..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 20 Juni 2025

EPISODE HANTU BERSAYAP

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


MALAM beranjak angker. Hembusan angin ma-

lam semilir, tetapi dingin menusuk. Tak biasanya an-

gin malam berhembus seperti ini, seolah mengabarkan 

akan terjadi satu kejadian yang sangat mengerikan. 

Bayangan pepohonan yang berjajar di hutan itu, seper-

ti raksasa yang sedang menjaga. Suara burung malam 

terasa menyayat hati dan pendengaran. Malam seperti 

mati. Rembulan menghilang di balik gumpalan awan 

hitam.

Tiba-tiba keheningan di hutan itu dipecahkan 

oleh suara kepakan sayap yang sangat cepat dan ken-

cang, yang berasal dari dalam hutan. Dari kepakan 

sayap itu timbul gelombang angin yang membuat 

ranggasan semak terpapas rata ujungnya!

Menyusul suara kepakan yang cukup keras itu, 

satu bayangan melesat keluar dari dalam hutan itu. 

Gerakannya sangat cepat dan lincah. Bayangan itu 

nampak gelap, karena malam memang pekat dan rem-

bulan tertutup oleh awan hitam.

Bayangan yang terbang dan sesekali menge-

pakkan kedua sayapnya terus melesat. Dari sosok 

yang nampak, bayangan itu seukuran manusia dewa-

sa!

Setelah beberapa lama menempuh perjalanan 

di udara, bayangan bersayap itu hinggap di halaman 

sebuah rumah yang cukup besar. Tak ada suara yang 

terdengar saat dia hinggap. Matanya tajam memperha-

tikan bangunan mewah itu, bangunan yang menanda-

kan kalau pemiliknya adalah orang berada. Keadaan di 

rumah itu sepi.

Sepasang mata bayangan bersayap ini memandang tak berkedip ke depan. Sorot matanya mengeri-

kan dan sesekali seperti terlihat sinar merah yang me-

nyilaukan.

Sebelum dia melangkah, secara tiba-tiba kehe-

ningan itu dipecahkan oleh bentakan keras, "Manusia 

terkutuk! Siapa kau yang berani muncul di rumah Ju-

ragan Jagalaksa?!"

Menyusul bentakan itu, telah berdiri delapan

orang lelaki gagah yang memegang tombak dari samp-

ing kanan kiri rumah itu. Menilik kemunculan mereka 

yang tiba-tiba, jelas sekali kalau orang-orang sebelum-

nya mengetahui kehadiran orang bersayap ini. Mereka 

langsung mengelilingi si bayangan bersayap. Pandan-

gan masing-masing orang dipenuhi kemarahan tinggi.

Bayangan bersayap itu menggeram dingin.

"Kalian hanya mencari mampus berani meng-

halangi keinginanku!" suaranya pun dingin, dalam dan 

menghujam ke jantung

Tetapi orang-orang yang bertindak sebagai pen-

gawal rumah besar itu tak ada yang keder. Mereka tak 

mempedulikan kata-kata yang sarat dengan ancaman.

"Meninggalkan halaman rumah ini dengan se-

gera adalah tindakan yang lebih baik sebelum kami 

memutuskan untuk mencacak tubuhmu!!" bentak sa-

lah seorang.

Tombak yang dipegangnya sudah dihunuskan.

Bayangan bersayap menggeram dingin.

"Yang kubutuhkan adalah harta milik orang 

yang kalian jaga dengan nyawa kalian! Aku tak mem-

butuhkan nyawa-nyawa busuk seperti milik kalian! 

Dan tak akan ku ulangi lagi ucapanku ini! Menyingkir, 

atau mampus saat ini juga!!"

"Setan! Kau pikir kami takut, hah?! Bunuh ma-

nusia itu!!" bentak si lelaki yang kemudian mendahului


menerjang dengan tombaknya. Terjangan yang dilaku-

kannya segera disusul oleh yang lainnya.

Bayangan bersayap mengertakkan rahangnya 

keras-keras. Secara tiba-tiba tubuhnya berputar se-

raya merentangkan sayap kanannya.

Wuunggg!!

Gelombang angin serta-merta terjadi. Dan dela-

pan orang yang menerjang itu seketika berpentalan 

laksana sehelai kapas yang terhempas badai!

Beberapa orang menabrak dinding pembatas 

rumah. Beberapa orang lagi menabrak dinding rumah. 

Secara bersamaan pula, masing-masing orang terbant-

ing lagi ke depan dan ambruk dengan nyawa putus di 

atas tanah!

"Huh! Kalian hanya membuang nyawa percu-

ma!!" maki si bayangan bersayap.

Lalu dengan merentangkan sedikit sayapnya, 

dia sudah hinggap lagi di depan pintu rumah besar itu. 

Dengan sekali mendorong saja, pintu itu jebol!

Di kamarnya, Juragan Jagalaksa yang baru tiga 

hari menikah itu tersentak kaget. Terburu-buru dia 

bangkit dari atas tubuh istrinya yang dalam keadaan 

polos. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Nafas-

nya masih terengah-engah.

"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya istrinya yang 

masih berusia sekitar tujuh belas tahun. Yang begitu 

merasakan kegiatan suaminya terhenti, perlahan-

lahan dibuka kedua matanya. Dia juga mendengar su-

ara dobrakan pintu tadi. Tetapi kala itu sukmanya se-

dang berada di awang-awang. Karena mendadak saja 

suaminya menghentikan tindakannya, dia seperti ter-

hempas di atas tanah! Rasa kesalnya sesaat muncul. 

Namun begitu dilihatnya suaminya terdiam, rasa kesal 

di hatinya hilang.


Juragan Jagalaksa tak menjawab. Ditajamkan 

kedua alat pendengarannya. Lelaki bertubuh sedikit 

gemuk ini mengerutkan keningnya, karena tak me-

nangkap suara-suara di luar.

"Aneh!" desisnya.

"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Istrinya lagi 

seraya bangkit. Tidak berusaha untuk menutupi tu-

buhnya yang polos. Sepasang bukit kembarnya sedikit 

basah oleh keringat, kencang dan menggemaskan. Di 

bagian atas bukit kembarnya sebelah kanan, terdapat 

sebuah tompel yang cukup besar berwarna coklat. 

Dengan adanya tompel itu, bukannya menjadikan bu-

kit kembarnya tidak enak dipandang. Justru semakin 

membuat orang tergila-gila untuk melihat, menjamah 

maupun untuk....

Juragan Jagalaksa memandangi istrinya yang 

baru tiga hari dinikahinya itu. Selama ini, Juragan Ja-

galaksa dikenal sebagai seorang dermawan yang mem-

punyai usaha pada bidang perdagangan. Setelah sepu-

luh tahun menduda karena istrinya yang pertama me-

ninggal karena sakit, Juragan Jagalaksa memutuskan 

untuk menikah lagi. Dan pilihannya jatuh pada is-

trinya yang masih belia ini.

Masih dipandanginya istrinya yang perlahan-

lahan tersenyum. Tetapi begitu disadari kalau sua-

minya sedang sedikit bingung, dia urung untuk mena-

rik lagi tubuh suaminya, meneruskan kegiatan mereka 

yang belum selesai. Saat itu pula ketegangannya kem-

bali merambat.

Mendadak... braaakk!!

Terdengar pintu bagian tengah jebol seperti dis-

entak. Seketika Juragan Jagalaksa mengenakan pa-

kaiannya.

"Kau tunggu di sini!"


"Kakang... aku ikut!" seru istrinya yang terbu-

ru-buru mengenakan pakaiannya pula.

Juragan Jagalaksa menarik napas pendek. Di-

turutinya apa yang diinginkan istrinya.

"Aneh! Apa yang terjadi? Ke mana para penjaga 

rumahku ini?" tanyanya dalam hati. Begitu dirasakan 

tangan istrinya telah memegang tangannya, Juragan 

Jagalaksa memutuskan pertanyaannya sendiri. "Jan-

gan bersuara...."

Keadaan yang tiba-tiba menjadi tidak menye-

nangkan itu, membuat sepasang suami istri yang ma-

sih giat-giatnya melakukan kewajiban mereka, menjadi 

sedikit gusar. Tetapi yang mereka rasakan justru satu 

ketegangan yang sangat mengerikan.

Juragan Jagalaksa mengambil pedang yang ter-

sampir di dinding.

"Aku tak mengerti, pada ke mana orang-

orangku itu?" desisnya pada dirinya sendiri. Lalu den-

gan hati-hati dibukanya pintu kamarnya. Dicobanya 

untuk mengintip lebih dulu keluar.

Namun....

Braaakkk!!

Pintu itu seketika jebol. Dan menghantam tu-

buh Juragan Jagalaksa beserta Istrinya yang seketika 

terhuyung ke belakang.

"Kakang!" jerit istrinya yang terbanting di atas 

lantai. Rupanya dia belum sepenuhnya merapikan pa-

kaiannya. Pakaian bagian atasnya memang telah tertu-

tup. Tetapi di balik kain kamben yang dikenakannya, 

dia tak mengenakan apa-apa! Hingga saat tubuhnya 

terjengkang dan kambennya terbuka, terlihat sesuatu 

yang sangat menggiurkan!

Juragan Jagalaksa sendiri buru-buru bangkit 

dengan susah payah. Ditolakkan pintu yang menimpa


tubuhnya tadi. Kedua tangannya terasa agak ngilu. 

Pedang yang dipegangnya tadi terlepas.

Dan begitu melihat satu sosok tubuh yang ber-

diri di ambang pintu, kepalanya menegak dengan ke-

dua mata membeliak. Di pihak lain, begitu melihat pa-

ras orang yang tiba-tiba muncul, Istrinya sudah jatuh 

pingsan! 

Juragan Jagalaksa bukanlah seorang yang 

memiliki nyali ciut. Usahanya yang maju di bidang 

perdagangan, sebagai bukti salah satu dari kebera-

niannya. Dengan gagah disambarnya lagi pedangnya 

yang terlepas. Pandangannya tak berkedip pada orang 

yang muncul di ambang pintu.

"Siapa kau?!" bentaknya keras. Orang yang 

berdiri di ambang pintu yang bukan lain si bayangan 

bersayap menggeram.

"Aku datang untuk mengambil seluruh ke-

kayaanmu! Bila kau tidak melakukan kerja sama yang 

baik, berarti aku datang untuk mengambil nyawamu!".

"Terkutuk! Kau pikir kau dapat melakukan se-

mua ini, hah?!" geram Juragan Jagalaksa keras. Lalu 

berseru, "Jamalun! Gordo! Berguno!"

"Huh! Para pengawalmu tak akan mampu me-

lindungimu, karena mereka telah mampus kubunuh! 

Cepat kau lakukan kerja sama yang baik denganku!!"

Juragan Jagalaksa merasa hatinya mulai tidak 

tenang. Rasa takutnya tiba-tiba muncul. Tetapi biar 

bagaimanapun juga, dia tak menghendaki orang ber-

sayap itu merampas seluruh kekayaannya.

Dipandanginya orang itu yang sedang mena-

tapnya. Juragan Jagalaksa terkejut tatkala menyadari 

kalau orang itu mengenakan topeng yang menyeram-

kan! Yang menutupi sebagian besar wajahnya kecuali 

matanya yang menyala-nyala!


Perasaan Juragan Jagalaksa semakin menciut. 

Sebelum dia melakukan apa-apa, tiba-tiba tangan ka-

nan orang itu sudah mencengkeram lehernya.

"Aku bisa mematahkan batang lehermu dengan 

sekali sentak! Tetapi tentunya kau lebih menyayangi 

nyawamu ketimbang hartamu!" ancamannya dingin. 

"Tunjukkan di mana kau simpan hartamu?! Atau kau 

ingin membuktikan apa yang kukatakan tadi?!"

Dalam sekali tekan saja, Juragan Jagalaksa 

sudah megap-megap kesulitan bernapas. Diangguk-

anggukkan kepalanya dengan gerakan terburu-buru.

Orang bersayap yang mengenakan pakaian hi-

tam itu tertawa angker. Lalu dengan tangan yang se-

makin keras mencengkeram leher Juragan Jagalaksa, 

dipaksanya lelaki bertubuh setengah tambun itu un-

tuk mengeluarkan seluruh miliknya.

Dengan sebuah karung kecil, orang bersayap 

itu berhasil mengeruk seluruh harta kekayaan Jura-

gan Jagalaksa yang berupa uang dan perhiasan.

"Kau telah melakukan kerja sama yang baik 

denganku! Dan aku minta, pada saat-saat mendatang 

kau juga melakukannya!!"

Juragan Jagalaksa yang tersungkur di dinding 

tatkala orang itu mendorongnya, hanya memandang 

sengit. Kemarahannya muncul kembali. Tetapi hati ke-

cilnya mengatakan, agar dia jangan bertindak gegabah.

Walaupun dia berusaha untuk menindih ama-

rahnya, tetapi amarah itu telah bergolak. Dengan su-

sah payah sambil menahan sakit pada lehernya, Jura-

gan Jagalaksa berdiri.

"Manusia terkutuk! Siapa kau?!" 

"Kau tak perlu mengenal siapa aku! Aku datang 

bukan hanya untuk mengeruk seluruh kekayaanmu, 

tetapi seluruh kekayaan yang orang-orang miliki!"


"Terkutuk! Aku bersumpah, suatu saat kau 

akan mampus tertelan oleh benda-benda yang kau cu-

ri!"

Kilatan merah pada kedua mata orang bersayap 

semakin kentara. Tajam, dingin dan bengis.

"Kau telah menunjukkan kematianmu sendiri!"

"Terkutuk!!"

Wuutttt!!

Tangan kanan orang bersayap sudah bergerak. 

Dan... plopp! 

"Heeiiggkk!!"

Sebuah kalung masuk ke mulut Juragan Jaga-

laksa di saat lelaki itu membentak tadi. Kontan Jura-

gan Jagalaksa merasakan sesuatu yang menyiksa jalan 

nafasnya. Dia berusaha untuk memuntahkan kalung 

itu.

Tiba-tiba dirasakan satu tenaga telah memak-

sanya untuk terus mengatupkan mulut. Bahkan dira-

sakan kedua lubang hidungnya tak bisa dipergunakan 

untuk bernapas.

Orang bersayap yang sedang menunjuk ke 

arahnya sambil mengerahkan tenaga dalam terbahak-

bahak.

"Kau telah memilih jalan kematianmu sendiri!!"

Habis ucapannya, dengan memanggul parang 

rampasannya orang bersayap melesat terbang. Di ru-

mahnya, Juragan Jagalaksa berkelojotan dengan tu-

buh menyentak-nyentak. Dia berusaha untuk membu-

ka mulut dan bernapas selega-leganya. Tetapi semakin 

di usahakan, semakin sulit dilakukan.

Tiga kejapan lain, Juragan Jagalaksa sudah

menggelosoh dengan tubuh penuh keringat dan wajah 

memutih pucat!


DUA


KEMATIAN Juragan Jagalaksa yang dermawan 

itu menyentakkan seisi dusun keesokan paginya. 

Orang-orang ramai membicarakan kematiannya yang 

mengenaskan. Juga menduga-duga apa yang terjadi.

Delapan pengawal Juragan Jagalaksa adalah orang-

orang gagah yang memiliki sedikit ilmu bela diri. Meli-

hat kematian mereka, orang-orang di sana menduga 

kalau si pembunuh jelas memiliki ilmu yang lebih ting-

gi.

Astari, istri Juragan Jagalaksa, masih dapat di

selamatkan. Tetapi Astari tak bisa bercerita banyak. 

Dia selalu menangis dan menangis penuh ketakutan. 

Sesekali terdengar ucapannya, "Hantu Bersayap... 

Hantu Bersayap... "

Ramalah orang-orang di dusun itu mencerita-

kan tentang munculnya Hantu Bersayap yang telah 

membunuh Juragan Jagalaksa. Tiga orang yang me-

ronda malam itu mengatakan, tidak mendengar apa-

apa pada malam kejadian. Mereka kemudian sepakat 

untuk mengadakan ronda secara ketat. Siang dan ma-

lam mereka berusaha menemukan jejak Hantu Ber-

sayap. Namun sampai tujuh hari lamanya, Hantu Ber-

sayap tak pernah muncul. Kendati demikian, tak men-

gurangi kewaspadaan para penduduk desa itu.

Berita tentang munculnya Hantu Bersayap, ter-

dengar pula ke telinga seorang pemuda yang mengena-

kan rompi ungu terbuka di bagian dada. Dadanya bi-

dang dengan menonjolkan otot-otot yang terlatih. 

Rambut si pemuda tampan ini dikuncir kuda. Saat itu 

dia sedang makan di sebuah warung yang terdapat di 

pinggir dusun itu. Agak berada di pojok.


"Anehnya," kata salah seorang yang sedang 

bercerita dengan mulut sedikit penuh, "Sampai saat ini 

tak terdengar lagi kabar si Hantu Bersayap itu mun-

cul"

"Hantu Bersayap hanya menginginkan harta 

kekayaan seseorang. Di dusun kita, hanya Juragan 

Jagalaksa orang yang kaya. Mungkin saat ini dia se-

dang melakukan aksinya di tempat lain," sahut te-

mannya

Pemuda berompi ungu yang sedang menikmati 

makanannya, mendengarkan dengan seksama. Saat 

dia menyuap nasinya, terlihat sisik-sisik coklat yang 

memenuhi lengannya sebatas siku. Sisik-sisik coklat 

itu juga terdapat di lengan lainnya. Anak muda ini me-

lirik orang-orang yang sedang membicarakan Hantu 

Bersayap.

Astaga! Lirikannya begitu angker! Seperti men-

gandung tenaga gaib yang mampu melemahkan nyali 

siapa pun yang melihatnya.

"Hantu Bersayap... siapa pula orang itu?" de-

sisnya dalam hati. Pemuda yang bukan lain Boma 

Paksi atau yang lebih dikenal dengan julukan Raja Na-

ga, terus mendengarkan.

"Dan kematian Juragan Jagalaksa justru mem-

bikin orang-orang seperti Mat Bendot dan gerombolan-

nya menjadi merajalela. Selama ini Mat Bendot hanya 

berdiam diri karena takut dengan Juragan Jagalaksa."

"Ya! Kau benar! Dia semakin gila memeras para 

penduduk!"

"Seharusnya kita bahu membahu untuk meng-

hadapinya!"

"Tapi kau kan tahu sendiri, Mat Bendot begitu 

kejam. Bukankah Kakang Jumewa dibunuhnya begitu 

saja di hadapan anak dan istrinya?"


"Ya! Kekejamannya itu sudah tak bisa dibiar-

kan!"

"Tapi... siapa yang berani menghadapinya? Sia-

pa?"

"Bagaimana dengan Astari?" tanya lelaki yang 

di bahunya tersampir sebuah kain yang sudah lusuh. 

Nampaknya dia tidak begitu menyukai percakapan 

tentang Mat Bendot dan gerombolannya yang merajale-

la.

"Wah! istri Juragan Jagalaksa itu tak bisa diha-

rapkan banyak! Dia memang bisa bercerita, tetapi sela-

lu terpotong. Ki Lurah saat ini sedang berusaha untuk 

menanyakan semua kejadian yang mengerikan."

"Sayang... masih muda sudah jadi janda."

"Memangnya kau mau dengan dia, Tong?."

Otong yang giginya tonggos menyeringai.

"Siapa yang tidak mau dengan Astari? Kau in-

gat tidak, Gus, sebelum Astari dipungut istri oleh Ju-

ragan Jagalaksa, kita sering mengintipnya mandi?"

"Iya jelas ingat! Tapi...," mata Bagus melirik ke 

kanan kiri. "Jangan keras-keras kau bicara!"

"Hei, hei... memangnya kalian pernah mengintip 

Astari mandi?" tanya yang duduk di samping kiri. Ke-

pala lelaki ini bulat dengan sedikit botak di tengah.

Bagus menganggukkan kepalanya.

"Jangan cerita-cerita...."

"Coba, coba... katakan padaku, bagaimana ben-

tuk tubuhnya?"

"Tanya Otong saja," sahut Bagus setengah ter-

paksa. Sebenarnya ini rahasianya dengan Otong, tetapi 

Otong sudah lancang bicara.

Sementara itu Otong justru bersemangat. Dia 

merasa bangga karena hanya dia dan Bagus yang per-

nah melihat tubuh Astari sebelumnya.


Otong mengangkat jempolnya.

"Begini! Tubuhnya indah! Kulitnya mulus dan 

menggiurkan! Bukit kembarnya... waduh! Tidak sabar 

rasanya tanganku untuk menjamah dan meremasnya! 

Kalau bisa juga... hehehe... menciuminya!"

"Terus, terus...," pinta Bulang bersemangat. Di-

am-diam dia menelan ludahnya dan merasa iri dengan 

keberuntungan Otong dan Bagus.

"Apalagi... di atas payudaranya sebelah kanan 

itu, terdapat sebuah tompel cukup besar berwarna 

coklat! Ih! Semakin membuatku tidak sabar untuk 

menjilatinya! Eh, kau tahu tidak? Pinggulnya... aduk, 

Mak! Nggak ketahanan deh! Pahanya mulus menggiur-

kan! Juga... hehehe,.. kau tahu sendirikan, benda yang 

ada di pangkal paha?"

"Bagaimana... bagaimana bentuknya?"

"Wah! Pokoknya mengundang...."

"Heemm!!"

Kata-kata Otong terpotong, karena pemuda be-

rompi ungu mendeham. Ketiga orang itu melirik tak 

senang. Tetapi si pemuda dengan tenangnya bangkit 

dan membayar apa yang telah dimakannya. Lalu berla-

lu dari sana.

"Sombong!" dengus Otong.

"Siapa sih pemuda itu? Aku baru melihatnya!" 

sahut Bulang yang merasa kesal karena cerita Otong 

terpotong. Padahal yang akan didengarnya adalah se-

suatu yang luar biasa.

"Pasti dia seorang pengembara! Bukankah ak-

hir-akhir ini desa kita banyak kedatangan pengemba-

ra?" kata Bagus.

"Sudah, sudah... teruskan lagi ceritamu, Tong!"

Sementara Otong meneruskan ceritanya, Raja 

Naga terus melangkah masuk ke dusun itu. Saat ini


matahari baru sepenggalah. Kesibukan di dusun itu 

sangat kentara sekali. Beberapa orang menyapanya 

dan menawarkan dagangan yang mereka jual. Bebera-

pa orang memandang terkejut begitu melihat tatapan-

nya. Beberapa orang gadis cekikikan melihat ketampa-

nannya.

Semua disambut murid Dewa Naga dengan se-

nyuman.

"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Siapa orang yang dijuluki Hantu Bersayap itu?" desis 

Boma Paksi dalam hati.

Tiba di pasar yang ada di dusun itu, keributan 

terjadi. Seorang kakek yang jelas-jelas sudah tidak 

memiliki daya, sedang dihajar oleh dua orang lelaki 

bertubuh tinggi besar dengan wajah dipenuhi bulu 

tebal. Di pinggang masing-masing terdapat sebuah go-

lok tajam.

"Orang tua! Kemarin kau belum membayar pa-

jak, sekarang juga demikian! Apakah kau lebih rela tu-

buhmu kami hajar ketimbang kau membayar pajak?!"

"Ampun, Den... ampun... saya... saya... belum 

mendapatkan untung...," sahut si kakek tersendat, 

mulutnya sudah mengeluarkan darah.

"Setan! Aku tak meminta untung mu! Aku 

hanya minta kewajibanmu untuk membayar pajak! 

Atau... kau ingin Mat Bendot yang turun tangan untuk 

menghajarmu?!" bentak si lelaki bengis.

"Jangan, Den... jangan...."

Sraaakkk!!

Golok yang berada di pinggang kini sudah be-

rada di tangan. Tergenggam erat dan diacungkan di 

depan wajah si kakek.

"Berikan sekarang juga! Atau... kami sita ba-

rang dagangan mu ini!!"


Orang tua yang tak berdaya itu terus mengiba-

ngiba. Sementara para pedagang lainnya memandang 

dengan takut-takut. Di hati sebagian dari mereka begi-

tu geram dan membenci tindakan orang-orang yang 

merupakan anak buah Mat Bendot. Ada orang yang in-

gin segera menolong si kakek, tetapi masih berpikir

beberapa kali mengingat mereka mempunyai keluarga.

"Jangan... jangan sita dagangan saya, Den!" se-

ru si kakek sambil memburu lelaki yang satunya lagi, 

yang sudah mengangkuti kain-kain dagangannya.

Lelaki yang mengacungkan golok menendang-

nya hingga dia jatuh tersungkur. Tetapi si kakek tetap 

bangkit untuk merebut kembali dagangannya.

Lelaki yang mengacungkan golok dan bernama 

Pergiwo, menendangnya kembali.

Des!!

Yang mengherankan, kalau sebelumnya si ka-

kek tersungkur, kali ini si kakek tiba-tiba melenting ke 

udara dan hinggap di atas tanah. Bukan hanya orang-

orang yang berada di sana, termasuk Pergiwo dan te-

mannya yang bernama Adkuro yang tercengang, si ka-

kek sendiri terkejut. Dipandangi sekujur tubuhnya 

dengan tatapan membelalak.

"Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya heran. Dan 

belum dia menemukan jawaban atas keheranannya, 

tiba-tiba saja tubuhnya seperti terdorong, sudah mele-

sat ke arah Pergiwo. "Hei, hei!!" seru si kakek gelaga-

pan sendiri.

Melihat si kakek melesat ke arahnya, Pergiwo 

menjadi murka. Serta-merta disabetkan goloknya yang 

jelas-jelas akan membuat tubuh si kakek tercacak!

Orang-orang yang memandang menahan napas 

melihat kenekatan si kakek. Beberapa orang sudah 

siap bergerak untuk menolong. Tetapi yang terjadi ke


wo dan Adkuro sampai babak belur. 

Dan tak seorang pun yang tahu apa yang ke-

mudian dipikirkan oleh Kakek Kuto. Saat ini Kakek 

Kuto sedang memandangi tubuhnya sendiri, lalu me-

natap kedua tangannya lama-lama.

"Astaga! Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin 

aku bisa menghajar keduanya? Apa yang terjadi?!"

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun juga, Bo-

ma Paksi tersenyum dalam hati.

"Hemm... mudah-mudahan dengan apa yang 

kulakukan itu, kedua anak buah Mat Bendot bisa sa-

dar," desisnya dalam hati. 

Boma Paksi-lah yang tadi membantu Kakek Ku-

to menghadapi kedua orang galak itu dengan jurus 

'Hamparan Naga Tidur'.

Tetapi apa yang diharapkannya tidak berjalan 

seperti yang diinginkannya. Karena begitu dilepaskan 

dalam keadaan babak belur, Pergiwo dan Adkuro sege-

ra berlari terbirit-birit tanpa menghiraukan rasa sakit 

yang mereka alami. Keduanya terus berlari menuju ke 

sebuah tempat yang dipenuhi ranggasan semak belu-

kar. Tiba di sebuah tempat yang terhalang oleh pepo-

honan tinggi, keduanya menghentikan lari masing-

masing.

Di tempat ini mereka baru merasakan sakit 

yang tak terkira.

"Pergiwo... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya 

Adkuro dengan keheranan yang kian menjadi-jadi. 

"Bagaimana Kakek Kuto dapat menjadi hebat seperti 

itu?"

Pergiwo yang bibirnya sudah jontor. dan sedikit 

berdarah mengeluh. Lalu bersuara sengau, "Aku tidak 

tahu."

"Ini tak bisa kita biarkan berlarut-larut. Mereka


pasti akan memberontak."

"Kita katakan semua ini pada Kakang Mat Ben-

dot." 

"Tapi...."

"Kenapa? Kau khawatir Kakang Mat Bendot 

akan murka?"

"Ya! Apakah kau tidak memikirkan soal itu?"

Pergiwo menarik napas pendek. Ngilu pada se-

kujur tubuhnya kian menjadi-jadi. Untuk beberapa 

saat keduanya tak ada yang buka suara. Lalu tanpa 

sadar mereka mengarahkan pandangan pada sebuah 

tenda besar berwarna hitam yang tak jauh dari sana. 

Di sanalah Mat Bendot tinggal bersama anak buahnya 

yang lain.

"Aku yakin, Kakang Mat Bendot tidak akan 

murka. Malah ini suatu petunjuk untuknya kalau 

orang-orang desa sudah mulai memberontak." 

"Tapi...."

"Adkuro... bukan hanya kau yang ketakutan. 

Aku pun sudah merasa sebelah kakiku telah masuk ke 

neraka! Tapi bila kita tidak muncul, Kakang pasti akan 

bertambah murka! Kita hanya berharap akan kebai-

kannya saja!"

Adkuro mengangguk-anggukkan kepalanya 

sambil menghela napas panjang. Rasa nyeri pada tu-

buhnya kian terasa, apalagi ditambah dengan pera-

saan tidak tenang.

"Kalau begitu, ayo kita laporkan semua ini pada 

Kakang Mat Bendot!"

Memutuskan demikian, kedua orang itu segera 

melangkah mendekati tenda besar yang mereka lihat.

* * *

Mat Bendot lelaki bertubuh besar dengan ke-

dua tangan yang besar pula. Wajahnya dipenuhi cam-

bang bawuk. Matanya bersorot kejam. Di pipi kirinya 

terdapat codet bekas luka. Menurut kabar, Mat Bendot 

adalah murid seorang perempuan kejam yang berdiam 

di Gunung Halimun. 

Mendengar laporan Pergiwo dan Adkuro, Mat 

Bendot tidak bersuara. Lelaki berpakaian hitam ini 

hanya berdiam diri, duduk di kursinya sambil mengu-

sap-usap cambangnya.

Apa yang dilakukannya justru membuat Pergi-

wo don Adkuro menjadi tidak tenang. Perasaan mereka 

diliputi ketakutan yang cukup tinggi.

Keduanya tersentak kaget ketika Mat Bendot 

mendeham. 

"Kalian beristirahat sekarang! Kau, Jumono! 

Bawa lima orang untuk membunuh Kakek Kuto dan 

penduduk yang nekat menghajar Pergiwo dan Adkuro 

tadi!"

Orang yang diperintah itu segera berlalu den-

gan mengajak lima orang lainnya.

"Sebelum kalian beristirahat, kalian ikut aku!" 

Mat Bendot turun dari kursinya dan melangkah ang-

kuh. Wajahnya tegang penuh kemarahan. Pergiwo dan 

Adkuro saling berpandangan sebelum kemudian men-

gikuti lelaki tinggi besar itu. Mat Bendot mengajaknya 

ke belakang tenda.

Dia berdiri dengan kedua tangan terlipat di de-

pan dada. Pergiwo dan Adkuro berdiri di hadapannya 

dengan kepala tertunduk.

"Aku telah lama mengenal Kakek Kuto! Dan 

aku tahu apa yang dimilikinya!"

Kata-kata Mat Bendot membuat keduanya 

mengangkat kepala. Mereka menangkap rasa tidak


percaya dari kata-kata Mat Bendot. Dan ini membuat 

hati masing-masing orang menjadi ketakutan. Mereka 

tahu apa akibatnya bila perintah yang diberikan Mat 

Bendot gagal mereka laksanakan.

"Tetapi Kakang.... Kakek Kuto berubah menjadi 

hebat! Bahkan dia dapat menghindari sabetan golok-

ku!" kata Pergiwo dengan suara sedikit bergetar.

Mat Bendot tak menjawab. Hanya menatap ke-

jam.

Adkuro buru-buru menyambung, "Benar, Ka-

kang. Bahkan dia juga dapat menghindari sabetan go-

lokku! Dan tindakannya itu, memancing keberanian 

orang-orang di sana! Mereka mengeroyok kami, hingga 

babak belur seperti ini!"

Mat Bendot tak menjawab. Sorot matanya se-

makin memperlihatkan rasa tidak percayanya.

"Hemmm... apa mungkin Kakek Kuto menyem-

bunyikan kehebatannya selama ini?" desisnya dalam 

hati. "Tetapi sungguh sulit kupercaya. Mungkin ini 

hanya kebodohan dari Pergiwo dan Adkuro saja. Huh! 

Sebaiknya kutunggu hasil yang dilakukan Jumono! 

Kalau memang Kakek Kuto berubah menjadi hebat, 

aku harus menemui Guru! Mungkin pula Kakek Kuto 

bukan tandinganku...."

Habis membatin demikian, Mat Bendot berkata, 

"Beristirahatlah kalian!"

Baik Pergiwo maupun Adkuro sama-sama men-

ganggukkan kepalanya. Mereka merasa lebih baik se-

gera menyingkir sebelum Mat Bendot berubah menjadi 

murka.

Namun baru saja keduanya membalikkan tu-

buh, tiba-tiba....

Kraakk! Kraaakk!

Keduanya merasa kepala mereka dihantam sebuah tenaga dahsyat. Belum lagi mereka menyadari 

apa yang terjadi, leher mereka telah terjepit tenaga 

yang kuat.

Mat Bendot yang tadi memukul kepala kedua-

nya, telah memiting leher masing-masing orang dengan 

tangan kanan kirinya. Wajah lelaki ini berubah menja-

di sangat kejam, melebihi kekejaman seekor singa! 

"Aku tak menyukai orang-orang yang tak ber-

guna! Sebaiknya kalian mampus saja!!"

Kreeekkk!!

Dengan satu tekanan yang dilakukan menyen-

tak dan gigi yang merapat keras, Mat Bendot telah 

membuat leher dua anak buahnya patah. Tubuh ke-

duanya menggelosoh dan begitu dilepaskan, langsung 

terjerunuk jatuh tanpa nyawa.

Dipandanginya kedua mayat itu, dingin.

"Tindakan bodoh kalian justru membuat nama 

besarku yang ditakuti oleh orang-orang desa akan ja-

tuh!"

Lalu seperti tanpa adanya kejadian, Mat Bendot 

langsung masuk kembali ke tenda besarnya. Dia ber-

kata dingin pada dua orang anak buahnya yang berada 

di sana, "Kubur mayat-mayat manusia tak berguna 

itu!"

Beberapa saat kemudian, ketika orang-orang 

yang diperintahnya muncul dengan tubuh babak be-

lur, Mat Bendot mulai merasa yakin kalau Kakek Kuto 

menyembunyikan keahliannya selama ini. Apalagi ke-

tika Jumono menceritakan bagaimana hebatnya Kakek 

Kuto.

Mat Bendot terdiam sambil mengusap-usap 

cambang bawuknya. Kemarahannya perlahan-lahan 

naik. Tangan kanannya memegang kuat pegangan 

kursi. Tiba-tiba....


Praaakk!

Pegangan kursi itu patah.

"Ini tak bisa dibiarkan!" 

Tak seorang pun yang berani menyahut ucapan 

Mat Bendot. Jangankan menyahuti ucapannya, me-

mandang sorot mata Mat Bendot yang telah dibalut 

kemarahan tinggi saja mereka tak berani melakukan-

nya. Saat ini yang mereka harapkan adalah ampunan 

yang diberikan Mat Bendot.

"Aku akan pergi sebentar! Kalian berjaga-jaga 

sini! Siapa pun orangnya yang berani memasuki dae-

rah ini, bunuh!" 

Habis kata-katanya, Mat Bendot keluar dari 

tendanya. Menaiki kuda hitamnya yang gagah. Lalu 

menggebraknya menuju ke arah timur


TIGA


SEPASANG mata angker dari balik dedaunan 

memperhatikan perginya Mat Bendot. Si pemilik mata 

angker yang bukan lain Raja Naga adanya ini menarik 

napas pendek.

"Hemmm... cecunguk-cecunguk yang ingin 

tampil menjadi singa!" desisnya dalam hati. "Aku telah 

membantu Kakek Kuto untuk menghajar keenam 

orang yang kemudian datang itu. Dan kudengar pula 

kalau orang-orang desa sudah murka dan bersiap un-

tuk menyerang gerombolan Mat Bendot! Ah, apakah 

urusan yang akan kuhadapi ini hanya sebatas urusan 

Mat Bendot saja. Bagaimana dengan Hantu Bersayap? 

Dan nampaknya para penduduk sudah melupakan 

tentang Hantu Bersayap, karena mereka yakin Hantu


Bersayap tak akan datang lagi mengingat tak ada 

orang kaya di sini kecuali mendiang Juragan Jagalak-

sa."

Pemuda yang mulai jari jemari hingga batas si-

ku kedua lengannya dipenuhi sisik coklat ini terdiam. 

Di menunggu kehadiran para penduduk yang sedang 

marah.

Yang ditunggunya pun kemudian berdatangan. 

Berjumlah dua puluh orang dengan senjata beraneka

macam di tangan. Di depan, Kakek Kuto melangkah 

gagah. Kecuali Raja Naga, tak seorang pun dari para 

penduduk itu yang mengetahui kalau Kakek Kuto be-

rada dalam ketakutan yang teramat sangat. Tetapi pa-

ra penduduk justru mengelu-elukannya.

Kedatangan para penduduk yang murka itu 

disambut oleh anak buah Mat Bendot. Bentrokan tak 

terelakkan lagi. Raja Naga hanya memperhatikan dari 

atas pohon.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, dia mengirim-

kan satu tenaga tak nampak yang membuat satu per-

satu orang-orang Mat Bendot pingsan. Bila saja tidak 

dibantu oleh Raja Naga, sangat mustahil para pendu-

duk itu bisa memenangkan bentrokan dengan anak 

buah Mat Bendot yang terlatih.

Di bawah komando Kakek Kuto yang muncul 

lagi keberaniannya setelah tiba-tiba saja dia menjadi 

hebat lagi, mereka mengikat anak buah Mat Bendot. 

Lalu membakar tenda besar yang menjadi kediaman 

Mat Bendot.

Di atas pohon, Raja Naga mendesah, "Mudah-

mudahan begitu siuman, mereka sadar dengan apa 

yang telah mereka lakukan."

Tiba-tiba terjadi keributan di sana. Mereka ber-

teriak-teriak keras karena tak menemukan sosok MatBendot.

"Cari! Cari bajingan itu!" seru Kakek Kuto ga-

gah. Mereka pun segera berkeliaran mencari Mat Ben-

dot.

Raja Naga sendiri sudah melesat untuk menyu-

sul perginya Mat Bendot. Dan dia tidak mengetahui, 

tatkala satu bayangan hitam melesat cepat ke arah 

orang-orang desa yang sedang mencari Mat Bendot.

Bayangan bersayap yang melesat di udara itu 

meluruk ke bawah dan berdiri di atas tanah.

Sudah tentu kemunculannya yang tiba-tiba 

membuat orang-orang itu tersentak. Masing-masing 

orang meninggalkan kegiatan mereka yang hendak 

membawa anak buah Mat Bendot ke balai desa.

Tiba-tiba salah seorang berseru, "Astaga! Orang 

itu... orang itu bersayap!"

Seruannya membuat yang lain menjadi terhe-

nyak. Menyusul terdengar suara, "Orang bersayap?! 

Jangar-jangan... dia... dia Hantu Bersayap!"

"Hantu Bersayap yang membunuh Juragan Ja-

galaksa?!" seru Kakek Kuto dengan kedua mata mem-

belalak lebar. Siapa pun di desa itu sangat menghor-

mati Juragan Jagalaksa!

"Keparat! Bunuh dia! Bunuh!!"

Seruan-seruan yang terdengar kemudian sema-

kin membahana. Kemarahan mereka yang semula di-

tujukan pada Mat Bendot dan anak buahnya, kini be-

ralih pada orang bertopeng menyeramkan yang berdiri 

kaku. Sorot matanya tajam menyala-nyala.

"Kudengar kalian mencariku untuk membalas 

kematian Juragan Jagalaksa?! Bagus! Nyali kalian 

memancingku untuk muncul kembali ke sini!"

Sebagai jawaban, lima lelaki gagah dengan pa-

rang di tangan sudah menyerbu ke arah Hantu Bersayap. Orang ini tak melakukan tindakan apa-apa. Ma-

tanya yang menyala-nyala bersinar mengerikan. Me-

nyusul diiringi dengusan keras, tangan kanannya 

mengibas

Sayapnya pun bergerak. 

Wussss!!

Kelima orang itu kontan berpentalan tersapu 

gelombang angin besar yang keluar dari kibasan 

sayapnya. Dan begitu terbanting di atas tanah, mas-

ing-masing orang telah putus nyawa!

Melihat tindakan kejam orang bersayap, yang 

lainnya bukannya menjadi jeri. Kemarahan mereka 

semakin menjadi-jadi. Tak seorang pun yang berniat 

untuk melarikan diri sebelum melihat orang bersayap 

itu putus nyawa!

"Bunuh dia!"

"Cincang sampai mampus!!"

"Tunggu!!" tiba-tiba terdengar seruan keras itu. 

Kakek Kuto berdiri dengan kedua tangan terentang. 

Matanya memandang tak berkedip pada orang ber-

sayap. "Jangan gegabah!" katanya lagi.

"Kakek Kuto! Dialah orang yang telah membu-

nuh Juragan Jagalaksa! Dia pula yang membuat is-

trinya menjadi seperti orang sinting! Apakah kita akan 

mendiamkannya begitu saja?!" 

"Jangan gegabah...," desis Kakek Kuto sambil 

terus memperhatikan orang di hadapannya. Lalu bi-

siknya, "Kalian lihat apa yang telah dilakukannya tadi? 

Dengan mudah dia dapat membunuh kawan-kawan ki-

ta lainnya! Ini menandakan dia bukan orang semba-

rangan!!"

"Kakek Kuto! Pada orang seperti dia, kita tak 

boleh bermurah hati!"

"Manusia itu adalah pembunuh yang kejam "


"Ya! Bunuh saja dia!" 

"Ganyang!!"

Kakek Kuto mendesah pendek. Dia tak mampu 

menahan kemarahan orang-orang lainnya,

Salah seorang berseru, "Kakek Kuto! Selama ini 

kau kami kenal sebagai orang yang lemah, tetapi tidak 

tahunya kau menyimpan satu keahlian yang sungguh 

hebat! Bantu kami untuk membunuhnya!"

Kakek Kuto tak bisa berbuat apa-apa. Walau-

pun sesungguhnya dia merasa tak mengerti dengan 

perubahan yang beberapa kali terjadi pada dirinya, 

namun kali ini dia mencoba berharap banyak. Agar 

kemampuan yang tiba-tiba dimilikinya muncul kemba-

li.

Diiringi teriakan keras, Kakek Kuto menerjang 

ke arah Hantu Bersayap yang berdiri dengan tatapan 

bengis. Namun satu tendangan saja, sudah membuat 

tulang dada Kakek Kuto remuk! Menyusul dengan satu 

sontekan pada kaki kanannya, tubuh renta itu ambruk 

di atas tanah menjadi mayat!

"Gila! Bunuh dia! Bunuh!!"

Kegagah-beranian orang-orang desa itu pun ha-

rus mereka tebus dengan nyawa! Masing-masing orang 

bertumbangan tatkala Hantu Bersayap tanpa bergeser 

dari tempatnya sudah menggerakkan sayap kanan ki-

rinya.

Dalam waktu singkat, orang-orang gagah itu te-

lah tewas!

Namun yang tewas ternyata bukan hanya me-

reka karena anak buah Mat Bendot yang dalam kea-

daan terikat pun harus menemui ajal setelah terseret 

gelombang angin dahsyat yang membuat tubuh mere-

ka berpentalan laksana sebuah daun!

"Huh! Orang-orang bodoh yang mencari mampus! Kalian tak bisa apa-apa menghadapiku!!" desis 

Hantu Bersayap dengan tatapan menyala-nyala. 

Diperhatikannya sekelilingnya yang telah po-

rak-poranda akibat sapuan gelombang angin besar da-

ri sayap kanan kirinya.

Tiba-tiba Hantu Bersayap menggeram dingin.

"Sampai saat ini orang yang kucari belum mun-

cul juga! Padahal kabar yang kudengar, bila ada keja-

hatan maka orang itu akan muncul! Tetapi sampai 

saat ini, belum juga kelihatan batang hidungnya! Ke-

parat kapiran! Apakah aku harus selalu merampok te-

rus dengan wujud Hantu Bersayap?!"

Untuk beberapa lama orang bersayap yang wa-

jahnya ditutupi topeng menyeramkan ini tak bersuara. 

Kejap lain dia sudah menggeram dingin.

"Apa pun yang terjadi, aku harus membantu 

sahabatku untuk menemukan orang yang telah mem-

bunuh sahabatnya!!"

Di saat lain, orang bersayap ini sudah melesat 

ke udara. Lesatannya sangat cepat. Setiap kali dike-

pakkan kedua sayapnya, angin yang menderu-deru 

terjadi.

* * *

Boma Paksi memicingkan matanya untuk meli-

hat lebih jelas siapakah orang yang diajak bercakap-

cakap oleh Mat Bendot. Tetapi karena orang itu mem-

belakanginya, dia tidak bisa melihat seperti apa rupa 

orang itu. Kecuali rambutnya yang sedikit beruban 

tatkala sinar rembulan meneranginya.

Dipertajam pendengarannya untuk menangkap 

apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang itu.

"Kau salah besar, Gayang Lumajang!" terdengar


suara seorang perempuan yang serak. "Orang tua ber-

nama Kuto itu tidak memiliki kemampuan apa-apa."

"Apa maksud, Guru?" tanya Mat Bendot dengar 

kedua mata membuka.

"Gayang Lumajang! Aku lebih yakin kalau si 

Kuto dibantu oleh seseorang yang memiliki ilmu sangat 

tinggi! Menurut laporan anak buahmu, mereka tak me-

lihat adanya orang di sekitar sana kecuali Kakek Kuto. 

Mungkin pula mereka tidak terlalu memperhatikan ka-

rena telah tersita perhatiannya terhadap Kakek Kuto! 

Mengingat, saat itu mereka terkejut dengan perubahan 

yang terjadi."

"Jadi... maksud Guru... ada orang yang mem-

bantunya?"

"Bukankah tadi sudah kukatakan seperti itu?"

Mat Bendot mengangguk-anggukkan kepa-

lanya. Kedua tangannya dikepalkan bertanda kegera-

mannya sudah muncul.

Di balik ranggasan semak, Raja Naga membatin 

"Hemm... ternyata lelaki bernama Mat Bendot itu bu-

kan nama sebenarnya. Dia bernama Gayang Luma-

jang. Apakah gerangan yang membuatnya mengubah 

namanya menjadi Mat Bendot? Dan sialnya... aku tak 

bisa melihat wajah orang yang diajaknya bercakap-

cakap kecuali kuketahui dia seorang perempuan...."

"Gayang Lumajang.... Juragan Jagalaksa telah 

dibunuh oleh sahabatku yang berjuluk Hantu Ber-

sayap. Akulah yang mengatur pembunuhan itu. Ke-

mudian kau kuperintahkan untuk menyamar dan 

mencari anak buah untuk melakukan tindakan makar. 

Apakah orang yang kita tunggu sudah datang?"

Mat Bendot atau yang bernama asli Gayang 

Lumajang menggelengkan kepalanya.

"Sampai saat ini, aku belum menangkap kabar


akan datangnya orang yang sedang kau cari, Guru. 

Aku tak mau mengatakan pada anak buahku kalau 

ada yang sedang kucari. Karena aku khawatir, mereka 

justru akan mencurigaiku hingga penyamaran ku akan 

terbongkar. Guru... ada sebenarnya yang ingin kuta-

nyakan"

"Tanyakanlah!"

"Mengapa Guru begitu yakin kalau orang yang 

Guru maksud akan muncul di desa Karang Bambu 

itu?"

"Karena... dia mempunyai seorang cucu yang 

berdiam di sana...."

"Kalau begitu, bukankah lebih baik kita sande-

ra saja cucunya?"

"Tak semudah itu, Gayang." 

"Aku tak mengerti, Guru."

"Aku tak ingin memancing ikan kecil kendati 

sering kali dipergunakan orang bila ingin mendapatkan 

ikan yang besar harus dipancing dengan ikan yang ke-

cil. Cucu dari orang yang kucari dapat kupastikan te-

lah diwarisi ilmu manusia celaka itu. Dan aku sama 

sekali tidak jeri terhadapnya. Malah dengan mudah dia 

akan kubunuh."

"Aku dapat melakukannya untuk Guru! Siapa-

kah cucunya itu, Guru?"

"Dia bernama Astari...."

Kepala Gayang Lumajang menegak. Kedua ma-

tanya membelalak. Bahkan untuk beberapa lama dia 

tak bersuara. Tak lama kemudian dia mendesis terba-

ta-bata, "Bukankah... bukankah... Astari adalah istri 

Juragan Jagalaksa?"

"Ya!"

"Aku telah menetap di desa Karang Bambu ku-

rang lebih lima tahun! Aku tahu kalau Astari adalah


putri dari...."

"Tidak! Tak seorang pun yang tahu kalau Astari 

bukanlah putri kandung kedua orangtuanya! Mereka 

datang ke desa itu sekitar delapan tahun yang lalu. 

Dan tak seorang pun yang tahu asal usul kedua orang 

tuanya maupun Astari."

"Dan Guru mengikuti mereka?"

"Kau betul!"

"Guru hanya membuang waktu! Sekian tahun 

Guru menunggu kemunculan orang yang Guru tung-

gu, tetapi Guru menyia-nyiakan kesempatan untuk 

membunuh Astari!"

"Karena aku baru mengetahui keadaan itu tiga 

tahun yang lalu!"

Gayang Lumajang menggeleng-gelengkan kepa-

lanya yang semakin pusing.

"Aku semakin tidak mengerti...."

Perempuan tua di hadapannya mendengus.

"Astari adalah cucu dari orang yang telah mem-

bunuh suamiku tujuh belas tahun yang lalu! Orang itu 

mempunyai seorang putri yang telah mampus di tan-

ganku untuk membalas kematian suamiku yang telah 

dibunuhnya! Saat itu, aku tak berhasil menemukan-

nya! Jadi, putrinya dan suami putrinya itulah yang 

menjadi sasaranku! Tak ku hiraukan bayi mereka ka-

rena aku terus melacak orang yang telah membunuh 

suamiku! Karena kupikir, bayi itu akan mampus kare-

na kekurangan makan! Tetapi pada kenyataannya se-

pasang suami istri menemukannya dan membawanya 

serta merawatnya! Yang kuingat adalah...!" perempuan 

tua itu menghentikan ucapannya sejenak.

Sambil memandangi Gayang Lumajang dite-

ruskan ucapannya, "Pada dada bayi itu di bagian atas 

sebelah kanan, ada sebuah tompel besar berwarna kecoklatan! Dan ketika suatu hari aku tak sengaja meli-

hat Astari mandi, aku melihat tanda itu yang segera 

mengingatkan ku pada cucu orang yang telah membu-

nuh suamiku! Terus ku pantau keadaannya. Bahkan 

saat dipinang oleh Juragan Jagalaksa aku mengeta-

huinya. Saat itulah aku berpikir untuk membuat Asta-

ri menjadi sinting karena kejadian yang mengerikan. 

Seorang sahabatku yang berjuluk Hantu Bersayap ber-

sedia membantuku. Gayang Lumajang... kau paham 

apa yang kuceritakan?"

Gayang Lumajang mengangguk-anggukkan ke-

palanya.

Di tempat persembunyiannya, Raja Naga men-

desah dalam hati, "Hemm... kini mulai jelas apa yang 

sebenarnya terjadi. Gayang Lumajang adalah murid 

dari perempuan yang belum kulihat wajahnya itu. Dia 

ditugaskan menyamar untuk menunggu kedatangan 

orang yang hendak dibunuh gurunya karena telah 

membunuh suami gurunya. Dan satu hal yang pasti 

sekarang, kalau Hantu Bersayap adalah orang suru-

hannya. Berarti.. sasaranku sekarang adalah perem-

puan itu, Gayang Lumajang dan Hantu Bersayap...."

Gayang Lumajang merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada.

"Guru... sebaiknya aku kembali ke dusun Ka-

rang Bambu! Aku khawatir kalau orang yang Guru 

maksudkan telah hadir di sana! Tentunya dia telah 

mendengar kabar tentang cucunya yang menjadi sint-

ing!"

"Ya! Kau pergilah! Mengenai Kakek Kuto... kau 

tak perlu khawatir terhadapnya! Bunuh siapa saja 

yang menghalangi niatmu! Kau tetap melancarkan aksi 

gilamu di dusun Karang Bambu!"

"Aku akan tetap melaksanakannya, Guru!" sahut Mat Bendot alias Gayang Lumajang. Lalu dia sege-

ra berdiri dan menaiki kuda hitamnya yang ditam-

batkan di sebuah pohon.

Di saat lain digebraknya kuda itu hingga me-

ringkik yang kemudian berlari dengan cepat.

Raja Naga membatin, "Hemm.... Mat Bendot 

hanyalah seorang cecunguk yang menjadi suruhan 

utama dari perempuan itu. Sementara otak dari keja-

dian ini adalah perempuan itu. Aku ingin melihat wa-

jahnya...."

Sejenak pemuda berompi ungu dari Lembah 

Naga ini memperhatikan sosok perempuan yang tadi 

berbicara dengan Mat Bendot alias Gayang Lumajang.

Setelah itu, dengan mempergunakan ilmu pe-

ringan tubuhnya, murid Dewa Naga mengendap, me-

mutar tubuh untuk dapat melihat secara jelas sosok si 

perempuan.

Namun mendadak saja terdengar seruan din-

gin, "Langkahmu baru kudengar sekarang! Tetapi dari 

langkahmu itu, aku yakin kalau sebelumnya kau su-

dah berada di sini! Mengapa harus mengendap? Men-

gapa tidak segera muncul bila memang punya nyali?!"

Seketika kepala pemuda yang kedua tangannya 

sebatas siku ini bersisik coklat menegak.

"Astaga! Pendengarannya cukup tajam! Dia 

mendengar langkahku! Huh! Niat semula adalah untuk 

melihat wajahnya! Inilah kesempatan!"

Di saat lain, Raja Naga sudah mencelat ke de-

pan dengan gerakan lincah. Tanpa menimbulkan sua-

ra, dia telah berdiri di hadapan perempuan yang juga 

telah berdiri tegak!


EMPAT


SOROT mata angker pemuda berambut dikun-

cir itu tak berkedip memandang pada perempuan di 

hadapannya. Sejenak Raja Naga agak tersentak begitu 

melihat paras si perempuan! Paras itu sangat jelita, 

bahkan melebihi kecantikan para bidadari dalam don-

geng. Kulitnya putih mulus, sedikit bercahaya terang. 

Hidungnya mancung dengan sepasang bibir memerah 

yang indah. Dagunya menggantung manja. Matanya 

bersinar cerah. Dari wujudnya yang nampak, tak ada 

tanda-tanda kalau perempuan itu adalah seseorang 

yang kejam, yang telah mengatur sebuah kejahatan ke-

jam.

Sementara itu, perempuan yang mengenakan 

pakaian putih bercahaya itu memandang tak berkedip 

pula. Terlihat kalau dia sedikit menegakkan kepalanya 

tatkala melihat sepasang mata pemuda di hadapannya.

"Astaga! Ku rasakan kalau degup jantungku 

bertambah mengeras! Gila! Wajahnya begitu tampan, 

bahkan ku taksir kalau usianya baru tujuh belas ta-

hun! Tetapi sorot matanya begitu kejam, angker dan 

berkesan sadis! Siapa pemuda yang mencuri dengar 

percakapan ku dengan Gayang Lumajang?" desisnya 

dalam hati. Kejap lain dia sudah menggeram lagi, 

"Huh! Siapa pun dia adanya, dia telah mengetahui apa 

yang telah ku susun! Bisa jadi dia akan membocorkan 

seluruh rencanaku!" 

Untuk beberapa lama masing-masing orang tak 

ada yang buka suara. Satu sama lain seperti terpeso-

na. Padahal di hati masing-masing bergolak berbagai 

pertanyaan.

Perempuan yang sebagian rambutnya sudah


memutih itu mendesis dingin, "Orang muda berompi 

ungu! Siapa kau yang berani lancang mencuri dengar 

percakapan ku?!"

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang 

angker bertambah angker.

Mendapati sikap yang tak menyenangkan yang 

diperlihatkan si pemuda, perempuan itu mengertakkan 

rahangnya.

"Kau berani tak menjawab pertanyaanku! Be-

rarti kau telah siap untuk memasuki perjalanan ke 

akhirat!"

"Sebelum kujawab pertanyaanmu, siapakah 

kau adanya?!"

Di balik tanya seperti itu semakin membuat 

kemarahan si perempuan menjadi-jadi. Dengan suara 

geram dia menyahut, "Kau boleh mengenalku sebagai 

Ratu Segala Bidadari!"

"Ratu Segala Bidadari?" desis Raja Naga dalam 

hati. "Julukan yang sangat tepat untuknya, kendati 

nampaknya dia tidak memiliki murid wanita! Tetapi ju-

lukan itu cocok mengingat kecantikan wajahnya yang 

sangat luar biasa!"

Habis membatin demikian. Raja Naga menya-

hut, "Namaku Boma Paksi. Aku hanyalah orang keba-

nyakan yang suka menggembara! Kalaupun kau kata-

kan aku mencuri dengar, sebenarnya tidak tepat sama 

sekali!"

"Tepat atau tidak, kau telah mendengar apa 

yang menjadi rahasiaku selama ini! Itu artinya... kau 

harus mampus!!"

Belum habis bentakan itu terdengar, diiringi te-

riakan sengit Ratu Segala Bidadari sudah menerjang 

depan. Saat dia menerjang, terlihat pakaian panjang-

nya terbelah di kanan kiri pahanya, hingga memperli


hatkan bungkahan paha yang gempal, indah, mulus 

dan menggiurkan!

Tangan kanan kirinya dikepal. Dan saat dijotos 

terdengar gelombang angin yang mendahului jotosan-

nya.

Wuuusss!!

Kejap lain, kedua tangannya yang dikepal itu 

sudah dibuka. Lalu dikibaskan dengan cara seperti 

mengepret!

Wuuungggg!!!

Gelombang angin pertama yang menderu tadi, 

tiba-tiba tertindih oleh datangnya gelombang angin su-

sulan! Yang kemudian meliuk-liuk dengan suara ber-

gemuruh! Tanah dan ranggasan semak terseret naik 

masuk dalam liukannya.

Di tempatnya Raja Naga menjerengkan sepa-

sang matanya. Diperhatikannya sesaat serangan aneh 

yang dilakukan perempuan jelita itu. Saat lain dia su-

dah mendeham.

"Hemmm!!"

Dehaman yang dilakukannya bukan sembarang 

dehaman. Karena mengandung tenaga dahsyat yang 

dapat memusnahkan serangan lawan. Namun kalau 

biasanya serangan lawan akan terhenti, kali ini tidak 

sama sekali!

Memang terlihat kalau gelombang angin yang 

meliuk-liuk menerbangkan tanah dan ranggasan se-

mak itu seperti tertahan. Tetapi tidak pecah di udara! 

Bahkan semakin ganas menderu ke arah Raja Naga!

"Heiiii!!" 

Anak muda dari Lembah Naga ini tersentak ka-

get dan segera membuang tubuh ke samping kanan.

Blegaaaarrr!!

Ranggasan semak yang tumbuh di belakangnya


kontan bermuncratan ke udara. Menyusul membuyar-

nya tanah yang membubung tinggi.

Belum lagi Raja Naga bernapas lega, satu se-

rangan telah datang ke arahnya.

Sigap anak muda ini memiringkan tubuhnya. 

Lalu menggerakkan kedua tangannya.

Buk! Bukk!!

Benturan yang terjadi itu membuat Ratu Segala 

Bidadari tersentak mundur. Wajahnya sedikit merin-

gis. Dengan geram dipandangi kedua tangannya yang

terasa ngilu.

"Hebat!" desisnya dalam hati. "Tenaga dalam 

anak muda ini lumayan besar! Dia mampu membuat 

kedua tanganku terasa tidak enak!"

Apa yang diduga oleh perempuan jelita itu sa-

lah sama sekali. Karena kedua tangan Raja Naga seba-

tas siku yang dipenuhi sisik coklat, memang memiliki 

kekuatan luar biasa. Bahkan mampu mematahkan 

senjata ampuh sekalipun. Jadi bukannya karena dia 

telah mengalirinya dengan tenaga dalamnya.

Di pihak lain, Raja Naga juga tersentak kaget. 

"Astaga! Dia kelihatan hanya sekali saja meringis aki-

bat benturan dengan tanganku! Hebat! Tenaga dalam-

nya sangat tinggi!!" desisnya dalam hati.

"Boma Paksi... siapa kau sebenarnya?!" seru 

Ratu Segala Bidadari.

"Sejak tadi kukatakan, kalau namaku adalah 

Boma Paksi! Kau tanya siapa aku sebenarnya, yang 

sudah pasti namaku tetap Boma Paksi! Sampai kapan 

pun juga namaku akan dan selalu Boma Paksi!" sahut 

Raja Naga dengan tatapan angkernya.

"Kau sungguh tidak memandang tingginya lan-

git dan dalamnya lautan! Dari ucapanmu kau justru 

semakin membuatku bernafsu untuk membunuhmu!"


"Yang kau cari bukanlah aku! Bukan pula Ju-

ragan Jagalaksa maupun istrinya yang kini menjadi 

agak sinting karena perbuatanmu! Kau telah melaku-

kan satu tindakan yang tak bisa dimaafkan! Hantu 

Bersayap adalah orang suruhanmu untuk membuat 

Astari menderita! Ratu Segala Bidadari! Bila kau me-

mang memiliki sedikit nyali, katakan padaku... siapa 

sebenarnya orang yang kau tunggu!"

Ratu Segala Bidadari tidak menjawab. Matanya 

kini ditujukan pada kedua tangan kanan kiri Boma 

Paksi.

"Hemmm... baru kulihat sekarang kalau kedua 

tangannya sebatas siku dipenuhi sisik coklat. Kalau 

aku tak salah ingat, saat ini rimba persilatan tengah 

gempar dengan kemunculan seorang pemuda yang ke-

dua tangannya sebatas siku bersisik coklat! Apakah 

pemuda ini yang julukannya sedang ramai dibicarakan 

orang?"

Untuk beberapa saat Ratu Segala Bidadari tak 

bersuara. Dari kedua tangan Boma Paksi, tatapannya 

dibawanya untuk menatap si pemuda. Dan perasaan 

tegang kembali muncul di hatinya sesaat tatkala meli-

hat betapa angkernya sorot mata pemuda di hadapan-

nya!

"Keparat! Aku tak boleh melihat matanya!" ge-

ramnya dalam hati. Lalu makinya dengan tangan me-

nuding, "Pemuda celaka! Apakah kau orang yang ber-

juluk Raja Naga?!"

"Mungkin yang kau katakan benar, tetapi 

mungkin pula salah!" sahut Raja Naga.

Perempuan yang pakaiannya terbelah di paha 

kaki kiri hingga ke pinggul itu menggeram pendek. 

Kain bagian tengahnya bergerak-gerak dihembus an-

gin, dan mencetak sesuatu berbentuk segitiga pada


pangkal pahanya.

"Keparat terkutuk! Kelancanganmu ini akan be-

rakibat fatal untukmu!!"

Habis bentakannya, Ratu Segala Bidadari sege-

ra memutar kedua tangannya di depan dada. Perlahan-

lahan diangkatnya di atas kepala. Menyusul dengan 

gerakan disentak, kedua pergelangan tangannya di-

tempelkan satu sama lain dengan cara menyilang!

Crasss!

Segera memercik cahaya bening ke udara. Ber-

samaan memerciknya cahaya bening itu, bibirnya yang 

indah monyong sedikit dan....

Wrrrr!

Dia meniup cahaya itu! 

Wunngggg!!

Cahaya bening itu terlontar ke udara.

Raja Naga mau tak mau mengikuti dengan 

pandangan angkernya. Di saat lain, dia sampai mun-

dur satu langkah ke belakang tatkala melihat cahaya 

bening yang terlontar ke udara itu mendadak saja me-

nyebar! Lalu bergumpal laksana awan-awan, memben-

tuk beberapa gumpalan bening.

Di saat lain, tiba-tiba saja menyalak guntur se-

cara bersamaan dari cahaya bening yang telah beru-

bah menjadi gumpalan awan-awan!

"Heiiii!!" seru Raja Naga tersentak.

Salakan guntur tadi membuat dedaunan men-

gering. Menyusul kilat menyambar secara tiba-tiba.

"Astaga!!" seru Raja Naga tertahan sambil me-

lompat ke samping kanan.

Biaaarr! Blaaarr! Blaaarr!!

Kilat-kilat bening yang melesat itu menghantam

tanah di mana Raja Naga sebelumnya berdiri. Belum 

lagi anak muda itu tegak di atas tanah kembali, kilat


kilat lain terus menyambar berulang-ulang!

Tiga buah pohon tersambar, dan begitu angin 

berhembus luruh menjadi debu! Melihat kedahsyatan 

ilmu perempuan jelita berpakaian putih bercahaya itu, 

Raja Naga menggeram dingin. Sisik-sisik coklat yang 

terdapat pada kedua tangannya sebatas siku, semakin 

nampak.

Dia menunggu dengan tatapan angkernya. Ta-

jam dan tak berkedip. Tatkala kilat-kilat itu menyam-

bar lagi, Raja Naga segera mendorong kedua tangan-

nya ke atas. Melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengu-

rung Lautan'.

Gelombang angin dahsyat disaput sinar merah 

menggebrak dan membentur kilat-kilat bening yang 

menyambar.

Blaaamm! Blaaam! Blaaammm!

Letupan keras terjadi berturut-turut. Berte-

munya dua tenaga dahsyat itu menyebabkan kilat-kilat 

bening itu bermuncratan ke udara. Untuk beberapa 

saat menerangi tempat itu. Sebagian mengenai pepo-

honan yang langsung menghangus.

Di tempatnya, kedua kaki Raja Naga amblas 

sebatas lutut. Anak muda ini cepat menarik keluar ke-

dua kakinya tatkala kilat-kilat bening itu sudah meng-

gebrak lagi, yang sebelumnya didahului oleh salakan 

guntur yang keras.

"Huh! Kehebatan ilmu yang diperlihatkan Ratu 

Segala Bidadari sungguh menakjubkan! Tentunya aku 

harus menghantam gumpalan awan-awan bening itu!"

Memutuskan demikian Raja Naga segera mun-

dur tiga langkah dan siap mendorong kedua tangannya 

untuk melepaskan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung 

Lautan' kembali.

Di tempatnya Ratu Segala Bidadari yang kedua


tangannya masih bersilangan mendengus pendek, 

"Kau telah cari penyakit! Dan kau akan merasakan 

akibatnya!!"

Raja Naga melirik. Sorot matanya bertambah 

angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua 

tangannya sebatas siku semakin kentara, pertanda ka-

lau dia sudah berada dalam kemarahan. Tiba-tiba satu 

pikiran lain singgah di benaknya. Urung melepaskan 

ilmu 'Kibasan Naga Penghancur Karang', mendadak 

sontak murid Dewa Naga ini menjejakkan kaki kanan-

nya di atas tanah!

Tanah muncrat sedikit ke atas. Dan pada saat 

yang bersamaan, tanah itu telah bergelombang, men-

deru dahsyat ke arah Ratu Segala Bidadari.

Perempuan berparas jelita itu tersentak. Sejak 

tadi dia memusatkan perhatiannya pada tindakan 

yang akan dilakukan oleh Raja Naga yang pikirnya 

akan mencoba untuk membuyarkan awan-awan ben-

ing yang telah tercipta. Dia sama sekali tidak memikir-

kan kemungkinan lain.

Diiringi teriakan geram, Ratu Segala Bidadari 

melompat ke belakang. Begitu hinggap di atas tanah, 

dia sudah berlutut. Saat itu pula ditepakkan telapak 

tangan kanan kirinya di atas tanah!

Blaaaammm!!

Tanah yang bergerak cepat itu terhenti seperti 

ada tenaga yang menahannya. Tubuh Ratu Segala Bi-

dadari terpental ke belakang.

Dalam keadaan seperti itu, perempuan berpa-

kaian putih bening ini masih memperlihatkan kelas-

nya. Tubuhnya meliuk di udara dan hinggap kembali 

di atas tanah. Namun baru saja kedua kakinya hing-

gap lagi di atas tanah, tanah sudah bergerak kembali. 

Lebih dahsyat dari yang pertama


"Kepaaraaattt!!" geram Ratu Segala Bidadari 

sambil melompat menghindari barisan tanah yang ber-

gerak itu. Namun tiba-tiba saja....

Desss!!

Perutnya terhantam satu pukulan keras yang 

membuatnya terhuyung. Paras jelitanya berubah, me-

ringis. Perutnya dirasakan mulas yang tak terkira. Dia 

berusaha untuk mengembalikan keseimbangannya. 

Kepalanya sedikit didongakkan dengan tatapan tajam 

pada Raja Naga.

Bila saja Raja Naga saat ini hendak menghabisi 

nyawanya, mungkin dia dapat melakukannya walau-

pun sudah tentu Ratu Segala Bidadari tak membiar-

kan hal itu terjadi.

Raja Naga menggeram dingin, "Aku bukanlah 

orang yang lancang ingin mencampuri urusan orang 

lain! Tetapi dari tindakan yang telah kau lakukan dan 

rencanakan, kau hanya menimbulkan petaka belaka! 

Ratu Segala Bidadari... urungkan segala niat busukmu 

itu. Hentikan tindakan Hantu Bersayap dan muridmu 

yang bernama Gayang Lumajang! Karena bila kau ma-

sih keras kepala, aku akan tetap menghancurkan se-

gala keinginanmu!!"

Ratu Segala Bidadari yang telah berhasil men-

guasai keseimbangannya walaupun sambil memegangi 

perutnya, menggeram pendek.

"Pemuda celaka! Kau baru sekali berhasil me-

lancarkan seranganmu! Kau belum melihat keheba-

tanku yang lain! Tetapi untuk saat ini, kuputuskan 

untuk menghentikan urusan yang telah terbuka di an-

tara kita. Dan perlu kau ingat, bila urusanku telah se-

lesai kita akan membuka urusan kembali!"

Raja Naga tidak menyahut. Sorot matanya tetap 

angker dan berapi-api.

"Kau telah membulatkan niatmu seperti itu! Be-

rarti aku juga membulatkan niatku untuk menghenti-

kan segala sepak terjang mu!"

"Baik! Kita akan melihat, siapa yang berhasil 

menjalankan maksud! Anak muda... dalam satu hal 

kau kalah langkah! Karena... kau tidak tahu siapa 

orang yang hendak kubunuh! Kau tak mungkin dapat 

melakukan tindakan sekaligus! Karena bisa jadi saat 

ini orang yang hendak kubunuh sudah mampus dibu-

nuh oleh muridku, atau oleh Hantu Bersayap!"

Mendengar kata-kata orang, Raja Naga mende-

sah pendek. Dibenarkan apa yang dikatakannya. Dan 

kalau sudah demikian, dia harus bertindak cepat! Te-

tapi seperti yang dikatakan perempuan itu, tak mung-

kin dia bisa bertindak pada saat yang bersamaan di ti-

ga tempat yang berlainan!

Sementara itu melihat pemuda berompi ungu 

tak bersuara, Ratu Segala Bidadari sudah melesat me-

ninggalkan tempat itu. Tawanya menggema keras, "Ki-

ta! berlomba untuk melihat siapa yang memenangkan 

permainan ini, Anak muda!!"

Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek.

"Aku yakin, kalau perempuan itu memang sen-

gaja menghentikan pertarungan. Dia belum kalah sa-

ma sekali. Belum kalah. Karena aku yakin pula kalau 

dia masih memiliki ilmu lain yang tidak kalah menge-

rikannya...."

Untuk beberapa saat murid Dewa Naga ini ma-

sih terpaku di tempatnya. Dipikirkannya cara terbaik 

untuk menghentikan sepak terjang Ratu Segala Bida-

dari. Di saat lain, setelah menghela napas panjang, 

pemuda bersisik coklat pada kedua tangannya sebatas 

siku ini, sudah melesat meninggalkan tempat itu.

Yang kembali direjam sepi, namun sudah ka

cau balau keadaannya!



LIMA


KAKEK setengah baya berpakaian biru muda 

itu menarik napas pendek tatkala mendengar teriakan 

menyayat dari sebuah rumah. Wajah si kakek yang di-

penuhi keriput, diliputi duka yang cukup dalam. Beru-

lang kali diusap jenggot putihnya. Matanya tetap 

memperhatikan rumah sederhana dari atas pohon di 

mana dia berada sekarang.

Jeritan yang menyayat hati itu membuat si ka-

kek menahan napas. Kegundahan dan kedukaannya 

terpilin menjadi satu.

"Astari...," desisnya pelan. "Ah, betapa malang 

nasibmu, Nak...."

"Jangan... jangan bunuh aku! Jangaaannn!!" je-

ritan menyayat itu terdengar lagi.

"Astari! Dia ayahmu, Nak! Ayahmu!" terdengar 

suara seorang perempuan dari rumah itu, cukup keras 

pula. Bukan bernada kemarahan, tetapi kesedihan 

yang dalam.

Jeritan itu terdengar kembali.

Otong dan Bagus yang melewati tempat itu me-

nuju ke pasar, bercakap-cakap sambil melangkah, 

"Kasihan Astari.... Dia sudah menjadi gila...."

"Ya! Ini gara-gara Hantu Bersayap!"

"Huh! Aku juga muak dengan manusia yang di-

juluki Hantu Bersayap itu! Ingin rasanya kubunuh 

dia?!"

"Memangnya kau berani, Tong?!"

"Siapa bilang aku berani?!" sahut Otong sambil


mendengus.

Bagus tertawa.

"Pokoknya, kalau dia muncul kita tidak akan 

tinggal diam, kan?!"

"Jelas dong! Oya, aku cukup heran dengan 

orang-orang Mat Bendot? Sejak tadi pagi tak seorang 

pun yang kulihat berkeliaran di sini!"

"Jelas saja mereka tidak berkeliaran! Mungkin 

sudah pada mampus dibunuh oleh rekan-rekan kita 

yang lain yang menyerbu ke sana!"

"Wah! Mengapa aku baru tahu? Siapa yang 

memimpin?"

"Kakek Kuto!"

"Hebat! Tapi sayang, aku tidak ikutan! Padah-

al...."

"Padahal apa?" goda Bagus.

"Padahal kalau mereka menyerbu ke sana, aku 

lebih baik tidur saja...."

Bagus tertawa sambil terus melangkah.

Kakek di atas pohon yang masih mendengar 

percakapan keduanya kendati sudah cukup jauh, me-

nahan napas.

"Hantu Bersayap? Rasanya baru kali ini kuden-

gar julukan Hantu Bersayap? Siapa orang yang telah 

membunuh suami cucuku itu, hingga membuat cucu-

ku jadi ketakutan sepanjang hari?"

Untuk beberapa lama kakek berpakaian pan-

jang berwarna biru muda ini terdiam. Lalu diputuskan 

untuk mencari tahu tentang Hantu Bersayap.

Pada saat yang bersamaan Mat Bendot alias 

Gayang Lumajang tersentak kaku di atas kuda hitam-

nya yang bernapas mendengus-dengus. Mata Gayang 

Lumajang tak berkedip pada mayat-mayat yang dili-

hatnya, bergeletakan. Atau boleh dikatakan berserakan


laksana sampah.

Dengan hati yang mulai diliputi kegeraman. 

Gayang Lumajang melompat turun dari kudanya. Di-

perhatikan mayat-mayat itu satu persatu. Dikenalinya 

sebagian mayat-mayat itu adalah anak buahnya, se-

mentara yang sebagian lagi para penduduk desa.

"Aneh!" desisnya sambil mengusap-usap da-

gunya yang dipenuhi bulu yang bersatu dengan cam-

bangnya. "Mengapa anak buahku mampus dalam kea-

daan terikat sementara para penduduk itu tidak sama 

sekali? Apa yang terjadi?"

Masih terus memikirkan apa yang sebenarnya 

telah terjadi, Gayang Lumajang melangkah, meneliti 

satu persatu mayat-mayat di sana. Dilihatnya mayat 

Kakek Kuto yang tewas dengan dada remuk. Sejenak 

dipandanginya mayat itu dengan seksama sebelum 

kemudian datang amarahnya.

"Terkutuk!!"

Kakinya menyepak.

Kraaakk!

Leher Kakek Kuto yang telah menjadi mayat pa-

tah!

"Huh! Kau berani jual lagak di hadapanku ru-

panya! Siapa orang yang telah membantumu, hah?!" 

maki Gayang Lumajang membawa kekesalannya sendi-

ri.

Lalu ditengadahkan kepalanya, memandang 

langit pagi yang cerah.

"Orang-orangku mampus dalam keadaan teri-

kat, sementara yang lain tidak! Tak mungkin si pem-

bunuh yang mengikat orang-orangku, karena kemung-

kinan besar para penduduk pun akan diikatnya pula 

sebelum dibunuh. Berarti...."

Memutus ucapannya sendiri, Gayang Lumajang


mengerutkan keningnya. Setelah beberapa saat dia 

mendengus gusar, "Keparat! Jangan-jangan para pen-

duduk di bawah pimpinan Kakek Kuto yang telah 

mengikat anak buahku! Tentunya, orang yang entah 

siapa, telah membantu Kakek Kuto kembali! Kemu-

dian... muncul si pembunuh yang keparat! Siapa orang 

itu?!"

Penuh kegusaran Gayang Lumajang mendorong 

tangan kanannya.

Wussss!!

Serta-merta menghampar gelombang angin 

berkekuatan tinggi yang menghajar sebuah pohon 

yang seketika tumbang dan terpental cukup jauh!

Setelah beberapa saat berada dalam kegusa-

rannya, Gayang Lumajang mendesis, "Keparat! Se-

baiknya kutunggu kakek bernama Dundung Kali-

mayang! Orang yang hendak dibunuh Guru karena te-

lah membunuh suaminya!! Atau...."

Kembali Gayang Lumajang menghentikan kata-

katanya. Untuk beberapa saat dia terdiam sebelum ter-

lihat seringaiannya.

"Aku tidak mengerti mengapa Guru hanya me-

nyiksa batin Astari, dengan harapan Dundung Kali-

mayang akan muncul. Seharusnya Astari dibunuh sa-

ja! Hemm sampai saat ini aku belum mengenal wajah 

dari Hantu Bersayap yang tertutup topeng. Kalau begi-

tu... biar aku saja yang membunuh Astari! Aku yakin, 

bila Astari sudah mampus, maka Dundung Kali-

mayang akan lebih cepat muncul di desa ini!"

Seringaian lelaki tinggi besar ini semakin lebar. 

Kepuasan sudah terpampang di wajahnya.

"Tompel coklat pada bagian atas buah dada As-

tari? Hemm... baru mendengarnya saja sudah terun-

dang gairahku. Berarti... sebelum kubunuh, akan kunikmati dulu tubuh cucu Dundung Kalimayang!"

Memutuskan demikian, Gayang Lumajang se-

gera berbalik. Dengan dua kali mengempos tubuh, dia 

sudah berada di atas kuda hitamnya kembali. Lalu 

disentaknya tali kekang kuda itu sebelum kemudian 

digebraknya menjauh.

* * *

Pemuda berompi ungu yang memiliki pandan-

gan angker itu kembali ke desa Karang Bambu. Setelah 

mendengar apa yang dipercakapkan antara Gayang 

Lumajang dengan Ratu Segala Bidadari, Boma Paksi 

merasa kalau memang dia harus kembali ke desa Ka-

rang Bambu. Dia merasa pasti kalau orang yang entah 

siapa saat ini sedang ditunggu oleh Ratu Segala Bida-

dari akan tiba di desa itu.

Ditelusuri pasar yang ramai. Kalau sebelumnya 

kehadirannya tidak terlalu dipedulikan, kali ini orang-

orang yang berdagang dan membeli di pasar, memper-

hatikannya. Raja Naga tersenyum berulang-ulang. Dia 

harus bersikap wajar agar tidak memancing kesalah-

pahaman.

Beberapa orang gadis yang kebetulan sedang 

berbelanja di pasar itu, tersenyum dengan wajah malu-

malu padanya.

"Ih! Tampan ya?"

"Tapi... kau lihat tadi, tatapannya kok seram 

betul! Angker ya?"

"Tapi aku yakin kalau dia memiliki sifat yang 

lembut. Selain tampan dia juga gagah lho."

"Kau tidak melihat sisik-sisik coklat pada kedua 

tangannya sebatas siku? Seram betul!"

"Biar saja. Kalau pemuda itu mau, aku mau


menjadi istrinya..,."

Percakapan itu terdengar oleh telinga peka Bo-

ma Paksi. Tetapi anak muda gagah berambut dikuncir 

ini tidak menghiraukannya. Dia terus melangkah me-

nyusuri pasar. Tiba di tempat biasanya Kakek Kuto 

berdagang, Boma Paksi mengerutkan keningnya. Di-

perhatikannya sekelilingnya dengan sikap yang tak be-

gitu kentara.

"Aneh! Ke mana Kakek Kuto dan orang-orang 

yang biasanya berdagang di sini? Tak seorang pun dari 

orang-orang yang semalam menyerbu markas Mat 

Bendot atau Gayang Lumajang yang kulihat. Apakah 

saat ini mereka sedang menghakimi orang-orang itu?"

Raja Naga kembali memperhatikan dengan sek-

sama.

"Ah, kalau memang mereka menghakiminya, je-

las ini sesuatu yang tidak menguntungkan. Aku harus 

mencegahnya."

Tetapi sebelum dia meninggalkan tempat itu, 

Otong dan Bagus sudah berlarian dengan napas ter-

sengal-sengal.

"Ada yang mati!!" seru Otong dengan wajah pe-

nuh keringat.

"Banyak yang mati!!" sambung Bagus.

Seruan keduanya memancing perhatian orang-

orang yang berada di sana, termasuk Raja Naga. Mere-

ka mendengar Otong dan Bagus secara bergantian 

menceritakan apa yang mereka lihat. Seperti biasa bila 

Otong atau Bagus menuju ke pasar untuk berdagang, 

mau tak mau mereka harus melewati markas Mat 

Bendot. Pagi tadi mereka melihat suasana sepi, tak ada 

suara-suara yang terdengar.

Sebenarnya Otong memiliki jiwa pengecut, teta-

pi karena dipaksa oleh Bagus, akhirnya dia mau juga


mengintip apa yang sedang dilakukan anak buah Mat 

Bendot. Mereka terkejut ketika melihat mayat-mayat 

bergeletakan di sana. Termasuk mayat Kakek Kuto dan 

beberapa orang yang mereka kenal.

Raja Naga diam-diam menarik napas panjang.

"Siapa yang telah membunuh mereka?" Lalu dia 

menghilang dari keramaian itu. Dipercepat larinya un-

tuk kembali ke tempat semalam. Apa yang dilihatnya 

memang benar, sesuai dengan yang dikatakan Otong 

dan Bagus.

"Gila! Siapa yang telah membunuh orang-orang 

ini? Mat Bendotkah? Tidak, tidak mungkin! Dia sedang 

menuju ke tempat Ratu Segala Bidadari! Lantas sia-

pa... astaga! Jangan-jangan... orang yang berjuluk 

Hantu Bersayap yang melakukannya?"

Untuk beberapa saat Boma Paksi tertegun di 

tempatnya. Dipikirkannya kemungkinan lain dari apa 

yang telah dipikirkannya. Tetapi dia tidak menda-

patkan jawaban yang lebih tepat.

"Keparat hina! Hingga saat ini aku belum per-

nah melihat sosok Hantu Bersayap kecuali mendengar 

ciri-cirinya saja! Terkutuk!!"

Sorot mata angker murid Dewa Naga, semakin 

angker, pertanda dia dilanda kemarahan.

Tiba-tiba saja pemuda bersisik coklat pada ke-

dua lengannya sebatas siku ini memalingkan kepa-

lanya ke samping kanan. Saat itu dilihatnya seorang 

kakek mengenakan pakaian panjang berwarna biru 

muda telah berdiri di hadapannya sejarak sepuluh 

langkah.

Melihat kemunculan orang, Raja Naga terdiam. 

Dipandanginya si kakek yang saat ini juga sedang me-

mandangnya. Terlihat paras si kakek sedikit berubah 

begitu melihat tatapannya.


"Astaga! Sorot matanya begitu angker dan men-

gerikan! Dia tentunya mampu membuat ciut nyali sia-

pa saja yang melihatnya!" katanya dalam hati.

Raja Naga sudah bersuara, "Orang tua... kau 

muncul begitu saja di hadapanku. Kemunculanmu 

memang tidak terlalu mengejutkan dan membuatku 

menjadi curiga. Tetapi, apakah kita pernah saling 

mengenal?"

Si kakek menggelengkan kepalanya. Rambut 

putihnya yang panjang tak terurus berlompatan.

"Jelas kita belum pernah saling mengenal! Apa-

kah saat ini bukan kesempatan yang baik untuk saling 

mengenal?"

"Sikap si kakek begitu sopan. Kulihat pada wa-

jah dan matanya menyiratkan kedukaan," kata Raja 

Naga dalam hati. Lalu sambil merangkapkan kedua 

tangannya di depan dada, dia berkata, "Namaku Boma 

Paksi.... Aku datang dari Lembah Naga...."

Si kakek menganggukkan kepalanya. Jenggot 

putihnya sedikit bergerak.

"Kau boleh mengenal namaku, Boma Paksi! 

Panggil aku dengan nama Dundung Kalimayang!"

"Salam kenal untukmu, Orang Tua...."

Dundung Kalimayang mengangguk. Lalu berka-

ta, "Boma Paksi... melihat cara kau berpakaian dan ta-

tapan mu itu, aku yakin kau bukan orang sembaran-

gan! Tetapi aku tak ingin mengorek siapa kau sebe-

narnya. Yang ingin kutanyakan, kenalkah kau dengan 

orang berjuluk Hantu Bersayap?"

Mendengar pertanyaan kakek di hadapannya, 

kepala Raja Naga menegak.

"Caranya bertanya begitu datar, seolah hanya 

hafalan belaka. Tidak kutangkap nada geram ataupun 

curiga. Hemm... mengapa orang tua ini mencari Hantu


Bersayap?"

Habis berpikir demikian, Raja Naga mengge-

lengkan kepalanya.

"Orang tua... belum lama ini aku mendengar ju-

lukan Hantu Bersayap, orang yang telah membunuh 

Juragan Jagalaksa dan menyebabkan istrinya yang 

bernama Astari menjadi agak sinting karena selalu ke-

takutan memikirkan kejadian mengerikan yang diala-

minya. Dan akhir-akhir ini julukannya semakin akrab 

di telingaku, sebagai pembunuh kejam. Bukan ber-

maksud untuk mengetahui apa yang ingin kau keta-

hui, tetapi... bila kau tidak berkeberatan aku ingin ta-

hu sebab-sebab kau menanyakan Hantu Bersayap?"

Dundung Kalimayang tak segera menjawab. Di-

perhatikannya pemuda berompi ungu di hadapannya.

"Sorot matanya sedemikian angker dan mampu 

membuat nyali orang yang melihatnya menjadi ciut se-

ketika. Wajahnya tampan. Dan di kedua tangannya se-

batas siku, terdapat sisik-sisik coklat. Hemm... ra-

sanya aku pernah mendengar julukan seorang pemuda 

yang memiliki ciri seperti itu? Bukankah dia... hei! Dia 

tadi mengatakan berasal dari Lembah Naga?!"

Bukannya menjawab pertanyaan Raja Naga, 

Dundung Kalimayang berseru, agak cepat "Anak muda! 

Apakah kau orang yang berjuluk Raja Naga?"

Di hadapan kakek ini Raja Naga tak bermaksud 

menutupi siapa dirinya sebenarnya. Dianggukkan ke-

palanya.

"Ah... tak kusangka, kalau hari ini aku berjum-

pa dengan pemuda yang julukannya menggemparkan 

rimba persilatan setelah membunuh Hantu Menara 

Berkabut"

Raja Naga tersenyum.

"Sepak terjang Hantu Menara Berkabut me


mang mengerikan dan julukannya pun terdengar luas, 

hingga kematiannya pun menjadi berita besar," ka-

tanya dalam hati.

(Untuk mengetahui siapakah Hantu Menara 

Berkabut dan apa yang dialami oleh Raja Naga, silakan 

baca episode, "Tapak Dewa Naga" hingga "Misteri Me-

nara Berkabut").

"Kini aku tak perlu meragu lagi. Raja Naga... 

saat ini yang sedang kucari Hantu Bersayap, karena 

dialah yang menyebabkan cucuku menjadi agak sint-

ing sekarang. Orang itulah yang telah melakukan 

pembantaian terhadap suaminya!"

Mendengar kata-kata si kakek, Raja Naga me-

nyipitkan sepasang matanya. Lalu katanya perlahan, 

"Siapakah orang yang kau maksudkan sebagai cucu-

mu itu?"

"Gadis yang tadi kau sebutkan namanya!" 

"Oh! Astari?!"

Dundung Kalimayang menganggukkan kepa-

lanya.

"Astaga! Astari adalah cucumu, Orang Tua?"

"Ya! Dan dia menjadi sedikit sinting karena 

perbuatan yang dilakukan oleh Hantu Bersayap! Itulah 

sebabnya mengapa aku mencarinya!"

Raja Naga menenangkan gemuruh hatinya yang 

mendadak terjadi. Dipandanginya si kakek yang saat 

ini sedang mengusap-usap jenggotnya.

Lalu tanyanya perlahan, "Orang tua... kenalkah 

kau dengan perempuan berparas jelita seolah melebihi 

kecantikan para bidadari yang berjuluk Ratu Segala 

Bidadari?"

Mendengar pertanyaan si pemuda, Dundung 

Kalimayang tersentak. Kedua matanya membuka lebar.

"Anak muda... dari mana kau mengenal Ratu


Segala Bidadari?!" tanyanya sedikit menyentak.

"Semalam, aku mencuri dengar apa yang dika-

takannya pada muridnya yang bernama asli Gayang 

Lumajang, tetapi sekarang memakai nama Mat Ben-

dot!"

Dundung Kalimayang menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Lalu diarahkan pandangannya ke kejau-

han. Pancaran matanya kosong, karena dia bukannya 

sedang memperhatikan sesuatu yang menarik perha-

tiannya. Melainkan sedang memusatkan jalan pikiran-

nya.


ENAM


TUJUH belas tahun yang lalu, julukan sepa-

sang suami istri yang sering menimbulkan kekacauan 

di rimba persilatan mendadak muncul. Mereka berasal 

dari timur dan melakukan kekacauan di bagian sela-

tan! Yang perempuan berjuluk Ratu Segala Bidadari 

sementara suaminya berjuluk Manusia Dua Wajah!" 

kata Dundung Kalimayang tetap memandang ke depan 

dan tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipan-

dangnya.

Raja Naga hanya mendengarkan. "Banyak para 

tokoh golongan putih yang mencoba untuk menghenti-

kan sepak terjangnya. Tetapi kesaktian keduanya 

sungguh luar biasa, terutama bila mereka bersatu pa-

du. Untuk memancing mereka berpisah sungguh suatu 

hal yang mustahil mengingat keduanya selalu bersa-

ma-sama. Dan karena kebersamaan itulah yang me-

nyebabkan para tokoh golongan putih kesulitan untuk 

menghentikan sepak terjangnya."


Dundung Kalimayang mengusap jenggot putih-

nya. Lalu menyambung setelah berdiam beberapa la-

ma, "Aku pun kemudian turut andil dalam tindakan 

untuk menghentikan sepak terjang keduanya. Aku su-

dah merasakan kehebatan keduanya di saat mereka 

sama-sama menyerangku. Lalu kuputuskan untuk 

mencari kelemahan masing-masing. Dan kelemahan 

itu memang telah diketahui sejak lama. Adalah dengan 

cara memisahkan satu sama lain. Hingga suatu hari, 

aku berhasil memancing Manusia Dua Wajah menjauh 

dari Ratu Segala Bidadari. Bertarung satu lawan satu, 

aku memiliki banyak kesempatan untuk mengalah-

kannya dan aku memang berhasil mengalahkannya. 

Kala itu Ratu Segala Bidadari muncul, tetapi suaminya 

sudah keburu tewas di tanganku. Karena dalam kea-

daan terluka dalam, kuputuskan untuk melarikan diri 

dari Ratu Segala Bidadari. Dan sesuatu yang tak ku-

duga terjadi...."

Dundung Kalimayang terdiam beberapa lama. 

Kali ini sorot matanya kembali bersinar duka.

"Putriku yang baru melahirkan, tewas dibunuh 

oleh Ratu Segala Bidadari. Demikian pula dengan su-

aminya. Dua hari kemudian, aku datang ke kediaman 

putriku dan melihat keadaan yang mengenaskan. Ku-

cari putri mereka yang tidak ada di sana. Ku pikirkan

kemungkinan Ratu Segala Bidadari telah memba-

wanya. Hingga siang malam aku menyesali tindakanku 

dulu yang kemudian berakibat fatal pada putriku sen-

diri. Dan suatu hari, ketika aku singgah di desa ini ku-

lihat seorang gadis yang memiliki ciri tompel coklat pa-

da bagian atas payudaranya. Aku melihat kala dia se-

lesai mencuci dan hanya mengenakan kain kamben 

sebatas dada. Ku yakini betul kalau dia adalah cucu-

ku. Rupanya Ratu Segala Bidadari tidak membunuh


nya. Tetapi ada satu hal yang membuatku sedih. Kare-

na aku tak bisa mendekati cucuku atau mengakuinya 

sebagai cucuku. Tetapi bagiku itu bukan masalah be-

sar karena aku sudah senang melihatnya bahagia ber-

sama kedua orangtua angkatnya yang tentunya tak 

pernah menceritakan siapakah Astari sebenarnya...."

Dundung Kalimayang mendesah pendek.

Kemudian meneruskan ceritanya, "Aku hanya 

bisa menyaksikan cucuku semakin lama tumbuh men-

jadi seorang gadis remaja dan dipinang oleh Juragan 

Jagalaksa. Dan... ah, kini cucuku mengalami nasib sial 

karena ulahku tujuh belas tahun yang lalu...."

"Jangan menyesali keadaan, Orang Tua. Mung-

kin memang seperti inilah garis kehidupanmu...."

Dundung Kalimayang terdiam, lalu perlahan-

lahan menoleh pada Boma Paksi.

"Ceritakan apa yang kau ketahui tentang Ratu 

Segala Bidadari...."

"Apa yang kuketahui tak banyak karena seba-

gian dugaanmu benar. Saat ini Ratu Segala Bidadari 

telah mengetahui kalau Astari adalah cucumu. Dia 

sengaja tidak membunuh Astari, karena dia ingin me-

nyiksa batinmu yang diyakininya akan muncul untuk 

melihat keadaan cucumu, Orang Tua. Bersama seo-

rang muridnya yang bernama Gayang Lumajang, dia 

sedang menunggu kehadiranmu di desa Karang Bam-

bu ini. Dia juga memiliki kambrat berjuluk Hantu Ber-

sayap, orang yang telah membunuh suami cucumu 

dan menyebabkan cucumu berada dalam keadaan 

yang menyedihkan seperti sekarang...."

Wajah duka Dundung Kalimayang tiba-tiba saja 

berubah. Kegeramannya memuncak.

"Di mana Ratu Segala Bidadari berada?! Aku 

harus segera menyelesaikan urusan ini!"

"Aku sempat bertarung dengannya dan dia te-

lah pergi entah ke mana. Tetapi ku yakini kalau dia te-

tap berada di desa Karang Bambu. Karena dia tetap 

akan menunggu kehadiranmu untuk membalas den-

dam kematian suaminya."

"Kalau begitu... aku akan muncul di hadapan-

nya!" 

"Orang tua... aku tak bermaksud mencampuri 

urusanmu, tetapi apa yang telah terjadi juga ku rasa-

kan sebagai urusanku sekarang. Bila kau muncul se-

cara terang-terangan, justru yang akan menjadi kor-

ban adalah para penduduk yang tidak berdosa."

"Gila! Pikiran apa yang menyebabkan kau ber-

pikir demikian, hah?!"

Suara keras kakek berpakaian panjang biru 

muda itu disambut senyuman oleh Raja Naga. Pemuda 

dari Lembah Naga ini sama sekali tidak tersinggung

dengan bentakan si kakek.

"Karena aku berpikir, bila kau muncul urusan 

akan menjadi kacau balau. Tak mustahil para pendu-

duk yang akan menjadi korban. Mereka juga telah 

menjadi korban keganasan gerombolan Mat Bendot, 

atau yang bernama asli Gayang Lumajang. Dan aku 

yakin, mereka orang-orang yang mati di sekeliling kita 

sekarang ini, juga merupakan korban. Tetapi aku lebih 

yakin kalau mereka tewas dibunuh oleh Hantu Ber-

sayap."

Kata-kata pemuda berompi ungu itu dibenar-

kan oleh Dundung Kalimayang.

"Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?"

"Sebaiknya... kita memancing keluar Ratu Sega-

la Bidadari. Kalau sebelumnya dia yang memancing 

mu untuk muncul, sekarang kita ganti memancing-

nya...."


"Caranya?"

"Aku akan mencari muridnya yang bernama 

Gayang Lumajang itu. Aku yakin, bila muridnya telah 

kita kuasai, maka dia akan muncul. Dan sebaiknya, 

urusan ini dituntaskan bukan di desa Karang Bambu. 

Orang tua... bagaimana pendapatmu?"

Dundung Kalimayang tak menjawab. Mengusap 

jenggot putihnya. Setelah itu dianggukkan kepalanya.

"Yah... kau benar, Anak muda. Dan terima ka-

sih atas bantuanmu...."

"Karena aku merasa ini adalah urusanku juga."

"Baik! Kutunggu kau di Bukit Bulang-bulang!"

Habis ucapannya, Dundung Kalimayang segera 

berkelebat ke arah selatan. Tiga kejapan mata berikut-

nya, yang kelihatan hanyalah bayangan biru belaka 

sebelum kemudian lenyap dari pandangan.

Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek.

"Urusan ini memang tidak mudah. Karena keli-

cikan demi kelicikan tengah dijalankan oleh pihak Ra-

tu Segala Bidadari. Sampai saat ini, aku sendiri belum 

melihat sosok Hantu Bersayap...."

Beberapa saat lamanya, murid Dewa Naga tak 

bersuara. Kemudian dipandanginya, mayat-mayat yang 

bergeletakan.

Dengan mempergunakan sebatang ranting, dia 

mulai menggali tanah-tanah yang sengaja dibuat jarak 

agak sedikit berjauhan untuk menguburkan mayat-

mayat itu....

* * *

Malam merambat perlahan. Sejak kematian Ju-

ragan Jagalaksa dan terbunuhnya para penduduk be-

serta anak buah Mat Bendot, penjagaan diperketat.


balikkan tubuhnya. Dilihatnya satu sosok tubuh me-

layang di udara dengan merentangkan kedua tangan-

nya yang bersayap. Lalu tanpa menimbulkan suara, 

sosok tubuh yang mengenakan pakaian hitam telah 

hinggap di atas tanah. Berdiri angker. Wajah orang itu 

tertutup topeng dan dari balik topeng menyeramkan 

yang dipakainya, sorot kedua matanya menyala-nyala. 

"Hantu Bersayap...," desis Gayang Lumajang 

setelah mengenali orang itu. Sesaat diperhatikannya 

dengan seksama orang bertopeng menyeramkan, seo-

lah hendak menembusi siapakah orang yang berada di 

balik topeng itu. Tetapi tiba-tiba saja Gayang Lumajang 

menggeram keras, "Orang bersayap! Ada urusan apa 

kau menahanku, hah?!"

Hantu Bersayap mendengus.

"Aku tahu apa yang hendak kau lakukan di sini 

Gayang Lumajang!"

"Bila kau sudah tahu, mengapa kau masih be-

rada di sini, hah?!"

"Ratu Segala Bidadari adalah sahabatku! Setiap 

kata-katanya sangat kupatuhi karena aku pernah ber-

hutang nyawa padanya! Dan aku paham apa yang di-

rencanakannya! Dia tidak menginginkan cucu dari 

Dundung Kalimayang tewas saat ini! Dan tindakan 

yang hendak kau lakukan, sama sekali tak bisa kube-

narkan! Karena... kau hendak mendahului segala ren-

cana Ratu Segala Bidadari!"

"Terkutuk!" maki Gayang Lumajang keras. Wa-

jahnya memperlihatkan rasa tidak suka yang kentara, 

dan tidak dicobanya untuk ditutupinya, "Hantu Ber-

sayap! Kau hanya orang lain antara aku dan guruku! 

Jangan coba-coba mencampuri apa yang hendak kula-

kukan!" 

Terdengar suara rahang dikertakkan. "Jangan


memaksaku untuk melakukan tindakan kasar men-

gingat kau adalah murid sahabatku! Tetapi bila kau 

tak mengindahkan kata-kataku, aku tak segan-segan 

memberimu pelajaran!"

Mengkelap wajah Gayang Lumajang mendengar 

ancaman orang. Dia merasa lebih berhak melakukan 

apa yang hendak dilakukannya ketimbang orang ber-

topeng menyeramkan ini. Ratu Segala Bidadari adalah 

gurunya, jadi dialah yang lebih punya kuasa. Bukan 

orang bersayap ini!

Dengan kedua tangan terkepal, Gayang Luma-

jang menggeram,. "Mungkin kau sudah mendengar se-

pak terjang ku sebagai Mat Bendot! Dan kau melihat 

kalau aku tak memiliki kemampuan apa-apa! Tetapi

sebagai murid dari Ratu Segala Bidadari, aku telah di-

warisi ilmu yang sangat tinggi! Tentunya kau mengeta-

hui kesaktian dari ilmu guruku! Hantu Bersayap... kau 

yang berucap penuh ancaman, dan kuminta jangan 

coba-coba untuk menghalangi niatku!"

Sepasang mata Hantu Bersayap nyalang, tajam 

dan berapi-api.

"Gayang Lumajang! Perintah Ratu Segala Bida-

dari adalah membiarkan Astari hidup, agar Dundung 

Kalimayang sebagai kakeknya mendapatkan siksaan 

batin yang menjadi-jadi! Tak akan pernah kubiarkan 

kau membunuhnya!"

"Terkutuk!!" maki Gayang Lumajang keras. Dia 

sudah tak mampu untuk menahan gejolak amarahnya. 

Dengan gusar tangan kanannya didorong ke depan.

Saat itu pula menggebah gelombang angin yang 

menggebubu dingin!

Hantu Bersayap menjerengkan sepasang ma-

tanya. Kemarahan lelaki bersayap ini pun sudah tiba 

di ubun-ubun. Tetapi begitu diingatnya kalau orang di


hadapannya adalah murid dari Ratu Segala Bidadari, 

dia memutuskan untuk tidak bertindak telengas. Ka-

rena biar bagaimanapun juga, Ratu Segala Bidadari 

tentunya akan murka terhadapnya!

Sambil menggeser tubuhnya ke samping kiri 

sedikit, tangan kanannya yang menempel sayap hitam 

digerakkan.

Wuussss!!

Blaaarrr!!

Seketika terdengar letupan yang cukup keras, 

yang membuat tanah dan ranggasan semak membuyar 

ke udara. Tindakan yang dilakukan Hantu Bersayap 

semakin membuat kemarahan Gayang Lumajang ma-

kin menjadi-jadi.

Tetapi sebelum dilancarkan lagi serangannya, 

terdengar seruan keras, "Dari sana asal letupan itu!"

"Ayo kita ke sana! Siapa tahu ada manusia-

manusia keparat yang hendak mencelakakan Astari!"

Mendengar seruan-seruan itu, kemarahan 

Gayang Lumajang kian membara.

Tatapannya kian tajam pada Hantu Bersayap. 

"Orang bersayap terkutuk! Mungkin kau sahabat dari 

guruku, tetapi aku, telah membuat keputusan untuk 

menjadi seteru mu!!"

Habis membentak demikian, Gayang Lumajang 

segera melompat dan berlalu meninggalkan tempat itu. 

Di pihak lain, Hantu Bersayap sesaat memperhatikan 

sekelilingnya. Dilihatnya sekitar sepuluh orang tengah 

mengendap-endap ke arahnya dengan parang di tan-

gan.

Sejenak kemarahannya timbul dan berniat un-

tuk menghabisi kesepuluh orang yang ternyata adalah 

para peronda yang kebetulan melewati depan rumah 

Astari dan mendengar letupan yang terjadi tadi. Tetapi

begitu diingatnya sesuatu, Hantu Bersayap memu-

tuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Dengan sekali empos saja, tubuhnya sudah me-

layang di udara. Para peronda yang kini sudah tiba di 

balik ranggasan semak di mana Gayang Lumajang dan 

Hantu Bersayap sebelumnya berada, berpencar untuk 

mencari sumber letupan yang mereka dengar tadi. Me-

reka tak menemukan siapa pun di sana. Tetapi melihat 

lubang besar yang terjadi dan sedikit mengeluarkan 

asap, mereka yakin kalau sebelumnya ada orang di se-

kitar tempat itu.



TUJUH


OTONG dan Bagus baru saja pulang berdagang 

dari pasar. Keduanya bersiul-siul senang, terutama 

Otong yang dagangannya hari ini lebih banyak laku 

dari pada sahabatnya itu.

"Jangan bersiul-siul terlalu keras!" seru Bagus. 

"Mengapa? Aku lagi senang, kok!"

"Tong... apakah kau sudah lupa, kalau Hantu 

Bersayap selalu mengincar orang yang banyak uang?!"

"Hah?!" seru Otong terkejut dan seketika menu-

tup mulutnya. Kemudian dengan sorot ketakutan di-

pandangi sekelilingnya. Tetapi begitu dilihatnya Bagus 

tertawa, Otong menggeram. "Brengsek! Kau menakut-

nakutiku, ya?!"

"Memangnya kau tidak takut dengan Hantu 

Bersayap?" goda Bagus sambil tertawa.

Karena kesal digoda temannya barusan, Otong 

membusungkan dadanya lalu berkata sombong, "Huh! 

Mana orangnya? Mana?! Kalau dia muncul akan kupatah-patahkan lehernya!"

"Waduh! Sombongnya kau ini...."

"Aku tidak sombong! Aku mengatakan apa 

adanya! Kalau Hantu Bersayap muncul... biar ku... 

heit, eit, ciaaatt!!" Otong melakukan gerakan seperti 

orang sedang bersilat. Tetapi karena terlalu berseman-

gat dia justru terjerunuk karena terserimpung kakinya 

sendiri.

Bagus tertawa-tawa.

Demikian pula dengan Raja Naga yang berada 

di atas pohon. Pemuda yang kedua tangannya sebatas 

siku dipenuhi sisik coklat ini tersenyum geli melihat 

tingkah Otong.

"Sok tahu sih kau ini!" seru Bagus.

Otong nyengir sambil bangkit. Seraya menepuk-

nepuk celananya yang kotor dia berkata, "Aku ingin 

membuktikan, kalau aku tidak takut pada Hantu Ber-

sayap!"

Bagus segera menutup mulut Otong dengan 

tangannya.

"Jangan bicara sembarangan!"

"Hembbb... sembarangan bagaimana?" seru 

Otong setelah berhasil melepaskan tangan Bagus dari 

mulutnya.

"Bagaimana kalau Hantu Bersayap tiba-tiba 

muncul?!"

Otong yang melihat wajah Bagus menjadi te-

gang, semakin konyol, "Kalau dia muncul, akan kubu-

nuh saja!"

"Hei, hei! Kau bicara sembarangan ya?"

"Kau takut, ya? Takut?" 

"Memangnya kau tidak takut?" 

"Tidak sama sekali!"

"Kau ini sudah mau mampus rupanya! Apakah

kau tidak tahu kalau sebenarnya Hantu Bersayap se-

dang mencari seorang kakek bernama Dundung Kali-

mayang?"

Otong yang sejak tadi bercanda memandang te-

gang.

"Kakek bernama Dundung Kalimayang? Ah, 

kau ini tahu dari mana? Di desa kita tak ada kakek 

yang bernama Dundung Kalimayang...."

"Aku hanya mendengar saja...," sahut Bagus. 

Sementara itu. Raja Naga yang sedianya hendak me-

ninggalkan tempat itu mengurungkan niatnya. Diden-

garnya lagi kata-kata Bagus, "Aku menangkap kabar, 

kalau Hantu Bersayap sedang mencari kakek yang 

bernama Dundung Kalimayang. Apa kau pernah meli-

hat kakek yang mengenakan pakaian panjang warna 

biru muda?"

"Wah! Siapa ya? Kau pernah melihatnya?" 

"Tidak! Kakek itu memiliki jenggot putih yang 

cukup panjang. Dan dia...."

"Sudah, sudah! kau ini kok jadi ngelantur se-

perti itu!"

"Eh, aku tidak berkata bohong! Kau pernah me-

lihatnya tidak?!"

"Ya sudah tentu tidak!" sahut Otong agak jeng-

kel karena merasa dipermainkan sahabatnya itu. "La-

gian mana berani Hantu Bersayap muncul?"

"Memangnya kenapa?"

"Kalau dia muncul, akan kupatahkan batang 

lehernya!"

"Kau sudah pernah melihatnya?"

"Belum! Dengar-dengar saja sudah! Dia menge-

nakan pakaian hitam dengan topeng yang menyeram-

kan! Dan di kedua tangannya terdapat sayap! Ih! Ngeri 

betul!"


"Tuh! Kau takut?"

"Tidak! Mana orangnya?! Mana?!"

Bagus tertawa geli. Tiba-tiba dia memegang pe-

rutnya.

"Aduh... aduh.... Tong, perutku mulas! Kau 

tunggu di sini, ya? Tunggu ya?!"

"Brengsek kau! Sebentar lagi malam! Sana ce-

petan sedikit!!" seru Otong jengkel. Begitu Bagus berla-

ri, Otong berseru, "Tidak usah kau sisakan buat be-

sok!"

"Brengsek kau ya?!"

Otong tertawa geli. Lalu dia bersandar di bawah 

sebuah pohon. Angin senja berhembus sejuk. Otong 

saat ini senang sekali karena dia memiliki keuntungan 

yang banyak dari biasanya. Dibayangkannya dia akan 

mengumpulkan uang yang sangat banyak untuk me-

minang Juleha, gadis tetangganya yang memiliki tubuh 

bahenol tetapi berotak kosong.

Di pihak lain, Boma Paksi masih tetap duduk di 

atas pohon di mana di bawahnya Otong bersandar. 

Pemuda berompi ungu dari Lembah Naga memikirkan 

apa yang dikatakan oleh Bagus. Sesekali keningnya 

berkerut merut untuk merangkaikan apa yang telah 

didengarnya.

Namun sebelum dipikirkan lebih lanjut, men-

dadak saja dilihatnya satu sosok tubuh melompat dari 

balik ranggasan semak dan... jleegg!

Hinggap di hadapan Otong yang saat ini mulai 

diserang rasa kantuk. Begitu melihat orang yang mun-

cul di hadapannya, kontan Otong berdiri tegak dengan 

kedua mata terbelalak.

"Aku Hantu Bersayap...," desis orang bertopeng 

menyeramkan itu.

Saat itu pula Otong kehilangan tenaganya. Dia

tidak menyangka kalau orang yang sejak tadi dianggap 

sepele telah muncul di hadapannya. Seluruh tubuhnya 

bergetar hebat. Keringat saat itu pula bercucuran di 

seluruh tubuhnya.

Otong jatuh bersujud seperti orang kehilangan 

tenaga.

"Ampun... ampuni aku...."

"Tak seorang pun yang telah meremehkanku 

akan kuampuni!" seru orang bersayap itu sambil me-

langkah.

Otong tak berani mengangkat kepalanya. Degup 

jantungnya berdebar lebih keras. Dia berusaha men-

gumpulkan tenaganya untuk melarikan diri. Tetapi te-

naganya seperti terkuras habis, tanpa bekas.

Raja Naga sendiri tak menyangka kemunculan 

orang bersayap itu. Begitu dilihatnya orang bersayap 

itu mencengkeram kerah baju Otong, dia segera me-

lompat turun!

Kehadirannya tak diketahui oleh Otong yang 

sedang ketakutan. Tetapi orang bersayap itu tersentak. 

Buru-buru dilepaskan tangannya yang mencengkeram 

kerah baju Otong. Dan dia tersedak tatkala melihat ta-

tapan angker dari pemuda yang tiba-tiba muncul di 

hadapannya.

"Telah lama kudengar julukan Hantu Ber-

sayap... dan baru sekarang kita berjumpa!"

"Okh! Bukan, bukan! Aku bukan Hantu Ber-

sayap!" orang bersayap itu tiba-tiba berseru. Terburu-

buru dibuka topeng yang dipakainya. Lalu dibuka pa-

kaiannya yang kemudian terlihat pakaian lain.

Sementara itu, begitu mendengar seruan yang 

dikenalnya, dengan takut-takut Otong mengangkat ke-

palanya. Dilihatnya Bagus yang sedang buru-buru me-

lepaskan pakaiannya.


Raja Naga tersentak

"Astaga! Jadi...."

"Nah, nah! Kau lihat bukan, aku bukan Hantu 

Bersayap! Namaku Bagus! Dia kawanku yang bernama 

Otong!"

Dari rasa tegangnya tadi. Raja Naga mendengus 

mangkel. Rupanya Hantu Bersayap yang mendadak 

muncul itu adalah Bagus yang menyamar.

Di pihak lain Otong buru-buru berdiri.

"Kurang asem! Kau menakut-nakutiku, ya? Kau 

menakut-nakutiku!!" geramnya gemas sambil men-

cengkeram leher Bagus yang sesaat tersedak.

"Aku... aku... cuma ingin menggodamu saja...," 

desisnya sambil memegang kedua tangan Otong yang 

mencengkeram lehernya.

"Tapi aku bisa mampus kau buat!"

"Katamu... katamu kau tidak takut dengan 

Hantu Bersayap...," sahut Bagus membela diri. Ru-

panya dia tadi berpura-pura hendak membuang air 

dan berniat mempermainkan sahabatnya itu.

Otong melepaskan cengkeramannya dengan ge-

ram. Mulutnya merutuk panjang pendek.

Raja Naga mendesis, sorot matanya angker, 

"Tindakanmu itu dapat mencelakakanmu sendiri...."

"Tapi... tapi... aku cuma bermaksud memper-

mainkannya...."

"Bila saja kau tidak langsung membuka pe-

nyamaranmu, aku tak bisa membayangkan apa aki-

batnya...."

Otong yang baru menyadari kehadiran orang 

lain di sana, melirik. Dia tersentak begitu melihat sorot 

mata angker dari pemuda di sebelah kanannya.

"Kau... kau... siapa?"

Raja Naga mendesah pendek. Kekesalannya karena mau tak mau harus ikutan dalam urusan konyol 

membuatnya untuk beberapa saat sulit untuk berkata-

kata.

Bagus masih kelihatan takut-takut. Dia juga 

tak bersuara.

Beberapa saat hening. Raja Naga menghem-

buskan nafasnya kuat-kuat.

"Jangan sekali lagi kau melakukan tindakan 

seperti itu. Kau tahu sendiri, kalau saat ini Hantu Ber-

sayap sedang dicari banyak orang, terutama para pe-

ronda yang sudah tentu tak akan tinggal diam ..."

Bagus cepat-cepat menganggukkan kepalanya. 

"Ya, ya... maaf, maafkan aku...." Raja Naga menatap 

Otong.

"Dan kuminta, jangan sesekali meremehkan se-

seorang, karena kelak kau akan mendapatkan akibat 

dari sikapmu itu...."

Otong menganggukkan kepalanya.

Di saat lain, baik Otong maupun Bagus sama-

sama tersentak. Mereka merasakan desir angin yang 

membuat masing-masing orang secara tiba-tiba mun-

dur. Di lain kejap, mereka tak melihat lagi pemuda be-

rompi ungu!

Untuk sesaat tak ada yang bersuara. Tetapi di 

saat lain, Otong sudah mendengus pada Bagus.

"Tindakanmu tidak lucu! Aku bisa mampus 

berdiri tadi!" 

Bagus yang telah hilang ketegangannya terta-

wa.

"Tetapi kau bukan akan mampus berdiri, me-

lainkan akan mampus dalam keadaan berjongkok!"

"Brengsek! Konyol! Busuk! Tidak lucu!" maki 

Otong panjang pendek. Lalu sambungnya dalam hati, 

"Untung saja aku tidak terkencing-kencing di celana...."

Bagus tertawa. Setelah itu dia berkata, "Kau 

tahu siapa pemuda berompi ungu itu, Tong? Tatapan-

nya... fiuh! Mengerikan betul!"

"Rasa-rasanya... aku pernah melihat dia waktu 

kita makan di warung pojok jalan.... Tapi, aku tidak 

tahu siapa dia...."

"Sudahlah... ayo kita pulang!"

Tetapi Otong tak segera melangkah. Matanya 

tajam pada Bagus.

"Awas! Kalau kau berani mempermainkan ku

lagi?! Akan ku jitak kepalamu sampai benjol!" Bagus 

cuma tertawa.

Dia mendahului Otong melangkah sambil 

membawa benda-benda penyamarannya. Otong men-

dumal sebelum menyusul. Sambil melangkah dia ber-

tanya, "Dari mana kau dapatkan benda-benda keparat 

itu, hah?!"

"Ini rahasiaku...," sahut Bagus sambil tertawa. 

Sambil melangkah Otong memperhatikan Bagus yang 

sedang menyeringai. 

"Brengsek! Awas, kalau dia berani bercerita pada yang lain!"



DELAPAN


SUARA gemuruh air sungai terdengar cukup 

keras. Beberapa helai daun dari dahan yang menjuntai 

jatuh melayang. Dan langsung terbawa derasnya aliran 

sungai.

Perempuan jelita berpakaian putih bercahaya 

itu tegak di depan sungai. Berdiri dengan tatapan yang


diarahkan pada aliran sungai itu. Tak sekali pun pe-

rempuan yang bukan lain Ratu Segala Bidadari ini 

membuka mulut.

Tiba-tiba diangkat kepalanya ke kanan tatkala 

didengarnya kepakan sayap di udara. Angin tiba-tiba 

saja berubah. Tak lama kemudian, satu sosok tubuh 

melayang turun dan hinggap sejarak delapan langkah 

dari hadapannya.

"Bagaimana dengan tugasmu?" Ratu Segala Bi-

dadari langsung bertanya.

Orang bertopeng menyeramkan itu mendekat.

"Aku belum mendapatkan kepastian yang jelas 

tentang Dundung Kalimayang. Tetapi ada hal yang per-

lu kukatakan padamu...."

"Katakan!"

"Aku memergoki Gayang Lumajang yang berniat 

untuk membunuh Astari!"

Mata bercahaya milik Ratu Segala Bidadari 

membuka lebar. Ditatapnya Hantu Bersayap yang se-

dang menatapnya pula.

"Apa yang kau lakukan?"

"Sesuai perintahmu, aku menahan keinginan-

nya." 

"Bagus!"

"Tetapi dia telah menganggapku sebagai seo-

rang lawan! Ratu Segala Bidadari, bila aku tak ingat 

kalau dia adalah muridmu, sudah kubunuh dia saat 

itu juga...."

"Gayang Lumajang hanyalah alat yang baik ba-

giku untuk melaksanakan semua ini," kata Ratu Sega-

la Bidadari. Biar bagaimanapun juga, dia tak suka mu-

ridnya dilecehkan orang. "Padanyalah seluruh ilmu 

yang kumiliki kuturunkan! Bila kau hendak membu-

nuhnya, mungkin kau dapat melakukannya! Tetapi


aku berani bertaruh, kalau kau pun akan menda-

patkan penderitaan berkepanjangan!"

Hantu Bersayap tak mempedulikan kata-kata 

itu. Dia juga memandang aliran sungai yang bergemu-

ruh keras.

"Aku telah berjumpa dengan seorang pemuda 

berompi ungu. Di tangan kanan kirinya sebatas siku 

dipenuhi sisik berwarna kecoklatan. Apakah kau juga 

sudah berjumpa dengannya?"

Ratu Segala Bidadari menggeram.

"Aku bukan hanya pernah berjumpa dengan-

nya, tetapi aku pernah bertarung dengannya!"

Hantu Bersayap melirik.

"Apa yang terjadi?"

Ratu Segala Bidadari menceritakan pengala-

mannya.

"Pemuda itu nampaknya akan menjadi duri da-

lam urusan ini. Hantu Bersayap... aku yakin kalau 

pemuda itulah yang berjuluk Raja Naga..."

"Hemm.... Raja Naga. Aku juga telah mendengar 

sepak terjangnya. Apa yang kau katakan nampaknya 

tak mustahil terjadi. Sekarang, apa yang akan kau la-

kukan?"

"Apa maksudmu dengan apa yang akan kula-

kukan?"

"Bila kau menganggapnya sebagai duri, aku 

akan membereskannya!"

"Bagus! Kau bisa membunuhnya kapan saja 

kau mau! Tetapi, bagaimana dengan Dundung Kali-

mayang?"

"Sampai saat ini aku belum mendapatkan kete-

rangan yang tepat untuknya. Berulang kali kutanya-

kan pada orang-orang di desa ini tentang Dundung Ka-

limayang, tetapi tak seorang pun yang pernah mengenal ciri-ciri dari Dundung Kalimayang...."

Ratu Segala Bidadari terdiam. Paras jelitanya 

sedikit bercahaya.

Lalu katanya perlahan, "Kita tunggu kehadi-

rannya sampai besok sore. Bila dia tidak muncul juga, 

Astari harus dibunuh!"

"Baik! Kutunggu sampai besok sore untuk 

membunuh Raja Naga! Mungkin kau merasa lebih baik 

kaulah yang membunuh Astari!"

"Ya! Akulah yang akan melakukannya!"

"Kalau begitu, kita berpisah sekarang! Besok 

sore kita bertemu lagi di sini!" 

Habis ucapannya, Hantu Bersayap segera mele-

sat dengan mengepakkan kedua sayapnya. Gerakan-

nya sangat cepat sekali, karena dalam tiga kejapan 

mata saja dia sudah mengangkasa.

Di tempatnya Ratu Segala Bidadari masih ter-

diam. Otaknya terus memikirkan kemungkinan demi 

kemungkinan dari apa yang dilakukannya.

"Hemm... di mana Dundung Kalimayang sebe-

narnya berada? Aku telah bosan menunggu di desa ini 

terus menerus...," desisnya sambil menggeram. "Huh! 

Aku harus membunuh Astari! Mungkin dengan kema-

tian cucunya... dia akan berpikir beberapa kali untuk 

tidak muncul! Atau... sebenarnya tidak tahu apa yang 

telah terjadi dengan cucunya?"

Perempuan berparas jelita ini menjadi uring-

uringan dengan setiap pikirannya yang tiba-tiba mun-

cul. Mendadak dia menggeram dingin.

"Untuk apa aku memikirkan semua ini lebih 

lama! Astari harus kubunuh!!"

Kejap lain dia sudah berkelebat meninggalkan 

tempat itu.


* * *

Pada saat yang bersamaan Mat Bendot alias 

Gayang Lumajang sedang memacu dirinya di atas tu-

buh seorang gadis yang diculiknya. Dengusan nafas-

nya terdengar berat dan terengah-engah. Keringat su-

dah membasahi sekujur tubuhnya.

Di bawah himpitan tubuhnya, gadis yang ber-

paras cukup manis itu meringis menahan sakit. Air 

matanya sudah mengalir keluar. Tetapi tenaganya te-

lah lenyap sama sekali. Pada pipi kanannya terlihat 

warna biru dan dari sela-sela bibirnya darah segar 

mengalir.

Dengusan napas Gayang Lumajang semakin 

memburu. Gagal mengumbar gairahnya pada Astari, 

Gayang Lumajang memutuskan untuk menculik seo-

rang gadis dan kebetulan dia melihat seorang gadis 

manis yang sedang mandi sore di sebuah sungai.

Dengan keahliannya mudah saja dia menculik 

gadis itu dan langsung memperkosanya dengan buas.

Mendadak tubuhnya mengejang hebat, giginya 

diadu satu sama lain. Wajahnya meringis. Gadis di 

bawah tubuhnya meringis menahan sakit.

"Aaaah...," desis Gayang Lumajang panjang 

sambil merebahkan tubuhnya di atas tubuh si gadis. 

Nafasnya yang mendengus-dengus perlahan-lahan mu-

lai teratur.

Gadis yang dalam keadaan tertotok itu menggi-

git bibirnya menahan sakit. Dia sedikit bernapas lega 

tatkala lelaki yang memperkosanya berdiri. Tetapi 

hanya sesaat dia bisa bernapas lega, karena di saat 

lain.... 

Kraaakk!

Gayang Lumajang menampar pipi si gadis yang


seketika bergerak ke kanan. Dan saking kerasnya 

tamparan serta sentakan itu, leher si gadis patah!

Gayang Lumajang mendengus, lalu kembali 

mengenakan pakaiannya. Dipandanginya sekelilingnya 

yang sepi. Untuk beberapa saat dia masih merasakan 

tubuhnya lemas.

"Huh! Hantu Bersayap telah menggagalkan ren-

canaku untuk memperkosa dan membunuh Astari! 

Dan aku yakin, dia tetap berjaga-jaga agar aku tidak 

melakukan tindakan itu! Terkutuk! Kelak... dia akan 

mampus di tanganku!!"

Gayang Lumajang menggeram keras dengan 

kedua tangan terkepal.

"Sebaiknya... aku menjumpai Guru kembali. 

Akan kuadukan apa yang telah dilakukan oleh Hantu 

Bersayap!"

Sebelum meninggalkan tempat itu, dipandan-

ginya tubuh montok si gadis yang telah menjadi mayat. 

Ditatapnya lama-lama payudara indah dan bagian di 

pangkal paha si gadis yang tadi direguknya untuk 

mendapatkan kenikmatan.

Kejap lain, Gayang Lumajang berkelebat ke 

arah timur. Kepuasan yang didapatnya tadi tidak me-

nyenangkannya. Dia akan merasa lebih senang bila 

berhasil menikmati tubuh Astari! Juga membunuhnya!

Bayangan tompel coklat pada bagian atas buah 

dada Astari semakin melingkari benaknya. Rasa tidak 

sabarnya itu berubah menjadi kemarahan akibat tin-

dakan Hantu Bersayap. Dan dia semakin bernafsu un-

tuk mengadukan tindakan Hantu Bersayap pada gu-

runya.

Di jalan setapak yang dipenuhi ranggasan se-

mak, mendadak saja Gayang Lumajang menghentikan 

langkahnya. Matanya tak berkedip ke depan, kepada


seorang pemuda yang berdiri tegak dengan kedua tan-

gan terlipat di depan dada. Gayang Lumajang melihat 

jelas kalau pada kedua tangan yang terlipat itu terda-

pat sisik-sisik coklat!

Untuk beberapa saat dia tak bersuara sebelum 

membentak, "Pemuda celaka! Siapa kau yang berani 

menghalangi langkahku?! Apakah kau.," bentakan itu 

terputus begitu saja, ketika dilihatnya sorot mata ang-

ker yang menatapnya. "Astaga! Tatapan itu... begitu 

mengerikan!" sambungnya dalam hati.

Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja 

Naga adanya mendesis, "Gayang Lumajang... atau... 

kau harus kupanggil dengan nama Mat Bendot? Tapi 

kupikir, itu bukanlah hal yang utama! Kuminta... kau 

ikut denganku...."

"Terkutuk! Siapa pemuda tampan bermata 

mengerikan itu?" geram Gayang Lumajang dalam hati. 

Kemudian bentaknya, "Kau berucap begitu enak! Ten-

tunya itu disebabkan karena kau tidak tahu siapa 

aku!"

"Aku bukan hanya tahu siapa kau, tetapi aku 

tahu siapa orang yang berada di balik semua ini?" sa-

hut murid Dewa Naga dingin. "Gayang Lumajang... kau 

hanyalah cecunguk busuk dari gurumu yang berjuluk 

Ratu Segala Bidadari! Sebaiknya... kau ikut denganku! 

Tak perlu menyusahkan dirimu dalam urusan busuk 

gurumu!"

"Keparat! Kau pikir kau siapa, hah?!" geram 

Gayang Lumajang keras. Kalau sebelumnya dia sudah 

dilanda kegeraman akibat tindakan Hantu Bersayap, 

sekarang kegeramannya semakin menjadi-jadi. Dengan 

tangan menuding, dia membentak lagi, "Anak muda! 

Bagus kau berada di sini, hingga aku mendapatkan 

tempat untuk melampiaskan kekesalanku!!"


Habis bentakannya, Gayang Lumajang segera 

memutar kedua tangannya di depan dada yang kemu-

dian diangkatnya di atas kepala. Di saat lain, disen-

takkan kedua pergelangan tangannya yang menyilang 

itu ke depan!

Wuuuuss!

Saat itu pula memercik cahaya bening ke uda-

ra. Gayang Lumajang meniup percikan cahaya bening 

itu! 

Wunngggg!!

Kontan cahaya bening itu terlontar ke udara.

Melihat apa yang dilakukan oleh Gayang Luma-

jang, Raja Naga menjerengkan matanya.

"Hemmm... dia telah mengeluarkan ilmu seperti 

yang diperlihatkan Ratu Segala Bidadari padaku! Aku 

harus berhati-hati karena ilmu itu tak bisa dianggap 

enteng!"

Sebelum cahaya bening yang terlontar ke udara 

itu bergumpal membentuk seperti awan, Raja Naga 

sudah mendorong kedua tangannya ke udara.

Wussss!!

Menghampar gelombang angin besar yang dis-

ertai cahaya merah, langsung melabrak putus cahaya 

bening yang hendak berubah menjadi gumpalan awan. 

Melihat apa yang dilakukan pemuda berompi 

ungu. Gayang Lumajang tersentak.

"Kau?!"

"Aku telah bertarung dengan gurumu, hingga 

aku tahu apa yang akan kau lakukan?!" 

"Setaaannn!!"

Seiring makiannya, Gayang Lumajang melaku-

kan tindakan yang sama berulang-ulang dan berulang 

pula Raja Naga memutuskannya. Namun di saat lain 

dia gagal melakukannya, karena cahaya bening yang


terlontar itu sudah berubah menjadi gumpalan laksa-

na awan-awan.

Glegaaarrr!!

Guntur menyalak keras, disusul dengan kilat 

berwarna bening yang menyambar ke arah Raja Naga. 

Segera pemuda dari Lembah Naga ini melompat ke be-

lakang.

Blaaarr! Blaaarr!!

Kilat-kilat bening yang melesat itu menghantam 

tanah di mana Raja Naga sebelumnya berdiri. Belum 

lagi anak muda itu tegak di atas tanah kembali, kilat-

kilat lain terus menyambar berulang-ulang!

Dua buah pohon tersambar, dan begitu angin 

berhembus luruh menjadi debu!

Raja Naga melirik. Sorot matanya bertambah 

angker. Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua 

tangannya sebatas siku semakin jelas terlihat, pertan-

da kalau dia sudah berada dalam kemarahan.

"Hemm... aku harus melakukan tindakan se-

perti yang kulakukan terhadap Ratu Segala Bidada-

ri...."

Memutuskan demikian, Raja Naga tiba-tiba saja 

mendorong kedua tangannya ke udara. Namun pada 

saat yang bersamaan, kaki kanannya sudah dijejakkan 

di atas tanah!

Tanah muncrat sedikit ke atas. Dan pada saat 

yang bersamaan, tanah itu telah bergelombang, men-

deru dahsyat ke arah Gayang Lumajang yang tersen-

tak. Saat itu pula dia melompat ke samping. Kedua 

tangannya yang menyilang tadi dilepaskan, hingga pa-

da saat itu pula awan-awan bening yang tercipta tadi 

hilang begitu saja.

Di saat lain, sosoknya sudah menderu ke depan 

seraya mendorong tangan kanan kirinya.


Raja Naga menunggu dengan tatapan angker-

nya yang tajam. Begitu sosok Gayang Lumajang men-

dekat, mendadak sontak dia membuang tubuh ke 

samping kiri. Baru saja kedua kakinya hinggap di atas 

tanah, tiba-tiba saja dia meluruk ke depan.

Tangan kanannya menyambar tangan kanan 

Gayang Lumajang yang kemudian dipelintirnya! Me-

nyusul tangan kirinya memegang dada Gayang Luma-

jang dari belakang.

Dan....

Tuk! Tuk!

Tangan kanannya sudah menotok tubuh 

Gayang Lumajang yang seketika luruh laksana tanpa 

tulang. Ketika mulutnya akan bersuara, dengan men-

jentikkan ibu jarinya dengan telunjuk, Raja Naga telah 

menotok lelaki itu.

"Aku bukanlah orang yang kejam. Tetapi aku 

membutuhkan bantuanmu. Bila saja ini bukan uru-

sanku, sudah tentu kau tak akan kuperhitungkan. Me-

lainkan gurumu atau Hantu Bersayap...."

Sepasang mata Gayang Lumajang mendelik gu-

sar. Dia berusaha untuk memaki-maki, tetapi tak ada 

suara yang keluar.

Dengan sekali menjejakkan kaki kanannya di 

atas tanah, tubuh Gayang Lumajang seketika mumbul 

yang segera ditangkapnya. Baru saja Gayang Luma-

jang merasakan tubuhnya berada di bopongan si pe-

muda, mendadak dia merasa tubuhnya sudah melesat 

sedemikian cepat!

Setelah membawa tubuh Gayang Lumajang ke 

Bukit Bulang-bulang dan menyerahkannya pada Dun-

dung Kalimayang yang sudah menunggu di sana, Raja 

Naga kembali lagi ke desa Karang Bambu, tepat pada 

saat matahari sepenggalah. Malam telah kembali pergi


dengan cepat. 

Raja Naga yang sedang menjalankan renca-

nanya untuk ganti memancing kemunculan Ratu Sega-

la Bidadari, segera menjalankan maksud. Setelah ber-

hasil menculik Gayang Lumajang, dia memang akan 

melakukan satu tindakan yang akan didengar oleh Ra-

tu Segala Bidadari.

Dan pasar merupakan tempat yang tepat!

Segera saja dikatakannya kalau Mat Bendot, 

otak dari gerombolan yang mengacau di desa itu telah 

ditangkapnya dan ditawannya di Bukit Bulang-bulang.

Pemberitahuan yang dilakukannya secara sen-

gaja itu pun cepat tersebar. Otong dan Bagus yang me-

lihat Raja Naga sama-sama berpandangan. Mereka in-

gat kalau pemuda itulah yang telah muncul di hada-

pan mereka kemarin sore.

"Gus! Rupanya pemuda itu bukan orang sem-

barangan?!"

"Ya! Tetapi dia berada di pihak kita. Kan dia 

menangkap Mat Bendot?"

"Kau betul! Ayo, kita teriakkan juga kabar gem-

bira ini!"

Keduanya pun sibuk meneriakkan kalau Mat 

Bendot telah ditangkap!

Sementara itu, Raja Naga sendiri telah menghi-

lang dari keramaian, karena dia memikirkan sesuatu 

yang mungkin terjadi.

Ketika siang tiba, Otong kelimpungan mencari 

sahabatnya. Karena sahabatnya itu tidak berada di si-

sinya.

"Busyet! Di mana si Bagus itu?" dengusnya. Te-

tapi kemudian tak dipedulikannya. Dia terus mene-

riakkan berita tentang Mat Bendot yang telah ditangkap.


Jauh dari sana, bayangan bersayap itu melesat 

cepat melewati atas pepohonan dan turun di sebuah 

tempat. Dilihatnya Ratu Segala Bidadari berada di sa-

na.

"Aku tahu mengapa kau datang kemari," kata 

perempuan jelita itu tanpa menoleh. "Karena aku telah 

mendengar apa yang terjadi dengan muridku."

"Bagus kalau kau sudah tahu! Muridmu telah 

ditawan oleh Raja Naga di Bukit Bulang-bulang! Ini ar-

tinya, Raja Naga memang akan mengacaukan seluruh 

rencana yang telah kita susun!"

Ratu Segala Bidadari tak menjawab.

"Kita harus lebih cepat menjalankan rencana 

sebelum Raja Naga semakin lancang mencampuri uru-

san ini!" seru Hantu Bersayap lagi.

Ratu Segala Bidadari meliriknya.

"Baik! Kita tak perlu menunggu sampai senja 

tiba! Kau bunuh Astari sekarang juga, sementara aku 

akan berangkat menuju ke Bukit Bulang-bulang! Sete-

lah kau membereskan Astari, kau susul aku!"

"Bagaimana dengan Dundung Kalimayang?"

Kali ini Ratu Segala Bidadari menegakkan ke-

palanya.

"Entah mengapa... aku merasa Dundung Kali-

mayang berada di balik semua ini...."

"Maksudmu... dia yang mengatur dan memutar 

keinginan kita?" 

"Aku hanya menduga! Lakukan tugasmu seka-

rang!" 

Hantu Bersayap mengangguk dan terbang lagi 

di udara, sementara Ratu Segala Bidadari pun segera 

menuju ke Bukit Bulang-bulang dengan hati murka.


****


SEMBILAN


KEMUNCULAN Hantu Bersayap yang hinggap 

di atap rumah Astari memancing perhatian sepasang 

mata angker yang memang sudah menunggunya di ba-

lik rimbunnya semak.

"Hemmm... dugaanku ternyata benar. Kalau ti-

dak Hantu Bersayap, Ratu Segala Bidadari yang akan 

muncul di sini. Mereka tentunya telah menangkap ge-

lagat yang tak menguntungkan dan akan segera 

menghabisi nyawa Astari.... Dan dia akan menemukan 

satu kejadian yang sungguh di luar dugaannya...."

Di pihak lain, sepasang mata menyala dari ba-

lik topeng menyeramkan yang dipakai, memandangi 

sekelilingnya. Kedua telinganya dibuka lebar-lebar. Se-

benarnya dia merasa cukup heran, karena tak men-

dengar suara-suara di dalam. Tapi di saat lain Hantu 

Bersayap sudah memukul pecah atap rumah itu. 

Brooll!!

Pecahan genting berhamburan dan atap itu 

menjadi bolong. Kejap itu pula Hantu Bersayap me-

lompat turun. Tetapi tak seorang pun yang berada di 

sana. Hantu Bersayap berkelebat ke sana kemari. Na-

mun orang yang dicari tetap tak berada di sana.

Selagi dia celingukan dengan kening berkerut, 

dari atas terdengar suara, "Kau tak akan menemukan 

siapa pun di tempat ini kecuali aku!"

Seketika diangkat kepalanya. Dilihatnya pemu-

da berompi Ungu sudah berdiri di sana.

"Keparat!!" maki Hantu Bersayap yang kemu-

dian sadar apa yang telah terjadi. Tentunya pemuda 

bersorot mata angker itulah yang telah mengungsikan


seluruh penghuni rumah ini.

Dengan kegeraman tinggi, Hantu Bersayap 

mencelat ke atas dengan kedua tangan terangkat.

Brrolll!!

Atap rumah itu jebol, berhamburan ke sana-

sini.

Raja Naga sudah melompat turun dan melihat 

orang bersayap itu hinggap di atas tanah dengan rin-

gannya. Keduanya berpandangan tanpa ada yang ber-

suara.

"Keparat hina! Bagus kalau kau berani muncul 

di hadapanku! Karena aku tak perlu susah payah 

mencarimu!!"

Raja Naga tak menjawab. Dia berpikir, "Aku ya-

kin pertarungan tak dapat dielakkan. Sebaiknya... ku

pancing dia agak menjauh dari sini!"

Memutuskan demikian, murid Dewa Naga ber-

kata "Kekejamanmu sudah tak bisa dimaafkan lagi! 

Tapi aku masih memberimu kesempatan agar kau sa-

dar dari apa yang telah kau lakukan! Namun sebelum 

ku maafkan semuanya, buka topengmu itu! Aku ingin 

tahu wajahmu yang sebenarnya!"

Hantu Bersayap terbahak-bahak.

"Kau tak akan pernah melihatnya karena kau 

sudah keburu mampus!!"

Kejap itu pula dia mencelat ke depan. Kedua 

sayapnya terentang. Kaki kanannya diayunkan!

Wuuuttt!!

Desiran angin keras menyerbu lebih dulu ke 

arah Raja Naga yang kemudian mendeham dan mem-

buat desiran angin itu putus di tengah jalan.

Lalu... buk! Buk!

Tangan kanan kirinya sudah diangkat untuk 

menahan tendangan kaki kanan kiri Hantu Bersayap.


Benturan yang terjadi itu membuat Hantu Ber-

sayap mundur. Kedua kakinya dirasakan cukup ngilu.

"Hebat!" dengusnya lalu menyerbu lagi.

Di pihak lain, Raja Naga segera berkelebat un-

tuk menjauh. Karena diyakininya betul pertarungan 

yang terjadi itu akan memancing perhatian para pen-

duduk desa Karang Bambu.

"Keparat bersisik! Mau lari ke mana kau?!" 

bentak Hantu Bersayap sambil terbang menyusul.

Raja Naga menemukan sebuah tempat yang la-

pang. Begitu dihentikan larinya, segera dibalikkan tu-

buhnya. Dan....

Buk! Buk!

Dihantamnya kedua kaki Hantu Bersayap yang 

siap menghajar kepalanya!

Kali ini Hantu Bersayap tak merasakan apa-apa 

karena sebelumnya dia sudah mengalirkan tenaga da-

lamnya. Menyusul kedua sayapnya digerakkan. Seke-

tika menggebah gelombang angin dahsyat yang mem-

perdengarkan suara bergemuruh. Tanah dan rangga-

san semak terseret membuyar ke udara. Untuk bebe-

rapa kejap menghalangi pandangan Raja Naga.

Raja Naga segera melepaskan ilmu 'Kibasan 

Naga Mengurung Lautan'! Letupan keras saat itu pula 

terjadi. Tanah di mana letupan itu terjadi, muncrat ke 

udara setinggi satu tombak! Belum lagi tanah-tanah 

itu sirap, mendadak sontak satu bayangan melesat ke-

luar disertai teriakan penuh amarah!"

Raja Naga tersentak kaget. Kepalanya menegak. 

Menyusul diputar kedua tangannya di atas kepala se-

belum dipalangkan

Buk! Buk!

Jotosan Hantu Bersayap yang dilakukan dari 

atas membuat tubuh Raja Naga sedikit menekuk kebawah. Menyusul.... 

Dess!!

Dadanya terhantam tendangan keras Hantu 

Bersayap yang membuatnya mundur beberapa lang-

kah. Belum lagi dapat dikuasai keseimbangannya, 

Hantu Bersayap sudah meluruk dengan tubuh di atas 

tanah!

"Astaga! Nampaknya aku memang harus mela-

kukan kekerasan!" desis Raja Naga. Dia segera merun-

duk menghindari lurukan tubuh Hantu Bersayap.

Dan secara tiba-tiba memutar tubuhnya mele-

paskan satu tendangan, yang dapat dihindari oleh 

Hantu Bersayap. Dalam kedudukan menyerang sambil 

terbang seperti itu, Hantu Bersayap mendapat angin 

lebih, membuat Raja Naga berulang kali yang harus 

menghindar.

Hantu Bersayap terus mencecar. Setiap kali di-

kibaskan sayap-sayapnya gelombang angin mengeri-

kan terjadi.

"Berabe kalau begini terus! Dia memiliki keun-

tungan dari kepandaiannya terbang. Tetapi aku yakin, 

dia sebenarnya bukan terbang, tetapi dia telah memili-

ki ilmu peringan tubuh yang tinggi. Atau... bisa jadi dia 

memiliki ilmu yang mematikan bobot tubuh hingga se-

perti udara! Aku harus menghantamnya sekarang!"

Kalau sebelumnya Raja Naga selalu menghin-

dar, kali ini begitu mundur dia sudah melepaskan ilmu 

'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. Bersamaan Hantu 

Bersayap menghindar dan hinggap di tanah, ilmu 

'Barisan Naga Penghancur Karang' menggebrak. Tanah 

seketika bergelombang yang dapat dihindari dengan 

mudah oleh Hantu Bersayap karena dia dapat melesat 

ke atas. Tetapi serangan berikutnya dari Raja Naga 

yang melepaskan pukulan 'Hamparan Naga Tidur'


membuat orang bersayap itu terlempar ke belakang 

dengan perut yang seperti melesak!

Bila saja Raja Naga menghendaki kematiannya 

saat ini, dengan mudah dapat dilakukannya. Tetapi 

anak muda itu hanya berdiri dengan membuka sedikit 

kakinya.

"Aku tak ingin mencabut nyawamu! Aku hanya 

ingin...."

Belum habis kata-katanya. Raja Naga sudah 

melesat ke depan. Dan... tap!

Topeng menyeramkan yang dikenakan Hantu 

Bersayap telah disambarnya. Saat itu pula Raja Naga 

tertegun dengan mata membeliak.

"Bagus...."

* * *

Orang bersayap yang kini telah terlepas topeng 

yang dipakainya menggeram.

"Pemuda keparat! Kau sudah melihat wajahku 

dan mengetahui siapa aku sebenarnya.... Berarti, kau 

harus mampus!"

"Pantas kau mengetahui tentang Dundung Ka-

limayang! Dan aku yakin, kau bukannya bermaksud 

mempermainkan Otong di kala kau muncul dan men-

gaku hanya menyamar saja! Tentunya kau berharap 

dapat mengetahui apakah Otong pernah melihat Dun-

dung Kalimayang setelah kau mengatakan ciri-cirinya!"

Bagus menggeram dingin. Wajahnya kaku. Lain 

sekali dengan yang sebelumnya terlihat.

"Huh! Selama delapan bulan aku mencoba 

mencari keterangan tentang Dundung Kalimayang, te-

tapi selalu gagal. Dengan penyamaran ku sebagai Ba-

gus aku seharusnya dapat menemukan jejak Dundung


Kalimayang! Dan sialnya, tak seorang pun yang men-

getahui tentang Dundung Kalimayang, padahal aku 

sudah berusaha mengorek keterangannya!"

"Tentunya... kau pula yang telah membunuh 

para penduduk dan anak buah Mat Bendot atau 

Gayang Lumajang!"

"Ya! Manusia-manusia itu harus mampus! 

Gayang Lumajang gagal menjadikan anak buahnya se-

bagai orang-orang tangguh! Aku merasa terpanggil un-

tuk membunuhi mereka!"

Kata-kata yang enteng itu membuat sepasang 

mata angker milik Raja Naga semakin bersorot angker. 

Sisik-sisik coklat yang terdapat pada kedua tangannya 

sebatas siku, bersinar lebih terang. Tetapi di saat lain, 

sudah ditindihnya kemarahannya

Lalu dibuangnya topeng menyeramkan yang 

sebelumnya dipakai oleh Bagus sebagai Hantu Ber-

sayap.

"Penyamaranmu telah terbuka, dan semuanya 

harus diakhiri! Sesuai ucapanku tadi, sebaiknya kau 

pergi dari sini!"

Sepasang mata Bagus menyala bengis.

"Jangan merasa kau telah memenangkan perta-

rungan ini, Raja Naga!"

Habis bentakannya dia melesat ke depan. Kali 

ini tubuhnya membubung lebih tinggi. Lalu seperti 

orang sedang terjun ke air, dia menderu ke arah Raja 

Naga.

Di tempatnya Raja Naga memandang tak ber-

kedip. Cepat digeser tubuhnya ke samping kanan.

Blaaarrr!!

Tanah di mana dia berdiri sebelumnya, jebol 

dan rengkah terhantam kedua tangan Bagus. Begitu 

menghantam tanah, tubuh Bagus atau yang lebih di


kenal dengan julukan Hantu Bersayap telah mencelat 

lagi.

Tetapi itulah tindakan terakhir yang dilaku-

kannya. Karena Raja Naga sudah melepaskan jurus 

'Hamparan Naga Tidur'. Salah satu jenis pukulan yang 

sama sekali tidak terlihat.

Des! Des!!

Tubuh Bagus terlempar ke belakang. Kedua 

bahunya patah. Dan urat pada punggungnya putus. 

Berarti, ilmu yang dimilikinya telah sirna!

Raja Naga hanya mendesis, "Maafkan tinda-

kanku.... Kau terlalu keras kepala. Ilmumu sudah sir-

na. Dan kau tak akan mungkin mempelajari ilmu baru. 

Karena urat punggung adalah bagian vital dari tenaga 

dalam yang kita miliki...."

Bagus mengerang menahan sakit. Raja Naga 

segera berlalu ke tempat di mana diungsikannya Astari 

dan kedua orangtua angkatnya. Lalu diajaknya mereka 

menuju ke Bukit Bulang-bulang. Raja Naga telah ber-

hasil menyembuhkan Astari dengan cara meminumkan 

air rendaman Gumpalan Daun Lontar, pusaka milik 

mendiang ayahnya yang dapat mengobati penyakit apa 

saja. Keadaan Astari kini jauh lebih baik dari sebelum-

nya. Dalam perjalanan menuju ke Bukit Bulang-

bulang, Raja Naga menceritakan siapakah orang yang 

akan mereka temui. (Untuk mengetahui gumpalan 

daun lontar, benda pusaka ampuh, silakan baca epsi-

sode : "Tapak Dewa Naga" sampai "Misteri Menara Ber-

kabut").

Beberapa saat kemudian, Otong melewati tem-

pat itu. Dia terkejut melihat Bagus yang sedang men-

gerang di atas tanah. Terburu-buru dihampirinya lelaki

berparas tampan itu. Tetapi begitu dilihatnya pakaian 

bersayap yang dikenakan Bagus dan topeng menyeramkan yang tergeletak di atas tanah, Otong menghen-

tikan langkahnya.

Diperas otaknya untuk memikirkan apa yang 

sebenarnya terjadi. Tatkala tiba pada satu pikiran ka-

lau Bagus adalah si Hantu Bersayap, Otong cuma ter-

tegun.

Pada saat yang bersamaan, Ratu Segala Bida-

dari sedang mendesak Dundung Kalimayang. Gayang 

Lumajang hanya terbaring di atas tanah tanpa bisa 

bergerak. Bukan main geramnya lelaki penuh cambang 

ini mendapatkan keadaan dirinya sekarang.

Benturan demi benturan terjadi. Letupan keras 

berulang-ulang terdengar. Tanah berhamburan ke 

udara. Dan Bukit Bulang-bulang seperti bergetar he-

bat.

Ratu Segala Bidadari terus menyerang ganas. 

Tak sekali pun dia memberi kesempatan pada Dun-

dung Kalimayang untuk membalas. Pikirannya dipu-

satkan untuk membunuh orang yang telah membunuh 

suaminya!

Paha yang gempal, mulus dan menggiurkan mi-

lik Ratu Segala Bidadari terbuka berulang-ulang saat 

dia berkelebat. Paras jelitanya telah berubah menjadi 

bengis. Cahaya-cahaya bening berkiblat cepat menge-

rikan. Awan-awan bening telah mengeluarkan guntur 

dan kilatnya!

Sambil terus menghindar Dundung Kalimayang 

berseru, "Kau telah mengeluarkan ilmu 'Cahaya Awan' 

Itu pertanda kau memang tak mau berdamai"

"Jangan banyak mulut! Kau harus mampus! 

Mampus di tanganku, Dundung Kalimayang!" geram 

Ratu Segala Bidadari keras. Sebenarnya dia tak mera-

sa yakin dengan kemampuannya untuk dapat mem-

bunuh Dundung Kalimayang. Saat ini yang ditunggunya adalah Hantu Bersayap. Dengan bantuan Hantu 

Bersayap, Ratu Segala Bidadari merasa pasti dapat 

membunuh kakek berpakaian biru muda itu dengan 

mudah.

Tetapi, Hantu Bersayap belum muncul juga 

saat ini!

"Keparat terkutuk! Apa yang dilakukan orang 

sialan itu?! Huh! Jangan-jangan saat ini dia sedang 

menikmati tubuh montok Astari!" makinya dalam hati 

dan terus melancarkan serangan. Lalu berseru dengan 

maksud melumpuhkan semangat Dundung Kali-

mayang, "Kakek celaka! Apakah kau tidak tahu kalau 

saat ini cucumu sedang dinikmati oleh Hantu Ber-

sayap?!"

Dundung Kalimayang tak bergeming dengan 

ucapan itu. Dalam satu kesempatan dia mulai memba-

las. Sinar-sinar biru muda mencelat dan menebarkan 

hawa panas yang membuat Ratu Segala Bidadari ha-

rus mundur beberapa langkah.

"Ilmu itulah yang telah membunuh suamiku...," 

desisnya dengan wajah sedikit berubah. "Terkutuk! Ke 

mana Hantu Bersayap?! Mengapa dia belum muncul 

juga?!"

"Mengapa seranganmu menjadi kendor, Perem-

puan?" ejek Dundung Kalimayang terus menyerang. 

"Sebaiknya kita hentikan pertikaian ini dan berjalan 

pada arah masing-masing!"

"Setan! Tutup bacotmu! Perlu kau ketahui, aku-

lah orang yang berada di belakang pembunuhan Jura-

gan Jagalaksa! Karena aku tahu, istrinya adalah cu-

cumu!"

"Dan kau mengatakan kalau saat ini cucuku 

sedang dalam keadaan yang sulit sekaligus menyedih-

kan?"


Ratu Segala Bidadari yang sedang mencoba 

menyerang menggeram. "Kau akan menyesali apa yang 

dialami oleh cucumu itu!"

"Astaga! Pikiran apa yang merasuki benakmu, 

hah?! Coba kau lihat ke belakang!"

Seruan itu seketika membuat Ratu Segala Bi-

dadari menoleh ke belakang. Dilihatnya Raja Naga se-

dang melangkah sambil tersenyum bersama tiga orang 

lain-nya. Dan salah seorang adalah Astari!

"Keparat!!" makinya pada Dundung Kali-

mayang. 

"Ini adalah berkat kecerdikan Raja Naga! Aku 

yakin, Hantu Bersayap pun saat ini sudah tidak ber-

daya! Apakah kau masih hendak meneruskan perta-

rungan ini?!"

Wajah Ratu Segala Bidadari berubah pias. Dis-

adarinya betul kedudukannya sekarang. Semula yang 

diharapkan adalah bantuan dari Hantu Bersayap. Atau 

paling tidak, adalah muridnya. Tetapi muridnya sudah 

dalam keadaan tak berdaya sama sekali.

Ketegangan yang mulai melanda dirinya beru-

bah menjadi kenekatan. Hatinya tetap tak akan bisa 

tenang sebelum melihat orang yang telah membunuh 

suaminya masih hidup. Dan dia merasa inilah kesem-

patan satu-satunya untuk menghabisi orang yang te-

lah membunuh suaminya.

Tatapannya tajam, nyalang dan berbahaya.

Dundung Kalimayang mendesah pendek.

"Aku tak ingin membunuhnya. Tetapi nampak-

nya dia tak akan mundur sejengkal juga...."

Mendadak saja perempuan jelita itu menderu 

diiringi teriakan dahsyat ke arah Dundung Kali-

mayang! Tangan kanan kirinya didorong ke depan, 

menyusul lesatan gelombang angin hebat!


Dundung Kalimayang menahan napas.

Tiba-tiba pula dia melesat ke depan. Sinar-sinar 

birunya mendahului, dan membuat Ratu Segala Bida-

dari membuang tubuh ke samping kiri. Saat itulah 

Dundung Kalimayang melepaskan jotosannya.

Dess!

Satu jotosan yang mampir di bagian tengah dari 

sepasang bukit kembar Ratu Segala Bidadari, mem-

buat perempuan itu terjerunuk di atas tanah! Tubuh-

nya terbanting keras. Dadanya terasa remuk dan sa-

kitnya tak terkira.

Dundung Kalimayang buru-buru mendeka-

tinya.

"Jangan banyak bergerak. Biar kuobati dulu...."

Ratu Segala Bidadari meronta dan berdiri ter-

huyung. Sorot matanya tajam.

"Tak sudi aku dibantu oleh lawanku!" bentak-

nya sengit. "Dundung Kalimayang... kali ini lagi-lagi 

aku mengaku kalah... tetapi kelak... aku akan muncul 

lagi untuk menuntaskan silang urusan yang belum 

terselesaikan ini!!"

Sambil memegangi dadanya yang sakit, ter-

huyung-huyung Ratu Segala Bidadari meninggalkan 

tempat itu, diiringi pandangan resah Dundung Kali-

mayang.

"Sayang... sayang sekali kau terlalu keras kepa-

la.... Padahal, masih ada jalan terbuka untuk berto-

bat...," katanya dalam hati.

Lalu didengarnya suara orang melangkah men-

dekatinya. Dilihatnya Astari berdiri di hadapannya. 

Rasa rindu dan suka cita seketika bergemuruh di hati 

Dundung Kalimayang. Selama ini dia hanya bisa me-

mandangi cucunya dari kejauhan. Telah lama diingin-

kannya untuk membelai, mendekap dan memanjakan


cucunya itu, darah daging putrinya yang telah tiada.

Tetapi ditahan keinginannya untuk merangkul 

dan membelai rambut cucunya, karena disadarinya 

kalau cucunya tentunya tidak tahu siapa dirinya sebe-

narnya.

Namun panggilan yang terlontar dari mulut As-

tari, membuatnya terperangah, "Kakek...."

Seketika Dundung Kalimayang tersenyum ce-

rah dan tertawa-tawa sekaligus haru. Dirangkulnya 

Astari yang telah berlari ke dalam rangkulannya. Dibe-

lai rambut indah cucunya penuh kasih sayang.

"Pasti... pasti Raja Naga yang mengatakan se-

mua ini...," katanya dalam hati.

Lalu diangkat kepalanya ke depan. Tetapi dia

tak lagi melihat sosok Raja Naga di sana. Bahkan ke-

dua orang tua angkat Astari yang kini telah mengeta-

hui apa yang terjadi pun tersentak kaget karena pe-

muda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi si-

sik coklat itu sudah tidak ada di sana.

Kemudian perlahan-lahan mereka mendekati 

Dundung Kalimayang. Merangkapkan kedua tangan-

nya di depan dada.

Tanpa sadar, air mata haru keluar dari sepa-

sang mata tua Dundung Kalimayang. Orang tua tegar 

perkasa itu ternyata masih juga tak mampu menahan 

harunya.

Dia mendesis pelan, "Terima kasih Raja Na-

ga...."

Di sebuah tempat yang cukup jauh dan sana, 

pemuda berompi ungu yang kedua tangannya dipenuhi 

sisik coklat terus berkelebat melewati jalan setapak, 

ranggasan semak, akar pohon yang melintang, perbu-

kitan dan masih banyak yang akan dilaluinya. Karena, 

dia merasa petualangannya belum selesai....


                                     SELESAI



                            Segera menyusul:

                   MISTERI LABA-LABA PERAK





































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive