..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 27 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE DATUK LEMBAH NERAKA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 

DATUK  LEMBAH NERAKA

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Datuk Lembah Neraka

128 hal.


SATU


LANGIT di atas Laut Utara tampak diselimuti 

awan bergulung-gulung. Gelombang yang abadi meme-

cah lamping-lamping batu karang terdengar bergemu-

ruh menghentak. Angin laut berhembus kencang me-

nambah tercekamnya suasana.

Di saat itu, dua bayangan kuning terlihat berke-

lebat cepat laksana bersitan-bersitan sinar menuju 

arah Laut Utara. Begitu sampai pesisir, dua bayangan 

tersebut hentikan larinya masing-masing. Seraya men-

gusap keringat yang membasahi kening masing-

masing, kedua pasang mata dua orang ini memandang 

nyalang berkeliling. Saat kedua pasang mata mereka 

menangkap julangan batu karang yang berada di ten-

gah-tengah laut, mata keduanya membesar tak kesiap. 

Bahkan salah seorang di antaranya menadangkan te-

lapak tangannya di depan kening agar pandangan se-

makin jelas.

"Julangan batu karang di tengah laut, mungkin 

itu tempat yang kita cari!" berkata orang yang mena-

dangkan telapak tangan dengan sepasang mata tak be-

ranjak dari gundukan batu karang di tengah laut. Dia 

adalah seorang laki-laki. Badannya tinggi besar, men-

genakan pakaian panjang warna kuning yang diselem-

pangkan di pundak kiri kanan. Raut mukanya bundar 

dengan hidung agak besar, sepasang matanya lebar 

dengan kepala plontos.

Untuk beberapa saat lamanya orang yang diajak 

bicara masih diam. Hanya pandangannya lurus ke de-

pan, ke arah julangan batu karang di tengah laut. Ke-

dua tangannya saling menakup dan diangkat se-jajar 

dada. Mulutnya berkemik.

Seperti halnya yang mengajak bicara, orang ke-

dua ini juga berpakaian warna kuning. Sepasang ma-

tanya sipit dengan hidung mancung. Tubuhnya tinggi 

kurus dengan kepala plontos.

Setelah berkemik-kemik yang tak jelas, akhirnya 

orang yang tinggi kurus ini membuka mulut, namun 

pandangannya tetap lurus ke depan.

"Bukan mungkin lagi, tapi aku yakin memang 

itulah tempat yang kita cari. Kita harus segera ke sana 

agar urusan ini cepat selesai!"

"Benar! Tapi kita juga harus waspada. Manusia 

yang akan kita hadapi adalah seorang tokoh rimba 

persilatan yang kenyang pengalaman dan ilmunya sulit 

diukur. Malah muridnya, manusia yang berjuluk Pen-

dekar Mata Keranjang 108 saat ini telah menjadi tokoh 

yang paling ditakuti oleh momok-momok golongan hi-

tam...!" ujar orang yang bertubuh tinggi besar sambil 

berpaling ke samping dan menurunkan telapak tan-

gannya dari kening.

Orang yang tinggi kurus mendengus keras dan 

menoleh. Mereka sejenak saling berpandangan satu 

sama lain. Namun mendadak saja yang bertubuh ting-

gi besar tertawa bergelak-gelak melihat sikap orang di 

sampingnya.

"Kau jangan salah paham dengan ucapanku. Aku 

berkata demikian tadi bukannya berarti aku takut! 

Hanya sebagai isyarat agar kau tak memandang remeh 

orang yang akan kita hadapi. Meremehkan orang tak 

jarang menjadi bumerang!"

Orang yang tinggi kurus kembali mengeluarkan

dengusan. Wajahnya kembali dia luruskan ke depan. 

Dagunya mengeras dengan pelipis bergerak-gerak.

"Wisnu Paladasa!" panggil orang yang tinggi ku-

rus pada orang di sampingnya tanpa mengalihkan

pandangan. "Kau tak usah khawatirkan diriku. Aku te-

lah tahu siapa adanya Wong Agung, orang yang akan 

kita hadapi itu!"

Orang yang tinggi besar yang tadi dipanggil den-

gan Wisnu Paladasa tersenyum lebar, lalu berkata.

"Bagus! Kita teruskan perjalanan!"

"Tapi kita perlu alat untuk mencapai tempat itu. 

Kau lihat...," belum habis kata-kata orang yang tinggi 

kurus, Wisnu Paladasa telah berkelebat cepat ke arah 

dari mana mereka tadi datang. Dan tak lama kemu-

dian, dia muncul dengan pundak kiri kanan memang-

gul dua batang pohon kelapa, dan enak saja kedua ba-

tang pohon kepala besar itu lantas dilempar ke tengah 

laut.

"Jalu Kembara!" panggil Wisnu Paladasa pada 

orang yang tinggi kurus dengan isyarat kepala agar 

temannya segera bergerak mengikuti dirinya yang kini 

telah berkelebat dan kaki kiri kanan terpentang di atas 

batangan pohon kepala yang telah mengapung.

Tanpa menunggu lama lagi, Jalu Kembara berge-

rak dan tahu-tahu tubuhnya telah berada tegak kokoh 

di belakang Wisnu Paladasa. Dan seolah hampir tidak 

bisa dipercaya, begitu kedua orang botak ini telah be-

rada di atas batangan pohon kelapa, batangan pohon 

itu meluncur deras ke depan menerjang gempuran 

ombak! Padahal kedua orang ini hanya memutar-

mutar kedua tangan masing-masing ke depan dan ke 

belakang.

"Kita harus sampai sebelum hujan turun. Karena 

hujan akan menghambat perjalanan kita!" berkata 

Wisnu Paladasa seraya mempercepat putaran kedua 

tangannya yang kemudian diikuti oleh Jalu Kembara. 

Batangan pohon kelapa itu melesat lebih kencang ke 

depan membedah gulungan ombak.

Tak berselang lama, batangan pohon kelapa itu 

telah sampai di batu karang yang berada di tengah-

tengah laut. Dan sebelum batangan itu menyentuh ba-

tu karang, kedua orang itu telah lesatkan diri masing-

masing ke batu karang yang mengelilingi batu karang 

tinggi menjulang.

Untuk beberapa lama kedua orang ini tak kesiap 

memandang pada batu karang yang tinggi menjulang, 

karena selain tinggi ternyata sisi-sisi batu karang itu 

lurus! Mirip sebuah tembok bangunan!

"Apa kau yakin jika orang yang kita cari itu bera-

da di sana?!" tanya Wisnu Paladasa seraya tengadah-

kan kepala dan arahkan pandangannya ke atas.

"Aku belum bisa memastikan sebelum kita sam-

pai di sana! Tapi melihat tempatnya, aku hampir ya-

kin, inilah tempat orang yang kita cari. Kita harus ce-

pat menyelidik ke sana!" kata Jalu Kembara dengan 

menebar pandangan ke sisi-sisi batu karang.

Wisnu Paladasa anggukkan kepala. "Makin cepat 

kita menyelidik makin baik, karena urusan ini akan 

segera berakhir dan musuh kita tinggal muridnya, 

Pendekar 108!"

"Benar! Setelah itu baru kita kuasai rimba persi-

latan! Jika itu terjadi segala keinginan kita hanya ting-

gal tunjuk. Kau tahu, apa yang selama ini kuidam-

idamkan?" berkata Jalu Kembara yang bertubuh tinggi 

kurus itu, seraya sunggingkan senyum, membuat ma-

tanya yang sipit semakin terpuruk.

Yang ditanya hanya gelengkan kepala perlahan 

tanpa menoleh.

"Aku ingin tidur dengan tujuh perempuan cantik 

dalam satu ranjang selama tiga hari tiga malam. Ha 

ha... ha...!"

Wisnu Paladasa yang bertubuh besar ikut-ikutan

tertawa, namun tawanya tiba-tiba dia penggal. Dan 

berkata dengan sedikit keras, mengimbangi suara ge-

lak tawa Jalu Kembara.

"Hentikan tawamu! Lihat di atas!"

Serta merta Jalu Kembara hentikan tawanya. 

Pandangan matanya dia arahkan pada tempat yang di-

katakan Wisnu Paladasa. Ternyata batu karang yang 

tinggi menjulang itu perlahan-lahan sirna tertutup oleh 

kabut putih yang turun dari langit.

"Apa karena ini maka tempat ini disebut orang 

Karang Langit?" bisik Jalu Kembara dengan tak berke-

dip.

"Kita harus segera mencapai tempat itu sebelum 

batu karang itu tertutup kabut seluruhnya!" kata Wis-

nu Paladasa sambil melangkah dua tindak ke depan. 

Kedua tangannya dia takupkan di depan dada, sepa-

sang matanya terpejam dengan bibir bergerak-gerak 

mengucapkan sesuatu.

Sementara itu, tahu akan apa yang hendak dila-

kukan oleh Wisnu Paladasa. Jalu Kembara pun maju 

dua tindak ke depan dan melakukan seperti apa yang 

dilakukan Wisnu Paladasa. Lantas bagai dikomando, 

kedua tangan kedua orang ini mereka buka dan mere-

ka luruskan ke depan tubuh masing-masing mereka 

putar hingga keduanya kini saling berhadapan dan ke-

dua tangan masing-masing mereka pertemukan. Dan 

didahului dengan bentakan dahsyat, kedua orang ini 

jejakkan kaki masing-masing.

Serta merta tubuh Wisnu Paladasa dan Jalu 

Kembara melejit ke atas, menembus asap putih dan 

tak lama kemudian berdiri kokoh di pedataran batu 

karang yang tinggi menjulang.

"Aneh! Ternyata kabut putih itu hanya menutupi 

sisi-sisi batu karang. Sementara bagian sini terang

benderang!" ujar Wisnu Paladasa begitu sampai di pe-

lataran batu karang yang tinggi menjulang. Seraya 

berkata, sepasang matanya yang lebar menatap jauh 

ke depan, di mana tampak sebuah bangunan dari ba-

tu.

"Ada bangunan di sana!" Wisnu Paladasa menun-

juk.

Jalu Kembara mengangguk perlahan.

"Saatnya kita menyelidik!" kata laki-laki tinggi 

kurus ini. Dan tanpa menunggu jawaban dari Wisnu 

Paladasa, dia telah berkelebat dan tahu-tahu telah 

berdiri dua tombak di depan bangunan batu.

"Hmm.... Bangunan ini nampaknya tidak terawat. 

Puing-puing bekas hancuran teras depan dibiarkan te-

tap berserakan. Melihat puing-puing yang telah berlu-

mut, hal ini terjadi telah beberapa tahun silam...."

Jalu Kembara terdiam sesaat, sementara sepa-

sang matanya terus menebar ke sekeliling bangunan.

Raut muka Jalu Kembara tiba-tiba berubah. Ma-

tanya yang sipit dia buka lebar-lebar. "Kau tunggu di

sini, aku akan menyelidik ke samping bangunan! Aku 

khawatir, tempat ini telah ditinggalkan penghu-

ninya...," kata Jalu Kembara pada Wisnu Paladasa 

yang ternyata telah berada di sampingnya.

Yang diajak bicara mengangguk perlahan tanpa 

palingkan wajah. Dan tak lama kemudian Jalu Kemba-

ra telah kembali. Parasnya makin mengeras.

"Aku hampir yakin, tempat ini telah ditinggalkan 

penghuninya!" simpul Jalu Kembara begitu melihat 

keadaan samping bangunan.

"Kita tak usah buru-buru ambil kesimpulan. Kita 

belum ke dalam!" berkata Wisnu Paladasa seraya pen-

tangkan sepasang kakinya. Dan baru saja laki-laki 

tinggi besar ini hendak angkat bicara, dia rapatkan

kembali sepasang kakinya, sementara Jalu Kembara 

surutkan langkah satu tindak ke belakang!

Tempat mereka berdiri mula-mula terasa bergetar 

perlahan, namun makin lama semakin keras. Hingga 

membuat kedua orang ini harus mengerahkan sedikit 

tenaga dalamnya untuk menahan agar tubuh masing-

masing tak terhuyung-huyung.

"Keparat!" keluar sumpah serapah dari mulut Ja-

lu Kembara. "Dia tampaknya telah mengetahui keda-

tangan kita!"

"Betul! Kita harus hati-hati!" bisik Wisnu Palada-

sa. Laki-laki ini lantas berteriak lantang.

"Wong Agung! Kami tak butuh mainan anak-anak 

macam ini! Keluarlah, tunjukkan wujudmu! Songson-

glah hari kematianmu!"

Karena teriakan itu disertai pengerahan tenaga 

dalam tingkat tinggi, maka tak heran jika untuk bebe-

rapa saat lamanya getaran yang terasa di pelataran 

bangunan batu itu terhenti sejenak! Malah gemuruh 

gelombang laut di bawah bagai tertahan!

"Wong Agung! Lekas keluarlah! Takdir kematian-

mu telah datang. Pendekar seperti kau tak layak me-

nyambut tamu dengan sembunyi-sembunyi!" terdengar 

lagi teriakan membahana. Kali ini yang keluarkan te-

riakan adalah Jalu Kembara. Namun sejauh ini tak 

ada tanda-tanda sahutan, apa lagi terlihatnya wujud 

orang yang diteriaki.

Kedua orang berkepala plontos dan berpakaian 

selempang kuning mirip pakaian seorang pendeta itu 

sejenak saling berpandangan. Raut wajah ke duanya 

telah tampak merah padam. Rahang masing-masing 

terangkat ke atas, sementara pelipisnya bergerak-gerak 

menindih amarah yang mulai mendera dada masing-

masing.

Jalu Kembara yang tampaknya ingin segera me-

nyelesaikan persoalan mendekat ke depan bangunan. 

Kedua tangannya dia usap-usapkan pada batok kepa-

lanya lalu dia tarik ke bawah dan dikeplaknya lalu di-

adu satu sama lain hingga mengeluarkan suara bentu-

ran agak keras, lalu mulutnya kembali membuka hen-

dak berteriak.

Namun belum sampai Jalu Kembara keluarkan 

teriakan, dari delapan penjuru mata angin terdengar 

suara. Hebatnya, meski kedua orang ini belum bisa 

menentukan dari mana sumber suara, namun suara 

itu bagai dikeluarkan di dekat telinga masing-masing 

dua laki-laki ini, membuat keduanya serentak undur-

kan kaki masing-masing.

"Aku sedari tadi telah menyambut kalian di sini! 

Hanya kalian saja yang tidak melihat!"

Setelah dapat menentukan sumber suara, seren-

tak kedua orang ini sama-sama balikkan tubuh mas-

ing-masing.

"Apa mau kalian mengusik ketenangan tem-

patku?!" tegur seseorang yang kini telah berdiri empat 

tombak di hadapan Wisnu Paladasa dan Jalu Kemba-

ra.

Dia adalah seorang laki-laki mengenakan jubah 

warna putih. Rambutnya panjang bergerai, demikian 

pula jenggotnya. Sepasang matanya tertutup sepotong 

kulit yang diikatkan ke belakang kepala, sementara 

tangan kanannya tak henti-henti mengelus uraian 

jenggotnya yang telah berwarna putih.

Entah karena masih terkejut dan terkesima, atau 

mungkin karena belum bisa menguasai diri, kedua 

orang yang ditegur ini tidak segera menjawab. Hanya 

sepasang mata keduanya tak kesiap memandang ke 

depan dengan tatapan nyalang beringas.

"Paladasa! Apakah ini bentuknya orang yang kita 

cari?!" bisik si tinggi kurus tanpa berpaling.

"Benar! Dialah Wong Agung, orang yang akan kita 

kirim ke neraka!" jawab si tinggi besar juga tanpa pa-

lingkan wajahnya.

"Jika kalian tak segera jawab tanyaku, jangan 

menyesal bila kalian akan kutinggalkan. Masih banyak 

pekerjaan yang harus kuselesaikan!" berkata laki-laki 

berjubah putih yang bukan lain memang Wong Agung 

adanya, guru dari Pendekar Mata Keranjang 108.

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama 

dongakkan kepala ke atas. Dari mulut masing-masing 

tiba-tiba meledak tawa keras yang membahana bersa-

hut-sahutan. Karena gelak tawa mereka dengan penge-

rahan tenaga dalam, membuat suara tawa itu seakan 

menusuk gendang telinga orang yang mendengarnya.

Melihat gelagat tidak enak, Wong Agung segera 

kerahkan tenaga, lalu kepalanya dia tengadahkan. Da-

ri bibirnya yang sedari tadi menyunggingkan senyum 

terdengar suara tawa. Mula-mula pelan, namun makin 

lama makin keras dan menggetarkan pelataran bangu-

nan batu serta menyapu lenyap suara tawa dua orang 

dihadapannya. Diam-diam kedua orang berkepala 

plontos ini jadi terkesiap hati masing-masing. Mereka 

sadar, orang yang berdiri di hadapan ini tingkat tenaga 

dalamnya masih jauh di atas mereka. Namun demi-

kian, kedua orang ini tidak me-nampakkan rasa takut 

sama sekali. Malah keduanya sama-sama melangkah 

maju.

"Tua bangka! Kau boleh tinggalkan kami, tapi itu 

hanya namamu! Ragamu akan tetap di sini karena se-

bentar lagi akan segera kami kubur!" kata Wisnu Pala-

dasa dengan bola mata membeliak menusuk.

"Hmm.... Karena mataku tak dapat melihat, kalau

boleh aku tahu, siapa kalian sebenarnya? Rasa-

rasanya kita belum pernah bertemu!" ujar Wong Agung 

dengan bibir tetap mengulum senyum.

"Tua bangka ini awas juga. Dia dapat membeda-

kan suara orang yang pernah dikenalnya dan suara 

orang yang belum pernah bertemu...," membatin Jalu 

Kembara dengan sepasang mata memperhatikan lebih 

seksama sosok di hadapannya dari ujung kaki hingga 

ujung rambut.

Memang, Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara be-

lum pernah bertemu dengan Wong Agung. Kedua 

orang ini sebenarnya adalah seorang pendeta. Namun 

dalam perjalanan hidup mereka, keduanya bertemu 

dengan seorang pendeta berilmu tinggi. Karena kedua 

orang ini ingin memiliki ilmu silat tinggi, keduanya 

pun berguru. Ternyata, pada akhirnya ilmu silat telah 

mengubah jalan pikiran kedua orang ini, ini karena 

sang Guru mereka ternyata adalah seorang bekas to-

koh silat dari golongan hitam.

Namun, meski kedua orang ini telah melakukan 

hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang pende-

ta, tapi pakaian dan gaya mereka masih tak mening-

galkan laksana seorang pendeta.

"Jalu Kembara...!" ujar Wisnu Paladasa seraya 

menoleh. "Apa perlu kita perkenalkan diri sebelum 

mengantarkan nyawanya menuju tempat peristiraha-

tan terakhirnya?"

Jalu Kembara kembali tertawa bergelak. Tiba-tiba 

suara tawanya lenyap, kedua tangannya dia angkat ke 

atas dengan dada membusung.

Weesss!

Serangkum angin deras menyambar dari angka-

tan kedua tangan Jalu Kembara. Merasakan hal ini 

Wong Agung segera doyongkan tubuh ke samping kanan. 

"Untuk yang satu ini, tidak ada salahnya jika kita 

perkenalkan diri!" kata Jalu Kembara seraya terse-

nyum sinis. Wisnu Paladasa busungkan dada, lalu 

berkata.

"Dengar Wong Agung! Kau tidak perlu tahu siapa 

kami. Hanya saja mungkin kau masih ingat dengan 

orang yang bernama Dadaka Lanang. Nah, kami ber-

dua adalah utusan Dadaka Lanang!"

"Dadaka Lanang...," gumam Wong Agung mengu-

langi kata-kata Wisnu Paladasa seraya dongakkan ke-

pala. Dia tampaknya coba mengingat-ingat.

"Hmm.... Dadaka Lanang.... Manusia keji bergelar 

Datuk Lembah Neraka. Rupanya dia ingin mengulang 

rencana yang gagal pada beberapa puluh tahun silam. 

Manusia yang punya ambisi untuk menguasai rimba 

persilatan...," batin Wong Agung. Dia lantas berkata.

"Sebenarnya aku sudah menganggap selesai per-

soalan antara aku dengan manusia bergelar Datuk 

Lembah Neraka. Jadi jika kalian berdua akan mem-

perpanjang masalah itu, kalian salah alamat! Aku su-

dah lama mengundurkan diri dari gemerisiknya rimba 

persilatan. Dengar! Aku sekarang tidak akan lagi 

menghalangi segala rencana Datuk Lembah Neraka, 

karena untuk hal itu sudah ada orang yang menan-

gangi! Silakan kalian tinggalkan tempat ini!"

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling ber-

pandangan sejenak. Lantas keduanya saling mem-

buang muka masing-masing dengan tersenyum ang-

ker.

"Jika kau anggap selesai masalahmu dengan Da-

tuk Lembah Neraka, itu adalah hakmu. Namun satu 

hal yang pasti, kepalamu sangat berharga bagi Datuk 

Lembah Neraka, untuk itulah kami datang! Dan kami

tak akan tinggalkan tempat ini dengan tangan hampa!" 

kata Jalu Kembara. Dia lantas berpaling pada Wisnu 

Paladasa dan berkata.

"Paladasa! Kita selesaikan manusia ini!"

Wisnu Paladasa anggukkan kepala. Dan di kejap 

lain mendadak kedua manusia berkepala plontos ini 

sama-sama berkelebat seraya kirimkan pukulan.

Wuuttt! Wuuuttt!

Empat larikan sinar berwarna kuning redup me-

lesat menyambar ke arah tubuh Wong Agung. Bukan 

hanya sampai di situ, begitu empat sinar melesat, dua 

sosok ini segera berpencar ke samping kanan dan kiri, 

dan dari tempatnya ini mereka segera kembali kirim-

kan serangan.

Kini dari arah depan, samping kanan dan samp-

ing kiri melesat larikan-larikan sinar kuning redup! 

Dari sini jelas terlihat bahwa kedua orang ini ingin se-

gera menyelesaikan Wong Agung saat itu juga!

Meski kedua matanya tertutup, Wong Agung da-

pat merasakan betapa ganasnya serangan yang dilan-

carkan oleh kedua orang di hadapannya. Namun seba-

gai tokoh yang pernah malang melintang menegakkan 

kebenaran, penghuni Karang Langit ini segera sambut 

serangan lawan dengan lesatkan diri membuat putaran 

beberapa kali ke belakang. Pada putaran kelima, ke-

dua tangannya segera dibuka dan didorong ke depan!

Larikan sinar kuning redup yang datang dari 

arah samping kanan dan kiri bentrok di udara, hal ini 

karena Wong Agung telah terlebih dahulu melesat ke 

belakang untuk menghindar. Hingga kejap itu juga 

terdengar ledakan dahsyat yang mengguncang pelata-

ran batu karang di tengah laut itu. Namun serangan 

larikan yang datang dari arah depan, terus menerabas!

Saat itulah dorongan kedua tangan Wong Agung yang

keluarkan suara menggemuruh bagai gelombang da-

tang memapak!

Blarrr!

Kembali terdengar ledakan dahsyat. Batu karang 

tinggi menjulang di tengah laut itu kembali bergetar. 

Malah batu karang di bawah bertemunya tiga serangan 

bertenaga dalam tinggi itu terbongkar dan berhambu-

ran menjadi abu.

Begitu dahsyatnya getaran batu karang, hingga 

membuat Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara ter-

huyung-huyung ke belakang, sementara Wong Agung 

surutkan dua tindak kakinya ke belakang.

Begitu dapat kuasai tubuh masing-masing, Wis-

nu Paladasa kertakan rahang, sedangkan Jalu Kemba-

ra keluarkan dengusan keras. Kedua murid Datuk 

Lembah Neraka ini segera merangsek maju. Sementara 

di seberang sana Wong Agung hanya berdiri menung-

gu.

"Kita hantam dari jarak dekat!" bisik Wisnu Pala-

dasa. Dia lirikkan matanya pada Jalu Kembara. Dua 

orang ini saling beri isyarat dengan anggukkan kepala 

masing-masing. Lantas tiba-tiba saja tubuh kedua 

orang ini berkelebat lenyap. Dan tahu-tahu kedua so-

soknya menukik dari atas tubuh Wong Agung dengan 

kedua tangan masing-masing menekan ke bawah! He-

batnya sebelum tekanan yang bisa menghancurkan 

batok kepala itu mencapai sasaran, empat angin deras 

yang keluarkan suara menggidikkan melesat menda-

hului!

Wong Agung sejenak terkesiap. Dan sebelum se-

rangan mematikan itu menghantam kepalanya, dia 

undurkan kaki satu tindak, lalu tubuhnya dia lorotkan 

sedikit ke bawah. Dan dengan didahului bentakan ke-

ras, kedua tangannya yang telah mengepal dia angkat

lurus ke atas!

Deess! Deess! Deess! Deeesss!

Terdengar empat kali suara beradunya lengan 

tangan. Lalu disusul dengan suara pekikan tertahan 

dua kali berturut-turut. Tubuh Wisnu Paladasa berpu-

tar balik dan jatuh berkaparan di atas batu, sementara 

tubuh Jalu Kembara mental dan menukik ke bawah 

tanpa bisa lagi menguasai keadaan, hingga di kejap 

kemudian tubuhnya menghempas batu karang.

Jika bibir Wisnu Paladasa langsung keluarkan 

darah begitu mengantuk batu karang, tidak demikian 

halnya dengan Jalu Kembara. Meski tubuhnya keras 

menghantam batu karang, namun dia tampak tidak 

mengalami cedera, bahkan di kejap itu juga dia segera 

bangkit kembali dengan kedua tangan saling menakup 

di depan dada. Mulutnya berkemik-kemik. Dan men-

dadak saja tubuhnya kembali melesat ke depan den-

gan kedua tangan terbuka dan dipukulkan ke arah 

Wong Agung.

Wong Agung yang baru saja dapat menguasai diri 

dari olengan tubuhnya akibat benturan tangan diam-

diam merasa heran. Dia tak menduga jika salah satu 

lawannya yang baru saja jatuh berkaparan secepat itu 

bangkit dan malah kirimkan serangan! Namun rasa 

herannya tak berlangsung lama, karena saat itu juga 

dari kedua tangan Jalu Kembara melesat asap hitam 

yang membentuk batangan-batangan laksana batan-

gan pohon besar. Hebatnya batang asap itu bukan 

hanya lurus, namun salah satu di antaranya berputar 

bagai baling-baling dan keluarkan suara mendesis-

desis sementara satunya lagi menyilang lurus!

Wuuusss! Wuuusss!

Wong Agung dengan menahan rasa heran cepat 

rebahkan tubuhnya di atas batu karang. Kedua kakinya dia hantamkan ke arah batang asap yang mem-

bentuk baling-baling.

Beek! Beekk!

Batangan asap itu, yang ternyata keras bagai ba-

tu mencelat ke atas, dan detik itu juga tubuh Wong 

Agung membal dan menyusul lesatan batangan asap 

ke atas. Saat tubuhnya melenting ke atas, kedua tan-

gannya segera dia dorongkan ke arah batangan asap 

yang membentuk silangan!

Weess! Weeesss!

Batangan asap yang menyilang tiba-tiba terhenti 

di udara, dan dengan gerak cepat, kedua kaki Wong 

Agung menjejak. Batangan asap itu melayang ke udara 

menyusul batangan yang pertama.

Begitu dua batangan asap berada di atas udara, 

Wong Agung segera menukik ke bawah, dan begitu 

hampir menginjak batu karang, kedua kakinya menje-

jak keras. Tubuhnya kembali melesat ke udara. Dan 

dengan gerakan ringan kedua kakinya mendarat rin-

gan di atas dua batangan asap yang kini turun dengan 

posisi lurus menyamping

Bukan hanya sampai di situ, begitu dua batan-

gan yang dinaiki hampir menyentuh batu karang, 

Wong Agung lesatkan diri ke depan, dan serta merta 

kedua kakinya menyentil kedua ujung batangan asap!

Hebatnya, meski sentilan kedua kaki itu hanya 

perlahan, namun batangan asap itu kini meluncur de-

ras. Satu mengarah pada Wisnu Paladasa yang baru 

saja bangkit sementara satunya lagi mengarah pada 

Jalu Kembara yang tampaknya masih terkesima den-

gan apa yang diperbuat oleh Wong Agung!

Jalu Kembara yang tahu banyak jika terhantam 

batangan asap serangannya sendiri segera berteriak 

memberi peringatan pada Wisnu Paladasa.

"Menyingkir! Jangan ditangkis!" seraya berteriak, 

Jalu Kembara lesatkan diri ke samping untuk meng-

hindari batangan asap yang menuju ke arahnya. Di 

lain pihak, Wisnu Paladasa segera melompat mengikuti 

petunjuk temannya.

Benar saja, begitu kedua orang pendeta ini ber-

hasil meloloskan diri masing-masing dari hantaman 

batangan asap, batangan asap itu meledak di udara 

dengan keluarkan kepingan-kepingan yang meng-

hambur ke segala jurusan!

"Setan alas!" kertak Jalu Kembara. "Tampaknya 

mata batin manusia ini lebih sempurna dari pengliha-

tan mata biasa...."

"Sudahlah! Kalian lekas tinggalkan tempat ini. 

Tak ada gunanya masalah ini diteruskan!" berkata 

Wong Agung dengan bibir tersenyum. Seolah sepasang 

matanya bisa melihat, kepalanya bergerak bergantian 

ke arah Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.

"Kami tak akan turun dari sini dengan berhampa 

tangan!" teriak Wisnu Paladasa dengan air muka me-

rah padam. Lantas laki-laki tinggi besar ini berkelebat 

cepat dan tahu-tahu tubuhnya telah menerjang ke 

arah Wong Agung dengan sepasang kaki lurus menga-

rah pada dada.

Di lain pihak, begitu tahu Wisnu Paladasa meng-

gebrak, Jalu Kembara tak tinggal diam. Dia pun segera 

melesat ke depan.

Wong Agung segera miringkan tubuh untuk 

menghindari terjangan sepasang kaki Wisnu Paladasa, 

dan begitu sepasang kaki Wisnu Paladasa lewat se-

jengkal di samping tubuhnya, tangan kanannya segera 

berkelebat cepat hendak mencekal. Namun belum 

sampai tangan kanannya mencekal, dari arah samping 

Jalu Kembara telah datang dengan tangan berputar

putar dan kaki menggunting!

Bukkk! Bukkk!

Wong Agung keluarkan seruan tertahan begitu 

kaki Jalu Kembara berhasil menggunting bahunya dan 

membantingnya ke samping, membuat guru Pendekar 

Mata Keranjang 108 ini tubuhnya terbanting deras 

menghantam batu karang!

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara tertawa berge-

lak-gelak. Keduanya lantas melangkah mendekat ke 

arah Wong Agung yang merambat bangkit. Dan seakan 

ingin segera menyelesaikan persoalan, kedua laki-laki 

ini segera hantamkan kedua tangan masing-masing ke 

arah Wong Agung!

Wong Agung tak dapat menyembunyikan rasa 

terkejutnya, dia tak menduga jika lawan akan lancar-

kan serangan pada saat dia bangkit.

"Hmm.... Apa boleh buat. Aku sebenarnya tidak 

menginginkan masalah ini berlarut-larut. Tapi mereka 

tampaknya memaksa...," membatin Wong Agung sam-

bil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di atas 

kepalanya.

Mendadak suasana di pelataran bangunan batu 

itu menjadi terang benderang, padahal saat itu awan 

bergulung-gulung menutupi langit. Itulah sebuah isya-

rat jika Wong Agung hendak kirimkan pukulan anda-

lan.

Kedua tangan Wong Agung lantas dipukulkan sa-

tu sama lain di atas kepalanya. Dan kejap itu pula dari 

kedua tangan guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini 

berpencaran beberapa pijaran cahaya yang memapak 

serangan kedua tangan Wisnu Paladasa dan Jalu 

Kembara.

Plarrr! Plaaarrr!

Terdengar beberapa kali letupan. Serangan yang

menyambar dari kedua tangan dua laki-laki di hada-

pan Wong Agung itu hilang lenyap! Malah sebagian pi-

jaran yang melesat dari tangan Wong Agung menera-

bas ke arah Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara.

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama 

keluarkan runtukan. Dan dengan menindih rasa jerih 

kedua orang ini segera putar-putar kedua tangan mas-

ing-masing untuk melindungi diri dari hantaman pija-

ran yang mengarah pada mereka dari segala jurusan!

Saat kedua laki-laki ini sibuk menghadapi pija-

ran-pijaran yang ternyata bisa meluluh lantakan batu 

karang, Wong Agung cepat rebahkan tubuh ke atas ba-

tu karang, dan serta merta tubuhnya menggelinding 

cepat. Dan ketika ia bangkit, ternyata tubuhnya telah 

berada di antara tubuh Wisnu Paladasa dan Jalu 

Kembara.

Baik Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-

sama terperangah kaget, namun sebelum kedua orang 

ini berbuat sesuatu, kedua tangan Wong Agung telah 

berkelebat mendahului dan menghantam dada masing-

masing laki-laki di samping kanan dan kirinya.

Wisnu Paladasa meraung keras, tubuhnya ter-

banting ke samping. Dadanya seolah terhantam benda 

berat membuat dadanya berdenyut sakit, dan pakaian 

bagian dada itu robek! Dari sudut bibirnya mengalir 

darah kehitaman pertanda jika dia terluka dalam! 

Tak beda dengan Wisnu Paladasa, Jalu Kembara 

mengalami nasib yang sama. Hanya dia lebih parah, 

karena dia terhantam tangan kanan Wong Agung yang 

daya gedornya lebih keras. Hingga darah hitam tidak 

hanya keluar dari bibirnya saja, namun juga keluar 

dari hidung dan telinganya!

Sambil merambat bangkit, dua lelaki ini saling 

berpandangan. Mereka sama-sama meringis menahan

rasa sakit yang mendera dada masing-masing. Malah 

begitu Jalu Kembara berhasil bangkit, kaki kanannya 

oleng, dan sebentar kemudian tubuhnya kembali terja-

tuh!

Merasa lawan telah roboh, Wong Agung melang-

kah mendekati. Bibirnya tetap sunggingkan senyum.

"Kuminta sekali lagi, kalian lekas tinggalkan tem-

pat ini!" kata Wong Agung dengan suara berwibawa.

Kembali Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sal-

ing berpandangan satu sama lain. Dan entah merasa 

di bawah angin atau jerih, kedua laki-laki ini dengan 

berjalan tertatih-tatih menjauhi Wong Agung.

Begitu sampai pinggiran batu karang, Jalu Kem-

bara balikkan tubuh menatap Wong Agung yang masih 

tampak berdiri seakan melihat kepergian dua lawan-

nya. Dengan memegangi dadanya, Jalu Kembara ang-

kat bicara.

"Wong Agung! Tunggulah saatnya, kami pasti 

akan kembali!"

Yang diancam lagi-lagi hanya sunggingkan se-

nyum. Lalu berkata seraya balikkan tubuh melangkah 

ke arah bangunan batu.

"Itu hak kalian! Yang perlu kalian ketahui, aku 

menganggap hal ini selesai sampai di sini!"

Begitu gema suaranya lenyap, sosok Wong Agung 

telah pula tak kelihatan.

"Bagaimana sekarang...?" tanya Wisnu Paladasa.

"Apa pun resikonya, kita harus menghadap 

Guru!" jawab Jalu Kembara seraya pegangi dadanya 

dan jejakkan kaki. Tubuhnya lantas melayang turun 

dari batu karang tinggi yang menjulang di tengah Laut 

Utara. Di belakangnya Wisnu Paladasa menyusul.

***


DUA


BUKIT sepi yang terletak di sebelah barat Desa 

Sumbersuko masih diselimuti kabut pagi ini. Udara 

dingin menusuk masih terasa mendera. Dua sosok 

bayangan penunggang kuda serta merta hentikan ku-

da tunggangannya masing-masing begitu ladam kuda 

mereka menginjak kaki bukit.

Dua penunggang kuda yang ternyata dua orang 

laki-laki mengenakan pakaian warna kuning dan kepa-

la plontos dan bukan lain adalah Wisnu Paladasa dan 

Jalu Kembara saling diam tak ada yang buka suara. 

Paras mereka jelas mengisyaratkan kekece-waan dan 

ketakutan. Malah di suasana yang dingin mencekam 

itu, tubuh mereka berdua basah oleh keringat.

"Jalu Kembara!" berkata si tinggi besar Wisnu Pa-

ladasa dengan suara bergetar. "Terus terang, aku kha-

watir, apakah Datuk Lembah Neraka akan menerima 

alasan kita!"

Yang diajak bicara masih diam. Namun tak bera-

pa lama kemudian laki-laki tinggi kurus ini buka mu-

lut.

"Mula-mula aku punya perasaan seperti kau, 

namun setelah kupikir-pikir, perasaan itu tak harus 

ada. Karena dalam masalah ini Datuk Lembah Neraka 

mau tak mau masih membutuhkan tenaga kita! Kalau 

bisa justru kita harus menuntut padanya agar mau 

menurunkan ilmu andalannya! Jika tidak, kita masih 

akan terus-terusan menjadi sang Pecundang!"

"Tapi.... Apakah dia mau menuruti permintaan 

kita?" tanya si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan pa-

lingkan wajahnya ke samping.

Si tinggi kurus Jalu Kembara menggeleng perlahan. "Aku tak bisa menduga. Namun satu hal yang 

pasti, jika Datuk Lembah Neraka masih menginginkan 

kita untuk membantu, dia harus mau menuruti per-

mintaan kita. Apalagi yang hendak kita hadapi adalah 

seorang tokoh muda yang ilmunya mungkin sejajar 

dengan Wong Agung!"

"Pendekar Mata Keranjang 108 maksudmu?" 

tanya si tinggi besar Wisnu Paladasa.

Si tinggi kurus Jalu Kembara mengangguk. "Me-

nurut berita yang kudengar, dia telah berhasil meron-

tokkan beberapa tokoh atas dari jajaran golongan hi-

tam, malah di antaranya ada yang terbirit-birit terlebih 

dahulu sebelum sempat bertemu! Dari sini bisa kita ki-

ra-kira ketinggian ilmu yang dimiliki pemuda mata ke-

ranjang itu!"

Si tinggi besar Wisnu Paladasa mendengus perla-

han. Dia lantas berkata.

"Soal Pendekar Mata Keranjang 108, itu urusan 

nanti. Sekarang yang perlu kita pikirkan adalah ba-

gaimana caranya menghadapi Datuk Lembah Neraka!"

Si tinggi kurus Jalu Kembara mendehem bebera-

pa kali dengan nada mengejek, membuat raut muka 

Wisnu Paladasa merah mengelam.

"Kita katakan terus terang apa yang terjadi! Kita 

tak usah malu-malu! Justru Datuk Lembah Neraka 

yang seharusnya merasa malu, karena kedua anak di-

diknya tak mampu mengubur Wong Agung!" berkata 

Jalu Kembara seraya lirikan sepasang mata sipitnya.

Selagi kedua laki-laki ini berbincang, dari arah 

bukit sebelah atas meluncur deras dua buah ranting 

yang mengarah pada mereka. Begitu derasnya lesatan 

dua ranting itu, hingga yang tampak hanyalah bersitan 

warna hitam yang keluarkan suara berdesing!

Singg! Sinngg!

Dengan menindih rasa terkejut, kedua laki-laki 

ini berseru keras dan serta merta meloncat dari pung-

gung kuda tunggangan masing-masing selamatkan di-

ri. Di lain pihak, kuda tunggangan mereka tak lagi 

sempat menghindar, hingga saat itu juga kaki bukit 

sepi itu terbuncah oleh ringkihan kuda. Dan di kejap 

lain, terdengar suara bergedebukan. Kuda-kuda ma-

lang itu ternyata terbanting ke tanah! Dari moncong 

binatang itu membusai darah kental kehitaman! Dan 

tak lama kemudian, kedua binatang itu diam tak ber-

gerak lagi!

Namun kesepian hanya berlangsung sekejap, se-

saat kemudian, dari atas bukit terdengar kekehan tawa 

panjang. Hebatnya, suara tawa itu berselang seling, 

bagai dikeluarkan oleh beberapa orang!

"Jalu Kembara!" kata si tinggi besar Wisnu Pala-

dasa dengan tubuh gemetaran. "Datuk Lembah Neraka 

tampaknya telah mengetahui kedatangan kita!"

Si tinggi kurus Jalu Kembara anggukan kepala. 

Lalu tanpa memandang pada orang di sampingnya, dia 

berkata.

"Tidak hanya mengetahui kedatangan kita, na-

mun juga mengetahui tentang kegagalan kita! Kau li-

hat sendiri, bagaimana sambutannya tadi! Tapi...," be-

lum selesai kata-kata Jalu Kembara, kedua orang laki-

laki ini kembali dikejutkan oleh suara teguran.

"Murid-murid setan! Kenapa kalian masih berdiri 

di situ? Apa kalian takut untuk mempertanggung-

jawabkan kesalahan kalian?!"

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling ber-

pandangan. Dan baru saja kedua laki-laki ini hendak 

melangkah mendaki bukit, kembali terdengar suara.

"Bagus! Ternyata kalian bukan murid-murid pen-

gecut! Kalian siap menerima imbalan atas kegagalan

kalian!"

"Peduli setan! Apa yang kita takutkan. Kegagalan 

ini bukan hanya kesalahan kita. Tapi juga kesalahan 

Datuk Lembah Neraka! Kita naik ke atas!" kata Jalu 

Kembara seraya berkelebat yang lantas di-ikuti oleh 

Wisnu Paladasa. Dan tak berselang lama kemudian, 

keduanya telah berdiri kokoh di puncak bukit. Di situ 

mereka melihat sesosok tubuh terbalut pakaian warna 

kuning panjang mirip pakaian seorang pendeta. Tan-

gan kanannya memegang sebuah untaian tasbih ber-

warna kuning yang tak henti-hentinya berputar-putar 

seiring bergeraknya jari-jari. Tubuhnya begitu jang-

kung. Lebih jangkung dari kedua muridnya. Paras wa-

jahnya telah mengeriput. Kedua pipinya sangat cekung 

membuat sepasang matanya yang besar seakan hen-

dak memberojol keluar. Hidungnya mungil dengan mu-

lut sangat lebar. Namun yang membuat laki-laki jang-

kung ini tampak angker adalah mata kanannya yang 

menjorok keluar itu juling! Sementara kedua telin-

ganya tak berdaun! Ditingkahi kepalanya yang gundul, 

laki-laki ini sungguh menyeramkan!

Begitu melihat sosok jangkung ini, Wisnu Palada-

sa dan Jalu Kembara segera melangkah mendatangi 

dan serta merta kedua laki-laki ini jatuhkan diri di ha-

dapan sosok jangkung yang bukan lain adalah Dadaka 

Lanang, manusia sadis yang bergelar Datuk Lembah 

Neraka.

"Guru! Mohon ampunmu. Kami gagal melaksa-

nakan tugas yang kau bebankan pada kami berdua!" 

berkata Jalu Kembara tanpa mengangkat kepala. Sua-

ra serak parau dan bergetar.

"Betul! Namun jika masih diberi kesempatan, 

kami akan berangkat sekarang juga untuk mencari 

Pendekar Mata Keranjang 108! Ini demi untuk mene

bus kegagalan kami mengubur Wong Agung...," sam-

bung si tinggi besar Wisnu Paladasa dengan keringat 

menetes dari kening dan lehernya.

Datuk Lembah Neraka terdiam sesaat. Pandan-

gannya menyengat tajam silih berganti pada kedua 

muridnya. Lantas dia membuang muka dengan dagu 

membatu. Dan sekonyong-konyong manusia jangkung 

tak berdaun telinga ini angkat tubuhnya seperempat 

tombak, lalu kedua kakinya bergerak menyapu ke arah 

pundak Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa.

Terdengar seruan keras berbarengan. Tubuh 

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara mencelat dan sa-

ma-sama berkaparan menggeletak di atas tanah. Pa-

kaian bagian pundak kedua laki-laki ini tampak robek 

dengan kulit mengelupas!

"Murid-murid bodoh! Menghabisi Wong Agung sa-

ja tidak sanggup. Sekarang ngomong hendak mencari 

Pendekar Mata Keranjang 108, apa kau kira pemuda 

itu ilmunya di bawah gurunya?" kata Datuk Lembah 

Neraka dengan mengusap-usap kepalanya yang plon-

tos.

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara merambat 

bangkit dan sama-sama tengadahkan kepala meman-

dang pada sang Guru. Namun demi dilihatnya Datuk 

Lembah Neraka melangkah mendatangi, serta merta 

kedua orang ini kembali jatuhkan diri hingga kening 

keduanya menyentuh tanah! 

"Guru!" berkata Jalu Kembara begitu didengar-

nya langkah-langkah Datuk Lembah Neraka dekat 

dengan dirinya. "Kami tak peduli dengan ketinggian il-

mu Pendekar 108! Kami akan menyabung nyawa den-

gannya untuk menebus kegagalan kami!"

Mendengar ucapan Jalu Kembara, Datuk Lembah 

Neraka tertawa bergelak-gelak. Suara tawanya berselang-seling bagai suara tawa beberapa orang. Namun 

mendadak suara tawanya dia penggal. Lalu dengan 

mata kiri membeliak merah dia berkata.

"Kalian rupanya murid-murid dungu yang ingin 

cari mati! Daripada membuat malu namaku dengan 

tewasnya kalian di tangan pemuda itu, lebih baik ka-

lian bunuh diri di hadapanku sekarang juga!"

"Guru!" kali ini yang angkat bicara Wisnu Palada-

sa. Tapi sebelum dia meneruskan ucapannya, Datuk 

Lembah Neraka telah berpaling dan menyela dengan 

suara membentak garang.

"Tutup mulutmu! Aku tak ingin dengar lagi kata-

kata kalian!"

Sesaat kemudian suasana sepi mencekam Datuk 

Lembah Neraka melangkah setindak mendekati Jalu 

Kembara. Yang didekati semakin gemetar, seakan tahu 

apa yang hendak menimpa dirinya.

Begitu tepat di hadapan Jalu Kembara, Datuk 

Lembah Neraka angkat kaki kirinya, ujung jari kakinya 

dia tempelkan pada kening muridnya ini. Lalu diang-

kat, membuat kepala Jalu Kembara ikut terangkat ke 

atas. Dan begitu kepala Jalu Kembara tengadah, kaki 

kanan Datuk Lembah Neraka bergerak dengan tumit 

menghujam kening!

Meski gerakan itu terlihat perlahan, namun kejap 

itu juga Jalu Kembara meraung keras dan tubuhnya 

terjengkang sampai tiga tombak ke belakang! Kulit di 

keningnya membiru.

Lalu dengan langkah-langkah lebar, Datuk Lem-

bah Neraka mendekati Wisnu Paladasa. Yang didekati 

sudah olengkan tubuhnya, matanya yang menyuruk 

tanah terpejam rapat-rapat, bibirnya saling mengatup. 

Dan tanpa berkata-kata lagi Datuk Lembah Neraka 

melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pada Jalu Kembara.

Karena tubuh Wisnu Paladasa oleng terlebih da-

hulu, membuat terjangan tumit Datuk Lembah Neraka 

menghantam lebih deras hingga tubuhnya mencelat ke 

belakang lebih deras dan lebih jauh!

Begitu merambat bangkit, dua murid Lembah Ne-

raka ini saling berpandangan. Lalu secara serentak 

mereka mengalihkan pandangan masing-masing ke 

arah Datuk Lembah Neraka.

"Hmm.... Daripada mati konyol, lebih baik aku 

melarikan diri! Menjadi murid Datuk Lembah Neraka 

sekian tahun, aku tak memperoleh apa-apa. Mencicipi 

tubuh perempuan pun harus dengan jalan men-curi-

curi. Kalau aku terbebas dari tangan Datuk Lembah 

Neraka, mungkin lebih banyak waktu bagiku untuk 

merasakan hangatnya tubuh-tubuh bahenol.... 

Hmm...," membatin Jalu Kembara dengan menebarkan 

pandangan berkeliling.

Di pihak lain, diam-diam Wisnu Paladasa mem-

punyai niat yang sama. Namun dia tak berani melihat 

sekeliling. Pandangannya tertuju pada tanah di hada-

pannya dengan kepala tertunduk.

Selagi kedua orang ini membatin, tiba-tiba Datuk 

Lembah Neraka berkelebat dan tahu-tahu telah berdiri 

dua langkah di hadapan Jalu Kembara. Jalu Kembara 

beringsut mundur, malah diam-diam dia siapkan pu-

kulan jika sewaktu-waktu tanpa diduga Datuk Lembah 

Neraka menghantam. Sementara itu Wisnu Paladasa

tidak berani menoleh!

Tapi, Jalu Kembara segera tarik niatnya kembali 

begitu Datuk Lembah Neraka berkata. Suaranya sudah 

agak melemah meski tetap mengandung ancaman.

"Kali ini kalian kuampuni. Namun jika untuk ke-

dua kalinya nanti kalian gagal, kalian tahu apa imbalannya!"

"Tapi, Guru! Kalau kau tak menurunkan ilmu 

yang lebih tinggi dari yang kami miliki sekarang, mus-

tahil kami dapat menjalankan perintahmu!" kata Jalu 

Kembara yang kini telah berani memandang pada gu-

runya.

Datuk Lembah Neraka mendehem beberapa kali, 

lalu mengangguk dan berkata.

"Hmm.... Begitu? Baiklah. Demi cita-cita kita ber-

sama aku akan menurunkan ilmu yang lebih tinggi 

pada kalian. Namun perlu kalian ketahui, jika kalian 

ingin mempelajari ilmu yang hendak aku turunkan, 

ada satu yang harus kalian hindari!"

Baik Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa wajah-

nya berseri cerah. Kedua laki-laki ini tersenyum. Dan 

buru-buru Jalu Kembara berkata.

"Katakan, apa yang harus kami hindari!"

Untuk sesaat Datuk Lembah Neraka tak segera 

menjawab. Dia pandangi muridnya silih berganti. Pada 

akhirnya dia pun lantas berkata.

"Jika kalian ingin mempelajarinya, kalian harus 

jauhkan diri dari perempuan! Bila kalian mendekati 

perempuan dan menidurinya, ilmu kalian akan le-

nyap!"

Jalu Kembara membeliakkan sepasang matanya. 

Dalam hati dia merutuk habis-habisan. Dia sama se-

kali tak menduga, jika syarat yang diajukan Datuk 

Lembah Neraka demikian berat baginya, karena pada 

dasarnya, dia adalah seorang laki-laki yang paling su-

ka pada perempuan!

Di lain pihak, Wisnu Paladasa pun mengumpat 

panjang pendek dalam hati.

"Edan! Syarat yang diajukannya seakan-akan di-

buat-buat agar aku tak dapat menikmati kesukaanku!

Tapi apa boleh buat, syarat yang diajukannya harus 

kuterima. Bukan tidak mungkin syarat itu hanya un-

tuk mencegah agar aku tidak keluyuran setiap ma-

lam...." 

Melihat kedua muridnya agak terkejut dan tak 

ada yang buka mulut, Datuk Lembah Neraka terse-

nyum lebar. Lalu berkata dengan tanpa memandang. 

"Bagaimana? Apa kalian sanggup?!" 

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara kembali saling 

berpandangan. Keduanya saling memberi isyarat den-

gan anggukkan kepala masing-masing.

"Baik, Guru. Kami sanggup!" kata Jalu Kembara 

yang kemudian disambung oleh Wisnu Paladasa. "Ka-

mi siap, apa pun syaratnya"

Datuk Lembah Neraka tertawa keras.

"Bagus! Kalian ternyata murid-murid yang tabah! 

Ikuti aku!" berkata Datuk Lembah Neraka seraya ber-

kelebat ke sebuah gubuk yang berada di puncak bukit.

Begitu Datuk Lembah Neraka lenyap dari pan-

dangan kedua muridnya, kedua laki-laki murid Datuk 

Lembah Neraka ini saling melangkah mendekat.

"Aku yakin, syarat itu hanya buatan Guru!" bisik 

Jalu Kembara begitu dekat dengan Wisnu Paladasa. 

Wisnu Paladasa sejenak menebar pandangan ke seke-

liling. Dan merasa tak ada orang lain, dia pun berkata 

perlahan.

"Aku pun sudah menduga demikian. Namun se-

mentara ini kita harus mematuhi syarat itu. Jika Pen-

dekar Mata Keranjang 108 dan Wong Agung telah da-

pat kita patahkan, kita akan buktikan kata-kata Datuk 

Lembah Neraka...."

Si tinggi kurus Jalu Kembara, lalu mengangguk.

Lantas kedua murid Datuk Lembah Neraka ini 

berkelebat cepat ke arah berkelebatnya Datuk Lembah Neraka.

***

TIGA


SEORANG pemuda berbadan tegap dan berwajah 

tampan, mengenakan pakaian hijau yang dilapis den-

gan baju lengan panjang warna kuning, rambut pan-

jang dan dikuncir ekor kuda tampak berjalan perlahan 

saat hampir memasuki sebuah dusun yang tak jauh di 

depannya.

Sambil berjalan, sepasang mata pemuda ini jela-

latan menyapu ke sana kemari. Dari mulutnya terden-

gar dendang nyanyian yang tak habis-habisnya dan 

tak dapat ditangkap artinya. Tangan kanannya meme-

gang sebuah kipas warna ungu yang dikipas-kipaskan 

di depan dadanya. Hebatnya, meski kipasan-kipasan 

itu hanya perlahan, namun rimbunan daun-daun po-

hon yang dilewatinya tampak berkibar-kibar bahkan 

tak jarang banyak yang langsung berguguran.

"Aku tak habis pikir. Sudah dua desa yang kula-

lui dan semuanya dalam keadaan porak poranda berat. 

Siapa gerangan pembuat ulah keji ini?" Pemuda ini tak 

meneruskan kata hatinya. Malah langkahnya dia hen-

tikan dengan tiba-tiba. Meski demikian suara dendang 

nyanyian dari mulutnya tak berhenti. Sejenak kepala 

pemuda ini bergerak ke kanan dan ke kiri. Tapi begitu 

sepasang matanya tak menangkap seseorang, pemuda 

ini meneruskan langkahnya. Dan kembali dia mene-

ruskan kata hatinya. "Siapa pun pelakunya, yang pasti 

dia berkepandaian tinggi. Karena seluruh penduduk 

yang dibantai dalam keadaan mengenaskan! Dan dada

mereka membekas sebuah telapak tangan.... Heran-

nya, meski banyak gadis cantik yang ikut terbunuh, 

tak satu pun di antaranya yang mengalami perkosaan. 

Pakaiannya tetap utuh. Hmm.... Apakah yang mem-

buat ulah ini seorang perempuan? Kalau...." Pemuda 

ini putuskan kata hatinya kembali. Di depan sana, ter-

dengar suara jeritan lengking.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda ini se-

gera berkelebat menuju dusun yang tak jauh di de-

pannya, karena suara jeritan tadi berasal dari sana.

Begitu sampai, sepasang mata pemuda berbaju 

hijau ini membeliak besar. Di pelataran setiap rumah, 

tampak bergeletakan beberapa sosok tubuh yang su-

dah tak bergerak-gerak lagi.

"Sialan! Hal ini tak bisa dibiarkan terus-terusan!" 

Ujar sang pemuda dengan menyapukan pandangannya 

ke setiap sudut rumah. Paras muka pemuda ini telah 

mengelam, matanya merah dengan kedua tangan men-

gepal. Dia lantas melangkah mendekati beberapa orang 

yang menggeletak dan memeriksanya.

"Hmm.... Pelakunya adalah orang yang sama. 

Dada orang-orang ini membekas sebuah telapak tan-

gan. Tapi ini dilakukan oleh dua orang! Bekas telapak 

tangan yang membekas di dada tak sama besarnya...."

Perhatian sang pemuda pada dada orang-orang 

yang menggeletak mendadak terpenggal oleh suara 

erangan halus yang berasal dari sebuah rumah paling 

sudut. Dengan cepat pemuda ini lesatkan diri ke ru-

mah yang paling sudut. Dan apa yang ditemukan sang 

pemuda di rumah itu, membuat pemuda ini terkesiap. 

Di rumah ini sang pemuda menemukan beberapa 

orang digantung dengan menggunakan robekan kain.

Selagi pemuda ini memperhatikan, salah seorang 

yang digantung tampak bergerak-gerak, dan dari mulutnya terdengar suara erangan menyayat.

Dengan cepat sang pemuda berbaju hijau ki-

baskan tangan kanannya. Robekan kain yang dipergu-

nakan orang untuk menggantung serta merta putus. 

Dan dengan cekatan pula, pemuda ini menangkap tu-

buh orang yang meluncur ke bawah.

"Katakan, apa yang terjadi, Dan siapa yang mem-

buat ulah begini!" kata sang pemuda begitu tubuh 

orang yang tadi digantung telah ditelentangkan di atas 

tanah di dalam rumah.

Orang yang ditanya, yang ternyata adalah seo-

rang laki-laki setengah baya untuk beberapa saat la-

manya tak menjawab. Dia masih mencoba berjuang 

dengan mengurut-urut tenggorokannya. Sementara 

tangan satunya memegangi dadanya yang tampak 

membekas sebuah telapak tangan.

Sesaat orang ini batuk-batuk beberapa kali.

Sudut bibirnya terlihat genangan darah hitam, 

sementara sepasang matanya memejam,

"Katakan. Siapa pembuat malapetaka ini?!" ulang 

sang pemuda dengan mendekatkan mulutnya pada te-

linga orang di hadapannya.

Begitu terlihat mulut orang yang ditanya berge-

rak-gerak, pemuda ini dekatkan telinganya.

"Dua orang.... Ber..., pakaian..., mirip seorang..., 

pen..., de..., ta...," kata laki-laki setengah baya lirih 

hampir tak terdengar.

Setelah mengucapkan kata-kata itu, laki-laki ini 

katupkan mulutnya. Tangannya terkulai. Dan nafas-

nya terhenti!

"Dua orang berpakaian mirip pendeta.... Hm.... 

Siapa mereka? Dalam kancah rimba persilatan, baru 

kali ini aku mendengar pendeta membantai penduduk. 

Apa maksud mereka? Dan siapa mereka sebenarnya...?" gumam sang pemuda yang bukan lain adalah

Aji Saputra alias Pendekar Mata Keranjang 108.

"Melihat orang ini masih bertahan, pasti dua 

orang tersebut masih belum jauh dari sini! Aku akan 

menyusulnya...." ujar Aji seraya bangkit. Namun baru 

saja dia hendak melangkah meninggalkan rumah itu, 

sebuah suara mengejutkannya.

"Tidak semudah itu kau bisa meninggalkan tem-

pat ini!"

Secepat kilat Aji palingkan wajah memandang ke-

luar melalui pintu yang tidak tertutup. Di depan ru-

mah, tampak seorang gadis muda. Parasnya cantik je-

lita. Mengenakan pakaian tipis warna hijau. Rambut-

nya panjang sebahu dengan sepasang mata bulat. Da-

danya membusung kencang menantang.

"Aku banyak bertemu dengan beberapa gadis 

cantik. Namun yang satu ini sungguh mempesona.... 

Mata dan bibirnya begitu menggoda...," kata Aji seraya 

melangkah ke arah sang gadis. Bibirnya mengulaskan

sebuah senyum, sementara mata kirinya dia kedipkan.

"Berhenti! Selangkah lagi kau melangkah maju, 

kau akan kubunuh!" teriak sang gadis dengan undur-

kan kakinya dua langkah ke belakang.

Aji hentikan langkahnya. Dia menunggu dengan 

sepasang mata tak kesiap memandang pada sang ga-

dis. Bibirnya terus mengumbar senyum. Malah kini 

dari mulutnya terdengar suara dendang nyanyian, 

membuat gadis di seberang membelalakkan sepasang 

mata bulatnya.

"Hmm.... Siapa pemuda ini? Apa dia yang telah 

melakukan pembantaian akhir-akhir ini di mana-

mana? Aku akan mengorek dirinya!" kata sang gadis 

dalam hati. Lalu dia berseru lantang.

"Siapa kau? Dan apa maksudmu dengan perbuatan ini?!" 

"Ah...!" Aji alias Pendekar Mata Keranjang 108 

seakan-akan terkejut mendengar teriakan lantang sang 

gadis. Namun sebentar kemudian, bibirnya telah kem-

bali tersenyum. Tapi dari mulutnya tak keluar ucapan 

untuk menjawab pertanyaan sang gadis, membuat ga-

dis cantik itu mengulangi kata-katanya dengan suara 

tinggi. Matanya yang bulat membesar.

"Edan! Gadis ini semakin cantik jika marah...," 

kata Aji dalam hati seraya pandangi sang gadis. Lalu 

dengan kerdipkan sebelah matanya, dia berkata. 

"Namaku Aji Saputra. Dan kuharap kau tidak sa-

lah paham. Ketika aku datang keadaan sudah begini!"

"Kau berdusta!" kertak sang gadis seraya paling-

kan wajah, karena dilihatnya pemuda di hadapannya 

terus menerus memandang.

"Tak ada untungnya aku berkata dusta!"

"Ungkapan klasik yang sering dikumandangkan 

orang untuk menutupi perbuatannya!" sahut sang ga-

dis dengan hadapkan kembali wajahnya. Sepasang ma-

tanya menatap tajam.

"Gadis cantik. Kau telah tahu siapa aku, kalau 

tak keberatan boleh aku tahu siapa kau...?"

Sang gadis sejenak termangu. Wajahnya merah 

saga disebut gadis cantik oleh pemuda di hadapannya. 

"Aku cantik...?" kata sang gadis dalam hati.

Mungkin karena masih memikirkan kata-kata Aji, 

hingga untuk beberapa lamanya gadis ini tidak segera 

menjawab.

"Sudahlah.... Kalau kau keberatan sebutkan na-

ma, aku tak memaksa. Aku harus pergi sekarang...."

Habis berkata begitu, Aji balikkan tubuh dan 

hendak melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan 

tatkala tiba-tiba sang gadis berkata.

"Tunggu!"

Aji palingkan wajahnya memandang sang gadis. 

Namun setelah ditunggu agak lama gadis itu tak mene-

ruskan kata-katanya, Aji teruskan langkah.

"Aku harus cepat mengejar si pembuat ulah ini! 

Mereka mungkin belum jauh dari sini!" kata Aji dalam 

hati sambil terus melangkah. "Seandainya saja aku tak 

mengejar pembuat ulah keji ini, aku masih ingin ber-

lama-lama dengan gadis cantik itu...."

"Tampaknya pemuda itu kata-katanya bisa diper-

caya. Bekas telapak tangan itu menandakan bahwa 

yang melakukan perbuatan ini adalah dua orang.... 

Tapi apa peduliku dengan semua ini? Ada tugas pent-

ing yang harus kuselesaikan. Pemuda itu, melihat pa-

kaiannya tampaknya seorang pesilat. Akan kutanya-

kan padanya, barangkali dia tahu tentang orang yang 

kucari...," membatin gadis ini seraya berkelebat dan 

tahu-tahu telah berdiri menghadang di depan Aji.

"Apa maksud sebenarnya gadis ini? Ditanya tak 

mau jawab. Ditinggal mengikuti! Dasar perempuan!" 

kata Aji dalam hati. Dia lalu berkata.

"Ada yang hendak kau katakan?" tanya Aji saat 

dilihatnya gadis di hadapannya hendak buka mulut.

"Apa kau tahu, di mana letak Karang Langit?" 

tanya sang gadis.

Aji terkejut bukan main mendengar pertanyaan 

sang gadis. Namun dia cepat menekan rasa terkejut-

nya dengan tersenyum lebar.

"Ada apa gadis ini mencari tempatnya Eyang 

Wong Agung? Melihat nada tanyanya, dia tampaknya 

mempunyai keperluan yang sangat penting...," memba-

tin Aji. Lalu dengan masih tersenyum yang dipaksa-

kan, Aji bertanya.

"Untuk apa kau ke sana...?"

"Aku tak bisa mengatakannya padamu untuk apa 

aku ke sana. Hanya bagaimanapun juga, aku harus 

menemukan tempat itu. Kau tahu, arah mana yang 

harus kuambil jika aku ingin ke sana...?"

Aji kernyitkan kening. Dia seolah-olah berpikir 

keras, membuat gadis di hadapannya menunggu se-

raya memandanginya dengan pandangan aneh.

"Karang Langit...," gumam Aji, membuat gadis itu 

melangkah makin mendekat.

"Benar, Karang Langit. Kau tahu di mana letak-

nya bukan...?" kata sang gadis.

Aji menggeleng perlahan. "Aku memang pernah 

mendengar nama itu. Namun, aku tak tahu di mana 

letaknya. Hanya menurut kabar yang pernah kuden-

gar, tempat itu dihuni oleh...."

"Keparat Wong Agung!" sahut sang gadis dengan 

wajah berubah merah padam. Sepasang matanya ma-

kin membesar dengan bibir saling menggegat menahan 

marah.

"Benar katamu. Tempat itu dihuni oleh orang 

yang bernama Wong Agung. Tampaknya kau punya si-

lang sengketa dengan orang itu. Betul?" kata Aji me-

mancing.

Gadis di hadapan Aji tidak mengangguk dan juga 

tidak menggeleng. Malah dia arahkan pandangannya 

pada jurusan lain. Dari mulutnya terdengar ucapan.

"Jangan harap kau akan mendapat jawaban jika 

itu yang kau tanyakan! Aku tidak akan terpancing 

dengan kata-katamu!"

Aji kembali dibuat terperangah kaget. 

Gadis ini selain cantik, otaknya juga cerdik. Syu-

kur dia tak mengenaliku...," membatin murid Wong 

Agung ini. Lantas dengan tersenyum tawar, dia berkata.


"Maaf. Aku tidak memancingmu agar mengata-

kan ada apa di antara kau dengan Wong Agung. Aku 

hanya menduga dari paras wajahmu yang tiba-tiba be-

rubah saat menyebut nama Wong Agung. Bahkan 

seandainya aku tahu, itu tak akan ada artinya buatku. 

Aku hanya seorang gelandangan yang tak punya jun-

trung. Hanya saja, seandainya aku tahu di mana le-

taknya tempat itu, aku akan dengan senang hati men-

gantarmu!"

Gadis di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108 

ini tampak terdiam sesaat. Wajahnya dia hadapkan lu-

rus pada Aji, membuat jantung murid Wong Agung ini 

berdegup agak kencang.

"Terima kasih atas tawaranmu. Aku bisa pergi 

sendirian.... Hmm.... Kau sendiri hendak ke mana?"

"Tadi sudah kukatakan. Aku salah seorang pen-

gelana yang tak punya juntrung. Jadi aku akan pergi 

ke mana saja kakiku melangkah...."

Gadis di hadapan Aji kerutkan dahi. Dia pandan-

gi pemuda di hadapannya dari ujung kaki sampai 

ujung rambut.

"Untuk yang ini, perkataannya mungkin berdus-

ta. Aku tak percaya jika pemuda seperti dia tak punya 

juntrung. Tapi apa peduliku memikirkan dia sampai 

sejauh itu...?" kata sang gadis dalam hati seraya terse-

nyum sendiri. Lalu dia berkata lirih.

"Karena aku masih ada keperluan, aku pergi da-

hulu!"

"Hai, tunggu!" seru Aji menahan kelebatan sang 

gadis. Namun seruan Aji seakan tak didengar. Gadis 

berbaju hijau tipis itu terus berkelebat dan lenyap dari 

pandangan Aji.

"Bagaimana ini? Hmm.... Sebaiknya aku menun-

da mengejar dua orang si pembuat malapetaka itu.

Aku akan mengikuti perjalanan gadis tadi. Aku khawa-

tir akan keselamatan Eyang Wong Agung...."

Memikir sampai di situ, pendekar murid Wong 

Agung ini lantas berkelebat ke arah berkelebatnya sang 

gadis baju hijau. 

***

EMPAT


TAMPAKNYA gadis ini menuju arah yang benar. 

Berarti pertanyaannya tadi hanyalah pura-pura...," 

membatin Aji seraya terus mengikuti berkelebatnya 

gadis berbaju hijau tipis. "Melihat kecepatan larinya, 

gadis ini tidak bisa dipandang enteng.... Siapa sebe-

narnya gadis cantik ini? Dan ada urusan apa dengan 

Eyang Wong Agung...?"

Selagi Aji menguntit seraya merenung dan men-

duga-duga demikian, mendadak gadis yang diikutinya 

berkelebat lenyap di sebuah hutan kecil.

"Edan. Ke mana lenyapnya dia?" gumam Aji se-

raya pasang telinga dan menebar pandangan berkelil-

ing. Namun hingga matanya lelah menebar dan kepa-

lanya kelu berpaling ke sana kemari, orang yang dicari 

tak juga terlihat batang hidungnya.

"Kalau dia tak kutemukan di sini, dia akan ku

hadang di dekat Pesisir Laut Utara. Aku harus cepat ke 

sana sebelum kedahuluan.... Tapi apakah...."

Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara nyanyian 

dari tempat yang tidak begitu jauh.

"Suaranya seorang perempuan. Jangan-jangan 

dia...," berpikir sampai di situ, murid Wong Agung ini 

segera berkelebat menuju sumber suara.

Sampai di tempat sumber suara nyanyian, yang 

ternyata sebuah sendang berair jernih, Aji menjadi ter-

kesiap. Sepasang matanya melotot besar dengan jakun 

bergerak turun naik tak beraturan, sementara dadanya 

berdetak kencang.

Gadis yang dia ikuti, ternyata sedang mandi se-

raya mendendangkan nyanyian. Mungkin karena tidak 

merasa dilihat orang, gadis ini dengan leluasa ber-

main-main di air sendang. Malah sesekali tubuhnya 

dia angkat ke atas, menampakkan sepasang dadanya 

yang membusung kencang, membuat Aji semakin 

membeliak.

"Gila! Benar-benar aduhai...," bisik Aji seraya me-

langkah perlahan menuju tempat yang agak terlin-

dung.

Prakkk!

Karena waktu melangkah pandangan mata Aji 

tertuju pada sang gadis, maka tanpa sengaja kaki ka-

nannya menginjak sebuah ranting kering. Hingga me-

nimbulkan bunyi agak keras.

Gadis cantik yang sedang mandi itu cepat berpal-

ing. Dia hanya selintas melihat berkelebatnya sebuah 

bayangan. Dengan menahan rasa kejut dan marah ga-

dis ini segera menyelam satu kali, lantas tiba-tiba 

muncul dengan kedua tangan dihantamkan pada arah 

berkelebatnya bayangan.

Serangkum angin deras menyambar dengan 

membawa hawa panas. Sebuah pohon besar tempat 

bersembunyinya sang bayangan tumbang dengan ba-

tang patah. Semak belukar di sekitarnya diterabas 

musnah dengan mengepulkan asap dan hangus!

Dan, begitu habis lancarkan pukulan, gadis ini 

dengan tubuh polos naik dari sendang dan melangkah 

cepat ke tempat dia meletakkan pakaiannya.

Setelah mengenakan pakaiannya, dia segera ber-

kelebat ke arah pohon yang tumbang, di mana tadi di-

lihatnya sang bayangan menyelinap pergi.

"Tukang intip busuk! Kukorek kedua biji mata-

mu!" kata sang gadis setengah berteriak sambil han-

tamkan kembali kedua tangannya.

Sebongkah sinar hitam berkilat melesat me-

nyambar keluar dari kedua tangan sang gadis. Suara 

laksana gelombang dahsyat melingkupi tempat itu. 

Hawa panas menyengat menebar.

Kejap itu juga kembali dua pohon besar gemere-

tak tumbang, semak belukar terbongkar hingga akar-

akarnya. Tanah bongkaran semak itu mengangkasa 

membuat tempat itu sejenak redup pekat.

Namun hingga tanah itu turun kembali ke ba-

wah, dan tempat itu kembali terang benderang, sang 

gadis tak menemukan bayangan yang dicarinya. Den-

gan muka merah padam menahan marah, gadis ini 

lantas melangkah meninggalkan sendang.

Tak jauh dari tempat sang gadis, Aji terperangah

kaget melihat pukulan gadis cantik yang diikutinya.

"Untung aku segera menyingkir. Jika tidak, aku 

akan hangus seperti batang pohon itu...," batin Aji 

sambil mengawasi sang gadis yang mulai melangkah 

menuju arah utara.

Hampir sampai Pesisir Laut Utara, mendadak ga-

dis ini hentikan larinya, membuat Aji mau tak mau ju-

ga hentikan larinya dan segera menyelinap ke balik 

semak belukar.

Pada saat itulah terdengar suara langkah-

langkah pelan mendatangi dari arah depan sang gadis. 

Sepasang mata Aji terbeliak lebar begitu melihat siapa 

gerangan orang yang melangkah menuju arah sang ga-

dis. Dia adalah seorang laki-laki mengenakan jubah

putih panjang. Rambutnya panjang demikian juga 

jenggotnya. Kedua matanya ditutup oleh sepotong kulit 

yang diikatkan ke belakang kepala.

"Eyang Wong Agung...," gumam Aji perlahan 

sambil memperlihatkan dengan seksama.

Gadis berbaju hijau tipis sejenak memandangi 

orang yang melangkah ke arahnya. Dahinya berkerut 

dengan bibir tersenyum sinis.

"Hmm.... Ternyata dia kutemukan di sini... Kebe-

tulan sekali!" gumam si gadis ketika mengenali siapa 

adanya orang yang kini semakin dekat dengan tempat-

nya berdiri. Begitu delapan langkah lagi sampai, gadis 

berbaju hijau ini angkat bicara.

"Tua bangka! Terimalah ajal kematianmu hari 

ini!"

Laki-laki berjubah putih dan bukan lain memang 

Wong Agung adanya serta merta hentikan langkahnya. 

Kepalanya dia luruskan ke depan seakan-akan kedua 

matanya memandang gadis di hadapannya. Bibirnya 

lantas menyunggingkan senyum dan dengan suara 

perlahan guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini berka-

ta.

"Gadis cantik. Kukira ajal kematian tidak diten-

tukan oleh seseorang. Tapi jika memang hari ini adalah 

saatnya, aku sudah siap! Hmm.... Siapa kau sebenar-

nya? Apa kau memang ingin menemuiku? Rasa-

rasanya aku belum pernah bertemu dengan kau...."

"Orang tua! Dengar baik-baik. Aku Ratih Purna-

masari, murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari dari pun-

cak Gunung Larantuka. Guruku menugaskan untuk 

mencari sekaligus membunuh!"

Dari tempat persembunyiannya, Pendekar Mata 

Keranjang 108 terkejut bukan alang kepalang menden-

gar pernyataan sang gadis. Sedari tadi dia memang telah curiga ada masalah antara gadis itu dengan gu-

runya, namun dugaannya tidaklah sejauh itu. Murid 

Wong Agung ini segera saja hendak keluar dari tempat 

persembunyiannya, namun niatnya dia urungkan 

tatkala dilihatnya Wong Agung tersenyum seraya ber-

kata.

"Gadis cantik! Agar masalah ini menjadi jernih, 

marilah kita bicara baik-baik!"

Gadis berbaju hijau tipis yang tadi menyebutkan 

nama Ratih Purnamasari tertawa bergelak mendengar 

perkataan Wong Agung. Namun secara tiba-tiba ta-

wanya dia putus, lalu dia berkata dengan tanpa me-

mandang.

"Kau tak perlu mengulur-ulur waktu. Semuanya 

sudah jelas bagiku! Yang kuperlukan sekarang adalah 

kepalamu!" 

Kembali Wong Agung hanya tersenyum menden-

gar ucapan gadis di hadapannya. Malah sesekali kepa-

lanya digeleng-gelengkan. Dia melangkah maju seraya 

berkata.

"Anak gadis! Sebelum kau menyelidiki benar ti-

daknya, kuharap kau tak ikut hanyut dalam deru per-

kataan orang, meski orang itu adalah gurumu sendiri. 

Karena jika tidak, kau akan ikut tenggelam dalam 

arus!"

Ratih Purnamasari mendengus keras seraya pa-

lingkan wajah, membuat kepala Wong Agung bergerak 

mengikuti arah berpalingnya Ratih Purnamasari.

"Orang tua! Jangan mimpi kau bisa mengalihkan 

niatku dengan segala kata-kata manismu! Aku telah 

tahu siapa kau dari kecil hingga tua bangka!"

Raut wajah Wong Agung sesaat berubah. Kening-

nya bertambah kerutan pertanda berpikir keras. Dia 

lalu sedikit mendongakkan kepalanya seraya digoyang

goyangkan perlahan ke kiri dan ke kanan.

"Kau mungkin dengar cerita tentang diriku dari 

gurumu. Benar?"

Ratih Purnamasari tidak menjawab. Dia hanya 

luruskan pandangannya dengan sepasang mata melo-

tot. Sementara kedua tangannya telah mengepal den-

gan kaki sedikit dipentangkan.

"Meski kau tak jawab tanyaku, aku tahu pasti. 

Lantas apakah pernah terlintas dalam benakmu, bah-

wa gurumu mengatakan apa adanya tanpa mengurangi 

dan menambahi?" sambung Wong Agung begitu di-

tunggu agak lama Ratih Purnamasari tidak membuka 

mulut untuk menjawab pertanyaannya.

"Kau jangan menambah dosamu dengan menu-

duh guruku menambah atau mengurangi cerita ten-

tang dirimu!"

Wong Agung tertawa pendek, lantas kembali ge-

leng-gelengkan kepala.

"Aku tidak menuduh gurumu. Hanya aku ber-

tanya padamu. Karena tatkala peristiwa antara aku 

dan gurumu terjadi, kau tentunya masih belum ada. 

Bukan tidak mungkin, gurumu sengaja menceritakan 

apa yang tidak terjadi dan tidak menceritakan apa 

yang terjadi!" Wong Agung terdiam sesaat, lalu me-

nyambung dengan suara makin perlahan.

"Sudahlah.... Urusan ini biar nanti kuselesaikan 

dengan gurumu! Katakan di mana sekarang gurumu 

berada!"

Ratih Purnamasari kembali keluarkan dengusan 

keras.

"Kau tak perlu tahu di mana guruku berada! 

Yang pasti, dia menantikan kedatanganku dengan 

penggalan kepalamu!"

"Kurang ajar! Gadis itu benar-benar mulutnya

minta dirobek!" gumam Aji dari tempatnya mengintip. 

Namun dia masih belum berniat untuk keluar, karena 

masih ingin melihat apa yang bakal terjadi.

"Anak gadis!" kata Wong Agung. "Dengarkan. 

Akan kujelaskan masalahku dengan gurumu. Setelah 

itu silakan kau ambil kesimpulan! Kalau...."

Belum sampai Wong Agung meneruskan kata-

katanya, Ratih Purnamasari telah menyela dengan su-

ara keras meradang.

"Aku tak butuh ceritamu! Yang kubutuhkan ada-

lah kepalamu!"

Habis berkata begitu, Ratih Purnamasari segera 

berkelebat dan tahu-tahu telah kirimkan serangan 

dengan pukulan kedua tangannya ke arah Wong 

Agung yang masih tampak tercekat kaget mendengar 

kata-kata Ratih Purnamasari.

Sebongkah sinar hitam melesat keluar dari kedua 

tangan Ratih Purnamasari. Keluarkan suara gemuruh 

dahsyat bak gelombang laut serta hawa panas me-

nyengat!

Dengan masih menahan rasa kejut, guru Pende-

kar Mata Keranjang 108 ini segera lesatkan diri ke 

udara. Namun ternyata pukulan Ratih Purnamasari ini 

sungguh luar biasa. Karena sebelum bongkahan hitam 

itu menghantam sasaran, serangkum angin dahsyat 

mendahului menyambar, hingga meski Wong Agung 

cepat lesatkan dirinya ke udara, tak urung bias angin 

itu menerpa tubuhnya, membuat lesatan tubuhnya se-

dikit melenceng.

"Pukulan bagus...," puji Wong Agung dari atas 

udara.

Ratih Purnamasari kertakkan rahang karena se-

rangannya dengan mudah dapat dielakkan oleh lawan, 

padahal lawan tidak bisa melihat! Diam-diam perasaan

keder mulai timbul di hati gadis cantik murid I Gusti 

Ayu Wayan Rikmasari ini. Namun dia tak menunjuk-

kan rasa itu, malah yang tampak adalah raut wajah-

nya yang merah mengelam dengan dagu membatu.

"Anak gadis!" kata Wong Agung begitu kedua ka-

kinya telah menjejak kembali di atas tanah. "Marilah 

kita bicara dari hati ke hati, agar masalah ini tidak 

berlarut-larut dan menimbulkan sesuatu yang tidak ki-

ta inginkan!"

"Teruslah kau bicara! Aku tak akan goyah dengan 

niatanku! Aku tidak sudi pulang berhampa tangan!" 

teriak Ratih Purnamasari lantang. Dia cepat lesatkan 

dirinya ke depan. Kedua tangannya dibuka dan sepa-

sang kakinya ditekuk sebatas lutut. Begitu lesatan tu-

buhnya satu tombak lagi menyambar tubuh Wong 

Agung, Ratih Purnamasari dorongkan kedua tangan-

nya sementara kakinya dia luruskan!

Wong Agung yang mendapat serangan dahsyat ini 

segera miringkan tubuhnya ke samping kanan, seraya 

rundukkan kepalanya. Terjangan sepasang kaki Ratih 

Purnamasari sejengkal menghantam angin di samping 

tubuh Wong Agung, sementara sambaran angin dah-

syat yang melesat dari dorongan tangannya hanya 

mampu membuat tubuh Wong Agung terhuyung-

huyung sebentar, lalu kembali berdiri kokoh dengan 

senyum masih tersungging.

"Keparat!" rutuk Ratih Purnamasari merasa di-

permainkan, karena sejauh ini Wong Agung hanya 

menghindar tanpa lancarkan serangan balasan, pa-

dahal jika mau kesempatan membalas pukulan itu 

ada.

"Tua Bangka! Balaslah menyerang. Jangan hanya 

menghindar seperti manusia tolol! Tunjukkan cerita 

nama besarmu!" teriak Ratih Purnamasari dengan senyum sinis.

Wong Agung tersenyum ramah. Kepalanya meng-

geleng perlahan.

"Orang tua seperti aku ini, sudah tidak layak ki-

ranya menunjukkan kehebatan ilmu silat. Justru ka-

lau kau tak keberatan, berilah aku jalan. Aku akan 

meneruskan perjalanan...."

Ratih Purnamasari merengut dengan buang mu-

ka. Dia tampaknya semakin jengkel mendapatkan per-

lakuan demikian. Maka dengan tanpa memandang dia 

berkata.

"Baiklah! Kau telah kuberi kesempatan untuk 

membalas serangan. Dan hal itu tak kau gunakan, 

maka jangan menyesal jika nantinya kau celaka tanpa 

bisa membalas!"

Habis berkata begitu, Ratih Purnamasari berkele-

bat. Dan mendadak sosoknya lenyap dari pandangan. 

Namun dikejap lain, tiba-tiba sosoknya menukik tajam 

dengan kaki menggunting ke arah kepala Wong Agung, 

sementara kedua tangannya memukul bertubi-tubi ke 

depan.

Bongkahan-bongkahan sinar hitam yang menge-

luarkan suara menggemuruh serta membawa hawa 

panas yang menyengat melesat bersusul-susulan.

Wong Agung yang tampaknya sudah waspada se-

gera buka kedua telapak tangannya dan didorong 

kuat-kuat ke depan.

Seberkas sinar putih menggebrak ke depan, me-

mapak serangan Ratih Purnamasari. 

Blarrr! Blarrr!

Terdengar beberapa kali letupan dahsyat tatkala 

kedua pukulan sakti itu bertemu di udara. Tempat itu 

bergetar hebat. Namun sejauh ini tubuh Wong Agung 

tidak bergeming sama sekali. Sementara di lain pihak,

tubuh Ratih Purnamasari terus meluncur di atas uda-

ra dengan kaki menggunting ke arah kepala Wong 

Agung.

Melihat luncuran tubuh lawan, Wong Agung se-

gera angkat kedua tangannya ke atas melindungi kepa-

lanya. Namun anehnya, begitu luncuran tubuh gadis 

ini hampir menghantam, gadis ini sentakkan pundak-

nya. Tubuhnya yang tadi lurus kini membumbung ke 

atas. Dari atas dengan gerak cepat dia membuat gera-

kan jungkir balik beberapa kali. Dan tiba-tiba saja se-

pasang kakinya menghantam ke arah dada dan pung-

gung Wong Agung!

Wong Agung yang mengangkat kedua tangannya 

untuk melindungi kepala tersipu. Namun dia cepat ki-

baskan kembali kedua tangannya ke bawah, begitu 

merasa angin deras menyambar ke arah dada dan 

punggungnya. 

Prakkk! Prakkk!

Terdengar dua kali benturan keras. Ketika kedua 

tangan Wong Agung bentrok dengan kedua kaki Ratih 

Purnamasari.

Gadis cantik ini keluarkan jeritan tertahan. Tu-

buhnya mental balik dan melayang jauh ke belakang 

sampai tiga tombak dan berputaran di atas tanah.

Sementara Wong Agung sendiri hanya tersurut 

satu tindak ke belakang. Seraya menyunggingkan se-

nyum, Wong Agung melangkah perlahan ke arah Ratih 

Purnamasari yang saat ini merambat bangkit dengan 

memandang tak berkedip ke arah Wong Agung.

Melihat kejadian ini, Aji segera berkelebat keluar 

dari tempat persembunyiannya seraya berseru. 

"Eyang....!"

Ratih Purnamasari palingkan wajah dan kelua-

rkan seruan tertahan ketika mengetahui siapa adanya

orang yang berseru. Di lain pihak, Aji tak menghirau-

kan pandangan heran Ratih Purnamasari. Dia mende-

kat ke arah Wong Agung dan menjura hormat.

"Jahanam! Apa hubungannya antara pemuda itu 

dengan keparat tua bangka itu? Apakah dia muridnya? 

Jika benar, berarti dialah pemuda yang bergelar Pen-

dekar Mata Keranjang 108.... Keparat benar! Dia telah 

menipuku!" batin Ratih Purnamasari seraya terus 

mengawasi Aji tanpa kesiap!

"Eyang... Kenapa kau diamkan saja gadis liar itu 

menghantammu?" berkata Aji seraya lirikkan sepasang 

matanya pada Ratih Purnamasari.

Wong Agung tersenyum.

"Aji.... Jika aku melawannya, mana perbedaan 

antara orang tua dan anak muda? Lagi pula masalah 

ini hanyalah salah paham. Dia termakan kata-kata 

orang yang menjelek-jelekkan diriku...."

"Tapi tingkahnya bisa mencelakakan jiwamu!" ka-

ta Aji seraya palingkan wajahnya pada Ratih Purnama-

sari. Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang 108 

berkilat merah. Dia melangkah maju. Namun baru dua 

langkahan kaki, gadis berbaju hijau telah angkat bica-

ra.

"Laki-laki pembual! Ternyata kau kaki tangan tua 

bangka itu. Bagus...! Bersiaplah kalian berdua untuk 

mati satu kubur bersama!" teriak Ratih Purnamasari 

seraya hantamkan kedua tangannya ke arah Aji.

"Aji.... Jangan dilawan. Hindari saja! Dia sedang 

emosi...," bisik Wong Agung perlahan.

Sebenarnya Aji tak tahan dengan perlakuan gadis 

di hadapannya, namun karena gurunya menyarankan 

untuk menghindar, mau tak mau Aji menuruti. Dia 

lantas berkelebat ke samping kiri begitu bongkahan 

asap hitam menggebrak ke arahnya.

Bongkahan asap hitam itu menghajar tempat ko-

song, membuat Ratih Purnamasari semakin merah 

mengelam wajahnya.

"Hmm.... Orang yang mengintipiku saat mandi di 

sendang, mungkin saja pemuda ini.... Buktinya, dia te-

lah berada di sini. Berarti dia mengikuti perjalanan-

ku.... Kurang ajar!" kata Ratih Purnamasari dalam hati 

seraya menatap tajam pada Pendekar 108 dengan ta-

tapan lain. Di seberang, murid Wong Agung ini juga 

memandangi gadis berbaju hijau dengan pandangan 

aneh. Malah sebentar kemudian bibir murid Wong 

Agung ini sunggingkan senyum, membuat Ratih Pur-

namasari jadi jengah sendiri. Dia merasa yakin, bahwa 

orang yang mengintipnya sewaktu mandi di sendang 

adalah pemuda di hadapannya ini.

Entah merasa malu atau jengkel, gadis yang 

mengaku sebagai murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari 

ini cepat palingkan wajahnya memandang jurusan 

lain. Sekilas Aji dapat menangkap rona merah di pipi 

sang gadis.

Lalu tanpa berkata apa-apa, gadis berbaju hijau 

ini balikkan tubuh dan melangkah pergi.

"He.... Tunggu!" tahan Aji sambil melangkah hen-

dak menyusul. Namun pundaknya segera dicekal oleh 

Wong Agung.

"Untuk sementara ini biarkan dia pergi. Suatu 

waktu nanti kau pasti akan bertemu dengannya la-

gi...."

"Eyang.... Siapakah dia sebenarnya? Dan ada 

masalah apa sebenarnya?"

Untuk beberapa saat lamanya Wong Agung tidak 

segera menjawab. Dia hanya batuk-batuk seraya men-

gelus jenggotnya dan mengencangkan ikatan potongan 

kulit di belakang kepalanya. Setelah agak lama baru

dia menjawab.

"Kalau mendengar kata-katanya, dia mengaku 

murid I Gusti Ayu Wayan Rikmasari. Seorang tokoh si-

lat dari daratan pulau Dewata yang dahulu pernah ma-

lang melintang di pulau Jawa. Dia sebenarnya seorang 

tokoh netral. Tidak berpihak pada golongan putih juga 

pada golongan hitam. Seperti halnya tokoh-tokoh masa 

lalu, I Gusti Ayu Wayan Rikmasari datang ke pulau 

Jawa untuk menambah pengalaman juga untuk men-

cari jejak kekasihnya. Sayangnya dia terlambat datang. 

Karena sewaktu dia datang, kekasihnya telah tewas. 

Kekasihnya tewas di tanganku, karena kekasih perem-

puan itu adalah seorang tokoh golongan hitam yang 

menyamar sebagai seorang pendeta...." Sejenak Wong 

Agung hentikan keterangannya. Setelah batuk-batuk 

tiga kali, dia melanjutkan ucapannya.

"Hanya saja, beberapa waktu yang lalu aku keda-

tangan dua orang. Aku benar-benar hampir tak per-

caya, karena dua orang tersebut mengaku utusan se-

seorang yang bernama Dadaka Lanang...."

"Dadaka Lanang?" ulang Aji. "Siapa dia...?"

"Dialah kekasih I Gusti Ayu Wayan Rimaksari..."

"Jadi dia belum tewas...?" simpul Aji agak heran. 

"Begitulah. Mungkin saat itu aku salah lihat. Ka-

rena kukira Dadaka Lanang telah tewas. Dan menilik 

pukulan yang dimiliki dua utusan yang mengaku mu-

rid Dadaka Lanang, aku yakin Dadaka Lanang me-

mang masih hidup!"

"Berarti ada hubungannya antara kejadian akhir-

akhir ini dengan peristiwa beberapa tahun silam itu...," 

gumam Aji perlahan seakan berkata pada diri sendiri.

"Maksudmu...?" tanya Wong Agung sedikit heran.

"Dalam perjalananku, di beberapa tempat aku 

mendapati pembantaian. Dan menurut seorang yang

sempat berkata sebelum mati, dia mengatakan bahwa 

yang melakukan pembantaian itu adalah dua orang 

yang berpakaian mirip pendeta...."

Wong Agung sedikit tersentak kaget. Dia lantas 

melangkah mendekati sebuah pohon, yang kemudian 

diikuti oleh Aji. Setelah duduk berhadapan di bawah 

pohon, Wong Agung berkata.

"Kau tak boleh menuduh begitu saja sebelum ta-

hu buktinya.... Mungkin saja orang yang mengatakan 

itu salah ucap karena dalam keadaan meregang nya-

wa. Atau kau memang punya bukti-bukti kuat?"

"Di dada tiap-tiap orang yang terbantai, terdapat 

bekas telapak tangan, dan aku dapat memastikan hal 

itu dilakukan oleh dua orang, karena antara telapak 

tangan satu dengan lainnya besarnya tidak sama...."

"Tapak Geni!" ujar Wong Agung setelah menden-

gar keterangan Aji.

"Hmm.... Kini aku yakin. Bahwa dua orang yang 

kemari itulah yang melakukan pembantaian itu. Dan 

aku percaya, mereka berdua adalah murid Datuk 

Lembah Neraka. Karena yang mempunyai pukulan itu 

hanyalah dia!"

"Datuk Lembah Neraka...?"

"Ya. Datuk Lembah Neraka adalah gelar daripada 

Dadaka Lanang...!"

"Tapi, apa maksudnya dengan pembantaian 

itu...?" tanya Aji dengan menatap tajam pada gurunya.

"Aku belum bisa menduga. Hanya saja, satu hal 

yang pasti, perbuatan mereka harus secepatnya dihen-

tikan! Dan itu menjadi tugasmu!"

Murid Wong Agung ini mengangguk perlahan. 

Sementara Wong Agung tengadahkan kepalanya sea-

kan memandang langit. Lalu dia berkata.

"Nampaknya hari akan senja. Aku harus segera

kembali ke Karang Langit. Kau pergilah. Tugas telah di 

tanganmu! Dan jika kau bertemu dengan murid I Gusti 

Ayu Wayan Rikmasari, kau bisa menjelaskan duduk 

persoalan yang sebenarnya.... Selamat tinggal, Murid-

ku...."

Habis berkata, Wong Agung bangkit dan berkele-

bat ke arah pesisir. Sebenarnya Aji ingin menahan ke-

pergian gurunya. karena masih ada sesuatu yang ingin 

ditanyakan. Namun sebelum Aji berucap, Wong Agung 

telah lenyap dari pandangan.

"Aku harus segera kembali ke dusun itu...," 

membatin Pendekar 108 seraya berkelebat ke arah dari 

mana dia tadi datang.

***

LIMA


DUA orang berpakaian kuning dengan kepala 

gundul tampak berkelebat ke sana kemari. Bersamaan 

dengan kelebatnya terdengar suara jeritan menyayat 

susul menyusul dari sebagian penduduk Dusun Ma-

jang Tengah. Namun jeritan menyayat itu rupanya tak 

sedikit pun membuat kedua orang ini hentikan perbu-

atannya, malah keduanya semakin membabi-buta! 

Hingga tak bisa dihindari jatuhnya korban lebih ba-

nyak lagi, tanpa sedikit pun ada perlawanan.

Setelah dirasa tak ada lagi yang tersisa, kedua 

orang ini keluarkan tawa bergelak-gelak.

"Paladasa. Kita tinggalkan tempat ini. Kita cari 

mangsa di tempat lain. Agar jerat yang kita pasang ini 

lekas termakan!" kata orang berpakaian kuning gundul

dengan tubuh tinggi kurus yang bukan lain adalah Jalu Kembara. 

"Aku agak kurang pas dengan jerat seperti ini. 

Karena telah sekian lama kita terapkan, orang yang ki-

ta harapkan kemunculannya dengan adanya pemban-

taian ini, ternyata tidak tampak batang hidung-nya. 

Apa tidak sebaiknya kita langsung mencarinya...?" ka-

ta yang satunya yang bertubuh tinggi besar, dan bu-

kan lain adalah Wisnu Paladasa.

Mendengar ucapan Wisnu Paladasa, Jalu Kemba-

ra tertawa ngakak. Seraya mengusap-usap kepalanya 

yang keringatan, dia berkata.

"Jika kita tahu di mana beradanya dia, aku pun 

tak mau melakukan hal seperti ini. Karena selain tak 

ada gunanya, juga membuang-buang tenaga! Namun, 

kurasa hanya inilah satu-satunya jalan untuk menarik 

Pendekar Mata Keranjang 108 muncul mencari kita. 

Sebagai pendekar muda, dia tak akan tinggal diam me-

lihat kejadian-kejadian seperti ini. Dan dalam setiap 

aksi, kita akan menyisakan seseorang, agar dia bisa 

bicara dan menceritakan tentang kita...!"

"Tapi sampai kapan...?"

"Waktu nanti yang menentukan pertanyaanmu 

itu!" jawab si tinggi kurus Jalu Kembara sedikit jeng-

kel. Dia pandangi saudara seperguruannya itu dengan 

sedikit melotot. Lalu dengan suara agak tinggi dia lan-

jutkan ucapannya.

"Kita lanjutkan perjalanan!"

Meski agak geram dibentak begitu, si tinggi besar 

Wisnu Paladasa mau tidak mau mengikuti perkataan 

si tinggi kurus Jalu Kembara. Namun baru saja kedua 

orang ini balikkan tubuh hendak melangkah pergi ter-

dengar suara menegur dengan berkelebatnya sesosok 

bayangan. 

"Berhenti! Manusia-manusia pembuat malapetaka!"

Dengan sedikit menahan rasa terkejut, kedua 

orang ini palingkan kepala masing-masing ke arah da-

tangnya teguran.

"Keparat! Kukira orang yang selama ini kucari!" 

rutuk Wisnu Paladasa begitu mengetahui siapa adanya 

orang yang menegur. Matanya memandang tajam. Bi-

birnya tersenyum sinis dengan dagu agak ter-angkat. 

Tampaknya si tinggi besar Wisnu Paladasa tidak se-

nang ditegur demikian.

Namun tidak demikian halnya dengan si tinggi 

kurus Jalu Kembara. Dia memandangi dengan sepa-

sang mata disipitkan dan dilebarkan. Bibirnya terse-

nyum penuh arti, sementara jakunnya segera turun 

naik.

Ternyata, di hadapan kedua orang berpakaian 

kuning ini berdiri seorang gadis berbaju hijau tipis. 

Rambutnya panjang sebahu dengan dada membusung 

menantang. Sepasang matanya bulat.

Sejenak kedua laki-laki gundul berpakaian mirip 

pendeta ini saling pandang satu sama lain. Sebentar 

kemudian dari mulut kedua orang ini keluar suara ta-

wa. Seraya tertawa tak henti-hentinya kedua orang ini 

usap-usap kepalanya dengan memandangi gadis di 

hadapannya dari atas hingga bawah.

Namun secara serentak mendadak saja kedua la-

ki-laki ini hentikan tawanya masing-masing. Si tinggi 

kurus Jalu Kembara yang tampaknya terkesima den-

gan kecantikan gadis berbaju hijau melangkah satu 

tindak ke depan lalu membuka mulut.

Tapi sebelum ucapan keluar dari mulutnya, gadis 

berbaju hijau yang bukan lain adalah Ratih Purnama-

sari kibaskan tangan kanannya. Bersamaan dengan 

bergeraknya tangan, menderu angin kencang melesat

menyambar pada Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa, 

membuat kedua laki-laki ini cepat-cepat hindarkan diri 

masing-masing dengan tarik sedikit tubuhnya ke 

samping.

"Kau tidak pantas bertanya padaku. Jawab saja 

pertanyaanku jika kalian ingin panjang umur!"

Kembali kedua orang laki-laki ini saling berpan-

dangan. Bibir mereka saling tersenyum.

"Gadis galak begini, begitu mengasyikkan di atas 

ranjang. Kau percaya itu?" kata si tinggi kurus Jalu 

Kembara seraya tertawa pendek, membuat Ratih Pur-

namasari berubah wajah. Matanya mendelik dengan 

dada sedikit bergetar menahan marah.

"Bukan hanya mengasyikkan, sekaligus berapi-

api dan selalu ingin tambah lagi. Ha... ha... ha...!" tim-

pal si tinggi besar Wisnu Paladasa seraya ikut-ikutan 

melangkah maju menjajari Jalu Kembara.

Ratih Purnamasari semakin mengelam paras wa-

jahnya. Matanya semakin membelalak. Dengan tanpa 

berkata lagi, gadis cantik ini dorongkan kedua tangan-

nya ke depan. Sebongkah sinar hitam menyambar ce-

pat, keluarkan suara menggemuruh serta hawa panas 

menyengat!

Wisnu Paladasa hentikan tawanya tiba-tiba, se-

mentara Jalu Kembara pupuskan senyumnya. Dua 

murid Datuk Lembah Neraka ini diam-diam jadi terke-

siap. Mereka sama sekali tak menduga jika gadis di 

hadapan mereka mempunyai pukulan bertenaga dalam 

demikian hebat. Namun karena yang mereka hadapi 

adalah seorang perempuan muda, mereka tak hendak 

menunjukkan rasa terperangahnya. Mereka menyem-

bunyikan perasaan terkesiapnya dengan tertawa lebar 

seraya lesatkan diri masing-masing ke samping kanan 

dan kiri, menghindari serangan Ratih Purnamasari.

Namun tak urung kedua orang ini begitu terkejut, ka-

rena bersamaan dengan menghindarinya mereka, an-

gin deras menyambar, membuat kedua orang ini ter-

huyung-huyung sebentar. Untung mereka segera sa-

dar, hingga begitu mereka dapat kuasai keadaan, me-

reka berdua cepat pukulkan kedua tangan masing-

masing memapak serangan sang gadis. 

Wuutt! Wuutt!

Dua larikan sinar Kuning redup melesat ke de-

pan. Bersamaan dengan itu, kedua laki-laki ini segera 

pula menyingkir ke samping kanan dan kiri. Dan dari 

tempatnya ini, secara serentak pula kedua orang ini 

lancarkan kembali serangan!

Plaarr! Plaarrr!

Terdengar letupan beberapa kali ketika dua se-

rangan sama-sama teraliri tenaga dalam tinggi itu ben-

trok di udara. Tubuh Ratih Purnamasari tersurut tiga 

langkah ke belakang, dadanya berdenyut nyeri. Namun 

gadis ini segera salurkan tenaga dalam untuk menga-

tasi rasa nyeri dadanya. Saat itulah, larikan sinar kun-

ing redup melabrak dari arah samping kanan dan ki-

rinya!

Didahului bentakan melengking tinggi, Ratih 

Purnamasari lentingkan tubuhnya ke udara. Setelah 

membuat gerakan berputar-putar beberapa kali di 

udara gadis ini mendarat dengan kaki terpentang ko-

koh!

Wisnu Paladasa serta Jalu Kembara sama-sama 

kertakkan rahang masing-masing mendapati serangan 

susulannya dapat dihindari lawan. Jalu Kembara lirik-

kan sepasang matanya yang sipit pada Wisnu Palada-

sa. Kedua laki-laki gundul saling gerakkan kepalanya 

mengangguk. Tiba-tiba keduanya berkelebat kirimkan 

kembali serangan!

Empat larik sinar kuning redup kembali me-

nyambar ke arah Ratih Purnamasari. Dua melarik me-

nuju arah kepala, dua lainnya melarik ke arah tubuh 

bagian bawah.

Walaupun tak terkejut melihat serangan lawan, 

namun gadis ini tak mau bertindak ayal. Dia cepat me-

lompat ke samping seraya kirimkan serangan balasan!

Plaarr! Plaaarrr!

Terdengar kembali suara letupan berturut-turut. 

Namun karena Ratih Purnamasari sendirian, sementa-

ra lawan dua orang, membuat tubuhnya gadis ini ter-

huyung-huyung ke belakang begitu bentrok pukulan 

terjadi.

Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh si tinggi 

kurus Jalu Kembara. Dia segera lesatkan dirinya me-

nyongsong ke arah tubuh Ratih Purnamasari. Kedua 

kakinya menghujam menyilang.

Karena demikian cepatnya gerakan Jalu Kemba-

ra, membuat Ratih Purnamasari tak ada waktu lagi 

untuk menghindar. Hingga saat itu juga tanpa ampun 

lagi kaki Jalu Kembara menggebrak serta bergerak 

menyamping!

Desss!

Ratih Purnamasari keluarkan seruan tertahan. 

Tubuhnya terbanting ke samping dan menyusur ta-

nah. Dari sudut bibirnya keluar darah segar begitu ga-

dis ini merambat bangkit. Namun sebelum benar-

benar bangkit, kembali Jalu Kembara lancarkan se-

rangan. Kali ini dengan melompat ke depan, dan serta 

merta sapukan kaki kanannya!

Wuuuttt!

Ratih Purnamasari menggerutu panjang pendek. 

Sebelum sapuan kaki itu datang, gadis ini segera re-

bahkan kembali tubuhnya sejajar tanah. Lalu dengan

cepat tubuhnya bergulir bergulingan di atas tanah. 

Hebatnya, sebelum bergulingan, kaki kirinya masih 

sempat bergerak ke kanan, menghantam kaki kiri Jalu 

Kembara yang dipakai untuk tumpuan tubuhnya.

Wuuttt!

Jalu Kembara terkejut. Karena kaki kanannya 

sedang bergerak ke depan, dia tak mampu lagi untuk 

menghindar, hingga kejap itu juga tubuhnya terjeng-

kang ke belakang!

"Jahanam busuk! Gerakannya cepat luar biasa!" 

gumam Jalu Kembara dengan wajah merah padam. 

Dia merasakan pantatnya melesak, karena dia bertu-

buh kurus.

Melihat saudaranya bisa dibuat terjengkang, si 

tinggi besar Wisnu Paladasa segera menyusul gulingan 

tubuh Ratih Purnamasari. Dan begitu gulingan tubuh 

gadis ini terhenti, Wisnu Paladasa cepat hantamkan 

tangannya seraya sedikit bungkukkan tubuhnya.

Beett! Beett!

Selarik angin kencang melesat mendahului sebe-

lum kepalan tangan itu datang!

Meski Ratih Purnamasari tahu, bahwa tingkat 

kepandaian Wisnu Paladasa sedikit di bawah Jalu 

Kembara, namun dia tak berani main-main. Seraya mi-

ringkan tubuhnya, kedua tangannya dia angkat ke 

atas dan dihantamkan menyamping.

Prakkk! Prakkk!

Terdengar dua kali benturan keras. Wisnu Pala-

dasa terseret ke belakang hingga lima langkah, dua 

tangannya terasa ngilu bukan main. Dadanya bergetar 

dan sesak. Di lain pihak, Ratih Purnamasari tubuhnya 

kembali bergulingan.

"Paladasa! Kita harus cepat selesaikan kunyuk 

ini! Tugas kita masih banyak!" berkata Jalu Kembara

seraya memberi isyarat dengan kerdipkan sebelah ma-

tanya.

Tahu isyarat, Wisnu Paladasa anggukkan kepala. 

Dan bersamaan dengan itu tubuhnya melesat ke de-

pan seraya kirimkan serangan. Sebenarnya serangan 

yang dilancarkan Wisnu Paladasa ini hanyalah untuk 

membagi perhatian Ratih Purnamasari. Karena sewak-

tu Wisnu Paladasa lancarkan serangan dan Ratih Pur-

namasari siap menangkal, diam-diam Jalu Kembara 

takupkan kedua tangannya di depan dada, sepasang 

matanya terpejam rapat, mulutnya berkemik.

Di lain pihak, Ratih Purnamasari segera tarik ke-

dua tangannya sedikit ke belakang, dan serta merta 

didorong kuat-kuat seraya membentak garang.

Plaarrr!

Kembali terdengar letupan tatkala serangan yang 

dilancarkan Wisnu Paladasa bentrok dengan pukulan 

Ratih Purnamasari. Namun saat itu juga, tanpa diduga 

sama sekali oleh Ratih Purnamasari, Jalu Kembara 

buka kedua telapak tangannya dan dihantamkan ke 

depan!

Wuuuttt!

Asap hitam yang membentuk batangan laksana 

pohon kelapa melesat deras ke arah Ratih Purnamasa-

ri. Dua batangan itu bergerak berputar-putar laksana 

baling-baling sementara satunya bergerak lurus. Ke-

dua batangan tersebut keluarkan suara berdesis-desis!

Dari uap dingin yang keluar serta desisan yang 

menyertai dua batang asap yang membentuk batan-

gan, Ratih Purnamasari segera maklum bahwa seran-

gan yang kini meluruk ke arahnya tidaklah bisa diang-

gap sebelah mata.

Didahului bentakan nyaring, gadis ini cepat geser 

kakinya hingga tiga langkah ke samping kanan. Dari

sini, dia segera pula hantamkan kedua tangannya me-

rentang!

Sebongkah sinar hitam melesat melengkung me-

nerabas batangan asap dari samping kanan ke samp-

ing kiri.

Bummm!

Satu ledakan dahsyat mengguncang tempat itu.

Satu batangan asap hancur berkeping-keping. 

Namun satunya lagi terus bergerak laksana baling-

baling. Suara desis yang keluar semakin keras!

Dengan tengkuk sedikit dingin, Ratih Purnama-

sari rebahkan tubuhnya ke belakang. Sepasang ka-

kinya lantas dia angkat tinggi-tinggi, membuat sepa-

sang pahanya yang putih mulus terlihat jelas. Sepa-

sang mata Jalu Kembara serta Wisnu Paladasa mem-

beliak lebar tak kesiap.

Sewaktu Ratih Purnamasari angkat sepasang ka-

kinya itulah, batangan itu meledak. Demikian dah-

syatnya ledakan itu, hingga biasnya mampu membuat 

tubuh Ratih Purnamasari membumbung sampai satu 

tombak ke udara. Karena sewaktu meledak batangan 

itu mengeluarkan pijaran yang menebar ke mana-

mana dan sebagian menerabas ke arah Ratih Purna-

masari, membuat gadis ini meraung keras. Tubuhnya 

yang membumbung tidak mampu lagi dia kuasai, 

hingga saat itu juga tubuhnya kembali menukik ke 

bawah dan jatuh telentang!

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-sama 

berpandangan. Lantas dari mulut keduanya keluar su-

ara tawa panjang. Namun Jalu Kembara segera henti-

kan suara tawanya begitu melihat Ratih Purnamasari 

menggeliat hendak bangkit. 

Secepat kilat laki-laki tinggi kurus ini segera ber-

kelebat dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di samping Ratih Purnamasari dan kedua tangannya siap be-

kerja menotok peredaran darah gadis di sebelahnya!

Ratih Purnamasari menjerit tertahan.

"Bangsat keji! Laki-laki pengecut! Bebaskan aku!" 

teriak Ratih Purnamasari tanpa bisa menggerakkan 

tangan dan kakinya. Kaki dan tangannya terasa lun-

glai.

Jalu Kembara tertawa mengekeh. Sepasang ma-

tanya yang sipit membeliak besar. Apalagi tatkala dili-

hatnya dada gadis di sampingnya berguncang turun 

naik, seiring bergetarnya dada menahan rasa geram 

dan marah.

"Jahanam! Setan alas! Cepat bebaskan aku!" 

kembali Ratih Purnamasari berteriak lantang. Namun 

karena hanya bisa berteriak tanpa bisa berbuat apa-

apa, maka teriakannya hanya dijawab dengan kekehan 

tawa oleh Jalu Kembara, malah tatkala gadis ini hen-

dak buka mulutnya kembali, Jalu Kembara angkat bi-

cara dengan nada keras.

"Sekali lagi kau bicara tak karuan, kau akan me-

rasakan digilir tiga hari tiga malam tanpa henti! Men-

gerti?!"

Ratih Purnamasari urungkan niat buka mulut 

mendengar ancaman orang, malah matanya nampak 

meredup mengisyaratkan ketakutan luar biasa. Namun 

justru hal ini membuat Jalu Kembara semakin terpe-

sona dengan gadis ini. Dia lalu melangkah mendekat. 

Ratih Purnamasari yang merasa tahu apa yang hendak 

dilakukan oleh Jalu Kembara segera berkata.

"Kalau kau menyentuhku, kubunuh kau!"

Mendengar ancaman, Jalu Kembara palingkan 

wajah pada Wisnu Paladasa. Dan serta merta tawanya 

pun meledak.

"Paladasa. Kau dengar kata-katanya? Dia akan

membunuhku jika kusentuh. Lantas kalau kutiduri, 

aku akan dia apakan...?"

"Kau jangan terkejut. Perempuan di mana-mana 

begitu. Dia lebih pandai menyimpan nafsu di balik ka-

ta-katanya!" sambung si tinggi besar Wisnu Paladasa 

seraya ikut-ikutan tertawa. Dan dia pun melangkah 

mendekat.

Ratih Purnamasari makin merah mengelam pa-

rasnya. Bahkan kini tampak memutih bagaikan kapas 

ketika dilihatnya Wisnu Paladasa yang bertubuh tinggi 

besar melangkah ke arahnya. 

"Celaka! Apa yang harus kuperbuat sekarang?" 

membatin Ratih Purnamasari. Dia diam-diam kerah-

kan tenaga dalamnya untuk membebaskan diri dari to-

tokan Jalu Kembara. Namun usahanya tidak berhasil. 

Malah ketika Jalu Kembara mengetahui Ratih Purna-

masari hendak berusaha membebaskan diri, dia marah 

besar. Kedua tangannya segera berkelebat cepat, 

dan....

Brett! Brettt!

Baju hijau Ratih Purnamasari robek besar di ba-

gian perut dan dada sebelah kiri, membuat dadanya 

yang membusung menantang itu menyembul jelas. 

Sementara kulitnya yang putih di bagian perut juga je-

las terlihat. Hingga membuat dua pasang mata laki-

laki di dekat gadis ini melotot besar. Di lain pihak, Ra-

tih Purnamasari keluarkan jeritan tertahan. Namun 

hanya itu yang bisa dia lakukan. Paras wajahnya telah 

pias. Bahkan untuk angkat bicara pun sepertinya su-

dah demikian berat.

Sementara itu, dua orang murid Datuk Lembah 

Neraka yang pada dasarnya memang suka perempuan 

ini cuping hidung masing-masing membengkak kelua-

rkan desahan napas memburu. Jakun masing-masing

pulang balik turun naik tidak beraturan. Bahkan kepa-

la Jalu Kembara bergerak ke kiri kanan seakan men-

gagumi apa yang ada di hadapannya. Lalu sepertinya 

tak sabar, laki-laki tinggi kurus ini memandang pada 

saudara seperguruannya dan berkata.

"Paladasa. Aku yang menaklukkan kunyuk ini. 

Jadi sudah layak bila aku yang mendapat jatah perta-

ma! Kau tunggulah agak jauh! Atau kau perlu menon-

ton dahulu?!"

Wisnu Paladasa tidak menyahut ucapan sauda-

ranya. Dia hanya melambaikan tangan kanannya, 

memberi isyarat agar Jalu Kembara mendekat ke 

arahnya.

Meski mengomel panjang pendek, namun Jalu 

Kembara melangkah juga mendekat. Dan begitu dekat 

dia langsung ajukan pertanyaan.

"Apa kau minta dahulu?"

Wisnu Paladasa gelengkan kepala. Dia berucap 

perlahan.

"Apa kau lupa syarat yang dikatakan Datuk Lem-

bah Neraka? Segala ilmu yang kita miliki akan lenyap 

begitu kita menggauli perempuan! Atau kau memang 

menginginkan hal itu?"

Sejenak Jalu Kembara lepaskan napas dalam-

dalam. Dia seakan baru tersadar. Namun entah karena 

kuatnya amukan nafsu yang telah mendera tubuhnya, 

dia menyahut ucapan Wisnu Paladasa seraya paling-

kan wajahnya pada Ratih Purnamasari.

"Apa kau percaya ucapan Guru?"

"Sepenuhnya tidak. Namun setidaknya untuk 

saat ini belum saatnya kita mencoba melanggar, kare-

na tugas kita masih banyak. Kita akan rugi waktu dan 

tenaga jika segalanya hanya akan berakhir gara-gara 

perempuan! Toh kita nantinya dapat merasakan yang

bagaimanapun bentuknya jika cita-cita kita tercapai! 

Pikirkan itu!"

"Sialan! Setan busuk!" keluar sumpah serapah 

tak karuan dari mulut Jalu Kembara.

"Kembara!" sambung Wisnu Paladasa dengan 

memandang pada jurusan lain. "Kau sementara ini ha-

rus dapat menahan nafsu. Namun karena gadis itu te-

lah menghina kita, maka layak jika dia kita kasih pela-

jaran...!"

Kembali Jalu Kembara menarik napas dalam da-

lam. Dia sepertinya masih begitu menyayangkan ke-

sempatan baik ini. Namun setelah agak lama berdiam 

diri, dia akhirnya melangkah maju mendekati Ratih 

Purnamasari.

"Ingat! Jika kau masih bersikeras hendak ber-

buat yang tidak-tidak, kau akan kukejar ke mana pun 

kau lari!" berkata Ratih Purnamasari yang tampaknya 

mulai bangkit kembali keberaniannya.

Jalu Kembara tidak menyambuti kata-kata Ratih 

Purnamasari. Sepasang matanya memandang tak ke-

siap, membuat gadis yang dipandangi jengah dan 

buang muka.

"Laki-laki pengecut! Beraninya hanya pada pe-

rempuan yang sedang tidak berdaya!" sambung Ratih 

Purnamasari ketika diliriknya Jalu Kembara hanya 

memandangi dirinya tanpa sepatah kata pun terucap 

dari mulutnya.

Kali ini, mendengar ucapan Ratih Purnamasari, 

Jalu Kembara merah padam mukanya. Nafsunya yang 

tadi sudah naik ke ubun-ubun perlahan tertindih oleh 

hawa amarah. Dan serta merta tanpa berkata-kata la-

gi, tangan kirinya bergerak ke arah muka. 

Plak!

Tamparan tangan kiri dengan keras menghajar

pipi kanan Ratih Purnamasari, membuat gadis ini ter-

banting di atas tanah dengan jeritan tertahan. Dari se-

la bibirnya yang pecah, nampak mengalir darah segar!

"Jahanam! Laki-laki terkutuk!" maki Ratih Pur-

namasari begitu tubuhnya terkapar di atas tanah. Dia 

kembali mencoba kerahkan tenaga luar dan dalam un-

tuk membebaskan diri dari totokan Jalu Kembara, 

namun usahanya tak juga berhasil. Malah kini Jalu 

Kembara kembali mendekat ke arahnya. Paras wajah 

laki-laki ini telah berubah. Bibirnya tersenyum sinis. 

Disangkanya hendak menghajar kembali, ketika begitu 

dekat, Ratih Purnamasari tak memandangnya, malah 

dia pejamkan sepasang matanya dengan bibir saling 

menggigit.

Namun apa yang diduga Ratih Purnamasari me-

leset. Begitu dekat, Jalu Kembara segera kelebatkan 

tangan kirinya.

Brettt!

Kembali baju bagian dada sebelah kanan milik 

Ratih Purnamasari mengaga lebar, hingga kini dada 

sebelah kanan dan kiri terlihat jelas terpentang.

Bukan hanya sampai di situ, begitu kedua dada 

Ratih Purnamasari telah berhasil dibuka, Jalu Kemba-

ra bungkukkan tubuh. Mungkin hendak menyentuh 

atau kembali hendak merobek pakaian bagian bawah. 

Pada saat itulah terdengar orang berteriak.

"Tampaknya tua-tua masih juga mengingini seo-

rang dara. Apa memang betul bahwa hal itu sebagai 

obat awet muda?! Ha... ha... ha...!"

Begitu suara tawa lenyap serangkum angin keras 

melesat menyambar ke arah Jalu Kembara.

"Kembara! Awas ada seseorang membokong!" in-

gat Wisnu Paladasa.

Jalu Kembara cepat palingkan wajah dan tegak

kan tubuh. Dan serta merta bertindak cepat dengan 

melompat ke samping kanan. Namun gerakannya se-

dikit terlambat. Meski tubuhnya selamat dari hajaran 

telak angin yang menyambar, namun baju kuningnya 

sempat tersambar, hingga baju itu robek di bagian 

pinggang!

"Bangsat! Kupecahkan kepalamu!" maki Jalu 

Kembara seraya layangkan pandangannya mencari ta-

hu siapa adanya orang yang ikut campur urusannya, 

demikian halnya Wisnu Paladasa dan Ratih Purnama-

sari.

***

ENAM


SEPULUH langkah di samping kanan Jalu Kem-

bara, tegak berdiri seorang pemuda mengenakan pa-

kaian hijau yang dilapis dengan baju dalam lengan 

panjang warna kuning. Parasnya tampan dengan ram-

but dikuncir ekor kuda.

Sejenak baik Jalu Kembara dan Wisnu Paladasa 

memperhatikan pemuda di sampingnya dengan lebih 

seksama. Sementara itu Ratih Purnamasari tersentak 

kaget, sepasang matanya menatap lurus tajam tak 

berkesiap ke depan.

"Dia...!" gumam Ratih Purnamasari perlahan be-

gitu mengetahui siapa adanya orang yang baru saja 

menyelamatkan dirinya.

"Siapa kau? Dan apa hubunganmu dengan gadis 

itu?!" tanya Wisnu Paladasa dengan suara tinggi. Da-

gunya tampak mengeras dengan sepasang mata melotot.

Yang ditanya masih senyam-senyum, malah tak 

memandang pada Wisnu Paladasa atau Jalu Kembara, 

sebaliknya sepasang mata pemuda berbaju hijau ini 

yang bukan lain adalah Aji Saputra alias Pendekar Ma-

ta Keranjang 108 memandang lurus pada Ratih Pur-

namasari yang terkapar di atas tanah tanpa bisa 

menggerakkan anggota tubuhnya.

Mendapati pertanyaannya tidak mendapat jawa-

ban, Wisnu Paladasa naik pitam. Dia segera melang-

kah maju dengan kedua tangan siap dihantamkan. 

Namun, sebelum hal itu sempat dilakukan, dari jarak 

jauh Jalu Kembara memberi isyarat agar Wisnu Pala-

dasa urungkan niat untuk menyerang. Malah Jalu 

Kembara kini melangkah mendekat pada Wisnu Pala-

dasa.

"Paladasa!" kata Jalu Kembara seraya berbisik. 

"Kau perhatikan lebih seksama lagi. Melihat ciri-

cirinya, apa bukan pemuda ini yang kita cari?"

Mendengar ucapan saudara seperguruannya, 

Wisnu Paladasa segera perhatikan pemuda di hada-

pannya dengan lebih teliti dari ujung rambut sampai 

ujung kaki. Dahi laki-laki bertubuh tinggi besar ini 

berkerut. Kepalanya yang gundul dia dongakkan ke 

atas. Dia seakan mengingat-ingat. Dan tiba-tiba dia 

palingkan wajahnya pada Jalu Kembara dan berkata.

"Benar! Memang dia pemuda yang kita cari! Tapi 

sebaiknya kita tanyakan terlebih dahulu!" 

"He! Sekali lagi kau tak mau jawab pertanyaan 

kami, jangan menyesal jika mulutmu kurobek!" kertak 

Jalu Kembara seraya melangkah dua tindak ke depan.

"Sebutkan siapa dirimu!"

Aji hadapkan wajahnya pada Jalu Kembara. Ka-

lau tadi bibirnya tersenyum-senyum, kini senyum itu 

lenyap, berganti senyum sinis.

"Tampaknya dua orang ini biang keladi kerusu-

han selama ini! Kalau benar, berarti kedua orang inilah 

murid Datuk Lembah Neraka! Mereka harus dihenti-

kan. Dunia persilatan akan keruh jika orang-orang se-

perti mereka masih dibiarkan untuk hidup!" membatin 

Aji. Lalu dia berkata.

"Orang rimba persilatan menyebutku Datuk 

Lembah Neraka!" kata Aji dengan enaknya. Dia sengaja 

menyebut dirinya Datuk Lembah Neraka untuk menge-

tahui reaksi kedua laki-laki di hadapannya. Apakah 

kedua laki-laki gundul itu murid Datuk Lembah Nera-

ka atau bukan.

Di lain pihak, mendengar jawaban yang tak per-

nah diduga sama sekali itu, Wisnu Paladasa dan Jalu 

Kembara saling berpandangan satu sama lain dengan 

tatapan heran dan jengkel.

"Kembara!" bisik Wisnu Paladasa. "Apa di dunia 

ini banyak manusia bergelar Datuk Lembah Neraka?!"

"Diam kau!" bentak Jalu Kembara merasa jengkel 

karena Wisnu Paladasa tampaknya termakan oleh ti-

puan Aji. Di lain pihak, Ratih Purnamasari yang me-

nyaksikan kejadian itu, meski menahan sakit di bibir-

nya, dia tak bisa menahan tawanya, hingga tawanya 

pun keluar. Sementara itu Aji hanya tersenyum seraya 

mengawasi silih berganti.

"Bocah! Tampaknya kau bercanda dengan maut! 

Terimalah!"

Habis berkata begitu, Jalu Kembara yang sudah 

dirasuki rasa geram segera hantamkan kedua tangan-

nya ke depan. 

Selarik sinar kuning melesat deras ke arah Aji.

Murid Wong Agung ini geser kakinya dua langkah 

ke samping kanan, membuat serangan pembuka Jalu 

Kembara menghajar tempat kosong. Di kejap lain begitu habis menghindar, Aji segera dorongkan kedua tan-

gannya ke depan.

Serangkum angin dahsyat yang keluarkan suara 

bagai gelombang segera melesat menggebrak. Pendekar 

Mata Keranjang 108 tampaknya lepaskan pukulan 

'Gelombang Prahara'.

Jalu Kembara sedikit terperangah melihat lawan 

begitu mudah menghindari serangannya. Malah kini 

melancarkan serangan balasan. Diam-diam Jalu Kem-

bara agak yakin, bahwa pemuda di hadapannya inilah 

yang memang dia cari. Malah serangannya tadi me-

mang dia sengaja dengan kerahkan seperempat tenaga 

dalamnya untuk mengetahui sampai di mana keting-

gian ilmu lawan.

Dengan menindih rasa kaget, Jalu Kembara me-

lompat ke samping. Selain untuk menghindar, juga 

agar lebih dekat lagi dengan Wisnu Paladasa.

"Paladasa!" kata Jalu Kembara tanpa palingkan 

wajahnya. "Hari ini nampaknya kita akan dapat rejeki 

besar. Aku hampir yakin, dialah orang yang kita cari!"

"Tapi apa tidak sebaiknya kita tanyai lebih jelas 

lagi?!"' tanya Wisnu Paladasa dengan memandang pada 

Jalu Kembara.

Jalu Kembara palingkan wajahnya. Parasnya se-

makin membatu. Kalau saja bukan saudara sepergu-

ruannya, mungkin sedari tadi sudah dilumatnya mulut 

Wisnu Paladasa.

"Kau memang benar-benar bodoh!" batin si tinggi 

kurus Jalu Kembara. Dia lantas berkata agak keras.

"Untuk menghabisi orang, apa perlu kita jelaskan 

dahulu nama dan gelarnya?!"

Si tinggi besar Wisnu Paladasa terdiam sesaat. 

Dia seolah berpikir keras. Namun mendadak dia kelua-

rkan tawa bergelak, membuat Jalu Kembara heran dan

tak mengerti apa yang ditertawakan Wisnu Paladasa.

"Kau betul! Untuk menghabisi orang, memang 

tak perlu kita tanyakan dahulu siapa dia!" kata Wisnu 

Paladasa di tengah-tengah tawanya, membuat Jalu 

Kembara makin dibuat jengkel.

"Hentikan tawamu!" bentak Jalu Kembara seraya 

memandang pada Aji yang kini tampak melangkah 

mendekati Ratih Purnamasari.

Namun baru saja Aji hendak bungkukkan tubuh 

untuk membebaskan Ratih Purnamasari, dari arah be-

lakang empat larik sinar kuning redup telah menyam-

bar!

"He! Awas serangan!" ingat Ratih Purnamasari.

Aji yang telah waspada, segera bungkukan tu-

buh, kedua tangannya bergerak cepat. Di lain pihak, 

Ratih Purnamasari yang sedari tadi malu-malu merasa 

dipandang, merasakan sambaran di samping tubuh-

nya. Dia pejamkan kedua matanya. Dan ketika dia sa-

mar-samar membuka kelopak matanya, dia tersentak 

kaget, karena tahu-tahu tubuhnya telah digendong Aji 

dan disingkirkan agak jauh.

"Terima kasih!" kata Ratih Purnamasari dengan 

paras merah saga begitu tubuhnya diturunkan dan 

ternyata telah bebas dari totokan.

"Kau di sini saja! Laki-laki itu harus dimusnah-

kan dari muka bumi!" kata Aji seraya balikkan tubuh 

dan melangkah kembali ke arah Wisnu Paladasa dan 

Jalu Kembara.

"Keparat!" rutuk Jalu Kembara dan Wisnu Pala-

dasa hampir berbarengan, begitu mendapati Aji berha-

sil lolos dari serangan mereka bahkan bisa membe-

baskan Ratih Purnamasari.

Tanpa berkata-kata lagi, begitu dilihatnya Aji me-

langkah ke arahnya, Jalu Kembara segera menyong

songnya dengan membuat gerakan berputar di udara 

dua kali, dan tahu-tahu tubuhnya telah menghadang

di hadapan Aji.

Pendekar Mata Keranjang hentikan langkahnya. 

Dan baru saja langkahnya berhenti, Jalu Kembara te-

lah kirimkan serangan jarak jauh dengan pukulan ke-

dua tangannya ke depan.

Wuutt! Wuuuttt!

Karena tidak ada lagi waktu untuk menghindar, 

membuat Aji harus pula lepaskan pukulan untuk me-

nangkis. Murid Wong Agung ini segera saja tarik den-

gan cepat kedua tangannya ke belakang, lalu serta 

merta dihantamkan ke depan. 

Plaarrr!

Terdengar letupan keras tatkala dua pukulan 

sakti itu bentrok di udara. Baik Aji maupun Jalu Kem-

bara sana sama surutkan langkah masing-masing satu 

tindak ke belakang. Jalu Kembara nampak meringis 

seraya pegangi lengannya yang terasa nyeri. Di lain pi-

hak, Aji tampak tersenyum-senyum meskipun sebe-

narnya tangannya merasa kesemutan juga.

Jalu Kembara menoleh pada Wisnu Paladasa. Si 

tinggi besar Wisnu Paladasa yang seolah mengerti arti 

pandangan saudara seperguruannya cepat mendatangi

"Kita kerahkan seluruh tenaga untuk menghabisi 

bocah ini!" berkata Jalu Kembara.

Wisnu Paladasa menganggukkan kepala. Dua la-

ki-laki ini lantas saling beri isyarat, dan tiba-tiba ke-

dua laki-laki ini lesatkan tubuh masing-masing seraya 

lepaskan serangan dengan hantamkan kedua tangan 

masing-masing ke depan. Begitu pukulan menyambar, 

keduanya lantas saling berpencar ke kanan dan ke ki-

ri.

Dari arah samping, keduanya lantas kembali kirimkan serangan dengan hantamkan kedua tangan se-

raya rebahkan tubuh masing-masing sejajar tanah. Ini 

adalah serangan untuk menangkal lawan jika lawan 

menghindari serangan pertamanya dengan bergerak 

tanpa melesatkan dirinya ke udara. 

Melihat gencarnya serangan, Aji segera dapat 

mengetahui jika lawan ingin segera menghabisinya. 

Tapi murid Wong Agung ini tak mau bertindak cero-

boh. Dia cepat keluarkan kipas ungunya dan secepat 

kilat dia kebutkan melintang di depan dada.

Wuuuttt!

Seberkas cahaya putih berkelebat angker mem-

bentuk kipas dan menebarkan hawa panas luar biasa!

Blarrr!

Ledakan dahsyat segera terdengar begitu larikan 

sinar kuning bentrok dengan angin yang menyambar 

dari kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 108. Hebat-

nya, larikan yang datang menyusul dari arah samping 

pun sepertinya tertahan, membuat Wisnu Paladasa 

dan Jalu Kembara sama-sama terkejut bukan alang 

kepalang. Namun mereka sadar, bahwa pemuda di ha-

dapannya tidak boleh diberi kesempatan untuk balas 

menyerang, karena itu akan sangat berbahaya.

Berpikir begitu, kedua laki-laki ini lantas saling 

takupkan kedua telapak tangannya sejajar dada, ma-

tanya sebentar memejamkan dengan mulut bergerak-

gerak. Tak lama kemudian, keduanya saling pandang 

sejenak, dan....

"Tapak Geni!" seru Jalu Kembara seraya melom-

pat ke depan dengan membuat putaran satu kali. De-

mikian pula Wisnu Paladasa.

Empat langkah di hadapan Aji, kedua laki-laki ini 

terkesiap. Mereka sekarang baru yakin bahwa pemuda 

di hadapannya adalah pemuda yang mereka cari. Mereka pandangi kipas ungu milik Aji dengan pandangan 

nanar.

"Hmm.... Nyatanya memang dia pemuda bergelar 

Pendekar 108 itu. Aku harus semakin berhati-hati. 

Kabarnya, kesaktian manusia ini sudah menyamai gu-

runya...," membatin Jalu Kembara. Lalu dia berkata 

pada Wisnu Paladasa.

"Sekarang jangan tahan-tahan lagi kerahkan te-

naga. Memang pemuda inilah yang kita cari!"

Habis berkata begitu, Jalu Kembara berkelebat 

yang kemudian diikuti oleh Wisnu Paladasa. Kedua so-

sok laki-laki ini lantas lenyap dari pandangan. Dan ti-

ba-tiba sekali sosok keduanya telah menukik deras da-

ri udara dengan telapak tangan terbuka, sementara 

kakinya berputar-putar bagai baling-baling keluarkan 

suara bersiutan.

Pendekar Mata Keranjang yang sedari tadi me-

nunggu serangan, segera luruskan tubuh dan begitu 

telapak tangan yang telah dialiri tenaga dalam itu hen-

dak menghajar dada dan punggungnya, dia re-bahkan 

diri di atas tanah, bergulingan beberapa kali. Dan pada 

gulingan kelima, mendadak pendekar murid Wong 

Agung ini serta merta bangkit dan kirimkan serangan!

Tempat itu seketika berubah menjadi terang ben-

derang. Ternyata Pendekar Mata Keranjang 108 telah 

lepaskan pukulan sakti ‘Bayu Cakra Buana’

Di seberang, Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara 

yang baru saja sama-sama mendarat terperangah ka-

get. Jalu Kembara yang tahu bahaya segera berseru 

keras memperingati saudaranya seraya berkelebat. Tu-

buh laki-laki tinggi kurus ini bergerak lenyap sebelum 

serangan Pendekar Mata Keranjang 108 menghantam. 

Jika Jalu Kembara segera berkelebat, tidak demikian 

halnya dengan Wisnu Paladasa. Meski dia sempat berkelebat, namun gerakannya sudah begitu terlambat, 

hingga tanpa ampun lagi kaki kanannya tersambar 

pukulan Pendekar Mata Keranjang 108!

Wisnu Paladasa meraung keras. Tubuhnya yang 

berkelebat serta merta berputar menyamping dan ja-

tuh bergeleparan di atas tanah dengan kaki kanan me-

rah bengkak!

"Anjing kurap!" rutuk Jalu Kembara mengetahui 

saudaranya roboh tersambar pukulan Pendekar Mata 

Keranjang 108. Dia lantas maju dua langkah ke depan. 

Dan mendadak tubuhnya melesat lurus! Telapak tan-

gannya terbuka sementara sepasang kakinya lurus 

dan menekuk pulang balik!

Aji kepalkan tangan kirinya dan diangkat di atas 

kepala, sementara tangan kanan yang memegang kipas 

dia sejajarkan di depan dada.

Begitu sedepa lagi sepasang kaki Jalu Kembara 

menghantam, Aji rentangkan tangan kanannya, se-

mentara tangan kirinya bergerak memukul ke samp-

ing.

Jalu Kembara tercekat bukan alang kepalang, ka-

rena tiba-tiba saja tubuhnya bagai tertahan kekuatan 

yang kasat mata. Dia mencoba kerahkan tenaga da-

lamnya untuk menembus, agar sepasang kakinya da-

pat menerobos masuk, namun usahanya sia-sia bela-

ka. Bahkan tatkala Jalu Kembara kerahkan tenaga da-

lam, tangan kiri Aji bergerak menghantam.

Untung Jalu Kembara masih bisa melihat seran-

gan lawan, hingga meskipun tersambar bahunya, na-

mun dia bisa selamatkan kepalanya dari hantaman te-

lak.

Desss!

Jalu Kembara melayang berputar. Hebatnya, da-

lam keadaan demikian, laki-laki ini masih bisa membuat gerakan berputar hingga selamatkan tubuhnya 

dari menghantam tanah!

"Bocah keparat!" hardik Wisnu Paladasa. Tanpa 

menunggu lama lagi, dia langsung kembali menyerang. 

Kali ini dia hantamkan pukulan jarak jauh dengan 

tangan kosong, lantas didahului bentakan keras, laki-

laki bertubuh tinggi besar ini keber tubuhnya. Tubuh-

nya melesat cepat ke depan.

Aji yang tahu gelagat segera menyongsong den-

gan hantamkan kedua tangannya ke depan. Namun 

kali ini Aji tertipu, karena begitu lesatan tubuh Wisnu 

Paladasa hampir terhantam serangan tangan Aji, tu-

buh Wisnu Paladasa membumbung sedikit ke atas, 

membuat serangan Aji lewat di bawahnya. Pada saat 

itulah Wisnu Paladasa membuat gerakan berputar ce-

pat dan sepasang kakinya menggebrak dari belakang! 

Bukkk!

Pendekar Mata Keranjang 108 tersuruk menyu-

sup tanah di depannya. Punggungnya terasa jebol, dan 

sebelum dia benar-benar tersuruk, dari arah depan ti-

ba-tiba Jalu Kembara sapukan kaki kanannya!

Wuuuttt!

Dengan terkejut, Pendekar Mata Keranjang 108 

lesatkan tubuh bagian atasnya ke belakang dengan 

posisi kaki tetap. Ini untuk menjaga keseimbangan tu-

buh jika pada saat yang sama Wisnu Paladasa menye-

rang dari belakang.

Benar saja, tatkala sapuan kaki kanan Jalu 

Kembara menghajar angin di depan tubuh Pendekar 

Mata Keranjang 108, dari arah belakang, Wisnu Pala-

dasa pukulkan kedua telapak tangannya yang telah 

terbuka.

Pendekar murid Wong Agung ini kembali kerah-

kan tenaga untuk menghindar dengan gerakkan kembali tubuh atasnya ke depan. Namun pada saat itu ju-

ga kaki kanan Wisnu Paladasa bergerak lurus meng-

hantam dari belakang!

Desss!

Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 terhuyung 

ke depan. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Jalu 

Kembara. Dia segera memapak huyungan tubuh Pen-

dekar Mata Keranjang 108 dengan telapak tangan ter-

buka dan mengarah pada dada!

Dalam keadaan yang demikian, Aji cepat silang-

kan kedua tangannya di depan dada.

Prakkk!

Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting ke 

samping. Kedua tangannya serasa terhantam benda 

panas dan amat berat, hampir saja pegangan pada ki-

pasnya terlepas jika saja murid Wong Agung ini tidak 

segera salurkan hawa murni untuk mengatasi kenye-

rian yang kini mendera tangannya.

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling pan-

dang dan sama-sama keluarkan tawa panjang bersa-

hut-sahutan.

"Setelah ini tinggal kita selesaikan gurunya!" ber-

kata Jalu Kembara dengan melangkah mendekat.

Namun baru dua langkahan kaki, Pendekar Mata 

Keranjang 108 telah bangkit dan tiba-tiba saja tubuh-

nya melesat dengan tangan kanan kibaskan kipas, se-

mentara tangan kiri lepaskan pukulan 'Bayu Cakra 

Buana'.

Baik Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara sama-

sama terkejut, karena mereka menyangka bahwa Pen-

dekar Mata Keranjang hanya kuat bangkit tanpa bisa 

melancarkan serangan. Karena ‘Tapak Geni’ serangan 

yang tadi dilancarkan Jalu Kembara dapat membuat 

orang mampu bergerak tanpa bisa menyerang.

"Heran! Dia tampaknya tak mempan dengan 

'Tapak Geni'!" membatin Jalu Kembara. Namun dia tak 

bisa berlama-lama membatin, karena saat itu juga se-

rangan Pendekar Mata Keranjang 108 telah meluruk 

ke arahnya!

Dengan masih memendam rasa heran, kedua la-

ki-laki ini segera dorongkan masing-masing tangannya 

ke depan.

Larikan-larikan sinar kuning redup kembali me-

larik ke depan. Namun kembali Wisnu Paladasa dan 

Jalu Kembara dibuat terkejut. Karena serangannya ki-

ni bagai tertahan dinding, dan terapung di udara.

Selagi kedua orang ini terkesima. sambaran an-

gin yang keluar dari tangan kiri Pendekar 108 mela-

brak lurus!

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara berseru keras. 

Tubuh kedua laki-laki ini melayang jauh ke belakang. 

Dan jatuh berkaparan di atas tanah dengan dada ber-

denyut sakit serta pakaian hangus!

Keduanya merangkak bangkit seraya mengumpat 

habis-habisan. Namun baru saja mereka dapat bang-

kit, tubuh keduanya kembali oleng dan lutut mereka 

bergetar. Dan tak lama kemudian, tubuh keduanya 

kembali jatuh terduduk.

"Kita tertipu oleh Datuk Lembah Neraka. Karena 

ternyata masih ada manusia yang tahan pada pukulan 

‘Tapak Geni’!" kata Jalu Kembara pada Wisnu Paladasa 

seraya berpaling.

"Tapi apa boleh buat, kita harus bertahan. Kita 

tidak boleh menyerah begitu saja!" sahut Wisnu Pala-

dasa dengan mengawasi Pendekar Mata Keranjang 108 

yang kini semakin dekat ke arah mereka.

"Kalian murid Datuk Lembah Neraka?!" Aji aju-

kan pertanyaan seraya terus mendekat.

Sejenak Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara saling 

pandang. Lalu Jalu Kembara tersenyum sinis dan ber-

kata.

"Bukankah kau Datuk Lembah Neraka?"

Pendekar Mata Keranjang 108 yang semula wak-

tu ditanya enak saja menyebut nama Datuk Lembah 

Neraka senyam-senyum sendiri. Namun mendadak se-

nyumnya dia penggal. Sepasang matanya membesar 

pandangi Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara silih ber-

ganti dan berkata dengan nada tinggi.

"Jawab dengan jujur pertanyaanku. Itu kalau ka-

lian memang masih ingin hidup!"

Diam-diam saat demikian itu, Jalu Kembara coba 

kerahkan tenaga untuk memulihkan kembali tena-

ganya. Namun tampaknya usahanya tiada hasil. Mem-

buat laki-laki ini wajahnya pucat pasi. Demikian juga 

Wisnu Paladasa.

"Hmm.... Tampaknya kalian memang sudah bo-

san hidup!" kata Pendekar Mata Keranjang 108 begitu 

ditunggu agak lama di antara kedua laki-laki ini tidak 

ada yang buka mulut untuk menjawab.

"Ampun...!" kata Wisnu Paladasa, "Benar... Kami 

memang murid dari..,."

Belum sampai Wisnu Paladasa meneruskan kata-

katanya, serangkum angin dahsyat menyambar dari 

arah samping, menggebrak ke arah Pendekar Mata Ke-

ranjang 108!

Pendekar Mata Keranjang 108 cepat palingkan 

wajah dan serta merta melompat ke samping kiri un-

tuk menghindar. Sambaran angin terus melabrak dan 

menghajar sebuah rumah, membuat rumah itu terba-

bat roboh dan terbakar!

"Sialan betul!" rutuk Pendekar Mala Keranjang 

108 seraya tebarkan pandangan mencari tahu siapa

adanya manusia yang melakukan hal itu. Di lain pi-

hak. Ratih Purnamasari yang sedari tadi hanya me-

nyaksikan, terperangah kaget bahkan surutkan lang-

kah tiga tindak ke belakang begitu mengetahui siapa

adanya orang yang melancarkan serangan. Sementara 

itu Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara segera jatuhkan 

kepalanya dan berseru bersamaan.

"Guru...!" 

***

TUJUH


PENDEKAR Mata Keranjang 108 ikut-ikutan ber-

paling. Dia terkejut melihat paras dan bentuk orang 

yang dipanggil Guru oleh Wisnu Paladasa dan Jalu 

Kembara.

Dia adalah seorang laki-laki bertubuh jangkung. 

Mengenakan pakaian mirip seorang pendeta berwarna 

kuning. Kepalanya gundul dengan kulit sekujur tubuh 

sudah mengeriput. Tangan kanannya memegang se-

buah tasbih yang tak henti-hentinya bergerak. Namun 

yang membuat laki-laki ini angker, mata kanannya 

yang menjorok keluar itu juling. Sementara kedua te-

linganya tak berdaun!

Tanpa berkata lagi, laki-laki jangkung yang bu-

kan lain adalah Datuk Lembah Neraka gerakkan tan-

gan kanannya. Tasbih yang ada di tangannya bergerak 

melesat.

Weerrr!

Serangkum angin yang berputar-putar seiring 

putaran tasbih melabrak ke arah Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 yang masih mengawasi orang dengan

pandangan heran.

"Gila! Bias serangannya sudah terasa sebelum se-

rangan itu sendiri datang...!" kata Aji dalam hati seraya 

miringkan kepala dan bahunya.

Tasbih yang berputar-putar dan mengeluarkan 

suara bersiutan itu menggebrak tempat kosong di 

samping tubuh Aji. Anehnya, tasbih tersebut langsung

bergerak dan kembali pada Datuk Lembah Neraka.

Begitu kembali, Datuk Lembah Neraka kembali 

sentakkan tangan kanannya, tasbih itu kembali berpu-

tar dan kini berdesing lenyap. Hanya suaranya saja 

yang terdengar.

Untuk menangkal serangan yang tak tampak ini, 

murid Wong Agung segera putar-putar kipas ungunya 

di atas kepala, membuat tubuhnya diselimuti sinar pu-

tih.

Tasss! Tasss! Tasss!

Tiga kali benturan yang keluarkan cahaya api se-

gera muncrat begitu sinar putih yang menyelimuti tu-

buh Pendekar 108 diterabas deru tasbih!

Datuk Lembah Neraka mendengus marah. Dalam 

sejarah panjang kecimpungnya dalam rimba persila-

tan, baru kali ini serangan tasbihnya dapat ditangkis 

orang dengan begitu mudah, malah jika Datuk Lembah 

Neraka tidak segera menarik tasbihnya kembali, tidak 

mustahil tasbih itu akan hancur luluh!

"Bajingan busuk! Siapa pemuda ini? Apakah dia 

manusia yang bergelar Pendekar Mata Keranjang?" 

membatin Datuk Lembah Neraka seraya memperhati-

kan lebih seksama kipas yang kini masih diputar-putar 

oleh Aji.

"Hmm.... Tampaknya dugaanku tidak meleset. 

Memang dia orangnya...!" sambung kata hati Datuk 

Lembah Neraka. Parasnya kini berubah merah padam.

Pelipisnya bergerak-gerak dengan mata kiri membeliak 

merah. Tubuhnya yang jangkung dia lorotkan ke ba-

wah. Saat hampir pantatnya menyentuh tanah, tiba-

tiba tubuhnya melesat tinggi ke udara dan lenyap dari 

pandangan.

"Edan! Ke mana perginya?" batin Aji dengan pu-

tar kepalanya.

Selagi Pendekar 108 mencari tahu di mana bera-

danya lawan, tiba-tiba tubuh Datuk Lembah Neraka 

melayang deras ke bawah bagai sergapan seekor bu-

rung rajawali. Kedua tangannya membuka dan dihan-

tamkan ke bawah.

Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan teka-

nan angin yang seakan memantek gerak tubuhnya. 

Hingga dia tak dapat menggerakkan tubuh untuk 

menghindar. Namun murid Wong Agung ini tidak mau 

berdiam diri. Didahului bentakan dahsyat, telapak 

tangan kirinya dia buka dan dihantamkan lurus ke 

atas, sementara tangan kanannya yang memegang ki-

pas dia kibaskan berputar dari belakang!

Prakkk!

Dua tangan teraliri tenaga dalam tinggi beradu di 

atas kepala Pendekar Mata Keranjang 108. Datuk 

Lembah Neraka berseru kesakitan. Seraya membuat 

gerakan berputar di atas tubuh Pendekar Mata Keran-

jang 108, laki-laki berkepala plontos ini jejakkan ka-

kinya pada punggung Pendekar Mata Keranjang 108! 

Beekk!

Pendekar Mata Keranjang 108 terpekik. Dan be-

lum lagi dia dapat kuasai tubuhnya, dengan gerak ce-

pat Datuk Lembah Neraka balikkan tubuh dan do-

rongkan tangan kanannya!

Kembali Pendekar Mata Keranjang 108 terpekik, 

sebelum tubuhnya menghempas di atas tanah. Saat

yang demikian itu tak disia-siakan oleh Jalu Kembara. 

Dia segera bangkit dan melompat. Lalu serta merta ka-

ki kanannya bergerak cepat menghajar tubuh Pende-

kar Mata Keranjang 108!

Pada saat tendangan akan menghajar, seko-

nyong-konyong serangkum angin dahsyat disertai 

bongkahan asap hitam yang mengeluarkan hawa pa-

nas menyengat menyambar ke arah kaki Jalu Kemba-

ra.

Meski Wisnu Paladasa telah berteriak memperin-

gatkan, namun tampaknya Jalu Kembara meneruskan 

tendangan kakinya. Namun sejengkal lagi terjangannya 

menghajar, Jalu Kembara terpekik kaget dengan tarik 

pulang kembali kakinya.

"Jahanam licik!" seru Pendekar 108 saat menge-

tahui dirinya akan dibokong oleh Jalu Kembara. Se-

raya bangkit, sepasang matanya naik dengan alis mata 

bertemu. Bibirnya tersenyum pada Ratih Purnamasari 

yang baru saja selamatkan dirinya dari terjangan kaki 

Jalu Kembara. Di pihak lain, Ratih Purnamasari hanya 

tersenyum sekilas tanpa berani memandang lebih la-

ma, karena pakaiannya masih tak karuan. Dia lantas 

miringkan tubuh untuk menyembunyikan sebagian 

auratnya yang tampak tak tertutup.

"Mundur!" bentak Datuk Lembah Neraka.

Jalu Kembara yang dibentak beringsut melang-

kah mundur. Sementara Datuk Lembah Neraka maju 

selangkah. Dari mulutnya terdengar teriakan nyaring. 

Lantas tubuhnya melesat ke atas. Di atas udara, Da-

tuk Lembah Neraka putar-putar tasbihnya. Lalu seko-

nyong-konyong tubuhnya melayang turun dengan tas-

bih bergerak cepat ke arah kepala Aji.

Weeerrr!

Pendekar Mata Keranjang 108 hantamkan tangan

kirinya lepaskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'. Semen-

tara tangan kanannya berkelebat dengan tusukkan 

ujung kipas pada perut Datuk Lembah Neraka.

Prakkk!

Terdengar suara benturan tatkala tasbih Datuk 

Lembah Neraka bergerak dan menghantam ujung ki-

pas.

Datuk Lembah Neraka keluarkan suara menden-

gus marah, karena tasbihnya mental balik dan meng-

hantam pergelangan tangannya. Bukan hanya sampai 

di situ, karena begitu kakinya mendarat di atas tanah, 

pukulan tangan Pendekar Mata Keranjang 108 datang 

melabrak!

"Bocah jahanam! Kalau saat ini aku tak bisa 

membunuhmu, lebih baik mati!" kertak Datuk Lembah 

Neraka seraya kembangkan kedua tangannya dan ser-

ta merta diangkat ke atas.

Pukulan Pendekar Mata Keranjang 108yangtadi 

meluncur deras, mendadak bagai tertahan dan kini 

bergerak pelan, membuat Datuk Lembah Neraka den-

gan leluasa melangkah perlahan satu langkah ke 

samping untuk menghindar. Lalu dengan tertawa ter-

kekeh-kekeh laki-laki jangkung bermata juling ini le-

paskan tasbihnya. Sementara tubuhnya sendiri berke-

lebat dengan kirimkan serangan.

Delapan larik sinar kuning redup melesat dari 

empat jurusan, mengeluarkan suara menggemuruh 

dahsyat!

Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak bagai ter-

perangah dengan serangan yang dilancarkan Datuk 

Lembah Neraka. Namun dia segera sadar, dan dengan 

cepat dia lesatkan tubuhnya ke atas dengan membuat 

gerakan berputar di udara. Seraya membuat putaran-

putaran di udara, pendekar murid Wong Agung ini kibas-kibaskan kipasnya sedemikian rupa untuk melin-

dungi dirinya. Karena kibasan kipas itu dengan penge-

rahan tenaga dalam, maka tak heran jika saat itu juga 

tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 laksana diselimu-

ti gulungan-gulungan asap putih yang tak bisa ditem-

bus!

Datuk Lembah Neraka menyeringai seraya ber-

gumam panjang pendek. Lantas dia dongakkan kepala 

seraya bibir berkemik-kemik. Lalu dengan segera ke-

dua tangannya diangkat ke atas kepala lalu diputar-

putar.

Mendadak tempat itu menjadi gelap pekat. Yang 

tampak hanya lah gulungan asap putih yang masih 

membungkus tubuh Pendekar Mata Keranjang 108.

Pada saat itulah Datuk Lembah Neraka melompat 

menerabas kepekatan suasana dan menggebrak den-

gan kedua tangan mengepal ke arah kepala Pendekar 

Mata Keranjang 108!

Pendekar Mata Keranjang hanya mendengar de-

ruan angin yang menyambar ke arah kepalanya. Dan 

tatkala kepalanya dia rundukkan sedikit, dua pasang 

lengan berkelebat deras di atasnya.

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 rundukkan 

kepala, tiba-tiba lengan yang menerabas di atasnya 

berhenti dan serta merta menghujam ke bawah!

"Edan! Dia mampu menghentikan gerakan tan-

gannya dengan tiba-tiba!" gumam Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 dalam hati sambil silangkan kedua tan-

gannya di atas kepala.

Prakkk!

Dua lengan bentrok di udara. Namun karena 

hantaman Datuk Lembah Neraka ke arah bawah, ma-

ka tekanannya jelas lebih besar, membuat Pendekar 

108 tersurut tiga langkah ke belakang. Murid Wong

Agung ini mencoba kerahkan tenaga agar mampu me-

nahan tubuhnya yang terhuyung-huyung. Namun kaki 

kanannya telanjur goyah, dan tak lama kemudian 

Pendekar Mata Keranjang jatuh terduduk!

"Murid Wong Agung! Ternyata nama besarmu 

hanyalah bualan kosong!" kata Datuk Lembah Neraka 

seraya melangkah mendekat. Kedua tangannya yang 

tadi disilangkan di depan dada, dia kembangkan ke 

depan.

Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108 ker-

takan rahang dengan paras merah padam. Dia segera 

bangkit dan menatap nyalang pada Datuk Lembah Ne-

raka seraya berkata.

"Datuk Lembah Neraka! Aku tak punya nama be-

sar. Namun untuk menguburmu kedua tanganku ma-

sih sanggup!"

Ratih Purnamasari yang mendengar nama dis-

ebut orang, tersentak kaget! Dengan sepasang mata 

dibesarkan, dia tatap lekat-lekat Datuk Lembah Nera-

ka.

"Mana ini yang benar? Kata Guru, Datuk Lembah 

Neraka telah tewas. Apakah memang benar, di dunia 

banyak orang bergelar Datuk Lembah Neraka? Tapi 

menurut yang pernah kulihat, dan kudengar gelar itu

hanya akan digunakan oleh satu orang. Hmm.... Aku 

tak habis pikir...," kata Ratih Purnamasari seraya terus 

memandangi Datuk Lembah Neraka seraya tercenung.

Di lain pihak, mendengar kata-kata Pendekar Ma-

ta Keranjang 108, Datuk Lembah Neraka mendehem 

beberapa kali. Lalu tertawa dan berkata.

"Gurumu saja tidak sanggup membunuhku, apa 

lagi kau!"

"Beliau memang tidak ada niatan untuk membu-

nuhmu, karena dia berharap kau akan kembali ke jalan kebaikan. Namun nyatanya kau tak berubah. Mati 

memang layak untukmu!"

Datuk Lembah Neraka bukannya jengkel diejek 

demikian rupa, malah dia keluarkan tawa bergerai.

"Gurumu, dari dulu memang begitu. Jika tidak 

sanggup membunuh musuh, maka alasannya ya begi-

tu itu. Alasan yang cocok digunakan pada anak-anak 

kecil. Sekarang giliranku yang akan membunuhnya ji-

ka dia dahulu tak mau membunuhku! Tapi sebelum-

nya kepalamu akan kuhadiahkan untuknya!"

Habis berkata, Datuk Lembah Neraka lemparkan 

tasbihnya pada Jalu Kembara. Lalu secepat kilat tu-

buhnya berkelebat lenyap. Dan tahu-tahu tubuhnya 

telah berada dua langkah di hadapan Pendekar Mata 

Keranjang 108 dengan kedua tangan berkelebat meng-

hantam muka!

Pendekar Mata Keranjang 108 yang bersikap 

waspada segera tarik wajahnya ke belakang. Namun 

ternyata hantaman tangan itu hanyalah tipuan belaka. 

Karena saat Pendekar Mata Keranjang 108 tarik kepa-

lanya, kaki kanan Datuk Lembah Neraka menggaet 

kaki Pendekar Mata Keranjang dengan keras.

Pendekar 108 terkejut bukan main. Dia segera 

imbangi dirinya dengan doyongkan kembali wajahnya. 

Namun karena gaetan kaki Datuk Lembah Neraka ter-

lalu keras, membuat tubuh murid Wong Agung ini ter-

jerembab dahulu sebelum sempat bertindak lebih jauh.

Pada saat itulah, Datuk Lembah Neraka hantam-

kan kedua tangannya dengan tenaga dalam penuh! 

Wuuuttt!

Mengetahui bahaya besar, Pendekar Mata Keran-

jang 108 segera gulingkan tubuhnya. Dan dalam kea-

daan miring, tangan kanannya berkelebat mengi-

baskan kipasnya sementara tangan kirinya lepaskan

pukulan 'Bayu Cakra Buana'.

Plarrr! Plaaarrr!

Dua tenaga dalam bertemu. Larikan kuning re-

dup yang melesat menyambar dari kedua tangan Da-

tuk Lembah Neraka lenyap musnah. Namun bias angin 

serangan masih mampu membuat Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 terseret satu tombak ke belakang. Di lain 

pihak, Datuk Lembah Neraka sendiri terpelanting dan 

tubuhnya menyuruk tanah! Darah segar telah memba-

sahi bibir dan bajunya. Sementara kedua tangannya 

berubah merah dan sakit bila digerakkan.

"Jahanam! Kucincang tubuhmu!" teriak Datuk 

Lembah Neraka seraya bangkit. Namun baru saja laki-

laki jangkung berkepala gundul ini hendak lancarkan 

serangan, terdengar seruan lantang.

"Hentikan pertempuran!"

Semua kepala yang ada di situ segera palingkan 

wajah masing-masing ke arah orang yang berseru.

Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara mengawasi 

dengan pandangan mengejek sinis pada orang yang 

baru datang. Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 

menatap dengan dahi berkerut. Sedangkan Datuk 

Lembah Neraka yang berpaling hanya sekilas tampak 

mengernyitkan kening. Bibirnya terkatup rapat. Se-

mentara mata kanannya membesar tak kesiap.

"Apakah memang dia?" terdengar gumaman dari 

mulut Datuk Lembah Neraka.

Sementara itu Ratih Purnamasari, demi melihat 

siapa adanya orang yang berseru, segera menghambur 

dan jatuhkan diri.

"Guru! Maafkan muridmu yang gagal melaksana-

kan tugas!"

Orang yang dipanggil Guru oleh Ratih Purnama-

sari dan baru saja keluarkan seruan tak mengacuhkan

pandangan mata beberapa orang di situ. Tanpa meno-

leh dia melangkah ke arah muridnya.

***

DELAPAN


DIA adalah seorang perempuan. Meski umurnya 

bisa dibilang tidak muda lagi, namun paras wajahnya 

masih menampakkan sisa-sisa kecantikan. Rambutnya 

panjang sepinggang. Mengenakan pakaian bawah se-

perti jarit, sementara pakaian atasnya berupa baju 

lengan panjang. Di pinggangnya nampak melilit seutas 

ikat pinggang warna merah. Sepasang matanya bulat 

dan bersinar dengan mulut mengunyah sirih, mem-

buat bibirnya yang telah merah itu semakin merah. 

"Apa kerjamu di sini?" bentak perempuan yang 

dipanggil Guru oleh Ratih Purnamasari.

Ratih Purnamasari tidak segera menjawab perta-

nyaan gurunya. Dia angkat kepalanya. Lalu meman-

dangi wajah gurunya lekat-lekat.

Wajah gadis ini jelas menampakkan rasa takut. 

Sebelum gadis ini buka suara, sang guru membentak 

garang.

"Kalau memang gagal membekuk Wong Agung 

seharusnya kau cepat pulang!"

"Guru...! Aku memang dalam perjalanan pulang. 

Tapi di tempat ini aku bertemu dengan dua orang yang 

berbuat keji pada penduduk. Aku...."

Ratih Purnamasari tak meneruskan kata-katanya 

karena saat itu juga sang guru telah menyela dengan 

suara tetap tinggi.

"Murid bodoh! Apa untungnya kau ikut-ikutan 

mengurusi penduduk? Tugasmu hanya membekuk 

Wong Agung! Lain tidak!"

Ratih Purnamasari tundukkan kepala tak berani 

memandangi gurunya. Tubuhnya tampak sedikit ber-

getar. Tangannya bergerak menutupi bagian tubuhnya 

yang terbuka, membuat sang guru berkerut dan berka-

ta.

"Apa yang kau perbuat hingga pakaianmu begitu 

rupa!"

"Sewaktu bentrok dengan dua jahanam itu, me-

reka berhasil merobek pakaianku. Malah hampir-

hampir saja memperkosaku!"

Orang yang dipanggil Guru oleh Ratih Purnama-

sari palingkan wajah pada Jalu Kembara dan Wisnu 

Paladasa. Sepasang mata perempuan ini membeliak 

besar dengan mulut komat-kamit menggumam sesua-

tu yang tak jelas. Alis matanya terangkat dengan peli-

pis bergerak-gerak.

Namun Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara seper-

tinya acuh dengan pandangan marah guru Ratih Pur-

namasari. Malah mulut kedua orang ini, sunggingkan 

senyum. Mereka berbuat begitu karena mereka yakin, 

jika guru Ratih Purnamasari bertindak ayal. Maka Da-

tuk Lembah Neraka tak akan tinggal diam.

Melihat sikap gurunya, Ratih Purnamasari ang-

kat bicara.

"Guru! Mereka berdua adalah murid...," Ratih 

Purnamasari sengaja penggal kata-katanya, membuat 

sang Guru menatap lurus pada gadis ini. Saat itulah 

Ratih Purnamasari lirikkan matanya pada Datuk Lem-

bah Neraka yang berada tak jauh dari sampingnya.

Mendapati pandangan muridnya, sang Guru yang 

bukan lain adalah I Gusti Ayu Wayan Rimaksari sedikit merasa heran. Dahinya berkerut. Lalu pandangan-

nya menebar pada Wisnu Paladasa dan Jalu Kembara. 

Saat melihat dua laki-laki ini, I Gusti Ayu Wayan Ri-

maksari sedikit terkejut. Lalu pandangannya beralih 

pada Pendekar Mata Keranjang 108. Perempuan agak 

tua yang masih menampakkan kecantikan ini sedikit 

terkesiap. Dia memandanginya agak lama. Lantas keti-

ka pandangannya berujung pada Datuk Lembah Nera-

ka, I Gusti Ayu Wayan Rimaksari surutkan langkah ke 

belakang. Keningnya semakin berkerut. Sepasang ma-

tanya menyipit dan membesar. Dan tiba-tiba bibirnya 

berkemik dengan mengucapkan nama perlahan.

"Dadaka Lanang...."

Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka saat itu juga 

sedang memandang I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Dua 

pasang mata saling bertemu. Dada dua orang ini sa-

ma-sama saling berdebar.

"Apakah mataku tidak kabur...? Atau ini hanya 

mimpi...? Bukankah Datuk Lembah Neraka telah tewas 

di tangan Wong Agung pada beberapa puluh tahun si-

lam? Ataukah dia mirip Datuk Lembah Neraka...?" ke-

bimbangan kembali mendera I Gusti Ayu Wayan Ri-

maksari.

"Gusti Ayu...," sebut Datuk Lembah Neraka se-

raya melangkah mendekati.

Tenggorokan I Gusti Ayu Wayan Rimaksari serasa 

tercekik mendengar namanya disebut. Air mukanya 

mendadak berubah putih lalu merah. Dan tanpa sa-

dar, dia pun lantas kembali menyebutkan nama.

"Dadaka Lanang...!"

Datuk Lembah Neraka mendekat. Dan begitu ya-

kin bahwa perempuan tak jauh di sampingnya adalah I 

Gusti Ayu Wayan Rimaksari, dia percepat langkah.

Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 senyam-senyum menyaksikan pertemuan kembali dua 

kekasih yang telah lama tak jumpa bahkan telah didu-

ga meninggal dunia.

Sementara itu, Ratih Purnamasari mengawasi tak 

kesiap. Dalam hati dia berkata.

"Hmm.... Benar apa yang dikatakan Wong Agung. 

Telah terjadi salah paham dalam hal ini. Tapi tampak-

nya Datuk Lembah Neraka masih memendam den-

dam...."

"Kau baik-baik saja selama ini Gusti Ayu...?" 

tanya Datuk Lembah Neraka dengan menggenggam 

kedua tangan I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Perem-

puan ini agak tersipu malu. Wajahnya merah saga. Se-

jenak dia melirik pada Ratih Purnamasari. Yang dilirik 

alihkan pandangan pada jurusan lain. Wajahnya tam-

pak merah merona. Perlahan entah malu atau tidak 

suka, Ratih Purnamasari melangkah agak menjauh. 

Seraya melangkah dia menggumam.

"Hm.... Nyatanya cinta tidak memandang usia 

dan tempat! Mereka sepertinya menganggap tidak ada 

orang lain!"

"Kakang.... Kukira kau telah tewas...," kata Gusti 

Ayu Wayan Rimaksari dengan menatap bola mata Da-

tuk Lembah Neraka.

Datuk Lembah Neraka tertawa terkekeh.

"Semestinya memang begitu. Namun malaikat 

rupanya tak sampai hati mencabut nyawaku. Malah 

sebentar lagi Wong Agung yang akan kuantar ke liang 

kubur! Dan setelah itu, kita akan bersenang-

senang...."

I Gusti Ayu Wayan Rimaksari kembali parasnya 

merah mengelam. Dengan tak mengalihkan pandan-

gan, perempuan berwajah cantik ini berkata.

"Ke mana saja kau selama ini...?!"

Datuk Lembah Neraka mendehem beberapa kali. 

Lalu menjawab perlahan.

"Sejak peristiwa pertarungan berdarah dengan 

Wong Agung, aku melarikan diri. Aku malu pada orang 

dan pada diriku sendiri. Lebih-lebih padamu. Karena 

Wong Agung telah menjulingkan mata kananku, dan 

menghilangkan kedua daun telingaku...," sejenak Da-

tuk Lembah Neraka hentikan kata-katanya. Parasnya 

tiba-tiba berubah. Dagunya terangkat dengan mata kiri 

membeliak.

"Percayalah Kakang. Bagaimana keadaanmu. Aku 

tetap yang dulu!" sela I Gusti Ayu Wayan Rimaksari 

dengan mempererat genggaman tangannya.

"Sejak saat itulah aku menyendiri seraya mem-

perdalam ilmu untuk suatu saat membuat perhitun-

gan. Dan saat itu kini telah tiba. Kau tahu, manusia 

itu adalah murid keparat Wong Agung. Dia akan ku-

hadiahkan pada gurunya. Tapi hanya kepalanya!" kata 

Datuk Lembah Neraka seraya angkat bahunya menun-

juk pada Pendekar Mata Keranjang 108.

"Murid Wong Agung...? Berarti manusia yang di-

gelari Pendekar Mata Keranjang 108!" kata I Gusti Ayu 

Wayan Rimaksari seraya layangkan pandangannya pa-

da Pendekar Mata Keranjang 108 yang saat itu juga 

sedang memandang ke arahnya.

"Aku akan selesaikan dahulu kunyuk satu itu!" 

kata Datuk Lembah Neraka seraya lepaskan gengga-

man tangannya.

Sebenarnya I Gusti Ayu Wayan Rimaksari ingin 

mencegah. Namun Datuk Lembah Neraka telah keburu 

berkelebat dan secara mendadak langsung kirimkan 

serangan pada Pendekar Mata Keranjang 108!

Pendekar Mata Keranjang 108 yang telah me-

nunggu cepat membuat gerakan berputar dua kali dibelakang. Dan begitu mendarat, kedua tangannya dia 

hantamkan ke depan!

Serangan yang dilancarkan Datuk Lembah Nera-

ka tertahan di udara. Hingga membuat Datuk Lembah 

Neraka ini terpengarah kaget. Demikian I Gusti Ayu 

Wayan Rimaksari. Dia tak menduga jika kelebatan ki-

pas pemuda itu sanggup menahan gerak laju pukulan 

Datuk Lembah Neraka yang pada dekade silam ditaku-

ti beberapa tokoh baik dari golongan putih atau hitam.

Bahkan sebaliknya, pukulan tangan kiri Pende-

kar 108 kini menerabas terus ke arah Datuk Lembah 

Neraka yang masih seperti terkesiap.

"Hm.... Ini sangat bahaya! Aku harus menolong-

nya!" membatin I Gusti Ayu Wayan Rimaksari. Dia lan-

tas berkata.

"Kakang! Awas serangan!"

Mungkin karena masih terkesima atau memang 

sedang menunggu, Datuk Lembah Neraka tidak ber-

geming dari tempatnya, malah menggerakkan anggota 

tubuhnya untuk menangkis serangan pun tidak, 

membuat I Gusti Ayu Wayan Rimaksari segera me-

lompat di hadapannya dan serta merta dorong kedua 

tangannya.

Bummm!

Terdengar ledakan dahsyat ketika serangan yang 

menggebrak dari tangan kiri Pendekar 108 bentrok 

dengan pukulan yang dilancarkan I Gusti Ayu Wayan 

Rimaksari.

Namun karena sewaktu menangkis serangan be-

gitu mendadak dan jaraknya telah dekat, membuat pe-

rempuan ini keluarkan jeritan tertahan, tubuhnya ter-

seret ke belakang. Untung Datuk Lembah Neraka yang 

seakan baru tersadar dan berada di belakangnya sege-

ra tanggap. Dengan sigap, tubuh kekasihnya itu ia sergap hingga selamatlah dia dari menghempasan di atas 

tanah.

"Gusti Ayu.... Menyingkirlah! Biar aku sendiri 

yang menghadapinya!" kata Datuk Lembah Neraka se-

raya tersenyum mesra.

I Gusti Ayu Wayan Rimaksari menggeleng perla-

han.

"Kau jangan menganggapnya remeh. Kita hadapi 

manusia itu bersama-sama agar cepat selesai. Apa kau 

tidak ingin urusan ini cepat selesai...?" kata I Gusti 

Ayu Wayan Rimaksari seraya mengerling.

"Kita bagi perhatiannya. Dengan demikian seran-

gannya akan tertuju pada dua tempat. Di situ pasti 

akan banyak tempat yang kosong!" sambung I Gusti 

Ayu Wayan Rimaksari seraya melepaskan diri dari 

rengkuhan tangan Datuk Lembah Neraka.

"Hmm.... Tak enak rasanya bertarung dengan 

orang yang sedang dimabuk kasmaran. Lebih baik aku 

mencari waktu yang tepat saja. Aku akan tinggalkan 

tempat ini...."

Berpikir sampai di situ, Pendekar Mata Keranjang 

108 lantas mengerling pada Ratih Purnamasari. Dan 

tatkala diliriknya gadis ini sedang memandangnya, 

pendekar murid Wong Agung ini berpaling ke arah 

sang gadis seraya kerdipkan sebelah matanya.

Ratih Purnamasari yang saat itu memang sedang 

memandang pada Pendekar Mata Keranjang tersentak 

kaget. Parasnya serentak berubah merah bersemu pu-

tih. Bibirnya lalu tersenyum, namun pandangannya 

dia alihkan ke jurusan lain.

"Gila! Dalam keadaan begini, dia masih sempat 

memainkan matanya! Benar-benar edan...! Tapi.... Dia 

memang menarik!" kata Ratih Purnamasari dalam hati 

seraya lirikkan ekor matanya.

Dia serentak palingkan wajahnya begitu terlihat 

Pendekar Mata Keranjang melangkah hendak pergi. 

Mulutnya yang sedari tadi tersenyum hendak berkata. 

Namun sebelum mulutnya terbuka, dari arah samping 

terdengar bentakan menggelegar.

"Jangan mimpi bisa lari dari tanganku, Bocah!"

Mendengar bentakan, Pendekar Mata Keranjang 

108 urungkan niat untuk melanjutkan langkah. Dia 

balikkan tubuh dan balas membentak.

"Siapa mau lari? Aku cuma tidak suka bertarung 

dengan orang yang sedang kasmaran. Lebih baik ka-

lian berkangen-kangen dahulu!"

"Kurang ajar!" sentak Datuk Lembah Neraka se-

raya menyeringai. Sementara itu I Gusti Ayu Wayan 

Rimaksari merah padam mukanya. Dia berkata dengan 

menatap tajam tak kesiap.

"Kakang, manusia seperti dia terlalu bermulut ji-

ka dibiarkan!"

Sepasang kekasih ini lantas segera berjajar. Dan 

didahului bentakan garang Datuk Lembah Neraka, ke-

dua kekasih ini sama-sama lepaskan pukulan.

Empat larik sinar kuning redup serta larikan-

larikan sinar hitam yang keluarkan suara bak gelom-

bang segera menghampar ke arah Pendekar Mata Ke-

ranjang 108!

Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak melihat 

ganasnya serangan. Dengan perkokoh kuda-kuda se-

pasang kakinya, murid Wong Agung ini lantas hem-

paskan kipas yang berada di tangan kanannya. Se-

mentara tangan kirinya melepaskan 'Bayu Cakra Bua-

na'.

Wuusss! Wuuttt!

Dua pukulan sakti melesat ke depan. Satu me-

mapak sinar kuning redup, sementara satunya lagi

memapasi larikan sinar hitam!

Bummm! Bummm!

Tempat itu laksana dibuncah gempa dahsyat. 

Rumah-rumah di sekitarnya banyak yang bergoyang 

dan roboh berderak. Sementara tanah tempat berte-

munya serangan menjadi kubangan yang dalam.

I Gusti Ayu Wayan Rimaksari menjerit keras. Tu-

buhnya terpelanting sampai beberapa tombak ke bela-

kang. Tangan dan dadanya berdenyut sakit. Bahkan di 

sudut bibirnya terlihat genangan darah agak hitam, 

pertanda dia terluka cukup parah.

Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka sendiri ber-

seru tertahan. Tubuhnya pun terjengkang, namun dia 

segera dapat kuasai diri sebelum pantatnya menyen-

tuh tanah. 

Murid Wong Agung sendiri terhuyung-huyung ke 

belakang seraya pegangi dadanya. Dari sudut bibirnya 

pun tampak mengalir darah. Namun pemuda ini sea-

kan tidak peduli. Dia segera bangkit.

"Akan kucoba menggunakan 'Bayu Kencana'!" 

gumam Aji seraya pindahkan pegangan pada kipasnya

ke tangan kiri, sementara tangan kanan dia buka di 

depan dada.

Datuk Lembah Neraka gegat gerahamnya. Da-

gunya terangkat dengan sepasang mata seakan hen-

dak memberojol keluar. Kemarahannya tampaknya 

sudah mencapai ubun-ubun. Apalagi ketika melihat I 

Gusti Ayu Wayan Rimaksari terluka.

Dengan bentakan nyaring, laki-laki jangkung ini 

segera dorongkan kedua tangannya. Mulutnya berke-

mik dengan dada bergetar.

Weeesss!

Serangkum angin dahsyat yang keluarkan warna-

warna redup melesat keluar disertai hawa panas!

Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas da-

lam-dalam. Tenaga dalamnya dia kerahkan ke tangan 

kiri dan kanan. Lalu tangan kanannya dibuka perla-

han, sementara tangan kiri yang memegang kipas di-

palangkan di depan dada.

Angin dahsyat yang keluar dari kedua tangan Da-

tuk Lembah Neraka serta merta bergerak perlahan dan 

malah kini menuju satu titik, yakni telapak tangan 

Pendekar Mata Keranjang. Tampaknya murid Wong 

Agung telah gunakan jurus ‘Bayu Kencana’.

Datuk Lembah Neraka terkesiap kaget. Dia men-

coba menambah tenaga dalamnya untuk menjebol te-

lapak tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun 

usahanya tidak ada guna, malah tenaganya semakin 

tersedot masuk!

Namun laki-laki jangkung ini tak mau begitu saja 

menyerah. Dia kembali mencoba dengan keluarkan te-

naga luar dan dalam. Tapi ternyata usahanya sia-sia, 

malah kakinya kini goyah dan perlahan-lahan ikut ter-

seret ke depan.

Melihat keadaan ini, Wisnu Paladasa dan Jalu 

Kembara segera bangkit hendak menolong, namun se-

belum mereka berdua bergerak, I Gusti Ayu Wayan 

Rimaksari telah bergerak mendahului.

Tubuh perempuan ini berkelebat lenyap. Dan ta-

hu-tahu tubuhnya menerabas dari belakang Pendekar 

Mata Keranjang 108. Pendekar murid Wong Agung ini 

terkejut. Dia segera putar kipasnya ke belakang.

Seberkas sinar putih berkelebat melengkung ke 

belakang.

I Gusti Ayu Wayan Rimaksari ganti terkejut. Na-

mun karena dia sudah kepalang meluncur, maka den-

gan wajah pucat pasi dia hantamkan kedua tangannya.


Plarrr!

Terdengar letupan keras. Karena waktu melan-

carkan serangan berada di atas udara membuat tu-

buhnya terpelanting jauh. Lalu bergedebukan di atas 

tanah dengan darah semakin banyak menggenangi su-

dut bibirnya.

Namun karena mendapat serangan dari belakang 

ini membuat perhatian Aji pada Datuk Lembah Neraka 

sedikit terpengaruh. Hingga kejap itu jugs tubuh Da-

tuk Lembah Neraka terhenti. Dan kesempatan ini 

nampaknya tidak di sia-siakan oleh Datuk Lembah Ne-

raka. Dengan menggereng, dia melompat ke hadapan 

Pendekar Mata Keranjang 108 dan hantamkan kedua 

tangannya ke arah kepala.

Pendekar murid Wong Agung ini terperangah ka-

get, dia buru-buru rundukkan kepalanya. Namun 

mendadak saja kaki Datuk Lembah Neraka berkelebat 

cepat.

Bukkk!

Pendekar 108 terbanting di atas tanah. Seakan 

ingin segera menyudahi pertarungan, saat itu juga Da-

tuk Lembah Neraka berkelebat lagi dan tahu-tahu ke-

dua tangannya telah kirimkan serangan ganas!

"Pengecut! Licik!" tiba-tiba terdengar seruan. Ber-

samaan dengan itu berdesir angin dahsyat memapasi 

serangan Datuk Lembah Neraka.

***

SEMBILAN


DENGAN sumpah serapah panjang pendek, Da-

tuk Lembah Neraka palingkan wajah ke samping.

Di situ telah berdiri tegak seorang laki-laki bertu-

buh tambun besar. Rambutnya panjang dengan pa-

kaian ketat. Dia berdiri dengan bertopang pada dua 

bambu kecil yang berada di ketiaknya. Karena laki-laki 

ini ternyata tidak memiliki sepasang kaki.

"Gongging...," seru Pendekar 108 dengan usap 

bibirnya yang masih keluarkan darah.

Laki-laki yang dipanggil mengangguk perlahan. 

Lalu melangkah ke arah Aji. Hebatnya, suara ketukan 

bambunya mampu membuat dua murid Datuk Lem-

bah Neraka saling pandang dan tutup telinga masing-

masing. Sementara Ratih Purnamasari segera kerah-

kan tenaga dalam untuk menangkis suara ketukan 

yang bagai menusuk telinganya.

Di lain pihak, Datuk Lembah Neraka terkesiap. 

Dia memperhatikan laki-laki tanpa kaki dengan sek-

sama. Dahinya berkerut seolah mengingat-ingat.

"Jahanam! Aku tak berhasil mengenalinya! Tapi 

siapa pun dia. tampaknya dia mempunyai ilmu tinggi. 

Suara ketukan bambunya saja sudah demikian dah-

syat. Hmm... Sebaiknya aku menyingkir terlebih dahu-

lu. Gusti Ayu dalam keadaan terluka..,," membatin Da-

tuk Lembah Neraka. Lalu dia berkelebat ke arah I Gus-

ti Ayu Wayan Rimaksari. Membimbingnya bangkit dan 

berkata perlahan.

"Gusti Ayu.... Kita harus tinggalkan tempat ini. 

Kita bisa bikin perhitungan lagi. Lagi pula datang pe-

nolongnya yang ilmunya kurasa tinggi juga...."

I Gusti Ayu Wayan Rimaksari mengangguk. Ke-

duanya lantas memberi isyarat pada murid masing-

masing untuk pergi. Wisnu Paladasa dan Jalu Kemba-

ra segera menyambuti. Namun tidak demikian Ratih 

Purnamasari. Dia masih menatap Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 dengan pandangan aneh.

"Hmm.... Kau ragu-ragu. Kau tertarik dengan 

pemuda itu...?!" kata I Gusti Ayu Wayan Rimaksari.

Paras wajah Ratih Purnamasari merah padam. 

Mulutnya mengucapkan sesuatu yang tak bisa ditang-

kap pendengaran. Lalu tanpa memandang pada gu-

runya, gadis ini meninggalkan tempat itu.

"Murid Wong Agung! Tunggulah. Hal ini tidak 

hanya sampai di sini!"

Habis berkata begitu, Datuk Lembah Neraka ba-

likkan tubuh dan menggandeng tangan I Gusti Ayu 

Wayan Rimaksari lalu berkelebat pergi.

Pendekar Mata Keranjang 108 hendak mengejar. 

Namun segera dicegah oleh laki-laki tanpa kaki yang 

bukan lain adalah Gongging Baladewa.

"Tak usah dikejar. Saatnya akan tiba kalian un-

tuk dipertemukan lagi!"

Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas da-

lam-dalam. Sebenarnya hatinya masih panas. Namun 

karena dicegah oleh Gongging Baladewa maka meski 

dengan menggerutu dalam hati, Aji hanya bisa diam 

mengawasi kepergian Datuk Lembah Neraka dan I 

Gusti Ayu Wayan Rimaksari bersama muridnya.

"Kau terluka, sebaiknya kau ikut aku dahulu!" 

berkata Gongging Baladewa dengan terbatuk-batuk 

kecil.

Pendekar Mata Keranjang 108 menjura hormat. 

Lalu berkata.

"Terima kasih atas pertolonganmu...."

Gongging Baladewa tertawa pelan. Lalu dengan 

bambunya dia pukul punggung Aji. Aji melengak kaget. 

Pada saat itulah dengan kecepatan luar biasa, Gongg-

ing Baladewa bungkukkan tubuh. Tangan kanannya 

bergerak cepat meraih tubuh Pendekar Mata Keranjang 

108 dan diselipkannya di ketiak.

Dengan tertawa gerai-gerai, Gongging Baladewa 

melesat lenyap dari tempat itu diiringi suara sengalan 

batuk Pendekar Mata Keranjang 108 yang berada di ketiaknya.



                                SELESAI



Segera terbit:

MENDUNG DI LANGIT KEPATIHAN


























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive