..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 25 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE NERAKA ASMARA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com



Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Editor: Puji S.

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Neraka Asmara

128 hal.


SATU


Sebenarnya, sang mentari baru saja merangkak 

dari peraduannya. Namun karena bongkahan awan hi-

tam berarak terlihat menggantung di angkasa, diting-

kahi lecutan kilat membadai centang perentang meng-

hajar ujung langit, membuat suasana menakutkan dan 

bagai digenggam ujung kebutan. Sebentar kemudian 

hujan pun turun dengan derasnya.

Di bawah derasnya hujan, tampak seorang pe-

nunggang kuda melintasi jalanan agak sepi dan berba-

tu. Mungkin karena jalanan di hadapannya mulai agak 

menukik dan terjal berbatu-batu, si penunggang kuda 

agaknya tak berani menghela kuda tunggangannya 

agar berlari lebih kencang. Malah sesekali terlihat ku-

da tunggangannya dihentikan sambil memperhatikan 

sekeliling. Lalu setelah dapat menyiasati jalan, dia 

kembali meneruskan perjalanannya. 

Namun ketika beberapa langkah memasuki se-

buah lembah, penunggang kuda yang tampak menggi-

gil basah kuyup kedinginan, dikejutkan oleh berde-

singnya suara menyambar. Dengan cepat dia berpal-

ing, dan langsung terperangah kaget. Dalam kegelapan 

suasana, tampak melesat sebuah benda berkilau me-

nerabas cepat ke arahnya. 

Diiringi rasa terkejut, penunggang kuda ini se-

gera menarik tali kekang. Seketika bahunya sedikit di-

geser ke samping. Sehingga, benda itu melesat satu 

jengkal di samping bahunya.

Di bawah pijaran kilat yang sesekali menerpa, 

wajah penunggang kuda ini tampak berubah menjadi 

merah padam. Rahangnya terangkat membatu. Semen-

tara matanya membelalak merah menahan marah

mendapati dirinya dibokong. 

Penunggang kuda ini adalah seorang pemuda 

tampan. Badannya gagah, terbalut baju putih. Ram-

butnya panjang sebahu.

Sepasang mata pemuda ini semakin terbeliak 

tatkala pijaran kilat yang kembali menjilat, menam-

pakkan benda yang baru saja hampir menghantam tu-

buhnya.

"Tombak!" desis pemuda itu dengan seringai 

sumbang.

Diam-diam dalam hati pemuda tampan ini ter-

bersit juga perasaan takut. Dan hatinya makin ngeri 

saat untuk beberapa lagi pijaran kilat memperlihatkan 

ujud tombak yang ternyata telah menancap ke sebuah

batu hitam besar.

Tombak itu berwarna kuning keemasan. Pang-

kalnya agak menggelembung besar, membentuk se-

kuntum bunga berwarna hitam! Sementara ujungnya 

tak kelihatan, karena masuk ke dalam batu hitam. 

Namun demikian, pemuda ini bisa segera menduga ba-

gaimana bentuk ujungnya. Karena batu di bawah ba-

dan tombak yang sebagian masuk ke dalamnya, mem-

bentuk lobang segi tiga. Lobang kedua sisinya lebih be-

sar daripada lobang tengahnya.

"Tombak aneh! Pemiliknya tentu orang aneh. 

Apakah dia nanti orang yang harus kutemui?" kata 

pemuda itu dalam hati seraya menghela napas panjang 

dan dalam.

Kedua mata pemuda berbaju putih ini segera 

nyalang memperhatikan ke sekeliling. Kedua telin-

ganya ditegakkan sedikit ke atas, menajamkan pen-

dengaran. Namun hingga beberapa lama, tak tertang-

kap adanya seseorang. Merasa tidak yakin, dia tetap 

tegak di tempatnya seolah menunggu hingga beberapa

lama. Namun penantiannya sia-sia.

Dengan perasaan kecewa, penunggang kuda itu 

menghela tunggangannya mendekati batu hitam yang 

tertancap tombak. Diperhatikannya dengan seksama 

tombak itu. Tangan kanannya lantas bergerak hendak 

meraih tombak, namun mendadak ditarik kembali. Ha-

tinya kecut. Segera kuda tunggangannya diundurkan, 

berputar melewati samping batu hitam. Lalu bergegas 

dia meneruskan perjalanan.

Ketika sampai di jalan yang sedikit naik, pemu-

da ini menghentikan kudanya. Ketika berpaling ke be-

lakang, keningnya mengernyit. Ternyata tombak tadi 

telah lenyap, meninggalkan lobang berbentuk seti tiga 

yang menganga hitam!

Dengan tubuh makin gemetar antara menggigil 

kedinginan dan perasaan takut, pemuda penunggang 

kuda ini meneruskan langkah kudanya. Namun baru 

saja hendak bergerak, dia dikejutkan kembali dengan 

desingan benda yang menderu dari arah belakang.

Dengan perasaan takut dan marah, penung-

gang kuda ini serta merta merunduk sejajar punggung, 

membuat benda yang menderu dari arah belakangnya 

melewati punggung dan kepalanya. 

Namun di kejar lain, mendadak kuda itu me-

ringkik keras. Kedua kaki belakangnya bergerak sea-

kan-akan hendak membuat tendangan ke belakang. 

Tapi bersamaan dengan itu kedua kaki depannya me-

nekuk. Akibatnya, tak ampun lagi kedua kaki bela-

kangnya terangkat tinggi-tinggi melewati kepala dan 

terjungkir keras di atas tanah bebatuan, mencampak-

kan penunggangnya hingga jatuh terbanting!

Binatang malang itu untuk beberapa saat tam-

pak melejang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi. Mati 

dengan kepala berlobang segi tiga! Dan tak jauh dari

kepala kuda, di atas tanah menancap sebuah tombak 

yang hanya menyisakan pangkalnya yang berbentuk 

sekuntum bunga berwarna hitam!

Dengan mendengus keras menahan gejolak 

amarah, pemuda itu merambat bangkit. Pakaiannya 

yang telah berwarna kecoklatan terkena tanah berlum-

pur di kibas-kibaskan. Sepasang matanya melotot me-

rah. Kepalanya menengadah memapak curahan air hu-

jan.

"Siapa pun kau! Jangan berlaku pengecut! Tun-

jukkan dirimu!" teriak pemuda itu. 

Hingga agak lama pemuda tampan ini menung-

gu, tidak terdengar sahutan. 

"Keluarlah! Atau...."

Pemuda ini tak meneruskan teriakannya, kare-

na dari arah belakang terasa bahunya ditepuk seseo-

rang. Dengan rasa terkejut, secepat kilat dia meloncat 

dua langkah ke depan. Tubuhnya cepat berbalik se-

raya siap menyerang.

Dua puluh langkah di hadapan pemuda itu kini 

telah tegak berdiri seorang perempuan berdandan 

aneh. Wajahnya memakai bedak tebal. Bibirnya yang 

tebal sebelah atas merah menyala. Rambutnya panjang 

sebahu. Namun potongan rambut bagian atas dipotong 

pendek dan jabrik. Kedua matanya besar dengan hi-

dung mancung tapi bengkok. Sekilas sosok itu seperti 

anak kecil, karena tingginya hanya setengah tombak!

Manusia pendek berdandan menyolok itu berdi-

ri dengan sedikit mengangkat kaki kiri, yang disilang-

kan di betisnya. Sementara tangan kanannya men-

cengkeram tombak yang pangkalnya membentuk se-

kuntum bunga.

Merasa yakin kalau perempuan pendek di ha-

dapannya yang telah menyerang dari belakang, pemu

da ini menggeram marah dengan mata melotot.

"He...! Siapa kau?! Dan, kenapa menyerangku 

secara licik?!" bentak pemuda itu.

Perempuan pendek yang ditegur diam saja. Se-

pasang matanya yang besar malah menyengat galak. 

Sementara pegangan tangannya pada tombak menge-

ras, hingga menimbulkan bunyi bergemeretakan.

"He...! Jawab pertanyaanku!" sambung pemuda 

ini agak jengkel meski hatinya kecut.

Perempuan pendek ini masih tak buka mulut. 

Bahkan matanya melotot makin liar saja.

"Manusia satu ini aneh! Apakah dia orang yang 

harus kutemui? Hm.... Sayang sekali, petunjuk yang 

tertera dalam buku milik guru yang berhasil ku curi, 

tak menyebutkan ciri-ciri orangnya.... Namun melihat 

kelebatannya yang menepuk-nepuk bahu ku, padahal 

orangnya jauh di belakangku, pasti mempunyai ilmu 

sangat tinggi. Jangan-jangan memang dia orangnya 

yang kucari...."

Selagi pemuda ini membatin, tiba-tiba manusia 

pendek di hadapannya bergerak. Tubuhnya seketika 

lenyap dari pandangan. Namun di kejap lain, tahu-

tahu dia telah berdiri lima langkah di hadapan pemuda 

itu. 

"Manusia! Siapa kau! Dan, apa tujuanmu ke si-

ni?!" tegur perempuan pendek berdandan menor.

Suara perempuan ini demikian keras. Padahal, 

mulutnya hanya terbuka sedikit. Tombak di tangannya 

terayun sebentar. Lalu.... 

Clep!

Tombak itu menancap hingga setengahnya ke 

dalam tanah bebatuan. Bersamaan dengan itu, me-

nyambar serangkum angin yang membuat pemuda di 

hadapannya terhuyung-huyung hampir jatuh.

Begitu dapat menguasai diri, sang pemuda be-

ringsut mundur dua langkah ke belakang. Dia barusan 

menahan rasa terkejut, sambil memiringkan tubuh 

menghindari deruan angin yang masih terasa me-

nyambar.

"Namaku, Pandu. Aku ke sini untuk menemui 

seseorang yang bernama Bawuk Raga Ginting...," ja-

wab pemuda tampan ini, parau dan tersendat.

Perempuan pendek ini mendongakkan kepala, 

lalu tertawa aneh. Hebatnya, curahan air hujan yang 

masih membadai menyibak bagai menerpa dinding tak 

nampak di atas kepalanya. Sehingga membuat dirinya 

tak terpercik air sedikit pun.

"Hm.... Pandu...," sebut perempuan pendek, 

mengulang nama pemuda di hadapannya. "Lekas ting-

galkan tempat ini! Kau datang ke tempat yang salah!"

Pemuda berwajah tampan bernama Pandu itu 

tersenyum kecut.

"Tidak mungkin! Tidak mungkin aku salah 

membaca apa yang tertulis dalam buku milik guruku. 

Tempat yang tertulis di situ adalah tempat ini, Bandar 

Lor. Dan orang yang harus kutemui adalah Bawuk Ra-

ga Ginting...," gumam Pandu sambil menatap perem-

puan pendek di hadapannya.

Mendengar gumaman Pandu, perempuan pen-

dek ini segera berpaling. Bibirnya menyunggingkan se-

ringai ganas.

"Di kolong langit ini, hanya dua orang yang 

mengetahui nama dan tempat tinggalku. Hanya saja, 

belum waktunya aku membuat perhitungan dengan 

kedua orang itu. Padahal, sebenarnya tanganku sudah 

gatal ingin mencabik-cabik tubuh dua keparat itu! 

Hmmm.... Apakah kedua bangsat itu yang memberi ta-

hu pemuda ini?!" kata batin perempuan pendek ini.

Kembali perempuan itu memperhatikan lebih 

seksama pemuda di hadapannya.

"Dari siapa kau tahu nama Lembah Bandar Lor 

dan nama Bawuk Raga Ginting?!"

Sambil membentak, perempuan pendek ini 

mengangkat kaki kirinya dan menyilangkannya di de-

pan kaki kanan. Hebatnya bersamaan dengan itu dari 

bawah serangkum angin keras menyambar, membuat 

pakaian pemuda di hadapannya berkibar-kibar seben-

tar.

"Ngg.... Dari Ageng Panangkaran!" jawab Pandu 

singkat.

"Keparat!"

Tiba-tiba perempuan pendek itu menekankan 

tombaknya, hingga amblas masuk. Tanah pun seketika 

bergetar.

"Benar dugaanku. Bangsat itu rupanya yang 

mengatakannya...," gumam perempuan pendek dengan 

mata melotot merah. Tubuhnya bergetar menahan 

amarah. "Manusia! Kau bernyali besar rupanya, hingga 

berani datang ke Bandar Lor ini! Tapi, dengar! Ini ada-

lah tempat kematianmu!"

Dan tanpa mempedulikan Pandu yang buka 

mulut hendak mengatakan sesuatu, perempuan pen-

dek ini menghentakkan kaki kirinya ke tanah, tiga kali 

berturut-turut.

Lembah berbatu ini mendadak bagai dilanda 

gempa hebat. Tanah bergetar dengan batu-batu beter-

bangan.

Pandu terkejut. Buru-buru tenaga dalamnya 

dikerahkan untuk menahan gerakan tubuhnya yang 

terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun tenaga yang 

dikerahkannya sia-sia. Getaran lembah itu begitu he-

batnya. Hingga tak lama kemudian, tubuhnya oleng

dan terbanting keras di tanah lembah berbatu.

Sementara, perempuan pendek berdandan me-

nor ini tertawa tergelak-gelak.

"Ageng Panangkaran keparat! Rupanya kau 

mengirim utusan yang cekakilmu! Hik... hik... hik...!" 

teriak perempuan pendek itu, jumawa.

Paras Pandu berubah mengelam. Dia mencoba 

bangkit. Namun baru saja berdiri, tubuhnya kembali 

oleng dan terbanting kembali ke atas tanah.

"Hmm.... Mendengar kata-katanya yang begitu 

menaruh dendam kesumat pada Ageng Panangkaran, 

pasti dia orang yang kucari. Dialah manusia yang me-

namai diri Bawuk Raga Ginting. Hmm.... Rupanya per-

jalananku tidak percuma. Bila saja aku berhasil bergu-

ru padanya.... Kau, Pendekar Mata Keranjang 108! 

Tunggulah saatnya!" desis batin Pandu dengan mata 

bersinar-sinar.

Setelah merasa tanah yang dipijaknya tidak lagi 

bergetar, Pandu bangkit dan berdiri. Namun belum 

sempat berkata....

"Manusia! Kau rupanya makhluk yang tidak be-

runtung!" bentak perempuan pendek itu garang.

"Apa maksudmu...?!" sahut Pandu dengan sua-

ra menggantung di tenggorokan. Wajahnya masih pu-

cat pasi dengan tubuh gemetar.

Manusia pendek kembali tertawa nyaring.

"Kau jangan berlagak bodoh! Bukankah kau da-

tang ke Lembah Bandar Lor ini atas suruhan si tua 

keparat Ageng Panangkaran?!"

Habis berkata, perempuan pendek itu melon-

cat-loncat setinggi setengah tombak dengan menghen-

tak-hentakkan sepasang kakinya. Dan kejap itu juga, 

kembali lembah itu bergetar hebat.

"Tunggu!" teriak Pandu dengan tubuh ter

huyung-huyung. "Kedatanganku ke sini tanpa ada 

yang menyuruh!"

"Jangan dikira aku bisa dikelabui, Manusia Ja-

hanam!" bentak perempuan pendek ini seraya mendo-

rongkan tangannya ke depan perlahan.

Saat itu juga Pandu mendengar suara menderu, 

tanpa merasakan adanya sambaran angin deras. 

Anehnya di kejap itu juga dia merasakan sebuah ke-

kuatan dahsyat yang tak tertangkap pandangan mata 

menghantam tubuhnya!

Raut muka Pandu berubah putih pucat. Den-

gan bentakan sengau, tenaga dalam yang dimilikinya 

dikerahkan untuk mencoba menahan serangan. Na-

mun begitu, hempasan yang tidak dapat ditangkap 

pandangan mata terasa semakin hebat menghantam!

Perlahan-lahan perempuan pendek ini menarik 

tangannya ke belakang. Dan saat itu juga, tubuh Pan-

du melayang dan terbanting ke atas tanah. Begitu 

bangkit, duduk dari sudut bibir dan hidung pemuda 

ini mengalir darah segar. Kulitnya lecet-lecet serta ma-

ta berkunang-kunang.

Perempuan pendek ini melangkah perlahan 

mendekati pemuda yang kini telah duduk itu. Semen-

tara Pandu menatap manusia di hadapannya dengan 

tatapan nanar. Namun, mendadak dia jatuhkan diri 

hingga hidungnya menyentuh tanah. 

"Maafkan aku jika berlaku kurang hormat pa-

damu. Namun perlu kau ketahui, kedatanganku ke si-

ni bukan utusan Ageng Panangkaran! Aku datang ka-

rena kemauanku sendiri!" ucap Pandu, mantap.

"Penipu busuk!" hardik perempuan pendek itu 

dengan suara lantang, membuat gendang telinga Pan-

du berdengung sakit. "Dengar, Manusia Dungu! Di ja-

gad raya ini hanya dua orang yang tahu tempat dan

namaku! Bangsat-bangsat itu adalah Ageng Panangka-

ran dan Junjungan Balaga. Kau tidak mungkin datang 

ke sini, kalau tidak jadi kacung dua manusia keparat 

itu! Karena, mereka berdua takut datang sendiri 

menghadapiku. Hik... hik... hik...! Mereka jerih meng-

hadapi Bawuk Raga Ginting!"

"Dugaanku tidak meleset! Jadi ini orangnya 

yang kucari!" kata Pandu dalam hati, sambil masih 

bersujud mencium tanah. 

"Manusia! Kenapa mereka tidak datang sendiri, 

he...?!" tanya perempuan pendek itu.

"Mereka sudah tidak mungkin lagi datang ke-

mari. Karena...."

"Karena ketakutan menghadapiku, bukan...?!" 

potong perempuan itu.

"Bukan! Bukan karena itu. Tapi...."

"Setan alas! Kau jangan banyak bacot membela 

mereka di hadapanku!"

"Ngg.... Aku tidak membela. Dan aku bicara apa 

adanya. Mereka berdua sebenarnya telah meninggal 

dunia!" 

Manusia pendek yang memang orang yang me-

namai diri dengan Bawuk Raga Ginting itu menga-

tupkan bibirnya rapat-rapat. Dahinya berkernyit, 

membuat bedak tebal di wajahnya merekat. Sepasang 

matanya mendelik, mengawasi punggung Pandu yang 

tampak bergetar.

"Manusia! Kau jangan bicara yang bukan-

bukan!" desak Bawuk Raga Ginting.

"Aku tidak mengada-ada. Karena, sebenarnya 

aku adalah murid Ageng Panangkaran...," sergah Pan-

du.

Mendengar kata-kata Pandu, perempuan pen-

dek itu menyeringai seraya mendengus.

"Lantas, kau datang mewakili mereka untuk 

menyelesaikan dendam lama itu? Hmm..., bagus! 

Meski belum percaya dengan segala ocehanmu tentang 

mereka, namun aku tak akan menyia-nyiakan keda-

tanganmu! Bangkitlah. Mari kita selesaikan dendam 

lama itu!" tantang Bawuk Raga Ginting.

"Bawuk Raga Ginting! Kedatanganku bukan 

untuk menyelesaikan dendam. Karena, aku tidak tahu 

menahu dendam di antara kalian. Aku datang..., ber-

harap kau sudi mengambilku sebagai murid!" jelas 

Pandu, sempat ciut nyalinya.

Bawuk Raga Ginting menghentak-hentakkan 

sepasang kakinya, membuat tubuh Pandu melambung 

setengah tombak ke udara. Namun begitu kembali 

mendarat di atas tanah, tanpa mempedulikan Bawuk 

Raga Ginting yang masih mencak-mencak, pemuda ini 

kembali menjatuhkan diri dengan keadaan menyem-

bah.

"Manusia busuk! Kau mau berguru padaku?! 

Bukan mustahil nantinya ilmuku akan kau gunakan 

untuk melawanku. Begitu bukan? Hik... hik... hik.... 

Kau akan menjadi musuh dalam selimut. Jangan diki-

ra aku bodoh, tak tahu apa rencanamu!"

"Guru...!" sembah Pandu tiba-tiba.

Tapi sebelum pemuda itu meneruskan kata-

katanya....

"Jaga mulutmu! Siapa yang kau panggil guru? 

Aku tak pernah mengangkatmu sebagai murid! Dan 

tak akan pernah. Apalagi, murid bekas musuh besar-

ku!" potong Bawuk Raga Ginting, membentak.

Pandu mengangkat kepalanya, menatap Bawuk 

Raga Ginting dengan sinar mata redup.

"Kau boleh menaruh curiga padaku. Namun, 

aku lebih baik mati daripada meninggalkan tempat ini.

Karena, hidupku sudah tak ada gunanya lagi. Kalau 

kau tidak sudi mengangkat ku sebagai seorang murid, 

bunuhlah aku! Bunuh!" ratap Pandu perlahan.

Bawuk Raga Ginting mengundurkan kakinya 

dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya wajah 

pemuda di hadapannya, seakan ingin meyakinkan.

"Pemuda ini tampaknya bersungguh-sungguh. 

Apa sebenarnya yang dialami? Hm.... Aku kecewa, ka-

rena penantian ku selama ini berakhir sia-sia. Ilmu 

yang ku perdalam selama berpuluh-puluh tahun, tak 

ada gunanya lagi. Karena, musuhku telah tewas terle-

bih dahulu. Aku menyesal! Menyesal kenapa mereka 

tewas bukan di tanganku? Kenapa mereka tak bisa 

kupermalukan, sebagaimana mereka membuat aku 

malu beberapa puluh tahun silam? Sialan benar!" ru-

tuk batin Bawuk Raga Ginting sambil menggelengkan 

kepalanya.

"Cepat, bunuhlah aku!" teriak Pandu menya-

darkan lamunan Bawuk Raga Ginting.

"Manusia! Ceritakan padaku, apa sebenarnya 

yang telah menimpa dirimu!" ujar Bawuk Raga Ginting 

dengan suara masih membentak.

"Bertahun-tahun aku berguru pada Ageng Pa-

nangkaran. Namun, dia sepertinya terlalu pelit menu-

runkan ilmunya. Hingga sampai beberapa tahun, aku 

masih tetap begini-begini saja tanpa ada kemajuan. 

Dan lebih dari itu, sebenarnya aku mempunyai seo-

rang adik seperguruan. Dia seorang gadis cantik. Aku 

mencintainya. Namun, adik seperguruanku menolak 

cintaku. Rupanya, dia jatuh cinta pada seorang pemu-

da berilmu tinggi yang bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108. Aku kecewa dan sakit hati, karena merasa 

tidak mampu mengalahkan pemuda itu!" jelas Pandu, 

panjang lebar.

Bawuk Raga Ginting batuk-batuk kecil bebera-

pa kali. Lalu bibirnya tersenyum mengejek.

"Cinta. Rupanya kau manusia konyol yang ma-

sih mempertaruhkan segalanya demi cinta. Apa yang 

akan kau peroleh dari cinta, he...?! Kebahagiaan? Ke-

puasan? Kenikmatan? Hik... hik... hik...! Hanya manu-

sia dungu yang masih punya pikiran begitu. Dengar! 

Cinta hanya akan membawa manusia dalam belenggu 

dan akan membuat manusia dirundung kecewa!" kata 

Bawuk Raga Ginting, tanpa memandang pemuda itu. 

"Tapi...."

"Tak ada tapi!" potong Bawuk Raga Ginting. 

"Cinta hanyalah tabir kelabu yang membimbing manu-

sia makin terperosok jauh!"

"Ngg... Apakah kau pernah mengalaminya?" 

tanya Pandu, seakan tak sadar dengan siapa kini ber-

hadapan.

Bawuk Raga Ginting mendongakkan kepala 

mendengar pertanyaan Pandu. Wajahnya member-

sitkan ketidaksenangan. Sinar matanya tampak mere-

dup.

"Aku hidup begini juga karena cinta. Hmm.... 

Rupanya, nasib pemuda ini malang seperti diriku dulu. 

Seandainya aku dahulu mempunyai ilmu seperti seka-

rang, tak mungkin dienyahkan, dihina, dan disingkir-

kan orang! Bahkan oleh orang yang secara diam-diam 

kucintai! Sekarang, aku mempunyai ilmu yang tidak 

mungkin ada yang bisa menyingkirkan dan menge-

nyahkan ku! Aku akan memuaskan segala yang dahu-

lu tidak ku peroleh. Yah! Sekaranglah saatnya. Namun, 

aku..., perlu juga seorang pembantu. Hmm..., nasib 

pemuda ini hampir seperti diriku. Apa salahnya jika 

dia kuangkat sebagai murid, sekaligus pembantuku?" 

kata batin Bawuk Raga Ginting mengingat masa lam

paunya.

Konon, berpuluh tahun yang silam, Bawuk Ra-

ga Ginting yang bernama asli Kunyil memang dilahir-

kan dan dibesarkan dalam keadaan tidak sempurna. 

Tubuhnya pendek serta berwajah buruk. Namun seba-

gai manusia, menginjak dewasa Kunyil jatuh cinta pa-

da seorang pemuda. Hanya sayang, cintanya tanpa se-

pengetahuan pemuda itu sendiri. Namun, apa lacur? 

Setelah tahu, pemuda itu menghina Kunyil. Gadis ini 

jadi sangat sakit hati. Lantas dia pergi mengembara, 

dan pada akhirnya berguru pada seseorang. Sayang, 

gurunya adalah seorang tokoh sesat. Sehingga tatkala 

Kunyil turun gunung dan memakai nama Bawuk Raga 

Ginting, perangainya jadi berubah.

Bawuk Raga Ginting sempat malang melintang 

dalam kerasnya kancah dunia persilatan seraya mele-

pas segala dendamnya. Namanya disegani orang, dan 

menjadi salah seorang dari tokoh hitam yang paling di-

takuti. Hanya saja, suatu ketika tatkala bertemu Jun-

jung Balaga dan Ageng Panangkaran, Bawuk Raga 

Ginting takluk. Untuk kedua kalinya tokoh ini pergi 

membawa rasa dendam. Dia lantas menyendiri mem-

perdalam ilmu di Lembah Bandar Lor.

"Aku mohon padamu, sudilah mengangkat ku

sebagai murid! Apa pun perintahmu akan kujalankan!" 

pinta Pandu memenggal lamunan Bawuk Raga Ginting.

Bawuk Raga Ginting menatap nyalang pada 

Pandu seraya manggut-manggut.

"Hanya karena persamaan nasib saja yang 

membuatmu beruntung, Bocah! Kau akan kuangkat 

menjadi muridku. Namun sebelum itu, untuk mem-

buktikan kebenaran ucapanmu tentang dua musuhku, 

kau harus membawa ke sini dahulu kepala Junjung 

Balaga dan Ageng Panangkaran! Hidup atau mati!"

Wajah Pandu berbinar-binar. Dan segera men-

jura beberapa kali. 

"Segala perintahmu akan kujalankan! Sekarang 

aku mohon diri!"

Habis berkata, Pandu menjura sekali lagi. Lalu 

tubuhnya berbalik dan melangkah meninggalkan Lem-

bah Bandar Lor.

"Hik... hik... hik...! Nama Bawuk Raga Ginting 

akan kembali menjadi buah bibir. Ditakuti dan disan-

jung. Hik... hik... hik


DUA


Pandu terus berlari. Baru begitu tiba di tempat 

yang agak sepi di pinggiran sebuah sungai, larinya di-

hentikan. Kakinya kemudian melangkah perlahan, 

mendekati sebuah gubuk reot yang sudah tak dipakai. 

Matanya sejenak memandang ke sekeliling. Pemuda itu 

lantas duduk di depan gubuk dengan pandangan me-

natap jauh ke depan.

"Sakawuni! Sebenarnya aku tak menginginkan 

kita berpisah. Namun, apa boleh buat? Kau tampaknya 

begitu tertarik pada pemuda bergelar Pendekar Mata 

Ke-ranjang 108. Bahkan mengenyahkan cintaku yang 

telah lama ku pupuk dan kupendam" kata Pandu da-

lam hati.

Wajah pemuda ini tampak murung. Ingatannya 

lantas melayang, kejadian yang dialami sebelum me-

nentukan pergi ke Lembah Bandar Lor terbayang kem-

bali.

Waktu itu, Pandu dan Sakawuni baru saja sele-

sai memakamkan jenazah Ageng Panangkaran, guru

mereka.

"Sakawuni...," bisik Pandu perlahan, seraya 

berpaling ke arah Sakawuni yang tampak jongkok di 

samping makam Ageng Panangkaran dengan terisak-

isak. Kedua tangannya tampak menakup menutupi 

wajahnya.

Sakawuni sepertinya tak mendengar panggilan 

Pandu. Bahkan isakannya semakin keras. Bahunya 

terlihat berguncang-guncang.

"Sakawuni...," ulang Pandu sambil mencekal 

bahu adik seperguruannya.

Perlahan-lahan Sakawuni meluruhkan kedua 

telapak tangannya yang menutupi wajahnya, lalu ber-

paling memandang pada Pandu.

Pandu tersenyum. Namun, Sakawuni tak mem-

balas. Wajahnya dipalingkan kembali memandangi 

gundukan tanah merah di depannya. Dan ini membuat 

Pandu menggelengkan kepala perlahan.

"Sakawuni.... Suka dan duka adalah sesuatu 

yang tak bisa dipisahkan dari bagian hidup manusia. 

Kehilangan orang yang kita cintai merupakan sesuatu 

yang pasti terjadi dan tak bisa dipungkiri. Itu sudah 

hukum alam yang harus kita terima menjadi kenya-

taan. Apakah kita akan larut dalam lembah duka ber-

kepanjangan?" Sakawuni masih menekuri tanah me-

rah. Cukup lama dia berbuat begitu. 

"Kakang Pandu...," kata Sakawuni tanpa me-

mandang pada kakak seperguruannya. "Ucapanmu be-

tul. Namun perasaan tidak semudah itu bisa ikut da-

lam hukum alam. Perasaan adalah sesuatu yang hi-

dup. Sedangkan hukum alam adalah sesuatu yang ma-

ti. Aku memang harus berani menerima kenyataan ini. 

Tapi untuk menghilangkan perasaan merasa kehilan-

gan aku membutuhkan waktu...."

Mendengar kata-kata Sakawuni, Pandu terse-

nyum rawan.

"Sakawuni.... Hari sudah petang. Sebaiknya, ki-

ta tinggalkan tempat ini. Besok kan masih ada wak-

tu...!" bujuk Pandu.

"Kakang Pandu. Kalau kau ingin pergi duluan, 

pergilah! Aku masih ingin di sini!" tolak gadis itu ha-

lus.

Meski Pandu agak jengkel, namun juga tak be-

ranjak dari depan makam Ageng Panangkaran.

"Sakawuni.... Kuharap kau tak terlalu larut da-

lam kesedihan ini. Karena kita masih mempunyai tu-

gas yang lebih penting daripada hanya meratapi keper-

gian guru!" bujuk Pandu lagi.

"Aku tak mengerti jalan pikiranmu, Kakang...."

"Sakawuni..,. Kita telah sama-sama kehilangan 

orang yang kita kasihi. Meski itu merupakan hal yang 

tak bisa dihindari, namun kepergian guru karena per-

buatan keji seseorang! Untuk ini, kita tidak bisa tinggal 

diam. Kita harus membalas perbuatan orang itu!"

"Benar, Kakang. Tapi, kita juga butuh waktu 

untuk menyelidiki siapa sebenarnya orang yang ber-

buat keji pada guru!".

Pandu tersenyum sinis. Wajahnya berpaling, 

memandang jurusan lain.

"Kita tak membutuhkan waktu. Karena, kita 

sama-sama tahu siapa orangnya yang berbuat keji itu!" 

desis Pandu.

"Maksudmu, Pendekar Mata Keranjang?" tanya 

Sakawuni dengan suara agak bergetar.

Pandu mengangguk perlahan. Lalu wajahnya 

berpaling kembali memandang lekat-lekat wajah adik 

seperguruannya. Yang dipandang tampak menghela 

napas dalam-dalam. Raut mukanya menyembunyikan

sesuatu yang sukar diartikan.

"Kau terlihat bimbang. Apa ada hal lain yang 

membuatmu ragu-ragu?!" panting Pandu.

Sakawuni tidak segera menjawab. Pandangan 

kedua matanya jauh ke depan.

"Apakah benar Pendekar Mata Keranjang yang 

melakukan perbuatan terkutuk itu? Waktu bertemu 

dahulu, aku tak menangkap hal-hal yang mengarah 

pada perbuatan itu. Aku tidak percaya jika dia yang 

melakukan," sergah batin Sakawuni.

Perlahan-lahan, Sakawuni menggelengkan ke-

palanya perlahan.

"Kakang, aku belum...."

Sakawuni tak meneruskan kata-katanya.

"Hm.... Kau dilanda keraguan tentang perbua-

tan pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang itu. 

Apakah kau tertarik padanya...?!"

Paras Sakawuni kontan berubah merah padam. 

Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak bisa di-

tangkap pendengaran Pandu.

Melihat perubahan wajah Sakawuni, meski 

hanya sekejap, telah cukup membuat hati Pandu bagai 

terhempas. Segera dipandangnya gundukan di depan-

nya, coba menyingkirkan rasa cemburu yang mendera 

dadanya.

Sejenak suasana hening terjadi ketika tak ada 

yang membuka suara.

"Kau tertarik dengan pemuda pembunuh guru 

kita, Sakawuni?" tanya Pandu, memecah keheningan.

Sakawuni tidak menjawab. Wajahnya semakin 

merah padam. Dadanya berdetak lebih kencang. Di co-

banya untuk dapat menguasai diri.

"Kakang Pandu, sekarang bukan saat yang te-

pat untuk membicarakan persoalan itu. Kita masih dalam suasana berkabung!" ujar Sakawuni, perlahan.

Pandu mendehem beberapa kali dengan se-

nyum mengejek.

"Kau keliru, Sakawuni. Justru hal itu harus se-

gera dibicarakan. Dan kita harus segera mengambil 

keputusan. Karena, ini menyangkut masa depan kita 

bersama...," sergah Pandu. 

"Masa depan kita bersama...?" ulang Sakawuni, 

tak mengerti arah ucapan kakak seperguruannya.

"Ya! Masa depan kita bersama, Sakawuni. Ka-

rena sebenarnya aku menyayangi mu!" tandas Pandu.

"Terima kasih, Kakang. Memang sudah se-

layaknya kau menyayangi ku. Karena, aku adalah adik 

seperguruanmu!"

"Bukan itu maksudku, Sakawuni. Aku me-

nyayangi mu lebih dari perasaan kakak terhadap 

adik...."

"Kakang! Apa arti ucapanmu...?!" tanya Saka-

wuni dengan suara agak keras. Dalam hati, dia berha-

rap agar apa yang diduga tak benar-benar terjadi.

"Sakawuni, aku mencintaimu...."

Gadis cantik di samping Pandu kontan berseru 

tertahan. Dia terhenyak meski tadi sudah dapat men-

duga arah pembicaraan Pandu. Namun, begitu men-

dengar sendiri dari mulut pemuda ini, mau tak mau 

membuatnya terperangah. Dia hampir tak percaya 

dengan pendengarannya. 

"Kau jangan bergurau, Kakang!" ujar Sakawuni, 

seakan ingin meyakinkan.

"Aku sungguh-sungguh, Sakawuni. Aku men-

cintaimu...," tegas Pandu.

Air muka Sakawuni semakin memerah. Da-

danya bergetar. Hatinya diselimuti berbagai perasaan. 

Tak percaya, bingung, dan jengkel. Perlahan-lahan di

pandangnya paras kakak seperguruannya.

"Bagaimana ini? Ah, Kakang Pandu! Kau ter-

lambat. Hatiku telah terpaut pada seseorang. Lagi pu-

la, aku tak mungkin menerima cinta mu. Karena, kau 

sudah ku-anggap sebagai kakakku sendiri.... Kuharap 

kau mau mengerti...," desah Sakawuni dalam hati.

"Sakawuni...," panggil Pandu perlahan seraya 

tersenyum. "Aku tidak menginginkan pernyataan mu

sekarang. Kau mungkin masih memerlukan waktu. 

Namun perlu kau ketahui, itulah perasaan yang ku-

pendam selama ini padamu. Aku berharap kau tidak 

mengecewakanku...."

"Kakang...!" seru Sakawuni.

Namun gadis itu tak meneruskan kata-katanya 

saat melihat Pandu memberi isyarat agar tak mene-

ruskan kata-katanya.

"Sakawuni, dengar. Aku tak menginginkan per-

nyataan mu sekarang. Kau perlu istirahat...."

Sakawuni benar-benar bingung sekarang. Apa-

kah dia harus berkata terus terang, jika sebenarnya 

tertarik pada Pendekar Mata Keranjang? Apakah Pan-

du nanti tidak akan tersinggung? Tapi..., tidak! Saka-

wuni memang harus mengatakan apa adanya, agar hal 

itu tidak menambah beban dalam hati. Yang lebih 

penting agar Pandu tidak terlalu kecewa nantinya!

"Kakang.... Maafkan aku. Aku..., aku tidak bisa 

menerima kata-kata suci mu tadi. Karena aku telah...."

"Kau telah jatuh cinta pada seseorang. Begitu 

bukan?" potong Pandu dengan raut wajah merah pa-

dam. Lantas pemuda ini membuang muka.

Lidah Sakawuni kelu seketika. Dia hendak 

mengatakan sesuatu, namun tak kuasa dikeluarkan. 

Hingga dengan perasaan berat, akhirnya kepalanya 

hanya mengangguk perlahan.

"Aku tidak menyalahkanmu jika tertarik pada 

pemuda itu. Karena, dia memang lebih segalanya di-

banding aku. Hanya kuharap, nantinya kau tidak akan 

menyesal. Karena bagaimanapun juga, dia dan siapa 

pun dia adanya, aku akan tetap mencari dan membuat 

perhitungan dengannya. Sebab, dialah yang telah 

membunuh guru kita!"

Habis berkata begitu, Pandu bangkit dan berba-

lik. Dia hendak berlalu, pergi dari tempat ini.

"Kakang, tunggu!" cegah Sakawuni seraya ikut 

bangkit. Dipandanginya wajah pemuda di depannya. 

"Kakang, maafkan aku. Bukan maksudku menyakiti 

hatimu. Namun, rasanya lucu jika kita terlibat dalam 

satu lingkaran cinta. Karena kau telah kuanggap seba-

gai kakak kandungku sendiri!"

Pandu tersenyum kecut. Dan di mata Sakawuni 

senyum itu memang begitu tidak mengenakkan.

"Sakawuni. Cinta tak pandang siapa saja. Ta-

pi..., ah! Percuma hal itu dibicarakan lagi. Aku harus 

pergi sekarang!"

Pandu lantas melangkah perlahan meninggal-

kan Sakawuni yang masih tampak tegak tertegun den-

gan raut cemas dan bingung.

"Kakang! Kau hendak ke mana...?" tanya Saka-

wuni ragu-ragu.

Sebentar Pandu berhenti, dan berbalik.

"Apakah itu masih penting buatmu? Kita bersa-

tu di sini, karena sama-sama menuntut ilmu pada 

Ageng Panangkaran. Setelah Ageng Panangkaran tiada, 

kita boleh memilih jalan sendiri-sendiri. Dan aku telah 

memutuskan hal itu!" kata Pandu,

Sakawuni segera berkelebat, dan berdiri di de-

pan Pandu dengan tatapan menusuk.

"Kakang! Kalau kau telah memutuskan untuk

pergi dan memilih jalan sendiri-sendiri, silakan! Na-

mun, sebelumnya dengar dulu ucapanku!" ujar Saka-

wuni masih dengan pandangan menusuk. Sebuah se-

nyum aneh menyeruak di bibirnya. "Kakang.... Persau-

daraan lebih sekadar dari cinta. Maka dari itu, meski 

nantinya kita jalan sendiri-sendiri, kuharap hal ini bu-

kan karena persoalan cinta. Dan, percayalah. Aku te-

tap akan menyelidiki, siapa pembunuh guru!" 

Pandu tidak menyahut. Dia hanya memandang 

dengan tersenyum dingin.

"Kakang...," sambung Sakawuni. "Jika nantinya 

aku berhasil menemukan siapa pembunuh guru kita, 

meski dia orang yang kucintai, aku akan tetap mem-

buat perhitungan!"

Pandu masih tetap diam. Namun demi melihat 

Sakawuni tak lagi bicara, dia tersenyum mengejek.

"Kau tidak usah mengatakan demikian, Saka-

wuni," ujar Pandu. "Kau harus ingat. Cinta itu tak 

bermata. Tia-da dinding setebal apa pun yang sanggup 

menghadangnya. Jadi, ucapanmu ku ragukan akan 

menjadi kenyataan. Sekarang, kau bisa saja mengata-

kan akan membuat perhitungan meski dengan orang 

yang kau cintai. Namun, ingat kata-kataku! Cinta akan 

melenyapkan perhitungan itu!" sergah Pandu.

"Hm.... Begitu!? Kalau umur kita sama-sama 

panjang, aku ingin menunjukkan padamu jika kata-

katamu tidak benar!"

"Persetan dengan ucapanmu! Tapi, ada satu hal 

yang harus kau ketahui. Aku sudah memastikan bah-

wa pemuda yang kau cintai adalah orang yang mem-

bunuh guru. Maka, jangan menyesal jika suatu hari 

kelak pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang akan 

kupenggal kepalanya!"

Kata-kata Pandu membuat Sakawuni sedikit

terperangah kaget. Dia tak menyangka jika Pandu su-

dah demikian jauh berprasangka buruk.

"Kakang...!" panggil Sakawuni.

Namun Sakawuni tidak meneruskan ucapan-

nya, karena saat itu juga Pandu berkelebat meninggal-

kan tempat ini.

"Semoga bukan Pendekar Mata Keranjang yang 

melakukan pembunuhan itu...," bisik Sakawuni, se-

raya memandangi kepergian kakak seperguruannya. 

"Pendekar Mata Keranjang! Hm..., dia mengatakan per-

gi ke Kampung Blumbang. Ah, sebaiknya aku ke sana. 

Aku ingin dengar ceritanya tentang guru!"


TIGA


Seorang pemuda tampan berpakaian hijau yang 

dilapis pakaian lengan panjang kuning dengan rambut 

dikuncir ekor kuda tampak melintas di jalan setapak. 

Kedua tangannya membopong sesosok tubuh seorang 

gadis berbaju kuning yang tampaknya mengalami luka 

parah dan dalam keadaan pingsan.

Sampai di tempat yang agak lapang pemuda 

yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keran-

jang 108 menurunkan gadis di bopongan dan direbah-

kannya di atas tanah.

Kedua kelopak mata gadis yang ternyata berpa-

ras cantik itu tampak terpejam rapat. Bibirnya membi-

ru dan sedikit terbuka. Air mukanya pucat bagai orang 

kehabisan darah. 

Pendekar Mata Keranjang menatap wajah gadis 

ini sebentar. Lantas ditariknya napas dalam-dalam. 

Diambilnya tangan kanan gadis itu lalu denyut nadinya diperiksa.

"Hmm.... Nadi tangannya masih berdenyut. Be-

rarti, dia masih hidup. Semoga tenagaku dapat sedikit 

membantu, sebelum aku dapat menemukan orang 

yang bisa menolong...," gumam Aji.

Pendekar Mata Keranjang segera mengerahkan 

tenaga dalamnya dan menyalurkannya pada gadis di 

sisinya yang tak lain Putri Tunjung Kuning.

Hawa panas segera mengalir ke tubuh Putri 

Tunjung Kuning. Sebentar tubuh gadis itu bergetar. 

Lalu, tak lama kemudian terdengar erangan disertai 

gumaman perlahan.

"Percuma.... Percuma kau melakukan pertolon-

gan. Aku merasa sudah tidak bisa lagi ditolong...," de-

sah Putri Tunjung Kuning.

"Putri Tunjung Kuning.... Kau jangan putus 

asa. Kau harus bertahan. Jangan bicara soal nasib. Itu 

bukan urusan kita...!"

"Pendekar Mata Keranjang! Jangan memberi 

impian-impian yang tidak mungkin padaku! Pukulan 

Malaikat Berdarah Biru kurasa belum pernah ada seo-

rang pun yang sanggup menahannya. Dan..., coba li-

hat! Aku melihat kerumunan orang berpakaian putih-

putih tengah melangkah mendekatiku. Pendekar Mata 

Keranjang.... Aku..., mohon maaf padamu.... Karena, 

selama ini aku memendam bara dendam padamu. 

Bahkan berusaha mencari jalan untuk membunuh-

mu.... Aku..., aku berdosa padamu...! Akh...," ucap Pu-

tri Tunjung Kuning, terbata-bata.

"Putri Tunjung Kuning.... Lupakan semua itu. 

Sekarang coba bertahanlah. Aku akan berusaha me-

nyelamatkan jiwamu. Aku akan mengurangi rasa sa-

kitmu dengan penyaluran hawa murni...."

Putri Tunjung Kuning membuka kelopak ma

tanya. Dia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu menatap 

redup pada Pendekar Mata Keranjang. Sesaat kemu-

dian kepalanya tampak menggeleng perlahan.

"Aku sudah tidak tahan lagi...," desah Putri 

Tunjung Kuning seraya menggenggam erat-erat tangan 

Pendekar Mata Keranjang.

Aji mula-mula merasakan tangan Putri Tunjung 

Kuning hangat. Namun, lambat laun tangan itu beru-

bah dingin. Dan bersamaan dengan itu, kedua mata 

gadis ini memejam. Mulutnya mengatup rapat. Semen-

tara pegangan tangannya mengendor, sebelum akhir-

nya terlepas.

"Hm.... Dia pingsan lagi...," gumam Pendekar 

Mata Keranjang seraya menatap wajah Putri Tunjung 

Kuning. "Sayang sekali, aku tak berpengalaman dalam 

hal pengobatan. Kalau kubawa ke Karang Langit, apa-

kah dia akan bisa bertahan? Aku khawatir di tengah 

jalan...."

"Uhugkh..... Uhugkh...!"

Selagi Aji dalam keadaan bingung, terdengar 

orang batuk-batuk beberapa kali, Seketika Pendekar 

Mata Keranjang berpaling. Kedua tangannya yang ma-

sih tampak memeriksa tangan Putri Tunjung Kuning

segera ditarik. Alis Aji bertautan ketika melihat seorang 

laki-laki tua telah berdiri tak jauh darinya.

Sejenak Pendekar Mata Keranjang memperhati-

kan baik-baik laki-laki tua yang kini melangkah sambil 

tersenyum ke arahnya.

"Siapa dia...? Aku seperti baru kali ini berte-

mu...?" tanya Pendekar Mata Keranjang dalam hati se-

raya memperhatikan lebih seksama.

Laki-laki tua berjubah panjang warna putih ku-

sam itu tetap tersenyum. Jenggotnya panjang dan su-

dah memutih. Dia mengenakan caping lebar dari daun

pandan, sehingga wajahnya hanya terlihat sebagian. 

Tubuhnya sudah sangat renta, namun langkahnya 

masih tampak tegar.

"Anak muda.... Temanmu itu sepertinya dalam 

keadaan terluka parah. Kalau kau tidak keberatan, ba-

gaimana jika aku mencoba menolongnya...?" sapa laki-

laki tua bercaping seraya menatap lekat-lekat Putri 

Tunjung Kuning.

"Aku belum pernah mengenal orang tua ini. 

Apakah dia bisa dipercaya?" tanya batin Aji lagi seraya 

memandang tak berkedip pada orang tua yang kini 

berhenti tiga langkah di depannya. 

"Pendekar Mata Keranjang!" panggil orang tua 

bercaping.

Aji terkejut, menyadari kalau orang tua itu tahu 

siapa dirinya. Sebaliknya, orang tua bercaping itu ter-

senyum dan mendehem beberapa kali.

"Kau meragukan uluran tanganku...?!" sam-

bung orang tua bercaping itu perlahan. Matanya tak 

memandang pada Pendekar Mata Keranjang, namun 

terus menatap Putri Tunjung Kuning.

Mendengar pertanyaan orang tua di hadapan-

nya, Pendekar Mata Keranjang tidak segera menyahut. 

Semenjak tertipu Bayangan Seribu Wajah, Aji memang 

selalu bertindak hati-hati. Terutama, pada orang yang 

baru saja dikenalnya. Tak heran kalau sekarang dia 

harus berhati-hati, karena pusaka hitam serta bum-

bung bambu yang berisi jurus-jurus pemusnah berada 

di tangannya.

"Orang tua! Aku tidak meragukan kebaikanmu. 

Namun kalau boleh tahu, siapa kakek adanya...?" 

tanya Pendekar Mata Keranjang, seraya menyembu-

nyikan kecurigaannya.

Orang tua bercaping tersenyum. Tangan kirinya

bergerak, mengangkat ujung caping lebarnya. Sehing-

ga, seluruh wajahnya terlihat jelas. Dahi Aji berkerut 

mencoba mengingat-ingat raut wajah di hadapannya. 

Namun kepalanya lantas menggeleng-geleng.

"Aku tidak bisa mengenali siapa dia.... Dan aku 

yakin, baru pertama kali ini berjumpa dengannya...," 

gumam Pendekar Mata Keranjang, dalam hati.

Aji mengangkat wajahnya, menatap orang tua 

di depannya.

"Orang tua...," panggil Pendekar Mata Keran-

jang, begitu yakin tidak mengetahui orang di hadapan-

nya. "Aku merasa belum pernah bertemu denganmu. 

Jadi, kuharap kau sebutkan saja siapa dirimu...."

"Kau benar, Pendekar Mata Keranjang-108. Kita 

memang belum pernah bertemu. Dan sebenarnya. aku 

sungkan untuk menyebutkan nama. Tapi, tak apalah 

jika kau yang meminta. Orang-orang memanggilku 

Restu Canggir Rumekso."

Mendengar nama yang disebut orang tua di ha-

dapannya, Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut. 

Dia memang pernah mendengar nama Restu Canggir 

Rumekso, seorang tokoh yang pandai dalam bidang 

pengobatan. Bahkan kepandaiannya tak bisa disangsi-

kan lagi.

"Oh! Kiranya kakekkah orangnya...?! Hmm.... 

Nama kakek memang telah tersohor, Aku sangat gem-

bira dapat berjumpa orang tersohor seperti kakek, 

Maafkan aku yang buta ini masih meragukan uluran 

kebaikanmu untuk menolong temanku...," ucap Pen-

dekar Mata Keranjang.

Orang tua bercaping yang menyebutkan nama 

dirinya Restu Canggir Rumekso tersenyum lebar. Lan-

tas ditariknya napas dalam-dalam.

"Jangan berkata begitu, Anak Muda. Mana ada

tempat bagi namaku dibanding nama besar Pendekar 

Mata Keranjang 108? Seorang pendekar gagah pembela 

kebenaran yang digandrungi banyak gadis cantik.... 

He... he... he...!" seloroh Restu Canggir Rumekso.

Wajah Aji kontan berubah merah padam, men-

dengar selorohan orang tua ini. Dia merutuk dalam ha-

ti, menyumpahi Restu Canggir Rumekso yang tahu 

tentang dirinya.

"Kakek Restu Canggir Rumekso, sudahlah. Kau 

jangan memuji begitu. Pujian bisa membuat orang ter-

sesat. Sekarang, kuharap kau sudi mengulurkan tan-

gan untuk menolong sahabatku ini...," pinta Pendekar 

Mata Keranjang, seraya menjura hormat.

Sementara Restu Canggir Rumekso tampak 

menggelengkan kepala perlahan. Lantas kakinya me-

langkah mendekati Putri Tunjung Kuning.

"Hm.... Sahabat atau kekasih...?" tanya Restu 

Canggir Rumekso sambil lalu. Ekor matanya yang sayu 

melirik sekilas.

Mendengar pertanyaan Restu Canggir Rumek-

so, mata Pendekar Mata Keranjang membesar. Namun, 

bibirnya menyunggingkan senyum.

"Apa ada bedanya...?" Pendekar Mata Keranjang 

balik bertanya.

"Oh, tentu!" jawab orang tua bercaping ini ce-

pat, seraya mulai memeriksa tubuh Putri Tunjung 

Kuning.

"Kau tak keberatan mengatakan perbedaan-

nya...?"

Sejenak sepasang mata Restu Canggir Rumekso 

memandang Pendekar Mata Keranjang. Bibirnya me-

nyunggingkan senyum tipis. Kepalanya lantas men-

gangguk perlahan.

"Dengar! Sahabat adalah hubungan kawan antara seseorang tanpa didasari asmara. Sebaliknya ke-

kasih, penuh dengan cinta dan asmara. Namun antara 

sahabat dengan kekasih terdapat benang tipis yang 

membatasi. Dan bila pembatas itu lenyap, maka entah 

apa jadinya...?"

"Aku belum paham kata-katamu...?" gumam 

Pendekar Mata Keranjang seraya mengusap-usap 

ujung hidungnya. Sementara, tangan satunya mena-

rik-narik kuncir rambutnya.

Restu Canggir Rumekso menengadah sebentar, 

lalu tangannya mengibas di depan wajahnya.

"Terlalu benar kau ini. Camkan baik-baik. Jika 

dua orang sedang terlibat asmara, pasti satu sama lain 

akan saling menyembunyikan sesuatu yang dianggap 

buruk di mata kekasihnya. Namun jika suatu hari cin-

ta asmara mereka berakhir di tengah jalan, sesuatu 

yang tadinya disembunyikan akan tampak! Wah.... Ki-

ta sudah ngomong terlalu jauh. Sahabat atau kekasih 

itu bukan urusanku. Kenapa ya, aku tadi lancang ber-

tanya padamu...?" tepis Restu Canggir Rumekso seper-

ti bertanya pada diri sendiri. 

Laki-laki tua ini lantas meneruskan memeriksa 

Putri Tunjung Kuning. Kedua tangannya ditempelkan 

di dada dan perut gadis itu seraya menarik napas da-

lam-dalam. Seperti tidak percaya, orang tua ini me-

nempelkan kedua telapak tangannya pada perut Putri 

Tunjung Kuning. Bahkan kali ini agak lama. Begitu 

tangannya ditarik, sepasang matanya langsung mena-

tap tajam Pendekar Mata Keranjang dengan sinar mata 

menyelidik. Namun tak lama kemudian kepalanya 

manggut-manggut dengan bibir tersenyum, membuat 

Aji tak enak hati. Keningnya berkernyit mencoba men-

duga-duga.

"Pendekar Mata Keranjang! Kali ini kau harus

jujur menjawab pertanyaanku!" ujar Restu Canggir 

Rumekso, membuat Pendekar Mata Keranjang semakin 

keheranan. "Apa hubunganmu dengan gadis ini? Keka-

sih atau hanya sahabat...?"

"Edan! Orang tua ini senang juga bergurau.... 

Dalam keadaan memeriksa orang terluka pun, masih 

sempat...," kata batin Pendekar Mata Keranjang tanpa 

menjawab pertanyaan Restu Canggir Rumekso.

"Pendekar Mata Keranjang! Kau mendengar 

pertanyaanku, bukan?!" tegur Restu Canggir Rumekso, 

agak keras.

Sepasang mata Aji membelalak lebar. Bibirnya 

tak menyungging senyum sama sekali. Hatinya merasa 

jengkel dibentak begitu rupa.

"Orang tua! Apakah hubungan ku dengan gadis 

ini menjadi penting dalam pengobatan mu? Atau, kau 

hanya mencari-cari alasan untuk mengulur-ulur wak-

tu agar nyawa gadis ini tidak tertolong...?.'" tukas Pen-

dekar Mata Keranjang, lantang.

Restu Canggir Rumekso menarik napas dalam-

dalam. Hatinya sebenarnya panas juga mendengar ka-

ta-kata Pendekar Mata Keranjang yang sepertinya me-

nuduh. Namun semua ini coba ditindihnya dengan ter-

senyum.

"Tak baik berprasangka buruk, Anak Muda. Ke-

tahuilah. Aku bertanya begitu, karena dia...."

Restu Canggir Rumekso tak meneruskan kata-

katanya.

"Kenapa dia...?!" terabas Pendekar Mata Keran-

jang cepat.

Namun melihat ulah Pendekar Mata Keranjang, 

Restu Canggir Rumekso malah tersenyum.

"Katakan! Kenapa gadis ini?!" ulang Pendekar 

Mata Keranjang.

"Dia hamil!" sahut Restu Canggir Rumekso, per-

lahan.

Namun kata-kata perlahan Restu Canggir Ru-

mekso laksana geledek di telinga Pendekar Mata Ke-

ranjang. "Apa dia tidak pernah mengatakannya pada-

mu?! Sebab, usia kandungannya telah menginjak tiga 

bulan...," sambung Restu Canggir Rumekso, tanpa 

memandang lagi pada Pendekar Mata Keranjang.

Pendekar Mata Keranjang terhenyak. Dan sebe-

lum berbuat sesuatu, Restu Canggir Rumekso men-

gangkat tubuh Putri Tunjung Kuning.

"Pendekar Mata Keranjang, gadis ini dalam 

keadaan terluka parah dan memerlukan perawatan. 

Jadi tidak bisa diobati di sini. Namun sebelum aku 

pergi, sebutkan dulu tempat tinggalmu. Biar kelak ga-

dis ini tidak sulit menemukanmu. Bukankah kau ba-

pak jabang bayi yang ada dalam kandungan gadis 

ini?!" kata orang tua ini, ceplas-ceplos.

Aji benar-benar sewot. Kalau bukan orang tua 

yang mengatakannya, tentu sudah ditamparnya mulut 

Restu Canggir Rumekso.

"Orang tua! Jangan ceroboh berkata-kata. Aku 

memang bukan pemuda baik-baik. Namun selama ini, 

aku belum pernah menggauli seseorang. Apalagi gadis 

yang belum resmi jadi istriku!" Aji setengah menegur.

"Hmm.... Begitu? Lantas siapa bapaknya...?"

"Tanyakan saja padanya jika sudah bisa bica-

ra!" ujar Pendekar Mata Keranjang sengit, saking jeng-

kelnya. "Kau sendiri tinggal di mana...?!"

Orang tua bercaping yang kini tampak hendak 

siap pergi itu mengurungkan niatnya. Tubuhnya dipu-

tar menghadap Pendekar Mata Keranjang. Sejenak di-

tatapnya paras pemuda di hadapannya,

"Kalau kau ingin tahu, dari sini berjalanlah ke

arah timur. Di lereng Gunung Mahameru, tepatnya di 

Dusun Amadanom, kau akan menemukan tempatku. 

Nah, selamat tinggal...."

Habis berpikir, Restu Canggir Rumekso berba-

lik dan berkelebat sambil membopong tubuh Putri 

Tunjung Kuning. Ditinggalkannya Pendekar Mata Ke-

ranjang yang masih tegak terkesima mendengar kete-

rangan Restu Canggir Rumekso.

"Hm.... Putri Tunjung Kuning hamil. Hampir 

tak ku percaya keterangan itu. Apa dia telah mempu-

nyai suami? Tapi waktu pertama kali kuselamatkan, 

dia menyatakan menyintai ku terus terang.... Hmm.... 

Aku jadi tak mengerti semua ini. Namun, aku bersyu-

kur masih sempat dibawa Restu Canggir Rumekso. Ka-

rena menurut berita yang tersiar selama ini, dia adalah 

seorang tabib pandai. Hmm.... Semoga saja dia bisa 

diselamatkan. Dan sebaiknya, aku meneruskan perja-

lanan ke Karang Langit, menemui Eyang Guru...."

Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 

cepat berkelebat meninggalkan tempat ini.


EMPAT


Dalam perjalanan menuju Karang Langit, Pen-

dekar Mata Keranjang 108 tak henti-hentinya memi-

kirkan Putri Tunjung Kuning. Hingga karena begitu la-

rutnya, tanpa sadar kalau sejak tadi dirinya diikuti se-

seorang yang berkelebat mengendap-endap.

"Putri Tunjung Kuning.... Tak dapat dipungkiri, 

dia memang seorang gadis cantik jelita. Bentuk tubuh-

nya bagus, membuat semua mata yang memandang 

enggan untuk melepaskannya. Hmm... Ingat dia,


membuatku teringat pada Ajeng Roro. Di mana dia se-

karang...?" kata batin Aji seraya menghentikan lang-

kahnya dan menyeka keringat di lehernya.

Pendekar Mata Keranjang menengadah me-

mandang langit. Saat itu matahari masih baru saja 

tergelincir dari titik pusarnya. Kakinya lantas melang-

kah mendekati sebuah pohon dan bersandar. Tatapan 

matanya jauh memandang ke depan. Tiba-tiba pera-

saannya gundah. Perasaan yang sebelumnya tidak 

pernah dialami. Memang, pada saat-saat sendiri seper-

ti ini, bayangan Ajeng Roro selalu melintas dalam piki-

rannya. Aji benar-benar merindukan bertemu dara 

cantik murid Eyang Selaksa itu.

"Ajeng Roro...," gumam Pendekar Mata Keran-

jang lirih. "Di mana kau saat ini...? Tidakkah kau me-

rasa seperti yang ku rasakan saat ini? Selalu dan sela-

lu ingin bertemu denganmu...?"

Pendekar Mata Keranjang mengusap kening 

dengan tangan kanannya. Pandangannya masih jauh 

menatap ke depan. Lalu ditariknya napas dalam-

dalam, kemudian dihembuskannya perlahan-lahan.

"Aku memang banyak bertemu gadis cantik. 

Namun, aku tidak dapat melupakanmu. Apakah aku 

telah jatuh cinta...?" desah Pendekar Mata Keranjang 

perlahan, seraya tersenyum-senyum sendiri. "Kalau 

betul, kenapa perasaan itu tiba-tiba lenyap begitu saja 

ketika aku berdekatan dengan gadis lain..,? Heran! 

Aku hampir tak percaya dan tak mengerti dengan pe-

rasaanku sendiri.... Benar-benar edan!"

Selagi Pendekar Mata Keranjang merutuki diri 

sendiri, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan. Da-

lam keadaan tersentak kaget, wajahnya segera dipa-

lingkan ke arah datangnya suara. Dan sepasang ma-

tanya membelalak seketika. Dahinya membentuk bebe

rapa kerutan. Lantas, jidatnya sendiri ditepuk.

"Ah, rupanya dia...," gumam Pendekar Mata Ke-

ranjang, begitu mengenali siapa orang yang mengelua-

rkan suara tawa.

Tak jauh dari tempat Pendekar Mata Keranjang 

bersandar di pohon, berdiri tegak seorang gadis cantik 

berpakaian ketat warna putih-putih, membuat bayang 

lekukan tubuhnya terpampang jelas. Rambutnya pan-

jang terurai. Sepasang matanya bulat berbinar, diting-

kahi bulu mata lentik dan panjang. Di lehernya me-

lingkar untaian kalung dari bunga-bunga berwarna hi-

tam. Di atas telinga kirinya juga tampak menyelip se-

kuntum bunga berwarna hitam.

Dara jelita berpakaian putih-putih ini me-

nyunggingkan senyum lebar, menampakkan gigi-

giginya yang putih berkilat. Namun mendadak saja se-

nyumnya lenyap, berganti tatapan mata menyengat tak 

berkedip.

"Ratu Sekar Langit...," sebut Pendekar Mata Ke-

ranjang seraya melangkah maju disertai senyum men-

gembang. "Bagaimana keadaanmu selama ini...?"

"Pendekar Pembual! Kau harus bayar janjimu 

padaku dengan sebelah tanganmu!" sentak dara jelita 

yang memang Ratu Sekar Langit.

Senyum di bibir Pendekar Mata Keranjang ikut-

ikutan sirna mendadak. Langkahnya dihentikan dan 

malah tampak beringsut mundur dua langkah. Seje-

nak ditatapnya gadis di hadapannya dengan sinar ma-

ta heran bercampur bingung. Namun mengira Ratu 

Sekar Langit bergurau, Pendekar Mata Keranjang 

kembali tersenyum sambil mengusap-usap cuping hi-

dungnya. Bahkan sebelah matanya mengerdip.

"Pendekar Mata Keranjang! Kau jangan se-

nyam-senyum. Telah lama aku mencarimu!" bentak

Ratu Sekar Langit, tampak sungguh-sungguh.

"Mencariku...?" ulang Pendekar Mata Keranjang 

dengan kepala mengangguk-angguk.

"Benar. Untuk menebas sebelah tanganmu dan 

menyumpal mulutmu!" sahut Ratu Sekar Langit, man-

tap. 

"Aneh. Kita lama tidak berjumpa. Dan sein-

gatku, di antara kita tidak ada silang sengketa. Kalau 

boleh tahu, dosa apakah yang telah kulakukan, se-

hingga kau tampaknya tidak main-main dengan uca-

panmu...?!"

"Dasar laki-laki pembual! Pura-pura atau tidak, 

tak ada bedanya!" maki Ratu Sekar Langit, sengit.

Wanita ini menyeringai. Sepasang matanya 

yang bulat berbinar berkilat-kilat membelalak. Wajah-

nya dibuang ke samping.

"Ada apa sebenarnya ini...? Tak ada ujung 

pangkalnya, tahu-tahu mengancamku. Bingung 

aku...," kata Pendekar Mata Keranjang dalam hati.

Dengan langkah mantap, Aji maju dua tindak. 

Matanya tetap menatap Ratu Sekar Langit.

"Ratu Sekar Langit. Ada apa sebenarnya...? Kau 

jangan membuat hatiku dag-dig-dug tak karuan?" 

tanya Aji, murid Wong Agung ini.

"Manusia satu ini benar-benar gila. Dia seper-

tinya menganggap sepele segala persoalan. Tapi sebe-

narnya dia laki-laki menarik. Hmm.... Sayang, uca-

pannya tak bisa dipegang...," kata Ratu Sekar Langit 

dalam hati.

Dalam hatinya yang paling dalam, Ratu Sekar 

Langit memang sangat mengagumi ketampanan dan 

kejantanan Pendekar Mata Keranjang. Namun karena 

merasa pernah disakiti, dia berusaha menepis pera-

saan itu.


"Laki-laki buaya! Jangan berpura-pura!" maki 

Ratu Sekar Langit dengan suara tinggi melengking.

Wajah perempuan ini tampak bersemu merah. 

Alis matanya yang hitam tebal naik sedikit ke atas. Dia 

tampaknya hampir tidak dapat lagi menahan gejolak 

amarahnya yang selama ini ditahannya.

Pendekar Mata Keranjang hanya menggeleng. 

Bukan karena tak mengerti arti ucapan gadis cantik di 

hadapannya. Namun, karena paras Ratu Sekar Langit 

semakin mempesona di matanya tatkala keadaan ma-

rah begitu.

"Busyet! Gadis ini makin cantik saja kalau saat 

meradang begini...."

Seraya membatin begitu, sepasang mata Pen-

dekar Mata Keranjang tak lepas-lepasnya menatap pa-

ras Ratu Sekar Langit. Dan ini membuat yang ditatap 

tambah memerah wajahnya. Malah matanya semakin 

mendelik.

"Laki-laki pembual! Bersiaplah! Aku tidak akan 

pulang ke Istana Padalarang tanpa membawa sebagian 

tubuhmu!"

Sambil berkata Ratu Sekar Langit mementang 

sedikit kedua kakinya. Sementara kedua tangannya di-

tarik ke belakang, siap melepas pukulan.

"He! Rupanya kau bersungguh-sungguh...?" ka-

ta Pendekar Mata Keranjang kalem. Malah bibirnya 

masih menampakkan senyum.

"Bangsat! Apa kau kira aku main-main. He...?!" 

umpat Ratu Sekar Langit jengkel.

"Oh, begitu...?"

Pendekar Mata Keranjang menganga lebar. Se-

mentara air mukanya tampak tenang, membuat Ratu 

Sekar Langit semakin jengkel dan geram.

"Kau akan menghukumku tanpa memberitahu

kan dahulu, apa kesalahanku. Hmm.... Itu kukira hal 

yang kurang bijaksana. Sekali lagi, kalau kau tak ke-

beratan, katakan apa kesalahanku!" ujar Aji.

Untuk beberapa saat Ratu Sekar Langit diam 

tak menjawab. Hanya kedua matanya menusuk tak 

kesiap.

"Kau tak mau menyebutkan dosa-dosaku. Be-

rarti, memang aku tidak bersalah. Atau, kau mungkin 

punya masalah pada orang yang mirip denganku, lalu 

kau tumpahkan padaku...?"

Yang diajak bicara diam saja.

"Ratu Sekar Langit.... Sebenarnya, aku sangat 

gembira bertemu denganmu. Kau tahu? Aku selama ini 

juga rindu padamu. Aku bahkan punya pikiran, jika 

suatu ketika bertemu, ingin berlama-lama dengan-

mu.... Namun setelah bertemu, semuanya jadi buyar. 

Ratu Sekar Langit.... Rupanya kali ini kau tak berke-

nan. Dan dari pada urusan ini berlarut-larut, lebih 

baik aku pergi.... Meski sebenarnya, hatiku berat...," 

jelas Aji seraya menyembunyikan senyum di bibirnya. 

Kakinya melangkah, hendak meninggalkan gadis itu.

Mendengar ucapan Pendekar Mata Keranjang, 

dada Ratu Sekar Langit berdetak lebih kencang. Kepa-

lanya berpaling, menyembunyikan wajahnya yang ma-

kin mengelam serta senyumnya yang menyeruak aneh.

"Dia mengatakan kangen dan ingin berlama-

lama denganku...? Apakah dia..., oh! Laki-laki buaya

macam dia mana dapat dipercaya? Aku dahulu sudah 

pernah ditipu.... Namun aku tak dapat menipu hatiku. 

Aku senang mendengar dia mengatakan rindu pada-

ku...," gumam batin Ratu Sekar Langit.

Gadis ini lantas memandang ke depan. Dan 

demi melihat Pendekar Mata Keranjang sudah melang-

kah agak jauh, dia segera melompat.

"Laki-laki pembual! Kau kira dapat meninggal-

kan tempat ini dengan mulut masih dapat bicara...?" 

teriak Ratu Sekar Langit.

Ratu Sekar Langit kini telah berdiri tegak 

menghadang langkah Pendekar Mata Keranjang.

"Seandainya belum kukenal dan bukan gadis 

cantik, aku sudah sejak tadi meninggalkannya...," gu-

mam batin Pendekar Mata Keranjang.

Aji menghentikan langkahnya. Dipandanginya 

gadis cantik di hadapannya.

"Ratu Sekar Langit. Aku tak punya banyak 

waktu. Katakan terus terang, apa maksudmu sebenar-

nya?!"

"Hmm.... Kau ingat peristiwa di Teluk Gong-

gong?!" Ratu Sekar Langit mengajukan pertanyaan.

"Tentu! Aku tentu ingat peristiwa itu. Karena, di 

sanalah aku bertemu gadis cantik bergelar Ratu Sekar 

Langit...," sahut Pendekar Mata Keranjang, enteng.

"Uh, manusia ini benar-benar gila. Bagaimana 

aku bisa menghadapi manusia satu ini?" keluh Ratu 

Sekar Langit dalam hati.

Gadis ini berusaha menekan perasaan hatinya. 

Diam-diam hatinya dilanda perasaan bercampur aduk, 

antara senang dan jengkel.

"Kau ingat pernah mengucapkan janji pada-

ku...?!"

Dahi Pendekar Mata Keranjang berkerut. Dico-

banya mengingat-ingat, namun gagal.

"Rasa-rasanya aku tidak pernah..."

"Dasar laki-laki mata keranjang! Kau memang 

tak bisa dikasih hati!"

Pendekar Mata Keranjang tidak meneruskan 

kata-katanya. Karena, Ratu Sekar Langit telah menu-

kas dengan nada keras. Bahkan seketika kedua tangannya mendorong ke arah Aji.

Serangkum angin deras seketika keluar dari 

kedua tangan Ratu Sekar Langit, menyambar memba-

wa suara menggemuruh dahsyat.

Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar Mata 

Keranjang segera melompat ke samping untuk meng-

hindar. Namun baru saja kakinya menginjak tanah, 

angin deras yang bahkan disertai sekuntum bunga 

berwarna hitam melesat ke arahnya.

Dengan kening masih berkerut mencoba berpi-

kir keras mengingat-ingat apa yang pernah diucapkan 

pada Ratu Sekar Langit, Pendekar Mata Keranjang me-

lesat ke udara. Dibuatnya gerakan berputar dua kali, 

lalu mendarat sambil memberi isyarat dengan kedua 

tangan agar Ratu Sekar Langit tak meneruskan seran-

gan.

"Ratu Sekar Langit! Akhir-akhir ini aku banyak 

menghadapi masalah besar. Masalah itu berhubungan 

langsung dengan keselamatan jiwaku dan juga kete-

nangan dan ketenteraman dunia persilatan. Jadi kau 

harus maklum jika aku sama sekali tak ingat dengan 

janji ku padamu. Katakan saja, janji apa yang pernah 

kuucapkan padamu...!"

Ratu Sekar Langit sejenak menatap, Pendekar 

Mata Keranjang seraya menepiskan helaian rambut 

yang menghalangi pemandangannya. Wajahnya lantas 

berpaling.

"Waktu di Teluk Gonggong, kau berjanji akan 

mengunjungi ku di Istana Padalarang, serta akan 

membantuku mendirikan perguruan silat. Sekarang 

kau ingat?!" sahut Ratu Sekar Langit, mengingatkan.

Pendekar Mata Keranjang menepuk jidatnya 

berkali-kali. Lantas bibirnya tersenyum sambil men-

gangguk-angguk.

"Pendekar Mata Keranjang!" tambah Ratu Sekar 

Langit dengan suara agak rendah. "Sejak peristiwa di 

Teluk Gonggong, aku selalu menanti kedatanganmu. 

Namun setelah sekian purnama kau tak juga muncul, 

aku mulai menyesal. Menyesal kenapa terlalu memper-

cayai janji-janjimu. Kau tahu...? Seandainya kau tak 

mengucapkan janji, waktu itu aku tidak akan mening-

galkan Te luk Gonggong. Apalagi pengasuh ku, Ki 

Buyut Linggar Dipa tewas di tangan temanmu! Seka-

rang, aku ingin menagih janji yang pernah kau 

ucapkan!"

Untuk beberapa saat Pendekar Mata Keranjang 

terdiam.

"Gawat! Kenapa saat itu mulutku tak bisa di-

am? Bicara soal janji-janji. Padahal, aku mengucapkan 

janji itu hanya untuk meredakan suasana dan agar dia 

berpihak padaku...," rutuk Aji, dalam hati.

"Pendekar Mata Keranjang! Kenapa kau diam? 

Apa kau tak mendengar penjelasanku?!" tegur Ratu 

Sekar Langit.

Seakan baru tersadar, Pendekar Mata Keran-

jang hanya menganggukkan kepala. Padahal, hatinya 

kebingungan mencari jalan keluar agar kali ini dapat 

menghindar dari Ratu Sekar Langit. Karena, perjala-

nannya ke Karang Langit menemui Wong Agung jauh 

lebih penting.

"Hmm.... Terima kasih jika kau mau mengerti. 

Kita berangkat sekarang?" tawar Ratu Sekar Langit se-

raya melangkah mendekat. Senyumnya mengembang 

dengan mata bersinar.

"Tunggu...," ujar Pendekar Mata Keranjang, 

membuat langkah Ratu Sekar Langit terhenti. "Mak-

sudku bukan begitu. Aku mengerti penjelasan mu. 

Namun untuk menepati janji ku, aku minta pengertianmu. Sementara ini aku minta waktu padamu. Ka-

rena, aku masih ada masalah yang sekarang harus 

diselesaikan. Kalau sekarang aku ke tempatmu, uru-

sanku bisa terabaikan. Dan itu akan membawaku pa-

da keadaan sulit!"

"Pendekar Mata Keranjang! Kau ternyata laki-

laki pengecut yang kata-katanya sulit dipegang!" ben-

tak Ratu Sekar Langit.

"Dengar dahulu, Ratu Sekar Langit...," ujar 

Pendekar Mata Keranjang perlahan. "Aku sekarang da-

lam perjalanan ke tempat guruku...."

"Siapa percaya ocehanmu?!" damprat Ratu Se-

kar Langit dengan seringai. 

"Kau boleh percaya, boleh tidak. Namun untuk 

sekarang ini, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. 

Meski, sebenarnya itu janji ku!" kilah Pendekar Mata 

Keranjang agak jengkel.

"Mulutmu memang pantas dirobek, biar tidak 

mudah menebar janji-janji palsu!"

Sambil berkata, Ratu Sekar Langit melesat ke 

depan. Kedua tangannya cepat menghentak.

"Gadis ini sepertinya tidak main-main dengan 

ucapannya...," kata batin Pendekar Mata Keranjang se-

raya melompat ke samping, menghindari pukulan Ratu 

Sekar Langit.

Namun Pendekar Mata Keranjang dibuat terke-

jut bukan alang kepalang. Karena baru saja mendarat, 

Ratu Sekar langit telah berdiri dua langkah di bela-

kangnya. Dan sekonyong-konyong dilepaskannya han-

taman tangan kiri dan kanan ke arah kepalanya.

Kalau saja Pendekar Mata Keranjang tidak 

waspada dengan segera merunduk, niscaya kepalanya 

akan terhantam telak tinju kanan dan kiri Ratu Sekar 

Langit.

Namun selagi Pendekar Mata Keranjang me-

runduk menghindari hantaman tangan, Ratu Sekar 

Langit sudah menerjang kaki kanannya.

Wuuut!

Buk!

"Aaakh...!"

Begitu cepatnya gerakan kaki Ratu Sekar Lan-

git, hingga kali ini Pendekar Mata Keranjang tak sem-

pat lagi berkelit. Punggungnya kontan terhajar kaki 

kanan Ratu Sekar Langit. Tubuhnya langsung tersu-

ruk.

Dengan menggumam tak karuan, Pendekar Ma-

ta Keranjang merambat bangkit. Namun begitu berdiri 

dan berbalik, sepasang matanya tak lagi menangkap 

sosok Ratu Sekar Langit.

Saat kebingungan begitu, tiba-tiba terdengar 

tawa cekikikan. Pendekar Mata Keranjang segera ber-

paling. Dari arah sebuah pohon, Ratu Sekar Langit 

tampak melayang turun. Namun sebelum tubuhnya 

mendarat, empat kuntum bunga berwarna hitam su-

dah melesat cepat mengeluarkan suara mendesing. 

Hebatnya, empat kuntum bunga itu langsung berpen-

car dan menukik deras ke arah Pendekar Mata Keran-

jang dari empat jurusan.

Aji hampir tak mempercayai penglihatannya. 

Dia meracu tak karuan, seraya melesat ke udara. Tan-

gan kanan cepat dihantamkan ke depan. Sementara, 

kaki kanannya disapukan menyamping.

Bet! Bet!

Dua rangkum angin kencang bergemuruh sege-

ra menerpa, memapak kuntum bunga yang mengarah 

dari arah depan. Tiga kuntum bunga serta merta han-

cur berhamburan. Namun, satu kuntum lainnya lolos 

dan kini menukik deras menerabas dari arah atas kepala Pendekar Mata Keranjang!

Begitu kencangnya lesatan bunga itu, hingga 

tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Mata Keranjang 

untuk menangkis. Maka mau tak mau dia hanya bisa 

menghindar dengan melangkah ke samping. 

Namun baru saja Aji dapat selamat, dari arah 

depan Ratu Sekar Langit telah kembali menghentak-

kan kedua tangannya.

Seketika arak-arakan asap berwarna keputih-

putihan yang sesekali tampak menggumpal disertai 

hawa panas menyengat menggebrak ke arah Pendekar 

Mata Keranjang!

Pendekar Mata Keranjang yang masih tampak 

terhuyung-huyung setelah dapat menghindari seran-

gan kuntuman bunga Ratu Sekar Langit jadi tersadar 

kalau serangan kuntuman bunga hanyalah serangan 

tipuan untuk mengalihkan perhatiannya. Melihat hal 

itu, segera tubuhnya direbahkan di tanah dan cepat 

bergulingan. Pada gulingan keenam, sepasang kakinya 

segera menendang ke tanah, membuat tubuhnya mele-

sat ke atas. Dan bersamaan dengan itu dilepaskannya 

pukulan 'Segara Geni'.

Des! Bum! Bum!

Tempat itu laksana diterpa gempa dahsyat. Ta-

nahnya bergetar. Pohon berderak tumbang dalam kea-

daan hangus menghitam.

Sementara itu Ratu Sekar Langit menjerit ter-

tahan. Tubuhnya tampak gemetaran. Kedua tangannya 

memerah. Sementara pakaian yang dikenakannya ber-

kibar-kibar, membuat lekukan tubuhnya semakin ter-

lihat jelas. Namun hebatnya, sosok gadis ini tak ber-

geming sama sekali, laksana tiang menancap kokoh.

Sementara, Pendekar Mata Keranjang yang me-

lancarkan serangan sambil meloncat ke udara sudah

kembali mencelat dua tombak ke belakang. Untung dia 

masih sempat membuat gerakan salto, hingga tubuh-

nya selamat dari pengaruh ledakan barusan.

"Gadis ini benar-benar nekat! Bagaimana ini? 

Kalau aku terus menerus bertahan, tak mustahil suatu 

kesempatan aku akan terhantam pukulannya. Semen-

tara, aku tak tega untuk melepaskan pukulan secara 

langsung ke arahnya. Aku..., khawatir dia akan cide-

ra...."

Di lain pihak, Ratu Sekar Langit yang masih 

tampak berdiri kokoh segera menakupkan kedua tan-

gannya sejajar dada. Dan begitu telapak tangannya 

membuka dan hendak dihantamkan, mendadak berke-

lebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah 

berdiri tegak, seakan menghadang serangan yang akan 

dilancarkan Ratu Sekar Langit.

"Gadis cantik! Apakah layak melakukan pem-

bunuhan pada orang yang bertarung setengah hati?!" 

tegur sosok yang kini memandang pada Ratu Sekar 

Langit.

Pendekar Mata Keranjang melengak tak per-

caya, begitu mengenali siapa orang yang menghadang 

serangan Ratu Sekar Langit. Dia adalah seorang gadis 

berparas cantik. Rambutnya panjang sebahu dan ber-

mata bulat.

"Ajeng Roro...," sebut Pendekar Mata Keranjang 

seraya melangkah mendekat.

Mendapat sapaan Pendekar Mata Keranjang, 

gadis yang memang Ajeng Roro tidak menyahut, apala-

gi berpaling. Dan ini membuat murid Wong Agung 

menggeleng seraya menarik napas dalam-dalam.

"Benar apa yang dikatakan Eyang Selaksa. Sa-

dis satu ini keras kepala. Hmm.... Mungkin dia masih 

memendam rasa jengkel padaku, atas kejadian di Kotaraja Malowopati. Atau mungkin juga cemburu pada 

Ratu Sekar Langit.... Namun dengan kedatangannya 

aku bisa menghindar dari Ratu Sekar Langit.... Ya, 

seandainya saja aku tidak dalam perjalanan menuju 

Karang Langit, tentu mau saja ke Istana Padalarang. 

Apalagi, diajak gadis secantik Ratu Sekar Langit...," ka-

ta batin Pendekar Mata Keranjang seraya mendehem 

beberapa kali.

"Siapa kau?!" tegur Ratu Sekar Langit, dengan 

suara meradang. "Jangan berani mencampuri urusan 

ini, bila masih ingin tetap hidup!"

Untuk sesaat Ajeng Roro tidak menjawab. 

Hanya sepasang matanya yang bulat memandang tak 

kedip ke arah Ratu Sekar Langit. Sinar matanya men-

gisyaratkan ketidaksenangan.

"Aji. Kau benar-benar laki-laki mata keranjang! 

Di mana-mana selalu dan selalu terlibat persoalan 

dengan gadis-gadis cantik. Aku jadi tak percaya pada 

diriku sendiri. Gadis yang tampaknya tertarik padamu 

begitu banyak dan cantik-cantik. Sedangkan aku...?" 

kata batin Ajeng Roro dengan menarik napas panjang 

dan dalam-dalam.

"He...! Kau jangan berpura-pura tak mendengar 

pertanyaanku!" bentak Ratu Sekar Langit dengan mata 

membesar. Sementara dahinya membentuk kerutan.

Bentakan Ratu Sekar Langit seakan menyen-

takkan lamunan Ajeng Roro. Sehingga gadis ini tam-

pak gugup dan gelagapan. Namun sebentar kemudian 

dia sudah dapat menguasai diri dan tersenyum seraya 

berkata dengan tenang.

"Aku, Roro! Dan perlu kau camkan baik-baik. 

Aku tidak suka diancam oleh siapa pun! Aku juga tak 

ingin ikut campur masalah dengan pemuda ini. Namun 

karena aku juga punya persoalan dengan pemuda ini,

maka kuharap kau mengerti! Kau sendiri siapa...?!" 

sahut Ajeng Roro seraya balik bertanya.

Ratu Sekar Langit tersenyum dingin. Matanya 

membeliak lebar dan memandang bergantian pada 

Ajeng Roro dan Pendekar Mata Keranjang. Lantas pan-

dangannya dibuang jauh ke jurusan lain. Tawanya 

perlahan segera terdengar. Dan begitu tawanya ber-

henti, ekor matanya melirik tajam pada Ajeng Roro.

"Aku sebenarnya sungkan untuk menyebutkan 

nama. Namun karena kau tadi telah memperkenalkan 

diri, maka tak ada salahnya jika aku pun memperke-

nalkan diri. Orang-orang memanggilku Ratu Sekar 

Langit! Dan perlu juga kau perhatikan baik-baik. Aku 

tak mau tahu kau punya persoalan atau tidak dengan 

pemuda itu. Namun yang pasti, kau telah mencampuri 

urusanku dengan caramu barusan. Dan jika kau tidak 

segera tinggalkan tempat ini, berarti membuka ajang 

sengketa denganku!" tegas Ratu Sekar Langit.

Ajeng Roro tersenyum rawan.

"Hmm..., begitu?" tukas Ajeng Roro tanpa me-

nunjukkan rasa gentar sama sekali.

Gadis ini lantas berpaling pada Pendekar Mala 

Keranjang yang kini berdiri tak jauh darinya. Dan Aji 

tampak kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

Saat Ajeng Roro berpaling, Pendekar Mata Ke-

ranjang juga sedang menoleh. Seketika keduanya sal-

ing berpandang. Hati Ajeng Roro berdetak lebih ken-

cang. Raut wajahnya bersemu merah.

Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Namun 

Ajeng Roro tak membalas. Hanya pandangan matanya 

tak beralih dari bola mata Aji.

"He! Kuperingatkan sekali lagi, tinggalkan tem-

pat ini!" seru Ratu Sekar Langit.

"Hmmm.... Tampaknya kau terkesima dengan

pemuda itu. Apa hubunganmu dengannya? Keka-

sih...?" sambung Ratu Sekar Langit, begitu agak lama 

Ajeng Roro tidak menyahuti kata-katanya. Bahkan 

memandang pun tidak!

Mendengar ucapan Ratu Sekar Langit. buru-

buru wajah Ajeng Roro berpaling. Rautnya semakin 

merah padam. Dari mulutnya terdengar gumaman 

yang tak jelas. Matanya kini memandang tajam pada 

Ratu Sekar Langit.

"Kau tak usah tahu, apa hubungan ku dengan-

nya! Dan kaulah yang seharusnya segera meninggal-

kan tempat ini!" balas Ajeng Roro seraya melangkah 

maju.

"Ah! Urusan ini akan semakin rumit jadinya.... 

Apa yang harus kulakukan? Jika aku menengahi, ke-

duanya pasti tidak ada yang saling mengerti. Dasar 

gadis-gadis keras kepala...," rutuk Pendekar Mata Ke-

ranjang.

Aji memandang satu persatu pada Ajeng Roro 

dan Ratu Sekar Langit.

"Hm..., sebaiknya aku segera meninggalkan 

tempat ini. Dengan begitu, mereka pasti akan bubar 

sendiri... Tapi, aku harus mencari saat yang tepat. 

Hm..., terpaksa akan kubiarkan dahulu mereka saling 

menukar jurus. Dengan demikian, perhatiannya pada-

ku pasti berkurang...," pikir Pendekar Mata Keranjang, 

seraya menyapukan pandangan ke sekeliling.

Apa yang menjadi dugaan Pendekar Mata Ke-

ranjang ternyata benar. Begitu Ajeng Roro melangkah 

maju, Ratu Sekar Langit tidak tinggal diam. Tubuhnya 

pun berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri tegak 

lima langkah di hadapan Ajeng Roro.

"Gadis liar! Jangan menyesal jika aku berlaku 

kasar padamu!" bentak Ratu Sekar Langit, seraya

mengirimkan serangan jarak jauh menggunakan tan-

gan kosong.

Seketika arak-arakan asap putih segera me-

nyambar. Namun Ajeng Roro yang telah waspada sege-

ra melompat ke samping menghindar seraya mengi-

rimkan serangan dengan pukulan jarak jauh. 

Des! Des!

Terdengar bentrok pukulan dua kali berturut-

turut di udara. Arak-arakan asap putih serangan Ratu 

Sekar Langit yang menyambar-nyambar seketika, ter-

kena papasan angin serangan Ajeng Roro.

Setelah itu jurus demi jurus segera berlang-

sung. Kekuatan mereka tampaknya seimbang. Terbuk-

ti hingga menginjak jurus kedua puluh lima, satu sa-

ma lain masih tampak tegar. 

Namun, tak berapa lama kemudian Ajeng Roro 

tampak mulai terdesak hebat. Dan dalam suatu gebra-

kan yang dilancarkan secara beruntun, gadis itu tam-

pak terkurung serangan kuntuman bunga hitam Ratu 

Sekar Langit.

Merasa terdesak, Ajeng Roro segera-melesat ke 

udara. Namun tanpa diduga sama sekali, pada saat 

itulah hantaman kedua tangan Ratu Sekar Langit da-

tang menyambar.

Dengan gerakan cepat, Ajeng Roro sempat me-

nangkis dengan menghentakkan tangan kanan dan ki-

ri. Namun, tak urung sambaran serangan Ratu Sekar 

Langit yang telah dialiri tenaga dalam tinggi sempat 

menghajar kaki kanannya.

Digkh...!

"Aaakh...!"

Hingga kejap itu juga terdengar jeritan tertahan 

dari mulut Ajeng Roro. Sosoknya langsung berputar, 

dan menukik deras terbanting di atas tanah. Begitu

bangkit, darah segar tampak mengalir dari sudut bi-

birnya. Sementara pakaian di bagian paha tampak ro-

bek, memperlihatkan kulit yang membiru!

Sementara, Ratu Sekar Langit tampak terse-

nyum mengejek. Kakinya lantas melangkah maju, 

mendekati Ajeng Roro yang kini telah bangkit dengan 

raut wajah meringis menahan sakit di pahanya.

"Tampaknya dia ingin membunuhku! Apa boleh 

buat? Aku tidak akan tinggal diam!" bisik Ajeng Roro 

seraya menyiapkan pukulan.

Namun segera urungkan niat, ketika melihat 

Ratu Sekar Langit mengurungkan niatnya seraya 

menghentikan langkahnya.

"Keparat! Dia kabur!" desis Ratu Sekar Langit 

dengan menyapukan pandangannya ke sekeliling. Wa-

jahnya menampakkan rasa kecewa. Dari mulutnya 

terdengar gumaman tak karuan.

Melihat keadaan ini, Ajeng Roro pun ikut-

ikutan menyapukan mata ke sekeliling. Dia pun juga 

menggumam panjang pendek yang tak bisa dimengerti 

sambil memukulkan kedua tangannya satu sama lain 

untuk melampiaskan rasa kecewa dan jengkel.

"Hmm..,. Berbulan-bulan kucari. Setelah ber-

temu, akhirnya pergi lagi. Ke mana perginya? Menurut 

kabar yang berhasil kusirap, dia baru saja berhasil 

menumpas Malaikat Berdarah Biru serta sekutu-

sekutunya. Apa tak mungkin dia pergi ke Karang Lan-

git menemui Eyang Wong Agung...? Atau, ke Kampung 

Blumbang menemui Eyang Selaksa...? Hmm..., Eyang 

Selaksa.... Telah lama aku meninggalkanmu. Aku ingin 

bertemu denganmu...," kata batin Ajeng Roro dengan 

wajah menekuri tanah. Rasa sakit yang mendera ka-

kinya seakan tak dirasakan.

Di lain pihak, Ratu Sekar langit diam-diam juga

membatin.

"Melihat sikapnya, nampaknya gadis ini men-

cintai pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108 

itu. Hmm..., masa bodoh dengan semua itu! Tadi Pen-

dekar Mata Keranjang berkata akan menemui gurunya. 

Aku akan mencari tahu, di mana tempat tinggal gu-

runya!"

Berpikir begitu, Ratu Sekar Langit lantas me-

mandang Ajeng Roro. Tak terhindarkan, keduanya se-

jenak saling bentrok pandangan. Dan belum sempat 

Ajeng Roro berkata, Ratu Sekar Langit telah berbalik.

"Aku ada kepentingan lain. Semoga kita sama-

sama berumur panjang, hingga dapat melanjutkan 

masalah yang belum tuntas ini!" kata Ratu Sekar Lan-

git.

Ratu Sekar Langit segera berkelebat pergi, me-

ninggalkan Ajeng Roro yang tampak memandangi den-

gan senyum dingin.

Sementara, Ajeng Roro lantas terlihat men-

gangkat kepala memandang langit.

"Kau kutunggu sampai kapan pun untuk me-

nuntaskan masalah ini!" seru Ajeng Roro, keras.


LIMA


Mentari merah jingga perlahan unjuk diri, me-

napak dari celah pinggiran ufuk sebelah timur Gunung 

Semeru. Udara malam samar-samar merambat terusir, 

berganti udara baru yang memberi kehangatan bagi 

mayapada ini.

Di tengah laut utara yang bergelombang dah-

syat, tepatnya di atas salah satu batu karang yang

mengelilingi sebuah batu karang menjulang yang di-

kenal sebagai Karang Langit, terlihat seorang pemuda 

berpakaian hijau dilapis dengan pakaian lengan pan-

jang warna kuning. Rambutnya dikuncir ekor kuda. 

Dia berdiri tegak, memandangi batu karang tinggi di 

depannya.

Pemuda yang tak lain Aji Saputra alias Pende-

kar Mata Keranjang 108 sepagi itu tampak mandi ke-

ringat. Nafasnya berhembus panjang-panjang tak bera-

turan. Sebentar-sebentar tangannya terangkat, men-

gusap peluh yang mengalir di keningnya.

Semalam penuh, Pendekar Mata Keranjang 

memang habis memacu larinya sekencang mungkin. 

Segenap ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dike-

rahkan. Ini dilakukan karena khawatir jika Ajeng Roro 

atau Ratu Sekar Langit akan dapat mengendus keper-

giannya.

Waktu terjadi bentrok antara Ajeng Roro dan 

Ratu Sekar Langit, diam-diam Pendekar Mata Keran-

jang yang merasa serba salah, berkelebat meninggal-

kan kedua gadis itu yang sedang bertukar jurus.

"Gadis-gadis itu, hm.... Aku tak mengerti, apa 

maksud mereka sebenarnya...," gumam Aji seraya 

mengalihkan pandangan pada gelombang laut yang tak 

henti-hentinya menghempas kisi-kisi batu karang.

"Ratu Sekar Langit.... Tak dapat dipungkiri, dia 

memang cantik jelita. Namun aku belum bisa mendu-

ga, apa tujuannya ingin mendirikan sebuah perguruan 

silat! Aneh! Seorang gadis ingin punya perguruan si-

lat.... Dan aku sangat menyesal, kenapa begitu gam-

pang membuat janji-janji...," lanjut Aji dalam hati, se-

raya membayangkan Ratu Sekar Langit.

Membayangkan wajah Ratu Sekar Langit, mau 

tak mau membawa murid Wong Agung ini teringat pada Ajeng Roro.

"Ajeng Roro.... Kau juga nampak semakin can-

tik. Namun, aku tak habis pikir, kenapa kita diperte-

mukan pada saat ada masalah? Kapan kita bisa ber-

temu dalam suasana tenang dan damai? Seperti saat 

pertemuan pertama di Kampung Blumbang dahulu?"

Sewaktu Aji merenung mengenang masa-masa 

lalunya, tiba-tiba....

"Aji, udara di tempatmu kurang baik untuk ke-

sehatan. Angin laut yang membawa butiran garam bisa 

menyumbat jalan nafasmu. Bergegaslah pergi dari 

tempat itu!"

Terdengar sebuah suara bernada menegur. 

Meski amat pelan, namun jelas mengiang di dekat te-

linga. Aji mengenal jelas, siapa orang yang mengelua-

rkan suara itu. Lantas kepalanya menengadah me-

mandang batu karang yang tinggi menjulang. Kedua 

tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Matanya 

terpejam sebentar. Bersamaan dengan itu kedua tan-

gannya disentakkan ke bawah. Sementara kedua ka-

kinya menjejak.

Saat itu juga batu karang tempat Aji berpijak 

bergetar hebat. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya 

melenting tinggi, melewati sisi-sisi batu karang. Dan 

akhirnya Pendekar Mata Keranjang mendarat kokoh di 

pelataran batu karang yang tinggi menjulang.

Sepasang mata Aji sejenak menebar ke sekelil-

ing. Bangunan batu yang ada di Karang Langit itu tak 

berbeda dengan waktu pertama kali dia datang pada 

beberapa puluh bulan yang silam. Bagian depannya 

tampak porak poranda dengan salah satu tiangnya ro-

boh.

Pendekar Mata Keranjang menghela napas da-

lam-dalam. Kakinya lantas melangkah mendekati bangunan batu. Dan begitu sampai di depan bangunan 

langkahnya berhenti.

"Eyang...," panggil Pendekar Mata Keranjang 

pelan.

"Aji.... Kau tak usah berbasa-basi lagi. Masuk-

lah!"

Kembali terdengar suara dari dalam bangunan.

Dengan langkah perlahan, Pendekar Mata Ke-

ranjang meneruskan langkahnya memasuki bangunan 

batu. Tiba di ruangan depan, sepasang matanya me-

mandang berkeliling.

"Hmmm..,. Tak ada yang berubah...," bisik Pen-

dekar Mata Keranjang seraya terus melangkah ke se-

buah pintu di bagian belakang.

Setelah melewati pintu dan menuruni tangga 

yang juga terbuat dari batu-batu karang, Aji mendapati 

sebuah ruangan. Di situ, tampak seorang laki-laki be-

rambut putih berjubah putih. Kedua matanya tertutup 

sehelai kulit yang diikatkan ke belakang. Laki-laki tua 

ini duduk bersila di atas sebuah batu.

"Eyang...," seru Aji seraya melangkah mendeka-

ti laki-laki berjubah.

Pendekar Mata Keranjang segera mengambil 

tangan laki-laki itu dan menciumnya. Setelah menjura 

hormat, Aji duduk di depan laki-laki berjubah yang tak 

lain dari Wong Agung.

"Bagaimana perjalananmu, Aji?" tanya Wong 

Agung seraya tersenyum.

"Baik, Eyang...," sahut Aji, pelan. "Hm.... Lantas 

soal tugasmu...?" 

"Juga bisa berjalan baik, Eyang...," jawab Aji 

yang kemudian disambungnya dengan cerita tentang 

petualangannya. Juga tentang pertemuannya dengan

perempuan aneh yang memberi bumbung bambu, ser

ta pertemuannya dengan Malaikat Berdarah Biru. Dan 

cerita itu diakhiri soal pertemuannya dengan Ajeng Ro-

ro (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar 

Mata Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para

Iblis" dan "Geger Para Iblis").

Wong Agung manggut-manggut mendengar ce-

rita Pendekar Mata Keranjang.

"Mana bumbung bambu dan kipas hitam itu?" 

tanya Wong Agung, setelah Aji selesai dengan ceri-

tanya.

Dari balik baju hijaunya, Aji segera mengelua-

rkan bumbung bambu serta kipas hitam. Segera kedua 

benda itu diangsurkan pada Wong Agung.

Sejenak Wong Agung menimang kedua benda 

pusaka tersebut. Lalu tangannya bergerak meraba-

raba. Bersamaan dengan itu, kepalanya mengangguk-

angguk perlahan.

"Aji...," panggil Wong Agung setelah agak lama 

memeriksa bumbung bambu dan kipas hitam. "Untuk 

sementara ini, biarkan bumbung bambu dan kipas hi-

tam ini aku yang simpan. Bukan karena apa-apa, 

hanya aku merasa khawatir. Sebagai laki-laki muda, 

kau nanti tidak kuat menghadapi godaan. Karena ki-

pas hitam ini membawa pengaruh besar sekali pada 

siapa yang membawanya. Sebab, siapa pun yang me-

megang kipas ini, maka jiwanya akan terus menerus 

dihantui rasa ingin membunuh dan mempermainkan 

perempuan.... Kau tidak keberatan dengan hal ini bu-

kan?"

Pendekar Mata Keranjang menggeleng perlahan 

sambil menengadah memandang Wong Agung.

Wong Agung mengangguk, lalu memasukkan 

bumbung bambu dan kipas hitam ke balik jubah pu-

tihnya.

"Eyang.... Ngg...."

"Adakah sesuatu yang hendak kau tanyakan?" 

potong Wong Agung bertanya, begitu melihat muridnya 

ragu-ragu untuk meneruskan kata-katanya.

Sejenak Aji terdiam. 

"Katakan...!" ujar Wong Agung.

"Soal Ageng Panangkaran, Eyang.... Dia...." 

Wong Agung melintangkan telunjuk jarinya di depan 

mulut memberi isyarat agar muridnya tak meneruskan 

ucapannya. Laki-laki tua itu terlihat menarik napas 

dalam-dalam.

"Aku sudah tahu nasib yang menimpa Paman 

Ageng Panangkaran. Kematian memang tak dapat di-

tentukan kapan datangnya, meski hal itu pasti tiba. 

Dan juga, tak bisa ditentukan apa penyebabnya. 

Hanya saja, soal Paman Ageng Panangkaran, aku san-

gat menyesalkan orang yang berbuat keji padanya...," 

kata Wong Agung dengan suara berat dan sengau.

Sejenak Wong Agung menghentikan ucapannya. 

Tubuhnya tampak sedikit bergetar. Jari-jari tangannya 

gemetar dan mengepal.

"Aji.... Kalau sudah tidak ada yang ingin kau 

sampaikan, istirahatlah dahulu- Besok pagi-pagi be-

nar, turunlah. Temui Paman Selaksa...," ujar Wong 

Agung.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan, Eyang...," 

kata Aji sambil menatap lekat-lekat gurunya.

"Apakah Eyang mengenal orang yang bernama 

Restu Canggir Rumekso?"

Wong Agung nampak sedikit tersentak men-

dengar pertanyaan muridnya.

"Hmm.... Ada apa dengan dia...?"

"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya waktu menuju 

kemari, aku sempat bertemu dengannya...."

"Kau jangan berdusta, Aji. Nada suaramu men-

gisyaratkan ada sesuatu yang ingin dikatakan, namun 

kau urungkan..."

Paras Pendekar Mata Keranjang merah padam. 

Tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum.

"Jangan cengengesan. Ada apa dengan Restu 

Canggir Rumekso? Kau punya masalah dengannya...?" 

desak Wong Agung.

Aji menggeleng perlahan

"Tidak, Eyang. Hanya saja seorang temanku 

yang terluka parah sempat dibawanya. Katanya, dia 

mau menolong. Bukankah dia memang seorang tabib 

yang masyhur...?"

"Dengar, Aji. Kau harus berhati-hati mengha-

dapi manusia bernama Restu Canggir Rumekso. Dia 

adalah salah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang 

ilmunya sulit dijajaki. Selain itu, dia juga cerdik dan li-

cik. Di luar, dia memang terlihat baik. Suka menolong, 

dan menebar kebaikan di mana-mana. Namun di balik 

semua itu, sebenarnya dia adalah seorang tokoh sesat. 

Berpuluh-puluh tahun dia tak ada kabar beritanya. 

Maka bila sekarang dia muncul lagi ke gelanggang, be-

rarti ada sesuatu yang diinginkannya. Jika berhada-

pan dengannya kau harus waspada. Menghadapi orang 

seperti dia, dibutuhkan akal jernih...," papar Wong 

Agung.

"Celaka!" desis Aji dalam hati, mengutuk di-

rinya sendiri. "Kenapa aku begitu percaya padanya? 

Bagaimana nasib Putri Tunjung Kuning nantinya? Bu-

syet! Lagi-lagi aku tertipu...."

"Ada lagi yang hendak kau tanyakan...?" tegur 

Wong Agung.

"Tidak Eyang...," sahut Aji. 

"Jika begitu, istirahatlah dahulu. Karena, besok

pagi kau harus segera ke Kampung Blumbang...."


ENAM


Langit di atas Kampung Blumbang tampak ce-

rah. Sinar mentari begitu leluasa menerobos sela-sela 

pohon yang tampak berjajar di sekitarnya. Sehingga, 

membuat kehangatan melingkupi tempat ini. 

Di dalam sebuah gubuk yang terletak di sebe-

lah timur Kampung Blumbang, tampak dua orang du-

duk berhadap-hadapan. Bahu salah seorang terlihat 

berguncang-guncang menahan isak tangis. Sementara 

orang satunya tampak memandang dengan sinar mata 

sayu. Namun, kegembiraan jelas sekali memancar dari 

raut wajahnya.

Yang terisak menahan tangis ternyata seorang 

gadis berparas jelita. Pakaiannya warna biru. Rambut-

nya panjang tergerai. Sementara orang yang duduk di 

hadapannya adalah seorang laki-laki berusia lanjut 

berpakaian warna putih panjang. Sepasang matanya 

telah terlihat sayu. Janggutnya ditumbuhi jenggot pan-

jang dan telah berwarna putih.

"Roro...," panggil orang tua di hadapan gadis 

yang ternyata Ajeng Roro dengan suara serak. "Aku 

begitu gembira sekali melihat kau kembali. Kau ta-

hu...? Sejak kepergianmu, aku begitu kesepian. Tak 

ada teman yang bisa diajak berbincang. Maka dari itu, 

ku mohon setelah ini jangan lagi meninggalkan Kam-

pung Blumbang! Apapun alasannya.... "

Ajeng Roro mengangkat kepalanya. Dipandang-

nya orang tua itu dengan sinar mata redup. Tampak-

nya dia masih berusaha menahan diri agar air matanya tak bergulir.

"Eyang.... Maafkan aku," ucap Ajeng Roro, begi-

tu bisa menguasai diri. "Aku memang terlalu memen-

tingkan diri sendiri. Tak menghiraukan kata-kata 

Eyang...."

Orang tua yang dipanggil Eyang dan tak lain 

Eyang Selaksa ini menarik napas dalam-dalam. Pan-

dangan matanya tak beranjak dari Ajeng Roro.

"Aku tahu. Aku bisa mengerti apa yang kau ra-

sakan. Sekarang, yang lalu biarlah berlalu. Kau berjan-

ji tak akan meninggalkan Kampung Blumbang lagi, 

bukan...?"

Yang ditanya mengangguk perlahan, membuat 

Eyang Selaksa tersenyum. Tatapan orang tua ini lantas 

beralih jauh keluar gubuk yang pintunya tampak ter-

buka.

"Roro..., apa selama ini kau sempat berjumpa 

Aji?" tanya Eyang Selaksa.

Ajeng Roro tampak sedikit terkejut mendengar 

pertanyaan Eyang Selaksa. Hingga untuk beberapa 

saat, dia terdiam.

"Kau tampaknya terkejut. Kenapa? Kau pernah 

bertemu dengannya, bukan?" desak Eyang Selaksa.

Ajeng Roro kembali hanya menganggukkan ke-

pala. Wajahnya lantas berpaling menyembunyikan ro-

na merah.

"Aku mendengar berita, dia telah berhasil me-

numpas Malaikat Berdarah Biru. Apakah kau juga 

mendengarnya?"

"Benar, Eyang. Aku juga mendengar berita 

itu.... Namun, aku sendiri belum dengar dari dia sendi-

ri.... Karena saat bertemu, kami tidak sempat ber-

tanya...!" sahut Ajeng Roro.

"Kau ini aneh. Sempat bertemu, tapi tak sempat

bertanya. Lantas apa yang kalian bicarakan...?" tanya 

Eyang Selaksa, bingung.

Ajeng Roro tak menjawab. Wajahnya semakin 

memerah.

"Bagaimana aku harus mengatakannya...? Apa 

aku harus berterus terang? Tidak! Eyang tidak boleh 

tahu apa yang terpendam dalam hatiku...," kata batin 

Ajeng Roro, seraya menatap ke jurusan lain.

"Kalau kau tak mau mengatakannya, tak apa-

lah. Yang penting, bagiku kau telah kembali dan tak 

akan meninggalkan ku lagi. Dan...."

Ucapan Eyang Selaksa terputus ketika tiba-tiba 

melihat sesosok tubuh berkelebat di sekitar Blumbang.

"Hmm.... Ada orang di luar!" seru Eyang Selak-

sa.

Serta merta laki-laki tua ini berdiri. Tubuhnya 

segera berkelebat ke arah sekitar Blumbang, lalu men-

gendap-endap di samping tembok Blumbang.

Melihat Eyang Selaksa berkelebat, Ajeng Roro 

tak tinggal diam. Segera diikutinya dari belakang, dan 

mengendap di belakang Eyang Selaksa. 

"Hmm.... Dia rupanya berkepandaian tinggi. 

Gerakannya begitu cepat. Namun aku percaya, dia ma-

sih berada di sekitar sini. Melihat sosoknya, sepertinya 

dia mengenakan pakaian hijau. Apa kira-kira bu-

kan...."

Kata-kata Eyang Selaksa tidak berlanjut, tatka-

la sepasang matanya menangkap seseorang sedang 

berdiri di dekat pintu masuk Blumbang.

"Ah, rupanya dia!" sentak Ajeng Roro dengan 

mata menatap ke arah sosok yang tampak membela-

kangi.

"Anak konyol! Kenapa dia berlaku seperti anak 

main petak umpet!" umpat Eyang Selaksa, begitu mengetahui sosok yang berdiri membelakangi.

Sosok yang berdiri membelakangi berbalik, 

menghadap Eyang Selaksa dan Ajeng Roro dengan bi-

bir cengengesan. Dia ternyata Pendekar Mata Keran-

jang!

"Eyang, Ajeng Roro...," sapa Pendekar Mata Ke-

ranjang seraya melangkah mendekati.

Eyang Selaksa menggumam tak karuan. "Anak 

kurang ajar! Kenapa kau berlaku seperti anak-anak? 

Kau patut disodok berani mempermainkan orang tua!"

Aji semakin tersenyum lebar. Dan begitu dekat 

dengan Eyang Selaksa, dia segera menjatuhkan diri 

dan menjura hormat berulang kali.

Eyang Selaksa meluruskan tubuhnya, lalu 

menggeleng-geleng. Sementara Ajeng Roro mengalih-

kan pandangan, tak berani menatap Aji yang kini telah 

mengangkat kepalanya. Pemuda ini memandang ber-

gantian pada kedua orang di hadapannya.

"Eyang..., maafkan muridmu yang telah mem-

buatmu terkejut...," ucap Pendekar Mata Keranjang.

"Untung aku mengenalimu, meski dari arah be-

lakang. Kalau tidak, kepalamu mungkin sudah benjot-

benjot! Ayo masuk!" ujar Eyang Selaksa seraya berba-

lik dan melangkah ke arah gubuk.

Namun karena hingga sampai gubuk tak ter-

dengar suara langkah-langkah mengikuti, Eyang Se-

laksa segera berbalik kembali. Dan dahinya berkerut 

ketika mengetahui Ajeng Roro dan Aji masih tegak di-

am di tempat. Mereka berdua tampak saling berpan-

dangan. Namun di antara keduanya, tak satu pun 

yang bicara.

"He...? Sebenarnya ada apa di antara kalian 

berdua? Yang Gadis tak bicara. Bahkan bermuka cem-

berut seperti orang bertemu musuh. Sementara yang

satunya hanya memandang dengan senyum-

senyum...."

"Eyang.... Manusia satu ini memang pantas di-

hajar! Di mana-mana dia selalu membuat masalah 

dengan ga...."

"Roro.... Kalau kau meneruskan kata-katamu, 

aku akan mengatakannya pada Eyang. Kau berkata 

begitu, hanya karena cemburu...."

Ajeng Roro tak meneruskan ucapannya, karena 

saat itu juga Aji telah menyela kata-katanya. Perlahan 

memang, hingga Eyang Selaksa tak mendengarnya.

Ajeng Roro mendengus seraya memalingkan 

wajahnya yang bersemu merah. Membuat Eyang Se-

laksa semakin heran. 

"Hmm.... Begitu? Baik. Tapi, ingat. Aku tak me-

nerimakan perlakuanmu padaku! Dan kau pasti men-

dapati ganjaran!" desis Ajeng Roro-Paras Aji sesaat be-

rubah.

"Roro...," panggil Aji seraya mendongak ke atas 

dan tersenyum. "Kalau itu maumu, aku menyerah. 

Kau boleh menghukumku, sekehendak hatimu. Na-

mun satu hal yang harus kau ketahui. Biar terlibat 

dengan banyak gadis, aku tak dapat melupakanmu! 

Kau selalu dan selalu di hatiku...."

Entah malu atau marah, tanpa bicara apa-apa 

lagi Ajeng Roro segera melangkah cepat ke arah Eyang 

Selaksa. Raut mukanya tampak semakin merah pa-

dam.

Begitu Ajeng Roro melangkah, Aji pun ikut-

ikutan melangkah mengikuti. Sedangkan Eyang Selak-

sa yang melihat tingkah kedua orang ini hanya meng-

geleng-geleng. Sebentar-sebentar matanya memandang 

Ajeng Roro, lalu beralih pada Aji. Lantas, kakinya me-

langkah memasuki gubuk.

"Aji! Apakah kau selama ini baik-baik saja? 

Dan, apakah kau telah menjenguk gurumu di Karang 

Langit?" tanya Eyang Selaksa begitu mereka bertiga te-

lah berada di dalam gubuk dan duduk melingkar.

"Aku baik-baik saja, Eyang. Dan aku pun me-

mang telah menjenguk Eyang Wong Agung di Karang 

Langit. Dia menyuruhku ke sini...!" sahut Aji, gam-

blang.

"Aku memang berpesan pada gurumu. Jika se-

waktu-waktu kau datang, kau kusuruh datang ke 

Kampung Blumbang.... Aku hanya ingin mendengar 

cerita tentang perjalananmu. Karena aku menyirap 

kabar, kau telah berhasil menunaikan tugas yang di-

embankan padamu."

Aji lantas menceritakan perjalanannya dari aw-

al hingga sampai di Kampung Blumbang. Sedang 

Eyang Selaksa mendengarkan dengan seksama sambil 

sesekali batuk dan berdecak. Sementara, Ajeng Roro 

sepertinya tak tertarik dengan cerita Aji, meski dalam 

hatinya diam-diam juga kagum dan senang.

"Hmm.... Aku bangga dan gembira mendengar 

ceritamu, Aji. Namun, kau jangan cepat puas dengan 

apa yang telah diperoleh selama ini. Dunia persilatan 

tidak akan pernah sepi dari huru-hara. Karena selama 

dunia ini masih berputar, kejahatan tidak akan pernah 

mati. Dan kau telah ditakdirkan untuk meredamnya. 

Kau harus tetap berlaku waspada...," ujar Eyang Se-

laksa, mengingat.

Pendekar Mata Keranjang mengangguk-angguk. 

Namun matanya tak henti-hentinya melirik Ajeng Roro. 

Sementara, gadis itu sendiri sesekali sempat mencuri 

pandang. Tapi begitu matanya tertumbuk dengan liri-

kan mata Pendekar Mata Keranjang, cepat-cepat mem-

buang muka ke arah lain.

Begitu asyiknya mereka berbincang-bincang, 

hingga tanpa disadari sesosok tubuh tampak mengen-

dap-endap mencuri dengar pembicaraan. 

Pendekar Mata Keranjang yang segera merasa 

ada yang tak beres di sekitar gubuk, segera memberi 

isyarat agar pembicaraan dihentikan.

"Hmm.... Ada orang di sekitar gubuk yang men-

curi dengar pembicaraan kita. Biar aku tangkap dia...," 

gumam Aji perlahan, sambil bangkit dan berkelebat ke-

luar gubuk.


TUJUH


"Setan!" rutuk Pendekar Mata Keranjang. "Dia 

berhasil melarikan diri. Hmm.... Siapa dia? Melihat so-

soknya dia sepertinya seorang perempuan!"

Saat itu Pendekar Mata Keranjang berada agak 

jauh dari Kampung Blumbang, karena terus mengejar 

bayangan yang telah mencuri dengar pembicaraan.

"Sialan! Lagi-lagi seorang perempuan!" umpat 

Pendekar Mata Keranjang berbisik sambil menyapukan 

pandangannya sekali lagi ke sekeliling. Namun kedua 

matanya tak menangkap sosok yang dicari.

Dengan perasaan kecewa, Aji berbalik hendak 

meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan 

seketika, tatkala telinganya menangkap langkah-

langkah perlahan mendatangi dari arah samping.

Berpaling, pendekar murid Wong Agung ini ter-

kejut. Ajeng Roro tampak melangkah mendatangi. Se-

pasang matanya menyorot tajam tak berkedip.

Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba terse-

nyum. Namun yang diajak senyum tak membalas. Malah segera mengangkat kepalanya memandang ke atas.

"Aji! Sekarang saatnya kau menerima huku-

man! Kau telah mengecewakanku! Meninggalkan aku 

begitu saja. Sementara, kau enak-enakan bercinta!" 

kata Ajeng Roro, agak keras.

"Hei! tunggu...!" cegah Aji sambil melangkah 

dua tindak ke belakang. "Kau waktu itu salah tafsir, 

Roro! Aku tak berniat meninggalkanmu dan enak-

enakan bercinta. Gadis itu adalah...."

"Aku tak akan lagi bisa dimuslihatkan dengan 

kata-kata manis mu!" Ajeng Roro menghardik memo-

tong ucapan Aji seraya mendelik.

"Dengar, Roro! Aku menyayangi mu. Jadi tak 

mungkin menipumu!" ujar Aji sambil balas meman-

dang.

Hingga untuk beberapa saat keduanya saling 

beradu pandang. Namun sesaat kemudian, Ajeng Roro 

mencibir serta mengangkat kedua tangannya, siap me-

lepas pukulan.

Namun kali ini tampaknya Pendekar Mata Ke-

ranjang tak hendak membuat gerakan menangkis atau 

berkelit menghindar. Dia tetap berdiri, seolah pasrah. 

Hanya kedua matanya yang menatap tak berkedip, 

menusuk dalam-dalam ke arah bola mata gadis di de-

pannya yang telah siap melakukan serangan.

Ajeng Roro merasakan getaran aneh menyeruak 

di dadanya. Makin memandang Pendekar Mata Keran-

jang, dadanya semakin bergerak. Dia coba menahan 

getaran-getaran itu. Namun semakin ditahan, dadanya 

semakin dibuncah perasaan tidak karuan. Hingga 

lambat laun tangannya yang telah diangkat luruh ke 

bawah.

"Gila! Kenapa aku jadi begini? Aku tidak sang-

gup melakukannya! Benar-benar memalukan!" umpat

gadis ini dalam hati seraya berbalik hendak pergi.

"Tunggu!" sergah Pendekar Mata Keranjang 

mencegah sambil menarik napas lega.

Aji lantas melangkah mendekati Ajeng Roro. 

"Roro..., aku tak mau di antara kita ada ganjalan. Ka-

lau kau memang masih mau menghukumku, lakukan-

lah."

Ajeng Roro tidak menjawab, Juga, tidak berpal-

ing.

Pendekar Mata Keranjang mengusap-usap 

ujung hidungnya. "Kau tak mau melakukan, berarti 

hukuman yang akan kau jatuhkan impas..,."

"Tidak!" sahut Ajeng Roro masih dengan nada 

jengkel. "Saat ini, hukuman itu ku tunda. Dari mung-

kin lain kali akan ku tepati!"

Pendekar Mata Keranjang anggukkan kepala. 

Dalam hati dia membatin. "Gadis itu benar-benar su-

kar ditaklukkan. Keras kepala! Untungnya dia cantik. 

Kalau tidak..., hmm...."

Sejenak suasana jadi hening. Belum ada yang 

bersuara.

"Kenapa kau menyusul ku ke sini...?" tanya 

Pendekar Mata Keranjang, memecah keheningan. "Kau 

mengkhawatirkan aku bukan?" pancingnya seraya 

menahan senyum.

Serta merta Ajeng Roro berpaling menghadap 

Pendekar Mata Keranjang.

"Kau telah dewasa! Siapa yang mengkhawatir-

kan dirimu? Kau jangan terlalu besar kepala!"

"Ah, benar. Selama ini aku memang terlalu be-

sar kepala. Jadi selama ini juga aku mengharapkan 

sesuatu yang sia-sia. Hmmm..., betapa malangnya na-

sibku...," desah Pendekar Mata Keranjang perlahan.

"Ngg..., bukan begitu masalah ku. Aku tidak

mengkhawatirkan mu, karena percaya kau dapat men-

jaga diri. Kau sekarang bukan lagi Aji yang dulu. Aji 

yang merengek-rengek minta tolong, tatkala hendak 

melewati rumput-rumput merah di sekitar Kampung 

Blumbang. Kau sekarang telah menjadi seorang tokoh 

bernama besar, hingga tak heran jika banyak gadis 

yang memburu...," sergah Ajeng Roro.

Pendekar Mata Keranjang tersenyum kecut. 

Cuping hidungnya mengembang mendengar pujian itu. 

Tangannya lantas terangkat dan menarik-narik kuncir 

rambutnya.

"Ah, lupakan semua itu. Sekarang kita baikan 

lagi. Bagaimana...?" tawar Pendekar Mata Keranjang 

sambil menatap tajam gadis di hadapannya.

Yang ditatap tidak menjawab. Hanya kepalanya 

tampak bergerak mengangguk. Sedangkan Pendekar 

Mata Keranjang tersenyum lebar. Lalu diambilnya tan-

gan gadis di hadapannya, dan diciumnya berkali-kali.

Sejenak Ajeng Roro memang tampak jengah. 

Namun lama kelamaan, dia diam saja. Malah ketika 

Pendekar Mata Keranjang menengadahkan kepala dan 

mendekatkan ke wajahnya, gadis ini tak berusaha 

menghindar. Tentu saja hal ini membuat Aji semakin 

berani. Dan tanpa bicara lagi, murid Wong Agung ini 

memagut bibir gadis cantik yang kini merapat di da-

danya. Kedua tangannya pun bergerak merengkuh 

punggung Ajeng Roro dan menekannya. Hingga kedua 

orang ini untuk sesat dibuai kehangatan.

Namun tak lama kemudian, Ajeng Roro meron-

ta dan melepaskan diri dari rengkuhan tangan kokoh 

Pendekar Mata Keranjang.

"Kita harus cepat kembali. Eyang nanti cemas 

menunggu...," ujar Ajeng Roro dengan napas terengah-

engah dan dada turun naik. Sementara wajah yang

merah merona dihadapkan ke arah lain. Lantas tanpa 

menoleh lagi. Kakinya melangkah mendahului Pende-

kar Mata Keranjang.

Tanpa disadari Aji dan Ajeng Roro, di balik se-

buah pohon tak jauh dari tempat itu, sepasang mata 

dari tadi tampak mengawasi dengan terbeliak merah.

"Bajingan! Siapa gadis itu...? Hmm..., nampak-

nya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih. Ta-

pi, kenapa dia menyuruhku datang ke Kampung 

Blumbang? Untuk menyaksikan dia bermain ciuman? 

Dia rupanya benar-benar pemuda mata keranjang, se-

suai julukannya. Ternyata, mulut pemuda itu memang 

tak bisa dipercaya. Jangan-jangan apa yang dikata-

kannya mengenai tewasnya guru, juga bualan saja! 

Jangan-jangan dialah pembunuh guru, seperti apa 

yang dikatakan Kakang Pandu.... Hmm..., aku harus 

membuat perhitungan dengannya!" desis si empunya 

mata seraya keluar dari balik pohon. Tubuhnya berke-

lebat cepat, karena Pendekar Mata Keranjang terlihat 

telah melangkah agak jauh mengejar Ajeng Roro.

"Berhenti!" tegur sosok yang baru saja keluar 

dari balik pohon, begitu sudah agak dekat dengan 

Pendekar Mata Keranjang.

Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar Mata 

Keranjang menghentikan langkah. Seketika dia berba-

lik. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis berwajah 

cantik.

"Sakawuni!" seru Pendekar Mata Keranjang dis-

ertai senyum lebar meski sepasang matanya lantas me-

lirik, takut jika Ajeng Roro mendengar dan kembali.

Gadis di hadapan Aji yang memang Sakawuni 

mendengus keras sambil menyeringai. Niatnya semula 

yang hendak ingin bertemu Pendekar Mata Keranjang 

untuk mendengar cerita tentang siapa pembunuh gurunya serta melampiaskan rasa rindu yang selama ini 

dipendam pupus begitu saja, berganti perasaan geram 

dan cemburu. Hingga yang muncul sekarang adalah 

prasangka buruk.

"Laki-laki pembunuh!" dengus Sakawuni, 

menghardik. "Menyerahlah kau! Dan, ikut aku ke 

Lembah Baka untuk mempertanggungjawabkan per-

buatanmu!"

Senyum Pendekar Mata Keranjang lenyap seke-

tika. Malah kakinya tampak mundur dua langkah ke 

belakang.

"Apa maksudmu dengan semua ini, Sakawuni?" 

tanya Pendekar Mata Keranjang, bingung.

"Kau tak usah berbelit-belit. Kau sudah tahu 

jawabannya! Sekarang, ikut aku!" tegas Sakawuni.

"Gila! Aku benar-benar tak mengerti maksud-

mu!" kilah Aji. 

"Hmm.... Apa karena cumbuan gadis tadi, hing-

ga kau begitu pelupa?!" sindir Sakawuni.

Paras Pendekar Mata Keranjang berubah merah 

mengelam. Kedua matanya membelalak melotot, me-

mandangi gadis di hadapannya.

"Hmm.... Jadi, orang yang mengendap-endap 

mencuri dengar tadi ternyata Sakawuni. Dan tentunya, 

dia tadi mengetahui apa yang kulakukan dengan Ajeng 

Roro. Walah gawat urusannya...! Dia pasti telah ter-

makan fitnah bahwa akulah pembunuh gurunya, 

Ageng Panangkaran...," kata batin Pendekar Mata Ke-

ranjang, dalam hati.

"Pembunuh keji! Jangan membuat kesabaran-

ku habis. Cepat ikut aku!" bentak Sakawuni, seraya 

berkacak pinggang.

Pendekar Mata Keranjang terdiam. Sikapnya 

tampak ragu-ragu mengambil keputusan. Kepalanya

sesekali berpaling ke belakang.

"Atau kau akan mengajak gadismu ikut serta? 

Boleh...! Asal tahu saja, dia pun akan pulang nama! 

Seperti kau!" sambung Sakawuni begitu Pendekar Ma-

ta Keranjang hanya diam dan tampak kebingungan.

"Tunggu, Sakawuni. Kau tampaknya telah ter-

makan ucapan Pandu. Percayalah, bukan aku yang 

melakukannya!" cegah Aji.

"Bangsat! Kau terlalu banyak omong! Lagi pula, 

siapa sekarang mau percaya kata-katamu!" hardik Sa-

kawuni. "Kalau kau tidak bisa diajak baik-baik, aku 

pun tidak keberatan berbuat kasar!"

Habis berkata begitu, Sakawuni segera menarik 

kedua tangannya sedikit ke belakang. Sambil mengge-

reng, kedua tangannya didorong ke depan.

Seketika hembusan angin deras yang tidak ber-

suara terasa menghantam keras ke arah Pendekar Ma-

ta Keranjang.

Dengan menindih rasa terpana, Pendekar Mata 

Keranjang segera melompat ke samping. Namun dia 

terkejut bukan alang kepalang, karena ternyata hem-

busan angin itu masih terasa menerpa. Malah, kini 

semakin deras menghantam.

"Setan! Ilmu apa ini? Tidak ada suara dan rupa, 

tapi rasanya begitu dahsyat!" rutuk batin Pendekar 

Mata Ke-ranjang sambil mengerahkan tenaga dalam 

untuk menangkis.

Sebentar kemudian, kedua orang ini tampak 

berdiri sambil mengerahkan tenaga dalam masing-

masing.

Namun tak berselang lama, karena tampaknya 

tingkat tenaga dalam Sakawuni masih jauh dibanding 

Pendekar Mata Keranjang. Dan sebelum oleng dan ja-

tuh, tubuhnya segera melenting ke udara seraya membentak lengking.

Dari udara, Sakawuni cepat membuat gerakan 

berputar satu kali. Kecepatannya hampir tak dapat di-

ikuti mata. Lalu tiba-tiba, tubuhnya menukik deras 

dengan kedua tangan menghantam ke arah kepala 

Pendekar Mata Keranjang. Hantaman tangan itu belum 

sampai, namun deru dahsyat sudah melesat mendahu-

lui.

Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam. Se-

gera tubuhnya miring ke samping, membuat hantaman 

tangan Sakawuni menerabas tempat kosong di samp-

ing lengan Pendekar Mata Keranjang.

Karena serangannya begitu mudah dielakkan 

Pendekar Mata Keranjang membuat amarah Sakawuni 

makin memuncak. Begitu sepasang kakinya menjejak 

tanah, tubuhnya segera berbalik. Dan seketika tenaga 

dalamnya disalurkan pada tangannya. Didahului ben-

takan keras, Sakawuni menghentakkan kedua tangan-

nya ke arah Aji.

Saat itu juga berlarik-larik sinar putih ke abu-

abuan yang mengeluarkan suara menderu-deru dan 

berhawa panas melesat menyambar ke depan.

"Edan! Dia benar-benar ingin menyabung nya-

wa!" rutuk Pendekar Mata Keranjang dalam hati.

Segera Aji menyambut serangan Sakawuni den-

gan pukulan 'Segara Geni'. Namun kali ini tenaga da-

lamnya tidak dikerahkan penuh.

Des! Blum!

Dua pukulan sakti bentrok di atas udara, 

membuat tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat. 

Pohon-pohon bergoyang, menggugurkan dedaunan. 

Tubuh Sakawuni tampak terhuyung-huyung. Rambut-

nya yang panjang berkibar-kibar. Sementara sekujur 

tubuhnya telah mandi keringat.

Dilain pihak, Pendekar Mata Keranjang tampak 

tetap tegar di tempatnya. Hal ini membuat Sakawuni 

makin sadar kalau tingkat kepandaiannya jauh di 

banding pemuda di hadapannya. Namun tampaknya 

hal itu bukannya membuatnya takut, tapi semakin pe-

nasaran. Saat itu juga tekanan tenaga dalamnya di-

tambah dan segera kembali melakukan serangan. Pa-

dahal, di bagian kedua tangannya telah terasa ngilu.

Dalam hati, diam-diam Pendekar Mata Keran-

jang terkesima. Sungguh tak diduga jika gadis di ha-

dapannya selain mempunyai kemampuan lumayan, 

bahkan juga berhati baja.

"Gadis tangguh! Hanya sayang termakan kata-

kata kakak seperguruannya, tanpa menyelidik terlebih 

dahulu.... Dan tampaknya dia...."

Pendekar Mata Keranjang tidak bisa mene-

ruskan kata hatinya, karena saat itu Sakawuni telah 

berkelebat. Dan mendadak, sepasang kakinya telah 

menerjang ke arah Aji. Sementara, kedua tangannya 

bersiutan ke sana kemari.

Saat itu juga Aji memalangkan kedua tangan-

nya, dengan tubuh bergerak satu tindak ke samping. 

Maka pukulan tangan serta terjangan sepasang kaki 

Sakawuni hanya menerpa angin di sebelah Pendekar 

Mata Keranjang.

Di lain kejap Pendekar Mata Keranjang cepat 

mendorongkan telapak tangannya ke depan perlahan.

Karena pukulannya baru saja meleset, mem-

buat tubuh Sakawuni terdorong ke depan. Padahal, 

bersamaan dengan itu dorongan tangan Pendekar Ma-

ta Keranjang datang. Hebatnya meski dalam keadaan 

terjepit begitu, raut wajah gadis ini tidak mengisya-

ratkan rasa kebingungan. Bahkan mencoba menangkis 

dengan menarik tangannya dan menghentakkannya

secara mendadak ke depan.

Prak! Prak!

Terdengar benturan keras dua kali berurutan. 

Tubuh Sakawuni terbanting di tanah. Sementara Pen-

dekar Mata Keranjang hanya terhuyung-huyung se-

bentar, sebelum akhirnya tegak kembali dengan kaki 

kokoh.

Dengan muka merah padam dan bibir pecah 

mengeluarkan darah, Sakawuni merambat bangkit. 

Dan begitu tubuhnya telah berdiri tegak, sepasang ma-

tanya langsung menyengat tajam. Namun, cuma seki-

las. Wajah cantik Sakawuni lantas menoleh ke samp-

ing.

"Pembunuh licik! Jangan kau kira aku kalah!"

Habis berkata, Sakawuni tampak memejamkan 

kedua matanya. Kedua tangannya menakup di depan 

dada. Dan dari mulutnya terdengar suara yang tak bi-

sa dimengerti.

"Tunggu!" teriak Aji.

Sakawuni membuka kelopak matanya, lantas 

memandang terbeliak. 

"Jahanam! Apa maumu...?" desis Sakawuni 

tatkala melihat Pendekar Mata Keranjang 108 melang-

kah mendekat sambil tersenyum.

"Aku tak mau melayanimu dengan jalan begini. 

Kita berdua nanti akan sama-sama rugi. Lebih baik 

tinggalkan tempat ini. Nanti suatu saat, aku pasti akan 

datang ke Lembah Baka dengan membawa kepala 

orang yang menewaskan gurumu!"

"Kau kira aku mempercayai omongan mu? 

Meski kau bersumpah pun, aku tidak akan percaya...," 

gumam Sakawuni, membatin.

Tiba-tiba, gadis ini tersenyum sinis.

"Baik! Aku akan tinggalkan tempat ini. Tapi,

denganmu!"

"Gila! Dengar, Sakawuni. Aku masih ada uru-

san lebih penting yang harus diselesaikan. Setelah 

urusan ini selesai, aku akan menyusulmu ke Lembah 

Baka!" ujar Pendekar Mata Keranjang.

"Urusan penting mengejar gadis itu, bukan? 

Laki-laki pengecut! Kau tak pantas menyandang nama 

besar jika ternyata tidak berani mengakui kesalahan!"

Di saat keduanya saling bertukar pandang satu 

sama lain, terdengar langkah-langkah mendatangi 

tempat itu. 

"Celaka! Kalau Ajeng Roro..., oh! Urusannya 

akan makin rumit!" keluh Pendekar Mata Keranjang 

dalam hati, tak berani melihat orang yang mendatangi.

Sementara itu dahi Sakawuni segera berkernyit 

tatkala melihat siapa orang yang datang.


DELAPAN


Orang yang datang mendadak tertawa bergelak-

gelak pendek. Bersamaan dengan itu, serangkum ge-

lombang angin dahsyat menghempas deras ke arah 

Pendekar Mata Keranjang dan Sakawuni.

Aji terlengak kaget, karena dugaannya meleset. 

Secepat kilat Pendekar Mata Keranjang berbalik. Dia 

sedikit tersentak, melihat orang yang baru datang. 

Bahkan tiba-tiba telah melepaskan serangan, meski 

sepertinya tidak disengaja!

Namun Pendekar Mata Keranjang tidak sempat 

lagi berbuat lebih jauh. Karena saat itu juga, gelom-

bang angin yang dikeluarkan orang yang barusan da-

tang telah menggebrak.


Dengan memaki panjang pendek dalam hati, 

Pendekar Mata Keranjang cepat merebahkan diri hing-

ga sejajar tanah. Maka serangan orang yang baru da-

tang melesat di atas tubuhnya. Namun, tak urung juga 

sambaran serangan yang ternyata menebarkan hawa 

panas itu menyerempet rambutnya. Akibatnya, rambut 

Pendekar Mata Keranjang terpangkas sebagian! 

Di bagian lain, Sakawuni yang tidak menyang-

ka akan diserang secara tiba-tiba, tidak sempat lagi 

berkelit. Maka tanpa ampun lagi terdengar jeritan dari 

mulutnya. Tubuhnya mencelat hingga tiga tombak ke 

belakang, serta menyuruk tanah menimbulkan suara 

berdebam.

Orang yang baru saja datang ternyata seorang 

laki-laki tua berjubah putih kusam. Di atas kepalanya 

tampak sebuah caping lebar dari daun pandan. Se-

hingga, membuat wajahnya hanya tampak sebagian. 

Berjenggot panjang berwarna putih. Tubuhnya agak 

bungkuk.

"Restu Canggir Rumekso!" seru Pendekar Mata 

Keranjang, dalam hati sambil menatap tak berkedip. 

"Apa maksudnya dengan semua ini? Tampaknya apa 

yang dikatakan Eyang Wong Agung tentang dia ternya-

ta benar. Hmm.... Aku harus waspada. Rupanya dia 

berilmu tinggi.... Lantas, ke mana perginya Ajeng Ro-

ro...?"

Pendekar Mata Keranjang memandang ke arah 

belakang, lalu beralih pada Sakawuni yang baru saja 

bangkit.

"Orang tua!" panggil Pendekar Mata Keranjang, 

lantang. "Apa kau telah merasa benar dengan tindakan 

yang baru saja kau lakukan?"

Orang tua bercaping lebar yang memang Restu 

Canggir Rumekso meluruskan tubuhnya. Lalu kepalanya mendongak seraya tertawa bergelak.

"Pendekar Mata Keranjang! Aku tak mau meni-

lai perbuatanku. Namun satu hal yang sudah pasti,

kau telah melakukan kesalahan pada muridku. Maka 

dari itu, sekarang juga kau harus ikut ke tempatku!" 

"Manusia satu ini sulit ditebak jalan pikiran-

nya. Saat bertemu pertama kali dulu, dia tampaknya 

baik-baik. Hmm..., lalu siapa muridnya? Putri Tunjung 

Kuning? Orang ini benar-benar licin...."

Selagi Pendekar Mata Keranjang berpikir begitu, 

mendadak sebuah bayangan berkelebat. Dan di kejap 

lain, telah berdiri tegak di hadapan Restu Canggir Ru-

mekso.

"Orang tua! Harap segera menyingkir dari sini! 

Jangan cari-cari alasan untuk membawa dan menye-

lamatkan pemuda itu!" tegur sosok yang baru saja ber-

diri dan ternyata Sakawuni.

Mendengar teguran ini, Restu Canggir Rumekso 

terkekeh. Namun belum lenyap kekehannya, caping-

nya sengaja ditekan turun. Seketika, membuat raut 

wajahnya hampir tak kelihatan.

"Gadis cantik! Kau bilang aku akan menyela-

matkan dia?" tukas Restu Canggir Rumekso seraya 

menunjuk pada Pendekar Mata Keranjang.

"Kau salah besar! Justru aku menjemputnya 

agar dia tak lari lagi dari tanggung jawab!"

Sakawuni sejenak memalingkan wajahnya me-

mandang Pendekar Mata Keranjang.

"Apa lagi yang diperbuatnya? Apakah benar 

yang dikatakan orang tua ini...? Dia sendiri siapa...? 

Dan siapa juga muridnya...? Seorang gadis?"

Batin Sakawuni terus bertanya-tanya. Namun 

wajahnya kini sudah dipalingkan ke arah Restu Canggir Rumekso.


"Orang tua! Coba katakan perbuatan apa yang 

dilakukannya!" ujar Sakawuni seraya menarik kedua 

tangannya, siap melepaskan pukulan apabila orang 

tua di hadapannya bertindak.

"Gadis cantik! Aku sebetulnya tidak suka mem-

beberkan hal ini. Namun karena kepentingan kita sa-

ma, yakni membawa pemuda ini, maka setelah kau 

nanti mendengar keteranganku, kuharap bersedia me-

lepaskannya untukku. Namun jika kau masih tidak 

juga melepaskannya untukku, aku tak keberatan 

membuatmu jadi bangkai!" gertak Restu Canggir Ru-

mekso dengan senyum mengejek.

"Orang tua! Kau terlalu tua untuk menggertak

ku. Jangan dikira aku takut. Katakan saja terus te-

rang, apa yang dilakukan pemuda itu! Mungkin, aku 

nanti bisa mengerti dan melepasnya untukmu. Meski, 

bukan berarti urusanku dengannya selesai!" balas Sa-

kawuni, sengit.

"Dia telah menghamili muridku!"

Sakawuni kontan ternganga. Kepalanya berde-

nyut keras. Tubuhnya terlihat bergetar hebat. Bahkan 

langkahnya surut tiga tindak ke belakang. Dari mulut-

nya terdengar gumaman yang tak bisa ditangkap telin-

ga.

Mendadak saja Sakawuni berbalik dan berkele-

bat. Dan di kejap lain, telah berdiri satu langkah tepat 

di depan Pendekar Mata Keranjang.

Aji yang masih tak mempercayai pendengaran-

nya atas ucapan Restu Canggir Rumekso, terkesiap 

kaget. Namun belum habis rasa terkejutnya, Sakawuni 

telah melayangkan tangan kanan ke pipinya.

Plak! Plak!

Tamparan keras tangan kanan Sakawuni seje-

nak membuat pendekar murid Wong Agung ini bagai

orang gagu. Menahan rasa sakit dan terkejut, serta ge-

ram. Berkali-kali diusapnya bekas tamparan tangan 

Sakawuni Sedangkan sepasang matanya membelalak 

merah, memandang Restu Canggir Rumekso dan Sa-

kawuni bergantian.

"Dengar, Pendekar Mata Keranjang. Masalah 

kematian guru sebenarnya belum bisa kupastikan 

orangnya. Mungkin saja kau, dan mungkin saja bu-

kan. Namun pengakuan yang diucapkan orang tua itu, 

jelas tidak bisa kau pungkiri lagi. Kau harus bertang-

gung jawab. Kau adalah seorang pendekar! Tunjukkan-

lah bahwa kau adalah seorang laki-laki bertanggung 

jawab dan tak mau enaknya saja!" bentak Sakawuni.

Paras Pendekar Mata Keranjang kembali merah 

padam. Matanya semakin mendelik.

"Sakawuni! Kau tak usah menggurui ku! Lekas 

tinggalkan tempat ini!" sergah Aji.

Suaranya terdengar parau dan bergetar. Entah 

jengkel belum bisa menerima hal yang baru saja di-

dengarnya dari Restu Canggir Rumekso, Sakawuni be-

ringsut mundur menjauhi Pendekar Mata Keranjang. 

Kedua matanya tampak berkaca-kaca.

"Baiklah. Aku akan meninggalkan tempat ini. 

Namun, ingat. Masalah kita masih belum selesai! Sua-

tu hari nanti, aku pasti datang!" kata Sakawuni den-

gan suara ditekan. 

Pendekar Mata Keranjang trenyuh melihat si-

kap Sakawuni. Sepertinya dia sadar kalau sebenarnya 

Sakawuni mencintainya. Sikap gadis ini yang kasar ta-

di, hanya karena terdorong cemburu pada Ajeng Roro. 

Dan Aji segera melangkah mendekati Sakawuni.

"Aku akan ingat baik-baik ucapanmu, Tapi satu 

hal yang perlu dicamkan, aku belum pernah menggauli 

seorang perempuan. Apalagi, membunuh gurumu!"

ujar Pendekar Mata Keranjang.

Sakawuni terdiam. Kebimbangan jelas nampak 

di raut wajahnya.

"Hmm.... Itu tak perlu kau katakan. Nanti, wak-

tulah yang akan membuktikan!"

Habis berkata begitu, Sakawuni memandang 

tajam pada Pendekar Mata Keranjang, lalu beralih pa-

da Restu Canggir Rumekso. Lalu tubuhnya berbalik, 

membuat lompatan beberapa kali, sebelum akhirnya 

lenyap.

"Restu Canggir Rumekso! Aku tak bisa menger-

ti, apa maksudmu sebenarnya?!" tanya Pendekar Mata 

Keranjang minta penjelasan seraya melangkah maju.

Restu Canggir Rumekso tertawa panjang.

"Kau tak akan bisa mengerti, karena kau me-

mang bodoh!" sahut Restu Canggir Rumekso, enteng.

"Jahanam!" hardik Pendekar Mata Keranjang. 

"Kau cari penyakit!"

"Bukan cari penyakit. Tapi, cari kematianmu!" 

balas Restu Canggir Rumekso.

Pendekar Mata Keranjang habis kesabaran. 

Lantas telunjuk jarinya ditudingkan tepat pada muka 

Restu Canggir Rumekso.

"Kau ternyata manusia munafik. Berbuat baik 

karena mempunyai maksud-maksud tertentu. Manusia 

macam kau, terlalu berbahaya jika dibiarkan hidup!"

Kembali Restu Canggir Rumekso hanya tertawa 

terkekeh mendengar ucapan Pendekar Mata Keran-

jang.

"Bicaramu terlalu tinggi, Anak Sombong. Kau-

lah yang membahayakan jika dibiarkan hidup! Karena, 

kau akan menebar benih di mana-mana tanpa berani 

bertanggung jawab!"

"Fitnah keji!" desis Pendekar Mata Keranjang

marah. Saat itu juga Aji berkelebat, membuat tubuh-

nya hilang dari pandangan. Namun di kejap lain, tu-

buhnya mendadak muncul dengan kedua tangan siap 

menghajar kepala Restu Canggir Rumekso.

Namun yang diserang sepertinya tak mempedu-

likan. Restu Canggir Rumekso tetap berdiri. Bahkan 

mengeraskan gelak tawanya. Dan sejengkal lagi han-

taman tangan Pendekar Mata Keranjang menghajar 

kepalanya, tiba-tiba tubuhnya rebah kaku bagai ba-

tangan pohon di atas tanah! 

Wesss! Wesss! 

Hantaman tangan Pendekar Mata Keranjang 

yang telah dialiri tenaga dalam hanya menghajar angin 

di atas tubuh Restu Canggir Rumekso.

"Sial! Rupanya dia memang tokoh yang sulit di-

duga, baik jalan pikiran atau ilmunya...," maki batin 

Pendekar Mata Keranjang seraya berbalik dan melon-

cat setengah tombak ke udara.

Dan tiba-tiba saja Pendekar Mata Keranjang 

menaikkan kedua kakinya ke depan. Kini tubuhnya 

seakan melayang deras satu jengkal di atas tanah, me-

nyusur ke arah Restu Canggir Rumekso yang masih 

kaku rebah di atas tanah.

Namun, Pendekar Mata Keranjang dibuat terke-

jut bukan kepalang. Karena begitu kedua kakinya 

hampir menggebrak, dengan kecepatan yang sulit di-

tangkap mata orang tua itu bergerak cepat. Tubuhnya 

melesat ke udara, membuat gerakan berputar satu 

kali. Lalu tiba-tiba tubuhnya menukik deras ke arah 

punggung Pendekar Mata Keranjang yang kini tengah 

melayang menyusur di atas tanah.

Aji tersentak kaget dan cepat berpaling. Orang 

tua yang disangkanya akan terhajar kedua kakinya, 

kini menerjang ke arahnya!

"Bedebah!"

Hanya itu suara yang terdengar dari mulut 

Pendekar Mata Keranjang. Karena sesaat kemudian, 

punggungnya terasa ambrol dan tubuhnya melesat le-

bih kencang ke depan.

Bukan hanya sampai di situ. Sebelum Pendekar 

Mata Keranjang sempat mengerahkan tenaga dalam 

untuk menghentikan gerak laju tubuhnya, Restu 

Canggir Rumekso telah berkelebat cepat. Dan tahu-

tahu, sepasang kakinya telah menjepit ketat leher Pen-

dekar Mata Keranjang!

Dengan menindih rasa tercekat, Pendekar Mata 

Keranjang mengeluarkan bentakan-bentakan mengge-

ledek sambil menghantamkan kedua tangannya ke 

arah tubuh Restu Canggir Rumekso yang kini duduk 

di atas lehernya. Namun hantaman-hantaman itu sea-

kan tak dirasakan Restu Canggir Rumekso. Bahkan 

tatkala orang tua itu menghentakkan sepasang ka-

kinya ke samping, Pendekar Mata Keranjang tak bisa 

lagi menahan tubuhnya. Hingga tak ampun lagi, tu-

buhnya terbanting keras di atas tanah!

"Jangkrik! Gerakannya seperti setan. Leherku 

bagai hendak putus!" keluh Pendekar Mata Keranjang, 

sambil merambat bangkit.

Namun baru saja bangkit, tubuh Aji oleng kem-

bali dan jatuh terkapar!

Untuk beberapa saat Pendekar Mata Keranjang 

tak bergerak di atas tanah. Kepalanya terasa berputar-

putar. Lehernya panas bagai terjilat api. Sementara 

punggungnya serasa jebol. Dan begitu kelopak ma-

tanya membuka pandangannya berkunang-kunang. 

Tanah tempatnya terkapar seperti berputar.

Pada saat demikian itulah, terdengar gelak tawa 

Restu Canggir Rumekso. Lalu, terdengar langkah

langkah berat mendatangi. Dan sebelum Pendekar Ma-

ta Keranjang bergerak hendak mengetahui apa yang di-

lakukan Restu Canggir Rumekso, sebuah tangan tera-

sa mengambil kepalanya. Lalu, tiba-tiba saja sebuah 

tangan lain menghantam deras dadanya.

Des!

"Ukhhh...!"

Pendekar Mata Keranjang merasa dadanya ter-

timpa beban berat. Tubuhnya melayang. Dan sebelum 

jatuh di atas tanah, dia tak merasakan apa-apa lagi. 

Pandangannya seketika gelap.

Melihat lawan roboh, Restu Canggir Rumekso 

menghentikan gelak tawanya. Kakinya melangkah 

mendekati tubuh Pendekar Mata Keranjang yang telah 

terpuruk di atas tanah.

Sejenak orang tua bercaping ini melihat Pende-

kar Mata Keranjang. Matanya yang sayu sejenak mene-

lusuri sekujur tubuh pemuda di hadapannya, lalu 

jongkok. Diraba-rabanya tubuh Aji.

Sesaat kemudian, wajah orang tua ini tampak 

meredup, menandakan rasa kecewa. Entah marah en-

tah kecewa, kedua tangannya segera meraba-raba 

kembali sekujur tubuh Pendekar Mata Keranjang. Na-

mun, kali ini dengan sentakan-sentakan keras. Se-

hingga, pakaian Pendekar Mata Keranjang tampak cen-

tang perentang tak karuan.

"Setan alas! Dia tidak membawa benda itu!" ge-

rutu Restu Canggir Rumekso.

Orang tua ini pun bangkit. Dicampakkannya 

kipas hijau milik Pendekar Mata Keranjang.

"Bukan kipas butut ini yang kucari!" dengus 

Restu Canggir Rumekso, seraya melangkah pergi me-

ninggalkan Pendekar Mata Keranjang. "Untuk kali ini, 

nyawanya masih ku tunda. Aku masih mengharapkan

sesuatu darinya!"

Namun seakan tidak percaya, orang tua ini 

kembali melangkah mendekati Aji. Tapi niatnya segera 

diurungkan tatkala telinganya menangkap suara lang-

kah dan orang berseru memanggil.

"Aku mendengar akan ada orang yang datang. 

Hmm..., aku sebaiknya pergi sekarang. Masih ada ma-

salah penting yang harus kuselesaikan. Merawat Putri 

Tunjung Kuning, hingga jabang bayinya lahir. Hmm, 

aku akan mempunyai seorang murid! Firasat ku men-

gatakan, jabang bayi dalam kandungan gadis itu 

mempunyai keanehan dan keajaiban...."

Berpikir begitu, Restu Canggir Rumekso segera 

berkelebat menghilang dari tempat Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 terkapar.


SEMBILAN


Ajeng Roro tampak duduk tepekur di depan gu-

buk. Sesekali pandangan matanya berpaling ke bela-

kang. Namun ketika pandangannya tak juga menang-

kap sosok yang diharapkan, wajahnya yang cantik ter-

lihat cemberut.

"Manusia satu itu memang suka menggoda. 

Hingga bagaimanapun rasa jengkel yang telah lama 

kupendam, tatkala bertemu orangnya, kejengkelan itu 

lenyap seketika. Hmm.... Apakah dia akan di sini te-

rus? Ah! Betapa senangnya jika demikian...."

"Roro...."

Sebuah suara berat dari dalam menyentakkan 

lamunan Ajeng Roro.

"Kulihat kau tadi menyusul Aji. Mana anak 

itu...?" tanya suara yang berasal dari mulut Eyang Selaksa.

Ajeng Roro tidak segera menjawab. Dibasahinya 

bibirnya sebentar.

"Ngg... Tadi, kulihat dia juga melangkah ke arah 

sini...," sahut Ajeng Roro setelah berhasil menguasai 

rasa gugupnya.

"Aneh?! Kalian ini ada apa sebenarnya...? Sejak 

bertemu di sini, kalian berdua seperti kucing bertemu 

tikus...," desah Eyang Selaksa.

Ajeng Roro sepertinya tidak mengindahkan ka-

ta-kata dari dalam gubuk. Karena saat itu, pikirannya 

berkata-kata sendiri.

"Jangan-jangan dia jengkel dengan sikapku ta-

di, yang memberosot dari...."

Ajeng Roro tidak meneruskan kata hatinya. Wa-

jahnya merona merah.

"Jangan-jangan dia mendapat halangan...," 

gumam gadis ini, tercenung sejenak. "Jika tak ada apa-

apa, tentunya dia telah sampai di sini. Atau kalau 

menggoda, tentunya telah berbuat yang tidak-tidak.... 

Hm.... Sebaiknya aku kembali ke tempat tadi!"

Gadis cantik ini lantas berdiri. Matanya mena-

tap sebentar ke arah gubuk, lalu berbalik dan berkele-

bat ke arah dia tadi datang.

"Roro...," panggil suara dari dalam gubuk. "Apa 

tak sebaiknya kau kembali melihat...."

Suara Eyang Selaksa dari dalam gubuk terhenti 

seketika. Tak lama Orang tua itu muncul dari dalam 

gubuk. Matanya sebentar memandang berkeliling, lan-

tas menggeleng-geleng.

"Dasar anak muda...!" desah Eyang Selaksa se-

raya kembali masuk ke dalam gubuk.

Di tempat lain, begitu dari kejauhan Pendekar 

Mata Keranjang 108 tampak terkapar di atas tanah,

Ajeng Roro mempercepat larinya.

"Astaga! Apa yang terjadi dengan dirinya...? 

Tampaknya dia...."

Begitu tiba, Ajeng Roro cepat jongkok di samp-

ing tubuh Aji. Lalu matanya berputar menyelidik ke 

sekeliling. Pendengarannya dipasang baik-baik. Namun 

hingga agak lama, tak menemukan sesuatu yang men-

curigakan. Segera wajahnya dipalingkan pada Aji. Ke-

dua tangannya bergerak memeriksa.

"Dia pingsan. Tubuhnya tampaknya terluka.... 

Siapa yang melakukannya...? Jika berniat jahat, kena-

pa dia dibiarkan begitu saja...? Lagi pula, kipas ini juga 

tak diambil!"

Ajeng Roro lantas mengambil kipas hijau milik 

Aji dan menyimpannya di balik pakaian.

Saat itulah terdengar erangan dari mulut Aji. 

Kedua mata Pendekar Mata Keranjang lantas perlahan 

terbuka, memandang langit.

"Aji..., apa yang terjadi? Dan siapa yang mela-

kukan ini...?" tanya Ajeng Roro langsung.

Kedua mata Aji berputar. Lalu ditatapnya Ajeng 

Roro. Sejenak mata itu menyipit, lalu membelalak.

"Roro...."

Sebuah suara meluncur dari mulut pemuda itu.

Ajeng Roro tersenyum, lalu mengangguk perla-

han.

"Siapa orang yang berniat jahat padamu, Aji?"

Pendekar Mata Keranjang tak menjawab. Tu-

buhnya bergerak bangun, dan duduk. Keningnya men-

gernyit. Bibirnya meringis menahan sakit yang mende-

ra punggung dan dadanya. Dia terbatuk beberapa kali, 

lalu meludah ke tanah. Ternyata, ludahnya telah ber-

campur darah, pertanda terluka dalam. Menyadari hal 

itu, Pendekar Mata Keranjang segera menyalurkan tenaga dalam untuk mengurangi rasa sakit.

"Orang tua gila! Aku tak menduga jika dia ber-

kepandaian begitu tinggi. Hmm..., aku harus menye-

lamatkannya...," gumam Pendekar Mata Keranjang se-

telah dapat menguasai rasa nyeri di dadanya.

"Orang tua...? Orang tua siapa...? Dan, siapa 

pula yang harus kau selamatkan...?" desak Ajeng Roro, 

tak mengerti gumaman Pendekar Mata Keranjang.

Sejenak Pendekar Mata Keranjang menatap ga-

dis di sampingnya.

"Waktu aku akan melangkah menyusulmu, ti-

ba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadangku. 

Aku sempat bertukar beberapa jurus dengannya. Na-

mun, aku tak menduga sama sekali jika dia berilmu 

demikian tinggi...," jelas Aji

"Kau kenal dengannya? Apa dia musuhmu...?" 

tanya Ajeng Roro.

Pendekar Mata Keranjang mengangguk lalu 

menggeleng, membuat Ajeng Roro keheranan.

"Aku mengenalnya. Namanya, Restu Canggir 

Rumekso. Dia bukan musuhku. Karena, antara aku 

dan dia tidak ada silang sengketa!" jelas Aji, tetap me-

mandangi wajah Ajeng Roro. Dan gadis ini jadi jengah 

sendiri.

"Lantas, kenapa dia berbuat kejam padamu...?" 

cecar Ajeng Roro.

Pendekar Mata Keranjang menggeleng.

"Itulah yang tak habis ku mengerti! Dia tiba-

tiba saja menyerangku...."

Aji lantas memperhatikan pakaiannya. Dahinya 

berkernyit. Dan tiba-tiba dia teringat pada kipas milik-

nya. Serta merta tangannya bergerak meraba di balik 

pakaiannya yang tampak centang perentang. Sekejap 

wajahnya berubah, karena tak menemukan kipasnya.

"Kau mencari barang mu...?" tanya Ajeng Roro.

Pendekar Mata Keranjang tersenyum lebar, 

membuat Ajeng Roro semakin keheranan.

"Orang ini benar-benar edan! Dalam keadaan 

begini masih bisa senyum-senyum....," gumam gadis 

itu, tak diungkapkan lewat mulutnya.

"Barang ku rasa-rasanya masih ada dan tetap 

utuh. Apa kau tidak merasakannya?" seloroh Pendekar 

Mata Keranjang sambil melirik ke bawah.

"Edan! Mulutmu kotor...," cibir Ajeng Roro se-

raya mengalihkan pandangan. Karena tatkala mengi-

kuti arah pandangan Aji, mata pemuda itu berhenti 

pada pangkal pahanya.

Namun hal itu hanya berlangsung sekejap. Di 

kejap lain, Pendekar Mata Keranjang tampak bingung.

"Kau melihat senjataku...?" tanya Aji.

Yang ditanya tidak menjawab, dan juga tidak 

menoleh. Ajeng Roro terlihat menyembunyikan wajah-

nya yang merah padam.

"Roro...," panggil Aji bersungguh-sungguh. "Kau 

melihatnya...?"

"Bukankah kau tadi mengatakannya sendiri? 

Kenapa sekarang berkata?" tukas Ajeng Roro acuh. 

Padahal sebenarnya dia tahu yang dimaksud senjata 

oleh Aji adalah kipas.

"Ngg.... Yang ku maksud, kipas ku...."

Ajeng Roro segera mengeluarkan kipas milik 

Pendekar Mata Keranjang dari balik pakaiannya. Sege-

ra benda itu diangsurkan pada Aji.

Sambil menarik napas lega, Pendekar Mata Ke-

ranjang mengambil kipasnya dan menyimpan di balik 

pakaian.

"Hmm.... Aku tak mengerti, apa tujuan sebe-

narnya manusia bernama Restu Canggir Rumekso itu.

Kalau memang berniat jelek, tentunya mudah baginya 

membunuhku saat aku pingsan tadi. Juga, tampaknya 

dia tak tertarik dengan kipas ini. Nyatanya, kipas ini 

tidak diambilnya...," gumam Pendekar Mata Keranjang 

dalam hati.

"Namun, aku menangkap sesuatu yang tersem-

bunyi di baliknya. Menghadapinya benar-benar dibu-

tuhkan akal sehat.... Aku akan menyelidikinya. Kare-

na, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan 

Putri Tunjung Kuning...."

"Eh! Kau melamunkan seseorang...?" usik Ajeng 

Roro membuyarkan lamunan Pendekar Mata Keran-

jang.

Untuk menyembunyikan rasa terkejut, Pende-

kar Mata Keranjang tersenyum lebar.

"Di sampingku ada gadis cantik. Untuk apa me-

lamunkan seseorang?"

"Kau telah agak baikan?" tanya Ajeng Roro, 

mengalihkan pembicaraan. "Eyang Selaksa mengkha-

watirkan kau!"

Sambil berkata begitu, Ajeng Roro bangkit dan 

melangkah ke arah Kampung Blumbang. "Eyang Se-

laksa atau...."

Pendekar Mata Keranjang tak meneruskan 

ucapannya. Karena pada saat itu, Ajeng Roro telah 

berbalik dan membelalakkan sepasang matanya.

Selagi mereka berdua saling berpandangan be-

gitu, sebuah bayangan berkelebat.

"Anak-anak konyol! Ada apa ini...?"

"Eyang...," desah Pendekar Mata Keranjang, se-

raya bangkit dan melangkah mendekati. "Aku akan 

mohon diri sekarang.... Ada sesuatu yang harus kuse-

lesaikan...."

Habis bicara, Pendekar Mata Keranjang menjura hormat pada sosok yang baru datang yang tak lain 

Eyang Selaksa. Orang tua ini sebentar memandang 

pada Pendekar Mata Keranjang, lalu beralih pada 

Ajeng Roro.

"Kau hendak ke mana...?" tanya Eyang Selaksa.

"Aku harus pergi ke Dusun Amadanom. Dan, 

maaf. Aku tak bisa menceritakan hal ini sekarang...," 

jelas Aji.

Eyang Selaksa hanya mengangguk.

"Kalau itu memang demi kebaikan, pergilah...."

Sementara itu, Ajeng Roro yang tak menduga 

secepat itu Aji mengambil keputusan untuk pergi, se-

gera menundukkan kepala. Wajahnya redup. Bias ke-

kecewaan jelas terpancar dari sikapnya.

"Eyang, Roro.... Aku pergi sekarang...," pamit 

Aji.

Habis berkata, sejenak Pendekar Mata Keran-

jang menatap Ajeng Roro.

Seperti tahu, gadis itu mengangkat kepalanya, 

memandang Aji.

Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Namun, 

Ajeng Roro tidak membalas. Hingga untuk beberapa 

saat, kedua orang ini saling pandang. Satunya terse-

nyum, satunya cemberut. 

Melihat suasana kaku, Eyang Selaksa batuk-

batuk beberapa kali. Dan membuat Pendekar Mata Ke-

ranjang tahu diri. Tubuhnya segera berbalik, lantas 

melangkah meninggalkan Eyang Selaksa dan Ajeng Ro-

ro.

"Roro.... Kau tampaknya bersedih. Aku tahu pe-

rasaanmu. Tapi, kau harus dapat mengerti jiwa seo-

rang pendekar. Dia harus ada di tempat ketidakadilan 

dan kesewenang-wenangan berlangsung. Kau paham 

maksudku...?" tegur Eyang Selaksa.

Ajeng Roro mengangguk, meski matanya masih 

menatap punggung Aji yang makin lama makin kecil, 

sebelum akhirnya hilang dari pandangan. 

"Apakah kita akan tetap di sini...?" lanjut Eyang 

Selaksa, begitu agak lama Ajeng Roro tidak juga beran-

jak dari tempatnya.

Dengan raut merah padam, Ajeng Roro cepat 

melangkah mendatangi Eyang Selaksa. Dua langkah 

lagi, gadis ini nampak tersenyum. Lantas tangannya 

menggandeng tangan Eyang Selaksa. Dan mereka pun 

melangkah menuju Kampung Blumbang.


SEPULUH


Lembah Bandar Lor tampak hitam pekat dis-

elimuti awan hitam yang menggantung. Suara guntur 

menggelegar terdengar bersahutan, menyalak bagai tak 

habis-habisnya. Lidah petir sambung menyambung, 

seakan ingin melahap bumi dan isinya. Udara dingin 

yang berhembus kencang, membuat keadaan semakin 

mencekam.

Di dalam sebuah gua di ujung lembah yang 

hanya diterangi sebuah obor yang ditancapkan begitu 

saja di sela batu, samar-samar terlihat dua orang se-

dang duduk berhadapan.

Namun, ada sesuatu yang membuat mata sea-

kan tak percaya. Salah seorang di antaranya, ternyata 

duduk di atas sebuah tiang kecil. Dan ternyata, tiang 

kecil yang dibuat duduk adalah sebuah tombak yang 

menancap hampir setengah ke dalam tanah dalam 

gua. Hebatnya, tombak yang pangkalnya membentuk 

sekuntum bunga berwarna hitam itu tidak terus amblas ke dalam tanah. Sedangkan sosok yang duduk ju-

ga terlihat tenang-tenang saja.

Melihat hal ini, bisa dibayangkan kalau sosok 

yang duduk tentu seorang memiliki ilmu meringankan 

tubuh yang benar-benar sempurna. Dan mungkin 

hanya satu dua orang yang bisa melakukannya.

Yang duduk di atas tombak ternyata seorang 

perempuan. Usianya tidak mudah untuk ditebak. Ka-

rena, wajahnya ditutupi bedak tebal. Bibirnya yang 

tebal sebelah atas berwarna merah menyala. Rambut-

nya panjang sebahu. Tapi, rambut bagian atasnya di-

potong amat pendek, hingga jabrik! Sepasang matanya 

lebar. Hidungnya mancung, tapi bengkok. Dan yang 

membuat semakin janggal, ternyata tubuhnya pendek! 

Dalam kancah dunia persilatan, wanita pendek yang 

bernama asli Kunyil ini berjuluk Bawuk Raga Ginting.

Sementara orang satunya yang duduk di hada-

pan dengan Bawuk Raga Ginting adalah pemuda ber-

wajah tampan. Pakaiannya putih. Sepasang matanya 

tajam dengan alis tebal. Rambutnya panjang sebahu.

"Pandu...!"

Setelah saling berdiam diri agak lama, Bawuk 

Raga Ginting yang duduk di atas tombak membuka 

mulut, membuncah kesunyian yang sesekali hanya di-

pecahkan oleh suara guntur menggelegar.

"Kau telah melaksanakan tugas membawa 

penggalan kepala Ageng Panangkaran. Maka seperti 

janji ku padamu, mulai saat ini kau kuangkat menjadi 

muridku!" lanjut perempuan pendek itu.

"Terima kasih..., Guru...!" ucap pemuda yang 

memang Pandu, bekas murid Ageng Panangkaran, se-

raya menjura hormat.

"Pandu.... Sekarang, jawablah dengan jujur. 

Dari mana sebenarnya kau mengetahui tempat dan

namaku...?" ujar Bawuk Raga Ginting.

Pandu tidak segera menjawab. Wajahnya tam-

pak bimbang.

"Setelah terjadi peristiwa perselisihan dengan 

adik seperguruanku, aku yang sejak semula mencuri-

gai Ageng Panangkaran menyembunyikan sesuatu, 

menyelidik ke ruangannya. Namun, ternyata apa yang 

kuduga meleset. Sampai akhir hayatnya, ternyata 

Ageng Panangkaran tak menyembunyikan sesuatu 

yang kuduga berupa kitab atau benda pusaka. Yang 

kutemukan hanyalah sebuah buku kecil. Setelah ku-

buka, ternyata hanya berisi nama-nama orang...," jelas 

Pandu setelah agak lama dengan suara bergetar.

"Hmm..., lantas kenapa kau memilih ku...?" 

tanya Bawuk Raga Ginting. 

Sementara sambil bertanya, mata perempuan 

pendek ini tak berkedip menatap pemuda yang kini te-

lah diangkat menjadi muridnya.

"Aku memilihmu, karena dari sekian nama-

nama itu, hanya ada dua nama yang diberi bundaran 

merah tebal. Aku berpikir, nama yang diberi bundaran 

merah adalah nama yang paling menonjol. Dan berarti, 

orangnya pun demikian juga," papar pemuda itu.

"Selain namaku, siapa lagi nama lainnya...?" 

desak Bawuk Raga Ginting.

"Restu Canggir Rumekso...," sahut Pandu, per-

lahan.

Bawuk Raga Ginting manggut-manggut. Dalam 

hati manusia pendek ini memuji kalau pemuda ini cer-

dik juga. Selain itu, tampaknya juga licik. Hanya saja, 

Pandu pandai menyembunyikannya. Dan memang, 

orang seperti inilah yang diinginkan Bawuk Raga Gint-

ing.

"Kira-kira siapa sebenarnya yang membunuh

Ageng Panangkaran...?" tanya perempuan pendek itu.

Pandu menggeleng perlahan.

"Hanya saja, waktu itu aku mendapati seorang 

pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang berada di 

samping mayat Ageng Panangkaran...," jelas Pandu.

"Tunggu!" seru Bawuk Raga Ginting tiba-tiba 

seakan terkejut. "Kau menyebut Pendekar Mata Keran-

jang. Apakah dia yang akhir-akhir ini menjadi buah 

bibir dalam rimba persilatan...?"

Pandu menyeringai tak senang. Namun akhir-

nya menganggukkan kepala.

"Aku menyirap kabar di luaran, Pendekar Mata 

Keranjang berhasil mengikis habis tokoh dan momok 

rimba persilatan yang bergelar Malaikat Berdarah Biru. 

Apa benar demikian...?" sahut Bawuk Raga Ginting.

"Itu hanya kabar yang beredar di luaran. Na-

mun, yang terjadi sebenarnya sulit diduga...," kata 

Pandu dengan suara agak berat. Pelipisnya terlihat 

bergerak-gerak. Dagunya terangkat membatu. Semen-

tara, alis matanya menukik bertautan, seakan-akan 

menahan hawa amarah besar.

Melihat perubahan pada wajah muridnya setiap 

kali membicarakan Pendekar Mata Keranjang, mem-

buat Bawuk Raga Ginting sedikit heran.

"Dari raut wajahmu, sepertinya kau tidak se-

nang dengan pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-

jang. Apakah...."

"Dialah pemuda yang mengecewakan hatiku! 

Adik seperguruanku yang kucintai, ternyata jatuh cin-

ta padanya.... Dan aku akan berusaha, bagaimanapun 

caranya untuk membalas pemuda keparat itu...!"

Belum habis Bawuk Raga Ginting bicara, Pandu

telah menyela dengan suara sedikit keras, untuk me-

nindih luapan amarahnya.

Bawuk Raga Ginting tertawa ngikik.

"Kau tak usah khawatir, Pandu! Segala yang 

kau inginkan, pasti akan tercapai. Aku akan menu-

runkan segala ilmuku padamu. Namun, kau harus 

mengerti. Setelah lancar, kau harus turuti segala pe-

rintahku! Kalau coba-coba membelot, aku tak segan-

segan membunuhmu!" kata Bawuk Raga Ginting tegas.

"Aku mendengarkan mu, Guru. Segala keingi-

nan dan perintahmu akan ku turuti...," sahut Pandu, 

mantap.

"Bagus! Namun, kau harus sungguh-sungguh! 

Karena masalah yang akan kuhadapi sangat berat! Ta-

pi, aku percaya kau akan berhasil menghadapinya!"

Pandu yang mendengarkan keterangan Bawuk 

Raga Ginting sedikit terkejut.

"Guru! Kalau boleh tahu, kira-kira tugas apa 

nantinya yang harus kulakukan...?!" tanya Pandu hati-

hati, takut gurunya tersinggung.

Bawuk Raga Ginting menatap lekat-lekat wajah 

muridnya. Sebentar kemudian pandangan matanya be-

ralih memandang ke lobang gua, dan tembus ke luar. 

Seolah-olah dia tengah mengingat-ingat masa lalunya, 

yang kini membayang jelas di pelupuk matanya.

"Dengar, Pandu. Bertahun-tahun aku hidup 

menyendiri dengan menyimpan dendam membara. Aku 

sebenarnya tahu, siapa pemuda berjuluk Pendekar 

Mata Keranjang itu. Karena, dia sebenarnya adalah 

murid Jayang Parama, tokoh yang akhirnya terkenal 

bergelar Wong Agung dari Karang Langit. Waktu itu, 

dalam rimba persilatan beredar kabar bahwa senjata 

ciptaan Eyang Empu Jaladara jatuh ke tangan Wong 

Agung. Aku yang waktu itu juga mencari jejak senjata 

ciptaan Empu Jaladara, pada akhirnya bertemu Wong 

Agung. Namun, nyatanya aku tak bisa menaklukkan

nya."

Sejenak Bawuk Raga Ginting menghentikan ce-

ritanya. Sepertinya, dia berusaha mengumpulkan sega-

la ingatannya untuk diungkapkan pada muridnya.

"Di lain pihak, juga tersiar kabar kalau senjata 

ciptaan Empu Jaladara lainnya berada di tangan 

Ageng Panangkaran. Menurut kabar itu, aku pun men-

cari Ageng Panangkaran. Tapi, lagi-lagi aku gagal. Ka-

rena waktu itu, Ageng Panangkaran ternyata juga di-

bantu gurunya Junjung Balaga! Maka sejak saat itulah 

aku hidup menyendiri, memendam, dendam pada me-

reka. Sekarang tersiar kabar kalau senjata itu jatuh ke 

tangan Pendekar Mata Keranjang dan Malaikat Berda-

rah Biru. Dan jika benar kabar Malaikat Berdarah Biru 

telah takluk di tangan pendekar sialan itu, berarti se-

mua senjata ciptaan Empu Jaladara sekarang berada 

di tangannya. Dengar! Aku sekarang tidak mengingin-

kan senjata itu. Yang kuinginkan sekarang adalah, ke-

pala Wong Agung! Selain itu, masih banyak lagi. Dan 

kau akan tahu sendiri nantinya. Yang jelas mereka 

adalah orang-orang yang dahulu menyingkirkan ku

dari pergaulan. Bahkan menghina karena aku begi-

ni...," lanjut Bawuk Raga Ginting, menuntaskan ceri-

tanya.

Pandu mendengarkan keterangan gurunya den-

gan seksama. Seakan-akan dia ikut larut dengan apa 

yang dirasakan gurunya.

"Jika saja aku sekarang mampu, sekarang juga 

akan berangkat mencari kepala Wong Agung serta 

orang-orang yang mengecewakan hatimu!" tegas Pan-

du, setelah agak lama.

Bawuk Raga Ginting tertawa keras mendengar 

kata-kata Pandu. Sehingga, tubuhnya terlihat bergun-

cang-guncang. Namun anehnya, tombak yang didudu

ki tak bergeming dan tak amblas!

"Semangat mu berkobar-kobar dan kebera-

nianmu besar! Aku tak salah mengangkatmu jadi mu-

rid. Hik... hik... hik...!"

"Guru! Ada satu hal lagi. Siapa orang yang ber-

nama Restu Canggir Rumekso itu...?" tanya Pandu, di 

sela-sela tawa Bawuk Raga Ginting.

Tawa Bawuk Raga Ginting terputus, ketika 

mendengar pertanyaan Pandu. Sepasang matanya 

yang lebar membeliak merah. Dahinya mengernyit, 

membuat bedak di wajahnya luruh. Tubuhnya bergetar 

hebat. Sehingga tombak di bawahnya amblas ke dalam 

tanah, menyisakan pangkalnya yang berupa sekuntum 

bunga berwarna hitam.

"Dia adalah pemuda yang dulu pernah kucintai. 

Namun, dia menolak dan menghinaku. Untuk dia, biar

aku sendiri nantinya yang mengurus...," jelas Bawuk 

Raga Ginting, setelah dapat menguasai gejolak yang 

nampaknya mendera hatinya.

Kembali suasana jadi hening.

"Pandu!" panggil Bawuk Raga Ginting setelah 

keduanya agak lama diam. "Lepas baju atasmu. Kita 

mulai latihan sekarang!"

Sejak hari itu, Pandu memulai hari-hari ba-

runya di Lembah Bandar Lor. Dia berlatih di bawah 

bimbingan tokoh aneh berjuluk Bawuk Raga Ginting


SEBELAS


Begitu agak jauh meninggalkan Kampung 

Blumbang, Pendekar Mata Keranjang 108 memperlam-

bat larinya. Bahkan kini terlihat melangkah perlahan.

Sambil berkipas-kipas. Mulutnya mengumandangkan 

nyanyian yang tak jelas di telinga.

"Restu Canggir Rumekso.... Aku harus segera 

menemukan tempat tinggalnya. Aku selalu mengkha-

watirkan keadaan Putri Tunjung Kuning. Apalagi, ka-

tanya dia sedang hamil.... Siapa kira-kira ayah jabang 

bayi dalam kandungannya?" kata batin Pendekar Mata 

Keranjang sambil terus melangkah.

Namun langkah Aji mendadak tertahan tatkala 

kedua telinganya menangkap suara mencurigakan. 

Sambil tetap mendendangkan nyanyiannya, murid 

Wong Agung ini cepat berbalik.

Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang se-

rentak terbelalak hampir tidak percaya. Matanya diku-

cek-kucek, seakan ingin meyakinkan. Dan nyatanya 

pandangan matanya tidak menipu.

Di hadapan Aji, kira-kira sepuluh langkah tam-

pak berdiri tegak seorang gadis cantik jelita berpakaian 

putih-putih. Di lehernya, melingkar untaian kalung da-

ri bunga-bunga berwarna hitam. Sementara di atas te-

linga kirinya, juga menyelip sekuntum bunga berwarna 

hitam.

"Pendekar Mata Keranjang! Kau tak akan bisa 

lari dari mataku!" tegur gadis berbaju putih ini dengan 

nada tinggi. 

"Ratu Sekar Langit...," sebut Pendekar Mata Ke-

ranjang, memandang tak berkedip. "Gadis ini tak kenal 

menyerah. Terpaksa kali ini aku akan turuti permin-

taannya, daripada masalah ini tak ada ujung pangkal-

nya...," kata batin Pendekar Mata Keranjang sambil 

tersenyum lebar.

"Laki-laki pembual! Kali ini kau tak akan lolos 

lagi!" teriak Ratu Sekar Langit.

Seraya berkata, gadis ini segera menarik kedua

tangannya, siap melepaskan pukulan.

"Tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang. Ce-

pat kipasnya dilipat dan disimpan di balik baju hi-

jaunya.

Ratu Sekar Langit mengurungkan niat. Namun, 

tangannya tetap siap. Sepasang matanya tetap mena-

tap menyelidik.

"Dengar, Ratu Sekar Langit. Aku memang se-

dang dalam perjalanan ke tempatmu. Karena, urusan-

ku yang kukatakan dahulu telah selesai...."

Paras Ratu Sekar Langit menjadi berubah seke-

tika. Matanya yang bulat memperhatikan sejenak, seo-

lah belum yakin. Tapi begitu Pendekar Mata Keranjang 

tetap tersenyum dan malah mendekat ke arahnya, dia 

terlihat sedikit gugup salah tingkah.

"Ucapanmu bisa dipercaya...?" tanya Ratu Se-

kar Langit. Tatapannya menusuk bola mata Pendekar 

Mata Keranjang.

Murid Wong Agung ini hanya mengangguk.

"Kita berangkat sekarang...?" tantang Pendekar 

Mata Keranjang seperti bersungguh-sungguh meski 

dalam hati masih bingung tak tahu apa yang mesti di-

perbuat.

Seolah tersentak dari rasa terkejut, Ratu Sekar 

Langit menggumam pelan seraya memalingkan wajah-

nya.

"Hmm... Gadis ini benar-benar cantik. Dadanya 

dari arah samping begitu kencang menantang. Ping-

gulnya besar. Dan, hm... Bau harum tubuhnya menye-

ruak sampai sini...."

Sambil membatin begitu, sepasang mata Pen-

dekar Mata Keranjang tak henti-hentinya menatap. 

Dan ini membuat gadis yang ditatap semakin salah 

tingkah.

"Pendekar Mata Keranjang. Maafkan perlakua-

nku padamu selama ini...," ucap Ratu Sekar Langit 

sambil melirik.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Yang salah se-

benarnya aku...," sahut Pendekar Mata Keranjang, 

mengerdipkan sebelah matanya.

"Pemuda ini menarik. Tak heran jika banyak 

gadis yang menyukainya.... Dan aku sendiri, seper-

tinya tak bisa melupakannya...," kata batin Ratu Sekar 

Langit. Dengan berusaha menghilangkan sikap salah 

tingkahnya, Ratu Sekar Langit tersenyum manis pada 

Pendekar Mata Keranjang.

"Silakan kau berjalan di muka...," ujar gadis ini.

"Ah! Kata-katamu masih menyimpan rasa curi-

ga padaku. Kau tak perlu curiga dan khawatir jika aku 

lari. Bagaimana jika kita jalan bersamaan...? Aku su-

dah lama tak pernah jalan-jalan dengan gadis can-

tik...," desah Pendekar Mata Keranjang, mengge-

maskan.

Wajah Ratu Sekar Langit mendadak bersemu 

merah mendengar pujian Pendekar Mata Keranjang. 

Dan sebelum menyatakan persetujuannya, Aji telah 

menjajarinya.

Kini mereka tampak berjalan seiring. Namun 

hingga beberapa lama, tidak ada seorang pun yang 

bersuara. Mereka tampaknya seperti terbuai angan 

masing-masing.

"Bagaimana sekarang...?" tanya batin Pendekar 

Mata Keranjang. "Apa aku ke tempatnya dahulu, yang 

berarti tujuanku ke lereng Gunung Mahameru tertun-

da. Atau, aku akan memuslihatinya dan meninggal-

kannya? Tapi, itu akan berakibat lebih parah lagi. Ka-

rena, dia pasti akan tetap mencariku.... Hmm..., ba-

gaimana kalau dia kuajak serta ke lereng Gunung Mahameru mencari tempat tinggal Restu Canggir Rumek-

so?"

Sementara Pendekar Mata Keranjang memba-

tin, Ratu Sekar Langit pun membatin.

"Aku heran. Jika sudah berdua dengannya, se-

pertinya kehabisan bahan untuk bicara...," keluh Ratu 

Sekar Langit.

"Ratu Sekar Langit...!" panggil Pendekar Mata 

Keranjang, memecah kekakuan. "Kalau boleh tahu, 

apa kau masih berniat mendirikan perguruan silat...?"

"Benar! Itu memang cita-citaku sejak kecil. Kau 

mau membantuku, bukan...? Perguruan itu nantinya 

akan kita pimpin bersama. Dan kau bisa menetap di 

istanaku...!" sahut Ratu Sekar Langit, lugas.

Pendekar Mata Keranjang tertawa perlahan, 

mendengar tawaran Ratu Sekar Langit. Dan ini mem-

buat gadis itu memalingkan wajahnya.

"Sayang sekali, aku tidak bisa menerima tawa-

ran baikmu itu, Ratu.... Karena, aku masih suka hidup 

begini. Ke sana kemari, tanpa ada yang mengikat. Lagi 

pula, tak layak pemuda macam aku mendampingi ga-

dis cantik sepertimu! Kalau kau suka, aku punya be-

berapa kenalan yang mungkin cocok mendampingi-

mu!" tolak Pendekar Mata Keranjang, halus.

Wajah Ratu Sekar Langit meredup tiba-tiba. Di-

tariknya napas dalam-dalam. Tapi sepasang matanya 

tiba-tiba mendelik.

"Pendekar Mata Keranjang! Sejak kapan kau 

berubah jadi calo jodoh?!"

"Sejak bertemu kau!" jawab Pendekar Mata Ke-

ranjang, seenaknya.

Sebuah cubitan segera hinggap di lengan Pen-

dekar Mata Keranjang. Seketika murid Wong Agung ini 

memekik perlahan.

"Ratu Sekar Langit! Kita lupakan dulu soal per-

guruan silatmu. Terus terang, aku sebenarnya hendak 

ke Dusun Amadanom yang terletak di lereng Gunung 

Mahameru. Aku..., ada hal yang harus kuselesai-

kan...," kata Pendekar Mata Keranjang terus terang.

Terkejutlah Ratu Sekar Langit mendengar kata-

kata Pendekar Mata Keranjang

"Jadi, kau akan mungkir lagi...?" tukas Ratu 

Sekar Langit dengan nada tinggi.

"Tidak! Namun jika kau mau mengerti, aku 

akan ke sana dahulu. Lantas, setelah itu akan ke ista-

namu!" jelas Aji.

Ratu Sekar Langit menghela napas dalam-

dalam. Matanya memandang jauh. Lalu kepalanya 

menggeleng.

"Pendekar Mata Keranjang. Bagaimana kalau 

aku ikut serta denganmu? Kau tak keberatan, bu-

kan...?" tanya Ratu Sekar Langit.

Pendekar Mata Keranjang tidak bisa segera 

menjawab. Hingga mungkin karena tidak sabar me-

nunggu jawaban, Ratu Sekar Langit yang berdiri tepat 

di depan segera mencekal bahu Pendekar Mata Keran-

jang.

"Kau tidak keberatan bukan...?" desak Ratu 

Sekar Langit, semakin mengencangkan cekalan tan-

gannya.

"Baik-baik. Tapi, lepaskan dulu cekalan tan-

ganmu. Kalau ingin cekal, yang lain saja...," jawab 

Pendekar Mata Keranjang, bercanda.

Entah gembira entah karena disengaja, menda-

dak Ratu Sekar Langit melepaskan cekalan tangannya 

pada lengan Pendekar Mata Keranjang. Namun men-

dadak dia bergerak merangkul tubuh pemuda itu.

Dada Pendekar Mata Keranjang menggemuruh

seketika. Jantungnya berdetak makin kencang. Lebih-

lebih, tatkala dada membusung indah milik Ratu Sekar 

Langit menempel rapat di dadanya.

"Pendekar Mata Keranjang...," bisik Ratu Sekar 

Langit, perlahan. "Terima kasih kau mau mengajakku 

ikut serta...."

Karena begitu tercekat, membuat Pendekar Ma-

ta Keranjang tak segera menjawab kata-kata Ratu Se-

kar Langit. Hanya kedua tangannya lantas bergerak ke 

belakang tubuh Ratu Sekar Langit, dan menekannya.

Ratu Sekar Langit sepertinya terlena. Tubuhnya 

makin dirapatkan. Lalu, kepalanya terangkat menen-

gadah. Sementara, dadanya makin berguncang keras.

Pendekar Mata Keranjang merundukkan kepa-

lanya sedikit. Lalu, bibirnya memagut bibir Ratu Sekar 

Langit yang tampak sedikit terbuka.

Lama kedua anak manusia ini saling berpagu-

tan. Malah karena begitu terbuainya, perlahan-lahan 

kaki Ratu Sekar Langit tampak goyah. Dan tak lama 

kemudian, tubuh keduanya oleng dan luruh di atas 

tanah lalu bergulingan.

Begitu di atas tanah, sepertinya mereka masih 

terbuai. Keduanya terus saling berpagutan. Baru 

tatkala Ratu Sekar Langit pasrah menerima apa yang 

akan diperbuat Pendekar Mata Keranjang....

"Astaga!" seru Pendekar Mata Keranjang begitu 

tersadar, segera dia melepaskan rangkulannya di ba-

wah punggung Ratu Sekar Langit

"Pendekar Mata Keranjang....." panggil Ratu Se-

kar Langit, lirih.

"Ratu Sekar Langit.... Kita harus cepat menuju 

lereng Gunung Mahameru...," ujar Pendekar Mata Ke-

ranjang

Aji segera bangkit. Kedua tangannya diulurkan,


memberi isyarat agar Ratu Sekar Langit segera bang-

kit.

Dengan wajah memerah dan tak berani me-

mandang Pendekar Mata Keranjang, Ratu Sekar Langit 

menyambuti uluran tangan itu. Segera gadis ini bang-

kit, dengan wajah berpaling.

"Nanti kita teruskan, jika kita telah selesai den-

gan urusan di lereng Gunung Mahameru...," kata Pen-

dekar Mata Keranjang sambil mengerdipkan sebelah 

matanya.

Yang dikerdipi mendelik. Namun, bibirnya me-

nyunggingkan senyum bahagia.



                          SELESAI



Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108 

selanjutnya:

TITISAN DARAH TERKUTUK


























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive