"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 05 Juli 2024

WIRO SABLENG EPISODE LEMBAH AKHIRAT

 

Lembah Akhirat



Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

SATU

Bayangan putih yang berkelebat di malam gelap dan dingin itu tiba-tiba lenyap laksana 

ditelan bumi. Beberapa saat kemudian satu bayangan lagi muncul di tempat itu. 

Sambil mengusap keringat yang membasahi keningnya orang ini memandang 

berkeliling. Ternyata dia seorang pemuda berwajah tampan, berkumis tipis, mengenakan 

pakaian serba merah. Sehelai kain hitam menutupi kepalanya sampai ke kening. 

“Heran, apa dia punya ilmu amblas ke dalam tanah? Barusan saja aku masih melihat 

dia berada di depanku. Bagaimana tahu-tahu lenyap tanpa bekas?” Orang yang berkata 

dalam hatinya itu memandang berkeliling. “Malam gelap sekali. Tapi mataku tak bisa 

ditipu. Tak ada pohon besar untuk bersembunyi. Tak ada semak belukar untuk mendekam. 

Aneh....”

Orang ini lalu melangkah ke kiri. Dari sini dia membuat gerakan memutar. Tetap saja 

orang yang tadi diikutinya tidak kelihatan. “Apa aku meneruskan perjalanan saja menuju 

Kutogede. Bagaimana kalau berpapasan lagi dengan guru. Seperti kejadian beberapa hari 

lalu. Hampir aku kepergok olehnya! Kalau dia sampai menemuiku bakalan celaka diriku! 

Selain itu aku harus memberitahukan satu hal penting pada orang yang kukejar tapi lenyap

begitu saja!”

Sambil bicara dalam hati, sepasang mata orang ini terus memandang kian kemari. 

Apa yang dicarinya tidak kelihatan. Sesaat dia merasa bingung. Apa akan terus mencari 

orang yang tadi dikejarnya atau meneruskan perjalanan saja. Selagi dia menimbang-

nimbang begitu tiba-tiba dari sebuah lobang sedalam pinggang yang nyaris tak kelihatan 

karena tenggelam dalam kegelapan malam yang sangat pekat menyambar serangkum angin 

dahsyat. Menghantam ke arah pemuda berpakaian merah yang tegak di tempat terbuka itu. 

Meski terkejut mendapat serangan tak terduga itu namun karena sebelumnya dia 

telah berlaku waspada maka begitu sambaran angin yang sanggup menghancurkan batu 

mematahkan pohon besar itu menderu ke arahnya, pemuda berbaju merah melompat ke 

udara. Dengan sudut matanya dia telah melihat dari mana datangnya serangan gelap itu. 

Karenanya begitu melayang turun pemuda ini balas melepas pukulan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam tinggi, diarahkan ke lobang di kegelapan. 

“Wusss!”

“Byarrr!”

Lobang terbongkar. Tanah laksana berubah jadi air dan muncrat ke udara. Dalam 

gelap terdengar suara orang memaki lalu samar-samar tampak bayangan putih melayang ke 

udara. Pemuda berbaju merah mengikuti gerakan tubuh yang melayang. Ketika dia hendak 

menghantam kembali tiba-tiba dia melihat ada sebuah benda melesat di udara. Sebelum dia 

sempat melihat jelas, tahu-tahu sekujur tubuhnya telah dilibat ikatan benang halus berwarna 

putih. 

“Ah! Memang dia rupanya!” kata pemuda berpakaian merah begitu dia mengenali 

benda apa yang mengikatnya hingga dia tak mampu bergerak barang sedikit pun. 

Tiba-tiba dari arah kegelapan benang putih halus itu dikedut orang. Tak ampun lagi 

tubuh si pemuda melesat ke udara. Lalu laksana layang-layang ditarik ke bawah hingga 

menghunjam tajam ke arah tanah. Bersamaan dengan itu dari kegelapan terdengar orang 

berteriak. 

“Makan tanganku! Jebol batok kepalamu!”

“Astaga! Dia hendak membunuhku!” ujar si pemuda. Dalam keadaan terikat dan 

melayang begitu rupa dia coba gerakkan badannya ke kiri seperti gelondongan kayu. Tapi 

orang di dalam gelap lebih cepat menyentakkan benang yang mengikat tubuhnya. 

Akibatnya sernakin deras dirinya tertarik ke bawah, kepala lebih dulu! “Celaka! Hancur 

kepalaku!”

“Kek! Jangan bunuh diriku!”

“Eeee anak gila! Walau gelap aku tidak buta! Orang berpakaian merah yang 

menguntitku sejak dari pantai dua hari lalu ini adalah seorang pemuda! Tapi mengapa 

suaranya seperti perempuan? Apa masih ada banci di dunia ini?!”

“Kek! Aku Puti Andini! Jangan....”

“Anak setan kurang ajar! Akan aku rotan kau sampai seribu kali!” “Dettt... dettt... 

dettt!” Benang halus putih kembali dikedut orang sampai tiga kali. Sosok orang berpakaian 

merah melayang berputar satu kali. Kalau tadi tubuhnya menghunjam deras ke tanah maka

kini tubuh itu laksana layang-layang yang diturunkan bergerak ke bawah perlahan-lahan 

dan akhirnya tergolek menelentang di tanah. 

“Gadis nakal! Terlambat kau mengatakan siapa dirimu, nyawamu tak ketolongan! 

Apa yang kau lakukan itu? Kau sengaja mencari mati?!” Seorang tua berpakaian putih 

berkepala botak plontos muncul di samping Puti Andini yang menyamar sebagai seorang 

pemuda. “Kek, buka dulu ikatan Benang Kayanganmu. Nanti aku terangkan....” “Kau kira 

aku tak tahu sejak dua hari lalu kau menguntitku terus menerus...!” “Betul, tapi buka dulu 

ikatan benang saktimu. Aku sulit bernafas!”

“Itu hukuman agar kau tahu rasa!” jawab orang dalam gelap. Lalu dia gerakkan 

tangannya dua kali. Benang sakti yang melibat tubuh orang yang terhampar di tanah secara 

aneh terbuka. Orang ini segera membuka kain lebar yang menutupi kening dan kepalanya. 

Begitu penutup kepala terbuka maka terlepaslah rambut panjang yang sebelumnya 

tergulung. Lalu tangannya bergerak menanggalkan kumis tipis yang menghias bagian atas 

bibirnya. Serta merta wajahnya yang tadi kelihatan seperti wajah pemuda tampan dan halus 

kini berubah menjadi wajah seorang gadis cantik berambut panjang. Dengan cepat gadis ini 

melompat tegak dan menjura. 

Orang tua yang berdiri di depannya keluarkan tawa mengekeh. 

“Hebat juga dandanan penyamaranmu! Sekarang ayo katakan mengapa kau 

menguntit membayangiku terus menerus! Apa kau tidak sadar itu pekerjaan berbahaya 

yang membuatku bisa salah menurunkan tangan maut?! Kau tahu banyak orang yang ingin 

membunuhku sejak beberapa waktu belakangan ini!”

“Maafkan aku Kek. Aku tadinya masih meragukan apa kau yang aku ikuti selama 

beberapa hari ini benar-benar kakekku Tua Gila. Soalnya penyamaranmu jauh lebih hebat 

dariku!”

Orang tua berkepala botak tertawa terkekeh-kekeh. Tangan kirinya bergerak ke 

bagian belakang kepala. Sekali dia menarik maka terlepaslah satu topeng tipis yang 

membungkus muka dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajahnya yang asli. Wajah seorang 

kakek cekung keriput. Sepasang matanya memiliki rongga dalam dan sangat lebar. 

Rambutnya, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai ditiup angin. 

Ternyata dia adalah tokoh rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Tua Gila alias

Pendekar Gila Patah Hati dan di masa mudanya juga dikenal dengan julukan Iblis Gila 

Pencabut Jiwa. 

“Kita sama-sama menyamar. Tentu punya alasan. Apa alasanmu Cucuku?” tanya Tua 

Gila pada Puti Andini yang memang adalah cucunya sendiri. Seperti dituturkan dalam 

Episode I (Tua Gila Dari Andalas) dari hubungan cintanya dengan Sabai Nan Rancak di 

masa muda lahirlah seorang anak perempuan yang diberi nama Andam Suri. Anak ini 

kemudian kawin dengan Datuk Paduko Intan. Ketika melahirkan Puti Andini, Andam Suri 

meninggal dunia. Datuk Paduko Intan melenyapkan diri. Ternyata dia telah menjadi searang 

Raja kecil di sebuah kerajaan pulau Sipatoka. Dari istrinya yang kedua Datuk Paduko Intan 

dikarunia seorang putera yakni Datuk Pangeran Rajo Mudo. Kalau tidak tersesat ke pulau 

Sipatoka itu seumur hidup Tua Gila tak akan pernah bertemu dengan bekas menantu dan 

puteranya yang berarti adalah juga cucunya. 

“Puti Andini, kau belum mengatakan mengapa kau menyamar dan meninggalkan 

pulau Andalas?”

“Tak lama setelah Datuk Angek Garang meninggalkan Andalas, guruku Sabai Nan 

Rancak juga berangkat. Dia berpesan agar aku segera kembali ke Singgalang. Tapi setelah 

ditinggal sendirian aku merasa apa gunanya mendekam di gunung itu. Walau aku 

mendapat pengalaman pahit di tanah Jawa sebelumnya tapi perasaan hatiku mendorongku 

untuk kembali ke sini. Untuk menghindarkan segala macam urusan yang tidak diduga, 

terutama jangan ketahuan guru aku terpaksa menyamar..., Nah sekarang giliranmu Kek 

menceritakan mengapa kau menyamar jadi kakek botak!”

Tua Gila tertawa lebar lalu berkata. “Aku tahu perasaan hati yang mana yang paling 

keras mendorongmu untuk kembali ke tanah Jawa ini. Kau ingin menemui muridku si 

sableng itu bukan?” Tua Gila tertawa mengekeh melihat paras Puti Andini menjadi merah. 

“Kau jangan mengganggu aku Kek!” kata si gadis seraya memalingkan wajahnya ke jurusan 

lain. “Ayo lekas kau ceritakan apa sebabnya kau menyamar.” “Banyak orang yang ingin 

membunuhku. Kau tahu sendiri. Salah seorang diantaranya adalah gurumu Sabai Nan 

Rancak. Kemanapun aku pergi maut selalu membayangi. Aku tidak takut mati. Tapi ada 

beberapa urusan yang perlu aku selesaikan kalaupun kelak aku harus mati. Di tengah 

perjalanan menuju kesini aku mendapat kabar dari seorang sakti di kawasan laut selatan 

bahwa satu malapetaka telah menimpa muridku Wiro Sableng. Bahaya besar mengancam 

dirinya. Selama seratus hari dia akan kehilangan semua ilmu silat dan kesaktiannya. Aku 

harus melakukan sesuatu untuk menolongnya. Celakanya dimana dia berada belum ku

ketahui. Kemungkinan dia berada di Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Sebelum 

menuju ke sana aku akan menyelidik dulu barang beberapa hari....”

“Aku dapat membayangkan kesulitan besar yang kau hadapi Kek. Kalau saja aku bisa 

menolong....” Puti Andini terdiam sesaat. Lalu dia bertanya. “Bagaimana dengan Malin Sati, 

muridmu itu Kek?”

Wajah Tua Gila langsung berubah mengelam. Rahangnya menggembung dan 

pelipisnya bergerak-gerak. “Anak malang ...” desah si kakek. “Setelah kusadari dirinya 

hanya tinggal tubuh kasar, anak itu aku kuburkan di sebuah pulau....”Sampai di sini Tua 

Gila hentikan penuturannya. Dalam hati dia bertanya-tanya apakah akan diceritakannya 

pertemuannya dengan Rajo Tuo Datuk Paduko Intan yang adalah ayah kandung cucunya 

itu. Juga tentang Datuk Pangeran Rajo Mudo yang merupakan saudara satu ayah Puti

Andini. “Urusan nanti bisa panjang. Aku khawatir. Untuk sementara biar aku rahasiakan

dulu ihwal orang-orang itu pada gadis ini....”

Wajah Tua Gila tampak berkerut. Dia seperti merenung. 

Karena lama orang tua itu tidak kunjung membuka mulut maka Puti Andini lalu 

berkata. “Kek, tak lama setelah aku menginjakkan kaki di Jawa ini aku menyirap kabar 

tentang adanya sebuah kitab maha sakti disebut Kitab Wasiat Malaikat. Konon kitab itu 

berada di tangan Datuk Lembah Akhirat yang diam di sebuah lembah bernama Lembah 

Akhirat. Aku pernah tahu tentang Kitab Wasiat Iblis dan Kitab Putih Wasiat Dewa. Katanya 

Kitab Wasiat Malaikat ini jauh lebih hebat dari dua kitab itu. Menurut kabar, Datuk Lembah 

Akhirat akan memberikan kitab sakti itu pada siapa saja yang dianggapnya cocok. Apa kau 

pernah tahu hal ihwal Kitab Wasiat Malaikat itu Kek?”

“Aku memang mendengar berita itu. Bahkan apa yang ku dengar kitab itu hanya 

akan diberikan pada orang yang berjodoh tapi harus dari golongan putih. Lalu kabarnya 

telah jatuh beberapa korban dalam memperebutkan kitab tersebut. Bagaimana urusannya 

kurang jelas bagiku. Aku tidak tertarik untuk mendapatkannya karena urusanku jauh lebih 

penting. Apa kau berniat mencarinya?” tanya Tua Gila. 

“Mungkin.... Siapa tahu aku berjodoh” jawab Puti Andini. 

“Mudah-mudahan kau memang berjodoh mendapatkannya. Namun jika kau suka 

dan jika kau ada niat hendak menolong muridku Pendekar 212, ada satu hal yang bisa kau 

lakukan.”

Mendengar disebutnya Pendekar 212 sepasang mata si gadis kelihatan membesar dan 

mengeluarkan cahaya. “Kek, aku akan melakukan apa saja untuk menolong muridmu itu. 

Katakan apa yang kau ingin aku lakukan.”

“Puluhan tahun silam ketika aku dan Sinto Gendeng masih sama-sama menuntut 

ilmu sebagai saudara satu guru kami diwarisi dua senjata mustika sakti. Yang pertama 

adalah sebilah pedang putih disebut Pedang Naga Suci 212. Senjata kedua berupa sebilah 

kapak bermata dua disebut Kapak Naga Geni 212. Sinto Gendeng memilih Kapak Naga Geni 

212 dan dia berhasil mendapatkannya. Padahal senjata itu seharusnya cocok untuk diriku 

yang laki-laki. Aku berembuk dengan Sinto Gendeng agar kapak diserahkan padaku dan dia 

mengambil pedang saja. Tapi waktu itu kami sudah berseteru karena aku berlaku culas 

dalam bercinta dengan dirinya. Sinto Gendeng melenyapkan diri membawa Kapak Naga 

Geni 212 dan sekaligus menyembunyikan Pedang Naga Suci 212 di suatu tempat. Bertahun-

tahun aku berusaha mencari pedang itu tapi sulit dijajagi dimana beradanya. Ketika 

akhirnya aku mengetahui letak penyimpananya, aku tidak berminat lagi. Sekarang kurasa 

tiba saatnya aku menyelusuri lagi keberadaan pedang sakti itu. Namun bukan untuk diriku 

dan aku tidak punya waktu untuk mencarinya. Mungkin kau berjodoh dengan Pedang Naga 

Suci 212 itu ....”

Puti Andini terbelalak mendengar kata-kata Tua Gila itu. “Mungkinkah aku salah 

dengar atau orang tua ini yang salah bicara?” pikirnya. “Pedang maha sakti itu hendak 

diberikannya padaku?!”


Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

DUA

Tua gila menatap paras gadis di depannya beberapa lama lalu bertanya. “Mengapa kau 

terbelalak? Kau kira aku main-main?'' Polos saja Kek, mengapa kau mau 

menyerahkan senjata itu padaku?” tanya Puti Andini. 

“Hemmm.... Itu rupanya yang ada dalam benakmu. Baik aku tua bangka ini akan 

coba menjawab. Hik... hik... hik!” Tua Gila tertawa dulu baru meneruskan ucapannya. 

“Pertama aku sudah tua, sudah bau tanah, tinggal menunggu datangnya malaikat maut saja. 

Suat apa aku menghabiskan waktu mencari Pedang Naga Suci 212? Apa aku masih mau jadi 

jagoan? Ha... ha... ha! Kedua Pedang Naga Suci 212 itu dirancang untuk perempuan. Aku tak 

mau dikatakan banci karena memakai pedang perempuan. Hik... hik... hik! Yang ketiga 

daripada senjata itu kuberikan pada orang lain bukankah lebih baik aku berikan padamu 

cucuku sendiri? Hal ke empat, dulu kau dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh. Gadis 

cantik sakti bersenjata tujuh buah payung. Sejak senjatamu dihancurkan musuh kini kulihat 

kau tidak lagi memiliki senjata lain....”

“Aku akan menemui seorang ahli pembuat payung di pantai utara Jawa,”

menerangkan Puti Andini.

“Itu bagus. Namun rasanya lebih baik kalau tujuh buah payung itu kau ganti dengan 

sebilah pedang. Apa kau tidak merasa berabe ke mana-mana membawa tujuh buah 

payung?”

Cucu Tua Gila itu mengusap pipinya beberapa kali lalu berkata. “Kek, aku mau saja 

mengganti payung dengan pedang. Tapi bagaimana kalau guruku Sabai Nan Rancak nanti 

menanyakan? Ilmu payung tujuh itu aku pelajari darinya.”

“Ah itu urusanmu dengan dia. Bukankah kau pandai mencari akal? Ha... ha... hal”

Tua Gila lalu meneruskan. “Hal terakhir yang paling penting ialah Pedang Naga Suci 212 

memiliki daya pengobatan luar biasa. Mungkin dengan senjata itu malapetaka yang tengah 

dihadapi muridku Wiro Sableng bisa dimusnahkan.”

Sepasang mata Puti Andini membesar ketika mendengar nama Pendekar 212 

disebutkan. “Kalau memang begitu katamu aku akan segera mencari Pedang Naga Suci 212. 

Namun tentu saja untuk mencari senjata itu akan memakan waktu. Apakah muridmu bisa 

bertahan...?” “Itulah yang aku risaukan,” jawab Tua Gila. “Tadinya aku berencana pergi ke 

Gunung Gede tempat kediaman gurunya. Namun rasanya terpaksa aku batalkan. Lebih baik 

aku mencari muridku lebih dulu.... Sekarang aku akan memberitahu dimana Pedang Naga 

Suci 212 berada. Di dasar telaga besar Gajahmungkur!” Puti Andini tampak terkejut. “Kek, 

sesuai kabar yang aku sirap dan kalau aku tidak salah, bukankah telaga itu berada di tempat 

yang disebut Lembah Akhirat?”

Tua Gila mengangguk. “Aku tahu maksudmu. Menurut hikayat yang aku dengar, 

ratusan tahun silam terjadi satu bencana alam besar. Sebuah pedataran luas di barat daya 

Gunung Lawu tiba-tiba digoncang gempa dahsyat. Pedataran itu amblas ke pusar bumi 

membentuk sebuah lembah luas. Sebagian dari lembah digenangi air aliran Bengawan Solo, 

membentuk sebuah telaga yang kemudian diberi nama Telaga Gajahmungkur. Ratusan 

penduduk tenggelam menemui ajal di telaga ini. Sebagian pedataran lagi berubah menjadi 

lembah. Ternyata di sini lebih banyak penduduk yang amblas tertimbun tanah. Orang-orang 

menamakan lembah ini sebagai Lembah Akhirat. Dan kini kabarnya di tempat itu berada 

Kitab Wasiat Malaikat yang lebih hebat dari Kitab Wasiat Iblis ataupun Kitab Putih Wasiat 

Dewa. Sesuai namanya maka Kitab Wasiat Malaikat hanya boleh dikuasai oleh orang-orang 

golongan putih. Nah kalau kau berangkat ke tempat itu, aku harap kau lebih dulu mencari 

Pedang Naga Suci 212. Baru mencari Kitab Wasiat Malaikat jika memang itu juga menjadi 

tujuanmu....”

“Kek, Telaga Gajahmungkur itu setahuku luas bukan main. Bagaimana aku bisa 

menemukan Pedang Naga Suci 212 itu?”

“Aku tidak suka mendengar ucapan seperti itu!” kata Tua Gila dengan keras dan 

mata cekung membelalak. “Kita orang-orang persilatan tidak boleh mengenal kata tidak 

bisa!”

Puti Andini merasa kecut melihat wajah kakeknya sendiri. Melihat sikap cucunya itu 

Tua Gila tertawa dan bertanya. “Memangnya kau tidak bisa berenang?” . 

“Aku bisa berenang Kek. Tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Telaga 

Gajahmungkur selain luas juga dalam sekali. Mampukah aku menyelam lama untuk 

mencari senjata sakti itu?”

“Pasti mampu! Kau harus menyelam walaupun sampai seribu kali! Bahkan sampai 

kiamat! Jangan tinggalkan Telaga Gajahmungkur sebelum kau dapatkan Pedang Naga Suci 

212! Itu perintah dari aku kakekmul Dan kau akan kualat kalau tidak melakukannya!”

“Aku berjanji mengikuti perintahmu itu Kek,” jawab Puti Andini. “Lalu kalau Pedang 

Naga Suci 212 berhasil aku temukan, di mana aku akan mencari muridmu untuk 

mengobati?”

Tua Gila usap-usap janggut putihnya. “Kita membuat janji saja. Malam bulan 

purnama empat belas hari yang akan datang kita bertemu di timur Telaga Gajahmungkur. 

Mudah-mudahan aku telah berhasil menemukan muridku. Sekarang aku harus pergi....”

“Tunggu dulu Kek, ada sesuatu yang perlu aku beritahu padamu,” kata Puti Andini 

seraya memegang lengan kakeknya. 

“Hemm, ada apa lagi?” tanya Tua Gila. Sewaktu sang cucu hendak menjawab Tua 

Gila angkat tangan kirinya memberi isyarat. Lalu dengan sangat perlahan dia berkata. “Aku 

punya firasat ada seseorang mendengarkan pembicaraan kita. Dia bersembunyi di sekitar 

sini. Aku dapat mencium baunya ....”

Tua Gila dan juga Puti Andini memandang berkeliling. Tak kelihatan apa-.apa. Tiba-

tiba dari arah kanan terdengar suara berkeresek dan muncul satu moncong panjang disusul 

tubuh gemuk yang kemudian berlari cepat dan lenyap dalam kegelapan malam. 

“Hanya seekor babi hutan Kek. Apa yang perlu kau khawatirkan?” ujar Puti Andini. 

Tua Gila tertawa mengekeh. “Mudah-mudahan penciumanku tidak saru dengan bau 

binatang tadi.. .. Nah, kau hendak mengatakan apa Cucuku?”

“Ketika masih berada di Pulau Andalas, aku mendengar guruku Sabai Nan Rancak 

dan Datuk Angek Garang berjanji bertemu pada hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo 

dekat Candi Mendut”

Mendengar disebutnya nama Datuk Angek Garang rahang Tua Gila langsung 

menggembung. “Datuk keparat pembunuh muridku itu! Dia tak bakal lolos dari kematian!”

Tua Gila gerakkan jari-jari tangan kanannya. Lima tulang jarinya terdengar berkeretakan. 

“Sekarang sudah delapan hari lewat dari waktu yang kau sebutkan itu. Berarti 

mereka sudah tak ada lagi di situ,” kata Tua Gila pula.

Puti Andini gelengkan kepala. “Malam tadi tak sengaja aku melihatnya di Jenar, 

tengah menuju ke utara. Jika dia memang menuju ke tempat perjanjian berarti malam ini dia 

akan sampai di sana. Bukit Tegalrejo itu tak jauh dari sini Kek....”

“Cucuku, keteranganmu sangat penting artinya bagiku. Aku mengucapkan terima 

kasih. Aku akan segera menyelidiki kawasan sekitar bukit itu”

“Aku ikut bersamamu Kek!”

“Tidak bisa! Apa kau lupa tugasmu? Mencari Pedang Naga Suci 212?!” “Maafkan aku 

Kek,” kata Puti Andini cepat. “Nah, aku pergi sekarang!” Dengan cepat Tua Gila 

mengenakan kembali topeng tipisnya. Maka kembali berubahlah dia menjadi seorang kakek 

kepala botak. Sekali berkelebat dia pun lenyap dari tempat itu. 

Sesaat setelah Tua Gila berlalu Puti Andini segera pula hendak mengenakan kain 

hitam tutupan kepala dan menempelkan kumis palsunya. Namun tiba-tiba “bettt!”

Satu bayangan hitam berkelebat. Sesosok tubuh berdiri di depan Puti Andini 

membuat gadis in tersurut beberapa langkah! 

“Mana dia?!” orang di depan Puti Andini membentak.

*

* *


Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

TIGA

Sepasang mata membeliak memperhatikan Puti Andini mulai dari kepala sampai ke 

kaki. Si gadis melihat seorang nenek berjubah hitam, berambut putih panjang riap-

riapan dan berwajah bulat dengan tahi lalat di dagu kiri. Sepuluh kuku jarinya panjang 

dan berwarna hitam. Perempuan tua ini bukan lain adalah Sika Sure Jelantik yang juga telah 

berada di tanah Jawa dalam menguntit dan mengejar Tua Gila. Sebelumnya dia telah 

bertekad untuk membunuh kekasih di masa mudanya itu. Namun kemudian dia dilamun 

oleh rasa serakah yakni ingin sekaligus mendapatkan Kalung Permata Kejora yang 

diketahuinya berada di tangan Tua Gila. Namun ketika tahu bahwa benda itu tak ada lagi 

pada Tua Gila maka dia memutuskan untuk menguntit si kakek. Sampai dia mengetahui 

dimana beradanya kalung sakti tersebut baru dia akan menghabisi manusia yang sangat 

dibencinya itu.

“Gadis tolol! Apa kau tuli atau gagu hingga tak menjawab pertanyaan orang?!” Sika 

Sure Jelantik menghardik garang. “Mana dia? Aku dapat mencium baunya!”

“Nek.... Siapa yang kau maksudkan?” tanya Puti Andini karena mendadak ditanya 

tanpa tahu ujung pangkal.

Sika Sure Jelantik hendak membentak kembali tapi kali ini dia bisa sedikit menguasai 

diri. “Aku mencari seorang kakek berpakaian putih. Punya janggut putih, rambut putih, 

kumis putih! Muka cekung dan mata selebar ini!” Si nenek pergunakan jari-jari tangannya 

untuk membuka lebar-lebar kedua matanya.

Otak cerdik Puti Andini cepat bekerja. “Jangan-jangan nenek ini salah satu yang 

pernah jadi kekasih kakekku di masa muda lalu dikecewakan. Setelah tua menjadi musuh 

dan kini ingin membalaskan dendam. Hemmm... Betapa pun jahatnya Tua Gila dulu, dia

tetap kakekku. Aku harus membelanya. Biar aku mempermainkan nenek ini, mengajaknya 

bicara panjang lebar, agar Tua Gila bisa lari lebih jauh....”

Puti Andini cepat menjura. “Maafkan aku tak segera menjawab. Aku masih terkejut 

dengan kehadiranmu yang tiba-tiba. Pasti kau seorang berkepandaian tinggi. Aku yang 

muda sekali lagi mohon maaf. Mengenai orang yang kau tanya itu aku sejak tadi berada di 

sini dan tak melihat siapa-siapa....”

“Jangan dusta! Baunya masih tercium di tempat ini!” bentak Sika Sure Jelantik.

“Tadi memang ada yang muncul di sini Nek. Di sebelah sana. Lalu kabur ke jurusan 

sana. Tapi bukan manusia. Seekor babi hutan gemuk!”

“Jahanam! Kutampar mulutmu, ku rusak wajahmu yang cantik baru tahu rasa! Aku 

bertanya manusia mengapa kau memberikan jawaban binatang?!”

“Itulah Nek, harap kau tidak marah. Yang kulihat di sini memang hanya seekor babi 

hutan. Mungkin saja orang yang kau cari itu memang lewat di sini sebelum aku berada di 

tempat ini. Aku lihat kau seorang nenek yang baik. Jika aku bisa menolong pasti aku akan 

melakukan!”

“Anak bau kencur sepertimu ini bisanya apa!” ujar Sika Sure Jelantik masih marah 

tapi sudah agak mengendur. “Kau sendiri mengapa malam-malam buta begini ada di sini?”

Puti Andini mulai bersandiwara. Dia tak segera menjawab tapi unjukkan wajah 

murung. Lalu dengan suara agak tersendat dia menjawab. “Aku.... Ada tugas yang harus 

kulakukan. Aku harus menemukan sebuah batu hitam yang kabarnya berada di dasar 

Telaga Gajahmungkur....”

“Ada-ada saja kau ini! Kalau cuma sebuah batu hitam di mana pun ada. Mengapa 

sampai mencari ke dasar telaga? Kau mau berapa gerobak batu hitam hah?!”

“Yang kucari bukan batu hitam biasa Nek,” jawab Puti Andini. “Batu itu memiliki 

mukjizat besar untuk mengobat penyakit.... Kabarnya ada di dasar Telaga Gajahmungkur.”

“Eh, memangnya siapa yang sakit?” Sika Sure Jelantik mulai tertarik.

“Ibuku...” jawab Puti Andini.

“Apa sakit ibumu sampai hanya sebuah batu yang mampu mengobatinya?”

“la menderita sakit dan sengsara batin karena ditinggal ayah. Ayah tergoda oleh 

seorang gadis penghibur lalu meninggalkan ibu begitu saja sejak setahun silam.... Aku telah 

berupaya mencari dukun, tabib dan berbagai orang pandai tapi sia-sia saja. Seorang sakti 

mengatakan tentang batu hitam itu. Hanya itu kini satu-satunya harapanku untuk 

mengobati ibu....”

“Dasar laki-laki! Semua memang jahanam!” kata Sika Sure Jelantik pula sambil 

mengepalkan tinju.

Puti Andini menyeka matanya dengan ujung baju merah dan memperkeras 

isakannya.

“Jangan menangis! Aku paling tidak suka melihat orang menangis! Apa lagi 

perempuan! Itu sebabnya lelaki mencemoohkan kita sebagai makhluk lemah! Setan betul!”

“Aku menangis bukan karena apa Nek. Tapi karena aku sangat khawatir tak bakal 

pernah bisa mendapatkan batu hitam pengobat ibuku itu.”

“Eh, mengapa begitu? Bukankah kau sudah tahu batu itu berada di dasar Telaga 

Gajahmungkur?”

“Betul Nek. Tapi telaga itu luas dan dalam sekali. Walau aku bisa berenang tak 

mungkin aku sanggup menyelam berlama-lama....”

Dua bola mata Sika Sure Jelantik membesar. “Anak ini seperti tahu aku punya 

kepandaian menyelam dalam air. Jangan-jangan dia sengaja hendak mengajakku....”

“Nek, mengapa kau memperhatikan aku melotot begitu rupa?” tanya Puti Andini 

sedih.

“Tidak, tidak apa-apa,” jawab Sika Sure Jelantik.

“Kalau begitu izinkan aku pergi. Aku harus mencari batu itu sampai dapat....”

“Tunggu dulu...!” Si nenek berkata.

“Kau ingin mengatakan sesuatu Nek?”

“Aku akan memberikan satu ilmu kepandaian padamu. Tapi hanya punya kekuatan 

selama seratus hari....”

Puti Andini unjukkan wajah kaget. “Ilmu... ilmu apa yang hendak kau berikan 

padaku Nek?”

“Agar kau bisa berada dalam air dalam waktu lama. Agar kau bisa menyelam sampai 

ke dasar telaga dan mencari serta mendapatkan batu hitam pengobat ibumu itu!”

“Nek, kau tidak main-main atau bagaimana? Kita baru saja kali ini bertemu tapi kau 

hendak memberikan ilmu kepandaian....”

“Sudahlah, jangan banyak bertanya! Sebelum ilmu itu aku berikan padamu kau harus 

berjanji! Setelah ibumu sembuh kau harus mencari ayahmu, memintanya kembali pada 

ibumu....”

“Aku akan lakukan petunjukmu itu Nek. Tapi bagaimana kalau ayahku menolak?”

“Kau harus membunuhnya! Laki-laki seperti ayahmu itu harus disingkirkan dari 

muka bumi! Jika kau tidak bersedia mengikat perjanjian, ilmu itu tidak akan kuberikan....”

Puti Andini pura-pura termenung. Sejurus kemudian dia menganggukkan kepala. 

“Aku berjanji Nek.”

“Satu hal perlu kau ketahui. Begitu ilmu itu masuk ke dalam tubuhmu kau akan 

tergeletak pingsan selama satu hari satu malam di tempat ini....”

Paras Puti Andini jadi berubah. “Kalau begitu.... Maukah kau menolong meletakkan 

aku di tempat yang aman? Aku khawatir kawasan ini banyak celengnya. Bisa-bisa....”

“Jangan terlalu banyak meminta. Kalau kau sudah kuberi ilmu dan kau pingsan, 

bukan urusanku lagi mengurus dirimu! Katakan kau mau ilmu itu atau tidak? Terserah!”

“Baik Nek, bagaimana menurutmu sajalah!” jawab Puti Andini.

“Sekarang mendekat ke sini!”

Murid Sabai Nan Rancak itu melangkah ke hadapan Sika Sure Jelantik.

“Dongakkan kepalamu dan pejamkan mata!” perintah si nenek selanjutnya seraya 

melipat jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

Puti Andini lakukan apa yang dikatakan si nenek. Begitu dia mendongak dan 

pejamkan mata tiba-tiba dia merasakan ada dua benda tumpul menekan dan menutup 

sepasang lobang hidungnya. Satu aliran hawa dingin mengalir masuk ke dalam jalan 

pernafasannya. Kepalanya terasa mau pecah. Lidahnya terjulur dan sepasang bola matanya 

seperti mau melompat dari rongganya. Gadis ini keluarkan pekik kesakitan lalu roboh tak 

sadarkan diri.

Sika Sure Jelantik menghela nafas dalam. Dia membungkuk mengusap wajah Puti 

Andini hingga mata dan mulutnya terkatup kembali. Tiba-tiba seolah baru sadar si nenek 

berkata. “Tololnya diriku. Aku sama sekali tidak menanyakan namanya! Ah sudahlah” Si 

nenek pandang wajah gadis itu sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu.

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

EMPAT

Satu pemandangan luar biasa tampak di hutan Delanggu. Sebuah tandu besar terbuat 

dari lima buah batang pohon kelapa dipanggul oleh empat orang kakek bertubuh 

tinggi kerempeng. Gerakan mereka lincah dan cepat menyeruak di antara semak 

belukar dan kerapatan pepohonan. Padahal lima batang kelapa itu beratnya bukan main. 

Apalagi diatas tandu itu kelihatan bergelung sesosok tubuh gemuk luar biasa. Suara 

dengkurnya yang berkepanjangan menandakan si gendut ini tengah tertidur lelap. Namun 

anehnya sebuah pipa panjang yang mencantel di sela bibirnya terus saja mengepulkan asap, 

menebar bau tembakau yang tidak sedap. Siapakah adanya orang gemuk yang ditandu oleh 

empat kakek kurus itu? Dia bukan lain adalah Si Raja Penidur, dedengkot dunia persilatan 

yang sulit dijajagi ilmunya. Selama hidupnya yang puluhan tahun dia lebih banyak tidur 

daripada melek. Sebenarnya jarang dia pergi ke mana-mana. Kalau dia terpaksa 

meninggalkan tempat kediamannya maka berarti ada satu hal penting yang terjadi di dunia 

persilatan. Untuk pergi ke mana-mana dia selalu ditandu oleh orang-orang yang juga 

berpenampilan aneh. Seperti empat kakek kurus kerempeng itu. Jangankan memanggul lima 

batang kelapa, menggotong batang pohon biasa saja rasanya mereka tidak akan sanggup. 

Tapi buktinya walau berempat mereka sanggup memanggul lima batang kelapa yang 

dijadikan tandu dan dibebani sosok tubuh ratusan kati itu!

Sekeluarnya dari hutan Delanggu empat kakek memanggul tandu ke arah barat lalu 

menyusuri kawasan selatan Gunung Merapi. Setelah menyeberangi sebuah sungai dangkal 

Si Raja Penidur terus dilarikan ke jurusan barat laut hingga akhirnya sampai di satu bukit 

kecil.

Salah seorang kakek di sebelah depan angkat tangan kirinya memberi tanda. Tiga 

kawannya segera hentikan lari.

“Ini bukit yang dikatakan Raja Penidur! Kita berhenti di sini, menunggu sampai dia 

bangun dan menerima petunjuk selanjutnya!”

Perlahan-lahan tandu batang kelapa itu diturunkan.

“Kalau begitu lekas kita membuat teratak untuk berlindung dan bermalam. Kita tidak

tahu kapan Raja Penidur akan bangun. Mungkin seminggu. Bisa juga sebulan lagi!” berkata 

kakek kurus di sebelah belakang sambil membetulkan celananya yang kedodoran.

Empat kakek cabut golok panjang dari balik pinggang masing-masing lalu berbagi 

kerja menebangi pohon dan mengumpulkan ranting-ranting berdaun untuk dibuat gubuk. 

Menjelang petang pekerjaan itu rampung. Selagi ke empatnya melepaskan lelah, tiba-tiba 

dengkur Raja Penidur berhenti. Empat kepala cepat berpaling. Di atas tandu batang kelapa 

sosok Raja Penidur tampak bergerak menggeliat. Asap dari pipa mengepul keras. Lalu 

terdengarlah suara si gemuk ini batuk-batuk.

“Malam apa siang saat ini...?” Si Raja Penidur ajukan pertanyaan. Suaranya parau. 

Apalagi saat itu pipa panjang masih terselip di sela bibirnya.

“Saat ini sore hari, Raja Penidur. Masih cukup lama sebelum matahari tenggelam.”

Menjawab salah seorang dari empat kakek.

“Hemmm....” Raja Penidur bergumam lalu menguap lebar-lebar. Jari kelingking 

tangan kanannya dimasukkan ke dalam liang telinga kanan lalu digoyang-goyangkan 

beberapa kali. Sepasang mata-nya tampak terbalik-balik tanda mencungkil telinga itu 

nikmat sekali baginya. “Aku mendengar ada orang melangkah di kejauhan. Salah satu dari 

kalian lekas menyelidik ke arah timur. Cari orang itu. Jika bertemu jangan berkata apa-apa 

tentang diriku. Bawa langsung ke sini!” Raja Penidur lalu menguap kembali. Dia

membalikkan badannya ke kiri. Gerakannya kini membuat batang-batang pohon kelapa 

yang menahan tubuhnya berderak-derak.

Salah seorang dari empat kakek cepat berdiri. Dia segera bergegas ke jurusan timur. 

Tak lama berselang di kejauhan, dari arah depan dia melihat seorang berpakaian putih 

berjalan menuruni lereng bukit.

“Apa yang dikatakan Raja Penidur tidak meleset. Pasti orang ini yang 

dimaksudkannya....” Si kakek segera memapasi orang itu. Ternyata dia adalah seorang 

pemuda berambut gondrong, berwajah pucat. Di balik pakaiannya ada sesuatu yang 

menyembul tanda dia membekal senjata. Pemuda ini berjalan tertatih-tatih, entah kecapaian 

entah sedang sakit. Melihat ada orang sengaja mendatanginya pemuda itu hentikan 

langkahnya.

“Anak muda bermuka pucat! Lekas kau ikut dengan aku!”

Yang ditanya pandangi kakek kurus tinggi di hadapannya sesaat lalu berkata. “Orang 

tua, aku tidak kenal denganmu, mengapa aku harus ikut bersamamu?”

“Jangan banyak cerita! Aku tidak punya waktu banyak! Ayo lekas ikut!”

Si pemuda menyeringai dan garuk-garuk kepala. “Kalaupun kau seorang gadis 

cantik, belum tentu aku mau ikut! Coba katakan dulu siapa kau adanya! Mengapa aku harus 

ikut denganmu dan ikut ke mana?!”

“Kau membuat aku kehilangan kesabaran!” Si kakek mengomel. Dia melompat ke 

depan siap untuk menyergap dan meringkus. Pemuda berambut gondrong sambut sergapan 

orang dengan satu jotosan ke arah dada. .

“Bukkk!”

Jotosan itu tepat menghantam dada yang kurus kerempeng. Tapi si kakek sama sekali 

tidak bergeming malah pemuda yang memukul tampak mengernyit dan kibas-kibaskan 

tangannya yang terasa sakit. Selagi dia kesakitan begitu rupa kakek di hadapannya kembali 

menyergap.

“Tunggu! Katakan dulu siapa kau adanya!” teriak pemuda gondrong.

“Tutup mulutmu! Kau mau ikut secara baik-baik atau aku terpaksa menurunkan 

tangan keras?!”

“Hemmmm, aku sekarang bisa menduga siapa kau adanya. Jangan-jangan kau 

bangsa tua bangka yang doyan daun muda, suka sesama jenis!”

“Jahanam! Kalau tidak menjalankan perintah akan kurobek mulutmu!” teriak si kakek 

kurus marah sekali. Sekali dia berkelebat maka pemuda di hadapannya terhuyung ke kiri. 

Lalu cepat sekali tangan kirinya menyambar tengkuk baju putih si pemuda dan di lain kejap 

pemuda itu telah berada di atas bahu kirinya lalu dilarikan ke arah dari mana tadi dia 

datang.

Tak selang beberapa lama si kakek sampai kembali ke tempat Raja Penidur dan tiga 

temannya berada.

Lima batang pohon kelapa berderak-derak begitu Si Raja Penidur membalikkan 

tubuh sambil menguap lebar-lebar. Kedua matanya masih saja terpicing.

“Kau berhasil menemukan orang itu?!” Raja Penidur bertanya.

“Aku berhasil! Dia bersamaku saat ini!” jawab kakek yang datang membawa sosok 

pemuda berpakaian putih di bahunya.

“Lemparkan dia ke perutku!”

Si kakek goyangkan bahunya. Tubuh pemuda yang dipanggulnya melesat ke atas 

setinggi tiga tombak lalu melayang jatuh ke bawah dengan deras.

“Blukkk!”

“Uhhhh!” Si pemuda mengeluh kesakitan walau tempat jatuhnya itu terasa empuk. 

Rasa empuk yang aneh. Hidungnya mencium bau tembakau terbakar. Dia angkat kepala 

dan memandang berkeliling, berusaha mencari tahu di mana dia berada dan yang lebih 

penting mengetahui di atas apa dia barusan jatuh tertelungkup.

Dia melihat baju hitam luar biasa besarnya dan tidak terkancing. Dia melihat tubuh 

gemuk berlemak dan berkeringat! Lalu dia melihat wajah serta pipa panjang yang 

mengepulkan asap itu.

“Astaga! Raja Penidur! Kau rupanya!” Pemuda ini segera hendak turun dengan cara 

menggelindingkan dirinya dari tubuh yang gemuk besar itu. Namun belum sempat dia 

bergerak tangan kiri yang gemuk besar Raja Penidur datang menyambar. Kepala pemuda 

berambut gondrong langsung tenggelam ke dalam rangkulannya. Celakanya bagian muka 

masuk ke dalam ketiak! Membuat bukan saja si pemuda pengap sulit bernafas tapi juga 

seperti mau tanggal hidung dan pecah kepalanya oleh bau ketiak yang menghimpit 

mukanya! Perutnya laksana diaduk-aduk dan mulutnya mau muntah!

“Raja Penidur.... Uhh... uhh! Lepaskan cekalanmu! Aku Wiro Sableng!”

Si pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong yang ternyata adalah Pendekar 

212 Wiro Sableng pergunakan kedua tangannya untuk melepaskan pitingan tangan Si Raja 

Penidur. Tapi bagaimanapun dia berusaha tetap saja tak mampu. Dalam pelukan Raja 

Penidur dia berteriak terus-terusan.

“Kakek Raja Penidur! Lepaskan! Aku Wiro Sableng, murid Sinto Gendeng. Kau 

sobatku dan sobat guruku! Lepaskan.... Aduh! Uhhh!”

Si Raja Penidur menguap lebar-lebar. Pipanya mengepulkan asap berbau tidak enak.

“Kakek Raja Penidur!” teriak Wiro sekali lagi.

“Uaaahhhh!” Kembali tokoh silat aneh itu menguap.

“Kek! Kalau kau tidak mau melepas cekalanmu aku terpaksa menendang perutmu! 

Kalau aku salah tendang bijimu bisa pecah!”

“Uaahhh! Ha... ha... ha...!” Asap tembakau me ngepul makin keras. Wiro semakin 

pengap dan terbatuk-batuk. “Aku mau lihat sampai di mana kehebatan murid Sinto 

Gendeng! Ayo tendang apa saja dari tubuhku yang bisa kau tendang! Uaahhh!” Meskipun 

sudah bicara tapi sepasang mata Si Raja Penidur tetap saja terpejam!

“Kalau itu maumu baik! Jangan salahkan diriku!” teriak Wiro, lalu sikut kanannya 

dihantamkan ke dada Raja Penidur. Menyusul tumitnya dihunjamkan ke perut. Belum juga 

terlepas cekalan si gendut itu Wiro hantam lambung Raja Penidur dengan tendangan keras. 

Semua serangan itu tentu saja hanya mengandalkan tenaga luar yang tidak punya daya ke-

kuatan apa-apa lagi.

“Uaahhh! Murid Sinto Gendeng, kau memukuli dan menendangiku atau tengah 

mengusap-usap tubuhku?! Ha... ha... ha!”

“Sialan!” Maki Wiro dalam hati. “Kau rasakan yang ini!” Lalu dibukanya mulutnya 

lebar-lebar, siap menggigit dada Raja Penidur yang gembrot.

Uaaahhh!” Walau matanya masih terpejam tapi Raja Penidur tahu apa yang hendak 

dilakukan murid Sinto Gendeng itu. Masih memiting kepala Wiro dia balikkan tubuhnya. 

Gerakannya ini tak ampun lagi membuat sebagian tubuh Pendekar 212 terhimpit. Wiro 

merasa tubuhnya seperti hancur. Selagi dia mengeluh kesakitan Raja Penidur kembali 

membalik. Kini bagian tubuh Wiro yang lain yang kena tersepit. Ternyata apa yang 

dilakukan si gendut itu tidak cuma sampai di situ. Dia bukan cuma menjepit atau 

menghimpit tubuh Wiro dengan badannya yang gemuk berat tapi juga membantingnya kian 

kemari. Sekali dia mencekal tengkuk Wiro lalu kepala pemuda itu dihunjamkan ke 

dadanya yang gembrot. Kadang-kadang dia memegang kaki atau tangan Pendekar 212 terus 

membantingkannya ke atas perutnya. Demikian berulangkali. Kalau mula-mula Wiro masih 

bisa mengeluarkan suara berteriak kesakitan, lama-lama suaranya hanya tinggal erangan. 

Keadaannya mulai dari rambut sampai ke kaki tidak karuan rupa!

Raja Penidur tertawa mengekeh lalu menguap dua kali. “Anak muda! Kau hanya bisa 

berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini! Aku muak padamu! Kau hanya mengganggu 

tidurku saja! Pergi sana!”

Lalu sekali tangannya bergerak tubuh Pendekar 212 terlempar ke samping dan jatuh 

tertelentang di tanah.

“Uaahhhh!” Raja Penidur menguap lebar-lebar lalu setelah menghembuskan asap 

pipanya dia jentikkan tangan kiri. Salah satu dari empat kakek kurus tinggi segera 

mendekati. Dari balok pakaiannya Raja Penidur kemudian mengeluarkan segulung kain 

berwarna merah.

“Letakkan jubah ini di atas tubuh pemuda itu! Tidak! Kau taruh di atas kepalanya saja 

agar kepala dan wajahnya tertutup. Kasihan juga kalau malam nanti mukanya yang jelek itu 

habis digerogoti nyamuk! Ha... ha... ha!”

Kakek yang tegak di samping Si Raja Penidur segera mengambil jubah yang 

disodorkan lalu meletakkan benda ini sedemikian rupa hingga kepala dan wajahnya 

tertutup.

Kain berwarna merah itu ternyata adalah sehelai jubah beludru merah berlapis kain 

sutera juga berwarna merah. Seluruh tepi jubah diberi umbai-umbai yang terbuat dari 

benang warna emas.

“Uaahhhh!” Si Raja Penidur kembali menguap. Lalu dia bertepuk empat kali. Empat 

kakek kurus tinggi yang sejak tadi hanya diam berdiri memperhatikan apa yang terjadi, 

mendengar isyarat tepukan itu serta merta mengangkat tandu batang kelapa. Mereka segera 

menggotong Si Raja Penidur ke arah selatan. Di kejauhan suara dengkurnya terdengar 

membahana!

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

LIMA

Gemeletak suara roda-roda gerobak dan kaki-kaki kuda terdengar tiada putus-

putusnya di malam cerah itu. Di angkasa bulan sabit dan bintang-bintang menerangi 

kawasan yang dilalui hingga kuda penarik gerobak dapat dipacu kencang.

Pengemudi atau kusir gerobak seorang lelaki tua tinggi besar bertampang garang. 

Kulitnya sangat hitam. Jenggot serta kumisnya tebal meranggas. Di atas kepalanya 

bertengger sebuah destar merah. Pakaiannya yang serba hitam dan gombrong menambah 

keangkerannya.

Saat itu kuda penarik gerobak telah berlari kencang laksana dikejar setan. Namun 

sang pengemudi masih juga mendera kuda itu dengan cambuk di tangan kirinya. Jelas dia 

ingin cepat sampai ke satu tujuan dan punya satu urusan sangat penting.

“Binatang jahanam! Larimu seperti kuda bunting! Ayo lari lebih cepat! Cepaaattt!”

Pengemudi gerobak berteriak. Lalu cambuk di tangan kirinya kembali dihantamkan ke 

punggung kuda. “Delapan hari aku terlambat! Sesuai perjanjian dia akan menunggu paling 

lama delapan hari dari saat pertemuan yang telah ditentukan. Ini adalah malam terakhir jika 

dia memang masih ada di tempat itu! Jahanam! Kalau saja aku tidak terpikat pada pelacur 

berbadan sintal itu tak bakal jadi begini! Mengapa aku tolol sekali! Urusan penting aku 

sepelekan begitu saja!”

“Darrr... darrr... darrr!”

Si tinggi besar kembali hantamkan cambuknya ke tubuh kuda penarik gerobak. Tiba-

tiba dia tarik tali kekang yang dipegangnya di tangan kanan. Serta merta kuda penarik 

gerobak tertahan larinya. Beberapa belas tombak di hadapannya tampak melintang satu 

batang kayu besar menghalangi jalan. Di atas batang kayu ini duduk seorang tua tak 

dikenal, berkepala botak. Dari mulutnya meluncur suara nyanyian.

Jauh berjalan banyak nan dilihat

Lama hidup banyak nan dirasa

Salah jalan bisa tersesat

Salah hidup bisa celaka

Pengemudi gerobak berusaha menghentikan larinya kuda dengan menarik tali 

kekang kuat-kuat. Empat kaki kuda menggeru tanah. Debu dan pasir beterbangan di udara. 

Walau kuda berusaha menghentikan larinya namun dorongan gerobak yang ditariknya 

demikian hebat hingga binatang ini tak dapat lagi menghindari tabrakan dengan orang tua 

berkepala botak dan batang pohon.

Sekejap lagi tabrakan itu akan terjadi, orang tua berkepala botak melesat lenyap. 

Kuda meringkik keras. Dua roda gerobak menghantam batang pohon. Selanjutnya kuda dan 

gerobak sama-sama tergelimpang dan terbanting ke tanah! Orang di atas gerobak sendiri 

keluarkan seruan keras. Tubuhnya melesat ke udara, jungkir balik lalu melayang turun 

dengan sepasang kaki menjejak tanah lebih dulu. Jelas orang ini memiliki kepandaian tinggi. 

Kalau tidak sejak tadi-tadi dia sudah terhempas berkelukuran di tanah!

“Jahanam! Kemana perginya tua bangka kepala botak itu?!” ujar si tinggi besar 

berkepala botak. Selagi dia mencari-cari tiba-tiba kembali terdengar suara nyanyian.

Jauh berjalan banyak nan dilihat

Lama hidup banyak nan dirasa

Salah jalan bisa tersesat

Salah hidup bisa celaka

Si tinggi besar ini palingkan kepalanya ke kiri. Di sebelah sana, di atas gerobak yang 

terbalik dilihatnya kakek kepala botak duduk di atas roda gerobak yang berputar-putar. Dia 

menyanyi sambil sengaja ikut memutarkan diri pada roda gerobak!

“Setan alas!” Lelaki tua tinggi besar merutuk. Matanya berkilat-kilat. Rahangnya 

menggembung dan dari mulutnya terdengar suara bergemeletakan tanda dirinya telah 

dibungkus kemarahan.

Kalau jalan sudah tersesat

Sulit balik untuk kembali

Kalau hidup mencari celaka

Kutuk sengsara segera tiba

Sekali melompat kusir kereta itu sampai di depart gerobak yang terbalik.

“Tua bangka gila! Siapa kau?! Mengapa sengaja menghadang jalanku!”

Roda gerobak terus berputar. Kakek botak yang duduk berjuntai di pinggiran roda 

gerobak ikut berputar-putar.

“Kau tak menjawab pertanyaanku! Makan ini!”

Si baju gombrong hitam menunggu orang tua di atas roda gerobak berputar sampai 

di hadapannya. Lalu secepat kilat tangan kanannya melesat ke arah muka orang yang saat 

itu masih saja terus-terusan menyanyi.

“Bukkkk”

Dua lengan beradu keras di udara ketika orang yang diserang menangkis. Si tinggi 

besar baju gombrong tersurut satu langkah sambil mengernyit menahan sakit pada 

lengannya yang barusan bentrokan. Roda gerobak terus berputar. Begitu orang tua botak 

sampai lagi di hadapannya kembali si baju gombrong hitam menghantam. Kali ini sekaligus 

dengan pukulan kiri kanan.

Kakek botak di atas roda yang berputar tiba-tiba membuat gerakan aneh. Kedua 

kakinya jingkrak-jingkrakan. Kepalanya bergerak menghuyung kian kemari seperti kepala 

seekor ular mabok. Tangannya direntang-rentang membuat gerakan aneh. Tubuh-nya 

seperti mau terjungkal jatuh dari atas roda gerobak. Namun aneh dan luar biasanya semua 

gerakan yang dibuatnya itu mampu mengelakkan serangan maut yang dilancarkan lawan!

“Bangsat tua! Kau mau lari ke mana?!” teriak si tinggi besar ketika dilihatnya orang 

tua berkepala botak itu tidak ada lagi di atas roda gerobak.

Tiba-tiba di belakangnya terdengar suara nyanyian.

Hari tujuh bulan tujuh di bukit Tegalrejo

Datang dari jauh untuk janji bertemu 

Sayang maksud tak pernah kesampaian

Nyawa yang terhutang harus dilunasi lebih dulu

i tinggi besar berpakaian serba hitam gombrong palingkan kepala. Darahnya tersirap 

oleh rasa kaget mendengar bait-bait nyanyian yang dilantunkan orang tua berkepala botak 

tak dikenalnya itu.

“Siapa jahanam ini sebenarnya. Bagaimana dia bisa tahu perihal perjanjianku di bukit 

Tegalrejo?!” Sehabis membatin begini dia melompat ke hadapan si tua botak yang saat itu 

duduk menjelepok di tanah di pinggir jalan.

“Tua bangka sinting! Siapa kau sebenarnya?!”

Yang ditanya dongakkan kepala. Sepasang matanya menatap tajam pada orang yang 

tegak di hadapannya membuat si tinggi besar ini jadi tergetar. Lalu mulutnya terbuka lebar 

dan terdengar suara tawanya berkekehan.

“Jika kau masih terus bersikap gila dan tak mau menjawab pertanyaanku, terpaksa 

kupecahkan kepalamu!” Orang tua di hadapan kakek botak tak dapat lagi menahan 

marahnya. Kaki kanannya ditendangkan ke kepala si botak.

Tubuh kakek yang diserang tampak terhuyung aneh. Kepalanya seperti tersentak ke 

samping. Tendangan maut lawan lewat hanya seujung kuku di samping kepalanya.

Begitu tendangan orang tidak mengenai sasaran tubuh kakek botak mencelat ke atas 

dan “Buk!” Satu jotosan mendarat di pelipis si tinggi besar. Tubuhnya terpelanting. Darah 

mengucur membasahi mukanya yang hitam!

Terdengar suara tawa mengekeh disusul suara nyanyian.

Darah telah mengucur

Pertanda raga akan segera hancur

Darah telah mencuat

Pertanda nyawa sebentar lagi akan minggat

Datuk Angek Garang sayang sekali kau tak punya kesempatan minta ampun dan 

bertobat!

Mendengar namanya disebut terkejutlah si tinggi hitam berpakaian gombrong. 

Memang sebenarnya dia adalah Datuk Angek Garang, seorang tokoh silat dari Andalas yang 

berserikat dengan Sabai Nan Rancak untuk membunuh Tua Gila. Dia pula yang membunuh 

Malin Sati, murid tunggal Tua Gila.

Datuk Angek Garang pergunakan lengan baju hitamnya untuk mengusap darah yang 

membasahi sebagian wajahnya. Mulutnya komat-kamit entah hendak mengucapkan apa. 

Sepasang matanya memandang menyorot ke arah orang tua berkepala botak yang tegak di 

hadapannya sambil tertawa-tawa.

Perlahan-lahan Datuk Angek Garang angkat ke dua tangannya. Telapak tangan 

digosokkan satu sama lain. Dari sela-sela jarinya keluar kepulan asap hitam. Bersamaan 

dengan itu menebar bau busuk sekali.

“Pukulan Hawa Neraka! Ha... ha... ha..!” Kakek botak tertawa gelak-gelak.

“Bagus! Kau sudah tahu pukulan sakti apa yang akan kukeluarkan untuk 

membungkam mulut serta jalan nafasmu!” ujar Datuk Angek Garang.

“Kau sangat pandai memberi nama ilmu pukulan bau kentut itu Datuk Angek 

Garang! Justru hawa neraka itulah yang akan mengantar rohmu ke alam akhirat! Ha... ha... 

ha!”

Bersamaan dengan itu kakek botak lepaskan topeng yang menutupi kepala dan 

wajahnya.. Maka kelihatanlah wajahnya yang asli.

“Tua Gila...” desis Datuk Angek Garang dengan suara bergetar. Diam-diam dia 

menjadi kecut. Dulu di Andalas bersama Sabai Nan Rancak dan Magek Bagak Baculo Duo 

dia tak sanggup menghabisi kakek aneh ini. Sekarang berhadapan hanya seorang diri 

bagaimana mungkin nyalinya tidak akan leleh. Maka dia kerahkan seluruh tenaga dalam 

yang ada. Kedua tangannya lalu dihantamkan ke depan. Dua larik sinar hitam menggebu. 

Bau sangat busuk menghampar membuat Tua Gila seperti tersumbat jalan pernafasannya. 

Lehernya seperti dicekik. Dengan cepat orang tua ini kerahkan tenaga dalam. Sambil 

berteriak keras dia melesat ke udara. Dart balik pakaian putihnya dicabutnya sebuah 

tongkat kayu. Lalu laksana seekor burung elang yang menyambar mangsanya Tua Gila 

melayang menukik ke bawah. Tongkat di tangan kanan berkiblat!

“Kraaakk!”

Datuk Angek Garang menjerit keras ketika tulang telapak dan jari-jari tangan kirinya 

hancur kena pukulan tongkat. Walau tongkat itu hanya sebuah tongkat kayu terbuat dari 

kayu butut dan enteng, tetapi di tangan Tua Gila seolah berubah menjadi palu besi!

“Tua Gila! Aku mengadu jiwa denganmu!” teriak Datuk Angek Garang. Dia kembali 

melepaskan pukulan Hawa Neraka dengan tangan kanannya. Namun serangan ini disusul 

dengan satu lompatan. Selagi tubuhnya melayang satu tombak di udara dia kebutkan lengan 

baju hitamnya yang gombrong. Tiba-tiba tiga buah keris kecil aneh berwarna merah dan 

mengeluarkan api menderu ke arah Tua Gila, mencari sasaran di tiga bagian tubuh orang 

tua ini.

Tua Gila mendengar deru serangan senjata rahasia itu. Namun pemandangannya 

tertutup oleh asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Dia membuat gerakan jungkir batik untuk 

mengelakkan serangan sambil putarkan tongkat kayunya ke samping sedemikian rupa 

untuk melindungi dirinya. Karena dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka tongkat 

itu berubah menjadi gulungan sinar coklat yang hebat.

“Bummm!”

Dua tenaga dalam bentrokan keras. Dua keris merah api berhasil dibuat mental. Tapi 

keris yang ke tiga menyusup lebih cepat dan berhasil menancap di bahu kiri Tua Gila. 

Pakaian yang dikenakan si kakek langsung terbakar. Tubuhnya yang ditancapi keris api 

laksana dipanggang. Tua Gila menjerit keras saking sakit dan marah. Tongkat kayunya 

mental dan hancur berkeping-keping di udara.

Dengan terlebih dulu menutup jalan nafasnya tua Gila melompat menerobos kepulan 

asap hitam Pukulan Hawa Neraka. Saat. itu di balik kepulan pukulan saktinya sendiri Datuk 

Angek Garang tampak tegak terbungkuk-bungkuk sambil pegangi dada. Sepasang matanya 

mendelik. Dari mulutnya mengucur darah kental.

“Datuk Angek Garang! Kau membunuh muridku! Hari ini kau terima balasanmu! 

Aku inginkan nyawamu manusia anjing!”

Apa yang terjadi kemudian berlangsung sangat cepat.

Datuk Angek Garang meraung keras ketika mata kirinya amblas kena tusukan dua 

ujung jari tangan kanan Tua Gila. Namun suara raungan ini serta merta lenyap laksana 

direnggutkan setan begitu satu renggutan dahsyat merobek leherya, mematahkan tulang 

leher dan membusai otot serta urat-urat besar di leher itu!

Tua Gila tegak terhuyung-huyung memperhatikan Datuk Angek Garang yang 

terkapar mati di depan kakinya setelah terlebih dulu menggelepar-gelepar beberapa kali.

Dalam keadaan terluka Tua Gila berusaha membalikkan gerobak yang terbalik. Kuda 

penarik gerobak yang masih ketakutan diusapnya berulang kali hingga menjadi jinak. Lalu 

dengan satu tendangan tubuh Datuk Angek Garang dibuatnya mencelat dan jatuh 

menelungkup di atas gerobak. Di salah satu bagian depan gerobak ada sebuah obor. Tua 

Gila segera menyalakan obor ini.

“Kuda baik.... Kau tahu ke mana tujuanmu semula. Pergi ke bukit Tegalrejo. Bawa 

mayat itu...” kata Tua Gila sambil mengelus leher kuda penarik gerobak.

Seolah mengerti apa kata orang binatang itu meringkik keras lalu bergerak ke arah 

timur setelah Tua Gila menyingkirkan batu kayu yang menghalangi jalan. Tua Gila sendiri

mungkin karena kehabisan tenaga atau terlalu banyak darah yang mengucur, mungkin juga 

ada racun dalam tubuhnya dari keris merah api tiba-tiba mengeluh pendek lalu roboh di 

tanah.

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

ENAM

Di lereng timur Bukit Tegalrejo nenek bermuka putih keriput Sabai Nan Rancak 

nampak gelisah setelah Kakek Segala Tahu meninggalkannya seorang diri dalam 

menanti kedatangan sobatnya yakni Datuk Angek Garang. Bukan saja dia gelisah 

karena telah lewat delapan hari waktu yang ditentukan Datuk Angek Garang belum juga 

muncul, tetapi lebih dari itu apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu melipat gandakan 

kegelisahan itu. Seperti dituturkan dalam Episode sebelumnya (Asmara Darah Tua Gila) 

Kakek Segala Tahu telah meramalkan padanya bahwa Datuk Angek Garang, orang yang 

ditunggunya tak akan pernah datang. Kalaupun dia muncul di kaki Bukit Tegalrejo itu maka 

dia akan muncul tanpa nyawa.

Sabai Nan Rancak menghela nafas panjang. Lalu telinganya menangkap suara 

gemeretak roda. Memandang ke kaki bukit sebelah timur dalam kegelapan malam Sabai 

Nan Rancak melihat sebuah gerobak ditarik seekor kuda tanpa kusir, ada obor menyala di 

bagian depannya, bergerak perlahan menuju kaki bukit. Hatinya mendadak tidak enak. 

Dengan cepat nenek ini berkelebat menuruni bukit hingga dalam waktu singkat dia telah 

berada di depan gerobak. Sabai mengusap leher kuda itu beberapa kali lalu memegang tali 

kekangnya. Begitu kuda dan gerobak berhenti si nenek memeriksa bagian belakang gerobak. 

Parasnya langsung berubah dan matanya membeliak.

“Datuk Angek Garang!” desis si nenek dengan tenggorokan tercekik. Di atas gerobak 

menggeletak satu sosok tubuh berpakaian gombrong warna hitam. Kepalanya memakai 

sebuah destar merah. Dari ciri-ciri orang itu jelas sudah bagi Sabai Nan Rancak bahwa dia 

adalah Datuk Angek Garang, sobat yang sesuai perjanjian akan menemuinya di tempat itu 

pada hari tujuh bulan tujuh.

Sabai pandangi lagi tubuh yang menggeletak menelungkuk itu. “Aku harus melihat 

mukanya. Jangan-jangan hanya ciri-ciri saja yang sama. Siapa

tahu bukan dia…” Berpikir sampai di situ dengan tangan kirinya Sabai Nan Rancak balikkan 

tubuh di atas gerobak hingga tertelentang. Begitu matanya memandang tubuh dan muka 

orang yang ada di lantai gerobak itu si nenek sampai tersurut tiga langkah saking ngerinya.

Meski tampang Datuk Angek Garang sebagian tertutup darah, salah satu matanya 

terbongkar dan lehernya seolah habis dimangsa harimau lalu tangan kirinya hancur namun 

Sabai Nan Rancak masih bisa mengenali. Orang yang telah jadi mayat mengerikan di atas 

gerobak itu memang adalah Datuk Angek Garang.

“Kakek Segala Tahu...” desis Sabai Nan Rancak begitu dia ingat pada kakek 

bercaping, berpakaian compang camping membawa tongkat kayu dan kaleng rombeng itu. 

“Apa yang dikatakannya betul. Jangan-jangan ia yang telah membunuh Datuk Angek 

Garang. Lalu datang memberitahu pura-pura meramal! Kurang ajar! Aku akan menyelidik 

dan mencarinya. Jika benar dia yang membunuh sobatku ini, akan kukorek jantungnya! Aku 

tak ada waktu mengurus mayat ini!” Sabai Nan Rancak gebrak pinggul kuda. Binatang 

penarik gerobak meringkik keras lalu menghambur lari laksana dikejar setan.

*

* *

Kita kembali pada keadaan Puti Andini, gadis cantik murid Sabai Nan Rancak yang

sebelumnya dikenal dengan julukan Dewi Payung Tujuh.

Seperti dituturkan sebelumnya secara tidak sengaja dia telah bertemu dengan Sika 

Sure Jelantik yang datang dari Pulau Andalas untuk mencari Tua Gila. Dengan 

kecerdikannya gadis ini berhasil memikat si nenek hingga akhirnya diberi ilmu yang 

membuat dia mampu menyelam lama di dalam air. Namun akibat dari pemberian ilmu itu 

Puti Andini jatuh pingsan. Sika Sure Jelantik kemudian meneruskan perjalanan dengan agak 

menyesal karena dia tidak sempat mengetahui siapa nama gadis itu.

Malam berlalu merayap. Menjelang pagi sekelompok babi hutan muncul di tempat 

Puti Andini tergeletak. Selagi binatang-binatang ini mengendus-endus tubuh si gadis tiba-

tiba muncul tiga ekor anjing hutan, rata-rata bertubuh besar dan sedang kelaparan. Semula 

mereka hendak memangsa kawanan babi hutan tadi. Namun karena babi-babi itu melarikan 

diri maka kini sosok Puti Andini yang jadi sasaran.

Tiga anjing hutan melolong panjang dapatkan mangsa segar itu. Mata mereka berkilat 

merah, lidah terjulur dan gigi-gigi besar runcing mencuat di mulut yang terbuka.

Salah seekor dari mereka yaitu anjing hutan betina yang paling besar dan sedang 

hamil serta paling lapar langsung melompati tubuh Puti Andini. Moncongnya menyambar 

ke arah pergelangan kaki gadis ini. Siap untuk ditarik dan digeragot putus!

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi. Lalu “Crasss!”

Leher anjing hutan betina yang hendak memangsa kaki Puti Andini putus. Kepalanya 

menggelinding. Darah muncrat dan tubuhnya terbanting roboh melejang-lejang.

Dua anjing lainnya menyalak keras. Lalu mengejar kuda dan penunggangnya yang 

barusan menebas batang leher teman mereka. Sadar kalau dua anjing besar itu bisa 

mencelakai kudanya maka si penunggang ketika melewati sebatang pohon melompat ke 

atas. Sesaat dia bergelantungan berputar-putar pada cabang pohon itu. Ketika dua ekor 

anjing mendatangi dia cepat melayang turun dan hunus pedangnya yang masih basah oleh 

darah. Orang ini ternyata adalah seorang pemuda bertampang keren berkulit sawo matang, 

mengenakan pakaian hijau terbuat dari beludru bagus sekali. Potongan tubuhnya yang 

kekar menambah kejantanannya. Di telinga kanannya mencantel sebuah anting-anting kecil 

terbuat dari emas.

Anjing di sebelah kanan menyerang lebih dahulu. Dia menunggu sampai binatang itu 

sampai dekat sekali di depannya baru dia menggerakkan tangan yang memegang pedang.

“Craaasss!”

Anjing besar melolong panjang menggidikkan. Isi perutnya berbusaian dari luka 

besar yang merobek tubuhnya sebelah bawah.

Anjing ketiga seperti kesetanan menggembor keras lalu melompati pemuda 

beranting-anting emas itu. Yang satu ini ternyata memiliki gerakan cepat luar biasa. Sekali 

melompat dua kaki depannya telah berada di depan dada si pemuda, siap untuk merobek. 

Tidak sempat mempergunakan pedangnya karena jarak terlalu pendek, pemuda itu cepat 

melompat ke samping. Dari samping baru dia tebaskan pedangnya.

“Crasss... crasss!”

Dua kaki depan anjing besar tertebas putus. Binatang ini roboh ke tanah. Berguling-

guling dan terkaing-kaing lalu tersaruk-saruk dengan dua kaki depan buntung dia 

melarikan diri dalam kegelapan malam menjelang pagi

Setelah membersihkan pedangnya yang berlumuran darah lalu memasukkannya ke 

dalam sarung pemuda ini cepat melangkah menghampiri sosok Puti Andini yang masih 

terbujur di tanah.

*

* *

Ketika dia siuman, Puti Andini dapatkan dirinya terbaring di atas sebuah jaring yang 

terbuat dari akar-akar panjang pepohonan hutan. Memandang berkeliling ternyata dia 

berada di antara dua cabang pohon tinggi. Gadis ini merasa gamang ketika dia melihat ke 

bawah.

“Bagaimana aku tahu-tahu berada di sini...?” pikir Puti Andini. “Apa ada hantu hutan 

membawaku ke sini? Bagaimana caranya aku turun ke bawah.... Ah, sungguh aneh! 

Seingatku si nenek berkuku panjang itu katanya hendak memberikan satu ilmu padaku. Dia 

menyuruh aku memejamkan mata. Lalu ada rasa sakit luar biasa. Setelah itu aku tidak tahu 

apa-apa lagi. Dan sekarang aku berada di sini! Apa dia yang melakukan? Gila! Mengapa 

susah-susah sampai meletakkan aku di atas pohon seperti ini?!” Puti Andini memeriksa 

keadaan dirinya. Pakaian merahnya kotor tapi tubuhnya tak kurang suatu apa. Memandang 

berkeliling dia dapatkan saat itu hari masih sangat pagi. Di sekelilingnya terdengar suara 

kicauan burung. Gadis ini menarik nafas dalam dan tubuhnya terasa segar. Namun sesaat 

kemudian kembali dia merasa gelisah. Dia mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa 

turun dari pohon yang tinggi itu.

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba di antara kelebatan semak belukar di bawahnya 

dia melihat ada seorang berpakaian hijau bergerak cepat. Dalam waktu singkat dia sudah 

berada di bawah pohon di mana Puti Andini berada. Belum sempat si gadis memperkirakan 

siapa adanya orang itu tiba-tiba si baju hijau ini dengan kecekatan luar biasa memanjat 

pohon tinggi itu. Di lain saat tahu-tahu dia sudah berada di atas pohon di dekat jaring di 

mana Puti Andini berada. Di tangan kanannya ada sesuatu dibungkus dengan daun pisang. 

Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.

Si pemuda tidak menyangka kalau gadis di atas pohon itu sudah bangun dan 

sadarkan diri. Sesaat sepasang matanya yang hitam menatap. Dua pasang mata muda-mudi 

ini saling bertemu pandang. Dua hati saling bergetar.

Melihat yang muncul di hadapannya adalah seorang pemuda gagah berpakaian 

bagus kejut dan rasa khawatir Puti Andini menjadi hilang. Ingin sekali dia mengetahui siapa 

adanya pemuda yang sangat pandai memanjat pohon ini. Namun dia memilih bersikap 

menunggu.

“Aku gembira melihat kau sudah bangun...” si pemuda membuka pembicaraan.

“Bangun? Apakah sebelumnya aku ini tidur atau pingsan?” bertanya Puti Andini.

“Terserah kau mau menyebutkan apa. Pingsan boleh tidur juga boleh. Tapi tidurmu 

lama sekali. Aku menemuimu pagi buta hari kemarin. Kau baru terbangun pagi ini. Tentu 

tidurmu lelap dan enak sekali. Apakah dihiasi dengan mimpi-mimpi indah?”

Ucapan si pemuda membuat Puti Andini tertawa lebar, rasa senangnya terhadap 

pemuda ini segera timbul. “Aku ingat betul. Waktu aku pingsan aku pasti tergeletak di 

tanah di satu tempat. Bagaimana tahu-tahu berada di sini? Apa kau yang membawa aku ke

atas sini? Kalau benar perlu apa susah-susah melakukannya? Sampai membuat jaring 

ketiduran dari akar pohon segala?”

“Wah pertanyaanmu cukup panjang. Aku akan jawab satu persatu. Biar aku bercerita 

sedikit...” jawab si pemuda pula. “Aku menemuimu tergeletak di tengah jalan tak jauh dari 

hutan ketika sekelompok anjing hutan, siap memangsamu....”

“Apa?!” Dua mata Puti Andini terbelalak. Tengkuknya terasa dingin.

Si pemuda melanjutkan. “Saat aku memeriksa dirimu aku agak sulit menduga apa 

yang menyebabkan dirimu pingsan dan berada di tempat itu. Lalu tubuhmu kunaikkan ke 

atas pohon....”

“Eh, bagaimana caranya?” tanya Puti Andini heran.

“Tentu saja kupanggul di bahu. Apa kau kira kubembeng rambutmu yang bagus 

itu?”

Puti Andini tertawa. “Aku melihat kau tadi cekatan sekali naik memanjat pohon. Dari 

mana kau belajar?”

“Kami orang-orang pulau rata-rata memiliki kepandaian memanjat pohon sejak 

kecil,” jawab si pemuda.

“Kau orang pulau? Sekitar sini tak ada pulau...”

“Ah, maksudku.... Aku memang bukan orang sini. Aku.... Ah, tentang asal usulku 

sudahlah. Tak perlu dibicarakan.”

“Namaku Puti Andini. Siapa namamu?”

“Hemmm.... Aku....” Pemuda itu hendak menjawab memberitahu siapa dirinya 

sebenarnya tapi cepat membatalkan. Setelah berpikir sejenak dia berkata. “Panggil saja aku 

Panji....”

“Namamu cuma satu kata? Pendek amat!” kata Puti Andini pula. Si pemuda cuma 

tertawa mendengar kata-kata itu.

“Sekarang apakah kau tidak akan menurunkan aku dari atas pohon ini?” bertanya si 

gadis.

“Tentu saja. Tapi aku tahu kau lapar. Aku membawa sesuatu untukmu sekedar 

pengisi perut. Makanlah.” Pemuda yang mengaku bernama Panji itu menyerahkan 

bungkusan daun pisang pada Puti Andini. Ketika dibuka isinya ternyata dua potong besar 

singkong rebus.

“Kau curi dari mana singkong ini?” tanya Puti Andini.

“Aku tidak mencurinya. Aku minta pada seorang penduduk desa pagi buta tadi. 

Desanya cukup jauh dari sini.”

“Terima kasih. Aku memang sangat lapar. Kau mau sepotong?”

“Tadi ada tiga potong. Aku sudah makan satu potong,” jawab Panji.

Sambil makan Puti Andini terus mengajak pemuda itu bicara. “Aku lihat kau 

mengenakan pakaian sangat bagus. Kalau kau bukannya anak orang kaya atau turunan 

bangsawan, pasti kau...”

“Aku seorang pemuda biasa saja...” memotong Panji.

“Aku tidak percaya! Aku lihat kau juga mengenakan anting emas di telinga 

kananmu? Bagiku terasa aneh kalau laki-laki pakai anting segala. Apa kau banci? Hik... hik... 

hik!”

“Banci? Apa artinya itu?” tanya Panji.

Makin keras tawa Puti Andini. “Banci artinya lelaki yang bersifat seperti perempuan. 

Bicara seperti perempuan, berdandan seperti perempuan....”

“Apa aku bicara seperti perempuan?”

“Tidak, tapi kau berdandan seperti perempuan!” jawab Puti Andini lalu tertawa lagi.

“Kalau kuberikan anting emas ini padamu apa kau mau memakainya?” tanya Panji.

“Buat apa? Kalau kupakai bisa lebih gawat lagi?”

“Gawat? Kenapa gawat?”

“Mana ada perempuan pakai anting cuma se-belah!” Gelak Puti Andini semakin 

keras.

Panji akhirnya ikut-ikutan tertawa.

“Aku sudah menghabiskan dua potong singkong rebus yang kau berikan. Terima 

kasih. Sekarang saatnya kau menurunkan aku dari atas pohon ini.”

“Bersabarlah barang sebentar. Aku ingin tahu ceritanya mengapa kau sampai 

kutemukan menggeletak di tengah jalan. Apa yang terjadi dengan dirimu dan apa yang kau 

lakukan di tempat itu?”

“Aku kesasar lalu....”

“Aku tahu kau berdusta. Tapi teruskan bicaramu,” kata Panji pula.

Puti Andini tercekat lalu tersenyum. “Baik, akan kuceritakan yang sebenarnya.” Lalu 

gadis ini memberi tahu ihwal sampai dia berada di tempat Panji menemukan dan 

menolongnya. Dia tidak menuturkan seperti apa yang dikatakan pada Sika Sure Jelantik. 

Tidak ada cerita tentang ibunya yang sakit. Pada Panji dikatakannya bahwa dia tengah 

mencari sebuah batu hitam yang berada di dasar Telaga Gajahmungkur.”

“Untuk apa gunanya batu itu bagimu?” tanya Panji agak heran.

“Aku tak bisa mengatakannya. Tapi batu itu sangat berarti bagiku. Bagaimanapun 

aku harus mendapatkannya....”

“Selama tinggal di pulau, sejak kecil aku sering menyelam sampai ke dasar laut 

sekitar pulau. Kalau kau suka aku bersedia membantumu mencari batu itu....”.

“Terima kasih, aku harus mendapatkannya sendiri tanpa bantuan siapa-siapa,” jawab 

murid Sabai Nan Rancak itu. Lalu dia bertanya. “Sekarang kurasa sudah saatnya kau 

menurunkan aku dari atas pohon ini.”

“Kalau itu pintamu, aku tidak akan menolak,” jawab Panji. “naiklah ke punggungku, 

lingkarkan kedua tanganmu di leherku.”

“Hemmmm....” Si gadis bergumam. “Apa tak ada cara lain untuk turun dari sini?”

tanyanya dengan wajah sedikit kemerahan.

“Ada satu cara lain. Malah lebih cepat!”

“Katakan padaku!”

“Langsung terjun melompat ke bawah sana!” jawab Panji.

Puti Andini menggigit bibirnya. Dia memandang ke bawah. Saat itu dia berada di 

ketinggian hampir tujuh tombak. Sulit baginya untuk melihat bagian tanah yang datar 

karena tertutup semak belukar lebat. Selain itu tak ada bagian yang lowong untuk dijadikan 

arah lompatan.

“Apa boleh buat. Aku terpaksa mengikuti caramu!” kata si gadis akhirnya.

Panji tertawa lebar. Dia menginjakkan kakinya di atas jaring lalu tegak membelakangi 

Puti Andini. Kembali kebimbangan mempengaruhi gadis ini. Namun akhirnya dia

lingkarkan juga kedua tangannya di leher Panji. Tubuhnya dirapatkan ke punggung si 

pemuda.

“Lingkarkan kedua kakimu ke depan perutku,” kata Panji.

“Tadi tidak ada kau sebutkan begitu!” tukas si gadis yang jadi jengah.

“Terserah! Aku cuma khawatir peganganmu di leherku mengendur karena gamang.”

Mau tak mau Puti Andini lakukan juga apa yang dikatakan pemuda itu. Kedua 

kakinya digelungkan ke tubuh Panji hingga kini badannya menempel erat di badan si 

pemuda.

Panji membuat gerakan mengayun di atas jaring akar pohon. Pada ayunan yang ke 

lima tubuhnya melesat tinggi ke udara.

“Hai! Aku minta diturunkan bukan dibawa ke atas!” teriak Puti Andini.

“Lihat saja! Aku tidak punya kemampuan terbang ke udara!” jawab Panji lalu tertawa 

bergelak. Sesaat kemudian ketika tubuhnya turun dia menyambar batang pohon terdekat. 

Pada cabang pohon ini dia membuat satu kali putaran memaksa Puti Andini pejamkan mata 

karena gamang. Dari cabang ini Panji lalu melayang turun lagi ke bawah. Di satu tempat dia 

kembali berpegangan ke cabang pohon. Berputar satu kali dan melesat ke bawah. Hal ini 

dilakukannya sampai beberapa kali hingga akhirnya dia menjejakkan kakinya di tanah.

Menyangka saat itu dirinya masih diajak melayang di udara Puti Andini masih saja 

terus merangkul leher Panji dan menggelungkan kakinya di pinggang si pemuda.

“Puti Andini, kita sudah turun di tanah. Mengapa kau masih merangkuli tubuhku?”

Terkejut bukan main si gadis mendengar kata-kata itu. Dengan muka merah dia 

lepaskan rangkulannya dan melompat turun! Panji membalik dan tertawa polos, membuat 

Puti Andini semakin jengah. Buru-buru gadis ini berkata. “Terima kasih atas semua 

pertolonganmu. Aku berharap satu ketika bisa membalas semua budi baikmu. Aku harus 

pergi sekarang....”

“Kau, apakah aku tidak boleh mengantarkanmu ke telaga tempat kau mencari batu 

hitam itu?”

“Terima kasih. Aku bisa pergi sendiri. Hemmm.... Kalau aku boleh tahu kau sendiri 

akan menuju ke mana?”

“Aku akan mencari seorang sahabat. Seorang kakek bermuka cekung bernama Wiro 

Sableng....”

Terkejutlah Puti Andini mendengar ucapan pemuda itu “Seorang kakek bermuka 

cekung bernama Wiro Sableng?!”

“Benar. Kau kenal padanya?”

Puti Andini tertawa gelak-gelak.

“Eh, kenapa kau tertawa. Apa yang lucu?” tanya Panji keheranan.

“Manusia bernama Wiro Sableng itu bukan seorang tua bangka bermuka cekung. 

Tapi seorang pemuda yang usianya kurasa sedikit lebih tua darimu!”

“Aneh, dia sendiri yang menyebutkan namanya begitu sewaktu dulu meninggalkan 

pulau tempat kediamanku,” kata Panji pula. (Seperti dituturkan dalam Episode I berjudul 

Tua Gila Dari Andalas, sewaktu hendak meninggalkan pulau Kerajaan Sipatoka, ketika 

ditanya namanya Tua Gila enak saja mengatakan namanya Wiro Sableng).

Dari balik baju beludru hijaunya Panji mengeluarkan dua buah benda. Yang pertama 

sehelai sapu tangan besar berwarna merah. Yang lain adalah sehelai kumis palsu.

“Aku menemukan dua benda ini dekat tubuhmu tergolek. Mungkin milikmu?”

Puti Andini segera mengenali kain penutup kepala merah dan kumis palsunya itu. 

Cepat kedua benda itu diambilnya.

“Aku pergi sekarang!” kata Puti Andini sambil terus tertawa cekikikan.

“Hail Tunggu dulu! Ada yang hendak aku tanyakan!” seru Panji. Namun saat itu Puti 

Andini telah lenyap di balik kerapatan semak belukar.

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

TUJUH

Lelaki separuh baya berjubah merah itu hentikan larinya di tepi lembah. Memandang 

ke bawah dia hanya melihat kerimbunan pepohonan, mendengar suara kicau burung. 

Dia mengusap kepalanya yang botak beberapa kali. Kepala itu keringatan, dicat 

kuning dan ada tulisan angka 3 berwarna hitam.

“Apa betul ini yang dinamakan Lembah Akhirat? Subur, sunyi sama sekali tidak 

membayangkan keangkeran....” Si botak membatin. Dia memandang berkeliling. Menarik 

nafas dalam. “Di mana aku harus mencari sang datuk penguasa lembah yang begini luas.... 

Kalau aku bergerak terus menuju ke utara, pasti akan mencapai pusat lembah. Mungkin di 

sana letak markas Datuk Lembah Akhirat....” Setelah diam beberapa lama akhirnya orang ini 

melangkahkan kaki. Namun baru berjalan tiga langkah tiba-tiba terdengar suara suitan keras 

di sebelah timur. Suitan ini mendapat sambutan dari arah barat. Suitan ketiga datang dan 

sebelah utara. Pada saat itulah melesat tiga benda bulat mengeluarkan suara mengaung. 

Masing-masing benda ditancapi sebentuk tongkat terbuat dari bambu. Benda-benda aneh ini 

melesat dari tiga jurusan yaitu samping kiri kanan dan dari sebelah depan!

Begitu tiga benda menancap di tanah tersurutlah lelaki berkepala botak. Tampangnya 

menjadi pucat. Tiga benda di atas tongkat bambu dan menancap di tanah itu ternyata adalah 

tiga buah tengkorak manusia. Masing-masing berwarna hitam, merah dan hijau! Untuk 

sesaat lamanya si botak berjubah merah hanya tegak laksana patung, tak berani bergerak. 

Hanya sepasang matanya memandang melotot melirik ke kiri dan ke kanan. Kepalanya 

yang botak kuning terasa dingin keringatan.

Orang ini tidak menunggu lama. Mendadak ada tiga bayangan berkelebat dan tahu-

tahu tiga sosok aneh sudah mengurungnya. Di hadapannya kini ada tiga orang lelaki 

berwajah hitam, merah dan hijau. Rambut mereka juga sama dengan warna muka mereka. 

Selain itu ketiganya mengenakan pakaian berbentuk jubah dengan warna sama seperti 

warna wajah masing-masing. Tiga orang ini membawa tombak yang pada bagian tengahnya 

ditancapi sebuah tengkorak manusia berwarna hijau, hitam dan merah.

“Sebutkan nama dan gelar!” Orang berwajah merah membentak.

“Katakan keperluan!” Si muka hitam menghardik.

“Beritahu datang membawa apa!” Yang muka hijau menimpali.

Si botak kepala kuning jadi tergagau kecut. Mukanya sepucat kain kafan ketika tiga 

ujung tombak yang jelas mengandung racun disorongkan dekat sekali ke lehernya.

“Namaku Klewing. Aku tidak bergelar tapi dikenal sebagai orang nomor tiga dari 

Delapan Tokoh Kembar. Keperluanku kemari untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. 

Aku datang membawa satu keping emas.”

“Perlihatkan emas itu!” perintah si muka hijau.

Si botak mengeruk saku jubah merahnya. Ketika tangannya dikeluarkan dia telah 

menggenggam satu kepingan emas sebesar ujung jari kelingking. Emas ini dipegangnya 

erat-erat, takut diambil tiga orang di hadapannya.

Tiga orang yang mukanya berwarna saling pandang melempar isyarat.

“Ikuti kami!” kata yang bermuka merah.

Tokoh Kembar nomor 3 masukkan kepingan emas ke dalam saku jubahnya kembali 

lalu melangkah mengikuti tiga orang yang sudah dapat dipastikannya sebagai para 

pengawal atau penjaga kawasan Lembah Akhirat.

Si jubah merah ini dibawa menuju pusat lembah. Sepanjang jalan dia menyaksikan 

pemandangan yang aneh. Di mana-mana dia melihat tebaran debu tebal berwarna hitam, 

merah atau hitam di tanah, Klewing tak dapat menduga debu apa adanya itu. Makin jauh ke 

pusat lembah semakin banyak tumpukan pasir berwarna itu ditemuinya. Walau dia ingin 

sekali mengetahui namun Klewing tak berani ajukan pertanyaan pada tiga orang yang 

berada di dekatnya.

“Aneh, semula aku menduga Lembah Akhirat adalah lembah maha menyeramkan. 

Tapi ternyata keadaannya biasa-biasa saja. Atau mungkin dibalik semua keanehan ini ada 

sesuatu yang mengerikan...?” Klewing terus berjalan mengikuti tiga orang itu.

Di samping sebuah pohon besar yang dilingkari semak belukar sangat lebat tiga 

pengawal Lembah Akhirat berhenti. Salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pohon. 

Tak lama kemudian semak belukar di sebelah kanan bergerak dan menguak aneh. Lalu 

tampak sebuah mulut goa. Si muka hitam masuk ke dalam goa. Si muka merah memberi 

isyarat pada Klewing agar mengikuti. Lalu di sebelah belakang pengawal bermuka hijau 

menyusul dengan tombak terhunus.

Bagian dalam goa merupakan satu tangga batu menurun. Begitu mereka masuk 

semak belukar yang tadi menguak tertutup dengan sendirinya. Klewing merasakan hawa 

dingin menggidikkan sepanjang perjalanan menyusuri goa yang ternyata cukup panjang itu.

Tak lama kemudian Klewing melihat ada cahaya terang di sebelah depan pertanda 

dia akan segera sampai di ujung goa. Memang benar. Begitu sampai di ujung goa Tokoh 

Kembar nomor 3 ini melihat satu pedataran terbentang di hadapannya. Puluhan orang 

bermuka hijau, merah atau hitam berdiri seputar pedataran lengkap dengan tombak yang 

ditancapi tengkorak di tangan masing-masing.

“Heran, aku tidak melihat satu orang perempuan pun...” membatin Klewing.

Di tengah pedataran ada satu batu besar setinggi setengah tombak. Salah satu sisi 

batu berbentuk tangga. Sekeliling batu ada kobaran api setinggi tiga jengkal. Lalu di atas 

batu besar itu tampak satu gentong kayu besar. Gentong ini berisi air yang mengeluarkan 

suara riak seolah mendidih. Asap tipis yang menebar bau aneh mengepul keluar dari gen-

tong. Klewing tercekat ketika melihat dari dalam gentong muncul sepasang kaki besar 

berotot penuh bulu, lurus tak bergerak. Pada kedua pergelangan kakinya terikat satu 

tengkorak kecil.

“Ada orang merendam dirinya di dalam gentong secara aneh...” kata Klewing dalam 

hati. “Sulit kuduga apa yang dilakukannya. Tapi jika dia tidak memiliki kepandaian luar 

biasa tidak mungkin dia melakukan hal itu.... Tengkorak kecil di kedua kakinya itu pasti 

tengkorak anak-anak, mungkin bayi....” Tengkuk satu-satunya orang yang masih hidup dari 

Delapan Tokoh Kembar ini menjadi dingin.

Si botak Klewing kemudian dibawa ke sebuah bangunan terbuat dari batu yang tidak 

bedanya sebuah goa besar. Di dalam bangunan tampak duduk tiga orang bertampang aneh 

angker.

Yang di sebelah kanan memiliki muka berwarna merah, di tengah hitam dan di ujung 

kiri hijau. Tiga orang ini memiliki rambut keriting kecil, sangat rapat dan keras. Rambut 

mereka berwarna sesuai warna wajah. Si hitam memiliki rambut tinggi runcing ke atas

seperti kerucut. Si merah rambutnya berbentuk bulat tinggi seperti tempurung besar sedang 

si hijau berambut menyerupai sarang tawon, panjang ke atas. Ketiga orang ini mengenakan 

jubah berlengan gombrong yang warnanya sesuai dengan warna wajah masing-masing.

Si hitam memiliki wajah lebar, dihias alis, kumis dan janggut tebal berwarna hitam. 

Sepasang telinganya ditusuk dengan sepotong tulang manusia. Dia seolah tidak memiliki 

hidung. Bagian yang seharusnya ada hidung hanya ada dua buah lubang hingga hidungnya 

seolah gerumpung. Orang ini adalah Pengiring Mayat Muka Hitam, salah satu dari tiga 

pembantu utama Datuk Lembah Akhirat.

Lelaki bermuka merah tidak punya alis. Tidak memelihara janggut ataupun kumis. 

Cuping hidung sebelah kiri ditancapi potongan tulang manusia. Dia ini dikenal dengan 

panggilan Si Pengiring Mayat Muka Merah. Juga merupakan salah satu pembantu utama 

Datuk Lembah Akhirat.

Orang ketiga yang mukanya berwarna hijau memiliki kepala panjang peang. 

Mukanya yang hijau tampak berbenjol-benjol seolah diserang penyakit bisul. Sepotong 

tulang manusia menancap di bibir-nya sebelah bawah. Orang yang terakhir ini me-rupakan 

pembantu ke tiga Datuk Lembah Akhirat dan dijulliki Si Pengiring Mayat Muka Hijau.

Dari ke tiga manusia seram itu Si Pengiring Mayat Muka Hitam bertindak sebagai 

pimpinan mereka.

“Manusia atau setankah yang ada di hadapanku ini? Seumur hidup aku tidak pernah 

melihat makhluk sedahsyat ini.... Yang mana di antara mereka Datuk Lembah Akhirat?”

begitu Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3 membatin dalam hati.

“Menjura pada Tiga Pengiring Mayat!”

Klewing tergagau oleh bentakan pengawal bermuka hitam yang ada di sampingnya. 

Cepat-cepat dia membungkuk memberi penghormatan pada ketiga orang yang duduk di 

dalam bangunan batu itu.

“Tiga Pengawal Lembah Akhirat! Apa perlunya tuyul kuning berjubah merah ini 

kalian bawa ke hadapan kami?! Apa kalian sengaja mencari mati mengganggu ketentraman 

tiga wakil tertinggi Datuk Lembah Akhirat?!”

Mendengar bentakan Si Pengiring Mayat Muka Hitam yang merupakan orang 

tertinggi di antara tiga pembantu Datuk Lembah Akhirat, tiga pengawal bersurut mundur 

dan cepat menjura. Yang di tengah segera berkata.

“Maafkan kami, kami tidak bermaksud mengganggu ketentraman Wakil Datuk 

Lembah Akhirat bertiga. Tamu ini datang untuk menghadap Datuk Lembah Akhirat. Dia 

membawa secuil emas sebagai bekal....”

“Hemmm....” Si Pengiring Mayat Muka Hitam rangkapkan dua lengan di depan 

dada. Mulutnya menyunggingkan seringai dan dia saling pandang dengan dua temannya. 

“Kalau begitu kalian bertiga lekas angkat kaki dari hadapan kami!”

“Maafkan kami para Wakil Datuk Lembah Akhirat...” kata tiga pengawal bersamaan. 

Setelah menjura dalam-dalam ketiganya lalu cepat-cepat tinggalkan tempat itu.

Sampai di luar bangunan batu mereka merasa lega. Yang satu berbisik pada 

temannya. “Untung Si Pengiring Mayat Muka Hitam tidak sewot benar. Ingat, dua hari lalu 

dia membunuh dua teman kita hanya gara-gara secara tak sengaja mereka melihat Si 

Pengiring Mayat Muka Hitam sedang kencing di bawah pohon.... Gila! Kalau saja aku bisa 

kabur dari tempat ini sudah lama aku minggat....”

“Ssst..., Jalan pikiranmu sama dengan kami berdua,” jawab teman pengawal yang 

barusan bicara. “Tapi hati-hati kalau bicara. Pohon, batu dan tanah bisa jadi mata-mata di 

tempat ini. Belum lagi teman-teman bangsa penjilat!”

“Sebenarnya dua teman kita yang-malang itu bukan dibunuh karena tidak sengaja 

melihat Si Pengiring Mayat Muka Hitam kencing di bawah pohon,” kata pengawal bermuka 

hijau. “Tapi dekat pohon itu ada seekor babi perempuan gemuk. Si Pengiring Mayat Muka 

Hitam merasa seperti di-pergoki. Hik... hik... hik! Dasar manusia edan!”. “Bangsat satu itu 

memang aneh! Perempuan banyak di tempat penyekapan. Mengapa doyannya hik... hik... 

hik...!”

Tiga pengawal Lembah Akhirat cepat menyelinap di balik bebatuan dan semak 

belukar, Kembali ke tempat pengawalan masing-masing sambil terus tertawa cekikikan.

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 31

__________________________________________________________________________________

DELAPAN

Begitu tiga pengawal berlalu Pengiring Mayat Muka Hitam berpaling pada si botak 

berjubah merah. “Botak kepala kuning! Pengawal mengatakan kau membawa secuil 

emas. Perlihatkan padaku!”

Mendengar ucapan Pengiring Mayat Muka Hitam, Klewing cepat keluarkan kepingan 

emas dari saku jubah merahnya lalu diperlihatkan pada wakil Datuk Lembah Akhirat itu. 

Sekali tangannya bergerak maka kepingan emas sudah berada dalam genggaman Pengiring 

Mayat Muka Hitam. Emas ini diperhatikan lalu ditimang-timangnya beberapa kali.

“Kawan-kawan, emas yang dibawanya memang murni. Tapi besarnya tidak lebih 

besar dari bijinya. Ha... ha... ha! Apa pantas urusan ini kita teruskan?”

“Kita tanya saja dulu. Kalau dia memang tidak pantas berada di sini, kita akan usir! 

Tapi salah satu matanya harus ditinggalkan!”

Kalau saja Klewing bukan seorang tokoh silat berpengalaman, mendengar ucapan 

Pengiring Mayat Muka Merah itu tentu saja akan membuat ciut nyalinya. Satu-satunya 

orang yang masih hidup dari Delapan Tokoh Kembar ini tetap berlaku tenang dan diam.

“Botak kepala kuning. Ceritakan siapa dirimu!” kata Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Aku Klewing. Aku datang dari selatan. Bermaksud menghadap Datuk Lembah 

Akhirat....”

“Tunggu!” memotong Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kami belum menanyakan 

maksud kedatanganmu ke sini. Kawanku minta agar kau menerangkan siapa dirimu....”

“Aku tidak mengerti. Aku sudah katakan namaku....”

“Botak kepala tahi tolol!” hardik Pengiring Mayat Muka Merah. “Nama jelek itu tak 

usah diulang-ulang. Yang kami ingin tahu apa gelarmu! Kau dari golongan hitam atau 

golongan putih!”

Sampai di sini Pengiring Mayat Muka Hijau ikut berkata. “Kau harus tahu, hanya 

orang-orang persilatan golongan putih yang diperbolehkan datang ke tempat ini! Kau dari 

pihak mana botak?!”

“Aku.... Aku memang dari golongan putih walau dulu sering terlibat urusan tidak 

benar....”

“Hemmm....” Pengiring Mayat Muka Merah berpaling pada si muka hitam. Sambil 

usap-usap hidungnya yang ditancapi tulang dia berkata. “Bagaimana pendapatmu?”

Pengiring Mayat Muka Hitam lantas ajukan pertanyaan pada Klewing. “Mengapa 

kepalamu botak dan apa artinya angka tiga di kepalamu itu?!”

“Aku adalah orang ke tiga Delapan Tokoh Kembar...” menerangkan Klewing.

Mata ketiga pembantu utama Datuk Lembah Akhirat membesar. Ketiganya lalu 

tertawa terbahak-bahak. “Kami memang pernah dengar nama kelompokmu! Jadi kau salah 

satu dari kembar delapan? Luar biasa! Apa saja yang dikerjakan ibumu hingga dia bisa 

beranak sekali delapan! Ha... ha... ha!” Pengiring Mayat Muka Hitam permainkan jari 

telunjuk tangan kanannya di permukaan lobang hidungnya yang sama rata dengan pipi.

“Kalau kau kembar delapan, mana saudaramu yang tujuh lagi?!”

“Mereka sudah mati semua....”

“Hah! Tujuh saudaramu mati semua?! Malang benar Ha... ha... ha!” ujar Pengiring 

Mayat Muka Hitam lalu tertawa gelak-gelak. Dua kawannya ikut-ikutan tertawa.

“Apa tujuh saudaramu itu mati kecebur sumur atau disambar geledek atau diserang 

penyakit sampar?!” tanya Pengiring Mayat Muka Hijau sambil senyum-senyum seolah 

mengejek.

Walau hatinya panas mendengar ucapan orang tapi Tokoh Kembar nomor 3 ini 

berusaha tenang dan menjawab perlahan. “Mereka menemui ajal di Pangandaran. Dibunuh 

oleh beberapa orang tokoh silat. Antara lain Iblis Pemabuk, Ratu Duyung, Tua Gila serta 

Pendekar 212 Wiro Sableng....”

“Hemmm.... Jadi mereka terlibat urusan besar di Pangandaran yang menggegerkan 

itu. Kabarnya Pangeran Matahari juga menemui ajalnya di tempat itu! Kau sendiri 

bagaimana bisa lolos...?”

“Waktu itu aku cepat membaca situasi. Daripada mati konyol aku cepat-cepat 

melarikan diri.”

“Sungguh pengecut!” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Kau lari selamatkan diri 

sementara tujuh saudaramu mampus meregang nyawa!”

“Aku bukan pengecut! Keadaan tidak memungkinkan untuk menghadapi pihak 

musuh. Lagipula kalau aku menemui ajal, siapa yang bakal menuntut balas kematian tujuh 

saudaraku?!” Klewing membantah dengan suara keras.

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa mengekeh.

“Hemm.... Otakmu agak cerdik juga rupanya.

Jadi kau datang ke sini dengan satu maksud. Untuk membalaskan sakit hati kematian 

saudara-saudaramu!”

“Itu hal yang pertama. Hal kedua aku ingin mengetahui seluk beluk Kitab Wasiat 

Malaikat yang kini ramai dihebohkan di rimba persilatan. Siapa tahu aku berjodoh 

mendapatkannya. Paling tidak mempelajari sebagian isinya yang kabarnya mengandung 

ilmu kesaktian luar biasa. Selain itu aku juga ingin bergabung dengan orang-orang Lembah 

Akhirat ini.”

“Lelewing....”

“Namaku Klewing!” kata si botak kepala kuning itu ketika Pengiring Mayat Muka 

Hitam salah menyebutkan namanya.

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak.

“Aku sengaja salah menyebut namamu. Soalnya tampangmu memang mirip-mirip 

binatang bernama lelewing itu! Ha... ha... ha!”

“Jahanam!” rutuk Klewing tapi hanya dalam hati ketika mendengar ucapan Pengiring 

Mayat Muka Merah tadi.

“Teman-teman...” kata Pengiring Mayat Muka Hijau. “Aku melihat ada hal yang 

tidak beres dalam keterangan manusia botak kepala kuning ini. Dia bilang dari golongan 

putih. Tapi mengapa saudara-saudaranya justru dibunuh oleh para tokoh golongan putih!”

“Hemmm....” Pengiring Mayat Muka Hitam menyeringai lalu membentak. “Apa 

jawabmu?!”

“Saat itu kami tertipu. Dipikat oleh seorang gadis cantik yang ternyata adalah kaki 

tangan Pangeran Matahari. Hingga kami memilih pihak yang keliru!” Menerangkan 

Klewing alias Tokoh Kembar Nomor 3.

“Kawan-kawan, menurutmu apakah jawaban cecunguk ini bisa diterima?” tanya 

Pengiring Mayat Muka Hijau pada si muka merah dan hitam.

“Mauku dia kita lempar saja ke luar sana. Tak ada gunanya mengurusi manusia 

macam begini!” berucap Pengiring Mayat Muka Merah.

“Atau aku robah saja tubuhnya jadi debu hijau saat ini juga!” kata Pengiring Mayat 

Muka Hijau.

Klewing yang mulai merasa khawatir cepat berkata. “Aku mohon kalian mau 

membantu mempertemukan diriku dengan Datuk Lembah Akhirat. Aku ingin bersahabat 

dengan kalian. Di kemudian hari jika aku punya rejeki aku tidak akan melupakan kalian....”

Pengiring Mayat Muka Hijau tertawa mengekeh. “Manusia jelek sepertimu jauh 

rejeki! Kalau hidupmu kelak sengsara apa yang hendak kau bagi pada kami?!”

Pengiring Mayat Muka Hitam angkat tangannya lalu berkata. “Aku mau memberi 

kesempatan padanya. Jika dia tidak cerita tentang emas yang dibawanya pada Datuk 

Lembah Akhirat mungkin dia masih ada harganya untuk dibawa menghadap penguasa 

tertinggi Lembah Akhirat itu. Bagaimana menurut kalian....”

Pengiring Mayat Muka Merah dan Pengiring Mayat Muka Hijau tampak seperti 

berpikir-pikir. Padahal semua ini adalah sandiwara yang mereka atur semua. Sebelumnya 

setiap orang yang hendak menemui Datuk Lembah Akhirat memang selalu mereka peras 

begitu rupa. 

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras di luar bangunan batu tiga kali berturut-turut. 

Para wakil Datuk Lembah Akhirat dengan cepat melangkah keluar. Mau tak mau karena 

ingin tahu Klewing juga mengikuti keluar.

Di depan mereka saat itu delapan orang pengawal Lembah Akhirat nampak 

mengusung dua buah tandu. Di atas ke dua tandu itu menggeletak sesosok tubuh seorang 

kakek berjanggut berkumis dan berambut biru serta seorang lelaki separuh baya. Keduanya 

telah jadi mayat dan menebar bau busuk. Si kakek tampak hancur sebagian wajahnya 

sedang mayat satunya kelihatan hampir putus batang lehernya seolah ditabas golok atau 

pedang yang sangat tajam!

Klewing tidak mengenal siapa adanya mayat lelaki separuh baya itu. Tapi dia kenal 

betul mayat satunya. Si kakek diketahuinya adalah salah seorang tokoh silat golongan putih 

dari kawasan timur yang dikenal dengan julukan Janggut Biru Berhati Emas.

“Penyebab kematian kedua orang ini pasti tewas dibunuh. Siapa yang membunuh? 

Mengapa mereka berada di tempat ini?” Berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawab muncul 

dalam benak Klewing.

Dua usungan mayat diturunkan ke tanah. Delapan pengawal Lembah Akhirat 

menjura. Salah seorang dari mereka berucap dengan suara lantang.

“Dua mayat siap dibuang di dalam kawasan Lembah Akhirat. Apakah para wakil 

Datuk Lembah Akhirat berkenan memberi izin?!”

“Katakan dulu siapa yang telah menghabisi kedua orang ini?!” tanya Pengiring Mayat 

Muka Hitam.

“Seorang tokoh silat golongan putih dikenal dengan julukan Dewa Sedih!” jawab 

Pengawal Lembah Akhirat yang mukanya berwarna hijau.

Tokoh Kembar Nomor 3 terkejut sekali mendengar keterangan si pengawal. 

Sementara tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tampak menyeringai sambil manggut-

manggut.

“Kami ingin segera membuang mayat. Harap petunjuk dari para wakil yang 

terhormat.” Berkata pengusung mayat muka hijau.

Pengiring Mayat Muka Merah angkat tangan kanannya dan berkata. “Aku Pengiring 

Mayat Muka Merah menyetujui agar dua mayat itu segera dibuang!”

Si muka hijau melakukan hal yang sama. Dia mengangkat tangan kanannya seraya 

berkata. “Aku Pengiring Mayat Muka Hijau memperbolehkan kalian membuang dua mayat 

itu!”

Orang ke tiga menyusul. Sambil mengangkat tangannya dia berucap. “Aku Pengiring 

Mayat Muka Hitam, pembantu utama Datuk Lembah Akhirat, aku mewakili Datuk Lembah 

Akhirat, aku menyetujui dan memerintahkan kalian untuk segera membuang dua mayat itu 

dalam bentuk sesuai aturan Datuk Lembah Akhirat!” Si muka hitam memberi isyarat pada 

dua temannya.

Pengiring Mayat Muka Hijau dan Muka Merah menyeringai lalu sama-sama 

anggukkan kepala. Tiba-tiba kedua orang ini membalik dan hantamkan tangan mereka ke 

arah mayat yang tergeletak di atas usungan. Terjadilah hal yang luar biasa dan sangat 

menggidikkan Klewing.

Dua larik sinar merah dan hijau menebar lalu menghantam dua sosok mayat di atas 

usungan. Mayat kakek berjanggut biru tampak laksana dikobari api berwarna merah. Ketika 

sinar merah lenyap tubuhnya hanya tinggal bubuk berwarna merah sementara usungan di 

atas mana mayatnya sebelumnya berada tidak rusak sedikit pun!

Seperti kakek berjanggut biru tubuh mayat lelaki separuh baya mula-mula dihantam 

dan dibungkus sinar hijau. Lalu “wuss!” Seolah ada api berwarna hijau melumat tubuhnya. 

Sesaat kemudian api hijau lenyap dan kini tinggallah onggokan debu tebal berwarna hijau di 

atas usungan!

Pengiring Mayat Muka Hitam melirik pada Klewing. “Botak kepala kuning, nasibmu 

bisa seperti itu kalau ada tingkah perbuatanmu yang tidak menyenangi kami! Ingat itu baik-

baik!”

Tokoh Kembar Nomor 3 itu diam saja.

“Angkat dua usungan. Lekas pergi dari sini!” perintah Pengiring Mayat Muka Hijau.

“Yang merah dibuang di sebelah timur. Yang hijau buang di sebelah barat!” kata 

Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Perintah kami jalankan!” kata pengawal Lembah Akhirat. Setelah menjura lebih dulu 

lalu delapan orang pengawal kembali mengusung dua mayat di atas tandu yang kini telah 

berubah jadi debu lalu tinggalkan tempat itu menuju lembah sebelah timur dan barat.

“Bagaimana dengan si botak ini? Apa pantas kita beri kesempatan untuk menemui 

Datuk Lembah Akhirat?” membuka suara Pengiring Mayat Muka Merah.

Tak ada salahnya mencoba. Kalau kemudian hari janjinya untuk berbagi rejeki 

dengan kita tidak ditepati, dia akan menerima siksa neraka sebelum kita merubah mayatnya 

menjadi debu!”

Pengiring Mayat Muka Hijau mengangguk. Si muka merah hanya menyeringai.

“Klewing! Kau kami beri kesempatan untuk menemui Datuk Lembah Akhirat. Tapi 

kau harus menunggu sampai penguasa tertinggi di lembah ini selesai bersamadi!” kata 

Pengiring Mayat Muka Hitam.

“Aku tidak mengerti...” kata Klewing alias Tokoh Kembar nomor 3.

Si muka hitam memberi isyarat lalu bersama dua temannya melangkah tinggalkan 

tempat itu. Si botak kepala kuning mengikuti. Mereka kembali ke tempat di mana tadi 

Klewing melihat sebuah gentong besar berisi air seolah mendidih disertai kepulan asap. Di

dalam gentong yang terletak di atas batu besar itu tampak sepasang kaki manusia, berbulu 

dan di-gelantungi tengkorak kecil. Bagian tubuh dari pertengahan paha ke atas tidak 

kelihatan karena berada dalam gentong kayu. Sejak tadi Klewing tak habis pikir apa yang 

dilakukan orang itu di dalam gentong? Mandi atau hendak bunuh diri atau apa?

“Siapa orang di dalam gentong?” Klewing beranikan diri bertanya.

“Orang di dalam gentong adalah pimpinan kami. Penguasa tunggal di kawasan ini. 

Datuk Lembah Akhirat. Dia sedang melakukan samadi di dalam gentong berisi air. Dia baru 

berhenti bersamadi kalau air beriak dalam gentong habis. Air dalam gentong akan habis 

karena penguapan dan juga tetes demi tetes yang keluar dari sebuah lobang kecil di bagian 

bawah. Kapan habisnya air itu boleh kau tanyakan pada setan!”

Klewing menatap tampang Pengiring Mayat Muka Hitam sesaat lalu pandangi 

gentong berisi sosok manusia yang hanya kakinya saja yang kelihatan. Dalam hati orang ini 

berkata. “Jadi itu Datuk Lembah Akhirat. Aneh sekali caranya bersamadi. Melihat kecilnya 

tetesan air dan udara sekitar sini sejuk, air dalam gentong baru akan habis setelah 

berminggu-minggu.... Jangan-jangan aku telah salah memilih datang ke tempat celaka ini!”

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

SEMBILAN

Tak lama lagi matahari akan segera terbit menerangi jagat. Tua Gila yang tengah berlari 

cepat tiba-tiba merasakan dadanya sakit, kepalanya berat dan pemandangannya 

berkunang. Tubuhnya terasa panas seolah dipanggang. Di bawah sebatang pohon 

orang tua ini hentikan larinya, duduk menjelepok di tanah bersandar ke pohon.

Tua Gila gerakan tangan kanannya ke dada. Dia berusaha mengerahkan tenaga dalam 

untuk melenyapkan rasa sakit di bagian itu. Kemudian perlahan-lahan tangannya bergerak 

ke bahu kiri. Dia menyentuh sesuatu. Terkejutlah si kakek. Ternyata keris merah api Datuk 

Angek Garang masih menancap di situ.

“Senjata jahanam.... Pasti mengandung racun jahat! Kalau aku tidak segera 

mendapatkan obat penolak racun tamatlah riwayatku! Setan betul! Begitu banyak urusan 

yang harus kuhadapi, mengapa aku mesti mampus lebih cepat...!” Tua Gila menyeringai. 

Dengan tangan kanannya dia berusaha mencabut keris kecil yang menancap di bahu kirinya 

itu. Namun sebelum dia mampu melakukan tiba-tiba tubuhnya terjungkal dan tak ampun 

lagi tokoh silat ini terkapar melingkar di tanah. Pingsan siap menuju sekarat!

Ketika matahari bergerak naik dan di arah timur serombongan burung terbang 

menembus awan kelabu seorang pejalan kaki nampak keluar dari kerapatan pepohonan. 

Ada beberapa keanehan pada diri orang ini. Pertama dia mengenakan pakaian ringkas 

warna kuning atas bawah. Rambutnya hitam berkilat disanggul ke belakang. Dari 

keseluruhan wajahnya hanya sepasang mata dan sebagian keningnya saja yang kelihatan 

karena wajah itu sengaja dilindungi dengan sehelai kain cadar berwarna kuning!

Keanehan kedua sambil berjalan orang ini melantunkan suara nyanyian tanpa syair. 

Dari mulutnya terus menerus terdengar suara seperti gema saluang (sejenis seruling yang 

umum terdapat di tanah Minang). Lagu yang dibawakannya meski sulit diduga lagu apa 

tapi jelas menyatakan perasaan sedih berhiba-hiba. Dan dari suara nyanyian itu jelas 

diketahui bahwa orang bercadar kuning ini adalah seorang perempuan. Dari rambutnya 

yang masih hitam agaknya dia belum terlalu berumur. Walau hal itu tidak dapat dipastikan 

karena wajahnya yang terlindung.

Mendadak suara nyanyian perempuan itu lenyap, berganti dengan satu keluhan 

pendek disertai tarikan nafas. Langkahnya terhenti begitu melihat sosok Tua Gila 

tergelimpang di bawah pohon.

“Tanah Jawa.... tanah Jawa.... Semakin jauh aku berjalan semakin banyak kutemui 

keganjilan. Hari ini aku melihat seorang tua terbujur sengsara di tengah jalan. Siapa 

gerangan orang tua ini...?”

Perempuan berpakaian serba kuning berjongkok di samping tubuh Tua Gila. 

“Wajahnya tak kukenal. Sekujur kulitnya merah laksana dipanggang!” Lalu orang ini 

melihat keris merah kecil yang menancap di bahu kiri si kakek. “Hemmm.... Kalau senjata 

ini aku kenali betul. Ini adalah keris merah api milik Datuk Angek Garang dari Andalas! 

Pasti sebelumnya telah terjadi perkelahian antara orang tua ini dengan si Datuk....”

Perempuan bercadar kuning berpikir sejenak. Dalam hati dia berkata lagi. “Menolong 

sesama kerabat walau tidak saling mengenal adalah aturan dan peradatan rimba persilatan. 

Orang tua ini tengah sekarat. Kalau tidak kutolong pasti dia akan menemui ajal. Paling lama 

umurnya hanya sampai matahari terbenam nanti.”

Berpikir begitu perempuan bercadar kuning mengeluarkan satu kantong kain dari 

balik pakaiannya. Dari dalam kantong ini diambilnya dua jenis obat. Obat pertama berwarna 

kuning berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat kedua berupa bubuk juga 

berwarna kuning.

Memasukkan obat ke dalam mulut orang yang pingsan agar dia bisa menelannya 

bukan pekerjaan mudah. Perempuan bercadar menekan pipi Tua Gila yang cekung. Begitu 

mulutnya terbuka, butiran obat kuning dimasukkannya ke dalam mulut. Lalu dengan 

tangannya yang lain dia menotok tenggorokan Tua Gila. Dari mulut si kakek terdengar

suara seperti dia bertahak. Obat kuning tertelan lewat tenggorokan, masuk ke dalam 

perutnya. Orang bercadar merasa agak lega sedikit. Obat berupa bubuk kuning 

ditebarkannya di bahu Tua Gila yang masih ditancapi keris merah api. Daging di sekitar 

tancapan keris yang tadinya berwarna merah dan bengkak perlahan-lahan berubah menjadi 

biru. Ketika warna biru berubah menjadi hitam pada saat itulah orang bercadar mencabut 

keris yang menancap dari bahu Tua Gila.

Darah hitam dan bau amis mengucur dari luka bekas tusukan keris. Perempuan 

bercadar duduk bersila di tanah. Sepasang matanya terus memperhatikan darah hitam yang 

mengucur. Sambil memperhatikan dari mulutnya kembali keluar suara nyanyian tanpa 

syair.

Darah hitam yang mengucur perlahan-lahan berubah menjadi kemerahan. Suara 

nyanyian perempuan itu semakin keras tanda hatinya lega. Munculnya darah segar 

menggantikan darah hitam berarti dalam tubuh si kakek kini tak ada lagi racun yang 

mengendap. Setelah menunggu beberapa lama lagi perempuan bercadar lalu menotok 

pundak kiri Tua Gila. Darah segar langsung berhenti keluar dari luka.

“Tugas menolong telah selesai. Aku harus meninggalkan tempat ini. Harus 

meninggalkan orang tua ini....”

Perlahan-lahan si cadar kuning berdiri. Dia menatap sekali lagi pada tubuh dan wajah 

Tua Gila lalu memutar diri dan tinggalkan tempat itu. Dari mulutnya kembali keluar suara 

nyanyian berhiba-hiba.

“Tunggu!”

Tiba-tiba satu seruan terdengar di belakangnya.

Perempuan bercadar kuning berpaling. Orang tua yang barusan ditolongnya 

dilihatnya telah duduk melunjur dan bersandar ke batang pohon di belakangnya. Kedua 

mata orang ini terpejam tapi tangan kanannya dilambaikan seolah memanggil.

“Ada apa orang tua...?” tanya perempuan bercadar.

“Kau tuan penolongku! Mengapa pergi begitu saja setelah menolong?”

“Hemm.... Apa maunya orang tua ini?” pikir si baju kuning. “Waktu kutolong jelas 

dia pingsan berat. Waktu aku tinggalkan dia masih belum siuman. Bagaimana dia tahu aku 

yang menolongnya?!”

“Hai! Tuan penolongku! Kemari dulu!”

“Orang tua, kau berucap berbudi-budi. Aku yang awam jadi tidak mengerti. Aku 

bukan tuan penolong seperti yang kau ucapkan. Aku hanya kebetulan lewat dalam 

perjalanan.”

Tua Gila menyeringai lalu tertawa.

“Orang tua aneh. Dalam keadaan begitu rupa masih bisa tertawa...” membatin si 

cadar kuning,

“Kau tak mengaku telah menolongku! Itu tandanya kau berbudi luhur tidak punya 

pamrih. Aku suka hai itu. Satu lagi yang aku suka darimu yaitu gaya bahasamu. Kau bicara 

dengan kata-kata seolah-olah bait-bait pantun.”

“Orang tua kau bersalah sangka. Tak ada pertolongan tak ada apa. Kalau kau mau 

memuji itu pertanda kau baik di mulut dan baik di hati.”

Tua Gila tertawa mengekeh. Saat itu kedua matanya masih terpejam. “Tuan 

penolongku, kau boleh menampik dibilang telah menolong. Tapi coba kau perhatikan 

tanganmu. Ada sedikit noda darah di sela jarimu. Pada salah satu bagian pakaianmu juga 

ada noda darahku. Kalau kau tidak menolong bagaimana tangan dan pakaianmu kotor 

begitu rupa...? Hik... hik...hik!”

Wajah di balik cadar kuning jadi berubah kaget. Orang ini perhatikan kedua 

tangannya. Memang di situ ada noda darah. Lalu ketika ditelitinya pakaiannya, pada 

pinggiran baju sebelah kiri juga ada noda darah. “Aneh, kedua matanya masih terpejam, 

bagaimana dia bisa tahu ada noda di tangan dan bajuku?”

“Orang tua, pekertimu yang baik aku rasakan dari ucapan serta tawamu. Hanya 

sayang aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Perjalananku masih panjang. Berbagai 

urusan masih menghadang....”

“Perempuan pandai berpantun. Jika kau tak mau berlama-lama di tem pat ini aku 

benar-benar merasa sedih. Tapi aku mesti bilang apa. Sebelum pergi maukah kau memberi 

tahu siapa nama atau gelarmu?” Sambil bertanya begitu perlahan-lahan Tua Gila buka 

sepasang matanya.

“Ketika lahir konon orang tuaku tak memberi nama. Setelah besar rimba persilatan 

tidak memberi gelar apa-apa. Aku hanyalah aku. Dalam diriku yang ada hanyalah aku....”

“Kalau kau segan memberi nama tak jadi apa. Biarlah kau kukenang dengan nama 

Dewi Penolong Bercadar Kuning...”

Mendengar ucapan Tua Gila perempuan bercadar tertawa lalu berkata. “Hari ini kau 

menganggap aku penolongmu. Di lain saat mungkin kita menjadi seteru. Kau tak tahu siapa 

diriku. Aku tak tahu siapa dirimu.”

“Eh, mengapa kau berkata begitu?” tanya Tua Gila.

“Rimba persilatan dunia penuh petaka. Hari ini berbuat baik, besok bisa berbuat 

dosa. Hari ini menjadi kawan, besok menjadi lawan. Hari ini se-seorang bisa tertawa dalam 

bahagia, lusa mungkin menangis dalam sengsara....”

Mau tak mau Tua Gila jadi tercekat mendengar ucapan tuan penolongnya itu. Dia 

menggaruk kepalanya yang ditumbuhi rambut putih tipis lalu menghela nafas panjang.

“Duka sengsara, senang bahagia. Itu menjadi bagian setiap manusia yang hidup di 

dunia. Hari ini aku berbahagia karena ada seorang berbudi luhur menyelamatkan jiwaku. 

Tapi sekaligus aku merasa sedih karena tidak tahu siapa dia adanya. Juga lebih sedih lagi 

karena tidak tahu bagaimana tua bangka ini harus membalas budi....”

“Orang tua, lupakan segala balas budi. Semua perbuatan menjadi catatan Tuhan Yang 

Maha Tinggi. Sebagai manusia biasa jangan berharap budi dibalas budi. Dasar kehidupan 

manusia justru adalah berbalas kasih....”

“Ah, semakin tidak tahu aku mengartikan ucapan perempuan yang serba berpantun 

ini!” kata Tua Gila dalam hati.

“Orang tua, aku gembira melihat kau sembuh. Kalau langit masih biru, selama ombak 

masih memecah pantai kita pasti bertemu....”

“Pantun lagi! Pantun lagi!” ujar Tua Gila dalam hati. Lalu dia berkata. “Tuan 

penolong yang aku panggil dengan sebutan Dewi Penolong Bercadar Kuning. Tadi kau 

bilang berbagai urusan masih menghadang. Jika kau mau memberi tahu mungkin aku bisa 

menolong.”

“Terima kasih atas budi baikmu. Tapi aku adalah aku. Aku hanyalah aku. Urusanku 

adalah urusanku. Paling pantang bagiku membuat orang lain jadi terganggu....”

“Aku hanya khawatir.... Rimba persilatan penuh dengan berbagai muslihat dan 

kekejaman. Jika kau sampai celaka.... Tapi sudahlah. Orang berkepandaian tinggi sepertimu 

tentu mampu menghadapi segala marabahaya....”

“Tak ada yang lebih tinggi daripada Tuhan Yang Kuasa. Tak ada yang lebih mampu 

daripada Tuhan Yang Esa. Manusia hanya meminta perlindungan padaNya. Bahagia 

sengsara datang silih berganti. Tinggal manusia yang akan memilih.”

Tua Gila angguk-anggukkan kepala. “Dewi Penolong Bercadar Kuning. Aku ucapkan 

selamat jalan padamu. Aku berdoa untuk keselamatanmu!”

“Terima kasih orang tua. Sebelum pergi satu hal perlu kau ketahui. Jangan berdiri 

sebelum matahari mencapai titik tertinggi. Tubuhmu masih lemah. Tunggu sampai 

kekuatanmu bertambah. Selamat tinggal....!”

Tua Gila mengangguk lagi dan lambaikan tangannya.

Hanya sesaat saja perempuan bercadar kuning itu berlalu tiba-tiba semak belukar di 

balik pohon besar terkuak. Lalu sekali meloncat saja di hadapan Tua Gila tegaklah sesosok 

tubuh berjubah hitam rambut putih riap-riapan di bawah topi berkeluk berwarna merah 

dihias benang merah.

Sepasang mata Tua Gila yang cekung lebar laksana melesak ke dalam dan tambah 

besar ketika mengenali siapa adanya orang itu.

“Sabai...” desis Tua Gila.

Tengkuknya langsung dingin. Dia coba berdiri. Tapi seperti yang dikatakan

perempuan bercadar kuning tadi, ternyata saat itu tubuhnya memang sangat lemah akibat 

racun keris merah api Datuk Angek Garang yang sempat menancap di bahu kirinya. Ketika 

dia mencoba berdiri tubuhnya serta merta jatuh terduduk kembali!

Tua Gila cepat meraba pinggangnya di mana tersimpan senjata yang paling 

diandalkannya yaitu benang sakti Benang Kayangan.

Orang di hadapan Tua Gila menyeringai.

“Apa kau kira kali ini kau bisa lolos dari kematian Sukat Tandika?!”

“Kau bisa membunuhku! Tapi aku memilih kita mati bersama! Ha... ha... ha!”

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

SEPULUH

Sabai Nan Rancak tertawa mengekeh. “Siapa sudi jalan ke neraka bersama tua bangka 

bejat sepertimu!” katanya lalu meludah ke tanah.

Tua Gila balas dengan tawa bergelak.

“Hukuman memang layak kau jatuhkan atas diriku. Tapi setelah aku mati apa kau 

akan mendapatkan kepuasan dalam hidupmu? Kau sendiri sudah bau tanah Sabai! 

Mengapa berperilaku seperti anak-anak tapi mengumbar racun dendam kesumat tanpa 

perhitungan!”

“Aneh, dulu kau menyatakan pasrah menghadapi kematian! Hari ini sepertinya kau 

ingin hidup seribu tahun lagi! Agaknya ada perempuan baru yang akan kau jadikan korban 

kebusukan cinta bejatmu?!”

“Kau mau membunuhku silahkan. Lebih cepat lebih baik! Tapi ada satu hal yang 

perlu aku beritahu padamu....”

“Setan! Rahasia apa yang kau ketahui mengenai diriku! Aku tak punya rahasia apa-

apa. Kecuali ingin membunuhmu sejak puluhan tahun lalu!”

“Aku tahu kau sebenarnya tidak sejahat dan sebuas ini Sabai. Ada seseorang 

mengendalikan dirimu. Sadar atau tidak sadar kau telah dipergunakan orang....”

“Tua bangka bermulut busuk!” teriak Sabai Nan Rancak. “Kau mencari dalih untuk 

menutupi kebejatanmu di masa muda!”

“Tenang Sabai. Aku akan segera mati di tanganmu, itu sudah jelas. Tapi apa kau 

sadar bahwa segala perbuatanmu yang dikendalikan orang lain akan mengacaukan rimba 

persilatan di pulau Andalas dan tanah Jawa? Kau tengah diperalat seseorang Sabai....”

“Jahanam! Katakan siapa orangnya!”

“Aku tidak tahu, tapi aku merasakan. Kau yang lebih tahu!' jawab Tua Gila.

“Kalau begitu lebih baik kau mampus saja saat ini! Tapi sebelum kau kukirim ke 

neraka, ada satu hal ingin kutanyakan. Bagaimana kau bisa bebas dan melarikan diri waktu 

di Andalas tempo hari? Siapa yang menolongmu?!”

Tua Gila menyeringai lalu kakek ini luruskan jari telunjuk tangan kanannya dan 

menunjuk ke langit.

“Dia Yang Maha Kuasa yang menolongku!” kata Tua Gila. Seperti diketahui yang 

menolong Tua Gila saat itu adalah Puti Andini, murid dan cucu Sabai Nan Rancak yang 

merupakan juga cucu Tua Gila sendiri.

Mulut Sabai Nan Rancak berkomat-kamit. Dia maju satu langkah seraya berkata. 

“Saatmu sudah tiba Sukat!”

“Silahkan! Sudah kukatakan lebih cepat aku kau bunuh lebih baik jadinya! Tapi.... 

Ada satu hal lagi. Dalam hidupmu selain ingin membunuhku, apakah kau pernah 

menginginkan sesuatu menjadi milikmu? Sebuah benda sakti mandraguna?”

Muka keriput Sabai Nan Rancak tampak tambah berkeriput karena mengernyit.

“Apa maksudmu?! Apa kau kira bisa memperpanjang umurmu dengan bicara segala 

macam hal ngawur?!”

“Kalung Permata Kejora, Sabai. Kau ingat kalung sakti itu? Kalung berantai perak 

bermata hijau?!”

Sabai Nan Rancak tak sadar tersurut satu langkah saking kagetnya mendengar 

ucapan Tua Gila.

Sebaliknya si kakek tertawa gelak-gelak.

“Menurut riwayat kau tidak bisa membunuhku kalau tidak memakai kalung sakti itu. 

Apakah kau sudah memiliki benda itu sekarang Sabai...?”

“Soal kematianmu bukan ditentukan oleh segala macam kalung! Tapi aku yang 

menentukan!” bentak Sabai Nan Rancak. Lalu dia bergumam. “Hemmm.... Di mana kau 

sembunyikan kalung itu Sukat? Kalau kau tidak memberitahu kucabut lidahmu sebelum 

kau kubuat mampus!”

“Aku tidak akan memberitahu walau kau mencabut segala bagian tubuhku! Ha... ha... 

ha!”

Seperti diketahui Kalung Permata Kejora berada di tangan Ratu Duyung. Sang Ratu 

menemukan benda itu di laut sewaktu menolong Tua Gila dari serangan Sika Sure Jelantik.

“Kau beritahu atau tidak bagiku sama saja!” kata Sabai Nan Rancak walau kini 

hatinya bercabang dua. Yaitu apakah dia memang harus segera membunuh Tua Gila atau 

menyiksa bekas kekasihnya itu hingga dia mengaku di mana beradanya Kalung Permata 

Kejora.

“Nasibmu buruk Sukat! Kau harus mampus saat ini juga! Aku akan buktikan bahwa 

tanpa kalung itu aku akan sanggup membunuhmu!”

Habis berkata beg itu Sabai Nan Rancak keluarkan bentakan lalu tubuhnya 

berkelebat, melayang setinggi pinggang. Kaki kanannya menderu ke arah kepala Tua Gila.

Walau keadaannya sangat lemah saat itu namun Tua Gila masih sanggup luncurkan 

tubuhnya ke bawah sambil miringkan kepala ke kiri. Tendangan Sabai Nan Rancak menderu 

seujung jari di samping telinga kirinya.

“Braakk!”

Terdengar suara patahnya pohon besar yang tadi jadi sandaran Tua Gila. Pohon yang 

patah itu lalu tumbang dengan suara bergemuruh.

Tua Gila gulingkan tubuhnya di tanah. Bersamaan dengan itu tangan kanannya yang 

telah memegang Benang Kayangan bergerak. “Seettt.... settt!” Benang sakti yang 

kehebatannya telah menggegerkan dunia persilatan itu menderu melibat tubuh Sabai Nan 

Rancak. Namun gerakan Tua Gila sangat lambat akibat kehilangan daya kekuatan. Dengan 

mudah lawan menangkap benang sakti itu. Lalu dengan satu gerakan kilat Sabai Nan 

Rancak me-lompat ke arah Tua Gila. Benang yang berhasil dipegangnya digelungkan ke 

dada terus ke leher si kakek. Tua Gila berusaha lepaskan diri tapi tidak mampu. Jiratan 

benang sakti miliknya sendiri laksana sayatan pisau, mulai melukai kulit lehernya.

“Percaya ucapanku Sukat! Bukan hanya Kalung Permata Kejora yang sanggup 

menghabisimu! Benang sakti milikmu sendiri ternyata yang akan membunuhmu! Hi... hik... 

hik!”

Sabai Nan Rancak putar dua tangannya. Dua kaki Tua Gila melejang ke atas akibat

jiratan mematikan itu. Dua matanya yang cekung seperti hendak melompat keluar. 

Lidahnya terjulur mengerikan. Dari lehernya keluar suara seperti ayam dipotong.

Sesaat lagi leher Tua Gila akan putus akibat jiratan maut itu tiba-tiba satu bayangan 

kuning berkelebat. Bersamaan dengan itu ada cahaya kuning laksana tebaskan pedang 

menerpa dari atas ke bawah seperti hendak membelah Sabai Nan Rancak mulai dari batok 

kepala sampai ke dada! Sabai Nan Rancak berteriak marah. Dari hawa dingin yang

menyertai sambaran cahaya kuning itu dia segera maklum kalau serangan yang 

menerpanya tidak bisa dianggap sepele. Dia terpaksa lepaskan jiratan di leher Tua Gila. 

Bersamaan dengan itu didahului bentakan keras Sabai Nan Rancak hantamkan tangan 

kanannya. Selarik sinar merah melesat lurus lalu menebar membentuk kipas. Si nenek tidak 

tanggung-tanggung. Bukan saja dia berusaha menyelamatkan diri tapi sekaligus juga 

menyerang lawan dengan pukulan sakti bernama Kipas Neraka!

“Bummm!”

Satu ledakan keras menggelegar.

Sabai Nan Rancak terhuyung-huyung ke belakang sambil pegangi dadanya yang 

berdenyut sakit. Dia coba bertahan agar tidak jatuh. Namun lutut kirinya goyah. Nenek ini 

akhirnya terduduk setengah berlutut.

Waktu ledakan keras menggelegar tubuh Tua Gila yang kerempeng itu terguling 

sampai dua tombak. Begitu dia mencoba bangkit mendadak ada sambaran angin. Tahu-tahu 

tubuhnya sudah digendong orang lalu orang ini melarikannya dengan cara yang aneh. 

Tubuhnya seperti diajak melompat-lompat. Setiap lompatan membuat sosok orang yang 

menggendongnya melayang di udara sejauh tiga tombak. Dalam beberapa kejapan mata saja 

Tua Gila sudah dibawa lari jauh. Ketika Sabai Nan Rancak berhasil berdiri kembali, Tua Gila 

tak ada lagi di tempat itu.

“Ada seseorang menolongnya!” desis si nenek sambil usap-usap mukanya yang 

keriputan. Hatinya seribu gemas seribu jengkel. “Gerakan si penolong begitu cepat. 

Sambaran angin yang berasal dari tenaga dalamnya luar biasa. Aku teringat pada peristiwa 

yang dialami muridku Puti Andini. Tidak heran kalau dulu dia gagal mendapatkan Kitab 

Putih Wasiat Dewa, gagal membunuh Tua Gila. Tanah Jawa penuh para tokoh sakti. 

Bagaimana aku harus menyelesaikan semua urusan ini? Tua Gila keparat! Urusan dengan 

dirinya belum selesai, dia menggantung persoalan dengan membawa masalah baru. Kalung 

Permata Kejora. Ah, di mana benda itu beradanya sekarang? Mungkin dia yang 

menyembunyikan? Puluhan tahun lalu kalung itu kuberikan pada seseorang untuk 

disampaikan pada anakku Andam Suri. Tapi orang itu tak pernah muncul lagi. Tak dapat 

kupastikan apakah kalung tersebut sampai di tangan Andam Suri. Aku sendiri tidak pernah 

melihat anakku sampai dikabarkan dia meninggal dunia....”

Sabai Nan Rancak merasa tubuhnya letih sekali. Dia mencari tempat yang baik untuk 

duduk. Lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tak jelas apa yang diperbuat 

nenek dari Singgalang ini. Entah tengah kesal karena tidak dapat membunuh Tua Gila. 

Mungkin juga sedih merenungi nasib. Mungkin juga tengah menitikkan air mata.

*

* *

Tua Gila terbatuk-batuk lalu dia tertawa mengekeh begitu tubuhnya digulingkan di 

tanah. Dia berusaha duduk di tanah dan memandang ke depan.

“Kau lagi!” katanya dengan mata membelalak lalu tertawa gelak-gelak.

“Orang tua. Jangan mencari bahaya baru. Orang yang menginginkanmu belum 

berada jauh. Jika dia sempat mendengar tawamu pasti dia kembali membuatmu celaka!”

Tua Gila tekap mulutnya lalu tertawa cekikikan.

“Dua kali kau menyelamatkan jiwaku!”

“Siapa nenek berjubah hitam? Yang begitu ingin membunuhmu tanda ada dendam 

terpendam?!”

Tua Gila geleng-gelengkan kepalanya. “Urusan lama. Kalau saja nenek tolol itu mau 

berpikir sedikit tidak perlu semua ini terjadi....”

“Jalan pikiran manusia berbeda-beda. Di antara perbedaan itulah muncul 

malapetaka! Semua orang menjadi gila! Semua orang jatuh dalam sengsara!”

Tua Gila menghela nafas dalam lalu berkata. “Aku tahu, kau tidak akan mau 

menerima terima kasihku. Aku juga tahu kau tidak akan mau memberitahu namamu. Kalau 

begitu biar aku meminta yang lain saja. Maukah kau menyingkapkan cadar kain kuning 

yang menutupi mukamu agar aku bisa melihat wajahmu?”

“Hal itu tidak bisa aku lakukan. Hal ini bukan aku punya kemauan. Keadaanlah yang 

memaksaku berbuat demikian,” jawab si cadar kuning tetap dengan kata-kata bernada 

pantun.

“Baiklah, aku tidak memaksa. Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Tua 

Gila.

“Seperti tadi kukatakan. Jangan bergerak sebelum matahari mencapai puncak kepala. 

Jangan sampai hal itu terlupakan. Kecuali kau mau mencari celaka...”

“Nasihatmu akan kuperhatikan Dewi Penolong Bercadar Kuning,” kata tua Gila 

seraya kedap-kedipkan sepasang matanya yang lebar dan cekung.

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

SEBELAS

Malam telah larut. Di kejauhan terdengar berbagai suara binatang malam. Suara 

tetesan air di dalam gentong yang jatuh ke batu di atasnya makin lama terdengar 

makin perlahan dan dalam jarak yang lebih panjang.

Sepasang mata Klewing yang merah tapi redup kelihatan membesar ketika dia 

melihat sepasang kaki yang sejak sekian lama diam tak bergerak, tiba-tiba bergoyang. 

Tengkorak bayi yang diikatkan ke pergelangan kaki kiri kanan berputar aneh mengeluarkan 

suara seperti puput padi.

Dua puluh hari lebih menunggu bukan waktu yang singkat. Keadaan Klewing sudah 

tak karuan rupa. Kepalanya yang botak mulai bertumbuhan rambutnya. Kumis dan 

cambang bawuknya meliar. Pipinya cekung. Jubah merahnya kotor dan bau.

Kedua mata Klewing semakin membesar ketika disaksikannya bagaimana tubuh di 

dalam gentong secara aneh bergerak ke atas seolah melayang. Lalu tampaklah satu sosok 

tubuh lelaki penuh bulu yang hanya mengenakan sehelai cawat. Rambutnya yang basah 

hitam menyatu dan mengucurkan air. Di lehernya tergantung kalung terbuat dari tulang 

jari-jari manusia!

Di malam buta itu mendadak terdengar suitan keras dari tiga jurusan. Lalu terdengar 

suara genderang ditabuh. Bersamaan dengan itu dari tiga arah nampak sinar terang puluhan 

obor.

''Air dalam gentong telah habis! Datuk Lembah Akhirat telah selesai menjalankan 

samadi yang keseratus sembilan puluh tiga! Siapkan upacara penyambutan!”

Pedataran luas di pusat lembah di mana gentong kayu besar terletak kini diramaikan 

oleh puluhan orang. Klewing sama sekali tidak memperhatikan orang-orang itu. 

Perhatiannya tertuju pada sosok yang barusan keluar dari dalam gentong. Setelah melayang 

di udara, perlahan-lahan sosok tubuh tinggi besar penuh bulu dan hanya mengenakan cawat

itu melayang turun. Lalu tegak di ujung tangga batu di depan gentong.

Tokoh Kembar nomor 3 memandang tak berkesip. Orang yang basah kuyup itu 

berdiri dengan mata terpejam.

“Tenaga dalamnya tinggi sekali” kata Klewing dalam hati antara kagum dan ngeri. 

“Kalau tidak mana mungkin dia mampu keluar dari dalam gentong laksana melayang. Apa 

lagi bobot tubuhnya demikian besar!”

Sesaat kemudian dua orang datang berlari-lari. Yang satu membawa kasut terbuat 

dari kulit. Satunya lagi membawa seperangkat pakaian berbentuk jubah hitam, lengkap 

dengan kain hitam pengikat kepala. Meskipun wajahnya yang garang tertutup kumis, 

jenggot dan cambang bawuk liar namun Klewing dapat melihat bahwa orang yang barusan 

keluar dari gentong itu memiliki muka tiga warna yaitu, hitam, hijau dan merah. Inilah dia 

Datuk Lembah Akhirat. Penguasa kawasan lembah sebelah barat telaga Gajahmungkur yang 

sejak beberapa ini lama menjulang namanya dalam dunia persilatan karena diketahui 

memiliki kitab sakti bernama Kitab Wasiat Malaikat. Tersebar dalam rimba persilatan bahwa

sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada siapa yang dianggapnya berjodoh asalkan dari 

golongan putih.

Suara genderang semakin keras ketika kasut disorongkan ke kaki orang dan jubah 

hitam dikenakan ke tubuhnya yang tinggi besar. Bersamaan dengan itu seseorang 

menyipratkan semacam wewangian ke tubuh dan pakaian orang itu.

Perlahan-lahan Datuk Lembah Akhirat buka sepasang mata di bawah dua alisnya 

yang sangat tebal menjulai. Suara genderang ditabuh semakin riuh. Lalu seolah ada yang 

memberi isyarat suara genderang itu menjadi perlahan hingga akhirnya sirap sama sekali.

Bersamaan dengan lenyapnya suara genderang maka enam orang pengawal Lembah 

Akhirat muncul menggotong sebuah kursi, sebuah meja besar penuh dengan berbagai 

minuman dan santapan besar.

Begitu duduk di atas kursi Datuk Lembah Akhirat menyambar sebuah guci tanah 

berisi minuman keras lalu meneguknya sampai habis. Setelah itu dia mulai menyantap 

hampir semua yang terhidang di atas meja tanpa mengacuhkan mereka yang ada di 

sekitarnya.

Selesai makan Datuk Lembah Akhirat lunjurkan sepasang kakinya. Tangan kanan 

mengusap perut, tangan kiri menyeka mulut. Tiba-tiba Datuk ini bertepuk tiga kali seraya 

berteriak.

“Kalian berani menerima mati! Kalian berani menyuruh aku menunggu!” Meja di 

hadapannya digedor dengan tangan kanan. Tak ampun lagi meja itu ambruk. Apa yang ada 

di atasnya bermentalan berantakan.

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat yaitu Pengiring Mayat Muka Hitam, Hijau dan 

Merah cepat datang ke hadapan sang Datuk lalu menjura. Si muka hitam cepat berkata.

“Ketiduran sudah disiapkan. Teman tidur sedang menuju ke sini. Datuk hanya 

tinggal memilih!”

Datuk Lembah Akhirat kibaskan tangan kirinya. Tiga wakil segera undurkan diri. Di 

saat itu enam orang pengawal muncul bersama tiga orang perempuan muda yang 

kesemuanya bertubuh gemuk dan mengenakan jubah yang tak terikat atau tak terkancing 

hingga sebagian auratnya sebelah depan terlihat jelas.

“Datuk, silahkan memilih di antara mereka bertiga!” Pengiring Mayat Muka Hitam 

berkata dari samping meja yang ambruk.

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Bola matanya membeliak menatapi tiga gadis 

bertubuh gemuk itu satu persatu. Gadis paling kanan berambut pendek sebahu. Mukanya 

bulat dan dandanannya mencorong. Ketika tertawa kelihatan gigi-giginya dilapisi perak. 

Bentuk tubuhnya membuntal gembrot mulai dari atas sampai ke bawah.

Sang Datuk alihkan pandangannya pada gadis gemuk di sebelah tengah. Gadis ini 

memiliki rambut panjang dilepas riap-riapan. Di sebelah atas tubuhnya membusung 

gembrot penuh lemak. Seolah tak memiliki pinggang, di sebelah bawah kembali tubuhnya 

membengkak besar. Kulitnya hitam manis seolah berminyak. Dia berdiri sambil lemparkan 

senyum genit. Datuk Lembah Akhirat basahi bibirnya dengan ujung lidah. Lalu matanya 

dialihkan pada gadis ke tiga. Gadis satu ini walaupun gemuk luar biasa tapi tubuhnya lebih 

tinggi dari dua gadis lain. Dada dan pinggulnya seperti menggembung. Caranya berdiri 

membuat betis dan sebagian pahanya tersingkap. Perutnya yang juga tak dapat 

disembunyikan kelihatan berlipat-lipat. Dibandingkan dengan dua gadis gemuk lainnya 

yang satu ini memiliki wajah menarik walau jidatnya lebar.

“Hanya tiga orang ini?!” Datuk Lembah Akhirat bertanya pada Pengiring Mayat 

Muka Hitam.

“Kami cuma mendapatkan tiga yang baru. Dua lagi masih dalam perjalanan. Hanya 

Datuk keburu menyelesaikan samadi. Mohon maafmu Datuk....”

“Siapa kowe punya nama?!” Tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat menuding tepat-tepat 

pada gadis ketiga yang tinggi gemuk.

Saking terkejutnya yang ditanya sesaat tak bisa menjawab.

“Datuk menanyakan namamu. Lekas jawab! Jangan membuat Datuk kehilangan 

kesabaran, menjadi marah dan kehilangan nafsu! Kau bias dijadikan umpan anjing-anjing 

peliharaannya!” membentak Pengiring Mayat Muka Merah.

“Nama saya Yuyulentik, Datuk...” Perempuan gemuk yang ditanya akhirnya 

menjawab.

“Apamu yang lentik! Kulihat bulu matamu tidak lentik!” kata Datuk Lembah Akhirat 

pula. Lalu tertawa gelak-gelak. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya. “Bawa Yuyulentik 

ke kamar ketiduranku!” kata sang Datuk pula. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia 

berjalan menuju ke sebuah bangunan di ujung pedataran.

Pengiring Mayat Muka Hijau segera mendekati gadis gemuk bernama Yuyulentik. 

Sebelum menuntun gadis gemuk ini dia berbisik. “Kau terpilih melayani Datuk selama satu 

musim sebelum dia kembali bersamadi. Nasibmu baik, rejekimu besar. Awas, jangan lupa 

membagi-bagi apa yang kau dapat pada kami bertiga...!”

Yuyulentik anggukkan kepala. Lalu melangkah saja mengikuti ke mana si muka hijau 

itu membawanya.

Ketika hampir sampai di hadapan bangunan yang dituju tiba-tiba satu sosok berjubah 

merah datang menyongsong dan menjura di hadapan Datuk Lembah Akhirat. Dua wakil 

Datuk yakni si muka hitam dan muka merah segera hendak mendamprat. Tapi Datuk 

Lembah Akhirat memberi isyarat dengan tangan. Dua pembantu terpaksa hentikan langkah 

tak berani membentak.

“Monyet bau berjubah merah berkepala kuning! Aku tak punya waktu lama. Siapa 

namamu, apa keperluanmu!”

“Aku Klewing, orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar yang kini hanya tinggal 

nama saja.,..” Lalu dengan cepat Klewing menceritakan riwayatnya. Tak lupa juga 

menerangkan tujuannya datang ke situ.

Datuk Lembah Akhirat tertawa. “Soal Kitab Wasiat Malaikat yang kau inginkan itu, 

jika memang berjodoh dengan dirimu pasti akan menjadi milikmu! Namun untuk 

mendapatkan kitab sakti itu banyak persyaratannya! Apa kau mampu melakukan?!”

“Karena sudah punya tekad, apa pun yang Datuk perintahkan akan aku lakukan!”

jawab Klewing tanpa ragu.

Sang Datuk menyeringai. “Pertama kau harus membunuh seorang tokoh golongan 

putih. Lalu menyebar kabar bahwa yang membunuh tokoh itu adalah seorang tokoh 

golongan putih lainnya! Sanggup?!”

“Aku sanggup melakukan Datuk!”

“Bagus! Kau punya dendam pada beberapa tokoh golongan putih. Terutama yang 

telah membunuh tujuh saudaramu. Aku akan memilihkan calon korban untukmu. Kau 

sanggup membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng?!”

Klewing diam-diam agak terperangah karena tidak menduga dia akan disuruh 

membunuh pendekar sakti itu. Tapi akhirnya dia mengangguk seraya berkata. “Akan aku 

lakukan Datuk....”

“Lalu siapa tokoh yang akan kau fitnah sebagai pembunuh Pendekar 212?!” tanya 

Datuk Lembah Akhirat pula.

“Dewa Tuak!” jawab Klewing.

“Hemmm... Kenapa Dewa Tuak?” bertanya Datuk Lembah Akhirat.

“Karena dari apa yang aku ketahui tokoh tua itu bermaksud menjodohkan muridnya 

dengan Pendekar 212. Tapi sang pendekar menolak dengan cara yang memalukan hingga 

Dewa Tuak menjadi marah!”

Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia berpaling pada tiga orang wakilnya. 

“Tuyul kepala kuning ini ternyata cerdik juga! Kita perlu orang-orang golongan putih 

seperti dia!”

Tiga wakil sang Datuk hanya anggukkan kepala.

Sang Datuk berpaling pada Klewing. “Selesai tugasmu membunuh Pendekar 212, kau 

langsung menyeberang ke pulau Andalas. Cari seorang tokoh silat yang disegani dan 

bunuh. Lalu sebarkan kabar bohongi bahwa yang membunuh adalah seorang tokoh silat 

golongan putih lainnya! Kau mengerti?!”

“Aku mengerti Datuk!” jawab Klewing.

“Sekarang ulurkan tangan kananmu! Buka telapak tanganmu lebar-lebar.”

Klewing ulurkan tangan kanannya dan membuka telapaknya lebar-lebar sambil 

dalam hati bertanya apa yang hendak dilakukan oleh sang Datuk.

“Aku memberimu tiga warna. Hitam, hijau dan merah. Warna mana yang paling kau 

sukai?!”

“Merah!” jawab Klewing.

Tangan kanan Datuk Lembah Akhirat tiba-tiba melesat ke depan, mencengkeram 

tangan Klewing demikian rupa hingga telapak tangannya menempel erat dengan telapak 

tangan si botak kepala kuning itu. Satu cahaya merah membersit keluar dari tangan sang 

Datuk. Klewing merasa tangannya seperti terseduh air mendidih. Ketika Datuk Lembah 

Akhirat melepaskan pegangannya Klewing melihat bagaimana kini telapak tangannya telah 

berubah seolah dicat dengan cat merah yang tak bisa dikelupas!

“Kau sudah menjadi orang kepercayaanku Klewing. Kau sudah menjadi anggota 

kelompok Lembah Akhirat! Berarti kau harus menjalankan bulat-bulat segala apa yang aku 

perintahkan tanpa berani melanggar!”

“Aku tak akan melanggar segala perintah Datuk. Aku siap berangkat sekarang juga 

untuk melaksanakannya,” kata Klewing pula.

“Bagus, tapi apa jaminanmu kau tidak bakal berkhianat?!”

“Aku berani bersumpah. Menyerahkan nyawa jika Datuk menghendaki!” jawab 

Klewing pula penuh semangat.

Sang Datuk ganda tertawa dan berkata. “Banyak sumpah diucapkan. Banyak janji 

dikumandangkan. Banyak nyawa dijadikan petaruh. Tapi seringkali semua itu hanya isapan 

jempol belaka! Aku tidak mau berlaku tolol! Di Lembah Akhirat ada cara tersendiri untuk 

membuat seorang anggota setia pada kelompok dan aku selaku penguasa tunggal.”

“Kalau begitu aturannya aku akan mengikuti,” kata Klewing.

“Bagus!” ujar Datuk Lembah Akhirat seraya menyeringai. “Kau harus menyerahkan 

barangmu padaku! Bila mana semua urusan selesai, kau bukan saja akan mendapatkan 

beberapa inti ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat, tetapi barangmu juga

akan dikembalikan. Kau kemudian akan kujadikan wakil penguasa tunggal Lembah Akhirat 

di kawasan tertentu! Setuju?!”

“Setuju Datuk. Hanya aku tidak mengerti barang apa yang harus aku serahkan 

padamu?”

Tiga wakil Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak.

Datuk Lembah Akhirat maju mendekati. Tiba-tiba tangan kanannya melesat ke 

bawah perut Klewing. Orang ketiga dari Delapan Tokoh Kembar ini tak merasa sesuatu apa 

kecuali digerayangi hawa dingin yang aneh. Datuk Lembah Akhirat menarik tangan 

kanannya kembali. Sesuatu kini tergenggam di dalam tangannya. Dia berpaling pada 

Pengiring Mayat Muka Merah yang saat itu sudah siap dengan sebuah kantong kain 

berwarna merah. Datuk Lembah Akhirat memasukkan benda yang dipegangnya ke dalam 

kantong merah.

Klewing tiba-tiba saja menjadi pucat wajahnya.

Hawa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya. Tangan kirinya meraba ke bawah perut. 

Dia terkejut besar. Tangan kanannya ikut meraba-raba. Pucat pasi muka si botak kuning ini. 

Tak perduli banyak orang di tempat itu dia menyingkapkan jubah merahnya. Matanya 

mendelik ketika melihat di bawah perutnya tak ada apa-apa lagi.

“Datuk...!” seru Klewing seperti hendak menggerung. “Apa yang kau lakukan 

padaku!”

“Kau dikebiri sementara Klewing. Kelak jika semua urusan sudah selesai dan kau 

jalankan dengan baik, seperti kataku tadi milikmu yang paling penting itu akan aku 

kembalikan. Kau boleh memintanya pada Pengiring Mayat Muka Merah. Tapi tidak ada 

jaminan bahwa barangmu itu tidak akan tertukar dengan barang orang lain! Ha... ha... ha...!”

Klewing merasa nyawanya seolah terbang. Dia tak bisa berbuat apa-apa. Dengan 

terhuyung-huyung dia tinggalkan tempat itu. Datuk Lembah Akhirat masih tertawa 

bergelak. Tangan kanannya digelungkannya ke pinggang gembrot Yuyulentik. Sebelum 

masuk ke dalam bangunan dia bertanya pada tiga wakilnya yang bermuka hijau, hitam dan 

merah itu.

“Selama aku bersamadi apakah Dewa Sedih telah melaksanakan tugasnya?!”

“Sudah Datuk,” jawab Pengiring Mayat Muka Hitam. “Dia telah membunuh dua 

tokoh silat golongan putih. Mayat kedua orang itu belum lama kami musnahkan menjadi 

debu dan para pengawal telah membuangnya di dua tempat.”

“Bagus. Kalian tahu di mana kakek sakti itu kini berada?”

“Sesuai petunjuk Datuk dia dipersiapkan untuk menyeberang ke Pulau Andalas 

untuk membuat kekacauan di sana. Saat ini dia masih berada di tempat peristirahatan di 

selatan Lembah Akhirat.”

Datuk Lembah Akhirat mengangguk-angguk. “Kalian boleh kembali ke tempat 

masing-masing.... Kalau tiba saatnya aku akan menyuruh kalian memanggil Dewa Sedih,”

kata Datuk Lembah Akhirat pula lalu membawa si gemuk Yuyulentik masuk ke dalam 

bangunan


Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

DUA BELAS

Hari itu adalah hari ke-70 Pendekar 212 Wiro Sableng kehilangan kekuatan dan 

kesaktiannya. Yaitu sebagai akibat menolong melepaskan Ratu Duyung dari 

kutukan yang selama bertahun-tahun membuatnya menjadi makhluk setengah 

manusia setengah ikan.

Di pagi hari yang cerah itu Wiro baru saja membasuh muka di sebuah mata air di 

sebelah timur hutan Delanggu. Tubuhnya masih terasa sakit-sakit akibat bantingan dan 

pitingan Si Raja Penidur kemarin.

Saat ini dia belum mengenakan baju putihnya tapi telah memakai jubab Kencono 

Geni yang diberikan Raja Penidur. Kapak Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya yang 

kini tak ada artinya lagi sejak dia kehilangan tenaga dalam, terselip di pinggang celananya. 

Wiro duduk di tepi mata air sambil merenung.

“Jubah ini pasti dicurinya dari keraton. Diberikan padaku agar kupakai untuk 

melindungi diri dari siapa saja yang bermaksud jahat. Selama jubah ini ada padaku aku tak 

akan mempan gebukan, pukulan sakti ataupun senjata tajam. Aku harus berterima kasih 

pada kakek gendut itu. Namun yang aku tidak mengerti adalah ucapannya. Dia berkata: 

Anak muda! Kau hanya bisa berteriak! Tidak berpikir apa arti semua ini!”

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk rambutnya yang basah. “Aku tak bisa berpikir 

memecahkan arti ucapannya itu. Satu keanehan lagi sejak dia memitingku rasa kantukku 

selalu datang menyerang. Jangan-jangan aku sudah ketularan penyakit tidurnya!”

Wiro menguap lebar-lebar. Lalu seolah mengomel dia berkata. “Masih begini pagi aku 

sudah ngantuk lagi! Padahal malam tadi tidurku cukup lelap dan lama.... Apa yang terjadi 

dengan diriku? Apa sebenarnya yang dilakukan Si Raja Penidur itu?”

Wiro kenakan baju putihnya hingga jubah merah Kencono Geni kini terlindung di balik 

pakaian itu. (Mengenai jubah Kencono Geni sakti ini harap baca serial Wiro Sableng berjudul 

“Bahala Jubah Kencono Geni”)

“Perutku lapar. Tapi rasa mengantuk tidak tertahankan. Gila!” Wiro bangkit berdiri 

dan tinggalkan mata air. Dia sengaja berjalan cepat agar kantuknya lenyap. Tapi semakin 

cepat dia berjalan, semakin banyak keringat yang keluar semakin berat terasa kepala dan 

matanya. Tubuhnya pun menjadi letih sekali. Karena tidak tahan akhirnya Wiro mencari 

tempat yang baik untuk merebahkan diri. Dia mendapatkan satu tempat agak bersih di 

bawah sebatang pohon waru berdaun rindang. Langsung saja murid Sinto Gendeng ini 

rebahkan diri, berbaring setengah bersandar ke batang pohon. Tidak seperti biasanya kali ini

begitu tertidur dia keluarkan suara mendengkur! Wiro agaknya benar-benar telah ketularan 

penyakit tidur Si Raja Penidur. Namun anehnya walau matanya terpejam dan dengkurnya 

menggembor keras, sayup-sayup dia masih mampu mendengar suara kicau burung di 

kejauhan. Itulah sebabnya ketika satu bayangan merah berkelebat, meski matanya terpejam, 

tubuhnya tak bergerak dan dengkurnya menjadi-jadi Pendekar 212 masih sanggup

mendengar suara angin kelebatan orang yang datang.

Di hadapan Wiro saat itu berdiri Klewing, satu-satunya Delapan Tokoh Kembar yang 

masih hidup dan telah menjadi anak buah Datuk Lembah Akhirat. (Mengenai Delapan 

Tokoh Kembar harap baca “Kiamat Di Pangandaran”).

“Nasibku baik, rejekiku besar. Belum lama mencari aku berhasil menemukan 

pendekar keparat ini. Kalau tidak karena ulahnya tujuh saudaraku tak bakal menemui ajal!”

Rahang si botak kepala kuning menggembung. “Pendekar keparat! Rasakan pembalasanku!”

Habis memaki begitu Klewing langsung lancarkan satu tendangan maut. Yang 

diarahnya adalah bagian bawah dagu Pendekar 212.

Sekejapan lagi tendangan itu akan menghancurkan rahang serta mematahkan tulang 

leher Pendekar 212 tiba-tiba murid Sinto Gendeng ini menguap lebar lalu seperti tak acuh 

balikkan tubuhnya ke samping. Tendangan maut Klewing lewat. Kalau tidak lekas dia 

merubah arah tendangannya kakinya akan menghantam batang pohon waru!

“Uaahhh...!” Wiro kembali menguap sementara matanya terus terpejam. Kaki 

kanannya dilunjurkan ke depan. Walau gerakannya tidak cepat dan tidak keras namun kaki 

itu sempat menyentuh kaki kanan Klewing yang berada dalam kuda-kuda mengimbangi 

dirinya. Karena pusat bobot tubuhnya terpengaruh hampir saja Klewing terjajar. Dengan 

geram dan sambil membentak dia melompat. Dari mulutnya terdengar teriakan

“Menjungkir Langit!” Tangan kanannya diletakkan di atas kepala. Tangan kiri 

diluruskan ke depan dengan telapak terbuka. Lalu si botak ini meniup. Inilah ilmu kesaktian 

yang sangat diandalkan oleh kelompok Delapan Tokoh Kembar. Satu gelombang angin yang 

mengeluarkan suara deru sehebat air bah menyapu ke arah Pendekar 212!

“Uahhh!” Wiro Sableng lagi-lagi menguap. Tubuhnya miring dan berguling ke kiri. 

Namun sekali ini gerakannya kurang cepat. Walau inti serangan lewat di atasnya namun 

sebagian angin serangan Klewing masih sempat menyapu tubuhnya. Tak ampun lagi 

Pendekar 212 mencelat mental sampai empat tombak.

Klewing cepat memburu ke tempat Wiro jatuh terkapar. Dia mengira sang pendekar 

pasti sudah menemui ajalnya. Tapi alangkah kagetnya si botak ini ketika melihat Pendekar 

212 duduk menjelepok di tanah. Matanya masih terpejam. Dia menguap dua kali berturut-

turut sambil garuk-garuk kepala! 

Apakah yang telah terjadi? Bagaimana Wiro bisa selamat dari tiupan angin sakti 

Klewing yang sanggup menghancurkan batu besar itu?!

Ini semua berkat pertolongan Si Raja Penidur. Bantingan dan pitingan yang 

dilakukannya tempo hari terhadap Wiro adalah untuk menyalurkan sebagian ilmunya yang 

mampu membuat Wiro mengeluarkan gerakan-gerakan aneh ketika diserang walaupun dia 

berada dalam keadaan setengah tidur. Ilmu ini sangat cocok dengan keadaan Pendekar 212 

yang saat itu tanpa kekuatan tanpa kesaktian. Lalu dengan menyerahkan jubah sakti 

Kencono Geni yang kini dipakai Wiro, pukulan sakti atau senjata apa pun tidak akan 

mampu menciderai dirinya!

Sesaat Klewing tertegun sambil membatin. “Ilmu apa yang kini dimiliki pendekar 

keparat ini! Aku menyirap kabar dia telah kehilangan segala kesaktian! Mengapa kini dia 

masih sanggup bertahan terhadap serangan mautku?!”

Selagi Wiro menguap dan garuk-garuk kepalanya kembali si jubah merah ini 

lancarkan satu tendangan. Kali ini yang ditujunya adalah Pendekar 212.

Seperti tadi sesaat lagi tendangan itu akan menghancurkan kepala murid Sinto

Gendeng, mendadak tubuh sang pendekar terhuyung ke kiri lalu rebah ke tanah. Di sini dia 

menguap satu kali lalu berguling ke kiri.

“Jahanam!” rutuk Klewing. Dia melompat. Dengan satu gerakan kilat kaki kanannya 

dihunjamkan ke perut Wiro.

“Hekkk!”

Pendekar 212 keluarkan suara seperti orang muntah. Klewing terbelalak. Hunjaman 

kakinya yang sanggup menjebol perut lawan ternyata tidak membuat sang pendekar cidera. 

Malah Klewing merasakan ada satu kekuatan dahsyat menghantam keluar dari tubuh Wiro, 

membuatnya terlempar ke udara sampai dua tombak. Penasaran dari atas si botak ini 

kembali keluarkan ilmu kesaktiannya. Dia meniup dengan tenaga dalam penuh.

“Wuss!”

Satu gelombang angin menghantam. Tanah di bawah pohon terbongkar berubah 

menjadi satu lobang besar. Pohon waru besar tumbang bergemuruh. Tapi Wiro sendiri 

lenyap entah ke mana. Ketika Klewing memandang berkeliling dilihatnya pemuda itu 

duduk tersandar sambil garuk-garuk kepala pada sebatang pohon pisang hutan. Kedua 

matanya bergerak-gerak tapi masih tetap terpejam!

Merasa dipermainkan si botak nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar ini jadi 

semakin ganas. Dia kembali menerjang. Dua tangan dihantamkan ke depan. Tapi justru 

pada saat itu gerakannya tertahan oleh selarik sinar ungu yang berkiblat bukan saja 

memapasi serangannya terhadap Wiro tapi sekaligus membuatnya terdorong sampai tiga 

langkah.

Memandang ke depan si botak berjubah merah ini menjadi terkejut. Dia dapatkan 

seorang dara berpakaian ungu, berwajah cantik tegak di hadapannya sambil bertolak 

pinggang. Sebuah pita besar berwarna ungu menghiasi kepalanya. Lalu di lehernya 

melingkar sehelai selendang yang juga berwarna ungu.

Klewing tak pernah melihat atau mengenal gadis ini sebelumnya. Namun dari 

gerakannya memapasi serangannya tadi dia maklum kalau si cantik ini memiliki kepandaian 

tinggi.


Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

TIGA BELAS

Gadis liar! Siapa kau?! bentak Klewing dengan mata berkilat-kilat. Bukan saja karena 

marah tetapi juga karena diam-diam bernafsu melihat gadis cantik ini. Dia lantas 

terbayang pada peristiwa sewaktu dia bersama saudara-saudaranya hendak 

memperkosa Puti Andini di Pangandaran dulu.

“Uahhh!” Di bawah pohon Wiro terdengar menguap lalu mendengkur. Klewing 

memaki dalam hati. Si gadis hanya melirik sebentar lalu balas menghardik pada Klewing.

“Botak kepala tahi! Jaga mulutmu kalau tidak mau kurobek!”

Klewing tertawa lebar. “Apa urusanmu mencampuri persoalan orang!”

“Persoalanmu yang mana yang merasa aku campuri?!” tanya si gadis sambil kini 

berkacak pinggang dengan dua tangan sekaligus.

“Liar tapi tolol! Atau berpura-pura tolol! Mengapa kau menolong pemuda yang 

hendak aku bunuh itu!”

“Ohh... jadi kau hendak membunuh pemuda yang sedang tidur dan tak berdaya itu!”

“Siapa bilang dia tidur dan tak berdaya! Dia justru memiliki ilmu aneh! Ilmu tidur!”

Gadis berbaju ungu tertawa bergelak. “Baru sekali ini aku dengar ada ilmu tidur! Kau 

yang tolol! Tidak tahu dipermainkan pemuda itu! Hik... hik... hik!”

Tampang si botak jadi merah padam.

“Aku memberi pengampunan padamu! Lekas tinggalkan tempat ini!”

“Hemm.... Kau mengancam! Kalau aku tidak meninggalkan tempat ini apa yang 

hendak kau lakukan?!” Menantang gadis baju ungu lalu perlahan-lahan tangannya bergerak 

menarik lepas selendang ungunya yang melingkar di leher. Pada saat itulah Klewing 

melihat pada salah satu ujung selendang tergurat tiga buah angka. 212!

“Apa hubunganmu dengan Pendekar 212?!” Klewing ajukan pertanyaan.

“Botak tolol! Pertanyaanku tadi belum kau jawab. Malah mengajukan pertanyaan! 

Ayo katakan apa yang hendak kau lakukan jika aku tidak pergi dari sini!”

“Nasibmu bakal sama dengan pemuda itu. Aku akan membunuhmu! Malah mungkin 

lebih buruk dari kematian!”

“Maksudmu?!” sentak si gadis.

Klewing tertawa lebar. “Kau tahu apa maksudku! Kelak kau akan menyukai dan 

minta ampun agar dirimu tidak dibunuh. Karena ingin bersenang-senang lebih lama!”

“Ooo begitu...? Otakmu tolol tapi hatimu keji! Aku menyirap kabar nyawa tujuh 

saudaramu digusur para tokoh golongan putih karena kekejian yang sama. Apa kau ingin 

cepat-cepat menyusul mereka?!”

“Gadis jahanam! Terima kematianmu!” teriak Klewing. Lalu dia meniup kuat-kuat ke 

arah si gadis. Tapi sebelum angin sakti keluar dari mulutnya, gadis berpakaian Ungu 

menyergap lebih dahulu seraya kebutkan selendang ungunya.

“Wuuut!”

Klewing kerahkan tenaga dalam dan coba bertahan. Namun sia-sia belaka. Ketika si 

gadis kembali gerakkan tangannya, selendang ungu yang jadi senjatanya bukan saja 

menghantamkan angin dahsyat tapi sekaligus laksana kepala seekor ular, mematuk ke muka 

Klewing.

Mau tak mau si botak kepala kuning ini cepat selamatkan diri dengan melompat ke 

samping. Begitu menginjakkan kaki di tanah dia balas menghantam. Tapi saat itu kaki kiri 

Pendekar 212 yang tengah mengorok tiba-tiba menyapu ke depan. Tak ampun lagi si jubah 

merah ini langsung terjungkal jatuh duduk. Pada saat itulah selendang ungu si gadis datang 

menyambar. Leher Klewing masuk dalam jiratan yang membuatnya tak berkutik lagi. Dia 

tak berani bergerak apalagi mencoba loloskan diri. Dia maklum sekali si gadis sentakkan 

tangannya yang memegang selendang maka tanggallah lehernya!

Siapakah adanya gadis cantik berkepandaian tinggi dan memiliki gerakan serba cepat 

ini? Dia bukan lain adalah Anggini, murid tunggal kesayangan Dewa Tuak tokoh silat yang 

terkenal dengan kegemarannya menenggak tuak harum dan selalu membawa dua tabung 

tuak kemanapun dia pergi.

Dari arah pohon terdengar suara orang menguap panjang disusul suara menggeliat. 

Lalu ada suara bertanya. “Eh, enaknya tidurku barusan. Sampai tidak tahu apa yang 

terjadi!”

Sunyi sesaat, lalu. “Astaga! Anggini, betul engkau yang ada disana itu?!”

“Wiro! Bicara basa-basi kita lupakan dulu! Kau mau aku apakan si botak kepala 

kuning ini?!”

Wiro usap-usap matanya lalu berdiri dan cepat melangkah ke samping Anggini. 

Sesaat dia usap-usap kepala Klewing lalu menjitaknya dua kali hingga si botak ini meringis 

kesakitan. 

“Wiro, kurasa orang ini membunuhmu bukan hanya karena dendam kesumat 

kematian saudara-saudaranya. Tapi juga karena ada yang menyuruh....”

“Eh, bagaimana kau bisa tahu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepalanya.

“Lihat telapak tangan kanannya!”

Wiro tarik tangan kanan Klewing lalu balikkan telapak tangan si botak itu. Ternyata 

keseluruhan telapak tangannya berwarna merah.

“Botak, apa artinya tanda merah ini?!” tanya Pendekar 212.

Klewing berdiam diri, tak mau menjawab.

“Itu tanda bahwa dia adalah anggota komplotan Lembah Akhirat...” menerangkan

Anggini. “Apa kau tidak tahu? Tidak pernah mendengar apa yang tengah terjadi di dunia 

persilatan akhir-akhir ini?”

Wiro gelengkan kepala. “Selama ini aku menyembunyikan diri....”

“Menyembunyikan diri? Memangnya kenapa?” tanya Anggini. Sejak tadi dia 

sebenarnya sudah heran melihat tindak tanduk Pendekar 212.

“Nanti saja kita bicara,” jawab Wiro. Lalu kembali dia mengusap-usap kepala botak 

Klewing. Kepada si gadis dia berkata. “Anggini, pinjamkan aku senjata rahasiamu yang 

berbentuk paku perak itu!”

“Ah, dia masih ingat senjata rahasiaku. Pertanda dia tidak pernah melupakan 

diriku...” membatin si gadis. Dengan cepat Anggini mengeluarkan apa yang diminta. Selain 

selendang ungu maka sejumlah paku perak sepanjang setengah jengkal merupakan senjata 

rahasia yang tidak bisa dibuat main dan telah membuat ciut nyali tokoh silat golongan 

hitam. Sebatang paku diserahkannya pada Wiro.

Melihat Wiro mengacung-acungkan paku sambil memeriksa mukanya, si botak 

kepala kuning jadi merinding juga. “Apa yang hendak kau lakukan?!” tanyanya dengan 

suara bergetar.

“Hemm.... Menusuk matamu rasanya kurang sedap,” kata Wiro lalu tertawa terbatuk-

batuk. “Menindis telingamu atau menambah satu lobang lagi di hidungmu rasanya kurang 

bagus! Hemm.... Kalau kau anggota satu komplotan dan pimpinan komplotan itu yang

menyuruhmu membunuhku, aku akan melakukan sesuatu lain dari yang lain untuknya!”

Dengan gerakan cepat kemudian Wiro pergunakan paku perak itu untuk menggurat 

angka 212 di kening Klewing. Dengan dalamnya dia menggurat hingga tulang kening si 

botak ini kelihatan memutih sementara darah mengucur membasahi mukanya.

“Kau kembali pada pimpinanmu! Perlihatkan keningmu dan sampaikan salamku 

padanya!” Wiro berpaling pada Anggini, memberi isyarat agar si gadis melepaskan jiratan 

selendangnya.

“Orang ini hendak membunuhmu, kau melepaskannya begitu saja?” ujar Anggini.

“Aku tidak bodoh! Jika dia gagal membunuhku tentu pimpinannya punya 

perhitungan sendiri terhadapnya....”

Tanpa banyak bicara Anggini lepaskan jiratan selendang ungunya dari leher Klewing. 

Wiro lantas tendang pant at si botak seraya berkata. “Botak! Lekas minggat dari tempat ini!”

“Kalian akan menerima pembalasan dariku! Kalian akan menerima pembalasan dari 

Datuk Lembah Akhirat!” kata Klewing seraya bangkit berdiri.

“Hemmm...! Itu rupanya gelar pimpinan komplotanmu!” ujar Wiro sambil 

menyengir. “Katakan pada Datukmu itu! Akhirat itu tidak ada di lembah! Jika dia kurang 

jelas aku nanti akan mendatanginya dan menunjukkan jalan ke Akhirat!”

Klewing mendengus lalu tanpa banyak bicara segera tinggalkan tempat itu.

Anggini berpaling pada Pendekar 212. Dua orang yang telah sangat lama tak pernah 

bertemu ini sesaat saling pandang seolah melepas kerinduan. Ternyata itu belum cukup. 

Keduanya saling mendekat lalu tenggelam dalam saling rangkul.

“Adikku Anggini, apakah selama ini kau baik-baik saja?” bisik Wiro sambil membelai 

belakang kepala gadis murid tunggal Dewa Tuak itu.

“Aku baik-baik saja. Aku gembira bertemu denganmu Wiro.” Sepasang mata gadis 

ini berkaca-kaca.

“Aku juga...” jawab Wiro lalu ingat bagaimana guru mereka sangat ingin agar mereka 

bersatu menjadi sepasang suami istri.

“Apa yang terjadi dengan dirimu Wiro? Ketika kau diserang habis-habisan oleh orang 

itu tadi, caramu menghadapinya sungguh aneh....”

Wiro menguap lebar-lebar lalu lepaskan pelukannya.

“Sejak kapan kau mengidap penyakit suka menguap dan jadi pengantuk seperti ini...? 

Lalu kau juga kulihat seperti punya ilmu kebal. Tak mempan gebukan. Apa kau sudah 

berguru pada orang sakti baru selain Tua Gila dan Sinto Gendeng?”

Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya.

“Aku akan ceritakan. Ini semua pekerjaan Si Raja Penidur. Tapi maksudnya baik. Dia 

ingin menolongku....”

Wiro lalu tuturkan riwayat dirinya sejak dia menolong Ratu Duyung di Puri Pelebur 

Kutuk.

“Pengalamanmu sekali ini sungguh luar biasa. Kau bermaksud menolong orang 

tetapi kena musibah tidak terduga. Menurut perhitunganmu tinggal berapa hari lagi kau 

baru bebas dari musibah ini, Wiro?”

Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau aku tidak salah hitung mungkin sekitar tiga puluh 

hari. Tapi sekarang aku merasa lebih tenteram. Si Raja Penidur memberikan ilmu silat orang 

tidur itu padaku. Juga ada Jubah Kencono Geni di bawah bajuku….”

Anggini tertawa. “Lain kali kalau hendak menolong aku harus lebih berhati-hati 

Wiro....”

“Ya, ya.... Memang seharusnya begitu!” ujar Pendekar 212. Dalam hati dia membatin. 

“Lain sekali sikap Anggini dengan Bidadari Angin Timur atau Bunga. Dia bisa menerima

apa yang telah aku lakukan sebagai satu pertolongan murni, bukan mengandung maksud 

apa-apa. Ah.... Kalau saja Bidadari Angin Timur bersifat seperti Anggini.... Saat ini aku 

melihatnya sikapnya juga lain. Jauh lebih dewasa. Seolah dia tidak ingin lagi mengingat-

ingat soal perjodohan itu....” (Mengenai asal usul pertemuan dan hubungan Wiro dengan 

Anggini harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran” dan “Keris 

Tumbal Wilayuda”).

“Anggini, apa yang membawa dirimu sampai tersesat ke tempat ini'?” Wiro ajukan 

pertanyaan sambil memegang tangan Anggini dan mengajaknya duduk di tanah.

“Guruku, Dewa Tuak...” jawab Anggini.

Wiro melirik pada selendang ungu yang melingkar di leher si gadis. Pada salah satu 

ujung selendang terdapat guratan angka 212. Sekian tahun berlalu ternyata selendang itu 

masih ada dan dipeliharanya dengan baik.

“Ada apa dengan Dewa Tuak?” tanya Wiro.

Lama sekali dia tidak pernah kembali ke tempat kediamannya. Kabar pun tidak 

pernah kudengar. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya. Di usia setua dia bisa saja 

dia jatuh sakit atau bagaimana....”

“Hemmm....” Wiro usap-usap dagunya dan unjukkan wajah sedih. “Kau benar, 

terakhir kali aku bertemu dengan gurumu di Pangandaran beberapa waktu lalu. Dia 

memang sedang sakit-sakitan....”

Berubahlah paras Anggini. “Apa yang terjadi dengan guruku Wiro? Kau tahu di 

mana dia sekarang?!”

“Gurumu itu! Dewa Tuak.... Dia tidak tahu menjaga kesehatan. Akibatnya penyakit 

lamanya kambuh kembali! Ah, kasihan dia...!”

“Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi dengan Dewa Tuak!” kata Anggini setengah 

berteriak.

“Gurumu itu jatuh sakit, Anggini. Sakit lama. Sakit asmara....”

“Wiro! Jangan bergurau! Aku....”

“Tenang Anggini,” ujar Wiro sambil senyum-senyum membuat si gadis jadi tambah 

tak karuan rasa. “Aku bilang tadi gurumu itu kambuh penyakit lamanya. Mungkin lebih 

parah dari yang dulu-dulu. Gurumu kambuh penyakit asmaranya. Penyakit jatuh cinta seri 

yang ke sekian ratus!”

“Wiro!” Sepasang mata Anggini melotot besar. “Jangan kira aku tidak tega 

memukulmu kalau masih terus bergurau!”

“Siapa bergurau! Gurumu Dewa Tuak itu memang sedang sakit jatuh cinta pada 

seorang nenek yang pernah jadi kekasihnya di masa muda. Mereka bertemu di 

Pangandaran. Sama-sama bertempur melawan para tokoh golongan hitam. Kau tahu sendiri 

apa akibat pertemuan itu. Segala yang terjadi di masa muda seolah muncul dan mereka

rasakan kembali. Kakek dan nenek itu sama-sama jatuh sakit. Tapi sakit enak bahagia! Sakit 

asmara alias sakit cinta! Ha... ha... ha!”

Wiro tertawa gelak-gelak. Anggini banting-bantingkan kaki dan menjotos dada 

Pendekar 212 beberapa kali saking gemasnya. Untung saja saat itu Wiro terlindung oleh 

jubah sakti Kencono Geni. Kalau tidak pukulan-pukulan yang cukup keras itu bisa 

menciderainya.

“Siapa nenek kekasih guruku itu?” tanya Anggini akhirnya.

“Seorang nenek cantik dikenal dengan julukan Iblis Muda Ratu Pesolek atau Iblis 

Putih Ratu Pesolek...”

Anggini menarik nafas lega. “Aku pernah mendengar tentang perempuan itu. 

Guruku sendiri yang menuturkan riwayat mereka. Kalau dia kini memang sedang tergila-

gila lagi dengan si nenek aku bisa merasa lega. Aku hanya khawatir terjadi apa-apa dengan 

dirinya. Kau tahu rimba persilatan di tanah Jawa ini semakin macam-macam. Berbagai 

kejadian aneh muncul dan semuanya berakhir dalam bayang-bayang maut. Kau pernah 

mendengar tentang Kitab Wasiat Malaikat yang kini dicari oleh para tokoh?”

“Selama ini keadaanku membuat aku terpaksa seperti menyembunyikan diri. Aku 

buta segala apa yang terjadi di luaran.... Apa yang kau ketahui tentang Kitab Wasiat 

Malaikat itu?”

“Kabarnya kitab itu adalah raja diraja segala kitab sakti. Hanya para tokoh silat 

golongan putih yang akan berjodoh. Konon kitab itu kini berada di tangan seorang Datuk 

yang bermarkas di Lembah Akhirat. Sang Datuk akan menyerahkan kitab itu pada 

seseorang tokoh golongan putih yang dianggapnya cocok untuk menerima. Namun apa 

yang terjadi selama ini beberapa tokoh silat golongan putih lenyap secara aneh. Kalau mati 

mayatnya tak pernah ditemui apalagi kuburnya.... Aku khawatir guruku Dewa Tuak 

terpikat akan berita itu lalu berusaha mendapatkan Kitab Wasiat Malaikat.”

“Kau sendiri apakah berniat ingin mendapatkannya?”

Anggini menggeleng. “Bagaimana dengan kau?” balik bertanya si gadis.

“Banyak masalah besar masih mengerubungi diriku. Bagaimana mungkin aku 

memikirkan segala macam kitab...” Wiro hendak menceritakan tentang Kitab Putih Wasiat 

Dewa yang saat itu disimpannya di balik bajunya. Tapi akhirnya dia memutuskan lebih baik 

tidak mengatakan hal itu pada si gadis.

“Wiro, kita harus meninggalkan tempat ini,” kata Anggini seraya berdiri.

“Ya, aku akan ikut ke mana kau pergi,” jawab Wiro seraya ulurkan tangannya. 

Anggini memegang tangan Wiro lalu membantu sang pendekar bangkit berdiri.

"Uaahhhh!" Wiro menguap.

"Hemm.... Penyakit tidurmu kambuh lagi! Kau mau tidur dulu atau mau pergi 

bersamaku atau bagaimana...? Kalau mau tidur silahkan saja. Aku tak bakal menungguimu!"

ujar Anggini menggoda.

Wiro cepat tutup mulutnya dengan tangan kanan. "Uahhh! Aku memilih ikut 

bersamamu! Biar aku tidur sambil jalan saja!"

*

* *

Wiro Sableng – Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 

Karya Bastian Tito

Lembah Akhirat 

__________________________________________________________________________________

EMPAT BELAS

Tiga pasang mata memandang Klewing dengan membeliak pertanda membersitkan 

kemarahan. Orang nomor tiga dari Delapan Tokoh Kembar itu merasa jantungnya 

berdebar keras dan tengkuknya menjadi dingin. Berulangkali dia mengusap 

kepalanya yang botak keringatan.

"Ikuti kami!" kata Pengiring Mayat Muka Hitam. Lalu dia memberi isyarat pada dua 

temannya si muka merah dan muka hijau.

Klewing melangkah mengikuti ketiga orang itu. Dia sudah maklum mau dibawa ke 

sana. Di hadapan sebuah bangunan batu Klewing disuruh menunggu dijaga oleh Pengiring 

Mayat Muka Hijau dan Muka Merah.

Tak lama kemudian si muka hitam keluar kembali. Di belakangnya mengikuti Datuk 

Lembah Akhirat yang hanya mengenakan sehelai celana kolor hitam gombrong. Di belakang 

penguasa Lembah Akhirat ini kelihatan seorang perempuan muda bertubuh sangat gemuk 

yang nyaris tidak mengenakan apa-apa. Klewing mengenali perempuan gemuk itu bukanlah 

Yuyulentik yang dulu pernah dilihatnya. Datuk Lembah Akhirat membisikkan sesuatu pada 

perempuan itu. Si gemuk ini kemudian masuk ke dalam.

Sepasang mata Datuk Lembah Akhirat pandangi tampang Klewing. Tampaknya dia 

tenang-tenang saja, tak ada bayangan kemarahan. Malah menyeringai. Suaranya pun 

menegur dengan halus.

"Jadi kau gagal membunuh Pendekar 212 Wiro Sableng...?!"

"Maafkan diriku Datuk..." jawab Klewing tak berani menatap tampang Datuk Lembah 

Akhirat.

"Kau malah diberinya hadiah tiga guratan angka di kening! Sungguh memalukan!

Tak pernah kejadian anggota komplotan Lembah Akhirat mengalami penghinaan seperti 

ini!"

"Aku motion maafmu Datuk. Aku sebenarnya hampir dapat membunuhnya. Namun 

tiba-tiba muncul seorang perempuan muda berkepandaian tinggi menolong Pendekar 212!"

Datuk Lembah Akhirat tertawa bergelak. "Kau tidak mampu membunuh Pendekar 

212. Kau juga tidak sanggup mengalahkan lawan yang hanya seorang perempuan muda. 

Kau tahu nasib apa yang bakal menimpamu Klewing?!"

"Aku mengerti telah berbuat kesalahan besar Datuk! Beri kesempatan padaku sekali 

lagi...!"

"Kesempatan hanya sekali seumur hidup. Tak mampu mempergunakan kesempatan 

maka malapetaka besar akan menimpa dirimu!"

"Datuk.... Aku bersedia dihukum dan dibatalkan jadi anggota komplotan Lembah 

Akhirat...."

"Hukumanmu tidak seringan itu, anjing kurap kepala kuning!" Kemarahan Datuk 

Lembah Akhirat akhirnya meledak. Dia berpaling pada Pengiring Mayat Muka Hitam lalu 

anggukkan kepala. Si muka hitam menoleh pada kawannya si muka merah.

"Lekas panggil Dewa Sedih, bawa ke sini! Dia harus menyaksikan pelaksanaan 

hukuman agar tidak berbuat kesalahan yang sama!"

Pengiring Mayat Muka Merah segera tinggalkan tempat itu.

Datuk, apa yang hendak kau lakukan?!" tanya Klewing dengan muka pucat dan 

suara bergetar.

"Plaakkk!"

Satu tamparan melanda pipi kiri Klewing hingga kepalanya hampir melintir. Yang 

menampar adalah Pengiring Mayat Muka Hijau.

"Sekali lagi kau berani membuka mulut tanpa ditanya kuhancurkan kepala botakmu!" 

ancam si muka hijau.

Tak lama kemudian Pengiring Mayat Muka Merah muncul bersama seorang kakek 

berkulit hitam, berpakaian selempang kain putih. Rambutnya yang putih digulung di atas 

kepala. Alis matanya yang hitam menjulai ke bawah. Tampangnya menunjukkan kesedihan 

mendalam. Dari hidung dan mulutnya keluar suara sesenggukan seperti hendak menangis.

"Dewa Sedih! Sebentar lagi kau akan melihat pelaksanaan hukuman! Ini agar kau 

sadar bahwa kejadian serupa bisa terjadi pada dirimu jika kau berbuat kesalahan atau tidak 

sanggup menjalankan perintah...."

Dewa Sedih langsung keluarkan suara menangis. Dia meratap. "Aku melihat langit, 

aku melihat lembah. Aku melihat setumpuk debu berwarna merah. Malangnya nasib 

manusia...."

Datuk Lembah Akhirat menyeringai. Dalam hati dia membatin. "Orang tua sakti ini 

sudah mengetahui apa yang bakal terjadi...."

Klewing sendiri semakin pucat mukanya. Kalau tidak bersandar ke dinding batu 

mungkin kedua lututnya sudah terkulai roboh!

"Pengiring Mayat Muka Merah!" tiba-tiba Datuk Lembah Akhirat berkata. "Manusia 

ini berada di bawah pengawasanmu. Selesaikan dia!"

"Datuk!" jerit Klewing seraya hendak menjatuhkan diri minta ampun pada Datuk 

Lembah Akhirat. Namun lehernya keburu dicekal oleh Pengiring Mayat Muka Merah.

Dalam takut yang amat sangat, Klewing menjadi nekad. Sebelum dijatuhi hukuman 

yang pasti hukuman mati dia harus dapat membunuh salah seorang yang ada di 

hadapannya. Dia memilih sang Datuk. Mulutnya terbuka. Dia lalu meniup ke arah Datuk 

Lembah Akhirat. Satu gelombang angin menderu laksana air bah. Namun setengah jalan se-

rangan itu menjadi buyar. Dewa Sedih meraung keras. Tangan kanannya dipukulkan. 

Gelombang angin serangan Klewing terdorong ke samping lalu buyar berantakan!

Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Dia melangkah mendekati Dewa sedih 

lalu menepuk bahu orang tua ini berulang-ulang seraya berkata. "Kau anak buahku yang 

hebat! Terima kasih kau telah menolongku dari serangan si botak gila itu!"

Sebagai jawaban Dewa Sedih tutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu menangis 

keras. Telapak tangan kanannya tampak berwarna hitam. Pertanda bahwa dia berada di 

bawah pengawasan Pengiring Mayat Muka Hitam.

"Pengiring Mayat Muka Merah, kau tunggu apa lagi? Selesaikan dia!" Yang bicara 

adalah Pengiring Mayat Muka Hitam.

Mendengar ucapan itu si muka merah cekal leher Klewing kuat-kuat lalu 

membantingkannya ke tanah. Klewing merasa sekujur tubuhnya hancur luluh. Terhuyung-

huyung dia bangkit berdiri. Namun dalam keadaan setengah tegak setengah duduk 

Pengiring Mayat Muka Merah hantamkan tangan kanannya ke arah si botak.

Selarik sinar merah bertabur. Jeritan Klewing terdengar mengenaskan. Tubuhnya 

lenyap dalam buntalan api berwarna merah. Sesaat kemudian tubuh itu telah berubah 

menjadi seonggok debu berwarna merah.

"Aku melihat langit! Aku melihat lembah! Aku melihat setumpuk debu berwarna 

merah. Malangnya nasib manusia! Hik... hik... hik!" Ratap tangis Dewa Sedih si kakek sakti 

aneh semakin menjadi-jadi.

Pengiring Mayat Muka Merah memanggil dua orang pengawal. Mereka 

diperintahkan membersihkan debu merah dan membuangnya ke selatan lembah.

"Dewa Sedih, sobat besarku!" Datuk Lembah Akhirat berkata. "Aku sudah 

memikirkan satu kedudukan tinggi bagimu. Namun sebelum hal itu aku berikan, kau kini 

ketambahan satu tugas baru...."

"Hik... hik.... Aku melihat langit. Aku melihat lembah. Aku melihat darah...."

"Bagus, kalau kau bisa melihat darah berarti kau akan sanggup menjalankan tugas!"

"Hik... hik.... Sebutkan tugas itu Datuk. Tanganku sudah gatal untuk 

melakukannya..." kata Dewa Sedih pula sambil mengusut air matanya.

"Cari Pendekar 212 sampai dapat! Bunuh dan sebarkan berita bahwa yang 

membunuhnya adalah Iblis Putih Ratu Pesolek karena pemuda itu tak mau melayani 

dirinya!"

Tangis Dewa Sedih terhenti sesaat. "Aku melihat langit. Aku melihat bumi. Aku 

melihat manusia mati berkaparan. Hik... hik... hik...."

"Kalau tugasmu itu kau laksanakan dengan baik. Kau lekas kembali menemuiku. Satu 

tugas lagi akan kuberikan padamu. Setelah itu kau akan kuberikan kedudukan tinggi yang 

aku janjikan...."

"Hik... hik.... Aku melihat langit, aku melihat lembah. Aku melihat kitab. Hik... hik... 

hik! Kitab Wasiat Malaikat! Datuk, apakah aku akan mendapatkan kitab sakti itu sesuai 

janjimu?" Dewa Sedih bertanya sesenggukan.

Datuk Lembah Akhirat tersenyum. "Kalau kau memang berjodoh dengan Kitab 

Wasiat Malaikat, kitab itu pasti akan menjadi milikmu!"

Sang Datuk lalu memberi isyarat pada Pengiring Mayat Muka Hitam. "Antarkan dia 

ke tempatnya kembali. Berikan makan enak...."

"Datuk, apakah aku boleh minta sesuatu...?" tiba-tiba Dewa Sedih ajukan pertanyaan.

"Hem.... Katakan saja. Jika memang pantas pasti akan kuberikan..."

"Selama dua bulan di tempat ini aku tak pernah melihat perempuan. Aku melihat 

langit, aku melihat lembah! Tapi tidak melihat perempuan! Hik... hik... hik. Sebelum pergi 

aku ingin diri tua ini tidur dikeloni perempuan. Tak perlu gadis atau yang masih muda. 

Hik... hik... hik! Nenek-nenek pun jadilah!"

Datuk Lembah Akhirat tertawa gelak-gelak. Tiga wakilnya ikut-ikutan tertawa.

"Dewa Sedih, sekalipun aku berikan perempuan kau mau berbuat apa?!" ujar sang 

Datuk. "Apa kau lupa bahwa kau saat ini berada dalam keadaan dikebiri? Barangmu telah 

kuambil dan kutitipkan pada wakilku Pengiring Mayat Muka Hitam!"

Dewa sedih unjukkan wajah bengong. Lalu tangannya meraba ke bawah perut. Dia 

tidak merasakan apa-apa. Langsung saja si kakek menangis menggerung-gerung.

*

* *

TAMAT 

Episode berikutnya : 

PEDANG NAGA SUCI 212 

Hak cipta dan copyright milik Alm. Bastian Tito 

Wiro Sableng telah terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia 

Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek dibawah nomor 004245 

“Mengenang Alm. Bastian Tito” 

Pengarang Wiro Sableng 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar