..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 04 Juli 2024

WIRO SABLENG EPISODE DELAPAN SABDA DEWA

Delapan Sabda Dewa



WIRO SABLENG 

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 

Karya: BASTIAN TITO 

DELAPAN SABDA DEWA 

SATU 

WALAU matahari tertutup awan kelabu tebal namun udara di 

permukaan laut terasa panas bukan main. Wiro pandangi baju dan 

celana putih kotor yang terletak di lantai perahu. Dia berpikir-pikir 

apakah akan menanggalkan pakaian hitam pemberian Ratu Duyung 

yang saat itu dikenakannya lalu menggantikannya dengan pakaian 

putih dekil itu. Dia tak biasa berpakaian serba hitam seperti itu. 

Mungkin itu sebabnya dia merasa sangat panas. Memandang 

berkeliling Wiro tidak melihat lagi perahu yang ditumpangi Dewa 

Ketawa. Di kejauhan kelihatan beberapa pulau bertebaran di 

permukaan laut. 

Sesaat wajah cantik jelita serta sepasang mata biru mempesona 

Ratu Duyung terbayang di pelupuk mata Pendekar 212. “Gadis 

aneh..,” kata Wiro dalam hati. “aku tidak mau munafik kalau merasa 

tidak suka kepadanya dan ingin bertemu dia lagi. Tapi mengingat 

permintaannya…” 

Wiro geleng-geleng kepala sambil usap tengkuknya, “Menurut 

penglihatan Ratu Duyung lewat cermin saktinya ada sebuah pulau 

aneh yang terdiri dari gunung, bukit dan batu merah melulu. Dia tak 

mampu melihat lebih jelas karena ada satu daya tolak luar biasa. 

Mungkin sekali itu tempat kediaman Raja Obat? Letaknya jauh di 

tenggara. Berarti di jurusan sebelah sana…” Wiro berpikir-pikir. 

“Mungkin terletak jauh di balik gugusan pulau itu.” Setelah

memandang ke langit, Wiro akhirnya memutuskan untuk menuju ke 

pulau itu. Di membelokkan perahunya kearah tenggara. 

Menjelang sore sinar sang surya meredup dan udara yang 

tadinya sangat panas perlahan-lahan terasa sejuk. Lalu tiba-tiba saja 

dia teringat pada manusia bercaping yang tubuhnya penuh koreng 

itu. 

“Aku tak dapat memastikan siapa adanya itu manusia sialan 

yang dijuluki Makhluk Pembawa Bala itu! Mengapa dia berusaha 

membunuhku secara licik! Lalu kemana dia kaburnya? Kukira 

sarangnya di sekitar lautan sini. Kalau bertemu jangan harap aku 

mau memberi ampun…” 

Selagi pendekar 212 berpikir-pikir seperti itu, mendadak 

sepasang telinganya mendengar suara sesuatu diantara desau angin 

laut. Suara itu datang dari sisi kiri kanan perahu yang tengah 

dikayuhnya. Murid Sinto Gendeng palingkan kepalanya ke kanan. Dia 

tak dapat melihat apa-apa tapi dia yakin sekali di bawah permukaan 

air laut ada sesuatu yang bergerak mendekati perahunya. Wiro 

palingkan kepala ke kiri. Hal yang sama dirasakannya. Ada benda 

bergerak meluncur cepat mendekat perahu dari arah kiri. Hatinya 

berdetak tidak enak. 

“Ikan buas tidak akan secerdik itu menghadang perahu dari 

dua arah berlawanan,” pikir Pendekar 212. “Heemm… saatnya aku 

mencoba ilmu menembus pandang yang diberikan Ratu Duyung!” 

Cepat Wiro atur jalan darah dan kerahkan tenaga dalamnya 

pada kedua matanya. Dia memandang lekat-lekat ke arah permukaan 

air laut di sebelah kiri perahu dan kedipkan sepasang matanya dua 

kali. 

“Huh!” Murid Sinto Gendeng jadi melengak sendiri. Dengan 

ilmu Menembus Pandang yang didapatnya dari Ratu Duyung saat itu 

samar-samar dia melihat sesosok tubuh manusia berkulit sangat 

hitam. Di tangan kanannya dia memegang sebuah benda berbentuk

tombak pendek bermata dua. Ketika Wiro palingkan pandangannya 

ke kanan hal yang sama terlihat. Seorang berkulit sangat hitam 

menyelam dalam laut, meluncur cepat ke arah perahunya, membawa 

senjata tombak bermata dua! 

Dua makhluk dalam air mencapai tepi perahu dalam waktu 

yang bersamaan. 

“Byarr! Byarr!” 

Dua makhluk yang menyelam mencuat ke permukaan air. Saat 

itu juga Wiro melihat dua sosok manusia berkulit sangat hitam, 

berambut pendek memiliki mata tanpa alis berwarna merah. Bibir 

mereka yang tebal juga berwarna sangat merah. 

Wiro perhatikan bagian tubuh dua makhluk yang menyembul 

dari permukaan air laut itu. Pada bahu kiri kanan dan bagian 

tengkuk ada sebentuk daging berbentuk daging berbentuk sirip. 

Selain itu tubuh keduanya penuh otot tanda memiliki kekuatan luar 

biasa. Salah satu kehebatan mereka adalah kemampuan untuk 

berenang jarak jauh dan menyelam di bawah permukaan air laut. 

“Siapa kalian?” bentak Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Dua makhluk hitam menyeringai. Ternyata bukan Cuma mata 

dan mulut mereka saja yang berwarna merah, tapi lidah dan gigi 

mereka pun berwarna merah. Anehnya barisan gigi-gigi mereka 

berbentuk kecil-kecil runcing seperti gigi ikan. Dan lidah serta 

barisan gigi-gigi itu bergelimang cairan merah seperti darah! 

Dari mulut kedua mahkluk hitam ini kelular suara jeritan 

keras. Lalu sosok tubuh mereka melesat ke udara. Tombak hitam 

bermata dua yang mereka pegang menderu ke arah rusuk kiri dan 

kepala bagian kanan Wiro. 

“Kurang ajar!” maki Wiro. Secepat kilat dia jatuhkan tubuh ke 

lantai perahu. Bersamaan dengan itu Wiro hantamkan pendayung di 

tangan kanannya ke tubuh makhluk di sebelah kanan. 

“Bukkk!”

“Traakk!” 

Kayu pendayung menghantam dada makhluk hitam sebelah 

kanan dengan telak. Kayu pendayung patah dua sebaliknya makhluk 

yang kena digebuk cuma menyeringai. Masih memegangi patahan 

kayu pendayung, Wiro gulingkan diri ke bagian kepala perahu. Ketika 

dia baru saja sempat berdiri dua mahkluk yang masih berada dalam 

air laut bergerak mendekatinya dan langsung menyerbu lagi. 

Kali ini mereka pergunakan tombak masing-masing untuk 

menusuk bagian bawah perut Pendekar 212! 

Sambil melompat cepat ke udara Wiro keluarkan jurus “kincir 

padi berputar”. Kaki kanannya membabat deras ke arah kepala 

makhluk berkulit hitam di sebelah kiri perahu sedang untuk yang di 

sebelah kanan dia lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”. 

“Praakk!” 

Tendangan kaki kanan Wiro menghantam kepala makhluk 

sebelah kiri. 

“Pecah kepalamu!” ujar Wiro begitu dilihatnya lawan mencelat 

mental lalu amblas ke dalam laut. 

Makhluk di sebelah kanan keluarkan pekik keras melihat 

kawannya kena tendangan Wiro. Tubuhnya melesat ke atas dan coba 

menusukkan tombaknya ke arah tenggorokan Pendekar 212. tapi 

gumpalan angin sakti yang keluar dari tangan kanan Wiro 

menghantam dadanya lebih dulu. Seperti temannya, makhluk yang 

satu ini terpental dan masuk ke dalam laut diiringi jerit 

menggidikkan. 

Wiro menarik nafas lega. Dalam hati dia mengomel. “Belum 

lama merasa tenteram tahu-tahu ada saja orang-orang yang ingin 

membunuhku. Siapa mereka…? Kaki tangan orang tua berpenyakit 

kulit berjuluk Makhluk Pembawa Bala itu? Atau…,” belum sempat 

Wiro mengakhiri kata hatinya tiba-tiba di kiri kanannya terdengar 

teriakan keras.

“Huaahhh!” 

“Huaahhh!” 

Dua makhluk berkulit hitam yang tadi disangkanya sudah 

menemui ajal dan tenggelam tiba-tiba mencelat muncul dari dalam 

laut. Tubuh mereka melesat ke udara demikian tingginya hingga di 

lain kejap keduanya telah berada di atas Wiro. 

Meskipun terkejut besar melihat kejadian itu karena 

menyangka dua makhluk tadi telah menemui ajalnya namun Wiro tak 

punya kesempatan untuk berpikir lebih lama. Begitu dia mendongak 

untuk melihat kedudukan lawan, dari udara makhluk-makhluk aneh 

ini telah menukik, lancarkan serangan berupa tusukan tombak ke 

punggung dan bagian belakang kepala! 

“Mereka tidak main-main. Mereka memang ingin 

membunuhku!” ujar Wiro. Secapt kilat dia melompat lalu jatuhkan 

diri ke lantai perahu. Dua serangan terus memburu. Wiro balikkan 

tubuhnya. Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tinggi menggeprak 

ke samping. Kaki kanan menghantam ke udara. Inilah jurus yang 

disebut “membuka jendela memanah matahari”. 

Hantaman tangan Wiro memukul mental dua tombak di tangan 

dua lawannya. Sementara tendangan kaki kanan menyodok masuk 

ke perut salah satu dari dua makhluk berkulit hitam itu. 

“Buukk!” 

Makhluk yang kena hantaman tendangan menjerit keras. Tapi 

tubuhnya tidka mental karena dengan cepat kedua tangannya 

mencekal pergelangan kaki Wiro. Selagi Wiro berkutat berusaha 

melepaskan cekalan itu, makhluk kedua berkelebat dan hantamkan 

satu jotosan ke dada Pendekar 212! 

Wiro merasa dadanya seperti amblas! Tangan kanannya 

dihantamkan ke belakang melepaskan pukulan “benteng topan 

melanda samudra”, membuat makhluk hitam di belakangnya 

menjerit keras dan mental masuk ke dalam laut. Sambil menahan

sakit Wiro berusaha lepaskan kakinya yang dicekal. Perahu kecil 

bergoyang keras. Tiba-tiba si makhluk berteriak keras dan gerakkan 

kedua tangannya yang mencekal kaki Wiro. Saat itu juga tubuh 

murid Sinto Gendengn itu mencelat ke udara lalu melayang jatuh ke 

dalam laut! 

Di dalam air, Wiro cepat berenang berusaha mencapai perahu. 

Dia tahu dua lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian luar biasa 

dalam hal berenang dan menyelam. Menghadapi mereka di dalam 

laut besar sekali bahayanya, apalagi saat itu dia telah cidera akibat 

pukulan salah satu lawan. Namun sebelum Wiro berhasil mencapai 

perahu, salah satu kakinya tiba-tiba kena dicekal lawan yang tahu-

tahu sudah berada di belakangnya. Dia kerahkan tenaga dalam lalu 

sambil menendang membuat gerakan jungkir balik di dalam air. 

Kakinya memang bisa lolos namun begitu dia berbalik dua lawan 

sudah menggempurnya kembali. 

“Makhluk-makhluk hitam ini rupanya tahan pukulan dan 

tendangan. Biar kuhantam dengan pukulan sinar matahari. Tapi…” 

Wiro jadi meragu. Seumur hidup dia belum pernah melepaskan 

pukulan sakti itu di dalam air. Apakah dia sanggup melakukannya 

dan apakah pukulan sakti itu bisa ampuh seperti jika dilepaskan di 

daratan? 

Makhluk pertama hanya tinggal satu tombak di depan Wiro. 

Murid Sinto Gendeng segera salurkan tenaga dalamnya ke tangan 

kanan. Semula dia agak meragu namun ketika melihat tangan itu 

sebatas siku ke bawah berubah menjadi putih menyilaukan maka 

legalah Wiro. Dia segera lipat gandakan tenaga dalamnya. 

Di depan sana makhluk yang berada paling depan terkesiap 

dan hentikan gerakannya berenang sewaktu dilihatnya tangan kanan 

Wiro memancarkan sinar putih menyilaukan dan air laut di sekitar 

tempat itu mendadak sontak menjadi panas. Dua makhluk perlahan-

lahan berenang mundur, tak tahan oleh hawa panas yang seperti

hendak merebus mereka. Wiro tidak tunggu lebih lama lagi. Dia 

hantamkan tangan kanannya ke arah makhluk paling depan. 

Sinar putih menyilaukan berkiblat dalam laut. Satu gelombang 

air yang mendadak sontak menjadi panas laksana mendidih 

membuntal deras lalu menyapu dahsyat ke arah makhluk hitam 

paling dekat. Makhluk ini berusaha menghindar dengan melesat ke 

kiri tapi gelombang air laut yang panas menyapu lebih cepat. 

Tubuhnya kelihatan menggeliat merah dan mengepul lalu terlempat 

jauh kemudian seperti sehelai daun kering melayang jatuh ke dasar 

laut. 

“Heemm… mana kawannya…,” ujar Wiro dalam hati sambil 

memandang berkeliling. Dadanya yang terkena pukulan lawan tadi 

mendenyut sakit. Napasnya terasa sesak. Dia tak mungkin berada 

lebih lama dalma air. Napasnya sesak. Air laut mulai tersedot di 

hidung dan mulutnya. Selagi dia berusaha mengetahui dimana lawan 

yang kedua tiba-tiba ada satu lengna mencekal lehernya. Ketika dia 

coba melepaskan diri, tangan yang lain menjambak rambutnya. Dua 

tangan kemudian bergerak. Gerakannya jelas hendak mematahkan 

batang leher Pendekar 212! 

Wiro hantamkan dua sikutnya sekaligus ke belakang. 

“Bukkk!” 

“Bukkk!” 

Hantamannya tepat mendarat di tubuh orang yang 

mencekalnya dari belakang tapi seolah tidak dirasakan malah 

cekalan semakin ketat. Kepala Wiro mulai tertekuk ke belakang. 

Matanya pedas tak mampu dibukakan lagi, apalagi untuk melihat. Air 

laut mengucur masuk ke dalam tenggorokannya lewat mulut dan 

hidung! 

“Celaka! Tamat riwayatku!” ujar Wiro. Dia kumpulkan seluruh 

tenaga yang ada, kerahkan tenaga dalam. Namun cekalan makhluk 

yang mencekalnya dari belakang tidak dapat dilepaskan! Sementara

itu napasnya sudah menyengal dan kekuatannya laksana punah. 

Sekujur tubuhnya menjadi lemas walau otaknya masih bisa bekerja. 

Lawan yang membuat Wiro tidak berdaya ternyata berlaku 

cerdik. Sambil terus mencekal berusaha mematahkan batang leher 

Pendekar 212 dia membuat gerakan yang membawa Wiro bergerak 

semakin jauh menuju dasar laut dimana tekanan air lebih kencang. 

Tekanan ini membuat Wiro semakin lemas tak berdaya. 

-- == 0O0 ==

DUA 

PADA saat yang sangat menetukan itu dimana ajal Pendekar 

212 Wiro Sableng boleh dikatakan hanya tinggal sekejapan mata saja 

lagi, satu persatu muncul wajah-wajah orang yang paling dekat 

dengan dirinya. Mula-mula wajah Eyang Sinto Gendeng sang guru si 

nenek sakti, lalu wajah kakek Segala Tahu, sesaat terbayang tampang 

Dewa Ketawa. Lalu muncul wajah Bidadari Angin Timur. Terakhir 

sekali muncul wajah Ratu Duyung. 

“Ra… tu…” Wiro membuka mulut. “Tolong diriku…” tapi 

ucapan itu tak pernah keluar. Malah air laut masuk semakin banyak 

ke dalam mulutnya,. Kepalanya semakin tertekuk ke belakang. 

Mendadak entah bagaimana muncul satu wajah nenek berwarna 

putih. Hidungnya kecil dan bagian sekitar mulutnya ditumbuhi bulu-

bulu halus panjang. Nenek ini menyeringai memperlihatkan gigi-

giginya yang kecil serta lidahnya yang merah. Lalu sepasang matanya 

yang kehijauan membersitkan sinar menyilaukan yang sesaat 

membuat Wiro jadi tersentak. 

“Nenek Neko… Nenek Muka Kucing...” ujar Wiro. Lalu terjadilah 

satu hal yang luar biasa. Mendadak sontak Wiro ingat sesuatu. 

“Koppo… Ilmu Mematahkan Tulang!” desisnya. Satu kekuatan seperti 

muncul dalam diri Pendekar 212. Kedua tangannya bergerak 

memegang dua jari-jari kedua tangan makhluk hitam yang 

mencekalnya. Lalu, “Trak… trak.. trak… trak… trakk!” 

Makhluk hitam menggeliat. Wajahnya menunjukkan kesakitan 

setengah mati. Mulutnya terbuka lebar. Kedua matanya membeliak. 

Jari-jari tangannya hancur berpatahan. Tulangnya mencuat keluar. 

Karena tak sanggup menahan sakit makhluk ini lepaskan cekalan 

lalu berenang menjauhi Wiro. (Mengenai Nenek Neko dan ilmu

mematahkan tulang yang disebut koppo silahkan baca serial Wiro 

Sableng berjudul Sepasang Manusia Bonsai) 

Wiro sendiri yang tak ada niat mengejar cepat naik ke 

permukaan laut. Dia muncul di atas air dengan megap-megap. Ada 

cairan merah keluar dari mulutnya. Dia memandang berkeliling. Di 

kejauhan kelihatan perahunya terapung-apung dipermainkan ombak. 

Dengan susah payah Wiro berenang mencapai perahu itu. Perlahan-

lahan dia naik ke atas perahu. Rasa sakit pada dadanya belum 

lenyap. Malah kini napasnya bertambah sesak. Sekujur tubuhnya 

terasa letih dan tulang-tulangnya laksana tanggal dari persendian. 

Ketika dia hendak membaringkan tubuhnya di lantai perahu tiba-tiba 

terdengar suara tawa mengekeh di belakangnya. Wiro putar 

kepalanya. Sepasang matanya terpentang lebar ketika melihat siapa 

adanya orang yang duduk berjuntai di atas sebua perahu putih yang 

tiba-tiba saja muncul di tempat itu tanpa diketahuinya. 

“Makhluk Pembawa Bala. Manusia celaka…!” Wiro berusaha 

bangkit tapi tubuhnya yang lemah itu terhenyak kembali ke lantai 

perahu. Dari balik kain penutup wajahnya kembali terdengar suara 

tawa mengekeh orang bercaping yang sekujur tubuhnya penuh 

koreng membusuk. 

Tiba-tiba sosok Makhluk Pembawa Bala yang mengenakan 

pakaian sebentuk jubah melesat ke udara. Dia mendarat di atas 

perahu, sengaja tepat di atas tubuh Wiro. Wiro sendiri saat itu sudah 

tidak berdaya dan setengah pingsan. Orang yang bercaping tegak 

dengan satu kaki menginjak perut sedang kaki satunya menginjak 

dada Wiro. Dia mendongak lalu dari mulutnya kembali terdengar 

suara tawa bergelak. 

“Mujur tak dapat diraih, celaka tak bisa ditolak! Kalau dulu kau 

masih bias lolos dari tangnaku, saat ini jangan harap bisa lepas! 

Nyawamu memang sudah ditakdirkan harus amblas di tanganku! 

Ha… ha... ha… ha…!” suara tawa orang bercaping itu lenyap. Kaki

kanannya diangkat lalu dihantamkan ke arah tenggorokan Pendekar 

212 yang terkapar di lantai dalam keadaan pingsan! 

Hanya setengah jengkal lagi kaki kanan Makhluk Pembawa 

Bala akan menghancurkan leher dan membunuh Pendekar 212 tiba-

tiba dari laut sekitar perahu melesat enam sosok tubuh. Bagian atas 

merupakan tubuh gadis cantik berambut panjang menutupi dada 

yang putih polos sedang bagian bawah merupakan ekor ikan besar. 

Keenam gadis ini bukan lain adalah anak buah Ratu Duyung 

penguasa lautan di kawasan itu. 

“Tahan!” 

Enam gadis berteriak berbarengan. Gerakan Makhluk Pembawa 

Bala serta merta terhenti. Memandang berkeliling dan melihat siapa 

yang ada di sekitar perahu tampangnya yang tertutup kain cadar jadi 

berubah. Hatinya menjadi tidak enak kalau tidak mau dikatakan 

gelisah. 

“Jangan berani mencampuri urusanku!” Makhluk Pembawa 

Bala membentak. 

Enam gadis diam saja namun diam-diam mereka luruskan jari 

telunjuk tangan kanan masing-masing. 

Melihat tidak ada yang bergerak Makhluk Pembawa Bala cepat 

teruskan hantaman kakinya ke leher Wiro. Pada saat itu juga enam 

jari si gadis memancarkan sinar biru. Ketika mereka mengangkat jari 

masing-masing dan mengacungkan ke arah perahu, enam sinar biru 

berkiblat, memapas ke arah tempat kosong antara kaki Makhluk 

Pembawa Bala dengan leher Pendekar 212 yang menjadi sasaran. 

Makhluk Pembawa Bala berseru keras. Cepat dia tarik 

serangannya. Kaki kanannya diangkat. Lalu terdengar jeritan orang 

ini. Tiga ujung jari kakinya putus. Bagian sekitarnya laksana 

dipanggang. Ujung jubahnya mengepulkan asap pada bagian yang 

kelihatan hangus

“Kalau kau bermaksud meneruskan niat jahat membunuh 

lawan yang tak berdaya, kematian akan menjadi bagianmu lebih 

dulu!,” salah seorang dari enam gadis bertubuh setengah manusia 

setengah ikan membentak. 

Mulut orang bercaping yang terlindung di balik kain penutup 

komat-kamit tapi tak ada suara yang keluar. Dia maklum jangankan 

enam orang, satu orang saja sulit baginya menghadapi gadis anak 

buah Ratu Duyung. 

“Katakan pada Ratumu, lain kali sebaiknya dia sendiri yang 

dating untuk bertemu muka denganku!” 

“Ratu kami tidak layak hadir di depan manusia tak berguna 

sepertimu!” jawab salah seorang gadis. 

Makhluk Pembawa Bala menggeram dalam hati. Dia melompat 

dari atas perahu Wiro, masuk ke dalam perahu putihnya. 

“Sebelum kau pergi dari sini kami perlu mengajukanbeberapa 

pertanyaan!” 

Makhluk Pembawa Bala walaupun merasa jeri terhadap enam 

gadis namun karena merasa ditekan lantas menukas. “Jangan 

membuat aku jadi marah! Katakan apa mau kalian!?” 

“Kami perlu tahu siapa kau sebenarnya dan apa perlunya sejak 

sekian lama gentayangan di kawasan ini!” 

“Hemm… Itu rupanya pertanyaan kalian?” Makhluk Pembawa 

Bala mendongak lalu tertawa bergelak. “Katakan pada Ratumu, jika 

dia mau datang menemuiku baru aku akan menjawab pertanyaan 

kalian!” 

“Kau minta mampus! Terima kematianmu!” 

Enam larik sinar biru menyambar ke arah Makhluk Pembawa 

Bala. Orang ini cepat menyambar caping di atas kepalanya. Lalu 

dengan sigap caping yang terbuat dari bambu itu dikibaskannya 

menangkis serangan enam larik sinar biru. 

“Wussss!”

Makhluk Pembawa Bala menjerit keras. Caping bambu di 

tangannya hancur berantakam. Kepingan-kepingan caping itu 

bertebaran di udara dalam keadaan terbakar lalu jatuh ke dalam 

laut. Si Makhluk Pembawa Bala sendiri mencelat mental dari atas 

perahu sampai beberapa tombak lalu tercebur masuk ke dalam laut. 

Enam gadis cantik anak buah Ratu Duyung menunggu sampai 

beberapa lamanya. 

“Tubuhnya tidak muncul lagi…,” berkata gadis di ujung kanan. 

“Pasti dia sudah jadi mayat dan tenggelam ke dasar laut. 

Beberapa hari di muka baru mayatnya akan mengambang di 

permukaan laut…,” berkata gadis lainnya. 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” salah satu dari 

mereka bertanya. 

“Sesuai perintah Ratu kita harus menolong pemuda ini. Ada 

darah di sekitar mulutnya. Jelas dia mengalamai luka dalam cukup 

parah… lekas berikan obat padanya. Aku akan menotok leher dan 

dadanya.” Lalu gadis itu membuka baju hitam Wiro di bagian dada. 

Sesaat dia pandangi bagian tubuh yang kokoh penuh otot itu. 

Pada bagian tengah dada terdapat rajah tiga angka yang tak asing 

lagi. Angka 212. Entah sadar entah tidak, gadis ini lalu mengusap 

dada Pendekar 212 dengan lembut. Melihat hal ini kawan di 

sampingnya berbisik, “Apa yang kau lakukan!? Jangan berani 

berbuat macam-macam. Kalau sampai Ratu memantau lewat cermin 

saktinya dan melihat apa yang kau lakukan, kita semua di sini habis 

dihukumnya! Lekas totok pemuda itu!” 

Wajah gadis yang barusan mengusap dada Pendekar 212 

tampak bersemu merah. Dia berpaling dan menjawab, “Tak perlu 

bicara keras. Jangan munafik. Aku tahu kau pun sebenarnya sangat 

tertarik pada pemuda gagah ini…” 

“Sudah! Lekas totok saja tubuhnya. Aku segera akan 

memasukkan obat ke dalam mulutnya!”

Gadis pertama segera mengusapkan dua ujung jarinya di 

bagian leher dada Pendekar 212. Setelah itu gadis kawannya 

memasukkan sebutir obat berwarna biru ke dalam mulut Wiro. Sekali 

lagi gadis pertama mengusap bagian leher Wiro. Obat yang ada di 

dalam mulut murid Sinto Gendeng meluncur ke dalam 

tenggorokannya terus ke perut. 

“Sebelum matahari tenggelam dia akan siuman dan luka 

dalamnya akan sembuh. Sekarang, sesuai perintah Ratu kita harus 

mendorong perahu ini ke arah tenggara dan meninggalkannya di satu 

tempat…” 

Enam orang gadis itu lantas berenang smbil mendorong perahu 

kecil di atas mana Pendekar 212 Wiro Sableng masih terbujur dalam 

keadaan pingsan. 

-- == 0O0 ==

TIGA 

PANGERAN Matahari merangkul gadis yang duduk di 

pangkuannya itu lalu dengan penuh nafsu menciumnya berulang 

kali. “Kekasihku, sebelum kita bersenang-senang di ruangan dalam 

katakana apa hasil peneyelidikanmu…” 

Si gadis tersenyum. Sepasang lesung pipit muncul di pipinya 

kiri kanan. “Salah…” katanya seraya membelai rambut di belakang 

kepala Pangeran Matahari. 

“Eh, apa yang salah?” tanya sang Pangeran. 

“Kita bersenang-senang dahulu baru nanti aku memberitahu 

hasil penyelidikanku!” 

Pangeran Matahari tertawa lebar. Ditekapnya kedua pipi si 

gadis lalu dikecupnya bibirnya lumat-lumat. Sambil menggeliat gadis 

dalam pelukan menurunkan tangannya ke bawah. Pangeran Matahari 

cepat memegang tangan itu seraya berkata. “Ingat kekasihku, urusan 

besar harus dikerjakan lebih dulu. Soal bersenang-senang jika semua 

sudah rampung seribu hari pun kau suka aku akan melayani…” 

Si gadis tampak cemberut tapi serta merta pejamkan matanya 

dan mengeluarkan suara lirih ketika Pangeran Matahari 

menyelinapkan wajahnya ke balik pakaiannya di bagian dada. 

“Aku tidak tahan. Benar-benar tidak tahan Pangeran…” bisik si 

gadis setengah memelas. 

Pangeran Matahari tarik kepalanya lalu berkata. “Ceritakan 

padaku hasil penyelidikanmu…” 

Si gadis melihat sepasang mata Pangeran Matahari memandang 

tak berkesip. Ada sorotan sinar aneh yang membuatnya jadi tak 

berani menatap. Dengan sikap manja dia menggelungkan tangan

kanannya di leher sang Pangeran lalu bertanya, “Apa saja yang kau 

ingin ketahui, Pangeran?” 

“Pertama sudah pasti menyangkut musuh besarku Pendekar 

212 Wiro Sableng. Menurut dua bersaudara Tiga Bayangan Setan dan 

Elang Setan, mereka berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit di 

luar Kartosuro. Aku telah meminta mereka membuktikan dengan 

membawa kepala Wiro Sableng ke hadapanku. Kau sendiri apa yang 

kau ketahui?” 

“Kemungkinan mereka memang telah membunuh Pendekar 

212. Hanya saja berlaku ayal tidak membawa bukti. Tapi setahuku 

tempo hari mereka telah menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 

dan batu sakti hitam milik Pendekar 212. Apakah itu belum cukup 

dijadikan tanda atau bukti bahwa musuh besarmu itu benar-benar 

sudah tewas? Atau mungkin dua senjata itu palsu belaka?” 

Pangeran Matahari mengusap pinggul si gadis lalu gelengkan 

kepala. “Kapak dan batu sakti itu asli. Tidak palsu. Tapi menyaksikan 

kepala Pendekar 212 jauh lebih meyakinkan daripada hanya 

mendengar sekedar laporan dari dua kaki tanganku itu...“ 

“Turut penyelidikanku, juga berdasarkan beberapa keterangan 

orang-orang kita, Pendekar 212 tidak diketahui lagi berada di mana. 

Ada yang menduga mayatnya dilarikan orang ke satu tempat di 

tengah laut di selatan muara Kali Opak....” 

“Hemmm.... Kalau keteranganmu benar mengapa kaki tanganku 

di kawasan itu belum datang memberitahu?!” ujar Pangeran Matahari 

pula seraya mendongak dan usap dagunya yang ditumbuhi janggut 

pendek kasar. 

“Kawasan laut selatan berada di bawah pengawasan penguasa 

tertentu yang memiliki beberapa pembantu. Salah seorang dari 

mereka adalah Ratu Duyung. Ada tanda-tanda sesuatu telah terjadi di 

kawasan itu. Beberapa aliran hawa sakti mengalami benturan-

benturan aneh....”

“Ratu Duyung dari dulu memang tidak pernah mau tunduk 

terhadap kita...” kata Pangeran Matahari pula. “Sudah saatnya kita 

memikirkan untuk melakukan sesuatu terhadap makhluk setengah 

manusia setengah ikan itu....” 

“Pangeran,” kata gadis yang duduk di pangkuan Pangeran 

Matahari. “Kalau aku boleh mengusulkan, pada saat sekarang ini 

sebaiknya kita jangan mencari musuh baru dulu. Salah-salah urusan 

besar yang tengah kau laksanakan bisa jadi tak karuan... “ 

“Hemmm.... Kau betul. Usulmu aku terima!” kata Pangeran 

Matahari lalu menghadiahkan satu kecupan di bibir gadis itu. 

“Kau lihat sendiri Pangeran. Aku tidak seperti gadis-gadis lain 

yang jadi kekasihmu. Mereka hanya menyediakan badan. Aku bukan 

cuma badan. Tapi juga pikiran dan sumbang saran....” 

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. Sambil menepuk-nepuk 

bahu si gadis dia berkata. “Itulah kelebihanmu, kekasihku. Itu 

sebabnya kau mendapat tempat utama di sisiku.” 

“Kalau begitu apakah sekarang kita bisa bersenang-senang?” 

tanya si gadis. Lalu kaki kirinya digelungkan ke pinggul sang 

Pangeran. Pakaiannya yang tipis tersingkap. Ketihatan pahanya yang 

bagus mulus dan putih. 

Pangeran Matahari mengusap paha itu berulang kali lalu 

berkata. “Masih belum saatnya kekasihku. Harap kau suka bersabar. 

Kau harus kembali melakukan penyelidikan. Aku harus tahu apa 

yang sebetulnya telah terjadi dengan Pendekar 212. Apa benar dia 

sudah menemui ajal?” 

“Nada suaramu masih saja membayangkan rasa was-was 

Pangeran,” kata si gadis pula. lalu tangannya meraba ke bagian dada 

Pangeran Matahari. Di balik jubah hitam dan pakaian yang 

dikenakannya dia menyentuh sebuah benda yang terikat kencang ke 

dada sang Pangeran. “Kau telah memiliki Kitab Wasiat Iblis. Mengapa 

harus merasa gelisah dan selalu memikirkan Pendekar 212?”

“Ada ujar-ujar mengatakan bahwa punya satu musuh sudah 

terlalu banyak sedang punya seribu teman masih kurang banyak!” 

Si gadis tersenyum. “Jadi kau ingin aku menyelidik lag!, pergi 

dari sini dan melupakan semua kesenangan yang bisa kita dapatkan 

saat ini?” 

“Kataku harap kau bersabar. Masanya akan datang aku akan 

jadi Raja Di Raja dunia persilatan dan kau kekasih tunggalku....” 

Si gadis menarik napas dalam lalu perlahan-lahan dia berdiri, 

”Kalau begitu ada baiknya aku minta diri sekarang juga,” katanya. Dia 

membungkuk sedikit untuk memeluk dan mencium Pangeran Mata-

hari. Namun dengan gerakan nakal dia menggoyangkan bahu dan 

pinggulnya. Pakaian tipis yang melekat di tubuhnya serta merta 

merosot jatuh ke lantai. Ketika Pangeran Matahari balas memeluk 

maka dia merangkul tubuh si gadis. Kalau tadi sang Pangeran selalu 

menolak ajakan si gadis maka kini dalam keadaan seperti itu dia 

tidak dapat menahan gelegak darahnya. Dia berdiri dan slap hendak 

mendukung tubuh si gadis. Tapi tiba-tiba, “Braaakkkl” 

Pintu ruangan terpentang. Sesosok tubuh masuk dan jatuhkan 

diri di lantai. Gadis cantik tanpa pakaian terpekik, cepat-cepat 

menyambar pakaiannya yang tercampak di lantai laiu melompat 

tinggalkan tempat itu. 

Pangeran Matahari tak kurang terkejutnya. Tampangnya merah 

mengelam, rahangnya menggembung hingga wajahnya berubah 

seperti jadi empat persegi! 

Orang yang terkapar di lantai hanya mengenakan sehelai cawat 

hitam. Sekujur tubuhnya mulai dari muka sampai ke kaki berwarna 

sangat hitam dan liat. Pada dua bahu dan tengkuknya sampai ke 

punggung ada daging aneh berbentuk sirip ikan. Mata dan bibirnya 

merah. 

Pangeran Matahari kerenyitkan kening. Kedua matanya 

mendelik tak berkesip menyaksikan bagaimana sepasang tangan

manusia hitam itu, mulai dari pergelangan sampai ke ujung-ujung jari 

tampak hancur berpatahan. Tulang-tulangnya mencuat putih 

menggidikkan. 

“Jahanam! Apa yang terjadi dengan dirimu! Mana kawanmu?!” 

Pangeran Matahari membentak seraya melangkah ke hadapan orang 

hitam yang terkapar di lantai. 

“Ka... kawanku mati!” jawab orang hitam. 

“Mati?! Apa yang terjadi?!” 

“Dia... dia mati dibunuh Pendekar 212....” 

Tampang Pangeran Matahari berubah. Alisnya berjingkrak dan 

daun telinganya seperti mencuat mendengar ucapan orang hitam itu. 

Kaki kanannya ditendangkan ke dada orang itu hingga si hitam ini 

mencelat dan terbanting ke dinding ruangan. 

“Lekas katakan apa yang terjadi!” bentak Pangeran Matahari. 

“Mohon maafmu Pangeran... Kami tidak berhasil menjalankan 

tugas yang kau berikan. Kawanku terbunuh. Aku sendiri kau bisa 

saksikan. Kedua tanganku dibikin hancur oleh Pendekar 212!” 

Kembali sepasang mata Pangeran Matahari memperhatikan 

kedua tangan orang hitam itu seolah tak percaya. Tulang-tulangnya 

mencuat berpatahan.... “Ilmu apa yang telah dipakai mencelakai orang 

ini? Kalau memang Pendekar 212 yang melakukan setahuku dia tidak 

memiliki ilmu kepandaian begini rupa....” 

Pangeran Matahari mendongak. Otaknya berpikir keras. Tetap 

saja dia tidak bisa menerima keterangan si hitam. 

“Kau berdusta! Ini bukan pekerjaannya Pendekar 212!” bentak 

sang Pangeran. “Dia tidak punya ilmu kepandaian mematahkan tulang 

seperti ini! Aku tahu betul!” 

“Saya bersumpah memang dia yang melakukan. Kami 

mencegatnya di pantai selatan...” 

Pangeran Matahari terdiam sesaat. “Jika kau memang telah 

berhadapan dengan Pendekar 212, aku ingin mencocokkan ciri-ciri

jahanam itu dengan apa yang kau saksikan. Bagaimana keadaan 

rambutnya?” 

“Hitam lebat dan… dan gondrong..,” jawab si hitam. 

“Apa dia mengenakan ikat kepala kain putih di keningnya?” 

Si hitam menggeleng. 

“Hemmmmm....” Pangeran Matahari bergumam. Kecurigaan 

bahwa si hitam itu berdusta semakin besar. “Apa dia mengenakan 

pakaian serba putih?” 

“Ti... tidak Pangeran. Dia mengenakan baju dan celana hitam....” 

“Jahanam! Jelas orang itu bukan Pendekar 212! Seumur 

hidupnya dia tidak pernah mengenakan pakaian hitam! Kau berani 

mendustaiku!” 

”Saya bersumpah saya tidak berdusta Pangeran...” 

“Manusia keparat! Aku tanya padamu, apa benar kawanmu 

sudah mampus?!” bertanya Pangeran Matahari seraya bungkukkan 

tubuhnya sedikit. 

“Dia memang telah menemui ajal Pangeran. Saya menyaksikan 

sendiri...” jawab si hitam yang masih terkapar di lantai sambil 

menduga-duga apa maksud pertanyaan Pangeran itu karena 

sebelumnya dia telah menjelaskan mengenai kematian kawannya. 

Di hadapan si hitam Pangeran Matahari menyeringai. Tiba-tiba 

seringai itu lenyap lalu, terdengar suaranya berucap. “Kalau begitu kau 

susullah temanmu! Aku tidak butuh manusia jelek dan tolol macam-

mu!” 

Habis berkata begitu Pangeran Matahari ayunkan tangan 

kanannya. Bersamaan dengan itu dia alirkan tenaga dalam dari bagian 

dada di mana menempel Kitab Wasiat Iblis. Pangeran Matahari tahu 

betul bahwa si hitam memiliki ilmu kebal tertentu. Dia tak mau susah. 

Karenanya dia sengaja meminjam kekuatan ganas yang ada pada kitab 

iblis itu. 

“Praakkk!”

Kepala manusia hitam rengkah mengerikan. Tubuhnya 

terbanting ke lantai tanpa nyawa lagi! Masuk ke ruangan dalam 

Pangeran Matahari dapatkan gadis kekasihnya duduk di atas sebuah 

bantalan tebal dan empuk. Keadaannya masih polos seperti tadi. 

Pakaian tipisriya dipergunakan menutupi auratnya yang penting tapi 

itu pun tidak mampu menutupi seluruh tubuhnya. 

“Aku hampir yakin kalau Pendekar 212 memang sudah 

menemui ajal. Tapi aku merasa perlu menunggu sampai Tiga 

Bayangan Setan dan Elang Setan muncul membawa kepala musuh 

besarku itu....” 

“Apakah sampai saat ini kau masih merahasiakan tentang 

diriku terhadap mereka?” 

Pangeran Matahari mengangguk. 

“Sebaliknya bagaimana dengan saudaramu. Aku tidak ingin....” 

“Kau tak usah khawatir Pangeran. Sudah lama sekali aku tidak 

mendengar mengenai dirinya. Entah berada di mana...” jawab si gadis 

yang duduk di atas bantalan empuk sambil menjulurkan kakinya dan 

balik pakaian tipis. 

Memandangi tubuh si gadis pikiran sang Pangeran jadi 

berubah. Kalau sebelumnya dia tidak berniat untuk bersenang-

senang kini setelah membunuh lelaki hitam tadi rangsangan dalam 

dirinya tiba-tiba saja menggelegak. Dia melangkah ke hadapan si 

gadis. Perlahan-lahan pakaian tipis yang menutupi tubuh si gadis itu 

ditariknya. 

-- == 0O0 =

EMPAT 

SINAR sang surya yang siap tenggelam membuat air laut 

kemerahan. Enam gadis anak buah Ratu Duyung yang mendorong 

perahu berhenti berenang. Gadis yang bertindak sebagai pimpinan 

berkata. 

“Kita mengantar sampai di sini. Di kejauhan ada sebuah pulau. 

Ombak akan mendorong perahu dan membawa pemuda ini ke sana. 

Kita harus segera kembali. Ingat pesan Ratu. Kita tidak boleh berada 

terlalu dekat dengan pulau-pulau yang banyak bertebaran di sekitar 

kawasan ini.” 

Lima gadis lainnya tidak menjawab. Dalam hati sebenarnya 

mereka ingin mengantar perahu berisi Pendekar 212 itu sampai ke 

daratan, menunggu sampai dia siuman dari pingsan. Namun 

kelimanya tak berani membantah. 

“Mudah-mudahan dia cepat sadar dan selamat. Mari kita 

kembali...” 

“Tunggu dulu,” salah seorang dari lima gadis tiba-tiba berkata. 

“Ada apa?!” 

“Aku mendengar seperti ada orang menyanyi. Di kejauhan...” 

Empat gadis lainnya picingkan mata dan pasang telinga. Lalu 

hampir berbarengan mereka mengiyakan. Gadis yang bertindak 

sebagai pemimpin sebenarnya juga sudah mendengar apa yang 

didengar lima temannya. Namun dia cepat berkata. “Suara desau 

angin laut dan alunan gelombang bisa saja menipu pendengaran kita. 

Kalaupun memang yang kalian dengar adalah suara orang menyanyi 

maka itu adalah satu keanehan. Siapa pula yang menyanyi di tengah 

lautan begini rupa? Dan ingat pelajaran dari Ratu. Dibalik setiap 

keanehan mungkin tersembunyi satu bahaya. Jadi, kalian tak perlu 

banyak bicara lagi. Ikuti aku meninggalkan tempat ini!”

Enam gadis cantik yang tubuh atas polos sedang sebatas 

pinggang ke bawah berbentuk ekor ikan besar itu melepaskan tangan 

masing-masing dari perahu lalu berbalik. Sesaat kemudian 

keenamnya lenyap masuk ke dalam laut. 

Perahu tanpa kemudi tanpa dikayuh itu meluncur perlahan 

dibawa alunan ombak menuju ke tenggara dimana di kejauhan 

kelihatan sebuah pulau berbentuk aneh. Di sini sama sekali tidak 

kelihatan pepohonan. Yang tampak hanya kawasan bebatuan. Di 

bawah sinar matahari yang tenggelam dan udara yang mulai 

menggelap pulau itu kelihatan angker. Keangkeran itu bisa membuat 

siapa saja jadi merinding karena dari pertengahan pulau yang gelap 

dimana terdapat gunung dan bebukitan batu merah tiba-tiba sayup-

sayup sampai terdengar suara orang menyanyi. 

Laut selatan tak pernah tenang 

Gelombang selalu datang menantang 

Ribuan pagi ribuan petang 

Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan 

Yang menunggu tua renta malang 

Yang ditunggu budak malang 

Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun 

menjelang 

Mungkinkah ini akhir penantian dan 

permulaan dari satu harapan 

Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh 

harapan 

Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh 

jalan abadi menghadap Sang Pencipta 

Orang yang menyanyi itu duduk bersila di atas salah satu 

puncak batu berwarna merah. Tubuhnya tampak bungkuk dimakan 

usia. Rambut, kumis dan janggutnya yang putih panjang melambai-

lambai tertiup angin laut. Meskipun tempat itu cukup gelap namun 

masih bisa terlihat keanehan pada muka orang tua ini. Wajahnya 

sebelah kanan yaitu mulai dari pertengahan kening, hidung, mulut 

dan dagu berwarna biru. Di dalam mulutnya senantiasa ada segumpal

sirih campur tembakau yang selalu dikunyahnya tiada henti. Bahkan 

ketika menyanyi tadi sirih itu masih tetap berada dalam mulutnya 

namun anehnya suaranya bebas lepas seolah-olah mulutnya kosong 

tak berisi apa-apa! 

Di hadapan orang tua berjubah putih ini, di atas batu, terletak 

benda aneh, entah batu entah logam. Benda ini mengeluarkan sinar 

angker merah kebiruan seperti nyala sumber api yang sangat panas. 

Namun anehnya yang terpancar dari benda itu bukan hawa panas 

melainkan satu kesejukan. Makin lama kesejukan itu semakin 

menjadi-jadi malah kini hawa di tempat itu terasa sangat dingin. Si 

orang tua bermuka biru sebelah sampai-sampai kertakkan rahang 

menahan gigil kedinginan. 

“Saatnya sudah tiba...” kata orang tua bermuka belang dalam 

hati. Seluruh kekuatan luar dalam dikumpulkannya agar tubuhnya 

tidak ambruk oleh hawa dingin yang menggempur dari benda ber-

cahaya di hadapannya. Dalam keadaan sekujur tubuh menggigil orang 

tua ini angkat tangan kanannya. Lengan sampai ke ujung-ujung 

jarinya yang kurus keriput kelihatan bergetar kaku. 

“Batu sakti batu pembawa petunjuk...” si orang tua berucap 

dengan suara bergetar. “Terbanglah tinggi, membubung ke angkasa. 

Melayanglah turun menukik ke bumi. Cari dan dapatkan anak 

manusia penerima Delapan Sabda Dewa. Di dalam dirimu ada 

petunjuk. Di dalam dirinya ada kekuatan untuk menangkal 

malapetaka. Ingat hanya ada satu kekuatan dan satu kekuasaan di 

delapan penjuru angin. Gusti Allah tempat semua kekuatan itu 

berpulang menjadi satu. Batu sakti batu pembawa petunjuk. 

Terbanglah tinggi membubung angkasa. Melayanglah turun menukik 

bumi. Cari dan dapatkan anak manusia penerima Delapan Sabda 

Dewa!” 

Getaran tangan kanan si orang tua semakin keras. Benda di atas 

batu di hadapannya bersinar hebat menyilaukan. Didahului dengan 

teriakan dahsyat orang tua itu pukulkan tangannya ke udara.

“Byaaarrr!” 

“Wussssss!” 

Benda di atas batu bersinar. Tempat itu laksana diterangi sinar 

kilat. Lalu terjadi satu hal yang ajaib. Benda terang di atas batu 

melesat ke udara, mengeluarkan ekor panjang cahaya terang. Di udara 

benda ini berputar tujuh kali berturut-turut. Lalu dengan kecepatan 

yang sulit diawasi mata, seperti bintang jatuh benda bercahaya itu 

melayang turun ke bumi. Tapi tidak kembali ke tempat asalnya semula 

di atas batu di hadapan si orang tua melainkan ke satu tempat di 

mana terdapat sebuah batu miring, diapit oleh gugusan batu-batu 

karang runcing. 

KITA kembali dulu pada saat tak lama setelah enam gadis cantik 

anak buah Ratu Duyung melepas perahu kecil di dalam mana 

Pendekar 212 terbaring dalam keadaan pingsan.... 

Perahu kecil dipermainkan ombak, meluncur perlahan ke arah 

pantai. pulau yang tertutup batu-batu besar berwarna merah sedang di 

sebelah depan pulau itu dikurung oleh deretan batu-batu karang 

runcing laksana memagari. 

Satu gelombang besar tiba-tiba muncul di tengah laut, 

menghantam ke arah pulau dalam bentuk ombak yang bukan olah-

olah dahsyatnya. Perahu kecil dimana murid Sinto Gendeng berada 

dalam keadaan pingsan mencelat ke udara sampai setinggi lima 

tombak, hancur berkeping-keping. Tubuh Wiro tampak berputar 

seperti kitiran lalu melayang jatuh melewati dua puncak runcing batu 

karang kemudian terhempas di atas sebuah batu miring. Keningnya 

membentur bagian batu yang menonjol. Terjadi satu hal yang aneh. 

Pada saat tubuhnya mencelat di atas laut dan jatuh ke atas batu Wiro 

masih berada dalam keadaan pingsan. Tapi begitu keningnya 

membentur tonjolan batu yang menimbulkan luka serta kucuran

darah, Pendekar 212 mendadak siuman dan sempat bangkit sambil 

dua tangannya bersitekan ke batu. 

“Apa yang terjadi dengan diriku. Di mana aku saat ini.... “ Dia 

memandang berkeliling sementara telinganya mendengar suara 

deburan ombak tidak henti-hentinya memukul batu-batu karang yang 

memagari pulau batu merah itu. 

“Aku mendengar suata deburan ombak. Berarti.... Eh, aku 

seperti mendengar suara orang menyanyi....” Murid Sinto Gendeng 

memutar kepalanya, berusaha memandang ke arah datangnya suara 

nyanyian itu. Dia coba mendengar suara nyanyian yang diulang-ulang 

itu. Perlahan-lahan dia memutar tubuhnya. Di kejauhan dia hanya 

melihat puncak-puncak bukit batu yang menghitam dalam kegelapan. 

“Aku akan pergunakan ilmu pemberian Ratu Duyung. Ilmu 

Menembus Pandang....” Wiro segera kerahkan tenaga dalam dan atur 

jalan darah yang menuju ke matanya. Namun dia tidak dapat memu-

satkan pikiran. Keningnya terasa sakit. Tangannya bergerak meraba. 

Ada cairan mengalir di keningnya, turun ke pipi kiri. 

Saat itu keadaan belum gelap benar. Pantulan terakhir cahaya 

matahari masih bisa membuat Wiro mengenali bahwa cairan merah 

yang ada di tangannya adalah darah. Darahnya sendiri. 

“Apa yang terjadi dengan diriku.... Aku terluka,” pikir Wiro. Dia 

mendadak saja merasa ngeri melihat darahnya sendiri. 

Pendengarannya dipasang baik baik. “Suara nyanyian itu lenyap. Aneh 

kalau ada orang menyanyi di tempat ini. Manusia atau jinkah yang 

menyanyi. Tak jelas apa kata-kata dalam nyanyiannya tadi....”` Wiro

siap untuk melihat dengan ilmu Menembus Pandangnya. Tiba-tiba dia 

jadi tercekat. Di langit dilihatnya satu benda aneh memancarkan sinar 

sangat terang melayang turun ke bumi. 

“Bintang jatuh…”piker Wiro. Kemudian disadarinya 

kalau benda bercahaya itu melayang jatuh ke arahnya.

“Astaga!” Wiro berseru kaget. Dia berusaha menggulingkan diri. 

Tapi benda bercahaya datangnya laksana kilat. Jatuh menghantam 

kepalanya tepat pada bagian luka di kening sebelah kiri lalu amblas 

masuk ke dalam kepalanya! 

“Wusss!” 

Kepala dan sekujur tubuh Pendekar 212 mulai dari ujung 

rambut sampai ke ujung kaki bersinar terang benderang. Dia seperti 

melihat ada ratusan bintang menyilaukan di depan matanya. Saat itu 

juga sekujur tubuhnya terasa sedingin salju di puncak gunung hingga 

dia menggigil keras. Rahang menggembung geraham bergemeletakan. 

Wiro berusaha bertahan. Tapi sia-sia. Sedikit demi sedikit 

tangannya yang menahan tubuhnya terkulai lemah ke samping. 

Badannya jatuh terbujur di atas batu miring. Kesadarannya perlahan-

lahan sirna. 

Di atas batu miring tubuhnya yang sedingin es itu tidak bergerak 

sedikit pun. Kedua matanya terpentang lebar. Namun dia tidak melihat 

apa yang ada di sekitar ataupun di atasnya. Dia seperti orang tidur 

nyalang. Satu kejadian aneh menyelubungi Pendekar 212. Dia 

tenggelam ke dalam pusaran waktu dan laksana disedot masuk ke 

dalam alam pada masa sekitar tujuh puluh tahun yang silam. Anehnya 

dirinya sendiri seolah-olah berada dalam pusaran waktu itu! 

-- == 0O0 ==

LIMA 

LAUT utara tampak tenang. Angin bertiup sepoi-sepoi basah. Di 

langit tak berawan kawanan burung laut terbang melintas di atas kapal 

besar terbuat dari kayu. 

Di buritan kapal Ageng Musalamat memeluk kakek berjubah dan 

bersorban putih erat-erat, mencium kedua pipinya berulang kali dan 

berusaha menahan titiknya air mata. 

“Muridku Ageng Musalamat, negeri Cina sangat jauh dari sini. 

Perjalanan menempuh laut bukan satu hal yang mudah. Kau telah 

memutuskan untuk menerima undangan Raja di sana. Ini satu 

kehormatan sangat besar bagi kita semua muridku. Terutama bagi 

dirimu. Berarti kau punya tanggung jawab sendiri terhadap dirimu. 

Lebih dari itu kau membawa serta empat puluh orang yang sebagian 

besar adalah murid-muridmu yang merupakan juga murid-muridku. 

Keselamatan mereka menjadi tanggung jawabmu.... “ 

“Wali Astanapura yang saya sebut dengan hormat sebagai Eyang 

Ismoyo Jelantik, guru saya tercinta. Perjalanan besar ini memang 

bukan tanpa bahaya. Namun dengan bekal ilmu pengetahuan serta 

kesaktian yang Eyang berikan serta lindungan dan bimbingan dari 

Tuhan Yang Maha Kuasa, saya dan semua saudara-saudara yang 

empat puluh akan selamat sampai di tujuan. Lalu selamat pula 

kembali pulang ke tanah Jawa ini.” 

Kakek berjubah dan bersorban putih anggukkan kepala. 

“Bagaimanapun baiknya keadaan dan sambutan orang di sana, 

satu hal harus kau ingat bahwa negeri itu adalah tanah asing. Jadi 

kau dan anak-anak harus pandai-pandai membawa diri. Jangan 

berlaku sombong, jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. 

Jangan pamerkan sedikit ilmu silat dan kesaktian yang kau kuasai. 

Mungkin di negeri sana semua yang kau miliki itu tidak ada artinya

sama sekali. Ingat peribahasa yang mengatakan mulut kamu harimau 

kamu. Di mana kaki berpijak di situ langit dijunjung. Pesankan pada 

anak-anak agar jangan lupa sembahyang lima waktu. Itu tiang agama 

yang harus ditegakkan dimana pun kita berada.” 

“Terima kasih Eyang. Saya akan selalu ingat baik-baik semua 

pesan Eyang.... “ 

“Selamat jalan muridku. Doaku bersamamu....” 

“Selamat tinggal Eyang. Doakan agar kami kembali cepat ke 

tanah Jawa ini....” 

Wali Astanapura yang dipanggil oleh muridnya itu dengan 

sebutan Eyang Ismoyo Jelantik anggukkan kepala. “Kau harus kembali 

ke sini tetap sebagai orang yang disebut secara lengkap Kanjeng Sri 

Ageng Musalamat....” 

“Saya mendengar dan saya berjanji Eyang...” jawab Ageng 

Musalamat. 

Eyang Ismoyo berpaling pada seorang pemuda yang tegak di 

belakangnya sambil memegang sebuah kotak kayu jati berhias ukiran 

Jepara. Pemuda ini segera menyerahkan peti yang dipegangnya kepada 

Eyang ismoyo. 

“Ageng Musalamat,” kata Eyang Ismoyo seraya membuka 

penutup kotak kayu, “Kotak ini berisi sebuah senjata sakti 

mandraguna berupa keris. Baik mata keris, hulu maupun sarungnya 

terbuat dari emas yang ditempa demikian rupa hingga kekuatan-

nya lebih atos daripada baja. Keris ini dibuat oleh seorang empu 

sakti di Bali yang masih merupakan kakekku. Ketika dibuat 

senjata ini tidak bernama. Ayahku kemudian memberinya nama 

yaitu Kiyai Sabrang Tujuh Langit. Aku menitipkan keris sakti ini 

padamu untuk diserahkan pada Raja, negeri Cina sebagai tanda 

persahabatan yang tulus.” 

Eyang Ismoyo membuka penutup peti. Satu cahaya kuning 

membersit keluar dari kotak, mengenai wajah Ageng Musalarnat

hingga lelaki berusia empat putuh tahun ini mengerenyit 

kesilauan. Meskipun silau namun Musalamat masih dapat melihat 

sosok keris emas Kiyai Sabrang Tujuh langit yang ada dalam kotak 

kayu. 

Si orang tua menutup kotak kayu kembati lalu 

menyerahkannya pada muridnya seraya berkata. “Simpan senjata 

mustika ini di tempat yang baik. Kau tidak perlu terlalu 

mengawasinya. Tak ada seorang pun yang akan sanggup 

mencurinya....” 

“Maksud Eyang ada satu kekuatan yang melindunginya?” 

tanya Musalamat. 

Eyang Ismoyo menunjuk ke atas. “Tuhan Yang Maha Kuasa 

yang melindunginya. Siapa saja yang berniat jahat, misal berusaha 

mencuri atau merampok senjata ini dari pemiliknya yang sah atau 

selama berada dalam titipan yang sah maka orang jahat itu tak 

akan sanggup melakukan. Keris ini akan menjadi sangat berat 

seolah seberat gunung batu!” 

Ageng Musalarnat menerima kotak kayu itu dengan hati-

hati. Lalu sang guru berkata. “Sebelum layar terkembang, sebelum 

kapal besar berlayar, aku ingin melihat kamarmu. Seumur hidup 

belum pernah aku melihat kamar dalam kapal. Apakah seperti 

kamar ketiduran tuan puteri...?” Eyang Ismoyo memegang bahu 

muridnya. Walau sentuhan itu biasa-biasa saja namun Musalamat 

merasa ada satu hawa aneh yang membuat tubuhnya mengikut 

kemana telapak tangan sang guru mendorong. Maklumlah 

Musalamat kalau gurunya bukan hanya sekedar ingin melihat 

kamar di dalam kapal. 

Apa yang diduga Musalarnat ternyata benar. Begitu masuk 

ke dalam kamar di bawah buritan Eyang Ismoyo langsung 

mengunci pintu. Selagi Musalamat meletakkan kotak kayu jati di 

dalam sebuah lemari, orang tua itu membuka ikatan kain putih 

lebar yang menggelung pinggangnya. Dari balik ikatan kain putih

dikeluarkannya sebuah benda berupa lembaran-lembaran daun 

lontar yang sudah sangat tua membentuk sebuah kitab. Sepasang 

mata Sri Ageng Musalamat cepat melihat apa yang ada di tangan 

gurunya dan sekilas sempat membaca deretan aksara Jawa kuno 

yang tergurat di sampul kitab. 

“Kitab Putih Wasiat Dewa...” kata Ageng Musalamat dalam 

hati dengan dada berdebar. “Muridku, aku yakin kau pernah 

mendengar tentang kitab sakti ini...” 

Ageng Musalamat mengangguk. “Saya sudah lama tahu 

kalau Eyang memang memilikinya, namun baru sekali melihatnya,” 

jawab Musalamat sambil matanya tidak lepas dari kitab tua yang 

berada di tangan sang guru. 

“Kitab ini dibuat dan ditulis isinya oleh nenek moyang kita 

ratusan tahun yang silam. Siapa mereka adanya tidak diketahui. 

Yang jelas pada masa kitab ini diciptakan nenek moyang kita masih 

belum tersentuh hidup beragama. Mereka menganggap semua 

kekuatan, semua kesaktian datang dari langit, daripada apa yang 

mereka sebut para Dewa. Walau demikian apa yang mereka pelajari 

dan apa yang kemudian mereka ajarkan bukanlah satu perbuatan 

sesat. Mereka memiliki tata krama peradaban asli yang tidak 

tercampur dengan kehidupan asing. Banyak dari semua tata krama 

dan peradaban itu yang kini tetap kita pergunakan sebagai panutan. 

Muridku, Kitab Wasiat Dewa ini bukan kitab sembarangan. Kitab sakti 

ini diwariskan padaku sekitar lima belas tahun yang lalu. Aku telah 

membaca dan mempelajari seluruh isinya. Namun aku merasa kepan-

daian apa yang aku dapat dari kitab ini masih belum sempurna. Harus 

banyak waktu yang diperlukan untuk mendalami pelajaran dan 

kesaktian yang ada di sini. Otak tuaku sudah tumpul. Usiaku sudah 

lanjut dan tubuhku sudah sangat rapuh. Mungkin aku sudah keburu 

menemui ajal sebelum aku dapat mengerti seluruh isi kitab ini. Kau 

masih muda, otakmu masih tajam dan tubuhmu masih kuat. Kurasa 

kau akan mampu menguasai isi kitab ini jauh lebih cepat dariku. Aku

tidak punya orang lain yang dapat kupercaya. Kitab Wasiat Dewa ini 

kuserahkan padamu. Jagalah baik-baik, selami isinya yang hanya 

beberapa lembar ini. Kelak kepandaian yang kau miliki dan berasal 

dari kitab ini akan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, 

menumpas segala kejahatan. Orang yang memberikan kitab ini padaku 

pernah mengatakan siapa yang memiliki kitab ini dan 

mempergunakannya di jalan Allah maka dia akan menjadi penguasa 

dunia persilatan, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan...“ 

Eyang Ismoyo menyerahkan kitab di tangannya pada Ageng 

Musalamat. Sang murid yang tidak menduga hal itu akan terjadi 

tersurut mundur dengan muka pucat. 

“Eyang... Sa... saya tidak berani menerima kitab sakti ini...” kata 

Ageng Musalamat dengan suara bergetar. 

“Kau tidak berani. Apakah kau mau mengatakan apa sebabnya?” 

tanya Eyang Ismoyo seraya menatap tajam sepasang mata muridnya. 

“Saya... saya merasa tidak layak memilikinya. Saya insan kecil 

yang tak mungkin mampu...” 

“Muridku...” memotong Eyang Ismoyo. “Di mata Tuhan semua 

manusia itu sama adanya. Yang membedakan kita satu sama lain 

adalah ketakwaan terhadapNya. Yang membedakan kita satu sama lain 

ialah dari patuh pada larangan dan kukuh pada ajaranNya. Aku 

mempercayakan kitab ini untuk diserahkan padamu. Jangan sia-

siakan kepercayaan itu...” 

“Eyang...” 

“Aku pernah mendapat petunjuk dalam mimpi. Kau akan 

mampu menguasai isi kitab ini dalam enam kali bulan purnama. 

Selama perjalanan ke negeri Cina yang akan menghabiskan waktu 

cukup lama, selama berada di atas kapal mulailah membaca dan 

menyelami serta mempelajari isinya... Terimalah!” 

Dua tangan Ageng Musalamat tampak gemetaran ketika 

menerima Kitab Wasiat Dewa yang terbuat dari daun lontar itu.

“Terima kasih atas kepercayaan guru. Amanat Eyang tidak akan 

saya sia-siakan,” Musalamat membungkuk dalam-dalam. 

Eyang Ismoyo tersenyum. Tiba-tiba dia melangkah ke pintu. 

Siap hendak membukanya tapi membatalkan niatnya. 

“Ada apa Eyang?” tanya Ageng Musalamat. “Ada seseorang 

mencuri dengar pembicaraan kita tadi,” jawab si orang tua. 

Mendengar ini Ageng Musalamat segera membuka pintu dan 

memeriksa keluar. 

“Tak ada siapa-siapa...” katanya. Tapi dia yakin pendengaran 

sang guru tidak salah. 

“Orangnya tentu telah menyelinap pergi. Muridku, ada 

seorang culas di antara empat puluh anak buahmu.” 

“Saya menyesalkan kebodohan saya. Padahal saya telah 

memilih mereka dari orang-orang yang paling saya percayai. 

Agaknya saya harus melakukan penyelidikan. Kalau perlu 

keberangkatan hari ini saya batalkan.” 

Si orang tua gelengkan kepala seraya memegang bahu 

muridnya. “Jangan habiskan waktu untuk melakukan hal itu. Jika 

kau sudah tahu ada seorang yang bersifat lancung yang harus kau 

lakukan adalah berhati-hati, selalu bersikap waspada. Bila dalam 

perjalanan kau berhasil menangkap orang yang culas itu, 

kuperintahkan padamu untuk melemparkannya ke dalam lautan! 

Aku pergi sekarang.” 

Sri Ageng Musalamat cepat menyalami tangan gurunya dan 

menciumnya dengan khidmat. Lalu orang tua itu diantarkannya 

sampai ke daratan. 

Ketika kapal besar itu mulai meluncur meninggalkan pantai 

utara pulau Jawa, Eyang Ismoyo Jelantik didampingi beberapa 

orang sahabat dan anak buahnya masih tegak di tepi pantai. Dia 

baru bergerak sewaktu kapal kayu itu lenyap di batas peman-

dangan. Dari saku jubahnya dikeluarkannya sebuah tasbih. Lalu

sambil melangkah orang tua ini mulai berzikir. Jauh di lubuk 

hatinya ada suara yang mengatakan bahwa dia tak akan bertemu 

lagi untuk selama-lamanya dengan muridnya itu. 

“Entah aku yang akan meninggalkan dunia fana ini lebih 

dulu, entah dia yang akan mendapat cobaan berat...” membatin si 

orang tua. “Tuhan, lindungi dia. Jauhkan dia dari segala 

malapetaka. Selamatkan dia dan seluruh anak buahnya kembali 

ke tanah Jawa.” 

-- == 0O0 ==

ENAM 

LAUT malam mengalun tenang. Itu adalah malam pertama 

kapal kayu yang ditumpangi rombongan Kanjeng Sri Ageng 

Musalamat dalam pelayaran menuju utara. Setelah beberapa lama 

berada di anjungan menikmati udara malam di tengah lautan murid 

Eyang Ismoyo itu turun ke bawah, masuk ke dalam kamarnya. Dia 

berdiri di atas sebuah kursi kayu lalu menggeser papan kecil di 

langit-langit ruangan. Dari atas langit-langit kamar dikeluarkannya 

Kitab Wasiat Dewa. Dengan hati-hati kitab itu diturunkannya lalu 

duduk di atas ranjang. 

Ageng Musalamat sengaja menyembunyikan kitab sakti itu di 

atas loteng kamar tidur karena khawatir ada yang berniat jahat. 

Apalagi dia sudah mendapat pemberitahuan dari sang guru kalau ada 

seseorang yang telah mencuri dengar percakapan mereka di dalam 

kamar. 

Sejak siang tadi sebenarnya Ageng Musalamat ingin membuka 

dan membaca isi kitab itu namun hatinya merasa tidak tenang. Hal 

ini dapat dimaklumi. Beban yang diberikan Eyang Ismoyo dengan 

menyerahkan kitab sakti itu padanya bukan beban kecil. Kalau 

sampai dia tidak dapat memegang amanat bukan dirinya saja yang 

akan celaka tapi rimba persilatan di tanah Jawa akan mengalami 

bencana. 

Ageng Musalamat memperbesar lampu minyak di atas kepala 

tempat tidur. Dengan tangan gemetar dia membalik sampul Kitab 

Wasiat Dewa. 

Pada halaman pertama tertera serangkaian tulisan dalam 

aksara Jawa kuno berbunyi:

Bilamana datang kebenaran maka meraunglah 

para iblis pembawa kejahatan. 

Kejahatan mungkin bisa berjaya. 

Tapi pada saat kebenaran dan keadilan muncul 

tak ada satu kekuatan lain mampu 

membendungnya. 

Kejahatan membakar dan merusak laksana api. 

Tetapi api itu sendiri sebenarnya adalah 

kekuatan dahsyat 

Yang diarahkan para Dewa untuk membakar 

mereka. 

Bilamana api memusnahkan mereka 

maka penyesalan tiada berguna. 

Ageng Musalamat membaca rangkaian kalimat itu sampai tiga 

kali lalu pejamkan mata merenungi dan meresapi. Sesaat kemudian 

baru dia membuka halaman kedua Kitab Wasiat Dewa yang terbuat 

dari daun lontar itu. 

Di halaman ini terdapat gambar kepala seekor harimau putih 

yang dikurung oleh lingkaran putih. Pada bagian bawah tertera 

tulisan berbunyi: 

Putih lambang kesucian dan kebenaran. 

Harimau lambang keberanian dan kejantanan. 

Barang siapa berjodoh dengan kitab ini maka 

kemana pun dia pergi harimau putih akan 

menjadi kekuatan, menjaganya dari segala 

musuh, ilmu hitam dan iblis jahat. 

Setelah mengerti betul apa yang tertulis di halaman kedua itu 

maka barulah Ageng Musalamat membalik memasuki halaman 

ketiga. Di halaman ini terdapat tulisan panjang dalam aksara Jawa 

kuno berukuran kecil. Ageng Musalamat terpaksa membaca dengan 

perlahan dan hati-hati agar tidak ada tulisan yang terlewat.

Barang siapa berjodoh dengan Kitab Wasiat Sakti 

dan mampu mempelajari yang tersurat maupun 

yang tersirat, menguasai yang lahir dan yang 

batin maka hendaklah dia mencamkan apa-apa 

yang telah disabdakan. 

Delapan Sabda Dewa adalah delapan jalur 

keselamatan. 

Tanah - Sabda Dewa Pertama 

Manusia berasal dan dijadikan dari tanah 

Kepada tanahlah manusia akan kembali 

Karenanya manusia tidak boleh congkak dan takabur 

dan harus ingat bahwa dirinya berasal dari 

gumpalan debu yang hina. 

Yang kuasa kemudian memberikan kehormatan, 

menjadikannya makhluk pilihan karena memiliki 

pikiran yang membedakannya dengan binatang. 

Tanah bagian dari bumi ciptaan Yang Kuasa di-

berikan kepada manusia untuk tempatnya berlin-

dung diri, berkaum-kaum dan mencari rezeki. 

Karenanya tidaklah layak kalau manusia merusak 

tanah dan bumi untuk maksud-maksud keji serta 

berbuat kejahatan di atasnya. 

Tanah dan bumi diberikan Yang Kuasa untuk ke-

bahagiaan ummat manusia. Karenanya manusia 

wajib berterima kasih dengan jalan 

memeliharanya. Tanah tempat kaki berpijak. 

Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung 

Ketika tanah dijadikan ajang pertumpahan 

para Dewa pun gelisah dalam duka dan kecewa 

Mengapa manusia tidak berpikir dan berterima 

kasih? 

Air - Sabda Dewa Ke-dua 

Lebih dari separuh bumi diciptakan Yang Kuasa 

dalam bentuk air 

Air mengalir di bumi dan mengalir di tubuh 

manusia. 

Air sumber kehidupan 

Air membawa berkah 

Mengapa manusia tidak berpikir? 

Mengapa manusia berlaku keji mencemari air, 

membunuh makhluk yang hidup di dalam air dan 

di atas air 

Air selalu mengalir dari atas ke bawah

Bukankah itu satu petunjuk bahwa mereka yang di 

atas harus menolong mereka yang di bawah? Pada 

saat manusia lupa dan tidak berterima kasih 

atas segala berkah 

Maka para Dewa berseteru dengan mereka Azab Yang 

Kuasa pun turunlah 

Dan air berubah menjadi bencana. 

Api - Sabda Dewa ke-tiga 

Ketika kecil menjadi kawan 

Sewaktu besar menjadi lawan 

Mengapa manusia tidak mau berpikir dalam mencari 

manfaat daripada kualat? 

Api membakar seganas iblis 

Di dalam tubuh manusia ada api yang mampu merubah 

manusia menjadi iblis 

Barang siapa tidak mampu melawan api, bumi dan 

tanah akan meratap, air akan menangis manusia 

akan menjadi api puntung neraka. 

Para Dewa terhempas dalam perkabungan. 

Udara - Sabda Dewa Ke-empat 

Udara sumber kehidupan 

Dihembuskan Yang Kuasa ke dalam jalan pernapasan 

jantung sanubari manusia 

Udara tidak terlihat oleh mata, tidak teraba oleh 

tangan 

Di dalam yang tidak terlihat dan tidak tersentuh 

itu ada berkah yang maha besar 

Mengapa manusia masih mau berlaku culas 

Mencemari udara dengan berbagai kebusukan 

Ketika jalan napas tak dapat lagi menerima hawa 

kotor, 

Para Dewa siap melihat kematian mengenaskan 

Mengapa manusia tidak berpikir? 

Bulan - Sabda Dewa Ke-lima 

Sumber kesejukan dunia ini muncul dikala malam 

Tiada keindahan melebihi malam dengan rembulan 

penuh memancarkan cahayanya yang lembut 

Mengapa manusia tidak bisa selembut sinar 

rembulan? 

Padahal manusia memiliki pikiran, bulan tidak

Padahal manusia memiliki hati, rembulan tidak 

Bukankah kelembutan sinar rembulan mencerminkan 

perasaan kasih? 

Kasih dari orang tua terhadap anaknya 

Kasih seorang pemuda pada gadis curahan hatinya 

Kasih sesama insan 

Bahkan binatang pun mempunyai rasa kasih 

Lalu mengapa manusia terkadang melupakannya? 

Mengapa kasih dapat berubah menjadi kebencian 

yang mendatangkan azab dan sengsara? 

Dari siapa para Dewa akan mendapat jawaban? 

Matahari - Sabda Dewa Ke-enam 

Ketika bumi berputar dan matahari menerangi jagat 

Cahaya terang menjadi berkah bagi seisi alam 

Yang kuasa tidak ingin para makhluk dalam 

kegelapan 

Tetapi mengapa banyak diantara mereka yang se-

ngaja mencari memeluk kegelapan? 

Tidakkah manusia berpikir 

Bahwa cahaya hati tak kalah pentingnya dari 

cahaya matahari? 

Ketika bumi menjadi gelap karena sinar matahari 

terhalang rembulan, 

Apakah manusia merenungi arti semua ini? Mengapa 

ummat mengeluh teriknya matahari 

Padahal diakhir dunia kelak mereka akan didera 

oleh seribu teriknya matahari 

Padahal bukankah para Dewa telah memberi ingat 

akan azab setiap dosa? 

Kayu - Sabda Dewa Ke-tujuh 

Siapa yang menanam akan menuai 

Itu janji Maha Pencipta 

Kebaikan yang ditanam walaupun sebesar zarah 

Sang Pencipta tiada akan melupakannya 

Karena Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui 

Lalu mengapa kemudian manusia merusak benlh, 

merusak yang tumbuh di atas tanah 

Padahal mereka perlu tetumbuhan untuk dimakan 

Padahal mereka butuh pepohonan untuk berlindung 

Adakah manusia merasa bisa hidup tanpa pohon dan 

kayu?

Ketika badai mengamuk dan pepohonan tumbang sama 

rata dengan tanah 

Ketika para Dewa merenung mengingat dosa 

Ummat manusia masih saja berbuat kerusakan 

Padahal mereka punya otak untuk berpikir dan 

punya hati untuk merasa. 

Batu - Sabda Dewa Ke-delapan 

Ketika gunung batu meletus 

Para Dewa bersujud minta ampun 

Manusia menjerit, terhenyak dalam ketakutan 

Tapi hanya seketika 

Sesaat mereka terlepas dari bencana kembali me-

reka lupa dan tegakkan kepala dengan congkak 

Batu dijadikan Maha Pencipta agar manusia mem-

pergunakannya untuk melindungi diri dari 

keganasan alam 

Agar manusia ingat bahwa keteguhan iman harus 

dipegang sekukuh batu 

Ketika iman runtuh seperti runtuhnya gunung batu 

Para Dewa menangis meminta ampun 

Apakah mata dan hati manusia telah berubah men-

jadi batu, buta dan bisu tiada rasa? 

Kanjeng Sri Ageng Musalamat terpekur lama meresapi apa yang 

barusan dibacanya. “Delapan Sabda Dewa...” katanya dalam hati 

sambil memejamkan mata. “Sungguh luar biasa. Tak pernah kubaca 

tulisan sebagus ini. Pengertiannya bila ditelusuri sangat mendalam. 

Menurut Eyang Ismoyo buku ini ditulis pada masa orang belum 

mengenal agama. Tapi aneh sekali, apa yang tertulis di sini, dasar 

pemikiran sang penulis jelas seperti berasal dari Kitab Suci. Siapa 

yang dimaksud penulis dengan para Dewa dalam kitab ini? Para tokoh 

silat, para pemuka agama atau Dewa sungguhan...?” 

Sri Ageng Musalamat mengusap-usap dagunya “Isi kitab ini 

mengandung makna bahwa manusia harus ingat siapa dirinya, harus 

ingat pada ajaran Sang Pencipta, harus hidup perduli diri sendiri dan 

perduli lingkungan. Delapan Sabda Dewa ditutup dengan rangkuman 

kalimat agar manusia memiliki iman sekokoh batu.... Lalu dimanakah

letak kehebatan buku ini? Mana ajaran-ajaran silat atau ilmu 

kesaktian yang katanya bisa membuat seseorang menjadi penguasa 

dunia persilatan? Ah! Aku bersikap bodoh. Yang kubaca baru 

beberapa halaman. Masih ada halaman lain yang harus kubaca dan 

kuteliti...” 

Perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat pergunakan jari-jari 

tangan kanannya untuk membuka halaman berikutnya yakni halaman 

kelima. 

Mendadak Ageng Musalamat merasakan satu keanehan. Jari 

telunjuk dan jari tengah tangan kanannya bergetar keras. Lalu dua jari 

itu laksana berubah menjadi kayu tak mampu lagi digerakkan. 

“Astagfirullah, dua jari tanganku menjadi kaku. Tak bisa 

digerakkan. Aku tak mampu membalikkan halaman keempat untuk 

membuka halaman ke lima....” Ageng Musalamat kerahkan tenaga 

luarnya “Celaka! Kini lima jariku semua jadi kaku!” Lelaki itu terkejut 

dan berubah air mukanya. Selain heran dan terkejut ada sekelumit 

rasa penasaran dalam dirinya “Membalikkan halaman kitab daun 

lontar ini api sulitnya. Tapi mengapa jari-jariku mendadak menjadi 

kaku tak bisa digerakkan?! Kalau aku salurkan tenaga dalam mungkin 

jari-jariku bisa pulih dan aku mampu membuka halaman kelima....“ 

Berpikir sampai disitu Ageng Musalamat kerahkan tenaga dalam 

murninya dari pusar ke pergelangan tangan kanan terus ke ujung-

ujung lima jarinya. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat lelaki ini 

keluarkan seruan tertahan dan wajahnya mengerenyit tanda menahan 

sakit yang amat sangat. 

Tangan kanannya seperti disambar petir terbanting ke samping 

dan ada. asap putih mengepul dari tangan itu. Ketika dia 

memperhatikan ternyata tangan kanannya sebatas siku ke bawah 

telah berubah menjadi sangat merah laksana tersiram air panas. 

Selagi Ageng Musalamat tenggelam dalam keterkejutan dan kesakitan 

yang amat sangat tiba-tiba kamar di mana dia berada itu laksana 

runtuh oleh suara auman dahsyat. Suara auman harimau. Bersamaan

dengan itu hidungnya mencium harum bau kemenyan hingga dalam 

kesakitan Ageng Musalamat kini juga dilanda rasa ngeri yang 

membuat bulu tengkuknya merinding! 

“Ya Tuhan, lindungi diriku. Apa yang sesungguhnya terjadi. 

Jangan berikan cobaan padaku yang aku tidak sanggup 

menghadapinya...” 

Sekali lagi terdengar suara auman dalam kamar kayu yang 

sempit itu. Seperti disapu angin dahsyat Ageng Musalamat terbanting 

ke dinding kamar. Tangan kirinya masih memegang Kitab Wasiat 

Dewa. Kedua matanya membelalak ketika tiba-tiba di hadapannya 

muncul dua bayang-bayang aneh yang samar-samar membentuk 

sosok tubuh manusia dan sosok binatang besar! 

-- == 0O0 ==

TUJUH 

WALAU dua sosok di hadapannya tidak beda seperti asap tipis 

namun Sri Ageng Musalamat dapat melihat bahwa sosok pertama 

adalah seorang tua bertampang gagah yang tubuhnya sangat tinggi 

hingga kepalanya yang berambut putih hampir menyentuh langit-

langit kamar. Orang ini mengenakan selempang kain putih dan 

memegang sebuah tongkat kayu berwarna putih. Sepasang matanya 

berwarna kebiruan dan menatap tajam pada Ageng Musalamat yang 

saat itu masih terhenyak di atas ranjang kayu dan tersandar ke 

dinding kamar. 

Di sebelah kiri si orang tua, ini yang membuat Ageng Musalamat 

menjadi menahan napas dan keluarkan keringat dingin tegak seekor 

harimau putih yang bukan main besarnya, memiliki tinggi tubuh 

sampai sepinggang orang tua berselempang kain putih itu. Sepasang 

mata harimau besar ini berwarna kehijau-hijauan, memandang tak 

berkesip pada Ageng Musalamat. 

Setelah menenangkan hati dan berusaha tabah, walau suaranya 

masih gemetar Ageng Musalamat bertanya. 

“Or... orang tua.... Siapa kau adanya?” Dalam hati dia yakin saat 

itu bukan berhadapan dengan manusia dan harimau sungguhan. 

Mungkin jin laut naik ke atas kapal bersama binatang peliharaannya? 

Atau mungkin kapal yang ditumpanginya itu berpenghuni makhluk 

halus? Untuk tambah menguatkan hatinya Ageng Musalamat diam-

diam membaca berbagai ayat suci dan memahon perlindungan pada 

Yang Maha Kuasa. 

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat...” orang tua berbentuk bayangan 

dan menyebut nama lengkap murid Eyang Ismoyo itu. “Seratus tahun 

lalu aku dikenal dengan nama Datuk Rao Basaluang Ameh. Jazadku 

sudah lama ditelan bumi. Kalau aku bisa muncui dan berdiri di 

hadapanmu saat ini, itu tidak lain semata-mata adalah karena 

Kuasanya Tuhan Seru Sekalian Alam. Harimau putih di sampingku

adalah Datuk Rao Bamato Hijau. Seperti diriku dia pun sudah lama 

bersatu dengan bumi yang dengan Kuasa Allah masih bisa muncul 

dan ikut bersamaku pada saat-saat diperlukan. Kami datang untuk 

memberitahu padamu bahwa Kitab Wasiat Dewa tidak berjodoh 

dengan dirimu...” 

“Da... Datuk Rao.... Aku tak mengerti maksudmu,” kata Ageng 

Musalamat. 

“Kitab Wasiat Dewa yang ada di tangan kirimu itu tidak 

berjodoh dengan dirimu. Dengan kata lain apa-apa yang ada di 

dalamnya tidak boleh kau pelajari. Cukup kau hanya berkesempatan 

membaca sampai halaman ke empat. Dalam empat halaman itu 

sesungguhnya kau telah mempelajari hal-hal besar yang orang lain 

tidak pernah mengetahui atau rnenyadarinya sebelumnya....” 

“Orang tua, harap maafkan kalau kukatakan aku masih tidak 

mengerti. Izinkan aku bertanya, apa hubunganmu dengan kitab ini?” 

“Kami adalah sesepuh terakhir yang diserahi tugas untuk 

menjaga Kitab Wasiat Dewa. Kitab itu tidak boleh jatuh ke tangan 

orang yang tidak mendapat izin dan ridho. Apalagi kalau sampai 

mempelajarinya....” 

“Kitab ini aku terima dari guruku Eyang ismovo Jeiantik yang 

dikenal dengan panggilan Wali Astanapura...” 

“Kami tahu hal itu...” kata si orang tua pula. “Beliau 

menyerahkan disertai pesan bahwa aku harus mempelajari serta 

menyelami isi kitab ini. Kelak aku akan memiliki ilmu sangat berguna 

untuk membela keadilan dan kebenaran, menguasai dunia persilatan 

di jalan Allah, pengubur kesesatan dan penumpas kejahatan.... Dia 

telah membaca isi buku ini walau katanya tidak tuntas. Karena sudah 

terlalu tua untuk mempelajari maka diserahkan padaku.... “ 

“Kami tahu, tapi ada yang kau tidak tahu. Ismoyo Jelantik tidak 

pernah membaca apalagi mempelajari isi Kitab Wasiat Dewa itu.... “ 

Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut mendengar ucapan 

orang tua berupa bayangan dan asap itu.

“Kami menitipkan Kitab Wasiat Dewa padanya melalui 

seseorang. Dia menjaga kitab sakti itu selama lima belas tahun tanpa 

sekali pun berani membuka dan membaca isinya. Itu sesuai dengan 

pesan kami. Kami juga mengatakan padanya bahwa kitab itu kelak 

harus diserahkannya pada orang yang sangat dipercayanya. Dan orang 

itu ternyata adalah dirimu.... “ 

“Kalau kau sudah tahu hal itu berarti tidak ada halangan bagiku 

untuk mempelajari segala ilmu kesaktian yang ada di dalamnya.” 

“Tidak Ageng Musalamat. Kau tidak boleh mempelajari isinya. 

Karena kau hanyalah seorang perantara yang dititipkan untuk 

menjaga kitab itu baik-baik seperti kau menjaga keselamatan diri dan 

nyawamu sendiri. Kelak seperti Ismoyo Jelantik, kau pun harus 

menyerahkan Kitab Wasiat Dewa itu pada seseorang yang paling kau 

percayai.... “ 

Ageng Musalamat jadi terdiam mendengar ucapan si orang tua. 

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apakah kau mendengar dan 

mengerti apa-apa yang aku ucapkan tadi?” bertanya Datuk Rao 

Basaluang Ameh. 

“Aku mendengar, tapi terus terang harap dimaafkan sulit aku 

bisa mengerti semua ini. Kau menyebut dirimu sudah ditelan bumi 

seratus tahun yang silam. Bagaimana aku bisa mempercayai hal-hal 

yang tidak bisa dicerna akal dan pikiran ini...?” 

“Ada hal-hal yang memang tak bisa dicerna oleh otak manusia, 

karena semua itu terjadi dengan kodrat dan kuasanya Tuhan. Bila 

manusia memaksa untuk memecahkannya sedang dia tidak mampu 

melakukannya maka berarti manusia mendera dan menyiksa dirinya 

sendiri. Namun apa yang aku katakan padamu tidak termasuk dalam 

hal-hal yang tak bisa dicerna akal dan pikiran itu. Kami hanya 

meminta agar kau menjaga Kitab Wasiat Dewa baik-baik, jangan 

membaca dan mempelajari isi kitab mulai dari halaman lima. Dan 

bahwa kau harus menyerahkan kitab itu kelak pada seseorang yang 

sangat kau percayai....

“Siapa orangnya...?” tanya Ageng Musalamat. 

“Kau akan tahu sendiri pada dua puluh tahun mendatang...” 

jawab Datuk Rao Basaluang Ameh. 

“Datuk....” 

“Kau berjanji akan mematuhi apa yang kami minta?” 

“Aku tak mungkin berjanji.... “ 

“Kalau begitu bersumpahlah!” kata Datuk Rao Basaluang 

Ameh. 

Ageng Musalamat menangkap nada suara yang mengandung 

ancaman. Lalu dia ingat apa yang terjadi atas dirinya sebelum 

kemunculan si orang tua dan harimau putihnya. Mula-mula dua jari 

tangannya kaku, lalu seluruh jari tangannya. Ketika dia memaksa 

dengan mengerahkan tenaga dalam untuk membuka halaman ke 

lima dari Kitab Wasiat Dewa, sekujur lengannya bukan saja menjadi 

kaku tapi juga melepuh merah laksana tersiram air panas! Sesaat 

Ageng Musalamat memperhatikan tangan kanannya. “Jangan-jangan 

orang tua ini yang telah melakukannya...” kata Ageng Musalamat 

dalam hati. “Kalau aku menolak permintaannya pasti dia akan 

melakukan sesuatu yang lebih hebat dari ini....” 

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, aku tahu apa yang ada dalam 

benakmu.” Tiba-tiba Datuk Rao Basaluang Ameh berucap, membuat 

Ageng Musalamat terkesiap. 

“Jika kau merasa tidak sanggup menjaga Kitab Putih Wasiat 

Dewa, lebih dari itu tidak akan berlaku culas membaca seluruh 

isinya, maka saat ini juga lebih baik kau serahkan kitab itu padakul” 

Si orang tua angkat tangannya yang memegang tongkat. 

Tongkat kayu putih itu di arahkannya pada Ageng Musalamat. Saat 

itu juga tubuh Ageng Musalamat tersedot ke depan. Keningnya 

menempel di ujung tongkat. Sementara sekujur tubuhnya terasa 

kaku dan sedingin es! Putuslah nyali murid Eyang Ismoyo ini.

“Datuk Rao... Aku, aku berjanji akan menjaga Kitab Wasiat 

Dewa dan nanti akan menyerahkannya pada orang yang paling 

kupercaya....“ 

“Kau tidak akan mengingkari janji?” 

“Tidak Datuk....“ 

“Bagus. Tapi harap kau ingat. Jika kau berlaku curang dan 

mengingkari janji maka kau akan mendapat malapetaka besar...“ 

“Aku tidak akan mengingkari janji Datuk,” kata Ageng 

Musalamat pula. 

Datuk Rao Basaluang Ameh tarik tongkatnya sedikit. Ujung 

tongkat terlepas perlahan dari kening Ageng Musaiamat. Tapi 

sebaliknya murid Eyang Ismoyo ini terpental dan terbanting ke 

dinding kamar. 

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, kami tahu beban berat 

bagimu dalam menjaga Kitab Wasiat Dewa. Apalagi kau akan 

berada di negeri asing. Kau lebih beruntung dari orang-orang yang 

pernah ketitipan kitab sakti bertuah itu sebelumnya...”

“Apa maksud Datuk Rao?” tanya Ageng Musalamat. 

“Kau akan kami berikan satu jurus ilmu silat Harimau Dewa. 

Mudah-mudahan bisa kau pergunakan untuk menjaga diri....” 

“Datuk hendak mengajarkan tlmu silat Harimau Dewa. Di 

dalam kamar sesempit ini? Bagaimana mungkin...” 

Ilmu ini tidak perlu dilatih secara lahir. Pada saat kau 

memerlukan, ilmu itu akan menuntunmu menghadapi musuh…” 

“Ilmu aneh luar biasa. Jika Datuk tidak bergurau maka saya 

menghaturkan terima kasih…” 

“Mendekatlah ke sini Ageng Musalamat. Duduk di lantai di 

hadapanku,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh. 

Ageng Musalamat turun dari atas ranjang kayu. “Letakkan 

Kitab Putih Wasiat Dewa di atas pangkuanmu.” 

Kembali murid Eyang Ismoyo melakukan apa yang dikatakan 

si orang tua berbentuk samar. Setelah Ageng Musalamat duduk di

hadapannya, dari balik selempang kain putihnya Datuk Rao 

keluarkan sebuah benda yang memancarkan sinar kekuningan. 

Benda ini ternyata adalah sebuah saluang terbuat dari emas. 

(Saluang = sebentuk seruling khas Minangkabau yang biasanya 

terbuat dari bambu). 

Datuk Rao dekatkan ujung saluang ke mulutnya. Sesaat 

kemudian menggemalah suara alunan seruling, lembut berhiba-

hiba. Harimau putih besar di samping sang Datuk tiba-tiba 

melangkah ke hadapan Ageng Musalamat. Orang ini serasa terbang 

nyawanya ketika binatang itu tiba-tiba mengaum dahsyat lalu 

membuka mulutnya lebar-lebar. Sekali lahap saja seluruh kepala 

Ageng Musalamat sampai ke pangkal leher masuk ke dalam 

mulutnya. 

Murid Eyang Ismoyo ini tidak sempat merasakan adanya 

hawa dingin yang keluar dari mulut harimau putih karena dirinya 

langsung pingsan. Hawa aneh ini menjalar memasuki kepalanya 

terus mengalir ke tangannya kiri kanan. 

-- == 0O0 ==

DELAPAN 

PEMUDA berpakaian biru berikat kepala merah dan bertubuh 

tegap itu sesaat tegak tak bergerak di depan pintu kamar. Dari balik 

tumpukan peti-peti besar melangkah keluar seorang lelaki separuh 

baya. Mereka adalah anggota rombongan dan murid-murid Ageng 

Musalamat. Lelaki yang melangkah dari balik peti menegur pemuda 

yang berdiri di depan pintu kamar Ageng Musalamat. 

“Cagak Guntoro, sedang apa kau di situ? Air mukamu kulihat 

aneh.” 

Pemuda bernama Cagak Guntoro tersentak kaget oleh teguran 

yang tiba-tiba itu. “Kakak Munding Sura, syukur kau datang. Aku 

mendengar suara 

suara aneh dari dalam kamar pimpinan kita Kanjeng Sri Ageng 

Musalamat.” 

Munding Sura tersenyum. “Kau baru sekali ini mengarungi laut 

naik kapal. Berbagai suara dalam kapal serta suara angin laut tentu 

telah mempengaruhi pendengaranmu.” 

“Aku tidak tertipu pendengaran sendiri kakak Munding. Aku 

barusan dari geladak. Kanjeng Sri Ageng tidak ada di sana. Aku yakin 

dia berada dalam kamar...” 

“Malarn belum larut, tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng masuk 

kamar untuk tidur...” kata Munding Sura pula. “Suara-suara aneh apa 

yang tadi kau dengar?” 

“Suara seperti orang jatuh. Mungkin juga suara orang 

dibanting ke dinding. Lalu aku dengar Kanjeng Ageng bicara. Tapi 

lawan bicaranya tak kedengaran suaranya...” 

“Kau ngaco Cagak! Apa kau kira pimpinan kita tidak waras 

bicara sendirian dalam kamar? Hemm... mungkin dia memang sudah

tertidur lalu mengigau.... Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini. 

Naik ke geladak melihat-lihat laut waktu malam...“ 

Munding Sura hendak berlalu tapi Cagak Guntoro cepat 

memegang bahunya dan berkata. “Kalau kita pergi begitu saja tanpa 

menyelidik, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan dirinya?” 

“Lalu apa yang ada di benakmu?” tanya Munding Sura. 

Cagak Guntoro tidak menjawab. Dia melangkah mendekati 

pintu lalu mengetuk. Tak ada jawaban. Pemuda ini mengetuk sekali 

lagi. Kini sambil bertanya. “Kanjeng Sri Ageng, kau ada di dalam?” 

Tetap tak ada jawaban. Cagak Guntoro memandang pada 

Munding Sura. Lelaki satu ini kini mulai merasa tidak enak. 

“Buka pintunya. Kalau terkunci buka paksa!” kata Munding 

Sura. 

Cagak Guntoro coba membuka pintu. “Dikunci dari dalam...” 

bisiknya. Lalu pemuda bertubuh kekar dan kuat ini pergunakan 

bahunya untuk mendorong. Sekali mendorong pintu kamar terbuka. 

Dia melangkah masuk ke dalam. Munding Sura mengikuti. Namun 

belum sempat mereka melewati ambang pintu, kedua orang ini 

melompat mundur sambil berbarengan keluarkan seruan tertahan. 

Di dalam kamar yang tak seberapa besar itu, Kanjeng Sri Ageng 

Musalamat tampak terbujur di atas ranjang kayu. Punggungnya 

tersandar ke dinding. Di tangan kirinya ada sebuah kitab daun lontar 

dalam keadaan terkembang. Sekujur tubuh Ageng Musalamat tampak 

tak kurang suatu apa. Namun mukanya inilah yang membuat dua 

anggota rombongan itu terkejut bukan kepalang bahkan ngeri. Muka 

itu telah berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Kejadian ini 

hanya terlihat sebentar karena sesaat kemudian perlahan-lahan wajah 

Sri Ageng Musalamat kembali pulih ke bentuknya semula. Cuma 

hanya sepasang matanya saja yang kelihatan terkatup.

“Apa yang terjadi dengan pimpinan kita? Barusan mukanya 

seperti harimau...” kata Cagak Guntoro dengan suara bergetar karena 

masih diselimuti rasa ngeri. 

“Aku mencium bau kemenyan,” balas berbisik Munding Sura. 

“Yang begini merupakan tanda-tanda ilmu hitam...” 

“Tidak mungkin Kanjeng Sri Ageng memiliki ilmu hitam. Kita 

semua tahu betul hal itu!” kata Cagak Guntoro pula. 

“Jangan-jangan ada seseorang telah berbuat jahat terhadapnya. 

Kita harus segera membuat dia sadar...” Munding Sura masuk ke 

dalam kamar. Namun saat itu perlahan-lahan Sri Ageng Musalamat 

membuka kedua matanya. Dalam keadaan sadar dia segera ingat akan 

apa yang barusan dialaminya. Namun tidak bisa memikir panjang 

karena dilihatnya ada dua orang anak buahnya berada dalam kamar. 

“Cagak Guntoro, Munding Sura! Ada apa kalian berada dalam 

kamarku?!” tanya Ageng Musalamat. 

“Maafkan kami berdua Kanjeng Sri Ageng. Kami tidak 

bermaksud lancang. Namun tadi Cagak Guntoro mendengar suara 

gaduh dalam kamar....” 

“Betul Kanjeng. Saya mendengar suara seperti sosok tubuh 

terbanting ke dinding.... Kami mengetuk pintu kamar. Juga 

memanggil-manggil. Tapi tak ada jawaban. Karena khawatir terjadi 

apa-apa dengan Kanjeng kami lalu memaksa masuk...,” Begitu Cagak 

Guntoro menerangkan. 

“Waktu masuk kamar ini terselubung bau kemenyan...” 

menambahkan Munding Sura. “Begitu masuk kami lihat Kanjeng 

tersandar ke dinding. Mata 

terpejam entah tidur entah pingsan. Syukur sekarang Kanjeng 

sudah bangun. Mohon maafmu kanjeng. Kami minta diri....” 

“Tunggu...” kata Ageng Musalamat. “Selain suara orang 

terbanting ke dinding, apa kalian juga mendengar suara-suara lain...?”

“Kami mendengar Kanjeng bicara dengan seseorang. Tapi waktu 

kami masuk tidak ada siapa-siapa di kamar ini selain Kanjeng.... “ 

Menjawab Cagak Guntoro. 

“Hemmm.... Berarti mereka tidak mendengar suara auman 

harimau putih itu. Juga tidak mendengar suara seruling dan suara 

Datuk Rao Basaluang Ameh,” membatin Ageng Musalamat. 

Munding Sura melirik pada kitab yang ada di tangan kiri Ageng 

Musalamat dan masih dalam keadaan terbuka. Melihat orang melirik 

baru Ageng Musalamat sadar. Kitab Wasiat Dewa cepat ditutupnya. 

Lalu dia bertanya. 

“Apa kalian masih mencium bau kemenyan di kamar ini?” 

Dua anak murid menggeleng. 

“Kalian boleh pergi. Tak usah khawatir. Tak ada apa-apa di sini. 

Aku berterima kasih kalian punya perhatian atas keselamatanku.... 

Sebelum pergi mungkin ada hal lain yang hendak kalian katakan 

padaku?” 

Cagak Guntoro sesaat memandang pada Munding Sura. Pemuda 

itu memandang maksudnya untuk memberi isyarat pada lelaki itu 

apakah akan diceritakan saja bagaimana tadi mereka menyaksikan 

wajah sang Kanjeng berubah seperti muka seekor harimau putih. 

Namun Munding Sura saat itu cepat-cepat membungkuk hingga 

Cagak Guntoro terpaksa mengikuti meninggalkan kamar itu. 

Sampai di geladak Munding Sura memegang lengan Cagak 

Guntoro lalu bertanya berbisik. “Waktu di dalam kamar tadi kau 

berada lebih dekat ke tempat tidur Kanjeng Sri Ageng. Apa kau sempat 

memperhatikan kitab daun lontar yang dipegang Kanjeng?” 

“Sempat, tapi aku tak tahu buku apa. Tulisannya kecil-kecil. 

Lagi pula ditulis memakai huruf Jawa kuno. Aku tidak begitu pandai 

membaca tulisan Jawa kuno... Kenapa kau menanyakan kitab itu?” 

“Aku khawatir kitab itu ada hubungannya dengan keadaan 

Kanjeng tadi...”

“Hem, bagaimana kau bisa menduga begitu kakak Munding 

Sura?” tanya Cagak Guntoro. Munding Sura terdiam lalu mengangkat 

bahu. “Kurasa Kanjeng tidak suka kita membicarakan apa yang tadi 

kita saksikan. Sebaiknya kita lupakan saja kejadian itu....” 

“Kurasa begitu...” kata Cagak Guntoro. Lalu dia menepuk bahu 

Munding Sura dan berbisik. “Lihat, Kanjeng Sri Ageng ada di ujung 

buritan sana.... 

Memang ada baiknya dia berada di laut terbuka begini berangin-

angin. Dalam kamar terus-terusan udaranya kurang sehat. Panas dan 

pengap.” 

* * 

Sambil berpegangan pada pagar kayu kokoh di buritan kapal 

sebelah kiri Ageng Musalamat meraba dadanya. Di balik pakaiannya 

tersimpan Kitab Putih Wasiat Dewa. Setelah apa yang tadi terjadi di 

dalam kamar, kitab itu tak akan ditinggalkannya ke mana pun dia 

pergi. Memandang ke arah lautan luas yang menghitam dalam 

kegelapan malam Ageng Musalamat merenungi apa yang 

telah,dialaminya. 

“Dua puluh tahun.... Menurut orang tua yang muncul secara 

aneh itu aku harus menyerahkan Kitab Wasiat Dewa pada seorang 

yang paling aku percayai. Padahal Eyang Ismoyo jelas-jelas me-

ngatakan jika aku mempelajari keseluruhan isi kitab ini aku akan 

menjadi penguasa dunia persilatan. Hemmm... mengapa orang tua itu 

berdusta? Kalau saja sebelumnya dia menceritakan terus terang pa-

daku bahwa kitab ini tidak berjodoh rasanya bebanku tidak akan 

seberat ini. Atau mungkin dia sendiri tidak mengetahui kalau dirinya, 

dan juga diriku hanya ketitipan saja sebelum Kitab Wasiat Dewa 

sampai di tangan orang yang benar-benar berjodoh? Lalu siapa pula 

gerangan orang yang beruntung itu?”

Ageng Musalamat menarik napas dalam berulang kali. “Waktu 

kutanya apakah ada hal lain yang hendak disampaikan, Cagak 

Guntoro kulihat seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi Munding 

Sura cepat-cepat keluar hingga pemuda itu tak sempat bicara. Atau 

mungkin Munding Sura tidak mau Cagak Guntoro mengatakan. 

Mengatakan apa? Aku harus menyelidik.” 

Lama Sri Ageng Musalamat merenung dan berpikir-pikir di 

buritan kapal. Dia baru beranjak dari situ ketika angin laut terasa 

semakin kencang dan lembab. 

Ketika dia mendorong pintu kamar dan masuk ke dalam, 

langkah Ageng Musalamat serta merta terhenti. Peti kayu berukir 

tempat disimpannya keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit dilihatnya 

tercampak di lantai. Ageng Musalamat cepat mengambil dan membuka 

tutupnya untuk memeriksa. Tujuh cahaya emas membersit 

menyilaukannya. Hatinya lega mendapatkan senjata mustika itu 

masih berada dalam peti. 

“Peti ini sebelumnya berada di atas meja kecil sana. Bagaimana 

mungkin tahu-tahu berada di lantai? Pasti ada seseorang yang coba 

mencurinya...“ Lalu Ageng Musalamat ingat akan keterangan Eyang 

Ismoyo. Barang siapa bermaksud jahat dan mencuri keris sakti itu 

maka senjata itu akan berubah beratnya laksana segunung batu! 

Ageng Musalamat coba mereka-reka. “Ada seseorang menyelinap 

masuk. Mengambil peti berisi keris. Ketika coba membawanya keluar 

kamar tiba-tiba keris menjadi sangat berat hingga dia tidak mampu 

mengangkat dan lepas dari pegangannya. Pengkhianat terkutuk. 

Pencuri laknat. Ada pengkhianat dan pencuri di atas kapal ini. 

Celakanya dia adalah salah seorang dari murid-muridku!” 

Dengan mengepalkan tangan Ageng Musalamat tinggalkan 

buritan. Cagak Guntoro ditemuinya lebih dulu. Pemuda ini terduduk 

di salah satu sudut kapal. Kaki kanannya tampak bengkak dan luka. 

Seorang kawannya sibuk menguruti kaki yang cidera itu.

“Hemm.... Dia rupanya,” kata Ageng Musalamat dalam hati. Dia 

melangkah mendekati orang yang mengurut dan menepuk bahunya. 

“Pergilah... Biar aku yang meneruskan mengurut kakinya.” 

“Kanjeng.... Tak usah. Biarkan saja dia...” kata Cagak Guntoro. 

Namun pandangan mata pimpinan mereka membuat pemuda yang 

tadi mengurut segera berdiri dan tinggalkan tempat itu. Setelah me-

reka berada berdua saja Ageng Musalamat berjongkok di depan Cagak 

Guntoro. Sambii memegang kaki kanan pemuda itu dia berkata. 

“Hemmm... Cidera kakimu cukup parah. Apa yang terjadi Cagak 

Guntoro?” 

“Kakiku kejatuhan salah satu besi penahan tiang layar kapal...“ 

“Pasti kau tidak berhati-hati. Malu rasanya pemuda sehebatmu 

bisa dihajar lawan tidak bernapas seperti besi itu!” Ageng Musalamat 

menyeringai. Lalu tangan kirinya bergerak memegang kaki kanan mu-

ridnya itu. Pegangan sang Kanjeng bukan pegangan sembarangan 

karena disertai tenaga yang kuat hingga Cagak Guntoro teraduh-aduh 

kesakitan. 

“Dengar, aku bisa meremukkan tulang kakimu mulai dari ujung 

jari sampai ke mata kaki...” kata Ageng Musalamat dengan suara 

tajam dan pandangan mata tak berkesip. 

“Kanjeng.... Apa maksudmu?” tanya Cagak Guntoro sambil 

menahan sakit. 

“Katakan apa yang sebenarnya terjadi! Kakimu itu cidera 

bukan karena kejatuhan besi kapal!” 

“Aku tidak berdusta Kanjeng. Perlu apa....” 

“Waktu aku berada di buritan kau menyelinap masuk ke dalam 

kamarku. Berusaha mencuri peti kayu berisi keris Kiyai Sabrang 

Tujuh Langit! Benda sakti itu tiba-tiba menjadi berat dan kau tidak 

mampu memegangnya. Peti kayu terlepas dari tanganmu, jatuh 

menimpa kaki kananmu hingga hampir remuk!” Cagak Guntoro 

tampak berubah mukanya.

Kanjeng... aku tak pernah berdusta padamu.... Mengingat 

budimu aku menghormati lebih dari menghormati orang tua 

sendiri...“ 

“Kedua orang tuamu sudah mati! Tak perlu disebut-sebut. Aku 

tidak percaya pada keteranganmu. Ingat, kau dulu kupungut dari 

pasar sewaktu jadi pengemis kecil, kurus kering dan korengan. Hebat 

kalau kau menyebut segala budi. Kau memang telah membuktikan. 

Dengan mencuri keris itu tapi gagal karena kau tidak tahu 

bagaimana saktinya senjata itul” 

Wajah Cagak Guntoro tampak pucat sekali. Dia menggeleng-

gelengkan kepalanya berulang kali. “Menurut pesan Eyang Ismoyo 

manusia culas sepertimu layak dibuat mampus. Tapi aku masih mau 

memberi pengampunan. Kedudukanmu sebagai murid aku cabut. 

Derajatmu sekarang sama dengan pembantu yang harus melayani 

semua anggota rombongan! Kalau kelak nanti tidak terbukti bahwa 

memang bukan kau yang hendak mencuri senjata mustika itu maka 

aku akan memikirkan untuk memulihkan kedudukanmu kembali!” 

Kanjeng Sri Ageng Musalamat bantingkan kaki kanan Cagak 

Guntoro ke lantai lalu berdiri dan tinggalkan tempat itu. 

“Kanjeng!” panggil Cagak Guntoro. “Kau keliru Kanjeng. Aku 

bersumpah bahwa aku tidak....” 

Ageng Musalamat tidak perduli. Dia melangkah terus dan 

akhirnya lenyap di.balik tumpukan peti-peti besar. Di tangga yang 

menghubungkan bagian bawah dengan geladak kapal kayu besar itu 

Ageng Musalamat berpapasan dengan Munding Sura. Anak muridnya 

ini segera ditariknya ke salah satu sudut di bawah tangga. 

“Aku perlu penjelasan darimu Munding Surya. Kuharap kau 

menjawab dengan jujur. Jangan berani berdusta!” 

Walaupun heran dengan tindakan pemimpinnya itu namun 

Munding Sura menjawab juga. “Kanjeng Sri Ageng, apa yang hendak 

kau tanyakan?”

“Sewaktu kau dan Cagak Guntoro berada di kamar, aku 

menanyakan pada pemuda itu apa ada hal lain yang hendak 

dikatakannya. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu padaku. 

Namun kau seolah memberi isyarat agar dia tidak bicara. Lalu kalian 

berdua cepat-cepat meninggalkan kamarku. Aku yakin ada sesuatu 

yang kalian tidak mau mengatakan!” 

“Kanjeng....” 

“Aku menunggu Munding Sura. Katakan cepat!” 

“Waktu kami masuk ke dalam kamar, kami lihat Kanjeng Sri 

Ageng duduk di atas ranjang kayu, tersandar ke dinding kamar. Kami 

tidak tahu apakah saat itu Kanjeng tengah tidur atau pingsan. Cuma 

kami melihat wajah Kanjeng tidak seperti biasanya....” 

“Maksudmu?” tanya Ageng Musalamat. 

“Muka Kanjeng tidak seperti muka manusia....” 

“Munding Sura!” bentak Ageng Musalamat. “Jangan kau bicara 

ngelantur...“ 

“Saya tidak ngelantur. Juga tidak dusta Kanjeng. Saat itu kami 

lihat muka Kanjeng telah berubah menjadi muka seekor harimau 

putih...“ 

Kalau ada petir menyambar di depannya mungkin tidak 

demikian terkejutnya Ageng Musalamat. “Mukaku berubah menjadi 

muka seekor harimau putih katamu?!” 

Dalam keadaan tercekat Munding Sura anggukkan kepala. 

Ageng Musalamat tegak tak bergerak. Ingatannya kembali pada 

apa yang terjadi di kamarnya. Muncul sosok Datuk Rao dan seekor 

harimau putih. Lalu harimau putih itu mendekatinya dan membuka 

mulut lebar-lebar. Sewaktu binatang ini memasukkan kepalanya ke 

dalam mulutnya, dia jatuh pingsan. “Orang ini tidak berdusta,” 

membatin Ageng Musalamat. Lalu dia ingat pada ucapan Datuk Rao. 

“Kau lebih beruntung dari orang-orang yang pernah ketitipan kitab 

sakti bertuah itu sebelumnya... Kau akan kami berikan satu jurus

ilmu silat Harimau Dewa. Mudah-mudahan bisa kau pergunakan 

untuk menjaga diri...“ 

“Berarti....” Ageng Musalamat usap-usap dagunya, “Datuk Rao 

memang telah memberikan satu ilmu padaku. Ilmu silat Harimau 

Dewa...” 

-- == 0O0 ==

SEMBILAN 

KEDATANGAN rombongan Kanjeng Sri Ageng Musalamat 

disambut utusan khusus Raja Tiongkok di pelabuhan Seochow. 

Bersama utusan tersebut ikut pula beberapa orang pejabat penting di 

Kotaraja. Raja Tiongkok ternyata bersikap arif bijaksana. Karena tahu 

rombongan tamu yang datang adalah orang-orang Muslim maka dia 

sengaja mengirimkan orang-orang seagama untuk menyambut 

kedatangan Ageng Musalamat dan rombongan. Seorang penterjemah 

yang juga disediakan oleh Raja ikut hadir di tempat itu dan kelak akan 

mendampingi Ageng Musalamat kemana dia pergi. 

Di antara rombongan penjemput terdapat seorang anak lelaki 

kurus berusia sembilan tahun. Setelah upacara penyambutan resmi 

selesai sesuai yang telah diatur, anak ini maju ke muka membawa 

sebuah pipa panjang khas Tiongkok yang sudah diisi tembakau. 

Seseorang membakar tembakau itu hingga menebar asap yang harum. 

Si anak lalu menyerahkan pipa pada Ageng Musalamat. 

“Ah, rupanya para sahabat di sini tahu kalau aku dulunya 

adalah perokok berat. Sejak beberapa tahun belakangan ini aku 

berusaha mengurangi merokok karena kurang baik untuk kesehatan. 

Sekarang melihat pipa sebagus ini serta tembakau seharum ini aku 

berpikir-pikir apakah mampu menahan selera merokok?” Kanjeng Sri 

Ageng Musalamat tertawa lebar. Diusapnya kepala anak lelaki itu 

berulang kali lalu diambilnya pipa panjang yang diserahkan. Langsung 

saja dia menyedot pipa dalam-dalam dan mengepulkan asapnya tinggi-

tinggi ke udara. 

“Terima kasih... terima kasih...” kata Ageng Musalamat berulang 

kali seraya membungkuk. Dia berpaling pada anak lelaki yang 

barusan menyerahkan pipa padanya dan melihat sesuatu yang sudah 

lama diharapkannya. “Anak ini walau kurus tapi memiliki bentuk 

tubuh dan raut tulang yang jarang dimiliki anak lain. Sepasang bola

matanya jernih dan pandangannya mencerrninkan satu kekuatan 

yang tidak mudah goyah. Dalam sejuta belum tentu bisa ditemukan 

yang seperti dia....” 

Ageng Musalamat melangkah mendekati si anak lalu bertanya. 

“Anak gagah, siapa namamu?” Setelah diberi tahu oleh Bu Tjeng si 

penterjemah apa yang ditanyakan orang si anak dengan sikap tegak 

dan suara lantang menjawab. 

“Nama saya Ki Hok Kui. Saya anak petani miskin di desa 

Chungwei!” 

“Anak hebat!” memuji Ageng Musalamat. “Orang tuamu pasti 

bangga punya anak sepertimu...” 

Setelah Bu Tjeng memberitahu si anak tampak tersenyum lalu 

membungkuk. 

“Orang tuaku telah tiada. Mereka meninggal enam tahun lalu 

waktu terjadi air bah besar di pantai timur!” 

“Ah...” Ageng Musalamat manggut-manggut terharu. Namun 

dibalik keharuannya dia melihat sesuatu pada diri Ki Hok Kui. Anak 

ini tersenyum ketika menjawab pertanyaannya padahal dia 

mengatakan sesuatu yang sangat menyedihkan dalam kehidupannya. 

“Anak ini mampu menekan perasaannya. Menjawab kesedihan dengan 

senyum menghias bibir....” 

Ageng Musalamat kembali mengusap kepala Ki Hok Kui. “Aku 

menyesal mendengar kau seorang anak yatim piatu. Nasib kita sama. 

Aku juga seorang yatim piatu. Tapi kau tak usah takut. Kesusahan 

hidup membuat seseorang menjadi tabah dan kuat sekuat batu 

karang yang aku lihat banyak bertebaran di pantai menjelang 

pelabuhan Seochow!” 

Ki Hok Kui kembali tersenyum. “Saya memang sudah pernah 

mendengar Kan-jieng mengucapkan kata-kata itu....” Anak ini 

menyebut kata Kanjeng dengan Kan-jieng.

Tentu saja Ageng Musalamat jadi terkejut. Orang-orang yang 

ada di sekitar situ juga terheran-heran mendengar ucapan anak itu. 

“Ki Hok Kui, kau bilang barusan pernah mendengar aku 

mengucapkan kata-kata itu. Kapan... di mana? Padahal kita baru saja 

saling bertemu saat ini.” 

“Dalam mimpi,” jawab Ki Hok Kui pula. “Satu tahun lalu saya 

pernah bermimpi bertemu dengan seseorang dan bicara seperti itu. 

Begitu melihat Kan-jieng saat ini saya segera ingat bahwa Kan-jienglah 

orang yang saya lihat dalam mimpi itu dan bicara pada saya....” 

Sesaat Ageng Musalamat jadi terkesiap mendengar keterangan si 

anak. Begitu juga anggota rombongan yang lain. “Ternyata anak ini 

punya daya ingat yang kuat....” kata Ageng Musalamat dalam hati. 

“Aku yang baru berusia empat puluh tahunan terkadang sering-sering 

lupa pada hal-hal yang belum lama terjadi. Hemm.... “ 

Ageng Musalamat tertawa lebar. 

“Apakah kau punya saudara Ki Hok Kui? Kau tinggal di kota 

ini?” 

Ki Hok Kui menggeleng. “Saya tidak punya saudara tidak punya 

sanak. Saya tinggal di panti asuhan anak-anak terlantar dipimpin 

seorang guru besar She Pouw bernama Goan Keng. Dia sudah tiga kali 

naik haji ke tanah suci. Apakah Kan-jieng sudah pernah ke Mekkah?” 

Ageng Musalamat tertawa gelak-gelak. “Gurumu itu pasti ulama 

hebat! Aku sendiri belum pernah ke tanah suci. Mungkin aku akan 

pergi nanti langsung dari daratan Tiongkok ini....” Ageng Musalamat 

tepuk-tepuk bahu Ki Hok Kui. “Anak gagah, apakah kau akan 

menyertai rombongan kami ke Kotaraja?” 

Si anak mengangguk. 

“Kalau begitu kita berangkat sekarang....” 

“Kan-jieng dan rombongan silahkan berangkat duluan. Nanti 

saya menyusul....”

“Eh, memangnya kau hendak kemana Hok Kui?” tanya Ageng 

Musalamat pula. 

Si anak menunjuk ke langit. “Matahari sudah tinggi Kan-jieng.... 

Saya belum sembahyang Zuhur.” 

Ageng Musalamat terkejut. “Astagfirullah, semoga Tuhan 

mengampuni saya dan semua orang yang ada di sini. Kami pun belum 

sempat sembahyang walau di kapal sudah melakukan solat qasar.... 

Hok Kui, apakah ada mesjid di sekitar sini?” 

“Tidak ada Kan-jieng. Tapi tak jauh dari sini ada satu bangunan 

besar yang ditinggalkan pemiliknya. Keadaannya bersih. Airnya 

banyak untuk wudhu....” 

“Kalau begitu antarkan kami ke sana. Kita sembahyang 

berjamaah di tempat yang kau katakan itu.” 

Ki Hok Kui membungkuk. Lalu tanpa sungkan-sungkan 

dipegangnya lengan Ageng Musalamat, membawanya ke sebuah 

bangunan besar yang terletak tak jauh dari sana. 

* * 

Walaupun rombongan mengendarai beberapa kereta dan 

gerobak serta ada pula yang menunggangi kuda, namuh cuaca yang 

buruk membuat 

mereka tidak bisa bergerak cepat. Satu hari menjelang sampai di 

Kotaraja, menjelang tengah malam rombongan berkemah di dekat 

sebuah telaga kecil. Ageng Musalamat dan anak buahnya sebenarnya 

ingin terus berjalan namun kuda-kuda penarik kereta dan gerobak 

serta kuda-kuda tunggangan perlu beristirahat setelah satu hari 

suntuk berjalan terus menerus. 

Di dalam kamarnya setelah selesai metakukan sembahyang 

sunat dan bersiap-siap untuk merebahkan diri di atas sehelai tikar 

permadani mendadak telinga Ageng Musalamat mendengar suara

derap kaki kuda banyak sekali mengitari tempat perkemahan. Tak 

lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras. 

Ageng Musalamat yang satu kemah dengan penterjemah Bu 

Tjeng segera keluar dari dalam kemah. Ketika sampai di luar 

dilihatnya puluhan anak muridnya serta rombongan orang-orang yang 

menjemput dari Kotaraja tegak mengurung tujuh orang penunggang 

kuda. Selain mengenakan pakaian serba hitam, tujuh penunggang 

kuda ini juga memakai kain hitam penutup wajah masing-masing. Di 

belakang punggung mereka kelihatan tersembul ujung gagang pedang. 

Mereka memiliki rambut hitam lebat. yang dikuncir di atas kepala. 

Anehnya rambut di sebelah atas ikatan kuncir berwarna kuning ke-

emasan. 

“Kami datang mencari kepala rombongan tamu yang datang dari 

seberang!” Penunggang kuda di sebelah kiri depan berseru. Tidak 

seperti enam temannya, dia satu-satunya yang mengenakan mantel 

merah. Agaknya dialah yang jadi pimpinan rombongan tak dikenal itu. 

Bu Tjeng segera memberitahu Ageng Musalamat apa yang 

diucapkan orang itu. 

“Ini aneh, bagaimana dia tahu diriku dan apa perlunya 

mencariku?” bisik Ageng Musalamat. 

“Sebentar lagi persoalannya akan jelas. Lu Liong Ong, pimpinan 

utusan Raja tengah melangkah ke hadapan penunggang kuda 

bermantel merah itu,” kata Bu Tjeng berikan jawaban. 

Lu Liong Ong, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi, berpakaian 

merah dan mempunyai kedudukan cukup tinggi di Kotaraja serta 

memiliki kepandaian silat melangkah ke depan kuda tunggangan si 

mantel merah. 

“Aku Lu Liong Ong pimpinan rombongan penjemput tamu dari 

tanah Jawa. Tamu Raja tidak boleh diganggu. Jika kau ada keperluan 

harap beritahu padaku. Tapi lebih dulu harap beritahu siapa kalian 

adanya! Satu hal lagi sebagai tamu tidak diundang harap kau

memakai sopan santun peradatan. Turun dari kudamu jika kau bicara 

denganku!” 

Orang bermantel terdengar mendengus. “Lu Liong Ong!” orang 

ini keluarkan suara lantang. “Kami tahu kau pejabat tinggi salah satu 

orang kepercayaan Raja! Karena kami menghormatimu maka kami 

tidak berniat untuk cari urusan dengan kalian orang-orang Kerajaan!” 

“Aku minta kau turun dari kuda kalau bicara denganku! Enam 

orang anak buahmu lekas kau perintahkan untuk melakukan hal 

yang sama!” 

Kembali orang bermantel mendengus di balik kain hitam 

penutup mukanya. Dia memandang berkeliling pada enam orang anak 

buahnya. Lalu masih duduk di atas kuda orang ini kibaskan mantel 

merahnya ke kiri. Angin deras menderu ke arah Lu Liong Ong 

membuatnya agak sempoyongan. Cepat orang ini kerahkan tenaga dan 

atur kuda-kuda kedua kakinya hingga dia tidak sampai jatuh oleh 

sambaran angin mantel yang hebat itu! 

Sambil tertawa pendek lelaki bermantel merah melompat dari 

punggung kudanya. Dia tidak langsung melompat turun tapi melayang 

dulu ke atas lalu ketika kedua kakinya yang berkasut menginjak 

tanah tidak sedikit suarapun terdengar. Rupanya orang ini sengaja 

menunjukkan kehebatan ilmu meringankan tubuhnya kepada semua 

orang yang ada di situ, terutama kepada Lu Liong Ong yang di-

ketahuinya memiliki kepandaian tinggi. 

“Hemm.... Orang ini sengaja memamerkan ginkangnya,” 

membatin Lu Liong Ong. (ginkang = ilmu meringankan tubuh) 

Enam penunggang kuda lainnya segera pula melompat turun 

dari tunggangan masing-masing. 

Begitu berdiri berhadap-hadapan Lu Liong Ong segera berkata. 

“Sekarang katakan siapa kalian ini dan apa maksud kedatangan 

kalian ke sini! Muncul dengan menutupi wajah dengan kain bukan 

tindakan orang-orang bermaksud baik!”

“Menurut aturan kami tidak layak memberitahu siapa kami 

adanya. Tapi mengingat kau adalah pejabat Kerajaan, kami sedikit 

berlaku murah. Kalau kami sudah memberitahu harap kau jangan 

banyak cingcong lagi!” 

“Katakan saja langsung siapa kalian!” kata Lu Liong O.ng 

menahan jengkel. 

“Kami utusan Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir Emas. 

Kami datang untuk menjemput pimpinan orang-orang yang datang 

dari Jawa...” (Tojin = Paderi Kun Lun Pay, satu dari beberapa partai 

besar di daratan Tiongkok) 

Terkejutlah semua orang-orang Kerajaan yang ada di tempat itu. 

Ageng Musalamat sendiri walau tetap berlaku tenang namun wajahnya 

jelas berubah. Dia segera minta keterangan pada penterjemah Bu 

Tjeng. 

“Orang-orang itu bermaksud menjemputmu... Itu istilah 

halusnya. Sebenarnya mereka hendak mengambilmu secara paksa....” 

“Mau menculikku?!” 

-- == 0O0 ==

SEPULUH 

SI PENERJEMAH, Bu Tjeng, mengangguk membenarkan. “Tapi 

mengapa? Siapa mereka sebenarnya?” tanya Ageng Musalamat. 

“Selama beberapa tahun Lo Sam Tojin dikenal sebagai salah satu 

pengurus tinggi Partai Kun Lun. Diantara dia dan para pengurus 

partai terjadi satu perselisihan besar. Paderi itu memutuskan 

meninggalkan Kun Lun. Beberapa orang yang dekat dengan dia ikut 

serta. Mereka membangun satu perkampungan di lembah Pek-hun 

dan mendirikan satu perkumpulan yang mereka beri nama 

Perkumpulan Kuncir Emas. 

“Dari satu perkampungan kecil, lembah Pek-hun menjadi satu 

kawasan pemukiman besar. Jumlah para pengikut Lo Sam Tojin 

semakin banyak. Ada selentingan bahwa mereka akan membentuk 

sebuah partai sebagai sempalan dari Kun Lun Pay. Setahu kami 

Perkumpulan Kuncir Emas bukan perkumpulan baik-baik. Mereka 

sering melakukan perampokan dan pembunuhan walau yang mereka 

rampok dan bunuh adalah orang-orang kaya pelit atau pejabat-pejabat 

yang diketahui melakukan korupsi.” 

Lu Liong Ong rangkapkan dua tangan di depan dada. Lalu 

bertanya. “Apakah Lo Sam Tojin memberitahu padamu apa 

maksudnya menjemput tamu kami yang datang dari Jawa itu?” 

Lelaki bermantel merah kembali tertawa pendek. “Kami bukan 

anak buah yang tidak tahu diri! Berani bertanya pada pimpinan hal 

yang tidak layak kami ketahui! Kau sebagai orang luar apalagi! Kami 

datang untuk menjemput orang itu. Mana dia! Lekas suruh dia 

keluar!” 

“Selama orang itu berada bersama kami, sebagai tamu Raja 

maka tidak ada satu orang lainpun boleh memintanya! Aku sudah 

tahu apa kata-kata menjemput yang kau sebutkan! Kalian sebenarnya

hendak merampas orang itu dari tangan kami! Mau menculik tamu 

Raja!” 

“Kalau kau sudah tahu mengapa tidak segera menyerahkan 

orang itu pada kami?!” 

“Aku perintahkan kau dan anak buahmu segera meninggalkan 

tempat ini!” bentak Lu Liong Ong. 

“Lu Liong Ong, tadi kami sudah bilang kami mengambil sikap 

hormat terhadap kalian orang-orang Kerajaan dan tidak ingin mencari 

urusan. Tapi jika kau berani menampik permintaan Lo Sam Tojin 

maka itu adalah satu penghinaan besar yang harus kau bayar dengan 

mahal!” 

Lu Liong Ong turunkan kedua tangannya yang sejak tadi 

dirangkapkan di depan dada. “Kami memang sudah lama mendengar 

dan mengawasi tindak tanduk kalian orang-orang Perkumpulan 

Kuncir Emas! Kalian tidak bisa dikatakan sebagai orang baik-baik. 

Tinggalkan tempat ini. Kembali pada pimpinan kalian. Katakan pada 

Lo Sam Tojin. Jika dia tidak segera membubarkan perkumpulannya 

maka pasukan Kerajaan akan datang menyerbu. Lo Sam Tojin akan 

ditangkap dan diadili. Aku yakin hanya ada satu putusan pengadilan 

baginya. Yaitu hukum pancung batang leher!” 

Orang bermantel merah tertawa gelak-gelak. Enam temannya 

ikut-ikutan tertawa. 

“Lu Liong Ong! Kami tahu kau seorang pembesar Kerajaan. Tapi 

mulutmu lebih besar dari kedudukanmu! Kalau kau menuduh kami 

ini orang-orang jahat mengapa tidak segera turun tangan menangkap 

kami?!” 

Ditantang seperti itu walau dia jadi marah tapi Lu Liong Ong 

tetap tenang. 

“Saatnya akan tiba! Pasukan Kerajaan akan menyerbu lembah 

Pek-hun menumpas habis kalian semual Kalian masih untung saat ini 

kami tengah membawa rombongan tamu dari seberang laut. Jadi

sebaiknya pergunakan kesempatan bagus ini untuk cepat-cepat 

angkat kaki!” 

Orang bermantel tertawa gelak-gelak. Lalu dia berpaling pada 

enam anak buahnya dan berkata. “Kawan-kawan, percuma bicara 

dengan manusia satu ini! Bereskan dia!” 

Mendengar kata-kata pimpinan mereka enam orang berseragam 

hitam melompat ke depan. Mereka menebar demikian rupa hingga Lu 

Liong Ong terkurung di tengah-tengah. 

Melihat kejadian ini Ageng Musalamat cepat tinggalkan kemah. 

Namun langkahnya tertahan oleh pegangan Ki Hok Kui. Anak ini 

mengatakan sesuatu cepat sekali. Ageng Musalamat berpaling pada 

Bu Tjeng. 

Orang ini segera memberitahu. “Hok Kui mengkhawatirkan 

keselamatanmu. Dia ingin kau masuk kembali ke dalam kemah 

karena orang itu datang hendak menculikmu.” 

Ageng Musalamat tersenyum. “Anak baik! Kau tak usah 

mengkhawatirkan keselamatanku… Kalau ada orang hendak berbuat 

jahat terhadap rombongan, walau aku dan teman-teman adalah rom-

bongan tamu tapi kami tak bisa lepas tangan begitu saja.” 

“Kalau Kan-jieng berkata begitu mana saya berani melarang. 

Berarti kita akan menonton satu perkelahian seru!” kata Ki Hok Kui 

pula lalu cepat cepat mengikuti Ageng Musalamat. 

Sementara itu di depan sana, dalam gelapnya malam enam 

orang anggota Perkumpulan Kuncir Emas telah menyerang Lu Liong 

Ong. Mereka memiliki kepandaian tidak rendah. Namun yang diserang 

adalah seorang pejabat yang sejak masa mudanya telah membekal diri 

dengan ilmu silat tangan kosong. Enam penyerang terkejut ketika 

gebrakan pertama yang mereka buat tidak dapat menyentuh tubuh 

lawan. Keenamnya cepat menyerbu kembali. Perkelahian berlangsung 

hebat. Saat itulah Ageng Musalamat berteriak pada beberapa orang 

anak buahnya.

Lima anak murid Ageng Musalamat, yang memiliki kepandaian 

tinggi segera melompat masuk ke dalam kalangan perkelahian. Melihat 

ini Lu Liong Ong berteriak. Bu Tjeng cepat mendekati Ageng 

Musalamat dan berkata. “Pimpinan kami meminta agar kau menyuruh 

mundur lima orang itu!” 

“Tapi dia dikeroyok secara curang!” jawab Ageng Musalamat. 

“Tak usah khawatir, Lu Liong Ong akan mampu menghadapi 

mereka. Lagipula beberapa orang anggota prajurit Kerajaan yang ada 

di antara kami akan membantu!” 

Mendengar ucapan Bu Tjeng itu Ageng Musalamat terpaksa 

menyuruh murid-muridnya mundur. Bersamaan dengan mundurnya 

mereka, maka melesatlah selusin prajurit Kerajaan ke tengah ka-

langan. Kalau tadi orang-orang Kuncir Emas yang mengeroyok maka 

kini keadaan jadi terbalik. Mereka yang jadi sasaran keroyokan. 

Perkelahian tangan kosong berjalan seru. Walau dikeroyok 

begitu rupa orang-orang Kuncir Emas mampu bertahan bahkan 

dengan membentuk satu barisan aneh mereka membuat tembok 

pertahanan yang kokoh dan sekaligus mampu melancarkan serangan-

serangan balasan. Prajurit-prajurit Kerajaan mulai terdesak. Dua 

orang tergelimpang muntah darah akibat dimakan tendangan lawan. 

Lu Liong Ong kertakan rahang. Otaknya yang cerdik serta 

matanya yang tajam cepat melihat dimana letak kelemahan barisan 

pertahanan enam orang anggota Kuncir Emas itu. Dia melesat ke 

salah satu ujung barisan lalu menggempur habis-habisan. Lawan 

pertama terkapar di tanah dengan leher patah akibat hantaman 

pinggiran tangannya yang sekeras besi. Sesaat kemudian korban 

kedua menyusul. Orang ini mencelat mental dan jatuh tepat di depan 

lelaki bermantel. Dia menggeliat-geliat beberapa kali lalu terhenyak tak 

berkutik lagi. Bagian tubuh di bawah perutnya pecah akibat 

tendangan kaki kanan Lu Liong Ong. 

Prajurit-prajurit Kerajaan. pengawal rombongan yang mendapat 

semangat berhasil pula merobohkan dua orang anggota Perkumpulan

Kuncir Emas. Dua orang yang masih tinggal walau kini menghadapi 

lawan yang jauh lebih banyak namun mereka tidak menjadi takut. 

Malah sambil keluarkan bentakan-bentakan seperti kalap keduanya 

menyongsong serangan lawan. Orang bermantel merah yang tak mau 

melihat korban jatuh lebih banyak dipihaknya berteriak keras dan 

melompat ke tengah kalanggn perkelahian. Dia sempat merobohkan 

dua prajurit yang menyerang anak buahnya hingga mencelat mental 

dan menemui ajal dengan kepala pecah! 

“Tahan! Lu Liong Ong aku lawanmu!” 

Lu Liong Ong melompat mundur lalu menyeringai. 

“Korban sudah jatuh dipihakmu dan pihakku! Memang pantas 

kau harus bertanggung jawab! Atas nama Kerajaan lekas menyerah 

dan berlutut!” 

“Pejabat jahanam! Makan dulu tanganku ini!” bentak si mantel 

merah. Tapi dia tidak mengirimkan jotosan atau pukulan. Tangan 

kanannya berkelebat mengibaskan mantel merahnya. 

“Wussss!” 

Mantel itu bertabur di udara. Sinar merah memancar dalam 

kegelapan malam. Angin deras menghantam ke arah Lu Liong Ong. 

“Orang itu memiliki tenaga dalam tinggi,” membatin Ageng 

Musalamat yang menyaksikan jalannya perkelahian dan melihat 

bagaimana tubuh Lu Liong Ong terhuyung-huyung hampir jatuh. 

Selagi dia berusaha mengimbangi diri, lawan datang menyergap dan 

lancarkan satu jotosan ke pelipis kirinya! 

Lu Liong Ong pergunakan lengan kiri untuk menangkis. 

“Bukkkk!” 

Dua lengan saling beradu. Entah karena kedudukan kedua kaki 

Lu Liong Ong yang belum kokoh, entah karena keadaan tubuhnya 

yang miring atau entah karena lawan memiliki tenaga yang lebih kuat, 

beradunya dua lengan itu membuat pejabat Kerajaan itu terjatuh

keras ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit lawan bermantel 

mendatangi dengan satu tendangan ke arah tulang rusuknya. 

Lu Liong Ong berteriak keras. Hanya setengah jengkal lagi 

tendangan lawan akan menghancurkan tulang-tulang rusuknya Lu 

Liong Ong, gulingkan tubuhnya. Si mantel merah tersaruk ke depan 

namun cepat menguasai diri. Di tanah dilihatnya Lu Liong Ong 

membuat gerakan aneh. Setelah beberapa kali berguling tubuh itu 

melesat ke atas. Di udara seperti melenting tubuh Lu Liong Ong 

berkelebat ke arah si mantel merah. Inilah jurus silat bernama soan 

hong liap in yang berarti “angin berpusing mengejar awan.” 

Orang bermantel keluarkan seruan kaget ketika tahu-tahu kaki 

kanan lawan menderu ke arah lehernya. Ini benar-benar merupakan 

serangan mematikan. Dia cepat melompat hindarkan diri. Meski 

serangan mematikan. Meski lehernya selamat tapi dia masih kurang 

cepat. Kaki Lu Liong Ong mendarat di bahu kirinya. Tubuhnya 

mencelat sampai dua tombak lalu tergelimpang di tanah. 

Ageng Musalamat mengira paling tidak tulang bahu si mantel 

merah itu telah remuk dan tak sanggup lagi berdiri. Namun apa yang 

terjadi mem buatnya diam-diam merasa kagum akan kekuatan si 

kuncir emas itu. Setelah keluarkan suara menggembor pendek orang 

ini melompat bangkit. Lu Liong Ong tampak agak tercekat ketika 

melihat lawannya tidak cidera malah masih sanggup berdiri dan 

melangkah ke arahnya. 

“Lu Liong Ong, kesempatanmu untuk berdoa pada Thian hanya 

sedikit. Nyawamu hanya tinggal beberapa kejapan saja!” 

“Manusia sombong tapi tolol! Lo Sam Tojin sengaja mengutusmu 

kemari untuk mencari mati!” 

Si mantel merah kembaii keluarkan suara menggembor. Lalu 

didahului bentakan keras tubuhnya berkelebat. Sinar merah 

mantelnya bertabur. Lu Liong Ong merasa kedua matanya perih. Ada 

hawa aneh keluar dari bawah mantel. Sesaat dia tidak dapat melihat

apa-apa. Tapi telinganya masih mampu mendengar datangnya 

serangan. Dengan cepat dia melompat ke kiri. 

“Bukkkkk!” 

Lu Liong Ong mengeluh tinggi. Mantel merah menghantam 

punggungnya hingga tak ampun lagi pejabat Kerajaan ini terpental ke 

depan. Untung dia masih sempat menggapai roda sebuah gerobak 

hingga tak sampai jatuh ke tanah. Namun baru saja dia membalikkan 

badan, satu tendangan menghajar dadanya. Lu Liong Ong tersandar 

ke badan gerobak. Dadanya seolah remuk. Napasnya sesak. Sewaktu 

dia coba menarik napas dalam-dalam darah mengucur dari mulutnya. 

Beberapa orang anak buahnya berseru kaget melihat kejadian ini. 

Saat itu si mantel merah sudah berkelebat lag!. Tangan 

kanannya bergerak menjambak rambut Lu Liong Ong. Tangan kirinya 

menelikung leher si pejabat. Sekali dua tangan itu bergerak pasti 

patahlah tulang leher si pejabat dan nyawanya tidak ketolongan lagi!. 

Ketika si mantel merah siap mematahkan leher Lu Liong Ong, di 

udara malam, melewati kepala beberapa orang yang ada di tempat itu, 

melesat satu bayangan putih. Tahu-tahu si mantel merah merasakan 

ada satu tangan memegang bahu kirinya. Mendadak sontak tangan 

kirinya menjadi sangat berat dan kaku tak bisa digerakkan iagi. 

Bersamaan dengan itu di belakangnya ada satu suara menegur dalam 

bahasa yang tidak dimengertinya. 

“Orang gagah bermantel merah. Kau telah memenangkan 

perkelahian. Lawan dalam keadaan tidak berdaya. Tak ada untungnya 

bagimu membunuh tuan Lu Liong Ong....” 

Si mantel merah berpaling. Pandangannya membentur wajah 

Ageng Musalamat yang memandang tersenyum padanya. 

“Kau pasti orang asing yang datang dari negeri seberang itu...” 

Ageng Musalamat masih tersenyum. Tidak menjawab karena 

memang dia tidak tahu apa yang dikatakan si mantel merah. 

Sebaliknya si mantel merah juga tidak mengerti apa yang tadi 

diucapkan Ageng Musalamat.

Ki Hok Kui segera mengguncang lengan Bu Tjeng. Anak ini cepat 

berkata. “Paman Bu Tjeng, kau harus lekas ke sana. Dua orang itu 

saling bicara dalam bahasa yang mereka tidak mengerti satu sama 

lain!” 

“Kau benar!” kata Bu Tjeng lalu melompat dan berdiri di antara 

Lu Liong Ong dan si mantel merah yang masih mencekal si pejabat 

tapi tak sanggup meneruskan maksudnya membunuh orang itu. 

Ageng Musalamat kembali mengatakan sesuatu pada si mantel 

merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan. “Orang ini memintamu agar 

melepaskan pejabat Lu Liong Ong. Katanya tak ada gunanya 

membunuh. Dia juga menanyakan ada tujuan apa dari Lo Sam Tojin 

hingga kau diutus untuk menjemputnya?” 

Si mantel merah yang sedang beringas perlahan-lahan 

mengendur amarahnya. Sepasang pandangan mata lembut Ageng 

Musalamat membuat dia merasa kecut. Cekalan dan jambakannya 

pada Lu Liong Ong dilepaskan hingga pejabat ini jatuh ke tanah 

setengah sadar setengah pingsan. Beberapa orang prajurit segera 

menggotongnya ke tempat aman. 

“Orang asing. Ketua Perkumpulan Kuncir Emas Lo Sam Tojin 

ingin bertemu denganmu. Itu sebabnya dia mengutusku untuk 

menjemputmu dan membawamu ke lembah Pek-hun tempat 

kediamannya.” 

“Ah, Ketuamu tentu seorang yang sangat baik hati. Belum 

pernah bertemu tapi telah sudi mengundangku datang ke tempatnya. 

Kau kembalilah ke danau Pek-hun. Sampaikan salam hormatku pada 

Ketuamu Lo Sam Tojin. Katakan padanya bahwa saat ini aku sedang 

menjadi tamu Kerajaan. Jika ada kesempatan dan Kerajaan memberi 

izin aku akan datang sendiri menyambanginya di lembah itu...” 

Habis berkata begitu Ageng Musalamat membungkuk memberi 

hormat. Ketika dia hendak membalikkan badan si mantel merah 

berseru. 

“Orang asing! Tunggu!

Si mantel merah cepat melangkah ke hadapan Ageng 

Musalamat. “Peraturan di Perkumpulan Kuncir Emas sangat keras. 

Jika seorang ditugaskan untuk menjalankan sesuatu dan tidak 

berhasil maka hukumannya sangat berat. Lo Sam Tojin akan me-

misahkan kepalaku dari tubuhku!” 

Sepasang alis mata Ageng Musalamat berjingkat ketika dia 

mendengar terjemahan ucapan si mantel merah dari Bu Tjeng. 

“Jika kau tidak sanggup mengikuti aturan Perkumpulan, 

mengapa tidak keluar saja?” 

“Itu lebih celaka lagi! Lo Sam Tojin akan membunuhku dan 

seluruh keluargaku!” 

“Ah... Rupanya susah juga hidup ini bagimu...” kata Ageng 

Musalamat sambil usap-usap dagunya. 

“Sebelum pergi Lo Sam Tojin mengatakan sesuatu padaku...” 

“Hemmm, aku ingin mendengarkan....” 

“Katanya, jika aku tidak bisa membawamu ke lembah Pek-hun 

maka sebagai gantinya aku harus mendapatkan keris emas yang 

hendak kau persembahkan pada Raja....” 

Ageng Musalamat terkejut. Bagaimana orang ini bisa tahu aku 

membawa keris itu, pikirnya. 

“Rupanya kabar menebar secepat kilat dan tak ada rahasia yang 

bisa dipendam di negeri ini. Aku memang membawa sebilah keris 

emas. Jika Ketuamu berpesan begitu, aku tidak keberatan 

menyerahkannya padamu. Silahkan kau mengambilnya sendiri.” 

Beberapa orang anak murid Ageng Musalamat maju ke hadapan 

pimpinan mereka, serentak menegur keras menyatakan ketidak 

senangan mereka. Lu Liong Ong sendiri yang setengah sadar setengah 

pingsan melompat bangun begitu diberitahu Bu Tjeng apa yang 

hendak dilakukan Ageng Musalamat. 

“Tamu terhormat Kanjeng...! Jika kau serahkan keris itu 

padanya maka itu adalah satu penghinaan besar bagi Raja dan rakyat

Tiongkok!” kata Lu Liong Ong setengah berteriak lalu perlahan-lahan 

jatuh terduduk di tanah. 

“Sahabatku pejabat Lu Liong Ong, kau tak usah khawatir... 

Lihat saja apa yang akan terjadi,” kata Ageng Musalamat sambil 

tersenyum dan kedipkan matanya. 

Ageng Musalamat memberi isyarat agar si mantel merah 

mengikutinya. Lalu dia melangkah menuju kemah. Hampir semua 

orang yang ada di tempat itu mengikuti. 

Sampai di dalam kemah yang diterangi lampu minyak Ageng 

Musalamat menunjuk pada sebuah peti kecil terbuat dari kayu yang 

terletak di atas tumpukan barang. 

“Buka penutup peti dan lihat isinya...” Ageng Musalamat 

berkata pada si mantel merah. Bu Tjeng cepat menterjemahkan 

ucapan Ageng Musalamat. Si mantel merah tampak ragu. Agaknya dia 

khawatir orang akan menjebaknya. 

Namun setelah melihat Ageng Musalamat memandang 

tersenyum dan anggukkan kepala padanya, orang ini segera dekati 

peti kayu jati berukir itu. Dia ulurkan tangan membuka penutup peti. 

Begitu tutup terbuka tujuh larik sinar kuning membersit keluar. Si 

mantel merah lindungi matanya yang kesilauan dengan telapak 

tangan kiri. 

“Apakah benda itu yang diminta oleh Ketuamu paderi Lo Sam?” 

tanya Ageng Musalamat. 

Si mantel merah mengangguk setelah mendengar kata-kata Bu 

Tjeng. Ageng Musalamat kembali bicara. Bu Tjeng kembali 

menterjemah. “Kau boleh mengambil senjata itu, membawanya pergi 

dan menyerahkan pada Lo Sam Tojin.” 

”Ah.... Terima kasih... terima kasih...” kata si mantel merah 

sambil membungkuk berulang kali. Dia tidak menyangka kalau orang 

akan menyerahkan keris emas itu semudah itu padanya. Peti kayu 

cepat ditutupnya lalu dengan pergunakan dua tangan dia mengangkat 

peti dari tumpukan barang.

Baru satu langkah berjalan mendadak tampang si mantel merah 

yang tersembunyi di balik kain hitam mengerenyit. Tubuhnya 

terhuyung ke depan. Peti kecil berisi keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit 

itu seperti berubah menjadi sebuah batu besar yang amat berat. 

Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga tetap saja dia tak sanggup 

bertahan. Kedua bahunya membuyut ke bawah. Dan tangannya 

menjadi panjang. Tak sanggup bertahan dengan tenaga kasar dia 

kerahkan tenaga daiam. 

“Krakk! Kraaak!” 

Si mantel merah menjerit keras. Sambungan tulang bahunya 

kiri kanan tanggal dari persendian. Peti kayu lepas dari pegangannya 

dan bukkk! 

Peti jatuh menimpa kakinya. Kasut yang melindungi kakinya 

berlubang besar. Tulang kakinya remuk dan kasut itu tampak merah 

tanda kakinya cidera berat dan berdarah. Si mantel merah menjerit 

berulang kali sambil berjingkat-jingkat kesakitan. 

Ageng Musalamat membungkuk mengambii peti kayu berisi 

keris sakti. Lalu dengan tangan kirinya dipegangnya bahu si mantel 

merah. 

“Katakan pada Ketuamu, kau telah berusaha tapi tak sanggup 

membawa keris daiam peti ini. Mungkin senjata ini tidak berjodoh 

dengan dirinya. Kau boleh pergi sekarang...“ 

Si mantel merah hendak berteriak marah. Tapi ketika dilihatnya 

orang bicara dengan tersenyum padanya dan lagi-lagi seperti ada sinar 

aneh memancar dari sepasang mata Ageng Musalamat maka tanpa 

banyak bicara lagi dia segera keluar dari dalam kemah. 

-- == 0O0 ==

SEBELAS 

MALAM pertama sampai ke Kotaraja rombongan Ageng 

Musalamat dibawa ke istana Raja. Sebelum jamuan makan malam 

yang dihadiri oleh para pejabat tinggi Kerajaan serta undangan 

khusus dimana di antaranya terdapat beberapa tokoh Muslim, Ageng 

Musalamat menyerahkan keris sakti Kiyai Sabrang Tujuh Langit pada 

Raja. Sebagai balasan, Raja memberikan seuntai tasbih yang terbuat 

dari batu giok berwarna hijau pekat. Tasbih itu bukan tasbih biasa 

karena mampu menolak racun serta memiliki kekuatan besar. 

Perjamuan itu menjadi semarak karena dipertunjukkan 

berbagai tarian dari beberapa propinsi. Menjelang tengah malam, 

perjamuan baru selesai dan rombongan diantar ke tempat bermalam 

yakni sebuah bangunan besar di luar tembok selatan istana. 

Selama dua hari rombongan diajak melihat-lihat beberapa 

tempat berpemandangan indah. Pada malam ketiga sesuai yang telah 

diatur kedua belah pihak mengadakan pertmuan lagi di sebuah 

gedung yang biasanya dipakai untuk pertunjukan termasuk 

perunjukan kepandaian silat. Acara kali ini tidak dihadiri oleh Raja, 

tapi beberapa pejabat penting termasuk Kepala Barisan Pengawal 

Raja dan Kepala Balatentara Tiongkok Daerah Timur ikut hadir. Lu 

Liong Ong sendiri tidak kelihatan karena kabarnya masih dalam 

perawatan akibat perkelahian dengan anak buah Lo Sam Tojin tempo 

hari. 

Tuan rumah menyuguhkan beberapa pertunjukan silat tangan 

kosong dan mempergunakan senjata diseling dengan pertunjukan 

akrobat. Setelah itu giliran murid-murid Ageng Musalamat ganti 

memperlihatkan kebolehan mereka. Bagian ketiga yang merupakan 

bagian penutup adalah pertandingan persahabatan antara pihak 

tuan rumah dan tamu dari tanah Jawa. Agaknya dalam rangka 

persahabatan dan saling menghormat, kedua belah pihak tidak

berani menurunkan tangan keras. Walau begitu pertandingan itu 

berjalan cukup seru dan tidak henti-hentinya mendapatkan 

sambutan tepuk tangan dari semua yang hadir. 

Ketika pemandu acara bersiap-siap untuk menutup acara 

malam itu tiba-tiba sebuah benda kuning melesat di udara lalu 

menancap di atas panggung. Ketika semua orang memperhatikan 

benda itu ternyata adalah sebatang besi sepanjang stu tombak yang 

pada ujungnya terikat sebuah bendera besar berwarna kuning. Pada 

bagian tengah bendera, dalam lingkaran merah terlihat gambar 

berupa kunciran rambut. 

“Bendera Perkumpulan Kuncir Emas!” seru semua orang yang 

mengenali. Tempat itupun menjadi gempar. Belum berhenti getaran 

besi bendera yang menancap di lantai panggungm belum reda suara 

gaduh orang-orang yang gempar tiba-tiba terdengar suara tawa 

mengekeh panjang. Lampu-lampu besar di ruangan itu berkelap-

kelip. 

“Braakk!” 

Loteng di atas panggung ambruk. 

Saat itu juga sesosok bayangan melayang turun dan tegak 

tepat di samping kanan bendera kuning. 

“Lo Sam Tojin!” beberapa orang yang duduk di barisan depan 

sampai terlonjak dari kursi masing-masing saking kagetnya. Ageng 

Musalamat sendiri yang ada di barisan kursi terdepan mendadak saja 

merasa berdebar. Kedua matanya memandang tak berkesip pada 

orang yang di atas panggung. 

Orang di atas panggung ternyata adalah seorang kakek 

mengenakan jubah paderi berwarna serba hitam. Mukanya berwarna 

kuning muda. Sepasang alis, bibir, dan rambut yang dikuncir, dicat 

dengan warna kuning tua! Sosok tubuhnya yang kurus tinggi 

membuat keseluruhan diri orang ini menjadi angker untuk 

dipandang. Apalagi sepasang matanya tak bisa diam, selalu jelalatan.

Di tangan kirinya dia memegang sebatang tongkat besi berwarna 

kuning. 

“Apakah kalian sudah selesai mempertunjukkan kebodohan 

masing-masing?!” Tiba-tiba Lo Sam Tojin, Ketua Perkumpulan Kuncir 

Emas keluarkan ucapan lantang lalu tertawa mengekeh. 

“Tak ada yang menjawab! Bagus! Itu berarti kalian menyadari 

kebodohan masing-masing!” seru Lo Sam Tojin lalu kembali tertawa 

bergelak-gelak. 

Seseorang berpakaian kebesaran militer yang duduk di barisan 

depan tegak dari kursinya lalu membentak. Orang ini adalah Suma 

Tiang Bun, Kepala Barisan Pengawal Istana. 

“Lo Sam Tojin! Tindakanmu sungguh kurang ajar sekali! Lekas 

turun dari panggung dan tinggalkan tempat ini!” 

“Ah…! Ternyata pejabat-pejabat di Kotaraja ini tidak angkuh 

semua!” Lo Sam Tojin menjawab. 

“Apa maksudmu?!” sentak Suma Tiang Bun dengan mata 

mendelik. 

“Beberapa hari lalu, seorang pejabat bernama Lu Liong Ong 

sesumbar jual omongan besar mau menyerbu kediamanku di lembah 

Pek-Hun dan mau menangkap diriku! Mana dia orang she Lu itu? 

Aku tidak melihatnya di tempat ini! Aku sengaja datang jauh-jauh 

kemari. Tapi ternyata tidak ditangkap. Malah seorang jenderal 

bernama Suma Tiang Bun dengan sikap hormat memintaku untuk 

berlalu. Ha… ha… ha…!” 

Merah padam muka Kepala Barisan Pengawal Istana itu. Dia 

cepat memandang berkelliling dan siap berteriak pada para pengawal 

untuk memberi perintah agas segera menangkap Lo Sam Tojin tapi 

alangkah terkejutnya Jenderal ini ketika melihat tidak satupun 

anggota pengawal ada di ruangan itu. Malah seputar dinding ruangan 

kelihatan sekitar dua puluh orang berpakaian hitam, dengan wajah 

tertutup kain hitam, rembut kuning dikucir di atas kepala!

Di atas panggung Lo Sam Tojin kembali tertawa mengekeh. 

“Jenderal Suma!,” teriak Lo Sam Tojin, “kau tak usah khawatir. 

Semua anak buahmu berada di gudang belakang. Semua tertidur 

pulas. Tapi tanpa napas alias mati semua! Ha… ha… ha…!” 

Terkejutlah Suma Tiang Bun mendengar ucapan Lo Sam Tojin 

itu. Dia cepat berpaling pada seorang lelaki gemuk pendek yang tegak 

di sampingnya. Orang ini adalah Jenderal Tjia, Kepala Balatentara 

Daerah Timur. 

“Jenderal, aku minta bantuanmu. Lekas himpun kekuatan. 

Lucuti semua anggota Kuncir Emas yang ada di tempat ini. Aku akan 

menangkap paderi sesat itu hidup-hidup!” 

Jenderal Tjia mengangguk. “Hati-hati Jenderal Suma. Lo Sam 

Tojin terkenal sangat lihay! Aku akan naik ke panggung 

membantumu begitu selesai menyusun kekuatan!” 

Begitu Jenderal Tjia bergerak. Suma Tiang Bun berkelebat ke 

atas panggung. Lo Sam Tojin segera menyambutnya dengan ejekan. 

“Ha… ha…! Aku jadi sungkan berhadapan denganmu Jenderal 

Suma! Kau mengenakan pakain bagus dan mewah. Aku Cuma 

memakai pakaian butut terbuat dari kain blacu hitam! Heh, 

pakaianmu itu tentu mahala harganya! Gajimu tentu besar! Ha… 

ha… ha..!” 

“Tojin sesat! Tutup mulutmu! Aku masih memberi kesempatan 

terakhir kepadamu. Tinggalkan tempat ini!” 

“Ho… ho! Terus terang aku kemari bukan mencarimu. Tapi 

mencari orang lain! Sebelum aku menemukan orang itu jangan 

harapa aku akan minggat dari sini!” 

“Kau akan menyesal. Sebentar lagi pasukan besar akan 

mengurung tempat ini. Kau dan anak buahmu tak bakal bisa keluar 

hidup-hidup dari sini!” 

“Heemm... begitu?!” dua mata Lo Sam Tojin berputar-putar dan 

jelalatan kian kemari. “mari kita main-main sebentar. Sudah lama

aku tidak mengukur sampai dimana tingkat kepandaian seorang 

Jenderal sepertimu!” 

“Kalau kau memang minta digebuk, aku tuan besarmu tidak 

akan sungkan-sungkan lagi!” kata Suma Tiang Bun lalu melompat ke 

depan melancarkan serangan. 

“Ha… ha! Hanya jurus Ouw liong cut tong! Siapa takut?!” ejek 

Lo Sam Tojin. Lalu sapukan tongkat besinya ke depan. (Ouw liong cut 

tong = Naga hitam keluar goa). 

Jenderal Suma Tiang Bun tentu saja terkejut ketika mendengar 

Lo Sam Tojin menyebut nama jurus serangan yang dilancarkannya. 

Sebenarnya ini bukan satu hal yang mengherankan. Jenderal Suma 

dulunya pernah belajar pada seorang tokoh silat gemblengan Kun 

Lun Pay. Sedang Lo Sam Tojin sendiri adalah salah seorang sesepuh 

itu. Jadi dia sudah tahu semua jurus-jurus ilmu silat Partai. 

“Jenderal Suma! Kalau kepandaianmu cuma sebegitu sungguh 

mengherankan, Raja mau mengangkatmu jadi Kepala Barisan 

Pengawal Istana! Lihat baik-baik. Aku akan hadapi seranganmu 

dengan jurus yang sama!” 

Lalu Ketua Perkumpulan Kuncir Emas itu sisipkan tongkat 

besi kuningnya. Ketika serangan lawan berupa jotosan keras siap 

melabrak dadanya Lo Sam Tojin berteriak keras. 

“Jurus ouw liong cut tong sejati!” 

Baik Jenderal Suma yang di atas panggung maupun semua 

orang yang berada di bawah panggung tidak sempat melihat kapan 

paderi melancarkan serangan tahu-tahu… 

“Buukkk!” 

Jenderal Suma terpental satu tombak ke belakang. Dari 

mulutnya terdengar erang kesakitan. Ketika dia memperhatikan 

tangan kanannya ternyata tangan itu telah membengkak merah. 

Rasa sakit masih dapat ditahan oleh sang Jenderal, tetapi amarah 

tak mampu dibendungnya. Didahului bentakan dahsyat dia

melompat ke depan. Kini terjadi perkelahian seru. Lima jurus 

Jenderal Suma Tiang Bun merangsek lawannya dengan serangan-

serangan ganas. Tapi Lo Sam Tojin berubah laksana bayang-bayang. 

Memasuki jurus ke tujuh Jenderal Suma keluarkan seluruh 

kepandaiannya. Tenaga dalam dikerahkan penuh. Tubuhnya yang 

besar berkelebat mengeluarkan deru angin kencang. Lo Sam Tojin 

berseru keras ketika dapatkan dirinya tenggelam dalam tekanan 

serangan lawan. Kini dia tidak menyerang dengan sepasang 

tangannya melainkan pergunakan lengan jubah untuk mengebut 

gempuran lawan. 

“Wuuss…! Wuuss…!” 

Dua larik sinar hitam menderu keluar dari ujung lengan jubah 

hitam sang paderi. Sinar di sebelah kanan berhasil dielakkan 

Jenderal Suma. Namun sinar yang menyambar dari arah kiri 

menghantam dadanya dengan telak. Untuk kedua kalinya orang ini 

terpental. Mukanya tampak pucat. Kedua kakinya kelihatan bergetar 

keras. Dari mulutnya ada darah meleleh. Sang Jenderal menderita 

luka dalam yang cukup parah. 

“Paderi keparat! Biar kupatahkan kepalamu dari tubuh detik 

ini juga!” kertak Suma Tiang Bun. 

“Srett!” 

Dia cabut pedang yang tersisip di pinggangnya. Sekali dia 

menggerakkan tangan maka sinar putih bertabur menyambar ke 

leher Lo Sam Tojin. 

Si kakek ganda tertawa. Tangannya bergerak ke pinggang. 

Selarik sinar kuning berkiblat. 

“Traangg!” 

Bunga api memercik di atas panggung ketika pedang Suma 

Tiang Bun beradu keras dengan tongkat besi Lo Sam Tojin. 

Celakanya, karena sejak pertama tangn kanan sudah cidera maka 

genggamannya pada gagang pedang tidak teguh. Akibatnya begitu 

bentrokan senjata, pedang di tangan Jenderal Suma terlepas mental.

Di atas pangung Lo Sam Tojin angkat tongkat besinya ke 

udara. Semua orang terkesiap ketika melihat bagaimana pedang 

Jenderal Suma yang mencelat mental ke udara, laksana disedot, 

melayang turun lalu menempel pada badan tongkat besi kuning. 

Dengan cepat Lo Sam Tojin ambil pedang itu. Lalu dia tertawa 

mengekeh. 

“Jenderal Suma! Aku akan membelah tubuhmu dengan pedang 

milikmu sendiri! Bersiaplah untuk menghadapa Giam lo ong! Ha… 

ha… ha…!” (Giam lo ong = malaikat maut). 

Jenderal Suma berusaha menyelamatkan diri dari sambaran 

pedang dengan melompat ke belakang. Dia menyambar sebuah 

jambangan di kiri panggung. Sewaktu pedang kembali membabat dia 

menangkis dengan jambangan itu. Jambangan yang terbuat dari 

porselen hancur berantakan. Di lain kejap pedang di tangan Lo Sam 

Tojin menderu dari atas ke bawah, mengarah batok kepala Jenderal 

Suma. Rupanya tojin ini benar-benar hendak membuktikan kata-

katanya yaitu ingin membelah tubuh sang Jenderal! 

Sementara itu di bawah panggung lima puluh anggota pasukan 

Kerajaan yang dibawa Jenderal Tjia bertempur seru melawan dua 

puluh orang anak buah Lo Sam Tojin. Walau mereka berjumlah lebih 

sedikit namun Karena rata-rata memiliki kepandaian tinggi dalam 

waktu singkat mereka berhasil merobohkan lima prajurit. Jenderal 

Tjia sendiri saat itu yang telah melihat bahaya maut mengancam 

Jenderal Suma segera melompat ke atas panggung. Selagi tubuhnya 

melayang di udara dia lepaskan satu pukulan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam tinggi. 

Lo Sam Tojin sama sekali tidak menghindar sewaktu 

merasakan ada sambaran angin menyerang ke arah sepuluh jalan 

darah di sisi kirinya. Sambil meneruskan bacokannya ke kepala 

Suma Tiang Bun, kakek ini putar tongkat kuningnya. Sinar kuning 

bertabur. Angin laksana badai mendera ke arah tubuh Jenderal Tjia. 

Orang gemuk pendek ini berseru kaget ketika tubuhnya terpental ke

bawah panggung. Selagi dia berusaha mengimbangi diri agar tidak 

jatuh terbanting di lantai, tombak besi di tangan Lo Sam Tojin tahu-

tahu melayang. Demikian cepatnya sambaran tongkat besi ini hingga 

Jenderal Tjia tak mampu selamatkan diri. Tongkat besi menancap di 

ulu hatinya! Orang banyak yang ada di tempat itu menjadi gempar. 

Terlebih ketika melihat bagaimana pedang di tangan Lo Sam Tojin 

siap pula membelah kepala Jenderal Suma! 

-- == 0O0 ==

DUA BELAS 

SESAAT lagi Jenderal Suma akan menjadi mayat dengan 

kepala terbelah tiba-tiba dari bawah panggung, dari barisan kursi 

paling depan melesat satu bayangan putih. Bersamaan dengan itu 

ada sambaran angin menderu ke arah Lo Sam Tojin yang membuat 

kakek bermuka kuning ini terhuyung-huyung. Walau dia masih 

sanggup meneruskan bacokannya namun mata pedang meleset jauh, 

tak dapat membelah kepala Jenderal Suma melainkan hanya 

membelah angin. Satu tangna kemudian menarik leher pakaian 

Suma Tiang Bun hingga Jenderal ini terpisah jauh dari Lo Sam Tojin. 

Semua orang berseru terkesiap. Bahkan para prajurit dan anak 

buah Perkumpulan Kuncir Emas tanpa diberi aba-aba sama-sama 

hentikan pertempuran dan memandang ke atas panggung. 

Di atas panggung saat itu tegak seorang lelaki tinggi tegap 

mengenakan jubah putih. Kulitnya coklat dan di tangan kirinya dia 

memegang seuntai tasbih. 

“Tamu asing itu! Dia menyelamatkan Jenderal Suma!” 

seseorang berseru. Suasana menjadi gempar sesaat namun segera 

sirap. Semua mata ditujukan ke atas panggung. 

Sepasang mata Lo Sam Tojin yang selalu jelalatan tak bisa 

diam kini terpentang lebar, memandang tak berkesip pada orang 

berjubah putih di hadapannya yang bukan lain adalah Kanjeng Sri 

Agengn Musalamat. Lo Sam Tojin usap-usapkan tangan kirinya ke 

dagu. Pedang di tangan kanan tiba-tiba dihunjamkan ke bawah 

hingga menancap di lantai panggung. 

“Dicari susah sekali! Dijemput tak mau datang! Tahu-tahu saat 

ini muncul di hadapanku! Jadi inilah orang asing dari tanah Jawa 

yang katanya memiliki kepandaian tinggi, datang membawa sebilah 

keris emas sakti untuk Raja Tiongkok! Ha... ha... ha!”

Karena tidak tahu apa yang dikatakan Lo Sam Tojin, Ageng 

Musalamat hanya tersenyum dan membungkuk. Sang paderi makin 

keras tawanya. Tiba-tiba kakinya bergerak menendang ke arah badan 

pedang yang menancap di lantai panggung. 

“Desss!” 

“Wuuut!” 

Pedang yang menancap melesat ke atas, berputar laksana 

baling-baling, menyambar ke arah Ageng Musalamat. 

Ageng Musalamat gerakkan tangan kanannya yang memegang 

tasbih. Tasbih ini adalah hadiah yang diterima Ageng Musalamat dari 

Raja Tiongkok sebagai balasan keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit yang 

diberikannya pada Raja. 

“Tring.. tring... tring!” 

Terdengar suara berdentringan beberapa kali. Bunga api 

memijar enam kali berturut-turut. Ageng Musalamat terkejut dan 

cepat melompat ketika tangannya yang memegang tasbih terasa pedih 

seperti ditusuk puluhan jarum. Sebaliknya Ketua Perkumpulan Kuncir 

Emas tak kalah kagetnya. Hantaman tasbih di tangan Ageng 

Musalamat walau ditujukan pada pedang yang berputar namun ada 

hawa aneh yang membuatnya melangkah mundur terhuyung-huyung. 

Sementara itu pedang yang kena hantaman tasbih jatuh 

berdentrangan di bawah panggung. 

“Orang asing, aku mengagumi kehebatanmu!” kata Lo Sam Tojin 

seraya membungkuk. 

Ageng Musalamat balas menghormat. 

“Aku tak punya waktu lama. Aku ingin kau ikut bersamaku ke 

lembah Pek-hun sekarang juga. Orang sepertimu aku perlukan untuk 

bantu membangun Partai Kuncir Emas...“ Lalu Lo Sam Tojin berikan 

tanda dengan isyarat tangan agar Ageng Musalamat mengikutinya. 

Ageng Musalamat gelengkan kepala dan goyangkan tangannya. 

Melihat ajakannya ditolak marahlah Lo Sam Tojin. Ke dua tangannya

didorongkan ke muka. Gerakannya perlahan saja. Tapi apa yang 

terjadi sungguh mengejutkan. Dari ujung dua lengan jubahnya 

melesat angin sederas topan. Panggung bergoncang. Tirai-tirai tebal 

bergoyang keras bahkan ada yang robek. Di atas panggung tubuh 

Kanjeng Agung Musalamat bergoncang hebat. 

“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin seraya lipat gandakan tenaga 

dalamnya. Mukanya yang kuning kelihatan seperti mengkerut. 

Goncangan di tubuh Ageng Musalamat semakin hebat. Jubah 

putihnya tampak robek di beberapa bagian. Dia bertahan sambil 

membungkuk dan mengepalkan tinju. Tasbih di tangan kanannya ber-

putar-putar kian kemari. 

“Jatuh!” teriak Lo Sam Tojin, sekali lagi. 

Ageng Musalamat bertahan mati-matian agar tidak roboh. 

Lantai panggung yang dipijaknya tiba-tiba berubah panas laksana dia 

menginjak bara api! 

“Kalau aku bertahan, cepat atau lambat aku akan jatuh! Orang 

tua bermuka kuning ini memiliki tenaga dalam luar biasa! Aku harus 

mencari jalan mengalahkannya tanpa menghinanya!” 

Ageng Musalamat melirik pada pecahan jambangan porselen 

yang bertebaran di lantai panggung sebelah kiri. Mulutnya dikatupkan 

rapat-rapat. Tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki kanan. Tiba-tiba 

kaki itu dihentakkannya ke lantai panggung. Laksana senjata rahasia, 

puluhan pecahan porselen menghambur ke arah Lo Sam Tojin. Selagi 

Ketua Perkumpulan Kuncir Emas ini berteriak kaget, puluhan 

pecahan porselen menancap di sekujur pakaian hitamnya. Pecahan 

porselen ini menancap demikian rupa laksana disisipkan dengan hati-

hati dan rapi hingga tak ada bagian tubuh Lo Sam Tojin yang terluka 

ataupun tergores! 

Kalau saja mukanya tidak dilapisi cat kuning maka semua 

orang akan melihat bagaimana wajah Lo Sam Tojin telah berubah 

sepucat mayat! Kakek ini menyadari kalau mau Ageng Musalamat tadi

pasti mampu membunuhnya dengan tusukan puluhan pecahan 

porselen itu. 

“Orang asing...” kata Lo Sam Tojin dengan suara bergetar. “Aku 

menaruh kagum padamu! Aku juga menaruh hormat! Kalau aku tidak 

bias membawamu ke lembah Pek-hun untuk kujadikan guru besar 

Perkumpulan Kuncir Emas, pelajaran yang kau berikan saat ini cukup 

membuatku puas. Aku berterima kasih untuk semua itu...” Lo Sam 

Tojin membungkuk berulang kali. 

Ageng Musalamat membalas penghormatan itu dengan cara 

yang sama yaitu membungkuk pula beberapa kali. Pada saat itulah 

tiba-tiba tangan kanan Lo Sam Tojin bergerak dan! 

“Kanjeng guru! Awas!” Seseorang berteriak dari bawah 

panggung. 

Ageng Musalamat cepat mengangkat kepalanya. Sebenarnya 

tadipun dia sudah mendengar ada suara menderu datang dari depan. 

Ketika melihat ke depan terkejutlah dia! 

Lima ekor ular aneh berwarna hitam dengan sirip di kepala dan 

di badan melesat ke arahnya. 

“Ular iblis pencabut nyawa!” teriak beberapa orang di bawah 

panggung. 

Ular terbang yang diberi julukan, “ular iblis pencabut nyawa” itu 

adalah senjata rahasia paling berbahaya yang jarang dikeluarkan Lo 

Sam Tojin. Di tempat penyimpanannya di dalam sebuah kantong di 

balik pakaiannya lima ular itu tak ubahnya seperti kayu kaku. Tapi 

begitu melesat di udara berubah seolah ular sungguhan. Melesat 

dengan membuka mulut lebar-lebar. Siap untuk mematuk sasaran! 

Ageng Musalamat tanpa pikir panjang jatuhkan diri ke atas 

lantai panggung. Tasbih di tangan kanan diputar sebat. Tiga ular 

beracun lewat di atasnya, menancap pada tiang kayu panggung. Dua 

lainnya dihantam hancur dengan tasbih.

Lo Sam Tojin menggereng marah. Dia menerjang ke depan, 

menyerang dengan ganas dan tenaga dalam penuh. Lima jari 

tangannya terpentang, mencuat ke depan dan mendadak Ageng 

Musalamat melihat lima jari kiri kanan tangan lawannya berubah 

menjadi cakar besi membara! Inilah ilmu hitam yang paling 

diandalkan oleh Lo Sam Tojin yang selama ini tidak satu musuhpun 

sanggup menghadapinya. 

Orang banyak di bawah panggung, terutama para pejabat tinggi 

yang tahu betul akan keganasan ilmu yang dimiliki Ketua 

Perkumpulan Kuncir Emas itu jadi tercekat. Mereka tidak bisa 

menduga lain. Ageng Musalamat akan menemui ajal dengan muka 

terkoyak, perut jebol dan isi perut membusai. 

Tapi apa yang terjadi kemudian membuat semuanya secara 

tidak sadar keluarkan seruan tertahan hampir berbarengan. 

Di atas panggung Lo Sam Tojin melihat muka Ageng 

Musalamat berubah menjadi kepala seekor harimau putih. Selagi 

dia tertegun kecut lawan telah melompat ke hadapannya. Ageng 

Musalamat merasakan terjadi keanehan atas dirinya. Sepasang 

tangan dan ke dua kakinya bergerak diluar kendalinya. Tasbih 

dalam genggamannya menderu menabur sinar angker. Dia 

mendengar suara bergedebukan berulang kali. Lalu… 

“Praaakkk!” 

Rahang kiri Lo Sam Tojin remuk. Tubuhnya terpelanting 

namun sungguh hebat. Mukanya yang kuning babak belur. 

Sepasang matanya menggembung bengkak dan mengeluarkan 

darah. Hidungnya remuk sedang mulutnya pecah! Tapi hebatnya 

kakek ini masih mampu berdiri walau kini kepalanya kelihatan 

miring. Ludah campur darah disemburkannya ke arah Ageng 

Musalamat hingga jubah putih orang ini penuh dengan noda 

merah. 

Ageng Musalamat jadi mendidih amarahnya. Tapi sikapnya 

tetap tenang. Ketika lawan berusaha menyergapnya dengan satu

serangan kilat, tangan Ageng Musalamat kiri kanan menderu ke 

depan, menghujani muka dan dada Lo Sam Tojin. Ketika paderi 

ini terhuyung-huyung, berusaha berdiri sambil memegang tirai 

panggung, kaki kanan Ageng Musalamat mendarat di dagunya. 

Darah menyembur. Tubuh Lo Sam Tojin mencelat ke bawah 

panggung, jatuh di antara orang banyak. Tidak berkutik lagi, 

tidak bernapas lagi! 

“Lo Sam Tojin mati! Lo Sam Tojin mati!” teriak beberapa 

orang. 

Tempat itu menjadi gempar. Beberapa orang anggota Kuncir 

Emas yang tahu bahaya secepat kilat ambil langkah seribu 

menyelinap di antara orang banyak lalu menghilang. 

Di atas panggung Ageng Musalamat memandang ke bawah. 

Tadi sewaktu dia membungkuk dan tidak sempat melihat 

datangnya serangan lima ular iblis pencabut nyawa, seorang di 

bawah sana berteriak mengingatkannya. “Kanjeng guru! Awas!” 

Dia kenal suara itu. Dia merasa telah ditolong dan diselamatkan. 

Pandangan Ageng Musalamat membentur sosok Cagak Guntoro, 

murid yang telah dihukumnya karena menduga keras dialah yang 

berusaha mencuri keris Kiyai Sabrang Tujuh Langit. 

“Berarti... Jangan-jangan aku telah salah menjatuhkan 

hukuman,” kata Ageng Musalamat dalam hati. 

-- == 0O0 ==

TIGA BELAS 

KEMATIAN Lo Sam Tojin Ketua Perkumpulan Kuncir Emas 

menggegerkan daratan Tiongkok kawasan timur. Di pegunungan Kun 

Lun orang-orang Kun Lun Pay mengadakan pesta besar atas kematian 

orang yang mereka anggap sebagai pengkhianat itu. Lima orang 

utusan khusus Ketua Partai datang menemui Kanjeng Sri Ageng 

Musalamat. Mereka membawa hadiah-hadiah besar dan 

menyampaikan undangan Ketua Partai agar Ageng Musalamat suka 

berkunjung ke markas mereka. 

Dengan sangat hati-hati Ageng Musalamat menolak menerima 

hadiah itu. Dia hanya mau berjanji jika ada kesempatan akan 

menerima undangan dan berkunjung ke pegunungan Kun Lun. 

Namun utusan Ketua Partai Kun Lun memaksa agar Ageng Musa-

lamat mau menerima hadiah itu. Setelah saling bersitegang akhirnya 

Ageng Musalamat mengalah. Namun semua hadiah kemudian 

disampaikannya kepada beberapa panti asuhan, termasuk panti asuh-

an di Hsin Yang yang diurus oleh Pouw Goan Keng dimana Ki Hok Kui 

tinggal. 

Ketika berita tewasnya Lo Sam Tojin sampai ke istana, Raja 

meminta Ageng Musalamat datang. Kepadanya Raja menghadiahkan 

satu daerah subur tak jauh dari Hsin Yang. Di situ dibangun belasan 

rumah yang dapat didiami oleh Ageng Musalamat dan rombongannya 

selama mereka suka. Raja juga menawarkan satu jabatan penting bagi 

Ageng Musalamat namun dengan halus kedudukan bagus itu 

ditolaknya. 

Lama kelamaan tempat kediaman Ageng Musalamat semakin 

berkembang luas hingga menjadi satu kota kecil dimana hampir 

semua penduduknya adalah orang-orang Muslim. Dalam rimba 

persilatan di daratan Tiongkok nama Ageng Musalamat menjadi satu 

nama besar. Maklum saja karena selama ini tidak ada satu orang

pandai bahkan pihak Kerajaan yang mampu mengalahkan atau 

menangkap Lo Sam Tojin. Ageng Musalamat disejajarkan ketinggian 

ilmunya dengan tokoh-tokoh kang-ouw di daratan Tiongkok pada 

masa itu. (kang-ouw = dunia persilatan) 

Diam-diam beberapa Partai berusaha memperebutkan Ageng 

Musalamat dengan maksud agar orang sakti ini mengajarkan 

kepandaiannya pada mereka. Namun Ageng Musalamat lebih suka 

memilih diam di tempat yang telah diberikan Raja padanya. Di sini dia 

membuka satu perguruan silat yang jumlah muridnya selalu 

bertambah. Ki Hok Kui termasuk salah seorang murid yang paling 

disukai dan dipercaya Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Anak yang 

cerdik ini bukan saja menimba ilmu silat dari gurunya itu, tapi juga 

dengan tekun mempelajari bahasa dan tulisan Jawa. 

Sampai dua tahun dimuka jabatan Kepala Balatentara Daerah 

Timur yang ditinggal Jenderal Tjia masih tetap lowong. Untuk 

sementara jabatan tinggi ini dirangkap oleh Jenderal Suma Tiang Bun. 

Namun entah dari mana asalnya tersiar kabar bahwa Raja akan 

mengangkat Ageng Musalamat menduduki jabatan Kepala Balatentara 

Daerah Timur itu. 

Tanpa melakukan penyelidikan benar tidaknya berita itu 

Jenderal Suma terlanjur merasa jadi tidak suka terhadap Kanjeng Sri 

Ageng Musalamat karena menganggap orang ini bisa merampas 

kedudukan rangkap yang sebenarnya sangat ingin dipertahan-

kannya. Rasa tidak sukanya itu ditebar demikian rupa hingga satu 

demi satu dia berhasil mengumpulkan orang-orang penting 

bergabung dengan dia untuk tidak menyukai Ageng Musalamat yang 

bagaimanapun juga adalah orang asing. Tindakan Jenderal Suma 

tidak sampai disitu saja. Dia berkali-kali menghadap Raja untuk 

memberikan laporan yang memburukkan nama Ageng Musalamat. 

Ageng Musalamat sendiri bukan tidak tahu kalau banyak 

orang-orang tertentu tidak suka padanya. Namun dia tidak ambil 

perduli. Sikapnya pada orang-orang yang membencinya itu biasa

biasa saja. Dia lebih memperhatikan pengembangan kota kecilnya 

yang melebar hingga berdampingan dengan Hsin Yang. Akhirnya 

keseluruhan kota dijadikan satu dan diberi nama Hsin Yang. 

Setelah bertahun-tahun tinggal di Hsin Yang rasa betah 

perlahan-lahan mengikis rasa rindu terhadap tanah Jawa. Bahkan 

akhirnya Ageng Musalamat nikah dengan seorang penduduk asli 

seagama. Perbuatannya ini diikuti pula oleh hampir semua anak 

buahnya. Akibatnya Hsin Yang semakin berkembang dan tak dapat 

lagi dikatakan kota kecil. Sebagian penduduknya hidup dari bertani 

dan sebagian lainnya mencoba berdagang. Nama kota Hsin Yang 

menjadi harum seharum nama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. 

Jumlah pengikut dan anak murid Ageng Musalamat bukan hanya 

ratusan tapi sampai ribu-ribuan. Cagak Guntoro yang telah 

dibebaskan dari hukuman sejak lima belas tahun lalu hidup 

berbahagia dengan seorang istri dan dua anak. Munding Sura 

menempuh jalan berbeda. Sampai saat itu dia tidak kawin dan sering 

mengelana sampai berbulan-bulan untuk mengembangkan ilmu silat 

pada penduduk setempat. 

Ratusan keluarga besar Ageng Musalamat hidup rukun di Hsin 

Yang membentuk satu kekuatan besar yang lambat laun membuat 

para penjahat tinggi di Kotaraja merasa kurang enak. Ketidak enakan 

ini disulut pula oleh Jenderal Suma Tiang Bun. 

TANPA terasa telah dua puluh tahun Ageng Musalamat 

bermukim di Tiongkok. Selama berumah tangga sayangnya dia tidak 

dikarunia anak. Karena itu rasa kasih sayangnya banyak tercurah 

pada murid terpandainya yakni Ki Hok Kui. Boleh dikatakan selama 

dua puluh tahun Ki Hok Kui tidak menyianyiakan kesempatan. Pada 

saat dia berusia tiga puluh hampir seluruh ilmu kepandaian Ageng 

Musalamat berhasil diserapnya. Bahasa Jawanyapun tak kalah 

medok dengan orang-orang yang datang dari tanah Jawa itu.

Keberadaan Ageng Musalamat yang tumbuh menjadi satu 

kekuatan besar rupanya tidak lepas dari perhatian Raja. Suatu hari 

dia dipanggil ke istana. Ternyata satu pertemuan penting yang diha-

diri oleh pejabat-pejabat tinggi termasuk Jenderal Suma telah diatur. 

Dalam pertemuan Raja mengumumkan bahwa Kanjeng Sri Ageng 

Musalamat diangkat menjadi Tikoan berkedudukan di Hsin Yang 

dengan daerah kekuasaan tak terkira luasnya. Sekali ini Ageng 

Musalamat merasa sungkan untuk menolak keputusan Raja itu. 

(Tikoan = jabatan sederajat Bupati) 

Kalau Raja merasa gembira mendapatkan Ageng Musalamat 

menerima jabatan yang diberikannya, tidak begitu dengan orang-orang 

yang tidak menyukainya. Di bawah pimpinan Jenderal Suma yang 

pernah diselamatkan nyawanya oleh Ageng Musalamat maka 

disusunlah satu fitnah besar untuk menjatuhkan Tikoan baru itu. 

“Heran,” kata Jenderal Suma pada kawan-kawannya. “Ilmu 

pemikat apa yang dipakai oleh Jawa itu. Aku sudah berkali-kali 

memberi tahu Raja akan perbuatan-perbuatannya yang buruk dan 

berbahaya. Eh malah Raja mengangkatnya menjadi Tikoan....” 

Seorang perempuan tinggi semampai berpakaian bagus dan 

berdandan mencolok memegang bahu Jenderal Suma. Dia adalah 

salah seorang tokoh silat istana yang berhasil ditarik Jenderal Suma 

Tiang Bun ke dalam kelompoknya. “Untuk menjatuhkan batu karang, 

ombak besar tak boleh putus asa. Jika dia tidak bisa kita jatuhkan 

dengan jalan halus, jalan kasar bisa kita pergunakan. Bukankah 

bekas anak buah Lo Sam Tojin di lembah Pek-hun yang ribuan 

banyaknya itu bersumpah untuk membalas dendam kematian Ketua 

mereka? Lagi pula aku ada satu rencana besar yang bisa kita 

jalankan. Selain itu bukankah kita bisa memperalat orang Jawa anak 

murid si Kanjeng yang satu itu untuk memberi lebih banyak 

keterangan tentang ilmu-ilmu yang dimiliki Ageng Musalamat?” 

“Hemmm.... Apa rencana besar yang barusan kau katakan itu 

Louw Bin Nio?”

Perempuan separuh baya itu tersenyum dan kedipkan matanya 

dengan genit. “Jika kau ingin tahu bukan di sini tempatnya,” jawab 

Louw Bin Nio sambil memandang pada orang-orang yang ada di situ. 

Mendengar ucapan ini dan melihat pandangan Louw Bin Nio semua 

orang yang ada di situ menjadi maklum. Satu persatu mereka 

meninggalkan tempat itu. 

“Ikuti aku,” kata Louw Bin Nio sambil menggoyangkan 

pinggulnya yang besar. Perempuan ini adalah seorang tokoh silat 

istana yang sejak masih gadis secara diam-diam telah menjadi kekasih 

gelap Jenderal Suma. 

Louw Bin Nio membawa lelaki itu ke dalam sebuah kamar. 

Begitu pintu dikuncinya langsung die memeluk Jenderal Suma dengan 

penuh nafsu seraya berbisik dengan mata berkilat-kilat. 

“Sudah berapa lama kita tidak berkasih-kasihan Suma Tiang 

Bun...” 

“Hampir dua minggu. Maafkan aku Bin Nio Urusanku banyak 

sekali akhir-akhir ini....” 

“Sekarang lupakan semua urusan itu. Darahku sudah panas 

Suma. Cepat buka bajuku dan aku akan membuka bajumu!” Lalu jari-

jari tangan Louw Bin Nio bergerak. Dia bukan membuka pakaian 

Jendera Suma secara wajar tapi merobeknya dengan penug nafsu. 

Justru hal inilah yang disukai sang Jenderal Perempuan itu bisa 

memuaskannya dengan hubungan badan yang aneh-aneh sementara 

istrinya yang gemuk di rumah hanya merupakan sosok dingin 

sedingin salju di puncak Thay San. 

-- == 0O0 ==

EMPAT BELAS 

SALAH satu tantangan dalam hidup manusia ialah kemampuan 

untuk bertahan terhadap godaan. Sejak Adam tergoda oleh setan hing-

ga memakan buah larangan lalu bersama Hawa diusir dari Taman 

Firdaus, sejak itu pula setan senantiasa membayangi manusia, 

menggoda agar melakukan kesesatan. Hal ini yang terjadi dengan diri 

Kanjeng Sri Ageng Musalamat. 

Selama dua puluh tahun dia sanggup bertahan terhadap 

hasutan setan yang selalu mendorongnya agar membuka halaman ke 

lima Kitab Putih Wasiat Dewa yang selalu dibawanya kemana-mana. 

Malam itu entah mengapa, sewaktu hasutan setan menghantuinya, 

dia tidak berdaya melawan. Semakin dilawan semakin keras dorongan 

untuk ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di halaman ke lima 

dan halaman berikut kitab sakti itu. Dalam keadaan bimbang 

akhirnya Ageng Musalamat naik ke atas loteng rumah dimana terletak 

sebuah ruangan tempat dia biasa bersunyi diri. 

Dari balik jubah putihnya dikeluarkannya Kitab Putih Wasiat 

Dewa. Dadanya berdebar keras, tangannya gemetar. Tengkuknya 

mendadak merasa dingin. Kitab yang hendak dibukanya ditutupnya 

kembali. Pada saat itulah setan menghasut melalui suara hatinya. 

“Kanjeng Sri Ageng Musalamat, apa yang kau khawatirkan? Kau 

tidak disuruh merenangi lautan api atau mendaki gunung batu 

membara. Apa susahnya membalik halaman kitab itu? Jangan mau 

dibodohi Datuk Rao Basalauang Ameh. Dia tidak ingin kau menjadi 

penguasa dunia persilatan. Itu sebabnya dia melarangmu. Tapi 

sekarang kau berada jauh dari tanah Jawa. Mana mungkin dia 

mengetahui. Sekali kau membuka halaman ke lima kitab sakti itu, 

dunia persilatan berada di tanganmu. Raja Tiongkok kelak akan 

memberikan jabatan yang lebih tinggi bagimu...”

Ageng Musalamat menggigit bibirnya sendiri. Berkali-kali dia 

menarik napas dalam. Akhirnya keputusannya bulat. Tangan 

kanannya walaupun masih gemetar bergerak membuka halaman ke 

lima Kitab Putih Wasiat Dewa! 

Begitu halaman ke lima Kitab Putih Wasiat Dewa terbuka, 

terpentanglah sepasang mata Kanjeng Sri Ageng Musalamat! Ternyata 

halaman itu kosong! Tak ada gambar tak ada tulisan. Dibaliknya 

halaman-halaman berikutnya. Sama! Kosong! 

“Orang menipuku...“ kata Ageng Musalamat terperangah. 

“Datuk Rao Basaluang Ameh mendustaiku. Halaman kelima dan 

halaman lainnya ternyata tidak ada apa-apanya!” 

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tiupan seruling di 

kejauhan. Suaranya mengalun lembut berhiba-hiba lalu menderam 

suara auman binatang. Ageng Musalamat tercekat. Parasnya menjadi 

pucat pasi. 

“Datuk Rao...” desisnya. 

Baru saja dia menyebut nama itu di hadapannya muncul dua 

kepulan asap putih yang dengan cepat berubah membentuk sosok 

tubuh Datuk Rao Basaluang Ameh dan temannya si harimau putih 

bernama Datuk Rao Bamato Hijau. 

Datuk Rao menatap dengan pandangan rawan pada Ageng 

Musalamat. Sadar bahwa ia telah melanggar pantangan Ageng 

Musalamat jatuhkan diri hendak merangkul kaki Datuk Rao. Tapi 

orang tua itu mundur dua langkah hingga dia menangkap angin. 

“Sayang sekali... Sayang sekali Kanjeng Sri Ageng Musalamat! 

Pada saat-saat terakhir imanmu runtuh! Padahal kau telah mengulang 

berpuluh kali membaca Sabda Dewa yang ke delapan. Imanmu tidak 

sekokoh batu! Kau juga telah puluhan kali membaca Sabda dewa ke 

tiga. Di dalam tubuh manusia ada api. Mengapa manusia tidak 

berpikir mencari manfaat dari pada kualat?!”

“Maafkan diriku Datuk! Aku mengaku bersalah, mengaku 

berdosa. Aku akan melakukan apa saja yang bisa menebus dosa 

kesalahanku!” kata Ageng Musalamat setengah meratap. 

“Mengapa kau tergoda melanggar pantangan, Ageng 

Musalamat?” 

“Aku terhasut setan Datuk! Aku mohon maafmu. Lagi pula 

ketika halaman ke lima Kitab Wasiat Dewa kubuka, tidak ada apa-

apanya. Halaman itu kosong!” 

Datuk Rao tersenyum. “Matamu tidak seperti mata malaikat. 

Matamu. nyalang tapi penglihatanmu dihilangkan oleh Yang Maha 

Kuasa hingga kau hanya mampu melihat halaman kosong!” 

Tenggorokan Ageng Musalamat turun naik. Matanya membeliak 

dan wajahnya seputih kain kafan. 

“Aku mohon ampunmu Datuk. Tolong diriku...” 

“Kesalahan telah dibuat. Larangan telah dilanggar. Penyesalan 

tak ada gunanya Ageng Musalamat. Aku tidak tahu nasib apa yang 

akan menimpamu. Aku hanya ada dua pesan terakhir. Pertama hati-

hatilah. Kedua jangan lupa amanat agar kau menyerahkan Kitab 

Wasiat Dewa pada orang yang paling kau percaya!” 

Datuk Rao angkat saluang emasnya lalu mulai meniup. Suara 

seruling itu seperti tadi mengalun lembut berhiba-hiba. Datuk Rao 

Bamato Hijau membuka mulut keluarkan suara auman. Bersamaan 

dengan sirnanya suara auman lenyap pulalah sosok asap ke dua 

makhluk itu. 

* * 

Sepanjang malam Kanjeng Sri Ageng Musalamat tak bisa 

memicingkan mata. Menjelang pagi ketika sepasang matanya sempat 

hendak terpicing tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda,

menyusul suara pintu digedor. Beberapa orang yang bertugas sebagai 

pengawal di gedung Tikoan itu ikut menghambur ke pintu depan. 

“Tikoan! Tikoan Kan-jieng Musalamat! Bangun! Buka pintu!” 

Ageng Musalamat terduduk di atas ranjang. Telinganya dipasang 

kembali khawatir kalau-kalau tadi ia mendengar suara dalam mimpi. 

“Tikoan Musalamat! Buka pintu! Cepat!” 

“Eh, itu suara Ki Hok Kui. Ada apa dia pagi-pagi buta begini 

menggedor pintu. Setahuku dia berada di timur...” 

Kanjeng Sri Ageng Musalamat yang jadi Tikoan di Hsin-Yang 

itu cepat-cepat turun ke bawah. Begitu pintu dibuka masuklah 

muridnya Ki Hok Kui bersama Cagak Guntoro dan beberapa orang 

pengawal. 

°”Ada apa Hok Kui? Mukamu pucat dan napasmu sesak?” 

Ageng Musalamat berpaling pada Cagak Guntoro. Muridnya yang 

satu ini juga sama keadaannya dengan Ki Hok Kui. 

“Lekas tinggalkan kota ini Tikoan. Seluruh penduduk harus 

diberitahu agar segera mengungsi!” kata Ki Hok Kui yang kini 

telah menjadi seorang lelaki gagah berusia tiga puluh tahun dan 

telah mewarisi hampir seluruh ilmu silat dan kesaktian Ageng 

Musalamat, kecuali ilmu Harimau Dewa. 

“Tinggalkan kota?! Mengungsi?! Eh kalian ini tidak habis 

minum-minum dan mabok?!” ujar Ageng Musalamat. 

“Demi Tuhan, Kan-jieng....” 

“Katakan ada apa?!” Ageng Musalamat membentak. 

“Pasukan Kerajaan. Ribuan jumlahnya. Mereka hendak 

menyerbu ke sini! Mereka hendak membunuh kita semua! Hsin 

Yang hendak dimusnahkan sama rata dengan tanah!” 

Paras Ageng Musalamat jadi berubah. 

“Bicara yang benar Hok Kui, jangan terburu-buru...” 

Ki Hok Kui atur jalan napasnya lalu menuturkan, “Raja 

menerima laporan dari Jenderal Suma Tiang Bun bahwa Kan-jieng

berserikat dengan orang-orang Mongol untuk meruntuhkan 

takhta Raja Tiongkok. Ada yang melihat Jenderal Suma membawa 

sepucuk surat rampasan yang katanya adalah dari Raja Mongol 

ditujukan pada Kan-jieng. Isinya rencana penyusunan kekuatan 

serta siasat penyerbuannya ke Kotaraja....” 

“Fitnah!” teriak Ageng Musalamat dengan kedua tangan 

dikepal. 

“Kan-jieng tahu Jenderal Suma sudah sejak lama tidak 

menyukai Kan-jieng. Dia memang memfitnah. Celakanya Raja 

begitu saja mempercayai. Sebelum matahari terbit balatentara 

Kerajaan terdiri dari enam gelombang masing-masing berjumlah 

dua ribu orang akan sampai di sini. Selagi ada waktu harap Kan-

jieng mencari jalan selamat...” 

Ageng Musalamat gelengkan kepala. “Bahaya sebesar 

apapun yang akan datang aku tidak akan pergi. Kau dan Cagak 

Guntoro lekas beritahu penduduk dan ungsikan mereka. Aku 

tetap di sini. Aku akan menghadapi Jenderal culas itu!” 

”Tapi Kan-jieng Jenderal Suma tidak sendirian. Dia 

membawa enam tokoh silat istana, dua orang tokoh silat golongan 

hitam dan kekasihnya yaitu Louw Bin Nio yang dikenal dengan 

julukan Tjui-hun Hui-mo (Iblis Terbang pencabut Nyawa) Dan ada 

yang melihat Munding Sura bersama Jenderal Suma!” 

Terkejutlah Ageng Musalamat. Dia sudah lama mendengar 

hubungan gelap Jenderal Suma dengan Louw Bin Nio. Perempuan 

satu ini kabarnya memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan 

merupakan tokoh nomor satu dalam barisan tokoh silat istana! 

Lain dari itu dia tidak menduga kalau Munding Sura murid yang 

dulu begitu dipercayanya ternyata adalah seorang pengkhianat. 

“Seribu Jenderal Suma boleh datang. Seribu tokoh silat 

istana boleh muncul di hadapanku dan seribu Louw Bin Nio boleh 

unjukkan diri di sini. Tapi aku tidak akan melarikan diri. Aku tidak 

akan meninggalkan Hsin Yang!”

Dari balik pakaiannya Ageng Musalamat keluarkan Kitab 

Wasiat Putih Dewa lalu menyerahkannya pada Ki Hok Kui. 

Ternyata muridnya inilah orang yang paling dipercayanya. 

“Hok Kui, selamatkan kitab ini dan segera tinggalkan tempat 

ini!” 

“Kan-jieng!” seru Ki Hok Kui. “Saya tidak akan pergi! Saya 

siap bertempur bersama Kan-jieng!” 

“Jangan berani membangkang Hok Kui!” 

“Saya ingin mati bersama Kan-jieng!” teriak Ki Hok Kui. 

“Plaaaakkkk!” 

Satu tamparan melayang di pipi Ki Hok Kui. Tamparan yang 

dilancarkan penuh kemarahan itu sanggup meremukkan tulang 

rahang manusia. Tapi jangankan cidera, bergeming sedikitpun 

tidak! Inilah kehebatan Ki Hok Kui hingga dia dijuluki Tiat Tow Hou

atau Harimau Kepala Besi. 

“Hok Kui! Ini perintah! Kalau kau tidak melaksanakan 

kubunuh kau saat ini juga!” teriak Ageng Musalamat. 

Ki Hok Kui mundur dua langkah. Ageng Musalamat maju 

mendatangi dan dengan cepat memasukkan Kitab Wasiat Dewa ke 

dalam baju muridnya itu. “Kitab itu lebih berharga dari nyawaku! 

Kau harus menyelamatkannya Hok Kui!” 

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara menderu seperti air 

bah mendatangi. Menyusul suara tiupan terompet. 

Paras Ki Hok Kui berubah. “Astaga! Saya tidak menyangka 

balatentara Kerajaan ternyata datang lebih cepat.... “ 

“Lekas pergi dari sini Kui Hok!” bentak Ageng Musalamat. Dia 

berpaling pada Cagak Guntoro dan berkata. “Bangunkan istri dan 

para nelayan. Ungsikan mereka ke tempat yang aman. Sejauh 

mungkin dari Hsin Yang.” Ketika Ageng Musalamat melihat Hok 

Kui masih berdiri di tempat itu diapun berteriak marah. “Kau 

tunggu apa lagi?!”

Dengan muka pucat dan berusaha keras menahan titiknya 

air mata Ki Hok Kui melangkah mundur ke pintu. Sebelum 

berkelebat dia berkata. “Kan jieng guruku tercinta, saya berdoa 

untuk keselamatanmu!” 

-- == 0O0 ==

LIMA BELAS 

PERAHU kecil itu terapung-apung dipermainkan ombak. Di 

dalamnya terbujur satu sosok tubuh hanya tinggal ku!it pembalut 

tulang, mengenakan pakaian yang nyaris hancur. Kulitnya yang tadi 

putih kini kelihatan merah kehitaman karena disengat sinar matahari. 

Dua matanya yang Terpejam perlahan-lahan terbuka. Dia berusaha 

mengangkat tubuhnya dari lantai perahu yang mulai lapuk dan hanya 

menunggu hancur. Orang ini bukan lain adalah Ki Hok Kui, murid 

terpandai dan paling dipercaya Ageng Musalamat. 

Setelah mengetahui bahwa balatentara Kerajaan secara ganas 

benar-benar menghancurkan Hsin Yang dan membantai setiap orang 

yang mereka temui di kota itu termasuk gurunya, Ki Hok Kui lalu 

menyelamatkan diri ke timur. Kalau bukan mengingat amanat sang 

guru dia sudah bertekad bulat untuk mati bersama di Hsin Yang. Kini 

dia mendapat beban berat untuk menyelamatkan Kitab Putih Wasiat 

Dewa. Dia sudah selamat tapi kitab itu hendak diapakannya? Kalau 

dibawa akan dibawa kemana, kalau diserahkan akan diserahkan pada 

siapa? 

Seperti mendapatkan satu kekuatan gaib Ki Hok Kui walau 

berada dalam keadaan sangat lemah duduk di lantai perahu. Dua 

matanya yang cekung rnenatap tak berkesiap. 

“Pulau..” desisnya. Digosoknya dua matanya dengan rasa tidak 

percaya. Betulkah yang dilihatnya di kejauhan itu adalah sebuah 

pulau? Kalau pulau rnergapa keseluruhannya berwarna merah? 

Tiba-tiba dia mendengar satu suara seperti berdesir di 

belakangnya. Perlahan-lahan kepalanya dipalingkan. Pucatlah paras 

cekung Ki Hok Kui. 

“Astaga! Bagaimana mungkin mereka bisa mengejar sampai di 

sini!”

Ratusan tombak di belakang perahu kecil Hok Kui kelihatan 

sebuah kapal layar besar. Dari bendera yang berkibar di tiang utama 

jelas kapal itu adalah kapal Kerajaan Tiongkok. Apa sebenarnya yang 

telah terjadi? 

Setelah balatentara Kerajaan menghancurkan Hsin Yang dan 

membantai semua orang yang mereka temui di kota itu, Ki Hok Kui 

terpaksa melarikan diri dan dia memilih arah timur yang lebih banyak 

diketahui seluk beluknya. Sewaktu Ki Hok Kui sampai di Nanchang, 

Jenderal Suma mengetahui dari Munding Sura bahwa Ki Hok Kui 

diduga masih hidup. Selain itu sewaktu tempat kediaman dan mayat 

Ageng Musalamat diperiksa Kitab Putih Wasiat Dewa tidak ditemukan. 

Munding Sura yakin kitab itu teiah diserahkan oleh Ageng Musalamat 

kepada Hok Kui untuk diselamatkan. 

Jenderal Suma memutuskan untuk mengejar Hok Kui yang saat 

itu dikabarkan melarikan diri menuju kota pelabuhan Seochow. 

Tujuan sang Jenderal bukan saja untuk mengikis habis semua anak 

murid Ageng Musalamat tapi juga untuk mendapatkan Kitab Putih 

Wasiat Dewa. Maka pengejaranpun diteruskan sampai di Seochow. Di 

sini diketahui bahwa Ki Hok Kui telah membeli sebuah perahu kecil 

dan melaut tanpa diketahui kemana tujuannya. Namun Munding Sura 

mempunyai dugaan dan hal ini diberitahukannya pada Jenderal Suma 

Tiang Bun. Menurut pendapatnya besar kemungkinan Ki Hok Kui 

melarikan diri menuju tanah Jawa. Pemburuan di lautpun 

dilakukan. Namun karena nakhoda kapal pengejar tidak begitu 

memahami kawasan laut selatan, satu bulan kemudian baru 

mereka berhasil mengejar perahu Kui Hok. 

Kui Hok sendiri yang buta pelayaran ternyata bukannya 

menuju pantai utara pulau Jawa, tapi tersesat ke pantai selatan. 

Di kawasan inilah Jenderal Suma berhasil mengejarnya. 

Dari atas kapal layar lima buah perahu diturunkan. Masing-

masing perahu berisi tiga penumpang. Perahu terdepan ditumpangi 

Jenderal Suma bersama Munding Sura dan seorang tokoh silat

istana. Perahu kedua yang meluncur di samping perahu sang 

Jenderal ditumpangi oleh Louw Bin Nio alias Tjui-hun Hui-mo (Iblis 

Terbang Pencabut Nyawa) didampingi dua orang tokoh silat 

golongan hitam. Tiga perahu lainnya masing-masing berisi seorang 

perwira tinggi Kerajaan dan dua tokoh silat. 

Dalam waktu singkat perahu kecil Kui Hok Kui segera 

terkejar. Lima perahu besar mengurungnya. Lima belas orang 

berkepandaian tinggi langsung menyerang. Ada dengan tangan 

kosong dan ada pula dengan senjata. Malah beberapa orang 

sengaja melepaskan senjata rahasia secara licik. Iblis Terbang 

Pencabut Nyawa sesuai dengan gelarnya dan memiliki ginkang 

(ilmu meringankan tubuh) yang lihay melancarkan serangan 

laksana terbang. Berkelebat kian kemari sambil kiblatkan sebilah 

golok panjang. 

Walaupun memiliki ilmu tinggi hingga dijuluki Harimau 

Kepala Besi, namun jika harus menghadapi lima belas lawan yang 

hebat tidak mungkin Kui Hok Kui untuk menyelamatkan diri. 

Apalagi keadaannya saat itu sangat lemah pula. Jenderal Suma 

berulang kali berteriak agar Hok Kui menyerahkan Kitab Putih 

Wasiat Dewa yang sudah sempat terlihat tersembul dari balik dada 

bajunya. Tapi Hok Kui pantang menyerah. 

“Louw Bin Nio!” teriak Jenderal Suma yang sudah tidak 

sabaran. “Bunuh bangsat itu. Rampas kitab putih di dadanya!” 

“Dengan senang hati kekasihku!” jawab Iblis Terbang 

Pencabut nyawa. “Tapi biar kupesiangi dulu tubuhnya!” Habis 

berkata begitu perempuan ini melesat ke atas perahu Hok Kui. 

Goloknya membuat putaran ganas empat kali berturut-turut. 

“Crass! Craass! Crass! Craass!” 

Jeritan-setinggi langit menggelegar keluar dari mulut Hok 

Kui. Golok Louw Bin Nio ternyata telah membabat buntung dua 

tangan di bagian bahu dan sepasang kakinya di pangkal paha! 

Darah membanjiri lantai perahu.

Iblis Terbang Pencabut Nyawa tertawa panjang. Ketika dia 

hendak merampas Kitab Putih Wasiat Dewa dari balik baju Hok 

Kui, murid Ageng Musalamat ini perlaku nekad. Dengan sisa 

tenaga yang ada tanpa tangan dan kaki dia gulingkan tubuh, 

mencebur masuk ke dalam laut! 

“Munding Sural Lekas terjun! Kejar dan ambil kitab di balik 

bajunya!” teriak Jenderal Suma. Tidak pikir panjang lagi si 

pengkhianat ini segera melompat masuk ke dalam laut. Justru 

pada saat itulah seekor ikan hiu ganas meluncur mendatangi. Di 

atas lima perahu, empat belas penumpangnya hanya bisa tercekat 

ketika melihat air laut mendadak berwarna merah. 

Jenderal Suma memandang berkeliling lalu berteriak keras. Tiga 

belas orang lainnya sama tersentak kaget. Ternyata di sekitar perahu 

mereka belasan ikan hiu ganas muncul berkeliaran. 

“Kembali ke kapal!” teriak Jenderal Suma Tiang Bun. Empat 

perahu cepat dikayuh kembali ke kapal. Malang bagi perahu yang 

ditumpangi Jenderal Suma. Dua ekor ikan hiu besar menabrak 

perahunya hingga terbalik. Tubuhnya dan tubuh tokoh silat yang 

terbalik dari atas perahu segera disambar belasan ikan hiu! 

Louw Bin Nio sang kekasih gelap memekik laksana kemasukan 

setan. Kalau tidak dipegangi dia pasti akan melompat ke dalam laut 

menyusul Suma Tiang Bun. 

* * 

Di atas batu miring sosok tubuh Pendekar 212 tidak bergerak. 

Sekujur badannya dibungkus hawa aneh sedingin es. Sepasang 

matanya nyalang tapi dia tidak dapat melihat apa-apa. Tiba-tiba 

“Wusss!” Sekujur tubuh murid Eyang Sinto Gendeng itu me-

ngeluarkan cahaya terang benderang. Lalu sekali lagi terdengar suara, 

“Wusss!”

Dari kepala Pendekar 212 melesat keluar sebuah benda bersinar 

terang. Benda ini melayang ke udara dalam kecepatan luar biasa dan 

akhirnya lenyap seolah ditelan langit malam. 

Bersamaan dengan itu tubuh kaku Wiro Sableng tampak 

menggeliat lalu bergerak duduk. Dia memandang celingak-celinguk 

terheran-heran. Kepalanya dipegang berulang kali. Akhirnya murid 

Sinto Gendeng ini garuk-garuk kepalanya. 

“Aneh, barusan ini aku bermimpi atau bagaimana? Aku melihat 

seorang bernama Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Aku melihat Kitab 

Putih Wasiat Dewa. Lalu ada seorang Jenderal Cina melakukan 

hubungan badan dengan seorang perempuan berdandan menor 

bergelar Tjui-bihun... Tjui... Ah setan! Tak tahu aku menyebutnya 

dalam bahasa Cina!” Wiro kembali garuk-garuk kepala. 

“Ki Hok Kui... Lelaki Cina yang dibuntungi tangan dan kakinya 

itu. Dia yang terakhir sekali memiliki kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi 

dia kecebur masuk ke dalam laut!” Wiro garuk-garuk kepala lagi dan 

kembali memandang berkeliling. Lalu dia ingat pada Delapan Sabda 

Dewa. Dan bicara seorang diri. 

“Delapan Sabda Dewa... Tanah, Air, Api, Udara, Bulan, Kayu... 

Batu! Astaga mengapa aku bisa mengingatnya?!” Baru saja Wiro 

berkata begitu tiba-tiba di kejauhan terdengar suara orang bernyanyi. 

Laut Selatan tak pernah tenang 

Gelombang selalu datang menantang 

Ribuan pagi ribuan petang 

Tubuh lapuk ini menunggu kedatangan 

Yang menunggu tua renta malang 

Yang ditunggu budak malang 

Apakah saat ini petunjuk Yang Kuasa turun 

menjelang 

Mungkinkah ini akhir penantian dan 

permulaan dari satu harapan 

Hanya kepada Yang Kuasa tertambat seluruh 

harapan

Agar tubuh tua ini bisa bebas menempuh 

jalan abadi menghadap Sang Pencipta. 

“Tempat aneh nyanyian aneh. Orangnya pasti aneh!,” kata Wiro 

pula sambil garuk-garuk kepala dia turun dari batu miring itu dan 

melangkah ke arah datangnya suara nyanyian tadi. 

T A M A T 

Serial selanjutnya: 

MUSLIHAT PARA IBLIS

Share:

0 comments:

Posting Komentar