..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE MUSLIHAT DEWI BERLIAN

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

RINGKASAN EPISODE YANG LALU

(PENGADILAN RIMBA PERSILATAN)

SETELAH BERHASIL MENDAMAIKAN RATIH 

DAN KAKAK SEPERGURUANNYA, LESMANA, RAJA 

NAGA SEGERA BERKELEBAT MENUJU LEMBAH 

LINGKAR. 

TAK LAMA SETELAH RAJA NAGA PERGI, DI 

TEMPAT YANG BARU DITINGGALKANNYA TIBA-

TIBA MUNCUL SATU SOSOK TUBUH DARI DALAM 

TANAH. SOSOK ITU RUPANYA SEORANG KAKEK 

YANG MENGENAKAN PAKAIAN PANJANG SEPERTI 

WARNA TANAH. KAKEK ITU PUN BERGUMAM.

"TINDAKAN PEMUDA ITU SUNGGUH LUAR BI-

ASA. DIA DAPAT MENUNTASKAN URUSAN ANTARA 

KAKAK DAN ADIK SEPERGURUAN ITU. HEBAT... 

HEBAT...! SEKARANG PASTI SI RAJA NAGA ITU 

MENUJU LEMBAH LINGKAR, SEBAIKNYA KUIKUTI 

SAJA!" 

SESAAT MATANYA MENATAP LANGIT YANG 

TELAH KELAM, LALU TUBUHNYA BERKELEBAT KE 

ARAH YANG DITUJU RAJA NAGA.


Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


SUASANA di tempat yang agak landai dan dipe-

nuhi dengan pepohonan itu sepi. Hanya suara hewan 

malam yang terdengar. Angin timur laut berhembus 

dingin, menggeresek dedaunan yang cukup menimbul-

kan suara mendebarkan. Malam terus beranjak dan 

tak lama lagi akan tiba pada puncaknya.

Datuk Bunaeng tak bersuara. Matanya meman-

dang tajam pada Dewi Berlian yang baru saja menceri-

takan sesuatu yang cukup mengejutkan sekaligus 

membuat kemarahannya semakin naik. Diliriknya 

Pangku Jaladara yang terbujur dalam keadaan telen-

tang di atas tanah. 

Sesuai dengan apa yang direncanakan, Datuk 

Bunaeng bersama Ratu Tongkat Ular dan Resi Hitam 

terlebih dulu tiba di Lembah Lingkar. Kakek berjubah 

hitam yang sepasang alisnya menyatu ini menggeram 

karena tak melihat sosok Dewi Berlian. Tetapi kegera-

mannya itu lenyap tatkala perempuan berpayudara 

montok yang mengenakan pakaian panjang warna hi-

jau dipenuhi butiran berlian itu muncul dengan me-

nyeret tubuh Pangku Jaladara, yang kemudian diban-

tingnya hingga terbujur di atas tanah. 

Kemudian tanpa membuang waktu Dewi Berlian 

memberitahukan sesuatu yang mengejutkan kakek be-

rambut dikelabang itu!

"Bagus kalau Raja Naga berani datang ke Lembah 

Lingkar!" deals kakek berambut dikelabang itu dingin. 

"Itu tandanya, siap untuk mencari mampus!"

Dewi Berlian yang sedang menjalankan rencana 

busuknya, tersenyum dalam hati.

"Dengan begini, aku dapat mengadu domba anta-

ra Datuk Bunaeng dengan Raja Naga. Tetapi bila tindakanku ini tidak dibantu oleh Pangku Jaladara mus-

tahil perkembangannya seperti itu." 

Wajah perempuan yang pakaian bawahnya terbe-

lah di kanan kiri hingga batas pinggul ini, sedikit be-

rubah ketika melihat tatapan kakek bongkok berkulit 

sangat hitam. Belum lagi bibir keriput si kakek terse-

nyum-senyum sendirian, dan sesekali memberi isyarat 

seperti kecupan.

"Keparat! Siapa kakek setan ini? Tatapannya pe-

nuh birahi dan membuatku menjadi begitu muak!"

Kakek yang bukan lain Resi Hitam itu mendesis 

pada Datuk Bunaeng, "Bunaeng! Lama kudengar kabar 

tentang seorang perempuan jelita yang berjuluk Dewi 

Berlian! Sekian lama pula kubayangkan betapa cantik 

wajahnya dan begitu panas tubuhnya! Lama pula ku-

pendam hasratku untuk menggelutinya! Dan tak ku-

sangka tak kuduga, kalau hari ini aku berjumpa den-

gannya! Dan... wah, wah! Luar biasa! Sungguh luar bi-

asa! Kecantikan dan kemolekannya jauh melebihi apa 

yang kubayangkan!"

Datuk Bunaeng menyeringai lebar. Di pihak lain, 

Dewi Berlian menggeram keras. Sementara itu, sesuai 

rencana yang dijalankan, Pangku Jaladara yang berla-

gak pingsan, menggeram dalam hati.

"Terkutuk! Siapa kakek berkulit hitam yang sem-

pat kulihat tadi? Setan laknat! Lancang betul mulut-

nya berbicara seperti itu. Huh! Suatu saat, dia harus 

mampus di tanganku!"

Resi Hitam berkata lagi, "Bunaeng! Kau lihat bu-

kit kembarnya yang padat dan memperlihatkan seba-

gian besar kepadatannya itu? Ah, kedua tanganku ini 

rasanya sudah tak mampu kutahan lagi untuk mere-

masnya! Tentunya begitu kenyal, lembut dan mengge-

maskan! Dan kau lihat sepasang pahanya yang gempal 

aduhai? Gila! Aku bisa mati berdiri bila belum menik


matinya!"

"Kakek hitam! Jaga mulutmu kalau bicara!!" ben-

tak Dewi Berlian tak dapat menguasai lagi amarahnya. 

Kehadiran kakek itu memang di luar dugaannya. Sebe-

lumnya, dia hanya menyangka kalau Datuk Bunaeng 

dan Ratu Tongkat Ular saja yang berada di Lembah 

Lingkar.

Resi Hitam menyeringai lebar.

"Mengapa harus gusar? Aku laki-laki dan memili-

ki kejantanan yang luar biasa! Dan kau perempuan 

yang memiliki tubuh montok luar biasa! Bukankah ini 

sesuatu yang menguntungkan? Kejantananku dapat 

kutumpahkan pada tubuhmu yang montok, yang ten-

tunya juga akan kau nikmati!!" 

Srraaattt!! 

Belum habis seruan Resi Hitam terdengar, satu 

cahaya gemerlapan yang menebarkan hawa panas su-

dah menggebrak ke arahnya!

Kepala Resi Hitam seketika menegak. Sorot ma-

tanya tajam berapi-api. Mendadak disentakkan tangan 

kanannya ke atas. Gumpalan awan hitam tiba-tiba 

bergerak naik diiringi suara bergemuruh. Menyusul 

awan hitam itu tiba-tiba turun dengan deras dan se-

perti halnya sebuah tangan, menangkap dan memaksa 

masuk cahaya gemerlapan yang dilancarkan Dewi Ber-

lian!

Begitu masuk, terdengar letupan yang keras!

Blaaarrrr!! 

Awan hitam itu muncrat berhamburan sementara 

cahaya gemerlapan tadi tertungkup jatuh di atas tanah 

yang membuat tanah muncrat setinggi setengah tom-

bak.

Di tempatnya, napas Dewi Berlian memburu ke-

ras. Sorot matanya bengis tak berkedip. 

Di pihak lain, sepasang mata Resi Hitam melotot.


Bukan jengkel karena mendapatkan serangan menda-

dak dan tatapan seperti itu, melainkan mengarahkan 

pandangannya pada bungkahan sepasang bukit mon-

tok milik Dewi Berlian yang naik turun.

"Astaga!" desisnya sambil menelan ludah. "Pasti 

nikmat betul kalau aku menyusupkan kepalaku di be-

lahan kedua bukit itu!"

"Terkutuk!!" maki Dewi Berlian berang dan siap 

melancarkan serangannya lagi. 

Tetapi suara Datuk Bunaeng menghentikannya.

"Tak perlu gusar untuk urusan yang sepele ini! 

Kita adalah kawan, demikian pula dengan Resi Hitam! 

Tahan segala kemarahanmu, Dewi Berlian! Karena 

orang yang sama-sama kita tunggu akan muncul di si-

ni!"

Dewi Berlian melirik dengan tatapan ganas. Tak 

menyukai apa yang dikatakan oleh Datuk Bunaeng. Di 

pihak lain, Ratu Tongkat Ular menggeram dalam hati. 

"Huh! Mengapa Bunaeng harus menahannya? 

Aku ingin melihat dia bertarung dengan Resi Hitam! 

Aku berharap kalau kedua-duanya sama-sama terluka! 

Bahkan kalau mungkin, mampus sekarang juga! Ja-

di... dendam lamaku pada Resi Hitam yang pernah 

memperkosaku empat puluh tahun lalu, tak perlu ku-

tindih seperti sekarang! Ah, aku sendiri sebenarnya 

sudah tak mampu menahan gejolak dendamku! Tetapi, 

aku melihat sebuah keuntungan yang lebih besar bila 

aku tetap menahan amarahku!"

"Bunaeng! Rencana yang ada hanyalah kau dan 

aku! Tetapi kehadiran Ratu Tongkat Ular di sini bu-

kanlah suatu masalah, karena pada awalnya dia sudah 

bergabung denganmu! Tetapi kakek keparat bermulut 

kotor itu, sungguh bukanlah sesuatu yang menye-

nangkan melihatnya hadir!"

Datuk Bunaeng menyeringai.


"Tak perlu gusar! Kita akan saling bantu untuk 

mendapatkan sebuah keuntungan yang besar Dewi 

Berlian, tak lama lagi kau akan melihat betapa men-

guntungkannya dengan hadirnya dia di sini!!"

Sebelum dewi Berlian menyahut, Resi Hitam su-

dah mendesis sambil menyeringai, "Ya! Kau akan men-

dapatkan keuntungan, yang terbanyak di antara 

orang-orang yang hadir di sini! Karena, kau akan me-

rasakan kejantananku yang akan membuatmu menje-

rit serta menggelepar setinggi langit! Seperti yang dira-

sakan oleh nenek berpakaian compang-camping itu 

empat puluh tahun lalu!"

Dewi Berlian melirik Ratu Tongkat Ular. Yang di-

lirik tersenyum. Tetapi Dewi Berlian menangkap satu 

gejolak amarah yang dipendam pada pancaran mata 

Ratu Tongkat Ular.

"Hemmm... tentunya perlakuan kotor yang dila-

kukan oleh Resi Hitam padanya! Jelas kutangkap ka-

lau Ratu Tongkat Ular menyimpan amarah kendati bi-

birnya tersenyum."

Datuk Bunaeng berkata, "Untuk saat ini, semua 

yang hadir di sini kecuali Pangku Jaladara, adalah ka-

wan seperjuangan. Keinginan kita adalah menguasai 

rimba persilatan dan membuat para jago tunduk di te-

lapak kaki kita! Rencanamu yang hendak menjadikan 

Pangku Jaladara sebagai boneka, membuat seman-

gatku semakin membesar! Walaupun aku tak bisa me-

lupakan dendamku pada mendiang Resi Kala Jinjit, te-

tapi rencanamu itu lebih menyenangkan dari apa pun 

juga! Kita akan merebut kembali kalung Laba-laba Pe-

rak sekaligus membunuh Raja Naga! Pangku Jaladara 

tetap kita biarkan hidup! Dia akan kita nobatkan men-

jadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Dengan adanya 

kalung Laba-laba Perak, maka dirinya akan sah men-

jadi seorang ketua! Itu artinya...."


Kata-kata Datuk Bunaeng tiba-tiba terputus ka-

rena terdengar dengusan Resi Hitam yang keras, dis-

usul dengan kata-katanya, "Huh! Menangkap gerakan 

yang ada, aku merasa pasti mengenal salah seorang 

dari mereka!!" 

Sudah tentu kata-kata yang tak ada ujung pang-

kalnya itu, membuat yang lainnya terkejut. Termasuk 

Dewi Berlian, yang sama-sama menatap kakek berkulit 

hitam legam itu yang sedang menegakkan kepala. 

Di saat lain, masing-masing orang segera tahu 

apa yang dimaksud oleh Resi Hitam.

Dewi Berlian membatin, "Jangan-jangan.... Raja 

Naga yang datang. Tetapi, mengapa Resi Hitam tadi 

bergumam kalau dia mengenal salah seorang dari yang 

datang ini? Kalau begitu, berarti yang datang bukan 

hanya seorang. Apakah Raja Nags datang bersama se-

seorang yang menurutnya dapat dijadikan sebagai 

pen-damping?"

Sementara itu Datuk Bunaeng membatin, 

"Hemm... aku berharap kalau yang datang ini adalah 

Raja Naga. Dia telah mencoreng wajahku dengan tin-

dakan busuknya! Dan sudah tentu tak akan pernah ku 

maafkan apa yang telah terjadi! Dewi Berlian telah 

mengusulkan sesuatu yang menurutku sangat baik! 

Dan setelah semuanya berjalan lancar, setelah Pangku 

Jaladara kujadikan sebagai bonekaku, maka tinggal 

membunuh Dewi Berlian! Tetapi tentunya... ha ha ha... 

ingin kulihat Resi Hitam memperkosanya terlebih dulu 

sebelum mampus...." 

Tiba-tiba terdengar lagi kata-kata Resi Hitam, 

"Bau sirih yang dikunyahnya sangat kukenal! Dan aku 

yakin dia adalah orang yang kukenal! Dan hei... aku 

juga mengenal orang yang bersamanya! Wah! Ini bisa 

ramai! Mengapa bukan Langlang Benua yang muncul 

di tempat ini?!"


Tongkat Ular menggenggam tongkatnya erat-erat. Sorot 

matanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru.

"Terkutuk! Beberapa hari lalu dia mempecundan-

giku di halaman Perguruan Laba-laba Perak! Bagus 

kalau dia berani muncul sekarang, berarti... urusan 

memang harus segera diselesaikan!"

Sementara itu, wajah hitam kakek berkulit hitam 

semakin menghitam. Kalau sejak tadi ucapannya sela-

lu bernada kotor dan diucapkan penuh ejekan, kali ini 

berubah geram.

"Dewi Pengunyah Sirih! Orang bertanya malah 

kau balas tanya! Apakah tindakan itu sudah menun-

jukkan kalau kau kini memiliki kemampuan yang lebih 

tinggi?!"

"Katanya, kalau orang bertanya dibalas tanya, 

bukan sesuatu yang bagus! Tetapi katanya pula, ter-

gantung bagaimana orang itu sendiri!"

Jawaban Dewi Pengunyah Sirih membuat berang 

Resi Hitam. Tetapi kakek ini tak melakukan apa-apa, 

bahkan berbicara lagi pun tidak.

Di pihak lain Dewi Berlian menjadi tidak enak 

sekarang. Dipandanginya kedua orang yang baru da-

tang itu dengan seksama.

"Rasanya, apa yang kuinginkan saat ini sulit un-

tuk dicapai. Tak kusangka kalau Dewi Pengunyah Si-

rih dan Dewa Jubah Biru akan muncul di sini. Bila Ra-

ja Naga muncul, tentunya keduanya tak akan tinggal 

diam untuk membantunya. Hemmm... ketimbang selu-

ruh rencanaku akan terbuka, sebaiknya aku menying-

kir saja dari sini untuk menunggu kesempatan mem-

bunuh Raja Naga bila dia memang berhasil meloloskan 

diri dari bencana di Lembah Lingkar. Dan rasanya, aku 

memang harus mempergunakan tanganku sendiri un-

tuk membunuhnya!" 

Sebelum Resi Hitam berkata, Ratu Tongkat Ular


yang sudah tak mampu lagi menahan amarahnya me-

lihat kemunculan Dewa Jubah Biru sudah buka mu-

lut, "Kakek lancang berjubah biru! Kau memiliki nyali 

yang tinggi untuk datang ke tempat ini, padahal kau 

tahu kalau maut sudah menghadangmu!"

Dewa Jubah Biru tersenyum, tetap mengedip-

ngedipkan matanya. 

"Ratu Tongkat Ular... mengapa harus gusar? Kau 

sendiri yang bermaksud untuk membunuh Lesmana 

yang saat itu sedang bertarung dengan adik sepergu-

ruannya sendiri! Lantas, mengapa kau harus gusar bi-

la aku membantu Lesmana?!" 

"Kau tidak tahu urusan, tetapi lancang mencam-

puri urusan orang!"

"Astaga!" Kedipan mata Dewa Jubah Biru sema-

kin menguat. "Jadi... ternyata aku tidak tahu urusan 

ya? Busyet betul! Lancang betul! Ya, ya... betul-betul 

lancang diriku ini kalau begitu! Kau betul, kau betul!"

Justru gelegak amarah Ratu Tongkat Ular tak bi-

sa ditahan lagi mendengar kata-kata yang penuh eje-

kan itu. Tangan kanannya yang memegang tongkat hi-

tamnya yang pada bagian atasnya terdapat ukiran ke-

pala ular, tiba-tiba amblas pangkalnya! Pertanda ke-

marahan si nenek sudah memuncak. 

Dewi Berlian membatin, "Hemmm... aku memang 

sebaiknya meninggalkan tempat ini. Ratu Tongkat Ular 

akan berhadapan dengan Dewa Jubah Biru. Resi Hi-

tam tentunya untuk saat ini memilih lawan Dewi Pen-

gunyah Sirih, walaupun tadi dia menyayangkan men-

gapa bukan Langlang Benua yang muncul. Dan.... Da-

tuk Bunaeng tentunya tak akan menyia-nyiakan ke-

sempatan untuk membunuh' Raja Naga bila pemuda 

itu hadir di sini! Bagus! Seluruh rencanaku bisa terca-

pai sekarang, aku tak perlu risau!"

Dewa Jubah Biru berkata, "Ratu Tongkat Ular..!


kau hanyalah seorang perempuan tua yang bodoh! Kau 

bisa berada di bawah kaki Bunaeng saja sudah me-

nunjukkan kebodohanmu! Apalagi sekarang bersama-

sama dengan Resi Hitam! Apakah kau melupakan 

aibmu empat puluh tahun yang lalu?!"

Menegak kepala Ratu Tongkat Ular mendengar 

kata-kata Dewa Jubah Biru. Untuk sesaat kemara-

hannya menggelegak kembali pada Resi Hitam yang ju-

stru seolah sudah melupakan kejengkelannya pada 

Dewi Pengunyah Sirih dan saat ini sedang menatap le-

kat-lekat pada payudara montok Dewi Berlian, karena 

pakaian yang dikenakan perempuan bermahkota itu 

begitu rendah hingga memperlihatkan sebagian besar 

bungkahan payudaranya! Bahkan Resi Hitam yang ca-

bul ini yakin, hanya sekali tarik saja akan terlihat bu-

lat-bulat seluruh bukit kembar menggiurkan itu!

Ratu Tongkat Ular merandek dingin, "Aku sema-

kin tidak sabar untuk membunuhmu!!"

"Membunuhku? Astaga!" seru Dewa Jubah Biru 

cukup keras, matanya semakin berkedip-kedip. "Untuk 

saat ini yang seharusnya dilakukan, adalah mencari 

siapa orang yang telah mencuri kalung Laba-laba Pe-

rak dan menimpakan tanggung jawabnya pada pemu-

da berjuluk Raja Naga! Atau...." 

Dewa Jubah Biru mengedarkan pandangannya 

berkeliling, menatap satu persatu orang yang berada di 

sana yang masing-masing menggeram kecuali Dewi 

Pengunyah Sirih. Perlahan-lahan matanya diarahkan 

pada Datuk Bunaeng menyusul kata-katanya, "Salah 

seorang di antara kalian yang telah melakukan tinda-

kan pengecut seperti itu?!"

***


DUA



KEMARAHAN Datuk Bunaeng kontan meledak. 

Tangan kanannya menuding gusar. "Keparat tua! Ke-

hadiranmu di sini hanya mencari petaka belaka! Ratu 

Tongkat Ular! Aku sudah bosan dengan kakek keparat 

satu ini! Bila kau ingin membunuhnya sekarang, laku-

kan!!"

Memang itulah yang sejak tadi ditunggu oleh Ra-

tu Tongkat Ular. Si nenek sudah tak sabar untuk 

membalas kekalahannya di halaman depan Perguruan 

Laba-laba Perak. Dengan mengerahkan separo tenaga 

dalamnya, Ratu Tongkat Ular sudah menggebrak den-

gan tongkat yang digerakkan dengan cara diputar. 

Menghampar gelombang angin memutar yang mem-

perdengarkan suara bergemuruh.

Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepa-

lanya sambil mendesis pelan, "Ah, sungguh memalu-

kan sebenarnya! Aku yang tua ini harus ikut campur 

dalam urusan seperti ini!" 

Belum habis ucapannya, saat itu juga diangkat 

kedua tangannya.

Wusss! 

Blaaam!!

Gemuruh angin yang keluar dari putaran tongkat 

si nenek berpakaian compang-camping yang memper-

lihatkan bukit kembarnya yang sudah loyo dan turun 

ke bawah, pecah berantakan terhantam gelombang an-

gin dahsyat yang keluar dari dorongan kedua tangan 

Dewa Jubah Biru. Tindakan yang dilakukan Dewa Ju-

bah Biru semakin membuat kemarahan Ratu Tongkat 

Ular berlipat ganda. Dipercepat serangannya yang ber-

tambah ganas! 

Di pihak lain, Resi Hitam mendesis, "Bunaeng!


Aku ikut denganmu hanya untuk menantang Langlang 

Benua yang menurutmu akan muncul! Tetapi sebelum 

kulakukan itu, sebaiknya aku melemaskan otot-otot di 

tubuhku!!"

Belum habis ucapannya, Resi Hitam sudah 

menggebrak ke depan, ke arah Dewi Pengunyah Sirih 

yang menegakkan kepalanya. Dilihatnya dua bongkah 

awan hitam melesat cepat. 

Si nenek tak berkedip, tak beranjak pula. Sosok-

nya tak bergeming. Kaku. Dua bongkah awan hitam itu 

semakin mendekat, tetapi tak ada tanda-tanda kalau si 

nenek berkonde kecil ini akan melakukan gerakan. 

Namun tiba-tiba... cuiiihhh!! 

Mulutnya disentakkan dengan cepat. Seketika 

berhamburan cairan merah yang berasal dari sirih 

yang selalu dikunyahnya terus menerus.

Muncratan cairan merah yang menyebar itu ma-

suk ke dalam awan-awan hitam milik si kakek bong-

kok. Sesaat tak terjadi apa-apa. Namun di lain saat, ti-

ba-tiba saja terjadi letupan yang sangat keras.

Blaaaarrrr!! 

Awan-awan hitam yang dilepaskan Resi Hitam 

muncrat bertebaran dengan cepat. Resi Hitam tegak di 

tempatnya, tetapi sosok Dewi Pengunyah Sirih surut 

tiga langkah ke belakang dengan napas memburu.

"Astaga! Kandungan tenaga pada awan-awan hi-

tamnya tadi sungguh luar biasa!" desisnya.

Resi Hitam menggeram.

"Huh! Kau kuberi kesempatan bernapas dalam 

lima gebrakan!" bentaknya sengit yang segera mener-

jang kembali.

Pertempuran yang terjadi kemudian sungguh me-

lebihi amukan seratus ekor gajah liar. Tanah berham-

buran di sana-sini akibat serangan-serangan yang 

gagal. Pepohonan bergetar hebat dan membuat dedau


Ratu Tongkat Ular sesaat terkejut. Tetapi dilipat-

gandakan tenaga dalamnya untuk terus menyerang, 

bahkan bermaksud menerobos dinding asap berwarna 

biru itu.

Blaaamm! Blaaammm!

Gelombang angin mengerikan yang keluar dari 

putaran tongkatnya menghantam dinding asap itu. As-

taga! Dinding yang terbentuk dari asap berwarna biru 

itu tak bergeming sama sekali. Justru gelombang angin 

Ratu Tongkat Ular yang berpentalan ke berbagai pen-

juru. Menerabas ranggasan semak hingga rata ujung-

nya, menghantam sebuah pohon yang bergetar sehing-

ga langsung menggugurkan dedaunan, juga membuat 

Datuk Bunaeng menggeram keras seraya mendorong 

tangannya. Karena pentalan gelombang angin Ratu 

Tongkat Ular mengarah padanya! 

Blaaaarrr!!

Gelombang angin yang mengarah padanya pecah 

berantakan, disusul dengusannya. 

"Keparat tua! Rupanya kau terlalu tangguh untuk 

Ratu Tongkat Ular! Huh! Ingin kulihat seberapa hebat 

sebenarnya kemampuanmu!!"

Tetapi sebelum Datuk Bunaeng menerjang, Ratu 

Tongkat Ular sudah berseru, "Datuk! Bukannya ber-

maksud untuk menolak bantuanmu! Tetapi, apa pun 

yang terjadi, aku akan tetap menghadapinya!"

Kakek berambut dikelabang itu menggeram. So-

rot matanya bengis mengiriskan.

"Kau kuberi kesempatan tiga gebrakan lagi! Bila 

kau tidak mampu juga untuk membunuhnya, aku 

akan mengambil alih!" bentaknya geram.

Apa yang didengarnya itu menambah kemarahan 

Ratu Tongkat Ular. Dia menerjang lagi dengan kegana-

san yang lebih menggila. Bahkan kali ini tongkatnya 

digerakkan seperti ular mematuk. Secara tiba-tiba,


"Sraaattt!"

Cairan bening melesat dari mulut ukiran kepala 

ular yang sedikit membuka. 

Dewa Jubah Biru langsung melompat ke samping 

kanan.

Craasss!!

Tanah di mana sebelumnya dia berdiri tadi, seke-

tika bolong dan mengeluarkan asap.

"Hemm... dia sudah mengeluarkan senjata raha-

sianya," desis Dewa Jubah Biru dalam hati. "Bukan 

masalah besar sebenarnya bagiku untuk mengalah-

kannya. Dan rasanya lebih baik memang memper-

mainkannya saja. Tetapi, bila dalam tiga gebrakan be-

rikutnya aku belum dapat dikalahkannya, berarti Bu-

naeng akan turun tangan. Ah, itu juga bukan masalah 

besar. Tetapi itu artinya, aku justru akan lebih lama 

terlibat dalam pertarungan. Sebaiknya, biar aku men-

galah saja...."

Memutuskan demikian, tiba-tiba saja Dewa Ju-

bah Biru melesat ke depan bersamaan Ratu Tongkat 

Ular sedang menggerakkan tongkatnya seperti mema-

tuk, yang membuat cairan bening melesat kembali. Si 

kakek memang mau tak mau harus menghindarinya. 

Tetapi tatkala tiba-tiba Ratu Tongkat Ular melesat den-

gan kaki kanan mencuat, si kakek sengaja tak meng-

hindarnya.

Bukk!!

Dada kurusnya terhantam tendangan kaki kanan 

Ratu Tongkat Ular. Apa yang dihasilkannya itu mem-

buat Ratu Tongkat Ular menyeringai lebar. Di liriknya

Datuk Bunaeng yang mengangguk kaku. Dewa Jubah 

Biru sendiri sengaja membuat tubuhnya terhuyung ke 

belakang. Padahal dia sama sekali tak merasa sakit! 

Karena sebelumnya Dewa Jubah Biru sudah mena-

mengkan dirinya dengan hawa murni yang dimilikinya.



Ratu Tongkat Ular menggebrak kembali.

Datuk Bunaeng menengadah. Melihat rembulan 

yang tak lama lagi berada tepat di tengah kepala.

"Sebentar lagi Raja Naga akan tiba di sini, begitu 

yang dikatakan Dewi Berlian. Huh! Tak sabar rasanya 

untuk membunuh pemuda keparat yang telah memfit-

nahku itu!"

Di pihak lain, perempuan berpakaian hijau yang 

dipenuhi butiran berlian itu menarik napas pendek. 

Dadanya yang membusung menggiurkan terangkat se-

jenak membuat bungkahan bagian atasnya yang ter-

buka lebar terangkat pula.

"Tak lama lagi rembulan tepat berada di atas ke-

pala. Itu artinya, Raja Naga akan segera muncul. Da-

lam keadaan seperti ini, rencanaku bisa gagal. Tetapi 

aku belum mendapatkan kesempatan untuk mening-

galkan tempat ini"

Diam-diam diliriknya Pangku Jaladara yang ma-

sih berlagak pingsan.

Di pihak lain, Resi Hitam semakin ganas melan-

carkan serangannya pada Dewi Pengunyah Sirih. Si 

nenek berkonde kecil itu sama sekali tak mendapatkan 

kesempatan untuk membalas. Bahkan untuk memun-

cratkan cairan sirihnya saja dia mendapat kesulitan. 

Yang terlihat sekarang, bagaimana Dewi Pengunyah Si-

rih harus melompat-lompat untuk menghindari ganas-

nya serangan Resi Hitam. 

"Satu gebrakan lagi!" bentakan keras itu terden-

gar, bersamaan meluruknya tubuh Resi Hitam. Gelom-

bang angin yang mendahului lurukan tubuhnya, me-

nyeret tanah yang membuat Dewi Pengunyah Sirih 

menjadi panik. 

Tetapi si nenek masih mencoba untuk menghin-

dar dan membalas, kendati disadarinya betul kalau se-

rangan balasannya tak berarti banyak.


Sementara itu Dewa Jubah Biru yang memu-

tuskan untuk mengalah karena tak ingin memperpan-

jang urusan, begitu mendengar bentakan Resi Hitam 

pada Dewi Pengunyah Sirih, lagi-lagi membiarkan tu-

buhnya terhantam tendangan Ratu Tongkat Ular. Dan 

lagi-lagi dibuat tubuhnya tergontai-gontai. Namun kali 

ini, gontainya dibuat ke arah Dewi Pengunyah Sirih.

Seperti tak sengaja, ditabraknya tubuh si nenek 

berkonde kecil itu yang sedang kesulitan menghadapi 

sergapan Resi Hitam. Bahkan dengan cara dibuat tak 

sengaja, diam-diam tangan kanan Dewa Jubah Biru 

menepak tangan kiri si nenek hingga terangkat naik. 

Saat itu pula menderu gelombang angin berkeku-

atan tinggi!

Resi Hitam yang sudah siap untuk melancarkan 

serangannya tersentak dan mau tak mau mundur. 

Blaaarrr!!

Gelombang angin itu menghantam ranggasan 

semak yang seketika berhamburan ke udara.

Resi Hitam yang telah hinggap di atas tanah den-

gan ringannya menggeram dingin. 

"Terkutuk! Rupanya kau hanya berlagak menga-

lah, hah?! Setan laknat! Akan kucacak tubuhmu sam-

pai sekecil-kecilnya!!" 

Sementara itu, Dewi Pengunyah Sirih yang telah 

berdiri tegak kembali, mementangkan matanya lebar-

lebar. Mulutnya sesaat berhenti mengunyah sirihnya.

"Hemm... aku dalam kesulitan untuk membalas 

tadi, tetapi tahu-tahu tangan kiriku terangkat naik 

akibat tak sengaja ditepak oleh Dewa Jubah Biru...," 

desisnya dalam hati. "Tak mungkin, tak mungkin itu 

tak disengaja. Karena gelombang angin yang meng-

hempas tadi bukan aku yang melakukannya, melain-

kan keluar dari tepakan Dewa Jubah Biru. Berarti... 

aku tahu sekarang. Si kakek rupanya mengalah pada

Ratu Tongkat Ular. Yang tentunya dilakukan karena 

tak mau Datuk Bunaeng turun tangan yang berarti 

akan semakin memperpanjang urusan. Aku mengerti 

apa yang dimaui oleh si kakek..."

Ratu Tongkat Ular yang telah berdiri di sebelah 

kanan Datuk Bunaeng berkata, "Datuk! Kau lihat sen-

diri, aku telah mampu menendangnya dua kali! Dan 

aku yakin... tulang dadanya ada yang retak!"

Datuk Bunaeng mengangguk dingin, tetapi ma-

tanya tak berkedip pada Dewa Jubah Biru yang perla-

han-lahan sedang mencoba berdiri tegak. Bahkan se-

perti kehabisan tenaga, dipegangnya pundak Dewi 

Pengunyah Sirih sebagai tumpuan.

"Bantu aku...," desisnya. 

Sambil membantu, Dewi Pengunyah Sirih mem-

batin, "Hebat! Sandiwaranya sungguh hebat! Katanya, 

kalau orang yang bersandiwara itu lebih berada pada 

dua tujuan. Pertama, berpura-pura untuk mengalah. 

Kedua berpura-pura menutupi ketakutannya. Aku le-

bih cenderung pada dugaan kalau Dewa Jubah Biru 

ada pada tujuan pertama." 

Di seberang, Ratu Tongkat Ular menyeringai pe-

nuh kepuasan. Resi Hitam sedang bersiap lagi untuk 

menyerang. Dewi Berlian melihat kesempatan untuk 

meninggalkan tempat itu, diam-diam dia melangkah 

mundur mendekati Pangku Jaladara yang berlagak 

pingsan. Sementara itu, mata Datuk Bunaeng tak ber-

kedip pada Dewa Jubah Biru.

"Sejak tadi, kalau kakek yang selalu mengedip-

ngedipkan matanya itu mau menyerang, tentunya den-

gan mudah dia dapat membunuh Ratu Tongkat Ular. 

Tetapi sejak tadi pula kulihat kalau dia tidak melaku-

kan tindakan itu. Dan sekarang, setelah kukatakan 

pada Ratu Tongkat Ular kalau dia hanya kuberi ke-

sempatan tiga gebrakan lagi, tiba-tiba saja Dewa Jubah Biru menjadi terdesak. Hemmm... ada sesuatu 

yang janggal?"

Sembari memandang, Datuk Bunaeng terus ber-

pikir. 

"Saat tendangan kaki kanan Ratu Tongkat Ular 

menghantam dadanya, tubuhnya terhuyung-huyung. 

Mengarah pada Dewi Pengunyah Sirih yang sudah ter-

desak hebat. Lalu menabrak Dewi Pengunyah Sirih 

yang secara tidak langsung selamat bahkan mampu 

melancarkan serangannya. Ini mustahil! Mustahil se-

kali mengingat Dewi Pengunyah Sirih sudah kehilan-

gan kesempatan! Bahkan dia tak akan mampu un-

tuk... keparatttt!!" 

Mendadak kepala Datuk Bunaeng menegak keti-

ka pikirannya tiba pada sesuatu yang seketika mem-

buatnya gusar berlipat ganda. 

Dengan tangan menuding dan suara sarat kema-

rahan, dia berseru keras, "Dewa Jubah Biru! Kau bisa 

mengelabui Ratu Tongkat Ular dengan cara mengalah 

seperti itu! Kau bisa mengelabui Resi Hitam dengan 

berlagak kalau Dewi Pengunyah Sirih yang menye-

rangnya! Tetapi... kau tak bisa mengelabuiku!!"

Dewa Jubah Biru berbisik, "Dewi... rasanya aku 

memang harus melibatkan diri dalam urusan ini ken-

dati aku tak mau melakukannya. Yang kuinginkan 

adalah mengetahui siapa yang telah memfitnah Raja 

Naga dan membunuh Resi Kala Jinjit."

Kata-kata Dewa Jubah Biru itu menambah keya-

kinan Dewi Pengunyah Sirih apa yang diduganya itu 

benar. 

Dianggukkan kepalanya sambil menatap tajam-

tajam pada Datuk Bunaeng.

"Katanya, kalau orang yang tak mampu mengha-

dapi orang lain itu sebaiknya mengalah atau berlalu bi-

la ingin selamat. Katanya pula, bila memang ada orang


lain yang merupakan seorang sahabat yang diperkira-

kan mampu menghadapi lawannya, lebih baik melim-

pahkan lawannya pada sahabatnya itu. Terus terang, 

aku tak mampu menghadapi Resi Hitam. Kita berganti 

lawan."

"Karena kuputuskan untuk meneruskan semua 

ini, aku setuju!" bisik Dewa Jubah Biru.

Sementara itu, mendengar teriakan Datuk Bu-

naeng, Ratu Tongkat Ular seketika mengalihkan pan-

dangannya pada si kakek berambut dikelabang. Me-

nyusul diarahkan pandangannya pada Dewa Jubah Bi-

ru yang kini berdiri tegak tanpa kurang apapun.

Sadar kalau dirinya dikelabui orang, memerah 

paras Ratu tongkat Ular. Seluruh tubuhnya bergetar 

dengan aliran darah yang bertambah cepat.

Datuk Bunaeng membentak lagi, "Dewa Jubah 

Biru! Akulah lawanmu sekarang!!" 

Namun sebelum Datuk Bunaeng melancarkan se-

rangan, tiba-tiba saja melesat satu sosok tubuh dari 

sebelah kanan. Lesatan tubuh yang kemudian berpu-

tar di udara tiga kali itu, membuat orang-orang yang 

berada di sana mengarahkan pandangannya.

Begitu pula tatkala sosok tubuh itu berdiri tegak 

di atas tanah. Wajahnya tampan, agak sedikit berke-

ringat. Mengenakan rompi ungu yang terbuka di ba-

gian dada. Berambut dikuncir kuda. Dan... sorot ma-

tanya memancarkan keangkeran yang dalam! 

***

TIGA



HUH! Kupikir kau tidak punya nyali? Tetapi ak-

hirnya kau hadir juga di Lembah Lingkar!" bentakan


Datuk Bunaeng seketika terdengar. Kemarahannya 

pada Dewa Jubah Biru seketika dialihkan begitu meli-

hat siapa orang yang datang.

Pemuda yang baru saja muncul itu terdiam. Sorot 

matanya tajam, menebarkan keangkeran yang mampu 

menciutkan hati lawan. Bibirnya merapat, memperli-

hatkan kedinginan wajahnya. Diperhatikannya satu 

persatu orang yang berada di sana.

"Hemm.... Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah 

Sirih rupanya sudah hadir di sini pula. Ada orang yang 

baru kukenal. Kakek bongkok berkulit sangat hitam 

itu," katanya dalam hati. Lalu diperhatikan orang yang 

tadi membentaknya. Di lain saat dia merandek dingin, 

"Tindakan busuk yang dilakukan seseorang kemudian 

dilimpahkan kepadaku, tak akan pernah ku maafkan

kecuali orang itu mendahului untuk meminta maaf!!"

Sadar ke mana arah kata-kata pemuda di hada-

pannya, wajah Datuk Bunaeng memerah. Mulutnya 

merapat dalam dengan sorot mata bengis. 

"Kau datang ke Lembah Lingkar hanya untuk 

menjemput kematian yang akan kuturunkan, tetapi 

kau masih berani banyak ucap! Raja Naga! Tindakan 

yang telah kau lakukan dengan mencuri kalung, Laba-

laba Perak kemudian mengalihkan tanggung jawab ke-

padaku, tak akan pernah ku maafkan! Kecuali... kau 

mematahkan lehermu sendiri di hadapanku!"

Murid Dewa Naga terdiam. Matanya tajam tak 

berkedip pada Datuk Bunaeng.

"Yang kukatakan tadi, dikatakannya juga. Aku 

menuduhnya yang telah melakukan tindakan busuk 

terhadapku, tetapi dia justru ganti menuduhku! Apa-

kah ada sesuatu yang salah di sini? Atau... dia hanya 

mencoba untuk memutarbalikkan kenyataan? Kurang 

ajar! Tak akan kubiarkan dia memfitnahku terus me-

nerus seperti ini?!"


Sementara Raja Naga membatin, kakek yang 

alisnya bersatu itu menggeram lagi, "Selain menimpa-

kan tanggung jawab kepadaku, kau juga melakukan 

kesalahan besar! Dengan kata lain, kau telah mengga-

galkan seluruh rencanaku untuk menghancurkan Per-

guruan Laba-laba Perak!" Lalu serunya tanpa menga-

lihkan perhatian pada Raja Naga, "Dewi Berlian! Siapa 

yang lebih dulu berkenan untuk membunuh pemuda 

celaka ini?!"

Di seberang, pemuda yang kedua lengannya se-

batas siku dipenuhi sisik coklat itu mengalihkan seje-

nak pandangannya dari Datuk Bunaeng.

"Dewi Berlian? Aneh! Mengapa Datuk Bunaeng 

memanggil perempuan mesum itu sementara dia tidak 

berada di sini? Jangan-Jangan... kakek berambut dike-

labang ini mendadak menjadi sinting?" 

Masih tetap tak mengalihkan pandangannya pa-

da Raja Naga, Datuk Bunaeng berkata lagi, "Kau tak 

menjawab, Dewi Berlian! Berarti, akulah yang berhak 

untuk membunuhnya!!" 

Habis kata-katanya, Datuk Bunaeng surutkan 

kaki kanannya ke belakang. Tubuhnya sedikit dibung-

kukkan hingga condong ke depan. Kepalanya ditegak-

kan dengan kedua tangan hendak disilangkan. 

"Kau akan menyesal pernah mengenal seseorang 

yang bernama Datuk Bunaeng, Anak muda!!"

Habis bentakannya, Datuk Bunaeng sudah siap 

menerjang ke depan. Namun sebelum dilakukan, ter-

dengar seruan Ratu Tongkat Ular,

"Datuk Bunaeng! Dewi Berlian tidak ada di tem-

pat!"

Seketika Datuk Bunaeng memalingkan kepa-

lanya.

"Keparat terkutuk! Ke mana perempuan mesum 

itu?!" bentaknya keras ketika tak melihat Dewi Berlian.


"Setan laknat! Apa yang dilakukannya?! Ke mana per-

ginya Pangku Jaladara yang pingsan?!"

Bukan hanya Datuk Bunaeng yang terheran-

heran, tetapi juga yang hadir di sana. Sementara itu 

Raja Naga membatin, "Hemmm... dia tidak sinting. 

Nampaknya Dewi Berlian belum lama ini sudah berada 

di sini. Tetapi sekarang sudah pergi lagi. Dan Pangku 

Jaladara yang pingsan? Aneh! Ada apa ini? Sebelum-

nya Dewi Berlian mengatakan kalau Datuk Bunaeng 

sengaja menjebakku karena Ratu Sejuta Setan yang 

ternyata.....Tetapi, mengapa dia berada di sini? Dan 

mengapa pula Datuk Bunaeng berseru seperti tadi?" 

"Setan keparat!!" menggelegar suara Datuk Bu-

naeng. "Apa-apaan ini?!"

Resi Hitam menyahut, "Kau telah dikelabui pe-

rempuan celaka itu, Bunaeng!"

"Tak mungkin dia berani mengkhianatiku!" 

"Buktinya dia tidak lagi berada di sini!" 

Datuk Bunaeng mengertakkan gigi-giginya hingga 

berbunyi. Matanya menyorot berapi-api. Mulutnya me-

rapat.

"Setan keparat! Apa maksud Dewi Berlian meng-

hilang seperti ini? Apakah dia memang mengelabuiku? 

Tetapi kurasa tidak! Bila dia berani melakukannya, be-

rarti dia berani menghadang kematian! Bisa jadi kalau 

sebenarnya dia hendak menyandera Pangku Jaladara 

sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Hemm... 

suatu ide yang bagus! Karena selama Pangku Jaladara 

masih berada dalam kekuasaannya, berarti seluruh 

rencana akan tetap dapat dilaksanakan. Pemuda itu-

lah yang harus kubunuh sekarang!"

Kejap itu pula tanpa mengucapkan sepatah kata 

juga, Datuk Bunaeng sudah menerjang ke arah Raja 

Naga. Gelombang angin yang keluar dari lesatan tu-

buhnya, sejenak membuat Raja Naga terhenyak. Tetapi


di lain saat, dia sudah menerjang pula ke depan. 

Buk! Buk!!

Benturan keras terjadi dua kali. Datuk Bunaeng 

sesaat terkejut seraya mundur. Dipandangi tangan ka-

nan kirinya yang cukup ngilu dengan mata membela-

lak.

"Gila! Tenaga dalamnya tak bisa dipandang sete-

lah mata!" geramnya dalam hati.

Di pihak lain, Raja Naga sendiri harus terjajar 

akibat benturan yang terjadi tadi. Kedua tangannya 

sebatas siku yang dipenuhi sisik coklat sedikit berge-

tar.

"Hebat! Kedua tanganku dibuatnya bergetar," de-

sisnya dalam hati.

Di pihak lain, Dewa Jubah Biru mendesis.

"Aneh! Tak kurasakan adanya satu tenaga yang 

keluar dari kedua tangan pemuda berompi ungu itu. 

Tetapi Bunaeng dibuat terkejut. Jangan-jangan... pe-

muda itu memang tak mengeluarkan tenaga. Itu ar-

tinya... kedua tangannya sebatas siku yang dipenuhi 

sisik coklat memiliki kekuatan besar!" 

Sementara itu Resi Hitam membatin dengan ken-

ing berkerut.

"Di saat menyerang, dapat kurasakan tenaga Bu-

naeng. Tetapi pemuda itu? Edan! Nampaknya dia tidak 

mengeluarkan tenaga sama sekali, karena kalau dia 

mengeluarkan tenaganya, tentunya dapat kurasakan. 

Tetapi... astaga! Berarti, tenaga dalamnya lebih tinggi 

dari Bunaeng!" 

Sementara itu, Datuk Bunaeng sendiri sudah 

menerjang kembali. Jari jemarinya dibuka lebar-lebar. 

Lalu laksana menepuk seekor lalat, digerakkannya ke 

arah Raja Naga.

Saat itu pula menggebah gelombang angin berke-

kuatan lipat ganda, mengarah dari dua sisi karena Datuk Bunaeng menggerakkan tangan kanan kirinya 

yang membuka pada arah yang berlawanan.

Raja Naga menjerengkan matanya. Dapat dirasa-

kan kekuatan yang keluar dari gelombang angin yang 

menerjang ke arahnya. Tiba-tiba saja kaki kanannya 

digerakkan di atas tanah. 

Brrooll!!

Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom-

bang cepat ke arah Datuk Bunaeng, dia melompat ke 

depan seraya mendorong tangan kanan kirinya. Raja 

Naga sudah melancarkan dua serangan sekaligus!

Blaaaam! Blaaammm!! 

Gelombang angin yang disemburati asap merah 

melabrak putus gelombang angin yang dilepaskan Da-

tuk Bunaeng. Letupan yang sangat keras terjadi. Tem-

pat itu sesaat bergetar. Menyusul tanah di mana Da-

tuk Bunaeng berdiri tadi rengkah dan membuyar ke 

udara.

"Terkutuk!" maki Datuk Bunaeng geram.

Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang 

tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu, Datuk 

Bunaeng segera menerjang kembali. Tubuhnya mum-

bul di udara. Laksana berjalan di atas angin, kedua 

kakinya bergerak cepat. Akibatnya, tanah yang ber-

hamburan ke udara.

Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang ke-

luar dari gerakan kedua kaki Datuk Bunaeng menerpa 

dadanya. Gontaian tubuhnya semakin menjadi-jadi. 

Sadar kalau dia tidak bergerak cepat akan menda-

patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini 

segera mendorong kedua tangannya ke atas.

Blaaamm! Blaaamm!! 

Letupan yang terjadi semakin membuatnya kehi-

langan keseimbangan. Sementara itu, Datuk Bunaeng 

yang masih berada di udara memutar tubuh. Dan


mendadak saja dia meluruk dengan kedua kaki siap 

menghantam dada Raja Naga.

Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, murid 

Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan 

kanannya digerakkan ke depan.

Buk! 

Kaki kanan Datuk Bunaeng dapat ditahannya, te-

tapi kaki kiri Datuk Bunaeng telak mengenai dadanya! 

Buk!

Dan... wussss!! 

Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk. 

Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Datuk Bu-

naeng yang sedemikian cepat itu akan menghantam 

kepalanya.

"Huh! Hanya begini saja kemampuan orang yang 

berani memfitnahku!" desis Datuk Bunaeng setelah 

hinggap kembali di atas tanah. 

Raja Naga tersenyum sambil memegangi dadanya 

yang terasa sesak.

"Kuakui kalau kemampuanmu sangat luar biasa, 

Datuk! Tetapi sayangnya, aku tak akan mundur sebe-

lum mendengar pernyataan maafmu!"

"Keparat!!" teriakan itu menggelegar keras. "Kau 

yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak kemudian 

memfitnahku! Sekarang kau menuntutku untuk me-

minta maaf! Gila! Pernyataan gila yang kau berikan 

padaku!!"

Belum habis ucapan itu terdengar, Datuk Bu-

naeng sudah menerjang ke depan. Kali ini lebih ganas 

dari serangan sebelumnya.

Raja Naga menegakkan kepalanya. Sorot matanya 

bertambah angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pa-

da kedua tangannya sebatas siku, semakin kelihatan, 

bahkan sedikit menyala. Pertanda kemarahannya su-

dah siap meledak!


Kejap itu pula kaki kanannya disepakkan di atas 

tanah. Tanah membuyar, menghalangi pandangan. Te-

tapi langsung bertebaran tatkala gelombang angin 

yang keluar dari lesatan tubuh Datuk Bunaeng mena-

braknya. Menyusul kedua tangan Datuk Bunaeng ber-

gerak cepat, menyambar ke arah leher Boma Paksi.

Yang diserang segera menggerakkan kedua tan-

gannya dengan kedudukan membuka.

Buk! Buk!

Kalau sebelumnya Datuk Bunaeng terjajar ke be-

lakang karena terkejut, kali ini dia tak peduli. Usai 

berbenturan, mendadak sontak tubuhnya berputar ke 

belakang dengan kaki kanan melesat ke atas.

Boma Paksi cepat tarik kepalanya ke belakang. 

Terlambat sedikit saja, dagunya akan patah!

Datuk Bunaeng benar-benar tak mau memberi 

kesempatan pada Raja Naga. Serangannya terus berda-

tangan susul menyusul. Tanah dan ranggasan semak 

berhamburan tak menentu. Letupan demi letupan ter-

jadi ganas dan mengerikan. Lembah Lingkar laksana 

dilanda gempa mengerikan.

Dewi Pengunyah Sirih berbisik pada Dewa Jubah 

Biru, "Katanya, kalau seseorang menolong orang lain 

yang dalam kesulitan, maka keberuntungan akan ber-

pihak padanya. Apakah kau berpikir yang sama?"

Kakek yang kedua matanya selalu berkedip-kedip 

itu mengangguk-angguk. 

"Kau betul. Tetapi, aku belum melihat kalau pe-

muda bermata angker itu akan segera kalah."

"Katanya, kalau kita sudah melihat kedudukan 

seperti itu, maka kekalahan akan segera datang. Apa-

kah kita akan berdiam diri saja?" 

Dewa Jubah Biru tak menjawab. Dia terus mem-

perhatikan bagaimana Raja Naga yang mau tak mau 

terdesak hebat. Memang sejauh ini, pemuda dari Lembah Naga itu masih dapat menghindar atau memapaki 

serangan lawan. Tetapi dua jurus berikutnya, Boma 

Paksi mulai terdesak. 

"Bunaeng! Menghadapi anak kemarin sore saja 

kau harus membutuhkan waktu yang lama?! Apakah 

kau memang tidak mampu, atau kau menunggu sam-

pai aku turun tangan?!"

Ejekan yang terdengar keras itu membuat wajah 

Datuk Bunaeng memerah. 

"Keparat kakek hitam itu! Kalau saja tenaganya 

tak kubutuhkan untuk menghadapi kemungkinan 

munculnya Langlang Benua, tak akan pernah aku da-

tang menjumpainya!" makinya geram dalam hati. 

Di pihak lain Raja Naga membatin, "Sebenarnya 

aku bisa menghadapinya. Tetapi ada yang masih kupi-

kirkan. Dan aku harus menghemat tenaga...."

"Bunaeng! Cepat kau bunuh pemuda keparat itu! 

Anuku sudah tak bisa diajak berunding lagi! Aku ha-

rus cari perempuan bahenol itu!"

Ejekan Resi Hitam semakin membuat Datuk Bu-

naeng bertambah ganas.

Dewi Pengunyah Sirih berbisik lagi pada Dewa 

Jubah Biru, "Katanya, bila menunggu terlalu lama un-

tuk menolong seseorang yang mengalami kesulitan ju-

stru akan mencelakakan yang akan ditolong. Juga 

akan membuat yang menolong akan menyesali tinda-

kannya bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Apa-

kah kita masih diam saja?"

"Aku masih memikirkan tentang siapakah orang 

yang mencuri kalung Laba-laba Perak yang kemudian 

memfitnah Raja Naga. Nampaknya Datuk Bunaeng 

bukanlah orang yang melakukannya. Terbukti, dia be-

gitu kesal karena menyangka Raja Naga yang telah 

memfitnahnya." 

Dewi Pengunyah Sirih manggut-manggut. Mulut


nya terus mengunyah sirihnya. 

"Dewi Berlian sudah tidak ada di tempat," tahu-

tahu dia ngomong begitu. "Kepergiannya pun tak dike-

tahui sama sekali. Bahkan Bunaeng sendiri tidak tahu. 

Apakah kau memikirkan sesuatu, Orang Tua?"

Dewa Jubah Biru melirik perempuan tua ber-

konde kecil di sampingnya.

"Menurutmu.... Dewi Berlian pelakunya?"

"Katanya, bila bicara tanpa bukti adalah sebuah 

fitnah. Aku tak mau dikatakan memfitnah. Apalagi 

memfitnah perempuan mesum seperti Dewi Berlian! 

Fiuh!"

Dewa Jubah Biru kembali mengarahkan pandan-

gannya ke depan, di mana saat ini Raja Naga benar-

benar sudah kehilangan tempo penyerangannya. Sam-

bil menggeleng-gelengkan kepalanya, perlahan-lahan 

kakek berjubah biru itu menarik napas panjang.

"Rasanya... memang tak ada jalan lain. Kita ha-

rus membantunya...."

Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa-

lanya.

"Bersiaplah...."

Namun sebelum masing-masing orang melesat ke 

depan, mendadak saja satu bayangan berkelebat se-

demikian cepat dari balik ranggasan semak. Rangga-

san semak itu tak bergerak sama sekali. Bahkan sama 

sekali tak ada angin yang timbul dari gerakan orang 

yang tiba-tiba melesat.

Blaaarrr!!

Serangan ganas Datuk Bunaeng luput pada sasa-

rannya. Karena pemuda yang diserangnya telah lenyap 

dari pandangan disambar oleh satu bayangan yang 

berkelebat sedemikian cepat dan telah lenyap pula dari 

pandangan.

"Heeiiii!!" terdengar seruan Resi Hitam keras dan


bergetar. Mulut kakek berkulit hitam legam ini terbuka 

dengan mulut menganga lebar. Bahkan tangan kanan-

nya yang menuding seolah menjadi kaku!

Di pihak lain, Dewa Jubah Biru sudah menyam-

bar tangan kanan Dewi Pengunyah Sirih dan memba-

wanya ke arah perginya bayangan yang menyambar 

Raja Naga.

"Gilaaa!!" terdengar teriakan Resi Hitam keras, 

berapi-api. "Jahanam keparat! Aku mengenal gerakan 

itu... aku sangat mengenalnya...."

Datuk Bunaeng yang tadi sempat tertegun segera 

berseru, "Resi Hitam! Siapakah manusia keparat yang 

lancang menghalangi niatku dan berani mampus itu?!"

"Dia... dia...," suara Resi Hitam geram. Nafasnya

mendadak terengah-engah saking geramnya. Kedua 

tangannya mengepal kuat. Seiring dihentakkan kaki 

kanannya di atas tanah, suara Resi Hitam menggele-

gar, "Dia... dia Langlang Benua!!"

Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu Tongkat Ular 

sama-sama menegakkan kepala mendengar kata-kata 

Resi Hitam. Masing-masing orang melihat bagaimana 

ganasnya wajah Resi Hitam.

"Keparat!" maki Datuk Bunaeng dalam hati. Lalu 

serunya, "Kita tak boleh membuang waktu! Ratu Tong-

kat Ular! Kau cari Dewi Berlian sampai ketemu! Resi 

Hitam... kita mengejar Langlang Benua yang membawa 

Raja Naga!"

Sementara Ratu Tongkat Ular segera meninggal-

kan tempat itu, Datuk Bunaeng masih berkata, "Ter-

lambat sedikit saja, kedudukan kita akan berbahaya!"

Resi Hitam menoleh. Pandangannya sengit.

"Bunaeng! Dengan ucapanmu kau menganggap 

aku tak memiliki arti!"

Datuk Bunaeng terkejut dibentak seperti itu. Se-

belum dia membantah ucapan Resi Hitam, Resi Hitam


sudah berseru, "Kau akan melihatnya nanti! Akan ku-

patah-patahkan tulang di dalam tubuh Langlang Be-

nua!"

Habis bentakannya, Resi Hitam segera melesat, 

disusul oleh Datuk Bunaeng yang sekarang merasa 

menjadi tidak enak. Tetapi di lain saat, perasaan itu te-

lah hilang bersamaan kegeramannya yang muncul

kembali

***

EMPAT


JAJARAN pagi telah menghampar kembali untuk 

yang kesekian kalinya. Tempat yang dipenuhi pepoho-

nan itu sepi. Tak terdengar suara hewan-hewan yang 

berkeliaran menyambut pagi. Bahkan angin pun seo-

lah tak berhembus, tak mampu menepiskan gumpalan 

kabut tebal yang menyelimuti tempat itu. Tak jauh dari 

tempat yang sepi itu, nampak sebuah gunung menju-

lang tinggi.

Di lereng gunung itulah tiga sosok tubuh sedang 

duduk berhadapan dengan seorang lelaki tua yang 

hanya menundukkan kepalanya. Lelaki tua berwajah 

keriput itu diperkirakan berusia sekitar delapan puluh 

lima tahun. Mengenakan pakaian putih compang-

camping. Rambutnya yang putih panjang tak beratu-

ran. Kumisnya melintang menjulai. Tetapi yang sung-

guh mengejutkan, adalah janggut putih yang dimili-

kinya. Begitu panjang. Di saat si kakek duduk saja 

janggut itu sudah melingkar di atas tanah.

Tanpa mengangkat kepalanya, si kakek berkata, 

"Aku sama sekali tak menyangsikan cerita kalian, ka-

rena apa yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak


aku juga sudah mendengarnya. Tetapi, rasanya sung-

guh aneh, bila murid Dewa Naga lancang mencuri ka-

lung Laba-laba Perak...."

Lelaki berkepala plontos yang duduk di sebelah 

kanan membuka mulut, "Musang Berjanggut. Kami 

bukanlah orang yang suka memfitnah orang lain. Kau 

sendiri sudah mendengar berita itu. Sekarang, apakah 

kau masih juga menyangsikannya?"

"Kala Sringgil... apa yang kukatakan tadi hanya-

lah sebuah pikiran yang tiba di benakku," sahut si ka-

kek berjuluk Musang Berjanggut tetap menundukkan 

kepalanya.

Lelaki berkepala plontos yang mengenakan pa-

kaian putih terbuka di bahu kiri, melirik lelaki yang 

mengenakan pakaian yang sama dengannya yang du-

duk di sebelah kanannya. 

"Bantu aku untuk menjelaskannya...."

Lelaki berkepala plontos pula tetapi berkumis 

tebal segera berkata, "Musang Berjanggut... aku dan 

Kala Sringgil sudah mencoba untuk menangkap murid 

Dewa Naga. Tetapi terus terang, kami memang tak 

sanggup untuk melakukannya. Bahkan, Pendekar Kaki 

Satu pun tak berhasil menangkapnya...." 

Lelaki berpakaian hitam yang terbuka di dada 

menganggukkan kepalanya. 

"Apa yang dikatakan Jala Sringgil benar." 

Musang Berjanggut mengangguk-anggukkan ke-

palanya, tetapi tak mengangkat wajahnya.

"Memang... aku tak bisa membuktikan apa yang 

menjadi pikiranku sekarang kecuali berhadapan lang-

sung dengan murid Dewa Naga itu."

"Musang Berjanggut... kami sama sekali tak me-

nyangsikan tindakan busuk murid Dewa Naga. Sebagai 

sahabat mendiang Resi Kala Jinjit, kami tetap bermak-

sud untuk menangkapnya," kata lelaki yang kaki kanannya buntung. Tongkat yang dipergunakan sebagai 

penyangga tubuhnya tergeletak di samping kanannya. 

"Selain itu, kami juga tidak bisa tinggal diam melihat 

perlakuannya yang hina itu. Mencuri kalung Laba-laba 

Perak sebagai lambang sahnya seseorang menjadi Ke-

tua Perguruan Laba-laba Perak, adalah tindakan yang 

mencoba mencoreng arang di wajah perguruan itu 

sendiri!"

Kakek berjanggut panjang itu mengangguk-

anggukkan kepalanya. Tetap tak mengangkat wajah-

nya.

Pendekar Kaki Satu berkata lagi, "Setelah gagal 

menangkap Raja Naga, tak sengaja aku berjumpa den-

gan Kala Sringgil dan Jala Sringgil. Yang sungguh luar 

biasa, kami memiliki niat yang sama untuk datang dan 

meminta bantuanmu."

(Untuk mengetahui gagalnya Kala Sringgil dan 

Jala Sringgil menangkap Raja Naga, silakan baca : 

"Misteri Laba-laba Perak". Dan untuk mengetahui ten-

tang gagalnya Pendekar Kaki Satu menangkap Raja 

Naga, serta perjumpaannya dengan Kala Sringgil dan 

Jala Sringgil, silakan baca : "Pengadilan Rimba Persila-

tan").

Suasana hening. Masing-masing orang tak ada 

yang membuka mulut. Kala Sringgil dan Jala Sringgil 

memperhatikan Musang Berjanggut yang tetap me-

nundukkan kepala. Sementara itu, Pendekar Kaki Satu 

membatin, "Bila Musang Berjanggut mengatakan kalau 

dia menyangsikan tindakan Raja Naga, kemungkinan 

itu memang sebuah kenyataan. Tetapi, ah... mungkin 

memang ada sesuatu di balik semua ini. Hanya saja..."

Kata batin Pendekar Kaki Satu terputus, karena 

kakek berjanggut panjang sudah buka mulut, "Sebe-

lum ada pembuktian, memang sulit untuk memperta-

hankan pendapat."

Kata-kata Musang Berjanggut secara tidak lang-

sung sudah menunjukkan kesediaannya untuk me-

nangkap Raja Naga, walaupun di balik kata-katanya 

dia akan melakukannya tetapi dengan maksud untuk 

mencari kebenaran.

Ketiga orang di hadapannya segera merang-

kapkan tangan di depan dada masing-masing.

Jala Sringgil berkata, "Terima kasih atas kese-

diaanmu, Musang Berjanggut."

"Sebelum kalian meninggalkan tempat ini, ada 

yang hendak kutanyakan. Apakah kalian mendengar 

munculnya Langlang Benua?"

Ketiga orang itu berpandangan satu sama lain 

sebelum Pendekar Kaki Satu berkata, "Aku belum 

mendengar munculnya Langlang Benua. Tetapi, bu-

kankah memang sulit untuk mencari kakek yang ge-

mar bertualang, itu?" 

"Seperti halnya dengan kita, Langlang Benua 

adalah sahabat dari Resi Kala Jinjit. Kematian Resi Ka-

la Jinjit telah membuat rimba persilatan berkabung. 

Aku yakin, kalau Langlang Benua juga telah menden-

garnya."

"Maksudmu... dia memang telah kembali?" 

"Aku hanya menduga."

"Bagus kalau dia telah kembali! Itu artinya, akan 

memudahkan kita untuk menangkap Raja Naga!"

Tetap tanpa mengangkat wajahnya, Musang Ber-

janggut mengangguk.

"Itu pun harus kita buktikan kebenarannya. Se-

karang, segera kalian tinggalkan tempat ini. Menu-

rutku pada lima hari di muka, bencana akan terjadi di 

Lembah Lingkar." 

"Lembah Lingkar?!" seruan itu terdengar dari tiga 

mulut secara bersamaan.

Musang Berjanggut tak menjawab. Bahkan semakin menundukkan kepalanya dalam-dalam. Masing-

masing orang segera tanggap, kalau kakek di hadapan 

mereka sudah tak mau diganggu. Bahkan bila mereka 

bertanya pun sudah tentu tak akan mendapatkan ja-

waban.

Masing-masing orang segera berdiri. Setelah me-

rangkapkan tangan dan memberikan penghormatan 

pada Musang Berjanggut, ketiganya sudah melangkah 

meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal ketiganya, Musang Berjanggut men-

desah pendek. Tetapi tidak mengangkat wajahnya.

"Rimba persilatan semakin kacau. Seorang anak 

muda yang telah banyak membela kebenaran, harus 

mendapatkan musibah yang cukup mengerikan. Ah, 

bila urusan ini tidak segera dituntaskan, tentunya pe-

taka akan berkelanjutan...."

Kejap lain, Musang Berjanggut terdiam tetap 

dengan kepala tertunduk. Kabut tebal masih menyeli-

muti tempat itu.

* * *

Sekitar lima puluh tombak dari kediaman Mu-

sang Berjanggut, ketiga orang yang baru menjum-

painya menghentikan langkah masing-masing di jalan 

setapak.

Kala Sringgil langsung berkata, "Pendekar Kaki 

Satu... apakah tidak sebaiknya kita berpencar saja? 

Maksudku, dengan berpencar akan memudahkan kita 

untuk menemukan Raja Naga." 

Lelaki berkaki buntung itu mengangguk.

"Aku pun berpikir hal yang sama denganmu, Kala 

Sringgil. Dan masih ada yang kupikirkan."

"Tentang sikap Musang Berjanggut yang me-

nyangsikan tindakan Raja Naga?"


"Selain itu, juga dengan apa yang dikatakannya 

tentang bencana di Lembah Lingkar."

"Aku juga memikirkan hal yang sama."

Jala Sringgil berkata, "Apakah tidak sebaiknya ki-

ta segera menuju ke Lembah Lingkar?"

"Itu memang suatu yang tepat. Tetapi, masih lima 

hari di muka. Berarti kita hanya akan membuang wak-

tu bila sudah tiba di sana," kata Pendekar Kaki Satu.

"Padahal sebelum hari itu tiba, kemungkinan be-

sar kita masih dapat menemukan Raja Naga." 

"Kalau begitu, sebaiknya kita memang mencari 

pemuda itu dulu," kata Jala Sringgil. "Dan itu artinya, 

kita tidak perlu berpencar."

"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Kaki Satu.

"Kita sama-sama pernah berhadapan dengan Ra-

ja Naga dan sama-sama mendapatkan kesulitan untuk 

mengalahkannya. Bukankah sebaiknya kita bersatu 

saja untuk menghadapinya? Maksudku, dengan bersa-

tu-nya kita, kekuatan yang kita miliki semakin ber-

tambah. Itu artinya, kemungkinan besar kita dapat 

meringkus anak muda pembuat celaka itu. Jadi, kita 

tak perlu lagi harus mendatangi Lembah Lingkar." 

Baik Pendekar Kaki Satu maupun Kala Sringgil 

sama-sama tak buka mulut. Masing-masing orang 

memperhatikan Jala Sringgil. Sesaat kemudian, Pen-

dekar Kaki Satu berkata, "Usul yang kau kemukakan 

itu memang baik. Kemungkinan besar untuk mering-

kus pemuda itu dapat kita lakukan dengan lebih mu-

dah. Tetapi, aku menangkap gelagat lain dari ucapan 

Musang Berjanggut." 

Pendekar Kaki Satu menghentikan ucapannya. 

Lalu memandangi Kala Sringgil dan Jala Sringgil ber-

gantian. Karena kedua orang berkepala plontos itu tak 

ada yang menjawab. Segera dilanjutkan lagi kata-

katanya, "Musang Berjanggut mengatakan, bencana


akan terjadi di Lembah Lingkar. Jelas kalau ini berhu-

bungan dengan tindakan Raja Naga. Bila Raja Naga 

seorang diri berada di sana, kemungkinan itu sangat 

kecil. Tetapi tentunya, akan adanya orang-orang yang 

muncul di sana selain Raja Naga dan kita bertiga...." 

"Astaga!" Kala Sringgil mendesis.

"Mengapa aku tak memikirkan soal itu?"

"Itu pun baru kupikirkan," kata Pendekar Kaki 

Satu jujur.

"Kalau begitu, ya... seperti usulku semula, se-

baiknya kita memang berpisah di sini...."

Pendekar Kaki Satu memandang Jala Sringgil.

"Bagaimana pendapatmu?" 

"Pendapat yang terbaik, bagiku akan selalu 

membawa keuntungan...." 

"Baiklah," kata Pendekar Kaki Satu sambil men-

gangguk. "Kita akan berjumpa lagi lima hari menda-

tang di Lembah Lingkar."

Setelah melihat kedua lelaki berkepala plontos itu 

mengangguk, Pendekar Kaki Satu segera melangkah 

meninggalkan mereka.

"Jala Sringgil," kata Kala Sringgil setelah Pende-

kar Kaki Satu lenyap dari pandangan. "Aku jadi memi-

kirkan apa yang disangsikan oleh Musang Berjanggut 

mengenai tindakan murid Dewa Naga. Apakah me-

mang benar dia yang telah mencuri kalung Laba-laba 

Perak dan membuat keonaran? Kita juga menuduhnya 

sebagai pembunuh Resi Kala Jinjit. Ah, keadaan ini 

membuat kepalaku menjadi pusing...."

Jala Sringgil mengangguk. Sambil mengusap 

lembut kumis melintangnya dia menjawab, "Walaupun 

aku juga memiliki keraguan seperti itu, tetapi untuk 

saat ini, perhatianku tetap tertuju pada Raja Naga."

"Yang hendak kita lakukan sekarang, menang-

kapnya atau menanyakan kebenaran?"

Jala Sringgil terdiam, karena dia memang tidak 

tahu harus menjawab apa.

Didengarnya lagi kata-kata Kala Sringgil, "Sudah-

lah! Kita tetap berusaha untuk menangkap pemuda 

dari Lembah Naga itu!"

"Kau benar! Karena sejauh ini, aku belum meli-

hat keterlibatan orang lain dalam urusan ini!"

Kejap lain, kedua orang itu sudah melangkah 

menempuh arah yang berlawanan dengan Pendekar Kaki Satu.


***

LIMA


PADA saat bersamaan dengan melangkahnya Ka-

la Sringgil dan Jala Sringgil, dari balik ranggasan se-

mak setinggi dada yang jaraknya cukup jauh dengan 

tempat di mana Kala Sringgil dan Jala Sringgil berada, 

terdengar kata-kata yang cukup keras,

"Berita kematian Resi Kala Jinjit-lah yang mem-

buatku untuk sementara menghentikan pelanglangbu-

anaanku." 

Pemuda berlengan sebatas siku dipenuhi sisik 

coklat itu memandang tak berkedip pada kakek yang 

barusan bicara di hadapannya.

"Bila tak ku saksikan sendiri, mungkin aku tak 

percaya melihat ada orang yang memiliki kulit berwar-

na seperti tanah," desisnya dalam hati. "Bahkan ram-

butnya yang tak beraturan hingga punggung pun ber-

warna seperti tanah. Dia mengaku berjuluk Langlang 

Benua."

Kakek berkulit keriput namun karena warna ku-

litnya seperti tanah hingga tak begitu terlihat keriput


di sekujur tubuhnya berkata lagi, "Kematian Resi Kala 

Jinjit menimbulkan banyak pertanyaan di benakku, 

hingga aku mencoba untuk mencari kejelasan. Sebe-

lum kudapatkan kejelasan, berita tentang kekacauan 

yang terjadi di Perguruan Laba-laba Perak sudah me-

nyengat telingaku. Seorang pemuda yang julukannya 

ramai dibicarakan orang akhir-akhir ini, dikatakan se-

bagai pencuri." 

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot matanya 

tetap angker.

"Orang tua... tentunya akulah orang yang kau 

maksud. Aku tak bisa membantah bila kau juga me-

nuduhku seperti itu, karena hingga saat ini, aku be-

lum memiliki bukti-bukti yang kuat untuk menyatakan 

kalau diriku tidak bersalah." 

"Sama sekali aku tak menuduhmu seperti itu, 

aku hanya ingin menanyakan kebenaran."

"Kebenaran itu ada di depan mata, tetapi sekali 

lagi, aku sulit untuk membuktikannya."

"Keteguhan dan keyakinan ucapan sudah cukup 

bagiku."

"Aku tidak mencuri kalung Laba-laba Perak!"

"Agar menjadi jelas, silakan kau menceritakan 

padaku."

Segera Raja Naga menceritakan nasib sial yang 

dialaminya (Baca : "Misteri Laba-laba Perak"). Dilihat-

nya kakek yang kulitnya berwarna seperti tanah itu 

mengangguk-anggukkan kepala. 

"Bagaimana dengan kematian Resi Kala Jinjit?"

"Aku tidak tahu sama sekali. Tetapi sebelum per-

soalan menjadi panjang seperti sekarang, secara tak 

sengaja aku mencuri dengar percakapan dua orang. 

Tentang tindakan Datuk Bunaeng yang hendak mela-

kukan makar." 

"Apakah kau mendengar kalau Datuk Bunaeng


yang telah membunuh Resi Kala Jinjit?"

"Tidak sama sekali."

"Berarti bukan dia yang melakukannya."

"Bukti belum terkumpul, Orang Tua."

"Aku paham maksudmu. Bunaeng memiliki den-

dam setinggi langit pada Resi Kala Jinjit. Bahkan sete-

lah Resi Kala Jinjit tewas tanpa diketahui siapa pem-

bunuhnya, dia tetap berkeinginan untuk menghancur-

kan Perguruan Laba-laba Perak. Dan dia akan dengan 

bangga mengumumkan dirinya sebagai pembunuh Re-

si Kala Jinjit, karena dengan cara seperti itu dia akan 

mendapatkan kepuasan dari dendam lamanya."

Pemuda tampan berambut dikuncir itu tak men-

jawab. Matanya memperhatikan terus kakek yang telah 

menyambarnya di Lembah Lingkar. 

"Aku mengenal Bunaeng, bahkan sangat menge-

nalnya." 

"Kalau memang bukan dia sebagai pembunuh 

Resi Kala Jinjit dan orang yang memfitnahku, ke-

mungkinan besar ada orang ketiga yang mengadu 

domba."

"Pikirkan terus, Anak muda."

Raja Naga terus berkata-kata, "Ketika tiba di 

Lembah Lingkar, aku langsung menyuruh Datuk Bu-

naeng agar meminta maaf padaku atas tindakannya, 

karena dugaanku dialah orang yang telah memfitnah-

ku. Tetapi justru Datuk Bunaeng yang memaksaku 

untuk meminta maaf padanya, karena dia menuduhku 

sebagai orang yang memfitnahnya."

"Berarti ada kesalahan di sini, bukan?"

Seperti tak mempedulikan kata-kata Langlang 

Benua, Raja Naga melanjutkan kata-katanya, "Sebe-

lum tiba di Lembah Lingkar, aku berjumpa dengan 

Dewi Berlian. Dari perempuan bermahkota itulah aku 

tahu kalau Datuk Bunaeng berada di Lembah Lingkar.


Dikatakannya pula, kalau Datuk Bunaeng mendendam 

padaku. Dikarenakan saudara seperguruannya yang 

berjuluk Ratu Sejuta Setan tewas di tanganku."

"Kau harus membuktikan ucapan Dewi Berlian."

"Pemberitahuan Dewi Berlian semakin memper-

kuat dugaanku kalau Datuk Bunaeng adalah orang 

yang berada di balik peristiwa rumit ini. Aku sama se-

kali tak memikirkan adanya kemungkinan lain, kecuali 

satu pikiran yang timbul setelah mendengar kata-kata 

Datuk Bunaeng."

"Katakan."

"Secara tiba-tiba Datuk Bunaeng memanggil Dewi 

Berlian! Dengan tujuan siapakah yang akan lebih dulu 

menyerangku! Saat itu aku cukup terkejut mendengar-

nya, mengingat sama sekali tak kulihat Dewi Berlian di 

sekitar sana."

"Dia ada di sana."

"Ya! Sebelumnya dia berada di sana. Dan yang 

mengherankanku, mengapa Dewi Berlian justru hadir 

di Lembah Lingkar? Juga mengapa Datuk Bunaeng 

berseru seperti itu?"

"Kau sudah memikirkan kelanjutannya?"

"Aku masih memikirkannya sekarang."

"Pikirkan lagi."

"Keherananku itu semakin menjadi-jadi. Terus 

kupikirkan tentang kata-kata Dewi Berlian padaku dan 

seruan Datuk Bunaeng pada Dewi Berlian yang ten-

tunya sebelumnya berada di sana tetapi kemudian ber-

lalu. Mengapa, itulah pertanyaanku yang ada." 

"Pikirkan lagi."

"Pikiranku sekarang, justru mengarah pada se-

suatu yang mengejutkanku sendiri."

"Apakah itu?"

"Dewi Berlianlah dalang dari semua ini." 

"Mengapa?"


"Pertama, di saat aku berjumpa dengannya, dia 

mengatakan kalau Datuk Bunaeng adalah orang yang 

juga mendendam padaku atas kematian Ratu Sejuta 

Setan. Dan mengatakan padaku, kalau Datuk Bu-

naeng berada di Lembah Lingkar tepat tengah malam. 

Aku percaya saat itu. Tetapi keherananku pun segera 

timbul, karena sebelum tengah malam Datuk Bunaeng 

yang bersama dengan Ratu Tongkat Ular dan seorang 

kakek berkulit hitam legam sudah berada di sana. Ju-

ga hadirnya Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Si-

rih. Bayanganku, jauh sebelum tengah malam, Datuk 

Bunaeng sudah berada di sana."

"Katakan yang kedua."

"Yang kedua, Dewi Berlian ternyata juga hadir di 

sana walaupun aku tak sempat berjumpa dengannya. 

Ini mengherankan, karena dikatakannya tepat tengah 

malam Datuk Bunaeng tiba di Lembah Lingkar. Kalau 

kemudian Dewi Berlian hadir di sana sebelum tengah 

malam, berarti dia telah tahu kalau Datuk Bunaeng 

akan hadir di Lembah Lingkar sebelum tengah malam."

"Yang ketiga!"

"Ketiga, dari seruan Datuk Bunaeng pada Dewi 

Berlian. Mengapa Datuk Bunaeng berseru seperti itu? 

Apa yang sebenarnya dikatakan Dewi Berlian? Dan 

mengapa Dewi Berlian berlalu tanpa sepengetahuan 

siapa pun. Terbukti, mereka cukup terkejut karena 

menyadari Dewi Berlian tidak berada di sana." 

"Apakah masih ada alasan yang keempat?" 

"Ya! Yang keempat, siapa sebenarnya yang memi-

liki hubungan dengan Pangku Jaladara yang katanya 

berada di sana dalam keadaan pingsan?"

"Alasan atau tepatnya pertanyaanmu ini cukup 

membingungkanku."

"Datuk Bunaeng mendendam pada Resi Kala Jin-

jit sampai ke akar-akarnya. Bahkan dia bermaksud


untuk menghancurkan siapa pun juga yang mempu-

nyai hubungan dengan Resi Kala Jinjit. Sasarannya 

yang pertama adalah menghancurkan Perguruan Laba-

laba Perak. Tetapi mengapa dia tidak membunuh 

Pangku Jaladara?"

"Kau pikir itu ada hubungannya dengan Dewi 

Berlian?"

"Hanya itu kemungkinannya. Tetapi yang mem-

buatku tak mengerti, bila memang Dewi Berlian berada 

di balik semua ini, apa yang diinginkan sebenarnya da-

riku? Kalau memang dia, mengapa dia melakukannya 

padaku? Aku belum lama mengenal Dewi Berlian."

"Itulah yang harus kau temukan jawabannya," 

sahut Langlang Benua. Lalu melanjutkan, "Dan karena 

kau memikirkan rangkaian semua alasanmu itu, kau 

mengalah pada Datuk Bunaeng hingga kau tidak me-

nyerang sepenuh hati?" 

Mendengar pertanyaan itu kepala Raja Naga me-

negak. Matanya yang tetap bersorot angker tak berke-

dip memandang kakek di hadapannya.

"Orang tua,.. apakah aku salah bila kukatakan 

kau sudah berada di Lembah Lingkar cukup lama?"

Langlang Benua mendengus.

"Aku bertanya, malah dibalik tanya!"

"Tetapi, bukankah apa yang kukatakan itu se-

buah kebenaran?" tanya Raja Naga lagi. Lalu sambil 

menggeleng-gelengkan kepalanya, dia berkata; "Aku 

tahu mengapa kehadiranmu tidak diketahui di sana. 

Kau tentunya menyatu dengan tanah, bukan?"

Langlang Benua cuma mendengus. 

"Dan aku tahu, kaulah orang yang telah mem-

bentur serangan dari Kala Sringgil dan Jala Sringgil 

sebelumnya. Ah, maafkan aku. Karena kala itu aku 

sempat gusar, mengingat tindakan yang kau lakukan 

dapat mengacaukan keadaan."


"Karena aku ingin tahu sebuah kebenaran."

Raja Naga menganggukkan kepalanya. Diingat-

nya lagi bagaimana satu serangan yang tiba-tiba mun-

cul telah membentur serangan Kala Sringgil maupun 

Jala Sringgil (Baca : "Misteri Laba-laba Perak"). 

Langlang Benua berkata, "Sekarang... setelah kau 

mendapatkan satu pikiran tentang rangkaian dari per-

soalan rumit ini, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku tetap akan mencari bukti kalau aku tidak 

bersalah. Karena orang-orang seperti Kala Sringgil, Ja-

la Sringgil dan Pendekar Kaki Satu, serta mungkin ma-

sih ada orang yang lain yang berhubungan erat dengan 

Resi Kala Jinjit, tentunya akan tetap mengejarku kare-

na menganggap aku sebagai pengacau."

"Bagus bila itu kau lakukan!"

"Dari apa yang telah kita bicarakan, ada satu pi-

kiran yang muncul di benakku secara tiba-tiba."

"Mengenai apa?" 

"Mengenai siapakah pembunuh Resi Kala Jinjit

sesungguhnya." 

"Katakan padaku!"

"Orang tua... bukan maksudku tidak mau men-

gatakannya kepadamu. Tetapi aku khawatir apa yang 

kupikirkan ini salah dan akan menjadi sebuah fitnah."

Langlang Benua mendengus, tetapi berkata da-

lam hati, "Ketabahannya dalam menghadapi persoalan, 

sungguh mengagumkan. Tanda-tanda kalau dia adalah 

seorang pendekar sejati sudah terlihat. Ah, beruntung 

kakek tukang kentut itu menjadikannya sebagai mu-

rid."

Kemudian katanya, "Lembah Lingkar telah men-

jadi saksi bisu tuduhan orang-orang kepadamu, Anak 

muda. Tentunya, Lembah Lingkar akan tetap menjadi 

saksi bisu untukmu mengungkapkan kebenaran."

Raja Naga memperhatikan kakek di hadapannya


dengan seksama. 

"Aku belum memahami apa maksudnya," katanya 

dalam hati, lalu berkata, "Orang tua... dapatkah kau 

lebih memperinci apa yang kau maksudkan?"

"Aku tidak biasa melakukan apa yang seperti kau 

katakan. Tetapi menurut bayanganku, kau akan kem-

bali ke Lembah Lingkar bersama yang lainnya."

"Maksudmu.... Lembah Lingkar akan menjadi 

tempat pengungkapan bukti-bukti?"

"Kira-kira seperti itu. Dan satu hal yang masih 

kupikirkan sebenarnya, adalah muncul tidaknya Mu-

sang Berjanggut."

Kali ini Raja Naga terdiam, memperhatikan kakek 

di hadapannya dengan seksama.

"Setelah mendengar apa yang kau katakan, kupi-

kir urusanku sudah selesai dan aku akan melanjutkan 

petualanganku. Tetapi rasanya, memang masih harus 

ada yang dituntaskan."

"Siapakah orang yang kau maksudkan tadi, 

Orang Tua?" 

"Musang Berjanggut adalah salah seorang saha-

bat dari Resi Kala Jinjit. Seperti diriku, Kala Sringgil, 

Jala Sringgil maupun Pendekar Kaki Satu. Dari orang-

orang yang kusebutkan tadi, Musang Berjanggut me-

miliki ilmu yang lebih tinggi. Dia memiliki sifat yang 

angin-anginan. Bila sifat jeleknya datang, dia akan me-

labrak apa saja yang diinginkannya dan akan dengan 

mudah dihancurkannya. Tetapi bila sifat baiknya da-

tang, dia akan berubah menjadi malaikat."

"Yang hendak kau katakan, kau khawatir kalau 

Musang Berjanggut menganggapku sebagai pencuri 

kalung Laba-laba Perak?"

"Salah satunya seperti itu."

Raja Naga diam-diam mendesah pendek.

"Baru mendengar sedikit saja tentang Musang


Berjanggut, perasaanku sudah tidak enak. Tetapi biar 

bagaimanapun juga, aku harus tetap bergerak untuk 

mencari bukti-bukti." 

Habis membatin demikian, Raja Naga berkata, 

"Orang tua... nampaknya aku masih harus menghada-

pi urusan yang lebih rumit."

"Mudah-mudahan Musang Berjanggut sedang da-

tang sifat baiknya," kata Langlang Benua. "Anak muda, 

untuk sementara akan kuhentikan dulu petualangan-

ku untuk melanglang buana. Aku berada di pihakmu."

"Bukannya menampik tawaran memikat yang 

kau berikan. Tetapi biarlah, aku akan mengurus se-

mua ini sendiri." 

"Luar biasa! Sungguh luar biasa!" desis Langlang 

Benua dalam hati. "Dia tetap menunjukkan jiwa kesa-

tria yang luhur." 

Lalu katanya, "Mungkin dengan kehadiranku, 

Musang Berjanggut akan dapat bertindak lebih baik."

Raja Naga tersenyum dan berkata dalam hati, 

"Karena aku yakin... kalau kemampuanmu lebih tinggi 

dari Musang Berjanggut, Orang Tua." Kemudian ka-

tanya, "Kalau begitu, rasanya lebih baik aku segera 

meneruskan langkah untuk mencari kebenaran. Teru-

tama mencoba menemukan Dewi Berlian." 

"Lakukan dan berhati-hati." 

Raja Naga perlahan-lahan berdiri. Dirangkapkan 

kedua tangannya di depan dada.

"Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, 

Orang Tua."

Habis kata-katanya, pemuda dari Lembah Naga 

ini segera melangkah meninggalkan Langlang Benua.

Kakek yang seluruh kulit di tubuhnya berwarna 

seperti tanah, menarik napas pendek.

"Urusan ini memang sangat rumit. Dan kecerdi-

kan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia dapat mena


han gejolak perasaannya dan berpikir jernih. Mudah-

mudahan, apa yang dipikirkannya itu akan memba-

wanya pada satu kebenaran...."

Lagi Langlang Benua menarik napas pendek.

Diperhatikan sekelilingnya dengan seksama. "Aku 

harus menyebarkan isu tentang bencana yang akan 

terjadi di Lembah Lingkar, sehingga orang-orang akan 

bermunculan di sana. Mudah-mudahan kebenaran 

akan terbuka...."

Setelah itu, Langlang Benua menundukkan kepa-

lanya.

***

ENAM


PAGI telah datang menyegarkan alam kembali. 

Suasana di hutan itu sangat menyeramkan. Hembusan 

angin timur begitu dingin, menggeresek dedaunan 

hingga menimbulkan suara laksana tangisan. Pagi ini 

keadaan hening. Kabut masih menggumpal. Bahkan 

hewan-hewan malam pun enggan bersuara.

Tetapi dari balik sebuah pohon besar terdengar 

suara keras bernada heran dan jengkel, "Dewi! Menga-

pa kau menolakku?! Apa yang terjadi?!" 

Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-

ran berlian itu menoleh. Tatapannya tajam dan sengit.

"Keparat! Lama kelamaan aku muak dengan si-

kapnya!" geramnya dalam hati.

Pangku Jaladara yang terkejut akan penolakan 

Dewi Berlian, sebenarnya tahu arti tatapan sengit itu. 

Tetapi gairahnya sudah membludak hingga dia tidak 

mau tahu arti tatapan itu. Kedua tangannya kembali 

memeluk tubuh montok Dewi Berlian. Telapak tangan


kanan kirinya menyergap sepasang bukit kembar yang 

besar, dan segera meremas-remasnya dengan napas 

mendengus-dengus.

Dewi Berlian memaki dalam hati, "Setan alas! 

Yang dipikirkannya hanyalah mengumbar nafsu bela-

ka! Padahal saat ini kedudukanku mulai goyah! Terku-

tuk!"

Dengan gusar Dewi Berlian menyentakkan tan-

gan Pangku Jaladara yang masih asyik meremas-

remas bukit kembarnya. Pakaiannya yang hanya me-

nutupi sebagian kecil bukit kembarnya sudah terbuka.

Seraya berseru jengkel, Dewi Berlian menaikkan 

lagi pakaiannya, "Setan terkutuk! Apakah kau tidak 

bisa menghentikan nafsumu barang sesaat, hah?!"

Pangku Jaladara yang jatuh terduduk akibat sen-

takan tangan Dewi Berlian melongo.

"Dewi!" serunya kemudian, kaget. "Mengapa jadi 

begini? Mengapa kau begitu marah?!"

"Diaaamm!!"

"Bukankah kau sudah berjanji, akan melayaniku 

kapan saja bila aku mau?!" 

Dewi Berlian justru mengalihkan pandangannya 

ke tempat lain. Angin berhembus, menggeraikan pa-

kaian bagian bawahnya yang terbuka di samping ka-

nan kiri hingga batas pinggul. 

Angin nakal itu justru memperlihatkan sesuatu 

yang semakin membuat Pangku Jaladara kian bernaf-

su. Kembali ditubruknya tubuh montok yang sedang 

membelakanginya. Diciuminya tengkuk Dewi Berlian 

penuh nafsu. Tangan kanannya meraba bagian atas, 

sementara tangan kirinya menjelajah bagian bawah.

Tetapi... trik!

Tubuhnya kembali mundur dengan kedua tangan 

tersentak ke atas. Kali ini Pangku Jaladara mulai gu-

sar akan tindakan Dewi Berlian yang menolaknya. Di


pihak lain, perempuan mesum itu pun membalikkan 

tubuhnya dengan tatapan sengit.

Tetapi sebelum dia berseru, Pangku Jaladara su-

dah mendahului, "Dewi! Aku telah membantu menun-

taskan segala urusanmu! Baik pada guruku sendiri 

maupun pada Raja Naga! Dengan tanganku sendiri 

kubunuh guruku demi dendammu! Dengan kecerdi-

kanku pula, kuundang Raja Naga semata untuk men-

cari kesempatan memfitnahnya, sebagai balasan tin-

dakannya yang telah membunuh saudaramu yang ber-

juluk Ratu Sejuta Setan! Kau berjanji akan memenuhi 

kapan saja aku menginginkanmu! Tetapi sekarang... 

tindakanmu sudah kelewat batas, Dewi!"

Dibentak seperti itu Dewi Berlian menjadi ber-

tambah berang. Wajah jelitanya dan senyuman serta 

tatapan mesumnya seolah lenyap.

"Huh! Sampai hari ini aku tak pernah melupakan 

semua itu, Pangku Jaladara! Kau berhak menikmati

kapan saja tubuhku sesuai dengan yang kujanjikan bi-

la kau mau membantuku! Tetapi... kau tidak melihat 

saat yang tepat!"

"Apanya yang tidak tepat, hah?! Saat ini, gairah-

ku sedang memuncak! Dan tempat ini sangat me-

mungkinkan untukku menyalurkan gairahku!" geram 

Pangku Jaladara semakin keras. Parasnya memerah 

karena marah.

"Manusia satu ini benar-benar mulai bikin aku 

muak! Apa yang dilakukannya hanyalah ketololannya 

belaka! Huh! Resi Kala Jinjit yang pernah memperma-

lukanku, telah tewas di tangannya! Niatku untuk 

membalas kematian Ratu Sejuta Setan di tangan Raja 

Naga pun mulai mendapatkan gambaran yang lebih je-

las," maki Dewi Berlian dalam hati. Masih tetap me-

mandang Pangku Jaladara yang memandangnya, anta-

ra gusar dan penuh nafsu, "Tapi sialnya, urusan ini


nampaknya akan berantakan karena kehadiran Dewa 

Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih!"

"Dewi Berlian... kau tak menjawab pertanyaanku, 

berarti kau memang sengaja mempermainkanku!" ge-

ram Pangku Jaladara.

Dewi Berlian tetap tak buka mulut. Dadanya 

yang padat dan sebagian besar terbuka jelas, turun 

naik pertanda dia sedang dilanda kegusaran. 

Kalau biasanya Pangku Jaladara tak akan mam-

pu lagi untuk menguasai nafsunya melihat gumpalan 

bulat benda lunak yang menggemaskan itu, kali ini 

hanya dipandangnya sekilas lalu mengarahkan tata-

pannya pada Dewi Berlian. 

"Hingga saat ini, tak seorang pun yang tahu ke-

cuali aku, siapa orang yang telah menimbulkan keona-

ran!"

Dewi Berlian merandek. 

"Apakah kau sedang mengancamku?!"

Pangku Jaladara melipat kedua tangannya di de-

pan dada. Kepalanya sedikit ditegakkan. Lalu dengan 

angkuh, dia berkata, "Bila mulutku bicara, sudah ten-

tu seluruh orang rimba persilatan akan memburumu, 

Dewi Berlian! Bukan hanya para sahabat guruku, teta-

pi juga Raja Naga! Bahkan Datuk Bunaeng sendiri!"

Kemarahan Dewi Berlian perlahan-lahan mulai 

memuncak. Tetapi perempuan bermahkota itu tak me-

lakukan gerakan apa-apa. Berkata pun tidak.

Merasa mendapat cara untuk menekan Dewi Ber-

lian, Pangku Jaladara berkata lagi, "Sejauh ini, aku 

masih tak membuka mulut karena mempertimbangkan 

keuntungan yang kudapatkan! Dengan menikmati tu-

buhmu yang montok itu bagiku merupakan sebuah 

imbalan yang layak, pertukaran yang saling mengun-

tungkan! Tetapi sekarang, kau nampaknya mulai men-

gubah apa yang ada!"


Sadar kalau Pangku Jaladara akan membuka 

mulut maka segala niatnya akan jadi berantakan, Dewi 

Berlian perlahan-lahan meredakan kemarahannya. La-

lu sambil tersenyum dia berkata,

"Mengapa sekarang harus saling menunjukkan 

kemarahan? Pangku Jaladara, tak ada maksudku un-

tuk menolak apa yang kau inginkan. Tetapi untuk saat 

ini, ada masalah yang menggangguku."

Pangku Jaladara menyeringai lebar. Lelaki yang 

telah dikuasai oleh nafsu birahinya ini tak mempeduli-

kan apa pun yang terjadi. Dilupakannya pula kalau 

sesungguhnya dia adalah calon Ketua Perguruan Laba-

laba Perak. Namun karena dikuasai nafsu dan dijanji-

kan oleh Dewi Berlian menjadi sebagai pemuas naf-

sunya, Pangku Jaladara lebih memikirkan tentang naf-

sunya ketimbang urusan yang ada.

"Suaramu melembut, Dewi. Apakah kau takut 

dengan apa yang barusan kukatakan?"

Dewi Berlian mengembangkan senyumannya 

yang paling merangsang. Dia tahu betul bagaimana 

membuat Pangku Jaladara terangsang dan tergila-gila 

padanya. Seraya menggerakkan payudaranya yang 

montok, perempuan ini berkata, 

"Aku tak yakin bila kau akan melakukan tinda-

kan seperti itu."

"Kau belum melihat keadaan yang sebenarnya, 

Dewi." 

"Bukankah kita akan bersatu, saling membagi 

kenikmatan?" Dewi Berlian terus melancarkan rayua-

nnya.

"Huh! Tetapi di saat aku membutuhkan, kau me-

nolaknya!" 

"Karena... ada masalah yang harus kupikirkan. 

Apakah tidak sebaiknya sekarang kita memikirkan 

masalah itu bersama-sama?" ucap Dewi Berlian lalu


menyambung dalam hati, "Aku tak ingin banyak mem-

buang tenaga sekarang. Kalaupun ilmu Pangku Jala-

dara lebih rendah dariku, tetapi aku yakin dia akan 

memberikan perlawanan yang ketat bila kuserang. Se-

baiknya, kutunggu saat yang tepat untuk membunuh-

nya. Karena rasanya, aku sudah tak memerlukannya 

lagi...."

Pangku Jaladara semakin memperlihatkan serin-

gaiannya. Matanya berkilat-kilat penuh gairah.

"Kau berucap demikian, dengan maksud agar 

aku menutup mulutku, bukan?"

Dewi Berlian tersenyum. Menggerakkan payuda-

ranya. Ketika sempat dilihatnya tatapan Pangku Jala-

dara menghujam tepat pada 'bola-bola asmara'nya, dia 

menyeringai dalam hati. 

"Menaklukkanmu sangat mudah. Dengan sedikit 

memberi kenikmatan saja kau sudah terlena."

Sambil melangkah mendekat dan tetap menun-

jukkan kelebihannya sebagai seorang perempuan yang 

matang, Dewi Berlian berkata, "Rasanya tidak tepat ki-

ta harus bertengkar di pagi yang indah seperti ini. Se-

benarnya, aku juga mengingihkan apa yang kau ingin-

kan. Tetapi...."

"Kau berbicara berbelok-belok!"

Dewi Berlian tersenyum.

"Pangku Jaladara, belum lama ini kita baru saja 

melarikan diri dari Lembah Lingkar...."

Wajah Pangku Jaladara berubah menjadi geram.

"Aku ingat ucapan kakek keparat berkulit hitam 

itu!" 

"Kau tak perlu gusar padanya," kata Dewi Berlian 

menyeringai dalam hati. "Siapa pun orangnya akan ku-

tolak kecuali dirimu, Pangku."

Pangku Jaladara tak menggubris ucapan itu.

"Apa yang hendak kau katakan?"


"Nampaknya urusan di Lembah Lingkar telah se-

lesai. Tetapi anehnya, mengapa ada kabar baru yang 

semalam kita dengar, kalau Raja Naga akan muncul 

kembali di sana? Bukankah ini cukup aneh."

"Apanya yang aneh! Mungkin pemuda celaka itu 

sudah membulatkan keinginan untuk mampus di 

Lembah Lingkar."

"Apakah kau tidak berpikir sebaiknya kita kem-

bali ke Lembah Lingkar?"

"Untuk apa? Urusan telah selesai! Kau tinggal 

memetik apa yang telah kau tanam!" 

"Dia benar-benar dibutakan oleh nafsunya hingga 

tidak tanggap persoalan," desis Dewi Berlian dalam ha-

ti. "Huh! Apakah Raja Naga sendiri yang menyebarkan 

berita kalau dia akan kembali ke Lembah Lingkar? 

Tentunya dengan maksud agar yang lainnya juga hadir 

di sana. Inilah yang menjadi pikiranku selain kehadi-

ran Dewa Jubah Biru dan Dewi Pengunyah Sirih! Ka-

rena ternyata, pemuda itu masih hidup!" 

Di hadapannya, Pangku Jaladara mendesis ge-

ram.

"Kau mencoba membuang waktu dengan membi-

carakan persoalan yang tak berarti. Apakah...."

"Tidak! Aku tidak membuang waktu. Karena aku 

pun ingin segera melupakan persoalan ini dengan me-

nikmati apa yang akan kau berikan," sahut Dewi Ber-

lian sambil tersenyum. Lalu berkata dalam hati, "Ma-

nusia keparat ini benar-benar memuakkan! Tetapi me-

naklukkannya memang sangat mudah!" 

Pandangan Pangku Jaladara kini tetap tertuju 

pada sepasang bukit kembar yang benar-benar meng-

giurkan itu. Terutama tatkala dengan gerakan yang tak 

kentara namun sangat menggoda iman, Dewi Berlian 

menggerakkan payudaranya hingga bergerak lembut 

dan berirama.


"Pangku... tanpa bantuanmu, tak akan mungkin 

aku bisa melaksanakan seluruh dendam yang kumili-

ki. Dan apakah aku akan melupakan begitu saja kebe-

ranian yang telah kau perlihatkan? Sudah tentu tidak. 

Karena biar bagaimanapun juga, aku... aku... telah ja-

tuh cinta padamu...."

Mendengar kata-kata Dewi Berlian, paras Pangku 

Jaladara menjadi cerah. 

Dia terbahak-bahak. 

"Ha ha ha... itulah yang ku maui! Sejak dulu aku 

sangat senang melihat perempuan jatuh cinta dan 

mengemis cinta padaku! Mengemislah padaku, Dewi 

Berlian! Mengemislah!"

Dewi Berlian yang tengah melancarkan tipuannya 

melalui rayuan mautnya, tersenyum. Tiba-tiba saja di-

jatuhkan tubuhnya di atas tanah berumput, terlentang 

dengan kedua tangan dan kaki membuka lebar-lebar.

Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit 

kembar Dewi Berlian semakin penuh. Bahkan seolah 

terlempar keluar. Bergerak turun naik seiring dengan 

nafasnya yang teratur. Di bagian bawah, pakaiannya 

yang terbelah hingga pinggul itu tersingkap. Memperli-

hatkan gumpalan paha lembut, indah dan menggetar-

kan.

Perlahan-lahan Dewi Berlian memejamkan ma-

tanya, seolah pasrah menerima apa yang akan terjadi.

"Aku akan mengarungi dulu kenikmatan bersa-

manya. Setelah itu... crass! Nyawanya akan putus!" ka-

tanya dalam hati. 

Di pihak lain, napas Pangku Jaladara semakin 

memburu. Gairahnya benar-benar tak bisa ditahan la-

gi. Apalagi melihat keadaan Dewi Berlian sekarang,

Lalu penuh nafsu ditubruknya tubuh montok 

yang pasrah itu. Mulutnya segera menciumi sekujur 

wajah Dewi Berlian. Lalu hinggap dan melumat bibir


memerah itu sepuas-puasnya. Sementara tangan ka-

nan dan kirinya bekerja meraba, menekan dan mere-

mas apa saja yang ada di tubuh perempuan itu.

Dewi Berlian sendiri segera membalasnya dengan 

penuh gairah. Mendapatkan balasan yang memang di-

inginkannya, gairah Pangku Jaladara semakin meng-

gebu-gebu. Dalam waktu singkat saja, dia sudah me-

lucuti seluruh pakaian yang dikenakan perempuan 

bahenol itu. Dia sendiri sudah dalam keadaan polos.

Di pihak lain, Dewi Berlian sesaat membuka ma-

tanya. Diperhatikannya bagaimana sibuknya Pangku 

Jaladara sekarang, yang tak mau lagi menghiraukan 

sekelilingnya. 

"Untuk sejenak kau akan menikmati apa yang 

kau inginkan, Manusia keparat!" seringainya dalam 

hati

Tatkala Pangku Jaladara memasuki tubuhnya, 

Dewi Berlian terus menggerak-gerakkan pinggulnya 

dengan gerakan seorang perempuan yang telah ma-

tang. Napas Pangku Jaladara semakin memburu. 

Lelaki ini sudah melupakan seluruh persoalan 

yang sedang dihadapinya. Tidak dipedulikan sekitar-

nya yang menjadi saksi bisu dari tindakannya. 

"Sekarang!" desis Dewi Berlian dalam hati tatkala 

melihat Pangku Jaladara sudah tiba pada puncaknya.

Kedua tangannya yang memegangi erat-erat 

punggung Pangku Jaladara perlahan-lahan naik ke 

atas. Lalu diusap-usapnya leher Pangku Jaladara den-

gan usapan lembut dan penuh rangsangan. Yang di-

usap semakin memuncak gairahnya. 

Namun mendadak saja, 

"Heeiigkggg!!" 

Gerakan Pangku Jaladara kontan terhenti. Tu-

buhnya mengejut dengan kepala tersentak ke atas li-

dahnya mendadak menjulur keluar.


Dewi Berlian yang mendadak saja menghentikan 

usapan tangannya pada punggung Pangku Jaladara, 

semakin kuat mencengkeram leher lelaki itu. Sesaat 

Pangku Jaladara masih berusaha untuk membebaskan 

diri. Tetapi di lain saat terdengar suara cukup keras, 

"Kraaakk!!" 

Leher lelaki yang dibutakan oleh gairahnya telah 

patah. Dengan gerakan jijik Dewi Berlian mendorong 

tubuh itu lalu ambruk menjadi mayat di atas tanah.

"Cihhh! Itulah upah dari bantuanmu, Pangku Ja-

ladara!" desis perempuan mesum ini sambil berdiri. La-

lu dipunguti pakaiannya dan dikenakannya kembali.

Dipandanginya lagi mayat Pangku Jaladara yang 

dalam keadaan polos. Cukup lama perempuan mesum 

ini melakukan tindakan itu sebelum kemudian terlihat 

bibirnya tersenyum.

"Bukan main! Kau memang sangat cerdik, Dewi 

Berlian! Sangat cerdik!" desisnya pada dirinya sendiri.

Di saat lain, dengan sedikit susah payah, Dewi 

Berlian memakaikan pakaian Pangku Jaladara, yang 

sebelumnya dalam keadaan polos kini telah berpa-

kaian lengkap kembali.

Lagi Dewi Berlian berdiri tegak dengan tatapan 

tetap mengarah pada Pangku Jaladara.

"Hemm... aku memang memiliki kecerdikan dan 

kelicikan yang luar biasa. Tak kusangka kalau aku 

menemukan cara yang tepat dari kebimbangan yang 

sebelumnya melandaku. Akan kukabarkan ke penjuru 

jagat ini, kalau Raja Naga telah membunuh.... Pangku 

Jaladara... Ini menyenangkan, sangat menyenangkan!" 

Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-

ran berlian ini tertawa keras, hingga dedaunan bergu-

guran. Masih tertawa, dia segera meninggalkan mayat 

Pangku Jaladara untuk segera menjalankan rencana 

yang baru saja dipikirkannya.


TUJUH


TAWA Dewi Berlian yang keras itu memancing 

perhatian dua sosok tubuh berlainan jenis yang se-

dang berlari tak jauh dari sana. Sejenak masing-

masing orang menghentikan langkahnya dan berpan-

dangan.

"Kakang Lesmana! Sejak tadi kita memasuki hu-

tan ini, tak seorang pun yang kita jumpai! Dan nam-

paknya, kita akan menjumpai seseorang," terdengar 

kata-kata itu dari gadis berkuncir dua yang memiliki 

paras manis.

Pemuda yang berdiri di samping kirinya men-

ganggukkan kepala.

"Kau betul! Dari tawa yang diperdengarkannya, 

nampaknya orang itu sedang gembira! Ratih, ada 

baiknya bila kita segera menemui orang itu!"

Dua saudara seperguruan itu pun segera mencari 

sumber tawa yang mereka dengar. Sebelumnya, Ratih 

dan Lesmana mempunyai urusan yang membuat mas-

ing-masing orang harus berulangkali bertarung. Ini 

disebabkan karena Ratih tidak bisa menerima tinda-

kan Lesmana yang membiarkan guru mereka tewas di 

tangan Resi Kala Jinjit. Lesmana sendiri berulangkali 

pula menjelaskan semua itu. Dan berkat bantuan Raja 

Naga, kedua saudara seperguruan itu telah berdamai 

(Baca : "Misteri Laba-laba Perak" dan "Pengadilan Rim-

ba Persilatan"). 

"Ratih! Lihat!" seru Lesmana tiba-tiba sambil 

menghentikan langkahnya. Tangannya menunjuk pada 

mayat Pangku Jaladara. 

"Kakang... kalau tidak salah, bukankah dia calon 

ketua dari Perguruan Laba-laba Perak?"

Pemuda berpakaian berwarna merah dengan garis hitam yang bersilangan di depan dada, mengang-

guk. 

"Ya! Aku juga tahu siapa orang ini."

Ratih berlutut, memeriksa mayat Pangku Jalada-

ra. "Lehernya patah! Siapakah kira-kira orang yang te-

lah membunuhnya?"

Lesmana tak menjawab. Pemuda yang di kening-

nya melingkar kain warna merah ini justru mencubit-

cubit bibir bagian bawah. Otaknya berpikir. 

"Sejak kita memasuki hutan ini, kita tidak men-

jumpai seseorang. Dan tiba-tiba ada tawa yang meng-

gema keras. Tawa yang menunjukkan kalau orang itu 

sedang senang. Ratih... jangan-jangan, perempuan 

yang tertawa itulah yang telah membunuhnya," 

"Kalau begitu, tentunya perempuan itu dan 

Pangku Jaladara telah berada di sini dan terlibat satu 

pertarungan. Tetapi mengapa kita tidak mendengar 

tanda-tanda adanya sebuah pertarungan?"

Pertanyaan Ratih tak segera dijawab oleh Lesma-

na. Setelah beberapa saat terdiam, Lesmana berkata, 

"Mungkin Pangku Jaladara dijebak atau diserang seca-

ra tiba-tiba."

"Pangku Jaladara bukannya orang yang memiliki 

ilmu sejengkal. Diserang secara tiba-tiba pun masih 

memungkinkan baginya untuk mematahkan seran-

gan."

"Aku tidak mempunyai alasan lain."

Ratih perlahan-lahan berdiri. 

"Kakang... urusan yang sedang kita hadapi ini be-

lum mendapatkan titik temunya. Kita belum juga me-

nemukan Datuk Bunaeng untuk mendapatkan kejela-

san dari semua ini. Apa yang harus kita lakukan, Ka-

kang?"

Lesmana menatap adik seperguruannya yang 

berwajah manis itu.


"Raja Naga berpesan padaku, agar aku membawa 

Ratih menjauh dari urusan ini. Tetapi sekarang, kea-

daannya sudah berlainan. Semakin sulit. Apakah tidak 

sebaiknya...."

"Aku masih tetap berkeinginan untuk mencari 

Datuk Bunaeng. Satu pikiran yang melintas di benak-

ku sekarang, jangan-jangan perempuan yang kemung-

kinan besar telah membunuh Pangku Jaladara, adalah 

dalang dari semua urusan ini."

Lesmana sedikit terkejut mendengar kata-kata 

Ratih. Dipandanginya gadis yang di punggungnya ter-

dapat sepasang pedang bersilangan itu.

"Kita belum tahu siapa adanya perempuan itu. 

Saat ini aku masih yakin kalau Datuk Bunaeng adalah 

otak dari semua kekacauan. Tetapi apa yang kau kata-

kan tidak mustahil bisa terjadi."

Sepasang mata Ratih bersinar cerah. 

Kakang! Aku punya satu gagasan!"

"Katakan...." 

"Mungkin saat ini, yang mengetahui kematian 

Pangku Jaladara hanya kita dan tentunya si pembu-

nuh. Bila memang si pembunuh adalah biang dari se-

gala kekacauan, tak mustahil dia akan terus memfit-

nah Raja Naga. Ini berarti, si pembunuh mempunyai 

dendam pada Raja Naga."

"Maksudmu, si pembunuh akan mengatakan Ra-

ja Naga yang telah membunuh Pangku Jaladara?"

"Tepat Kakang! Kalau tujuan kita sebelumnya 

adalah mencari Datuk Bunaeng, sekarang kita harus 

mencari Raja Naga! Ayo, Kakang! Waktu kita sangat 

sempit! Dan kita sama-sama mendengar kalau tak la-

ma lagi akan ada bencana di Lembah Lingkar!"

Lesmana mengangguk pelan. Sulit baginya untuk 

menolak permintaan Ratih. Mereka memang telah 

mendengar seseorang mengabarkan akan terjadi bencana di Lembah Lingkar.

Kemudian katanya, "Ratih... kau masih memba-

wa Bunga Kemuning Biru yang diberikan Guru?"

"Ya!"

"Berikan padaku!"

Di lain saat, Lesmana mulai sibuk dengan Bunga 

Kemuning Biru yang diberikan Ratih, sementara gadis 

itu hanya memperhatikan saja. Tak lama kemudian, 

terlihat Ratih mengangguk-anggukkan kepala, menger-

ti apa yang dilakukan oleh kakak seperguruannya.

Lalu keduanya segera meninggalkan tempat itu.

***

Menjelang senja, Raja Naga menghentikan lang-

kahnya di jalan setapak. Matanya memandang sosok 

tubuh di hadapannya, yang membuatnya menghenti-

kan langkahnya.

"Hemm... dari pakaian putihnya yang compang-

camping, orang yang berdiri itu tentunya seorang ka-

kek. Jelas dari tubuhnya yang keriput. Kumisnya pu-

tih melintang. Dan astaga! Janggutnya, hampir me-

nyentuh tanah!"

Kakek yang menundukkan kepalanya itu mende-

sis tanpa mengangkat kepalanya, "Aku belum pernah 

melihat orang yang kucari. Tetapi naluriku mengata-

kan kalau engkaulah orang yang kucari."

Kepala murid Dewa Naga itu menegak. Matanya 

yang angker semakin bersorot angker.

"Aku harus waspada. Bisa jadi kakek yang belum 

kulihat wajahnya ini termasuk salah seorang seperti 

Kala Sringgil dan Jala Sringgil maupun lelaki berkaki 

satu itu." 

Si kakek kembali bicara, "Kau tak buka mulut. 

Aku percaya, kalau saat ini kau sedang meningkatkan


kewaspadaanmu terhadapku. Waspada sudah tentu ti-

dak dilarang." 

"Suaranya lembut, tidak mengandung tekanan 

kemarahan seperti yang dilakukan beberapa orang 

yang menyerangku. Rimba persilatan telah menurun-

kan pengadilannya terhadapku. Secepatnya aku harus 

mendapatkan bukti-bukti kalau aku tidak bersalah," 

kata Raja Naga dalam hati. Lalu berkata dengan te-

nang, "Orang tua... aku tidak tahu siapa orang yang 

sedang kau cari. Tetapi melihat keyakinanmu tadi, aku 

merasa kalau akulah orang yang sedang kau cari." 

"Tidak salah."

"Lantas, ada urusan apa sebenarnya?"

Tetap menundukkan kepalanya, si kakek berka-

ta, "Aku muncul hanya untuk membuktikan apa yang 

kupercayai. Kala Sringgil, Jala Sringgil dan Pendekar 

Kaki Satu, begitu yakin kalau kau bersalah, Raja Naga. 

Tetapi aku tidak."

Kali ini kening Boma Paksi berkerut, pertanda dia 

sedang berpikir. Cukup lama dipandanginya si kakek 

sebelum berkata, "Orang tua... apakah... apakah kau 

orang yang berjuluk Musang Berjanggut?" 

Masih menundukkan kepala, si kakek mengang-

guk. 

"Kau tidak salah. Akulah orang yang berjuluk 

Musang Berjanggut."

Seketika Raja Naga teringat perkataan Langlang 

Benua.

"Hemm... menurut Langlang Benua, orang berju-

luk Musang Berjanggut memiliki sifat angin-anginan 

yang sulit ditebak. Dia bisa berubah menjadi kejam, 

dan bisa berubah sesuci malaikat. Aku harus mencari 

keberuntunganku."

Habis membatin demikian, pemuda berompi un-

gu ini berkata, "Tadi kau mengatakan, hendak membuktikan apa yang kau percayai. Aku bisa meraba apa 

yang sebenarnya menjadi sasaranmu. Orang tua, tan-

pa mengurangi rasa hormatku kepadamu, apakah kau 

hendak membuktikan kalau aku telah mencuri Kalung 

Laba-laba Perak?" 

Musang Berjanggut mengangguk, Janggut pan-

jangnya sesaat menyentuh tanah, lalu menggantung 

lagi. Anehnya, tak sehelai janggut pun yang bergetar.

Padahal saat itu angin sedang berhembus cukup 

kencang!

"Sulit bagiku untuk menjelaskan apakah aku 

bersalah atau tidak! Karena di satu pihak, hal itu su-

dah tidak bisa kupakai untuk memperjelas keadaan! 

Orang tua... aku hanya bisa mengatakan kalau aku ti-

dak bersalah."

"Ceritakan pangkal kejadiannya...."

Sebelum menceritakan apa yang dialami sebe-

lumnya, pemuda berompi ungu itu memandangi si ka-

kek dengan seksama (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").

Kembali Musang Berjanggut mengangguk-

angguk.

"Betul kau tidak melakukannya?" 

"Ya!"

"Kau punya dugaan siapa yang melakukannya?"

Raja Naga terdiam dulu sebelum mengangguk 

dan berkata, "Dugaan itu kupunyai. Tetapi, aku kha-

watir kalau akhirnya akan menjadi sebuah fitnah."

"Sebutkan satu nama."

"Dewi Berlian...."

Musang Berjanggut terdiam. Kepalanya tetap 

menunduk hingga sukar bagi Raja Naga untuk melihat 

rupa orang tua itu.

"Dewi Berlian...," ulangnya kemudian. "Tak perlu 

kutanyakan alasan apa hingga kau menyebutkan julu-

kan itu. Anak muda... aku hanya memberimu satu jalan untuk menyelesaikan urusan ini."

"Orang tua... jadi kau mempercayai kalau aku ti-

dak bersalah?" tanya Raja Naga sambil menahan na-

pas.

"Aku tidak berkata demikian. Tetapi naluriku 

mengatakan demikian." 

"Itu sudah cukup bagiku. Ternyata masih ada ju-

ga yang mempercayaiku." 

"Anak muda... jalan yang hendak kuberikan, se-

baiknya kau menuju ke Lembah Lingkar. Tetapi meli-

hat arah yang sedang kau tempuh, saat ini kau ten-

tunya sedang menuju ke sana. Lembah Lingkar akan 

menjadi saksi dari kebenaran apa yang selama ini kau 

inginkan." 

Raja Naga tak menjawab. Dia terus berusaha un-

tuk melihat wajah si kakek. Tetapi tetap tak berhasil.

Si kakek berkata lagi, "Menurut bayanganku, kau 

tentunya telah berjumpa dengan orang tua yang gila 

berlanglang buana. Tentunya kau sudah mendengar 

dari mulutnya siapa aku. Dan aku percaya kau meya-

kini ucapannya."

Raja Naga diam-diam mendesis dalam hati, "Luar 

biasa! Sungguh luar biasa! Bagaimana caranya dia 

mengetahui kalau aku sudah berjumpa dengan kakek 

berjuluk Langlang Benua?"

Belum tuntas kekagetan Raja Naga, Musang Ber-

janggut sudah berkata lagi, "Kau tak perlu tahu ba-

gaimana cara aku tahu tentang pertemuanmu dengan 

Langlang Benua. Tetapi yang pasti, aku memang hen-

dak menjumpainya."

Raja Naga berkata, "Orang tua, bila kau tidak 

berkeberatan, dapatkah aku mengetahui mengapa kau 

hendak menjumpai. kakek Langlang Benua?"

Tanpa mengangkat wajahnya, Musang Berjanggut 

mengangguk-anggukkan kepalanya.


"Anak muda... aku tahu siapa kau sebenarnya. 

Kau adalah putra dari mendiang Pendekar Lontar dan 

Dewi Lontar. Aku merasa pasti kalau kau memiliki se-

buah benda sakti yang dimiliki oleh mendiang ayahmu. 

Apakah aku salah?"

Raja Naga menggeleng.

"Kau tidak salah, Orang Tua. Benda sakti yang 

kau maksudkan tentunya adalah Gumpalan Daun 

Lontar, bukan?"

"Betul! Benda yang berpuluh tahun lamanya 

menjadi rebutan dari orang-orang serakah."

"Dengan kau bicara seperti itu, apakah akan ter-

jadi sesuatu yang cukup mengerikan?" tanya Raja Na-

ga sambil memperhatikan dengan seksama.

"Bukan hanya cukup mengerikan. Tetapi sangat 

mengerikan."

Kepala Raja Naga menegak. "Orang tua... da-

patkah kau memberitahukannya kepadaku?" 

Musang Berjanggut menggeleng. "Urusanmu be-

lum selesai. Untuk saat ini rasanya belum tepat untuk 

mengatakannya. Tetapi kau boleh mengetahui sedikit 

saja."

"Aku menunggu." 

"Pernah kau mendengar sebuah benda yang di-

namakan Bunga Kemuning Biru?"

Dengan kening berkerut Raja Naga menggeleng. 

Musang Berjanggut berkata lagi, "Menurut bayangan-

ku, benda aneh itu akan menjadi pangkal dari urusan 

yang harus kau hadapi. Mungkin juga, nyawamu akan 

putus dalam urusan ini." 

Mulut Raja Naga terbuka, tetapi tak ada suara 

yang keluar.

Musang Berjanggut meneruskan ucapannya, 

"Kau harus bisa menuntaskan semua itu bila tak ingin 

kekacauan akan timbul. Kau akan menghadapi urusan


dengan orang mati."

"Aku belum dapat memahami apa yang kau mak-

sudkan itu, Orang Tua..."

"Urusanmu belum selesai. Sekarang, teruskan 

langkahmu menuju Lembah Lingkar. Bila kau berjum-

pa dengan Langlang Benua, katakan padanya, aku 

menunggu di Bukit Tidar." 

Habis ucapannya, kakek berpakaian putih com-

pang-camping itu membalikkan tubuhnya. Sambil te-

tap menundukkan kepalanya, dia melangkah mening-

galkan Raja Naga yang terbengong. 

Setelah Musang Berjanggut hilang dari pandan-

gan, barulah Raja Naga menarik napas pendek.

"Satu urusan belum rampung, sudah terbayang 

lagi urusan yang harus kuhadapi. Ah, keadaan seperti 

ini terkadang membuatku bertanya-tanya... sampai 

kapan petaka di dunia ini baru berakhir?" 

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku di-

penuhi sisik coklat ini kembali terdiam. Matanya yang 

bersorot angker memandang tak berkedip ke kejauhan.

Lalu ditarik napas dalam-dalam, kemudian di-

hembuskan perlahan-lahan.

"Sedikit banyaknya aku telah mendapat keberun-

tungan. Paling tidak, apa yang dikatakan Langlang Be-

nua tentang Musang Berjanggut tidak lagi membuatku 

tegang. Hemmm... apa yang dikatakan Musang Ber-

janggut tadi memang benar. Urusan yang kuhadapi 

sekarang, belum tuntas. Sebaiknya kutuntaskan dulu 

urusan ini baru kemudian memikirkan apa yang dika-

takannya."

Memutuskan demikian, pemuda gagah berambut 

dikuncir ini segera melangkah meninggalkan tempat 

itu, ke arah yang berlainan dengan yang ditempuh 

Musang Berjanggut.


DELAPAN


TEPAT matahari tenggelam ditelan malam, Ratu 

Tongkat Ular menghentikan langkahnya di jalan seta-

pak. Sekelilingnya sepi menyengat. Masih beruntung 

karena di tempatnya hanya beberapa pohon saja yang 

tumbuh, hingga rembulan masih dapat menyinari 

tempat itu.

Perempuan tua Ini mendadak mengertakkan ra-

hangnya.

"Hah! Sejak melihat kemunculannya di halaman 

Perguruan Laba-laba Perak, aku sudah tidak memper-

cayai Dewi Berlian! Entah setan mana yang merasuki 

otak Bunaeng hingga dia mempercayai perempuan me-

sum itu!" 

Si nenek memperhatikan sekelilingnya. Mulut ke-

riputnya berkemak-kemik tanpa ada suara yang keluar

Tak lama kemudian, dia mendesis lagi, lebih ge-

ram, "Aku merasa pasti kalau Dewi Berlian hendak 

melakukan satu tindakan busuk dan memanfaatkan 

ketololan Bunaeng! Terkutuk! Sungguh terkutuk!!"

Dihujamkan tongkatnya ke tanah yang seketika 

amblas hingga setengah. Bersamaan ditarik keluar 

hingga tanah berhamburan, Ratu Tongkat Ular meng-

geram lagi, "Seingatku, Ratu Sejuta Setan adalah sau-

dara Dewi Berlian. Dan perempuan kontet berkulit hi-

tam itu kabarnya telah mampus di tangan Raja Naga! 

Huh! Bisa jadi kalau Dewi Berlian hendak membalas 

kematian saudaranya pada Raja Naga dan meman-

faatkan kesempatan dengan melakukan adu domba! 

Keparat terkutuk!!"

Selagi si nenek memaki-maki sendiri, tanpa se-

pengetahuannya sepasang mata indah namun bersorot 

tajam, memperhatikannya dengan dada digolak amarah.

"Setan alas! Perempuan tua itu bisa membuat 

urusanku berantakan! Dari ucapannya, jelas kalau dia 

mulai meraba apa yang sebenarnya hendak kulaku-

kan! Se-baiknya, kubereskan saja perempuan tua ini!" 

Pemilik mata indah itu mengepalkan tangan ka-

nannya dan bersiap mengirimkan pukulan jarak jauh. 

Tetapi kontan dihentikannya tatkala melihat satu so-

sok tubuh bergerak ke arah Ratu Tongkat Ular. 

"Pendekar Kaki Satu...," desisnya.

Ratu Tongkat Ular juga melihat siapa orang yang 

mendekat ke arahnya untuk kemudian menghentikan 

langkahnya sejarak sepuluh langkah dari hadapannya.

Seketika Ratu Tongkat Ular mendengus. 

"Huh! Mau apa kau menghentikan langkahmu di 

sini, hah?!" 

Pendekar Kaki Satu memandang tak berkedip. 

Lalu berseru tak kalah kerasnya, "Bila kau bertanya 

mengapa aku menghentikan langkahku di sini, aku ju-

ga hendak bertanya ada urusan apa kau berada di si-

ni!"

Ratu Tongkat Ular yang sedang geram terhadap 

Dewi Berlian, seketika memerah wajahnya.

"Setan! Ditanya balik tanya! Cepat jawab sebelum 

kepalamu pecah akibat tongkatku!"

Pendekar Kaki Satu merapatkan mulutnya. Lalu 

mendesis dingin, "Saat ini perasaanku sedang tidak 

enak! Jadi jangan banyak ulah di hadapanku!"

"Keparat buntung! Kau pikir kau saja yang se-

dang tidak enak, hah?!" bentak Ratu Tongkat Ular ke-

ras. Tiba-tiba saja dia menyeringai, "Perasaanmu se-

dang tidak enak, begitu pula denganku. Bagaimana bi-

la kita membuatnya menjadi enak?!"

"Apa maksudmu?!"

"Kita bertarung sampai salah seorang di antara


kita mampus!!" 

Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Sambil 

memperhatikan perempuan tua di hadapannya dia 

berkata dalam hati, "Aku harus segera tiba di Lembah 

Lingkar seperti apa yang dikatakan Musang Berjang-

gut. Bila kuterima apa maunya, berarti akan banyak 

membuang waktuku. Sebaiknya, aku mengalah saja."

Memutuskan demikian, lelaki yang kaki kanan-

nya buntung ini berkata, "Ratu Tongkat Ular, kita ten-

tunya sama-sama punya urusan yang harus diselesai-

kan! Bila urusan telah selesai, aku berjanji akan mene-

rima tantanganmu!" 

"Secara tidak langsung, kau sudah mengemuka-

kan kekalahanmu!"

Kata-kata itu membuat wajah Pendekar Kaki Sa-

tu memerah. Tetapi ditindih amarahnya.

Di pihak lain, pemilik mata indah yang memper-

hatikan dari balik ranggasan. semak belukar, tiba-tiba 

tersenyum tatkala melintas satu pikiran di benaknya.

"Hemmm... kehadiran Pendekar Kaki Satu sung-

guh tepat. Aku tak perlu mempergunakan tanganku 

untuk membunuh Ratu Tongkat Ular. Kalaupun gagal 

membunuhnya sekarang, paling tidak, aku dapat men-

gubah apa yang sebelumnya dipikirkan."

Habis kata-katanya, pemilik mata indah namun 

tajam itu mendadak saja melesat dari balik ranggasan 

semak. Tangan kanan kirinya kontan digerakkan ke 

arah Pendekar Kaki Satu seraya berseru, "Manusia ce-

laka! Kau harus mampus karena telah mengadu dom-

ba orang-orang rimba persilatan!!"

Bukan hanya Pendekar Kaki Satu yang terkejut 

karena mendadak diserang, Ratu Tongkat Ular pun 

membalikkan tubuhnya. Dilihatnya perempuan mon-

tok berpakaian hijau yang dipenuhi butiran berlian itu 

menyerang Pendekar Kaki Satu!


Dua gelombang angin berwarna hijau mengge-

brak mengerikan. Walaupun terkejut, Pendekar Kaki 

Satu cukup menggeser kaki kanannya ke samping kiri.

Wuuuss! Wuusss!

Gelombang angin itu melesat beberapa jengkal 

dan menghantam ranggasan semak belukar, hingga 

hancur betebaran. Menyusul serangannya yang luput, 

orang yang sejak tadi bersembunyi di balik ranggasan 

semak dan ternyata Dewi Berlian adanya, membalik-

kan tubuhnya dengan cepat.

Jari-jari tangannya dibuka lebar-lebar, kemudian 

diputar ke atas dengan cara disentak.

Kontan meluncur lima sinar hijau yang melesat 

dari jari jemarinya, laksana membentuk lingkaran je-

ruji. Yang mengejutkan, karena sinar-sinar itu tiba-

tiba me-lebar dan menebarkan hawa panas luar biasa.

Pendekar Kaki Satu tersentak. Namun di lain 

saat, tangan kanannya sudah menggerakkan tongkat 

penyanggah tubuhnya ke tanah. 

Wrrrusss!! 

Bersamaan tanah yang muncrat, tubuh Pendekar 

Kaki Satu melompat ke samping kanan. Lima sinar hi-

jau yang melebar menyambar ranggasan semak yang 

seketika mengering!

Sementara itu, perempuan mesum berpayudara 

besar sudah hinggap di atas tanah. Paras jelitanya 

menyeramkan dengan sorot mata yang mengandung 

kemarahan. 

Di pihak lain, Pendekar Kaki Satu juga sudah 

berdiri tegak. Diperhatikannya perempuan di hada-

pannya. Darahnya seketika mendidih karena amarah. 

Akan tetapi, sebelum dilontarkan bentakannya, Dewi 

Berlian yang telah menyusun sebuah rencana sudah 

berseru lebih dulu,

"Manusia buntung celaka! Rupanya kaulah orang


yang berada di balik kekacauan rimba persilatan! Kau 

telah mencuri kalung Laba-laba Perak, lalu menimpa-

kan pada Raja Naga, sementara Raja Naga menuduh 

Datuk Bunaeng yang melakukannya! Sungguh terku-

tuk tindakanmu, Pendekar Kaki Satu!"

Pendekar Kaki Satu mendengus.

"Kau muncul secara tiba-tiba! Dan tiba-tiba pula 

mulutmu lancang berbunyi! Dewi Berlian! Bila kedua 

tanganmu sudah gatal, aku siap melayanimu!"

"Manusia keparat! Tindakanmu yang telah men-

gacaukan rimba persilatan tak bisa dimaafkan! Sebe-

lum orang-orang rimba persilatan mengadilimu, biar 

aku yang menghukummu sekarang!!"

Habis bentakannya Dewi Berlian menerjang ke 

depan. Saat menerjang itu pakaiannya yang terbelah 

tersingkap, memperlihatkan sesuatu yang menggu-

nung dilapisi kain warna merah muda. Serangan per-

tama yang dilancarkan Dewi Berlian begitu ganas dan 

mengerikan. Tetapi pada jurus berikutnya, dia sengaja 

mengendorkan serangannya. 

Pendekar Kaki Satu mengerutkan keningnya me-

lihat perubahan serangan yang dilancarkan Dewi Ber-

lian.

"Aneh! Mengapa mendadak dia mengendorkan 

serangannya dan seperti mengalah? Bahkan... ah, ka-

lau aku mau nampaknya dia membiarkan seranganku 

masuk! Aneh! Apa yang diinginkannya?" 

Karena merasa heran, Pendekar Kaki Satu pun 

mengendorkan serangannya. Dia masih bertanya-tanya 

mengapa Dewi Berlian mengendorkan serangannya.

Tatkala didengarnya seruan Dewi Berlian, baru-

lah lelaki yang kaki kanannya buntung ini mengerti.

"Ratu Tongkat Ular! Apakah kau tidak mau 

menghukum manusia keparat yang telah memfitnah 

Datuk Bunaeng?!"


Ratu Tongkat Ular yang sejak tadi berpikir, tiba-

tiba mendengus. Kejap lain, dia sudah menerjang ke 

arah Pendekar Kaki Satu.

"Bagus! Berarti urusanku yang satu ini telah tun-

tas!" desis Dewi Berlian dalam hati seraya mundur per-

lahan-lahan.

Diperhatikannya bagaimana Ratu Tongkat Ular 

yang telah termakan siasat Dewi Berlian, menggempur 

habis-habisan Pendekar Kaki Satu.

Perempuan berpakaian hijau yang dipenuhi buti-

ran berlian itu menyeringai. 

"Hemmm... siasat yang bagus! Ratu Tongkat Ular 

nampaknya telah termakan siasatku! Bagus! Berarti, 

aku memang tak perlu harus repot turun tangan! Biar 

keduanya saling bunuh!"

Perempuan berotak licik itu sesaat memperhati-

kan pertarungan yang terjadi, sebelum kemudian me-

ninggalkan tempat itu.

Di lain pihak, Ratu Tongkat Ular semakin ganas 

menyerang Pendekar Kaki Satu. Pendekar Kaki Satu 

tentu tak mau mati konyol. Diladeninya serangan ga-

nas si nenek. Tetapi mengingat dia harus ke Lembah 

Lingkar, Pendekar Kaki Satu memutuskan untuk 

menghindari pertarungan.

"Keparat! Kau tak akan lepas dari tanganku!" 

bentak Ratu Tongkat Ular seraya mengibaskan tong-

katnya.

Blaar!!

Pendekar Kaki Satu dapat menghindari serangan 

itu. Saat itu pula diputuskan untuk tidak mendatangi 

Lembah Lingkar.

Pendekar Kaki Satu terus menjauh. Di belakang-

nya Ratu Tongkat Ular terus mengejar.

***


Lembah Lingkar tetap sepi dan mencekam. Apa-

lagi malam ini begitu gelap. Rembulan harus bersusah 

payah menerobos gumpalan awan hitam. Tak seekor 

hewan malam yang muncul di tempat yang landai itu. 

Angin barat laut berhembus dingin, menggeraikan 

rambut Datuk Bunaeng yang berdiri kaku.

Di sampingnya, Resi Hitam tak berucap apa-apa. 

Sorot mata kakek berkulit hitam legam ini penuh ama-

rah dan dendam.

Keheningan itu dipecahkan oleh suaranya, "Bu-

naeng! Rasanya tak mungkin Raja Naga akan kembali 

ke tempat ini! Orang yang telah meniupkan kabar yang 

belum lama kita dengar kalau dia akan kembali ke 

Lembah Lingkar, rasanya mencoba mengambil keun-

tungan...." 

Kakek beralis menyatu itu melirik.

"Atau... dia berharap kita tetap berada di sin!?"

"Bisa jadi!"

"Kalau bukan Raja Naga yang menghembuskan 

berita itu, siapa kira-kira orangnya?" 

Paras hitam kakek bertubuh bongkok itu sema-

kin menghitam. Kedua tangannya yang kurus mengep-

al kuat-kuat. Menyusul rahangnya dikertakkan keras-

keras, hingga suaranya begitu nyaring di malam yang 

sepi.

"Kuat dugaanku kalau orang celaka itu adalah 

Langlang Benua!" 

"Bila memang dia orangnya, bukankah itu se-

buah kesempatan untuk membunuhnya?"

"Kesempatan atau tidak, aku akan tetap membu-

nuhnya! Kepandaian apa yang dimilikinya hingga be-

rani menyelamatkan Raja Naga dan mau tak mau 

membuatku harus menginjak tempat keparat ini lagi?!"

Kali ini Datuk Bunaeng memutar tubuh, meman-

dangi kakek bongkok berkulit hitam legam yang sedang menggeram.

"Aku tak tahu siapa orang yang meniupkan kabar 

kalau Raja Naga akan muncul kembali di Lembah 

Lingkar. Tapi siapa pun orang itu, sudah sepatutnya 

kuacungkan jempol hingga aku tak perlu bersusah 

payah untuk menangkap sekaligus membunuh Raja 

Naga!" katanya dalam hati, lalu menyambung, "Apa 

yang sedang dilakukan Ratu Tongkat Ular sekarang? 

Apakah dia telah bertemu dengan Dewi Berlian? Huh! 

Aku mulai merasa pasti kalau Dewi Berlian memiliki 

maksud tertentu."

Mendadak terdengar suara Resi Hitam, "Aku, 

menangkap gerakan mendekat ke arah sini. Tetapi je-

las bukan Langlang Benua...."

Datuk Bunaeng sendiri segera menajamkan pen-

dengarannya. Didengarnya juga gerakan orang yang 

berlari ke arah mereka.

"Gerakan yang cukup ramai itu, menandakan ka-

lau orang yang datang berjumlah dua orang. Apakah 

Dewa Jubah Putih dengan Dewi Pengunyah Sirih?"

Sementara itu Resi Hitam mendengus, 

Huh! Hanya dua orang keroco!"

Datuk Bunaeng sejenak melirik, lalu mengarah-

kan lagi pandangannya pada jalan setapak yang mem-

bujur di hadapannya. Tak lama kemudian muncul dua 

sosok tubuh mengenakan pakaian putih yang terbuka 

di bahu sebelah kiri. Kedua orang itu segera menghen-

tikan lari mereka begitu melihat Datuk Bunaeng dan 

Resi Hitam.

Datuk Bunaeng seketika mendengus.

"Huh! Resi Hitam! Kau bilang kedua ini bangsa 

keroco?! Gila! Mereka adalah tikus-tikus got yang kela-

paran!!"

Kedua orang yang berkepala gundul itu tak ada 

yang membuka mulut. Kala Sringgil berbisik, "Jala


Sringgil... tak kusangka kalau Datuk Bunaeng dan Re-

si Hitam berada di sini. Rupanya apa yang dikatakan 

Musang Berjanggut memang benar. Bencana akan se-

gera terjadi di Lembah Lingkar." 

Jala Sringgil tak menjawab. Justru memperhati-

kan kedua orang di hadapannya bergantian. Kemudian 

bisiknya, "Aku menangkap sesuatu yang tidak enak."

"Aku pun menangkap gelagat itu."

"Tetapi kita sudah berada di Lembah Lingkar. 

Mustahil kita keluar lagi dari tempat ini."

Kata-kata Jala Sringgil menandakan kalau kedu-

anya bertekad untuk tetap berada di sana. Masing-

masing orang tetap berkeyakinan kalau Raja Naga 

yang harus mereka bekuk.

Datuk Bunaeng menggeram keras. "Muncul seca-

ra tiba-tiba dan tak diundang. Tak menunjukkan sikap 

yang baik pula! Manusia-manusia berkepala gundul! 

Tinggalkan tempat ini sekarang juga sebelum aku be-

rubah pikiran!"

Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil tak ang-

kat bicara. Mereka tahu siapa adanya Datuk Bunaeng. 

Terlebih lagi kakek berkulit hitam legam itu.

Namun begitu melihat Datuk Bunaeng hendak 

membentak lagi, Kala Sringgil segera berkata, "Mung-

kin kita punya tujuan yang sama datang ke Lembah 

Lingkar! Tetapi bisa juga dengan tujuan yang berlai-

nan. Namun satu hal yang pasti, kita sama-sama tak 

punya silang urusan!"

"Sekali lagi kukatakan, tinggalkan tempat ini se-

karang juga!" geram Datuk Bunaeng. Tangan kanan-

nya mengepal. 

Kala Sringgil melirik saudaranya. Yang dilirik tak 

mengangguk maupun menggeleng. Bersuara pun ti-

dak. 

Mendapati sikap keduanya, Datuk Bunaeng tiba

tiba mengangkat tangan kanannya. Namun sebelum 

satu serangan dilepaskan, mendadak terdengar suara,

"Mengapa selalu saja ada petaka yang diturunkan 

oleh manusia kejam?! Apakah tidak sebaiknya berda-

mai untuk menyelesaikan urusan!"

Sementara Datuk Bunaeng segera memutar tu-

buhnya untuk mengetahui siapa adanya orang, kepala 

Resi Hitam menegak. Menyusul suaranya yang sangat 

keras,

"Langlang Benua!!" 

"Resi Hitam," suara itu terdengar lagi sementara 

sosok orang yang bersuara itu belum kelihatan. "Kau 

juga muncul di tempat ini untuk urusan sepele! Apa-

kah tidak sebaiknya kau segera meninggalkan tempat 

ini?!"

"Terkutuk!! Keluar kau! Kita selesaikan urusan 

yang belum tuntas!" suara Resi Hitam menggelegar 

laksana guntur.

"Mengapa harus gusar?! Kita tak punya masalah 

dalam urusan yang dihadapi Bunaeng. Kalaupun hen-

dak menuntaskan urusan yang kita punya, masih ba-

nyak waktu yang tersisa!"

Resi Hitam sudah tak dapat menguasai amarah-

nya lagi. Tahu siapa orang yang bicara itu, dia segera 

melompat ke depan. Tangan kanan kirinya digerakkan 

sembarangan.

Gelombang angin mengerikan bertebaran, meng-

hantami apa saja. Kala Sringgil dan Jala Sringgil sege-

ra menjauh karena tidak ingin terkena sasaran. Se-

mentara itu, Datuk Bunaeng menggeser tubuhnya ke 

samping kiri tatkala satu gelombang angin yang dile-

paskan Resi Hitam secara sembarangan, menggebrak 

ke arahnya.

Lembah Lingkar berguncang. Bebatuan bergugu-

ran di sebelah utara. Letupan demi letupan membaha


na di malam buta. Dalam waktu yang singkat, rangga-

san semak di sana sudah terpapas habis, sementara

tanah berhamburan.

Namun Langlang Benua belum juga menampak-

kan batang hidungnya!

"Keluar kau, Bangsat! Keluar!!" geram Resi Hitam 

semakin sengit dan geram.

"Tak lama lagi aku akan muncul di tempat ini!" 

"Setan terkutuk!" geram Resi Hitam dengan ama-

rah menggelegak. Kembali dilepaskan serangannya se-

cara sembarangan. Untuk kedua kalinya bahaya men-

gerikan terjadi di Lembah Lingkar.

"Kau benar-benar pemarah sekarang ini, Resi Hi-

tam! Ah, sungguh aku jadi tidak enak! Kau sudah ber-

susah payah mengeluarkan banyak tenaga, tetapi aku 

tidak muncul! Hanya saja, sebentar lagi aku akan 

muncul!!"

Suara yang berpindah-pindah dari satu tempat 

ke tempat lain itu semakin membuat Resi Hitam mur-

ka. Namun tiba-tiba dihentikan serangannya. Matanya 

menatap tajam pada satu tempat. Di lain saat, terlihat 

seringaiannya.

"Kau akan mampus sekarang!!"

Belum habis terdengar ucapannya, kembali di-

lancarkan serangannya. Kali ini mengarah pada tanah 

di sekitar sana, yang didahului letupan keras, berham-

buran ke udara. 

Dan suara yang terdengar itu semakin membuat-

nya murka, "Kau pikir aku menyamar menjadi tanah? 

Tidak! Kau salah besar!"

"Setaaannn! Keluar kau!!" geram Resi Hitam den-

gan napas terengah-engah.

"Ya. ya! Nampaknya aku memang harus keluar!!" 

terdengar seruan itu. 

Bersamaan seruan itu terdengar, satu sosok tubuh berompi ungu melompat dengan cara berputar 

empat kali sebelum kemudian hinggap di atas tanah! 

Baru saja pemuda berompi ungu itu hinggap, satu so-

sok tubuh berkulit seperti warna tanah telah berdiri di 

samping kanannya.

***

SEMBILAN


PEMUDA berompi ungu itu terkejut sesaat seraya 

melirik. Mengenali siapa adanya orang dia segera ter-

senyum, "Orang tua... rupanya kau telah tiba di sini 

pula." 

"Sebelum ku lanjutkan pelanglangbuanaanku, 

aku masih ingin menyaksikan urusan ini."

"Aku telah berjumpa dengan Musang Berjang-

gut." Mendengar kata-kata Boma Paksi, Langlang Be-

nua segera melirik.

"Apa yang telah terjadi?"

"Saat ini, aku tak punya banyak waktu untuk 

bercerita. Tetapi dia menunggumu di Bukit Tidar."

"Musang Berjanggut menungguku di Bukit Tidar? 

Tidak biasanya dia melakukan tindakan seperti ini. 

Jangan-jangan ada urusan yang harus diselesaikan. 

Brengsek! Berarti aku harus kembali menunda keingi-

nanku untuk terus berlanglang buana," kata kakek 

berpakaian seperti warna tanah itu dalam hati.

Sementara itu terdengar suara secara bersamaan 

dari mulut Kala Sringgil dan Jala Sringgil, "Raja Naga!!"

Pemuda yang kedua lengannya sebatas siku di-

penuhi sisik coklat itu menoleh, lalu tersenyum.

"Kalian rupanya tiba juga di sini. Mudah-

mudahan, kalian mendapatkan kebenaran yang kalian


cari..."

Wajah Kala Sringgil memerah.

"Kebenaran yang kami cari akan kami dapatkan 

setelah membunuhmu!!"

Raja Naga hanya tersenyum. Tak dipedulikannya 

kemarahan yang terpancar dari mata kedua orang ber-

kepala plontos itu. Lalu diarahkan pandangannya pada 

Datuk Bunaeng.

"Apakah malam ini Dewi Berlian akan muncul la-

gi di Lembah Lingkar?!"

Sebelum Datuk Bunaeng menjawab, tiba-tiba 

terdengar gemuruh angin lintang pukang ke arah Lan-

glang Benua. Resi Hitam sudah tak kuasa untuk tidak 

segera menyerang orang yang dibencinya.

Langlang Benua hanya tersenyum seraya meng-

gerakkan kepalanya ke kill lalu dihentakkan ke depan.

Wrrrr!!

Gelombang angin berputar setengah lingkaran 

menggebrak hebat dan....

Blaaaarrr!!!

Letupan keras yang membuat tanah berhambu-

ran ke udara terjadi. 

Langlang Benua segera berbisik, "Aku yakin kau 

mampu menghadapi urusan ini! Biar aku main kucing-

kucingan lebih dulu dengan Resi Hitam! Anak muda, 

bila kau sempat, sebaiknya kau juga datang ke Bukit 

Tidar!"

Tanpa menunggu sahutan Raja Naga, Langlang 

Benua sudah berseru pada Resi Hitam, "Lembah Ling-

kar terlalu kecil bagi kita untuk bermain-main! Kita ca-

ri tempat yang lebih luas!"

"Terkutuk! Ke neraka pun akan kulayani!!" maki 

Resi Hitam seraya mengejar Langlang Benua yang su-

dah menjauh.

Sementara itu Datuk Bunaeng mendesis, "Tepat


seperti rencanaku. Langlang Benua telah menyingkir 

dan akan mampus di tangan Resi Hitam. Sekarang...."

Memutus kata batinnya sendiri, kakek beralis 

menyatu itu merandek dingin, "Kau menanyakan Dewi 

Berlian! Apakah untuk melihat bukit kembarnya yang 

luar biasa, atau ingin menjilati seluruh tubuhnya?!"

"Datuk Bunaeng... kita sama-sama orang yang te-

lah difitnah dan diadu domba oleh Dewi Berlian! Di-

alah yang seharusnya kita cari!"

"Ucapan kosong kau perdengarkan kepadaku!"

Raja Naga tersenyum. "Baiklah! Sekarang jawab 

pertanyaan, apakah kau punya hubungan dengan Ra-

tu Sejuta Setan?!"

"Terkutuk! Siapa yang mengatakan aku punya 

hubungan dengan nenek peot itu, hah?!"

"Hemmm... tepat dugaanku. Berarti Dewi Berlian-

lah yang punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan. 

Habat! Sungguh hebat akal liciknya!" kata Raja Naga 

dalam hati, lalu berseru, "Dewi Berlian yang mengata-

kannya kepadaku! Dikatakannya pula kalau kau hen-

dak membunuhku untuk membalas kematian Ratu Se-

juta Setan!"

"Terkutuk! Kau terlalu mengada-ngada!" 

"Itulah yang harus dibuktikan kebenarannya! 

Alasan itulah yang membuatku merasa yakin, kalau 

Dewi Berlian berada di balik urusan ini! Datuk Bu-

naeng, sebelum beberapa hari lalu aku tiba di Lembah 

Lingkar, aku juga bertemu dengannya! Dari mulutnya 

aku tahu kalau kau menungguku di sini! Dikatakan-

nya kalau kau memfitnahku! Dia juga ingin membu-

nuhmu! Tetapi yang pasti, dia ingin membunuhku 

dengan mempergunakan tanganmu! Terbukti, kalau 

ternyata dia pun datang ke tempat ini beberapa hari la-

lu! Padahal saat itu dikatakannya, kalau dia hendak 

menyelamatkan Pangku Jaladara yang ingin kau bunuh!"

Kata-kata pemuda bersorot mata angker itu 

membuat kakek berambut dikelabang itu terdiam be-

berapa saat. Jubah hitamnya bergerai sesaat diper-

mainkan angin malam. Mendadak dari hidungnya yang 

bengkok terdengar dengusan.

"Apa sebenarnya saat ini kau yang sedang men-

gadu domba antara aku dengan Dewi Berlian, hah?!"

"Aku tak bisa membuktikan kebenaran ucapanku 

sebelum dia muncul!"

Di pihak lain Jala Sringgil berbisik, "Kala Sringgil, 

apakah ini kebenaran yang dikatakan Musang Ber-

janggut? Terus terang, aku mulai goyah dengan pendi-

rianku yang menuduh pemuda yang matanya bersorot 

mengerikan itu sekarang." 

Kala Sringgil mengangguk. "Aku juga demikian. 

Ketenangannya saat berkata-kata tadi sungguh luar 

biasa. Menandakan kalau dia tidak sedang berbohong 

dan memfitnah."

"Sebaiknya, kita tunggu kebenarannya. Jangan 

sampai kita salah bertindak."

Di depan terdengar suara Datuk Bunaeng, "Apa 

yang kau katakan memang harus dibuktikan! Selama 

ini dendamku hanya pada Resi Kala Jinjit yang mam-

pus entah dibunuh siapa! Tetapi kau telah berani 

memfitnahku! Itu artinya, kau telah masuk dalam daf-

tar kematian yang kumiliki!"

Pemuda dari Lembah Naga itu tetap tenang men-

dengar bentakan Datuk Bunaeng.

"Siapa memfitnah siapa sekarang ini kurang je-

las! Ada baiknya kita memang menunggu kedatangan 

Dewi Berlian! Atau... kau sudah menduga kalau dia ti-

dak datang?!" 

Sebelum Datuk Bunaeng buka mulut, mendadak 

saja satu sosok bayangan hijau melompat dan hinggap


di samping kiri Datuk Bunaeng.

"Aku telah datang, Pemuda celaka! Sungguh se-

suatu yang sangat luar biasa, kalau kau ternyata be-

rani memfitnahku!!"

Melihat kehadiran perempuan berpayudara besar 

itu, Raja Naga sesaat menahan napas. Sorot matanya 

lebih angker dari biasanya. Wajahnya dingin. Mulutnya 

terkatup rapat. Sisik-sisik coklat pada kedua tangan-

nya sebatas siku, semakin terang.

"Dewi Berlian kelicikanmu hampir saja membua-

tku terjemurus ke dalam lingkaran sesat. Tetapi 

sayangnya, aku berhasil memikirkan sesuatu yang 

mengejutkanmu!" 

"Aku telah mendengar apa yang kau katakan pa-

da Datuk Bunaeng! Dan tak kusangka kalau kau se-

demikian piciknya! Kau telah memfitnah Datuk Bu-

naeng, lantas sekarang memfitnahku pula! Tapi... ada 

hal yang sangat memberatkanmu! Mengapa kau mem-

bunuh Pangku Jaladara?!" 

Bentakan terakhir Dewi Berlian membuat kepala 

Raja Naga menegak. Sementara Datuk Bunaeng mem-

perhatikan perempuan itu dengan terkejut. Di pihak 

lain, Jala Sringgil dan Kala Sringgil berpandangan. Ke-

dua orang berkepala gundul itu tak ada yang buka 

mulut. 

Dewi Berlian yang kembali menjalankan rencana 

barunya membentak keras, "Kau benar-benar keji, Ra-

ja Naga! Kau telah menggagalkan Pangku Jaladara se-

bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak! Kemudian 

memfitnah Datuk Bunaeng, lantas memfitnahku pula! 

Dan sekarang kau membunuh Pangku Jaladara!!" 

Raja Naga yang sadar siapa perempuan di hada-

pannya ini tak segera menjawab. Dia berusaha tenang 

dan menindih sedikit demi sedikit amarah yang bergolak di dadanya.


"Apa-apaan perempuan itu menuduhku telah 

membunuh Pangku Jaladara? Siapa yang membunuh-

nya? Herannya, berita itu belum terdengar, lantas dia 

sudah menuduhku membunuh Pangku Jaladara. Jan-

gan-jangan... dia sendiri yang melakukannya?"

Selagi Raja Naga membatin demikian, Dewi Ber-

lian berseru lagi, "Kau telah menggagalkan seluruh 

rencana yang telah kususun bersama Datuk Bunaeng! 

Kau telah menghinaku! Dan itu berarti menghina Da-

tuk Bunaeng pula! Kau memang harus mampus!!"

Belum habis seruannya, perempuan bermahkota 

indah itu sudah menerjang Raja Naga dengan ganas. 

Dewi Berlian berharap dengan tindakannya itu dapat 

memancing amarah Datuk Bunaeng pada Raja Naga.

Raja Naga sendiri mau tak mau harus mengha-

dapi setiap serangan yang dilancarkan Dewi Berlian.

"Bagus! Kau berani melawan itu artinya kau tidak 

bertanggung jawab!!" bentak Dewi Berlian keras. Dan 

menyerang lagi, lebih ganas.

Namun mendadak saja terdengar bentakan keras, 

"Tahan serangan mu, Dewi Berlian!!"

Seketika Dewi Berlian melompat ke belakang, se-

telah berputar tiga kali di udara dia hinggap di atas ta-

nah. Tanpa mengalihkan pandangan sengitnya pada 

Raja Naga, dia berkata, "Mengapa kau menahanku, 

Datuk? Pemuda celaka itu telah menggagalkan seluruh 

rencana kita! Dia telah memfitnahmu, juga memfit-

nahku! Bahkan dia membunuh Pangku Jaladara!" 

"Kau melihatnya membunuh Pangku Jaladara?!" 

desis Datuk Bunaeng dingin! 

"Ya! Kulihat sendiri!"

"Kau selalu bersama Pangku Jaladara, mengapa 

kau tidak menyelamatkannya?!"

"Ilmunya sangat tinggi! Aku gagal melakukan-

nya!"


"Mengapa kau meninggalkan tempat ini beberapa 

hari lalu?!" 

Dewi Berlian kali ini menoleh. Dia terkejut meli-

hat tatapan sengit Datuk Bunaeng. Untuk sesaat pe-

rempuan ini sedikit waswas juga.

Lalu sambil mendengus dia berkata, "Biar bagai-

manapun juga, rencana kita adalah menjadikan Pang-

ku Jaladara sebagai boneka! Aku tidak mau Dewa Ju-

bah Biru ataupun Dewi Pengunyah Sirih menyela-

matkannya!" 

"Kau meninggalkan tempat ini tanpa mengatakan 

apa pun padaku! Kau seperti mengambil satu kesem-

patan selagi aku lengah! Mengapa?!"

"Astaga! Mengapa kau berpikir seperti itu? Kita 

sudah sepakat untuk menjalankan rencana yang ada!"

Datuk Bunaeng tak segera berkata. Tatapannya 

tajam pada Dewi Berlian. Yang ditatap mulai merasa 

tidak enak sekarang. Tiba-tiba terdengar desisan din-

gin Datuk Bunaeng, 

"Mengapa kau mengatakan pada pemuda itu, ka-

lau aku punya hubungan dengan Ratu Sejuta Setan?"

Kali ini Dewi Berlian melengak. Sebelum bibir in-

dahnya bergerak Datuk Bunaeng sudah melanjutkan 

desisannya, "Mengapa pula kau mengatakan kalau aku 

hendak membunuhnya karena dia telah membunuh 

Ratu Sejuta Setan?! Jawab, Dewi sebelum kemarahan-

ku beralih padamu!"

Dewi Berlian yang sebelumnya merasa pasti ka-

lau rencananya untuk membunuh Raja Naga akan 

berhasil, kali ini mulai sedikit tegang. Perlahan-lahan 

diputar tubuhnya hingga berhadapan dengan Datuk 

Bunaeng yang sedang memandangnya penuh amarah. 

Lalu dengan sikap tenang dia berkata, "Datuk! 

Aku sama sekali tak mengerti maksudmu! Mengapa 

kau tiba-tiba berkata demikian? Siapa yang mengatakannya?" 

"Apakah kau tidak mendengar kata-kataku tadi, 

hah?! Pemuda itu yang mengatakannya kepadaku!"

"Astaga! Sudah tentu itu adalah fitnahan yang di-

lancarkan pemuda keparat itu! Datuk... aku tak ingin 

banyak ucap! Siapa yang kau percaya sekarang, hah?!"

"Selain diriku sendiri, tak seorang pun yang bisa 

kupercayai di muka bumi ini!" 

Sepasang mata Dewi Berlian menyipit. Dia mulai 

menangkap tanda bahaya. 

"Dengan kata lain, kau lebih mempercayainya da-

ri pada kata-kataku?"

"Aku tidak mempercayai siapa pun! Tetapi aku 

tahu, kalau kau punya hubungan erat dengan Ratu 

Sejuta Setan! Dewi! Tentunya, kau bermaksud untuk 

mengadu domba antara aku dengan pemuda itu! Ten-

tunya pula kau bermaksud untuk membalas kematian 

Ratu Sejuta Setan yang tewas di tangannya! Dan kau 

mencoba memanfaatkan tanganku untuk membunuh 

Raja Naga!" suara Datuk Bunaeng mengeras. "Berdus-

talah agar aku bisa membunuhmu sekarang juga!" 

Dewi Berlian terdiam. Sorot matanya tajam me-

natap pada Datuk Bunaeng. Suasana hening. Angin 

malam berhembus bertambah dingin.

Tiba-tiba terdengar desisan Dewi Berlian "Semu-

anya sudah terbuka, tak ada yang perlu ditutupi lagi! 

Yah! Akulah yang merencanakan semua ini bersama 

Pangku Jaladara! Pemuda tolol yang bisanya cuma 

mengumbar nafsu itu menerima tawaranku untuk 

membunuh Resi Kala Jinjit! Dengan memanfaatkan 

keinginanmu untuk membunuh Resi Kala Jinjit, se-

muanya ku atur sedemikian rupa! Kuundang Raja Na-

ga pada penobatan Pangku Jaladara sebagai Ketua 

Perguruan Laba-laba Perak! Pangku Jaladara sendiri 

yang mencuri kalung Laba-laba Perak lalu menimpa

kan kesalahan pada Raja Naga! Sementara aku sendiri, 

memanfaatkan semuanya untuk mengadu domba an-

tara kau dengan Raja Naga!"

Kepala Dewi Berlian tiba-tiba menoleh pada Raja 

Naga. Tatapannya sengit. 

"Otakmu lumayan cerdik, Anak muda! Kau telah 

membunuh saudaraku si Ratu Sejuta Setan, dan kau 

harus mampus secara mengerikan! Membunuhmu se-

cara langsung bukanlah sesuatu yang sulit! Tetapi me-

lihatmu disiksa dan diburu oleh para tokoh rimba per-

silatan adalah sesuatu yang menyenangkan!!"

Di tempatnya Raja Naga mendesis dalam hati, 

"Kebenaran telah terbuka...." 

Sementara itu, Kala Sringgil dan Jala Sringgil 

berpandangan. Mereka sama sekali tak mengerti peru-

bahan yang telah terjadi. Namun paling tidak, kini me-

reka tahu siapa yang benar dan siapa yang salah.

"Jala Sringgil... kupikir kita sudah tidak punya 

urusan lagi. Sekarang ini adalah urusan Raja Naga 

dengan manusia-manusia itu...." 

"Kala Sringgil, Dewi Berlian bersama Pangku Ja-

ladara telah membunuh Resi Kala Jinjit. Mengapa kita 

harus tinggal diam?"

"Kita lupakan soal ini. Aku khawatir kita akan sa-

lah bertindak," sahut Kala Sringgil, lalu segera memba-

likkan tubuhnya dan berlalu.

Jala Sringgil memperhatikan ketiga orang itu ter-

lebih dulu. Dianggukkan kepalanya pada Raja Naga 

begitu pandangannya berbenturan dengan pandangan 

pemuda itu. Setelah Raja Naga mengangguk, Jala 

Sringgil segera menyusul saudaranya.

Di pihak lain, Datuk Bunaeng menggeram seting-

gi langit.

"Perempuan keparat! Hampir saja aku masuk da-

lam pusaran kebusukanmu! Dan aku yakin, kaulah


yang telah membunuh Pangku Jaladara!"

Sebelum Dewi Berlian menyahut, tiba-tiba ter-

dengar suara, "Ya! Dialah yang telah membunuh Pang-

ku Jaladara!"

Tiga pasang mata segera menoleh ke kanan. Raja 

Naga melihat Lesmana dan Ratih muncul. Di hadapan 

mereka, satu sosok tubuh membujur kaku dalam kea-

daan mengambang. Dan di atas tubuh yang telah men-

jadi mayat itu terdapat sebuah bunga kemuning warna 

biru.

Begitu bunga itu diambil Lesmana, mayat Pangku 

Jaladara ambruk di atas tanah. 

Datuk Bunaeng mengertakkan rahangnya keras-

keras menyadari kalau selama ini dia dibodohi Dewi 

Berlian.

"Perempuan terkutuk! Kau harus membayar se-

mua ini dengan nyawamu!"

Kejap lain, kakek berjubah hitam itu telah me-

nyerang Dewi Berlian dengan ganas. Yang diserang 

pun segera membalas.

Raja Naga menarik napas pendek.

"Ah, keadaan ini memang cukup rumit. Tetapi be-

runtunglah karena masih dapat dikendalikan"

Lalu dihampirinya Lesmana yang menyambutnya 

sambil tersenyum, sementara Ratih menarik napas 

panjang mengetahui siapa pangkal dari urusan sesat 

ini. 

Raja Naga berkata, "Kalian melihat siapa yang 

membunuh Pangku Jaladara?"

Lesmana menggeleng. Lalu menceritakan apa 

yang terjadi.

"Begitu Dewi Berlian menyebut-nyebut Pangku 

Jaladara, kami yakin kalau dialah yang telah membu-

nuhnya."

Raja Naga tersenyum.


"Sudahlah, kita tinggalkan tempat ini seka-

rang...," katanya lalu mendahului. Diraba pinggang se-

belah kanannya, di mana kalung Laba-laba Perak be-

rada di sana.

Lesmana segera mengajak Ratih untuk mening-

galkan Lembah Lingkar.

Sementara itu, pertarungan sengit Datuk Bunaeng dan Dewi Berlian semakin seru, hingga akhirnya 

kedua orang itu saling bunuh....




                                 SELESAI




Segera menyusul:

BUNGA KEMUNING BIRU



































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive