudah melan-

carkan jotosan.

"Hebat! Keduanya sama sekali tak menga-

lami surut tenaga! Sementara Puspa Dewi sudah 

begitu kelelahan! Tapi itu jelas karena Puspa Dewi 

kesulitan bernapas. Dan aku tak yakin kalau ga-

dis itu mempunyai penyakit kesulitan bernapas. 

Berarti... kedua orang ini yang telah meracuninya. 

Meracuninya? Astaga! Kepalaku jadi pusing...."

Dua serangan ganas itu dibalas oleh Raja 

Naga dengan dehemannya yang mengandung te-

naga dalam tinggi, juga tangkisan tangan kanan 

kirinya yang sebatas siku dipenuhi sisik berwarna 

coklat. Tangan yang dipenuhi sisik-sisik coklat itu 

memiliki kekuatan tiada tara. 

Jodro Kliwing memekik kaget ketika tan-

gannya membentur tangan Raja Naga. Seketika 

dia mundur dengan tangan kanan kiri yang mem-

biru. Melihat hal itu, Cokro Kliwing menjadi gu-

sar. Tetapi dia tak mampu meneruskan serangannya ketika tanah tiba-tiba berderak dan berge-

lombang ke arahnya begitu Raja Naga men-

jejakkan kaki kanannya di atas tanah!

Menyusul suara menggetarkan jantung itu 

terdengar keras, "Kalian sebaiknya menyingkir 

dari sini sebelum menyesal!" 

Baik Cokro Kliwing maupun Jodro Kliwing 

sama-sama mengangkat kepala, memandang ke 

depan. Saat itu pula jantung mereka laksana di-

remas-remas tangan kasar.

"Gila! Tatapannya itu... Jodro kau melihat-

nya?!"

"Ya! Kita bertemu dengan manusia iblis!" 

sahut Jodro Kliwing yang tangannya masih mem-

biru. "Cokro! Untuk saat ini biar kita mengalah, 

juga gagal untuk menikmati tubuh gadis yang 

ternyata berisi itu! Kita menyingkir untuk kelak 

muncul kembali!!"

Lelaki gundul dengan codet pada kening-

nya itu mengangguk-angguk kendati dia tidak 

puas dengan yang dikatakan Jodro Kliwing. Mas-

ing-masing orang tak ada yang buka suara saat 

berlalu, tetapi sorot mata mereka yang mengan-

dung kebencian mengisyaratkan kalau kelak me-

reka akan muncul kembali

Sepeninggal kedua lelaki berkepala plontos 

itu, Raja Naga menghampiri Puspa Dewi yang se-

dang bersemadi. Diperhatikannya raut wajah ma-

nis di hadapannya itu. Sejenak hati Raja Naga 

meragu. Apakah memang gadis manis ini yang 

melakukan serangkaian pencurian terhadap bun-

ga-bunga keramat

Ditindih pertanyaannya itu. Dia harus 

mengorek keterangan yang jelas. Juga akan dita-

nyakannya mengapa dia bisa bertarung dengan 

Setan Gundul Hutan Larangan. 

Setelah beberapa saat menunggu, Raja Na-

ga melihat Puspa Dewi menghentikan semadinya. 

Napasnya mulai teratur dan wajahnya kembali 

dihiasi kesegaran dan rona merah.

Raja Naga menyapa, "Apa kabarmu, Puspa 

Dewi?"

Tiba-tiba saja sepasang mata gadis bertahi 

lalat di pelipis sebelah kiri itu membuka lebar. 

Mulutnya merapat dingin. Pelan-pelan kilatan 

berbahaya jelas di matanya. Kedua tangannya 

mengepal kuat

Raja Naga melengak kaget, karena tahu-

tahu gadis itu sudah menyerangnya!



                              SELESAI



Ikuti kelanjutan serial ini:

RATU DINDING KEMATIAN














Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive