"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Juni 2025

RAJA NAGA EPISODE BUNGA KEMUNING BIRU

 

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit



SATU


BAYANGAN merah itu berlari sedemikian ce-

patnya hingga sangat sukar diikuti oleh mata. Setiap 

kali dia berlari, setiap kali pula ranggasan semak ter-

papas rata ujungnya. Saat ini tengah malam telah tiba. 

Kegelapan menghantui daerah di mana si bayangan 

merah berlari. Hewan-hewan malam langsung masuk 

ke sarang tatkala merasakan ada gelombang angin 

yang bertebaran. Setelah gelombang angin yang keluar 

dari tubuh si Bayangan Merah berlalu, seiring dengan 

menjauhnya sosok yang berkelebat cepat itu, hewan-

hewan itu baru berani lagi keluar dari sarang mereka.

Tatkala matahari mulai menampakkan bias-

bias merahnya yang meronai langit di timur, si Bayan-

gan Merah memperlambat larinya, untuk kemudian 

berhenti sama sekali. Kendati hampir satu malam dia 

berlari, sama sekali tak terdengar nafasnya yang teren-

gah-engah. Bahkan dadanya yang membusung itu pun 

tak bergerak cepat, tetap tenang seolah baru bangun 

dari tidur.

Bayangan merah yang ternyata seorang perem-

puan setengah baya ini, sejenak memperhatikan seke-

lilingnya yang dipenuhi ranggasan semak belukar. Se-

telah itu, diarahkan pandangannya pada dua buah po-

hon yang tumbuh secara aneh. Karena bagian bawah 

kedua pohon itu meliuk-liuk sementara bagian atasnya 

bersilangan!

Pelan-pelan perempuan yang di kedua tangan-

nya terdapat gelang-gelang berwarna merah menarik 

napas pendek.

"Dua pohon aneh itu sebagai tanda. Kesunyian 

tempat ini seperti isyarat," desisnya pelan. Wajah si pe-

rempuan setengah baya ini masih cantik. Tidak ada


keriput sama sekali. Hidungnya bangir dengan sepa-

sang bibir tipis yang menawan.

Untuk sejenak si perempuan tak berkata apa-

apa lagi, hanya memperhatikan dua pohon yang bersi-

langan yang tumbuh sejarak dua puluh langkah dari 

hadapannya. 

"Kutangkap sesuatu yang mengerikan akan ter-

jadi," desisnya pada dirinya sendiri tanpa melepaskan 

pandangannya, pada kedua pohon yang bersilangan 

itu.

Terlihat kemudian ditarik dan dihembuskan 

nafasnya pelan-pelan. Wajahnya terlihat sedikit tegang 

sekarang. Seperti menguatkan hati, perempuan ini 

menganggukkan kepalanya sekali sebelum melangkah 

ke arah dua pohon yang tumbuh bersilangan.

Saat melangkah itu, terlihat pakaian bagian be-

lakangnya terbuka hingga batas pinggul. Memperli-

hatkan punggung yang berkulit putih mulus tanpa ca-

cat.

Baru enam langkah dia bergerak, mendadak sa-

ja langkahnya dihentikan. Kepalanya seketika dipa-

lingkan ke kanan.

"Keparat! Rupanya aku tidak sendiri di sini," 

desisnya dalam hati dengan tatapan menyelidik. Pe-

rempuan ini terdiam kembali. Keningnya sedikit berke-

rut, bertanda dia sedang berpikir. Kemudian desisnya 

lagi, "Aku belum tahu siapa orang yang telah hadir ju-

ga di sini. Huh! Ketimbang akan jadi urusan, sebaik-

nya ku-bereskan saja sekarang!"

Habis ucapannya, tiba-tiba saja tangan kanan-

nya digerakkan seperti seseorang menepuk nyamuk! 

Anehnya, yang digerakkan hanya tangan kanannya sa-

ja, tetapi terdengar suara seperti orang bertepuk. Kejap 

lain, menyalak sebuah suara yang cukup keras disusul 

dengan gelombang angin yang menghampar cepat!


Plaaarr!! 

Wussss!!

Kecepatan gelombang angin itu benar-benar 

sukar diikuti oleh mata. Tahu-tahu yang terdengar ha-

nyalah suara letupan yang sangat keras. Letupan yang 

membuat ranggasan semak belukar muncrat ke udara!

Si perempuan yang merasa pasti kalau ada 

orang lain di sana, sudah bersiap untuk segera mele-

paskan serangan susulan. Tetapi dia kecele sendiri, 

karena tak satu sosok tubuh pun yang keluar dari ba-

lik ranggasan semak yang kini telah rata dengan ta-

nah! 

"Hebat! Siapa pun orang itu adanya, dia memi-

liki gerakan yang sangat cepat!" desisnya dalam hati.

Karena merasa ada orang lain di sana, si pe-

rempuan tak segera meneruskan niatnya untuk men-

dekati dua buah pohon yang bersilangan itu. Dia ju-

stru melangkah ke tempat yang agak terbuka, seperti 

membiarkan dirinya untuk diserang. Memang itulah 

jalan satu-satunya yang harus dilakukan, membiarkan 

dirinya diserang. Dengan demikian, dia dapat menge-

tahui siapa orang itu. Paling tidak, di mana orang yang 

diyakininya berada di sekitarnya!

Tetapi setelah beberapa kejapan mata berlalu, 

tak ada tanda-tanda serangan muncul secara tiba-tiba. 

Perempuan berparas jelita ini mulai diliputi rasa kesal.

"Keparat! Siapa manusia itu? Dia sengaja men-

gajakku kucing-kucingan! Atau jangan-jangan...." Si 

perempuan memutus kata batinnya. Wajahnya kali ini 

terlihat lebih tegang. "Apakah... dia adalah Gilang Ken-

cana sendiri alias si Malaikat Biru?"

Kejap itu pula seperti mendapat satu serangan 

dari belakang, si perempuan menoleh dengan kedua 

tangan terangkat. Tetapi tak ada siapa-siapa di sana. 

Dia mundur tiga langkah dengan kewaspadaan tinggi.


Dan mendadak saja si perempuan mendengus. 

Secara tiba-tiba digerakkan tangan kanan kirinya ke 

sembarang tempat. Kejap itu pula terdengar letupan 

demi letupan berulang kali, disusul dengan mengham-

burnya ranggasan semak yang ditingkahi oleh hambu-

ran tanah!

Tempat sepi yang nampaknya jarang didatangi 

orang, kini seperti diamuk oleh puluhan banteng liar! 

Tetapi hampir seluruh ranggasan semak di sana telah 

terpapas dan rata dengan tanah, tak seorang pun yang 

muncul di hadapannya. Hal ini membuat si perempuan 

semakin murka.

"Keparat sial! Aku bertambah yakin kalau Ma-

laikat Biru yang mempermainkanku! Setan laknat! Ru-

panya dia mengetahui kedatanganku!" makinya dalam 

hati. Lalu sambungnya geram, "Peduli iblis neraka! 

Aku datang untuk membunuhnya! Apa pun yang ter-

jadi, aku akan menghadapinya!!"

Lalu dengan mengangkat kepalanya, perem-

puan berpakaian merah ini berseru keras, "Kau telah 

menjadi orang pengecut yang tak berani muncul 

menghadapi tamu yang datang! Apakah kau sudah be-

rubah dari kedudukanmu sebagai salah seorang tokoh 

rimba persilatan?! Malaikat Biru... aku datang ke sini 

untuk menuntaskan dendam guruku yang kau bunuh 

lima tahun yang lalu! Keluar! Atau... kuhancurkan 

tempat ini?!"

Perempuan yang punggungnya terbuka ini me-

nunggu dengan penuh siaga. Seluruh indera yang di-

milikinya dibuka lebar-lebar. Tetapi cukup lama me-

nunggu, tak ada sahutan yang terdengar, tak ada so-

sok tubuh yang keluar.

"Setan terkutuk!" kemarahan si perempuan ber-

tambah. Matanya mendelik gusar, menatap pada dua 

buah pohon yang bersilangan. "Menurut kabar yang


kudengar, aku harus melewati dua buah pohon yang 

bersilangan itu sebelum tiba di Pusara Keramat di ma-

na Malaikat Biru tinggal! Huh! Peduli setan! Akan ku-

hancurkan kedua pohon itu!!"

Sejenak dipandanginya dua pohon yang tum-

buh secara aneh. Pelan-pelan tangan kanannya dibawa 

ke dada. Dua jari membuka, sementara tiga jari lagi 

menekuk, tepat di depan wajah. Sementara tangan ki-

rinya berada di batas siku tangan kanannya. 

Mulut si perempuan lamat-lamat berkemak-

kemik, tetapi tak ada suara yang keluar. Terlihat pula 

tangan kanannya yang dua jarinya membuka sementa-

ra tiga jarinya menekuk mulai bergetar. Semakin lama 

getarannya semakin cepat dan kencang. Kemikan mu-

lutnya juga bertambah cepat.

Mendadak terlihat satu sinar merah mencelat 

deras dari tangan kanannya yang bergetar. Sinar me-

rah itu menggumpal dan membentuk gumpalan yang 

sebesar empat buah tangan yang dikepal menjadi satu!

Namun sebelum mengenai bagian bawah dua 

buah pohon bersilangan itu, mendadak saja sinar me-

rah yang menggumpal itu pecah di tengah jalan!

Blaaaammmm!!

Kontan bermuncratan ke sana kemari. Rangga-

san semak yang terkena muncratannya seketika han-

gus dan bertebaran tatkala terhembus angin.

Keadaan itu membuat si perempuan semakin 

gusar. Kembali diulanginya serangannya. Tetapi setiap 

kali pula harus putus di tengah jalan.

"Keparat!!" geramnya memutuskan untuk 

menghentikan cara yang dilakukannya. Mendadak 

sontak dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Ber-

samaan tanah yang berhamburan ke udara, tubuhnya 

mumbul ke atas.

Dengan gerakan yang sangat cepat, digerakkan


kedua tangannya berulang-ulang. Gelombang angin 

merah yang semakin lama semakin membesar mende-

ru kencang ke arah kedua pohon yang bersilangan. 

Bahkan sebelum gelombang-gelombang angin itu men-

genai sasarannya, masih berada di udara, si perem-

puan memutar tubuhnya, bersalto dua kali. Dalam 

keadaan kaki di atas dan kepala di bawah, diputar ke-

dua tangannya yang kemudian ditepukkan!

Wuusss! Wuuuussss!!

Sinar-sinar merah yang menyilaukan mata dan 

menerangi tempat yang masih disaput kegelapan 

menggebrak.

Kontan terdengar letupan yang sangat keras 

tatkala gelombang angin merah yang dilepaskannya 

menghantam kedua pohon itu. Belum lagi tanah yang 

berhamburan sirna, kedua pohon itu telah dihantam 

lagi oleh sinar-sinar merah yang menyilaukan mata.

Di pihak lain, si perempuan telah berdiri di atas 

tanah dengan kedua kaki dibuka. Matanya dibuka le-

bar-lebar memandang ke depan. Lamat-lamat terlihat 

bibir indahnya membentuk sebuah senyuman.

"Huh! Ternyata tak seberapa sulit untuk meng-

hancurkan kedua pohon itu," desisnya. Tanah masih 

membubung dan menghalangi pandangan. Setelah ta-

nah sirap, barulah aku menerobos jalan di bawah ke-

dua pohon bersilangan itu...."

Dengan senyum kepuasan yang masih berteng-

ger di bibir, si perempuan melipat kedua tangannya di 

atas dadanya yang membusung. Wajahnya menyi-

ratkan kesenangan yang luar biasa, karena halangan 

pertama dapat dilaluinya dengan mudah.

"Malaikat Biru tentunya tercengang sekarang," 

desahnya puas. "Dia boleh mempermainkanku baru-

san, tetapi tak lama lagi dia akan... okh!!"

Kata-katanya terputus dan berakhir dengan seruan kaget. Kepala si perempuan tiba-tiba saja mene-

gak dengan kedua mata membeliak lebar. Mulutnya 

menganga, memperlihatkan lorong indah yang sukar 

untuk ditepiskan.

Untuk beberapa lama si perempuan masih ter-

paku, memandang kaget pada kedua pohon bersilan-

gan yang tak kurang suatu apa. Masih berdiri tegak 

seperti semula!

"Jahanam!!" geramnya kemudian dengan men-

gertakkan rahang keras-keras. "Apa yang telah dilaku-

kan oleh Malaikat Biru terhadap pohon itu?!"

Perasaan senangnya yang menyangka telah 

menghancurkan kedua pohon bersilangan itu, kini pu-

tus seketika. Amarahnya kembali bergolak

"Jauh-jauh aku meninggalkan Bukit Lengkung 

untuk membalas kematian guruku di tangan si jaha-

nam Malaikat Biru, tetapi sampai di sini aku harus 

berhadapan dengan sesuatu yang sama sekali tak ku-

bayangkan!" geramnya sengit. Nafasnya mulai membu-

ru dan mendengus-dengus. "Terkutuk! Tanpa bisa me-

lalui kedua jalan itu, tak akan mungkin aku bisa men-

capai tempat Malaikat Biru berada! Setan alas! Kepa-

rat!!"

Kembali si perempuan merapatkan mulutnya. 

Tatapannya keras, diarahkan pada kedua pohon bersi-

langan yang tetap berdiri tegak. Bahkan sehelai daun-

nya pun tidak gugur!

"Aku harus mempergunakan ilmu ‘Perenggut 

Sukma’ untuk menghancurkan pohon itu!!"

Baru habis ucapannya, si perempuan mundur 

dua langkah. Kepalanya tetap tegak. Matanya tetap 

nyalang. Perlahan-lahan ditarik kaki kanannya ke be-

lakang sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tu-

buhnya sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan 

kedua tangannya di depan dada, mulut si perempuan


nampak berkemak-kemik.

Perlahan-lahan terlihat sekujur kulit di tubuh-

nya berubah memerah dan semakin lama bertambah 

merah semerah darah. Paras jelitanya pun berubah, 

menjadi mengerikan. Bahkan kedua bola matanya pun 

memerah, menyiratkan keganasan luar biasa.

Namun sebelum dilepaskannya ilmu 'Perenggut 

Sukma' yang merupakan senjata pamungkasnya, 

mendadak saja terdengar satu suara bersamaan satu 

sosok tubuh melompat dari balik ranggasan semak di 

samping kirinya, "Tahan! Kau hanya akan membuang 

tenagamu sia-sia. Dewi Perenggut Sukma!" 

Seketika perempuan berpakaian merah yang 

terbuka di punggungnya ini memalingkan kepala ke ki-

ri.

Dilihatnya satu sosok tubuh kurus telah berdiri 

sejarak sepuluh langkah dari tempatnya, dan terse-

nyum

"Sial! Apa-apaan kau datang juga ke tempat ini, 

hah?!"

* * *

Lelaki yang diperkirakan berusia sekitar enam 

puluh tahun yang tadi berteriak keras hingga si pe-

rempuan mengurungkan niatnya, tersenyum. Wajah 

lelaki itu mulai dihiasi keriput. Rambutnya dikuncir 

dengan ikat kepala warna putih.

"Tutuplah dulu ilmu yang hendak kau kelua-

rkan itu, Dewi," kata si lelaki yang mengenakan pa-

kaian hitam dengan rajutan dua buah keris bereluk 

delapan di dada kanan kirinya. Karena tak menda-

patkan jawaban dari si perempuan yang berjuluk Dewi 

Perenggut Sukma ini, si lelaki melanjutkan, "Kita ada-

lah orang yang tak punya silang urusan satu sama


lain. Jadi, tak perlu saling curiga."

"Mengapa kau berada di sini?!" bentak Dewi Pe-

renggut Sukma, dengan kedudukan yang sama. Selu-

ruh kulitnya tetap berwarna semerah darah.

Si lelaki tersenyum.

"Tentunya. aku punya maksud yang sama den-

ganmu...." 

"Jahanam terkutuk! Kau akan mampus di tan-

ganku bila berani mendahuluiku membunuh Malaikat 

Biru!"

"Jangan terlalu keras! Mana mungkin aku be-

rani melakukan hal itu, mengingat...." Si lelaki meng-

hentikan ucapannya. Dia hampir saja mengatakan ka-

lau ilmu Dewi Perenggut Sukma masih berada di ba-

wahnya, karena sedikit jengkel mendengar bentakan 

keras tadi. Tetapi sadar kalau itu akan membuat si pe-

rempuan menjadi murka dan itu artinya akan me-

mancing pertikaian tidak berguna, dia berkata, "Kesak-

tian Malaikat Biru sulit untuk kutandingi."

"Bagus kalau kau sadar dengan kemampuan-

mu! Sekarang kau akan melihat, siapa aku sebenar-

nya!"

"Ilmu "Perenggut Sukma' memang sangat luar 

biasa! Memiliki keampuhan yang benar-benar menge-

rikan. Tetapi sebelum kau mendapatkan rahasia ba-

gaimana menghancurkan kedua pohon bersilangan se-

kaligus membunuh Malaikat Biru, kau akan sia-sia 

melakukannya!"

Kali ini Dewi Perenggut Sukma menutup mu-

lutnya. Kedua bola matanya yang memerah tak berke-

dip. Perlahan-lahan dia berdiri tegak kembali. Seiring 

dilakukannya tindakan itu, kulitnya yang berubah se-

merah darah pun kembali pada keadaan semula.

Dipandanginya lelaki di hadapannya dengan 

seksama.


"Gadung Wuwung atau berjuluk Setan Keris 

Kembar! Kau berucap demikian, apakah kau mengeta-

hui sesuatu?!"

Si lelaki yang bernama Gadung Wuwung dan 

berjuluk Setan Keris Kembar tersenyum.

"Tak mungkin aku tak mengetahui sesuatu ten-

tang Malaikat Biru, hingga aku berani berkata begitu! 

Apalagi di hadapanmu, Dewi..."

"Bagus! Aku sudah tak sabar untuk membunuh 

manusia celaka yang telah membunuh guruku!"

"Tahanlah amarahmu sedikit saja. Kita sama-

sama mengetahui, hampir tiga puluh tahun Malaikat 

Biru tak pernah meninggalkan tempat celakanya! De-

wi... apakah kau ingat pada Durga Marakayangan?!"

"Huh! Siapa orangnya yang tidak tahu tentang 

nenek berhati iblis itu?!" 

"Bagus kalau kau masih mengingatnya!"

"Setan! Apa maksudmu berputar-putar omon-

gan, hah?!"

Gadung Wuwung menyeringai.

"Kau terlalu tak sabaran! Apakah kau lupa, ka-

lau satu-satunya orang yang bisa menandingi Malaikat 

Biru adalah Durga Marakayangan?!"

"Maksudmu... aku harus mencari nenek kepa-

rat itu? Gila! Rupanya kau sudah bodoh dan ke makan

oleh pengalaman orang lain! Siapa pun orangnya tahu 

kalau nenek celaka itu sudah mampus?!"

"Kau betul! Dia memang sudah mampus!"

"Lantas apa hubungannya kau menceritakan 

semua itu kepadaku, hah?!"

"Durga Marakayangan mempunyai seorang mu-

rid yang dijulukinya Setan Bayangan! Dan tentunya ki-

ta sama-sama tahu kalau Setan Bayangan telah mam-

pus dibunuh oleh Resi Kala Jinjit, sementara Resi Kala

Jinjit sendiri telah mampus yang ternyata dibunuh


oleh muridnya sendiri yang bernama Pangku Jaladara 

atas bujukan Dewi Berlian!" (Untuk mengetahui ten-

tang Setan Bayangan, Resi Kala Jinjit yang tewas di-

bunuh muridnya karena bujukan Dewi Berlian, silakan 

baca episode : "Misteri Laba-Laba Perak" sampai "Ben-

cana Lembah Lingkar").

"Kau menceritakan orang-orang yang sudah 

mampus! Apakah kau bermaksud untuk menyusul 

mereka?!" bentak Dewi Perenggut Sukma tidak sabar.

Setan Keris Kembar semakin menyeringai. 

"Kau telah dibutakan amarahmu hingga kau 

tak berpikir jernih! Sebelum mampusnya, Durga Mara-

kayangan telah menyerahkan sebuah benda sakti ke-

pada muridnya, yang diinginkannya untuk membalas 

kekalahannya pada Malaikat Biru! Tetapi hingga mam-

pus, Setan Bayangan tidak melaksanakan keinginan 

Durga Marakayangan! Jadi sampai saat ini, Malaikat 

Biru masih hidup!"

Dewi Perenggut Sukma memandang tak berke-

dip.

"Aku memang tak punya silang urusan dengan 

manusia satu ini, tetapi aku tahu kelicikan yang dimi-

likinya. Huh! Ingin rasanya membunuh manusia cela-

ka ini! Tetapi untuk saat ini, biarlah ku tahan amarah 

dan keinginanku itu," katanya dalam hati. Dengan su-

ara tetap mengandung kemarahan, perempuan itu 

berkata

"Yang hendak kau bicarakan, sebenarnya ben-

da sakti yang dimiliki oleh Durga Marakayangan yang 

kemudian diserahkannya pada Setan Bayangan?"

"Ternyata kau masih dapat menggunakan 

otakmu. Dewi!"

"Jahanam! Semua yang kau katakan telah 

mampus. Lantas di mana akan didapatkan benda sakti 

yang kau katakan itu?!"


"Kau nampaknya memang menyembunyikan di-

ri di kediamanmu hingga tidak tahu perkembangan 

yang terjadi! Setan Bayangan mempunyai dua orang 

murid yang bernama Lesmana dan Ratih, yang sebe-

lumnya terjadi kesalahpahaman di antara mereka! Te-

tapi berkat bantuan pemuda berjuluk Raja Naga, maka 

urusan itu dapat diselesaikan!"

"Kau maksudkan, benda itu diberikan Setan 

Bayangan kepada salah seorang muridnya?!"

"Tepat! Dan satu-satunya yang dapat membu-

nuh Malaikat Biru, hanya benda itu !!"

Dewi Perenggut Sukma terdiam. Sorot matanya 

tak berkedip pada Gadung Wuwung yang menyeringai 

dengan tenangnya.

"Mengapa kau menceritakan semua ini kepada-

ku?!" bentaknya kemudian.

"Mudah saja! Kita sama-sama menginginkan 

kematian Malaikat Biru! Manusia itu juga telah mem-

bunuh guruku! Karena kau punya kepentingan yang 

sama, rasanya bukanlah masalah bila kuceritakan apa 

yang ku ketahui padamu!"

"Kau terlalu pandai memutar ucapan!"

"Kau bisa membuktikan kebenaran ucapanku!" 

Dewi Perenggut Sukma tak bersuara.

"Huh! Siapa pun manusia satu ini, kemuncu-

lannya memang membawa keberuntungan! Rasanya 

tak perlu ragu untuk mencoba keberuntunganku!" ka-

tanya dalam hati.

Lalu sambil menganggukkan kepalanya, pe-

rempuan yang punggungnya terbuka lebar ini berkata, 

"Baik! Kita akan mencari murid-murid Setan Bayan-

gan!"

"Dengan bersatunya kita, tentunya akan den-

gan mudah membunuh siapa pun juga!" sahut Setan 

Keris Kembar sambil tertawa.


Tetapi mendadak saja tawanya putus tatkala 

mendengar ucapan Dewi Perenggut Sukma, "Sebelum 

mencari murid-murid Setan Bayangan, apakah kau 

yang sebelumnya mempermainkanku?!"

Setan Keris Kembar sesaat memandang, sebe-

lum terlihat seringaian di bibirnya. Seolah tak menge-

tahui amarah yang terpancar di mata si perempuan, 

Setan Keris Kembar menganggukkan kepalanya.

"Aku tak bermaksud mempermainkanmu. Teta-

pi kau yang lebih dulu menyerangku."

"Keparat! Ucapannya enteng sekali! Huh! Kelak, 

akan kubalas tindakannya tadi!" geram Dewi Perenggut 

Sukma dalam hati. Lalu dipandanginya dua buah po-

hon yang tumbuh bersilangan. Setelah itu ditolehkan 

kepalanya pada Setan Keris Kembar, "Kita berangkat 

sekarang!"

Setan Keris Kembar mengangguk, dan mulai 

berkelebat. 

Dewi Perenggut Sukma mendengus dan segera 

menyusul. Masing-masing orang seperti hendak me-

mamerkan ilmu peringan tubuh yang mereka punyai. 

Saat ini matahari sudah sepenggalah dan si-

narnya menerangi seluruh persada. Sambil berlari De-

wi Perenggut Sukma bertanya, "Kau belum mengata-

kan benda apa yang dapat membunuh Malaikat Biru?!" 

Gadung Wuwung menoleh. 

"Bunga Kemuning Biru!"

***

DUA



BUKIT Tidar adalah bukit paling timur dari Pulau Jawa. Terletak agak menyempil dan tersembunyi.

Jarang sekali orang yang akan mendatangi tempat itu 

mengingat jalan yang sangat sulit dan terjal-nya Bukit 

Tidar. Kalaupun memang ada yang nekat ke sana, itu 

artinya dia memiliki nyawa rangkap atau memiliki ke-

pentingan yang teramat sangat.

Tetapi dua orang lelaki yang sama-sama tua itu 

telah berada di sana sejak pagi tadi. Masing-masing 

orang duduk berhadapan. Tak ada yang buka suara. 

Angin senja yang menggiring awan-awan hitam terus 

berhembus.

Kakek yang mengenakan pakaian panjang ber-

warna seperti warna tanah, mengangkat kepalanya, 

menatap pada kakek yang selalu menundukkan kepala 

di hadapannya.

"Musang Berjanggut... masalah yang kau sam-

paikan bukanlah masalah kecil," kata kakek yang se-

kujur tubuhnya berkulit warna seperti tanah pula. 

Bahkan, rambut panjangnya yang tak beraturan pun 

berwarna seperti tanah! "Mengingat nasib murid Setan 

Bayangan yang akan ketimpa sial, kita harus secepat-

nya untuk menanggulangi masalah ini." (Untuk menge-

tahui siapa Musang Berjanggut, silakan baca : "Musli-

hat Dewi Berlian")

Lelaki tua yang hanya menundukkan kepa-

lanya, mengangguk. Saat mengangguk, janggutnya 

yang panjang hingga melingkar di tanah terangkat se-

jenak dan menyentuh tanah kembali

"Aku bukannya hendak menelurkan satu masa-

lah besar. Tetapi masalah itulah yang memang ku pi-

kirkan," katanya sambil mengusap sejenak kumisnya 

yang melintang.

Kakek berkulit seperti warna tanah berkata la-

gi, "Durga Marakayangan dikenal sebagai momok men-

gerikan yang pernah dikalahkan oleh Malaikat Biru. 

Tentunya semua orang tahu kalau Durga Marakayangan telah menyerahkan benda sakti yang bernama 

Bunga Kemuning Biru kepada Setan Bayangan selaku 

muridnya. Dan selama ini, kita tak pernah mendengar 

kalau Setan Bayangan mencoba membalas kematian 

guru-nya pada Malaikat Biru. Ah, kau menduga kalau 

Bunga Kemuning Biru telah diserahkan oleh Setan 

Bayangan yang telah tewas kepada salah seorang mu-

ridnya. Berarti, memang nasib muridnyalah yang akan 

ketiban sial."

"Langlang Benua... aku memikirkan akan ba-

nyaknya orang-orang yang mendendam pada Malaikat 

Biru akan memburu Lesmana dan Ratih, murid-murid 

si Setan Bayangan," kata Musang Berjanggut tetap tak 

mengangkat kepalanya. "Dan kedua orang muda itu 

akan mengalami nasib yang sangat mengerikan. Aku 

sudah terlalu tua untuk mencampuri urusan ini. De-

mikian pula ketika terjadi keributan di Perguruan La-

ba-laba Perak, aku merasa tidak enak sendiri. Bagai-

mana dengan penilaianmu sendiri?"

Langlang Benua menarik napas pendek (Untuk 

mengetahui Langlang Benua, silakan baca : "Misteri 

Laba-Laba Perak").

"Aku belum tahu apakah pemuda dari Lembah 

Naga berhasil menuntaskan masalah Laba-Laba Perak 

atau tidak. Dan nampaknya aku terpaksa menunda la-

gi keinginanku untuk meneruskan petualanganku," 

katanya dalam hati.

Lalu sambil mencoba menatap wajah kakek 

berjanggut panjang itu, dia berkata, "Aku juga sudah 

terlalu tua untuk mencampuri urusan keduniaan. Te-

tapi nampaknya, mau tak mau aku terpaksa akan me-

lakukannya."

Musang Berjanggut mengangguk-angguk.

"Mungkin, kita bisa tidak melakukannya."

"Apa maksudmu dengan tidak melakukannya?"


"Aku telah berjumpa dengan Raja Naga sebelum 

tiba di Bukit Tidar. Bahkan kepadanyalah kupesankan 

agar kau datang ke tempat ini."

"Maksudmu... kita akan meminta murid Dewa 

Naga itu untuk menyelesaikan urusan ini?"

"Kupikir, itulah yang paling tepat."

"Musang Berjanggut... apakah itu bukan ar-

tinya kita melimpahkan masalah berbahaya ini pa-

danya?"

"Semua keributan dan masalah di rimba persi-

latan sangat berbahaya. Semenjak berhasil menghen-

tikan sepak terjang Hantu Menara Berkabut, julukan 

Raja Naga telah membubung tinggi. Kemampuannya 

tidak diragukan lagi. Dan sesungguhnya, semua orang 

yang hidup di muka bumi ini selalu berada dalam ba-

haya. Baik bahaya yang datang dari luar maupun dari 

dalam. Kupikir, anak muda itu akan mampu melaku-

kannya." 

Langlang Benua mengangguk. "Aku tak mera-

gukan kemampuannya. Tetapi biar bagaimanapun juga 

dia tetaplah orang muda yang terkadang masih dibalu-

ri amarah."

"Mungkin kita hanya melihat sebagian kecil da-

ri dirinya."

"Mungkin kita memang bisa memintanya untuk 

menyelesaikan urusan ini. Tetapi, saat ini kita sama-

sama tahu, kalau anak muda itu masih berada di 

Lembah Lingkar untuk menuntaskan urusannya. 

Mungkin saat ini dia...."

Kata-kata Langlang Benua terputus, karena ti-

ba-tiba saja kakek berkulit seperti warna tanah itu 

menoleh ke samping kanan.

"Kau mendengar gerakan itu, Musang Berjang-

gut?"

"Sebelum kau mendengarnya, aku juga telah

mendengarnya," sahut Musang Berjanggut tanpa ber-

maksud menyombongkan diri.

"Apakah akan kita teruskan pembicaraan ini, 

atau kita tunggu orang yang datang?"

"Sebaiknya kita tunggu, karena orang yang ber-

gerak ke arah sini itu sudah semakin mendekat." 

Langlang Benua memandang lagi pada Musang 

Berjanggut yang tetap menundukkan kepala. Seumur 

hidupnya Langlang Benua mengenal Musang Berjang-

gut, sekali pun dia belum pernah melihat wajah kakek 

yang janggutnya panjang itu.

Seperti tak merasakan akan hadirnya orang 

lain di Bukit Tidar, masing-masing orang seperti tak 

acuh saja. Sementara pendengaran mereka semakin 

kuat menangkap gerakan yang semakin mendekat.

Tak lama kemudian orang yang berlari itu su-

dah menghentikan larinya sejarak dua belas langkah 

dari mereka. Langlang Benua yang menoleh tersenyum 

melihat siapa yang datang.

"Silakan bergabung, Raja Naga...."

Pemuda yang baru datang itu tersenyum. Lalu 

melangkah mendekat. Dia merangkapkan kedua tan-

gannya di depan Langlang Benua seraya mengangguk, 

lalu melakukan hal yang sama pada Musang Berjang-

gut. Saat kedua tangannya dirangkapkan di depan da-

da, terlihat kedua tangannya sebatas siku dipenuhi si-

sik berwarna coklat.

Lalu dia duduk agak di tengah, di kiri Langlang 

Benua dan di kanan Musang Berjanggut.

Langlang Benua bertanya, "Bagaimana dengan 

urusanmu di Lembah Lingkar?"

Pemuda berompi ungu yang rambutnya dikun-

cir itu tersenyum. "Urusan itu telah selesai. Apa yang 

kuduga ternyata benar. Dewi Berlian lah yang berada 

di balik serangkaian kejahatan itu. Dan dibantu oleh


Pangku Jaladara, murid dari Resi Kala Jinjit sendiri, 

dialah yang membunuh Resi Kala Jinjit."

"Astaga! Sungguh di luar dugaan sama sekali!" 

desis Langlang Benua sambil memandang pemuda 

tampan itu. Dan diam-diam dia membatin. "Tatapan 

matanya benar-benar mengerikan. Mengandung 

keangkeran yang dalam. Gila! Tak seorang pun di du-

nia ini yang memiliki tatapan yang dapat menciutkan 

jantung!" 

Musang Berjanggut berkata, "Kebenaran itu 

memang akan selalu terungkap walaupun cukup pan-

jang dan merepotkan untuk mengungkapkannya. Anak 

muda... kebetulan kau datang ke Bukit Tidar. Dan ke-

betulan sekali kami baru saja membicarakan masalah 

yang cukup rumit."

"Bila tak keberatan aku mohon untuk diulangi 

lagi...," kata pemuda dari Lembah Naga itu.

Musang Berjanggut mengulangi lagi apa yang 

telah dibicarakannya bersama Langlang Benua. Men-

dengar apa yang diceritakan Musang Berjanggut, ken-

ing pemuda yang kedua lengannya sebatas siku dipe-

nuhi sisik coklat berkerut.

"Bunga Kemuning Biru? Astaga! Aku pernah 

melihat benda itu, Orang tua...."

"Di mana kau melihatnya?" tanya Musang Ber-

janggut tetap tanpa mengangkat kepalanya.

"Di saat Dewi Berlian menuduhku yang telah 

membunuh Pangku Jaladara, Lesmana dan Ratih 

muncul bersama mayat Pangku Jaladara. Dan di atas 

mayat itu, terdapat sebuah bunga kemuning berwarna 

biru...." (Baca : Muslihat Dewi Berlian").

"Itulah salah satu kesaktian dari Bunga Ke-

muning Biru." kata Musang Berjanggut sementara 

Langlang Benua menegakkan kepalanya mendengar 

kabar Pangku Jaladasa telah tewas. Musang Berjang

gut menyambung ucapannya. "Bunga Kemuning Biru 

dapat membuat mayat tak akan membusuk selama 

bertahun-tahun."

"Orang tua... aku belum mengetahui siapakah 

sebenarnya Malaikat Biru?"

"Dia adalah seorang tokoh yang jarang sekali 

muncul ke dunia ramai. Kalaupun dia muncul ten-

tunya memang ada urusan yang harus diselesaikan-

nya. Hingga saat ini, belum seorang pun yang dapat 

mengalahkannya. Bahkan musuh bebuyutannya yang 

berjuluk Durga Marakayangan pun tidak mampu men-

gatasinya. Sudah cukup lama Malaikat Biru menghi-

lang entah ke mana, namun akhir-akhir ini mulai ter-

dengar kabar kalau dia berada di Pusara Keramat. Dan 

dapat dipastikan, kalau orang-orang yang mempunyai 

dendam padanya akan memburunya ke sana."

"Dari ucapanmu, tak kusangsikan lagi kesak-

tian yang dimiliki orang berjuluk Malaikat Biru. Berar-

ti, kalaupun ada orang yang mendendam padanya, 

tentunya dengan mudah akan ditanggulanginya. Lan-

tas masalah apakah yang harus kita hadapi?"

"Pertanyaanmu itu bagus sekali, Anak muda." 

sahut Musang Berjanggut tetap tak mengangkat kepa-

lanya. Dia menghentikan ucapannya dan membatin 

dalam hati, "Walaupun tak kulihat seperti apa wajah-

nya, tetapi batinku mengetahui rupanya. Dan ku rasa-

kan tatapannya begitu menikam jantung. Kekuatan 

yang dimiliki oleh matanya sungguh angker dan men-

gerikan."

Tetap menunduk, kakek berjanggut hingga ke 

tanah itu melanjutkan ucapannya, "Yang menjadi piki-

ranku sekarang ini, bukanlah Malaikat Biru. Melain-

kan murid-murid mendiang Setan Bayangan yang 

memiliki Bunga Kemuning Biru. Dalam bayanganku, 

orang-orang yang mendendam pada Malaikat Biru dan

mengetahui kalau Malaikat Biru hanya dapat dikalah-

kan oleh orang yang mempergunakan Bunga Kemun-

ing Biru, sudah tentu akan berusaha mendapatkan-

nya." 

"Aku paham sekarang. Orang tua, kau menga-

takan kalau satu-satunya benda yang dapat membu-

nuh Malaikat Biru hanyalah Bunga Kemuning Biru 

yang dimiliki oleh mendiang Durga Marakayangan. 

Lantas, mengapa si pemilik Bunga Kemuning Biru 

yang berjuluk Durga Marakayangan itu tidak berhasil 

membunuh Malaikat Biru?"

"Karena sebelum dipergunakannya benda sakti 

itu, Malaikat Biru lebih dulu berhasil merebutnya."

"Astaga! Jadi... Malaikat Biru telah berhasil me-

rebutnya? Lantas... bagaimana... bagaimana bisa kem-

bali ke tangan Durga Marakayangan yang untuk ke-

mudian diserahkan pada muridnya yang berjuluk Se-

tan Bayangan? Apakah... oh! Apakah.... Malaikat Biru 

mengembalikan lagi bunga sakti itu?"

"Apa yang kau katakan itu benar. Anak mu-

da...."

"Astaga! Benar?!" sepasang mata Raja Naga me-

lebar, membuat sorot angkernya semakin kentara.

Musang Berjanggut mengangguk. 

"Itulah sifat yang terkadang sukar dimengerti 

dari Malaikat Biru. Dia hanya bermaksud menggagal-

kan rencana orang. Ya... apa yang kau katakan benar. 

Setelah berhasil mengalahkan Durga Marakayangan, 

Malaikat Biru menyerahkan kembali Bunga Kemuning 

Biru padanya."

Pemuda bersorot mata angker ini terdiam dan 

berkata dalam hati, "Sungguh suatu tindakan yang 

luar biasa yang dilakukan oleh Malaikat Biru. Dia tahu 

kalau Durga Marakayangan berniat membunuhnya 

dengan Bunga Kemuning Biru, tetapi dia malah mengembalikannya. Luar biasa. Sungguh tindakan yang 

membutuhkan keberanian tinggi."

Lalu katanya. "Ratih dan Lesmana memiliki 

Bunga Kemuning Biru. Ya, ya... berarti memang kedu-

anyalah yang akan diburu oleh orang-orang yang men-

dendam pada Malaikat Biru untuk mendapatkan bun-

ga sakti itu."

"Itulah tragisnya kehidupan ini, Anak muda...," 

kata Musang Berjanggut tetap menunduk. "Di mana 

seseorang yang tak bersalah dan tak mengetahui 

pangkal suatu peristiwa harus menerima kenyataan 

yang pahit."

Langlang Benua berkata, "Sebelum kau datang 

ke sini, kami sepakat untuk melimpahkan urusan ini 

kepadamu. Raja Naga. Bila kau berkeberatan... kau bi-

sa mengatakannya."

"Aku mengenal Lesmana dan Ratih. Murid-

murid Setan Bayangan yang sebelumnya bersengketa. 

Tidak, aku tidak keberatan sama sekali."

"Bila kau tidak berkeberatan, itu artinya kau 

meringankan beban yang kami miliki...."

Raja Naga tersenyum. Lalu ajukan tanya, 

"Orang tua... seingatku, kau sedang dikejar oleh Resi 

Hitam. Apakah kau sudah berhasil menanggulan-

ginya?"

Kakek berkulit seperti warna tanah itu tertawa 

kecil.

"Menanggulanginya? Bertarung pun aku tidak. 

Untuk apa melakukan tindakan yang tak berguna? Bi-

la aku melakukannya, itu sama dengan aku telah me-

nuruti amarah Resi Hitam!"

"Jadi apa yang telah kau lakukan?"

Langlang Benua semakin keras tertawa.

"Aku beruntung memiliki kulit berwarna seperti 

warna tanah.... Dan entah di mana Resi Hitam berada


sekarang! Mungkin dia sedang menangis di satu tem-

pat karena keinginannya untuk membuktikan kalau 

dia lebih unggul dariku gagal!"

Kata-katanya yang seperti bukan jawaban itu, 

dimengerti oleh Boma Paksi. 

"Hemm... tentunya dia menyamar sebagai tanah 

hingga Resi Hitam kehilangan jejak. Yah, memang itu-

lah yang terbaik. Bila masih dapat dihindari untuk apa 

bersusah payah bersilang urusan?" katanya dalam ha-

ti.

Musang Berjanggut berkata, "Apa yang kita bi-

carakan ini telah selesai. Kau telah bersedia untuk 

mengemban tugas yang kami berikan. Untuk itu, laku-

kanlah dengan baik."

"Aku akan melakukannya."

"Terlebih lagi yang harus kau lakukan adalah 

menyelamatkan murid-murid Setan Bayangan. Tak 

dapat ku salahkan mereka berguru pada orang sesat 

itu, karena aku yakin kalau mereka tidak tahu siapa 

Setan Bayangan sebenarnya."

"Aku dapat memahaminya."

"Hati-hati."

Habis berkata begitu, Musang Berjanggut per-

lahan-lahan berdiri. Janggutnya yang hampir menyen-

tuh tanah di saat dia berdiri, menggantung. Kepalanya 

tetap menunduk. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ka-

kek berpakaian putih compang-camping itu sudah me-

langkah meninggalkan Bukit Tidar.

Tak ada yang tersinggung dengan sikapnya. 

Masing-masing orang mengantar langkah Musang Ber-

janggut yang melangkah pelan. Tetapi tiga kejapan ma-

ta saja, mereka sudah tak melihat sosok yang selalu 

menundukkan kepalanya! 

Sepeninggal Musang Berjanggut. Langlang Be-

nua mengalihkan pandangannya pada Raja Naga yang

balas memandang. Untuk sejenak kakek berkulit se-

perti tanah ini bergetar melihat tatapan angker milik 

pemuda di hadapannya.

"Mengerikan! Sangat mengerikan tatapannya! 

Mampu menciutkan nyali lawan! Tetapi di balik keane-

han dan keangkeran sorot matanya, dia adalah pemu-

da berjiwa ksatria...."

Habis membatin demikian, Langlang Benua 

berkata, "Anak muda... aku akan meneruskan petua-

langanku. Kembalinya aku ke pulau Jawa, karena aku 

mendapatkan kabar tentang kematian sahabatku si 

Resi Kala Jinjit. Kini telah kudapatkan keterangan 

yang kubutuhkan tentang kematiannya. Pesanku 

hanya satu, berhati-hatilah dalam urusan yang satu 

ini. Karena akan banyaknya orang-orang licik yang 

akan kau hadapi...."

Murid Dewa Naga itu mengangguk.

Langlang Benua tersenyum. Dipandanginya se-

jenak pemuda berompi itu sebelum mengempos tu-

buhnya ke arah yang berlawanan dengan arah yang di-

tempuh Musang Berjanggut.

Raja Naga menarik napas panjang setelah 

hanya seorang diri di Bukit Tidar. Malam telah menye-

limuti alam, meninabobokan bukit terjal itu.

"Urusan demi urusan telah kuselesaikan. Teta-

pi setiap kali berhasil kuselesaikan, sudah datang uru-

san lain," desisnya pelan sambil memandang ke kejau-

han. Sorot matanya tetap angker mengerikan. Ram-

butnya yang dikuncir kuda melompat-lompat diper-

mainkan angin yang tiba-tiba berhembus kencang. 

"Ah, apakah memang seperti ini corak kehidupan? Di 

mana kebaikan dan kejahatan yang selalu bertolak be-

lakang namun pada akhirnya terasa begitu dekat? Be-

rada di dalam sebuah lingkaran?"

Murid Dewa Naga menarik napas pendek se


raya. menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya yang 

bersorot angker dibawanya ke kejauhan, menembus 

kabut bergumpal.

Di lain kejap, pemuda berompi ungu ini sudah 

berkelebat ke arah dari mana dia datang sebelumnya.

***

TIGA


HAMPARAN pagi datang kembali, entah pagi 

yang ke berapa sejak diawalinya perjalanan kehidupan 

ini. Suara gemuruh air sungai yang tak jauh dari sana, 

membuat tempat itu tidak senyap. Burung-burung be-

terbangan, hinggap ke satu dahan pohon ke dahan 

yang lain. Gadis berkuncir dua yang mengenakan pa-

kaian ringkas warna kuning itu tersenyum memperha-

tikan tingkah hewan-hewan bersayap itu. Wajah si ga-

dis manis, disaput oleh beningnya sinar sang Fajar. Di 

punggungnya terdapat dua buah pedang bersilangan.

Si gadis menoleh tatkala ranggasan semak seja-

rak delapan langkah di samping kanannya menyeruak. 

Seorang pemuda gagah yang mengenakan pakaian 

berwarna merah dengan garis hitam yang bersilangan 

di depan dada muncul. Wajahnya cukup tampan den-

gan kain berwarna merah yang melingkari keningnya. 

Rambutnya masih agak basah, pertanda si pemuda 

baru selesai mandi di sungai.

Si pemuda mendekat.

"Apa yang sedang kau perhatikan, Ratih?" ta-

nyanya sambil tersenyum.

Gadis berwajah manis itu balas tersenyum.

"Aku iri dengan burung-burung itu, Kakang


Lesmana. Mereka beterbangan dengan gembira, seolah 

tak ada gangguan apa pun dalam kehidupan yang me-

reka jalani." 

"Kau betul. Tetapi, semua makhluk hidup, pasti 

akan mendapatkan gangguan, rintangan dan kebaha-

giaan dalam kehidupannya," sahut si pemuda.

"Ya!" sahut si gadis. "Memang semua perjalanan 

hidup tak semudah yang kita bayangkan." Kemudian 

diputar tubuhnya menghadap si pemuda. Dipandan-

ginya sejenak pemuda itu sebelum berkata, "Kakang... 

hendak ke manakah kita sekarang? Aku tak mau kem-

bali ke tempat di mana kita tinggal dulu bersama Guru 

yang berjuluk Setan Bayangan."

Lesmana tersenyum. Diingatnya bagaimana 

adik seperguruannya ini berniat hendak membunuh-

nya karena dianggap membiarkan guru mereka tewas 

di tangan Resi Kala Jinjit (Baca : "Misteri Laba-Laba 

Perak"). Dan berkat bantuan Raja Naga, kesalahpaha-

man itu akhirnya dapat diselesaikan (Baca : "Pengadi-

lan Rimba Persilatan").

"Ratih... aku juga enggan untuk kembali ke 

tempat di mana kita dibesarkan dan digembleng oleh 

Setan Bayangan. Dan siapa pun akhirnya guru kita 

itu, kita tetap menghormatinya."

Ratih menganggukkan kepalanya. Kuncir dua-

nya bergerak-gerak.

"Kau betul, Kakang. Memang, sangat ku sesali

apa yang terjadi. Tetapi aku akan lebih menyesal bila 

tetap menganggap kaulah penyebab kematian Guru"

Sudahlah, kita tak usah membicarakan soal 

itu. Saat ini masih pagi, dan kita belum mengetahui ke 

mana kita harus pergi. Sebaiknya, kita memang me-

mulai perjalanan ini sekarang. Bila menemukan tem-

pat yang menurut kita aman, sebaiknya kita jadikan 

tempat tinggal. Bagaimana menurutmu, Ratih?"


Gadis berpakaian ringkas warna kuning itu 

menarik napas pendek seraya memandang kakak se-

perguruannya.

"Kakang... aku sudah tak punya siapa-siapa la-

gi di muka bumi ini. Sekarang... hanya engkaulah 

tempatku bersandar.... Ke mana kau mengajakku per-

gi... aku... aku... akan menurutinya, Kakang...."

Mendengar kata-kata adik seperguruannya, 

Lesmana menghela napas pelan-pelan. Dipandanginya 

gadis itu untuk beberapa lama. Dan untuk pertama 

kalinya, Lesmana melihat kalau adik seperguruannya 

begitu manis. Bahkan lamat-lamat dilihatnya pesona 

yang selama ini tak pernah diketahuinya muncul dari 

diri Ratih.

"Ratih...," suaranya kali ini sedikit bergetar.

Ratih yang sedang memandang Lesmana me-

nangkap getaran suara itu.

"Kakang...," balasnya dan entah mengapa seka-

rang dia merasa malu untuk menatap pemuda di ha-

dapannya berlama-lama seperti biasanya.

"Aku... aku... juga tak punya siapa-siapa kecua-

limu, Ratih...."

Gadis manis itu tak menjawab. Perlahan-lahan 

kepalanya tertunduk. Lesmana yang entah mengapa 

menjadi agak kikuk, urung untuk berucap lagi. Justru 

sesuatu yang selama ini tak pernah dipikirkan atau di-

rasakannya, mendadak saja muncul perlahan-lahan 

dan semakin lama semakin cepat, membentuk gumpa-

lan sensasi aneh yang membuatnya agak sedikit te-

gang.

Entah keberanian itu datangnya dari mana, ta-

hu-tahu Lesmana meraih tangan adik seperguruannya. 

Sedikit terkejut Ratih mengangkat kepalanya. Dilihat-

nya Lesmana sedang menatapnya dengan seksama. 

Untuk beberapa saat gadis itu balas menatapnya, seolah terjerat oleh pesona yang muncul.

Dan entah siapa yang mendahului, kedua anak 

manusia itu sudah saling mendekap. Mencurahkan se-

genap perasaan yang tahu-tahu muncul dan sesung-

guhnya telah lama mereka miliki. Rasa kasih itu telah 

datang karena kebersamaan mereka selagi menjadi 

murid Setan Bayangan. Kasih yang merupakan cermi-

nan dari sikap kakak beradik. Tetapi yang mereka ra-

sakan sekarang ini, bukanlah rasa kasih seperti yang 

sudah-sudah.

Tiga kejapan mata kemudian, terlihat keduanya 

sudah saling berciuman. Lembut. Penuh pesona dan 

menawan. Tak ada hawa nafsu yang melingkupi mas-

ing-masing orang kecuali rasa kebersamaan yang me-

reka butuhkan.

Ketika sehelai daun menerpa kepala Lesmana, 

pemuda itu perlahan-lahan melepaskan rangkulannya. 

Dipeganginya kedua bahu adik seperguruannya sambil 

menatapnya lekat-lekat.

Yang ditatap justru menundukkan kepala. Ro-

na merah menghiasi wajah manis itu.

"Ratih...." desis Lesmana, suaranya sedikit ber-

getar.

Gadis yang memiliki sifat panasan itu justru 

menundukkan kepala. Menyahut pun tidak.

Sikapnya membuat Lesmana menjadi agak ki-

kuk. Dia khawatir apa yang barusan dilakukannya da-

pat memancing amarah Ratih. Tetapi tatkala gadis itu 

pelan-pelan merebahkan kepalanya ke dadanya. diam-

diam Lesmana menarik napas lega.

Didekapnya tubuh lembut itu seraya mengu-

sap-usap rambut hitam Ratih.

Tak lama kemudian, masing-masing orang telah 

melepaskan diri satu sama lain.

Lesmana berkata, "Kita cari tempat yang aman

untuk kita diami, Ratih."

Ratih mengangguk.

"Aku ingin hidup bersamamu, Kakang Lesma-

na...."

Lesmana tersenyum. 

"Begitu pula denganku. Ayo, kita berlomba un-

tuk mencari tempat itu...." 

"Tapi aku tak ingin jauh darimu, Kakang...," 

suara Ratih manja.

Lesmana tertawa. Lalu keduanya pun segera 

meninggalkan tempat itu.

Ketika matahari tepat di atas kepala, keduanya 

menghentikan lari mereka di sebuah hutan yang ba-

nyak ditumbuhi pepohonan tinggi dan berdaun lebat. 

Panasnya matahari tak terlalu menyengat sekarang.

Masing-masing orang memandangi sekitarnya, 

yang sepi dan hanya terdengar suara angin menggere-

sek dedaunan.

"Sebaiknya kita beristirahat di sini, Ratih. Kau 

jangan ke mana-mana. aku akan mencari makanan 

untuk pengisi perut...."

Ratih mengangguk. Dan sepeninggal Lesmana, 

gadis yang pada punggungnya terdapat dua buah pe-

dang bersilangan itu segera melangkah mendekati se-

buah pohon besar. Lalu dia duduk bersandar di bawah 

pohon itu.

Kemudian diingat-ingatnya apa yang telah dila-

kukannya bersama Lesmana sebelumnya. Mengingat 

hal itu, justru membuat wajahnya memerah.

Sementara itu, Lesmana yang sebelumnya su-

dah membayangkan akan mendapatkan ayam atau 

burung hutan dan segera memanggangnya, menjadi 

jengkel sendiri. Karena cukup lama dia meninggalkan 

Ratih, dia belum juga mendapatkan apa yang dicarinya.


"Aneh! Ke mana hewan-hewan hutan ini pergi? 

Sejak tadi tak kudengar ada cicit burung atau ciapan 

ayam. Tak kulihat pula kelinci-kelinci yang berlarian," 

desisnya sambil memasang mata dan pendengaran le-

bih lebar lagi. 

Untuk beberapa saat pemuda yang di kening-

nya melingkar sehelai kain merah ini terdiam sambil 

memperhatikan sekelilingnya. Di lain saat, Lesmana 

kembali bergerak untuk mencari hewan-hewan hutan 

itu.

Akhirnya Lesmana memang mendapatkan tiga 

ekor burung hutan. Kemudian dengan gembira dia

kembali ke tempat di mana Ratih menunggu. Di-

bayangkannya kalau nanti mereka akan menikmati 

burung panggang yang beraroma sedap.

Begitu tiba di tempat semula, langkah pemuda 

ini mendadak saja terhenti. Kepalanya tiba-tiba mene-

gak dengan kedua mata menyipit. Dilihatnya tempat di 

mana dia dan Ratih berada sebelumnya telah porak 

poranda.

Untuk beberapa lama Lesmana masih tertegun 

di tempatnya sebelum berteriak keras, "Ratih!!"

Dia segera berkelebat mengitari tempat itu. Tiga 

ekor burung yang berhasil ditangkapnya sudah tak di-

hiraukan lagi. Kegelisahan merambati hatinya. Kete-

gangan melandanya yang semakin membuatnya tidak 

enak tatkala tak menemukan Ratih di sekitar sana.

"Astaga!" desisnya kembali ke tempat semula. 

Nafasnya memburu karena rasa tegang yang tak terta-

hankan. "Ratih!!" serunya lagi, berusaha memanggil.

Tetapi tak ada sahutan dari Ratih.

Ketegangan itu terus merambati hati Lesmana. 

Rasa tak tenang membuatnya menjadi agak gusar.

"Ratih!!" serunya lagi.

Dan lagi-lagi tak ada sahutan. Perlahan-lahan


anak muda ini berusaha untuk menenangkan dirinya. 

Dikajinya kemungkinan apa yang terjadi.

"Tempat ini telah porak poranda. Jangan-

jangan... ada seseorang atau beberapa orang yang te-

lah muncul ke tempat ini. Dan tentunya orang itu 

bermaksud jahat terhadap Ratih. Hingga Ratih mela-

wan. Terbukti tempat ini jauh berbeda sebelum ku 

tinggalkan. Kalau begitu...."

Memutus jalan pikirannya, perasaan Lesmana 

semakin tak menentu.

"Berarti..... Ratih... berada di pihak yang kalah! 

Dan orang itu... orang itu berhasil menangkap... okh! 

Tidak, tidak! Akan kubunuh siapa pun orangnya yang 

telah mencelakakan Ratih!!"

Tubuh anak muda ini menggigil karena gelisah, 

tegang dan marah. Tetapi lagi-lagi dicobanya untuk 

menenangkan dirinya.

"Barangkali... barangkali.... Ratih berhasil me-

nyelamatkan diri.... Dan dia... dia terpaksa meninggal-

kan ku agar tidak mendapat celaka. Ya, ya! Itu lebih 

baik... itu lebih...."

Kata-katanya terputus tatkala pandangannya 

membentur pada batang pohon di mana sebelumnya 

Ratih bersandar. Dengan pandangan tetap mengarah 

pada batang pohon itu, Lesmana melangkah mende-

kat. Semakin lama dia semakin jelas melihat apa yang 

terdapat pada batang pohon itu. Sebuah tulisan yang 

tergurat pada batang pohon itu!

Lesmana membacanya, "Bila kau menginginkan 

gadis ini selamat, datang ke Tanah Kematian tiga hari 

di muka dengan membawa Bunga Kemuning Biru. 

Kembang Darah! Astaga! Kalau begitu... kalau begitu... 

Ratih... okh, tidak-tidak!" pemuda ini menggeleng-

gelengkan kepalanya penuh kegelisahan. "Kembang 

Darah?! Siapa orang berjuluk Kembang Darah yang

menginginkan Bunga Kemuning Biru?! Lagi pula, di 

mana Tanah Kematian berada?!"

Perasaan Lesmana semakin gelisah. Pemuda ini 

tak menyangka kalau akan mendapatkan urusan yang 

tak menyenangkan. Tetapi di lain saat, Lesmana sudah 

memantapkan dirinya untuk menuju ke Tanah Kema-

tian. Karena biar bagaimanapun juga, dia akan ber-

tanggung jawab dengan apa yang dialami oleh Ratih!

Namun sebelum pemuda ini meninggalkan 

tempat itu, pendengarannya menangkap dua gerakan 

yang sudah mendekat. Seketika Lesmana menoleh dan 

bersiaga.

Dua sosok tubuh melompat dengan gerakan 

yang sangat ringan dan hinggap di atas tanah sejarak 

sepuluh langkah dari hadapannya.

Belum apa-apa, salah seorang yang mengena-

kan pakaian merah dan terdapat gelang-gelang warna 

merah di pergelangan tangan kanan kirinya sudah bu-

ka mulut, "Setan Keris Kembar! Yakinkah kau kalau 

pemuda ini bernama Lesmana, salah seorang murid 

dari Setan Bayangan?!"

Lelaki berwajah keriput yang mengenakan pa-

kaian hitam dengan rajutan dua buah keris bereluk

delapan di dada kanan kirinya, menganggukkan kepa-

lanya.

"Sebelum berjumpa denganmu di jalan menuju 

kediaman Malaikat Biru, aku sudah menyelidiki ten-

tang murid-murid Setan Bayangan! Dan aku yakin, 

pemuda inilah yang bernama Lesmana yang tentunya 

telah me-miliki Bunga Kemuning Biru!"

Lesmana yang saat ini sedang diliputi kegelisa-

han dan amarah, memandang masing-masing orang 

dengan tatapan garang. Kejap lain, terdengar suaranya 

merandek gusar pada perempuan berhidung bangir 

itu, "Perempuan celaka! Kau telah menculik adik seperguruanku! Dan sekarang muncul lagi dengan ka-

wanmu itu! Bagus! Memang itulah yang kuharapkan 

hingga tak perlu lagi aku mendatangi Tanah Kematian! 

Karena... di sinilah jasadmu akan dimakamkan!!" 

Habis ucapannya, Lesmana sudah menerjang 

ke depan dengan amarah tinggi seraya mendorong tan-

gan kanan kirinya!

Seketika menghampar cahaya yang membentuk 

dua telapak tangan yang kemudian menyebar membe-

sar. Gemuruh angin yang mendahului membuat tem-

pat itu laksana digebah oleh puluhan gajah liar!

***

EMPAT


KEDUA orang yang baru datang itu, sama-sama 

membuka mata mereka lebar-lebar. Perempuan berpa-

kaian merah yang terbuka di punggung dan memperli-

hatkan punggungnya yang putih mulus tanpa cacat, 

merandek gusar. Kejap lain dia sudah me-mutar kedua 

tangannya di depan dada, lalu didorong dengan cara 

bersilangan!

Segera menggebrak gelombang angin yang 

mengandung kekuatan besar. Tanah dan ranggasan 

semak terseret. 

Jlegaaarr!!

Bertemunya dua bayangan telapak tangan yang 

membesar itu, dengan gelombang angin berkekuatan 

tinggi, membuat tempat itu bergetar hebat. Tanah di

tingkahi dengan ranggasan semak belukar yang seke-

tika hancur, bermuncratan ke udara. Disusul suara 

berdebam berkali-kali. Saat itu pula pandangan terha-

lang karena tingginya tanah yang muncrat!

Untuk beberapa saat tak ada serangan yang da-

tang. Tatkala tanah yang membubung itu sirap, terli-

hat sosok Lesmana bergeser dua langkah ke belakang 

sambil memegangi dadanya dengan tangan kanan. Ke-

dua tangannya bergetar dengan tangan kiri yang dira-

sakan sangat ngilu dan buru-buru dialirkan tenaga da-

lamnya.

Di pihak lain, perempuan berpakaian merah 

yang terseret lima langkah itu, sudah melompat kem-

bali ke tempat semula. Sosoknya angker dengan tata-

pan tajam tak berkedip. Mulutnya merapat dingin. Bi-

birnya yang tipis bergerak-gerak maju mundur.

"Keparaaat!!" suaranya menggelegar dahsyat.

Lesmana sendiri yang menyangka kalau perem-

puan itu adalah orang yang berjuluk Kembang Darah 

segera balas membentak, "Perempuan celaka! Kemba-

likan adikku! Kita bertarung secara jujur!!"

"Terkutuk! Apa yang kau maksudkan dengan 

mengembalikan adikmu, hah?!"

"Huh! Jangan berlagak dungu di hadapanku!"

"Setaaan! Kau benar-benar...."

Seruan Dewi Perenggut Sukma terputus, kare-

na Lesmana sudah menerjang kembali, melancarkan 

ilmu 'Telapak Bayangan'.

Dewi Perenggut Sukma menggeram keras. Ama-

rahnya menggelegak. Tetapi sebelum dia menghindar 

atau memapaki serangan yang datang, Gadung Wu-

wung atau yang berjuluk Setan Keris Kembar sudah 

melesat ke depan.

"Biar aku yang menghadapi pemuda keparat 

ini!!"

Kedua tangannya disentakkan ke atas dan ke 

bawah. Saat itu pula melesat sinar kehitaman yang 

melesat menjadi delapan liukan.

Blaaarr! Blaaarrr!!

Benturan dahsyat kembali terjadi. Tiga buah 

pohon tumbang dan beberapa pohon lainnya bergugu-

ran dedaunannya. Untuk kedua kalinya tanah mun-

crat ke udara!

Namun tidak seperti kejadian pertama, tahu-

tahu muncratan tanah itu berhamburan ke arah Ga-

dung Wuwung dan Dewi Perenggut Sukma yang mem-

buat masing-masing orang segera melompat ke kanan 

kiri.

Dan... wuussss!!

Dua bayangan telapak yang membesar itu me-

lesat dan menghantam empat batang pohon sekaligus 

yang terlempar jauh dan menimbulkan suara letupan 

yang keras!

"Setaaann!" maki Dewi Perenggut Sukma. "Biar 

aku yang beri pelajaran padanya!!"

Kejap lain perempuan ini sudah menegakkan 

kepalanya. Matanya yang kejam tetap nyalang. Setelah 

mendengus kecil, ditarik kaki kanannya ke belakang 

sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tubuhnya 

sedikit dibungkukkan, dengan sikap siap menerjang. 

Seiring dirangkapkan kedua tangannya di depan dada, 

mulut Dewi Perenggut Sukma berkemak-kemik.

Kejap lain, terlihat sekujur kulit di tubuhnya 

berubah memerah dan seiring mulutnya terus berke-

mak-kemik, warna merah itu semakin memerah, seme-

rah darah. Paras jelitanya pun berubah, menjadi men-

gerikan. Bahkan kedua bola matanya pun memerah, 

menyiratkan keganasan luar biasa.

Gadung Wuwung melirik.

"Hemmm... dia telah mengeluarkan ilmu 

'Perenggut Sukma'. Bagus! Kalau sebelumnya dia sen-

gaja ku tahan untuk tidak mengeluarkan ilmu 

'Perenggut Sukma' kali ini kubiarkan saja. Ingin kuli-

hat seperti apa kehebatan ilmu itu? Karena biar bagaimanapun juga, aku harus berjaga-jaga untuk 

menghadapinya! Aku juga menginginkan Bunga Ke-

muning Biru!"

Di depan, Lesmana tak gentar sedikit pun juga. 

Pemuda murid mendiang Setan Bayangan ini tetap 

menyangka kalau perempuan berpakaian merah itulah 

yang berjuluk Kembang Darah dan telah menculik Ra-

tih.

Lantas dilipatgandakan tenaga dalamnya. Di-

rangkum kembali ilmu 'Telapak Bayangan' yang dimili-

kinya.

Kejap berikutnya, masing-masing orang sudah 

menerjang diiringi teriakan membahana, diantar oleh 

tatapan Gadung Wuwung yang diam-diam mundur tiga 

langkah. Karena dia dapat membayangkan apa yang 

akan terjadi.

Jlegaaar....!!

Benturan dahsyat yang membuat tempat itu 

bergetar dan banyaknya pepohonan yang tumbang ter-

jadi. Menyusul muncratnya sinar-sinar semerah darah 

yang dilepaskan Dewi Perenggut Sukma, ditingkahi 

dengan membubungnya dan lenyapnya dua bayangan 

telapak besar yang dilepaskan Lesmana.

"Aaaakhhh...!" Lesmana terpental ke belakang 

dengan dada yang terasa nyeri. Anak muda ini masih 

berusaha untuk menguasai keseimbangannya. Tetapi 

gagal. Hingga mau tak mau punggungnya membentur 

batang pohon. Masih beruntung karena dia telah me-

namengkan dirinya dengan tenaga dalam.

Tetapi tubuhnya tetap terbanting di atas tanah!

Di pihak lain. Dewi Perenggut Sukma tetap be-

rada di tempatnya dengan seringaian lebar di bibirnya.

Sementara itu diam-diam Gadung Wuwung 

membatin dalam hati, "Hemmm... ternyata ilmu 

'Perenggut Sukma' tak sehebat dugaanku. Aku mampu


menghadapinya suatu saat untuk merebut Bunga Ke-

muning Biru."

Namun apa yang dikatakan Dewi Perenggut 

Sukma kemudian, membuatnya seketika menoleh pa-

da perempuan itu. "Huh! Baru sebagian kecil tenaga 

yang kuper-gunakan untuk mengalahkanmu, Pemuda 

keparat! Karena aku masih menginginkan kau hidup!!"

"Astaga! Jadi... jadi... dia.... Gila! Gila!" belalak 

Gadung Wuwung dalam hati sambil menggeleng-

gelengkan kepalanya.

Kemudian dilihatnya Dewi Perenggut Sukma 

mendekati Lesmana yang masih terlungkup di atas ta-

nah. Dengan kaki kanannya perempuan berpakaian 

terbuka di bagian punggung itu membalikkan tubuh si 

pemuda yang sudah tak berdaya. Dari mulut dan hi-

dung Lesmana mengalir darah segar.

"Sebagai murid Setan Bayangan, kau memang 

tak terlalu mengecewakan! Tetapi kau sedang berha-

dapan dengan orang yang seharusnya menjadi guru-

mu!"

Lesmana mengerang pelan.

"Terkutuk! Kembalikan adik seperguruanku...," 

desisnya sambil menahan sakit.

"Setan muda! Aku tidak tahu kau berkata apa! 

Tapi yang kubutuhkan adalah.... Bunga Kemuning Bi-

ru!" geram Dewi Perenggut Sukma dengan sorot mata 

angkernya. Di kejap lain, tiba-tiba terlihat seringaian di 

bibirnya. 

Setan Keris Kembar yang melihat seringaian itu 

sejenak mengerutkan kening.

"Aneh!" desisnya dalam hati. "Mengapa kekeja-

mannya seperti memudar? Mengapa dia menyeringai 

seperti itu? Apa yang dipikirkan dan diinginkannya?"

Sebelum lelaki itu dapat menemukan jawaban-

nya, terdengar suara Dewi Perenggut Sukma, "Setan

Keris Kembar! Menyingkir dari sini untuk sementara!"

Didera rasa penasarannya untuk mengetahui 

arti senyuman perempuan berpakaian merah itu, Se-

tan Keris Kembar berkata, "Mengapa kau menyuruhku 

menyingkir? Orang yang kita inginkan sudah ada di 

depan mata! Kau tinggal memeriksanya, apakah Bunga 

Kemuning Biru itu berada padanya atau tidak! Bisa ja-

di berada pada adik seperguruannya yang sejak tadi 

diserukannya itu!"

Masih tetap tak mengalihkan pandangannya 

dari Lesmana yang sedang menahan nyeri dan geram-

nya, Dewi Perenggut Sukma berkata, "Aku tak pernah 

memerintah lebih dari satu kali! Cepat menyingkir dari 

sini atau ku putuskan untuk membunuhmu juga!!"

Setan Keris Kembar tak bergerak. Matanya mu-

lai memancarkan sinar berbahaya. Kata-kata Dewi Pe-

renggut Sukma membuatnya murka.

"Setan terkutuk!" tiba-tiba menggelegar suara 

keras itu disusul dengan menolehnya kepala Dewi Pe-

renggut Sukma. "Apa-apaan kau masih berada di sini, 

hah?!"

"Dewi... aku tak tahu apa yang hendak kau la-

kukan!" desis Setan Keris Kembar dingin. "Tetapi un-

tuk sementara aku akan menyingkir!"

"Bagus! Cepat tinggalkan tempat ini!!"

Dengan menahan geramnya, Setan Keris Kem-

bar segera menjauh. Hatinya masih penasaran ingin 

mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh perem-

puan berpunggung mulus itu. Di samping itu, dia juga 

sudah tidak sabar untuk menggeledah si pemuda guna 

menemukan Bunga Kemuning Biru.

Untuk itulah Setan Keris Kembar memutuskan 

untuk menjauh lebih dulu dan kemudian kembali lagi 

tanpa sepengetahuan Dewi Perenggut Sukma.

Apa yang dilihat oleh lelaki berpakaian hitam


itu sungguh di luar dugaannya. Sepasang matanya 

yang tadi memancarkan sinar berbahaya, kini terbela-

lak. Jakunnya turun naik dengan dada berdebar keras.

Sejarak dua belas langkah dari batik ranggasan 

semak di mana dia bersembunyi sekarang, dilihatnya 

Dewi Perenggut Sukma sudah bertelanjang badan!

"Iblis! Apa yang hendak kau lakukan?!" terden-

gar suara Lesmana, serak bercampur amarah.

Dewi Perenggut Sukma yang sudah bertelan-

jang badan menyeringai lebar. Kini dia berdiri men-

gangkangi tubuh Lesmana.

"Anak muda... wajahmu cukup tampan. Dan 

aku menyukai ketampanan itu...."

"Iblis! Kau akan mampus kubunuh!!" Dengan 

mengerahkan sisa-sisa tenaganya, Lesmana mener-

jang. Tetapi kejap itu pula tubuhnya terpelanting kare-

na merasakan sengatan pada dadanya.

Seringaian di bibir Dewi Perenggut Sukma se-

makin menjadi-jadi. Dengan sengaja digerakkan da-

danya hingga kedua bukit kembar yang mulus dan be-

sar itu bergerak menggiurkan.

Di balik ranggasan semak, Setan Keris Kembar 

menelan ludahnya.

"Kebiasaan perempuan itu yang sering menghi-

sap keperjakaan seorang pemuda belum hilang juga. 

Ah, sejak dulu aku ingin sekali mencicipi tubuhnya. 

Tapi dasar sial, sampai sekarang belum juga terlaksa-

na...," desisnya dengan dada makin berdebar. Teruta-

ma melihat buah dada Dewi Perenggut Sukma yang 

pada kedua pucuk bukitnya terdapat sebuah benda 

kecil berwarna kecoklatan itu bergerak-gerak. "Setan! 

Setan!" desisnya menahan gelora nafsu.

Sementara itu Dewi Perenggut Sukma perla-

han-lahan mulai membungkuk sehingga sepasang 

buah dadanya yang membusung itu menggantung indah.

"Kau akan menikmati sesuatu yang belum per-

nah kau nikmati, Anak muda...," desisnya dengan sua-

ra di tenggorokan.

Lesmana memejamkam matanya, berusaha 

menghilangkan pesona yang mau tak mau memikat-

nya. Biar bagaimanapun juga, dia seorang pemuda 

yang memiliki gelora 

"Hei, hei... mengapa kau tutup kedua matamu 

itu, Anak muda?" desis Dewi Perenggut Sukma. Buah 

dadanya yang menggantung disentuhkan ke wajah 

Lesmana yang gelagapan dan tetap berusaha tidak 

membuka kedua matanya.

"Jangan!!" serunya keras ketika sepasang tan-

gan lentik Dewi Perenggut Sukma mulai membuka pa-

kaiannya.

Di tempat persembunyiannya, Setan Keris 

Kembar tetap tak berkedip.

"Hemm... pakaian pemuda itu telah terbuka. 

Tak kulihat ada Bunga Kemuning Biru di sana. Berar-

ti... bunga itu dibawa oleh adik seperguruannya yang 

bernama Ratih yang disangkanya telah diculik oleh 

Dewi Perenggut Sukma. Masa bodoh! Lebih baik ku-

tonton saja pertunjukan yang mengasyikkan itu! Yap! 

Ya... terus, Dewi... turunkan pakaianmu hingga kau 

melorot semua...."

Di depan, Dewi Perenggut Sukma yang juga tak 

melihat adanya Bunga Kemuning Biru di balik pakaian 

Lesmana, telah menurunkan pakaian yang dikenakan-

nya dengan gerakan yang sangat merangsang. Perut-

nya yang langsing dan mulus kini telah terbuka, demi-

kian pula dengan bagian sejengkal dari pusarnya yang 

masih tertutup secarik kain berwarna putih. Bayang-

bayang hitam di balik kain putih yang dikenakannya


itu membayang, sedikit menggunung. Lalu... pluk!

Pakaian yang dikenakannya kini telah melorot, 

bertumpuk di atas tanah. Kendati usianya sudah se-

tengah baya, Dewi Perenggut Sukma masih memiliki 

tubuh yang kencang.

Setan Keris Kembar berulang kali menelan lu-

dahnya. Tidak sabar menunggu sampai perempuan 

bertubuh indah itu membuka sisa kain yang melekat 

di pangkal pahanya.

"Ayo... ayo... buka, Dewi... buka...," desisnya 

dalam hati dengan napas berpacu.

"Anak muda... mengapa kau masih memejam-

kan matamu? Apakah kau tak ingin melihat apa yang 

kumiliki?"

"Terkutuk! Iblis perempuan! Menjauh kau dari 

sini!!" bentak Lesmana tetap memejamkan matanya.

"Hemm... sayang sekali, kau hanya akan me-

nikmati apa yang akan kuberikan tetapi kau tidak me-

lihat apa yang kumiliki. Baiklah... sebentar lagi aku 

yakin, kau akan membuka matamu karena membaui 

benda perempuan yang akan kuberikan padamu..,."

Sepasang tangan Dewi Perenggut Sukma kini 

berada di pinggir kanan kiri kain putih yang menutupi 

pangkal pahanya.

Di tempatnya Setan Keris Kembar tak mau ke-

tinggalan barang sekejap pun walaupun agak jengkel 

mengapa dia mengambil tempat di sebelah kiri!

"Ya... buka, Dewi... buka...."

Sepasang tangan lentik itu pun siap melorotkan 

kain putih yang dipakainya sendiri. Namun mendadak 

saja, kepalanya menoleh ke sebelah kiri, menyusul 

tangan kanannya mengibas.

"Manusia keparat!! Rupanya kau memang ingin 

mampus!!"

Wussss!!


Gelombang angin menggebrak dengan suara 

bergemuruh ke tempat persembunyian Setan Keris 

Kembar.

"Heiiii!!" pekik lelaki berpakaian hitam itu se-

raya melompat. 

Blaaaarrr!!

Kontan semak belukar yang tadi menghalangi 

tubuhnya hancur berantakan. Kejadian itu membuat 

Setan Keris Kembar tak berani untuk mengintip kem-

bali.

"Setan!!" maki Dewi Perenggut Sukma. Yakin 

kalau Setan Keris Kembar tak akan berani mengulangi 

kebodohannya, dia meneruskan lagi niatnya untuk 

membuka kain terakhir yang menempel pada tubuh-

nya. Tetapi....

"Terkutukkkk!! Kau benar-benar ingin mam-

pus!!"

Kali ini segelombang sinar berwarna merah me-

nyerbu ganas ke samping kanan! 

Jleggaaarrr!!! 

Kali ini bukan hanya ranggasan semak belukar 

yang hancur berantakan, sebatang pohon besar yang 

berdiri di belakang semak itu terhantam dan tumbang 

dengan suara bergemuruh.

"Mampus kau manusia setan!!" maki Dewi Pe-

renggut Sukma sambil memperhatikan tempat yang 

tadi dihantamnya. Buah dadanya yang masih terbuka 

bergerak-gerak, berayun dan bergelayut manja. Tak di

hiraukannya lagi kalau dia membunuh Setan Keris 

Kembar sekarang.

Setelah ditunggu beberapa saat dan Setan Keris 

Kembar yang disangkanya masih berada di sana tadi 

tidak muncul, Dewi Perenggut Sukma meneruskan 

niatnya.

Tetapi satu suara bernada dingin membuatnya


terbelalak,

"Kekejaman macam apa yang akan kau pertun-

jukkan, Perempuan tidak tahu malu?!"

Seketika perempuan yang hanya tinggal secarik 

kain putih yang menutupi pangkal pahanya itu meno-

leh. Satu sosok tubuh berompi ungu telah berdiri seja-

rak sepuluh langkah dari tempatnya. Kedua tangan 

anak muda berambut dikuncir kuda itu melipat di atas 

dada, dan terlihat sisik-sisik coklat pada lengan seba-

tas sikunya.

Sudah tentu Dewi Perenggut Sukma yang me-

nyangka kalau yang diserangnya tadi adalah Setan Ke-

ris Kembar terkejut. Lebih terkejut lagi tatkala mena-

tap sepasang mata pemuda di hadapannya!

"Astaga! Siapa pemuda itu?! Tatapannya begitu 

menusuk jantungku...!"

***

LIMA


PEMUDA berompi ungu itu tetap berdiri di 

tempatnya. Sorot matanya semakin menusuk. 

"Apakah kau tidak takut masuk angin bertelan-

jang seperti itu? Atau... kau hendak menyamakan be-

sarnya buah dadamu dengan pepaya yang menggan-

tung di sana?!"

Ucapan si pemuda seperti menyadarkan Dewi 

Perenggut Sukma kalau dia hampir tak berpakaian. 

Tetapi sikapnya tak terburu-buru saat mengenakan 

pakaiannya kembali.

Di pihak lain, Lesmana yang masih terkapar 

dan memejamkan matanya, perlahan-lahan membuka 

matanya begitu mengenali suara orang yang muncul.


"Raja Naga!" serunya begitu mengenali siapa 

orang yang datang.

Kepala Dewi Perenggut Sukma menegak.

"Raja Naga? Jadi dialah orang yang berjuluk 

Raja Naga, pemuda yang julukannya begitu menyentak 

rimba persilatan! Hemm... bagus! Sebelum membunuh 

Malaikat Biru, akan ku uji kehebatan pemuda ini!"

Memutuskan demikian, Dewi Perenggut Sukma 

maju dua langkah. Didengarnya gerakan Lesmana 

yang berusaha bangkit.

"Hih!" desisnya sambil menggerakkan kaki ka-

nannya ke belakang.

Buk!

Dada Lesmana telak terkena tendangannya dan 

pemuda yang telah banyak kehilangan tenaga itu kon-

tan jatuh pingsan.

"Raja Naga! Julukanmu sangat santer akhir-

akhir ini! Bagus! Aku ingin melihat kehebatan pemuda 

yang julukannya banyak disanjung dan dibenci orang!"

Anak muda dari Lembah Naga itu tetap berdiri 

di tempatnya, tetap melipat kedua tangannya di depan 

dada.

"Perempuan berpakaian merah! Kita belum sal-

ing kenal dan tak punya silang sengketa! Lebih baik 

tinggalkan tempat ini dan biarkan aku mengobati sa-

habat-ku!"

Dewi Perenggut Sukma tertawa keras.

"Hebat, hebat sekali! Kau pikir dengan uca-

panmu itu aku akan keder?! Kau salah besar, Anak 

muda! Dan nampaknya... kau lebih gagah dari pemuda 

itu! Bagus! Kaulah yang akan menggantikan pemuda 

itu memuaskan nafsuku!!"

Belum habis ucapannya, perempuan berpa-

kaian merah yang terbuka di bagian punggung itu su-

dah melesat ke depan.


Wuuuttt!!

Kelebatannya menimbulkan desir angin yang 

keras. Menyusul desiran angin itu, mendadak mengge-

bah gelombang angin yang lebih dahsyat mengarah 

pada tanah di hadapannya. Begitu gelombang angin 

tadi menabrak tanah, seketika tanah membuyar ke 

udara namun segera berpentalan karena satu gelom-

bang angin lain masuk menderu,

Wrrrrr!!

Di tempatnya Raja Naga memicingkan sepasang 

matanya. Murid Dewa Naga itu sama sekali tak berge-

rak dari tempatnya. Wajahnya tetap tenang, namun 

sorot matanya bertambah angker.

Mendadak dia mendehem cukup keras.

Blaaaarrr!!

Gelombang angin ganas yang siap menerbang-

kan sosoknya tiba-tiba saja buyar di tengah jalan.

Dewi Perenggut Sukma memekik kaget. Dia 

urung untuk melanjutkan serangannya. 

"Hebat!" desisnya.

Raja Naga berkata. "Jangan bikin urusan ber-

tambah runyam! Lebih baik menyingkir dari sini!"

"Kesombonganmu sudah kelewat batas, Anak 

muda! Kau akan mengenalku lebih jauh!!"

Dewi Perenggut Sukma menggeser kaki kanan-

nya ke belakang. Tubuhnya agak sedikit dibungkuk-

kan. Kejap berikutnya dia sudah melesat ke depan. 

Kedua kakinya bergerak laksana setan, menyeret ta-

nah hingga beterbangan. 

Raja Naga menjerengkan sepasang matanya. 

Sekali saja dapat dirasakannya kalau lawan melipat-

gandakan tenaga dalamnya.

Tiba-tiba saja kaki kanannya dijejakkan di atas 

tanah.

Brrooll!!


Bersamaan tanah yang berderak dan bergelom-

bang cepat ke arah Dewi Perenggut Sukma, anak muda 

dari Lembah Naga itu sudah melompat ke depan se-

raya mendorong tangan kanan kirinya.

Blaaaam! Blaaammm!!

Gelombang angin yang disemburati asap merah 

melabrak putus gelombang angin yang keluar dari do-

rongan kedua tangan Dewi Perenggut Sukma. Letupan 

yang sangat keras terjadi. Tempat itu sesaat bergetar.

Dewi Perenggut Sukma berdiri tegak di atas ta-

nah setelah mundur tiga tindak.

Di pihak lain, sosok Raja Naga nampak sedang 

tergontai-gontai ke belakang. Melihat hal itu, perem-

puan berpakaian merah menggeram keras dan segera 

menerjang kembali. Tubuhnya mumbul di udara. Lak-

sana berjalan di atas angin, kedua kakinya bergerak 

cepat. Akibatnya, tanah berhamburan ke udara.

Raja Naga tersentak kaget tatkala angin yang 

keluar dari gerakan kedua kaki lawan menerpa da-

danya. Sadar bila tidak bergerak cepat akan menda-

patkan satu petaka, anak muda dari Lembah Naga ini 

segera mendorong kedua tangannya ke atas.

Blaaamm! Blaaamm!!

Letupan yang terjadi semakin membuatnya ke-

hilangan keseimbangan. Sementara itu, Dewi Pereng-

gut Sukma yang masih berada di udara memutar tu-

buh. Dan mendadak saja dia meluruk dengan kedua 

kaki siap menghantam dada Raja Naga.

Dalam keadaan kehilangan keseimbangan, mu-

rid Dewa Naga masih dapat menguasai dirinya. Tangan 

kanannya digerakkan ke depan.

Buk!

Kaki kanan Dewi Perenggut Sukma dapat dita-

hannya, tetapi kaki kiri perempuan itu tepat bersarang 

di dadanya!


Des!

Dan... wussss!!

Beruntung Boma Paksi masih dapat merunduk. 

Karena bila tidak, sambaran kaki kanan Dewi Pereng-

gut Sukma yang bergerak laksana setan itu akan 

menghantam rengkah kepalanya.

"Huh! Kesombongan yang kau punyai ternyata 

tak sepadan dengan ilmu yang kau miliki!!" dengus 

Dewi Perenggut Sukma ketika berdiri lagi di atas ta-

nah. "Lebih baik kusudahi saja kau sekarang!!"

Belum habis ucapan itu terdengar. Dewi Pe-

renggut Sukma sudah mundur dua langkah. Kepa-

lanya menegak dengan tatapan nyalang pada Raja Na-

ga yang hanya memperhatikan dengan kening berke-

rut.

Dilihatnya perempuan berpakaian merah itu 

perlahan-lahan menarik kaki kanannya ke belakang 

sementara kaki kirinya ditekuk ke depan. Tubuhnya 

sedikit dibungkukkan. Seiring dirangkapkan kedua 

tangannya di depan dada, mulut si perempuan nam-

pak berkemak-kemik.

"Heiii!" desis Raja Naga dengan mata membela-

lak.

Dilihatnya bagaimana sekujur kulit di tubuh 

perempuan itu berubah memerah dan semakin lama 

bertambah merah semerah darah. Paras jelitanya pun 

berubah, menjadi mengerikan. Bahkan kedua bola ma-

tanya pun memerah, menyiratkan keganasan luar bi-

asa.

"Gila! Nampaknya dia tidak main-main dengan 

ucapannya! Padahal tadi aku sengaja mengalah, biar 

dia puas dan tak melanjutkan lagi niatnya! Tetapi se-

karang, aku malah termakan oleh siasatku sendiri...." 

Kata batin Raja Naga terputus karena terdengar 

bentakan perempuan di hadapannya, "Raja Naga! Sebelum kau mampus, kenanglah siapa aku! Dewi Pe-

renggut Sukma!!"

Menyusul kedua tangannya didorong ke depan!

* * *

Gelombang angin berwarna semerah darah 

menggebrak ke depan dengan kecepatan tinggi dan 

memperdengarkan suara lintang pukang. Raja Naga 

mundur satu langkah seraya mendehem, mencoba 

memutus-kan serangan itu dengan kekuatan tenaga 

dalamnya. Namun di luar dugaannya, gelombang angin 

itu terus saja menggebrak ganas ke arahnya! 

Segera dikeluarkan jurus ‘Barisan Naga Peng-

hancur Karang’ yang begitu dijejakkan kaki kanan ki-

rinya di atas tanah, seketika tanah itu bergerak ke 

atas, bergelombang deras, menyerbu ke arah Dewi Pe-

renggut Sukma.

Terdengar letupan beberapa kali, tetapi gelom-

bang angin semerah darah itu tetap tak putus di ten-

gah jalan. Dengan wajah sedikit tegang, pewaris ilmu 

Dewa Naga itu cepat melompat seraya melepaskan ju-

rus 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'.

Namun upaya itu pun putus di tengah jalan, 

bahkan.... 

Wrrrrr!!

Gelombang angin semerah darah itu telah me-

lingkupi tubuhnya. Saat itu pula Boma Paksi merasa 

nafasnya sesak. Dadanya laksana dihimpit dua tangan 

kasar dari depan dan belakang. Belum lagi dapat diku-

asai dirinya, tiba-tiba....

Bukkk!!

Satu hantaman telak telah membuat tubuhnya 

terlempar ke belakang. 

Brruukkk!


Laksana nangka busuk tubuhnya ambruk di 

atas tanah. Bukan karena jatuh itu yang menyebabkan 

Raja Naga sulit bernapas, tetapi gelombang angin me-

rah yang melingkupi tubuhnya mendadak telah beru-

bah menjadi gumpalan asap. Membuatnya terbatuk-

batuk dengan dada terasa sakit.

Tidak hanya sampai di sana saja apa yang di-

alami olehnya, karena tiba-tiba saja tubuhnya menge-

jut-ngejut keras. Menyusul laksana sehelai daun yang 

tersedot pusaran angin, tubuhnya meluncur deras ke 

depan, ke arah Dewi Perenggut Sukma yang sedang 

menunggunya dengan kedua telapak tangan membu-

ka.

"Gila! Ini tidak main-main lagi!!'' geram Raja 

Naga keras dengan rahang merapat.

Dengan menahan sedotan tenaga tak nampak 

itu, segera ditepukkan tangan kanannya pada lengan 

kirinya.

Plak! 

Wuuuttt!!

Angin berputar tiba-tiba menderu, melingkar 

dan membuat tanah terangkat dalam pusarannya. 

Blaaarrr!!

Tenaga tak nampak yang membuatnya tersedot 

tadi sempat tertahan hingga tubuhnya terlempar ke 

belakang akibat angin berputar yang dilakukannya ta-

di. Namun di kejap lain tubuhnya kembali tersedot ke 

depan!

Begitu tubuhnya tersedot lagi ke depan, terlihat 

sorot matanya bertambah angker, mampu membuat 

siapa pun yang melihatnya akan terpaku. Sementara 

itu sisik-sisik coklat yang menghiasi kedua tangannya 

sebatas siku, semakin jelas terlihat. Pertanda anak 

muda dari Lembah Naga itu sudah berada di ambang 

kemarahannya.


Dewi Perenggut Sukma yang sedang mengerah-

kan ilmu pamungkasnya, sesaat tersentak. Terbayang 

kengerian di wajahnya tatkala melihat sorot mata pe-

muda berkuncir kuda itu. Namun di lain kejap dia tak 

pedulikan hal itu.

Seluruh kulit di tubuhnya yang sudah berubah 

warna menjadi semerah darah, semakin bertambah 

pekat hingga yang nampak tak ubahnya seperti gum-

palan darah belaka berwujud manusia. Samar-samar 

asap merah keluar dari ubun-ubun kepalanya yang 

membubung tinggi. 

Kedua tangannya yang terbuka, siap menyam-

but dada Raja Naga yang akan segera disedotnya selu-

ruh tenaga dalam yang dimiliki anak muda itu dengan 

ilmu 'Perenggut Sukma'nya.

***

ENAM


SEBELUM kita ikuti apa yang terjadi dengan 

Raja Naga, sebaiknya kita lihat dulu apa yang dialami 

oleh Ratih. Sepeninggal kakak seperguruannya yang 

mencari makanan. Ratih menyandarkan tubuhnya di 

bawah sebatang pohon.

Ketika diingatnya apa yang dilakukannya sebe-

lumnya bersama Lesmana, wajah dara jelita berpa-

kaian ringkas warna kuning itu merona. Dicobanya 

untuk mengingat siapa yang lebih dulu memulai saling 

dekap dan cium.

"Ih...!" desisnya dengan rona semakin kentara 

di wajahnya. "Memalukan saja.... Lebih baik aku me-

mikirkan yang lain daripada memikirkan kejadian 

itu...."


Lalu diingatnya peristiwa di mana dia menya-

lahkan Lesmana yang gagal menyelamatkan gurunya, 

si Setan Bayangan dari tangan Ketua Perguruan Laba-

laba Perak. Diingatnya pula bagaimana akhirnya dia 

mengerti tentang kejadian yang sebenarnya dan siapa 

gurunya.

Karena asyik mengingat hal itu. Ratih tak me-

nyadari kalau sepasang mata indah namun bersinar 

jahat memperhatikannya dari balik ranggasan semak.

"Kabar sudah kudengar kalau gadis itu dan 

pemuda yang meninggalkannya tadi adalah murid Se-

tan Bayangan yang telah mampus. Berarti, perjalanan-

ku untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru tak la-

ma lagi akan berakhir. Pada murid-muridnyalah Setan 

Bayangan mewariskan Bunga Kemuning Biru..." desis 

orang di balik semak itu sambil terus memperhatikan 

Ratih. "Ketimbang didahului orang, lebih baik aku 

mendahului.... "

Lalu... wuuuttt!

Sosoknya telah melompati ranggasan semak se-

tinggi dada yang berada di hadapannya. Hebatnya se-

mak itu sama sekali tak bergerak sedikit pun. Bahkan 

tatkala sosok tubuh itu hinggap, tak terdengar suara 

sama sekali.

Namun kehadirannya sekarang telah diketahui 

Ratih karena orang itu berdiri tepat di hadapannya. 

Serta-merta gadis manis berambut dikuncir dua itu 

berdiri. Matanya memperhatikan sosok di hadapannya 

dengan seksama.

"Gadis berkuncir dua!" seru orang itu yang ter-

nyata seorang perempuan yang diperkirakan berusia 

sekitar tiga puluh tahun. "Waktuku tidak banyak! Dan 

aku juga tidak suka berbasa-basi! Serahkan Bunga 

Kemuning Biru kepadaku maka kau akan tetap dapat 

melihat matahari esok pagi!"


Ucapan kasar itu membuat Ratih bersiaga. Biar 

bagaimanapun juga dia telah berpengalaman mengha-

dapi kejadian demi kejadian yang tidak mengenakan.

"Perempuan tak tahu malu berpakaian sea-

danya! Siapa kau? Tahu-tahu muncul dan berkata 

yang tidak-tidak!"

Perempuan berambut hitam legam itu mengge-

ram.

Sorot matanya tajam. Dia mengenakan pakaian 

semacam kutang belakang berwarna merah. Memper-

lihatkan bahunya, sebagian besar buah dadanya ba-

gian atas, dan perutnya yang lebar terbuka. Sementara 

bagian bawah tubuhnya ditutupi dengan kain hitam 

yang cukup lebar.

"Kau boleh memanggilku Kembang Darah!" se-

runya dingin.

"Huh! Kembang Darah! Julukanmu boleh juga! 

Dan tindakanmu tadi sungguh tidak enak dilihat dan 

didengar! Aku tak mau buka urusan! Lebih baik me-

nyingkir dari sini!"

Menyipit mata bengis itu mendengar bentakan 

Ratih.

"Setan muda! Kau belum mengenal siapa aku!" 

Belum habis bentakannya, tangan kanannya menjen-

tik. 

Trik!

Satu larik angin menderu cepat ke arah Ratih. 

Yang diserang segera memiringkan kepalanya.

Plasss!!

Begitu dia menoleh, dilihatnya batang pohon di 

mana tadi dia bersandar bolong tepat sejajar dengan 

wajahnya! Seketika Ratih menjadi geram.

"Rupanya kau termasuk orang yang suka ber-

buat hina! Baik! Aku ingin tahu kau bisa berbuat 

apa!!"



Dengan menekan kemarahannya, gadis ber-

kuncir dua itu menerjang ke depan. Perempuan berpa-

kaian seperti kutang itu menggeram dingin. Dimiring-

kan tubuhnya untuk menghindari jotosan Ratih. Lalu 

dengan gerakan cepat kaki kanannya sudah mencuat 

siap menghantam perut Ratih.

Plak!

Ratih masih dapat menahannya dengan telapak 

tangan kanannya, lalu melenting ke depan. Begitu ke-

dua kakinya memijak tanah, tubuhnya sudah melent-

ing kembali. Kedua pedang yang bersilangan di pung-

gungnya telah berada dalam genggamannya.

Segera digerakkan pedangnya dengan kecepa-

tan tinggi. 

Kembang Darah menggeram.

"Huh! Gadis ini tak perlu kubunuh! Tugasku 

hanya untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru dari 

tangan murid-murid mendiang Setan Bayangan! Tapi... 

ya! Lebih baik kubawa dia ke Tanah Kematian untuk 

kupersembahkan pada Datuk Meong Moneng!"

Berpikir demikian, Kembang Darah mundur ti-

ga tindak. Menyusul jari jemarinya dijentikkan.

Trikkk!

Sraaatt!

Beberapa gelombang angin laksana jarum me-

lesat ke arah Ratih yang sesaat tercekat, lalu dengan 

cekatan digerakkan kedua pedangnya.

Trang! Trang!

Gelombang-gelombang angin itu berpentalan. 

Namun yang mengejutkan, karena gelombang-

gelombang angin laksana jarum itu memutar arah dan 

kembali lagi ke arahnya! 

"Heiiii!!"

"Kau tak memiliki kepandaian apa-apa. Gadis 

manis!" desis Kembang Darah sambil memperhatikan.


Buah dadanya yang terbungkus pakaian seperti ku-

tang berwarna merah bergerak-gerak.

"Terkutuk!!" bentak Ratih seraya menghindar. 

Nafasnya mulai sedikit terengah. Keringat membasahi 

sekujur tubuhnya. Sepasang dadanya yang mengkal 

naik turun. Dia terus menghindari serangan gelom-

bang-gelombang angin seperti jarum itu.

Dua kejapan mata kemudian, terlihat sepasang 

pedang Ratih memancarkan cahaya bening yang se-

makin lama bertambah kentara.

Kening Kembang Darah berkerut.

"Hemmm... nampaknya dia telah mengeluarkan 

ilmu pedangnya. Setan! Buat apa aku berlama-lama!"

Ratih memang telah mengeluarkan ilmu ‘Pe-

dang Bayangan’ yang setiap kali digerakkan, setiap kali 

pula menggebah gelombang angin dingin disusul den-

gan cahaya bening yang menyilaukan mata. Dengan 

ilmu itu pula dia dapat mematahkan gelombang-

gelombang angin laksana jarum.

Lalu diiringi teriakan mengguntur dia mener-

jang ke arah Kembang Darah yang segera menghindar. 

Sempat dirasakannya betapa tubuhnya seperti dis-

erang oleh hawa dingin yang sangat kuat.

"Membosankan!" makinya keras seraya menje-

jakkan kaki kanannya. Serta-merta tubuhnya melent-

ing ke depan. Kedua tangannya dirangkapkan menjadi 

satu. Ketika cahaya bening yang menyilaukan mata itu 

mengarah padanya, dibuka kedua tangannya dan di-

putar ke atas.

Wuuusss!

Cahaya bening yang menyilaukan mata itu ter-

tahan, bahkan seperti tertangkap lenyap. Ratih tersen-

tak kaget. Namun dia tak mengurungkan niatnya un-

tuk menyerang.

Kembang Darah meliukkan tubuhnya sebentar


dan....

Des! Des!

Tangan kanannya dengan cepat bergerak me-

motong, menghantam kedua pergelangan tangan Ratih 

yang seketika membuat sepasang pedangnya terlepas. 

Kejap itu pula telunjuk Kembang Darah bergerak.

Tuk! Tuk!

Dua totokannya bersarang di tubuh Ratih, yang 

mengejut sebentar untuk kemudian menggelosoh tan-

pa tenaga di atas tanah.

Kembang Darah menyeringai.

"Kau terlalu berani bersikap lancang terha-

dapku!" desisnya. Tanpa mempedulikan bentakan-

bentakan Ratih, diambilnya kedua pedang gadis itu. 

Dengan salah satu pedang itu, digoreskan tulisan yang 

diyakininya akan dibaca oleh pemuda yang bersama 

gadis ini sebelumnya.

Lalu dengan membopong tubuh Ratih, diba-

wanya si gadis meninggalkan tempat itu yang berte-

riak-teriak keras tetapi tak mampu berbuat apa-apa.

Di sebuah hutan kecil yang sepi, Kembang Da-

rah menghentikan langkahnya. Diperiksanya tubuh 

Ratih dan ditemukannya apa yang dicarinya. Dipan-

danginya bunga kemuning berwarna biru itu yang se-

pertinya hanya bunga biasa yang baru dipetik. Seperti 

tak ada keistimewaan apa-apa.

"Perempuan iblis! Kembalikan benda itu pada-

ku!"

Kembang Darah menyeringai. 

"Inilah yang diinginkan oleh Datuk Meong Mo-

neng, benda milik kakak seperguruannya yang telah 

mampus dan dia akan...," tiba-tiba kata-kata Kembang 

Darah terputus. Dia tak berkedip menatap Bunga Ke-

muning Biru. Lama dia terdiam sebelum terlihat kepa-

lanya mengangguk-angguk. "Mengapa itu tidak kulakukan?" desisnya.

Kejap itu pula dia berlalu, sementara Ratih ber-

teriak-teriak keras. Cukup lama Kembang Darah me-

ninggalkan Ratih sebelum akhirnya muncul kembali. 

Diselipkannya Bunga Kemuning Biru ke balik pakaian 

Ratih.

Lalu dengan menyeringai lebar dibopongnya tu-

buh Ratih kembali.

Menjelang tengah malam. Kembang Darah yang 

tak berhenti lagi sekali pun, tiba di sebuah tempat 

yang sangat sepi. Kegulitaan menyelimuti tempat itu. 

Sesaat dipandangnya tempat yang sepi itu.

Sementara Ratih mencium bau yang sangat bu-

suk yang membuat dadanya terasa sesak 

"Kau belum terbiasa dengan Tanah Kematian, 

tetapi tak lama lagi kau akan terbiasa karena kau akan 

menjadi penghuni tetap tempat ini."

Kembang Darah berkelebat kembali. Bau busuk 

itu kian menyengat. Di ujung tempat yang bernama 

Tanah Kematian, terdapat sebuah bukit yang di bagian 

bawah-nya terdapat celah menyerupai gua. Ke tempat 

yang pertama gelap itu kemudian semakin ke dalam 

bertambah terang, Kembang Darah masuk dengan 

membawa tubuh. Ratih. 

Suara keras yang menggema tiba-tiba terden-

gar, "Kau telah kembali, Kembang Darah! Tepat sepu-

luh hari dari yang kau janjikan! Apakah kau sudah 

mendapatkan apa yang kuinginkan?!"

Kembang Darah berlutut. Ratih yang tak bisa 

bergerak diletakkan di atas tanah dalam gua itu.

"Perintah telah kujalankan dengan baik...," de-

sis Kembang Darah seraya menundukkan kepalanya.

"Bagus! Berarti aku bisa membalas kematian 

kakak seperguruanku yang pernah dikalahkan oleh 

Malaikat Biru!"


Belum habis kata-kata yang menggema itu ter-

dengar, mendadak saja angin berkesiur kencang dari 

sebelah kanan. Ratih yang tergeletak di atas tanah 

memekik pelan karena angin itu menampar wajahnya.

Ketika dipalingkan lagi kepalanya. dilihatnya 

satu sosok tubuh tinggi besar telah berdiri di sana. Un-

tuk kedua kalinya Ratih memekik, tetapi kali ini kare-

na terkejut melihat paras orang itu?

Orang yang baru muncul mengenakan pakaian 

hitam dengan jubah hitam yang sangat pekat. Ram-

butnya jarang dengan dua buah anting besar di telin-

ganya. Di kedua pergelangan tangannya yang tak ter-

tutup, terlihat bulu-bulu halus yang tebal. Paras orang 

itulah yang mengerikan, karena wajahnya tak ubahnya 

seekor kucing. Dipenuhi bulu-bulu halus dengan ku-

mis jarang yang melintang kaku dan sorot mata meme-

rah.

"Apakah gadis ini yang kau ceritakan, Kembang 

Darah?" suara orang itu keras, dingin dan tajam. 

"Tidak salah, Datuk...." 

"Bagus! Mana benda yang kuinginkan?!" 

Dengan kasar Kembang Darah menyingkap pa-

kaian Ratih hingga bagian bawah buah dada mengkal 

yang dimiliki si gadis terlihat, hanya ditutupi pakaian 

dalam yang tipis. Diambilnya Bunga Kemuning Biru 

yang dengan menundukkan kepalanya diserahkan pa-

da orang tinggi besar berjuluk Datuk Meong Moneng.

Terbahak-bahak orang berjubah hitam itu 

sambil memandangi Bunga Kemuning Biru. 

"Luar biasa! Inilah yang kucari! Hahaha... kau 

memang hebat, Kembang Darah! Hebat sekali!" Lalu 

diselipkan bunga itu ke balik pakaiannya. "Dan aku 

yakin mengapa kau membawa gadis ini kepadaku? 

Tentunya untuk kau persembahkan kepadaku, bukan?"


"Begitulah adanya. Datuk...."

"Dan... aku ingin kau yang melayaniku seka-

rang...."

Mendengar kata-kata itu, perlahan-lahan Kem-

bang Darah mengangkat kepalanya. Satu senyuman 

merangsang terpampang di bibirnya.

"Aku telah siap, Datuk...," desisnya dan dengan 

gerakan lembut digerakkan payudaranya yang montok.

Di pihak lain, Ratih tersentak ketika mengeta-

hui apa yang hendak dilakukan oleh kedua orang itu.

"Terkutuk! Terkutuk kalian!"

Kembang Darah mengikik.

"Kau akan merasakannya juga, Anak gadis. Se-

karang... kau lihatlah bagaimana caranya melayani 

Datuk Meong Moneng."

Lalu dengan gerakan lembut dan penuh rang-

sangan, perempuan berkutang merah itu merebahkan 

tubuhnya, terlentang dengan kedua tangan dan kaki 

membuka lebar-lebar.

Dalam posisi rebah seperti itu, sepasang bukit 

kembar Kembang Darah semakin penuh. Bahkan seo-

lah terlempar keluar karena pakaiannya yang berben-

tuk kutang itu tak mampu menahan penuhnya bola-

bola asmara yang dimilikinya. Seiring nafasnya yang 

teratur, buah dadanya bergerak turun naik. Sementara 

itu kain yang dikenakannya telah tersingkap dan 

memperlihatkan gumpalan paha lembut, mulus dan 

merangsang.

Perlahan-lahan Kembang Darah memejamkan 

matanya, seolah pasrah menerima apa yang akan ter-

jadi. Di pihak lain, Datuk Meong Moneng tertawa ke-

ras. Diperhatikannya perempuan yang berada di ba-

wah kekuasaannya itu. Penuh gairah ditubruknya tu-

buh montok yang pasrah itu. Mulutnya segera menci-

umi sekujur wajah Kembang Darah. Lalu hinggap dan

melumat bibir memerah itu sepuas-puasnya. Sementa-

ra tangan kanan dan kirinya bekerja meraba, menekan 

dan meremas apa saja yang ada di tubuh perempuan 

itu.

Kembang Darah sendiri segera membalasnya 

dengan penuh gairah. Mendapatkan balasan yang 

memang diinginkannya gairah Datuk Meong Moneng 

semakin menggebu-gebu. Tangannya meremas-remas 

sepasang payudara Kembang Darah yang telah terbuka 

secara bergantian. Lalu dengan gerakan cepat, tangan 

kanannya turun ke bawah.

Menyingkap kain yang menutupi bagian bawah 

tubuh Kembang Darah. Diremas-remasnya gumpalan 

paha itu bergantian sebelum tangannya menyusup 

jauh lebih ke dalam. Tiga kejapan mata berikutnya, 

kain yang menutupi bagian bawah tubuh Kembang 

Darah telah terlempar. 

Dengan kasar dan tak sabar. Datuk Meong Mo-

neng menarik sisa kain yang masih menutupi bagian 

tubuh Kembang Darah yang sekarang dalam keadaan 

polos. Setelah itu dilucutinya pakaiannya sendiri.

"Terkutuk! Terkutuk kalian!" maki Ratih keras 

dengan suara menggigil.

Tetapi kedua orang itu tak mempedulikannya. 

Mereka terus melakukan kegiatan yang hendak mereka 

capai. Ratih memalingkan kepalanya ke arah lain. Di-

pejamkan matanya. Ditulikannya kedua telinganya. 

Namun tetap saja dia mau tak mau mendengar desa-

han-desahan birahi dari keduanya karena mereka be-

gitu dekat. 

Kembang Darah menggerakkan setiap tubuh-

nya untuk menyenangkan Datuk Meong Moneng. 

Tatkala Datuk Meong Moneng memasuki tubuhnya, 

Kembang Darah mendesis tinggi dengan memejamkan 

matanya, terus menggerak-gerakkan pinggulnya dengan gerakan yang semakin lama bertambah cepat 

hingga membuat Datuk Meong Moneng terbeliak-beliak 

dengan napas bertambah memburu.

Dan terdengar jeritannya lirih seraya mendekap 

tubuh lelaki berwajah kucing itu dengan kuat ketika 

Datuk Meong Moneng menumpahkan seluruh kejanta-

nannya. 

Ratih semakin memalingkan kepalanya. 

"Hahaha... kau memang hebat, Kembang Da-

rah! Hebat sekali!" seru Datuk Meong Moneng seraya 

berdiri dan mengenakan pakaiannya kembali. "Aku 

memiliki satu perintah lagi untukmu!"

Kembang Darah yang masih terlentang di atas 

tanah dan tak berusaha menutupi bagian-bagian tu-

buhnya yang polos, menyahut dengan mata setengah 

terpejam, "Katakan, Datuk... aku akan segera melak-

sanakannya...."

"Bunuh Raja Naga!"

Hanya itu yang terdengar, karena sosok Datuk 

Meong Moneng telah lenyap entah ke mana.

Kembang Darah hanya menganggukkan kepa-

lanya saja. Masih diresapi apa yang barusan dirasa-

kan. Setelah beberapa kejap, barulah dia bangkit dan, 

mengenakan pakaiannya kembali.

Dipaksanya Ratih untuk menatapnya.

"Kau sudah melihat semua kenikmatan yang 

kami lakukan, bukan? Anak gadis... tak lama lagi kau 

pun akan merasakannya..." 

"Setan perempuan! Terkutuk! Kau telah mela-

kukan perbuatan terkutuk!"

Kembang Darah menyeringai.

"Inilah kenikmatan yang banyak dikejar orang! 

Sayang, aku tak bisa melayani cacianmu sekarang! 

Aku harus mencari Raja Naga untuk kubunuh!"

"Perempuan iblis! Kaulah yang akan mampus di


tangan Raja Naga!"

Kembang Darah menggeram, tetapi di saat lain 

dia sudah terbahak-bahak.

"Kita lihat nanti!"

Kejap berikutnya dia sudah berlalu meninggal-

kan gua itu. Tinggallah Ratih yang masih dalam kea-

daan terlentang tanpa dapat menggerakkan tubuhnya 

kecuali lehernya belaka. Sementara sepasang pedang-

nya tergeletak di sisi kanannya.

Dan gadis itu terisak menyadari ketidakber-

dayaannya sekarang. Tanpa disadarinya dia berucap 

serak, "Kakang Lesmana...."

***

TUJUH


KEMBALI pada Raja Naga, pemuda berompi 

ungu itu saat ini sedang meluncur deras ke arah Dewi 

Perenggut Sukma. Tinggal beberapa langkah saja tu-

buhnya akan menempel pada kedua tangan perem-

puan berpunggung mulus yang membuka itu.

Namun mendadak saja dia mendehem keras. 

Kedua tangannya sebatas siku di mana sisik-sisik cok-

lat yang menghiasinya semakin bertambah kentara, di-

gerakkan secara tiba-tiba ke atas. Menyusul kaki ka-

nannya dijejakkan di atas tanah.

Tiga letupan dahsyat saat itu pula menggebah 

menjadi satu, Dewi Perenggut Sukma terpental ke be-

lakang tatkala satu dorongan keras menerjang ke 

arahnya. Belum lagi dapat dikuasai keseimbangannya, 

tanah bergelombang sudah meluncur deras ke arah-

nya.

Perempuan yang sama sekali tak menyangka


tindakan yang akan dilakukan oleh Raja Naga, meme-

kik tertahan. Cepat dia memutar tubuhnya hingga me-

luncur ke atas dan hinggap pada tempat di sebelah 

kanan.

Blaaamm! Blaaamm!!

Tanah yang bergelombang tadi menghajar tiga 

buah pohon sekaligus disertai letupan yang dahsyat.

Tempat itu seketika bergetar, tanah berhambu-

ran di sana-sini menghalangi pandangan. Di tempat-

nya, Dewi Perenggut Sukma terdiam dengan napas 

memburu.

Tatkala semuanya sirap, dilihatnya sosok Raja 

Naga tegak tanpa kurang suatu apa.

"Gila!" serunya keras dengan kedua mata mem-

belalak.

"Aku tak suka terlibat silang urusan dengan 

siapa pun! Maafkan tindakanku barusan!" kata Raja 

Naga seraya merangkapkan kedua tangannya. Sisik-

sisik coklat pada kedua tangannya masih jelas keliha-

tan, sementara matanya bertambah angker.

"Mengapa dia mendadak menjadi begitu hebat? 

Padahal tadi dia kelihatan tak berdaya menghadapi-

ku?" desis Dewi Perenggut Sukma tidak mengerti. Te-

tapi di lain saat dia menggeram sengit, "Terkutuk! Ten-

tunya tadi dia berlaku bodoh dengan cara mengalah! 

Keparat hina! Dia bukan hanya telah membuka kedua 

mataku, tetapi menginjak-injak harga diriku!"

Di kejap lain perempuan berpakaian merah ter-

buka di punggung ini sudah melesat ke depan, mengu-

langi lagi serangannya dengan melepaskan ilmu 

'Perenggut Sukma'.

Raja Naga menjerengkan matanya.

"Perempuan ini terlalu keras kepala! Aku belum 

tahu apa yang sebenarnya dikehendakinya dari Les-

mana. Tetapi paling tidak, sesuai janjiku dengan Musang Berjanggut dan Langlang Benua, aku harus me-

nyelamatkan Lesmana dan... oh! Di mana Ratih?!"

Pemuda dari Lembah Naga itu tidak sempat 

meneruskan jalan pikirannya karena serangan berba-

haya Dewi Perenggut Sukma sudah mendekat.

Tanpa bergeser dari tempatnya, Raja Naga men-

jentikkan telunjuk dan ibu jarinya.

Triiikk!

Wrrrrr! Wuussss!! 

Pyaaar....!

Gelombang angin merah yang telah berubah 

menjadi gumpalan asap merah yang menyesakkan da-

da itu pecah berantakan ke sana kemari, yang untuk 

sesaat menghalangi pandangan. Pecahannya meng-

hantam beberapa ranggasan semak yang seketika 

menghangus dan luruh tatkala terhembus angin.

Bersamaan gagalnya serangan tadi, Dewi Pe-

renggut Sukma memekik tertahan seraya mundur.

"Gila! Gila! Apa yang terjadi?!" serunya dengan 

mata membelalak dan mulut terbuka lebar. Dia benar-

benar tidak mengerti, karena ilmu 'Perenggut Sukma' 

yang sangat dibanggakannya sekarang tak berarti ba-

nyak untuk Raja Naga. "Terkutuk! Dia benar-benar 

menghinaku! Dia tadi sengaja mengalah! Terkutuk! 

Kau akan...."

Terputus makian Dewi Perenggut Sukma ketika 

tidak melihat Raja Naga di sana. Bahkan tak dilihatnya 

Lesmana yang jatuh pingsan.

Menggeram setinggi langit perempuan setengah 

baya itu dengan kedua tangan mengepal keras.

"Demi langit dan bumi! Aku tak akan mampus 

sebelum membunuhmu Raja Naga!!"

Lama Dewi Perenggut Sukma berteriak keras, 

menumpahkan segala amarah yang bergejolak di da-

danya sebelum meninggalkan tempat itu.


* * *

"Jadi kau menyangka perempuan berpakaian 

merah itu yang telah menculik adik seperguruanmu, 

Lesmana?" tanya Raja Naga pada Lesmana yang sejak 

tadi sudah siuman. Saat ini malam telah datang. Ke-

dua anak muda itu duduk di atas tanah berumput. Di 

hadapan mereka sebuah sungai mengalir deras dan 

memperdengarkan suara bergemuruh.

Pemuda berpakaian warna merah dengan garis 

hitam yang bersilangan di depan dada mengangguk. 

Wajah tampannya kelihatan lesu. Sorot matanya tak 

bergairah. Dia baru saja menceritakan apa yang se-

benarnya terjadi. Dia juga baru tahu kalau Raja Naga 

yang telah menolong dan mengalahkan perempuan 

berpakaian merah yang terbuka di punggung itu.

Raja Naga memperhatikan Lesmana dalam-

dalam.

"Aku merasa pasti bukan dia yang melakukan-

nya...."

Kepala Lesmana menegak. Matanya menatap 

tajam, tanda tak suka mendengar ucapan Raja Naga. 

"Mengapa kau menduga demikian, Boma?"

"Karena... dia berjuluk Dewi Perenggut Sukma, 

sementara orang yang menculik adik seperguruanmu 

mengaku berjuluk Kembang Darah."

"Boma! Bisa saja dia mengubah julukannya un-

tuk mengelabui kita! Katamu tadi, kau baru mengenal 

perempuan itu! Aku pun baru mengenalnya! Hingga 

tak mustahil kalau dia sengaja mengelabui kita dengan 

mengubah julukannya!"

Boma Paksi menggeleng.

"Hal itu mungkin saja dilakukannya dengan 

maksud tertentu. Tetapi kurasa tidak."

"Boma... kau melarangku untuk segera mencari 

perempuan celaka itu, sekarang kau menduga kalau 

perempuan itu bukanlah orang yang bertanggung ja-

wab akan hilangnya Ratih!" seru Lesmana sedikit kes-

al. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan?!"

Raja Naga yang tadi memang melarang Lesma-

na untuk mencari Dewi Perenggut Sukma setelah pe-

muda itu siuman, tersenyum.

"Selain memikirkan Ratih, aku juga memikir-

kan, apa yang sebenarnya dikehendaki perempuan 

itu."

"Dia menginginkan Bunga Kemuning Biru! Dan 

gagal mendapatkannya!"

"Hemmm... sudah kuduga kalau perempuan itu 

menginginkan Bunga Kemuning Biru," kata Raja Naga 

dalam hati. "Dan dia gagal mendapatkannya. Berar-

ti...."

Memutus jalan pikirannya sendiri, pemuda 

tampan bersorot mata angker itu berkata, "Lesma-

na....apakah Bunga Kemuning Biru berada pada adik 

seperguruanmu?"

Lesmana yang masih kesal akan larangan Raja 

Naga menganggukkan kepalanya. Dia tak menghirau-

kan apakah Bunga Kemuning Biru diambil orang atau 

tidak. Yang diinginkannya hanyalah mendapatkan Ra-

tih kembali bersama dengannya.

Raja Naga berpikir sebentar sebelum tersenyum 

pada Lesmana.

"Mungkin kau masih ingat dengan Musang Ber-

janggut dan Langlang Benua. Belum lama ini aku telah 

berjumpa dengan kedua tokoh kenamaan itu di Bukit 

Tidar. Dari mulut mereka, aku mengetahui kalau ba-

nyak orang yang menginginkan kematian Malaikat Bi-

ru."

"Aku tak pernah mengenal siapa Malaikat Biru!"


sahut Lesmana ketus.

"Mungkin kau memang tak mengenalnya." 

"Aku juga baru mendengar julukan itu!" 

"Ya, mungkin saja, karena gurumu mendiang 

Setan Bayangan tidak pernah menceritakannya kepa-

damu."

Kali ini Lesmana terdiam. Tak ada tanda-tanda 

dia akan menyahuti kata-kata Raja Naga. Kendati de-

mikian, parasnya yang masih jengkel belum berangsur 

reda.

Raja Naga tersenyum lagi dan berkata dalam 

hati, "Dapat ku maklumi kalau dia begitu mence-

maskan Ratih. Tetapi sebelum mengetahui lebih jelas 

siapa Kembang Darah, itu sama saja dengan mencari 

jarum di tumpukan jerami."

Perlahan-lahan Raja Naga berdiri. Matanya 

yang bersorot angker menatap aliran sungai yang saat

ini jelas terlihat karena rembulan bersinar terang.

"Mendiang gurumu adalah murid dari seorang 

tokoh sesat berjuluk Durga Marakayangan, yang me-

rupakan musuh bebuyutan dari Malaikat Biru. Dialah 

pemilik Bunga Kemuning Biru yang kemudian dis-

erahkan pada mendiang gurumu yang kemudian ditu-

runkan kepadamu dan Ratih." Raja Naga berpaling, di-

lihatnya Lesmana mulai mendengarkannya. "Dan seka-

rang... banyak orang-orang yang belum diketahui sia-

pa, berniat membunuh Malaikat Biru."

"Itu bukan urusanku!"

"Ya! Tetapi... mereka menginginkan Bunga Ke-

muning Biru yang merupakan satu-satunya benda 

yang dapat membunuh Malaikat Biru! Lesmana! Apa-

kah kau tidak berpikir, kalau Kembang Darah adalah 

salah seorang yang ingin membunuh Malaikat Biru? 

Juga.... Dewi Perenggut Sukma!"

Kepala Lesmana menegak. Matanya mengerjap


beberapa kali.

"Kalau begitu... kalau begitu.... Ratih...."

"Ya! Nasib Ratih berada di ujung tanduk seka-

rang. Bila Kembang Darah sudah mendapatkan Bunga 

Kemuning Biru, mungkin gadis itu akan dibunuhnya!"

"Oh!" Lesmana berdiri dengan wajah kaku. 

"Boma Paksi! Aku harus mencari Ratih!"

"Tak lama lagi kita akan melakukannya!" 

"Astaga! Kalau begitu kau membiarkan Kem-

bang Darah membunuhnya!" 

Raja Naga tersenyum.

"Tenanglah, Lesmana. Dengan ketenangan kau 

dapat menguasai segalanya," katanya. "Aku merasa 

pasti kalau Kembang Darah belum membunuhnya."

"Gila! Bagaimana kau punya pikiran segila 

itu?!"

Lagi-lagi Raja Naga tersenyum. Kini dia dapat 

menduga kalau ada sesuatu yang terjadi antara Les-

mana dan Ratih. Dan sesungguhnya Raja Naga tidak 

begitu mempercayai dugaannya. Kalaupun kemudian 

dikatakannya, semata agar Lesmana tidak panik.

"Kembang Darah menulis, kau ditunggu di Ta-

nah Kematian. Untuk apa dia menunggumu di sana? 

Itu artinya, dia-tidak akan membunuh bila dia me-

mang berniat membunuh Ratih sampai kau datang."

"Berarti, kita memang harus segera ke sana!" 

seru Lesmana tidak sabar.

"Ya! Aku pun berniat untuk ke sana!"

"Bagus!"

"Tapi..."

Kata-kata Raja Naga terputus karena Lesmana 

sudah berlari meninggalkannya.

"Hemm... kemarahannya telah membutakan si-

fat yang dimilikinya. Pemuda itu sebenarnya memiliki

ketabahan dan kesopanan tinggi. Dia selalu dapat


mempergunakan jalan pikirannya guna mengatasi hal-

hal yang membingungkan."

Raja Naga tetap berdiri di tempatnya, menatap 

sosok Lesmana yang semakin lenyap ditelan kegela-

pan.

Tahu-tahu dia mendesis pelan, "Orang itu ma-

sih berada di sini."

Apa yang didesiskannya itu memang benar. Se-

jak tadi Raja Naga mengetahui kalau ada seseorang 

yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Kare-

na kehadiran orang itulah yang menyebabkan Raja 

Naga bertindak seperti ragu-ragu menghadapi Lesma-

na. Bahkan dia sengaja memancing kemarahan Les-

mana, semata untuk menegaskan keyakinannya akan 

orang yang bersembunyi di balik pohon besar. Ma-

kanya, dia tidak bermaksud untuk segera mengikuti 

Lesmana sebelum mengetahui siapa orang yang ber-

sembunyi itu.

Sementara itu, orang yang bersembunyi meng-

geram dalam hati, "Mereka menyebut-nyebut Kembang 

Darah. Bukankah perempuan iblis itu yang telah 

membunuh guruku? Huh! Rasanya pengejaranku su-

dah akan berakhir! Tanah Kematian! Mereka menye-

but-nyebut Tanah Kematian! Bisa jadi kalau perem-

puan iblis itu memang tinggal di sana! Bagus! Aku 

akan mencari Tanah Kematian!!"

Habis membatin demikian, orang yang berada 

di balik pohon besar itu mengintip lagi ke depan. Dili-

hatnya sosok pemuda itu masih berada di sana.

Di lain saat, orang itu segera bergerak tanpa 

mengeluarkan suara sedikit pun, bertanda dia memili-

ki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. Setelah di-

rasanya agak menjauh dari tempat sebelumnya, diem-

pos tubuhnya dengan cepat. Namun baru beberapa 

langkah, mendadak saja gerakannya terhenti.


Kepalanya menegak. Sepasang matanya yang 

bulat indah memandang tak berkedip ke depan!

Raja Naga tersenyum.

"Ternyata seorang gadis...."

***

DELAPAN


ORANG yang bersembunyi dan siap meninggal-

kan tempat itu ternyata seorang gadis berwajah bulat 

telur dan berhidung bangir. Mata indahnya menghu-

jam tepat ke mata orang yang menghadangnya. Namun 

saat itu pula dialihkan pandangannya ke tempat lain.

"Astaga! Di tempat tadi aku sama sekali tidak 

melihat tatapan matanya karena agak gelap. Tetapi di 

sini, jelas terlihat kalau dia memiliki tatapan yang 

mengerikan," desisnya dalam hati dengan dada sedikit 

berdebar. "Tetapi dia tersenyum. Dan nampaknya dia 

bukan termasuk pemuda berotak jahat."

Di saat lain, gadis yang mengenakan pakaian 

putih bersih itu berkata, "Orang muda... jangan salah 

tanggap akan sikapku yang mencuri dengar percaka-

panmu tadi. Aku tak bermaksud apa-apa." 

"Bila kau tidak bermaksud apa-apa, tentunya 

kau akan muncul di hadapan kami tadi," sahut Raja 

Naga sambil memperhatikan si gadis. "Parasnya... 

mengingatkan aku pada Diah Harum atau Dewi Bunga 

Mawar." (Untuk mengetahui siapa Diah Harum alias 

Dewi Bunga Mawar, silakan baca episode : "Kutukan 

Manusia Sekarat" dan "Misteri Menara Berkabut").

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Rambut 

indahnya bergerak sedikit.

"Maafkan tindakanku..


"Aku merasa pasti kalau kau bukanlah orang 

yang mempunyai kebiasaan mencuri dengar percaka-

pan orang lain. Dan melihat kau begitu terburu-buru 

sekarang, adakah sesuatu yang sebenarnya dapat kau 

petik dari percakapan kami tadi?"

"Sikap pemuda ini begitu sopan. Wajahnya pun 

tampan meski sorot matanya angker mengerikan. Dia 

juga... astaga! Kedua tangannya mulai dari jari jemari 

hingga sebatas siku dipenuhi sisik coklat! Ah, siapakah 

pemuda berompi ungu itu?" desis si gadis dalam hati.

Untuk beberapa saat tak ada yang buka suara. 

Masing-masing orang saling pandang. Entah mengapa 

sorot mata Raja Naga yang biasanya tajam dan angker 

kini kelihatan resah.

"Kehadirannya mengingatkan aku pada Diah 

Harum... Ah, sayang gadis yang diam-diam kucintai itu 

telah tewas...," desisnya dalam hati. Tanpa sadar Raja 

Naga sesaat mengingat kembali kematian Diah Harum 

yang kemudian berganti julukan menjadi Ratu Tanah 

Terbuang (Baca : "Ratu Sejuta Setan").

Gadis di hadapannya berkata, "Semula aku tak 

berniat untuk mencuri dengar percakapanmu, tetapi 

lama kelamaan aku tertarik untuk menyimak."

"Apa yang kau lakukan sebenarnya tak bisa di-

benarkan. Tetapi aku dapat memaafkan bila kau men-

gatakan apa kepentinganmu dengan percakapan kami 

tadi."

Gadis itu memperhatikan dulu pemuda di ha-

dapannya yang sedang tersenyum padanya.

"Hmm... haruskah kukatakan apa yang hendak 

kulakukan sekarang?" desisnya dalam hati memper-

timbangkan. Setelah berpikir beberapa saat, barulah 

gadis itu berkata, "Pertama-tama, kuberi tahu nama-

ku. Namaku Pratiwi. Aku datang dari tempat yang cu-

kup jauh. Apa yang membuatku tertarik akan percakapanmu tadi, ketika kalian menyebut-nyebut Kem-

bang Darah."

"Mengapa kau tertarik dengan orang yang ber-

juluk Kembang Darah? Apakah kau mengenalnya?"

Pertanyaan Raja Naga disambut dengan kepala 

tegak oleh Pratiwi. Sorot mata indahnya tiba-tiba ber-

sinar penuh bahaya. Raja Naga juga melihat kedua 

tangan gadis itu mengepal.

"Rasanya dia menyimpan dendam," desisnya 

dalam hati.

"Kembang Darah!" desis Pratiwi. "Perempuan 

setan itulah yang telah membunuh guruku dua tahun 

yang lalu!"

Kata-kata Pratiwi membuat kepala Raja Naga 

menegak. Diperhatikannya dengan seksama gadis yang 

memiliki wajah seperti Diah Harum.

"Bila kau tak keberatan, ceritakan tentang 

Kembang Darah kepadaku...."

Pratiwi terdiam sejenak. Setelah menarik dan 

menghembuskan napas, mulutnya pun membuka. 

Kala itu malam Jumat Kliwon. Seperti kebia-

saannya bila malam Jumat Kliwon, Pratiwi selalu be-

rendam di Sungai Pengulu, seperti ajaran gurunya 

yang berjuluk Kidang Bukit. Dan malam itu adalah 

malam terakhir dia berjumpa dengan gurunya.

Karena begitu dia kembali ke tempat gurunya 

keesokan paginya, dia menemukan gurunya dalam 

keadaan sekarat. Dengan napas terputus-putus Ki-

dang Bukit menceritakan siapa orang yang telah men-

celakakannya. Dan orang itu berjuluk Kembang Darah.

Pratiwi mengangkat kepalanya.

"Itulah sebabnya, aku jadi tertarik untuk men-

dengarkan percakapan kalian! Aku memang belum 

mengenal sosok perempuan keparat itu, tetapi dia ha-

rus mampus menerima balasan atas perbuatannya!"


Raja Naga menarik napas pendek.

"Ah, setiap saat rupanya darah selalu tumpah 

dari jasad manusia. Melihat gelagatnya, gadis bernama 

Pratiwi ini jelas-jelas tak akan bisa memendam den-

damnya," katanya dalam hati. Lalu berkata, "Kau su-

dah mendengar percakapanku dengan temanku tadi. 

Ya, Kembang Darah memang berada di Tanah Kema-

tian."

"Tahukah kau di mana Tanah Kematian bera-

da?"

Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku 

dipenuhi sisik coklat menggeleng.

"Aku tidak tahu. Tapi bila boleh kuberi saran, 

sebaiknya kau lupakan dendammu itu...."

Seketika kedua mata Pratiwi membuka lebar.

"Aku tak butuh saran dari siapa-siapa! Yang 

kuinginkan adalah melihat setan betina itu mampus!"

Habis bentakannya, gadis berhidung bangir itu 

melesat. Gerakannya sangat cepat hingga Raja Naga

mau tak mau terkagum juga.

"Hebat! Tapi sayang, dia diamuk oleh dendam-

nya...," katanya pada dirinya sendiri. "Dan urusan 

Bunga Kemuning Biru semakin lebar berkembang. 

Keadaan Ratih sendiri belum diketahui."

Pemuda dari Lembah Naga itu terdiam lagi be-

berapa saat. Otaknya berpikir untuk memecahkan ma-

salah yang dihadapinya.

"Sebaiknya, kucari saja di mana Tanah Kema-

tian berada!"

Memutuskan demikian, pemuda pewaris ilmu 

Dewa Naga ini memutar tubuhnya, lalu berlari ke arah 

yang berlawanan dengan Pratiwi.

* * *

Saat matahari bersinar kembali, satu sosok tu-

buh kurus menghentikan langkahnya di sebuah jalan

setapak. Diperhatikannya tempat sekitarnya yang sepi.

"Terkutuk!" makinya keras. "Ke mana perginya 

perempuan cabul itu?"

Orang yang tak lain Setan Keris Kembar ini 

menggeram. Rambutnya yang dikuncir dengan pita pu-

tih bergerak ketika dipalingkan kepalanya ke kanan.

"Setan alas!" makinya ketika melihat seekor ke-

linci keluar dan berlari cepat. 

Setelah ketahuan kalau dia bersembunyi, Setan 

Keris Kembar memang menjauh untuk kemudian da-

tang lagi. Tetapi tak dilihatnya Dewi Perenggut Sukma 

di sana. Begitu pula dengan Lesmana. Walaupun ka-

kek berpakaian hitam dengan rajutan dua buah keris 

berlekuk delapan di dada kanan kirinya ini melihat 

tempat yang telah porak poranda, sedikit pun dia tak 

menaruh curiga. Mengingat sebelumnya telah terjadi 

pertarungan.

"Huh! Bunga Kemuning Biru tidak berada pada 

pemuda itu! Berarti, berada pada adik seperguruannya 

yang bernama Ratih! Aku ingat, kalau sebelumnya dia 

menuduh Dewi Perenggut Sukma telah menculik adik-

nya! Dan dia juga menyebutkan Tanah Kematian! As-

taga! Bukankah tempat itu.... Tanah Kematian... ada-

lah tempat tinggal Kembang Darah?!"

Tiba pada pikirannya sendiri, Setan Keris Kem-

bar terdiam. Keriput di wajahnya nampak bertambah 

menumpuk ketika wajahnya ditekuk.

"Kalau memang Kembang Darah yang telah 

menculik Ratih, berarti... dia juga menghendaki Bunga 

Kemuning Biru! Terkutuk! Apa-apaan dia berani mela-

kukannya! Rupanya ingin...."

"Tak kusangka kalau aku akan menjumpaimu 

di sini, Kakek bau!" satu suara terdengar di belakang 

Setan Keris Kembar. 

Seketika kakek berpakaian hitam itu berpaling.

Dilihatnya seorang perempuan muda yang mengena-

kan pakaian seperti kutang berwarna merah di sana.

Sesaat Setan Keris Kembar menggeram sebelum 

terdengar tawanya keras.

"Panjang umurmu rupanya, Kembang Darah! 

Baru saja kusebut namamu kau sudah berada di sini! 

Bagus, bagus sekali! Aku hendak bertanya sesuatu!"

Kembang Darah menyeringai seraya mendekat.

"Tak perlu kau tanyakan aku sudah tahu apa 

yang ingin kau tanyakan!"

"Bagus! Itu artinya kau tidak memungkiri apa 

yang telah kau lakukan! Lantas, mengapa kau muncul 

kembali ke sini, hah?! Apakah pada diri gadis yang kau 

culik itu tidak kau temukan Bunga Kemuning Biru?!"

Kembang Darah makin menyeringai. Lalu den-

gan gerakan seperti tak disengaja, sepasang bukit 

kembarnya digerakkan hingga bergetar lembut.

"Aku tidak salah memilih orang! Gadis itu ada-

lah sasaranku dan sudah tentu kudapatkan Bunga 

Kemuning Biru padanya!"

"Bagus! Mana benda sakti itu sekarang?!"

Kembang Darah tersenyum dan berkata dalam 

hati, "Telah cukup lama aku berada di bawah kaki Da-

tuk Meong Moneng dan telah lama pula aku menjadi 

budaknya. Dan dia tidak tahu kalau sesuatu telah ku-

lakukan. Kehadiran Setan Keris Kembar semakin da-

pat menguatkan seluruh rencanaku untuk lepas dari 

tangan Datuk Meong Moneng. Bagus! Aku akan memu-

lainya sekarang...."

Masih tersenyum perempuan itu berkata, 

"Bunga Kemuning Biru memang telah kudapatkan, te-

tapi telah kuserahkan pada Datuk Meong Moneng!"

Sampai mundur satu langkah Setan Keris 

Kembar mendengar nama itu disebutkan. Untuk bebe-

rapa saat dia terdiam dengan mata mengerjap-ngerjap


cepat.

Kembang Darah mendengus mengetahui kalau 

Setan Keris Kembar putus nyali begitu mendengar ju-

lukan Datuk Meong Moneng.

"Kembang Darah! Ada urusan apa kau dengan 

Datuk Meong Moneng?!"

"Dia telah menguasai diriku sejak aku dikalah-

kannya! Dan manusia keparat itulah yang memerin-

tahkanku untuk mendapatkan Bunga Kemuning Biru!"

"Dungu! Bila kau memang sudah menda-

patkannya, mengapa kau menyerahkan kepadanya?!"

"Kau yang dungu! Apakah kau tidak tahu ke-

saktian yang dimilikinya?! Apa dayaku untuk mengha-

dapinya, hah?! Dengan berat hati dan menyimpan 

amarah, terpaksa kuberikan Bunga Kemuning Biru 

padanya!"

"Tindakannya tidak salah. Nyawanya memang 

patut lebih diutamakan ketimbang Bunga Kemuning 

Biru. Tapi bila dia mau mempergunakan otaknya, su-

dah tentu dia tak akan menyerahkan bunga itu pada 

Datuk Meong Moneng. Karena dengan bunga itu dia 

dapat membunuh kakek muka kucing itu."

Habis membatin demikian dia berkata, "Lantas, 

apa yang hendak kau lakukan sekarang?"

"Setan Keris Kembar! Sejak berada di bawah 

kekuasaannya aku telah mencari jalan untuk meng-

hindarinya, untuk lari darinya! Tetapi hingga saat ini 

aku belum menemukan cara yang tepat! Dan setelah 

bertemu denganmu sekarang, terbukalah kedua mata-

ku...."

"Apa maksudmu, Kembang Darah?" tanya Se-

tan Keris Kembar waspada. Biar bagaimanapun juga 

dia mengenal siapa Kembang Darah adanya. Setan be-

tina berotak licik.

"Menghadapi Datuk Meong Moneng seorang di


ri, aku memang tak mampu melakukannya. Tetapi 

dengan bantuanmu, aku yakin dapat mengalahkan-

nya." kata Kembang Darah sambil menatap dalam-

dalam Setan Keris Kembar. Lalu sambungnya, "Setan 

Keris Kembar, apakah kau mau membantuku?"

"Perempuan ini berotak licik dan selalu memili-

ki siasat yang mematikan. Tapi untuk saat ini, aku 

percaya apa yang dikatakannya kalau dia berada di 

bawah kekuasaan Datuk Meong Moneng. Dan ra-

sanya...," belum habis kata batin Setan Keris Kembar, 

Kembang Darah sudah berkata seraya melangkah, 

"Setan Keris Kembar... apa pun yang kau minta 

akan kupenuhi asalkan kau mau membantuku untuk 

melepaskan diri dari Datuk Meong Moneng."

Laksana dua ekor ular, kedua tangan Kembang 

Darah sudah merangkul leher Setan Keris Kembar 

yang sesaat gelagapan. Wajah dan tubuh perempuan 

itu begitu dekat dengannya, aroma wangi menebar dan 

menyergap indera penciumannya.

"Sudikah kau membantuku?" desis Kembang 

Darah sambil menggerakkan sepasang bukit kembar-

nya. Ketika dilihatnya Setan Keris Kembar masih ter-

diam gelagapan, buru-buru disambungnya, "Aku rela 

kau apakan saja...."

Lalu dengan gerakan penuh rangsangan, Kem-

bang Darah melepaskan rangkulannya. Dengan gera-

kan penuh rangsangan dibukanya pakaiannya yang 

seperti kutang itu. Dalam sekejap saja sepasang bukit 

kembarnya yang padat sudah melontar keluar.

Setan Keris Kembar yang tidak sempat berkata 

apa-apa karena 'serangan' mendadak dari Kembang 

Darah, mengerjap-ngerjap dengan napas agak membu-

ru.

Melihat hal itu Kembang Darah tersenyum. Setengah memejamkan matanya dia berkata, "Kau lihat


sendiri, betapa aku rela kau apakan saja...." Lalu sam-

bungnya dalam hati, "Aku telah menemukan siasat ba-

ru untuk lolos dari tangan Datuk Meong Moneng. Mu-

dah-mudahan manusia muka kucing itu belum menge-

tahui kalau Bunga Kemuning Biru yang kuberikan pa-

danya adalah palsu. Dan kakek bersenjata sepasang 

keris inilah yang akan kujadikan kambing hitam..."

Setan Keris Kembar masih terdiam dengan ma-

ta semakin nanar Nafasnya bertambah memburu. Da-

danya yang tipis bergerak cepat. Jakunnya bergerak 

turun naik.

Tak bisa lagi menahan diri karena dirangsang 

terus menerus, disergapnya tubuh montok itu yang 

memekik liar ketika tubuhnya ditindih Setan Keris 

Kembar.

"Kau terlalu merangsangku, Kembang Darah...," 

dengus Setan Keris Kembar. Tangannya segera me-

nyergap sepasang payudara montok yang terbuka lebar 

itu. Diremas-remasnya penuh nafsu. Lalu diciuminya 

hingga dia kehabisan napas sendiri. Puas menciumi 

sepasang bukit kembar itu, dia menggelosoh ke bawah. 

Dengan sedikit gemetar, disingkapkannya kain hitam 

yang dikenakan Kembang Darah.

Dengan kasar tangannya meraba-raba di sana.

Di pihak lain wajah Kembang Darah sudah me-

rona.

Nafasnya memburu dengan tubuh menggerijal-

gerijal. Lalu dengan kasar ditariknya tubuh Setan Keris 

Kembar.

Keduanya berpacu memburu kenikmatan mas-

ing-masing dan beberapa saat kemudian, sama-sama 

menggelosoh dengan tubuh lemas setelah sama-sama 

memekik dan saling dekap keras.

Dalam keadaan terlentang Kembang Darah me-

lirik. Dilihatnya Setan Keris Kembar sedang terengah

engah dengan napas seperti mau putus.

"Rencanaku akan berhasil dengan baik" desis-

nya, lalu bangkit dan mengenakan kembali pakaian-

nya.

Di pihak lain, Setan Keris Kembar pun mema-

kai lagi pakaiannya. Dipandanginya perempuan berku-

tang merah itu dalam-dalam.

"Aku mempercayai apa yang diinginkannya se-

karang. Dia telah membuktikan dengan menyerahkan 

tubuhnya tadi. Ya, mengapa aku tidak membantunya? 

Apalagi kini kuketahui kalau Bunga Kemuning Biru 

berada di tangan Datuk Meong Moneng."

Berpikir demikian, Setan Keris Kembar menye-

ringai. Matanya dihujamkan lekat-lekat pada sepasang 

bukit kembar yang padat itu. Lalu dengan nakalnya 

disentuhnya bagian puncak bukit itu.

"Kembang Darah... aku akan membantumu un-

tuk membunuh Datuk Meong Moneng. Tapi dengan sa-

tu syarat...."

"Astaga! Syarat apakah itu?" seru Kembang Da-

rah dan berlagak kaget, padahal dia yakin betul kalau 

kakek berpakaian hitam ini akan mengajukan syarat. 

"Nyawa Datuk Meong Moneng adalah milikmu 

yang sudah tentu akan kubantu untuk mendapatkan-

nya. Tetapi, Bunga Kemuning Biru harus menjadi mi-

likku."

"Hemm... jadi itu yang kau hendaki? Ya! Kau 

boleh memiliki Bunga Kemuning Biru! Lagipula aku 

tak melihat tanda-tanda aku membutuhkan bunga 

itu!"

"Bagus! Di mana sekarang manusia keparat itu 

berada?!"

"Di Tanah Kematian!"

"Kita ke sana sekarang!"

"Tapi...."


Setan Keris Kembar urung melangkah. Tata-

pannya tajam pada Kembang Darah.

"Apa maksudmu dengan tapi?"

Kembang Darah membuat wajahnya menjadi 

tegang. Matanya dikerjapkan beberapa kali seolah dia 

berada dalam ketakutan.

"Tak mungkin aku mendatanginya sekarang."

"Gila! Apa maksudmu tidak bisa mendatan-

ginya sekarang?! Kau menginginkan nyawanya, tetapi 

kau justru menahan keinginanmu itu!"

Kembang Darah memalingkan kepalanya ke 

samping kanan. Tanpa menatap Setan Keris Kembar, 

dia berkata dengan suara dibuat sendu, "Setelah kuse-

rahkan Bunga Kemuning Biru termasuk gadis berna-

ma Ratih itu padanya, manusia bermuka kucing itu 

memerintahkan aku untuk membunuh Raja Naga."

"Raja Naga?! Gila! Apa urusannya harus mem-

bunuh Raja Naga?!"

"Aku tidak tahu mengapa dia menyuruhku se-

perti itu."

"Di saat kau ingin membebaskan diri dari 

kungkungan Datuk Meong Moneng, kau masih juga 

berkeinginan untuk melaksanakan perintahnya!"

"Aku tak kuasa menolak."

"Urungkan niatmu itu! Kita berangkat ke Tanah 

Kematian sekarang!"

"Tapi...."

"Persetan dengan tapimu itu!" seru Setan Keris 

Kembar bernafsu. Sesungguhnya bukan karena dia in-

gin membantu Kembang Darah yang membuatnya 

bernafsu, tetapi mengetahui kalau Bunga Kemuning 

Biru yang diinginkannya berada di tangan Datuk 

Meong Moneng! "Kita berangkat sekarang!"

Tetapi Kembang Darah tak beranjak dari tem-

patnya. Dia juga tahu apa yang membuat Setan Keris


Kembar begitu tidak sabaran.

"Keparat! Mengapa kau tak juga segera berang-

kat, hah?!" bentak kakek yang pada pakaiannya terda-

pat sulaman dua buah keris bereluk delapan.

"Setan Keris Kembar... aku akan menjalankan 

dulu perintah Datuk Meong Moneng, setelah itu aku 

akan membunuhnya!"

Di saat lain, Kembang Darah sudah berkelebat 

cepat.

"Terkutuk!" maki Setan Keris Kembar sambil 

menghentakkan kaki kanannya di atas tanah yang se-

ketika berhamburan. "Apa yang sebenarnya diinginkan 

oleh perempuan celaka itu? Dia ingin bebas dan mem-

bunuh Datuk Meong Moneng, tetapi mengapa masih 

menjalankan juga perintahnya! Dasar setan buduk!"

Setan Keris Kembar masih memaki panjang 

pendek sampai kemudian diputuskannya untuk segera 

menuju Tanah Kematian.

Sepuluh kali tarikan napas, satu sosok tubuh 

melenting ringan dari balik ranggasan semak. Sosok 

tubuh yang bukan lain Kembang Darah adanya me-

nyeringai lebar.

"Huh! Rencanaku semakin matang! Dia dapat 

kujadikan sebagai kambing hitam! Tak lama lagi ten-

tunya Datuk Meong Moneng mengetahui kalau Bunga 

Kemuning Biru yang kuserahkan padanya adalah bun-

ga yang palsu! Dan aku punya alasan yang tepat bila 

dia murka kepadaku! Akan kukatakan kalau bunga 

yang asli telah direbut oleh Setan Keris Kembar!"

Perempuan berkutang merah itu terkikik pan-

jang memikirkan rencana yang disusunnya bertambah 

matang. Lalu dia berkelebat ke tempat di mana perta-

ma kali dia datang ke tempat itu tadi. Dari balik se-

buah ranggasan semak, diambilnya Bunga Kemuning 

Biru yang disusupkan di antara semak itu.


Dipandanginya bunga yang memancarkan war-

na biru indah berkilau itu.

"Dengan bunga ini, aku akan menjadi orang 

yang tak terkalahkan! Dan untuk menguji kesaktian-

nya, akan kucari Raja Naga. Paling tidak, bila aku ber-

hasil membunuhnya, Datuk Meong Moneng akan men-

ganggapku telah menjalankan perintahnya!"

Kembali Kembang Darah tertawa keras. Lalu 

diselipkan Bunga Kemuning Biru ke balik kain yang 

menutupi tubuh bagian bawahnya sebelum mening-

galkan tempat itu.

Ketika dia sedang menatapi Bunga Kemuning 

Biru di mana Ratih dalam keadaan tertotok di sebuah 

hutan kecil, pikiran jahatnya muncul. Kala itu Kem-

bang Darah berpikir, tak mungkin kalau Bunga Ke-

muning Biru tak memiliki keistimewaan apa-apa, men-

gingat Datuk Meong Moneng menginginkannya. Tim-

bullah pikiran untuk menguasai Bunga Kemuning Bi-

ru.

Ketika dia meninggalkan Ratih di hutan itu, di-

carinya bunga kemuning berwarna biru yang banyak 

tumbuh di sana. Dipetiknya sebuah sementara Bunga 

Kemuning Biru yang asli diselipkannya ke balik kain-

nya.

Bunga kemuning berwarna biru yang dipetik-

nya itulah yang diserahkannya kepada Datuk Meong 

Moneng!

***

SEMBILAN


MENJELANG malam, Raja Naga tiba di sebuah 

tempat yang dipenuhi bebatuan. Sepanjang matanya 

memandang yang nampak hanyalah batu-batu besar. 

Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah bukit tegak 

angkuh menantang langit.

Raja Naga memicingkan matanya ketika me-

nangkap gerakan-gerakan di depan sana. Belum lagi 

dia dapat mengetahui siapa yang bergerak-gerak den-

gan cepat itu, mendadak saja lima orang lelaki berpa-

kaian hitam-hitam telah bermunculan dari balik bebe-

rapa buah batu besar.

Dan langsung mengurungnya! Raja Naga hanya 

memandang orang-orang yang ternyata memakai to-

peng hitam itu.

"Manusia yang berani datang ke Bukit Batu, 

kalau tidak untuk mengacau, adalah untuk mencari 

mampus!" salah seorang yang berdiri di tengah mende-

sis, suaranya parau. 

Raja Naga hanya tersenyum. "Kalian salah 

sangka bila menduga aku seperti itu." 

"Kau berani berucap, berarti memiliki kemam-

puan yang akan kau jadikan andalan! Tangkap pemu-

da itu!!"

Serentak keempat temannya bergerak cepat 

memutari Raja Naga. Yang mengejutkan, karena gera-

kan mereka semakin lama bertambah cepat. Dan tiba-

tiba saja mereka bergerak dengan jotosan tangan ka-

nan kiri ke arah Raja Naga,

Kendati cukup terkejut mendapatkan serangan 

yang aneh dan tiba-tiba, Raja Naga masih dapat men-

guasai keadaan. Mengiringi putaran tubuh disertai se-

rangan yang tiba-tiba, pemuda dari Lembah Naga itu 

menggerakkan kedua tangannya pula.

Buk! Buk! Buk!


Berulang kali suara berbenturan terdengar ke-

ras dan keempat orang bertopeng itu tiba-tiba saja ter-

lempar ke belakang dan terpelanting di atas tanah.

Raja Naga sendiri telah tegak kembali tanpa ku-

rang suatu apa!

Orang yang tadi mengomandoi serangan itu 

terbelalak, jelas terlihat dari balik topeng yang dikena-

kannya.

"Gila! Pemuda itu dengan mudah menjatuhkan 

teman-temanku!" desisnya dalam hati.

Raja Naga memandang orang di hadapannya. 

Sorot matanya yang angker berusaha menerobos to-

peng yang dikenakan orang itu. Bila saja tadi dia ingin 

mematahkan tangan-tangan keempat orang bertopeng 

yang menyerangnya, akan sangat mudah dilakukannya 

mengingat kedua tangannya yang dipenuhi sisik seba-

tas siku memiliki kesaktian luar biasa.

"Maafkan sikapku barusan. Aku hanya membe-

la diri," katanya kemudian.

"Terkutuk! Rupanya kau memang benar-benar 

hendak mengacau!" bentak orang bertopeng itu disusul 

dengan satu kibasan tangan.

Serta-merta menggebah gelombang angin ber-

kekuatan tinggi ke arah Raja Naga yang segera mende-

hem untuk memutuskan serangan itu. Sesaat orang 

bertopeng terkesiap melihatnya, namun di lain saat dia 

sudah meluncur ke depan.

Kaki kanan kirinya bergerak ke atas dan ke 

bawah. Tidak hanya sampai di sana saja apa yang di-

lakukannya, karena tiba-tiba saja dia sudah menyusu-

ri tanah hingga tanah beterbangan.

Raja Naga menjerengkan matanya yang berso-

rot angker. Tanpa bergeser dari tempatnya, diangkat 

tangan kanannya. Sekali gebrak saja dia dapat mema-

tahkan serangan orang bertopeng. Menyusul kaki kanannya dijejakkan di atas tanah.

Tanah seketika bergelombang, menderu ken-

cang ke arah orang bertopeng yang sedang menyusur 

tanah.

Terlihat kedua bola mata orang bertopeng itu 

terkesiap. Disertai pekikan tertahan, ditepukkan tan-

gan kanannya di atas tanah yang membuat tubuhnya 

mumbul ke udara.

Bila saja Boma Paksi mau, dengan mudahnya 

dia menghantam tubuh yang sedang mumbul di udara 

itu. Tetapi dibiarkan saja sampai orang itu hinggap 

kembali di atas tanah.

Di lain pihak keempat orang bertopeng lainnya 

yang tadi terpelanting berantakan di atas tanah telah 

berdiri dan mendekati orang bertopeng yang tadi me-

nyerang Raja Naga.

"Dia bukan tandingan kita," kata salah seorang. 

"Aku tahu. Kesaktiannya melebihi setan nera-

ka."

"Apa yang kita perbuat sekarang?"

"Kita tetap akan menahannya, kalau bisa akan 

kita bunuh pemuda itu."

"Gila! Kita sudah tak berdaya menghadapinya!"

"Kalau begitu... dua orang menghadap Ketua! 

Katakan, kalau ada pemuda bersisik yang hendak 

membuat onar!"

Kendati kata-kata itu diucapkan dengan berbi-

sik, tetapi Raja Naga dapat mendengarnya. Sambil ter-

senyum dia berkata, "Kalian salah sangka. Aku tak 

memiliki maksud buruk. Jadi tak perlu melaporkan 

kejadian ini atau memanggil Ketua kalian keluar."

Sudah tentu kelima orang bertopeng hitam itu 

tersentak mendengar kata-kata Raja Naga.

"Gila! Siapa pemuda itu?!" desis salah seorang.

Raja Naga berkata, "Hemm... namaku Boma


Paksi. Saat ini aku sedang menuju ke sebuah tempat. 

Kalau pun aku tiba di sini, karena ketidaksengajaan. 

Maksudku, tempat yang ku tuju memang belum kuke-

tahui berada di mana."

Walaupun agak jeri mengetahui kesaktian pe-

muda berompi ungu, tetapi kelima orang bertopeng itu 

tidak percaya begitu saja. Orang yang terakhir menye-

rang Raja Naga tadi berkata, "Bila kau memang tak 

bermaksud jahat, tunjukkan itikad baikmu!"

"Baik! Apa yang bisa kulakukan?" sahut Raja 

Naga. Sesungguhnya dia enggan untuk melayani 

orang-orang ini mengingat dia harus cepat-cepat tiba 

di Tanah Kematian. Biar bagaimanapun juga, dia men-

cemaskan nasib Ratih dan Lesmana.

"Ikut dengan kami menjumpai Ketua!"

"Aku tak melihat kepentingan untuk itu!"

"Berarti kau memang tengah menjalankan satu 

muslihat terhadap kami, agar kami lengah!"

Gusar juga pemuda dari Lembah Naga itu men-

dengar kata-kata orang bertopeng. Tetapi ditahan ke-

gusarannya.

"Aku tak memiliki waktu banyak. Dan kuminta 

kalian dapat memakluminya."

"Orang yang telah masuk ke Bukit Batu hanya 

bisa meninggalkan tempat ini dalam keadaan tak ber-

nyawa."

"Kalau begitu, berapa orang yang telah kalian 

bunuh?"

"Itu tak ada urusannya denganmu! Tangkap 

dia!!"

Kali ini orang itu juga ikut menyerang Raja Na-

ga. Tetapi lagi-lagi mereka harus berpelantingan satu 

persatu.

"Maaf... aku tak punya banyak waktu...."

"Tunggu!" seru orang bertopeng yang berbicara


mewakili teman-temannya tadi. "Siapa kau sebenar-

nya?"

"Tadi sudah kukatakan, namaku Boma Paksi! 

Aku sedang menuju ke satu tempat dan secara tak 

sengaja tiba di sini!"

"Ketua kami mencari orang-orang sakti untuk 

membantunya! Apakah kau bersedia melakukannya?!"

Kali ini Raja Naga terdiam. Rasa penasarannya 

timbul mendengar kata-kata orang bertopeng itu.

"Ketua? Siapa orang yang dimaksud Ketua oleh 

orang-orang ini? Dan rencana apa yang diinginkan 

oleh orang yang dipanggil Ketua?" desis Raja Naga da-

lam hati. Sambil menatap orang-orang bertopeng itu 

satu persatu dia berkata, "Sudah adakah orang yang 

memutuskan untuk membantu Ketua kalian?"

"Tidak ada! Karena... mereka tak memiliki ke-

saktian! Sudah mampus sebelum berhasil melewati 

kami!"

"Nampaknya ada sesuatu yang disembunyi-

kan," desis Raja Naga lagi dalam hati. Lalu berkata, 

"Apa yang sebenarnya hendak dilakukan oleh Ketua 

kalian dengan mencoba mengumpulkan orang-orang 

sakti?"

"Kau akan mengetahuinya setelah berjumpa 

dengannya."

Raja Naga terdiam beberapa saat, memikirkan 

kemungkinan apakah dia akan menuruti kemauan 

orang-orang bertopeng itu atau tidak. Di lain saat, ke-

palanya mengangguk.

"Baiklah... untuk sementara aku menurut...."

"Bagus! Ikat dia! Tutup matanya!!"

Diikat dengan mempergunakan tali yang sangat 

alot itu sebenarnya dengan mudah dapat diputuskan-

nya, tetapi Raja Naga hanya menurut saja. Menurut 

pula ketika kedua matanya ditutup.


Lalu disertai makian-makian kasar, dia digiring 

oleh orang-orang bertopeng itu.

"Hemmm... nampaknya mereka mencoba me-

nyesatkan ku dengan cara mengajakku berputar-

putar. Tetapi biar diajak berputar bagaimanapun juga, 

aku tetap tahu tempat yang akan mereka tuju."

Cukup lama Raja Naga merasa hanya dibawa 

berputar-putar saja sebelum kemudian dirasakannya 

angin tak sedingin tadi. Bahkan dirasakan begitu lem-

bab.

"Aku yakin, kalau saat ini telah memasuki se-

buah gua," katanya dalam hati.

Lalu dirasakan pundaknya ditekan untuk ber-

lutut. Lagi-lagi Raja Naga hanya menuruti saja.

Didengarnya orang yang selalu berbicara tadi 

berkata, "Ketua! Kami membawa seorang pengacau di 

Bukit Batu! Kesaktiannya cukup luar biasa! Bila Ketua 

berkenan mengambilnya sebagai pembantu, kami akan 

membiarkannya hidup!"

"Bagus! Tetapi sayangnya, kalian belum tahu 

siapa pemuda yang kedua lengannya bersisik coklat 

itu!" terdengar suara seorang perempuan.

Orang-orang bertopeng yang berlutut itu men-

gangkat kepala masing-masing. Sorot mata mereka 

memancarkan keheranan yang luar biasa.

"Siapa dia sebenarnya, Ketua?"

"Pemuda itulah yang berjuluk Raja Naga!"

Menegak kepala masing-masing orang yang se-

ketika memalingkan kepalanya pada Raja Naga yang 

masih dalam keadaan terikat dan mata tertutup kain 

hitam.

Orang-orang bertopeng itu bersujud tiga kali. 

"Maafkan kami, Ketua! Kami tidak tahu siapa dia 

adanya!"

"Tak mengapa! Buka ikatan dan tutup ma


tanya!"

Raja Naga merasakan ikatan pada kedua tan-

gannya dibuka, menyusul penutup matanya. Segera 

saja dia mencari si perempuan yang bersuara tadi.

Begitu melihat siapa adanya orang, kedua ma-

tanya membuka lebih lebar.

Orang yang berkata tadi tersenyum dan berka-

ta, "Dunia ini begitu sempit rupanya! Belum lama kita 

berpisah, kini sudah bertemu lagi! Selamat datang di 

tem-pat kediamanku, Raja Naga!"

"Pratiwi!"




                                   SELESAI


Segera menyusul:

JEJAK MALAIKAT BIRU






































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive