..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 02 Juli 2024

WIRO SABLENG EPISODE DENDAM MANUSIA PAKU

Dendam Manusia Paku



Dendam Manusia Paku


Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212


Dendam Manusia Paku



GEROBAK yang ditarik kuda cokelat tinggi besar itu meluncur kencang di jalan kecil

menurun berbatu-batu. Lelaki berewok bertelanjang dada berbadan kokoh penuh otot dan

memiliki cuma satu mata, menarik tali kekang kuda kuat-kuat. Tapi kuda itu tidak bisa

dikendalikan lagi. Semakin ditahan tali kekang, semakin kencang kuda menggerakkan

kakinya. Di sebuah tikungan, gerobak hampir terbalik, pengemudinya nyaris terlempar.

“Kuda jahanam! Aku memang ingin cepat sampai! Tapi tidak mau celaka!” teriak lelaki

bermata satu. Kembali dia tarik tali kekang. Kepala kuda penarik gerobak tersentak ke

belakang. Dari hidungnya dan mulutnya keluar cairan berbusa. Binatang ini meringkik keras.

Tapi sama sekali tidak berhenti.

Di balik tikungan, jalan semakin menurun, tambah sempit dan batu-batu besar

bergelimpangan menyembul ke permukaan tanah. Beberapa puluh tombak di bawah tampak

Waduk Selorejo. Dalam musim kemarau panjang. Dalam musim kemarau panjang waduk itu

tak lebih dari sebuah lembah dalam berlumpur ditumbuhi semak belukar dan pepohonan liar

serta tebing batu.

“Binatang jahannam ini benar-benar tidak mau berhenti! Sebentar lagi gerobak pasti

meluncur ke lembah. Aku tidak mau celaka, edan!”

Lelaki di atas gerobak pergunakan tangan kiri membuka tali yang mengikat sebuah peti besi

ke tiang gerobak. Hanya sesaat lagi gerobak itu akan mencebur ke dalam waduk, dia

menyambar peti besi lalu melompat dari atas gerobak. Peti besi yang dipegang dengan tangan

kirinya cukup berat. Tapi hebatnya, begitu melompat ke udara dia mampu membuat gerakan

jungkir balik dan ketika turun kedua kakinya tepat menjejak sebuah batu besar di bibir 

waduk.

Dari atas batu itu dia melihat kuda dan gerobak menghambur masuk ke waduk. Salah satu


rodanya mental, meloncat ke udara di hantam batu besar. Kuda besar itu meringkik keras

beberapa kali lalu amblas ke dalam lumpur di dasar lembah. Hanya sesaat kakinya tersembul

melejang-lejang, sebelum akhirnya lenyap dari pandangan!

Lelaki brewokan yang mata kirinya picak itu geleng-geleng kepala. Setelah menarik nafas

panjang peti besi diletakannya di batu lalu dia duduk di atas peti itu.

“Pemandangan hebat!” tiba-tiba ada orang berucap di belakang si brewok. Lalu terdengar

tawa mengekeh. Dia cepat berpaling dan cepat melengak kaget. Dia memiliki kepandaian luar

biasa tinggi, bagaimana mungkin dia tidak mengetahui kemunculan orang ini? Jawabnya

hanya satu. Orang itu pasti memiliki kepandaian lebih tinggi! Lelaki bertelanjang dada ini

segera berdiri.

“Aku sudah menunggu lama! Kukira kau tidak muncul! Turunlah dari atas batu! Aku tidak

suka berbicara mendongak terus-terusan. Lama-lama leherku bisa salah urat nanti!” orang

yang bicara kembali tertawa mengekeh. Dia adalah kakek bermata juling yang selalu berputar

liar kian kemari. Tubuhnya pendek dan pada punggung dekat leher ada sebuah punuk. Kakek

ini mengenakan jubah merah menjela tanah. Rambut kumis dan janggutnya putih 

awutawutan. Pada keningnya terikat secarik kain merah. Di tangan kirinya dia memegang 

sebuah

kantong kain tebal yang isinya cukup berat karena kantong itu tampak membuyut ke bawah.

Lelaki di atas batu melompat turun, tapi dia tidak mau terlalu jauh dari peti besi yang

diletakkan di atas batu itu. “Apakah aku berhadapan dengan kakek sakti penguasa tunggal

kawasan timur yang biasa disebut dengan panggilan Yang Mulia Datuk Bululawang dari

Gunung Welirang?”

Si kekek mata juling menyeringai. “Kalau sudah tahu kenapa tidak segera memberikan

penghormatan pada Yang Mulia?” ujarnya.

“Ah!” lelaki bertelanjang dada menyeringai. Dia usap berewoknya lalu memberikan

penghormatan.

Kakek yang dipanggil Yang Mulia Datuk Bululawang itu tertawa panjang. Mata julingnya

berputar-putar. “Aku sendiri apakah sedang berhadapan dengan raja diraja rampok besar

kawasan utara selatan bergelar Warok Patiraja Penguasa Rimba Belantara Utara Selatan?!”


Lelaki mata picak menyerangai. “Nama yang barusan kau sebut itu memang aku orangnya

yang Mulia!”

“Ah! Akhirnya kita bertemu juga. Kabarnya matamu yang tinggal satu punya kesaktian yang

tiada tandingan. Mampu melelehkan besi dan menghancurkan batu! Apakah kau bisa

mempertunjukkan kehebatanmu di hadapanku?!”

“Yang Mulia Datuk Bululawang, waktu kita sempit sekali, Mengapa membuang percuma

dengan segala pertunjukan yang tidak-tidak?!”

“Kau betul Warok Patiraja! Tapi bagaimana aku bisa tahu bahwa yang dihadapanku ini

benar-benar adalah Warok Patiraja, orang yang membuat perjanjian denganku akan

menyerahkan sejumlah batang emas untuk sesuatu yang aku miliki dan tengah menjadi

incaran puluhan tokoh dunia persilatan!?” Pada akhir ucapannya, si kakek gerakkan sedikit

tangan kirinya yang memegang kantong tebal.

Si mata picak menggerendeng dalam hati. Tapi memang si kakek itu betul. Maka diapun

berkata. “Kalau itu maumu, harap lihat batu di seberang sana...” katanya sambil menunjuk

ke arah sebuah batu besar di pinggiran waduk sebelah kiri. Batu itu terletak sekitar tiga

tombak dari tempat mereka berdiri.

Kakek bermata juling putar kepalanya ke arah batu besar. Perlahan-lahan lelaki bertelanjang

dada arahkan pandangan mata kanannya pada batu besar itu. Bibirnya tampak bergetar. Mata

kanan itu keluarkan suatu kilauan aneh. Terdengar suara “Wusss” disertai membersitnya

sebuah sinar berwarna hitam. “Kraaakk! Byaaarr!”

Batu besar di sebelah sana retak di sembilan tempat lalu hancur berkeping-keping. “Luar

biasa! Benar-benar luar biasa! Tak percuma kau jadi raja diraja rampok utara selatan!” si

kakek memuji sambil geleng-geleng kepala.

“Sekarang giliranku. Buktikan bahwa kau memang Yang Mulia Datuk Bululawang. Manusia

sakti yang mampu menjebol tembok batu dengan tangan kosong!”

Si kakek tertawa panjang mendengar kata-kata Warok Patiraja itu. “Rupanya kau masih

kurang percaya kalau aku memang Yang Mulia Datuk Bululawang!” katanya. Lalu


terbungkuk-bungkuk

tubuh pendek berpunuk itu melangkah mendekati sebuah batu besar yang tingginya hampir

sama dengan tinggi kepalanya.

“Perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan!” kata si kakek. “aku tidak akan

mengulang kedua kali. Apapun yang akan aku lakukan ini jarang kuperbuat dan berlangsung

hanya sekejapan mata!” Habis berkata begitu sampai di depan batu tinggi, si kakek gerakkan

tangan kanannya. Terdengar suara “rrrrtttt.” Tangan kanan kanan si kakek amblas masuk ke

dalam batu. Ketika tangan itu ditarik kembali pada batu tinggi kelihatan lobang besar yang

tembus dari satu sisi ke sisi lainnya!

“Hebat sekali!” memuji Warok Patiraja. Dia lalu menunjuk pada peti besi di atas batu di

sampingnya. “Sesuai perjanjian, aku sudah membawa barang untukmu. Apakah isi kantong

itu barang untukku?!”

Datuk Bululawang telan ludahnya lalu mengangguk. “Boleh aku melihat isi peti ini?” tanya si

kakek.

Warok Patiraja cepat membuka dua buah grendel besar pengunci peti. Begitu pintu besi

dibuka, membersitlah sinar kekuningan dari batangan-batangan emas yang ada di dalam peti.

“Semua berjumlah duapuluh batang...” berkata Warok Patiraja. Datuk Bululawang

menyeringai. Mata julingnya memandang sekilas ke dalam peti. Lidahnya berulang kali

dijulurkan membasahi bibir.

Warok Patiraja tutup peti dan memasang grendelnya kembali. “Boleh aku melihat isi kantong

itu?” tanyanya.

“Silahkan lihat sendiri!” ujar si kakek. Kantong kain tebal di tangan kirinya dilemparkannya

pada Warok. Lelaki itu cepat menyambuti lalu membuka ikatan tali yang melilit kantong.

Begitu kantong dibuka, dia melihat setumpuk paku besar panjang lebih dari setengah

sejengkal. Paku-paku ini terbuat dari baja yang mengeluarkan sinar putih benderang. “ada

tiga puluh paku didalam kantong itu. Kau sudah melihat. Apakah kau kini percaya dan puas

?!” tanya Datuk Bululawang seraya melangkah mendekati.

Warok Patiraja mengangguk. “Aku ambil paku-paku ini, kau boleh ambil emas dalam peti!”

katanya.


Si kakek mengangguk. “Sekarang kau baru jadi raja diraja rampok utara selatan. Kelak jika

kau sudah menjadi raja diraja rimba persilatan, kuharap saja kau tidak lupa padaku!”

katanya sambil menyeringai dan mata julingnya berputar-putar. “Sekarang bantu aku

menurunkan peti itu. Kau meletakkannya terlalu tinggi di atas batu!”

Warok Patiraja ikat tali penutup kantong berisi paku lalu mengikatkan benda itu ke sabuk

besar di pinggangnya. Dengan dua tangannya yang kukuh, ditariknya peti besi berisi 

duapuluh

batangan emas. Untuk menarik peti, Warok terpaksa membelakangi si kakek. Pada saat itulah

tiba-tiba tangan kanan Datuk Bululawang melesat ke pinggangnya.

Warok Patiraja menjerit dahsyat ketika tangan kanan Datuk Bululawang menghancurkan

tulang pinggangnya terus menembus perut. Ketika tangan itu ditarik, sebagian usus besar

Warok ikut terbetot dan menyembul di bagian belakang tubuhnya bersamaan dengan kucuran

darah!

Si kakek tertawa tinggi. “Manusia tidak tahu diuntung! Manusia jelek sepertimu bercita-cita

gila hendak jadi raja diraja dunia persilatan! Huh!” Dia meludah ke tanah, lalu sekali

renggut saja dia rampas kantong berisi paku yang tergantung di sabuk Warok. Benda ini 

cepat

disimpannya di balik jubah merahnya. Kemudian sekali berkelebat dia sudah berada di atas

batu. Peti besi yang berat itu, seperti menjinjing keranjang kosong dengan mudah

ditentengnya. Sebelum melompat turun, dia berpaling pada Warok dan mengumbar tawa

mengekeh.

“Dasar tolol! Mana ada rampok yang menjadi penguasa tunggal dunia persilatan! Ha... ha...

ha...! Selamat tinggal Patiraja! Selamat menghadap penguasa akhirat! Mungkin di situ kau

bisa jadi raja diraja akhirat! Ha... ha... ha...!”

Saat itu Warok berada dalam keadaan sekarat. Tubuhnya bersimbah darah dan isi perutnya

semakin banyak membusai lewat lobang besar di pinggang dan di perutnya. Tersandar pada

sebuah batu di belakangnya, dia masih bisa keluarkan ucapan. “Datuk keparat... Kau kira kau


bisa kabur begitu saja...”

Mata kanan Warok Patiraja keluarkan kilauan aneh. Mata itu memandang lurus-lurus ke arah

sosok Datuk Bululawang yang meninggalkan tempat itu dengan cepat. Sang datuk rupanya

tidak bodoh. Dia sengaja mengambil jalan lari begitu rupa hingga satu garis lurus dengan

batu-batu besar yang ada di tempat itu. Dengan demikian tubuhnya terhalang dari pandangan

mata Warok yang berbahaya itu. Akan tetapi di satu tempat Warok masih sempat melihat

sosok kiri si kakek keluar dari garis lurus yang menghalangi dirinya dari batu-batu besar.

Bibirnya bergetar. “Wusss!” sinar hitam melesat.

Di depan sana terdengar jeritan Datuk Bululawang. Bahu kirinya hancur disambar sinar sakti

yang keluar dari mata kanan Warok. Tangan kirinya putus dan hancur berantakan di udara.

Kakek ini jatuhkan diri ke tanah, mengerang kesakitan, sementara darah mulai membasahi

jubah merahnya. Sekujur tubuhnya mengginggil dan mulai terasa panas. Dengan dua jari

tangan kanannya, Datuk Bululawang cepat menotok dada kirinya. Lalu terseok-seok dia

tinggalkan tempat itu. Peti besi dijinjingnya erat-erat di tangan kanan. Nafasnya tak karuan.

Di tepi waduk, Warok Patiraja berusaha mencari sosok si kakek dengan pandangan mata

kanannya. Dia maju beberapa langkah, namun tak bisa berbuat banyak. Di satu tempat

lututnya menekuk. Tubuhnya ambruk ke bawah lalu tergelimpang di tebing waduk Selorejo.

Gadis berpakaian ringkas warna ungu itu memacu kudanya sepanjang pesisir selatan lalu

membelok tajam memasuki kawasan luas ditumbuhi pohon kelapa. Pita ungu di atas kepala

dan selendang ungu yang melingkar di lehernya melambai-lambai ditiup angin. Jauh

didepannya membujur deretan bukit-bukit. Tujuannya adalah salah satu dari puncak bukit itu.

Agaknya dia tidak akan sampai ke tujuan dalam waktu dekat. Kuda tunggangannya sudah

terkuras seluruh tenaganya karena dipacu sejak pagi buta tadi.

Semakin jauh dia masuk ke pedalaman semakin tak terdengar deru ombak yang memecah di

pantai. Udara pesisir yang tadinya panas menyengat kini mulai menyejuk karena hembusan

angin dari bebukitan. Semakin dekat ke arah bukit-bukit itu, udara terasa lebih sejuk.

Menjelang rembang petang, kuda dan penunggangnya akhirnya sampai juga di kaki

bebukitan. Namun justru di situlah kuda itu melepas sisa tenaganya yang terakhir. Dia tak

sanggup lagi berlari. Langkah keempat kakinya gemetaran. Sebelum binatang itu tersungkur,


gadis berbaju ungu melompat. Dia cepat pegang leher kuda agar tidak terjerembab keras.

“Binatang hebat! Aku tak akan memaksamu naik ke atas puncak bukit sana. Aku terpaksa

meninggalkanmu di tempat ini. Aku dikejar waktu...” si gadis memandang berkeliling.

Hatinya merasa lega ketika dia melihat tak jauh dari sana ada sebuah telaga. Walau airnya

tidak terlalu bening, namun cukup menolong kuda yang sudah setengah mati kepayahan itu.

Dipetiknya beberapa helai daun, dengan cepat dibentuknya seperti panci kecil. Lalu dengan

benda itu diciduknya air telaga dan disiramkannya ke mulut serta kepala kuda yang terbujur 

di

tanah. Sampai delapan kali memberi minum baru si gadis berhenti.

“Aku harus pergi sekarang... Kuharap kau mau menunggu di sini barang satu malaman...”

setelah mengusap leher dan kepala binatang itu beberapa kali, gadis berpakaian serba ungu 

ini

segera berkelebat tinggalkan tempat itu.

Tepat pada saat matahari tenggelam, gadis ini sampai di puncak bukit. Dalam keremangan,

dia berlari menuju bagian timur hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan batu yang pintunya

tertutup oleh sejenis pohon merambat. Si gadis tak berani menyibakkan daun-daun 

pepohonan

itu, apalagi masuk ke dalam. Setelah menarik nafas panjang, dia berseru. “Guru, saya

datang!

Tak ada sahutan. “Guru, saya Anggini muridmu datang sesuai pesan!” ia berseru lebih keras.

Dari dalam bangunan batu terdengar suara batuk-batuk beberapa kali. “Jangan-jangan orang

tua itu sedang sakit,” pikir si gadis. Dia beranikan diri melangkah mendekati pintu bangunan.

Tiba-tiba ada suara seperti orang menyembur dari dalam bangunan. Bersamaan dengan itu

menebar bau tuak harum sekali. Gadis baju ungu hentikan langkahnya.

“Ah, dia ada di dalam rupanya,” kata si gadis lega, dan kini tampak tersenyum. Kembali dia

melangkah maju. Mendadak, “Wusss!” Ada kilatan api. Lalu daun-daun pohon jalar yang

bergelantungan menutupi pintu bangunan batu tenggelam dalam kobaran api. “Muridku,


masuklah! Aku memang sudah lama dan penat menunggumu!

Anggini sang murid tentu saja jadi terkesiap. Bagaimana dia bisa masuk dalam bangunan

sementara satu-satunya jalan masuk tertutup oleh kobaran api? “Hai! Apakah kau sudah tuli

anggini?! Tak kau dengar aku menyuruhmu masuk?!” terdengar suara orang di dalam

bangunan agak gusar.

“Guru...”

“Jangan bicara saja, masuklah!” orang di dalam bangunan batu akhirnya membentak hilang

kesabaran. Sesaat si gadis masih terkesima. Namun di lain kejap dia gerakkan tangan ke leher

membuka gelungan selendang ungu lalu melompat ke arah pintu seraya mengibaskan

selendang tiga kali berturut-turut.

Tiga gelombang angin menderu dahsyat, menerbangkan pasir dan batu-batu kecil. Melabrak

daun-daun pohon jalar yang dikobari api. Api yang membakar pohon serta merta padam

sementara pohonnya sendiri tidak patah atau remuk dihantam tiga gelombang angin tadi.

Ketika sang dara melompat masuk ke dalam, selendang ungunya sudah melingkar kembali di

lehernya.

Di dalam bangunan kini terdengar suara tawa bergelak. Lalu, “gluk-gluk-gluk” menyusul

suara seperti seseorang tengah meneguk minuman dengan lahap. Di dalam bangunan, 

Anggini

sempat terkesiap. “Ah, belum berubah juga dia rupanya...” lalu gadis ini cepat-cepat menjura

lalu duduk bersimpuh di lantai.

“Hebat...! Jurus Selendang Dewa Memagut Naga Membungkam Matahari yang kau mainkan

tadi sungguh sempurna! Kalau tidak kubegitukan tadi, mana kau mau memperlihatkan

kepandaianmu! Ha...ha...ha...!”

“Guru, harap maafkan murid. Saya tak tahu kalau guru bermaksud menjajal kepandaian

saya yang rendah!”

Orang di hadapan si gadis tertawa mengekeh. Lalu, “gluk-gluk-gluk” enak saja dia meneguk

sejenis minuman keras yang harum dari bibir sebuah tabung bambu. Orang ini adalah seorang


tua berambut putih yang janggutnya menjulai sampai ke dada. Pakaiannya selempang kain

biru. Saat itu dia duduk di atas sebuah bumbung bambu yang ditegakkan di lantai sambil

uncang-uncang kaki. Di pangkuannya melintang sebuah tabung bambu lagi. Bumbung ini

berisi tuak murni luar biasa harumnya yang disebut dengan Tuak Kayangan. Dan si orang tua

ini tak lain adalah Dewa Tuak, salah seorang dedengkot rimba persilatan di masa itu!

“Guru, apakah kau selama ini sehat-sehat dan baik-baik saja?” Anggini bertanya.

“Ya.. ya Aku selalu sehat dan baik-baik saja. Berkat ini!” jawab Dewa Tuak sambil menepuk

bumbung-bumbung bambu di pangkuannya.

“Saya gembira mendengar hal itu....” kata sang murid. Dia diam sesaat lalu baru meneruskan

ucapannya. “Sesuai pesan yang saya terima, saya sudah datang dan berada di hadapan guru.

Gerangan apakah guru memanggil saya?”

“Ah, kau rupanya tak mau berbasa-basi. Ingin langsung pada tujuan.” Dewa Tuak

tersenyum lebar. Dia usap-usap janggut putihnya beberapa kali baru teruskan ucapan.

“Baiklah, aku memang perlu bicara padamu. Anggini muridku, ketahuilah dunia persilatan

dalam waktu dekat ini akan dilanda malapetaka besar kalau orang-orang tua buruk sepertiku

ini tidak lekas-lekas mengambil tindak pencegahan...

“Rupanya ada tokoh-tokoh sesat golongan hitam hendak berbuat ulah?” tanya Anggini.

“Bisa dikatakan begitu. Tapi pangkal bahayanya adalah seperti yang akan aku tuturkan

padamu...

Puncak Gunung Kelud. Langit tampak mendung sejak pagi. Sang surya sama sekali tidak

kelihatan menyembul. Keadaan saat itu seolah menjelang malam hari. Sementara hujan turun

rintik-rintik dan udara terasa sangat dingin.

Di tempat persemadiannya Eyang Gusti Kelud Agung duduk bersila di lantai, hanya

beralaskan sehelai kulit kambing. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Mata terpejam,


tubuh tak bergerak barang sedikit pun. Kalau saja tidak ada hembusan nafas yang

menimbulkan asap tipis akibat dinginnya udara, orang tua berusia hampir seratus tahun ini

tidak beda seperti sebuah patung. Walau usia sudah lanjut begitu rupa, tapi dia masih

memiliki tubuh tegap dan wajah segar. Semua ini akibat latihan jasmani dan kekuatan rohani

serta hawa sakti yang sudah mencapai tingkat tinggi dan jarang orang menguasainya.

Di hadapan Eyang Gusti Kelud saat itu duduk seorang lelaki berusia 30 tahun. Dia hanya

mengenakan sehelai cawat sehingga kelihatan tubuhnya yang kukuh penuh otot. Pada leher

dan dadanya terdapat banyak tanda-tanda kemerahan seolah bekas gigitan. Lelaki muda ini

tidak hitam ataupun coklat tetapi berwarna kehijau hijauan membersitkan sinar aneh kalau tak

dikatakan menggidikkan. Lelaki ini menatap pada kakek yang ada di hadapannya. Dia sudah

berada di tempat itu sejak malam tadi. Dan Eyang Gusti Kelud masih saja bersemadi. Sampai

kapan dia harus menunggu? Kalau dengan orang lain mungkin dia berani mengganggu 

semadi

itu atau meninggalkan si kakek begitu saja. Tapi terhadap sang guru tentu saja dia tak berani

berbuat begitu.

Waktu berjalan terus. Siang pun datang. Udara terang sedikit tetapi sang surya masih belum

kelihatan. Sepasang mata hijau lelaki muda itu melihat gerakan pada urat nadi di leher Eyang

Gusti Kelud Agung. Hatinya menjadi lega. Ini satu pertanda bahwa si kakek akan mengakhiri

semadinya. Benar saja. Tak lama kemudian terlihat getaran-getaran teratur pada bagian dada

orang tua itu. Setelah itu kepalanya bergerak sedikit. Menyusul dengan terbukanya kedua

matanya sedikit demi sedikit.

Begitu melihat mata sang guru membuka, pemuda tadi segera membungkuk dalam-dalam.

Kepalanya hampir menyentuh kaki si kakek. Dan dia tetap dalam keadaan seperti itu sampai

dia mendengar suara Eyang Gusti Kelud Agung berkata. “Sandaka Arto Gampito, kau boleh

mengangkat tubuhmu.”

Lelaki muda itu cepat angkat tubuhnya, duduk dengan sikap tegak dan memandang pada

orang tua di hadapannya. Dua mata bening Eyang Gusti Kelud Agung serta merta melihat

perubahan besar telah terjadi dengan diri muridnya. Hatinya memelas sedih.


“Dua puluh tahun lebih aku mendidiknya untuk menjadi manusia berbudi pendekar sejati.

Ternyata semua itu sia-sia belaka. Ya Tuhan, apa dosaku pada-Mu hingga kau turunkan

malapetaka ini pada muridku? Jika dia yang berdosa biar aku yang menampung semua

dosanya. Jangan dia. Diriku akan segera datang menghadap-Mu, tapi dia masih muda, jalan

hidupnya masih panjang. Ya Tuhan, aku mohon petunjuk-Mu…”

“Eyang, saya datang menghadap Eyang. Semoga kedatangan saya berkenan di hati

Eyang…”

“Sandaka, aku senang melihat kau datang. Tapi hatiku juga sangat sedih melihat keadaanmu

seperti ini…” berucap Eyang Gusti Kelud Agung dengan suara tersendat.

“Saya tahu bagaimana perasaan Eyang, namun mungkin semua ini sudah jalan nasib saya.

Semua yang terjadi adalah kelalaian dan kesalahan saya. Biarlah kelak saya yang

menanggung hukuman atas segala dosa...”

“Sandaka, apa yang sudah terjadi memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Mungkin suatu

ketika ada suatu kekuatan atau mukjizat yang bisa mengembalikan dirimu seperti dulu lagi.

Namun yang sangat aku sesalkan adalah karena kau tidak mendengarkan nasihatku. Ketika

kau kulepas tahun lalu aku sudah berpesan, jangan sekali-sekali kau dekati apalagi

berhubungan dengan Kunti Ambiri perempuan jahat bergelar Dewi Ular itu. Sejak kau

berada di sini, aku tahu secara diam-diam dia datang mengintai dan memperhatikan dirimu.

Dia terpikat pada dirimu. Ternyata kau bukan saja masuk pada perangkapnya tapi juga jatuh

cinta padanya...!”

“Eyang, saya tahu dosa dan kesalahan saya. Ketika Eyang melepas saya setahun lalu walau

memiliki kepandaian tinggi tapi saya masih buta pengalaman. Dunia luar serba asing bagi

saya. Sampai akhirnya saya masuk dalam perangkap Dewi Ular... Saya tidak mampu

mencegahnya. Saya berada di bawah kekuasaannya, tak mampu keluar dari

genggamannya...”

Orang tua di hadapan Sandaka menarik nafas panjang. “Jangankan kau, orang yang

berkepandaian tinggi seratus kali darimu pun sekali melakukan hubungan badan dengan

Dewi Ular, seumur hidup tak akan sanggup membebaskan diri dari cengkeramannya. Seumur

hidup akan jadi budak nafsunya. Cairan dalam tubuh Dewi Ular telah mengalir dalam


darahmu. Tak mungkin dibersihkan lagi...!”

Lama Sandaka termenung mendengar kata-kata gurunya itu. Apa yang diucapkan orang tua

itu memang benar adanya. Sejak dia terpikat dengan Dewi Ular dan melakukan hubungan

badan sampai beberapa kali, sejak itu pula dia tak mampu membebaskan diri dari kekuasaan

perempuan itu. Dia melakukan apa saja yang diperintahkan tanpa berpikir apakah hal itu baik

atau buruk.

“Eyang, kalau memang begini keadaan saya, saya bersedia menerima hukuman apa pun.

“Hukuman bisa saja dilakukan atas dirimu. Tidak olehku, mungkin oleh orang lain. Mungkin

juga oleh dirimu sendiri...

“Maksud Eyang, saya sebaiknya bunuh diri saja?” tanya Sandaka.

Orang tua itu tersenyum pahit. Dia melihat ada kilatan aneh pada sepasang mata muridnya.

“Aku tidak menganjurkan kau melakukan bunuh diri. Ketahuilah, tidak suatu kekuatan pun di

dunia ini yang sanggup membunuhmu! Kecuali kekuatan Tuhan atau atas petunjuk dari-Nya.

Cuma, aku melihat masih ada satu jalan. Ada penyakit dalam tubuhmu. Untuk mengobatinya,

harus melenyapkan sumbernya...

“Maksud Eyang?

“Sanggupkah kau membunuh Dewi Ular?

Paras Sandaka Arto Gampito tidak berubah. Tapi sang guru lagi-lagi melihat ada kilatan

cahaya menggidikkan di kedua mata muridnya. “Sandaka, coba kau perhatikan dirimu.


Pakaianmu hanya selembar cawat seolah kau hidup di zaman manusia tidak beradab.

Pengaruh cairan tubuh beracun Dewi Ular membuatmu hanya bisa tidur satu tahun sekali.

Itu pun tidak bisa lama dan tak diketahui kapan kau bisa tidur. Dua bola matamu hijau juga

akibat pengaruh cairan dari tubuh Dewi Ular. Di situ kekuatanmu terpusat. Kau dijadikan

hamba sahayanya bukan cuma sebagai pemuas nafsu tapi juga untuk melakukan apa saja

yang dimintanya. Coba kau ingat, sudah berapa banyak orang-orang persilatan yang

menjadi korbanmu atas perintah Dewi Ular...

Eyang Gusti Kelud Agung hentikan ucapannya. Dia melihat tubuh muridnya bergetar lalu

kulit tubuh sampai ke leher terus ke muka perlahan-lahan berubah kehijau-hijauan. Di dalam

diri Sandaka, tiba-tiba saja ada suara iblis menggelegar. “Orang tua ini harus kubunuh!

Harus kubunuh! Tapi dia guruku! Dia guruku! Persetan siapapun dia adanya! Harus

kubunuh sekarang juga!

Sandaka berdiri. “Kau mau ke mana muridku?” Tanya Eyang Gusti Kelud Agung.

“Saya terpaksa harus mem...” Sandaka tidak teruskan ucapannya, agaknya dia masih bisa

menguasai diri. “Saya harus pergi sekarang juga Eyang” Dia putar tubuhnya cepat-cepat.

“Tunggu dulu Sandaka. Masih ada satu hal yang mau aku bicarakan. Ini sangat penting

karena masih menyangkut kehidupan masa depanmu...

“Saya sudah tidak punya masa depan Eyang....” Sandaka segera hendak beranjak pergi.

“Dengarkan dulu apa yang akan kukatakan, baru kau boleh pergi...

“Jika Eyang memaksa, saya terpaksa...

“Membunuhku?” ujar si orang tua dengan senyum kecut. “Kau boleh membunuhku setelah


mendengar penuturanku...

Warna kulit dan bola mata Sandaka semakin menghijau. Badannya menggeletar tanda dia

berusaha keras menahan gejolak keinginan untuk membunuh yang membakar dirinya. “Kalau

begitu katakan saja cepat Eyang apa yang mau kau bilang...!”

“Sembilan puluh tahun yang lalu ketika aku masih kecil, guruku pernah bercerita tentang

tigapuluh buah paku sakti terbuat dari baja murni. Paku ini dibuat oleh seorang syekh sakti

yang bermukim di daratan Tiongkok selatan. Konon paku ini punya kekuatan daya

penyembuhan luar biasa. Aku mempunyai firasat paku sakti itulah yang sanggup

membersihkan darah dalam tubuhmu. Caranya, tigapuluh buah paku itu harus dipantekkan

ke tubuhmu. Mulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Namun ada satu akibat yang tidak dapat

dielakkan. Walau pengaruh Dewi Ular akan pupus dari dirimu, tetapi kau kelak akan berada

di bawah kekuasaan baru yang mungkin lebih dahsyat...”

Ucapan Eyang Gusti Kelud Agung terhenti ketika tiba-tiba ruangan semadi itu bergetar oleh

berkelebatnya suatu bayangan hijau yang mengeluarkan angin mengandung hawa aneh. Lalu

terdengar suara orang berkata. “Sandaka! Lama aku mencarimu! Tak tahunya kau berada di

sini, bicara segala isapan jempol pepesan kosong!”

Seorang perempuan muda berwajah cantik luar biasa, mengenakan pakaian panjang terbuat

dari sutera halus berwarna hijau, tiba-tiba tegak di samping Eyang Gusti Kelud Agung. Bau

tubuhnya yang harum, menebar di ruangan itu. Di atas kepala yang rambutnya di konde besar

di sebelah belakang ada sebuah mahkota kecil berbentuk kepala ular terbuat dari emas,

memiliki sepasang mata terbuat dari permata berwarna hijau.

“Dewi...!” seru Sandaka lalu cepat bangkit mendatangi perempuan itu.

“Kekasihku...!” jawab Dewi Ular seraya mengembangkan kedua tangannya. Begitu Sandaka

sampai di hadapannya, langsung dirangkulnya. Sandaka membalas penuh nafsu. Dewi Ular

julurkan lidahnya. Sandaka hisap lidah itu sampai mengeluarkan suara keras. Tidak hanya


sampai di situ. Seolah mereka hanya berdua saja yang ada di situ, keduanya baringkan diri di

lantai, berguling-guling sambil terus berpelukan dan berciuman.

Wajah Eyang Gusti Kelud Agung tampak merah mengelam. Dia membentak marah.

“Manusia-manusia kotor! Keluar kalian dari tempat ini! Jangan kalian berani lagi

menginjak puncak Gunung Kelud ini!

Dewi Ular tertawa tinggi. Digigitnya leher Sandaka penuh nafsu hingga meninggalkan tanda

merah. Lalu dia melompat bangkit, Sandaka ikut berdiri. Sambil merangkul lengan lelaki itu,

Dewi Ular berkata. “Sandaka kekasihku, kau tadi mendengar segala macam ucapannya!

Betul...?

“Aku memang mendengar Dewi, tapi aku tidak peduli!

Dewi Ular kembali tertawa panjang. “Kurasa tua bangka ini hanya satu rongsokan tak

berguna. Apa pendapatmu Sandaka?

“Memang aku juga merasa begitu...” jawab Sandaka.

Wajah Eyang Gusti Kelud Agung kaku membesi. “Sandaka! Sebut nama Tuhanmu!

Bebaskan dirimu dari pengaruh jahat perempuan iblis ini!

Dewi Ular cuma ganda tertawa mendengar ucapan orang tua itu. “Apa tindakan kita terhadap

manusia-manusia tidak berguna di atas dunia ini Sandaka?” Dewi Ular kembali berucap.

“Harus dibasmi. Harus disingkirkan karena Bumi tidak layak dihuni oleh orang-orang

semacam dia!

“Sandaka!” seru Eyang Gusti Kelud Agung.


“Kekasihku, aku senang mendengar ucapanmu! Sekarang lakukan apa yang harus kau

lakukan! Bunuh tua bangka tak berguna itu!

Eyang Gusti Kelud Agung cepat berdiri ketika dilihatnya Sandaka Arto Gampito maju dua

langkah mendekatinya. Dua bola matanya menjadi sangat hijau. Ketika lelaki ini

mengedipkan kedua matanya itu, dua larik sinar hijau menderu menyambar ke arah kepala

dan dada sang guru.

Orang tua itu membentak keras. Sambil menyingkir ke samping, dia cepat membentengi diri

dengan dua buah pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti. Angin yang keluar dari 

dua

telapak tangan Eyang Gusti Kelud Agung itu laksana deru topan dan mengeluarkan sinar

kelabu. “Bummmmmm!Bummmmm!”

Dua ledakan menggelegar. Asap kelabu dan hijau menutupi pemandangan. Atap dan dinding

ruangan runtuh. Lantai mencuat hancur berantakan. Sandaka dan Dewi Ular terlempar jauh,

lalu jatuh di tanah saling menindih. Ketika asap hijau dan kelabu pupus, kelihatanlah tubuh

Eyang Gusti Kelud Agung terkapar di antara reruntuhan bangunan. Kepalanya hancur dan

sekujur badannya remuk. Seluruh sosoknya kelihatan hijau gelap.

Sandaka merasakan dadanya mendenyut sakit. Nafasnya memburu. “Kau tak apa-apa...?

bisik Dewi Ular.

“Hanya merasa sesak sedikit...” jawab Sandaka. Dia memandang ke arah mayat gurunya, lalu

berkata, “Guruku... dia tewas...

“Orang tua itu bukan gurumu!” tukas Dewi Ular. “Dia tak lebih dari seorang tua bangka

tolol! Tak ada gunanya! Kau telah melakukan sesuatu yang betul. Membunuhnya! Aku

bangga punya kekasih sepertimu!” Dewi Ular lalu merangkul dan menciumi Sandaka.

Keduanya berguling-guling di tanah. “Tempat ini terlalu dingin...” bisik Dewi Ular. “Dalam

perjalanan ke sini aku melihat ada sebuah pondok kayu...


“Kalau begitu, kita segera menuju ke sana...” jawab Sandaka.

“Ya... memang itu mauku. Tapi apakah kau tidak mau menggeluti dadaku terlebih dulu?

Habis berkata begitu, Dewi Ular buka lebar-lebar baju suteranya hingga payudaranya yang

besar dan putih menyembul menantang, membuat Sandaka seperti mau gila dan langsung saja

mendekapkan kepalanya ke dada perempuan itu.

Selagi Anggini masih termangu mendengarkan penuturan gurunya, Dewa Tuak kembali 

teguk

dengan lahap tuak dalam bumbung bambu sampai mulut dan dagunya berselomotan. “Apa

yang ada dalam benakmu Anggini?

“Penuturanmu mengerikan sekali guru,” jawab Anggini. “Kalau Sandaka bisa membunuh

gurunya sendiri semudah membalik telapak tangan, apa lagi membunuh orang lain!

“Justru itulah yang ditakutkan orang rimba persilatan. Belasan tokoh tingkat tinggi dalam

dunia persilatan telah dihabisinya. Pada saatnya mungkin aku juga akan menjadi

korbannya... Aku dan kawan-kawan sudah siap menjaga segala kemungkinan. Di luar

terdengar kabar bahwa paku baja putih dikuasai seorang kakek sakti yang terkenal dengan

nama Yang Mulia Datuk Bululawang. Orang ini kabarnya diam di Gunung Welirang.

Celakanya kakek Bululawang mencari kesempatan dalam kesulitan. Dia gunakan paku-paku

itu untuk kepentingannya sendiri. Kenyataannya dia telah berhasil mengumpulkan sebagian

besar harta kekayaan dan membunuh tokoh yang menginginkan paku itu. Di luaran tersiar

kabar bahwa siapa pun yang berhasil menguasai Sandaka Arto Gampito maka ia akan

menguasai rimba persilatan...

“Berarti kejahatan akan berlangsung terus...


“Mungkin begitu muridku. Namun siapa pun yang menguasai Sandaka akan lebih baik dari

pada saat ini dia dikuasai Dewi Ular. Lagi pula orang lain itu mungkin lebih bisa ditumpas

dari pada Dewi Ular.

“Saya teringat pada senjata rahasia yang dulu guru berikan,” kata Anggini sambil meraba

pinggang pakaiannya di mana tergantung sebuah kantong berisi senjata rahasia berbetuk paku

terbuat dari perak. “Justru benda itu yang menjadi salah satu alasan aku memanggilmu ke

mari. Ada selentingan bahwa beberapa tokoh silat menganggap paku itu adalah paku sakti

keramat yang bisa melumpuhkan Sandaka lalu menguasainya. Berarti kau harus hati-hati

Anggini. Salah duga bisa menjadi malapetaka bagimu.

Ucapan Dewa Tuak membuat Anggini merasa tidak enak. “Lalu apa yang harus diperbuat

guru?” tanya gadis itu.

“Aku minta kau segera mencari pendekar 212 Wiro Sableng...” Dewa Tuak menghentikan

katra-katanya ketika dilihatnya wajah sang murid tiba-tiba memerah.

“Eh, ada sesuatu dalam benakmu?

“Dewa Tuak, saya lebih suka kau menyuruh aku lakukan sesuatu yang lain dari pada

mencari pemuda itu...”

“Hem... aku tahu mengapa kau bicara begitu,” kata Dewa Tuak sambil tertawa-tawa 

gelakgelak. “Kau kecewa padanya karena baik dia maupun gurunya belum selesai membahas 

soal

perjodohan kalian.”

“Saya tidak pernah kecewa!” jawab Anggini tegas walau diam-diam hati sanubarinya

memelas. “Saya hanya ingin mengatakan ini kepadamu guru. Jika orang tidak suka, mengapa

harus memaksa?”

“Hemm…” Dewa Tuak bergumam sambil mengelus-elus bumbung di pangkuannya. “Tidak

ada yang tidak suka. Tidak ada yang memaksa. Tapi... sudahlah. Urusan perjodohanmu


sudah kubicarakan lagi dengan Sinto Gendeng beberapa waktu lalu sewaktu aku

menyambanginya di puncak Gunung Gede. Urusan sekarang yang lebih penting adalah soal

Sandaka. Sudah diketahui bahwa hanya paku baja putih itu yang sanggup melumpuhkannya.

Di tangan siapa paku itu sekarang juga sudah diketahui. Yang belum diketahui adalah kapan

Sandaka tidur. Dia hanya mampu ditundukkan pada saat tidur. Dalam setahun tidurnya

hanya sekali. Itupun tidak lama. Jadi kau harus mencari tahu kapan dan di mana tidurnya.

Kau juga harus mendapatkan paku sakti itu agar tidak ke jatuh ke tangan orang yang sama

brengseknya seperti Dewi Ular...”

“Saya seperti mencari sebutir kelapa di tengah samudera luas…” Dewa Tuak tertawa

mendengar jawaban muridnya. “Itu sebabnya aku minta kau segera mencari Pendekar 212.

Kalau sudah ketemu, segera hubungi Kakek Segala Tahu, pasti orang tua itu bisa

menjelaskan yang kau perlukan.”

“Kalau begitu pesan guru segera saya lakukan. Bolehkah saya minta diri sekarang?”

“Tentu saja, tapi tidak perlu buru-buru. Kita masih ada sedikit waktu untuk 

berbincangbincang. Apa kau tidak ingin menikmati tuak kayangan ini beberapa teguk?”

Si kakek tutup ucapannya dengan melemparkan bumbung bambu ke arah muridnya.

Lemparan itu bukan sembarang lemparan karena ujung bumbung bambu melesat menyambar

ke arah dada Anggini. Maklum sang guru lagi-lagi sedang menjajaki kemampuan Anggini.

Anggini cepat menggeser kaki, dan tubuhnya dimiringkan ke kanan, tangan kirinya diangkat

sedikit. Dan di lain kejap, bumbung yang dilempar Dewa Mabuk sudah di tangan kirinya!

***

Sosok dalam gelap itu menyelinap mendekati pintu bangunan di puncak bukit. Tanpa suara

seperti setan bergerak. Sesaat dia berhenti. Ada keraguan dalam hatinya. “Jangan-jangan dia

tidak berada di sini. Bagaimana aku harus menyampaikan pesan? Di tengah jalan ada seekor

kuda hampir mati kecapaian. Pasti ada orang yang baru datang berkunjung sebelum aku ke

tempat ini. Berarti ada satu atau dua orang dalam bangunan batu itu. Tapi mengapa keadaan


sunyi? Tak ada lampu menyala. Aku tahu betul kebiasaan orang tua itu. Tidak bisa tidur 

kalau

tidak ada lampu…”

Baru saja orang di depan pintu bangunan batu membatin seperti itu, tiba-tiba ada suara

menegur. “Hanya manusia jahat biasanya menyelinap ke tempat orang!” Lalu, “Wutt!!”

orang di depan pintu merasakan sambaran angin di bagian belakang kepalanya.

“Hemm... hanya manusia licik yang menyerang dari belakang!” Orang ini membalik dengan

cepat seraya angkat tangannya melidungi kepala. “Bukk” Dua lengan beradu keras dalam

kegelapan. Si penyerang terpental sampai tiga langkah dan keluarkan pekikan keras. Yang

menangkis terjajar satu langkah.

“Aku seperti mengenali suara itu!” kata penangkis sambil menahan bahu kanannya yang

terasa mendenyut. Dia besarkan kedua matanya. Tapi malam begitu gelap. Dia tidak bisa

mengenali wajah itu. Yang jelas suaranya adalah suara perempuan. Dia tidak bisa berpikir

panjang-panjang karena sosok di depannya kembali menyerang dengan cepat.

“Gila! jurus-jurus serangannya ganas dan menyerang bagian yang mematikan!” membatin

yang diserang. Karena mengalah dan hanya mengambil sikap bertahan, beberapa serangan

lawan berhasil mendarat di tubuh dan lengannya. Dari pada lebih celaka orang ini berseru.

“Hentikan serangan. Antara kita mungkin sudah saling kenal!

“Seorang kenalan tidak akan menyusup seperti seorang pencuri!

“Hai aku bukan pencuri!

“Kalau begitu maling!

“Juga bukan. Aku ke mari mencari seseorang!

“Lalu kau siapa?


“Katakan dulu siapa kau?

“Kurang ajar!” si perempuan memaki lalu kembali hendak menyerbu. Kali ini dia

melepaskan benda di leher yang sejak tadi melilitnya. Hal ini dilihat orang di hadapannya.

Sehelai selendang!

“Astaga! Benar dugaanku! Kau pasti Anggini! Murid tokoh silat Dewa Tuak yang aku

segani!” Si penyerang terkesiap. Bukan saja menghentikan serangan tapi malah mundur

beberapa langkah sambil memandang dengan mata dibesarkan, berusaha mengenal orang di

depannya.

“Wiro…!

“Anggini..!

Dari dalam bangunan terdengar suara tawa mengekeh disusul… “gluk… gluk…gluk” suara

orang minum dengan lahap. Tidak lama kemudian keluarlah sosok tubuh orang tua 

berjanggut

putih. “Dewa Tuak...” Orang di depan Anggini memanggil lalu memberi hormat.

Dewa Tuak tertwa tergelak-gelak sambil bolang-balingkan bumbung bambu berisi tuak di

depan dadanya, sementara Anggini tegak tidak bergerak dengan hati diliputi berbagai rasa.

“Pendekar 212 sableng! Kau datang pada saat yang tepat! Hingga muridku tidak susah

mencarimu!” kata Dewa Tuak sambil berpaling kepada muridnya lalu berkata. “Aneh, kenapa

kau seperti patung dan gagu? Apakah kau tidak gembira ketemu dengan kakakmu ini,

Anggini?


Kalau saja tidak gelap, Wiro dan kakek Dewa Tuak niscaya melihat pipi Anggini yang

bersemu merah karena jengah.

“Tentu… tentu saja kami bergembira guru. Lama sekali kami tidak bertemu….” ujar 

Anggini.

“Betul…,”sahut murid Eyang Sinto Gendeng. “Kalau tidak salah hampir tiga tahunan….

“Rejeki…, pertemuan, maut dan langkah, memang bukan maunya manusia. Itu semua

kekuasaan Gusti Allah. Tapi kalau aku boleh nanya, gerangan apa yang membawamu ke

mari Wiro?” habis bertanya, kakek mendekatkan bibir ke bumbung dan mendongak..

.

“Gluk… Gluk… Gluk…!” Lahap sekali dia meneguk tuak kayangan yang beraroma harum 

itu.

“Saya diminta Eyang Sinto menemuimu.

“Hemmm, pesan apa yang kau bawa anak muda?

“Menyangkut masalah besar yang kini tengah berlangsung di rimba persilatan di tanah Jawa

ini... Munculnya pemuda berkesaktian luar biasa bernama Sandaka Arto Gampito, hamba

sahaya dan budak nafsu Dewi Ular.

“Apa saja yang diketahui gurumu tentang orang itu?

“Dewi Ular akan mempergunakan Sandaka untuk menguasai rimba persilatan. Beberapa

tokoh silat tingkat tinggi telah dihabisinya secara keji. Di puncak Merapi beberapa waktu

lalu pendekar silat dari timur bergabung dengan jago dari selatan. Mereka berjumlah empat


belas orang. Mereka berhasil menjebak dan mengurung Sandaka di sebuah lereng. Namun

semua disapu habis! Sulit dipercaya ada orang memiliki kepandaian seperti itu….

“Sandaka bukanlah manusia lagi,” kata Dewa Tuak. “Dia berubah menjadi mahluk setengah

iblis setengah dewa! Sulit mengalahkannya. Pengaruh cairan Dewi Ular yang mengalir

dalam tubuhnya begitu hebat hingga tidak mempan pukulan maupun senjata tajam. Selama

tidak bisa dibersihkan dari pengaruh cairan itu, selama itu pula dia akan merajalela

menuruti perintah Dewi Ular….”

“Saya dengar dia bahkan sudah membunuh gurunya sendiri Eyang Gusti Kelud Agung...”

Dewa Tuak mengangguk membenarkan ucapan Pendekar 212 itu. “Siang tadi aku baru

menceritakannya kepada Anggini. Rimba persilatan benar-benar dalam cengkeraman

mengerikan. Kau tahu apa yang dilakukan pemuda sesat itu di puncak Gunung Kelud setelah

membunuh gurunya sendiri? Dia berzina dengan Dewi Ular di hadapan mayat gurunya!”

Sesaat tempat dekat bangunan itu dalam kesunyian itu lalu terdengar suara Wiro bertanya.

“Menurutmu kek, apakah ada satu cara menghentikan malapetaka besar ini?

“Saat ini aku hanya mengetahui satu cara. Sandaka bisa dilumpuhkan dengan jalan

memantek tubuhnya dengan 30 paku sakti terbuat dari baja putih murni. Benda itu kini justru

menjadi rebutan di kalangan persilatan. Yang bisa memaku Sandaka akan menguasai

dirinya. Kalau dia dari golongan hitam, kejadian buruk akan terulang. Seperti Dewi Ular,

orang itu akan menguasai Sandaka untuk berbuat apa saja. Hanya saja Sandaka tidak akan

sehebat berada dibawah pengaruh cairan Dewi Ular…

“Berabe juga urusannya,” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Kek apakah sudah

diketahui siapa pemilik paku sakti itu atau di mana beradanya?

“Tiga puluh paku baja putih murni itu berada di tangan seorang pendekar yang berjuluk


Yang Mulia Datuk Bululawang dari gunung Welirang…

“Datuk Bululawang?” mengulang Wiro.

“Ya, kau kenal dia?

“Siapa tidak kenal dia. Datuk cabul yang suka melakukan hubungan tidak senonoh dengan

sesama jenisnya!” sahut Wiro.

Dewa Tuak tertawa terkekeh. “Sulit aku bayangkan apa yang sebenarnya terjadi dalam

rimba persilatan ini,” kata kakek tua sambil menggelengkan kepalanya.

“Kalau begitu, sang Datuk harus dikuasai lebih dahulu, dirampas paku sakti itu dari

tangannya…” berkata Anggini.

Dewa Tuak mengangguk-angguk. “Itu benar. Caranya memang musti ke situ. Tapi tentu saja

tidak mudah menyiasati Datuk Bululawang. Di samping puluhan orang lain juga

menghendaki paku itu, sudah belasan orang mati sebelum maksud mereka kesampaian.

Kalaupun paku bisa dikuasai, tidak gampang memantek tubuh Sandaka. Ada kabar pemuda

itu tidur hanya sekali dalam setahun. Pada saat itulah pemantekan bisa dilakukan. Tapi

gilanya, siapa yang tahu kapan dan di mana dia tidur?

“Memang banyak sekali sulit dan bahayanya. Itu sebabnya Eyang Sinto berpesan, sehabis

dari sini harus mencari Kakek Segala Tahu…

“Ah, tua bangka sahabatku itu! Lama aku tidak mendengar ihwalnya, apakah dia masih

hidup atau bagaimana? Kalian harus mencarinya.

Wiro melirik ke Anggini. “Apakah yang dimaksud kakek dengan kalian adalah aku dan

Anggini?

“Ya betul, kau dan Anggini harus segera pergi mencari tua bangka satu itu. Harus cepat

agar tidak terlambat!


“Aku sih mau-mau saja…,” kata Wiro dalam hati. “Tapi aku lihat gadis itu biasa-biasa saja

dan sikapnya acuh tak acuh. Tadi dia bilang senang bertemu denganku. Mulutnya bilang

begitu, hatinya dia mendekam satu ganjalan. Dia seperti benci kepadaku….

“Hai,” seru Dewa Tuak. “Kalian berdua mengapa berdiam saja? Tidak dengar aku bilang

apa?

“Saya dengar kek, dan saya akan lakukan pesanmu itu,” kata Wiro.

“Anggini?!” ujar si kakek tanpa berpaling pada muridnya.

“Saya juga dengar guru, saya juga akan lakukan pesanmu!

“aku gembira mendengar ucapan kalian berdua. Nah sekarang kalian tunggu apa lagi?

“Maksud kakek?” tanya Wiro dan Anggini.

“Kalian berdua sama tololnya! Cepat tinggalkan tempat ini dan cari si tua bangka Segala

Tahu itu!

Anggini melengak tapi tidak berani buka mulut. Sebaliknya Wiro langsung berkata. “Pergi

malam-malam begini kek?

“Lalu apa menunggu pagi baru berangkat?” sentak Dewa Tuak.

“Maksud saya mungkin kau masih kangen dengan muridmu dan ingin ngobrol…

“Obrolanku sudah habis. Sekarang kalian saja yang ngobrol satu sama lain dalam

perjalanan. Lagian kalian kan sudah lama tidak bertemu. Tentu banyak yang harus kalian

bicarakan. Aku mau tidur…” Dewa Tuak teguk lagi minuman dalam bumbung bambu itu lalu

tanpa peduli lagi dia berpaling lalu melangkah menuju pintu bangunan batu.


“Apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Wiro pada Anggini.

“Kalau guruku sudah bilang begitu, tidak satu pun yang bisa berubah! Dia suka kita segera

pergi!

Wiro garuk kepala. “Mungkin ucapan gurumu benar. Dia menyuruh kita segera pergi dan

ngobrol dalam perjalanan...

Maksud Dewa Tuak meminta kedua muda mudi itu lekas pergi dan melakukan perjalanan

bersama, selain memang untuk mencari kakek Segala Tahu, sebenarnya ada tujuan

tersembunyi dari si orang tua. Seperti diketahui, sejak lama Dewa Tuak ingin menjodohkan

Anggini dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Malah sudah beberapa kali permintaan itu 

sudah

disampaikan kepada Eyang Sinto Gendeng.

Namun baik guru sang pendekar maupun Wiro sendiri tidak terlalu tertarik. Sinto Gendeng

pernah bilang biar urusan jodoh itu anak-anak sendiri yang mengatur. Jika mereka suka sama

suka tentu ikatan jodoh itu akan terjalin dengan sendirinya.

Di pihak Anggini memang diam-diam mencintai Wiro, namun sebaliknya si Wiro lebih

menganggap si gadis sebagai adiknya sendiri, walau terus terang dia sangat mengagumi

kebaikan perilaku dan hati si gadis, di samping wajahnya yang cantik.

Tidak seperti yang diinginkan Dewa Tuak ataupun dua muda mudi itu, ternyata dalam

perjalanan menuruni bukit mereka lebih suka diam membisu. Wiro yang lama-lama salah

tingkah akhirnya membuka pembicaraan. “Lama kita tidak bertemu. Apakah kau selama ini

baik-baik saja Anggini?”

“Yah, mau dibilang baik kenyataannya semua kesulitan kuhadapi, walau semua bisa kulalui.

Yang jelas aku bisa melihat dunia ini apa adanya dan tambah pengalaman. Kau sendiri

bagaimana?” balik bertanya sang dara.

“Tidak beda dengan kau. Kesulitan dan bahaya menghadang di mana-mana. Buktinya

sekarang ini kita menghadapi kesulitan besar. Selain kita mencari Kakek Segala Tahu,


menurutmu apa yang harus kita lakukan?”

“Kau lebih berpengalaman dan pandai. Ilmumu lebih tinggi dariku. Seharusnya kau yang

mencari jalan,” jawab Anggini.

“Aku rasa kita perlu membagi pekerjaan… waktu kita sempit sekali.”

“Hemm... membagi pekerjaan bagaimana?” tanya Anggini.

“Kau mencari tahu di mana sarangnya Dewi Ular. Jika kau merasa sanggup menghadapi

sendiri lakukanlah, kalau tidak, minta bantuan sahabat dari golongan putih. Apapun yang

kau lakukan, paling tidak sudah diketahui keberadaan perempuan itu…”

“Lalu kau sendiri melakukan apa?”

“Aku akan mencari Datuk Bululawang, berusaha merampas paku sakti itu dari tangannya.

Aku juga mencari Kakek Segala Tahu…”

Anggini yang berjalan cepat di samping Wiro berpikir sejenak. Kemudian dia berkata.

“Bagaimana kalau diatur begini. Aku yang mencari kakek Segala Tahu dan Datuk

Bululawang, kau yang mencari Dewi Ular…”

“Heh!” Wiro agak tercekat mendengar ucapan Anggini. Dia berjalan lebih cepat hingga

selangkah di depan Anggini. Dia berpaling dan perhatikan wajah gadis itu. Dilihatnya sang

dara tersenyum. Senyum yang sulit diartikan Wiro.

“Setahuku Datuk Bululawang memiliki kemampuan tinggi dan berhati sejahat iblis. Aku 

tidak

merendahkan kepandaianmu sendiri, namun rasanya lebih baik...

“Rupanya kau takut bertemu dan menghadapi Dewi Ular?” memotong Anggini lalu tertawa

lebar. “Dia hanya seorang perempuan cantik, apa yang ditakutkan? Lagi pula, siapapun dia,

aku yakin tidak akan bisa mengalahkanmu.

“Ah, dia memojokkanku..” ujar Wiro dalam hati. “Atau sengaja menjebakku. Tapi kenapa?


Karena aku tidak pernah memberikan jawaban atas perjodohan itu?” dia melangkah terus.

“Bagaimana?” Anggini bertanya. “Jadi betul kau mau mencari Kakek Segala Tahu dan

Datuk Bululawang karena takut menghindari pertemuan dengan si cantik Dewi Ular itu?

“Siapa takut padanya!” Wiro jengkel dan menjawab agak keras.

“Bagus! Pekerjaan sudah dibagi, di kaki bukit kita berpisah. Kau mencari Dewi Ular, aku

mencari Kakek Segala Tahu dan Datuk Bululawang…

“Hemmm..” Wiro garuk-garuk kepala. “Kalau begitu maumu aku terpaksa mengikut saja...

“Jangan bilang terpaksa. Katakan iya atau tidak. Itu saja!

Dalam gelap, sambil berjalan cepat, Pendekar 212 palingkan kepala menatap wajah Anggini.

Gadis itu balas memandang. “Ucapannya tegas dan air mukanya keras. Ada apa sebenarnya

dengan gadis ini?” dalam hati Wiro bertanya. “Anggini kau tidak suka padaku…” Wiro

akhirnya bertanya.

Si gadis tertawa kecil. “Kenapa kau bertanya begitu?” Wiro lagi-lagi terpojok. Tapi karena

hatinya mulai panas, maka dia bicara apa adanya saja. “Mungkin soal perjodohan itu…?”

Anggini mendongak ke atas. Rambutnya tergerai panjang ke bahu. Dalam bayangan

kegelapan malam, wajahnya tampak anggun sekali. “Apa perlunya menyebut dan

menghubung-hubungkan hal itu. Kalau tidak suka, siapa yang bisa memaksa!”

Mendengar kata-kata itu Wiro hentikan langkahnya sementara sang dara berjalan terus.

“Anggini tunggu! Mungkin kau salah menduga….” Gadis itu berjalan terus. Wiro cepat

menyusul dan memegang lengannya. “Anggini kita perlu bicara agar tidak ada lagi ganjalan

di hati kita masing-masing…


Tapi gadis itu menarik tangannya kuat-kuat hingga terlepas dari pegangan Wiro. “Aku rasa

tidak ada yang perlu dibicarakan. Semua sudah jelas. Para guru kita juga sama tahu. Ada

ganjalan atau tidak, bagiku tidak ada masalah.

“Dengar Anggini, kita harus bicara dulu dengan tenang,” Wiro berusaha membujuk sambil

memegang bahu setengah memeluk.

Anggini mendorong tubuhnya dengan halus. “Ingat kita sedang menghadapi urusan besar!

Jangan habiskan waktu dengan pembicaraan yang tidak ada artinya….

“Katamu tidak ada artinya. Bagiku sangat berarti!”jawab Wiro.

“Kalau bagimu sangat berarti, apa saja yang sudah kau lakukan pada diriku? Adakah kau

memberi sedikit saja kejelasan pada guru ataupun padaku?

“Ah, kau memang mempersoalkan masalah jodoh itu. Aku minta maaf. Mungkin aku dan

guruku Eyang Sinto Gendeng berlaku alpa dan buta…

“Kalian orang-orang pandai yang tidak pernah alpa dan buta. Bukankah begitu? Sebaliknya

aku dan guruku adalah manusia biasa yang alpa dan buta! Tidak tahu diri! Tidak tahu

malu!” tukas Anggini.

Wiro merasa dadanya mendenyut seperti tertusuk mendengar ucapan murid Dewa Tuak.

“Anggini.. masalah ini bisa kita selesaikan secara baik…

“Jadi benar kataku tidak perlu dibicarakan saat ini!

Langkah Wiro kembali terhenti. Anggini berjalan terus. Pendekar 212 menarik nafas panjang.

Dadanya teras bergolak. Dia melompat mengejar, sampai di hadapan gadis itu dia berkata.


“Kau kubebaskan dari segala urusan. Biar aku sendiri yang mencari Kakek Segala Tahu,

Datuk dan Dewi Ular!” kata Wiro dengan suara keras.

Tak kalah lantangnya Anggini menyahut. “Baik, lakukan semua itu olehmu karena kau

seorang pendekar hebat! Aku akan mencari Arto Gempito!” habis berkata begitu Anggini

memutar tubuhnya dan berkelebat pergi.

Wiro jadi terkesima. “Gila! Kenapa urusan jadi kapiran begini?!” ujarnya. Dia bantingkan

kaki kanannya ke tanah, lalu berkelabat ke jurusan lain. Tapi setelah beberapa lama berlalu

dia hentikan langkahnya, berputar ke arah tadi dia datang. “Gadis itu, ah, bagaimana ini?

Biar kubujuk dia sekali lagi. Kalau tidak mau, ya sudah!” Wiro segera mengejar ke jurusan

perginya Anggini.

Setelah lari dalam gelap menuruni lereng bukit beberapa waktu lamanya, selintas pikiran

muncul dalam benak gadis itu. Hatinya ikut berkata-kata. “Hampir tiga tahun aku tidak

melihatnya. Setelah bertemu, mengapa aku bersikap begitu kasar padanya? Aku telah berlaku

bodoh. Memojokkannya soal perjodohan itu. Mungkin semua itu bukan salahnya! Kini dia

memikul beban berat mencari Datuk Bululawang, Kakek Segala Tahu dan Dewi Ular.

Bagaimana kalau dia juga sampai jatuh ke tangan perempuan iblis itu?”

Karena pikirannya kacau balau, Anggini hentikan larinya. Sesaat dia tegak terdiam 

termangumangu. Di depannya ada sebuah pohon besar dengan beberapa cabang menjulur 

kokoh.

“Sebaiknya aku duduk saja dulu di atas pohon sana, menunggu sampai hari pagi. Tiba-tiba

saja tubuhku terasa letih, aku perlu istirahat. Mungkin tidur beberapa saat.”

Berpikir sampai di situ, murid Dewa Tuak itu segera melesat ke atas pohon. Dia merebahkan

tubuhnya di atas salah satu cabang besar. Tapi sulit baginya untuk segera memicingkan mata.

Ingatannya masih tertuju pada Pendekar 212. Lalu dia sadar akan apa yang dikatakannya 

pada

pemuda itu, bahwa dia akan mencari Sandaka Arto Gampito. “sungguh aku telah berlaku

tolol!” katanya dalam hati. “Kalau guru tahu apa yang terjadi ini, pasti dia akan marah

besar, Uh...!”


Selagi gadis ini berpikir dan berkata-kata dalam hati seperti itu, telingan tiba-tiba menangkap

suara sesuatu di bawah pohon. Suara langkah-langkah kaki yang sangat perlahan. “Wiro...?”

ujar Anggini lalu memandang ke bawah.

Pada saat yang sama, dua bayangan berkelebat dalam kegelapan. Di lain kejap dua sosok

tubuh melayang ke atas pohon. Yang pertama langsung tegak di atas cabang tempat dia

berbaring. Satunya berdiri di cabang sebelah atas. Meski di atas pohon begitu gelap, tapi

karena sangat dekat, Anggini masih dapat melihat siapa adanya dua orang itu.

Yang berdiri di atas cabang pohon tempatnya berbaring adalah seorang kakek berpakaian

rombeng bermuka aneh celemongan belang belentong. Entah dibedaki entah dicat. Wajah

keriputan itu tertutup oleh warna merah, hitam, putih dan kuning. Di ketiak kirinya, si kakek

mengepit sebuah tongkat aneh yang ketika diperhatikan ternyata adalah seekor ular kuning

hitam yang telah dikeringkan. Kakek aneh ini memandang kepadanya sambil tiada hentinya

tersenyum-senyum.

Anggini melirik ke atas. Pada cabang di atas kepalanya duduk berjuntai seorang pemuda.

Seperti si kakek, dia juga mengenakan pakaian rombeng penuh tambalan. Wajahnya bulat 

dan

mulutnya tiada henti menyunggingkan tawa. Murid Dewa Tuak mencium bahaya. Dengan

cepat dia bangkit dan tegak di atas cabang pohon.

“Kalian siapa?!” Anggini bertanya. Sepasang alis si kakek naik ke atas. Alis ini sebelah kiri

dicat putih sedang sebelah kanan berwarna kuning. “Mangar!” si kakek membuka mulut

sambil melambaikan tangannya pada pemuda ynag duduk menjuntai di cabang pohon sebelah

atas. “Dia bisa bicara! Kau dengar tidak?!”

Pemuda di atas pohon tertawa lebar lalu menjawab. “Tentu saja aku dengar kek! Suaranya

merdu! Ha... ha... ha!”

“Suara merdu, paras cantik! Apa lagi?!” si pemuda lalu uncang-uncangkan kedua kakinya.

“Dua orang gila rupanya! Kakek dan cucunya!” ujar Anggini dalam hati.

“Kau tak salah memilihkan jodoh untukku, Kek!” kata si pemuda lagi. Si orang tua tertawa

mengekeh, sementara Anggini seperti disentakkan mendengar ucapan pemuda itu.

“Kalian ini siapa dan bicara apa?!” bentak Anggini. “Jangan membuat aku jadi marah!


“Aih! Gadis cantik rupanya bisa juga marah! Coba marah! Aku mau lihat!” berkata si kakek.

“Pasti tambah cantik,” ujar si anak muda pula.

Anggini hilang sabarnya. “Manusia-manusia edan! Lekas turun dari atas pohon ini! Kalau

tidak jangan salahkan kau aku gebuk!

“Aduh, tidak sangka calon istrimu ini galak juga rupanya Mangar!” kata si kakek sanbil

geleng-geleng kepala dan tertawa-tawa.

“Kurang ajar!” teriak Anggini marah. Dia loloskan selendang sutera ungu yang melilit di

lehernya.

Melihat ini, kakek bermuka celemongan cepat angkat kedua tangannya seraya berkata.

“Tunggu, sabar dulu anak gadis. Aku kenal kau sejak lama. Namamu Anggini dan kau adalah

muridnya kakek sakti bergelar Dewa Tuak, betul kan...?”

Diam-diam Anggini jadi heran bagaimana orang tua tidak dikenal ini tahu akan dirinya.

“Orang tua muka belang! Kalau kau tidak segera memberi tahu siapa dirimu dan

mengatakan apa keperluanmu, aku benar-benar akan menghajarmu!”

“Kau mengancam! Baiklah aku jelaskan. Namaku tidak perlu kau tahu. Aku bergelar

Pemgemis Sinting Muka Belang. Pemuda itu bernama Mangar, dia muridku dan belum punya

gelar. Ha... ha ...ha..! Ketahuilah, aku mencarimu dan sengaja membawa serta muridku

karena aku ingin menjodohkan kau dengan dia...!”

“Gila! Kalian berdua benar-benar sinting!”

“Boleh-boleh saja kau berkata begitu adikku cantik!” pemuda bernama Mangar menyeletuk.

“Sikap dan tutur bicaramu membuat aku ingin segera menikahimu! Kek, bagaimana ini? Aku

sudah tidak tahan mau cepat-cepat kawin dan tidur dengan calon istriku ini!”

“Kurang ajar!” teriak Anggini marah. Selendang ungu di tangan kanannya berkelebat ke


atas. “Wuttt!” “Kraak!”

Cabang pohon tempat pemuda berpakaian rombeng tambalan itu patah. Tubuhnya tak ampun

lagi melayang jatuh ke bawah. Tapi setengah jalan dia berjungkir balik lalu melesat dan 

tahutahu dia sudah duduk di atas bahu kakek bergelar Pengemis Sinting Muka Belang yang 

saat

itu masih berdiri di atas cabang pohon di hadapan Anggini. Dua orang gila ini lalu tertawa

tergelak-gelak.

“Gadis cantik, jangan kesusu marah. Dengar dulu lanjutan ucapanku. Aku sudah berniat dan

memutuskan kau harus jadi suami muridku!”

“Gila! Siapa sudi!” teriak Anggini.

“Sudi atau tidak itu urusan nanti! Yang jelas aku saat ini juga akan melamarmu agar suka

jadi istri Mangar. Dan untuk mas kawinnya bukan kami yang bayar, tapi kau! Ha... ha...ha!”

“Benar-benar edan!” teriak murid Dewa Tuak. Selendang ungu yang memang menjadi

senjata andalannya kembali dihantamkan ke depan. Ujung selendang menyambar ke arah

muka belang si kakek. Walau cupa selendang terbuat dari sutera halus, namun di tangan

Anggini benda itu telah berubah menjadi sekeras pentungan besi. Sesaat lagi ujung selendang

siap menghancurkan muka Pengemis Sinting Muka Belang, tiba-tiba pemuda yang duduk di

atas bahu si kakek gerakkan kaki kanannya.

“Wuttt!” Satu gelombang angin dengan deras menerpa ke arah Anggini. Murid Dewa Tuak

ini terkejut ketika dia merasakan laksana didorong sebuah tembok yang tidak kelihatan.

Bukan saja ujung selendangnya terhempas ke samping, tapi tubuhnya ikut bergoyang keras

hingga kedua kakinya bergetar.

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, gadis ini cepat mengimbangi diri dan

balas menghantam dengan tangan kanan.

Serangkum angin panas menderu ke arah dada Pengemis Sinting Muka Belang. Setengah

jalan, Anggini jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Angin serangannya secara

aneh mendadak sontak memecah dua. Satu menyambar ke perut si kakek muka belang, dan

satunya lagi menghantam ke arah tenggorokan pemuda bernama Mangar! Inilah jurus

serangan sakti yang disebut Memecah Angin Meruntuh Mentari Menghancurkan Bulan.


Kini dua lawan ganti terkejut. Anggini menyeringai. “Rasakan oleh kalian. Masakan salah

satu seranganku tak akan mengena!” kata gadis ini dalam hati. Namun apa yang dilihatnya

kemudian membuat dia tercekat. Sesaat lagi serangannya akan menghantam dada si kakek,

orang tua ini tiba-tiba jatuhkan dirinya ke kiri. Tubuh sang cucu yang ada di atas bahunya 

ikut

miring ke kiri. Dua sosok tubuh mendadak kaku seolah berubah jadi kayu. Kakek muka

belang gelungkan kedua kakinya pada cabang pohon tempat dia berdiri. Sesaat kemudian

seolah berubah menjadi titiran, dua sosok tubuh kaku itu berputar dengan deras hingga

mengeluarkan deru angin yang keras.

Selagi Anggini terkesiap melihat apa yang dilakukan orang, tiba-tiba tubuh-tubuh yang

berputar kencang berpisah. Satu melesat ke kiri, satu lagi ke kanan. Sebelum tahu apa yang

terjadi Anggini merasakan tangan kiri dan kanannya dicekal orang. Dia berusaha meronta

lepaskan diri tapi lengannya seolah dibelenggu dua japitan besi.

“Kena Kek!” terdengar suara pemuda bermuka bulat berseru.

“Betul!” si kakek menjawab. “Ayo kita bawa dia ke bawah!” Anggini merasakan tubuhnya

dibawa melayang ke tanah tanpa dia sanggup berbuat sesuatu apa. Dua tangannya yang

dicekal kini terasa kaku tak bisa digerakkan. Selendangnya jatuh entah ke mana!

Satu sosok bayangan berkelebat cepat di bawah pohon. Tanpa melihat, telinga dan nalurinya

mengetahui kalau di atas pohon ada tiga orang berkelahi. Bayangan ini berlari terus namun

mendadak berhenti ketika menyadari ada sebuah benda bergelung di lehernya. Di ambilnya

benda itu. “Sehelai selendang ungu...” Orang ini berucap perlahan sambil memainkan

selendang sutera yang lembut itu dalam genggamannya. “Ada bau harumnya, pertanda milik

seorang perempuan... Mungkin salah satu dari mereka yang tengah bergulat di atas

pohon?!”

Diperhatikannya lagi selendang itu. Pada salah satu ujungnya tertera tiga buah angka, 212.

Lalu dia berpaling ke jurusan dari mana tadi dia datang. Di kejauhan dia mendengar suara 

dua

orang tertawa tergelak-gelak, lalu suara ketiga suara perempuan memaki marah. “Kek, aku

ingin menelanjanginya saat ini juga! Aku sudah tidak tahan! Persetan dengan segala upacara


perkawinan!

“Boleh saja! Kau mau melakukan apa padanya aku mana mau peduli Mangar! Tapi yang

penting cari dulu benda sakti itu. Aku yakin dia selalu membawa ke mana dia pergi!

“Bangsat kurang ajar! Angkat tanganmu dari tubuhku!

“Waw! Waw! Tubuh begini mulus! Bukan main!

“Bedebah jahanam! Aku bersumpah akan mematahkan lehermu!

“Ohoi! Aku rela mati di tanganmu asal sudah bisa melihat kebagusan tubuhmu dan

menikmatinya! Ha... ha... ha...!

Diam sejenak. Lalu, “Kek! Aku menemukan benda itu!

“Bagus! Lekas serahkan padaku dan tinggalkan tempat ini!

“Apa!? Bukankah...

“Ya... ya! Terserah padamu kau mau berbuat apa! Aku sudah dapat paku sakti ini! Aku pergi

duluan!

“Aku tak bakal lama Kek! Apa kau tak mau menunggu dulu! Mungkin juga mau melihat

bagaimana aku bersenang-senang dengan gadis cantik jelita ini?!

“Aku sudah lebih dari puas mendapatkan benda ini! Kau boleh mengurusi gadis itu

sesukamu. Tapi ingat, dua malam di muka, kau menemuiku di tempat yang sudah

ditentukan!” Yang bicara ini, Pengemis Sinting Muka Belang, balikkan tubuhnya dan


berkelebat pergi membawa kantong kain milik Anggini yang di dalamnya tersimpan lebih 

dari

tiga lusin senjata rahasia berupa paku perak.

Mangar putar tubuhnya lalu melangkah mendekati Anggini yang saat itu tertegak kaku

dengan kedua tangan terentang ke samping. “Pemuda keparat! Apa yang hendak kau

lakukan! Berani kau menyentuh tubuhku...!”

“Mengapa aku tidak berani!” jawab Mangar lalu tangan kanannya bergerak menarik robek

dada pakaian ungu Anggini. Gadis ini terpekik. Mangar keluarkan suara menggeru melihat

dada yang tersingkap polos itu. Kedua tangannya meremas penuh nafsu.

Namun dia tak bisa menikmati apa yang dilakukannya itu lebih lama. Dua larik cahaya hijau

menyambar ke arah kepala Mangar. Cucu yang juga murid Pengemis Sinting Muka Belang 

ini

tak terdengar menjerit dan tak sempat mengetahui apa yang membunuhnya. Kepalanya 

hancur

berkeping-keping! Darah dan kepingan tulang serta daging muncrat. Sebagian mengenai

wajah dan pakaian Anggini, membuat gadis ini menjerit ngeri setengah mati.

Mangar yang kini tanpa kepala mengepulkan asap di bagaian lehernya yang putus. Tubuh

yang kini menjadi kehijauan itu jatuh tergelimpang. Dalam keadaan kesakitan dan muka

masih pucat seperti mayat, tiba-tiba Anggini melihat sosok seorang pemuda hanya

mengenakan selembar cawat berdiri di hadapannya. Memandang tepat ke arahnya dengan

sepasang matanya yang hijau menggidikkan. Ada kilatan cahaya aneh dalam dua mata itu,

yang kemudian perlahan-lahan meredup lalu lenyap.

“Kau... kau tak apa-apa...?” pemuda bercawat bertanya. Suaranya serak bergetar. Sepertinya

dia tengah menahan gejolak yang ada dalam tubuhnya.

“Kau...” Anggini merasa lidahnya kelu. “Kau menolongku, terima kasih...” Gadis ini diam

sebentar, berpikir. “Ciri-ciri manusia ini sepertinya...”

“Apa yang ada dalam benakmu?” tiba-tiba pemuda itu bertanya. “Kau... kau... Bukankah kau

pemuda bernama Sandaka itu...?” Kilatan sinar aneh kembali membersit di sepasang mata

hijau si pemuda. “Kita tidak pernah kenal. Tidak pernah bertemu sebelumnya. Mengapa kau

bisa tahu namaku...?”

“Orang-orang rimba persilatan banyak membicarakan dirimu...”


“Aku sudah tahu hal itu...” kata pemuda bercawat yang memang adalah Sandaka Arto

Gampito, pemuda yang menjadi budak nafsu Dewi Ular itu. “Ini punyamu...?” Sandaka

ulurkan selendang ungu yang dipegangnya.

Anggini mengangguk. Dia tak bisa menggerakkan tangan untuk mengambil selendang itu.

Sandaka ulurkan tangannya lalu lingkarkan selendang ungu itu di leher Anggini. Sepasang

mata hijau si pemuda tiba-tiba menatap ke arah dada yang tersingkap. Dua bola mata

menyorotkan sinar aneh, membuat Anggini jadi bergeming. Tiba-tiba dua tangan Sandaka

bergerak ke arah dada gadis itu. Anggini semula hendak berteriak mengancam. Namun ketika

dilihatnya Sandaka hanya menarik ujung bajunya dan merapatkannya hingga dadanya

tertutup, diam-diam gadis ini menjadi lega. “Aneh, dia tidak sejahat yang dipergunjingkan

orang...”

“Apa yang ada dalam benakmu?” Sandaka bertanya yang membuat Anggini jadi tercekat.

“Tidak... tidak ada apa-apa...”

“Aku tahu kau memikirkan sesuatu...” kata si pemuda. Lalu dia berpaling pada mayat tanpa

kepala yang tergeketak di tanah. “Siapa manusia itu? Kenapa dia hendak berlaku jahat

padamu?”

“Namanya Mangar. Dia cucu seorang kakek muka belang mengaku berjuluk Pengemis

Sinting Muka Belang. Dia merampas barang milikku... Kini sudah dilarikan kakeknya.”

“Barang apa?”

“Senjata rahasiaku. Sekantung paku...”

Sandaka bersurut dua langkah. Sepasang matanya kelihatan menyala hijau. Tampangnya jadi

sangat seram yang membuat Anggini kembali bergidik. “Paku terbuat dari baja murni?!”

Murid Dewa Tuak menggeleng. “Paku itu terbuat dari perak putih...

Wajah Sandaka perlahan-lahan tampak berubah tenang. “Mengapa mereka merampas benda

itu darimu?

“Aku tak tahu... Mungkin ada sangkut pautnya dengan dirimu...

“Kau tahu banyak tentang keadaanku! Siapa namamu?

“Anggini...

“Kurasa aku bisa berteman denganmu. Jadi kau harus ikut kau...” Anggini menggeleng dan

cepat berkata. “Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Itu sudah cukup. Jangan kau

bawa diriku...

“Kau takut padaku?

“Kau... kau mungkin orang baik. Tapi kau berada di bawah suatu kekuatan jahat...

Dua bola mata Sandaka membesar. “Maksudmu Dewi Ular...” tanyanya dengan suara

bergetar. Anggini tak menjawab “Aku perlu teman untuk tukar pikiran. Kurasa kau orangnya.

Kau harus ikut aku Anggini!

“Tidak, kau pergi sajalah!

Sandaka membuka mulutnya lebar-lebar. “Kau menguap!” ujar Anggini.

“Sudah setahun aku tak pernah tidur. Kurasa waktunya sudah hampir tiba. Mungkin satu

atau dua hari di muka. Jika aku tidur, harus ada seseorang menjaga diriku...

“Dewi Ularmu bisa melakukan itu...” kata Anggini pula.

“Ada sesuatu yang tidak beres dalam diriku. Setiap kali aku menyadari hal ini, timbul

dendam besar terhadap perempuan itu...

“Di hadapanku kau berkata begitu. Aku mencium maksud jahat tersembunyi terhadap diriku


dalam otakmu... Bukankah kau kekasih Kunti Arimbi alias Dewi Ular?

“Dia suka padaku. Aku memang tergila-gila padanya. Tetapi tetap saja aku merasa ada yang

tidak beres. Belum selang berapa lama aku bahkan telah membunuh guruku sendiri atas

perintahnya...

“Berarti kau juga bisa membunuh siapa saja atas kemauan perempuan itu, termasuk diriku!

Sandaka menyeringai. “Kalau itu memang terjadi, angap saja itu sudah suratan takdirmu!

“Gila!” teriak Anggini. Sandaka kembali menyeringai. Dia rundukkan tubuhnya sedikit. Di

lain saat Anggini sudah berada di atas panggulan bahu kirinya. “Turunkan! Lepaskan diriku!

teriak Anggini. Sandaka tertawa lebar. Ketika dia hendak berkelebat meninggalkan tempat 

itu,

tiba-tiba satu bayangan berkelebat menghadangnya disusul suara membentak keras.

“Turunkan gadis itu!”

Anggini kenali suara orang yang membentak. Dia segera berseru, “Wiro!” Dua bola mata

hijau Sandaka memandang ke depan. Enam langkah di depannya berdiri seorang pemuda

berambut gondrong berpakaian serba putih. “Lepaskan gadis itu!” murid Sinto Gendeng

kembali membentak.

Sandaka menyeringai. “Kalau kau merasa sanggup mengambilnya, silakan coba!” Sepasang

mata pemuda ini mengeluarkan kilauan aneh. Dua mata itu mengedip. “Wussss! Wussss!”

Dua sinar hijau menyambar dengan dahsyat ke arah Wiro. Pendekar 212 berseru kaget. Dia

cepat menyingkir seraya menangkis dengan menghantamkan tangan kanan ke depan. Sinar

putih menyilaukan merambas menghantam dua larik sinar hijau maut yang keluar dari

sepasang mata Sandaka. “Bummmmm!”

Wiro terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya seperti kaku dan panas. Terhuyung-huyung dia

berdiri. Dadanya berdenyut sakit. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk. Sandaka dan Anggini tak


kelihatan lagi bayangannya. Tengkuknya merinding ketika melihat bagaimana pakaian

putihnya telah berubah menjadi kehijau-hijauan! Dia memandang berkeliling. Dan lebih

merinding lagi melihat bagaimana beberapa pohon di sekitarnya hancur rambas mengepulkan

asap kehijauan!

“Celaka... mengapa jalan nafasku mendadak menjadi sesak...?” Wiro pegang dadanya. Dia

cepat kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Dia mengeluh tinggi ketika kepalanya serasa

dipalu. Lalu perlahan-lahan pemandangannya menjadi gelap. Bersamaan dengan itu mukanya

jadi kehijauan.

Sesaat lagi dia akan roboh tak sadarkan diri ketika tiba-tiba ada suara berkerontang mengiang

di dua liang telinganya. Dia mengenali suara itu tapi hanya bisa berdesah. “Ah Kek... aku

yang muda terpaksa mendahuluimu...”

Murid Sinto Gendeng keluarkan suara mengerang panjang. Sebelum tubuhnya tersungkur ke

tanah, tiba-tiba ada satu bayangan berkelebat. bersamaan dengan itu ujung sebuah tongkat

butut menotok dengan telak urat besar di lehernya sebelah kanan. Lalu ada suara orang

menarik nafas panjang. “Sekejapan saja aku terlambat menotok jalan darahnya, nyawa anak

edan ini pasti tak akan ketolongan!” Lalu di tempat itu kembali menggema suara kerontang

kaleng.

Sinar terang sang surya yang baru terbit membuat kelopak mata yang tertutup itu 

bergerakgerak lalu perlahan membuka. “Anak setan! Kau sudah siuman rupanya!” Itu suara 

pertama

yang ditangkap Wiro sebelum dia mendengar suara kerontangan kaleng yang seperti hendak

merobek-robek gendang telinganya. Dia topangkan kedua sikunya ke tanah. Dengan susah

payah dia mencoba bangkit sambil buka mata. Di hadapannya terpampang wajah keriputan di

bawah caping lebar menyeringai padanya.

“Bersyukur pada Gusti Allah! Kau tak sampai mampus oleh racun mata Sandaka...” Agak

lama murid Sinto Gendeng memahami ucapan orang tua di hadapannya. Lalu dia ingat apa

yang terjadi. Sebelum dia jatuh pingsan, ada totokan melanda urat besar di lehernya. Totokan

itulah yang menolongnya.


“Tuhan memang Maha Besar dan Maha Penolong! Tapi kalau kau tidak muncul tepat pada

saatnya dan menotok jalan darahku, mana mungkin saat ini aku masih bisa bernafas! Aku

berterima kasih padamu Kek...!”

“Kau berterima kasih padaku puah! Apa kau kira Dewa Tuak akan berterima kasih padamu

anak tolol?!” ujar orang tua bercaping berpakaian rombeng penuh tambalan. Dia mengepit

tongkat butut di ketiak kanan sedang di tangan kiri ada sebuah kaleng butut yang selalu

mengeluarkan suara berisik setiap dikerontangkan.

“Eh, apa maksudmu Kek?” tanya Pendekar 212 sambil garuk-garuk kepala. Tiba-tiba

ingatannya pulih menyeluruh. “Astaga! Anggini!” katanya setengah berseru dengan wajah

berubah. “Pemuda bercawat itu! Sandaka! Dia menculik Anggini!”

Si kakek gelengkan kepalanya dengan wajah rawan. “Bebanmu jadi tambah berat, aku tak

tahu kenapa sampai jadi begini. Tapi aku melihat ada satu ganjalan antara kau dan gadis

itu...”

Wiro tarik nafas dalam. “Aku merasa bersalah. Aku minta petunjukmu Kek, apa yang harus

aku lakukan?”

“Menurut penglihatanku, untuk beberapa waktu gadis itu cukup aman...”

“Cukup aman katamu Kek? Apa kau sudah sin...” Wiro tak teruskan ucapannya. “Kau tahu

sendiri siapa Sandaka. Pembunuh edan tak pandang bulu! Aku bukan saja mengkhawatirkan

nyawa gadis itu, tapi juga kehormatannya...!”

“Menurut apa yang aku tahu, ada hari-hari di mana Sandaka berada di luar pengaruh bejat

Dewi Ular. Mudah-mudahan saja saat ini dia dalam keadaan seperti itu. Ini bukan berarti

kita hanya berlepas tangan. Gadis itu biar aku yang mencarinya, kau tetap saja pada apa

yang menjadi tugasmu...”

“Aku tahu tugasku. Mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Tetapi sesuatu terjadi

sebelum Sandaka melarikan Anggini. Ada orang yang melarikan diri dari tempat ini,

meninggalkan satu sosok mayat tanpa kepala itu...” Wiro menunjuk pada mayat Mangar.

Kakek Segala Tahu goyang-goyangkan kaleng rombengnya. “Kau bisa melihat siapa orang

itu Kek?” tanya Wiro.


Kakek Segala TAhu kembali kerontangkan kalengnya beberapa kali lalu berkata, “Tak dapat

kupastikan siapa orangnya. Kawannya yang satu ini tak punya kepala. Mana mungkin aku

mengenalinya. Tapi turut penglihatanku, orang yang kabur itu telah mencuri sesuatu dari

murid Dewa TUak... Mungkin kau bisa menduga-duga?

“Maksudmu ada hubungannya dengan kejadian besar dalam rimba persilatan saat ini?

“Tentu, ada kaitannya dengan Sandaka dan Dewi Ular...

Wiro termenung. Garuk-garuk kepala. Dia hampir menyerah ketika tiba-tiba dia ingat

pembicaraan di tempat kediaman Dewa Tuak di puncak bukit. “Kuharap saja dugaanku tak

meleset. Orang itu merampas paku perak yang menjadi senjata rahasia Anggini.”

“Kau betul anak edan. Tapi mengapa dia merampasnya?” tanya Kakek Segala Tahu pula.

“Mudah saja jawabnya Kek. Dia mengira paku itu adalah paku baja putih murni yang bisa

melumpuhkan Sandaka!”

Kakek Segala Tahu kerontangkan kalengnya. “Kita tak punya waktu banyak. Aku akan

mengejar pemuda itu. Tugasmu mencari Dewi Ular dan Datuk Bululawang. Sang datuk yang

dipanggil dengan sebutan Yang Mulia memiliki paku baja murni itu. Menurut penglihatanku,

dia memang mempunyai keinginan menguasai rimba persilatan. Tapi karena temahak, dia

juga ingin mencari untung sendiri. Berpura-pura menjual atau menukarkan paku sakti itu

dengan benda-benda berharga. Pada gilirannya baru dia akan melumpuhkan dan menguasai

Sandaka. Hanya satu yang belum aku tahu, kapan pemuda itu akan tidur. Datuk Bululawang

pasti tahu kira-kiranya...”

“Aku tak akan membuang waktu Kek. Aku akan segera mencari sang datuk dan Dewi Ular...”

“Baik, kita berpisah di sini!” kata si kakek, lalu kerontangkan kaleng bututnya. Baru saja dia

hendak putar langkah, tiba-tiba terdengar suara tawa melengking tinggi dan panjang di

kecerahan pagi. Kakek Segala Tahu tercekat, Pendekar 212 lekas bangkit berdiri.


“Aku mencium bahaya besar!” ujar si kakek. Lalu dia mengambil sebuah benda di bawah

caping bambunya. Secepat kilat benda itu dilemparkannya ke dalam mulut Wiro seraya

berbisik, “Lekas kau telan benda dalam mulutmu itu!”

“Kek...”

“Anak edan tolol! Telan saja benda yang dalam mulutmu itu kalau tidak mau celaka!” sentak

Kakek Segala Tahu lalu kerontangkan kalengnya.

Meski tidak mengerti, namun Wiro akhirnya cepat menelan benda yang ada dalam mulutnya.

Mulut, lidah dan tenggorokannya terasa pahit. Dia hampir muntah tapi cepat ditahan. Saat itu

suara tawa terputus dan kini di hadapan Wiro dan Kakek Segala Tahu berdiri seorang

perempuan muda cantik luar biasa.

Perempuan ini tegak di atas gundukan tanah yang agak ketinggian. Angin pagi meniup

pakaian hijau tipis yang membungkus tubuhnya. Dari tempatnya berdiri, Pendekar 212 dapat

melihat sosok tubuh perempuan itu dengan jelas. Dadanya berdebar, darahnya terasa 

mengalir

lebih cepat dan wajahnya menjadi hangat. Terlebih lagi ketika angin pagi menghembuskan

bau harum yang keluar dari tubuh perempuan itu. Di atas kepalanya perempuan ini memakau

sebuah mahkota berbentuk kepala ular. Sepasang mata ular ini terbuat dari sepasang permata

berwarna hijau memancarkan sinar berkilauan.

“Anak tolol, apa kau sudah tahu saat ini siapa yang berdiri di hadapan kita...?” Kakek

Segala Tahu berbisik. Meski terangsang melihat kecantikan dan aurat di balik pakaian hijau

tipis itu, namun ditanya seperti itu mau tak mau murid Sinto Gendeng jadi bergetar juga

hatinya. Dia mengangguk dan dengan lidah agak kelu serta suara tersendat dia menjawab,

“Aku sudah tahu Kek, aku...”

Ucapan Wiro terputus. Perempuan cantik bermahkota di hadapan mereka membuka mulut.

“Pemuda gagah berambut gondrong. Kudengar tadi kau berucap hendak mencariku.

Peruntunganmu lagi mujur rupanya. Kau usah susah-susah mencari. Aku Dewi Ular sudah

muncul di hadapanmu...”


Wiro berdehem beberapa kali sementara Kakek Segala Tahu mendongak memandang ke

langit. “Ada keperluan apa kau mencariku? Maksud buruk atau baik?!

“Hmmm...” Wiro bergumam. “Bisa buruk bisa baik,” jawabnya kemudian.

“Katakan dulu yang baiknya...” ujar Dewi Ular sambil tersenyum.

“Aku sudah lama mendengar nama besarmu. Selain sebagai orang berkepandaian tinggi

dengan julukan angker, kabarnya kau juga cantik jelita. Ternyata kabar itu tidak bohong. Aku

merasa untung bisa bertemu denganmu saat ini.

Kunti Arimbi alias Dewi Ular tersenyum. “Lalu apa buruknya?

“Nama besar dan tindakanmu telah menggegerkan rimba persilatan Tanah Jawa. Kau

melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dengan meminjam tangan seorang pemuda yang

masuk ke dalam perangkapmu... Ini membuat repot dan marah semua orang...

“Hmmm... apa kau juga ikut-ikutan repot?” tanya Dewi Ular sambil menatap tajam pada

Wiro namun bibirnya tersenyum.

Murid Sinto Gendeng tertawa. Di sebelahnya Kakek Segala Tahu memaki. “Anak tolol!

Mengapa pakai tertawa segala bicara dengan iblis perempuan itu!

“Dewi Ular, aku menyirap kabar bahwa kau ingin menguasai rimba persilatan. Tapi cara

yang kau lakukan sesat dan keji... Semua orang menentang perbuatanmu itu, termasuk aku...

“Kalau aku menguasai dunia persilatan secara baik-baik, apakah kau mau membantu?

Pertanyaan ini membuat mulut Pendekar 212 terkancing sesaat. “Mungkin saja... Hanya

sayang kau telah terlanjur masuk ke jalan sesat. Tak mungkin keluar lagi...” Dewi Ular

angkat kepalanya. Lehernya tampak jenjang dan putih. Dia tertawa perlahan lalu memandang


pada Wiro sambil mengedipkan matanya dua kali.

“Anak muda, buruk dan baik, kebajikan dan kekejian di masa sekarang ini tergantung dari

mana orang memandang. Kalaupun pandangannya benar maka batas antara keduanya

setipis kabut pagi yang akan lenyap begitu sang surya menampakkan diri. Agar kau lebih

mengenal diriku dan apa yang akan aku kerjakan, kuanggap kau perlu ikut denganku…

“Ikut denganmu? Ke mana?” tanya Wiro berlagak bodoh.

Dewi Ular tertawa. “Banyak yang bisa kita kerjakan berdua... Kalau dunia persilatan bisa

kukuasai, apa kau tidak merasa senang berada di sampingku, jadi orang kepercayaanku?

“Ah, tidak sangka kau baik sekali. Tapi aku khawatir di balik kebaikan itu ada maksud

terselubung. Lagi pula bukankah kau sudah punya pemuda gagah bernama Sandaka Arto

Gampito itu?

“Hai, tidak sangka ternyata kau merasa cemburu pada pemuda satu itu. Hik... hik... hik!

Tampang Wiro jadi bersemu merah. “Siapa cemburu padanya? Dia siapa, kau siapa dan aku

ini siapa?!

Dewi Ular kembali tertawa. “Anak muda aku akan tetap membawamu. Suka atau tidak suka.

Kalau kau berlaku baik aku pasti baik padamu. Imbalan yang bakal kau dapat berlipat

ganda... Jangan kau andalkan kepandaian yang kau miliki untuk melawanku... Aku butuh

bantuanmu untuk menyingkirkan beberapa tokoh silat kawakan.

“Coba kau tanyakan siapa saja tokoh yang dimaksudkannya itu...” bisik kakek Segala Tahu.

“Eh, siapa si tua bangka berbisik-bisik di sampingmu itu...?” tanya Dewi Ular seolah baru

melihat kehadiran Kakek Segala Tahu di tempat itu.


“Tidak usah pedulikan dia. Aku hanya ingin tahu siapa-siapa tokoh silat yang hendak kau

singkirkan itu?

“Aku tidak keberatan mengatakannya,” jawab Dewi Ular sambil tersenyum. “Pertama kita

berdua akan mencari Datuk Bululawang. Bukankah kau mengincar manusia satu itu? Kau

membantuku dan aku membantumu...

“Tapi kita punya alasan berbeda!” jawab Wiro.

“Kau cukup cerdik!” puji Dewi Ular sambil kerdipkan mata kirinya. “Jelas alasan kita

berbeda tapi tujuan kita sama. Mengapa perlu diributkan?

Di sampingnya, Kakek Segala Tahu berbisik. “Jangan berdebat dengan perempuan iblis itu.

Kau punya kesempatan merampas paku baja putih dari Datuk Bululawang...

“Siapa korbanmu selanjutnya?” Wiro bertanya.

“Seorang dedengkot rimba persilatan. Berbobot lebih dari 160 kati. Tukang ngorok namanya

si Raja Penidur...

“Kurang ajar, dia sahabatku dan sudah kuanggap sebagai guru atau kakek sendiri!” teriak

Wiro.

Dewi Ular tertawa panjang. “Itu anggapanmu. Tapi menurut anggapanku dia adalah

penghalang besar untuk mencapai cita-citaku!

“Benar-benar perempuan Iblis,” teriak Wiro dalam hati. “Siapa lagi korbanmu selanjutnya,

murid Sinto Gendeng bertanya.


“Seorang nenek jelek bernama Sinto Gendeng!

“Perempuan iblis, Sinto Gendeng adalah guruku!” teriak Wiro.

“Kalau gurumu memangnya kenapa? Apa dia tidak boleh mati?” tukas Dewi Ular sambil

tertawa cekikikan.

“Jahanam!” Pendekar 212 tidak dapt lagi menahan kesabarannya. Dia hendak melompati

perempuan di hadapannya, tapi kakek Segala Tahu mengulurkan tongkatnya menahan. “Aku

sudah lama tidak bergerak badan!” katanya. “Biar aku meluruskan tulang reotku dan

mengendurkan urat-urat yang sudah kaku!

Abis berkata begitu, Kakek Segala Tahu kiblatkan tongkat butut di tangan kirinya. Benda ini

bergetar keras dan memijarkan cahaya redup. Bersamaan dengan itu tangan kanannya

kerontangkan kaleng rombeng. Suara berisik menggelegar di tempat itu.

“Tua bangka tidak tahu diri! Kau hanya merusak pemandangan dan pendengaranku saja!”

hardik Dewi Ular. Dia angkat tangan kanannya. Telapak dibuka dan dihadapkan ke arah 

ujung

tongkat yang datang menusuk ke bagian kepalanya.

“Crasss!” Tongkat itu jelas menembus telapak tangan Dewi Ular disertai suara

menggidikkan. Tapi tidak ada darah mengucur. Tapak tangan sama sekali tidak terluka apa

lagi berlubang.

“Ilmu Sihir” desis Wiro dalam hati sementara Kakek Segala Tahu tetap tenang saja. Sambil

kerontongkan kaleng di tangan kanannya tongkat di tangan kiri kembali berkelebat. Tapi kali

ini tongkat tidak dipakai untuk menyerang lawan, malah ditusukkan ke perut sendiri.

“Crasss!” Tongkat menembus perut. Perut jebol berlubang. Tapi tidak ada darah. Malah

ketika ditarik ususnya muncrat! Wiro kernyitkan kening sedang Dewi Ular sempat tergagau


melihat apa yang terjadi.

“Kek!” seru Wiro.

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. “Ayo serang lagi! Aku pasti bisa menirukan apa yang

kau lakukan!” kata Kakek Segala Tahu.

“Tua bangka sombong! Lihat seranganku!” teriak Dewi Ular merasa direndahkan. Dua

tanganya disorongkan ke depan.

“Wutt! Wutt!!”

“Sett! Sett!”

Sepasang tangan yang dipukulkan lurus ke depan itu berubah menjadi dua ekor ular. Yang di

kiri berwarna hijau pekat sedang yang kanan berwarna coklat kemerahan!

“Wuttt! Bettt! Bettt!” Tongkat kayu di tangan kiri Kakek Segala Tahu membabat di udara.

“Dess! Dess!

“Traakkk!

Bagian belakang kepala ular jadi-jadian hancur dan putus dihantam tongkat. Sebaliknya

tongkat kayu Kakek Segala Tahu patah dua.

Selagi Kakek Segala Tahu terkejut melihat kejadian itu, tiba-tiba dua kepala ular yang

buntung dan jatuh ke tanah melesat ke atas, menancap di leher kiri kanan.

Wiro berteriak kaget. Kakek Segala Tahu pergunakan tangan kiri dan kanan untuk membetot

lepas kepala ular itu dari lehernya lalu meremasnya sampai hancur! Sadar bahaya besar

mengancam jiwa, kakek ini segera ambil dua butir obat dari balik capingnya dan cepat

menelannya. Tiba-tiba dia meraung. Dadanya seperti ditusuk besi panas. Dari mulutnya

keluar busa darah.

“Kek!” teriak Wiro seraya bergerak hendak merangkul orang tua itu. Namun dari samping

Dewi Ular kebutkan pakaian hijaunya. Selarik cahaya hijau menyambar membuat Pendekar


212 terpaksa menyingkir dan melompat mundur.

“Perempuan iblis! Kau membunuh kakekku,” teriak Wiro menggeledek.

“Oo, jadi dia kakekmu! Kenapa tidak bilang dari tadi? Tadi kau bilang tak usah pedulikan.

Kasihan ajalnya sudah di depan mata!”

“Perempuan jahanam! Rasakan ini” dalam marahnya, murid Sinto Gendeng mengerahkan

semua tenaga dalamnya ke tangan kanan. Serta merta lengan sebatas siku ke bawah menjadi

putih perak menyilaukan. Tangan itu kemudian dihantamkan ke arah Dewi Ular. Pukulan

Sinar Matahari!

Cahaya putih yang sangat panas menyambar ke arah Dewi Ular. Perempuan itu hanya 

tercekat

sesaat. Kedua lututnya menekuk. Di lain kejap tubuhnya melesat ke atas. Gerakan perempuan

ini luar biasa cepatnya. Pukulan Sinar Matahari lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas

Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua larik sinar hijau yang membawa angin sederas

topan prahara menyambar Pendekar 212. Pukulan Sinar Matahari menghantam amblas

beberapa pohon dan semak belukar yang serta merta kemudian dikobari api.

Sebaliknya, dua larik pukulan yang dilepaskan Dewi Ular membuat Pendekar 212 seperti

ditindih gunung. Dia berusaha bertahan sambil berusaha membalas pukulan “Tameng Sakti

Menerpa Hujan” dan “Benteng Topan Melanda Samudra.”

Akibat yang terjadi luar biasa. Di udara kelihatan dua sinar hijau mencelat ke atas 

berbuntalbuntal disertai letusan-letusan keras. Kelihatannya dua pukulan sakti yang 

dilepaskan Wiro

mampu memusnahkan serangan lawan. Nyatanya tidak, karena dikejapan berikutnya ketika

tubuhnya masih melayang di udara, Dewi Ular dorongkan dua telapak tangannya ke bawah.

Dua pukulan sakti yang dilepaskan Wiro berbalik menyerang dirinya sendiri.

“Celaka! Jahanam ini ternyata luar biasa ilmu dan tenaga dalamnya!” keluh Wiro sambil

menjauh cari selamat.

“Bummmm! Bummm!”

Serangan Dewi Ular menghantam. Tanah, pasir dan batu-batuan muncrat beterbangan. Di

tanah kelihatan dua buah lobang sedalam dua jengkal.


Wiro merasa kedua lututnya goyah ketika dia berusaha bangkit. Dari sela bibirnya kelihatan

ada darah keluar. Baru sempat berdiri lurus tiba-tiba Dewi Ular sudah berada dua langkah di

depannya. Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya bergerak ke pinggang. Siap mencabut

Kapak Maut Naga Geni 212. Tapi Dewi Ular bergerak mendahului. Kedua tangannya

dipergunakan untuk menyingkap pakaian hijaunya di bagian tengah. Perut Dewi Ular

tersingkap polos dan putih. Pusarnya menyembul. Wajahnya kelihatan menjadi kaku,

pandangan matanya menyorot mengidikkan.

Tiba-tiba dari pusar perempuan itu melesat sebuah benda yang ternyata adalah seekor ular

hitam berkepala putih. Binatang ini melesat ke arah Wiro langsung mematuk bagian dadanya.

Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Dada pakaiannya yang robek tampak basah oleh

darah. Kepalanya pening. Tubunya mendadak terasa sangat dingin hingga dia menggigil dan

akhirnya roboh tak sadarkan diri.

Letih berteriak minta diturunkan dan dilepaskan, akhirnya Anggini hanya bisa berdiam diri.

Dalam kegelapan malam menjelang pagi, Sandaka melarikannya laksana terbang. Anggini

sendiri memiliki ilmu lari cepat dan dia pernah melihat beberapa orang tokoh silat berlari

sangat cepat, namun belum pernah ia melihat ilmu lari sehebat yang dimiliki Sandaka. Lama-

lama tanpa disadarinya akhirnya gadis itu tertidur. Pemuda bercawat itu memanggul dan

melarikannya ke arah Barat.

Ketika Anggini terbangun dari tidurnya hari telah siang dan Sandaka masih terus

membawanya lari. Dalam hati murid Dewa Tuak ini membatin. “Luar biasa! Sejak malam

sampai siang begini dia masih terus lari. Tidak kelihatan lelah bahkan kecepatannya pun tak

berkurang. Apa dia tidak haus dan lapar? Apa dia tidak akan berhenti untuk istirahat?

Anehnya lagi, sekujur tubuhnya sama sekali tidak mengeluarkan keringat...

“Apa yang ada dalam benakmu?!” tiba-tiba Sandaka bertanya membuat Anggini terkejut.

“Dia mempunyai kepandaian membaca pikiran orang. Sudah berapa kali kejadian setiap aku

berpikir dan membatin dia lantas bertanya.” Lalu gadis itu berkata. “Kau lari secepat setan.

Hendak kau bawa ke mana aku ini? Apa kau tidak mau melepasku?


“Sekarang ini apapun yang terjadi aku tidak akan melepaskanmu. Sudah aku katakan aku

perlu teman untuk bicara, untuk tukar pikiran. Harap kau diam saja. Jangan banyak bicara

agar kita lekas sampai.

“Sampai ke mana?” tanya Anggini.

“Lihat saja nanti. Perjalanan masih cukup jauh, mungkin malam hari kita baru sampai.

Anggini terdiam. Dalam benaknya muncul berbagai pikiran. Dari yang dilihatnya pemuda

bernama Sandaka itu tak sejahat seperti kata orang. Walau dia tidak tahu mau dibawa ke 

mana

tapi entah mengapa dia merasa aman. Lalu tiba-tiba muncul wajah Wiro di pelupuk matanya.

Bagaimana keadaan pemuda itu sekarang? Terakhir sekali dilihatnya pemuda itu terbanting 

ke

tanah akibat bentrokan pukulan sakti dengan Sandaka.

“Siapa yang sedang kau pikirkan?” pertanyaan Sandaka mengejutkan Anggini.

“Lagi-lagi dia tahu aku sedang memikirkan sesuatu,” kata gadis itu dalam hati.

“Aku tahu kau pasti memikirkan pemuda itu. Aku dengar kau menyebut namanya Wiro...

“Kau telah mencelakainya!

“Dia mencari penyakit. Memerintahkan melepaskanmu. Apa kau ini miliknya?!

“Aku bukan miliknya, Juga bukan milikmu!” jawab Anggini.

Sandaka menyeringai dan terus berlari. “Dia memiliki pukulan sakti yang hebat. Kalau aku

lambat bertindak, bisa celaka... Sudahlah. Aku tak suka membicarakan pemuda itu. Lebih

baik kau tidak banyak bicara. Tidurlah kembali.

Dalam hati Anggini mengumpat. Namun saat itu dia memang tidak punya daya. Kedua

tangannya masih meregang kaku. Dia coba menggerakkan kaki. Tapi Sandaka tahu gelagat

cepat mengancam. “Kalau kau berani pergunakan kaki untuk menghantamku, jangan kira

aku tidak tega mematahkan tulang keringmu!

Dalam kesal dan tak bisa berbuat apa-apa akhirnya Anggini memilih tidur saja. Kedua

matanya dipejamkan. Untuk kedua kalinya gadis ini tertidur di atas bahu Sandaka. Sewaktu

dia bangun, didapatinya sekelilingnya dalam keadaan gelap. “Lama sekali aku tertidur. Di

mana aku berada saat ini?” Anggini berpikir-pikir sambil memandang berkeliling. Gelap. Di

kejauhan terdengar suara jangkrik dan binatang malam lainnya.

“Pemuda itu, di mana dia...?” Anggini bertanya-tanya dalam hati. Dia memandang lagi

berkeliling dan didapatinya dirinya terbaring di satu tempat. KemudiaN disadarinya kedua

tangannya tidak meregang kaku lagi. Segera dia bangkit berdiri. Ketika diperhatikan lebih

seksama tempat dia berbaring tadi, ternyata sebuah gundukan tanah ditumbuhi rumput liar.

Dia memperhatikan lebih seksama lagi. Astaga! Gundukan tanah itu adalah sebuah makam!

Kuburan! Dia keluarkan pekik kecil. Dengan rasa tegang dia dekati salah satu ujung

gundukan di mana terpancang sebuah papan nisan yang sudah lapuk. Di situ tertera sebaris

tulisan. Selain keadaan yang gelap, tulisan itu juga sudah tidak kentara lagi. Anggini

membungkuk mencoba membaca nama yang tertera di papan nisan itu.

Tiba-tiba satu tangan dingin memegang bahunya. Si gadis terlompat dan berseru kaget.

“Namanya Mantili...” terdengar satu suara berkata di belakangnya. Anggini putar tubuh

dengan cepat.

“Ah, dia rupanya..” desis murid Dewa Tuak ini sedikit lega. “Si... siapa orang yang bernama

Mantili yang barusan kau sebutkan itu?

“Kau ingin tahu nama di papan nisan itu bukan? Orang yang dikubur di sini seorang gadis


bernama Mantili.

“Apa maksudmu membawa aku ke tempat ini? Kau sengaja membaringkan aku di atas

kuburan! Siapa gadis bernama Mantili itu?

“Pertanyaanmu banyak sekali. Akan kujawab satu per satu!” sahut Sandaka. “Pertama,

maksudku membawamu ke mari karena kurasa inilah satu-satunya tempat yang paling aman

di dunia. Kedua, aku sengaja membaringkan kau di atas kubur agar kau menyadari bahwa

sebenarnya hidup manusia itu dekat sekali dengan liar kubur alias kematian!

“Jangan-jangan dia hendak membunuhku...” pikir Anggini.

“Katakan apa yang ada dalam benakmu!” Sandaka bertanya dengan pandangan mata tak

berkedip.

“Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa. Hanya ingin tahu siapa gadis bernama Mantili itu...

Sepasang mata Sandaka kelihatan hijau berkilat. Ketika sinar hijau meredup, wajah pemuda

ini kelihatan sedih, lalu terdengar suaranya perlahan. “Gadis itu kekasihku. Kami sudah

merencanakan kawin. Tapi dia keburu menemui ajal. Mati dibunuh orang!” wajah Sandaka

berubah tegang membesi. Dua bola matanya memancarkan kilatan sinar hijau.

“Siapa yang membunuhnya?” tanya Anggini ingin tahu.

“Aku!” jawab Sandaka keras tapi wajahnya biasa saja.

Anggini memandang membeliak pada pemuda bercawat itu. “Katamu gadis bernama Mantili

ini kekasihmu. Bahkan kau akan kawin dengan dia. Lalu mengapa kau membunuhnya? Apa

dia mengkhianatimu?”

Sandaka menggeleng. “Aku membunuhnya karena diperintah Dewi Ular!”


Kini bukan saja dua mata Anggini yang membeliak, tapi mulutnya juga terbuka lebar

mendengar ucapan Sandaka. “Gila! Kau membunuh gadis yang kau cintai hanya karena

diperintah Dewi Ular! Aku tidak mengerti manusia macam apa kau ini adanya!”

Sandaka menatap Anggini dengan pandangan angker. Kilatan sinar hijau di kedua mata

pemuda ini menggidikkan membuat si gadis tersurut dua langkah. “aku tidak gila! Aku hanya

tidak bisa melepaskan diri dari kekuasaan Dewi Ular...

“Apa kau tidak punya niat untuk membunuh perempuan itu hingga kau terlepas dari

kekuasaannya yang keji?

“Aku tidak melakukannya. Aku tidak mampu. Hanya hati kecilku menimbun dendam

terhadapnya! Dendam tapi juga suka!

“Aneh!

“Apa yang aneh?!” tanya Sandaka dengan suara bergetar.

“Kini otakmu kelihatannya seperti waras. Ucapanmu menyatakan bahwa kau menyadari

membunuh kekasihmu itu...

“Sejak beberapa waktu lalu memang ada kelainan dalam diriku. Otakku sepertinya berubah

jernih walau sangat perlahan...

“Mungkin pengaruh jahat Dewi Ular atas dirimu mulai lenyap...

“Itu tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membebaskan diriku sepenuhnya dari perempuan

itu. Aku menyukainya. Dia membuat diriku benar-benar jadi lelaki perkasa...

“Tadi kau bilang ada kelainan dalam dirimu. Apa saja yang kau rasakan saat ini...?” tanya


Anggini.

“Hmmmm... Tidak ada hal lain. Kecuali aku mulai mengantuk. Ingin tidur tapi belum bisa.

Kalau aku tidur, kau harus menjagaku...

Murid Dewa Tuak terdiam. Dia berpikir. “Kalau dia benar-benar tidur, berarti ini

kesempatan baik bagiku untuk melumpuhkannya...

“Apa yang ada di benakmu? Kau merancang sesuatu yang licik?!” tanya Sandaka curiga.

Anggini cepat gelengkan kepala. “Aku tidak keberatan menjagamu. Tapi aku tidak tahu

berapa lama kau tidur. Satu hari, satu minggu atau satu bulan?

“Sekalipun aku tidur satu tahun, kau tetap harus menjagaku! Awas jika kau berani

membantah! Tanganku sudah agak lama tidak memecahkan batok kepala manusia!

“Manusia edan!” maki Anggini dalam hati. “Bagaimana ada manusia berkeadaan seperti

dia di dunia ini?!

“Aku tahu kau memaki dalam hatimu!” terdengar Sandak berucap. Mulutnya dibuka 

lebarlebar. Dia menguap. “Mungkin saatnya aku mulai mencoba tidur...

Lalu dia melangkah mendekati makam kekasihnya. Sesaat dia memandang pada Anggini.

Setelah itu direbahkannya tubuhnya di atas kuburan itu. “Tolong jaga diriku. Tempat ini

paling aman namun jika ada orang yang muncul dan bermaksud jahat, kau tahu apa

kewajibanmu!

“Kewajiban apa?!

“Membunuh orang itu!


“Gila!

Sandaka menyeringai. Sambil pejamkan kedua matanya, pemuda ini berkata. “Jangan coba

melarikan diri dari sini. Jangan coba berbuat sesuatu terhadapku. Kau akan menyesal!

Sandaka menguap lebar-lebar. Matanya tiba-tiba terbuka. Setengah bangkit dia lalu

memandang pada gadis di dekatnya lalu berkata. “Kau tahu namaku, aku belum tahu

namamu...

“Aku sudah mengatakannya padamu. Namaku Anggini...!

“Anggini... Oh ya... Anggini ...” Sandaka merebahkan dirinya kembali di atas makam

kekasihnya itu.

Dalam hati Anggini menduga-duga pemuda ini mulai linglung entah diserang kantuk atau

memang otaknya lagi tidak karuan. Dia palingkan kepala ketika dia dengar Sandaka

mendengkur. “Ngorok... berarti dia sudah mulai pulas...” membatin Anggini. Dia berpikir

keras tindakan apa yang harus dilakukannya. “Sebaiknya kulumpuhkan dulu dirinya dengan

totokan. Kalau dia sudah tidak berdaya, baru aku pikirkan apa yang selanjutnya akan

kulakukan. Membawanya ke tempat guru bukan pekerjaan mudah. Yang paling mudah

menghabisinya di tempat ini juga! Pekerjaan selesai dengan cepat dan dunia persilatan

terbebas dari malapetaka besar.

Memikir sampai di situ Anggini melangkah dengan hati-hati. Tanpa suara mendekati

Sandaka. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya diluruskan. dipentang sedemikian 

rupa


hingga memiliki kekuatan seperti dua potong besi. Sebagai murid Dewa Tuak yang

merupakan salah seorang dedengkot rimba persialatan, gadis ini membekal ilmu totokan

tingkat tinggi yang sulit dicari tandingannya karena sanggup melumpuhkan, jangankan

manusia biasa, seekor gajah pun bisa kaku tegang dibuatnya.

Sandaka ngorok terus. Anggini mendekat cepat tanpa suara. Tangan kanannya berkelebat

cepat ke arah dada kiri pemuda yang tidur nyenyak di atas kubur kekasihnya. Anggini 

sengaja

melakukan totokan ke urat besar yang berada di dekat jantung pemuda itu. Ini memang satu

totokan dahsyat dan sangat berbahaya. Sekali seseorang kena ditotok di bagian ini, pasti

sekujur tubuhnya akan lumpuh dan gagu. Namun jika meleset dari titik kelumpuhan itu, maka

orang yang ditotok bisa meregang nyawa karena totokan akan membuat jantungnya pecah!

Inilah totokan yang oleh Dewa Tuak dinamakan “Seribu Lumpuh Seribu Ajal”.

Hanya seujung kuku totokan dahsyat Anggini akan mendarat di dada kiri Sandaka ketika 

tibatiba satu cahaya hijau pekat menyambar keluar dari dada pemuda itu.

Anggini keluarkan seruan tertahan sewaktu kedua tangan kanannya mulai dari ujung jari

sampai ke lengan terus menjalar ke siku terasa seperti disengat hawa sangat panas.

Gerakannya menotok tertahan seolah dia menusuk tembok baja. Ketika dia mengerahkan

tenaga dalam penuh untuk melawan hawa panas sinar hijau dan halangan yang tidak terlihat,

tubuhnya terpental sampai tiga langkah. Kalau dia tidak cepat mengimbangi diri, gadis ini

pasti akan jatuh terbanting ke tanah! Sesaat dia tertegun pandangi Sandaka yang tampak

masih terbaring pulas dan terus mengorok, sementara dia sendiri pergunakan tangan kiri 

untuk

mengusap-usap tangan kanannya yang sakit.

Cahaya hijau di atas dada Sandaka tampak meredup lalu senyap seolah amblas masuk ke

dalam dada pemuda itu. “Sulit kupercaya dalam keadaan tidur seperti itu dia bisa melindungi

diri bahkan menghantamku...” membatin Anggini. Dia berpikir sejenak. Lalu perlahan-lahan

dia tanggalkan selendang sutera ungu di lehernya. Benda ini adalah senjata andalan murid

Dewa Tuak. Pada salah satu ujungnya tertera angka 212. Angka itu dibuat Wiro dengan ujung

jarinya beberapa tahun lalu, pada suatu malam sehabis mereka memadu cinta. Mau tak mau

Anggini sekilas teringat apa yang terjadi di antara dia dengan Pendekar 212 malam itu.

Mukanya berubah merah dan terasa panas.


“Gila! Mengapa dalam keadaan seperti ini aku mengingat dirinya dan kejadian malam itu?!”

Anggini memaki sendiri dalam hati. (Untuk membaca hubungan apa yang terjadi antara

Pendekar 212 Wiro Sableng dengan gadis murid Dewa Tuak itu, harap baca serial Wiro

Sableng berjudul Maut Bernyanyi di Pajajaran)

“Aku tidak suka melakukan ini. Tapi agaknya tak ada jalan lain. Tak mungkin dilumpuhkan.

Terpaksa aku harus membunuhnya!” Anggini segera alirkan tenaga dalamnya ke selendang

yang dipegangnya. Walau masih kelihatan lembut, tapi sebenarnya selendang itu telah

berubah menjadi satu senjata sekeras dan sekuat besi!

Selangkah demi selangkah gadis itu mendekati sosok Sandaka yang mendengkur. Tangan

kanannya diangkat ke atas. Dalam jarak yang sangat dekat, Anggini lalu hantamkan 

selendang

suteranya ke arah kepala Sandaka.

“Wutttt!”

Sinar ungu berkelebat. Ujung selendang sekeras besi menderu ke arah kening Sandaka.

Jangankan kepala manusia, batu pun pasti akan hancur berantakan dihantam selendang

tersebut. Namun itu tidak terjadi. Dari kepala Sandaka yang menjadi sasaran, keluar cahaya

hijau terang sekali, menghantam ke atas.

Anggini terpekik. Tubuhnya mencelat. Selendang di tangannya terlepas. Bobot berat dan

kerasnya lenyap. Selendang ini melayang lembut di udara lalu jatuh ke tanah, robek besar di

ujungnya yang tadi dipakai menghantam kepala Sandaka. Anggini sendiri saat itu tergeletak

di tanah. Tangan kanannya tampak berwarna kehijauan, mendenyut sakit bukan kepalang dan

hampir tidak bisa digerakkan lagi.

Di hadapannya, di atas kuburan itu sosok Sandaka sama sekali tidak bergerak. Suara

dengkurannya menggema dalam kegelapan malam. Walau menahan sakit yang amat sangat,

saat itu mau tak mau Anggini merasa kagum akan kesaktian Sandaka meski dia maklum


kehebatan pemuda itu banyak ditentukan oleh Dewi Ular yang menguasainya. 

Terhuyunghuyung Anggini bangkit. Pada saat itulah dia mendengar suara orang tertawa 

mengekeh

disusul berkelebatnya satu sosok berjubah merah.

Seorang kakek bermata juling tegak di depan Anggini, di seberang kuburan di mana Sandaka

masih enak-enakan tidur mendengkur. Orang tua ini bertubuh pendek dan di punggungnya

ada punuk besar. Di keningnya terikat sehelai kain merah. Tangan kirinya buntung sebatas

bahu. Di bagian ini, jubahnya tampak seperti hangus dan ada noda darah mengering. Yang

hebatnya di atas kepalanya manusia ini menjunjung sebuah peti besi. Kedua matanya yang

juling bergerak-gerak kian ke mari, menatap pulang balik dari Anggini kepada sosok

Sandaka.

Murid Dewa Tuak yang tadinya hendak memungut selendang ungunya batalkan niat dan

perhatikan orang tua di depannya dengan penuh waspada, sambil menduga-duga siapa adanya

orang tua berpunuk, bertubuh pendek dan mengenakan jubah robek berwarna merah menyala

di seberang kuburan itu.

Orang tua pendek goyangkan kepalanya sedikit. Peti besi yang ada di kepalanya melayang ke

bawah. Peti ini disambutnya dengan kaki kiri lalu dengan perlahan-lahan peti diletakkannya 

di

atas tanah. “Aku tidak yakin tua bangka itu pemain akrobat!” kata Anggini dalam hati. Lalu

dia ajukan pertanyaan. “Kek! siapa kau?”

Mata juling orang yang ditanya berputar cepat. Dari mulutnya keluar ledakan tawa. “Gadis

cantik tapi tolol! Seharusnya aku yang bertanya kepadamu siapa dirimu! Bukan kau yang

punya hak menyelidiki diriku! Kau untung bertemu dengan diriku. Kalau dengan tua bangka

lain, gadis secantik kamu bisa jadi lalapannya! Ayo bilang, siapa dirimu! Apa sangkut

pautmu dengan pemuda yang sedang ngorok di atas makam sana?”

Waktu memaki dan berucap, si kakek tidak memandang ke Anggini tapi tetap memandang ke

arah Sandaka denga mata berlikat-kilat. Beberapa kali dia leletkan lidah basahi bibir. Dalam

hati dia berkata. “Luar biasa! Belum pernah aku melihat tubuh muda sekokoh ini! Ah,

bagaimana ini? Apa aku kerjai atau urusan besar ini aku selesaikan lebih dahulu?” Si kakek

buntung melirik ke arah Anggini lalu berkata. “Aku tidak suka kau berada di sini. Kau


kubebaskan pergi. Lekas sebelum aku berubah pikiran!”

“Kau tidak punya hak mengusirku. Lagi pula aku sudah membuat perjanjian dengan pemuda

itu untuk menjaganya selama dia tidur!”

Kakek berpunuk tertawa mengekeh. “Hemmm... benar dugaanku. Jadi kau ada hubungan

apa-apa dengan pemuda di atas makam. Dengar gadis tolol! Aku tidak hanya berhak

mengusirmu tapi juga membunuhmu pun aku punya seribu hak! Sekarang terserah kepadamu.

Mau mencari selamat dan pergi cepat-cepat atau memang minta mampus dan berkubur di

tempat ini!?”

“Manusia buntung!” tiba-tiba ada suara membentak. “Gadis cantik itu biar aku yang

mengurus! Kau tua bangka buruk kenapa tidak lekas minggat dari sini sebelum dia marah

dan mematahkan batang lehermu?!”

“Kurang ajar!” teriak kakek berpunuk. “Siapa berani menghina cari perkara!” Dia memutar

tubuhnya lalu kebutkan lengan jubah tangan kanannya ke arah datangnya suara.

“Wuttt! Wusss!”

Satu sinar merah menderu. Sosok yang baru saja muncul bergerak cepat menghindari

serangan kakek berpunuk mata juling. Sambaran merah menghantam batang pohon kamboja

besar hingga patah-patah dan roboh.

Di hadapan Anggini dan kakek berpunuk, tegak seorang tua bermuka belang celemongan

mengempit sebatang tongkat terbuat dari seekor ular kuning hitam dikeringkan. Dia

mengenakan pakaian rombengan penuh tambalan. Di tanan kirinya dia memegang sebuah

kantong ungu. Mulutnya senyum tiada henti. Sikapnya menunjukkan dia berotak kurang

waras. Anggini segera kenali si kakek. Lagi pula kantong ungu adalah miliknya yang berisi

senjata rahasia paku perak.

“Pengemis sinting Muka Belang!” teriak Anggini. “Pencuri keparat! Lekas kau kembalikan

kantong itu padaku!”

Si kekek tua belang tertawa lebar. “Gadis cantik, gara-gara dirimu cucuku menemui ajal di

tangan pemuda itu! Kau minta kantong berisi paku ini? Baik! Aku pasti mengembalikan,


malah dengan tambahan satu paku sorga yang berada di bawah perutku! Ha.. ha.. ha!”

“Dajal bermulut kotor!” teriak Anggini marah sekali. Sekali dia berkelebat serangannya

berupa tendangan mencuat deras ke kepala Pengemis Sinting Muka Belang. Di tua menunggu

sesaat lalu tangannya bergerak mencabut tongkat ular dari kepitannya. Ketika tongkat itu

dikiblatkan sinar kuning hitam mencuat menyongsong serangan Anggini. Sebelum kedua

sinar menghantam kaki gadis itu dari samping selarik angin deras disertai sinar merah

menyambar.

Pengemis Sinting Muka Belang, keluarkan seruan tertahan dan cepat melompat mundur

ketika dirasakannya kepala tongkat ularnya bergetar keras. Dengan wajah berubah

dipandangnya kakek berpundak punuk sambil bertanya siapa gerangan adanya orang itu.

Selama ini hampir tidak ada orang yang bisa menandingi kehebatan tongkat ular. Maka dia

pun membentak.

“Tua bangka buntung berpunuk! Siapa kau?” Yang ditanya ganda tertawa, lalu mendongak

seraya berkata. “Sejak tangan kiriku buntung, banyak cecunguk dan segala macam kecoa

tidak lagi mengenali diriku. Namun aku tetap aku. Kau pernah mendengar seorang tokoh

yang dipanggil Yang Mulia?” Kakek buntung turunkan kepalanya, menatap tajam pada

Pengemis Sinting Muka Belang. Karuan saja kelihatan wajah Pengemis Sinting Muka Belang

jadi berubah. “Kau… jadi kau Datuk Bululawang dari gunung Welirang?!” Si Buntung

tertawa panjang.

Pengemis Sinting Muka Belang jadi tegetar hatinya. Lalu didengarlah orang di hadapannya

berkata. “Kau datang membawa sebuah kantong. Apa isi kantong itu?” Pengemis Sinting

Muka Belang tidak menjawab.

“Tidak menjawab pun aku sudah tahu isinya. Bukankah dalam kantung ada sejumlah paku?

Yang menurutmu bakal bisa melumpuhkan lalu bisa menguasai pemuda yang tidur di atas

makam itu?”

“Keparat! Bagaimana dia bisa tahu…!” menyumpah Pengemis Sinting Muka Belang. Yang


mulia Datuk Bululwang keluarkan kantong dari balik jubah merahnya. Benda ini 

ditimangtimangnya sebentar lalu berkta. ”Paku yang kau bawa itu tidak ada apa-apanya, ini 

paku

yang asli!”

“Hah!?” Pengemis Sinting Muka Belang keluarkan seruan tertahan. Dia berpaling pada

Anggini. Gadis ini tercekat dalam keadaan tegak. “Kakek sinting, jangan bermimpi kau akan

jadi raja di raja rimba persilatan! Aku muak melihat kau berada di tempat ini lebih lama.

Jika paku dalam kantong itu memang milik gadis ini, lekas kau kembalikan padanya lalu

cepat minggat dari sini!”

Pengemis Sinting Muka Belang mendengus. Walau hatinya mulai mendua namun dia tidak

mau kalah sebelum bertanding. “Datuk Bululawang, siapa tidak kenal padamu. Tapi jangan

terlalu mengagungkan diri. Dalam rimba persilatan kau dikenal sebagai momok yang doyan

menyetubuhi sesama jenis! Apa kehebatan itu yang kau banggakan di hadapanku! Puah!”

Pengemis Sinting Muka Belang lalu meludah ke tanah.

Paras Datuk Bululawang berubah sangat merah. Kerut-kerut di wajahnya meregang sekeras

batu karang. “Penghinaan sudah terucap! Kau telah memanggil malaikat maut pemcabut

nyawamu sendiri!” Sang Datuk simpan kantong kain yang dipegangnya. Di lain kejap

tubuhnya melesat ke depan. Anggini hanya sempat melihat bayangan merah berkelebat di

depannya.

Sesaat kemudian terjadilah perkelahian tingkat tinggi yang menegangkan. Pengimis Sinting

Muka Belang kiblatkan tongkat ularnya dalam jurus-jurus serangan mematikan. Sinar hitam

kuning berbuntal-buntal mengepung kakek berpunuk. Sesekali terdengar suara mendesis dan

dari mulut tongkat ular keluar asap biru mengandung racun jahat.

Datuk Bululawang cepat tutup jalan pernafasannya untuk mematahkan serangan racun

tongkat ular di tangan lawan. Dua jurus pertama dia layani semua gempuran Pengimis Sinting

Muka Belang dengan tenang. Gerakannya pelan saja dan hampir tanpa suara. Memasuki jurus

ketiga gerakan sang datuk berubah ganas. Jubahnya berkibar-kibar mengeluarkan deru angin

deras. Tangannya yang cuma satu berkelebat ke sana kemari. Setiap gerakan tangan


mengeluarkan deru angin dahsyat yang menebar hawa dingin. Jurus kelima dia mulai

membuka serangan. Pengemis Sinting Muka Belang jadi tercekat. Tangan kanan yang

menyerangnya mendadak dilihatnya berubah panjang dan membentuk bayang-bayang lebih

dari satu.

“Celaka! Aku tidak dapat mengetahui mana tangan yang asli!” keluh Pengemis Sinting

Muka Belang. Di mulai gugup menghadapi lawan. Karenanya dia mulai mengeluarkan 

jurusjurus mautnya. Sambil menghantam dengan tongkat ularnya dari mulutnya keluar jerit 

pekik

teriakan aneh yang bukan saja menyakitkan telinga tepi bisa membuat kacau serangan musuh.

Namun Datuk Bululawang yang sudah sarat pengalaman itu cuma ganda tertawa.

“Orang lain bisa kacau balau oleh pekik gilamu itu! Tapi aku Yang Mulia Datuk Bululawang

mana bisa tertipu! Ha... ha... ha...! Lihat serangan!” teriak Datuk Bululawang. Tangan

kanannya untuk kesekian kalinya berubah panjang dan kelihatan berjumlah tiga buah. Tangan

pertama melesat ke bawah perut menyambar ke arah anggota rahasianya. Tangan kedua

berkelebat ke leher, laksana sebuah tali besar siap membelit tenggorokannya.

“Pesssttt!”

Pengemis Sinting Muka Belang semburkan racun dari mulut tongkat ularnya. Bersamaan

dengan itu dia melompat ke kiri sambil tangan kirinya menghantam lepaskan satu pukulan

tangan kosong mengandung kesaktian dan tenaga dalam tinggi.

Saat itu mendadak dengkur Sandaka terputus. Lalu terdengar pemuda itu terbatuk-batuk

beberapa kali. “Celaka kalau dia sempat bangun kacau semua urusanku!” kata Datuk

Bululawang penuh khawatir. “Aku harus bergerak cepat!”

Tetapi sesaat kemudian dia jadi lega karena dengkur Sandaka terdengar lagi. Namun dia tidak

mau lagi membuang-buang waktu.

“Wuttt! Bettt!”


“Krakkk!”

Pengemis Sinting Muka Belang menjerit keras. Tubuhnya terpental. Tongkat ularnya 

terlepas.

Ujung tongkat itu masih dalam genggaman tangan tapi tangan itu sudah menjadi kutungan

patah akibat hantaman keras Datuk Bululawang. Lalu terjadilah hal mengerikan. Selagi

Pengemis Sinting Muka Belang menggigil dan mengerang kesakitan, sang datuk

mendatanginya. Tangan kanannya melesat ke depan.

“Crasss! Krakkk!”

Perut Pengemis Sinting Muka Belang jebol. Tulang-tulang iganya berpatahan. Ketika tangan

itu ditarik, isi perut Pengemis Sinting Muka Belang ikut merojol keluar. Ia menjerit setinggi

langit. Datuk tertawa terkekeh. Tangannya yang berlumuran darah diusapkannya ke muka

Pengemis Sinting Muka Belang hingga muka belang empat warna itu kini tampak

mengerikan.

Anggini sampai mengernyitkan wajahnya, merinding melihat hal itu. Dia memandang ke

jurusan lain ketika tubuh Pengemis Sinting Muka Belang jatuh berdebam ke tanah,

menggelepar beberapa kali lalu tidak bergerak lagi. Ketika gadis itu berpaling kembali, Datuk

tengah melangkah mengelilingi makam di mana Sandaka berbaring tertidur. Dari mulutnya

terdengar suara merapal seperti tengah membaca mantera.

“Apa yang tengah dilakukan orang ini...?” Bertanya Anggini dalam hati. Dia memungut

selendangnya yang tercampak di tanah lalu cepat-cepat mendekati mayat Pengemis Sinting

Muka Belang. Dari balik pakaian orang ini ditemukan kantong berisi paku perak yang

merupakan senjata rahasianya. Sambil menimang kantong itu dia memandang ke arah sosok

Sandaka di atas kuburan. Gadis ini berpikir cepat lalu dia bergerak mendekati makam. Dari

dalam kantong dikeluarkannya tujuh buah paku perak.

Melihat yang dilakukan Anggini, Datuk menghentikan langkahnya. Mulutnya berhenti

membaca mantera lalu berkata. “Kau hendak melumpuhkan pemuda itu dengan 

pakupakumu? Jangan mimpi. Aku sudah bilang agar cepat kau lekas pergi dari sini! Atau kau


akan menyesal sendiri!”

Dihina senjata rahasianya sebagai paku butut dan dicap mimpi, murid Dewa Tuak jadi marah.

Dengan kertakkan rahang dia kerahkan tenaga dalam pada tangan yang memegang paku lalu

paku itu bergerak. Terdengaar suara berdesing di udara malam. Tujuh perak melesat hampir

tidak kelihatan. Tujuh bagian tubuh Sandaka menjadi sasaran mulai dari batok kepalanya

sampai pergelangan kaki.

Sesaat lagi tujuh buah paku perak itu akan menancap di kepala dan sekujur tubuh Sandaka

tiba-tiba dari dalam tubuh pemuda itu memacar cahaya hijau. Begitu ujung paku mencapai

ujung cahaya semuanya mencelat mental, ada yang menancap di pohon atau menyangkut di

semak belukar. Anggini terkejut bukan kepalang. Dia dekati paku yang mental lalu jatuh ke

tanah. Ternyata senjata rahasianya itu telah bengkok dan leleh mengepulkan asap.

Datuk Bululawang tertawa mengekeh. “Apa kataku! Senjata rahasiamu tidak lebih dari paku

butut! Kalau kurang puas, apa kau mau coba lagi?” Meski marah tapi Anggini tutup mulut.

Dilihatnya sosok Datuk Bululawang melangkah mengelilingi sosok Sandaka di atas makam

sambil mulutnya meracau entah merapal apa. Dia hentikan langkah ketika kaki kirinya

menginjak sebuah benda keras. Mulut manusia berpunuk itu menyeringai. Dengan ibu jari

kaki kirinya dicongkelnya benda itu. Ternyata sebuah batu hitam sebesar dua kali kepalan.

“Paku sudah di tangan, palu sudah ditemukan! Tiga puluh titik kematian sudah aku ketahui!

Apa lagi yang aku tunggu?!”

Datuk Bululawang keluarkan kantong berisi paku baja putih murni dari balik jubah 

merahnya.

Lalu diambilnya batu hitam yang barusan dicongkel dari dalam tanah. Setelah itu dia 

bergerak

mendekati sosok Sandaka di arah kepala.

Anggini maklum apa yang akan terjadi. Datuk Bululawang hendak melumpuhkan Sandaka

lalu menguasai pemuda itu! “Aku harus cegah yang akan dilakukannya! Dunia persilatan

tidak akan lolos dari malapetaka kalau mahluk berpunuk itu menguasai pemuda itu!” Tanpa


berpikir panjang lagi murid Dewa Tuak itu langsung berkelebat, menyerang Datuk

Bululawang dari arah samping kanan. Dia kerahkan jurus “Bumbung Sakti Membelah

Akhirat!”

Karena tangan kanannya masih sakit, dia pergunakan tangan kiri untuk menyerang. Tangan

kiri itu diangkat tinggi ke atas untuk menyerang ke batok kepala Datuk Bululawang. 

Serangan

angin dasyat ini segera terasakan oleh Datuk Bululawang.

“Gadis kurang ajar!” gertak si kakek. Tangan kanannya yang memegang batu dan kantong

kain berisi paku digoyangkan. Ujung jubahnya mengebut. “Wusss!” Angin dasyat

menyambar.

Anggini terpekik. Sesaat tubuhnya seperti mengapung di udara.

Ketika Datuk Bululawang putar tangan kanannya, tak ampun lagi gadis ini menelungkup di

tanah. Dia mengerang sebentar lalu tidak bergerak dan tidak bersuara lagi. Entah pingsan atau

mati.

Datuk Bululawang menyeringai buruk. Kantong paku dibukanya. Sinar terang putih

memancar keluar. Ia tuang tiga puluh paku di tanah. Paku-paku itu seperti menyala dalam

kegelapan malam. Diam-diam tengkuknya terasa dingin dan agak bergeming juga ketika paku

pertama ditancapkannya di pertengahan kening Sandaka. Lalu dengan mempergunakan batu,

dipantekkannya paku sampai masuk setengah di kening pemuda itu.

Kepala dan tubuh Sandaka kelihatan bergerak sedikit. Bahkan matanya seperti membuka.

Dengkurannya terhenti. Namun kemudian tubuh itu diam lagi, suara mendengkur terdengar

kembali dan dua buah mata si pemuda berlahan-lahan terkatup lagi. Sementara darah

kelihatan mengucur dari kening yang dipaku itu!

Datuk Bululawang cepat mengambil paku kedua. “Aku pasti berhasil! Pasti!” Paku kedua

dipantekkan tepat di ubun-ubun Sandaka. Sepasang kaki Sandaka tersentak lalu diam. Paku

ketiga sampai ketujuh dipantekkan dengan cepat di seluruh kepala pemuda itu. Darah

mengucur. Kepala dan wajah Sandaka bergelimang darah kelihatan sangat mengerikan.

Terlebih ketika empat lagi paku dipantekkan di wajah Sandaka. Sisa paku baja putih murni

dipantekkan di dada, perut dan kaki sandaka.


Ketika paku terakhir dihujamkan di kaki kanan Sandaka, mendadak dari mulut pemuda itu

keluar suara mengerang panjang. Tiba-tiba tubuhnya bergerak dan berdiri tepat di depan

Datuk Bululawang. Orang tua berpunuk ini sampai melompat mundur tiga langkah saking

kaget dan ngerinya melihat pekerjaannya sendiri. Kepala, wajah dan sekujur tubuh Sandaka

sampai ke kaki basah oleh darah. Sepasang matanya memancarkan cahaya hijau. Memandang

berkilat-kilat kepada Datuk Bululawang.

Betapapun hebatnya sang datuk diam-diam hatinya bergetar juga. “Tiga puluh paku sudah

kupantek! Apakah dia sekarang berada dalam kekuasaanku? Pandangan matanya yang hijau

sangat buas. Seperti mau menelanku. Aku harus waspada dan segera menguji. Kalau tiga

puluh paku itu tidak bisa melumpuhkannya dan tunduk kepadaku, celaka diriku!”

Datuk Bululawang angkat tangan kanannya. “Anak muda! Katakan siapa namamu!” orang

tua bertangan buntung itu ajukan pertanyaan untuk menguji. Yang ditanya diam saja. Malah

kilatan cahaya yang keluar dari matanya semakin tajam menyorot. “Kau punya telinga tidak

mendengar aku bertanya? Kau punya mulut mengapa kau tidak menjawab?! Kau berada

dalam kekuasaanku! Kau harus tunduk atas segala perintah dan ucapanku! Tidak ada siapa

pun kecuali diriku! Lupakan segala masa lalumu! Aku Yang Mula Datuk Bululawang yang

menentukan masa depanmu! Jadi kau harus tunduk dan patuh terhadap perintahku! Kau

dengar?!”

Mulut Sandaka masih tidak bergerak. Namun pelan-pelan kepalanya bergerak membuat

gerakan mengangguk. Datuk Bululawang menyeringai. Hatinya seribu lega. “Katakan siapa

namamu?”

“Aku Sandaka...”

“Bagus!” ujar Datuk Bululawang penuh girang. “Katakan kepada siapa kau harus tunduk

dan patuh!”

“Hanya kepadamu...”

“Siapa diriku? Siapa namaku?”

“Kau... kau adalah Yang Mulia Datuk Bululawang...!”

Datuk Bululawang tertawa mengekeh. “Ternyata semua berjalan sesuai aku harapkan. Tapi


aku harus mengujinya sekali lagi…” kata Datuk Bululawang dalam hati. Lalu dia menunjuk

pada sosok Anggini yang menelungkup di atas tanah. “Kau kenal siapa gadis itu?”

“Aku tidak mengenal Datuk…”

“Berarti jalan pikirannya tidak bisa berjalan ke masa lampau,” kata Datuk dalam hati.

“Kalau aku perintahkan kau membunuh gadis itu apa jawabmu?!”

“Aku akan melakukan perintahmu sekarang juga!” jawab Sandaka.

Dua matanya seperti menyala. Lalu kakinya hendak melangkah mendekati sosok Anggini.

Datuk Bululawang angkat tangan kananya, “Tak usah sekarang!” katanya. Sandaka berhenti

melangkah. Kini sang Datuk yang mendatangi. Kalau tadi sosok pemuda itu sangat

mengerikan baginya, kini tiba-tiba ada perubahan aneh. Tubuh berlumuran darah itu justru

membuatnya merangsang. Nafasnya memburu. Darahnya mengalir cepat dan panas. Sesaat

setelah memandangi sosok Sandaka, Datuk Bululawang mengulurkan tangannya meraba dada

dan perut Sandaka. Lidahnya berulang kali dijulurkan membasahi bibir. Mata julingya

bergerak liar dan tenggorokannya turun naik.

“Tanggalkan cawatmu!” perintah Datuk Bululawang. Kali ini suaranya tidak lagi membentak

tapi berubah lembut. Sandaka lakukan apa saja yang diperintahkan kakek berpunuk itu. Datuk

Bululawang seperti terbakar oleh rangsangan nafsu aneh yang menggelegak dalam tubuhnya

melihat sosok telanjang Sandaka. “Berbaringlah di tanah...” bisiknya.

Sandaka kembali lakukan apa yang diperintahkan. Dia berbaring menelentang di tanah. 

Datuk

Bululawang menyeringai. Tangan kanannya menyeringai membuka jubah merahnya. Lalu dia

berbaring di samping tubuh Sandaka. “Kita akan bersenang-senang Sandaka. Kau harus

melayaniku... kau suka...?” bisik Datuk Bululawang.

“Apa yang Datuk Bululawang suka, aku juga suka...” jawab si pemuda.

Tua bangka perpunuk itu tertawa perlahan. Tangan kanannya mulai meraba sekujur tubuh

Sandaka. Keringat seperti membakar Datuk Bululawang. Nafasnya memburu. “Kau hebat

Sandaka. Kau akan menjadi pendamping abadiku! Kita akan segera menguasai dunia

persilatan...” bisik Datuk Bululawang sambil membelai tubuh Sandaka.


Baru saja tua bangka yang mempunyai kelainan seksual itu selesai membisikkan sesuatu 

tibatiba terdengar suara pekikan keras perempuan merobek kesunyian malam. “Terlambat!

Celaka aku datang terlambat!” Bersamaan dengan itu satu larik sinar hijau panas

menghantam ke arah Datuk Bululawang.

Secepat kilat orang tua itu melompat. “Jahanam! Siapa yang berani menyerang diriku!”

teriak Datuk Bululawang marah sekali. “Sandaka! Bersiaplah membunuh korban

pertamamu!”

Ketika siuman, Wiro mendapatkan dirinya berbaring di atas sebuah tempat tidur berkasur

empuk dilapisi kain penutup indah berbunga-bunga. Dia mengenakan sehelai jubah terbuat

dari kain hijau. “Siapa yang memberi aku pakaian ini...?” pikir Pendekar 212 seraya

memandang berkeliling. Dia berada dalam sebuah kamar bagus sekali. Udara sekelilingnya

menebar bau harum semerbak menyegarkan.

“Aneh...” Kata Wiro dalam hati. “Kamar sebagus ini tetapi mengapa sama sekali tidak ada

jendela dan pintunya?” Lalu dia berpikir lagi. “Berapa lama aku berada di tempat ini?

Mungkin belum lama. Buktinya perutku tidak terasa lapar dan aku tidak kehausan...”

Wiro bangkit. Sesaat dia duduk di tepi tempat tidur. Otaknya mulai bekerja. Dia ingat apa

yang telah dialaminya. Dia dan Kakek Segala Tahu berkelahi melawan Dewi Ular. Si kakek

roboh akibat racun dua ekor ular iblis peliharaan Dewi Ular. Entah bagaimana keadaan orang

tua itu sekarang. Jangan-jangan sudah menemui ajalnya. Dia sendiri juga jatuh ke tangan

Dewi Ular setelah dipatuk oleh ular hitam kepala putih yang keluar dari pusar perempuan itu.

Ingat sampai di situ, Wiro singkap jubahnya di bagian dada, tempat ular mematuknya.

“Aneh, tak ada tanda apa-apa. Tubuhku malah sehat-sehat saja, malah segar bugar. Siapa

yang mengobati diriku... Siapa yang membawaku ke mari? Tak pelak lagi, pasti perempuan

iblis itu!” Wiro memandang seputar kamar. Pada empat sudut kamar terdapat masing-masing

sebuah tiang besar dari kayu jati berukir sangat indah. Kebanyakan dari ukiran-ukiran itu

menampilkan sosok ular berbagai rupa, mulai dari yang kecil sampai besar.


“Dewi Ular membawaku ke tempat ini. Pasti dia mengandung maksud jahat seperti yang

dikatakannya padaku. Dia ingin mempergunakan diriku untuk membunuh beberapa tokoh

silat. Si Raja Penidur, bahkan guruku Eyang Sinto Gendeng! Gila! Aku harus mencari jalan

keluar dari sini! Tapi kamar celaka ini sama sekali tak berpintu tak berjendela!” Pendekar

212 memperhatikan lagi seputar kamar sambil garuk-garuk kepala. “Agaknya aku harus

menjebol dinding ruangan dengan pukulan sakti!” Maka Wiro segera salurkan tenaga dalam

ke tangan kanan.

Pada saat itulah tiba-tiba ada suara halus merdu menegur. “Kekasihku Pendekar 212, rupanya

kau sudah sadar? Aku gembira melihat kau segar bugar...”

Wiro melengak. Dia membuka mata lebar-lebar sambil memandang sekeliling ruangan. Sama

sekali dia tidak melihat sosok orang yang berbicara itu. “Eh, siapa yang barusan bicara

menyebutku sebagai kekasih?!” ujar Wiro dengan suara dikeraskan. “Kalau bangsa manusia,

terus terang aku tidak punya kekasih. Kalau bangsa makhluk halus jejadian apalagi!”

Terdengar suara tawa merdu. “Akan kita lihat apakah kau menolak jadi kekasihku setelah aku

unjukkan diri...” Sepasang telinga Wiro menangkap ada suara desiran halus, seperti sesuatu

meluncur. Dia berpaling ke belakang. Astaga! Kejut murid Sinto Gendeng bukan kepalang.

Tadi dia tidak melihat binatang itu di sana. Kini mengapa tahu-tahu ada di situ?

Di salah satu tiang kayu besar meluncur turun seekor ular hijau besar dan panjang luar biasa.

Bersamaan dengan itu bau harum semerbak semakin santar. Sampai di lantai ruangan

binatang ini menggelungkan tubuhnya. Lalu perlahan-lahan ular hijau ini naikkan kepala

hingga mencapai ketinggian kepala manusia. Wiro tegak di sudut kamar dengan dada

berdebar dan siap mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 seandainya ular raksasa itu

menyerangnya.

Malah tiba-tiba secara anehnya wujudnya yang berbentuk ular perlahan-lahan sirna

membentuk bayang-bayang. Bayang-bayang ini kemudian menjelma menjadi sosok tubuh

seorang perempuan mengenakan pakaian hijau, tegak membelakangi Wiro. Pakaian hijau

yang melekat di tubuhnya demikian tipisnya, hingga auratnya sebelah belakang kelihatan

seperti bugil. Perlahan-lahan tubuh yang membelakangi itu berputar.


Wiro merasakan jantungnya seperti mau copot. Perempuan di hadapannya ternyata memiliki

wajah cantik luar biasa. Di kepalanya yang rambutnya dikonde, ada sebuah mahkota kecil

berbentuk kepala ular. “Dewi Ular...” desis Wiro tercekat. Matanya hampir tak berkesip

melihat tubuh yang hanya tertutup kain sutera hijau yang sangat tipis.

“Kau mengenaliku, aku senang sekali. Akulah kekasihmu dan kau kekasihku. Apa kau tidak

merasa bahagia?”

Wiro terdiam sesaat. Lalu dia berkata. “Kau membunuh kakekku, orang tua bergelar Kakek

Segala Tahu itu...”

“Ah, rupanya pikiranmu masih pada jembel tua itu! Tak perlu kau merisaukannya. 

Racunracun ularku tidak sampai membuatnya mati...”

“Kau merencanakan menguasai dunia persilatan secara keji! Kau memperbudak manusia

bernama Sandaka itu. Kau hendak memanfaatkan diriku untuk membunuh tokoh silat Si Raja

Penidur dan guruku sendiri Eyang Sinto Gendeng...!”

Dewi Ular tertawa perlahan Dia goyangkan kepalanya. Rambutnya yang bergulung dalam

bentuk konde terbuka jatuh menjulai, tergelai di punggungnya. “Aku tidak membantah bahwa

aku memang ingin menguasai dunia persilatan dan merencanakan pembunuhan atas diri

beberapa tokoh silat, termasuk gurumu sendiri! Aku juga tidak menyangkal dan

memperbudak dan memperalat pemuda bernama Sandaka itu. Aku juga tidak menolak

tuduhanmu bahwa aku akan memanfaatkan dirimu. Sebagai sepasang kekasih, saling bantu

adalah lumrah saja. Bukankah begitu?”

“Siapa bilang aku kekasihmu? Aku justru punya tugas untuk melenyapkanmu dari muka 

Bumi

ini!”

Dewi Ular tertawa panjang. Bahunya digoyangkan, menyusul pinggulnya. Murid Sinto

Gendeng merasa lututnya goyah dan jantungnya berdegup keras ketika melihat bagaimana

Dewi Ular kini tak mengenakan apa-apa lagi. Gerakan bahu dan pinggulnya tadi telah

membuat pakaian sutera tipisnya merosot dan jatuh ke lantai kamar.


Dua kaki melangkah perlahan mendekati Wiro. Dua buah paha mulus bergerak menggoyang

pinggul dan pinggang langsing. Di sebelah atas, dua buah payudara yang kencang bergoyang

menantang. Lalu tiba-tiba saja tubuh telanjang Dewi Ular sudah merangkul Wiro Sableng.

“Wiro, banyak orang lelaki membenci diriku karena tidak tahu apa yang aku bisa berikan

pada mereka. Kau salah satu di antaranya. Tapi itu tidak akan lama. Sebentar lagi kita akan

lihat bahwa kau kekasihku yang lebih hebat dari Sandaka...”

Perlahan-lahan Dewi Ular tanggalkan jubah yang melekat di tubuh Wiro. Pendekar 212

merasakan tubuhnya laksana terbakar. Darahnya menggelegak. Nafsunya berkobar. Entah

sadar entah tidak, akhirnya dia membalas rangkulan Dewi Ular. Sesaat kemudian keduanya

sudah bergulung-gulung di atas tempat tidur. Nafas Dewi Ular panas memburu. Wiro merasa

tubuhnya seperti meledak-ledak oleh guncangan nafsu. Namun ada sesuatu yang tidak beres

dengan dirinya, yang membuat Dewi Ular jadi sangat kecewa dan marah dalam gejolak

birahinya.

“Manusia tidak berguna! Tubuhmu saja yang tampak kukuh! Tapi kejantananmu mati!”

Murid Sinto Gendeng menggeram. Dia memandang ke bagian bawah tubuhnya. Mukanya

tampak merah. “aneh... Nafsuku menggelegak tapi mengapa...”

“Manusia tidak berguna! Rupanya kau hanya pantas menjadi santapan ular-ularku di Sumur

Seratus Ular!”

Dewi Ular melompat turun dari atas ranjang. Tubuhnya yang harum basah oleh keringat.

Tiba-tiba di salah satu dinding ruangan kamar muncul cahaya kehijauan yang secara perlahan

berubah menjadi kemerahan lalu membentuk lingkaran yang berkelip-kelip. Paras Dewi Ular

tampak berubah ketika melihat lingkaran merah itu. Dia menyambar pakaian hijaunya,

mengenakannya dengan cepat. Lalu mendekati salah satu tiang kayu jati dalam kamar.


Sepasang tangan dan kedua kakinya digelungkan pada tiang itu. Perlahan-lahan tubuhnya

menjadi samar lalu berubah menjadi ular besar hijau. Binatang ini menjalar cepat ke atas

langit-langit kamar lalu menghilang dari pemandangan.

Begitu sosok ular lenyap, terdengar suara. “Manusia tak berguna! Kau beruntung umurmu

masih kuperpanjang beberapa waktu. Kalau tidak ada urusan mendesak niscaya saat ini

sudah kucemplungkan kau ke Sumur Seratus Ular.”

Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah tiang di mana tadi sosok Dewi Ular berubah jadi

ular hijau dan lenyap. Suara angin laksana topan prahara melanda kamar itu. Tempat tidur 

dan

semua benda yang ada dalam kamar hancur berantakan. Tapi tiang kayu dan dinding kamar

serta atap ruangan sama sekali tak lecet sedikitpun! Wiro sendiri jatuh jungkir balik di lantai

akibat terpaan angin pukulan yang berbalik menghantamnya. Kepalanya terasa pening dan

pemandangannya berkunang-kunang.

“Keparat! Bagaimana aku bisa keluar dari ruangan celaka ini?!” keluh Pendekar 212. “Apa

yang terjadi hingga perempuan iblis itu tiba-tiba meninggalkan tempat ini?!” Wiro duduk

terkulai di lantai, tak tahu apa lagi yang akan dikerjakannya. Kalau dia menghantam lagi

ruangan dengan pukulan sakti lainnya, bukan mustahil dia sendiri bisa celaka bahkan mati

konyol di tempat itu.

Selagi dia berpikir-pikir seperti itu, sekilas dia teringat apa yang barusan dialaminya. “Aneh,

aku begitu bernafsu pada perempuan itu. Tapi kenapa aku jadi tiba-tiba tidak mampu?

Hilang kejantanan? Aneh... Benar-benar aneh!” Wiro garuk-garuk kepala sambil

memandang ke bawah. “Jangan-jangan... Eh, jangan-jangan ini perbuatan Kakek Segala

Tahu yang memberikan obat pahit itu padaku. Kejantananku lenyap hingga aku tak sanggpu

melakukan hubungan badan dengan Dewi Ular. Berarti aku diselamatkan dari cairan tubuh

perempuan terkutuk itu! Kalau tidak, nasibku akan sama dengan Sandaka! Tapi... Ya Tuhan!

Gila! Sampai berapa lama aku kehilangan kejantanan seperti ini? Seumur hidupku?! Celaka!

Benar-benar celaka! Aku harus mencari Kakek Segala Tahu. Kuharap saja dia benar-benar

belum menemui ajal. Tapi bagaimana mungkin! Keluar dari tempat ini saja aku tidak

mampu!


Selagi dia terhenyak duduk tak berdaya seperti itu, tiba-tiba terdengar suara halus entah

datang dari mana. “Anak setan! Kalau kau ingin keluar dari dalam ruangan terkutuk itu,

lekas keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam pasangannya. Hantam salah

satu tiang kamar dengan api sakti! Dinding dan atap ruangan serta kayu-kayu

penyanggahnya rapuh terhadap api! Aku akan membantumu dari luar sini!

Wiro berdiri. “Eh, siapa yang barusan bicara?!” dia berseru.

“Setan! Turut saja apa yang aku bilang! Kalau kau buang waktu, semua urusan bisa jadi

kapiran! Dunia persilatan tak bakal bisa diselamatkan!” kembali terdengar suara halus.

Wiro garuk-garuk kepala. “Eh yang bicara ini apakah... Guru!

Eyang! Engkaukah itu?!

“Budak tolol! Lekas kau lakukan apa yang aku perintah!

Pendekar 212 tertawa lega. “Pasti itu Eyang Sinto Gendeng...” serunya. Lalu segera saja dia

keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti. Sekali mata kapak dan batu

hitam diadu satu sama lain, satu lidah api menyembur ke arah tiang besar di sebelah kiri.

Sesaat kemudian kamar itu sudah dibuncah api. Terdengar suara berkereketan. “Celaka! Aku

bisa terpanggang hidup-hidup di tempat ini!” teriak Wiro.

Tiba-tiba di atas kepalanya terdengar suara berdentum. Atap ruangan hancur berantakan. Ada

angin merambas masuk. Di sebelah atas Wiro dapat melihat langit malam. Lalu muncul sosok

kurus kering bungkuk bermuka reot menyeramkan. Di kepalanya ada lima buah tusuk konde

berwarna perak. “Guru! Benar kau rupanya!” seru Wiro seraya hendak menjura memberi

hormat.

“Anak tolol! Bukan saatnya memakai segala peradatan! Lekas melompat keluar dari dalam

kamar itu! Atau kau memang sudah kepingin mampus ditembus api?!


“Eyang! Terima kasih kau telah menolongku!” seru Pendekar 212 lalu sekali dia menggenjot

tubuhnya melayang ke atas.

Begitu dia menginjakkan kaki di tanah. Eyang Sinto Gendeng sudah tegak di hadapannya.

“Kita harus segera mengejar ke arah lenyapnya Dewi Ular. Dan ini!” Eyang Sinto unjukkan

dua buah benda yang dipegangnya di ujung-ujung jari tangan kirinya. Benda itu berwarna

kuning seperti terbuat dari emas.

“Benda apa itu Eyang?” tanya Wiro.

“Dua buah paku emas!

“Paku emas?!

“Ya, ini satu-satunya benda yang mampu menolong pemuda bernama Sandaka itu untuk

lepas dari kekuatan jahat yang menguasai dirinya. Paku ini pula yang sanggup membunuh

Dewi Ular, makhluk setengah manusia setengah ular iblis itu. Paku ini hanya ada dua di

dunia. Kalau salah atau meleset memakainya, maka akan celaka umat Tanah Jawa ini.

Memakainya juga tidak bisa sembarangan. Untuk melumpuhkan Sandaka, paku harus

menancap di kepala anggota rahasianya...

“Gila! Bagaimana aku bisa melakukannya?!

“Aku tidak mau susah payah memikirkan. Itu tugasmu melakukannya!” bentak Eyang Sinto

Gendeng.

“Lalu bagaimana cara menggunakan paku satunya terhadap Dewi Ular?” tanya Wiro pula.

“Perempuan itu jelas tidak punya kemaluan seperti Sandaka!

“Anak setan sialan!” maki Eyang Sinto Gendeng. “Tentu saja mana ada perempuan yang

anggota rahasianya seperti laki-laki! Edan kau! Paku emas harus ditancapkan tepat di pusar

perempuan durjana itu! Jangan tanya bagaimana melakukannya! Itu juga tugasmu!


Wiro terdiam. Sebetulnya dia mau bertanya lagi tapi tak berani. Eyang Sinto Gendeng hendak

susupkan dua paku emas itu ke tubuh Wiro, tapi seolah baru melihat kalau sang murid saat itu

tidak berpakaian sama sekali. “Murid jahanam kurang ajar! Lekas kau cari pakaian. Aku

tunggu di sini! Kita tak punya waktu banyak!

Wiro segera bergerak. “Tunggu!” seru Eyang Sinto Gendeng. Dia mengeluarkan sebuah

benda bulat hitam seujung kelingking. “Lekas kau telan ini!

“Apa itu Nek?” tanya Wiro.

“Sebelumnya aku telah berjumpa dengan Kakek Segala Tahu...

“Ah, bagaimana keadaan orang tua itu. Dewi Ular telah...

“Dia tak kurang suatu apa. Untung keburu kutemui, dan sebelumnya dia juga telah menjaga

diri dengan obat penolak racun. Dia kutinggal di sebuah pondok di tengah hutan. Saat ini

mungkin masih ngorok...” menerangkan Sinto Gendeng. “Aku mendapat penjelasan darinya

bahwa kau diberikan obat penangkal nafsu hingga burungmu itu hanya bisa 

manggutmanggut... Kalau tidak, darah di tubuhmu masti sudah dirusak dan diracuni cairan 

tubuh

Dewi Ular...

“Astaga!” kejut Wiro dengan muka berubah. “Jadi itu rupanya kekuatan obat yang

disuruhnya telan. Pantas burungku tidak bisa mengepakkan sayap...” Wiro garuk-garuk

kepala.

“Nah ini! Lekas telan obat ini!” Sinto Gendeng serahkan obat hitam bulat itu pada Wiro.

Tanpa ragu sang murid segera menelannya. Lalu dia bertanya. “Nek, obat yang barusan aku


telan ini untuk apa? Mau membuat burungku jadi lebih rapuh?

Si nenek gelengkan kepala. “Obatku ini justru untuk menyembuhkan burungmu agar kau

nanti bisa meyakinkan Dewi Ular bahwa kau benar-benar seorang lelaki jantan!

“Jadi... jadi Eyang sengaja hendak menyuruhku tidur dengan perempuan itu lalu dia

mencelekai diriku?

“Kau mau tidur dengan dia sampai tujuh hari tujuh malam siapa mau yang melarang?! Tapi

ingat, kau harus punya kemampuan untuk menahan diri. Bukan mempergunakan burungmu,

tapi menusukkan paku emas itu ke pusar Dewi Ular...

“Wah berat Nek! Kalau akau tak sanggup menahan diri bagaimana?” tanya Wiro.

“Kalau begitu lebih bagus kau bunuh diri saja sekarang-sekarang ini!” sahut Eyang Sinto

Gendeng. Lalu tanpa banyak bicara lagi dia berkelebat pergi.

Begitu orang yang memekik menampakkan diri, Sandaka segera melompat ke hadapannya.

Ternyata yang muncul adalah Dewi Ular. “Sandaka! Apa yang terjadi dengan dirimu!

Celaka!” Dewi Ular berteriak keras dan tersurut beberapa langkah ketika melihat keadaan

Sandaka yang ditancapi paku baja putih murni mulai dari kepala sampai ke kaki serta penuh

gelimangan darah.

“Kekasihku...” ujar Dewi Ular seraya mendekati Sandaka sambil membuat gerakan hendak

merangkul pemuda itu. “Kau dalam bahaya. Lekas ikuti aku. Tinggalkan tempat ini...

“Sandaka!” Datuk Bululawang berteriak. “Lekas bunuh perempuan di hadapanmu! Jangan

biarkan dia memelukmu!

“Sandaka!” balas berteriak Dewi Ular. “Jangan dengarkan ucapannya! Kau adalah

kekasihku! Kau harus tunduk dan patuh padaku! Ayo lekas pergi!


Dewi Ular yang hendak memeluk si pemuda tertahan gerakannya ketika melihat bagaimana

sepasang mata Sandaka memancarkan sinar hijau berkilat. Wajah dan tubuhnya yang

berpaku-paku dan tertutup darah ikut memancarkan sinar kehijauan. Itulah hawa dan tanda

pembunuhan!

“Celaka! Paku-paku keparat itu benar-benar telah melumpuhkan otaknya! Kini dia hanya

mengikut pada perintah dajal bertangan buntung ini! Sebaiknya kuhabisi dulu tua bangka

keparat ini!” Dewi Ular kebutkan lengan baju hijaunya. Dua gelombang angin sedahsyat

topan prahara menderu ke arah Datuk Bululawang. Sang datuk cepat menyingkir. Namun

lawan menyusul pukulan tangan kosong dengan satu hantaman jarak pendek. Baru saja dia

mampu menghindar, tiba-tiba Dewi Ular sudah berada di sampingnya melancarkan jotosan ke

pelipis kirinya.

Datuk Bululawang umbar tawa mengekeh . Berkelahi jarak dekat, justru ini maunya. Dia

seperti membiarkan kepalanya dihantam pukulan lawan. Namun diam-diam tangan kanannya

melesat ke perut Dewi Ular , siap menjebol dan membetot isi perut perempuan ini.

Dewi Ular yang sudah tahu keganasan ilmu Datuk Bululawang tidak berlaku ayal. Dia

tekankan kedua tumitnya ke tanah. Sesaat kemudian tubuhnya melayang ke atas. Dari rongga

bawah pakaian hijaunya melesat keluar dua ekor ular hijau. Dua binatang jejadian ini

langsung melesat ke arah Datuk Bululawang.

“Desss! Prakkk!”

Kepala ular hijau sebelah kanan hancur dihantam tangan sakti Datuk Bululawang. Namun dia

tidak mampu menghantam ular kedua ataupun menghindar. Binatang ini mematuk ke arah

matanya. Sesaat lagi mata kiri orang tua bertubuh pendek dan berpunuk ini akan hancur

menjadi satu lobang yang mengerikan, tiba-tiba dari samping ada dua larik sinar hijau

menyambar. Ular hijau yang hendak mematuk mata sang datuk hancur berkeping-keping.


Dewi Ular terpekik dan cepat bertindak mundur. Dadanya mendenyut sekali. Dia memandang

ke kiri di mana Sandaka tegak dengan pandangan mata angker. Dewi Ular tahu pemuda itulah

yang barusan menyelamatkan Datuk Bululawang dengan semburan cahaya hijau sakti dari

kedua matanya.

“Sialan! Aku tak mungkin bisa melawannya. Apalagi ada datuk keparat itu di sini. Hari ini

aku terpaksa mengalah. AKu terpaksa menyingkir! Jahanam betul!

“Sandaka! Lekas kau habisi perempuan itu!” teriak Datuk Bululawang ketika dilihatnya

gelagat Dewi Ular hendak melarikan diri.

Manusia paku yang kini berada di bawah pengaruh dan kekuasaan Datuk Bululawang

menggereng keras. Dengan satu kali lompatan saja dia sudah berada di hadapan Dewi Ular.

Dia kedipkan kedua matanya. Dua larik sinar hijau menyambar. Dewi Ular melompat ke 

balik

sebatang pohon seraya menghantam dengan tangan kanan.

“Wusss!”

“Braaak!”

Batang pohon besar hancur berantakan. Pohon tumbang dengan suara bergemuruh. Seluruh

kulit sampai ke ranting serta daun-daunnya berubah hijau kehitaman. “Kejar dia Sandaka!

Jangan sampai lari! Dia harus mati di tanganmu!” teriak Datuk Bululawang.

Di balik pohon yang tumbang, Dewi Ular robek pakaiannya di bagian perut. Pusarnya

menyembul di antara keputihan perutnya. Ketika Sandaka muncul di depan sana untuk

mengejarnya, Dewi Ular gerakkan perutnya. Seekor ular hitam berkepala putih melesat 

keluar

dari pusar perempuan itu. Binatang jejadian ini kelihatannya memiliki panjang yang tidak

terbatas karena tubuhnya terus memanjang sampai akhirnya mencapai tempat Sandaka 

berada,


sementara ekornya masih berada dalam perut Dewi Ular!

“Wuuuuutttt!”

Kepala ular putih menyambar. Mulutnya mematuk ke muka Sandaka. Pemuda ini cepat

merunduk lalu membalik. Tangan kanannya berhasil menyambar tubuh hitam ular jejadian itu

dan langsung dicengkeram. Ular hitam kepala putih menggeliat dan membalikkan kepala.

Saat itulah Sandaka kedipkan kedua matanya.

“Wusss! Wussss!” Dua larik sinar hijau berkiblat.

Dewi Ular menjerit panjang ketika melihat ular hitam kepala putihnya hancur lebur. Perutnya

terasa panas. Cepat dia pegang perutnya di bagian pusar. Sebelum Sandaka datang mengejar,

perempuan ini berkelebat lenyap tinggalkan tempat itu.

“Kejar dia Sandaka! Cepat! Jangan biarkan lolos!” teriak Datuk Bululawang. Sandaka

segera berkelebat. Namun saat itu ada dua bayangan menghadangnya. Satu seorang nenek tua

berbadan bongkok bermuka perot dan berkulit sangat hitam. Satunya lagi seorang pemuda

gendeng aneh mengenakan pakaian seperti pakaian perempuan. Kedua orang ini bukan lain

adalah guru dan murid Eyang Sinto Gendeng si nenek sakti dari Gunung Gede, dan Pendekar

212 Wiro Sableng.

“Datuk! Ada yang coba menghadangku!” kata Sandaka. Datuk Bululawang telah melihat

kehadiran kedua orang itu. Dia segera mengenali si nenek, tapi tak mampu mengenali Wiro.

Tanpa pikir panjang dia berteriak beri perintah. “Singkirkan mereka Sandaka! Bunuh!

Sandaka menggerang.

“Wiro! lekas kau hantam dia dengan salah satu dari dua paku emas itu!” eyang Sinto

Gendeng berbisik.

“Aku memang sudah siap melakukannya Eyang! Tapi kau lihat sendiri. Dia mengenakan

cawat. Mana aku bisa menduga yang mana kepala anggota rahasianya!” menyahuti Wiro


sementara paku emas sudah berada dlaam genggamannya.

“Sialan! Yang menonjol itu pasti kepalanya!” kata si nenek setengah berteriak.

“Mungkin benar. Tapi kalau bukan bagaimana? Kita bisa celaka semua! Nek, aku minta kau

menyerang kakek buntung yang menguasai pemuda itu. Sandaka pasti bertindak

menolongnya. Aku akan cari kesempatan untuk menanggalkan atau merorotkan cawatnya...”

“Anak setan! Akalmu kuterima!” jawab Eyang Sinto Gendeng sambil tertawa cekikikan lalu

dengan tongkat butut di tangannya dia menyerbu Datuk Bululawang.

“Tua bangka tolol! Jauh-jauh dari Gunung Gede kau datang hanya mencari mampus!” teriak

Datuk Bululawang seraya kebutkan lengan jubah kanannya. Ujung tongkat butut di tangan si

nenek bergetar keras ketika dihantam angin tangkisan lawan. Sinto Gendeng ganda tertawa.

Dia sengaja lepaskan tongkatnya. Selagi tongkat ini melayang ke atas, dia cabut dua buah

tusuk kondenya yang terbuat dari perak dan merupakan senjata ampuh.

“Wutttt! Wuuuuut!”

Dua tusuk konde melesat ke arah Datuk Bululawang. Dari samping, Sandaka berkelebat

menghadang serangan Sinto Gendeng. Dengan tangan kirinya, tusuk konde yang pertama

dihantamnya sampai mental. Tusuk konde kedua dengan tenang diterimanya dengan

tubuhnya. Tusuk konde itu menancap dalam di dada kanan Sandaka. Sambil menyeringai,

Sandaka cabut tusuk konde itu lalu meremasnya hingga hancur.

Saat itu tongkat yang melayang ke atas telah turun dan cepat ditangkap oleh Sinto Gendeng.

Begitu tongkat berada dalam genggamannya, dia kembali menyerbu sang datuk. Sekali ini si

nenek menyerang bukan hanya dengan tongkat. Tangan kirinya ikut bergerak dan

menghantam dengan “Pukulan Sinar Matahari” yang dahsyat.

Lima jari tangannya didorongkan sambil membuat gerakan mencengkeraman. Biasanya 

sekali

jari-jari tangannya menyentuh bagian tubuh lawan, pasti langsung bisa dibuat jebol lalu

disentakkan kembali. Tapi sekali ini bagaimanapun dia kerahkan tenaga luar dan dalam, jari

tangannya tidak mampu menjebol. Padahal tubuh nenek kurus kering itu tinggal kulit


pembalut tulang. Keringat dingin mengucur dan kedua matanya yang juling berputar-putar.

Sinto Gendeng tertawa berlagak. “Bagaimana Datuk…? Kau tak sanggup menjebol tubuhku?

Mustahil!! Kau manusia sakti luar biasa. Tangan saktimu ditakuti rimba persilatan. Masak

menjebol perut tipis peot begini saja kau tidak sanggup?!”

“Jahanam!” maki Datuk Bululawang. Mulutnya komat-kamit seperti merapal sesuatu. Sinto

yang memiliki wajah seperti tengkorak tertawa.

“Ilmu siluman apa yang hendak kau keluarkan Datuk busuk?” ejek Sinto. Dia menahan

nafas. Tangan Datuk Bululawang lengket dan disedot. Bagaimanapun sang Datuk 

Bululawang

kerahkan tenaga berkutat untuk melepaskan tangan itu namun sia-sia saja. Malah rasa panas

tiba-tiba menjalar dari perut si nenek, terus mengalir ke tangan, lengan dan sekujur tubuhnya.

“Datuk Bululawang! Saat kematianmu sudah dekat. Kau memang sial tidak kesampaian

menjadi raja diraja rimba persilatan. Namun di masa lalu kebejatanmu sudah terkenal. Kau

merusak anak-anak muda dengan nafsu bejatmu! Kau membunuh orang-orang persilatan

tanpa sebab! Lihatlah ke atas. Malaikat maut sudah turun mendatangimu!”

“Dajal tua! Aku memilih mati bersama!” teriak Datuk Bululawang. Mulutnya didekatkan ke

leher Sinto Gendeng. Maksudnya dia hendak menggigit putus urat leher si nenek. Tapi lebih

cepat dari gerakan kakek berpunuk ini, dua tangan Sinto Gendeng berkelebat ke atas

kepalanya mencabut dua buah tusuk konde perak. Lalu secepat kilat tusuk konde itu

ditancapkan ke mata kiri dan kanan Datuk Bululawang.

“Crass!”

“Crass!”

Dua bola mata Datuk Bululawang pecah. Darah muncrat. Datuk Bululawang menjerit 

setinggi

langit! “Sialan!” maki Sinto Gendeng ketika muncratan darah membasahi muka

tengkoraknya. Tangan kanannya dikemplangkan ke batok kepala Datuk Bululawang. Saat itu

Sandaka meloncat dan berseru. “Jangan bunuh! Beri aku kesempatan balas dendam kesumat


sakit hati!”

Sinto Gendeng hentikan gerakannya. Dia menatap wajah dan tubuh telanjang berpaku-paku

pemuda lalu menyeringai. “Manusia paku aku luluskan permintaanmu! Silahkan lakukan apa

yang kau mau!” kata nenek sambil tetap saja merekatkan tangan Datuk Bululawang ke

perutnya. Sandaka mendekat. Semula Sinto mengira Sandaka akan memukul hancur kepala

atau mematahkan batang leher Datuk Bululawang. Ternyata tangan kanannya menyelinap ke

bawah jubah Datuk Bululawang. Terdengar sesuatu hancur dalam remasan Sandaka. Datuk

Bululawang kembali menjerit setinggi langit ketika anggota rahasianya diremas hancur oleh

Sandaka.

Sinto Gendeng merinding mendengar suara berderak hancur anggota rahasia Datuk

Bululawang. Segera ia lepaskan tangan Datuk Bululawang dari sedotan perutnya. Dalam

keadaan limbung Datuk Bululawang akhirnya jatuh terkapar di tanah, menjerit dan 

melejanglejang tiada henti.

“Kau tidak membunuhnya?” tanya nenek dengan mulut dimencongkan.

“Kematian terlalu enak bagi dia. Biarkan dia hidup seperti itu. Lebih hina seperti binatang,”

jawab Sandaka.

Tempat itu sunyi beberapa ketika. Sinto Gendeng bangkit dari peti yang didudukinya. Dia

berpaling kepada muridnya. “Anak setan, kurasa tugasku sudah selesai. Selanjutnya

kuserahkan kepadamu. Dewi Ular masih hidup. Kau tahu apa yang harus dilakukan…”

Dengan ujung tongkat, nenek ketuk-ketuk peti besi di dekatnya. “Aku yakin ada sesuatu yang

sangat berharga dalam peti ini. Kalau kau tidak berkesempatan mengurusnya, serahkan

kepada murid Dewa Tuak untuk membantu!” Lalu Sinto berpaling kepada Anggini.

“Sampaikan salam hormatku kepada gurumu. Katakan aku tidak dapat menyambanginya. 

Aku

harus cepat-cepat kembali ke puncak Gunung Gede. Dunia luar ini menyesakkan nafas dan

dadaku karena sudah terlalu kotor!”

Anggini hanya menunduk tidak berani menatap wajah nenek dan menjawab dengan 

anggukan

kepala. “Aku pergi sekarang…”


“Eyang! Ada yang hendak saya tanyakan…” Wiro cepat berkata. Anggini ikut menimpali.

“Benar, saya pun ada sesuatu yang ingin dipertanyakan. Sekalian menyampaikan pesan guru

saya….”

Sinto Gendeng seperti sudah maklum apa yang akan ditanyakan oleh kedua pemuda pemudi

ini, yakni menyangkut perjodohan mereka yang terkatung-katung sejak lama. Setelah batuk

beberapa kali Sinto berkata. “Kalian semua dengarlah. Aku sudah maklum dengan apa yang

hendak kalian sampaikan. Saat ini sebaiknya menyelesaikan urusan besar daripada

membicarakan masalah ini. Biar aku sendiri yang akan menemui Dewa Tuak untuk

menuntaskan persoalan!” Habis berkata begitu nenek berkelebat pergi.

Anggini berpaling pada Wiro dan berkata. “Kau dengar, dia akan menemui guruku untuk

membicarakan kita? Aku yakin sampai sepuluh tahun ke depan tidak akan melakukannya.

Kalaupun berjumpa guru pasti ada saja alasannya untuk tidak membicarakannya!”

Wiro tegak garuk-garuk kepala, tidak bisa memberi jawaban apa-apa. Kemudian baik 

Anggini

dan Wiro sama-sama menyadari Sandaka tidak ada lagi di tempat itu.

“Ke mana dia?

“Kurasa mengejar Dewi Ular,” jawab Anggini.

“Bagaimana kau bisa tahu?

“Dendam kesumatnya kepada perempuan iblis itu setinggi langit sedalam lautan. Dia

membunuh kekasih calon istrinya sendiri akibat pengaruh jahat Dewi Ular. Yang di sana itu

makamnya….

“Dia pantas membalas dendam, tapi aku rasa ilmu kesaktiannya tidak sehebat dulu lagi. Dia

akan dibunuh oleh Dewi Ular semudah membalik telapak tangan. Aku harus mengejar dan

menolongnya, tapi ke mana?


“Ke tempat kamu pernah disekap dulu,” ujar Anggini.

“Tempat itu sudah hancur porak poranda….

Anggini berpikir sebentar. “Sandaka pernah bercerita bahwa Dewi Ular punya tempat di

sebuah pegunungan Batu Pualam di Laut Selatan. Tempatnya tidak jauh dari Candi Lor

Ampenan….

“Candi Lor Ampenan, aku tahu tempatnya. Tempat itu sering digunakan manusia-manusia

aneh yang berpesta sambil berhubungan badan di tempat terbuka…

“Ah, pengalamanmu sungguh luas rupanya,” ujar Anggini, membuat wajah Wiro memerah.

“Aku akan mengejar ke sana!” Wiro mengambil keputusan.

“Tunggu dulu! Bagaimana dengan peti itu?” tanya Anggini.

“Peti itu? Eh, itu menjadi urusanmu!” jawab Wiro.

“Enak saja! Dari pada berat-berat membawanya lebih baik ditinggal saja…

Wiro memandang peti itu sambil garuk-garuk kepala. Dia lalu melangkah mendekati peti itu.

Dengan sebuah batu gerendel pengunci peti dibukanya. Ketika tutup peti terbuka, terlihat

tumpukan batangan emas memancarkan sinar kuning benderang. “Setelah tahu isinya, kau

masih mau meninggalkan peti besi ini di sini?” tanya Wiro sambil tertawa, lalu tanpa

menunggu jawaban si gadis dia berkelebat cepat ke arah barat.

Meski berhasil mencapai Candi Lor Ampenan yang terletak tak jauh dari bebukitan

mengandung batu pualam di pantai selatan, namun sampai pagi muncul dan matahari naik,

Pendekar 212 Wiro Sableng tak juga menemukan tempat kediaman Dewi Ular. Apalagi tidak

diketahui jelas apa tempat kediaman itu berupa sebuah bangunan atau goa.


Dengan perasaan jengkel murid Sinto Gendeng kembali ke Candi Lor Ampenan. “Apa yang

harus aku lakukan?” pikir sang pendekar sambil duduk di tangga batu, bersandar pada tubuh

sebuah stupa berbentuk naga. Melihat bentuk stupa ini murid Sinto Gendeng ingat pada

senjata saktinya yang juga berbentuk berbentuk kepala dan tubuh naga. Disibakkannya

pakaiannya. Baru dia sadar bahwa sampai saat itu dia masih mengenakan pakaian perempuan.

Pakaian ini ditemukannya direruntuhan kediaman Dewi Ular di mana dia disekap. Daripada

telanjang lebih baik dia kenakan pakaian itu walau kelihatan lucu.

Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Sesaat kapak itu hanya

diletakkan di pangkuan sambil diusap-usap. Kemudian dia ingat kalau senjata ini juga

merupakan suling keramat. Wiro angkat kapak sakti dan mendekatkan mulut kapak ke

bibirnya lalu mulai meniup.

Dia tidak tahu lagu apa yang dimainkan dan berapa lama dia bersuling ketika tiba-tiba

hidungnya mencium bau harum semerbak. “Dia datang…” suara hati Wiro bergetar. “Dari

jurusan kiriku….” Seolah tidak mengetahui murid Sinto Gendeng terus meniup sulingnya.

Dia tidak menunggu lama. Satu bayangan hijau berkelebat. Di lain kejab Dewi Ular telah

berdiri di hadapannya. Wajahnya yang cantik tampak seperti tidak berdarah dan tatapannya

penuh selidik. “Kau sengaja muncul di sini mencariku! Apa kau kira aku akan menerima

seperti dulu? Kau tidak sadar kalau dirimu hanya bangkai hidup tidak berguna?”

Wiro berhenti meniup sulingnya. Dewi Ular jadi mengkelap. Namun sebelum amarahnya

meledak dia ajukan pertanyaan. “Bagaimana kau bisa lolos dari tempat itu? Bagaimana kau

dapatkan pakaian itu? Kau tahu itu pakaian perempuan. Apa otakmu sudah miring?

Wiro turunkan Kapak Naga Geni 212 dan meletakkan di atas pangkuannya. Seperti baru

menyadari, Dewi Ular perhatikan senjata itu dengan seksama. “Waktu di kamar aku terlalu

bodoh tidak mengamankan senjata itu….


“Dewi, nenek sakti yang jadi guruku menolongku dari sekapanmu di kamarmu yang indah.

Lalu karena pakaianku lenyap akibat ledakan dan kobaran api dan hanya mendapatkan

pakaian ini, ya aku gunakan seadanya. Lalu mengenai otakku, kalau kau nanya apakah

otakku sudah miring, kurasa belum...

“Kenapa kau datang ke tempat ini?! Sengaja mencariku dengan maksud jahat?!

“Kau betul. Aku kemari memang sengaja mencarimu. Untuk membuktikan aku sebenarnya

bukan lelaki banci. Bukan pemuda yang sudah kehilangan kejantanannya…

“Eh, apa maksudmu..?!

“Kalau Dewi Ular masih bermaksud menjadikanku sebagai pendamping dan kekasih, aku

akan buktikan bahwa aku bisa memuaskan Dewi Ular lahir batin…

Paras Dewi Ular berubah kemerahan. Kedua matanya memandang bagian bawah pemuda itu

seolah mau menembusnya. “Pendekar 212, waktu aku menarik diri dari perkelahian dengan

Sandaka dan Datuk Bululawang jangan kira aku kehilangan keberanian dan kesaktian. Aku

masih bisa pecahkan kepalamu dengan satu jentikan saja! Jadi jika kau bermaksud menipuku,

sekarang nyawamu sudah dalam genggamanku!”

“Dewi, aku berkata apa adanya. Aku meminta sesuai dengan permintaanmu. Jika kau tidak

berkenan lagi melihatku, izinkan aku pergi...” Wiro membuat suaranya seperti orang sedih,

lalu perlahan-lahan dia berdiri dan melangkah pergi. Dari belakang Dewi Ular 

memperhatikan

Wiro yang mengenakan pakaian perempuan itu sambil menahan tawa.

“Wiro! Tunggu!” Dewi Ular berseru. “Bagaimana kalau kau kembali mengecewakan diriku!

Ternyata kau bukan seorang jantan yang aku idamkan?!

“Aku rela kau bunuh menurut sukamu. Dicincang, dibakar, diapakan saja!

Dewi Ular tersenyum. Dia melangkah mendekati pemuda itu lalu merapatkan tubuhnya 

lekatlekat dan merangkul Wiro kencang-kencang.

“Dia menguji kelakianku…” membatin murid Sinto Gendeng. Dia segera simpan Kapak 

Naga

Geni 212 lalu balas merangkul Dewi Ular, malah sambil tangannya disusupkan ke balik

pakaian hijau tipis perempuan cantik itu.

Dewi Ular merasa badannya menggeletar ketika diam-diam dia merasakan memang ada

kelainan pada diri Wiro. Digigitnya dada Wiro dengan beringas hingga Wiro kesakitan.

“Tempatku tidak jauh dari sini, ikuti aku...” kata Dewi Ular sambil melihat ke arah bagian

bawah tubuh Wiro.

Tempat yang dikatakan Dewi Ular itu adalah sebuah bangunan terbuat dari Batu pualam

beratap ijuk, terletak di lereng bebukitan batu. Tepat di depan bangunan ada sebuah jurang

sedalam hampir enam puluh kaki. Bagian depan bangunan terbuka sehingga dapat melihat

bebas ke pemandangan yang menawan. Dewi Ular bersandar ke dinding batu pualam,

menghadap ke bagian depan bangunan. Dia sengaja duduk dengan dua kaki di buka untuk

memancing. Murid Sinto Gendeng beringsut mendekat. Dalam hati membatin. “Kalau aku

tidak kuat menahan mungkin nasibku tidak berbeda dengan Sandaka. Dan mungkin aku

sendiri yang akan membunuh Raja Penidur dan Eyang Sinto Gendeng…

“Tempat ini agak panas… aku mulai keringatan. Dewi, apakah aku boleh membuka

pakaian?” Dewi Ular tersenyum lalu tertawa merdu. “Seharusnya dari tadi kau buka pakaian

itu. Setelah itu tolong kau bukakan pakaianku..

Tubuh Wiro menggelora menahan rangsangan yang membuat nafasnya memburu dan panas.


Selesai membuka pakaiannya, dia melakukan apa yang dikatakan Dewi Ular, yaitu membuka

kain sutera hijau itu.

Selagi Wiro menanggalkan pakaiannya, sepasang mata wanita itu tidak lepas-lepasnya

menatap ke bagian bawah tubuh Wiro. Sambil berbisik dia berkata. “Kau tidak berdusta,

sekarang aku melihat sendiri kau benar-benar seorang lelaki….

Dewi Ular menggayutkan kedua tangannya ke leher Wiro. Lalu dengan penuh nafsu wanita

itu mendorong tubuh Wiro ke lantai dan menindihnya. “Aku tidak menyesal kehilangan

Sandaka. Kau pengganti yang lebih hebat…

“Kita belum melakukannya Dewi. Aku belum membuktikan…” bisik Wiro yang membuat

Dewi Ular mengerang lirih lalu menindih pemuda itu kuat-kuat.

“Kalau begini terus aku tidak punya kesempatan melakukan hal itu…” Wiro membatin.

Lalu pura-pura seperti orang yang dirangsang nafsunya membolak-balik tubuhnya.

Bersamaan dengan itu tangannya mengambil paku emas yang diikatkan di balik rambutnya

yang gondrong.

“Dewi, aku akan melakukannya..

“Lakukan cepat Wiro! Tubuhku seperti kau panggang…”

Tangan Wiro meluncur ke bawah. Dewi Ular menggelinjang kegelian ketika tangan itu

mengusap perutnya. Wiro memegang paku emas erat-erat. Usapannya sampai ke pusar Dewi

Ular. “Wiro, aku merasa ada sebuah benda di tanganmu. Kau...” Ucapan Dewi Ular hanya

sampai di situ. Paku emas di tangan Wiro menusuk deras dan amblas ke dalam pusarnya.

Dewi Ular menjerit keras. Dia memandang ke bawah ke arah pusarnya. “Paku emas!!” teriak


Dewi Ular dengan muka pucat. “Manusia keparat!” sepasang mata Dewi Ular menyorong

garang. Sinar hijau berkilauan, tapi serta merta lenyap. Dia kedipkan matanya, tidak ada sinar

maut yang keluar. Dia coba mencengkeramkan kedua tangannya ke leher pemuda itu untuk

mencekik. Tapi dengan mudah Wiro menepis hingga Dewi Ular terpekik kesakitan.

Darah mengucur dari pusar Dewi Ular yang berlubang. Di antara kucuran darah kelihatan

kepulan asap hitam berbau busuk. Wiro cepat bangkit dan cepat jambak rambut perempuan

itu lalu menyandarkan tubuhnya ke dinding batu. Mahkota kepala ularnya menggelinding

jatuh ke lantai batu.

“Bangsat penipu...!” kutuk Dewi Ular. Dia mengumpulkan sisa kekuatannya. Didahului satu

jeritan dia lancarkan tendangan ke arah perut Pendekar 212 dan mendarat cukup telak

sehingga murid Sinto Gendeng itu terlempar dan terkapar di lantai. Dewi Ular cepat bangkit.

Dia menyambar Kapak Naga Geni 212 yang diletakkan Wiro di bagian depan bangunan.

Wiro tak mau berlaku ayal. Dia cepat melompati perempuan itu dan hantamkan tangan kanan

memukul lengannya. Dewi Ular menjerit kesakitan. Senjata mustika yang sempat

dipegangnya terpaksa dilepaskan dan jatuh berkerontang di lantai pualam. Sambil menahan

sakit Dewi Ular berusaha berdiri. Darah berbau busuk semakin banyak mengucur dari

pusarnya yang ditancapi paku emas.

“Pendekar 212...” desis Dewi Ular. Dia bersandar ke dinding sambil sedikit demi sedikit

bergeser menuju bagian depan bangunan. “Aku rela mati di tanganmu. Tapi sebelum mati,

penuhi dulu satu permintaanku...” Dia bergerak lagi menuju bagian depan bangunan.

“Katakan apa permintaanmu!” ujar Wiro.

“Tiduri diriku. Di sana, dekat jurang sana. Kalau sudah kau lakukan, kau boleh membunuhku

dan membuang mayatku ke dalam jurang!”

Pendekar 212 kernyitkan kening.

“Jangan takut... Aku tidak akan meracuni tubuhmu seperti kulakukan terhadap Sandaka. Saat

ini aku...” Ucapan Dewi Ular putus sampai di situ. Dengan satu gerakan kilat, perempuan ini

jatuhkan diri meluncur di atas lantai batu pualam yang licin menuju bagian depan bangunan 

di


mana Kapak Maut Naga Geni 212 tergeletak.

“Sial! Mengapa aku tidak cepat mengamankan senjata itu!” rutuk Wiro menyesali

kebodohannya sendiri. Dia berusaha mengejar. Namun gagang kapak telah keburu dipegang

oleh Dewi Ular. Begitu dia hendak mengangkat senjata sakti ini, tiba-tiba sebuah kaki yang

ditancapi paku dan bergelimang darah menginjak badan kapak.

Dewi Ular terpekik dan melompat menjauhi diri. Sosok tubuh yang menginjak kapak

membungkuk mengambil senjata itu. Sandaka! Wiro hendak berteriak agar Sandaka segera

menyerahkan senjata itu padanya. Namun sesaat dia jadi bimbang. Kemudian dilihatnya

Sandaka melangkah mendekati perempuan itu sambil melintangkan Kapak Maut Naga Geni

212 didepan dada. Mukanya yang bergelimang darah dan dipantek lima buah paku itu

kelihatan luar biasa mengerikan.

“Kekasihku.... Jangan....! Apa yang hendak kau lakukan?!” seru Dewi Ular. Sandaka tidak

menjawab. Mukanya semakin angker.

“Sandaka kekasihku... Dengar... Kita bisa hidup seperti dulu lagi...

“Perempuan iblis! Tutup mulutmu!” bentak Sandaka menggeledek. “Kau tipu diriku dengan

kecantikan dan tubuhmu. Kau racuni badan dan otakku lalu kau kuasai.! Di bawah pengaruh

jahatmu kau perintahkan aku membunuh orang-orang tak berdosa. Kekasihku Mantili.

Guruku Eyang Gusti Kelud Agung...

“Kau salah sangka Sandaka. Semua itu aku lakukan demi masa depan kita. Bukankah kita

ingin sama-sama menguasai dunia persilatan?

“Perempuan durjana! Kau tak akan pernah menguasai dunia persilatan. Aku akan

mengirimmu ke liang akhirat lebih dulu!


Kapak sakti di tangan Sandaka menderu. Sinar terang memancar dan suara seperti ratusan

tawon mengamuk memenuhi tempat itu.

“Sandaka! Jangan...!” teriak Dewi Ular.

Mata kapak berkiblat menghantam bahu kiri Dewi Ular. Perempuan ini menjerit keras. Darah

berwarna kehitaman mancur dari luka besar di bahunya yang mengepulkan asap.

“Sandaka... jangan bunuh diriku...” Dewi Ular memohon sambil meratap.

Kapak di tangan Sandaka berkelebat lagi. “Crasss!

Senjata itu menghujam telak di dada Dewi Ular. Kembali terdengar jeritan mengerikan di

tempat itu. Tubuh Dewi Ular bergulingan di lantai, menggelinding ke tanah lalu berhenti

dekat pinggiran jurang. Megap-megap dalam tubuh bergelimang darah, Dewi Ular mencoba

bangkit dan mengangkat tangan kanannya ke arah Sandaka.

“Ampun Sandaka! Jangan bunuh diriku...!”

Sandaka melompat turun dari bangunan batu. Dewi Ular berpaling pada Pendekar 212.

“Tolong...!” jeritnya memelas.

Sandaka sampai di hadapannya. Kaki kanan manusia paku ini berkelebat. “Bukkk!

Tendangan yang keras menghantam tepat bagian dada Dewi Ular yang robek besar. Tak

ampun lagi, tubuhnya mencelat mental dan masuk kedalam jurang. Suara jeritannya

menggema sampai ke dasar jurang batu itu.

Untuk beberapa lamanya Sandaka masih tegak di tepi jurang. Kemudian perlahan-lahan

tubuhnya membalik. Kapak Naga Geni 212 dipegangnya erat-erat. Dia melangkah ke 

hadapan

Wiro mengulurkan tangan menyerahkan senjata sakti itu. Wiro cepat mengambilnya. Tanpa

berkata apa-apa, Sandaka putar kembali tubuhnya. Dia melangkah lagi ke tepi jurang.

“Apa yang ada di benak manusia ini?!” pikir Wiro. Tiba-tiba dia berteriak keras. “Sandaka!

Jangan!” Wiro berusaha mengejar. Tapi sia-sia saja. Sandaka keburu menjatuhkan dirinya ke


dalam jurang batu.

Murid Sinto Gendeng baru memalingkan kepalanya dari memandangi jurang sedalam enam

puluh kaki itu ketika telinganya menangkap derap kaki kuda mendatangi. Si penunggang 

kuda

ternyata gadis berpakaian ungu yang bukan lain adalah Anggini.

“Apa yang terjadi di sini...?” tanya Anggini begitu melihat darah berceceran di mana-mana.

Dia bertanya dengan muka dipalingkan ke jurusan lain.

Astaga! Wiro baru sadar kalau saat itu dia sama sekali tidak berpakaian. Dia segera

menghambur masuk ke dalam bangunan dan mengenakan kembali pakaian perempuan itu.

Keluar dari bangunan, dia baru menceritakan apa yang terjadi pada Anggini. Gadis ini hanya

bisa menarik nafas dalam.

“Satu malapetaka besar telah lewat. Apalagi yang akan terjadi di hari-hari mendatang...?

kata Anggini perlahan.

“Peti berisi batangan-batangan emas itu,” ujar Wiro. “Kau tinggalkan di mana?

“Jangan khawatir. Kutanam di makam Mantili, kekasih Sandaka...” jawab Anggini. Gadis ini

memandang ke langit yang tiba-tiba saja berubah mendung. “Sebentar lagi akan turun hujan

agaknya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini Wiro...

“Kau pergilah duluan. Di kaki bukit batu ini tak jauh dari ujung jalan ada sebuah dangau.

Tunggu aku di sana.

“Kuda ini cukup kuat untuk kita tunggangi berdua...

Wiro tersenyum. “Badan dan pakaianku kotor. Kau berangkat saja duluan...


“Kau betul. Badan dan pakaianmu kotor. Apalagi pakaianmu pun kulihat aneh sekali. Namun

satu hal aku tahu. Hatimu bersih...

Wiro gigit bibirnya. “Untuk pujian itu aku akan pergi bersamamu sampai di mana pun juga!”






Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar