Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
MALAM itu langit tak menampakkan wajah ra-
mah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan
mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat.
Pada hari-hari seperti itu, semestinya cakrawala berta-
bur cahaya bulan bulat penuh. Sayang itu tak terwu-
jud, karena bulan purnama bernasib sama dengan gu-
gus gemintang.
Rona langit malam seperti mati. Denyut benda-
benda angkasa bagai dibungkam para makhluk-
makhluk gaib. Alam lengang. Detak waktu terasa begi-
tu lamban bagai langkah-langkah para pengantar jena-
zah.
Kilat mengerjap. Petir mengguntur kemudian.
Salakannya garang. Sahut-sahutan suara dari langit
itu pun tak terputus. Seakan ada dua makhluk raksa-
sa angkasa yang sedang bersabung mengadu gada.
Hujan sengit tertabur.
Bumi terguyur.
Kacau ke segenap arah, angin menghambur.
Dedaunan gugur.
Dalam liang demi liang, satwa tepekur.
Di tengah-tengah serbuan hujan tengah malam
buta, kebanyakan orang akan lebih suka membungkus
diri rapat-rapat dengan selimut tebal di atas balai. Per-
gi ke mana pun, menjadi pekerjaan yang sama sekali
tak nyaman. Dingin. Menakutkan.
Agak gila kalau ada orang masih mau-maunya
keluar dan berjalan di tengah-tengah alam yang sema-
kin uring-uringan itu. Apalagi kalau orang itu masih
berumur terlalu muda.
Yang pasti memang gila! Sembilan orang bocah
berumur tak lebih dari delapan tahun berlari-lari kecil
melintasi hutan malam itu. Dalam dingin yang meng-
hujam, mereka semua tak mengenakan baju. Kecuali
mengenakan kain pembungkus seperti popok bayi. Ke-
sembilan bocah-bocah itu terus berlari menuju tengga-
ra. Melintasi semak-belukar, onak-berduri dan pepo-
honan raksasa. Tanpa kesulitan berarti. Tanpa bias
takut di wajah masing-masing.
Gerak mereka ringan layaknya sekawanan
anak-anak mambang penjaga hutan. Mencelat-celat
gesit bila ada halangan di depan. Berjumpalitan bila
terbentang lobang atau genangan air. Mereka bahkan
lebih lincah dari sekawanan kera manakala mereka
melompat-lompat di antara dahan-dahan pepohonan.
Mereka terus berlari. Sampai mereka memasuki
batas Desa Pengging. Seperti sembilan bayangan, bo-
cah-bocah itu melintasi jalan tanah yang digenangi air.
Kecepatan lari mereka luar biasa. Tak ada bocah sang-
gup berlari lebih gesit dari seekor serigala. Apalagi seu-
sia mereka. Dengan kecepatan seperti itu dan serbuan
hujan yang demikian pekat di malam kelewat pekat
mereka nyaris tak terlihat. Manakala kilat berkelebat,
selintas kilas bayangan sembilan bocah itu tampak.
Salah seorang yang berlari paling depan men-
dadak mengangkat tangan. Isyarat berhenti diperli-
hatkan. Delapan bocah lain menuruti aba-aba. Di ten-
gah jalan tanah agak lebar yang mengkerangkal desa,
kesembilannya berdiri diam. Tak peduli pada hujan
yang mengkuyupi.
Mata bocah paling depan sejenak jelalatan liar.
Bersitnya seperti seekor hewan buas mencari mangsa.
Pada satu rumah panggung paling besar di dekat jalan,
mata setajam sembilunya berhenti. Menghunus sesaat
tatapannya. Lekat pada rumah berlampu tempel itu.
Terdengar suara geramnya di antara gemuruh
hujan, Tanpa menoleh, tangannya kembali memberi
aba-aba. Lalu kedelapan bocah lain berpencar tangkas.
Setelah itu, si bocah pemimpin menyusul. Delapan bo-
cah yang beranjak lebih dulu membentuk kepungan
dari delapan penjuru berbeda. Hanya bocah terakhir
yang tak turut.
Di tempat masing-masing, mereka berdiri diam.
Cukup lama.
Tanpa dikomando, kedelapan bocah pengepung
berbarengan merentangkan tangan. Kejadian berikut-
nya sungguh menakjubkan! Dari kesepuluh ujung jari
mereka membersit cahaya kuning memanjang. Setiap
ujung juluran cahaya kuning bertemu satu dengan
yang lain, membentuk gelang besar yang melingkari
rumah.
Tepat ketika setiap ujung cahaya kuning ber-
sambung, bocah kesembilan melenting ringan tanpa
suara. Di udara tubuhnya membungkal seperti bola
karet. Melewati lingkaran cahaya kuning, dia hinggap
hanya dua tindak di depan pintu rumah panggung.
Sementara itu, di dalam rumah sepasang pen-
gantin yang baru menikah beberapa hari lalu, baru
hendak melakukan 'pekerjaan rumah' mereka. Biasa,
yang namanya pengantin baru pasti masih serba han-
gat. Jangankan hujan besar, hujan badai pun kalau
bisa diacuhkan saja. Semangat tempur mereka masih
menggebu-gebu, pasti!
Si lelaki berusia setengah baya. Kendati cukup
berusia, wajahnya masih tetap menarik. Setidak-
tidaknya, dia masih punya banyak harta untuk mem-
beli satu dua perawan desa. Terserah mau suka atau
tidak. Kalau uang sudah bicara, calon mertua pun bisa
diurus! Buktinya, perempuan yang serumah dengan
nya kini adalah istri keempat! Masih muda dan denok
pula. Weleh, betapa dunia ini benar-benar menjadi
sorga buatnya!
"Neng, ayo Neng...," rayu si suami, mendayu-
dayu penuh nada cumbu.
Gombal!
Tapi, beruntung buat si lelaki, istri keempatnya
kali ini tidak terpaksa kawin dengannya. Pesonanya
sebagai lelaki, rupanya masih cukup ampuh untuk
melumpuhkan hati sang istri keempat yang bertaut
usia dua puluh tahun itu.
"Apa, Kang?" balas si istri muda, tak kalah
mendayu. Matanya mengerling genit. Membuat pera-
saan suaminya menjadi begitu 'serrrr'. Jangan-jangan,
kerbau jantan pun bisa ikut 'serrr' tertimpa kerlingan
genitnya.
Perlahan, sang suami memulai gerilya. Dideka-
tinya perempuan denok yang setengah terbaring di ba-
lai berkasur jerami empuk berseprai halus. Duduklah
dia di sisi pembaringan. Tangannya mulai lapar, men-
gusap-usap paha istrinya yang ditutupi kain wiron.
"Dingin, ya Neng?"
"Kalau hujan, memang dingin Kang. Memang-
nya kenapa?"
"Ah, Neng ini…"
"Ah, Kakang ini...."
Lalu, tangan sang suami mulai menjalar ke ba-
tik kain wiron, menjelajahi paha putih mulus istri mu-
danya.
Terdengar desah halus. Istrinya menikmati, ke-
tika sepasang dada sekal padatnya mendapat giliran.
Usapan makin menggebu menyatroni.
Pakaian luruh satu-satu.
Darah bergejolak.
Erangan menanjak.
Ketika 'pekerjaan rumah' hendak memasuki ta-
hap puncak, mendadak saja keduanya diserang kan-
tuk maha hebat. Saking hebatnya, keduanya sampai
tak sempat merasakan kantuk itu sendiri. Tahu-tahu
saja, keduanya sudah terpulas bagai dua bayi kembar
berlainan jenis.
* * *
Waktu terlewat tak terasa. Malam pupus ditelan
rembang pagi. Hujan jinak sejak dini hari. Pagi datang.
Damai. Sampai kedamaian pagi digebrak satu teriakan.
"Culiiiiiik!"
Seorang penduduk desa lari blingsatan di ten-
gah pagi berkabut. Lelaki setengah baya yang belum
lama kawin dengan istri keempat! Keluar dari rumah-
nya yang lebih besar dari rumah penduduk lain. Dia
terus berteriak-teriak keras. Kehening-heningan sua-
sana dikeruhkan.
Warga cepat berhamburan.
Jalan becek tak dipedulikan.
"Ada apa. To, mas? Ada apa?" tanya satu te-
tangga.
"Sampean ini, piye to? Pagi-pagi begini sudah
teriak-teriak ndak karuan?!" tukas yang lain.
Kerumunan terbentuk, Di tengah kerumunan,
lelaki setengah baya tadi terus kelimpungan. Sebentar
diremas-remasnya rambut. Sebentar-sebentar, ma-
tanya jelalatan mencari-cari. Wajahnya benar-benar
kalang-kabut.
"Eling-eling, Mas!" tegur seorang warga, perem-
puan tua bertubuh gemuk yang masih memeluk guling
jerami.
"Eling-eling, ndasmu! Aku masih waras!" maki
si lelaki setengah baya.
"Lha terus kenapa sampean seperti orang kera-
sukan?"
"Biniku!"
"Bini sampean yang mana? Tukiyem, Samijem,
Juminten, apa si Wuragil?"
"Wuragil, Mas! Wuragil!!! Aduh!"
"Kenapa bini mudamu itu? Kenapa Wuragil?
Tak mau masakin sampean makanan?"
"Bukan!"
"Tak mau nyuci, nyapu, tidurnya ngorok?"
"Bukan bukan bukan! Waduh, sampean ini
guoblok!"
"E, lahdalah! Jangan ngegoblok-gobloki semba-
rangan, to! Aku kan cuma belum ngerti si Wuragil itu
kenapa. Kenapa sampean ini guooblok sekali?!"
"Memangnya Wuragil ndak mau sampean ajak
tidur, Mas?" sela yang lain.
"Huss, ini masih pagi! Jangan ngomong yang
ndak-ndak!"
"Hus hus hus! Kenapa kalian yang jadi ribut!
Urusan Wuragil saja belum beres!"
"Iya, Mas! Bilang saja kalau Wuragil mau sam-
pean cerai. Biar jandanya buat aku!"
"Diaaam, guooblok!"
"Ngomong, Mas! Ngomong!"
"Wuragil ada yang nyuliiiiiiik!" teriak lelaki se-
tengah baya keras-keras. Habisnya, orang-orang di se-
kelilingnya malah ribut sendiri.
"Oooo, ada yang nyulik Wuragil to? Aku kira
apa.... Eh, apa?! Wuragil ada yang nyulik?! E, lahda-
lah! Wong baru kawin seminggu, kok diculik? Tunggu
setahun begitu, biar sampean puas dulu, ya Mas? Se
telah itu baru...."
"Setelah itu baru ndasmu tak totok!"
"Siapa yang nyulik Wuragil, Mas?!"
Lelaki setengah baya menjambak-jambak ram-
but. Mukanya terlipat-lipat.
"Aku sendiri tak percaya!" jawabnya.
"Tak percaya Wuragil sudah jadi bini sampean?
Lha kok bisa gitu?"
"Bukan, guoblok!"
"Terus apa?"
"Tak percaya kalau Wuragil diculik. bocah-
bocah!"
"Ah, masa'? Sampean ndak ngelindur? Yakin
ndak ngelindur!"
"Sampean ini mau nolong apa mau ngenyek?
Jangkrik! Aku bilang betul. Si Wuragil diculik bocah-
bocah! Sebesar-besar ini," lapor lelaki setengah baya
sambil menempatkan tangan ke bagian pinggang,
memberi tahu tinggi bocah-bocah yang telah menculik
istri mudanya.
"He he he, ya wis. Bubar bubar! Si Mas ini cu-
ma ngeguyon!"
"Juangkrik!!!"
Saking dongkol dianggap cuma bergurau, lelaki
setengah baya jadi kalap. Memang dia sudah uring-
uringan. Sekarang, ada yang mencoba cari-cari perka-
ra. Tak ayal lagi, si lelaki setengah baya langsung me-
labrak orang tadi. Bogem setengah mentahnya muntah
ke bibir orang itu.
Dugh!
"Waduh, samfean ini ghimfana, to? Masa' aku
difukul?!"
"Sudah sudah!" seorang penghulu desa kebetu-
lan sudah tiba. Jika tidak, keributan antar warga bisa
meledak di pagi buta.
"Sekarang, sampean ikut saja ke balai desa! Bi-
ar urusannya diselesaikan di sana!" tegas, penghulu
desa memerintah lelaki setengah baya untuk mengiku-
tinya.
Begitulah cerita di Desa Pengging.
Sejak hari itu, kejadian yang sama berulang
kembali di desa-dasa lain. Kejadiannya benar-benar
serupa. Perempuan-perempuan muda diculik. Tak pe-
duli perawan, atau bukan. Lajang atau janda. Dan ka-
bar yang santer terdengar dari beberapa saksi mata di
tempat kejadian, para penculiknya adalah sekawanan
bocah yang usianya tak lebih dari lima-enam tahun!
Tak cuma penduduk biasa, bahkan padepokan
perguruan silat pun disatroni. Beberapa padepokan
sempat kecolongan. Meski sempat memergoki dan be-
rusaha untuk menangkap penculik-penculik kecil itu.
Tidak ada hasil. Seorang perempuan muda tetap hi-
lang. Bahkan harus ditambah dengan beberapa murid
perguruan yang mati mengenaskan di tangan bocah-
bocah itu.
Semenjak itu pula, mulai santer desas-desus
untuk sebutan mereka; "Pasukan Kelelawar".
DUA
SIANG itu tak jauh berbeda dengan hari-hari
sebelumnya. Matahari bersinar sengit. Condong se-
penggalan dari atas ubun-ubun. Panas bukan main.
Padahal hari-hari sebelumnya hujan masih bertan-
dang. Penghuni bumi, dipersilakan untuk mengeluh.
Senandung alam tak pernah berubah dari wak
tu ke waktu. Pagi, siang, senja, atau malam. Entah hu-
jan, mendung, badai, atau terang benderang. Senan-
dung tetap berupa puji-pujian yang gaib kepada Tuhan
Semesta Alam.
Berbeda dengan milik alam, senandung yang
terulur dari mulut seseorang kali ini adalah sebentuk
pujian pada sang kekasih pujaan. Kekasih pujaan?
Mungkinkah dia hanya sedang menyenandungkan gu-
rauan. Betapa tidak, dia adalah seorang tua bangka
yang usianya mungkin sudah menjelang senja. Kepa-
lanya berambut jarang dan tipis. Warnanya seperti
rambut jagung. Wajahnya bulat, ditumpuki lemak.
Mengimbangi badannya yang subur makmur layaknya
tanah Jawa Dwipa. Saking suburnya, perutnya pun
hampir sebesar gentong. Punuknya tebal seperti Sapi
Benggala. Lehernya nyaris tak kentara. Dengan tinggi
yang kurang dari orang kebanyakan, makin buntal sa-
ja penampilannya.
Lelaki gemuk itu mengenakan pakaian berwar-
na kuning-kuning. Mencolok dalam suasana panas te-
rik seperti saat itu. Lemak di tubuhnya yang mungkin
terus bertambah setiap minggu menyebabkan bajunya
menjadi mengetat. Akibatnya, sebagian lemak perutnya
terlipat. Pusarnya pun 'jelalatan' ke mana-mana.
Mending kalau tidak bodong!
Sambil melangkah berat, orang tua gendut me-
nyandang senjata besar di bahu kiri. Berbentuk gada
dari logam hitam sepanjang lengan. Pada pangkal gada
tempat tangannya menggenggam, terdapat lukisan
timbul berupa kepala babi bertaring besar. Cocok un-
tuk dirinya.
Di belakang punggungnya, tergantung tas kulit
besar sebuntal perutnya. Semua isinya makanan. Nasi
ada. Daging ada. Tempe, ikan bakar, bahkan sampai
jengkol dan sandal jepit dari kulit lembu. Yang terak-
hir, tentu saja bukan termasuk makanannya. Kecuali
kalau sudah tak ada lagi yang bisa dimakan!
Manusia satu ini, mungkin tak beda dengan
kerbau. Mulutnya tak berhenti mengunyah. Tangan
kanannya selalu rajin mengambil makanan dari dalam
tas kulit besar.
Diselingi siulan centang-perentang ke mana-
mana (terdengar lebih mirip suara kentut garing), si
orang tua gendut bersenandung. Tak ada masalah se-
panjang perjalanan. Peluh mengkuyupi pakaian, tak
dipedulikan. Wajahnya yang memerah tergarang sinar
matahari, tak mengurangi keceriaan.
Sampai seseorang mengusiknya.
"Berhenti, Orang Tua Gendut!"
"Berhenti?" ulang orang tua gendut tadi sambil
tetap mengunyah, menyebabkan suaranya jadi tak je-
las. Matanya melirik acuh ke arah penghadangnya.
Seorang lelaki lebih muda. Tampangnya berangasan.
Matanya seperti tidak pernah berhenti melotot. Da-
gunya kasar. Sudut bibirnya selalu terungkit naik. Ka-
lau ada orang lihat, mungkin dikira habis perang besar
dengan istrinya. Atau bisa juga dikira belum sempat
buang air selama dua minggu! Pakaian orang ini serba
hitam. Bahkan hingga ke ikat kepala.
"Kenapa?" susul orang tua gendut.
"Kau hendak ke mana?!"
Orang tua gendut mengunyah sebentar.
"Ke Pengging," jawabnya kemudian.
"Kalau begitu, kau harus menjalani pemerik-
saan terlebih dahulu!"
"Jangan ngaco!"
"Beberapa hari lalu, ada penculikan di Pengg-
ing."
"Apa urusannya denganku?"
"Penculiknya bocah-bocah."
"Sialan, kau anggap aku ini masih bocah?! Li-
hat pakai biji matamu, jangan pakai dengkul! Aku ini
tua bangka! Eh, tunggu dulu.... Apa tadi kau berkata
penculiknya bocah-bocah?"
"Betul!"
"Kok bisa begitu?"
"Mana aku tahu. Memangnya aku ini bapak
moyang mereka?!"
"Maksudku, bagaimana orang-orang bisa keco-
longan hanya oleh para bocah? Itu kan peristiwa yang
menggelikan. Hi hi hi, apa di Pengging semua orang
begitu tolol?"
"Peduli setan apakah kau menganggap peristi-
wa itu lucu atau tidak. Yang jelas, kau harus ikut aku
sekarang ke Balai Desa. Aku telah dibayar mahal oleh
seorang saudagar yang menjadi sesepuh desa untuk
menyelidiki semua orang asing yang berniat memasuki
Pengging."
"Kalau aku tidak sudi?"
"Ku paksa!"
"Boleh coba!"
Jago bayaran memasang kuda-kuda. Siap
membekuk orang tua gendut. Kalau bisa dengan sekali
gebrakan.
"Terima ini!" Berkawal seruan menggelegar, si
jago bayaran bertampang sadis mulai membuka seran-
gan. Dari caranya menggebrak, kentara sekali dia bu-
kanlah sejenis petarung kampungan yang cuma memi-
liki ilmu kanuragan cetek.
Wukh!
Tangannya mematuk cepat. Jari telunjuknya
mengarah ke satu titik jalan darah tersembunyi di ba
gian leher lawan. Satu titik yang terlalu sulit mengin-
gat leher lawan terlalu rapat karena kegemukan. Gela-
gatnya, akan dibuatnya satu totokan pelumpuh. Dari
serangan pembuka tersebut, bisa diketahui kalau si
jago bayaran, bukanlah sejenis orang telengas, berto-
lak belakang dengan wajahnya.
Kendati badannya seperti sulit untuk diajak
bergerak, orang tua gendut ternyata tak kalah cepat
menggerakkan tangan kanannya. Tangannya terang-
kat. Dua jarinya menyambut kedatangan totokan jari
lawan.
Tep!
Si jago bayaran sempat dibuat terkesiap seke-
japan. Jari telunjuknya ternyata telah dijepit dua jari
lawan. Secepatnya ditariknya tangan, menyadari ke-
mungkinan lawan hendak mematahkan jarinya.
"Hih!"
Jari itu tak bisa ditarik kembali dengan mudah.
O, unjuk kebolehan, geram si lelaki bertampang ben-
gis, merasa ditantang. Tanpa menunggu terlalu lama,
dia mengerahkan tenaga dalam ke ujung jari telunjuk-
nya. Jika semula dia berusaha menarik karena terdo-
rong oleh gerakan refleks, sekarang jari telunjuknya
justru terus ditekan ke depan, tetap mengarah pada
leher si orang tua gendut.
Merasakan lawan mulai menyalurkan tenaga
dalam lebih kuat ke jari telunjuknya, orang tua berpe-
rut gendut tak tinggal diam. Berselang amat singkat,
dia pun cepat memompa tenaga dalamnya ke dua jari
yang menjepit telunjuk lawan.
Rttttakk!
Terdengar tulang jemari bergemeletak. Sekeja-
pan saja, jari yang saling terpagut itu menjadi berubah
warna. Memerah. Juga mengejang bagai hendak terbe
tot putus. Sementara wajah kedua petarung ikut me-
merah, layaknya kepiting rebus, kendati tak menam-
pakkan perubahan mimik.
Semestinya, kedua petarung itu tahu bahwa
tindakan mereka sama saja mempertaruhkan jari un-
tuk membuktikan keunggulan tenaga dalam masing-
masing. Artinya, siapa yang memiliki tenaga dalam le-
bih rendah akan menerima akibat terputusnya jari!
Di lain sisi, sebenarnya mereka bisa menghin-
dari adu tenaga dalam yang mempertaruhkan bagian
tubuh yang selamanya tak mungkin mendapatkan
ganti itu. Salah seorang dari mereka bisa melakukan
serangan dengan tangan yang lain atau dengan kaki.
Namun tindakan itu sama sekali tak dilakukan. Kedu-
anya tampak begitu yakin dengan kemampuan tenaga
dalam masing-masing.
Sekitar sepuluh tarikan napas ke depan, si
orang tua gendut tampak mulai terdesak. Tanpa didu-
ga, lawan yang berusia lebih muda nyatanya memiliki
tingkat tenaga dalam satu-dua tingkat di atasnya. Wa-
jah si orang tua gendut mulai menegang. Keringat se-
besar biji jagung keluar di sekujur wajah dan lehernya.
Dua jari penjepitnya bergetaran hebat.
Mendapati perubahan wajah lawan, si jago
bayaran menaikkan sudut bibir, seolah mengejek. Dia
tahu posisi sedang di atas angin.
"Kau hendak mematahkan jariku? Ayo, patah-
kanlah!" cemoohnya dengan suara tertekan-tekan.
Si orang tua gendut tahu kalau diteruskan, bi-
sa-bisa telunjuk lawan akan memecah jepitan dua ja-
rinya. Bukan lagi jalan darahnya akan tertotok, me-
lainkan lehernya akan berlobang! Sementara kalau dia
harus melepaskan jepitan jarinya, maka dia harus
menghadapi kemungkinan lehernya lebih cepat tertembus jari lawan. Apa akalnya untuk menghindari se-
tiap kemungkinan berbahaya itu?
Dengan sedikit 'bermain kayu', si orang tua
gendut menyemburkan sisa makanan dalam mulut-
nya.
"Phuaaaah!"
Sisa makanan yang hanya berupa, remahan-
remahan kecil melesat lurus ke wajah lawan.
"Curang!" maki lelaki berwajah garang seraya
mencondongkan badan ke belakang. Semburan lawan
lewat satu jengkal di atas wajahnya, meluruk terus dan
memangsa satu batang pohon besar seukuran pelukan
manusia.
Besss!
Layaknya butiran peluru panas, remah-remah
makanan tadi menembus batang pohon hingga keluar
di sisi lain!
Sewaktu lelaki bertampang seram sedang bling-
satan mencondongkan tubuh ke belakang, tentu saja
tenaga dorongan jarinya menjadi mentah seketika.
Dengan begitu, si orang tua gendut terbebas dari an-
caman. Dia pun gesit memanfaatkan kesempatan un-
tuk melepaskan jepitan tangannya. Cepat pula dia
membuang tubuh ke belakang seperti bola karet besar
yang terpantul di permukaan tanah.
Gusar bukan main lelaki bertampang seram.
Sebelum perkelahian berlangsung lebih jauh....
"Tunggu dulu!" tahan orang tua berbadan sub-
ur. "Aku tak mau ribut-ribut. Sebaiknya begini saja.
Kuberi kau kesempatan untuk menjajal kesaktian. Ka-
lau aku kalah, aku akan ikut denganmu. Jika kau
yang kalah, kau harus membiarkan aku berjalan sesu-
ka ku."
Jago bayaran mendengus. Apa manusia kelebi
han lemak ini mengira tugasnya cuma tai kucing? Se-
pertinya dia terlalu menganggap main-main.
"Jangan bengong begitu? Berani apa tidak?"
Kalau ditantang, jadi perkara lain buat jago
bayaran. Seorang jago, pantang menolak tantangan.
Apalagi hanya dari seorang aneh yang lebih mirip jin
botol dan sejenisnya itu ketimbang seorang manusia
warga dunia persilatan.
"Kau menantang ya, Orang Tua Gendut?"
"Terserah kau mau menganggap apa."
"Jadi!"
"Mau 'jadi' apa? Kecoa? Kutu air?"
"Maksudku, aku menerima tantanganmu!"
Orang tua gendut nyengir kuda. Sumringah se-
kali.
"Karena aku yang menantang, maka aku yang
akan menentukan aturan mainnya," katanya lagi, mau
enak sendiri.
Tangan orang tua berperut gentong itu lalu
mengambil sesuatu dari tas besarnya. Ketika telapak
tangannya dibuka, tampaklah segenggam kacang kede-
lai. Seraya memperlihatkan pada jago bayaran, dia
berkata "Begini aturan permainannya. Ku tebarkan se-
genggam kedelai ini ke udara. Siapa di antara kita yang
berhasil mengumpulkan biji paling banyak, maka dia
akan memenangkan permainan."
Sungguh satu tantangan yang akan membukti-
kan seberapa hebat ilmu meringankan tubuh dan ke-
cepatan gerak mereka! Selain itu, kecepatan gerak
membutuhkan pengaturan tenaga dalam ke otot-otot
tertentu. Semakin kuat penyaluran tenaga dalam, ma-
ka gerak yang dihasilkan akan semakin cepat. Di lain
sisi, jika tenaga dalam terlalu kuat dikerahkan, bisa-
bisa tak ada sebutir kedelai pun yang utuh ketika ter
genggam. Apalagi kedelai di tangan orang tua gendut
adalah kedelai bakar yang nyaris garing. Artinya, dibu-
tuhkan pula kepiawaian penyaluran tenaga dalam
sampai batas ketelitian yang pelik!
Tantangan seperti itu tentu saja tak akan di-
buat oleh sembarang orang. Untuk banyak kalangan
persilatan, tantangan macam itu memiliki tingkat ke-
sulitan yang tinggi. Jauh lebih tinggi dari sekedar
mengadu kekuatan tenaga dalam secara langsung.
Kendati tahu betapa sulitnya tantangan terse-
but, tak tampak kegelisahan pada wajah jago bayaran.
Bibirnya malah menyunggingkan senyum samar.
Tanpa banyak tambahan kata lagi, tangan
orang tua gendut bergerak amat cepat.
Ssst! Wrrr!
Potongan biji kedelai pun bertebaran di udara.
Terlampau cepat untuk dihitung. Si penantang ru-
panya sudah unjuk kebolehan saat menebar kedelai.
Kedelai mencelat bagai peluru. Jangankan menghi-
tung, melihatnya saja sudah begitu sulit. Lalu bagai-
mana pula mereka dapat mengumpulkannya di udara?
Pekerjaan yang tampak mustahil bagi siapa pun. Na-
mun tidak bagi orang-orang yang memiliki ilmu kedig-
dayaan pada papan puncak dunia persilatan. Dan
tampaknya jago bayaran adalah salah satu tokoh itu.
Buktinya....
"Heaaa!"
"Huaaah!"
Berbarengan dua lelaki itu menyusul tebaran
kedelai ke udara. Tubuh mereka melenting ringan ba-
gai dua lesatan malaikat pencabut nyawa. Gerak me-
reka hanya tampak sebagai kelebatan dua potong
bayangan. Bahkan orang tua gendut yang mestinya
mengalami banyak kesulitan dengan bobot badannya,
malah tak kalah hebat dengan orang yang ditantang.
Jleg!
Nyaris berbarengan, keduanya tiba kembali di
bumi. Kedua tangan mereka tergenggam. Sementara
itu, tak ada sebutir kedelai pun sempat menyentuh ta-
nah!
"Sekarang buka tanganmu!" perintah orang tua
gendut.
"Kenapa bukan kau lebih dahulu?!"
"Karena aku yang menantangmu!" ngotot orang
tua gendut, lagi-lagi mau enaknya saja.
Jago bayaran membuka telapak tangannya. Di
tangan kiri ada sembilan butir kedelai. Tangan kanan
dua belas butir. Semuanya masih dalam keadaan utuh
pula!
"Hi hi hi, kau pasti 'keok' kalau hanya bisa
mengumpulkan sebegitu!" leceh orang tua gendut.
"Buktikan! Jangan cuma banyak mulut!"
Giliran orang tua gendut membuka telapak
tangannya. Tangan kanan terlebih dahulu. Di sana ada
dua puluh butir kedelai! Mata jago bayaran dipaksa
menyipit kagum. Kalau tangan kanan saja sudah bisa
mengumpulkan sebegitu banyak, bagaimana jika di-
tambah dengan tangan yang lain?
"Kau masih ingin melihat kedelai di tangan kiri
ku?" tanya orang tua gendut.
Jago bayaran tak menyahut. Dia tahu, posi-
sinya mungkin saja sudah tak menguntungkan.
Tak menunggu jawaban, orang tua gendut
membuka telapak tangan kiri. Ternyata... kosong!
Namun, bukan berarti jago bayaran langsung
merasa unggul. Dia yakin sekali, penantangnya senga-
ja tak mempergunakan tangan kiri. Jadi selagi men-
jemput kedelai di udara, dia hanya mempergunakan
sebelah tangan. Bisa dibayangkan betapa cepat tangan
kanan orang tua gendut?
Tiba-tiba lelaki seram bertampang tak sedap
dipandang itu teringat sesuatu. Di dunia persilatan ta-
nah Jawa, ada satu tokoh yang begitu kesohor dengan
kecepatan tangan kanannya. Penyebabnya karena tan-
gan kirinya agak lumpuh.
"Hi hi hi. Tangan kiriku memang kosong!" cen-
genges orang tua gendut.
"Kau.... Gendut Tangan Tunggal?!" tanya jago
bayaran ragu, teringat satu julukan besar.
"Betul! Dan kau.... Pendekar Muka Bengis?
Pendekar yang kerjanya hanya memburu upah itu,
bukan?!"
"Aku tak menyangka kalau hari ini akan ber-
jumpa denganmu, Gendut Tangan Tunggal!" Paras le-
laki yang disebut sebagai Pendekar Muka Bengis itu
memperlihatkan rasa senang.
"Aku pun begitu! Tak kusangka juga bahwa pa-
rasmu tak seperti yang kubayangkan!"
"Jadi, bagaimana wajahku dibanding yang kau
bayangkan?"
"Kau ternyata jauh lebih jelek. Hi hi hi!"
Lalu keduanya tertawa berderai-derai.
"Nah, urusan selesai. Sekarang, kau harus ikut
aku! Ingat, kau telah kalah jumlah dalam mengumpul-
kan kedelai!" penggal Pendekar Muka Bengis.
"Eit, tunggu dulu!" sergah Gendut Tangan
Tunggal. Dari mulutnya, dia melepehkan dua butir biji
kedelai lagi.
"Aku menang satu biji!" serunya penuh keme-
nangan.
Heran, bagaimana manusia 'pemamah biak' itu
bisa menahan mulutnya cukup lama agar tidak men
gunyah dua butir kedelai bakar? Mestinya itu dianggap
sebagai satu keajaiban!
TIGA
DI sebuah dataran luas tempat tumbuhnya ila-
lang jangkung, sebentang peristiwa mengagumkan se-
dang berlangsung. Seseorang tampak sedang mence-
lat-celat ringan di pucuk-pucuk ilalang. Geraknya lebih
ringan dari seekor lebah atau lalat sekalipun. Dan le-
bih gesit dari seekor rubah muda.
Sesekali dia melenting ringan ke udara, menga-
pung beberapa saat bagai sedang mengendarai angin,
lalu hinggap kembali di salah satu pucuk ilalang. Ter-
kadang, dia mengibaskan sepasang telapak tangannya
hingga menimbulkan tiupan angin kencang melibas se-
tiap pucuk ilalang. Luar biasanya, potongan pada se-
tiap ujung ilalang memiliki ukuran yang sama. Seakan
baru saja ditebas oleh sebuah arit raksasa.
Orang yang melenting-lenting lebih ringan dari
selembar bulu itu berusia cukup muda. Usianya seki-
tar dua puluh tahun. Wajahnya demikian sedap di-
pandang. Bermata sarat dengan binar semangat hidup.
Berambut lurus sebahu, berwarna kemerahan. Berpe-
rawakan kekar dan gagah.
Sewaktu melakukan gerakan-gerakan yang
hanya mampu dilakukan oleh para tokoh kelas atas
itu, bulu-bulu halus pada rompi kulitnya bergeletaran
diusik angin. Di kain ikat pinggangnya terselip seba-
tang tongkat hitam sepanjang satu jengkal lebih. Satu
ujungnya berbentuk kepala naga.
Sesekali siulnya mengalun.
Riang, renyah.
Polos, lincah.
Seperti tak ada sebentuk beban pun menjamah.
Sampai akhirnya pemuda itu tiba di dekat se-
buah bukit kapur kering kerontang. Tak ada tumbu-
han bisa hidup di permukaan bukit. Bahkan rerumpu-
tan yang biasanya bandel pun tidak. Di kaki bukit itu,
ditemukannya mulut sebuah goa.
Goa tersebut tidak terlalu besar. Tinggi mulut-
nya hanya satu setengah tombak. Lebarnya tak lebih
dari dua depa. Namun kalau menilik bagian dalamnya
yang demikian gelap, tentu goa itu amat dalam.
Pemuda berambut kemerahan sebenarnya tak
tertarik sama sekali dengan bukit kapur itu. Begitupun
dengan goa di kakinya. Tak ada satu pun yang mena-
rik untuk dilihat.
Sebaliknya, suasana di tempat itu lebih bisa
disebut tak sedap dipandang. Terlebih untuk dinikma-
ti. Kering, gersang, lengang. Tak jauh beda dengan pe-
kuburan tandus. Dia lebih suka melanjutkan perjala-
nan ke arah barat.
Baru saja si pemuda hendak melanjutkan per-
jalanan, terdengar olehnya sebentuk suara dari mulut
goa. Kepalanya menoleh.
"Suara apa itu?" tanyanya,
Sejenak dia terdiam dengan pendengaran diper-
tajam. Ada suara desah angin yang terpantul dari
dinding-dinding goa. Jika hanya suara itu, dia tak per-
lu menghentikan langkah. Suara-suara seperti itu su-
dah cukup dikenalnya, biasa terdengar dari sebuah
goa yang menghadap tempat terbuka.
Sementara suara yang didengarnya selintas tadi
terdengar seperti suara dengkur kecil. Suara napas ha-
lus. Kendati muda, namun telinganya sudah begitu
terlatih untuk membedakan suara-suara yang amat
halus sekalipun.
"Apa jangan-jangan aku salah dengar?" bisik-
nya mulai ragu, setelah lama telinganya tak menemu-
kan suara mencurigakan seperti sebelumnya.
Merasa dirinya cuma tertipu oleh angin, pemu-
da itu memutuskan untuk melanjutkan langkah. Lagi-
lagi langkahnya urung. Sekali lagi didengarnya suara
dengkur halus itu.
"Aneh juga," gumamnya. Sekali ini, dia tak ra-
gu. Dia yakin telah mendengar sebentuk dengkur ha-
lus yang sebenarnya nyaris tersamar di antara desah
angin.
"Siapa yang tidur tengah hari bolong di tempat
ini? Di dalam goa sedalam ini, tentu hanya tua bangka
yang berani tidur. Tapi yang kudengar kenapa dengkur
halus?"
Terpercik ketertarikannya.
Untuk benar-benar meyakinkan apa yang telah
didengarnya, pemuda itu bersila. Dia bersemadi bebe-
rapa saat. Kekuatan dalam dirinya dipusatkan bulat-
bulat ke indera pendengarannya. Di antara desah an-
gin yang membangun dengung asing tak teratur, ma-
kin lama makin jelas didengarnya suara dengkur ha-
lus. Semakin dia memusatkan pendengaran, bertam-
bah pula dengkur halus yang terdengar.
"Ada sembilan dengkur halus berbeda," gu-
mamnya kembali, setelah membuka mata. Semadinya
selesai.
"Aku yakin itu dengkur bocah-bocah yang
usianya tak lebih dari lima-enam tahun. Apa yang di-
lakukan mereka di dalam sana? Apakah mereka terse-
sat di lorong dalam goa. Mereka tak bisa keluar lalu
tertidur karena kelelahan?"
Timbang punya timbang, pemuda berambut
kemerahan itu akhirnya memutuskan untuk memerik-
sa perut goa. Siapa tahu memang benar ada anak-
anak desa setempat yang tersasar dalam lorong goa,
pikirnya.
Goa dimasuki. Suasana asing terasa. Asing bu-
kan karena pemuda itu sebelumnya tak pernah menje-
jakkan kaki di tempat gelap dan lembab itu. Melainkan
keasingan yang sulit dijelaskan. Terasa dia sedang me-
langkah dalam alam yang lain. Tak sampai tiga lang-
kah melewati mulut goa, entah kenapa jantung pemu-
da itu berdetak lebih keras. Mengeras, dan akhirnya
menjadi sengit.
"Aneh."
Sekali lagi dia menggumamkan kata tersebut.
Tujuh tombak lebih ke dalam, kelengangan me-
ringkus total. Tak ada selintas bunyi apa pun. Bahkan
detak jantung terpacu dalam dadanya sendiri sampai
terasa olehnya. Itu pun aneh. Dan kemungkinan besar
akan makin banyak keanehan akan ditemui semakin
ke dalam dia masuk. Apa mungkin begitu?
Menyadari banyak keanehan, si pemuda be-
rambut kemerahan mulai waswas. Tanpa sadar dike-
rahkannya ilmu meringankan tubuh sampai tingkat
tertentu. Langkahnya jadi demikian ringan. Bahkan
sampai tak terdengar.
Segala bisikan hatinya menjadi buyar seketika
manakala dirinya diserang tiba-tiba oleh bau busuk
menyengat hidung. Bau teramat memuakkan. Tak se-
perti bau bangkai, tapi lebih menyengat. Nyaris mun-
tah si pemuda dibuatnya. Lebih parah lagi, bau busuk
itu seperti menerjang langsung ke dalam otaknya.
Mendadak kepalanya menjadi memberat. Pening di-
bayangi rasa mual. Buru-buru dia mendekap hidung.
Tapi, itu tak cukup menolong. Agar dia tak pingsan di
tempat, mau tak mau dikerahkannya hawa murni ke
saluran pernapasan. Dengan cara itu, dia bisa berta-
han sampai masuk lebih dalam nanti.
Bau apa ini? Apa ini yang orang bilang bau de-
demit borokan? Rutuknya membatin.
Pemuda berambut kemerahan terus berjalan.
Sudah telanjur basah untuk kembali. Apa pun yang
terjadi di dalam sana nanti, akan dihadapi. Baik itu
keadaan yang membutuhkan uluran tangannya. Atau
sebaliknya, akan mengancam jiwanya sendiri!
Lama kelamaan, dia merasa lantai goa tempat-
nya berjalan semakin menurun saja. Hawa semakin
lembab. Dingin meningkat dan akhirnya terasa menu-
suk.
"Sialan, apa lagi yang akan kutemui nanti?" ge-
rutunya jengkel.
Mulai pula dia meragukan dugaannya. Jika se-
belumnya dia menganggap ada bocah-bocah yang
membutuhkan pertolongan, sekarang dia tak yakin la-
gi. Bagaimana mungkin bocah-bocah kecil sanggup
bertahan dengan bau busuk mematikan dan dingin ke-
lewatan? Bagaimana mungkin mereka bisa tidur hing-
ga mendengkur? Apa jangan-jangan, ada orang sakti
yang mengusili dirinya? Atau tokoh sesat kalangan
atas yang ingin mempertunjukkan kedigdayaan? Keter-
laluan kalau benar begitu!
Sampai kedalaman tertentu, dinding goa terli-
hat berpendar keputihan. Ruangan jadi remang-
remang, cukup untuk menyaksikan seluruh bagian
goa. Mata si pemuda dibuat terbelalak manakala me-
nyaksikan sesuatu di sepanjang langit-langit goa di ba-
gian tersebut.
Ada sembilan bocah seumur yang rata-rata
hanya lima-enam tahun sedang menggelantung di lan-
git-langit. Kaki mereka melekat pada langit-langit. Se-
dangkan kepala mereka menjuntai ke bawah. Dengan
tangan terlipat di dada, mereka mirip sekali dengan
sekawanan kelelawar!
Kelopak mata kesembilan bocah itu terpentang
lebar. Semula si pemuda berambut kemerahan mengi-
ra bocah-bocah ajaib itu sedang menatapnya dengan
tatapan menghunus. Nyatanya tidak. Biarpun mata
terbuka, mereka sebenarnya sedang tertidur. Dengkur
halus yang terdengar oleh telinga si pemuda sebelum-
nya adalah dengkur mereka.
Mata mereka itu.... Hati pemuda berambut ke-
merahan bergidik. Ada sesuatu yang ganjil pada bola
mata kesembilan bocah ajaib. Mata mereka tak seperti
layaknya mata manusia. Jauh lebih mirip dengan bola
mata kelelawar. Kemerahan. Sementara warna hitam-
nya tegak memipih.
Mengamati kaki sembilan bocah yang melekat
pada langit-langit goa, si pemuda dibuat berdecak da-
lam hati. Bagaimana mungkin manusia mampu me-
nempel seperti seekor cecak? Dilakukan oleh bocah
pula?
Karena terlalu dirasuk ketercengangan, tak sa-
dar decak pemuda itu akhirnya terlahir. Dalam ruan-
gan tertutup dan berdinding rapat seperti itu, tentu sa-
ja suara decakan jadi amat jelas terdengar.
Bukan cuma itu. Suara decaknya telah pula
mengusik tidur sembilan bocah aneh!
Diawali dengan gerakan kepala, satu bocah ter-
jaga. Matanya kini benar-benar terhujam pada sang
tamu tak diundang.
Bengis.
Pandangan yang terasa berhawa anyir. Pemuda
berambut kemerahan bergidik bukan main. Kakinya
tersurut mundur. Lalu....
"Khaaaiiiikh!"
Bocah yang mula-mula terjaga melepas leng-
kingan panjang. Seperti suara seekor kelelawar teran-
cam bahaya. Dan bagi kelelawar liar, tanda bahaya da-
ri satu anggota kawanan akan diterima dengan cepat
oleh yang lain. Rupanya, hal itu pun berlaku bagi ka-
wanan bocah aneh. Delapan bocah yang lain terjaga.
Bagai menerima satu komando, serentak mere-
ka melepas lengkingan panjang.
"Khhaaaaiikh!"
Goa digempakan.
Dindingnya bergetar dan berguguran.
Saat yang sama, tubuh si pemuda seperti dis-
entak oleh satu kekuatan raksasa kasat mata. Dia ter-
lempar ke belakang. Menghantam dinding telak-telak,
menciptakan lobang besar. Untung saja langit-langit di
atasnya tak cukup rapuh. Jika tidak, tentu dia sudah
terkubur hidup-hidup.
Dari mulut pemuda berambut kemerahan ter-
muntah darah segar. Tak dinyana lagi, teriakan ga-
bungan sembilan bocah ajaib mengandung tenaga da-
lam amat tinggi.
Namun, si pemuda sendiri tampaknya bukan
sembarang pemuda. Kendati tubuhnya baru saja
menghantam dinding goa hingga hancur, kendati mu-
lutnya memuntahkan darah, dia masih sanggup bang-
kit kembali. Kepalanya digeleng-gelengkan, mencoba
mengenyahkan rasa pening luar biasa.
Bukan. Dia memang bukan pemuda tak punya
nama. Atau pemuda desa dungu. Dia adalah seorang
tokoh muda persilatan tanah Jawa yang julukannya
mulai sering berseliwer keras di telinga warga persila
tan lain.
Satria Gendeng. Murid dua tokoh kenamaan
tanah Jawa sekaligus; Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Berdiri kembali dengan posisi agak gontai, si
pemuda menyaksikan kesembilan bocah berlompatan
turun. Amat ringan, layaknya tokoh-tokoh persilatan
kelas atas, mereka menjejak lantai goa. Berjajar mere-
ka berdiri. Sikap kental permusuhan diperlihatkan.
Dari tatapan mengerikan, atau dari gurat wajah mere-
ka.
"Siapa kalian ini sebenarnya?" tanya Satria
Gendeng. Kewaspadaan ditingkatkan sepenuhnya.
Tak ada sahutan terdengar. Kecuali hanya ge-
raman berkeliaran di sepanjang dinding goa
Satria Gendeng bergidik. Sedang berhadapan
dengan apa atau siapa dirinya? Mungkinkah dengan
binatang-binatang liar ajaib berwujud manusia? Atau
anak-anak siluman penghuni goa?
"Aku datang ke sini dengan niat baik. Kukira
kalian membutuhkan pertolongan. Jadi, tak ada niat
sama sekali untuk mengusik kalian atau mencari per-
musuhan," coba Satria kembali.
Hanya embikan kambing congek yang pantas
tak mendapat jawaban. Satria bukan jenis itu. Dia
agak kesal karena perkataannya tak mendapat jawa-
ban semestinya. Tapi, dia sadar juga bahwa bocah-
bocah di hadapannya kini bukan seperti bocah keba-
nyakan.
"Baik, kalau kalian tak suka aku di sini, aku
akan keluar," kata Satria, akhirnya. Bukannya dia ta-
kut dengan sikap mengancam kesembilan bocah itu.
Dia hanya tak ingin mencari perkara dalam urusan
yang sama sekali tak jelas. Hanya membuang tenaga
percuma.
Satria mundur perlahan. Tetap siaga. Tangan-
nya diangkat ke depan, mencoba meyakinkan kesembi-
lan bocah yang tak cuma ajaib tapi juga liar itu.
Sialnya, setiap kali Satria melangkah mundur,
sembilan bocah di depannya pun maju setindak. Ja-
raknya jadi tak kunjung menjauh. Dia tak mungkin
berbalik badan dan pergi begitu saja. Bisa-bisa diter-
jang dari belakang.
Satria menarik napas. Dadanya masih terasa
sesak.
"Baik. Apa mau kalian sebenarnya? Kalian mau
aku meminta maaf karena telah mengusik tidur ka-
lian? Baik, aku minta maaf. Sekarang apa lagi?" tanya
Satria Gendeng, kejengkelannya sekarang mulai tak
bisa diam.
Satu orang bocah menggeram dengan nada
tinggi. Sebelah sudut bibirnya terungkit, memperli-
hatkan gigi taring. Geramannya itu berarti untuk yang
lain. Delapan bocah di belakangnya mulai melangkah
maju.
Satria menepak kening sendiri.
"Tolol sekali aku ini! Terang saja mereka tak
mengerti perkataan ku. Biar sampai berbusa aku
'membacot', mereka tetap tak akan mengerti. Rupanya
mereka berbicara dengan bahasa isyarat sendiri!"
Jadi bagaimana jadinya sekarang? Delapan bo-
cah yang jelas-jelas memiliki kehebatan tak main-main
mulai melangkah maju. Naga-naganya, Satria hendak
dipermak.
Iseng-iseng, Satria - si pendekar muda yang si-
fatnya terkadang agak lugu - mencoba ikut-ikut meng-
geram. Siapa tahu kesembilan bocah itu mengerti.
"Grrrrrr... grrr... grrrr!"
Sampai perut si pendekar muda mulas sendiri,
kedelapan bocah itu tak menghentikan langkah.
Kacau balau, pikir Satria. Kalau dia menggeram
sekali lagi, jangan-jangan malah diartikan lain. Bisa
saja dikira hendak menantang bersabung.
Jadi bagaimana ini?
Satria Gendeng kehilangan akal. Dia cuma bisa
menggaruk-garuk jidat...
EMPAT
PENDEKAR Muka Bengis dan Gendut Tangan
Tunggal saling berangkulan. Seru, sekaligus blingsa-
tan. Memang keduanya belum pernah bertemu sama
sekali. Namun, sikap mereka seperti dua orang saha-
bat lama yang telah berpisah selama puluhan tahun
dan baru bertemu kembali hari itu.
"Aku tak menyangka akhirnya bertemu dengan
orang yang sudah demikian lama begitu ingin kute-
mui!" seru Gendut Tangan Tunggal sambil mengang-
kat-angkat tubuh Pendekar Muka Bengis yang dirang-
kulnya.
"Aku juga begitu, Gendut Tangan Tunggal! Tapi
jangan kau 'kocok-kocok' aku seperti ini! Isi perutku
bisa keluar semua!" erang Pendekar Muka Bengis, se-
sak dihimpit tangan dan perut kawan barunya.
"Oh, maaf Muka Bengis," ucap Gendut Tangan
Tunggal seraya melepaskan rangkulan bernafsunya.
"Ngomong ngomong, kenapa kau begitu ingin berjumpa
denganku?" tanyanya kemudian.
"Karena aku...," wajah Pendekar Muka Bengis
tertekuk. "Aku tak tahulah! Sepertinya, aku cuma me-
rasa memiliki kesamaan denganmu."
"Kesamaan?" gumam Gendut Tangan Tunggal
sambil membanding-bandingkan tubuhnya dengan le-
laki depannya. Wajah tak sama. Apalagi bagian leher
ke Bawah. Lalu, apanya yang sama?
"Kau tentu tahu maksudku! Sebagai seorang
satria, kita sama-sama punya kekurangan!"
Ya, kendati namanya berkesan sadis, Pendekar
Muka Bengis sebenarnya masih dapat digolongkan se-
bagai tokoh persilatan golongan lurus. Di balik wajah
sangarnya, terpendam sifat-sifat seorang satria. Ha-
tinya tak seburuk parasnya.
Sifat-sifatnya itu terlihat nyata dari sepak-
terjangnya. Dia menerima pekerjaan sebagai orang
bayaran hanya bila pekerjaan yang diterimanya me-
nyungkut penegakan keadilan dan penumpasan kela-
liman. Selain itu, dibayar sekarung uang emas pun dia
tak akan sudi!
Memang, seorang satria sejati tak memandang
pamrih. Apalagi urusan imbalan jasa. Namun, rambut
boleh sama hitam, pendapat, dan keyakinan orang
berbeda-beda. Pendekar Muka Bengis berpikir dengan
cara menjadi seorang jago bayaran dia tak perlu mem-
buru kelaliman. Karena, orang akan segera mendatan-
ginya untuk meminta tolong memberantas perkara itu.
Bukan dengan begitu dia tak sudi membela orang le-
mah jika tak ada bayaran. Untuk membela kepentin-
gan beberapa orang lemah yang menyangkut nyawa,
dia bahkan rela hanya dibayar dengan seikat singkong
mentah atau sekeranjang telor ayam! Aneh memang.
Tapi, begitulah cara yang ditempuh Pendekar Muka
Bengis!
Lain Pendekar Muka Bengis, lain pula Gendut
Tangan Tunggal! Meski sama-sama tokoh persilatan
golongan lurus, cara yang ditempuh Gendut Tangan
Tunggal berbeda pula. Dia memilih untuk terus melan-
glang. Jalan ke sana, jalan ke sini. Ngalor-ngidul, nge-
tan-ngulon. Setiap saat dia menemukan angkara mur-
ka, maka dia akan langsung turun tangan.
Tak ada manusia sempurna. Kejelekan Gendut
Tangan Tunggal cuma satu. Mulutnya sulit berhenti
mengunyah makanan! Makanya biarpun menggelen-
dang sana-sini, bobot tubuhnya tak pernah turun-
turun.
Dijamin!
Sifat-sifat mereka itulah yang dianggap sebagai
'kekurangan' oleh Pendekar Muka Bengis.
Yang namanya Gendut Tangan Tunggal, tetap
saja tak bisa memahami maksud kawan barunya.
Otaknya mungkin sudah kelewat rapat dibungkus le-
mak! Mendengar kata 'kekurangan', dia malah mem-
perhatikan kembali badan borosnya.
"Badan sesubur ini, apa kekurangannya? Sela-
ma ini, yang ku tahu aku justru 'kelebihan'," gumam-
nya tak kentara. Tanpa peduli lebih lanjut, diambilnya
sepotong besar ubi rebus dari dalam tas besar.
Pendekar Muka Bengis menggeleng-gelengkan
kepala.
"Ah, sudahlah! Begini saja, kau tetap seorang
satria yang ingin menegakkan keadilan dan membasmi
angkara murka, bukan?" aju Pendekar Muka Bengis,
setelah menolak tawaran ubi rebus dari kawan ba-
runya.
"Ya ya ya," sahut Gendut Tangan Tunggal den-
gan mulut penuh dengan ubi rebus.
"Bagaimana kalau kau ikut aku menuntaskan
masalah ini?"
"Masalah apa?"
"Bocah-bocah itu."
"Bocah-bocah yang melakukan penculikan? Ah,
kupikir tadi kau cuma bergurau. Jadi kejadian itu be-
nar-benar terjadi?"
"Lalu, buat apa aku bersedia dibayar orang-
orang desa dengan seikat rumput?"
Gendut Tangan Tunggal terperangah. Ubi di
mulutnya sampai tersembur.
"Kau cuma dibayar dengan seikat rumput?!"
"Ya, untuk makanan sekandang kerbau yang
diberikan sekaligus untukku," gurau Pendekar Muka
Bengis.
"Hi hi hi. Sialan kau!"
"Jadi bagaimana? Apa kau mau bekerjasama
denganku menyelesaikan perkara ini? Jangan khawa-
tir, kau akan menerima bagianmu! Lima ekor kerbau
jantan!"
"Hey, menerima bayaran bukan gayaku!"
"Bagaimana dengan daging kerbau pangganya?"
Gendut Tangan Tunggal meringis. Lidahnya
bersilap-silap.
"Kalau itu yang kau tawarkan, mana mungkin
aku bisa menolaknya? Hi hi hii!"
* * *
Satria Gendeng benar-benar jadi diserang oleh
sekawanan bocah-bocah ajaib. Beriring geraman se-
rempak pertanda kemarahan menggelegak, delapan
bocah yang maju sebelumnya langsung membuat ter-
kaman ke depan.
Delapan lawan yang menyerang sekaligus tentu
bukan perkara enteng. Dibutuhkan kecepatan patukan
seekor ular dan kejelian seekor elang untuk mengha-
dapinya. Terlebih para penyerangnya memiliki kehan
dalan tarung yang hebat. Untunglah pendekar muda
itu bukan tergolong orang berkepandaian tanggung.
Godokan dan gemblengan yang diterimanya dari dua
tokoh besar ditambah pengalamannya selama turun ke
dunia persilatan, sudah cukup dapat diandalkan un-
tuk menghadapi serangan semacam itu.
Meski tak membentuk kepungan terlebih dahu-
lu karena keadaan goa tak cukup lebar, serangan ke-
delapan bocah ajaib ternyata benar-benar serempak.
Waktunya nyaris bersamaan dengan kecepatan yang
sungguh mengagumkan. Tiga bocah yang paling depan
menerkam dengan tangan membentuk cakar. Sasa-
rannya tubuh bagian tengah Satria Gendeng. Seperti
gelombang, tiga bocah lain di belakangnya membaren-
gi. Mereka menerkam ke arah badan bagian atas. Se-
mentara dua bocah yang lain menggelundungkan ba-
dan cepat dan tangkas. Kuda-kuda Satria Gendeng
hendak dilantaknya.
Satu-satunya cara paling jitu untuk menyela-
matkan diri bagi Satria Gendeng adalah membuat pula
satu gebrakan sekaligus. Yang dapat melumpuhkan
semua titik serangan para lawan. Jika tidak begitu,
ada kemungkinan satu terjangan akan lolos. Padahal
dalam satu pertarungan berbau maut, kecolongan pa-
da gebrakan awal akan sangat berpengaruh besar bagi
keselamatan jiwa si petarung. Terkadang pula bisa tu-
rut menentukan kekalahan atau kemenangannya.
"Heaaaaa!"
Satria menggelundung cepat, berlawanan arah
dengan gulingan dua bocah penyerangannya. Dengan
cara itu, dia berhasil menghindari enam titik serangan
lawan sekaligus. Namun, belum berarti telah terhindar
dari dua titik serangan sisa yang dilakukan oleh dua
bocah menggelinding.
Dak! dakh!
Dengan dua kakinya, Satria Gendeng berusaha
memapak serangan dua bocah yang berguling. Dia tak
berniat membuat serangan balasan mengingat lawan-
lawannya masih di bawah umur.
Pertimbangan manusiawi seperti itu nyatanya
membuat dia jadi rugi sendiri. Karena dengan amat
tangkas, dua bocah yang menggelinding menangkap
sepasang kakinya. Seperti kerang, keduanya menjepit
kaki si pendekar muda dalam posisi setengah telen-
tang.
Pada saat yang sama, enam bocah yang sebe-
lumnya menerkam membuat satu akrobatik cantik di
udara. Mereka saling mengaitkan tangan untuk mem-
balikkan arah serangan sebagian dari mereka. Tiga bo-
cah yang di atas mengayuh tangannya agar tiga bocah
lain yang melayang di bawah mereka berbalik arah.
Dengan kaki terkunci, akan amat sulit bagi Sa-
tria Gendeng menghindari serangan tiga bocah yang
datang dari atas. Untuk melepaskan kuncian pada ka-
kinya, tak akan mudah dilakukan dalam waktu yang
demikian mendesak. Sementara kalau dia tetap beru-
saha untuk melepaskan kuncian, maka tiga bocah
yang meluncur dari atas akan meremukkan dadanya.
Satria yakin itu. Sebelumnya saja dia sudah merasa-
kan bagaimana kehebatan tenaga dalam bocah-bocah
itu.
Mau tak mau, Satria Gendeng melepas Kail Na-
ga Samudera-nya.
Ruas-ruas batang kail pusakanya membentang.
Srt wukh!
"Maaf!" seru Satria, merasa terpaksa bertindak
kasar.
Cletar!
Bersama kejapan cahaya pelangi, tali Kail Naga
Samudera membantai serangan ganas tiga bocah di
udara.
"Aaaaaiikkh!"
Ketiganya menjerit berbarengan. Seperti ekor
naga mengamuk, tali senjata pusaka Satria Gendeng
menyampok dada mereka cepat bergilir. Mereka ter-
pental kembali ke udara. Langit-langit goa tertinju tu-
buh mereka. Ketika itulah terdengar guruh amat keras.
Seperti suara gempa yang bergeliat dari dasar bumi
dan berbaur dengan suara guruh.
Satria Gendeng tercekat. Sama sekali tak dis-
angkanya kalau hantaman tubuh ketiga bocah itu
akan menggugurkan goa! Mereka semua bisa mampus
terkubur di dalamnya!
"Hei, lepaskan kedua kakiku!" hardik Satria ke-
limpungan setengah edan.
Dua bocah yang mengunci kakinya malah
menggeram. Kiamat, pikir Satria. Kenal saja belum,
sudah mengajak-ngajak ke neraka! Kalau mau mam-
pus, kenapa tidak sendiri saja!
"Lepaskan aku! Kalian mau terkubur hidup-
hidup di dalam goa ini? Tidak, kan? Aku sendiri tidak!
Sungguh!" Satria mencerocos. Memang begitulah ke-
biasaannya saat sedang kebingungan.
Jawaban yang didapat lagi-lagi cuma geraman.
Sialan sekali!
Baik, putus Satria. Jelas-jelas dia tak sudi mati
konyol, Jadi, jangan salahkan dia kalau dia bertindak
kasar lagi pada anak di bawah umur itu.
"Maafkan aku!" serunya, seraya mengayun
kembali Kail Naga Samudera.
Cletar!
Seperti dengking dua anak serigala, dua bocah
yang mengunci kakinya menjerit. Keduanya kontan
terpental jauh. Sengaja Satria tak menyalurkan tenaga
dalam penuh. Namun karena kemukjizatan senjata
pusaka yang sanggup melipatgandakan kekuatan pe-
miliknya ke dalam cambukan tali kail, tanpa diduga
membuat kedua bocah ajaib tadi memuntahkan darah
segar dari mulutnya.
"A, cilaka!" rutuk Satria. Rambutnya diremas
geram. Bisa berdosa kalau dua bocah itu mampus, pi-
kirnya.
Sementara itu, langit-langit goa mulai runtuh.
Batu-batu yang membentuk taring runcing berjatuhan,
siap menembus siapa saja yang berada di bawahnya.
Gemuruh makin riuh. Kiamat kecil sedang berlang-
sung.
Satria Gendeng tak bisa berlama-lama menye-
sali tindakannya terhadap para bocah ajaib.
Blingsatan dia bangkit.
Memburu, dikerahkannya segenap kemampuan
peringan tubuh untuk keluar dari perut goa. Hanya
berjarak dua tiga tombak di belakangnya, batu sebesar
setengah kerbau jantan berjatuhan seperti mengejar-
nya.
Tiba di mulut goa, kiamat kecil di dalam sana
mencapai puncaknya. Seluruh langit-langit goa bergu-
guran tandas. Debu bersemburan keluar. Batu-batu
bercelatan. Suara riuh yang terpendam mengakhiri se-
galanya.
Satria berdiri terpaku. Seperti orang tolol, dia
cuma bisa bergumam sendiri.
"Kasihan sekali kalian. Mati muda sebelum
sempat mencicipi kedewasaan. Padahal aku belum lagi
tahu siapa kalian sebenarnya!"
Lalu desah nafasnya terdengar.
Berat berbeban.
* * *
Sesuai kesepakatan, Pendekar Muka Bengis
dan Gendut Tangan Tunggal akhirnya memulai penca-
rian sembilan bocah yang telah menggemparkan dunia
persilatan hari-hari belakangan. Percuma kalau hanya
menanyai semua orang asing yang berniat memasuki
Pengging. Belum tentu mereka berkaitan dengan uru-
san tersebut.
Bila butuh air, tentunya jalan terbaik adalah
menemukan sumber mata air. Dalam perkara ini, un-
tuk menyelesaikannya tentu harus mencari dulu biang
keladinya. Begitu pikir Pendekar Muka Bengis. Gendut
Tangan Tunggal sendiri, tak berpikir apa-apa. Dia lebih
suka memikirkan persediaan makanan di tas besar-
nya.
Sampai detik itu, mereka belum jelas benar
apakah penculikan yang dilakukan oleh sembilan bo-
cah yang mulai santer dengan julukan Pasukan Kele-
lawar itu didalangi seseorang atau tidak. Setidaknya,
mereka harus membekuk terlebih dahulu sembilan bo-
cah penculik itu untuk mendapatkan keterangan.
"Jika dipikir-pikir kembali, tak mungkin sembi-
lan bocah kecil bisa meledakkan kegemparan dengan
sepak-terjangnya. Besar kemungkinan, ada seorang
tokoh sakti yang berdiri di belakang mereka," simpul
Pendekar Muka Bengis dalam perjalanan mereka ke
arah utara. Mereka memutuskan untuk mengambil
arah tersebut sesuai keterangan beberapa saksi mata
di sekitar Pengging.
Gendut Tangan Tunggal mengangguk-angguk.
Pendekar Muka Bengis meneruskan, "'Si Da
lang' itu bisa saja telah menurunkan beberapa kesak-
tian pada Pasukan Kelelawar. Atau lain kemungkinan.
Pasukan Kelelawar dikendalikannya. Lagi pula, apa
gunanya bagi bocah-bocah belum cukup umur seperti
mereka menculiki para perempuan?"
"Jangan tanya aku. Mana aku tahu...," tukas
Gendut Tangan Tunggal asal bunyi.
Selagi santai berjalan, keduanya tiba-tiba dike-
jutkan oleh kelebatan seseorang yang melintas amat
cepat dari arah depan. Angin lari orang itu membuat
jagung bakar di tangan Gendut Tangan Tunggal ter-
pental.
Jangan tanya betapa kekinya Gendut Tangan
Tunggal.
"Kadal bunting!" sambil memaki, orang tua ber-
badan boros itu mengejar jagungnya yang sebenarnya
cuma tinggal tersisa satu dua gigitan lagi.
Pendekar Muka Bengis tak begitu peduli pada
tingkah tengik Gendut Tangan Tunggal. Apalagi pada
jagungnya! Dia lebih tertarik untuk segera mengha-
dang orang lancang yang lewat tanpa permisi tadi.
"Berhenti kau!"
Mengerahkan ilmu lari cepat yang dimiliki, di-
kejarnya orang tadi. Lamat-lamat dilihatnya sosok
orang yang dikejar. Seorang pemuda baru besar tapi,
kalau melihat caranya lari seperti setan kesiangan,
Pendekar Muka Bengis jadi bertanya-tanya dalam hati.
Apa mungkin seorang pemuda memiliki ilmu lari cepat
yang demikian hebat?
Sebab pada kenyataannya, kendati sudah men-
gejar cukup jauh jarak antara dirinya dengan orang
yang dikejar tak kunjung menyusut. Bahkan berkali-
kali dia nyaris kehilangan jejak.
Ah, dunia persilatan belakangan ini jadi makin
sulit dimengerti, rutuk Pendekar Muka Bengis memba-
tin. Belum lama tersiar kabar bahwa ada sembilan bo-
cah ajaib membuat beberapa kalangan persilatan ke-
dodoran. Sekarang, ada lagi pemuda tanggung yang
ilmu lari cepatnya membuat lelaki bermuka sangar itu
kedodoran pula.
Sampai tiba di dekat muara sungai kecil, Pen-
dekar Muka Bengis jadi juga kehilangan jejak. Sial be-
nar! Pikirnya. Sayang buruannya lolos. Padahal, dia
sudah curiga bahwa buruannya berhubungan dengan
Pasukan Kelelawar. Setidak-tidaknya, Pasukan Kelela-
war dengan buruannya barusan punya kesamaan. Me-
reka sama-sama muda dan memiliki kepandaian ting-
gi. Bedanya cuma pada pertautan usia saja.
Selagi celinguk sana celinguk sini, seseorang
mendadak mendarat turun di depannya.
Jleg!
Tentu saja hal itu menyebabkan Pendekar Mu-
ka Bengis Kaget bukan kepalang. Disangkanya orang
itu hendak melakukan serangan mendadak. Ketimbang
terkapar karena diserang, lebih baik menyerang terle-
bih dahulu, pikirnya.
"Mampus kau!!!"
Pendekar Muka Bengis melepas pukulan jarak
jauhnya. Tenaga dalamnya tergolong disegani di dunia
persilatan. Dengan bekal seperti itu, pukulan jarak
jauh yang dilancarkannya bisa amat berbahaya bagi
siapa saja. Satu pukulan jarak jauh yang amat khas
miliknya adalah pukulan 'Puting Beliung'. Pukulan
yang membentuk pusaran-pusaran angin sebesar ke-
pala manusia. Setiap pusaran sanggup menciptakan
lobang sebesar pintu gubuk di karang keras! Ba-
hayanya, karena pukulan ini berpusing, maka arahnya
jadi sulit terduga.
Whuss!
Dua pusaran pukulan jarak jauh menerkam.
Dari sepasang telapak tangan Pendekar Muka Bengis.
"Heaa!"
Sasaran berteriak dan mencelat kembali ke
udara. Tempatnya mendarat hanya sempat dijadikan
jejakan secepat kilat. Di udara, tubuhnya membung-
kal.
Pukulan 'Puting Beliung' seperti mengejar.
Sadar sejenis pukulan langka sedang dihadapi,
orang tadi membentang tubuh seketika, lalu berpusing
miring dalam satu rangkaian gerak memukau. Putaran
tubuhnya amat kuat, searah dengan pusaran angin
pukulan lawan. Karenanya kejaran pukulan 'Puting
Beliung' menjadi kacau. Usahanya tak sia-sia. Meski
agak sungsang-sumbel, pukulan jarak jauh yang tergo-
long sulit itu dapat dihindarinya.
Gemas bukan main Pendekar Muka Bengis. Ka-
lau ada miliknya yang bisa disombongkan, maka pu-
kulan 'Puting Beliung' adalah salah satunya. Di dunia
persilatan, pukulannya itu bahkan punya keangkeran
sendiri. Jarang ada orang bisa luput darinya. Beberapa
tokoh persilatan malah memilih untuk memapaki pu-
kulan itu dengan mengambil resiko terluka karena
menganggap sia-sia untuk menghindarinya Menurut
sebagian kalangan, pukulan 'putting Beliung' seperti
punya mata dan nyawa sendiri!
Tapi menghadapi orang yang ternyata pemuda
yang belum lama menjadi buruannya, pukulan ke-
banggaan Pendekar Muka Bengis dapat diperdayai de-
mikian rupa! Pendekar Muka Bengis tak sudi percaya!
Masa' seorang pemuda bau kencur bisa berbuat itu?
Di atas satu tangkai bunga liar, pemuda tadi
hinggap. Tak kalah ringan dari seekor lebah.
"Tunggu!" serunya menyaksikan Pendekar Mu-
ka Bengis hendak melepas pukulan jarak jauh lagi.
"Kenapa kau menyerangku begitu rupa?!"
"Jangan pura-pura! Kau hendak mencelakai ku,
bukan?!" balas Pendekar Muka Bengis.
"Itu fitnah! Aku tak berniat menyerangmu. Ju-
stru aku mengira kau punya niat jelek dengan mem-
buntuti ku! Sebenarnya, kenapa kau membuntuti
aku?" susul anak muda itu.
Pendekar Muka Bengis menyipitkan mata. Di-
perhatikannya orang di depan. Seorang pemuda be-
rambut kemerahan. Mengenakan rompi bulu putih
keabuan dari kulit binatang. Rasa-rasanya, dia pernah
mendenyar selentingan kabar tentang ciri-ciri anak
muda satu ini. Tapi kapan? Di mana?
"Siapa kau sebenarnya?" aju Pendekar Muka
Bengis. Pertanyaan pemuda di depannya barusan tak
dipedulikan.
"Bukankah semestinya aku yang bertanya begi-
tu?"
"Alah, buatku yang lebih tua, itu boleh-boleh
saja!"
"Kalau begitu, jawab dulu pertanyaanku. Baru
kujawab pertanyaanmu!" tandas si pemuda, tegas. Wa-
jahnya yang tampan namun berkesan lugu tak beru-
bah.
"Sial benar. Baik, kau tanya apa tadi?"
"Kenapa Kakang membuntuti ku?" ulang si pe-
muda.
"Karena kau lari. Kalau kau tak lari, mana
mungkin aku buntuti?"
"Aku ingin tahu alasanmu, Kang."
"Kau mencurigakan!"
"Apa setiap orang yang berlari mencurigakan?
Apa Kakang pikir aku maling jemuran?"
"Bukan maling jemuran! Aku berpikir kau itu
semacam maling perempuan!"
Si pemuda bertampang lugu malah cengenge-
san. Tawa renyahnya terdengar.
"Kakang bisa saja bergurau!"
"Aku tak bergurau sialan! Aku sedang membu-
ru bocah-bocah kecil yang telah menculik beberapa
orang perempuan belakangan ini. Aku curiga padamu.
Biarpun tampangmu tidak menunjukkan kalau kau
bocah di bawah umur. Tapi...."
"Tapi aku memang bukan maling perempuan,
bukan?"
"Mana aku tahu!"
Seseorang datang dan memberangus perteng-
karan mulut itu. Gendut Tangan Tunggal telah menyu-
sul pula.
"Hoooi, ada apa ini?!" teriaknya, belum lagi
sampai.
"Aku curiga padanya!" lapor Pendekar Muka
Bengis.
"Curiga kenapa?" tanya Gendut Tangan Tunggal
sambil mengusap keringat yang membanjir di bagian
pusarnya.
"Ah, apa aku harus menjelaskan juga alasan ku
mencurigai pemuda ini padamu?!" bentak Pendekar
Muka Bengis, dongkol.
"Kalau kau sudi...," sahut Gendut Tangan
Tunggal.
"Jelas aku tidak sudi!"
"Cukup-cukup!" Si anak muda menengahi. "Se-
baiknya kalian menjelaskan saja padaku. Biar perka-
ranya tidak jadi ruwet seperti ini!"
"He-eh, kau kira kau ini siapa menyuruh kami
menjelaskan persoalan?!" cemooh Pendekar Muka
Bengis, gengsinya tersenggol sedikit oleh perkataan si
pemuda.
"Aku tak menyuruh. Cuma meminta."
"Sudah biar aku saja. yang menjelaskan kalau
kau tidak mau...," sela Gendut Tangan Tunggal. Si-
kapnya yang selalu santai itu sering bikin banyak
orang jadi mangkel. Termasuk Pendekar Muka Bengis.
"Terima kasih Pak Tua Gemuk," hatur si pemu-
da.
Sebentar Gendut Tangan Tunggal menggaruk-
garuk kulit perutnya, hingga terdengar suara lucu se-
perti dengkur kakek-kakek.
"Ngomong-ngomong, dari mana aku mulai men-
jelaskannya?" tanya kemudian pada Pendekar Muka
Bengis. Wajahnya tak berdosa sekali.
Pendekar Muka Bengis cuma bisa meringis
kesal.
LIMA
SATRIA Gendeng tak bisa tidak dibuat tercen-
gang-cengang di tempat berdiri. Goa sudah runtuh.
Ruangannya sudah tertutup oleh timbunan batu sama
sekali. Batu yang beratnya saja sudah bisa membuat
keledai jadi perkedel. Mulut goa bahkan sudah tak
berbentuk lagi.
Satu-satunya keyakinan Satria saat itu, sembi-
lan bocah di dalam goa sudah mampus. Mau tidak
mampus bagaimana lagi? Tapi begitu baru beberapa
saat dia berdiri terpaku di depan reruntuhan goa, dia
menyaksikan dengan mata kepala sendiri batu-batu
besar bergeseran seperti ada sebentuk kekuatan rak
sasa bergeliat dari dalam.
Dan tak lama berselang, muncul kepala beru-
kuran kecil.
Mendeliklah Satria.
Itu salah seorang bocah yang ditemuinya! Satu
persatu, mereka keluar. Tubuh mereka dipenuhi debu
dan pasir berkapur. Tapi yang namanya tubuh mereka,
tak ada sedikit pun luka. Bahkan sekadar goresan ke-
cil!
"Astaga, badan mereka dibuat dari adonan besi
atau apa?" gumam Satria terpesona. Bahkan dia terus
terbengong-bengong seperti sapi bodong sementara ke-
sembilan bocah ajaib tadi sudah keluar semua dan
berdiri berjajar. Mata bocah-bocah itu melalapi Satria
dengan tatapan ganas.
Satria baru tersadar ketika salah seorang dari
mereka mengaum keras.
"E-eh, mau apa lagi bocah-bocah ini?" tanya
Satria, mulai waspada. Orang-orang tua bilang, 'jangan
jatuh pada lobang yang sama'. Kalau sudah mengalami
sesuatu sebelumnya, jangan sampai tidak belajar sete-
lah itu. Yang dia tahu sebelumnya, kalau salah seo-
rang bocah menggeram, maka kedelapan bocah yang
lain akan segera melakukan serangan. Kalau sekarang
mengaum, apa bukan tak mungkin mereka berniat
merencah-rencah dagingnya?
Kekhawatiran si pendekar muda tak terbukti.
Bocah-bocah ajaib ternyata malah bergerak se-
ketika dari tempatnya berdiri. Bukan untuk melaku-
kan serbuan, melainkan melarikan diri!
"Heei, tunggu!" cegah Satria.
Dikejarnya mereka.
Sampai dia berpapasan dengan dua orang di
tengah jalan, bocah-bocah itu tak terkejar. Akhirnya,
dia kehilangan jejak di dekat muara sungai kecil, tem-
patnya bertemu dengan Pendekar Muka Bengis dan
Gendut Tangan Tunggal.
Satria selesai memaparkan ceritanya pada ke-
dua warga persilatan yang baru ditemuinya. Gendut
Tangan Tunggal tak jadi menjelaskan apa pun. Semen-
tara, Pendekar Muka Bengis yang sifatnya keras kepala
malah menyudutkan Satria terus dengan kecurigaan-
nya. Mau tak mau, Satria yang akhirnya menjelaskan
kenapa dia harus berlarian seperti maling jemuran.
"Jadi, kau telah berurusan langsung dengan
Pasukan Kelelawar itu?" Pendekar Muka Bengis men-
gajukan pertanyaan, belum lagi Satria cukup men-
gambil napas.
"Bocah-bocah itukah yang kalian cari?" tanya
balik Satria.
"Ya ya, betul! Betul apa tidak, Muka Bengis?"
sergah Gendut Tangan Tunggal, sok tahu.
"Kalau menilai penuturan mu barusan, aku ya-
kin merekalah Pasukan Kelelawar yang menggempar-
kan dunia persilatan belakangan ini," ucap Pendekar
Muka Bengis, membenarkan.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang telah mereka
perbuat sampai begitu menghebohkan banyak pihak?"
tanya Satria. Keingintahuannya terhadap bocah-bocah
ajaib itu makin menyala-nyala saja.
Dengan singkat, Pendekar Muka Bengis pun
menjelaskan.
Satria mendengarkan penuh perhatian.
"Nah, kini giliran aku bertanya padamu. Siapa
kau sebenarnya. Aku penasaran dengan dirimu. Rasa-
rasanya aku pernah mendengar selentingan kabar ten-
tang seorang warga persilatan yang berciri-ciri seper-
timu...," susul Pendekar Muka Bengis, selesai menun
taskan penjelasannya.
"Aku Satria, Kang," ucap Satria, memperkenal-
kan diri. Tangan disodorkan ke depan. Tapi, dasar
Pendekar Muka Bengis memang besar adat, dia malah
menepis tangan Satria.
"Tak perlu bersalaman segala! Aku juga tak per-
lu namamu. Yang aku mau tahu, apa julukanmu. Kau
memiliki ilmu lari cepat yang... ng lumayan. Jangan
besar kepala dulu! Aku tak berniat memujimu. Aku
hanya ingin mengambil kesimpulan, dengan begitu
pasti kau warga persilatan!"
"Guruku menyebutku Satria Gendeng. Dan
orang persilatan pun latah menyebutku begitu."
"Wait!" pekik Pendekar Muka Bengis tiba-tiba
sambil menampar jidat sendiri.
"Sudah kuduga! Sudah kuduga!" serunya beru-
lang-ulang. Wajahnya langsung berubah. Ketidak-
ramahannya tahu-tahu mental entah ke mana.
"Kau menduga apa?" sela Gendut Tangan
Tunggal, sejak tadi dia malah asyik mencukil-cukil sisa
jagung di antara gigi-giginya yang masih utuh, biarpun
kuningnya tak tanggung-tanggung
"Kau tak tahu? Satria Gendeng itu! Murid Pa-
nembahan Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu! Mu-
rid Penembahan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu! Pen-
dekar muda yang pernah bikin Perempuan Pengumpul
Bangkai dan Iblis Dari Neraka kocar-kacir itu! Anak
muda yang memegang senjata pusaka Ka...."
"Cukup cukup cukup, Muka Bengis! Kau pikir
cuma kau saja yang pernah mendengar julukan anak
muda yang hebat itu?"
Hidung si pendekar muda kembang-kempis tak
menentu mendengar semua pujian. Pujian yang sebe-
narnya sekadar cetusan rasa kagum dua tokoh berusia
lebih tua darinya.
"Cuma yang tak jelas buatku, kapan kau per-
nah berjumpa dengan si pendekar muda Satria Gen-
deng itu?" tuntas Gendut Tangan Tunggal, ketinggalan
kereta.
"Astaga...," perangah Pendekar Muka Bengis.
Bola matanya membalik ke atas. Ke mana saja telinga
manusia gentong ini sejak tadi, makinya dalam hati.
"Aku sedang membicarakan anak muda ini,
Gendut!"
"Maksudmu, anak muda ini yang berjuluk Sa-
tria Gendeng itu?"
"Iya!"
"Murid Ki Kusumo? Murid Dongdongka?"
"Iya iya, Gendut! Bukankah aku sudah bilang
barusan?!"
Mulut bulat Gendut Tangan Tunggal menganga
lebar. Matanya mengawasi Satria seperti tatapan wa-
dam yang bertemu perjaka genteng.
Satria meringis.
"Hi hi hi, aku senang berjumpa denganmu,
anak muda gendeng!!" ledak orang tua rakus itu. Lan-
tas diterjangnya Satria. Dipeluknya, dirangkulnya, di-
putar-putar dan dikocok-kocoknya. Belum lagi serun-
tun ciuman bernafsu ke pipinya. Gila juga!
Tinggal Satria terengah-engah kehabisan na-
pas. Mana bau badan Gendut Tangan Tunggal sudah
seperti gudang bawang busuk!
Apes!
"Aku tak menyangka akan bertemu dengan
anak muda jempolan sepertimu! Ini benar-benar hari
baikku!" sorak Gendut Tangan Tunggal selesai mele-
paskan rangkulannya. "Sekarang ceritakan padaku
bagaimana kau dapat membuat kedodoran si tua
bangka kejam; Iblis Dari Neraka dan nenek sihir jelek;
Perempuan Pengumpul Bangkai?! Ayo cerita, aku mau
dengar!" serbunya lagi.
Satria cengengesan lugu.
"Ceritanya panjang, Pak Tua."
"Tak apa-apa. Bila perlu kau bercerita sampai
mau kiamat nanti, pasti aku dengarkan!"
"Dengkulmu, Gendut! Kau kira urusan kita su-
dah selesai!?" hardik Pendekar Muka Bengis, galak.
"Bagaimana dengan Pasukan Kelelawar?!"
"Oh, iya! Bagaimana kalau kau turut kami me-
ringkus Pasukan Kelelawar itu, Anak Muda?!" usul
Gendut Tangan Tunggal.
"Bagaimana, ya...," timbang Satria. Sebenarnya,
persoalan Pasukan Kelelawar, masih terlalu awam ba-
ginya. Dia belum cukup jelas mengetahui duduk per-
karanya. Kebetulan saja dia berurusan tanpa disengaja
dengan mereka sebelumnya.
"Dia mau!" serobot Gendut Tangan Tunggal.
Aduh emak, mimpi apa Satria semalam?
* * *
Kembali ke Pasukan Kelelawar!
Sementara itu, Pasukan Kelelawar terus berlari
setelah lolos dari kejaran Satria Gendeng. Mereka me-
nuju bagian barat tanah Jawa.
Sampai di suatu tempat yang menjadi wilayah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran, mereka berhenti. Hari
saat itu sudah luluh. Sinar dilumat oleh kegelapan me-
remang. Di tanah pekuburan di atas bukit karet, me-
reka berdiri diam. Mengitari satu kuburan tua berni-
san batu gunung. Bentuk nisan berbentuk tengkorak
manusia. Tanpa nama, tanpa keterangan apa-apa di
atasnya.
Ada seseorang yang mereka nanti.
Pekuburan bisu. Kelenggangannya menghantui.
Gelap sudah tak terbendung kedatangannya berkawal
kabut tebal. Di atas gundukan-gundukan tanah kubu-
ran. Gumpalan putih tambun itu menggerayang perla-
han ke mana-mana.
Detik merangkak dalam diam Pasukan Kelela-
war.
Mereka seperti sembilan mayat hidup kecil.
Kabut mendekat, seperti perlahan menyergap.
Kesembilan bocah kecil itu terundung tuntas. Hingga
mereka, benar-benar tertelan. Ketika kabut sirna tepat
di atas batu nisan besar, telah duduk bersila seseo-
rang. Lelaki tua yang penampilannya lebih mirip hantu
daripada manusia. Wajahnya sepucat mayat. Tirus dan
kurus. Berkumis putih dan tebal. Berambut putih pan-
jang. Lelaki tua itu bertelanjang dada. Seperti Pasukan
Kelelawar, dia pun hanya mempergunakan kain cawat
pembungkus berwarna hitam.
Bagian yang paling mengerikan pada wajah si
lelaki tua adalah matanya. Sepasang matanya seperti
tak pernah mengatup atau berkedip seolah tak memili-
ki kelopak. Biji matanya putih menyeluruh. Kulit di
seputar mata berwarna hitam.
Tak bergerak.
Bersidekap.
Ketika lolong anjing hutan terdengar untuk per-
tama kali, tangan kurus berbalut kulit keriputnya ber-
gerak perlahan. Terpentang ke depan. Lalu terpancar-
lah api merah terang dari ujung tangan lelaki tua itu.
Tak seperti wajarnya, api yang menjilat-jilat ke segala
arah, api dari tangannya justru berbentuk lurus seper-
ti gelaran kain panjang menyala. Lalu api tadi menye
lubungi para bocah. Aneh. Mereka tak terbakar kare-
nanya!
"Apa yang telah terjadi pada kalian, Murid-
muridku?"
Mencelat suara serak menjangkit milik orang
tua kurus. Mulutnya tak tampak bergerak. Begitupun
pita suara dalam tenggorokannya. Kemungkinan besar,
si lelaki tua berbicara dengan sembilan bocah yang
disebut sebagai muridnya itu dengan mempergunakan
kekuatan batin. Selubung api merah tipis itu menjadi
penghantarnya.
Tanpa terlihat menggerakkan bibir, salah seo-
rang bocah menjawab, "Seseorang telah mengusik tapa
kami, Eyang."
"Siapa orang yang lancang itu?"
"Seorang pemuda, Eyang. Usianya tiga kali le-
bih tua dari kami. Dia membawa senjata berbentuk
kail yang begitu ampuh...."
"Perlihatkan padaku!"
"Baik, Eyang."
Lalu, dari bola mata bocah yang berdiri paling
depan, menjulur keluar sebentuk dua gulung api kecil.
Kedua gulungan api menyatu di depan wajahnya. Da-
lam selimut api tipis orang tua kurus, gulungan api itu
menyatu kembali. Berkasnya memupus, lalu diganti-
kan oleh wujud semu seseorang yang berdiri di antara
lelaki tua dan Pasukan Kelelawar. Gambar maya yang
telah direkam oleh otak si bocah dan kini diperlihatkan
secara gaib kepada eyang gurunya. Siapa lagi kalau
bukan Satria Gendeng?
"Hmm, Kail Naga Samudera...."
"Eyang kenal dengan senjata miliknya itu?"
"Aku bukan saja kenal, bahkan tahu jelas den-
gan riwayatnya. Sudah demikian lama aku mengidam
kan senjata pusaka itu untuk menyempurnakan ke-
saktianku."
Sejenak suara gaib lelaki tua menghampa.
"Tapi, siapa bocah bau kencur yang telah me-
milikinya ini? Siapa dia? Bagaimana dia bisa memiliki
benda keramat itu dalam usia yang demikian muda?
Sementara, aku yang sudah berkubang usia belum ju-
ga sempat memegangnya...."
"Katakan pada kami, Eyang. Apakah kami ha-
rus merebut senjata pusaka itu darinya?"
"Tidak. Kalian selesaikan dulu tugas kalian.
Pemuda itu akan kuurus sendiri nanti!"
Gurat wajah lelaki tua itu sedikit berubah. Ma-
tanya memancarkan angkara.
"Aku, Manusia Makam Keramat yang telah la-
ma dilupakan orang, akan segera menjadikan bumi
persilatan sebagai tempatku membangun kekuasaan!
Dan Kail Naga Samudera harus terlebih dahulu kumi-
liki! Aku harus menjadi raja diraja! Penguasa di atas
penguasa!"
* * *
Manusia Makam Keramat.
Adalah lelaki tokoh tua masa lalu yang telah
mati di tangan seorang Prabu Pajajaran, jauh sebelum
masa Prabu Siliwangi. Di masa itu, dia adalah seorang
penjahat penganut ilmu sesat. Momok yang mena-
kutkan segenap wilayah kekuasaan Pajajaran. Orang
yang begitu berhasrat untuk merengkuh takhta raja.
Nama aslinya Arya Sonta, seorang pelarian dari
Mataram yang kemudian menuntut ilmu kedigdayaan
di tanah Parahiayangan. Ditakuti oleh setiap orang di
penjuru Pajajaran karena satu ilmu sesat yang dimili
kinya. Ilmu sesat itu sudah demikian langka sehingga
hampir-hampir tak pernah ada lagi yang memilikinya.
Entah karena peruntungan, Arya Sonta keparat tanpa
sengaja menemukan kitab ilmu sesat itu.
Saat itu, Arya Sonta telah berhasil berguru pa-
da beberapa orang pertapa dan empu dari berbagai
penjuru tanah Pajajaran. Setiap kali dia berhasil mene-
lan ilmu-ilmu yang didapat, maka gurunya dibunuh
secara licik.
Ketidakpuasannya terhadap kesaktian mem-
buat dia semakin haus dan haus. Dari satu tempat ke
tempat lain, dia berguru lalu membunuh sang guru.
Suatu hari dia selesai menyerap ilmu-ilmu yang
diturunkan salah seorang pertapa yang menyadari ke-
salahannya menurunkan kesaktian pada Arya Sonta.
Sayangnya, Arya Sonta telanjur pula mengetahui hal
itu. Segera Arya Sonta berupaya menyingkirkan si per-
tapa. Jika sebelumnya dia tak banyak mengalami ke-
sulitan membunuh guru-gurunya karena mereka tak
pernah menyadari kebusukan hati sang murid, maka
kini Arya Sonta harus berjuang keras.
Siasat liciknya tak bisa mengecohkan sang per-
tapa. Akhirnya keduanya terlibat pertarungan. Amat
sengit. Bahkan berlangsung hingga dua hari dua ma-
lam tanpa henti. Malang tak dapat ditolak, nyawa sang
pertapa akhirnya harus terlepas juga. Keris Arya Sonta
menikam jantungnya.
Sebelum ajal menjelang, pertapa itu sempat
mengutuk murid murtadnya. Arya Sonta tak akan mati
dengan tenang. Jika ajal menjemputnya nanti, maka
jiwanya akan terkungkung merana di antara gerbang
dua dunia, antara alam nyata dan alam gaib.
Arya Sonta tak pernah menanggapi kutukan
itu. Dia terus mengembarai tanah Pajajaran, menam
bah dan menambah ilmunya. Seminggu setelah pem-
bunuhan itu, dia tersesat di Rimba Perawan. Menurut
cerita-cerita, hutan tersebut adalah wilayah kekuasaan
para mambang dan dedemit.
Nyali Arya Sonta tak pernah ciut. Dengan
keangkuhannya, dia terus membelah Rimba Perawan.
Di tengah perjalanan, dia melintasi batas wilayah ke-
kuasaan para mambang. Penghuninya menjadi murka.
Satu mambang penguasa menampakkan diri saat itu
juga di hadapan Arya Sonta.
Tahu dirinya akan dihukum oleh sang mam-
bang, Arya Sonta tak terima begitu saja. Dia melaku-
kan perlawanan keras. Segenap ilmu yang pernah dite-
rimanya dikerahkan untuk mengalahkan mambang
itu.
Berhari-hari kedua makhluk dari dua alam
berbeda itu bertarung. Pertarungan teramat panjang
yang terpental bolak-balik dari alam nyata ke alam
gaib atau sebaliknya. Pertarungan paling berat yang
pernah dialami oleh Arya Sonta mengingat lawannya
bukan lagi manusia.
Keberuntungan rupanya masih membiarkan
kemenangan berada di pihak Arya Sonta. Mambang
penunggu rimba dapat ditaklukkan. Arya Sonta yang
tak pernah mengenal kata ampun untuk lawan, hen-
dak membunuhnya.
Mambang penunggu hutan meminta pengam-
punan Arya Sonta. Dia berjanji akan menunjukkan sa-
tu tempat tersembunyi diperut Rimba Perawan, tempat
terkuburnya satu kitab sakti.
Tentu saja Arya Sonta tak menolak tawaran itu,
karena perjalanannya memang hendak menambah ke-
saktian lebih banyak. Dari petunjuk sang mambang,
lelaki berhati angkara murka itu mencari tempat terkuburnya kitab sakti.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya ditemu-
kan. Kitab Sakti Penghuni Makam! Dari kitab itulah
dia berhasil menguasai satu ilmu sesat yang kemudian
amat ditakuti segenap penjuru Pajajaran.
Karena kerakusannya juga, dia tak menyadari
bahwa ada halaman terakhir dari kitab tersebut yang
hilang. Halaman terakhir itu menjelaskan bahwa Ke-
saktian Penghuni Makam bisa berakibat amat buruk
bagi pemiliknya. Jika si pemilik menemui ajal, maka
nyawanya tak akan diterima bumi dengan tenang. Dia
akan terkunci di batas dua alam!
Lalu kutukan pertapa dulu pun terbukti mana-
kala Prabu Pajajaran yang sakti mandraguna berhasil
mengalahkan kesaktian Arya Sonta, sekaligus mengi-
rimnya ke penjara jiwa di antara dua alam....
ENAM
KETIKA pagi datang, Satria Gendeng bersama
dua rekan barunya terlihat berada di suatu tempat di
batas wilayah Pajajaran. Sebelumnya ketiganya telah
bersepakat untuk meneruskan pencarian ke barat,
arah yang terakhir ditempuh oleh Pasukan Kelelawar
ketika dikejar Satria Gendeng. Karena malam mengha-
dang, ketiganya bersepakat untuk beristirahat dahulu
di tempat tersebut.
"Bangun, Gendut! Matahari sudah naik tinggi!
Kita harus segera melanjutkan pencarian!" gebah Pen-
dekar Muka Bengis.
Gendut Tangan Tunggal tidur telentang see-
naknya di atas rumput. Dengkurnya tak pernah putus
putus semenjak dia mulai merebahkan badan. Bahkan
hingga Pendekar Muka Bengis membangunkannya.
"Hmmm nyam.., nyam...," ceracau Gendut Tan-
gan Tunggal seraya membenahi liur yang berantakan
di dagunya.
Bukannya segera terjaga, orang tua tukang
makan itu malah menggolekkan badan ke sisi lain. Tak
cuma jago makan, rupanya dia pun jago tidur.
Pendekar Muka Bengis jadi mangkel. Diten-
dangnya pantat orang tua gendut itu gemas-gemas.
Tubuh buntal Gendut Tangan Tunggal bergulingan se-
jauh sepuluh tombak. Brengsek sekali, dia tak juga
terjaga. Astaga, dia tidur atau mampus? Rutuk batin
Pendekar Muka Bengis.
Satria yang sudah sejak kokok ayam jantan
pertama terjaga, menjadi geli sendiri menyaksikan
tingkah dua tokoh persilatan itu.
Gendut Tangan Tunggal akhirnya baru bisa ter-
jaga setelah dua kali ditendang oleh Pendekar Muka
Bengis. Bukan tendangannya yang membuat dia ter-
bangun. Melainkan karena dia terguling kembali dan
tercebur ke dalam mata air kecil!
Beberapa saat kemudian, ketiganya benar-
benar siap melanjutkan perjalanan.
"Bagaimana kalau sekarang kita mulai berpen-
car?" usul Satria.
"Kenapa, Anak Muda? Bukankah lebih enak
berjalan bersama-sama seperti ini?"
"Tapi pekerjaan kita akan terhambat jika kita
terus bersama. Akan lebih cepat kita menemukan Pa-
sukan Kelelawar seandainya kita berpencar, bukan?
Dua hari nanti, kita akan berkumpul kembali di tem-
pat ini untuk melapor satu dengan yang lain..," dalih
Satria Gendeng.
Pendekar Muka Bengis tampaknya mendukung
usul si anak muda.
"Ya, Jika ada yang tak kembali, yang lain akan
menyusul ke arah yang ditujunya. Gagasan mu bagus!
Kenapa aku yang lebih tua dan lebih banyak makan
asam garam tak berpikir sampai sana?" timpalnya.
"Kau yang lebih muda dariku saja tidak, apalagi
aku?" sela Gendut Tangan Tunggal.
"Ya, itu karena otakmu sudah terlalu malas di-
ajak berpikir hal lain, kecuali makanan!" gerutu Pen-
dekar Muka Bengis.
"Kau bilang apa?"
"Kubilang, dengan tubuh seperti itu, kau me-
mang terlihat tampan," kelit Pendekar Muka Bengis.
Wajah Gendut Tangan Tunggal sumringah. Bi-
birnya tersenyum lebar-lebar.
"Kalau begitu, memang sebaiknya kita berpen-
car saja. Siapa tahu aku akan berjumpa perempuan
cantik yang terpikat denganku. Bukankah tadi kau bi-
lang aku tampan?"
Satria Gendeng dan Pendekar Muka Bengis bu-
ru-buru berbalik dan melangkah pergi ke arah masing-
masing. Mereka tak ingin diketahui sedang menahan
tawa oleh si orang tua gendut.
* * *
Dua kali sepenanakan nasi Satria Gendeng me-
nempuh arah yang dituju. Selama itu, tak ada satu
tanda-tanda apa pun yang bisa dijadikan petunjuk un-
tuk melacak Pasukan Kelelawar.
Sampai suatu ketika, terdengar senandung
membahana yang sengaja dilepas seseorang dengan
ilmu mengirim suara.
Merangas.
Udara terpangkas.
Sulit bagi Satria Gendeng untuk menentukan
asalnya. Senandung yang menggetarkan itu seperti
mencelat-celat dari satu ke lain tempat.
Ada yang terasa merasuk langsung ke benak si
pendekar muda. Sebentuk gempuran batin yang ter-
kandung dalam suara jarak jauh tadi.
Memaksa tubuhnya bergetaran.
Menggigil.
Seperti ditenggelamkan dalam lautan es.
Satria sadar, ada seseorang mandraguna yang
sengaja mengarahkan suara jarak jauh itu kepada di-
rinya. Memang tak cukup membahayakan. Hanya bisa
mencoba membuat kegentaran nyalinya. Semacam ger-
takan istimewa. Namun begitu, bukan berarti bisa di-
remehkan. Semakin lama gelombang suara itu meng-
goncang benak, akan semakin tersiksa dirinya.
Harus ada perlawanan!
Satria pun berteriak.
"Berhentiiiiii!"
Jangan sekali menjajal tenaga dalam si pende-
kar muda bau kencur. Karena tingkat tenaga dalam-
nya pada keadaan-keadaan tertentu bisa melimpah
bagai gelegak lahar!
Itu terbukti. Suara jarak jauh tadi terpancung
seketika.
"Bedebah!"
Meluncur makian gusar seseorang dari satu
tempat. Satria Gendeng cepat menoleh. Ditemukannya
seorang perempuan setengah baya. Kecantikannya
masih demikian melekat di wajahnya. Bahkan tak ka-
lah dengan wanita muda. Berambut panjang, hitam
tergerai dengan ronce bunga melati. Pakaiannya resik.
Bergaun putih panjang dengan renda-renda indah. Be-
lahannya memanjang hingga ke pangkal paha, mem-
perlihatkan kulit nyaris seputih susu.
Entah kapan perempuan itu sudah berdiri di
sana. Satria tak pernah mengetahui. Hanya, ketika
matanya menemukan perempuan itu, langsung saja
tercium wangi bunga melati. Keras, semerbak.
"Bocah ingusan dari mana kau sampai bisa
mengungguli ajian 'Senandung Dewi Bunga'?!"
Satria Gendeng terpana. Berkedip sekali ra-
sanya rugi setengah mati. Mulutnya menganga. Sukur-
sukur kalau liurnya tak jatuh. Terpesona dia akan ke-
molekan yang ditawarkan perempuan tadi. Selama hi-
dup, dia hanya mengenal satu dua wanita cantik.
Tresnasari salah satunya (Baca episode : "Tabib Sakti
Pulau Dedemit"!) Perempuan satu ini, bukan cuma
cantik. Wajahnya seperti menebat pesona pemikat.
"Sebut julukanmu, Anak Muda Ingusan! Jan-
gan cuma bengong seperti itu!" hardik si perempuan
cantik. Tubuhnya mencelat dari tempat berdiri. Me-
layang ringan di udara, dan hinggap tak lebih dari lima
tombak di depan Satria Gendeng.
Satria masih melompong.
"Aku berbicara padamu, Pemuda Ingusan!" ben-
tak perempuan cantik, lebih keras.
Barulah pendekar muda murid Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu
tersadar. Dia tergagap.
"Aku? Kau tanya aku?!"
Perempuan cantik berdehem, mengiyakan.
"Tanya apa?" susul Satria, ketololan.
"Julukanmu!"
"Lagi lagi julukan.... Kenapa setiap orang persi-
latan selalu menanyakan itu? Apa perlunya?" gumam
Satria.
"Bicara yang jelas!"
"Begini, Bibi..."
"Aku bukan bibimu!"
Mata indah perempuan itu melotot.
"Eh, begini Nona...."
"Kurang ajar, aku lebih tua darimu!"
Makin besar matanya mendelik.
Satria garuk-garuk jidat. "Begini ng... siapa pun
kau, untuk apa menanyakan julukanku? Kupikir julu-
kanku tak ada gunanya bagimu!"
"Berguna! Karena aku sedang mencari seseo-
rang! Karena orang itu belum pernah kutemui dan
hanya julukannya saja yang kuketahui, maka aku ha-
rus tahu julukan setiap orang persilatan yang kute-
mui."
"Siapa yang kau cari?"
"Apa pedulimu!"
"Barangkali aku bisa bantu."
"Anak muda ingusan macam kau? Ah, seberapa
banyak kau kenal tokoh-tokoh persilatan dengan
umurmu, heh?!"
Secantik-cantiknya perempuan itu, kalau bica-
ranya selalu bikin hati pegal, lama-lama Satria jadi
sebal juga.
"Kalau kau tak mau kubantu, ya sudah!"
Satria berbalik. Langkahnya urung karena pe-
rempuan bergaun putih melompat melewatinya lalu
menghadang.
"Kau pikir bisa seenaknya pergi setelah kau tak
menjawab pertanyaan Dewi Melati."
Belum selesai membentak, tangan perempuan
yang mengaku sebagai Dewi Melati melayang cepat ke
wajah Satria. Deras. Kukunya yang panjang dan diberi
pewarna merah menimbulkan desing tajam.
Satria tak ingin wajahnya yang sudah cukup
tampan jadi berantakan. Dia menoleh. Tangan Dewi
Melati lewat hanya dua jari dari wajahnya. Tidak urung
Satria merasakan pedih mendera. Denyarnya sampai
terasa ke ubun-ubun.
"Kuku beracun...," desis Satria tak kentara. Pe-
lajaran ketabiban yang didapat dari salah seorang gu-
runya sudah cukup menjadi modal untuk mengenali
berbagai jenis racun.
Dewi Melati menyusulkan serangan dengan sa-
betan kuku menyamping. Masih dengan tangan yang
sama.
Swing!
Satria mencelat ke belakang, mengambil jarak
aman.
"Tahan! Bukankah kita tak punya urusan apa-
apa?!"
"Salah! Kau telah menghinaku!" tepis Dewi Me-
lati. Lantas diterjangnya lagi Satria Gendeng.
"Menghina?!" Sambil berkelit, Satria Gendeng
memprotes. Matanya melotot. Dia merasa tak pernah
menghina siapa-siapa.
"Kau telah mempecundangi ajian 'Senandung
Dewi Bunga' milikku. Itu berarti kau telah menghina-
ku!"
"Kalau begitu, aku minta maaf! Sungguh!" te-
riak Satria, kelimpungan dalam hujanan serangan la-
wan cantiknya yang membabi-buta.
"Tiada maaf bagimu!"
Sekali lagi Satria Gendeng mengambil jarak.
Cilaka, serapah pendekar muda sakti itu dalam
hati. Kalau begitu, urusannya bisa jadi runyam. Lebih
runyam dari benang kusut! Kalau Dewi Brengsek ini
tak memaafkan kesalahan yang tak pernah kuperbuat,
pasti dia akan ngotot untuk menghukumku, pikir Sa-
tria. Kalau dilayani kemarahannya, berarti aku harus
bertarung. Cuma orang gila yang mau bertarung mati-
matian tanpa alasan. Tapi kalau menghindar, bukan
tak mungkin dia akan mengejarku, pikir Satria lagi,
mumet.
Jadi, apa akalku sekarang?
Tak ada cukup waktu untuk memikirkan jalan
keluarnya. Dewi Melati sudah menerjangnya kembali
seperti celeng hutan mabok duren. Namun, sempitnya
waktu seperti itu tak menutup gagasan yang agak gila
di benak si pemuda sakti.
Toh, si tua bangka Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memang mendidiknya untuk bertingkah sedi-
kit gila. Jadi apa ruginya kalau dicoba?
Maka.,..
Sraat!
Satria tak menghindar ketika sambaran kuku
Dewi Melati menyayat bahunya. Pakaian di bagian tan-
gan robek, bersamaan dengan mengalirnya darah. Ka-
lau sadar kuku lawan beracun, bukankah tindakannya
itu agak gila?
"Kena kau!" pekik Dewi Melati kegirangan.
Satria mengeluh tertahan. Dia cepat terjeng-
kang ke belakang. Di tanah, tubuhnya kelojotan.
"Makan racun ku itu!" maki Dewi Melati, puas.
Lalu dia melangkah santai, meninggalkan Sa-
tria yang masih terus mengejang-ngejang. Lebih parah
dari cacing kepanasan. Lebih sengit dari ayam disem-
belih.
***
TUJUH
SEPENINGGALAN Dewi Melati, Satria Gendeng
benar-benar tak bergerak lagi. Selang beberapa saat
kemudian, sebelah matanya tiba-tiba memicing. Meli-
rik kanan-kiri. Setelah yakin perempuan cantik agak
edan tadi sudah tak ada lagi di tempatnya, Satria Gen-
deng bangkit.
"Perempuan brengsek...," gerutunya sambil me-
nepuki pakaian yang dipenuhi debu. Luka di bahunya
segera di balut dengan sobekan kain.
"Apa maunya dia sebenarnya? Siapa orang yang
dicarinya?" tanyanya, pada diri sendiri. Agak penasa-
ran juga dia. Tapi mengingat masih punya urusan
penting, Satria akhirnya tak terlalu mau mempeduli-
kan.
Racun milik Dewi Melati sebenarnya sama se-
kali tak membahayakan dirinya. Terlebih mengancam
nyawanya. Kalau sebelum itu tubuhnya menggelepar-
gelepar, semata karena Satria Gendeng hanya berpura-
pura. Pendekar muda itu memang kebal terhadap be-
berapa jenis racun. Penyebabnya karena di tubuhnya
telah mendekam Ramuan Pulau Dedemit dan zat lang-
ka dasar Laut Selatan terdalam. Percampuran kedua-
nya tidak hanya membentuk tenaga sakti yang bisa
menggelegak sewaktu-waktu, tapi juga kekebalan ter-
hadap racun.
(Bacalah episode sebelumnya: "Tabib Sakti Pu-
lau Dedemit")
Akal bulusnya berjalan amat mulus! Sedikit lu-
ka tak mengapa. Yang penting urusannya dengan Dewi
Melati jadi tidak bertele-tele. Seraya menggerutu ber-
kepanjangan, Satria Gendeng meneruskan perjalanan.
Setengah hari terlewat. Sampai saat itu tetap
saja Satria tak menemukan petunjuk tentang Pasukan
Kelelawar. Bahkan hingga malam hampir turun kem-
bali ke peraduannya. Menjelang senja yang demikian
menua. pendekar muda itu tiba di dekat telaga kecil.
Sementara, Satria memutuskan untuk mengisi
perut dahulu. Sejak bangun pagi, perutnya belum se-
dikit pun terisi makanan. Cacing-cacing di dalamnya
sudah terus ribut meminta jatah.
"Hmm telaga ini tentu ada ikannya," harap Sa-
tria. Tentu sedap melahap ikan bakar di sore berhawa
cukup dingin seperti kebanyakan wilayah Parahiayan-
gan, pikirnya.
Tak perlu terlalu pusing memikirkan bagaima-
na cara mendapatkan ikan dari telaga itu. Satria melo-
loskan Kail Naga Samudera dari kain ikat pinggangnya.
Ruas kail membentang. Talinya menggelepar. Mata ter-
latihnya yang setajam pandangan elang sesaat menga-
wasi permukaan telaga. Seekor ikan gabus besar mun-
cul cepat ke permukaan, menciptakan gelombang kecil
yang melebar.
Dengan kegesitan mengejar kecepatan gerak
sang ikan, tangan si pendekar muda mengayun kail di
tangannya ke belakang. Kemudian mengayun amat ce-
pat ke depan.
Wukh pyar!
Logam pada mata Kail Naga Samudera berben-
tuk ekor naga menukik sengit, menembus permukaan
danau tanpa menghasilkan percikan berarti. Pada sen-
takan berikut, mata kail sudah mencelat keluar dari
air. Di atasnya ada seekor ikan gabus sebesar setengah
lengan yang tertembus.
Satria tertawa kecil.
"Mengasyikkan juga," ucapnya.
Selama memiliki kail pusaka di tangannya, tak
pernah sekali pun dipergunakan untuk mengail seperti
sekarang ini. Ternyata mempergunakan benda pusaka
itu untuk memancing cukup mengasyikkan.
Ikan gabus yang didapatnya sudah cukup un-
tuk mengganjal perut. Perutnya bukan sejenis perut
Gendut Tangan Tunggal. Kalau orang tua rakus itu bi-
sa menyikat habis lima ekor ikan besar, satu ikan bagi
Satria sudah lebih dari cukup. Kendati tak mempunyai
alasan untuk mencari tambahan ikan, timbul keingi-
nan Satria untuk mencoba mendapatkan ikan kedua.
Satria menunggu kembali gelombang kecil yang
dihasilkan oleh ikan. Tak lama dilihatnya. Tangannya
cepat bergerak mengayun kail pusaka.
Wukh pyar!
Sewaktu tangannya hendak membetot kail ke
permukaan, ada sesuatu yang terasa tersangkut pada
mata kail. Bukan ikan. Satria bisa memastikan, karena
tali kailnya terlalu berat ditarik. Kalau pun ternyata
ikan, tentunya seukuran manusia!
Sebesar manusia? Ikan telaga apa yang beru-
kuran sebesar itu.
Satria penasaran.
Kail ditarik dengan perasaan tegang. Mula-mula
terlihat ikan gabus sedang yang telah tertembus ma-
suk ke tali kail. Selanjutnya....
Manusia?
Satria Gendeng benar-benar dibuat tercekat ke-
tika ujung kail tiba di permukaan. Ternyata yang bera-
da di ujung kail benar-benar manusia!
Buru-buru Satria melompat ke dalam telaga.
Dia harus segera menolongnya. Siapa tahu orang itu
masih bernyawa, timbangnya. Hanya dengan berenang
sebentar, dia berhasil menjemput tubuh orang malang
itu. Diangkatnya ke tepi.
Orang yang ditolong lelaki berusia tiga puluhan.
Masih cukup tua dibanding usia Satria sendiri.
Dari keadaan tubuhnya, Satria yakin orang itu menga-
lami luka dalam. Kemungkinan besar, luka dalam itu
pula yang menyebabkan dia hampir mati tenggelam.
Di bawah satu pohon cukup rindang, Satria
mencoba memberikan pertolongan pertama.
Waktu berlalu.
Api unggun menyala di tepi telaga. Satria telah
menyiapkannya sejak tadi. Tubuh orang yang nyaris
tenggelam dalam telaga dibaringkan di tepi api un-
ggun. Biar suhu badannya normal kembali. Satria te-
lah pula menyalurkan hawa murni dan memberikan pil
untuk meringankan luka-luka dalam yang diderita
orang itu.
Selesai itu semua, dia tinggal menanti orang
yang ditolongnya siuman. Sambil menanti, dia mem-
bakar dua ekor ikan yang didapat di atas api.
Menjelang waktu isya, orang itu akhirnya mulai
siuman. Matanya mengerjap-erjap diterjang cahaya api
unggun. Menemukan Satria sedang duduk tenang di
depan api unggun, dia bertanya seraya berusaha
bangkit.
"Siapa kau, Adik Muda?"
Satria menoleh dan menahannya agar tidak
bangkit.
"Jangan banyak bergerak dulu, Kakak. Beristi-
rahatlah sampai aku bisa membawamu ke tabib di de-
sa terdekat," katanya.
"Apakah kau yang telah menolongku?" tanya le-
laki tadi.
Satria mengangguk.
"Aku kebetulan lewat. Kebetulan pula mene
mukan Kakak hampir tenggelam."
Wajah lelaki tadi tampak lega, kendati pucatnya
masih kentara.
"Apa yang telah terjadi pada Kakak sebenar-
nya?" susul Satria. Disodorkannya ikan bakar pada le-
laki tadi. Baunya benar-benar mengundang selera. Ta-
pi, tentu saja tak cukup untuk membuat lelaki tiga pu-
luhan itu melahapnya langsung.
"Panggil aku, Suta. Aku terlibat pertarungan
dengan seorang wanita cabul." Sebentar dia meneliti
wajah penolongnya. Lanjutnya, "Apa kau orang persila-
tan?"
"Boleh dibilang begitu."
"Kalau begitu, kau tentu kenal dengan Dewi
Melati?"
Dewi Melati? Satria teringat peristiwa siang tadi
ketika berurusan dengan seorang perempuan yang di-
anggapnya agak edan. Bukankah perempuan cantik
itu mengaku bernama Dewi Melati?
"Jadi semua ini ulah Dewi Melati?"
Lelaki bernama Suta mengangguk.
Satria melepas ikan bakar yang sejak tadi dibo-
lak-balikkan di atas api. Perkataan Suta membuatnya
jadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh cerita Suta
hingga berurusan dengan Dewi Melati.
"Ada urusan apa Kakak Suta dengan Dewi Me-
lati?"
Suta menggeleng.
"Tidak ada urusan apa-apa?" tanya Satria, ingin
meyakinkan jawaban Suta.
"Ya. Aku tak punya urusan apa-apa dengan-
nya."
"Sialan!" maki Satria. Kedongkolannya pada se-
pak-terjang Dewi Melati muncul lagi. Apa maunya pe
rempuan itu. Bagaimana dia bisa seenak perut memu-
suhi orang tanpa alasan jelas? Apa dikiranya dunia ini
punya nenek moyangnya?
"Siapa yang kau maki, Adik Muda?"
"Ah, tidak Kakak Suta. Jadi, bagaimana ceri-
tanya sampai dia berjumpa denganmu?"
"Aku sebenarnya sedang pulang ke pergurua-
nku. Kudengar kabar, salah seorang murid putri per-
guruan kami diculik oleh Pasukan Kelelawar...."
Kalau tadi Satria sempat memaki di mulut, se-
karang dia mengutuk lagi. Cuma dalam hati. Dia tak
ingin cerita orang yang ditolongnya jadi terganggu. Tadi
Dewi Melati. Kini, Pasukan Kelelawar. Kenapa dua na-
ma itu jadi sering kudengar? Bisik hatinya. Dan kedu-
anya sama-sama membuat tenggorokan si pendekar
muda terasa membengkak karena gusar.
"Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan
Dewi Melati," Suta melanjutkan cerita. "Dia menanya-
kan siapa diriku dan apa julukanku. Kukatakan pa-
danya, aku cuma seorang murid perguruan silat biasa.
Aku tak punya julukan besar di dunia persilatan. Lalu,
mulailah dia mencaci maki aku. Biarpun aku tak se-
banding dengan kepandaiannya, aku tentu tak sudi
diperlakukan begitu. Sebelum aku sempat marah, dia
terlebih dahulu memaksaku mengatakan sesuatu yang
tak kuketahui...."
"Mengatakan apa, Kakak Suta?"
"Aku dipaksa mengatakan, di mana beradanya
seorang pendekar muda yang namanya membuat ke-
gemparan di dunia persilatan belakangan ini. Karena
aku tak tahu, aku tak bisa menjawab. Dia ngamuk be-
sar. Diserangnya aku. Aku tentu saja berusaha berta-
han. Tapi tak berhasil. Hanya dalam satu dua gebra-
kan, aku dibuat terpental pingsan dan langsung ter
lempar ke dalam telaga!"
Satria penasaran.
"Tadi Kakak Suta menyebut-nyebut tentang
pendekar muda yang dicari Dewi Melati. Siapa pende-
kar muda yang kau maksud?"
"Satria Gendeng," jawab Suta.
Alis Satria bertaut serapat-rapatnya. Di samp-
ing terkejut, sekarang dia jadi tahu siapa orang yang
sedang dicari-cari Dewi Melati. Yang dia tidak tahu,
untuk apa perempuan itu mencari-cari dirinya? Sepan-
jang ingatannya, tak pernah sekali pun dia berjumpa
dengan Dewi Melati. Apalagi berurusan dengannya,
sampai siang tadi.
"Aneh juga...," gumam Satria.
"Kau mengatakan sesuatu, Adik Muda?"
"Oh, tidak..., " kelit Satria.
"Apa Dewi Melati berkata pada Kakak Suta ten-
tang alasannya mencari aku, eh Satria Gendeng itu?"
kejar Satria lagi, makin penasaran.
Suta menggeleng.
Satria menarik napas. Dia makin 'geregetan' sa-
ja pada Dewi Melati.
"Sebaiknya Kakak Suta beristirahat. Besok pa-
gi-pagi sekali aku akan mengantarmu ke tabib terde-
kat," kata Satria akhirnya.
"Bagaimana dengan ikan bakar ini?" tanya Suta
seraya mengangkat panggang ikan pemberian Satria.
Sejak tadi, dia hanya memegangnya. Tak sempat ma-
kan karena diberondong oleh pertanyaan pemuda di
depannya.
Satria nyengir.
"Oh, iya! Aku 'hampir' lupa," katanya, malu ha-
ti.
Keesokan harinya, Satria memenuhi janjinya
untuk mengantarkan Suta ke tabib di desa terdekat.
Tabib ditemukan. Dengan begitu, Satria segera pamit.
Sebelum pergi, Suta menahannya.
"Aku lupa menanyakan sesuatu padamu, Adik
Muda...," katanya di pintu rumah tabib.
Satria menunggu.
"Siapa namamu?" sambung Suta.
"Panggil aku Satria, Kakak."
"Satu lagi yang ingin kutanyakan."
"Apa?"
"Aku sempat melihat pancing yang kau guna-
kan. Bentuknya agak aneh. Aku jadi teringat pada ki-
sah tentang senjata pusaka yang begitu diminati oleh
kalangan persilatan...."
Sejenak Suta mengawasi Satria. tatapannya se-
perti menyelidik. Satria jadi tak enak hati.
"Apa kaukah pendekar muda berjuluk Satria
Gendeng itu?" tanya Suta, agak ragu.
Satria merasa tersudut. Dia tak bisa menyem-
bunyikan jati dirinya lagi pada Suta. Pada dasarnya,
pemuda lugu itu memang paling sulit untuk berdusta.
Dengan cengengesan yang khas, Satria akhir-
nya mengaku.
Wajah Suta lantas dipenati suka-cita. Adalah
satu kehormatan baginya bisa mengenal seorang pen-
dekar muda murid langsung dua tokoh besar tanah
Jawa.
"Kebetulan sekali kalau begitu," sambung Suta.
"Aku harus menyampaikan padamu bahwa Dewi Melati
sempat kudengar menyebut-nyebut pula tentang Pa-
sukan Kelelawar. Sayang aku kurang jelas. Namun,
aku yakin itu ada hubungannya dengan maksudnya
mencari dirimu."
Tanda tanya untuk si pendekar muda tanah
Jawa bertambah lagi...
* * *
Gendut Tangan Tunggal mengeluh karena siang
begitu terik menukik di ubun-ubun. Keringatnya su-
dah membanjir. Semua ini gara-gara Pendekar Muka
Bengis, gerutunya. Coba kalau tidak diajak mencari
Pasukan Kelelawar, tentu dia sudah telentang pulas di
bawah pohon rindang. Sudah begitu, susah sekali me-
nemukan bocah-bocah ajaib pembuat onar itu. Padah-
al, besok siang mereka sudah harus kembali berkum-
pul kembali di tempat mereka berpisah.
Menyesal sudah tak berguna. Kendati tak henti
berkeluh kesah, orang tua kelebihan lemak itu terus
berjalan. Untuk sedikit menghibur diri, dia merogoh
tas hitam besar di belakang punggungnya. Rogoh sa-
na-rogoh sini, tak ada juga makanan ditemui. Sialan,
makinya sebal. Persediaan makanannya pun habis.
Sialnya jadi lengkap hari ini!
Belum, belum cukup lengkap. Ada lagi kesialan
baru yang sungguh mati membuat Gendut Tangan
Tunggal mulas karena jengkel tak tertolong. Pasalnya,
seseorang tiba-tiba datang menghadang. Seorang pe-
rempuan. Dan Gendut Tangan Tunggal cukup kenal
dengan perempuan itu.
"Mau ke mana kau, Gendut?!" tegur si perem-
puan penghadang. Caranya dan nadanya menegur sa-
ma sekali tak beradat. Terdengar kurang ajar di telinga
Gendut Tangan Tunggal. Biar jelek-jelek, dia kan lebih
tua. Mana tatakrama orang yang lebih muda seperti
perempuan yang menghadangnya.
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk
jengkel, kepalanya, seakan hendak merontokkan ram
but sendiri.
"Iiiiih, mau apa kau menghadangku, Dewi Mela-
ti?!" tanyanya geregetan sekali.
"Aku mau tanya sesuatu, Gendut!"
"Jangan panggil aku terus dengan sebutan itu!"
"Sebutan apa? Gendut? Bukankah kau me-
mang gendut? Apa aku harus menyebut mu
'kerempeng'? Kau tidak melihat kenyataan!"
"Tapi aku tersinggung! Setidak-tidaknya, kau
menyebut julukanku dengan lengkap. Aku merasa le-
bih dihargai kalau begitu. Kalau kau terus panggil aku
begitu sama saja kau hendak mencari perkara den-
ganku!"
"Kita memang masih punya perkara yang belum
selesai. Kau pernah punya hutang denganku. Sekarang
aku akan menagihnya!"
"Sialan kau Dewi Melati. Memangnya aku ber-
hutang apa?"
"Dulu kau pernah mengalahkan aku."
"Itu kan karena kau yang menantang!"
"Tapi, aku tak menerima kekalahan itu!"
"Ah, 'lihat kenyataan' Dewi Melati. Kepan-
daianmu memang tak sebanding denganku. Apa itu
belum cukup?" tangkis Gendut Tangan Tunggal, me-
makai perkataan Dewi Melati sendiri.
"Kalau begitu, aku tak akan mempersoalkan la-
gi perkara itu." .
"Bagus-bagus! Memang harus begitu!"
"Tapi dengan satu syarat!"
"Sialan! Kenapa kau tak...."
"Biarkan aku bicara dulu, Gendut!" jegal Dewi
Melati, sengit.
Gendut Tangan Tunggal mengusap dada. Jan-
tung orang tua macam dia sudah terbilang soak untuk
menerima hardikan seorang perempuan kaleng rom-
beng macam Dewi Melati. Mudah-mudahan suatu hari
mulutnya berbusa, kutuknya dalam hati.
"Aku mau kau memberi tahu aku, di mana Sa-
tria Gendeng?" lanjut Dewi Melati, tak memberi ke-
sempatan untuk Gendut Tangan Tunggal.
"Satria Gendeng? Kau tanya pendekar muda
itu? Hi hi hi!"
"Jangan tertawa, Gendut. Kau tambah jelek!"
Gendut Tangan Tunggal langsung bungkam.
Paling sebal kalau dirinya disebut jelek. Kemarin kalau
tidak salah Pendekar Muka Bengis justru menyebut-
nya tampan. Jadi mana yang benar? Ah, perempuan
kaleng rombeng itu saja yang sirik!
"Apa yang kau tahu tentang Satria Gendeng!"
serbu perempuan yang tak saja cerewet, tapi tersohor
sangat genit itu.
"Aku tak akan mengatakan padamu di mana
anak muda itu sebelum kau jelaskan alasanmu men-
carinya!" tandas Gendut Tangan Tunggal, tegas. Dia
merasa telah memegang kartu mati milik Dewi Melati.
Dewi Melati menggeram. Matanya menatap ga-
lak.
"Apa? Kau mau mengajak bertarung lagi?" tan-
tang Gendut Tangan Tunggal. Ibarat permainan catur,
dia telah menang satu langkah.
"Gendut! Keparat jelek bau bawang!" serapah
Dewi Melati berpentalan. Tangannya sudah teracung,
hendak melabrak orang tua berbadan boros di depan-
nya.
"Ayo, seranglah aku! Aku tak akan memberita-
hukan di mana anak muda itu padamu! Hi hi hi..."
Gendut Tangan Tunggal makin senang menyaksikan
kejengkelan Dewi Melati
Sementara itu, Satria sendiri tanpa sengaja te-
lah tiba pula di tempat tersebut. Mendengar ribut-ribut
di kejauhan, dia segera mendekat. Di kejauhan disak-
sikannya Gendut Tangan Tunggal. Begitu tahu siapa
orang yang perang mulut dengannya, Satria mengu-
rungkan niat untuk menghampiri mereka. Dia mengin-
tai dulu di balik sebuah pohon besar.
"Katakan Gendut, di mana Satria Gendeng se-
benarnya! Katakan! Katakan!"
Dewi Melati menjerit-jerit di depan Gendut Tan-
gan Tunggal sambil menjambak-jambak rambut sendi-
ri. Kakinya menjejak-jejak tanah serabutan. Tingkah-
nya sudah mirip nenek-nenek pikun kehabisan sirih.
Kemarahan pada Gendut Tangan Tunggal yang tak ke-
sampaian, dilimpahkan pada diri sendiri.
Gendut Tangan Tunggal jadi melongo. Satria
pun melongo.
Mereka lebih melongo lagi ketika menyaksikan
Dewi Melati yang penampilannya sudah amburadul
terduduk menangis di tanah. Terisak-isak sambil men-
gusap air matanya dengan punggung tangan berkali-
kali.
Nah lo?
Hati-hati Gendut Tangan Tunggal mendekat.
Dia tak mau tiba-tiba perempuan itu mencakar wajah-
nya. Siapa tahu dia memang sudah sinting....
"Kau tak mau bilang padaku, kenapa kau men-
cari pendekar muda itu?" ucap Gendut Tangan Tung-
gal. Jadi kasihan juga dia menyaksikan perempuan
itu.
"Hu hu hiik hik, beberapa hari lalu, aku dike-
jar-kejar oleh Pasukan Kelelawar! Aku hendak diculik
seperti perempuan-perempuan lain. Mereka benar-
benar anak dedemit. Aku berusaha melawan, tapi me
reka hampir membuat aku mampus. Untung aku sem-
pat lari...."
Kepala Gendut Tangan Tunggal menggeleng sa-
na-sini.
"Kau jangan ngaco! Aku tak tanya itu. Yang aku
tanya, apa alasanmu mencari Satria Gendeng!" sem-
burnya sengit.
Dengan mata sembab, Dewi Melati memelototi
Gendut Tangan Tunggal.
"Ya, itu tadi! Aku ingin meminta dia melindun-
giku dari tangan Pasukan Kelelawar. Satu saat, mereka
pasti akan kembali untuk menculik ku, Aku kan ngeri!
Hiii...."
Gendut Tangan Tunggal terkikik. Entah kenapa
dia menganggap alasan perempuan itu menggelikan.
Satria di tempat persembunyiannya terus me-
longo. Jadi, cuma karena itu Dewi Melati mencari-
carinya setengah edan?
DELAPAN
KARENA Gendut Tangan Tunggal tak mau ber-
henti menertawainya, lama kelamaan Dewi Melati jadi
bernafsu juga. Dibarengi jeritan gusar, jadi pula akhir-
nya diserangnya orang tua itu. Urusan unggul atau ti-
dak, soal belakangan. Juga urusan keperluannya me-
nanyakan keberadaan Satria Gendeng.
Pokoknya sekarang ini hanya ada satu keingi-
nan Dewi Melati: mencakar-cakar kulit berlemak Gen-
dut Tangan Tunggal.
"Hiiiiih!"
Wukh!
Kuku panjang Dewi Melati menyambar wajah
Gendut Tangan Tunggal.
Hanya dengan mengandalkan tangan kanannya
yang hidup, Gendut Tangan Tunggal menangkis. Se-
lanjutnya gada di tangan itu terayun. Hanya dengan
mengerahkan kekuatan otot pada pergelangan tangan
saja, senjata besar dan berat itu menderu bagai suara
angin ribut.
Kalau Dewi Melati tidak cepat merunduk, kepa-
lanya bukan cuma remuk. Bisa saja berantakan.
"Bangsat, tenaga dalamnya ternyata masih te-
tap ampun!" maki Dewi Melati, manakala merasakan
angin pukulan gada lawan membuat tengkuknya ber-
denyar. Namun begitu, dia belum mau mengalah.
Dikejarnya lagi lawan dengan serangan baru.
Rambutnya yang panjang diayunkan. Seketika rambut
itu menjadi mengeras bagai sehimpun lempengan baja
halus, hendak menusuk perut buncit lawan.
Wukh!
"Kau memang perempuan bawel tak tahu diri!"
seru Gendut Tangan Tunggal, tanpa berniat menghin-
dar. Dengan sengaja, dia malah menyorongkan perut-
nya ke depan. Ketika ujung rambut lawan hampir tiba,
nafasnya ditarik kuat-kuat.
"Hhhhhup!"
Dalam satu sentakan napas cepat, kulit perut
Gendut Tangan Tunggal membesar menjadi hampir
dua kali lipat!
Duph!
Terdengar bunyi teredam begitu rambut lawan
mendaratinya. Yang terjadi kemudian lagi-lagi mem-
buat Dewi Melati harus mengakui kelebihan tenaga da-
lam lawan. Rambutnya yang telah mengeras bagai baja
mendadak terpantul balik tanpa sedikit pun melukai
kulit perut lawan. Lecet saja tidak! Perut si orang tua
gendut seakan telah berubah menjadi bantalan karet
kenyal.
Lebih dari itu, tubuh perempuan itu turut ter-
sentak ke belakang.
"Sialan," geram Dewi Melati.
Gendut Tangan Tunggal malah asyik mengelus-
elus perutnya.
"Masih penasaran? Kau tak akan unggul dari
aku selama kau masih mengandalkan kepandaian-
kepandaian yang itu-itu juga. Kalau pun kau memiliki
ilmu simpanan baru, aku mau sedikit mencicipi. Dan
rasanya, kau tetap tak akan mengalahkanku," ledek-
nya santai.
"Kau benar, Gendut! Setelah aku kau kalahkan
waktu itu, aku sudah menambah beberapa kepandaian
yang akan membuat perutmu pecah! Nih, kau terima-
lah!"
Dewi Melati menggerakkan kepala cepat. Ram-
but hitamnya tersibak. Ronce bunga melati pada ram-
butnya terlepas dan bercelatan memperdengarkan des-
ing tajam.
Zing!
Bunga-bunga kecil berwarna putih yang dipan-
dang sekilas begitu damai dan tak berbahaya ternyata
menjelma menjadi senjata rahasia maut. Di udara,
bunga-bunga itu berputaran seperti bor kecil terbang.
Jangankan tubuh manusia, pohon paling keras pun
dapat ditembus dengan amat mudah. Selain itu, selu-
ruh ruang gerak lawan telah ditutupnya dari segenap
arah.
Kalau hanya begitu, Gendut Tangan Tunggal
masih dapat dengan mudah mementahkannya. Seba-
gai tokoh disegani, dia memiliki tangan kanan andalan
yang bisa memutar gadanya hingga membentuk ta
meng berputar.
Lain perkara kalau di tengah jalan senjata ra-
hasia lawan mendadak meletup. Dari letupan kecil
yang terdengar ramai, tertebarlah asap berwarna hitam
kebiruan. Sekejapan saja, pandangan lawan menjadi
kacau balau.
Saat itulah Dewi Melati mempergunakan ke-
sempatan untuk melepaskan senjata rahasia lain.
Tangannya berkelebat.
Zzzz!
Meluncurlah puluhan jarum-jarum kecil yang
selama ini tersimpan di bawah kuku panjangnya. Me-
lewati asap pekat, Gendut Tangan Tunggal diserbu.
Dalam kepungan asap yang hampir membutakan pan-
dangan, akan amat sulit bagi orang tua itu untuk
menghindari jarum-jarum beracun lawan.
Jlep jlep jlep!
"Kena kau, Gendut!" sorak Dewi Melati, girang
luar biasa mendengar suara halus tadi.
Satria di tempat pengintaiannya menjadi cemas
akan keselamatan orang tua berbadan gemuk yang ba-
ru dikenalnya. Betapa licik serangan perempuan itu,
nilainya. Untuk bertindak, mungkin sudah terlambat.
Sebaiknya menunggu sampai asap tebal sirna untuk
memastikan keadaan Gendut Tangan Tunggal, tim-
bangnya. Angin menepis.
Asap menipis.
Perlahan, kepekatan tersingkap. Samar-samar,
mulai terlihat sosok buntal di sana.
"Cetek!"
Terlepas seruan. Tentu saja dari mulut Gendut
Tangan Tunggal. Orang tua itu sedang duduk berun-
cang kaki di tanah. Dia asyik menghitung jarum-jarum
yang menancap di bawah sebelah sandal kayunya!
Karena tetap tak berhasil menghajar Gendut
Tangan Tunggal, akhirnya Dewi Melati sebal sendiri.
Dia mulai merengek. Kejadian yang membuat Gendut
Tangan Tunggal geli terulang lagi. Dewi Melati menja-
tuhkan diri, duduk menangis terisak-isak.
Satria keluar dari tempat persembunyian. Sulit
baginya untuk diam di tempat dan tak mempedulikan
apa yang terjadi ketika menyaksikan air mata wanita.
Biarpun sebenarnya masih tersisa kegusaran terhadap
Dewi Melati. Terutama perbuatannya terhadap Suta.
Kalau cuma hendak bertemu dengan seseorang, kena-
pa harus menurunkan tangan kejam pada orang lain
yang tak bersalah dan sama sekali tak tahu menahu?
Sekarang, teka-teki tentang Dewi Melati terja-
wab sudah.
Gendut Tangan Tunggal tambah terkikik geli
begitu menyaksikan si pendekar muda tanah Jawa
muncul diam-diam dari arah belakang Dewi Melati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pikirnya. Nasib baik
mungkin sedang berpihak pada Dewi Melati. Tanpa
perlu mencari lagi, orang yang diharapkan tiba-tiba
muncul. Itu pun dianggapnya lucu.
"Hei, Perempuan Kaleng Rombeng!" tukasnya
pada Dewi Melati yang masih sibuk terisak. "Kau ma-
sih mau bertemu dengan Satria Gendeng atau tidak?"
Mendengar tawaran tadi, wajah perempuan
cantik itu terangkat.
"Tentu saja aku mau! Apa kau tak lihat aku
menangis karena begitu ingin bertemu dengannya?
Sumpah mati, aku hanya percaya Satria Gendeng yang
bisa melindungiku dari tangan Pasukan Kelelawar...,"
tegur Dewi Melati.
"Kenapa begitu?"
"Karena... karena... ah, kau banyak tanya! Ke
napa tak kau katakan saja di mana Satria Gendeng be-
rada sekarang?"
"Dia ada di sini..."
Wajah Dewi Melati berubah. Dari mendung,
menjadi cerah.
"Mana mana dia?" tanyanya bersemangat. Ma-
tanya melirik ke sana-ke sini. Satria Gendeng jelas tak
ditemukan.
Karena pemuda itu berdiri tepat di belakang-
nya. Lain masalah kalau perempuan itu sedikit meno-
leh ke belakang.
Menyaksikan kejadian itu, Gendut Tangan
Tunggal terkikik geli.
"Mana dia, Gendut!" bentak Dewi Melati, tidak
sabar.
"Ada di belakangmu," ucap Satria, menyela.
Dewi Melati jelas segera berbalik bersemangat.
Ingin sekali dilihatnya wajah pendekar muda sakti
yang menjadi harapannya untuk berlindung dari pen-
culikan Pasukan Kelelawar.
Manakala menyaksikan Satria, seketika itu pu-
la wajah Dewi Melati jadi sepucat mayat. Sejenak dia
melompong bengong seperti kehilangan akal sehat. Ma-
tanya menatap tak berkedip. Mulutnya menganga. Tak
heran, wajah cantiknya jadi terlihat bodoh juga.
"Kau... kau...," gagapnya. Sungguh dia tak per-
caya pada penglihatannya sendiri. Bagaimana tidak?
Dia telah yakin benar bahwa pemuda yang ditemuinya
itu tempo hari telah mampus oleh racun kukunya.
Orang mati mana mungkin bisa hidup lagi? Kalau han-
tunya, bisa jadi.
Dewi Melati nyaris bangkit terbirit.
"Jangan dekati aku! Kau pasti setan gentayan-
gan!" hardiknya sambil melangkah mundur. Tak diin
gatnya apakah yang berdiri di belakangnya barusan
adalah Satria Gendeng seperti kata Gendut Tangan
Tunggal.
"Jangan ngaco!" sambar Gendut tangan Tung-
gal.
"Gendut, aku telah membunuh pemuda ini
waktu itu! Racun ku sangat ampuh. Belum ada satu
orang pun yang bisa mempertahankan nyawa sampai
tiga tarikan napas jika terkena racun dari kuku ku.
Dia pasti setan gentayangan!" bisik Dewi Melati.
"Kubilang kau jangan ngaco! Dia itu Satria
Gendeng yang kau cari!"
"Satria Gendeng? Dia orangnya? Astaga, Gen-
dut! Kenapa kau tak bilang sejak tadi???"
Gendut Tangan Tunggal garuk-garuk kepala.
Perasaan, aku sudah mengatakan hal itu pada Dewi
Melati. Aku yang lupa mengatakannya, atau dia yang
tuli?
Setelah itu, tanpa menambahkan 'ba' atau 'bu'
lagi, Dewi Melati langsung menghambur ke arah Sa-
tria. Satria dipeluknya hangat-hangat, membuat si
pemuda gelagapan tak karuan. Masalahnya, dua pa-
sang 'bukit' padat Dewi Melati mengganjal dadanya.
Belum lagi wangi tubuhnya yang bisa membuat pemu-
da polos itu melayang-layang sejenak.
"Tak pernah kusangka kalau pendekar muda
yang membuat geger dunia persilatan ternyata gagah
dan tampan," pujinya, genit. Tangannya bergelayut
manja di bahu Satria. Sikapnya seolah tak pernah ber-
buat salah seujung kuku pun pada Satria.
"Terus terang, jangan dulu berharap banyak
aku akan menolong kesulitanmu!" kata Satria, berpu-
ra-pura bersikap dingin. Wajahnya sengaja dibuat ka-
ku.
"Kenapa?" lengak Dewi Melati. Banyak lelaki
yang begitu berharap pada dirinya. Karena itu, dia ya-
kin bisa mendapatkan apa saja dari seorang pria, ka-
rena dia akan sudi memberi imbalan jasa yang paling
diminati lelaki. Dengan modal kecantikan yang menja-
di bunga mekar merona mengundang untuk dipetik di
dunia persilatan. Masa' iya seorang yang sedang me-
nyala-nyala api mudanya seperti Satria Gendeng akan
menolaknya. Tapi kenyataannya sekarang?
"Kau sama sekali tak pantas untuk mendapat
perlindungan ku!" tandas Satria dengan sedikit keang-
kuhan. Bolehlah angkuh sedikit, kalau tujuannya un-
tuk memberi pelajaran perempuan satu ini, pikirnya.
"Kenapa?" pertanyaan Dewi Melati kali ini di-
bumbui oleh rayuan nan mendayu-dayu. Tangannya
dengan gemulai mengelus-elus dagu Satria. Matanya
mengerling nakal. Tubuhnya sengaja sedikit digesek-
gesekkan ke dada Satria.
Kendati tetap memasang wajah dingin, hati Sa-
tria tak urung berdesir. Rasanya dia mau meringis, ta-
pi dia akan berjuang menahannya. Kalau perlu sampai
terkentut-kentut.
"Karena kau perempuan sesat! Kau bisa mem-
bunuh seseorang tanpa alasan yang jelas!"
"Di dunia ini, sudah banyak orang yang tak
perlu punya alasan jelas untuk membunuh, bukan?
Orang membunuh untuk perempuan, orang membu-
nuh untuk kekuasaan, untuk sekeping uang, bahkan
mungkin hanya untuk sepotong terasi. Apa kau pikir
itu alasan yang jelas, Sayang? Lalu, apa bedanya kalau
aku bertindak sama?"
"Ngaco!" Yang dongkol malah Gendut Tangan
Tunggal.
"Karena itu kau bukan termasuk orang yang
patut kutolong!"
"Jangan begitu, Sayang...," rengek Dewi Melati,
makin menggoda.
Gendut Tangan Tunggal mencibir sambil berbi-
sik mengikuti ucapan Dewi Melati.
Satria melepaskan pelukan Dewi Melati.
"Carilah pertolongan pada yang lain!" tegasnya.
Dia berbalik membelakangi.
Wajah Dewi Melati mulai mendung lagi. Bibir-
nya tertekuk ke bawah.
"Tak ada yang bisa menolongku selain kau...,"
katanya merajuk.
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Karena aku tahu siapa dalang Pasukan Kele-
lawar itu. Tak ada orang yang kuyakini dapat menan-
dingi kesaktiannya, kecuali dirimu."
Satria membalikkan badan.
"Kau tahu siapa dalang semua ini?"
Dewi Melati tersenyum penuh kemenangan.
"Kau bertanya padaku?" tanyanya, berpura-
pura. Sekarang giliran dia yang berbalik membelakan-
gi.
"Ya, katakan padaku!"
"Kalau kau bersumpah akan menyelamatkan
aku dari Pasukan Kelelawar, akan kukatakan padamu
siapa orang itu."
Sialan, rutuk Satria. Kenapa jadi dia yang ha-
rus menerima persyaratan. Apa itu tidak terbalik?
"Bagaimana?" susul Dewi Melati.
Belum lagi Satria sempat memikirkan persyara-
tan Dewi Melati, dari kejauhan terdengar teriakan ta-
rung orang bersabung nyawa.
Ketiga orang itu menoleh berbarengan.
"Aku seperti mengenal suara itu," desis Satria.
Entah kapan dan di mana.
"Itu si Muka Bengis! Apa yang terjadi pa-
danya?!" seru Gendut Tangan Tunggal, mengingatkan
Satria Gendeng.
Satria tak menunggu lebih lama, dia menggen-
jot tubuh. Berlari seperti mengejar angin. Gendut Tan-
gan Tunggal tunggang langgang membawa bobot tu-
buhnya berlari. Kendati begitu, dia tak kehilangan ke-
gesitan dan kelincahan sedikit pun. Dewi Melati men-
gekori mereka. Dia tak sudi kehilangan Satria Gen-
deng.
Ketika Satria Gendeng, Gendut Tangan Tunggal
dan Dewi Melati tiba, sudah berlangsung pertarungan
sengit antara Pendekar Muka Bengis dengan Pasukan
Kelelawar. Tujuh orang mengadakan pengeroyokan.
Dua sisanya tampak membopong seorang perempuan
di pinggir kancah pertarungan.
Menyaksikan kedatangan mereka, salah seo-
rang bocah memberi isyarat pada dua bocah pembo-
pong perempuan. Lalu kedua bocah itu pergi mening-
galkan tempat.
"Kau kejar dua bocah itu, Anak Muda! Aku
akan membantu si Muka Bengis!" seru Gendut Tangan
Tunggal.
"Bagaimana dengan aku?" tanya Dewi Melati,
merasa diterbengkalaikan.
"Terserah!" sahut Gendut Tangan Tunggal.
SEMBILAN
MATAHARI menyembul kembali di ufuk timur.
Sinar merah tembaganya belum terlalu menjerang.
Lamat, ramah. Angin masih terasa sejuk, sebelum
siang nanti menjadi hembusan kering tak bersahabat.
Lahan sawah di salah satu wilayah Kulon Jawa
dirundung kesunyian. Sisa dingin malam yang begitu
menusuk tulang sumsum, masih bergentayangan. Un-
tuk kebanyakan daerah Kulon, dingin terlalu merasuk
kulit. Bahkan terasa menyiksa.
Satria Gendeng tiba di sana. Setelah melakukan
pengejaran panjang melelahkan hampir satu harian,
dia berjuang keras agar tidak kehilangan jejak dua dari
Pasukan Kelelawar yang dikejarnya. Tekadnya, menye-
lamatkan perempuan yang dilarikan dua bocah itu.
Sudah dikerahkan segenap kemampuan ilmu lari ce-
patnya. Sampai di tempat itu, akhirnya dia kehilangan
buruan juga.
Dengan dua kali kecolongan seperti itu, Satria
menjadi sadar betapa lawan yang akan dihadapinya
demikian berat untuk dihadapi. Kalau bocah-bocah itu
saja sudah sanggup mengecohkan dirinya, bagaimana
pula orang yang berdiri sebagai dalang semua itu? Ma-
ka, wajar bila Pendekar Muka Bengis mengajak Gendut
Tangan Tunggal dan Satria Gendeng untuk bergabung.
Kini, pendekar muda pewaris kesaktian dua to-
koh utama tanah Jawa itu berjalan menyusuri pema-
tang yang mengkerangkai hamparan sawah luas ter-
bengkalai. Disiapkannya segenap kesiagaan. Matanya
diusahakan untuk tidak berkedip. Bahkan kalau bisa,
napas pun ditahannya.
Di dekat sebuah tumpukan sisa tanaman padi
kering yang tertimbun tinggi seperti gunung kecil, Sa-
tria Gendeng merasakan ada hawa aneh merasuk ku-
litnya.
"Ada yang aneh di sekitar tempat ini," bisik Sa-
tria pada diri sendiri. Dia merasakan, tapi tak bisa
mengerti keanehan apa gerangan. Panca inderanya
sendiri tak menangkap keganjilan apa-apa.
Tidak matanya.
Tidak telinga.
Hidung, atau juga kulitnya.
Karena bisikan nalurinya demikian kuat, Satria
Gendeng menghentikan langkah. Dia diam. Tak ada
niat baginya untuk menggerakkan bagian tubuh mana
pun, kecuali kedua bola matanya. Diperhatikannya se-
keliling dengan rasa waswas yang menjangkit cepat.
Telinganya dipasang sekuat mungkin. Siapa tahu dia
mendengar suara angin bokongan belakang.
Senyap.
Suasana seperti mati. Bahkan angin beku.
Setelah menanti sekian lama dan tak muncul
satu serangan pun, Satria Gendeng mulai meragukan
perasaannya sendiri.
"Apakah karena ketakutan ku bakal mengha-
dapi lawan yang demikian berat membuat aku mulai
merasakan keanehan-keanehan?" bisiknya lagi pada
diri sendiri.
"Tapi, entah kenapa hati kecilku demikian kuat
mengatakan ada orang yang sedang mengawasi ku...."
Tanpa mengurangi kesiagaan dan kewaspa-
daannya secuil pun, Satria mencoba menggerakkan
kaki lagi. Tak sampai kakinya menjejak ke depan,
mendadak saja ada sekelebat bayangan menerkam
amat cepat dari atap gubuk.
Mula-mula bayangan itu menerobos dari pun-
cak gundukan sisa padi kering. Membuat potongan-
potongannya berhamburan ke udara bagai dihempas
topan. Satria saat itu terkesiap. Seluruh jaringan tu-
buhnya menegang.
Mengejang.
Mengencang.
Tangannya mengepal keras, terangkat ke de-
pan.
Dari puncak gundukan, kelebatan bayangan
tadi bergerak cepat dan lurus ke arah si pendekar mu-
da sakti. Jarak Satria dengan gundukan cukup jauh.
Ada sekitar lima belas tombak. Semestinya gerak lom-
patan bayangan itu agak terhambat gaya tarik bumi.
Tapi, yang disaksikan Satria Gendeng sekeleba-
tan sungguh membuatnya terkagum sekejap. Bagai-
mana tidak? Kelebatan bayangan tadi bergerak seolah-
olah tidak terpengaruh sedikit pun oleh gaya tarik bu-
mi.
Meluncur lurus bagai terbang.
Ringan, seolah menunggang bayu!
Sekejapan berikutnya, Satria Gendeng bertanya
dalam hati, siapa yang sesungguhnya akan dihada-
pi???
Wrrr!
Berkawal deru santer mirip geletaran kain, ke-
lebatan bayangan tadi sampai di depan Satria Gen-
deng.
Kesiagaan yang telah terjaga sebelumnya tak
cukup membawa hasil menguntungkan bagi Satria
Gendeng. Dia sudah berusaha berkelit dari terkaman
ganas itu. Sayangnya, kelitannya ternyata kurang ce-
pat dibanding sambaran bayangan tadi.
Tak ayal lagi....
Srat!
Sesuatu terkoyak. Satria Gendeng cepat melirik
bagian bahu kanannya. Dilihatnya pakaian di bagian
itu tersobek. Dari cabikannya, anak muda itu bisa me-
nilai benda apa yang baru saja mengoyak pakaiannya.
Sebuah senjata tajam bermata tiga!
Satria Gendeng cukup lega mengetahui kulit
tubuhnya tak ikut tersayat. Bisa dibayangkan bagai-
mana jika dia benar-benar tersambar telak kelebatan
bayangan tadi. Tentu kulitnya akan terkuak, membe-
set daging di dalamnya, dan memperlihatkan tulang di
bagian dalam, Itu sungguh menggidikkan!
Untuk benar-benar lega, Satria Gendeng belum
bisa. Sebab, kejap berikutnya disaksikan kelebatan
bayangan tadi menukik ke atas dataran ladang kering,
menjejak tanah, lalu menerkam kembali. Rentetan ge-
rak yang dilakukan dengan cara demikian memukau!
Satria Gendeng sendiri, dalam hal kecepatan te-
lah menjalani godokan demikian keras. Kalangan per-
silatan bisa mengacungkan ibu jari tinggi-tinggi untuk
beberapa kemampuannya saat mempecundangi dua
tokoh sesat kalangan atas; Perempuan Pengumpul
Bangkai dan Iblis Dari Neraka. (Baca kisahnya dalam
episode : "Perempuan Pengumpul Bangkai" dan "Kia-
mat di Goa Sewu"!) Membandingkan kehebatan kepan-
daiannya dengan kelebatan bayangan tadi, anak muda
pewaris kesaktian Dedengkot Sinting Kepala Gundul
dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu jadi kurang yakin
apakah kecepatan geraknya sanggup mengimbangi ke-
lincahan kelebatan bayangan yang sampai saat itu tak
jelas rupanya....
Sambaran berikutnya tak kalah cepat.
Beringas.
Ganas.
Tetap dengan gerak lurus seperti menunggang
angin, kelebatan bayangan tadi mengancam leher Sa-
tria Gendeng.
Karena sebelumnya sudah masuk dalam kegen-
tingan, kepekaan naluri Satria Gendeng menjadi me-
ningkat. Serangan kali ini dapat dihindarinya. Itu pun
setelah dia memompa segenap kemampuan ilmu pe
ringan tubuh miliknya.
Agak kehilangan keseimbangan karena mendo-
rong tubuh terlalu kuat, Satria Gendeng membuat satu
putaran salto. Dia menjejakkan kaki sebelas depa dari
bayangan tadi. Di lain pihak, bayangan itu pun sudah
pula berdiri.
Kini dilihatnya seorang lelaki tua cebol berwa-
jah mirip perempuan. Tingginya hanya lebih sedikit da-
ri lutut Satria. Rambutnya kriting. Kulitnya hitam.
Pancar matanya seperti hendak menaklukkan setiap
nyali orang yang ditemui. Kedua belah tangannya me-
megang cakar dari logam. Senjata itulah yang telah
menyayat kulit tangan Satria Gendeng,
"Mungkinkah dia yang mendalangi Pasukan Ke-
lelawar?" desis si anak muda terpana. Dugaan tersebut
muncul karena Satria membandingkan perawakan
orang yang dilihatnya dengan perawakan Pasukan Ke-
lelawar. Mereka sama-sama kecil.
"Siapa kau, Orang Tua? Kenapa kau menye-
rangku?" tanya Satria. Dugaan hanya akan menjadi
tuduhan jika tak didasari bukti yang kuat. Karenanya
dia merasa harus bertanya.
Terdengar suara aneh dari mulut si orang cebol.
Satria tak terlalu lama menyimpulkan bahwa
penyerangnya bisu. Sayang sekali. Berarti, sulit ba-
ginya untuk mencari keterangan siapa orang itu se-
sungguhnya.
Lebih disayangkan lagi, orang cebol bisu berke-
saktian tinggi itu sama sekali tak berniat bersahabat.
Dari gelagatnya, Satria Gendeng tahu akan ada seran-
gan lanjutan darinya....
Tegang, amat hati-hati dan padat kewaspadaan,
Satria meloloskan Kail Naga Samuderanya. Dia tak ya-
kin akan bisa menghadapi lawannya kali ini hanya
dengan mengandalkan tangan kosong. Sebelumnya sa-
ja sudah terbukti, kecepatan gerak orang cebol bagai-
kan dedemit. Pendekar muda itu sadar benar, seran-
gan sebelumnya tak lebih dari salam perkenalan. Si
orang cebol tak sungguh-sungguh untuk membabat-
nya. Kalau tidak, mungkin dia sudah mendapat luka
menganga. Atau lebih parah lagi, dia mungkin sudah
terkapar dengan leher tergorok.
Kalau sekali ini serangan manusia cebol dila-
kukan sungguh-sungguh, Satria harus yakin benar dia
bisa menghadapinya tanpa harus terluka parah atau
kehilangan nyawa. Untuk itu dia membutuhkan Kail
Naga Samudera di tangannya. Dengan senjata itu, dia
tidak saja dapat mengandalkan pertahanannya, tapi
juga dapat meningkatkan ketajaman serangannya.
Bertepatan dengan berkelebatnya kembali tu-
buh orang cebol, Satria cepat membuat hentakan pada
batang Kail Naga Samudera yang masih berbentuk
tongkat hitam pendek.
Srang!
Seketika, dari kedua sisi di bagian kepala naga,
keluar dua lempeng logam tipis berbentuk sayap naga.
Sepanjang lengkung pada sisinya amat tajam.
Trang!
Sambaran cepat senjata lawan yang sepenuh
kesiagaan telah dinantinya, langsung dipapaki.
Suara dentang meledak lantang.
Bunga api terpercik terang.
Kelebatan tubuh si cebol memantul balik, ber-
jumpalitan cepat di angkasa, kemudian berdiri kembali
di tempat semula, seolah dia tak pernah beranjak dari
tempat tersebut!
Satria heran ketika lawan asingnya tak melan-
jutkan gebrakan nan menakjubkan. Harus diakui oleh
Satria sendiri, seandainya lawan membuat satu seran-
gan berantai tak terputus dengan kecepatan seperti
tadi, Satria tak yakin dirinya belum tentu sanggup ber-
tahan.
Sekarang, lawan justru hanya diam memperha-
tikannya.
Namun, sewaktu Satria menyaksikan mata si
cebol, ternyata dia sedang mengamati tegas-tegas Kail
Naga Samudera. Tak diragukan lagi, tentunya senjata
pusaka itu yang telah memenggal niatnya untuk me-
lanjutkan serangan.
Satria mengangkat Kail Naga Samudera di tan-
gannya. Menurut dugaannya, tentu si cebol mengin-
ginkan benda itu seperti kebanyakan tokoh sesat du-
nia persilatan. Namun, bukan tak menutup kemung-
kinan, Kail Naga Samudera telah mengingatkannya
pada sesuatu hingga dia menghentikan serangan.
Orang itu Dewi Melati. Dia memutuskan untuk
mencoba mengikuti Satria, ketimbang harus menonton
pertarungan di tempat sebelumnya. Toh, kepentingan-
nya memang dengan Satria Gendeng. Sewaktu men-
guntit pengejaran pendekar muda itu, Dewi Melati
sempat kehilangan jejak. Dia baru berhasil melacaknya
setelah berusaha beberapa lama.
Dari caranya menempatkan diri di tengah-
tengah dua orang yang saling berhadapan, tampak ada
niat tertentu hendak dilakukan Dewi Melati.... Itu yang
belum bisa diduga Satria Gendeng.
* * *
Di lain tempat, pertarungan antara Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis melawan
tujuh Pasukan Kelelawar masih berlangsung sengit.
Kendati pertempuran sudah berjalan satu harian pe-
nuh, kedua belah pihak masih tetap sanggup menge-
rahkan jurus-jurus ampuh. Berkali-kali mereka telah
bertukar serangan. Hajaran berkali-kali pula harus
mereka terima dari lawan masing-masing.
Sebagai dua tokoh papan atas, Gendut Tangan
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis tetap merasa ke-
limpungan menghadapi tujuh bocah ajaib. Keduanya
bahkan telah mengalami luka dalam tak ringan. Tena-
ga mereka semakin terus terkuras.
Di lain pihak, lawan mereka pun mengalami lu-
ka-luka dalam. Namun, mereka seperti tak pernah ke-
habisan tenaga untuk ditumpahkan ke dalam seran-
gan. Gempuran mereka terus melanda bagai air bah.
Sampai suatu ketika Gendut Tangan Tunggal
memutuskan untuk mempergunakan ilmu andalan-
nya. Dia sudah merasa kedudukan tarung mereka se-
makin tak menguntungkan. Dari tengah-tengah arena,
tubuh buntalnya melejit jauh ke belakang.
"Pergunakan ilmu andalanmu, Muka Bengis!
Semakin lama kita bertukar jurus dengan mereka,
akan kian terkuras tenaga kita!!" serunya di udara,
memperingatkan kawan seperjuangannya.
Pendekar Muka Bengis sejak tadi pun mulai
berpikir begitu. Merasa satu pendapat, cepat pula dia
membebaskan diri dari keroyokan lawan-lawan ingu-
sannya. Melejit ke udara, diikutinya Gendut Tangan
Tunggal.
Keduanya hinggap di tanah tak berjauhan.
Keduanya memasang kuda-kuda.
Ada ketegangan terpancar dari wajah mereka.
Kentara sekali, kalau mereka menganggap per-
tarungan itu sebagai taruhan nyawa. Urusan yang me-
nyangkut hidup dan mati! Artinya, akan terjadi bentrokan dahsyat dari dua belah pihak. Bentrokan ilmu
yang mungkin menjadi penentu siapa yang harus lebih
dahulu lebur!
Ketika para lawan memburu, kedua tokoh itu
berteriak berbarengan....
"Heaaaaahh!!"
* * *
Siapa sih si orang cebol bisu itu? Apa maunya,
sih menyerang Satria Gendeng? Mau kenalan pasti ti-
dak! Nah, kalau maunya si perempuan genit Dewi Me-
lati apa?
Pertarungan sengit Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis menghadapi ketujuh bocah
bakal dimenangkan siapa? Atau lebih serem lagi; pihak
mana yang bakal menjadi bangkai lebih dahulu?
Ngomong-ngomong, apa rencana Manusia Ma-
kam Keramat memerintah Pasukan Kelelawar untuk
menculik perempuan-perempuan? Buat dijadikan bini
barangkali, ya? Huss...!!!!
SELESAI
Segera ikuti kelanjutan kisahnya!!!
dalam episode:
MEMBURU MANUSIA MAKAM KERAMAT
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar