Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Neraka Asmara
128 hal.
SATU
Sebenarnya, sang mentari baru saja merangkak
dari peraduannya. Namun karena bongkahan awan hi-
tam berarak terlihat menggantung di angkasa, diting-
kahi lecutan kilat membadai centang perentang meng-
hajar ujung langit, membuat suasana menakutkan dan
bagai digenggam ujung kebutan. Sebentar kemudian
hujan pun turun dengan derasnya.
Di bawah derasnya hujan, tampak seorang pe-
nunggang kuda melintasi jalanan agak sepi dan berba-
tu. Mungkin karena jalanan di hadapannya mulai agak
menukik dan terjal berbatu-batu, si penunggang kuda
agaknya tak berani menghela kuda tunggangannya
agar berlari lebih kencang. Malah sesekali terlihat ku-
da tunggangannya dihentikan sambil memperhatikan
sekeliling. Lalu setelah dapat menyiasati jalan, dia
kembali meneruskan perjalanannya.
Namun ketika beberapa langkah memasuki se-
buah lembah, penunggang kuda yang tampak menggi-
gil basah kuyup kedinginan, dikejutkan oleh berde-
singnya suara menyambar. Dengan cepat dia berpal-
ing, dan langsung terperangah kaget. Dalam kegelapan
suasana, tampak melesat sebuah benda berkilau me-
nerabas cepat ke arahnya.
Diiringi rasa terkejut, penunggang kuda ini se-
gera menarik tali kekang. Seketika bahunya sedikit di-
geser ke samping. Sehingga, benda itu melesat satu
jengkal di samping bahunya.
Di bawah pijaran kilat yang sesekali menerpa,
wajah penunggang kuda ini tampak berubah menjadi
merah padam. Rahangnya terangkat membatu. Semen-
tara matanya membelalak merah menahan marah
mendapati dirinya dibokong.
Penunggang kuda ini adalah seorang pemuda
tampan. Badannya gagah, terbalut baju putih. Ram-
butnya panjang sebahu.
Sepasang mata pemuda ini semakin terbeliak
tatkala pijaran kilat yang kembali menjilat, menam-
pakkan benda yang baru saja hampir menghantam tu-
buhnya.
"Tombak!" desis pemuda itu dengan seringai
sumbang.
Diam-diam dalam hati pemuda tampan ini ter-
bersit juga perasaan takut. Dan hatinya makin ngeri
saat untuk beberapa lagi pijaran kilat memperlihatkan
ujud tombak yang ternyata telah menancap ke sebuah
batu hitam besar.
Tombak itu berwarna kuning keemasan. Pang-
kalnya agak menggelembung besar, membentuk se-
kuntum bunga berwarna hitam! Sementara ujungnya
tak kelihatan, karena masuk ke dalam batu hitam.
Namun demikian, pemuda ini bisa segera menduga ba-
gaimana bentuk ujungnya. Karena batu di bawah ba-
dan tombak yang sebagian masuk ke dalamnya, mem-
bentuk lobang segi tiga. Lobang kedua sisinya lebih be-
sar daripada lobang tengahnya.
"Tombak aneh! Pemiliknya tentu orang aneh.
Apakah dia nanti orang yang harus kutemui?" kata
pemuda itu dalam hati seraya menghela napas panjang
dan dalam.
Kedua mata pemuda berbaju putih ini segera
nyalang memperhatikan ke sekeliling. Kedua telin-
ganya ditegakkan sedikit ke atas, menajamkan pen-
dengaran. Namun hingga beberapa lama, tak tertang-
kap adanya seseorang. Merasa tidak yakin, dia tetap
tegak di tempatnya seolah menunggu hingga beberapa
lama. Namun penantiannya sia-sia.
Dengan perasaan kecewa, penunggang kuda itu
menghela tunggangannya mendekati batu hitam yang
tertancap tombak. Diperhatikannya dengan seksama
tombak itu. Tangan kanannya lantas bergerak hendak
meraih tombak, namun mendadak ditarik kembali. Ha-
tinya kecut. Segera kuda tunggangannya diundurkan,
berputar melewati samping batu hitam. Lalu bergegas
dia meneruskan perjalanan.
Ketika sampai di jalan yang sedikit naik, pemu-
da ini menghentikan kudanya. Ketika berpaling ke be-
lakang, keningnya mengernyit. Ternyata tombak tadi
telah lenyap, meninggalkan lobang berbentuk seti tiga
yang menganga hitam!
Dengan tubuh makin gemetar antara menggigil
kedinginan dan perasaan takut, pemuda penunggang
kuda ini meneruskan langkah kudanya. Namun baru
saja hendak bergerak, dia dikejutkan kembali dengan
desingan benda yang menderu dari arah belakang.
Dengan perasaan takut dan marah, penung-
gang kuda ini serta merta merunduk sejajar punggung,
membuat benda yang menderu dari arah belakangnya
melewati punggung dan kepalanya.
Namun di kejar lain, mendadak kuda itu me-
ringkik keras. Kedua kaki belakangnya bergerak sea-
kan-akan hendak membuat tendangan ke belakang.
Tapi bersamaan dengan itu kedua kaki depannya me-
nekuk. Akibatnya, tak ampun lagi kedua kaki bela-
kangnya terangkat tinggi-tinggi melewati kepala dan
terjungkir keras di atas tanah bebatuan, mencampak-
kan penunggangnya hingga jatuh terbanting!
Binatang malang itu untuk beberapa saat tam-
pak melejang-lejang, lalu diam tak bergerak lagi. Mati
dengan kepala berlobang segi tiga! Dan tak jauh dari
kepala kuda, di atas tanah menancap sebuah tombak
yang hanya menyisakan pangkalnya yang berbentuk
sekuntum bunga berwarna hitam!
Dengan mendengus keras menahan gejolak
amarah, pemuda itu merambat bangkit. Pakaiannya
yang telah berwarna kecoklatan terkena tanah berlum-
pur di kibas-kibaskan. Sepasang matanya melotot me-
rah. Kepalanya menengadah memapak curahan air hu-
jan.
"Siapa pun kau! Jangan berlaku pengecut! Tun-
jukkan dirimu!" teriak pemuda itu.
Hingga agak lama pemuda tampan ini menung-
gu, tidak terdengar sahutan.
"Keluarlah! Atau...."
Pemuda ini tak meneruskan teriakannya, kare-
na dari arah belakang terasa bahunya ditepuk seseo-
rang. Dengan rasa terkejut, secepat kilat dia meloncat
dua langkah ke depan. Tubuhnya cepat berbalik se-
raya siap menyerang.
Dua puluh langkah di hadapan pemuda itu kini
telah tegak berdiri seorang perempuan berdandan
aneh. Wajahnya memakai bedak tebal. Bibirnya yang
tebal sebelah atas merah menyala. Rambutnya panjang
sebahu. Namun potongan rambut bagian atas dipotong
pendek dan jabrik. Kedua matanya besar dengan hi-
dung mancung tapi bengkok. Sekilas sosok itu seperti
anak kecil, karena tingginya hanya setengah tombak!
Manusia pendek berdandan menyolok itu berdi-
ri dengan sedikit mengangkat kaki kiri, yang disilang-
kan di betisnya. Sementara tangan kanannya men-
cengkeram tombak yang pangkalnya membentuk se-
kuntum bunga.
Merasa yakin kalau perempuan pendek di ha-
dapannya yang telah menyerang dari belakang, pemu
da ini menggeram marah dengan mata melotot.
"He...! Siapa kau?! Dan, kenapa menyerangku
secara licik?!" bentak pemuda itu.
Perempuan pendek yang ditegur diam saja. Se-
pasang matanya yang besar malah menyengat galak.
Sementara pegangan tangannya pada tombak menge-
ras, hingga menimbulkan bunyi bergemeretakan.
"He...! Jawab pertanyaanku!" sambung pemuda
ini agak jengkel meski hatinya kecut.
Perempuan pendek ini masih tak buka mulut.
Bahkan matanya melotot makin liar saja.
"Manusia satu ini aneh! Apakah dia orang yang
harus kutemui? Hm.... Sayang sekali, petunjuk yang
tertera dalam buku milik guru yang berhasil ku curi,
tak menyebutkan ciri-ciri orangnya.... Namun melihat
kelebatannya yang menepuk-nepuk bahu ku, padahal
orangnya jauh di belakangku, pasti mempunyai ilmu
sangat tinggi. Jangan-jangan memang dia orangnya
yang kucari...."
Selagi pemuda ini membatin, tiba-tiba manusia
pendek di hadapannya bergerak. Tubuhnya seketika
lenyap dari pandangan. Namun di kejap lain, tahu-
tahu dia telah berdiri lima langkah di hadapan pemuda
itu.
"Manusia! Siapa kau! Dan, apa tujuanmu ke si-
ni?!" tegur perempuan pendek berdandan menor.
Suara perempuan ini demikian keras. Padahal,
mulutnya hanya terbuka sedikit. Tombak di tangannya
terayun sebentar. Lalu....
Clep!
Tombak itu menancap hingga setengahnya ke
dalam tanah bebatuan. Bersamaan dengan itu, me-
nyambar serangkum angin yang membuat pemuda di
hadapannya terhuyung-huyung hampir jatuh.
Begitu dapat menguasai diri, sang pemuda be-
ringsut mundur dua langkah ke belakang. Dia barusan
menahan rasa terkejut, sambil memiringkan tubuh
menghindari deruan angin yang masih terasa me-
nyambar.
"Namaku, Pandu. Aku ke sini untuk menemui
seseorang yang bernama Bawuk Raga Ginting...," ja-
wab pemuda tampan ini, parau dan tersendat.
Perempuan pendek ini mendongakkan kepala,
lalu tertawa aneh. Hebatnya, curahan air hujan yang
masih membadai menyibak bagai menerpa dinding tak
nampak di atas kepalanya. Sehingga membuat dirinya
tak terpercik air sedikit pun.
"Hm.... Pandu...," sebut perempuan pendek,
mengulang nama pemuda di hadapannya. "Lekas ting-
galkan tempat ini! Kau datang ke tempat yang salah!"
Pemuda berwajah tampan bernama Pandu itu
tersenyum kecut.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin aku salah
membaca apa yang tertulis dalam buku milik guruku.
Tempat yang tertulis di situ adalah tempat ini, Bandar
Lor. Dan orang yang harus kutemui adalah Bawuk Ra-
ga Ginting...," gumam Pandu sambil menatap perem-
puan pendek di hadapannya.
Mendengar gumaman Pandu, perempuan pen-
dek ini segera berpaling. Bibirnya menyunggingkan se-
ringai ganas.
"Di kolong langit ini, hanya dua orang yang
mengetahui nama dan tempat tinggalku. Hanya saja,
belum waktunya aku membuat perhitungan dengan
kedua orang itu. Padahal, sebenarnya tanganku sudah
gatal ingin mencabik-cabik tubuh dua keparat itu!
Hmmm.... Apakah kedua bangsat itu yang memberi ta-
hu pemuda ini?!" kata batin perempuan pendek ini.
Kembali perempuan itu memperhatikan lebih
seksama pemuda di hadapannya.
"Dari siapa kau tahu nama Lembah Bandar Lor
dan nama Bawuk Raga Ginting?!"
Sambil membentak, perempuan pendek ini
mengangkat kaki kirinya dan menyilangkannya di de-
pan kaki kanan. Hebatnya bersamaan dengan itu dari
bawah serangkum angin keras menyambar, membuat
pakaian pemuda di hadapannya berkibar-kibar seben-
tar.
"Ngg.... Dari Ageng Panangkaran!" jawab Pandu
singkat.
"Keparat!"
Tiba-tiba perempuan pendek itu menekankan
tombaknya, hingga amblas masuk. Tanah pun seketika
bergetar.
"Benar dugaanku. Bangsat itu rupanya yang
mengatakannya...," gumam perempuan pendek dengan
mata melotot merah. Tubuhnya bergetar menahan
amarah. "Manusia! Kau bernyali besar rupanya, hingga
berani datang ke Bandar Lor ini! Tapi, dengar! Ini ada-
lah tempat kematianmu!"
Dan tanpa mempedulikan Pandu yang buka
mulut hendak mengatakan sesuatu, perempuan pen-
dek ini menghentakkan kaki kirinya ke tanah, tiga kali
berturut-turut.
Lembah berbatu ini mendadak bagai dilanda
gempa hebat. Tanah bergetar dengan batu-batu beter-
bangan.
Pandu terkejut. Buru-buru tenaga dalamnya
dikerahkan untuk menahan gerakan tubuhnya yang
terhuyung-huyung hendak jatuh. Namun tenaga yang
dikerahkannya sia-sia. Getaran lembah itu begitu he-
batnya. Hingga tak lama kemudian, tubuhnya oleng
dan terbanting keras di tanah lembah berbatu.
Sementara, perempuan pendek berdandan me-
nor ini tertawa tergelak-gelak.
"Ageng Panangkaran keparat! Rupanya kau
mengirim utusan yang cekakilmu! Hik... hik... hik...!"
teriak perempuan pendek itu, jumawa.
Paras Pandu berubah mengelam. Dia mencoba
bangkit. Namun baru saja berdiri, tubuhnya kembali
oleng dan terbanting kembali ke atas tanah.
"Hmm.... Mendengar kata-katanya yang begitu
menaruh dendam kesumat pada Ageng Panangkaran,
pasti dia orang yang kucari. Dialah manusia yang me-
namai diri Bawuk Raga Ginting. Hmm.... Rupanya per-
jalananku tidak percuma. Bila saja aku berhasil bergu-
ru padanya.... Kau, Pendekar Mata Keranjang 108!
Tunggulah saatnya!" desis batin Pandu dengan mata
bersinar-sinar.
Setelah merasa tanah yang dipijaknya tidak lagi
bergetar, Pandu bangkit dan berdiri. Namun belum
sempat berkata....
"Manusia! Kau rupanya makhluk yang tidak be-
runtung!" bentak perempuan pendek itu garang.
"Apa maksudmu...?!" sahut Pandu dengan sua-
ra menggantung di tenggorokan. Wajahnya masih pu-
cat pasi dengan tubuh gemetar.
Manusia pendek kembali tertawa nyaring.
"Kau jangan berlagak bodoh! Bukankah kau da-
tang ke Lembah Bandar Lor ini atas suruhan si tua
keparat Ageng Panangkaran?!"
Habis berkata, perempuan pendek itu melon-
cat-loncat setinggi setengah tombak dengan menghen-
tak-hentakkan sepasang kakinya. Dan kejap itu juga,
kembali lembah itu bergetar hebat.
"Tunggu!" teriak Pandu dengan tubuh ter
huyung-huyung. "Kedatanganku ke sini tanpa ada
yang menyuruh!"
"Jangan dikira aku bisa dikelabui, Manusia Ja-
hanam!" bentak perempuan pendek ini seraya mendo-
rongkan tangannya ke depan perlahan.
Saat itu juga Pandu mendengar suara menderu,
tanpa merasakan adanya sambaran angin deras.
Anehnya di kejap itu juga dia merasakan sebuah ke-
kuatan dahsyat yang tak tertangkap pandangan mata
menghantam tubuhnya!
Raut muka Pandu berubah putih pucat. Den-
gan bentakan sengau, tenaga dalam yang dimilikinya
dikerahkan untuk mencoba menahan serangan. Na-
mun begitu, hempasan yang tidak dapat ditangkap
pandangan mata terasa semakin hebat menghantam!
Perlahan-lahan perempuan pendek ini menarik
tangannya ke belakang. Dan saat itu juga, tubuh Pan-
du melayang dan terbanting ke atas tanah. Begitu
bangkit, duduk dari sudut bibir dan hidung pemuda
ini mengalir darah segar. Kulitnya lecet-lecet serta ma-
ta berkunang-kunang.
Perempuan pendek ini melangkah perlahan
mendekati pemuda yang kini telah duduk itu. Semen-
tara Pandu menatap manusia di hadapannya dengan
tatapan nanar. Namun, mendadak dia jatuhkan diri
hingga hidungnya menyentuh tanah.
"Maafkan aku jika berlaku kurang hormat pa-
damu. Namun perlu kau ketahui, kedatanganku ke si-
ni bukan utusan Ageng Panangkaran! Aku datang ka-
rena kemauanku sendiri!" ucap Pandu, mantap.
"Penipu busuk!" hardik perempuan pendek itu
dengan suara lantang, membuat gendang telinga Pan-
du berdengung sakit. "Dengar, Manusia Dungu! Di ja-
gad raya ini hanya dua orang yang tahu tempat dan
namaku! Bangsat-bangsat itu adalah Ageng Panangka-
ran dan Junjungan Balaga. Kau tidak mungkin datang
ke sini, kalau tidak jadi kacung dua manusia keparat
itu! Karena, mereka berdua takut datang sendiri
menghadapiku. Hik... hik... hik...! Mereka jerih meng-
hadapi Bawuk Raga Ginting!"
"Dugaanku tidak meleset! Jadi ini orangnya
yang kucari!" kata Pandu dalam hati, sambil masih
bersujud mencium tanah.
"Manusia! Kenapa mereka tidak datang sendiri,
he...?!" tanya perempuan pendek itu.
"Mereka sudah tidak mungkin lagi datang ke-
mari. Karena...."
"Karena ketakutan menghadapiku, bukan...?!"
potong perempuan itu.
"Bukan! Bukan karena itu. Tapi...."
"Setan alas! Kau jangan banyak bacot membela
mereka di hadapanku!"
"Ngg.... Aku tidak membela. Dan aku bicara apa
adanya. Mereka berdua sebenarnya telah meninggal
dunia!"
Manusia pendek yang memang orang yang me-
namai diri dengan Bawuk Raga Ginting itu menga-
tupkan bibirnya rapat-rapat. Dahinya berkernyit,
membuat bedak tebal di wajahnya merekat. Sepasang
matanya mendelik, mengawasi punggung Pandu yang
tampak bergetar.
"Manusia! Kau jangan bicara yang bukan-
bukan!" desak Bawuk Raga Ginting.
"Aku tidak mengada-ada. Karena, sebenarnya
aku adalah murid Ageng Panangkaran...," sergah Pan-
du.
Mendengar kata-kata Pandu, perempuan pen-
dek itu menyeringai seraya mendengus.
"Lantas, kau datang mewakili mereka untuk
menyelesaikan dendam lama itu? Hmm..., bagus!
Meski belum percaya dengan segala ocehanmu tentang
mereka, namun aku tak akan menyia-nyiakan keda-
tanganmu! Bangkitlah. Mari kita selesaikan dendam
lama itu!" tantang Bawuk Raga Ginting.
"Bawuk Raga Ginting! Kedatanganku bukan
untuk menyelesaikan dendam. Karena, aku tidak tahu
menahu dendam di antara kalian. Aku datang..., ber-
harap kau sudi mengambilku sebagai murid!" jelas
Pandu, sempat ciut nyalinya.
Bawuk Raga Ginting menghentak-hentakkan
sepasang kakinya, membuat tubuh Pandu melambung
setengah tombak ke udara. Namun begitu kembali
mendarat di atas tanah, tanpa mempedulikan Bawuk
Raga Ginting yang masih mencak-mencak, pemuda ini
kembali menjatuhkan diri dengan keadaan menyem-
bah.
"Manusia busuk! Kau mau berguru padaku?!
Bukan mustahil nantinya ilmuku akan kau gunakan
untuk melawanku. Begitu bukan? Hik... hik... hik....
Kau akan menjadi musuh dalam selimut. Jangan diki-
ra aku bodoh, tak tahu apa rencanamu!"
"Guru...!" sembah Pandu tiba-tiba.
Tapi sebelum pemuda itu meneruskan kata-
katanya....
"Jaga mulutmu! Siapa yang kau panggil guru?
Aku tak pernah mengangkatmu sebagai murid! Dan
tak akan pernah. Apalagi, murid bekas musuh besar-
ku!" potong Bawuk Raga Ginting, membentak.
Pandu mengangkat kepalanya, menatap Bawuk
Raga Ginting dengan sinar mata redup.
"Kau boleh menaruh curiga padaku. Namun,
aku lebih baik mati daripada meninggalkan tempat ini.
Karena, hidupku sudah tak ada gunanya lagi. Kalau
kau tidak sudi mengangkat ku sebagai seorang murid,
bunuhlah aku! Bunuh!" ratap Pandu perlahan.
Bawuk Raga Ginting mengundurkan kakinya
dua langkah ke belakang. Sejenak ditatapnya wajah
pemuda di hadapannya, seakan ingin meyakinkan.
"Pemuda ini tampaknya bersungguh-sungguh.
Apa sebenarnya yang dialami? Hm.... Aku kecewa, ka-
rena penantian ku selama ini berakhir sia-sia. Ilmu
yang ku perdalam selama berpuluh-puluh tahun, tak
ada gunanya lagi. Karena, musuhku telah tewas terle-
bih dahulu. Aku menyesal! Menyesal kenapa mereka
tewas bukan di tanganku? Kenapa mereka tak bisa
kupermalukan, sebagaimana mereka membuat aku
malu beberapa puluh tahun silam? Sialan benar!" ru-
tuk batin Bawuk Raga Ginting sambil menggelengkan
kepalanya.
"Cepat, bunuhlah aku!" teriak Pandu menya-
darkan lamunan Bawuk Raga Ginting.
"Manusia! Ceritakan padaku, apa sebenarnya
yang telah menimpa dirimu!" ujar Bawuk Raga Ginting
dengan suara masih membentak.
"Bertahun-tahun aku berguru pada Ageng Pa-
nangkaran. Namun, dia sepertinya terlalu pelit menu-
runkan ilmunya. Hingga sampai beberapa tahun, aku
masih tetap begini-begini saja tanpa ada kemajuan.
Dan lebih dari itu, sebenarnya aku mempunyai seo-
rang adik seperguruan. Dia seorang gadis cantik. Aku
mencintainya. Namun, adik seperguruanku menolak
cintaku. Rupanya, dia jatuh cinta pada seorang pemu-
da berilmu tinggi yang bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108. Aku kecewa dan sakit hati, karena merasa
tidak mampu mengalahkan pemuda itu!" jelas Pandu,
panjang lebar.
Bawuk Raga Ginting batuk-batuk kecil bebera-
pa kali. Lalu bibirnya tersenyum mengejek.
"Cinta. Rupanya kau manusia konyol yang ma-
sih mempertaruhkan segalanya demi cinta. Apa yang
akan kau peroleh dari cinta, he...?! Kebahagiaan? Ke-
puasan? Kenikmatan? Hik... hik... hik...! Hanya manu-
sia dungu yang masih punya pikiran begitu. Dengar!
Cinta hanya akan membawa manusia dalam belenggu
dan akan membuat manusia dirundung kecewa!" kata
Bawuk Raga Ginting, tanpa memandang pemuda itu.
"Tapi...."
"Tak ada tapi!" potong Bawuk Raga Ginting.
"Cinta hanyalah tabir kelabu yang membimbing manu-
sia makin terperosok jauh!"
"Ngg... Apakah kau pernah mengalaminya?"
tanya Pandu, seakan tak sadar dengan siapa kini ber-
hadapan.
Bawuk Raga Ginting mendongakkan kepala
mendengar pertanyaan Pandu. Wajahnya member-
sitkan ketidaksenangan. Sinar matanya tampak mere-
dup.
"Aku hidup begini juga karena cinta. Hmm....
Rupanya, nasib pemuda ini malang seperti diriku dulu.
Seandainya aku dahulu mempunyai ilmu seperti seka-
rang, tak mungkin dienyahkan, dihina, dan disingkir-
kan orang! Bahkan oleh orang yang secara diam-diam
kucintai! Sekarang, aku mempunyai ilmu yang tidak
mungkin ada yang bisa menyingkirkan dan menge-
nyahkan ku! Aku akan memuaskan segala yang dahu-
lu tidak ku peroleh. Yah! Sekaranglah saatnya. Namun,
aku..., perlu juga seorang pembantu. Hmm..., nasib
pemuda ini hampir seperti diriku. Apa salahnya jika
dia kuangkat sebagai murid, sekaligus pembantuku?"
kata batin Bawuk Raga Ginting mengingat masa lam
paunya.
Konon, berpuluh tahun yang silam, Bawuk Ra-
ga Ginting yang bernama asli Kunyil memang dilahir-
kan dan dibesarkan dalam keadaan tidak sempurna.
Tubuhnya pendek serta berwajah buruk. Namun seba-
gai manusia, menginjak dewasa Kunyil jatuh cinta pa-
da seorang pemuda. Hanya sayang, cintanya tanpa se-
pengetahuan pemuda itu sendiri. Namun, apa lacur?
Setelah tahu, pemuda itu menghina Kunyil. Gadis ini
jadi sangat sakit hati. Lantas dia pergi mengembara,
dan pada akhirnya berguru pada seseorang. Sayang,
gurunya adalah seorang tokoh sesat. Sehingga tatkala
Kunyil turun gunung dan memakai nama Bawuk Raga
Ginting, perangainya jadi berubah.
Bawuk Raga Ginting sempat malang melintang
dalam kerasnya kancah dunia persilatan seraya mele-
pas segala dendamnya. Namanya disegani orang, dan
menjadi salah seorang dari tokoh hitam yang paling di-
takuti. Hanya saja, suatu ketika tatkala bertemu Jun-
jung Balaga dan Ageng Panangkaran, Bawuk Raga
Ginting takluk. Untuk kedua kalinya tokoh ini pergi
membawa rasa dendam. Dia lantas menyendiri mem-
perdalam ilmu di Lembah Bandar Lor.
"Aku mohon padamu, sudilah mengangkat ku
sebagai murid! Apa pun perintahmu akan kujalankan!"
pinta Pandu memenggal lamunan Bawuk Raga Ginting.
Bawuk Raga Ginting menatap nyalang pada
Pandu seraya manggut-manggut.
"Hanya karena persamaan nasib saja yang
membuatmu beruntung, Bocah! Kau akan kuangkat
menjadi muridku. Namun sebelum itu, untuk mem-
buktikan kebenaran ucapanmu tentang dua musuhku,
kau harus membawa ke sini dahulu kepala Junjung
Balaga dan Ageng Panangkaran! Hidup atau mati!"
Wajah Pandu berbinar-binar. Dan segera men-
jura beberapa kali.
"Segala perintahmu akan kujalankan! Sekarang
aku mohon diri!"
Habis berkata, Pandu menjura sekali lagi. Lalu
tubuhnya berbalik dan melangkah meninggalkan Lem-
bah Bandar Lor.
"Hik... hik... hik...! Nama Bawuk Raga Ginting
akan kembali menjadi buah bibir. Ditakuti dan disan-
jung. Hik... hik... hik
DUA
Pandu terus berlari. Baru begitu tiba di tempat
yang agak sepi di pinggiran sebuah sungai, larinya di-
hentikan. Kakinya kemudian melangkah perlahan,
mendekati sebuah gubuk reot yang sudah tak dipakai.
Matanya sejenak memandang ke sekeliling. Pemuda itu
lantas duduk di depan gubuk dengan pandangan me-
natap jauh ke depan.
"Sakawuni! Sebenarnya aku tak menginginkan
kita berpisah. Namun, apa boleh buat? Kau tampaknya
begitu tertarik pada pemuda bergelar Pendekar Mata
Ke-ranjang 108. Bahkan mengenyahkan cintaku yang
telah lama ku pupuk dan kupendam" kata Pandu da-
lam hati.
Wajah pemuda ini tampak murung. Ingatannya
lantas melayang, kejadian yang dialami sebelum me-
nentukan pergi ke Lembah Bandar Lor terbayang kem-
bali.
Waktu itu, Pandu dan Sakawuni baru saja sele-
sai memakamkan jenazah Ageng Panangkaran, guru
mereka.
"Sakawuni...," bisik Pandu perlahan, seraya
berpaling ke arah Sakawuni yang tampak jongkok di
samping makam Ageng Panangkaran dengan terisak-
isak. Kedua tangannya tampak menakup menutupi
wajahnya.
Sakawuni sepertinya tak mendengar panggilan
Pandu. Bahkan isakannya semakin keras. Bahunya
terlihat berguncang-guncang.
"Sakawuni...," ulang Pandu sambil mencekal
bahu adik seperguruannya.
Perlahan-lahan Sakawuni meluruhkan kedua
telapak tangannya yang menutupi wajahnya, lalu ber-
paling memandang pada Pandu.
Pandu tersenyum. Namun, Sakawuni tak mem-
balas. Wajahnya dipalingkan kembali memandangi
gundukan tanah merah di depannya. Dan ini membuat
Pandu menggelengkan kepala perlahan.
"Sakawuni.... Suka dan duka adalah sesuatu
yang tak bisa dipisahkan dari bagian hidup manusia.
Kehilangan orang yang kita cintai merupakan sesuatu
yang pasti terjadi dan tak bisa dipungkiri. Itu sudah
hukum alam yang harus kita terima menjadi kenya-
taan. Apakah kita akan larut dalam lembah duka ber-
kepanjangan?" Sakawuni masih menekuri tanah me-
rah. Cukup lama dia berbuat begitu.
"Kakang Pandu...," kata Sakawuni tanpa me-
mandang pada kakak seperguruannya. "Ucapanmu be-
tul. Namun perasaan tidak semudah itu bisa ikut da-
lam hukum alam. Perasaan adalah sesuatu yang hi-
dup. Sedangkan hukum alam adalah sesuatu yang ma-
ti. Aku memang harus berani menerima kenyataan ini.
Tapi untuk menghilangkan perasaan merasa kehilan-
gan aku membutuhkan waktu...."
Mendengar kata-kata Sakawuni, Pandu terse-
nyum rawan.
"Sakawuni.... Hari sudah petang. Sebaiknya, ki-
ta tinggalkan tempat ini. Besok kan masih ada wak-
tu...!" bujuk Pandu.
"Kakang Pandu. Kalau kau ingin pergi duluan,
pergilah! Aku masih ingin di sini!" tolak gadis itu ha-
lus.
Meski Pandu agak jengkel, namun juga tak be-
ranjak dari depan makam Ageng Panangkaran.
"Sakawuni.... Kuharap kau tak terlalu larut da-
lam kesedihan ini. Karena kita masih mempunyai tu-
gas yang lebih penting daripada hanya meratapi keper-
gian guru!" bujuk Pandu lagi.
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu, Kakang...."
"Sakawuni..,. Kita telah sama-sama kehilangan
orang yang kita kasihi. Meski itu merupakan hal yang
tak bisa dihindari, namun kepergian guru karena per-
buatan keji seseorang! Untuk ini, kita tidak bisa tinggal
diam. Kita harus membalas perbuatan orang itu!"
"Benar, Kakang. Tapi, kita juga butuh waktu
untuk menyelidiki siapa sebenarnya orang yang ber-
buat keji pada guru!".
Pandu tersenyum sinis. Wajahnya berpaling,
memandang jurusan lain.
"Kita tak membutuhkan waktu. Karena, kita
sama-sama tahu siapa orangnya yang berbuat keji itu!"
desis Pandu.
"Maksudmu, Pendekar Mata Keranjang?" tanya
Sakawuni dengan suara agak bergetar.
Pandu mengangguk perlahan. Lalu wajahnya
berpaling kembali memandang lekat-lekat wajah adik
seperguruannya. Yang dipandang tampak menghela
napas dalam-dalam. Raut mukanya menyembunyikan
sesuatu yang sukar diartikan.
"Kau terlihat bimbang. Apa ada hal lain yang
membuatmu ragu-ragu?!" panting Pandu.
Sakawuni tidak segera menjawab. Pandangan
kedua matanya jauh ke depan.
"Apakah benar Pendekar Mata Keranjang yang
melakukan perbuatan terkutuk itu? Waktu bertemu
dahulu, aku tak menangkap hal-hal yang mengarah
pada perbuatan itu. Aku tidak percaya jika dia yang
melakukan," sergah batin Sakawuni.
Perlahan-lahan, Sakawuni menggelengkan ke-
palanya perlahan.
"Kakang, aku belum...."
Sakawuni tak meneruskan kata-katanya.
"Hm.... Kau dilanda keraguan tentang perbua-
tan pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang itu.
Apakah kau tertarik padanya...?!"
Paras Sakawuni kontan berubah merah padam.
Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak bisa di-
tangkap pendengaran Pandu.
Melihat perubahan wajah Sakawuni, meski
hanya sekejap, telah cukup membuat hati Pandu bagai
terhempas. Segera dipandangnya gundukan di depan-
nya, coba menyingkirkan rasa cemburu yang mendera
dadanya.
Sejenak suasana hening terjadi ketika tak ada
yang membuka suara.
"Kau tertarik dengan pemuda pembunuh guru
kita, Sakawuni?" tanya Pandu, memecah keheningan.
Sakawuni tidak menjawab. Wajahnya semakin
merah padam. Dadanya berdetak lebih kencang. Di co-
banya untuk dapat menguasai diri.
"Kakang Pandu, sekarang bukan saat yang te-
pat untuk membicarakan persoalan itu. Kita masih dalam suasana berkabung!" ujar Sakawuni, perlahan.
Pandu mendehem beberapa kali dengan se-
nyum mengejek.
"Kau keliru, Sakawuni. Justru hal itu harus se-
gera dibicarakan. Dan kita harus segera mengambil
keputusan. Karena, ini menyangkut masa depan kita
bersama...," sergah Pandu.
"Masa depan kita bersama...?" ulang Sakawuni,
tak mengerti arah ucapan kakak seperguruannya.
"Ya! Masa depan kita bersama, Sakawuni. Ka-
rena sebenarnya aku menyayangi mu!" tandas Pandu.
"Terima kasih, Kakang. Memang sudah se-
layaknya kau menyayangi ku. Karena, aku adalah adik
seperguruanmu!"
"Bukan itu maksudku, Sakawuni. Aku me-
nyayangi mu lebih dari perasaan kakak terhadap
adik...."
"Kakang! Apa arti ucapanmu...?!" tanya Saka-
wuni dengan suara agak keras. Dalam hati, dia berha-
rap agar apa yang diduga tak benar-benar terjadi.
"Sakawuni, aku mencintaimu...."
Gadis cantik di samping Pandu kontan berseru
tertahan. Dia terhenyak meski tadi sudah dapat men-
duga arah pembicaraan Pandu. Namun, begitu men-
dengar sendiri dari mulut pemuda ini, mau tak mau
membuatnya terperangah. Dia hampir tak percaya
dengan pendengarannya.
"Kau jangan bergurau, Kakang!" ujar Sakawuni,
seakan ingin meyakinkan.
"Aku sungguh-sungguh, Sakawuni. Aku men-
cintaimu...," tegas Pandu.
Air muka Sakawuni semakin memerah. Da-
danya bergetar. Hatinya diselimuti berbagai perasaan.
Tak percaya, bingung, dan jengkel. Perlahan-lahan di
pandangnya paras kakak seperguruannya.
"Bagaimana ini? Ah, Kakang Pandu! Kau ter-
lambat. Hatiku telah terpaut pada seseorang. Lagi pu-
la, aku tak mungkin menerima cinta mu. Karena, kau
sudah ku-anggap sebagai kakakku sendiri.... Kuharap
kau mau mengerti...," desah Sakawuni dalam hati.
"Sakawuni...," panggil Pandu perlahan seraya
tersenyum. "Aku tidak menginginkan pernyataan mu
sekarang. Kau mungkin masih memerlukan waktu.
Namun perlu kau ketahui, itulah perasaan yang ku-
pendam selama ini padamu. Aku berharap kau tidak
mengecewakanku...."
"Kakang...!" seru Sakawuni.
Namun gadis itu tak meneruskan kata-katanya
saat melihat Pandu memberi isyarat agar tak mene-
ruskan kata-katanya.
"Sakawuni, dengar. Aku tak menginginkan per-
nyataan mu sekarang. Kau perlu istirahat...."
Sakawuni benar-benar bingung sekarang. Apa-
kah dia harus berkata terus terang, jika sebenarnya
tertarik pada Pendekar Mata Keranjang? Apakah Pan-
du nanti tidak akan tersinggung? Tapi..., tidak! Saka-
wuni memang harus mengatakan apa adanya, agar hal
itu tidak menambah beban dalam hati. Yang lebih
penting agar Pandu tidak terlalu kecewa nantinya!
"Kakang.... Maafkan aku. Aku..., aku tidak bisa
menerima kata-kata suci mu tadi. Karena aku telah...."
"Kau telah jatuh cinta pada seseorang. Begitu
bukan?" potong Pandu dengan raut wajah merah pa-
dam. Lantas pemuda ini membuang muka.
Lidah Sakawuni kelu seketika. Dia hendak
mengatakan sesuatu, namun tak kuasa dikeluarkan.
Hingga dengan perasaan berat, akhirnya kepalanya
hanya mengangguk perlahan.
"Aku tidak menyalahkanmu jika tertarik pada
pemuda itu. Karena, dia memang lebih segalanya di-
banding aku. Hanya kuharap, nantinya kau tidak akan
menyesal. Karena bagaimanapun juga, dia dan siapa
pun dia adanya, aku akan tetap mencari dan membuat
perhitungan dengannya. Sebab, dialah yang telah
membunuh guru kita!"
Habis berkata begitu, Pandu bangkit dan berba-
lik. Dia hendak berlalu, pergi dari tempat ini.
"Kakang, tunggu!" cegah Sakawuni seraya ikut
bangkit. Dipandanginya wajah pemuda di depannya.
"Kakang, maafkan aku. Bukan maksudku menyakiti
hatimu. Namun, rasanya lucu jika kita terlibat dalam
satu lingkaran cinta. Karena kau telah kuanggap seba-
gai kakak kandungku sendiri!"
Pandu tersenyum kecut. Dan di mata Sakawuni
senyum itu memang begitu tidak mengenakkan.
"Sakawuni. Cinta tak pandang siapa saja. Ta-
pi..., ah! Percuma hal itu dibicarakan lagi. Aku harus
pergi sekarang!"
Pandu lantas melangkah perlahan meninggal-
kan Sakawuni yang masih tampak tegak tertegun den-
gan raut cemas dan bingung.
"Kakang! Kau hendak ke mana...?" tanya Saka-
wuni ragu-ragu.
Sebentar Pandu berhenti, dan berbalik.
"Apakah itu masih penting buatmu? Kita bersa-
tu di sini, karena sama-sama menuntut ilmu pada
Ageng Panangkaran. Setelah Ageng Panangkaran tiada,
kita boleh memilih jalan sendiri-sendiri. Dan aku telah
memutuskan hal itu!" kata Pandu,
Sakawuni segera berkelebat, dan berdiri di de-
pan Pandu dengan tatapan menusuk.
"Kakang! Kalau kau telah memutuskan untuk
pergi dan memilih jalan sendiri-sendiri, silakan! Na-
mun, sebelumnya dengar dulu ucapanku!" ujar Saka-
wuni masih dengan pandangan menusuk. Sebuah se-
nyum aneh menyeruak di bibirnya. "Kakang.... Persau-
daraan lebih sekadar dari cinta. Maka dari itu, meski
nantinya kita jalan sendiri-sendiri, kuharap hal ini bu-
kan karena persoalan cinta. Dan, percayalah. Aku te-
tap akan menyelidiki, siapa pembunuh guru!"
Pandu tidak menyahut. Dia hanya memandang
dengan tersenyum dingin.
"Kakang...," sambung Sakawuni. "Jika nantinya
aku berhasil menemukan siapa pembunuh guru kita,
meski dia orang yang kucintai, aku akan tetap mem-
buat perhitungan!"
Pandu masih tetap diam. Namun demi melihat
Sakawuni tak lagi bicara, dia tersenyum mengejek.
"Kau tidak usah mengatakan demikian, Saka-
wuni," ujar Pandu. "Kau harus ingat. Cinta itu tak
bermata. Tia-da dinding setebal apa pun yang sanggup
menghadangnya. Jadi, ucapanmu ku ragukan akan
menjadi kenyataan. Sekarang, kau bisa saja mengata-
kan akan membuat perhitungan meski dengan orang
yang kau cintai. Namun, ingat kata-kataku! Cinta akan
melenyapkan perhitungan itu!" sergah Pandu.
"Hm.... Begitu!? Kalau umur kita sama-sama
panjang, aku ingin menunjukkan padamu jika kata-
katamu tidak benar!"
"Persetan dengan ucapanmu! Tapi, ada satu hal
yang harus kau ketahui. Aku sudah memastikan bah-
wa pemuda yang kau cintai adalah orang yang mem-
bunuh guru. Maka, jangan menyesal jika suatu hari
kelak pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang akan
kupenggal kepalanya!"
Kata-kata Pandu membuat Sakawuni sedikit
terperangah kaget. Dia tak menyangka jika Pandu su-
dah demikian jauh berprasangka buruk.
"Kakang...!" panggil Sakawuni.
Namun Sakawuni tidak meneruskan ucapan-
nya, karena saat itu juga Pandu berkelebat meninggal-
kan tempat ini.
"Semoga bukan Pendekar Mata Keranjang yang
melakukan pembunuhan itu...," bisik Sakawuni, se-
raya memandangi kepergian kakak seperguruannya.
"Pendekar Mata Keranjang! Hm..., dia mengatakan per-
gi ke Kampung Blumbang. Ah, sebaiknya aku ke sana.
Aku ingin dengar ceritanya tentang guru!"
TIGA
Seorang pemuda tampan berpakaian hijau yang
dilapis pakaian lengan panjang kuning dengan rambut
dikuncir ekor kuda tampak melintas di jalan setapak.
Kedua tangannya membopong sesosok tubuh seorang
gadis berbaju kuning yang tampaknya mengalami luka
parah dan dalam keadaan pingsan.
Sampai di tempat yang agak lapang pemuda
yang tak lain Aji Saputra alias Pendekar Mata Keran-
jang 108 menurunkan gadis di bopongan dan direbah-
kannya di atas tanah.
Kedua kelopak mata gadis yang ternyata berpa-
ras cantik itu tampak terpejam rapat. Bibirnya membi-
ru dan sedikit terbuka. Air mukanya pucat bagai orang
kehabisan darah.
Pendekar Mata Keranjang menatap wajah gadis
ini sebentar. Lantas ditariknya napas dalam-dalam.
Diambilnya tangan kanan gadis itu lalu denyut nadinya diperiksa.
"Hmm.... Nadi tangannya masih berdenyut. Be-
rarti, dia masih hidup. Semoga tenagaku dapat sedikit
membantu, sebelum aku dapat menemukan orang
yang bisa menolong...," gumam Aji.
Pendekar Mata Keranjang segera mengerahkan
tenaga dalamnya dan menyalurkannya pada gadis di
sisinya yang tak lain Putri Tunjung Kuning.
Hawa panas segera mengalir ke tubuh Putri
Tunjung Kuning. Sebentar tubuh gadis itu bergetar.
Lalu, tak lama kemudian terdengar erangan disertai
gumaman perlahan.
"Percuma.... Percuma kau melakukan pertolon-
gan. Aku merasa sudah tidak bisa lagi ditolong...," de-
sah Putri Tunjung Kuning.
"Putri Tunjung Kuning.... Kau jangan putus
asa. Kau harus bertahan. Jangan bicara soal nasib. Itu
bukan urusan kita...!"
"Pendekar Mata Keranjang! Jangan memberi
impian-impian yang tidak mungkin padaku! Pukulan
Malaikat Berdarah Biru kurasa belum pernah ada seo-
rang pun yang sanggup menahannya. Dan..., coba li-
hat! Aku melihat kerumunan orang berpakaian putih-
putih tengah melangkah mendekatiku. Pendekar Mata
Keranjang.... Aku..., mohon maaf padamu.... Karena,
selama ini aku memendam bara dendam padamu.
Bahkan berusaha mencari jalan untuk membunuh-
mu.... Aku..., aku berdosa padamu...! Akh...," ucap Pu-
tri Tunjung Kuning, terbata-bata.
"Putri Tunjung Kuning.... Lupakan semua itu.
Sekarang coba bertahanlah. Aku akan berusaha me-
nyelamatkan jiwamu. Aku akan mengurangi rasa sa-
kitmu dengan penyaluran hawa murni...."
Putri Tunjung Kuning membuka kelopak ma
tanya. Dia mengerjap-ngerjap sebentar, lalu menatap
redup pada Pendekar Mata Keranjang. Sesaat kemu-
dian kepalanya tampak menggeleng perlahan.
"Aku sudah tidak tahan lagi...," desah Putri
Tunjung Kuning seraya menggenggam erat-erat tangan
Pendekar Mata Keranjang.
Aji mula-mula merasakan tangan Putri Tunjung
Kuning hangat. Namun, lambat laun tangan itu beru-
bah dingin. Dan bersamaan dengan itu, kedua mata
gadis ini memejam. Mulutnya mengatup rapat. Semen-
tara pegangan tangannya mengendor, sebelum akhir-
nya terlepas.
"Hm.... Dia pingsan lagi...," gumam Pendekar
Mata Keranjang seraya menatap wajah Putri Tunjung
Kuning. "Sayang sekali, aku tak berpengalaman dalam
hal pengobatan. Kalau kubawa ke Karang Langit, apa-
kah dia akan bisa bertahan? Aku khawatir di tengah
jalan...."
"Uhugkh..... Uhugkh...!"
Selagi Aji dalam keadaan bingung, terdengar
orang batuk-batuk beberapa kali, Seketika Pendekar
Mata Keranjang berpaling. Kedua tangannya yang ma-
sih tampak memeriksa tangan Putri Tunjung Kuning
segera ditarik. Alis Aji bertautan ketika melihat seorang
laki-laki tua telah berdiri tak jauh darinya.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang memperhati-
kan baik-baik laki-laki tua yang kini melangkah sambil
tersenyum ke arahnya.
"Siapa dia...? Aku seperti baru kali ini berte-
mu...?" tanya Pendekar Mata Keranjang dalam hati se-
raya memperhatikan lebih seksama.
Laki-laki tua berjubah panjang warna putih ku-
sam itu tetap tersenyum. Jenggotnya panjang dan su-
dah memutih. Dia mengenakan caping lebar dari daun
pandan, sehingga wajahnya hanya terlihat sebagian.
Tubuhnya sudah sangat renta, namun langkahnya
masih tampak tegar.
"Anak muda.... Temanmu itu sepertinya dalam
keadaan terluka parah. Kalau kau tidak keberatan, ba-
gaimana jika aku mencoba menolongnya...?" sapa laki-
laki tua bercaping seraya menatap lekat-lekat Putri
Tunjung Kuning.
"Aku belum pernah mengenal orang tua ini.
Apakah dia bisa dipercaya?" tanya batin Aji lagi seraya
memandang tak berkedip pada orang tua yang kini
berhenti tiga langkah di depannya.
"Pendekar Mata Keranjang!" panggil orang tua
bercaping.
Aji terkejut, menyadari kalau orang tua itu tahu
siapa dirinya. Sebaliknya, orang tua bercaping itu ter-
senyum dan mendehem beberapa kali.
"Kau meragukan uluran tanganku...?!" sam-
bung orang tua bercaping itu perlahan. Matanya tak
memandang pada Pendekar Mata Keranjang, namun
terus menatap Putri Tunjung Kuning.
Mendengar pertanyaan orang tua di hadapan-
nya, Pendekar Mata Keranjang tidak segera menyahut.
Semenjak tertipu Bayangan Seribu Wajah, Aji memang
selalu bertindak hati-hati. Terutama, pada orang yang
baru saja dikenalnya. Tak heran kalau sekarang dia
harus berhati-hati, karena pusaka hitam serta bum-
bung bambu yang berisi jurus-jurus pemusnah berada
di tangannya.
"Orang tua! Aku tidak meragukan kebaikanmu.
Namun kalau boleh tahu, siapa kakek adanya...?"
tanya Pendekar Mata Keranjang, seraya menyembu-
nyikan kecurigaannya.
Orang tua bercaping tersenyum. Tangan kirinya
bergerak, mengangkat ujung caping lebarnya. Sehing-
ga, seluruh wajahnya terlihat jelas. Dahi Aji berkerut
mencoba mengingat-ingat raut wajah di hadapannya.
Namun kepalanya lantas menggeleng-geleng.
"Aku tidak bisa mengenali siapa dia.... Dan aku
yakin, baru pertama kali ini berjumpa dengannya...,"
gumam Pendekar Mata Keranjang, dalam hati.
Aji mengangkat wajahnya, menatap orang tua
di depannya.
"Orang tua...," panggil Pendekar Mata Keran-
jang, begitu yakin tidak mengetahui orang di hadapan-
nya. "Aku merasa belum pernah bertemu denganmu.
Jadi, kuharap kau sebutkan saja siapa dirimu...."
"Kau benar, Pendekar Mata Keranjang-108. Kita
memang belum pernah bertemu. Dan sebenarnya. aku
sungkan untuk menyebutkan nama. Tapi, tak apalah
jika kau yang meminta. Orang-orang memanggilku
Restu Canggir Rumekso."
Mendengar nama yang disebut orang tua di ha-
dapannya, Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut.
Dia memang pernah mendengar nama Restu Canggir
Rumekso, seorang tokoh yang pandai dalam bidang
pengobatan. Bahkan kepandaiannya tak bisa disangsi-
kan lagi.
"Oh! Kiranya kakekkah orangnya...?! Hmm....
Nama kakek memang telah tersohor, Aku sangat gem-
bira dapat berjumpa orang tersohor seperti kakek,
Maafkan aku yang buta ini masih meragukan uluran
kebaikanmu untuk menolong temanku...," ucap Pen-
dekar Mata Keranjang.
Orang tua bercaping yang menyebutkan nama
dirinya Restu Canggir Rumekso tersenyum lebar. Lan-
tas ditariknya napas dalam-dalam.
"Jangan berkata begitu, Anak Muda. Mana ada
tempat bagi namaku dibanding nama besar Pendekar
Mata Keranjang 108? Seorang pendekar gagah pembela
kebenaran yang digandrungi banyak gadis cantik....
He... he... he...!" seloroh Restu Canggir Rumekso.
Wajah Aji kontan berubah merah padam, men-
dengar selorohan orang tua ini. Dia merutuk dalam ha-
ti, menyumpahi Restu Canggir Rumekso yang tahu
tentang dirinya.
"Kakek Restu Canggir Rumekso, sudahlah. Kau
jangan memuji begitu. Pujian bisa membuat orang ter-
sesat. Sekarang, kuharap kau sudi mengulurkan tan-
gan untuk menolong sahabatku ini...," pinta Pendekar
Mata Keranjang, seraya menjura hormat.
Sementara Restu Canggir Rumekso tampak
menggelengkan kepala perlahan. Lantas kakinya me-
langkah mendekati Putri Tunjung Kuning.
"Hm.... Sahabat atau kekasih...?" tanya Restu
Canggir Rumekso sambil lalu. Ekor matanya yang sayu
melirik sekilas.
Mendengar pertanyaan Restu Canggir Rumek-
so, mata Pendekar Mata Keranjang membesar. Namun,
bibirnya menyunggingkan senyum.
"Apa ada bedanya...?" Pendekar Mata Keranjang
balik bertanya.
"Oh, tentu!" jawab orang tua bercaping ini ce-
pat, seraya mulai memeriksa tubuh Putri Tunjung
Kuning.
"Kau tak keberatan mengatakan perbedaan-
nya...?"
Sejenak sepasang mata Restu Canggir Rumekso
memandang Pendekar Mata Keranjang. Bibirnya me-
nyunggingkan senyum tipis. Kepalanya lantas men-
gangguk perlahan.
"Dengar! Sahabat adalah hubungan kawan antara seseorang tanpa didasari asmara. Sebaliknya ke-
kasih, penuh dengan cinta dan asmara. Namun antara
sahabat dengan kekasih terdapat benang tipis yang
membatasi. Dan bila pembatas itu lenyap, maka entah
apa jadinya...?"
"Aku belum paham kata-katamu...?" gumam
Pendekar Mata Keranjang seraya mengusap-usap
ujung hidungnya. Sementara, tangan satunya mena-
rik-narik kuncir rambutnya.
Restu Canggir Rumekso menengadah sebentar,
lalu tangannya mengibas di depan wajahnya.
"Terlalu benar kau ini. Camkan baik-baik. Jika
dua orang sedang terlibat asmara, pasti satu sama lain
akan saling menyembunyikan sesuatu yang dianggap
buruk di mata kekasihnya. Namun jika suatu hari cin-
ta asmara mereka berakhir di tengah jalan, sesuatu
yang tadinya disembunyikan akan tampak! Wah.... Ki-
ta sudah ngomong terlalu jauh. Sahabat atau kekasih
itu bukan urusanku. Kenapa ya, aku tadi lancang ber-
tanya padamu...?" tepis Restu Canggir Rumekso seper-
ti bertanya pada diri sendiri.
Laki-laki tua ini lantas meneruskan memeriksa
Putri Tunjung Kuning. Kedua tangannya ditempelkan
di dada dan perut gadis itu seraya menarik napas da-
lam-dalam. Seperti tidak percaya, orang tua ini me-
nempelkan kedua telapak tangannya pada perut Putri
Tunjung Kuning. Bahkan kali ini agak lama. Begitu
tangannya ditarik, sepasang matanya langsung mena-
tap tajam Pendekar Mata Keranjang dengan sinar mata
menyelidik. Namun tak lama kemudian kepalanya
manggut-manggut dengan bibir tersenyum, membuat
Aji tak enak hati. Keningnya berkernyit mencoba men-
duga-duga.
"Pendekar Mata Keranjang! Kali ini kau harus
jujur menjawab pertanyaanku!" ujar Restu Canggir
Rumekso, membuat Pendekar Mata Keranjang semakin
keheranan. "Apa hubunganmu dengan gadis ini? Keka-
sih atau hanya sahabat...?"
"Edan! Orang tua ini senang juga bergurau....
Dalam keadaan memeriksa orang terluka pun, masih
sempat...," kata batin Pendekar Mata Keranjang tanpa
menjawab pertanyaan Restu Canggir Rumekso.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau mendengar
pertanyaanku, bukan?!" tegur Restu Canggir Rumekso,
agak keras.
Sepasang mata Aji membelalak lebar. Bibirnya
tak menyungging senyum sama sekali. Hatinya merasa
jengkel dibentak begitu rupa.
"Orang tua! Apakah hubungan ku dengan gadis
ini menjadi penting dalam pengobatan mu? Atau, kau
hanya mencari-cari alasan untuk mengulur-ulur wak-
tu agar nyawa gadis ini tidak tertolong...?.'" tukas Pen-
dekar Mata Keranjang, lantang.
Restu Canggir Rumekso menarik napas dalam-
dalam. Hatinya sebenarnya panas juga mendengar ka-
ta-kata Pendekar Mata Keranjang yang sepertinya me-
nuduh. Namun semua ini coba ditindihnya dengan ter-
senyum.
"Tak baik berprasangka buruk, Anak Muda. Ke-
tahuilah. Aku bertanya begitu, karena dia...."
Restu Canggir Rumekso tak meneruskan kata-
katanya.
"Kenapa dia...?!" terabas Pendekar Mata Keran-
jang cepat.
Namun melihat ulah Pendekar Mata Keranjang,
Restu Canggir Rumekso malah tersenyum.
"Katakan! Kenapa gadis ini?!" ulang Pendekar
Mata Keranjang.
"Dia hamil!" sahut Restu Canggir Rumekso, per-
lahan.
Namun kata-kata perlahan Restu Canggir Ru-
mekso laksana geledek di telinga Pendekar Mata Ke-
ranjang. "Apa dia tidak pernah mengatakannya pada-
mu?! Sebab, usia kandungannya telah menginjak tiga
bulan...," sambung Restu Canggir Rumekso, tanpa
memandang lagi pada Pendekar Mata Keranjang.
Pendekar Mata Keranjang terhenyak. Dan sebe-
lum berbuat sesuatu, Restu Canggir Rumekso men-
gangkat tubuh Putri Tunjung Kuning.
"Pendekar Mata Keranjang, gadis ini dalam
keadaan terluka parah dan memerlukan perawatan.
Jadi tidak bisa diobati di sini. Namun sebelum aku
pergi, sebutkan dulu tempat tinggalmu. Biar kelak ga-
dis ini tidak sulit menemukanmu. Bukankah kau ba-
pak jabang bayi yang ada dalam kandungan gadis
ini?!" kata orang tua ini, ceplas-ceplos.
Aji benar-benar sewot. Kalau bukan orang tua
yang mengatakannya, tentu sudah ditamparnya mulut
Restu Canggir Rumekso.
"Orang tua! Jangan ceroboh berkata-kata. Aku
memang bukan pemuda baik-baik. Namun selama ini,
aku belum pernah menggauli seseorang. Apalagi gadis
yang belum resmi jadi istriku!" Aji setengah menegur.
"Hmm.... Begitu? Lantas siapa bapaknya...?"
"Tanyakan saja padanya jika sudah bisa bica-
ra!" ujar Pendekar Mata Keranjang sengit, saking jeng-
kelnya. "Kau sendiri tinggal di mana...?!"
Orang tua bercaping yang kini tampak hendak
siap pergi itu mengurungkan niatnya. Tubuhnya dipu-
tar menghadap Pendekar Mata Keranjang. Sejenak di-
tatapnya paras pemuda di hadapannya,
"Kalau kau ingin tahu, dari sini berjalanlah ke
arah timur. Di lereng Gunung Mahameru, tepatnya di
Dusun Amadanom, kau akan menemukan tempatku.
Nah, selamat tinggal...."
Habis berpikir, Restu Canggir Rumekso berba-
lik dan berkelebat sambil membopong tubuh Putri
Tunjung Kuning. Ditinggalkannya Pendekar Mata Ke-
ranjang yang masih tegak terkesima mendengar kete-
rangan Restu Canggir Rumekso.
"Hm.... Putri Tunjung Kuning hamil. Hampir
tak ku percaya keterangan itu. Apa dia telah mempu-
nyai suami? Tapi waktu pertama kali kuselamatkan,
dia menyatakan menyintai ku terus terang.... Hmm....
Aku jadi tak mengerti semua ini. Namun, aku bersyu-
kur masih sempat dibawa Restu Canggir Rumekso. Ka-
rena menurut berita yang tersiar selama ini, dia adalah
seorang tabib pandai. Hmm.... Semoga saja dia bisa
diselamatkan. Dan sebaiknya, aku meneruskan perja-
lanan ke Karang Langit, menemui Eyang Guru...."
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat berkelebat meninggalkan tempat ini.
EMPAT
Dalam perjalanan menuju Karang Langit, Pen-
dekar Mata Keranjang 108 tak henti-hentinya memi-
kirkan Putri Tunjung Kuning. Hingga karena begitu la-
rutnya, tanpa sadar kalau sejak tadi dirinya diikuti se-
seorang yang berkelebat mengendap-endap.
"Putri Tunjung Kuning.... Tak dapat dipungkiri,
dia memang seorang gadis cantik jelita. Bentuk tubuh-
nya bagus, membuat semua mata yang memandang
enggan untuk melepaskannya. Hmm... Ingat dia,
membuatku teringat pada Ajeng Roro. Di mana dia se-
karang...?" kata batin Aji seraya menghentikan lang-
kahnya dan menyeka keringat di lehernya.
Pendekar Mata Keranjang menengadah me-
mandang langit. Saat itu matahari masih baru saja
tergelincir dari titik pusarnya. Kakinya lantas melang-
kah mendekati sebuah pohon dan bersandar. Tatapan
matanya jauh memandang ke depan. Tiba-tiba pera-
saannya gundah. Perasaan yang sebelumnya tidak
pernah dialami. Memang, pada saat-saat sendiri seper-
ti ini, bayangan Ajeng Roro selalu melintas dalam piki-
rannya. Aji benar-benar merindukan bertemu dara
cantik murid Eyang Selaksa itu.
"Ajeng Roro...," gumam Pendekar Mata Keran-
jang lirih. "Di mana kau saat ini...? Tidakkah kau me-
rasa seperti yang ku rasakan saat ini? Selalu dan sela-
lu ingin bertemu denganmu...?"
Pendekar Mata Keranjang mengusap kening
dengan tangan kanannya. Pandangannya masih jauh
menatap ke depan. Lalu ditariknya napas dalam-
dalam, kemudian dihembuskannya perlahan-lahan.
"Aku memang banyak bertemu gadis cantik.
Namun, aku tidak dapat melupakanmu. Apakah aku
telah jatuh cinta...?" desah Pendekar Mata Keranjang
perlahan, seraya tersenyum-senyum sendiri. "Kalau
betul, kenapa perasaan itu tiba-tiba lenyap begitu saja
ketika aku berdekatan dengan gadis lain..,? Heran!
Aku hampir tak percaya dan tak mengerti dengan pe-
rasaanku sendiri.... Benar-benar edan!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang merutuki diri
sendiri, tiba-tiba terdengar suara tawa perlahan. Da-
lam keadaan tersentak kaget, wajahnya segera dipa-
lingkan ke arah datangnya suara. Dan sepasang ma-
tanya membelalak seketika. Dahinya membentuk bebe
rapa kerutan. Lantas, jidatnya sendiri ditepuk.
"Ah, rupanya dia...," gumam Pendekar Mata Ke-
ranjang, begitu mengenali siapa orang yang mengelua-
rkan suara tawa.
Tak jauh dari tempat Pendekar Mata Keranjang
bersandar di pohon, berdiri tegak seorang gadis cantik
berpakaian ketat warna putih-putih, membuat bayang
lekukan tubuhnya terpampang jelas. Rambutnya pan-
jang terurai. Sepasang matanya bulat berbinar, diting-
kahi bulu mata lentik dan panjang. Di lehernya me-
lingkar untaian kalung dari bunga-bunga berwarna hi-
tam. Di atas telinga kirinya juga tampak menyelip se-
kuntum bunga berwarna hitam.
Dara jelita berpakaian putih-putih ini me-
nyunggingkan senyum lebar, menampakkan gigi-
giginya yang putih berkilat. Namun mendadak saja se-
nyumnya lenyap, berganti tatapan mata menyengat tak
berkedip.
"Ratu Sekar Langit...," sebut Pendekar Mata Ke-
ranjang seraya melangkah maju disertai senyum men-
gembang. "Bagaimana keadaanmu selama ini...?"
"Pendekar Pembual! Kau harus bayar janjimu
padaku dengan sebelah tanganmu!" sentak dara jelita
yang memang Ratu Sekar Langit.
Senyum di bibir Pendekar Mata Keranjang ikut-
ikutan sirna mendadak. Langkahnya dihentikan dan
malah tampak beringsut mundur dua langkah. Seje-
nak ditatapnya gadis di hadapannya dengan sinar ma-
ta heran bercampur bingung. Namun mengira Ratu
Sekar Langit bergurau, Pendekar Mata Keranjang
kembali tersenyum sambil mengusap-usap cuping hi-
dungnya. Bahkan sebelah matanya mengerdip.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau jangan se-
nyam-senyum. Telah lama aku mencarimu!" bentak
Ratu Sekar Langit, tampak sungguh-sungguh.
"Mencariku...?" ulang Pendekar Mata Keranjang
dengan kepala mengangguk-angguk.
"Benar. Untuk menebas sebelah tanganmu dan
menyumpal mulutmu!" sahut Ratu Sekar Langit, man-
tap.
"Aneh. Kita lama tidak berjumpa. Dan sein-
gatku, di antara kita tidak ada silang sengketa. Kalau
boleh tahu, dosa apakah yang telah kulakukan, se-
hingga kau tampaknya tidak main-main dengan uca-
panmu...?!"
"Dasar laki-laki pembual! Pura-pura atau tidak,
tak ada bedanya!" maki Ratu Sekar Langit, sengit.
Wanita ini menyeringai. Sepasang matanya
yang bulat berbinar berkilat-kilat membelalak. Wajah-
nya dibuang ke samping.
"Ada apa sebenarnya ini...? Tak ada ujung
pangkalnya, tahu-tahu mengancamku. Bingung
aku...," kata Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
Dengan langkah mantap, Aji maju dua tindak.
Matanya tetap menatap Ratu Sekar Langit.
"Ratu Sekar Langit. Ada apa sebenarnya...? Kau
jangan membuat hatiku dag-dig-dug tak karuan?"
tanya Aji, murid Wong Agung ini.
"Manusia satu ini benar-benar gila. Dia seper-
tinya menganggap sepele segala persoalan. Tapi sebe-
narnya dia laki-laki menarik. Hmm.... Sayang, uca-
pannya tak bisa dipegang...," kata Ratu Sekar Langit
dalam hati.
Dalam hatinya yang paling dalam, Ratu Sekar
Langit memang sangat mengagumi ketampanan dan
kejantanan Pendekar Mata Keranjang. Namun karena
merasa pernah disakiti, dia berusaha menepis pera-
saan itu.
"Laki-laki buaya! Jangan berpura-pura!" maki
Ratu Sekar Langit dengan suara tinggi melengking.
Wajah perempuan ini tampak bersemu merah.
Alis matanya yang hitam tebal naik sedikit ke atas. Dia
tampaknya hampir tidak dapat lagi menahan gejolak
amarahnya yang selama ini ditahannya.
Pendekar Mata Keranjang hanya menggeleng.
Bukan karena tak mengerti arti ucapan gadis cantik di
hadapannya. Namun, karena paras Ratu Sekar Langit
semakin mempesona di matanya tatkala keadaan ma-
rah begitu.
"Busyet! Gadis ini makin cantik saja kalau saat
meradang begini...."
Seraya membatin begitu, sepasang mata Pen-
dekar Mata Keranjang tak lepas-lepasnya menatap pa-
ras Ratu Sekar Langit. Dan ini membuat yang ditatap
tambah memerah wajahnya. Malah matanya semakin
mendelik.
"Laki-laki pembual! Bersiaplah! Aku tidak akan
pulang ke Istana Padalarang tanpa membawa sebagian
tubuhmu!"
Sambil berkata Ratu Sekar Langit mementang
sedikit kedua kakinya. Sementara kedua tangannya di-
tarik ke belakang, siap melepas pukulan.
"He! Rupanya kau bersungguh-sungguh...?" ka-
ta Pendekar Mata Keranjang kalem. Malah bibirnya
masih menampakkan senyum.
"Bangsat! Apa kau kira aku main-main. He...?!"
umpat Ratu Sekar Langit jengkel.
"Oh, begitu...?"
Pendekar Mata Keranjang menganga lebar. Se-
mentara air mukanya tampak tenang, membuat Ratu
Sekar Langit semakin jengkel dan geram.
"Kau akan menghukumku tanpa memberitahu
kan dahulu, apa kesalahanku. Hmm.... Itu kukira hal
yang kurang bijaksana. Sekali lagi, kalau kau tak ke-
beratan, katakan apa kesalahanku!" ujar Aji.
Untuk beberapa saat Ratu Sekar Langit diam
tak menjawab. Hanya kedua matanya menusuk tak
kesiap.
"Kau tak mau menyebutkan dosa-dosaku. Be-
rarti, memang aku tidak bersalah. Atau, kau mungkin
punya masalah pada orang yang mirip denganku, lalu
kau tumpahkan padaku...?"
Yang diajak bicara diam saja.
"Ratu Sekar Langit.... Sebenarnya, aku sangat
gembira bertemu denganmu. Kau tahu? Aku selama ini
juga rindu padamu. Aku bahkan punya pikiran, jika
suatu ketika bertemu, ingin berlama-lama dengan-
mu.... Namun setelah bertemu, semuanya jadi buyar.
Ratu Sekar Langit.... Rupanya kali ini kau tak berke-
nan. Dan dari pada urusan ini berlarut-larut, lebih
baik aku pergi.... Meski sebenarnya, hatiku berat...,"
jelas Aji seraya menyembunyikan senyum di bibirnya.
Kakinya melangkah, hendak meninggalkan gadis itu.
Mendengar ucapan Pendekar Mata Keranjang,
dada Ratu Sekar Langit berdetak lebih kencang. Kepa-
lanya berpaling, menyembunyikan wajahnya yang ma-
kin mengelam serta senyumnya yang menyeruak aneh.
"Dia mengatakan kangen dan ingin berlama-
lama denganku...? Apakah dia..., oh! Laki-laki buaya
macam dia mana dapat dipercaya? Aku dahulu sudah
pernah ditipu.... Namun aku tak dapat menipu hatiku.
Aku senang mendengar dia mengatakan rindu pada-
ku...," gumam batin Ratu Sekar Langit.
Gadis ini lantas memandang ke depan. Dan
demi melihat Pendekar Mata Keranjang sudah melang-
kah agak jauh, dia segera melompat.
"Laki-laki pembual! Kau kira dapat meninggal-
kan tempat ini dengan mulut masih dapat bicara...?"
teriak Ratu Sekar Langit.
Ratu Sekar Langit kini telah berdiri tegak
menghadang langkah Pendekar Mata Keranjang.
"Seandainya belum kukenal dan bukan gadis
cantik, aku sudah sejak tadi meninggalkannya...," gu-
mam batin Pendekar Mata Keranjang.
Aji menghentikan langkahnya. Dipandanginya
gadis cantik di hadapannya.
"Ratu Sekar Langit. Aku tak punya banyak
waktu. Katakan terus terang, apa maksudmu sebenar-
nya?!"
"Hmm.... Kau ingat peristiwa di Teluk Gong-
gong?!" Ratu Sekar Langit mengajukan pertanyaan.
"Tentu! Aku tentu ingat peristiwa itu. Karena, di
sanalah aku bertemu gadis cantik bergelar Ratu Sekar
Langit...," sahut Pendekar Mata Keranjang, enteng.
"Uh, manusia ini benar-benar gila. Bagaimana
aku bisa menghadapi manusia satu ini?" keluh Ratu
Sekar Langit dalam hati.
Gadis ini berusaha menekan perasaan hatinya.
Diam-diam hatinya dilanda perasaan bercampur aduk,
antara senang dan jengkel.
"Kau ingat pernah mengucapkan janji pada-
ku...?!"
Dahi Pendekar Mata Keranjang berkerut. Dico-
banya mengingat-ingat, namun gagal.
"Rasa-rasanya aku tidak pernah..."
"Dasar laki-laki mata keranjang! Kau memang
tak bisa dikasih hati!"
Pendekar Mata Keranjang tidak meneruskan
kata-katanya. Karena, Ratu Sekar Langit telah menu-
kas dengan nada keras. Bahkan seketika kedua tangannya mendorong ke arah Aji.
Serangkum angin deras seketika keluar dari
kedua tangan Ratu Sekar Langit, menyambar memba-
wa suara menggemuruh dahsyat.
Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang segera melompat ke samping untuk meng-
hindar. Namun baru saja kakinya menginjak tanah,
angin deras yang bahkan disertai sekuntum bunga
berwarna hitam melesat ke arahnya.
Dengan kening masih berkerut mencoba berpi-
kir keras mengingat-ingat apa yang pernah diucapkan
pada Ratu Sekar Langit, Pendekar Mata Keranjang me-
lesat ke udara. Dibuatnya gerakan berputar dua kali,
lalu mendarat sambil memberi isyarat dengan kedua
tangan agar Ratu Sekar Langit tak meneruskan seran-
gan.
"Ratu Sekar Langit! Akhir-akhir ini aku banyak
menghadapi masalah besar. Masalah itu berhubungan
langsung dengan keselamatan jiwaku dan juga kete-
nangan dan ketenteraman dunia persilatan. Jadi kau
harus maklum jika aku sama sekali tak ingat dengan
janji ku padamu. Katakan saja, janji apa yang pernah
kuucapkan padamu...!"
Ratu Sekar Langit sejenak menatap, Pendekar
Mata Keranjang seraya menepiskan helaian rambut
yang menghalangi pemandangannya. Wajahnya lantas
berpaling.
"Waktu di Teluk Gonggong, kau berjanji akan
mengunjungi ku di Istana Padalarang, serta akan
membantuku mendirikan perguruan silat. Sekarang
kau ingat?!" sahut Ratu Sekar Langit, mengingatkan.
Pendekar Mata Keranjang menepuk jidatnya
berkali-kali. Lantas bibirnya tersenyum sambil men-
gangguk-angguk.
"Pendekar Mata Keranjang!" tambah Ratu Sekar
Langit dengan suara agak rendah. "Sejak peristiwa di
Teluk Gonggong, aku selalu menanti kedatanganmu.
Namun setelah sekian purnama kau tak juga muncul,
aku mulai menyesal. Menyesal kenapa terlalu memper-
cayai janji-janjimu. Kau tahu...? Seandainya kau tak
mengucapkan janji, waktu itu aku tidak akan mening-
galkan Te luk Gonggong. Apalagi pengasuh ku, Ki
Buyut Linggar Dipa tewas di tangan temanmu! Seka-
rang, aku ingin menagih janji yang pernah kau
ucapkan!"
Untuk beberapa saat Pendekar Mata Keranjang
terdiam.
"Gawat! Kenapa saat itu mulutku tak bisa di-
am? Bicara soal janji-janji. Padahal, aku mengucapkan
janji itu hanya untuk meredakan suasana dan agar dia
berpihak padaku...," rutuk Aji, dalam hati.
"Pendekar Mata Keranjang! Kenapa kau diam?
Apa kau tak mendengar penjelasanku?!" tegur Ratu
Sekar Langit.
Seakan baru tersadar, Pendekar Mata Keran-
jang hanya menganggukkan kepala. Padahal, hatinya
kebingungan mencari jalan keluar agar kali ini dapat
menghindar dari Ratu Sekar Langit. Karena, perjala-
nannya ke Karang Langit menemui Wong Agung jauh
lebih penting.
"Hmm.... Terima kasih jika kau mau mengerti.
Kita berangkat sekarang?" tawar Ratu Sekar Langit se-
raya melangkah mendekat. Senyumnya mengembang
dengan mata bersinar.
"Tunggu...," ujar Pendekar Mata Keranjang,
membuat langkah Ratu Sekar Langit terhenti. "Mak-
sudku bukan begitu. Aku mengerti penjelasan mu.
Namun untuk menepati janji ku, aku minta pengertianmu. Sementara ini aku minta waktu padamu. Ka-
rena, aku masih ada masalah yang sekarang harus
diselesaikan. Kalau sekarang aku ke tempatmu, uru-
sanku bisa terabaikan. Dan itu akan membawaku pa-
da keadaan sulit!"
"Pendekar Mata Keranjang! Kau ternyata laki-
laki pengecut yang kata-katanya sulit dipegang!" ben-
tak Ratu Sekar Langit.
"Dengar dahulu, Ratu Sekar Langit...," ujar
Pendekar Mata Keranjang perlahan. "Aku sekarang da-
lam perjalanan ke tempat guruku...."
"Siapa percaya ocehanmu?!" damprat Ratu Se-
kar Langit dengan seringai.
"Kau boleh percaya, boleh tidak. Namun untuk
sekarang ini, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.
Meski, sebenarnya itu janji ku!" kilah Pendekar Mata
Keranjang agak jengkel.
"Mulutmu memang pantas dirobek, biar tidak
mudah menebar janji-janji palsu!"
Sambil berkata, Ratu Sekar Langit melesat ke
depan. Kedua tangannya cepat menghentak.
"Gadis ini sepertinya tidak main-main dengan
ucapannya...," kata batin Pendekar Mata Keranjang se-
raya melompat ke samping, menghindari pukulan Ratu
Sekar Langit.
Namun Pendekar Mata Keranjang dibuat terke-
jut bukan alang kepalang. Karena baru saja mendarat,
Ratu Sekar langit telah berdiri dua langkah di bela-
kangnya. Dan sekonyong-konyong dilepaskannya han-
taman tangan kiri dan kanan ke arah kepalanya.
Kalau saja Pendekar Mata Keranjang tidak
waspada dengan segera merunduk, niscaya kepalanya
akan terhantam telak tinju kanan dan kiri Ratu Sekar
Langit.
Namun selagi Pendekar Mata Keranjang me-
runduk menghindari hantaman tangan, Ratu Sekar
Langit sudah menerjang kaki kanannya.
Wuuut!
Buk!
"Aaakh...!"
Begitu cepatnya gerakan kaki Ratu Sekar Lan-
git, hingga kali ini Pendekar Mata Keranjang tak sem-
pat lagi berkelit. Punggungnya kontan terhajar kaki
kanan Ratu Sekar Langit. Tubuhnya langsung tersu-
ruk.
Dengan menggumam tak karuan, Pendekar Ma-
ta Keranjang merambat bangkit. Namun begitu berdiri
dan berbalik, sepasang matanya tak lagi menangkap
sosok Ratu Sekar Langit.
Saat kebingungan begitu, tiba-tiba terdengar
tawa cekikikan. Pendekar Mata Keranjang segera ber-
paling. Dari arah sebuah pohon, Ratu Sekar Langit
tampak melayang turun. Namun sebelum tubuhnya
mendarat, empat kuntum bunga berwarna hitam su-
dah melesat cepat mengeluarkan suara mendesing.
Hebatnya, empat kuntum bunga itu langsung berpen-
car dan menukik deras ke arah Pendekar Mata Keran-
jang dari empat jurusan.
Aji hampir tak mempercayai penglihatannya.
Dia meracu tak karuan, seraya melesat ke udara. Tan-
gan kanan cepat dihantamkan ke depan. Sementara,
kaki kanannya disapukan menyamping.
Bet! Bet!
Dua rangkum angin kencang bergemuruh sege-
ra menerpa, memapak kuntum bunga yang mengarah
dari arah depan. Tiga kuntum bunga serta merta han-
cur berhamburan. Namun, satu kuntum lainnya lolos
dan kini menukik deras menerabas dari arah atas kepala Pendekar Mata Keranjang!
Begitu kencangnya lesatan bunga itu, hingga
tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Mata Keranjang
untuk menangkis. Maka mau tak mau dia hanya bisa
menghindar dengan melangkah ke samping.
Namun baru saja Aji dapat selamat, dari arah
depan Ratu Sekar Langit telah kembali menghentak-
kan kedua tangannya.
Seketika arak-arakan asap berwarna keputih-
putihan yang sesekali tampak menggumpal disertai
hawa panas menyengat menggebrak ke arah Pendekar
Mata Keranjang!
Pendekar Mata Keranjang yang masih tampak
terhuyung-huyung setelah dapat menghindari seran-
gan kuntuman bunga Ratu Sekar Langit jadi tersadar
kalau serangan kuntuman bunga hanyalah serangan
tipuan untuk mengalihkan perhatiannya. Melihat hal
itu, segera tubuhnya direbahkan di tanah dan cepat
bergulingan. Pada gulingan keenam, sepasang kakinya
segera menendang ke tanah, membuat tubuhnya mele-
sat ke atas. Dan bersamaan dengan itu dilepaskannya
pukulan 'Segara Geni'.
Des! Bum! Bum!
Tempat itu laksana diterpa gempa dahsyat. Ta-
nahnya bergetar. Pohon berderak tumbang dalam kea-
daan hangus menghitam.
Sementara itu Ratu Sekar Langit menjerit ter-
tahan. Tubuhnya tampak gemetaran. Kedua tangannya
memerah. Sementara pakaian yang dikenakannya ber-
kibar-kibar, membuat lekukan tubuhnya semakin ter-
lihat jelas. Namun hebatnya, sosok gadis ini tak ber-
geming sama sekali, laksana tiang menancap kokoh.
Sementara, Pendekar Mata Keranjang yang me-
lancarkan serangan sambil meloncat ke udara sudah
kembali mencelat dua tombak ke belakang. Untung dia
masih sempat membuat gerakan salto, hingga tubuh-
nya selamat dari pengaruh ledakan barusan.
"Gadis ini benar-benar nekat! Bagaimana ini?
Kalau aku terus menerus bertahan, tak mustahil suatu
kesempatan aku akan terhantam pukulannya. Semen-
tara, aku tak tega untuk melepaskan pukulan secara
langsung ke arahnya. Aku..., khawatir dia akan cide-
ra...."
Di lain pihak, Ratu Sekar Langit yang masih
tampak berdiri kokoh segera menakupkan kedua tan-
gannya sejajar dada. Dan begitu telapak tangannya
membuka dan hendak dihantamkan, mendadak berke-
lebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu sosok itu telah
berdiri tegak, seakan menghadang serangan yang akan
dilancarkan Ratu Sekar Langit.
"Gadis cantik! Apakah layak melakukan pem-
bunuhan pada orang yang bertarung setengah hati?!"
tegur sosok yang kini memandang pada Ratu Sekar
Langit.
Pendekar Mata Keranjang melengak tak per-
caya, begitu mengenali siapa orang yang menghadang
serangan Ratu Sekar Langit. Dia adalah seorang gadis
berparas cantik. Rambutnya panjang sebahu dan ber-
mata bulat.
"Ajeng Roro...," sebut Pendekar Mata Keranjang
seraya melangkah mendekat.
Mendapat sapaan Pendekar Mata Keranjang,
gadis yang memang Ajeng Roro tidak menyahut, apala-
gi berpaling. Dan ini membuat murid Wong Agung
menggeleng seraya menarik napas dalam-dalam.
"Benar apa yang dikatakan Eyang Selaksa. Sa-
dis satu ini keras kepala. Hmm.... Mungkin dia masih
memendam rasa jengkel padaku, atas kejadian di Kotaraja Malowopati. Atau mungkin juga cemburu pada
Ratu Sekar Langit.... Namun dengan kedatangannya
aku bisa menghindar dari Ratu Sekar Langit.... Ya,
seandainya saja aku tidak dalam perjalanan menuju
Karang Langit, tentu mau saja ke Istana Padalarang.
Apalagi, diajak gadis secantik Ratu Sekar Langit...," ka-
ta batin Pendekar Mata Keranjang seraya mendehem
beberapa kali.
"Siapa kau?!" tegur Ratu Sekar Langit, dengan
suara meradang. "Jangan berani mencampuri urusan
ini, bila masih ingin tetap hidup!"
Untuk sesaat Ajeng Roro tidak menjawab.
Hanya sepasang matanya yang bulat memandang tak
kedip ke arah Ratu Sekar Langit. Sinar matanya men-
gisyaratkan ketidaksenangan.
"Aji. Kau benar-benar laki-laki mata keranjang!
Di mana-mana selalu dan selalu terlibat persoalan
dengan gadis-gadis cantik. Aku jadi tak percaya pada
diriku sendiri. Gadis yang tampaknya tertarik padamu
begitu banyak dan cantik-cantik. Sedangkan aku...?"
kata batin Ajeng Roro dengan menarik napas panjang
dan dalam-dalam.
"He...! Kau jangan berpura-pura tak mendengar
pertanyaanku!" bentak Ratu Sekar Langit dengan mata
membesar. Sementara dahinya membentuk kerutan.
Bentakan Ratu Sekar Langit seakan menyen-
takkan lamunan Ajeng Roro. Sehingga gadis ini tam-
pak gugup dan gelagapan. Namun sebentar kemudian
dia sudah dapat menguasai diri dan tersenyum seraya
berkata dengan tenang.
"Aku, Roro! Dan perlu kau camkan baik-baik.
Aku tidak suka diancam oleh siapa pun! Aku juga tak
ingin ikut campur masalah dengan pemuda ini. Namun
karena aku juga punya persoalan dengan pemuda ini,
maka kuharap kau mengerti! Kau sendiri siapa...?!"
sahut Ajeng Roro seraya balik bertanya.
Ratu Sekar Langit tersenyum dingin. Matanya
membeliak lebar dan memandang bergantian pada
Ajeng Roro dan Pendekar Mata Keranjang. Lantas pan-
dangannya dibuang jauh ke jurusan lain. Tawanya
perlahan segera terdengar. Dan begitu tawanya ber-
henti, ekor matanya melirik tajam pada Ajeng Roro.
"Aku sebenarnya sungkan untuk menyebutkan
nama. Namun karena kau tadi telah memperkenalkan
diri, maka tak ada salahnya jika aku pun memperke-
nalkan diri. Orang-orang memanggilku Ratu Sekar
Langit! Dan perlu juga kau perhatikan baik-baik. Aku
tak mau tahu kau punya persoalan atau tidak dengan
pemuda itu. Namun yang pasti, kau telah mencampuri
urusanku dengan caramu barusan. Dan jika kau tidak
segera tinggalkan tempat ini, berarti membuka ajang
sengketa denganku!" tegas Ratu Sekar Langit.
Ajeng Roro tersenyum rawan.
"Hmm..., begitu?" tukas Ajeng Roro tanpa me-
nunjukkan rasa gentar sama sekali.
Gadis ini lantas berpaling pada Pendekar Mala
Keranjang yang kini berdiri tak jauh darinya. Dan Aji
tampak kebingungan tak tahu harus berbuat apa.
Saat Ajeng Roro berpaling, Pendekar Mata Ke-
ranjang juga sedang menoleh. Seketika keduanya sal-
ing berpandang. Hati Ajeng Roro berdetak lebih ken-
cang. Raut wajahnya bersemu merah.
Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Namun
Ajeng Roro tak membalas. Hanya pandangan matanya
tak beralih dari bola mata Aji.
"He! Kuperingatkan sekali lagi, tinggalkan tem-
pat ini!" seru Ratu Sekar Langit.
"Hmmm.... Tampaknya kau terkesima dengan
pemuda itu. Apa hubunganmu dengannya? Keka-
sih...?" sambung Ratu Sekar Langit, begitu agak lama
Ajeng Roro tidak menyahuti kata-katanya. Bahkan
memandang pun tidak!
Mendengar ucapan Ratu Sekar Langit. buru-
buru wajah Ajeng Roro berpaling. Rautnya semakin
merah padam. Dari mulutnya terdengar gumaman
yang tak jelas. Matanya kini memandang tajam pada
Ratu Sekar Langit.
"Kau tak usah tahu, apa hubungan ku dengan-
nya! Dan kaulah yang seharusnya segera meninggal-
kan tempat ini!" balas Ajeng Roro seraya melangkah
maju.
"Ah! Urusan ini akan semakin rumit jadinya....
Apa yang harus kulakukan? Jika aku menengahi, ke-
duanya pasti tidak ada yang saling mengerti. Dasar
gadis-gadis keras kepala...," rutuk Pendekar Mata Ke-
ranjang.
Aji memandang satu persatu pada Ajeng Roro
dan Ratu Sekar Langit.
"Hm..., sebaiknya aku segera meninggalkan
tempat ini. Dengan begitu, mereka pasti akan bubar
sendiri... Tapi, aku harus mencari saat yang tepat.
Hm..., terpaksa akan kubiarkan dahulu mereka saling
menukar jurus. Dengan demikian, perhatiannya pada-
ku pasti berkurang...," pikir Pendekar Mata Keranjang,
seraya menyapukan pandangan ke sekeliling.
Apa yang menjadi dugaan Pendekar Mata Ke-
ranjang ternyata benar. Begitu Ajeng Roro melangkah
maju, Ratu Sekar Langit tidak tinggal diam. Tubuhnya
pun berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri tegak
lima langkah di hadapan Ajeng Roro.
"Gadis liar! Jangan menyesal jika aku berlaku
kasar padamu!" bentak Ratu Sekar Langit, seraya
mengirimkan serangan jarak jauh menggunakan tan-
gan kosong.
Seketika arak-arakan asap putih segera me-
nyambar. Namun Ajeng Roro yang telah waspada sege-
ra melompat ke samping menghindar seraya mengi-
rimkan serangan dengan pukulan jarak jauh.
Des! Des!
Terdengar bentrok pukulan dua kali berturut-
turut di udara. Arak-arakan asap putih serangan Ratu
Sekar Langit yang menyambar-nyambar seketika, ter-
kena papasan angin serangan Ajeng Roro.
Setelah itu jurus demi jurus segera berlang-
sung. Kekuatan mereka tampaknya seimbang. Terbuk-
ti hingga menginjak jurus kedua puluh lima, satu sa-
ma lain masih tampak tegar.
Namun, tak berapa lama kemudian Ajeng Roro
tampak mulai terdesak hebat. Dan dalam suatu gebra-
kan yang dilancarkan secara beruntun, gadis itu tam-
pak terkurung serangan kuntuman bunga hitam Ratu
Sekar Langit.
Merasa terdesak, Ajeng Roro segera-melesat ke
udara. Namun tanpa diduga sama sekali, pada saat
itulah hantaman kedua tangan Ratu Sekar Langit da-
tang menyambar.
Dengan gerakan cepat, Ajeng Roro sempat me-
nangkis dengan menghentakkan tangan kanan dan ki-
ri. Namun, tak urung sambaran serangan Ratu Sekar
Langit yang telah dialiri tenaga dalam tinggi sempat
menghajar kaki kanannya.
Digkh...!
"Aaakh...!"
Hingga kejap itu juga terdengar jeritan tertahan
dari mulut Ajeng Roro. Sosoknya langsung berputar,
dan menukik deras terbanting di atas tanah. Begitu
bangkit, darah segar tampak mengalir dari sudut bi-
birnya. Sementara pakaian di bagian paha tampak ro-
bek, memperlihatkan kulit yang membiru!
Sementara, Ratu Sekar Langit tampak terse-
nyum mengejek. Kakinya lantas melangkah maju,
mendekati Ajeng Roro yang kini telah bangkit dengan
raut wajah meringis menahan sakit di pahanya.
"Tampaknya dia ingin membunuhku! Apa boleh
buat? Aku tidak akan tinggal diam!" bisik Ajeng Roro
seraya menyiapkan pukulan.
Namun segera urungkan niat, ketika melihat
Ratu Sekar Langit mengurungkan niatnya seraya
menghentikan langkahnya.
"Keparat! Dia kabur!" desis Ratu Sekar Langit
dengan menyapukan pandangannya ke sekeliling. Wa-
jahnya menampakkan rasa kecewa. Dari mulutnya
terdengar gumaman tak karuan.
Melihat keadaan ini, Ajeng Roro pun ikut-
ikutan menyapukan mata ke sekeliling. Dia pun juga
menggumam panjang pendek yang tak bisa dimengerti
sambil memukulkan kedua tangannya satu sama lain
untuk melampiaskan rasa kecewa dan jengkel.
"Hmm..,. Berbulan-bulan kucari. Setelah ber-
temu, akhirnya pergi lagi. Ke mana perginya? Menurut
kabar yang berhasil kusirap, dia baru saja berhasil
menumpas Malaikat Berdarah Biru serta sekutu-
sekutunya. Apa tak mungkin dia pergi ke Karang Lan-
git menemui Eyang Wong Agung...? Atau, ke Kampung
Blumbang menemui Eyang Selaksa...? Hmm..., Eyang
Selaksa.... Telah lama aku meninggalkanmu. Aku ingin
bertemu denganmu...," kata batin Ajeng Roro dengan
wajah menekuri tanah. Rasa sakit yang mendera ka-
kinya seakan tak dirasakan.
Di lain pihak, Ratu Sekar langit diam-diam juga
membatin.
"Melihat sikapnya, nampaknya gadis ini men-
cintai pemuda bergelar Pendekar Mata Keranjang 108
itu. Hmm..., masa bodoh dengan semua itu! Tadi Pen-
dekar Mata Keranjang berkata akan menemui gurunya.
Aku akan mencari tahu, di mana tempat tinggal gu-
runya!"
Berpikir begitu, Ratu Sekar Langit lantas me-
mandang Ajeng Roro. Tak terhindarkan, keduanya se-
jenak saling bentrok pandangan. Dan belum sempat
Ajeng Roro berkata, Ratu Sekar Langit telah berbalik.
"Aku ada kepentingan lain. Semoga kita sama-
sama berumur panjang, hingga dapat melanjutkan
masalah yang belum tuntas ini!" kata Ratu Sekar Lan-
git.
Ratu Sekar Langit segera berkelebat pergi, me-
ninggalkan Ajeng Roro yang tampak memandangi den-
gan senyum dingin.
Sementara, Ajeng Roro lantas terlihat men-
gangkat kepala memandang langit.
"Kau kutunggu sampai kapan pun untuk me-
nuntaskan masalah ini!" seru Ajeng Roro, keras.
LIMA
Mentari merah jingga perlahan unjuk diri, me-
napak dari celah pinggiran ufuk sebelah timur Gunung
Semeru. Udara malam samar-samar merambat terusir,
berganti udara baru yang memberi kehangatan bagi
mayapada ini.
Di tengah laut utara yang bergelombang dah-
syat, tepatnya di atas salah satu batu karang yang
mengelilingi sebuah batu karang menjulang yang di-
kenal sebagai Karang Langit, terlihat seorang pemuda
berpakaian hijau dilapis dengan pakaian lengan pan-
jang warna kuning. Rambutnya dikuncir ekor kuda.
Dia berdiri tegak, memandangi batu karang tinggi di
depannya.
Pemuda yang tak lain Aji Saputra alias Pende-
kar Mata Keranjang 108 sepagi itu tampak mandi ke-
ringat. Nafasnya berhembus panjang-panjang tak bera-
turan. Sebentar-sebentar tangannya terangkat, men-
gusap peluh yang mengalir di keningnya.
Semalam penuh, Pendekar Mata Keranjang
memang habis memacu larinya sekencang mungkin.
Segenap ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dike-
rahkan. Ini dilakukan karena khawatir jika Ajeng Roro
atau Ratu Sekar Langit akan dapat mengendus keper-
giannya.
Waktu terjadi bentrok antara Ajeng Roro dan
Ratu Sekar Langit, diam-diam Pendekar Mata Keran-
jang yang merasa serba salah, berkelebat meninggal-
kan kedua gadis itu yang sedang bertukar jurus.
"Gadis-gadis itu, hm.... Aku tak mengerti, apa
maksud mereka sebenarnya...," gumam Aji seraya
mengalihkan pandangan pada gelombang laut yang tak
henti-hentinya menghempas kisi-kisi batu karang.
"Ratu Sekar Langit.... Tak dapat dipungkiri, dia
memang cantik jelita. Namun aku belum bisa mendu-
ga, apa tujuannya ingin mendirikan sebuah perguruan
silat! Aneh! Seorang gadis ingin punya perguruan si-
lat.... Dan aku sangat menyesal, kenapa begitu gam-
pang membuat janji-janji...," lanjut Aji dalam hati, se-
raya membayangkan Ratu Sekar Langit.
Membayangkan wajah Ratu Sekar Langit, mau
tak mau membawa murid Wong Agung ini teringat pada Ajeng Roro.
"Ajeng Roro.... Kau juga nampak semakin can-
tik. Namun, aku tak habis pikir, kenapa kita diperte-
mukan pada saat ada masalah? Kapan kita bisa ber-
temu dalam suasana tenang dan damai? Seperti saat
pertemuan pertama di Kampung Blumbang dahulu?"
Sewaktu Aji merenung mengenang masa-masa
lalunya, tiba-tiba....
"Aji, udara di tempatmu kurang baik untuk ke-
sehatan. Angin laut yang membawa butiran garam bisa
menyumbat jalan nafasmu. Bergegaslah pergi dari
tempat itu!"
Terdengar sebuah suara bernada menegur.
Meski amat pelan, namun jelas mengiang di dekat te-
linga. Aji mengenal jelas, siapa orang yang mengelua-
rkan suara itu. Lantas kepalanya menengadah me-
mandang batu karang yang tinggi menjulang. Kedua
tangannya lalu ditakupkan di depan dada. Matanya
terpejam sebentar. Bersamaan dengan itu kedua tan-
gannya disentakkan ke bawah. Sementara kedua ka-
kinya menjejak.
Saat itu juga batu karang tempat Aji berpijak
bergetar hebat. Dan bersamaan dengan itu, tubuhnya
melenting tinggi, melewati sisi-sisi batu karang. Dan
akhirnya Pendekar Mata Keranjang mendarat kokoh di
pelataran batu karang yang tinggi menjulang.
Sepasang mata Aji sejenak menebar ke sekelil-
ing. Bangunan batu yang ada di Karang Langit itu tak
berbeda dengan waktu pertama kali dia datang pada
beberapa puluh bulan yang silam. Bagian depannya
tampak porak poranda dengan salah satu tiangnya ro-
boh.
Pendekar Mata Keranjang menghela napas da-
lam-dalam. Kakinya lantas melangkah mendekati bangunan batu. Dan begitu sampai di depan bangunan
langkahnya berhenti.
"Eyang...," panggil Pendekar Mata Keranjang
pelan.
"Aji.... Kau tak usah berbasa-basi lagi. Masuk-
lah!"
Kembali terdengar suara dari dalam bangunan.
Dengan langkah perlahan, Pendekar Mata Ke-
ranjang meneruskan langkahnya memasuki bangunan
batu. Tiba di ruangan depan, sepasang matanya me-
mandang berkeliling.
"Hmmm..,. Tak ada yang berubah...," bisik Pen-
dekar Mata Keranjang seraya terus melangkah ke se-
buah pintu di bagian belakang.
Setelah melewati pintu dan menuruni tangga
yang juga terbuat dari batu-batu karang, Aji mendapati
sebuah ruangan. Di situ, tampak seorang laki-laki be-
rambut putih berjubah putih. Kedua matanya tertutup
sehelai kulit yang diikatkan ke belakang. Laki-laki tua
ini duduk bersila di atas sebuah batu.
"Eyang...," seru Aji seraya melangkah mendeka-
ti laki-laki berjubah.
Pendekar Mata Keranjang segera mengambil
tangan laki-laki itu dan menciumnya. Setelah menjura
hormat, Aji duduk di depan laki-laki berjubah yang tak
lain dari Wong Agung.
"Bagaimana perjalananmu, Aji?" tanya Wong
Agung seraya tersenyum.
"Baik, Eyang...," sahut Aji, pelan. "Hm.... Lantas
soal tugasmu...?"
"Juga bisa berjalan baik, Eyang...," jawab Aji
yang kemudian disambungnya dengan cerita tentang
petualangannya. Juga tentang pertemuannya dengan
perempuan aneh yang memberi bumbung bambu, ser
ta pertemuannya dengan Malaikat Berdarah Biru. Dan
cerita itu diakhiri soal pertemuannya dengan Ajeng Ro-
ro (Untuk lebih jelasnya silakan baca serial Pendekar
Mata Keranjang 108 dalam episode: "Persekutuan Para
Iblis" dan "Geger Para Iblis").
Wong Agung manggut-manggut mendengar ce-
rita Pendekar Mata Keranjang.
"Mana bumbung bambu dan kipas hitam itu?"
tanya Wong Agung, setelah Aji selesai dengan ceri-
tanya.
Dari balik baju hijaunya, Aji segera mengelua-
rkan bumbung bambu serta kipas hitam. Segera kedua
benda itu diangsurkan pada Wong Agung.
Sejenak Wong Agung menimang kedua benda
pusaka tersebut. Lalu tangannya bergerak meraba-
raba. Bersamaan dengan itu, kepalanya mengangguk-
angguk perlahan.
"Aji...," panggil Wong Agung setelah agak lama
memeriksa bumbung bambu dan kipas hitam. "Untuk
sementara ini, biarkan bumbung bambu dan kipas hi-
tam ini aku yang simpan. Bukan karena apa-apa,
hanya aku merasa khawatir. Sebagai laki-laki muda,
kau nanti tidak kuat menghadapi godaan. Karena ki-
pas hitam ini membawa pengaruh besar sekali pada
siapa yang membawanya. Sebab, siapa pun yang me-
megang kipas ini, maka jiwanya akan terus menerus
dihantui rasa ingin membunuh dan mempermainkan
perempuan.... Kau tidak keberatan dengan hal ini bu-
kan?"
Pendekar Mata Keranjang menggeleng perlahan
sambil menengadah memandang Wong Agung.
Wong Agung mengangguk, lalu memasukkan
bumbung bambu dan kipas hitam ke balik jubah pu-
tihnya.
"Eyang.... Ngg...."
"Adakah sesuatu yang hendak kau tanyakan?"
potong Wong Agung bertanya, begitu melihat muridnya
ragu-ragu untuk meneruskan kata-katanya.
Sejenak Aji terdiam.
"Katakan...!" ujar Wong Agung.
"Soal Ageng Panangkaran, Eyang.... Dia...."
Wong Agung melintangkan telunjuk jarinya di depan
mulut memberi isyarat agar muridnya tak meneruskan
ucapannya. Laki-laki tua itu terlihat menarik napas
dalam-dalam.
"Aku sudah tahu nasib yang menimpa Paman
Ageng Panangkaran. Kematian memang tak dapat di-
tentukan kapan datangnya, meski hal itu pasti tiba.
Dan juga, tak bisa ditentukan apa penyebabnya.
Hanya saja, soal Paman Ageng Panangkaran, aku san-
gat menyesalkan orang yang berbuat keji padanya...,"
kata Wong Agung dengan suara berat dan sengau.
Sejenak Wong Agung menghentikan ucapannya.
Tubuhnya tampak sedikit bergetar. Jari-jari tangannya
gemetar dan mengepal.
"Aji.... Kalau sudah tidak ada yang ingin kau
sampaikan, istirahatlah dahulu- Besok pagi-pagi be-
nar, turunlah. Temui Paman Selaksa...," ujar Wong
Agung.
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan, Eyang...,"
kata Aji sambil menatap lekat-lekat gurunya.
"Apakah Eyang mengenal orang yang bernama
Restu Canggir Rumekso?"
Wong Agung nampak sedikit tersentak men-
dengar pertanyaan muridnya.
"Hmm.... Ada apa dengan dia...?"
"Tidak apa-apa, Eyang. Hanya waktu menuju
kemari, aku sempat bertemu dengannya...."
"Kau jangan berdusta, Aji. Nada suaramu men-
gisyaratkan ada sesuatu yang ingin dikatakan, namun
kau urungkan..."
Paras Pendekar Mata Keranjang merah padam.
Tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
"Jangan cengengesan. Ada apa dengan Restu
Canggir Rumekso? Kau punya masalah dengannya...?"
desak Wong Agung.
Aji menggeleng perlahan
"Tidak, Eyang. Hanya saja seorang temanku
yang terluka parah sempat dibawanya. Katanya, dia
mau menolong. Bukankah dia memang seorang tabib
yang masyhur...?"
"Dengar, Aji. Kau harus berhati-hati mengha-
dapi manusia bernama Restu Canggir Rumekso. Dia
adalah salah seorang tokoh berkepandaian tinggi yang
ilmunya sulit dijajaki. Selain itu, dia juga cerdik dan li-
cik. Di luar, dia memang terlihat baik. Suka menolong,
dan menebar kebaikan di mana-mana. Namun di balik
semua itu, sebenarnya dia adalah seorang tokoh sesat.
Berpuluh-puluh tahun dia tak ada kabar beritanya.
Maka bila sekarang dia muncul lagi ke gelanggang, be-
rarti ada sesuatu yang diinginkannya. Jika berhada-
pan dengannya kau harus waspada. Menghadapi orang
seperti dia, dibutuhkan akal jernih...," papar Wong
Agung.
"Celaka!" desis Aji dalam hati, mengutuk di-
rinya sendiri. "Kenapa aku begitu percaya padanya?
Bagaimana nasib Putri Tunjung Kuning nantinya? Bu-
syet! Lagi-lagi aku tertipu...."
"Ada lagi yang hendak kau tanyakan...?" tegur
Wong Agung.
"Tidak Eyang...," sahut Aji.
"Jika begitu, istirahatlah dahulu. Karena, besok
pagi kau harus segera ke Kampung Blumbang...."
ENAM
Langit di atas Kampung Blumbang tampak ce-
rah. Sinar mentari begitu leluasa menerobos sela-sela
pohon yang tampak berjajar di sekitarnya. Sehingga,
membuat kehangatan melingkupi tempat ini.
Di dalam sebuah gubuk yang terletak di sebe-
lah timur Kampung Blumbang, tampak dua orang du-
duk berhadap-hadapan. Bahu salah seorang terlihat
berguncang-guncang menahan isak tangis. Sementara
orang satunya tampak memandang dengan sinar mata
sayu. Namun, kegembiraan jelas sekali memancar dari
raut wajahnya.
Yang terisak menahan tangis ternyata seorang
gadis berparas jelita. Pakaiannya warna biru. Rambut-
nya panjang tergerai. Sementara orang yang duduk di
hadapannya adalah seorang laki-laki berusia lanjut
berpakaian warna putih panjang. Sepasang matanya
telah terlihat sayu. Janggutnya ditumbuhi jenggot pan-
jang dan telah berwarna putih.
"Roro...," panggil orang tua di hadapan gadis
yang ternyata Ajeng Roro dengan suara serak. "Aku
begitu gembira sekali melihat kau kembali. Kau ta-
hu...? Sejak kepergianmu, aku begitu kesepian. Tak
ada teman yang bisa diajak berbincang. Maka dari itu,
ku mohon setelah ini jangan lagi meninggalkan Kam-
pung Blumbang! Apapun alasannya.... "
Ajeng Roro mengangkat kepalanya. Dipandang-
nya orang tua itu dengan sinar mata redup. Tampak-
nya dia masih berusaha menahan diri agar air matanya tak bergulir.
"Eyang.... Maafkan aku," ucap Ajeng Roro, begi-
tu bisa menguasai diri. "Aku memang terlalu memen-
tingkan diri sendiri. Tak menghiraukan kata-kata
Eyang...."
Orang tua yang dipanggil Eyang dan tak lain
Eyang Selaksa ini menarik napas dalam-dalam. Pan-
dangan matanya tak beranjak dari Ajeng Roro.
"Aku tahu. Aku bisa mengerti apa yang kau ra-
sakan. Sekarang, yang lalu biarlah berlalu. Kau berjan-
ji tak akan meninggalkan Kampung Blumbang lagi,
bukan...?"
Yang ditanya mengangguk perlahan, membuat
Eyang Selaksa tersenyum. Tatapan orang tua ini lantas
beralih jauh keluar gubuk yang pintunya tampak ter-
buka.
"Roro..., apa selama ini kau sempat berjumpa
Aji?" tanya Eyang Selaksa.
Ajeng Roro tampak sedikit terkejut mendengar
pertanyaan Eyang Selaksa. Hingga untuk beberapa
saat, dia terdiam.
"Kau tampaknya terkejut. Kenapa? Kau pernah
bertemu dengannya, bukan?" desak Eyang Selaksa.
Ajeng Roro kembali hanya menganggukkan ke-
pala. Wajahnya lantas berpaling menyembunyikan ro-
na merah.
"Aku mendengar berita, dia telah berhasil me-
numpas Malaikat Berdarah Biru. Apakah kau juga
mendengarnya?"
"Benar, Eyang. Aku juga mendengar berita
itu.... Namun, aku sendiri belum dengar dari dia sendi-
ri.... Karena saat bertemu, kami tidak sempat ber-
tanya...!" sahut Ajeng Roro.
"Kau ini aneh. Sempat bertemu, tapi tak sempat
bertanya. Lantas apa yang kalian bicarakan...?" tanya
Eyang Selaksa, bingung.
Ajeng Roro tak menjawab. Wajahnya semakin
memerah.
"Bagaimana aku harus mengatakannya...? Apa
aku harus berterus terang? Tidak! Eyang tidak boleh
tahu apa yang terpendam dalam hatiku...," kata batin
Ajeng Roro, seraya menatap ke jurusan lain.
"Kalau kau tak mau mengatakannya, tak apa-
lah. Yang penting, bagiku kau telah kembali dan tak
akan meninggalkan ku lagi. Dan...."
Ucapan Eyang Selaksa terputus ketika tiba-tiba
melihat sesosok tubuh berkelebat di sekitar Blumbang.
"Hmm.... Ada orang di luar!" seru Eyang Selak-
sa.
Serta merta laki-laki tua ini berdiri. Tubuhnya
segera berkelebat ke arah sekitar Blumbang, lalu men-
gendap-endap di samping tembok Blumbang.
Melihat Eyang Selaksa berkelebat, Ajeng Roro
tak tinggal diam. Segera diikutinya dari belakang, dan
mengendap di belakang Eyang Selaksa.
"Hmm.... Dia rupanya berkepandaian tinggi.
Gerakannya begitu cepat. Namun aku percaya, dia ma-
sih berada di sekitar sini. Melihat sosoknya, sepertinya
dia mengenakan pakaian hijau. Apa kira-kira bu-
kan...."
Kata-kata Eyang Selaksa tidak berlanjut, tatka-
la sepasang matanya menangkap seseorang sedang
berdiri di dekat pintu masuk Blumbang.
"Ah, rupanya dia!" sentak Ajeng Roro dengan
mata menatap ke arah sosok yang tampak membela-
kangi.
"Anak konyol! Kenapa dia berlaku seperti anak
main petak umpet!" umpat Eyang Selaksa, begitu mengetahui sosok yang berdiri membelakangi.
Sosok yang berdiri membelakangi berbalik,
menghadap Eyang Selaksa dan Ajeng Roro dengan bi-
bir cengengesan. Dia ternyata Pendekar Mata Keran-
jang!
"Eyang, Ajeng Roro...," sapa Pendekar Mata Ke-
ranjang seraya melangkah mendekati.
Eyang Selaksa menggumam tak karuan. "Anak
kurang ajar! Kenapa kau berlaku seperti anak-anak?
Kau patut disodok berani mempermainkan orang tua!"
Aji semakin tersenyum lebar. Dan begitu dekat
dengan Eyang Selaksa, dia segera menjatuhkan diri
dan menjura hormat berulang kali.
Eyang Selaksa meluruskan tubuhnya, lalu
menggeleng-geleng. Sementara Ajeng Roro mengalih-
kan pandangan, tak berani menatap Aji yang kini telah
mengangkat kepalanya. Pemuda ini memandang ber-
gantian pada kedua orang di hadapannya.
"Eyang..., maafkan muridmu yang telah mem-
buatmu terkejut...," ucap Pendekar Mata Keranjang.
"Untung aku mengenalimu, meski dari arah be-
lakang. Kalau tidak, kepalamu mungkin sudah benjot-
benjot! Ayo masuk!" ujar Eyang Selaksa seraya berba-
lik dan melangkah ke arah gubuk.
Namun karena hingga sampai gubuk tak ter-
dengar suara langkah-langkah mengikuti, Eyang Se-
laksa segera berbalik kembali. Dan dahinya berkerut
ketika mengetahui Ajeng Roro dan Aji masih tegak di-
am di tempat. Mereka berdua tampak saling berpan-
dangan. Namun di antara keduanya, tak satu pun
yang bicara.
"He...? Sebenarnya ada apa di antara kalian
berdua? Yang Gadis tak bicara. Bahkan bermuka cem-
berut seperti orang bertemu musuh. Sementara yang
satunya hanya memandang dengan senyum-
senyum...."
"Eyang.... Manusia satu ini memang pantas di-
hajar! Di mana-mana dia selalu membuat masalah
dengan ga...."
"Roro.... Kalau kau meneruskan kata-katamu,
aku akan mengatakannya pada Eyang. Kau berkata
begitu, hanya karena cemburu...."
Ajeng Roro tak meneruskan ucapannya, karena
saat itu juga Aji telah menyela kata-katanya. Perlahan
memang, hingga Eyang Selaksa tak mendengarnya.
Ajeng Roro mendengus seraya memalingkan
wajahnya yang bersemu merah. Membuat Eyang Se-
laksa semakin heran.
"Hmm.... Begitu? Baik. Tapi, ingat. Aku tak me-
nerimakan perlakuanmu padaku! Dan kau pasti men-
dapati ganjaran!" desis Ajeng Roro-Paras Aji sesaat be-
rubah.
"Roro...," panggil Aji seraya mendongak ke atas
dan tersenyum. "Kalau itu maumu, aku menyerah.
Kau boleh menghukumku, sekehendak hatimu. Na-
mun satu hal yang harus kau ketahui. Biar terlibat
dengan banyak gadis, aku tak dapat melupakanmu!
Kau selalu dan selalu di hatiku...."
Entah malu atau marah, tanpa bicara apa-apa
lagi Ajeng Roro segera melangkah cepat ke arah Eyang
Selaksa. Raut mukanya tampak semakin merah pa-
dam.
Begitu Ajeng Roro melangkah, Aji pun ikut-
ikutan melangkah mengikuti. Sedangkan Eyang Selak-
sa yang melihat tingkah kedua orang ini hanya meng-
geleng-geleng. Sebentar-sebentar matanya memandang
Ajeng Roro, lalu beralih pada Aji. Lantas, kakinya me-
langkah memasuki gubuk.
"Aji! Apakah kau selama ini baik-baik saja?
Dan, apakah kau telah menjenguk gurumu di Karang
Langit?" tanya Eyang Selaksa begitu mereka bertiga te-
lah berada di dalam gubuk dan duduk melingkar.
"Aku baik-baik saja, Eyang. Dan aku pun me-
mang telah menjenguk Eyang Wong Agung di Karang
Langit. Dia menyuruhku ke sini...!" sahut Aji, gam-
blang.
"Aku memang berpesan pada gurumu. Jika se-
waktu-waktu kau datang, kau kusuruh datang ke
Kampung Blumbang.... Aku hanya ingin mendengar
cerita tentang perjalananmu. Karena aku menyirap
kabar, kau telah berhasil menunaikan tugas yang di-
embankan padamu."
Aji lantas menceritakan perjalanannya dari aw-
al hingga sampai di Kampung Blumbang. Sedang
Eyang Selaksa mendengarkan dengan seksama sambil
sesekali batuk dan berdecak. Sementara, Ajeng Roro
sepertinya tak tertarik dengan cerita Aji, meski dalam
hatinya diam-diam juga kagum dan senang.
"Hmm.... Aku bangga dan gembira mendengar
ceritamu, Aji. Namun, kau jangan cepat puas dengan
apa yang telah diperoleh selama ini. Dunia persilatan
tidak akan pernah sepi dari huru-hara. Karena selama
dunia ini masih berputar, kejahatan tidak akan pernah
mati. Dan kau telah ditakdirkan untuk meredamnya.
Kau harus tetap berlaku waspada...," ujar Eyang Se-
laksa, mengingat.
Pendekar Mata Keranjang mengangguk-angguk.
Namun matanya tak henti-hentinya melirik Ajeng Roro.
Sementara, gadis itu sendiri sesekali sempat mencuri
pandang. Tapi begitu matanya tertumbuk dengan liri-
kan mata Pendekar Mata Keranjang, cepat-cepat mem-
buang muka ke arah lain.
Begitu asyiknya mereka berbincang-bincang,
hingga tanpa disadari sesosok tubuh tampak mengen-
dap-endap mencuri dengar pembicaraan.
Pendekar Mata Keranjang yang segera merasa
ada yang tak beres di sekitar gubuk, segera memberi
isyarat agar pembicaraan dihentikan.
"Hmm.... Ada orang di sekitar gubuk yang men-
curi dengar pembicaraan kita. Biar aku tangkap dia...,"
gumam Aji perlahan, sambil bangkit dan berkelebat ke-
luar gubuk.
TUJUH
"Setan!" rutuk Pendekar Mata Keranjang. "Dia
berhasil melarikan diri. Hmm.... Siapa dia? Melihat so-
soknya dia sepertinya seorang perempuan!"
Saat itu Pendekar Mata Keranjang berada agak
jauh dari Kampung Blumbang, karena terus mengejar
bayangan yang telah mencuri dengar pembicaraan.
"Sialan! Lagi-lagi seorang perempuan!" umpat
Pendekar Mata Keranjang berbisik sambil menyapukan
pandangannya sekali lagi ke sekeliling. Namun kedua
matanya tak menangkap sosok yang dicari.
Dengan perasaan kecewa, Aji berbalik hendak
meninggalkan tempat itu. Namun langkahnya tertahan
seketika, tatkala telinganya menangkap langkah-
langkah perlahan mendatangi dari arah samping.
Berpaling, pendekar murid Wong Agung ini ter-
kejut. Ajeng Roro tampak melangkah mendatangi. Se-
pasang matanya menyorot tajam tak berkedip.
Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba terse-
nyum. Namun yang diajak senyum tak membalas. Malah segera mengangkat kepalanya memandang ke atas.
"Aji! Sekarang saatnya kau menerima huku-
man! Kau telah mengecewakanku! Meninggalkan aku
begitu saja. Sementara, kau enak-enakan bercinta!"
kata Ajeng Roro, agak keras.
"Hei! tunggu...!" cegah Aji sambil melangkah
dua tindak ke belakang. "Kau waktu itu salah tafsir,
Roro! Aku tak berniat meninggalkanmu dan enak-
enakan bercinta. Gadis itu adalah...."
"Aku tak akan lagi bisa dimuslihatkan dengan
kata-kata manis mu!" Ajeng Roro menghardik memo-
tong ucapan Aji seraya mendelik.
"Dengar, Roro! Aku menyayangi mu. Jadi tak
mungkin menipumu!" ujar Aji sambil balas meman-
dang.
Hingga untuk beberapa saat keduanya saling
beradu pandang. Namun sesaat kemudian, Ajeng Roro
mencibir serta mengangkat kedua tangannya, siap me-
lepas pukulan.
Namun kali ini tampaknya Pendekar Mata Ke-
ranjang tak hendak membuat gerakan menangkis atau
berkelit menghindar. Dia tetap berdiri, seolah pasrah.
Hanya kedua matanya yang menatap tak berkedip,
menusuk dalam-dalam ke arah bola mata gadis di de-
pannya yang telah siap melakukan serangan.
Ajeng Roro merasakan getaran aneh menyeruak
di dadanya. Makin memandang Pendekar Mata Keran-
jang, dadanya semakin bergerak. Dia coba menahan
getaran-getaran itu. Namun semakin ditahan, dadanya
semakin dibuncah perasaan tidak karuan. Hingga
lambat laun tangannya yang telah diangkat luruh ke
bawah.
"Gila! Kenapa aku jadi begini? Aku tidak sang-
gup melakukannya! Benar-benar memalukan!" umpat
gadis ini dalam hati seraya berbalik hendak pergi.
"Tunggu!" sergah Pendekar Mata Keranjang
mencegah sambil menarik napas lega.
Aji lantas melangkah mendekati Ajeng Roro.
"Roro..., aku tak mau di antara kita ada ganjalan. Ka-
lau kau memang masih mau menghukumku, lakukan-
lah."
Ajeng Roro tidak menjawab, Juga, tidak berpal-
ing.
Pendekar Mata Keranjang mengusap-usap
ujung hidungnya. "Kau tak mau melakukan, berarti
hukuman yang akan kau jatuhkan impas..,."
"Tidak!" sahut Ajeng Roro masih dengan nada
jengkel. "Saat ini, hukuman itu ku tunda. Dari mung-
kin lain kali akan ku tepati!"
Pendekar Mata Keranjang anggukkan kepala.
Dalam hati dia membatin. "Gadis itu benar-benar su-
kar ditaklukkan. Keras kepala! Untungnya dia cantik.
Kalau tidak..., hmm...."
Sejenak suasana jadi hening. Belum ada yang
bersuara.
"Kenapa kau menyusul ku ke sini...?" tanya
Pendekar Mata Keranjang, memecah keheningan. "Kau
mengkhawatirkan aku bukan?" pancingnya seraya
menahan senyum.
Serta merta Ajeng Roro berpaling menghadap
Pendekar Mata Keranjang.
"Kau telah dewasa! Siapa yang mengkhawatir-
kan dirimu? Kau jangan terlalu besar kepala!"
"Ah, benar. Selama ini aku memang terlalu be-
sar kepala. Jadi selama ini juga aku mengharapkan
sesuatu yang sia-sia. Hmmm..., betapa malangnya na-
sibku...," desah Pendekar Mata Keranjang perlahan.
"Ngg..., bukan begitu masalah ku. Aku tidak
mengkhawatirkan mu, karena percaya kau dapat men-
jaga diri. Kau sekarang bukan lagi Aji yang dulu. Aji
yang merengek-rengek minta tolong, tatkala hendak
melewati rumput-rumput merah di sekitar Kampung
Blumbang. Kau sekarang telah menjadi seorang tokoh
bernama besar, hingga tak heran jika banyak gadis
yang memburu...," sergah Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang tersenyum kecut.
Cuping hidungnya mengembang mendengar pujian itu.
Tangannya lantas terangkat dan menarik-narik kuncir
rambutnya.
"Ah, lupakan semua itu. Sekarang kita baikan
lagi. Bagaimana...?" tawar Pendekar Mata Keranjang
sambil menatap tajam gadis di hadapannya.
Yang ditatap tidak menjawab. Hanya kepalanya
tampak bergerak mengangguk. Sedangkan Pendekar
Mata Keranjang tersenyum lebar. Lalu diambilnya tan-
gan gadis di hadapannya, dan diciumnya berkali-kali.
Sejenak Ajeng Roro memang tampak jengah.
Namun lama kelamaan, dia diam saja. Malah ketika
Pendekar Mata Keranjang menengadahkan kepala dan
mendekatkan ke wajahnya, gadis ini tak berusaha
menghindar. Tentu saja hal ini membuat Aji semakin
berani. Dan tanpa bicara lagi, murid Wong Agung ini
memagut bibir gadis cantik yang kini merapat di da-
danya. Kedua tangannya pun bergerak merengkuh
punggung Ajeng Roro dan menekannya. Hingga kedua
orang ini untuk sesat dibuai kehangatan.
Namun tak lama kemudian, Ajeng Roro meron-
ta dan melepaskan diri dari rengkuhan tangan kokoh
Pendekar Mata Keranjang.
"Kita harus cepat kembali. Eyang nanti cemas
menunggu...," ujar Ajeng Roro dengan napas terengah-
engah dan dada turun naik. Sementara wajah yang
merah merona dihadapkan ke arah lain. Lantas tanpa
menoleh lagi. Kakinya melangkah mendahului Pende-
kar Mata Keranjang.
Tanpa disadari Aji dan Ajeng Roro, di balik se-
buah pohon tak jauh dari tempat itu, sepasang mata
dari tadi tampak mengawasi dengan terbeliak merah.
"Bajingan! Siapa gadis itu...? Hmm..., nampak-
nya pemuda itu telah mempunyai seorang kekasih. Ta-
pi, kenapa dia menyuruhku datang ke Kampung
Blumbang? Untuk menyaksikan dia bermain ciuman?
Dia rupanya benar-benar pemuda mata keranjang, se-
suai julukannya. Ternyata, mulut pemuda itu memang
tak bisa dipercaya. Jangan-jangan apa yang dikata-
kannya mengenai tewasnya guru, juga bualan saja!
Jangan-jangan dialah pembunuh guru, seperti apa
yang dikatakan Kakang Pandu.... Hmm..., aku harus
membuat perhitungan dengannya!" desis si empunya
mata seraya keluar dari balik pohon. Tubuhnya berke-
lebat cepat, karena Pendekar Mata Keranjang terlihat
telah melangkah agak jauh mengejar Ajeng Roro.
"Berhenti!" tegur sosok yang baru saja keluar
dari balik pohon, begitu sudah agak dekat dengan
Pendekar Mata Keranjang.
Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang menghentikan langkah. Seketika dia berba-
lik. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis berwajah
cantik.
"Sakawuni!" seru Pendekar Mata Keranjang dis-
ertai senyum lebar meski sepasang matanya lantas me-
lirik, takut jika Ajeng Roro mendengar dan kembali.
Gadis di hadapan Aji yang memang Sakawuni
mendengus keras sambil menyeringai. Niatnya semula
yang hendak ingin bertemu Pendekar Mata Keranjang
untuk mendengar cerita tentang siapa pembunuh gurunya serta melampiaskan rasa rindu yang selama ini
dipendam pupus begitu saja, berganti perasaan geram
dan cemburu. Hingga yang muncul sekarang adalah
prasangka buruk.
"Laki-laki pembunuh!" dengus Sakawuni,
menghardik. "Menyerahlah kau! Dan, ikut aku ke
Lembah Baka untuk mempertanggungjawabkan per-
buatanmu!"
Senyum Pendekar Mata Keranjang lenyap seke-
tika. Malah kakinya tampak mundur dua langkah ke
belakang.
"Apa maksudmu dengan semua ini, Sakawuni?"
tanya Pendekar Mata Keranjang, bingung.
"Kau tak usah berbelit-belit. Kau sudah tahu
jawabannya! Sekarang, ikut aku!" tegas Sakawuni.
"Gila! Aku benar-benar tak mengerti maksud-
mu!" kilah Aji.
"Hmm.... Apa karena cumbuan gadis tadi, hing-
ga kau begitu pelupa?!" sindir Sakawuni.
Paras Pendekar Mata Keranjang berubah merah
mengelam. Kedua matanya membelalak melotot, me-
mandangi gadis di hadapannya.
"Hmm.... Jadi, orang yang mengendap-endap
mencuri dengar tadi ternyata Sakawuni. Dan tentunya,
dia tadi mengetahui apa yang kulakukan dengan Ajeng
Roro. Walah gawat urusannya...! Dia pasti telah ter-
makan fitnah bahwa akulah pembunuh gurunya,
Ageng Panangkaran...," kata batin Pendekar Mata Ke-
ranjang, dalam hati.
"Pembunuh keji! Jangan membuat kesabaran-
ku habis. Cepat ikut aku!" bentak Sakawuni, seraya
berkacak pinggang.
Pendekar Mata Keranjang terdiam. Sikapnya
tampak ragu-ragu mengambil keputusan. Kepalanya
sesekali berpaling ke belakang.
"Atau kau akan mengajak gadismu ikut serta?
Boleh...! Asal tahu saja, dia pun akan pulang nama!
Seperti kau!" sambung Sakawuni begitu Pendekar Ma-
ta Keranjang hanya diam dan tampak kebingungan.
"Tunggu, Sakawuni. Kau tampaknya telah ter-
makan ucapan Pandu. Percayalah, bukan aku yang
melakukannya!" cegah Aji.
"Bangsat! Kau terlalu banyak omong! Lagi pula,
siapa sekarang mau percaya kata-katamu!" hardik Sa-
kawuni. "Kalau kau tidak bisa diajak baik-baik, aku
pun tidak keberatan berbuat kasar!"
Habis berkata begitu, Sakawuni segera menarik
kedua tangannya sedikit ke belakang. Sambil mengge-
reng, kedua tangannya didorong ke depan.
Seketika hembusan angin deras yang tidak ber-
suara terasa menghantam keras ke arah Pendekar Ma-
ta Keranjang.
Dengan menindih rasa terpana, Pendekar Mata
Keranjang segera melompat ke samping. Namun dia
terkejut bukan alang kepalang, karena ternyata hem-
busan angin itu masih terasa menerpa. Malah, kini
semakin deras menghantam.
"Setan! Ilmu apa ini? Tidak ada suara dan rupa,
tapi rasanya begitu dahsyat!" rutuk batin Pendekar
Mata Ke-ranjang sambil mengerahkan tenaga dalam
untuk menangkis.
Sebentar kemudian, kedua orang ini tampak
berdiri sambil mengerahkan tenaga dalam masing-
masing.
Namun tak berselang lama, karena tampaknya
tingkat tenaga dalam Sakawuni masih jauh dibanding
Pendekar Mata Keranjang. Dan sebelum oleng dan ja-
tuh, tubuhnya segera melenting ke udara seraya membentak lengking.
Dari udara, Sakawuni cepat membuat gerakan
berputar satu kali. Kecepatannya hampir tak dapat di-
ikuti mata. Lalu tiba-tiba, tubuhnya menukik deras
dengan kedua tangan menghantam ke arah kepala
Pendekar Mata Keranjang. Hantaman tangan itu belum
sampai, namun deru dahsyat sudah melesat mendahu-
lui.
Pendekar Mata Keranjang tak tinggal diam. Se-
gera tubuhnya miring ke samping, membuat hantaman
tangan Sakawuni menerabas tempat kosong di samp-
ing lengan Pendekar Mata Keranjang.
Karena serangannya begitu mudah dielakkan
Pendekar Mata Keranjang membuat amarah Sakawuni
makin memuncak. Begitu sepasang kakinya menjejak
tanah, tubuhnya segera berbalik. Dan seketika tenaga
dalamnya disalurkan pada tangannya. Didahului ben-
takan keras, Sakawuni menghentakkan kedua tangan-
nya ke arah Aji.
Saat itu juga berlarik-larik sinar putih ke abu-
abuan yang mengeluarkan suara menderu-deru dan
berhawa panas melesat menyambar ke depan.
"Edan! Dia benar-benar ingin menyabung nya-
wa!" rutuk Pendekar Mata Keranjang dalam hati.
Segera Aji menyambut serangan Sakawuni den-
gan pukulan 'Segara Geni'. Namun kali ini tenaga da-
lamnya tidak dikerahkan penuh.
Des! Blum!
Dua pukulan sakti bentrok di atas udara,
membuat tanah di sekitar tempat itu bergetar hebat.
Pohon-pohon bergoyang, menggugurkan dedaunan.
Tubuh Sakawuni tampak terhuyung-huyung. Rambut-
nya yang panjang berkibar-kibar. Sementara sekujur
tubuhnya telah mandi keringat.
Dilain pihak, Pendekar Mata Keranjang tampak
tetap tegar di tempatnya. Hal ini membuat Sakawuni
makin sadar kalau tingkat kepandaiannya jauh di
banding pemuda di hadapannya. Namun tampaknya
hal itu bukannya membuatnya takut, tapi semakin pe-
nasaran. Saat itu juga tekanan tenaga dalamnya di-
tambah dan segera kembali melakukan serangan. Pa-
dahal, di bagian kedua tangannya telah terasa ngilu.
Dalam hati, diam-diam Pendekar Mata Keran-
jang terkesima. Sungguh tak diduga jika gadis di ha-
dapannya selain mempunyai kemampuan lumayan,
bahkan juga berhati baja.
"Gadis tangguh! Hanya sayang termakan kata-
kata kakak seperguruannya, tanpa menyelidik terlebih
dahulu.... Dan tampaknya dia...."
Pendekar Mata Keranjang tidak bisa mene-
ruskan kata hatinya, karena saat itu Sakawuni telah
berkelebat. Dan mendadak, sepasang kakinya telah
menerjang ke arah Aji. Sementara, kedua tangannya
bersiutan ke sana kemari.
Saat itu juga Aji memalangkan kedua tangan-
nya, dengan tubuh bergerak satu tindak ke samping.
Maka pukulan tangan serta terjangan sepasang kaki
Sakawuni hanya menerpa angin di sebelah Pendekar
Mata Keranjang.
Di lain kejap Pendekar Mata Keranjang cepat
mendorongkan telapak tangannya ke depan perlahan.
Karena pukulannya baru saja meleset, mem-
buat tubuh Sakawuni terdorong ke depan. Padahal,
bersamaan dengan itu dorongan tangan Pendekar Ma-
ta Keranjang datang. Hebatnya meski dalam keadaan
terjepit begitu, raut wajah gadis ini tidak mengisya-
ratkan rasa kebingungan. Bahkan mencoba menangkis
dengan menarik tangannya dan menghentakkannya
secara mendadak ke depan.
Prak! Prak!
Terdengar benturan keras dua kali berurutan.
Tubuh Sakawuni terbanting di tanah. Sementara Pen-
dekar Mata Keranjang hanya terhuyung-huyung se-
bentar, sebelum akhirnya tegak kembali dengan kaki
kokoh.
Dengan muka merah padam dan bibir pecah
mengeluarkan darah, Sakawuni merambat bangkit.
Dan begitu tubuhnya telah berdiri tegak, sepasang ma-
tanya langsung menyengat tajam. Namun, cuma seki-
las. Wajah cantik Sakawuni lantas menoleh ke samp-
ing.
"Pembunuh licik! Jangan kau kira aku kalah!"
Habis berkata, Sakawuni tampak memejamkan
kedua matanya. Kedua tangannya menakup di depan
dada. Dan dari mulutnya terdengar suara yang tak bi-
sa dimengerti.
"Tunggu!" teriak Aji.
Sakawuni membuka kelopak matanya, lantas
memandang terbeliak.
"Jahanam! Apa maumu...?" desis Sakawuni
tatkala melihat Pendekar Mata Keranjang 108 melang-
kah mendekat sambil tersenyum.
"Aku tak mau melayanimu dengan jalan begini.
Kita berdua nanti akan sama-sama rugi. Lebih baik
tinggalkan tempat ini. Nanti suatu saat, aku pasti akan
datang ke Lembah Baka dengan membawa kepala
orang yang menewaskan gurumu!"
"Kau kira aku mempercayai omongan mu?
Meski kau bersumpah pun, aku tidak akan percaya...,"
gumam Sakawuni, membatin.
Tiba-tiba, gadis ini tersenyum sinis.
"Baik! Aku akan tinggalkan tempat ini. Tapi,
denganmu!"
"Gila! Dengar, Sakawuni. Aku masih ada uru-
san lebih penting yang harus diselesaikan. Setelah
urusan ini selesai, aku akan menyusulmu ke Lembah
Baka!" ujar Pendekar Mata Keranjang.
"Urusan penting mengejar gadis itu, bukan?
Laki-laki pengecut! Kau tak pantas menyandang nama
besar jika ternyata tidak berani mengakui kesalahan!"
Di saat keduanya saling bertukar pandang satu
sama lain, terdengar langkah-langkah mendatangi
tempat itu.
"Celaka! Kalau Ajeng Roro..., oh! Urusannya
akan makin rumit!" keluh Pendekar Mata Keranjang
dalam hati, tak berani melihat orang yang mendatangi.
Sementara itu dahi Sakawuni segera berkernyit
tatkala melihat siapa orang yang datang.
DELAPAN
Orang yang datang mendadak tertawa bergelak-
gelak pendek. Bersamaan dengan itu, serangkum ge-
lombang angin dahsyat menghempas deras ke arah
Pendekar Mata Keranjang dan Sakawuni.
Aji terlengak kaget, karena dugaannya meleset.
Secepat kilat Pendekar Mata Keranjang berbalik. Dia
sedikit tersentak, melihat orang yang baru datang.
Bahkan tiba-tiba telah melepaskan serangan, meski
sepertinya tidak disengaja!
Namun Pendekar Mata Keranjang tidak sempat
lagi berbuat lebih jauh. Karena saat itu juga, gelom-
bang angin yang dikeluarkan orang yang barusan da-
tang telah menggebrak.
Dengan memaki panjang pendek dalam hati,
Pendekar Mata Keranjang cepat merebahkan diri hing-
ga sejajar tanah. Maka serangan orang yang baru da-
tang melesat di atas tubuhnya. Namun, tak urung juga
sambaran serangan yang ternyata menebarkan hawa
panas itu menyerempet rambutnya. Akibatnya, rambut
Pendekar Mata Keranjang terpangkas sebagian!
Di bagian lain, Sakawuni yang tidak menyang-
ka akan diserang secara tiba-tiba, tidak sempat lagi
berkelit. Maka tanpa ampun lagi terdengar jeritan dari
mulutnya. Tubuhnya mencelat hingga tiga tombak ke
belakang, serta menyuruk tanah menimbulkan suara
berdebam.
Orang yang baru saja datang ternyata seorang
laki-laki tua berjubah putih kusam. Di atas kepalanya
tampak sebuah caping lebar dari daun pandan. Se-
hingga, membuat wajahnya hanya tampak sebagian.
Berjenggot panjang berwarna putih. Tubuhnya agak
bungkuk.
"Restu Canggir Rumekso!" seru Pendekar Mata
Keranjang, dalam hati sambil menatap tak berkedip.
"Apa maksudnya dengan semua ini? Tampaknya apa
yang dikatakan Eyang Wong Agung tentang dia ternya-
ta benar. Hmm.... Aku harus waspada. Rupanya dia
berilmu tinggi.... Lantas, ke mana perginya Ajeng Ro-
ro...?"
Pendekar Mata Keranjang memandang ke arah
belakang, lalu beralih pada Sakawuni yang baru saja
bangkit.
"Orang tua!" panggil Pendekar Mata Keranjang,
lantang. "Apa kau telah merasa benar dengan tindakan
yang baru saja kau lakukan?"
Orang tua bercaping lebar yang memang Restu
Canggir Rumekso meluruskan tubuhnya. Lalu kepalanya mendongak seraya tertawa bergelak.
"Pendekar Mata Keranjang! Aku tak mau meni-
lai perbuatanku. Namun satu hal yang sudah pasti,
kau telah melakukan kesalahan pada muridku. Maka
dari itu, sekarang juga kau harus ikut ke tempatku!"
"Manusia satu ini sulit ditebak jalan pikiran-
nya. Saat bertemu pertama kali dulu, dia tampaknya
baik-baik. Hmm..., lalu siapa muridnya? Putri Tunjung
Kuning? Orang ini benar-benar licin...."
Selagi Pendekar Mata Keranjang berpikir begitu,
mendadak sebuah bayangan berkelebat. Dan di kejap
lain, telah berdiri tegak di hadapan Restu Canggir Ru-
mekso.
"Orang tua! Harap segera menyingkir dari sini!
Jangan cari-cari alasan untuk membawa dan menye-
lamatkan pemuda itu!" tegur sosok yang baru saja ber-
diri dan ternyata Sakawuni.
Mendengar teguran ini, Restu Canggir Rumekso
terkekeh. Namun belum lenyap kekehannya, caping-
nya sengaja ditekan turun. Seketika, membuat raut
wajahnya hampir tak kelihatan.
"Gadis cantik! Kau bilang aku akan menyela-
matkan dia?" tukas Restu Canggir Rumekso seraya
menunjuk pada Pendekar Mata Keranjang.
"Kau salah besar! Justru aku menjemputnya
agar dia tak lari lagi dari tanggung jawab!"
Sakawuni sejenak memalingkan wajahnya me-
mandang Pendekar Mata Keranjang.
"Apa lagi yang diperbuatnya? Apakah benar
yang dikatakan orang tua ini...? Dia sendiri siapa...?
Dan siapa juga muridnya...? Seorang gadis?"
Batin Sakawuni terus bertanya-tanya. Namun
wajahnya kini sudah dipalingkan ke arah Restu Canggir Rumekso.
"Orang tua! Coba katakan perbuatan apa yang
dilakukannya!" ujar Sakawuni seraya menarik kedua
tangannya, siap melepaskan pukulan apabila orang
tua di hadapannya bertindak.
"Gadis cantik! Aku sebetulnya tidak suka mem-
beberkan hal ini. Namun karena kepentingan kita sa-
ma, yakni membawa pemuda ini, maka setelah kau
nanti mendengar keteranganku, kuharap bersedia me-
lepaskannya untukku. Namun jika kau masih tidak
juga melepaskannya untukku, aku tak keberatan
membuatmu jadi bangkai!" gertak Restu Canggir Ru-
mekso dengan senyum mengejek.
"Orang tua! Kau terlalu tua untuk menggertak
ku. Jangan dikira aku takut. Katakan saja terus te-
rang, apa yang dilakukan pemuda itu! Mungkin, aku
nanti bisa mengerti dan melepasnya untukmu. Meski,
bukan berarti urusanku dengannya selesai!" balas Sa-
kawuni, sengit.
"Dia telah menghamili muridku!"
Sakawuni kontan ternganga. Kepalanya berde-
nyut keras. Tubuhnya terlihat bergetar hebat. Bahkan
langkahnya surut tiga tindak ke belakang. Dari mulut-
nya terdengar gumaman yang tak bisa ditangkap telin-
ga.
Mendadak saja Sakawuni berbalik dan berkele-
bat. Dan di kejap lain, telah berdiri satu langkah tepat
di depan Pendekar Mata Keranjang.
Aji yang masih tak mempercayai pendengaran-
nya atas ucapan Restu Canggir Rumekso, terkesiap
kaget. Namun belum habis rasa terkejutnya, Sakawuni
telah melayangkan tangan kanan ke pipinya.
Plak! Plak!
Tamparan keras tangan kanan Sakawuni seje-
nak membuat pendekar murid Wong Agung ini bagai
orang gagu. Menahan rasa sakit dan terkejut, serta ge-
ram. Berkali-kali diusapnya bekas tamparan tangan
Sakawuni Sedangkan sepasang matanya membelalak
merah, memandang Restu Canggir Rumekso dan Sa-
kawuni bergantian.
"Dengar, Pendekar Mata Keranjang. Masalah
kematian guru sebenarnya belum bisa kupastikan
orangnya. Mungkin saja kau, dan mungkin saja bu-
kan. Namun pengakuan yang diucapkan orang tua itu,
jelas tidak bisa kau pungkiri lagi. Kau harus bertang-
gung jawab. Kau adalah seorang pendekar! Tunjukkan-
lah bahwa kau adalah seorang laki-laki bertanggung
jawab dan tak mau enaknya saja!" bentak Sakawuni.
Paras Pendekar Mata Keranjang kembali merah
padam. Matanya semakin mendelik.
"Sakawuni! Kau tak usah menggurui ku! Lekas
tinggalkan tempat ini!" sergah Aji.
Suaranya terdengar parau dan bergetar. Entah
jengkel belum bisa menerima hal yang baru saja di-
dengarnya dari Restu Canggir Rumekso, Sakawuni be-
ringsut mundur menjauhi Pendekar Mata Keranjang.
Kedua matanya tampak berkaca-kaca.
"Baiklah. Aku akan meninggalkan tempat ini.
Namun, ingat. Masalah kita masih belum selesai! Sua-
tu hari nanti, aku pasti datang!" kata Sakawuni den-
gan suara ditekan.
Pendekar Mata Keranjang trenyuh melihat si-
kap Sakawuni. Sepertinya dia sadar kalau sebenarnya
Sakawuni mencintainya. Sikap gadis ini yang kasar ta-
di, hanya karena terdorong cemburu pada Ajeng Roro.
Dan Aji segera melangkah mendekati Sakawuni.
"Aku akan ingat baik-baik ucapanmu, Tapi satu
hal yang perlu dicamkan, aku belum pernah menggauli
seorang perempuan. Apalagi, membunuh gurumu!"
ujar Pendekar Mata Keranjang.
Sakawuni terdiam. Kebimbangan jelas nampak
di raut wajahnya.
"Hmm.... Itu tak perlu kau katakan. Nanti, wak-
tulah yang akan membuktikan!"
Habis berkata begitu, Sakawuni memandang
tajam pada Pendekar Mata Keranjang, lalu beralih pa-
da Restu Canggir Rumekso. Lalu tubuhnya berbalik,
membuat lompatan beberapa kali, sebelum akhirnya
lenyap.
"Restu Canggir Rumekso! Aku tak bisa menger-
ti, apa maksudmu sebenarnya?!" tanya Pendekar Mata
Keranjang minta penjelasan seraya melangkah maju.
Restu Canggir Rumekso tertawa panjang.
"Kau tak akan bisa mengerti, karena kau me-
mang bodoh!" sahut Restu Canggir Rumekso, enteng.
"Jahanam!" hardik Pendekar Mata Keranjang.
"Kau cari penyakit!"
"Bukan cari penyakit. Tapi, cari kematianmu!"
balas Restu Canggir Rumekso.
Pendekar Mata Keranjang habis kesabaran.
Lantas telunjuk jarinya ditudingkan tepat pada muka
Restu Canggir Rumekso.
"Kau ternyata manusia munafik. Berbuat baik
karena mempunyai maksud-maksud tertentu. Manusia
macam kau, terlalu berbahaya jika dibiarkan hidup!"
Kembali Restu Canggir Rumekso hanya tertawa
terkekeh mendengar ucapan Pendekar Mata Keran-
jang.
"Bicaramu terlalu tinggi, Anak Sombong. Kau-
lah yang membahayakan jika dibiarkan hidup! Karena,
kau akan menebar benih di mana-mana tanpa berani
bertanggung jawab!"
"Fitnah keji!" desis Pendekar Mata Keranjang
marah. Saat itu juga Aji berkelebat, membuat tubuh-
nya hilang dari pandangan. Namun di kejap lain, tu-
buhnya mendadak muncul dengan kedua tangan siap
menghajar kepala Restu Canggir Rumekso.
Namun yang diserang sepertinya tak mempedu-
likan. Restu Canggir Rumekso tetap berdiri. Bahkan
mengeraskan gelak tawanya. Dan sejengkal lagi han-
taman tangan Pendekar Mata Keranjang menghajar
kepalanya, tiba-tiba tubuhnya rebah kaku bagai ba-
tangan pohon di atas tanah!
Wesss! Wesss!
Hantaman tangan Pendekar Mata Keranjang
yang telah dialiri tenaga dalam hanya menghajar angin
di atas tubuh Restu Canggir Rumekso.
"Sial! Rupanya dia memang tokoh yang sulit di-
duga, baik jalan pikiran atau ilmunya...," maki batin
Pendekar Mata Keranjang seraya berbalik dan melon-
cat setengah tombak ke udara.
Dan tiba-tiba saja Pendekar Mata Keranjang
menaikkan kedua kakinya ke depan. Kini tubuhnya
seakan melayang deras satu jengkal di atas tanah, me-
nyusur ke arah Restu Canggir Rumekso yang masih
kaku rebah di atas tanah.
Namun, Pendekar Mata Keranjang dibuat terke-
jut bukan kepalang. Karena begitu kedua kakinya
hampir menggebrak, dengan kecepatan yang sulit di-
tangkap mata orang tua itu bergerak cepat. Tubuhnya
melesat ke udara, membuat gerakan berputar satu
kali. Lalu tiba-tiba tubuhnya menukik deras ke arah
punggung Pendekar Mata Keranjang yang kini tengah
melayang menyusur di atas tanah.
Aji tersentak kaget dan cepat berpaling. Orang
tua yang disangkanya akan terhajar kedua kakinya,
kini menerjang ke arahnya!
"Bedebah!"
Hanya itu suara yang terdengar dari mulut
Pendekar Mata Keranjang. Karena sesaat kemudian,
punggungnya terasa ambrol dan tubuhnya melesat le-
bih kencang ke depan.
Bukan hanya sampai di situ. Sebelum Pendekar
Mata Keranjang sempat mengerahkan tenaga dalam
untuk menghentikan gerak laju tubuhnya, Restu
Canggir Rumekso telah berkelebat cepat. Dan tahu-
tahu, sepasang kakinya telah menjepit ketat leher Pen-
dekar Mata Keranjang!
Dengan menindih rasa tercekat, Pendekar Mata
Keranjang mengeluarkan bentakan-bentakan mengge-
ledek sambil menghantamkan kedua tangannya ke
arah tubuh Restu Canggir Rumekso yang kini duduk
di atas lehernya. Namun hantaman-hantaman itu sea-
kan tak dirasakan Restu Canggir Rumekso. Bahkan
tatkala orang tua itu menghentakkan sepasang ka-
kinya ke samping, Pendekar Mata Keranjang tak bisa
lagi menahan tubuhnya. Hingga tak ampun lagi, tu-
buhnya terbanting keras di atas tanah!
"Jangkrik! Gerakannya seperti setan. Leherku
bagai hendak putus!" keluh Pendekar Mata Keranjang,
sambil merambat bangkit.
Namun baru saja bangkit, tubuh Aji oleng kem-
bali dan jatuh terkapar!
Untuk beberapa saat Pendekar Mata Keranjang
tak bergerak di atas tanah. Kepalanya terasa berputar-
putar. Lehernya panas bagai terjilat api. Sementara
punggungnya serasa jebol. Dan begitu kelopak ma-
tanya membuka pandangannya berkunang-kunang.
Tanah tempatnya terkapar seperti berputar.
Pada saat demikian itulah, terdengar gelak tawa
Restu Canggir Rumekso. Lalu, terdengar langkah
langkah berat mendatangi. Dan sebelum Pendekar Ma-
ta Keranjang bergerak hendak mengetahui apa yang di-
lakukan Restu Canggir Rumekso, sebuah tangan tera-
sa mengambil kepalanya. Lalu, tiba-tiba saja sebuah
tangan lain menghantam deras dadanya.
Des!
"Ukhhh...!"
Pendekar Mata Keranjang merasa dadanya ter-
timpa beban berat. Tubuhnya melayang. Dan sebelum
jatuh di atas tanah, dia tak merasakan apa-apa lagi.
Pandangannya seketika gelap.
Melihat lawan roboh, Restu Canggir Rumekso
menghentikan gelak tawanya. Kakinya melangkah
mendekati tubuh Pendekar Mata Keranjang yang telah
terpuruk di atas tanah.
Sejenak orang tua bercaping ini melihat Pende-
kar Mata Keranjang. Matanya yang sayu sejenak mene-
lusuri sekujur tubuh pemuda di hadapannya, lalu
jongkok. Diraba-rabanya tubuh Aji.
Sesaat kemudian, wajah orang tua ini tampak
meredup, menandakan rasa kecewa. Entah marah en-
tah kecewa, kedua tangannya segera meraba-raba
kembali sekujur tubuh Pendekar Mata Keranjang. Na-
mun, kali ini dengan sentakan-sentakan keras. Se-
hingga, pakaian Pendekar Mata Keranjang tampak cen-
tang perentang tak karuan.
"Setan alas! Dia tidak membawa benda itu!" ge-
rutu Restu Canggir Rumekso.
Orang tua ini pun bangkit. Dicampakkannya
kipas hijau milik Pendekar Mata Keranjang.
"Bukan kipas butut ini yang kucari!" dengus
Restu Canggir Rumekso, seraya melangkah pergi me-
ninggalkan Pendekar Mata Keranjang. "Untuk kali ini,
nyawanya masih ku tunda. Aku masih mengharapkan
sesuatu darinya!"
Namun seakan tidak percaya, orang tua ini
kembali melangkah mendekati Aji. Tapi niatnya segera
diurungkan tatkala telinganya menangkap suara lang-
kah dan orang berseru memanggil.
"Aku mendengar akan ada orang yang datang.
Hmm..., aku sebaiknya pergi sekarang. Masih ada ma-
salah penting yang harus kuselesaikan. Merawat Putri
Tunjung Kuning, hingga jabang bayinya lahir. Hmm,
aku akan mempunyai seorang murid! Firasat ku men-
gatakan, jabang bayi dalam kandungan gadis itu
mempunyai keanehan dan keajaiban...."
Berpikir begitu, Restu Canggir Rumekso segera
berkelebat menghilang dari tempat Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 terkapar.
SEMBILAN
Ajeng Roro tampak duduk tepekur di depan gu-
buk. Sesekali pandangan matanya berpaling ke bela-
kang. Namun ketika pandangannya tak juga menang-
kap sosok yang diharapkan, wajahnya yang cantik ter-
lihat cemberut.
"Manusia satu itu memang suka menggoda.
Hingga bagaimanapun rasa jengkel yang telah lama
kupendam, tatkala bertemu orangnya, kejengkelan itu
lenyap seketika. Hmm.... Apakah dia akan di sini te-
rus? Ah! Betapa senangnya jika demikian...."
"Roro...."
Sebuah suara berat dari dalam menyentakkan
lamunan Ajeng Roro.
"Kulihat kau tadi menyusul Aji. Mana anak
itu...?" tanya suara yang berasal dari mulut Eyang Selaksa.
Ajeng Roro tidak segera menjawab. Dibasahinya
bibirnya sebentar.
"Ngg... Tadi, kulihat dia juga melangkah ke arah
sini...," sahut Ajeng Roro setelah berhasil menguasai
rasa gugupnya.
"Aneh?! Kalian ini ada apa sebenarnya...? Sejak
bertemu di sini, kalian berdua seperti kucing bertemu
tikus...," desah Eyang Selaksa.
Ajeng Roro sepertinya tidak mengindahkan ka-
ta-kata dari dalam gubuk. Karena saat itu, pikirannya
berkata-kata sendiri.
"Jangan-jangan dia jengkel dengan sikapku ta-
di, yang memberosot dari...."
Ajeng Roro tidak meneruskan kata hatinya. Wa-
jahnya merona merah.
"Jangan-jangan dia mendapat halangan...,"
gumam gadis ini, tercenung sejenak. "Jika tak ada apa-
apa, tentunya dia telah sampai di sini. Atau kalau
menggoda, tentunya telah berbuat yang tidak-tidak....
Hm.... Sebaiknya aku kembali ke tempat tadi!"
Gadis cantik ini lantas berdiri. Matanya mena-
tap sebentar ke arah gubuk, lalu berbalik dan berkele-
bat ke arah dia tadi datang.
"Roro...," panggil suara dari dalam gubuk. "Apa
tak sebaiknya kau kembali melihat...."
Suara Eyang Selaksa dari dalam gubuk terhenti
seketika. Tak lama Orang tua itu muncul dari dalam
gubuk. Matanya sebentar memandang berkeliling, lan-
tas menggeleng-geleng.
"Dasar anak muda...!" desah Eyang Selaksa se-
raya kembali masuk ke dalam gubuk.
Di tempat lain, begitu dari kejauhan Pendekar
Mata Keranjang 108 tampak terkapar di atas tanah,
Ajeng Roro mempercepat larinya.
"Astaga! Apa yang terjadi dengan dirinya...?
Tampaknya dia...."
Begitu tiba, Ajeng Roro cepat jongkok di samp-
ing tubuh Aji. Lalu matanya berputar menyelidik ke
sekeliling. Pendengarannya dipasang baik-baik. Namun
hingga agak lama, tak menemukan sesuatu yang men-
curigakan. Segera wajahnya dipalingkan pada Aji. Ke-
dua tangannya bergerak memeriksa.
"Dia pingsan. Tubuhnya tampaknya terluka....
Siapa yang melakukannya...? Jika berniat jahat, kena-
pa dia dibiarkan begitu saja...? Lagi pula, kipas ini juga
tak diambil!"
Ajeng Roro lantas mengambil kipas hijau milik
Aji dan menyimpannya di balik pakaian.
Saat itulah terdengar erangan dari mulut Aji.
Kedua mata Pendekar Mata Keranjang lantas perlahan
terbuka, memandang langit.
"Aji..., apa yang terjadi? Dan siapa yang mela-
kukan ini...?" tanya Ajeng Roro langsung.
Kedua mata Aji berputar. Lalu ditatapnya Ajeng
Roro. Sejenak mata itu menyipit, lalu membelalak.
"Roro...."
Sebuah suara meluncur dari mulut pemuda itu.
Ajeng Roro tersenyum, lalu mengangguk perla-
han.
"Siapa orang yang berniat jahat padamu, Aji?"
Pendekar Mata Keranjang tak menjawab. Tu-
buhnya bergerak bangun, dan duduk. Keningnya men-
gernyit. Bibirnya meringis menahan sakit yang mende-
ra punggung dan dadanya. Dia terbatuk beberapa kali,
lalu meludah ke tanah. Ternyata, ludahnya telah ber-
campur darah, pertanda terluka dalam. Menyadari hal
itu, Pendekar Mata Keranjang segera menyalurkan tenaga dalam untuk mengurangi rasa sakit.
"Orang tua gila! Aku tak menduga jika dia ber-
kepandaian begitu tinggi. Hmm..., aku harus menye-
lamatkannya...," gumam Pendekar Mata Keranjang se-
telah dapat menguasai rasa nyeri di dadanya.
"Orang tua...? Orang tua siapa...? Dan, siapa
pula yang harus kau selamatkan...?" desak Ajeng Roro,
tak mengerti gumaman Pendekar Mata Keranjang.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang menatap ga-
dis di sampingnya.
"Waktu aku akan melangkah menyusulmu, ti-
ba-tiba sebuah bayangan berkelebat menghadangku.
Aku sempat bertukar beberapa jurus dengannya. Na-
mun, aku tak menduga sama sekali jika dia berilmu
demikian tinggi...," jelas Aji
"Kau kenal dengannya? Apa dia musuhmu...?"
tanya Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang mengangguk lalu
menggeleng, membuat Ajeng Roro keheranan.
"Aku mengenalnya. Namanya, Restu Canggir
Rumekso. Dia bukan musuhku. Karena, antara aku
dan dia tidak ada silang sengketa!" jelas Aji, tetap me-
mandangi wajah Ajeng Roro. Dan gadis ini jadi jengah
sendiri.
"Lantas, kenapa dia berbuat kejam padamu...?"
cecar Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang menggeleng.
"Itulah yang tak habis ku mengerti! Dia tiba-
tiba saja menyerangku...."
Aji lantas memperhatikan pakaiannya. Dahinya
berkernyit. Dan tiba-tiba dia teringat pada kipas milik-
nya. Serta merta tangannya bergerak meraba di balik
pakaiannya yang tampak centang perentang. Sekejap
wajahnya berubah, karena tak menemukan kipasnya.
"Kau mencari barang mu...?" tanya Ajeng Roro.
Pendekar Mata Keranjang tersenyum lebar,
membuat Ajeng Roro semakin keheranan.
"Orang ini benar-benar edan! Dalam keadaan
begini masih bisa senyum-senyum....," gumam gadis
itu, tak diungkapkan lewat mulutnya.
"Barang ku rasa-rasanya masih ada dan tetap
utuh. Apa kau tidak merasakannya?" seloroh Pendekar
Mata Keranjang sambil melirik ke bawah.
"Edan! Mulutmu kotor...," cibir Ajeng Roro se-
raya mengalihkan pandangan. Karena tatkala mengi-
kuti arah pandangan Aji, mata pemuda itu berhenti
pada pangkal pahanya.
Namun hal itu hanya berlangsung sekejap. Di
kejap lain, Pendekar Mata Keranjang tampak bingung.
"Kau melihat senjataku...?" tanya Aji.
Yang ditanya tidak menjawab, dan juga tidak
menoleh. Ajeng Roro terlihat menyembunyikan wajah-
nya yang merah padam.
"Roro...," panggil Aji bersungguh-sungguh. "Kau
melihatnya...?"
"Bukankah kau tadi mengatakannya sendiri?
Kenapa sekarang berkata?" tukas Ajeng Roro acuh.
Padahal sebenarnya dia tahu yang dimaksud senjata
oleh Aji adalah kipas.
"Ngg.... Yang ku maksud, kipas ku...."
Ajeng Roro segera mengeluarkan kipas milik
Pendekar Mata Keranjang dari balik pakaiannya. Sege-
ra benda itu diangsurkan pada Aji.
Sambil menarik napas lega, Pendekar Mata Ke-
ranjang mengambil kipasnya dan menyimpan di balik
pakaian.
"Hmm.... Aku tak mengerti, apa tujuan sebe-
narnya manusia bernama Restu Canggir Rumekso itu.
Kalau memang berniat jelek, tentunya mudah baginya
membunuhku saat aku pingsan tadi. Juga, tampaknya
dia tak tertarik dengan kipas ini. Nyatanya, kipas ini
tidak diambilnya...," gumam Pendekar Mata Keranjang
dalam hati.
"Namun, aku menangkap sesuatu yang tersem-
bunyi di baliknya. Menghadapinya benar-benar dibu-
tuhkan akal sehat.... Aku akan menyelidikinya. Kare-
na, akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan
Putri Tunjung Kuning...."
"Eh! Kau melamunkan seseorang...?" usik Ajeng
Roro membuyarkan lamunan Pendekar Mata Keran-
jang.
Untuk menyembunyikan rasa terkejut, Pende-
kar Mata Keranjang tersenyum lebar.
"Di sampingku ada gadis cantik. Untuk apa me-
lamunkan seseorang?"
"Kau telah agak baikan?" tanya Ajeng Roro,
mengalihkan pembicaraan. "Eyang Selaksa mengkha-
watirkan kau!"
Sambil berkata begitu, Ajeng Roro bangkit dan
melangkah ke arah Kampung Blumbang. "Eyang Se-
laksa atau...."
Pendekar Mata Keranjang tak meneruskan
ucapannya. Karena pada saat itu, Ajeng Roro telah
berbalik dan membelalakkan sepasang matanya.
Selagi mereka berdua saling berpandangan be-
gitu, sebuah bayangan berkelebat.
"Anak-anak konyol! Ada apa ini...?"
"Eyang...," desah Pendekar Mata Keranjang, se-
raya bangkit dan melangkah mendekati. "Aku akan
mohon diri sekarang.... Ada sesuatu yang harus kuse-
lesaikan...."
Habis bicara, Pendekar Mata Keranjang menjura hormat pada sosok yang baru datang yang tak lain
Eyang Selaksa. Orang tua ini sebentar memandang
pada Pendekar Mata Keranjang, lalu beralih pada
Ajeng Roro.
"Kau hendak ke mana...?" tanya Eyang Selaksa.
"Aku harus pergi ke Dusun Amadanom. Dan,
maaf. Aku tak bisa menceritakan hal ini sekarang...,"
jelas Aji.
Eyang Selaksa hanya mengangguk.
"Kalau itu memang demi kebaikan, pergilah...."
Sementara itu, Ajeng Roro yang tak menduga
secepat itu Aji mengambil keputusan untuk pergi, se-
gera menundukkan kepala. Wajahnya redup. Bias ke-
kecewaan jelas terpancar dari sikapnya.
"Eyang, Roro.... Aku pergi sekarang...," pamit
Aji.
Habis berkata, sejenak Pendekar Mata Keran-
jang menatap Ajeng Roro.
Seperti tahu, gadis itu mengangkat kepalanya,
memandang Aji.
Pendekar Mata Keranjang tersenyum. Namun,
Ajeng Roro tidak membalas. Hingga untuk beberapa
saat, kedua orang ini saling pandang. Satunya terse-
nyum, satunya cemberut.
Melihat suasana kaku, Eyang Selaksa batuk-
batuk beberapa kali. Dan membuat Pendekar Mata Ke-
ranjang tahu diri. Tubuhnya segera berbalik, lantas
melangkah meninggalkan Eyang Selaksa dan Ajeng Ro-
ro.
"Roro.... Kau tampaknya bersedih. Aku tahu pe-
rasaanmu. Tapi, kau harus dapat mengerti jiwa seo-
rang pendekar. Dia harus ada di tempat ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan berlangsung. Kau paham
maksudku...?" tegur Eyang Selaksa.
Ajeng Roro mengangguk, meski matanya masih
menatap punggung Aji yang makin lama makin kecil,
sebelum akhirnya hilang dari pandangan.
"Apakah kita akan tetap di sini...?" lanjut Eyang
Selaksa, begitu agak lama Ajeng Roro tidak juga beran-
jak dari tempatnya.
Dengan raut merah padam, Ajeng Roro cepat
melangkah mendatangi Eyang Selaksa. Dua langkah
lagi, gadis ini nampak tersenyum. Lantas tangannya
menggandeng tangan Eyang Selaksa. Dan mereka pun
melangkah menuju Kampung Blumbang.
SEPULUH
Lembah Bandar Lor tampak hitam pekat dis-
elimuti awan hitam yang menggantung. Suara guntur
menggelegar terdengar bersahutan, menyalak bagai tak
habis-habisnya. Lidah petir sambung menyambung,
seakan ingin melahap bumi dan isinya. Udara dingin
yang berhembus kencang, membuat keadaan semakin
mencekam.
Di dalam sebuah gua di ujung lembah yang
hanya diterangi sebuah obor yang ditancapkan begitu
saja di sela batu, samar-samar terlihat dua orang se-
dang duduk berhadapan.
Namun, ada sesuatu yang membuat mata sea-
kan tak percaya. Salah seorang di antaranya, ternyata
duduk di atas sebuah tiang kecil. Dan ternyata, tiang
kecil yang dibuat duduk adalah sebuah tombak yang
menancap hampir setengah ke dalam tanah dalam
gua. Hebatnya, tombak yang pangkalnya membentuk
sekuntum bunga berwarna hitam itu tidak terus amblas ke dalam tanah. Sedangkan sosok yang duduk ju-
ga terlihat tenang-tenang saja.
Melihat hal ini, bisa dibayangkan kalau sosok
yang duduk tentu seorang memiliki ilmu meringankan
tubuh yang benar-benar sempurna. Dan mungkin
hanya satu dua orang yang bisa melakukannya.
Yang duduk di atas tombak ternyata seorang
perempuan. Usianya tidak mudah untuk ditebak. Ka-
rena, wajahnya ditutupi bedak tebal. Bibirnya yang
tebal sebelah atas berwarna merah menyala. Rambut-
nya panjang sebahu. Tapi, rambut bagian atasnya di-
potong amat pendek, hingga jabrik! Sepasang matanya
lebar. Hidungnya mancung, tapi bengkok. Dan yang
membuat semakin janggal, ternyata tubuhnya pendek!
Dalam kancah dunia persilatan, wanita pendek yang
bernama asli Kunyil ini berjuluk Bawuk Raga Ginting.
Sementara orang satunya yang duduk di hada-
pan dengan Bawuk Raga Ginting adalah pemuda ber-
wajah tampan. Pakaiannya putih. Sepasang matanya
tajam dengan alis tebal. Rambutnya panjang sebahu.
"Pandu...!"
Setelah saling berdiam diri agak lama, Bawuk
Raga Ginting yang duduk di atas tombak membuka
mulut, membuncah kesunyian yang sesekali hanya di-
pecahkan oleh suara guntur menggelegar.
"Kau telah melaksanakan tugas membawa
penggalan kepala Ageng Panangkaran. Maka seperti
janji ku padamu, mulai saat ini kau kuangkat menjadi
muridku!" lanjut perempuan pendek itu.
"Terima kasih..., Guru...!" ucap pemuda yang
memang Pandu, bekas murid Ageng Panangkaran, se-
raya menjura hormat.
"Pandu.... Sekarang, jawablah dengan jujur.
Dari mana sebenarnya kau mengetahui tempat dan
namaku...?" ujar Bawuk Raga Ginting.
Pandu tidak segera menjawab. Wajahnya tam-
pak bimbang.
"Setelah terjadi peristiwa perselisihan dengan
adik seperguruanku, aku yang sejak semula mencuri-
gai Ageng Panangkaran menyembunyikan sesuatu,
menyelidik ke ruangannya. Namun, ternyata apa yang
kuduga meleset. Sampai akhir hayatnya, ternyata
Ageng Panangkaran tak menyembunyikan sesuatu
yang kuduga berupa kitab atau benda pusaka. Yang
kutemukan hanyalah sebuah buku kecil. Setelah ku-
buka, ternyata hanya berisi nama-nama orang...," jelas
Pandu setelah agak lama dengan suara bergetar.
"Hmm..., lantas kenapa kau memilih ku...?"
tanya Bawuk Raga Ginting.
Sementara sambil bertanya, mata perempuan
pendek ini tak berkedip menatap pemuda yang kini te-
lah diangkat menjadi muridnya.
"Aku memilihmu, karena dari sekian nama-
nama itu, hanya ada dua nama yang diberi bundaran
merah tebal. Aku berpikir, nama yang diberi bundaran
merah adalah nama yang paling menonjol. Dan berarti,
orangnya pun demikian juga," papar pemuda itu.
"Selain namaku, siapa lagi nama lainnya...?"
desak Bawuk Raga Ginting.
"Restu Canggir Rumekso...," sahut Pandu, per-
lahan.
Bawuk Raga Ginting manggut-manggut. Dalam
hati manusia pendek ini memuji kalau pemuda ini cer-
dik juga. Selain itu, tampaknya juga licik. Hanya saja,
Pandu pandai menyembunyikannya. Dan memang,
orang seperti inilah yang diinginkan Bawuk Raga Gint-
ing.
"Kira-kira siapa sebenarnya yang membunuh
Ageng Panangkaran...?" tanya perempuan pendek itu.
Pandu menggeleng perlahan.
"Hanya saja, waktu itu aku mendapati seorang
pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang berada di
samping mayat Ageng Panangkaran...," jelas Pandu.
"Tunggu!" seru Bawuk Raga Ginting tiba-tiba
seakan terkejut. "Kau menyebut Pendekar Mata Keran-
jang. Apakah dia yang akhir-akhir ini menjadi buah
bibir dalam rimba persilatan...?"
Pandu menyeringai tak senang. Namun akhir-
nya menganggukkan kepala.
"Aku menyirap kabar di luaran, Pendekar Mata
Keranjang berhasil mengikis habis tokoh dan momok
rimba persilatan yang bergelar Malaikat Berdarah Biru.
Apa benar demikian...?" sahut Bawuk Raga Ginting.
"Itu hanya kabar yang beredar di luaran. Na-
mun, yang terjadi sebenarnya sulit diduga...," kata
Pandu dengan suara agak berat. Pelipisnya terlihat
bergerak-gerak. Dagunya terangkat membatu. Semen-
tara, alis matanya menukik bertautan, seakan-akan
menahan hawa amarah besar.
Melihat perubahan pada wajah muridnya setiap
kali membicarakan Pendekar Mata Keranjang, mem-
buat Bawuk Raga Ginting sedikit heran.
"Dari raut wajahmu, sepertinya kau tidak se-
nang dengan pemuda bergelar Pendekar Mata Keran-
jang. Apakah...."
"Dialah pemuda yang mengecewakan hatiku!
Adik seperguruanku yang kucintai, ternyata jatuh cin-
ta padanya.... Dan aku akan berusaha, bagaimanapun
caranya untuk membalas pemuda keparat itu...!"
Belum habis Bawuk Raga Ginting bicara, Pandu
telah menyela dengan suara sedikit keras, untuk me-
nindih luapan amarahnya.
Bawuk Raga Ginting tertawa ngikik.
"Kau tak usah khawatir, Pandu! Segala yang
kau inginkan, pasti akan tercapai. Aku akan menu-
runkan segala ilmuku padamu. Namun, kau harus
mengerti. Setelah lancar, kau harus turuti segala pe-
rintahku! Kalau coba-coba membelot, aku tak segan-
segan membunuhmu!" kata Bawuk Raga Ginting tegas.
"Aku mendengarkan mu, Guru. Segala keingi-
nan dan perintahmu akan ku turuti...," sahut Pandu,
mantap.
"Bagus! Namun, kau harus sungguh-sungguh!
Karena masalah yang akan kuhadapi sangat berat! Ta-
pi, aku percaya kau akan berhasil menghadapinya!"
Pandu yang mendengarkan keterangan Bawuk
Raga Ginting sedikit terkejut.
"Guru! Kalau boleh tahu, kira-kira tugas apa
nantinya yang harus kulakukan...?!" tanya Pandu hati-
hati, takut gurunya tersinggung.
Bawuk Raga Ginting menatap lekat-lekat wajah
muridnya. Sebentar kemudian pandangan matanya be-
ralih memandang ke lobang gua, dan tembus ke luar.
Seolah-olah dia tengah mengingat-ingat masa lalunya,
yang kini membayang jelas di pelupuk matanya.
"Dengar, Pandu. Bertahun-tahun aku hidup
menyendiri dengan menyimpan dendam membara. Aku
sebenarnya tahu, siapa pemuda berjuluk Pendekar
Mata Keranjang itu. Karena, dia sebenarnya adalah
murid Jayang Parama, tokoh yang akhirnya terkenal
bergelar Wong Agung dari Karang Langit. Waktu itu,
dalam rimba persilatan beredar kabar bahwa senjata
ciptaan Eyang Empu Jaladara jatuh ke tangan Wong
Agung. Aku yang waktu itu juga mencari jejak senjata
ciptaan Empu Jaladara, pada akhirnya bertemu Wong
Agung. Namun, nyatanya aku tak bisa menaklukkan
nya."
Sejenak Bawuk Raga Ginting menghentikan ce-
ritanya. Sepertinya, dia berusaha mengumpulkan sega-
la ingatannya untuk diungkapkan pada muridnya.
"Di lain pihak, juga tersiar kabar kalau senjata
ciptaan Empu Jaladara lainnya berada di tangan
Ageng Panangkaran. Menurut kabar itu, aku pun men-
cari Ageng Panangkaran. Tapi, lagi-lagi aku gagal. Ka-
rena waktu itu, Ageng Panangkaran ternyata juga di-
bantu gurunya Junjung Balaga! Maka sejak saat itulah
aku hidup menyendiri, memendam, dendam pada me-
reka. Sekarang tersiar kabar kalau senjata itu jatuh ke
tangan Pendekar Mata Keranjang dan Malaikat Berda-
rah Biru. Dan jika benar kabar Malaikat Berdarah Biru
telah takluk di tangan pendekar sialan itu, berarti se-
mua senjata ciptaan Empu Jaladara sekarang berada
di tangannya. Dengar! Aku sekarang tidak mengingin-
kan senjata itu. Yang kuinginkan sekarang adalah, ke-
pala Wong Agung! Selain itu, masih banyak lagi. Dan
kau akan tahu sendiri nantinya. Yang jelas mereka
adalah orang-orang yang dahulu menyingkirkan ku
dari pergaulan. Bahkan menghina karena aku begi-
ni...," lanjut Bawuk Raga Ginting, menuntaskan ceri-
tanya.
Pandu mendengarkan keterangan gurunya den-
gan seksama. Seakan-akan dia ikut larut dengan apa
yang dirasakan gurunya.
"Jika saja aku sekarang mampu, sekarang juga
akan berangkat mencari kepala Wong Agung serta
orang-orang yang mengecewakan hatimu!" tegas Pan-
du, setelah agak lama.
Bawuk Raga Ginting tertawa keras mendengar
kata-kata Pandu. Sehingga, tubuhnya terlihat bergun-
cang-guncang. Namun anehnya, tombak yang didudu
ki tak bergeming dan tak amblas!
"Semangat mu berkobar-kobar dan kebera-
nianmu besar! Aku tak salah mengangkatmu jadi mu-
rid. Hik... hik... hik...!"
"Guru! Ada satu hal lagi. Siapa orang yang ber-
nama Restu Canggir Rumekso itu...?" tanya Pandu, di
sela-sela tawa Bawuk Raga Ginting.
Tawa Bawuk Raga Ginting terputus, ketika
mendengar pertanyaan Pandu. Sepasang matanya
yang lebar membeliak merah. Dahinya mengernyit,
membuat bedak di wajahnya luruh. Tubuhnya bergetar
hebat. Sehingga tombak di bawahnya amblas ke dalam
tanah, menyisakan pangkalnya yang berupa sekuntum
bunga berwarna hitam.
"Dia adalah pemuda yang dulu pernah kucintai.
Namun, dia menolak dan menghinaku. Untuk dia, biar
aku sendiri nantinya yang mengurus...," jelas Bawuk
Raga Ginting, setelah dapat menguasai gejolak yang
nampaknya mendera hatinya.
Kembali suasana jadi hening.
"Pandu!" panggil Bawuk Raga Ginting setelah
keduanya agak lama diam. "Lepas baju atasmu. Kita
mulai latihan sekarang!"
Sejak hari itu, Pandu memulai hari-hari ba-
runya di Lembah Bandar Lor. Dia berlatih di bawah
bimbingan tokoh aneh berjuluk Bawuk Raga Ginting
SEBELAS
Begitu agak jauh meninggalkan Kampung
Blumbang, Pendekar Mata Keranjang 108 memperlam-
bat larinya. Bahkan kini terlihat melangkah perlahan.
Sambil berkipas-kipas. Mulutnya mengumandangkan
nyanyian yang tak jelas di telinga.
"Restu Canggir Rumekso.... Aku harus segera
menemukan tempat tinggalnya. Aku selalu mengkha-
watirkan keadaan Putri Tunjung Kuning. Apalagi, ka-
tanya dia sedang hamil.... Siapa kira-kira ayah jabang
bayi dalam kandungannya?" kata batin Pendekar Mata
Keranjang sambil terus melangkah.
Namun langkah Aji mendadak tertahan tatkala
kedua telinganya menangkap suara mencurigakan.
Sambil tetap mendendangkan nyanyiannya, murid
Wong Agung ini cepat berbalik.
Sepasang mata Pendekar Mata Keranjang se-
rentak terbelalak hampir tidak percaya. Matanya diku-
cek-kucek, seakan ingin meyakinkan. Dan nyatanya
pandangan matanya tidak menipu.
Di hadapan Aji, kira-kira sepuluh langkah tam-
pak berdiri tegak seorang gadis cantik jelita berpakaian
putih-putih. Di lehernya, melingkar untaian kalung da-
ri bunga-bunga berwarna hitam. Sementara di atas te-
linga kirinya, juga menyelip sekuntum bunga berwarna
hitam.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau tak akan bisa
lari dari mataku!" tegur gadis berbaju putih ini dengan
nada tinggi.
"Ratu Sekar Langit...," sebut Pendekar Mata Ke-
ranjang, memandang tak berkedip. "Gadis ini tak kenal
menyerah. Terpaksa kali ini aku akan turuti permin-
taannya, daripada masalah ini tak ada ujung pangkal-
nya...," kata batin Pendekar Mata Keranjang sambil
tersenyum lebar.
"Laki-laki pembual! Kali ini kau tak akan lolos
lagi!" teriak Ratu Sekar Langit.
Seraya berkata, gadis ini segera menarik kedua
tangannya, siap melepaskan pukulan.
"Tunggu!" tahan Pendekar Mata Keranjang. Ce-
pat kipasnya dilipat dan disimpan di balik baju hi-
jaunya.
Ratu Sekar Langit mengurungkan niat. Namun,
tangannya tetap siap. Sepasang matanya tetap mena-
tap menyelidik.
"Dengar, Ratu Sekar Langit. Aku memang se-
dang dalam perjalanan ke tempatmu. Karena, urusan-
ku yang kukatakan dahulu telah selesai...."
Paras Ratu Sekar Langit menjadi berubah seke-
tika. Matanya yang bulat memperhatikan sejenak, seo-
lah belum yakin. Tapi begitu Pendekar Mata Keranjang
tetap tersenyum dan malah mendekat ke arahnya, dia
terlihat sedikit gugup salah tingkah.
"Ucapanmu bisa dipercaya...?" tanya Ratu Se-
kar Langit. Tatapannya menusuk bola mata Pendekar
Mata Keranjang.
Murid Wong Agung ini hanya mengangguk.
"Kita berangkat sekarang...?" tantang Pendekar
Mata Keranjang seperti bersungguh-sungguh meski
dalam hati masih bingung tak tahu apa yang mesti di-
perbuat.
Seolah tersentak dari rasa terkejut, Ratu Sekar
Langit menggumam pelan seraya memalingkan wajah-
nya.
"Hmm... Gadis ini benar-benar cantik. Dadanya
dari arah samping begitu kencang menantang. Ping-
gulnya besar. Dan, hm... Bau harum tubuhnya menye-
ruak sampai sini...."
Sambil membatin begitu, sepasang mata Pen-
dekar Mata Keranjang tak henti-hentinya menatap.
Dan ini membuat gadis yang ditatap semakin salah
tingkah.
"Pendekar Mata Keranjang. Maafkan perlakua-
nku padamu selama ini...," ucap Ratu Sekar Langit
sambil melirik.
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Yang salah se-
benarnya aku...," sahut Pendekar Mata Keranjang,
mengerdipkan sebelah matanya.
"Pemuda ini menarik. Tak heran jika banyak
gadis yang menyukainya.... Dan aku sendiri, seper-
tinya tak bisa melupakannya...," kata batin Ratu Sekar
Langit. Dengan berusaha menghilangkan sikap salah
tingkahnya, Ratu Sekar Langit tersenyum manis pada
Pendekar Mata Keranjang.
"Silakan kau berjalan di muka...," ujar gadis ini.
"Ah! Kata-katamu masih menyimpan rasa curi-
ga padaku. Kau tak perlu curiga dan khawatir jika aku
lari. Bagaimana jika kita jalan bersamaan...? Aku su-
dah lama tak pernah jalan-jalan dengan gadis can-
tik...," desah Pendekar Mata Keranjang, mengge-
maskan.
Wajah Ratu Sekar Langit mendadak bersemu
merah mendengar pujian Pendekar Mata Keranjang.
Dan sebelum menyatakan persetujuannya, Aji telah
menjajarinya.
Kini mereka tampak berjalan seiring. Namun
hingga beberapa lama, tidak ada seorang pun yang
bersuara. Mereka tampaknya seperti terbuai angan
masing-masing.
"Bagaimana sekarang...?" tanya batin Pendekar
Mata Keranjang. "Apa aku ke tempatnya dahulu, yang
berarti tujuanku ke lereng Gunung Mahameru tertun-
da. Atau, aku akan memuslihatinya dan meninggal-
kannya? Tapi, itu akan berakibat lebih parah lagi. Ka-
rena, dia pasti akan tetap mencariku.... Hmm..., ba-
gaimana kalau dia kuajak serta ke lereng Gunung Mahameru mencari tempat tinggal Restu Canggir Rumek-
so?"
Sementara Pendekar Mata Keranjang memba-
tin, Ratu Sekar Langit pun membatin.
"Aku heran. Jika sudah berdua dengannya, se-
pertinya kehabisan bahan untuk bicara...," keluh Ratu
Sekar Langit.
"Ratu Sekar Langit...!" panggil Pendekar Mata
Keranjang, memecah kekakuan. "Kalau boleh tahu,
apa kau masih berniat mendirikan perguruan silat...?"
"Benar! Itu memang cita-citaku sejak kecil. Kau
mau membantuku, bukan...? Perguruan itu nantinya
akan kita pimpin bersama. Dan kau bisa menetap di
istanaku...!" sahut Ratu Sekar Langit, lugas.
Pendekar Mata Keranjang tertawa perlahan,
mendengar tawaran Ratu Sekar Langit. Dan ini mem-
buat gadis itu memalingkan wajahnya.
"Sayang sekali, aku tidak bisa menerima tawa-
ran baikmu itu, Ratu.... Karena, aku masih suka hidup
begini. Ke sana kemari, tanpa ada yang mengikat. Lagi
pula, tak layak pemuda macam aku mendampingi ga-
dis cantik sepertimu! Kalau kau suka, aku punya be-
berapa kenalan yang mungkin cocok mendampingi-
mu!" tolak Pendekar Mata Keranjang, halus.
Wajah Ratu Sekar Langit meredup tiba-tiba. Di-
tariknya napas dalam-dalam. Tapi sepasang matanya
tiba-tiba mendelik.
"Pendekar Mata Keranjang! Sejak kapan kau
berubah jadi calo jodoh?!"
"Sejak bertemu kau!" jawab Pendekar Mata Ke-
ranjang, seenaknya.
Sebuah cubitan segera hinggap di lengan Pen-
dekar Mata Keranjang. Seketika murid Wong Agung ini
memekik perlahan.
"Ratu Sekar Langit! Kita lupakan dulu soal per-
guruan silatmu. Terus terang, aku sebenarnya hendak
ke Dusun Amadanom yang terletak di lereng Gunung
Mahameru. Aku..., ada hal yang harus kuselesai-
kan...," kata Pendekar Mata Keranjang terus terang.
Terkejutlah Ratu Sekar Langit mendengar kata-
kata Pendekar Mata Keranjang
"Jadi, kau akan mungkir lagi...?" tukas Ratu
Sekar Langit dengan nada tinggi.
"Tidak! Namun jika kau mau mengerti, aku
akan ke sana dahulu. Lantas, setelah itu akan ke ista-
namu!" jelas Aji.
Ratu Sekar Langit menghela napas dalam-
dalam. Matanya memandang jauh. Lalu kepalanya
menggeleng.
"Pendekar Mata Keranjang. Bagaimana kalau
aku ikut serta denganmu? Kau tak keberatan, bu-
kan...?" tanya Ratu Sekar Langit.
Pendekar Mata Keranjang tidak bisa segera
menjawab. Hingga mungkin karena tidak sabar me-
nunggu jawaban, Ratu Sekar Langit yang berdiri tepat
di depan segera mencekal bahu Pendekar Mata Keran-
jang.
"Kau tidak keberatan bukan...?" desak Ratu
Sekar Langit, semakin mengencangkan cekalan tan-
gannya.
"Baik-baik. Tapi, lepaskan dulu cekalan tan-
ganmu. Kalau ingin cekal, yang lain saja...," jawab
Pendekar Mata Keranjang, bercanda.
Entah gembira entah karena disengaja, menda-
dak Ratu Sekar Langit melepaskan cekalan tangannya
pada lengan Pendekar Mata Keranjang. Namun men-
dadak dia bergerak merangkul tubuh pemuda itu.
Dada Pendekar Mata Keranjang menggemuruh
seketika. Jantungnya berdetak makin kencang. Lebih-
lebih, tatkala dada membusung indah milik Ratu Sekar
Langit menempel rapat di dadanya.
"Pendekar Mata Keranjang...," bisik Ratu Sekar
Langit, perlahan. "Terima kasih kau mau mengajakku
ikut serta...."
Karena begitu tercekat, membuat Pendekar Ma-
ta Keranjang tak segera menjawab kata-kata Ratu Se-
kar Langit. Hanya kedua tangannya lantas bergerak ke
belakang tubuh Ratu Sekar Langit, dan menekannya.
Ratu Sekar Langit sepertinya terlena. Tubuhnya
makin dirapatkan. Lalu, kepalanya terangkat menen-
gadah. Sementara, dadanya makin berguncang keras.
Pendekar Mata Keranjang merundukkan kepa-
lanya sedikit. Lalu, bibirnya memagut bibir Ratu Sekar
Langit yang tampak sedikit terbuka.
Lama kedua anak manusia ini saling berpagu-
tan. Malah karena begitu terbuainya, perlahan-lahan
kaki Ratu Sekar Langit tampak goyah. Dan tak lama
kemudian, tubuh keduanya oleng dan luruh di atas
tanah lalu bergulingan.
Begitu di atas tanah, sepertinya mereka masih
terbuai. Keduanya terus saling berpagutan. Baru
tatkala Ratu Sekar Langit pasrah menerima apa yang
akan diperbuat Pendekar Mata Keranjang....
"Astaga!" seru Pendekar Mata Keranjang begitu
tersadar, segera dia melepaskan rangkulannya di ba-
wah punggung Ratu Sekar Langit
"Pendekar Mata Keranjang....." panggil Ratu Se-
kar Langit, lirih.
"Ratu Sekar Langit.... Kita harus cepat menuju
lereng Gunung Mahameru...," ujar Pendekar Mata Ke-
ranjang
Aji segera bangkit. Kedua tangannya diulurkan,
memberi isyarat agar Ratu Sekar Langit segera bang-
kit.
Dengan wajah memerah dan tak berani me-
mandang Pendekar Mata Keranjang, Ratu Sekar Langit
menyambuti uluran tangan itu. Segera gadis ini bang-
kit, dengan wajah berpaling.
"Nanti kita teruskan, jika kita telah selesai den-
gan urusan di lereng Gunung Mahameru...," kata Pen-
dekar Mata Keranjang sambil mengerdipkan sebelah
matanya.
Yang dikerdipi mendelik. Namun, bibirnya me-
nyunggingkan senyum bahagia.
SELESAI
Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108
selanjutnya:
TITISAN DARAH TERKUTUK
0 comments:
Posting Komentar