..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 30 Juni 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE MANUSIA TITISAN DEWA

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 MANUSIA TITISAN DEWA

Darma Patria

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cover oleh Henky

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Darma Patria

Pendekar Mata Keranjang 108 

dalam episode:

Manusia Titisan Dewa

128 hal.


SATU


Senja baru saja turun. Bentangan langit se-

belah barat telah berubah warna menjadi merah 

kekuningan. Bias panasnya sang mentari pelan-

pelan berganti udara dingin malam. Dan tak lama 

kemudian, lengkung tipis sang rembulan tampak 

menghias di tengah taburan gumintang yang 

menghampar di angkasa.

Di depan sebuah gua batu seorang gadis 

muda tampak duduk tercenung di atas sebuah 

gundukan batu padas. Paras gadis ini cantik jelita, 

sepasang matanya bulat dan tajam. Rambutnya 

panjang sebahu, hidungnya mancung ditingkah 

bibir yang membentuk bagus dan merah tanpa 

polesan. Dia mengenakan pakaian warna coklat 

bergaris-garis.

Meski malam telah menjelang, sang gadis 

tampaknya enggan meninggalkan tempat di mana 

dia berada. Malah berulang kali kedua tangannya 

bergerak mengusap wajahnya, lalu kedua tangan-

nya ditopangkan pada dagu dengan siku bersite-

kan pada kedua pahanya. Sepasang matanya yang 

bulat tajam memandang lurus ke depan menem-

bus suasana yang mulai gelap pekat. Napasnya 

berhembus dalam dan panjang-panjang. Semua 

gerak-gerik gadis ini memberi isyarat bahwa saat 

ini dia sedang dilanda satu kegelisahan, atau pal-

ing tidak ada sesuatu yang membuat hatinya ke-

cewa.

Mungkin karena pegal dan kesemutan, ak

hirnya gadis muda itu campakkan kedua tangan-

nya, lalu berdiri dan melangkah mondar-mandir di 

depan gua. Sepasang matanya menekuri batu-

batuan padas di bawahnya yang telah tampak 

berwarna kehitaman.

Bosan dengan apa yang dilakukannya, se-

raya bantingkan kedua kakinya, gadis ini lantas 

melesat masuk ke dalam gua.

Pada sebuah batu agak besar, sang gadis 

duduk seraya sandarkan punggungnya. Kedua 

tangannya sedekap sejajar dada, sepasang ma-

tanya memejam rapat. Dia mulai pusatkan mata 

batinnya. Namun agaknya mata batinnya tak bisa 

terpusat, karena sesaat kemudian sepasang ma-

tanya terbuka kembali, dan napasnya berhembus 

panjang hingga bahunya berguncang.

"Sialan benar!" maki sang gadis dalam hati 

seraya luruskan pandangannya pada mulut gua. 

"Sekian lama berdiam diri di tempat ini tak sekali-

pun aku bisa melupakannya! Mungkinkah ini sya-

rat bahwa aku benar-benar menyintainya? Waktu 

aku berhasil bertemu dengannya terakhir kali, dia 

tampaknya acuh tak acuh. Adakah aku bertepuk 

sebelah tangan?" kedua tangan sang gadis kembali 

bergerak mengusap wajahnya, lalu rapikan ram-

butnya yang menghalangi pandangan matanya. 

Kepalanya menggeleng perlahan, sementara na-

pasnya berhembus panjang-panjang.

"Hmm.... Penyelidikan tentang siapa pem-

bunuh Guru belum dapat kutuntaskan, kini aku 

dilanda gelisahan tentang pemuda itu. Apakah be-

nar yang dikatakan Kakang Pandu bahwa pemuda

itulah yang membunuh mendiang Guru? Jelek be-

tul nasibku. Aku tak dapat melupakan pemuda 

yang diduga Kakang Pandu sebagai pembunuh 

Guru itu!" sang gadis terus berkata sendiri dalam 

hati. Wajahnya semakin menunjukkan kegelisahan 

dan kebimbangan.

"Kakang Pandu.... Aku heran sekaligus me-

nyesal melihat perubahan pada dirimu! Adakah 

perubahan itu karena kau telah memiliki ilmu 

tinggi atau hanya karena pelampiasan rasa cem-

burumu? Seandainya kau bukan kakak sepergu-

ruanku, mungkin aku masih bisa mempertim-

bangkan pernyataan cintamu. Dan...," sertamerta 

gadis ini hentikan kata hatinya. Sepasang matanya 

membeliak besar dan memandang lurus ke mulut 

gua, karena saat itu terdengar siuran angin dan 

sesosok bayangan tampak berkelebat menuju mu-

lut gua.

Sang gadis cepat berdiri, sesaat rasa tegang 

tampak menyelimuti dirinya. "Siapa dia...? Sekian 

lama berada di sini baru kali ini aku kedatangan 

orang...," gumamnya sambil tak berkesiap.

Weeerrr!

Angin deras berdesir, dan bersamaan den-

gan itu tahu-tahu sesosok bayangan telah berdiri 

di hadapan sang gadis.

Si gadis cepat geser bahunya menghindari 

sambaran angin kedatangan orang. Dan darahnya 

tersirap saat matanya memperhatikan orang di 

hadapannya. Namun dia tak memperlihatkan rasa 

takut, meski orang di hadapannya memiliki tam-

pang angker dan menakutkan. Malah dengan mata

tak berkedip dia menegur.

"Orang tak dikenal! Sebutkan siapa kau 

adanya! Dan jangan berani berniat jahat jika ma-

sih sayang nyawa!"

Yang ditegur tak segera menjawab, malah 

sepasang matanya balas menatap dan memperha-

tikan sang gadis. Orang ini adalah seorang laki-

laki bertubuh kurus tinggi. Kalau saja tidak beru-

sia lanjut yang membuat tubuhnya bungkuk, 

mungkin kepalanya akan menyentuh langit-langit 

gua. Sepasang matanya besar dan masuk dalam 

rongga yang amat cekung. Paras wajahnya hampir 

tak bisa dikenali karena kulit wajahnya amat tipis, 

hingga yang terlihat hanyalah tonjolan-tonjolan tu-

lang wajah. Bibirnya amat tebal, sementara alis 

kedua matanya tampak kaku dan lurus ke depan 

serta panjang. Rambutnya amat jarang serta men-

julai ke atas dan kaku. Laki-laki ini mengenakan 

jubah besar dan panjang berwarna biru gelap. Pa-

da kepalanya tampak caping lebar dari kulit ber-

warna hitam yang bagian atasnya dibuat terbuka 

hingga rambutnya yang kaku bagai ijuk dan amat 

jarang itu terlihat jelas.

Selain tampangnya seram ada keanehan 

pada laki-laki berjubah biru ini yang membuat si 

gadis tersurut hingga dua tindak ke belakang den-

gan mata melotot. Ternyata meski berdiri agak ter-

bungkuk, sepasang kaki laki-laki ini tidak terpan-

cak di atas lantai gua! Sepasang kakinya berada 

sejengkal di atas lantai gua!

"Siapa laki-laki tua ini? Aku belum pernah 

mendengar ciri-ciri orang seperti dia dalam rimba

persilatan. Tapi siapa pun dia, yang pasti dia be-

rilmu sangat tinggi. Dia mampu menahan tubuh-

nya di atas udara tanpa kerahkan tenaga dalam! 

Hmmm.... Aku harus tahu apa tujuannya ke sini! 

Meski siapa pun juga boleh mendiami gua ini!"

Namun si gadis tak segera bertanya, dia 

seakan menunggu jawaban. Tapi setelah ditunggu 

lama laki-laki di hadapannya tidak juga berkata, 

dia kembali buka mulut.

"Orang tua! Harap kau sudi mengatakan 

siapa kau adanya! Dan apa tujuanmu ke sini!" na-

da ucapan si gadis agak lunak, karena dia sadar 

jika laki-laki di hadapannya bukanlah orang sem-

barangan, lagi pula dia tak menginginkan terja-

dinya masalah. Malah setelah berkata dia angguk-

kan sedikit kepalanya.

Untuk beberapa saat lamanya laki-laki di 

hadapan sang gadis masih belum buka suara. Ba-

ru setelah si gadis hendak menegur kembali, laki-

laki berjubah biru buka mulut dan berkata.

"Anak gadis! Soal siapa diriku agaknya tidak 

terlalu penting, dan mengapa aku ke sini itu juga 

bukan masalah," si laki-laki sejenak hentikan uca-

pannya. Sepasang matanya menatap gadis di ha-

dapannya seakan ingin melihat sikap sang gadis 

mendengar jawabannya. Dan tatkala dilihatnya si 

gadis kernyitkan dahi, dia lanjutkan ucapannya.

"Anak gadis! Aku maklum jika kau tidak 

kenal padaku. Namun aku tahu siapa kau adanya! 

Bukankah kau gadis yang bernama Sakawuni? Sa-

lah seorang murid tokoh rimba persilatan Ageng 

Panangkaran? Kau sedang dilanda kecewa dan gelisah, kau memikirkan seseorang?!"

Berubahlah paras wajah si gadis, hatinya 

berdebar-debar mendengar kata-kata laki-laki tua 

di hadapannya.

"Heran. Dia mengetahui diriku dan gelisa-

han hatiku! Siapa dia sebenarnya...?"

Mungkin karena tak mau apa yang sedang 

melanda hatinya diketahui orang lain, si gadis 

yang bukan lain memang Sakawuni, salah seorang 

murid Ageng Panangkaran sunggingkan senyum 

dan berkata.

"Perihal kecewa dan gelisah tidaklah patut 

ditanyakan, lagi pula itu adalah bukan urusanmu! 

Kalau tidak ada hal lain sebaiknya kau tinggalkan 

aku sendirian!"

Laki-laki berjubah biru keluarkan tawa pe-

lan.

"Kau pandai menyembunyikan sesuatu 

meski sebenarnya batinmu sedang diamuk kecewa 

berat pada seorang manusia bergelar Pendekar 

Mata Keranjang 108 serta kebimbangan masalah 

kematian gurumu," laki-laki berjubah biru sejenak 

hentikan ucapannya, lalu alihkan pandangannya 

pada mulut gua.

"Ah, betul juga katamu tadi, ini bukan uru-

sanku, dan memang sebaiknya aku menuruti ka-

ta-katamu untuk meninggalkan tempat ini...," ha-

bis berkata begitu, laki-laki berjubah biru balikkan 

tubuh hendak pergi, namun gerakannya tertahan 

tatkala Sakawuni berseru.

"Orang tua, tunggu!"

"Ada yang hendak kau utarakan?!" kata la

ki-laki berjubah biru tatkala ditunggu beberapa 

saat tidak ada suara terdengar dari mulut Saka-

wuni.

"Orang ini tahu banyak tentang aku dan 

masalah yang kuhadapi, tentunya dia tahu juga 

tentang mendiang Guru Tak ada salahnya aku 

menanyakan tentang kematian Guru...."

"Hatimu lebih banyak bicara daripada mu-

lutmu. Itu pertanda kau menyimpan beban berat! 

Hmm.... Kalau tidak ada yang ingin kau ucapkan, 

aku akan pergi!"

"Orang tua!" kata Sakawuni seraya melang-

kah maju dua tindak. "Ucap mu benar, aku me-

mang sedang bimbang memikirkan kematian gu-

ruku Ageng Panangkaran. Kalau kau mengenal-

nya, adakah kau tahu tentang siapa pembunuh-

nya?"

Laki-laki berjubah biru balikkan tubuhnya 

menghadap Sakawuni. Sepasang matanya menya-

pu liar ke ruangan gua, dan ketika matanya mena-

tap Sakawuni laki-laki ini anggukkan kepalanya.

"Aku memang kenal dengan tokoh rimba 

persilatan yang sekaligus gurumu itu! Dan aku 

pun tahu siapa pembunuhnya! Malah aku tahu 

banyak tentang orang yang bergelar Pendekar Ma-

ta Keranjang 108 dari mulai kecil hingga kini!"

Sakawuni terkejut besar mendengar perka-

taan orang tua di hadapannya. Apalagi tatkala 

orang tua itu mengatakan tahu tentang Pendekar 

108, orang yang tidak bisa dihilangkan dari ha-

tinya.

"Orang tua! Harap kau sudi mengatakan

siapa yang membunuh Guru!"

Laki-laki berjubah biru dongakkan kepa-

lanya, dari mulutnya terdengar tawanya. Puas 

dengan tawanya, dia lalu berkata. 

"Sakawuni! Sebelum aku mengatakan siapa 

pembunuh gurumu, aku ingin tanya dulu. Apakah 

kau benar-benar ingin membunuh orang yang 

membunuh gurumu?"

Mendengar pertanyaan itu, sepasang mata 

Sakawuni membeliak besar. Dagunya sedikit men-

gembung, pelipis kiri kanannya bergerak-gerak 

tanda hatinya diamuk gejolak amarah.

Melihat perubahan pada paras gadis di ha-

dapannya, laki-laki berjubah biru tertawa lebar. 

"Perubahan wajahmu memberi isyarat bahwa kau 

memang ingin membalas pada orang yang mem-

bunuh gurumu. Bagus! Sekarang aku ingin tahu, 

adakah kau masih menaruh harapan bahwa ma-

nusia bergelar Pendekar Mata Keranjang akan 

membalas perasaan hatimu?" 

Paras Sakawuni berubah lagi. Kini merah 

mengelam dan cepat berpaling pada jurusan lain.

"Ke mana arah pembicaraan orang tua ini? 

Aku belum mengerti apa yang dimaksud dengan 

mempertanyakan tentang Pendekar 108 segala.... 

Bagaimana aku harus mengatakannya? Apakah 

perasaanku harus ku utarakan juga?"

"Sakawuni, kau dengar pertanyaanku...?!" 

tegur laki-laki berjubah biru saat yang ditanya ti-

dak segera menjawab, bahkan palingkan wajah.

Sakawuni menghela napas dalam-dalam. 

"Orang tua! Apakah pertanyaanmu itu juga ada

kaitannya dengan kematian Ageng Panangkaran?!"

"Kau belum jawab pertanyaanku!" ujar laki-

laki berjubah biru.

"Sialan betul! Sebenarnya tabu mengatakan 

perasaan hati pada orang yang baru dikenal, tapi 

apa hendak dikata. Aku punya dugaan bahwa 

Pendekar Mata Keranjang ada kaitannya dengan 

kematian guru jika orang tua ini menanyakan-

nya...," Sakawuni lantas berkata.

"Orang tua! Mengungkap perasaan hati pa-

da orang lain apalagi pada orang yang belum dike-

tahui siapa namanya sebenarnya sangat tidak bi-

jaksana. Namun jika hal itu ada hubungannya 

dengan kematian guru, aku terpaksa harus men-

gatakannya!"

"Bagus! Berarti kau tidak mementingkan di-

ri sendiri, dan keinginanmu untuk mencari siapa 

pembunuh gurumu memang sungguh-sungguh! 

Sekarang katakan apa yang ada di benakmu ten-

tang Pendekar 108!"

Sejenak Sakawuni terdiam. Meski baru saja 

mengatakan hendak mengutarakan perasaan ha-

tinya, namun gadis ini masih terlihat bimbang dan 

berat. Hal ini tampaknya bisa dibaca oleh laki-laki 

tua di hadapannya.

"Sakawuni! Waktuku tidak banyak. Kalau 

kau masih menimbang-nimbang aku tak bisa lagi 

menunggu! Dan itu berarti kau harus bisa me-

nyingkap sendiri siapa pembunuh gurumu! Suatu 

pekerjaan yang memerlukan perjalanan panjang 

dan menguras tenaga!"

Sakawuni hadapkan wajahnya pada orang

tua di hadapannya, setelah menarik napas pan-

jang dia berkata.

"Orang tua! Aku memang menaruh hati pa-

da pemuda berjuluk Pendekar Mata Keranjang 

108. Tapi hanya sebatas itu, soal nanti kesam-

paian apa tidak aku tak pernah memikirkan hing-

ga sampai sejauh itu, karena semua itu ada yang 

telah mengaturnya!"

Orang tua di hadapan Sakawuni anggukkan 

kepalanya. Sepasang matanya memandang lekat-

lekat pada gadis di hadapannya.

"Orang tua! Aku telah jawab pertanyaanmu, 

sekarang kau harus mengatakan siapa pembunuh 

Ki Ageng Panangkaran!"

Laki-laki berjubah biru tertawa pendek. Ke-

palanya menggeleng perlahan, membuat Sakawuni 

kernyitkan dahi dan melotot. Dia menduga orang 

tua di hadapannya telah menipunya. Dalam hati 

diam-diam dia berkata.

"Kalau dia menipuku dengan tak mau men-

gatakan siapa pembunuh Ki Ageng Panangkaran 

aku tak akan tinggal diam, meski aku tahu dia 

adalah seorang berkepandaian sangat tinggi...!"

"Sakawuni!" kata orang tua berjubah biru. 

"Pertanyaan yang harus kau jawab tinggal satu la-

gi. Dan kau jangan terbawa perasaan. Aku akan 

mengatakan siapa pembunuh Ageng Panangka-

ran!"

"Orang tua!" kata Sakawuni dengan suara 

setengah berteriak. "Kau mengulur-ulur waktu, 

apa kau sengaja mempermainkan diriku? Jangan 

berharap bisa pergi dari sini sebelum kau menjawab pertanyaanku!"

"Hmm.... Anak ini tegar dan tak pandang 

bulu! Aku menyukai sifatnya.... Anak demikian in-

ilah yang kucari untuk melaksanakan segala ren-

canaku!" diam-diam laki-laki berjubah biru berka-

ta sendiri dalam hati. Lalu berkata.

"Sakawuni! Tadi sudah kukatakan, kau jan-

gan menuruti perasaan. Siapa pembunuh gurumu 

pasti kukatakan padamu! Tapi jawab sekali lagi

pertanyaan terakhir ku!"

"Lekas katakan!" sahut Sakawuni seakan 

tak sabar, meski dalam hati memaki habis-habisan 

merasa dirinya diperas oleh pertanyaan yang sebe-

narnya tidak boleh diketahui orang lain.

"Apakah kau tetap akan melaksanakan 

pembalasan atas kematian gurumu walau nan-

tinya hal itu bertentangan dengan hati nurani-

mu?!" berkata laki-laki berjubah biru seraya ten-

gadahkan kepala.

Sakawuni beringsut mundur mendengar 

pertanyaan orang tua. Hatinya berdegup kencang. 

Dugaan bahwa Pendekar 108 ada kaitannya den-

gan kematian gurunya semakin besar. Namun hal 

itu segera dibuangnya jauh-jauh. Dia berkesimpu-

lan tak mungkin Pendekar 108 membunuh gu-

runya, selain dia telah mengenal gurunya, dia juga 

tahu bahwa gurunya adalah sahabat Eyang Selak-

sa dan Eyang Wong Agung, dan lebih-lebih tak ada 

untungnya jika Pendekar 108 melakukan perbua-

tan keji itu!

Untuk mencari kejelasan tentang arah uca-

pan laki-laki di hadapannya, Sakawuni ajukan

pertanyaan.

"Orang tua! Aku belum mengerti apa mak-

sud ucapanmu!"

Laki-laki berjubah biru tertawa hingga tu-

buhnya naik turun mengikuti guncangan ba-

hunya.

"Sakawuni! Perasaan cinta kadang-kadang 

membutakan mata dan hati, bahkan bisa mengu-

bah 'ya' menjadi 'tidak' dan sebaliknya! Perasaan 

cinta tak jarang bisa menembus dinding setebal 

apa pun, tapi tak jarang pula tidak bisa menang-

kap apa yang ada di depan matanya!" sejenak laki-

laki itu hentikan kata-katanya, lalu menyambung. 

"Apakah kau mampu melakukan sesuatu yang 

penghadangnya adalah perasaan cinta itu?!"

"Orang tua! Kau tak usah berpanjang lebar! 

Katakan saja apa maksudmu sebenarnya!"

"Baik! Apakah kau akan tetap melakukan 

pembalasan kematian gurumu jika nantinya si 

pembunuh adalah orang yang kau cintai, setidak-

tidaknya kau mengharapkan dirinya?!"

Meski Sakawuni telah dapat menduga arah 

pembicaraan orang, namun dahinya berkerut juga 

saat mendengar perkataan orang di hadapannya. 

Dan apa yang akan dikatakan laki-laki itu selan-

jutnya, Sakawuni telah dapat menebak. Namun ia 

tak mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya. 

Dia pura-pura tidak tahu siapa orang yang hendak 

dikatakan laki-laki berjubah biru. Dia luruskan 

pandangan matanya dan berkata.

"Orang tua! Soal kematian Guru adalah sa-

tu masalah, sedangkan perasaan mengharapkan

seseorang adalah masalah lain. Meski aku belum 

matang dalam hidup dan menjalani kehidupan, 

namun aku bisa membedakan antara satu masa-

lah dengan masalah lainnya! Aku bisa memilah 

mana kepentingan utama dan mana kepentingan 

nomor dua! Kau mengerti maksudku bukan?" Sa-

kawuni balik bertanya.

"Begitu? Baik! Kuharap kau tidak hanya 

bersilat lidah dan menepati apa yang kau 

ucapkan!"

"Lekas katakan siapa pembunuh guruku!" 

ujar Sakawuni makin tak sabar.

Laki-laki berjubah biru anggukkan kepa-

lanya, lalu berkata.

"Kau tak usah terkejut, orang yang melepas 

nyawa gurumu adalah manusia yang bergelar 

Pendekar Mata Keranjang 108!"

Untuk kesekian kalinya, meski telah dapat 

menduga siapa yang bakal dikatakan orang tua di 

hadapannya, namun tak urung juga Sakawuni 

membeliakkan sepasang matanya. Dadanya ber-

debar kencang. Dengan suara agak tinggi, dia be-

rucap.

"Orang tua! Kau jangan menebar fitnah! 

Mana mungkin orang yang gigih menegakkan ke-

benaran seperti dia melakukan perbuatan terku-

tuk membunuh orang yang telah dikenalnya, bah-

kan sahabat gurunya? Kau jangan mengada-ada 

dengan menebar fitnah keji! "

Laki-laki berjubah biru tertawa bergelak-

gelak.

"Sakawuni! Kata-kataku tadi menjadi ke

nyataan bukan? Perasaan cinta kadang-kadang 

membutakan mata dan hati! Bahkan tak bisa me-

nangkap sesuatu meski di depan matanya! Dan itu 

berarti kau belum bisa menghitung mana yang 

utama dan mana yang nomor dua!"

Di depan, Sakawuni terlihat buang muka, 

dari hidungnya keluar dengusan keras. "Apakah 

mungkin Pendekar 108 melakukan hal itu? Hm.... 

Orang ini belum kukenal bahkan namanya pun 

belum kuketahui, apa aku bisa percaya pada 

orang begitu? Tapi dia mengetahui banyak tentang 

diriku. Meski aku belum percaya, mungkin orang 

ini punya alasan tertentu dengan apa yang baru 

dikatakannya."

"Orang tua! Kau belum menyebutkan siapa 

dirimu, lantas apa seseorang bisa percaya begitu 

saja pada omongan orang yang belum dikenal dan 

diketahui namanya? Dan tentunya kau punya 

bukti jika berani berkata Pendekar Mata Keranjang 

108 adalah pembunuh Ki Ageng Panangkaran!"

"Kau cerdik juga!" puji laki-laki berjubah bi-

ru. "Kalau kau ingin tahu siapa diriku, dengar 

baik-baik! Orang-orang rimba persilatan memang 

jarang yang kenal diriku! Namun sebaliknya aku 

hampir mengenal siapa-siapa tokoh rimba persila-

tan mulai Selaksa, Wong Agung, malah guru ke-

duanya, juga Dewi Kayangan, Dewi Bayang-

Bayang, Gongging Baladewa, Restu Canggir Ru-

mekso, Bawuk Raga Ginting, Dayang Naga Puspa, 

Dadung Rantak, Ratu Pulau Merah sampai sauda-

ra seperguruanmu Pandu yang kini bergelar Gem-

bong Raja Muda, dan juga Pendekar Mata Keranjang 108!" laki-laki berjubah biru hentikan kete-

rangannya sejenak, setelah menarik napas dia me-

lanjutkan.

"Orang rimba persilatan jarang yang men-

genal diriku, karena aku memang berusaha tak 

memperkenalkan diri dan jarang keluar. Namun 

hal itu kulakukan bukan karena aku takut meng-

hadapi orang. Justru aku memilih saat yang tepat 

untuk muncul sekaligus membuat kegegeran! 

Hanya kalau kau murid Ageng Panangkaran, 

mungkin kau pernah dengar darinya tentang orang 

yang bergelar Manusia Titisan Dewa! Hmm.... Itu-

lah aku!"

Sakawuni serta-merta surutkan langkah se-

raya ternganga. Dia memang pernah mendengar 

nama itu dari mendiang gurunya Ageng Panangka-

ran. Menurut yang didengar, orang yang bergelar 

Manusia Titisan Dewa adalah seorang tokoh silat 

berkepandaian sangat tinggi. Hanya beberapa 

orang saja yang sanggup menyamai ketinggian il-

munya. Dia memang jarang muncul ke arena rim-

ba persilatan dan jalan pikirannya pun sulit untuk 

ditebak, karena kadang-kadang berpihak pada 

orang-orang golongan putih namun tak jarang pula 

berdiri di belakang orang-orang golongan hitam! 

Bukan hanya jalan pikirannya yang sulit ditebak, 

sifatnya pun sulit dimengerti, karena kadang-

kadang dia ringan tangan untuk membunuh meski 

pada orang yang tidak membuat kesalahan, na-

mun sering juga membiarkan kepergian seseorang, 

padahal orang tersebut nyata-nyata menginginkan 

nyawanya!

"Manusia Titisan Dewa! Aku memang per-

nah mendengar tentang dirimu dari mendiang 

guru. Aku gembira sekali dapat bersua dengan to-

koh hebat sepertimu! Terimalah hormatku!" kata 

Sakawuni seraya tersenyum dan anggukkan kepa-

la.

Manusia Titisan Dewa tertawa melihat sikap 

Sakawuni. 

"Bagus! Jadi aku tak perlu lagi menerang-

kan panjang lebar siapa diriku, cukup apa yang 

kau dengar dari gurumu!"

Sakawuni gelengkan kepala perlahan. "Ma-

nusia Titisan Dewa! Apa yang kudengar dari men-

diang guru tak ada hubungannya dengan tudu-

hanmu terhadap Pendekar 108! Jadi bagaimana-

pun juga kau harus memberikan alasan atau bukti 

hingga kau berani mengatakan bahwa pemuda itu-

lah yang membunuh Guru!"

Manusia Titisan Dewa tersenyum agak si-

nis. Setelah keluarkan tawa pendek dia berkata. 

"Menuduh tanpa alasan kuat bagiku lebih 

kejam dari membunuh!"

"Hmm.... Jika demikian harap kau sudi 

mengemukakan alasanmu!"

"Mendiang gurumu adalah seorang tokoh 

rimba persilatan yang namanya sangat disegani. 

Selain itu, mendiang gurumu adalah tokoh yang 

banyak menyimpan rahasia! Kau tahu, karena 

lembaran kulit dari gurumulah hingga kipas dan 

kitab kedua ciptaan Empu Jaladara dapat ditemu-

kan. Dan masih banyak lagi rahasia yang disim-

pannya yang dia tulis dalam sebuah buku."

"Lantas apa hubungannya dengan tudu-

hanmu?!" ujar Sakawuni sepertinya ingin langsung 

pada masalah.

"Karena gurumu banyak menyimpan raha-

sia, maka tak sedikit orang yang coba mencuri 

bahkan membunuhnya demi bukunya itu. Dan di 

antara orang-orang yang menginginkan adalah Se-

laksa dan Wong Agung! Mungkin karena dianggap 

sebagai sahabat, gurumu memberikan lembaran 

kulit itu, tapi bukunya tidak. Hal ini nampaknya 

membuat mereka tidak puas. Entah mereka lantas 

berniat melenyapkan Ageng Panangkaran, dan 

mungkin karena sebagai sahabat, Selaksa dan 

Wong Agung tidak berani melakukan sendiri. Me-

reka lalu memerintah muridnya si Pendekar 108 

untuk melaksanakan niatan mereka!" Manusia Ti-

tisan Dewa batuk-batuk, lalu melanjutkan kete-

rangannya.

"Kau tentunya telah mendengar tentang ter-

sentaknya rimba persilatan dengan Arca Dewi 

Bumi, benar?"

"Aku memang dengar tentang itu! Hmm.... 

Kenapa kau menanyakan hal itu?"

"Adakah kau juga telah dengar, bahwa arca 

itu telah jatuh ke tangan si Pendekar Mata Keran-

jang?"

Sakawuni terkejut. Ingatannya melayang 

pada pertemuan terakhirnya dengan Pendekar 

108.

"Hmm.... Saat itu dia mengatakan sedang 

melaksanakan tugas berat. Bahkan saat ku ajukan 

usul agar aku dijadikan teman dia menolak. Apakah saat itu dia sedang memburu arca itu...?"

"Sakawuni! Kau tahu, rahasia tentang Arca 

Dewi Bumi hanya diketahui oleh segelintir orang. 

Kalau Pendekar Mata Keranjang 108 dapat menge-

tahui di mana beradanya serta berhasil menda-

patkan arca itu, kalau tidak dari buku tulisan gu-

rumu dari mana lagi?"

Sakawuni sejenak terdiam dengan pikiran 

menduga-duga.

"Hmmm.... Apakah perubahan sikapnya ser-

ta penolakannya tatkala kuajak bersama-sama ka-

rena takut aku mengetahui perbuatannya...?" Jika 

ku hubung-hubungkan, apa yang dikatakan Ma-

nusia Titisan Dewa ada juga benarnya...."

"Sakawuni!" kata Manusia Titisan Dewa 

menyentak lamunan Sakawuni. "Alasan itu lebih 

kuat lagi setelah kudengar Pendekar 108 kini ber-

sekongkol dengan Dewi Kayangan dan Dewi 

Bayang-Bayang!"

"Hmm.... Waktu terakhir bertemu, Pendekar 

108 memang ditolong oleh Dewi Bayang-

Bayang...," kata Sakawuni dalam hati. Lalu berka-

ta.

"Siapakah sebenarnya Dewi Kayangan dan 

Dewi Bayang-Bayang itu?!"

"Mereka adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi 

dari golongan orang sesat! Dan waktu muda dulu, 

mereka adalah musuh besar mendiang gurumu 

yang ada di jalur golongan putih!"

Sakawuni manggut-manggut. Namun paras 

wajahnya jelas berubah. Air mukanya tampak me-

rah mengelam, sementara dagunya terangkat dengan pelipis bergerak-gerak mengisyaratkan kema-

rahan yang sedang melanda dadanya.

"Pendekar Mata Keranjang! Tak kusangka 

jika kau manusia kejam durjana! Pertolonganmu 

padaku mungkin hanya usahamu untuk menutupi 

perbuatan kejimu! Jahanam keparat! Aku tak 

akan tinggal diam, meski aku tahu kau adalah 

manusia berilmu tinggi! Tunggulah!" hati Sakawu-

ni telah dibakar rasa marah dan kecewa.

Di hadapannya, melihat perubahan pada di-

ri Sakawuni, Manusia Titisan Dewa tampak terse-

nyum.

"Hmm.... Seorang perempuan jika telah dis-

akiti akan berubah menjadi singa lapar! Dan otak 

warasnya tak mungkin bekerja dengan baik. Inilah 

saatnya aku mulai melangkah....!"


DUA


Manusia Titisan Dewa tengadahkan kepala, 

sepasang matanya yang besar melirik pada Saka-

wuni yang masih tampak tercenung dengan piki-

rannya sendiri. Dengan suara perlahan dia lantas 

berkata.

"Sakawuni! Dari sepak-terjang Pendekar 

108, apa masih terlintas keraguan di hatimu ten-

tang keterlibatan pemuda itu dalam kematian 

Ageng Panangkaran?"

Sakawuni menarik napas dalam-dalam. Dia 

ikut-ikutan tengadahkan kepala menatap langit-

langit gua, lalu dari mulutnya terdengar suara.

"Hal itu masih memerlukan penyelidikan le-

bih jauh, namun satu hal yang pasti, aku telah 

memperoleh sebuah titik terang! Dan siapa pun 

adanya orang yang membunuh guru, aku akan 

membuat perhitungan dengannya!"

Manusia Titisan Dewa tertawa panjang,

hingga rambutnya yang kaku sesekali menyentuh 

langit-langit gua. Hebatnya, begitu tersentuh ram-

but laki-laki ini, langit-langit gua yang terdiri dari 

batu padas hitam itu sebagian rontok berguguran!

"Sakawuni! Sebagai sahabat dari mendiang 

gurumu, aku sangat gembira sekali mendengar 

ucapanmu namun juga merasa risau!"

Sakawuni kernyitkan kening. Kepalanya 

bergerak lurus memandang lekat-lekat pada Ma-

nusia Titisan Dewa.

"Boleh aku tahu apa yang membuatmu ri-

sau,..?" Sakawuni ajukan pertanyaan.

"Kau mengatakan akan membuat perhitun-

gan dengan orang yang membunuh gurumu, lalu 

apakah kau juga telah memperhitungkan kekua-

tan orang yang hendak kau hadapi? Ingat! Di bela-

kang orang yang membunuh gurumu, berdiri be-

berapa orang yang ilmunya tak bisa diperhitung-

kan!"

Sakawuni tertawa perlahan. Pandangannya 

beralih pada mulut gua dan menerobos kepekatan 

malam di luarnya. Kedua tangannya terlihat men-

gepal sementara kedua matanya tajam berkilat-

kilat.

"Manusia Titisan Dewa! Perjuangan memer-

lukan pengorbanan! Dan aku siap untuk berkorban!"

Tawa Manusia Titisan Dewa serta-merta 

meledak begitu mendengar ucapan Sakawuni, 

membuat gadis berparas cantik ini palingkan wa-

jahnya dan berkata.

"Adakah yang lucu hingga kau tertawa begi-

tu rupa?!"

"Sakawuni! Ternyata kau masih terpenga-

ruh dengan kata-kata usang itu! Jika kau masih 

berpendapat begitu, kau tak lebih hanya boneka 

hidup yang memang pantas dijadikan tumbal tan-

pa berarti apa-apa! Sungguh malang nasib saha-

batku Ageng Panangkaran. Mempunyai murid 

yang hanya bisa dan pantas dijadikan tumbal! 

Tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti bagi 

mendiang gurunya!"

Paras wajah Sakawuni merah kelam, sepa-

sang matanya melotot besar menatap Manusia Ti-

tisan Dewa. Kedua telinganya laksana dibakar 

mendengar kata-kata laki-laki tua di hadapannya.

"Manusia Titisan Dewa! Aku banyak ucap

terima kasih atas segala keterangan yang telah kau 

berikan, namun jangan sampai hal itu lenyap begi-

tu saja karena sinisnya kata-katamu!" 

Manusia Titisan Dewa sunggingkan senyum 

sinis. Tanpa lagi memandang pada Sakawuni dia 

berkata.

"Aku tak butuh ucapan terima kasih. Itu 

semua kulakukan karena memandang mendiang 

gurumu adalah sahabatku! Dan jika kau menilai 

kata-kataku sinis, itu terserah padamu! Hanya sa-

tu hal yang perlu kau ketahui, semangat saja tidak

cukup untuk sebuah perjuangan! Apalagi perjuan-

gan pembalasan!"

Sakawuni terdiam. Ia coba mencerna kata-

kata yang baru saja diucapkan Manusia Titisan 

Dewa. Dan diam-diam dalam hati dia membenar-

kan ucapan Manusia Titisan Dewa.

"Lantas apa yang harus kulakukan...?" 

tanya Sakawuni pada akhirnya.

"Karena yang akan kau hadapi bukanlah 

tokoh-tokoh sembarangan, maka jalan satu-

satunya adalah menambah ilmu! Aku tahu, kau 

adalah gadis yang berilmu tidak cetek, namun 

menghadapi tantangan di depanmu, kurasa ilmu-

mu masih tidak berarti apa-apa!" 

Sakawuni gelengkan kepalanya, lalu berka-

ta dengan suara parau.

"Manusia Titisan Dewa! Dalam situasi di 

mana rimba persilatan digemparkan dengan ber-

macam-macam hal yang membuat semua tokoh 

ingin muncul, kurasa terlalu sulit untuk mencari 

seorang guru. Atau.... Bagaimana kalau kau saja 

yang kuangkat sebagai guruku?" kata Sakawuni 

memberanikan diri.

Manusia Titisan Dewa yang dipandangi Sa-

kawuni. Saat itulah tiba-tiba Sakawuni maju dua 

tindak dan serta-merta berlutut di hadapan Manu-

sia Titisan Dewa. Dari mulutnya terdengar sua-

ranya yang mengharap.

"Demi sahabatmu Ageng Panangkaran, ku-

harap kau sudi mengangkat ku sebagai murid!"

Manusia Titisan Dewa terdiam hingga bebe-

rapa lama. Sepasang matanya mengawasi tubuh

Sakawuni yang kini berlutut dengan kepala ter-

tunduk. Bibirnya sunggingkan senyum.

"Sakawuni. Soal mengangkatmu sebagai 

murid demi sahabat serta gurumu, itu soal gam-

pang. Yang sulit adalah apakah kau mampu men-

jadi muridku!"

"Yang kau maksud...?" tanya Sakawuni ma-

sih dengan wajah tertunduk.

"Aku tak mau kejadian yang menimpa mu-

ridku dahulu akan menimpamu pula! Ketahuilah, 

aku dahulu pernah mempunyai seorang murid. 

Namun pada akhirnya dia harus tewas di tangan-

ku sendiri, karena dia menolak perintahku! Apa-

kah kelak kau mampu menjalankan perintahku 

meski perintah itu bertolak belakang dengan kein-

ginanmu? Karena aku tak mau mempunyai murid 

yang menolak perintah gurunya!"

Mungkin karena merasa kecewa dan sakit 

hati tentang Pendekar 108 maka tanpa pikir pan-

jang lagi Sakawuni langsung berkata.

"Hal yang menimpa muridmu, tak akan te-

rulang lagi padaku! Aku siap menjalankan segala 

perintahmu! Dan siap pula mati jika menolak pe-

rintahmu!"

Manusia Titisan Dewa tertawa pelan men-

dengar ucapan Sakawuni.

"Mengucapkan memang lebih mudah dari-

pada melakukan, dan aku telah membuktikan hal 

itu! Maka aku tidak akan lagi percaya pada uca-

pan! Kecuali disertai sumpah yang mengikat!"

Sakawuni kernyitkan keningnya. Diam-

diam dalam hati gadis cantik ini menggerutu panjang pendek. Namun dia tak berani mengelua-

rkannya.

"Baru Kali ini aku menemukan seorang 

yang menyuruh angkat sumpah sebelum men-

gangkat seorang murid! Hmm.... Tapi apa hendak 

dikata. Demi ketenangan Guru di alam baka sega-

lanya akan kulakukan...!" Sakawuni angkat kepa-

lanya, lalu berkata.

"Manusia Titisan Dewa! Demi guruku Ageng 

Panangkaran. Segala kemauanmu akan kuturuti! 

Sekarang sumpah apa yang harus kulakukan, ka-

takan!"

Manusia Titisan Dewa tersenyum, lalu ber-

kata.

"Angkat kedua tanganmu dan buka meng-

hadap ke depan!"

Meski masih dilanda tanda tanya, Sakawuni 

mengikuti apa yang dikatakan Manusia Titisan 

Dewa. Begitu tangannya telah diangkat, Manusia 

Titisan Dewa ulurkan tangan kanannya. Tiba-tiba 

tangan itu bergerak dan terdengar 'crasss' dua kali 

berturut-turut.

Sakawuni gigit bibirnya, karena telapak 

tangannya terasa panas dan sepasang matanya 

membeliak tatkala sesaat kemudian darah segar 

terlihat menetes dari kedua telapak tangannya.

Begitu darah telah menetes, Manusia Titi-

san Dewa gerakkan jari telunjuknya di telapak 

tangannya sendiri. Tahu-tahu telapak tangannya 

telah pula mengeluarkan darah. Dan tiba-tiba tan-

gannya yang mengeluarkan darah ditakupkan pa-

da kedua tangan Sakawuni.

"Sakawuni! Mulai malam ini kau telah kua-

ngkat sebagai muridku! Kalau kau menolak segala 

perintahku, darahmu akan ku alirkan dengan tan-

ganku sendiri!"

"Baik! Aku pun berjanji, jika aku menolak 

perintahmu, aku rela mati di tanganmu!"

Untuk sekian lama kedua orang ini masih 

saling takupkan tangan masing-masing, dan begi-

tu darah agak menyurut, Manusia Titisan Dewa 

tarik tangannya dan berkata.

"Sakawuni! Tempat ini kurasa kurang aman 

untuk mempelajari ilmu! Sekarang ikut aku!" ha-

bis berkata begitu, Manusia Titisan Dewa balikkan 

tubuh dan berkelebat ke mulut gua.

Sakawuni buru-buru bangkit lalu menyusul 

Manusia Titisan Dewa yang telah diangkatnya 

menjadi guru.

"Ayo!" kata Manusia Titisan Dewa begitu 

Sakawuni telah ada di belakangnya. Manusia Titi-

san Dewa lantas berkelebat menembus kegelapan 

malam yang kemudian disusul oleh Sakawuni di 

belakangnya


TIGA



Sesosok bayangan terlihat berkelebat cepat 

menuju sebuah bukit kecil yang sepi dan tampak 

tak pernah dirambah manusia. Hal itu terlihat dari 

merangasnya ilalang serta berserakannya ranting-

ranting pohon yang telah membusuk dan bersatu 

dengan tanah bebukitan.

Sampai pada sebuah gua yang lobangnya 

hampir tak terlihat, karena tertutup ilalang tinggi-

tinggi, bayangan tadi hentikan larinya. Sepasang 

matanya menebar berkeliling, kepalanya bergerak 

ke sana kemari mengitari tempat itu. Merasa tidak 

ada orang lain selain dirinya, sosok ini gerakkan 

tangannya mengusap keringat yang meleleh di 

kening dan lehernya. Napasnya berhembus pan-

jang serta dalam-dalam.

"Hmm.... Inilah tempat yang ditunjuk Dewi 

Kayangan. Dan kurasa memang tepat untuk mem-

pelajari sekaligus mendalami apa yang ada di Arca 

Dewi Bumi...," gumam sosok ini. Dia adalah seo-

rang pemuda berparas tampan, mengenakan pa-

kaian warna hijau yang dilapis dengan pakaian da-

lam warna kuning lengan panjang. Rambutnya 

panjang dan dikuncir ekor kuda.

Pemuda berjubah hijau yang bukan lain Aji 

alias Pendekar Mata Keranjang 108 sejenak terli-

hat mondar-mandir di mulut gua. Seraya melang-

kah sepasang matanya tak henti-hentinya me-

mandang liar ke setiap sudut di tempat itu. Murid 

Wong Agung ini rupanya sangat hati-hati sekali, 

bahkan untuk beberapa saat dia jongkok sambil 

memperhatikan sela-sela ilalang di sekitarnya. Hal 

ini bisa dimaklumi, karena setelah mendapatkan 

Arca Dewi Bumi bagaimanapun juga jiwanya diin-

car oleh siapa pun juga yang menginginkan arca 

itu. Apalagi waktu mendapatkan arca itu para to-

koh-tokoh golongan hitam mengetahuinya. Sadar 

akan hal itu, waktu menuju tempat di mana dia 

sekarang berada, murid Wong Agung ini sengaja

mengambil jalan berputar dan menghindari kera-

maian.

Setelah dirasa aman, Aji bangkit dan me-

langkah ke arah gua. Disibakkannya ilalang yang 

menutupi mulut gua. Bias sang mentari menero-

bos ilalang dan menerangi bagian dalam gua. Sete-

lah dapat menyiasati keadaan di dalam, Aji segera 

melangkah masuk.

Ruang bagian dalam gua itu tidak begitu 

besar, di sana-sini tampak sarang laba-laba yang 

hampir menutupi langit-langit serta sudut gua. 

Pada dinding sebelah dalam yang menghadap ke 

mulut gua tampak sebuah batu. Aji melangkah 

mendekati batu, karena di situ ada cahaya mentari 

yang menerobos masuk dari lobang di atasnya.

"Dengan penerangan ini aku bisa membaca 

dengan jelas."

Aji lalu duduk bersila di atas batu dengan 

punggung bersandar pada dinding gua. Sejenak 

sepasang matanya memandang lurus ke mulut 

gua, lalu kepalanya tengadah memandang pada 

lobang yang memberi penerangan. Lalu pelan-

pelan dengan tangan agak gemetar dan jantung 

berdegup kencang dikeluarkannya sebuah bung-

kusan putih dari balik pakaiannya. Sesaat bung-

kusan putih itu dipandanginya, lalu pelan-pelan 

pula dibukanya bungkusan itu.

Sebuah arca berbentuk seorang perempuan 

kini terpampang di hadapannya. Arca itu berwarna 

ungu kekuningan. Tangan kanannya tampak sedi-

kit terangkat dan menggenggam sebuah tongkat. 

Sementara tangan kirinya sedekap sejajar dada.

Pada kepala arca tampak sebuah mahkota bersu-

sun tiga yang ditengahnya terdapat sebuah lobang 

dan tampak menyembul sebuah gulungan kain 

berwarna putih. Sedang pada dahinya tampak tiga 

butir mutiara berwarna biru. Tinggi arca itu tak le-

bih dari satu setengah jengkal telapak tangan.

Perlahan-lahan diangkatnya arca itu lalu 

diusapnya beberapa kali. Sepasang matanya dile-

barkan. Dan dengan penerangan dari lobang di 

atasnya Pendekar 108 segera memperhatikan Arca 

Dewi Bumi. Perlahan-lahan diambilnya gulungan 

kain yang ada di lobang di tengah-tengah mahko-

ta. Lalu dibentangkan.

Dengan tangan masih gemetar dan dada 

berdegup keras, bibir Aji mulai berkemik membaca 

tulisan pada bentangan kain.

Dunia dan isinya adalah sebuah malapetaka 

Dunia dan isinya adalah sebuah kedamaian 

Manusia adalah sang pengatur arah 

Hanya manusia yang ditetesi embun Tuhan, 

Dapat arahkan dunia pada kedamaian. 

Untuk beberapa saat lamanya Pendekar 108 

terdiam seraya dalam hati mengulang-ulang kali-

mat itu. Kemudian matanya dilebarkan lagi mem-

baca kalimat-kalimat di bawahnya yang agak kecil-

kecil.

"Hmm.... Ini petunjuk tentang jurus. Tan-

gan kiri sejajar dada, jari tengah dan telunjuk lu-

rus ke atas, sedang jari lainnya menekuk. Tenaga 

dalam dipusatkan pada tengah telapak tangan dan

didorong.... Sebuah jurus yang sederhana. Aneh-

nya, di sini tak ada petunjuk tentang gerakan pada 

telapak tangan kanan.... Bagaimana ini? Juga ge-

rakan pada tangan kiri terlihat begitu sederhana 

sekali. Apa dan di mana keistimewaannya...?"

Untuk sesaat lamanya murid Wong Agung 

ini dibuncah oleh perasaan heran dan coba men-

cari-cari apa keistimewaan gerakan tadi. Bahkan 

tangan kirinya pun tampak bergerak dan mempe-

ragakan seperti apa yang tertulis. Tenaga dalam-

nya dikerahkan pada tengah telapak tangan, lalu 

didorong perlahan.

"Hmm.... Hanya serangan biasa.... Tak kuli-

hat ada hebatnya...," gumam Aji dalam hati seraya 

mengulangi gerakannya, namun hasilnya seperti 

semula. Hanya sambaran angin yang tampak me-

lesat tanpa ada kehebatan lain.

"Akan kulihat di belakangnya...," kata Aji, 

lalu balikkan lembaran kain di tangannya. Di ba-

gian belakang lembaran kain terdapat beberapa 

gambar. Sejenak Pendekar 108 memperhatikan 

dengan seksama gambar-gambar itu.

"Aneh. Di sini terlihat pancaran sinar pada 

telapak tangan kiri, sementara pada tangan ka-

nan.... Astaga! Memegang sebuah kipas!"

'"Aku hampir paham...," kata Aji dalam hati 

sambil meletakkan lembaran kain di pangkuannya 

dan mengeluarkan kipas miliknya dari balik pa-

kaiannya. Tangan kirinya lalu digerakkan dengan 

jari tengah dan telunjuk ke atas, sementara tangan 

kanannya menebarkan kipas.

Weeerrr!

Serangkum angin dahsyat menyambar ke-

luar. "Heran. Tidak juga ada istimewanya. Dan 

pancaran sinar juga tak terlihat dari telapak tan-

gan kiri meski aku telah kerahkan tenaga da-

lam...,"

Murid Wong Agung menghela napas dalam-

dalam. Parasnya menunjukkan rasa kecewa. Na-

mun dia tak begitu saja menyerah. Di ulanginya 

gerakan-gerakan menurut apa yang tertera dalam 

gambar. Namun hasilnya tak juga ada kemajuan.

Saat itulah tiba-tiba penerangan dari lobang 

di atasnya meredup, seakan ada sesuatu yang 

menghalangi. Aji cepat dongakkan kepalanya. Dia 

menarik napas lega, karena yang menghalangi ha-

nyalah awan putih tipis yang masuk melalui lo-

bang. Namun murid Wong Agung segera ker-

nyitkan kening.

"Tak mungkin ada asap tipis yang begitu sa-

ja masuk.... Pasti ada...," Aji cepat sambar arca di 

pangkuannya dan dimasukkan ke balik pakaian-

nya. Sepasang matanya tak berkedip memandang 

ke arah lobang di atasnya. Dan murid dari Karang 

Langit ini semakin tak enak tatkala asap itu terus 

menerobos masuk tiada hentinya. Anehnya, begitu 

masuk ke dalam gua, asap itu bergerak merayapi 

langit-langit gua dan membentuk uluran panjang.

"Hmm.... Pasti ada orang yang menggerak-

kannya! Kurang ajar! Bagaimana bisa tahu jika 

aku di sini? Mengikuti perjalananku...? Tidak 

mungkin! Aku telah mengambil jalan berputar 

bahkan aku sering melakukan perjalanan malam 

hari! Siapa dia...? Atau mungkin Dewi Kayan

gan...? Hanya dia satu-satunya orang yang tahu ke 

mana aku pergi dan ke mana tujuanku...."

Selagi murid Wong Agung ini menduga-

duga, tiba-tiba uluran panjang asap putih bergerak 

menggulung dan menggumpal jadi satu. Aji mem-

belalakkan sepasang matanya. Dan matanya ma-

kin melotot besar tatkala samar-samar terlihat se-

sosok bayangan muncul dari gumpalan asap pu-

tih.

Mulut Pendekar 108 yang sedari tadi telah 

membuka hendak keluarkan teguran karena dis-

angkanya yang akan muncul dari kepulan asap 

putih adalah Dewi Kayangan serta-merta menga-

tup. Karena yang muncul dari asap putih adalah 

seorang laki-laki berusia amat lanjut. Pakaiannya 

compang-camping bahkan di sana-sini telah tam-

pak warna kehijau-hijauan seperti rambahan 

rumput. Rambutnya hampir tak ada. Paras wajah-

nya serta tubuhnya hanya di-bungkus kulit tipis.

"Sahyang Resi Gopala...," gumam Aji begitu 

mengenali siapa adanya sosok laki-laki tua yang 

keluar dari gumpalan asap putih. Serta-merta mu-

rid dari Karang Langit ini bergerak turun dari atas 

batu dan duduk seraya menjura beberapa kali.

Sosok laki-laki tua yang bukan lain memang 

Sahyang Resi Gopala membuka kelopak matanya 

yang sedari tadi terpejam. Bibirnya bergerak mem-

buka.

"Aji Saputra. Kau adalah manusia yang te-

lah ditentukan untuk mendapatkan apa yang ada 

pada Arca Dewi Bumi. Ketahuilah segala gerakan-

gerakan yang ada pada lukisan kain itu tidak ada

hebatnya jika kau belum terisi oleh tiga mutiara 

biru yang ada pada dahi arca. Keluarkan arca itu 

dan letakkan di hadapanmu! Lakukan gerakan pa-

da lukisan kain dan kerahkan jurus ‘Pamungkas 

Bayu Kencana’."

Dengan tangan masih gemetar dan jantung 

berdegup makin keras, Aji menuruti perintah Sa-

hyang Resi Gopala. Arca diletakkan di hadapan-

nya, lalu tangan kirinya diangkat sejajar dada den-

gan jari tengah dan telunjuk diluruskan ke atas, 

jari-jari lainnya ditekuk. Lalu Aji kerahkan tenaga 

dalam pada telapak tangan kirinya dan lakukan 

jurus 'Pamungkas Bayu Kencana' dengan menarik 

perlahan tangan kirinya.

Arca di hadapan Aji tampak bergoyang-

goyang dan bersamaan itu satu persatu mutiara 

yang ada pada dahi arca melesat dan masuk ke te-

lapak tangan kiri Aji.

Pendekar Mata Keranjang merasa tangan-

nya dihantam batu besar, aliran darahnya seakan 

tersumbat dan hawa sangat dingin merayapi seku-

jur tubuhnya. Pemandangannya berubah menjadi 

biru dan sangat dingin! Dadanya berdetak ken-

cang, dan tubuhnya bergetar hebat!

Namun hal itu cuma sesaat. Begitu mutiara 

telah masuk semua, keadaan Pendekar 108 nor-

mal kembali. Malah pandangannya makin terang 

dan tubuhnya ringan. Belum sempat Pendekar 108 

memikirkan apa yang telah dialami, Sahyang Resi 

Gopala telah berkata kembali.

"Aji. Dalam dirimu telah tertanam tiga mu-

tiara biru. Itu adalah pangkal kekuatan dari jurus

yang ada pada lukisan kain. Jurus itu bernama 

'Mutiara Biru'. Kau telah tahu bagaimana mempe-

ragakannya. Ingat! Karena jurus 'Mutiara Biru' 

adalah sebuah pukulan yang maha hebat, maka 

jangan sekali-kali kau gunakan jika tidak dalam 

keadaan terdesak! Dan juga perlu kau camkan 

baik-baik. Jika kau salah gunakan apa yang telah 

kau dapat, maka Mutiara Biru akan menghantam 

tubuhmu sendiri!"

"Segala petunjuk Eyang Resi akan kuingat!" 

gumam Aji perlahan.

"Karena isi Arca Dewi Bumi telah masuk ke 

dalam dirimu, maka arca itu telah tidak ada apa-

apanya lagi. Biarlah arca itu kusimpan kembali." 

Habis berkata, Sahyang Resi Gopala gerakkan te-

lunjuknya. Arca di hadapan Aji melesat ke arah 

Sahyang Resi Gopala.

"Saatnya bagiku untuk pergi...."

Pendekar Mata Keranjang 108 sebenarnya 

hendak mengucapkan sesuatu, namun belum 

sampai kata-katanya keluar, sosok Sahyang Resi 

Gopala telah lenyap dari hadapannya dan asap pu-

tih tipis bergerak mengulur panjang ke arah mulut 

gua sebelum akhirnya lenyap.


EMPAT



Satu purnama terlewati.... Seorang laki-laki 

berusia lanjut tampak berdiri di depan sebuah ba-

tu karang besar yang membentuk sebuah bangu-

nan di tepi pesisir. Dia mengenakan jubah biru gelap yang amat besar. Pada kepalanya tampak cap-

ing lebar berwarna hitam dari kulit yang atasnya 

terbuka, hingga rambutnya yang jarang dan amat 

kaku tampak jelas. Paras laki-laki ini tidak begitu 

jelas karena kulit wajahnya sangat tipis, hingga 

hanya menampakkan tonjolan-tonjolan tulang wa-

jah. Sepasang matanya besar dan masuk ke dalam 

rongga yang amat cekung. Sepasang alis matanya 

tampak kaku dan menghadap ke depan, sementa-

ra bibirnya tebal.

Sepasang mata laki-laki ini yang bukan lain 

adalah Manusia Titisan Dewa terlihat memandang 

tak kesiap ke arah lautan bebas di hadapannya. 

Sesaat kemudian, dia tampak melangkah terbung-

kuk-bungkuk ke arah hamparan batu karang yang 

rata. Anehnya, meski tampak melangkah terbung-

kuk-bungkuk, sepasang kaki laki-laki ini tidak 

menyentuh batu karang! Sepasang kakinya berada 

satu jengkal di atas batu karang di bawahnya!

Begitu sampai pada hamparan batu karang 

yang rata, Manusia Titisan Dewa hentikan lang-

kah. Sepasang matanya yang besar kembali liar 

memandang lautan lepas. Saat itu sang mentari te-

lah hampir tenggelam di laut sebelah barat.

"Hmm.... Telah satu purnama Sakawuni 

menjalankan perintahku untuk memperdalam il-

mu. Saatnya akan segera tiba dan rimba persilatan 

akan geger. Sakawuni akan muncul sebagai tokoh 

muda yang tak tertandingi.... Dan rencanaku akan 

berjalan dengan lancar. Satu persatu tokoh golon-

gan putih akan kuambil dan kukumpulkan di sini! 

Mereka akan kujadikan bangkai tanpa kubur! Tokoh golongan hitam pun akan kulenyapkan satu 

persatu. Rimba persilatan akan gempar! Aku ingin 

menciptakan kecemasan dan kegelisahan sepan-

jang masa pada setiap orang yang mengaku di-

rinya sebagai orang-orang persilatan. Ha ha ha...!"

Dari mulut Manusia Titisan Dewa meledak 

suara tawa panjang berderai-derai hingga tubuh-

nya yang telah bungkuk makin melengkung. He-

batnya, bersamaan dengan ledakan suara ta-

wanya, batu karang di sekitar tempat itu bergerak-

gerak dan bergetar, pertanda bahwa suara tawa 

Manusia Titisan Dewa bukanlah tawa biasa, me-

lainkan telah dialiri tenaga dalam tinggi!

Tiba-tiba Manusia Titisan Dewa hentikan 

tawanya. Wajahnya diputar setengah lingkaran 

menghadap ke samping kanan. Bibirnya yang tebal 

tampak sunggingkan senyum.

"Dia sudah datang...," gumam Manusia Titi-

san Dewa tatkala sepasang matanya menangkap 

kelebat sesosok bayangan yang menuju arahnya.

Baru saja selesai gumaman Manusia Titisan 

Dewa, sesosok bayangan tampak telah berdiri di 

hadapannya dan menjura hormat seraya berkata.

"Guru! Aku telah menjalankan apa yang 

kau perintahkan!" 

Manusia Titisan Dewa tertawa perlahan. 

Kepalanya manggut-manggut. "Bagus! Dengan 

modal kepandaianmu, memang tak sulit mempela-

jari apa yang kuperintahkan. Dan berarti ilmumu 

sekarang telah bertambah! Dan aku yakin, hanya 

beberapa orang yang dapat menandingi mu!"

"Terima kasih, Guru...!" sahut sosok di ha

dapan Manusia Titisan Dewa. Dia adalah seorang 

gadis muda berparas cantik jelita dan bukan lain 

adalah Sakawuni, bekas murid Ageng Panangka-

ran yang kini telah diangkat murid oleh Manusia 

Titisan Dewa.

"Sakawuni! Bekalmu untuk menghadapi 

tantangan kurasa telah cukup. Sekarang katakan 

padaku, apa rencanamu!"

Sakawuni angkat kepalanya. Dipandanginya 

lekat-lekat laki-laki tua di hadapannya.

"Guru. Kalau boleh memilih, aku ingin ter-

lebih dahulu membalas sekaligus menuntut darah 

atas kematian mendiang Ageng Panangkaran!"

Manusia Titisan Dewa anggukkan kepa-

lanya. Sepasang matanya beralih pada jurusan 

lain. Dia untuk beberapa lama tidak memberi 

tanggapan atas ucapan muridnya. Karena sebe-

narnya dalam hati, laki-laki ini sedang berkata.

"Bagus! Itu memang yang kuharapkan. 

Dengan tersingkirnya Pendekar Mata Keranjang 

108, Selaksa serta Wong Agung, maka langkah se-

lanjutnya akan lebih mudah.... Dan aku pun akan 

segera bergerak menjemput satu persatu tokoh go-

longan hitam untuk ku tanam di batu karang ini! 

Hmm...."

Melihat gurunya tidak memberi tanggapan 

atas rencananya, Sakawuni buru-buru hendak 

menyusuli kata-katanya. Namun sebelum ucapan-

nya keluar, Manusia Titisan Dewa telah berkata.

"Sakawuni. Sebenarnya aku punya rencana 

lain. Namun demi untuk menghormati mendiang 

gurumu Ageng Panangkaran yang juga adalah sahabatku, maka untuk sementara rencanaku 

kuundurkan dahulu...."

"Terima kasih, Guru. Begitu urusan selesai, 

aku akan segera kembali dan siap dengan segala 

rencanamu!"

Manusia Titisan Dewa menarik napas da-

lam-dalam. Kepalanya mendongak melihat langit 

yang samar-samar telah direngkuh oleh gelapnya 

malam. Dari mulutnya lantas terdengar suaranya 

bertanya.

"Kau tentunya telah tahu siapa yang harus 

kau temui sekaligus kau tuntut darahnya, bu-

kan...?"

Sakawuni anggukkan kepalanya. Dan tiba-

tiba parasnya berubah. Sepasang matanya mem-

besar. Dagunya sedikit mengembang, sementara 

pelipis kanan kirinya bergerak-gerak mengisya-

ratkan kemarahan yang memuncak di hatinya.

"Karena orang pertama yang bertanggung 

jawab atas kematian Guru adalah Pendekar Mata 

Keranjang, maka dialah orang yang bakal pertama 

kali menemui ajal di tanganku! Setelah itu kedua 

gurunya! Juga orang-orang yang bersekongkol 

dengannya!"

Manusia Titisan Dewa tertawa dalam hati. 

Lalu dia melangkah mendekat dan berkata.

"Sakawuni. Yang kau katakan betul! Aku 

hanya bisa menanti kabar darimu dan kuharap 

kau kembali dengan kabar gembira. Hanya satu 

pesanku. Kau harus berhati-hati menghadapi me-

reka! Mereka adalah manusia-manusia kotor yang 

menyelinap dalam golongan putih. Mereka adalah

kumpulan orang-orang licik! Maka dari itu, kau 

pun harus menggunakan segala cara untuk dapat 

menaklukkan mereka! Ingat! Meski kau berilmu 

tinggi tanpa kelicikan maka akan sia-sialah ke-

tinggian ilmu itu! Kau dengar dan me-ngerti...?!"

Sakawuni anggukkan kepala.

"Segala petunjukmu akan kulaksanakan! 

Muridmu mohon diri sekarang...."

Manusia Titisan Dewa anggukkan kepala. 

Namun buru-buru laki-laki ini ulurkan tangan ka-

nannya pegang pundak muridnya dan berkata.

"Apakah kau telah mencoba hasil dari yang 

telah kau pelajari selama ini?"

Sakawuni urungkan niatnya yang hendak 

berkelebat. Tubuhnya di hadapkan kembali pada 

Manusia Titisan Dewa.

"Sudah! Dan aku hampir tak percaya den-

gan penglihatanku sendiri! Terima kasih sekali la-

gi. Kau telah mewariskan ilmumu padaku!"

Manusia Titisan Dewa menyeringai. Lalu 

tertawa lebar.

"Sakawuni. Itu hanya sebagian. Setelah kau 

selesai dengan urusan darah Ageng Panangkaran, 

kau akan kuberi lagi ilmu yang lain.... Aku ingin 

menjadikan mu bukan saja sebagai tokoh berilmu 

tinggi yang disegani, tapi juga ku ingin menjadikan

mu manusia yang tiada tanding!"

"Ah...!" Sakawuni keluarkan seruan seakan-

akan terkejut meski bibirnya tampak sunggingkan 

senyum. Dan kembali gadis cantik ini menjura dan 

mengucapkan terima kasih.

"Hmm.... Sekarang berangkatlah!" Menden

gar ucapan gurunya, Sakawuni bukannya segera 

berangkat. Dia tampak terdiam untuk beberapa 

lama, membuat Manusia Titisan Dewa kernyitkan 

dahi dan berkata.

"Ada sesuatu yang hendak kau utarakan?" 

Sakawuni luruskan kepala dan memandang, lekat-

lekat pada gurunya. Namun dari mulutnya tidak 

terdengar sepatah kata pun. Gadis ini terlihat 

bimbang.

Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit. 

Sambil arahkan pandangannya pada laut lepas 

yang kini telah berwarna biru kehitaman, dia ber-

kata.

"Sakawuni. Kau adalah muridku, bahkan 

telah kuanggap sebagai anakku.... Sakitmu adalah 

juga sakitku! Bahagia mu juga adalah bahagia ku! 

Bebanmu adalah beban ku juga. Apakah dengan 

hal itu kau masih menyembunyikan sesuatu pa-

daku?"

Diam-diam trenyuh juga hati gadis ini men-

dengar kata Manusia Titisan Dewa. Hingga tanpa 

sadar sudut-sudut matanya telah merebak air ben-

ing. Setelah dapat menguasai diri, Sakawuni ber-

kata. Nada suaranya terdengar serak dan bergetar.

"Guru.... Selama ini memang hatiku dilanda 

resah gelisah...," sejenak Sakawuni hentikan uca-

pannya. Napasnya berhembus panjang-panjang. 

Dia seakan ingin melepaskan rasa beban yang 

menghimpit dadanya.

Manusia Titisan Dewa menunggu dengan 

kening berkerut. Dan tatkala Sakawuni belum juga 

lanjutkan ucapannya, dia berkata.

"Sakawuni, kuharap kau lanjutkan uca-

panmu...."

"Guru...," kata Sakawuni setelah agak lama 

terdiam. "Setelah kudengar dari keteranganmu 

bahwa manusia bergelar Pendekar Mata Keranjang 

108 telah berhasil mendapatkan Arca Dewi Bumi, 

terus terang aku gelisah. Menurut kabar yang se-

lama ini tersiar, arca itu berisi jurus-jurus hebat. 

Apa hal itu benar adanya...?"

Manusia Titisan Dewa sunggingkan senyum 

seringai. Sepasang matanya melebar. Dari mulut-

nya terdengar suara tawa pendek bernada menge-

jek.

"Muridku! Berita masih belum bisa ditentu-

kan benar tidaknya! Demikian juga tentang Arca 

Dewi Bumi. Orang-orang rimba persilatan memang 

gencar membicarakannya. Bahkan kabarnya telah 

banyak jatuh korban demi memperebutkan benda 

usang itu. Meski arca itu telah jatuh ke tangan 

Pendekar 108, namun sekali lagi kau harus ingat. 

Hal-hal mengenai arca itu masih berita. Dan bi-

asanya, berita lebih besar dari kenyataannya!" Ma-

nusia Titisan Dewa hentikan keterangannya. Sete-

lah memandangi paras muridnya, dia melan-

jutkan.

"Kau tak usah khawatir! Ilmu yang telah ku-

turunkan padamu adalah sebuah kenyataan. Se-

dang hal mengenai arca itu masih berita! Dan ka-

lau pun nyata aku masih yakin kau dapat mene-

bus tetesan darah Ageng Panangkaran pada pe-

muda itu! Atau kau masih menyangsikan ilmu 

yang kuturunkan padamu...?"

Sakawuni segera gelengkan kepalanya. "Ti-

dak, Guru! Dan maafkan atas segala rasa ke-

gelisahanku selama ini! Aku mohon diri seka-

rang...," habis berkata begitu, Sakawuni bungkuk-

kan tubuh lalu berbalik dan berkelebat meninggal-

kan gurunya yang terus mengawasi kelebatan mu-

ridnya dengan bibir tersungging senyum.

"Hmm.... Saatnya juga aku bergerak...," 

gumam Manusia Titisan Dewa begitu sosok Saka-

wuni lenyap ditelan kepekatan malam. Lalu ia sa-

pukan pandangannya sebentar pada bangunan ba-

tu karang tempat tinggalnya. Sesaat kemudian so-

soknya telah lenyap!



LIMA


Sesosok bayangan tampak berkelebat cepat 

menyusur celah-celah rimbunan semak belukar 

serta deretan pohon-pohon besar. Begitu cepatnya 

lesatan sosok ini hingga yang tampak hanyalah 

suara desiran angin lalunya serta bergoyangnya 

semak belukar yang terabas oleh sosoknya. Dan 

melihat gerak-geriknya, selain berkepandaian ting-

gi, sosok ini juga mempunyai keperluan yang san-

gat penting, karena sengaja mengambil jalan pin-

tas dengan menerabas semak-belukar. 

Namun mendadak saja sosok ini hentikan 

larinya. Sepasang matanya menyapu liar berkelil-

ing. Kepalanya lantas berpaling pada kepala yang 

terkulai lemas di dadanya sebelah kiri.

"Hmm.... Dia pingsan...," gumamnya seraya

menarik jubahnya yang tertarik ke atas. Sejurus 

dipandanginya kepala yang terkulai di dadanya. Di 

pundaknya memang terlihat sesosok tubuh yang 

kepalanya terkulai lemas. Demikian pula tubuh-

nya. Sosok yang terkulai itu tak jelas paras wajah-

nya. Yang jelas hanya rambutnya yang jambrik 

dan dipotong pendek, sementara bagian samping-

nya panjang. Pakaian yang dikenakannya pun 

tampak robek menganga di sana-sini.

Sementara sosok yang memanggul adalah 

seorang pemuda bertubuh tegap. Wajahnya tam-

pan dengan sepasang mata tajam. Rambutnya 

panjang dan dibiarkan berkibar-kibar ditiup angin. 

Hidungnya agak mancung. Meski berparas tam-

pan. Air muka pemuda ini tak menggambarkan ra-

sa ramah sekali. Senyum seringai seringkali 

menghias bibirnya.

Dia mengenakan jubah besar berwarna be-

lang merah dan hitam.

"Aku mendengar suara orang terisak...," 

gumam sang pemuda. Dia tegak termenung seraya 

memastikan sumber suara isakan yang didengar-

nya.

"Aneh, di tempat sesepi ini siapa gerangan 

yang terisak seperti orang ditinggal mampus? Atau 

hantu laknat yang sengaja mengganggu orang le-

wat...?" sang pemuda terdiam seraya meyakinkan. 

Suara isakan itu makin lama makin keras bahkan 

sesekali diseling dengan gumaman yang tak jelas. 

Sang pemuda kernyitkan kening, lalu melangkah 

perlahan ke arah sumber isakan tangis.

Sesaat kemudian, dari balik jajaran pohon

pohon besar, sang pemuda melihat sebuah gun-

dukan tanah yang masih tampak merah pertanda 

baru saja digali. Sepasang mata sang pemuda tiba-

tiba membeliak liar dan memandang tak kesiap. 

Bukan pada gundukan tanah merah, melainkan 

pada sosok seorang perempuan yang duduk ber-

simpuh di samping tanah gundukan. Sosok ini be-

rambut panjang dan dikepang dua. Mengenakan 

pakaian warna hijau tipis. Mungkin karena baru 

saja menggali atau karena guncangan jiwanya, se-

kujur sosok perempuan ini berkeringat, hingga pa-

kaiannya yang tipis tampak melekat memperli-

hatkan bentuk tubuhnya yang bagus.

"Hmm.... Bentuk tubuh bagian belakangnya 

demikian bagus dan menggemaskan. Parasnya 

tentu tak mengecewakan. Siapa yang baru saja 

dimakamkan? Kekasihnya.... Atau kerabatnya? 

Sialan! Kenapa aku memikirkan hal itu...? Bukan-

kah yang lebih penting adalah perempuan itu...? 

Tapi.... Benarkah dia benar-benar manusia? Jaha-

nam! Kenapa aku terpengaruh dengan segala ma-

cam tahayul tentang hantu...!"

Merasa yakin bahwa di samping makam 

adalah seorang anak manusia, sang pemuda me-

langkah ke samping kiri melewati beberapa pohon. 

Dari tempat barunya kembali sepasang mata sang 

pemuda memperhatikan ke arah perempuan yang 

bersimpuh di samping makam dengan tetap teri-

sak. Kedua tangan sang perempuan tampak dita-

kupkan pada wajahnya. Begitu kedua tangannya 

diturunkan, baru agak jelas paras sang perem-

puan.

"Dugaanku tidak meleset. Dia berparas can-

tik.... Dan masih muda! Dadanya kencang menan-

tang.... Hmm...." Sang pemuda memperhatikan se-

raya membatin. Kepalanya lalu berpaling pada so-

sok yang ada di pundaknya.

"Sialan! Jika saja tidak memandangnya se-

bagai orang yang telah menurunkan ilmu padaku, 

niscaya akan kubiarkan dia jadi bangkai dengan 

tubuh terlilit rotan.... Tapi untuk urusan perem-

puan, terpaksa dia akan kuturunkan dahulu, apa-

lagi telah lama aku tak merasakan nikmatnya tu-

buh perempuan...," perlahan-lahan lalu diturun-

kannya sosok yang sejak tadi ada di pundaknya.

"Tunggulah.... Aku akan bersenang-senang 

dahulu...," gumam sang pemuda pada sosok yang 

kini tampak lemas di atas tanah dalam keadaan 

pingsan.

Tak jauh dari tempatnya, isakan tangis sang 

gadis terus terdengar malah semakin keras. Ba-

hunya terlihat berguncang demikian juga dadanya. 

Sang pemuda yang kini telah berdiri kembali dan 

memandangi, terlihat sunggingkan senyum aneh. 

Namun pemuda ini belum juga beranjak untuk 

melangkah mendekati. Dia terlihat ragu-ragu anta-

ra langsung mendatangi atau menunggu sampai si 

gadis reda tangisnya. Dan ketika ditunggu hingga 

kakinya pegal sang gadis belum juga reda tangis-

nya, maka dia memutuskan untuk melangkah 

mendatangi.

Beberapa tombak di belakang sang gadis, 

sang pemuda hentikan langkahnya. Sebenarnya si 

pemuda telah melangkah dengan agak keraskan

pijakan kakinya, memberi isyarat pada si gadis 

akan kedatangannya. Namun karena sedang kalut 

atau berbaur dengan suara isak tangisnya, maka 

si gadis tak mendengarkan langkah-langkah orang 

mendatangi.

Melihat hal ini, sang pemuda batuk-batuk 

kecil beberapa kali. Namun kepalanya sengaja di 

hadapkan pada jurusan lain.

Bersamaan dengan terdengarnya suara ba-

tuk-batuk, isak tangis sang gadis sekonyong-

konyong sirap. Dan secepat sirapan suara isakan-

nya, secepat itu juga kepalanya berpaling.

Si gadis terlihat terkejut, namun wajahnya 

tak menunjukkan rasa takut. Sepasang matanya 

yang bulat dan sembab air mata membesar men-

gawasi sang pemuda yang tegak dengan pandan-

gan menyelidik. Dari mulutnya terdengar suaranya 

menegur. 

"Siapa kau...?!" Meski nadanya menegur, 

tapi jelas sekali bahwa suaranya parau dan sedikit 

bergetar.

Sang pemuda palingkan wajahnya. Sejenak 

matanya liar memperhatikan wajah gadis di hada-

pannya. Bibirnya sunggingkan senyum. Namun 

dia tak segera menjawab pertanyaan, membuat si 

gadis kernyitkan dahi dan mengulangi pertanyaan.

"Gadis cantik! Makam siapa itu? Kerabat 

atau kekasih...?" si pemuda ajukan pertanyaan.

Sang gadis berbaju hijau tipis terdiam seje-

nak. Sepasang matanya diseka dengan punggung 

tapak tangan. Mata itu lalu memperhatikan si pe-

muda dari atas hingga bawah.

"Makam siapa pun apa pedulimu? Kau be-

lum katakan siapa dirimu!"

Sang pemuda tertawa mendengar nada ke-

ras si gadis. Dia melangkah lebih dekat, membuat 

si gadis bangkit dan melangkah dua tindak ke be-

lakang.

"Gadis cantik! Kau tak usah takut begitu 

rupa padaku! Aku hanyalah seorang yang sedang 

lewat. Kebetulan aku mendengar suara isak tan-

gismu. Kau sendiri siapa...?!"

"Siapa diriku, kau tak usah tahu, karena 

kau sendiri enggan sebutkan siapa dirimu! Kuha-

rap kau lekas tinggalkan tempat ini!"

"Apa kalau aku sebutkan siapa diriku berar-

ti aku boleh di sini...?" kata si pemuda dengan ma-

ta tak kesiap memandang ke arah dada gadis di 

hadapannya yang terlihat membusung dan mem-

bentuk bagus karena pakaian yang dikenakannya 

basah dan melekat pada tubuhnya.

"Kau terlalu banyak bicara! Tinggalkan saja 

aku sendirian!" sahut gadis agak jengkel dan juga 

jengah melihat dirinya dipandangi dengan tatapan 

penuh arti.

"Baiklah, akan kusebutkan siapa diriku...," 

si pemuda hentikan ucapannya sejenak. Lalu me-

lanjutkan. "Soal nama asli ku, tak enak rasanya 

kuberitahukan. Karena aku telah menguburnya 

dalam-dalam! Biar kuberi tahu saja gelar yang ku-

sandang. Orang-orang rimba persilatan menjulu-

kiku Gembong Raja Muda!" 

Dugaan sang pemuda yang menyangka ga-

dis di hadapannya akan terkejut setelah dia sebutkan gelarnya ternyata meleset. Karena gadis itu 

tak menunjukkan rasa terkejut sama sekali, malah 

tertawa pendek dan berkata.

"Gelar bagus! Kau tentunya keturunan 'raja' 

atau mungkin juga putra mahkota. Namun siapa 

pun dirimu, saat ini aku ingin sendirian. Jadi ku-

harap kau tinggalkan tempat ini!"

"Begitu...? Itu tidak adil. Aku telah sebutkan 

siapa diriku. Aku tidak akan tinggalkan tempat ini 

sebelum kau sebutkan siapa dirimu!"

Dalam hati si gadis memaki habis-habisan. 

Wajahnya telah berubah agak mengelam menahan 

marah dan geram. Namun entah karena tidak in-

gin diganggu dan tak ingin membuat masalah, 

sang gadis lantas tersenyum dan berkata.

"Baik kalau itu kehendakmu! Dengar baik-

baik. Aku sebenarnya sungkan sebutkan siapa di-

riku. Jadi akan kukatakan siapa julukanku. Aku 

adalah Singa Betina Dari Timur!"

Sang pemuda yang bukan lain memang 

Gembong Raja Muda atau yang bernama asli Pan-

du bekas anak murid Ageng Panangkaran yang se-

karang telah diangkat murid oleh Bawuk Raga 

Ginting, tersenyum lebar. Namun sesaat kemudian 

senyumnya berubah sinis. Dia memang baru kali 

ini mendengar nama Singa Betina Dari Timur. 

Hingga sifatnya yang selalu meremehkan orang 

nampak jelas, bahkan tak lama kemudian terden-

gar suara tawanya yang jelas-jelas bernada menge-

jek.

Setelah puas dengan tawa, Gembong Raja 

Muda palingkan wajah ke arah lain seraya berucap.

"Singa Betina Dari Timur. Hmm.... Julukan 

yang sesuai dengan orangnya. Tentunya kau juga 

seperti singa lapar jika diajak bersenang-senang. 

Bagaimana kalau aku ingin melihat dan merasa-

kan geliatan sang singa...?"

Paras wajah si gadis yang bukan lain adalah 

Singa Betina Dari Timur salah seorang dari dua 

gadis yang berasal dari pulau Bima merah padam. 

Gerahamnya saling beradu keluarkan suara geme-

letak. Sementara sepasang matanya melotot ang-

ker. Namun sejauh ini dia masih mencoba menin-

dih rasa marahnya. Tanpa memandang lagi, dia 

berkata.

"Kesabaranku ada batasnya! Turuti uca-

panku, lekas tinggalkan tempat ini!"

"Hmm.... Kau menolak ajakan ku?" kata 

Gembong Raja Muda sambil gelengkan kepala. 

"Sungguh sayang sekali. Atau kau hanya pura-

pura.... Karena kita masih baru kenal? Jika demi-

kian, bagaimana kalau kita ngobrol dahulu...?" se-

raya berkata Gembong Raja Muda ajukan lagi ka-

kinya.

Singa Betina Dari Timur semakin membe-

liak, dan kedua kakinya tersurut dua tindak ke be-

lakang. Kesabaran yang sedari tadi ditindihnya 

serta-merta meledak.

"Kau tampaknya pemuda kurang waras! 

Dan harus diajari cara sopan-santun!" Tiba-tiba 

Singa Betina Dari Timur melompat ke depan dan 

dengan gerak yang hampir tak dapat ditangkap 

mata tangan kanannya berkelebat kirimkan pukulan ke arah kepala Gembong Raja Muda.

Yang diserang tersenyum aneh. Dia tidak 

mencoba untuk bergerak menghindar. Baru tatka-

la tangan si gadis sejengkal lagi menghajar kepala, 

Gembong Raja Muda tarik sedikit kepalanya, se-

mentara tangan kanannya diangkat.

Wuuttt!

Taakkk!

Singa Betina Dari Timur terkejut besar. Ke-

lebatan tangannya yang dipastikan tak akan lolos 

menghajar kepala pemuda di hadapannya ternyata 

menghajar tempat kosong sejengkal di depan kepa-

la si pemuda. Malah ketika pukulannya meleset 

dan si pemuda angkat tangannya disentakkan pa-

da tangan si gadis, gadis itu tubuhnya terputar 

dan terhuyung-huyung hendak jatuh karena begi-

tu kerasnya hantaman tangannya. Namun belum 

sampai bisa mengimbangi diri, tahu-tahu tubuh-

nya terhenti mendadak bahkan kedua tangannya 

dan tubuhnya bagaikan dibelit sesuatu.

Singa Betina Dari Timur tundukkan wajah 

melihat apa yang terasa membelit pinggangnya 

hingga dirinya terhindar dari jatuh ke atas tanah. 

Begitu melihat bahwa yang membelit adalah dua 

tangan kekar dan berotot, serta-merta gadis ini 

berseru dan sekonyong-konyong tanpa lagi melihat 

siapa adanya si empunya tangan, dia segera han-

tamkan kedua sikunya ke belakang. 

Beettt! Beettt!

Untuk kali kedua Singa Betina Dari Timur 

terperangah. Sodokan kedua sikunya yang didu-

ganya tak akan meleset, ternyata menghantam angin. Namun dengan gerakan sikunya, belitan tan-

gan di tubuhnya lepas.

"Tubuhmu hangat.... Hmm.... Juga...," be-

lum selesai ucapan si pemuda, Singa Betina Dari 

Timur telah balikkan tubuh dan serta-merta me-

nerjang ke arah Gembong Raja Muda. Kali ini ter-

jangannya disertai dengan tenaga dalam. Karena si 

gadis sadar, bahwa pemuda di hadapannya mem-

punyai ilmu tinggi.

Bersamaan terjangan kaki Singa Betina Dari 

Timur, terdengar deru angin menyambar serta me-

lesat mendahului kaki yang bergerak menerjang!

Gembong Raja Muda geser bahunya ke 

samping. Tangan kanannya diangkat lalu dihan-

tamkan ke depan.

Dess! Deesss!

Singa Betina Dari Timur berseru tertahan 

tatkala kakinya terhantam tangan Gembong Raja 

Muda. Seraya melompat mundur kedua tangannya 

dihantamkan!

Wuutt! Wuuuttt!

Dua rangkum angin dahsyat yang berhawa 

panas melesat cepat ke arah Gembong Raja Muda.

Di depan, Gembong Raja Muda tarik kedua 

tangannya sedikit ke belakang, dan ketika seran-

gan satu depa di depannya, kedua tangannya dido-

rong.

Plarrr!

Letupan keras membuncah tempat itu 

tatkala dua serangan bentrok di udara, tanahnya 

bergetar dan sebagian terbongkar, lalu membum-

bung ke angkasa menutupi tempat itu.

Selagi bongkaran tanah yang membumbung 

belum surut, Gembong Raja Muda jejakkan sepa-

sang kakinya. Tak ada suara yang terdengar. Na-

mun tahu-tahu tubuhnya telah melesat lenyap dan 

mendadak muncul satu langkah di samping Singa 

Betina Dari Timur yang masih terhuyung-huyung 

ke belakang!

Singa Betina Dari Timur tersirap darahnya. 

Tanpa pedulikan tubuhnya lagi, kaki kanannya di-

angkat dan dihantamkan ke samping.

Gembong Raja Muda rundukkan kepala, 

dan begitu kaki melesat di atas kepalanya, kaki 

kanannya bergerak menyapu pada kaki kanan 

Singa Betina Dari Timur yang dibuat tumpuan tu-

buhnya. 

Desss!

Singa Betina Dari Timur terpekik, tubuhnya 

oleng ke samping. Namun sebelum tubuh itu ter-

hempas ke atas tanah, Gembong Raja Muda mele-

sat dan dengan gerak cepat tangan kirinya men-

gayun dari bawah sementara tangan kanannya 

mengayun dari atas.

Sett! Settt!

Begitu cepatnya gerakan Gembong Raja 

Muda, hingga tahu-tahu yang terlihat adalah ro-

bohnya tubuh Singa Betina Dari Timur pada reng-

kuhan tangan kirinya sementara tangan kanannya 

menotok jalan darah si gadis yang ada direngku-

hannya!

"Jahanam busuk! Lepaskan diriku!"

Ternyata totokan Gembong Raja Muda 

hanya membuat tubuh si gadis tegang kaku tak

bisa digerakkan, namun mulutnya masih bisa di-

gerakkan.

"Singa Betina! Aku tahu, kau hanya berpu-

ra-pura saja! Sementara hatimu berbunga-

bunga.... Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda ta-

kupkan tangannya dan serta-merta tubuh Singa 

Betina Dari Timur direngkuhnya lalu ditariknya 

mendekat ke wajahnya.

Sebelum wajah Singa Betina Dari Timur da-

pat dicium, tiba-tiba gadis ini buka mulutnya.

Pyyuuhhh!

Sebercak ludah melesat dan membasahi wa-

jah Gembong Raja Muda. Pemuda ini serta-merta 

hentikan tarikan tangannya yang merengkuh tu-

buh si gadis. Wajahnya merah padam. Pelipis kiri 

kanan bergerak-gerak, sementara sepasang ma-

tanya menatap jalang. 

"Keparat! Kau memang pantas diajari ba-

gaimana bersikap yang baik!" kata Gembong Raja 

Muda. Tangan kanannya diangkat dan serta-merta 

dilayangkan pada pipi Singa Betina Dari Timur. 

Plakkk!

Singa Betina Dari Timur menjerit lengking. 

Bibirnya pecah dan keluarkan darah. Tidak hanya 

sampai di situ, begitu tangan kanannya melayang 

menampar, tangan kirinya yang masih merengkuh 

tubuh si gadis diluruhkannya! Karena Singa Beti-

na Dari Timur tak bisa menggerakkan anggota tu-

buhnya, maka tak ayal lagi tubuhnya terhempas 

jatuh ke atas tanah!

"Jahanam licik! Kau akan menyesal! Dan 

jangan mimpi kau bisa jamah tubuhku!" maki Singa Betina Dari Timur sambil meludah di tanah. 

Ludahnya berwarna merah bercampur darah.

Gembong Raja Muda tertawa panjang. Na-

mun cuma sesaat. Tak lama kemudian tawanya 

lenyap. Sepasang matanya kembali memandangi 

tubuh Singa Betina Dari Timur. Bibirnya sung-

gingkan senyum sinis. Tubuhnya lantas mem-

bungkuk dengan tangan diangkat ke atas.

Mengira bahwa akan mendapat tamparan 

lagi Singa Betina Dari Timur pejamkan sepasang 

matanya. Bibirnya saling menggigit. Namun gadis 

ini terlengak. Karena bukan tamparan yang dira-

sakan, melainkan usapan pada lehernya!

Singa Betina Dari Timur buka kelopak ma-

tanya. Mulutnya membuka hendak keluarkan ma-

kian, namun gadis ini terkejut. Meski mulutnya te-

lah membuka namun tiada sepatah kata pun yang 

terdengar dari mulutnya! Ternyata usapan tangan 

Gembong Raja Muda adalah totokan untuk meng-

hentikan jalan suara! 

"Memakilah sepuas hatimu, gadis cantik! 

Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda teruskan bung-

kukan tubuhnya, kedua tangannya bergerak me-

rengkuh tubuh Singa Betina Dari Timur yang su-

dah tegang tak bisa bergerak dan tak bisa bicara.

"Kita cari tempat yang enak, karena mung-

kin ini adalah pengalaman pertama bagimu...! Ka-

sihan kau jika pengalaman pertama kau rasakan 

di tempat yang jelek begini. Apalagi dekat kubu-

ran...! Ha ha ha...!" Gembong Raja Muda tarik tan-

gannya lalu tubuh Singa Betina Dari Timur dile-

takkan di pundak kiri, lalu melangkah ke tempat

di mana tadi meletakkan tubuh orang yang dipanggul.


ENAM


Siapa gerangan orang pertama yang dipang-

gul Gembong Raja Muda dan untuk sementara di-

letakkan di atas tanah begitu melihat Singa Betina 

Dari Timur menangis di sisi makam? Orang itu ti-

dak lain adalah Guru dari Gembong Raja Muda 

yang bukan lain adalah Bawuk Raga Ginting. Se-

perti dituturkan dalam episode "Arca Dewi Bumi", 

Bawuk Raga Ginting melakukan perjalanan mem-

buru Arca Dewi Bumi. Namun dalam perjalanan 

dia bertemu dengan Pendekar 108 juga Dewi 

Kayangan. Dalam sebuah pertarungan sengit, ak-

hirnya Bawuk Raga Ginting dapat dilumpuhkan 

Pendekar 108. Bahkan setelah itu dililit rotan oleh 

Dewi Kayangan, hingga dalam keadaan luka tu-

buhnya masih dililit tak bisa digerakkan.

Di lain pihak, Gembong Raja Muda yang ju-

ga sedang melakukan perjalanan memburu Arca 

Dewi Bumi sampai pula di lereng Gunung Kembar. 

Namun yang dijumpai di sana adalah beberapa 

orang yang dalam keadaan terluka. Mereka adalah 

Dewi Bunga Iblis yang selain terluka juga masih 

terlilit selendang merah dan tersandar di batang 

potion. Lalu tampak juga seorang laki-laki yang te-

lah tewas yang bukan lain adalah Jogaskara. Dan 

di sana juga Gembong Raja Muda mendapati gu-

runya Bawuk Raga Ginting telah terlalu dan terlilit

rotan.

"Sialan! Apa yang telah terjadi...?" seru 

Gembong Raja Muda seraya melangkah mendekati 

Bawuk Raga Ginting. 

Bawuk Raga Ginting yang saat itu tengah 

pasrah putus asa, karena tidak bisa membebaskan 

diri dari lilitan rotan di tubuhnya membuka kelo-

pak matanya begitu mendengar seruan dan lang-

kah-langkah yang mendekati ke arahnya.

Sepasang mata Bawuk Raga Ginting serta-

merta membesar dan harapannya kembali mera-

suki dadanya tatkala dapat mengenali siapa 

adanya orang yang melangkah.

"Pandu! Cepat singkirkan rotan keparat ini!" 

kata Bawuk Raga Ginting dengan suara parau se-

rak.

Sejenak Gembong Raja Muda tegak mem-

perhatikan. Dalam hati sebenarnya dia berkata se-

raya melecehkan.

"Kalau saja tidak mengingat jasamu, akan 

kubiarkan tubuhmu tewas dengan terbelit ro-

tan...."

"Pandu! Kau dengar ucapanku bukan...? 

Kenapa masih enak-enakan berdiri? Cepat be-

baskan aku!" kembali Bawuk Raga Ginting berse-

ru.

Dengan agak berat, Pandu alias Gembong 

Raja Muda melangkah lebih dekat lalu jongkok 

dan hendak melepaskan rotan yang membelit tu-

buh gurunya. Namun, betapa terkejutnya pemuda 

ini. Belitan rotan pada tubuh gurunya tidak mu-

dah dilukar begitu saja. Bahkan meski Pandu telah kerahkan tenaga dalamnya.

"Keparat! Ini bukan belitan biasa.... Pastilah 

yang melakukan ini adalah orang yang berilmu 

sangat tinggi. Hmm.... Siapa dia? Pendekar 108? 

Atau orang lain...?" lalu Pandu utarakan apa yang 

ada di hatinya pada gurunya.

"Itu bisa kita bicarakan nanti!" jawab Ba-

wuk Raga Ginting ketika mendengar pertanyaan 

Pandu. "Sekarang bebaskan dulu!" 

Meski dalam hati memaki panjang pendek, 

Pandu laksanakan juga perintah gurunya. Namun 

lagi-lagi dia belum bisa melukar lilitan rotan itu.

"Ambil tombak itu! Dan gunakan untuk 

memutus," kata Bawuk Raga Ginting seraya arah-

kan pandangannya pada tombaknya yang tergele-

tak.

Dengan keluarkan dengusan pertanda tidak 

senang dengan perintah gurunya Pandu bangkit 

lalu melangkah ke arah tergeletaknya tombak. Di-

pungutnya tombak itu dan kembali mendekati gu-

runya.

"Tua sialan! Sekali lagi kau keluarkan kata-

kata meradang, kutampar mulutmu!" gumam Pan-

du dengan mata memandang pada jurusan lain.

Setelah dekat, Pandu kerahkan tenaga da-

lam lalu....

Tasss! Taasss! Tasss!

Rotan yang melilit tubuh Bawuk Raga Gint-

ing rantas sebelum akhirnya putus. Bawuk Raga 

Ginting oleng sebentar lalu jatuh miring di atas ta-

nah. 

"Muridku!" berkata Bawuk Raga Ginting

dengan suara perlahan. Mungkin dia merasa ada 

perubahan pada Pandu hingga suaranya kini per-

lahan bahkan seakan meratap. "Bantu aku salur-

kan hawa murni...."

Melihat dan mendengar nada ratapan Ba-

wuk Raga Ginting, Pandu akhirnya kerahkan tena-

ga hawa murninya, lalu kedua telapak tangannya 

ditempelkan pada dada Bawuk Raga Ginting.

Beberapa saat berlalu, Bawuk Raga Ginting 

terlihat gerak-gerakkan kedua kaki dan tangan-

nya. Pandu tarik pulang tangannya. Dan perlahan-

lahan pula Bawuk Raga Ginting bergerak duduk. 

Kedua pundaknya digerak-gerakkan, kepalanya 

dipalingkan ke kanan dan kiri.

Merasa tubuhnya sudah agak baik. Bawuk 

Raga Ginting bergerak bangkit. Sesaat memang bi-

sa tegak berdiri, namun sesaat kemudian kedua 

kakinya tampak meliuk. Bawuk Raga Ginting coba 

atasi dengan kerahkan tenaga dalam, namun gag-

al, hingga tanpa ampun lagi tubuhnya jatuh ter-

duduk.

"Bangsat! Ini gara-gara pukulan pendekar 

keparat itu!" maki Bawuk Raga Ginting seraya ta-

kupkan kedua tangannya mengatasi getaran da-

danya yang berdenyut nyeri.

Selagi Bawuk Raga Ginting mengatasi di-

rinya, Dewi Bunga Iblis yang ada tak jauh dari 

sampingnya dan tubuhnya terbelit selendang me-

rah buka mulut.

"Pemuda! Kuharap kau mau menolongku 

juga dari belitan selendang keparat ini!"

Pandu yang sedari tadi sudah tahu namun


tak ambil peduli segera palingkan wajahnya. Tapi 

dia hanya memandang dengan bibir tersenyum si-

nis dan sepertinya enggan meladeni ucapan Dewi 

Bunga Iblis, membuat perempuan ini memaki da-

lam hati. Namun karena mengharapkan pertolon-

gan, makiannya tak diucapkan, justru yang ditun-

jukkan adalah wajah murung dan putus asa.

"Pemuda! Sekali lagi kuharap kau sudi 

membebaskan diriku!" suara Dewi Bunga iblis se-

perti tercekat di tenggorokan.

Lagi-lagi Pandu hanya memandang dengan 

senyum sinis. Namun pada akhirnya Pandu buka 

mulut, tapi pandangannya ke arah lain. "Siapa 

kau...?"

"Setan alas! Dimintai pertolongan saja ma-

sih tanya-tanya! Awas kau!" kata Dewi Bunga Iblis 

dalam hati.

"Aku disebut orang Dewi Bunga Iblis!"

Meski dalam hati diam-diam terperangah 

kaget mendengar sang perempuan sebutkan di-

rinya, namun Pandu tak memperlihatkan wajah 

terkejut. Malah bibirnya tersenyum lebar dan ke-

luarkan tawa perlahan.

"Heran. Tentunya kau manusia yang men-

gaku-aku sebagai Dewi Bunga Iblis. Karena menu-

rut yang kudengar manusia berjuluk Dewa Bunga 

Iblis adalah tokoh yang kepandaiannya sulit dija-

jaki. Tapi bagaimana tokoh yang begitu tinggi il-

munya tidak bisa melepaskan diri dari belitan se-

lendang butut?"

Kembali Dewi Bunga Iblis memaki dalam 

hati. Lalu berkata.

"Dengar pemuda! Belitan yang di tubuhku 

serta yang baru saja terlepas dari tubuh gurumu, 

bukan sembarangan belitan. Ini dilakukan oleh 

Dewi Kayangan! Tanpa pertolongan orang lain yang 

bertenaga dalam tinggi, mustahil seseorang dapat 

terbebas!"

Pandu kembali terkejut mendengar penutu-

ran Dewi Bunga Iblis, dahinya berkerut.

"Dewi Kayangan...? Kabarnya tokoh itu ada-

lah orang yang tidak ada tanding. Hmm..,. Kalau 

manusia itu telah pula ikut-ikutan dalam masalah 

perebutan Arca Dewi Bumi, arca itu nyata-nyata 

luar biasa kesaktiannya!"

"He. Lekas ambil tombak itu dan bebaskan 

aku!" teriak Dewi Bunga Iblis saat dilihatnya Pan-

du masih tak beranjak dari tempatnya.

"Perempuan konyol! Kau tak berhak meme-

rintah aku! Kau sekarang sedang dalam keadaan 

di ujung tanduk. Kalaupun aku pergi dari sini ma-

ka jiwamu tinggal menunggu malaikat pencabut 

nyawa!"

Dewi Bunga Iblis terdiam. 

"Hmm.... Sialan betul! Apa hendak dikata, 

kalau dia atau Bawuk Raga Ginting tak mau me-

nolongku...," Dewi Bunga Iblis tak meneruskan ka-

ta hatinya karena saat itu dilihatnya Pandu me-

langkah mendekati.

"Dengar! Aku mau menolongmu dengan 

syarat!" kata Pandu seraya memperhatikan Dewi 

Bunga Iblis.

Dewi Bunga Iblis mengernyit. Dalam hati 

dia menyumpah habis-habisan. Namun karena

mengharapkan pertolongan, akhirnya dia berkata.

"Katakan syaratmu!"

Gembong Raja Muda atau Pandu tidak sege-

ra menjawab. Sebaliknya dia ajukan pertanyaan. 

"Mengapa kau menerima syarat ku?!"

Dewi Bunga Iblis sepertinya tak dapat lagi 

menahan rasa jengkelnya. Dengan mata membe-

liak angker dia menjawab.

"Anak muda! Kulihat kedua matamu tidak 

buta. Juga tadi telah kukatakan bahwa tanpa per-

tolongan orang lain yang punya tenaga dalam ting-

gi belitan ini tak bisa lepas. Apa hal itu belum cu-

kup untuk sebuah alasan mengapa aku menerima 

syaratmu?!"

Mendengar ucapan Dewi Bunga Iblis, Pandu 

bukannya menjadi marah, malah dia terlihat ter-

tawa.

"Hmm.... Kalau begitu nyawamu tergantung 

padaku. Benar...?!"

"Banyak mulut! Kalau kau tak mau meno-

long, lekas pergi dari sini!" kejengkelan Dewi Bun-

ga Iblis habis sudah. Seraya berkata begitu pan-

dangannya dialihkan pada jurusan lain.

Pandu tanpa berpaling lagi segera balikkan 

tubuh hendak melangkah ke arah Bawuk Raga 

Ginting, namun langkahnya tertahan tatkala ter-

dengar seruan Dewi Bunga Iblis.

"Anak muda! Tunggu!"

"Ada yang ingin kau katakan...?" kata Pan-

du tanpa balikkan tubuh.

"Ucapanmu benar. Nyawaku tergantung pa-

damu! Sekarang katakanlah apa syarat yang kau

minta!"

"Kau benar-benar perempuan sialan. Men-

gaku saja masih menimbang-nimbang segala ma-

cam!" desis Pandu seraya balikkan tubuh mengha-

dap Dewi Bunga Iblis.

"Dengar baik-baik!" kata Pandu dengan se-

nyum sinis. "Sebagai tokoh kau pasti telah tahu 

manusia keparat bergelar Pendekar Mata Keran-

jang 108. Kalau nyawamu ingin selamat, kau ha-

rus dapat membawa kepala manusia keparat itu 

padaku! Kau kuberi waktu sepuluh purnama mu-

lai sekarang. Jika kau berhasil kau bisa menemui-

ku di Lembah Bandar Lor! Bagaimana...?!"

Dewi Bunga Iblis tampak terkejut. Dia tak 

menyangka akan syarat yang diajukan Pandu. 

Namun karena ingin terbebas dia sengaja me-

nyembunyikan rasa kejutnya meski dalam hati dia 

berkata.

"Setan alas betul anak ini! Akan kuterima 

syarat yang dia ajukan. Tapi setelah aku terbebas, 

jangan mimpi kau bisa memeras ku begitu rupa! 

Aku memang akan memenggal kepala Pendekar 

108, namun bukan karena perintahmu. Aku 

punya masalah sendiri. Lebih dari itu aku mengin-

ginkan arca yang sekarang ada di tangannya...," 

batin Dewi Bunga iblis, lalu berkata.

"Anak muda! Kalau hanya itu syaratnya, sa-

tu purnama saja telah cukup. Dan aku akan 

membawa kepala Pendekar 108 ke tempat yang 

kau tentukan!"

"Baik. Aku memberimu waktu sampai sepu-

luh purnama, kalau kau bisa satu purnama itu lebih baik...," habis berkata Pandu balikkan tubuh 

dan melangkah ke arah Bawuk Raga Ginting yang 

masih tampak duduk sambil pejamkan sepasang 

matanya salurkan tenaga dalam. Diambilnya tom-

bak yang tergeletak di sampingnya, lalu balik lagi 

ke arah Dewi Bunga Iblis. Dewi Bunga Iblis terlihat 

tersenyum.

Namun senyum Dewi Bunga Iblis tiba-tiba 

berubah menjadi senyum kecut. Dahinya berkerut, 

sementara sepasang matanya tak kesiap meman-

dangi Pandu yang bukannya cepat membebaskan 

dirinya, melainkan hentikan langkah dan menarik 

gagang tombak yang tampak menggelembung. Be-

gitu gagang tombak tertarik, tampak lobang di 

pangkal gelembungnya. Dari lobang itu Pandu 

tampak mengeluarkan tiga butiran kecil berwarna 

hitam.

"Racun...," desis Dewi Bunga Iblis dengan 

wajah pias. "Gila! Apa yang hendak dilakukan 

bangsat ini padaku! Meracuni ku...? Keparat!"

Setelah memasang kembali gagang tombak, 

Pandu arahkan pandangannya pada Dewi Bunga 

Iblis yang tampak semakin pucat pasi. Pandu ter-

tawa penuh ejekan. 

"Dewi Bunga Iblis. Aku tidak percaya begitu 

saja pada mulut orang!"

"Apa maksudmu...?"

"Kau telah menerima syarat ku. Tapi itu di 

mulutmu. Dalam hati siapa tahu ini hanya musli-

hatmu saja agar kuselamatkan. Nah, ini adalah 

racun ganas. Racun ini akan bekerja setelah sepu-

luh purnama. Jika dalam waktu itu kau tidak menemuiku, maka kau tahu sendiri akibatnya!"

"Bangsat licik! Kau benar-benar meme-

rasku!" seru Dewi Bunga Iblis dengan sepasang 

mata terbeliak.

Pandu tengadahkan kepala. Tawanya ter-

dengar panjang dan bernada mengejek.

"Terserah apa katamu. Memilih mati terbelit 

selendang atau menerima syarat yang ku ajukan!"

Mulut Dewi Bunga Iblis komat-kamit. Ter-

dengar gumamannya yang tak jelas ditangkap te-

linga. Setelah agak lama dia berkata.

"Baiklah! Syaratmu kuterima!"

"Bagus!" kata Pandu dengan tersenyum. Dia 

lalu mendekat ke arah Dewi Bunga Iblis. "Buka 

mulutmu!" serunya. Seraya menimang-nimang bu-

tiran hitam di telapak tangan kanannya.

Dengan paras merah mengelam dan mata 

mendelik, Dewi Bunga Iblis buka mulutnya. Serta-

merta bersamaan dengan itu Pandu gerakkan tan-

gan kanannya. Tiga butiran hitam itu langsung 

melesat dan masuk ke mulut Dewi Bunga Iblis.

Dewi Bunga Iblis diam-diam kerahkan tena-

ga dalamnya, hingga butiran hitam tadi tersangkut 

dilehernya. Namun Pandu ternyata lebih cerdik. 

Begitu butiran masuk, dia segera melangkah lebih 

dekat. Dan tanpa diduga sama sekali oleh Dewi 

Bunga Iblis, tangan kanan Pandu bergerak memu-

kul tengkuk perempuan ini.

Heeekkk!

Dewi Bunga Iblis keluarkan suara laksana 

orang tercekik. Bersamaan dengan itu butiran 

yang tersangkut di lehernya menerabas masuk ke 

perutnya!

"Jangan mimpi kesiangan jika kau akan 

menipuku!" kata Pandu seraya tertawa mengekeh. 

Dia lalu melangkah ke balik pohon, lalu kerahkan 

tenaga dalam dan serta-merta tombak di tangan-

nya diayunkan pada selendang yang membelitkan 

tubuh Dewi Bunga Iblis pada batang pohon. 

Begitu selendang itu robek terbelah, tubuh 

Dewi Bunga Iblis jatuh bergulingan. Begitu gulin-

gannya terhenti, Dewi Bunga Iblis tampak terlen-

tang seraya berulang kali menarik napas panjang-

panjang berusaha menghirup udara segar dan me-

lepas rasa sesak yang hampir dua puluh sembilan 

hari menghimpit dadanya.

"Sekarang kau bebas! Tapi dalam jangka 

waktu yang ku tentukan kau tidak datang ke tem-

patku, tubuhmu akan hancur satu persatu! Kau 

dengar?!"

Dewi Bunga Iblis tidak menyahut. Hanya 

bahunya yang tampak turun naik menghirup dan 

menghembuskan udara. Sepasang matanya lantas 

berpaling pada Pandu, namun dia masih belum ju-

ga keluarkan suara. Sesaat kemudian, dia bangkit 

dan duduk dengan kedua tangan saling menakup, 

kerahkan tenaga dalam untuk memulihkan tu-

buhnya. Setelah dirasa tubuhnya agak normal, 

Dewi Bunga Iblis bergerak berdiri.

"Kenapa kau menginginkan kepala manusia 

bergelar Pendekar Mata Keranjang 108? Kau men-

ginginkan arca itu...?!" Dewi Bunga Iblis ajukan 

pertanyaan.

Mendengar kata-kata Dewi Bunga Iblis, paras wajah Pandu berubah sesaat. Dia tak me-

nyangka sama sekali jika Arca Dewi Bumi telah ja-

tuh ke tangan Pendekar108.

"Anjing buduk! Jadi keparat itu telah berha-

sil mendapatkan arca itu!" maki Pandu dalam hati. 

Kepalanya lantas berpaling menatap Dewi Bunga 

Iblis.

"Dewi Bunga Iblis! Persyaratan mu bertam-

bah satu lagi!"

"Apa maksudmu...?! Jangan kau main-main 

dengan ingkar janji!" seru Dewi Bunga Iblis.

"Dewi Bunga iblis! Ingat. Nyawamu ada di 

tanganku. Kau tak usah banyak mulut. Aku yang 

kuasa atas dirimu!. Pasang telingamu baik-baik. 

Selain kepala manusia keparat itu, kau juga harus 

merampas arca itu dan menyerahkan padaku! Kau 

dengar?!"

"Bedebah! Edan! Kau licik!" teriak Dewi 

Bunga Iblis dengan mata mendelik.

Pandu tertawa bergelak. Lalu tanpa peduli-

kan lagi dia balikkan tubuh dan melangkah ke 

arah Bawuk Raga Ginting yang tampak telah 

membuka kelopak matanya.

Di belakangnya, seraya mengomel tak ka-

ruan Dewi Bunga Iblis segera pula balikkan tubuh 

dan tinggalkan tempat itu.

"Pandu! Kau benar-benar cerdik!" puji Ba-

wuk Raga Ginting. Manusia bertubuh cebol ini lan-

tas bergerak hendak berdiri, namun lagi-lagi sepa-

sang kakinya oleng, dan tubuhnya hendak terjatuh 

kembali. Namun sebelum tubuhnya jatuh Pandu

telah melompat dan tanpa banyak bicara lagi menangkap tubuh gurunya itu dan dipanggulnya di 

atas pundak.

"Kau terluka parah. Kau harus istirahat da-

hulu!" kata Pandu seraya melangkah meninggal-

kan tempat itu. Dan apa yang dikatakan Pandu 

benar adanya. Baru saja tiga langkahan kaki, Ba-

wuk Raga Ginting donggakkan kepalanya yang ada 

di dada Pandu. Dari mulutnya muncrat darah ke-

hitam-hitaman, pertanda dia terluka dalam yang 

cukup parah.

"Kita harus cepat sampai ke Bandar Lor!" 

kata Pandu, lalu berkelebat.

***

Sementara itu, jauh sebelum kedatangan 

Pandu ke lereng Gunung Kembar, Singa Betina 

Dari Timur telah meninggalkan lereng gunung itu 

dengan membopong tubuh saudara seperguruan-

nya, Bidadari Bertangan Iblis yang telah tewas ter-

kena hujaman keris hitam Jogaskara. (Mengenai 

kematian Bidadari Bertangan Iblis silakan baca 

serial Pendekar Mata keranjang 108 dalam episode 

"Arca Dewi Bumi").

Singa Betina Dari Timur terus melangkah 

tak tentu arah tujuan. Seraya melangkah dia tak 

henti-hentinya terisak menyesali tewasnya Bidada-

ri Bertangan Iblis. Bahkan tak jarang dia hentikan 

langkahnya, lalu meletakkan tubuh saudara se-

perguruannya di tanah, lalu diguncang-

guncangnya bahu saudara seperguruannya itu 

sambil panggil-panggil namanya.

Namun karena telah tewas, yang diguncang

hanya diam. Setelah lima hari melakukan perjala-

nan tak tentu arah, pada sebuah tempat yang sepi, 

Singa Betina Dari Timur menemukan sebuah gu-

buk.

Di gubuk itulah berhari-hari Singa Betina 

Dari Timur menekuri nasibnya serta Bidadari Ber-

tangan Iblis. Dia sengaja tak segera menguburkan 

jasad saudara seperguruannya, karena dia seakan 

masih tak percaya dengan kematian Bidadari Ber-

tangan Iblis. Bahkan tiap kali dia panggil-panggil 

nama Bidadari Bertangan Iblis malah tak jarang 

kerahkan tenaga dalamnya untuk mencoba mem-

bangunkan.

Sementara tubuh Bidadari Bertangan Iblis 

terlihat masih utuh dan tidak berbau, ini karena 

Singa Betina Dari Timur terus menerus masukkan 

hawa murni ke dalam tubuh Bidadari Bertangan 

Iblis. Namun menginjak hari ke dua puluh dela-

pan, tubuh Bidadari Bertangan Iblis mulai mene-

barkan bau tak sedap meski Singa Betina Dari Ti-

mur telah masukkan hawa murni. Bahkan sedikit 

demi sedikit, tubuh Bidadari Bertangan Iblis tam-

pak berubah menghitam.

Sadar bahwa Bidadari Bertangan Iblis tak 

bisa didiamkan, maka pada hari ke tiga puluh, 

Singa Betina Dari Timur menguburkan jenazah 

saudara seperguruannya itu. Namun baru saja tu-

buh Bidadari Bertangan Iblis disemayamkan, 

muncullah Pandu alias Gembong Raja Muda.



TUJUH


Bersabar sedikit, Gadis Cantik! Sebentar la-

gi kau akan merasakan nikmatnya malam perta-

ma. Dan tentu kau akan keterusan lalu minta la-

gi!" kata Gembong Raja Muda seraya melangkah 

pelan dan tertawa bergelak-gelak. Tangan kanan-

nya bergerak mengusap punggung Singa Betina 

Dari Timur yang ada di pundaknya, hingga tubuh-

nya sedikit tertekan dan membuat buah dadanya 

menempel ketat pada dada Gembong Raja Muda.

Sementara Singa Betina Dari Timur hanya 

bisa memaki habis-habisan dalam hati. Bahkan 

mungkin karena kesalnya, sepasang matanya ter-

lihat merebak merah dan berkaca-kaca.

"Bidadari Bertangan Iblis! Daripada harus 

mengalami nasib seperti ini, lebih baik aku me-

nyusulmu...," bisik Singa Betina Dari Timur dalam 

hati seraya pejamkan lagi sepasang matanya, ka-

rena tangan Gembong Raja Muda telah merambah 

ke arah pinggulnya.

Namun gerak langkah kaki Gembong Raja 

Muda tertahan, karena mendadak saja terdengar 

suara tawa terkekeh panjang melingkupi tempat 

itu, Gembong Raja Muda hentikan langkah. Tan-

gannya yang mulai merambat ke pinggul Singa Be-

tina Dari Timur dia turunkan. Parasnya terlihat 

sedikit tegang, sedangkan kedua matanya liar me-

nyapu ke kanan kiri, sementara telinganya dia ta-

jamkan baik-baik. Dia merasa bahwa suara tawa 

itu bukan suara tawa biasa, karena kedua kakinya

yang menginjak tanah terasa bergetar hebat, men-

gisyaratkan siapa pun orang yang mengeluarkan 

tawa, bisa dipastikan bukan orang sembarangan 

dan memiliki tenaga dalam yang sempurna.

Menangkap gelagat tidak baik, Gembong 

Raja Muda segera kerahkan tenaga dalam dan ber-

gerak menyelinap ke balik sebuah pohon. Dari sini 

sepasang matanya menebar berkeliling. Kedua 

tangannya telah disiapkan untuk kirimkan seran-

gan. Namun murid Bawuk Raga Ginting ini jadi 

tergagu sendiri, karena sepasang matanya tak me-

nemukan sosok manusia! Dan tak ada tanda-

tanda akan munculnya seseorang!

"Heran. Aku jelas-jelas mendengar suara 

tawa. Dan pasti orangnya tidak jauh dari tempat 

ini karena suaranya begitu keras! Tapi.... Mataku 

tak dapat menemukan batang hidungnya, telinga-

ku tak dapat menentukan di mana beradanya! Ke-

parat jahanam! Siapa dia...?!" maki Gembong Raja 

Muda dalam hati. Sepasang matanya lalu meman-

dang pada tubuh Singa Betina Dari Timur yang di-

geletakkan di samping kakinya. Lalu sekali lagi 

menebar berkeliling. Dan begitu matanya tak lagi 

menemukan orang, dia diam sesaat menunggu. 

Dan setelah ditunggu agak lama tak juga ada tan-

da-tanda munculnya seseorang, Gembong Raja 

Muda memutuskan untuk membopong Singa Beti-

na Dari Timur kembali.

"Mungkin hanya telingaku yang terpenga-

ruh oleh suara tawaku sendiri!" Gembong Raja 

Muda menentramkan hatinya. Lalu membungkuk 

hendak meraih Singa Betina Dari Timur.

Saat itulah kembali terdengar suara tawa 

mengekeh panjang. Kemudian terdengar Suara.

"Pengalaman pertama memang sulit dilupa-

kan. Tapi apa enaknya jika dilakukan dengan pak-

sa...? Malah-malah hanya basah kuyup dan ngos-

ngosan..." 

Mendengar suara itu, Singa Betina Dari Ti-

mur berubah parasnya menjadi merah padam. 

Namun dia merasa sedikit lega, karena keinginan 

Gembong Raja Muda setidaknya bisa tertunda, wa-

lau hatinya masih sangat cemas.

Kalau Singa Betina Dari Timur sedikit lega, 

tidak demikian halnya dengan Gembong Raja Mu-

da. Begitu terdengar suara yang melecehkan, se-

pasang kakinya dibantingkan ke atas tanah. Ta-

nah itu terbongkar dan meninggalkan kubangan 

membentuk telapak kaki sedalam mata kaki. Den-

gan busungkan dada dan mata nyalang, Gembong 

Raja Muda membentak.

"Anjing keparat! Kenapa hanya berani ber-

koar tapi takut unjukkan diri? Keluarlah dari per-

sembunyianmu!" 

Suara tawa kembali terdengar membahana. 

Namun tiba-tiba lenyap. Yang terdengar kemudian 

adalah suara bernada teguran.

"Pandu! Kau sepertinya tak ada puas-

puasnya soal perempuan. Apakah rasanya me-

mang enak?!"

Mendengar orang sebutkan namanya, diam-

diam sirap juga darah Pandu. Keningnya berker-

nyit.

"Sialan! Dia mengenaliku, berarti aku tahu

siapa dia! Setidak-tidaknya aku pernah berjumpa 

dengannya. Hmmm.... Siapa dia?" Pandu terdiam 

untuk beberapa lama seraya menduga-duga dan 

menunggu kemunculan orang. Namun setelah 

agak lama tak juga ada orang menunjukkan diri, 

kembali Pandu berteriak.

"Kau telah mengenaliku, kenapa masih ber-

laku pengecut tak menampakkan tampangmu?!"

"Apakah kau tidak akan merasa malu ber-

temu muka denganku lagi dalam masalah yang 

sama...? Soal perempuan! Ha... ha... ha...!"

Kemarahan Pandu tak dapat dipertahankan 

lagi. Dengan sekali kelebat tubuhnya telah keluar 

dari balik pohon. Sejenak sepasang matanya me-

nyapu ke sekitar tempat itu. Tiba-tiba kedua tan-

gannya disentakkan ke samping kanan.

Wuuttt!

Gelombang angin deras menyambar keluar 

dart tapak tangannya. Semak belukar, ranting ser-

ta daun-daun pohon di samping kanannya tahu-

tahu telah bertebaran dan sekejap kemudian be-

rubah menjadi serpihan kecil-kecil yang langsung 

lenyap tertiup angin!

Bersamaan dengan lenyapnya serpihan, di 

belakang Pandu tiba-tiba terdengar orang tertawa. 

Secepat kilat Pandu balikkan tubuh dan siapkan 

serangan. 

Namun begitu tahu siapa adanya orang di 

belakangnya, Pandu urungkan niat, malah bibir-

nya sunggingkan senyum lebar. Meski dalam hati 

dia sempat terperangah

Di hadapannya kini tegak seorang pemuda

berwajah tampan. Mengenakan pakaian hijau den-

gan rambut panjang dikucir ekor kuda. Sepertinya 

acuh saja pemuda ini tak memandang pada Pan-

du, malah tersenyum-senyum dengan pandangan 

ke jurusan lain sambil berkipas-kipas.

"Nasibku mujur sekali. Dicari-cari ke selu-

ruh pelosok tahu-tahu bertemu di sini. Perhitun-

gan waktu silam belum selesai!" paras Pandu 

mendadak berubah. Dagunya mengembang den-

gan geraham gemeletak saling beradu.

"Pendekar Mata Keranjang jahanam! Seka-

rang tiba waktunya penentuan di antara kita yang 

berhak penghuni kubur terlebih dahulu!"

Pemuda berbaju hijau yang bukan lain me-

mang Pendekar Mata Keranjang 108 palingkan wa-

jah. Bibirnya masih tetap sunggingkan senyum. 

Sementara tangan kanannya pulang balik di depan 

dada berkipas-kipas. Dari mulutnya tidak terden-

gar sahutan suara. Hanya sepasang matanya kini 

memperhatikan Pandu dari ujung rambut sampai 

ujung kaki. Tiba-tiba dari mulutnya mengumbar 

suara tawa keras membahana.

"Pandu! Tidak pantas rasanya kita yang ma-

sih muda-muda ini harus membicarakan kubur-

kubur! Terus terang aku ngeri mendengarnya. Ba-

gaimana kalau penentuan itu kita tunda saja? Ke-

cuali kalau kau memang sudah bosan dengan ke-

nikmatan hidup! Apakah kau sudah bosan...?!"

Pandu tengadahkan kepala. Dari mulutnya 

terdengar tawa menggembor keras.

"Aku tahu, kau takut padaku! Hmm.... 

Baiklah kalau itu maumu! Namun kau harus cepat

tinggalkan tempat ini! Juga tinggalkan arca yang 

ada padamu!"

"Hmm.... Begitu? Dengar, Pandu! Kau ter-

lambat. Benda itu telah kuberikan pada seorang 

gadis cantik! Kau tahu, sebagai orang muda, kita 

tentu punya selera sama!"

"Hmm,... Jika begitu yang bisa meninggal-

kan tempat ini hanya nyawamu!" seru Pandu se-

raya tarik ke belakang kaki kanannya sementara 

tangan kiri kanan dikembangkan siap lancarkan 

pukulan.

"Mana bisa begitu...? Aku justru harus me-

ninggalkan tempat ini dengan membawa gadis 

berbaju hijau itu! Aku pun tertarik padanya!" kata 

Aji masih dengan senyum-senyum.

Sementara itu di balik pohon, mendengar 

percakapan orang, tengkuk Singa Betina Dari Ti-

mur makin merinding. Keringat dingin makin 

membasahi sekujur tubuhnya. "Malang benar na-

sibku. Lepas dari mulut singa, masuk ke mulut 

harimau! Bidadari Bertangan Iblis.... Jika demi-

kian nasibku, aku memilih menyusulmu...," kem-

bali dari sudut mata gadis cantik ini merebak air 

bening.

Di seberang, mendengar kata-kata Pendekar 

Mata Keranjang, Pandu alias Gembong Raja Muda 

pelototkan sepasang matanya. Dia tampaknya ma-

sih belum memulai serangan. Karena diam-diam 

dalam hati pemuda ini timbul juga rasa jerih.

"Dia telah berhasil mendapatkan arca. Arca 

yang dikabarkan mempunyai isi jurus-jurus hebat. 

Hmm.... Menurut perhitungan, telah satu purnama

arca itu ada di tangannya. Berarti dia telah berha-

sil mempelajari isinya.... Sialan! Tapi semua ini be-

lum terbukti. Apa yang perlu ditakutkan...?"

"Kau tampaknya memikirkan sesuatu. Ada-

kah kau menimbang-nimbang tawaranku...? Kura-

sa itu memang lebih baik! Setelah aku, kau bisa 

memakai gadis itu! Sepuasmu!" berkata Aji setelah 

dilihatnya Pandu terdiam hingga beberapa lama.

"Keparat! Kau boleh ambil gadis itu! Tapi 

tinggalkan arca itu!"

Pendekar 108 kembali keluarkan tawa pan-

jang, malah sambil kerjap-kerjapkan matanya.

"Tawaranku tidak begitu! Aku meninggalkan 

tempat ini dengan membawa gadis itu dan tanpa 

syarat apa pun!"

Gembong Raja Muda angkat kepalanya. 

"Meski kau sekarang bernama besar, jangan mimpi 

kau bisa mengatur ku! Lekas serahkan arca itu 

padaku! Atau kau akan mampus tanpa merasakan 

gadis itu!"

Pendekar 108 gelengkan kepalanya beru-

lang kali.

"Tidak bisa. Tidak bisa.... Aku memang tak 

bermimpi bisa mengatur mu. Tapi kau harus turu-

ti tawaranku! Kau tahu kata harus, bukan...?!"

"Kau benar-benar minta tewas!" hardik 

Gembong Raja Muda. Kedua tangannya dihantam-

kan ke arah Pendekar 108. Bersamaan dengan itu 

gelombang angin dahsyat yang menghamparkan 

hawa panas serta suara menggemuruh melesat. 

Hebatnya, larikan-larikan bersitan sinar hitam me-

lesat mendahului gelombang angin.

Di depan, Pendekar Mata Keranjang 108 

masih tampak tegak seakan terkesima, membuat 

Gembong Raja Muda tersenyum dan berteriak. 

"Mampus kau!"

Namun begitu setengah depa lagi pukulan 

Gembong Raja Muda menghajar tubuh Pendekar 

108, tiba-tiba dengan gerakan cepat murid Wong 

Agung angkat kaki kanannya. Lalu dengan men-

gandalkan kaki kiri sebagai tumpuan tubuh, dia 

memutar tubuhnya dan tangan kanannya mene-

bar kipas.

Werrrr!

Sinar putih berkilau membentuk lingkaran 

kipas menebar dengan keluarkan suara laksana 

gelombang ombak.

Di seberang, senyum Gembong Raja Muda 

lenyap seketika. Karena baik bersitan sinar hitam 

serta gelombang angin yang keluar dari kedua tan-

gannya tertahan di udara, malah ketika Pendekar 

108 mendorong tangan kirinya, bersitan sinar hi-

tam serta gelombang angin mental balik dan kini 

menyambar ke arahnya!

Dengan menindih rasa terkejut, Gembong 

Raja Muda cepat jejakkan sepasang kakinya ke ta-

nah. Tubuhnya melenting ke udara. Namun betapa 

terkejutnya murid Bawuk Raga Ginting ini. Karena 

ternyata Pendekar 108 telah tebarkan kipasnya 

kembali! Hingga dari bawah dan atas tampak ge-

lombang angin menyambar ke arahnya!

"Jahanam bangsat!" maki Gembong Raja 

Muda dari atas udara. Untungnya dalam keadaan 

yang demikian, dia masih sempat putar otak untuk menghindar. Maka dengan kerahkan tenaga 

dalamnya, dia sentakkan bahunya ke belakang 

hingga tubuhnya tertarik deras ke belakang. Dan 

tanpa membuang waktu lagi, dia segera hantam-

kan kembali kedua tangannya.

Blarrr!

Terdengar ledakan dahsyat tatkala dua pu-

kulan bertemu di udara. Pendekar 108 tampak 

tersurut dua tindak, sementara Gembong Raja 

Muda terus melesat ke belakang. Dan begitu di be-

lakangnya tampak sebatang pohon, kedua kakinya 

disentakkan ke belakang!

Braakkk!

Pohon besar itu berderak dan tumbang. 

Namun bersamaan dengan itu tubuh Gembong Ra-

ja Muda membal balik dan meleset ke depan den-

gan cepat!

"Edan! Ternyata ilmunya telah bertambah 

dengan pesat!" gumam Pendekar 108 seraya ten-

gadah mencari sosok Gembong Raja Muda, karena 

begitu cepatnya lesatan Gembong Raja Muda hing-

ga sosoknya seakan lenyap!

Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 tenga-

dah mencari, tiba-tiba Gembong Raja Muda telah 

menerjang ke arahnya. Kedua kakinya melejang 

sementara kedua tangannya siap menghantam ke 

arah kepala dari atas! 

Karena demikian dekatnya sosok Gembong 

Raja Muda, hingga terlalu beresiko jika membuat 

gerakan menghindar. Berpikir sampai di situ, Pen-

dekar 108 takupkan kipasnya. Kakinya dibanting-

kan ke atas tanah. Dan saat tubuhnya membumbung satu tombak di atas udara, kedua tangannya 

dihantamkan ke depan memapak hantaman kedua 

tangan lawan!

Terdengar benturan keras ketika dua pa-

sang tangan beradu di udara. Tangan Pendekar 

108 maupun tangan Gembong Raja Muda terlihat 

sama-sama mental ke belakang. Namun kejap itu 

juga Gembong Raja Muda kerahkan tenaga dalam 

lalu hantamkan kembali kedua tangannya. Melihat 

hal itu murid Wong Agung tak tinggal diam. Tena-

ga dalamnya dikerahkan pada kedua tangannya 

lalu dihantamkan pula ke depan! Hal demikian ter-

jadi berulang-ulang di udara! Hingga saat itu beru-

lang-ulang terdengar suara benturan. Dan baru 

terhenti tatkala terdengar suara pekikan lengking 

dari mulut Gembong Raja Muda bersamaan den-

gan terpentalnya tubuhnya ke belakang lalu jatuh 

terkapar di atas tanah!

Di depan, bersamaan dengan terpentalnya 

tubuh Gembong Raja Muda, Pendekar 108 terlihat 

tubuhnya terputar lalu menukik dengan deras ke 

bawah. Untung murid Wong Agung ini masih sem-

pat membuat gerakan jumpalitan, hingga meski 

terjatuh namun dengan posisi kaki kanan tertekuk 

sebatas lutut, sementara kaki kiri lurus sejajar ta-

nah.

Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 ge-

leng-gelengkan kepalanya. Lalu tangan kanannya 

kembali berkipas-kipas, dari mulutnya terdengar 

ucapan.

"Pandu! Semasa pikiranku masih jernih, le-

kas tinggalkan tempat ini! Juga gadis itu! Kau boleh pergi hanya berbekal tubuh gurumu!"

Gembong Raja Muda keluarkan seringai bu-

ruk. Dari hidungnya terdengar suara dengusan ke-

ras. Sambil menahan sakit pada kedua tangannya 

yang tampak merah kehitaman, dia sengatkan se-

pasang matanya pada Aji.

"Bangsat keparat! Kau tak bisa begitu saja 

memerintahku. Aku belum kalah!" habis berkata 

begitu, Gembong Raja Muda tekankan kedua si-

kunya ke atas tanah. Tubuhnya yang tergeletak 

mendadak sontak membumbung ke udara! Dan 

tahu-tahu Pendekar 108 merasakan desiran angin 

di atas kepalanya. Bersamaan dengan itu sepasang 

kaki telah menerjang deras dengan keluarkan deru 

dahsyat.

"Sapu Bumi!" seru Pendekar Mata Keran-

jang mengenali pukulan kaki Gembong Raja Muda. 

Seraya berseru, murid Wong Agung cepat tarik tu-

buhnya ke belakang hingga tubuhnya sejajar ta-

nah. Dan secepat itu pula kedua kakinya diangkat 

dan dihantamkan ke atas.

Prakkk! Praakkkk!

Gembong Raja Muda melengak kaget. Ter-

jangan kedua kakinya yang memang memainkan 

jurus 'Sapu Bumi' dapat dipatahkan Pendekar 

108. Bahkan tubuhnya mencelat kembali ke bela-

kang dan terhempas di atas tanah!

"Keparat! Dari mana dia mengenali puku-

lanku? Dan dia juga mainkan jurus 'Sapu Bu-

mi'...," gumam Gembong Raja Muda seraya usap 

dadanya yang terasa bergetar dan melirik pada ke-

dua kakinya yang tampak menggembung merah!

Di seberang, Pendekar 108 terlihat meringis. 

Kedua kakinya terasa berdenyut sakit dan tampak 

membiru. Memang, Aji baru saja memapak seran-

gan Gembong Raja Muda dengan jurus ‘Sapu Bu-

mi’ yang berhasil dipelajarinya dari Gongging Ba-

ladewa, yang sebenarnya adalah guru Bawuk Raga 

Ginting.

Setelah kerahkan tenaga dalam untuk men-

gatasi rasa sakit pada kaki dan tangannya, Aji ma-

ju dua tindak dan berkata.

"Pandu! Batas kesabaranku telah tipis! 

Waktumu tinggal sedikit lagi. Kalau kau tidak 

tinggalkan tempat ini, jangan menyesal jika kau 

akan tewas bersama gurumu!" gertak Pendekar 

108 sambil simpan kipasnya.

Gembong Raja Muda yang diam-diam juga 

merasa kecut segera bangkit terhuyung-huyung. 

Namun dia tak segera melangkah pergi, malah se-

pasang matanya memandang tajam pada Pendekar 

108.

"Tunggu apa lagi?" kata Aji dengan terse-

nyum, meski senyum itu sedikit dipaksakan kare-

na merasakan sakit pada kedua kakinya.

Gembong Raja Muda melengos dengan mata 

berkilat. Lalu melangkah ke arah Bawuk Raga 

Ginting yang digeletakkan di semak belukar.

Bersamaan dengan melangkahnya Gembong 

Raja Muda, Pendekar 108 berkelebat ke balik po-

hon di mana Singa Betina Dari Timur berada.

Begitu Singa Betina Dari Timur tahu siapa 

adanya orang yang muncul, dadanya berdegup 

kencang. Bibirnya mengatup rapat-rapat. Sepasang matanya memperhatikan dengan pandangan 

aneh.

"Dia.... Apakah.... Apakah dia juga akan 

berbuat seperti Gembong Raja Muda...? Menden-

gar percakapannya tadi.... Ah, tak kusangka.... Ka-

lau dia memang hendak berniat tidak baik, aku..,," 

gadis ini tidak teruskan kata hatinya karena Pen-

dekar Mata Keranjang 108 telah berdiri di sam-

pingnya seraya tersenyum.

"Singa Betina Dari Timur.... Kau tak usah 

takut! Aku akan membebaskan mu!"

Singa Betina Dari Timur tampak sipitkan 

sepasang matanya. Meski wajahnya tampak agak 

cerah, namun kebimbangan belum lenyap juga da-

ri parasnya. Malah ketika Aji bergerak jongkok dan 

ulurkan tangannya untuk membebaskan totokan-

nya, gadis ini pejamkan sepasang matanya. Dan 

dalam hati berkata.

"Kalau kau berbuat yang tidak-tidak, aku 

lebih baik mati!"

Singa Betina Dari Timur merasa jari-jari 

tangan menekan bagian-bagian tubuhnya, dan be-

gitu gerakan jari-jari terhenti, tubuhnya bisa dige-

rakkan.

Begitu tubuhnya bisa digerakkan, gadis ini 

cepat bangkit dan dengan paras merah dadu dia 

berkata.

"Terima kasih, Pendekar...."

"Simpan dulu ucapanmu itu. Kita harus ce-

pat tinggalkan tempat ini!" kata Pendekar 108 se-

raya berkelebat dari balik pohon. Singa Betina Dari 

Timur segera menyusul.

Namun baru saja injakkan kaki masing-

masing tak jauh dari makam, sesosok bayangan 

berkelebat, dan berdiri di hadapan Pendekar 108.


DELAPAN


Pendekar Mata Keranjang 108 kerutkan da-

hi. Sepasang matanya mengawasi sosok di hada-

pannya. Dia adalah seorang gadis muda berparas 

cantik. Mengenakan pakaian warna coklat berga-

ris-garis. Sepasang matanya bundar tajam. Ram-

butnya panjang sebahu. Bentuk tubuhnya bagus 

dengan dada membusung dan pinggul besar.

Tiba-tiba mulut murid Wong Agung ini 

membuka keluarkan seruan begitu dapat menge-

nali siapa adanya gadis di hadapannya.

"Sakawuni!" seraya berseru Aji melangkah 

mendekati. Namun baru saja satu tindak, gadis di 

hadapannya yang bukan lain memang Sakawuni 

dongakkan kepala sambil membentak garang.

"Tetap di tempatmu, Pendekar! Dan jangan 

bergerak tanpa perintahku!"

"Sakawuni! Kau tidak sedang bergurau, bu-

kan...?!" kata Pendekar 108 seakan masih tak per-

caya dengan sikap Sakawuni. Malah mungkin diki-

ra bergurau, Aji teruskan langkah seraya terse-

nyum-senyum. 

Sakawuni gerakkan kepalanya lurus ke de-

pan. Sepasang matanya melotot tajam. "Sekali lagi 

maju selangkah, putus nyawamu!" hardik Saka-

wuni dengan tarik kedua tangannya ke belakang

seakan hendak lancarkan serangan.

Meski masih dengan pandangan tak per-

caya, Pendekar 108 hentikan langkah. Sepasang 

matanya melebar dan menyipit memperhatikan 

Sakawuni.

"Aneh. Kenapa sikapnya mendadak beru-

bah...?" Aji membatin seraya gelengkan kepala.

Tanpa mempedulikan keheranan Pendekar 

108, Sakawuni palingkan wajah menghadap Singa 

Betina Dari Timur yang berdiri tak jauh darinya.

"Gadis muda! Siapa kau...?!" tegur Sakawu-

ni dengan suara keras. Sepasang matanya menga-

wasi Singa Betina Dari Timur dari bawah sampai 

atas.

Yang dipandangi sejenak tampak bingung. 

Matanya silih berganti memandang ke arah Pende-

kar 108 lalu pada Sakawuni.

"He...! Kau punya mulut, kenapa tidak sege-

ra jawab pertanyaan orang?!" Sakawuni kembali 

membentak tatkala Singa Betina Dari Timur tidak 

segera menjawab.

Karena dibentak, Singa Betina Dari Timur 

balas menatap. Dua pasang mata bentrok. Namun 

sesaat kemudian, Singa Betina Dari Timur alihkan 

pandangannya seraya berkata. Nadanya pun tinggi 

dan agak bergetar karena menahan jengkel.

"Siapa diriku tak usah kau ketahui! Kau 

sendiri siapa...?!" 

Sakawuni ikut-ikutan alihkan pandangan-

nya pada jurusan lain. Mulutnya keluarkan tawa 

perlahan bernada mengejek.

"Telingamu tadi sudah dengar orang me

manggil. Apa perlu ku ulangi...? Atau telingamu 

memang tuli?!"

Paras wajah Singa Betina Dari Timur beru-

bah merah padam. Wajahnya kembali berpaling 

dan matanya memandang Sakawuni. Mulutnya 

membuka hendak berkata, namun sebelum uca-

pannya terdengar, Sakawuni telah berkata.

"Apa hubunganmu dengan manusia keparat 

itu?!" telunjuk Sakawuni lurus-lurus memandang 

Pendekar Mata Keranjang, membuat Aji usap-usap 

hidungnya seraya membatin.

"Ah, apa karena ada gadis ini hingga sikap-

nya berubah...? Sialan betul! Sebelum perkaranya 

berlarut panjang, aku harus menjelaskan siapa 

adanya Singa Betina Dari Timur...," Aji angkat tan-

gan kanannya memberi isyarat pada Singa Betina 

Dari Timur agar tidak berkata. Namun baru saja 

murid Wong Agung ini hendak bicara, Sakawuni 

telah mendahului berkata tanpa menoleh.

"Pendekar Mata Keranjang! Kau jangan ikut 

campur! Tunggu, aku nanti juga akan bicara den-

ganmu!"

"Walah, kenapa bisa jadi begini...?" gumam 

Aji sambil tarik kuncir rambutnya dan geleng-

geleng kepala.

Sementara itu di seberang agak jauh, Gem-

bong Raja Muda yang sedang melangkah ke arah 

Bawuk Raga Ginting hentikan langkahnya begitu 

mendengar Pendekar 108 menyebut nama Saka-

wuni. Dan secepat kilat pemuda ini balikkan tu-

buh. Sepasang matanya memandang tak berkedip 

ke arah Sakawuni.

"Sakawuni...? Hmm.... Telah lama kita tak 

jumpa. Nyatanya kau makin menarik!" Niatnya un-

tuk segera pergi dengan membawa serta gurunya 

dia urungkan. Dia tegak menunggu seraya terus 

memperhatikan. Dan ketika terjadi percakapan an-

tara Sakawuni, Pendekar Mata Keranjang 108, dan 

Singa Betina Dari Timur, bibirnya sunggingkan 

senyum.

"Hmm.... Sakawuni tampaknya berubah. 

Dan nada-nadanya telah terjadi masalah antara 

dia dengan pendekar keparat itu! Aku akan me-

nunggu...," Gembong Raja Muda lantas tegak diam 

seraya memandang ke arah Sakawuni.

"He...! Apa hubunganmu dengan keparat 

itu?!" Sakawuni ulangi pertanyaannya pada Singa 

Betina Dari Timur.

"Soal hubunganku, juga tak berhak kau ke-

tahui! Lagi pula apa pedulimu ingin tahu urusan 

orang?!" jawab Singa Betina Dari Timur dengan 

suara lantang.

Sakawuni angkat kepalanya mendongak, la-

lu tertawa panjang.

"Silat lidahmu boleh juga. Kau tunggulah di 

situ! Aku akan bicara dengan temanmu itu! Kalau 

kau nanti nyata-nyata bersekongkol, jangan harap 

bisa tinggalkan tempat ini dengan masih memba-

wa nyawa!" Sakawuni lantas berpaling pada Pen-

dekar 108.

"Hmm.... Manusia ini benar-benar gila! Ke 

mana-mana selalu bersama gadis cantik! Apa dia 

juga kekasihnya? Mungkin gadis itu yang mem-

buat sikapnya berubah saat bertemu denganku terakhir kali dulu. Ah, kenapa aku pikirkan hal itu? 

Bukankah aku mencarinya untuk urusan darah 

Pendekar Ageng Panangkaran?" Sakawuni beliak-

kan sepasang matanya lalu berkata.

"Pendekar Mata Keranjang! Telah cukup bi-

cara dustamu selama ini. Aku menyesal mengapa 

begitu percaya dengan segala bualanmu! Kau nya-

tanya tak lebih dari orang hina yang berkedok sok 

suci!"

Pendekar 108 jadi terkesiap mendengar 

ucapan Sakawuni yang belum dimengerti mak-

sudnya.

"Sakawuni! Kau bicara apa...?"

Sakawuni tertawa panjang, hingga dada dan 

bahunya terlihat berguncang-guncang.

"Kau tak usah menutup-nutupi perbuatan-

mu, Pendekar! Atau kau merasa malu perbuatan-

mu diketahui gadismu itu?!"

Pendekar 108 yang masih belum tahu arah 

pembicaraan Sakawuni gelengkan kepalanya per-

lahan. Sementara Singa Betina Dari Timur merah 

dadu parasnya mendengar dirinya disebut sebagai 

gadis Pendekar 108. 

"Sakawuni.... Kau tidak...," Pendekar Mata 

Keranjang 108 tidak meneruskan ucapannya, ka-

rena saat itu juga Sakawuni telah menyahut den-

gan suara lantang.

"Jangan menyela! Aku belum selesai bicara!" 

tubuhnya sedikit berguncang serta matanya men-

delik pertanda amarahnya telah meluap.

"Pendekar Mata Keranjang! Sebagai laki-laki 

kuharap kau mengakui perbuatanmu! Dan siap

pula menerima ganjarannya!"

Pendekar 108 yang bingung dengan segala 

ucapan Sakawuni tampak sedikit jengkel. Dengan 

suara keras akhirnya dia berkata.

"Sakawuni! Dari tadi kudengar kau bicara 

tak karuan. Katakan terus terang apa masalah-

nya!"

"Laki-laki bodoh!" ujar Sakawuni. "Kalau 

kau masih tak juga mengerti, pasang telingamu 

baik-baik! Bukankah kau yang membunuh Ageng 

Panangkaran?!"

Pendekar murid Wong Agung ini terperan-

gah kaget. Kedua kakinya sampai tersurut dua 

langkah ke belakang. Dahinya mengernyit semen-

tara sepasang matanya mengerjap-ngerjap seakan 

tak percaya

"Sakawuni! Meski aku laki-laki bodoh, na-

mun pantang bagiku melakukan hal sekeji itu. Apa 

lagi Ageng Panangkaran adalah sahabat dari 

Eyang guruku! Kau jangan memperturutkan uca-

pan orang!"

Sakawuni keluarkan dengusan. Senyumnya 

tersungging sinis. Seraya pancangkan kedua tan-

gan di pinggang, dia berkata tanpa memandang.

"Dulu kau masih berkata begitu padaku 

dan aku bisa percaya. Namun untuk sekarang, 

Jangan harap aku mempercayai kata-katamu! Dan 

perlu kau ketahui. Setelah kau mampus, kedua 

gurumu pun akan menyusul!"

"Sialan benar! Siapa gerangan bangsatnya 

yang telah meniupkan hal tak benar ini? Kalau ti-

dak segera dicegah, hal ini akan berlarut-larut....

Apakah Pandu yang mengatakan hal ini...?" Pen-

dekar 108 lantas palingkan wajahnya pada Pandu 

yang masih terlihat tegak diam seraya memandang 

dan mendengarkan percakapan.

"Sakawuni, apa bangsat itu yang merecoki 

jalan pikiranmu hingga kau berkata demikian...?" 

kata Pendekar 108 sambil arahkan telunjuknya 

pada Pandu.

Sakawuni tertawa mengejek. Masih tanpa 

memandang dia menjawab.

"Kalau hanya omongannya dia, belum tentu 

aku percaya! Sekarang tak usah banyak mulut. 

Akui saja perbuatanmu! Dan bersiaplah menerima 

tebusan tetes darah Ageng Panangkaran!"

"Hmm.... Pasti ada orang lain yang mem-

pengaruhinya...," Aji membatin lalu berkata. "Sa-

kawuni, marilah kita bicara baik-baik. Biar masa-

lahnya jelas dan tak ada silang sengketa di antara 

kita!"

"Aku sudah bosan dengar omongan mu! 

Orang culas sepertimu pasti pandai bersilat lidah 

untuk menutupi kesalahan! Sekarang jawab saja 

ya atau tidak! Tapi ingat! Hal itu tidak bisa men-

gubah keputusanku!"

Sebenarnya dalam hati gadis ini masih ingin 

bicara baik-baik dahulu, namun begitu bertemu 

dan dilihatnya Pendekar 108 bersama seorang ga-

dis, maka rencananya semula terlupakan. Malah 

yang berkecamuk dalam dadanya adalah rasa 

cemburu. Karena dalam dasar hati gadis yang se-

karang telah diangkat murid oleh Manusia Titisan 

Dewa ini sebenarnya masih menyukai Pendekar 108.

"Sakawuni! Kau jangan termakan fitnah!"

"Kau memang terlalu banyak bacot!" seru 

Sakawuni. Habis berkata begitu dia keluarkan 

bentakan keras lalu berkelebat ke arah Pendekar 

108.

Wuuttt! Wuuttt!

Sakawuni hantamkan kedua tangannya 

yang dikembangkan. Saat itu juga dari telapak 

tangan kanannya melesat selarik sinar hitam den-

gan menebar hawa panas, sedang dari telapak 

tangan kirinya melarik sinar putih yang menebar-

kan hawa sangat dingin. Inilah ilmu yang berhasil 

dipelajarinya dari Manusia Titisan Dewa yang di-

namakan jurus 'Menggiring Sinar Menebar Hawa'.

Melihat Sakawuni langsung keluarkan jurus 

andalan, jelas sekali bahwa gadis ini ingin segera 

menyelesaikan masalah. 

Di depan, Pendekar 108 tampak sedikit ter-

kejut. Dia tak menduga jika Sakawuni telah maju 

begitu pesat. Namun murid Wong Agung ini tidak 

mau bertindak ayal. Meski dia tidak tahu keheba-

tan jurus yang sedang dilancarkan Sakawuni, na-

mun melihat menggebunya serangan serta hawa 

yang ditebarkan, dia sadar jika jurus serangan itu 

berhawa maut!

Dengan menahan rasa terkejut, Pendekar 

108 segera melompat ke samping. Sinar hitam dan 

putih lolos menerabas tempat kosong, namun te-

baran hawa yang ditebarkan Sakawuni sempat 

menyambar pakaian bagian bawahnya. Dan beta-

pa terperangahnya murid dari Karang Langit ini,

karena begitu melirik terlihat pakaian bagian ba-

wahnya telah hangus! Dan robek besar!

Hebatnya melihat serangannya tidak meng-

hajar sasaran, Sakawuni langsung menyergap ke 

depan dengan meloncat. Kedua tangannya kembali 

dihantamkan. Kembali sinar hitam dan putih me-

larik, sementara panas dan dingin menebar!

Karena jaraknya begitu dekat, maka tak ada 

lagi tempat untuk menghindar bagi Pendekar 108. 

Hingga satu-satunya jalan adalah memapak se-

rangan. Sadar akan hal ini murid dari Karang Lan-

git ini segera putar tubuhnya dan ketika membalik 

kembali tangan kanannya menebarkan kipas un-

gunya! Sementara tangan kirinya mendorong pelan 

ke depan.

Sinar putih berkilau menebar membentuk 

kipas segera melesat ke depan, sedangkan dari 

tangan kirinya menyambar angin kencang yang ke-

luarkan suara menggemuruh dahsyat!

Namun betapa terkejutnya Pendekar dari 

Karang Langit ini karena semula menduga seran-

gan Sakawuni akan tertahan di udara. Dugaannya 

ternyata meleset. Larikan sinar hitam dan putih te-

rus menerobos tebaran sinar yang membentuk ki-

pas dan kini telah setengah depa di hadapannya.

"Sialan! Siapa gerangan yang telah menu-

runkan ilmu keparat ini pada Sakawuni?" Aji 

membatin seraya cepat rebahkan tubuhnya ke be-

lakang hingga sejajar tanah. Kedua tangannya lan-

tas didorong kuat-kuat ke atas!

Blarrr! 

Terdengar letupan dahsyat begitu hantaman

kedua tangan Pendekar 108 yang keluarkan angin 

deras melesat melabrak serangan Sakawuni. Na-

mun murid Wong Agung ini tubuhnya segera ber-

gulingan seraya dari mulutnya terdengar seruan 

pelan.

Begitu gulingan tubuhnya terhenti, Pende-

kar 108 segera melirik kedua tangannya yang tera-

sa nyeri. Ternyata kedua tangannya telah merah 

kebiruan dan gemetaran. Dia cepat kerahkan te-

naga dalam untuk mengurangi rasa sakit. Semen-

tara Sakawuni cepat melompat mundur sambil 

membuat gerakan berjumpalitan dan akhirnya 

mendarat di atas tanah dengan kaki terpentang. 

Namun raut wajahnya tak dapat menyembunyikan 

rasa sakit. Dan kala matanya memperhatikan, ga-

dis ini juga terkejut. Kedua tangannya telah beru-

bah menjadi keputihan! Dan terasa panas!

Melihat kejadian ini, Gembong Raja Muda 

yang sedari tadi memperhatikan diam-diam berka-

ta dalam hati.

"Hmm.... Sakawuni tampaknya telah beru-

bah pikiran. Siapa gerangan yang membuatnya 

begitu! Dan astaga! Ilmunya demikian cepat ber-

tambah.... Hm.... Ini saatnya aku ikut serta!" habis 

berpikir begitu, dia segera berkelebat. Namun ge-

rakannya tertahan karena tiba-tiba saja Singa Be-

tina Dari Timur telah menghadangnya.

"Laki-laki busuk! Kau harus mampus di 

tanganku!" seraya berseru kedua tangannya berge-

rak mendorong ke depan.

Serangkum angin dahsyat melesat. Di ha-

dapannya Gembong Raja Muda hanya memandang

seraya tersenyum sinis. Nyali pemuda ini telah 

kembali berkobar, apalagi setelah dilihatnya Saka-

wuni berubah pikiran dan ilmunya bertambah pe-

sat. Dia berpikir, Pendekar Mata Keranjang 108 

akan dapat ditaklukkan jika bersatu dengan Sa-

kawuni.

Sejengkal lagi pukulan Singa Betina Dari 

Timur menghajar tubuhnya, dia meloncat ke 

samping, lalu kedua tangannya dihantamkan ke 

depan.

Maka terjadilah pertempuran saling adu 

pukulan jarak jauh di tempat itu. Beberapa kali 

terdengar suara letupan-letupan keras menggema 

dan tak jarang pula diseling dengan suara seruan-

seruan tertahan. Karena Gembong Raja Muda te-

lah terluka waktu bentrok dengan Pendekar 108, 

maka pukulannya tidak sehebat sebelum cidera, 

hingga Singa Betina Dari Timur dapat melayani se-

rangannya.

Di seberang, Sakawuni terlihat takupkan 

kedua tangannya, sepasang matanya terpejam se-

saat, mulutnya bergerak komat-kamit.

"Sakawuni! Hentikan semua ini! Akan kuje-

laskan padamu...!" seru Aji begitu melihat sikap 

Sakawuni. 

Sakawuni buka kelopak matanya. Bibirnya 

sunggingkan senyum ejekan. Lalu berkata.

"Aku tak butuh penjelasan! Yang kubutuh-

kan sekarang adalah kepalamu! Dan aku tak akan 

pergi dari tempat itu dengan berhampa tangan!"

Aji gelengkan kepalanya perlahan. "Hmm.... 

ilmunya tidak bisa diremehkan, kalau aku terus

hanya menangkis, tak mustahil aku akan konyol 

sendiri. Namun jika aku melawan.... Bagaimana 

kalau dia cidera? Sialan! Lebih baik tak kulayani. 

Suatu saat pasti akan bertemu lagi, dan siapa ta-

hu pikirannya berubah lagi.... Tapi Singa Betina 

Dari Timur...? Aku akan menyelinap dan balik lagi 

ke sini...," berpikir begitu murid Wong Agung ini 

segera balikkan tubuh dan siap meninggalkan 

tempat itu.

"Pengecut! Kau hendak lari ke mana? Dan 

apa kau kira bisa pergi begitu saja?!" sergah Saka-

wuni dengan mata melotot.

Tanpa balikkan tubuhnya kembali, Aji men-

jawab.

"Aku punya urusan penting yang harus ku-

selesaikan!"

"Boleh! Tapi tinggalkan dulu kepalamu!" 

bentak Sakawuni. Selesai berkata Sakawuni segera 

menyergap seraya lancarkan serangan. Tangan 

kanannya melesat ke arah pelipis kanan Pendekar 

108.

"Sialan! Dia benar-benar hendak memenggal 

kepalaku!" membatin Aji begitu angin dahsyat ber-

desir di sebelah kepalanya. Tanpa berpaling lagi 

Pendekar Mata Keranjang 108 segera jejakkan se-

pasang kakinya. Tubuhnya melesat ke depan, 

hingga hantaman tangan Sakawuni mengenai 

tempat kosong.

Melihat serangannya lolos, Sakawuni berte-

riak nyaring. Tangannya cepat ditarik pulang dan 

serta-merta dihantamkan ke depan sekaligus den-

gan pengerahan tenaga dalam penuh!

Wuttt! Wuutttt!

Hawa sangat panas dan dingin menebar, 

sementara larikan-larikan sinar hitam dan putih 

melesat menyusul kelebatan tubuh Pendekar 108!

Sadar dalam bahaya, Pendekar 108 segera 

me-lompat ke depan untuk menghindar sekaligus 

mencari posisi. Lalu tubuhnya segera membalik 

dengan tangan kiri mendorong ke depan, tangan 

kanan menebarkan kipas. 

Mendadak dari telapak tangan Pendekar 

108 melesat seberkas cahaya biru tanpa keluarkan 

suara. Hebatnya, larikan-larikan sinar hitam dan 

putih yang mengarah pada Pendekar 108 ditera-

basnya dan ambyar seketika! Tanpa ada suara 

bentrok pukulan yang terdengar. Dan bukan 

hanya sampai di situ, begitu dapat membuyarkan 

larikan sinar hitam dan putih, sinar kemilau biru 

terus melabrak dan kini melesat ke arah Sakawu-

ni!

Pendekar Mata Keranjang 108 menjadi ter-

cekat sendiri. Dia memang telah kerahkan jurus 

'Mutiara Biru'. Namun dia tak menduga sama se-

kali jika kehebatannya begitu dahsyat! Untuk me-

nyelamatkan Sakawuni jelas tak mungkin karena 

saat itu sinar kemilau biru telah satu depa di de-

pan Sakawuni.

Di depan sana, melihat pukulan ‘Menggiring 

Sinar Menebar Hawa’ yang dilancarkan dapat di-

buat ambyar oleh sinar kemilau biru, Sakawuni 

melengak terkesima. Dan gadis ini terguncang 

dengan paras pucat pasi saat sinar biru itu mele-

sat ke arahnya. Sekalipun dia berusaha untuk

menghindar, namun tampaknya akan sia-sia ka-

rena serangan itu telah setengah depa lagi di ha-

dapannya. Hingga mungkin karena merasa tak bi-

sa selamat, gadis ini pejamkan mata seakan pa-

srahkan diri menghadapi ajal.

"Sialan! Bagaimana ini...? Tak kusangka 

sama sekali. Padahal aku hanya mengerahkan se-

perempat tenaga dalam...," gumam Pendekar 108 

seraya melompat ke depan dengan berteriak lan-

tang.

"Sakawuni! Cepat selamatkan dirimu!"

Yang diteriaki tak bergeming.

Pada saat yang demikian itulah tiba-tiba 

terdengar suara cekikikan ditingkahi suara geme-

rincing anting-anting.

Namun mendadak saja suara cekikikan le-

nyap begitu juga suara gemerincing anting-anting. 

Dan bersamaan dengan itu sesosok bayangan ber-

kelebat.

Sakawuni yang telah pasrah merasakan tu-

buhnya melayang lalu menukik turun dan bergu-

lingan di atas tanah. Sementara tubuh Pendekar 

108 yang berusaha menyelamatkan dengan me-

lompat, tubuhnya mental balik ke belakang dan ja-

tuh terduduk


SEMBILAN



Sinar kemilau biru melesat terus dan 

menghantam sebuah batang pohon. Pohon itu 

langsung tumbang dengan akar tercerabut! Tanah

di sekitar pohon itu terbongkar dan langsung 

membentuk sebuah lobang sedalam setengah tom-

bak!

Begitu derakan tumbangnya pohon lenyap, 

terdengar suara orang tertawa cekikikan. Sakawu-

ni segera bangkit dan berpaling. Sepasang ma-

tanya mendelik memperhatikan, dahinya berkerut.

Tak jauh di sampingnya berdiri seorang pe-

rempuan tua bertubuh gemuk besar. Rambutnya 

yang telah memutih disanggul ke atas. Pada salah 

satu telinganya terlihat sebuah anting-anting besar 

yang dimuati beberapa anting-anting kecil.

"Dewi Kayangan!" seru Aji. Dia memang te-

lah dapat menduga siapa adanya orang yang me-

nyelamatkan Sakawuni dari hantaman jurus 

'Mutiara Biru'-nya. 

Di tempat lain, terlihat Gembong Raja Muda 

terbungkuk-bungkuk bangkit dari tanah dengan 

paras meringis dan mengusap-usap dadanya, se-

mentara sepuluh langkah di depannya, Singa Beti-

na Dari Timur tampak terkapar, lalu segera bang-

kit dan mendelik memandang Gembong Raja Mu-

da. Kedua tangannya lantas ditarik ke belakang 

hendak kirimkan serangan. Namun sebelum kedua 

tangannya menghantam, Pendekar 108 segera 

berkelebat dan berteriak.

"Tahan serangan!"

Pendekar 108 tahu-tahu telah berdiri di 

tengah-tengah antara Singa Betina Dari Timur dan 

Gembong Raja Muda. Sejenak dia memandang 

Singa Betina Dari Timur. Lalu berpaling pada 

Gembong Raja Muda.

"Pandu! Cepat tinggalkan tempat ini!"

Pandu mendengus pelan, sepasang matanya 

berkilat menyengat pada Aji. Sebenarnya pemuda 

ini masih enggan untuk meninggalkan tempat itu. 

Namun begitu mendengar Pendekar 108 menyebut 

nama Dewi Kayangan, hatinya keder. Kalau Dewi 

Bunga Iblis dan gurunya bisa dibuat bertekuk lu-

tut, dapat diduga bagaimana ketinggian ilmunya. 

Berpikir sampai di situ pemuda ini lantas balikkan 

tubuh dan melangkah ke arah tergeletaknya tubuh 

gurunya Bawuk Raga Ginting.

Setelah tubuh gurunya dipanggul, dia ber-

paling pada Pendekar 108 dan berkata.

"Pendekar Mata Keranjang 108! Saatnya 

nanti akan tiba untuk bertemu lagi!" habis berkata 

begitu, dia berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Kenapa bangsat itu kau biarkan pergi begi-

tu saja?!" ujar Singa Betina Dari Timur seraya 

memandang pada Pendekar 108. 

Pendekar 108 tersenyum. Melangkah men-

dekat dan berkata.

"Dia masih muda, dan masalahnya hanya 

salah paham dan cemburu. Aku berharap suatu 

saat kelak dia bisa mengerti!"

"Tapi terlalu enak jika manusia seperti dia 

masih diberi hidup!" sahut Singa Betina Dari Ti-

mur dengan alihkan pandangannya karena saat 

itu Pendekar 108 balas menatapnya.

"Ah, sudahlah. Sekarang kau hendak ke 

mana?"

Singa Betina Dari Timur tidak segera men-

jawab.

Wajahnya mendadak berubah keruh. Malah 

sepasang matanya terlihat berkaca-kaca. Namun 

pada akhirnya dia menjawab.

"Aku akan kembali ke Bima. Sekali lagi 

kuucapkan terima kasih atas pertolonganmu. 

Ng.... Kalau boleh tahu, siapa sebenarnya gadis 

cantik itu?"

Pendekar Mata Keranjang sedikit terkejut 

mendengar pertanyaan Singa Betina Dari Timur. 

Sejurus ditatapnya mata gadis di hadapannya. 

Sambil tersenyum dia menjawab.

"Dia temanku. Kami memang telah lama ti-

dak jumpa. Hanya saja aku jadi heran, dia seka-

rang sifatnya tiba-tiba berubah. Bahkan yang sea-

kan tidak kupercaya, dia menuduhku bahwa aku-

lah yang melakukan pembunuhan terhadap gu-

runya.... Pasti ada orang ketiga yang membakar-

nya!"

Selagi kedua orang ini tengah bercakap-

cakap, di sebelah terdengar Sakawuni berkata 

dengan suara lantang.

"Siapa kau...?!" sambil menegur, sepasang 

matanya tak kesiap pandangi perempuan gemuk 

beranting-anting satu di hadapannya yang bukan 

lain adalah Dewi Kayangan.

Dewi Kayangan tertawa cekikikan. Sepasang 

matanya yang besar melirik pada Sakawuni, lalu 

berkata.

"Soal siapa aku, biarlah untuk sementara 

kujadikan barang simpanan buatmu. Suatu saat 

nanti, kau akan kuberitahu.... Hik... hik... hik.... 

Yang perlu kuberitahukan sekarang adalah...,"

Dewi Kayangan hentikan ucapannya, wajahnya 

berpaling pada Pendekar 108 yang berbincang 

dengan Singa Betina Dari Timur. Lalu melanjutkan 

ucapannya. 

"Berhati-hatilah bergaul dengan orang! Sa-

lah bergaul, kau akan tergelincir! Jika itu terjadi, 

hidupmu akan celaka! Sekian saja. Aku harus per-

gi!"

Habis berkata begitu, Dewi Kayangan balik-

kan tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat 

itu.

"Tunggu! Aku ingin bicara!" yang berseru 

adalah Pendekar 108 seraya berkelebat. Namun 

Dewi Kayangan telah lenyap. Hanya suara cekiki-

kan serta gemerincingnya anting-anting yang ter-

tinggal.

Sakawuni yang sejenak seperti terkesima 

dengan ucapan Dewi Kayangan segera palingkan 

wajah, tubuh gadis ini sedikit berguncang, ma-

tanya berkilat-kilat. Hatinya makin panas tatkala 

tadi melihat Pendekar Mata Keranjang 108 berbin-

cang demon Singa Betina Dari Timur. Namun se-

belum gadis itu buka mulut, Pendekar 108 telah 

mendahului bicara

"Sakawuni! Marilah kita bicara baik-baik! 

Aku percaya, ini semua bukanlah kehendakmu 

sendiri. Kau telah dihasut orang!"

"Pendekar Mata Keranjang! Jaga bicaramu. 

Jangan kau menutup-nutupi perbuatanmu dengan 

mengkambinghitamkan orang!"

Pendekar 108 tertawa perlahan. Hidungnya 

diusap-usap berulang kali. Masih dengan tertawa

dia berkata.

"Aku tidak membawa-bawa kambing orang. 

Namun aku dapat merasakan. Kau jauh berubah. 

Kau bukan lagi Sakawuni yang dahulu. Sakawuni 

yang lembut namun tegar dan tegas! Kau sekarang 

pemberang dan tak mau dengar kata orang!"

"Jahanam! Ini semua karena kau telah 

mendustai ku! Seandainya saja waktu itu aku per-

caya pada Kakang Pandu, tak mungkin masalah 

ini berlarut-larut hingga sekarang!"

Habis berkata, Sakawuni palingkan wajah 

ke tempat di mana tadi Pandu berada. Namun ga-

dis ini menjadi terkejut tatkala dilihatnya Pandu 

telah tidak ada lagi di tempatnya. Sebenarnya Sa-

kawuni tadi ingin berbicara dengan Pandu, namun 

karena keburu dadanya diamuk marah dan cem-

buru pada Pendekar 108, maka Pandu begitu saja 

dilupakan. Dia baru teringat lagi tatkala menye-

butkan namanya.

"Hmm.... Dia telah pergi.... Tapi tak apa. Ke-

lak kalau umur panjang pasti akan bertemu la-

gi...."

Kalau Sakawuni terkejut dengan perginya 

Pandu. Pendekar 108 pun tampak terkejut. Sepa-

sang matanya segera menyapu berkeliling di tem-

pat itu. 

"Ah, Singa Betina Dari Timur nampaknya 

telah pergi tanpa sepengetahuanku.... Gadis cantik 

yang malang.... Semoga kau selamat hingga tem-

patmu...," Pendekar 108 membatin dengan paras 

sedikit kecewa. Lalu melirik pada Sakawuni yang 

masih tampak tercenung karena kepergian Pandu

alias Gembong Raja Muda yang sebenarnya adalah 

kakak seperguruannya.

"Gadis ini masih dibakar marah dan mung-

kin juga bercampur cemburu.... Dalam keadaan 

begini orang pasti sulit untuk diajak bicara baik-

baik. Untuk sementara, lebih baik aku menghin-

dar...."

Berpikir begitu, murid Wong Agung ini lang-

sung berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Keparat! Mau lari ke mana kau...?!" bentak 

Sakawuni tatkala melihat kelebatan Pendekar 108. 

Dia segera pula berkelebat menyusul. Namun be-

kas murid Ageng Panangkaran ini segera kelua-

rkan makian panjang pendek tatkala buruannya 

tak dapat ditemukan.

"Kali ini dia bisa lolos. Tapi tidak untuk ke-

dua kalinya!" gumam Sakawuni seraya rapikan 

rambut dan usap keringat di dahi dan lehernya.

"Siapa perempuan tua bertubuh gemuk 

yang telah menyelamatkanku dari pukulan pemu-

da keparat itu? Hmm... pemuda itu mengenalnya. 

Tapi kenapa dia menolongku...? Ucapannya sea-

kan menyindirku. Apa dia kenal dengan Manusia 

Titisan Dewa? Pendekar Mata Keranjang 108.... 

Sebenarnya...," Sakawuni tak meneruskan kata 

hatinya. Sepasang matanya memandang kosong ke 

depan. Lalu kepalanya terlihat menggeleng perla-

han.

"Tidak! Dia adalah pembunuh Ageng Pa-

nangkaran. Dan gadis tadi pastilah kekasihnya! 

Hm....Mungkin karena itu dia lancarkan pukulan 

mematikan padaku! Tapi, seandainya dia mau,


mungkin aku dapat dikalahkannya. Aku sadar, il-

muku ternyata belum mampu untuk mengalah-

kannya.... Dan apakah aku benar-benar ingin 

membunuhnya...?"

Sakawuni diombang-ambingkan oleh bebe-

rapa perasaan. Mungkin karena tak dapat mengu-

asai diri, gadis ini lantas melangkah ke sebuah po-

hon besar. Dengan perasaan lusuh dia duduk di 

bawah pohon. Wajahnya segera ditekapkan pada 

kedua pahanya. Tak terlihat apa yang dikerjakan 

gadis cantik ini. Yang jelas sebentar terdengar gu-

mamannya lalu terhenti, namun saat itu juga ba-

hunya tampak sedikit berguncang-guncang.



SEPULUH


Pendekar 108 terus berlari seraya sesekali 

berpaling ke belakang. Saat dirasa Sakawuni tidak 

mengejar lagi, pada satu tempat yang sepi dia hen-

tikan larinya. Sejenak dia memandang se-keliling 

lalu melangkah ke arah gundukan batu padas di 

bawah sebuah pohon yang rindang.

"Sakawuni.... Sungguh tak kuduga pada 

akhirnya di antara kita terjadi salah paham...," 

gumam Aji sambil hempaskan tubuhnya pada 

gundukan batu padas. Tangan kanannya bergerak 

mengusap keringat yang membasahi wajahnya.

"Pada pertemuan terakhir kali beberapa 

waktu yang lalu, kau masih tampak lembut. Tapi 

sekarang...? Kau begitu pemarah dan ucapanmu 

kasar. Aku merasa ini bukan sifat aslimu. Ada

orang yang membuatmu jadi berubah! Melihat si-

kapnya saat bertemu dengan Pandu, aku menduga 

bukanlah Pandu yang menyebabkan dia berubah. 

Lalu siapa...? Aku juga heran. Ilmunya maju demi-

kian pesat. Adakah dia telah menemukan seorang 

guru? Apakah gurunya itu yang kemudian meru-

bah sifatnya...? Hmm.... Masalah yang membutuh-

kan waktu untuk menyelidikinya...," murid Wong 

Agung ini lantas usap-usap hidungnya. Karena 

udara sangat panas, sebentar kemudian dia telah 

bersandar pada batang pohon sambil berkipas-

kipas.

"Sakawuni.... Sebenarnya aku suka pada-

mu. Dan melihat sorot kedua matamu, aku yakin 

kau mempunyai perasaan yang sama. Ah, apakah 

kemarahannya padaku karena cemburu melihat 

aku bersama Singa Betina Dari Timur...? Mungkin 

saja begitu. Sayang dia keburu marah sebelum je-

las siapa adanya Singa Betina Dari Timur...," Pen-

dekar 108 lantas teringat pada Singa Betina Dari 

Timur.

"Gadis cantik bernasib tidak baik. Dia tam-

paknya masih terguncang jiwanya karena tewas-

nya saudara seperguruannya. Hmm... apakah dia 

benar-benar kembali ke Bima? Sayang, pertemuan 

itu hanya sebentar. Sebenarnya aku ingin menge-

tahui lebih banyak tentang dia...."

Murid Wong Agung ini terlihat meraba tan-

gannya yang masih tampak memerah karena ben-

trok dengan Sakawuni. Lalu memeriksa kakinya 

yang juga terasa masih kesemutan.

"Untung saat itu muncul Dewi Kayangan.

Jika tidak, aku tak dapat membayangkan apa yang 

akan menimpa Sakawuni. Tak kukira jika pukulan 

'Mutiara Biru' demikian dahsyatnya. Benar kata 

Sahyang Resi Gopala. Aku tidak boleh mengguna-

kannya kecuali saat-saat terdesak.... Dewi Kayan-

gan. Dia seperti hantu saja, begitu muncul, begitu 

saja pergi. Tapi aku harus menemuinya. Mengata-

kan apa yang telah ku alami, karena bagaimana-

pun juga dia telah menolongku mendapatkan Arca 

Dewi Bumi. Tapi ke mana aku mencarinya...? 

Hm.... Aku akan menyusulnya ke Dusun Kepati-

han...."

Pendekar 108 lantas bangkit. Sejenak me-

rapikan pakaiannya lalu melangkah hendak me-

lanjutkan perjalanan menuju Dusun Kepatihan, 

tempat tinggal Dewi Kayangan. Namun baru saja 

melangkah, sayup-sayup terdengar suara orang 

tertawa mengekeh. Mendengar suara tawanya, 

Pendekar Mata Keranjang bisa memastikan jika 

orang itu berada jauh dari tempatnya meski arah 

tujuannya melewati tempat itu.

Pendekar 108 tak ambil peduli. Dia mene-

ruskan langkah dan hendak berkelebat, namun 

betapa terkejutnya murid Wong Agung ini. Suara 

tawa yang tadi sayup-sayup terdengar jauh, kini 

seakan ada di depan telinganya! Dengan menindih 

rasa heran, dia cepat palingkan wajahnya. Sepa-

sang mata Aji kontan mendelik besar. Dahinya 

berkerut malah tanpa sadar kakinya tersurut dua 

tindak ke samping.

Di hadapannya tahu-tahu telah berdiri seo-

rang laki-laki amat tua. Tubuhnya kurus tinggi,

dan telah bungkuk. Sepasang matanya amat besar 

dan masuk ke dalam rongga mata yang amat ce-

kung. Bibirnya tebal dengan alis mata kaku ke de-

pan. Laki-laki tua ini mengenakan jubah besar 

berwarna biru gelap. Di kepalanya tampak sebuah 

caping besar berwarna hitam terbuat dari kulit. 

Bagian atas capingnya dibuat terbuka hingga me-

nampakkan rambutnya yang jarang dan tegak ka-

ku. Namun bukan keangkeran wajah yang mem-

buat Aji terperanjat. Ternyata meski berdiri ter-

bungkuk-bungkuk, laki-laki ini sepasang kakinya 

tidak menginjak tanah!

"Menurut cerita orang-orang tua, ciri hantu 

adalah sepasang kakinya tidak menginjak tanah. 

Apakah yang di hadapanku ini hantu...? Tapi ma-

na ada hantu kelayapan siang-siang begini? 

Hmm.... Ini manusia betulan! Siapa dia...? Tak bi-

sa disangkal, orang tua ini mempunyai ilmu san-

gat tinggi. Suara tawanya tadi dapat kupastikan 

orangnya masih jauh. Namun tahu-tahu sudah be-

rada di sini. Dan dia dapat terus di atas udara 

tanpa pengerahan tenaga dalam!" Pendekar 108 

membatin sambil menduga-duga dan sepasang 

matanya tak kesiap memperhatikan orang tua di 

hadapannya.

Setelah lama memperhatikan dan orang tua 

di hadapannya tidak juga keluarkan suara, malah 

memandang ke jurusan lain, Pendekar Mata Ke-

ranjang 108 beranikan diri angkat bicara.

"Orang tua.... Kalau boleh tahu, adakah kau 

mencari seseorang...?"

Yang ditanya masih terdiam. Bahkan sepa

sang matanya kini mengedari tempat itu seakan 

mencari sesuatu. Pendekar 108 yang berada tak 

jauh darinya malah tidak dipedulikan. Dia seakan 

tak mendengar pertanyaan orang.

"Mungkin pendengarannya agak berku-

rang...," gumam Aji. Lalu ia mengulangi perta-

nyaan dengan suara agak dikeraskan. Namun se-

telah ditunggu sejenak, orang tua itu tidak juga 

buka mulut untuk menjawab. Hanya sepasang 

matanya kini melirik sebentar pada Pendekar 108, 

tapi lantas memandang liar ke jurusan lain.

Pendekar Mata Keranjang geleng-geleng ke-

pala. Kipas miliknya dilipat lalu disimpan ke balik 

pakaiannya. Sejenak dia memandang pada Orang 

tua sambil tarik-tarik kuncir rambutnya.

"Mulutku bisa dower sendiri jika meladeni 

orang kurang pendengaran seperti ini. Lebih baik 

aku meneruskan perjalanan ke tempat Dewi 

Kayangan...." Pendekar 108 balikkan tubuh lalu 

berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun gera-

kannya tertahan tatkala orang tua di belakangnya 

buka suara.

"Anak muda! Aku hendak ke Dusun Kepati-

han. Adakah kau tahu, jalan mana yang harus 

kuambil?"

Mendengar pertanyaan orang tua, Pendekar

108 cepat kembali balikkan tubuhnya. Dahinya 

mengernyit. Sepasang matanya kembali mengawa-

si orang tua di hadapannya dengan dada penuh 

pertanyaan.

"Siapa orang tua ini sebenarnya? Kalau me-

lihat sikapnya, pasti dia seorang tokoh silat. Dan

yang dicari pastilah juga seorang tokoh. Padahal 

Dusun Kepatihan dihuni oleh Dewi Kayangan, seo-

rang tokoh silat. Hmm.... Bukan mustahil Dewi 

Kayangan yang dicarinya. Aku terlebih dahulu ha-

rus mengetahui siapa dia adanya!" lalu Aji ajukan 

pertanyaan. "Kek! Siapa kau...?"

Seperti tidak mendengar pertanyaan orang, 

laki-laki tua ini alihkan pandangannya pada juru-

san lain. Malah sambil tertawa perlahan. Membuat 

Pendekar 108 garuk-garuk tengkuknya yang tidak 

gatal.

"Dia benar-benar tuli atau pura-pura tidak 

mendengar? Kalau melihat ilmunya, mustahil dia 

tidak bisa mendengar pertanyaan orang. Kalau 

aku bicara terlalu keras, dan dia tidak tuli pasti 

dia akan marah besar. Hmm... menghadapi orang 

tua begini bikin sakit perut...," Aji sejenak terlihat 

merenung. Tiba-tiba bibirnya tersenyum. Dari mu-

lutnya lantas terdengar dia berucap. Ucapannya 

sengaja dipelankan.

"Kau pastilah orang tua yang pendengaran-

nya telah berkurang. Aku sebenarnya tahu mana 

arah Dusun Kepatihan. Tapi kau akan kutunjuk-

kan jalan yang salah. Kepadamu akan kutunjuk-

kan jalan menuju tempat gadis-gadis cantik yang 

bisa membawamu melayang-layang di angkasa.... 

Hm...," seraya berkata begitu Pendekar Mata Ke-

ranjang lirikkan matanya pada orang tua di hada-

pannya. Pendekar 108 tersenyum lebar ketika me-

lihat orang tua di hadapannya alihkan pandangan 

ke arahnya dengan mata mendelik dan bibirnya 

yang tebal bergerak-gerak. Namun sebelum orang

tua ini keluarkan suara, Pendekar 108 telah berka-

ta. Kali ini suaranya agak dikeraskan.

"Orang tua.... Kalau kau memang ingin ke 

Dusun Kepatihan, ambillah jalan itu!" seraya ber-

kata Pendekar 108 angkat tangannya dan menun-

juk pada satu jurusan.

Sepasang mata orang tua itu bukannya 

mengikuti arah tangan Aji yang menunjuk. Namun 

sebaliknya memandang Aji dengan mata melotot 

seram. Paras wajahnya yang hanya dibungkus ku-

lit tipis tampak berubah mengelam. Tulang peli-

pisnya bergerak-gerak pertanda dadanya telah di-

rasuki hawa amarah karena merasa akan ditipu 

orang. Karena ternyata memang dia tidak kurang 

pendengarannya, sebab begitu Aji berpaling sete-

lah menunjuk, orang tua ini keluarkan suara ben-

takan garang.

"Kurang ajar! Kau berani hendak menjeru-

muskan aku ke tempat laki-laki iseng. Kalau kau 

tak ingin kutampar, sebutkan siapa dirimu yang 

berani hendak menipuku!"

Murid Wong Agung ini sesaat terkesima 

dengan ucapan orang tua di hadapannya. Namun 

sekejap kemudian bibirnya telah sunggingkan se-

nyum dan berkata.

"Kek! Berarti kau tadi mendengar perta-

nyaanku.... Hanya kau pura-pura kurang penden-

garan. Buktinya kau mendengar jika aku akan 

menunjukkan padamu jalan yang salah, padahal 

aku berkata sangat pelan sekali. Kenapa kau pura-

pura tuli...?"

Meski sambil berkata dan bibir Pendekar

108 tampak tersenyum, namun diam-diam dalam 

hatinya berkata sendiri. "Hmm.... Siapa pun dia 

adanya, yang jelas dia berkepandaian sangat ting-

gi! Ucapanku tadi ku usahakan sangat pelan seka-

li. Namun, dia tetap mendengarnya...."

Orang tua di hadapan Pendekar 108 yang 

bukan lain sebenarnya adalah Manusia Titisan 

Dewa tengadahkan kepala. Dari mulutnya kembali 

terdengar ucapannya.

"Anak muda! Kau telah menipuku. Kalau 

kau tidak segera sebutkan siapa dirimu, maka 

jangan menyesal jika mulutmu mendapat tampa-

ran!"

"Aduh. Kenapa kau sekarang berubah jadi 

pemarah...? Kek! Orang tua jangan lekas naik da-

rah, bisa...."

"Jahanam! Sekali lagi kau berkata bukan 

menjawab pertanyaanku, mulutmu tidak hanya 

kutampar, tapi kuremukkan! Kau dengar?!" sahut 

Manusia Titisan Dewa sebelum Pendekar 108 me-

neruskan kata-katanya.

Pendekar 108 kucek-kucek mata kanannya. 

Lalu berkata menjawab.

"Namaku Aji. Aji Saputra.... Kau sendiri sia-

pa...?!"

Manusia Titisan Dewa angguk-anggukkan 

kepalanya. Namun hanya sesaat. Tak lama kemu-

dian dari mulutnya kembali terdengar bentakan-

nya.

"Aku tak tanya namamu! Yang ku maksud 

gelarmu siapa?!"

"Waduh, bikin sakit perut betulan mengha

dapi orang tua macam ini! Aku tidak akan menga-

takan siapa aku sebenarnya sebelum kuketahui 

siapa dia sebenarnya! Aku harus hati-hati, mung-

kin saja dia salah seorang yang memburu Arca 

Dewi Bumi...," lantas pada orang tua di hadapan-

nya Aji berucap.

"Orang tua. Yang ku punya hanyalah se-

buah nama. Soal gelar, aku tidak memiliki. Hanya 

yang bisa kau tahu, aku adalah seorang pengelana 

jalanan tidak punya arah tujuan. Diajak siapa pun 

mau, apa-lagi gadis cantik. He he he.... Apa kau 

juga demikian? Jika betul, sungguh senang sekali. 

Kita bisa jalan bersama sambil mencari gadis-gadis 

cantik.... Setuju?"

"Hm… Kau berani lagi menipu!" ujar Manu-

sia Titisan Dewa dengan senyum seringai. "Mulut-

mu memang pantas ditampar!" selesai berkata be-

gitu, Manusia Titisan Dewa angkat tangannya.

Pendekar 108 terkejut. Dan sebelum tangan 

orang tua di hadapannya bergerak, dia cepat tarik 

kepalanya ke belakang. Namun gerakan yang di-

duga Aji meleset. Manusia Titisan Dewa bukannya 

gerakkan tangannya yang telah diangkat. Dia ter-

nyata gerakkan kaki kirinya yang ada sejengkal di 

atas tanah dan dilejangkan ke depan.

Weesss!

Serangkum angin dahsyat menderu. Bukan 

hanya itu saja, karena kaki orang ini melejang, ju-

bah birunya ikut tersibak. Anehnya, sibakan ju-

bahnya juga mengeluarkan sambaran angin dah-

syat!

Pendekar 108 melengak. Cepat segera me

lompat mundur sambil geser tubuhnya ke samp-

ing. Sambaran angin yang keluar dari lejangan 

Manusia Titisan Dewa dapat dihindari, namun 

sambaran angin yang keluar dari sibakan jubah-

nya yang tidak diduga sama sekali oleh Pendekar 

Mata Keranjang, tak bisa lagi dielakkan! Dia lang-

sung berkelit dengan lesatkan tubuhnya ke udara, 

namun sambaran jubah Manusia Titisan Dewa 

ternyata laksana baling-baling yang pulang balik 

ke atas ke bawah. Hingga saat tubuh Pendekar 

108 melesat ke udara, mendadak seperti ada yang 

menghantamnya dari atas. Hingga saat itu juga 

tubuh Pendekar Mata Keranjang kembali menukik 

ke bawah! 

Buukkkk!

Tubuh Pendekar 108 tersuruk di atas tanah 

dengan posisi terduduk. Selagi murid Wong Agung 

ini belum lenyap rasa terkejutnya, Manusia Titisan 

Dewa ayunkan tangannya yang sedari tadi terang-

kat. 

Wuuttt!

Tak terdengar suara deruan angin, namun 

saat itu juga Aji merasakan seakan ada kekuatan 

dahsyat tak kelihatan menghantam bahu kanan-

nya. Aji segera buka telapak tangan kirinya dan 

dihantamkan ke samping kanan. Tapi hantaman-

nya hanya menghajar angin. Malah bahunya yang 

terhantam makin kencang berputar karena terdo-

rong oleh gerakan tangan kirinya. Hingga saat itu 

juga mukanya menyusup tanah dengan mulut te-

rantuk gundukan tanah keras!

Manusia Titisan Dewa dongakkan kepala.

Terdengar suara tawanya mengekeh perlahan.

"Kalau kau masih berani menipuku, mu-

lutmu akan kuhancurkan! Jawab siapa gelarmu?!"

Dengan memaki panjang pendek dalam ha-

ti, Aji merambat bangkit. Diusapnya bibirnya yang 

telah berdarah karena terantuk tanah keras. Dia 

sadar bahwa orang tua dihadapannya tidak bisa 

dipandang sebelah mata. Namun karena Aji ingin 

lekas menemui Dewi Kayangan dan tak ingin 

membuat masalah, maka tanpa memandang lagi, 

dia balikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu.

Tapi belum sempat tubuhnya berkelebat, 

Manusia Titisan Dewa telah berteriak garang.

"Jangan kira bisa tinggalkan tempat ini se-

belum jawab pertanyaanku!"

"Tua sialan!" maki Aji pelan. "Apa yang 

membuatmu begitu terangsang ingin tahu gelar-

ku? Bukankah lebih baik melihat gadis-gadis can-

tik yang bisa merangsang mu...? Atau kau mung-

kin bisa terangsang jika orang sebutkan gelar? Hal 

aneh.... Hiii...!" lalu tanpa balikkan tubuh, Aji me-

langkah meninggalkan tempat itu.

Sejenak tak terdengar suara sahutan dari 

belakangnya. Tapi sesaat kemudian, Pendekar 108 

merasakan tubuhnya terangkat ke udara! Murid 

Wong Agung ini cepat berpaling. Dia jadi terperan-

gah kaget. Di belakangnya terlihat Manusia Titisan 

Dewa duduk bersila sejengkal di atas tanah. Kedua 

tangannya lurus ke depan dan membuka. Semen-

tara kedua matanya terpejam setengah membuka. 

Ketika orang tua ini gerakkan tangannya ke atas 

ke bawah, tubuh Pendekar 108 yang berada lima

belas langkah di depannya dan kini terapung di 

udara terlihat ikut bergerak naik turun!

Pendekar 108 merasa jengkel dipermainkan 

orang demikian rupa. Sambil menyumpah habis-

habisan dia kerahkan tenaga dalam untuk menu-

runkan tubuhnya. Perlahan-lahan tubuhnya pun 

bergerak turun. Namun saat itu Manusia Titisan 

Dewa segera tarik tangannya ke bawah dengan de-

rasnya!

Wuttt!

Pendekar 108 terkejut bukan alang kepa-

lang. Karena saat itu kerahkan tenaga untuk tu-

runkan tubuhnya, ditambah dengan kekuatan tak 

terlihat yang mengikuti gerakan tangan Manusia 

Titisan Dewa, membuat tubuh Aji turun dengan 

derasnya. Tak ada kesempatan lagi bagi Pendekar 

108 untuk kembali angkat tubuhnya, hingga tanpa 

bisa dihindarkan lagi tubuhnya melesat dan jatuh 

berkaparan di atas tanah!

"Gila!" umpat Aji seraya meringis dan segera 

bangkit. Dilihatnya orang tua itu telah sedekap 

dengan mata tetap terpejam setengah membuka. 

Tubuhnya masih ada sejengkal di atas tanah, dan 

jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan suara 

menderu-deru tertiup angin.

"Orang tua ini tidak main-main dengan 

ucapannya. Dia seakan ingin membunuhku perla-

han-lahan! Aku tak akan tinggal diam. Mungkin 

saja dia telah tahu siapa diriku, juga jalan menuju 

Dusun Kepatihan. Pertanyaannya tadi hanyalah 

pura-pura untuk memancing masalah!"

Berpikir sampai di situ, Pendekar 108 sege

ra keluarkan seruan lantang.

"Orang tua! Kalau kau tak mau sebutkan 

siapa dirimu, tak apa! Namun apa maumu dengan 

semua ini?! Kita tak kenal dan tak punya silang 

sengketa. Apa kau hanya ingin unjuk kebole-

han...?!"

Manusia Titisan Dewa tertawa bergelak. Kali 

ini suaranya keras meradang. Hingga Pendekar 

108 dapat merasakan getaran pada pijakan ka-

kinya!

"Tak kenal?" ulang Manusia Titisan Dewa. 

"Karena kau bodoh, maka tidak mengenalku. Se-

baliknya aku mengenalmu dan tahu siapa kau se-

benarnya! Bukankah kau manusianya yang berge-

lar Pendekar Mata Keranjang 108? Seorang manu-

sia tengik yang telah membunuh sahabatku Ageng 

Panangkaran...?!"

Aji jadi tersedak mendengar ucapan orang 

tua di hadapannya. Untuk beberapa lama dia ter-

diam dengan kening berkerut.

"Edan! Jadi masalah fitnah ini telah mene-

bar ke mana-mana. Hmm.... Siapa bangsatnya 

yang telah menebar berita celaka ini?"

"Kau memikir sesuatu?!" tegur Manusia Ti-

tisan Dewa dengan tersenyum sinis. "Kau tak usah 

berkelit, semua orang rimba persilatan telah tahu 

itu!"

"Orang tua!" teriak Aji dengan muka merah 

padam. Niatnya untuk meninggalkan tempat itu 

diurungkan. Dia memutuskan untuk mengorek 

siapa penebar berita itu dari mulut orang tua di 

hadapannya.

"Kau telah mengetahui siapa aku sebenar-

nya, lalu kau pura-pura tanya untuk memancing 

masalah. Aku khawatir jangan-jangan ucapanmu 

tadi juga hanya pura-pura saja. Kau sebenarnya 

punya maksud tertentu. Betul...?!"

Manusia Titisan Dewa keluarkan dengusan 

keras. Bersamaan dengan itu serangkum angin 

melesat ke depan. Namun ini bukan merupakan 

serangan. Tapi hal ini telah menambah keyakinan 

Pendekar 108 bahwa manusia di hadapannya be-

nar-benar punya ilmu sangat tinggi. Dengusan na-

pasnya saja mampu menyambarkan serangkum 

angin.

"Pendekar Mata Keranjang! Sengaja aku pu-

ra-pura tanya, untuk menyelidik. Ternyata kau 

memang manusia yang suka menipu! Jadi sangga-

han mu atas tuduhan membunuh Ageng Panang-

karan pasti juga tipuan mulutmu belaka!"

"Orang tua! Hati-hati bicara. Jangan sampai 

anak muda berani karena kau ceroboh keluarkan 

kata-kata!"

"Kau memang pandai bicara! Dan mulutmu 

layak dihajar, bahkan kalau perlu kau harus te-

was! Sebagai orang persilatan, aku malu melihat 

sikapmu!"

"Kau tak perlu malu, Orang, Tua. Karena 

semua itu masih berita! Justru seharusnya kau 

malu pada dirimu sendiri. Kau pura-pura tuli dan 

pura-pura tak tahu siapa aku. Dan hal itu kau 

buat untuk masalah! Kau ternyata mempunyai 

bakat untuk menjadi orang licik!"

Mendengar kata-kata Pendekar Mata Keran

jang, Manusia Titisan Dewa naik pitam. Sepasang 

matanya membuka dan langsung berkilat-kilat 

merah. Tapi kali ini Aji tak mau didahului. Sebe-

lum orang tua itu lancarkan serangan, Pendekar 

108 telah melompat ke arah samping, lalu kedua 

tangannya dihantamkan ke depan.

Sebenarnya murid Wong Agung ini tidak 

mau gegabah turun tangan untuk lakukan seran-

gan. Namun melihat gelagat tidak baik pada uca-

pan orang, Pendekar 108 dapat menduga jika 

orang tua ini mempunyai niat jelek padanya.

Mendapat serangan, Manusia Titisan Dewa 

bukannya segera menangkis atau cepat menghin-

dar. Dia terlihat mengumbar tawa panjang. Bah-

kan ketika rangkuman angin kiriman Pendekar 

108 telah satu depa di hadapannya! Namun ketika 

serangan itu sejengkal lagi menghajar, Manusia Ti-

tisan Dewa takupkan kedua tangannya.

Settt!

Tiba-tiba tubuh Manusia Titisan Dewa ber-

putar dan lenyap! Pukulan Pendekar 108 meng-

hantam tempat kosong. Dan tahu-tahu tubuhnya 

telah berada di atas Pendekar Mata Keranjang!

Wess! Wess! Weesss! Weessss!

Manusia Titisan Dewa sapukan kedua ka-

kinya, sedangkan kedua tangannya pegang tangan 

jubahnya dan disibakkan. Kejap itu juga terdengar 

deruan angin dahsyat empat kali berturut-turut. 

Dua terdengar dari kakinya, dua lagi karena kele-

batan jubahnya.

Dalam situasi demikian akan membahaya-

kan jika bertindak ayal. Apalagi membuat gerakan

menghindar. Sadar akan hal itu, Pendekar Mata 

Keranjang 108 jejakkan kakinya hingga tubuhnya 

melesat ke udara. Di udara dia juga segera sapu-

kan kakinya ke depan, tangannya bergerak men-

dorong. 

Prakk! Praakkk!

Bentrok dua pasang kaki tak dapat dihin-

darkan lagi. Suaranya keras dan mengerikan, ka-

rena keduanya telah alirkan tenaga dalam masing-

masing pada kaki. Namun akibat yang ditimbul-

kannya lebih mengerikan lagi. Karena begitu terja-

di bentrok, tubuh Pendekar 108 terputar balik 

mengikuti mentalan kakinya. Lalu tubuhnya me-

layang dan jatuh terhempas di atas tanah! Suara 

gedebukan tubuhnya tak lama kemudian disusul 

dengan suara erangan dari mulutnya.

Lima tombak di hadapan Pendekar 108, 

Manusia Titisan Dewa terlihat terhuyung-huyung 

sebentar, namun begitu kakinya meliuk hendak ja-

tuh, tiba-tiba orang tua ini tubuhnya terangkat sa-

tu jengkal di atas tanah, hingga meski tubuh orang 

ini pada akhirnya terkapar, tapi berada satu jeng-

kal di atas tanah! Hingga selamatlah dia dari ben-

turan dengan tubuh di bawahnya! Orang tua ini 

segera bergerak bangkit. Dengan kaki terpentang 

kokoh sejengkal di atas tanah, dia segera hantam-

kan kedua tangannya disertai bentakan melengk-

ing.

Wuttt! Wuutttt!

Tak terlihat sambaran angin atau gemuruh 

suara deruan. Namun saat itu juga cuaca menda-

dak berubah redup. Hawa dingin menghampar.

Namun cuma sekejap. Sesaat kemudian cuaca te-

rang-benderang, dan udara dingin berubah panas 

menyengat! Hal ini terjadi silih berganti. Hebatnya 

makin lama udara dingin makin mencekam, se-

mentara udara panas makin menyengat. Bersa-

maan dengan itu, larikan-larikan sinar hitam dan 

putih serta kuning pelangi melesat ke arah Pende-

kar Mata Keranjang 108!

Manusia Titisan Dewa tampaknya telah lan-

carkan jurus sakti 'Menggiring Pelangi Membalik 

Hawa' yang merupakan kesatuan dan pendalaman 

dari jurus 'Menggiring Sinar Menebar Hawa' yang 

diwariskan pada Sakawuni.

"Celaka!" gumam Aji melihat ganas dan he-

batnya serangan yang dilancarkan orang tua di 

hadapannya. Tiba-tiba Pendekar 108 berkerut.

"Serangannya mirip dengan serangan Sa-

kawuni! Apakah...?" Aji tak dapat meneruskan ka-

ta hatinya, karena saat itu tubuhnya telah berke-

ringat panas dingin, akibat tebaran hawa yang di-

lancarkan Manusia Titisan Dewa. Tubuhnya pun 

berguncang karena tanah pijakannya perlahan-

lahan juga bergetar! Dan lebih dari itu semua, si-

nar pelangi telah melabrak ke arahnya!

"Saat kugunakan pukulan 'Mutiara Biru'!"

Pendekar 108 cabut kipas dari balik pa-

kaiannya, kaki kiri ditarik ke belakang. Tangan 

kanannya menebar kipas sementara tangan kiri 

didorong ke depan dengan tenaga dalam penuh!



SEBELAS


Telapak tangan kiri Pendekar Mata Keran-

jang 108 berubah menjadi biru berkilau. Lalu se-

berkas sinar biru berkilau melesat ke depan me-

mapak sinar pelangi. Tak terdengar adanya letu-

pan keras saat sinar biru bertemu dengan sinar 

pelangi. Namun hebatnya, kejap itu juga cuaca be-

rubah menjadi tak karuan. Tebaran panas dan 

dingin lenyap seketika! Keadaan menjadi temaram. 

Padahal matahari bersinar sangat terik! Bersa-

maan dengan itu, tempat itu bergetar hebat! Po-

hon-pohon berderak lalu tumbang. Semak belukar 

tercerabut dan menghambur ke udara! Tanah di 

sana-sini terbongkar keluarkan suara menggidik-

kan. Angin laksana badai menghempas. 

Ketika semuanya sirap, tampak Pendekar 

108 terkapar di atas tanah dengan tubuh basah 

kuyup. Pada sudut bibirnya meleleh cairan kehi-

taman pertanda dia terluka dalam. Kedua tangan-

nya terlihat gemetar hebat, hingga kipas ungunya 

terlepas dan jatuh di samping tubuhnya. Namun 

murid Wong Agung ini tidak mau bertindak gega-

bah. Meski dengan menahan sakit dan nyeri pada 

dada serta kedua tangannya, dia merambat bang-

kit. Kipas yang tergeletak segera dipungutnya. 

Tangan kirinya bergerak mengusap dadanya sa-

lurkan tenaga dalam. Sepasang matanya memejam 

rapat dengan napas dihembuskan panjang dan da-

lam-dalam. Murid dari Karang Langit ini coba pu-

lihkan kembali tenaganya.

Sementara itu, di depannya terlihat Manu-

sia Titisan Dewa juga melintang di atas tanah. 

Namun orang tua ini cepat bangkit duduk. Kedua 

tangannya pun terlihat bergetar. Demikian juga 

tubuhnya. Bibir orang tua ini terlihat menyeringai, 

lalu kepalanya bergerak ke samping dan meludah. 

Ternyata ludahnya telah berwarna kehitaman. Per-

tanda tubuh bagian dalamnya juga cidera. Dia se-

gera pula usap-usap dadanya seraya salurkan te-

naga dalam.

Ternyata, meski kedua orang ini hanya sal-

ing bentrok tenaga dalam lewat hantaman tangan 

masing-masing, namun karena tenaga dalam yang 

mereka keluarkan demikian kuat, hingga meski 

tubuh mereka tak bertemu, namun masing-masing 

orang mengalami luka dalam yang cukup parah!

Beberapa saat berlalu. Kedua orang ini ter-

lihat sama-sama duduk seraya salurkan tenaga 

dalam masing-masing untuk mengatasi cidera pa-

da dada masing-masing. Namun orang tua di ha-

dapan Pendekar 108 terlihat segera bisa kuasai di-

rinya. Meski begitu diam-diam dalam hati Manusia 

Titisan Dewa berucap.

"Seumur-umur baru kali ini aku berhada-

pan dengan anak muda yang mampu menahan se-

ranganku! Tapi kulihat dia terluka cukup parah. 

Ini kesempatan baik. Akan kuhantam dia sekali 

lagi dengan pukulan 'Menggiring Pelangi Membalik 

Hawa'!" Manusia Titisan Dewa lantas takupkan 

kedua tapak tangannya. Lalu dibuka perlahan-

lahan. Dan serta-merta dihantamkan ke arah Pen-

dekar Mata Keranjang 108.

Melihat orang tua kembali kirimkan seran-

gan, Pendekar 108 tampak terkejut. Karena waktu 

itu dia masih kerahkan tenaga dalam untuk men-

gatasi dadanya. Kalau dia menangkis serangan 

dan tubuhnya belum dapat dia kuasai, tak musta-

hil dirinya akan mengalami akibat yang sangat fat-

al. Kalau tidak menangkis, maka dirinya akan 

dengan telak menerima hajaran.

Karena bimbang dengan apa yang hendak 

dilakukannya, maka untuk beberapa saat murid 

Wong Agung ini tampak tercenung.

"Habis riwayatmu, Anak Manusia!" gumam 

Manusia Titisan Dewa dengan bibir sunggingkan 

seringai maut. Apalagi tatkala dilihatnya Pendekar 

Mata Keranjang tak membuat gerakan menangkis 

padahal meski serangannya tak terlihat namun si-

nar pelangi telah satu depa lagi di hadapannya!

Kalau Manusia Titisan Dewa sunggingkan 

senyum pertanda kepuasan, sebaliknya Pendekar 

Mata Keranjang 108 sunggingkan senyum kecut. 

Malah wajahnya tampak pucat pasi, tubuhnya ge-

metar. Dia tak menduga jika lesatan serangan la-

wan demikian cepat, hingga meski kini dia telah 

dapat kuasai tubuhnya, namun keadaannya su-

dah sangat terlambat untuk membuat gerakan 

menangkis atau menghindar! 

"Celaka! Tuntas riwayat hidupku...," gumam 

Aji dengan paras pias.

Pada saat yang mengerikan itu, tiba-tiba 

melesat sesosok bayangan. Aji merasakan ada 

sambaran angin dahsyat menerpa tubuhnya dari 

arah samping yang membuat tubuhnya terpental

dan bergulingan di atas tanah. Namun hal itu te-

lah menyelamatkan tubuhnya dari hantaman se-

rangan Manusia Titisan Dewa.

Serangan Manusia Titisan Dewa terus me-

nerabas dan menghantam sebuah pohon. Pohon 

itu langsung tumbang dan hancur berkeping-

keping. Tanah di sekitar pohon itu terbongkar be-

sar dan tanahnya membumbung ke angkasa me-

nutupi tempat itu. Hingga tempat itu sesaat men-

jadi gelap tertutup hamburan tanah.

Begitu hamburan tanah sirap, sepasang 

mata Manusia Titisan Dewa terlihat liar berkilat-

kilat. Pelipisnya bergerak-gerak dengan dagu te-

rangkat. Tubuhnya terguncang menahan amarah 

yang melanda dadanya melihat ada orang ikut 

campur menyelamatkan jiwa Pendekar 108.

Dan ketika sepasang matanya menangkap 

sesosok manusia di samping Pendekar Mata Ke-

ranjang, dia segera membentak dengan suara lan-

tang.

"Kau ikut masalah ini, berarti kau harus te-

bus dengan nyawamu!"

Sosok yang dibentak bukannya menjawab. 

Malah tertawa cekikikan dan bergerak putar-putar 

seakan sedang menari lalu tiba-tiba 'Bukkk' dia 

duduk menggelosoh di atas tanah!

Dia adalah seorang perempuan tua bertu-

buh gemuk besar. Rambutnya putih dan disanggul 

ke atas. Sepasang matanya besar dan sayu. Bibir-

nya dipoles dengan merah-merah. Dia mengena-

kan anting-anting sebelah sangat besar yang di-

muati beberapa anting-anting kecil.

Pendekar 108 segera bergerak bangkit, dan 

mulutnya ternganga melihat siapa adanya orang 

yang telah menyelamatkannya.

"Dewi Kayangan....," gumam Aji seraya 

usap-usap hidungnya dengan kepala menggeleng 

melihat tingkah perempuan gemuk besar yang bu-

kan lain memang Dewi Kayangan.

Pendekar 108 segera melangkah mendekat. 

Namun belum sampai dia keluarkan kata-kata, 

Manusia Titisan Dewa telah kembali membentak. 

"Kali Nyamat!" kata Manusia Titisan Dewa 

menyebut nama asli Dewi Kayangan. "Kau datang 

pada saat yang tepat. Dan terimalah ajalmu ber-

sama-sama manusia pembunuh itu!"

Dewi Kayangan masih tidak menyahut. Ma-

lah kini berpaling pada Pendekar Mata Keranjang 

dan serta-merta tertawa cekikikan dengan keras!

"Kau dengar manusia yang bergelar Manu-

sia Titisan Dewa telah menentukan ajal seseorang? 

Bukan seseorang, dua orang. Kau dan aku! Heran 

ya.... namanya saja masih manusia, tapi dapat 

menentukan ajal.... Kau sudah siap...?"

Ditanya demikian, Pendekar 108 segera 

menimpali.

"Dikatakan siap ya sudah, dikatakan belum 

ya belum...."

"Wan, omongmu terlalu sukar dicerna. Coba 

terangkan lebih jelas bukankah di sini ada manu-

sia yang bisa menentukan ajal? Kalau dia bisa 

mengerti omongan mu, siapa tahu dia memper-

panjang umur kita...? Untung buatmu, karena kau 

masih bisa melihat gadis-gadis cantik. Hik... hik...

hik...!"

"Aduh, aku tidak bisa lagi menjabarkan 

omongan itu. Hanya saja yang namanya manusia 

pasti dapat mencerna kata-kataku. Kalau tidak bi-

sa... ya mungkin saja orang tolol yang hampir 

mendekati ajal...."

"Husss! Jangan keras-keras bicara soal ajal. 

Di sini ada orang yang bagian mengurusi! Bisa-

bisa nyawamu dicabut!"

"Keparat! Akan kubuktikan bahwa kalian 

memang orang-orang yang pantas menemui ajal!" 

bentak Manusia Titisan Dewa seraya buka telapak 

tangannya dan siap lancarkan serangan.

Di depan Pendekar 108 jongkok dan meme-

gang Dewi Kayangan lalu berbisik.

"Dewi. Siapakah orang tua angker itu?"

"Dialah manusianya yang bergelar Manusia 

Titisan Dewa!"

Pendekar Mata Keranjang terhenyak. Dia 

memang pernah mendengar tokoh silat bergelar 

Manusia Titisan Dewa. Menurut yang didengar, to-

koh ini berilmu tinggi dan jarang muncul. Sikap 

dan jalan pikirannya sukar ditebak.

"Dewi. Apakah dia mempunyai seorang mu-

rid?"

Dewi Kayangan cekikikan, namun di sela-

sela cekikannya dia menjawab.

"Dulu kabarnya dia punya murid. Namun 

muridnya itu akhirnya dibunuh sendiri gara-gara 

menolak perintahnya. Kenapa kau menanyakan 

hal itu?"

Pendekar 108 sejenak terdiam. Lalu setelah

berpikir dia berkata. "Aku melihat jurus yang dipe-

ragakan Sakawuni mirip dengan jurus orang tua 

itu!"

"Sakawuni...? Siapa Sakawuni? Laki apa pe-

rempuan...?!"

Pendekar 108 jadi geleng-geleng kepala 

mendengar pertanyaan Dewi Kayangan. Seraya 

nyengir dia berkata.

"Sakawuni adalah seorang gadis cantik yang 

kau tolong beberapa saat yang lalu dari serangan-

ku! Kau ingat? Dia mengenakan baju coklat berga-

ris-garis, rambutnya segini...!" kata Pendekar 108 

sambil gerakkan tangan kanannya diletakkan di 

punggung. 

"Hmm...," Dewi Kayangan manggut-

manggut hingga terdengar gemerincing anting-

antingnya. "Berat dugaan gadismu itu memang te-

lah berguru pada tua bangka itu. Sekarang kau ta-

ruh di mana gadismu itu?"

Meski dalam hati menggerendeng habis-

habisan karena menyamakan Sakawuni dengan 

barang yang bisa ditaruh namun murid Wong 

Agung ini gelengkan juga kepalanya memberi isya-

rat bahwa dia tak tahu di mana Sakawuni.

Saat kedua orang ini sedang berbisik-bisik, 

tiba-tiba Manusia Titisan Dewa telah hantamkan 

kedua tangannya.

Seberkas sinar pelangi melesat ke arah Dewi 

Kayangan dan Pendekar 108 tanpa keluarkan sua-

ra. Namun karena dadanya bagian dalam telah ci-

dera akibat bentrok pukulan dengan Pendekar 

108, maka lesatan sinar pelangi itu telah tidak seganas tadi. Bahkan hamparan hawa panas dan 

dingin yang menyertai sinar itu tidak lagi begitu 

menyengat dan mencekam.

Dewi Kayangan segera tarik tangan Pende-

kar Mata Keranjang. Kedua orang ini saling bergu-

lingan di atas tanah. Begitu gulingan Dewi Kayan-

gan terhenti, perempuan ini cepat tekankan kedua 

sikunya ke atas tanah. Settt! Tubuhnya membum-

bung dan lenyap di udara. Sementara Pendekar 

108 langsung bangkit dan memperhatikan. Sebe-

narnya dia ingin juga lancarkan serangan balasan, 

namun ketika Dewi Kayangan dilihatnya bergerak, 

dia urungkan niat. Dia merasa tidak layak untuk 

mengeroyok.

Di depan, tiba-tiba sosok Dewi Kayangan 

muncul dan tahu-tahu telah tegak dua langkah di 

samping Manusia Titisan Dewa. Kakek ini bukan 

main terkejutnya. Namun dia segera tersadar. Ser-

ta-merta kedua tangannya dihantamkan sekaligus 

ke samping.

Namun karena gerakannya telah lamban, 

maka sebelum kedua tangannya menghantam, 

Dewi Kayangan telah angkat kedua tangannya dan 

didorongkan ke samping ke arah Manusia Titisan 

Dewa yang sedang hendak lepaskan pukulan. 

Desss!

Manusia Titisan Dewa terpekik. Sosoknya 

terpelanting sampai lima tombak ke samping dan 

jatuh bergelimpangan di atas tanah tak jauh dari 

tempat Pendekar 108 berdiri.

Terbungkuk-bungkuk Manusia Titisan De-

wa bergerak bangkit. Ketika dia memeriksa bahunya yang terasa nyeri dan panas, sepasang ma-

tanya membelalak besar. Jubah birunya bagian 

bahu terlihat robek besar dan hangus! Bahkan ku-

lit di bahunya terlihat berubah menjadi hitam le-

gam!

"Jahanam keparat!" maki Manusia Titisan 

Dewa sambil pejamkan matanya kerahkan tenaga 

dalam untuk menahan rasa panas yang mulai 

menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Kalau saja aku tidak dalam keadaan cide-

ra, akan kubuat tanggal kepalanya! Hm.... Untuk 

sementara masalah ini harus ku tunda. Terlalu 

bodoh jika aku melawan...."

Di seberang, Dewi Kayangan keluarkan ce-

kikikan panjang dan keras. Lalu tengadahkan ke-

pala dan berucap.

"Manusia Titisan Dewa! Kalau kau masih 

berdiri saja, jangan menyesal jika aku mewakili 

malaikat pencabut nyawa untuk menanggalkan 

nyawamu! Meski sang malaikat tidak memerintah-

ku! Hik... hik... hik...!"

"Bangsat!" teriak Manusia Titisan Dewa 

dengan amarah yang meluap. Dia sebenarnya in-

gin mengadu jiwa. Namun karena sadar keadaan-

nya terluka, maka tak mungkin dia melakukan-

nya. Tapi kemarahannya tidak bisa ditahan lagi. 

Dan rasa marahnya ditumpahkan pada Pendekar 

108 yang berdiri tak jauh darinya.

Tangan kanan kakek ini lantas digerakkan 

kirimkan serangan pada Pendekar Mata Keran-

jang.

Karena tidak menyangka, Aji terlihat terpe

rangah kaget. Hingga dia diam saja seakan terke-

sima.

Pada saat itulah sebuah bayangan berkele-

bat. Bersamaan dengan itu terdengar deruan angin 

dahsyat. Pukulan jarak jauh Manusia Titisan Dewa 

terlabrak dan terdengarlah letupan dahsyat.

Pendekar 108 terpental dan jatuh terduduk. 

Sedang Manusia Titisan Dewa tersurut hingga tiga 

langkah ke belakang. Sepasang mata kakek ini 

menyengat tajam. Dia menduga bahwa Dewi 

Kayangan telah menyelamatkan Pendekar 108, 

namun dugaan orang tua ini meleset.

Sama halnya dengan Manusia Titisan Dewa, 

Pendekar 108 pun menyangka bahwa Dewi Kayan-

gan-lah yang menyelamatkannya. Namun murid 

Wong Agung jadi terbeliak tatkala mengetahui sia-

pa adanya orang yang menangkis serangan Manu-

sia Titisan Dewa.

Di seberang Dewi Kayangan makin keras 

dengan cekikikannya.



DUA BELAS



Di situ, tak jauh dari tempat Manusia Titi-

san Dewa tampak berdiri seorang gadis muda ber-

paras cantik mengenakan pakaian warna coklat 

bergaris-garis.

"Sakawuni!" seru Pendekar Mata Keranjang 

108 mengenali siapa adanya si gadis. Dahi murid 

Wong Agung ini mengernyit. Dalam hati diam-diam 

dia berucap.


"Heran. Bukankah sesaat yang lalu dia 

menginginkan nyawaku? Namun kenapa tiba-tiba 

menyelamatkanku...? Atau hal ini dilakukan kare-

na dia ingin membunuhku dengan tangannya sen-

diri...?"

Selagi Aji tercenung dengan menduga-duga, 

Manusia Titisan Dewa terlihat melotot angker begi-

tu mengetahui siapa adanya si gadis. Dengan sua-

ra keras dia membentak.

"Sakawuni! Sadarkah kau dengan kela-

kuahmu? Atau kau telah melupakan sumpah-

mu?!" 

Gadis muda berparas cantik yang memang 

bukan lain adalah Sakawuni tak segera menyahut 

ucapan Manusia Titisan Dewa yang bukan lain 

adalah gurunya sendiri. Dalam hati gadis ini dige-

layuti beberapa perasaan. Dia sendiri heran, kena-

pa hatinya masih juga tak tega melihat Pendekar 

108 tewas.

"Keparat! Kenapa aku masih juga tak tega 

padanya?! Apakah karena aku masih mengha-

rapkan dirinya?! Hmm.... Tidak! aku tak akan 

mengharap orang yang merenggut nyawa guruku! 

Tapi.... Kenapa dia masih menyangkal dengan per-

buatannya? Hm.., ini perlu waktu untuk menyeli-

dikinya! Dan aku ingin dia roboh di tanganku sen-

diri jika perbuatannya terbukti!" setelah berpikir 

sejenak, dia berpaling pada gurunya. Lalu melang-

kah mendekat dan berkata.

"Guru! Aku sengaja memperpanjang umur-

nya, karena aku mengadu jiwa dengan. Dan aku 

ingin agar keparat itu tewas dengan tanganku

sendiri!"

Mulut Manusia Titisan Dewa komat-kamit. 

Tubuhnya gemeletar menahan marah mendengar 

jawaban muridnya. Kepalanya berpaling pada ju-

rusan lain.

"Murid Keparat! Seandainya tak disela-

matkannya, pendekar itu pasti sudah tumbang! 

Hm.... Alasan yang diucapkannya mungkin men-

gada-ada! Namun yang sebenarnya dia masih 

mencintai pemuda itu! Jahanam!"

Berpikir sampai di situ, hawa amarah Ma-

nusia Titisan Dewa tak dapat dibendung lagi. Ke-

palanya bergerak kembali dan kini lurus mengha-

dap Sakawuni.

"Murid Jahanam!" kata Manusia Titisan 

Dewa setengah berteriak. "Kau layak dapat huku-

man atas ulahmu!"

Kaki Manusia Titisan Dewa tiba-tiba berke-

lebat menyambar. 

Deesss!

Karena jaraknya dekat, hingga tak ada ke-

sempatan bagi Sakawuni untuk bergerak meng-

hindar dan menangkis terjangan kaki yang meng-

hajar dadanya. Gadis ini terjengkang ke belakang 

sampai lima tombak dan jatuh bergelimpangan di 

atas tanah. Sesaat tubuhnya tampak bergerak-

gerak bahkan kepalanya terlihat terangkat lalu 

muntahkan darah kehitaman. Pertanda tubuh ba-

gian dalamnya terluka parah.

"Sakawuni!" teriak Pendekar 108 sambil 

berkelebat mendatangi. Dipegangnya bahu gadis 

itu, lalu tubuhnya ditolong untuk bangkit. Namun

mungkin karena terluka agak parah, sepasang ma-

ta gadis ini tampak meredup lalu memejam seraya 

keluarkan erangan tertahan. Tak lama kemudian 

kepalanya lunglai di pangkuan Pendekar 108. Ga-

dis ini pingsan.

"Tua bangka jahanam!" teriak Aji lalu arah-

kan pandangannya pada Manusia Titisan Dewa. 

Namun murid Wong Agung ini terperangah. Manu-

sia Titisan Dewa telah tidak ada lagi di tempatnya! 

"Dewi! Ke mana larinya bangsat itu?" teriak 

Pendekar 108 pada Dewi Kayangan yang melang-

kah terbungkuk-bungkuk ke arahnya.

"Mana aku tahu! Lagi pula apa enaknya 

ngurusi ke mana perginya orang? Bukankah lebih 

baik menolong gadismu itu...? Bukankah dia yang 

kau ceritakan tadi. Hik... hik... hik...! Pucuk dicin-

ta, ulam dibikin sate.... Enak memang!"

"Dewi. Jangan terus-terusan bercanda. To-

long aku menyelamatkan jiwa gadis ini!"

"Dasar anak geblek! Kalau ada susahnya te-

riak-teriak minta tolong, tapi kalau lagi mesra-

mesraan menyinggung nama pun tidak! Hik... 

hik... hik...! Jadi orang tua memang selalu berna-

sib jelek. Tidak seperti gadismu itu. Dia enak-

enakan diam, kamu yang pontang-panting seperti 

cacing kedinginan!"

Pendekar Mata Keranjang 108 menyumpah 

habis-habisan dalam hati demi mendengar kata-

kata Dewi Kayangan. Dan dadanya makin jengkel 

tatkala dilihatnya Dewi Kayangan bukannya me-

langkah cepat, namun justru melenggak-lenggok 

laksana orang sedang menari. Malah seraya melenggak-lenggok dan mulutnya yang dipoles merah 

menyala tak putus-putusnya memperdengarkan 

suara tawa cekikikan!

Namun tiba-tiba saja suara cekikikannya 

lenyap. Aji yang telah alihkan pandangan pada Sa-

kawuni segera angkat kepalanya. Dia terkejut, ka-

rena Dewi Kayangan tidak terlihat batang hidung-

nya.

"Sialan! Ke mana dia...?!"

Selagi Aji mencari-cari bahunya terasa dite-

puk orang. Secepat kilat Aji menoleh. Hatinya lega, 

Dewi Kayangan ternyata telah ada di belakangnya.

"Masukkan ini ke mulutnya!" kata Dewi 

Kayangan seraya ulurkan tangannya memberikan 

dua butiran kecil berwarna merah. Tanpa pikir 

panjang lagi Pendekar 108 segera memungut dan 

memasukkannya pada mulut Sakawuni.

"Aji.... Setelah urusan gadis-gadis ini sele-

sai, kau cepat temui aku! Dan satu hal lagi, ba-

gaimana kalau gelarmu diganti saja! Gelar Pende-

kar Mata Keranjang 108 terlalu mendatangkan 

masalah bagimu! Hik... hik... hik...!"

"Gadis-gadis...?" gumam Pendekar 108 

mengulangi ucapan Dewi Kayangan. "Dewi.... Di 

sini hanya ada satu gadis. Dan apa maksudmu 

dengan mendatangkan banyak masalah...?!" kata 

Aji seraya palingkan wajahnya ke samping. Namun 

betapa terkejutnya murid Wong Agung ini, Dewi 

Kayangan ternyata telah tidak ada di sampingnya. 

Hanya sayup-sayup terdengar ucapannya di sela 

tawa cekikikan.

"Lihatlah jauh ke samping kiri… Hik... hik...

hik!"

Pendekar 106 teruskan putaran kepalanya 

menuruti ucapan Dewi Kayangan. Tiba-tiba Aji 

merasa terhenyak. Sepasang matanya menyipit 

dan membeliak.

Jauh di samping kiri Aji tegak berdiri seo-

rang gadis cantik mengenakan pakaian warna hi-

jau tipis. Sepasang mata gadis ini memandang lu-

rus ke arah Aji yang sedang memangku kepala Sa-

kawuni.

"Singa Betina Dari Timur...!" seru Pendekar 

108 dengan suara tercekat di tenggorokan. "Dia 

nyatanya belum kembali ke Bima...," Pendekar 108 

lalu lambaikan tangannya memberi isyarat agar si 

gadis mendekati

Namun yang dilambai segera balikkan tu-

buh dan berkelebat meninggalkan tempat. Pende-

kar Mata Keranjang 108 menarik napas dalam-

dalam. Kepalanya menggeleng pelan. 

"Gadis baik, bernasib belum baik...." 

Perlahan-lahan diangkatnya tubuh Saka-

wuni ke dalam rengkuhannya. Pendekar 108 lalu 

melangkah mencari tempat yang bisa digunakan untuk istirahat.



                              SELESAI



Segera menyusul:

TEMBANG MAUT ALAM KEMATIAN





















Share:

Blog Archive