DATUK LEMBAH NERAKA
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Datuk Lembah Neraka
128 hal.
SATU
LANGIT di atas Laut Utara tampak diselimuti
awan bergulung-gulung. Gelombang yang abadi meme-
cah lamping-lamping batu karang terdengar bergemu-
ruh menghentak. Angin laut berhembus kencang me-
nambah tercekamnya suasana.
Di saat itu, dua bayangan kuning terlihat berke-
lebat cepat laksana bersitan-bersitan sinar menuju
arah Laut Utara. Begitu sampai pesisir, dua bayangan
tersebut hentikan larinya masing-masing. Seraya men-
gusap keringat yang membasahi kening masing-
masing, kedua pasang mata dua orang ini memandang
nyalang berkeliling. Saat kedua pasang mata mereka
menangkap julangan batu karang yang berada di ten-
gah-tengah laut, mata keduanya membesar tak kesiap.
Bahkan salah seorang di antaranya menadangkan te-
lapak tangannya di depan kening agar pandangan se-
makin jelas.
"Julangan batu karang di tengah laut, mungkin
itu tempat yang kita cari!" berkata orang yang mena-
dangkan telapak tangan dengan sepasang mata tak be-
ranjak dari gundukan batu karang di tengah laut. Dia
adalah seorang laki-laki. Badannya tinggi besar, men-
genakan pakaian panjang warna kuning yang diselem-
pangkan di pundak kiri kanan. Raut mukanya bundar
dengan hidung agak besar, sepasang matanya lebar
dengan kepala plontos.
Untuk beberapa saat lamanya orang yang diajak
bicara masih diam. Hanya pandangannya lurus ke de-
pan, ke arah julangan batu karang di tengah laut. Ke-
dua tangannya saling menakup dan diangkat se-jajar
dada. Mulutnya berkemik.
Seperti halnya yang mengajak bicara, orang ke-
dua ini juga berpakaian warna kuning. Sepasang ma-
tanya sipit dengan hidung mancung. Tubuhnya tinggi
kurus dengan kepala plontos.
Setelah berkemik-kemik yang tak jelas, akhirnya
orang yang tinggi kurus ini membuka mulut, namun
pandangannya tetap lurus ke depan.
"Bukan mungkin lagi, tapi aku yakin memang
itulah tempat yang kita cari. Kita harus segera ke sana
agar urusan ini cepat selesai!"
"Benar! Tapi kita juga harus waspada. Manusia
yang akan kita hadapi adalah seorang tokoh rimba
persilatan yang kenyang pengalaman dan ilmunya sulit
diukur. Malah muridnya, manusia yang berjuluk Pen-
dekar Mata Keranjang 108 saat ini telah menjadi tokoh
yang paling ditakuti oleh momok-momok golongan hi-
tam...!" ujar orang yang bertubuh tinggi besar sambil
berpaling ke samping dan menurunkan telapak tan-
gannya dari kening.
Orang yang tinggi kurus mendengus keras dan
menoleh. Mereka sejenak saling berpandangan satu
sama lain. Namun mendadak saja yang bertubuh ting-
gi besar tertawa bergelak-gelak melihat sikap orang di
sampingnya.
"Kau jangan salah paham dengan ucapanku. Aku
berkata demikian tadi bukannya berarti aku takut!
Hanya sebagai isyarat agar kau tak memandang remeh
orang yang akan kita hadapi. Meremehkan orang tak
jarang menjadi bumerang!"
Orang yang tinggi kurus kembali mengeluarkan
dengusan. Wajahnya kembali dia luruskan ke depan.
Dagunya mengeras dengan pelipis bergerak-gerak.
"Wisnu Paladasa!" panggil orang yang tinggi ku-
rus pada orang di sampingnya tanpa mengalihkan
pandangan. "Kau tak usah khawatirkan diriku. Aku te-
lah tahu siapa adanya Wong Agung, orang yang akan
kita hadapi itu!"
Orang yang tinggi besar yang tadi dipanggil den-
gan Wisnu Paladasa tersenyum lebar, lalu berkata.
"Bagus! Kita teruskan perjalanan!"
"Tapi kita perlu alat untuk mencapai tempat itu.
Kau lihat...," belum habis kata-kata orang yang tinggi
kurus, Wisnu Paladasa telah berkelebat cepat ke arah
dari mana mereka tadi datang. Dan tak lama kemu-
dian, dia muncul dengan pundak kiri kanan memang-
gul dua batang pohon kelapa, dan enak saja kedua ba-
tang pohon kepala besar itu lantas dilempar ke tengah
laut.
"Jalu Kembara!" panggil Wisnu Paladasa pada
orang yang tinggi kurus dengan isyarat kepala agar
temannya segera bergerak mengikuti dirinya yang kini
telah berkelebat dan kaki kiri kanan terpentang di atas
batangan pohon kepala yang telah mengapung.
Tanpa menunggu lama lagi, Jalu Kembara berge-
rak dan tahu-tahu tubuhnya telah berada tegak kokoh
di belakang Wisnu Paladasa. Dan seolah hampir tidak
bisa dipercaya, begitu kedua orang botak ini telah be-
rada di atas batangan pohon kelapa, batangan pohon
itu meluncur deras ke depan menerjang gempuran
ombak! Padahal kedua orang ini hanya memutar-
mutar kedua tangan masing-masing ke depan dan ke
belakang.
"Kita harus sampai sebelum hujan turun. Karena
hujan akan menghambat perjalanan kita!" berkata
Wisnu Paladasa seraya mempercepat putaran kedua
tangannya yang kemudian diikuti oleh Jalu Kembara.
Batangan pohon kelapa itu melesat lebih kencang ke
depan membedah gulungan ombak.
Tak berselang lama, batangan pohon kelapa itu
telah sampai di batu karang yang berada di tengah-
tengah laut. Dan sebelum batangan itu menyentuh ba-
tu karang, kedua orang itu telah lesatkan diri masing-
masing ke batu karang yang mengelilingi batu karang
tinggi menjulang.
Untuk beberapa lama kedua orang ini tak kesiap
memandang pada batu karang yang tinggi menjulang,
karena selain tinggi ternyata sisi-sisi batu karang itu
lurus! Mirip sebuah tembok bangunan!
"Apa kau yakin jika orang yang kita cari itu bera-
da di sana?!" tanya Wisnu Paladasa seraya tengadah-
kan kepala dan arahkan pandangannya ke atas.
"Aku belum bisa memastikan sebelum kita sam-
pai di sana! Tapi melihat tempatnya, aku hampir ya-
kin, inilah tempat orang yang kita cari. Kita harus ce-
pat menyelidik ke sana!" kata Jalu Kembara dengan
menebar pandangan ke sisi-sisi batu karang.
Wisnu Paladasa anggukkan kepala. "Makin cepat
kita menyelidik makin baik, karena urusan ini akan
segera berakhir dan musuh kita tinggal muridnya,
Pendekar 108!"
"Benar! Setelah itu baru kita kuasai rimba persi-
latan! Jika itu terjadi segala keinginan kita hanya ting-
gal tunjuk. Kau tahu, apa yang selama ini kuidam-
idamkan?" berkata Jalu Kembara yang bertubuh tinggi
kurus itu, seraya sunggingkan senyum, membuat ma-
tanya yang sipit semakin terpuruk.
Yang ditanya hanya gelengkan kepala perlahan
tanpa menoleh.
"Aku ingin tidur dengan tujuh perempuan cantik
dalam satu ranjang selama tiga hari tiga malam. Ha
ha... ha...!"
Wisnu Paladasa yang bertubuh besar ikut-ikutan
tertawa, namun tawanya tiba-tiba dia penggal. Dan
berkata dengan sedikit keras, mengimbangi suara ge-
lak tawa Jalu Kembara.
"Hentikan tawamu! Lihat di atas!"
Serta merta Jalu Kembara hentikan tawanya.
Pandangan matanya dia arahkan pada tempat yang di-
katakan Wisnu Paladasa. Ternyata batu karang yang
tinggi menjulang itu perlahan-lahan sirna tertutup oleh
kabut putih yang turun dari langit.
"Apa karena ini maka tempat ini disebut orang
Karang Langit?" bisik Jalu Kembara dengan tak berke-
dip.
"Kita harus segera mencapai tempat itu sebelum
batu karang itu tertutup kabut seluruhnya!" kata Wis-
nu Paladasa sambil melangkah dua tindak ke depan.
Kedua tangannya dia takupkan di depan dada, sepa-
sang matanya terpejam dengan bibir bergerak-gerak
mengucapkan sesuatu.
Sementara itu, tahu akan apa yang hendak dila-
kukan oleh Wisnu Paladasa. Jalu Kembara pun maju
dua tindak ke depan dan melakukan seperti apa yang
dilakukan Wisnu Paladasa. Lantas bagai dikomando,
kedua tangan kedua orang ini mereka buka dan mere-
ka luruskan ke depan tubuh masing-masing mereka
putar hingga keduanya kini saling berhadapan dan ke-
dua tangan masing-masing mereka pertemukan. Dan
didahului dengan bentakan dahsyat, kedua orang ini
jejakkan kaki masing-masing.
Serta merta tubuh Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara melejit ke atas, menembus asap putih dan
tak lama kemudian berdiri kokoh di pedataran batu
karang yang tinggi menjulang.
"Aneh! Ternyata kabut putih itu hanya menutupi
sisi-sisi batu karang. Sementara bagian sini terang
benderang!" ujar Wisnu Paladasa begitu sampai di pe-
lataran batu karang yang tinggi menjulang. Seraya
berkata, sepasang matanya yang lebar menatap jauh
ke depan, di mana tampak sebuah bangunan dari ba-
tu.
"Ada bangunan di sana!" Wisnu Paladasa menun-
juk.
Jalu Kembara mengangguk perlahan.
"Saatnya kita menyelidik!" kata laki-laki tinggi
kurus ini. Dan tanpa menunggu jawaban dari Wisnu
Paladasa, dia telah berkelebat dan tahu-tahu telah
berdiri dua tombak di depan bangunan batu.
"Hmm.... Bangunan ini nampaknya tidak terawat.
Puing-puing bekas hancuran teras depan dibiarkan te-
tap berserakan. Melihat puing-puing yang telah berlu-
mut, hal ini terjadi telah beberapa tahun silam...."
Jalu Kembara terdiam sesaat, sementara sepa-
sang matanya terus menebar ke sekeliling bangunan.
Raut muka Jalu Kembara tiba-tiba berubah. Ma-
tanya yang sipit dia buka lebar-lebar. "Kau tunggu di
sini, aku akan menyelidik ke samping bangunan! Aku
khawatir, tempat ini telah ditinggalkan penghu-
ninya...," kata Jalu Kembara pada Wisnu Paladasa
yang ternyata telah berada di sampingnya.
Yang diajak bicara mengangguk perlahan tanpa
palingkan wajah. Dan tak lama kemudian Jalu Kemba-
ra telah kembali. Parasnya makin mengeras.
"Aku hampir yakin, tempat ini telah ditinggalkan
penghuninya!" simpul Jalu Kembara begitu melihat
keadaan samping bangunan.
"Kita tak usah buru-buru ambil kesimpulan. Kita
belum ke dalam!" berkata Wisnu Paladasa seraya pen-
tangkan sepasang kakinya. Dan baru saja laki-laki
tinggi besar ini hendak angkat bicara, dia rapatkan
kembali sepasang kakinya, sementara Jalu Kembara
surutkan langkah satu tindak ke belakang!
Tempat mereka berdiri mula-mula terasa bergetar
perlahan, namun makin lama semakin keras. Hingga
membuat kedua orang ini harus mengerahkan sedikit
tenaga dalamnya untuk menahan agar tubuh masing-
masing tak terhuyung-huyung.
"Keparat!" keluar sumpah serapah dari mulut Ja-
lu Kembara. "Dia tampaknya telah mengetahui keda-
tangan kita!"
"Betul! Kita harus hati-hati!" bisik Wisnu Palada-
sa. Laki-laki ini lantas berteriak lantang.
"Wong Agung! Kami tak butuh mainan anak-anak
macam ini! Keluarlah, tunjukkan wujudmu! Songson-
glah hari kematianmu!"
Karena teriakan itu disertai pengerahan tenaga
dalam tingkat tinggi, maka tak heran jika untuk bebe-
rapa saat lamanya getaran yang terasa di pelataran
bangunan batu itu terhenti sejenak! Malah gemuruh
gelombang laut di bawah bagai tertahan!
"Wong Agung! Lekas keluarlah! Takdir kematian-
mu telah datang. Pendekar seperti kau tak layak me-
nyambut tamu dengan sembunyi-sembunyi!" terdengar
lagi teriakan membahana. Kali ini yang keluarkan te-
riakan adalah Jalu Kembara. Namun sejauh ini tak
ada tanda-tanda sahutan, apa lagi terlihatnya wujud
orang yang diteriaki.
Kedua orang berkepala plontos dan berpakaian
selempang kuning mirip pakaian seorang pendeta itu
sejenak saling berpandangan. Raut wajah ke duanya
telah tampak merah padam. Rahang masing-masing
terangkat ke atas, sementara pelipisnya bergerak-gerak
menindih amarah yang mulai mendera dada masing-
masing.
Jalu Kembara yang tampaknya ingin segera me-
nyelesaikan persoalan mendekat ke depan bangunan.
Kedua tangannya dia usap-usapkan pada batok kepa-
lanya lalu dia tarik ke bawah dan dikeplaknya lalu di-
adu satu sama lain hingga mengeluarkan suara bentu-
ran agak keras, lalu mulutnya kembali membuka hen-
dak berteriak.
Namun belum sampai Jalu Kembara keluarkan
teriakan, dari delapan penjuru mata angin terdengar
suara. Hebatnya, meski kedua orang ini belum bisa
menentukan dari mana sumber suara, namun suara
itu bagai dikeluarkan di dekat telinga masing-masing
dua laki-laki ini, membuat keduanya serentak undur-
kan kaki masing-masing.
"Aku sedari tadi telah menyambut kalian di sini!
Hanya kalian saja yang tidak melihat!"
Setelah dapat menentukan sumber suara, seren-
tak kedua orang ini sama-sama balikkan tubuh mas-
ing-masing.
"Apa mau kalian mengusik ketenangan tem-
patku?!" tegur seseorang yang kini telah berdiri empat
tombak di hadapan Wisnu Paladasa dan Jalu Kemba-
ra.
Dia adalah seorang laki-laki mengenakan jubah
warna putih. Rambutnya panjang bergerai, demikian
pula jenggotnya. Sepasang matanya tertutup sepotong
kulit yang diikatkan ke belakang kepala, sementara
tangan kanannya tak henti-henti mengelus uraian
jenggotnya yang telah berwarna putih.
Entah karena masih terkejut dan terkesima, atau
mungkin karena belum bisa menguasai diri, kedua
orang yang ditegur ini tidak segera menjawab. Hanya
sepasang mata keduanya tak kesiap memandang ke
depan dengan tatapan nyalang beringas.
"Paladasa! Apakah ini bentuknya orang yang kita
cari?!" bisik si tinggi kurus tanpa berpaling.
"Benar! Dialah Wong Agung, orang yang akan kita
kirim ke neraka!" jawab si tinggi besar juga tanpa pa-
lingkan wajahnya.
"Jika kalian tak segera jawab tanyaku, jangan
menyesal bila kalian akan kutinggalkan. Masih banyak
pekerjaan yang harus kuselesaikan!" berkata laki-laki
berjubah putih yang bukan lain memang Wong Agung
adanya, guru dari Pendekar Mata Keranjang 108.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama
dongakkan kepala ke atas. Dari mulut masing-masing
tiba-tiba meledak tawa keras yang membahana bersa-
hut-sahutan. Karena gelak tawa mereka dengan penge-
rahan tenaga dalam, membuat suara tawa itu seakan
menusuk gendang telinga orang yang mendengarnya.
Melihat gelagat tidak enak, Wong Agung segera
kerahkan tenaga, lalu kepalanya dia tengadahkan. Da-
ri bibirnya yang sedari tadi menyunggingkan senyum
terdengar suara tawa. Mula-mula pelan, namun makin
lama makin keras dan menggetarkan pelataran bangu-
nan batu serta menyapu lenyap suara tawa dua orang
dihadapannya. Diam-diam kedua orang berkepala
plontos ini jadi terkesiap hati masing-masing. Mereka
sadar, orang yang berdiri di hadapan ini tingkat tenaga
dalamnya masih jauh di atas mereka. Namun demi-
kian, kedua orang ini tidak me-nampakkan rasa takut
sama sekali. Malah keduanya sama-sama melangkah
maju.
"Tua bangka! Kau boleh tinggalkan kami, tapi itu
hanya namamu! Ragamu akan tetap di sini karena se-
bentar lagi akan segera kami kubur!" kata Wisnu Pala-
dasa dengan bola mata membeliak menusuk.
"Hmm.... Karena mataku tak dapat melihat, kalau
boleh aku tahu, siapa kalian sebenarnya? Rasa-
rasanya kita belum pernah bertemu!" ujar Wong Agung
dengan bibir tetap mengulum senyum.
"Tua bangka ini awas juga. Dia dapat membeda-
kan suara orang yang pernah dikenalnya dan suara
orang yang belum pernah bertemu...," membatin Jalu
Kembara dengan sepasang mata memperhatikan lebih
seksama sosok di hadapannya dari ujung kaki hingga
ujung rambut.
Memang, Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara be-
lum pernah bertemu dengan Wong Agung. Kedua
orang ini sebenarnya adalah seorang pendeta. Namun
dalam perjalanan hidup mereka, keduanya bertemu
dengan seorang pendeta berilmu tinggi. Karena kedua
orang ini ingin memiliki ilmu silat tinggi, keduanya
pun berguru. Ternyata, pada akhirnya ilmu silat telah
mengubah jalan pikiran kedua orang ini, ini karena
sang Guru mereka ternyata adalah seorang bekas to-
koh silat dari golongan hitam.
Namun, meski kedua orang ini telah melakukan
hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang pende-
ta, tapi pakaian dan gaya mereka masih tak mening-
galkan laksana seorang pendeta.
"Jalu Kembara...!" ujar Wisnu Paladasa seraya
menoleh. "Apa perlu kita perkenalkan diri sebelum
mengantarkan nyawanya menuju tempat peristiraha-
tan terakhirnya?"
Jalu Kembara kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba
suara tawanya lenyap, kedua tangannya dia angkat ke
atas dengan dada membusung.
Weesss!
Serangkum angin deras menyambar dari angka-
tan kedua tangan Jalu Kembara. Merasakan hal ini
Wong Agung segera doyongkan tubuh ke samping kanan.
"Untuk yang satu ini, tidak ada salahnya jika kita
perkenalkan diri!" kata Jalu Kembara seraya terse-
nyum sinis. Wisnu Paladasa busungkan dada, lalu
berkata.
"Dengar Wong Agung! Kau tidak perlu tahu siapa
kami. Hanya saja mungkin kau masih ingat dengan
orang yang bernama Dadaka Lanang. Nah, kami ber-
dua adalah utusan Dadaka Lanang!"
"Dadaka Lanang...," gumam Wong Agung mengu-
langi kata-kata Wisnu Paladasa seraya dongakkan ke-
pala. Dia tampaknya coba mengingat-ingat.
"Hmm.... Dadaka Lanang.... Manusia keji bergelar
Datuk Lembah Neraka. Rupanya dia ingin mengulang
rencana yang gagal pada beberapa puluh tahun silam.
Manusia yang punya ambisi untuk menguasai rimba
persilatan...," batin Wong Agung. Dia lantas berkata.
"Sebenarnya aku sudah menganggap selesai per-
soalan antara aku dengan manusia bergelar Datuk
Lembah Neraka. Jadi jika kalian berdua akan mem-
perpanjang masalah itu, kalian salah alamat! Aku su-
dah lama mengundurkan diri dari gemerisiknya rimba
persilatan. Dengar! Aku sekarang tidak akan lagi
menghalangi segala rencana Datuk Lembah Neraka,
karena untuk hal itu sudah ada orang yang menan-
gangi! Silakan kalian tinggalkan tempat ini!"
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling ber-
pandangan sejenak. Lantas keduanya saling mem-
buang muka masing-masing dengan tersenyum ang-
ker.
"Jika kau anggap selesai masalahmu dengan Da-
tuk Lembah Neraka, itu adalah hakmu. Namun satu
hal yang pasti, kepalamu sangat berharga bagi Datuk
Lembah Neraka, untuk itulah kami datang! Dan kami
tak akan tinggalkan tempat ini dengan tangan hampa!"
kata Jalu Kembara. Dia lantas berpaling pada Wisnu
Paladasa dan berkata.
"Paladasa! Kita selesaikan manusia ini!"
Wisnu Paladasa anggukkan kepala. Dan di kejap
lain mendadak kedua manusia berkepala plontos ini
sama-sama berkelebat seraya kirimkan pukulan.
Wuuttt! Wuuuttt!
Empat larikan sinar berwarna kuning redup me-
lesat menyambar ke arah tubuh Wong Agung. Bukan
hanya sampai di situ, begitu empat sinar melesat, dua
sosok ini segera berpencar ke samping kanan dan kiri,
dan dari tempatnya ini mereka segera kembali kirim-
kan serangan.
Kini dari arah depan, samping kanan dan samp-
ing kiri melesat larikan-larikan sinar kuning redup!
Dari sini jelas terlihat bahwa kedua orang ini ingin se-
gera menyelesaikan Wong Agung saat itu juga!
Meski kedua matanya tertutup, Wong Agung da-
pat merasakan betapa ganasnya serangan yang dilan-
carkan oleh kedua orang di hadapannya. Namun seba-
gai tokoh yang pernah malang melintang menegakkan
kebenaran, penghuni Karang Langit ini segera sambut
serangan lawan dengan lesatkan diri membuat putaran
beberapa kali ke belakang. Pada putaran kelima, ke-
dua tangannya segera dibuka dan didorong ke depan!
Larikan sinar kuning redup yang datang dari
arah samping kanan dan kiri bentrok di udara, hal ini
karena Wong Agung telah terlebih dahulu melesat ke
belakang untuk menghindar. Hingga kejap itu juga
terdengar ledakan dahsyat yang mengguncang pelata-
ran batu karang di tengah laut itu. Namun serangan
larikan yang datang dari arah depan, terus menerabas!
Saat itulah dorongan kedua tangan Wong Agung yang
keluarkan suara menggemuruh bagai gelombang da-
tang memapak!
Blarrr!
Kembali terdengar ledakan dahsyat. Batu karang
tinggi menjulang di tengah laut itu kembali bergetar.
Malah batu karang di bawah bertemunya tiga serangan
bertenaga dalam tinggi itu terbongkar dan berhambu-
ran menjadi abu.
Begitu dahsyatnya getaran batu karang, hingga
membuat Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara ter-
huyung-huyung ke belakang, sementara Wong Agung
surutkan dua tindak kakinya ke belakang.
Begitu dapat kuasai tubuh masing-masing, Wis-
nu Paladasa kertakan rahang, sedangkan Jalu Kemba-
ra keluarkan dengusan keras. Kedua murid Datuk
Lembah Neraka ini segera merangsek maju. Sementara
di seberang sana Wong Agung hanya berdiri menung-
gu.
"Kita hantam dari jarak dekat!" bisik Wisnu Pala-
dasa. Dia lirikkan matanya pada Jalu Kembara. Dua
orang ini saling beri isyarat dengan anggukkan kepala
masing-masing. Lantas tiba-tiba saja tubuh kedua
orang ini berkelebat lenyap. Dan tahu-tahu kedua so-
soknya menukik dari atas tubuh Wong Agung dengan
kedua tangan masing-masing menekan ke bawah! He-
batnya sebelum tekanan yang bisa menghancurkan
batok kepala itu mencapai sasaran, empat angin deras
yang keluarkan suara menggidikkan melesat menda-
hului!
Wong Agung sejenak terkesiap. Dan sebelum se-
rangan mematikan itu menghantam kepalanya, dia
undurkan kaki satu tindak, lalu tubuhnya dia lorotkan
sedikit ke bawah. Dan dengan didahului bentakan ke-
ras, kedua tangannya yang telah mengepal dia angkat
lurus ke atas!
Deess! Deess! Deess! Deeesss!
Terdengar empat kali suara beradunya lengan
tangan. Lalu disusul dengan suara pekikan tertahan
dua kali berturut-turut. Tubuh Wisnu Paladasa berpu-
tar balik dan jatuh berkaparan di atas batu, sementara
tubuh Jalu Kembara mental dan menukik ke bawah
tanpa bisa lagi menguasai keadaan, hingga di kejap
kemudian tubuhnya menghempas batu karang.
Jika bibir Wisnu Paladasa langsung keluarkan
darah begitu mengantuk batu karang, tidak demikian
halnya dengan Jalu Kembara. Meski tubuhnya keras
menghantam batu karang, namun dia tampak tidak
mengalami cedera, bahkan di kejap itu juga dia segera
bangkit kembali dengan kedua tangan saling menakup
di depan dada. Mulutnya berkemik-kemik. Dan men-
dadak saja tubuhnya kembali melesat ke depan den-
gan kedua tangan terbuka dan dipukulkan ke arah
Wong Agung.
Wong Agung yang baru saja dapat menguasai diri
dari olengan tubuhnya akibat benturan tangan diam-
diam merasa heran. Dia tak menduga jika salah satu
lawannya yang baru saja jatuh berkaparan secepat itu
bangkit dan malah kirimkan serangan! Namun rasa
herannya tak berlangsung lama, karena saat itu juga
dari kedua tangan Jalu Kembara melesat asap hitam
yang membentuk batangan-batangan laksana batan-
gan pohon besar. Hebatnya batang asap itu bukan
hanya lurus, namun salah satu di antaranya berputar
bagai baling-baling dan keluarkan suara mendesis-
desis sementara satunya lagi menyilang lurus!
Wuuusss! Wuuusss!
Wong Agung dengan menahan rasa heran cepat
rebahkan tubuhnya di atas batu karang. Kedua kakinya dia hantamkan ke arah batang asap yang mem-
bentuk baling-baling.
Beek! Beekk!
Batangan asap itu, yang ternyata keras bagai ba-
tu mencelat ke atas, dan detik itu juga tubuh Wong
Agung membal dan menyusul lesatan batangan asap
ke atas. Saat tubuhnya melenting ke atas, kedua tan-
gannya segera dia dorongkan ke arah batangan asap
yang membentuk silangan!
Weess! Weeesss!
Batangan asap yang menyilang tiba-tiba terhenti
di udara, dan dengan gerak cepat, kedua kaki Wong
Agung menjejak. Batangan asap itu melayang ke udara
menyusul batangan yang pertama.
Begitu dua batangan asap berada di atas udara,
Wong Agung segera menukik ke bawah, dan begitu
hampir menginjak batu karang, kedua kakinya menje-
jak keras. Tubuhnya kembali melesat ke udara. Dan
dengan gerakan ringan kedua kakinya mendarat rin-
gan di atas dua batangan asap yang kini turun dengan
posisi lurus menyamping
Bukan hanya sampai di situ, begitu dua batan-
gan yang dinaiki hampir menyentuh batu karang,
Wong Agung lesatkan diri ke depan, dan serta merta
kedua kakinya menyentil kedua ujung batangan asap!
Hebatnya, meski sentilan kedua kaki itu hanya
perlahan, namun batangan asap itu kini meluncur de-
ras. Satu mengarah pada Wisnu Paladasa yang baru
saja bangkit sementara satunya lagi mengarah pada
Jalu Kembara yang tampaknya masih terkesima den-
gan apa yang diperbuat oleh Wong Agung!
Jalu Kembara yang tahu banyak jika terhantam
batangan asap serangannya sendiri segera berteriak
memberi peringatan pada Wisnu Paladasa.
"Menyingkir! Jangan ditangkis!" seraya berteriak,
Jalu Kembara lesatkan diri ke samping untuk meng-
hindari batangan asap yang menuju ke arahnya. Di
lain pihak, Wisnu Paladasa segera melompat mengikuti
petunjuk temannya.
Benar saja, begitu kedua orang pendeta ini ber-
hasil meloloskan diri masing-masing dari hantaman
batangan asap, batangan asap itu meledak di udara
dengan keluarkan kepingan-kepingan yang meng-
hambur ke segala jurusan!
"Setan alas!" kertak Jalu Kembara. "Tampaknya
mata batin manusia ini lebih sempurna dari pengliha-
tan mata biasa...."
"Sudahlah! Kalian lekas tinggalkan tempat ini.
Tak ada gunanya masalah ini diteruskan!" berkata
Wong Agung dengan bibir tersenyum. Seolah sepasang
matanya bisa melihat, kepalanya bergerak bergantian
ke arah Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.
"Kami tak akan turun dari sini dengan berhampa
tangan!" teriak Wisnu Paladasa dengan air muka me-
rah padam. Lantas laki-laki tinggi besar ini berkelebat
cepat dan tahu-tahu tubuhnya telah menerjang ke
arah Wong Agung dengan sepasang kaki lurus menga-
rah pada dada.
Di lain pihak, begitu tahu Wisnu Paladasa meng-
gebrak, Jalu Kembara tak tinggal diam. Dia pun segera
melesat ke depan.
Wong Agung segera miringkan tubuh untuk
menghindari terjangan sepasang kaki Wisnu Paladasa,
dan begitu sepasang kaki Wisnu Paladasa lewat se-
jengkal di samping tubuhnya, tangan kanannya segera
berkelebat cepat hendak mencekal. Namun belum
sampai tangan kanannya mencekal, dari arah samping
Jalu Kembara telah datang dengan tangan berputar
putar dan kaki menggunting!
Bukkk! Bukkk!
Wong Agung keluarkan seruan tertahan begitu
kaki Jalu Kembara berhasil menggunting bahunya dan
membantingnya ke samping, membuat guru Pendekar
Mata Keranjang 108 ini tubuhnya terbanting deras
menghantam batu karang!
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara tertawa berge-
lak-gelak. Keduanya lantas melangkah mendekat ke
arah Wong Agung yang merambat bangkit. Dan seakan
ingin segera menyelesaikan persoalan, kedua laki-laki
ini segera hantamkan kedua tangan masing-masing ke
arah Wong Agung!
Wong Agung tak dapat menyembunyikan rasa
terkejutnya, dia tak menduga jika lawan akan lancar-
kan serangan pada saat dia bangkit.
"Hmm.... Apa boleh buat. Aku sebenarnya tidak
menginginkan masalah ini berlarut-larut. Tapi mereka
tampaknya memaksa...," membatin Wong Agung sam-
bil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di atas
kepalanya.
Mendadak suasana di pelataran bangunan batu
itu menjadi terang benderang, padahal saat itu awan
bergulung-gulung menutupi langit. Itulah sebuah isya-
rat jika Wong Agung hendak kirimkan pukulan anda-
lan.
Kedua tangan Wong Agung lantas dipukulkan sa-
tu sama lain di atas kepalanya. Dan kejap itu pula dari
kedua tangan guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini
berpencaran beberapa pijaran cahaya yang memapak
serangan kedua tangan Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara.
Plarrr! Plaaarrr!
Terdengar beberapa kali letupan. Serangan yang
menyambar dari kedua tangan dua laki-laki di hada-
pan Wong Agung itu hilang lenyap! Malah sebagian pi-
jaran yang melesat dari tangan Wong Agung menera-
bas ke arah Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama
keluarkan runtukan. Dan dengan menindih rasa jerih
kedua orang ini segera putar-putar kedua tangan mas-
ing-masing untuk melindungi diri dari hantaman pija-
ran yang mengarah pada mereka dari segala jurusan!
Saat kedua laki-laki ini sibuk menghadapi pija-
ran-pijaran yang ternyata bisa meluluh lantakan batu
karang, Wong Agung cepat rebahkan tubuh ke atas ba-
tu karang, dan serta merta tubuhnya menggelinding
cepat. Dan ketika ia bangkit, ternyata tubuhnya telah
berada di antara tubuh Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara.
Baik Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-
sama terperangah kaget, namun sebelum kedua orang
ini berbuat sesuatu, kedua tangan Wong Agung telah
berkelebat mendahului dan menghantam dada masing-
masing laki-laki di samping kanan dan kirinya.
Wisnu Paladasa meraung keras, tubuhnya ter-
banting ke samping. Dadanya seolah terhantam benda
berat membuat dadanya berdenyut sakit, dan pakaian
bagian dada itu robek! Dari sudut bibirnya mengalir
darah kehitaman pertanda jika dia terluka dalam!
Tak beda dengan Wisnu Paladasa, Jalu Kembara
mengalami nasib yang sama. Hanya dia lebih parah,
karena dia terhantam tangan kanan Wong Agung yang
daya gedornya lebih keras. Hingga darah hitam tidak
hanya keluar dari bibirnya saja, namun juga keluar
dari hidung dan telinganya!
Sambil merambat bangkit, dua lelaki ini saling
berpandangan. Mereka sama-sama meringis menahan
rasa sakit yang mendera dada masing-masing. Malah
begitu Jalu Kembara berhasil bangkit, kaki kanannya
oleng, dan sebentar kemudian tubuhnya kembali terja-
tuh!
Merasa lawan telah roboh, Wong Agung melang-
kah mendekati. Bibirnya tetap sunggingkan senyum.
"Kuminta sekali lagi, kalian lekas tinggalkan tem-
pat ini!" kata Wong Agung dengan suara berwibawa.
Kembali Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sal-
ing berpandangan satu sama lain. Dan entah merasa
di bawah angin atau jerih, kedua laki-laki ini dengan
berjalan tertatih-tatih menjauhi Wong Agung.
Begitu sampai pinggiran batu karang, Jalu Kem-
bara balikkan tubuh menatap Wong Agung yang masih
tampak berdiri seakan melihat kepergian dua lawan-
nya. Dengan memegangi dadanya, Jalu Kembara ang-
kat bicara.
"Wong Agung! Tunggulah saatnya, kami pasti
akan kembali!"
Yang diancam lagi-lagi hanya sunggingkan se-
nyum. Lalu berkata seraya balikkan tubuh melangkah
ke arah bangunan batu.
"Itu hak kalian! Yang perlu kalian ketahui, aku
menganggap hal ini selesai sampai di sini!"
Begitu gema suaranya lenyap, sosok Wong Agung
telah pula tak kelihatan.
"Bagaimana sekarang...?" tanya Wisnu Paladasa.
"Apa pun resikonya, kita harus menghadap
Guru!" jawab Jalu Kembara seraya pegangi dadanya
dan jejakkan kaki. Tubuhnya lantas melayang turun
dari batu karang tinggi yang menjulang di tengah Laut
Utara. Di belakangnya Wisnu Paladasa menyusul.
***
DUA
BUKIT sepi yang terletak di sebelah barat Desa
Sumbersuko masih diselimuti kabut pagi ini. Udara
dingin menusuk masih terasa mendera. Dua sosok
bayangan penunggang kuda serta merta hentikan ku-
da tunggangannya masing-masing begitu ladam kuda
mereka menginjak kaki bukit.
Dua penunggang kuda yang ternyata dua orang
laki-laki mengenakan pakaian warna kuning dan kepa-
la plontos dan bukan lain adalah Wisnu Paladasa dan
Jalu Kembara saling diam tak ada yang buka suara.
Paras mereka jelas mengisyaratkan kekece-waan dan
ketakutan. Malah di suasana yang dingin mencekam
itu, tubuh mereka berdua basah oleh keringat.
"Jalu Kembara!" berkata si tinggi besar Wisnu Pa-
ladasa dengan suara bergetar. "Terus terang, aku kha-
watir, apakah Datuk Lembah Neraka akan menerima
alasan kita!"
Yang diajak bicara masih diam. Namun tak bera-
pa lama kemudian laki-laki tinggi kurus ini buka mu-
lut.
"Mula-mula aku punya perasaan seperti kau,
namun setelah kupikir-pikir, perasaan itu tak harus
ada. Karena dalam masalah ini Datuk Lembah Neraka
mau tak mau masih membutuhkan tenaga kita! Kalau
bisa justru kita harus menuntut padanya agar mau
menurunkan ilmu andalannya! Jika tidak, kita masih
akan terus-terusan menjadi sang Pecundang!"
"Tapi.... Apakah dia mau menuruti permintaan
kita?" tanya si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan pa-
lingkan wajahnya ke samping.
Si tinggi kurus Jalu Kembara menggeleng perlahan. "Aku tak bisa menduga. Namun satu hal yang
pasti, jika Datuk Lembah Neraka masih menginginkan
kita untuk membantu, dia harus mau menuruti per-
mintaan kita. Apalagi yang hendak kita hadapi adalah
seorang tokoh muda yang ilmunya mungkin sejajar
dengan Wong Agung!"
"Pendekar Mata Keranjang 108 maksudmu?"
tanya si tinggi besar Wisnu Paladasa.
Si tinggi kurus Jalu Kembara mengangguk. "Me-
nurut berita yang kudengar, dia telah berhasil meron-
tokkan beberapa tokoh atas dari jajaran golongan hi-
tam, malah di antaranya ada yang terbirit-birit terlebih
dahulu sebelum sempat bertemu! Dari sini bisa kita ki-
ra-kira ketinggian ilmu yang dimiliki pemuda mata ke-
ranjang itu!"
Si tinggi besar Wisnu Paladasa mendengus perla-
han. Dia lantas berkata.
"Soal Pendekar Mata Keranjang 108, itu urusan
nanti. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah ba-
gaimana caranya menghadapi Datuk Lembah Neraka!"
Si tinggi kurus Jalu Kembara mendehem bebera-
pa kali dengan nada mengejek, membuat raut muka
Wisnu Paladasa merah mengelam.
"Kita katakan terus terang apa yang terjadi! Kita
tak usah malu-malu! Justru Datuk Lembah Neraka
yang seharusnya merasa malu, karena kedua anak di-
diknya tak mampu mengubur Wong Agung!" berkata
Jalu Kembara seraya lirikan sepasang mata sipitnya.
Selagi kedua laki-laki ini berbincang, dari arah
bukit sebelah atas meluncur deras dua buah ranting
yang mengarah pada mereka. Begitu derasnya lesatan
dua ranting itu, hingga yang tampak hanyalah bersitan
warna hitam yang keluarkan suara berdesing!
Singg! Sinngg!
Dengan menindih rasa terkejut, kedua laki-laki
ini berseru keras dan serta merta meloncat dari pung-
gung kuda tunggangan masing-masing selamatkan di-
ri. Di lain pihak, kuda tunggangan mereka tak lagi
sempat menghindar, hingga saat itu juga kaki bukit
sepi itu terbuncah oleh ringkihan kuda. Dan di kejap
lain, terdengar suara bergedebukan. Kuda-kuda ma-
lang itu ternyata terbanting ke tanah! Dari moncong
binatang itu membusai darah kental kehitaman! Dan
tak lama kemudian, kedua binatang itu diam tak ber-
gerak lagi!
Namun kesepian hanya berlangsung sekejap, se-
saat kemudian, dari atas bukit terdengar kekehan tawa
panjang. Hebatnya, suara tawa itu berselang seling,
bagai dikeluarkan oleh beberapa orang!
"Jalu Kembara!" kata si tinggi besar Wisnu Pala-
dasa dengan tubuh gemetaran. "Datuk Lembah Neraka
tampaknya telah mengetahui kedatangan kita!"
Si tinggi kurus Jalu Kembara anggukan kepala.
Lalu tanpa memandang pada orang di sampingnya, dia
berkata.
"Tidak hanya mengetahui kedatangan kita, na-
mun juga mengetahui tentang kegagalan kita! Kau li-
hat sendiri, bagaimana sambutannya tadi! Tapi...," be-
lum selesai kata-kata Jalu Kembara, kedua orang laki-
laki ini kembali dikejutkan oleh suara teguran.
"Murid-murid setan! Kenapa kalian masih berdiri
di situ? Apa kalian takut untuk mempertanggung-
jawabkan kesalahan kalian?!"
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling ber-
pandangan. Dan baru saja kedua laki-laki ini hendak
melangkah mendaki bukit, kembali terdengar suara.
"Bagus! Ternyata kalian bukan murid-murid pen-
gecut! Kalian siap menerima imbalan atas kegagalan
kalian!"
"Peduli setan! Apa yang kita takutkan. Kegagalan
ini bukan hanya kesalahan kita. Tapi juga kesalahan
Datuk Lembah Neraka! Kita naik ke atas!" kata Jalu
Kembara seraya berkelebat yang lantas di-ikuti oleh
Wisnu Paladasa. Dan tak berselang lama kemudian,
keduanya telah berdiri kokoh di puncak bukit. Di situ
mereka melihat sesosok tubuh terbalut pakaian warna
kuning panjang mirip pakaian seorang pendeta. Tan-
gan kanannya memegang sebuah untaian tasbih ber-
warna kuning yang tak henti-hentinya berputar-putar
seiring bergeraknya jari-jari. Tubuhnya begitu jang-
kung. Lebih jangkung dari kedua muridnya. Paras wa-
jahnya telah mengeriput. Kedua pipinya sangat cekung
membuat sepasang matanya yang besar seakan hen-
dak memberojol keluar. Hidungnya mungil dengan mu-
lut sangat lebar. Namun yang membuat laki-laki jang-
kung ini tampak angker adalah mata kanannya yang
menjorok keluar itu juling! Sementara kedua telin-
ganya tak berdaun! Ditingkahi kepalanya yang gundul,
laki-laki ini sungguh menyeramkan!
Begitu melihat sosok jangkung ini, Wisnu Palada-
sa dan Jalu Kembara segera melangkah mendatangi
dan serta merta kedua laki-laki ini jatuhkan diri di ha-
dapan sosok jangkung yang bukan lain adalah Dadaka
Lanang, manusia sadis yang bergelar Datuk Lembah
Neraka.
"Guru! Mohon ampunmu. Kami gagal melaksa-
nakan tugas yang kau bebankan pada kami berdua!"
berkata Jalu Kembara tanpa mengangkat kepala. Sua-
ra serak parau dan bergetar.
"Betul! Namun jika masih diberi kesempatan,
kami akan berangkat sekarang juga untuk mencari
Pendekar Mata Keranjang 108! Ini demi untuk mene
bus kegagalan kami mengubur Wong Agung...," sam-
bung si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan keringat
menetes dari kening dan lehernya.
Datuk Lembah Neraka terdiam sesaat. Pandan-
gannya menyengat tajam silih berganti pada kedua
muridnya. Lantas dia membuang muka dengan dagu
membatu. Dan sekonyong-konyong manusia jangkung
tak berdaun telinga ini angkat tubuhnya seperempat
tombak, lalu kedua kakinya bergerak menyapu ke arah
pundak Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa.
Terdengar seruan keras berbarengan. Tubuh
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara mencelat dan sa-
ma-sama berkaparan menggeletak di atas tanah. Pa-
kaian bagian pundak kedua laki-laki ini tampak robek
dengan kulit mengelupas!
"Murid-murid bodoh! Menghabisi Wong Agung sa-
ja tidak sanggup. Sekarang ngomong hendak mencari
Pendekar Mata Keranjang 108, apa kau kira pemuda
itu ilmunya di bawah gurunya?" kata Datuk Lembah
Neraka dengan mengusap-usap kepalanya yang plon-
tos.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara merambat
bangkit dan sama-sama tengadahkan kepala meman-
dang pada sang Guru. Namun demi dilihatnya Datuk
Lembah Neraka melangkah mendatangi, serta merta
kedua orang ini kembali jatuhkan diri hingga kening
keduanya menyentuh tanah!
"Guru!" berkata Jalu Kembara begitu didengar-
nya langkah-langkah Datuk Lembah Neraka dekat
dengan dirinya. "Kami tak peduli dengan ketinggian il-
mu Pendekar 108! Kami akan menyabung nyawa den-
gannya untuk menebus kegagalan kami!"
Mendengar ucapan Jalu Kembara, Datuk Lembah
Neraka tertawa bergelak-gelak. Suara tawanya berselang-seling bagai suara tawa beberapa orang. Namun
mendadak suara tawanya dia penggal. Lalu dengan
mata kiri membeliak merah dia berkata.
"Kalian rupanya murid-murid dungu yang ingin
cari mati! Daripada membuat malu namaku dengan
tewasnya kalian di tangan pemuda itu, lebih baik ka-
lian bunuh diri di hadapanku sekarang juga!"
"Guru!" kali ini yang angkat bicara Wisnu Palada-
sa. Tapi sebelum dia meneruskan ucapannya, Datuk
Lembah Neraka telah berpaling dan menyela dengan
suara membentak garang.
"Tutup mulutmu! Aku tak ingin dengar lagi kata-
kata kalian!"
Sesaat kemudian suasana sepi mencekam Datuk
Lembah Neraka melangkah setindak mendekati Jalu
Kembara. Yang didekati semakin gemetar, seakan tahu
apa yang hendak menimpa dirinya.
Begitu tepat di hadapan Jalu Kembara, Datuk
Lembah Neraka angkat kaki kirinya, ujung jari kakinya
dia tempelkan pada kening muridnya ini. Lalu diang-
kat, membuat kepala Jalu Kembara ikut terangkat ke
atas. Dan begitu kepala Jalu Kembara tengadah, kaki
kanan Datuk Lembah Neraka bergerak dengan tumit
menghujam kening!
Meski gerakan itu terlihat perlahan, namun kejap
itu juga Jalu Kembara meraung keras dan tubuhnya
terjengkang sampai tiga tombak ke belakang! Kulit di
keningnya membiru.
Lalu dengan langkah-langkah lebar, Datuk Lem-
bah Neraka mendekati Wisnu Paladasa. Yang didekati
sudah olengkan tubuhnya, matanya yang menyuruk
tanah terpejam rapat-rapat, bibirnya saling mengatup.
Dan tanpa berkata-kata lagi Datuk Lembah Neraka
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pada Jalu Kembara.
Karena tubuh Wisnu Paladasa oleng terlebih da-
hulu, membuat terjangan tumit Datuk Lembah Neraka
menghantam lebih deras hingga tubuhnya mencelat ke
belakang lebih deras dan lebih jauh!
Begitu merambat bangkit, dua murid Lembah Ne-
raka ini saling berpandangan. Lalu secara serentak
mereka mengalihkan pandangan masing-masing ke
arah Datuk Lembah Neraka.
"Hmm.... Daripada mati konyol, lebih baik aku
melarikan diri! Menjadi murid Datuk Lembah Neraka
sekian tahun, aku tak memperoleh apa-apa. Mencicipi
tubuh perempuan pun harus dengan jalan men-curi-
curi. Kalau aku terbebas dari tangan Datuk Lembah
Neraka, mungkin lebih banyak waktu bagiku untuk
merasakan hangatnya tubuh-tubuh bahenol....
Hmm...," membatin Jalu Kembara dengan menebarkan
pandangan berkeliling.
Di pihak lain, diam-diam Wisnu Paladasa mem-
punyai niat yang sama. Namun dia tak berani melihat
sekeliling. Pandangannya tertuju pada tanah di hada-
pannya dengan kepala tertunduk.
Selagi kedua orang ini membatin, tiba-tiba Datuk
Lembah Neraka berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri
dua langkah di hadapan Jalu Kembara. Jalu Kembara
beringsut mundur, malah diam-diam dia siapkan pu-
kulan jika sewaktu-waktu tanpa diduga Datuk Lembah
Neraka menghantam. Sementara itu Wisnu Paladasa
tidak berani menoleh!
Tapi, Jalu Kembara segera tarik niatnya kembali
begitu Datuk Lembah Neraka berkata. Suaranya sudah
agak melemah meski tetap mengandung ancaman.
"Kali ini kalian kuampuni. Namun jika untuk ke-
dua kalinya nanti kalian gagal, kalian tahu apa imbalannya!"
"Tapi, Guru! Kalau kau tak menurunkan ilmu
yang lebih tinggi dari yang kami miliki sekarang, mus-
tahil kami dapat menjalankan perintahmu!" kata Jalu
Kembara yang kini telah berani memandang pada gu-
runya.
Datuk Lembah Neraka mendehem beberapa kali,
lalu mengangguk dan berkata.
"Hmm.... Begitu? Baiklah. Demi cita-cita kita ber-
sama aku akan menurunkan ilmu yang lebih tinggi
pada kalian. Namun perlu kalian ketahui, jika kalian
ingin mempelajari ilmu yang hendak aku turunkan,
ada satu yang harus kalian hindari!"
Baik Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa wajah-
nya berseri cerah. Kedua laki-laki ini tersenyum. Dan
buru-buru Jalu Kembara berkata.
"Katakan, apa yang harus kami hindari!"
Untuk sesaat Datuk Lembah Neraka tak segera
menjawab. Dia pandangi muridnya silih berganti. Pada
akhirnya dia pun lantas berkata.
"Jika kalian ingin mempelajarinya, kalian harus
jauhkan diri dari perempuan! Bila kalian mendekati
perempuan dan menidurinya, ilmu kalian akan le-
nyap!"
Jalu Kembara membeliakkan sepasang matanya.
Dalam hati dia merutuk habis-habisan. Dia sama se-
kali tak menduga, jika syarat yang diajukan Datuk
Lembah Neraka demikian berat baginya, karena pada
dasarnya, dia adalah seorang laki-laki yang paling su-
ka pada perempuan!
Di lain pihak, Wisnu Paladasa pun mengumpat
panjang pendek dalam hati.
"Edan! Syarat yang diajukannya seakan-akan di-
buat-buat agar aku tak dapat menikmati kesukaanku!
Tapi apa boleh buat, syarat yang diajukannya harus
kuterima. Bukan tidak mungkin syarat itu hanya un-
tuk mencegah agar aku tidak keluyuran setiap ma-
lam...."
Melihat kedua muridnya agak terkejut dan tak
ada yang buka mulut, Datuk Lembah Neraka terse-
nyum lebar. Lalu berkata dengan tanpa memandang.
"Bagaimana? Apa kalian sanggup?!"
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara kembali saling
berpandangan. Keduanya saling memberi isyarat den-
gan anggukkan kepala masing-masing.
"Baik, Guru. Kami sanggup!" kata Jalu Kembara
yang kemudian disambung oleh Wisnu Paladasa. "Ka-
mi siap, apa pun syaratnya"
Datuk Lembah Neraka tertawa keras.
"Bagus! Kalian ternyata murid-murid yang tabah!
Ikuti aku!" berkata Datuk Lembah Neraka seraya ber-
kelebat ke sebuah gubuk yang berada di puncak bukit.
Begitu Datuk Lembah Neraka lenyap dari pan-
dangan kedua muridnya, kedua laki-laki murid Datuk
Lembah Neraka ini saling melangkah mendekat.
"Aku yakin, syarat itu hanya buatan Guru!" bisik
Jalu Kembara begitu dekat dengan Wisnu Paladasa.
Wisnu Paladasa sejenak menebar pandangan ke seke-
liling. Dan merasa tak ada orang lain, dia pun berkata
perlahan.
"Aku pun sudah menduga demikian. Namun se-
mentara ini kita harus mematuhi syarat itu. Jika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dan Wong Agung telah da-
pat kita patahkan, kita akan buktikan kata-kata Datuk
Lembah Neraka...."
Si tinggi kurus Jalu Kembara, lalu mengangguk.
Lantas kedua murid Datuk Lembah Neraka ini
berkelebat cepat ke arah berkelebatnya Datuk Lembah Neraka.
***
TIGA
SEORANG pemuda berbadan tegap dan berwajah
tampan, mengenakan pakaian hijau yang dilapis den-
gan baju lengan panjang warna kuning, rambut pan-
jang dan dikuncir ekor kuda tampak berjalan perlahan
saat hampir memasuki sebuah dusun yang tak jauh di
depannya.
Sambil berjalan, sepasang mata pemuda ini jela-
latan menyapu ke sana kemari. Dari mulutnya terden-
gar dendang nyanyian yang tak habis-habisnya dan
tak dapat ditangkap artinya. Tangan kanannya meme-
gang sebuah kipas warna ungu yang dikipas-kipaskan
di depan dadanya. Hebatnya, meski kipasan-kipasan
itu hanya perlahan, namun rimbunan daun-daun po-
hon yang dilewatinya tampak berkibar-kibar bahkan
tak jarang banyak yang langsung berguguran.
"Aku tak habis pikir. Sudah dua desa yang kula-
lui dan semuanya dalam keadaan porak poranda berat.
Siapa gerangan pembuat ulah keji ini?" Pemuda ini tak
meneruskan kata hatinya. Malah langkahnya dia hen-
tikan dengan tiba-tiba. Meski demikian suara dendang
nyanyian dari mulutnya tak berhenti. Sejenak kepala
pemuda ini bergerak ke kanan dan ke kiri. Tapi begitu
sepasang matanya tak menangkap seseorang, pemuda
ini meneruskan langkahnya. Dan kembali dia mene-
ruskan kata hatinya. "Siapa pun pelakunya, yang pasti
dia berkepandaian tinggi. Karena seluruh penduduk
yang dibantai dalam keadaan mengenaskan! Dan dada
mereka membekas sebuah telapak tangan.... Heran-
nya, meski banyak gadis cantik yang ikut terbunuh,
tak satu pun di antaranya yang mengalami perkosaan.
Pakaiannya tetap utuh. Hmm.... Apakah yang mem-
buat ulah ini seorang perempuan? Kalau...." Pemuda
ini putuskan kata hatinya kembali. Di depan sana, ter-
dengar suara jeritan lengking.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda ini se-
gera berkelebat menuju dusun yang tak jauh di de-
pannya, karena suara jeritan tadi berasal dari sana.
Begitu sampai, sepasang mata pemuda berbaju
hijau ini membeliak besar. Di pelataran setiap rumah,
tampak bergeletakan beberapa sosok tubuh yang su-
dah tak bergerak-gerak lagi.
"Sialan! Hal ini tak bisa dibiarkan terus-terusan!"
Ujar sang pemuda dengan menyapukan pandangannya
ke setiap sudut rumah. Paras muka pemuda ini telah
mengelam, matanya merah dengan kedua tangan men-
gepal. Dia lantas melangkah mendekati beberapa orang
yang menggeletak dan memeriksanya.
"Hmm.... Pelakunya adalah orang yang sama.
Dada orang-orang ini membekas sebuah telapak tan-
gan. Tapi ini dilakukan oleh dua orang! Bekas telapak
tangan yang membekas di dada tak sama besarnya...."
Perhatian sang pemuda pada dada orang-orang
yang menggeletak mendadak terpenggal oleh suara
erangan halus yang berasal dari sebuah rumah paling
sudut. Dengan cepat pemuda ini lesatkan diri ke ru-
mah yang paling sudut. Dan apa yang ditemukan sang
pemuda di rumah itu, membuat pemuda ini terkesiap.
Di rumah ini sang pemuda menemukan beberapa
orang digantung dengan menggunakan robekan kain.
Selagi pemuda ini memperhatikan, salah seorang
yang digantung tampak bergerak-gerak, dan dari mulutnya terdengar suara erangan menyayat.
Dengan cepat sang pemuda berbaju hijau ki-
baskan tangan kanannya. Robekan kain yang dipergu-
nakan orang untuk menggantung serta merta putus.
Dan dengan cekatan pula, pemuda ini menangkap tu-
buh orang yang meluncur ke bawah.
"Katakan, apa yang terjadi, Dan siapa yang mem-
buat ulah begini!" kata sang pemuda begitu tubuh
orang yang tadi digantung telah ditelentangkan di atas
tanah di dalam rumah.
Orang yang ditanya, yang ternyata adalah seo-
rang laki-laki setengah baya untuk beberapa saat la-
manya tak menjawab. Dia masih mencoba berjuang
dengan mengurut-urut tenggorokannya. Sementara
tangan satunya memegangi dadanya yang tampak
membekas sebuah telapak tangan.
Sesaat orang ini batuk-batuk beberapa kali.
Sudut bibirnya terlihat genangan darah hitam,
sementara sepasang matanya memejam,
"Katakan. Siapa pembuat malapetaka ini?!" ulang
sang pemuda dengan mendekatkan mulutnya pada te-
linga orang di hadapannya.
Begitu terlihat mulut orang yang ditanya berge-
rak-gerak, pemuda ini dekatkan telinganya.
"Dua orang.... Ber..., pakaian..., mirip seorang...,
pen..., de..., ta...," kata laki-laki setengah baya lirih
hampir tak terdengar.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, laki-laki ini
katupkan mulutnya. Tangannya terkulai. Dan nafas-
nya terhenti!
"Dua orang berpakaian mirip pendeta.... Hm....
Siapa mereka? Dalam kancah rimba persilatan, baru
kali ini aku mendengar pendeta membantai penduduk.
Apa maksud mereka? Dan siapa mereka sebenarnya...?" gumam sang pemuda yang bukan lain adalah
Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108.
"Melihat orang ini masih bertahan, pasti dua
orang tersebut masih belum jauh dari sini! Aku akan
menyusulnya...." ujar Aji seraya bangkit. Namun baru
saja dia hendak melangkah meninggalkan rumah itu,
sebuah suara mengejutkannya.
"Tidak semudah itu kau bisa meninggalkan tem-
pat ini!"
Secepat kilat Aji palingkan wajah memandang ke-
luar melalui pintu yang tidak tertutup. Di depan ru-
mah, tampak seorang gadis muda. Parasnya cantik je-
lita. Mengenakan pakaian tipis warna hijau. Rambut-
nya panjang sebahu dengan sepasang mata bulat. Da-
danya membusung kencang menantang.
"Aku banyak bertemu dengan beberapa gadis
cantik. Namun yang satu ini sungguh mempesona....
Mata dan bibirnya begitu menggoda...," kata Aji seraya
melangkah ke arah sang gadis. Bibirnya mengulaskan
sebuah senyum, sementara mata kirinya dia kedipkan.
"Berhenti! Selangkah lagi kau melangkah maju,
kau akan kubunuh!" teriak sang gadis dengan undur-
kan kakinya dua langkah ke belakang.
Aji hentikan langkahnya. Dia menunggu dengan
sepasang mata tak kesiap memandang pada sang ga-
dis. Bibirnya terus mengumbar senyum. Malah kini
dari mulutnya terdengar suara dendang nyanyian,
membuat gadis di seberang membelalakkan sepasang
mata bulatnya.
"Hmm.... Siapa pemuda ini? Apa dia yang telah
melakukan pembantaian akhir-akhir ini di mana-
mana? Aku akan mengorek dirinya!" kata sang gadis
dalam hati. Lalu dia berseru lantang.
"Siapa kau? Dan apa maksudmu dengan perbuatan ini?!"
"Ah...!" Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108
seakan-akan terkejut mendengar teriakan lantang sang
gadis. Namun sebentar kemudian, bibirnya telah kem-
bali tersenyum. Tapi dari mulutnya tak keluar ucapan
untuk menjawab pertanyaan sang gadis, membuat ga-
dis cantik itu mengulangi kata-katanya dengan suara
tinggi. Matanya yang bulat membesar.
"Edan! Gadis ini semakin cantik jika marah...,"
kata Aji dalam hati seraya pandangi sang gadis. Lalu
dengan kerdipkan sebelah matanya, dia berkata.
"Namaku Aji Saputra. Dan kuharap kau tidak sa-
lah paham. Ketika aku datang keadaan sudah begini!"
"Kau berdusta!" kertak sang gadis seraya paling-
kan wajah, karena dilihatnya pemuda di hadapannya
terus menerus memandang.
"Tak ada untungnya aku berkata dusta!"
"Ungkapan klasik yang sering dikumandangkan
orang untuk menutupi perbuatannya!" sahut sang ga-
dis dengan hadapkan kembali wajahnya. Sepasang ma-
tanya menatap tajam.
"Gadis cantik. Kau telah tahu siapa aku, kalau
tak keberatan boleh aku tahu siapa kau...?"
Sang gadis sejenak termangu. Wajahnya merah
saga disebut gadis cantik oleh pemuda di hadapannya.
"Aku cantik...?" kata sang gadis dalam hati.
Mungkin karena masih memikirkan kata-kata Aji,
hingga untuk beberapa lamanya gadis ini tidak segera
menjawab.
"Sudahlah.... Kalau kau keberatan sebutkan na-
ma, aku tak memaksa. Aku harus pergi sekarang...."
Habis berkata begitu, Aji balikkan tubuh dan
hendak melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan
tatkala tiba-tiba sang gadis berkata.
"Tunggu!"
Aji palingkan wajahnya memandang sang gadis.
Namun setelah ditunggu agak lama gadis itu tak mene-
ruskan kata-katanya, Aji teruskan langkah.
"Aku harus cepat mengejar si pembuat ulah ini!
Mereka mungkin belum jauh dari sini!" kata Aji dalam
hati sambil terus melangkah. "Seandainya saja aku tak
mengejar pembuat ulah keji ini, aku masih ingin ber-
lama-lama dengan gadis cantik itu...."
"Tampaknya pemuda itu kata-katanya bisa diper-
caya. Bekas telapak tangan itu menandakan bahwa
yang melakukan perbuatan ini adalah dua orang....
Tapi apa peduliku dengan semua ini? Ada tugas pent-
ing yang harus kuselesaikan. Pemuda itu, melihat pa-
kaiannya tampaknya seorang pesilat. Akan kutanya-
kan padanya, barangkali dia tahu tentang orang yang
kucari...," membatin gadis ini seraya berkelebat dan
tahu-tahu telah berdiri menghadang di depan Aji.
"Apa maksud sebenarnya gadis ini? Ditanya tak
mau jawab. Ditinggal mengikuti! Dasar perempuan!"
kata Aji dalam hati. Dia lalu berkata.
"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Aji saat
dilihatnya gadis di hadapannya hendak buka mulut.
"Apa kau tahu, di mana letak Karang Langit?"
tanya sang gadis.
Aji terkejut bukan main mendengar pertanyaan
sang gadis. Namun dia cepat menekan rasa terkejut-
nya dengan tersenyum lebar.
"Ada apa gadis ini mencari tempatnya Eyang
Wong Agung? Melihat nada tanyanya, dia tampaknya
mempunyai keperluan yang sangat penting...," memba-
tin Aji. Lalu dengan masih tersenyum yang dipaksa-
kan, Aji bertanya.
"Untuk apa kau ke sana...?"
"Aku tak bisa mengatakannya padamu untuk apa
aku ke sana. Hanya bagaimanapun juga, aku harus
menemukan tempat itu. Kau tahu, arah mana yang
harus kuambil jika aku ingin ke sana...?"
Aji kernyitkan kening. Dia seolah-olah berpikir
keras, membuat gadis di hadapannya menunggu se-
raya memandanginya dengan pandangan aneh.
"Karang Langit...," gumam Aji, membuat gadis itu
melangkah makin mendekat.
"Benar, Karang Langit. Kau tahu di mana letak-
nya bukan...?" kata sang gadis.
Aji menggeleng perlahan. "Aku memang pernah
mendengar nama itu. Namun, aku tak tahu di mana
letaknya. Hanya menurut kabar yang pernah kuden-
gar, tempat itu dihuni oleh...."
"Keparat Wong Agung!" sahut sang gadis dengan
wajah berubah merah padam. Sepasang matanya ma-
kin membesar dengan bibir saling menggegat menahan
marah.
"Benar katamu. Tempat itu dihuni oleh orang
yang bernama Wong Agung. Tampaknya kau punya si-
lang sengketa dengan orang itu. Betul?" kata Aji me-
mancing.
Gadis di hadapan Aji tidak mengangguk dan juga
tidak menggeleng. Malah dia arahkan pandangannya
pada jurusan lain. Dari mulutnya terdengar ucapan.
"Jangan harap kau akan mendapat jawaban jika
itu yang kau tanyakan! Aku tidak akan terpancing
dengan kata-katamu!"
Aji kembali dibuat terperangah kaget.
Gadis ini selain cantik, otaknya juga cerdik. Syu-
kur dia tak mengenaliku...," membatin murid Wong
Agung ini. Lantas dengan tersenyum tawar, dia berkata.
"Maaf. Aku tidak memancingmu agar mengata-
kan ada apa di antara kau dengan Wong Agung. Aku
hanya menduga dari paras wajahmu yang tiba-tiba be-
rubah saat menyebut nama Wong Agung. Bahkan
seandainya aku tahu, itu tak akan ada artinya buatku.
Aku hanya seorang gelandangan yang tak punya jun-
trung. Hanya saja, seandainya aku tahu di mana le-
taknya tempat itu, aku akan dengan senang hati men-
gantarmu!"
Gadis di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108
ini tampak terdiam sesaat. Wajahnya dia hadapkan lu-
rus pada Aji, membuat jantung murid Wong Agung ini
berdegup agak kencang.
"Terima kasih atas tawaranmu. Aku bisa pergi
sendirian.... Hmm.... Kau sendiri hendak ke mana?"
"Tadi sudah kukatakan. Aku salah seorang pen-
gelana yang tak punya juntrung. Jadi aku akan pergi
ke mana saja kakiku melangkah...."
Gadis di hadapan Aji kerutkan dahi. Dia pandan-
gi pemuda di hadapannya dari ujung kaki sampai
ujung rambut.
"Untuk yang ini, perkataannya mungkin berdus-
ta. Aku tak percaya jika pemuda seperti dia tak punya
juntrung. Tapi apa peduliku memikirkan dia sampai
sejauh itu...?" kata sang gadis dalam hati seraya terse-
nyum sendiri. Lalu dia berkata lirih.
"Karena aku masih ada keperluan, aku pergi da-
hulu!"
"Hai, tunggu!" seru Aji menahan kelebatan sang
gadis. Namun seruan Aji seakan tak didengar. Gadis
berbaju hijau tipis itu terus berkelebat dan lenyap dari
pandangan Aji.
"Bagaimana ini? Hmm.... Sebaiknya aku menun-
da mengejar dua orang si pembuat malapetaka itu.
Aku akan mengikuti perjalanan gadis tadi. Aku khawa-
tir akan keselamatan Eyang Wong Agung...."
Memikir sampai di situ, pendekar murid Wong
Agung ini lantas berkelebat ke arah berkelebatnya sang
gadis baju hijau.
***
EMPAT
TAMPAKNYA gadis ini menuju arah yang benar.
Berarti pertanyaannya tadi hanyalah pura-pura...,"
membatin Aji seraya terus mengikuti berkelebatnya
gadis berbaju hijau tipis. "Melihat kecepatan larinya,
gadis ini tidak bisa dipandang enteng.... Siapa sebe-
narnya gadis cantik ini? Dan ada urusan apa dengan
Eyang Wong Agung...?"
Selagi Aji menguntit seraya merenung dan men-
duga-duga demikian, mendadak gadis yang diikutinya
berkelebat lenyap di sebuah hutan kecil.
"Edan. Ke mana lenyapnya dia?" gumam Aji se-
raya pasang telinga dan menebar pandangan berkelil-
ing. Namun hingga matanya lelah menebar dan kepa-
lanya kelu berpaling ke sana kemari, orang yang dicari
tak juga terlihat batang hidungnya.
"Kalau dia tak kutemukan di sini, dia akan ku
hadang di dekat Pesisir Laut Utara. Aku harus cepat ke
sana sebelum kedahuluan.... Tapi apakah...."
Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara nyanyian
dari tempat yang tidak begitu jauh.
"Suaranya seorang perempuan. Jangan-jangan
dia...," berpikir sampai di situ, murid Wong Agung ini
segera berkelebat menuju sumber suara.
Sampai di tempat sumber suara nyanyian, yang
ternyata sebuah sendang berair jernih, Aji menjadi ter-
kesiap. Sepasang matanya melotot besar dengan jakun
bergerak turun naik tak beraturan, sementara dadanya
berdetak kencang.
Gadis yang dia ikuti, ternyata sedang mandi se-
raya mendendangkan nyanyian. Mungkin karena tidak
merasa dilihat orang, gadis ini dengan leluasa ber-
main-main di air sendang. Malah sesekali tubuhnya
dia angkat ke atas, menampakkan sepasang dadanya
yang membusung kencang, membuat Aji semakin
membeliak.
"Gila! Benar-benar aduhai...," bisik Aji seraya me-
langkah perlahan menuju tempat yang agak terlin-
dung.
Prakkk!
Karena waktu melangkah pandangan mata Aji
tertuju pada sang gadis, maka tanpa sengaja kaki ka-
nannya menginjak sebuah ranting kering. Hingga me-
nimbulkan bunyi agak keras.
Gadis cantik yang sedang mandi itu cepat berpal-
ing. Dia hanya selintas melihat berkelebatnya sebuah
bayangan. Dengan menahan rasa kejut dan marah ga-
dis ini segera menyelam satu kali, lantas tiba-tiba
muncul dengan kedua tangan dihantamkan pada arah
berkelebatnya bayangan.
Serangkum angin deras menyambar dengan
membawa hawa panas. Sebuah pohon besar tempat
bersembunyinya sang bayangan tumbang dengan ba-
tang patah. Semak belukar di sekitarnya diterabas
musnah dengan mengepulkan asap dan hangus!
Dan, begitu habis lancarkan pukulan, gadis ini
dengan tubuh polos naik dari sendang dan melangkah
cepat ke tempat dia meletakkan pakaiannya.
Setelah mengenakan pakaiannya, dia segera ber-
kelebat ke arah pohon yang tumbang, di mana tadi di-
lihatnya sang bayangan menyelinap pergi.
"Tukang intip busuk! Kukorek kedua biji mata-
mu!" kata sang gadis setengah berteriak sambil han-
tamkan kembali kedua tangannya.
Sebongkah sinar hitam berkilat melesat me-
nyambar keluar dari kedua tangan sang gadis. Suara
laksana gelombang dahsyat melingkupi tempat itu.
Hawa panas menyengat menebar.
Kejap itu juga kembali dua pohon besar gemere-
tak tumbang, semak belukar terbongkar hingga akar-
akarnya. Tanah bongkaran semak itu mengangkasa
membuat tempat itu sejenak redup pekat.
Namun hingga tanah itu turun kembali ke ba-
wah, dan tempat itu kembali terang benderang, sang
gadis tak menemukan bayangan yang dicarinya. Den-
gan muka merah padam menahan marah, gadis ini
lantas melangkah meninggalkan sendang.
Tak jauh dari tempat sang gadis, Aji terperangah
kaget melihat pukulan gadis cantik yang diikutinya.
"Untung aku segera menyingkir. Jika tidak, aku
akan hangus seperti batang pohon itu...," batin Aji
sambil mengawasi sang gadis yang mulai melangkah
menuju arah utara.
Hampir sampai Pesisir Laut Utara, mendadak ga-
dis ini hentikan larinya, membuat Aji mau tak mau ju-
ga hentikan larinya dan segera menyelinap ke balik
semak belukar.
Pada saat itulah terdengar suara langkah-
langkah pelan mendatangi dari arah depan sang gadis.
Sepasang mata Aji terbeliak lebar begitu melihat siapa
gerangan orang yang melangkah menuju arah sang ga-
dis. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan jubah
putih panjang. Rambutnya panjang demikian juga
jenggotnya. Kedua matanya ditutup oleh sepotong kulit
yang diikatkan ke belakang kepala.
"Eyang Wong Agung...," gumam Aji perlahan
sambil memperlihatkan dengan seksama.
Gadis berbaju hijau tipis sejenak memandangi
orang yang melangkah ke arahnya. Dahinya berkerut
dengan bibir tersenyum sinis.
"Hmm.... Ternyata dia kutemukan di sini... Kebe-
tulan sekali!" gumam si gadis ketika mengenali siapa
adanya orang yang kini semakin dekat dengan tempat-
nya berdiri. Begitu delapan langkah lagi sampai, gadis
berbaju hijau ini angkat bicara.
"Tua bangka! Terimalah ajal kematianmu hari
ini!"
Laki-laki berjubah putih dan bukan lain memang
Wong Agung adanya serta merta hentikan langkahnya.
Kepalanya dia luruskan ke depan seakan-akan kedua
matanya memandang gadis di hadapannya. Bibirnya
lantas menyunggingkan senyum dan dengan suara
perlahan guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini berka-
ta.
"Gadis cantik. Kukira ajal kematian tidak diten-
tukan oleh seseorang. Tapi jika memang hari ini adalah
saatnya, aku sudah siap! Hmm.... Siapa kau sebenar-
nya? Apa kau memang ingin menemuiku? Rasa-
rasanya aku belum pernah bertemu dengan kau...."
"Orang tua! Dengar baik-baik. Aku Ratih Purna-
masari, murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari dari pun-
cak Gunung Larantuka. Guruku menugaskan untuk
mencari sekaligus membunuh!"
Dari tempat persembunyiannya, Pendekar Mata
Keranjang 108 terkejut bukan alang kepalang menden-
gar pernyataan sang gadis. Sedari tadi dia memang telah curiga ada masalah antara gadis itu dengan gu-
runya, namun dugaannya tidaklah sejauh itu. Murid
Wong Agung ini segera saja hendak keluar dari tempat
persembunyiannya, namun niatnya dia urungkan
tatkala dilihatnya Wong Agung tersenyum seraya ber-
kata.
"Gadis cantik! Agar masalah ini menjadi jernih,
marilah kita bicara baik-baik!"
Gadis berbaju hijau tipis yang tadi menyebutkan
nama Ratih Purnamasari tertawa bergelak mendengar
perkataan Wong Agung. Namun secara tiba-tiba ta-
wanya dia putus, lalu dia berkata dengan tanpa me-
mandang.
"Kau tak perlu mengulur-ulur waktu. Semuanya
sudah jelas bagiku! Yang kuperlukan sekarang adalah
kepalamu!"
Kembali Wong Agung hanya tersenyum menden-
gar ucapan gadis di hadapannya. Malah sesekali kepa-
lanya digeleng-gelengkan. Dia melangkah maju seraya
berkata.
"Anak gadis! Sebelum kau menyelidiki benar ti-
daknya, kuharap kau tak ikut hanyut dalam deru per-
kataan orang, meski orang itu adalah gurumu sendiri.
Karena jika tidak, kau akan ikut tenggelam dalam
arus!"
Ratih Purnamasari mendengus keras seraya pa-
lingkan wajah, membuat kepala Wong Agung bergerak
mengikuti arah berpalingnya Ratih Purnamasari.
"Orang tua! Jangan mimpi kau bisa mengalihkan
niatku dengan segala kata-kata manismu! Aku telah
tahu siapa kau dari kecil hingga tua bangka!"
Raut wajah Wong Agung sesaat berubah. Kening-
nya bertambah kerutan pertanda berpikir keras. Dia
lalu sedikit mendongakkan kepalanya seraya digoyang
goyangkan perlahan ke kiri dan ke kanan.
"Kau mungkin dengar cerita tentang diriku dari
gurumu. Benar?"
Ratih Purnamasari tidak menjawab. Dia hanya
luruskan pandangannya dengan sepasang mata melo-
tot. Sementara kedua tangannya telah mengepal den-
gan kaki sedikit dipentangkan.
"Meski kau tak jawab tanyaku, aku tahu pasti.
Lantas apakah pernah terlintas dalam benakmu, bah-
wa gurumu mengatakan apa adanya tanpa mengurangi
dan menambahi?" sambung Wong Agung begitu di-
tunggu agak lama Ratih Purnamasari tidak membuka
mulut untuk menjawab pertanyaannya.
"Kau jangan menambah dosamu dengan menu-
duh guruku menambah atau mengurangi cerita ten-
tang dirimu!"
Wong Agung tertawa pendek, lantas kembali ge-
leng-gelengkan kepala.
"Aku tidak menuduh gurumu. Hanya aku ber-
tanya padamu. Karena tatkala peristiwa antara aku
dan gurumu terjadi, kau tentunya masih belum ada.
Bukan tidak mungkin, gurumu sengaja menceritakan
apa yang tidak terjadi dan tidak menceritakan apa
yang terjadi!" Wong Agung terdiam sesaat, lalu me-
nyambung dengan suara makin perlahan.
"Sudahlah.... Urusan ini biar nanti kuselesaikan
dengan gurumu! Katakan di mana sekarang gurumu
berada!"
Ratih Purnamasari kembali keluarkan dengusan
keras.
"Kau tak perlu tahu di mana guruku berada!
Yang pasti, dia menantikan kedatanganku dengan
penggalan kepalamu!"
"Kurang ajar! Gadis itu benar-benar mulutnya
minta dirobek!" gumam Aji dari tempatnya mengintip.
Namun dia masih belum berniat untuk keluar, karena
masih ingin melihat apa yang bakal terjadi.
"Anak gadis!" kata Wong Agung. "Dengarkan.
Akan kujelaskan masalahku dengan gurumu. Setelah
itu silakan kau ambil kesimpulan! Kalau...."
Belum sampai Wong Agung meneruskan kata-
katanya, Ratih Purnamasari telah menyela dengan su-
ara keras meradang.
"Aku tak butuh ceritamu! Yang kubutuhkan ada-
lah kepalamu!"
Habis berkata begitu, Ratih Purnamasari segera
berkelebat dan tahu-tahu telah kirimkan serangan
dengan pukulan kedua tangannya ke arah Wong
Agung yang masih tampak tercekat kaget mendengar
kata-kata Ratih Purnamasari.
Sebongkah sinar hitam melesat keluar dari kedua
tangan Ratih Purnamasari. Keluarkan suara gemuruh
dahsyat bak gelombang laut serta hawa panas me-
nyengat!
Dengan masih menahan rasa kejut, guru Pende-
kar Mata Keranjang 108 ini segera lesatkan diri ke
udara. Namun ternyata pukulan Ratih Purnamasari ini
sungguh luar biasa. Karena sebelum bongkahan hitam
itu menghantam sasaran, serangkum angin dahsyat
mendahului menyambar, hingga meski Wong Agung
cepat lesatkan dirinya ke udara, tak urung bias angin
itu menerpa tubuhnya, membuat lesatan tubuhnya se-
dikit melenceng.
"Pukulan bagus...," puji Wong Agung dari atas
udara.
Ratih Purnamasari kertakkan rahang karena se-
rangannya dengan mudah dapat dielakkan oleh lawan,
padahal lawan tidak bisa melihat! Diam-diam perasaan
keder mulai timbul di hati gadis cantik murid I Gusti
Ayu Wayan Rikmasari ini. Namun dia tak menunjuk-
kan rasa itu, malah yang tampak adalah raut wajah-
nya yang merah mengelam dengan dagu membatu.
"Anak gadis!" kata Wong Agung begitu kedua ka-
kinya telah menjejak kembali di atas tanah. "Marilah
kita bicara dari hati ke hati, agar masalah ini tidak
berlarut-larut dan menimbulkan sesuatu yang tidak ki-
ta inginkan!"
"Teruslah kau bicara! Aku tak akan goyah dengan
niatanku! Aku tidak sudi pulang berhampa tangan!"
teriak Ratih Purnamasari lantang. Dia cepat lesatkan
dirinya ke depan. Kedua tangannya dibuka dan sepa-
sang kakinya ditekuk sebatas lutut. Begitu lesatan tu-
buhnya satu tombak lagi menyambar tubuh Wong
Agung, Ratih Purnamasari dorongkan kedua tangan-
nya sementara kakinya dia luruskan!
Wong Agung yang mendapat serangan dahsyat ini
segera miringkan tubuhnya ke samping kanan, seraya
rundukkan kepalanya. Terjangan sepasang kaki Ratih
Purnamasari sejengkal menghantam angin di samping
tubuh Wong Agung, sementara sambaran angin dah-
syat yang melesat dari dorongan tangannya hanya
mampu membuat tubuh Wong Agung terhuyung-
huyung sebentar, lalu kembali berdiri kokoh dengan
senyum masih tersungging.
"Keparat!" rutuk Ratih Purnamasari merasa di-
permainkan, karena sejauh ini Wong Agung hanya
menghindar tanpa lancarkan serangan balasan, pa-
dahal jika mau kesempatan membalas pukulan itu
ada.
"Tua Bangka! Balaslah menyerang. Jangan hanya
menghindar seperti manusia tolol! Tunjukkan cerita
nama besarmu!" teriak Ratih Purnamasari dengan senyum sinis.
Wong Agung tersenyum ramah. Kepalanya meng-
geleng perlahan.
"Orang tua seperti aku ini, sudah tidak layak ki-
ranya menunjukkan kehebatan ilmu silat. Justru ka-
lau kau tak keberatan, berilah aku jalan. Aku akan
meneruskan perjalanan...."
Ratih Purnamasari merengut dengan buang mu-
ka. Dia tampaknya semakin jengkel mendapatkan per-
lakuan demikian. Maka dengan tanpa memandang dia
berkata.
"Baiklah! Kau telah kuberi kesempatan untuk
membalas serangan. Dan hal itu tak kau gunakan,
maka jangan menyesal jika nantinya kau celaka tanpa
bisa membalas!"
Habis berkata begitu, Ratih Purnamasari berkele-
bat. Dan mendadak sosoknya lenyap dari pandangan.
Namun dikejap lain, tiba-tiba sosoknya menukik tajam
dengan kaki menggunting ke arah kepala Wong Agung,
sementara kedua tangannya memukul bertubi-tubi ke
depan.
Bongkahan-bongkahan sinar hitam yang menge-
luarkan suara menggemuruh serta membawa hawa
panas yang menyengat melesat bersusul-susulan.
Wong Agung yang tampaknya sudah waspada se-
gera buka kedua telapak tangannya dan didorong
kuat-kuat ke depan.
Seberkas sinar putih menggebrak ke depan, me-
mapak serangan Ratih Purnamasari.
Blarrr! Blarrr!
Terdengar beberapa kali letupan dahsyat tatkala
kedua pukulan sakti itu bertemu di udara. Tempat itu
bergetar hebat. Namun sejauh ini tubuh Wong Agung
tidak bergeming sama sekali. Sementara di lain pihak,
tubuh Ratih Purnamasari terus meluncur di atas uda-
ra dengan kaki menggunting ke arah kepala Wong
Agung.
Melihat luncuran tubuh lawan, Wong Agung se-
gera angkat kedua tangannya ke atas melindungi kepa-
lanya. Namun anehnya, begitu luncuran tubuh gadis
ini hampir menghantam, gadis ini sentakkan pundak-
nya. Tubuhnya yang tadi lurus kini membumbung ke
atas. Dari atas dengan gerak cepat dia membuat gera-
kan jungkir balik beberapa kali. Dan tiba-tiba saja se-
pasang kakinya menghantam ke arah dada dan pung-
gung Wong Agung!
Wong Agung yang mengangkat kedua tangannya
untuk melindungi kepala tersipu. Namun dia cepat ki-
baskan kembali kedua tangannya ke bawah, begitu
merasa angin deras menyambar ke arah dada dan
punggungnya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Ketika kedua
tangan Wong Agung bentrok dengan kedua kaki Ratih
Purnamasari.
Gadis cantik ini keluarkan jeritan tertahan. Tu-
buhnya mental balik dan melayang jauh ke belakang
sampai tiga tombak dan berputaran di atas tanah.
Sementara Wong Agung sendiri hanya tersurut
satu tindak ke belakang. Seraya menyunggingkan se-
nyum, Wong Agung melangkah perlahan ke arah Ratih
Purnamasari yang saat ini merambat bangkit dengan
memandang tak berkedip ke arah Wong Agung.
Melihat kejadian ini, Aji segera berkelebat keluar
dari tempat persembunyiannya seraya berseru.
"Eyang....!"
Ratih Purnamasari palingkan wajah dan kelua-
rkan seruan tertahan ketika mengetahui siapa adanya
orang yang berseru. Di lain pihak, Aji tak menghirau-
kan pandangan heran Ratih Purnamasari. Dia mende-
kat ke arah Wong Agung dan menjura hormat.
"Jahanam! Apa hubungannya antara pemuda itu
dengan keparat tua bangka itu? Apakah dia muridnya?
Jika benar, berarti dialah pemuda yang bergelar Pen-
dekar Mata Keranjang 108.... Keparat benar! Dia telah
menipuku!" batin Ratih Purnamasari seraya terus
mengawasi Aji tanpa kesiap!
"Eyang... Kenapa kau diamkan saja gadis liar itu
menghantammu?" berkata Aji seraya lirikkan sepasang
matanya pada Ratih Purnamasari.
Wong Agung tersenyum.
"Aji.... Jika aku melawannya, mana perbedaan
antara orang tua dan anak muda? Lagi pula masalah
ini hanyalah salah paham. Dia termakan kata-kata
orang yang menjelek-jelekkan diriku...."
"Tapi tingkahnya bisa mencelakakan jiwamu!" ka-
ta Aji seraya palingkan wajahnya pada Ratih Purnama-
sari. Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108
berkilat merah. Dia melangkah maju. Namun baru dua
langkahan kaki, gadis berbaju hijau telah angkat bica-
ra.
"Laki-laki pembual! Ternyata kau kaki tangan tua
bangka itu. Bagus...! Bersiaplah kalian berdua untuk
mati satu kubur bersama!" teriak Ratih Purnamasari
seraya hantamkan kedua tangannya ke arah Aji.
"Aji.... Jangan dilawan. Hindari saja! Dia sedang
emosi...," bisik Wong Agung perlahan.
Sebenarnya Aji tak tahan dengan perlakuan gadis
di hadapannya, namun karena gurunya menyarankan
untuk menghindar, mau tak mau Aji menuruti. Dia
lantas berkelebat ke samping kiri begitu bongkahan
asap hitam menggebrak ke arahnya.
Bongkahan asap hitam itu menghajar tempat ko-
song, membuat Ratih Purnamasari semakin merah
mengelam wajahnya.
"Hmm.... Orang yang mengintipiku saat mandi di
sendang, mungkin saja pemuda ini.... Buktinya, dia te-
lah berada di sini. Berarti dia mengikuti perjalanan-
ku.... Kurang ajar!" kata Ratih Purnamasari dalam hati
seraya menatap tajam pada Pendekar 108 dengan ta-
tapan lain. Di seberang, murid Wong Agung ini juga
memandangi gadis berbaju hijau dengan pandangan
aneh. Malah sebentar kemudian bibir murid Wong
Agung ini sunggingkan senyum, membuat Ratih Pur-
namasari jadi jengah sendiri. Dia merasa yakin, bahwa
orang yang mengintipnya sewaktu mandi di sendang
adalah pemuda di hadapannya ini.
Entah merasa malu atau jengkel, gadis yang
mengaku sebagai murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari
ini cepat palingkan wajahnya memandang jurusan
lain. Sekilas Aji dapat menangkap rona merah di pipi
sang gadis.
Lalu tanpa berkata apa-apa, gadis berbaju hijau
ini balikkan tubuh dan melangkah pergi.
"He.... Tunggu!" tahan Aji sambil melangkah hen-
dak menyusul. Namun pundaknya segera dicekal oleh
Wong Agung.
"Untuk sementara ini biarkan dia pergi. Suatu
waktu nanti kau pasti akan bertemu dengannya la-
gi...."
"Eyang.... Siapakah dia sebenarnya? Dan ada
masalah apa sebenarnya?"
Untuk beberapa saat lamanya Wong Agung tidak
segera menjawab. Dia hanya batuk-batuk seraya men-
gelus jenggotnya dan mengencangkan ikatan potongan
kulit di belakang kepalanya. Setelah agak lama baru
dia menjawab.
"Kalau mendengar kata-katanya, dia mengaku
murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari. Seorang tokoh si-
lat dari daratan pulau Dewata yang dahulu pernah ma-
lang melintang di pulau Jawa. Dia sebenarnya seorang
tokoh netral. Tidak berpihak pada golongan putih juga
pada golongan hitam. Seperti halnya tokoh-tokoh masa
lalu, I Gusti Ayu Wayan Rikmasari datang ke pulau
Jawa untuk menambah pengalaman juga untuk men-
cari jejak kekasihnya. Sayangnya dia terlambat datang.
Karena sewaktu dia datang, kekasihnya telah tewas.
Kekasihnya tewas di tanganku, karena kekasih perem-
puan itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang
menyamar sebagai seorang pendeta...." Sejenak Wong
Agung hentikan keterangannya. Setelah batuk-batuk
tiga kali, dia melanjutkan ucapannya.
"Hanya saja, beberapa waktu yang lalu aku keda-
tangan dua orang. Aku benar-benar hampir tak per-
caya, karena dua orang tersebut mengaku utusan se-
seorang yang bernama Dadaka Lanang...."
"Dadaka Lanang?" ulang Aji. "Siapa dia...?"
"Dialah kekasih I Gusti Ayu Wayan Rimaksari..."
"Jadi dia belum tewas...?" simpul Aji agak heran.
"Begitulah. Mungkin saat itu aku salah lihat. Ka-
rena kukira Dadaka Lanang telah tewas. Dan menilik
pukulan yang dimiliki dua utusan yang mengaku mu-
rid Dadaka Lanang, aku yakin Dadaka Lanang me-
mang masih hidup!"
"Berarti ada hubungannya antara kejadian akhir-
akhir ini dengan peristiwa beberapa tahun silam itu...,"
gumam Aji perlahan seakan berkata pada diri sendiri.
"Maksudmu...?" tanya Wong Agung sedikit heran.
"Dalam perjalananku, di beberapa tempat aku
mendapati pembantaian. Dan menurut seorang yang
sempat berkata sebelum mati, dia mengatakan bahwa
yang melakukan pembantaian itu adalah dua orang
yang berpakaian mirip pendeta...."
Wong Agung sedikit tersentak kaget. Dia lantas
melangkah mendekati sebuah pohon, yang kemudian
diikuti oleh Aji. Setelah duduk berhadapan di bawah
pohon, Wong Agung berkata.
"Kau tak boleh menuduh begitu saja sebelum ta-
hu buktinya.... Mungkin saja orang yang mengatakan
itu salah ucap karena dalam keadaan meregang nya-
wa. Atau kau memang punya bukti-bukti kuat?"
"Di dada tiap-tiap orang yang terbantai, terdapat
bekas telapak tangan, dan aku dapat memastikan hal
itu dilakukan oleh dua orang, karena antara telapak
tangan satu dengan lainnya besarnya tidak sama...."
"Tapak Geni!" ujar Wong Agung setelah menden-
gar keterangan Aji.
"Hmm.... Kini aku yakin. Bahwa dua orang yang
kemari itulah yang melakukan pembantaian itu. Dan
aku percaya, mereka berdua adalah murid Datuk
Lembah Neraka. Karena yang mempunyai pukulan itu
hanyalah dia!"
"Datuk Lembah Neraka...?"
"Ya. Datuk Lembah Neraka adalah gelar daripada
Dadaka Lanang...!"
"Tapi, apa maksudnya dengan pembantaian
itu...?" tanya Aji dengan menatap tajam pada gurunya.
"Aku belum bisa menduga. Hanya saja, satu hal
yang pasti, perbuatan mereka harus secepatnya dihen-
tikan! Dan itu menjadi tugasmu!"
Murid Wong Agung ini mengangguk perlahan.
Sementara Wong Agung tengadahkan kepalanya sea-
kan memandang langit. Lalu dia berkata.
"Nampaknya hari akan senja. Aku harus segera
kembali ke Karang Langit. Kau pergilah. Tugas telah di
tanganmu! Dan jika kau bertemu dengan murid I Gusti
Ayu Wayan Rikmasari, kau bisa menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya.... Selamat tinggal, Murid-
ku...."
Habis berkata, Wong Agung bangkit dan berkele-
bat ke arah pesisir. Sebenarnya Aji ingin menahan ke-
pergian gurunya. karena masih ada sesuatu yang ingin
ditanyakan. Namun sebelum Aji berucap, Wong Agung
telah lenyap dari pandangan.
"Aku harus segera kembali ke dusun itu...,"
membatin Pendekar 108 seraya berkelebat ke arah dari
mana dia tadi datang.
***
LIMA
DUA orang berpakaian kuning dengan kepala
gundul tampak berkelebat ke sana kemari. Bersamaan
dengan kelebatnya terdengar suara jeritan menyayat
susul menyusul dari sebagian penduduk Dusun Ma-
jang Tengah. Namun jeritan menyayat itu rupanya tak
sedikit pun membuat kedua orang ini hentikan perbu-
atannya, malah keduanya semakin membabi-buta!
Hingga tak bisa dihindari jatuhnya korban lebih ba-
nyak lagi, tanpa sedikit pun ada perlawanan.
Setelah dirasa tak ada lagi yang tersisa, kedua
orang ini keluarkan tawa bergelak-gelak.
"Paladasa. Kita tinggalkan tempat ini. Kita cari
mangsa di tempat lain. Agar jerat yang kita pasang ini
lekas termakan!" kata orang berpakaian kuning gundul
dengan tubuh tinggi kurus yang bukan lain adalah Jalu Kembara.
"Aku agak kurang pas dengan jerat seperti ini.
Karena telah sekian lama kita terapkan, orang yang ki-
ta harapkan kemunculannya dengan adanya pemban-
taian ini, ternyata tidak tampak batang hidung-nya.
Apa tidak sebaiknya kita langsung mencarinya...?" ka-
ta yang satunya yang bertubuh tinggi besar, dan bu-
kan lain adalah Wisnu Paladasa.
Mendengar ucapan Wisnu Paladasa, Jalu Kemba-
ra tertawa ngakak. Seraya mengusap-usap kepalanya
yang keringatan, dia berkata.
"Jika kita tahu di mana beradanya dia, aku pun
tak mau melakukan hal seperti ini. Karena selain tak
ada gunanya, juga membuang-buang tenaga! Namun,
kurasa hanya inilah satu-satunya jalan untuk menarik
Pendekar Mata Keranjang 108 muncul mencari kita.
Sebagai pendekar muda, dia tak akan tinggal diam me-
lihat kejadian-kejadian seperti ini. Dan dalam setiap
aksi, kita akan menyisakan seseorang, agar dia bisa
bicara dan menceritakan tentang kita...!"
"Tapi sampai kapan...?"
"Waktu nanti yang menentukan pertanyaanmu
itu!" jawab si tinggi kurus Jalu Kembara sedikit jeng-
kel. Dia pandangi saudara seperguruannya itu dengan
sedikit melotot. Lalu dengan suara agak tinggi dia lan-
jutkan ucapannya.
"Kita lanjutkan perjalanan!"
Meski agak geram dibentak begitu, si tinggi besar
Wisnu Paladasa mau tidak mau mengikuti perkataan
si tinggi kurus Jalu Kembara. Namun baru saja kedua
orang ini balikkan tubuh hendak melangkah pergi ter-
dengar suara menegur dengan berkelebatnya sesosok
bayangan.
"Berhenti! Manusia-manusia pembuat malapetaka!"
Dengan sedikit menahan rasa terkejut, kedua
orang ini palingkan kepala masing-masing ke arah da-
tangnya teguran.
"Keparat! Kukira orang yang selama ini kucari!"
rutuk Wisnu Paladasa begitu mengetahui siapa adanya
orang yang menegur. Matanya memandang tajam. Bi-
birnya tersenyum sinis dengan dagu agak ter-angkat.
Tampaknya si tinggi besar Wisnu Paladasa tidak se-
nang ditegur demikian.
Namun tidak demikian halnya dengan si tinggi
kurus Jalu Kembara. Dia memandangi dengan sepa-
sang mata disipitkan dan dilebarkan. Bibirnya terse-
nyum penuh arti, sementara jakunnya segera turun
naik.
Ternyata, di hadapan kedua orang berpakaian
kuning ini berdiri seorang gadis berbaju hijau tipis.
Rambutnya panjang sebahu dengan dada membusung
menantang. Sepasang matanya bulat.
Sejenak kedua laki-laki gundul berpakaian mirip
pendeta ini saling pandang satu sama lain. Sebentar
kemudian dari mulut kedua orang ini keluar suara ta-
wa. Seraya tertawa tak henti-hentinya kedua orang ini
usap-usap kepalanya dengan memandangi gadis di
hadapannya dari atas hingga bawah.
Namun secara serentak mendadak saja kedua la-
ki-laki ini hentikan tawanya masing-masing. Si tinggi
kurus Jalu Kembara yang tampaknya terkesima den-
gan kecantikan gadis berbaju hijau melangkah satu
tindak ke depan lalu membuka mulut.
Tapi sebelum ucapan keluar dari mulutnya, gadis
berbaju hijau yang bukan lain adalah Ratih Purnama-
sari kibaskan tangan kanannya. Bersamaan dengan
bergeraknya tangan, menderu angin kencang melesat
menyambar pada Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa,
membuat kedua laki-laki ini cepat-cepat hindarkan diri
masing-masing dengan tarik sedikit tubuhnya ke
samping.
"Kau tidak pantas bertanya padaku. Jawab saja
pertanyaanku jika kalian ingin panjang umur!"
Kembali kedua orang laki-laki ini saling berpan-
dangan. Bibir mereka saling tersenyum.
"Gadis galak begini, begitu mengasyikkan di atas
ranjang. Kau percaya itu?" kata si tinggi kurus Jalu
Kembara seraya tertawa pendek, membuat Ratih Pur-
namasari berubah wajah. Matanya mendelik dengan
dada sedikit bergetar menahan marah.
"Bukan hanya mengasyikkan, sekaligus berapi-
api dan selalu ingin tambah lagi. Ha... ha... ha...!" tim-
pal si tinggi besar Wisnu Paladasa seraya ikut-ikutan
melangkah maju menjajari Jalu Kembara.
Ratih Purnamasari semakin mengelam paras wa-
jahnya. Matanya semakin membelalak. Dengan tanpa
berkata lagi, gadis cantik ini dorongkan kedua tangan-
nya ke depan. Sebongkah sinar hitam menyambar ce-
pat, keluarkan suara menggemuruh serta hawa panas
menyengat!
Wisnu Paladasa hentikan tawanya tiba-tiba, se-
mentara Jalu Kembara pupuskan senyumnya. Dua
murid Datuk Lembah Neraka ini diam-diam jadi terke-
siap. Mereka sama sekali tak menduga jika gadis di
hadapan mereka mempunyai pukulan bertenaga dalam
demikian hebat. Namun karena yang mereka hadapi
adalah seorang perempuan muda, mereka tak hendak
menunjukkan rasa terperangahnya. Mereka menyem-
bunyikan perasaan terkesiapnya dengan tertawa lebar
seraya lesatkan diri masing-masing ke samping kanan
dan kiri, menghindari serangan Ratih Purnamasari.
Namun tak urung kedua orang ini begitu terkejut, ka-
rena bersamaan dengan menghindarinya mereka, an-
gin deras menyambar, membuat kedua orang ini ter-
huyung-huyung sebentar. Untung mereka segera sa-
dar, hingga begitu mereka dapat kuasai keadaan, me-
reka berdua cepat pukulkan kedua tangan masing-
masing memapak serangan sang gadis.
Wuutt! Wuutt!
Dua larikan sinar Kuning redup melesat ke de-
pan. Bersamaan dengan itu, kedua laki-laki ini segera
pula menyingkir ke samping kanan dan kiri. Dan dari
tempatnya ini, secara serentak pula kedua orang ini
lancarkan kembali serangan!
Plaarr! Plaarrr!
Terdengar letupan beberapa kali ketika dua se-
rangan sama-sama teraliri tenaga dalam tinggi itu ben-
trok di udara. Tubuh Ratih Purnamasari tersurut tiga
langkah ke belakang, dadanya berdenyut nyeri. Namun
gadis ini segera salurkan tenaga dalam untuk menga-
tasi rasa nyeri dadanya. Saat itulah, larikan sinar kun-
ing redup melabrak dari arah samping kanan dan ki-
rinya!
Didahului bentakan melengking tinggi, Ratih
Purnamasari lentingkan tubuhnya ke udara. Setelah
membuat gerakan berputar-putar beberapa kali di
udara gadis ini mendarat dengan kaki terpentang ko-
koh!
Wisnu Paladasa serta Jalu Kembara sama-sama
kertakkan rahang masing-masing mendapati serangan
susulannya dapat dihindari lawan. Jalu Kembara lirik-
kan sepasang matanya yang sipit pada Wisnu Palada-
sa. Kedua laki-laki gundul saling gerakkan kepalanya
mengangguk. Tiba-tiba keduanya berkelebat kirimkan
kembali serangan!
Empat larik sinar kuning redup kembali me-
nyambar ke arah Ratih Purnamasari. Dua melarik me-
nuju arah kepala, dua lainnya melarik ke arah tubuh
bagian bawah.
Walaupun tak terkejut melihat serangan lawan,
namun gadis ini tak mau bertindak ayal. Dia cepat me-
lompat ke samping seraya kirimkan serangan balasan!
Plaarr! Plaaarrr!
Terdengar kembali suara letupan berturut-turut.
Namun karena Ratih Purnamasari sendirian, sementa-
ra lawan dua orang, membuat tubuhnya gadis ini ter-
huyung-huyung ke belakang begitu bentrok pukulan
terjadi.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh si tinggi
kurus Jalu Kembara. Dia segera lesatkan dirinya me-
nyongsong ke arah tubuh Ratih Purnamasari. Kedua
kakinya menghujam menyilang.
Karena demikian cepatnya gerakan Jalu Kemba-
ra, membuat Ratih Purnamasari tak ada waktu lagi
untuk menghindar. Hingga saat itu juga tanpa ampun
lagi kaki Jalu Kembara menggebrak serta bergerak
menyamping!
Desss!
Ratih Purnamasari keluarkan seruan tertahan.
Tubuhnya terbanting ke samping dan menyusur ta-
nah. Dari sudut bibirnya keluar darah segar begitu ga-
dis ini merambat bangkit. Namun sebelum benar-
benar bangkit, kembali Jalu Kembara lancarkan se-
rangan. Kali ini dengan melompat ke depan, dan serta
merta sapukan kaki kanannya!
Wuuuttt!
Ratih Purnamasari menggerutu panjang pendek.
Sebelum sapuan kaki itu datang, gadis ini segera re-
bahkan kembali tubuhnya sejajar tanah. Lalu dengan
cepat tubuhnya bergulir bergulingan di atas tanah.
Hebatnya, sebelum bergulingan, kaki kirinya masih
sempat bergerak ke kanan, menghantam kaki kiri Jalu
Kembara yang dipakai untuk tumpuan tubuhnya.
Wuuttt!
Jalu Kembara terkejut. Karena kaki kanannya
sedang bergerak ke depan, dia tak mampu lagi untuk
menghindar, hingga kejap itu juga tubuhnya terjeng-
kang ke belakang!
"Jahanam busuk! Gerakannya cepat luar biasa!"
gumam Jalu Kembara dengan wajah merah padam.
Dia merasakan pantatnya melesak, karena dia bertu-
buh kurus.
Melihat saudaranya bisa dibuat terjengkang, si
tinggi besar Wisnu Paladasa segera menyusul gulingan
tubuh Ratih Purnamasari. Dan begitu gulingan tubuh
gadis ini terhenti, Wisnu Paladasa cepat hantamkan
tangannya seraya sedikit bungkukkan tubuhnya.
Beett! Beett!
Selarik angin kencang melesat mendahului sebe-
lum kepalan tangan itu datang!
Meski Ratih Purnamasari tahu, bahwa tingkat
kepandaian Wisnu Paladasa sedikit di bawah Jalu
Kembara, namun dia tak berani main-main. Seraya mi-
ringkan tubuhnya, kedua tangannya dia angkat ke
atas dan dihantamkan menyamping.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Wisnu Pala-
dasa terseret ke belakang hingga lima langkah, dua
tangannya terasa ngilu bukan main. Dadanya bergetar
dan sesak. Di lain pihak, Ratih Purnamasari tubuhnya
kembali bergulingan.
"Paladasa! Kita harus cepat selesaikan kunyuk
ini! Tugas kita masih banyak!" berkata Jalu Kembara
seraya memberi isyarat dengan kerdipkan sebelah ma-
tanya.
Tahu isyarat, Wisnu Paladasa anggukkan kepala.
Dan bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke de-
pan seraya kirimkan serangan. Sebenarnya serangan
yang dilancarkan Wisnu Paladasa ini hanyalah untuk
membagi perhatian Ratih Purnamasari. Karena sewak-
tu Wisnu Paladasa lancarkan serangan dan Ratih Pur-
namasari siap menangkal, diam-diam Jalu Kembara
takupkan kedua tangannya di depan dada, sepasang
matanya terpejam rapat, mulutnya berkemik.
Di lain pihak, Ratih Purnamasari segera tarik ke-
dua tangannya sedikit ke belakang, dan serta merta
didorong kuat-kuat seraya membentak garang.
Plaarrr!
Kembali terdengar letupan tatkala serangan yang
dilancarkan Wisnu Paladasa bentrok dengan pukulan
Ratih Purnamasari. Namun saat itu juga, tanpa diduga
sama sekali oleh Ratih Purnamasari, Jalu Kembara
buka kedua telapak tangannya dan dihantamkan ke
depan!
Wuuuttt!
Asap hitam yang membentuk batangan laksana
pohon kelapa melesat deras ke arah Ratih Purnamasa-
ri. Dua batangan itu bergerak berputar-putar laksana
baling-baling sementara satunya bergerak lurus. Ke-
dua batangan tersebut keluarkan suara berdesis-desis!
Dari uap dingin yang keluar serta desisan yang
menyertai dua batang asap yang membentuk batan-
gan, Ratih Purnamasari segera maklum bahwa seran-
gan yang kini meluruk ke arahnya tidaklah bisa diang-
gap sebelah mata.
Didahului bentakan nyaring, gadis ini cepat geser
kakinya hingga tiga langkah ke samping kanan. Dari
sini, dia segera pula hantamkan kedua tangannya me-
rentang!
Sebongkah sinar hitam melesat melengkung me-
nerabas batangan asap dari samping kanan ke samp-
ing kiri.
Bummm!
Satu ledakan dahsyat mengguncang tempat itu.
Satu batangan asap hancur berkeping-keping.
Namun satunya lagi terus bergerak laksana baling-
baling. Suara desis yang keluar semakin keras!
Dengan tengkuk sedikit dingin, Ratih Purnama-
sari rebahkan tubuhnya ke belakang. Sepasang ka-
kinya lantas dia angkat tinggi-tinggi, membuat sepa-
sang pahanya yang putih mulus terlihat jelas. Sepa-
sang mata Jalu Kembara serta Wisnu Paladasa mem-
beliak lebar tak kesiap.
Sewaktu Ratih Purnamasari angkat sepasang ka-
kinya itulah, batangan itu meledak. Demikian dah-
syatnya ledakan itu, hingga biasnya mampu membuat
tubuh Ratih Purnamasari membumbung sampai satu
tombak ke udara. Karena sewaktu meledak batangan
itu mengeluarkan pijaran yang menebar ke mana-
mana dan sebagian menerabas ke arah Ratih Purna-
masari, membuat gadis ini meraung keras. Tubuhnya
yang membumbung tidak mampu lagi dia kuasai,
hingga saat itu juga tubuhnya kembali menukik ke
bawah dan jatuh telentang!
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama
berpandangan. Lantas dari mulut keduanya keluar su-
ara tawa panjang. Namun Jalu Kembara segera henti-
kan suara tawanya begitu melihat Ratih Purnamasari
menggeliat hendak bangkit.
Secepat kilat laki-laki tinggi kurus ini segera ber-
kelebat dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di samping Ratih Purnamasari dan kedua tangannya siap be-
kerja menotok peredaran darah gadis di sebelahnya!
Ratih Purnamasari menjerit tertahan.
"Bangsat keji! Laki-laki pengecut! Bebaskan aku!"
teriak Ratih Purnamasari tanpa bisa menggerakkan
tangan dan kakinya. Kaki dan tangannya terasa lun-
glai.
Jalu Kembara tertawa mengekeh. Sepasang ma-
tanya yang sipit membeliak besar. Apalagi tatkala dili-
hatnya dada gadis di sampingnya berguncang turun
naik, seiring bergetarnya dada menahan rasa geram
dan marah.
"Jahanam! Setan alas! Cepat bebaskan aku!"
kembali Ratih Purnamasari berteriak lantang. Namun
karena hanya bisa berteriak tanpa bisa berbuat apa-
apa, maka teriakannya hanya dijawab dengan kekehan
tawa oleh Jalu Kembara, malah tatkala gadis ini hen-
dak buka mulutnya kembali, Jalu Kembara angkat bi-
cara dengan nada keras.
"Sekali lagi kau bicara tak karuan, kau akan me-
rasakan digilir tiga hari tiga malam tanpa henti! Men-
gerti?!"
Ratih Purnamasari urungkan niat buka mulut
mendengar ancaman orang, malah matanya nampak
meredup mengisyaratkan ketakutan luar biasa. Namun
justru hal ini membuat Jalu Kembara semakin terpe-
sona dengan gadis ini. Dia lalu melangkah mendekat.
Ratih Purnamasari yang merasa tahu apa yang hendak
dilakukan oleh Jalu Kembara segera berkata.
"Kalau kau menyentuhku, kubunuh kau!"
Mendengar ancaman, Jalu Kembara palingkan
wajah pada Wisnu Paladasa. Dan serta merta tawanya
pun meledak.
"Paladasa. Kau dengar kata-katanya? Dia akan
membunuhku jika kusentuh. Lantas kalau kutiduri,
aku akan dia apakan...?"
"Kau jangan terkejut. Perempuan di mana-mana
begitu. Dia lebih pandai menyimpan nafsu di balik ka-
ta-katanya!" sambung si tinggi besar Wisnu Paladasa
seraya ikut-ikutan tertawa. Dan dia pun melangkah
mendekat.
Ratih Purnamasari makin merah mengelam pa-
rasnya. Bahkan kini tampak memutih bagaikan kapas
ketika dilihatnya Wisnu Paladasa yang bertubuh tinggi
besar melangkah ke arahnya.
"Celaka! Apa yang harus kuperbuat sekarang?"
membatin Ratih Purnamasari. Dia diam-diam kerah-
kan tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari to-
tokan Jalu Kembara. Namun usahanya tidak berhasil.
Malah ketika Jalu Kembara mengetahui Ratih Purna-
masari hendak berusaha membebaskan diri, dia marah
besar. Kedua tangannya segera berkelebat cepat,
dan....
Brett! Brettt!
Baju hijau Ratih Purnamasari robek besar di ba-
gian perut dan dada sebelah kiri, membuat dadanya
yang membusung menantang itu menyembul jelas.
Sementara kulitnya yang putih di bagian perut juga je-
las terlihat. Hingga membuat dua pasang mata laki-
laki di dekat gadis ini melotot besar. Di lain pihak, Ra-
tih Purnamasari keluarkan jeritan tertahan. Namun
hanya itu yang bisa dia lakukan. Paras wajahnya telah
pias. Bahkan untuk angkat bicara pun sepertinya su-
dah demikian berat.
Sementara itu, dua orang murid Datuk Lembah
Neraka yang pada dasarnya memang suka perempuan
ini cuping hidung masing-masing membengkak kelua-
rkan desahan napas memburu. Jakun masing-masing
pulang balik turun naik tidak beraturan. Bahkan kepa-
la Jalu Kembara bergerak ke kiri kanan seakan men-
gagumi apa yang ada di hadapannya. Lalu sepertinya
tak sabar, laki-laki tinggi kurus ini memandang pada
saudara seperguruannya dan berkata.
"Paladasa. Aku yang menaklukkan kunyuk ini.
Jadi sudah layak bila aku yang mendapat jatah perta-
ma! Kau tunggulah agak jauh! Atau kau perlu menon-
ton dahulu?!"
Wisnu Paladasa tidak menyahut ucapan sauda-
ranya. Dia hanya melambaikan tangan kanannya,
memberi isyarat agar Jalu Kembara mendekat ke
arahnya.
Meski mengomel panjang pendek, namun Jalu
Kembara melangkah juga mendekat. Dan begitu dekat
dia langsung ajukan pertanyaan.
"Apa kau minta dahulu?"
Wisnu Paladasa gelengkan kepala. Dia berucap
perlahan.
"Apa kau lupa syarat yang dikatakan Datuk Lem-
bah Neraka? Segala ilmu yang kita miliki akan lenyap
begitu kita menggauli perempuan! Atau kau memang
menginginkan hal itu?"
Sejenak Jalu Kembara lepaskan napas dalam-
dalam. Dia seakan baru tersadar. Namun entah karena
kuatnya amukan nafsu yang telah mendera tubuhnya,
dia menyahut ucapan Wisnu Paladasa seraya paling-
kan wajahnya pada Ratih Purnamasari.
"Apa kau percaya ucapan Guru?"
"Sepenuhnya tidak. Namun setidaknya untuk
saat ini belum saatnya kita mencoba melanggar, kare-
na tugas kita masih banyak. Kita akan rugi waktu dan
tenaga jika segalanya hanya akan berakhir gara-gara
perempuan! Toh kita nantinya dapat merasakan yang
bagaimanapun bentuknya jika cita-cita kita tercapai!
Pikirkan itu!"
"Sialan! Setan busuk!" keluar sumpah serapah
tak karuan dari mulut Jalu Kembara.
"Kembara!" sambung Wisnu Paladasa dengan
memandang pada jurusan lain. "Kau sementara ini ha-
rus dapat menahan nafsu. Namun karena gadis itu te-
lah menghina kita, maka layak jika dia kita kasih pela-
jaran...!"
Kembali Jalu Kembara menarik napas dalam da-
lam. Dia sepertinya masih begitu menyayangkan ke-
sempatan baik ini. Namun setelah agak lama berdiam
diri, dia akhirnya melangkah maju mendekati Ratih
Purnamasari.
"Ingat! Jika kau masih bersikeras hendak ber-
buat yang tidak-tidak, kau akan kukejar ke mana pun
kau lari!" berkata Ratih Purnamasari yang tampaknya
mulai bangkit kembali keberaniannya.
Jalu Kembara tidak menyambuti kata-kata Ratih
Purnamasari. Sepasang matanya memandang tak ke-
siap, membuat gadis yang dipandangi jengah dan
buang muka.
"Laki-laki pengecut! Beraninya hanya pada pe-
rempuan yang sedang tidak berdaya!" sambung Ratih
Purnamasari ketika diliriknya Jalu Kembara hanya
memandangi dirinya tanpa sepatah kata pun terucap
dari mulutnya.
Kali ini, mendengar ucapan Ratih Purnamasari,
Jalu Kembara merah padam mukanya. Nafsunya yang
tadi sudah naik ke ubun-ubun perlahan tertindih oleh
hawa amarah. Dan serta merta tanpa berkata-kata la-
gi, tangan kirinya bergerak ke arah muka.
Plak!
Tamparan tangan kiri dengan keras menghajar
pipi kanan Ratih Purnamasari, membuat gadis ini ter-
banting di atas tanah dengan jeritan tertahan. Dari se-
la bibirnya yang pecah, nampak mengalir darah segar!
"Jahanam! Laki-laki terkutuk!" maki Ratih Pur-
namasari begitu tubuhnya terkapar di atas tanah. Dia
kembali mencoba kerahkan tenaga luar dan dalam un-
tuk membebaskan diri dari totokan Jalu Kembara,
namun usahanya tak juga berhasil. Malah kini Jalu
Kembara kembali mendekat ke arahnya. Paras wajah
laki-laki ini telah berubah. Bibirnya tersenyum sinis.
Disangkanya hendak menghajar kembali, ketika begitu
dekat, Ratih Purnamasari tak memandangnya, malah
dia pejamkan sepasang matanya dengan bibir saling
menggigit.
Namun apa yang diduga Ratih Purnamasari me-
leset. Begitu dekat, Jalu Kembara segera kelebatkan
tangan kirinya.
Brettt!
Kembali baju bagian dada sebelah kanan milik
Ratih Purnamasari mengaga lebar, hingga kini dada
sebelah kanan dan kiri terlihat jelas terpentang.
Bukan hanya sampai di situ, begitu kedua dada
Ratih Purnamasari telah berhasil dibuka, Jalu Kemba-
ra bungkukkan tubuh. Mungkin hendak menyentuh
atau kembali hendak merobek pakaian bagian bawah.
Pada saat itulah terdengar orang berteriak.
"Tampaknya tua-tua masih juga mengingini seo-
rang dara. Apa memang betul bahwa hal itu sebagai
obat awet muda?! Ha... ha... ha...!"
Begitu suara tawa lenyap serangkum angin keras
melesat menyambar ke arah Jalu Kembara.
"Kembara! Awas ada seseorang membokong!" in-
gat Wisnu Paladasa.
Jalu Kembara cepat palingkan wajah dan tegak
kan tubuh. Dan serta merta bertindak cepat dengan
melompat ke samping kanan. Namun gerakannya se-
dikit terlambat. Meski tubuhnya selamat dari hajaran
telak angin yang menyambar, namun baju kuningnya
sempat tersambar, hingga baju itu robek di bagian
pinggang!
"Bangsat! Kupecahkan kepalamu!" maki Jalu
Kembara seraya layangkan pandangannya mencari ta-
hu siapa adanya orang yang ikut campur urusannya,
demikian halnya Wisnu Paladasa dan Ratih Purnama-
sari.
***
ENAM
SEPULUH langkah di samping kanan Jalu Kem-
bara, tegak berdiri seorang pemuda mengenakan pa-
kaian hijau yang dilapis dengan baju dalam lengan
panjang warna kuning. Parasnya tampan dengan ram-
but dikuncir ekor kuda.
Sejenak baik Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa
memperhatikan pemuda di sampingnya dengan lebih
seksama. Sementara itu Ratih Purnamasari tersentak
kaget, sepasang matanya menatap lurus tajam tak
berkesiap ke depan.
"Dia...!" gumam Ratih Purnamasari perlahan be-
gitu mengetahui siapa adanya orang yang baru saja
menyelamatkan dirinya.
"Siapa kau? Dan apa hubunganmu dengan gadis
itu?!" tanya Wisnu Paladasa dengan suara tinggi. Da-
gunya tampak mengeras dengan sepasang mata melotot.
Yang ditanya masih senyam-senyum, malah tak
memandang pada Wisnu Paladasa atau Jalu Kembara,
sebaliknya sepasang mata pemuda berbaju hijau ini
yang bukan lain adalah Aji Saputra alias Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 memandang lurus pada Ratih Pur-
namasari yang terkapar di atas tanah tanpa bisa
menggerakkan anggota tubuhnya.
Mendapati pertanyaannya tidak mendapat jawa-
ban, Wisnu Paladasa naik pitam. Dia segera melang-
kah maju dengan kedua tangan siap dihantamkan.
Namun, sebelum hal itu sempat dilakukan, dari jarak
jauh Jalu Kembara memberi isyarat agar Wisnu Pala-
dasa urungkan niat untuk menyerang. Malah Jalu
Kembara kini melangkah mendekat pada Wisnu Pala-
dasa.
"Paladasa!" kata Jalu Kembara seraya berbisik.
"Kau perhatikan lebih seksama lagi. Melihat ciri-
cirinya, apa bukan pemuda ini yang kita cari?"
Mendengar ucapan saudara seperguruannya,
Wisnu Paladasa segera perhatikan pemuda di hada-
pannya dengan lebih teliti dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Dahi laki-laki bertubuh tinggi besar ini
berkerut. Kepalanya yang gundul dia dongakkan ke
atas. Dia seakan mengingat-ingat. Dan tiba-tiba dia
palingkan wajahnya pada Jalu Kembara dan berkata.
"Benar! Memang dia pemuda yang kita cari! Tapi
sebaiknya kita tanyakan terlebih dahulu!"
"He! Sekali lagi kau tak mau jawab pertanyaan
kami, jangan menyesal jika mulutmu kurobek!" kertak
Jalu Kembara seraya melangkah dua tindak ke depan.
"Sebutkan siapa dirimu!"
Aji hadapkan wajahnya pada Jalu Kembara. Ka-
lau tadi bibirnya tersenyum-senyum, kini senyum itu
lenyap, berganti senyum sinis.
"Tampaknya dua orang ini biang keladi kerusu-
han selama ini! Kalau benar, berarti kedua orang inilah
murid Datuk Lembah Neraka! Mereka harus dihenti-
kan. Dunia persilatan akan keruh jika orang-orang se-
perti mereka masih dibiarkan untuk hidup!" membatin
Aji. Lalu dia berkata.
"Orang rimba persilatan menyebutku Datuk
Lembah Neraka!" kata Aji dengan enaknya. Dia sengaja
menyebut dirinya Datuk Lembah Neraka untuk menge-
tahui reaksi kedua laki-laki di hadapannya. Apakah
kedua laki-laki gundul itu murid Datuk Lembah Nera-
ka atau bukan.
Di lain pihak, mendengar jawaban yang tak per-
nah diduga sama sekali itu, Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara saling berpandangan satu sama lain dengan
tatapan heran dan jengkel.
"Kembara!" bisik Wisnu Paladasa. "Apa di dunia
ini banyak manusia bergelar Datuk Lembah Neraka?!"
"Diam kau!" bentak Jalu Kembara merasa jengkel
karena Wisnu Paladasa tampaknya termakan oleh ti-
puan Aji. Di lain pihak, Ratih Purnamasari yang me-
nyaksikan kejadian itu, meski menahan sakit di bibir-
nya, dia tak bisa menahan tawanya, hingga tawanya
pun keluar. Sementara itu Aji hanya tersenyum seraya
mengawasi silih berganti.
"Bocah! Tampaknya kau bercanda dengan maut!
Terimalah!"
Habis berkata begitu, Jalu Kembara yang sudah
dirasuki rasa geram segera hantamkan kedua tangan-
nya ke depan.
Selarik sinar kuning melesat deras ke arah Aji.
Murid Wong Agung ini geser kakinya dua langkah
ke samping kanan, membuat serangan pembuka Jalu
Kembara menghajar tempat kosong. Di kejap lain begitu habis menghindar, Aji segera dorongkan kedua tan-
gannya ke depan.
Serangkum angin dahsyat yang keluarkan suara
bagai gelombang segera melesat menggebrak. Pendekar
Mata Keranjang 108 tampaknya lepaskan pukulan
'Gelombang Prahara'.
Jalu Kembara sedikit terperangah melihat lawan
begitu mudah menghindari serangannya. Malah kini
melancarkan serangan balasan. Diam-diam Jalu Kem-
bara agak yakin, bahwa pemuda di hadapannya inilah
yang memang dia cari. Malah serangannya tadi me-
mang dia sengaja dengan kerahkan seperempat tenaga
dalamnya untuk mengetahui sampai di mana keting-
gian ilmu lawan.
Dengan menindih rasa kaget, Jalu Kembara me-
lompat ke samping. Selain untuk menghindar, juga
agar lebih dekat lagi dengan Wisnu Paladasa.
"Paladasa!" kata Jalu Kembara tanpa palingkan
wajahnya. "Hari ini nampaknya kita akan dapat rejeki
besar. Aku hampir yakin, dialah orang yang kita cari!"
"Tapi apa tidak sebaiknya kita tanyai lebih jelas
lagi?!"' tanya Wisnu Paladasa dengan memandang pada
Jalu Kembara.
Jalu Kembara palingkan wajahnya. Parasnya se-
makin membatu. Kalau saja bukan saudara sepergu-
ruannya, mungkin sedari tadi sudah dilumatnya mulut
Wisnu Paladasa.
"Kau memang benar-benar bodoh!" batin si tinggi
kurus Jalu Kembara. Dia lantas berkata agak keras.
"Untuk menghabisi orang, apa perlu kita jelaskan
dahulu nama dan gelarnya?!"
Si tinggi besar Wisnu Paladasa terdiam sesaat.
Dia seolah berpikir keras. Namun mendadak dia kelua-
rkan tawa bergelak, membuat Jalu Kembara heran dan
tak mengerti apa yang ditertawakan Wisnu Paladasa.
"Kau betul! Untuk menghabisi orang, memang
tak perlu kita tanyakan dahulu siapa dia!" kata Wisnu
Paladasa di tengah-tengah tawanya, membuat Jalu
Kembara makin dibuat jengkel.
"Hentikan tawamu!" bentak Jalu Kembara seraya
memandang pada Aji yang kini tampak melangkah
mendekati Ratih Purnamasari.
Namun baru saja Aji hendak bungkukkan tubuh
untuk membebaskan Ratih Purnamasari, dari arah be-
lakang empat larik sinar kuning redup telah menyam-
bar!
"He! Awas serangan!" ingat Ratih Purnamasari.
Aji yang telah waspada, segera bungkukan tu-
buh, kedua tangannya bergerak cepat. Di lain pihak,
Ratih Purnamasari yang sedari tadi malu-malu merasa
dipandang, merasakan sambaran di samping tubuh-
nya. Dia pejamkan kedua matanya. Dan ketika dia sa-
mar-samar membuka kelopak matanya, dia tersentak
kaget, karena tahu-tahu tubuhnya telah digendong Aji
dan disingkirkan agak jauh.
"Terima kasih!" kata Ratih Purnamasari dengan
paras merah saga begitu tubuhnya diturunkan dan
ternyata telah bebas dari totokan.
"Kau di sini saja! Laki-laki itu harus dimusnah-
kan dari muka bumi!" kata Aji seraya balikkan tubuh
dan melangkah kembali ke arah Wisnu Paladasa dan
Jalu Kembara.
"Keparat!" rutuk Jalu Kembara dan Wisnu Pala-
dasa hampir berbarengan, begitu mendapati Aji berha-
sil lolos dari serangan mereka bahkan bisa membe-
baskan Ratih Purnamasari.
Tanpa berkata-kata lagi, begitu dilihatnya Aji me-
langkah ke arahnya, Jalu Kembara segera menyong
songnya dengan membuat gerakan berputar di udara
dua kali, dan tahu-tahu tubuhnya telah menghadang
di hadapan Aji.
Pendekar Mata Keranjang hentikan langkahnya.
Dan baru saja langkahnya berhenti, Jalu Kembara te-
lah kirimkan serangan jarak jauh dengan pukulan ke-
dua tangannya ke depan.
Wuutt! Wuuuttt!
Karena tidak ada lagi waktu untuk menghindar,
membuat Aji harus pula lepaskan pukulan untuk me-
nangkis. Murid Wong Agung ini segera saja tarik den-
gan cepat kedua tangannya ke belakang, lalu serta
merta dihantamkan ke depan.
Plaarrr!
Terdengar letupan keras tatkala dua pukulan
sakti itu bentrok di udara. Baik Aji maupun Jalu Kem-
bara sana sama surutkan langkah masing-masing satu
tindak ke belakang. Jalu Kembara nampak meringis
seraya pegangi lengannya yang terasa nyeri. Di lain pi-
hak, Aji tampak tersenyum-senyum meskipun sebe-
narnya tangannya merasa kesemutan juga.
Jalu Kembara menoleh pada Wisnu Paladasa. Si
tinggi besar Wisnu Paladasa yang seolah mengerti arti
pandangan saudara seperguruannya cepat mendatangi
"Kita kerahkan seluruh tenaga untuk menghabisi
bocah ini!" berkata Jalu Kembara.
Wisnu Paladasa menganggukkan kepala. Dua la-
ki-laki ini lantas saling beri isyarat, dan tiba-tiba ke-
dua laki-laki ini lesatkan tubuh masing-masing seraya
lepaskan serangan dengan hantamkan kedua tangan
masing-masing ke depan. Begitu pukulan menyambar,
keduanya lantas saling berpencar ke kanan dan ke ki-
ri.
Dari arah samping, keduanya lantas kembali kirimkan serangan dengan hantamkan kedua tangan se-
raya rebahkan tubuh masing-masing sejajar tanah. Ini
adalah serangan untuk menangkal lawan jika lawan
menghindari serangan pertamanya dengan bergerak
tanpa melesatkan dirinya ke udara.
Melihat gencarnya serangan, Aji segera dapat
mengetahui jika lawan ingin segera menghabisinya.
Tapi murid Wong Agung ini tak mau bertindak cero-
boh. Dia cepat keluarkan kipas ungunya dan secepat
kilat dia kebutkan melintang di depan dada.
Wuuuttt!
Seberkas cahaya putih berkelebat angker mem-
bentuk kipas dan menebarkan hawa panas luar biasa!
Blarrr!
Ledakan dahsyat segera terdengar begitu larikan
sinar kuning bentrok dengan angin yang menyambar
dari kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 108. Hebat-
nya, larikan yang datang menyusul dari arah samping
pun sepertinya tertahan, membuat Wisnu Paladasa
dan Jalu Kembara sama-sama terkejut bukan alang
kepalang. Namun mereka sadar, bahwa pemuda di ha-
dapannya tidak boleh diberi kesempatan untuk balas
menyerang, karena itu akan sangat berbahaya.
Berpikir begitu, kedua laki-laki ini lantas saling
takupkan kedua telapak tangannya sejajar dada, ma-
tanya sebentar memejamkan dengan mulut bergerak-
gerak. Tak lama kemudian, keduanya saling pandang
sejenak, dan....
"Tapak Geni!" seru Jalu Kembara seraya melom-
pat ke depan dengan membuat putaran satu kali. De-
mikian pula Wisnu Paladasa.
Empat langkah di hadapan Aji, kedua laki-laki ini
terkesiap. Mereka sekarang baru yakin bahwa pemuda
di hadapannya adalah pemuda yang mereka cari. Mereka pandangi kipas ungu milik Aji dengan pandangan
nanar.
"Hmm.... Nyatanya memang dia pemuda bergelar
Pendekar 108 itu. Aku harus semakin berhati-hati.
Kabarnya, kesaktian manusia ini sudah menyamai gu-
runya...," membatin Jalu Kembara. Lalu dia berkata
pada Wisnu Paladasa.
"Sekarang jangan tahan-tahan lagi kerahkan te-
naga. Memang pemuda inilah yang kita cari!"
Habis berkata begitu, Jalu Kembara berkelebat
yang kemudian diikuti oleh Wisnu Paladasa. Kedua so-
sok laki-laki ini lantas lenyap dari pandangan. Dan ti-
ba-tiba sekali sosok keduanya telah menukik deras da-
ri udara dengan telapak tangan terbuka, sementara
kakinya berputar-putar bagai baling-baling keluarkan
suara bersiutan.
Pendekar Mata Keranjang yang sedari tadi me-
nunggu serangan, segera luruskan tubuh dan begitu
telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam itu hen-
dak menghajar dada dan punggungnya, dia re-bahkan
diri di atas tanah, bergulingan beberapa kali. Dan pada
gulingan kelima, mendadak pendekar murid Wong
Agung ini serta merta bangkit dan kirimkan serangan!
Tempat itu seketika berubah menjadi terang ben-
derang. Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah
lepaskan pukulan sakti ‘Bayu Cakra Buana’
Di seberang, Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara
yang baru saja sama-sama mendarat terperangah ka-
get. Jalu Kembara yang tahu bahaya segera berseru
keras memperingati saudaranya seraya berkelebat. Tu-
buh laki-laki tinggi kurus ini bergerak lenyap sebelum
serangan Pendekar Mata Keranjang 108 menghantam.
Jika Jalu Kembara segera berkelebat, tidak demikian
halnya dengan Wisnu Paladasa. Meski dia sempat berkelebat, namun gerakannya sudah begitu terlambat,
hingga tanpa ampun lagi kaki kanannya tersambar
pukulan Pendekar Mata Keranjang 108!
Wisnu Paladasa meraung keras. Tubuhnya yang
berkelebat serta merta berputar menyamping dan ja-
tuh bergeleparan di atas tanah dengan kaki kanan me-
rah bengkak!
"Anjing kurap!" rutuk Jalu Kembara mengetahui
saudaranya roboh tersambar pukulan Pendekar Mata
Keranjang 108. Dia lantas maju dua langkah ke depan.
Dan mendadak tubuhnya melesat lurus! Telapak tan-
gannya terbuka sementara sepasang kakinya lurus
dan menekuk pulang balik!
Aji kepalkan tangan kirinya dan diangkat di atas
kepala, sementara tangan kanan yang memegang kipas
dia sejajarkan di depan dada.
Begitu sedepa lagi sepasang kaki Jalu Kembara
menghantam, Aji rentangkan tangan kanannya, se-
mentara tangan kirinya bergerak memukul ke samp-
ing.
Jalu Kembara tercekat bukan alang kepalang, ka-
rena tiba-tiba saja tubuhnya bagai tertahan kekuatan
yang kasat mata. Dia mencoba kerahkan tenaga da-
lamnya untuk menembus, agar sepasang kakinya da-
pat menerobos masuk, namun usahanya sia-sia bela-
ka. Bahkan tatkala Jalu Kembara kerahkan tenaga da-
lam, tangan kiri Aji bergerak menghantam.
Untung Jalu Kembara masih bisa melihat seran-
gan lawan, hingga meskipun tersambar bahunya, na-
mun dia bisa selamatkan kepalanya dari hantaman te-
lak.
Desss!
Jalu Kembara melayang berputar. Hebatnya, da-
lam keadaan demikian, laki-laki ini masih bisa membuat gerakan berputar hingga selamatkan tubuhnya
dari menghantam tanah!
"Bocah keparat!" hardik Wisnu Paladasa. Tanpa
menunggu lama lagi, dia langsung kembali menyerang.
Kali ini dia hantamkan pukulan jarak jauh dengan
tangan kosong, lantas didahului bentakan keras, laki-
laki bertubuh tinggi besar ini keber tubuhnya. Tubuh-
nya melesat cepat ke depan.
Aji yang tahu gelagat segera menyongsong den-
gan hantamkan kedua tangannya ke depan. Namun
kali ini Aji tertipu, karena begitu lesatan tubuh Wisnu
Paladasa hampir terhantam serangan tangan Aji, tu-
buh Wisnu Paladasa membumbung sedikit ke atas,
membuat serangan Aji lewat di bawahnya. Pada saat
itulah Wisnu Paladasa membuat gerakan berputar ce-
pat dan sepasang kakinya menggebrak dari belakang!
Bukkk!
Pendekar Mata Keranjang 108 tersuruk menyu-
sup tanah di depannya. Punggungnya terasa jebol, dan
sebelum dia benar-benar tersuruk, dari arah depan ti-
ba-tiba Jalu Kembara sapukan kaki kanannya!
Wuuuttt!
Dengan terkejut, Pendekar Mata Keranjang 108
lesatkan tubuh bagian atasnya ke belakang dengan
posisi kaki tetap. Ini untuk menjaga keseimbangan tu-
buh jika pada saat yang sama Wisnu Paladasa menye-
rang dari belakang.
Benar saja, tatkala sapuan kaki kanan Jalu
Kembara menghajar angin di depan tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108, dari arah belakang, Wisnu Pala-
dasa pukulkan kedua telapak tangannya yang telah
terbuka.
Pendekar murid Wong Agung ini kembali kerah-
kan tenaga untuk menghindar dengan gerakkan kembali tubuh atasnya ke depan. Namun pada saat itu ju-
ga kaki kanan Wisnu Paladasa bergerak lurus meng-
hantam dari belakang!
Desss!
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terhuyung
ke depan. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Jalu
Kembara. Dia segera memapak huyungan tubuh Pen-
dekar Mata Keranjang 108 dengan telapak tangan ter-
buka dan mengarah pada dada!
Dalam keadaan yang demikian, Aji cepat silang-
kan kedua tangannya di depan dada.
Prakkk!
Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting ke
samping. Kedua tangannya serasa terhantam benda
panas dan amat berat, hampir saja pegangan pada ki-
pasnya terlepas jika saja murid Wong Agung ini tidak
segera salurkan hawa murni untuk mengatasi kenye-
rian yang kini mendera tangannya.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling pan-
dang dan sama-sama keluarkan tawa panjang bersa-
hut-sahutan.
"Setelah ini tinggal kita selesaikan gurunya!" ber-
kata Jalu Kembara dengan melangkah mendekat.
Namun baru dua langkahan kaki, Pendekar Mata
Keranjang 108 telah bangkit dan tiba-tiba saja tubuh-
nya melesat dengan tangan kanan kibaskan kipas, se-
mentara tangan kiri lepaskan pukulan 'Bayu Cakra
Buana'.
Baik Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-
sama terkejut, karena mereka menyangka bahwa Pen-
dekar Mata Keranjang hanya kuat bangkit tanpa bisa
melancarkan serangan. Karena ‘Tapak Geni’ serangan
yang tadi dilancarkan Jalu Kembara dapat membuat
orang mampu bergerak tanpa bisa menyerang.
"Heran! Dia tampaknya tak mempan dengan
'Tapak Geni'!" membatin Jalu Kembara. Namun dia tak
bisa berlama-lama membatin, karena saat itu juga se-
rangan Pendekar Mata Keranjang 108 telah meluruk
ke arahnya!
Dengan masih memendam rasa heran, kedua la-
ki-laki ini segera dorongkan masing-masing tangannya
ke depan.
Larikan-larikan sinar kuning redup kembali me-
larik ke depan. Namun kembali Wisnu Paladasa dan
Jalu Kembara dibuat terkejut. Karena serangannya ki-
ni bagai tertahan dinding, dan terapung di udara.
Selagi kedua orang ini terkesima. sambaran an-
gin yang keluar dari tangan kiri Pendekar 108 mela-
brak lurus!
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara berseru keras.
Tubuh kedua laki-laki ini melayang jauh ke belakang.
Dan jatuh berkaparan di atas tanah dengan dada ber-
denyut sakit serta pakaian hangus!
Keduanya merangkak bangkit seraya mengumpat
habis-habisan. Namun baru saja mereka dapat bang-
kit, tubuh keduanya kembali oleng dan lutut mereka
bergetar. Dan tak lama kemudian, tubuh keduanya
kembali jatuh terduduk.
"Kita tertipu oleh Datuk Lembah Neraka. Karena
ternyata masih ada manusia yang tahan pada pukulan
‘Tapak Geni’!" kata Jalu Kembara pada Wisnu Paladasa
seraya berpaling.
"Tapi apa boleh buat, kita harus bertahan. Kita
tidak boleh menyerah begitu saja!" sahut Wisnu Pala-
dasa dengan mengawasi Pendekar Mata Keranjang 108
yang kini semakin dekat ke arah mereka.
"Kalian murid Datuk Lembah Neraka?!" Aji aju-
kan pertanyaan seraya terus mendekat.
Sejenak Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling
pandang. Lalu Jalu Kembara tersenyum sinis dan ber-
kata.
"Bukankah kau Datuk Lembah Neraka?"
Pendekar Mata Keranjang 108 yang semula wak-
tu ditanya enak saja menyebut nama Datuk Lembah
Neraka senyam-senyum sendiri. Namun mendadak se-
nyumnya dia penggal. Sepasang matanya membesar
pandangi Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara silih ber-
ganti dan berkata dengan nada tinggi.
"Jawab dengan jujur pertanyaanku. Itu kalau ka-
lian memang masih ingin hidup!"
Diam-diam saat demikian itu, Jalu Kembara coba
kerahkan tenaga untuk memulihkan kembali tena-
ganya. Namun tampaknya usahanya tiada hasil. Mem-
buat laki-laki ini wajahnya pucat pasi. Demikian juga
Wisnu Paladasa.
"Hmm.... Tampaknya kalian memang sudah bo-
san hidup!" kata Pendekar Mata Keranjang 108 begitu
ditunggu agak lama di antara kedua laki-laki ini tidak
ada yang buka mulut untuk menjawab.
"Ampun...!" kata Wisnu Paladasa, "Benar... Kami
memang murid dari..,."
Belum sampai Wisnu Paladasa meneruskan kata-
katanya, serangkum angin dahsyat menyambar dari
arah samping, menggebrak ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat palingkan
wajah dan serta merta melompat ke samping kiri un-
tuk menghindar. Sambaran angin terus melabrak dan
menghajar sebuah rumah, membuat rumah itu terba-
bat roboh dan terbakar!
"Sialan betul!" rutuk Pendekar Mala Keranjang
108 seraya tebarkan pandangan mencari tahu siapa
adanya manusia yang melakukan hal itu. Di lain pi-
hak. Ratih Purnamasari yang sedari tadi hanya me-
nyaksikan, terperangah kaget bahkan surutkan lang-
kah tiga tindak ke belakang begitu mengetahui siapa
adanya orang yang melancarkan serangan. Sementara
itu Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara segera jatuhkan
kepalanya dan berseru bersamaan.
"Guru...!"
***
TUJUH
PENDEKAR Mata Keranjang 108 ikut-ikutan ber-
paling. Dia terkejut melihat paras dan bentuk orang
yang dipanggil Guru oleh Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung.
Mengenakan pakaian mirip seorang pendeta berwarna
kuning. Kepalanya gundul dengan kulit sekujur tubuh
sudah mengeriput. Tangan kanannya memegang se-
buah tasbih yang tak henti-hentinya bergerak. Namun
yang membuat laki-laki ini angker, mata kanannya
yang menjorok keluar itu juling. Sementara kedua te-
linganya tak berdaun!
Tanpa berkata lagi, laki-laki jangkung yang bu-
kan lain adalah Datuk Lembah Neraka gerakkan tan-
gan kanannya. Tasbih yang ada di tangannya bergerak
melesat.
Weerrr!
Serangkum angin yang berputar-putar seiring
putaran tasbih melabrak ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang masih mengawasi orang dengan
pandangan heran.
"Gila! Bias serangannya sudah terasa sebelum se-
rangan itu sendiri datang...!" kata Aji dalam hati seraya
miringkan kepala dan bahunya.
Tasbih yang berputar-putar dan mengeluarkan
suara bersiutan itu menggebrak tempat kosong di
samping tubuh Aji. Anehnya, tasbih tersebut langsung
bergerak dan kembali pada Datuk Lembah Neraka.
Begitu kembali, Datuk Lembah Neraka kembali
sentakkan tangan kanannya, tasbih itu kembali berpu-
tar dan kini berdesing lenyap. Hanya suaranya saja
yang terdengar.
Untuk menangkal serangan yang tak tampak ini,
murid Wong Agung segera putar-putar kipas ungunya
di atas kepala, membuat tubuhnya diselimuti sinar pu-
tih.
Tasss! Tasss! Tasss!
Tiga kali benturan yang keluarkan cahaya api se-
gera muncrat begitu sinar putih yang menyelimuti tu-
buh Pendekar 108 diterabas deru tasbih!
Datuk Lembah Neraka mendengus marah. Dalam
sejarah panjang kecimpungnya dalam rimba persila-
tan, baru kali ini serangan tasbihnya dapat ditangkis
orang dengan begitu mudah, malah jika Datuk Lembah
Neraka tidak segera menarik tasbihnya kembali, tidak
mustahil tasbih itu akan hancur luluh!
"Bajingan busuk! Siapa pemuda ini? Apakah dia
manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang?"
membatin Datuk Lembah Neraka seraya memperhati-
kan lebih seksama kipas yang kini masih diputar-putar
oleh Aji.
"Hmm.... Tampaknya dugaanku tidak meleset.
Memang dia orangnya...!" sambung kata hati Datuk
Lembah Neraka. Parasnya kini berubah merah padam.
Pelipisnya bergerak-gerak dengan mata kiri membeliak
merah. Tubuhnya yang jangkung dia lorotkan ke ba-
wah. Saat hampir pantatnya menyentuh tanah, tiba-
tiba tubuhnya melesat tinggi ke udara dan lenyap dari
pandangan.
"Edan! Ke mana perginya?" batin Aji dengan pu-
tar kepalanya.
Selagi Pendekar 108 mencari tahu di mana bera-
danya lawan, tiba-tiba tubuh Datuk Lembah Neraka
melayang deras ke bawah bagai sergapan seekor bu-
rung rajawali. Kedua tangannya membuka dan dihan-
tamkan ke bawah.
Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan teka-
nan angin yang seakan memantek gerak tubuhnya.
Hingga dia tak dapat menggerakkan tubuh untuk
menghindar. Namun murid Wong Agung ini tidak mau
berdiam diri. Didahului bentakan dahsyat, telapak
tangan kirinya dia buka dan dihantamkan lurus ke
atas, sementara tangan kanannya yang memegang ki-
pas dia kibaskan berputar dari belakang!
Prakkk!
Dua tangan teraliri tenaga dalam tinggi beradu di
atas kepala Pendekar Mata Keranjang 108. Datuk
Lembah Neraka berseru kesakitan. Seraya membuat
gerakan berputar di atas tubuh Pendekar Mata Keran-
jang 108, laki-laki berkepala plontos ini jejakkan ka-
kinya pada punggung Pendekar Mata Keranjang 108!
Beekk!
Pendekar Mata Keranjang 108 terpekik. Dan be-
lum lagi dia dapat kuasai tubuhnya, dengan gerak ce-
pat Datuk Lembah Neraka balikkan tubuh dan do-
rongkan tangan kanannya!
Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 terpekik,
sebelum tubuhnya menghempas di atas tanah. Saat
yang demikian itu tak disia-siakan oleh Jalu Kembara.
Dia segera bangkit dan melompat. Lalu serta merta ka-
ki kanannya bergerak cepat menghajar tubuh Pende-
kar Mata Keranjang 108!
Pada saat tendangan akan menghajar, seko-
nyong-konyong serangkum angin dahsyat disertai
bongkahan asap hitam yang mengeluarkan hawa pa-
nas menyengat menyambar ke arah kaki Jalu Kemba-
ra.
Meski Wisnu Paladasa telah berteriak memperin-
gatkan, namun tampaknya Jalu Kembara meneruskan
tendangan kakinya. Namun sejengkal lagi terjangannya
menghajar, Jalu Kembara terpekik kaget dengan tarik
pulang kembali kakinya.
"Jahanam licik!" seru Pendekar 108 saat menge-
tahui dirinya akan dibokong oleh Jalu Kembara. Se-
raya bangkit, sepasang matanya naik dengan alis mata
bertemu. Bibirnya tersenyum pada Ratih Purnamasari
yang baru saja selamatkan dirinya dari terjangan kaki
Jalu Kembara. Di pihak lain, Ratih Purnamasari hanya
tersenyum sekilas tanpa berani memandang lebih la-
ma, karena pakaiannya masih tak karuan. Dia lantas
miringkan tubuh untuk menyembunyikan sebagian
auratnya yang tampak tak tertutup.
"Mundur!" bentak Datuk Lembah Neraka.
Jalu Kembara yang dibentak beringsut melang-
kah mundur. Sementara Datuk Lembah Neraka maju
selangkah. Dari mulutnya terdengar teriakan nyaring.
Lantas tubuhnya melesat ke atas. Di atas udara, Da-
tuk Lembah Neraka putar-putar tasbihnya. Lalu seko-
nyong-konyong tubuhnya melayang turun dengan tas-
bih bergerak cepat ke arah kepala Aji.
Weeerrr!
Pendekar Mata Keranjang 108 hantamkan tangan
kirinya lepaskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'. Semen-
tara tangan kanannya berkelebat dengan tusukkan
ujung kipas pada perut Datuk Lembah Neraka.
Prakkk!
Terdengar suara benturan tatkala tasbih Datuk
Lembah Neraka bergerak dan menghantam ujung ki-
pas.
Datuk Lembah Neraka keluarkan suara menden-
gus marah, karena tasbihnya mental balik dan meng-
hantam pergelangan tangannya. Bukan hanya sampai
di situ, karena begitu kakinya mendarat di atas tanah,
pukulan tangan Pendekar Mata Keranjang 108 datang
melabrak!
"Bocah jahanam! Kalau saat ini aku tak bisa
membunuhmu, lebih baik mati!" kertak Datuk Lembah
Neraka seraya kembangkan kedua tangannya dan ser-
ta merta diangkat ke atas.
Pukulan Pendekar Mata Keranjang 108yangtadi
meluncur deras, mendadak bagai tertahan dan kini
bergerak pelan, membuat Datuk Lembah Neraka den-
gan leluasa melangkah perlahan satu langkah ke
samping untuk menghindar. Lalu dengan tertawa ter-
kekeh-kekeh laki-laki jangkung bermata juling ini le-
paskan tasbihnya. Sementara tubuhnya sendiri berke-
lebat dengan kirimkan serangan.
Delapan larik sinar kuning redup melesat dari
empat jurusan, mengeluarkan suara menggemuruh
dahsyat!
Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak bagai ter-
perangah dengan serangan yang dilancarkan Datuk
Lembah Neraka. Namun dia segera sadar, dan dengan
cepat dia lesatkan tubuhnya ke atas dengan membuat
gerakan berputar di udara. Seraya membuat putaran-
putaran di udara, pendekar murid Wong Agung ini kibas-kibaskan kipasnya sedemikian rupa untuk melin-
dungi dirinya. Karena kibasan kipas itu dengan penge-
rahan tenaga dalam, maka tak heran jika saat itu juga
tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 laksana diselimu-
ti gulungan-gulungan asap putih yang tak bisa ditem-
bus!
Datuk Lembah Neraka menyeringai seraya ber-
gumam panjang pendek. Lantas dia dongakkan kepala
seraya bibir berkemik-kemik. Lalu dengan segera ke-
dua tangannya diangkat ke atas kepala lalu diputar-
putar.
Mendadak tempat itu menjadi gelap pekat. Yang
tampak hanya lah gulungan asap putih yang masih
membungkus tubuh Pendekar Mata Keranjang 108.
Pada saat itulah Datuk Lembah Neraka melompat
menerabas kepekatan suasana dan menggebrak den-
gan kedua tangan mengepal ke arah kepala Pendekar
Mata Keranjang 108!
Pendekar Mata Keranjang hanya mendengar de-
ruan angin yang menyambar ke arah kepalanya. Dan
tatkala kepalanya dia rundukkan sedikit, dua pasang
lengan berkelebat deras di atasnya.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 rundukkan
kepala, tiba-tiba lengan yang menerabas di atasnya
berhenti dan serta merta menghujam ke bawah!
"Edan! Dia mampu menghentikan gerakan tan-
gannya dengan tiba-tiba!" gumam Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dalam hati sambil silangkan kedua tan-
gannya di atas kepala.
Prakkk!
Dua lengan bentrok di udara. Namun karena
hantaman Datuk Lembah Neraka ke arah bawah, ma-
ka tekanannya jelas lebih besar, membuat Pendekar
108 tersurut tiga langkah ke belakang. Murid Wong
Agung ini mencoba kerahkan tenaga agar mampu me-
nahan tubuhnya yang terhuyung-huyung. Namun kaki
kanannya telanjur goyah, dan tak lama kemudian
Pendekar Mata Keranjang jatuh terduduk!
"Murid Wong Agung! Ternyata nama besarmu
hanyalah bualan kosong!" kata Datuk Lembah Neraka
seraya melangkah mendekat. Kedua tangannya yang
tadi disilangkan di depan dada, dia kembangkan ke
depan.
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108 ker-
takan rahang dengan paras merah padam. Dia segera
bangkit dan menatap nyalang pada Datuk Lembah Ne-
raka seraya berkata.
"Datuk Lembah Neraka! Aku tak punya nama be-
sar. Namun untuk menguburmu kedua tanganku ma-
sih sanggup!"
Ratih Purnamasari yang mendengar nama dis-
ebut orang, tersentak kaget! Dengan sepasang mata
dibesarkan, dia tatap lekat-lekat Datuk Lembah Nera-
ka.
"Mana ini yang benar? Kata Guru, Datuk Lembah
Neraka telah tewas. Apakah memang benar, di dunia
banyak orang bergelar Datuk Lembah Neraka? Tapi
menurut yang pernah kulihat, dan kudengar gelar itu
hanya akan digunakan oleh satu orang. Hmm.... Aku
tak habis pikir...," kata Ratih Purnamasari seraya terus
memandangi Datuk Lembah Neraka seraya tercenung.
Di lain pihak, mendengar kata-kata Pendekar Ma-
ta Keranjang 108, Datuk Lembah Neraka mendehem
beberapa kali. Lalu tertawa dan berkata.
"Gurumu saja tidak sanggup membunuhku, apa
lagi kau!"
"Beliau memang tidak ada niatan untuk membu-
nuhmu, karena dia berharap kau akan kembali ke jalan kebaikan. Namun nyatanya kau tak berubah. Mati
memang layak untukmu!"
Datuk Lembah Neraka bukannya jengkel diejek
demikian rupa, malah dia keluarkan tawa bergerai.
"Gurumu, dari dulu memang begitu. Jika tidak
sanggup membunuh musuh, maka alasannya ya begi-
tu itu. Alasan yang cocok digunakan pada anak-anak
kecil. Sekarang giliranku yang akan membunuhnya ji-
ka dia dahulu tak mau membunuhku! Tapi sebelum-
nya kepalamu akan kuhadiahkan untuknya!"
Habis berkata, Datuk Lembah Neraka lemparkan
tasbihnya pada Jalu Kembara. Lalu secepat kilat tu-
buhnya berkelebat lenyap. Dan tahu-tahu tubuhnya
telah berada dua langkah di hadapan Pendekar Mata
Keranjang 108 dengan kedua tangan berkelebat meng-
hantam muka!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang bersikap
waspada segera tarik wajahnya ke belakang. Namun
ternyata hantaman tangan itu hanyalah tipuan belaka.
Karena saat Pendekar Mata Keranjang 108 tarik kepa-
lanya, kaki kanan Datuk Lembah Neraka menggaet
kaki Pendekar Mata Keranjang dengan keras.
Pendekar 108 terkejut bukan main. Dia segera
imbangi dirinya dengan doyongkan kembali wajahnya.
Namun karena gaetan kaki Datuk Lembah Neraka ter-
lalu keras, membuat tubuh murid Wong Agung ini ter-
jerembab dahulu sebelum sempat bertindak lebih jauh.
Pada saat itulah, Datuk Lembah Neraka hantam-
kan kedua tangannya dengan tenaga dalam penuh!
Wuuuttt!
Mengetahui bahaya besar, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera gulingkan tubuhnya. Dan dalam kea-
daan miring, tangan kanannya berkelebat mengi-
baskan kipasnya sementara tangan kirinya lepaskan
pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Plarrr! Plaaarrr!
Dua tenaga dalam bertemu. Larikan kuning re-
dup yang melesat menyambar dari kedua tangan Da-
tuk Lembah Neraka lenyap musnah. Namun bias angin
serangan masih mampu membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 terseret satu tombak ke belakang. Di lain
pihak, Datuk Lembah Neraka sendiri terpelanting dan
tubuhnya menyuruk tanah! Darah segar telah memba-
sahi bibir dan bajunya. Sementara kedua tangannya
berubah merah dan sakit bila digerakkan.
"Jahanam! Kucincang tubuhmu!" teriak Datuk
Lembah Neraka seraya bangkit. Namun baru saja laki-
laki jangkung berkepala gundul ini hendak lancarkan
serangan, terdengar seruan lantang.
"Hentikan pertempuran!"
Semua kepala yang ada di situ segera palingkan
wajah masing-masing ke arah orang yang berseru.
Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara mengawasi
dengan pandangan mengejek sinis pada orang yang
baru datang. Sementara Pendekar Mata Keranjang 108
menatap dengan dahi berkerut. Sedangkan Datuk
Lembah Neraka yang berpaling hanya sekilas tampak
mengernyitkan kening. Bibirnya terkatup rapat. Se-
mentara mata kanannya membesar tak kesiap.
"Apakah memang dia?" terdengar gumaman dari
mulut Datuk Lembah Neraka.
Sementara itu Ratih Purnamasari, demi melihat
siapa adanya orang yang berseru, segera menghambur
dan jatuhkan diri.
"Guru! Maafkan muridmu yang gagal melaksana-
kan tugas!"
Orang yang dipanggil Guru oleh Ratih Purnama-
sari dan baru saja keluarkan seruan tak mengacuhkan
pandangan mata beberapa orang di situ. Tanpa meno-
leh dia melangkah ke arah muridnya.
***
DELAPAN
DIA adalah seorang perempuan. Meski umurnya
bisa dibilang tidak muda lagi, namun paras wajahnya
masih menampakkan sisa-sisa kecantikan. Rambutnya
panjang sepinggang. Mengenakan pakaian bawah se-
perti jarit, sementara pakaian atasnya berupa baju
lengan panjang. Di pinggangnya nampak melilit seutas
ikat pinggang warna merah. Sepasang matanya bulat
dan bersinar dengan mulut mengunyah sirih, mem-
buat bibirnya yang telah merah itu semakin merah.
"Apa kerjamu di sini?" bentak perempuan yang
dipanggil Guru oleh Ratih Purnamasari.
Ratih Purnamasari tidak segera menjawab perta-
nyaan gurunya. Dia angkat kepalanya. Lalu meman-
dangi wajah gurunya lekat-lekat.
Wajah gadis ini jelas menampakkan rasa takut.
Sebelum gadis ini buka suara, sang guru membentak
garang.
"Kalau memang gagal membekuk Wong Agung
seharusnya kau cepat pulang!"
"Guru...! Aku memang dalam perjalanan pulang.
Tapi di tempat ini aku bertemu dengan dua orang yang
berbuat keji pada penduduk. Aku...."
Ratih Purnamasari tak meneruskan kata-katanya
karena saat itu juga sang guru telah menyela dengan
suara tetap tinggi.
"Murid bodoh! Apa untungnya kau ikut-ikutan
mengurusi penduduk? Tugasmu hanya membekuk
Wong Agung! Lain tidak!"
Ratih Purnamasari tundukkan kepala tak berani
memandangi gurunya. Tubuhnya tampak sedikit ber-
getar. Tangannya bergerak menutupi bagian tubuhnya
yang terbuka, membuat sang guru berkerut dan berka-
ta.
"Apa yang kau perbuat hingga pakaianmu begitu
rupa!"
"Sewaktu bentrok dengan dua jahanam itu, me-
reka berhasil merobek pakaianku. Malah hampir-
hampir saja memperkosaku!"
Orang yang dipanggil Guru oleh Ratih Purnama-
sari palingkan wajah pada Jalu Kembara dan Wisnu
Paladasa. Sepasang mata perempuan ini membeliak
besar dengan mulut komat-kamit menggumam sesua-
tu yang tak jelas. Alis matanya terangkat dengan peli-
pis bergerak-gerak.
Namun Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara seper-
tinya acuh dengan pandangan marah guru Ratih Pur-
namasari. Malah mulut kedua orang ini, sunggingkan
senyum. Mereka berbuat begitu karena mereka yakin,
jika guru Ratih Purnamasari bertindak ayal. Maka Da-
tuk Lembah Neraka tak akan tinggal diam.
Melihat sikap gurunya, Ratih Purnamasari ang-
kat bicara.
"Guru! Mereka berdua adalah murid...," Ratih
Purnamasari sengaja penggal kata-katanya, membuat
sang Guru menatap lurus pada gadis ini. Saat itulah
Ratih Purnamasari lirikkan matanya pada Datuk Lem-
bah Neraka yang berada tak jauh dari sampingnya.
Mendapati pandangan muridnya, sang Guru yang
bukan lain adalah I Gusti Ayu Wayan Rimaksari sedikit merasa heran. Dahinya berkerut. Lalu pandangan-
nya menebar pada Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.
Saat melihat dua laki-laki ini, I Gusti Ayu Wayan Ri-
maksari sedikit terkejut. Lalu pandangannya beralih
pada Pendekar Mata Keranjang 108. Perempuan agak
tua yang masih menampakkan kecantikan ini sedikit
terkesiap. Dia memandanginya agak lama. Lantas keti-
ka pandangannya berujung pada Datuk Lembah Nera-
ka, I Gusti Ayu Wayan Rimaksari surutkan langkah ke
belakang. Keningnya semakin berkerut. Sepasang ma-
tanya menyipit dan membesar. Dan tiba-tiba bibirnya
berkemik dengan mengucapkan nama perlahan.
"Dadaka Lanang...."
Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka saat itu juga
sedang memandang I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Dua
pasang mata saling bertemu. Dada dua orang ini sa-
ma-sama saling berdebar.
"Apakah mataku tidak kabur...? Atau ini hanya
mimpi...? Bukankah Datuk Lembah Neraka telah tewas
di tangan Wong Agung pada beberapa puluh tahun si-
lam? Ataukah dia mirip Datuk Lembah Neraka...?" ke-
bimbangan kembali mendera I Gusti Ayu Wayan Ri-
maksari.
"Gusti Ayu...," sebut Datuk Lembah Neraka se-
raya melangkah mendekati.
Tenggorokan I Gusti Ayu Wayan Rimaksari serasa
tercekik mendengar namanya disebut. Air mukanya
mendadak berubah putih lalu merah. Dan tanpa sa-
dar, dia pun lantas kembali menyebutkan nama.
"Dadaka Lanang...!"
Datuk Lembah Neraka mendekat. Dan begitu ya-
kin bahwa perempuan tak jauh di sampingnya adalah I
Gusti Ayu Wayan Rimaksari, dia percepat langkah.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 senyam-senyum menyaksikan pertemuan kembali dua
kekasih yang telah lama tak jumpa bahkan telah didu-
ga meninggal dunia.
Sementara itu, Ratih Purnamasari mengawasi tak
kesiap. Dalam hati dia berkata.
"Hmm.... Benar apa yang dikatakan Wong Agung.
Telah terjadi salah paham dalam hal ini. Tapi tampak-
nya Datuk Lembah Neraka masih memendam den-
dam...."
"Kau baik-baik saja selama ini Gusti Ayu...?"
tanya Datuk Lembah Neraka dengan menggenggam
kedua tangan I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Perem-
puan ini agak tersipu malu. Wajahnya merah saga. Se-
jenak dia melirik pada Ratih Purnamasari. Yang dilirik
alihkan pandangan pada jurusan lain. Wajahnya tam-
pak merah merona. Perlahan entah malu atau tidak
suka, Ratih Purnamasari melangkah agak menjauh.
Seraya melangkah dia menggumam.
"Hm.... Nyatanya cinta tidak memandang usia
dan tempat! Mereka sepertinya menganggap tidak ada
orang lain!"
"Kakang.... Kukira kau telah tewas...," kata Gusti
Ayu Wayan Rimaksari dengan menatap bola mata Da-
tuk Lembah Neraka.
Datuk Lembah Neraka tertawa terkekeh.
"Semestinya memang begitu. Namun malaikat
rupanya tak sampai hati mencabut nyawaku. Malah
sebentar lagi Wong Agung yang akan kuantar ke liang
kubur! Dan setelah itu, kita akan bersenang-
senang...."
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari kembali parasnya
merah mengelam. Dengan tak mengalihkan pandan-
gan, perempuan berwajah cantik ini berkata.
"Ke mana saja kau selama ini...?!"
Datuk Lembah Neraka mendehem beberapa kali.
Lalu menjawab perlahan.
"Sejak peristiwa pertarungan berdarah dengan
Wong Agung, aku melarikan diri. Aku malu pada orang
dan pada diriku sendiri. Lebih-lebih padamu. Karena
Wong Agung telah menjulingkan mata kananku, dan
menghilangkan kedua daun telingaku...," sejenak Da-
tuk Lembah Neraka hentikan kata-katanya. Parasnya
tiba-tiba berubah. Dagunya terangkat dengan mata kiri
membeliak.
"Percayalah Kakang. Bagaimana keadaanmu. Aku
tetap yang dulu!" sela I Gusti Ayu Wayan Rimaksari
dengan mempererat genggaman tangannya.
"Sejak saat itulah aku menyendiri seraya mem-
perdalam ilmu untuk suatu saat membuat perhitun-
gan. Dan saat itu kini telah tiba. Kau tahu, manusia
itu adalah murid keparat Wong Agung. Dia akan ku-
hadiahkan pada gurunya. Tapi hanya kepalanya!" kata
Datuk Lembah Neraka seraya angkat bahunya menun-
juk pada Pendekar Mata Keranjang 108.
"Murid Wong Agung...? Berarti manusia yang di-
gelari Pendekar Mata Keranjang 108!" kata I Gusti Ayu
Wayan Rimaksari seraya layangkan pandangannya pa-
da Pendekar Mata Keranjang 108 yang saat itu juga
sedang memandang ke arahnya.
"Aku akan selesaikan dahulu kunyuk satu itu!"
kata Datuk Lembah Neraka seraya lepaskan gengga-
man tangannya.
Sebenarnya I Gusti Ayu Wayan Rimaksari ingin
mencegah. Namun Datuk Lembah Neraka telah keburu
berkelebat dan secara mendadak langsung kirimkan
serangan pada Pendekar Mata Keranjang 108!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang telah me-
nunggu cepat membuat gerakan berputar dua kali dibelakang. Dan begitu mendarat, kedua tangannya dia
hantamkan ke depan!
Serangan yang dilancarkan Datuk Lembah Nera-
ka tertahan di udara. Hingga membuat Datuk Lembah
Neraka ini terpengarah kaget. Demikian I Gusti Ayu
Wayan Rimaksari. Dia tak menduga jika kelebatan ki-
pas pemuda itu sanggup menahan gerak laju pukulan
Datuk Lembah Neraka yang pada dekade silam ditaku-
ti beberapa tokoh baik dari golongan putih atau hitam.
Bahkan sebaliknya, pukulan tangan kiri Pende-
kar 108 kini menerabas terus ke arah Datuk Lembah
Neraka yang masih seperti terkesiap.
"Hm.... Ini sangat bahaya! Aku harus menolong-
nya!" membatin I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Dia lan-
tas berkata.
"Kakang! Awas serangan!"
Mungkin karena masih terkesima atau memang
sedang menunggu, Datuk Lembah Neraka tidak ber-
geming dari tempatnya, malah menggerakkan anggota
tubuhnya untuk menangkis serangan pun tidak,
membuat I Gusti Ayu Wayan Rimaksari segera me-
lompat di hadapannya dan serta merta dorong kedua
tangannya.
Bummm!
Terdengar ledakan dahsyat ketika serangan yang
menggebrak dari tangan kiri Pendekar 108 bentrok
dengan pukulan yang dilancarkan I Gusti Ayu Wayan
Rimaksari.
Namun karena sewaktu menangkis serangan be-
gitu mendadak dan jaraknya telah dekat, membuat pe-
rempuan ini keluarkan jeritan tertahan, tubuhnya ter-
seret ke belakang. Untung Datuk Lembah Neraka yang
seakan baru tersadar dan berada di belakangnya sege-
ra tanggap. Dengan sigap, tubuh kekasihnya itu ia sergap hingga selamatlah dia dari menghempasan di atas
tanah.
"Gusti Ayu.... Menyingkirlah! Biar aku sendiri
yang menghadapinya!" kata Datuk Lembah Neraka se-
raya tersenyum mesra.
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari menggeleng perla-
han.
"Kau jangan menganggapnya remeh. Kita hadapi
manusia itu bersama-sama agar cepat selesai. Apa kau
tidak ingin urusan ini cepat selesai...?" kata I Gusti
Ayu Wayan Rimaksari seraya mengerling.
"Kita bagi perhatiannya. Dengan demikian seran-
gannya akan tertuju pada dua tempat. Di situ pasti
akan banyak tempat yang kosong!" sambung I Gusti
Ayu Wayan Rimaksari seraya melepaskan diri dari
rengkuhan tangan Datuk Lembah Neraka.
"Hmm.... Tak enak rasanya bertarung dengan
orang yang sedang dimabuk kasmaran. Lebih baik aku
mencari waktu yang tepat saja. Aku akan tinggalkan
tempat ini...."
Berpikir sampai di situ, Pendekar Mata Keranjang
108 lantas mengerling pada Ratih Purnamasari. Dan
tatkala diliriknya gadis ini sedang memandangnya,
pendekar murid Wong Agung ini berpaling ke arah
sang gadis seraya kerdipkan sebelah matanya.
Ratih Purnamasari yang saat itu memang sedang
memandang pada Pendekar Mata Keranjang tersentak
kaget. Parasnya serentak berubah merah bersemu pu-
tih. Bibirnya lalu tersenyum, namun pandangannya
dia alihkan ke jurusan lain.
"Gila! Dalam keadaan begini, dia masih sempat
memainkan matanya! Benar-benar edan...! Tapi.... Dia
memang menarik!" kata Ratih Purnamasari dalam hati
seraya lirikkan ekor matanya.
Dia serentak palingkan wajahnya begitu terlihat
Pendekar Mata Keranjang melangkah hendak pergi.
Mulutnya yang sedari tadi tersenyum hendak berkata.
Namun sebelum mulutnya terbuka, dari arah samping
terdengar bentakan menggelegar.
"Jangan mimpi bisa lari dari tanganku, Bocah!"
Mendengar bentakan, Pendekar Mata Keranjang
108 urungkan niat untuk melanjutkan langkah. Dia
balikkan tubuh dan balas membentak.
"Siapa mau lari? Aku cuma tidak suka bertarung
dengan orang yang sedang kasmaran. Lebih baik ka-
lian berkangen-kangen dahulu!"
"Kurang ajar!" sentak Datuk Lembah Neraka se-
raya menyeringai. Sementara itu I Gusti Ayu Wayan
Rimaksari merah padam mukanya. Dia berkata dengan
menatap tajam tak kesiap.
"Kakang, manusia seperti dia terlalu bermulut ji-
ka dibiarkan!"
Sepasang kekasih ini lantas segera berjajar. Dan
didahului bentakan garang Datuk Lembah Neraka, ke-
dua kekasih ini sama-sama lepaskan pukulan.
Empat larik sinar kuning redup serta larikan-
larikan sinar hitam yang keluarkan suara bak gelom-
bang segera menghampar ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!
Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak melihat
ganasnya serangan. Dengan perkokoh kuda-kuda se-
pasang kakinya, murid Wong Agung ini lantas hem-
paskan kipas yang berada di tangan kanannya. Se-
mentara tangan kirinya melepaskan 'Bayu Cakra Bua-
na'.
Wuusss! Wuuttt!
Dua pukulan sakti melesat ke depan. Satu me-
mapak sinar kuning redup, sementara satunya lagi
memapasi larikan sinar hitam!
Bummm! Bummm!
Tempat itu laksana dibuncah gempa dahsyat.
Rumah-rumah di sekitarnya banyak yang bergoyang
dan roboh berderak. Sementara tanah tempat berte-
munya serangan menjadi kubangan yang dalam.
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari menjerit keras. Tu-
buhnya terpelanting sampai beberapa tombak ke bela-
kang. Tangan dan dadanya berdenyut sakit. Bahkan di
sudut bibirnya terlihat genangan darah agak hitam,
pertanda dia terluka cukup parah.
Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka sendiri ber-
seru tertahan. Tubuhnya pun terjengkang, namun dia
segera dapat kuasai diri sebelum pantatnya menyen-
tuh tanah.
Murid Wong Agung sendiri terhuyung-huyung ke
belakang seraya pegangi dadanya. Dari sudut bibirnya
pun tampak mengalir darah. Namun pemuda ini sea-
kan tidak peduli. Dia segera bangkit.
"Akan kucoba menggunakan 'Bayu Kencana'!"
gumam Aji seraya pindahkan pegangan pada kipasnya
ke tangan kiri, sementara tangan kanan dia buka di
depan dada.
Datuk Lembah Neraka gegat gerahamnya. Da-
gunya terangkat dengan sepasang mata seakan hen-
dak memberojol keluar. Kemarahannya tampaknya
sudah mencapai ubun-ubun. Apalagi ketika melihat I
Gusti Ayu Wayan Rimaksari terluka.
Dengan bentakan nyaring, laki-laki jangkung ini
segera dorongkan kedua tangannya. Mulutnya berke-
mik dengan dada bergetar.
Weeesss!
Serangkum angin dahsyat yang keluarkan warna-
warna redup melesat keluar disertai hawa panas!
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas da-
lam-dalam. Tenaga dalamnya dia kerahkan ke tangan
kiri dan kanan. Lalu tangan kanannya dibuka perla-
han, sementara tangan kiri yang memegang kipas di-
palangkan di depan dada.
Angin dahsyat yang keluar dari kedua tangan Da-
tuk Lembah Neraka serta merta bergerak perlahan dan
malah kini menuju satu titik, yakni telapak tangan
Pendekar Mata Keranjang. Tampaknya murid Wong
Agung telah gunakan jurus ‘Bayu Kencana’.
Datuk Lembah Neraka terkesiap kaget. Dia men-
coba menambah tenaga dalamnya untuk menjebol te-
lapak tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun
usahanya tidak ada guna, malah tenaganya semakin
tersedot masuk!
Namun laki-laki jangkung ini tak mau begitu saja
menyerah. Dia kembali mencoba dengan keluarkan te-
naga luar dan dalam. Tapi ternyata usahanya sia-sia,
malah kakinya kini goyah dan perlahan-lahan ikut ter-
seret ke depan.
Melihat keadaan ini, Wisnu Paladasa dan Jalu
Kembara segera bangkit hendak menolong, namun se-
belum mereka berdua bergerak, I Gusti Ayu Wayan
Rimaksari telah bergerak mendahului.
Tubuh perempuan ini berkelebat lenyap. Dan ta-
hu-tahu tubuhnya menerabas dari belakang Pendekar
Mata Keranjang 108. Pendekar murid Wong Agung ini
terkejut. Dia segera putar kipasnya ke belakang.
Seberkas sinar putih berkelebat melengkung ke
belakang.
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari ganti terkejut. Na-
mun karena dia sudah kepalang meluncur, maka den-
gan wajah pucat pasi dia hantamkan kedua tangannya.
Plarrr!
Terdengar letupan keras. Karena waktu melan-
carkan serangan berada di atas udara membuat tu-
buhnya terpelanting jauh. Lalu bergedebukan di atas
tanah dengan darah semakin banyak menggenangi su-
dut bibirnya.
Namun karena mendapat serangan dari belakang
ini membuat perhatian Aji pada Datuk Lembah Neraka
sedikit terpengaruh. Hingga kejap itu jugs tubuh Da-
tuk Lembah Neraka terhenti. Dan kesempatan ini
nampaknya tidak di sia-siakan oleh Datuk Lembah Ne-
raka. Dengan menggereng, dia melompat ke hadapan
Pendekar Mata Keranjang 108 dan hantamkan kedua
tangannya ke arah kepala.
Pendekar murid Wong Agung ini terperangah ka-
get, dia buru-buru rundukkan kepalanya. Namun
mendadak saja kaki Datuk Lembah Neraka berkelebat
cepat.
Bukkk!
Pendekar 108 terbanting di atas tanah. Seakan
ingin segera menyudahi pertarungan, saat itu juga Da-
tuk Lembah Neraka berkelebat lagi dan tahu-tahu ke-
dua tangannya telah kirimkan serangan ganas!
"Pengecut! Licik!" tiba-tiba terdengar seruan. Ber-
samaan dengan itu berdesir angin dahsyat memapasi
serangan Datuk Lembah Neraka.
***
SEMBILAN
DENGAN sumpah serapah panjang pendek, Da-
tuk Lembah Neraka palingkan wajah ke samping.
Di situ telah berdiri tegak seorang laki-laki bertu-
buh tambun besar. Rambutnya panjang dengan pa-
kaian ketat. Dia berdiri dengan bertopang pada dua
bambu kecil yang berada di ketiaknya. Karena laki-laki
ini ternyata tidak memiliki sepasang kaki.
"Gongging...," seru Pendekar 108 dengan usap
bibirnya yang masih keluarkan darah.
Laki-laki yang dipanggil mengangguk perlahan.
Lalu melangkah ke arah Aji. Hebatnya, suara ketukan
bambunya mampu membuat dua murid Datuk Lem-
bah Neraka saling pandang dan tutup telinga masing-
masing. Sementara Ratih Purnamasari segera kerah-
kan tenaga dalam untuk menangkis suara ketukan
yang bagai menusuk telinganya.
Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka terkesiap.
Dia memperhatikan laki-laki tanpa kaki dengan sek-
sama. Dahinya berkerut seolah mengingat-ingat.
"Jahanam! Aku tak berhasil mengenalinya! Tapi
siapa pun dia. tampaknya dia mempunyai ilmu tinggi.
Suara ketukan bambunya saja sudah demikian dah-
syat. Hmm... Sebaiknya aku menyingkir terlebih dahu-
lu. Gusti Ayu dalam keadaan terluka..,," membatin Da-
tuk Lembah Neraka. Lalu dia berkelebat ke arah I Gus-
ti Ayu Wayan Rimaksari. Membimbingnya bangkit dan
berkata perlahan.
"Gusti Ayu.... Kita harus tinggalkan tempat ini.
Kita bisa bikin perhitungan lagi. Lagi pula datang pe-
nolongnya yang ilmunya kurasa tinggi juga...."
I Gusti Ayu Wayan Rimaksari mengangguk. Ke-
duanya lantas memberi isyarat pada murid masing-
masing untuk pergi. Wisnu Paladasa dan Jalu Kemba-
ra segera menyambuti. Namun tidak demikian Ratih
Purnamasari. Dia masih menatap Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dengan pandangan aneh.
"Hmm.... Kau ragu-ragu. Kau tertarik dengan
pemuda itu...?!" kata I Gusti Ayu Wayan Rimaksari.
Paras wajah Ratih Purnamasari merah padam.
Mulutnya mengucapkan sesuatu yang tak bisa ditang-
kap pendengaran. Lalu tanpa memandang pada gu-
runya, gadis ini meninggalkan tempat itu.
"Murid Wong Agung! Tunggulah. Hal ini tidak
hanya sampai di sini!"
Habis berkata begitu, Datuk Lembah Neraka ba-
likkan tubuh dan menggandeng tangan I Gusti Ayu
Wayan Rimaksari lalu berkelebat pergi.
Pendekar Mata Keranjang 108 hendak mengejar.
Namun segera dicegah oleh laki-laki tanpa kaki yang
bukan lain adalah Gongging Baladewa.
"Tak usah dikejar. Saatnya akan tiba kalian un-
tuk dipertemukan lagi!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas da-
lam-dalam. Sebenarnya hatinya masih panas. Namun
karena dicegah oleh Gongging Baladewa maka meski
dengan menggerutu dalam hati, Aji hanya bisa diam
mengawasi kepergian Datuk Lembah Neraka dan I
Gusti Ayu Wayan Rimaksari bersama muridnya.
"Kau terluka, sebaiknya kau ikut aku dahulu!"
berkata Gongging Baladewa dengan terbatuk-batuk
kecil.
Pendekar Mata Keranjang 108 menjura hormat.
Lalu berkata.
"Terima kasih atas pertolonganmu...."
Gongging Baladewa tertawa pelan. Lalu dengan
bambunya dia pukul punggung Aji. Aji melengak kaget.
Pada saat itulah dengan kecepatan luar biasa, Gongg-
ing Baladewa bungkukkan tubuh. Tangan kanannya
bergerak cepat meraih tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 dan diselipkannya di ketiak.
Dengan tertawa gerai-gerai, Gongging Baladewa
melesat lenyap dari tempat itu diiringi suara sengalan
batuk Pendekar Mata Keranjang 108 yang berada di ketiaknya.
SELESAI
Segera terbit:
MENDUNG DI LANGIT KEPATIHAN
0 comments:
Posting Komentar