..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 14 Juli 2024

WIRO SABLENG EPISODE HANTU MUKA DUA

Hantu Muka Dua



SATU

KURA-KURA raksasa itu tengah melayang pesat ke 

arah utara dan siap menukik menuju satu kawasan di 

mana terletak sebuah goa disebut Goa Pualam 

Lamerah. Mendadak binatang ini keluarkan suara 

menguik keras. Di bawah sana, dari kelebatan rimba 

belantara tiba-tiba melesat satu cahaya putih. Kalau 

saja penunggangnya tidak cepat bertindak, menarik 

kepala kura-kura ke belakang niscaya kepala binatang 

itu akan hancur!

 "Ada pembokong jahat di dalam rimba!" kata si

penunggang kura-kura raksasa dengan rahang meng-

gembung dan mata melotot tak berkesip. Dia adalah

seorang gadis berparas cantik, rambut digulung di

atas kepala, mengenakan pakaian berwarna Jingga.

Gadis ini rundukkan kepalanya lalu berbisik pada

binatang tunggangannya. "Laecoklat, lekas kau me-

layang turun ke arah timur lalu berballk dan terbang

ke jurusan datangnya cahaya serangan tadi...."

 Seolah mengerti kura-kura raksasa bernama Lae-

coklat itu kepakkan sayapnya demikian rupa hingga

tubuhnya berputar ke arah timur. Di satu tempat kura-

kura terbang ini berbalik dan melesat ke bawah. Men-

jelang mendekati kawasan dari arah mana tadi ada

cahaya putih menyambar, gadis cll atas kura-kura

angkat tangan kanannya. "Aku mau tahu siapa yang

kurang ajar berani mencari perkara!" Lalu gadis ini

pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar Jingga meng-

gebubu. Di bawah sana kelihatan daun-daun dan ran-

ting pepohonan amblas bermentalan. Sebelum daun-

daun itu luruh ke tanah, kura-kura raksasa telah men-

darat di satu tempat. Gadis di atasnya dengan cepat

melompat turun lalu menyelinap sebat di antara pe-

pohonan. Belum jauh bergerak, si gadis hentikan

larinya. Mukanya merah mengetam pertanda geram.

Dua tangannya dikepal. Dari mulutnya serta merta

keluar suara bentakan.

 "Memang sudah kuduga!! Kau rupanya biang racun-

nya! Tapi sungguh tidak kusangka! Bangsa Peri itu 

ternyata makhluk pengecut yang tega mencelakai

orang dengan jalan membokong!"

 Orang yang dibentak tertawa tawar. Sesaat dia usap 

kepala angsa raksasa di atas mana dia berada lalu 

melompat turun. Sambil rangkapkan dua tangannya 

yang bagus di atas dada, orang ini, yang adalah

seorang gadis cantik bermata biru berkata dengan

suara datar tenang-tenang saja.

 "Gadis genit dan pongah Luhjelita! Wahai! Tak ada 

yang berlaku pengecut, tak ada yang berniat mem-

bokong! Kalau memang ada niat mencelakai pukulan 

sakti sinar putihku tadi pasti tak akan meleset!"

 Mendengar ucapan orang, dara berpakaian Jingga

jadi tambah penasaran. "Peri Angsa Putih! Katakan apa 

maumu?! Apa tamparanku beberapa waktu lalu masih 

kurang nyaman dan kau minta digebuk sekali lagi?!" 

(Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng sebelum-

nya berjudul Hantu Tangan Empat antara Luhjelita dan 

Peri Angsa Putih telah terjadi bentrokan cukup hebat 

Luhjelita kemudian membawa Wiro dengan kura-kura 

terbangnya, meninggalkan Peri Angsa Putih dengan 

perasaan dendam penasaran. Dapat dimengerti 

kalau kini sang Peri menghadangnya di kawasan rimba 

belantara itu).

 Peri Angsa Putih tertawa panjang. "Luhjelita, aku

mencegatmu di tempat ini untuk menanyakan sesuatu.

Kemana kau bawa pemuda asing bernama Wiro Sa-

bleng itu. Apa yang telah kau lakukan terhadapnya!"

 "Astaga! Jadi hati serta pikiranmu rupanya masih

belum lepas dari mengingat pemuda satu itu!" Luhjelita

geleng-gelengkan kepalanya. "Bukankah sudah jelas-

jelas kukatakan dia tidak menaruh hati padamu! Bukti-

nya dia mau ikut bersamaku dan kau ditinggal begitu

saja! Sungguh aku tidak mengerti. Lelaki itu suamimu

bukan, kekasih juga bukan! Mengapa merepotkan diri

mencarinya?!"

 Merah padam paras Peri Angsa Putih mendengar

ucapan Luhjelita. Rasanya ingin dia melabrak gadis

itu saat itu juga. "Luhjelita, jika pemuda itu ikut bersama-

mu apa kau mengira dia suka padamu? Kau memang 

pandai merayu, kau menjual kecantikanmu dengan 

bedak genit dan bujuk rayu. Selain itu kau juga mem-

pergunakan ilmu kepandaianmu secara keji, memaksa-

nya ikut bersamamu! Setelah itu pasti kau melakukan 

perbuatan tidak senonoh terhadapnya!"

 Luhjelita tertawa sambil sepasang alisnya dinaikkan 

ke atas dan hidungnya dipencongkan. "Cemburu! Kau 

tidak dapat menyembunyikan rasa cemburumu wahai 

Peri Angsa Putih. Padahal pemuda itu bukan suami 

bukan kekasihmu! Hik... hik... hik! Sungguh malang 

nasibmu wahai Peri Angsa Putih. Tak mendapatkan 

cinta di atas langit sana, sampai-sampai keleleran ke 

Negeri Latanahsilam!"

 "Gadis bejat berhati busuk! Dulu kukira hanya kaum 

lelaki di negerimu saja yang mendapat julukan hidung

belang! Ternyata para gadisnya juga pantas mendapat 

julukan itu! Satu di antaranya adalah kau! Semua lelaki 

kau anggap bisa jatuh berlutut di hadapanmu! Satu 

hari kelak kau bakal kena batunya! Huh! Tak layak 

bagiku bicara lebih lama dengan manusia rendah 

sepertimu!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih 

balikkan tubuhnya, melangkah menuju ke Laeputih, 

angsa raksasa tunggangannya.

 "Peri sinting! Kau yang mencari pangkal sengketa me-

mancingku di rimba ini! Kalau pelajaranku tempo hari 

belum cukup biar kuberi pelajaran sekali lagi agar

mulutmu tidak lancang! Aku mau lihat apa kau masih

bisa bicara lancang menghina jika mukamu sudah

kurobah menjadi muka setan!"

 Sosok Luhjelita tiba-tiba melesat ke arah Peri Angsa 

Putih. Sepuluh jari tangannya yang memiliki kuku-kuku 

cukup panjang menyambar ke depan. Dari ujung-ujung 

kuku itu menderu kepulan asap berwarna Jingga! Yang 

diserang adalah wajah sang Peri!

 "Sepuluh Kuku Iblis Menggurat Langiti" seru Peri Angsa 

Putih kaget. Dia tahu betul keganasan ilmu yang diper-

gunakan Luhjelita untuk menyerangnya itu. Jangankan 

muka orang, batu keras sekalipun bisa hancur terkena 

cakaran sepuluh kuku itu!

 Sambil berseru keras Peri Angsa Putih cepat menying-

kir selamatkan wajahnya. Bersamaan dengan itu dari 

sepasang matanya menyembur dua larik sinar biru! Kini 

Luhjelita yang terkejut terkesiap dan buru-buru bersurut 

sambil tarik pulang serangannya.

 "Wusss! Wusss!"

 Dua larik sinar biru memapas satu jengkal di atas jari-

jari Luhjelita Walau dia berhasil selamatkan dua tangan-

nya namun tak urung Luhjelita jadi terhuyung-huyung 

karena kuda-kuda sepasang kakinya sempat goyah. 

Selagi dia berusaha mengimbangi diri Peri Angsa Putih 

memburu dan tangan kanannya berkelebat sangat 

cepat.

 "Gadis binal tukang rayu! Aku kembalikan hadiah

yang pernah kau berikan tempo hari!" Peri Angsa Putih

berseru keras. Lalu "plaaakk!" Satu tamparan keras

mendarat di pipi kanan Luhjelita. Gadis ini terpekik dan 

jatuh terduduk di tanah! Darah berlelehan dari sudut 

bibirnya yang pecah. Pemandangannya sesaat ber-

kunang-kunang. Tiba-tiba didahului suara menggem-

bor Luhjelita melompat bangkit. Dua kakinya 

dikembangkan dan sedikit menekuk. Mulutnya komat-

kamit sementara tangan kanannya yang diangkat ke

atas diputar ke kanan. Angin sedahsyat puting beliung

dan memancarkan sinar merah menderu keluar dari

telapak tangan Luhjelita, membuat Peri Angsa Putih

tersentak kaget.

 "Pukulan Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak 

Bumi" teriak Peri Angsa Putih. "Dari mana kau dapatkan 

ilmu itu kalau bukan dari Hantu Muka Dua!"

 "Dari mana aku dapatkan boleh kau tanyakan pada

setan di neraka langit ke tujuh!" jawab Luhjelita lalu

tertawa bergelak.

 Peri Angsa Putih palangkan dua lengannya didepan 

dada. Sepasang matanya memandang tak berkesip. 

Begitu dia anggukkan kepala dari tangan yang ber-

silang menyambar keluar satu gelombang sinar biru, 

menghantam laksana air bah memapasi sinar merah 

serangan Luhjelita! Inilah ilmu kesaktian bernama 

Membalik Langit Menggulung Bumi, merupakan satu 

ilmu langka yang dimiliki para Peri dan jarang sekali 

dikeluarkan kalau tidakdalam keadaan terdesak.

 Seperti diketahui ilmu pukulan Mengelupas Puncak 

Langit Mengeruk Kerak Bumi yang dilancarkan Luhjelita 

adalah satu ilmu ganas yang bisa membuat musuh 

menemui ajal dengan sekujur tubuh terkelupas hingga 

tinggal tulang belulang. Di lain pihak ilmu Membalik 

Langit Menggulung Bumi yang dilancarkan Peri Angsa 

Putih memiliki kehebatan yang sanggup menggulung 

setiap serangan lawan yang datang lalu membalikkan-

nya pada si penyerang. Jika hal itu sampai terjadi maka 

Luhjelita akan mengalami nasib "senjata makan tuan" 

yakni menemui ajal oleh ilmu kesaktiannya sendiri. Kini 

yang menentukan ialah tingkat kekuatan tenaga 

dalam masing-masing. Jika tenaga dalam Luhjelita 

lebih hebat maka Peri Angsa Putih akan menemui ajal 

secara mengerikan. Sebaliknya jika tenaga dalam sang

Peri berada di atas lawan maka Luhjelita akan 

menemui nasib mengenaskan!

 Dalam keadaan sangat menegangkan begitu rupa

tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat disertai ben-

takan menggelegar menggetarkan seantero rimba be-

lantara.

 "Dua perawan tolol! Kawin saja belum! Mengapa

nekad mencari mati?!"

 "Wussss!"

 Satu sinar putih panas dan menyilaukan berkiblat di 

antara sinar pukulan sakti Luhjelita dan Peri Angsa Putih. 

Dua gadis itu sama-sama terpekik dan terpental.

Luhjelita menyangsrang di antara semak belukar. Leleh-

an darah di mulutnya tampak bertambah banyak.

Kakinya terkangkang demikian rupa hingga auratnya

terpampang tak karuan rupa. Peri Angsa Putih terguling 

di tanah. Dada pakaiannya tersingkap robek! badanya

mendenyut sakit. Untuk beberapa lamanya ke dua 

gadis ini tak bisa bergerak, saling melotot lalu sama-

sama berpaling ke satu arah di mana saat itu tampak 

seorang pemuda berambut gondrong terduduk 

menyeringai di tanah sambil garuk-garuk kepala.

*

* *


DUA


SEPASANG mata Luhjelita dan Peri Angsa Putih sama-

sama terbuka lebar. Sementara itu dari atas hancuran 

rerantingan dan daun-daun pepohonan dalam keada-

an hangus melayang jatuh menutupi bahu serta badan 

orang yang mereka pandangi.

 "Pendekar 212..." desis Peri Angsa Putih.

 "Wiro Sableng..." desah Luhjelita. Dalam hati gadis 

satu ini membatin agak gelisah. "Dia muncul disini. 

Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang terjadi di tepi 

sungai kecil tempo hari...."

 Pemuda yang jatuh terduduk di tanah itu memang

Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Saat itu dadanya

mendenyut sakit dan jalan darahnya tidak teratur aki-

bat bentrokan dengan kekuatan tenaga dalam dua

gadis berkepandaian tinggi itu. Dia masih menjelepok

di tanah seperti orang kesakitan. Padahal saat itu

sebenarnya diam-diam matanya jelalatan melihat pe-

mandangan yang tak mungkin terhindarkan. Luhjelita

masih melesak terkangkang di dalam semak belukar.

Lalu di sebelah sana Peri Angsa Putih terguling dengan

dada terbuka.

 Sang Peri sadar terlebih dulu. Dia segera rapatkan

pakaiannya yang robek lalu berdiri. Luhjelita melompat

keluar dari semak belukar lalu membenahi pakaiannya

yang tersingkap awut-awutan di sebelah bawah. Dua

gadis cantik ini sama-sama memaklumi, kalau Wiro

tidak muncul menengahi adu kekuatan tenaga dalam

mereka, salah satu dari mereka saat itu pasti menemui

ajal dan yang lainnya terluka hebat!

 "Pemandangan asyik. Gila.... Putih amat! Tapi sayang 

singkat sekali..." kata sang pendekar konyol sambil 

tersenyum lalu bangkit berdiri tak lupa garuk-garuk 

kepala.

 "Kalian berdua," ujar Wiro. "Pasal lantaran apa maka 

hendak saling berbunuhan?"

 Luhjelita yang cerdik dan pandai merayu segera

berbuat sesuatu mendahului Peri Angsa Putih. Dia

melangkah mendekati Wiro dan pegang lengan sang

pendekar lalu bertanya, "Wiro, kau.... Kau tak apa-apa?

Maafkan diriku. Aku...."

 Mendapat Periakuan semesra itu tentu saja hati

Pendekar 212 menjadi lebih menaruh perhatian pada

Luhjelita. Namun karena tidak mau terpengaruh begitu

saja Wiro mengulangi ucapannya tadi.

"Aku bertanya. Kalian masih tidak mau menceritakan 

silang sengketa apa yang ada di antara kalian?"

 Peri Angsa Putih geleng-gelengkan kepala. Dia

hendak menjawab namun lagi-lagi didahului oleh Luh-

jelita. "Kau tahu sifatku wahai Wiro. Tak mungkin aku

mencari lantai terjungkal membuat silang sengketa.

Kalau tidak karena sangat terpaksa, bagiku sangat

tidak layak melayani Peri dari langit ke tujuh ini.

Kejadian di tepi telaga tempo hari, rupanya dia me-

naruh dendam lalu menghadangku di rimba belantara

Ini. Bahkan sempat hendak membunuhku dengan cara

membokong. Wahai, kalau saja tadi kau tidak muncul

dan menolong kami dengan pukulan saktimu, niscaya

peri jahat ini sudah kubuat melayang rohnya ke langit

di atas sana!"

 "Wiro, jangan percaya ucapannya!" kata Peri Angsa 

Putih setengah berteriak. "Walau hatiku memang sakit 

menerima Perlakuannya namun tidak ada niat untuk 

membunuhnya, apa lagi secara membokong! Aku 

hanya ingin memberi peringatan pada gadis ini agar 

dia tidak bicara, bertingkah dan berbuat sembarang-

an! Ternyata sampai saat ini dia masih saja pandai 

bermanis mulut padahal diam-diam dia menebar bisa 

kejahatan di mana-mana!"

 Luhjelita tertawa. "Mudah-mudahan pemuda sa-

habatku ini mau percaya akan apa yang kau ucapkan.

Wahai, mengapa tidak kau katakan sekalian padanya

bahwa kau tengah mencari-cari dirinya? Padahal se-

perti yang aku katakan padamu, dia bukan suami

bukan pula kekasihmu!"

 Wiro jadi heran mendengar kata-kata Luhjelita itu.

Dilihatnya wajah Peri Angsa Putih menjadi merah.

Sebenarnya dia punya banyak pertanyaan pada dua

orang gadis itu tapi karena mereka saling berperang

mulut pendekar kita hanya bisa garuk-garuk kepala.

 "Dia memang bukan kekasih juga bukan suamiku!" 

Peri Angsa Putih menyahuti ucapan Luhjelita.

"Apapun hubunganku dengan dirinya bukan urusanmu! 

Aku tidak menyembunyikan sesuatu. Sebaliknya kau 

membekal niat buruk dalam hatimu. Bukankah kau 

sebenarnya kaki tangan Hantu Muka Dua?"

 Luhjelita mendengus. "Lagi-lagi kau menyebut Hantu 

Muka Dua. Peri Angsa Putih, sungguh pandai kau 

bermain kata memutar lidah. Bukankah kau yang

punya maksud jahat terhadap pemuda ini? Aku tahu

semua tentang bunga mawar kuning yang hanyut di

sungai kecil di satu bukit. Kalau bukan lindungan dari

Para Dewa, sahabatku ini pasti sudah menemui ajal

secara mengenaskan."

Kening Pendekar 212 jadi mengerenyit. Kata-kata

Luhjelita itu mengingatkan Wiro pada kejadian be-

berapa waktu lalu. Dia segera bertanya. "Luhjelita, apa

yang kau ketahui tentang bunga mawar kuning bera-

cun itu?"

 Luhjelita mencibir ke arah Peri Angsa Putih. "Tanyakan 

saja padanya. Dia yang punya pekerjaan! Tapi aku 

yakin dia akan menyangkal dengan seribu cara...."

 Wiro berpaling pada Peri Angsa Putih. Setelah

menatap wajah cantik berwarna biru itu sesaat dia

lantas berkata. "Peri Angsa Putih, kita cukup lama

bersahabat Aku telah menanam budi padamu. Banyak

pertolonganmu yang belum dapat aku balas. Seka-

rang, apakah kau mau mengatakan perihal mawar

kuning beracun yang hampir mencelakai diriku itu?"

 "Wiro, aku tidak tahu menahu perihal yang kau

tanyakan itu. Bunga mawar kuning Aku tidak me-

ngerti...."

 Luhjelita tertawa. Sambil kembali memegang lengan 

Pendekar 212 dia berkata. "Kau lihat dan dengar sendiri 

wahai Wiro. Bagaimana liciknya Peri ini. Masih bisa 

berpura-pura pada saat perbuatan kejinya sudah

ketahuan!"

 "Gadis bermulut busuk berhati culas! Perbuatan keji 

apa yang telah aku lakukan terhadap dirinya?!" kata 

Peri Angsa Putih hampir berteriak saking geramnya.

 "Jika kau mau mendengar akan kubuka kedok

kejahatanmu!" kata Luhjelita pula sambil mengerling

dan tersenyum pada Wiro. Namun sebelum gadis ini

meneruskan ucapannya Wiro mengangkat tangan dan

cepat berkata. "Luhjelita, biar aku yang menjelaskan

padanya." Lalu Wiro memandang pada Peri Angsa

Putih. Sambil bicara dia memperhatikan sepasang

mata biru si gadis untuk menjajagi apakah benar Peri

cantik ini tidak tahu menahu perihal bunga mawar

kuning yang hampir merenggut jiwanya itu.

 "Tak lama setelah aku meninggalkanmu, aku sampai 

di sebuah bukit Di situ ada telaga dan aliran sungai

kecil. Ketika berada di tepi sungai kulihat sekuntum

bunga mawar berwarna kuning dihanyutkan arus 

sungai. Karena belum pernah melihat bunga mawar

berwarna kuning, apa lagi bentuknya indah sekali,

Ininya Itu kuambil. Ketika bunga kudekatkan ke hidung

dan kucium, mendadak aku tidak sadarkan diri. Ketika

siuman ternyata ada seorang kakek aneh berkepan-

daian tinggi menolongku.... Menurut si kakek, bunga

mawar kuning itu hanya tumbuh di lapisan langit ke

tujuh dan merupakan bunga tanaman atau peliharaan

bangsa Peri. Mendengar penjelasan itu aku menaruh

syak wasangka bahwa ada seseorang yang bermaksud 

meracunku dengan bunga itu. Lalu karena bunga itu 

hanya tumbuh di negeri Para Peri, aku jadi... hemmm..." 

Wiro tidak teruskan ucapannya. Dia garuk-garuk kepala 

dan tersenyum namun tetap mengawasi air muka 

terutama dua mata Peri Angsa Putih. (Mengenai bunga 

mawar kuning yang hampir mencelakai Pendekar 212 

harap baca serial sebelumnya berjudul Hantu Tangan 

Empat)

 "Wahai.... Aku tahu terusan ucapanmu Wiro. Karena 

bunga mawar kuning itu hanya tumbuh di negeri kami 

kecurigaanmu tentu jatuh pada kami bangsa Peri...."

 "Dan karena saat itu kau satu-satunya Peri yang

berada di Negeri Latanahsilam maka jelas kaulah

pelakunya. Bukankah begitu wahai sahabatku Pende-

kar 212 Wiro Sableng?" ujar Luhjelita pula memojokkan 

Peri Angsa Putih hingga sang Peri menjadi merah

padam wajahnya. Sambil bicara Luhjelita kembali me-

megang lengan murid Sinto Gendeng.

 Setelah menenangkan hatinya yang bergejolak

marah Peri Angsa Putih berucap. Seperti Wiro tadi dia

pun bicara dengan memandang tajam ke mata sang

pendekar. Pertanda bahwa dia tidak bergeming untuk

menyatakan kebenaran apa yang diucapkannya.

 "Wiro, kalau aku boleh bertanya. Ketika kau me-

ninggalkan diriku, dengan siapakah kau pergi dan

kemanakah kau menuju?"

 "Wiro, hati-hati dengan pertanyaannya! Dia pasti

bersilat lidah memutarbalik kenyataan!" Luhjelita lang-

sung menimpali ucapan Peri Angsa Putih.

 Peri Angsa Putih tetap mengarahkan pandangannya 

ke mata Wiro. Dengan tenang dia berkata. "Aku bicara 

padamu wahai sahabatku Wiro. Bukan dengan gadis 

itu. Jangan pegangannya pada lenganmu membuat 

hatimu menjadi luluh dan otakmu menjadi tumpul!

Kebenaran tidak akan terkubur dengan rayuan se-

mesra apapun!"

 Wiro garuk-garuk kepala, memandang pada Luh-

jelita. Dia hendak menarik tangannya tapi pegangan

Luhjelita justru tambah kuat sementara senyum dan

kerling matanya tambah memikat "Wiro..." kata Luh-

jelita setengah berbisik. "Tidak ada gunanya bicara

dengan Peri jahat ini. Ayo kita pergi saja dari sini "

 "Wahai! Kau yang membuka pangkal cerita berbisa. 

Ketika bisa itu hendak berbalik menerkam dirimu kau 

buru-buru hendak tinggalkan tempat ini. Kau merasa 

takut kini Luhjelita?"

 "Peri busuk! Siapa takutkan dirimu!" bentak Luhjelita 

dengan mata membelalang.

Peri Angsa Putih tersenyum. "Kau memang gadis

pemberani. Terutama pada lelaki. Kau memang tidak

takut padaku. Tapi kau takut kalau kedokmu terbuka

sendiri!"

 "Hai! Bagaimana ini!" ujar Wiro. Dia memandang

pada dua gadis itu berganti-ganti.

 "Jangan bingung sendiri wahai pemuda asing," ujar 

Peri Angsa Putih pula. "Jawab saja pertanyaanku tadi. 

Nanti kau akan tahu apa yang sebenarnya terjadi...."

 "Tak sulit bagiku untuk menjawab!" kata murid Slnto 

Gendeng pula.

 "Kalau begitu jawablah. Dengan siapa kau pergi,

kemana kau menuju?" Peri Angsa Putih mengulangi

pertanyaannya.

 "Kau tahu sendiri karena kau juga melihat. Hemmm..." 

Wiro garuk-garuk kepalanya dan memandang pada 

Luhjelita. Si gadis ini kembali layangkan senyum manja 

dan mesra seraya berbisik. "Kita pergi saja sekarang 

juga Wiro...."

 "Aku pergi dengan dia..." kata Wiro pada Peri Angsa 

Putih.

 "Kau pergi dengan gadis itu. Pergi kemana Wiro? Kau 

tentu bisa dan mau mengatakan," kata Peri Angsa

Putih pula seolah menuntun.

 "Waktu itu dia mengajakku pergi ke Goa Pualam

Lamerah. Namun aku menolak dan akhirnya kami pergi

ke sebuah bukit. Di situ ada telaga serta anak sungai

yang kusebutkan...."

 "Wahai, ingatanmu sangat jernih sekali Wiro. Jadi

yang ada di tempat itu adalah kau dengan dia. 

Apakah aku juga ada di tempat itu?"

 Pendekar kita gelengkan kepala.

 "Berarti hanya kau dan dia yang berada di tempat

itu. Jika kemudian ada bunga mawar kuning dihanyut-

kan air sungai, apakah mungkin aku yang menghanyut-

kannya padahal aku tidak ada di sana?"

 "Mungkin saja kau muncul secara diam-diam.

Dengan kepandaianmu kau bisa saja melakukan hal

itu!" menukas Luhjelita.

 "Kau tidak tuli wahai Luhjelita. Pemuda itu mengata-

kan di situ hanya ada kau dan dia..." kata Peri Angsa 

Putih.

 "Pada saat kejadian itu, aku tidak lagi bersama-

sama denganmu Wiro. Bukankah saat itu aku pergi

mandi di telaga dan kau entah berada di mana! Kalau

aku berniat jahat, mengapa tidak aku lakukan pada

saat kau bersamaku?!"

 "Luhjelita, kau memang betul. Aku tidak mengikutimu 

sampai di telaga..." kata Wiro pula.

"Berarti pada saat antara aku pergi dan kau berada

sendiri di tepi sungai kecil, Peri ini muncul dan mem-

buang bunga mawar beracun itu ke dalam aliran 

sungai karena dia tahu kau ada di tepi sungai, pasti kau 

akanmelihat bunga itu dan mengambilnya"

 "Wiro," kata Peri Angsa Putih masih dengan segala 

ketenangan, "Bunga mawar kuning itu katamu

dihanyutkan arus sungai kecil. Apakah kau tahu dari

mana atau di sebelah mana anak sungai itu berasal?"

 "Kalau aku tidak salah dari telaga di lereng bukit..."

 "Wahai, kau menjawab jujur dan polos. Lalu siapakah 

yang mandi saat itu di telaga di lereng bukit itu?"

 Wiro terdiam tapi kemudian segera berpaling me-

mandang ke arah Luhjelita. Di saat yang sama Luhjelita

berteriak keras dan melompat ke arah Peri Angsa

Putih. "Dasar Peri jahat! Kau putarbalikkan kenyataan!

Kau yang melakukan kebusukan malah kini menuduh

diriku!" Tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan,

melancarkan satu jotosan keras ke arah dada Peri

Angsa Putih.

 "Luhjelita! Siapa yang tidak kenal dirimu! Kau

menebar bujuk rayu cinta di mana-mana. Tapi diam-

diam kau membekal maksud busuk dalam hatimu!"

balas berteriak Peri Angsa Putih. Dengan sebat dia

hantamkan pula tangan kanannya ke depan.

 "Bukkk!"

 Dua lengan saling beradu keras. Dua gadis sama-

sama terpekik dan mundur dua langkah. Peri Angsa

Putih pegangi lengan kanannya yang tampak 

bengkak.

Luhjelita terbungkuk-bungkuk menahan sakit. Di sela

bibirnya terlihat darah mengucur pertanda dia meng-

alami luka dalam yang cukup berbahaya. Sambil terus

melangkah mundur Luhjelita memandang penuh 

geram pada Peri Angsa Putih.

 " Peri jahat! Kalau saat ini aku terpaksa pergi bukan

karena aku takut! Jangan mengira kau telah mengalah-

kan aku! Lain waktu kalau bertemu aku akan meng-

hajarmu habis-habisan! Jangan harap kau bisa meng-

injakkan kaki lagi di Tanahsilam ini!"

 "Luhjelita! Tunggu! Kau mau kemana?!" berseru Wiro.

 "Wiro, mari sama-sama kita tinggalkan tempat ini.

Jangan kau sampai terpengaruh dan tertipu oleh Peri

jahat itu!"

 "Harap maafkan aku Luhjelita. Kali ini aku tak bisa

memenuhi permintaanmu. Justru aku ingin kau tetap

berada di sini agar masalah yang kita bicarakan bisa

menjadi jelas "

 Luhjelita kelihatan sangat kecewa.

"Tak apa.... Aku tahu kau mencurigai diriku. Kau

telah termakan ucapan Peri jahat itu. Kuharap satu

waktu kau akan sadar. Di balik wajahnya yang cantik

itu ada maksud busuk yang akan mencelakai dirimu.

Di balik sinar matanya yang biru bagus itu ada kobaran

api yang akan membakarmu...." Dengan wajah sedih

Luhjelita memutar tubuhnya. Ketika dia hendak me-

langkah pergi tiba-tiba ada dua sosok bayangan ber-

kelebat. Luhjelita tampak kaget. Peri Angsa Putih tak

kalah kejutnya tapi masih mampu berlaku tenang.

Sebaliknya Pendekar 212 tegak terheran-heran.

 "Luhjelita, kau memang harus segera meninggal-

kan tempat ini!" Tiba-tiba salah seorang yang barusan

berkelebat muncul berkata. "Hantu Muka Dua sudah

sejak lama mencarimu!"

 Luhjelita pandangi orang yang bicara padanya itu

sesaat lalu berkata. "Kemana aku mau pergi adalah

urusanku sendiri...."

 "Wahai! Aku khawatir Hantu Muka Dua tak sedap

makan tak nyenyak tidur karena sudah lama tidak

melihatmu. Jangan tunggu sampai dia jatuh sakit..."

 "Memangnya aku ada hubungan apa dengan Han-

tu Muka Dua?!" hardik Luhjelita. Gadis ini keluarkan

suara mendengus lalu berkelebat pergi dari tempat

Itu.

 "Wahai, galak amat dara satu itu. Pantas Hantu

Muka Dua suka padanya. Hik... hik... hik!"

 Orang yang barusan bicara pada Luhjelita kini

berpaling ke arah Peri Angsa Putih lalu tertawa ber-

golak. "Sahabat-sahabatku, tidak sangka Peri yang

hendak kita bunuh ini cantik sekali wajahnya. Kulitnya

sehalus sutera. Putih dan mulus. Senyumnya semanis

madu. Ha... ha... ha...! Kalau kalian berdua setuju biar

kuperpanjang sedikit umurnya agar aku bisa berse-

nang-senang! Aku tidak takut kutukan Para Peri! Ha...

ha... ha!" Orang ini ulurkan lidahnya berulang kali.

 Salah satu teman yang diajak bicara menjawabi.

"Dalam usia setua dan dosa karatan sekujur tubuh, aku 

tidak menampik menambah sedikit dosa. Apakah kau 

mau berbagi kesenangan denganku wahai sahabat?"

 Orang-orang yang barusan muncul itu lalu sama-

sama tertawa bergelak.

*

* *

TIGA

ORANG yang berdiri paling dekat di hadapan Wiro 

dan Peri Angsa Putih saat itu adalah seorang kakek 

berkepala botak berwarna hitam. Hidungnya luar biasa 

besar hampir menutupi sebagian mukanya yang 

keriput.

 Orang ke dua juga seorang kakek, bertubuh kurus

kering berambut seperti ijuk. Matanya cuma satu, yang

satu lagi yakni yang sebelah kanan terkatup picak dan

sengaja dipoles dengan cat warna merah. Yang he-

batnya, kakek ini tegak sambil mendukung seorang

kakek lain di atas bahunya. Kakek ini juga memiliki

rambut seperti ijuk tapi putih semua.

 Sambil duduk di bahu, si kakek tidak hentinya meniup 

sebuah seruling yang ujungnya ditancapi sebuah 

tengkorak. Suara tiupan seruling itu sember tak karuan. 

Tapi si kakek tampak begitu asyik dan dia seperti tidak 

peduli tengah berada di mana, tidak acuh keadaan 

sekitarnya. Hidungnya kembang kempis dan pipinya 

terkempot-kempot. Setiap dia meniup, dari mulut, 

hidung, dua telinga dan sepasang mata tengkorak 

mengepul asap hitam!

 Wiro dekati Peri Angsa Putih dan berbisik. "Dari

omongan mereka aku menduga keras mereka adalah

kaki tangan Hantu Muka Dua. Apa kau kenal siapa-

siapa mereka ini?"

 Belum sempat Peri Angsa Putih menjawab, kakek

yang kepalanya botak hitam membuka mulut. "Sobat-

ku mata picak, apakah pemuda ini yang menurut 

pesan Hantu Muka Dua harus kita pesiangi dan kuras 

darahnya lewat ubun-ubun di kepalanya yang 

gondrong?!"

 Yang ditanya kedap-kedipkan mata kirinya bebe-

rapa kali baru menjawab. "Wahai! Dari potongan tubuh

dan ciri-cirinya memang tak salah!"

 Mendengar ucapan orang murid Sinto Gendeng

maklum kalau kakek-kakek itu jelas membawa niat

yang tidak baik terhadapnya. Dia memandang pada

kakek picak lalu kedap-kedipkan matanya meniru.

Kemudian sambil sunggingkan seringai mengejek dia

berkata. "Matamu cuma satu, apa kau tidak keliru

melihat bahwa aku orang yang dimaksudkan Hantu

Muka Dua?!"

 "Kau pandai melucu!" menyahuti kakek mata picak. 

"Setelah urusan kami dengan Peri Angsa Putih selesai,

kau akan kukirim ke tempat setan neraka melawak!"

 "Wah! Hebat sekali! Baru kali ini aku tahu kalau di 

neraka sana ada tempat khusus untuk para setan

melawak! Apa kau pernah mampir atau mungkin sudah

melihat sendiri?!" Murid Sinto Gendeng lalu tertawa

gelak-gelak.

 "Manusia tidak waras! Biar kubunuh kau sekarang

Juga!" bentak kakek picak marah. Namun kakek botak

kepala hitam cepat memberi isyarat.

 "Sobatku, jangan kesusu. Jangan merusak suasana. 

Biarkan aku bersuka-suka lebih dulu dengan Peri cantik 

jelita ini!" Lalu si kakek langsung saja mendekati Peri 

Angsa Putih sambil senyum-senyum dan kedip-kedipkan 

mata sementara kakek yang berada di atas bahu si 

picak terus saja meniup suling tengkoraknya. Asap 

hitam membumbung ke udara.

 Pendekar 212 cepat menghadang. "Kakek hidung

cendawan, tunggu dulu! Jelas kau dan dua kawanmu

Ini adalah kaki tangan Hantu Muka Dua! Heran, di usia

sudah bau tanah begini rupa mengapa kalian masih

saja mau berbuat jahat mencelakai orang lain?!"

 "Hik... hik...! Sahabatku Lahidungbesar! Dengar

pemuda itu! Enak saja kau disebutnya kakek hidung

cendawan! Hik... hik... hik! Lucu memang tapi apa kau

tidak jadi jengkel? Lekas katakan padanya kita bukan

mau berbuat jahat! Tapi justru mencari pahala! Hik...

hik... hik!" Yang bicara adalah kakek mata picak si

pendukung kakek yang asyik meniup suling tengkorak.

 Kakek yang dipanggil dengan nama Lahidung-

besar tertawa panjang. "Anak muda, kami membunuh-

mu bukan berarti berlaku jahat berbuat dosa. Tapi

justru mencari pahala! Menurut Hantu Muka Dua kau

telah membunuh seorang anak buahnya bernama

Hantu Api Biru. Gara-gara kau dia juga kehilangan

seorang pembantu utama bernama Si Pelawak Sinting.

Apa tidak pantas kalau Hantu Muka Dua memerintah-

kan kami membalas dendam mencabut nyawamu,

menguras darahmu lewat ubun-ubun. Kabarnya konon

darahmu dan dua temanmu mujarab untuk menjadi

peredam senjata hingga mampu menjadi senjata sakti

mandraguna!"

 "Ha... ha... ha!" Kakek mata picak tertawa. Lalu

membentak. "Sekarang agar kawanku Si Lahidung-

besar memberi sedikit pengampunan dan mencabut

nyawamu secara enak, lekas kau beri tahu di mana

dua kawanmu berada!"

 "Makhluk-makhluk geblek!" maki Wiro. "Aku sudah 

bersumpah untuk membunuh Hantu Muka Dua! Karena 

kalian kaki tangannya ada baiknya kalian kutumpas

lebih dulu!"

 "Wahai sombongnya!" kata kakek mata picak.

 "Hai! Kau majulah! Biar kuremas hidung cendawanmu 

sampai hancur!" Mengejek Wiro. Membuat Lahidung-

besar keluarkan suara menggeram marah.

 Peri Angsa Putih mendekati Wiro dan cepat berbisik. 

"Jangan kau anggap enteng ke tiga kakek itu. Yang 

barusan kau tantang memiliki kepandaian hampir

setingkat kakekku Hantu Tangan Empat "

 "Apa?" ujar Pendekar 212 terkesiap kaget.

 "Si botak itu sangat tinggi ilmunya. Kakek yang

picak itu bernama Lapicakkanan. Ilmunya sulit dijajagi.

Tapi yang sangat berbahaya adalah kakek berambut

putih yang didukung di atas bahunya. Asap hitam dari

suling tengkoraknya jika sampai masuk ke dalam tubuh 

bisa membuat aliran darah menjadi beku! Kakek satu ini 

setahuku bernama Lasulingmaut."

 "Siapa takutkan mereka!" kata Wiro pula walau dia 

jadi garuk-garuk kepala dan tengkuknya mendadak

menjadi dingin.

 "Ikuti aku, melompat ke atas angsa putih. Kita harus 

cepat-cepat tinggalkan tempat ini sebelum terlambat!"

 Mendengar bisikan Peri Angsa Putih, Wiro menjadi 

bimbang. Tapi akhirnya dia menjawab. "Kalau kau mau 

pergi silakan saja. Aku tetap di sini menghadapi tiga 

kakek sambal itu!"

 "Wahai.... Bagaimana ini?!" Peri Angsa Putih jadi

bingung. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap berada

di situ.'

 "Hai, kenapa tidak pergi!" Wiro menegur sementara 

Lahidungbesar dengan menyeringai telah bergerak 

mendekati Peri Angsa Putih. Sambil melangkah dia 

berkata. "Lapicakkanan, kau bereskan si gondrong Ini. 

Aku akan meringkus Peri cantik ini. Kalau berhasil kau 

pasti akan mendapat bagian!"

 Lapicakkanan tertawa bergelak lalu basahi bibirnya 

berulang kali sedang mata kirinya dikedipkan tiada

henti. Di atas bahunya kakek yang bernama Lasuling-

maut terus saja meniup sulingnya. Kelihatannya tam-

bah asyik karena matanya sampai terpejam-pejam.

 Tiba-tiba Lahidungbesar menyergap ke depan.

Tangan kanannya menyambar ke arah Peri Angsa

Putih. Gerakannya seperti orang hendak menotok. Ini

adalah aneh karena setahu Wiro tidak satu orangpun

di Negeri Latanahsilam memiliki ilmu menotok. Dengan 

cepat Wiro menghadang gerakan si kakek. Dia berhasil 

menelikung pinggang orang.

 Sementara itu tanpa ada yang mengetahui, di atas

sebuah pohon besar berdaun rimbun hingga sulit

terlihat dari bawah, mendekam seorang berpakaian

rumput kering warna hitam. Orang ini sulit dilihat wajah

aslinya karena seluruh mukanya dilumuri dengan sejenis 

tanah liat. Lalu tanah liat ini masih dilapisi pula dengan 

sejenis jelaga berwarna hitam. Walau siang bolong 

begitu sosoknya tidak beda dengan sosok hantu. Entah 

sejak kapan dia berada di atas pohon itu. Yang jelas 

orang ini merasa sangat cemas menyaksikan apa yang 

terjadi di bawah sana.

 "Peri Angsa Putih, ilmunya tinggi. Mungkin tidak sulit 

baginya menghadapi kakek berhidung besar itu.

Namun jika dikeroyok tiga dan kalau sampai kakek di

atas dukungan turun tangan, wahai aku khawatir dia

bisa kelabakan. Bahkan bakal cidera berat. Lalu pe-

muda asing berambut gondrong itu. Sampai di mana

kehebatannya? Berdua dengan Peri Angsa Putih apa

mungkin mereka menghadapi tiga kakek sakti kaki

tangan Hantu Muka Dua? Aku ingin sekali menolong-

nya tetapi firasat menyuruh aku harus menunggu dulu

sampai aku tahu siapa adanya sosok yang sembunyi

di balik sayap angsa putih di sebelah sana. Tapi apakah

aku bisa menunggu, kalau sampai salah satu dari dua

orang itu mendapat celaka berarti hidupku tambah

tidak tenteram! Wahai mengapa nasibku jadi begini.

Sementara orang yang kucari masih belum juga ku-

temukan" Orang di atas pohon mendadak berkaca-

kaca ke dua matanya. Dia cepat pergunakan tangan

untuk mengusap mata lalu tetapkan hati. Sambil mem-

perhatikan apa yang terjadi di bawah pohon sesekali

dia mengerling memperhatikan sosok Laeputih, yakni

angsa putih raksasa milik Peri Angsa Putih. Ada siapa

sebenarnya di bawah salah satu sayap angsa raksasa

ini?

 Sesaat setelah orang bermuka hitam mendekam

di atas pohon, secara tak sengaja dia melihat sepasang

kaki putih muncul di balik sayap sebelah kiri angsa

putih. Dari bentuk sepasang kaki itu dia bisa menduga

itu adalah kaki milik seorang perempuan. Lebih dari

itu dia tak bisa menerka namun mendadak saja dada-

nya berdebar. Kalau saja dia bisa melihat raut wajah

perempuan yang sembunyi di balik sayap angsa itu.

 "Anehnya, setahuku angsa putih itu galak terhadap 

siapa saja yang bukan tuannya. Tapi mengapa orang 

itu bisa enak-enakan sembunyi di bawah sayapnya 

tanpa si angsa menjadi marah...?" Orang di atas pohon 

kembali memperhatikan pergumulan antara Wiro 

dengan Lahidungbesar.

 Begitu berhasil mencekal pinggang lawannya,

dengan mempergunakan jurus Kincir Padi Berputar

Wiro angkat tubuh si kakek, siap untuk dibantingkan

ke tanah. Tapi alangkah kagetnya murid Eyang Sinto

Gendeng ketika mendadak dirasakannya sosok kepala

botak hitam berhidung besar itu laksana seberat gu-

nung! Dia tidak mampu mengangkatnya!

 Penasaran Wiro kerahkan tenaga luar dalam dan

mencoba sekali lagi. Keringat sebesar-besar jagung

bercucuran di keningnya.

 "Kerahkan seluruh tenagamu anak muda! Keluarkan 

semua ilmu kesaktian yang kau miliki! Asal jangan kau 

keluarkan isi perutmu! Ha... ha... ha!" mengejek

Lahidungbesar.

 "Sialan, sebentar lagi kubanting kau sampai remuk!" 

kata Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga habis-

habisan. Sosok Lahidungbesar terangkat tapi cuma 

setengah jengkal. Dan saat itu dari tubuh sebelah

bawah murid Sinto Gendeng tiba-tiba saja keluar angin

yang bersuara nyaring.

 "Bruuuttt!"

 "Brengsek! Mengapa aku sampai kentut!" Wiro

memaki diri sendiri.

 Lapicakkanan tertawa mengekeh.

 "Bangsat kurang ajar!" Lahidungbesar meludah dan 

memaki karena angin yang keluar dari bagian bawah si 

pemuda menyambar hidungnya dan baunya

membuat dia mau muntah. Tiba-tiba kakek ini mem-

buat gerakan aneh. Tahu-tahu kini Wirolah yang di-

cekalnya, ditarik ke atas bahu lalu "braakk!" Pendekar

212 dibantingnya ke tanah!

* *

EMPAT

UNTUK sesaat lamanya pemandangan Wiro jadi 

berkunang-kunang. Tulang punggung serasa hancur. 

Selagi dia tidak berdaya seperti itu tiba-tiba Lapicak-

kanan melompat dan hunjamkan kaki kanannya ke 

dada Wiro!

 "Amblas dadamu! Hancur jantungmu!" teriak La-

hidungbesar.

 Sesaat lagi kaki kanan Lahidungbesar benar-benar 

akan menghancur remuk tubuh Pendekar212 Wiro

Sableng, tiba-tiba sebuah benda panjang berwarna

biru yang menebar bau harum laksana seekor ular

besar melesat antara telapak kaki Lahidungbesar dan

permukaan dada murid Sinto Gendeng.

 "Dessss!"

 Lahidungbesar laksana menginjak lapisan karet

yang kenyal. Kakinya terpental ke atas. Tubuhnya ikut

melambung setinggi dua tombak. Ketika dia turun

kembali dilihatnya Wiro telah berguling selamatkan

diri dan sesaat kemudian tegak memasang kuda-kuda

siap menghadapinya.

 Dengan geram Lahidungbesar berpaling ke kiri.

DI situ dilihatnya Peri Angsa Putih tegak sambil me-

megang selendang sutera biru. Selendang inilah tadi

yang dipergunakan sang Peri untuk menyelamatkan

Wiro.

 "Wahai! Peri Angsa Putih menolong pemuda asing.

Ck... ck... ck...." Lahidungbesar decakkan lidahnya 

berulang-ulang. "Kalau tak ada hubungan apa-apa

antara kalian berdua pasti kau tidak akan bertindak

seperti itu wahai Peri Angsa Putih. Hemmm... aku

membaur hal yang tidak enak. Lapicakkanan, lekas

kau bunuh pemuda itu. Aku akan meringkus Peri

bermata biru itu hidup-hidup!"

 "Botak hitam hidung besar! Kalau kau berani

mendekati Peri Angsa Putih kupanggang tubuhmu

saat ini juga!" Wiro membentak sambil Periahan-lahan

tangan kanannya diangkat.

 Lahidungbesar tertawa bergelak. "Barusan kau

hampir mampus di tanganku! Selamatkan diri saja

belum mampu bagaimana kau bersombong diri hen-

dak menolong Peri ini?!" Walau tertawa dan meng-

anggap enteng Pendekar 212 namun diam-diam La-

hidungbesar merasa kaget ketika memperhatikan ba-

gaimana tangan kanan pemuda berambut gondrong

di hadapannya tiba-tiba bergetar dan berubah

menjadiputih menyilaukan seolah terbungkus seduhan 

perak!

 Lahidungbesar bukan seorang penakut atau mudah 

menjadi kecut. Namun karena ingin cepat-cepat

menguasai Peri Angsa Putih maka dia memilih berlaku

cerdik.

 "Lapicakkanan!" seru Lahidungbesar pada kakek

yang mendukung LasulingmauL "Aku tak begitu ber-

nafsu menghadapi si gondrong itu! Aku lebih bernafsu

menghadapi Peri Angsa Putih!" Habis berkata begitu

tanpa tunggu lebih lama si hidung cendawan itu me-

lesat ke hadapan Peri Angsa Putih. Seperti tadi tangan

kanannya bergerak seolah hendak menotok. Peri Ang-

sa Putih mundur dua langkah lalu kebutkan selendang

sutera di tangan kanannya.

 "Wutttt!"

 Sinar biru bertabur di udara. Laksana sebuah jala

besar siap melibas sosok Lahidungbesar. Tapi si hidung 

besar ini tertawa bergelak. Begitu selendang sutera biru 

menyambar dia sengaja susupkan diri, masuk ke dalam 

selubungan selendang. Selanjutnya dia membuat 

gerakan bergulung ke arah lawan.

 Peri Angsa Putih berseru kaget ketika tahu-tahu

lawan telah berada hanya satu langkah di hadapan-

nya. Dengan cepat gadis ini hantamkan tangan 

kanannya ke batok kepala Lahidungbesar. Ini adalah 

satu serangan dahsyat yang jika mengenai sasaran 

akan membuat rengkahnya batok kepala. Namun 

gerakan Peri Angsa Putih masih kalah cepat dengan 

gerakan tangan kanan Lahidungbesar. Begitu tangan 

kanan kakek botak itu menyambar di depan lehernya, 

Peri Angsa Putih merasakan ada satu sambaran angin 

yang menusuk urat besar di tenggorokannya. 

Selendang biru di tangan kirinya terlepas jatuh. 

Lehernya seperti dicekik. Tubuhnya serta meria menjadi 

lemas. Sang Peri cepat kerahkan tenaga dalam serta 

alirkan darah ke lehertapi sia-sia saja. Diatakmampu 

membebaskan diri dari kekuatan yang menguasai 

dirinya.

 Di atas pohon, orang yang mukanya dilumuri tanah 

liat hitam mendesah penuh kaget. "Wahai! Ternyata 

Lahidungbesar benar-benar telah memiliki Ilmu Menjirat 

Urati. Aku harus cepat menolong Peri itu!" Orang ini 

segera hendak melayang turun. Namun hentikan 

gerakannya ketika tiba-tiba di bawah sana dilihatnya 

pemuda berambut gondrong melompat mendekati 

Lahidungbesar yang telah memanggul tubuh Peri 

Angsa Putih di bahu kirinya.

 "Hidung besar hidung belang! Turunkan gadis itu!

Kalau tidak kutambus tubuhmu saat ini juga!"

 Lahidungbesar tertawa mengejek. "Kau mau me-

nembus tubuhku! Silakan saja! Wahai sungguh senang 

mati berdua sambil memeluk gadis jelita ini!" Meski 

kelihatannya menganggap enteng lawan namun

diam-diam kakek kepala botak berhidung besar ini

merasa was-was juga ketika melihat bagaimana 

tangan kanan Wiro berubah menjadi putih menyilaukan 

seperti seduhan perak tertimpa sinar matahari. Maka

cepat dia berkata pada Lapicakkanan. "Kau hadapi si

gondrong itu! Aku akan membawa Peri ini ke Istana

Kebahagiaan. Kutunggu kau di sana...."

 "Pergi saja cepat! Pemuda otak miring ini biar aku

dan Lasulingmaut yang membereskan!" menjawab

Lapicakkanan.

 Lahidungbesar cepat berkelebat namun gerakan-

nya tertahan karena di hadapannya telah mengha-

dang Pendekar 212.

 "Tua bangka jahanam berhidung besar! Kau mem-

buat aku nekad!" Habis membentak murid Sinto Gen-

deng langsung saja hantamkan tangan kanannya.

 Sinar putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas

menerpa Seantero tempat. Beberapa mulut keluarkan

teriakan kaget.

 Orang di atas pohon tersentak!

 "Pemuda gila! Walaupun dia berhasil membunuh

kakek itu, apa dia tidak sadar pukulannya juga akan

menghabisi Peri Angsa Putih?!" Orang di atas pohon

serta merta melompat turun sambil tangan kanannya

dipukulkan ke bawah. Namun lagi-lagi gerakannya

tertahan karena tiba-tiba kakek yang ada di atas du-

kungan Lapicakkanan dan sejak tadi asyik terus me-

niup suling tengkoraknya, mendadak cabut suling

tengkoraknya lalu disapukan ke bawah! Asap hitam

menggebubu keluar dari setiap lobang yang ada di

tengkorak, menyambar dahsyat menghantam cahaya

putih panas pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan

Pendekar 212 Wiro Sableng!

 "Blaaarrr! Blaaar! Blaaarr!"

 Letupan keras disertai pancaran bunga api terang

benderang menggema tiga kali berturut-turut. Wiro

terpental dan bergulingan di tanah. Mulutnya terasa

asin. Ketika dia meludah, ludahnya kelihatan merah

bercampur darah pertanda ada bagian tubuhnya 

yang terluka di sebelah dalam. Dia ingat ucapan Peri 

Angsa Putih. Yaitu bahwa asap hitam yang keluar dari 

dalam tengkorak yang menancap di seruling 

Lasulingmaut sanggup membuat darah lawan menjadi 

beku. Wiro segera bangkit, gerakkan tangan dan

kakinya. Dia merasa lega karena walau di dalam ada 

luka tapi lebih dari itu keadaannya tidak kurang suatu 

apa. Namun murid Eyang Sinto Gendeng ini melengak 

kaget ketika dilihatnya kakek bernama Lahidungbesar 

tak ada lagi di tempat itu.

 "Celaka! Jahanam hidung besar itukabur bersama

Peri Angsa Putih!"

 Baru saja Wiro berkata begitu di samping kanan

terdengar suara tawa mengekeh disusul oleh tiupan

seruling sember. Wiro menoleh. Kakek picak meman-

dangnya dengan seringai serta tawa mengejek. Di atas

dukungannya kakek berambut putih tampak asyik

meniup suling tengkoraknya seolah di tempat itu tidak

terjadi apa-apa. Walau memperhatikan hanya 

sebentar dan diselimuti hawa marah namun murid 

Sinto Gendeng melihat satu keanehan. Tadi-tadi 

tengkorak di ujung seruling itu selalu mengepulkan asap 

hitam. Namun sekali ini tidak sedikitpun tampak asap 

hitam.

"Apa yang hendak dilakukan jahanam satu ini. Aku

harus berhati-hati..." kata Wiro membatin. Rahangnya

menggembung. Dia segera alirkan tenaga dalam ke

tangan kiri kanan. Tubuhnya bergetar tanda kali ini

Wiro siap mengerahkan seluruh tenaga dalam yang

dimilikinya.

 Lapicakkanan tertawa mengekeh lalu kembali

sunggingkan seringai mengejek. "Pemuda gondrong!

Kuras seluruh tenaga dalam yang kau miliki! Aku mau

lihat sampai di mana kehebatan orang dari negeri 

yang katanya seribu dua ratus tahun lebih maju!"

 "Jangan terpancing! Jangan lakukan apa yang

dikatakannya! Jangan kerahkan seluruh tenaga dalam!

Semakin kau mengerahkan semakin mudah baginya

melumat dirimu!"

 Tiba-tiba satu suara menggema dari atas pohon. Wiro 

belum sempat berpaling Lapicakkanan dongakkan 

kepala dan gerakkan mata kanannya yang picak

tertutup cat merah. Selarik sinar merah menderu.

 "Wussss!"

 Pohon besar di atas sana mendadak sontak di-

lamun kobaran api. Lebih dari setengah bagian atas

pohon ini kini tampak gundul hangus. Tapi orang yang

tadi berada di tempat itu telah berkelebat lenyap.

Lapicakkanan menggeram marah. Dia mendongak

pada orang yang didukungnya.

 "Wahai Lasulingmaut, siapa menurutmu bangsat

di atas pohon tadi yang tahu kelemahan ilmu Asap

Iblis Pembeku Darah milikmu itu?!"

 Kakek di atas dukungan lepaskan ujung suling

dari mulutnya. Lalu keluarkan suara jawaban ber-

gumam yang hanya diketahui dan dimengerti oleh

kakek pendukung. "Kau betul, pasti keparat berjuluk

Penolong Budiman. Sudah dua kali dengan ini dia

menggerecoki kita. Kita harus segera mencarinya!"

 Kakek di atas dukungan kembali keluarkan suara

bergumam. Kakek yang mendukungnya tampak ke-

cewa tapi berucap. "Kau benar. Memang bukan saat-

nya mengejar bangsat satu itu...."

 Kakek di atas dukungan tiba-tiba rundukkan ke-

palanya. Mulutnya meniup ke arah Wiro. Kalau tadi

asap hitam menderu keluar dari semua lobang yang

ada di tengkorak, kini asap itu menyambar dahsyat

dari mulutnya yang meniup.

 Sesaat murid Eyang Sinto Gendeng jadi bingung

apa yang hendak diperbuatnya. Kalau dia ingat akan

ucapan orang di atas pohon tadi dia tidak boleh

menyambuti serangan asap maut Itu dengan penge-

rahan tenaga dalam. Tapi apa masuk akal? Dengan

tenaga dalam tinggi saja tadi dia tidak mampu meng-

hadapi serangan asap. Apa lagi tanpa tenaga dalam

sama sekali! Dalam bingungnya Wiro akhirnya cabut

Kapak Maut Naga Geni 212. Begitu tenaga dalam

disalurkan ke senjata mustika itu dia langsung mem-

babat.

 Sinar putih panas disertai gaungan seolah ada seribu 

tawon mengamuk seperti hendak meruntuhkan langit 

membelah bumi!

 "Pemuda tolol! Mempergunakan senjata sakti itu

sudah betul! Tapi dia masih saja mengerahkan tenaga

dalam!" Orang bermuka tanah liat hitam memaki sendiri 

melihat apa yang dilakukan Wiro. Ucapan itu

terdengar di balik serumpunan semak belukar.

 Seperti ada petir menghantam bumi, rimba be-

lantara itu sesaatterang benderang. Tanah terbongkar.

Nyala api disertai gulungan asap hitam menggebu.

Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari tangan Wiro.

Di atas bahu kawannya kakek berambut putih kembali

meniup.

 "Wussss!"

 Semburan asap hitam menyambar ke arah Wiro

yang saat itu berusaha menangkap kapak saktinya

yang tengah melayang jatuh ke bawah.

 "Benar-benar tolol! Mencari mati!" Dari balik semak 

belukar kembali terdengar suara orang. Lalu

"seetttt... seett!" Menyambar selarik sinar hitam yang

mengembang berbentuk kipas. Sinar hitam ini bukan

sinar hitam biasa karena disertai serpihan-serpihan

aneh berbentuk bunga-bunga api yang memancarkan

cahaya berkilauan.

 "Pukulan Menebar Budi Hari Ke tigal" seru Lapicak-

kanan dengan tampang berubah sementara di

atasnya kakek berambut ijuk warna putih menggumam

keras. Ke duanya kaget dan kecut ketika melihat

bagaimana cahaya hitam berbentuk kipas itu mendo-

rong dengan dahsyat pukulan Asap Iblis Pembeku

Darah yang disemburkan Lasulingmaut. Dua kakek

terdorong ke belakang. Tubuh mereka bergetar hebat.

Kakek di sebelah atas cepat melintangkan suling teng-

koraknya di depan dada. Lalu benda ini diputarnya

seperti titiran. Walau dia dan kawannya masih merasa-

kan adanya tekanan cahaya hitam lawan yang tak

kelihatan namun dua kakek aneh itu merasa lega

karena mereka mampu meredam serangan mematikan

itu. Ketika cahaya hitam yang disebut Pukulan Me-

nebar Budi Hari Ke tiga itu menyapu lewat di bawah

kaki mereka si kakek sebelah atas keluarkan lagi suara

bergumam. Kali ini lebih keras.

 "Aku tahu, aku sudah dengar Lasulingmaut! Walau 

hatiku panas memang ada baiknya kita tinggalkan

tempat ini! Urusan dengan pemuda gondrong itu biar

kita selesaikan lain waktu. Sialan.... Keparat betul! Dia

muncul lagi! Seperti dulu setiap muncul dia tak pernah

memperlihatkan diri!"

 Lapicakkanan pegang pinggang kakek yang di-

dukungnya lalu bersiap memutar diri untuk tinggalkan

tempat itu. Namun baru membuat setengah lingkaran

tiba-tiba satu cahaya menyilaukan menyambar ke arah

dadanya. Bersamaan dengan itu ada suara meng-

gaung aneh disertai hantaman hawa luar biasa panas.

 Sambil berteriak keras kakek bermata picak ini

melompat mundur. Kakek yang didukungnya meng-

gumam keras lalu cepat-cepat kembangkan dua kaki-

nya. Sambaran sinar menyilaukan yang bukan lain

adalah sabetan Kapak Maut Naga Geni 212 lewat di

dada Lapicakkanan dan hanya seujung kuku memapas

di atas dua kaki Lasulingmaut.

 "Pemuda keparat! Mampus kaul" teriak Lapicak-

kanan marah sekali. Matanya yang picak digerakkan.

Namun belum sempat dia menyemburkan api merah

dari matanya itu kapak sakti warisan Eyang Sinto

Gendeng dari puncak Gunung Gede kembali mem-

babat. Sekali ini Lapicakkanan tak bisa mengelak.

 Kaki kirinya sebatas paha amblas papas dimakan

Kapak Maut Naga Geni 212. Darah menyembur. Tu-

buhnya mendadak sontak digerogoti hawa panas.

Lapicakkanan meraung keras. Lasulingmaut yang ada

di atasnya melompat turun sambil tangannya melem

parkan sesuatu. Saat itu juga terdengar letupan keras

lalu asap pekat kelabu menutupi pemandangan. Ketika

asap itu lenyap, dua kakek aneh tak ada lagi di tempat

itu.

 Wiro hentakkan kaki penuh geram. Dia memandang 

berkeliling. Mencari-cari. Tidak tampak siapa-siapa. 

Bahkan orang di atas pohon dan kemudian

bersembunyi di balik semak belukar, yakni orang yang

tadi menolongnya dari serangan Asap Iblis Pembeku

Darah juga tidak kelihatan. Di udara terdengar suara

menguik. Wiro cepat mendongak. Dia melihat Laeputih

melayang terbang menuju ke timur. Di punggungnya

duduk perempuan berambut lepas, panjang terurai

ditiup angin.

 "Aneh, angsa putih raksasa itu adalah milik Peri

Angsa Putih. Lalu siapa perempuan yang menung-

ganginya itu. Hendak dibawanya kemana angsa itu?

Mengapa Laeputih bersikap jinak?"

 Selagi Wiro memperhatikan sambil bertanya-ta-

nya, tiba-tiba di arah barat tampak melayang kura-kura

raksasa ditunggangi perempuan berpakaian Jingga.

"Luhjelita," desis Wiro. "Ternyata dia masih ada di

sekitar sini. Melihat arah terbangnya jelas dia seperti

mengikuti angsa putih. Aku harus menolong Peri

Angsa Putih! Kakek keparat bernama Lahidungbesar

Itu pasti membawanya ke Istana Kebahagiaan! Aku

akan menyusul ke sana. Tapi bagaimana dengan Naga

Kuning dan Si Setan Ngompol? Apakah mereka telah

berhasil mendapat kesembuhan dari Hantu Raja 

Obat?"

Sesaat Wiro jadi bimbang. Akhirnya dia tetap meng-

ambil Keputusan untuk berangkat menuju Istana Ke-

bahagiaan- Ketika dia hendak bergerak pergi men-

dadak pandangannya membentur selendang biru milik

Peri Angsa Putih yang tadi terjatuh di tanah. Wiro

segera ambil selendang ini, melipatnya lalu memasuk-

kannya ke balik pakaiannya.

***

LIMA

DI ATAS sebuah pembaringan batu yang dialasi 

permadani dan bantal-bantal empuk terbuat dari 

rumput kering, Hantu Muka Dua berbaring dengan 

mata terpejam, ditemani setengah lusin gadis cantik 

berpakaian serba minim. Diantara mereka ada yang 

memijat-mijat tangan atau kaki, ada pula yang memijit-

mijit kepalanya. Seorang gadis bermuka bulat

berbadan sintal sesekali menyuapkan sejenis buah

menyerupai anggur ke dalam mulut Hantu Muka Dua

yang saat itu terbaring dengan penampilan wajah

seorang lelaki separuh baya. Sudah beberapa kali

gadis ini berusaha memasukkan buah itu ke dalam

mulut Hantu Muka Dua, namun Hantu Muka Dua entah

apa sebabnya sejak tadi selalu mengatupkan mulut

 Di sisi kanan bersimpuh gadis ke enam, gadis paling 

cantik dari semua gadis yang ada di ruangan itu. Gadis 

ini memegang sehelai kipas daun yang dikipas-

kipaskannya ke arah Hantu Muka Dua dan menebar 

bau harum. Beberapa waktu berlalu tanpa ada yang 

berani bicara dan Hantu Muka Dua masih saja 

berbaring dengan mata terpejam.

 Gadis yang memegang kipas bernama Luhkiniki.

Diantara semua gadis yang ada di Istana Kebahagiaan

Itu memang yang satu ini adalah kesayangan Hantu

Muka Dua dan lebih berani dari yang lain-lainnya.

 "Wahai Hantu Muka Dua, Junjungan kami para

penghuni Istana Kebahagiaan, Raja Diraja Segala Han-

tu di Negeri Latanahsilam. Sejak tadi kau berbaring

berdiam diri pejamkan mata. Mungkinkah sakit men-

jangkit badan atau adakah sesuatu yang kurang meng-

enakkan? Kalau memang berkenan di hati sudilah

Junjungan memberi jawaban."

 "Jangan ganggu aku dengan berbagai ucapan

dan pertanyaan. Aku tidak sakit! Tapi sedang kalut

pikiran. Banyak yang aku pikirkan saat ini! Kalian

lakukan saja apa kewajiban kalian! Dan awas! Jangan

suapi lagi aku dengan buah celaka itu! Jangan berani

berisik apa lagi bertanya!"

 "Wahai Junjungan, maafkan kami kalau berlaku

menyakiti hatimu. Tidak maksud hati berlaku kurang

ajar. Kalau memang ada kekalutan pikiran dan kau

mau menceritakan, siapa tahu kami bisa membantu..."

berucap gadis yang memegang kipas.

 "Luhkiniki, aku sayang padamu. Tapi saat kalut

begini jangan kau berbanyak mulut! Jangan kira aku

tidak tega menampar mukamu yang cantik itu!"

 Mendengar kata-kata Hantu Muka Dua itu, gadis

bernama Luhkiniki memandang pada lima kawannya

lalu tutup mulutnya tak berani bersuara lagi.

 Beberapa waktu lagi berlalu. Sesekali Hantu Muka

Dua keluarkan suara seperti mendengkur. Tapi semua

gadis itu tahu sang Junjungan bukan tengah tertidur

lelap. Tiba-tiba Hantu Muka Dua bergumam. Lalu mu-

lutnya terbuka.

 "Tidak mungkin! Tidak mungkin!"

 Dua wajah Hantu Muka Dua depan belakang tam-

pak mengucurkan keringat sebesar butiran-butiran

jagung.

 Kalau saja tidak takut kena marah, Luhkiniki se-

benarnya ingin bertanya apa yang tidak mungkin itu.

Namun karena takut gadis ini dan kawan-kawannya

lebih baik memilih diam. Mendadak Hantu Muka Dua

bangkit dari berbaring. Duduk di pembaringan, me-

mandang berkeliling. Lalu berkata lagi. "Tidak mung-

kin! Tidak mungkin Lakasipo! Tidak mungkin kau

saudaraku! Tanda berbentuk gambar bunga dalam

lingkaran yang ada di bawah lengan dekat ketiak

kananmu itu mungkin hanya satu kebetulan saja! Kita

tidak bersaudara. Haram bagiku bersaudara dengan-

mu! Seharusnya aku bunuh kau saat itu Lakasipo!

Tapi jahanam betul! Mengapa aku berlaku tolol! Me-

ngapa tidak aku lakukan!"

 Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul 

Hantu Jati Landak di sebuah pulau terjadi pertarungan 

hidup mati antara Lakasipo alias Hantu Kaki Batu 

dengan Hantu Muka Dua. Saat itu Hantu Muka Dua 

hendak menghabisi Lakasipo. Hampir Hantu Muka Dua 

akan merenggut nyawa lawannya itu tiba-tiba dia

melihat tanda seperti jarahan berupa gambar bunga

dalam lingkaran di lengan sebelah dalam dekat ketiak

kanan Lakasipo. Dia serta merta ingat pada tanda 

yang sama yang ada pada lengannya sebelah dalam 

dekat ketiak kanan. Terbayang oleh Hantu Muka Dua 

wajah seorang kakek bernama Lamanyala. Terngiang 

di telinganya ucapan orang tua itu.

 "Ketahuilah, kau memiliki tiga orang saudara.

Semuanya laki-laki. Ketika banjir besar melanda dae-

rah tempat kediamanmu puluhan tahun silam, kalian

berempat dihanyutkan air bah ke empat penjuru angin.

Semua saudaramu masih hidup. Begitu kabar yang

aku sirap. Namun di mana mereka berada tidak aku

ketahui dan tidak aku selidiki. Satu hal yang aku ketahui

kalian berempat memiliki tanda aneh di bawah lengan

kanan sebelah atas, dekat ketiak. Tanda itu berupa

gambar setangkai bunga dalam lingkaran...."

 Hantu Muka Dua memandang berkeliling. Pan-

dangannya berhenti pada wajah jelita Luhkiniki. Mem-

boranikan diri gadis ini berkata. "Wahai Hantu Muka

Dua, Raja Diraja Segala Hantu, penguasa Kerajaan

yang berpusat pada Istana Kebahagiaan, hal apakah

yang tengah kau alami? Tadi matamu terpejam tapi

kau tidak tidur. Kau tiba-tiba bicara sesuatu tetapi kau

tidak mengigau. Kau menyebut-nyebut tidak mungkin.

Apa yang tidak mungkin wahai Hantu Muka Dua. Tidak

dapatkah kami menolongmu dari kekalutan yang mem-

buncah pikiranmu?"

 Hantu Muka Dua sesaat masih menetap Luhkiniki.

Kemudian dia memandang ke pintu. "Sudah belasan

hari mereka pergi. Sampai saat ini apakah masih belum

kembali?"

 "Wahai, gerangan siapa yang Junjungan pertanya-

kan? Sudilah menyebut nama agar kami bisa

menjawab..." berkata Luhkiniki.

 "Yang kutanyakan adalah tiga sahabat tangan

kananku di Istana Kebahagiaan ini. Si Lahidungbesar,

Lapicakkanan dan Lasulingmaut!" jawab Hantu Muka

Dua pula dengan suara agak berang.

 Baru saja Hantu Muka Dua selesai berucap tiba-

tiba di luar ruangan ada orang berseru.

 "Hantu Muka Dua Junjungan Penguasa Istana

Kebahagiaan! Kami bertiga yang kau tanyakan ada di

luar sini! Mohon waktu untuk menghadap! Kami mem-

bawa kabar buruk!"

 Dua wajah Hantu Muka Dua sesaat berubah men-

jadi wajah kakek-kakek pucat. Setelah hatinya tenang

wajahnya depan belakang kembali pada wajah dua

lelaki separuh baya.

 "Pintu batu tidak dikunci. Dorong dan masuklah!"

Hantu Muka Dua berkata. Matanya memandang tak

berkesip ke ujung ruangan. Dinding ruangan itu per-

lahan-lahan bergerak ke kiri. Dua orang kakek kelihatan

tegak di seberang sana. Salah seorang di antaranya

mendukung satu sosok yang paha kirinya buntung.

Dari kutungan tubuh ini kelihatan darah masih me-

ngucur.

 Enam gadis yang ada di ruangan itu menjerit ngeri.

Membuat Hantu Muka Dua jadi tergagau kaget dalam

kejutnya. "Gadis-gadis jahanam! Keluar kalian semua!

Tinggalkan ruangan ini!" hardik Hantu Muka Dua.

Enam gadis cantik serta merta menghambur lari dan

menghilang lewat sebuah pintu yang ada di balik tiang

besar berukir.

 Dua kakek di ambang pintu bertindak hendak

melangkah masuk.

 "Jahanam! Jangan berani masuk mengotori kamar 

ketiduranku dengan darah busuk!" Hantu Muka Dua 

kembali berteriak marah. Dia melompat ke arah pintu 

yang terbuka. Saat itu dua wajahnya telah berubah 

menjadi muka raksasa yang menakutkan. Hidung besar, 

mulut berbibir tebal, taring mencuat dan rambut, kumis 

serta janggut lebat awut-awutan! Sepasang matanya 

yang besar memandang seperti mau menelan dua 

kakek di depannya. Lalu dia memperhatikan kakek

buntung paha yang ada dalam dukungan kakek ber-

hidung besar berkepala botak hitam.

 Dengan suara bergetar menahan amarah Hantu

Muka Dua bertanya. "Apa yang terjadi dengan 

Lapicakkanan?! Lasulingmaut! Lahidungbesar! Jawab!"

 Kakek di sebelah kanan yang berambut seperti

ijuk berwarna putih keluarkan suara bergumam lalu

masukkan ujung suling yang ditancapi tengkorak dan

meniup satu kali. Suling itu keluarkan suara sember

disertai mengepulnya asap hitam dari lobang mata,

hidung, mulut dan telinga tengkorak.

 "Keparat! Lasulingmaut! Apa kau tak bisa bicara

wajar?!" menghardik Hantu Muka Dua. Rambut di

kepalanya dan kumis tebal di bawah hidungnya 

sampai naik berjingkrak! Yang dihardik, yakni kakek 

yang membawa suling, kembali meniup sulingnya. 

Suara sember terdengar lagi dan asap hitam kembali 

mengepul.

 "Jahanam! Kau mau membunuh aku dengan asap

beracun itu! Kau memang sialan! Tak pernah bisa

bicara wajar!" Hantu Muka Dua berpaling pada kakek

yang mendukung orang tua buntung paha. "Kau juga

tidak bisa bicara wajar? Atau Perlu kurobek dulu

mulutmu?! Lahidungbesar! Ayo ceritakan apa yang

terjadi!"

 "Maafkan kami wahai Hantu Muka Dua. Maafkan

aku! Sesuai perintahmu kami berhasil menghadang

Peri Angsa Putih bahkan sekaligus menemukan ke-

kasihmu Luhjelita!"

 Mendengar kata-kata kakek yang hidungnya besar

itu dua wajah Hantu Muka Dua depan belakang ber-

ubah menjadi muka lelaki separuh baya kembali. Dia

mendesah sambil pejamkan mata. "Wahai Luhjelita

kekasihku.... Bagaimana keadaannya? Lama nian dia

tidak menyambangiku. Lama nian aku tidak melihat

wajahnya yang jelita. Lama nian aku tidak melihat

lekuk tubuhnya yang bagus putih dan kencang...."

 "Luhjelita ada baik-baik saja wahai Hantu Muka

Dua," jawab Lahidungbesar. Lalu dia melanjutkan.

"Keberuntungan kami malah lebih besar dari yang

kami duga. Di tempat di mana Luhjelita dan Peri Angsa

Putih berada, di situ juga ada pemuda asing dari negeri

seribu dua ratus tahun mendatang yang kau suruh

bunuh itu!"

 "Maksudmu pemuda gondrong sinting bernama

Wiro Sableng itu?"

 "Benar sekali wahai Hantu Muka Dua.... Tapi se-

perti katamu, pemuda itu tidak lagi bersosok kerdil.

Tidak setinggi lutut! Tubuhnya sama besar dengan

kita!"

 "Jahanam! Siapa yang menolongnya hingga bisa

jadi besar begitu rupa?!"

 "Kami tidak tahu. Kami tidak sempat menyelidik...."

 "Apa dua kawannya juga ada di situ? Seorang

bocah banyak tingkah dan seorang kakek bau 

pesing?"

 Lahidungbesar gelengkan kepala.

 Hantu Muka Dua menatap tajam pada kakek ber-

nama Lahidungbesar lalu pandangannya turun pada

sosok buntung paha yang digendong si kakek. "Aku

sudah bisa menduga-duga apa yang terjadi! Tapi kau

harus menerangkan mengapa Lapicakkanan berada

dalam keadaan seperti ini! Siapa yang mencelakainya.

Peri Angsa Putih atau pemuda bernama Wiro Sableng

itu?!"

 Kakek mata picak dalam gendongan kakek hidung

besar keluarkan erangan panjang sementara darah

masih mengucur dari pahanya yang buntung. "Hantu

Muka Dua Aku tak tahan. Sekujur tubuhku terasa

panas.... Panas sekali "

 Hantu Muka Dua perhatikan buntungan di paha

Lapicakkanan. "Ini bukan luka biasa. Sebagian paha-

nya yang masih bersisa kelihatan hangus seperti

dipanggang...."

 " Kakek bernama Lasulingmaut mendongak. Mata-

nya berkaca-kaca. Dari mulutnya keluar suara ber-

gumam. Setelah meniup sulingnya satu kali kakek ini

usut air matanya.

 "Wahai Hantu Muka Dua. Sahabatku ini terkena

sambaran kapak sakti milik pemuda bernama Wiro

Sableng itu "

 "Jahanam besar! Kalian bertiga ternyata tidak

becus!" Dua muka Hantu Muka Dua kembali berubah

menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan.

 "Sebenarnya hal mudah bagi kami untuk mem-

bereskan pemuda itu. Malah Peri Angsa Putih telah

kami tawan...."

 "Apa?!" Hantu Muka Dua tersentak. "Di mana Peri

Itu sekarang?"

 "Aku sembunyikan di sebuah sumur melintang dekat 

jalan masuk ke Istana Kebahagiaan di sebelah utara...."

 "Jangan bermain culas denganku Lahidungbesar.

Gadis itu harus kau bawa ke hadapanku! Aku sudah

lama menyarang dendam terhadapnya. Walau aku

tidak boleh membunuhnya tapi aku sudah lama berniat

untuk merampas kehormatannya. Bahkan aku akan

membuatnya hamil mengandung! Agar segala kutuk

jatuh pada dirinya!" Hantu Muka Dua basahi bibirnya

dengan ujung lidah berulang kali. Rangkungannya

turun naik dan dua wajahnya berubah menjadi wajah

dua orang pemuda gagah. Ini pertanda bahwa dirinya

telah dirasuki nafsu birahi kotor!"

 "Hantu Muka Dua, wahai! Kau tentu tidak lupa.

Bukankah kita sudah membuat perjanjian? Jika aku

berhasil meringkus Peri Angsa Putih maka Peri itu

akan menjadi bagianku untuk bersuka-suka sebelum

kau masukkan ke dalam ruang penyiksaan, Ruangan

Obor Tunggal!"

 "Memang kita sudah membuat perjanjian. Tapi aku 

kuasa untuk merubah segala perjanjian! Apa seorang 

Raja Diraja seperti aku harus mendapatkan barang 

bekas? Kau mau memberi sisa padaku Lahidungbesar? 

Katakan berapa nyawa yang kau miliki!" Tampang

raksasa kembali muncul di dua wajah Hantu Muka Dua.

 "Wahai Hantu Muka Dua, kau adalah Junjungan

dan Raja Diraja Segala Hantu, pembangun Kerajaan

Kebahagiaan, Penguasa Tunggal di Istana Kebahagia-

an, mana aku berani membantah. Jika kau memang

menginginkan Peri Angsa Putih, aku akan membawa-

nya ke sini!"

 "Peri itu telah menghancurkan tempat kediamanku 

terdahulu. Dia menimbun dengan lahar panas...."

(Baca riwayat Hantu Muka Dua sebelumnya dalam

serial Wiro Sableng berjudul Peri Angsa Putih)

 "Apa perintahmu akan kami patuhi wahai Hantu

Muka Dua," kata kakek bernama Lahidungbesar.

 "Panas... sekujur tubuhku terasa panas. Hantu

Muka Dua, aku tak tahan..." ucapan itu kembali me-

luncur dari mulut kakek bernama Lapicakkanan.

 "Sekujur tubuhnya dijalari racun senjata sakti

berbentuk kapak milik pemuda bernama Wiro Sableng

itu..." menjelaskan Lahidungbesar.

 "Tak usah khawatir. Aku akan mengobatinya. Aku

akan memberikan kesembuhan padanya!" kata Hantu

Muka Dua. Dia melangkah mendekati Lahidungbesar

yang mendukung kakek buntung Lapicakkanan. Ta-

ngan kanannya diangkat ke atas. Lalu secepat kilat

diayunkan ke bawah.

 "Praaakkk!"

 Kepala Lapicakkanan langsung pecah!

 "Manusia tak berguna! Apa guna hidup berlama-

lama!" kata Hantu Muka Dua. Saat itu wajahnya be-

berapa ketika berubah menjadi muka raksasa ke-

mudian kembali ke muka lelaki separuh baya.

 Lahidungbesar merasakan tengkuknya menjadi

dingin. Sosok Lapicakkanan yang telah jadi mayat

terlepas dari gendongannya. Tapi sebelum menyentuh

lantai kaki kanan Hantu Muka Dua telah menendang

hingga mayat itu mencelat mental sampai beberapa

tombak.

 Hantu Muka Dua usap-usap telapak tangannya

satu sama lain. Dia melirik pada Lasulingmaut lalu

berpaling pada Lahidungbesar. "Tadi kau mengatakan

sebenarnya kalian dengan mudah bisa membereskan

pemuda dari negeri asing itu. Nyatanya kalian memang

tidak mampu! Apa yang terjadi?!" Hantu Muka Dua

membentak membeliak.

 "Ada seorang berkepandaian tinggi menolong

pemuda itu," jawab Lahidungbesar.

 "Kau tahu siapa?!"

 Lasulingmaut bergumam keras lalu tiup suling

tengkoraknya. Matanya tampak berkaca-kaca seperti

tadi.

 "Jangan cengeng!" bentak Hantu Muka Dua pada

kakek berambut ijuk putih yang selama ini kemana-

mana selalu didukung oleh Lapicakkanan. Hantu Muka

Dua berpaling pada Lahidungbesar. "Kau tahu atau

tidak ta hu siapa adanya orang yang membantu 

Wiro?!"

 "Orangnya tidak menunjukkan diri. Tapi kami berdua 

yakin dia adalah orang yang selama ini menjadi tanda 

tanya besar di Negeri Latanahsilam yaitu Si Penolong 

Budiman."

 Tampang Hantu Muka Dua mendadak sontak ber-

ubah menjadi tampang kakek-kakek pucat. Ini satu

pertanda selain kaget dia juga merasa tidak enak.

"Bagaimana kau bisa yakin wahai hidung besar...?"

Hantu Muka Dua ajukan pertanyaan.

 "Orang itu lepaskan pukulan berupa tebaran sinar

hitam yang ada serpihan-serpihan aneh. Apa lagi kalau

bukan Pukulan Menebar Budi. Yang dihantamkannya

saat itu adalah Pukulan Menebar Budi Hari Ke tigal"

 Mendengar keterangan Lahidungbesar itu sepa-

sang mata Hantu Muka Dua mendelik besar. Lalu dia

usap-usap mukanya sebelah depan berulang kali. Da-

lam hati dia membatin. "Pukulan Menebar Budi Hari

Ke tiga saja sudah membuat anak buahku kelabakan.

Belum lagi Pukulan Menebar Budi Hari Ke empat, Ke

lima, Ke enam dan Ke tujuh! Siapa adanya manusia

satu ini harus diselidiki, diringkus dan dihabisi. Tapi

mungkinkah dia Dewa yang turun ke bumi melakukan

penyamaran?" Hantu Muka Dua memandang pada 

dua kakek di hadapannya lalu berkata.

 "Aku melihat pertanda buruk. Sudah sebelas malam 

aku seolah melihat wajah-wajah aneh. Beberapa kali 

aku melihat gambar bunga dalam lingkaran. Sayang 

Lagandrung dan Lagandring sudah mampus! Kalau 

mereka masih hidup mungkin bisa memberi

keterangan yang aku harapkan. Selama ini kabut ra-

hasia selalu menyelubungi kehidupanku. Aku tak per-

nah tahu asal usulku. Aku tak pernah tahu siapa ayah

siapa ibuku! Wahai!" Sambil bicara rawan seperti itu

Hantu Muka Dua usap-usap bagian bawah lengan

dekat ketiak kanannya di mana terdapat tanda 

berbentuk bunga dalam lingkaran!

 "Junjungan, Raja Diraja Segala Hantu, mengapa

kau bicara seolah memperlihatkan kelemahan hati

kerendahan jiwa?"

 Ucapan Lahidungbesar itu membuat Hantu Muka

Dua seolah tersadar." Kau betul wahai Lahidungbesar.

Percuma aku mengaku diri sebagai Raja Diraja Segala

Hantu di Negeri Latanahsilam, percuma aku mem-

bangun Istana Kebahagiaan sebagai pusat kekuasaan

Kerajaan baru! Percuma aku dijuluki Hantu Segala

Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Ha... ha... ha!"

 Sebelum kita lanjutkan apa yang akan dilakukan

Hantu Muka Dua terhadap Peri Angsa Putih yang kena

ditawan oleh Lahidungbesar, dalam Bab berikutnya

kita ikuti dulu serangkaian kejadian di masa puluhan

tahun silam.

* *

ENAM

LELAKI yang membekal parang terbuat dari batu biru 

di tangan kanannya itu hentikan lari di ujung jurang. 

Memandang ke bawah sesaat dia jadi tercekat.

 "Jurang batu.... Dalam sekali! Celaka! Tak mungkin 

kuterjuni...." Dia silangkan parang di depan dada lalu 

berpaling ke belakang. Belum selesai dia membuat

gerakan tiba-tiba sesosok tubuh melayang di udara,

membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Di lain kejap

sosok ini sudah tegak di hadapannya dengan muka

menyeringai garang dan membersitkan nafas menya-

pu panas sampai ke permukaan wajahnya.

 "Latumpangan! Tempat larimu sudah putus! Kau

hanya punya tiga pilihan! Mampus bunuh diri me-

nerjuni jurang! Mati di tanganku atau menyerahkan

Jimat Hati Dewa padaku!"

 'Orang yang memegang parang biru mendengus

lalu meludah ke tanah. "Selama Parang Langit Biru

masih berada di tanganku, jangan kau berani mencari

mati wahai Lasedayu!"

 Lasedayu si muka garang tertawa bergelak. "Parang 

Langit Biru hanya ciptaan alam. Apakah sanggup

melawan diriku Wakil Para Dewa di Negeri Latanah-

silam ini?!"

 "Kau bermimpi atau mungkin juga mengigau! Sudah 

sejak dua puluh tahun lalu kau tidak lagi menjadi Wakil 

Para Dewa di muka bumi ini! Hak Perwakilanmu telah 

dicabut karena Para Dewa meragukan kesetiaan dan 

kelurusan hatimu! Buktinya saat ini kau sengaja

mengejar aku, memaksa untuk mendapatkan benda

yang bukan hakmu!"

 "Aku memaksa, kau tidak mau menyerahkan! Wahai! 

Sungguh buruk bakai jadinya bagi dirimu wahai

Latumpangan!" ujar Lasedayu pula.

 "Terserah padamu! Aku sudah siap berjibaku

sampai tetes darah terakhir, sampai hembusan nafas

penghabisan!" Latumpangan geser dua kakinya me-

masang kuda-kuda kokoh.

 "Sayang sekali otakmu dirasuk seribu kebodohan

dan hatimu dihantui seribu kepicikan! Kau memilih

mati dari pada menyerahkan benda yang kuminta. 

Tapi aku masih memberi kesempatan sekali lagi agar 

kau mau berpikir. Kau mau menyerahkan Jimat Hati 

Dewa itu padaku agar bisa selamat?"

 Latumpangan menggeleng. "Jimat ini adalah titipan

Dewa. Aku tidak akan menyerahkan pada siapapun!"

 "Wahai! Benar-benar sangat disayangkan!" Lasedayu 

gerakkan sepuluh jari tangan kanannya. Jari-jari tangan 

itu keluarkan suara berkeretekan. Bersamaan dengan 

itu mulutnya membentuk seringai buruk.

 "Serahkan Jimat Hati Dewa!" Lasedayu membentak 

sambil ulurkan tangan kanannya. Meminta! Suara 

bentakannya menggelegar sampai ke dalam jurang. 

Sepasang matanya membelalang menyeramkan.

 Namun Latumpangan tidak takut. "Bukan jimat yang 

akan kau dapat! Makan mata parangku!" Tangan

kanan Latumpangan berkelebat.

 "Wuuutttt!"

 Sinar biru berkiblat begitu Parang Langit Biru

membabat ke depan. Lasedayu cepat tarik tangannya

yang diulurkan. Sambaran angin pedang terasa dingin

dan membuat tubuhnya sebelah depan tergetar, me 

maksa kakinya bergeser lersurut setengah langkah.

 Dalam hati dia berkata. "Parang Langit Biru boleh juga!

Tapi persetan! Siapa takut!"

 Kaki kanan Lasedayu menyapu ke depan, berusaha 

menendang betis kiri Latumpangan. Yang diserang 

membuat babatan menukik untuk menangkis sekaligus 

membacok kaki lawan. Namun serangan Lasedayu itu 

hanya tipuan belaka. Begitu sinar biru pedang bertabur 

ke bawah, dia hentakkan kaki kirinya. Saat itu juga 

tubuhnya melesat setinggi dua tombak. Sambaran 

parang batu lewat menderu.

 Dari atas, tangan kanan Lasedayu menyambar ke 

arah batok kepala Latumpangan dalam kecepatan 

luar biasa.

 "Pecah kepalamu!" teriak Lasedayu.

 Latumpangan rundukkan kepalanya. Sambil sela-

matkan diri dia tusukkan Parang Langit Biru ke arah

dada lawan yang mengambang di atasnya. Lasedayu

kertakkan rahang, menggeram marah karena dia tahu

bagaimanapun cepatnya hantaman tangannya ke 

kepala Latumpangan, ujung parang lawan akan 

menembus dadanya lebih dulu!

 Masih melayang di udara Lasedayu pergunakan 

kaki kiri untuk menendang. Namun luput! Sementara itu 

parang biru terus menusuk ke atas! Lasedayu keluarkan 

teriakan keras. Bersamaan dengan itu dia membuat 

gerakan aneh. Tubuhnya seolah terbanting ke samping. 

Latumpangan percepat gerakannya menusuk,

 "Rasakan!" teriaknya. Parang biru amblas ditubuh 

sebelah kanan Lasedayu. Ternyata hanya menusuk di 

celah sempit antara ketiak dan rusuk lawan! Walau 

selamat tapi Lasedayu tahu betul bahaya besar yang

mengancamnya. Jika lawan bertindak cepat dan 

sigap, mata parang yang sangat tajam itu bisa 

merobek tembus daging dan memutus tulang-tulang 

iganya. Dan memang itulah sepertinya yang akan 

dilakukan Latumpangan. Tangan kanannya diputar 

demikian rupa tapi bukan untuk menyayat ke arah 

tubuh melainkan dibabatkan ke belakang untuk 

memutus lengan kanan Lasedayu!

 Lasedayu yang tahu bahaya segera jatuhkan tubuh-

nya ke bawah. Parang lawan yang ada di ketiaknya 

seolah dijadikan tempat luncuran. Sebelum, bagian 

tajam mata parang berputar, dengan tangan kirinya 

Lasedayu mencekal pergelangan tangan kanan 

Latumpangan. Sesaat kemudian tangan kiri Lasedayu 

ikut meremas jari-jari lawan. Lalu "kraakkk..kraaaakkk!" 

Dua kali suara patahan tulang hampir tak terdengar 

karena lenyap ditindih jeritan Latumpangan.

 Parang Langit Biru jatuh tercampak berkeron-

tangan di tanah yang berbatu-batu. Latumpangan sen-

diri tersurut beberapa langkah sambil matanya melotot

memandangi tangan kirinya yang memegangi lengan

dan jari-jari tangan kanannya yang telah hancur. "Re-

masan Sepuluh Jari Hantu...!" desis Latumpangan

menyebut ilmu lawan yang menciderainya. Tiba-tiba

seperti kalap Latumpangan berteriak keras. Lalu ta-

ngan kirinya laksana kilat menghantam berulang kali

ke depan.

 "Bukkk! Bukkkk! Bukkkk!"

 Tubuh Lasedayu terangkat sampai tiga kali berturut-

turut begitu jotosan Latumpangan mendarat susul

menyusul di dadanya.

 "Puaskan hatimu Latumpangan! Pukul terus se-

sukamu!" kata Lasedayu sambil menyeringai buruk.

 "Bukkk! Bukkk! Bukkkk!"

 Kembali Latumpangan menghujani tubuh lawan

dengan pukulan-pukulan keras. Kembali sosok Lase-

dayu terangkat ke udara bahkan kini dari mulutnya

kelihatan ada darah mengucur. Tapi dia masih saja

menyeringai.

 "Cukup Latumpangan!" Tiba-tiba Lasedayu berteriak. 

Tangannya kiri kanan berkelebat ke sekujurtubuh lawan, 

mulai dari kepala sampai ke dada. 

"Kraaakk...kraaakkk... kraaakk!" Suara patah dan 

hancurnya tulang terdengar mengerikan berulang kali. 

Remasan Sepuluh Jari Hantu! Bertubi-tubi menghantam 

Latumpangan!

 Sosok Latumpangan terhuyung-huyung tak karuan 

dan dari mulutnya keluar jerit kesakitan tak ber-

keputusan. Tulang batok kepalanya amblas. Tulang

kening dan tulang pipinya sebelah kanan hancur.

Darah berselemak menutupi wajahnya. Itu masih di-

tambah lagi dengan tulang bahu kiri kanan yang remuk

serta dua tulang iga melesak patah.

 Lasedayu tertawa bergelak. "Aku menawarkan

madu, kau lebih suka racun! Wahai! Silakan kau teguk

sendiri!"

 "Lasedayu keparat! Aku pasrah mati! Tapi kau juga 

harus ikut mampus bersamaku!" kata Latumpangan 

dengan suara keras namun sember bergetar. Tiba-tiba 

Latumpangan melompat nekad merangkul tubuh 

Lasedayu. Lalu dengan sekuat tenaga dia menarik 

Lasedayu ke tepi jurang. Niatnya rupanya adalah

untuk menjatuhkan diri bersama-sama lawannya ke

dalam jurang batu! Tentu saja Lasedayu tidak mau

mati konyol begitu rupa.

 Dengan tumit kirinya Lasedayu memijak gagang

Parang Langit Biru yang tergeletak di tanah. Begitu

parang melesat mental ke atas segera disambarnya

dengan tangan kiri. Setelah itu terdengar jeritan La-

tumpangan. Matanya terpentang besar, membeliak ke

udara. Rangkulannya pada tubuh Lasedayu terlepas.

Sosok Latumpangan Periahan-lahan melosoh ke ba-

wah lalu terkapar tertelentang di tanah. Parang Langit

Biru miliknya menancap di tubuhnya. Menembus ping-

gangnya dan kiri ke kanan!

 Pada saat itu di langit sebelah utara mendadak

menggelegar suara guntur dibarengi kilatan cahaya

terang. Sesaat Lasedayu terkesiap. "Aneh, langit ce-

rah. Tak ada mendung apa lagi hujan. Mengapa ada

gelegar guntur dan sambaran petir...." Membatin La-

sedayu. Namun dia tidak mau memikirkan keanehan

itu lebih lanjut. Dengan cepat dia jongkok di samping

mayat Latumpangan, menggeledah ke balik pakaian

orang itu. Di pinggang pakaian Latumpangan yang

terbuat dari kulit kayu sangat tebal dia menemukan

benda yang dicarinya, sebuah kantong sebesar ke-

palan tangan, terbuat dari sejenis daun yang sangat

liat.

 Lasedayu pergunakan kuku-kuku jarinya yang

panjang hitam untuk merobek kantong daun. Dari

dalam kantong itu muncul sebuah benda berbentuk

segumpal daging berwarna kemerah-merahan. Gum-

palan daging ini bergerak berdenyut-denyut seolah

hidup!

 "Jimat Hati Dewa..." desis Lasedayu dengan suara

serta tangan bergetar. Seringai menyeruak di mulut-

nya. Namun laksana direnggut setan seringai itu le-

nyap ketika tiba-tiba dari langit sebelah utara dimana

tadi menggelegar suara guntur disertai berkiblatnya

petir, melesat sebuah benda berwarna merah. Belum

habis kejut Lasedayu tahu-tahu seorang kakek yang

kulit muka dan tubuhnya berwarna merah telah tegak

di hadapannya. Kakek ini memegang sebatang 

tongkat aneh yang mulai dari pangkal sampai ke 

ujungnya dikobari nyala api berwarna merah. 

Sepasang mata si kakek yang juga seolah dikobari api 

menatap tajam pada Lasedayu. Begitu dia membuka 

mulut dan bicara, lidahnya tampak seperti dibuat dari 

api.

 "Lasedayu, lekas kau serahkan Jimat Hati Dewa

Itu padaku!"

 "Wahai! Kau siapa?" tanya Lasedayu. Suaranya keras 

dan dalam hati dia menduga-duga siapa adanya

makhluk aneh di hadapannya itu.

***

TUJUH


KOBARAN api di dua mata dan lidah si kakek yang 

muncul dari atas langit menjilat ke depan.

 "Aku Wakil atau Utusan Para Dewa! Datang

diperintahkan untuk mengambil Jimat Hati Dewa yang

kini kau pegang itu...." Si kakek ulurkan tangan kirinya.

Ternyata telapak dan jari-jari tangannya itu juga dijilati

api!

 Terkejutlah Lasedayu mendengar ucapan si kakek.

 "Tunggu dulu! Aku juga Wakil Para Dewa di Negeri

Latanahsilam ini! Antara kita berada dalam kedudukan

sama! Jangan kau berani memerintah diriku!"

 "Lasedayu, kedudukanmu sebagai Wakil Para Dewa, 

seperti dikatakan Latumpangan telah dicabut sejak 

dua puluh tahun lalu. Para Dewa sudarj banyak murka 

padamu sejak lama. Hari ini kau membunuh

Latumpangan dan punya niat jahat hendak menguasai

Jimat Hati Dewa yang bukan menjadi hakmu! Aku tidak

sudi bicara berpanjang-panjang. Serahkan Jimat itu!

Sekarang!"

 "Kau tidak sudi bicara berpanjang-panjang. Aku tidak 

sudi menyerahkan benda yang kau minta!"

 "Lasedayu, kau berani menantang Wakil Para Dewa?" 

suara si kakek bernada mengancam.

 "Aku mau tahu kau hendak berbuat apa padaku!"

menantang Lasedayu.

 Si kakek angkat tangan kirinya yang memegang

tongkat.

 "Wusssss!"

 Tongkat di tangan si kakek berubah menjadi sebuah

cambuk apL "Kau berani membangkang, kau

akan menerima azab!" Si kakek yang mengaku Wakil

Para Dewa kembali gerakkan tangan kirinya.

 "Wusss!"

 Petir api menggelegar dahsyat mengerikan, ber-

putar di udara lalu menghantam ke arah kaki orang di

hadapannya. Lasedayu berteriak kaget dan cepat me-

lompat. Kaki celana kulit kayu sebelah kiri hangus.

Daging kakinya tampak terkelupas merah.

 "Jahanam! Berani kau menciderai diriku!" teriak

Lasedayu. Dia hantamkan tangan kanannya. Lepaskan

satu pukulan tangan kosong. Si kakek cepat menying-

kir ketika melihat satu sinar kuning berkiblat menyam-

barnya. Sambil mengelak dia gerakan cambuk apinya.

 "Wusss! Taaarrrrr!"

Nyala api panjang menembus kiblatan cahaya

kuning. Saat itu juga cahaya kuning bertabur berantak-

an dengan mengeluarkan suara letusan keras!

 Tangan kiri si kakek bergetar keras. Cambuk api

yang dipegangnya mental ke udara. Dia cepat 

menguasai senjata itu sementara Lasedayu terjajar 

sampai tiga langkah. Mukanya pucat. Tangan 

kanannya seperti kaku. "Kakek itu mampu 

menghancurkan Pukulan Tangan Dewa Warna 

Kuning...." Diam-diam Lasedayu menjadi kecut. "Akan 

kucoba dengan Pukulan Tangan Dewa Warna Biru 

yang paling hebat!"

 Lasedayu lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan

kanan dan tanpa menunggu lebih lama dia segera

menghantam. Si kakek rupanya sudah tahu apa yang

hendak dilakukan Lasedayu. Sambil menekuk lutut

dan miringkan tubuh ke kiri, dia putar cambuk apinya

begitu melihat cahaya biru menderu keluar dari tangan

kanan lawan.

 "Wussss!" Cambuk api menderu di udara.

 "Taarrr! Byaaaarrr!"

 Lasedayu berseru kaget. Cepat dia gulingkan diri

di tanah ketika melihat cambuk api di tangan lawan

menghancurkan Pukulan Dewa Warna Biru yang tadi

dilepaskan.

 "Taarrr! Taaarrr! Taaarrr!"

 Cambuk api mengejar dan menghantam ke arah

Lasedayu tiga kali berturut-turut. Dua batu besar yang

terkena hantaman cambuk api hancur berentakan dan

hancurannya berubah menjadi keping-keping merah

membara!

 Dua kali Lasedayu berhasil lolos dari hantaman

cambuk api, namun kali yang ke tiga dia tak mampu

lolos. Cambuk itu mendarat melintang di permukaan

dadanya, mulai dari bahu kiri bersilang ke pinggang

kanan. Tubuhnya terpental ke udara sampai dua tom-

bak. Lasedayu terbanting dan terkapar di tanah. Di

sampingnya tanah yang tadi terkena hantaman cam-

buk kelihatan terbelah dalam dan hangus.

 Kakek Wakil Para Dewa sesaat tatap sosok Lasedayu 

yang tak berkutik itu. Dia mendengus dan berkata. 

"Kematian semudah dan secepat membalik tangan. 

Mengapa manusia masih memPeriihatkan ketinggian 

hati yang sebenarnya hanyalah satu kebodohan 

belaka?!"

 Kakek ini gerakkan tangan kirinya. Cambukapinya

kembali berubah ke bentuk semula yakni sebatang

tongkat berapi. Lalu dengan mulut komat kamit dia

melangkah mendekati sosok tak bergerak Lasedayu

Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati

Dewa yang masih berada dalam genggaman tangan

kiri Lasedayu tiba-tiba tidak disangka-sangka kaki

kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu me-

lesat ke arah dada si kakek.

 "Bukkkk!"

 Sang Wakil Para Dewa menjerit keras. Tubuhnya

terpental tiga tombak, terbanting jatuh punggung 

pada sebuah batu besar dan dari mulutnya 

menyembur darah kental!

 "Wahai, mengapa aku bertindak lengah! Belum

mati jahanam itu rupanya!" keluh si kakek. Memandang

ke depan dilihatnya Lasedayu terbungkuk-bungkuk

berusaha bangkit berdiri. Walau dadanya serasa han-

cur si kakek cepat bangun. Tangan kirinya digerakkan.

Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk me-

nyala. "Kali ini harus kuputus lehernya! Harus ku-

tanggalkan kepalanya!" Si kakek berkomat kamit sam-

bil putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api

bergetar, meliuk-liuk laksana sosok ular hidup. Begitu

dia menyentak maka cambuk api itu melesat ganas

ke udara, mengeluarkan suara menggidikkan disertai

nyala api seperti hendak membakar langit!

 Di depan sana, ketika cambuk api membuat dua

kali putaran di udara dengan segala kedahsyatannya,

Lasedayu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya. Jimat 

Hati Dewa yang berupa gumpalan daging merah

hidup itu dimasukkannya ke dalam mulutnya lalu

dikunyahnya mentah-mentah!

 Kakek Wakil Para Dewa berteriak kaget.

 "Tidak! Jangan lakukan itu!"

 Seperti orang kesurupan Lasedayu mempercepat

kunyahannya. Daging yang dikunyah keluarkan darah

merah kehitaman dan mengucur dari dalam mulutnya.

Dari tenggorokannya ada suara seperti srigala meng-

geram tak berkeputusan. Sepasang matanya menatap

membeliak dan garang pada si kakek.

 "Jangan! Lasedayu! Jangan kau telan benda dalam 

mulutmu! Semburkan keluar!"

 Lasedayu tidak peduli. Kunyahannya semakin cepat. 

Darah yang keluar dari mulutnya bertambah banyak. 

Lalu gluk... gluk... gluk! Haaaaah! Jimat Hati Dewa 

ditelannya, amblas ke dalam perut lewat teng-

gorokannya. Begitu sang jimat berada dalam tubuh

Lasedayu, terjadilah satu hal luar biasa. Justru inilah

yang sejak tadi ditakutkan si kakek.

 "Celaka wahai Para Dewa! Celakalah Negeri ini!

 Ampuni diriku! Aku tak sanggup mencegah! Jimat itu

 berada dalam perutnya. Hawa sakti telah mengalir

dan bersatu dalam darahnya!" Wakil Para Dewa 

menjerit sambil jatuhkan diri.

 Sosok Lasedayu tampak bergetar hebat. Lalu dari 

dalam tubuhnya seolah ada satu cahaya biru mem-

bersit Ketika cahaya itu lenyap, luka menganga yang 

melintang mengerikan di dada Lasedayu secara aneh 

mendadak sontak lenyap tak berbekas. Di saat yang 

sama lelaki ini merasakan tubuhnya menjadi sangat 

ringan. Di dalam badannya ada satu kekuatan sangat 

dahsyat yang siap meledak setiap saat! Ketika dia 

menggeserkan dua kakinya dan tak sengaja mengalir-

kan tenaga dalam ke kaki itu, tanah berbatu yang 

dipijaknya amblas sampai satu jengkal dan keluarkan 

kepulan asap. Dari mulut yang bercelemongan darah 

membersit suara menggereng. Matanya menyorot ga-

nas memperhatikan cambuk api yang menderu dah-

syat di udara lalu menyambar ke arah lehernya!

 Jika saja Lasedayu tidak menelan Jimat Hati Dewa, 

pada saat cambuk api melilit dan disentakkan dari 

lehernya, pastilah leher itu akan hancur putus dan 

kepalanya akan menggelinding di tanah! Namun yang 

terjadi justru sebaliknya. Cambuk api keluarkan suara 

"dess... desss... desss" berulang kali disertai kepulan asap 

seolah diguyur air. Lalu kelihatan bagaimana cambuk 

itu terputus-putus menjadi beberapa bagian. Begitu si 

kakek melompat kaget dia lihat dan dapatkan cambuk 

apinya telah berubah kembali menjadi se batang 

tongkat yang kini panjangnya hanya tinggal dua 

jengkal!

 "Kakek yang mengaku Wakil Para Dewa! Takdir telah 

berbalik menentukan lain! Hari ini kau terpaksa serahkan 

nyawamu padaku!" Lasedayu maju mendekat sambil 

tertawa bergelak.

 "Kau akan terkutuk seumur-umur jika berani mem-

bunuhku!" kata si kakek seraya melemparkan po-

tongan tongkatnya ke arah Lasedayu. Benda berapi

ini melesat menyambar ke tenggorokan Lasedayu.

Sekali Lasedayu mengangkat tangan kirinya, tongkat

itu berhasil ditangkapnya lalu diremasnya hingga han-

cur. Jarak antara ke dua orang itu bertambah dekat.

Hanya terpisah satu tombak tiba-tiba Lasedayu pu-

kulkan tangan kanan. Serangkum angin yang me-

mancarkan cahaya kuning berkiblat ganas, menyam-

bar ke arah si kakek! Pukulan Tangan Dewa Warna

Kuning sebelumnya pernah dipergunakan Lasedayu

untuk menyerang lawannya itu dan amblas tak 

berdaya ditangkis cambuk api milik si kakek. Namun kali 

ini si kakek tidak lagi memiliki tongkat ajaib atau 

cambuk saktinya. Selain itu Jimat Hati Dewa yang kini

telah menyatu dalam tubuh Lasedayu dan menjadi 

satu kekuatan dahsyat membuat pukulan itu jadi 

berlipat ganda kehebatannya. Begitu cahaya kuning 

menghantam langsung si kakek terpental. Masih 

melayang di udara tubuh sebelah kanannya yang 

terkena sambaran pukulan hancur di bagian bahu 

sampai ke sisi sebelah kanan. Sisi kanan si kakek kini 

hanya tinggal satu gerakan atau lobang besar. Tulang-

tulang iganya serta sebagian isi dada dan perutnya 

bisa terlihat dengan jelas. Darah mengucur 

menggidikkan. Tapi aneh dan luar biasanya si kakek 

Wakil Para Dewa itu sama sekali tidak menemui ajal. 

Sesaat dia masih berusaha berdiri. Dengan langkah 

sempoyongan dia mendekati mayat Latumpangan 

lalu mencabut Pedang Langit Biru yang menembus 

tubuh orang itu. Semula Lasedayu mengira si kakek 

akan pergunakan senjata itu untuk menyerangnya. 

Ternyata kemudian Periahan-lahan tubuhnya yang kini 

nyaris tinggal separoh itu melayang ke atas.

 Lasedayu berusaha mengejar sambil lepaskan

satu pukulan lagi yakni Pukulan Tangan Dewa Warna

Biru. Seperti diketahui pukulan ini jauh lebih dahsyat

dari pukulan Tangan Dewa Warna Kuning. Akan tetapi

saat itu sosok si kakek sudah berada jauh di luar daya

capai pukulan. Namun Lasedayu sudah cukup puas.

Dia bukan saja telah menciderai lawan, yang lebih

penting saat itu Jimat Hati Dewa telah mendarah

daging dalam tubuhnya hingga kini dia menjadi se-

orang sakti mandraguna luar dalam.

 Sebelum berkelebat menghilang ke ufuk langit

arah utara si kakek di atas sana keluarkan ucapan

yang ditujukan pada Lasedayu.

 "Wahai anak manusia berhati jahat. Apa yang kau

lakukan hari ini terhadapku kelak akan membuat jatuh-

nya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari

hidupmu akan kau jalani dalam kesengsaraan. Aku

akan meminta kepada Para Dewa agar hidup keluar-

gamu morat marit dalam sengsara. Jika kelak kau

punya anak maka kau tidak akan memiliki mereka. Si

bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi

musuhmu paling besar di alam ini!"

 Kakek gila! Wahai! Kau boleh mengoceh meminta 

kutukan Dewa. Siapa takut!" Lasedayu lepaskan

pukulan Tangan Dewa Warna Biru. Namun tidak sang-

gup mencapai sasaran sementara si kakek yang tu-

buhnya nyaris tinggal sebelah sudah melesat lebih

jauh ke atas dan akhirnya lenyap di langit sebelah

utara.

***


DELAPAN


BEBERAPA belas tahun setelah kejadian di tepi 

jurang... "Wahai istriku Luhpingitan, aku akan

meninggalkanmu dan anak-anak. Aku pergi tak akan 

lama, hanya sekitar sepuluh tahunan. Jika aku kembali 

maka aku akan membawa kalian ke Lembah Bulan 

Sabit. Di situ aku sudah membangun satu rumah besar 

untuk tempat tinggal kita yang baru...."

 Perempuan bernama Luhpingitan memandang

sedih pada suaminya. Walau masa sepuluh tahun di

Negeri Latanahsilam sama dengan setahun di tanah

Jawa namun seolah tak sanggup dia menatap mata

sang suami, perempuan itu alihkan pandangannya ke

arah tempat tidur besar terbuat dari batu berlapiskan

jerami kering. Di atas tempat tidur itu terbaring empat

anak laki-laki masing-masing berusia setahun, dua

tahun, tiga tahun dan empat tahun sesuai ukuran usia

di Negeri Latanahsilam yang tidak sama dengan negeri

lainnya pada masa itu. Ke empat anak itu tengah

tertidur nyenyak dalam dinginnya udara menjelang

pagi.

 "Lasedayu wahai suamiku. Sebelum kau pergi,

apakah kau tidak akan memberi nama dulu pada ke

empat anak kita?"

 Mendengar pertanyaan istrinya Itu Lasedayu ter-

senyum. Sambil memegang bahu Luhpingitan dia

menjawab. "Istriku, jangan kau merasa sedih. Aku

memang sudah menyiapkan masing-masing sebuah

nama untuk mereka. Nama-nama itu akan kusebut dan

beritahu padamu kelak jika aku kembali sepuluh tahun

mendatang...."

 "Suamiku, sebenarnya sejak beberapa waktu be-

lakangan ini muncul banyak kekhawatiran dalam diri-

ku. Aku sering mimpi buruk tentang dirimu, tentang

ke empat anak kita. Mereka...."

 "Luhpingitan, orang di Negeri Latanahsilam ini

menyebut mimpi adalah rampai bunganya tidur. Buruk

atau baiknya yang akan terjadi adalah suratan Para

Dewa di atas langit...."

 "Justru aku juga telah beberapa kali kedatangan

Dewa dalam mimpiku wahai Lasedayu. Sepertinya ada

yang tidak disenangi Para Dewa terhadap kita se-

keluarga...."

 Lasedayu tersenyum namun diam-diam dia teringat

pada kejadian belasan tahun silam ketika dia berkelahi 

dengan Wakil Para Dewa dan berhasil menciderai 

kakek itu. Walau hatinya mendadak tidak enak, pada 

istrinya Lasedayu tetap saja berkata lembut dan

menghibur.

 “Sudahlah Luhpingitan, aku akan berangkat seka-

rang. Tenangkan hatimu. Lihat anak-anak kita. Mereka

tidur nyenyak, mereka gemuk-gemuk semua tanda

sehat. Dan lihat tanda bunga dalam lingkaran yang

ada di bawah lengan kanan dekat ketiak mereka. Itu

adalah tanda dari Para Dewa bahwa kelak mereka 

akan

menjadi orang-orang gagah di Negeri ini. Empat putera

Lasedayu dari istri bernama Luhpingitan akan menjadi

orang-orang hebat tanpa tandingan. Wahai, aku pergi,

jaga mereka baik-baik….”

 “Lasedayu…” kata Luhpingitan sambil memegang

tangan suaminya. Matanya entah mengapa 

mendadak

saja berkaca-kaca begitu menatap ke empat anaknya.

“Anak-anak itu. Aku….”

 Lasedayu merangkul istrinya lalu berbisik. “Jika

kau masih khawatir aku akan usahakan mempersingkat 

perjalanan. Aku berjanji akan kembali dalam waktu

lima tahun….”

 Luhpingitan sandarkan kepalanya ke dada Lase-

dayu. “Kalau begitu janjimu alangkah gembiranya

hatiku. Pergilah wahai suamiku. Jaga dirimu baik-

baik….”

 Di malam dingin menjelang pagi Lasedayutinggal-

kan anak istrinya di tempat kediaman mereka yang

terletak di satu kaki bukit dekat aliran sebuah sungai

besar.

 Lasedayu sampai di tepi sungai pada saat langit

di ufuk timur kelihatan terang pertanda sang surya

segera akan muncul menerangi jagat Dia menarik

nafas dalam-dalam. Hawa segar memenuhi rongga

dadanya. Belum sempat lelaki ini menghembuskan

nafas dari dadanya tiba-tiba telinganya menangkap

suara menggemuruh dari arah hulu sungai. Lalu men-

dadak langit yang tadi mulai terang kini kembali meng-

hitam. Dua kali kilat menyambar disusul oleh gelegar

guruh yang menggetarkan tanah!

 “Wahai, Ini satu pertanda alam yang tidak baik.

Apa yang bakal terjadi?!” membatin Lasedayu. Hatinya

serta merta terasa tidak enak. Suara menggemuruh

semakin keras dan dahsyat. “Sepertinya ada air bah

datang melanda dari hulu!” Baru saja Lasedayu ber-

kata begitu angin keras bertiup. Tubuhnya sampai

terpental dua tombak. Dengan cepat lelaki ini meng-

gapai satu pohon besar tapi “kraakk!” Pohon itu tum-

bang dihantam angin. Langit tambah kelam. Gelegar

guruh tiada henti. Hujan lebat mendadak turun. Air

sungai bergerak aneh. Lalu dari arah hulu tiba-tiba

menderu gelombang air bah yang bukan olah-olah

dahysatnya. Jangankan semak belukar, dan pepohon-

an. Batu-batu besar yang ada di sepanjang tepi sungai

porak poranda dihantam air.

 “Banjir tiga ratus tahun!” seru Lasedayu menyebut air 

bah yang biasanya terjadi sekali dalam tiga

ratus tahun. Wajahnya tegang sekali. Dia memandang

ke arah barat, ke jurusan tempat kediamannya. “Anak

istriku! Aku harus kembali!”

 Laksana terbang Lasedayu melompat ke sebuah

batu besar yang bergulingan dihantam air bah. Dari

atas batu ini dia melayang dan injakkan kaki di atas

tumbangan pohon besar. Sesaat dia bingung. Kemana

lagi dia hendak melompat. Kemana mata memandang

hanya gelombang air yang terlihat. Tiba-tiba satu pu-

taran air menghantam batang kayu di atas mana

Lasedayu berada.

 “Celaka!” seru Lasedayu. Pada saat batang kayu

yang dipijaknya mencelat mental dia cepat melompat.

Di udara dia jungkir balik satu kali lalu sebelum batang

kayu tadi tenggelam di dalam air dengan cepat dia

menggapai, memegang batang kayu itu erat-erat. Ma-

langnya batang kayu ini meluncur deras ke arah se-

buah batu besar. Benturan tak dapat dihindarkan.

Lasedayu menjerit keras. Tulang punggungnya terasa

seperti hancur luluh ketika tubuhnya sebelah belakang

beradu keras dengan batu besar. Lelaki ini langsung

jatuh pingsan namun dua tangannya masih tetap me-

meluk erat batang kayu yang merupakan satu-satunya

benda penyelamat nyawanya!

****

 LASEDAYU duduk terbungkuk-bungkuk di tanah

yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di sebelah

belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pan-

dangan matanya sayu. Kalau saja dia bisa meminta

rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati. Periahan-

lahan dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi

dipergunakan untuk menopang keningnya. Meman-

dang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang

disana-sini masih digenangi air. Lasedayu sampai di

tempat itu malam tadi. Dan kini matahari menjelang

tenggelam. Berarti hampirsatu hari penuhdia terduduk

di situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta

perasaan hancur di dalam hati. Otaknya seperti mau

gila menghadapi kenyataan ini.

 "Rata semua.... Rumahku, lenyap tak berbekas. Para 

Dewa.... Wahai tunjukkan padaku dimana mereka

berada. Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini

padaku! Anak istriku... Luhpingitan, anak-anakku....

Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka se-

karang?" Tenggorokan Lasedayu turun naik. Dadanya

terasa sesak. Matanya berkaca-kaca. Suara isakannya

tak bisa ditahan. Isakan ini kemudian berubah menjadi

ratap tangis memilukan. "Wahai.... Apa kesalahanku.

Apa kesalahan anak istriku... Luhpingitan, anak-anakku! 

Dimana kalian?!" Lasedayu kembali letakkan tangan 

kanannya di atas kening. "Kalau saja aku tidak pergi 

mungkin aku masih bisa menolong mereka...."

Lasedayu kembali meratap. Dia tundukkan kepalanya

hampir menyentuh tanah yang becek. Rasanya ingin

dia menghunjamkan dirinya ke dalam tanah dan mati

terkubur di tempat bekas rumahnya itu.

 Lasedayu menarik nafas dalam. Pandangannya jauh 

ke depan tapi kosong. Dia ingat sesuatu! Tiba-tiba

pelipisnya bergerak-gerak. Rahangnya menggembung 

dan pandangan matanya menjadi beringas. Dua

tangannya dikepalkan di atas paha. Dari mulutnya

keluar suara memaki.

 "Jahanam! Ini pasti akibat ulah ucapan keji Wakil

Para Dewa itu!" Seolah terngiang, Lasedayu men-

dengar kembali ucapan Wakil Para Dewa di masa

kejadian belasan tahun silam.

 “Wahai anak manusia berhati jahat. Apa yang kau

lakukan hari ini terhadapku kelak akan membuat jatuh-

nya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari

hidupmu akan kau jalani dalam kesengsaraan. Aku

akan memohon pada Para Dewa agar hidup keluarga-

mu morat-marit dalam sengsara. Jika kelak kau punya

anak maka kau tidak akan memiliki mereka. Si bungsu

yang paling kau sayangi justru akan menjadi musuhmu

paling besar di alam ini!"

 Sosok Lasedayu bergeletar. "Ucapan keji itu agak-

nya telah menjadi kenyataan. Kutukan Dewa telah 

jatuh atas diriku!"

 Sesaat setelah matahari tenggelam dan tempat

itu diselimuti kegelapan mendadak Lasedayu mende-

ngar suara bisikan halus, seolah datang dari lubuk

hatinya.

 "Wahai Lasedayu, tiada gunanya kau berhiba diri

duduk di tempat ini. Sampai seratus tahun pun kau di

sini kau tak mungkin menemukan istri dan empat

anakmu. Bangkitlah! Tinggalkan tempat ini! Cari anak

istrimu walau kau harus berjalan jutaan tombak dan

menghabiskan waktu ratusan tahun!"

 "Wahai! Siapa kau yang bicara padaku seperti itu?!" 

Lasedayu keluarkan suara seraya memandang

berkeliling.

 "Aku suara hati nuranimu. Aku ada di dalam hatimu!" 

suara jawaban itu menggema di dalam dada

Lasedayu. Lelaki ini usap mukanya berulang kali. Dia

memandang lagi berkeliling. Lalu Periahan-lahan dia

bangkit berdiri.

* *

SEMBILAN


PULAU karang kecil di pantai barat Negeri La-

tanahsilam itu adalah pusat arus air laut berputar. Tidak 

mengherankan kalau sepanjang hari sepanjang tahun 

di sekitar pulau selalu terdengar suara seperti 

mengaung. Suara ini ditimbulkan oleh kencangnya arus 

yang berputar dan ditepis oleh derasnya tiupan angin 

laut.

 Serombongan burung camar melayang di udara.

Beberapa diantara burung-burung ini memisahkan diri

lalu menukik turun ke tengah pulau di mana terdapat

satu tonjolan batu karang rata. Burung-burung ini,

yang membawa rumput-rumput segar dalam jepitan

paruh mereka hinggap di atas satu gundukan batu

berwarna kehijauan berselimut lumut. Burung-burung

camar itu kemudian mulai menggesek-gesekkan kaki

masing-masing pada gundukan tempat mereka hing-

gap sambil mengeluarkan kicau berisik. Tiba-tiba gun-

dukan berlumut itu bergerak. Di sebelah tengah ada

bagian menyerupai sepasang tangan. Lalu di sebelah

atas dua lobang kecil membuka, menyerupai mata!

 Astaga, benda berupa gundukan berlumut ini ter-

nyata satu benda hidup adanya! Dan ketika satu 

lobang lagi membuka di bagian atas di bawah dua 

lobang kecil tadi, terdengarlah suara orang bicara!

 "Kawan-kawanku.... Wahai camar laut. Kalian da-

tang lagi membawa makanan untukku.... Aku sangat

berterima kasih pada kalian. Sejak kakek yang me-

meliharaku meninggal dunia, jasa kalian tidak ter-

hingga! Kalau kalian tidak selalu datang membawa

rumput-rumput segar untuk makananku pasti sudah

sejak lama aku menjadi bangkai tulang belulang ber-

serakan di puncak pulau karang ini!"

 Burung-burung camar kembali menggesekkan kaki

mereka di atas kepala makhluk aneh yang duduk di

atas batu karang sambil keluarkan suara kicau tiada

henti. Makhluk berlumut gerakkan tangan kanannya.

Satu persatu dia mengambil rerumputan segar yang

terjepit di paruh burung-burung itu lalu memasukkan-

nya ke dalam mulut dan mulai mengunyah memakan-

nya. Sambil makan rumput dia pergunakan tangan kiri

untuk mengusap dan membelai binatang-binatang

yang selalu datang membawakan makanan untuknya

itu.

 "Kalian berjasa besar. Kalian memberikan nafas

kehidupan padaku. Wahai burung-burung camar, aku

tidak bakal melupakan budi kalian seumur-umur...."

 Burung-burung di atas kepala makhluk aneh itu

keluarkan kicau riuh. Sesaat setelah semua rumput

segar yang mereka bawa diambil dan habis dimakan,

binatang-binatang itu merentangkan sayapnya lalu

terbang ke udara diikuti pandangan sepasang mata si

makhluk aneh. Dari mulutnya keluar ucapan setengah

berdesah.

 "Terima kasih.... Terima kasih wahai kawan-kawanku. 

Enam puluh tahun.... Sudah enam puluh tahun aku 

berada di tempat ini. Kalau menuruti kata-kata si kakek 

yang sudah meninggal itu aku harus berada di sini 

sepuluh tahun lagi. Setelah itu aku harus masuk ke alam 

pengembaraan, menjajal segala ilmu kepandaian yang 

kumiliki sambil mencari tahu dimana dan siapa adanya 

ayah bundaku...."

 "Wahai makhluk di puncak batu karang tempat arus 

berputar! Jika kau mengikuti petunjukku, kau tak Periu 

harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi! Sebelum 

sang surya tenggelam hari ini, kau sudah boleh 

meninggalkan pulau karang!"

 Makhluk di atas batu karang tersentak kaget. Dia

mendongak ke atas. Di antara silaunya sinar matahari

dia melihat ada sebuah benda berwarna merah mela-

yang turun dari sebelah utara. Belum sempat dia

berkejap, benda ini tahu-tahu sudah sampai di ha-

dapannya! Kejut si makhluk aneh bukan alang ke-

palang!

 Sosok yang tegak di depannya saat itu adalah

sosok seorang kakek yang keadaannya sungguh me-

ngerikan. Sekujur badannya dikobari nyala api. Namun

sosok sebelah kanan yaitu bagian bahu sampai ke

pinggang hanya merupakan satu lobang besar meng-

gidikkan. Makhluk berlumut di atas batu bisa melihat

isi dada dan perut serta genangan darah di dalamnya.

 "Makhluk api yang sosokmu hanya tinggal sebelah! 

Siapa kau adanya! Apa maksud ucapanmu tadi?!"

 Yang dftanya menyeringai. Lidah api membersit

dari mulutnya. Sepasang matanya juga memancarkan

nyala api. "Namaku Lamanyala. Sejak dua ratus tahun

silam aku adalah Wakil Para Dewa di Negeri ini. Kau

sendiri, apakah kau bisa menerangkan siapa adanya

dirimu wahai makhluk berlumut?!"

 Yang ditanya tergagau lalu bungkam tak bisa

menyahut.

 Makhluk berapi yang mengaku bernama Lamanyala 

tertawa mengekeh hingga lidah api keluar dari mulut, 

mata dan sepasang telinganya. "Enam puluh tahun

hidup di tempat terpencil ini! Kau tidak tahu dirimu 

sendiri. Bahkan kau tidak punya nama. Sungguh 

malang hidupmu wahai makhluk berlumut! Untuk

mengurangi kemalangan itu biar saat ini aku memberi

nama padamu. Agar kau mengenali dirimu sendiri dan

aku mudah menyebut memanggilmu. Wahai apakah

kau suka kupilihkan sebuah nama untukmu?"

 Makhluk berlumut masih membisu.

 Kakek bertubuh api melanjutkan. "Aku akan namakan 

kau Labahala."

 Makhluk berlumut yang sampai saat itu masih duduk 

di atas batu karang dongakkan kepalanya. Dua

matanya memandang tak berkesip pada si makhluk

api. "Wahai! Nama yang kau berikan padaku sungguh

tak sedap didengar dan buruk sekali arti maknanya!

Apa tak ada nama yang lebih baik dari itu!"

 Si kakek bernama Lamanyala dan mengaku Wakil

Para Dewa tertawa bergelak. "Berpuluh tahun bahkan

sejak kau masih ada di rahim ibumu, aku sudah

menyirap memperhatikan keadaan dirimu serta mera-

mal keadaanmu di masa mendatang. Mengingat siapa

dirimu maka nama itu adalah yang paling tepat untuk-

mu!"

 "Kau bukan ayahku bukan pula kerabat keluarga!

Apa hakmu memberi aku nama?!"

 Kembali Lamanyala tertawa panjang. "Makhluk

berlumut, kau tahu apa tentang ayahmu! Kau tahu apa

tentang kerabatmu! Satu-satunya makhluk yang kau

kenal adalah kakek gurumu yang sudah mati itu!

Satu-satunya kerabat yang dekat denganmu hanyalah

burung-burung camar yang selalu datang membawa-

kan rumput makanan bagimu! Dan kau tidak tahu

burung-burung itu sebenarnya adalah suruhan Para

Dewa hingga kau tidak menemui ajal percuma di pulau

terpencil ini! Sekarang apakah kau tidak berterima

kasih pada Para Penguasa di atas sana?! Berani

menolak nama pilihan yang kuberikan?!"

 Terkejutlah makhluk berlumut. Sesaat dia hanya

bisa berdiam diri.

 "Labahala, kau dengar baik-baik. Kehidupan masa

depanmu sudah ada dalam bayangan benakku! Aku

akan memberi petunjuk dan kau hanya tinggal men-

jalankan!"

 "Kalau aku tidak mau mengikuti dan menjalani

petunjukmu, kau mau berbuat apa wahai Lamanyala?"

 "Tidak ada makhluk setololmu di muka bumi ini!

Jika kau masih terus mendekam di tempat ini apa yang

akan kau dapat? Dan jika Para Dewa menghentikan

anugerahnya melalui burung-burung camar itu, apa

kau bisa bertahan hidup sampai satu tahun di muka?

Di tempat ini kau hanya mendapatkan angin, embun,

terik panas matahari dan lumut!"

 "Guruku telah mengajarkan berbagai ilmu padaku!

Itu sudah memberikan kepuasan tiada tara padaku!"

 "Kau punya ilmu katamu, bagus! Tapi kapan kau

mempergunakan ilmu itu? Apa yang kau dapat dari

ilmumu itu? Kau tidak lebih dari seekor cacing tanah

terpencil di pulau celaka ini! Apakah kau akan meng-

habiskan hidupmu seumur-umur di tempat ini?! Se-

baliknya jika kau ikut petunjukku, kelak kau akan

mendapatkan berbagai ilmu kesaktian mandraguna,

yang akan menjadikanmu makhluk tiada tandingan."

 "Menurut guru. Sepuluh tahun lagi aku boleh

meninggalkan pulau. Mengembara kemana aku suka

sambil memanfaatkan semua Ilmu yang kumiliki! Aku

sudah cukup puas dengan ilmu yang aku miliki! Aku

tidak Periu ilmu tambahan. Juga tidak dari kau wahai

makhluk api!"

 "Wahai, sungguh picik jalan pikiranmu. Rupanya

lumut bukan hanya menutupi tubuhmu sebelah luar

tapi juga sudah membungkus otakmu! Ha... ha... ha!"

 "Wahai! Jangan keliwat menghina makhluk api!

Akan kuPeriihatkan padamu bahwa aku bukan makh-

luk bodoh!" Habis berkata begitu makhluk berlumut

yang oleh Wakil atau Utusan Para Dewa diberi nama

Labahala hantamkan tangan kanannya ke batu 

karang datar yang ada di depannya.

 "Braaakkk!"

 Batu karang amblas membentuk lobang besar

sementara pecahannya berkeping-keping melayang

ke udara. Makhluk berlumut meniup. Pecahan-pecah-

an batu karang yang ternyata sebenarnya telah hancur

itu berubah, beterbangan menjadi debu dan luruh ke

tanah!

 "Kau bisa menghancurkan, tapi apakah kau sang-

gup mengembalikan debu karang itu ke bentuknya

semula?" bertanya kakek api Lamanyala.

 "Aku tidak mengerti..." jawab makhluk berlumut.

 "Kau tidak mengerti! Ha... ha... ha! Lihat apa

yang aku lakukan!" Kakek api ulurkan tangan ka-

nannya lalu disapukan ke tanah. Debu hancuran batu

karang yang tadi dipukul makhluk berlumut mem-

bubung ke udara, menyatu kembali secara aneh. Si

kakek gerakan tangan kanannya dua kali, kali ketiga

dia seperti memukul ke arah lobang di depan makh-

luk berlumut.

 "Wuuttt! Seetttt! Setttt! Bluuupppp!"

 Lobang besar akibat hantaman pukulan tadi kini

tertutup oleh gumpalan debu, rata tak berbekas seperti

keadaan semula!

 Labahala hanya bisa leletkan lidah menyaksikan

kejadian itu. Kakek api menyeringai lebar lalu berkata.

 "Sungguh hebat ilmu pukulan Menghancur Karang 

Membentuk Debu yang kau Periihatkan padaku.

Wahai, bukankah itu nama pukulan yang barusan kau

Periihatkan padaku? Hik... hik... hik!"

 Makhluk berlumut terkesiap kaget. Tidak mengerti

bagaimana si kakek api tahu nama pukulan yang

barusan dikeluarkannya.

 "Makhluk berlumut yang aku beri nama Labahala,

jika kau mengikuti petunjukku kau akan dapatkan

berbagai ilmu yang jauh lebih hebat dari yang barusan

kau Periihatkan. Kau tak Periu menunggu sepuluh

tahun. Sebelum sang surya tenggelam hari ini kau

sudah boleh meninggalkan pulau ini! Terserah apakah

kau mau menerima berkah atau tetap jadi cacing 

tanah dengan sejuta ketololan!"

 Makhluk berlumut merenung sejenak. Lalu dia

bertanya. "Petunjuk apa yang hendak kau berikan

padaku wahai kakek api?"

 "Pertama, kau akan kuwariskan beberapa ilmu

kepandaian yang akan membuatmu kelak menjadi

makhluk tanpa tandingan di Negeri Latanahsilam. Se-

mua akan tunduk padamu dan kau akan menjadi Raja

Di Raja Segala Makhluk bergelar Hantu yang ada di

Negeri itu...."

 "Dari guru saya pernah mendengar bahwa Para

Hantu di Negeri Latanahsilam adalah para tokoh sakti

mandraguna yang sangat tinggi ilmu kepandaian-

nya "

 "Kau tak usah khawatir! Dengan ilmu yang aku

berikan mereka akan tunduk di bawah telapak kaki-

mu! Kau akan menjadi Raja Di Raja! Untuk itu kelak

kau harus membangun satu Kerajaan yang berpusat

pada satu istana yang harus kau beri nama Istana

Kebahagiaan. Di dalam istana itu kau akan me-

nemukan kesaktian dan kehebatanmu. Di dalam is-

tana itu kau akan menemukan kebahagiaan dunia

tiada taranya. Karena di istanamu itu akan berkumpul

semua perempuan cantik delapan penjuru angin.

Hik... hik... hik! Aku tanya apa kau tidak suka hidup

seperti itu...?!"

 Si makhluk berlumut leletkan lidahnya di ujung

bibir. Perbuatannya ini sudah cukup memberi tanda

pada kakek api bahwa orang di hadapannya itu me-

nyukai apa yang didengarnya dan berarti bersedia

mengikuti apa-apa yang dikatakannya.

" Labahala, begitu kau menginjakkan kaki di Negeri

Latanahsilam maka kau berhak menyandang gelar

Hantu Muka Dua, dan dirimu adalah pelambang makh-

luk Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu! Ha-

ha... ha...!"

 Labahala kerenyitkan kening. Gelar dan pelambang 

yang dikatakan si kakek api sungguh angker terdengar 

di telinganya. "Kakek Lamanyala, gelar dan pelambang 

yang kau sebutkan barusan "

 Si kakek angkat tangan kanannya yang dikobari

api mulai dari bahu sampai ke telapak. "Aku tahu apa

yang ada dalam benak dan hatimu. Gelar dan pe-

lambang yang kusebutkan tadi adalah yang paling

cocok untukmu karena aku akan membuatmu de-

mikian rupa hingga keadaanmu menjadi memiliki satu

kepala dengan dua muka seumur hidupmu!"

 "Kek, aku...."

 "Jangan bicara! Jangan memutus ucapanku se-

belum selesai!" Kakek api membentak. Kobaran api

di muka dan matanya menjilat ke depan membuat

makhluk berlumut cepat-cepat tarik kepalanya ke be-

lakang takut terbakar. "Dengar Labahala, sebelum kau

tinggalkan pulau ini kau wajib membersihkan diri di

pantai pulau sebelah timur. Lalu begitu kau berada di

Negeri Latanahsilam maka kau akan memiliki kepala

dengan empat pasang macam muka. Muka Pertama

adalah muka aslimu yakni muka lelaki separuh baya.

Putih di sebelah depan. Itu muka jahatmu. Lalu hitam

di sebelah belakang, itu muka baikmu. Muka ke dua

adalah muka seorang kakek pucatpasi, sama warna

depan dan belakang. Kau akan memiliki muka ini jika

kau berada dalam keadaan kaget atau takut. Muka ke

tiga akan muncul jika kau sedang bergairah atau naik

nafsu terhadap lawan jenismu. Kau akan memiliki dua

muka anakmuda yang sangat tampan. Putih di sebelah

depan, hitam di bagian belakang. Muka terakhir 

adalah mukamu yang paling dahsyat. Wajahmu 

depan belakang akan berubah menjadi wajah raksasa 

jika kau sedang marah!"

 Tidak terasa si makhluk berlumut usap mukanya

sebelah depan dan gosok-gosok kepalanya sebelah

belakang. Lamanyala tertawa. "Belum, kepalamu ma-

sih belum berubah wahai Labahala. Kepalamu masih

tetap memiliki satu wajah. Ha... ha... ha! Sekarang

dengar apa yang harus kau lakukan begitu berada di

Negeri Latanahsilam. Pertama sekali kau harus men-

cari makhluk sakti bernama Hantu Tangan Empat Dia

memiliki beberapa ilmu kesaktian. Satu yang paling

hebat adalah ilmu pukulan bernama Tangan Hantu

Tanpa Suara. Kau harus merampas ilmu itu dari ta-

ngannya. Dengan akal kejimu kau harus menundukkan

Hantu Tangan Empat karena saat ini dialah yang paling

tinggi ilmu kepandaiannya. Selesai urusanmu dengan

Hantu Tangan Empat kau harus mencari seorang

berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Makhluk ini diam di satu

tempat bernama Kubangan Lalumpur. Dari dia kau

harus merampas ilmu kesaktian bernama Hantu Hijau

Penjungkir Roh. Bilamana dua tugas itu sudah kau

selesaikan maka kau harus pergi ke satu lembah di

selatan Negeri Latanahsilam. Lembah ini bernama

Lembah Seribu Kabut Di situ ada seorang pertapa

bernama Lasedayu. Kesaktiannya konon lebih tinggi

dari Hantu Tangan Empat. Jadi kau harus hati-hati

terhadap makhluk satu ini. Dia memiliki banyak ilmu

kepandaian. Satu diantaranya adalah pukulan ganas

bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak

Bumi. Semua ilmu yang dimiliki Lasedayu dengan

mudah bisa kau dapati hanya dengan jalan 

mencungkil dan merampas pusarnya! Kau paham 

wahai Labahala?"

 "Aku paham wahai Lamanyala. Namun jika La-

sedayu memiliki kepandaian tinggi tentu sulit untuk

mencungkil merampas pusarnya "

 "Kau benar. Tapi jika kau mempergunakan alat

ini pekerjaan itu akan jadi mudah...." Kakek api lalu

masukkan tangan kirinya ke dalam lobang di sisi kanan

tubuhnya. Dari dalam rongga ini dikeluarkannya se-

buah benda yang diselimuti darah kental.

* *

SEPULUH

LABAH ALA kernyitkan kening. Dia tidak tahu benda 

apa yang dipegang si kakek api Wakil Para Dewa itu. Si 

kakek mendongak ke langit, pejamkan matanya lalu 

meniup. Serta merta darah yang melumuri benda yang 

dipegangnya lenyap. Kini kelihatan ujud benda itu, 

ternyata adalah sebuah sendok aneh bergagang 

pendek, terbuat dari emas murni memancarkan 

cahaya kuning berkilauan.

 "Ini adalah Sendok Pelangkah Nasib. Dengan benda 

ini dengan mudah kau bisa mengorek pusar Lasedayu. 

Ambillah, simpan baik-baik. Benda ini hanya boleh kau 

keluarkan pada saat kau siap mencungkil pusar 

Lasedayu. Jika telah selesai kau harus pergi ke tepi 

pantai, menghadap ke utara lalu buang Sendok

Pelangkah Nasib ke dalam laut Secara gaib sendok

ini akan kembali padaku...."

 Si kakek api ulurkan tangannya yang menyala.

Dengan hati-hati Labahala ambil benda itu. Tangannya

bergetar begitu memegang sendok emas dan kuduk-

nya terasa dingin. Setelah memperhatikan sejenak

Sendok Pelangkah Nasib dimasukkannya ke balik

sosoknya yang penuh' lumut.

 "Labahala, kelak kau akan menjadi Raja Di Raja

Para Hantu di Negeri Latanahsilam. Dalam perjalanan

hidupmu ada satu pantangan yang harus kau ingat

baik-baik. Yaitu kau sekali-kali tidak boleh membunuh

perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa. Ter-

masuk binatang yang betina...."

 "Wahai, mengapa begitu Kek?" tanya makhluk

berlumut

 "Pantangan sudah begitu kejadiannya. Tak ada

pertanyaan untuk hal itu dan tak ada jawabnya bagi-

mu!" kata Lamanyala pula. "Ada beberapa hal lagi

yang harus kau lakukan wahai Labahala. Begitu Hantu

Tangan Empat jatuh dalam kekuasaanmu, kau harus

memerintahkannya untuk pergi ke Negeri Seribu Dua

Ratus Mendatang. Negeri itu disebut Tanah Jawa.

Hantu Tangan Empat satu-satunya makhluk di La-

tanahsilam yang punya kesaktian untuk menembus

jarak serta perbedaan waktu. Di Tanah Jawa dia harus

mencari tiga manusia. Yang pertama bernama Wiro

Sableng, berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni

212. Yang ke dua seorang bocah aneh dipanggil de

ngan sebutan Naga Kuning atau Naga Cilik. Yang ke

tiga seorang kakek berjuluk Si Setan NgompoL Salah

satu dari ke tiga orang itu memiliki sebuah batu sakti

bernama Batu Pembalik Waktu. Batu itu harus kau

dapatkan untuk mencegah orang-orang di Tanah 

Jawa bisa masuk ke dalam alammu. Sebaliknya 

dengan memiliki batu itu kau bisa masuk ke dalam alam 

seribu dua ratus tahun mendatang. Bilamana kau 

berhasil menjejakkan kaki di Tanah Jawa, segudang 

ilmu kepandaian akan mudah kau dapatkan. Lebih 

dari itu kau bisa pula menjadi Raja Di Raja di Negeri 

asing itu...."

 "Kakek Lamanyala, aku sangat berterima kasih

atas semua petunjukdan apa yang kau berikan 

padaku. Setelah membersihkan diri aku segera akan 

berangkat menuju Lembah Seribu Kabut tempat 

kediaman Lasedayu. Namun wahai Kakek Lamanyala, 

jika aku boleh bertanya mengapa sampai aku yang 

terpilih menerima semua berkah ini?"

 Si kakek api tertawa lebar. Ketika mulutnya terbuka 

kobaran api menjilat-jilat keluar. "Takdir dan perjalanan 

nasibmu sudah begitu Labahala. Kau terpilih menerima 

rezeki besar. Sekarang dengar, masih ada satu dua 

petunjuk lagi yang harus kau dengar dariku wahai 

Labahala. Tiga manusia yang kusebutkan tadi bisa 

menjadi bencana bagimu karena itu harus kau bunuh 

mereka setiap ada kesempatan. Tetapi mereka juga 

memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Darah yang 

mengalir di tubuh mereka bisa kau jadikan cairan sakti 

peredam senjata apa saja yang kau inginkan hingga 

senjatamu itu menjadi satu sen- jata mustika sakti 

mandraguna. Jadi bunuh dia tapi ambil darahnya! 

Petunjuk selanjutnya akan sampai kepadamu melalui 

mimpi-mimpi."

 "Terima kasih atas petunjukmu Kek," kata makhluk 

berlumut lalu rundukkan tubuhnya ke depan sampai

keningnya hampir menyentuh tanah. Si kakek api 

tertawa senang. Dia ulurkan tangan kirinya menepuk-

nepuk bahu Labahala. Karuan saja makhluk berlumut ini 

kelojotan karena kobaran api yang ada di tangan si 

kakek langsung membakar bahunya, membuat lumut 

di bagian tubuh itu hangus kering.

 "Aku pergi sekarang wahai Labahala. Sudah tiba

saatmu untuk mandi membersih diri!" Habis berkata

begitu si kakek ulurkah tangan kanannya mencekal

kuduk Labahala. Sekali dia menyentakkan tangan itu

maka melesatlah sosok makhluk berlumut itu, mela-

yang di udara dan akhirnya jatuh di dalam laut dangkal

di pantai timur pulau karang.

"Labahala! Bersihkan tubuhmu dari selimut lumut! 

Setelah itu pergi ke pantai sebelah selatan. Kau akan 

menemukan sebuah perahu. Kayuh perahu itu menuju 

daratan Negeri Latanahsilam. Selamat jalan wahai Raja 

Di Raja Segala Hantu! Selamat jalan wahai Hantu 

Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"

 Di dalam air laut Labahala memandang berkeliling.

Dia mendengar suara itu tapi sama sekali tidak melihat

sosok si kakek api. Anehnya ketika dia "mengusap

lengannya, lumut hijau yang telah bertahun-tahun

membungkus tubuhnya hingga menyerupai lapisan

batu terkelupas rontok. Labahala terkesiap. Digosok-

nya bagian tubuh yang lain. Hal yang sama terjadi.

Labahala mengusap wajahnya. Beberapa kali meng-

usap saja seluruh wajahnya serta merta menjadi bersih!

 Kembali ke pulau karang ternyata kakek Wakil Para 

Dewa di Negeri Latanahsilam masih berada di

tempatnya semula. Seringai lebar menguak di wajah-

nya. Dari mulutnya meluncur ucapan.

 "Lasedayu, dendamku puluhan tahun silam akan

segera terbalaskan! Kau tidak pernah tahu siapa se-

benarnya yang mencelakai dirimu! Kau akan hidup

sengsara terkutuk seumur-umur! Celakalah kau Lase-

dayu!"

 Kakek yang tubuhnya geroak dan terbungkus

nyala api itu tertawa panjang dan puas. Namun

tawanya mendadak sontak lenyap ketika di langit

ada cahaya putih disusul suara mengiang di ke dua

telinganya.

 "Lamanyala, Wakil Para Dewa di Negeri Latanah-

silam. Kami memang menginginkan hukuman dijatuh-

kan atas diri Lasedayu. Namun bukan dengan cara

seperti yang telah kau kerjakan. Pelaksanaan hukuman

bukan berarti membakar dan menebar dendam. Apa

lagi kau sadar penuh siapa adanya Lasedayu dan 

siapa pula adanya makhluk berlumut yang kau beri 

nama Labahala itu!"

 Si kakek api menatap ke langit. Lalu rapatkan dua

tangan dan letakkan di atas kening. Lututnya ditekuk

sedikit

 "Wahai Junjungan Dari Atas Langit, mohon maaf

kalau aku telah keliru bertindak. Namun bukan maksud

hati membakar dan menebar dendam. Kalau Jun-

jungan melihat keadaan diriku yang sengsara dan

mengerikan begini rupa, hukuman apakah yang akan

setimpal sebagai balasan atas kejahatan Lasedayu

terhadap diriku puluhan tahun silam? Selain itu wahai 

Junjungan, bukankah karena perbuatan Lasedayu pula 

maka Jimat Hati Dewa raib selama-lamanya, tak

mungkin kembali lagi ke tangan para Junjungan?"

 "Lamanyala, sebenarnya kami telah menyiapkan satu 

hukuman yang setimpal terhadap Lasedayu. Namun 

kedahuluan oleh tindakanmu. Sungguh disayangkan 

kau mengambil keputusan dan bertindak sendiri, tidak 

menaruh hormat dan berunding dulu dengan kami. 

Karenanya segala apa yang kelak terjadi sepenuhnya 

akan menjadi tanggung jawabmu!"

 Rahang si kakek api menggembung. Telinganya

panas dan hatinya meradang. "Wahai Para Junjungan, 

sudah nasib diri kami manusia di bumi ini. Jika salah 

langsung diterpa, jika celaka tidak pernah diambil kira. 

Puluhan tahun aku hidup dengan sosok hanya tinggal 

sebelah! Siapa yang peduli akan kesembuhanku? 

Manusia di bumi tidak, para Dewa di langit juga tidak! 

Tapi ketika aku mengambil keputusan memperkarakan 

makhluk jahat bernama Lasedayu, kesalahan justru 

ditimpakan pada diriku! Wahai Junjungan, seperti 

katamu, aku akan ber- tanggung jawab akan segala 

apa yang terjadi sebagai akibat perbuatanku! Tapi 

ketahuilah, mulai saat ini jangan disebut lagi diriku ini 

sebagai Wakil Para Dewa Di Negeri Latanahsilam! Kelak 

Labahala tidak hanya akan membuat kegegeran di 

permukaan bumi Latanahsilam tapi juga akan 

membuat heboh Para Dewa di atas langit sana!"

 Si kakek tundukkan kepala, tekuk lututnya lalu

berkelebat tinggalkan tempat itu. Di langit sinar putih

menyambar ke atas pulau namun Lamanyala telah

lenyap tanpa bekas!

***


SEBELAS


KITA kembali ke Istana Kebahagiaan. Seperti ditutur-

kan dalam Bab Lima kakek sakti bernama Lapicak-

kanan yang buntung paha kirinya akibat tebasan 

Kapak Maut Naga Geni 212 akhirnya menemui ajal 

dibunuh Hantu Muka Dua karena menganggap kakek 

itu tidak ada gunanya lagi. Saat itu matahari mulai naik. 

Udara tampak cerah. Dari sebuah jalan rahasia di 

sebelah timur Istana Kebahagiaan kelihatan seorang 

kakek berkelebat cepat, lari sambil mendukung 

seorang kakek di atas bahunya. Kakek yang berlari 

adalah Lahidungbesar sedang yang didukung sudah 

dapat ditebak ialah Lasulingmaut adanya. Seperti 

biasanya sambil didukung Lasulingmaut tiup suling 

tengkoraknya yang mengeluarkan suara sember dan 

mengepulkan asap hitam.

 "Lasulingmaut!" sambil berlari Lahidungbesar berkata. 

"Ini kali pertama dan kali terakhir aku mendukungmu! 

Jangan samakan aku dengan Lapicakkanan. Aku tidak 

sudi mendukungmu kemana aku pergi. Aku bukan 

keledai tunggangan!"

 Lasulingmaut si kakek aneh yang tak pernah bicara 

menyeringai lalu tiup sulingnya yang mengeluarkan 

suara sember. Setelah itu dia bergumam beberapa kali.

 "Aku tahu kau marah! Wahai terserah padamu! Apa-

pun yang terjadi! Apapun yang kau lakukan, jika urusan 

ini selesai aku tetap tidak akan mau mendukungmu 

lagi! Sialan!"

 Lasulingmaut tiup lagi suling tengkoraknya hingga 

asap hitam berkepulan. Tiba-tiba suling itu melesat

ke arah wajah kakek hidung besar. Kali ini tak ada

kepulan asap. Tapi ujung suling berkelebat mengarah

ke mata kanan Lahidungbesar!

 Lahidungbesar menggembor marah dan hantamkan 

tangan kanannya ke atas. Siap untuk memukul hancur 

suling yang ditancapi tengkorak itu. Kakek yang 

didukungnya menggumam keras lalu gerakkan

tangannya sedikit. Suling yang dipegangnya serta

merta melenceng ke kiri. Hantaman tangan Lahidung-

besar hanya mengenai udara kosong. Untuk pertama

kalinya Si Lasulingmaut keluarkan suara tertawa aneh

bergumam.

 "Lasulingmaut jahanam keparat! Wahai! Kau hendak 

menusuk mataku! Membuat aku picak seperti Lapicak-

kanan!" teriak Lahidungbesar marah.

Di belakang ke dua orang itu, empat orang lelaki

bertubuh tegap, mengenakan pakaian kulit kayu ber-

bentuk jubah coklat dilengkapi kopiah tinggi juga

berwarna coklat berlari sebat membawa sebuah tandu

terbuka. Pada bagian pertengahan tandu itu 

berbentuk kursi. Di atas kursi ini duduklah Raja Diraja 

Segala Hantu, penguasa Istana Kebahagiaan yang 

disebut Junjungan alias Hantu Muka Dua.

 "Kalian berdua di depan sana!" Tiba-tiba Hantu

Muka Dua berseru pada dua kakek yang tengah ber-

tengkar. "Kita tengah menghadapi satu urusan besar!

Jika tidak segera berhenti bertengkar, jangan salahkan

kalau kepala kalian kupecahkan seperti aku memecah-

kan kepala Lapicakkanan!"

 Hidung besar kakek bernama Lahidungbesar me-

ngembang tambah besar. Mulutnya menggerutu lalu

diam. Di atasnya Lasulingmaut bergumam keras lalu

tiup suling tengkoraknya.

 Di sebuah lereng bukit berbatu-batu Lahidungbesar 

hentikan larinya. Yang disebut sumur melintang seperti 

dikatakan oleh kakek itu ternyata adalah sebuah goa 

batu di lamping bukit sedalam tiga tombak. Sepanjang 

bagian dasar goa ada hamparan batu rata setinggi 

pinggul hingga goa itu tidak bedanya merupakan 

sebuah pembaringan. Karena saat itu sinar sang surya 

berada di sisi lain dari lereng bukit maka bagian dalam 

goa batu tersebut tidak terlihat jelas.

 "Wahai Junjungan Hantu Muka Dua, ini sumur

melintang tempat aku meninggalkan Peri Angsa Putih," 

berkata Lahidungbesar, memberi tahu Hantu Muka

Dua.

 Hantu Muka Dua memberi isyarat. Empat pengusung 

tandu segera turunkan tandu ke tanah. Sepasang mata 

Hantu Muka Dua membesar berbinar-binar. Tatapan-

nya tidak beralih ke arah goa yang gelap. "Kau tunggu 

apalagi Lahidungbesar! Lekas keluarkan Peri itu dari 

dalam sumur melintang. Pastikan dia masih berada di 

bawah pengaruh Ilmu Menjirat Urat yang aku ajarkan 

padamu!"

 "Jangan khawatir Junjungan. Sampai saat ini dia pasti 

berada dalam keadaan tidak berdaya." Lahidungbesar 

diam-diam merasa menyesal telah memberftahu

bahwa Peri Angsa Putih berada di dalam goa itu.

Padahal sebenarnya dia sudah punya niat keji untuk

mengumbar nafsu merusak kehormatan sang Peri.

Periahan-lahan Lahidungbesar turunkan Lasulingmaut 

dari dukungannya. Lalu dia melangkah ke mulut goa, 

membungkuk, terus masuk merangkak sejauh setengah 

tombak. Begitu tangannya menyentuh dua kaki dia

tidak segera menarik tapi diusap-usapnya lebih dulu. 

Usapannya naik ke betis. Nafas Lahidungbesar 

memburu dilanda nafsu. Hidungnya yang besar

tambah mengembang. Kalau saja Hantu Muka Dua

tidak ada di situ, pasti tangannya akan menggerayang

lebih ke atas.

 "Lahidungbesar! Apa yang kau lakukan berlama-

lama di dalam sumur itu!" Hantu Muka Dua berteriak

tidak sabaran.

 "Sebentar wahai Junjungan. Sumur ini agak sempit..." 

jawab Lahidungbesar yang disambut dengan suara 

tiupan suling semberoleh Lasulingmaut. Kakek satu ini 

agaknya sudah tahu apa yang tengah dilakukan

kawannya itu.

 Ketika menarik sepasang kaki itu dalam gelap

Lahidungbesar merasa heran dan membatin. "Aneh,

mengapa sosok Peri ini jadi sangat berat. Waktu

kakinya kupegang terasa kasar. Lalu mengapa betisnya 

seperti ada bulu-bulunya. Keras berotot. Seharusnya 

halus dan lembut." Sesaat kakek hidung besar ini

berhenti menarik. Dia mengendus-endus. Lalu kembali

berkata dalam hati." Seingatku sosok Peri Angsa Putih

menebar bau harum mewangi. Saat ini aku seperti

mencium bau keringat. Ada yang tidak beres "

 Walau hatinya kini mendadak merasa tidak enak

Lahidungbesar kembali menarik dua kaki. Ketika dia

sampai di ujung sumur melintang, pada bagian yang

terang dia melihat ke bawah, memperhatikan.

 "Wahai!" Lahidungbesar berseru. Tampangnya

berubah pucat tanda terkejut amat sangat

 "Lahidungbesar! Ada apa?!" bertanya Hantu Muka

Dua.

 Lasulingmaut turunkan sulingnya dari mulut, menatap 

tajam ke arah mulut goa.

 "Ka... kaki itu..." jawab Lahidungbesar. Namun

ucapannya terputus dan berubah menjadi jerit ke-

sakitan setinggi langit ketika satu tendangan meng-

hantam dadanya keras luar biasa!

 Darah menyembur merah dari mulut kakek itu.

Karena sebagian mulutnya tertutup oleh hidungnya

yang besar maka muncratan darah bersibak memba-

sahi separuh muka, leher dan bajunya. Tubuh Lahi-

dungbesar terbanting ke lamping batu lalu roboh

terduduk di tanah! Mukanya sepucat kain kafan!

 Lasulingmaut melompat empat langkah menjauhi

mulut goa sambil keluarkan suara bergumam. Hantu

Muka Dua berteriak marah.

 "Jahanam di dalam sumur melintang! Siapa kau!"

 Dua kaki yang terjuntai di mulut goa bergerak ke

atas ke bawah, menimbulkan dua gelombang angin

deras, membuat semua orang yang ada di depan goa

cepat-cepat menyingkir. Sesaat kemudian orang yang

ada dalam goa itu melompat keluar sambil tertawa

bergelak.

 "Kurang ajar! Pendekar 212 Wiro Sableng! Kau

rupanya!" teriak Hantu Muka Dua marah. Walau marah

namun diam-diam hatinya jadi tidak enak. Maksud

kedatangannya jauh-jauh ke tempat itu adalah untuk

menemui Peri Angsa Putih, musuh besarnya. Tapi kini

yang keluar dari dalam sumur melintang itu adalah

orang lain yang juga merupakan musuh besarnya yang

selama ini telah berkali-kali ingin dibunuhnya! Hantu

Muka Dua memandang mendelik pada Lasulingmaut,

lalu pada Lahidungbesar dan membentak. "Lahidung-

besar! Bagaimana bisa pemuda asing jahanam ini

yang ada di dalam sumur melintang! Mana Peri Angsa

Putih yang kau katakan itu?! Kalian mempermainkan

aku hah?!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang

langsung berubah menjadi wajah-wajah raksasa meng-

gidikkan. Sepasang matanya mendelik pada dua kakek

di depannya.

 Lasulingmaut hanya gembungkan mulut lalu ber-

gumam, membuat Hantu Muka Dua tambah marah.

 Lahidungbesar gelengkan kepala dengan dada

sesak. Dia coba membuka mulut hendak menjawab

tapi yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melain-

kan semburan darah.

 Di depan goa, orang yang barusan melompat

keluar tegak dengan kaki terkembang, tangan dilipat

di depan dada dan mulut sunggingkan seringai meng-

ejek. Suara tertawa lalu keluar dari mulutnya. Mula-

mula Periahan lalu mengeras. Seperti disaksikan se-

mua orang yang ada di situ, orang ini memang adalah

Pendekar 212 Wiro Sableng!

 "Hantu Muka Dua! Sungguh sial nasibmu! Maksud

hati mencari Peri, tak tahunya hanya datang mencari

mati!"

 Rahang Hantu Muka Dua menggembung. Gera-

hamnya mengeluarkan suara bergemeretakan. "Pe-

muda asing! Jangan bicara sombong di hadapan Raja

Diraja Segala Hantu, penguasa tunggal Istana Kebaha-

giaan! Aku memang sudah lama mencarimu! Hari ini

jangan harap kau bisa lolos dari kematian! Jangan

mimpi bisa kembali hidup-hidup ke negeri asalmu!"

Setelah membentak Hantu Muka Dua masih sempat

berpikir apa sebenarnya yang telah terjadi dan dimana

beradanya Peri Angsa Putih. Hal yang sama juga

menjadi tanda tanya di diri Lahidungbesar sementara

Lasulingmaut seperti biasanya unjukkan sikap tidak

acuh. Hal ini membuat kemarahan Hantu Muka Dua

menjadi tambah menggelegak. Dia berpaling pada

Lahidungbesar dan berkata. "Kalian yang punya pe-

kerjaan! Kalian yang bertanggung jawab! Lekas bunuh

pemuda asing itu! Dan tunjukkan padaku dimana Peri

Angsa Putih!"

 Lahidungbesar tak bisa menjawab karena dia me-

mang tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.

Mengapa tahu-tahu Pendekar 212 telah berada di tem-

pat itu dan juga tidak tahu dimana beradanya Peri

Angsa Putih saat itu. Selain itu Lahidungbesar berada

dalam keadaan terluka parahi di dalam akibat ten-

dangan Wiro. Nafasnya megap-megap dan tulang 

dada serta beberapa iganya ada yang hancur.

 Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba ada suara

poicinpuan berseru. "Hantu Muka Dua, kau mencari

diriku?! Aku ada di sini!"

 Hantu Muka Dua dan semua orang yang ada di

lereng bukit batu itu kecuali Wiro palingkan kepala ke

arah datangnya suara. Di atas sebuah batu besar di

tempat ketinggian kelihatan Peri Angsa Putih tegak di

samping Laeputih angsa raksasa tunggangannya. Ter-

nyata di situ dia tidak sendirian. Di sebelahnya tegak

seorang gadis ramping tinggi semampai mengenakan

pakaian biru. Di keningnya menempel sekuntum bu-

nga tanjung kuning. Semua orang terpesona melihat

kecantikan gadis satu ini yang tak kalah anggun de-

ngan Peri Angsa Putih.

 "Luhcinta..." desis Hantu Muka Dua. "Bagaimana

dia bisa bergabung dengan Peri Angsa Putih. Apa

hubungan antara dua gadis itu...." Penguasa Istana

Kebahagiaan ini lantas ingat pada peristiwa ketika dia

berhasil menjebak dan membawa gadis itu ke tempat

kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam sebelum

digusur oleh Peri Angsa Putih beberapa waktu lalu.

Kemunculannya pasti membawa dendam. Karena

Hantu Muka Dua tahu Luhcinta bukan gadis semba-

rangan dan merupakan murid seorang nenek sakti

bernama Hantu Lembah Laekatakhijau dan juga me-

rupakan cucu kandung nenek sakti lainnya yang di-

juluki Hantu Penjunjung Roh.

 Mengingat sampai di situ Hantu Muka Dua diam-

diam menjadi was-was. Apalagi dia mempunyai pan-

tangan membunuh perempuan. Akan cukup sulit bagi-

nya untuk menghadapi langsung dua gadis jelita ber-

kepandaian tinggi itu. Dia memandang berkeliling,

menghitung jumlah orang dan mengukur kekuatan di

pihaknya. Walau dia tidak meremehkan kemampuan

dua kakek sakti yang ada bersamanya namun Hantu

Muka Dua tetap saja merasa khawatir. Kakek hidung

besar jelas tidak bisa diandalkan lagi.

 Maka makhluk yang mengaku Raja Diraja Segala

Hantu ini lantas memberi isyarat pada empat orang

lelaki berjubah yang menjadi pengusungnya. Melihat

tanda ini ke empat orang itu segera keluarkan suitan

keras. Dua kali berturut-turut. Hanya beberapa saat

setelah suitan menyentak keras maka tiga sosok ber-

kelebat dan muncul tegak di samping Hantu Muka

Dua. (Siapa adanya Luhcinta, riwayatnya bisa dibaca

dalam serial Wiro Sableng berjudul Rahasia Bayi Ter-

gantung)

 Sosok pertama adalah seorang nenek berkaki

pendek sebelah, mengenakan pakaian kulit kayu war-

na-warni. Walau dia jelas berambut panjang riap-riapan

dan memakai anting di dua telinganya, namun perem-

puan tua ini di bawah bibirnya ditumbuhi bulu-bulu me-

nyerupai kumis lelaki! Yang angkernya dari nenek ini 

ialah dia mempunyai sepasang tangan berkuku

panjang, berwarna hitam dan dilebati rambut-rambut

hitam berjingkrak! Si nenek adalah salah satu kaki

tangan Hantu Muka Dua yang dikenal dengan julukan

Si Pembedoi Usus! Julukan ini sesuai dengan ke-

biasaannya yang selalu membunuh lawannya dengan

cara merobek perut membetot usus!

 Peri Angsa Putih yang mengenali siapa adanya

nenek satu ini diam-diam merasa terkejut karena tidak

menyangka si nenek yang selama ini memang tidak

disenangi oleh Para Peri dan Dewa ternyata telah

bergabung di Istana Kebahagiaan menjadi kaki tangan

Hantu Muka Dua!

 Orang ke dua adalah seorang lelaki separuh baya

yang mukanya diberi pupur tebal, alis terang dan gincu

merah mencorong. Rambutnya keriting aneh, panjang

menjulai sampai bahu. Walau dia mengenakan 

pakaian laki-laki namun sikap tingkahnya seperti 

perempuan, sebentar-sebentar tersenyum dan 

mematik-matik rambutnya. Di hidungnya dia memakai 

sebentuk subang bermata yang memancarkan cahaya 

berkilat-kilat. Sesekali dia mengerling ke arah Pendekar 

212 Wiro Sableng dan kedip-kedipkan matanya lalu 

mencibir pada Lasulingmaut yang memperhatikannya 

dengan pandangan mengejek sambil keluarkan suara 

ber- gumam. Di Negeri Latanahsilam orang ini dikenal

dengan nama Si Betina Bercula. Nama ini cukup

menjadi pertanda bahwa dia sebenarnya adalah se-

orang lelaki yang punya kelainan dan menjalani hidup

sebagai perempuan. Konon selama belasan tahun dia

lenyap tak diketahui kemana perginya. Begitu muncul

tahu-tahu dia sudah menjadi orang kepercayaan 

Hantu Muka Dua.

 Kalau Luhcinta tidak mengetahui siapa adanya Si

Betina Bercula, lain halnya dengan Peri Angsa Putih.

Melihat Si Betina Bercula dia langsung merasa khawatir 

terhadap keselamatan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Apalagi dari sikapnya dia jelas mengincar pemuda 

asing itu.

 Orang ke tiga yang muncul bersama nenek Si Pem-

bedol Usus dan Si Betina Bercula dikenali Wiro bukan 

lain adalah Si Pelawak Sinting. Seorang kakek aneh 

yang pernah menunjukkan sikap baik menolong sang 

pendekar tetapi kemudian menjebloskannya ke

sebuah lobang maut dan ternyata dia adalah kaki

tangan Hantu Muka Dua. Namun saat itu Wiro menjadi

bingung dan sulit menerka apakah Si Pelawak Sinting

yang muncul ini adalah yang palsu atau yang asli.

Seperti diceritakan dalam serial terdahulu (berjudul

Hantu Tangan Empat) Pelawak Sintingyang asli adalah

seorang kakek baik-baik. Kakek ini mempunyai ke-

sukaan bernyanyi sambil menari. Kemana-mana selalu

membawa payung daun yang diletakkan di atas 

kepala serta membekal sebuah tambur terbuat dari 

batang kayu yang dilubangi lalu salah satu sisinya 

ditutup dengan kulit binatang yang dikeringkan. Selain 

itu caranya berpakaian selalu mendodorkan celananya

bagian belakang ke bawah hingga pantatnya yang

hitam dan kasap tersingkap ke mana-mana.

 "Sialan benar!" kata Wiro memaki dalam hati sambil 

menggaruk-garuk kepala. "Bagaimana aku mengetahui 

kakek ini Pelawak Sinting asli yang baik atau Pejawak 

Sinting palsu yang jahat! Dulu Pelawak Sinting yang asli 

telah merampas payung serta tambur itu dari Si 

Pelawak Sinting palsu. Pelawak Sinting palsu adalah 

kakak kembar yang asli. Tapi sekarang kakek itu muncul 

membawa payung dan tambur seperti milik Pelawak 

Sinting. Apakah dia yang asli atau yang palsu tapi 

berhasil mendapatkan atau membuat sendiri payung 

daun dan tambur itu?!" Pendekar 212 coba mengingat-

ingat. "Antara dua kakek sinting kembar itu memang 

sulit dibedakan. Mulutnya sama-sama tonggos, mata 

sama belok dan hidung sama pesek. Lalu pantat juga 

sama-sama hitam burik! Bahkan suaranya tidak beda 

sedikitpun. Suara... suara... Aku ingat sekarang. Pelawak 

Sinting yang asli tidak bisa menyebut namaku dengan 

lempang. Dia tidak bisa menyebut Wiro seolah lidahnya 

kelu melafatkan huruf ‘er’. Selain itu dia suka cegukan 

seperti anak kecil.

Walau aku yakin kakek ini adalah Si Pelawak Sinting

palsu tapi ada baiknya aku menguji dulu agar tidak

kesalahan tangan."

 "Sobatku kakek Pelawak Sinting!" Wiro berseru.

"Aku gembira bisa bertemu lagi denganmu. Apa kau

masih ingat namaku...?"

 Payung di atas kepala Si Pelawak Sinting mumbul ke 

atas. Kakek ini monyongkan mulutnya yang tonggos. 

"Aku masih belum buta! Bukankah kau pemuda asing 

bernama Wiro Sableng itu? Tidak sangka aku

mendapat perintah untuk membunuhmu kembali!"

 Telinga Wiro seperti mengiang. "Dia mampu me-

nyebut namaku dengan benar. Berarti dia memang Si

Pelawak Sinting palsu sialan itu!" Wiro membatin. Lalu

dia berkata lagi. "Walau kau sudah mendapat hajaran

dari adikmu rupanya kau belum kapok! Apa kali ini

kau akan menjebloskan aku lagi ke dalam lubang?!"

 Belum sempat Si Pelawak Sinting palsu yang bernama 

Labodong itu menjawab, Betina Bercula goyangkan 

pinggulnya. Sambil mematik merapikan rambutnya dia 

berkata. "Wahai.... Hik... hik.... Kalau kau memang ingin 

masuk lobang biar sekali ini aku yang mencarikan 

lobang untukmu. Hik... hik.... Orang muda bertampang 

gagah. Mari aku bisikkan sesuatu padamu!"

 Habis berkata begitu Si Betina Bercula melompat ke 

hadapan Pendekar 212. Wiro segera mundur menjauh. 

Tapi lengannya sudah terpegang dan tahu-tahu mulut 

Betina Bercula sudah berada dekat telinga kirinya. Wiro 

cepat tarik tangan dan jauhkan kepalanya. Namun 

Betina Bercula masih sempat menjilat daun telinga sang 

pendekar. Sambil tertawa cekikikan lelaki yang 

berperangai banci ini kembali ke tempatnya semula. 

"Wahai! Telingamu pahit-pahit asin. Tapi lumayan! Enak 

juga! Hik... hik... hik!"

 Wiro usap telinganya yang barusan dijilat tengkuknya 

terasa merinding. Dalam hati dia memaki panjang 

pendek.

 "Kalian semua dengar!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua

membentak. "Kita kemari bukan untuk bergurau. Tapi

untuk menangkap Peri itu hidup-hidup, juga kawannya

yang berpakaian biru itu. Tugas paling utama adalah

membunuh pemuda asing bernama Wiro Sableng itu!"

 "Penguasa tertinggi Istana Kebahagiaan! Kami siap 

melakukan!" kata Lahidungbesar sambil mencoba 

tegak tapi terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.

 "Makhluk tak berguna! Lebih baik aku pecahkan saja 

kepalamu seperti Lapicakkanan!" kata Hantu Muka

Dua.

 Lasulingmaut bergumam panjang. Dia angkat suling

tengkoraknya. Sambil mengerahkan tenaga dalam

ujung suling itu ditusuk-tusukkannya ke beberapa

bagian tubuh kakek kawannya. Walau apa yang di-

lakukan si kakek tidak menyembuhkan luka dalam

Lahidungbesar namun hebatnya Lahidungbesar kini

merasa ada satu kekuatan besar masuk ke dalam

badannya yang membuat dia mampu bangkit berdiri.

Begitu kakek ini berdiri, Lasulingmaut segera melompat 

naik ke atas bahunya.

 Nenek berjuluk Si Pembedol Usus kembangkan dua 

tangannya lalu keluarkan pekik keras. Sekali berkelebat 

dia sudah mendahului melesat ke arah ketinggian dan 

jejakkan kaki dua. tombak di depan batu besar di 

mana Peri Angsa Putih dan Luhcinta berada. Si Pelawak 

Sinting palsu berkelebat pula mengikuti gerakan si 

nenek. Ketika Lahidungbesar hendak melompati 

Pendekar 212, Si Betina Bercula cepat berkata.

"Pemuda satu itu bagianku! Jangan ada yang berani

menyentuhnya!"

 "Jangan kau berani main-main di hadapan Junjung-

an kita!" bentak Lahidungbesar sementara di atasnya 

Lasulingmaut mulai tiup suling tengkoraknya dan

kepulkan asap beracun yang sanggup membuat beku

aliran darah! Lahidungbesar kelihatan marah tapi se-

benarnya dia merasa gembira karena dalam keadaan

terluka di dalam seperti itu dia tidak Periu turun tangan

melakukan serangan. Tapi di atas pundaknya La-

sulingmaut yang sudah gatal ingin segera turun tangan

bergumam marah.

 "Siapa main-main! Lihat bagaimana aku membunuh-

nya!" balas berteriak Si Betina Bercula. Tubuhnya 

melesat melewati dua kakek itu dan sesaat kemudian 

tangan kirinya menyambar ke arah leher Wiro dalam 

gerakan menabas yang sangat ganas! Tentu saja murid 

Eyang Sinto Gendeng segera menyingkir selamatkan 

diri. Tapi baru saja dia bergerak tiba-tiba tangan 

kanan Betina Bercula melesat ke bawah perutnya!

 "Sialan!" maki Wiro. Karena tidak menyangka dan

lagi pula gerakannya mengelak tertahan oleh lamping

batu yang ada di belakangnya sementara serangan

lawan datangnya seperti kilat, Wiro hampir tak punya

kesempatan untuk selamatkan diri.

 Tapi gilanya ternyata apa yang dilakukan Betina

Bercula hanyalah meraba bagian tubuh di bawah 

pusar Pendekar 212 lalu melompat menjauh. Sambii 

tertawa cekikikan dia usapkan tangannya yang 

barusan meraba ke hidungnya sendiri!

 "Banci kurang ajar!" rutuk Pendekar 212 marah sekali 

dan merinding kuduknya. Sambil kerahkan tenaga

dalam ke tangan kanan dia melompat dan meng-

hantam ke arah Si Betina Bercula. Namun saat itu pula

Lahidungbesar yang dihardik oleh Hantu Muka Dua

berkelebat dari samping menghadangnya. Dari atas

dukungannya Lasulingmaut bergumam keras lalu ba-

batkan suling tengkoraknya. Asap hitam mengepul

menyambar ke kepala murid Eyang Sinto Gendeng

dari Gunung Gede ini!

***

DUA BELAS

KITA ceritakan sedikit bagaimana Luhcinta sampai 

berada di tempat itu. Sesaat setelah Peri Angsa Putih 

dibawa kabur oleh Lahidungbesar, Luhcinta yang 

tengah melanjutkan perjalanan sambil melakukan 

penyelidikan tentang asal usul dirinya sampai di tempat 

berlangsungnya perkelahian. Hatinya gembira karena 

dia melihat Pendekar 212 di kejauhan. Namun 

pemandangan lain membuat gadis ini merasa tidak 

enak. Selain itu sudah sejak beberapa hari ini Luhcinta 

merasa seolah ada seseorang yang selalu

membayangi perjalanannya dari jauh.

 Luhcinta menemukan Laeputih angsa milik Peri Angsa 

Putih di balik batu-batu bukit tapi si pemiliknya sendiri 

tidak kelihatan di tempat itu. Ketika dia mendekati 

binatang ini, dia melihat ada sepasang kaki putih 

tersembul di bawah sayap angsa.

 "Ada perempuan bersembunyi di bawah sayap

angsa itu. Mungkinkah sang Peri? Jangan-jangan se-

suatu terjadi dengan dirinya," pikir Luhcinta. Dia mem-

percepat langkahnya. Belum sempat dia mencapai

Laeputih tiba-tiba seorang gadis berpakaian ungu

menyelinap keluar dari balik sayap angsa. Gerakannya

cepat sekali. Luhcinta hendak memanggil, tapi gadis

itu telah berkelebat lenyap di balik bebatuan. "Siapa

gadis itu? Mengapa dia sembunyi lalu melarikan diri

kalau tidak membekal maksud kurang baik?" Luhcinta

sampai di samping angsa raksasa.

 "Laeputih, mana Peri Angsa Putih. Mengapa kau

seperti memencilkan diri di balik batu?" Luhcinta

bertanya dan usap-usap leher angsa putih itu.

 Laeputih rundukkan kepalanya sambil keluarkan

suara mendesah halus. Dua sayapnya direntang dan

digesek-gesekkan ke bawah. Luhcinta menduga-duga

apa kira-kira yang hendak disampaikan binatang itu

kepadanya. Laeputih kemudian mematuk-matuk beba-

tuan di depannya dan sayapnya dikepakkan berulang

kali.

 "Hemmm.... Laeputih, mungkin kau menyuruhku naik 

ke atas punggungmu dan mengajakku terbang. Baik... 

baik, aku akan menunggangimu...." Luhcinta ingat 

pada Wiro dan hentikan ucapannya. Dia memandang 

ke arah kejauhan. Wiro dilihatnya masih berada di 

tempat tadi, tegak seorang diri sambil memegang

sehelai selendang berwarna biru. "Kalau aku tidak salah 

menduga, selendang itu adalah milik Peri Angsa Putih. 

Apakah sang Peri memberikannya pada Wiro...?"

Luhcinta merenung sambil gigit-gigit bibirnya. Lae-

putih kembali mematuk-matuk dan keluarkan suara

mendesah tanda tidak sabaran.

 "Wahai, kau sudah tidak sabar rupanya sahabatku. 

Baik, aku akan naik ke punggungmu. Tapi aku harus 

berhati-hati. Jangan sampai aku jatuh wahai Laeputih. 

Terbangkan aku ke tempat di mana beradanya Peri 

Angsa Putih " Sekali melompat Luhcinta telah berada di 

atas angsa putih itu. Tanpa menunggu lebih lama 

Laeputih segera melesat terbang ke arah timur. Wiro 

yang berada di bawah sempat melihat Laeputih 

bertanya-tanyii siapa adanya penunggang berbaju biru 

yang jelas bukan Peri Angsa Putih adanya. Selagi dia 

bertanya-tanya seperti itu tak lama kemudian Wiro 

melihat seekor kura-kura terbang melintas di udara. 

Dari arah yang ditujunya agaknya kura-kura itu

mengikuti angsa putih dari kejauhan. Wiro sudah tahu

siapa adanya penunggang kura-kura terbang itu. Yakni

bukan lain dara cantik bernama Luhjelita.

 Saat itu Wiro ingat dan ingin sekali menemui dua

temannya yaitu Naga Kuning dan Setan Ngompol.

Pada saat ditinggal mereka masih menunggui obat

yang diberikan oleh Hantu Raja Obat agar tubuh me-

reka juga bisa dibesarkan seperti keadaannya se-

karang. Namun akhirnya Wiro mengambil keputusan

untuk segera menuju ke Istana Kebahagiaan. Karena

dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Peri Angsa

Putih. Selain itu dia hendak mencari kejelasan menge-

nai siapa sebenarnya orang yang hendak meracuninya

dengan bunga mawar kuning. Peri Angsa Putih atau

Luhjelita.

 Sebelum Wiro meninggalkan tempat itu menuju

Istana Kebahagiaan yang menjadi sarang Hantu Muka

Dua, orang bermuka tanah liat hitam yang oleh La-

hidungbesar dan kawan-kawan diduga adalah Si Pe-

nolong Budiman, telah lebih dulu meninggalkan tem-

pat itu. Seperti Wiro diapun hendak menuju Istana

Kebahagiaan. Namun sepanjang jalan dia selalu me-

lihat ke udara memperhatikan angsa putih yang ter-

bang ditunggangi gadis berpakaian biru. Sambil lari

dia membatin. Setiap dia membatin detak jantungnya

mengeras dan hatinya berdebar.

 "Sayang, aku tidak sempat melihat wajah perem-

puan yang terbang bersama angsa putih itu. Melihat

keadaan tubuhnya mungkin dia gadis yang selama ini

kucari. Wahai.... Kalau saja Para Dewa menolong dan

aku bisa menemukannya, mungkin derita batin selama

puluhan tahun ini bisa terobati. Bagaimanapun aku

harus bertemu, harus melihatnya sebelum kematian

menjadi bagianku...." Sepasang mata orang aneh ini

tampak berkaca-kaca. Ketika dia memandang lagi ke

udara dilihatnya ada seekor kura-kura raksasa terbang

mengikuti angsa putih di kejauhan.

 Ternyata Laeputih membawa Luhcinta ke lereng

bukit dimana terletak sumur melintang. Bagaimanapun 

cerdiknya angsa putih itu namun tak mungkin

baginya untuk memberi tahu bahwa Peri Angsa Putih

ada di dalam goa itu. Binatang ini hanya hinggap di

lereng batu yang terdekat sambil sesekali menjulurkan

kepalanya ke arah goa dan keluarkan suara menguik

halus. Karena terlindung oleh satu batu besar Luhcinta

tidak dapat melihat mulut goa. Selagi dia berpikir-pikir

coba mengertikan petunjuk apa yang berusaha diberi-

kan oleh angsa putih itu, tiba-tiba di bawah sana

dilihatnya Wiro berlari mendaki lereng bukit berbatu-

batu. Saking gembiranya gadis ini hendak berseru

memanggil sang pendekar. Namun maksudnya di-

batalkan ketika di salah satu lamping bukit sebelah

barat dia melihat satu sosok hitam mendekam mem-

perhatikan. Ketika dia memandang ke jurusan itu,

orang di balik batu segera menyelinap menghilang.

 "Pasti itu orang yang mengikutiku sejak beberapa

hari ini..." kata Luhcinta dalam hati. Setelah berpikir

sejenak gadis ini akhirnya menuruni lereng bukit me-

nemui Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro sendiri se-

benarnya telah melihat sosok angsa putih di atas bukit

batu sana. Dia tidak menduga kalau penunggangnya

adalah dara cantik bernama Luhcinta yang sejak per-

temuan mereka pertama kali selalu dikenangnya. Apa-

lagi kakek gendut Si Hantu Raja Obat yang menolong

membesarkannya pernah membisikkan kata-kata yang

kadang-kadang terngiang di telinganya: "Ratusan

orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada

satu pemuda yang berkenan di hatinya. Kau!"

 "Aku senang bertemu denganmu Wiro. Apa yang

kau lakukan di tempat ini?" tanya Luhcinta.

 "Aku juga gembira bisa melihatmu lagi. Kau sen-

diri apa yang kau lakukan di sini? Kau datang me-

nunggang angsa milik Peri Angsa Putih," ujar Pen-

dekar 212.

 "Agaknya kita tengah mencari orang yang sama.

Peri pemilik angsa itu...."

 "Peri itu ditawan dan dibawa kabur oleh anak buah

Hantu Muka Dua. Aku tengah dalam perjalanan 

menuju

Istana Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua..."

menerangkan Wiro.

 Luhcinta terkejut mendengar penjelasan Wiro itu.

"Angsa putih itu secara aneh menurunkan aku di

lereng bukit ini. Berkali-kali dia menjulurkan kepalanya

ke arah sana. Aku tidak tahu.... Tapi agaknya dia

berusaha memberitahukan sesuatu...."

 Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Luhcinta.

Seperti si gadis pandangannya juga terhalang oleh

batu besar di lamping bukit

 "Ada satu hal ingin kukatakan. Seseorang meng-

ikutiku sampai di lereng bukit batu ini," memberitahu

Luhcinta.

 "Aku tahu. Aku melihatnya dari bawah. Seorang

penunggang kura-kura terbang. Aku kenal orangnya.

Seorang gadis bernama Luhjelita "

 "Kalau begitu ada dua orang yang mengikutiku,"

kata Luhcinta pula. Lalu gadis ini menunjuk ke arah

kejauhan dan menceritakan tentang sosok hitam yang

dilihatnya.

 "Tak ada siapa-siapa di situ..." kata Wiro mem-

perhatikan.

 "Orang itu sudah sejak beberapa hari ini mengun-

titku. Pasti dia mempunyai maksud tidak baik. Gadis

penunggang kura-kura itu juga tidak kelihatan lagi.

Aneh...."

 "Kalau begitu kau harus berhati-hati," kata Wiro

lalu dia memperhatikan gerakan-gerakan yang dibuat

oleh angsa putih. "Binatang itu selalu menjulurkan

kepalanya ke arah batu besar di bawah sana. Coba

kuselidiki. Mungkin ada sesuatu di balik batu itu.

Apakah kau membaui sesuatu?" Wiro bertanya sambil

mendongak, berusaha membaui aliran udara.

 "Aku seperti mencium bau harum..." kata Luhcinta.

 "Betul! Itu adalah harum bau tubuh dan pakaian

Peri Angsa Putih!" kata Wiro pula. "Kau tunggu di sini.

Aku akan memeriksa ke balik batu besar itu."

 Sambil memperhatikan Wiro menuruni lereng bukit, 

dalam hati Luhcinta berkata. "Sampai sedekatmana 

hubungan pemuda itu dengan Peri Angsa Putih.

Bagaimana dia bisa mengenali harum bau tubuh dan

pakaian sang Peri...? Wahai.... Mengapa aku berpikir

sampai ke situ. Kalaupun antara mereka ada jalinan

hubungan tertentu kurasa wajar-wajar saja. Bukankah

Peri bermata biru itu sangat cantik dan baik budi peri

lakunya?" Luhcinta termangu sesaat. Dia tersentak

ketika mendengar teriakan Wiro dari balik batu.

 "Luhcinta! Lekas kemari! Aku menemukan Peri Angsa 

Putih!"

Luhcinta segera menuruni lereng bukit batu. Wiro

dilihatnya berdiri di depan sebuah goa. Ketika dia

merunduk dan memperhatikan ke dalam goa benar

saja. Di dalam sana terbujur sosok perempuan ber-

pakaian sutera putih dan menebar bau harum.

 "Jangan-jangan dia sudah jadi mayat. Mati dibu-

nuh..." kata Luhcinta dengan wajah cemas.

 "Waktutadi kusentuh kakinya masihterasa panas.

Tolong aku menarik tubuhnya keluar dari dalam goa."

 Dua orang itu kemudian menarik tubuh Peri Angsa

Putih yang ada dalam goa atau sumur melintang lalu

membaringkannya di satu tempat datar. "Dia masih

bernafas, tapi tubuhnya tidak bergerak. Mungkin ping-

san...."

 Wiro gelengkan kepala lalu menceritakan apa

yang terjadi dengan Peri Angsa Putih waktu berkelahi

melawan kakek bernama Lahidungbesar.

 "Berarti dia terkena ilmu penyirap tubuh yang

disebut Ilmu Menjirat Urat. Orang yang berada di 

bawah pengaruh ilmu ini akan menjadi seperti pingsan, 

mata terpejam tubuh tak bisa digerakkan. Setahuku itu

adalah salah satu ilmu yang dimiliki Hantu Muka Dua."

 "Hantu Muka Dua pasti telah mengajarkannya

pada Lahidungbesar," kata Wiro. Lalu dia berlutut di

samping tubuh Peri Angsa Putih. Di leher sang Peri

sebelah kanan kelihatan tanda kebiru-biruan. "Ilmu

totokan tanpa menyentuh..." kata Wiro dalam hati. Lalu

dia ulurkan tangannya, siap untuk menotok urat besar

di leher sang Peri. Di sampingnya Luhcinta mengeluar-

kan suara tertahan. Wiro berpaling. Dilihatnya gadis itu 

memandang padanya dengan wajah kemerahan.

Pendekar 212 garuk-garuk kepala lalu tertawa. Dalam

hati dia membatin. "Mungkin gadis ini cemburu kalau

aku menyentuh Peri Angsa Putih." Memikir begitu maka 

Wiro berkata. "Luhcinta, hanya ada satu cara untuk 

membebaskan Peri Angsa Putih dari sirapan Ilmu 

Menjirat Urat. Yaitu menotok uratnya yang kelihatan biru 

itu...."

 Paras Luhcinta mendadak tambah merah. Gadis ini 

palingkan mukanya ke jurusan lain.

 " Walah, apalagi yang salah ini...?" pikir Wiro sambil 

garuk-garuk kepala Begitu dia ingat meledak tawanya.

 "Mengapa kau tertawa?" tanya Luhcinta heran.

 "Aku melihat wajahmu merah sampai ke telinga. Aku 

tahu sebabnya. Kau mungkin menganggap aku kurang 

ajar. Bukankah totok di negeri ini berarti payudara 

perempuan? Ha... ha... ha..."

 "Kau! Kalau sudah tahu mengapa masih menyebut?!" 

tanya Luhcinta merengut. Tapi mulutnya mengembang,

bibirnya bergetar lal u tawanya menyembur tak ter-

tahankan lagi. Karena malu gadis ini akhirnya tutup 

wajahnya dengan dua tangan.

 "Seharusnya aku mengatakan tutuk. Bukan to...."

 "Sudah! Kita harus segera menolong Peri Angsa

Putih..." kata Luhcinta pula.

 "Kau yang melakukan, aku akan memberi tahu

caranya." Lalu Wiro luruskan dua jari tangan kanannya.

"Kerahkan tenaga dalammu ke tangan. Dua ujung jari

yang diluruskan harus menutuk urat besar di leher itu.

Tapi ingat, pada saat jari menutuk, tenaga dalam harus

sudah sampai di ujung-ujung jari. Bukan sebelum atau

sesudahnya...."

 "Aku takut kesalahan. Kau saja yang melakukan,"

kata Luhcinta sambil menggeleng.

 Wiro pegang tangan kanan si gadis. "Luruskan

dua jarimu. Yang tengah dan yang telunjuk." Luhcinta

diam saja. Dia pandangi tangan Wiro yang memegangi

lengannya. Tangannya bergetar aneh. Getaran itu te-

rasa sampai ke dada. Membuatnya seolah tenggelam

dalam satu kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah

dirasakan. Seumur hidup baru sekali itu Luhcinta

dipegang tangannya oleh seorang lelaki. Dia ingin

menarik, tetapi seperti ada yang mendorong agar dia

tidak melakukan hal itu. "Hai, katamu kita harus segera

menolong Peri ini. Kau tunggu apa lagi Luhcinta?"

 Sementara itu tanpa setahu ke dua orang yang

sedang berpegangan tangan ini, di balik sebuah batu

besar seorang gadis berpakaian Jingga menggigit bi-

birnya memperhatikan Wiro dan Luhcinta. "Aku me-

mang sudah menduga. Ternyata gadis bernama Luh-

cinta itu lebih berbahaya dari pada Peri Angsa Putih...."

Tidak tahan melihat Wiro berpegang-pegangan de-

ngan Luhcinta,, gadis dibalik batu itu yang bukan lain

Luhjeiita adanya akhirnya balikan diri, tinggalkan le-

reng bukit itu menuju ke satu tempat yang dikelilingi

batu-batu tinggi di mana dia meninggalkan kura-kura

raksasa tunggangannya. Baru saja dia duduk di pung-

gung kura-kura coklat itu tiba-tiba sudut matanya

melihat satu bayangan berkelebat dekat batu besar di

sebelah kiri. Luhjelita berpaling. Dia agak tergagau

ketika melihat di atas batu besar yang hanya terpisah

kurang dari sepuluh tombak di sebelah kirinya tegak

seorang berpakaian serba hitam. Mukanya tertutup

oleh sejenis tanah liat yang dicat hitam hingga siapa

adanya orang ini atau bagaimana wajah aslinya sulit

dikenali.

 "Setan alas gentayangan siang bolong!" Luhjelita

memaki sendiri lalu menggebrak tunggangannya.

"Tunggu! Katakan, apakah kau gadis anak murid

Nenek sakti dari Lembah Laekatakhijau bernama Luh-

masigi?!"

 Karena masih berada dalam keadaan kesal. Luh-

jelita yang biasanya genit dan pandai merayu ini

menjawab seenaknya. "Setan hitam di siang bolong!

Kalau bertanya tentang katak, jangan bicara 

denganku. Tapi bicara dengan kodok! Hik... hik... hik!" 

Habis berkata begitu Luhjelita tepuk keras-keras 

punggung Laecoklat kura-kura tunggangannya. 

Binatang ini serta meria melesat ke udara meninggal-

kan sosok serba hitam di atas batu sana.

 Kembali pada Wiro dan Luhcinta. "Sekarang alirkan 

tenaga dalammu "

 Luhcinta bukannya melakukan apa yang dikatakan 

Wiro, tapi malah pandangi pemuda itu dengarimata-

nya yang bening bagus. Dipandangi seperti itu

pendekar kita jadi bingung sendiri. "Kalau begini,

sampai pagi tak akan jadi-jadinya aku menolong Peri

Angsa Putih." Lalu Wiro kerahkan tenaga dalamnya.

Aliran hawa sakti itu menyusup masuk ke dalam dua

jari Luhcinta. Begitu ujung jari si gadis bergetar tanda

tenaga dalam yang dialirkan sudah mencapai ujung-

ujung jari, Wiro segera tusukkan jari-jari itu ke bagian

leher Peri Angsa Putih yang kebiru-biruan. Saat itu

juga Peri Angsa Putih buka sepasang matanya yang

biru. Dia melihat langit. Lalu melihat Luhcinta dan

terakhir sekali pandangannya membentur Wiro.

 "Di mana aku.Apa yang terjadi? Wahai Luhcinta...."

 Peri Angsa Putih bangkit dan duduk. Matanya

kemudian melihat tangan Wiro yang masih memegangi

tangan Luhcinta. Luhcinta cepat-cepat menarik le-

ngannya sementara Wiro coba tersenyum sambil garuk-

garuk kepala. Dilihatnya paras Peri Angsa Putih

berubah.

 "Kalian berdua... sedang apa di sini?" tanya sang Peri 

perlahan dan ada nada kecemburuan dalam per-

tanyaannya itu. Wiro tak bisa menjawab. Luhcinta juga

tidak mengeluarkan suara. Dalam hatinya gadis ini

berkata. "Jangan-jangan Peri ini menduga aku tengah

berbuat yang bukan-bukan di tempat ini bersama

Wiro."

 "Wiro, bagaimana aku... kita bisa berada di sini?"

Peri Angsa Putih kembali bertanya.

 "Nanti saja aku ceritakan. Sekarang kita harus

melakukan sesuatu untuk menjebak orang yang mem-

bawamu ke mari. Kau dan Luhcinta sembunyi di balik

bebatuan. Biar aku yang masuk ke dalam goa itu."

Ternyata seperti yang diceritakan sebelumnya Lahi

dungbesar memang kena dijebak ketika dia muncul

lagi di tempat itu bersama rombongan orang-orang

Istana Kebahagiaan. Bukan saja dijebak malah dada-

nya sempat dihantam tendangan Pendekar 212 Wiro

Sableng.

***

TIGA BELAS

SEKARANG kita ikuti apa yang terjadi dengan Luh-

cinta dan Peri Angsa Putih. Begitu nenek Si Pembedol 

Usus dan Pelawak Sinting berkelebat ke hadapan 

mereka Luhcinta segera menyongsong. Dengan suara 

lembut dia menegur. "Sepasang kakek dan nenek, kami 

tahu kalian adalah orang baik-baik. Di dalam hati kalian 

pasti ada apa yang dinamakan kasih sayang. Lalu 

mengapa tega hendak menyerang kami? Kalau hanya 

karena alasan kalian adalah kaki tangan Hantu Muka 

Dua dan mengharapkan imbal jasa berupa harta atau 

kedudukan, ketahuilah kalian telah tertipu. Imbalan 

kasih sayang tidak sebagus dan seindah imbalan 

kejahatan. Bukankah lebih baik bagi kalian meninggal-

kan tempat ini, meninggalkan Istana Kebahagiaan dan 

Hantu Muka Dua. Berbuat baik di jalan yang penuh 

kasih antara sesama...?"

 Nenek berkumis halus pandangi Luhcinta sesaat,

lalu sambil menuding dengan telunjuk tangan kanan-

nya dia tertawa cekikikan. "Aku yang tua hendak diberi

pelajaran oleh seekor cecunguk hijau! Hik... hik... hik!

Sungguh menggelikan. Di ujung kematian kau masih

bisa bersyair wahai gadis yang keningnya ada bunga

tanjung!"

 Di sebelah si nenek, kakek bernama Si Pelawak

Sinting menyahuti. "Tapi sahabatku, syair gadis itu

lumayan bagus. Bisa kujadikan bahan nyanyian pe-

ngiring tarianku!" Lalu kakek Ini pukul tamburnya, dan

menari berjingkat-jingkat dan mulai menyanyi. "Na...

na... na ..Ni._ ni... ni "

 Peri Angsa Putih yang tidak sabaran melihat kelaku-

an kakek ini segera membentak. "Pelawak Sinting, adik 

kembarmu pernah memberi pengampunan padamu! 

Pemuda asing bernama Wiro Sableng itu tempo hari 

juga batal dari niat membunuhmu! Nyatanya kau tidak 

kapok! Masih memalsukan diri sebagai Pelawak Sinting 

dan masih jadi kaki tangan Mantu Muka Dua! Hari ini 

biaraku yang memberi pelajaran padamu agar kau 

bisa kapok seumur hidup!"

 "Na... na... na.„. Ni... ni... ni!" Si Pelawak Sinting ber-

nyanyi lalu mencibir. "Peri Angsa Putih, tempatmu di 

langit di atas sana! Mengapa turut campur urusan 

orang di Negeri Latanahsilam?!"

 "Wahai kakek bernama Pelawak Sinting. Di dalam

otakmu aku yakin tidak ada kesintingan. Di dalam 

hatimu pasti ada kasih. Jangan lihat siapa adanya Peri

sahabatku ini. Tapi dengar apa ujarnya. Pergilah dari sini 

sebelum terlambat "

 "Pelawak Sinting! Jangan dengar ucapan gadis

hijau bau susu ini!" bentak si nenek Pembedol Usus. 

Habis membentak dia langsung menerjang Luhcinta. 

Tangan kanannya yang hitam dan berbulu panjang 

melesat ke perut si gadis. Dari cara orang menyeran 

jelas nenek itu memang hendak membobol perutnya! 

Luhcinta masih sempat menarik nafas dalam tanda 

kecewa. Lalu dia cepat melompat ke samping meng-

hindarkan diri dari serangan si nenek. Tapi alangkah 

kagetnya gadis ini ketika tangan kanan Si Pembedol 

Usus meluncur tambah panjang seolah bisa diulur! 

Luhcinta terpekik kaget.

 "Na... na... na.... Ni... ni... ni...!" Si Pelawak Sinting

terus bernyanyi dan memukul tamburnya namun se-

pasang matanya yang belok melirik tajam ke arah Peri 

Angsa Putih.

 Peri Angsa Putih yang tahu ketinggian ilmu dan 

keganasan nenek berkumis halus berkaki pendek se-

belah itu, apa lagi ketika melihat bagaimana sekali

menggebrak saja dia siap untuk menghantam jebol

perut Luhcinta, tanpa tunggu lebih lama segera go-

yangkan kepalanya. Dua larik sinar biru menderu

keluar dari sepasang matanya, membeset ke arah

nenek Si Pembedol Usus!

 "Peri sesat! Kau telah banyak mencelakai kawan-

kawanku! Hari ini aku mewakili mereka menghukum-

mu!" teriak Si Pembedol Usus. Nenek ini marah sekali.

Karena dua larik sinar biru dari mata sang Peri me-

maksa dia menarik pulang serangannya yang tadi '

dianggapnya dapat merobek perut Luhcinta. Didahului

pekik melengking sosok si nenek melesat dua tombak

ke atas. Tapi aneh dan mengerikannya dua tangannya

yang hitam melayang tertinggal di sebelah bawah

seolah tanggal dari persendian, melesat menyambar

ke perut sang Peri.

 "Dua Tangan Pembetot Rotil" seru Peri Angsa Putih 

mengenali serangan ganas yang dilancarkan si nenek. 

Dengan tenang dia membuat gerakan mengelak. 

Namun tidak disangka, dari sebelah atas kaki kanan 

lawan yang tadi melayang ke udara, menderu

mengincar batok kepalanya sebelah belakang! Dan

lebih celakanya lagi di saat yang sama payung daun

milik Si Pelawak Sinting berputar melayang, menyam-

bar ke arah leher kanan Peri Angsa Putih. Seperti

diketahui payung itu walau terbuat dari daun kering

namun memiliki kehebatan luar biasa Jangankan tu-

buh manusia, pohon atau batu saja pasti akan putus

jika sampai kena tersambar. Diserang dari tiga jurusan

seperti itu sungguh sulit bagi Peri Angsa Putih untuk

selamatkan diri. Salah satu dari tiga serangan pasti

akan bersarang di tubuhnya yaitu dua sambaran ta-

ngan yang akan merobek dan membedol ususnya,

tendangan pada bagian belakang kepala atau 

terabasan payung daun!

 Luhcinta kaget besar. Peri Angsa Putih yang barusan 

menolongnya dari serangan si nenek kini malah dikero-

yok ganas seperti itu. "Wahai! Jika kasih tidak lagi dapat 

menyejukkan hati menyehatkan pikiran, jangan 

salahkan kalau kekerasan merupakan jalan keluar 

yang tidak enak!" Gadis itu berseru. Tubuhnya bergerak 

seperti sosok seorang penari. Dua tangannya dengan 

lemah gemulai didorongkan ke arah Si Pelawak Sinting.

 "Pelawak Sinting! Awas! Serangan Tangan Dewa

Merajam Bumi" Yang berteriak memberi ingat Si Pe-

lawak Sinting adalah Hantu Muka Dua. Tapi terlambat.

Di depan sana payung yang hendak membabat putus

bahu kanan Peri Angsa Putih mental hancur ber-

taburan. Tamburnya ikut terlempar berantakan. Di saat

yang sama Si Pelawak Sinting terpental jauh. Mulutnya

muntahkan darah segar. Tubuhnya terbanting ke atas

tanah berbatu-batu. Menggerung kakek ini segera ber-

kelebat bangkit Tapi dia hanya bisa keluarkan suara

gerungan karena dapatkan sekujur tubuhnya lumpuh

tak berdaya, tak bisa lagi digerakkan barang sedikit-

pun! Itulah keganasan serangan Tangan Dewa Mera-

jam Bumi yang dilancarkan Luhcinta. Siapa saja yang

sampai terkena maka tubuhnya akan menjadi lumpuh

tak berdaya, sulit disembuhkan alias bakalan cacat

seumur hidup. Selama ini Luhcinta jarang sekali me-

ngeluarkan Ilmu itu. Dia lebih suka menasehati lawan

agar insaf dan bertobat. Namun jika lawan tidak bisa

lagi diajak bicara dan tetap membangkang malah

nekad maka tak ada jalan lain!

 "Gadis setan alas! Hari ini biar aku mencabut

pantangan membunuh perempuan asal kau bisa ku-

habisi!" teriak Hantu Muka Dua marah besar melihat

apa yang terjadi dengan Si Pelawak Sinting. Sampai-

sampai dia punya niat menyalahi larangan. Manusia

berwajah dua yang saat itu menampilkan muka-muka

raksasa angkat dua tangannya. Yang satu siap me-

lepas pukulan Hantu Hijau Penjungkir Roh satunya

lagi hendak menghantamkan pukulan Tangan Hantu

Tanpa Suara.

 Ilmu kesaktian bernama Hantu Hijau Penjungkir

Roh itu merupakan satu sinar hijau berbentuk segi

tiga yang bisa membuat sasaran menjadi leleh lunak

seperti lumpur. Aslinya ilmu yang dirampasnya dari

Hantu Lumpur Hijau itu melesat keluar dari sepasang

mata Namun belakangan Hantu Muka Dua mampu

mengeluarkan dari tangan kiri atau kanan hingga

kehebatannya menjadi berlipat ganda. Selain itu pu-

kulan Tangan Hantu Tanpa Suara yang dirampas Hantu

Muka Dua dari Hantu Tangan Empat bisa membuat

sosok Luhcinta tersedot sebelum dihancur luluhkan!

 Pada saat yang sangat menegangkan begitu rupa

tiba-tiba Betina Bercula berkelebat ke hadapan Hantu

Muka Dua dan berseru.

 "Wahai Junjungan Raja Diraja Segala Hantu! Me-

ngapa bertindak bodoh mau menyengsarakan diri

sendiri melanggar pantangan membunuh perempu-

an?! Biar aku yang akan menghabisi gadis binal ber-

pakaian biru itu! Tapi aku mohon jangan kau suruh

bunuh dulu pemuda asing bernama Wiro Sableng itu!

Kau tahu maksudku bukan? Aku sudah jatuh hati

padanya pada pandangan pertama! Hik... hik... hik!"

 Hantu Muka Dua tersadar. Sambil turunkan dua

tangannya dia membentak.

 "Banci sialan! Lekas kau habisi gadis bernama

Luhcinta itu!" Hantu Muka Dua lalu berpaling pada

empat lelaki bertubuh besar yang menjadi pengusung-

nya. Dan berteriak berikan perintah. "Kurung pemuda

asing itu. Jangan biarkan dia lolos. Beri tahu dua kakek

itu agar tidak membunuhnya!"

 Empat lelaki pengusung tandu hentakkan kaki

kanan ke tanah membuat bukit batu bergetar. Lalu

"sreet... sreettt." Mereka cabut kain coklat penutup

kepala dan kibaskan di udara. Kain itu serta merta

berubah bentuk seperti sebuah segi tiga dan menjadi

kaku seperti sebilah besi sehingga merupakan sebuah

senjata berbahaya!

 Melihat sang Junjungan kabulkan permintaannya,

Betina Bercula jatuhkan diri berlutut "Terima kasih

wahai Junjungan. Kau mengabulkan permintaanku!"

Sikap Betina Bercula benar-benar seperti menghormat

dan berterima kasih. Tapi sambil menjura dan berkata

dua tangannya enak saja meluncur ke depan meme-

gangi paha Hantu Muka Dua. Tangannya lalu meng-

usap naik ke atas.

 "Banci jahanam! Jangan sampai aku berubah pikir-

an dan menggebuk batok kepalamu!" bentak Hantu 

Muka Dua.

 Betina Bercula cepat melompat bangkit tersenyum 

cengengesan sambil usap-usap rambutnya yang

keriting lalu tertawa cekikikan. Dia segera berpaling

ke arah Luhcinta. Namun sebelum sempat bergerak

lebih jauh tiba-tiba terdengar satu jeritan merobek

langit.

 Dua tangan aneh nenek Si Pembedol Usus yang

melayang di udara kelihatan berselomotan darah. Da-

lam genggamannya melingkar berkelojotan usus ma-

nusia. Mengerikan luar biasa untuk disaksikan. Luh-

cinta keluarkan suara seperti mau muntah. Betina

Bercula terpekik ngeri. Apa yang terjadi? Jangan-

jangan Peri Angsa Putih telah jadi korban keganasan

nenek satu itu!

*

* *


EMPAT BELAS


PADA waktu Lasulingmaut menggebukkan suling 

tengkoraknya dan asap beracun mengepul ganas, 

Pendekar 212 Wiro Sableng segera tutup jalan nafas 

dan rundukkan kepala seraya balas menghantam 

dengan pukulan Segalung Ombak Menerpa Karang. 

Wiro berlaku cerdik. Yang digempurnya bukan kakek di 

atas dukungan tetapi justru kakek yang mendukung 

yakni Si Lahidungbesar.

 Seperti diketahui Lahidungbesar sebelumnya telah 

terluka parah di bagian dada sebelah dalam akibat

tendangan Wiro. Tulang dada dan beberapa iganya

remuk. Walau dia telah diberi tambahan kekuatan oleh

Lasulingmaut namun keadaan lukanya yang cukup

parah membuat Lahidungbesar hanya bisa bertahan

selama empat jurus. Di jurus-jurus selanjutnya dia mulai 

kelabakan menjadi bulan-bulanan serangan Wiro. Apa 

lagi Wiro sengaja menghantam dengan pukulan-

pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. 

Lahidungbesar mulai terhuyung-huyung. Dua kakinya 

tidak mampu lagi membentuk kuda-kuda bertahan 

apalagi menyerang.

 Menyadari keadaan kawan yang mendukungnya

seperti itu Lasulingmaut keluarkan suara bergumam

keras. Dia sedot sulingnya menghirup'asap beracun

dalam tengkorak. Lalu asap itu disemburkannya ber-

ulang kali ke arah Pendekar 212. Sambil menyembur

tangan kanannya bergerak menghantamkan suling

tengkorak. Sesekali tubuhnya melesat ke udara lalu

menukik lancarkan serangan berupa gebukan yang

selalu diarahkan ke kepala Wiro. Selesai menggebuk

dia kembali hinggap di bahu Lahidungbesar.'

 Untuk beberapa jurus Wiro terpaksa bertahan meng-

hadapi serangan beruntun yang dilancarkan kakek 

berambut putih itu. Walau dia mampu menahan nafas 

menjaga diri dari rasukan asap beracun namun lama-

lama ada juga asap yang menembus jalan pernafasan 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Akibatnya aliran darah 

sang pendekar mulai tidak teratur.

 "Celaka!" keluh Wiro dalam hati. Dia segera kerahkan 

hawa sakti untuk mengatur jalan darah dan raba 

Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghindari diri dari 

keracunan. Seperti diketahui selama digembleng oleh 

Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede, Wiro 

telah dibekali berbagai ilmu antaranya ilmu kebal

racun. Namun kehebatan luar biasa dari asap teng-

korak Lasulingmaut masih sanggup menembus

benteng pertahanannya walau tidak sampai membuat

dirinya jatuh celaka.

 Lasulingmaut memang bukan kakek sembarangan. 

Kakek yang tidak mampu berjalan jauh dengan

kakinya sendiri juga tidak bisa bicara ini satu kali

berhasil menipu Wiro. Ujung sulingnya membeset di

bahu kiri sang pendekar.

 "Breettt!"

 Baju putih Pendekar 212 robek besar. Kulit bahunya 

ikut terkelupas. Darah mengucur. Di saat yang sama di 

kakek menyembur ke depan." Wussss!" Asap hitam 

beracun melabrak ke arah wajah Wiro. Sambil tutup 

jalan nafas Wiro jatuhkan diri berlutut. Tangan kiri 

lepaskan pukulan Sinar Matahari. Diarahkan pada

Lasulingmaut. Selagi cahaya putih menyilaukan dan

panas berkiblat di udara Wiro berguling di tanah.

Begitu bangkit dia hanya tinggal setengah langkah

dari hadapan Lahidungbesar.

 Kakek berhidung besar itu menggertak beringas.

Kaki kanannya diangkat untuk menendang kepala

Wiro. Justru ini adalah satu kesalahan besar. Dalam

keadaan semakin lemah seperti itu dan masih mendu-

kung kawannya di atas bahu, dia kehilangan ke-

seimbangan. Bukan saja tendangannya tidak menge-

nai sasaran tapi ketika Wiro keluarkan jurus silat

bernama Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa

yang diwarisinya dari Tua Gila di Pulau Andalas,

Lahidungbesar tak mampu lagi selamatkan diri. La-

sulingmaut yang tahu bahaya serta meria melompat

cari selamat dan hinggap di atas sebuah batu besar

dengan mulut menggembung keluarkan suara meng-

gumam. Matanya melotot memperhatikan apa yang

terjadi dengan temannya.

 Saat itu Wiro berhasil menangkap pinggang La-

hidung-besar. Ketika dia siap untuk menjotos si kakek

di arah hidungnya yang besar tiba-tiba matanya sem-

pat melihat bahaya besar mengancam Peri Angsa

Putih. Dua tangan aneh Si Pembedol Usus melayang

di udara siap untuk merobek perut dan membedol

usus Peri itu tanpa terelakkan. Di saat yang sama

serangan payung berputar dan tendangan kaki di

belakang kepala datang pula dengan segala kega-

nasannya. Walau serangan di kepala dapat dielakkan

dengan merunduk cepat dan serangan payung di-

hancurkan oleh Luhcinta namun serangan dua tangan

aneh yang mengapung di udara tak mungkin dihindar-

kan. Sesaat lagi dua tangan Si Pembedol Usus akan

merobek perut Peri Angsa Putih dan membetot semua

isi yang ada di dalamya tiba-tiba sesosok tubuh me-

layang di depan tubuh sang Peri.

 Di atas sana si nenek Pembedol Usus berseru kaget 

Dia tidak mampu menahan gerak dua tangannya yang 

mengapung di udara. "Breettt!" Terdengar suara

robeknya perut menyusul jeritan setinggi langit. Peri

Angsa Putih terjajar ke belakang. Lalu terpekik dan

memandang ke bawah ke arah perutnya. Mukanya

yang barusan pucat seperti mayat jadi berdarah ketika

menyadari bahwa bukan perutnya yang robek dan

bukan ususnya yang bergelantungan dalam geng-

gaman dua tangan di depan sana.

 "Braaakk!"

 Sosok yang tadi melayang di depan sang Peri roboh 

ke tanah. Itulah tubuh kakek bernama Lahidungbesar 

yang tadi dilemparkan Wiro untuk membenteng

melindungi Peri Angsa Putih dari serangan dua tangan

si nenek Pembedol Usus.

 Tiga orang menggerung marah menyaksikan ke-

jadian itu. Yang pertama tentu saja pemilik dua tangan

yang kesalahan menjebol perut dan membunuh kawan

sendiri yaitu nenek Si Pembedol Usus. Yang ke dua

adalah Hantu Muka Dua dan yang ke tiga kakek be-

rambut putih Lasulingmaut. Karena tidak mampu lagi

berjalan atau berlari dengan kaki sendiri kakek ini

gulingkan dirinya ke bawah. Sambil menggelinding

dari lereng batu dia lemparkan tongkat tengkoraknya

ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Wiro yang

telah kerasukan oleh asap hitam beracun di samping

terkesiap sendiri melihat apa yang terjadi dengan

Lahidungbesar yang tadi dilemparkannya, sesaat ber-

ada dalam keadaan lengah. Dia baru sadar kalau

dirinya diserang orang pada saat suling tengkorak itu

hanya tinggal tiga jengkal lagi dari pelipis kirinya.

 Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik batu

besar di samping kiri melesat satu bayangan hitam.

Luar biasa sekali gerakan orang ini karena dia mampu

menangkap suling tengkorak yang sesaat lagi akan

menghantam kepala Pendekar 212'.

 Wiro melengak kaget. Berpaling dia dapatkan

dirinya berhadap-hadapan dengan seorang berpakai-

an serba hitam. Wajah orang ini tertutup sejenis tanah

liat yang juga berwarna hitam.

 "Makhluk hitam, aku tidak tahu kau ini setan

kesiangan atau manusia sepertiku! Yang aku tahu kau

barusan telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang

budi berhutang nyawa padamu. Aku menghaturkan

terima kasih " Wiro lalu membungkuk dalam-dalam.

"Kraaakk! Kraaakkk!"

 Tangan hitam yang mencekal suling tengkorak

bergerak meremas secara aneh. Suling dan tengkorak

hancur berkeping-keping. Asap hitam mengepul tapi

sudah kehilangan racun jahatnya.

 " Astaga'" Pendekar 212 tercekat kaget. "Sahabatku, 

aku melihat sendiri! Kau menghancurkan suling dan 

tengkorak itu dengan ilmu mematah tulang bernama 

Koppo! Bagaimana mungkin?! Dari mana kau

mendapatkan ilmu itu? Siapa kau sebenarnya? Harap

sudi memberitahu...." Seperti diketahui Wiro sendiri

memiliki ilmu yang sama yang didapatnya dari Nenek

Neko di Negeri Sakura.

 Di balik wajahnya yang tebal tertutup tanah liat

hitam, orang berpakaian hitam tersenyum, "kau me-

nyebutnya ilmu Koppo. Aku menamakannya ilmu Kep-

peng. Mungkin bersumber dari orang dan negeri yang

sama " Sambil bicara si hitam ini memandang ke

jurusan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. "Wahai sahabat, 

sebenarnya aku ingin sekali menemui salah seorang 

dari kalian di sini. Namun agaknya kali ini bukan saat 

yang tepat. Aku khawatir orang yang akan kutemui 

akan salah menduga...."

 "Katakan apa kePeriuanmu. Aku pasti membantu!" 

kata Wiro.

 Si hitam gelengkan kepala. Dia membuang han-

curan suling dan tengkorak lalu menggosok-gosok

telapak tangannya satu sama lain. "Jika umur sama

panjang kita pasti bertemu lagi wahai sahabat Mung-

kin pada saat itulah aku minta tolong padamu!"

 "Aku akan menolongmu kapan saja. Sekarang!"

kata Pendekar 212.

 Orang bersosok serba hitam ini memandang lagi

ke jurusan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. Lalu ber-

paling pada Wiro. "Selamat tinggal sahabat...." Baru

saja dia berucap sosoknya lantas berkelebat lenyap.

 "Luar biasa cepat gerakannya..." ujar Wiro sambil

garuk-garuk kepala. Saat itu tiba-tiba Luhcinta berlari

dari ketinggian lereng bukit sana disusul oleh Peri

Angsa Putih.

 "Wiro, orang serba hitam tadi! Dia yang selama ini 

menguntit membayangi aku...."

 "Astaga! Mengapa kau tidak cepat memberitahu!"

ujar Wiro pula. "Dia sudah pergi. Tapi jika melihat

caranya bicara dan bagaimana dia barusan menyela-

matkan diriku, aku punya dugaan dia tidak bermaksud

jahat padamu...."

 "Lalu mengapa dia selalu mengikutiku?"

 "Mungkin itu satu hal yang harus kau selidiki

Siapa tahu dia ada sangkut pautnya dengan masalah

yang tengah kau selidiki. Tentang asal usulmu...."

 Berubahlah paras Luhcinta mendengar ucapan

Wiro. Suaranya bergetar ketika berkata. "Kau mungkin

benar. Kalau begitu aku akan mengejar ke jurusan dia

lenyap tadi...."

 "Jangan, jika dia punya kepentingan pasti dia yang

akan mencarimu. Lagi pula urusan di tempat ini belum

selesai. Apakah kau akan meninggalkan aku begitu

saja"

 Luhcinta tertegun karena tidak menyangka ucapan 

Itu akan keluar dari mulut pemuda yang selama ini

diam-diam selalu dikenangnya. Ketika Wiro berucap

begitu, Peri Angsa Putih sampai pula di tempat itu.

Gadis bermata biru ini seperti Luhcinta juga jadi ter-

tegun mendengar kata-kata Wiro itu. Namun dasar

perasaan mereka saling berbeda. Kalau Luhcinta ter-

tegun saking gembiranya maka Peri Angsa Putih ter-

tegun karena tiba-tiba saja muncul rasa cemburu di

lubuk hatinya.

 "Aku mendengar sendiri ucapan pemuda itu begitu 

mesra dan Luhcinta menatap Wiro tak kalah mesranya. 

Wahai, sampai sejauh mana sebenarnya hubungan ke 

dua orang ini. Jangan-jangan aku hanya...." Peri Angsa 

Putih gigit bibirnya sendiri. Ketika tiba-tiba tiga orang 

muncul di tempat itu dan semua perhatian orang 

tertuju pada si pendatang ini diam- diam Peri Angsa 

Putih balikkan tubuh, berlari ke puncak bukit dan 

lenyap di balik bebatuan.

* *

LIMA BELAS


WALAU amarah Hantu Muka Dua, Lasulingmaut dan 

nenek Si Pembedol Usus meluap luar biasa melihat 

kematian Lahidungbesar namun ke dua orang ini jadi 

terpaksa menahan diri ketika melihat munculnya sosok 

orang serba hitam yang selama ini menjadi nomor satu 

di kalangan orang Istana Kebahagiaan, apa lagi begitu 

muncul langsung menangkap dan meremas hancur 

suling tengkorak. Selain itu empat orang pengusung 

tandu yang barusan diperintah untuk mengurung 

Pendekar 212 saat itu sama-sama terkesiap dan ciut 

nyali masing-masing begitu melihat Lahidungbesar 

meregang nyawa dengan cara sangat mengerikan. 

Apa lagi saat itu Si Pelawak Sinting terkapar di tanah 

dalam keadaan lumpuh tidak berdaya. Betina Bercula,

walaupun tak kurang suatu apa tapi nyalinya telah 

leleh. Banci satu ini tengah berpikir bagaimana bisa 

meninggalkan tempat itu dengan aman. Tidak 

ketahuan Hantu Muka Dua juga tidak ketahuan pihak 

lawan.

 " Penolong Budiman..." desis Hantu Muka Dua dan

Lasulingmaut hampir berbarengan. "Jadi ini ujud so-

soknya. Naga-naganya urusan bisa tidak karuan kalau

aku meneruskan apa mauku. Jahanam betul! Yang

hendak dibunuh tak dapat dilaksanakan, yang hendak

diculik tak dapat dilakukan! Hari ini terpaksa aku harus

mengalah lagi!" Hantu Muka Dua memberi isyarat pada

empat pengusung tandu agar segera mengangkatnya.

Namun mendadak terjadi perubahan. Orang serba

hitam sehabis bicara dengan Wiro pergi begitu saja.

Nyali Hantu Muka Dua kembali bangkit. Dia memberi

isyarat lagi pada empat pengusung tandu, juga pada

Betina Bercula. Dia sendiri segera turun dari tandu,

siap untuk memimpin serangan terhadap Wiro dan

kawan-kawan.

 Si nenek Pembedol Usus melayang turun dan

cepat hendak memasang kembali dua tangannya 

yang tadi ditanggalkannya secara aneh. Namun belum 

sempat dia bergerak tiba-tiba tiga orang melesat 

muncul dari balik batu-batu besar di lereng bukit itu. 

Salah seorang di antara mereka berteriak.

 "Kencingi cepat! Kencingi! Biar tidak bisa kembali

ke tempat asalnya!"

 Berdesir darah si nenek Pembedol Usus. Wajahnya

langsung pucat mendengar teriakan itu. Dengan

cepat dia melayang turun menyambar dua tangannya

yang masih mengapung di udara dan masih ber-

lumuran darah sementara isi perut Lahidungbesar

yang tadi dibedolnya berhamparan di tanah! Namun

si nenek kalah cepat. Seorang bocah berambut jabrik

berpakaian serba hitam telah lebih dulu mencekal dua

potongan tangan lalu melemparkannya pada seorang

kakek berkuping lebar yang tegak dekat sebuah batu

besar. Begitu dua potongan tangan jatuh di hadapan-

nya kakek ini berbalik, rorotkan celananya ke bawah

lalu "serrr....!" Dia kencingi dua tangan yang tergeletak

di tanah itu.

 Nenek Si Pembedol Usus meraung keras. Dari

kutungan tangannya mengepul asap disertai kucuran

darah.

 Selagi semua orang terkesiap melihat kejadian itu, 

Pendekar 212 Wiro Sableng berseru gembira.

"Naga Kuning! Kakek Setan Ngompol!"

 Naga Kuning yang sosok tubuhnya kini sudah

menjadi besar lambaikan tangan pada Wiro. Si Setan

Ngompol tarik celana bututnya ke atas baru berbalik

dan tertawa mengekeh. Lupa akan suasana yang di-

hadapinya Wiro melompat menemui ke dua orang itu.

 "Wiro, kami berhasil! Hantu Raja Obat menepati

janjinya. Lihat! Kami sekarang sama sebesar dengan

kau!" kata Naga Kuning bangga. Wiro tertawa 

bergelak. Setan Ngompol mulai jelalafan matanya 

memperhatikan Peri Angsa Putih dan Luhcinta.

 Nenek Si Pembedol Usus yang sudah jejakkan

kakinya di tanah tiba-tiba membentak. "Gendut ke-

parat! Pasti kau yang memberi tahu pada orang-orang

dari negeri asing itu! Pasti kau yang menyuruh mereka

mengencingi dua tanganku hingga tak mungkin lagi

kupasangkan ke badan! Jahanam betul! Aku ber-

sumpah akan membunuhmu!"

 Seorang kakek gendut yang mukanya bulat dan

ada tompel besar di pipi kiri saat itu duduk uncang-

uncang kaki di atas sebuah batu besar tertawa me-

ngekeh hingga perut dan dadanya yang gembrot ber-

guncang-guncang. Inilah Si Hantu Raja Obat, makhluk

aneh yang telah mengobati Wiro hingga sosoknya

menjadi sebesar orang-orang di Negeri Latanahsilam.

Ternyata dia juga telah mengobati dua kawan Wiro

yakni Naga Kuning dan kakek berjuluk Si Setan Ngom-

pol.

 "Kalau kau sudah tahu dan ingin membunuhku,

apakah kau mau melakukannya sekarang?!" Hantu

Raja Obat bertanya sambil melirik pada Luhcinta lalu

tersenyum dan kedipkan matanya. Antara Luhcinta

dan Hantu Raja Obat memang sudah saling mengenal

dan kakek gendut ini pernah berhutang budi terhadap

si gadis.

 Mendengar ucapan Hantu Raja Obat, Si Pembedol

Usus hanya menggerutu panjang pendek.

 "Kalau kau memang masih butuh dua tanganmu

itu, silakan ambil saja!" kata Setan Ngompol ikut bicara.

 "Tua bangka sialan! Kau juga akan kubunuh nanti!

Dua tangan itu tak ada gunanya! Tak bisa dipasangkan

lagi ke tubuhku! Jahanam!"

 "Bisa atau tidak bisa baiknya diambil saja Nek. Di

buat sop dan disantap kurasa masih cukup enak!"

kata Naga Kuning pula membuat si nenek tambah

meluap amarahnya tapi tak berani berbuat apa karena

jerih pada Hantu Raja Obat. Dia melirik pada Hantu

Muka Dua, lalu tanpa banyak cerita lagi segera ting-

galkan tempat itu.

 Hantu Muka Dua sendiri menggeram panjang pen-

dek. Tadi dia merasa lega dengan perginya Penolong

Budiman yang berkepandaian sangat tinggi itu. Tapi

kini muncul Hantu Raja Obat yang diketahuinya ber-

sifat aneh dan memiliki ilmu sulit dijajagi. Dari pada

cari perkara dia segera naik ke atas tandu. Tapi Hantu

Raja Obat cepat menegur.

 "Kerabatku Hantu Muka Dua! Jangan pergi dulu.

Aku ingin bicara beberapa hal padamu! Satu di an-

taranya tentang tanda bunga dalam lingkaran!"

 Pucatlah dua wajah Hantu Muka Dua mendengar

kata-kata Hantu Raja Obat itu. "Aku tak ada waktu

melayanimu!" jawabnya.

 "Percayalah, sahabatku ini orang baik-baik!" ber-

kata Wiro. "Dia tidak akan mengencingi tangan atau

kakimu!"

 Hantu Raja Obat tertawa mengekeh. "Betul! Apa

yang dibilang pemuda ini memang betul! Ha... ha...

ha!"

 Hantu Muka Dua memaki habis-habisan. Wajahnya 

depan belakang berubah menjadi wajah raksasa.

Dia gerakkan tangannya ke pinggang. Ketika tangan

itu diangkat terdengar satu letusan kecil lalu asap hijau

menggebubu menutup pemandangan.

 "Hantu pengecut! Pasti dia kabur sudah!" teriak

Hantu Raja Obat. Benar saja, begitu asap hijau luruh

lenyap, sosok Hantu Muka Dua tak kelihatan lagi di

atas tandu. Melihat kejadian ini empat orang anak 

buahyang mengusungnya serta merta melarikan diri 

berserabutan.

 "Hantu Muka Dua! Jangan tinggalkan aku!" seru

kakek rambut putih Lasulingmaut. Setan Ngompol

dekati kakek ini lalu usap-usap rambutnya yang putih.

"Kau mau kukencingi atau kutampar? Kau membuat

susah sahabatku si pemuda itu ya?!"

 "Kita sama-sama tua, mengapa berani dalam ke-

adaan aku tidak berdaya?" kata Lasulingmaut.

 "Kau pandai bicara! Sudah, biar kutampar saja

mulutmu sampai perot!" Setan Ngompol usap-usap

telapak tangannya satu sama lain lalu yang kanan

bergerak. "Plaakkk! Byaaar!" Si kakek tidak menampar

Lasulingmaut tapi menampar sebuah batu di samping

kakek itu. Batu hancur berantakan. Tentu saja La-

sulingmaut menjadi kecut. Wajahnya langsung pucat

memasi.

 "Ayo jawab, kau mau kutampar atau kukencingi?!"

bentak Setan Ngompol sambil jambak rambut putih si

kakek.

 "Aku... aku memilih dikencingi saja..." jawab La-

sulingmaut ketakutan setengah mati.

 Semua orang yang ada di situ tertawa bergelak.

Dan suara tawa makin menjadi-jadi ketika gilanya Si

Setan Ngompol benar-benar mengencingi kepala La-

sulingmaut.

 Selagi semua orang tertawa riuh sambil memper-

hatikan perbuatan Setan Ngompol, Betina Bercula

pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Sayang

mata Si Setan Ngompol sempat melihat. Tanpa mem-

betulkan celananya dia segera melompat mengejar

dan mencekal leher orang.

 "Ah, ternyata kau lumayan cantik. Aku tidak akan

mengencingimu. Kau mau aku apakan?" tanya si

kakek seraya sunggingkan senyum dan kedipkan

matanya. Setan Ngompol sama sekali tidak tahu kalau

yang dihadapinya bukan perempuan sungguhan.

 "Kau kencingipun aku suka..." jawab Betina Ber-

cula sambil balas tersenyum genit membuat Setan

Ngompol jadi blingsatan. "Tapi kalau mau mengen-

cingiku jangan di depan orang banyak ini. Kita cari

tempat yang enak...."

 "Jangan bercanda! Kau mau menjajalku atau ba-

gaimana?!" tanya Setan Ngompol.

 "Aku sungguhan. Masakan berani bercanda de-

ngan kakek segagah ini?" Makin blingsatan Setan

Ngompol mendengar pujian itu. Apa lagi sambil bicara

Betina Bercula lingkarkan tangannya dengan mesra

di pinggang Setan Ngompol dan menuntunnya ke balik

sebuah batu besar.

 "Kek!" Wiro berseru. "Orang itu bukan per...." Wiro

mengingatkan. Tapi Naga Kuning cepat menyikut


iganya.

 "Biar saja. Sebentar lagi kakek gatal itu pasti tahu

rasa!" kata Naga Kuning sambil menahan tawa.

 Betul saja. Tak lama setelah Setan Ngompol lenyap di 

balik batu besar tiba-tiba terdengar teriakannya. "Aduh! 

Aduuhhh! Perempuan gila! Kau apakan aku! Kau kira 

aku ini kelapa yang mau diremas jadi santan! 

Aduuhhh!"

 Ketika Wiro, Hantu Raja Obat dan Naga Kuning

melompat ke balik batu mereka dapatkan Si Setan

Ngompol terbaring di tanah sambil tekapi bawah pe-

rutnya menahan sakit. Betina Bercula tak kelihatan

karena memang sudah kabur melarikan diri.

 "Enak Kek?!" tanya Wiro.

 "Sialan kau! Enak bapak moyangmu! Mau pecah

rasanya kepalaku atas bawah!"

 Suara tawa meledak lagi di tempat itu.

TAMAT

 Para pembaca penggemar Serial Wiro Sableng

yang setia. Dalam buku ini sengaja kisah perjalanan

Labahala mencari Lasedayu yang diam di Lembah

Seribu Kabut tidak dituturkan. Karena riwayat tersebut

akan diceritakan dalam buku tersendiri yang segera

TAMAT

terbit:

BASTIAN TITO

Pendekar Kapak Maut Nagageni 212

WIRO SABLENG

Segera terbit:

RAHASIA KINCIR HANTU






Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar