"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE PENGADILAN RIMBA PERSILATAN

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Episode I : MISTERI LABA-LABA PERAK 

Episode II : PENGADILAN RIMBA PERSILATAN


RINGKASAN EPISODE YANG LALU

(MISTERI LABA-LABA PERAK)

UNDANGAN YANG DITERIMA RAJA NAGA 

ITULAH AWAL DARI PETAKA YANG MENIMPANYA. 

DIA MENJADI TERTUDUH PENCURI KALUNG LABA-

LABA PERAK, LAMBANG SAHNYA KETUA PERGU-

RUAN LABA-LABA PERAK. SELAIN HARUS BERU-

SAHA MENCARI BUKTI KALAU DIA BUKANLAH PE-

LAKU PENCURIAN ITU, RAJA NAGA JUGA HARUS 

MENGHADAPI SERANGKAIAN URUSAN BERBAHAYA 

LAINNYA, DARI ORANG-ORANG UCIK YANG RATA-

RATA MEMILIKI DENDAM PADA MENDIANG RESI 

KALA JINJIT, KETUA PERGURUAN LABA-LABA 

PERAK YANG LAMA. PADAHAL, KEMATIAN RESI 

KALA JINJIT SENDIRI MASIH MERUPAKAN MIS-

TERI.

"TAK ADA PENCURI YANG MENGAKU SEBA-

GAI PENCURI MAKA KEMATIAN SAJA YANG PAN-

TAS KAU TERIMA!" MAKI JALA SRINGGIL DEN-

GAN SERANGAN GANASNYA.

MAU TAK MAU RAJA NAGA MEMBELA DI-

RINYA HINGGA, JALA SRINGGIL DAPAT DIKA-

LAHKAN. NAMUN KEMBARANNYA YANG BERNAMA 

KALA SRINGGIL TIDAK TINGGAL DIAM DAN SE-

GERA MEMBANTUI DAN DI SAAT KALA SRINGGIL 

MELANCARKAN SERANGAN, TIBA-TIBA SESUATU 

YANG MENGEJUTKAN TERJADI...


Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


MASING-MASING orang tak ada yang bersuara. 

Jalan setapak yang telah porak poranda itu mendadak 

lengang! Burung-burung yang beterbangan pun seperti 

merasa heran, kalau sebelumnya tempat itu laksana 

dilanda gempa, sekarang tiba-tiba menjadi sunyi.

Raja Naga memandang tak berkedip pada dua 

lelaki berkepala plontos yang mengenakan pakaian pu-

tih terbuka di bahu kiri. Yang berkumis tebal sedang 

berdiri dengan dada yang sedikit nyeri. Sementara 

yang seorang lagi, sedang meliriknya, tak percaya den-

gan apa yang terjadi.

"Kala Sringgil... benarkah yang kau katakan ta-

di?" tanya lelaki kelimis itu.

Lelaki berkumis tebal yang merasa nyeri di da-

danya menganggukkan kepala.

"Aku yakin! Bukan pemuda itu yang menahan 

seranganku! Karena aku masih sempat melihatnya 

yang tidak melakukan gerakan apa-apa. Jala Sringgil, 

ada orang lain yang berada di sini..."

Sementara itu Raja Naga kembali mengedarkan 

pandangannya ke sekeliling tempat itu. Sorot matanya 

yang angker dan mampu membuat lawan ciut nyali, 

tak berkedip. Lamat-lamat pemuda yang kedua tan-

gannya sebatas siku dipenuhi sisik-sisik coklat ini, 

menarik napas pendek.

"Setelah aku berhasil melancarkan serangan 

pada Jala Sringgil, Kala Sringgil sudah menderu maju. 

Tetapi, aku tak melakukan apa-apa! Tiba-tiba saja tu-

buh-nya terlempar ke belakang! Astaga! Siapakah 

orang yang menahan serangan Kala Sringgil padaku?!"

Suasana hening beberapa lama terjadi. Masing-

masing orang belum ada yang melancarkan serangan


kembali. Di pihak pemuda berompi ungu dari Lembah 

Naga itu, yang diinginkannya memang untuk menyu-

dahi pertarungan yang mengarah pada kesalahpaha-

man. Namun tak mudah dilakukan begitu saja, men-

gingat kedua orang di hadapannya masih mengang-

gapnya sebagai pencuri kalung Laba-laba Perak!

Jala Sringgil mengertakkan sepasang rahang-

nya. Matanya memancarkan sorot bengis dan kekesa-

lan. Perlahan-lahan mulutnya membuka, mengelua-

rkan desisan dingin, "Pemuda celaka! Rupanya kau te-

lah mengatur semua ini dengan seksama! Bahkan kau 

mencoba mempengaruhi kami kalau kau bersih! Tapi 

pada kenyataan yang sesungguhnya, kau telah menco-

reng namamu sendiri dengan tindakan busuk yang 

kau lakukan Mencuri kalung Laba-laba Perak adalah 

sebuah tindakan hina! Dan sekarang, kami semakin 

yakin kalau kau memang telah melakukannya!!"

Raja Naga tak bersuara. Sorot matanya yang 

angker tak berkedip pada Jala Sringgil yang sudah 

meneruskan kata-katanya, "Kau telah mengatur semua 

ini hingga sedemikian rupa! Kau mencurinya, lalu me-

larikan diri dan telah bersiap menanti kehadiran kami! 

Mungkin juga menanti kehadiran siapa pun yang kau 

ketahui akan memburumu, yang kau yakini tak akan 

melepaskanmu begitu saja! Bahkan, kau telah mem-

bawa seseorang atau mungkin beberapa orang rekan-

mu untuk mengurung kami di sini! Tapi... kau salah 

sangka bila berpendapat kami akan mundur!"

Sadar apa yang dimaksud oleh Jala Sringgil, 

Boma Paksi buru-buru berkata, "Jala Sringgil! Apa 

yang kau katakan tadi itu tidak benar sama sekali! 

Mungkin kau dan kawanmu itu tetap menuduhku se-

bagai pelaku dari pencurian di Perguruan Laba-laba 

Perak yang menyebabkan penobatan Pangku Jaladara 

selaku calon ketua yang baru menjadi gagal! Seperti


yang telah kukatakan sebelumnya, aku sama sekali 

tak melakukan tindakan itu! Seseorang telah melem-

parkannya kepadaku, bertepatan dengan munculnya 

murid-murid Perguruan Laba-laba Perak, sehingga me-

reka menuduhku yang telah melakukan pencurian itu! 

Dan satu hal lain, aku tak memiliki seseorang atau be-

berapa orang teman yang menurutmu telah ku atur

semuanya!" 

Jala Sringgil menyeringai penuh ejekan.

"Tak kusangka, seseorang yang julukannya su-

dah menjulang tinggi ternyata pandai bermain kata-

kata!"

"Celaka! Kedua orang gundul ini tetap berkeya-

kinan akulah yang telah mencuri kalung Laba-laba Pe-

rak! Bahkan sekarang menganggap kalau aku telah 

mengatur semua ini! Dengan menempatkan seseorang 

atau beberapa orang untuk membantuku?! Ah, siapa-

kah orangnya yang telah menggagalkan serangan Kala 

Sringgil padaku?" desis Raja Naga dalam hati. Kembali 

ditolehkan kepalanya ke kanan kiri, hingga rambutnya 

yang dikuncir berlompatan. 

Kala Sringgil berbisik, "Jala Sringgil... aku ya-

kin, orang yang bersamanya itu bukanlah orang sem-

barangan. Sejak tadi kita belum dapat mengalahkan 

pemuda ini. Bila orang itu muncul, kita akan menda-

patkan banyak kesulitan."

"Jadi... apa yang harus kita lakukan?" 

"Rasanya... untuk saat ini, kita tinggalkan saja 

dia dulu. Karena aku tak mau mati konyol. Biar ba-

gaimanapun juga, kita adalah sahabat dari mendiang 

Resi Kala Jinjit, dan tak membenarkan siapa pun 

mengacaukan keadaan di perguruan Laba-laba Perak," 

Jala Sringgil tidak setuju dengan usul itu. "Ka-

la... sebelum kuketahui siapakah orang yang memban-

tunya, aku tak akan mundur."


"Apa maksudmu dengan tak akan mundur?" 

"Aku ingin tahu lebih dulu siapa orang yang te-

lah membantunya. Dengan kata lain, bila kita telah 

mengetahuinya, maka kita akan dengan mudah me-

numpas satu persatu dari komplotan Raja Naga..."

Kala Sringgil tak buka mulut. Diam-diam dibe-

narkan apa yang dikatakan saudaranya ini. Perlahan-

lahan tatapannya diarahkan kembali pada Raja Naga 

yang sedang terdiam dengan kening dikerutkan. Murid 

Dewa Naga ini masih berusaha keras untuk menemu-

kan siapakah orang yang telah menolongnya, yang ju-

stru semakin membuat keruh keadaan.

Perlahan-lahan diangkat tangan kanannya, di-

cobanya untuk menemukan di manakah orang itu 

dengan mempergunakan tenaga dalamnya. Namun tak 

dirasakan perubahan lain di sana, kecuali pancaran 

hawa panas yang keluar dari tubuh dua orang berke-

pala plontos itu.

"Keadaan akan semakin bertambah kacau. 

Ucapan Jala Sringgil tadi, sudah membuktikan kalau 

keduanya tetap tak bisa mempercayai apa yang telah 

kukatakan. Hemm... aku memang harus menemukan 

bukti-bukti kalau aku bukanlah pelaku dari pencurian 

ini, yang secara tidak langsung menghentikan upacara 

penobatan Pangku Jaladara...," desisnya dalam hati. 

Lalu sambungnya, "Menurut Dewi Pengunyah Sirih, 

aku juga telah dianggap sebagai orang yang telah me-

lukai Pangku Jaladara dan membunuh salah seorang 

murid Perguruan Laba-laba Perak. Celaka! Ini benar-

benar celaka! Sebaiknya... aku menyingkir dari sini se-

belum urusan semakin jadi kapiran!" 

Memutuskan demikian, Boma Paksi segera ber-

kata sambil merangkapkan kedua tangannya di depan 

dada. 

"Apa yang telah terjadi tadi, sebaiknya kita sudahi dulu! Mungkin setiap aku berucap, setiap kali pu-

la akan menambah kemarahan dan ketidakpercayaan 

kalian! Dan untuk membuktikan kebenaran ucapanku, 

aku akan mencari bukti-bukti kalau aku tidak bersa-

lah!"

Jala Sringgil maju dua langkah ke depan. Tan-

gan kanannya menuding, sedikit bergetar. Suaranya 

sarat dengan kemarahan, "Uh! Kau hendak mencari 

bukti dari setiap ucapanmu, atau kau hendak melari-

kan diri?!"

"Memang sangat sulit untuk memahami kea-

daan seperti ini, karena kalian hanya berpegang pada 

satu pikiran! Hanya saja, aku meminta sedikit penger-

tian kalian!"

Jala Sringgil tak bersuara. Dia justru berbisik 

pada Kala Sringgil, "Kala... biar bagaimanapun juga, 

pemuda keparat ini tak bisa kita biarkan! Selama ini 

kita mengetahuinya kalau dia berada di jalan lurus, 

tapi pada kenyataannya, dia telah melakukan satu tin-

dakan yang tak bisa dimaafkan! Aku belum puas sebe-

lum melihatnya mampus!"

"Apa yang akan kau lakukan?" 

"Aku akan menyerangnya lagi sekarang. Kau 

perhatikan sekeliling tempat ini. Dan usahakan untuk 

menemukan siapakah orang yang akan menyerang kita 

selagi aku menyerang pemuda keparat itu!"

Kala Sringgil menganggukkan kepalanya. Jala 

Sringgil bersiap. Raja Naga mendesah pendek. 

"Nampaknya mereka tidak puas dengan apa 

yang kukatakan. Tetapi untuk saat ini, aku dapat me-

maklumi apa yang keduanya lakukan. Karena, mereka 

masih menyangka kalau akulah pelaku dari pencurian 

itu. Rasanya... aku harus bertindak pula dan men-

gambil kesempatan untuk meninggalkan tempat ini...."

Memutuskan demikian, Raja Naga pun mem


persiapkan dirinya dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengu-

rung Lautan'.

Sejarak delapan langkah di hadapannya, Jala 

Sringgil bersiap. Menarik napas dan menghembuskan-

nya perlahan-lahan. Lalu secara tiba-tiba, didahului 

teriakan membahana, tubuh lelaki berkepala plontos

ini sudah melesat dengan cara berputar cepat laksana 

mata bor! Gelombang angin mendahului gebrakannya. 

Menggebubu tinggi yang membuat tanah beterbangan.

Raja Naga menunggu sampai tubuh lawan se-

makin dekat dan baru akan dilancarkan serangannya. 

Di pihak lain, Kala Sringgil memicingkan mata untuk 

memperhatikan apa yang terjadi. 

Ketika Jala Sringgil semakin dekat dan gemu-

ruh angin yang mendahuluinya menampar wajahnya, 

Raja Naga bersiap untuk mendorong tangan kanan ki-

rinya. Namun sebelum dilakukan, tiba-tiba saja me-

nyeruak gelombang angin dari balik ranggasan semak 

sebelah kanan ke arah Jala Sringgil.

Jala Sringgil yang menyerang Raja Naga, juga 

berwaspada akan serangan lain yang bisa muncul 

mendadak. Dan segera didorong kedua tangannya ke 

arah gelombang angin yang mendera.

Blaaarr! Blaaarrr!! 

Bersamaan dia mundur ke belakang, Kala 

Sringgil telah melompat ke balik ranggasan semak itu. 

Begitu pula halnya dengan Raja Naga yang juga meli-

hat adanya lesatan gelombang angin dari sana.

Dan masing-masing orang hanya menemukan 

tempat itu kosong melompong kecuali ranggasan se-

mak dan rerumputan.

"Astaga! Cepat sekali gerakan orang itu!" desis 

Raja Naga dalam hati.

Di pihak lain, Kala Sringgil menatapnya tajam.

"Siapa orang yang telah membantumu itu?!"


bentaknya dingin.

Mendengar bentakan itu, Raja Naga terdiam. 

Sorot matanya angker, membuat Kala Sringgil sesaat 

merasa lemas. Tetapi kemarahannya telah sampai pa-

da puncaknya. Dia tak menghiraukan tatapan angker 

di hadapannya.

"Kau telah mengatur semua ini rupanya!" ben-

taknya lagi.

Raja Naga menggelengkan kepala.

"Aku tak tahu siapakah orang itu!"

"Dusta!" 

"Aku...."

"Pendusta hanyalah melakukan sebuah kebo-

dohan yang harus mempertanggungjawabkan kebodo-

hannya!!" makian Jala Sringgil terdengar keras.

Raja Naga bukannya menoleh, justru menenga-

dah. Dilihatnya tubuh Jala Sringgil yang sudah mem-

bubung tinggi dan tiba-tiba meluruk dengan tubuh 

berputar deras.

Gemuruh angin menerjang Raja Naga.

Cepat anak muda dari Lembah Naga itu mem-

buang tubuh ke samping kanan. Namun

Desss!! 

Jotosan yang dilakukan Kala Sringgil yang me-

lihat kesempatan menyerang, telah menghantam len-

gan kanannya yang seketika dirasakan ngilu.

Brrrrr!!

Tubuh Jala Sringgil yang berputar telah mende-

ru pada tanah sehingga tanah bermuncratan dan bo-

long. Menyusul tubuhnya melesat ke arah Raja Naga 

yang sedang mundur. Kala Sringgil juga memperguna-

kan kesempatan itu.

Raja Naga menarik napas pendek.

"Aku harus bertindak sekarang!" desisnya me-

mutuskan.


Namun sebelum hal itu dilakukan, satu seran-

gan cepat telah membentur tubuh Jala Sringgil dan 

Kala Sringgil. Serangan yang dilancarkan entah oleh 

siapa itu sungguh luar biasa. Karena begitu memben-

tur tubuh Jala Sringgil, seperti memiliki mata seran-

gan itu berpindah pada Kala Sringgil. Serangan yang 

dilepaskan dalam satu waktu!

Raja Naga masih sempat menangkap satu gera-

kan dari samping kirinya, serta-merta pemuda bersisik 

coklat pada kedua tangannya sebatas siku ini melom-

pat ke sana. Namun lagi-lagi dia tak menemukan siapa 

pun di tempat yang dimaksudnya.

Perasaan jengkel perlahan-lahan mulai merajai 

dirinya. Kemarahannya pun timbul. Sisik-sisik coklat 

pada kedua tangannya itu mulai nampak lebih jelas, 

bahkan bersinar lebih terang.

"Orang di balik angin! Aku tak tahu siapa kau 

adanya! Aku juga tak tahu maksudmu membantuku! 

Tetapi dari tindakan yang telah kau lakukan, kau ju-

stru me-nambah urusan ini menjadi semakin parah! 

Tunjukkan wajah di hadapanku!!"

Tak ada sahutan apa-apa pun juga. Di pihak 

lain, Jala Sringgil telah berhasil menguasai keseim-

bangannya. Dadanya terasa ngilu yang segera dialiri 

tenaga dalamnya. Lalu tiba-tiba saja kepalanya mene-

gak. Wajahnya menjadi tegang. Baru disadarinya satu 

hal, kalau orang yang telah menyerangnya itu bisa saja 

membunuhnya dengan mudah! Tetapi, orang itu justru 

tak melakukan tindakan seperti itu!

Apa yang dipikirkannya pun singgah pula di 

benak Kala Sringgil yang sedang merangkapkan kedua 

tangannya di depan dada untuk memulihkan keadaan 

tubuhnya yang sempat bergetar akibat serangan yang 

dilancarkan oleh orang yang entah siapa.

"Dia dapat saja membunuhku dengan mudah!


Ini menandakan kalau orang itu memiliki kemampuan 

luar biasa yang tak bisa dipandang sebelah mata! Te-

tapi, mengapa dia tidak membunuhku? Ini sebuah per-

tanyaan yang harus mendapatkan jawabannya. Kalau 

memang apa yang dikatakan Jala Sringgil tadi, bahwa 

orang yang entah siapa itu adalah kawan dari Raja Na-

ga, tentunya Raja Naga yang memerintah atau memin-

tanya untuk tidak membunuh. Tetapi... mengapa?"

Sementara kedua lelaki berkepala plontos itu 

memikirkan hal yang sama dan semakin dipikirkan 

semakin membuat mereka bingung, pemuda berompi

ungu itu sedang memicingkan sepasang matanya. 

Keangkeran matanya semakin menjadi-jadi. Kemara-

hannya pada orang yang entah siapa, semakin membe-

sar. Karena orang itu justru menambah keadaan se-

makin kisruh.

Kembali dia membentak keras, "Aku bukanlah 

orang yang tidak suka ditolong atau tidak pernah men-

gucapkan terima kasih karena ditolong! Tetapi, apa 

yang telah kau lakukan bukannya membuat keadaan 

menjadi aman! Justru malah semakin kacau balau!"

Lagi-lagi tak ada sahutan. Perasaan Raja Naga 

semakin diliputi kemarahan. Bahkan juga kegelisahan. 

Tetapi di saat lain, pemuda itu sudah dapat menguasai 

lagi keadaan hatinya.

Dilihatnya dua lelaki berkepala plontos yang se-

dang memulihkan tenaga masing-masing.

"Ah, orang yang telah melancarkan serangan-

nya tadi itu tetap sulit kuketahui siapa. Jangankan 

untuk mengetahui siapa dia, mengetahui di mana dia 

berada saat ini pun sulit. Dan itu jelas-jelas menanda-

kan kalau dia bukan orang sembarangan. Satu hal 

yang membuatku bertanya. Orang itu memang mena-

han setiap serangan yang dilancarkan oleh Jala Sring-

gil dan Kala Sringgil. Tetapi, jelas-jelas kalau dia tak


bermaksud melukai mereka, apalagi membunuhnya. 

Ah, kenapa ini? Apa yang sebenarnya dikendakinya?"

Cukup lama Raja Naga memikirkan jawaban 

atas pertanyaannya sendiri, sebelum didengarnya ben-

takan Jala Sringgil,

"Anak muda bersisik coklat! Untuk saat ini, bo-

leh dikatakan kami gagal mencabut nyawamu dan 

meminta kembali kalung Laba-laba Perak! Tetapi ke-

lak, kami akan muncul lagu membuat perhitungan!"

"Tunggu! Bukan maksudku untuk tidak menye-

rahkan kalung Laba-laba Perak ini pada kalian! Tetapi 

sebelum kudapatkan bukti-bukti yang jelas kalau aku 

tidak bersalah, biarlah benda ini tetap berada di tan-

ganku!"

"Kau tak memiliki kepentingan apa-apa dengan 

benda itu sebenarnya! Kau hanya membuat luka di ha-

ti Pangku Jaladara! Atau... sebenarnya kau mengin-

ginkan untuk menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Pe-

rak dan mencari pengikut sebanyak-banyaknya? Agar 

kau dapat melakukan tindakan makar selanjutnya 

dengan berlindung pada tubuh Perguruan Laba-laba 

Perak?!"

Raja Naga memutuskan untuk tidak menjawab. 

Karena bila dijawab, maka urusan akan semakin ke-

ruh.

Kala Sringgil berkata, "Untuk saat ini, kau kami 

biarkan untuk menikmati kemenanganmu! Tetapi ingat 

baik-balk, kelak kami akan muncul lagi di hadapanmu 

untuk membuat urusan! Jala Sringgil, kita berangkat 

sekarang untuk mencari Pangku Jaladara! Bila ternya-

ta Pangku Jaladara tewas, aku bersumpah, akan ku-

patahkan leher pemuda yang telah mencelakakannya 

itu!!"

Habis berkata demikian, Kala Sringgil sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu. Jala Sringgil masih memandang sengit pada Raja Naga. Setelah melu-

dah dengan cara yang keras. disusulnya saudaranya 

itu.

Tinggallah Raja Naga yang terdiam untuk bebe-

rapa lama, memikirkan setiap kejadian yang datang 

beruntun. Bahkan dia masih mencoba menemukan 

orang yang telah menolongnya, tetapi justru menam-

bah keadaan bertambah keruh. Setelah tak menemu-

kan siapa pun di sana, Raja Naga segera meninggalkan 

tempat itu. Dia hendak mencari bukti-bukti kalau dia 

tidak bersalah. Tetapi, ke manakah dia harus menca-

rinya, sementara semuanya masih begitu gelap?

Lima kejapan mata kemudian, tanah sejarak 

sepuluh langkah dari tempat Raja Naga berada sebe-

lumnya, tiba-tiba seperti bergerak naik. Menyusul per-

lahan-lahan terlihat kalau tanah itu membentuk satu 

sosok tubuh!

Astaga! Apa yang terlihat itu memang satu so-

sok tubuh! Mengenakan pakaian panjang seperti war-

na tanah! Begitu pula dengan kulit dan rambutnya! 

Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki berusia lan-

jut ini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menga-

rahkan pandangan ke arah yang ditempuh oleh Raja 

Naga tadi.

"Nasibmu sungguh sial, Anak muda...," desis-

nya dengan suara serak. Parasnya dipenuhi keriput, 

yang tidak terlalu kentara karena seluruh kulitnya se-

perti warna tanah. Rambutnya pun berwarna yang 

sama, tak beraturan hingga punggung. "Aku tak per-

caya kalau kau yang telah mencuri kalung Laba-laba 

Perak! Tetapi, bukti memang ada padamu! Bahkan be-

berapa orang melihat tindakanmu! Ah, urusan ini me-

mang sangat sulit. Kematian sahabatku itu saja baru 

kuketahui belum lama. Juga dengan penobatan Pang-

ku Jaladara untuk menggantikan kedudukannya. Ah,


aku memang belum mengetahui kejadian yang sebe-

narnya. Aku masih disibukkan dengan kegemaranku 

bertualang. Masih beruntung aku mendengar kabar 

yang menggelisahkan itu, hingga kuputuskan untuk 

menghentikan dulu perjalananku melanglang buana. 

Makanya, saat aku kebetulan lewat di tempat ini dan 

mengkaji apa yang terjadi, aku berkeyakinan kalau 

pemuda itu berkata yang sebenarnya." 

Kakek berkulit seperti warna tanah ini tak ber-

suara untuk beberapa lamanya. Dari keningnya yang 

berkerut, jelas kalau dia sedang memikirkan apa yang 

dilihat-nya.

"Terpaksa aku memang membantu pemuda itu 

dengan tujuan agar Jala Sringgil dan Kala Sringgil me-

nyingkir. Ah, keduanya juga sahabat-sahabatku. Tin-

dakan yang mereka lakukan terhadap pemuda itu me-

mang tidak salah. Aku pun akan melakukan hal yang 

sama seperti mereka. Hanya saja... ah, sebaiknya aku 

mencari Pangku Jaladara untuk menanyakan kebena-

ran semua ini...." Habis berkata demikian, kakek yang 

ternyata adalah orang yang tadi membantu Raja Naga 

dengan harapan dapat membuat Jala Sringgil dan Kala 

Sringgil menyingkir, perlahan-lahan melangkah me-

ninggalkan tempat itu.

***

DUA


“ORANG TUA! Apa yang terjadi ini bukanlah 

urusanmu?! Aku tak peduli siapa pun kau adanya! Te-

tapi tindakan yang telah kau lakukan ini tak dapat ku-

terima!" bentakan keras itu terdengar di dalam sebuah 

hutan yang dipenuhi pepohonan. Seorang gadis manis


berpakaian kuning nampak begitu marah. Wajahnya 

mengeras, dengan kedua tangan mengepal. Pada 

punggungnya terdapat sepasang pedang bersilangan.

Orang tua yang mengenakan pakaian dan ju-

bah warna biru itu tersenyum. Matanya mengedip-

ngedip yang merupakan suatu kebiasaan. Wajahnya 

yang dipenuhi keriput masih menyisakan ketampanan 

pada masa mudanya. 

"Ratih... aku sama sekali tak bermaksud seperti 

apa yang kau tuduhkan," katanya lembut. "Aku hanya 

mencoba memulihkan hubunganmu dengan kakak se-

perguruanmu sendiri." Saat berkata yang terakhir, si 

kakek melirik pemuda yang mengenakan pakaian ber-

warna merah dengan garis hitam yang bersilangan di 

depan dada. Di kening pemuda berambut gondrong ini, 

terdapat ikatan berwarna merah.

Pemuda yang ternyata Lesmana, nampak se-

dang menatap gelisah pada gadis yang bukan lain Ra-

tih adanya. Yang ditatap mendelik gusar. Kebencian-

nya pada Lesmana semakin menjadi-jadi.

Kemudian bentaknya lagi pada si kakek berju-

bah biru, "Orang tua! Jangan harap tindakanmu ini 

akan berhasil! Tak pernah akan kulakukan seperti 

yang kau katakan! Aku tak pernah mempunyai kakak 

seperguruan yang pengecut seperti dia!!"

"Ratih... apa yang dikatakan Lesmana memang 

benar. Guru kalian yang berjuluk Setan Bayangan, 

adalah orang sesat yang merupakan kaki tangan dari 

Datuk Bunaeng. Kalaupun dia akhirnya tewas di tan-

gan Resi Kala Jinjit yang memergokinya setelah mem-

bunuh Pendekar Sedih, itu memang merupakan se-

buah hukuman yang patut diterima!" 

"Huh! Setan Bayangan adalah guruku! Seperti 

apa pun dirinya, aku tetap menghormati dan menjun-

jung tinggi!" sahut Ratih gusar. "Tidak seperti dia yang

menjadi pengecut dan membiarkan Guru tewas di tan-

gan Resi Kala Jinjit!!" 

Dewa Jubah Biru tak bersuara. Dapat dipahami 

apa yang sebenarnya melingkar-lingkar di benak si ga-

dis. Tetapi dapat juga dimaklumi apa yang dilakukan 

Lesmana dalam memandang urusan yang telah terjadi.

Ratih berseru lagi, "Resi Kala Jinjit telah tewas 

entah siapa yang membunuhnya! Kendati demikian, 

aku tak akan pernah menyingkirkan keinginanku un-

tuk menghancurkan perguruan Laba-laba Perak! Aku 

telah mengikat janji dengan Datuk Bunaeng dan Ratu 

Tongkat Ular untuk menghancurkan perguruan itu!"

"Dan rasanya... kau telah berhasil melakukan-

nya! Bukankah kau telah melihat sendiri keadaan yang 

menjadi kacau balau?!"

"Tidak! Keadaan itu bukan aku yang melaku-

kan! Melainkan seorang pemuda lain yang memiliki 

kepengecutan yang sama! Pemuda yang berjuluk Raja 

Naga yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Di-

alah orang yang harus bertanggung jawab dalam uru-

san ini! Karena secara tidak langsung telah mengga-

galkan segala rencanaku! Juga rencana Datuk Bu-

naeng!"

Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepa-

lanya melihat kekeras kepalaan gadis berpakaian kun-

ing ini.

"Dan satu kesalahan yang tak bisa kumaafkan, 

kau telah melakukan tindakan keterlaluan, Orang Tua!

Pertama, kau menyelamatkan Lesmana dari kematian 

yang kuturunkan dengan mempergunakan ilmu 

'Pedang Bayangan'! Kedua, kau menyelamatkannya da-

ri kematian yang akan kuturunkan tak jauh dari Per-

guruan Laba-laba Perak! Bahkan kau memisahkan 

aku dengan Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular!"

Dewa Jubah Biru tersenyum. Matanya tetap


berkedip-kedip.

"Aku hanya melakukan apa yang menurutku 

baik!"

"Kau telah mencampuri urusanku! Dan aku tak 

pernah menganggap itu sebuah kebaikan!" seru Ratih 

ketus. 

"Bila menurutmu itu sebuah kesalahan, aku 

meminta maaf...."

Ratih mengangkat kepalanya angkuh. Lesmana 

ketika menoleh, menatap si kakek dalam-dalam. Dia 

terkejut mendengar apa yang dikatakan kakek yang te-

lah menyelamatkannya dari maut.

Lamat-lamat dihembuskan nafasnya panjang-

panjang. Apa yang dikatakan oleh Ratih adalah sebuah 

penghinaan. Kendati baru beberapa hari mengenal De-

wa Jubah Biru, tetapi Lesmana telah menghormatinya! 

Dan dia tidak bisa menerima Ratih menghina Dewa 

Jubah Biru!

Perlahan-lahan kalau sejak beberapa hari lalu 

Lesmana selalu mengambil sikap mengalah pada adik 

seperguruannya, kali ini hatinya mulai diisi kejengke-

lan.

"Ratih... apa yang kau lakukan sudah kelewat 

batas! Mulutmu terlalu kasar! Dan rasanya, aku ber-

hak menghukummu sekarang!"

Mendengar kata-kata itu, Ratih mengangkat 

dagunya lebih tinggi. Keangkuhan terpancar jelas dari 

sepasang matanya.

"Kau pernah merasakan akibat dari kelancan-

ganmu beberapa hari lalu! Dan sekarang, bila orang 

tua itu tak turun tangan, aku bersedia melayanimu 

beberapa jurus sebelum kukirim nyawamu ke akhirat, 

Pengecut!!"

Kemarahan Lesmana kian menjadi-jadi. Sepa-

sang rahangnya mengembung lalu dikertakkan.


"Kau memang harus diberi pelajaran!!" dengus-

nya seraya membuka kedua telapak tangannya di de-

pan dada, pertanda dia akan segera melakukan seran-

gan.

Ratih pun segera mengambil jarak. Sepasang 

pedangnya diloloskan.

"Dendam ku akan lunas setelah melihat kau 

mampus!"

"Tahan!" terdengar seruan Dewa Jubah Biru. 

Tanpa menghiraukan tatapan gusar dari Ratih, si ka-

kek yang selalu mengedip-ngedipkan matanya melan-

jutkan kata-katanya, "Sungguh tak patut, sebagai 

saudara seperguruan kalian saling baku hantam! Apa 

yang terjadi di antara kalian ini hanyalah kesalahpa-

haman dalam menyikapi suatu urusan! Padahal saat 

ini, masih ada urusan lain yang lebih besar!"

"Maksudmu.... Raja Naga yang telah mencuri 

kalung Laba-laba Perak dan mengacaukan seluruh 

rencanaku?!" bentak Ratih.

"Aku tak berkata demikian! Tetapi menurut 

hemat ku, sesuatu yang di luar dugaan telah terjadi! 

Mungkin ada orang yang sedang gundah saat ini, teta-

pi juga ada yang terbahak-bahak keras!" 

"Jangan berbelit-belit!"

"Anak gadis... kau terlalu keras kepala. Ucapan 

demi ucapanmu sungguh tak enak kudengar. Tetapi 

aku dapat memaklumi apa yang membuatmu jadi ber-

tindak kasar seperti ini."

"Orang tua... urusanku dengan si Pengecut itu, 

bukanlah urusanmu! Kau telah membuat silang uru-

san di antara kita. Itu artinya, mulai hari ini kau juga 

kuanggap sebagai lawanku! Tetapi, aku yakin, aku tak 

akan mampu menghadapimu! Hanya saja, kau tunggu 

saat kematianmu bila aku sudah kembali bergabung 

dengan Datuk Bunaeng dan Ratu tongkat Ular!"


"Ratih!" Lesmana membentak keras dengan su-

ara bergetar. 

Ratih mengarahkan pandangannya. Bibirnya 

yang memerah menyunggingkan senyuman mengejek.

"Huh! Kulihat kau sudah tak mampu menahan 

amarahmu, Lesmana! Bagus! Sekarang juga kau harus 

mampus!!" 

Habis bentakannya, Ratih sudah menerjang de-

ngan kedua pedang yang segera dikiblatkan ke arah 

Lesmana. Sejenak pemuda berikat kepala merah ini 

tak bergerak. Matanya memandang tak berkedip pada 

kedua pedang yang mengarah padanya.

Sejenak ada keinginan untuk langsung menye-

rang dan memutuskan serangan itu. Tetapi di saat 

lain, Lesmana hanya memiringkan tubuhnya.

Wuuuttt!!

Tanah membuyar dan membentuk garis lurus 

tatkala pedang di tangan Ratih menyambar. Lalu den-

gan sentakan kuat, tangan kanannya disabetkan ke 

arah pinggang Lesmana.

Lagi-lagi pemuda itu hanya melompat ke samp-

ing kanan.

Secara tiba-tiba, Ratih menjejakkan kaki ka-

nannya di atas tanah, yang membuat tubuhnya seketi-

ka mumbul. Diiringi teriakan keras, dia meluruk.

Lesmana tak berkedip di tempatnya. Ditung-

gunya serangan Ratih semakin mendekat. Lalu... den-

gan cara yang mengejutkan, diputar tangan kanannya 

yang seketika keluar angin melingkar. Menyusul dido-

rong tangan kirinya.

Wrrr!!

Ratih tersentak. Lurukan tubuhnya tak bisa di-

tahan. Segera dilakukan satu tindakan yang cukup 

mengejutkan. Pedangnya tiba-tiba diputar cepat. Seke-

tika menggebah gelombang angin dingin disusul dengan cahaya bening yang membuat Lesmana tersentak.

Saat itu pula dia melompat dengan care ber-

jungkir balik ke samping kiri.

Blaaar! Blaaaaarr!!

Tanah di mana dia berdiri sebelumnya, mem-

buyar ke udara terkena gelombang angin yang berasal 

dari putaran pedang Ratih. Menyusul muncratnya ca-

haya bening ketika mengenai tanah

Di tempatnya, Dewa Jubah Biru mendesis ka-

gum.

"Hebat! Ilmu 'Pedang Bayangan' memang sangat 

hebat. Dan aku yakin, Lesmana dapat menanggulan-

ginya...."

Sementara itu Lesmana yang sudah berdiri te-

gak kembali berseru, "Ratih! Kau telah memperguna-

kan kembali ilmu yang diwariskan Guru kepadamu 

untuk membunuhku! Tindakanmu memang sudah ke-

lewat batas!"

"Sejak tadi kau selalu berkata, tindakanku su-

dah kelewat batas! Bagaimana dengan tindakanmu 

sendiri yang begitu pengecut membiarkan Guru tewas 

dibunuh Resi Kala Jinjit, hah?! Bahkan kau membiar-

kan Resi Kala Jinjit meninggalkan Guru setelah men-

jadi mayat!" 

Mendengar ucapan itu, wajah tegang Lesmana 

berubah. Hatinya begitu pedih mendengar ucapan Ra-

tih. Disesalinya benar-benar mengapa gadis berkuncir 

dua itu tak bisa menerima apa yang terjadi.

Lesmana tak bisa berpikir lebih lama, karena 

Ratih sudah menderu ke depan sambil menyabetkan 

kedua pedangnya. 

Gemuruh angin yang menerbangkan tanah dan 

ranggasan semak belukar menggebrak, disusul dengan 

cahaya-cahaya bening yang menyilaukan mata. Bah-

kan tatkala dengan sengaja Ratih memukulkan pedangnya ke pedang yang lain, terjadi perubahan dah-

syat pada cahaya-cahaya bening itu.

Traaang!

Begitu bertemu, memercik cahaya merah yang 

pekat. Menyusul menderunya cahaya-cahaya bening 

yang menebar laksana hujan!

Lesmana menarik napas panjang.

"Terpaksa!!" desisnya dalam hati.

Lalu ditepukkan kedua tangannya, yang kemu-

dian diputar ke dalam. Bersamaan diputar seperti itu, 

kedua tangannya didorong ke depan. 

Serta-merta terlihat cahaya yang membentuk 

dua telapak tangan yang kemudian menyebar membe-

sar.

"Telapak Dewa'!" desis Ratih terkejut dan meli-

pat-gandakan kekuatannya.

Jlegaaarr!!

Bertemunya cahaya-cahaya bening yang mem-

besar dengan bayangan dua telapak tangan yang

membesar itu, membuat tempat itu laksana dilanda 

kiamat kecil. Bukan hanya tanah dan ranggasan se-

mak yang bermuncratan ke udara, beberapa buah po-

hon pun bertumbangan berdebam. 

Masing-masing orang yang melancarkan seran-

gan surut lima langkah ke belakang. Wajah Ratih sedi-

kit pias. Kedua tangannya yang memegang sepasang 

pedang terasa ngilu. Di pihak lain, Lesmana sendiri 

merasakan detak jantungnya semakin kencang. Na-

pasnya bergemuruh. Dilihatnya kedua telapak tangan-

nya sedikit membiru.

Di pihak lain, Dewa Jubah Biru yang tak ber-

geser dari tempatnya tatkala goncangan tadi terjadi, 

hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Rupanya Setan Bayangan tak menurunkan il-

mu 'Pedang Bayangan' pada Lesmana. Demikian pula


tidak menurunkan ilmu ‘Telapak Dewa' pada Ratih. 

Ah, sungguh dua ilmu yang sangat tinggi."

Untuk beberapa lamanya tak ada yang buka 

mulut. Baik Ratih maupun Lesmana saat ini sama-

sama sedang mengatur napas dan memulihkan tenaga. 

Mereka juga sama-sama memaklumi, bila salah seo-

rang sudah mengeluarkan ilmu yang menjadi andalan 

masing-masing, maka sampai kapan pun keduanya 

tak akan pernah bisa mengalahkan satu sama lain. 

Kecuali, bila salah seorang telah terkuras tenaganya. 

Berarti yang harus dilakukan sekarang adalah mengu-

ras tenaga lawan. 

Tetapi Ratih mempunyai satu pikiran yang da-

pat dipergunakan untuk memenangkan pertarungan 

ini. Sambil mengangkat dagunya dan memperlihatkan 

kesinisan, dia mendesis

"Huh! Kau ternyata bukan hanya seorang pen-

gecut, tetapi juga seorang yang tidak tahu malu! Kau 

menganggap kalau kematian Guru lebih baik ketim-

bang menimbulkan keonaran karena Guru kau anggap 

sebagai orang sesat! Tetapi, kau justru memperguna-

kan ilmu orang sesat itu untuk menyerangku! Gila! 

Lesmana... kegilaan macam apa yang ada di otakmu 

hingga kau tidak tahu malu, hah?!" 

"Hemmm... rupanya dendam sudah merasuki 

pikiran Ratih hingga dia bisa berucap seperti itu. Ratih 

yang hampir delapan tahun kukenal, ternyata memiliki 

kekerasan hati. Ah, aku jadi mulai meragu... apakah 

yang kulakukan waktu itu memang sebuah kesalahan? 

Seharusnya aku membela Guru dari kematian yang di-

turunkan oleh Resi Kala Jinjit. Tetapi, aku sudah be-

rusaha membela dengan jalan menyelamatkannya. 

Namun Resi Kala Jinjit sudah tentu memiliki ilmu 

yang tak sebanding denganku

"Kau terdiam seperti itu, apakah karena mulai


dihinggapi rasa malu atau kau sedang berpikir untuk 

tidak perlu malu?!" ejekan Ratih menyelinap ke gen-

dang telinga Lesmana.

Lesmana mengangkat wajahnya. Kemarahan 

mulai terlihat kembali. Tetapi lagi-lagi pemuda berikat 

kepala merah ini tak mau menambah kisruh urusan.

Makanya dia berkata, "Ratih... apa yang hendak 

kau jalankan, jalankanlah! Demikian pula denganku! 

Apa yang ingin kujalankan, akan kujalankan!" 

"Bagus!"

"Tetapi perlu diingat, apa yang ingin kujalankan 

adalah mencegah dirimu masuk ke dalam jurang yang 

seharusnya sudah kau sadari!"

"Huh! Manusia pandai bicara! Seluruh perbua-

tanku, aku yang menanggung! Tak perlu kau begitu 

khawatir!"

"Aku hanya berharap, suatu saat kau sadar 

dengan apa yang kau lakukan!"

"Aku akan sadar setelah berhasil membunuh-

mu dan membunuh Raja Naga! Manusia celaka yang 

mengacaukan seluruh rencana yang telah disusun Da-

tuk Bunaeng! Manusia yang sama pengecutnya dengan 

dirimu, yang hanya bisa menohok dari belakang?"

"Datuk Bunaeng bukanlah orang yang patut 

kau jadikan sahabat, apalagi bersekutu dengannya! 

Ratih...."

"Tutup mulutmu! Kelak kita akan berjumpa la-

gi!" putus Ratih geram. Lalu sambil memasukkan lagi 

sepasang pedangnya ke warangka di punggungnya, 

gadis manis ini menatap tajam-tajam Dewa Jubah Bi-

ru. "Orang tua! Tindakanmu pun tak akan pernah ku-

maafkan! Ingat, aku bersumpah untuk membunuh-

mu!!"

Dewa Jubah Biru hanya tersenyum dengan ma-

ta yang tetap berkedip-kedip.


Di lain saat, Ratih sudah meninggalkan tempat 

itu dengan sejuta kemarahan di dada.

Sepeninggal Ratih, Dewa Jubah Biru melirik 

Lesmana. Dilihatnya pemuda itu sedang menunduk-

kan kepala, lesu.

"Ketabahannya menghadapi urusan ini sung-

guh besar. Dia telah bersikap sebagai seorang kakak 

yang berusaha untuk mengembalikan adiknya dari ke-

sesatan. Tadi, di saat keduanya bertarung, sempat ku-

lihat adanya satu kesempatan yang seharusnya dapat 

dipergunakan Lesmana untuk melancarkan serangan. 

Tetapi hal itu tidak dipergunakannya!"

Habis membatin demikian, Dewa Jubah Biru 

berkata, "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"

Lesmana menarik napas pendek, lalu menatap 

kakek di samping kanannya.

"Orang tua... biar bagaimanapun juga, aku tak 

pernah tenang melihat keadaan Ratih. Dia masih dipe-

nuhi oleh sejuta dendam pada mendiang Resi Kala Jin-

jit dan tak akan pernah berakhir dendamnya pada Per-

guruan Laba-laba Perak." 

"Resi Kala Jinjit telah tewas. Sementara itu, 

Perguruan Laba-laba Perak boleh dikatakan telah han-

cur."

"Justru ini yang semakin membuatku cemas."

"Mengapa kau, menjadi cemas?"

"Karena... dia akan mencari Raja Naga yang di-

katakan telah mengacaukan seluruh rencana Datuk 

Bunaeng. Dengan ucapannya itu, berarti dia masih te-

tap berkeinginan menjadi sekutu Datuk Bunaeng. Ah, 

bila saja dia mau berpikir jernih... tentunya dia akan 

tahu siapa Datuk Bunaeng sebenarnya...."

Dewa Jubah Biru dapat merasakan kecemasan 

Lesmana. Setelah memperhatikan beberapa saat, dia 

berkata, "Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan


adik seperguruanmu dari jurang kesesatan, sebaiknya 

kau segera menyusulnya. Memantau keadaannya dan 

menahannya untuk menjalankan setiap maksudnya."

Lesmana menatap Dewa Jubah Biru beberapa 

lama sebelum mengangguk.

"Ya! Aku pun bermaksud untuk melakukan-

nya...."

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Cepat kau su-

sul adik seperguruanmu itu sebelum kehilangan jejak-

nya."

"Orang tua... bagaimana denganmu sendiri?"

"Bagaimana denganku? Keadaanku baik-baik 

saja. Aku akan mencari pemuda yang kedua tangan-

nya sebatas siku bersisik coklat. Ingin kulihat kebena-

ran, apakah memang benar dia yang telah mencuri ka-

lung Laba-laba Perak? Karena sebelumnya, dia pernah 

berkata padaku, kalau Dewi Pengunyah Sirih hendak 

melakukan hal itu...."

Kembali Lesmana memandang Dewa Jubah Bi-

ru dengan seksama. Lalu berkata, "Orang tua... kuu-

capkan terima kasih atas segala bantuanmu. Seka-

rang, aku akan menyusul adik seperguruanku itu...." 

"Lakukanlah..."

Setelah merangkapkan kedua tangannya di de-

pan dada dan mengangguk hormat, Lesmana segera 

melesat menuju arah yang ditempuh Ratih.

DI tempatnya, Dewa Jubah Biru menahan na-

pas sampai sosok Lesmana lenyap ditelan pepohonan. 

Setelah beberapa lama, ditinggalkannya tempat itu.


TIGA



AAAAKHH..., desisan kepuasan itu terdengar

dari balik ranggasan semak belukar. Saat ini senja su-

dah merajai alam dengan matahari yang semakin tu-

run. Di kejauhan bias-bias matahari semakin lama 

semakin lenyap. Burung-burung beterbangan mem-

bentuk bayangan-bayangan indah.

Menyusul desisan kepuasan tadi, terdengar su-

ara, "Luar biasa... sungguh luar biasa... rasanya aku 

tak pernah puas menikmati tubuh montokmu ini, De-

wi...,"

"Pangku Jaladara... kau memang keterlaluan," 

terdengar suara bernada gemas. "Masa kau selalu 

menggeluti tubuhku? Hari ini, kau sudah melakukan-

nya se-banyak lima kali...." 

"Karena tubuhmu memang sulit untuk dilupa-

kan," kata lelaki yang mendesah tadi sambil bangkit 

dari tubuh polos yang tadi ditindihnya.

Matanya masih tertumbuk pada bungkahan in-

dah di dada si perempuan, besar, montok dan meng-

gairahkan. Perlahan-lahan tangannya menjamah sepa-

sang bukit kembar itu. Meremasnya dengan lembut.

Si perempuan yang pada kepalanya terdapat se-

buah mahkota penuh butiran berlian bangkit dari re-

bahannya. Membiarkan saja tangan lelaki di hadapan-

nya meremas payudaranya.

"Pangku Jaladara... besok malam adalah malam 

yang telah kukatakan pada Datuk Bunaeng untuk ber-

jumpa di Lembah Lingkar. Dan sampai hari ini, kita 

juga belum mendengar kabar kematian Raja Naga."

Pangku Jaladara melepaskan tangannya dari 

sepasang bukit indah itu. Lalu mengenakan pakaian-

nya.

"Tak lama lagi, Raja Naga akan mampus, Dewi. 

Dendammu atas kematian saudaramu yang berjuluk 

Ratu Sejuta Setan, yang dibunuh oleh Raja Naga akan 

tuntas. Ini berarti... seluruh rencana kita berhasil...."


Perempuan berpayudara montok itu segera me-

ngenakan pakaiannya kembali. Berwarna hijau, yang 

dipenuhi dengan butiran berlian. Di saat pakaiannya 

telah dikenakan, dia sama saja dengan keadaan polos. 

Karena pakaian itu begitu rendah pada dadanya, me-

nyembulkan sebagian besar bukit kembarnya. Semen-

tara bagian bawah pakaiannya kanan kiri, terbelah 

hingga batas pinggul. Dapat dibayangkan bagaimana 

saat dia berjalan atau angin berhembus nakal. Sudah 

tentu bungkahan mulus sepasang pahanya akan men-

jadi pemandangan enak untuk lelaki. 

Kedua manusia yang telah mengatur kebusu-

kan demi kebusukan ini tak ada yang bersuara. Pang-

ku Jaladara masih memandangi Dewi Berlian yang te-

lah memuaskannya. Tetapi setiap kali dia selesai me-

lakukannya, setiap kali pula gairahnya muncul kemba-

li. Pangku Jaladara adalah orang yang memiliki sifat 

rendah. Di Perguruan Laba-laba Perak dia bersikap se-

demikian suci, tetapi di luar dia adalah orang yang tak 

bisa menahan gairah.

Perjumpaannya dengan Dewi Berlian telah 

membuatnya melakukan tindakan-tindakan kotor yang 

membahayakan (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").

Ketika dilihatnya Dewi Berlian belum juga 

membuka mulut, Pangku Jaladara berkata, "Mengapa 

kau berdiam seperti itu, Dewi? Tak seorang pun yang 

mengetahui kalau kita yang telah membuat seluruh 

urusan ini, dan secara tidak langsung kita adalah pen-

guasa urusan ini."

Perlahan-lahan perempuan berwajah jelita itu 

mengangkat wajahnya. Bola matanya menghujam lem-

but ke bola mata Pangku Jaladara yang seketika gai-

rahnya menggelepar-gelepar kembali.

"Selain kematian Raja Naga, aku juga masih 

memikirkan Langlang Benua...."


"Kau tak perlu memikirkan orang itu, Dewi. 

Mungkin dia tak mendengar kematian Resi Kala Jinjit. 

Karena, dia adalah orang yang suka bertualang. 

Mungkin pula saat ini dia sedang berada di tanah 

orang."

"Setiap kali Resi Kala Jinjit mendapat urusan, 

Langlang Benua pasti selalu muncul. Dan begitu urus-

an selesai, dia selalu menghilang begitu saja. Bahkan 

Resi Kala Jinjit sendiri tidak pernah tahu apa yang di-

lakukan dan ke mana orang itu pergi."

"Dari kata-katamu itu, aku berpendapat kau 

tak perlu merisaukannya. Lagi pula, bukankah semu-

anya sudah kau atur sedemikian cerdik?"

"Ya! Mudah-mudahan aku berhasil memperalat 

Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular yang saat ini 

tentunya sedang mencari Raja Naga, untuk membu-

nuh Langlang Benua juga! Atau paling tidak, mengajak 

Langlang Benua untuk membunuh Raja Naga!"

Pangku Jaladara tertawa.

"Sempurna! Bukankah itu sebuah tindakan 

yang sempurna?!"

Perlahan-lahan Dewi Berlian tersenyum. Lalu 

berdiri. Saat berdiri sepasang pahanya yang gempal 

mengganggu mata Pangku Jaladara. Dirabanya paha 

itu dengan penuh nafsu. 

Dewi Berlian terkikik.

"Kita masih punya banyak kesempatan." 

"Sekarang ini pun kesempatan!"

"Masih ada kesempatan lain! Seperti apa yang 

kukatakan, kapan saja kau inginkan, aku akan me-

layanimu! Bahkan rasanya hampir patah tulang ping-

gulku karena melayanimu sebanyak lima kali! Pangku 

Jaladara, saat ini aku ingin mengetahui keadaan Raja 

Naga!"

Pangku Jaladara perlahan-lahan berdiri. Gai



rahnya terlihat lebih hebat dari pancaran matanya. Te-

tapi untuk saat ini ditahannya.

"Ya! Kita segera mencari tahu nasib sial yang 

menimpa Raja Naga!"

Dewi Berlian tersenyum. Setelah membelai pipi 

Pangku Jaladara yang secara tidak langsung adalah 

bonekanya, dia segera berlari. Pangku Jaladara mem-

perhatikan dulu bentuk indah tubuh Dewi Berlian dari 

belakang, sebelum sambil menyeringai lebar dia me-

nyusul.

* * *

Kegelapan malam telah menghampar dan mem-

buat seisi alam seperti tertidur. Rembulan di atas sana 

tak mampu menembusi gumpalan awan hitam yang 

menghalanginya. Jalan setapak yang menuju sebuah 

tempat itu lengang. Ranggasan semak sesekali berge-

rak dihembus angin dingin.

Tak jauh dari jalan setapak itu, nampak sebuah 

gua yang menganga lebar. Gua yang sebenarnya terha-

lang oleh semak belukar yang menutupinya. Tetapi di 

saat angin bertiup nampak mulut gua yang gelap.

Dua sosok tubuh itu sejak tadi berada di depan 

gua itu, tanpa melakukan tindakan apa-apa.

Nenek yang berpakaian compang-camping de-

ngan tongkat berkepala ular di tangan kanannya men-

desis, "Datuk Bunaeng... aku menunggu di sini saja...."

Kakek berambut dikelabang itu menoleh. Sorot 

matanya tajam dan membuat nyali si nenek menjadi 

ciut. Sepasang alisnya yang menyatu terangkat garang.

"Ratu Tongkat Ular... kau sudah sepakat untuk 

mendatangi Resi Hitam di sini. Dan kau sudah tahu 

apa akibatnya bila kau berani membangkang sekarang!"


Ratu Tongkat Ular menahan napas. Sesung-

guhnya dia tak suka dibentak seperti itu. Tetapi dis-

adari betul siapa kakek berpakaian dan berjubah hi-

tam ini.

Dengan berat hati dianggukkan kepalanya.

"Aku tahu kau punya persoalan dengan Resi 

Hitam! Dan aku ingin kau bisa bersikap manis di ha-

dapannya nanti tanpa melakukan tindakan yang men-

gesalkan!"

Lagi-lagi Ratu Tongkat Ular menganggukkan 

kepalanya. Dilihatnya Datuk Bunaeng sudah melang-

kah memasuki gua itu. Ratu Tongkat Ular menahan 

napas sejenak, menenangkan gejolak hatinya yang ti-

ba-tiba membesar. 

"Resi Hitam pernah memperkosaku empat pu-

luh tahun lalu. Sampai saat ini aku belum dapat me-

lupakan semua itu, menghilangkan dendamku pa-

danya. Tetapi untuk saat ini, rasanya aku memang ha-

rus melupakan semua itu..."

Setelah itu, Ratu Tongkat Ular segera menyusul 

masuk ke dalam gua. Keduanya menyusuri gua yang 

cukup dalam. Aroma lembab yang menguar dari dind-

ing gua yang dipenuhi lumut, membuat indera panci-

uman jadi tidak begitu enak. Lalu terlihat sebuah ca-

haya tak jauh dari sana sementara gua itu semakin 

lama semakin membesar. Mereka akhirnya tiba di se-

buah ruangan besar yang dikelilingi oleh dinding batu

Datuk Bunaeng langsung berseru, "Aku tahu 

kau berada di sekitar sini! Resi Hitam! Mengapa kau 

tidak segera muncul untuk menyambutku, padahal 

aku yakin kau tahu kedatanganku!! Atau... kau sudah 

tidak lagi mengganggapku sebagai seorang sahabat, 

hah?!"

Baru saja habis seruan Datuk Bunaeng, tiba-

tiba saja terdengar tawa keras bertalu-talu, yang memantul dari dinding ke dinding. Sementara Datuk Bu-

naeng menyeringai lebar, Ratu Tongkat Ular menindih 

kemarahannya mengenali tawa yang menyakitkan 

gendang telinganya itu. 

"Datuk Bunaeng! Mengapa kau berucap ketus 

seperti itu, hah?! Sudah tentu aku menyambut keda-

tanganmu dengan penuh sukacita! Apalagi selama ber-

tahun-tahun, tak seorang pun yang mendatangi Gua 

Hitam, seolah namaku telah dilupakan orang!" 

"Tetapi tentunya kau yang selalu membuat 

orang-orang terutama gadis-gadis montok datang ke 

sini, bukan?" seringai Datuk Bunaeng.

"Hahaha... kesukaanku memang menggeluti 

tubuh montok yang rupawan dan menawan! Ya, ya... 

kau benar dan kau membuatku jadi malu dengan ka-

ta-katamu itu, Bunaeng! Hanya saja... kau sempat 

mengganggu keasyikan ku...."

"Hanya menunda beberapa saat saja dan kau 

bisa meneruskan keasyikan mu!" seru Datuk Bunaeng 

dengan mata melirik sana-sini untuk melihat di mana 

orang yang berbicara itu berada.

"Betul!, betul! Tapi sayangnya juga, kau hari ini 

datang dengan seorang perempuan keriput yang tidak 

montok!"

Belum habis suara itu terdengar, tahu-tahu an-

gin menderu keras dan satu sosok tubuh telah berdiri 

sejarak lima langkah dari hadapan Datuk Bunaeng 

dan Ratu Tongkat Ular. Begitu melihat orang yang per-

nah mempermalukannya muncul, Ratu Tongkat Ular 

hampir saja melesat dengan satu serangan. Tetapi lagi-

lagi ditindihnya kegeramannya.

Datuk Bunaeng menyeringai pada orang yang 

kira-kira tiga tahun lebih tua darinya. Orang itu bertu-

buh bongkok dan memiliki kulit hitam legam seperti 

pantat panci. Hanya matanya saja yang sedikit terlihat


putih. Sementara giginya hanya tinggal beberapa buah, 

itu pun sangat hitam. Tak mengenakan pakaian apa-

apa kecuali celana pangsi butut yang sudah robek di 

sana-sini. Pada punggungnya terdapat sebuah tonjolan 

yang cukup besar. 

"Bagaimana kabarmu, Resi Hitam?"

Orang yang ternyata Resi Hitam adanya, me-

nyeringai lebar.

"Lama aku tak pernah mendengar ada orang 

yang menanyakan kabarku! Aku sangat paham akan 

watakmu, Bunaeng! Dan aku yakin, kau datang ke sini 

bukan tidak membawa satu urusan! Atau... Hei" kata-

kata Resi Hitam terputus tatkala melirik Ratu Tongkat 

Ular. Untuk beberapa lama Resi Hitam terdiam sebe-

lum terbahak-bahak. "Astaga! Sampai copot rasanya 

jantungku! Kau... kau... bukankah Ratu Tongkat 

Ular?"

Ratu Tongkat Ular menggeram. Sorot matanya 

tajam penuh kemarahan. Tetapi lagi-lagi ditindih kege-

ramannya. Dengan gerakan kaku dianggukkan kepa-

lanya.

Resi Hitam menepuk keningnya sendiri.

"Astaga! Entah berapa puluh banyaknya gadis-

gadis atau perempuan yang kutiduri! Kalau tak salah 

ingat, salah satunya adalah kau, bukan? Gila! Ini nos-

talgia namanya! Pertemuan tak terduga! Ratu Tongkat 

Ular... bila kau ingin mengulangi lagi kebersamaan kita 

dulu, aku masih sanggup melakukannya! Dan aku ya-

kin, seperti dulu, kau akan menggeliat-geliat keenakan 

di bawah tubuhku!"

Hampir saja Ratu Tongkat Ular bergerak untuk 

menampar mulut lancang di hadapannya. Tetapi dia 

berkata, "Aku telah melupakan urusan lalu."

"Tetapi aku masih ingat, masih ingat! Bagaima-

na nikmatnya menggelutimu yang berontak di bawah


tubuhku! Hahaha... aku yakin kau juga masih ingat...."

Di pihak lain, Datuk Bunaeng mendesis dalam 

hati, "Hemm... peristiwa itu rupanya yang menyebab-

kan Ratu Tongkat Ular bersikeras menolak ajakanku 

menjumpai Resi Hitam. Tidak tahunya dulu dia pernah 

diperkosa oleh kakek bongkok ini...."

Datuk Bunaeng segera mengambil alih pembi-

caraan, "Terlepas dari segala ingatan dan kebersa-

maanmu yang tentunya penuh kebahagiaan bersama 

Ratu Tongkat Ular, aku datang untuk meminta ban-

tuanmu...."

Resi Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Seperti yang telah kuduga, kau datang bukan-

nya tidak membawa persoalan. Katakan!"

"Telah lama namamu tak lagi kedengaran dan 

tentunya kau jarang keluar dari Gua Hitam. Kecuali 

tentunya, hanya untuk menculik gadis-gadis atau pe-

rempuan!" 

"Tepat! Sangat tepat! Aku sangat menyukai 

mendapati geliatan dan rintihan gadis-gadis di bawah 

tubuhku!" 

"Dan kau tentunya belum mendengar kabar 

tentang kematian Resi Kala Jinjit!"

Resi Hitam menyeringai. 

"Telingaku belum tuli, Bunaeng! Kabar itu su-

dah kudengar, bahkan aku tahu kalau si pembunuh 

belum ketahuan! Dan aku berkeyakinan kalau orang 

dalam sendiri yang melakukannya! Atau kau datang 

untuk mengatakan, kaulah yang telah membunuh Ka-

la Jinjit?"

Datuk Bunaeng yang hanya memancing dari 

pertanyaannya tadi, menggelengkan kepala. Diam-

diam dipikirkannya kata-kata Resi Hitam sebelumnya.

"Orang dalam? Orang dalam yang membunuh 

Resi Kala Jinjit? Gila! Apakah mungkin itu?" desisnya


dalam hati. Lalu berkata, "Ada hal lain yang lebih pent-

ing."

"Ceritakan!" sahut Resi Hitam, lalu berkata pa-

da Ratu Tongkat Ular, "Tubuhmu sudah tidak seindah 

dulu. Sudah peot. Dan sepasang bukitmu yang dulu 

montok dan enak kusedot, sekarang tinggal seperti pe-

paya busuk! Tapi... aku masih tetap mau menikmati 

tubuhmu...."

Gelegak amarah Ratu Tongkat Ular sudah sam-

pai ke ubun-ubun, tetapi tetap ditindih kemarahannya.

Datuk Bunaeng segera menceritakan apa yang 

telah terjadi di Perguruan Laba-laba Perak. Diceritakan 

juga kemungkinan akan hadirnya Langlang Benua.

Resi Hitam mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku pernah bertarung dengan Langlang Benua 

dan tak seorang pun di antara kami yang memenang-

kan pertarungan itu. Hingga saat ini aku belum tahu 

siapakah yang lebih hebat antara aku dengannya. 

Hemm... rasanya boleh juga untuk bertarung lagi de-

ngannya."

"Dengan kata lain, kau mau membantuku?"

"Bunaeng, sudah tentu aku akan membantu-

mu! Oya, telingaku memang belum tuli! Tetapi, aku be-

lum pernah mendengar pemuda yang kau katakan ber-

juluk Raja Naga itu? Siapa dia?" 

"Belum lama ini rimba persilatan telah digem-

parkan dengan munculnya seorang pemuda bernama 

Boma Paksi, atau yang lebih dikenal dengan julukan 

Raja Naga. Sepak terjangnya merupakan maut bagi 

orang-orang segolongan dengan kita. Tetapi di luar du-

gaan siapa pun, dia telah melakukan satu tindakan 

bodoh dengan mencuri kalung Laba-laba Perak. Aku 

yakin, bukan hanya aku saja yang sedang membu-

runya. Di samping itu, aku juga tak akan pernah ting-

gal diam melihat keadaan Pangku Jaladara. Saat ini,


Dewi Berlian yang telah mengikat janji bersekutu den-

ganku, sedang menjaganya jangan sampai terlepas. Se-

telah urusan beres, aku akan mempergunakan Pangku 

Jaladara sebagai boneka!"

"Hemm,... Dewi Berlian..,. Perempuan montok 

yang hingga saat ini wajahnya tak pernah berubah. 

Aku merasa pasti kalau dia memiliki ilmu awet muda. 

Bunaeng... seperti yang kukatakan tadi, aku akan 

membantumu. Langlang Benua akan menjadi lawanku 

untuk meneruskan dan menentukan siapakah yang 

paling hebat antara aku dengannya! Dan sekarang... 

hehehe... apakah kau masih ingin berada di sini terus 

menikmati keasyikan ku menggeluti janda montok 

yang kuculik dari desa seberang, atau kau mau me-

nunggu di luar?"

"Aku tak mau mengganggu keasyikan mu! Ku-

tunggu kau di luar!" kata Datuk Bunaeng sambil ber-

balik. Lalu dengan senyuman lebar karena Resi Hitam 

mau membantunya, dia melangkah ke luar.

Resi Hitam menyambar tangan Ratu Tongkat 

Ular. Sambil menyeringai dia berkata, "Kita akan ber-

nostalgia kembali. Dan aku yakin kau memang meng-

harapkannya..."

Lagi-lagi Ratu Tongkat Ular menindih geram-

nya. Dianggukkan kepalanya sekali, lalu menyusul Da-

tuk Bunaeng keluar. Mereka menunggu kemunculan 

Resi Hitam yang segera menikmati lagi tubuh janda 

montok yang diculiknya. Perempuan itu sebenarnya 

sudah jatuh pingsan. Tetapi Resi Hitam tak mempedu-

likannya.

Setelah puas melampiaskan nafsunya, dia 

muncul dengan membawa tubuh janda yang masih 

pingsan dan dalam keadaan polos. Dengan enaknya 

dia berkata,

"Kau mau mencicipi tubuh indah ini, Bu


naeng?"

Sementara Ratu Tongkat Ular menggelegak lagi 

amarahnya, Datuk Bunaeng menggelengkan kepala-

nya.

Resi Hitam membanting tubuh pingsan itu di 

atas tanah. Sambil menggelengkan kepala menatap tu-

buh polos itu, dia berkata, "Sayang kau menolak...."

Lalu dengan santainya dijentikkan ibu jari dan 

telunjuknya.

Trik! 

Asap hitam keluar dari kedua jarinya itu yang 

semakin lama menebar dan menyelimuti tubuh polos 

yang pingsan itu. Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu 

Tongkat Ular, sama-sama hanya memperhatikan. Dan 

kepala masing-masing orang menegak, dengan mata 

terbeliak lebar tatkala melihat perlahan-lahan asap hi-

tam yang menyelimuti tubuh polos itu lenyap, yang 

nampak hanyalah seonggok debu hangus!

"Hei! Mengapa bengong?!" seru Resi Hitam 

sambil menyeringai. "Kita berangkat sekarang!"


EMPAT


PAGI telah menjelang kembali. Pemuda dari 

Lembah Naga itu masih terpaku menatap aliran sungai 

di hadapannya. Wajahnya nampak sedikit kuyu, sarat 

dengan beban yang memberati pikirannya. Walaupun 

wajahnya dipenuhi beban, namun sorot matanya yang 

memancarkan keangkeran tetap terjaga. Seolah meni-

kam aliran sungai yang jernih di hadapannya.

"Kalung Laba-laba Perak... menjadi urusan be-

sar untukku. Selain itu, aku masih dibingungkan oleh 

orang yang entah siapa yang telah mematahkan serangan Jala Sringgil dan Kala Sringgil. Ah, keadaan ini 

semakin keruh. Sementara aku belum tahu apa yang 

harus kulakukan. Ke mana aku harus mencari bukti-

bukti kalau aku tak bersalah.... "

Untuk beberapa lamanya pemuda tampan be-

rambut dikuncir ini terdiam memikirkan apa yang 

menjadi masalahnya. Lamat-lamat ditarik, lalu dihem-

buskan napas perlahan-lahan.

"Satu-satunya cara yang paling tepat adalah 

kembali ke Perguruan Laba-laba Perak. Tetapi jelas tak 

ada gunanya. Menemukan Pangku Jaladara adalah 

tindakan yang lebih tepat. Menurut Dewi Pengunyah 

Sirih, Pangku Jaladara ditemukan pingsan. Ah, siapa 

yang telah membuatnya pingsan?" 

Kembali Raja Naga terdiam. Otaknya diperas 

untuk memikirkan setiap kejadian.

"Yang harus ku kaji lebih dulu, mengapa Dewi 

Pengunyah Sirih mengatakan terus terang kalau dia 

hendak mencuri kalung Laba-laba Perak? Seorang 

yang mempunyai niat seperti itu dan secara tidak lang-

sung akan menggagalkan satu upacara sakral, ten-

tunya tak akan buka mulut dan menceritakannya pada 

siapa pun juga. Hemm... apakah ada maksud lain dari 

kata-kata nenek berkonde kecil itu?" 

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini terdiam. 

Keningnya sesekali berkerut. Tatapannya masih di-

arahkan pada aliran sungai yang jernih dan mengalir 

lembut.

"Kabar yang kudengar, Dewi Pengunyah Sirih 

bersahabat dengan mendiang Resi Kala Jinjit. Mustahil 

dia akan mencuri kalung Laba-laba Perak tanpa tu-

juan yang pasti. Keinginannya untuk menggagalkan 

penobatan Pangku Jaladara sebagai ketua yang baru 

Perguruan Laba-laba Perak, tentunya didasari oleh sa-

tu keinginan. Tapi keinginan apa?"


Raja Naga menarik napas, lalu dihembuskan-

nya perlahan-lahan. Tangan kanannya mengusap-usap 

dagunya sejenak sebelum dia berpikir lagi.

"Jangan-jangan... niat Dewi Pengunyah Sirih 

itu berhubungan erat dengan kematian Resi Kala Jin-

jit? Berhubungan erat? Hubungan apa? Dan mengapa? 

Tidak mungkin Dewi Pengunyah Sirih yang telah mem-

bunuh Resi Kala Jinjit. Bisa jadi pula kalau dia me-

mang tidak tahu siapa pembunuh Resi Kala Jinjit. Be-

rarti jawaban satu-satunya...."

Raja Naga memutuskan jalan pikirannya. Ke-

ningnya berkerut. Diusap-usap lagi dagunya, sebelum 

kemudian terlihat kepalanya diangguk-anggukkan. 

"Rasanya memang itu jawaban yang paling te-

pat. Yah, memang jawaban itu satu-satunya. Tak mus-

tahil kalau sebenarnya tindakan Dewi Pengunyah Sirih 

itu atas suruhan Resi Kala Jinjit sendiri sebelum dite-

mukan tewas. Tapi dengan maksud apa? Ah, bisa jadi 

maksudnya untuk melindungi murid-murid perguruan 

Laba-laba Perak dari orang-orang yang hendak mem-

balas dendam padanya. Bila kalung Laba-laba Perak 

berhasil dicuri oleh Dewi Pengunyah Sirih, maka de-

ngan sendirinya perguruan itu akan berantakan. Tan-

pa seorang ketua, akan sulit sebuah perguruan berja-

lan. Bahkan mungkin akan terjadi gontok-gontokan di 

dalamnya. Hemm... ya, inilah jawaban yang tepat, 

kendati aku belum dapat memastikannya secara pasti. 

Hanya Dewi Pengunyah Sirih yang mengetahui alasan 

apa yang membuatnya ingin mencuri kalung Laba-laba 

Perak. Tetapi satu hal...." Raja Naga terdiam lagi. 

Kemudian melanjutkan, "Bila memang Dewi 

Pengunyah Sirih pernah berjumpa dengan Resi Kala 

Jinjit sebelumnya dan mengetahui semua ini, mengapa 

dia tidak menolongnya? Dan kejadian yang demikian 

cepat ini, tentunya tak akan berhasil bila tidak ada


orang dalam sendiri. Ya! Aku mulai dapat meraba, ka-

lau ada orang dalam yang membantu perbuatan makar 

ini. Bisa jadi kalau orang dalam pula yang telah mem-

bunuh Resi Kala Jinjit." 

Raja Naga menarik napas pendek. Sehelai daun 

jatuh menerpa wajahnya. Ditangkapnya daun itu, lalu 

dilemparnya ke aliran sungai.

Begitu daun itu terbawa aliran sungai, tiba-tiba 

saja Raja Naga memalingkan kepalanya ke kanan. Se-

pasang matanya tajam tak berkedip.

"Hemm... kutangkap gerakan orang di sekitar 

sini," desisnya dalam hati. "Dalam situasi seperti ini 

sementara banyak orang yang menganggapku sebagai

seorang pesakitan, keadaan bisa berabe untukku. Le-

bih berabe lagi bila ternyata orang itu juga mengingin-

kan nyawaku dengan tuduhan yang sama. Sebaik-

nya...."

Belum habis kata-kata Raja Naga, mendadak 

saja melesat satu sosok tubuh berpakaian hitam. Te-

gak dengan kedua sorot mata tajam tak berkedip.

Raja Naga memperhatikan dengan seksama le-

laki yang rambutnya panjang dan di tengah kepalanya 

botak. Dilihatnya kaki kanan lelaki yang dadanya agak 

terbuka, buntung. Dan dia memakai sebuah tongkat 

untuk menyangga tubuhnya. 

Untuk beberapa lama tak ada yang buka suara 

sebelum si lelaki mendesis, "Cukup lama kucari orang 

yang telah membuat aib untuk dirinya sendiri! Orang 

yang julukannya telah lama kudengar tetapi ternyata 

tak lebih dari seorang pesakitan belaka! Orang yang te-

lah menggagalkan upacara penobatan di Perguruan

Laba-laba Perak! Bahkan mempermalukan dirinya sen-

diri dengan mencuri kalung Laba-laba Perak!!"

Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek.

"Ah... apa yang kuperkirakan ternyata benar.

Tentunya lelaki setengah baya berkaki buntung ini, 

adalah sahabat dekat dari Resi Kala Jinjit. Dan ten-

tunya dia juga sudah mendengar kabar tentang keja-

dian buruk yang menimpaku, tetapi dianggapnya aku-

lah yang telah melakukan semua ini."

Lelaki berkaki buntung itu berseru lagi, "Ke-

hormatan seseorang sangat mahal harganya! Dirintis 

dari bawah tetapi dalam sekejap saja setelah berdiri te-

gak dengan mata langit, akan hilang begitu saja! Tak 

ubahnya kemarau setahun dihapus oleh hujan sehari!"

Raja Naga tetap tak menjawab. Sorot matanya 

yang angker memandang pada si lelaki. Diam-diam dia 

membatin, "Jalan satu-satunya, aku memang harus 

menghindar dari sini. Aku tak ingin terjadi lagi perta-

rungan seperti yang kualami dengan Jala Sringgil dan 

Kala Sringgil! Tapi, apakah aku dapat melakukannya 

sementara tuduhan keji itu sudah terpatri pada diriku? 

Ah! Siapa orangnya yang telah melakukan tindakan 

busuk ini! Dewi Pengunyah Sirih mengatakan bukan 

dia yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak dan 

menjatuhkan tanggungjawab kepadaku!" 

Lelaki berkaki kanan buntung itu menggeram 

karena sejak tadi Raja Naga tidak menyahuti ucapan-

nya.

"Pemuda celaka yang telah menamengkan diri 

dengan tindakan lurus padahal busuk tak ketulungan! 

Aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawa-

banmu! Sebaiknya menyerah sebelum kulakukan ke-

kerasan untuk kubawa pada Pengadilan Rimba Persila-

tan! Agar kau dihukum rajam oleh orang-orang rimba 

persilatan! Tetapi bila kau menolak, terpaksa akulah 

yang akan menghukummu di sini!"

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 

dipenuhi sisik coklat itu menarik napas pendek.

"Seperti yang kualami sebelumnya, rasanya aku

memang susah untuk membela diri," desisnya. Lalu, 

"Kejadian buruk yang menimpa diriku memang sulit 

bagiku untuk membela diri sebelum mendapatkan 

bukti-bukti! Dan kesulitan kedua, adalah untuk men-

cari bukti-bukti itu! Karena sebelum kudapatkan buk-

ti-bukti yang jelas kalau aku tidak bersalah, telah da-

tang orang-orang seperti dirimu yang membuatku mati 

langkah!"

"Kau masih mencoba bersilat lidah padahal kau 

memang bersalah! Tak perlu lagi ada bukti! Kabar te-

lah sampai ke telingaku kalau kau telah melakukan 

tindakan keji! Banyak saksi mata yang melihatmu me-

lakukan pencurian itu! Bahkan aku yakin, barang 

bukti itu masih ada padamu!"

Murid Dewa Naga menganggukkan kepala sam-

bil menghela napas masygul.

"Kalung Laba-laba Perak memang masih berada 

padaku! Tetapi, aku bukan orang yang melakukan 

pencurian itu!"

"Huh! Kau dipergoki oleh Pangku Jaladara, se-

laku calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang ba-

ru! Bahkan kau telah membuatnya pingsan! Sementa-

ra kau juga telah membunuh salah seorang murid Per-

guruan Laba-laba Perak!" 

"Keadaan seperti ini memang sulit untuk ku je-

laskan. Dan rasanya tak bisa," desis Raja Naga dalam 

hati. Ketika dilihatnya lelaki berkaki buntung itu maju

dua tindak dengan kepala sedikit diangkat, pemuda 

berompi ungu ini mendesah. "Aku harus mencari jalan 

untuk meloloskan diri...." 

"Sebagai sahabat setia Pangku Jaladara dan 

orang yang tak bisa berdiam diri melihat keadaan yang 

menyakitkan, hari ini juga kau harus mampus kubu-

nuh! Kau tak memberi jawaban apa-apa untuk kubawa 

pada Pengadilan Rimba Persilatan! Itu mengukuhkan


keyakinanku kalau kau memang bersalah!"

Belum habis seruannya terdengar, lelaki berka-

ki buntung itu sudah melesat ke depan. Tangan kanan

kirinya digerakkan, sementara tongkat penyanggah tu-

buhnya seperti menempel pada ketiak kanannya.

Dari angin yang keluar mendahului, Raja Naga 

sadar kalau lelaki buntung itu menyerang dengan 

mempergunakan setengah tenaga dalamnya. Tetapi 

anak muda dari Lembah Naga ini justru tak bergerak 

dari tempatnya. Matanya yang angker dipicingkan.

Ketika kedua jotosan lawan sudah mendekat, 

barulah digerakkan kedua tangannya. 

Buk! Buk!

Benturan yang terjadi itu membuat lelaki ber-

kaki kanan buntung berteriak tertahan seraya mun-

dur. Kedua matanya terbeliak tak percaya merasakan 

ngilu pada kedua tangannya yang berbenturan tadi.

"Hebat? Julukannya yang cepat membubung 

tinggi itu memang tak sia-sia! Tenaga dalamnya sangat 

tinggi!" 

Di pihak lain Raja Naga hanya mendesah pelan. 

Bila saja dia mau melakukan, dia bukan hanya dapat 

membuat kedua tangan lelaki berkaki buntung itu ngi-

lu, tetapi juga patah. Ini disebabkan karena kekuatan 

yang ada pada sepasang lengannya yang bersisik hing-

ga batas siku.

Di seberang, lelaki berkaki buntung menggeram 

dingin.

"Tindakanmu barusan semakin membuatku 

penasaran! Kau harus mampus di tanganku, agar tak 

ada lagi orang-orang licik sepertimu di rimba persilatan 

ini!!" 

Menyusul suaranya, dia sudah menggebrak 

kembali. Tongkat penyanggah tubuhnya digerakkan di 

saat dia melesat. Diputar sejenak yang seketika keluar

angin berputar yang kecil dan semakin lama mem-

besar. Bergemuruh mengerikan yang membuat tanah 

seketika masuk dalam pusarannya dan bersama-sama 

menggebrak ke arah Raja Naga!

Pemuda bersisik coklat itu menjerengkan ma-

tanya.

Kejap lain dia sudah mendeham.

"Ehmmm!!" 

Blaaaarr!!

Gelombang angin berputar yang dahsyat itu pe-

cah seketika. Terlihat paras lelaki buntung itu sedikit 

berubah. Tetapi di lain kejap, dengan sekali menjejak-

kan ujung tongkat penyanggah tubuhnya di atas ta-

nah, sosoknya sudah mumbul ke udara. Berputar de-

ras meluruk ke arah Raja Naga sementara tongkatnya 

digerakkan menyilang tiga kali!

Gelombang angin bersilang menderu keras. Ra-

ja Naga cepat membuang tubuh ke samping kanan.

Blaaam! Blaaam! Blaaamm! 

Letupan berkali-kali terdengar menghantam ta-

nah, disusul dengan sapuan tongkat ke arah kaki Raja 

Naga.

"Heiii!!" 

Terkejut, pemuda bersisik ini segera melompat 

dengan cara berputar di udara. Tetapi sosok lelaki ber-

kaki buntung itu terus mengejarnya. Bahkan ujung 

tongkatnya siap menotok jantung Raja Naga yang bila 

masuk pada sasaran, maka pemuda itu hanya akan 

tinggal jasadnya belaka! 

Melihat keadaan yang membahayakan tubuh-

nya, Raja Naga segera menepukkan tangan kanannya 

pada lengan kirinya. 

Wuusss!!

Menggebrak angin yang cukup besar.

Tetapi lelaki berkaki buntung itu tak mau mengendorkan serangannya. Tangan kirinya dikibaskan 

yang membuat serangan balik Raja Naga putus di ten-

gah jalan, sementara tongkat penyanggah tubuhnya te-

tap lurus ke arah jantung si pemuda 

Mau tak mau Raja Naga harus bertindak me-

nyelamatkan dirinya. Bahkan dia bertindak sangat ce-

pat. Dengan mengeluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengu-

rung Lautan' dia dapat membuat lelaki berkaki bun-

tung itu mundur untuk menghentikan serangannya. 

Menyusul dengan jurus 'Hamparan Naga Tidur' Raja 

Naga membuat lelaki itu terbanting di atas tanah.

Dia sendiri segera hinggap dan memperhatikan 

lelaki yang kemudian bangkit itu dengan agak susah 

payah. Sebelum lelaki berkaki buntung itu buka suara, 

pemuda bersorot mata angker ini sudah berkata,

"Memang sulit bagiku untuk membuktikan 

bahwa aku tidak bersalah! Tetapi, biar bagaimanapun 

sulitnya, aku akan tetap mencari bukti-bukti kalau 

aku tidak bersalah!" 

Sambil menahan sakit pada perutnya, lelaki 

berkaki buntung itu berseru, "Kau boleh berucap apa 

saja untuk membela dirimu! Tetapi jangan berharap

aku atau siapa pun juga yang membela kebenaran, 

akan mempercayai ucapanmu! Kau harus kubunuh di 

sini bila menolak kubawa pada Pengadilan Rimba Per-

silatan!" 

Raja Naga menggelengkan kepalanya.

"Apa pun yang terjadi, nampaknya memang ha-

rus kuhadapi! Sebesar apa pun risikonya! Maaf, aku 

tidak bisa berlama-lama di sini!"

Ucapan Raja Naga itu menandakan dia akan 

segera berlalu dan ini membuat lelaki berkaki buntung 

segera menggebrak kembali. Tetapi bersamaan dengan 

itu, Raja Naga sudah menjejakkan kaki kanannya di 

atas tanah, melancarkan serangan 'Barisan Naga


Penghancur Karang'.

Serta-merta tanah itu bergerak, bergelombang 

deras ke arah lelaki berkaki buntung yang mau tak 

mau mengurungkan niatnya menyerang!

Blaaaarrr!!

Letupan keras dengan terbongkarnya tanah ke 

udara terjadi. Sejenak tanah menghalangi pandangan 

lelaki buntung itu yang kemudian menggeram keras 

setinggi langit. Karena tatkala tanah itu sirap kembali, 

sosok Raja Naga sudah tak ada di tempatnya.

"Keparat! Kehebatannya memang sulit dicari 

tandingannya! Sayang sekali kemampuannya dipergu-

nakan untuk tindakan yang menyesatkan dirinya! 

Huh! Biar bagaimanapun juga, aku harus menangkap 

atau membunuhnya!"

Di lain saat, lelaki berkaki kanan buntung ini 

sudah berkelebat tanpa menghiraukan perutnya yang 

masih sedikit mulas.



LIMA



DI SEBUAH persimpangan, Raja Naga kembali 

menghentikan larinya. Keringat sedikit membasahi wa-

jahnya yang segera diusapnya. Dihirup udara segar 

untuk menghilangkan beban yang menindih dadanya. 

"Urusan ini semakin tak menentu. Tentunya se-

makin banyak orang-orang yang menuduhku telah me-

lakukan pencurian. Ah, jalan satu-satunya aku me-

mang harus mencari bukti-bukti bahwa aku tidak ber-

salah, tetapi... ke mana harus kucari bukti itu semen-

tara aku sendiri harus bersiaga penuh terhadap orang-

orang yang telah salah memahami keadaan?"

Raja Naga menarik napas pendek. Sorot ma-

tanya yang angker menatap ke kejauhan, menatap bukit-bukit yang menghijau. Jauh di sebelah kanannya, 

hamparan padi menguning berlenggak-lenggok dihem-

busi angin barat laut.

"Tak bisa kusalahkan sikap orang-orang seperti 

Jala Sringgil, Kala Sringgil maupun lelaki berkaki bun-

tung yang belum kuketahui siapa nama dan julukan-

nya. Ini menandakan kalau kesetiakawanan mereka 

begitu tinggi. Ah, cap pencuri dan pengacau memang 

telah melekat padaku. Siapa sebenarnya orang yang 

hendak mencelakakanku ini?" 

Kembali pemuda dari Lembah Naga ini mengge-

leng-gelengkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi keresa-

han. Tetapi di lain saat, kepalanya sudah ditegakkan 

kembali. Sorot matanya tetap angker.

"Aku tak bisa berdiam terlalu lama untuk men-

cari bukti-bukti yang ada. Biar bagaimanapun juga, 

keadaan ini tak boleh berlarut-larut. Di samping itu, 

aku juga akan mencari siapa orang yang telah mem-

buatku seperti...." 

Kata-kata Raja Naga terputus. Karena dia lang-

sung memalingkan kepalanya ke kanan, melihat satu 

bayangan hijau dari balik ranggasan semak. Berputar 

di udara dua kali dalam keadaan berdiri, sebelum ak-

hirnya hinggap di hadapannya.

Raja Naga memperhatikan dengan seksama 

orang yang berdiri di hadapannya, yang tadi saat ber-

putar di udara pakaian panjangnya yang terbelah itu 

membuyar. Selain memperlihatkan bungkahan sepa-

sang paha mulus dan gempal, juga membiarkan sesua-

tu yang terbalut kain tipis berwarna merah jambu 

mengintip.

"Dewi Berlian...," deals Raja Naga kemudian.

Perempuan berpayudara besar itu menyeringai 

lebar. Tak mengeluarkan suara. Sorot matanya merayu.


"Raja Naga...," desisnya lembut.

Raja Naga tak menyahut, hanya memandangi 

dengan sorot matanya yang angker.

"Tatapan pemuda itu benar-benar membuat 

jantungku berdetak lebih cepat. Sungguh mengerikan. 

Dan satu hal yang membuatku kesal, ternyata dia ma-

sih hidup! Huh! Kematian Ratu Sejuta Setan harus 

kubalaskan! Rencana lain harus kujalankan seka-

rang... "

Berpikir demikian, Dewi Berlian tersenyum.

"Julukan Raja Naga telah menjulang ke langit 

tujuh dan menyebar ke segala penjuru sebagai orang 

golongan lurus yang menerjang orang-orang golongan 

sesat! Tetapi sayangnya, tindakan yang telah lama di-

lakukan itu harus dicoreng dengan satu tindakan me-

malukan yang tak bisa dimaafkan!"

"Bibirnya tersenyum, wajahnya cerah, ucapan-

nya pun lembut. Tetapi aku berkeyakinan kalau dia 

tak lama lagi akan menyerangku," desis Raja Naga da-

lam hati.

Didengarnya lagi kata-kata perempuan mesum 

itu, "Dan sungguh malang nasib yang menimpamu, Pe-

muda tampan! Aku merasa pasti kau bukanlah orang 

yang melakukan pencurian seperti yang dituduhkan 

siapa pun juga! Dan seseorang yang melakukannya te-

lah menimpakan tanggung jawabnya padamu!"

Mendengar kata-kata itu, Raja Naga mengang-

kat kepalanya.

"Aku belum mengetahui siapa kau sebenarnya, 

Dewi Berlian. Tetapi aku bersyukur karena masih ada 

yang mau mempercayaiku...."

Sambil menindih dendamnya, Dewi Berlian te-

rus menjalankan rencananya.

"Sudah tentu aku tak pernah berpikir demi-

kian! Bahkan yang terpikirkan oleh ku sekarang, ada


lah Datuk Bunaeng!"

"Datuk Bunaeng?"

"Siapa pun tahu, kalau Datuk Bunaeng yang 

bersekutu dengan Ratu Tongkat Ular memiliki dendam 

berkepanjangan pada mendiang Resi Kala Jinjit! Ken-

dati Resi Kala Jinjit telah tewas, tetapi dendam di ha-

tinya tak akan padam! Rencana busuk telah dikuman-

dangkan dan siap dijalankan! Kaulah yang terkena ge-

tah dari segala rencananya!"

"Walaupun dikatakannya kalau dia yakin aku 

bukanlah yang melakukan pencurian itu, tetapi aku 

tak bisa mempercayai sepenuhnya. Tadi kutangkap 

nada suaranya sedikit bergetar," kata Boma Paksi da-

lam hati. Lalu, "Apakah maksudmu dengan mengata-

kan akulah yang terkena getahnya?"

"Datuk Bunaeng telah menyusupkan anggo-

tanya ke dalam tubuh Perguruan Laba-laba Perak! Dia 

telah mengatur semuanya sedemikian rupa! Dan kau-

lah yang menjadi sasarannya!"

"Jelaskan!" 

"Salah seorang anak buah Datuk Bunaeng te-

lah mencuri kalung itu, lalu melemparkannya kepa-

damu hingga kau yang dituduh!"

"Hemm... apa yang dikatakannya tak sama se-

perti yang kudengar dari mulut Gala Jenjang dan Kulo 

Marutung saat kucuri dengar percakapannya. Tetapi 

ini lebih baik ketimbang aku tak mendengarkannya la-

gi," ucap Raja Naga dalam hati. Seraya memandangi 

perempuan jelita di hadapannya, pemuda yang kedua 

tangannya sebatas siku dipenuhi sisik coklat ini berka-

ta, "Kalau memang yang kau katakan itu benar, apa 

alasannya?"

"Alasannya? Huh! Dengan mudah sekali akan 

kukatakan! Datuk Bunaeng sebenarnya memiliki den-

dam padamu!"


"Astaga! Dendam padaku? Gila! Aku belum la-

ma mengenai Datuk Bunaeng!"

"Tetapi... kau tentunya ingat tentang seorang 

nenek berkulit hitam legam yang berjuluk Ratu Sejuta

Setan, bukan?"

Kepala Raja Naga menegak. Untuk beberapa 

lamanya dia terdiam mencernakan apa yang dimak-

sudkan oleh Dewi Berlian.

"Mengapa dengan Ratu Sejuta Satan?"

"Dia adalah saudara dari Datuk Bunaeng! Dan 

kau telah membunuhnya! Rencana diatur sedemikian 

rupa! Orang yang mengundangmu untuk datang ke 

Perguruan Laba-laba Perak adalah orang suruhan Da-

tuk Bunaeng! Kau akhirnya terpancing untuk datang 

ke sana, pada upacara penobatan Pangku Jaladara se-

bagai Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang baru! 

Dan Datuk Bunaeng kemudian dengan leluasa mem-

burumu! Dia ingin membunuhmu, tetapi tidak mem-

pergunakan tangannya! Melainkan, menimpakan satu 

kesalahan besar padamu, hingga orang-orang rimba 

persilatan memburumu!"

Raja Naga menahan napas. Dipandanginya pe-

rempuan berpakaian hijau yang dipenuhi butiran ber-

lian itu. 

Di pihak lain Dewi Berlian tersenyum dalam ha-

ti.

"Sorot matanya yang angker semakin angker 

dan kutangkap kalau dia mulai direjam amarah. Ba-

gus! Rencana ini akan berjalan lebih mulus lagi! Datuk 

Bunaeng mencarinya karena pemuda itu dianggapnya 

telah mencoreng wajahnya, sementara pemuda ini juga 

akan mencarinya untuk mendapatkan bukti kalau dia 

tidak bersalah! Luar biasa! Ternyata otakku sungguh 

cerdik! Dan sungguh kebetulan aku berjumpa dengan-

nya di sini! Ratu Sejuta Setan, bila saja kau masih hidup, tentunya kau akan mengagumi kecerdikanku...."

Lamat-lamat terdengar kata-kata Raja Naga se-

telah terdiam beberapa lama.

"Dewi Berlian... apakah kau tahu keadaan 

Pangku Jaladara sekarang?"

"Hemm... bagus! Pertanyaan bagus! Akan se-

makin kubuat dia mendendam pada Datuk Bunaeng," 

desis Dewi Berlian dalam hati. Lalu menyahut, "Aku ti-

dak tahu bagaimana keadaannya! Pangku Jaladara di-

temukan pingsan sementara salah seorang anak 

buahnya yang bernama Duto telah tewas!" Kemudian 

suaranya dibuat geram, "Tentang kalung Laba-laba Pe-

rak aku yakin bukan kau yang mencurinya! Tetapi, 

pembunuhan yang kau lakukan dan sebab-sebab 

Pangku Jaladara pingsan, aku merasa pasti, kalau kau 

yang melakukannya!"

Raja Naga menggelengkan kepala.

"Kau salah besar, Dewi. Aku tak melakukan tin-

dakan itu! Kalaupun lima orang murid Perguruan La-

ba-laba Perak kubuat pingsan, karena terpaksa. Aku 

harus membela diri."

"Jika bukan kau yang melakukannya, siapa, 

hah?!" Dewi Berlian membuat suaranya makin keras.

Raja Naga tak menjawab. Sorot matanya yang 

angker tetap terjaga. Justru Dewi Berlian yang bersua-

ra, dibuat kaget, "Astaga! Kini aku baru sadar! Ya, ba-

ru terbuka mataku!"

"Apa maksudmu dengan baru sadar?"

"Bodoh! Bodohnya aku ini! Sudah tentu yang 

melakukannya adalah orang-orang Datuk Bunaeng!" 

Raja Naga tidak menyahut. Dewi Berlian berkata lagi, 

"Huh! Sungguh sebuah akal licik yang diperlihatkan-

nya! Datuk Bunaeng men-dendam padamu karena kau 

telah membunuh Ratu Sejuta Setan. Semua dirancang 

sedemikian rupa hingga sulit bagi siapa pun untuk


menuduh Datuk Bunaeng yang telah melakukan se-

mua ini. Raja Naga... apa yang akan kau lakukan se-

karang?"

Raja Naga tetap tidak menyahut. Otaknya ber-

pikir keras. Setelah beberapa lama baru dia berkata, 

"Aku akan mencari Datuk Bunaeng!"

"Bagus! Kini sasaranku kualihkan padanya!" 

"Mengapa kau berkata demikian? Apakah kau 

sebelumnya mempunyai sasaran lain?" 

"Ya! Kaulah sasaranku, Raja Naga! Karena se-

belumnya, kau kuanggap sebagai orang yang telah 

mencelakakan Pangku Jaladara!" 

Lagi-lagi Raja Naga tidak menyahut, diperhati-

kannya dengan seksama perempuan jelita di hadapan-

nya. Didengarnya lagi kata-kata Dewi Berlian,

"Menurut yang kudengar, Datuk Bunaeng dan 

Ratu Tongkat Ular akan berada di Lembah Lingkar te-

pat pada tengah malam, malam ini."

"Bagaimana kau tahu?" 

"Karena aku mencuri dengar percakapan mere-

ka! Raja Naga, tentunya kau menolak bila kita bersa-

ma-sama ke Lembah Lingkar! Sebaiknya, kita memang 

menempuh jalan masing-masing! Satu hal lain yang 

perlu kau ketahui, aku berada di pihakmu!"

Raja Naga hanya menganggukkan kepalanya.

"Di mana Lembah Lingkar berada?"

"Berjalanlan menuju ke selatan. Setelah kau 

menemukan dua buah pohon yang tumbuh bersilan-

gan, berbeloklah ke kanan. Tak jauh dari sana, kau 

sudah akan melihat Lembah Lingkar." 

"Kata-kata perempuan ini tak sepenuhnya ku

percayai. Karena dia begitu mudah menerima setiap 

ucapanku. Tidak seperti Jala Sringgil dan Kala Sringgil 

yang tetap ngotot menyalahkanku. Hemm... apakah dia 

menyembunyikan sesuatu di batik semua ini? Tapi bisa jadi apa yang dikatakannya memang benar. Sampai 

saat ini aku belum tahu apa yang harus kulakukan. 

Tak ada salahnya bila aku pergi ke Lembah Lingkar."

Habis membatin demikian, Raja Naga berkata, 

"Baiklah! Kita memang sebaiknya pergi masing-masing! 

Kita berjumpa di Lembah Lingkar, Dewi Berlian!" 

Belum habis seruannya, sosok Raja Naga sudah 

menjauh. Dewi Berlian hanya melihat bayangan ungu 

saja yang kemudian lenyap di telan pepohonan.

Lima kejapan mata kemudian, satu sosok tu-

buh melompat dari balik ranggasan semak dan berdiri 

di samping kanan Dewi Berlian. 

"Itukah rencana yang kau maksudkan tadi, 

Dewi?" tanya sosok tubuh itu yang bukan lain Pangku 

Jaladara.

Dewi Berlian mengangguk-anggukkan kepa-

lanya sambil tersenyum.

"Ternyata semuanya jauh lebih mudah, jauh le-

bih baik dari apa yang kubayangkan."

Pangku Jaladara merangkul tubuh montok itu 

dari belakang. Sepasang telapak tangannya menempel 

tepat pada payudara Dewi Berlian, meremas-remasnya 

sambil mengecupi tengkuk si perempuan yang mulus.

"Kau benar-benar cerdik...."

"Kita harus tiba lebih dulu di Lembah Lingkar."

"Untuk apa? Bukankah kita bisa bersenang-

senang dulu...."

"Yang dipikirkan lelaki ini hanya gairah semata! 

Huh! Lama-lama tingkahnya membuatku muak! Aku 

sudah tak lagi membutuhkan bantuannya! Membu-

nuhnya pun tak pernah kusesali! Tetapi, dia masih bi-

sa kupergunakan!" 

Berpikir seperti itu, Dewi Berlian membalikkan 

tubuhnya. Dirangkulnya Pangku Jaladara dengan ke-

tat, hingga payudaranya menempel erat di dada Pangku Jaladara yang meram-melek.

"Aku khawatir, dia akan lebih dulu tiba di sana 

sebelum kita. Rencana ini baru saja muncul, setelah 

tak sengaja kita yang lebih dulu berada di sini meli-

hatnya muncul." 

"Dan kehadirannya mengganggu keasyikan ku

mencumbumu, Dewi...."

Dewi Berlian tak menghiraukan kata-kata itu. 

"Kita harus mengatakan pada Datuk Bunaeng yang 

tentunya telah menunggu di Lembah Lingkar, kalau 

pemuda itu akan segera tiba di sana."

"Kau mengatakan tengah malam mereka baru 

berada di sana. Padahal tidak seperti itu kenyataan-

nya."

"Tetapi tak menutup kemungkinan Raja Naga 

akan tiba lebih dulu dari mereka. Pangku Jaladara, ki-

ta masih punya banyak waktu untuk menikmati se-

mua ini...," sahut Dewi Berlian. Setelah mengecup bibir 

Pangku Jaladara dengan mesra, dilepaskan rangku-

lannya. "Kita berangkat sekarang! Melewati arah timur 

lebih cepat ketimbang melalui selatan!"

Walaupun harus menindih gairahnya, Pangku 

Jaladara menyetujui usul itu. Keduanya pun segera 

meninggalkan tempat itu dengan berjuta kemenangan 

yang telah membayang di benak Dewi Berlian. Semen-

tara itu yang dipikirkan Pangku Jaladara, hanyalah 

mendapatkan kesempatan untuk menikmati tubuh 

montok yang menggairahkan itu.


ENAM



PADA saat yang bersamaan, Dewi Pengunyah 

Sirih yang berkelebat cepat menghentikan langkahnya

di jalan setapak. Tak jauh dari tempatnya, sebuah per-

simpangan yang tumpang tindih terpampang. Bukan 

karena memikirkan arah mana yang harus ditempuh-

nya yang membuat nenek yang selalu mengunyah sirih 

itu menghentikan larinya. Tetapi satu suara yang san-

gat dikenalnya yang menahannya di sini. 

"Dewa Jubah Biru!" desisnya pelan.

"Hebat, hebat sekali! Kau masih mengenali sua-

raku!" kembali terdengar seruan itu, menyusul satu 

sosok tubuh hinggap sejarak lima langkah dari hada-

pan Dewi Pengunyah Sirih. Orang yang memang Dewa 

Jubah Biru ini langsung buka suara, "Kau nampaknya 

tergesa-gesa sekali? Rasanya tak mungkin bila kau tak 

punya urusan yang mendesak sementara kau berlari 

seperti setan!" 

Dewi Pengunyah Sirih menatap tak berkedip 

pada kakek yang selalu mengedip-ngedipkan matanya. 

Perlahan-lahan dia bersuara, "Katanya, kalau orang 

bertanya seperti itu tetapi juga menduga, ada dua 

maksud! Pertama memang tidak tahu, kedua bermak-

sud mengejek! Dewa Jubah Biru... yang mana yang 

kau maksudkan?"

"Yang kumaksudkan? Aku hanya ingin ber-

tanya! Dan sungguh kebetulan kita berjumpa di sini!"

"Katanya, kalau orang hendak bertanya itu pa-

da orang yang tepat! Dewa Jubah Biru, aku bukan 

orang yang tepat untuk dijadikan sebagai tempat ber-

tanya!"

"Kalau orang yang semula berniat untuk men-

curi kalung Laba-laba Perak kemudian beranggapan 

bukan sebagai tempat yang tepat untuk bertanya, apa-

kah itu sebuah kebohongan?" 

Wajah keriput si nenek berubah. Mulutnya se-

makin cepat mengunyah sirihnya sehingga keluar cai-

ran merah dari Sana.


"Katanya, orang berbohong itu selain harus di-

pertanggungjawabkan juga telah melakukan sebuah 

kebodohan! Dan sangat bodoh orang yang melakukan 

tindakan seperti itu!"

Dewa Jubah Biru tersenyum. Angin senja 

menggerai jubah birunya.

"Jadi... apa yang kukatakan tadi itu benar?" 

"Aku tidak berkata demikian! Katanya, orang 

yang ingin bertanya akan langsung melontarkan per-

tanyaannya! Tetapi mengapa kau berputar-putar?!"

Lagi-lagi Dewa Jubah Biru tersenyum. Matanya 

tetap berkedip-kedip.

"Kabar telah kudengar kalau kau berniat untuk 

mencuri kalung Laba-laba Perak! Tetapi mengapa kau 

menimpakan kesalahan itu pada seorang pemuda ber-

juluk Raja Naga?"

"Katanya, orang yang menimpakan kesalahan 

pribadi pada diri orang lain telah melakukan kecuran-

gan! Dewa Jubah Biru, aku tak melakukan tindakan 

seperti itu! Bila kau ingin mendapatkan kejelasan, se-

baiknya kau temukan Raja Naga!" 

"Dalam keadaan serba kacau seperti ini, dan 

sulit menganggap yang mana kawan atau lawan, su-

dah tentu tak akan mudah menemukan Raja Naga! 

Apalagi waktu yang sedemikian sempit! Apakah tidak 

sebaiknya kau yang menjelaskan?" 

"Hemmm... bila tidak kukatakan padanya, uru-

san akan jadi berabe. Aku merasa pasti kalau dia, te-

lah datang ke Perguruan Laba-laba Perak dan berjum-

pa dengan Raja Naga yang kemudian menceritakan se-

mua ini. Apakah memang harus kukatakan saja se-

mua ini?"

Cukup lama tak ada yang bersuara. Dewi Pen-

gunyah Sirih masih menimbang apakah dia memang 

harus mengatakan rahasia yang disimpannya atau tidak. Di pihak lain, Dewa Jubah Biru hanya menunggu 

penuh kesabaran. 

Setelah beberapa lama tak ada yang bersuara, 

Dewi Pengunyah Sirih berkata, "Katanya, menyimpan 

sebuah rahasia lebih baik seorang diri! Walaupun 

orang yang hendak kita bagi rahasia sudah bersumpah 

untuk tidak membocorkannya, pada akhirnya akan 

bocor juga! Tetapi aku yakin, kau akan menjaga raha-

sia itu dengan segala kehormatan yang kau miliki!" 

"Ternyata kau sungguh pandai berbicara, Dewi! 

Dengan kata lain, kau memaksa aku untuk bersum-

pah!"

"Kau tidak perlu bersumpah! Katanya, seseo-

rang yang telah mempercayai orang lain demi satu ke-

benaran, akan dijunjung tinggi kehormatannya!"

Dewa Jubah Biru tersenyum dan berkata, "Kau 

hendak menutupi kesalahanmu dengan memaksaku 

secara halus seperti itu, atau kau memang hendak 

mengatakan yang sebenarnya?"

"Katanya, sesuatu yang disampaikan itu benar 

atau salah, orang yang mendengarnya yang dapat dan 

harus menilai! Karena bila salah menilai, bisa-bisa 

akan menjerumuskannya sendiri!"

Dewa Jubah Biru hanya mengangguk-

anggukkan kepalanya. 

Dewi Pengunyah Sirih terdiam sejenak, seperti 

mengatur kata-katanya. Dipandanginya kakek yang se-

lalu mengedip-ngedipkan matanya. Sejak pertama kali 

mengenal Dewa Jubah Biru, belum pernah sekali pun 

Dewi Pengunyah Sirih melihat tindakan yang melen-

ceng dari Dewa Jubah Biru. Dan diyakininya betul hal 

itu, hingga diputuskannya untuk mengatakan apa 

yang selama ini disimpan sebagai rahasia.

"Sekitar sebulan yang lalu, aku berjumpa den-

gan Resi Kala Jinjit di Bukit Dedemit. Kala itu, aku baru kembali dari perjalananku. Pertemuan yang tak 

sengaja itu sungguh sangat menggembirakan. Karena 

aku memang sudah berniat untuk menyambanginya 

ke Perguruan Laba-laba Perak!"

Sampai di sini, Dewi Pengunyah Sirih menghen-

tikan kata-katanya. Perlahan-lahan kepalanya dipa-

lingkan. Dipandanginya kejauhan dengan seksama.

Lalu, "Kulihat juga, betapa gembiranya Resi Ka-

la Jinjit saat berjumpa denganku. Dari percakapan ke-

gembiraan dua orang sahabat, aku menangkap sesu-

atu di balik kegembiraannya. Dia seperti menyimpan 

satu persoalan yang dipendamnya sendiri. Setelah ku-

bujuk beberapa kali, akhirnya Resi Kala Jinjit mau 

mengatakannya."

Dewa Jubah Biru hanya mendengarkan, dibiar-

kan saja si nenek yang selalu mengunyah sirih itu ter-

diam dulu. 

"Dan yang dikatakannya, sungguh menge-

jutkan. Dikatakannya, kalau dia menangkap gejala-

gejala di mana hidupnya akan berakhir. Aku tertawa. 

Dan kukatakan padanya, kalau itu hanyalah sebuah 

perasaan belaka. Tetapi jawabannya kemudian, mem-

buatku tak bisa tertawa dan menganggap apa yang di-

katakannya sebagai gurauan. Resi Kala Jinjit menga-

takan, akan munculnya beberapa orang untuk mem-

balas dendam terhadapnya. Yang baru kuketahui, ka-

lau dia hampir tiga hari sekali mendatangi Bukit De-

demit. Dengan maksud, agar orang-orang yang hendak 

membalas dendam padanya, tidak menumpahkan ke-

marahan di Perguruan Laba-laba Perak! Itu menanda-

kan, betapa luhurnya pekerti yang dimilikinya! Dia 

hendak menanggung semuanya seorang diri, dan tak 

mau menimpakannya pada murid-muridnya!"

Lagi Dewi Pengunyah Sirih terdiam. Gerakan 

mengunyah sirihnya melambat. Tatapan sepasang matanya kosong, kali ini dia tidak tahu apa yang menarik 

perhatiannya untuk ditatap.

Perlahan-lahan dia berkata kembali, "Satu hal 

lain yang dikatakannya, dia menangkap gelagat yang 

tidak baik di dalam perguruannya."

"Aku tidak mengerti," kata Dewa Jubah Biru 

untuk pertama kalinya.

"Dia merasa pasti kalau ada orang yang me-

nyusup ke dalam perguruannya. Tetapi setiap kali dis-

elidikinya, setiap kali pula dia tidak menemukan siapa 

orang itu. Dan satu gelagat lain yang menurutnya san-

gat merisaukan, kalau ada muridnya sendiri yang mu-

lai memperlihatkan tindakan mencurigakan. Kendati 

diketahuinya, tetapi Resi Kala Jinjit tak berani main 

tangkap sebelum ada bukti. Sebagai seorang sahabat, 

kukatakan padanya, aku mau membantu apa saja un-

tuk menolongnya. Paling tidak, menghilangkan keri-

sauan yang ada." Dewi Pengunyah Sirih tiba-tiba me-

malingkan kepalanya. Tatapannya tajam pada Dewa 

Jubah Biru. "Kau tahu apa yang kemudian dikatakan-

nya padaku?" Dewa Jubah Biru menggeleng. 

"Tidak."

"Dia mengatakan, bila dia tewas... maka ke-

mungkinan besar akan adanya salah seorang murid-

nya yang akan menggantikan kedudukannya."

"Kupikir itu bukanlah masalah yang besar." 

"Katanya, bila seseorang belum mengetahui se-

suatu yang pasti, maka dia akan menganggap enteng 

satu urusan," ucap Dewi Pengunyah Sirih, bernada si-

nis,

Dewa Jubah Biru hanya tersenyum.

Dewi Pengunyah Sirih mengarahkan lagi pan-

dangannya ke kejauhan. Lamat-lamat kembali dia be-

rucap, "Apa yang kemudian dimintanya benar-benar 

membuatku terkejut. Dikatakannya, bila dia tewas dan


ada yang menggantikan kedudukannya, aku dimin-

tanya untuk mencuri kalung Laba-laba Perak yang 

saat itu menggantung di lehernya. Sebuah benda pu-

saka yang menjadi lambang sahnya seseorang menjadi 

Ketua Perguruan Laba-laba Perak."

"Jadi... niatmu untuk mencuri kalung itu atas 

usul mendiang Resi Kala Jinjit sendiri?"

"Kau benar! Dia yang memintaku seperti itu!"

"Apakah dia mengatakan alasannya?"

"Resi Kala Jinjit merasakan sesuatu akan terja-

di dan sesuatu yang menohoknya dari belakang akan 

dialaminya. Dengan kata lain, bila aku berhasil men-

curi kalung Laba-laba Perak, maka dengan sendirinya 

perguruan itu akan bubar." 

"Astaga! Sejauh itukah maksud dari Resi Kala 

Jinjit?"

"Apa yang menjadi tujuannya menurutku se-

buah tindakan mulia. Dia tidak ingin setelah kema-

tiannya kelak, para muridnya yang akan menanggung 

semua tindakannya semasa dia hidup. Diduganya, wa-

laupun dia telah tewas, tetap akan banyak orang-orang 

yang menyimpan dendam padanya akan bermunculan. 

Ini memang sebuah tindakan yang penuh keberanian 

juga kesedihan. Seperti yang dialami oleh Resi Kala 

Jinjit."

Dewa Jubah Biru tak bersuara. Kini dia mulai 

dapat memahami apa yang Sebenarnya terjadi. Kemu-

dian diajukan tanya, "Lantas... apakah memang kau 

yang telah mencuri benda itu dan menimpakan tang-

gung jawab pada Raja Naga?"

"Tidak! Aku bahkan tidak pernah sampai ke 

Perguruan Laba-laba Perak! Sudah sekian lama aku ti-

dak mendatangi tempat itu, hingga aku lupa di mana 

tempatnya! Kalaupun kuceritakan aku hendak mencu-

ri kalung Laba-laba Perak pada pemuda bersisik coklat

itu, karena aku tahu siapa dia adanya! Dia tentunya 

berpikir keras untuk menemukan jawaban atas uca-

panku!"

"Secara tidak langsung, kau mengharapkan pe-

muda itu yang akan mencuri kalung Laba-laba Perak 

bila kau gagal melakukannya?"

"Tidak salah sama sekali. Tetapi sayangnya, 

semua menjadi berantakan seperti ini. Raja Naga telah 

dituduh mencuri benda pusaka milik Perguruan Laba-

laba Perak dan kini dia diburu oleh para sahabat dekat 

mendiang Resi Kala Jinjit!"

"Kalau begitu, kita harus membantunya guna 

memulihkan nama baiknya."

"Katanya, Raja Naga mempunyai kemampuan 

tinggi dan otak yang cerdik! Aku merasa pasti, dia da-

pat mengatasi semua ini. Satu hal yang menjadi piki-

ranku sekarang... adalah Datuk Bunaeng...."

Dewa Jubah Biru tak menjawab. Sebenarnya 

yang menjadi pusat perhatiannya pun Datuk Bunaeng. 

Kakek yang menyimpan bara dendam sepanas api ne-

raka pada Resi Kala Jinjit.

"Aku juga menduga seperti itu. Bahkan, saat ini 

dia telah bersekutu dengan Dewi Berlian...."

Sepasang mata Dewi Pengunyah Sirih seketika 

membuka lebar. Gerakan mengunyah sirihnya terhen-

ti. Tatapannya terpaku pada Dewa Jubah Biru. Cukup 

lama dia berada dalam ketegangan sekaligus kegera-

man seperti itu sebelum kemudian menghela napas.

"Dewi Berlian.... Katanya, dia juga pernah dika-

lahkan oleh Resi Kala Jinjit. Tak mustahil memang ka-

lau dia bersekutu dengan Datuk Bunaeng dan menja-

lankan semua rencana busuk untuk menimpakan ke-

salahan pada Raja Naga."

"Kabar telah kudengar, kalau mereka akan ber-

temu malam ini di Lembah Lingkar."

Kembali sepasang mata si nenek membuka.

"Katanya, Lembah Lingkar adalah sebuah tem-

pat yang sangat mengerikan. Hanya orang-orang nekat 

yang datang ke sana. Kau tahu siapa yang mengusul-

kan untuk bertemu di sana?" 

"Dewi Berlian."

"Hemmm... jangan-jangan, perempuan mesum 

itu mempunyai maksud tertentu terhadap Datuk Bu-

naeng sendiri. Katanya, perempuan itu mempunyai ke-

licikan dan segala cara licik setinggi langit. Dewa Ju-

bah Biru, apa yang menjadi pikiranmu sekarang ini?"

"Sejak pertama aku juga memikirkan hal yang 

sama dengan apa yang kau pikirkan. Tak menutup 

kemungkinan kalau biang keladi dari semua ini adalah 

Dewi Berlian. Dan tentunya... dibantu orang dalam 

mengingat Resi Kala Jinjit mengharapkan kau mencuri 

kalung Laba-laba Perak."

"Dia tidak mengatakan seperti itu." 

"Ini hanya baru sebuah dugaan. Dan tak menu-

tupi dugaan itu akan menjadi satu kebenaran. Dewi... 

apakah tidak sebaiknya kita menuju ke Lembah Ling-

kar sekarang untuk membuktikan semua dugaan?"

"Bagaimana dengan pemuda bersisik coklat 

itu?"

"Seperti katamu tadi, dia memiliki kemampuan 

tinggi dan otak yang cerdik. Mudah-mudahan, dia da-

pat memecahkan segala urusan yang rumit ini."

Dewi Pengunyah Sirih menganggukkan kepa-

lanya. Lalu berkata, "Ya! Kita harus membuktikan se-

mua dugaan...." 

Bersama Dewa Jubah Biru, Dewi Pengunyah 

Sirih segera melangkah menuju ke Lembah Lingkar.

***

TUJUH


MEMASUKI awal malam, Raja Naga tiba di se-

buah hutan yang cukup lebat. Untuk beberapa saat 

dipandanginya sekelilingnya. Lalu perlahan-lahan di-

ambilnya sesuatu dari balik pakaiannya. Sebuah ka-

lung berbandul seekor Laba-laba berwarna perak. Di-

pandanginya benda itu penuh kemasygulan, sebelum 

dimasukkan lagi ke balik pakaiannya dan memu-

tuskan untuk melewati hutan itu.

Pepohonan tinggi yang tumbuh di sana, laksa-

na puluhan raksasa yang sedang menatapnya. Suara 

hewan-hewan malam terdengar, cukup membuat bulu 

roma berdiri. Belum lagi suara gagak yang sangat tidak 

enak didengar.

Melewati hutan itu, Raja Naga terus berlari ke 

selatan. Dia berharap dapat tiba lebih cepat di Lembah 

Lingkar. Sepanjang dia berlari, dicobanya untuk mene-

mukan dua buah pohon bersilangan, sebagai tanda dia 

harus ke kanan untuk tiba di Lembah Lingkar.

Namun mendadak saja larinya dihentikan 

tatkala didengarnya teriakan-teriakan keras tak jauh 

dari sana.

"Sekarang tak ada Dewa Jubah Biru di sini! Tak 

ada lagi orang yang akan menolongmu, Lesmana!"

Menyusul suara tadi, satu letupan yang cukup 

keras terdengar.

"Ratih! Hingga hari ini aku tetap berusaha un-

tuk mencegah seluruh niatmu dan mengembalikan di-

rimu seperti dulu! Tetapi kau tetap keras kepala!"

"Keinginanku sekarang hanya melihat kau 

mampus!!"

Di tempatnya Raja Naga mengerutkan kening


nya.

"Hemm.... Lesmana. Ratih. Rasanya... aku per-

nah mendengar kedua namamu. Ah, tentunya dia pe-

muda gagah yang kala itu bersama Dewa Jubah Biru. 

Tentunya pula gadis yang bernama Ratih itu adalah 

adik seperguruannya. Secara tidak langsung, telah ku-

dengar percakapan Dewa Jubah Biru dengan Lesmana. 

Di antara kedua saudara seperguruan itu telah terjadi 

silang pendapat. Ah, apakah aku turut membantu 

urusan itu, ataukah aku langsung menuju ke Lembah 

Lingkar?"

Sementara letupan demi letupan keras terden-

gar, Raja Naga masih berpikir.

"Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng akan 

tiba di Lembah Lingkar tepat tengah malam. Menurut 

keyakinanku, aku sudah tidak jauh lagi untuk tiba di 

tempat itu. Sebaiknya...."

Memutus ucapannya sendiri, murid Dewa Naga 

ini segera berlari ke arah suara-suara keras yang ter-

dengar. Lalu dengan gerakan ringan, dia melompat ke 

atas sebuah pohon. Dari tempat yang cukup tinggi itu, 

Boma Paksi dapat melihat bagaimana gadis berpakaian 

kuning itu sedang menyerang Lesmana dengan ganas. 

Dilihatnya pula kalau si pemuda untuk beberapa lama 

hanya bertahan, tetapi kemudian mulai membalas. 

"Hemm... ilmu pedang gadis itu sungguh hebat. Men-

geluarkan cahaya bening yang menggidikkan. Tetapi 

bayangan telapak tangan yang keluar dari telapak tan-

gan Lesmana juga mengerikan. Dan nampaknya kedu-

anya seolah tidak tahu kalau masing-masing orang 

membahayakan satu sama lain."

Letupan keras yang membongkar tanah dan 

muncratnya cahaya-cahaya bening itu terjadi beberapa 

kali. Tempat itu bergetar. Pohon di mana Raja Naga be-

rada, menggugurkan dedaunannya akibat getaran hebat itu.

Masing-masing orang yang tadi melancarkan 

serangan mundur lima langkah. 

Dengan napas agak memburu Lesmana berse-

ru, 

"Ratih! Hingga hari ini aku tetap tak mengang-

gapmu sebagai lawanku! Aku hanya mencoba untuk 

menyadarkanmu! Tak perlu kau turuti hawa nafsu dan 

dendammu! Apalagi tetap menjalankan niat untuk ber-

gabung dengan Datuk Bunaeng!"

Ratih menggeram. Dadanya yang membusung 

mengkal turun naik. Dihapus sedikit keringatnya pada 

pelipis kanannya. Dengan suara ketus dia menyahut,

"Lesmana! Hingga hari ini aku tetap mengang-

gapmu sebagai musuhku yang harus kubunuh! Kema-

tian Guru lebih banyak disebabkan karena kepengecu-

tanmu!"

"Ratih! Urusan itu sudah lama berlalu, dan tak 

perlu diungkit lagi!" 

"Aku tak pernah menerima keadaan ini! Bila sa-

ja kau tidak pengecut dan berani untuk menghadapi 

Resi Kala Jinjit, mungkin Guru belum tewas!"

"Kalaupun Guru hidup, dia hanya akan me-

nambah petaka di rimba persilatan belaka!"

"Lancang bicaramu, Lemana!"

Lesmana tak peduli. Dia berkata lagi, "Keadaan 

seperti itu justru akan membahayakan dirinya sendiri, 

Ratih! Selain akan menimbulkan petaka di bawah ke-

kuasaan Datuk Bunaeng, Guru juga akan mengaki-

batkan kematian demi kematian yang berkepanjan-

gan!" 

"Itu urusannya! Bukan urusanmu!"

"Aku tak melihat itu adalah urusan Guru atau 

urusanku! Yang kulihat hanyalah, aku mengetahui 

siapa Guru sebenarnya! Keinginanku hanyalah untuk


mengembalikannya ke jalan lurus! Ratih... kau tidak 

melihat bagaimana dengan kejamnya Guru membunuh 

Pendekar Sedih! Bahkan sampai hari ini aku tidak ta-

hu sebabnya! Yang mengetahui sebab-sebab itu hanya-

lah seorang, dia adalah Datuk Bunaeng!"

Paras manis yang dimiliki Ratih kian mengke-

lap. Dadanya turun naik dengan napas mendengus-

dengus

"Aku akan tetap membalas sakit hati Guru!" 

"Ratih! Berulang kali kukatakan, Resi Kala Jin-

jit telah tewas, sementara Perguruan Laba-laba Perak 

telah hancur! Apakah kau masih mendendam juga?" 

"Aku belum melihat kau mampus! Orang yang 

menjadi penyebab kematian Guru!"

Lesmana menahan napas sejenak. Tetapi beru-

saha menjaga kesabarannya

"Ratih... sejak pertama kau sudah kuanggap 

sebagai adikku sendiri! Kita sama-sama tak memiliki 

siapa pun juga kecuali kita berdua! Dan sebagai seo-

rang kakak, aku berusaha untuk mengembalikan 

adikku dari niat busuk dan jurang kesesatan!" 

"Huh! Aku tak mempedulikan segala ucapan-

mu, Lesmana!" bentak Ratih ketus. "Dulu aku juga 

menganggapmu sebagai seorang kakak yang melin-

dungiku! Tetapi aku tak pernah merasa mempunyai 

seorang kakak yang pengecut, yang membiarkan gu-

runya dibunuh orang! Sebagai seseorang yang meng-

hormati dan menjunjung tinggi nama besar gurunya, 

aku akan tetap turun tangan untuk membunuhmu 

Lesmana!" 

"Ratih..."

"Jangan banyak berucap lagi! Bila kau tidak in-

gin mampus, kau masih kuberi keringanan untuk se-

gera menyingkir dari sini! Dan jangan coba-coba 

menghalangi semua keinginanku! Terutama untuk

kembali bergabung dengan Datuk Bunaeng dan mem-

bunuh Raja Naga yang telah mengacaukan semua 

urusan!"

Sementara Lesmana mulai kehilangan, rasa 

percaya dirinya untuk mengembalikan Ratih ke jalan 

yang benar, di atas pohon Raja Naga mendesis pelan, 

"Hemm... keadaan yang dialami oleh Lesmana memang 

bukan sesuatu yang mudah. Menurutku, jalan satu-

satunya dia memang harus melepaskan Ratih, mem-

biarkan gadis itu bergabung dengan orang yang diin-

ginkannya! Aku yakin, dia akan dapat mempertim-

bangkan kembali apa yang telah dilakukannya bila su-

dah bersama-sama dengan Datuk Bunaeng!"

Di tempatnya, Ratih sudah menyilangkan sepa-

sang pedangnya. 

"Guru menurunkan ilmu pedang pamungkas 

padaku! Guru juga menurunkan ilmu 'Telapak Dewa' 

padamu! Sekarang, kita adu siapa yang paling hebat 

menguasai ilmu-ilmu itu!"

Habis ucapannya, Ratih menggeser kaki ka-

nannya ka belakang. Tubuhnya agak sedikit dibong-

kokkan dengan sepasang pedang yang tetap menyi-

lang.

Lesmana menarik napas panjang. Kegelisahan 

jelas pada wajahnya yang cukup tampan.

"Dengan cara baik-baik Ratih tak bisa kute-

nangkan. Apakah aku memang harus mempergunakan 

kekerasan untuk melunakkannya?" desisnya dengan 

otak berpikir. "Apakah kekerasan akan membuatnya 

menuruti setiap yang kukatakan? Terlalu picik bila 

aku tiba pada kesimpulan itu. Bila tidak kulayani, itu 

artinya aku membiarkannya masuk ke jurang kehan-

curan. Sebaiknya...." 

Memutus kata-katanya sendiri, Lesmana meng-

angkat kepalanya.


"Ratih! Aku tidak tahu apakah tindakan yang 

akan kulakukan ini benar atau tidak! Tetapi satu hal 

yang harus kau pahami betul, kalau aku telah berusa-

ha sekuat mungkin agar kau tidak sampai jatuh ke 

lembah nista!"

"Tutup mulutmu! Kuperingatkan padamu, aku 

akan mempergunakan ilmu 'Pedang Bayangan' pada 

tingkat pamungkas! Dan sebaiknya kau juga mengelu-

arkan ilmu 'Telapak Dewa' pada tingkat yang sama!!"

Lagi-lagi Lesmana menarik napas. Ketika dili-

hatnya kedua tangan gadis berpakaian kuning di ha-

dapannya itu bergetar, perlahan-lahan pemuda ini 

menahan napas.

"Aku tak menginginkan kejadian ini..." 

"Kau inginkan atau tidak... bersiaplah!"

Kejap lain, tak ada yang bersuara. Seiring den-

gan waktu yang terus merambat, ketegangan pun ter-

jadi.

Ratih memandang tajam. Sorot matanya dipe-

nuhi binaran kebencian dan kemarahan. Di pihak lain, 

Lesmana hanya memandang penuh penyesalan. Di 

atas pohon, Raja Naga memperhatikan dengan seksa-

ma. Tanpa terasa perasaannya menjadi tegang.

"Hemm... tentunya ilmu-ilmu yang akan mas-

ing-masing perlihatkan sungguh dahsyat! Kutunggu 

saja apa yang akan terjadi sebelum kuputuskan untuk 

bertindak."

Ratih menggeram keras.

"Bersiaplah!" 

Bersamaan gelegar seruannya, tubuhnya mele-

sat cepat. Tangan kanan kirinya menyabetkan sepa-

sang pedangnya. Gemuruh angin yang menerbangkan 

tanah dan ranggasan semak belukar menggebrak, dis-

usul dengan cahaya-cahaya bening yang menyilaukan 

mata bermuncratan.


Gebrakan yang dilakukan Ratih hanya dihinda-

ri saja oleh Lesmana. Tindakan pemuda itu Justru 

membuat Ratih menjadi geram. Dengan melipat gan-

dakan tenaga dalamnya, dipukulkan pedangnya ke pe-

dang yang lain. Terjadi perubahan dahsyat pada ca-

haya-cahaya bening itu. 

Traaang!

Begitu pedangnya berbenturan, serta-merta, 

memercik cahaya merah yang pekat. Menyusul mende-

runya cahaya-cahaya bening yang menebar laksana 

hujan!

Wajah Lesmana sedikit pucat. Saat itu pula di-

tepukkan kedua tangannya, yang kemudian diputar ke 

dalam. Dan dalam kejapan mata yang bersamaan, ke-

dua tangannya didorong ke depan!

Seketika menghampar cahaya yang membentuk 

dua telapak tangan yang kemudian menyebar mem-

besar. Gemuruh angin yang mendahului membuat 

tempat itu laksana digebah oleh puluhan gajah liar.

Jlegaaarr!!

Bertemunya cahaya-cahaya bening yang mem-

besar dengan bayangan dua telapak tangan yang 

membesar itu, membuat tempat itu bergetar hebat; 

Tanah ditingkahi dengan ranggasan semak belukar 

yang seketika hancur, bermuncratan ke udara. Disusul 

suara berdebam berkali-kali.

Di tempatnya, Raja Naga mendesis kaget. 

"Astaga! Pohon ini pun bergetar hebat! Gila! Se-

bagian dedaunannya berguguran!"

Masing-masing orang yang melancarkan seran-

gan surut beberapa langkah ke belakang. Ratih berte-

riak sesaat sambil menjejakkan kedua kakinya di atas 

tanah. Menahan goyahan tubuhnya. Kedua tangannya 

bergetar dan terasa ngilu. Tetapi di lain saat, gadis ini 

sudah berteriak setinggi langit.

Lalu melesat ke depan!

Sepasang mata Lesmana yang belum dapat me-

nguasai keseimbangannya, membelalak lebar. Dia tak 

bisa berpikir lebih lama kecuali melipatgandakan tena-

ga dalamnya lagi untuk melancarkan Ilmu 'Telapak De-

wa'!

Namun sebelum benturan yang lebih mengeri-

kan terjadi, mendadak sontak terdengar suara deha-

man yang cukup keras, disusul gemuruh angin lintang 

pukang yang disemburati sinar merah.

Dehaman yang mengandung kekuatan tinggi 

itu, memecahkan gemuruh angin yang keluar dari se-

rangan Ratih maupun serangan Lesmana. Sementara 

gemuruh angin lintang pukang yang disemburati sinar 

merah, melesat tepat sebelum cahaya-cahaya bening 

dan bayangan telapak tangan yang semakin membesar 

bertemu. 

Jlegaaar...!!

Apa yang terjadi kemudian lebih mengerikan 

dari sebelumnya. Tempat itu benar-benar sudah dilan-

da kiamat kecil. Tanah membuyar setinggi tiga tombak. 

Beberapa buah pohon bertumbangan dan menimbul-

kan suara bergemuruh. Mendadak dari gumpalan ta-

nah yang membuyar tinggi itu melesat satu bayangan 

kuning yang tak bisa menguasai keseimbangannya.

Dan terbanting deras di atas tanah, bertepatan 

dengan melesatnya satu bayangan lagi yang juga ter-

banting keras!

Baik Ratih maupun Lesmana yang sama-sama 

terbanting itu berusaha untuk berdiri. Untuk beberapa 

saat masing-masing orang seperti melupakan sakit pa-

da tubuh mereka. Keduanya sama-sama bertanya-

tanya, siapakah orang yang berani menahan serangan 

mereka satu sama lain. Tak jauh dari Lesmana dan 

Ratih berdiri, kedua pedang milik Ratih telah amblas di

atas tanah dan yang nampak hanya hulunya saja!

"Gila! Siapa orang yang mau mampus berani 

menahan seranganku dan serangan Lesmana?!" desis 

Ratih dengan aliran darah yang kacau. Bahkan tanpa 

sadar tubuhnya menggigil keras. "Dehaman yang keras 

tadi jelas kalau itu dilakukan oleh seseorang!" 

Di pihak lain, Lesmana juga mendesis dengan 

sekujur tubuh yang terasa ngilu.

"Orang itu mencari mati rupanya, karena mela-

kukan satu kenekatan yang sangat mengerikan. Ten-

tunya dia sudah mati sekarang. Hanya karena tanah 

itu masih belum sirap, mayatnya belum kelihatan. 

Ah... dia melakukan satu perbuatan yang sia-sia...."

Masing-masing orang seperti melupakan uru-

san yang mereka alami. Terutama gadis berkuncir dua 

yang masih tak mengerti siapakah orang yang berani 

lancang menahan serangannya dan serangan Lesma-

na. Karena siapa pun orangnya, kecuali memiliki ilmu 

yang sangat tinggi, dia bukan hanya akan putus nya-

wa!

Tetapi tubuhnya akan menjadi serpihan.

Sementara itu, diam-diam Lesmana berdoa, 

agar kiranya orang yang tadi menahan serangannya 

dan serangan Ratih dalam keadaan selamat. Tetapi 

Lesmana sendiri tak berani berharap banyak. Karena 

dia tahu apa akibatnya bila seseorang berani menahan 

Ilmu 'Pedang Bayangan' dan 'Telapak Dewa' dalam 

waktu yang bersamaan!

Dengan perasaan tegang, ditunggunya sampai 

tanah yang masih mengepul di udara itu sirap. Di se-

berang, Ratih sendiri juga melakukan hal yang sama. 

Perlahan-lahan tanah itupun mulai sirap. Perla-

han-lahan nampak satu bayangan yang berdiri gagah, 

yang semakin lama semakin memperlihatkan wujud-

nya secara jelas.

Satu sosok tubuh berompi ungu, dengan kedua 

tangan sebatas siku dipenuhi sisik coklat yang dilipat 

di depan dada, berdiri dengan gagah. Tubuhnya sedikit 

dipenuhi tanah. Rambutnya pun agak kotor. Dan sorot 

matanya angker!


DELAPAN


SEBELUM kita mengikuti kejadian itu, sebaik-

nya kita lihat dulu apa yang dilakukan oleh Jala Sring-

gil dan Kala Sringgil. Setelah memutuskan untuk me-

ninggalkan Raja Naga, kedua lelaki berkepala gundul 

ini terus bergerak ke arah timur.

Sambil berlari Jala Sringgil berkata, "Kau yakin 

kalau Musang Berjenggot mau membantu kita?" Kala 

Sringgil menganggukkan kepalanya. 

"Satu-satunya orang yang dapat kita mintai 

bantuan adalah Musang Berjenggot!"

"Rasanya mustahil kalau Musang Berjenggot ti-

dak mendengar kematian Resi Kala Jinjit!"

"Kalau dia sudah mendengar hal itu, malah le-

bih bagus! Itu artinya, akan mempermudah kita untuk 

meminta bantuannya! Jala Sringgil, kita tidak tahu 

siapakah orang yang telah menghalangi seranganku 

dan seranganmu terhadap Raja Naga! Tetapi satu hal 

yang perlu kita perhatikan, tanpa adanya orang yang 

mematahkan serangan kita itu, sulit rasanya mengha-

dapi Raja Naga!"

"Kau benar!" sahut Jala Sringgil sambil melom-

pati akar melintang. "Kesaktian yang dimiliki pemuda 

bersisik pada kedua tangannya sebatas siku itu, me-

mang sangat tinggi! Bahkan boleh dikatakan kita bu-

kanlah tandingannya

"Itu artinya, kita dapat meminta bantuan Mu-

sang Berjenggot! Dia adalah adik seperguruan dari Resi 

Kala Jinjit! Tetapi seperti layaknya seekor musang, 

Musang Berjenggot yang tidak kita ketahui siapa nama 

aslinya, lebih banyak berdiam diri! Atau boleh dikata-

kan bersembunyi!" 

"Dan bila memang dia telah mendengar kema-

tian Resi Kala Jinjit, mengapa dia tidak muncul?"

"Seperti yang kukatakan tadi, dia lebih suka 

berada dalam tempat yang sunyi!"

"Menurutmu... apakah dia juga sudah menden-

gar kejadian buruk di Perguruan Laba-laba Perak?"

"Rimba persilatan ini bukanlah tempat yang te-

pat untuk menyembunyikan sesuatu! Kabar dengan 

cepat akan meluas dan aku yakin, dia juga telah men-

dengarnya! Dan ini artinya, akan mempermudah kita 

untuk meminta bantuannya! Sungguh keterlaluan bila 

dia tidak mau turun tangan!!"

Tak ada lagi yang bersuara. Kedua orang itu te-

rus berlari sampai kemudian menghentikan lari mas-

ing-masing tatkala menangkap satu bayangan hitam 

tak jauh dari sana. 

"Segara Mungkil!" desis Jala Sringgil. Pada saat 

yang bersamaan, Kala Sringgil juga berseru, "Pendekar 

Kaki Satu!"

Orang yang mereka lihat itu mendengar seruan 

masing-masing orang. Serta-merta lelaki berpakaian 

hitam yang kaki kanannya buntung itu menghentikan 

langkahnya. Begitu melihat siapa adanya orang, se-

nyuman lebar segera terpampang. 

Masih tersenyum lelaki yang kaki kanannya 

buntung dan memakai sebuah tongkat sebagai pe-

nyanggah ini mendekat.

"Jala Sringgil dan Kala Sringgil! Tak kusangka 

kalau kita akan berjumpa di sini!"

Baik Jala Sringgil maupun Kala Sringgil sama-

sama tersenyum. Kala Sringgil berkata, "Ada urusan 

apa kau sampai meninggalkan Bukit Manunggal?" 

Ditanya seperti itu, Segara Mungkil atau yang 

berjuluk Pendekar Kaki Satu menyeringai. Lalu berka-

ta, "Kalian sendiri mengapa meninggalkan Pantai Tidar 

Kemala?" 

Kala Sringgil tertawa. 

"Kau memang selalu balik bertanya jika di-

tanya! Hemm... apakah kau sudah mendengar tentang 

kematian Resi Kala Jinjit?"

"Aku sudah mendengarnya." 

"Juga tentang dicurinya kalung Laba-laba Pe-

rak oleh...." 

"Raja Naga!" putus Pendekar Kaki Satu sedikit 

geram. "Ya! Aku sudah mendengarnya! Bahkan belum 

lama ini, aku baru saja mencoba untuk menangkapnya 

untuk kubawa pada Pengadilan Rimba Persilatan! Te-

tapi pemuda dari Lembah Naga itu menolak hingga 

kuputuskan untuk membunuhnya! Hanya saja... aku 

gagal melakukannya..." 

Kala Sringgil melirik Jala Sringgil yang juga se-

dang meliriknya.

"Beberapa hari lalu, kami pun baru bertarung 

dengannya untuk meminta pertanggung jawabannya 

atas perbuatan terkutuk yang dilakukannya! Tetapi... 

kami juga gagal melakukannya!"

"Ah, siapa nyana ternyata kalian juga sudah tu-

run tangan untuk menghentikan sepak terjang gila da-

ri Raja Naga! Kuakui terus terang, kemampuannya 

memang sungguh luar biasa!"

"Lantas... perjalanan ke mana yang sedang kau 

lakukan sekarang?"

Pendekar Kaki Satu tak segera menjawab. Diin-

gatnya bagaimana Raja Naga terlepas dari tangannya.

Kemudian diangkat kepalanya. Ditatapnya kedua lelaki 

berkepala plontos di hadapannya.

"Setelah aku gagal menangkapnya. aku mulai 

berpikir keras untuk meminta bantuan seseorang! Dan 

pikiranku tiba pada seseorang yang kuanggap mau 

membantuku!"

"Siapakah orang yang kau maksud?" tanya Jala 

Sringgil. 

"Musang Berjenggot!"

"Heiii!!" Jala Sringgil berseru, Lalu tertawa. 

"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kita sama-sama per-

nah mencoba untuk menangkap Raja Naga, tetapi sa-

ma-sama mengalami kegagalan! Dan sekarang... kita 

juga punya tujuan yang sama!"

"Astaga! Jadi kalian hendak menemui Musang 

Berjenggot pula?!" 

"Demikianlah keadaannya!" 

"Sungguh sebuah perjumpaan yang mengun-

tungkan! Walaupun kabar telah kudengar kalau Raja 

Naga banyak melakukan kebaikan dengan menghenti-

kan se-pak terjang orang-orang berhati busuk, tetapi 

tindakan yang dilakukannya terhadap Perguruan La-

ba-laba Perak tak bisa dimaafkan!"

"Kau benar! Kami sendiri belum puas bila be-

lum melihatnya diadili oleh Pengadilan Rimba Persila-

tan!"

"Memang, seseorang yang telah berada di pun-

cak ketenarannya, suatu saat akan melakukan satu 

tindakan yang akan meruntuhkan namanya sendiri. 

Mungkin ini disebabkan oleh kesombongan yang me-

mang dimiliki oleh Raja Naga. Dia masih muda, dan 

tentunya mudah goyah. Padahal sebagai seseorang 

yang julukannya ramai dibicarakan orang karena tin-

dakannya menghentikan sepak terjang orang-orang 

terkutuk, seharusnya dia memiliki ketenangan yang

benar-benar harus dipertahankan...."

"Tetapi terlepas dari semua itu, kini pemuda itu 

adalah orang yang harus ditangkap! Atau dibunuh! 

Tindakannya telah mengotori rimba persilatan!" sahut 

Kala Sringgil geram. 

Pendekar Kaki Satu menganggukkan kepa-

lanya.

"Ya! Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan 

oleh Dewa Naga bila dia mendengar tindakan yang di-

lakukan muridnya itu!" 

"Pendekar Kaki Satu... ada satu masalah yang 

harus dibicarakan di sini...."

Lelaki berkaki kanan buntung itu menatap Kala 

Sringgil. 

"Katakan...." 

Kala Sringgil segera menceritakan peristiwa te-

rakhir yang dialami saat mencoba menangkap Raja Na-

ga. Jala Sringgil pun memperkuat cerita itu.

Di tempatnya Pendekar Kaki Satu mengerutkan 

kening.

"Kalian tidak tahu siapa orang yang telah 

menghalangi serangan kalian itu? Yang dengan kata 

lain telah membantu Raja Naga?"

Baik Kala Sringgil maupun Jala Sringgil meng-

gelengkan kepalanya. Pendekar Kaki Satu tak berkata 

apa-apa. Untuk beberapa lama keadaan sunyi. Masing-

masing orang direjam pikiran sendiri-sendiri. Malam 

terus beranjak perlahan-lahan.

Tiba-tiba Pendekar Kaki Satu berkata, agak me-

ragu, "Apakah orang yang telah membantunya itu ada-

lah kaki tangannya?" 

"Kaki tangannya? Maksudmu... dia... tidak 

mungkin!" sahut Jala Sringgil. "Bila melihat kebiasaan 

lama, seorang kaki tangan biasanya tak lebih pandai 

dari orang yang dianggap sebagai ketuanya."


"Maksudmu... orang yang entah siapa menye-

rang kalian itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari 

Raja Naga?" 

"Itulah yang bisa kami nilai!"

"Kalau begitu...." Pendekar Kaki Satu tak segera 

meneruskan ucapannya. Keningnya berkerut pertanda 

dia sedang berpikir. Lamat-lamat dilanjutkan ucapan-

nya, kali ini bernada geram, "Orang itu... tentunya 

adalah orang yang dihormati oleh Raja Naga!" 

"Astaga!" seruan kaget itu terdengar dari mulut 

Jala Sringgil dan Kala Sringgil. Masing-masing orang 

menatap tak berkedip pada Pendekar Kaki Satu.

Dengan terbata dan mata membeliak, Jala 

Sringgil berkata, "Maksudmu..Dewa Naga?"

"Siapa lagi orangnya yang dihormati oleh Raja 

Naga selain gurunya sendiri?" 

Sahutan Pendekar Kaki Satu membuat mulut 

keduanya seperti terkunci. Bahkan tanpa disadari, tu-

buh keduanya menggigil. Menghadapi Raja Naga saja 

mereka sudah kalang kabut, apalagi bila memang De-

wa Naga-lah orang yang berada di balik tindakan Raja 

Naga!

Tetapi kata-kata Pendekar Kaki Satu kemudian 

membuat keduanya sedikit tenang, "Dewa Naga adalah 

sahabat guruku. Selama ini aku memang belum per-

nah berjumpa dengannya kecuali mendengar cerita da-

ri guruku tentang sepak terjangnya. Kendati, memiliki 

sifat angin-anginan yang sulit ditebak, tetapi Dewa Na-

ga adalah orang golongan lurus." 

"Berarti kau menyangsikan sendiri dugaanmu?" 

tanya Jala Sringgil bernapas lega.

Pendekar Kaki Satu mengangguk.

"Kalau begitu, siapakah orang yang berada di 

balik Raja Naga?" 

Pendekar Kaki Satu menggeleng.

"Keadaan seperti ini memang sangat sulit sekali 

dapat kita pahami. Memahami tindakan Raja Naga saja 

pun aku tidak bisa. Banyak pertanyaan di benakku 

yang tumpang tindih. Keherananku pun rasanya kian 

bertambah melihat perbuatan buruk Raja Naga. Tetapi 

pada kenyataannya, kita memang tak perlu lagi me-

musingkan segala macam pertanyaan yang ada. Ka-

rena saat ini, Raja Naga jelas-jelas telah melakukan 

tindakan busuk." 

"Berarti... kita belum mendapatkan jawaban 

siapakah orang yang telah menghalangi serangan kami 

pada Raja Naga." 

"Jawaban itu dapat kita cari kemudian dan se-

baiknya memang dikesampingkan dulu. Yang pasti, ki-

ta akan berhadapan dengan orang yang lebih tinggi il-

munya."

"Mungkin orang itu hanya bisa dihadapi oleh 

Resi Kala Jinjit bila dia masih hidup."

"Tetapi dia sudah tewas, dan kita belum menge-

tahui siapa pembunuhnya."

"Kami menduga, Raja Naga-lah yang telah me-

lakukan tindakan keji itu," kata Kala Sringgil.

"Dan itu artinya, dia memang harus mampus!" 

sambung Jala Sringgil sambil mengepalkan tangannya 

kuat-kuat.

Kembali tak ada yang membuka suara. Masing-

masing orang berusaha untuk menemukan jawaban 

demi jawaban yang memang sukar sekali ditemukan. 

Untuk beberapa saat keheningan terjaga, hanya desir 

angin yang menggeresek dedaunan yang terdengar.

"Sebaiknya...," terdengar kata-kata Pendekar 

Kaki Satu, "Kita kesampingkan dulu tentang Raja Na-

ga. Kebulatan tekad kita untuk membawanya pada 

Pengadilan Rimba Persilatan harus kita lakukan. Dan 

satu-satunya cara kita memang harus bersatu untuk


menangkapnya."

"Ya! Kau benar! Sebaiknya kita segera menjum-

pai Musang Berjenggot!" kata Jala Sringgil.

Usulnya itu disetujui. Tak lama kemudian, ke-

tiganya sudah meninggalkan tempat itu. Di hati mas-

ing-masing orang, hanya ada satu keinginan. Menang-

kap Raja Naga dan melihatnya mati, karena telah men-

coreng aib di perguruan Laba-laba Perak! Perguruan 

yang telah dibina oleh sahabat mereka yang telah te-

was. 

Bahkan, bukan hanya mereka yang tidak tahu 

siapa pembunuh Resi Kala Jinjit!


SEMBILAN


ASTAGA!" seruan kaget itu sama-sama keluar 

dari mulut Ratih dan Lesmana. Masing-masing orang 

mundur satu langkah dengan kepala menegak. Sosok 

yang berdiri angker itu tersenyum. 

"Maafkan tindakanku yang mengganggu kea-

syikan kalian," kata Raja Naga penuh wibawa. "Tetapi, 

apa yang kulihat tadi, sungguh sesuatu yang sangat 

mengerikan. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi di 

antara kalian...."

Lesmana yang masih tertegun menyaksikan so-

sok yang diduganya telah mati itu, mendesis pelan, 

"Boma Paksi....".

Di pihak lain, Ratih memicingkan matanya. Ga-

dis ini seolah melupakan rasa sakit pada sekujur tu-

buhnya. Mendadak kedua matanya membuka lebar. 

Menyusul desisannya, "Raja Naga!"

Boma Paksi tersenyum pada Ratih.

"Ratih... apa yang telah dilakukan oleh Lesma-

na, menurutku adalah satu tindakan yang mulia! Tetapi, semuanya kembali kepadamu bagaimana cara 

kau menyikapinya! Hanya saja, aku juga berharap, 

agar kau mengurungkan semua niat yang telah terjalin 

di hatimu! Untuk membalas dendam maupun untuk 

bergabung dengan Datuk Bunaeng!"

Kemarahan gadis berpakaian kuning ini mun-

cul kembali. Ditatapnya pemuda berompi ungu itu un-

tuk beberapa lama.

"Huh! Kabar yang kudengar kalau orang yang 

berjuluk Raja Naga adalah orang yang berada di jalan 

lurus! Tetapi pada kenyataannya, hanyalah seorang 

pengecut yang hanya berani melakukan satu pencu-

rian tanpa berani mempertanggungjawabkan perbua-

tannya!" 

"Apa yang kau katakan itu, tak bisa kubantah! 

Karena bila kulakukan pun kau tetap tak akan mem-

percayainya! Hanya yang kuinginkan sekarang, agar 

kau menghentikan semua niatmu, Ratih!"

"Seorang pengecut hanya berani berucap untuk 

menutupi kepengecutannya! Gara-gara tindakanmu 

seluruh rencana Datuk Bunaeng menjadi gagal!"

"Kau begitu menyesali nampaknya!"

"Karena aku tak sudi seseorang menggagalkan 

rencana orang yang kuhormati!"

"Sejak tadi kau hanya mengatakan kalau Setan 

Bayangan adalah orang yang paling kau hormati lan-

tas, mengapa kau mengatakan kalau kau juga meng-

hormati Datuk Bunaeng?!"

"Karena guruku adalah sahabatnya! Dan aku 

patut menghormatinya!" 

"Kau menghormati Setan Bayangan karena dia

adalah gurumu, Ratih! Dan kau menghormati Datuk 

Bunaeng hanya karena dia seorang sahabat gurumu? 

Ratih... aku telah mengetahui keadaanmu dan Les-

mana! Setan Bayangan hanyalah menjadi seorang pesuruh belaka dari Datuk Bunaeng, yang memerintah-

kannya untuk membunuh Pendekar Sedih! Apakah 

kau patut menghormati orang yang telah menyuruhmu 

melakukan tindakan keji?"

"Raja Naga! Apa pun yang dilakukan oleh guru-

ku bukanlah urusanmu! Yang pasti, guruku telah te-

was dibunuh oleh Resi Kala Jinjit!"

"Resi Kala Jinjit melakukannya hanya melak-

sanakan kewajibannya untuk menghentikan tindakan 

makar gurumu! Bahkan bukan hanya yang dilakukan 

oleh gurumu! Siapa pun yang telah melakukan tinda-

kan keji, tentunya tak luput dari tindakannya!"

Wajah Ratih memerah. 

"Dan aku tak pernah memaafkan tindakan-

nya!!"

Raja Naga tersenyum. 

"Bagaimana dengan tindakan gurumu yang te-

lah membunuh Pendekar Sedih? Apakah kau bisa 

memaafkannya?!"

Kali ini Ratih tak bersuara. Lesmana yang 

memperhatikan diam-diam berkata dalam hati, "Ah, 

seperti itulah inti yang harus kukemukakan...." 

Karena tak mendapati jawaban si gadis, Raja 

Naga berkata lagi, "Mungkin saat ini, ada orang yang 

menangisi kematian Pendekar Sedih, mungkin juga ti-

dak. Mungkin ada pula orang yang mendendam pada 

gurumu, Setan Bayangan, mungkin juga tidak. Kema-

tian Pendekar Sedih di tangan gurumu, lantas kema-

tian gurumu di tangan Resi Kala Jinjit, merupakan se-

buah rangkaian yang memang harus terjadi! Ratih... 

kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apakah kau 

juga mau memaafkan tindakan gurumu yang telah 

membunuh Pendekar Sedih bila saat ini dia masih hi-

dup? Atau kau akan diam saja membiarkannya mela-

kukan tindakan seperti itu?"


Lagi-lagi Ratih tak menjawab. Wajahnya yang 

dipenuhi amarah dan ketegangan, perlahan-lahan me-

redup. Matanya sesekali mengerjap. Sesuatu yang se-

lama ini tak disadarinya mulai naik ke permukaan.

Tetapi mendadak dia berseru, "Raja Naga! Kau 

tidak tahu sebab-sebab guruku membunuh Pendekar 

Sedih! Mungkin Pendekar Sedih adalah seseorang yang 

telah banyak melakukan perbuatan dosa dan guruku 

kemudian menghukumnya!"

"Lantas bagaimana dengan gurumu sendiri 

yang jelas-jelas telah melakukan tindakan keji pada 

Pendekar Sedih? Apakah tidak patut dihukum? Atau 

memang seharusnya dibiarkan!"

"Itu urusan guruku!"

"Bukan urusan gurumu, Ratih! Karena bila me-

mang itu urusan gurumu, sudah seharusnya kau tidak 

mencampurinya! Kau tak perlu mendendam pada Les-

mana yang kau katakan seorang pengecut! Padahal 

apa yang dilakukannya adalah sebuah tindakan yang 

benar!" 

"Jangan bicara lagi!" bentak Ratih keras, tetapi 

suaranya mulai bergetar.

Raja Naga terus berbicara, "Orang yang seha-

rusnya bertanggung jawab dalam urusan ini adalah 

Datuk Bunaeng! Dengan kata lain, gurumu hanyalah 

kaki tangannya belaka yang menjalankan seluruh 

keinginannya! Keinginan membunuh Pendekar Sedih 

dapat kuyakini kalau bukan keinginan gurumu, tetapi 

keinginan Datuk Bunaeng yang memerintahnya! Jadi 

dalam hal ini, Datuk Bunaenglah yang harus bertang-

gung jawab!"

Untuk kesekian kalinya Ratih terdiam. Wajah-

nya perlahan-lahan membiaskan ketegangan kembali. 

Kalau sebelumnya ketegangan itu menandakan kema-

rahannya, tetapi kali ini justru menampakkan kebingungannya.

Raja Naga menghentikan ucapannya. Dibiarkan 

gadis itu yang memikirkan setiap ucapannya tadi. Di-

yakininya kalau gadis itu memang memiliki tabiat 

baik, tetapi hanya karena dendam yang bermula dari 

silang pendapatlah yang membuatnya menjadi sedemi-

kian ganas dan keras kepala.

Sementara itu, melihat adik seperguruannya 

seperti merenungi kata-kata pemuda yang kedua len-

gannya sebatas siku bersisik coklat, Lesmana segera 

berkata, "Ratih... apa yang dikatakan Raja Naga san-

gatlah benar sebenar-benarnya. Dalam urusan ini kita 

bukan melihat keadaan Pendekar Sedih maupun kea-

daan Guru. Tetapi, orang yang telah memerintah Guru 

untuk melakukan tindakan keji itu. Dapat kupahami 

kalau Guru melakukan tindakan keji itu semata takut 

pada orang yang memerintahnya...."

Ratih melirik. Sorot matanya berubah tajam 

kembali.

"Bagaimana dengan kau sendiri yang telah 

menjadi pengecut seperti itu, hah?! Kau sekarang da-

pat membela diri karena merasa mendapat teman yang 

mampu membuatmu bertahan!"

Lesmana menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ratih.... Datuk Bunaenglah yang harus mem-

pertanggungjawabkan semua ini. Dan sungguh meng-

herankan bila ternyata kau berkeinginan untuk berse-

kutu dengannya."

Kendati sorot matanya tetap tajam, Ratih tak 

bersuara. Dadanya bergerak turun naik. Perasaannya 

mulai dimasuki sesuatu yang membuatnya menjadi re-

sah sendiri. 

Lesmana berkata lagi, "Terlepas dari semua 

yang dikatakan oleh Raja Naga dan aku tadi, semua-

nya kembali pada dirimu sendiri, Ratih. Hanya kaulah

yang bisa menyikapi keadaan ini sebelum kau masuk 

ke jurang kesesatan,..."

Kegelisahan gadis manis itu semakin memun-

cak. Kepalanya menggeleng-geleng resah dengan mata 

yang berulangkali mengerjap. Raja Naga melangkah 

mendekatinya.

"Urusan ini memang tidak mudah. Karena 

kembali pada diri kita masing-masing. Hanya yang per-

lu ditekankan di sini, keadaan akan semakin menjadi 

berantakan bila kita tidak menggabungkan akal piki-

ran kita untuk menindih amarah. Ratih... berpikirlah 

sekali lagi. Bila kau memang masih menganggap pera-

saanmu yang pertama itu sebuah kebenaran, tak ada 

salahnya bila kau melakukannya. Mungkin dengan ca-

ra seperti itu, kau akan bisa merasa puas untuk mem-

buktikan semuanya. Dan mengenai tuduhan yang te-

lah melekat pada diriku, kukatakan itu adalah sebuah 

kesalahan besar. Aku tidak pernah mencuri kalung 

Laba-laba Perak. Tetapi, kuceritakan pun tak ada gu-

nanya...." 

Gadis berkuncir dua itu perlahan-lahan men-

gangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan mata 

angker Raja Naga. Kalau sebelumnya Ratih sempat 

menundukkan kepalanya, tetapi kali ini dia seperti 

menangkap sebuah pesona yang mendadak masuk ke 

perasaannya. Diusahakan untuk menepiskannya, te-

tapi semakin dia berusaha, semakin kuat pesona yang 

terpancar itu.

Tiba-tiba dia mendesah pendek.

"Aku tidak tahu siapa yang benar dan siapa 

yang salah."

"Dalam hal ini, tak ada yang benar atau yang 

salah. Tetapi yang pasti, Datuk Bunaeng adalah orang 

di balik semua ini. Seperti yang kudengar dari Dewi 

Berlian, kalau dia telah merencanakan tindakan makar


untuk menghancurkan Perguruan Laba-laba Perak. 

Satu hal lain, Dewi Berlian juga mengatakan, kalau 

Datuk Bunaeng mendendam padaku." 

"Mengapa?" 

"Menurut Dewi Berlian, Datuk Bunaeng mem-

punyai seorang saudara yang berjuluk Ratu Sejuta Se-

tan, yang beberapa waktu lalu harus kuhentikan sega-

la tindakan kejinya dengan memperalat seorang gadis 

yang sebelumnya murid dari seorang tokoh keji ber-

nama Dadung Bongkok. Gadis itu berjuluk Ratu Tanah 

Terbuang yang telah dimasukkan dengan pendapat ke-

ji tentang diriku. Dan menurut Dewi Berlian, Datuk 

Bunaeng telah merencanakan semua ini untuk mence-

lakakanku...."

Untuk beberapa lama tak ada yang membuka 

suara. Baik Ratih maupun Lesmana sama-sama mena-

tap Raja Naga. Sementara itu, dengan sesekali melirik 

adik seperguruannya, Lesmana membatin, "Nampak-

nya kekerasan dan kemarahan Ratih mulai melemah. 

Dia mulai kembali ke sifat aslinya. Ah, bagaimana ca-

raku untuk berterima kasih pada Raja Naga?"

Terdengar suara Ratih, "Raja Naga... dari apa 

yang kau katakan barusan, aku menangkap sedikit ke-

janggalan."

"Tentang apa?"

"Sebelum ini aku telah bergabung dengan Da-

tuk Bunaeng yang menyambut kehadiranku dengan 

penuh suka cita mengingat aku adalah murid Setan 

Bayangan, hingga dia tak sungkan untuk mencerita-

kan seluruh rencananya padaku. Tak pernah disebut-

sebutnya julukan Ratu Sejuta Setan. Bahkan tak per-

nah disinggungnya keinginannya untuk mencuri ka-

lung Laba-laba Perak dan menimpakan kesalahan itu 

kepadamu!"

Raja Naga tak menjawab. Keningnya sejenak

berkerut memikirkan apa yang dikatakan Ratih.

Gadis itu melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak 

tahu apakah Datuk Bunaeng memang menutupi sesu-

atu atau tidak. Tetapi sekarang, aku hendak mencari 

Datuk Bunaeng untuk menanyakan kebenaran dari 

ucapanmu...." 

Pemuda dari Lembah Naga itu menarik napas 

pendek. Diam-diam dia membatin, "Menurut Dewi Ber-

lian, Datuk Bunaeng akan berada di Lembah Lingkar 

malam ini. Bila kukatakan soal itu pada Ratih, dapat 

kupastikan kalau dia akan berangkat ke sana. Ini lebih 

berabe. Mengingat saat ini nampaknya Ratih mulai da-

pat memahami apa yang terjadi. Sebelumnya dia 

punya niatan untuk bergabung dengan Datuk Bu-

naeng. Dan sekarang dia punya niatan untuk bertanya 

pada Datuk Bunaeng tentang keadaan yang sebenar-

nya. Bisa kupastikan kalau Datuk Bunaeng tanpa me-

ragu akan menjawab apa adanya. Itu artinya, justru 

akan membuat bibit dendam di hati gadis itu akan be-

ralih pada Datuk Bunaeng. Dengan begitu, artinya aku 

tak mampu membawanya pada kebenaran. Hemm... 

sebaiknya tak perlu kukatakan."

Raja Naga sesaat terdiam, mempertimbangkan 

apa yang dipikirkannya. Di lain saat, sambil meman-

dang pada gadis berkuncir dua itu, dia berkata, "Ya! 

Mungkin kau harus mencari Datuk Bunaeng untuk 

mengetahui keadaan yang sebenarnya! Dan kuminta 

kau dapat menyikapinya dengan lebih baik apa pun 

yang dikatakan oleh Datuk Bunaeng!"

Ratih memandang pemuda di hadapannya den-

gan seksama.

"Sorot matanya begitu angker, tetapi dia memi-

liki hati yang lembut."

Raja Naga berkata pada Lesmana, "Lesmana... 

kau temani adik seperguruanmu itu...."

Sejenak Lesmana kelihatan meragu. Ditatapnya 

pemuda berompi ungu itu yang sedang menunggu ja-

wabannya. Perlahan-lahan Lesmana melirik Ratih, Dan 

dia tercekat tatkala melihat Ratih menganggukkan ke-

pala sambil tersenyum, pertanda dia setuju akan usul 

Raja Naga. Pemuda gagah ini menghela napas lega.

Lalu dirangkapkan kedua tangannya di depan 

dada dan berkata hormat pada Raja Naga, "Aku tidak 

tahu bagaimana caraku untuk berterima kasih pada-

mu. Hampir tujuh bulan lamanya aku berusaha untuk 

menyadarkan Ratih, menyadarkan kesalah pahaman-

nya dalam urusan ini. Tetapi malam ini, kau dengan 

mudah melakukannya. Karena kau menemukan inti 

dari permasalahan ini."

"Tak perlu dipikirkan soal itu. Yang telah kau 

lakukan adalah sesuatu yang hebat. Kau masih dapat 

menahan amarahmu menghadapi adik seperguruanmu 

itu. Itu tandanya kau lebih bijak dari apa yang kau ra-

sakan sebenarnya."

Mendengar kata-kata itu, Lesmana tersenyum.

"Aku bersyukur bisa berjumpa dengan Raja Na-

ga..."

"Sebaiknya, kau temani adik seperguruanmu 

itu...."

"Kakang Lesmana! Apakah kau masih hendak 

berdiam di sini lebih lama?!" terdengar suara Ratih.

Lesmana tertawa. Cara Ratih memanggilnya ta-

di, seperti tujuh bulan yang lalu. 

"Ya, ya! Kita berangkat sekarang!"

"Lesmana... ajak dia menjauh sejauh-jauhnya. 

Usahakan agar dia tidak mengingat tentang Datuk Bu-

naeng...."

"Mengapa kau memintaku berbuat demikian?"

"Untuk saat ini, aku hanya ingin mendengar 

kabar yang enak tentang Ratih. Seperti yang kita ketahui, kalau Datuk Bunaeng adalah orang di belakang 

gurumu yang telah memerintahkannya untuk membu-

nuh Pendekar Sedih. Dan sudah tentu bila Ratih ber-

temu dengan Datuk Bunaeng dan menanyakan kebe-

naran itu, Datuk Bunaeng tak akan segan-segan men-

jawab apa adanya. Itu artinya, kita hanya akan menje-

rumuskan Ratih dalam bara dendamnya...." 

Mendengar penjelasan Raja Naga, Lesmana 

mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ya, kau benar."

"Jadi... usahakanlah agar kau membawa adik 

seperguruanmu itu menjauh dari urusan ini."

Lesmana mengangguk lagi. Tiba-tiba dia berka-

ta, "Raja Naga... aku merasa pasti kalau kau mengeta-

hui di mana Datuk Bunaeng sekarang?"

Raja Naga mengangguk.

"Ya! Bahkan seharusnya aku sudah tiba di 

tempat itu...."

"Kau hendak...." 

"Sudahlah," kata murid Dewa Naga sambil ter-

senyum. "Tak usah kau pikirkan soal itu! Aku mene-

mui Datuk Bunaeng, untuk mencari bukti-bukti kalau 

aku tidak bersalah! O ya, di manakah Dewa Jubah Bi-

ru sekarang?"

Lesmana menggeleng. 

"Aku meninggalkannya karena aku harus me-

nyusul Ratih." 

Raja Naga tersenyum.

"Sekarang, berangkatlah. Hati-hati...."

Diantar pandangan angker Raja Naga, kedua 

saudara seperguruan yang telah berdamai itu segera 

meninggalkan tempat. Raja Naga masih memandan-

ginya sampai keduanya menghilang. Perlahan-lahan 

pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi 

sisik coklat ini menarik napas panjang.

Tatkala ditengadahkan kepalanya dan dilihat-

nya rembulan semakin beranjak tepat di atas kepala, 

kejap itu pula murid Dewa Naga sudah berkelebat me-

neruskan perjalanan menuju ke Lembah Lingkar.

Tak lama kemudian, tanah yang berada tak 

jauh dari tempat Lesmana berdiri tadi, mendadak saja 

bergerak. Sangat perlahan dan semakin lama makin 

memperlihatkan bentuk satu sosok tubuh. 

Lagi-lagi kakek yang mengenakan pakaian pan-

jang seperti warna tanah itu berada tak jauh dari Raja 

Naga. Kalau sebelumnya si kakek yang sekujur tubuh-

nya berwarna sama dengan tanah ini berada tak jauh 

dari Raja Naga di kala sedang menghadapi serangan 

dari Jala Sringgil dan Kala Sringgil, sekarang dia su-

dah berada di sana.

"Hemmm... seperti apa yang kuduga- akhirnya 

membawa kenyataan. Pemuda itu jelas-jelas bukan pe-

laku dari pencurian pusaka kalung Laba-laba Perak. 

Bunaeng, Ratu Tongkat Ular dan Dewi Berlian. Aku tak 

bisa mempercayai apa yang telah dikatakan Dewi Ber-

lian kepada pemuda itu sebelumnya. Sebenarnya aku 

juga hadir di sana saat pemuda itu berjumpa dengan 

Dewi Berlian. Bahkan, aku sempat melihat satu sosok 

tubuh lainnya yang berada di balik ranggasan semak. 

Astaga! Rupanya kelicikan demi kelicikan telah terjadi 

dan pemuda berjuluk Raja Naga itulah yang menjadi 

korban...."

Perlahan-lahan kakek berkulit seperti warna 

tanah ini menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tindakan pemuda itu sungguh luar biasa. Dia 

dapat menuntaskan urusan antara pemuda bernama 

Lesmana dan gadis yang bernama Ratih. Hebat! He-

bat!" desisnya lagi sambil tetap menggeleng-gelengkan 

kepala. "Hemm.... Lembah Lingkar... pemuda itu akan 

menuju ke sana untuk mencari bukti kalau dirinya tak

bersalah. Aku pun ingin tahu siapa yang telah mem-

bunuh Resi Kala Jinjit. Sebaiknya, kuikuti saja terus 

pemuda itu...."

Si kakek sesaat terdiam. Setelah menatap ke-

lamnya langit sejenak, di saat lain dia sudah bergerak 

ke arah yang ditempuh Raja Naga.




                                   SELESAI




Ikuti kelanjutan serial ini:

MUSLIHAT DEWI BERLIAN
















































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive