MENDUNG
DI LANGIT
KEPATIHAN
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Mendung Di Langit Kepatihan
128 hal.
SATU
SENJA masih baru saja menapak turun. Kepe-
katan malam belum dapat menguasai lingkaran bumi,
karena cahaya kuning sang mentari masih membias
dari bentangan kaki langit sebelah barat.
Samar-samar di keremangan suasana itu, seso-
sok bayangan berkelebat cepat melintasi hutan kecil
sepi yang memisahkan dusun Kepatihan. Begitu ce-
patnya kelebat bayangan tadi, hingga kejap itu juga
sosoknya lenyap dari pandangan, dan tahu-tahu mun-
cul saat hutan telah terlewati.
Sejenak bayangan ini hentikan larinya. Dia
angkat tangan kirinya lantas mengusap keringat yang
membasahi kening dan lehernya. Sepasang mata
bayangan ini memandang berkeliling tanpa mengge-
rakkan kepala. Ternyata dia adalah seorang perem-
puan yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, karena
selain seluruh wajahnya telah dihiasi dengan keripu-
tan, tubuhnya pun telah sedikit bungkuk. Sepasang
matanya sayu kelabu meski tampak besar dan menjo-
rok ke cekungan yang amat dalam. Bibirnya tampak
merah dipoles, sementara rambutnya yang panjang
dan berwarna putih disanggul ke atas. Namun yang
membuat orang selalu akan memperhatikan, ternyata
tubuh perempuan ini sangat subur. Hingga saat me-
langkah, seluruh daging tubuhnya seakan bergerak-
gerak semua. Ditingkahi dengan suara gemerincing ke-
cil yang ternyata keluar dari telinganya yang mengena-
kan anting-anting hanya sebelah dan terdiri dari se-
buah anting besar yang dimuati beberapa anting-
anting kecil.
Setelah memandang berkeliling dan tak mene-
mukan sesuatu, perempuan bertubuh besar ini melangkah ke samping kanan. Dari sini dia tiba-tiba
membuat gerakan salto dua kali, lain tubuhnya lenyap.
Tak lama kemudian semak belukar pinggir hutan itu
menguak.
Perempuan bertubuh besar keluar dari semak
belukar dengan tangan kanan kiri memegang kelinci.
Lalu dengan tersenyum lebar, dia melangkah ke bawah
sebuah pohon. Dikumpulkannya beberapa ranting ker-
ing. Lantas dari balik bajunya dia keluarkan dua buah
batu. Keduanya digosokkan satu sama lain. Tak berse-
lang lama kemudian, perempuan ini telah duduk
menggelosoh dengan menyantap daging kelinci bakar.
Namun mendadak saja perempuan bertubuh
besar ini hentikan kunyahannya. Sepasang matanya
menyapu berkeliling. Meski saat itu malam telah men-
jelang, namun karena ranting yang terbakar masih
menyala, membuat suasana di sekitar tempat itu ma-
sih jelas terlihat.
"Hmm.... Aku dengar suara langkah-langkah
orang! Sialan benar. Siapa malam-malam begini kesa-
sar ke tempat ini? Jangan-jangan dia.... Bukankah
hanya dia yang tahu, bahwa jika malam ini adalah ma-
lam terakhir ku menyembunyikan diri di Kepatihan.
Dia terlalu jauh mencampuri urusanku! Tapi jika bu-
kan dia? Hm.... Sebaiknya aku menghindar dahulu!"
Berpikir begitu, perempuan bertubuh tambun
besar ini sekali lagi menebar pandangan. Lalu dia ba-
likkan tubuh masih dengan tetap menggelosoh. Dan
dengan mengambil daging kelinci di atas ranting yang
masih membara, perempuan ini berkelebat. Sosoknya
tiba-tiba lenyap laksana ditelan kepekatan malam.
Begitu sosok perempuan itu lenyap, beberapa
saat kemudian muncul sesosok manusia di tempat tak
jauh dari tempat di mana perempuan bertubuh besar
tadi berada.
Seraya membetulkan letak sanggulnya, sepa-
sang mata orang yang baru datang ini memandang ke
sekitar. Kepalanya pun ikut bergerak ke kanan dan ke
kiri. Karena agak lama dia tak menemukan sesuatu,
orang ini lantas melangkah mendekati bara ranting di
bawah pohon.
Ternyata orang ini adalah juga seorang perem-
puan. Usianya pun juga sudah lanjut. Tubuhnya ku-
rus kering. Rambutnya yang sudah putih dan jarang
disanggul di atas kepala, karena begitu jarangnya
hingga sanggulan itu hanya menyerupai sebuah tusuk
konde. Anehnya rambut itu memang kaku! Mengena-
kan pakaian agak gombrong, hingga saat tertiup angin,
pakaian yang dikenakan berkibar-kibar seakan hendak
menerbangkan tubuhnya yang kurus kering. Kedua
kakinya yang mengeriput mengenakan sepasang te-
rompah besar dari kayu berwarna hitam. Begitu be-
sarnya terompah, hingga saat melangkah, tubuh orang
ini terseok-seok, bagai keberatan terompah. Padahal
sebenarnya memang tubuhnya telah begitu tua. Aneh-
nya, meski sendiri dan tak ada yang perlu disenyumi,
perempuan ini selalu menyunggingkan senyum!
"Sial! Aku percaya. Dia masih baru saja di sini!
Angin kelebatan tubuhnya masih ku rasakan!" berkata
perempuan kurus kering berterompah kayu besar da-
lam hati seraya sekali lagi menajamkan pandangan-
nya. Bibirnya tak henti menyunggingkan senyum.
"Sial! Minggat ke mana perempuan gembrot itu?
Jangan-jangan dia telah memulai perjalanan gilanya.
Bagaimanapun juga, sebagai saudara aku harus me-
nyadarkannya. Itu pun kalau perempuan gembung itu
mau. Jika tidak, peduli apa aku. Makan pun masing-
masing cari dan bersuap sendiri...," sambung perem-
puan berterompah besar ini dalam hati sambil terus
tersenyum.
Selagi perempuan ini berkata-kata sendiri da-
lam hati, tiba-tiba kegelapan malam itu dibuncah oleh
seberkas cahaya yang melesat cepat. Menghantam lu-
rus ke arah perempuan berterompah besar ini!
Meski sedikit terperangah kaget, namun pe-
rempuan ini tak juga pupus senyumnya. Malah se-
nyumnya semakin lebar, dan serta-merta dengan gera-
kan agak kaku tegang, orang ini angkat kaki kanan-
nya.
Wuuusss!
Serangkum angin dahsyat menghentak menyi-
lang dari bawah ke atas, membuat lesatan berkas ca-
haya yang menghantam ke arah perempuan berterom-
pah besar melenceng ke samping kiri. Menerabas se-
mak belukar dan menghajar sebuah pohon besar.
Semak belukar itu rata habis, sementara di ke-
jap lain terdengar gemeretak, lalu terdengar berde-
bamnya pohon yang tumbang!
Karena sewaktu angkat kaki kanannya sepa-
sang mata perempuan berterompah besar ini melirik,
maka dia tahu, dari mana datangnya serangan. Maka
begitu dapat mematahkan serangan dari kegelapan,
orang ini lantas miringkan tubuh. Kedua tangannya
yang kurus kering dia pukulkan ke depan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Gelombang angin dahsyat yang tak bersuara
sama sekali menghempas lurus ke depan! Di kejap itu
juga, tanah yang dilewati gelombang angin itu lang-
sung terbongkar dan membumbung ke angkasa. Se-
mak belukar tercerabut dan berhamburan!
Tak berselang lama kemudian, dari dalam ke-
pekatan malam terdengar suara orang mendengus ke-
ras seraya menyumpah serapah panjang pendek. Dan
sesaat kemudian, perempuan berterompah besar meli-
hat semak belukar sepuluh tombak di depannya bergerak menguak. Dan sesosok bayangan besar berkelebat
keluar sebelum gelombang angin menghajar!
Dengan tersenyum lebar, sepasang mata pe-
rempuan berterompah besar ini mengikuti kelebat
bayangan besar. Namun perempuan ini serta-merta
menggerutu seraya palingkan kepalanya ke kanan dan
kiri, sementara telinganya dia tajamkan, karena ter-
nyata sepasang matanya tak dapat mengikuti kecepa-
tan gerak sosok bayangan besar. Bayangan besar ini
seakan lenyap kembali. Namun mendadak saja perem-
puan berterompah besar merasakan tubuhnya tersam-
bar angin kencang, dan sebelum dia mengetahui apa
yang terjadi, dua buah benda hitam yang keluarkan
suara menggidikkan berkelebat ke arahnya.
"Sial!" rutuk perempuan berterompah besar se-
raya surutkan kaki satu tindak ke belakang. Namun
baru saja kakinya bergerak, dua buah benda tersebut,
yang ternyata sepasang tangan besar kembali meng-
hantam. Kali ini yang di arah adalah kepala dan dada!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Seraya melotot dan bibir tersenyum, perem-
puan berterompah besar angkat tangan kanannya se-
dangkan tangan kiri dikibaskan menyamping.
Bukkk! Bukkk!
Dua pasang tangan yang sama-sama dialiri te-
naga dalam tinggi beradu. Pemilik sepasang tangan be-
sar yang bukan lain adalah perempuan bertubuh ge-
muk memekik kesakitan. Seraya geser kedua kakinya
ke belakang, dia angkat kaki kirinya dan dihantamkan
lurus ke depan.
Di seberang, perempuan kurus kering berte-
rompah besar segera putar tubuhnya. Tubuhnya
membumbung, dan sekonyong-konyong kaki kanannya
disapukan.
Desss! Prakkk!
Kali ini terdengar dua pekikan tertahan ketika
dua kaki saling bentrok di udara. Tubuh perempuan
berterompah besar mental balik dan terjengkang di
atas tanah. Sementara tubuh perempuan besar berpu-
tar kencang, terhuyung-huyung sebentar, lantas jatuh
menggelosoh dengan lutut tertekuk!
Perempuan berterompah besar buka mulutnya
lebar-lebar, namun tak terdengar suara tawa, malah
yang terlihat adalah senyumnya yang tersungging. Lalu
terdengar dia berkata.
"Kali Nyamat! Hentikan serangan! Aku Rayi Se-
roja!"
"Hm.... Sejak pertama kali dapat menahan se-
ranganku, aku telah dapat menduga. Ternyata me-
mang dia...!" kata perempuan bertubuh besar yang di-
panggil Kali Nyamat begitu dia mengenali suara orang
di seberang.
"Tapi akan kuberi dia pelajaran, agar tidak ber-
larut-larut kesukaannya mencampuri urusan orang...,"
gumam Kali Nyamat.
Perempuan bertubuh besar ini lantas bangkit.
Dan seolah tidak mendengar perkataan orang, dia lan-
tas takupkan kedua tangannya di atas kepala.
"Sial! Apa dia sekarang sudah tuli?" gumam
orang perempuan berterompah besar yang tadi menye-
but dirinya Rayi Seroja seraya memandangi tingkah
Kali Nyamat. Dia membelalakkan sepasang matanya,
keningnya mengkerut. Dari paras wajahnya bisa didu-
ga jika perempuan ini dilanda perasaan khawatir. Se-
mentara itu, Kali Nyamat saling gosok-gosokkan kedua
tangannya satu sama lain. Asap hitam telah nampak
mengepul.
Tahu bahaya, Rayi Seroja kembali angkat bica-
ra. Kali ini suaranya agak dikeraskan.
"Biyung Gembung! Hentikan. Kalau kau masih
menganggap aku adikmu! Rayi Seroja...!"
Namun belum usai kata-kata Rayi Seroja, Kali
Nyamat yang juga dipanggil Biyung Gembung luruh-
kan kedua tangannya, dan serta-merta dihantamkan
ke arah Rayi Seroja.
"Sial! Celaka sekali. Dia benar-benar telah tuli.
Atau apakah dia memang hendak mengantarku ke
surga...?"
Seraya bergumam dan tersenyum-senyum, Rayi
Seroja segera jatuhkan dirinya bergulungan di atas ta-
nah begitu kilatan merah membersit menyambar ke-
luar dari kedua tangan Kali Nyamat.
Meski Rayi Seroja telah robohkan diri sebelum
kilatan itu menghantam, namun bias yang dimuntah-
kan kilatan itu sungguh hampir tak dapat dipercaya,
karena saat itu juga pakaian yang dikenakan Rayi Se-
roja riap-riapan laksana dihembus angin dahsyat. Tu-
buhnya yang bergulungan di atas tanah bergerak ma-
kin cepat!
Rayi Seroja coba hentikan gerakan tubuhnya,
namun tiada guna. Tubuhnya terus bergelundungan.
"Sial! Ilmunya benar-benar maju pesat gem-
bung ini!" gerutu Rayi Seroja. Dia lantas hantamkan
tumit kedua kakinya di atas tanah. Gulungan tubuh-
nya seketika terhenti, dan tubuhnya mengangkasa.
Saat itulah, di bawah sana terdengar beberapa
kali suara gemeretak, lalu disusul dengan tumbangnya
beberapa pohon. Ternyata kilatan yang berhasil dihin-
dari Rayi Seroja tadi menghajar beberapa pohon.
Di atas udara, Rayi Seroja lirikkan ekor ma-
tanya, namun sebelum orang ini berbuat sesuatu, se-
rangkum angin dahsyat membumbung berpusaran ke
arahnya!
"Pusaran Sukma!" seru Rayi Seroja. Dia segera
sentakkan kedua tangannya ke bawah. Secepat dia
sentakkan kedua tangannya, secepat itu pula tubuh-
nya berkelebat menyingkir. Dia yang tadi menyebut
nama pukulan yang dilancarkan Kali Nyamat tahu be-
nar kehebatan pukulan 'Pusaran Sukma'.
Plaaarrr!
Malam yang baru saja menjelang itu dibuncah
oleh ledakan dahsyat ketika dua pukulan itu bentrok
di udara. Tubuh Rayi Seroja terbanting, meski sebe-
lumnya telah menyingkir jauh-jauh. Di pihak lain Kali
Nyamat sendiri terhuyung-huyung. Lantas kaki kirinya
tampak goyah dan sesaat kemudian seraya melenguh
perlahan terdengar suara 'brekkk'. Tubuh besar Kali
Nyamat jatuh terduduk.
"Edan! Tikus ini masih hebat juga!" puji Kali
Nyamat sambil bangkit. Gemerincing kecil anting-
antingnya saling bersahutan.
"Tikus kecil! Lekas tinggalkan tempat ini! Aku
muak lihat tampangmu!"
Rayi Seroja tertatih-tatih bangkit. Lantas den-
gan terseok-seok dia melangkah mendekati Kali Nya-
mat. Suara terompahnya berdebam-debam memekak-
kan telinga.
"Biyung Gembung!" kata Rayi Seroja dengan bi-
bir tersenyum, sementara tangan kanannya memegan-
gi pahanya yang terasa ngilu bukan main terantuk ta-
nah. "Beberapa tahun tak jumpa. Saat jumpa kau se-
pertinya hendak membunuhku. Apa perasaan kangen
telah lenyap di hatimu...?!"
Sejenak sepasang mata Kali Nyamat mengawasi
Rayi Seroja dengan seksama dari ujung kaki sampai
ujung rambutnya yang mencuat ke atas. Tiba-tiba dari
mulutnya meledak suara tawanya. Namun hanya se-
bentar, karena sejenak kemudian tawanya mendadak
dia penggal. Lalu dia berkata dengan alihkan pandangan.
"Tikus kecil! Hanya manusia tolol yang tidak
mempunyai perasaan kangen pada saudara. Namun
perasaan itu hilang begitu saja jika aku tahu apa mak-
sud kedatanganmu sebenarnya!"
"Sial! Tampaknya dia telah mengetahui maksud
kedatanganku. Apa yang harus kulakukan sekarang...?
Pulang dengan tanpa mengatakan sesuatu terlebih da-
hulu...?" membatin Rayi Seroja. Lalu buka mulut hen-
dak berkata. Namun sebelum ucapan keluar dari mu-
lutnya, Kali Nyamat telah mendahului berkata.
"Kau ingin mencegah kepergianku malam ini.
Betul?!"
Rayi Seroja urungkan niat untuk berkata.
Meski dalam hati dia menggerendeng panjang pendek,
namun bibirnya sunggingkan senyum.
"Dari paras jelek wajahmu, tanpa kau jawab,
aku sudah tahu apa yang mengendap di benakmu!"
"Kali Nyamat! Kalau perjalanan gilamu ini hen-
dak kau laksanakan, apakah kau sudah perhitungkan
apa yang kelak terjadi?!"
Kali Nyamat kembali keluarkan tawa bergelak-
gelak.
"Aku memang ingin buat kegegeran! Dan kau
tahu, kegegeran apa di rimba persilatan ini yang mele-
bihi gonjang-ganjingnya bumi selain terbunuhnya be-
berapa tokoh yang di masa lalu menjadi tokoh besar!"
"Betul ucap mu. Namun kau harus ingat. Per-
soalan yang kau kemukakan untuk menghabisi tokoh-
tokoh itu hanya akan membuatmu dilecehkan orang!
Kau hanya sakit hati karena persoalan cinta di masa
muda. Itu kan masalahnya?! Lagi pula kau tak layak
menurunkan tangan pada beberapa orang hanya kare-
na orang tersebut teman daripada orang yang menya-
kitimu. Pikir masak-masak!"
Mendengar ucapan Rayi Seroja, Kali Nyamat
tambah keras gelak tawanya.
"Tikus kecil. Sejak kapan kau berani menggurui
ku, he...? Dilecehkan atau tidak, apa urusanmu? Le-
kas minggat dari hadapanku!"
"Sial! Apa kau kira aku senang melihat gentong
tubuhmu?" berkata Rayi Seroja. Lalu balikkan tubuh
dan terseok-seok melangkah meninggalkan tempat itu.
Kira-kira lima belas langkah kakinya, perempuan ber-
terompah besar ini balikkan tubuh. Dilihatnya Kali
Nyamat masih tegak berdiri. Seraya tersenyum, Rayi
Seroja berkata.
"Sebelum pagi menjelang, masih banyak waktu
untuk berpikir. Pertimbangkan baik-baik rencanamu.
Jika terjadi apa-apa, meski aku adikmu, aku tak akan
sudi menolongmu! Selamat malam...!"
"Kau tak perlu banyak mulut! Aku tak perlu
bantuanmu kalau hanya membunuh urusannya!" te-
riak Kali Nyamat. Dia sengaja berteriak, karena dili-
hatnya sosok Rayi Seroja telah lenyap. Hanya debam
terompahnya yang terdengar bertalu-talu di kejauhan.
"Hm.... Menunggu pagi rasanya terlalu lama,
lebih baik aku berangkat sekarang saja...."
Berpikir begitu, perempuan bertubuh besar ini
lantas melangkah perlahan mengambil jurusan berla-
wanan dengan jurusan yang diambil Rayi Seroja. Meski
langkahnya amat pelan, namun sekejap kemudian so-
soknya yang besar tidak lagi kelihatan, yang terdengar
hanyalah bunyi gemerincing anting-antingnya yang
seakan bersahutan memecah kesunyian malam.
***
DUA
SEORANG perempuan bertubuh subur tampak
melangkah perlahan. Begitu besarnya tubuh perem-
puan ini, hingga saat bergerak melangkah seluruh dag-
ing yang tampak menggelembung di sekujur tubuhnya
seakan-akan ikut bergerak. Hebatnya, meski nampak
melangkah pelan, namun sekejap saja sosoknya telah
melesat laksana anak panah dan sulit diikuti pandan-
gan mata biasa.
Seraya melangkah, sepasang mata perempuan
besar ini yang bukan lain adalah Kali Nyamat menge-
dari jalan-jalan yang dilewati dengan pandangan sedi-
kit heran.
"Banyak sekali perubahan. Untung aku masih
dapat sedikit mengenali jalan-jalan ini. Jika tidak, bu-
kan tak mungkin aku akan tersesat. Ternyata dua pu-
luh delapan tahun saja sudah cukup untuk membuat
orang lupa...,"
Kali Nyamat berucap sendiri dalam hati seraya
tetap mengedarkan pandangan.
Tiba-tiba perempuan bertubuh subur ini henti-
kan langkahnya tatkala sepasang matanya menangkap
sesuatu di kejauhan.
"Hmm.... Padang rumput berwarna merah. Be-
rarti aku hampir sampai tujuan. Semoga tua bangka
itu masih hidup!" berkata Kali Nyamat seraya dongak-
kan kepala. Dahinya mengernyit, sementara matanya
menyipit. Tampaknya dia silau oleh cahaya sinar ma-
tahari yang menerpa melewati sela-sela batang pohon
di sekitarnya. Kali Nyamat angkat telapak tangan ki-
rinya, diletakkan di depan dahi. Dengan begini, sesua-
tu yang dilihat akan nampak lebih jelas.
"Gubuk reot itu. Tak ada perubahan di sini...!"
gumam Kali Nyamat. Lalu melangkah ke arah padang
rumput berwarna merah yang pada sudutnya tampak
sebuah gubuk dan tembok persegi empat yang ting-
ginya sampai dua tombak.
Seakan telah mengenali daerah ini, Kali Nyamat
segera berkelebat melewati padang rumput berwarna
merah tanpa sedikit pun menyentuh. Dan sesaat ke-
mudian, sosoknya telah berdiri tegak di depan gubuk.
Sebentar, sepasang mata Kali Nyamat beredar
tajam mengelilingi kanan-kiri gubuk. Dia tak menemu-
kan siapa pun. Untuk meyakinkan, sekali lagi dia me-
nebarkan pandangan matanya, malah kali ini kepa-
lanya bergerak berputar. Dan kala dia memang tak
menemukan siapa-siapa, mulutnya membuka hendak
berteriak. Namun sebelum suara terdengar dari mu-
lutnya, seseorang telah menegur.
"Orang tua! Kau mencari seseorang...?"
Dengan takupkan kembali mulutnya, Kali Nya-
mat berpaling ke samping kiri. Sepasang matanya me-
natap tajam ke depan. Di hadapannya kini berdiri seo-
rang gadis berparas cantik dengan sepasang mata bu-
lat.
"Siapa gadis ini...? Penghuni baru tempat ini?
Hm.... Tampaknya orang ini tak berilmu cetek. Keda-
tangannya tak bisa kuduga sebelumnya. Tapi peduli
apa. Aku tak ada perlu dengan dia!" membatin Kali
Nyamat. Lalu masih dengan memandang tajam, dia
berkata, "Anak gadis. Betul ucap mu. Aku mencari se-
seorang! Dia bernama Selaksa! Hik.... Hik.... Hik....
Kau tahu...?"
Seraya surutkan langkah dua tindak ke bela-
kang, terkejut dengan paras muka perempuan di ha-
dapannya dan juga merasa adanya nada tak enak pada
suara orang, sang gadis alihkan pandangan.
Dalam hati gadis ini yang bukan lain adalah
Ajeng Roro, murid Eyang Selaksa berkata, "Siapa orang
ini...? Eyang Selaksa sepertinya tak pernah mencerita-
kan tentang ciri-ciri orang seperti ini. Siapa pun dia
adanya, yang pasti manusia ini berkepandaian tinggi.
Dengan tubuh yang begini besar, dia bisa berkelebat
yang tak bisa diikuti pandangan mata...."
"He...! Ditanya orang malah melamun. Kau ta-
hu di mana Selaksa?!" kata Kali Nyamat mengulangi
pertanyaan.
"Bagaimana ini? Menilik dari suaranya, orang
ini berniat tidak baik pada Eyang. Aku tidak mungkin
membohonginya, karena Eyang pasti dengar semua ini.
Waktu ku tinggalkan tadi, Eyang sedang bersemadi.
Ada apa sebenarnya antara orang ini dan Eyang...?"
kembali Ajeng Roro membatin. Hingga untuk beberapa
saat lamanya dia tak juga menjawab pertanyaan Kali
Nyamat.
"Eee, Bocah Edan! Kudengar kau tadi mene-
gurku, sekarang seperti orang gagu tak bisa bicara.
Apa kau mendadak bisu lihat tampang cantik ku ini.
Hik.... Hik.... Hik...! Kalau kau tidak mau jawab, biar-
lah kucari sendiri...!" lalu, seraya tertawa terkekeh-
kekeh, Kali Nyamat melangkah ke arah gubuk.
"Nek...! Tunggu!" seru Ajeng Roro. Kali Nyamat
hentikan langkah, namun tanpa palingkan wajah pada
Ajeng Roro yang berada di belakangnya.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini!" teriak
Ajeng Roro seraya arahkan pandangan pada pintu gu-
buk.
Kali ini Kali Nyamat palingkan wajah. Sepasang
matanya menyorot tajam menusuk dua bola mata ga-
dis di hadapannya.
"Kau bisa berucap sesukamu. Namun penci-
umanku tidak bisa dibohongi. Orang yang kucari ada
di sekitar sini. Hik.... Hik.... Hik...!"
Paras muka Ajeng Roro berubah. Dia tercekat
mendengar kata-kata perempuan di depannya. Dan
tanpa menghiraukan perubahan paras Ajeng Roro, Kali
Nyamat meneruskan langkah.
Ajeng Roro buka mulut kembali hendak berte-
riak. Namun belum sampai suaranya keluar, bahunya
terasa ditepuk orang. Dan belum sempat dia palingkan
wajah mencari tahu siapa adanya orang, terdengar su-
ara dari belakangnya.
"Roro. Kau menyingkirlah jauh-jauh. Dan jan-
gan coba ikut campur masalah ini. Ini urusan orang
tua...!"
Tanpa berpaling, tampaknya gadis cantik ini
sudah dapat mengenali siapa adanya orang di bela-
kangnya. Maka dengan raut muka sedikit heran, Ajeng
Roro berkata, sementara sepasang matanya terus
mengawasi langkah Kali Nyamat.
"Eyang.... Siapa gerangan perempuan gendut
itu? Aku menangkap niat tidak baik pada wajahnya.
Ada apa sebenarnya?!"
Yang diajak bicara tidak segera menyahut,
membuat gadis ini balikkan tubuh dan memandang lu-
rus pada orang di hadapannya. Di hadapan gadis ini
kini berdiri seorang kakek mengenakan caping lebar,
hingga para wajahnya hanya terlihat sebagian.
Begitu Ajeng Roro balikkan tubuh, sang kakek
yang bukan lain adalah Eyang Selaksa tersenyum.
Namun terasa sekali senyum itu dipaksakan. Setelah
batuk-batuk perlahan, Eyang Selaksa berkata, "Dia
bernama Kali Nyamat. Namun dalam rimba persilatan
dia terkenal dengan gelar Dewi Kayangan. Dia punya
adik seorang perempuan bernama Rayi Seroja, yang
dalam kancah persilatan lebih dikenal dengan gelar
Dewi Bayang-Bayang."
Ajeng Roro membelalakkan sepasang matanya.
Dia memang pernah mendengar nama itu, namun ti-
dak sedikit pun terlintas jika orangnya demikian.
"Mereka berdua adalah tokoh-tokoh berilmu
tinggi pada zamannya. Hanya segelintir orang yang da-
pat menyamai keduanya. Tapi karena sifat kedua
orang itu aneh, maka tak jarang jika sebagian orang
menganggapnya sebagai manusia-manusia sinting!" se-
jenak Eyang Selaksa menghentikan keterangannya.
"Lantas ada masalah apa dengan Eyang...?"
bertanya Ajeng Roro seraya terus mengawasi gerak-
gerik Kali Nyamat alias Dewi Kayangan yang kini telah
memasuki gubuk.
Eyang Selaksa batuk-batuk kecil. Pandangan-
nya beralih jauh. Paras mukanya mendadak berubah.
Lalu dengan suara perlahan dia berkata.
"Kami dahulu adalah sepasang kekasih...,"
kembali Eyang Selaksa hentikan ucapannya. Sementa-
ra Ajeng Roro semakin membeliakkan sepasang ma-
tanya. Malah dia segera takupkan telapak tangannya
menahan agar suara jeritannya tidak terdengar.
"Namun karena waktu itu aku mendapat tugas
dari mendiang Guru, Panembahan Gede Laksana, aku
terpaksa harus meninggalkannya. Sayangnya, tugas
yang ku emban tak dapat segera kuselesaikan hingga
bertahun-tahun. Hal ini tampaknya tak bisa diterima
oleh Kali Nyamat. Dia menuduhku yang bukan-bukan.
Bahkan karena sakit hati merasa kukhianati, beberapa
kali dia mencoba membunuhku! Dia tak merasa bahwa
sampai saat ini pun aku masih mengharapkannya!
Dan...."
Eyang Selaksa tidak melanjutkan ucapannya,
karena dari arah samping terasa ada angin deras me-
nyambar.
Seraya memberi ingat pada muridnya, Eyang
Selaksa palingkan wajah. Kedua tangannya didorong
menyamping.
Bummm!
Terdengar letupan keras tatkala angin yang me-
lesat keluar dari kedua tangan Eyang Selaksa mema-
pasi serangan angin yang datang dari arah samping.
Sementara itu, Ajeng Roro yang tahu adanya bahaya
segera melesat ke samping, dari sini dia tarik sedikit
kedua tangannya ke belakang, lalu serta-merta hendak
dihantamkan pada orang yang membokong, namun
gadis ini segera urungkan niat begitu mengetahui sia-
pa adanya orang yang baru saja lancarkan serangan.
Di lain pihak. Eyang Selaksa cepat palingkan
tubuh dan wajah. Di hadapannya kini berdiri tegak se-
sosok perempuan bertubuh subur dengan sepasang
mata berkilat tajam. Namun sebentar kemudian, dari
mulut perempuan ini keluar suara tawa me-ngekeh di-
tingkahi suara gemerincing. Karena suara tawa itu bu-
kan tawa biasa, melainkan telah dialiri tenaga dalam,
maka tak heran jika kejap itu juga Ajeng Roro segera
surutkan langkah ke belakang, sementara Eyang Se-
laksa gelengkan kepala seraya balas menatap.
"Tampaknya doaku dikabulkan Tuhan. Kau
masih hidup. Memang hanya aku yang ditakdirkan
mencabut nyawamu! Hik.... Hik.... Hik...!"
"Kali Nyamat...," desis Eyang Selaksa. Hatinya
berdebar keras.
"Tutup mulutmu, Tua Bangka. Kau telah kuha-
ramkan untuk sebut namaku. Sebut nama yang lain
saja! Hik.... Hik.... Hik...!"
Eyang Selaksa tersenyum. Lalu berkata perla-
han, "Kali Nyamat. Kuucapkan selamat datang di tem-
patku ini. Lama kita tak jumpa, bagaimana kabarmu?"
Kali Nyamat menyambuti kata-kata Eyang Se-
laksa dengan senyum seringai. Tapi sejenak kemudian
bibirnya telah mengumbar kekehan tawa.
"Tua bangka bau tanah! Kau tak usah berbasa-
basi. Tentunya kau masih ingat kata-kata terakhir ku
dahulu. Hari ini aku datang untuk membuktikannya!
Bersiaplah menyongsong saat kematian! Hik.... Hik....
Hik...!"
Habis berkata begitu, Kali Nyamat angkat tan-
gan kanannya di atas kepala, sementara tangan ki-
rinya didorong dengan telapak terbuka.
Wuuuttt!
Selarik kilatan merah yang membawa hawa pa-
nas dan suara menggelegak segera menyambar ke arah
Eyang Selaksa.
"Kali Nyamat. Tunggu! Tahan seranganmu!" ta-
han Eyang Selaksa seraya melompat ke samping ka-
nan menghindarkan diri dari serangan Kali Nyamat.
***
TIGA
KALI Nyamat keluarkan kekehan tawa hingga
daging di sekujur tubuhnya bergerak-gerak. "Jangan
banyak mulut, Tua Bangka. Alasan apa pun yang hen-
dak kau utarakan, aku tak akan menerimanya! Dosa-
mu sudah sedalam laut setinggi awang-awang. Hik....
Hik.... Hik...!"
Eyang Selaksa mendesah perlahan seraya me-
narik napas dalam-dalam. Tengkuknya merinding. Dia
telah paham sifat Kali Nyamat atau Dewi Kayangan.
Perempuan ini keras kepala dan tak mau menerima
saran.
"Kali Nyamat. Kalau kau memang merasa puas
dengan matinya diriku, aku hari ini juga akan menye-
rahkan diri. Namun jika niatmu masih ditunggangi
orang lain, sampai kapan pun aku akan bertahan!"
Dewi Kayangan mendengus keras. Dagunya se-
dikit terangkat dengan pelipis bergerak-gerak pertanda
menindih hawa amarah.
"Selaksa. Bertahun-tahun aku mengasingkan
diri. Itu karena aku ingin melupakan kisah lama. Tapi
semakin ku coba melupakan, ingatan itu semakin de-
ras menggoda. Maka satu-satunya jalan untuk meng-
hilangkan hal itu adalah membuat mati orang yang
membuat masalah ini. Dan itu kau adanya! Kau sudah
siap? Atau kau ada pesan terakhir? Hik.... Hik....
Hik...!"
Kembali Eyang Selaksa menghela napas dalam-
dalam.
"Jika begitu keadaannya, baiklah. Aku pasrah-
kan diriku padamu! Dan memang ada pesan sebelum
aku mati di tanganmu...," berkata Eyang Selaksa se-
raya pandangi Kali Nyamat dengan tatapan sayu.
"Lekas katakan!" bentak Kali Nyamat sambil
cekikikan.
"Tentunya kau masih ingat dengan kematian
adikmu yang paling bungsu."
"Mekar Sari yang bergelar Dewi Bunga Iblis...,"
gumam Kali Nyamat seakan berkata pada diri sendiri.
"Aku tak akan lupa dengan dia. Dan aku akan menge-
jar siapa pembunuhnya!"
Eyang Selaksa tersenyum dan gelengkan kepa-
la.
"Bagus jika kau masih ingat. Tapi apakah kau
tahu siapa pembunuh adikmu itu...?!"
"Selaksa!" bentak Kali Nyamat dengan suara
menggelegar. "Jangan bermimpi aku akan mengurung-
kan niat membunuhmu hanya karena kau akan men-
gatakan siapa pembunuh adikku! Hik.... Hik.... Hik...!
Aku akan mencari tahu sendiri!"
"Kau salah besar jika berperasaan begitu. Se-
perti permintaanmu tadi, sebelum mati aku hanya
berpesan, percuma kau mencari tahu siapa pembunuh
adikmu. Karena hal itu hanya akan mendatangkan
masalah besar bagimu!"
"Setan Alas!" teriak Kali Nyamat lengking. "Ra-
malan apa lagi yang kau ucapkan, Tua Bangka?! Siapa
percaya mulut busukmu!"
Eyang Selaksa tertawa pendek, lalu berkata,
"Aku bukan peramal. Namun satu hal perlu kau ingat.
Adikmu sebenarnya tak meninggal seperti yang kau
duga. Jadi jangan menebar maut karena dugaan yang
salah! Nah, sekarang aku siap menghadapi kematian!"
Paras muka Kali Nyamat berubah seketika. Da-
hinya mengernyit dengan kaki tersurut dua langkah ke
belakang. Sementara itu, agak jauh dari tempat kedua
orang ini, Ajeng Roro mendengarkan dan melihat den-
gan perasaan khawatir.
"Jahanam!" rutuk Kali Nyamat dalam hati. "Apa
benar segala ucapan manusia busuk ini tentang Mekar
Sari? Kalau dia memang belum mati, lantas ke mana
selama ini? Bedebah! Teka-teki apa pula ini...?"
"Selaksa! Jangan kau menebar fitnah saat
menghadapi kematian!" berkata Kali Nyamat dengan
majukan kembali kakinya.
Di seberang, Eyang Selaksa tersenyum seraya
geleng-gelengkan kepalanya.
"Mana aku pernah menebar fitnah berkata bo-
hong...?"
"Tua bangka jahanam! Apa kau lupa mengata-
kan tentang tugas yang kau emban dari gurumu, pa-
dahal mana buktinya, he...?" kata Kali Nyamat masih
dengan nada tinggi.
Sekali ini Eyang Selaksa tertawa terbahak-
bahak.
"Kali Nyamat. Saat itu kau salah paham.
Aku...."
Belum sampai Eyang Selaksa selesaikan kata-
katanya, Kali Nyamat telah menyahut, "Kau jangan
menutupi kebohonganmu di samping muridmu. Akui
saja!" seraya berkata, Kali Nyamat mengarahkan pan-
dangan matanya pada Ajeng Roro.
"Aku pantang mengakui segala hal yang tak
pernah kulakukan! Nah, Kali Nyamat, bukankah kau
tadi hendak turunkan tangan untuk membunuhku?
Lakukanlah!"
Kali Nyamat tampak bimbang. Dia memandangi
Eyang Selaksa dengan pandangan yang sukar diarti-
kan.
"Kau ragu-ragu. Apa hendak ada yang akan
kau kemukakan...?!" berkata Eyang Selaksa tatkala
menangkap isyarat kebimbangan di wajah perempuan
bertubuh gendut ini.
Kali Nyamat keluarkan gumaman yang tak da-
pat dimengerti. Setelah agak lama lantas berkata, "Se-
laksa! Sebelum kau kukirim ke alam lain, dan jika ka-
ta-katamu bisa dipegang, katakan padaku, di mana
sekarang beradanya Mekar Sari!"
Eyang Selaksa dongakkan kepala memandang
langit. Dari mulutnya terdengar suara tawa panjang.
Tatkala tawanya berhenti, dia berkata.
"Itu urusanmu! Orang yang akan mati tak layak
memberitahu!"
Paras wajah Kali Nyamat merah mengelam.
Namun sesaat kemudian terdengar cekikikannya.
"Jika begitu, baiklah! Aku urungkan niat untuk
membunuhmu, namun aku akan mencabuti satu per-
satu anggota tubuhmu sampai kau mengaku di mana
beradanya Mekar Sari!"
"Ha... ha... ha.... Jangankan kau cabuti satu
persatu anggota tubuhku. Mesti kau cabuti juga satu
persatu rambut di seluruh tubuhku, aku tak akan
memberitahukan padamu, karena itu adalah urusan-
mu!"
"Hm.... begitu? Akan kita lihat nanti, apakah
ucapanmu benar! Hik.... Hik.... Hik...!"
Habis berkata begitu, Kali Nyamat takupkan
kedua tangannya sejajar perut. Didahului bentakan
nyaring, tubuhnya tiba-tiba berkelebat lenyap. Dan, ti-
ba-tiba saja sosoknya telah menukik deras ke arah
Eyang Selaksa dengan kedua kaki menekuk sebatas
lutut! Sementara kedua tangannya bersiuran meren-
tang pulang balik!
Meski tadi telah berkata menyerahkan diri, na-
mun tampaknya Eyang Selaksa tidak mau mati konyol.
Begitu sosok besar Kali Nyamat lenyap, kakek bercap-
ing lebar ini angkat kedua tangannya di atas kepala.
Sementara tubuhnya dia geser ke samping kanan se-
raya tunggingkan pantat agar kepalanya dapat sedikit
merunduk.
Ketika satu depa lagi tubuhnya memapasi tu-
buh Eyang Selaksa, Kali Nyamat buka sepasang ka-
kinya dan digerakkan pulang balik ke depan dan ke
belakang, sementara tangannya bergerak menyilang.
Plaaasss!
Terdengar suara benda tersambar. Caping lebar
di atas kepala Eyang Selaksa amblas mental dan han-
cur berkeping-keping terkena sambaran tangan kanan
Kali Nyamat! Sementara terjangan sepasang kaki Kali
Nyamat menghajar angin sejengkal di samping ping-
gang Eyang Selaksa.
Saat itulah Eyang Selaksa tebaskan kedua tan-
gannya ke bawah, memburu sepasang kaki Kali Nya-
mat yang luput menghajar sasaran. Namun Eyang Se-
laksa jadi melengak kaget, karena kejap itu juga dengan gerakan cepat menakjubkan, Kali Nyamat putar
tubuhnya. Sepasang kakinya menyapu dengan tubuh
membalik!
Prakkk!
Eyang Selaksa menjerit tertahan. Bahunya te-
rasa ambrol terhantam kaki kiri Kali Nyamat. Tubuh-
nya mental berputar dan terhuyung-huyung ke bela-
kang. Kakek ini mencoba menahan gerak tubuhnya
agar tidak roboh, namun nyatanya putaran itu begitu
keras, hingga lutut kakek ini tampak goyah. Pada ak-
hirnya dengan dipegangi bahu kirinya, Eyang Selaksa
jatuh terduduk!
Di lain pihak, Kali Nyamat segera melayang tu-
run dan menjejak tanah dengan tawa cekikikan. Agak
jauh, Ajeng Roro mengawasi dengan bibir saling men-
gatup.
"Selaksa! Berdoalah sebelum ajal merenggut
nyawamu!" berkata Kali Nyamat. Dari balik pakaiannya
yang ternyata rangkap dua, perempuan bertubuh sub-
ur ini keluarkan sebuah selendang panjang berwarna
merah.
"Kali Nyamat! Kau tak usah banyak ucap. Na-
mun perlu kau camkan, mati hidup seseorang tidak di-
tentukan oleh manusia!" kata Eyang Selaksa seraya
merambat bangkit.
"Hik.... Hik.... Hik.... Seseorang memang baru
akan mengingat Tuhan di kala hidupnya telah berada
di ujung tanduk. Tapi kita buktikan dahulu, apakah
tanganku memang tidak sanggup merenggutkan satu
persatu anggota tubuhmu dan mengantarmu ke liang
lahat!"
Habis berkata begitu Kali Nyamat kebutkan se-
lendang merahnya. Serangkum angin deras berkelebat
angker dan mendahului meluruk ke arah Eyang Selaksa.
Eyang Selaksa dorong kedua tangannya ke de-
pan. Sementara kedua kakinya diangkat sejengkal di
atas tanah!
Plaaarrr!
Terdengar letupan keras saat angin yang keluar
dari kedua tangan Eyang Selaksa melabrak deru angin
yang mendahului kelebatnya selendang. Hebatnya, ge-
rakan selendang itu seakan tertahan oleh hamparan
angin yang ternyata menderu tak henti-henti dari tela-
pak tangan Eyang Selaksa.
"Edan!" sungut Kali Nyamat sambil menarik se-
lendang merahnya. Tubuhnya dia tarik ke belakang.
Selendang merah itu kini tiba-tiba menjadi keras serta
menghampar lurus! Dan tetap mengapung di atas uda-
ra!
Seraya membentak garang, mendadak Kali
Nyamat berkelebat. Dan tahu-tahu tubuhnya telah me-
langkah cepat di atas selendang! Hebatnya, dimuati
tubuh sebesar itu, selendang merah itu tak meliuk!
Seraya melengak kagum, Eyang Selaksa tam-
bah tenaga dalamnya, hingga saat itu juga dari kedua
telapak tangannya gelombang angin deras menyambar
tak henti-hentinya.
Kali Nyamat membeliakkan sepasang matanya.
Sanggulan rambutnya terlepas dan rambutnya berki-
bar-kibar, demikian juga pakaiannya. Sejenak tubuh
perempuan ini tampak oleng di atas selendang. Namun
sebelum tubuhnya jatuh terjerembab dari atas selen-
dang, Kali Nyamat bergerak cepat gulingkan tubuhnya!
Kini tubuh besar perempuan ini bergerak
menggelundung di atas selendang dan menerabas deru
angin serangan Eyang Selaksa!
Begitu hampir sampai ujung selendang, tiba-
tiba keluar seruan keras dari mulut Kali Nyamat. Tu-
buhnya terhenti mendadak, dan serta-merta kaki kanannya bergerak melejang ke dada Eyang Selaksa!
Kakek ini segera turunkan tangannya dan dis-
ilangkan di depan dada untuk menangkis!
Namun kakek ini tertipu, karena begitu sejeng-
kal lagi kaki kanan Kali Nyamat menghantam tangan,
perempuan besar ini tarik kaki kanannya. Tubuhnya
berputar dan kini dari arah depan dengan duduk ke-
dua kaki Kali Nyamat menghentak dari arah kanan
dan kiri mengarah pada kepala Eyang Selaksa!
Merasa tertipu, kakek ini cepat pula angkat
kembali kedua tangannya untuk melindungi kepa-
lanya. Saat itulah dengan membentak kedua tangan
Kali Nyamat bergerak menggedor dada Eyang Selaksa
yang lowong!
Desss!
Eyang Selaksa terpekik kesakitan. Tubuhnya
melayang jauh ke belakang! Namun bersamaan dengan
masuknya serangan Kali Nyamat, Eyang Selaksa masih
sempat hentakkan kedua tangannya pada dua kaki
Kali Nyamat. Hingga bersamaan dengan melayangnya
tubuh Eyang Selaksa, tubuh besar Kali Nyamat terje-
rembab ke atas tanah dengan pantat terlebih dahulu!
Bummm!
Perempuan bertubuh besar ini menggerutu ha-
bis-habisan. Tanah tempat dirinya jatuh terjerembab
bergetar hebat. Hebatnya, seakan tak merasakan sakit,
Kali Nyamat segera bangkit dan mengebutkan selen-
dang merahnya. Selendang itu meliuk ke atas dan se-
kejap kemudian ujungnya telah tertangkap oleh tangan
Kali Nyamat.
Di seberang, Eyang Selaksa terbatuk-batuk dan
meludah ke tanah. Darah berwarna kehitaman nam-
pak keluar pertanda dia telah terluka cukup dalam.
Sejenak Kali Nyamat pandangi kekasih di masa
mudanya itu dengan pandangan aneh. Kebimbangan
kembali menyeruak di wajah perempuan gembrot ini.
Namun tatkala teringat pada tingkah Eyang Selaksa
yang telah menyakitinya, matanya berkilat-kilat merah.
"Edan! Kenapa aku selalu tak tega jika kea-
daannya sudah begini? Apakah aku masih mencin-
tainya...? Benar-benar edan! Kalau dia mau kasih tahu
di mana beradanya Mekar Sari, mungkin aku masih
memperpanjang usianya. Bila tidak, apa boleh buat!
Dia harus mampus, meski sebenarnya aku berat...,"
membatin Kali Nyamat. Lalu perempuan ini melangkah
mendekati Eyang Selaksa yang kini telah berdiri seraya
batuk-batuk memegangi dadanya.
"Bila perempuan gembrot ini terus hendak me-
maksakan niat untuk membunuh Eyang, aku tak akan
tinggal diam, meski apa yang dikatakan Eyang belum
tentu benar adanya!" berkata Ajeng Roro dalam hati
sambil terus memperhatikan. Tangan gadis ini diam-
diam telah dialiri tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
"Selaksa!" kata Kali Nyamat begitu hampir de-
kat. "Sekali lagi kuperingatkan. Katakan di mana bera-
danya Mekar Sari. Dan sebagai imbalannya, hari ini
usiamu ku perpanjang!"
Eyang Selaksa luruskan tubuh. Sepasang ma-
tanya menatap tajam. Namun sesaat kemudian yang
terdengar adalah suara tawanya yang tersendat-
sendat.
Di lain pihak, seraya tetap menunggu jawaban,
Kali Nyamat pun keluarkan tawa cekikikan, membuat
Ajeng Roro geleng-geleng kepala seraya menggumam.
"Heran. Baik yang akan menurunkan tangan
kematian atau yang hendak menghadapi kematian sa-
ma-sama sintingnya. Mereka sepertinya anak-anak
yang main-main...."
Karena ditunggu hingga lama Eyang Selaksa
hanya tertawa-tawa, Kali Nyamat habis kesabaran.
"Tampaknya kau pilih mati daripada buka sua-
ra! Hik.... Hik.... Hik...!"
Eyang Selaksa hentikan tawanya. Kepalanya
tengadah ke atas memandang langit.
"Sebenarnya tidak juga, Kali Nyamat. Aku
hanya ingin mengukur rasa cintamu padaku! Apakah
masih menggelora seperti diriku!"
Mendengar perkataan Eyang Selaksa, Kali
Nyamat memperkeras cekikikannya. Namun tiba-tiba
perempuan ini hentikan cekikikannya. Setelah melu-
dah tiga kali ke tanah, dia berkata dalam hati, "Tua
edan tak tahu diri. Saat menghadapi kematianmu ma-
sih sempat bicara cinta segala macam!" lalu Kali Nya-
mat berkata dengan suara tinggi.
"Puiiih. Cinta. Apa kau kira dengan kata-
katamu itu aku jatuh kasihan padamu. Hik.... Hik....
Hik...! Kau salah alamat Selaksa!"
Habis berkata begitu, Kali Nyamat kebutkan
kembali selendang merahnya.
Terdengar suara angker berkelebatnya selen-
dang yang diiringi menebarnya hawa panas!
Eyang Selaksa yang telah terluka dalam terce-
kat. Dia sama sekali tak menduga jika kekasih di masa
mudanya itu benar-benar hendak menurunkan tangan
kematian padanya.
Seraya menindih rasa tak percaya, Eyang Se-
laksa jatuhkan diri di atas tanah, menghindari sabetan
selendang merah yang telah diketahui kehebatannya.
Namun tampaknya Kali Nyamat tak memberi peluang
pada Eyang Selaksa. Karena begitu selendangnya
menghajar tempat kosong, Kali Nyamat kembali ke-
butkan selendang ke arah mana Eyang Selaksa berge-
rak menghindari
Karena saat itu Eyang Selaksa telah terluka,
membuat gerakannya tidak lagi gesit, hingga pada sua
tu kesempatan, selendang merah Kali Nyamat berhasil
melibat kaki Eyang Selaksa dan serta-merta disentak-
kan dengan keras.
Tubuh Eyang Selaksa terbanting ke atas tanah
dan kini bergulingan ke arah Kali Nyamat. Sementara
Kali Nyamat dengan tertawa cekikikan menarik selen-
dangnya dan berkelebat berputar mengitari tubuh
Eyang Selaksa.
Eyang Selaksa terpekik beberapa kali, malah
pada pekikan yang terakhir, tidak lagi terdengar suara,
hanya korokan laksana orang sekarat.
Ajeng Roro yang melihat kejadian itu segera
angkat kedua tangannya dan hendak dihantamkan
pada Kali Nyamat.
Namun Ajeng Roro segera urungkan niat tatka-
la dari arah samping mendadak berkelebat bayangan
hijau dan bersamaan dengan itu menderu angin dah-
syat menghantam pada pergelangan tangan Kali Nya-
mat!
"Edan! Siapa campuri urusan orang?!" teriak
Kali Nyamat seraya palingkan wajah. Tangannya yang
memegang selendang dan kini sedang menarik tubuh
Eyang Selaksa bergetar hebat. Meski perempuan ber-
tubuh gembrot ini sudah coba kerahkan tenaga untuk
bertahan, namun hantaman angin itu seakan tak bisa
dibendung, hingga dengan berteriak marah, perem-
puan itu lepaskan tarikannya pada tubuh Eyang Se-
laksa!
Tubuh Eyang Selaksa bergulingan deras di atas
tanah dan baru terhenti saat Ajeng Roro melompat
menahan. Dengan perlahan-lahan disandarkannya tu-
buh eyangnya itu di batang pohon.
"Eyang.... Aku akan membantu dengan salur-
kan tenaga dalam ke tubuhmu!" kata Ajeng Roro se-
raya jongkok dan siap tempelkan telapak tangannya
pada dada kakek gurunya itu.
Namun Eyang Selaksa menggeleng perlahan
dan berkata, "Tak usah Roro. Aku tak apa-apa. Sega-
lanya akan normal kembali.... Hm.... Siapa gerangan
orang yang menyelamatkan aku tadi...?"
Baru saja Eyang Selaksa berkata begitu, ter-
dengar suara lantang Kali Nyamat, membuat dua
orang guru dan murid ini sama-sama palingkan wajah
ke arah beradanya Kali Nyamat.
"Siapa kau kecoa kecil?!" bentak Kali Nyamat
dengan wajah merah padam. Sepasang matanya mem-
beliak seolah hendak meloncat keluar. Dagunya te-
rangkat dengan pelipis bergerak-gerak. Namun mulut-
nya keluarkan tawa cekikikan, membuat tubuhnya
bergerak-gerak. Lalu terdengar suara gemerincingnya
anting-anting.
"Heran. Sewaktu bertempur dengan Eyang, tak
kudengar suara gemerincingnya anting-anting...," gu-
mam Ajeng Roro seraya memperhatikan daun telinga
Kali Nyamat.
"Itulah, Roro. Dia memang tokoh yang ilmunya
sukar diukur. Dalam gerakan bertempur pun dia ma-
sih dapat meredam suara gemerincingnya anting-
anting yang dipakainya. Kau tahu, kenapa sewaktu
bertempur denganku, Kali Nyamat meredam suara ge-
merincing anting-antingnya?"
Ajeng Roro gelengkan kepala tanpa menoleh.
Pandangannya masih lurus ke depan, mencoba men-
genali sosok yang kini berhadapan dengan Kali Nya-
mat, karena sosok itu membelakangi dirinya.
"Karena anting-anting yang dikenakan Kali
Nyamat adalah anting-anting pemberianku dahulu...!"
"Eyang.... Bukankah orang itu...," Ajeng Roro
tak meneruskan ucapannya. Dia seakan belum yakin
benar dengan pandangan matanya.
Eyang Selaksa tersenyum, namun dia segera
meringis, karena tatkala dibuat tersenyum dadanya te-
rasa sakit. Setelah menyalurkan tenaga dalam, kakek
ini kembali tersenyum dan berkata.
"Betul! Orang itu adalah Aji...," kata Eyang Se-
laksa seraya memperhatikan ke depan.
Mendengar ucapan Eyang Selaksa, Ajeng Roro
tanpa sadar melompat girang. Namun gadis ini segera
sadar dan cepat tekap mulutnya yang hendak berte-
riak. Paras mukanya bersemu merah dan tak berani
berpaling ke arah eyangnya.
Di seberang, sosok berbaju hijau yang telah
menyelamatkan Eyang Selaksa tersenyum-senyum di-
bentak demikian rupa oleh Kali Nyamat. Malah, den-
gan tawa tertahan, sosok hijau ini memandangi pe-
rempuan bertubuh besar di hadapannya, membuat
orang yang dipandangi semakin membeliakkan sepa-
sang matanya.
"Edan! Siapa ini orang? Tenaga dalamnya begi-
tu luar biasa!" membatin Kali Nyamat seraya melotot
memperhatikan orang di hadapannya. Lalu dengan su-
ara galak, dia kembali berkata, "Kau pilih mati atau
buka suara! Hik.... Hik.... Hik...!"
Orang berbaju hijau di hadapan Kali Nyamat
sejenak masih tersenyum-senyum. Orang ini yang ter-
nyata adalah seorang pemuda tampan dan bukan lain
adalah Aji Saputra Alias Pendekar Mata Keranjang 108
malah palingkan wajah. Menatap pada Eyang Selaksa
dan membungkuk sebentar. Lalu alihkan pandangan
pada Ajeng Roro dengan kerdipkan sebelah matanya.
Eyang Selaksa mengangguk perlahan, sementa-
ra Ajeng Roro balas menatap dengan semburat berse-
mu merah. Apalagi tatkala didengarnya Eyang Selaksa
batuk-batuk kecil dan mendehem.
Di lain pihak, merasa tidak digubris, Kali Nya
mat naik pitam. Seraya cekikikan Kali Nyamat ke-
butkan selendang merahnya perlahan ke arah tubuh-
nya. Serta-merta selendang merah itu melilit pinggang
Kali Nyamat. Dan begitu selendang melilit, Kali Nyamat
segera berkelebat. Sosoknya yang begitu besar lenyap
dari pandangan, membuat Pendekar 108 terperangah
kaget dan tak menduga.
"Gila! Bagaimana orang segede itu bisa bergerak
secepat ini? Atau mataku yang sudah tidak dapat me-
lihat dengan sempurna?" membatin murid Wong Agung
ini seraya kucek-kucek sepasang matanya dengan
punggung tangan kanan.
Selagi Pendekar 108 dibuat tak percaya dengan
penglihatan matanya, terdengar suara cekikikan yang
diseling dengan suara gemerincing. Dan belum sempat
Pendekar 108 melihat apa yang terjadi, dari atas kepa-
lanya menderu angin dahsyat.
"Aji! Awas serangan!" teriak Ajeng Roro seraya
gigit bibir.
Seraya menekan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang cepat tengadahkan kepala. Lalu dengan ges-
er kaki kanannya kedua tangannya diangkat ke atas
kepala.
Praaak!
Terdengar benturan keras. Tubuh Aji Saputra
terseret hingga satu tombak ke samping. Untung dia
segera membuat gerakan jungkir balik dua kali. Jika
tidak, niscaya tubuhnya akan jatuh terjengkang. Di
lain pihak, Kali Nyamat yang ternyata baru saja sapu-
kan kaki kanannya memburu ke arah Pendekar 108.
"Gila! Tanganku terasa hendak terpenggal. Sia-
pa sebenarnya perempuan ini? Eyang Selaksa tidak...."
Murid Wong Agung ini tak bisa melanjutkan ka-
ta hatinya, karena saat itu juga sosok besar Kali Nya-
mat telah menerjang ke arahnya dengan kedua kaki
dan tangan bergerak bersiutan yang sukar ditangkap
pandangan mata.
Mendapati serangan demikian, Pendekar 108
tak mau bertindak gegabah. Dia sadar, orang yang di-
hadapi kali ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
Maka seraya angkat kedua tangannya di atas kepala,
Aji putar tubuhnya dengan cepat.
Kali Nyamat tertawa cekikikan. Tiba-tiba dia
tukikkan tubuhnya tanpa melakukan serangan. Malah
dengan tetap tertawa-tawa dia berdiri tegak di hadapan
Aji yang masih memutar tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 merasa heran,
karena sekian lama memutar tubuh, dia tak merasa-
kan adanya serangan, bahkan menderanya angin pun
tidak. Dengan rasa heran melanda pikiran, murid
Wong Agung ini hentikan putaran tubuhnya. Namun
pada saat itulah dua buah benda besar berkelebat
menghantam ke arah muka Pendekar 108.
Pendekar 108 terkejut bukan alang kepalang.
Serentak Pendekar 108 dorongkan kedua tangannya.
Namun gerakannya terlambat. Karena baru saja kedua
tangannya bergerak, dua tangan telah berkelebat me-
nyambar!
Paaasss!
Rambut panjang Pendekar Mata Keranjang 108
yang dikuncir ekor kuda tersambar bagian samping.
Hingga ikatan rambut itu terlepas. Untung murid
Wong Agung ini cepat rundukkan kepalanya. Hingga
meski rambutnya sedikit terabas, namun kepalanya te-
tap terhindar dari hantaman telak.
Namun Pendekar 108 tidak begitu saja bisa
enak-enakan. Karena begitu mendapati serangan yang
dilancarkan hanya bisa memangkas sedikit rambut la-
wan, Kali Nyamat keluarkan dengusan keras. Dan ber-
samaan dengan itu dia dorong kedua tangannya, ki
rimkan serangan jarak jauh! Karena setelah berhasil
menghindar, Pendekar 108 cepat meloncat ke bela-
kang.
Wuuusss!
Angin dahsyat laksana gelombang dan kelua-
rkan suara menggemuruh menyambar ke arah Pende-
kar 108.
Pendekar 108 kepalkan kedua tangan, lalu di-
pukulkan ke depan. Murid Wong Agung ini ternyata te-
lah kirimkan pukulan 'Segara Geni'. Hingga saat itu
juga dari kedua tangannya yang seketika dibuka mele-
sat gelombang angin yang membawa hawa panas dan
suara menggeledak.
Plaaarrr!
Terdengar letupan hebat ketika dua serangan
bertenaga dalam itu bertemu di udara. Bersamaan
dengan terdengarnya letupan, tubuh Pendekar 108
terhuyung-huyung ke belakang. Di pihak lain, tubuh
Kali Nyamat hanya tersurut dua langkah ke belakang
dan tetap dalam posisi tegak kokoh.
"Kunyuk Edan. Waktuku akan habis jika hanya
main-main begini!" rutuk Kali Nyamat seraya lepas se-
lendang merah dari pinggangnya.
"Aji. Hati-hati...!" seru Ajeng Roro begitu meli-
hat Kali Nyamat melepas selendang merahnya.
Kali Nyamat palingkan wajah pada Ajeng Roro,
lalu beralih pada Pendekar 108 yang kini telah kelua-
rkan kipas ungunya dan dikipas-kipaskan di bawah
dagu.
"Hik... Hik... Hik...! Tampaknya kalian sepasang
kekasih. Betul?" berkata Kali Nyamat seraya geleng-
gelengkan kepala, membuat gemerincing anting-
antingnya berbunyi makin keras.
"Salah, betul!" jawab Pendekar Mata Keranjang
108 seraya kerlingkan mata pada Ajeng Roro. Yang di
kerling mendelik dengan paras merah padam sulit di-
artikan. Sementara Eyang Selaksa kembali geleng-
gelengkan kepala.
"Siapa kau?! Dan apa kuasamu tanya-tanya
masalah hubunganku?!" sambung Pendekar 108 se-
raya tetap berkipas-kipas.
Kali Nyamat memperkeras cekikikannya. Lalu
berkata.
"Anak bodoh! Siapa tanya hubunganmu. Aku
hanya menduga. Karena jika betul, aku gembira sekali.
Berarti Tua Bangka itu tidak menjadikan gadis itu se-
bagai gundiknya. Hik.... Hik.... Hik...!"
"Tampaknya kau cemburu. Apa kau mencintai
eyangku itu...?!" kata Pendekar 108 seraya lirikkan se-
pasang matanya.
Kali Nyamat serta-merta hentikan cekikikan-
nya. Sepasang matanya menatap tajam tak kesiap.
Namun ekor sebelah matanya melirik ke arah Eyang
Selaksa yang tampak terkejut juga mendengar ucapan
Aji.
"Ha.... Ha.... Ha...! Dari perubahan wajahmu,
dugaanku tak meleset. Kau sebenarnya menyintai
eyangku. Betul?" kini balik Pendekar 108 yang menga-
jukan pertanyaan.
"Haram jadah! Siapa sudi menyintai Tua Bang-
ka bermulut pembual itu?" kata Kali Nyamat seraya
memberengutkan wajah. Perempuan ini lantas melu-
dah ke tanah dengan menampakkan rasa jijik.
Di seberang, Ajeng Roro menggerendeng pan-
jang pendek, sementara Eyang Selaksa tertawa ter-
pingkal-pingkal.
"Jahanam! Apa yang kau tertawakan?! Hik....
Hik.... Hik...!" bentak Kali Nyamat seraya luruskan
pandangan pada Eyang Selaksa. Dan demi dilihatnya
Eyang Selaksa terus tertawa, Kali Nyamat marah. Tanpa berkata-kata lagi perempuan bertubuh gembrot ini
lepaskan selendang merahnya ke arah Eyang Selaksa.
Namun sebelum selendang itu berkelebat, Pen-
dekar 108 segera melompat seraya kibaskan kipas un-
gunya.
Wuuuttt!
Kali Nyamat segera berpaling. Selendang merah
dia tarik dan serta-merta dikebutkan ke arah Pendekar
Mata Keranjang.
Selendang merah meliuk deras dengan kelua-
rkan suara menggidikkan.
Pendekar Mata Keranjang 108 terperangah ka-
get, karena sambaran angin yang melesat lepas dari
kipasnya seakan terabas dan hilang lenyap tertelan
sambaran selendang! Malah liukan selendang itu kini
menghampar ke arahnya!
Untuk kedua kalinya murid Wong Agung ini ki-
baskan kipasnya. Kali ini dengan pengerahan tenaga
penuh, bahkan tangan kirinya pun ikut bergerak
menghantam ke depan dengan telapak terbuka.
Liukan selendang merah tiba-tiba laksana ter-
tahan oleh hamparan angin dahsyat, hingga gerakan-
nya lamban bahkan mental balik!
Kali Nyamat melengak saking kagetnya. Baru
pertama kali ini serangannya dapat ditahan dan men-
tal balik menghantam ke arahnya sendiri. Dari mulut-
nya terdengar suara sumpah serapah. Namun semua
itu hanya sesaat. Sebentar kemudian yang terdengar
adalah suara cekikikannya serta gemerincing anting-
anting giwangnya yang bergerak seiring berkelebatnya
Kali Nyamat ke arah samping. Dari samping, perem-
puan gembrot ini kebutkan kembali selendang merah-
nya.
Selendang merah meliuk ke depan. Namun kali
ini tiba-tiba lurus dan menghampar di udara. Lalu
dengan gerakan yang sulit ditangkap mata, kedua tan-
gan Kali Nyamat mendorong ke depan. Sementara pe-
gangan tangannya pada ujung selendang dia lepaskan!
Selendang merah bergerak lurus ke depan den-
gan cepat.
Di seberang, Pendekar Mata Keranjang 108
kembali dibuat terkagum-kagum dengan serangan la-
wan. Seraya melompat ke belakang, pendekar murid
Wong Agung ini segera kebutkan kipasnya, sedang
tangan kirinya menyentak ke depan.
Seberkas cahaya keputihan menebar keluar da-
ri kipas dan tangan Pendekar Mata Keranjang 108.
Anehnya, gerak laju selendang merah tak terha-
langi, malah menerabas cahayanya keputihan dan me-
luruk ke arah Pendekar Mata Keranjang 108!
Aji kembali membuat gerakan melompat ke be-
lakang untuk menghindar. Namun kali ini gerakannya
kalah cepat dengan laju selendang. Untung dia masih
sempat menggeser tubuh ke samping, hingga meski
tubuhnya terbanting deras namun dada dan kepalanya
selamat dari hantaman lurus selendang yang ternyata
berubah keras laksana kayu pipih!
"Gila! Ini baru benar-benar gila!" rutuk Pende-
kar 108 seraya merambat bangkit. Sementara Ajeng
Roro menyaksikan dengan rasa cemas dan khawatir.
Bahkan tampaknya dia ingin juga segera melangkah
maju. Namun langkahnya tertahan tatkala didengar-
nya Eyang Selaksa berkata.
"Roro. Kau tak usah terlalu cemas. Kali Nyamat
tak akan menurunkan tangan untuk membunuh Aji.
Percayalah! Dia hanya sakit hati padaku. Tidak pada
Aji...!"
"Tapi, Eyang...."
"Percayalah. Aku tahu siapa Kali Nyamat...!" kata Eyang Selaksa meyakinkan Ajeng Roro.
"Hik.... Hik.... Hik...! Nasibmu buruk sekali,
Anak Monyet! Kau harus mampus sebelum sempat
bersanding dengan gadis cantik itu!"
Pendekar 108 kertakkan rahang disebut Anak
Monyet. Dia alirkan tenaga dalam siap lepaskan puku-
lan 'Bayu Cakra Buana'. Namun baru saja hendak ber-
gerak, Kali Nyamat telah berkelebat. Tangan kanannya
menyahut ujung selendang, dan serta-merta dike-
butkan!
Selendang merah kembali meliuk. Kini lemas
meliuk-liuk dengan keluarkan suara berdesir. Begitu
selendang bergerak meliuk, Kali Nyamat ikut berkele-
bat memutar.
Pendekar Mata Keranjang 108 memekik terta-
han. Karena tubuhnya terasa tegang dan tak bisa di-
gerakkan. Ternyata selendang merah telah melilit tu-
buhnya!
Pendekar 108 kerahkan tenaga untuk membe-
baskan diri dari lilitan selendang. Namun begitu dia
kerahkan tenaga, lilitan itu dirasa semakin melilit. Dan
sebelum murid Wong Agung ini mendapat jalan untuk
melepaskan diri, Kali Nyamat tarik selendang merah-
nya.
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 berputar,
dan begitu lilitan terlepas, tubuh Aji terbanting di atas
tanah!
Kali Nyamat melangkah mendekat. Dan kali ini,
tanpa berkata-kata lagi, kaki kanannya bergerak hen-
dak menendang tubuh Aji yang masih terkapar di atas
tanah!
Saat itulah, serangkum angin dahsyat meng-
hampar ke arah murid Wong Agung seolah mengha-
langi tendangan yang hendak dikirimkan Kali Nyamat.
***
EMPAT
MESKI tampak terperangah kaget, namun pe-
rempuan bertubuh gembrot ini tak hendak urungkan
niat. Dia teruskan tendangan. Dan begitu tendangan
sejengkal lagi menghantam, kembali serangkum angin
berdesir dahsyat. Tendangan kaki Kali Nyamat melen-
ceng menghajar angin sejengkal di samping tubuh
Pendekar 108.
Kali Nyamat menggeram marah. Seraya paling-
kan wajah, kedua tangannya bergerak. Tangan kanan
kebutkan selendang, sementara tangan kiri memukul.
Bersamaan dengan kelebatnya selendang dan
melesatnya angin yang keluarkan suara menggemu-
ruh, sesosok tubuh melenting ke udara seraya berte-
riak.
"Gembung! Tak layak kau bertangan besi pada
anak kecil. Apalagi dia sudah tak berdaya!"
"Kau...!" desis Kali Nyamat begitu tahu siapa
adanya sosok yang berteriak dan baru saja selamatkan
jiwa Pendekar Mata Keranjang dari tendangan kaki.
Di hadapan Kali Nyamat berdiri tegak sesosok
tubuh kurus kering. Rambutnya yang sangat tipis dan
tampak kaku disanggul lurus ke atas, hingga mirip se-
buah tusuk konde. Sepasang kakinya yang kurus kecil
mengenakan terompah sangat besar dari kayu berwar-
na hitam.
"Tikus kurus! Seharusnya sejak kecil dulu kau
mesti kugencet. Aku sekarang menyesal! Menyesal
mengapa tidak menggencetmu sejak dulu-dulu! Hik....
Hik.... Hik...!"
Orang yang memakai terompah besar dan bu-
kan lain adalah Rayi Seroja atau Dewi Bayang-Bayang
yang juga adalah adik kandung Kali Nyamat tersenyum-senyum mendengar ucapan kakaknya.
"Tikus kurus!" kembali Kali Nyamat berkata.
Nada suaranya tinggi, sementara sepasang matanya
tak memandang ke arah Rayi Seroja. "Lekas minggat
dari hadapanku mumpung otakku masih waras. Jika
tidak, aku akan menutup mata walau sama saudara!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Mendengar ancaman, Rayi Seroja bukannya ta-
kut. Dia dongakkan kepalanya sembari tersenyum. La-
lu dengan enaknya duduk menggelosor seraya pan-
dangi Pendekar 108 lalu beralih pada Eyang Selaksa
dan berujung pada Ajeng Roro. Lalu dengan sedikit
bungkukkan tubuh dia berkata.
"Sobatku, Selaksa. Puluhan tahun kita tak
jumpa. Bagaimana keadaanmu? Terimalah salam dan
hormatku...!" setelah batuk-batuk beberapa kali dan
tersenyum perempuan kurus kering ini alihkan pan-
dangannya pada Pendekar Mata Keranjang dan berka-
ta.
"Pemuda berparas tampan, hm.... Aku rasa-
rasa belum pernah melihat dan mengenalmu, tapi me-
lihat sorot matamu, aku rasa kau pemuda bermata ke-
ranjang. Meski aku benci itu, namun sambutlah per-
kenalanku...!"
Walau dalam hati menggerendeng panjang pen-
dek tak karuan, namun mengingat jasa serta sebutan
sobat pada Eyang Selaksa membuat murid Wong
Agung itu membalas sapaan Rayi Seroja dengan juraan
hormat.
Lantas perempuan bertubuh kurus kering ini
berpaling pada Ajeng Roro. Setelah tersenyum dia ber-
kata, "Anak gadis berwajah cantik. Tentunya kau mu-
rid sobatku Selaksa. Hmm..., sayang aku tak punya
murid laki-laki. Jika punya, mungkin sobatku Selaksa
tak keberatan bila kuakan berbesan...." Perempuan ini
lantas mengangguk yang dibalas pula anggukan kepala
oleh Ajeng Roro meski dengan raut bersemu merah.
Melihat tingkah adiknya, Kali Nyamat keraskan
cekikikannya. Lalu berkata, "Tikus tolol! Kuhitung
hingga tujuh. Jika kau tak segera bangkit serta angkat
kaki dari depan hidungku, jangan salahkan Emak
mengandungmu bila kau harus tewas di tanganku!
Hik.... Hik.... Hik...!"
Rayi Seroja palingkan wajah menghadap Kali
Nyamat. Setelah sunggingkan senyum dia berkata
dengan wajah merah padam.
"Sialan kau, Gembung! Beraninya kau memaki-
ku serta Emak! Aku tak akan tinggalkan tempat ini.
Lagi pula apa jabatanmu hingga berani mengusirku.
Ini adalah tempat sobatku Selaksa. Dialah yang berhak
menentukan siapa di antara kita yang harus angkat
kaki!"
"Jahanam! Kau memang tikus yang tak mau
diuntung. Sekarang saudara tinggal saudara. Terima-
lah kematianmu!"
"Terserah kau bilang apa. Yang pasti, kau tetap
saudaraku!" sahut Rayi Seroja dengan tidak meman-
dang.
Di seberang, baik Pendekar 108 atau Ajeng Ro-
ro geleng-geleng kepala kebingungan. Sementara
Eyang Selaksa yang tampaknya sudah tahu sifat ke-
dua orang ini hanya senyum-senyum.
Kali Nyamat yang mendapat jawaban seenak-
nya dari adik kandungnya ini tampaknya tak dapat la-
gi menguasai kemarahan yang sedari tadi ditahan-
tahan. Perempuan bertubuh gembrot ini segera angkat
tangan kirinya. Sementara tangan kanannya kebutkan
selendang!
Selendang merah berkelebat angker, sementara
dari tangan kiri menyambar hamparan angin dahsyat
berhawa panas!
Rayi Seroja masih tampak tenang-tenang saja.
Baru tatkala selendang dan hamparan angin sedepa
lagi menghajar tubuhnya, perempuan kurus kering ini
melesat tinggi ke udara. Di atas udara tubuhnya ber-
putar laksana baling-baling. Dan tiba-tiba terdengar
suara bentakan nyaring. Lalu bersamaan dengan itu
sosok Rayi Seroja lenyap dari pandangan.
Di kejap kemudian, terjadilah hal yang hampir
tak dapat dipercaya. Sosok kurus Rayi Seroja tahu-
tahu bergoyang-goyang di atas selendang Kali Nyamat
yang bergerak meliuk-liuk mencari sasaran!
"Ehhh.... Ehhh.... Rasa-rasanya lebih enak ber-
goyang di sini daripada harus duduk menggelosoh di
sana!" berkata Rayi Seroja seraya lejang-lejangkan ke-
dua kakinya.
Karena lejangan kaki ini bukan lejangan biasa,
maka bersamaan dengan melejang-lejangnya kaki yang
berterompah besar itu menebar angin dahsyat yang
mengarah pada Kali Nyamat dari berbagai jurusan!
"Tikus Edan!" gerutu Kali Nyamat seraya sen-
takkan selendangnya. Hebatnya, begitu Kali Nyamat
sentakkan selendang, Rayi Seroja rebahkan diri di atas
selendang dan mencoba mencekal kelebatan selen-
dang. Namun gerakannya kalah cepat. Sebelum tan-
gannya berhasil mencekal kedua samping selendang,
selendang itu telah tertarik ke belakang!
Mendapati hal ini, Rayi Seroja kerahkan tenaga
dalam. Dan kembali terjadi hal yang luar biasa. Sosok
kurus Rayi Seroja yang dalam rimba persilatan lebih
dikenal dengan Dewi Bayang-Bayang duduk dengan
kaki mencangklong di atas udara! Bukan hanya sam-
pai di situ, seraya duduk mengapung di atas udara,
Dewi Bayang-Bayang ini tersenyum-senyum seraya
kerdipkan sepasang matanya pada Pendekar Mata Keranjang 108!
Pendekar 108 balas dengan kerdipkan sebelah
matanya, membuat Eyang Selaksa tertawa tertahan,
sementara Ajeng Roro alihkan pandangan dengan pa-
ras memberengut.
"Perempuan tak tahu malu. Tua-tua masih juga
suka main mata!" rutuk Ajeng Roro dengan bantingkan
kaki.
Di seberang, melihat Rayi Seroja enak-enakan
mengapung di udara, Kali Nyamat yang juga lebih di-
kenal dengan gelar Dewi Kayangan keluarkan cekiki-
kan panjang. Lantas dengan pentangkan kedua ka-
kinya, dia kebutkan kembali selendang merahnya.
Untuk kali ini tampaknya Dewi Bayang-Bayang
tak ingin lagi melewatkan kesempatan. Begitu selen-
dang berkelebat, tubuhnya melenting ke udara. Sete-
lah membuat gerakan berputar beberapa kali, tiba-tiba
tubuhnya melayang turun dengan deras.
Dewi Kayangan putar-putar selendang merah-
nya, hingga selendang itu berubah menjadi laksana
hamparan kayu pipih namun sebentar kemudian be-
rubah lagi, berubah laksana bayang-bayang ular yang
mengurung dan menyabet ke sana kemari dengan ke-
luarkan suara menderu-deru.
"Sial!" terdengar rutukan dari mulut Dewi
Bayang-Bayang, karena ternyata perempuan kurus
kering itu tak bisa menerabas kurungan selendang. Di
lain pihak, Dewi Kayangan perkeras tawa cekikikan-
nya, lantas dengan didahului bentakan nyaring tinggi,
dia tarik sedikit selendangnya, sementara tangan ki-
rinya menyentak dari bawah!
Dewi Bayang-Bayang keluarkan suara menjerit
tertahan. Selendang merah tahu-tahu telah melilit tu-
buhnya. Dan bersamaan dengan menyambarnya angin
dari tangan kiri Dewi Kayangan, tubuh Dewi Bayang
Bayang melenting ke udara dengan tubuh masih terlilit
selendang.
Dewi Kayangan lantas tarik pulang balik selen-
dangnya beberapa kali. Di atas udara, kembali Dewi
Bayang-Bayang keluarkan jeritan tertahan beberapa
kali. Tubuhnya bergerak pulang balik di udara! Se-
iring pulang baliknya selendang Dewi Kayangan.
Dewi Bayang-Bayang pejamkan sepasang ma-
tanya, dia coba mengerahkan tenaga untuk lepaskan
diri dari belitan selendang. Namun nyatanya belitan itu
begitu kuat, hingga sampai pakaiannya basah kuyup
oleh keringat, perempuan kurus kering ini tak dapat
lepaskan diri.
"Sial! Benar-benar sial!" kembali terdengar ru-
tukan dari mulut Dewi Bayang-Bayang yang tubuhnya
masih berada di atas udara seraya terbelit. Di bawah,
Dewi Kayangan terus mempermainkan selendangnya,
malah sesekali diputar lalu ditarik pulang balik sedikit-
sedikit. Sembari mempermainkan selendang, dari mu-
lutnya tak henti-henti keluar suara tawa cekikikan.
Namun mendadak saja suara tawa cekikikan
Dewi Kayangan terhenti. Sepasang matanya mendelik.
Dari arah depan, terlihat dua buah benda hitam mene-
rabas ke arahnya.
Dua benda hitam yang ternyata adalah terom-
pah besar milik Dewi Bayang-Bayang menderu. Hebat-
nya begitu satu tombak lagi menghantam, dua terom-
pah itu berpencar. Satu menerbas ke arah kanan ba-
gian tubuh Dewi Kayangan, sementara satunya lagi
menerabas mengarah pada bagian kiri.
Seraya mundur dua langkah, Dewi Kayangan
pukulkan tangan kirinya. Terompah yang mengarah ke
samping kiri mencelat balik. Namun karena tangan se-
belah kanan sedang memegangi selendang, maka te-
rompah yang datang dari sebelah kanan ini tak bisa
lagi dibendungnya, hingga saat itu juga terdengar pe-
kikan tertahan dari mulut Dewi Kayangan.
Bersamaan dengan keluarnya suara pekikan,
pegangan pada selendang sedikit mengendur. Hal ini
segera dipergunakan oleh Dewi Bayang-Bayang untuk
melepaskan diri. Namun Dewi Kayangan tampaknya
tak mau begitu saja melepaskan Dewi Bayang-Bayang.
Begitu Dewi Bayang-Bayang bergerak hendak mele-
paskan diri, Dewi Kayangan menarik selendangnya
kuat-kuat seraya jatuhkan diri di atas tanah! Ini ada-
lah gerakan untuk membetot tubuh Dewi Bayang-
Bayang agar terbanting di atas tanah sekaligus untuk
menghindarkan diri dari serangan terompah yang ter-
nyata kembali menderu ke arahnya!
Tak ayal, tubuh Dewi Bayang-Bayang menukik
deras dan terbanting di atas tanah, sementara dua te-
rompahnya yang luput menghajar sasaran, menderu
berputar dan kembali ke kedua kakinya!
Hebatnya, begitu terompah telah terpakai kem-
bali, Dewi Bayang-Bayang segera bangkit dan berkele-
bat. Tahu-tahu ujung selendang telah terpegang oleh
kedua tangan Dewi Bayang-Bayang.
Meski sedikit terkejut, Dewi Kayangan cepat
bangkit. Lalu dengan kerahkan tenaga dalam pada ke-
dua kakinya, kedua tangan Dewi Kayangan menarik
kuat-kuat selendang merahnya.
Terjadilah tarik-menarik. Dewi Bayang-Bayang
segera pula kerahkan tenaga dalam pada kedua kaki
dan tangannya.
Keringat mulai tampak meleleh dari sekujur tu-
buh dua orang ini. Namun ternyata tenaga dalam Dewi
Bayang-Bayang masih berada di atas Dewi Kayangan.
Terbukti sesaat kemudian kedua kaki Dewi Kayangan
nampak goyah, dan perlahan-lahan tubuhnya terseret
maju ke depan.
"Edan!" teriak Dewi Kayangan. Sebelum tubuh-
nya terus terseret, perempuan bertubuh gembrot ini
bantingkan sepasang kakinya di atas tanah. Tubuhnya
melenting setinggi satu tombak. Dan serta-merta tu-
buh gembrot itu menggelundung deras di atas selen-
dang.
Dewi Bayang-Bayang tak mau bertindak ayal.
Begitu tubuh Dewi Kayangan menggelinding ke arah-
nya, dia membentak garang. Tubuhnya membumbung
ke udara. Dan dari atas udara, Dewi Bayang-Bayang
lalu membuat gerakan berputar ke bawah beberapa
kali.
Dewi Kayangan menjerit keras. Kini tubuhnya
yang terlilit selendangnya sendiri. Saat itulah Dewi
Bayang-Bayang sentakkan pegangan pada ujung se-
lendang dan dilepaskan!
Tak ayal, tubuh gembrot Dewi Kayangan ter-
banting di atas tanah dengan derasnya.
Sejenak Dewi Kayangan diam tak bergerak-
gerak. Tapi sesaat kemudian, dia tampak membuka
kelopak matanya dan merambat bangkit seraya pegan-
gi pantatnya. Namun baru saja tubuh gembrotnya
bangkit, kedua kakinya goyah, hingga tak lama kemu-
dian dia jatuh terduduk.
"Gembung! Cukup sekali aku berkata padamu.
Minggat dari sini!" teriak Dewi Bayang-Bayang dengan
bibir sunggingkan senyum.
Sepasang mata Dewi Kayangan membeliak
pandangi Dewi Bayang-Bayang, lalu beralih pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108. Lalu pada Eyang Selaksa.
Agak lama dia pandangi kakek ini. Mulutnya bergerak-
gerak mengucapkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap
pendengaran.
Eyang Selaksa sendiri saat itu sedang pandangi
Dewi Kayangan. Bibirnya sunggingkan senyum aneh.
Lalu mulutnya terbuka hendak berkata. Namun sebe-
lum ucapan keluar, Dewi Kayangan telah bangkit dan
melangkah pergi seraya pegangin pantatnya. Sementa-
ra tangan kanannya pegangi ujung selendang yang
masih meliuk-liuk di atas tanah mengikuti langkah
Dewi Kayangan.
"Gembung! Kau sudah tua, rubahlah perangai-
mu! Jangan turutkan nafsu!" teriak Dewi Bayang-
Bayang seraya melangkah ke arah Eyang Selaksa.
Dewi Kayangan palingkan wajah. Dia cekikikan
dahulu sebelum berkata.
"Tikus kurus! Hari terus berputar. Saatnya
akan datang untuk bertemu lagi. Emak pasti akan me-
nyesal. Menyesal melihat kau terkapar!"
Habis berkata, kembali Dewi Kayangan arahkan
pandangan pada Eyang Selaksa. Lalu balikkan tubuh
dan berkelebat. Tubuhnya serta-merta lenyap dari
pandangan. Yang terdengar kini hanyalah suara ceki-
kikannya yang berseling-seling dengan suara geme-
rincing anting-anting.
Begitu suara gemerincing dan cekikikan lenyap,
Dewi Bayang-Bayang alihkan pandangan pada Eyang
Selaksa dan berkata.
"Sobatku, Selaksa. Harap maafkan perbuatan
kakakku. Dia tampaknya belum dapat menghapus ki-
sah lama...."
Dengan paras agak merah, Eyang Selaksa ang-
gukkan kepala.
"Aku mengerti. Dan itu adalah salahku.
Hmmm.... Selamat datang di Kampung Blumbang. Si-
lakan masuk...."
Dewi Bayang-Bayang dongakkan kepala. Lalu
menggeleng perlahan.
"Sayang sekali. Aku masih ada perlu, jadi aku
harus cepat tinggalkan tempatmu. Hari masih panjang,
kalau ditakdirkan kita pasti akan berjumpa lagi.... Aku
pamit!" habis berkata Dewi Bayang-Bayang balikkan
tubuh. Saat itulah Pendekar 108 melangkah menda-
tangi dan menjura hormat.
"Terima kasih atas pertolonganmu. Kalau boleh
tahu, siapa kau...?" berkata Pendekar 108 seraya ang-
kat kepala dan pandangi perempuan di hadapannya.
Dewi Bayang-Bayang elus rambutnya yang ka-
ku. Sebelah matanya dikerdipkan. Lalu tersenyum dan
berkata.
"Kau tentunya telah dengar bagaimana perem-
puan gembrot tadi memanggilku. Itulah namaku!
Hmmm.... Kau sendiri...?"
Pendekar 108 usap-usap ujung hidungnya. La-
lu menyibakkan rambut yang menghalangi pandangan
matanya dan berkata seraya menahan tawa.
"Namaku Aji Saputra. Murid Eyang Selaksa dan
Wong Agung...."
Dewi Bayang-Bayang buka mulutnya lebar-
lebar seakan hendak keluarkan tawa. Namun yang ter-
lihat kemudian adalah senyuman.
"Jadi kau manusia yang disebut-sebut sebagai
Pendekar Mata Keranjang 108. Ingat. Jangan karena
digelari Mata Keranjang 108 lantas kau mempermain-
kan perempuan seenaknya saja. Selamat tinggal...!"
Dewi Bayang-Bayang lantas melangkah perla-
han. Terdengar suara berdebam terompahnya. Namun
semua orang di situ jadi melengak heran. Ternyata
saat itu sosok Dewi Bayang-Bayang telah lenyap. Yang
tampak hanyalah bayangan sosoknya serta suara ber-
debam terompahnya yang makin lama makin perlahan
sebelum akhirnya hilang sama sekali.
***
LIMA
ORANG-ORANG aneh yang berilmu tinggi. Da-
tang dan pergi begitu cepat seakan ada saja yang di-
urusi...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya
melangkah ke arah Eyang Selaksa.
Setelah dekat, murid Wong Agung ini segera
menjura hormat. Namun ekor matanya melirik ke arah
Ajeng Roro yang masih duduk di samping Eyang Se-
laksa.
Eyang Selaksa menganggukkan kepala. Lalu
berkata perlahan.
"Kebetulan sekali kau datang. Sudah berapa
lama aku mengharap bisa jumpa denganmu...."
Sedikit terkejut, Pendekar 108 segera angkat
kepalanya dan berkata.
"Tentunya ada hal penting yang akan Eyang
sampaikan...."
Eyang Selaksa tak segera menyahut. Kakek ini
batuk-batuk sebentar, seraya anggukkan kepala dia
berkata.
"Tentunya kau pernah dengar tentang Arca De-
wi Bumi. Arca yang berisi jurus-jurus silat hebat. Bera-
tus tahun arca itu lenyap tiada rimbanya dan tak seo-
rang pun membicarakannya. Namun mendadak saja
akhir-akhir ini terdengar selentingan jika arca itu be-
rada di tangan seseorang. Aku sendiri tak tahu siapa
adanya orang itu. Hanya saja, ada seseorang yang tahu
betul tentang arca itu. Kau harus menemui dan dapat
membujuk agar dia mau mengatakan di mana bera-
danya orang serta arca itu!"
"Eyang. Aku memang pernah mendengar arca
yang kau sebutkan tadi. Tapi setelah ku hubung-
hubungkan jalinan kisahnya. Ternyata jalinan kisah
tentang arca itu simpang siur. Hingga aku berkesimpu-
lan jika arca itu belum tentu adanya...!"
Kembali Eyang Selaksa batuk-batuk beberapa
kali. Setelah agak lama diam, akhirnya kakek ini ber-
kata lagi.
"Memang, jika dihubung-hubungkan, orang
akan berkesimpulan seperti kau. Namun memang de-
mikian itulah yang dikehendaki orang yang memegang.
Hal ini agar arca itu tetap aman tak terusik. Tapi per-
cayalah, arca itu ada. Mendiang Guru pun pernah
membicarakannya...."
Hm.... Jika demikian, katakan Eyang, siapa
orang yang harus kutemui itu!"
Untuk beberapa lama Eyang Selaksa terdiam.
Sepasang matanya menerawang jauh. Ajeng Roro yang
sedari tadi hanya mendengarkan, kini melirikkan ma-
tanya pada Pendekar 108. Yang dilirik pun saat itu
tengah memandang ke arah Ajeng Roro. Sesaat dua
anak muda ini saling berpandangan. Namun Ajeng Ro-
ro segera alihkan pandangannya tatkala di dengarnya
Eyang Selaksa telah berkata kembali.
"Pergilah kau ke dusun Kepatihan. Temuilah
orang yang bergelar Dewi Kayangan...."
Mendengar nama yang disebut, Ajeng Roro ter-
lonjak kaget. Malah dia segera menangkupkan telapak
tangannya agar suara jeritannya tidak begitu keras.
"Eyang.... Bukankah orang yang bergelar Dewi
Kayangan adalah orang yang tadi di sini. Yang bertem-
pur dengan Si kurus kering... yang bergelar Dewi
Bayang-Bayang...?!" kata Ajeng Roro.
"Betul. Dia memang Dewi Kayangan. Dan me-
mang dialah orang yang harus kau temui, Aji...!"
Mendengar perkataan Eyang Selaksa, Pendekar
108 sendiri merasa terkejut dan heran. Dia menatap
Eyang Selaksa seakan ingin meyakinkan.
"Eyang. Kenapa...."
Ucapan Pendekar 108 tak diteruskan, karena
Eyang Selaksa keburu menyahut.
"Aji. Kalau aku yang bertanya padanya, sampai
mati pun dia tak akan mau mengatakan. Ini karena dia
menaruh sakit hati padaku. Nah, sekarang kaulah
yang punya urusan. Hanya sedikit perlu kau ketahui,
Dewi Kayangan sebenarnya masih punya adik selain
adiknya yang tadi itu. Adik bungsunya ini diduga ka-
kaknya telah tewas. Padahal sebenarnya belum. Untuk
apa dia hingga sampai sekarang tak menampakkan di-
ri, sulit diduga. Dia bernama Mekar Sari yang dalam
rimba persilatan lebih dikenal dengan gelar Dewi Bun-
ga Iblis. Hanya perlu kau sadari, kau harus waspada.
Baik Dewi Kayangan, Dewi Bayang-Bayang serta Dewi
Bunga Iblis adalah manusia-manusia yang sukar dite-
bak jalan pikirannya. Kau harus hati-hati...!"
"Apakah mereka-mereka itu menginginkan arca
itu...?" tanya Pendekar 108.
"Semua orang yang telah berkecimpung dalam
rimba persilatan tak satu pun yang tidak mengingin-
kan arca itu. Sekali lagi, Kau jangan lengah!"
"Apakah ada petunjuk lagi...?!" Pendekar 108
ajukan pertanyaan setelah agak lama Eyang Selaksa
berdiam diri.
Kakek ini gelengkan kepalanya perlahan.
"Kalau kau dapat membujuk Dewi Kayangan,
petunjuk itu ada di sana!"
"Jika demikian, aku mohon diri sekarang...,"
kata Pendekar 108 seraya menjura.
"Hm.... Bagus. Bertindak memang lebih baik.
Hal ini untuk berjaga-jaga. Siapa tahu ada orang lain
yang telah menemukan petunjuk itu. Kalau dia orang-
orang kita tidak jadi masalah. Namun jika orang itu di
luar golongan kita, maka kegegeran tak mungkin dapat
dihindari lagi...."
"Aku berangkat sekarang, Eyang...! Ajeng Ro-
ro...!"
Habis berkata begitu, Pendekar 108 meman-
dang sejenak pada Ajeng Roro. Gadis ini alihkan pan-
dangannya. Wajahnya tampak sekali mengisyaratkan
kekecewaan.
"Roro.... Sebenarnya aku ingin di sini dahulu.
Namun tak pantas kiranya itu kulakukan, sementara
masih ada tugas yang harus kuselesaikan. Semoga kau
mengerti. Aku...," Pendekar 108 tak meneruskan kata
hatinya, karena saat itu Eyang Selaksa keluarkan de-
hem berulang kali.
Setelah mengangguk, Pendekar 108 balikkan
tubuh dan melangkah perlahan meninggalkan tempat
itu.
Pada suatu tempat yang agak sepi, pendekar
murid Wong Agung ini hentikan langkahnya. Kepa-
lanya menengadah memandang langit.
"Arca Dewi Bumi.... Hmm.... Jika kalau men-
diang Guru dari Eyang Selaksa, yang juga berarti guru
dari Eyang Wong Agung pernah membicarakannya, be-
rarti arca itu memang benar-benar ada. Tapi kenapa
petunjuk itu ada di tangan Dewi Kayangan? Ah, aku
belum bisa pecahkan masalah ini sebelum bertemu
dengan Dewi Gembrot itu lagi...." Lalu ingatan Pende-
kar 108 beralih pada Ajeng Roro.
"Roro.... Kapan kita punya kesempatan panjang
untuk saling cerita dan bersenda gurau seperti dahu-
lu? Kau masih cantik saja.... Dan...," Pendekar 108 pu-
tuskan kata hatinya. Ekor matanya melirik menebar ke
samping.
"Ada orang mengawasiku...." Murid Wong
Agung ini lantas balikkan tubuh. Kedua tangannya di-
angkat dan ditarik sedikit ke belakang.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 segera
turunkan tangannya. Sepasang matanya memandang
tajam ke depan dengan tak kesiap.
***
ENAM
DI hadapan Pendekar murid Wong Agung kini
berdiri seorang gadis cantik. Meski saat itu telah berdi-
ri berhadapan, namun pandangan gadis ini mengarah
pada jurusan lain. Rambutnya yang dibiarkan bergerai
dan berkibar-kibar ditiup angin menampakkan leher-
nya yang jenjang dan tampak berkeringat. Jelas bahwa
gadis ini habis berlari. Bahunya masih bergerak turun-
naik seiring menghembusnya napas yang tak teratur.
"Roro...," desis Pendekar 108 seraya melangkah
mendekat.
Yang didekati tak beranjak dari tempatnya.
Namun pandangannya tetap pada lain jurusan.
"Busyet! Apakah dia marah padaku karena si-
kapku yang sepertinya acuh di hadapan Eyang Selaksa
tadi...? Ataukah ini hanya sifat kepura-puraan keba-
nyakan perempuan...?" membatin Pendekar 108 seraya
terus melangkah mendekat.
Begitu dekat, dan dilihatnya Ajeng Roro masih
bersikap seperti semula, Pendekar Mata Keranjang
mengeluh dalam hati.
"Aku tidak dapat membohongi diri, sebenarnya
aku menyukai gadis ini. Dan tampaknya dia pun begi-
tu sebaliknya. Tapi merasa tak enak dengan Eyang Se-
laksa. Seandainya saja dia bukan murid Eyang Selak-
sa...."
Pendekar Mata Keranjang 108 usap-usap ujung
hidungnya lalu tersenyum dan berkata.
"Roro.... Maafkan sikapku tadi jika tidak berke-
nan di hatimu. Aku...," Pendekar 108 tak meneruskan
ucapannya, karena saat itu Ajeng Roro bantingkan ke-
dua kakinya dan menyela. Pandangannya kini lurus ke
depan.
"Aji.... Kadang-kadang aku menyesal, kecewa!
Berbulan-bulan aku menginginkan bertemu dengan-
mu. Tapi setelah berjumpa, apa yang kudapat adalah
perasaan kecewa. Kau sepertinya tak mengenalku lagi!"
Pendekar 108 merasakan tenggorokannya ter-
cekat. Hingga untuk beberapa saat lamanya dia hanya
bisa memandang tanpa sepatah kata pun keluar suara
dari mulutnya.
"Aji...," sambung Ajeng Roro. Sepasang mata
gadis ini sudah nampak berkaca-kaca. "Kadang-
kadang aku juga mengutuki perjalanan hidup. Kenapa
kita selalu dipertemukan dalam suasana yang tidak
menguntungkan. Ah, mungkinkah hal ini akan terjadi
berkelanjutan...?"
"Roro.... Sebenarnya bukan kau saja yang me-
rasakan hal seperti itu. Aku pun merasakannya. Na-
mun apa boleh buat. Kita harus dapat menerima ke-
nyataan. Tapi aku percaya, suatu saat nanti pasti akan
datang waktu yang tepat untuk kita bersama...."
Ajeng Roro gelengkan kepalanya. Kelopak ma-
tanya memejam seakan menghapus kaca-kaca di ma-
tanya yang menghalangi pandangan. "Ucapanmu be-
nar. Tapi kapan...?" Pendekar Mata Keranjang terse-
nyum. Dia melangkah makin mendekat. Lalu kedua
tangan Ajeng Roro digenggamnya erat-erat.
"Soal itu telah ada yang mengatur. Bersabar-
lah...!"
Ajeng Roro buka kelopak matanya. Sejenak di-
pandanginya pemuda yang kini begitu dekat di hadapannya.
"Aji.... Kau tahu, aku selalu mengkhawatirkan
keselamatanmu. Apalagi jika kau mengemban tugas
seperti ini...."
Pendekar 108 mempererat genggaman tangan-
nya. Lalu tangan gadis itu diangkat dan diciumnya.
"Aji.... Berjanjilah. Setelah selesai dengan uru-
san Arca Dewi Bumi kau akan datang ke Kampung
Blumbang...."
Murid Wong Agung ini anggukkan kepalanya.
Saat itulah Ajeng Roro dekatkan wajahnya. Sepasang
matanya dikatupkan, sementara bibirnya sedikit dibu-
ka.
Pendekar Mata Keranjang 108 tampak dilanda
kebimbangan. Tapi sesaat kemudian wajahnya berge-
rak mendekati gadis di hadapannya. Perlahan, dike-
cupnya kedua pipi dan mata gadis itu. Lalu perlahan
pula bibirnya bergerak memagut bibir Ajeng Roro.
Beberapa saat lamanya kedua manusia ini ter-
buai oleh gejolak yang selama ini saling mereka pen-
dam.
Pendekar 108 lepaskan genggaman tangannya.
Lalu tangan itu bergerak merengkuh tubuh Ajeng Roro.
Namun tangan itu lantas bergerak lagi. Ajeng Roro le-
paskan pagutan bibirnya. Setengah berteriak dia ber-
kata.
"Jangan berbuat edan! Kau kira di mana saat
ini...?!"
Pendekar 108 keluarkan tawa bergerai-gerai.
Sementara Ajeng Roro segera undurkan kaki dua tin-
dak ke belakang. Namun Pendekar 108 segera pegang
tangannya dan berkata seraya tersenyum.
"Roro.... Setelah urusan ini selesai, aku akan
minta izin Eyang Selaksa untuk mengajakmu ke Ka-
rang Langit."
"Ke Karang Langit...? Bukankah itu tempat ke-
diaman Eyang Wong Agung?" berkata Ajeng Roro se-
raya luruskan pandangan seolah menerka,
"Benar. Aku akan minta tolong Eyang Wong
Agung untuk melamarmu pada Eyang Selaksa...!"
"Aji...!" pekik Ajeng Roro seraya terperanjat.
"Kau jangan menggodaku. Aku...," Ajeng Roro tak me-
neruskan kata-katanya. Tenggorokannya seolah ter-
sumbat.
"Kau ini aneh. Kalau tidak diperhatikan kau
merutuki hidup. Tapi kalau disungguhi kau kira aku
bercanda...!"
"Kau bersungguh-sungguh...?!"
Murid Wong Agung tak menjawab dengan kata-
kata. Hanya kepalanya bergerak mengangguk. Lantas
dia mendongak dan berkata.
"Sekarang aku harus pergi dulu...." Paras wajah
Ajeng Roro kembali berubah redup. Mulutnya membu-
ka seakan hendak mengucapkan sesuatu. Namun
hingga agak lama ditunggu tak ada suara keluar, Pen-
dekar 108 ajukan pertanyaan. "Kau hendak mengata-
kan sesuatu...?" Meski mulutnya menggumam sesuatu
yang tak jelas, namun kepala gadis ini bergerak meng-
geleng.
"Kau menyimpan sesuatu, Roro. Katakanlah!"
ujar Pendekar 108 ketika menangkap isyarat bahwa
gadis di hadapannya menyimpan sesuatu yang di-
sembunyikan. Namun Ajeng Roro kembali hanya ge-
lengkan kepala, membuat Pendekar Mata Keranjang
hanya bisa menarik napas dalam-dalam seraya balik-
kan tubuh hendak pergi.
"Aji.... Aku menunggumu...!" teriak Ajeng Roro
begitu murid Wong Agung ini mulai melangkah me-
ninggalkan tempat itu.
Pendekar Mata Keranjang palingkan wajah. Bibirnya tersenyum dengan kepala mengangguk.
Tak jauh dari tempat itu, tanpa disadari oleh
Pendekar 108 dan Ajeng Roro sedari tadi dua pasang
mata terus mengawasi. Pemilik dua pasang mata ada-
lah dua orang berpakaian gombrong yang menutupi
sekujur tubuh masing-masing orang, hanya mening-
galkan bagian wajah dan telapak tangan. Namun se-
pertinya tak ingin dikenali, wajah kedua orang ini juga
ditutup dengan kulit tipis berwarna hitam dan putih,
hingga wajah keduanya sulit untuk dikenali.
"Apakah kau yakin, orang yang kita cari adalah
pemuda yang sedang dimabuk asmara itu?!" berkata
orang yang berwajah hitam.
"Tahan sedikit suaramu!" sergah orang yang
berwajah putih seraya menyeringai pada temannya.
"Aku belum dapat memastikan betul. Tapi melihat
angka pada kipasnya sewaktu bertempur dengan Dewi
Kayangan, aku hampir merasa pasti. Namun kenya-
taannya kita lihat nanti! Ayo kita kejar dia!"
"Gadis itu...?" kata orang yang berwajah hitam
seraya angkat bahu menunjuk pada Ajeng Roro.
"Tua-tua keladi. Apa perlu kita dengan perem-
puan itu? Apa kau tertarik padanya?!"
Yang didamprat keluarkan tawa tertahan. Lalu
berkata seraya letakkan tangan di depan mulut. "Tua-
tua nyatanya kau masih juga cemburu. Dasar perem-
puan!"
"Kalau mulutmu tak bisa diam, kusumpal nanti
dengan kepalan tanganku!"
Orang yang berwajah hitam kembali keluarkan
tawa tertahan.
"Mana aku percaya ucapanmu. Paling-paling
kau akan menyumbatnya dengan bi...."
Belum selesai kata orang ini, yang berwajah pu-
tih palingkan wajah. Tangan kanannya diangkat. Namun sebelum tangan itu bergerak, orang yang berwa-
jah hitam surutkan langkah dan berkelebat ke arah
perginya Pendekar Mata Keranjang 108.
Sembari mengomel panjang, orang yang berwa-
jah putih cepat pula berkelebat menyusul.
***
TUJUH
JAHANAM betul! Larinya begitu cepat. Hampir-
hampir saja napas ku habis. Ke mana tujuan pemuda
itu...?" berkata orang yang berwajah hitam seraya
mempercepat larinya agar tak kehilangan jejak orang
yang diikuti.
Orang yang berwajah putih yang lari di sebe-
lahnya palingkan wajah. Parasnya menampakkan rasa
jengkel, terbukti dari sepasang matanya yang membe-
liak, sementara dari hidungnya terdengar dengusan
keras.
"Kau dari dulu tak pernah berubah. Terus dan
terus mengeluh! Kalau tak mengingat pentingnya ma-
salah, ingin aku berhenti dan menghajar mulutmu!"
Orang yang berwajah hitam menoleh.
"Kau juga tak pernah berubah. Bila punya ke-
mauan tak bisa dicegah. Apalagi berurusan dengan
pemuda tampan! Sialnya diriku, kenapa aku tak punya
wajah setampan pemuda itu...!"
"Hik.... Hik.... Hik...! Tampaknya kau juga ma-
sih mencemburui diriku!" kata orang yang berwajah
putih seraya tertawa.
"Astaga! Siapa bilang aku cemburu? Kau terlalu
besar rasa. Apa kau sering berkaca dan melihat parasmu...?"
"Kurang ajar! Jadi selama ini kau anggap apa
diriku, he...?!" orang berwajah putih tak dapat me-
nyembunyikan lagi rasa geramnya. Seraya terus berlari
dia mengomel panjang-pendek. Sementara orang di
sampingnya hanya tertawa-tawa seraya sesekali ber-
paling.
"Sudah! Jangan berhaha saja! Lekas kita pe-
gang pemuda itu!"
"Ha.... Ha.... Ha...! Sebaiknya kau saja yang pe-
gang...!"
"Kau memang betul-betul tua sialan! Tapi jika
itu maumu, baiklah!" kata orang berwajah putih. Dia
lantas berkelebat mendahului. Tubuhnya tiba-tiba le-
nyap. Tahu-tahu telah berdiri menghadang di depan
Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar 108 hentikan larinya. Sepasang ma-
tanya memandang lurus tak kesiap ke depan. Kening-
nya berkerut dengan tangan mengusap-usap ujung hi-
dung.
"Apa mataku tidak lamur. Di tempat yang se-
sunyi dan sesepi ini ada badut! Apa dia bangun ke-
siangan dan lupa membasuh muka...?" Setelah mem-
perhatikan sesaat, murid Wong Agung ini berseru.
"Siapa kau...?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 hanya mendapat
balasan tawa berhi... hi... hi....
"Jangkrik! Tampaknya kau sengaja mengha-
dangku!" kata Pendekar 108 dengan suara agak me-
ninggi. Dia nampaknya mulai jengkel melihat sikap
orang di hadapannya.
"Benar. Memang sengaja menghadangmu. Bah-
kan kalau perlu memeriksa dan membawamu!" terden-
gar suara lain menyahut.
Berpaling, murid Wong Agung ini dibuat sedikit
terperangah. Dari semak belukar yang menguak tak
jauh dari sampingnya, muncul sesosok tubuh yang
mengenakan pakaian mirip dengan orang yang meng-
hadang. Hanya wajah orang berwarna hitam.
"Tampaknya kalian adalah rombongan badut.
Dan kalau bukan, berarti kalian adalah orang-orang
yang mempunyai maksud buruk! Karena tak mungkin
orang berniat baik menggunakan pakaian seperti ka-
lian!"
Orang yang berwajah hitam berkelebat, lalu
menjajari orang yang berwajah putih. Sejenak dua
orang ini saling pandang satu sama lain. Orang yang
berwajah putih alihkan pandangan pada Pendekar 108
lalu berkata.
"Anak tampan! Kau jangan terburu berpra-
sangka buruk. Ah, tapi itu urusanmu! Yang kami per-
lukan sekarang adalah dirimu! Bukankah begitu?" se-
raya berkata, orang ini palingkan wajah kepada orang
di sampingnya.
"Betul. Betul. Tak salah ucap mu!" kata orang
di samping. Lalu dia menyambung. "Aji! Jika kau ingin
segala rencanamu dengan gadis cantik tadi terlaksana,
turuti saja perintah kami!"
Pendekar 108 terlonjak mendapati orang di ha-
dapannya tahu namanya. Dengan dahi berkerut murid
Wong Agung ini berkata dalam hati.
"Sialan! Dari mana dia tahu namaku? Dan ren-
cana apa yang dimaksud mereka...?" Lantas Pendekar
108 dongakkan kepala seraya berkata.
"Badut-badut kesiangan! Apa maksudmu den-
gan rencana?"
Orang yang berwajah putih tertawa cekikikan.
Lalu berkata pada orang di sampingnya.
"Dasar laki-laki! Belum hangat-hangat tahi
ayam sudah lupa pada janji. Bukankah kau tadi ber-
janji pada kekasihmu hendak mengajaknya ke Karang
Langit?"
"Dan akan minta tolong pada seseorang untuk
melamar...?" sahut satunya sembari tertawa bergelak-
gelak.
Pendekar 108 surutkan langkah satu tindak ke
belakang. Paras wajahnya menjadi berubah. Diam-
diam dia berkata dalam hati.
"Jadi kedua badut jalanan ini telah menguntit
ku sejak di Kampung Blumbang. Hm.... Siapa mereka
sebenarnya? Dan apa maksud mereka...?" Pendekar
108 menatap pada orang di hadapannya satu-satu si-
lih berganti. Mulutnya terbuka hendak berkata. Na-
mun sebelum suaranya keluar, salah seorang dari
orang di hadapannya telah mendahului angkat bicara.
"Kalau mau urusan lamar-melamar gadis itu
akan berjalan tanpa halangan, ikuti saja perintah ka-
mi. Kami tidak minta yang muluk-muluk. Itu pun jika
kau sudah kami periksa cocok tidaknya!"
"Sialan! Apa maksud kalian sebenarnya...?!"
bentak Pendekar 108 makin tak mengerti dan makin
jengkel.
Orang yang berwajah hitam anggukkan kepala
pada orang yang berwajah putih. "Tunggu apa lagi. Ka-
takan saja padanya. Jika dia menolak, berarti urusan
lamaran hanya jadi impiannya!"
Orang yang berwajah putih tertawa dahulu. La-
lu berkata.
"Kami memerlukan dirimu untuk mengambil
sesuatu!"
"Busyet! Apa kalian menganggap diri orang-
orang besar hingga mengambil sesuatu saja harus
minta bantuan orang? Lekas beri jalan. Aku ada uru-
san yang lebih penting daripada ngomong tak ada jun-
trungan dengan badut-badut seperti kalian!"
"Hm.... Begitu? Jadi kau tak mau membantu
kami? Baiklah. Tapi ingat, itu berarti rencana lama-
ranmu akan gagal!" berkata orang yang berwajah pu-
tih. Kali ini tanpa lagi terdengar suara tawanya. Malah
suaranya tinggi dengan sepasang mata melotot.
"Jahanam! Kalian mengancam. Apa yang dita-
kutkan dari badut-badut macam kalian!"
Orang yang berwajah putih gertakkan rahang.
Pelipisnya bergerak-gerak, kedua tangannya diangkat.
Namun sebelum kedua tangan itu bergerak mele-
paskan pukulan, orang yang berwajah hitam angkat
bicara. Suaranya perlahan.
"Jangan keburu marah. Urusan begini jika di-
hadapi dengan otak panas, bisa jadi amburadul! Kita
coba dengan kepala dingin, dan jika memang tidak
berhasil, apa boleh buat!" Orang ini lantas menatap
pada Pendekar 108 dan berkata.
"Aji! Kami hanya minta bantuanmu sebentar.
Ini pun karena kami memang tak sanggup untuk men-
gambilnya! Dan permintaan ini bukannya tanpa imba-
lan!"
Meski tak begitu tertarik dengan imbalan yang
dijanjikan, Pendekar 108 jadi penasaran. Setelah ter-
diam agak lama dia berkata.
"Hm.... Katakan, apa yang harus kuambil!"
Untuk sesaat lamanya orang yang berwajah hi-
tam tak segera menjawab. la berpaling pada orang
yang berwajah putih seolah hendak minta persetujuan.
Tapi orang yang dimintai persetujuan diam tak menga-
takan sepatah kata. Hingga pada akhirnya orang yang
berwajah hitam berkata.
"Untuk kali ini kami tak dapat mengatakan di
sini. Lebih baik kau ikut saja dengan kami!"
"Ah, kalian tampaknya main-main. Jadi aku tak
dapat membantu kalian. Cari saja bantuan orang lain!"
Habis berkata begitu, Pendekar 108 balikkan
tubuh hendak pergi. Namun baru saja melangkah, se-
rangkum angin dahsyat menyambar dari arah bela-
kang. Bersamaan dengan menyambarnya angin, ter-
dengar suara.
"Kau nyatanya manusia yang tidak bisa diajak
baik-baik!"
"Sialan. Ancaman mereka tampaknya tidak
main-main! Apa sebenarnya sesuatu yang hendak me-
reka ambil...? Tapi itu bukan urusanku. Lebih baik
aku segera menyingkir. Perjalananku masih jauh...."
Berpikir begitu, seraya menghindari serangan
dari belakang, Pendekar 108 berkelebat ke samping.
Angin menggebrak menghantam tempat kosong di
samping tubuh Pendekar 108. Lalu tanpa mengacuh-
kan kedua orang di belakangnya, Pendekar 108 te-
ruskan langkahnya. Bahkan kini seraya melangkah
murid Wong Agung ini lantunkan dendang nyanyian.
Namun langkahnya terhenti tiba-tiba. Di hada-
pannya kini dua orang tadi telah berdiri dengan kedua
tangan masing-masing siap lepaskan pukulan.
"Bangsat! Apa mau kalian sebenarnya?!" bentak
Pendekar 108. Kemarahan yang sejak tadi coba dire-
damnya naik ke ubun-ubun.
"Kau tak usah banyak mulut. Kau sudah tahu
segalanya!" orang yang berwajah putih balas memben-
tak. "Kalau tak mau ikut kami dengan baik-baik, jan-
gan menyesal jika kau kami seret!"
"Hmm.... Nyatanya betul dugaanku. Kalian ber-
dua punya niat busuk! Aku tak akan menyerah begitu
saja. Lakukanlah kalau memang ingin menyeretku!"
"Setan alas!" maki orang yang berwajah putih.
Lalu pukulkan kedua tangannya ke arah Pendekar
108. Sementara orang yang berwajah hitam tak mau
tinggal diam. Dia segera pula pukulkan kedua tangan-
nya. Dilihat dari sini, jelas kedua orang ini ingin segera
menyelesaikan masalah dengan cepat.
Kejap itu juga, empat larik sinar hitam melesat
ke depan. Bersamaan dengan melariknya sinar hitam,
suasana di tempat itu meredup. Udara mendadak be-
rubah panas menyengat!
Di seberang, seraya berteriak keras, Pendekar
108 lesatkan tubuhnya ke udara. Dari udara Pendekar
108 segera kerahkan tenaga dalam pada kedua tan-
gannya dan siapkan pukulan ‘Segara Geni’ untuk me-
lenyapkan keadaan yang meredup. Lalu dengan dida-
hului bentakan, Pendekar 108 dorongkan kedua tan-
gannya ke arah dua lawan di bawahnya.
Namun murid Wong Agung ini jadi terkejut, ka-
rena serangannya hanya menerabas tanah. Tanah itu
terbongkar dan bongkarannya membumbung ke uda-
ra, menambah kepekatan suasana!
Selagi pendekar murid Wong Agung ini tersirap
kaget melihat gagalnya pukulan yang dilancarkan, dia
mendengar dua suara tawa bersahutan dari arah
samping bawahnya. Serta-merta Pendekar 108 pukul-
kan kembali kedua tangannya. Namun lagi-lagi Pende-
kar Mata Keranjang terperangah. Pukulannya hanya
menghantam tanah!
Saat itulah, dari arah belakang dirasa angin de-
ras menghampar. Pendekar 108 segera palingkan wa-
jah seraya melayang turun. Namun Pendekar 108 jadi
membelalakkan sepasang matanya dan keluarkan sua-
ra tertahan. Karena dari arah bawah, samar-samar ter-
lihat dua lawan tegak menunggu dengan kedua tangan
masing-masing siap menghantam.
Dengan memperlambat gerak layang turun tu-
buhnya, Pendekar 108 sentakkan dua tangannya ke
bawah. Namun terlambat. Sebelum kedua tangannya
bergerak, dari arah bawah menyambar sinar!
Seraya menahan rasa terkejut, Pendekar 108
membuat gerakan jungkir balik. Namun saat dia ber-
hasil meloloskan dari serangan, dua bayangan berke-
lebat. Sekali lagi Pendekar 108 harus membuat gera-
kan jungkir balik. Namun bayangan itu memburu. Ka-
rena suasana masih pekat. Pendekar 108 tak dapat
menentukan di mana beradanya lawan yang terus ber-
kelebat memburunya di atas udara. Sebaliknya, sang
lawan seakan dapat melihat, karena bayangan tersebut
selalu memburu ke mana Pendekar 108 bergerak!
"Sialan! Aku tak biasa bertempur dalam suasa-
na gelap seperti ini!" keluh Pendekar Mata Keranjang
108 seraya melayang turun. Dia memutuskan bergerak
turun, karena di atas tanah mungkin lebih bisa meli-
hat keadaan dan beradanya lawan.
Namun baru saja kedua kaki Pendekar 108
mendarat di atas tanah, dua bayangan menyambar da-
ri arah samping kanan dan kiri!
Pendekar Mata Keranjang cepat lesatkan tu-
buhnya setinggi satu tombak ke udara. Kedua kakinya
dipentangkan ke samping!
Tapi murid Wong Agung ini tercekat. Kakinya
hanya menghantam angin, padahal dia telah yakin,
bahwa salah satu lawan pasti akan terjerembab terha-
jar kakinya. Selagi Pendekar 108 terkesima, sebuah
kaki melesat mengarah kepalanya.
Pendekar 108 rundukkan kepala, saat itulah ti-
ba-tiba saja dua terjangan melesat dari arah belakang-
nya!
Desss! Desss!
Pendekar 108 keluarkan seruan tertahan. Tu-
buhnya laksana dihantam kayu besar. Dia coba ke-
rahkan tenaga dalam untuk hentikan tubuhnya yang
menekuk ke depan hendak terjerembab. Namun baru
saja dia kerahkan tenaga, dari arah depan melesat se-
pasang kaki!
Pendekar 108 cepat palangkan kedua tangan-
nya melindungi dada dari terjangan sepasang kaki. Ta-
pi nyatanya sepasang kaki itu tidak langsung meng-
hantam. Begitu setengah depa lagi menggebrak sasa-
ran, sepasang kaki itu menekuk sebatas lutut. Lantas
membuka lebar-lebar dan menghantam dari arah
samping kanan dan kiri!
Gerakan Pendekar 108 yang hendak membuka
kedua tangannya terlambat. Kedua kaki itu telah
menggapit lehernya dan serta-merta dikebatkan ke
arah samping.
Pendekar Mata Keranjang masih berusaha me-
lepaskan diri dengan pukulkan kedua tangannya ke
arah dua kaki yang menggapit lehernya. Namun lagi-
lagi gerakannya terlambat. Tubuh orang yang mengga-
pitkan kedua kakinya telah berputar. Akibatnya Pen-
dekar 108 ikut berputar keras dan sesaat kemudian
terbanting deras ke tanah!
"Jahanam betul! Leherku serasa patah!" keluh
Pendekar Mata Keranjang 108 seraya gerakkan sedikit
kepalanya. Tubuhnya untuk beberapa saat tampak di-
am tak bergerak terkapar di atas tanah. Pendekar 108
merasakan pandang berkunang-kunang. Kepalanya
berdenyut-denyut nyeri.
Pendekar Mata Keranjang 108 segera salurkan
tenaga dalamnya. Lalu secepat kilat dia bangkit begitu
didengarnya langkah-langkah kaki mendatangi.
Di hadapannya dua orang berwajah putih dan
hitam memandangi dengan tatapan dingin. Mereka sal-
ing pandang sejenak. Yang berwajah putih anggukkan
kepalanya.
Bersamaan dengan anggukan kepala orang
yang berwajah putih, orang yang berwajah hitam sen-
takkan kedua tangannya. Sementara yang berwajah
putih berkelebat.
Seberkas sinar hitam menyambar ke depan.
Dan bersamaan dengan itu sebuah bayangan berputar
lalu lenyap.
Pendekar Mata Keranjang 108 keluarkan kipas
ungunya. Dan serta-merta dikibaskan melengkung ke
depan.
Seberkas sinar keputihan menghampar leng-
kung dan menahan gerak sambaran berkas sinar hi-
tam.
Terdengar letupan keras tatkala dua serangan
itu bertemu di udara. Tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 tersurut dua langkah ke belakang. Sementara
orang yang berwajah hitam terhuyung-huyung, namun
bisa segera kuasai diri. Saat ledakan terdengar itulah,
dan baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 tersurut,
tiba-tiba orang yang berwajah putih telah menukik dari
atas tubuh Pendekar Mata Keranjang 108.
Pendekar Mata Keranjang 108 tengadah seben-
tar. Lalu gerakkan kipasnya dari bawah ke atas!
Orang yang menukik tidak menampakkan rasa
terkejut, malah yang terdengar adalah suara tawanya.
Dan masih dengan tertawa-tawa, tubuhnya berkelebat
lenyap! Sambaran angin yang melesat keluar dari kipas
Pendekar 108 menghantam angin!
Saat itulah, orang yang berwajah hitam dorong
kedua tangannya ke arah Pendekar Mata Keranjang
108.
Murid Wong Agung ini tercekat. Dia ternyata
tertipu. Karena orang yang berwajah putih hanya men-
galihkan perhatian agar orang yang berwajah hitam
dapat sarangkan serangan dengan telak.
Desss!
Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan tu-
buhnya dihantam benda berat. Tubuhnya melayang
hingga beberapa tombak ke belakang. Dan begitu tubuhnya terkapar di atas tanah, Pendekar Mata Keran-
jang 108 merasakan segala sesuatunya menghitam.
Kepalanya lantas terkulai dengan bibir keluarkan da-
rah!
Di seberang, orang yang berwajah putih dan hi-
tam saling berpandangan.
"Ternyata nama besar Pendekar Mata Keran-
jang 108 hanya omong kosong! Mari kita periksa!" ber-
kata orang yang berwajah putih seraya melangkah
mendahului.
Orang yang berwajah hitam tak menyahuti ka-
ta-kata orang di sampingnya. Dia hanya batuk-batuk
sebentar lalu melangkah di belakang orang yang ber-
wajah putih.
"Kurasa di sini kurang enak untuk memeriksa
dia. Lebih baik kita bawa langsung ke Kepatihan!" ber-
kata orang yang berwajah hitam seraya menjajari lang-
kah orang yang berwajah putih. Orang ini hentikan
langkah. Dia sepertinya memikir. Lalu kepalanya men-
gangguk.
"Ya.... Kita bawa saja langsung ke Kepatihan!"
kata orang yang berwajah putih. "Tapi...."
"Jangan berpura-pura! Kau akan mengajukan
usul agar kau yang menggendongnya. Betul...?" kata
orang yang berwajah hitam seraya tertawa, lalu me-
nyambung. "Itu lebih baik. Aku pun tidak sudi meng-
gendongnya!"
"Kau masih cemburu?"
"Puihhh. Apa yang masih bisa dirasakan dari
tua bangka seperti kau? Paling-paling hanya bisa ge-
lundang-gelundung di atas jerami tanpa bisa mengo-
barkan gelora! Ha.... Ha.... Ha...!"
"Setan alas! Awas kalau kau minta...!" ancam
orang yang berwajah putih seraya angkat tubuh Pen-
dekar 108 dan diletakkan di atas pundaknya.
"Minta?" ulang orang yang berwajah hitam se-
raya cibirkan bibir. "Dikasih saja aku tak mau! Pu-
nyamu sudah bau tanah!"
"Brengsek! Kuhajar kau!" maki orang yang ber-
wajah putih seraya berkelebat ke arah kelebatnya
orang yang berwajah hitam.
***
DELAPAN
MATAHARI masih menyembunyikan diri di ba-
wah bentangan kaki langit sebelah timur. Namun bias
kekuningan pancarannya telah menghiasi langit ujung
timur, membuat arakan kegelapan perlahan-lahan
menghilang.
Di tengah pergantian suasana demikian itu, di
dusun Kepatihan yang sepi senyap terlihat dua bayan-
gan berkelebat dengan cepat. Sampai pada ujung du-
sun, tepatnya di depan sebuah gua agak besar yang
diapit gundukan dua batu besar-besar, dua bayangan
tersebut hentikan larinya.
Kedua bayangan yang ternyata adalah dua
orang berpakaian gombrong dengan wajah masing-
masing ditutup kulit tipis berwarna putih dan hitam
sejenak saling berpandangan satu sama lain. Lantas
sepasang mata kedua orang ini menyapu berkeliling
dan berujung pada gua.
Orang yang berwajah putih anggukkan kepala
memberi isyarat pada temannya. Sang teman langkah-
kan kaki satu tindak ke depan. Dari mulutnya terden-
gar suara lantang.
"Kali Nyamat! Hari sudah siang. Bangun dan
keluarlah!"
Untuk beberapa lama kedua orang ini menung-
gu. Namun dari dalam gua tak ada tanda-tanda orang
akan keluar atau terdengarnya suara sahutan.
Orang berwajah hitam arahkan pandangannya
pada orang yang berwajah putih. Yang dipandangi
hanya tegak dengan sepasang mata memandang tak
kesiap ke arah gua. Dagunya tampak sedikit terangkat
dengan kedua tangan mengepal.
Orang berwajah hitam kembali arahnya pan-
dangan pada gua. Lalu sekali lagi orang ini berteriak.
Kali ini dengan kerahkan tenaga dalam, hingga sua-
ranya menggema panjang, sampai sempat menggugur-
kan rimbunan daun pohon yang tak jauh dari situ.
"Kali Nyamat! Keluarlah! Ada urusan yang ha-
rus kita selesaikan!"
Untuk kedua kalinya, dari dalam gua tak ada
tanda-tanda orang akan keluar atau pun suara yang
menyahut.
Kedua orang ini tampaknya hilang kesabaran.
Tanpa berteriak lagi, keduanya langsung melangkah
mendekati mulut gua. Mereka mendatangi dari arah
samping kanan dan kiri.
Namun baru saja kedua orang ini hendak lang-
kahkan kaki memasuki gua, terdengar suara cekikikan
dari arah belakang. Kedua orang ini palingkan wajah
masing-masing dengan cepat. Di hadapan mereka kini
telah berdiri seorang perempuan bertubuh gemuk be-
sar. Rambutnya disanggul ke atas. Sepasang matanya
sayu kelabu namun besar dan menjorok ke dalam. Bi-
birnya berwarna merah polesan. Telinga sebelah men-
genakan anting-anting yang dimuati beberapa anting-
anting kecil.
"Berpuluh tahun centang perentang dalam rim-
ba persilatan, hanya beberapa orang yang tahu nama
asliku. Hm.... Siapa sebenarnya kecoa-kecoa ini? Mereka menggunakan penutup kulit pada wajahnya, be-
rarti mereka memang kukenal tapi takut kuketahui...!"
membatin perempuan bertubuh gembrot yang bukan
lain adalah Kali Nyamat yang dalam rimba persilatan
lebih dikenal dengan julukan Dewi Kayangan.
"Bagus. Berarti kau masih seorang tokoh yang
bukan pengecut!" berkata orang yang berwajah hitam
seraya melangkah maju. Sementara orang yang berwa-
jah putih masih tetap di tempat semula. Hanya sepa-
sang matanya tak berkesiap mengawasi pada sosok pe-
rempuan besar.
"Hik.... Hik.... Hik...! Manusia tolol! Aku me-
mang bukan manusia pengecut macam kalian yang ta-
kut perlihatkan wajah dan menggunakan suara yang
disarukan!" berkata Dewi Kayangan seraya amat-amati
dua orang di hadapannya. Dahinya sebentar berkerut,
lalu sepasang matanya membesar dan menyipit.
"Edan! Aku tak bisa mengenali wajah mere-
ka...!" kata Dewi Kayangan dalam hati seraya geleng-
gelengkan kepala, hingga saat itu juga terdengar geme-
rincingnya anting-anting.
"Kali Nyamat!" kata orang yang berwajah hitam.
Suaranya sengaja disarukan antara suara laki-laki dan
perempuan. "Kami tak akan berlama-lama. Kami
hanya ingin tahu, di mana beradanya Sahyang Resi
Gopala! Tapi ingat. Jika mulutmu berkata bohong,
kami tak keberatan untuk menguburmu hidup-hidup!"
Untuk pertama kalinya paras wajah Dewi
Kayangan menampakkan rasa terkejut. Bahkan da-
danya tampak bergetar dengan kedua kaki mundur sa-
tu tindak ke belakang. Dari mulutnya tak terdengar
suara tawa cekikikan seperti biasanya.
Melihat sikap yang ditunjukkan Dewi Kayan-
gan, orang berwajah hitam keluarkan tawa berderai.
Sementara yang berwajah putih hanya tersenyum sinis.
"Mereka tanya tentang Sahyang Resi Gopala. Ini
tak main-main. Berarti rahasia yang telah kupegang
bertahun-tahun lamanya telah bocor keluar! Siapa pun
mereka adanya, harus kuhabisi sekarang juga! Karena
jika tidak, rahasia ini akan menyebar. Dan hal itu
akan menjadikan rimba persilatan kembali bergolak!"
membatin Dewi Kayangan seraya memandangi silih
berganti pada kedua orang di hadapannya.
"Kali Nyamat! Apa pertanyaanku perlu ku ulan-
gi lagi?!" kata orang berwajah hitam seraya busungkan
dada.
Untuk beberapa saat lamanya, Dewi Kayangan
masih tak menjawab pertanyaan orang. Dia tampaknya
masih terkesima dalam keterkejutan. Namun begitu di-
lihatnya orang berwajah hitam hendak berteriak lagi,
Dewi Kayangan dongakkan kepala. Lalu mulai lagi ke-
luar suara tawa cekikikannya. Setelah puas cekikikan,
dia berkata.
"Soal di mana beradanya Sahyang Resi Gopala,
itu urusan gampang. Yang penting sekarang adalah
unjukkan siapa diri kalian sebenarnya! Aku tak layak
memberitahu pada orang yang bersembunyi!"
Kembali kedua orang yang wajahnya ditutupi
kulit ini saling pandang. Lalu yang berwajah putih me-
langkah menjajari temannya dan berbisik.
"Kita tak boleh membuka penyamaran ini. Mau
tak mau, perempuan gembung itu harus mengatakan
dengan tanpa syarat apa pun. Kalau tidak mau, kita
paksa dengan kekerasan!"
Yang dibisiki mengangguk. Lalu orang ini ber-
kata.
"Kali Nyamat! Kau tak usah banyak cari dalih.
Katakan saja apa yang kami tanyakan. Jika tidak...,"
orang ini tak meneruskan kata-katanya.
"Jika tidak, kenapa? Katakan!" kata Dewi
Kayangan seolah menantang. Lalu keluarkan tawa ce-
kikikan.
"Lidahmu akan ku cabut!" sahut orang yang
berwajah putih dengan mendengus.
Kembali Dewi Kayangan keluarkan tawa cekiki-
kannya. Lalu berkata seraya rapikan sanggul rambut-
nya.
"Kalian tampaknya orang-orang yang pemarah.
Kalau tak mau unjukkan diri memperlihatkan wajah,
sebutkan saja nama kalian atau gelar kalian jika ka-
lian punya nama besar!"
Kedua orang di hadapan Dewi Kayangan tak
segera ada yang buka mulut untuk menjawab, mem-
buat Dewi Kayangan geleng-geleng kepala hingga ter-
dengar lagi gemerincing anting-antingnya.
"Mungkin tampang dan nama kalian jelek-jelek,
hingga kalian tak berani membuka dan mengatakan-
nya! Hik.... Hik.... Hik...! Apa boleh buat, aku tak mau
berteman apalagi mengatakan di mana beradanya Sa-
hyang Resi Gopala pada orang-orang jelek!"
"Jahanam! Kiranya kau pilih tercabut lidahmu
daripada mengatakan di mana beradanya orang yang
kami cari!" bentak orang berwajah putih. Lalu orang ini
dorong kedua tangannya ke depan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
"Ah, tampaknya kalian bukan hanya jelek tam-
pang dan nama, tapi juga buruk kelakuan! Kau me-
nyerangku, padahal kita tak punya silang sengketa!
Hik.... Hik.... Hik...!"
"Kau terlalu banyak kotbah!" bentak orang ber-
wajah hitam seraya pukulkan pula kedua tangannya
ke depan.
Kini empat larik sinar hitam yang mengham-
parkan kegelapan menggebrak ke arah Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan segera kelebatkan tubuh. Asta-
ga! Tiba-tiba tubuhnya yang gemuk subur itu lenyap
dari pandangan. Yang tersisa hanyalah suara geme-
rincing anting-anting yang tak bisa ditentukan di mana
beradanya. Namun salah satu dari orang yang menu-
tupi wajahnya, yakni yang berwajah putih seakan telah
tahu gerak Dewi Kayangan. Terbukti, meski Dewi
Kayangan itu tak bisa ditentukan di mana beradanya,
namun orang ini segera pukulkan kembali kedua tan-
gannya ke arah samping kanan.
"Edan!" tiba-tiba dari arah samping kanan ter-
dengar makian. Dan bersamaan dengan itu, melesat
sosok besar Dewi Kayangan dari samping kanan. Sete-
lah membuat gerakan jungkir balik aneh, Dewi Kayan-
gan mendarat dengan sepasang mata melotot pada
orang yang berwajah putih.
"Aneh. Tampaknya yang satu ini tahu gerakan-
ku. Dan rasa-rasanya aku mengenal pukulannya...!
Hmm.... Benar dugaanku, mereka adalah orang yang
telah kukenal. Tapi siapa? Kenapa memaksaku dengan
cara begini? Siapa pun dia, yang pasti dia mengingin-
kan Arca Dewi Bumi! Tapi dia apa juga sudah tahu, ji-
ka hanya seorang yang mampu mengambilnya?" mem-
batin Dewi Kayangan seraya mengingat-ingat. Namun
lagi-lagi Dewi Kayangan gagal untuk mendapat jawa-
ban.
Selagi Dewi Kayangan terheran-heran mencari
jawaban, kedua orang di hadapannya kelebatkan tu-
buh masing-masing. Tahu-tahu dari arah samping ka-
nan dan kiri Dewi Kayangan menderu angin dahsyat.
Berpaling ke kanan kiri, Dewi Kayangan sedikit
terkejut. Namun yang keluar dari mulutnya justru su-
ara tawa cekikikan. Lalu orang ini kebutkan tangan ki-
ri kanannya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar dua kali benturan keras. Lantas dis-
usul dengan terdengarnya dua seruan tertahan. Di
samping kiri kanan Dewi Kayangan, orang berwajah hi-
tam dan putih surutkan langkah masing-masing dua
langkah ke belakang. Wajah masing-masing orang ini
meringis menahan sakit.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Dewi
Kayangan. Kedua tangannya direntangkan ke kanan
dan kiri dengan pergelangan diputar-putar. Inilah pu-
kulan terkenal yang dimiliki oleh Dewi Kayangan, yak-
ni pukulan 'Pusaran Sukma'.
Saat itu juga gelombang yang berpusaran aneh
dan mengeluarkan suara gemuruh dahsyat mengham-
par ke kanan dan kiri!
'"Pusaran Sukma'!" seru orang yang berwajah
putih mengenali pukulan yang dilancarkan Dewi
Kayangan. Sementara orang yang berwajah hitam ter-
perangah kaget mendengar ucapan temannya. Kedua
orang ini kembali melompat mundur. Namun kedua
orang ini merasa tercekat leher masing-masing, karena
saat itu juga kedua orang ini merasa ada kekuatan
dahsyat yang memutar tubuhnya.
Tapi kedua orang ini tampaknya pantang me-
nyerah begitu saja. Kedua orang ini lantas putar tubuh
masing-masing dan hantamkan tangan masing-masing
ke samping. Namun hantaman tangan mereka seakan
tertahan kekuatan yang tak terlihat, hingga hantaman
itu mental balik.
Di saat yang demikian itu, mendadak dua orang
ini merasa tubuhnya berputar ke atas. Namun sesaat
kemudian tubuh masing-masing terasa dihempaskan
ke bawah!
Bleeekkk! Bleeekkk!
Tubuh dua orang berwajah putih dan hitam ja-
tuh berkaparan di atas tanah.
Di seberang, Dewi Kayangan tertawa cekikikan
seraya tarik tangannya dari samping. Lalu balikkan
tubuh. Pandangannya menerawang jauh. Kening pe-
rempuan bertubuh gembrot ini mengkerut.
"Dia mengenali pukulanku! Apakah dia...? Jika
memang dia, kenapa berbuat begini...? Ah, apa aku
terpengaruh dengan bualan Tua bangka Selaksa jika
dia benar-benar masih hidup...?" membatin Dewi
Kayangan.
Selagi Dewi Kayangan dilanda kebimbangan,
orang berwajah putih dan hitam sama-sama merambat
bangkit. Setelah saling beri isyarat, kedua orang ini ta-
kupkan tangan masing-masing sejajar dada. Mulut ke-
duanya berkemik-kemik ucapkan sesuatu.
Didahului dengan bentakan dari mulut orang
yang berwajah putih, kedua orang ini buka tangan
masing-masing dan disentakkan ke arah Dewi Kayan-
gan.
Gelombang angin dahsyat membawa hawa pa-
nas menyambar cepat ke depan. Bukan hanya sampai
di situ, begitu dari tangan masing-masing melesat ge-
lombang serangan, kedua orang ini lesatkan tubuh
masing-masing.
Dewi Kayangan tanpa palingkan wajah dan tu-
buh jejakkan kakinya di atas tanah. Tubuhnya melent-
ing di udara. Gelombang yang menyambar menghan-
tam tempat kosong!
Di udara, Dewi Kayangan balikkan tubuh. Tapi
perempuan gemuk ini terkejut, kedua lawan ternyata
telah merangseknya dengan kaki lurus!
Seraya menahan rasa terkejut, Dewi Kayangan
angkat tangan kanannya dan dihantamkan ke sisi ka-
nan. Sementara tangan kiri diayunkan dari atas ke
bawah.
Prakkk! Prakkk!
Benturan antara kedua tangan Dewi Kayangan
dan dua pasang kaki milik orang berwajah putih dan
hitam tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh orang berwajah putih terpelanting dan
berputar, namun saat itu kakinya masih sempat berge-
rak menyapu ke arah kaki Dewi Kayangan. Sementara
orang yang berwajah hitam tubuhnya mental balik,
namun orang ini tak mau juga tinggal diam. Sebelum
tubuhnya mental, kedua tangannya didorong ke de-
pan.
Dewi Kayangan memekik. Tubuhnya yang besar
bergerak deras ke depan karena kakinya tersapu ke
belakang. Di saat itu pukulan yang dilancarkan orang
berwajah hitam menggebrak!
Desss!
Tubuh Dewi Kayangan menukik deras ke ba-
wah dengan menelungkup. Meski dia sudah berusaha
keras membalikkan tubuh, namun gerakannya terlam-
bat. Hingga tak ampun lagi tubuhnya yang besar terje-
rembab dengan posisi telungkup!
Di lain pihak, orang yang berwajah putih juga
berusaha menahan putaran tubuhnya, namun usa-
hanya sia-sia. Hingga bersamaan dengan terdengarnya
suara berdebam terjerembabnya tubuh Dewi Kayan-
gan, tubuh orang berwajah putih terkapar di atas ta-
nah! Lalu sesaat kemudian disusul terdengarnya suara
terbantingnya tubuh orang yang berwajah hitam!
***
SEMBILAN
TAK jauh dari tempat terjadinya pertarungan
antara Dewi Kayangan dengan orang berwajah putih
dan hitam terlihat sesosok manusia melangkah terta-
tih. Seraya melangkah orang ini tersenyum-senyum,
padahal saat itu tidak ada sesuatu yang pantas dis-
enyumi! Namun tiba-tiba saja senyum orang ini yang
ternyata adalah seorang perempuan bertubuh kurus
kering terpenggal. Seraya hentikan langkah dan men-
gelus rambutnya yang kaku dan disanggul ke atas,
orang ini pandangi sesosok tubuh yang tergolek tak
jauh dari hadapannya.
"Sial! Mataku tidak lamur. Tapi aku tak dapat
melihat dengan jelas, apa yang teronggok melingkar
itu! Ular hijau atau manusia...!"
Perempuan kurus kering yang ternyata menge-
nakan terompah hitam besar dan bukan lain adalah
Rayi Seroja atau Dewi Bayang-Bayang melangkah
mendekat.
"Sial betul! Kalau memang ular hijau, kenapa
pakai kuncir? Kalau manusia kenapa sudah siang be-
gini masih enak-enakan tidur melingkar?"
Dewi Bayang-Bayang ulurkan kaki kanannya.
Terompahnya yang besar bergerak menggoyang-goyang
sosok hijau di bawahnya.
"Uhhh...!" terdengar lenguhan dari sosok hijau
yang tergoyang.
"Sial! Dia melenguh. Berarti manusia adanya!
Dasar manusia malas, matahari sudah tinggi begini
masih juga ngorok!" gumam Dewi Bayang-Bayang se-
raya goyang-goyangkan terompahnya agak keras.
Sosok hijau yang melingkar, yang ternyata ada-
lah seseorang manusia buka kelopak matanya. Seben-
tar sepasang mata itu memandang lurus ke atas.
Mungkin karena silau oleh sinar matahari, sepasang
mata itu lantas berpaling ke samping. Anehnya, meski
sepasang mata orang ini telah membuka, namun ang-
gota tubuh lainnya tak hendak dia gerakkan! Dia tetap
melingkar seperti semula.
Saat berpaling ke samping, dan dilihatnya ada
seseorang berdiri seraya senyum-senyum meski tak
memandang ke arahnya, orang ini kernyitkan dahi.
Lantas orang ini coba gerakkan anggota tubuhnya.
Namun orang ini sepertinya terkejut. Anggota tubuh-
nya serasa tegang kaku tak bisa digerakkan!
Dahi orang ini makin mengernyit. Dia seper-
tinya mengingat-ingat.
"Hmm.... Aku bertemu dengan dua orang yang
wajahnya ditutupi kulit tipis hitam dan putih. Lalu ter-
jadi perkelahian. Aku berhasil mereka robohkan, lalu
aku tak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu sudah bera-
da di sini...."
Orang berpakaian hijau ini yang bukan lain
adalah Aji Alis Pendekar Mata Keranjang 108 meman-
dang berkeliling. Begitu pandangannya berujung pada
sosok perempuan kurus di hadapannya, dia coba me-
nerka-nerka.
"Apakah salah satu orang yang menghadangku
itu adalah orang ini? Bukankah dia orang yang menye-
lamatkan aku sewaktu di Kampung Blumbang...? Tapi
ciri-ciri orang yang menghadangku tidak seperti dia!
Apakah dia yang menyelamatkanku lagi dari kedua
orang itu...?"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
lantas buka mulut dan berkata.
"Dewi Bayang-Bayang...! Terima kasih atas per-
tolonganmu!"
Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah meman-
dang Pendekar Mata Keranjang. Bibirnya mengulas se-
buah senyum. Sementara sepasang matanya menger-
dip-ngerdip beberapa kali. Lalu masih dengan senyum-
senyum dia berkata.
"Kau ini mengigau atau bergurau! Siapa yang
menolongmu?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik napas
dalam-dalam seraya menggumam yang tak jelas. Da-
lam hati dia berkata.
"Menghadapi orang ini gampang-gampang su-
sah! Tapi kebetulan sekali, mungkin dia bisa sedikit
memberi petunjuk tentang kakaknya!" Murid Wong
Agung ini lantas hendak bangkit. Dia sepertinya lupa,
jika tubuhnya masih tegang kaku tak bisa digerakkan.
"Busyet! Tubuhku tertotok!" keluh Pendekar
Mata Keranjang. Dia lantas kerahkan tenaga dalam
untuk membebaskan dirinya dari totokan. Namun
hingga keringatnya membasahi tubuh, dia tak berhasil
membebaskan diri.
Di hadapannya, Dewi Bayang-Bayang meman-
dang Pendekar 108 dengan kening mengkerut, namun
bibirnya tetap sunggingkan senyum.
"Tak ada hujan tak ada angin, kenapa tubuhmu
keringatan? Kau takut padaku? Ah, wajahku memang
menakutkan. Lebih baik aku pergi saja!" kata Dewi
Bayang-Bayang seraya balikkan tubuh dan hendak
melangkah pergi.
"Nek! Tunggu!" teriak Aji menahan kepergian
Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang urungkan niat. Tanpa
berpaling, dia berkata.
"Kau mau apa...?"
"Minta tolong lagi! Aku tertotok!" kata Aji seten-
gah berteriak karena saat itu dilihatnya Dewi Bayang-
Bayang hendak melangkah.
Dewi Bayang-Bayang dongakkan kepala. Lalu
terdengar dengusan dari hidungnya. "Dasar anak tolol!
Kalau saja tidak mengingat persahabatanku dengan
tua jelek Selaksa, mungkin aku masih berpikir seribu
kali untuk menolongmu!" omel Dewi Bayang-Bayang
seraya balikkan tubuhnya kembali. Tangannya diang-
kat, lalu digerakkan dengan cepat di depan dadanya.
Astaga! Aji merasakan tubuhnya dipukul-pukul
di beberapa bagian. Namun begitu tangan Dewi
Bayang-Bayang berhenti bergerak, Pendekar 108 me-
rasakan anggota tubuhnya mengendor dan bisa dige-
rakkan.
Seraya bangkit, Pendekar 108 cepat mendekat
dan menjura hormat seraya berkata.
"Terima kasih! Terima kasih! Budi jasamu tak
akan kulupa...."
Dewi Bayang-Bayang sepertinya acuh saja den-
gan sikap Pendekar 108. Malah dia balikkan tubuh
hendak melangkah pergi lagi, membuat Pendekar Mata
Keranjang geleng-geleng kepala.
"Dewi! Ada sesuatu yang hendak kutanyakan!"
seru Aji seraya bergegas menyusul Dewi Bayang-
Bayang yang telah melangkah tertatih-tatih seakan ke-
beratan terompah.
Mendengar seruan, Dewi Bayang-Bayang bu-
kannya hentikan langkah, malah dia mempercepat
langkah, membuat Pendekar Mata Keranjang 108 ha-
rus kerahkan tenaga dalam untuk mengejar. Karena,
meski terlihat melangkah sosok Dewi Bayang-Bayang
sepertinya melesat dengan cepat!
"Anak kurang ajar! Apa maumu sebenarnya?
Apa kau tertarik padaku...?!" kata Dewi Bayang-
Bayang seraya hentikan langkah begitu dilihatnya
Pendekar 108 menghadang di depannya.
Sejenak Pendekar 108 tarik-tarik kuncir ram-
butnya seraya tangan satunya usap-usap cuping hi-
dungnya. Sepasang matanya pandangi perempuan di
hadapannya. Lalu seraya ikut-ikut tersenyum, Pende-
kar Mata Keranjang berkata.
"Dewi Bayang-Bayang! Kau adalah sobat baik
eyangku. Perkenankan aku ajukan tanya! Kalau se-
nang boleh jawab, kalau tidak senang juga harus dija-
wab!"
"Anak kurang ajar! Kau...." Dewi Bayang-
Bayang tak meneruskan ucapannya, karena saat itu
Pendekar Mata Keranjang 108 telah berkata menyela.
"Tentunya sebagai seorang tokoh yang telah
lama malang melintang dalam rimba persilatan, kau
pernah dengar tentang adanya Arca Dewi Bumi. Tolong
katakan, di mana aku bisa menemui Dewi Kayangan!"
"Hmm.... Tampaknya pemuda ini telah menge-
tahui rahasia arca itu! Mungkin dia tahu dari Selaksa.
Sewaktu terjadi pertarungan dengan Kali Nyamat ia
menggunakan kipas berwarna ungu yang berangka
108, demikian pula gelarnya, Pendekar Mata Keranjang
108, hmm.... Apakah benar dia orang yang kelak dapat
mengambil dan mewarisi arca itu?" membatin Dewi
Bayang-Bayang seraya menatap tak kesiap pada Aji.
Lalu orang ini berkata.
"Hm.... Apa kau menginginkan arca itu?"
"Soal menginginkan dan tidak menginginkan
itu bukan persoalan. Tapi satu hal yang pasti, arca itu
harus diselamatkan! Aku khawatir rahasia tentang be-
radanya arca itu bocor ke pihak-pihak yang tidak ber-
tanggung jawab!"
Dewi Bayang-Bayang anggukkan kepala. "Sebe-
lum aku memberi keterangan tentang arca itu, sebaik-
nya aku periksa dahulu, apakah memang dia orang
yang kelak dapat mengambilnya!" membatin Dewi
Bayang-Bayang.
"He...! Sini!" teriak Dewi Bayang-Bayang seraya
melambai agar Pendekar Mata Keranjang mendekat.
"Namaku Aji! Bukan he...!" ujar Pendekar 108.
Dia tak segera melangkah ke arah Dewi Bayang-
Bayang. Wajahnya jelas menampakkan kebimbangan.
Dia malah pandangi perempuan berterompah besar di
hadapannya dengan pandangan menyelidik. Pendekar
Mata Keranjang 108 tampaknya masih teringat akan
kata-kata Eyang Selaksa bahwa harus bersikap was-
pada, meski terhadap Dewi Bayang-Bayang!
Melihat sikap ragu-ragu Pendekar 108, Dewi
Bayang-Bayang lebarkan senyumnya. Lalu berkata
tanpa melihat pada Pendekar 108.
"Kau tampaknya curiga padaku. Aku senang
itu, berarti kau adalah anak yang tidak sembrono! Tapi
sayang, sikapmu itu membuatku muak memandang-
mu!"
Habis berkata begitu, Dewi Bayang-Bayang me-
langkah dua tindak ke depan. Namun tiba-tiba balik-
kan tubuh dan melangkah pergi.
"Dewi! Tunggu...!" seru Pendekar 108 seraya
berkelebat menyusul. Begitu dekat, Pendekar 108 se-
gera bungkukkan tubuh seolah minta maaf. Lalu ber-
kata. "Dewi! Kini aku sudah dekat denganmu!"
Pendekar 108 berkata begitu karena meski kini
Pendekar Mata Keranjang telah berada dekat dengan
Dewi Bayang-Bayang, namun perempuan ini tidak pa-
lingkan wajah apalagi berkata.
"Dewi! Aku...."
"Anak kurang ajar! Kau tampaknya sengaja
membuat kesabaranku lenyap!" seraya berkata, Dewi
Bayang-Bayang sentakkan tangan kanannya. Karena
waktu itu Pendekar 108 berada begitu dekat, hingga
tatkala serangkum angin deras menggebrak keluar dari
tangan kanan Dewi Bayang-Bayang, Pendekar Mata
Keranjang 108 tidak sempat lagi menghindar. Hingga
tak ampun lagi tubuhnya terjengkang di atas tanah!
Seraya menindih rasa terkejut, murid Wong
Agung ini coba bangkit. Namun Pendekar 108 tercekat.
Tubuhnya ternyata tegang kaku tak bisa digerakkan.
Ternyata, sentakan tangan kanan Dewi Bayang-Bayang
selain merupakan sebuah serangan juga merupakan
totokan jarak jauh!
Dewi Bayang-Bayang melangkah mendekati
Pendekar Mata Keranjang yang masih dilanda kehera-
nan dan kecurigaan. Dan kecurigaan jelek Pendekar
108 menyeruak begitu Dewi Bayang-Bayang telah de-
kat dan serta-merta mengangkat tubuh Aji.
Begitu tubuh Pendekar 108 terangkat, tangan
kanan Dewi Bayang-Bayang kembali bergerak. Kini
menampar pipi kanan dan kiri Aji. Meski tamparan itu
sangat perlahan, namun karena tamparan itu dialiri
tenaga dalam, tak ampun lagi keluar jeritan tertahan
dari mulut Pendekar 108.
Pendekar Mata Keranjang merasakan kepa-
lanya pecah. Setelah itu segala sesuatunya terlihat
menghitam dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya dile-
paskan oleh Dewi Bayang-Bayang, hingga tubuh itu
meliuk roboh di atas tanah dengan keadaan pingsan!
***
SEPULUH
SEORANG perempuan bertubuh kurus kering,
mengenakan pakaian gombrong dan berterompah be-
sar terlihat melangkah tertatih-tatih. Di pundaknya
tampak seseorang berbaju hijau menelungkup dengan
kepala di punggung dan kaki di depan dada sang pe-
rempuan.
Mendadak, perempuan kurus kering ini dan
bukan lain adalah Rayi Seroja atau Dewi Bayang-
Bayang hentikan langkah. Setelah memandang berke-
liling, dia berkelebat dan jongkok di tengah semak belukar seraya mengendap-endap. Setelah meletakkan
orang yang dipanggulnya, kembali sepasang mata Dewi
Bayang-Bayang menyapu ke depan. Dahinya berkerut
senyumnya menyungging.
"Sial! Apa pula di depan itu...? Orang kenduri
atau orang sedang berlatih gila-gilaan...?" menggumam
Dewi Bayang-Bayang seraya terus memandang tak
berkesiap ke depan.
Tak jauh dari tempatnya mengendap-endap
bersembunyi, terlihat tiga orang sedang berkaparan di
atas tanah. Seorang di antaranya adalah seorang pe-
rempuan bertubuh besar dengan rambut disanggul ke
atas. Sementara dua lainnya adalah orang yang tidak
bisa ditentukan laki-laki perempuannya, karena kedua
orang ini mengenakan pakaian sangat besar menutupi
sekujur tubuhnya, sementara wajah mereka ditutup
dengan kulit tipis berwarna hitam dan putih.
"Sial! Bukankah yang sebelah kanan itu si
Gembung Kali Nyamat...? Hm.... Dua lainnya tak bisa
kukenali! Mungkin wajah mereka sangat elek, hingga
ditutup segala...!" kembali Dewi Bayang-Bayang meng-
gumam.
Selagi perempuan kurus berterompah besar ini
menggumam sendiri, orang berbaju hijau yang tadi di
pundaknya dan kini diletakkan tak jauh di samping-
nya membuka kedua kelopak matanya.
Untuk beberapa lama orang ini yang bukan lain
adalah Pendekar Mata Keranjang 108 hanya membuka
kelopak matanya tanpa berusaha menggerakkan ang-
gota tubuhnya.
Setelah mengerjap-ngerjap beberapa kali, Pen-
dekar Mata Keranjang sapukan pandangannya. Mula-
mula yang terlihat adalah semak belukar merangas
tinggi-tinggi, lalu pohon-pohon besar yang berdaun
rindang. Berpaling ke kanan, Pendekar 108 membela
lak. Dewi Bayang-Bayang tampak jongkok mengang-
kang dengan sepasang mata memandang lurus ke de-
pan.
"Nenek sontoloyo! Apa yang diperbuatnya di si-
ni? Untung aku ada di sampingnya. Kalau aku tepat di
depannya...?" membatin Pendekar 108 seraya pandan-
gi sikap jongkok Dewi Bayang-Bayang. Pendekar 108
angkat bahu seraya menggeleng perlahan dan terse-
nyum.
"Tampaknya dia tak berniat jahat padaku. Ter-
bukti dia tak membunuhku...! Tapi apa yang sedang
dikerjakan dengan jongkok begitu? Jangan-jangan dia
sedang buang air...!" berpikir begitu, Pendekar 108 ce-
pat seret tubuhnya agak menjauh.
"Dewi! Kalau kencing jangan...."
Aji tak meneruskan kata-katanya. Karena saat
itu Dewi Bayang-Bayang palingkan wajah seraya melo-
totkan mata.
"Jangan berisik!"
Habis membentak, kembali Dewi Bayang-
Bayang arahnya pandangannya ke depan
Pendekar Mata Keranjang 108 gelengkan kepa-
la. Lalu seraya merangkak ia mendekati Dewi Bayang-
Bayang. Sepasang matanya lantas memandang ke arah
tempat yang dipandangi Dewi Bayang-Bayang.
Sepasang mata murid Wong Agung ini terbeliak
besar saat melihat ke depan dan mengetahui siapa
adanya ketiga orang yang kini telah tegak berdiri ber-
hadap-hadapan. Dewi Kayangan berdiri di seberang,
sementara kedua orang berwajah hitam dan putih ber-
jajar di seberang lainnya.
"Jahanam! Kedua orang itulah yang mencela-
kakan diriku! Aku akan buat perhitungan!" kata Pen-
dekar 108 seraya kertakkan rahang dan kedua tangan
mengepal.
"Anak kurang ajar! Disuruh jangan berisik ma-
lah mengomel tak karuan! Kalau tak bisa diam, ku-
tampar lagi mulutmu!" bentak Dewi Bayang-Bayang
seraya palingkan wajah menghadapi Pendekar 108.
Meski nada suaranya membentak, anehnya bibir pe-
rempuan ini sunggingkan senyum.
Mendengar ancaman orang, Pendekar 108 sege-
ra katupkan mulut. Sepasang matanya kini ikut-
ikutan mengawasi ke depan, seperti yang dilakukan
Dewi Bayang-Bayang.
Sementara itu di depan, Dewi Kayangan tam-
pak gerak-gerakkan kepalanya seraya pandangi satu
persatu dua orang di hadapannya. Bersamaan dengan
gerakan kepalanya, terdengar gemerincing anting-
anting. Namun suara gemerincing itu kini makin lama
makin melengking tinggi seiring gerakan cepat kepala
Dewi Kayangan.
Dua orang berwajah putih dan hitam keluarkan
dengusan seraya menyeringai. Kedua orang ini lantas
kerahkan tenaga dalam masing-masing untuk mena-
han suara lengkingan gemerincing anting-anting.
Belum lenyap suara gemecincing anting-anting,
terdengar suara tawa cekikikan lenyap. Lalu terdengar
suara Dewi Kayangan berseru seraya berkelebat.
"Kalian yang mulai semua ini dan kalian pula
yang memaksa, jadi jangan menyesal nantinya! Me-
nyesal kemudian apa artinya. Ehhh, menyesal kemu-
dian...," seruan Dewi Kayangan terputus. Tubuhnya ti-
ba-tiba lenyap. Dan tahu-tahu....
Wuuuttt!
Orang berwajah hitam dan putih terperangah
kaget. Di hadapannya menghampar sinar merah diser-
tai deruan angin yang menyambar dahsyat!
Kalau saja kedua orang ini tidak waspada dan
segera tarik tubuh masing-masing dengan melompat
mundur, niscaya tubuh kedua orang ini akan tersam-
bar hamparan sinar merah yang ternyata adalah se-
lendang merah Dewi Kayangan!
Seraya melompat mundur, kedua orang ini se-
gera dorongkan tangan masing-masing ke depan!
Dua gelombang angin dahsyat yang keluarkan
suara menggemuruh menggebrak menghantam selen-
dang merah. Namun hebatnya, selendang itu bergerak
meliuk seakan menghindari hantaman angin. Malah
begitu hantaman dapat dielakkan, selendang merah itu
meliuk lagi dengan keadaan menggulung dan membu-
ka!
Tahu bahaya, kedua orang ini cepat lesatkan
diri masing-masing setinggi satu tombak ke udara. La-
lu secara bersamaan kedua orang ini merangsek maju
sebelum selendang merah bergerak membuka dari gu-
lungannya!
Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu mena-
rik tangan kanannya yang memegang pangkal selen-
dang. Secepat tarikan tangan Dewi Kayangan, secepat
itu pula selendang merah bergerak ke belakang.
Belum sampai ujung selendang tertangkap tan-
gan Dewi Kayangan, perempuan gemuk ini sentakkan
kembali tangan kanannya.
Selendang membuka dan kini menghampar te-
rus ke depan!
Dua orang di seberang yang tak berhasil meng-
gaet ujung selendang segera hentakkan pundak mas-
ing-masing untuk kerahkan tenaga agar tubuhnya me-
lesat lebih tinggi.
Saat itulah, didahului cekikikan keras, tubuh
Dewi Kayangan melesat ke udara. Lalu tubuh besarnya
bergelundungan di atas selendangnya yang mengham-
par. Sambil bergelundungan, tangan kiri Dewi Kayan-
gan menyentak-nyentak ke atas, sementara kedua kakinya melejang-lejang!
Dua orang yang berada di atas Dewi Kayangan
serta-merta dorong tangan masing-masing ke bawah.
Plaaar! Plaaar!
Terdengar dua kali letupan berturut-turut keti-
ka dorongan tangan kedua orang di atas Dewi Kayan-
gan bentrok dengan sentakan tangan kiri Dewi Kayan-
gan.
Bersamaan dengan terdengarnya suara letu-
pan, Dewi Kayangan sentakkan tangan kanannya dan
diputar ke atas. Selendang merah berkelebat meliuk ke
atas, sementara tubuh Dewi Kayangan tetap melejang-
lejang di atas udara!
Dua orang berwajah putih dan hitam terkejut.
Namun sudah tak ada kesempatan lagi untuk meng-
hindar. Sambaran selendang menghantam terlebih da-
hulu pada orang berwajah hitam. Lalu meliuk meng-
hantam orang berwajah putih!
Terdengar suara tertahan susul-menyusul. Tu-
buh orang berwajah hitam menukik dan terjungkal di
atas tanah, belum sempat bangkit, tubuh orang berwa-
jah putih melayang dan menghantam tubuh orang
berwajah hitam! Kedua orang ini berkaparan di atas
tanah saling tindih-menindih!
Dewi Kayangan cekikikan keras. Sementara itu,
dari tempat persembunyiannya, Dewi Bayang-Bayang
tersenyum-senyum. Sedang Pendekar 108 geleng-
geleng kepala.
"Luar biasa! Dia dapat menahan bobot badan-
nya dan melejang-lejang di atas selendang dengan
enaknya seperti anak-anak!" membatin Pendekar Mata
Keranjang 108. "Siapa sebenarnya dua orang itu...?
Apa mereka memang sengaja meninggalkan diriku be-
gitu saja...? Mereka bilang minta tolong padaku untuk
mengambil sesuatu, sesuatu apa? Lantas kenapa mereka tiba-tiba bentrok dengan Dewi Kayangan...? Ma-
salah sulit yang belum bisa kupecahkan! Sebaiknya
kutanyakan pada Dewi Bayang-Bayang...."
"Dewi!" seru Pendekar 108 perlahan. Yang di-
panggil hanya lirikkan mata. Namun Pendekar 108
meneruskan kata-katanya. "Kau tahu, siapa sebenar-
nya dua orang itu?"
"Ah, kau ternyata benar-benar anak tolol! Kalau
kau yang masih muda dengan pandangan lebih tajam
saja tidak tahu, apalagi aku yang sudah rabun!"
"Hmm.... Bukan begitu, karena kedua orang itu
memaksa diriku untuk mengambil sesuatu, tapi kare-
na aku tak mau, mereka mengeroyokku. Aku berhasil
mereka buat pingsan, anehnya sewaktu sadar kau
yang terpampang di hadapanku! Dan kini mereka terli-
bat bentrok dengan Dewi Kayangan, apa mereka juga
hendak minta tolong Dewi Kayangan...?!"
Sejurus nenek ini pandangi Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dengan seksama, membuat yang dipan-
dang kikuk dan salah tingkah.
"Hmm.... Bila demikian halnya, berarti rahasia
tentang Arca Dewi Bumi telah bocor keluar! Dan siapa
pun adanya dua orang itu, yang pasti mereka tahu ten-
tang rahasia itu! Dewi Kayangan harus diselamatkan.
Tampaknya kedua orang itu tidak baik, terbukti mere-
ka menyembunyikan siapa adanya mereka!" membatin
Dewi Bayang-Bayang. Lalu berkata pada Pendekar Ma-
ta Keranjang.
"Kalau nantinya aku turun tangan menyelesai-
kan pertengkaran ketiga orang itu, kau tetap di sini!
Jangan ke mana-mana. Mengerti?!"
Meski di dalam hati masih disarati dengan be-
berapa tanda tanya, namun murid Wong Agung ini ak-
hirnya anggukkan kepala.
Kedua orang ini lantas layangkan pandangan
masing-masing ke depan lagi. Di mana saat itu Dewi
Kayangan sedang memperdengarkan suara cekikikan-
nya seraya mendekati kedua orang yang berkaparan.
Yang didekati untuk beberapa saat lamanya tak
menampakkan tanda-tanda akan bangkit. Malah sepa-
sang mata masing-masing kedua orang ini terpejam
rapat.
Dewi Kayangan lilitkan selendang merah pada
pinggangnya. Lalu perlahan terus mendekati kedua
orang berwajah hitam dan putih.
Tiga langkah lagi langkahnya sampai, Dewi
Kayangan hentikan kakinya, sepasang matanya yang
besar memandangi silih berganti pada orang di hada-
pannya. Lalu keluar tawa cekikikannya.
"Sebenarnya aku ingin melihat tampang orang-
orang ini, namun kurasa mereka bertampang jelek-
jelek. Itu nanti membuat perutku mual dan muntah-
muntah. Daripada mengotori bumi, lebih baik tak lihat
tampang mereka!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan dongak-
kan kepala seraya menadangkan telapak tangan di de-
pan kening.
"Waduh, hari sudah siang. Padahal ada sesuatu
yang harus kuselesaikan! Aku harus pergi!"
Dewi Kayangan sekali lagi pandangi dua orang
yang terkapar di sampingnya. Lalu balikkan tubuh dan
melangkah pergi. Namun baru tiga langkahan kakinya
kedua orang yang terkapar serta-merta bangkit. Dan
tanpa berkata-kata lagi secara serentak kedua orang
ini hantamkan kedua tangan masing-masing ke arah
Dewi Kayangan.
Empat sinar hitam menghampar ke depan.
Dewi Kayangan yang tidak menduga sama se-
kali cepat palingkan wajah. Parasnya pucat pasi. Kare-
na jaraknya begitu dekat, hingga belum sampai Dewi
Kayangan berbuat sesuatu hamparan sinar hitam te-
lah menghantam tubuhnya!
Terdengar pekik kesakitan dari mulut Dewi
Kayangan. Tubuhnya yang gemuk besar terpelanting
hingga lima tombak ke belakang. Dan begitu tubuhnya
tergolek di atas tanah, darah kehitaman tampak men-
galir dari sudut bibirnya. Pakaian bagian dada dan ba-
hu kanan terlihat robek besar dengan kulit membiru di
baliknya.
Dewi Bayang-Bayang yang menyaksikan keja-
dian itu mengomel panjang pendek. Bahkan Pendekar
Mata Keranjang sempat keluarkan makian keras. Un-
tung ia segera sadar. Buru-buru dia tekap mulutnya
lalu bersungut-sungut menggeser tubuhnya seraya
menggumam tak karuan.
Di arena pertempuran, melihat Dewi Kayangan
berhasil mereka kelabui malah kini berhasil mereka
robohkan, kedua orang berwajah hitam dan putih ini
segera berkelebat mendatangi.
Di lain pihak, Dewi Kayangan cepat merambat
bangkit, dan serta-merta tubuhnya dia putar. Selen-
dang merah di pinggangnya sekonyong-konyong berke-
lebat. Namun karena tenaga dalam yang dikerahkan
tidak penuh, karena Dewi Kayangan dalam keadaan
terluka dalam, maka kelebatan selendang itu dengan
mudah dapat disergap oleh orang berwajah putih.
Begitu ujung selendang dapat tertangkap, sece-
pat kilat orang berwajah putih ini berkelebat memutar-
mutar.
Dewi Kayangan tercekat, tubuhnya kini terlilit
selendangnya sendiri. Namun perempuan ini tak begitu
saja menyerah. Tubuhnya dia lesatkan ke udara. Tapi
justru gerakannya ini menjadi bumerang. Karena begi-
tu tubuhnya melesat ke atas, orang berwajah putih
sentakkan ujung selendang di tangannya. Mau tak
mau tubuh Dewi Kayangan terbetot dengan deras ke
bawah. Saat itu, di bawah orang yang berwajah hitam
telah menanti dengan kedua tangan siap memukul!
Sesaat lagi tubuh gemuk Dewi Kayangan sam-
pai di hadapan orang berwajah hitam yang sudah siap
lancarkan pukulan, tiba-tiba sesosok bayangan berke-
lebat. Dan dengan gerakan aneh, bayangan tersebut
menyambar tubuh besar Dewi Kayangan. Begitu keras
dan cepatnya sambaran bayangan tersebut, hingga
orang berwajah putih yang masih pegangi ujung selen-
dang terhuyung-huyung terseret ke atas! Bukan hanya
itu saja, seraya menangkap tubuh Dewi Kayangan,
bayangan tersebut gerakkan kaki kanannya menghen-
tak pada selendang.
Orang berwajah putih terperangah kaget. Pe-
gangan pada ujung selendang bergetar hebat dan pa-
nas! Melihat bahaya, orang ini tak mau bertindak ayal,
seraya mengumpat keras pegangan tangannya pada
ujung selendang dia lepaskan.
***
SEBELAS
BEGITU pegangan terlepas, bayangan yang
menggendong tubuh gemuk Dewi Kayangan melayang
turun. Sejengkal lagi kaki bayangan ini yang ternyata
mengenakan sepasang terompah besar berwajah hitam
mendarat di atas tanah, mendadak kaki kanan bayan-
gan ini mendahului menjulai dan menjejak tanah. Tu-
buh bayangan ini kembali membumbung lalu melesat
agak menjauh dari orang berwajah hitam dan putih
yang masih seperti terkesima!
Di tempat agak jauh dan aman dari jangkauan
orang berwajah hitam dan putih, bayangan yang
menggendong tubuh Dewi Kayangan mendarat. Men-
dudukkan tubuh Dewi Kayangan dan berkata.
"Gembung! Kalau kau tak bisa rubah sikap
sembronomu, hidupmu tak akan berumur panjang!"
Dewi Kayangan yang dipanggil Gembung oleh
sosok yang menggendongnya dan bukan lain adalah
Dewi Bayang-Bayang kerjap-kerjapkan sepasang ma-
tanya. Seraya pegangi dadanya yang berdenyut sakit,
Dewi Kayangan berkata.
"Panjang dan tidaknya hidupku bukan uru-
sanmu! Kenapa kau repot-repot mengurusi? Hik....
Hik.... Hik...!" Setelah puas cekikikan, Dewi Kayangan
terlihat meringis. Lalu meludah ke tanah. Ternyata lu-
dah itu telah berwarna hitam. Menyadari akan dirinya
yang telah terluka dalam, Dewi Kayangan segera ke-
rahkan tenaga dalam seraya mengurut-urut dada dan
perutnya.
Di seberang, setelah sadar dari rasa terkesi-
manya, dua orang yang berwajah hitam dan putih sal-
ing pandang.
"Rayi Seroja!" seru orang yang berwajah putih
begitu mengenali siapa adanya orang yang menyela-
matkan Dewi Kayangan.
Mendengar nama itu disebut oleh orang yang
berwajah putih, orang yang berwajah hitam surutkan
langkah dua tindak ke belakang. Seraya ingin meya-
kinkan sepasang mata orang ini memandang lurus ke
depan tak kesiap. Saat itu Rayi Seroja alias Dewi
Bayang-Bayang telah balikkan tubuh dan memandangi
silih berganti pada dua orang berwajah hitam dan pu-
tih dengan tersenyum-senyum.
Meski bibirnya tersenyum-senyum, diam-diam
dalam hati Rayi Seroja berkata.
"Dia mengenaliku. Hmm.... Berarti aku pun
pasti mengenalnya! Siapa dia...? Akan kubuka tutup
wajahnya!" Dewi Bayang-Bayang angkat kepalanya
tengadah ke langit, lalu berkata.
"Wahai orang-orang yang tertutup wajahnya. Di
hadapanku lebih baik kalian terus terang saja. Buka
penutup wajah kalian! Jika tidak, aku tak segan-segan
menelanjangi kalian!"
Orang berwajah putih keluarkan dengusan ke-
ras. Sepasang matanya membeliak besar. Pelipisnya
bergerak-gerak, sementara dagunya terangkat. Teman-
nya hanya memandang dengan tatapan bimbang. Jelas
orang yang berwajah hitam ini agak keder menghadapi
Dewi Bayang-Bayang.
"Tua bangka bermulut besar! Apa yang dita-
kutkan dari ancamannya!" berkata orang yang berwa-
jah putih begitu melihat temannya dilanda perasaan
bimbang dan khawatir.
Habis berkata, orang yang berwajah putih ber-
kelebat. Tahu-tahu tubuhnya telah empat langkah di
hadapan Dewi Bayang-Bayang. Dan seketika itu juga
kedua tangannya disentakkan ke depan.
Dua larik sinar hitam menyambar cepat ke arah
Dewi Bayang-Bayang. Suasana seketika menjadi redup
dan panas!
Dewi Bayang-Bayang sesaat terlihat tertegun
dengan sepasang mata melotot. "Tak mungkin! Tak
mungkin dia! Tapi tidak ada dua orang di rimba persi-
latan ini yang mempunyai jurus seperti ini selain dia!
Aku makin penasaran!"
Dewi Bayang-Bayang berseru keras, lalu me-
loncat ke samping kanan, membuat gerakan berputar
dua kali di udara dan serta-merta sentakkan kedua
tangannya.
Blaammm!
Dusun Kepatihan laksana dilanda gempa dahsyat. Tanah terbongkar dan melambung ke udara. Tiga
pohon besar yang tak jauh dari tempat bertemunya
dua serangan berderak tumbang.
Setelah suasana agak terang karena tanah yang
beterbangan telah surut, orang berwajah putih ka-
tupkan rahangnya rapat-rapat. Sepasang matanya
mendelik dan mengedar berkeliling. Ternyata Dewi
Bayang-Bayang lenyap bagai ditelan bumi.
Selagi orang berwajah putih mengedarkan pan-
dangan mencari-cari, terdengar ketukan-ketukan. Baik
orang yang berwajah putih maupun orang berwajah hi-
tam yang sedari tadi hanya menyaksikan, segera
layangkan pandangan matanya ke arah sumber suara
ketukan.
Astaga! Kedua pasang mata kedua orang ini
membesar dan menyipit. Dewi Bayang-Bayang ternyata
duduk dengan kepala bergoyang ke kanan dan kiri di
atas sebuah cabang pohon yang tak begitu besar. Ke-
dua kakinya yang mengenakan terompah besar dia ke-
tuk-ketukkan pada batang cabang di bawahnya! Dia
seakan-akan menyelaraskan irama ketukan terompah-
nya dengan gelengan kepalanya.
"Jahanam!" gertak orang yang berwajah putih
seraya memberi isyarat pada temannya. Yang diberi
isyarat segera takupkan kedua tangannya. Matanya
memejam dengan mulut berkemik.
Tanpa didahului dengan suara bentakan, orang
berwajah hitam melompat maju dan sekonyong-
konyong sentakkan kedua tangannya ke arah Dewi
Bayang-Bayang. Di saat yang bersamaan, orang yang
berwajah putih melesat ke depan dan hantamkan pula
kedua tangannya.
Hebatnya, mendapat serangan dari dua jurusan
begitu rupa, Dewi Bayang-Bayang hanya sunggingkan
senyum. Dan begitu serangan setengah depa lagi
menghantam, Dewi Bayang-Bayang jejakkan kakinya
pada cabang di bawahnya. Tubuhnya melesat ke atas,
menerabas beberapa cabang pohon. Cabang-cabang
pohon itu patah berderak-derak.
Bersamaan dengan melesatnya tubuh Dewi
Bayang-Bayang, serangan dari orang berwajah putih
dan hitam menderu menghajar. Pohon di mana Dewi
Bayang-Bayang tadi berada langsung tumbang dengan
kulit mengelupas!
Begitu pohon tumbang, kedua orang ini segera
menyapukan pandangannya kembali, karena sosok
Dewi Bayang-Bayang tak terlihat melayang turun. Ke-
dua orang ini kembali dibuat melengak. Ternyata Dewi
Bayang-Bayang duduk pada sebuah cabang pohon di
sebelah pohon yang tumbang.
Selagi kedua orang ini melengak, dari arah po-
hon di mana Dewi Bayang-Bayang berada melesat dua
buah benda hitam. Begitu cepat lesatan benda hitam
tersebut, hingga hanya nampak seperti bersitan sinar
hitam yang keluarkan suara mendesing! Anehnya, dua
benda hitam tadi menerabas satu persatu ke arah
orang berwajah putih dan hitam.
Orang berwajah putih dan hitam segera miring-
kan tubuh masing-masing ke samping, menghindari
sambaran benda hitam yang ternyata adalah terompah
hitam milik Dewi Bayang-Bayang. Hebatnya, begitu ti-
dak menghajar sasaran, terompah itu mental balik.
Saat itulah Dewi Bayang-Bayang menyongsong turun.
Setelah mengenakan terompahnya di atas udara, pe-
rempuan ini segera merangsek ke arah orang berwajah
putih. Namun begitu di lihatnya orang berwajah hitam
bertindak lengah, Dewi Bayang-Bayang balikkan tubuh
di atas udara dan berkelebat mengarahkan serangan
ke arah orang yang berwajah hitam. Tangan kanannya
diangkat di atas kepala, sementara tangan kirinya merentang.
Orang yang berwajah hitam terkejut. Namun
dia segera miringkan tubuh ke kiri menghindari sabe-
tan tangan kanan Dewi Bayang-Bayang. Saat itulah,
tangan kiri Dewi Bayang-Bayang yang merentang dia
tarik sedikit, dan serta-merta disentakkan ke wajah
orang yang berwajah hitam!
Orang yang berwajah hitam meraung keras. Dia
tampaknya tertipu dengan gerak tangan kanan Dewi
Bayang-Bayang yang mengharuskan wajahnya meng-
hindar ke samping kiri, saat mana tangan kiri Dewi
Bayang-Bayang telah siap menyentak!
Seettt!
Orang berwajah hitam cepat takupkan telapak
tangannya ke wajahnya yang kini kulit penutupnya te-
lah terbuka. Saat itulah Dewi Bayang-Bayang segera
daratkan kakinya di atas tanah. Lalu tangan kanannya
menjotos arah perut orang yang tadi berwajah hitam.
Karena untuk melindungi perutnya dari joto-
san, mau tak mau orang ini segera turunkan tangan
dan wajahnya! Dan dihantamkan ke bawah! Tapi orang
ini terkejut, karena tangannya hanya menghantam
tempat kosong, ternyata Dewi Bayang-Bayang telah ta-
rik pulang tangannya yang hendak menjotos.
"Rakai Sirapan! Kau...!" seru Dewi Bayang-
Bayang begitu mengetahui siapa adanya orang yang
tadi berwajah hitam.
Orang yang dipanggil Rakai Sirapan mendengus
keras. Wajahnya yang kini tak lagi tertutup tampak
merah padam. Dan dengan marah yang meluap orang
ini segera melompat seraya hantamkan kedua tangan
sekaligus ke arah kepala Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang angkat kedua tangannya
dan direntangkan sedikit di atas kepalanya.
Prakkk! Prakkk!
Terdengar benturan keras. Namun Rakai Sira-
pan jadi tercengang, karena tangannya kini terjepit ke-
dua tangan Dewi Bayang-Bayang yang ditakupkan be-
gitu kedua tangan Rakai Sirapan menghantam.
Rakai Sirapan kerahkan tenaga dalam untuk
menarik tangannya. Namun tiada guna. Jepitan tan-
gan Dewi Bayang-Bayang laksana tiang besi. Saat itu-
lah Dewi Bayang-Bayang sentakkan kaki kanannya.
Desss!
Tubuh Rakai Sirapan melayang dan jatuh ber-
gulingan di atas tanah dengan pakaian bagian dada
robek. Darah segera muntah dari mulutnya. Namun
orang ini segera merambat bangkit. Tapi begitu agak
tegak, tubuhnya meliuk dan roboh kembali.
Di seberang, begitu kulit penutup orang berwa-
jah hitam terbuka Dewi Kayangan membeliak lebar.
Mulutnya komat-kamit menggumam sesuatu yang tak
jelas. Lalu kepalanya mendongak ke atas. Diam-diam
dalam hati dia berkata.
"Hm.... Rakai Sirapan! Berarti tak ada lain
orang yang bersamanya adalah Mekar Sari! Ternyata
tua bangka Selaksa tidak membual. Mekar Sari benar-
benar masih hidup! Tapi kenapa tiba-tiba dia muncul
dan menginginkan arca itu? Apa ini bukan karena ha-
sutan kekasihnya si Bangsat Rakai Sirapan...?"
Sementara itu, orang berwajah putih segera me-
lompat maju begitu melihat temannya telah terbuka
kedoknya. Dan tanpa berkata-kata lagi kedua tangan-
nya segera mendorong ke depan.
Dewi Bayang-Bayang tak berusaha menghindari
serangan orang yang berwajah putih. Dia hanya angkat
kedua tangannya, dan dengan pengerahan tenaga da-
lam penuh, kedatangannya didorong ke depan.
Blarrr!
Terdengar ledakan dahsyat tatkala dua serangan berisi tenaga dalam itu bertemu, di udara. Baik
Dewi Bayang-Bayang maupun orang berwajah putih
sama-sama terhuyung ke belakang. Saat itulah seraya
menahan huyungan tubuhnya, kaki kiri Dewi Bayang-
Bayang melejang ke depan, lalu disusul kaki kanan-
nya.
Wuuttt! Wuuuttt!
Terompah besar Dewi Bayang-Bayang berkele-
bat deras ke depan, ke arah orang berwajah putih yang
masih berusaha menguasai dirinya dari olengan tu-
buhnya!
Seraya menahan rasa tercekat, tangan orang
berwajah putih menghantam ke depan. Terompah yang
satu bisa dibuat mental, namun satunya lagi tak bisa
dipapas, hingga tanpa ampun lagi terompah itu meng-
hantam telak bahunya!
Orang yang berwajah putih menjerit tertahan.
Tubuhnya berputar dan jatuh terjengkang.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum. Lalu dengan
tanpa memandang orang berwajah putih dia berkata.
"Tanpa kau buka tutup wajahmu aku telah ta-
hu siapa kau! Mekar Sari, lekas menyingkir dari hada-
panku! Hari ini aku masih berbaik hati dan mengang-
gapmu sebagai adik! Namun jika suatu waktu kelak
kau masih bermain-main dengan orang-orang sesat,
jangan menyesal jika aku menutup mata padamu!"
"Ah, bertahun lamanya aku coba menyirap ka-
bar tentangmu yang katanya telah tewas, namun sete-
lah bertemu nyatanya kau berbuat tak pantas! Aku
menyesal! Hik.... Hik.... Hik...!" sahut Dewi Kayangan
seraya merambat bangkit dan mendekati Dewi Bayang-
Bayang.
Sejenak Dewi Kayangan memandang silih ber-
ganti pada orang berwajah putih yang ternyata adalah
Mekar Sari atau lebih dikenal dengan julukan Dewi
Bunga Iblis, lalu beralih pada Dewi Bayang-Bayang.
Saat itu baik Dewi Bunga Iblis maupun Dewi Bayang-
Bayang juga sedang memandang ke arah Dewi Kayan-
gan, hingga untuk beberapa saat lamanya tiga bersau-
dara ini saling pandang satu sama lain.
"Kali Nyamat!" berkata Dewi Bayang-Bayang
memanggil nama asli Dewi Kayangan. "Cepat suruh
minggat anak salah asuhan itu sebelum mataku jenuh
melihat tampangnya!"
Dewi Kayangan cekikikan sebentar, lalu berpal-
ing pada Dewi Bunga Iblis dan berkata setengah berte-
riak.
"Mekar Sari! Telingamu telah dengar ucapan
orang, kenapa kau masih enak-enakan menggelosoh di
situ? Hayo, minggat sana jauh!"
Sepasang mata Dewi Bunga Iblis membeliak
pandangi kedua kakaknya bergantian. Dengan men-
dengus keras, orang ini merambat bangkit seraya pe-
gangi bahunya yang baru saja terhantam terompah
kakaknya Dewi Bayang-Bayang. Perlahan, Dewi Bunga
Iblis melangkah ke arah Rakai Sirapan yang ternyata
adalah kekasihnya.
"Kakang, kita tebus kegagalan ini pada suatu
hari kelak! Kita pergi dari sini!"
Rakai Sirapan tak menyahuti ucapan kekasih-
nya. Dia hanya bangkit dan melangkah mengikuti Dewi
Bunga Iblis yang terlebih dahulu meninggalkan tempat
itu.
***
DUA BELAS
BEGITU Dewi Bunga Iblis dan kekasihnya telah pergi, Dewi Bayang-Bayang berpaling pada Dewi
Kayangan. Setelah tersenyum dia berkata.
"Kali Nyamat! Kau terima atau tidak, nyatanya
rahasia yang bertahun-tahun kita simpan akhirnya
bocor juga! Dan bukan tak mungkin hal ini telah me-
nyebar di kalangan orang-orang rimba persilatan!"
Dewi Kayangan mengangguk-angguk seraya ce-
kikikan.
"Benar juga! Tapi kau tahu sendiri, hanya seo-
rang yang kelak dapat mengambil sekaligus mewarisi
arca itu. Padahal sampai sekarang aku belum mene-
mukan orangnya!"
Dewi Bayang-Bayang gelengkan kepala sambil
tersenyum. Tangannya bergerak melambai pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108 yang sedari tadi diam me-
nunggu di balik semak belukar.
Melihat isyarat lambaian tangan Dewi Bayang-
Bayang, Pendekar 108 berkelebat keluar. Melangkah
mendekati Dewi Bayang-Bayang dan Dewi Kayangan
yang tegak memperhatikan dengan dahi berkerut.
"Rayi Seroja! Untuk apa kau bawa gembel jelek
ini? Meski dia gagah dan mungkin digandrungi banyak
gadis-gadis, aku tak sedikit pun tertarik padanya!"
Meski dalam hati Pendekar Mata Keranjang 108
menggerendeng panjang pendek, namun dia tak me-
nyahuti kata-kata Dewi Kayangan. Dia hanya meman-
dang seraya usap-usap cuping hidungnya.
"Kali Nyamat! Soal tertarik atau tidak, itu uru-
san belakangan. Yang pasti kita memerlukan manusia
satu ini! Dialah orang yang kau tunggu-tunggu!"
Mendengar ucapan adiknya, untuk kali perta-
ma Dewi Kayangan tak keluarkan cekikikannya. Sepa-
sang matanya mengawasi tampang Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 dari kaki sampai rambut.
"Kau sudah memeriksanya?!" kata Dewi Kayangan tanpa palingkan wajah.
"Mana aku berani bawa orang sebelum kupe-
riksa keadaannya?!" jawab Dewi Bayang-Bayang sam-
bil elus rambutnya yang menjulai kaku ke atas.
"Aku belum percaya sebelum melihat sendiri!"
"Hmm.... Jika begitu, silakan lihat!" jawab Dewi
Bayang-Bayang seraya senyum-senyum dan kibas-
kibaskan pakaiannya yang gombrong.
Pendekar Mata Keranjang yang bukan lain Aji
adanya tarik kuncir rambutnya seraya menggumam.
"Dari tadi kudengar kalian ribut soal periksa
memeriksa. Sebetulnya apa yang sedang kalian bicara-
kan?"
Dewi Bayang-Bayang berpaling pada Pendekar
108 dan berkata, "Bukankah jauh-jauh kau menuju ke
dusun Kepatihan hendak mencari tahu tentang Arca
Dewi Bumi? Ketahuilah! Petunjuk tentang beradanya
arca itu ada di tangan kakakku ini. Hanya saja syarat
utama yang kuketahui, bahwa kelak hanya seorang
yang bisa mengambilnya. Orang itu memiliki tanda-
tanda khusus yang dibawa sejak lahir! Nah, sekarang
kau mendekatlah pada Dewi Kayangan, dia akan lihat,
apakah kau memiliki tanda-tanda khusus itu!"
"Betul! Sini kau!" sambung Dewi Kayangan se-
raya memberi isyarat agar Pendekar 108 mendekat.
Meski masih banyak pertanyaan di dalam hati,
Pendekar 108 melangkah mendekati Dewi Kayangan.
Begitu dekat, kedua tangan Dewi Kayangan se-
gera bergerak meraba-raba tubuh Pendekar 108. Kare-
na kaget tidak menduga, pendekar murid Wong Agung
ini segera hendak melompat mundur. Namun Pendekar
108 terperangah. Wajahnya berubah pias dengan se-
pasang mata membeliak. Karena ternyata tubuhnya
tegang kaku tak bisa digerakkan!
"Gila! Dia telah menotokku!" umpat Aji dalam
hati seraya pandangi silih berganti pada Dewi Bayang-
Bayang dan Dewi Kayangan. Yang dipandangi hanya
senyum, sementara satunya cekikikan seraya terus
meraba-raba.
"He...! Lepaskan pegangan jarimu pada bijiku!"
teriak Pendekar Mata Keranjang saat dirasa tangan kiri
Dewi Kayangan meraba pangkal pahanya dan memen-
cet dua bijinya.
"Walah, kenapa tanganku ngelantur tak ka-
ruan? Sial benar!" kata Dewi Kayangan lalu berpaling
pada Dewi Bayang-Bayang dan ajukan pertanyaan.
"Rayi Seroja! Kau jangan bohongi aku, di mana
letaknya...?"
Dewi Bayang-Bayang katupkan mulut dan
mengangkat tangannya ditekapkan pada mulut. Ba-
hunya nampak berguncang menahan tawa. Lalu ber-
kata.
"Dasar tolol! Sudah dipegang masih tanya-
tanya!"
"Hahhh? Jadi di sini...?!" kata Dewi Kayangan
seraya memencet kembali. Pendekar 108 semakin
membeliakkan sepasang matanya. Dari mulutnya ke-
luar gerendengan tak karuan. Sementara Dewi Bayang-
Bayang tergelak-gelak.
Setelah puas tertawa, Dewi Bayang-Bayang
mendekati Dewi Kayangan yang masih memencet men-
cet seraya tertawa cekikikan.
"Kali Nyamat! Tanda itu ada pada kepalanya!"
bisik Dewi Bayang-Bayang seraya cepat mundur kare-
na saat itu juga Dewi Kayangan lepaskan pegangan
tangan kirinya yang memencet dan kibaskan tangan-
nya pada Dewi Bayang-Bayang.
"Dasar perempuan tua tak tahu malu! Bera-
ninya kau mengerjai aku!" kata Dewi Kayangan seraya
melotot. Namun sebentar kemudian tawa cekikikannya
keluar. Tangannya lantas bergerak memegang kepala
Aji dan ditekan.
"Gila! Apa maunya orang-orang ini sebenarnya?
Apa dikiranya aku barang mainan?" gerutu Pendekar
108. Namun dia tak bisa berbuat apa. Tubuhnya sege-
ra menekuk begitu tangan Dewi Kayangan menekan.
"Hmmm.... Jadi memang dia orangnya...," gu-
mam Dewi Kayangan setelah puas meraba-raba dan
menekan kepala Pendekar 108. Tangan orang ini lan-
tas bergerak kembali ke sana kemari di sekujur tubuh
Pendekar Mata Keranjang. Begitu tangannya berhenti
bergerak, astaga! Pendekar Mata Keranjang bisa ge-
rakkan kembali anggota tubuhnya.
"Satu nol delapan!" seru Dewi Kayangan. Dia
sengaja memanggil begitu setelah mengetahui bahwa
di kepala Aji memang terdapat guratan angka 108.
"Dengar baik-baik! Di rimba persilatan ini me-
mang ada arca bernama Dewi Bumi. Namun arca itu
hanya bisa diambil oleh orang yang mempunyai tanda
angka 108 di tubuhnya. Karena orang itu adalah kau,
maka sekarang kau pergilah ke utara. Di sebuah dae-
rah bernama Bajul Mati, carilah seorang pertapa ber-
nama Resi Sahyang Gopala! Hanya itu petunjuk yang
ada padaku! Selanjutnya urusanmu!"
Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya masih
tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dia memandang lurus-lurus pada Dewi Kayangan dan
Dewi Bayang-Bayang.
Dewi Bayang-Bayang tersenyum, lalu dengan
mata sedikit melotot dia berkata.
"Kau sudah dengar kata-kata orang. Tunggu
apa lagi? Apa ingin dipencet lagi...?!"
"Brengsek! Siapa yang mau pencet-pencet lagi?
Enak di dia, rugi di kita! Hik.... Hik.... Hik...!" sahut
Dewi Kayangan seraya kibas-kibaskan tangan kirinya
yang tadi memencet biji Pendekar 108.
Pendekar 108 usap-usap cuping hidungnya se-
raya menggumam perlahan. "Apa dikira aku senang
kau pencet-pencet! Kalau kalian gadis-gadis cantik, ka-
lian pencet sampai lumer pun aku tak akan menjerit-
jerit!" Lalu Pendekar Mata Keranjang 108 membung-
kuk dan berkata.
"Hanya ucapan terima kasih yang dapat ku-
sampaikan atas petunjuk yang telah kalian berikan!
Aku mohon diri sekarang...."
"Hik.... Hik.... Hik...! Kau tak usah berbasa-basi
begitu! Lekas pergi sana!" bentak Dewi Kayangan. Na-
mun meski nada suaranya membentak, mulut orang
ini mengumbar tawa panjang seakan tak henti henti.
Pendekar Mata Keranjang 108 luruskan tubuh.
Mengawasi sejenak pada Dewi Kayangan dan Dewi
Bayang-Bayang. Dalam hati dia berkata.
"Orang aneh! Kalau terus kumpul dengan
orang-orang begini, bisa-bisa aku kejangkitan jadi
orang aneh...."
Setelah puas menatapi dua orang kakak bera-
dik itu, Pendekar 108 kerdipkan sebelah matanya pada
keduanya. Lalu balikkan tubuh dan melangkah me-
ninggalkan tempat itu.
Dewi Kayangan membelalakkan sepasang ma-
tanya.
"Dasar Mata Keranjang! Pada orang-orang tua
bangka seperti kita-kita ini masih juga sempat kerdip-
kerdipkan sebelah matanya!" Lalu perempuan bertu-
buh gemuk besar ini tertawa cekikikan, sementara
Dewi Bayang-Bayang buka lebar-lebar mulutnya sea-
kan hendak tertawa bergelak, namun yang terlihat ke-
mudian adalah senyum di bibirnya!
SELESAI
Ikuti kelanjutan kisah ini dalam episode:
DAYANG NAGA PUSPA
0 comments:
Posting Komentar