MANUSIA TITISAN DEWA
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Manusia Titisan Dewa
128 hal.
SATU
Senja baru saja turun. Bentangan langit se-
belah barat telah berubah warna menjadi merah
kekuningan. Bias panasnya sang mentari pelan-
pelan berganti udara dingin malam. Dan tak lama
kemudian, lengkung tipis sang rembulan tampak
menghias di tengah taburan gumintang yang
menghampar di angkasa.
Di depan sebuah gua batu seorang gadis
muda tampak duduk tercenung di atas sebuah
gundukan batu padas. Paras gadis ini cantik jelita,
sepasang matanya bulat dan tajam. Rambutnya
panjang sebahu, hidungnya mancung ditingkah
bibir yang membentuk bagus dan merah tanpa
polesan. Dia mengenakan pakaian warna coklat
bergaris-garis.
Meski malam telah menjelang, sang gadis
tampaknya enggan meninggalkan tempat di mana
dia berada. Malah berulang kali kedua tangannya
bergerak mengusap wajahnya, lalu kedua tangan-
nya ditopangkan pada dagu dengan siku bersite-
kan pada kedua pahanya. Sepasang matanya yang
bulat tajam memandang lurus ke depan menem-
bus suasana yang mulai gelap pekat. Napasnya
berhembus dalam dan panjang-panjang. Semua
gerak-gerik gadis ini memberi isyarat bahwa saat
ini dia sedang dilanda satu kegelisahan, atau pal-
ing tidak ada sesuatu yang membuat hatinya ke-
cewa.
Mungkin karena pegal dan kesemutan, ak
hirnya gadis muda itu campakkan kedua tangan-
nya, lalu berdiri dan melangkah mondar-mandir di
depan gua. Sepasang matanya menekuri batu-
batuan padas di bawahnya yang telah tampak
berwarna kehitaman.
Bosan dengan apa yang dilakukannya, se-
raya bantingkan kedua kakinya, gadis ini lantas
melesat masuk ke dalam gua.
Pada sebuah batu agak besar, sang gadis
duduk seraya sandarkan punggungnya. Kedua
tangannya sedekap sejajar dada, sepasang ma-
tanya memejam rapat. Dia mulai pusatkan mata
batinnya. Namun agaknya mata batinnya tak bisa
terpusat, karena sesaat kemudian sepasang ma-
tanya terbuka kembali, dan napasnya berhembus
panjang hingga bahunya berguncang.
"Sialan benar!" maki sang gadis dalam hati
seraya luruskan pandangannya pada mulut gua.
"Sekian lama berdiam diri di tempat ini tak sekali-
pun aku bisa melupakannya! Mungkinkah ini sya-
rat bahwa aku benar-benar menyintainya? Waktu
aku berhasil bertemu dengannya terakhir kali, dia
tampaknya acuh tak acuh. Adakah aku bertepuk
sebelah tangan?" kedua tangan sang gadis kembali
bergerak mengusap wajahnya, lalu rapikan ram-
butnya yang menghalangi pandangan matanya.
Kepalanya menggeleng perlahan, sementara na-
pasnya berhembus panjang-panjang.
"Hmm.... Penyelidikan tentang siapa pem-
bunuh Guru belum dapat kutuntaskan, kini aku
dilanda gelisahan tentang pemuda itu. Apakah be-
nar yang dikatakan Kakang Pandu bahwa pemuda
itulah yang membunuh mendiang Guru? Jelek be-
tul nasibku. Aku tak dapat melupakan pemuda
yang diduga Kakang Pandu sebagai pembunuh
Guru itu!" sang gadis terus berkata sendiri dalam
hati. Wajahnya semakin menunjukkan kegelisahan
dan kebimbangan.
"Kakang Pandu.... Aku heran sekaligus me-
nyesal melihat perubahan pada dirimu! Adakah
perubahan itu karena kau telah memiliki ilmu
tinggi atau hanya karena pelampiasan rasa cem-
burumu? Seandainya kau bukan kakak sepergu-
ruanku, mungkin aku masih bisa mempertim-
bangkan pernyataan cintamu. Dan...," sertamerta
gadis ini hentikan kata hatinya. Sepasang matanya
membeliak besar dan memandang lurus ke mulut
gua, karena saat itu terdengar siuran angin dan
sesosok bayangan tampak berkelebat menuju mu-
lut gua.
Sang gadis cepat berdiri, sesaat rasa tegang
tampak menyelimuti dirinya. "Siapa dia...? Sekian
lama berada di sini baru kali ini aku kedatangan
orang...," gumamnya sambil tak berkesiap.
Weeerrr!
Angin deras berdesir, dan bersamaan den-
gan itu tahu-tahu sesosok bayangan telah berdiri
di hadapan sang gadis.
Si gadis cepat geser bahunya menghindari
sambaran angin kedatangan orang. Dan darahnya
tersirap saat matanya memperhatikan orang di
hadapannya. Namun dia tak memperlihatkan rasa
takut, meski orang di hadapannya memiliki tam-
pang angker dan menakutkan. Malah dengan mata
tak berkedip dia menegur.
"Orang tak dikenal! Sebutkan siapa kau
adanya! Dan jangan berani berniat jahat jika ma-
sih sayang nyawa!"
Yang ditegur tak segera menjawab, malah
sepasang matanya balas menatap dan memperha-
tikan sang gadis. Orang ini adalah seorang laki-
laki bertubuh kurus tinggi. Kalau saja tidak beru-
sia lanjut yang membuat tubuhnya bungkuk,
mungkin kepalanya akan menyentuh langit-langit
gua. Sepasang matanya besar dan masuk dalam
rongga yang amat cekung. Paras wajahnya hampir
tak bisa dikenali karena kulit wajahnya amat tipis,
hingga yang terlihat hanyalah tonjolan-tonjolan tu-
lang wajah. Bibirnya amat tebal, sementara alis
kedua matanya tampak kaku dan lurus ke depan
serta panjang. Rambutnya amat jarang serta men-
julai ke atas dan kaku. Laki-laki ini mengenakan
jubah besar dan panjang berwarna biru gelap. Pa-
da kepalanya tampak caping lebar dari kulit ber-
warna hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka
hingga rambutnya yang kaku bagai ijuk dan amat
jarang itu terlihat jelas.
Selain tampangnya seram ada keanehan
pada laki-laki berjubah biru ini yang membuat si
gadis tersurut hingga dua tindak ke belakang den-
gan mata melotot. Ternyata meski berdiri agak ter-
bungkuk, sepasang kaki laki-laki ini tidak terpan-
cak di atas lantai gua! Sepasang kakinya berada
sejengkal di atas lantai gua!
"Siapa laki-laki tua ini? Aku belum pernah
mendengar ciri-ciri orang seperti dia dalam rimba
persilatan. Tapi siapa pun dia, yang pasti dia be-
rilmu sangat tinggi. Dia mampu menahan tubuh-
nya di atas udara tanpa kerahkan tenaga dalam!
Hmmm.... Aku harus tahu apa tujuannya ke sini!
Meski siapa pun juga boleh mendiami gua ini!"
Namun si gadis tak segera bertanya, dia
seakan menunggu jawaban. Tapi setelah ditunggu
lama laki-laki di hadapannya tidak juga berkata,
dia kembali buka mulut.
"Orang tua! Harap kau sudi mengatakan
siapa kau adanya! Dan apa tujuanmu ke sini!" na-
da ucapan si gadis agak lunak, karena dia sadar
jika laki-laki di hadapannya bukanlah orang sem-
barangan, lagi pula dia tak menginginkan terja-
dinya masalah. Malah setelah berkata dia angguk-
kan sedikit kepalanya.
Untuk beberapa saat lamanya laki-laki di
hadapan sang gadis masih belum buka suara. Ba-
ru setelah si gadis hendak menegur kembali, laki-
laki berjubah biru buka mulut dan berkata.
"Anak gadis! Soal siapa diriku agaknya tidak
terlalu penting, dan mengapa aku ke sini itu juga
bukan masalah," si laki-laki sejenak hentikan uca-
pannya. Sepasang matanya menatap gadis di ha-
dapannya seakan ingin melihat sikap sang gadis
mendengar jawabannya. Dan tatkala dilihatnya si
gadis kernyitkan dahi, dia lanjutkan ucapannya.
"Anak gadis! Aku maklum jika kau tidak
kenal padaku. Namun aku tahu siapa kau adanya!
Bukankah kau gadis yang bernama Sakawuni? Sa-
lah seorang murid tokoh rimba persilatan Ageng
Panangkaran? Kau sedang dilanda kecewa dan gelisah, kau memikirkan seseorang?!"
Berubahlah paras wajah si gadis, hatinya
berdebar-debar mendengar kata-kata laki-laki tua
di hadapannya.
"Heran. Dia mengetahui diriku dan gelisa-
han hatiku! Siapa dia sebenarnya...?"
Mungkin karena tak mau apa yang sedang
melanda hatinya diketahui orang lain, si gadis
yang bukan lain memang Sakawuni, salah seorang
murid Ageng Panangkaran sunggingkan senyum
dan berkata.
"Perihal kecewa dan gelisah tidaklah patut
ditanyakan, lagi pula itu adalah bukan urusanmu!
Kalau tidak ada hal lain sebaiknya kau tinggalkan
aku sendirian!"
Laki-laki berjubah biru keluarkan tawa pe-
lan.
"Kau pandai menyembunyikan sesuatu
meski sebenarnya batinmu sedang diamuk kecewa
berat pada seorang manusia bergelar Pendekar
Mata Keranjang 108 serta kebimbangan masalah
kematian gurumu," laki-laki berjubah biru sejenak
hentikan ucapannya, lalu alihkan pandangannya
pada mulut gua.
"Ah, betul juga katamu tadi, ini bukan uru-
sanku, dan memang sebaiknya aku menuruti ka-
ta-katamu untuk meninggalkan tempat ini...," ha-
bis berkata begitu, laki-laki berjubah biru balikkan
tubuh hendak pergi, namun gerakannya tertahan
tatkala Sakawuni berseru.
"Orang tua, tunggu!"
"Ada yang hendak kau utarakan?!" kata la
ki-laki berjubah biru tatkala ditunggu beberapa
saat tidak ada suara terdengar dari mulut Saka-
wuni.
"Orang ini tahu banyak tentang aku dan
masalah yang kuhadapi, tentunya dia tahu juga
tentang mendiang Guru Tak ada salahnya aku
menanyakan tentang kematian Guru...."
"Hatimu lebih banyak bicara daripada mu-
lutmu. Itu pertanda kau menyimpan beban berat!
Hmm.... Kalau tidak ada yang ingin kau ucapkan,
aku akan pergi!"
"Orang tua!" kata Sakawuni seraya melang-
kah maju dua tindak. "Ucap mu benar, aku me-
mang sedang bimbang memikirkan kematian gu-
ruku Ageng Panangkaran. Kalau kau mengenal-
nya, adakah kau tahu tentang siapa pembunuh-
nya?"
Laki-laki berjubah biru balikkan tubuhnya
menghadap Sakawuni. Sepasang matanya menya-
pu liar ke ruangan gua, dan ketika matanya mena-
tap Sakawuni laki-laki ini anggukkan kepalanya.
"Aku memang kenal dengan tokoh rimba
persilatan yang sekaligus gurumu itu! Dan aku
pun tahu siapa pembunuhnya! Malah aku tahu
banyak tentang orang yang bergelar Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 dari mulai kecil hingga kini!"
Sakawuni terkejut besar mendengar perka-
taan orang tua di hadapannya. Apalagi tatkala
orang tua itu mengatakan tahu tentang Pendekar
108, orang yang tidak bisa dihilangkan dari ha-
tinya.
"Orang tua! Harap kau sudi mengatakan
siapa yang membunuh Guru!"
Laki-laki berjubah biru dongakkan kepa-
lanya, dari mulutnya terdengar tawanya. Puas
dengan tawanya, dia lalu berkata.
"Sakawuni! Sebelum aku mengatakan siapa
pembunuh gurumu, aku ingin tanya dulu. Apakah
kau benar-benar ingin membunuh orang yang
membunuh gurumu?"
Mendengar pertanyaan itu, sepasang mata
Sakawuni membeliak besar. Dagunya sedikit men-
gembung, pelipis kiri kanannya bergerak-gerak
tanda hatinya diamuk gejolak amarah.
Melihat perubahan pada paras gadis di ha-
dapannya, laki-laki berjubah biru tertawa lebar.
"Perubahan wajahmu memberi isyarat bahwa kau
memang ingin membalas pada orang yang mem-
bunuh gurumu. Bagus! Sekarang aku ingin tahu,
adakah kau masih menaruh harapan bahwa ma-
nusia bergelar Pendekar Mata Keranjang akan
membalas perasaan hatimu?"
Paras Sakawuni berubah lagi. Kini merah
mengelam dan cepat berpaling pada jurusan lain.
"Ke mana arah pembicaraan orang tua ini?
Aku belum mengerti apa yang dimaksud dengan
mempertanyakan tentang Pendekar 108 segala....
Bagaimana aku harus mengatakannya? Apakah
perasaanku harus ku utarakan juga?"
"Sakawuni, kau dengar pertanyaanku...?!"
tegur laki-laki berjubah biru saat yang ditanya ti-
dak segera menjawab, bahkan palingkan wajah.
Sakawuni menghela napas dalam-dalam.
"Orang tua! Apakah pertanyaanmu itu juga ada
kaitannya dengan kematian Ageng Panangkaran?!"
"Kau belum jawab pertanyaanku!" ujar laki-
laki berjubah biru.
"Sialan betul! Sebenarnya tabu mengatakan
perasaan hati pada orang yang baru dikenal, tapi
apa hendak dikata. Aku punya dugaan bahwa
Pendekar Mata Keranjang ada kaitannya dengan
kematian guru jika orang tua ini menanyakan-
nya...," Sakawuni lantas berkata.
"Orang tua! Mengungkap perasaan hati pa-
da orang lain apalagi pada orang yang belum dike-
tahui siapa namanya sebenarnya sangat tidak bi-
jaksana. Namun jika hal itu ada hubungannya
dengan kematian guru, aku terpaksa harus men-
gatakannya!"
"Bagus! Berarti kau tidak mementingkan di-
ri sendiri, dan keinginanmu untuk mencari siapa
pembunuh gurumu memang sungguh-sungguh!
Sekarang katakan apa yang ada di benakmu ten-
tang Pendekar 108!"
Sejenak Sakawuni terdiam. Meski baru saja
mengatakan hendak mengutarakan perasaan ha-
tinya, namun gadis ini masih terlihat bimbang dan
berat. Hal ini tampaknya bisa dibaca oleh laki-laki
tua di hadapannya.
"Sakawuni! Waktuku tidak banyak. Kalau
kau masih menimbang-nimbang aku tak bisa lagi
menunggu! Dan itu berarti kau harus bisa me-
nyingkap sendiri siapa pembunuh gurumu! Suatu
pekerjaan yang memerlukan perjalanan panjang
dan menguras tenaga!"
Sakawuni hadapkan wajahnya pada orang
tua di hadapannya, setelah menarik napas pan-
jang dia berkata.
"Orang tua! Aku memang menaruh hati pa-
da pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang
108. Tapi hanya sebatas itu, soal nanti kesam-
paian apa tidak aku tak pernah memikirkan hing-
ga sampai sejauh itu, karena semua itu ada yang
telah mengaturnya!"
Orang tua di hadapan Sakawuni anggukkan
kepalanya. Sepasang matanya memandang lekat-
lekat pada gadis di hadapannya.
"Orang tua! Aku telah jawab pertanyaanmu,
sekarang kau harus mengatakan siapa pembunuh
Ki Ageng Panangkaran!"
Laki-laki berjubah biru tertawa pendek. Ke-
palanya menggeleng perlahan, membuat Sakawuni
kernyitkan dahi dan melotot. Dia menduga orang
tua di hadapannya telah menipunya. Dalam hati
diam-diam dia berkata.
"Kalau dia menipuku dengan tak mau men-
gatakan siapa pembunuh Ki Ageng Panangkaran
aku tak akan tinggal diam, meski aku tahu dia
adalah seorang berkepandaian sangat tinggi...!"
"Sakawuni!" kata orang tua berjubah biru.
"Pertanyaan yang harus kau jawab tinggal satu la-
gi. Dan kau jangan terbawa perasaan. Aku akan
mengatakan siapa pembunuh Ageng Panangka-
ran!"
"Orang tua!" kata Sakawuni dengan suara
setengah berteriak. "Kau mengulur-ulur waktu,
apa kau sengaja mempermainkan diriku? Jangan
berharap bisa pergi dari sini sebelum kau menjawab pertanyaanku!"
"Hmm.... Anak ini tegar dan tak pandang
bulu! Aku menyukai sifatnya.... Anak demikian in-
ilah yang kucari untuk melaksanakan segala ren-
canaku!" diam-diam laki-laki berjubah biru berka-
ta sendiri dalam hati. Lalu berkata.
"Sakawuni! Tadi sudah kukatakan, kau jan-
gan menuruti perasaan. Siapa pembunuh gurumu
pasti kukatakan padamu! Tapi jawab sekali lagi
pertanyaan terakhir ku!"
"Lekas katakan!" sahut Sakawuni seakan
tak sabar, meski dalam hati memaki habis-habisan
merasa dirinya diperas oleh pertanyaan yang sebe-
narnya tidak boleh diketahui orang lain.
"Apakah kau tetap akan melaksanakan
pembalasan atas kematian gurumu walau nan-
tinya hal itu bertentangan dengan hati nurani-
mu?!" berkata laki-laki berjubah biru seraya ten-
gadahkan kepala.
Sakawuni beringsut mundur mendengar
pertanyaan orang tua. Hatinya berdegup kencang.
Dugaan bahwa Pendekar 108 ada kaitannya den-
gan kematian gurunya semakin besar. Namun hal
itu segera dibuangnya jauh-jauh. Dia berkesimpu-
lan tak mungkin Pendekar 108 membunuh gu-
runya, selain dia telah mengenal gurunya, dia juga
tahu bahwa gurunya adalah sahabat Eyang Selak-
sa dan Eyang Wong Agung, dan lebih-lebih tak ada
untungnya jika Pendekar 108 melakukan perbua-
tan keji itu!
Untuk mencari kejelasan tentang arah uca-
pan laki-laki di hadapannya, Sakawuni ajukan
pertanyaan.
"Orang tua! Aku belum mengerti apa mak-
sud ucapanmu!"
Laki-laki berjubah biru tertawa hingga tu-
buhnya naik turun mengikuti guncangan ba-
hunya.
"Sakawuni! Perasaan cinta kadang-kadang
membutakan mata dan hati, bahkan bisa mengu-
bah 'ya' menjadi 'tidak' dan sebaliknya! Perasaan
cinta tak jarang bisa menembus dinding setebal
apa pun, tapi tak jarang pula tidak bisa menang-
kap apa yang ada di depan matanya!" sejenak laki-
laki itu hentikan kata-katanya, lalu menyambung.
"Apakah kau mampu melakukan sesuatu yang
penghadangnya adalah perasaan cinta itu?!"
"Orang tua! Kau tak usah berpanjang lebar!
Katakan saja apa maksudmu sebenarnya!"
"Baik! Apakah kau akan tetap melakukan
pembalasan kematian gurumu jika nantinya si
pembunuh adalah orang yang kau cintai, setidak-
tidaknya kau mengharapkan dirinya?!"
Meski Sakawuni telah dapat menduga arah
pembicaraan orang, namun dahinya berkerut juga
saat mendengar perkataan orang di hadapannya.
Dan apa yang akan dikatakan laki-laki itu selan-
jutnya, Sakawuni telah dapat menebak. Namun ia
tak mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.
Dia pura-pura tidak tahu siapa orang yang hendak
dikatakan laki-laki berjubah biru. Dia luruskan
pandangan matanya dan berkata.
"Orang tua! Soal kematian Guru adalah sa-
tu masalah, sedangkan perasaan mengharapkan
seseorang adalah masalah lain. Meski aku belum
matang dalam hidup dan menjalani kehidupan,
namun aku bisa membedakan antara satu masa-
lah dengan masalah lainnya! Aku bisa memilah
mana kepentingan utama dan mana kepentingan
nomor dua! Kau mengerti maksudku bukan?" Sa-
kawuni balik bertanya.
"Begitu? Baik! Kuharap kau tidak hanya
bersilat lidah dan menepati apa yang kau
ucapkan!"
"Lekas katakan siapa pembunuh guruku!"
ujar Sakawuni makin tak sabar.
Laki-laki berjubah biru anggukkan kepa-
lanya, lalu berkata.
"Kau tak usah terkejut, orang yang melepas
nyawa gurumu adalah manusia yang bergelar
Pendekar Mata Keranjang 108!"
Untuk kesekian kalinya, meski telah dapat
menduga siapa yang bakal dikatakan orang tua di
hadapannya, namun tak urung juga Sakawuni
membeliakkan sepasang matanya. Dadanya ber-
debar kencang. Dengan suara agak tinggi, dia be-
rucap.
"Orang tua! Kau jangan menebar fitnah!
Mana mungkin orang yang gigih menegakkan ke-
benaran seperti dia melakukan perbuatan terku-
tuk membunuh orang yang telah dikenalnya, bah-
kan sahabat gurunya? Kau jangan mengada-ada
dengan menebar fitnah keji! "
Laki-laki berjubah biru tertawa bergelak-
gelak.
"Sakawuni! Kata-kataku tadi menjadi ke
nyataan bukan? Perasaan cinta kadang-kadang
membutakan mata dan hati! Bahkan tak bisa me-
nangkap sesuatu meski di depan matanya! Dan itu
berarti kau belum bisa menghitung mana yang
utama dan mana yang nomor dua!"
Di depan, Sakawuni terlihat buang muka,
dari hidungnya keluar dengusan keras. "Apakah
mungkin Pendekar 108 melakukan hal itu? Hm....
Orang ini belum kukenal bahkan namanya pun
belum kuketahui, apa aku bisa percaya pada
orang begitu? Tapi dia mengetahui banyak tentang
diriku. Meski aku belum percaya, mungkin orang
ini punya alasan tertentu dengan apa yang baru
dikatakannya."
"Orang tua! Kau belum menyebutkan siapa
dirimu, lantas apa seseorang bisa percaya begitu
saja pada omongan orang yang belum dikenal dan
diketahui namanya? Dan tentunya kau punya
bukti jika berani berkata Pendekar Mata Keranjang
108 adalah pembunuh Ki Ageng Panangkaran!"
"Kau cerdik juga!" puji laki-laki berjubah bi-
ru. "Kalau kau ingin tahu siapa diriku, dengar
baik-baik! Orang-orang rimba persilatan memang
jarang yang kenal diriku! Namun sebaliknya aku
hampir mengenal siapa-siapa tokoh rimba persila-
tan mulai Selaksa, Wong Agung, malah guru ke-
duanya, juga Dewi Kayangan, Dewi Bayang-
Bayang, Gongging Baladewa, Restu Canggir Ru-
mekso, Bawuk Raga Ginting, Dayang Naga Puspa,
Dadung Rantak, Ratu Pulau Merah sampai sauda-
ra seperguruanmu Pandu yang kini bergelar Gem-
bong Raja Muda, dan juga Pendekar Mata Keranjang 108!" laki-laki berjubah biru hentikan kete-
rangannya sejenak, setelah menarik napas dia me-
lanjutkan.
"Orang rimba persilatan jarang yang men-
genal diriku, karena aku memang berusaha tak
memperkenalkan diri dan jarang keluar. Namun
hal itu kulakukan bukan karena aku takut meng-
hadapi orang. Justru aku memilih saat yang tepat
untuk muncul sekaligus membuat kegegeran!
Hanya kalau kau murid Ageng Panangkaran,
mungkin kau pernah dengar darinya tentang orang
yang bergelar Manusia Titisan Dewa! Hmm.... Itu-
lah aku!"
Sakawuni serta-merta surutkan langkah se-
raya ternganga. Dia memang pernah mendengar
nama itu dari mendiang gurunya Ageng Panangka-
ran. Menurut yang didengar, orang yang bergelar
Manusia Titisan Dewa adalah seorang tokoh silat
berkepandaian sangat tinggi. Hanya beberapa
orang saja yang sanggup menyamai ketinggian il-
munya. Dia memang jarang muncul ke arena rim-
ba persilatan dan jalan pikirannya pun sulit untuk
ditebak, karena kadang-kadang berpihak pada
orang-orang golongan putih namun tak jarang pula
berdiri di belakang orang-orang golongan hitam!
Bukan hanya jalan pikirannya yang sulit ditebak,
sifatnya pun sulit dimengerti, karena kadang-
kadang dia ringan tangan untuk membunuh meski
pada orang yang tidak membuat kesalahan, na-
mun sering juga membiarkan kepergian seseorang,
padahal orang tersebut nyata-nyata menginginkan
nyawanya!
"Manusia Titisan Dewa! Aku memang per-
nah mendengar tentang dirimu dari mendiang
guru. Aku gembira sekali dapat bersua dengan to-
koh hebat sepertimu! Terimalah hormatku!" kata
Sakawuni seraya tersenyum dan anggukkan kepa-
la.
Manusia Titisan Dewa tertawa melihat sikap
Sakawuni.
"Bagus! Jadi aku tak perlu lagi menerang-
kan panjang lebar siapa diriku, cukup apa yang
kau dengar dari gurumu!"
Sakawuni gelengkan kepala perlahan. "Ma-
nusia Titisan Dewa! Apa yang kudengar dari men-
diang guru tak ada hubungannya dengan tudu-
hanmu terhadap Pendekar 108! Jadi bagaimana-
pun juga kau harus memberikan alasan atau bukti
hingga kau berani mengatakan bahwa pemuda itu-
lah yang membunuh Guru!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum agak si-
nis. Setelah keluarkan tawa pendek dia berkata.
"Menuduh tanpa alasan kuat bagiku lebih
kejam dari membunuh!"
"Hmm.... Jika demikian harap kau sudi
mengemukakan alasanmu!"
"Mendiang gurumu adalah seorang tokoh
rimba persilatan yang namanya sangat disegani.
Selain itu, mendiang gurumu adalah tokoh yang
banyak menyimpan rahasia! Kau tahu, karena
lembaran kulit dari gurumulah hingga kipas dan
kitab kedua ciptaan Empu Jaladara dapat ditemu-
kan. Dan masih banyak lagi rahasia yang disim-
pannya yang dia tulis dalam sebuah buku."
"Lantas apa hubungannya dengan tudu-
hanmu?!" ujar Sakawuni sepertinya ingin langsung
pada masalah.
"Karena gurumu banyak menyimpan raha-
sia, maka tak sedikit orang yang coba mencuri
bahkan membunuhnya demi bukunya itu. Dan di
antara orang-orang yang menginginkan adalah Se-
laksa dan Wong Agung! Mungkin karena dianggap
sebagai sahabat, gurumu memberikan lembaran
kulit itu, tapi bukunya tidak. Hal ini nampaknya
membuat mereka tidak puas. Entah mereka lantas
berniat melenyapkan Ageng Panangkaran, dan
mungkin karena sebagai sahabat, Selaksa dan
Wong Agung tidak berani melakukan sendiri. Me-
reka lalu memerintah muridnya si Pendekar 108
untuk melaksanakan niatan mereka!" Manusia Ti-
tisan Dewa batuk-batuk, lalu melanjutkan kete-
rangannya.
"Kau tentunya telah mendengar tentang ter-
sentaknya rimba persilatan dengan Arca Dewi
Bumi, benar?"
"Aku memang dengar tentang itu! Hmm....
Kenapa kau menanyakan hal itu?"
"Adakah kau juga telah dengar, bahwa arca
itu telah jatuh ke tangan si Pendekar Mata Keran-
jang?"
Sakawuni terkejut. Ingatannya melayang
pada pertemuan terakhirnya dengan Pendekar
108.
"Hmm.... Saat itu dia mengatakan sedang
melaksanakan tugas berat. Bahkan saat ku ajukan
usul agar aku dijadikan teman dia menolak. Apakah saat itu dia sedang memburu arca itu...?"
"Sakawuni! Kau tahu, rahasia tentang Arca
Dewi Bumi hanya diketahui oleh segelintir orang.
Kalau Pendekar Mata Keranjang 108 dapat menge-
tahui di mana beradanya serta berhasil menda-
patkan arca itu, kalau tidak dari buku tulisan gu-
rumu dari mana lagi?"
Sakawuni sejenak terdiam dengan pikiran
menduga-duga.
"Hmmm.... Apakah perubahan sikapnya ser-
ta penolakannya tatkala kuajak bersama-sama ka-
rena takut aku mengetahui perbuatannya...?" Jika
ku hubung-hubungkan, apa yang dikatakan Ma-
nusia Titisan Dewa ada juga benarnya...."
"Sakawuni!" kata Manusia Titisan Dewa
menyentak lamunan Sakawuni. "Alasan itu lebih
kuat lagi setelah kudengar Pendekar 108 kini ber-
sekongkol dengan Dewi Kayangan dan Dewi
Bayang-Bayang!"
"Hmm.... Waktu terakhir bertemu, Pendekar
108 memang ditolong oleh Dewi Bayang-
Bayang...," kata Sakawuni dalam hati. Lalu berka-
ta.
"Siapakah sebenarnya Dewi Kayangan dan
Dewi Bayang-Bayang itu?!"
"Mereka adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi
dari golongan orang sesat! Dan waktu muda dulu,
mereka adalah musuh besar mendiang gurumu
yang ada di jalur golongan putih!"
Sakawuni manggut-manggut. Namun paras
wajahnya jelas berubah. Air mukanya tampak me-
rah mengelam, sementara dagunya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak mengisyaratkan kema-
rahan yang sedang melanda dadanya.
"Pendekar Mata Keranjang! Tak kusangka
jika kau manusia kejam durjana! Pertolonganmu
padaku mungkin hanya usahamu untuk menutupi
perbuatan kejimu! Jahanam keparat! Aku tak
akan tinggal diam, meski aku tahu kau adalah
manusia berilmu tinggi! Tunggulah!" hati Sakawu-
ni telah dibakar rasa marah dan kecewa.
Di hadapannya, melihat perubahan pada di-
ri Sakawuni, Manusia Titisan Dewa tampak terse-
nyum.
"Hmm.... Seorang perempuan jika telah dis-
akiti akan berubah menjadi singa lapar! Dan otak
warasnya tak mungkin bekerja dengan baik. Inilah
saatnya aku mulai melangkah....!"
DUA
Manusia Titisan Dewa tengadahkan kepala,
sepasang matanya yang besar melirik pada Saka-
wuni yang masih tampak tercenung dengan piki-
rannya sendiri. Dengan suara perlahan dia lantas
berkata.
"Sakawuni! Dari sepak-terjang Pendekar
108, apa masih terlintas keraguan di hatimu ten-
tang keterlibatan pemuda itu dalam kematian
Ageng Panangkaran?"
Sakawuni menarik napas dalam-dalam. Dia
ikut-ikutan tengadahkan kepala menatap langit-
langit gua, lalu dari mulutnya terdengar suara.
"Hal itu masih memerlukan penyelidikan le-
bih jauh, namun satu hal yang pasti, aku telah
memperoleh sebuah titik terang! Dan siapa pun
adanya orang yang membunuh guru, aku akan
membuat perhitungan dengannya!"
Manusia Titisan Dewa tertawa panjang,
hingga rambutnya yang kaku sesekali menyentuh
langit-langit gua. Hebatnya, begitu tersentuh ram-
but laki-laki ini, langit-langit gua yang terdiri dari
batu padas hitam itu sebagian rontok berguguran!
"Sakawuni! Sebagai sahabat dari mendiang
gurumu, aku sangat gembira sekali mendengar
ucapanmu namun juga merasa risau!"
Sakawuni kernyitkan kening. Kepalanya
bergerak lurus memandang lekat-lekat pada Ma-
nusia Titisan Dewa.
"Boleh aku tahu apa yang membuatmu ri-
sau,..?" Sakawuni ajukan pertanyaan.
"Kau mengatakan akan membuat perhitun-
gan dengan orang yang membunuh gurumu, lalu
apakah kau juga telah memperhitungkan kekua-
tan orang yang hendak kau hadapi? Ingat! Di bela-
kang orang yang membunuh gurumu, berdiri be-
berapa orang yang ilmunya tak bisa diperhitung-
kan!"
Sakawuni tertawa perlahan. Pandangannya
beralih pada mulut gua dan menerobos kepekatan
malam di luarnya. Kedua tangannya terlihat men-
gepal sementara kedua matanya tajam berkilat-
kilat.
"Manusia Titisan Dewa! Perjuangan memer-
lukan pengorbanan! Dan aku siap untuk berkorban!"
Tawa Manusia Titisan Dewa serta-merta
meledak begitu mendengar ucapan Sakawuni,
membuat gadis berparas cantik ini palingkan wa-
jahnya dan berkata.
"Adakah yang lucu hingga kau tertawa begi-
tu rupa?!"
"Sakawuni! Ternyata kau masih terpenga-
ruh dengan kata-kata usang itu! Jika kau masih
berpendapat begitu, kau tak lebih hanya boneka
hidup yang memang pantas dijadikan tumbal tan-
pa berarti apa-apa! Sungguh malang nasib saha-
batku Ageng Panangkaran. Mempunyai murid
yang hanya bisa dan pantas dijadikan tumbal!
Tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi
mendiang gurunya!"
Paras wajah Sakawuni merah kelam, sepa-
sang matanya melotot besar menatap Manusia Ti-
tisan Dewa. Kedua telinganya laksana dibakar
mendengar kata-kata laki-laki tua di hadapannya.
"Manusia Titisan Dewa! Aku banyak ucap
terima kasih atas segala keterangan yang telah kau
berikan, namun jangan sampai hal itu lenyap begi-
tu saja karena sinisnya kata-katamu!"
Manusia Titisan Dewa sunggingkan senyum
sinis. Tanpa lagi memandang pada Sakawuni dia
berkata.
"Aku tak butuh ucapan terima kasih. Itu
semua kulakukan karena memandang mendiang
gurumu adalah sahabatku! Dan jika kau menilai
kata-kataku sinis, itu terserah padamu! Hanya sa-
tu hal yang perlu kau ketahui, semangat saja tidak
cukup untuk sebuah perjuangan! Apalagi perjuan-
gan pembalasan!"
Sakawuni terdiam. Ia coba mencerna kata-
kata yang baru saja diucapkan Manusia Titisan
Dewa. Dan diam-diam dalam hati dia membenar-
kan ucapan Manusia Titisan Dewa.
"Lantas apa yang harus kulakukan...?"
tanya Sakawuni pada akhirnya.
"Karena yang akan kau hadapi bukanlah
tokoh-tokoh sembarangan, maka jalan satu-
satunya adalah menambah ilmu! Aku tahu, kau
adalah gadis yang berilmu tidak cetek, namun
menghadapi tantangan di depanmu, kurasa ilmu-
mu masih tidak berarti apa-apa!"
Sakawuni gelengkan kepalanya, lalu berka-
ta dengan suara parau.
"Manusia Titisan Dewa! Dalam situasi di
mana rimba persilatan digemparkan dengan ber-
macam-macam hal yang membuat semua tokoh
ingin muncul, kurasa terlalu sulit untuk mencari
seorang guru. Atau.... Bagaimana kalau kau saja
yang kuangkat sebagai guruku?" kata Sakawuni
memberanikan diri.
Manusia Titisan Dewa yang dipandangi Sa-
kawuni. Saat itulah tiba-tiba Sakawuni maju dua
tindak dan serta-merta berlutut di hadapan Manu-
sia Titisan Dewa. Dari mulutnya terdengar sua-
ranya yang mengharap.
"Demi sahabatmu Ageng Panangkaran, ku-
harap kau sudi mengangkat ku sebagai murid!"
Manusia Titisan Dewa terdiam hingga bebe-
rapa lama. Sepasang matanya mengawasi tubuh
Sakawuni yang kini berlutut dengan kepala ter-
tunduk. Bibirnya sunggingkan senyum.
"Sakawuni. Soal mengangkatmu sebagai
murid demi sahabat serta gurumu, itu soal gam-
pang. Yang sulit adalah apakah kau mampu men-
jadi muridku!"
"Yang kau maksud...?" tanya Sakawuni ma-
sih dengan wajah tertunduk.
"Aku tak mau kejadian yang menimpa mu-
ridku dahulu akan menimpamu pula! Ketahuilah,
aku dahulu pernah mempunyai seorang murid.
Namun pada akhirnya dia harus tewas di tangan-
ku sendiri, karena dia menolak perintahku! Apa-
kah kelak kau mampu menjalankan perintahku
meski perintah itu bertolak belakang dengan kein-
ginanmu? Karena aku tak mau mempunyai murid
yang menolak perintah gurunya!"
Mungkin karena merasa kecewa dan sakit
hati tentang Pendekar 108 maka tanpa pikir pan-
jang lagi Sakawuni langsung berkata.
"Hal yang menimpa muridmu, tak akan te-
rulang lagi padaku! Aku siap menjalankan segala
perintahmu! Dan siap pula mati jika menolak pe-
rintahmu!"
Manusia Titisan Dewa tertawa pelan men-
dengar ucapan Sakawuni.
"Mengucapkan memang lebih mudah dari-
pada melakukan, dan aku telah membuktikan hal
itu! Maka aku tidak akan lagi percaya pada uca-
pan! Kecuali disertai sumpah yang mengikat!"
Sakawuni kernyitkan keningnya. Diam-
diam dalam hati gadis cantik ini menggerutu panjang pendek. Namun dia tak berani mengelua-
rkannya.
"Baru Kali ini aku menemukan seorang
yang menyuruh angkat sumpah sebelum men-
gangkat seorang murid! Hmm.... Tapi apa hendak
dikata. Demi ketenangan Guru di alam baka sega-
lanya akan kulakukan...!" Sakawuni angkat kepa-
lanya, lalu berkata.
"Manusia Titisan Dewa! Demi guruku Ageng
Panangkaran. Segala kemauanmu akan kuturuti!
Sekarang sumpah apa yang harus kulakukan, ka-
takan!"
Manusia Titisan Dewa tersenyum, lalu ber-
kata.
"Angkat kedua tanganmu dan buka meng-
hadap ke depan!"
Meski masih dilanda tanda tanya, Sakawuni
mengikuti apa yang dikatakan Manusia Titisan
Dewa. Begitu tangannya telah diangkat, Manusia
Titisan Dewa ulurkan tangan kanannya. Tiba-tiba
tangan itu bergerak dan terdengar 'crasss' dua kali
berturut-turut.
Sakawuni gigit bibirnya, karena telapak
tangannya terasa panas dan sepasang matanya
membeliak tatkala sesaat kemudian darah segar
terlihat menetes dari kedua telapak tangannya.
Begitu darah telah menetes, Manusia Titi-
san Dewa gerakkan jari telunjuknya di telapak
tangannya sendiri. Tahu-tahu telapak tangannya
telah pula mengeluarkan darah. Dan tiba-tiba tan-
gannya yang mengeluarkan darah ditakupkan pa-
da kedua tangan Sakawuni.
"Sakawuni! Mulai malam ini kau telah kua-
ngkat sebagai muridku! Kalau kau menolak segala
perintahku, darahmu akan ku alirkan dengan tan-
ganku sendiri!"
"Baik! Aku pun berjanji, jika aku menolak
perintahmu, aku rela mati di tanganmu!"
Untuk sekian lama kedua orang ini masih
saling takupkan tangan masing-masing, dan begi-
tu darah agak menyurut, Manusia Titisan Dewa
tarik tangannya dan berkata.
"Sakawuni! Tempat ini kurasa kurang aman
untuk mempelajari ilmu! Sekarang ikut aku!" ha-
bis berkata begitu, Manusia Titisan Dewa balikkan
tubuh dan berkelebat ke mulut gua.
Sakawuni buru-buru bangkit lalu menyusul
Manusia Titisan Dewa yang telah diangkatnya
menjadi guru.
"Ayo!" kata Manusia Titisan Dewa begitu
Sakawuni telah ada di belakangnya. Manusia Titi-
san Dewa lantas berkelebat menembus kegelapan
malam yang kemudian disusul oleh Sakawuni di
belakangnya
TIGA
Sesosok bayangan terlihat berkelebat cepat
menuju sebuah bukit kecil yang sepi dan tampak
tak pernah dirambah manusia. Hal itu terlihat dari
merangasnya ilalang serta berserakannya ranting-
ranting pohon yang telah membusuk dan bersatu
dengan tanah bebukitan.
Sampai pada sebuah gua yang lobangnya
hampir tak terlihat, karena tertutup ilalang tinggi-
tinggi, bayangan tadi hentikan larinya. Sepasang
matanya menebar berkeliling, kepalanya bergerak
ke sana kemari mengitari tempat itu. Merasa tidak
ada orang lain selain dirinya, sosok ini gerakkan
tangannya mengusap keringat yang meleleh di
kening dan lehernya. Napasnya berhembus pan-
jang serta dalam-dalam.
"Hmm.... Inilah tempat yang ditunjuk Dewi
Kayangan. Dan kurasa memang tepat untuk mem-
pelajari sekaligus mendalami apa yang ada di Arca
Dewi Bumi...," gumam sosok ini. Dia adalah seo-
rang pemuda berparas tampan, mengenakan pa-
kaian warna hijau yang dilapis dengan pakaian da-
lam warna kuning lengan panjang. Rambutnya
panjang dan dikuncir ekor kuda.
Pemuda berjubah hijau yang bukan lain Aji
alias Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak terli-
hat mondar-mandir di mulut gua. Seraya melang-
kah sepasang matanya tak henti-hentinya me-
mandang liar ke setiap sudut di tempat itu. Murid
Wong Agung ini rupanya sangat hati-hati sekali,
bahkan untuk beberapa saat dia jongkok sambil
memperhatikan sela-sela ilalang di sekitarnya. Hal
ini bisa dimaklumi, karena setelah mendapatkan
Arca Dewi Bumi bagaimanapun juga jiwanya diin-
car oleh siapa pun juga yang menginginkan arca
itu. Apalagi waktu mendapatkan arca itu para to-
koh-tokoh golongan hitam mengetahuinya. Sadar
akan hal itu, waktu menuju tempat di mana dia
sekarang berada, murid Wong Agung ini sengaja
mengambil jalan berputar dan menghindari kera-
maian.
Setelah dirasa aman, Aji bangkit dan me-
langkah ke arah gua. Disibakkannya ilalang yang
menutupi mulut gua. Bias sang mentari menero-
bos ilalang dan menerangi bagian dalam gua. Sete-
lah dapat menyiasati keadaan di dalam, Aji segera
melangkah masuk.
Ruang bagian dalam gua itu tidak begitu
besar, di sana-sini tampak sarang laba-laba yang
hampir menutupi langit-langit serta sudut gua.
Pada dinding sebelah dalam yang menghadap ke
mulut gua tampak sebuah batu. Aji melangkah
mendekati batu, karena di situ ada cahaya mentari
yang menerobos masuk dari lobang di atasnya.
"Dengan penerangan ini aku bisa membaca
dengan jelas."
Aji lalu duduk bersila di atas batu dengan
punggung bersandar pada dinding gua. Sejenak
sepasang matanya memandang lurus ke mulut
gua, lalu kepalanya tengadah memandang pada
lobang yang memberi penerangan. Lalu pelan-
pelan dengan tangan agak gemetar dan jantung
berdegup kencang dikeluarkannya sebuah bung-
kusan putih dari balik pakaiannya. Sesaat bung-
kusan putih itu dipandanginya, lalu pelan-pelan
pula dibukanya bungkusan itu.
Sebuah arca berbentuk seorang perempuan
kini terpampang di hadapannya. Arca itu berwarna
ungu kekuningan. Tangan kanannya tampak sedi-
kit terangkat dan menggenggam sebuah tongkat.
Sementara tangan kirinya sedekap sejajar dada.
Pada kepala arca tampak sebuah mahkota bersu-
sun tiga yang ditengahnya terdapat sebuah lobang
dan tampak menyembul sebuah gulungan kain
berwarna putih. Sedang pada dahinya tampak tiga
butir mutiara berwarna biru. Tinggi arca itu tak le-
bih dari satu setengah jengkal telapak tangan.
Perlahan-lahan diangkatnya arca itu lalu
diusapnya beberapa kali. Sepasang matanya dile-
barkan. Dan dengan penerangan dari lobang di
atasnya Pendekar 108 segera memperhatikan Arca
Dewi Bumi. Perlahan-lahan diambilnya gulungan
kain yang ada di lobang di tengah-tengah mahko-
ta. Lalu dibentangkan.
Dengan tangan masih gemetar dan dada
berdegup keras, bibir Aji mulai berkemik membaca
tulisan pada bentangan kain.
Dunia dan isinya adalah sebuah malapetaka
Dunia dan isinya adalah sebuah kedamaian
Manusia adalah sang pengatur arah
Hanya manusia yang ditetesi embun Tuhan,
Dapat arahkan dunia pada kedamaian.
Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 108
terdiam seraya dalam hati mengulang-ulang kali-
mat itu. Kemudian matanya dilebarkan lagi mem-
baca kalimat-kalimat di bawahnya yang agak kecil-
kecil.
"Hmm.... Ini petunjuk tentang jurus. Tan-
gan kiri sejajar dada, jari tengah dan telunjuk lu-
rus ke atas, sedang jari lainnya menekuk. Tenaga
dalam dipusatkan pada tengah telapak tangan dan
didorong.... Sebuah jurus yang sederhana. Aneh-
nya, di sini tak ada petunjuk tentang gerakan pada
telapak tangan kanan.... Bagaimana ini? Juga ge-
rakan pada tangan kiri terlihat begitu sederhana
sekali. Apa dan di mana keistimewaannya...?"
Untuk sesaat lamanya murid Wong Agung
ini dibuncah oleh perasaan heran dan coba men-
cari-cari apa keistimewaan gerakan tadi. Bahkan
tangan kirinya pun tampak bergerak dan mempe-
ragakan seperti apa yang tertulis. Tenaga dalam-
nya dikerahkan pada tengah telapak tangan, lalu
didorong perlahan.
"Hmm.... Hanya serangan biasa.... Tak kuli-
hat ada hebatnya...," gumam Aji dalam hati seraya
mengulangi gerakannya, namun hasilnya seperti
semula. Hanya sambaran angin yang tampak me-
lesat tanpa ada kehebatan lain.
"Akan kulihat di belakangnya...," kata Aji,
lalu balikkan lembaran kain di tangannya. Di ba-
gian belakang lembaran kain terdapat beberapa
gambar. Sejenak Pendekar 108 memperhatikan
dengan seksama gambar-gambar itu.
"Aneh. Di sini terlihat pancaran sinar pada
telapak tangan kiri, sementara pada tangan ka-
nan.... Astaga! Memegang sebuah kipas!"
'"Aku hampir paham...," kata Aji dalam hati
sambil meletakkan lembaran kain di pangkuannya
dan mengeluarkan kipas miliknya dari balik pa-
kaiannya. Tangan kirinya lalu digerakkan dengan
jari tengah dan telunjuk ke atas, sementara tangan
kanannya menebarkan kipas.
Weeerrr!
Serangkum angin dahsyat menyambar ke-
luar. "Heran. Tidak juga ada istimewanya. Dan
pancaran sinar juga tak terlihat dari telapak tan-
gan kiri meski aku telah kerahkan tenaga da-
lam...,"
Murid Wong Agung menghela napas dalam-
dalam. Parasnya menunjukkan rasa kecewa. Na-
mun dia tak begitu saja menyerah. Di ulanginya
gerakan-gerakan menurut apa yang tertera dalam
gambar. Namun hasilnya tak juga ada kemajuan.
Saat itulah tiba-tiba penerangan dari lobang
di atasnya meredup, seakan ada sesuatu yang
menghalangi. Aji cepat dongakkan kepalanya. Dia
menarik napas lega, karena yang menghalangi ha-
nyalah awan putih tipis yang masuk melalui lo-
bang. Namun murid Wong Agung segera ker-
nyitkan kening.
"Tak mungkin ada asap tipis yang begitu sa-
ja masuk.... Pasti ada...," Aji cepat sambar arca di
pangkuannya dan dimasukkan ke balik pakaian-
nya. Sepasang matanya tak berkedip memandang
ke arah lobang di atasnya. Dan murid dari Karang
Langit ini semakin tak enak tatkala asap itu terus
menerobos masuk tiada hentinya. Anehnya, begitu
masuk ke dalam gua, asap itu bergerak merayapi
langit-langit gua dan membentuk uluran panjang.
"Hmm.... Pasti ada orang yang menggerak-
kannya! Kurang ajar! Bagaimana bisa tahu jika
aku di sini? Mengikuti perjalananku...? Tidak
mungkin! Aku telah mengambil jalan berputar
bahkan aku sering melakukan perjalanan malam
hari! Siapa dia...? Atau mungkin Dewi Kayan
gan...? Hanya dia satu-satunya orang yang tahu ke
mana aku pergi dan ke mana tujuanku...."
Selagi murid Wong Agung ini menduga-
duga, tiba-tiba uluran panjang asap putih bergerak
menggulung dan menggumpal jadi satu. Aji mem-
belalakkan sepasang matanya. Dan matanya ma-
kin melotot besar tatkala samar-samar terlihat se-
sosok bayangan muncul dari gumpalan asap pu-
tih.
Mulut Pendekar 108 yang sedari tadi telah
membuka hendak keluarkan teguran karena dis-
angkanya yang akan muncul dari kepulan asap
putih adalah Dewi Kayangan serta-merta menga-
tup. Karena yang muncul dari asap putih adalah
seorang laki-laki berusia amat lanjut. Pakaiannya
compang-camping bahkan di sana-sini telah tam-
pak warna kehijau-hijauan seperti rambahan
rumput. Rambutnya hampir tak ada. Paras wajah-
nya serta tubuhnya hanya di-bungkus kulit tipis.
"Sahyang Resi Gopala...," gumam Aji begitu
mengenali siapa adanya sosok laki-laki tua yang
keluar dari gumpalan asap putih. Serta-merta mu-
rid dari Karang Langit ini bergerak turun dari atas
batu dan duduk seraya menjura beberapa kali.
Sosok laki-laki tua yang bukan lain memang
Sahyang Resi Gopala membuka kelopak matanya
yang sedari tadi terpejam. Bibirnya bergerak mem-
buka.
"Aji Saputra. Kau adalah manusia yang te-
lah ditentukan untuk mendapatkan apa yang ada
pada Arca Dewi Bumi. Ketahuilah segala gerakan-
gerakan yang ada pada lukisan kain itu tidak ada
hebatnya jika kau belum terisi oleh tiga mutiara
biru yang ada pada dahi arca. Keluarkan arca itu
dan letakkan di hadapanmu! Lakukan gerakan pa-
da lukisan kain dan kerahkan jurus ‘Pamungkas
Bayu Kencana’."
Dengan tangan masih gemetar dan jantung
berdegup makin keras, Aji menuruti perintah Sa-
hyang Resi Gopala. Arca diletakkan di hadapan-
nya, lalu tangan kirinya diangkat sejajar dada den-
gan jari tengah dan telunjuk diluruskan ke atas,
jari-jari lainnya ditekuk. Lalu Aji kerahkan tenaga
dalam pada telapak tangan kirinya dan lakukan
jurus 'Pamungkas Bayu Kencana' dengan menarik
perlahan tangan kirinya.
Arca di hadapan Aji tampak bergoyang-
goyang dan bersamaan itu satu persatu mutiara
yang ada pada dahi arca melesat dan masuk ke te-
lapak tangan kiri Aji.
Pendekar Mata Keranjang merasa tangan-
nya dihantam batu besar, aliran darahnya seakan
tersumbat dan hawa sangat dingin merayapi seku-
jur tubuhnya. Pemandangannya berubah menjadi
biru dan sangat dingin! Dadanya berdetak ken-
cang, dan tubuhnya bergetar hebat!
Namun hal itu cuma sesaat. Begitu mutiara
telah masuk semua, keadaan Pendekar 108 nor-
mal kembali. Malah pandangannya makin terang
dan tubuhnya ringan. Belum sempat Pendekar 108
memikirkan apa yang telah dialami, Sahyang Resi
Gopala telah berkata kembali.
"Aji. Dalam dirimu telah tertanam tiga mu-
tiara biru. Itu adalah pangkal kekuatan dari jurus
yang ada pada lukisan kain. Jurus itu bernama
'Mutiara Biru'. Kau telah tahu bagaimana mempe-
ragakannya. Ingat! Karena jurus 'Mutiara Biru'
adalah sebuah pukulan yang maha hebat, maka
jangan sekali-kali kau gunakan jika tidak dalam
keadaan terdesak! Dan juga perlu kau camkan
baik-baik. Jika kau salah gunakan apa yang telah
kau dapat, maka Mutiara Biru akan menghantam
tubuhmu sendiri!"
"Segala petunjuk Eyang Resi akan kuingat!"
gumam Aji perlahan.
"Karena isi Arca Dewi Bumi telah masuk ke
dalam dirimu, maka arca itu telah tidak ada apa-
apanya lagi. Biarlah arca itu kusimpan kembali."
Habis berkata, Sahyang Resi Gopala gerakkan te-
lunjuknya. Arca di hadapan Aji melesat ke arah
Sahyang Resi Gopala.
"Saatnya bagiku untuk pergi...."
Pendekar Mata Keranjang 108 sebenarnya
hendak mengucapkan sesuatu, namun belum
sampai kata-katanya keluar, sosok Sahyang Resi
Gopala telah lenyap dari hadapannya dan asap pu-
tih tipis bergerak mengulur panjang ke arah mulut
gua sebelum akhirnya lenyap.
EMPAT
Satu purnama terlewati.... Seorang laki-laki
berusia lanjut tampak berdiri di depan sebuah ba-
tu karang besar yang membentuk sebuah bangu-
nan di tepi pesisir. Dia mengenakan jubah biru gelap yang amat besar. Pada kepalanya tampak cap-
ing lebar berwarna hitam dari kulit yang atasnya
terbuka, hingga rambutnya yang jarang dan amat
kaku tampak jelas. Paras laki-laki ini tidak begitu
jelas karena kulit wajahnya sangat tipis, hingga
hanya menampakkan tonjolan-tonjolan tulang wa-
jah. Sepasang matanya besar dan masuk ke dalam
rongga yang amat cekung. Sepasang alis matanya
tampak kaku dan menghadap ke depan, sementa-
ra bibirnya tebal.
Sepasang mata laki-laki ini yang bukan lain
adalah Manusia Titisan Dewa terlihat memandang
tak kesiap ke arah lautan bebas di hadapannya.
Sesaat kemudian, dia tampak melangkah terbung-
kuk-bungkuk ke arah hamparan batu karang yang
rata. Anehnya, meski tampak melangkah terbung-
kuk-bungkuk, sepasang kaki laki-laki ini tidak
menyentuh batu karang! Sepasang kakinya berada
satu jengkal di atas batu karang di bawahnya!
Begitu sampai pada hamparan batu karang
yang rata, Manusia Titisan Dewa hentikan lang-
kah. Sepasang matanya yang besar kembali liar
memandang lautan lepas. Saat itu sang mentari te-
lah hampir tenggelam di laut sebelah barat.
"Hmm.... Telah satu purnama Sakawuni
menjalankan perintahku untuk memperdalam il-
mu. Saatnya akan segera tiba dan rimba persilatan
akan geger. Sakawuni akan muncul sebagai tokoh
muda yang tak tertandingi.... Dan rencanaku akan
berjalan dengan lancar. Satu persatu tokoh golon-
gan putih akan kuambil dan kukumpulkan di sini!
Mereka akan kujadikan bangkai tanpa kubur! Tokoh golongan hitam pun akan kulenyapkan satu
persatu. Rimba persilatan akan gempar! Aku ingin
menciptakan kecemasan dan kegelisahan sepan-
jang masa pada setiap orang yang mengaku di-
rinya sebagai orang-orang persilatan. Ha ha ha...!"
Dari mulut Manusia Titisan Dewa meledak
suara tawa panjang berderai-derai hingga tubuh-
nya yang telah bungkuk makin melengkung. He-
batnya, bersamaan dengan ledakan suara ta-
wanya, batu karang di sekitar tempat itu bergerak-
gerak dan bergetar, pertanda bahwa suara tawa
Manusia Titisan Dewa bukanlah tawa biasa, me-
lainkan telah dialiri tenaga dalam tinggi!
Tiba-tiba Manusia Titisan Dewa hentikan
tawanya. Wajahnya diputar setengah lingkaran
menghadap ke samping kanan. Bibirnya yang tebal
tampak sunggingkan senyum.
"Dia sudah datang...," gumam Manusia Titi-
san Dewa tatkala sepasang matanya menangkap
kelebat sesosok bayangan yang menuju arahnya.
Baru saja selesai gumaman Manusia Titisan
Dewa, sesosok bayangan tampak telah berdiri di
hadapannya dan menjura hormat seraya berkata.
"Guru! Aku telah menjalankan apa yang
kau perintahkan!"
Manusia Titisan Dewa tertawa perlahan.
Kepalanya manggut-manggut. "Bagus! Dengan
modal kepandaianmu, memang tak sulit mempela-
jari apa yang kuperintahkan. Dan berarti ilmumu
sekarang telah bertambah! Dan aku yakin, hanya
beberapa orang yang dapat menandingi mu!"
"Terima kasih, Guru...!" sahut sosok di ha
dapan Manusia Titisan Dewa. Dia adalah seorang
gadis muda berparas cantik jelita dan bukan lain
adalah Sakawuni, bekas murid Ageng Panangka-
ran yang kini telah diangkat murid oleh Manusia
Titisan Dewa.
"Sakawuni! Bekalmu untuk menghadapi
tantangan kurasa telah cukup. Sekarang katakan
padaku, apa rencanamu!"
Sakawuni angkat kepalanya. Dipandanginya
lekat-lekat laki-laki tua di hadapannya.
"Guru. Kalau boleh memilih, aku ingin ter-
lebih dahulu membalas sekaligus menuntut darah
atas kematian mendiang Ageng Panangkaran!"
Manusia Titisan Dewa anggukkan kepa-
lanya. Sepasang matanya beralih pada jurusan
lain. Dia untuk beberapa lama tidak memberi
tanggapan atas ucapan muridnya. Karena sebe-
narnya dalam hati, laki-laki ini sedang berkata.
"Bagus! Itu memang yang kuharapkan.
Dengan tersingkirnya Pendekar Mata Keranjang
108, Selaksa serta Wong Agung, maka langkah se-
lanjutnya akan lebih mudah.... Dan aku pun akan
segera bergerak menjemput satu persatu tokoh go-
longan hitam untuk ku tanam di batu karang ini!
Hmm...."
Melihat gurunya tidak memberi tanggapan
atas rencananya, Sakawuni buru-buru hendak
menyusuli kata-katanya. Namun sebelum ucapan-
nya keluar, Manusia Titisan Dewa telah berkata.
"Sakawuni. Sebenarnya aku punya rencana
lain. Namun demi untuk menghormati mendiang
gurumu Ageng Panangkaran yang juga adalah sahabatku, maka untuk sementara rencanaku
kuundurkan dahulu...."
"Terima kasih, Guru. Begitu urusan selesai,
aku akan segera kembali dan siap dengan segala
rencanamu!"
Manusia Titisan Dewa menarik napas da-
lam-dalam. Kepalanya mendongak melihat langit
yang samar-samar telah direngkuh oleh gelapnya
malam. Dari mulutnya lantas terdengar suaranya
bertanya.
"Kau tentunya telah tahu siapa yang harus
kau temui sekaligus kau tuntut darahnya, bu-
kan...?"
Sakawuni anggukkan kepalanya. Dan tiba-
tiba parasnya berubah. Sepasang matanya mem-
besar. Dagunya sedikit mengembang, sementara
pelipis kanan kirinya bergerak-gerak mengisya-
ratkan kemarahan yang memuncak di hatinya.
"Karena orang pertama yang bertanggung
jawab atas kematian Guru adalah Pendekar Mata
Keranjang, maka dialah orang yang bakal pertama
kali menemui ajal di tanganku! Setelah itu kedua
gurunya! Juga orang-orang yang bersekongkol
dengannya!"
Manusia Titisan Dewa tertawa dalam hati.
Lalu dia melangkah mendekat dan berkata.
"Sakawuni. Yang kau katakan betul! Aku
hanya bisa menanti kabar darimu dan kuharap
kau kembali dengan kabar gembira. Hanya satu
pesanku. Kau harus berhati-hati menghadapi me-
reka! Mereka adalah manusia-manusia kotor yang
menyelinap dalam golongan putih. Mereka adalah
kumpulan orang-orang licik! Maka dari itu, kau
pun harus menggunakan segala cara untuk dapat
menaklukkan mereka! Ingat! Meski kau berilmu
tinggi tanpa kelicikan maka akan sia-sialah ke-
tinggian ilmu itu! Kau dengar dan me-ngerti...?!"
Sakawuni anggukkan kepala.
"Segala petunjukmu akan kulaksanakan!
Muridmu mohon diri sekarang...."
Manusia Titisan Dewa anggukkan kepala.
Namun buru-buru laki-laki ini ulurkan tangan ka-
nannya pegang pundak muridnya dan berkata.
"Apakah kau telah mencoba hasil dari yang
telah kau pelajari selama ini?"
Sakawuni urungkan niatnya yang hendak
berkelebat. Tubuhnya di hadapkan kembali pada
Manusia Titisan Dewa.
"Sudah! Dan aku hampir tak percaya den-
gan penglihatanku sendiri! Terima kasih sekali la-
gi. Kau telah mewariskan ilmumu padaku!"
Manusia Titisan Dewa menyeringai. Lalu
tertawa lebar.
"Sakawuni. Itu hanya sebagian. Setelah kau
selesai dengan urusan darah Ageng Panangkaran,
kau akan kuberi lagi ilmu yang lain.... Aku ingin
menjadikan mu bukan saja sebagai tokoh berilmu
tinggi yang disegani, tapi juga ku ingin menjadikan
mu manusia yang tiada tanding!"
"Ah...!" Sakawuni keluarkan seruan seakan-
akan terkejut meski bibirnya tampak sunggingkan
senyum. Dan kembali gadis cantik ini menjura dan
mengucapkan terima kasih.
"Hmm.... Sekarang berangkatlah!" Menden
gar ucapan gurunya, Sakawuni bukannya segera
berangkat. Dia tampak terdiam untuk beberapa
lama, membuat Manusia Titisan Dewa kernyitkan
dahi dan berkata.
"Ada sesuatu yang hendak kau utarakan?"
Sakawuni luruskan kepala dan memandang, lekat-
lekat pada gurunya. Namun dari mulutnya tidak
terdengar sepatah kata pun. Gadis ini terlihat
bimbang.
Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit.
Sambil arahkan pandangannya pada laut lepas
yang kini telah berwarna biru kehitaman, dia ber-
kata.
"Sakawuni. Kau adalah muridku, bahkan
telah kuanggap sebagai anakku.... Sakitmu adalah
juga sakitku! Bahagia mu juga adalah bahagia ku!
Bebanmu adalah beban ku juga. Apakah dengan
hal itu kau masih menyembunyikan sesuatu pa-
daku?"
Diam-diam trenyuh juga hati gadis ini men-
dengar kata Manusia Titisan Dewa. Hingga tanpa
sadar sudut-sudut matanya telah merebak air ben-
ing. Setelah dapat menguasai diri, Sakawuni ber-
kata. Nada suaranya terdengar serak dan bergetar.
"Guru.... Selama ini memang hatiku dilanda
resah gelisah...," sejenak Sakawuni hentikan uca-
pannya. Napasnya berhembus panjang-panjang.
Dia seakan ingin melepaskan rasa beban yang
menghimpit dadanya.
Manusia Titisan Dewa menunggu dengan
kening berkerut. Dan tatkala Sakawuni belum juga
lanjutkan ucapannya, dia berkata.
"Sakawuni, kuharap kau lanjutkan uca-
panmu...."
"Guru...," kata Sakawuni setelah agak lama
terdiam. "Setelah kudengar dari keteranganmu
bahwa manusia bergelar Pendekar Mata Keranjang
108 telah berhasil mendapatkan Arca Dewi Bumi,
terus terang aku gelisah. Menurut kabar yang se-
lama ini tersiar, arca itu berisi jurus-jurus hebat.
Apa hal itu benar adanya...?"
Manusia Titisan Dewa sunggingkan senyum
seringai. Sepasang matanya melebar. Dari mulut-
nya terdengar suara tawa pendek bernada menge-
jek.
"Muridku! Berita masih belum bisa ditentu-
kan benar tidaknya! Demikian juga tentang Arca
Dewi Bumi. Orang-orang rimba persilatan memang
gencar membicarakannya. Bahkan kabarnya telah
banyak jatuh korban demi memperebutkan benda
usang itu. Meski arca itu telah jatuh ke tangan
Pendekar 108, namun sekali lagi kau harus ingat.
Hal-hal mengenai arca itu masih berita. Dan bi-
asanya, berita lebih besar dari kenyataannya!" Ma-
nusia Titisan Dewa hentikan keterangannya. Sete-
lah memandangi paras muridnya, dia melan-
jutkan.
"Kau tak usah khawatir! Ilmu yang telah ku-
turunkan padamu adalah sebuah kenyataan. Se-
dang hal mengenai arca itu masih berita! Dan ka-
lau pun nyata aku masih yakin kau dapat mene-
bus tetesan darah Ageng Panangkaran pada pe-
muda itu! Atau kau masih menyangsikan ilmu
yang kuturunkan padamu...?"
Sakawuni segera gelengkan kepalanya. "Ti-
dak, Guru! Dan maafkan atas segala rasa ke-
gelisahanku selama ini! Aku mohon diri seka-
rang...," habis berkata begitu, Sakawuni bungkuk-
kan tubuh lalu berbalik dan berkelebat meninggal-
kan gurunya yang terus mengawasi kelebatan mu-
ridnya dengan bibir tersungging senyum.
"Hmm.... Saatnya juga aku bergerak...,"
gumam Manusia Titisan Dewa begitu sosok Saka-
wuni lenyap ditelan kepekatan malam. Lalu ia sa-
pukan pandangannya sebentar pada bangunan ba-
tu karang tempat tinggalnya. Sesaat kemudian so-
soknya telah lenyap!
LIMA
Sesosok bayangan tampak berkelebat cepat
menyusur celah-celah rimbunan semak belukar
serta deretan pohon-pohon besar. Begitu cepatnya
lesatan sosok ini hingga yang tampak hanyalah
suara desiran angin lalunya serta bergoyangnya
semak belukar yang terabas oleh sosoknya. Dan
melihat gerak-geriknya, selain berkepandaian ting-
gi, sosok ini juga mempunyai keperluan yang san-
gat penting, karena sengaja mengambil jalan pin-
tas dengan menerabas semak-belukar.
Namun mendadak saja sosok ini hentikan
larinya. Sepasang matanya menyapu liar berkelil-
ing. Kepalanya lantas berpaling pada kepala yang
terkulai lemas di dadanya sebelah kiri.
"Hmm.... Dia pingsan...," gumamnya seraya
menarik jubahnya yang tertarik ke atas. Sejurus
dipandanginya kepala yang terkulai di dadanya. Di
pundaknya memang terlihat sesosok tubuh yang
kepalanya terkulai lemas. Demikian pula tubuh-
nya. Sosok yang terkulai itu tak jelas paras wajah-
nya. Yang jelas hanya rambutnya yang jambrik
dan dipotong pendek, sementara bagian samping-
nya panjang. Pakaian yang dikenakannya pun
tampak robek menganga di sana-sini.
Sementara sosok yang memanggul adalah
seorang pemuda bertubuh tegap. Wajahnya tam-
pan dengan sepasang mata tajam. Rambutnya
panjang dan dibiarkan berkibar-kibar ditiup angin.
Hidungnya agak mancung. Meski berparas tam-
pan. Air muka pemuda ini tak menggambarkan ra-
sa ramah sekali. Senyum seringai seringkali
menghias bibirnya.
Dia mengenakan jubah besar berwarna be-
lang merah dan hitam.
"Aku mendengar suara orang terisak...,"
gumam sang pemuda. Dia tegak termenung seraya
memastikan sumber suara isakan yang didengar-
nya.
"Aneh, di tempat sesepi ini siapa gerangan
yang terisak seperti orang ditinggal mampus? Atau
hantu laknat yang sengaja mengganggu orang le-
wat...?" sang pemuda terdiam seraya meyakinkan.
Suara isakan itu makin lama makin keras bahkan
sesekali diseling dengan gumaman yang tak jelas.
Sang pemuda kernyitkan kening, lalu melangkah
perlahan ke arah sumber isakan tangis.
Sesaat kemudian, dari balik jajaran pohon
pohon besar, sang pemuda melihat sebuah gun-
dukan tanah yang masih tampak merah pertanda
baru saja digali. Sepasang mata sang pemuda tiba-
tiba membeliak liar dan memandang tak kesiap.
Bukan pada gundukan tanah merah, melainkan
pada sosok seorang perempuan yang duduk ber-
simpuh di samping tanah gundukan. Sosok ini be-
rambut panjang dan dikepang dua. Mengenakan
pakaian warna hijau tipis. Mungkin karena baru
saja menggali atau karena guncangan jiwanya, se-
kujur sosok perempuan ini berkeringat, hingga pa-
kaiannya yang tipis tampak melekat memperli-
hatkan bentuk tubuhnya yang bagus.
"Hmm.... Bentuk tubuh bagian belakangnya
demikian bagus dan menggemaskan. Parasnya
tentu tak mengecewakan. Siapa yang baru saja
dimakamkan? Kekasihnya.... Atau kerabatnya?
Sialan! Kenapa aku memikirkan hal itu...? Bukan-
kah yang lebih penting adalah perempuan itu...?
Tapi.... Benarkah dia benar-benar manusia? Jaha-
nam! Kenapa aku terpengaruh dengan segala ma-
cam tahayul tentang hantu...!"
Merasa yakin bahwa di samping makam
adalah seorang anak manusia, sang pemuda me-
langkah ke samping kiri melewati beberapa pohon.
Dari tempat barunya kembali sepasang mata sang
pemuda memperhatikan ke arah perempuan yang
bersimpuh di samping makam dengan tetap teri-
sak. Kedua tangan sang perempuan tampak dita-
kupkan pada wajahnya. Begitu kedua tangannya
diturunkan, baru agak jelas paras sang perem-
puan.
"Dugaanku tidak meleset. Dia berparas can-
tik.... Dan masih muda! Dadanya kencang menan-
tang.... Hmm...." Sang pemuda memperhatikan se-
raya membatin. Kepalanya lalu berpaling pada so-
sok yang ada di pundaknya.
"Sialan! Jika saja tidak memandangnya se-
bagai orang yang telah menurunkan ilmu padaku,
niscaya akan kubiarkan dia jadi bangkai dengan
tubuh terlilit rotan.... Tapi untuk urusan perem-
puan, terpaksa dia akan kuturunkan dahulu, apa-
lagi telah lama aku tak merasakan nikmatnya tu-
buh perempuan...," perlahan-lahan lalu diturun-
kannya sosok yang sejak tadi ada di pundaknya.
"Tunggulah.... Aku akan bersenang-senang
dahulu...," gumam sang pemuda pada sosok yang
kini tampak lemas di atas tanah dalam keadaan
pingsan.
Tak jauh dari tempatnya, isakan tangis sang
gadis terus terdengar malah semakin keras. Ba-
hunya terlihat berguncang demikian juga dadanya.
Sang pemuda yang kini telah berdiri kembali dan
memandangi, terlihat sunggingkan senyum aneh.
Namun pemuda ini belum juga beranjak untuk
melangkah mendekati. Dia terlihat ragu-ragu anta-
ra langsung mendatangi atau menunggu sampai si
gadis reda tangisnya. Dan ketika ditunggu hingga
kakinya pegal sang gadis belum juga reda tangis-
nya, maka dia memutuskan untuk melangkah
mendatangi.
Beberapa tombak di belakang sang gadis,
sang pemuda hentikan langkahnya. Sebenarnya si
pemuda telah melangkah dengan agak keraskan
pijakan kakinya, memberi isyarat pada si gadis
akan kedatangannya. Namun karena sedang kalut
atau berbaur dengan suara isak tangisnya, maka
si gadis tak mendengarkan langkah-langkah orang
mendatangi.
Melihat hal ini, sang pemuda batuk-batuk
kecil beberapa kali. Namun kepalanya sengaja di
hadapkan pada jurusan lain.
Bersamaan dengan terdengarnya suara ba-
tuk-batuk, isak tangis sang gadis sekonyong-
konyong sirap. Dan secepat sirapan suara isakan-
nya, secepat itu juga kepalanya berpaling.
Si gadis terlihat terkejut, namun wajahnya
tak menunjukkan rasa takut. Sepasang matanya
yang bulat dan sembab air mata membesar men-
gawasi sang pemuda yang tegak dengan pandan-
gan menyelidik. Dari mulutnya terdengar suaranya
menegur.
"Siapa kau...?!" Meski nadanya menegur,
tapi jelas sekali bahwa suaranya parau dan sedikit
bergetar.
Sang pemuda palingkan wajahnya. Sejenak
matanya liar memperhatikan wajah gadis di hada-
pannya. Bibirnya sunggingkan senyum. Namun
dia tak segera menjawab pertanyaan, membuat si
gadis kernyitkan dahi dan mengulangi pertanyaan.
"Gadis cantik! Makam siapa itu? Kerabat
atau kekasih...?" si pemuda ajukan pertanyaan.
Sang gadis berbaju hijau tipis terdiam seje-
nak. Sepasang matanya diseka dengan punggung
tapak tangan. Mata itu lalu memperhatikan si pe-
muda dari atas hingga bawah.
"Makam siapa pun apa pedulimu? Kau be-
lum katakan siapa dirimu!"
Sang pemuda tertawa mendengar nada ke-
ras si gadis. Dia melangkah lebih dekat, membuat
si gadis bangkit dan melangkah dua tindak ke be-
lakang.
"Gadis cantik! Kau tak usah takut begitu
rupa padaku! Aku hanyalah seorang yang sedang
lewat. Kebetulan aku mendengar suara isak tan-
gismu. Kau sendiri siapa...?!"
"Siapa diriku, kau tak usah tahu, karena
kau sendiri enggan sebutkan siapa dirimu! Kuha-
rap kau lekas tinggalkan tempat ini!"
"Apa kalau aku sebutkan siapa diriku berar-
ti aku boleh di sini...?" kata si pemuda dengan ma-
ta tak kesiap memandang ke arah dada gadis di
hadapannya yang terlihat membusung dan mem-
bentuk bagus karena pakaian yang dikenakannya
basah dan melekat pada tubuhnya.
"Kau terlalu banyak bicara! Tinggalkan saja
aku sendirian!" sahut gadis agak jengkel dan juga
jengah melihat dirinya dipandangi dengan tatapan
penuh arti.
"Baiklah, akan kusebutkan siapa diriku...,"
si pemuda hentikan ucapannya sejenak. Lalu me-
lanjutkan. "Soal nama asli ku, tak enak rasanya
kuberitahukan. Karena aku telah menguburnya
dalam-dalam! Biar kuberi tahu saja gelar yang ku-
sandang. Orang-orang rimba persilatan menjulu-
kiku Gembong Raja Muda!"
Dugaan sang pemuda yang menyangka ga-
dis di hadapannya akan terkejut setelah dia sebutkan gelarnya ternyata meleset. Karena gadis itu
tak menunjukkan rasa terkejut sama sekali, malah
tertawa pendek dan berkata.
"Gelar bagus! Kau tentunya keturunan 'raja'
atau mungkin juga putra mahkota. Namun siapa
pun dirimu, saat ini aku ingin sendirian. Jadi ku-
harap kau tinggalkan tempat ini!"
"Begitu...? Itu tidak adil. Aku telah sebutkan
siapa diriku. Aku tidak akan tinggalkan tempat ini
sebelum kau sebutkan siapa dirimu!"
Dalam hati si gadis memaki habis-habisan.
Wajahnya telah berubah agak mengelam menahan
marah dan geram. Namun entah karena tidak in-
gin diganggu dan tak ingin membuat masalah,
sang gadis lantas tersenyum dan berkata.
"Baik kalau itu kehendakmu! Dengar baik-
baik. Aku sebenarnya sungkan sebutkan siapa di-
riku. Jadi akan kukatakan siapa julukanku. Aku
adalah Singa Betina Dari Timur!"
Sang pemuda yang bukan lain memang
Gembong Raja Muda atau yang bernama asli Pan-
du bekas anak murid Ageng Panangkaran yang se-
karang telah diangkat murid oleh Bawuk Raga
Ginting, tersenyum lebar. Namun sesaat kemudian
senyumnya berubah sinis. Dia memang baru kali
ini mendengar nama Singa Betina Dari Timur.
Hingga sifatnya yang selalu meremehkan orang
nampak jelas, bahkan tak lama kemudian terden-
gar suara tawanya yang jelas-jelas bernada menge-
jek.
Setelah puas dengan tawa, Gembong Raja
Muda palingkan wajah ke arah lain seraya berucap.
"Singa Betina Dari Timur. Hmm.... Julukan
yang sesuai dengan orangnya. Tentunya kau juga
seperti singa lapar jika diajak bersenang-senang.
Bagaimana kalau aku ingin melihat dan merasa-
kan geliatan sang singa...?"
Paras wajah si gadis yang bukan lain adalah
Singa Betina Dari Timur salah seorang dari dua
gadis yang berasal dari pulau Bima merah padam.
Gerahamnya saling beradu keluarkan suara geme-
letak. Sementara sepasang matanya melotot ang-
ker. Namun sejauh ini dia masih mencoba menin-
dih rasa marahnya. Tanpa memandang lagi, dia
berkata.
"Kesabaranku ada batasnya! Turuti uca-
panku, lekas tinggalkan tempat ini!"
"Hmm.... Kau menolak ajakan ku?" kata
Gembong Raja Muda sambil gelengkan kepala.
"Sungguh sayang sekali. Atau kau hanya pura-
pura.... Karena kita masih baru kenal? Jika demi-
kian, bagaimana kalau kita ngobrol dahulu...?" se-
raya berkata Gembong Raja Muda ajukan lagi ka-
kinya.
Singa Betina Dari Timur semakin membe-
liak, dan kedua kakinya tersurut dua tindak ke be-
lakang. Kesabaran yang sedari tadi ditindihnya
serta-merta meledak.
"Kau tampaknya pemuda kurang waras!
Dan harus diajari cara sopan-santun!" Tiba-tiba
Singa Betina Dari Timur melompat ke depan dan
dengan gerak yang hampir tak dapat ditangkap
mata tangan kanannya berkelebat kirimkan pukulan ke arah kepala Gembong Raja Muda.
Yang diserang tersenyum aneh. Dia tidak
mencoba untuk bergerak menghindar. Baru tatka-
la tangan si gadis sejengkal lagi menghajar kepala,
Gembong Raja Muda tarik sedikit kepalanya, se-
mentara tangan kanannya diangkat.
Wuuttt!
Taakkk!
Singa Betina Dari Timur terkejut besar. Ke-
lebatan tangannya yang dipastikan tak akan lolos
menghajar kepala pemuda di hadapannya ternyata
menghajar tempat kosong sejengkal di depan kepa-
la si pemuda. Malah ketika pukulannya meleset
dan si pemuda angkat tangannya disentakkan pa-
da tangan si gadis, gadis itu tubuhnya terputar
dan terhuyung-huyung hendak jatuh karena begi-
tu kerasnya hantaman tangannya. Namun belum
sampai bisa mengimbangi diri, tahu-tahu tubuh-
nya terhenti mendadak bahkan kedua tangannya
dan tubuhnya bagaikan dibelit sesuatu.
Singa Betina Dari Timur tundukkan wajah
melihat apa yang terasa membelit pinggangnya
hingga dirinya terhindar dari jatuh ke atas tanah.
Begitu melihat bahwa yang membelit adalah dua
tangan kekar dan berotot, serta-merta gadis ini
berseru dan sekonyong-konyong tanpa lagi melihat
siapa adanya si empunya tangan, dia segera han-
tamkan kedua sikunya ke belakang.
Beettt! Beettt!
Untuk kali kedua Singa Betina Dari Timur
terperangah. Sodokan kedua sikunya yang didu-
ganya tak akan meleset, ternyata menghantam angin. Namun dengan gerakan sikunya, belitan tan-
gan di tubuhnya lepas.
"Tubuhmu hangat.... Hmm.... Juga...," be-
lum selesai ucapan si pemuda, Singa Betina Dari
Timur telah balikkan tubuh dan serta-merta me-
nerjang ke arah Gembong Raja Muda. Kali ini ter-
jangannya disertai dengan tenaga dalam. Karena si
gadis sadar, bahwa pemuda di hadapannya mem-
punyai ilmu tinggi.
Bersamaan terjangan kaki Singa Betina Dari
Timur, terdengar deru angin menyambar serta me-
lesat mendahului kaki yang bergerak menerjang!
Gembong Raja Muda geser bahunya ke
samping. Tangan kanannya diangkat lalu dihan-
tamkan ke depan.
Dess! Deesss!
Singa Betina Dari Timur berseru tertahan
tatkala kakinya terhantam tangan Gembong Raja
Muda. Seraya melompat mundur kedua tangannya
dihantamkan!
Wuutt! Wuuuttt!
Dua rangkum angin dahsyat yang berhawa
panas melesat cepat ke arah Gembong Raja Muda.
Di depan, Gembong Raja Muda tarik kedua
tangannya sedikit ke belakang, dan ketika seran-
gan satu depa di depannya, kedua tangannya dido-
rong.
Plarrr!
Letupan keras membuncah tempat itu
tatkala dua serangan bentrok di udara, tanahnya
bergetar dan sebagian terbongkar, lalu membum-
bung ke angkasa menutupi tempat itu.
Selagi bongkaran tanah yang membumbung
belum surut, Gembong Raja Muda jejakkan sepa-
sang kakinya. Tak ada suara yang terdengar. Na-
mun tahu-tahu tubuhnya telah melesat lenyap dan
mendadak muncul satu langkah di samping Singa
Betina Dari Timur yang masih terhuyung-huyung
ke belakang!
Singa Betina Dari Timur tersirap darahnya.
Tanpa pedulikan tubuhnya lagi, kaki kanannya di-
angkat dan dihantamkan ke samping.
Gembong Raja Muda rundukkan kepala,
dan begitu kaki melesat di atas kepalanya, kaki
kanannya bergerak menyapu pada kaki kanan
Singa Betina Dari Timur yang dibuat tumpuan tu-
buhnya.
Desss!
Singa Betina Dari Timur terpekik, tubuhnya
oleng ke samping. Namun sebelum tubuh itu ter-
hempas ke atas tanah, Gembong Raja Muda mele-
sat dan dengan gerak cepat tangan kirinya men-
gayun dari bawah sementara tangan kanannya
mengayun dari atas.
Sett! Settt!
Begitu cepatnya gerakan Gembong Raja
Muda, hingga tahu-tahu yang terlihat adalah ro-
bohnya tubuh Singa Betina Dari Timur pada reng-
kuhan tangan kirinya sementara tangan kanannya
menotok jalan darah si gadis yang ada direngku-
hannya!
"Jahanam busuk! Lepaskan diriku!"
Ternyata totokan Gembong Raja Muda
hanya membuat tubuh si gadis tegang kaku tak
bisa digerakkan, namun mulutnya masih bisa di-
gerakkan.
"Singa Betina! Aku tahu, kau hanya berpu-
ra-pura saja! Sementara hatimu berbunga-
bunga.... Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda ta-
kupkan tangannya dan serta-merta tubuh Singa
Betina Dari Timur direngkuhnya lalu ditariknya
mendekat ke wajahnya.
Sebelum wajah Singa Betina Dari Timur da-
pat dicium, tiba-tiba gadis ini buka mulutnya.
Pyyuuhhh!
Sebercak ludah melesat dan membasahi wa-
jah Gembong Raja Muda. Pemuda ini serta-merta
hentikan tarikan tangannya yang merengkuh tu-
buh si gadis. Wajahnya merah padam. Pelipis kiri
kanan bergerak-gerak, sementara sepasang ma-
tanya menatap jalang.
"Keparat! Kau memang pantas diajari ba-
gaimana bersikap yang baik!" kata Gembong Raja
Muda. Tangan kanannya diangkat dan serta-merta
dilayangkan pada pipi Singa Betina Dari Timur.
Plakkk!
Singa Betina Dari Timur menjerit lengking.
Bibirnya pecah dan keluarkan darah. Tidak hanya
sampai di situ, begitu tangan kanannya melayang
menampar, tangan kirinya yang masih merengkuh
tubuh si gadis diluruhkannya! Karena Singa Beti-
na Dari Timur tak bisa menggerakkan anggota tu-
buhnya, maka tak ayal lagi tubuhnya terhempas
jatuh ke atas tanah!
"Jahanam licik! Kau akan menyesal! Dan
jangan mimpi kau bisa jamah tubuhku!" maki Singa Betina Dari Timur sambil meludah di tanah.
Ludahnya berwarna merah bercampur darah.
Gembong Raja Muda tertawa panjang. Na-
mun cuma sesaat. Tak lama kemudian tawanya
lenyap. Sepasang matanya kembali memandangi
tubuh Singa Betina Dari Timur. Bibirnya sung-
gingkan senyum sinis. Tubuhnya lantas mem-
bungkuk dengan tangan diangkat ke atas.
Mengira bahwa akan mendapat tamparan
lagi Singa Betina Dari Timur pejamkan sepasang
matanya. Bibirnya saling menggigit. Namun gadis
ini terlengak. Karena bukan tamparan yang dira-
sakan, melainkan usapan pada lehernya!
Singa Betina Dari Timur buka kelopak ma-
tanya. Mulutnya membuka hendak keluarkan ma-
kian, namun gadis ini terkejut. Meski mulutnya te-
lah membuka namun tiada sepatah kata pun yang
terdengar dari mulutnya! Ternyata usapan tangan
Gembong Raja Muda adalah totokan untuk meng-
hentikan jalan suara!
"Memakilah sepuas hatimu, gadis cantik!
Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda teruskan bung-
kukan tubuhnya, kedua tangannya bergerak me-
rengkuh tubuh Singa Betina Dari Timur yang su-
dah tegang tak bisa bergerak dan tak bisa bicara.
"Kita cari tempat yang enak, karena mung-
kin ini adalah pengalaman pertama bagimu...! Ka-
sihan kau jika pengalaman pertama kau rasakan
di tempat yang jelek begini. Apalagi dekat kubu-
ran...! Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda tarik tan-
gannya lalu tubuh Singa Betina Dari Timur dile-
takkan di pundak kiri, lalu melangkah ke tempat
di mana tadi meletakkan tubuh orang yang dipanggul.
ENAM
Siapa gerangan orang pertama yang dipang-
gul Gembong Raja Muda dan untuk sementara di-
letakkan di atas tanah begitu melihat Singa Betina
Dari Timur menangis di sisi makam? Orang itu ti-
dak lain adalah Guru dari Gembong Raja Muda
yang bukan lain adalah Bawuk Raga Ginting. Se-
perti dituturkan dalam episode "Arca Dewi Bumi",
Bawuk Raga Ginting melakukan perjalanan mem-
buru Arca Dewi Bumi. Namun dalam perjalanan
dia bertemu dengan Pendekar 108 juga Dewi
Kayangan. Dalam sebuah pertarungan sengit, ak-
hirnya Bawuk Raga Ginting dapat dilumpuhkan
Pendekar 108. Bahkan setelah itu dililit rotan oleh
Dewi Kayangan, hingga dalam keadaan luka tu-
buhnya masih dililit tak bisa digerakkan.
Di lain pihak, Gembong Raja Muda yang ju-
ga sedang melakukan perjalanan memburu Arca
Dewi Bumi sampai pula di lereng Gunung Kembar.
Namun yang dijumpai di sana adalah beberapa
orang yang dalam keadaan terluka. Mereka adalah
Dewi Bunga Iblis yang selain terluka juga masih
terlilit selendang merah dan tersandar di batang
potion. Lalu tampak juga seorang laki-laki yang te-
lah tewas yang bukan lain adalah Jogaskara. Dan
di sana juga Gembong Raja Muda mendapati gu-
runya Bawuk Raga Ginting telah terlalu dan terlilit
rotan.
"Sialan! Apa yang telah terjadi...?" seru
Gembong Raja Muda seraya melangkah mendekati
Bawuk Raga Ginting.
Bawuk Raga Ginting yang saat itu tengah
pasrah putus asa, karena tidak bisa membebaskan
diri dari lilitan rotan di tubuhnya membuka kelo-
pak matanya begitu mendengar seruan dan lang-
kah-langkah yang mendekati ke arahnya.
Sepasang mata Bawuk Raga Ginting serta-
merta membesar dan harapannya kembali mera-
suki dadanya tatkala dapat mengenali siapa
adanya orang yang melangkah.
"Pandu! Cepat singkirkan rotan keparat ini!"
kata Bawuk Raga Ginting dengan suara parau se-
rak.
Sejenak Gembong Raja Muda tegak mem-
perhatikan. Dalam hati sebenarnya dia berkata se-
raya melecehkan.
"Kalau saja tidak mengingat jasamu, akan
kubiarkan tubuhmu tewas dengan terbelit ro-
tan...."
"Pandu! Kau dengar ucapanku bukan...?
Kenapa masih enak-enakan berdiri? Cepat be-
baskan aku!" kembali Bawuk Raga Ginting berse-
ru.
Dengan agak berat, Pandu alias Gembong
Raja Muda melangkah lebih dekat lalu jongkok
dan hendak melepaskan rotan yang membelit tu-
buh gurunya. Namun, betapa terkejutnya pemuda
ini. Belitan rotan pada tubuh gurunya tidak mu-
dah dilukar begitu saja. Bahkan meski Pandu telah kerahkan tenaga dalamnya.
"Keparat! Ini bukan belitan biasa.... Pastilah
yang melakukan ini adalah orang yang berilmu
sangat tinggi. Hmm.... Siapa dia? Pendekar 108?
Atau orang lain...?" lalu Pandu utarakan apa yang
ada di hatinya pada gurunya.
"Itu bisa kita bicarakan nanti!" jawab Ba-
wuk Raga Ginting ketika mendengar pertanyaan
Pandu. "Sekarang bebaskan dulu!"
Meski dalam hati memaki panjang pendek,
Pandu laksanakan juga perintah gurunya. Namun
lagi-lagi dia belum bisa melukar lilitan rotan itu.
"Ambil tombak itu! Dan gunakan untuk
memutus," kata Bawuk Raga Ginting seraya arah-
kan pandangannya pada tombaknya yang tergele-
tak.
Dengan keluarkan dengusan pertanda tidak
senang dengan perintah gurunya Pandu bangkit
lalu melangkah ke arah tergeletaknya tombak. Di-
pungutnya tombak itu dan kembali mendekati gu-
runya.
"Tua sialan! Sekali lagi kau keluarkan kata-
kata meradang, kutampar mulutmu!" gumam Pan-
du dengan mata memandang pada jurusan lain.
Setelah dekat, Pandu kerahkan tenaga da-
lam lalu....
Tasss! Taasss! Tasss!
Rotan yang melilit tubuh Bawuk Raga Gint-
ing rantas sebelum akhirnya putus. Bawuk Raga
Ginting oleng sebentar lalu jatuh miring di atas ta-
nah.
"Muridku!" berkata Bawuk Raga Ginting
dengan suara perlahan. Mungkin dia merasa ada
perubahan pada Pandu hingga suaranya kini per-
lahan bahkan seakan meratap. "Bantu aku salur-
kan hawa murni...."
Melihat dan mendengar nada ratapan Ba-
wuk Raga Ginting, Pandu akhirnya kerahkan tena-
ga hawa murninya, lalu kedua telapak tangannya
ditempelkan pada dada Bawuk Raga Ginting.
Beberapa saat berlalu, Bawuk Raga Ginting
terlihat gerak-gerakkan kedua kaki dan tangan-
nya. Pandu tarik pulang tangannya. Dan perlahan-
lahan pula Bawuk Raga Ginting bergerak duduk.
Kedua pundaknya digerak-gerakkan, kepalanya
dipalingkan ke kanan dan kiri.
Merasa tubuhnya sudah agak baik. Bawuk
Raga Ginting bergerak bangkit. Sesaat memang bi-
sa tegak berdiri, namun sesaat kemudian kedua
kakinya tampak meliuk. Bawuk Raga Ginting coba
atasi dengan kerahkan tenaga dalam, namun gag-
al, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya jatuh ter-
duduk.
"Bangsat! Ini gara-gara pukulan pendekar
keparat itu!" maki Bawuk Raga Ginting seraya ta-
kupkan kedua tangannya mengatasi getaran da-
danya yang berdenyut nyeri.
Selagi Bawuk Raga Ginting mengatasi di-
rinya, Dewi Bunga Iblis yang ada tak jauh dari
sampingnya dan tubuhnya terbelit selendang me-
rah buka mulut.
"Pemuda! Kuharap kau mau menolongku
juga dari belitan selendang keparat ini!"
Pandu yang sedari tadi sudah tahu namun
tak ambil peduli segera palingkan wajahnya. Tapi
dia hanya memandang dengan bibir tersenyum si-
nis dan sepertinya enggan meladeni ucapan Dewi
Bunga Iblis, membuat perempuan ini memaki da-
lam hati. Namun karena mengharapkan pertolon-
gan, makiannya tak diucapkan, justru yang ditun-
jukkan adalah wajah murung dan putus asa.
"Pemuda! Sekali lagi kuharap kau sudi
membebaskan diriku!" suara Dewi Bunga iblis se-
perti tercekat di tenggorokan.
Lagi-lagi Pandu hanya memandang dengan
senyum sinis. Namun pada akhirnya Pandu buka
mulut, tapi pandangannya ke arah lain. "Siapa
kau...?"
"Setan alas! Dimintai pertolongan saja ma-
sih tanya-tanya! Awas kau!" kata Dewi Bunga Iblis
dalam hati.
"Aku disebut orang Dewi Bunga Iblis!"
Meski dalam hati diam-diam terperangah
kaget mendengar sang perempuan sebutkan di-
rinya, namun Pandu tak memperlihatkan wajah
terkejut. Malah bibirnya tersenyum lebar dan ke-
luarkan tawa perlahan.
"Heran. Tentunya kau manusia yang men-
gaku-aku sebagai Dewi Bunga Iblis. Karena menu-
rut yang kudengar manusia berjuluk Dewa Bunga
Iblis adalah tokoh yang kepandaiannya sulit dija-
jaki. Tapi bagaimana tokoh yang begitu tinggi il-
munya tidak bisa melepaskan diri dari belitan se-
lendang butut?"
Kembali Dewi Bunga Iblis memaki dalam
hati. Lalu berkata.
"Dengar pemuda! Belitan yang di tubuhku
serta yang baru saja terlepas dari tubuh gurumu,
bukan sembarangan belitan. Ini dilakukan oleh
Dewi Kayangan! Tanpa pertolongan orang lain yang
bertenaga dalam tinggi, mustahil seseorang dapat
terbebas!"
Pandu kembali terkejut mendengar penutu-
ran Dewi Bunga Iblis, dahinya berkerut.
"Dewi Kayangan...? Kabarnya tokoh itu ada-
lah orang yang tidak ada tanding. Hmm..,. Kalau
manusia itu telah pula ikut-ikutan dalam masalah
perebutan Arca Dewi Bumi, arca itu nyata-nyata
luar biasa kesaktiannya!"
"He. Lekas ambil tombak itu dan bebaskan
aku!" teriak Dewi Bunga Iblis saat dilihatnya Pan-
du masih tak beranjak dari tempatnya.
"Perempuan konyol! Kau tak berhak meme-
rintah aku! Kau sekarang sedang dalam keadaan
di ujung tanduk. Kalaupun aku pergi dari sini ma-
ka jiwamu tinggal menunggu malaikat pencabut
nyawa!"
Dewi Bunga Iblis terdiam.
"Hmm.... Sialan betul! Apa hendak dikata,
kalau dia atau Bawuk Raga Ginting tak mau me-
nolongku...," Dewi Bunga Iblis tak meneruskan ka-
ta hatinya karena saat itu dilihatnya Pandu me-
langkah mendekati.
"Dengar! Aku mau menolongmu dengan
syarat!" kata Pandu seraya memperhatikan Dewi
Bunga Iblis.
Dewi Bunga Iblis mengernyit. Dalam hati
dia menyumpah habis-habisan. Namun karena
mengharapkan pertolongan, akhirnya dia berkata.
"Katakan syaratmu!"
Gembong Raja Muda atau Pandu tidak sege-
ra menjawab. Sebaliknya dia ajukan pertanyaan.
"Mengapa kau menerima syarat ku?!"
Dewi Bunga Iblis sepertinya tak dapat lagi
menahan rasa jengkelnya. Dengan mata membe-
liak angker dia menjawab.
"Anak muda! Kulihat kedua matamu tidak
buta. Juga tadi telah kukatakan bahwa tanpa per-
tolongan orang lain yang punya tenaga dalam ting-
gi belitan ini tak bisa lepas. Apa hal itu belum cu-
kup untuk sebuah alasan mengapa aku menerima
syaratmu?!"
Mendengar ucapan Dewi Bunga Iblis, Pandu
bukannya menjadi marah, malah dia terlihat ter-
tawa.
"Hmm.... Kalau begitu nyawamu tergantung
padaku. Benar...?!"
"Banyak mulut! Kalau kau tak mau meno-
long, lekas pergi dari sini!" kejengkelan Dewi Bun-
ga Iblis habis sudah. Seraya berkata begitu pan-
dangannya dialihkan pada jurusan lain.
Pandu tanpa berpaling lagi segera balikkan
tubuh hendak melangkah ke arah Bawuk Raga
Ginting, namun langkahnya tertahan tatkala ter-
dengar seruan Dewi Bunga Iblis.
"Anak muda! Tunggu!"
"Ada yang ingin kau katakan...?" kata Pan-
du tanpa balikkan tubuh.
"Ucapanmu benar. Nyawaku tergantung pa-
damu! Sekarang katakanlah apa syarat yang kau
minta!"
"Kau benar-benar perempuan sialan. Men-
gaku saja masih menimbang-nimbang segala ma-
cam!" desis Pandu seraya balikkan tubuh mengha-
dap Dewi Bunga Iblis.
"Dengar baik-baik!" kata Pandu dengan se-
nyum sinis. "Sebagai tokoh kau pasti telah tahu
manusia keparat bergelar Pendekar Mata Keran-
jang 108. Kalau nyawamu ingin selamat, kau ha-
rus dapat membawa kepala manusia keparat itu
padaku! Kau kuberi waktu sepuluh purnama mu-
lai sekarang. Jika kau berhasil kau bisa menemui-
ku di Lembah Bandar Lor! Bagaimana...?!"
Dewi Bunga Iblis tampak terkejut. Dia tak
menyangka akan syarat yang diajukan Pandu.
Namun karena ingin terbebas dia sengaja me-
nyembunyikan rasa kejutnya meski dalam hati dia
berkata.
"Setan alas betul anak ini! Akan kuterima
syarat yang dia ajukan. Tapi setelah aku terbebas,
jangan mimpi kau bisa memeras ku begitu rupa!
Aku memang akan memenggal kepala Pendekar
108, namun bukan karena perintahmu. Aku
punya masalah sendiri. Lebih dari itu aku mengin-
ginkan arca yang sekarang ada di tangannya...,"
batin Dewi Bunga iblis, lalu berkata.
"Anak muda! Kalau hanya itu syaratnya, sa-
tu purnama saja telah cukup. Dan aku akan
membawa kepala Pendekar 108 ke tempat yang
kau tentukan!"
"Baik. Aku memberimu waktu sampai sepu-
luh purnama, kalau kau bisa satu purnama itu lebih baik...," habis berkata Pandu balikkan tubuh
dan melangkah ke arah Bawuk Raga Ginting yang
masih tampak duduk sambil pejamkan sepasang
matanya salurkan tenaga dalam. Diambilnya tom-
bak yang tergeletak di sampingnya, lalu balik lagi
ke arah Dewi Bunga Iblis. Dewi Bunga Iblis terlihat
tersenyum.
Namun senyum Dewi Bunga Iblis tiba-tiba
berubah menjadi senyum kecut. Dahinya berkerut,
sementara sepasang matanya tak kesiap meman-
dangi Pandu yang bukannya cepat membebaskan
dirinya, melainkan hentikan langkah dan menarik
gagang tombak yang tampak menggelembung. Be-
gitu gagang tombak tertarik, tampak lobang di
pangkal gelembungnya. Dari lobang itu Pandu
tampak mengeluarkan tiga butiran kecil berwarna
hitam.
"Racun...," desis Dewi Bunga Iblis dengan
wajah pias. "Gila! Apa yang hendak dilakukan
bangsat ini padaku! Meracuni ku...? Keparat!"
Setelah memasang kembali gagang tombak,
Pandu arahkan pandangannya pada Dewi Bunga
Iblis yang tampak semakin pucat pasi. Pandu ter-
tawa penuh ejekan.
"Dewi Bunga Iblis. Aku tidak percaya begitu
saja pada mulut orang!"
"Apa maksudmu...?"
"Kau telah menerima syarat ku. Tapi itu di
mulutmu. Dalam hati siapa tahu ini hanya musli-
hatmu saja agar kuselamatkan. Nah, ini adalah
racun ganas. Racun ini akan bekerja setelah sepu-
luh purnama. Jika dalam waktu itu kau tidak menemuiku, maka kau tahu sendiri akibatnya!"
"Bangsat licik! Kau benar-benar meme-
rasku!" seru Dewi Bunga Iblis dengan sepasang
mata terbeliak.
Pandu tengadahkan kepala. Tawanya ter-
dengar panjang dan bernada mengejek.
"Terserah apa katamu. Memilih mati terbelit
selendang atau menerima syarat yang ku ajukan!"
Mulut Dewi Bunga Iblis komat-kamit. Ter-
dengar gumamannya yang tak jelas ditangkap te-
linga. Setelah agak lama dia berkata.
"Baiklah! Syaratmu kuterima!"
"Bagus!" kata Pandu dengan tersenyum. Dia
lalu mendekat ke arah Dewi Bunga Iblis. "Buka
mulutmu!" serunya. Seraya menimang-nimang bu-
tiran hitam di telapak tangan kanannya.
Dengan paras merah mengelam dan mata
mendelik, Dewi Bunga Iblis buka mulutnya. Serta-
merta bersamaan dengan itu Pandu gerakkan tan-
gan kanannya. Tiga butiran hitam itu langsung
melesat dan masuk ke mulut Dewi Bunga Iblis.
Dewi Bunga Iblis diam-diam kerahkan tena-
ga dalamnya, hingga butiran hitam tadi tersangkut
dilehernya. Namun Pandu ternyata lebih cerdik.
Begitu butiran masuk, dia segera melangkah lebih
dekat. Dan tanpa diduga sama sekali oleh Dewi
Bunga Iblis, tangan kanan Pandu bergerak memu-
kul tengkuk perempuan ini.
Heeekkk!
Dewi Bunga Iblis keluarkan suara laksana
orang tercekik. Bersamaan dengan itu butiran
yang tersangkut di lehernya menerabas masuk ke
perutnya!
"Jangan mimpi kesiangan jika kau akan
menipuku!" kata Pandu seraya tertawa mengekeh.
Dia lalu melangkah ke balik pohon, lalu kerahkan
tenaga dalam dan serta-merta tombak di tangan-
nya diayunkan pada selendang yang membelitkan
tubuh Dewi Bunga Iblis pada batang pohon.
Begitu selendang itu robek terbelah, tubuh
Dewi Bunga Iblis jatuh bergulingan. Begitu gulin-
gannya terhenti, Dewi Bunga Iblis tampak terlen-
tang seraya berulang kali menarik napas panjang-
panjang berusaha menghirup udara segar dan me-
lepas rasa sesak yang hampir dua puluh sembilan
hari menghimpit dadanya.
"Sekarang kau bebas! Tapi dalam jangka
waktu yang ku tentukan kau tidak datang ke tem-
patku, tubuhmu akan hancur satu persatu! Kau
dengar?!"
Dewi Bunga Iblis tidak menyahut. Hanya
bahunya yang tampak turun naik menghirup dan
menghembuskan udara. Sepasang matanya lantas
berpaling pada Pandu, namun dia masih belum ju-
ga keluarkan suara. Sesaat kemudian, dia bangkit
dan duduk dengan kedua tangan saling menakup,
kerahkan tenaga dalam untuk memulihkan tu-
buhnya. Setelah dirasa tubuhnya agak normal,
Dewi Bunga Iblis bergerak berdiri.
"Kenapa kau menginginkan kepala manusia
bergelar Pendekar Mata Keranjang 108? Kau men-
ginginkan arca itu...?!" Dewi Bunga Iblis ajukan
pertanyaan.
Mendengar kata-kata Dewi Bunga Iblis, paras wajah Pandu berubah sesaat. Dia tak me-
nyangka sama sekali jika Arca Dewi Bumi telah ja-
tuh ke tangan Pendekar108.
"Anjing buduk! Jadi keparat itu telah berha-
sil mendapatkan arca itu!" maki Pandu dalam hati.
Kepalanya lantas berpaling menatap Dewi Bunga
Iblis.
"Dewi Bunga Iblis! Persyaratan mu bertam-
bah satu lagi!"
"Apa maksudmu...?! Jangan kau main-main
dengan ingkar janji!" seru Dewi Bunga Iblis.
"Dewi Bunga iblis! Ingat. Nyawamu ada di
tanganku. Kau tak usah banyak mulut. Aku yang
kuasa atas dirimu!. Pasang telingamu baik-baik.
Selain kepala manusia keparat itu, kau juga harus
merampas arca itu dan menyerahkan padaku! Kau
dengar?!"
"Bedebah! Edan! Kau licik!" teriak Dewi
Bunga Iblis dengan mata mendelik.
Pandu tertawa bergelak. Lalu tanpa peduli-
kan lagi dia balikkan tubuh dan melangkah ke
arah Bawuk Raga Ginting yang tampak telah
membuka kelopak matanya.
Di belakangnya, seraya mengomel tak ka-
ruan Dewi Bunga Iblis segera pula balikkan tubuh
dan tinggalkan tempat itu.
"Pandu! Kau benar-benar cerdik!" puji Ba-
wuk Raga Ginting. Manusia bertubuh cebol ini lan-
tas bergerak hendak berdiri, namun lagi-lagi sepa-
sang kakinya oleng, dan tubuhnya hendak terjatuh
kembali. Namun sebelum tubuhnya jatuh Pandu
telah melompat dan tanpa banyak bicara lagi menangkap tubuh gurunya itu dan dipanggulnya di
atas pundak.
"Kau terluka parah. Kau harus istirahat da-
hulu!" kata Pandu seraya melangkah meninggal-
kan tempat itu. Dan apa yang dikatakan Pandu
benar adanya. Baru saja tiga langkahan kaki, Ba-
wuk Raga Ginting donggakkan kepalanya yang ada
di dada Pandu. Dari mulutnya muncrat darah ke-
hitam-hitaman, pertanda dia terluka dalam yang
cukup parah.
"Kita harus cepat sampai ke Bandar Lor!"
kata Pandu, lalu berkelebat.
***
Sementara itu, jauh sebelum kedatangan
Pandu ke lereng Gunung Kembar, Singa Betina
Dari Timur telah meninggalkan lereng gunung itu
dengan membopong tubuh saudara seperguruan-
nya, Bidadari Bertangan Iblis yang telah tewas ter-
kena hujaman keris hitam Jogaskara. (Mengenai
kematian Bidadari Bertangan Iblis silakan baca
serial Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode
"Arca Dewi Bumi").
Singa Betina Dari Timur terus melangkah
tak tentu arah tujuan. Seraya melangkah dia tak
henti-hentinya terisak menyesali tewasnya Bidada-
ri Bertangan Iblis. Bahkan tak jarang dia hentikan
langkahnya, lalu meletakkan tubuh saudara se-
perguruannya di tanah, lalu diguncang-
guncangnya bahu saudara seperguruannya itu
sambil panggil-panggil namanya.
Namun karena telah tewas, yang diguncang
hanya diam. Setelah lima hari melakukan perjala-
nan tak tentu arah, pada sebuah tempat yang sepi,
Singa Betina Dari Timur menemukan sebuah gu-
buk.
Di gubuk itulah berhari-hari Singa Betina
Dari Timur menekuri nasibnya serta Bidadari Ber-
tangan Iblis. Dia sengaja tak segera menguburkan
jasad saudara seperguruannya, karena dia seakan
masih tak percaya dengan kematian Bidadari Ber-
tangan Iblis. Bahkan tiap kali dia panggil-panggil
nama Bidadari Bertangan Iblis malah tak jarang
kerahkan tenaga dalamnya untuk mencoba mem-
bangunkan.
Sementara tubuh Bidadari Bertangan Iblis
terlihat masih utuh dan tidak berbau, ini karena
Singa Betina Dari Timur terus menerus masukkan
hawa murni ke dalam tubuh Bidadari Bertangan
Iblis. Namun menginjak hari ke dua puluh dela-
pan, tubuh Bidadari Bertangan Iblis mulai mene-
barkan bau tak sedap meski Singa Betina Dari Ti-
mur telah masukkan hawa murni. Bahkan sedikit
demi sedikit, tubuh Bidadari Bertangan Iblis tam-
pak berubah menghitam.
Sadar bahwa Bidadari Bertangan Iblis tak
bisa didiamkan, maka pada hari ke tiga puluh,
Singa Betina Dari Timur menguburkan jenazah
saudara seperguruannya itu. Namun baru saja tu-
buh Bidadari Bertangan Iblis disemayamkan,
muncullah Pandu alias Gembong Raja Muda.
TUJUH
Bersabar sedikit, Gadis Cantik! Sebentar la-
gi kau akan merasakan nikmatnya malam perta-
ma. Dan tentu kau akan keterusan lalu minta la-
gi!" kata Gembong Raja Muda seraya melangkah
pelan dan tertawa bergelak-gelak. Tangan kanan-
nya bergerak mengusap punggung Singa Betina
Dari Timur yang ada di pundaknya, hingga tubuh-
nya sedikit tertekan dan membuat buah dadanya
menempel ketat pada dada Gembong Raja Muda.
Sementara Singa Betina Dari Timur hanya
bisa memaki habis-habisan dalam hati. Bahkan
mungkin karena kesalnya, sepasang matanya ter-
lihat merebak merah dan berkaca-kaca.
"Bidadari Bertangan Iblis! Daripada harus
mengalami nasib seperti ini, lebih baik aku me-
nyusulmu...," bisik Singa Betina Dari Timur dalam
hati seraya pejamkan lagi sepasang matanya, ka-
rena tangan Gembong Raja Muda telah merambah
ke arah pinggulnya.
Namun gerak langkah kaki Gembong Raja
Muda tertahan, karena mendadak saja terdengar
suara tawa terkekeh panjang melingkupi tempat
itu, Gembong Raja Muda hentikan langkah. Tan-
gannya yang mulai merambat ke pinggul Singa Be-
tina Dari Timur dia turunkan. Parasnya terlihat
sedikit tegang, sedangkan kedua matanya liar me-
nyapu ke kanan kiri, sementara telinganya dia ta-
jamkan baik-baik. Dia merasa bahwa suara tawa
itu bukan suara tawa biasa, karena kedua kakinya
yang menginjak tanah terasa bergetar hebat, men-
gisyaratkan siapa pun orang yang mengeluarkan
tawa, bisa dipastikan bukan orang sembarangan
dan memiliki tenaga dalam yang sempurna.
Menangkap gelagat tidak baik, Gembong
Raja Muda segera kerahkan tenaga dalam dan ber-
gerak menyelinap ke balik sebuah pohon. Dari sini
sepasang matanya menebar berkeliling. Kedua
tangannya telah disiapkan untuk kirimkan seran-
gan. Namun murid Bawuk Raga Ginting ini jadi
tergagu sendiri, karena sepasang matanya tak me-
nemukan sosok manusia! Dan tak ada tanda-
tanda akan munculnya seseorang!
"Heran. Aku jelas-jelas mendengar suara
tawa. Dan pasti orangnya tidak jauh dari tempat
ini karena suaranya begitu keras! Tapi.... Mataku
tak dapat menemukan batang hidungnya, telinga-
ku tak dapat menentukan di mana beradanya! Ke-
parat jahanam! Siapa dia...?!" maki Gembong Raja
Muda dalam hati. Sepasang matanya lalu meman-
dang pada tubuh Singa Betina Dari Timur yang di-
geletakkan di samping kakinya. Lalu sekali lagi
menebar berkeliling. Dan begitu matanya tak lagi
menemukan orang, dia diam sesaat menunggu.
Dan setelah ditunggu agak lama tak juga ada tan-
da-tanda munculnya seseorang, Gembong Raja
Muda memutuskan untuk membopong Singa Beti-
na Dari Timur kembali.
"Mungkin hanya telingaku yang terpenga-
ruh oleh suara tawaku sendiri!" Gembong Raja
Muda menentramkan hatinya. Lalu membungkuk
hendak meraih Singa Betina Dari Timur.
Saat itulah kembali terdengar suara tawa
mengekeh panjang. Kemudian terdengar Suara.
"Pengalaman pertama memang sulit dilupa-
kan. Tapi apa enaknya jika dilakukan dengan pak-
sa...? Malah-malah hanya basah kuyup dan ngos-
ngosan..."
Mendengar suara itu, Singa Betina Dari Ti-
mur berubah parasnya menjadi merah padam.
Namun dia merasa sedikit lega, karena keinginan
Gembong Raja Muda setidaknya bisa tertunda, wa-
lau hatinya masih sangat cemas.
Kalau Singa Betina Dari Timur sedikit lega,
tidak demikian halnya dengan Gembong Raja Mu-
da. Begitu terdengar suara yang melecehkan, se-
pasang kakinya dibantingkan ke atas tanah. Ta-
nah itu terbongkar dan meninggalkan kubangan
membentuk telapak kaki sedalam mata kaki. Den-
gan busungkan dada dan mata nyalang, Gembong
Raja Muda membentak.
"Anjing keparat! Kenapa hanya berani ber-
koar tapi takut unjukkan diri? Keluarlah dari per-
sembunyianmu!"
Suara tawa kembali terdengar membahana.
Namun tiba-tiba lenyap. Yang terdengar kemudian
adalah suara bernada teguran.
"Pandu! Kau sepertinya tak ada puas-
puasnya soal perempuan. Apakah rasanya me-
mang enak?!"
Mendengar orang sebutkan namanya, diam-
diam sirap juga darah Pandu. Keningnya berker-
nyit.
"Sialan! Dia mengenaliku, berarti aku tahu
siapa dia! Setidak-tidaknya aku pernah berjumpa
dengannya. Hmmm.... Siapa dia?" Pandu terdiam
untuk beberapa lama seraya menduga-duga dan
menunggu kemunculan orang. Namun setelah
agak lama tak juga ada orang menunjukkan diri,
kembali Pandu berteriak.
"Kau telah mengenaliku, kenapa masih ber-
laku pengecut tak menampakkan tampangmu?!"
"Apakah kau tidak akan merasa malu ber-
temu muka denganku lagi dalam masalah yang
sama...? Soal perempuan! Ha... ha... ha...!"
Kemarahan Pandu tak dapat dipertahankan
lagi. Dengan sekali kelebat tubuhnya telah keluar
dari balik pohon. Sejenak sepasang matanya me-
nyapu ke sekitar tempat itu. Tiba-tiba kedua tan-
gannya disentakkan ke samping kanan.
Wuuttt!
Gelombang angin deras menyambar keluar
dart tapak tangannya. Semak belukar, ranting ser-
ta daun-daun pohon di samping kanannya tahu-
tahu telah bertebaran dan sekejap kemudian be-
rubah menjadi serpihan kecil-kecil yang langsung
lenyap tertiup angin!
Bersamaan dengan lenyapnya serpihan, di
belakang Pandu tiba-tiba terdengar orang tertawa.
Secepat kilat Pandu balikkan tubuh dan siapkan
serangan.
Namun begitu tahu siapa adanya orang di
belakangnya, Pandu urungkan niat, malah bibir-
nya sunggingkan senyum lebar. Meski dalam hati
dia sempat terperangah
Di hadapannya kini tegak seorang pemuda
berwajah tampan. Mengenakan pakaian hijau den-
gan rambut panjang dikucir ekor kuda. Sepertinya
acuh saja pemuda ini tak memandang pada Pan-
du, malah tersenyum-senyum dengan pandangan
ke jurusan lain sambil berkipas-kipas.
"Nasibku mujur sekali. Dicari-cari ke selu-
ruh pelosok tahu-tahu bertemu di sini. Perhitun-
gan waktu silam belum selesai!" paras Pandu
mendadak berubah. Dagunya mengembang den-
gan geraham gemeletak saling beradu.
"Pendekar Mata Keranjang jahanam! Seka-
rang tiba waktunya penentuan di antara kita yang
berhak penghuni kubur terlebih dahulu!"
Pemuda berbaju hijau yang bukan lain me-
mang Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan wa-
jah. Bibirnya masih tetap sunggingkan senyum.
Sementara tangan kanannya pulang balik di depan
dada berkipas-kipas. Dari mulutnya tidak terden-
gar sahutan suara. Hanya sepasang matanya kini
memperhatikan Pandu dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Tiba-tiba dari mulutnya mengumbar
suara tawa keras membahana.
"Pandu! Tidak pantas rasanya kita yang ma-
sih muda-muda ini harus membicarakan kubur-
kubur! Terus terang aku ngeri mendengarnya. Ba-
gaimana kalau penentuan itu kita tunda saja? Ke-
cuali kalau kau memang sudah bosan dengan ke-
nikmatan hidup! Apakah kau sudah bosan...?!"
Pandu tengadahkan kepala. Dari mulutnya
terdengar tawa menggembor keras.
"Aku tahu, kau takut padaku! Hmm....
Baiklah kalau itu maumu! Namun kau harus cepat
tinggalkan tempat ini! Juga tinggalkan arca yang
ada padamu!"
"Hmm.... Begitu? Dengar, Pandu! Kau ter-
lambat. Benda itu telah kuberikan pada seorang
gadis cantik! Kau tahu, sebagai orang muda, kita
tentu punya selera sama!"
"Hmm,... Jika begitu yang bisa meninggal-
kan tempat ini hanya nyawamu!" seru Pandu se-
raya tarik ke belakang kaki kanannya sementara
tangan kiri kanan dikembangkan siap lancarkan
pukulan.
"Mana bisa begitu...? Aku justru harus me-
ninggalkan tempat ini dengan membawa gadis
berbaju hijau itu! Aku pun tertarik padanya!" kata
Aji masih dengan senyum-senyum.
Sementara itu di balik pohon, mendengar
percakapan orang, tengkuk Singa Betina Dari Ti-
mur makin merinding. Keringat dingin makin
membasahi sekujur tubuhnya. "Malang benar na-
sibku. Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut
harimau! Bidadari Bertangan Iblis.... Jika demi-
kian nasibku, aku memilih menyusulmu...," kem-
bali dari sudut mata gadis cantik ini merebak air
bening.
Di seberang, mendengar kata-kata Pendekar
Mata Keranjang, Pandu alias Gembong Raja Muda
pelototkan sepasang matanya. Dia tampaknya ma-
sih belum memulai serangan. Karena diam-diam
dalam hati pemuda ini timbul juga rasa jerih.
"Dia telah berhasil mendapatkan arca. Arca
yang dikabarkan mempunyai isi jurus-jurus hebat.
Hmm.... Menurut perhitungan, telah satu purnama
arca itu ada di tangannya. Berarti dia telah berha-
sil mempelajari isinya.... Sialan! Tapi semua ini be-
lum terbukti. Apa yang perlu ditakutkan...?"
"Kau tampaknya memikirkan sesuatu. Ada-
kah kau menimbang-nimbang tawaranku...? Kura-
sa itu memang lebih baik! Setelah aku, kau bisa
memakai gadis itu! Sepuasmu!" berkata Aji setelah
dilihatnya Pandu terdiam hingga beberapa lama.
"Keparat! Kau boleh ambil gadis itu! Tapi
tinggalkan arca itu!"
Pendekar 108 kembali keluarkan tawa pan-
jang, malah sambil kerjap-kerjapkan matanya.
"Tawaranku tidak begitu! Aku meninggalkan
tempat ini dengan membawa gadis itu dan tanpa
syarat apa pun!"
Gembong Raja Muda angkat kepalanya.
"Meski kau sekarang bernama besar, jangan mimpi
kau bisa mengatur ku! Lekas serahkan arca itu
padaku! Atau kau akan mampus tanpa merasakan
gadis itu!"
Pendekar 108 gelengkan kepalanya beru-
lang kali.
"Tidak bisa. Tidak bisa.... Aku memang tak
bermimpi bisa mengatur mu. Tapi kau harus turu-
ti tawaranku! Kau tahu kata harus, bukan...?!"
"Kau benar-benar minta tewas!" hardik
Gembong Raja Muda. Kedua tangannya dihantam-
kan ke arah Pendekar 108. Bersamaan dengan itu
gelombang angin dahsyat yang menghamparkan
hawa panas serta suara menggemuruh melesat.
Hebatnya, larikan-larikan bersitan sinar hitam me-
lesat mendahului gelombang angin.
Di depan, Pendekar Mata Keranjang 108
masih tampak tegak seakan terkesima, membuat
Gembong Raja Muda tersenyum dan berteriak.
"Mampus kau!"
Namun begitu setengah depa lagi pukulan
Gembong Raja Muda menghajar tubuh Pendekar
108, tiba-tiba dengan gerakan cepat murid Wong
Agung angkat kaki kanannya. Lalu dengan men-
gandalkan kaki kiri sebagai tumpuan tubuh, dia
memutar tubuhnya dan tangan kanannya mene-
bar kipas.
Werrrr!
Sinar putih berkilau membentuk lingkaran
kipas menebar dengan keluarkan suara laksana
gelombang ombak.
Di seberang, senyum Gembong Raja Muda
lenyap seketika. Karena baik bersitan sinar hitam
serta gelombang angin yang keluar dari kedua tan-
gannya tertahan di udara, malah ketika Pendekar
108 mendorong tangan kirinya, bersitan sinar hi-
tam serta gelombang angin mental balik dan kini
menyambar ke arahnya!
Dengan menindih rasa terkejut, Gembong
Raja Muda cepat jejakkan sepasang kakinya ke ta-
nah. Tubuhnya melenting ke udara. Namun betapa
terkejutnya murid Bawuk Raga Ginting ini. Karena
ternyata Pendekar 108 telah tebarkan kipasnya
kembali! Hingga dari bawah dan atas tampak ge-
lombang angin menyambar ke arahnya!
"Jahanam bangsat!" maki Gembong Raja
Muda dari atas udara. Untungnya dalam keadaan
yang demikian, dia masih sempat putar otak untuk menghindar. Maka dengan kerahkan tenaga
dalamnya, dia sentakkan bahunya ke belakang
hingga tubuhnya tertarik deras ke belakang. Dan
tanpa membuang waktu lagi, dia segera hantam-
kan kembali kedua tangannya.
Blarrr!
Terdengar ledakan dahsyat tatkala dua pu-
kulan bertemu di udara. Pendekar 108 tampak
tersurut dua tindak, sementara Gembong Raja
Muda terus melesat ke belakang. Dan begitu di be-
lakangnya tampak sebatang pohon, kedua kakinya
disentakkan ke belakang!
Braakkk!
Pohon besar itu berderak dan tumbang.
Namun bersamaan dengan itu tubuh Gembong Ra-
ja Muda membal balik dan meleset ke depan den-
gan cepat!
"Edan! Ternyata ilmunya telah bertambah
dengan pesat!" gumam Pendekar 108 seraya ten-
gadah mencari sosok Gembong Raja Muda, karena
begitu cepatnya lesatan Gembong Raja Muda hing-
ga sosoknya seakan lenyap!
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 tenga-
dah mencari, tiba-tiba Gembong Raja Muda telah
menerjang ke arahnya. Kedua kakinya melejang
sementara kedua tangannya siap menghantam ke
arah kepala dari atas!
Karena demikian dekatnya sosok Gembong
Raja Muda, hingga terlalu beresiko jika membuat
gerakan menghindar. Berpikir sampai di situ, Pen-
dekar 108 takupkan kipasnya. Kakinya dibanting-
kan ke atas tanah. Dan saat tubuhnya membumbung satu tombak di atas udara, kedua tangannya
dihantamkan ke depan memapak hantaman kedua
tangan lawan!
Terdengar benturan keras ketika dua pa-
sang tangan beradu di udara. Tangan Pendekar
108 maupun tangan Gembong Raja Muda terlihat
sama-sama mental ke belakang. Namun kejap itu
juga Gembong Raja Muda kerahkan tenaga dalam
lalu hantamkan kembali kedua tangannya. Melihat
hal itu murid Wong Agung tak tinggal diam. Tena-
ga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya
lalu dihantamkan pula ke depan! Hal demikian ter-
jadi berulang-ulang di udara! Hingga saat itu beru-
lang-ulang terdengar suara benturan. Dan baru
terhenti tatkala terdengar suara pekikan lengking
dari mulut Gembong Raja Muda bersamaan den-
gan terpentalnya tubuhnya ke belakang lalu jatuh
terkapar di atas tanah!
Di depan, bersamaan dengan terpentalnya
tubuh Gembong Raja Muda, Pendekar 108 terlihat
tubuhnya terputar lalu menukik dengan deras ke
bawah. Untung murid Wong Agung ini masih sem-
pat membuat gerakan jumpalitan, hingga meski
terjatuh namun dengan posisi kaki kanan tertekuk
sebatas lutut, sementara kaki kiri lurus sejajar ta-
nah.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 ge-
leng-gelengkan kepalanya. Lalu tangan kanannya
kembali berkipas-kipas, dari mulutnya terdengar
ucapan.
"Pandu! Semasa pikiranku masih jernih, le-
kas tinggalkan tempat ini! Juga gadis itu! Kau boleh pergi hanya berbekal tubuh gurumu!"
Gembong Raja Muda keluarkan seringai bu-
ruk. Dari hidungnya terdengar suara dengusan ke-
ras. Sambil menahan sakit pada kedua tangannya
yang tampak merah kehitaman, dia sengatkan se-
pasang matanya pada Aji.
"Bangsat keparat! Kau tak bisa begitu saja
memerintahku. Aku belum kalah!" habis berkata
begitu, Gembong Raja Muda tekankan kedua si-
kunya ke atas tanah. Tubuhnya yang tergeletak
mendadak sontak membumbung ke udara! Dan
tahu-tahu Pendekar 108 merasakan desiran angin
di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu sepasang
kaki telah menerjang deras dengan keluarkan deru
dahsyat.
"Sapu Bumi!" seru Pendekar Mata Keran-
jang mengenali pukulan kaki Gembong Raja Muda.
Seraya berseru, murid Wong Agung cepat tarik tu-
buhnya ke belakang hingga tubuhnya sejajar ta-
nah. Dan secepat itu pula kedua kakinya diangkat
dan dihantamkan ke atas.
Prakkk! Praakkkk!
Gembong Raja Muda melengak kaget. Ter-
jangan kedua kakinya yang memang memainkan
jurus 'Sapu Bumi' dapat dipatahkan Pendekar
108. Bahkan tubuhnya mencelat kembali ke bela-
kang dan terhempas di atas tanah!
"Keparat! Dari mana dia mengenali puku-
lanku? Dan dia juga mainkan jurus 'Sapu Bu-
mi'...," gumam Gembong Raja Muda seraya usap
dadanya yang terasa bergetar dan melirik pada ke-
dua kakinya yang tampak menggembung merah!
Di seberang, Pendekar 108 terlihat meringis.
Kedua kakinya terasa berdenyut sakit dan tampak
membiru. Memang, Aji baru saja memapak seran-
gan Gembong Raja Muda dengan jurus ‘Sapu Bu-
mi’ yang berhasil dipelajarinya dari Gongging Ba-
ladewa, yang sebenarnya adalah guru Bawuk Raga
Ginting.
Setelah kerahkan tenaga dalam untuk men-
gatasi rasa sakit pada kaki dan tangannya, Aji ma-
ju dua tindak dan berkata.
"Pandu! Batas kesabaranku telah tipis!
Waktumu tinggal sedikit lagi. Kalau kau tidak
tinggalkan tempat ini, jangan menyesal jika kau
akan tewas bersama gurumu!" gertak Pendekar
108 sambil simpan kipasnya.
Gembong Raja Muda yang diam-diam juga
merasa kecut segera bangkit terhuyung-huyung.
Namun dia tak segera melangkah pergi, malah se-
pasang matanya memandang tajam pada Pendekar
108.
"Tunggu apa lagi?" kata Aji dengan terse-
nyum, meski senyum itu sedikit dipaksakan kare-
na merasakan sakit pada kedua kakinya.
Gembong Raja Muda melengos dengan mata
berkilat. Lalu melangkah ke arah Bawuk Raga
Ginting yang digeletakkan di semak belukar.
Bersamaan dengan melangkahnya Gembong
Raja Muda, Pendekar 108 berkelebat ke balik po-
hon di mana Singa Betina Dari Timur berada.
Begitu Singa Betina Dari Timur tahu siapa
adanya orang yang muncul, dadanya berdegup
kencang. Bibirnya mengatup rapat-rapat. Sepasang matanya memperhatikan dengan pandangan
aneh.
"Dia.... Apakah.... Apakah dia juga akan
berbuat seperti Gembong Raja Muda...? Menden-
gar percakapannya tadi.... Ah, tak kusangka.... Ka-
lau dia memang hendak berniat tidak baik, aku..,,"
gadis ini tidak teruskan kata hatinya karena Pen-
dekar Mata Keranjang 108 telah berdiri di sam-
pingnya seraya tersenyum.
"Singa Betina Dari Timur.... Kau tak usah
takut! Aku akan membebaskan mu!"
Singa Betina Dari Timur tampak sipitkan
sepasang matanya. Meski wajahnya tampak agak
cerah, namun kebimbangan belum lenyap juga da-
ri parasnya. Malah ketika Aji bergerak jongkok dan
ulurkan tangannya untuk membebaskan totokan-
nya, gadis ini pejamkan sepasang matanya. Dan
dalam hati berkata.
"Kalau kau berbuat yang tidak-tidak, aku
lebih baik mati!"
Singa Betina Dari Timur merasa jari-jari
tangan menekan bagian-bagian tubuhnya, dan be-
gitu gerakan jari-jari terhenti, tubuhnya bisa dige-
rakkan.
Begitu tubuhnya bisa digerakkan, gadis ini
cepat bangkit dan dengan paras merah dadu dia
berkata.
"Terima kasih, Pendekar...."
"Simpan dulu ucapanmu itu. Kita harus ce-
pat tinggalkan tempat ini!" kata Pendekar 108 se-
raya berkelebat dari balik pohon. Singa Betina Dari
Timur segera menyusul.
Namun baru saja injakkan kaki masing-
masing tak jauh dari makam, sesosok bayangan
berkelebat, dan berdiri di hadapan Pendekar 108.
DELAPAN
Pendekar Mata Keranjang 108 kerutkan da-
hi. Sepasang matanya mengawasi sosok di hada-
pannya. Dia adalah seorang gadis muda berparas
cantik. Mengenakan pakaian warna coklat berga-
ris-garis. Sepasang matanya bundar tajam. Ram-
butnya panjang sebahu. Bentuk tubuhnya bagus
dengan dada membusung dan pinggul besar.
Tiba-tiba mulut murid Wong Agung ini
membuka keluarkan seruan begitu dapat menge-
nali siapa adanya gadis di hadapannya.
"Sakawuni!" seraya berseru Aji melangkah
mendekati. Namun baru saja satu tindak, gadis di
hadapannya yang bukan lain memang Sakawuni
dongakkan kepala sambil membentak garang.
"Tetap di tempatmu, Pendekar! Dan jangan
bergerak tanpa perintahku!"
"Sakawuni! Kau tidak sedang bergurau, bu-
kan...?!" kata Pendekar 108 seakan masih tak per-
caya dengan sikap Sakawuni. Malah mungkin diki-
ra bergurau, Aji teruskan langkah seraya terse-
nyum-senyum.
Sakawuni gerakkan kepalanya lurus ke de-
pan. Sepasang matanya melotot tajam. "Sekali lagi
maju selangkah, putus nyawamu!" hardik Saka-
wuni dengan tarik kedua tangannya ke belakang
seakan hendak lancarkan serangan.
Meski masih dengan pandangan tak per-
caya, Pendekar 108 hentikan langkah. Sepasang
matanya melebar dan menyipit memperhatikan
Sakawuni.
"Aneh. Kenapa sikapnya mendadak beru-
bah...?" Aji membatin seraya gelengkan kepala.
Tanpa mempedulikan keheranan Pendekar
108, Sakawuni palingkan wajah menghadap Singa
Betina Dari Timur yang berdiri tak jauh darinya.
"Gadis muda! Siapa kau...?!" tegur Sakawu-
ni dengan suara keras. Sepasang matanya menga-
wasi Singa Betina Dari Timur dari bawah sampai
atas.
Yang dipandangi sejenak tampak bingung.
Matanya silih berganti memandang ke arah Pende-
kar 108 lalu pada Sakawuni.
"He...! Kau punya mulut, kenapa tidak sege-
ra jawab pertanyaan orang?!" Sakawuni kembali
membentak tatkala Singa Betina Dari Timur tidak
segera menjawab.
Karena dibentak, Singa Betina Dari Timur
balas menatap. Dua pasang mata bentrok. Namun
sesaat kemudian, Singa Betina Dari Timur alihkan
pandangannya seraya berkata. Nadanya pun tinggi
dan agak bergetar karena menahan jengkel.
"Siapa diriku tak usah kau ketahui! Kau
sendiri siapa...?!"
Sakawuni ikut-ikutan alihkan pandangan-
nya pada jurusan lain. Mulutnya keluarkan tawa
perlahan bernada mengejek.
"Telingamu tadi sudah dengar orang me
manggil. Apa perlu ku ulangi...? Atau telingamu
memang tuli?!"
Paras wajah Singa Betina Dari Timur beru-
bah merah padam. Wajahnya kembali berpaling
dan matanya memandang Sakawuni. Mulutnya
membuka hendak berkata, namun sebelum uca-
pannya terdengar, Sakawuni telah berkata.
"Apa hubunganmu dengan manusia keparat
itu?!" telunjuk Sakawuni lurus-lurus memandang
Pendekar Mata Keranjang, membuat Aji usap-usap
hidungnya seraya membatin.
"Ah, apa karena ada gadis ini hingga sikap-
nya berubah...? Sialan betul! Sebelum perkaranya
berlarut panjang, aku harus menjelaskan siapa
adanya Singa Betina Dari Timur...," Aji angkat tan-
gan kanannya memberi isyarat pada Singa Betina
Dari Timur agar tidak berkata. Namun baru saja
murid Wong Agung ini hendak bicara, Sakawuni
telah mendahului berkata tanpa menoleh.
"Pendekar Mata Keranjang! Kau jangan ikut
campur! Tunggu, aku nanti juga akan bicara den-
ganmu!"
"Walah, kenapa bisa jadi begini...?" gumam
Aji sambil tarik kuncir rambutnya dan geleng-
geleng kepala.
Sementara itu di seberang agak jauh, Gem-
bong Raja Muda yang sedang melangkah ke arah
Bawuk Raga Ginting hentikan langkahnya begitu
mendengar Pendekar 108 menyebut nama Saka-
wuni. Dan secepat kilat pemuda ini balikkan tu-
buh. Sepasang matanya memandang tak berkedip
ke arah Sakawuni.
"Sakawuni...? Hmm.... Telah lama kita tak
jumpa. Nyatanya kau makin menarik!" Niatnya un-
tuk segera pergi dengan membawa serta gurunya
dia urungkan. Dia tegak menunggu seraya terus
memperhatikan. Dan ketika terjadi percakapan an-
tara Sakawuni, Pendekar Mata Keranjang 108, dan
Singa Betina Dari Timur, bibirnya sunggingkan
senyum.
"Hmm.... Sakawuni tampaknya berubah.
Dan nada-nadanya telah terjadi masalah antara
dia dengan pendekar keparat itu! Aku akan me-
nunggu...," Gembong Raja Muda lantas tegak diam
seraya memandang ke arah Sakawuni.
"He...! Apa hubunganmu dengan keparat
itu?!" Sakawuni ulangi pertanyaannya pada Singa
Betina Dari Timur.
"Soal hubunganku, juga tak berhak kau ke-
tahui! Lagi pula apa pedulimu ingin tahu urusan
orang?!" jawab Singa Betina Dari Timur dengan
suara lantang.
Sakawuni angkat kepalanya mendongak, la-
lu tertawa panjang.
"Silat lidahmu boleh juga. Kau tunggulah di
situ! Aku akan bicara dengan temanmu itu! Kalau
kau nanti nyata-nyata bersekongkol, jangan harap
bisa tinggalkan tempat ini dengan masih memba-
wa nyawa!" Sakawuni lantas berpaling pada Pen-
dekar 108.
"Hmm.... Manusia ini benar-benar gila! Ke
mana-mana selalu bersama gadis cantik! Apa dia
juga kekasihnya? Mungkin gadis itu yang mem-
buat sikapnya berubah saat bertemu denganku terakhir kali dulu. Ah, kenapa aku pikirkan hal itu?
Bukankah aku mencarinya untuk urusan darah
Pendekar Ageng Panangkaran?" Sakawuni beliak-
kan sepasang matanya lalu berkata.
"Pendekar Mata Keranjang! Telah cukup bi-
cara dustamu selama ini. Aku menyesal mengapa
begitu percaya dengan segala bualanmu! Kau nya-
tanya tak lebih dari orang hina yang berkedok sok
suci!"
Pendekar 108 jadi terkesiap mendengar
ucapan Sakawuni yang belum dimengerti mak-
sudnya.
"Sakawuni! Kau bicara apa...?"
Sakawuni tertawa panjang, hingga dada dan
bahunya terlihat berguncang-guncang.
"Kau tak usah menutup-nutupi perbuatan-
mu, Pendekar! Atau kau merasa malu perbuatan-
mu diketahui gadismu itu?!"
Pendekar 108 yang masih belum tahu arah
pembicaraan Sakawuni gelengkan kepalanya per-
lahan. Sementara Singa Betina Dari Timur merah
dadu parasnya mendengar dirinya disebut sebagai
gadis Pendekar 108.
"Sakawuni.... Kau tidak...," Pendekar Mata
Keranjang 108 tidak meneruskan ucapannya, ka-
rena saat itu juga Sakawuni telah menyahut den-
gan suara lantang.
"Jangan menyela! Aku belum selesai bicara!"
tubuhnya sedikit berguncang serta matanya men-
delik pertanda amarahnya telah meluap.
"Pendekar Mata Keranjang! Sebagai laki-laki
kuharap kau mengakui perbuatanmu! Dan siap
pula menerima ganjarannya!"
Pendekar 108 yang bingung dengan segala
ucapan Sakawuni tampak sedikit jengkel. Dengan
suara keras akhirnya dia berkata.
"Sakawuni! Dari tadi kudengar kau bicara
tak karuan. Katakan terus terang apa masalah-
nya!"
"Laki-laki bodoh!" ujar Sakawuni. "Kalau
kau masih tak juga mengerti, pasang telingamu
baik-baik! Bukankah kau yang membunuh Ageng
Panangkaran?!"
Pendekar murid Wong Agung ini terperan-
gah kaget. Kedua kakinya sampai tersurut dua
langkah ke belakang. Dahinya mengernyit semen-
tara sepasang matanya mengerjap-ngerjap seakan
tak percaya
"Sakawuni! Meski aku laki-laki bodoh, na-
mun pantang bagiku melakukan hal sekeji itu. Apa
lagi Ageng Panangkaran adalah sahabat dari
Eyang guruku! Kau jangan memperturutkan uca-
pan orang!"
Sakawuni keluarkan dengusan. Senyumnya
tersungging sinis. Seraya pancangkan kedua tan-
gan di pinggang, dia berkata tanpa memandang.
"Dulu kau masih berkata begitu padaku
dan aku bisa percaya. Namun untuk sekarang,
Jangan harap aku mempercayai kata-katamu! Dan
perlu kau ketahui. Setelah kau mampus, kedua
gurumu pun akan menyusul!"
"Sialan benar! Siapa gerangan bangsatnya
yang telah meniupkan hal tak benar ini? Kalau ti-
dak segera dicegah, hal ini akan berlarut-larut....
Apakah Pandu yang mengatakan hal ini...?" Pen-
dekar 108 lantas palingkan wajahnya pada Pandu
yang masih terlihat tegak diam seraya memandang
dan mendengarkan percakapan.
"Sakawuni, apa bangsat itu yang merecoki
jalan pikiranmu hingga kau berkata demikian...?"
kata Pendekar 108 sambil arahkan telunjuknya
pada Pandu.
Sakawuni tertawa mengejek. Masih tanpa
memandang dia menjawab.
"Kalau hanya omongannya dia, belum tentu
aku percaya! Sekarang tak usah banyak mulut.
Akui saja perbuatanmu! Dan bersiaplah menerima
tebusan tetes darah Ageng Panangkaran!"
"Hmm.... Pasti ada orang lain yang mem-
pengaruhinya...," Aji membatin lalu berkata. "Sa-
kawuni, marilah kita bicara baik-baik. Biar masa-
lahnya jelas dan tak ada silang sengketa di antara
kita!"
"Aku sudah bosan dengar omongan mu!
Orang culas sepertimu pasti pandai bersilat lidah
untuk menutupi kesalahan! Sekarang jawab saja
ya atau tidak! Tapi ingat! Hal itu tidak bisa men-
gubah keputusanku!"
Sebenarnya dalam hati gadis ini masih ingin
bicara baik-baik dahulu, namun begitu bertemu
dan dilihatnya Pendekar 108 bersama seorang ga-
dis, maka rencananya semula terlupakan. Malah
yang berkecamuk dalam dadanya adalah rasa
cemburu. Karena dalam dasar hati gadis yang se-
karang telah diangkat murid oleh Manusia Titisan
Dewa ini sebenarnya masih menyukai Pendekar 108.
"Sakawuni! Kau jangan termakan fitnah!"
"Kau memang terlalu banyak bacot!" seru
Sakawuni. Habis berkata begitu dia keluarkan
bentakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar
108.
Wuuttt! Wuuttt!
Sakawuni hantamkan kedua tangannya
yang dikembangkan. Saat itu juga dari telapak
tangan kanannya melesat selarik sinar hitam den-
gan menebar hawa panas, sedang dari telapak
tangan kirinya melarik sinar putih yang menebar-
kan hawa sangat dingin. Inilah ilmu yang berhasil
dipelajarinya dari Manusia Titisan Dewa yang di-
namakan jurus 'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.
Melihat Sakawuni langsung keluarkan jurus
andalan, jelas sekali bahwa gadis ini ingin segera
menyelesaikan masalah.
Di depan, Pendekar 108 tampak sedikit ter-
kejut. Dia tak menduga jika Sakawuni telah maju
begitu pesat. Namun murid Wong Agung ini tidak
mau bertindak ayal. Meski dia tidak tahu keheba-
tan jurus yang sedang dilancarkan Sakawuni, na-
mun melihat menggebunya serangan serta hawa
yang ditebarkan, dia sadar jika jurus serangan itu
berhawa maut!
Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar
108 segera melompat ke samping. Sinar hitam dan
putih lolos menerabas tempat kosong, namun te-
baran hawa yang ditebarkan Sakawuni sempat
menyambar pakaian bagian bawahnya. Dan beta-
pa terperangahnya murid dari Karang Langit ini,
karena begitu melirik terlihat pakaian bagian ba-
wahnya telah hangus! Dan robek besar!
Hebatnya melihat serangannya tidak meng-
hajar sasaran, Sakawuni langsung menyergap ke
depan dengan meloncat. Kedua tangannya kembali
dihantamkan. Kembali sinar hitam dan putih me-
larik, sementara panas dan dingin menebar!
Karena jaraknya begitu dekat, maka tak ada
lagi tempat untuk menghindar bagi Pendekar 108.
Hingga satu-satunya jalan adalah memapak se-
rangan. Sadar akan hal ini murid dari Karang Lan-
git ini segera putar tubuhnya dan ketika membalik
kembali tangan kanannya menebarkan kipas un-
gunya! Sementara tangan kirinya mendorong pelan
ke depan.
Sinar putih berkilau menebar membentuk
kipas segera melesat ke depan, sedangkan dari
tangan kirinya menyambar angin kencang yang ke-
luarkan suara menggemuruh dahsyat!
Namun betapa terkejutnya Pendekar dari
Karang Langit ini karena semula menduga seran-
gan Sakawuni akan tertahan di udara. Dugaannya
ternyata meleset. Larikan sinar hitam dan putih te-
rus menerobos tebaran sinar yang membentuk ki-
pas dan kini telah setengah depa di hadapannya.
"Sialan! Siapa gerangan yang telah menu-
runkan ilmu keparat ini pada Sakawuni?" Aji
membatin seraya cepat rebahkan tubuhnya ke be-
lakang hingga sejajar tanah. Kedua tangannya lan-
tas didorong kuat-kuat ke atas!
Blarrr!
Terdengar letupan dahsyat begitu hantaman
kedua tangan Pendekar 108 yang keluarkan angin
deras melesat melabrak serangan Sakawuni. Na-
mun murid Wong Agung ini tubuhnya segera ber-
gulingan seraya dari mulutnya terdengar seruan
pelan.
Begitu gulingan tubuhnya terhenti, Pende-
kar 108 segera melirik kedua tangannya yang tera-
sa nyeri. Ternyata kedua tangannya telah merah
kebiruan dan gemetaran. Dia cepat kerahkan te-
naga dalam untuk mengurangi rasa sakit. Semen-
tara Sakawuni cepat melompat mundur sambil
membuat gerakan berjumpalitan dan akhirnya
mendarat di atas tanah dengan kaki terpentang.
Namun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan
rasa sakit. Dan kala matanya memperhatikan, ga-
dis ini juga terkejut. Kedua tangannya telah beru-
bah menjadi keputihan! Dan terasa panas!
Melihat kejadian ini, Gembong Raja Muda
yang sedari tadi memperhatikan diam-diam berka-
ta dalam hati.
"Hmm.... Sakawuni tampaknya telah beru-
bah pikiran. Siapa gerangan yang membuatnya
begitu! Dan astaga! Ilmunya demikian cepat ber-
tambah.... Hm.... Ini saatnya aku ikut serta!" habis
berpikir begitu, dia segera berkelebat. Namun ge-
rakannya tertahan karena tiba-tiba saja Singa Be-
tina Dari Timur telah menghadangnya.
"Laki-laki busuk! Kau harus mampus di
tanganku!" seraya berseru kedua tangannya berge-
rak mendorong ke depan.
Serangkum angin dahsyat melesat. Di ha-
dapannya Gembong Raja Muda hanya memandang
seraya tersenyum sinis. Nyali pemuda ini telah
kembali berkobar, apalagi setelah dilihatnya Saka-
wuni berubah pikiran dan ilmunya bertambah pe-
sat. Dia berpikir, Pendekar Mata Keranjang 108
akan dapat ditaklukkan jika bersatu dengan Sa-
kawuni.
Sejengkal lagi pukulan Singa Betina Dari
Timur menghajar tubuhnya, dia meloncat ke
samping, lalu kedua tangannya dihantamkan ke
depan.
Maka terjadilah pertempuran saling adu
pukulan jarak jauh di tempat itu. Beberapa kali
terdengar suara letupan-letupan keras menggema
dan tak jarang pula diseling dengan suara seruan-
seruan tertahan. Karena Gembong Raja Muda te-
lah terluka waktu bentrok dengan Pendekar 108,
maka pukulannya tidak sehebat sebelum cidera,
hingga Singa Betina Dari Timur dapat melayani se-
rangannya.
Di seberang, Sakawuni terlihat takupkan
kedua tangannya, sepasang matanya terpejam se-
saat, mulutnya bergerak komat-kamit.
"Sakawuni! Hentikan semua ini! Akan kuje-
laskan padamu...!" seru Aji begitu melihat sikap
Sakawuni.
Sakawuni buka kelopak matanya. Bibirnya
sunggingkan senyum ejekan. Lalu berkata.
"Aku tak butuh penjelasan! Yang kubutuh-
kan sekarang adalah kepalamu! Dan aku tak akan
pergi dari tempat itu dengan berhampa tangan!"
Aji gelengkan kepalanya perlahan. "Hmm....
ilmunya tidak bisa diremehkan, kalau aku terus
hanya menangkis, tak mustahil aku akan konyol
sendiri. Namun jika aku melawan.... Bagaimana
kalau dia cidera? Sialan! Lebih baik tak kulayani.
Suatu saat pasti akan bertemu lagi, dan siapa ta-
hu pikirannya berubah lagi.... Tapi Singa Betina
Dari Timur...? Aku akan menyelinap dan balik lagi
ke sini...," berpikir begitu murid Wong Agung ini
segera balikkan tubuh dan siap meninggalkan
tempat itu.
"Pengecut! Kau hendak lari ke mana? Dan
apa kau kira bisa pergi begitu saja?!" sergah Saka-
wuni dengan mata melotot.
Tanpa balikkan tubuhnya kembali, Aji men-
jawab.
"Aku punya urusan penting yang harus ku-
selesaikan!"
"Boleh! Tapi tinggalkan dulu kepalamu!"
bentak Sakawuni. Selesai berkata Sakawuni segera
menyergap seraya lancarkan serangan. Tangan
kanannya melesat ke arah pelipis kanan Pendekar
108.
"Sialan! Dia benar-benar hendak memenggal
kepalaku!" membatin Aji begitu angin dahsyat ber-
desir di sebelah kepalanya. Tanpa berpaling lagi
Pendekar Mata Keranjang 108 segera jejakkan se-
pasang kakinya. Tubuhnya melesat ke depan,
hingga hantaman tangan Sakawuni mengenai
tempat kosong.
Melihat serangannya lolos, Sakawuni berte-
riak nyaring. Tangannya cepat ditarik pulang dan
serta-merta dihantamkan ke depan sekaligus den-
gan pengerahan tenaga dalam penuh!
Wuttt! Wuutttt!
Hawa sangat panas dan dingin menebar,
sementara larikan-larikan sinar hitam dan putih
melesat menyusul kelebatan tubuh Pendekar 108!
Sadar dalam bahaya, Pendekar 108 segera
me-lompat ke depan untuk menghindar sekaligus
mencari posisi. Lalu tubuhnya segera membalik
dengan tangan kiri mendorong ke depan, tangan
kanan menebarkan kipas.
Mendadak dari telapak tangan Pendekar
108 melesat seberkas cahaya biru tanpa keluarkan
suara. Hebatnya, larikan-larikan sinar hitam dan
putih yang mengarah pada Pendekar 108 ditera-
basnya dan ambyar seketika! Tanpa ada suara
bentrok pukulan yang terdengar. Dan bukan
hanya sampai di situ, begitu dapat membuyarkan
larikan sinar hitam dan putih, sinar kemilau biru
terus melabrak dan kini melesat ke arah Sakawu-
ni!
Pendekar Mata Keranjang 108 menjadi ter-
cekat sendiri. Dia memang telah kerahkan jurus
'Mutiara Biru'. Namun dia tak menduga sama se-
kali jika kehebatannya begitu dahsyat! Untuk me-
nyelamatkan Sakawuni jelas tak mungkin karena
saat itu sinar kemilau biru telah satu depa di de-
pan Sakawuni.
Di depan sana, melihat pukulan ‘Menggiring
Sinar Menebar Hawa’ yang dilancarkan dapat di-
buat ambyar oleh sinar kemilau biru, Sakawuni
melengak terkesima. Dan gadis ini terguncang
dengan paras pucat pasi saat sinar biru itu mele-
sat ke arahnya. Sekalipun dia berusaha untuk
menghindar, namun tampaknya akan sia-sia ka-
rena serangan itu telah setengah depa lagi di ha-
dapannya. Hingga mungkin karena merasa tak bi-
sa selamat, gadis ini pejamkan mata seakan pa-
srahkan diri menghadapi ajal.
"Sialan! Bagaimana ini...? Tak kusangka
sama sekali. Padahal aku hanya mengerahkan se-
perempat tenaga dalam...," gumam Pendekar 108
seraya melompat ke depan dengan berteriak lan-
tang.
"Sakawuni! Cepat selamatkan dirimu!"
Yang diteriaki tak bergeming.
Pada saat yang demikian itulah tiba-tiba
terdengar suara cekikikan ditingkahi suara geme-
rincing anting-anting.
Namun mendadak saja suara cekikikan le-
nyap begitu juga suara gemerincing anting-anting.
Dan bersamaan dengan itu sesosok bayangan ber-
kelebat.
Sakawuni yang telah pasrah merasakan tu-
buhnya melayang lalu menukik turun dan bergu-
lingan di atas tanah. Sementara tubuh Pendekar
108 yang berusaha menyelamatkan dengan me-
lompat, tubuhnya mental balik ke belakang dan ja-
tuh terduduk
SEMBILAN
Sinar kemilau biru melesat terus dan
menghantam sebuah batang pohon. Pohon itu
langsung tumbang dengan akar tercerabut! Tanah
di sekitar pohon itu terbongkar dan langsung
membentuk sebuah lobang sedalam setengah tom-
bak!
Begitu derakan tumbangnya pohon lenyap,
terdengar suara orang tertawa cekikikan. Sakawu-
ni segera bangkit dan berpaling. Sepasang ma-
tanya mendelik memperhatikan, dahinya berkerut.
Tak jauh di sampingnya berdiri seorang pe-
rempuan tua bertubuh gemuk besar. Rambutnya
yang telah memutih disanggul ke atas. Pada salah
satu telinganya terlihat sebuah anting-anting besar
yang dimuati beberapa anting-anting kecil.
"Dewi Kayangan!" seru Aji. Dia memang te-
lah dapat menduga siapa adanya orang yang me-
nyelamatkan Sakawuni dari hantaman jurus
'Mutiara Biru'-nya.
Di tempat lain, terlihat Gembong Raja Muda
terbungkuk-bungkuk bangkit dari tanah dengan
paras meringis dan mengusap-usap dadanya, se-
mentara sepuluh langkah di depannya, Singa Beti-
na Dari Timur tampak terkapar, lalu segera bang-
kit dan mendelik memandang Gembong Raja Mu-
da. Kedua tangannya lantas ditarik ke belakang
hendak kirimkan serangan. Namun sebelum kedua
tangannya menghantam, Pendekar 108 segera
berkelebat dan berteriak.
"Tahan serangan!"
Pendekar 108 tahu-tahu telah berdiri di
tengah-tengah antara Singa Betina Dari Timur dan
Gembong Raja Muda. Sejenak dia memandang
Singa Betina Dari Timur. Lalu berpaling pada
Gembong Raja Muda.
"Pandu! Cepat tinggalkan tempat ini!"
Pandu mendengus pelan, sepasang matanya
berkilat menyengat pada Aji. Sebenarnya pemuda
ini masih enggan untuk meninggalkan tempat itu.
Namun begitu mendengar Pendekar 108 menyebut
nama Dewi Kayangan, hatinya keder. Kalau Dewi
Bunga Iblis dan gurunya bisa dibuat bertekuk lu-
tut, dapat diduga bagaimana ketinggian ilmunya.
Berpikir sampai di situ pemuda ini lantas balikkan
tubuh dan melangkah ke arah tergeletaknya tubuh
gurunya Bawuk Raga Ginting.
Setelah tubuh gurunya dipanggul, dia ber-
paling pada Pendekar 108 dan berkata.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Saatnya
nanti akan tiba untuk bertemu lagi!" habis berkata
begitu, dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Kenapa bangsat itu kau biarkan pergi begi-
tu saja?!" ujar Singa Betina Dari Timur seraya
memandang pada Pendekar 108.
Pendekar 108 tersenyum. Melangkah men-
dekat dan berkata.
"Dia masih muda, dan masalahnya hanya
salah paham dan cemburu. Aku berharap suatu
saat kelak dia bisa mengerti!"
"Tapi terlalu enak jika manusia seperti dia
masih diberi hidup!" sahut Singa Betina Dari Ti-
mur dengan alihkan pandangannya karena saat
itu Pendekar 108 balas menatapnya.
"Ah, sudahlah. Sekarang kau hendak ke
mana?"
Singa Betina Dari Timur tidak segera men-
jawab.
Wajahnya mendadak berubah keruh. Malah
sepasang matanya terlihat berkaca-kaca. Namun
pada akhirnya dia menjawab.
"Aku akan kembali ke Bima. Sekali lagi
kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu.
Ng.... Kalau boleh tahu, siapa sebenarnya gadis
cantik itu?"
Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut
mendengar pertanyaan Singa Betina Dari Timur.
Sejurus ditatapnya mata gadis di hadapannya.
Sambil tersenyum dia menjawab.
"Dia temanku. Kami memang telah lama ti-
dak jumpa. Hanya saja aku jadi heran, dia seka-
rang sifatnya tiba-tiba berubah. Bahkan yang sea-
kan tidak kupercaya, dia menuduhku bahwa aku-
lah yang melakukan pembunuhan terhadap gu-
runya.... Pasti ada orang ketiga yang membakar-
nya!"
Selagi kedua orang ini tengah bercakap-
cakap, di sebelah terdengar Sakawuni berkata
dengan suara lantang.
"Siapa kau...?!" sambil menegur, sepasang
matanya tak kesiap pandangi perempuan gemuk
beranting-anting satu di hadapannya yang bukan
lain adalah Dewi Kayangan.
Dewi Kayangan tertawa cekikikan. Sepasang
matanya yang besar melirik pada Sakawuni, lalu
berkata.
"Soal siapa aku, biarlah untuk sementara
kujadikan barang simpanan buatmu. Suatu saat
nanti, kau akan kuberitahu.... Hik... hik... hik....
Yang perlu kuberitahukan sekarang adalah...,"
Dewi Kayangan hentikan ucapannya, wajahnya
berpaling pada Pendekar 108 yang berbincang
dengan Singa Betina Dari Timur. Lalu melanjutkan
ucapannya.
"Berhati-hatilah bergaul dengan orang! Sa-
lah bergaul, kau akan tergelincir! Jika itu terjadi,
hidupmu akan celaka! Sekian saja. Aku harus per-
gi!"
Habis berkata begitu, Dewi Kayangan balik-
kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat
itu.
"Tunggu! Aku ingin bicara!" yang berseru
adalah Pendekar 108 seraya berkelebat. Namun
Dewi Kayangan telah lenyap. Hanya suara cekiki-
kan serta gemerincingnya anting-anting yang ter-
tinggal.
Sakawuni yang sejenak seperti terkesima
dengan ucapan Dewi Kayangan segera palingkan
wajah, tubuh gadis ini sedikit berguncang, ma-
tanya berkilat-kilat. Hatinya makin panas tatkala
tadi melihat Pendekar Mata Keranjang 108 berbin-
cang demon Singa Betina Dari Timur. Namun se-
belum gadis itu buka mulut, Pendekar 108 telah
mendahului bicara
"Sakawuni! Marilah kita bicara baik-baik!
Aku percaya, ini semua bukanlah kehendakmu
sendiri. Kau telah dihasut orang!"
"Pendekar Mata Keranjang! Jaga bicaramu.
Jangan kau menutup-nutupi perbuatanmu dengan
mengkambinghitamkan orang!"
Pendekar 108 tertawa perlahan. Hidungnya
diusap-usap berulang kali. Masih dengan tertawa
dia berkata.
"Aku tidak membawa-bawa kambing orang.
Namun aku dapat merasakan. Kau jauh berubah.
Kau bukan lagi Sakawuni yang dahulu. Sakawuni
yang lembut namun tegar dan tegas! Kau sekarang
pemberang dan tak mau dengar kata orang!"
"Jahanam! Ini semua karena kau telah
mendustai ku! Seandainya saja waktu itu aku per-
caya pada Kakang Pandu, tak mungkin masalah
ini berlarut-larut hingga sekarang!"
Habis berkata, Sakawuni palingkan wajah
ke tempat di mana tadi Pandu berada. Namun ga-
dis ini menjadi terkejut tatkala dilihatnya Pandu
telah tidak ada lagi di tempatnya. Sebenarnya Sa-
kawuni tadi ingin berbicara dengan Pandu, namun
karena keburu dadanya diamuk marah dan cem-
buru pada Pendekar 108, maka Pandu begitu saja
dilupakan. Dia baru teringat lagi tatkala menye-
butkan namanya.
"Hmm.... Dia telah pergi.... Tapi tak apa. Ke-
lak kalau umur panjang pasti akan bertemu la-
gi...."
Kalau Sakawuni terkejut dengan perginya
Pandu. Pendekar 108 pun tampak terkejut. Sepa-
sang matanya segera menyapu berkeliling di tem-
pat itu.
"Ah, Singa Betina Dari Timur nampaknya
telah pergi tanpa sepengetahuanku.... Gadis cantik
yang malang.... Semoga kau selamat hingga tem-
patmu...," Pendekar 108 membatin dengan paras
sedikit kecewa. Lalu melirik pada Sakawuni yang
masih tampak tercenung karena kepergian Pandu
alias Gembong Raja Muda yang sebenarnya adalah
kakak seperguruannya.
"Gadis ini masih dibakar marah dan mung-
kin juga bercampur cemburu.... Dalam keadaan
begini orang pasti sulit untuk diajak bicara baik-
baik. Untuk sementara, lebih baik aku menghin-
dar...."
Berpikir begitu, murid Wong Agung ini lang-
sung berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Keparat! Mau lari ke mana kau...?!" bentak
Sakawuni tatkala melihat kelebatan Pendekar 108.
Dia segera pula berkelebat menyusul. Namun be-
kas murid Ageng Panangkaran ini segera kelua-
rkan makian panjang pendek tatkala buruannya
tak dapat ditemukan.
"Kali ini dia bisa lolos. Tapi tidak untuk ke-
dua kalinya!" gumam Sakawuni seraya rapikan
rambut dan usap keringat di dahi dan lehernya.
"Siapa perempuan tua bertubuh gemuk
yang telah menyelamatkanku dari pukulan pemu-
da keparat itu? Hmm... pemuda itu mengenalnya.
Tapi kenapa dia menolongku...? Ucapannya sea-
kan menyindirku. Apa dia kenal dengan Manusia
Titisan Dewa? Pendekar Mata Keranjang 108....
Sebenarnya...," Sakawuni tak meneruskan kata
hatinya. Sepasang matanya memandang kosong ke
depan. Lalu kepalanya terlihat menggeleng perla-
han.
"Tidak! Dia adalah pembunuh Ageng Pa-
nangkaran. Dan gadis tadi pastilah kekasihnya!
Hm....Mungkin karena itu dia lancarkan pukulan
mematikan padaku! Tapi, seandainya dia mau,
mungkin aku dapat dikalahkannya. Aku sadar, il-
muku ternyata belum mampu untuk mengalah-
kannya.... Dan apakah aku benar-benar ingin
membunuhnya...?"
Sakawuni diombang-ambingkan oleh bebe-
rapa perasaan. Mungkin karena tak dapat mengu-
asai diri, gadis ini lantas melangkah ke sebuah po-
hon besar. Dengan perasaan lusuh dia duduk di
bawah pohon. Wajahnya segera ditekapkan pada
kedua pahanya. Tak terlihat apa yang dikerjakan
gadis cantik ini. Yang jelas sebentar terdengar gu-
mamannya lalu terhenti, namun saat itu juga ba-
hunya tampak sedikit berguncang-guncang.
SEPULUH
Pendekar 108 terus berlari seraya sesekali
berpaling ke belakang. Saat dirasa Sakawuni tidak
mengejar lagi, pada satu tempat yang sepi dia hen-
tikan larinya. Sejenak dia memandang se-keliling
lalu melangkah ke arah gundukan batu padas di
bawah sebuah pohon yang rindang.
"Sakawuni.... Sungguh tak kuduga pada
akhirnya di antara kita terjadi salah paham...,"
gumam Aji sambil hempaskan tubuhnya pada
gundukan batu padas. Tangan kanannya bergerak
mengusap keringat yang membasahi wajahnya.
"Pada pertemuan terakhir kali beberapa
waktu yang lalu, kau masih tampak lembut. Tapi
sekarang...? Kau begitu pemarah dan ucapanmu
kasar. Aku merasa ini bukan sifat aslimu. Ada
orang yang membuatmu jadi berubah! Melihat si-
kapnya saat bertemu dengan Pandu, aku menduga
bukanlah Pandu yang menyebabkan dia berubah.
Lalu siapa...? Aku juga heran. Ilmunya maju demi-
kian pesat. Adakah dia telah menemukan seorang
guru? Apakah gurunya itu yang kemudian meru-
bah sifatnya...? Hmm.... Masalah yang membutuh-
kan waktu untuk menyelidikinya...," murid Wong
Agung ini lantas usap-usap hidungnya. Karena
udara sangat panas, sebentar kemudian dia telah
bersandar pada batang pohon sambil berkipas-
kipas.
"Sakawuni.... Sebenarnya aku suka pada-
mu. Dan melihat sorot kedua matamu, aku yakin
kau mempunyai perasaan yang sama. Ah, apakah
kemarahannya padaku karena cemburu melihat
aku bersama Singa Betina Dari Timur...? Mungkin
saja begitu. Sayang dia keburu marah sebelum je-
las siapa adanya Singa Betina Dari Timur...," Pen-
dekar 108 lantas teringat pada Singa Betina Dari
Timur.
"Gadis cantik bernasib tidak baik. Dia tam-
paknya masih terguncang jiwanya karena tewas-
nya saudara seperguruannya. Hmm... apakah dia
benar-benar kembali ke Bima? Sayang, pertemuan
itu hanya sebentar. Sebenarnya aku ingin menge-
tahui lebih banyak tentang dia...."
Murid Wong Agung ini terlihat meraba tan-
gannya yang masih tampak memerah karena ben-
trok dengan Sakawuni. Lalu memeriksa kakinya
yang juga terasa masih kesemutan.
"Untung saat itu muncul Dewi Kayangan.
Jika tidak, aku tak dapat membayangkan apa yang
akan menimpa Sakawuni. Tak kukira jika pukulan
'Mutiara Biru' demikian dahsyatnya. Benar kata
Sahyang Resi Gopala. Aku tidak boleh mengguna-
kannya kecuali saat-saat terdesak.... Dewi Kayan-
gan. Dia seperti hantu saja, begitu muncul, begitu
saja pergi. Tapi aku harus menemuinya. Mengata-
kan apa yang telah ku alami, karena bagaimana-
pun juga dia telah menolongku mendapatkan Arca
Dewi Bumi. Tapi ke mana aku mencarinya...?
Hm.... Aku akan menyusulnya ke Dusun Kepati-
han...."
Pendekar 108 lantas bangkit. Sejenak me-
rapikan pakaiannya lalu melangkah hendak me-
lanjutkan perjalanan menuju Dusun Kepatihan,
tempat tinggal Dewi Kayangan. Namun baru saja
melangkah, sayup-sayup terdengar suara orang
tertawa mengekeh. Mendengar suara tawanya,
Pendekar Mata Keranjang bisa memastikan jika
orang itu berada jauh dari tempatnya meski arah
tujuannya melewati tempat itu.
Pendekar 108 tak ambil peduli. Dia mene-
ruskan langkah dan hendak berkelebat, namun
betapa terkejutnya murid Wong Agung ini. Suara
tawa yang tadi sayup-sayup terdengar jauh, kini
seakan ada di depan telinganya! Dengan menindih
rasa heran, dia cepat palingkan wajahnya. Sepa-
sang mata Aji kontan mendelik besar. Dahinya
berkerut malah tanpa sadar kakinya tersurut dua
tindak ke samping.
Di hadapannya tahu-tahu telah berdiri seo-
rang laki-laki amat tua. Tubuhnya kurus tinggi,
dan telah bungkuk. Sepasang matanya amat besar
dan masuk ke dalam rongga mata yang amat ce-
kung. Bibirnya tebal dengan alis mata kaku ke de-
pan. Laki-laki tua ini mengenakan jubah besar
berwarna biru gelap. Di kepalanya tampak sebuah
caping besar berwarna hitam terbuat dari kulit.
Bagian atas capingnya dibuat terbuka hingga me-
nampakkan rambutnya yang jarang dan tegak ka-
ku. Namun bukan keangkeran wajah yang mem-
buat Aji terperanjat. Ternyata meski berdiri ter-
bungkuk-bungkuk, laki-laki ini sepasang kakinya
tidak menginjak tanah!
"Menurut cerita orang-orang tua, ciri hantu
adalah sepasang kakinya tidak menginjak tanah.
Apakah yang di hadapanku ini hantu...? Tapi ma-
na ada hantu kelayapan siang-siang begini?
Hmm.... Ini manusia betulan! Siapa dia...? Tak bi-
sa disangkal, orang tua ini mempunyai ilmu san-
gat tinggi. Suara tawanya tadi dapat kupastikan
orangnya masih jauh. Namun tahu-tahu sudah be-
rada di sini. Dan dia dapat terus di atas udara
tanpa pengerahan tenaga dalam!" Pendekar 108
membatin sambil menduga-duga dan sepasang
matanya tak kesiap memperhatikan orang tua di
hadapannya.
Setelah lama memperhatikan dan orang tua
di hadapannya tidak juga keluarkan suara, malah
memandang ke jurusan lain, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 beranikan diri angkat bicara.
"Orang tua.... Kalau boleh tahu, adakah kau
mencari seseorang...?"
Yang ditanya masih terdiam. Bahkan sepa
sang matanya kini mengedari tempat itu seakan
mencari sesuatu. Pendekar 108 yang berada tak
jauh darinya malah tidak dipedulikan. Dia seakan
tak mendengar pertanyaan orang.
"Mungkin pendengarannya agak berku-
rang...," gumam Aji. Lalu ia mengulangi perta-
nyaan dengan suara agak dikeraskan. Namun se-
telah ditunggu sejenak, orang tua itu tidak juga
buka mulut untuk menjawab. Hanya sepasang
matanya kini melirik sebentar pada Pendekar 108,
tapi lantas memandang liar ke jurusan lain.
Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng ke-
pala. Kipas miliknya dilipat lalu disimpan ke balik
pakaiannya. Sejenak dia memandang pada Orang
tua sambil tarik-tarik kuncir rambutnya.
"Mulutku bisa dower sendiri jika meladeni
orang kurang pendengaran seperti ini. Lebih baik
aku meneruskan perjalanan ke tempat Dewi
Kayangan...." Pendekar 108 balikkan tubuh lalu
berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun gera-
kannya tertahan tatkala orang tua di belakangnya
buka suara.
"Anak muda! Aku hendak ke Dusun Kepati-
han. Adakah kau tahu, jalan mana yang harus
kuambil?"
Mendengar pertanyaan orang tua, Pendekar
108 cepat kembali balikkan tubuhnya. Dahinya
mengernyit. Sepasang matanya kembali mengawa-
si orang tua di hadapannya dengan dada penuh
pertanyaan.
"Siapa orang tua ini sebenarnya? Kalau me-
lihat sikapnya, pasti dia seorang tokoh silat. Dan
yang dicari pastilah juga seorang tokoh. Padahal
Dusun Kepatihan dihuni oleh Dewi Kayangan, seo-
rang tokoh silat. Hmm.... Bukan mustahil Dewi
Kayangan yang dicarinya. Aku terlebih dahulu ha-
rus mengetahui siapa dia adanya!" lalu Aji ajukan
pertanyaan. "Kek! Siapa kau...?"
Seperti tidak mendengar pertanyaan orang,
laki-laki tua ini alihkan pandangannya pada juru-
san lain. Malah sambil tertawa perlahan. Membuat
Pendekar 108 garuk-garuk tengkuknya yang tidak
gatal.
"Dia benar-benar tuli atau pura-pura tidak
mendengar? Kalau melihat ilmunya, mustahil dia
tidak bisa mendengar pertanyaan orang. Kalau
aku bicara terlalu keras, dan dia tidak tuli pasti
dia akan marah besar. Hmm... menghadapi orang
tua begini bikin sakit perut...," Aji sejenak terlihat
merenung. Tiba-tiba bibirnya tersenyum. Dari mu-
lutnya lantas terdengar dia berucap. Ucapannya
sengaja dipelankan.
"Kau pastilah orang tua yang pendengaran-
nya telah berkurang. Aku sebenarnya tahu mana
arah Dusun Kepatihan. Tapi kau akan kutunjuk-
kan jalan yang salah. Kepadamu akan kutunjuk-
kan jalan menuju tempat gadis-gadis cantik yang
bisa membawamu melayang-layang di angkasa....
Hm...," seraya berkata begitu Pendekar Mata Ke-
ranjang lirikkan matanya pada orang tua di hada-
pannya. Pendekar 108 tersenyum lebar ketika me-
lihat orang tua di hadapannya alihkan pandangan
ke arahnya dengan mata mendelik dan bibirnya
yang tebal bergerak-gerak. Namun sebelum orang
tua ini keluarkan suara, Pendekar 108 telah berka-
ta. Kali ini suaranya agak dikeraskan.
"Orang tua.... Kalau kau memang ingin ke
Dusun Kepatihan, ambillah jalan itu!" seraya ber-
kata Pendekar 108 angkat tangannya dan menun-
juk pada satu jurusan.
Sepasang mata orang tua itu bukannya
mengikuti arah tangan Aji yang menunjuk. Namun
sebaliknya memandang Aji dengan mata melotot
seram. Paras wajahnya yang hanya dibungkus ku-
lit tipis tampak berubah mengelam. Tulang peli-
pisnya bergerak-gerak pertanda dadanya telah di-
rasuki hawa amarah karena merasa akan ditipu
orang. Karena ternyata memang dia tidak kurang
pendengarannya, sebab begitu Aji berpaling sete-
lah menunjuk, orang tua ini keluarkan suara ben-
takan garang.
"Kurang ajar! Kau berani hendak menjeru-
muskan aku ke tempat laki-laki iseng. Kalau kau
tak ingin kutampar, sebutkan siapa dirimu yang
berani hendak menipuku!"
Murid Wong Agung ini sesaat terkesima
dengan ucapan orang tua di hadapannya. Namun
sekejap kemudian bibirnya telah sunggingkan se-
nyum dan berkata.
"Kek! Berarti kau tadi mendengar perta-
nyaanku.... Hanya kau pura-pura kurang penden-
garan. Buktinya kau mendengar jika aku akan
menunjukkan padamu jalan yang salah, padahal
aku berkata sangat pelan sekali. Kenapa kau pura-
pura tuli...?"
Meski sambil berkata dan bibir Pendekar
108 tampak tersenyum, namun diam-diam dalam
hatinya berkata sendiri. "Hmm.... Siapa pun dia
adanya, yang jelas dia berkepandaian sangat ting-
gi! Ucapanku tadi ku usahakan sangat pelan seka-
li. Namun, dia tetap mendengarnya...."
Orang tua di hadapan Pendekar 108 yang
bukan lain sebenarnya adalah Manusia Titisan
Dewa tengadahkan kepala. Dari mulutnya kembali
terdengar ucapannya.
"Anak muda! Kau telah menipuku. Kalau
kau tidak segera sebutkan siapa dirimu, maka
jangan menyesal jika mulutmu mendapat tampa-
ran!"
"Aduh. Kenapa kau sekarang berubah jadi
pemarah...? Kek! Orang tua jangan lekas naik da-
rah, bisa...."
"Jahanam! Sekali lagi kau berkata bukan
menjawab pertanyaanku, mulutmu tidak hanya
kutampar, tapi kuremukkan! Kau dengar?!" sahut
Manusia Titisan Dewa sebelum Pendekar 108 me-
neruskan kata-katanya.
Pendekar 108 kucek-kucek mata kanannya.
Lalu berkata menjawab.
"Namaku Aji. Aji Saputra.... Kau sendiri sia-
pa...?!"
Manusia Titisan Dewa angguk-anggukkan
kepalanya. Namun hanya sesaat. Tak lama kemu-
dian dari mulutnya kembali terdengar bentakan-
nya.
"Aku tak tanya namamu! Yang ku maksud
gelarmu siapa?!"
"Waduh, bikin sakit perut betulan mengha
dapi orang tua macam ini! Aku tidak akan menga-
takan siapa aku sebenarnya sebelum kuketahui
siapa dia sebenarnya! Aku harus hati-hati, mung-
kin saja dia salah seorang yang memburu Arca
Dewi Bumi...," lantas pada orang tua di hadapan-
nya Aji berucap.
"Orang tua. Yang ku punya hanyalah se-
buah nama. Soal gelar, aku tidak memiliki. Hanya
yang bisa kau tahu, aku adalah seorang pengelana
jalanan tidak punya arah tujuan. Diajak siapa pun
mau, apa-lagi gadis cantik. He he he.... Apa kau
juga demikian? Jika betul, sungguh senang sekali.
Kita bisa jalan bersama sambil mencari gadis-gadis
cantik.... Setuju?"
"Hm… Kau berani lagi menipu!" ujar Manu-
sia Titisan Dewa dengan senyum seringai. "Mulut-
mu memang pantas ditampar!" selesai berkata be-
gitu, Manusia Titisan Dewa angkat tangannya.
Pendekar 108 terkejut. Dan sebelum tangan
orang tua di hadapannya bergerak, dia cepat tarik
kepalanya ke belakang. Namun gerakan yang di-
duga Aji meleset. Manusia Titisan Dewa bukannya
gerakkan tangannya yang telah diangkat. Dia ter-
nyata gerakkan kaki kirinya yang ada sejengkal di
atas tanah dan dilejangkan ke depan.
Weesss!
Serangkum angin dahsyat menderu. Bukan
hanya itu saja, karena kaki orang ini melejang, ju-
bah birunya ikut tersibak. Anehnya, sibakan ju-
bahnya juga mengeluarkan sambaran angin dah-
syat!
Pendekar 108 melengak. Cepat segera me
lompat mundur sambil geser tubuhnya ke samp-
ing. Sambaran angin yang keluar dari lejangan
Manusia Titisan Dewa dapat dihindari, namun
sambaran angin yang keluar dari sibakan jubah-
nya yang tidak diduga sama sekali oleh Pendekar
Mata Keranjang, tak bisa lagi dielakkan! Dia lang-
sung berkelit dengan lesatkan tubuhnya ke udara,
namun sambaran jubah Manusia Titisan Dewa
ternyata laksana baling-baling yang pulang balik
ke atas ke bawah. Hingga saat tubuh Pendekar
108 melesat ke udara, mendadak seperti ada yang
menghantamnya dari atas. Hingga saat itu juga
tubuh Pendekar Mata Keranjang kembali menukik
ke bawah!
Buukkkk!
Tubuh Pendekar 108 tersuruk di atas tanah
dengan posisi terduduk. Selagi murid Wong Agung
ini belum lenyap rasa terkejutnya, Manusia Titisan
Dewa ayunkan tangannya yang sedari tadi terang-
kat.
Wuuttt!
Tak terdengar suara deruan angin, namun
saat itu juga Aji merasakan seakan ada kekuatan
dahsyat tak kelihatan menghantam bahu kanan-
nya. Aji segera buka telapak tangan kirinya dan
dihantamkan ke samping kanan. Tapi hantaman-
nya hanya menghajar angin. Malah bahunya yang
terhantam makin kencang berputar karena terdo-
rong oleh gerakan tangan kirinya. Hingga saat itu
juga mukanya menyusup tanah dengan mulut te-
rantuk gundukan tanah keras!
Manusia Titisan Dewa dongakkan kepala.
Terdengar suara tawanya mengekeh perlahan.
"Kalau kau masih berani menipuku, mu-
lutmu akan kuhancurkan! Jawab siapa gelarmu?!"
Dengan memaki panjang pendek dalam ha-
ti, Aji merambat bangkit. Diusapnya bibirnya yang
telah berdarah karena terantuk tanah keras. Dia
sadar bahwa orang tua dihadapannya tidak bisa
dipandang sebelah mata. Namun karena Aji ingin
lekas menemui Dewi Kayangan dan tak ingin
membuat masalah, maka tanpa memandang lagi,
dia balikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu.
Tapi belum sempat tubuhnya berkelebat,
Manusia Titisan Dewa telah berteriak garang.
"Jangan kira bisa tinggalkan tempat ini se-
belum jawab pertanyaanku!"
"Tua sialan!" maki Aji pelan. "Apa yang
membuatmu begitu terangsang ingin tahu gelar-
ku? Bukankah lebih baik melihat gadis-gadis can-
tik yang bisa merangsang mu...? Atau kau mung-
kin bisa terangsang jika orang sebutkan gelar? Hal
aneh.... Hiii...!" lalu tanpa balikkan tubuh, Aji me-
langkah meninggalkan tempat itu.
Sejenak tak terdengar suara sahutan dari
belakangnya. Tapi sesaat kemudian, Pendekar 108
merasakan tubuhnya terangkat ke udara! Murid
Wong Agung ini cepat berpaling. Dia jadi terperan-
gah kaget. Di belakangnya terlihat Manusia Titisan
Dewa duduk bersila sejengkal di atas tanah. Kedua
tangannya lurus ke depan dan membuka. Semen-
tara kedua matanya terpejam setengah membuka.
Ketika orang tua ini gerakkan tangannya ke atas
ke bawah, tubuh Pendekar 108 yang berada lima
belas langkah di depannya dan kini terapung di
udara terlihat ikut bergerak naik turun!
Pendekar 108 merasa jengkel dipermainkan
orang demikian rupa. Sambil menyumpah habis-
habisan dia kerahkan tenaga dalam untuk menu-
runkan tubuhnya. Perlahan-lahan tubuhnya pun
bergerak turun. Namun saat itu Manusia Titisan
Dewa segera tarik tangannya ke bawah dengan de-
rasnya!
Wuttt!
Pendekar 108 terkejut bukan alang kepa-
lang. Karena saat itu kerahkan tenaga untuk tu-
runkan tubuhnya, ditambah dengan kekuatan tak
terlihat yang mengikuti gerakan tangan Manusia
Titisan Dewa, membuat tubuh Aji turun dengan
derasnya. Tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar
108 untuk kembali angkat tubuhnya, hingga tanpa
bisa dihindarkan lagi tubuhnya melesat dan jatuh
berkaparan di atas tanah!
"Gila!" umpat Aji seraya meringis dan segera
bangkit. Dilihatnya orang tua itu telah sedekap
dengan mata tetap terpejam setengah membuka.
Tubuhnya masih ada sejengkal di atas tanah, dan
jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan suara
menderu-deru tertiup angin.
"Orang tua ini tidak main-main dengan
ucapannya. Dia seakan ingin membunuhku perla-
han-lahan! Aku tak akan tinggal diam. Mungkin
saja dia telah tahu siapa diriku, juga jalan menuju
Dusun Kepatihan. Pertanyaannya tadi hanyalah
pura-pura untuk memancing masalah!"
Berpikir sampai di situ, Pendekar 108 sege
ra keluarkan seruan lantang.
"Orang tua! Kalau kau tak mau sebutkan
siapa dirimu, tak apa! Namun apa maumu dengan
semua ini?! Kita tak kenal dan tak punya silang
sengketa. Apa kau hanya ingin unjuk kebole-
han...?!"
Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak. Kali
ini suaranya keras meradang. Hingga Pendekar
108 dapat merasakan getaran pada pijakan ka-
kinya!
"Tak kenal?" ulang Manusia Titisan Dewa.
"Karena kau bodoh, maka tidak mengenalku. Se-
baliknya aku mengenalmu dan tahu siapa kau se-
benarnya! Bukankah kau manusianya yang berge-
lar Pendekar Mata Keranjang 108? Seorang manu-
sia tengik yang telah membunuh sahabatku Ageng
Panangkaran...?!"
Aji jadi tersedak mendengar ucapan orang
tua di hadapannya. Untuk beberapa lama dia ter-
diam dengan kening berkerut.
"Edan! Jadi masalah fitnah ini telah mene-
bar ke mana-mana. Hmm.... Siapa bangsatnya
yang telah menebar berita celaka ini?"
"Kau memikir sesuatu?!" tegur Manusia Ti-
tisan Dewa dengan tersenyum sinis. "Kau tak usah
berkelit, semua orang rimba persilatan telah tahu
itu!"
"Orang tua!" teriak Aji dengan muka merah
padam. Niatnya untuk meninggalkan tempat itu
diurungkan. Dia memutuskan untuk mengorek
siapa penebar berita itu dari mulut orang tua di
hadapannya.
"Kau telah mengetahui siapa aku sebenar-
nya, lalu kau pura-pura tanya untuk memancing
masalah. Aku khawatir jangan-jangan ucapanmu
tadi juga hanya pura-pura saja. Kau sebenarnya
punya maksud tertentu. Betul...?!"
Manusia Titisan Dewa keluarkan dengusan
keras. Bersamaan dengan itu serangkum angin
melesat ke depan. Namun ini bukan merupakan
serangan. Tapi hal ini telah menambah keyakinan
Pendekar 108 bahwa manusia di hadapannya be-
nar-benar punya ilmu sangat tinggi. Dengusan na-
pasnya saja mampu menyambarkan serangkum
angin.
"Pendekar Mata Keranjang! Sengaja aku pu-
ra-pura tanya, untuk menyelidik. Ternyata kau
memang manusia yang suka menipu! Jadi sangga-
han mu atas tuduhan membunuh Ageng Panang-
karan pasti juga tipuan mulutmu belaka!"
"Orang tua! Hati-hati bicara. Jangan sampai
anak muda berani karena kau ceroboh keluarkan
kata-kata!"
"Kau memang pandai bicara! Dan mulutmu
layak dihajar, bahkan kalau perlu kau harus te-
was! Sebagai orang persilatan, aku malu melihat
sikapmu!"
"Kau tak perlu malu, Orang, Tua. Karena
semua itu masih berita! Justru seharusnya kau
malu pada dirimu sendiri. Kau pura-pura tuli dan
pura-pura tak tahu siapa aku. Dan hal itu kau
buat untuk masalah! Kau ternyata mempunyai
bakat untuk menjadi orang licik!"
Mendengar kata-kata Pendekar Mata Keran
jang, Manusia Titisan Dewa naik pitam. Sepasang
matanya membuka dan langsung berkilat-kilat
merah. Tapi kali ini Aji tak mau didahului. Sebe-
lum orang tua itu lancarkan serangan, Pendekar
108 telah melompat ke arah samping, lalu kedua
tangannya dihantamkan ke depan.
Sebenarnya murid Wong Agung ini tidak
mau gegabah turun tangan untuk lakukan seran-
gan. Namun melihat gelagat tidak baik pada uca-
pan orang, Pendekar 108 dapat menduga jika
orang tua ini mempunyai niat jelek padanya.
Mendapat serangan, Manusia Titisan Dewa
bukannya segera menangkis atau cepat menghin-
dar. Dia terlihat mengumbar tawa panjang. Bah-
kan ketika rangkuman angin kiriman Pendekar
108 telah satu depa di hadapannya! Namun ketika
serangan itu sejengkal lagi menghajar, Manusia Ti-
tisan Dewa takupkan kedua tangannya.
Settt!
Tiba-tiba tubuh Manusia Titisan Dewa ber-
putar dan lenyap! Pukulan Pendekar 108 meng-
hantam tempat kosong. Dan tahu-tahu tubuhnya
telah berada di atas Pendekar Mata Keranjang!
Wess! Wess! Weesss! Weessss!
Manusia Titisan Dewa sapukan kedua ka-
kinya, sedangkan kedua tangannya pegang tangan
jubahnya dan disibakkan. Kejap itu juga terdengar
deruan angin dahsyat empat kali berturut-turut.
Dua terdengar dari kakinya, dua lagi karena kele-
batan jubahnya.
Dalam situasi demikian akan membahaya-
kan jika bertindak ayal. Apalagi membuat gerakan
menghindar. Sadar akan hal itu, Pendekar Mata
Keranjang 108 jejakkan kakinya hingga tubuhnya
melesat ke udara. Di udara dia juga segera sapu-
kan kakinya ke depan, tangannya bergerak men-
dorong.
Prakk! Praakkk!
Bentrok dua pasang kaki tak dapat dihin-
darkan lagi. Suaranya keras dan mengerikan, ka-
rena keduanya telah alirkan tenaga dalam masing-
masing pada kaki. Namun akibat yang ditimbul-
kannya lebih mengerikan lagi. Karena begitu terja-
di bentrok, tubuh Pendekar 108 terputar balik
mengikuti mentalan kakinya. Lalu tubuhnya me-
layang dan jatuh terhempas di atas tanah! Suara
gedebukan tubuhnya tak lama kemudian disusul
dengan suara erangan dari mulutnya.
Lima tombak di hadapan Pendekar 108,
Manusia Titisan Dewa terlihat terhuyung-huyung
sebentar, namun begitu kakinya meliuk hendak ja-
tuh, tiba-tiba orang tua ini tubuhnya terangkat sa-
tu jengkal di atas tanah, hingga meski tubuh orang
ini pada akhirnya terkapar, tapi berada satu jeng-
kal di atas tanah! Hingga selamatlah dia dari ben-
turan dengan tubuh di bawahnya! Orang tua ini
segera bergerak bangkit. Dengan kaki terpentang
kokoh sejengkal di atas tanah, dia segera hantam-
kan kedua tangannya disertai bentakan melengk-
ing.
Wuttt! Wuutttt!
Tak terlihat sambaran angin atau gemuruh
suara deruan. Namun saat itu juga cuaca menda-
dak berubah redup. Hawa dingin menghampar.
Namun cuma sekejap. Sesaat kemudian cuaca te-
rang-benderang, dan udara dingin berubah panas
menyengat! Hal ini terjadi silih berganti. Hebatnya
makin lama udara dingin makin mencekam, se-
mentara udara panas makin menyengat. Bersa-
maan dengan itu, larikan-larikan sinar hitam dan
putih serta kuning pelangi melesat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108!
Manusia Titisan Dewa tampaknya telah lan-
carkan jurus sakti 'Menggiring Pelangi Membalik
Hawa' yang merupakan kesatuan dan pendalaman
dari jurus 'Menggiring Sinar Menebar Hawa' yang
diwariskan pada Sakawuni.
"Celaka!" gumam Aji melihat ganas dan he-
batnya serangan yang dilancarkan orang tua di
hadapannya. Tiba-tiba Pendekar 108 berkerut.
"Serangannya mirip dengan serangan Sa-
kawuni! Apakah...?" Aji tak dapat meneruskan ka-
ta hatinya, karena saat itu tubuhnya telah berke-
ringat panas dingin, akibat tebaran hawa yang di-
lancarkan Manusia Titisan Dewa. Tubuhnya pun
berguncang karena tanah pijakannya perlahan-
lahan juga bergetar! Dan lebih dari itu semua, si-
nar pelangi telah melabrak ke arahnya!
"Saat kugunakan pukulan 'Mutiara Biru'!"
Pendekar 108 cabut kipas dari balik pa-
kaiannya, kaki kiri ditarik ke belakang. Tangan
kanannya menebar kipas sementara tangan kiri
didorong ke depan dengan tenaga dalam penuh!
SEBELAS
Telapak tangan kiri Pendekar Mata Keran-
jang 108 berubah menjadi biru berkilau. Lalu se-
berkas sinar biru berkilau melesat ke depan me-
mapak sinar pelangi. Tak terdengar adanya letu-
pan keras saat sinar biru bertemu dengan sinar
pelangi. Namun hebatnya, kejap itu juga cuaca be-
rubah menjadi tak karuan. Tebaran panas dan
dingin lenyap seketika! Keadaan menjadi temaram.
Padahal matahari bersinar sangat terik! Bersa-
maan dengan itu, tempat itu bergetar hebat! Po-
hon-pohon berderak lalu tumbang. Semak belukar
tercerabut dan menghambur ke udara! Tanah di
sana-sini terbongkar keluarkan suara menggidik-
kan. Angin laksana badai menghempas.
Ketika semuanya sirap, tampak Pendekar
108 terkapar di atas tanah dengan tubuh basah
kuyup. Pada sudut bibirnya meleleh cairan kehi-
taman pertanda dia terluka dalam. Kedua tangan-
nya terlihat gemetar hebat, hingga kipas ungunya
terlepas dan jatuh di samping tubuhnya. Namun
murid Wong Agung ini tidak mau bertindak gega-
bah. Meski dengan menahan sakit dan nyeri pada
dada serta kedua tangannya, dia merambat bang-
kit. Kipas yang tergeletak segera dipungutnya.
Tangan kirinya bergerak mengusap dadanya sa-
lurkan tenaga dalam. Sepasang matanya memejam
rapat dengan napas dihembuskan panjang dan da-
lam-dalam. Murid dari Karang Langit ini coba pu-
lihkan kembali tenaganya.
Sementara itu, di depannya terlihat Manu-
sia Titisan Dewa juga melintang di atas tanah.
Namun orang tua ini cepat bangkit duduk. Kedua
tangannya pun terlihat bergetar. Demikian juga
tubuhnya. Bibir orang tua ini terlihat menyeringai,
lalu kepalanya bergerak ke samping dan meludah.
Ternyata ludahnya telah berwarna kehitaman. Per-
tanda tubuh bagian dalamnya juga cidera. Dia se-
gera pula usap-usap dadanya seraya salurkan te-
naga dalam.
Ternyata, meski kedua orang ini hanya sal-
ing bentrok tenaga dalam lewat hantaman tangan
masing-masing, namun karena tenaga dalam yang
mereka keluarkan demikian kuat, hingga meski
tubuh mereka tak bertemu, namun masing-masing
orang mengalami luka dalam yang cukup parah!
Beberapa saat berlalu. Kedua orang ini ter-
lihat sama-sama duduk seraya salurkan tenaga
dalam masing-masing untuk mengatasi cidera pa-
da dada masing-masing. Namun orang tua di ha-
dapan Pendekar 108 terlihat segera bisa kuasai di-
rinya. Meski begitu diam-diam dalam hati Manusia
Titisan Dewa berucap.
"Seumur-umur baru kali ini aku berhada-
pan dengan anak muda yang mampu menahan se-
ranganku! Tapi kulihat dia terluka cukup parah.
Ini kesempatan baik. Akan kuhantam dia sekali
lagi dengan pukulan 'Menggiring Pelangi Membalik
Hawa'!" Manusia Titisan Dewa lantas takupkan
kedua tapak tangannya. Lalu dibuka perlahan-
lahan. Dan serta-merta dihantamkan ke arah Pen-
dekar Mata Keranjang 108.
Melihat orang tua kembali kirimkan seran-
gan, Pendekar 108 tampak terkejut. Karena waktu
itu dia masih kerahkan tenaga dalam untuk men-
gatasi dadanya. Kalau dia menangkis serangan
dan tubuhnya belum dapat dia kuasai, tak musta-
hil dirinya akan mengalami akibat yang sangat fat-
al. Kalau tidak menangkis, maka dirinya akan
dengan telak menerima hajaran.
Karena bimbang dengan apa yang hendak
dilakukannya, maka untuk beberapa saat murid
Wong Agung ini tampak tercenung.
"Habis riwayatmu, Anak Manusia!" gumam
Manusia Titisan Dewa dengan bibir sunggingkan
seringai maut. Apalagi tatkala dilihatnya Pendekar
Mata Keranjang tak membuat gerakan menangkis
padahal meski serangannya tak terlihat namun si-
nar pelangi telah satu depa lagi di hadapannya!
Kalau Manusia Titisan Dewa sunggingkan
senyum pertanda kepuasan, sebaliknya Pendekar
Mata Keranjang 108 sunggingkan senyum kecut.
Malah wajahnya tampak pucat pasi, tubuhnya ge-
metar. Dia tak menduga jika lesatan serangan la-
wan demikian cepat, hingga meski kini dia telah
dapat kuasai tubuhnya, namun keadaannya su-
dah sangat terlambat untuk membuat gerakan
menangkis atau menghindar!
"Celaka! Tuntas riwayat hidupku...," gumam
Aji dengan paras pias.
Pada saat yang mengerikan itu, tiba-tiba
melesat sesosok bayangan. Aji merasakan ada
sambaran angin dahsyat menerpa tubuhnya dari
arah samping yang membuat tubuhnya terpental
dan bergulingan di atas tanah. Namun hal itu te-
lah menyelamatkan tubuhnya dari hantaman se-
rangan Manusia Titisan Dewa.
Serangan Manusia Titisan Dewa terus me-
nerabas dan menghantam sebuah pohon. Pohon
itu langsung tumbang dan hancur berkeping-
keping. Tanah di sekitar pohon itu terbongkar be-
sar dan tanahnya membumbung ke angkasa me-
nutupi tempat itu. Hingga tempat itu sesaat men-
jadi gelap tertutup hamburan tanah.
Begitu hamburan tanah sirap, sepasang
mata Manusia Titisan Dewa terlihat liar berkilat-
kilat. Pelipisnya bergerak-gerak dengan dagu te-
rangkat. Tubuhnya terguncang menahan amarah
yang melanda dadanya melihat ada orang ikut
campur menyelamatkan jiwa Pendekar 108.
Dan ketika sepasang matanya menangkap
sesosok manusia di samping Pendekar Mata Ke-
ranjang, dia segera membentak dengan suara lan-
tang.
"Kau ikut masalah ini, berarti kau harus te-
bus dengan nyawamu!"
Sosok yang dibentak bukannya menjawab.
Malah tertawa cekikikan dan bergerak putar-putar
seakan sedang menari lalu tiba-tiba 'Bukkk' dia
duduk menggelosoh di atas tanah!
Dia adalah seorang perempuan tua bertu-
buh gemuk besar. Rambutnya putih dan disanggul
ke atas. Sepasang matanya besar dan sayu. Bibir-
nya dipoles dengan merah-merah. Dia mengena-
kan anting-anting sebelah sangat besar yang di-
muati beberapa anting-anting kecil.
Pendekar 108 segera bergerak bangkit, dan
mulutnya ternganga melihat siapa adanya orang
yang telah menyelamatkannya.
"Dewi Kayangan....," gumam Aji seraya
usap-usap hidungnya dengan kepala menggeleng
melihat tingkah perempuan gemuk besar yang bu-
kan lain memang Dewi Kayangan.
Pendekar 108 segera melangkah mendekat.
Namun belum sampai dia keluarkan kata-kata,
Manusia Titisan Dewa telah kembali membentak.
"Kali Nyamat!" kata Manusia Titisan Dewa
menyebut nama asli Dewi Kayangan. "Kau datang
pada saat yang tepat. Dan terimalah ajalmu ber-
sama-sama manusia pembunuh itu!"
Dewi Kayangan masih tidak menyahut. Ma-
lah kini berpaling pada Pendekar Mata Keranjang
dan serta-merta tertawa cekikikan dengan keras!
"Kau dengar manusia yang bergelar Manu-
sia Titisan Dewa telah menentukan ajal seseorang?
Bukan seseorang, dua orang. Kau dan aku! Heran
ya.... namanya saja masih manusia, tapi dapat
menentukan ajal.... Kau sudah siap...?"
Ditanya demikian, Pendekar 108 segera
menimpali.
"Dikatakan siap ya sudah, dikatakan belum
ya belum...."
"Wan, omongmu terlalu sukar dicerna. Coba
terangkan lebih jelas bukankah di sini ada manu-
sia yang bisa menentukan ajal? Kalau dia bisa
mengerti omongan mu, siapa tahu dia memper-
panjang umur kita...? Untung buatmu, karena kau
masih bisa melihat gadis-gadis cantik. Hik... hik...
hik...!"
"Aduh, aku tidak bisa lagi menjabarkan
omongan itu. Hanya saja yang namanya manusia
pasti dapat mencerna kata-kataku. Kalau tidak bi-
sa... ya mungkin saja orang tolol yang hampir
mendekati ajal...."
"Husss! Jangan keras-keras bicara soal ajal.
Di sini ada orang yang bagian mengurusi! Bisa-
bisa nyawamu dicabut!"
"Keparat! Akan kubuktikan bahwa kalian
memang orang-orang yang pantas menemui ajal!"
bentak Manusia Titisan Dewa seraya buka telapak
tangannya dan siap lancarkan serangan.
Di depan Pendekar 108 jongkok dan meme-
gang Dewi Kayangan lalu berbisik.
"Dewi. Siapakah orang tua angker itu?"
"Dialah manusianya yang bergelar Manusia
Titisan Dewa!"
Pendekar Mata Keranjang terhenyak. Dia
memang pernah mendengar tokoh silat bergelar
Manusia Titisan Dewa. Menurut yang didengar, to-
koh ini berilmu tinggi dan jarang muncul. Sikap
dan jalan pikirannya sukar ditebak.
"Dewi. Apakah dia mempunyai seorang mu-
rid?"
Dewi Kayangan cekikikan, namun di sela-
sela cekikannya dia menjawab.
"Dulu kabarnya dia punya murid. Namun
muridnya itu akhirnya dibunuh sendiri gara-gara
menolak perintahnya. Kenapa kau menanyakan
hal itu?"
Pendekar 108 sejenak terdiam. Lalu setelah
berpikir dia berkata. "Aku melihat jurus yang dipe-
ragakan Sakawuni mirip dengan jurus orang tua
itu!"
"Sakawuni...? Siapa Sakawuni? Laki apa pe-
rempuan...?!"
Pendekar 108 jadi geleng-geleng kepala
mendengar pertanyaan Dewi Kayangan. Seraya
nyengir dia berkata.
"Sakawuni adalah seorang gadis cantik yang
kau tolong beberapa saat yang lalu dari serangan-
ku! Kau ingat? Dia mengenakan baju coklat berga-
ris-garis, rambutnya segini...!" kata Pendekar 108
sambil gerakkan tangan kanannya diletakkan di
punggung.
"Hmm...," Dewi Kayangan manggut-
manggut hingga terdengar gemerincing anting-
antingnya. "Berat dugaan gadismu itu memang te-
lah berguru pada tua bangka itu. Sekarang kau ta-
ruh di mana gadismu itu?"
Meski dalam hati menggerendeng habis-
habisan karena menyamakan Sakawuni dengan
barang yang bisa ditaruh namun murid Wong
Agung ini gelengkan juga kepalanya memberi isya-
rat bahwa dia tak tahu di mana Sakawuni.
Saat kedua orang ini sedang berbisik-bisik,
tiba-tiba Manusia Titisan Dewa telah hantamkan
kedua tangannya.
Seberkas sinar pelangi melesat ke arah Dewi
Kayangan dan Pendekar 108 tanpa keluarkan sua-
ra. Namun karena dadanya bagian dalam telah ci-
dera akibat bentrok pukulan dengan Pendekar
108, maka lesatan sinar pelangi itu telah tidak seganas tadi. Bahkan hamparan hawa panas dan
dingin yang menyertai sinar itu tidak lagi begitu
menyengat dan mencekam.
Dewi Kayangan segera tarik tangan Pende-
kar Mata Keranjang. Kedua orang ini saling bergu-
lingan di atas tanah. Begitu gulingan Dewi Kayan-
gan terhenti, perempuan ini cepat tekankan kedua
sikunya ke atas tanah. Settt! Tubuhnya membum-
bung dan lenyap di udara. Sementara Pendekar
108 langsung bangkit dan memperhatikan. Sebe-
narnya dia ingin juga lancarkan serangan balasan,
namun ketika Dewi Kayangan dilihatnya bergerak,
dia urungkan niat. Dia merasa tidak layak untuk
mengeroyok.
Di depan, tiba-tiba sosok Dewi Kayangan
muncul dan tahu-tahu telah tegak dua langkah di
samping Manusia Titisan Dewa. Kakek ini bukan
main terkejutnya. Namun dia segera tersadar. Ser-
ta-merta kedua tangannya dihantamkan sekaligus
ke samping.
Namun karena gerakannya telah lamban,
maka sebelum kedua tangannya menghantam,
Dewi Kayangan telah angkat kedua tangannya dan
didorongkan ke samping ke arah Manusia Titisan
Dewa yang sedang hendak lepaskan pukulan.
Desss!
Manusia Titisan Dewa terpekik. Sosoknya
terpelanting sampai lima tombak ke samping dan
jatuh bergelimpangan di atas tanah tak jauh dari
tempat Pendekar 108 berdiri.
Terbungkuk-bungkuk Manusia Titisan De-
wa bergerak bangkit. Ketika dia memeriksa bahunya yang terasa nyeri dan panas, sepasang ma-
tanya membelalak besar. Jubah birunya bagian
bahu terlihat robek besar dan hangus! Bahkan ku-
lit di bahunya terlihat berubah menjadi hitam le-
gam!
"Jahanam keparat!" maki Manusia Titisan
Dewa sambil pejamkan matanya kerahkan tenaga
dalam untuk menahan rasa panas yang mulai
menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Kalau saja aku tidak dalam keadaan cide-
ra, akan kubuat tanggal kepalanya! Hm.... Untuk
sementara masalah ini harus ku tunda. Terlalu
bodoh jika aku melawan...."
Di seberang, Dewi Kayangan keluarkan ce-
kikikan panjang dan keras. Lalu tengadahkan ke-
pala dan berucap.
"Manusia Titisan Dewa! Kalau kau masih
berdiri saja, jangan menyesal jika aku mewakili
malaikat pencabut nyawa untuk menanggalkan
nyawamu! Meski sang malaikat tidak memerintah-
ku! Hik... hik... hik...!"
"Bangsat!" teriak Manusia Titisan Dewa
dengan amarah yang meluap. Dia sebenarnya in-
gin mengadu jiwa. Namun karena sadar keadaan-
nya terluka, maka tak mungkin dia melakukan-
nya. Tapi kemarahannya tidak bisa ditahan lagi.
Dan rasa marahnya ditumpahkan pada Pendekar
108 yang berdiri tak jauh darinya.
Tangan kanan kakek ini lantas digerakkan
kirimkan serangan pada Pendekar Mata Keran-
jang.
Karena tidak menyangka, Aji terlihat terpe
rangah kaget. Hingga dia diam saja seakan terke-
sima.
Pada saat itulah sebuah bayangan berkele-
bat. Bersamaan dengan itu terdengar deruan angin
dahsyat. Pukulan jarak jauh Manusia Titisan Dewa
terlabrak dan terdengarlah letupan dahsyat.
Pendekar 108 terpental dan jatuh terduduk.
Sedang Manusia Titisan Dewa tersurut hingga tiga
langkah ke belakang. Sepasang mata kakek ini
menyengat tajam. Dia menduga bahwa Dewi
Kayangan telah menyelamatkan Pendekar 108,
namun dugaan orang tua ini meleset.
Sama halnya dengan Manusia Titisan Dewa,
Pendekar 108 pun menyangka bahwa Dewi Kayan-
gan-lah yang menyelamatkannya. Namun murid
Wong Agung jadi terbeliak tatkala mengetahui sia-
pa adanya orang yang menangkis serangan Manu-
sia Titisan Dewa.
Di seberang Dewi Kayangan makin keras
dengan cekikikannya.
DUA BELAS
Di situ, tak jauh dari tempat Manusia Titi-
san Dewa tampak berdiri seorang gadis muda ber-
paras cantik mengenakan pakaian warna coklat
bergaris-garis.
"Sakawuni!" seru Pendekar Mata Keranjang
108 mengenali siapa adanya si gadis. Dahi murid
Wong Agung ini mengernyit. Dalam hati diam-diam
dia berucap.
"Heran. Bukankah sesaat yang lalu dia
menginginkan nyawaku? Namun kenapa tiba-tiba
menyelamatkanku...? Atau hal ini dilakukan kare-
na dia ingin membunuhku dengan tangannya sen-
diri...?"
Selagi Aji tercenung dengan menduga-duga,
Manusia Titisan Dewa terlihat melotot angker begi-
tu mengetahui siapa adanya si gadis. Dengan sua-
ra keras dia membentak.
"Sakawuni! Sadarkah kau dengan kela-
kuahmu? Atau kau telah melupakan sumpah-
mu?!"
Gadis muda berparas cantik yang memang
bukan lain adalah Sakawuni tak segera menyahut
ucapan Manusia Titisan Dewa yang bukan lain
adalah gurunya sendiri. Dalam hati gadis ini dige-
layuti beberapa perasaan. Dia sendiri heran, kena-
pa hatinya masih juga tak tega melihat Pendekar
108 tewas.
"Keparat! Kenapa aku masih juga tak tega
padanya?! Apakah karena aku masih mengha-
rapkan dirinya?! Hmm.... Tidak! aku tak akan
mengharap orang yang merenggut nyawa guruku!
Tapi.... Kenapa dia masih menyangkal dengan per-
buatannya? Hm.., ini perlu waktu untuk menyeli-
dikinya! Dan aku ingin dia roboh di tanganku sen-
diri jika perbuatannya terbukti!" setelah berpikir
sejenak, dia berpaling pada gurunya. Lalu melang-
kah mendekat dan berkata.
"Guru! Aku sengaja memperpanjang umur-
nya, karena aku mengadu jiwa dengan. Dan aku
ingin agar keparat itu tewas dengan tanganku
sendiri!"
Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit.
Tubuhnya gemeletar menahan marah mendengar
jawaban muridnya. Kepalanya berpaling pada ju-
rusan lain.
"Murid Keparat! Seandainya tak disela-
matkannya, pendekar itu pasti sudah tumbang!
Hm.... Alasan yang diucapkannya mungkin men-
gada-ada! Namun yang sebenarnya dia masih
mencintai pemuda itu! Jahanam!"
Berpikir sampai di situ, hawa amarah Ma-
nusia Titisan Dewa tak dapat dibendung lagi. Ke-
palanya bergerak kembali dan kini lurus mengha-
dap Sakawuni.
"Murid Jahanam!" kata Manusia Titisan
Dewa setengah berteriak. "Kau layak dapat huku-
man atas ulahmu!"
Kaki Manusia Titisan Dewa tiba-tiba berke-
lebat menyambar.
Deesss!
Karena jaraknya dekat, hingga tak ada ke-
sempatan bagi Sakawuni untuk bergerak meng-
hindar dan menangkis terjangan kaki yang meng-
hajar dadanya. Gadis ini terjengkang ke belakang
sampai lima tombak dan jatuh bergelimpangan di
atas tanah. Sesaat tubuhnya tampak bergerak-
gerak bahkan kepalanya terlihat terangkat lalu
muntahkan darah kehitaman. Pertanda tubuh ba-
gian dalamnya terluka parah.
"Sakawuni!" teriak Pendekar 108 sambil
berkelebat mendatangi. Dipegangnya bahu gadis
itu, lalu tubuhnya ditolong untuk bangkit. Namun
mungkin karena terluka agak parah, sepasang ma-
ta gadis ini tampak meredup lalu memejam seraya
keluarkan erangan tertahan. Tak lama kemudian
kepalanya lunglai di pangkuan Pendekar 108. Ga-
dis ini pingsan.
"Tua bangka jahanam!" teriak Aji lalu arah-
kan pandangannya pada Manusia Titisan Dewa.
Namun murid Wong Agung ini terperangah. Manu-
sia Titisan Dewa telah tidak ada lagi di tempatnya!
"Dewi! Ke mana larinya bangsat itu?" teriak
Pendekar 108 pada Dewi Kayangan yang melang-
kah terbungkuk-bungkuk ke arahnya.
"Mana aku tahu! Lagi pula apa enaknya
ngurusi ke mana perginya orang? Bukankah lebih
baik menolong gadismu itu...? Bukankah dia yang
kau ceritakan tadi. Hik... hik... hik...! Pucuk dicin-
ta, ulam dibikin sate.... Enak memang!"
"Dewi. Jangan terus-terusan bercanda. To-
long aku menyelamatkan jiwa gadis ini!"
"Dasar anak geblek! Kalau ada susahnya te-
riak-teriak minta tolong, tapi kalau lagi mesra-
mesraan menyinggung nama pun tidak! Hik...
hik... hik...! Jadi orang tua memang selalu berna-
sib jelek. Tidak seperti gadismu itu. Dia enak-
enakan diam, kamu yang pontang-panting seperti
cacing kedinginan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menyumpah
habis-habisan dalam hati demi mendengar kata-
kata Dewi Kayangan. Dan dadanya makin jengkel
tatkala dilihatnya Dewi Kayangan bukannya me-
langkah cepat, namun justru melenggak-lenggok
laksana orang sedang menari. Malah seraya melenggak-lenggok dan mulutnya yang dipoles merah
menyala tak putus-putusnya memperdengarkan
suara tawa cekikikan!
Namun tiba-tiba saja suara cekikikannya
lenyap. Aji yang telah alihkan pandangan pada Sa-
kawuni segera angkat kepalanya. Dia terkejut, ka-
rena Dewi Kayangan tidak terlihat batang hidung-
nya.
"Sialan! Ke mana dia...?!"
Selagi Aji mencari-cari bahunya terasa dite-
puk orang. Secepat kilat Aji menoleh. Hatinya lega,
Dewi Kayangan ternyata telah ada di belakangnya.
"Masukkan ini ke mulutnya!" kata Dewi
Kayangan seraya ulurkan tangannya memberikan
dua butiran kecil berwarna merah. Tanpa pikir
panjang lagi Pendekar 108 segera memungut dan
memasukkannya pada mulut Sakawuni.
"Aji.... Setelah urusan gadis-gadis ini sele-
sai, kau cepat temui aku! Dan satu hal lagi, ba-
gaimana kalau gelarmu diganti saja! Gelar Pende-
kar Mata Keranjang 108 terlalu mendatangkan
masalah bagimu! Hik... hik... hik...!"
"Gadis-gadis...?" gumam Pendekar 108
mengulangi ucapan Dewi Kayangan. "Dewi.... Di
sini hanya ada satu gadis. Dan apa maksudmu
dengan mendatangkan banyak masalah...?!" kata
Aji seraya palingkan wajahnya ke samping. Namun
betapa terkejutnya murid Wong Agung ini, Dewi
Kayangan ternyata telah tidak ada di sampingnya.
Hanya sayup-sayup terdengar ucapannya di sela
tawa cekikikan.
"Lihatlah jauh ke samping kiri… Hik... hik...
hik!"
Pendekar 106 teruskan putaran kepalanya
menuruti ucapan Dewi Kayangan. Tiba-tiba Aji
merasa terhenyak. Sepasang matanya menyipit
dan membeliak.
Jauh di samping kiri Aji tegak berdiri seo-
rang gadis cantik mengenakan pakaian warna hi-
jau tipis. Sepasang mata gadis ini memandang lu-
rus ke arah Aji yang sedang memangku kepala Sa-
kawuni.
"Singa Betina Dari Timur...!" seru Pendekar
108 dengan suara tercekat di tenggorokan. "Dia
nyatanya belum kembali ke Bima...," Pendekar 108
lalu lambaikan tangannya memberi isyarat agar si
gadis mendekati
Namun yang dilambai segera balikkan tu-
buh dan berkelebat meninggalkan tempat. Pende-
kar Mata Keranjang 108 menarik napas dalam-
dalam. Kepalanya menggeleng pelan.
"Gadis baik, bernasib belum baik...."
Perlahan-lahan diangkatnya tubuh Saka-
wuni ke dalam rengkuhannya. Pendekar 108 lalu
melangkah mencari tempat yang bisa digunakan untuk istirahat.
SELESAI
Segera menyusul:
TEMBANG MAUT ALAM KEMATIAN