Episode I : PASUKAN KELELAWAR
Episode II : MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Episode III : BANGKITNYA DEWA PETAKA
Episode IV : NISAN BATU MAYIT
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
SEBENARNYA terlalu sulit untuk menentukan
di mana harus berdiri saat kebenaran menjadi teramat
pahit dan pedih. Memutuskan untuk berdiri di atas
kebenaran itu sendiri seakan-akan sengaja menjeru-
muskan diri ke dalam kawah yang tak hanya menyik-
sa, namun terkadang dapat membunuh. Berdiri mem-
belakangi kebenaran mungkin lebih mudah. Bahkan
cenderung begitu menyenangkan, bagai menikmati roti
hangat di tengah malam dingin.
Dan itulah kenyataan yang ditawarkan sang
dunia yang telah demikian renta. Disuguhkannya tiga
pilihan yang selalu dapat diambil salah satunya; berdi-
ri di atas kebenaran, membelakangi, dan lari dari ke-
benaran, atau menginjak-injak kebenaran.
Seperti kenyataan manis dan pahit, kebenaran
tak pernah lebih bisa dinikmati, kecuali pahitnya. Dan
rasa manis itu tak akan kunjung nyata, kecuali ketika
rasa pahit sudah terhayati secara penuh. Bukankah
pahit ada karena manusia kenal rasa manis?
Seorang manusia bernama Arya Sonta telah
memilih satu di antara tiga pilihan hidup. Dia memu-
tuskan untuk menginjak-injak kebenaran berpuluh-
puluh tahun lalu hanya untuk memuaskan kerakusan
nafsunya.
Karena pilihannya itu pula, dia harus menerima
nasib dimusnahkan oleh seorang raja yang justru ber-
diri di atas kebenaran dan menjadi seterunya. Matilah
dia. Membawa segenap kemaksiatan ke dalam liang la-
hat.
Namun, selama dunia masih berdenyut, tak
ada yang bisa menjamin kebenaran akan tetap tegak
sebagai pemenang. Pada saatnya, kebatilan akan
bangkit kembali dan mengacungkan tantangan. Begitu
pula Arya Sonta. Dari kematian, dia bangkit kembali.
Diusungnya kembali sebutan yang telah lama terku-
bur; Manusia Makam Keramat! Berarti, sekali lagi ke-
tajaman kebenaran diuji. Sekali lagi, ketajamannya ha-
rus mampu menghadapi tantangan kebatilan.
Namun begitu, kebenaran selalu punya
'sesuatu' untuk dipergunakan membabat 'lawan ab-
adi'nya. Untuk Arya Sonta, si Manusia Makam Kera-
mat, 'sesuatu' yang dimaksud adalah....
Keris Kiai Kuning!
* * *
Malam menua, pekat dengan hawa dingin. Ke-
kelaman tak terusik sinar gemintang dan bulan. Detik-
detik merayap menuju tepat tengah malam.
Di batas Desa Rangkas, sesosok bayangan me-
mangkas udara dingin. Asalnya dari atas sebuah po-
hon besar. Melintas cepat seperti setan kesiangan ke
bawah, lalu hinggap tanpa suara di atas tanah.
Di bawah sendiri, telah menanti dua sosok tu-
buh. Satu orang berperawakan gagah. Dia seorang
pemuda berambut panjang. Mengenakan rompi bulu
dari samakan kulit hewan. Yang lain adalah lelaki ku-
rus. Usianya jauh bertaut dengan si pemuda. Terlalu
tua. Rambutnya terlalu panjang. Ujungnya bahkan
sampai tergerai di tanah. Wajahnya terlalu seram un-
tuk ukuran manusia. Apalagi dengan jenggot yang tak
kalah panjang dengan rambutnya. Tanpa pakaian. Dia
hanya mengenakan balutan kain kotor pengganti cela-
na.
Tak begitu jauh dari tempat kedua lelaki berbe
da usia itu berdiri, seorang perempuan tergeletak tak
sadarkan diri di dekat semak belukar. Perempuan yang
terbilang ayu dan bertubuh sintal. Dari pakaiannya,
dia lebih kentara sebagai gadis desa biasa ketimbang
wanita warga persilatan.
Orang yang baru turun dari atas pohon berusia
tak kalah tua dengan lelaki berambut panjang. Kepa-
lanya gundul sehabis-habisnya. Sepertinya, sudah tak
ada harapan rambutnya bakal tumbuh lagi, kecuali
untuk jamur atau kudis. Wajahnya tak terlalu jelek.
Yah, mirip-mirip siluman pasar yang paling ganteng
begitu! Badannya sudah kurus kering. Dia pun men-
genakan penutup kain dekil sebagai pengganti celana.
Begitu tiba, manusia keropos yang tak lebih da-
ri sekumpulan tulang hidup itu langsung mengomel
sepanjang gerbong kereta tebu. Ricuhnya melebihi te-
riakan burung Cucarawa satu kadipaten! Kata-katanya
sulit dimengerti. Omelannya terlalu cepat dan simpang
siur. Kalau sudah begitu, siapa yang bakal merasa
diomeli? Sewaktu nafasnya sudah hampir putus, baru
kalimatnya agak bisa dimengerti.
"Dasar manusia kualat! Tak pernah kapok-
kapoknya kau berbuat brengsek hos... hos... hos!"
Si pemuda menyambut kehadirannya dengan
senyum mengembang. Sumringah, kendati sedikit me-
ringis.
"Apa kabar, Kek?" sapanya.
Sahutannya sungguh tak nyaman didengar.
"Apa kabar? Tai kucing, diam kau! Ini urusan
orang tua. Kau bocah, cukup tutup mulut!!"
Lalu, dengan langkah dibanting-banting sampai
menyebabkan tanah bergetar dan pohon menggigil,
orang tua berkepala 'plontos' mendekati lelaki tua be-
rambut panjang.
"Truna.... Apa kabarmu, Tua Bangka?" sambut
Manusia Makam Keramat. Nama semasa muda Dong-
dongka disebutnya. Di dunia persilatan, hanya segelin-
tir orang yang mengetahui nama muda Dongdongka.
Itu pun terbatas pada orang-orang yang sudah amat
mengenalnya. Walhasil, Arya Sonta si Manusia Makam
Keramat pasti salah seorang yang sudah amat men-
genal sesepuh persilatan itu.
Kenyataannya memang demikian. Arya Sonta
adalah saudara Dongdongka sendiri. Saudara satu
ayah lain ibu. Mereka sempat tumbuh besar bersama
di Mataram ketika masih kecil. (Baca kembali episode
sebelumnya: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Dongdongka mendengus sekali, lalu dua kali,
tiga kali, dan berkali-kali. Dia sudah mirip banteng
jantan tua yang siap mengamuk. Seraya bertolak ping-
gang tinggi-tinggi, (memperlihatkan ketiak yang sudah
kehabisan bulu) si tua berjuluk Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul itu mulai berkoar lagi.
"Katakan padaku Arya Sial, apa maumu sebe-
narnya?!"
Mendapati pertanyaan Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul, Manusia Makam Keramat malah memper-
dengarkan tawa.
"Kau memang tolol, Truna! Kau pikir untuk apa
aku bangkit dari alam yang amat gelap? Untuk seka-
dar melihat tampang memuakkan mu? Tidak, Truna!
Aku kembali dengan satu tujuan. Takhta Pajajaran
yang dulu luput ku genggam, harus dapat ku raih kali
ini. Lebih dari itu, aku ingin seluruh kalangan persila-
tan menciumi telapak kakiku setiap pagi dan sore!!!"
sesumbar Manusia Makam Keramat, di ujung ledakan
tawanya.
"Kau memang bejat, Arya! Kau tahu itu?!" caci
Dongdongka.
"Apa kau baru mengenalku, Truna? Hm? Me-
mang begitulah aku.... Setelah puluhan tahun men-
genal aku, apa kau berharap aku tiba-tiba berubah
menjadi malaikat suci??"
"Aku berharap kau berubah menjadi kotoran
kerbau!" sergah Dongdongka.
Manusia Makam Keramat tertawa lagi.
"Kau pun tetap tak berubah, Truna. Kau sadari
itu? Lalu untuk apa kau berharap aku berubah? Apa
kau mengira langit akan menjadi bumi? Bumi menjadi
matahari? Matahari menjadi angin? Mereka memain-
kan peran sendiri-sendiri!"
"Tapi kau bukan bumi, langit, matahari, angin,
atau tai kucing, dan segala macam! Kau manusia Arya.
Manusia punya kemampuan untuk mengubah peran
dirinya. Kecuali kau bukan manusia. Kecuali kau tak
lebih dari penjelmaan iblis durjana! Sepanjang usia
semesta yang renta ini, iblis tetap memerankan kedur-
janaan. Apa kau seperti itu?"
"Jangan menceramahi aku, Truna!"
"Siapa yang bilang aku menceramahi mu? Aku
mengingatkan mu, tahu! Sebagai seorang saudara, aku
punya kewajiban untuk itu!"
"Tapi aku tak memerlukannya!"
Sisa gigi di mulut Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bergemeletukan. 'Geregetan' sekali dia dengan
saudaranya ini. Dari dulu sampai sekarang, yang na-
manya Arya Sonta tak pernah bisa membuat darahnya
jadi sedikit tenang.
"Tai kucing, tai kucing, tai kucing kau Arya!"
Akhirnya, Dongdongka cuma bisa menyumpah-
nyumpah sampai jakunnya hampir mau meloncat ke-
luar.
Manusia Makam Keramat sendiri seperti tak
mempedulikan kegusaran Dongdongka. Mata berbinar
menggidikkannya malah menerkam rembulan di langit.
Makin dekat ke tengah malam. Bulan kian tiba di pu-
cuk peredarannya. Wajah Arya Sonta berubah. Garis-
garis parasnya mengejang. Lalu, matanya beralih ke
arah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ku ingatkan kepadamu, Truna! Jangan coba
halangi jalanku! Perintahkan pula muridmu itu agar
menyingkir!!" tandasnya kemudian, pekat api pada se-
tiap kata.
Diam-diam, Satria yang sejak tadi hanya berdiri
di belakang guru 'sinting'-nya, memperhatikan sikap
Manusia Makam Keramat.
"Kenapa tampaknya kau begitu tergesa, Manu-
sia Makam Keramat? Apakah mengambangnya bulan
tepat di atas kepala menjadi satu saat yang teramat
genting untukmu?" sindir si pendekar muda.
Mendengar muridnya menyela, Dongdongka
mendelik. Murid sialan, pikirnya. Sudah disuruh diam,
masih saja membacot! Badannya berbalik. Di depan
Satria, dia bertolak pinggang. Wajahnya lebih seram
dari jelangkung tengah malam.
"Kubilang jangan ikut campur!" hardiknya. Tapi
setelah itu, keningnya berkerut tinggi-tinggi. Matanya
menyipit.
"Kau tadi bilang apa, Cah Gendeng?" tanyanya
dengan nada melandai.
"Arya Sial itu begitu mengkhawatirkan bulan
tengah malam, ya?" cecarnya. Mendadak wajah keriput
tua bangka itu menjadi cerah. Bulan pun kalah cerah.
"Aha, aku tahu!" serunya sambil berjingkat dan
membalikkan badan kembali ke arah Manusia Makam
Keramat.
"Kau ada satu keperluan yang mendesak dan
amat genting, bukan? Begitu Arya? Kau hendak me-
laksanakan sesuatu yang berhubungan dengan niatmu
menaklukkan dunia persilatan tengah malam nanti?
He he he...."
Satria cuma bisa merutuk dalam hati. Ma-
kanya, dengarkan dulu kalau orang bicara!
Sementara itu, di kejauhan terdengar suara-
suara orang yang berlari. Jumlahnya puluhan orang.
Menuju tempat di mana ketiga orang itu berdiri. Satria
tahu, mereka tentu orang Perguruan Belalang Putih
bersama Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit. Selain
Satria sendiri, mereka pun mengejar Manusia Makam
Keramat setelah kejadian di Perguruan Belalang Putih.
Pada kejadian itu, beberapa orang murid mati
terbantai di tangan Manusia Makam Keramat. Terma-
suk guru besarnya, Ki Arga Pasa. Sementara Ki Damar
Sakti dan Ki Manda Langit adalah sahabat mendiang
Ki Arga Pasa yang hendak menuntut kematiannya.
Di samping alasan itu, Arya Sonta telah melari-
kan pula putri tunggal Ki Arga Pasa. Gadis itulah yang
kini tergolek di sudut dekat semak.
(Baca kembali serial Satria Gendeng dalam epi-
sode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Sadar dirinya akan makin dibuat kehilangan
waktu lebih banyak, Manusia Makam Keramat menjadi
gusar. Dari gelagatnya, mulai terlihat tanda-tanda ka-
lau dia hendak menyambar tubuh Rara Lanjar dan me-
larikannya.
Untunglah mata jeli Satria Gendeng tak luput
menangkap hal itu. Dengan maksud untuk memancing
agar Manusia Makam Keramat tak melaksanakan
niatnya, Satria segera berseru pada gurunya, "Lihatlah
Kakek! Betapa seorang sakti yang mampu bangkit dari
kematiannya ternyata menjadi gelisah mendengar se-
begitu banyak lawan datang!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menoleh
dengan cuping hidung kembang-kempis serabutan.
"Kau benar-benar tak mengerti ucapanku atau
tuli, hah?! Kubilang diam! Jangan ikut campur!" ben-
taknya, untuk kesekian kali.
Satria Gendeng jadi garuk-garuk jidat sendiri.
Rasanya, pikiranku dengan pikiran manusia renta satu
ini tak akan sejalan sampai bumi memuntahkan kem-
bali mayat-mayat dari kubur sekalipun, kalau caranya
begini, gerutu Satria membatin.
Untunglah, pancingan pendekar muda sebe-
lumnya tidak cuma menghasilkan bentakan menyebal-
kan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Manusia Ma-
kam Keramat pun rupanya terpengaruh pula.
"Kau jangan sembarangan buka mulut, Bocah!"
hardiknya, mengguntur. Nyali siapa pun yang men-
dengarnya tak akan luput tergetar.
Satria ngeri untuk berbicara lagi selama belum
dapat 'restu' dari gurunya. Tapi, ah peduli setan! Pikir
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu. Urusan
sedang genting. Dia tak bisa berdiam diri kalau Rara
Lanjar ayu yang pernah mempermalukannya di tepi
sungai hendak dilarikan Manusia Makam Keramat!
"Lalu, kenapa kau tampak begitu kalut, Orang
Tua? Kenapa? Atau kau memang benar-benar hendak
mengejar batas waktu tengah malam untuk satu ke-
pentingan maha besar bagi dirimu?" gempur Satria
Gendeng, menyudutkan Manusia Makam Keramat.
Perkataan Satria bagi Manusia Makam Keramat
terasa seperti mengunci mati semua dalih. Dia tak bisa
berkata apa-apa. Sampai-sampai dia tak habis menger-
ti kenapa bocah bau kencur yang baru beranjak dewa
sa bisa mempermainkannya dengan perkataan menyu-
dutkan demikian rupa.
Yang akhir-akhirnya meledak dalam diri Manu-
sia Makam Keramat cuma kegusaran memuncak.
"Kau memang bocah bedebah!"
Begitu tahu muridnya menyudutkan Arya Son-
ta, Dongdongka tak lagi membentak Satria. Dia malah
cengar-cengir sendirian. Bahkan dia mulai latah pula
menyudutkan Manusia Makam Keramat.
"Ya, kenapa? Ayo kenapa, Arya?! Jawab!"
Rahang Manusia Makam Keramat mengeras.
Matanya memancarkan api kemarahan berkobaran.
Wajahnya mengeras.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terkekeh.
"Kau tak menjawab? Itu artinya, dugaanku
memang benar. Kau memang sedang memburu batas
waktu tengah malam! He he he...," ejek Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Seenaknya saja dia mengaku
telah menduga bahwa Manusia Makam Keramat se-
dang memburu batas waktu tengah malam! Satria
hendak di kemanakan?
"Kalian guru dan murid keparat!!!" Muntah ke-
marahan Manusia Makam Keramat. Itu dibarengi pula
dengan termuntahnya terjangan ke arah Dedengkot
Sinting Kepala Gundul.
DUA
DEDENGKOT Sinting Kepala Gundul menyam-
but serangan Manusia Makam Keramat dengan cara
yang terlalu mengundang risiko tinggi. Dia hanya
membuat sedikit geseran badan menyamping. Padahal
sabetan kuku panjang yang melingkar-lingkar seperti
akar pohon milik Manusia Makam Keramat amat ber-
bahaya. Terutama karena sang Dewa Petaka mengalir-
kan tenaga dalam tingkat tinggi ke sekujur otot tan-
gannya.
Wezzz!
Dedengkot Sinting Kepala Gundul nyengir seje-
lek-jeleknya ketika sabetan lawan luput hanya satu jari
di sampingnya. Kalau bukan tua bangka sesepuh per-
silatan itu, tentu akan tersentak lebih dari empat tin-
dak ke belakang hanya karena angin sabetan kuku
Manusia Makam Keramat!
"Enteng!" ledek Dongdongka, tanpa mengubah
posisi badan yang masih sedikit miring ke samping.
Gayanya sudah seperti seorang penari jaipong kehilan-
gan suara gendang.
Manusia Makam Keramat makin mengamuk.
Dia melanjutkan terjangan jauh lebih menggebu. Ca-
kar tangan yang lain menyayat udara.
Suaranya mengiris telinga.
Tajam.
Kepala gundul Dongdongka hendak dijadikan
sasaran.
"Pecah kepalamu, Truna!"
Wezzzz!
"Hati-hati dengan kuku mu, Arya! Sudah bera-
pa tahun kau tak pernah memotongnya? Barangkali,
kuku mu sudah dijadikan sarang kutu busuk satu
kampung!" oceh Dedengkot Sinting Kepala Gundul se-
raya serabutan menghindar.
Manusia Makam Keramat tak membiarkan la-
wan menarik napas lega. Terus dicecarnya Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dengan sabetan-sabetan kuku
membabi-buta.
Terlalu banyak menghindar, Dedengkot Sinting
Kepala Gundul akhirnya bosan sendiri.
"Tolong izinkan aku menangkis dan membalas,
Arya Slompret!" tukasnya, dibayangi papakan tangan
keroposnya yang sesungguhnya bisa lebih ampuh dari
satu peti mesiu.
Dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul tam-
paknya tak hanya berniat menangkis. Lebih jauh, dia
berharap dapat mempermainkan lawan lebih jauh.
Kendati dia sendiri menyadari benar, mempermainkan
Arya Sonta seperti bermain-main dengan maut. Sebut-
lah Dongdongka adalah seorang yang diakui banyak
kalangan sebagai sesepuh dunia persilatan, namun da-
lam menghadapi lawan yang seangkatan dengannya
ini, Dongdongka tak bisa terlalu berharap banyak un-
tuk dapat mengunggulinya.
Tap!
"Dapat!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul benar-benar
menangkap dua kuku jari Manusia Makam Keramat!
Tangannya mencekal kuat. Bagai kerang samudera
menjepit mangsa!!
Tindakan lawan sama sekali tak diduga Manu-
sia Makam Keramat. Dia semula mengira Dedengkot
Sinting Kepala Gundul akan menghindar lagi. Setidak-
nya menangkis. Tak terpikir kalau lawan sekali ini ju-
stru menangkap kuku jarinya.
Detik berikutnya, tangan kurus berbalut kulit
keriput sang sesepuh 'setengah sinting' dunia persila-
tan tanah Jawa membuat peluntiran ke dalam. Tenaga
dalam berkekuatan hebat mengaliri tangannya. Hanya
dalam satu-dua kejap lagi, kuku panjang melingkar
Manusia Makam Keramat akan terpatah!
Manusia Makam Keramat merasa ditantang
mentah-mentah!
"Kau hendak mengadu kekuatan, Truna Kepa-
rat! Baik...," desis Arya Sonta, menyambuti tantangan
tak langsung lawan.
Sebelum kukunya mengalami nasib naas, Ma-
nusia Makam Keramat sudah secepatnya mengalirkan
kuat-kuat tenaga dalam ke sekujur tangannya. Biar-
pun sebenarnya dia dapat mematahkan usaha lawan
dengan melakukan satu gerakan tipuan yang memanc-
ing Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk mele-
paskan cengkeraman tangannya. Nyata-nyata Manusia
Makam Keramat memang hendak mengajak lawan un-
tuk mengadu kesaktian!
Ada sentakan keras pada tangan dua manusia
tua sakti mandraguna itu manakala sebentuk aliran
tenaga teramat kuat bertumbukan.
Getaran itu sanggup menciptakan bunyi berge-
tar pada udara.
Bunyi yang tipis meruncing. Juga dibauri deng-
ing.
Menyusul kemudian, asap kebiru-biruan men-
gembang dari sela-sela cengkeraman tangan Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
Menyaksikan hal terakhir, mata kelabu si tua
bangka Dongdongka menjadi membesar. Ada bersit ke-
terpanjatan yang tak bisa disembunyikan.
"Bangsat satu ini mulai unjuk taring. Dia telah
mengerahkan inti 'Semburan Naga Bintang'-nya," ke-
luh Dedengkot Sinting Kepala Gundul dalam hati.
'Semburan Naga Bintang' pada masa kejayaan
nama besar dua tua bangka itu, adalah ajian yang pal-
ing dihindari oleh setiap lawan. Bukan saja mampu
menciptakan panas dahsyat yang dapat melebur biji
baja, namun juga mengandung racun yang dapat
membusukkan daging perlahan-lahan pada tubuh
korbannya. Pembusukan perlahan-lahan itu akan san-
gat menyiksa dalam waktu yang cukup lama. Hidup
korban yang menderita tak lebih dari bangkai bernya-
wa yang merasakan kesakitan tak terperi manakala
sedikit demi sedikit daging badannya membusuk! Hal
itulah yang menyebabkan banyak lawan Arya Sonta
menjadi gentar.
Wajar saja kalau Dongdongka menjadi tersen-
tak karenanya. Pada saat itu, tangannya yang menyen-
tuh langsung kuku lawan akan memungkinkan dia ter-
jangkit racun dari ajian 'Semburan Naga Bintang'!
Maut siap menyapanya! Dedengkot Sinting Kepala
Gundul cepat menyadari. Dengan perhitungan agar ti-
dak telanjur terserang racun 'Semburan Naga Bintang',
Dedengkot Sinting Kepala Gundul langsung mengerah-
kan salah satu kesaktian pamungkas pada tangan
lain, ajian 'Gunung Api Menyembur Langit'!
Sebelah tangan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul yang bebas mendadak berpendar kemerahan lak-
sana warna lahar!
Cepat menohok dari bawah. Karena mengira
Dedengkot Sinting Kepala Gundul akan melayani adu
kekuatan, Manusia Makam Keramat tak menyadari
tangan lawan yang lain menanduk ke arah perutnya.
Dash!
Saat yang sama, Dongdongka melepas cengke-
ramannya pada kuku Manusia Makam Keramat. Aki-
batnya, manusia yang berhasil bangkit dari kematian-
nya itu langsung terpental sengit ke belakang.
Kendati luncuran tubuhnya deras tak kepalang,
dengan cantik Arya Sonta sanggup memanfaatkan te-
kanan udara untuk mengendalikan kembali keseim-
bangan tubuh. Dia berputaran di udara. Hanya karena
hantaman tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bukanlah serangan sembarangan, Arya Sonta tak ber-
hasil mempertahankan kekuatan kakinya untuk berpi-
jak di bumi. Dia tersungkur ke belakang, terseret dua-
tiga tombak, lalu terkapar di tanah. Perlahan-lahan,
dia bangkit kemudian. Sementara itu, Dongdongka si-
buk meniup-niup telapak tangannya yang tersengat
'Semburan Naga Bintang'. Sebentar kemudian, dia ma-
lah tertegun menyaksikan Arya Sonta telah tegak kem-
bali di atas kuda-kudanya.
Slompret empat puluh kali untukmu, Arya! Ma-
kinya dalam hati. Bagaimana dia masih dapat bangkit
setelah terkena ajian 'Gunung Api Menyembur Langit'
milikku? Perangah Dedengkot Sinting Kepala Gundul
membatin.
Dalam perhitungan Dongdongka, bagian dalam
perut lawan akan hancur berlobang-lobang seperti ter-
kena hujanan biji baja membara. Keampuhan itu yang
akan diakibatkan ajiannya pada tubuh lawan. Kalau
isi perut sudah hancur, tak ada seorang pun yang bisa
menjamin nyawa akan tetap di badan.
Tapi, Arya Sonta Slompret ini?
Kala itulah Dongdongka mulai menyadari satu
hal yang hampir saja terlupa karena sudah terkubur
waktu demikian lama. Arya Sonta tak pernah bisa di-
bunuh oleh senjata atau pukulan apa pun, kecuali
oleh....
Ah, Dongdongka lupa pada kelemahan saudara
kandung kualatnya itu.
* * *
Rombongan Ki Damar Sakti dan Ki Manda lan-
git akhirnya tiba. Tanpa memperhatikan keberadaan
seorang sesepuh persilatan tanah Jawa yang seharus-
nya dihormati, dua ketua perguruan itu langsung
menghambur ke arah Manusia Makam Keramat. Mere-
ka terlalu dirasuk kemurkaan atas perbuatan sang
dewa petaka sebelumnya.
Pertarungan sengit antara dua sahabat setia Ki
Arga Pasa dengan Manusia Makam Keramat tak bisa
dicegah lagi. Kekalapan Ki Manda Langit dan Ki Damar
Sakti meletus. Serangan pertama gagal, disusul den-
gan serangan berikutnya. Tak peduli lagi sepasang le-
laki tua pemimpin dua perguruan silat itu pada siapa
mereka berhadapan. Lawannya jelas bukan orang
sembarangan. Kalau sahabat mereka, Ki Arga Pasa
yang memiliki kedigdayaan di atas mereka saja bisa
disingkirkan tanpa banyak kesulitan, bagaimana lagi
mereka?
Namun bagi Ki Damar Sakti dan Ki Manda Lan-
git sendiri, persoalannya sekarang bukanlah kedig-
dayaan siapa lebih unggul. Melainkan, bagaimana me-
reka bisa menuntut pelunasan hutang nyawa terhadap
kematian seorang sahabat. Nyawa harus ditebus nya-
wa, pikir keduanya. Dan kalaupun tak berhasil melu-
naskan dendam dengan mencabut nyawa lawan, seti-
daknya mereka tetap merasa puas.
Tanpa disadari Ki Damar Sakti dan Ki Manda
Langit, justru itu menjadi satu kesalahan fatal. Dalam
satu pertarungan, api dendam tak menjamin seorang
keluar menjadi pemenang. Bahkan sering kali letupan
nafsu justru membawa akibat merugikan diri sendiri.
Terbukti ketika satu tendangan maut kesekian
dicoba didaratkan Ki Damar Sakti ke dada lawan,
Manusia Makam Keramat mendadak membuat
gerakan tak terduga. Lelaki setengah siluman itu mu-
la-mula berkelit ke sisi. Dilanjutkan dengan gerakan
pinggul setengah putaran. Dan dari sisi tubuhnya, ti-
ba-tiba berseliwer benda lurus ke arah Ki Damar Sakti.
Ki Damar Sakti tercekat. Kesiagaannya selama
ini hanya dipusatkan pada serangan kuku lawan. Dia
tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan ba-
gian tubuh lain. Pada detik itu, Ki Damar Sakti sudah
terlambat menyadari.
Desh!
Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ter-
nyata kaki kiri Manusia Makam Keramat. Bagian tu-
buh lawan tersebut menghantam layaknya sebatang
balok besar. Padahal, dalam hal jurus-jurus yang men-
gandalkan keampuhan kaki, Ki Manda Langit adalah
seorang ahlinya.
Tubuh lelaki berjuluk Tendangan Maut itu ter-
jengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia
terseret sekitar enam-tujuh langkah.
"He he he!" Manusia Makam Keramat terkekeh.
Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Ki Damar Sakti
meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani me-
nentang Manusia Makam Keramat!!!"
Ki Manda Langit teramat gusar menyaksikan
keadaan nasib sahabat seperjuangannya. Ditatapnya
Manusia Makam Keramat dengan pandangan meng-
hanguskan.
"Kenapa kalian tak maju serentak saja?!" ledek
Manusia Makam Keramat meremehkan sekali.
Ki Manda Langit hendak beranjak maju. Tapi
tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul membentang
di depan, menghadangnya.
"Belum waktunya," bisik Dongdongka, tegas.
Di belakang mereka, Ki Damar Sakti beringsut
bangkit kembali. Dengan mata merah pekat, dia me
langkah tertatih.
"Aku belum menyerah, Durjana!" erangnya ber-
getaran. Memang tak ada tanda-tanda kalau lelaki
berkumis tebal itu terluka dalam. Tak ada darah kehi-
taman mengalir keluar dari mulut atau hidungnya.
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih me-
mungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Ki Damar Sakti hendak memulai kem-
bali terjangannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan sang sesepuh
dunia persilatan, Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit
menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsara-
kan banyak orang, Arya?" ucap Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, setelah sebelumnya dia melangkah maju
beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh manusia. Kau
pun membunuh guru-gurumu. Kini setelah puluhan
tahun berlalu, dan kau berhasil bangkit dari kuburmu,
masih juga kau belum puas?"
Tak kentara lagi sifat 'angot-angotan' tua bang-
ka itu. Yang lebih menonjol sekarang, justru sikap seo-
rang yang begitu memprihatinkan keadaan saudara
kandungnya. Kalau dipikir-pikir lagi, memang agak
aneh juga. Ada apa gerangan sampai tua bangka biang
'kesintingan' ini mendadak bisa bersikap waras? Apa
dia mulai main akal-akalan?
Satria Gendeng tak senang mendengar perka-
taan gurunya barusan. Meski dia murid Dongdongka,
bukan berarti dia harus selalu setuju dengannya. Ba-
ginya, perkataan Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bukanlah yang tepat untuk dikatakan pada sejenis
manusia terkutuk seperti Arya Sonta.
"Kenapa Kakek ini?!" protes Satria Gendeng gu-
sar. Dia maju ke depan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul, lalu ditentangnya Manusia Makam Keramat
dengan cara bertolak pinggang.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menghela
napas. Dia mengerti bagaimana sifat anak muda seper-
ti Satria sebenarnya. Darah mudanya terkadang lebih
mempengaruhi sikapnya ketimbang pikiran jernih.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menepuk
bahu muridnya. Ketika pemuda lugu namun beradat
keras itu menoleh, ditatapnya mata Satria Gendeng le-
kat-lekat.
"Aku bukan takut berurusan dengan Arya
Slompret ini, tahu! Cuma saja aku punya alasan! Kita
harus menghindari dulu manusia laknat ini. Percuma
kau bertarung jungkir-balik dengannya. Sampai kau
mampus, dia tak akan bisa kau bunuh!" ucap Dong-
dongka dengan mengirim suara batin.
"Kenapa begitu?" Satria memprotes lagi. Sekali
ini dengan suara batin pula. Sepasang guru murid itu
memang telah menguasai satu ajian yang disebut
'Melepas Sukma'. Salah satu kelebihannya adalah da-
pat mengirim suara batin antara satu pemilik ajian
dengan pemilik yang lain.
"Dasar bocah ingusan! Apa kau pikir aku yang
setua ini tidak tahu siapa Arya Sonta itu?! Dia hanya
dapat dibunuh dengan satu senjata pusaka, tahu! Ka-
lau tak salah, senjata itu adalah... ah, aku belum sem-
pat tahu! Pokoknya senjata itu milik Prabu Pajajaran
yang berhasil membunuhnya untuk pertama kali!"
"Jadi bagaimana Truna!" sentak Arya Sonta, si
Manusia Makam Keramat.
"Kau boleh pergi dengan tenang dari tempat ini.
Aku tak akan menghalangi...."
Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit terperan-
gah. Mana mungkin Dedengkot Sinting Kepala Gundul
bisa berkata seperti itu? Apa mungkin seorang sesepuh
dunia persilatan akan mengambil keputusan demikian
bodoh? Manusia Makam Keramat telah membunuh Ki
Arga Pasa. Jelas-jelas itu kesalahan yang tak bisa di-
biarkan seperti membiarkan berlalunya angin!
Untunglah Satria Gendeng cepat memberi isya-
rat dengan kelopak mata ketika kedua pendekar tua
itu hendak bertindak lebih jauh.
"Ha ha haa!" Manusia Makam Keramat tertawa
meriah. "Apakah dengan begitu berarti kau membiar-
kan aku pula untuk membawa perempuan itu?!" tu-
kasnya sambil menunjuk Rara Lanjar yang tergolek di
dekat semak.
Bibir kusut Dongdongka bergerak-gerak. Seka-
rang posisinya jadi sulit. Terlalu gila kalau membiar-
kan saudara kandung laknatnya itu membawa Rara
Lanjar. Slompret besar kau, Arya, kutuknya membatin.
Aku harus mengubah siasat! Pikir Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Semampunya dia harus menghindari
pertarungan langsung antar mereka dengan Manusia
Makam Keramat.
Kepala licinnya sebentar kemudian mengang-
guk-angguk. Dengan tatapan yakin, Dedengkot Sinting
Kepala Gundul menyahut, "Ya, kau bisa membawa pe-
rempuan itu!"
"Apa?!"
Hampir serempak, Satria, Ki Manda Langit, Ki
Damar Sakti berseru tertahan.
Guruku sudah resmi edan barangkali? Rutuk
Satria, tak habis mengerti.
***
TIGA
KENDATI diombang-ambing keterkejutan, Sa-
tria, Ki Damar Sakti, Ki Manda Langit, dan seluruh
murid Perguruan Belalang Putih hanya dapat menyak-
sikan kepergian Manusia Makam Keramat membawa
Rara Lanjar.
Mereka toh tak dapat berkata apa-apa. Pada
kenyataannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul jauh
lebih banyak makan asam-garam ketimbang mereka.
Dengan pertimbangan itu, sudah sepantasnya mereka
mempercayai seluruh perhitungan Dongdongka.
Sebelum pergi, Manusia Makam Keramat meno-
leh pada si tua bangka guru Satria Gendeng. Pandan-
gannya mencemooh.
"Kau telah membuat keputusan yang tak hanya
tepat, namun juga amat berguna bagi mereka semua,
Truna! Kau tahu pasti, jika kau tak membiarkan aku
pergi, maka akan banyak nyawa melayang!"
Peduli setan bau! Rutuk Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul membatin.
"Selamat tinggal! Kuharap, jangan sampai ada
seorang pun yang mencoba membuntuti ku. Tak juga
kau, Truna. Jika perkataan ku dilanggar, jangan harap
perempuan ini akan tetap hidup." Manusia Makam Ke-
ramat mengakhiri ucapan dengan ancaman seraya
berkelebat cepat meninggalkan tempat.
Satria masih menatapi gurunya dengan pan-
dangan tak puas.
"Apa lihat-lihat?!" hardik Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, sewot merasa ditentang oleh murid gen-
dengnya.
"Apa Kakek akan diam saja?" tanya Satria tetap
tak mengerti jalan pikiran manusia buluk tapi sakti
minta ampun itu.
Dongdongka mencibir. "Tentu saja tidak?"
"Lalu, apa yang akan Kakek lakukan?" desak
Satria Gendeng, meminta penjelasan.
"Kau pikir apa?" Dongdongka seperti main kuc-
ing-kucingan. Itu membuat semua orang jadi agak ge-
mas. Kalau saja dia bukan seorang tua yang disegani
dan dihormati, mungkin sudah habis dikeroyok.
"Apa?!" ulang Satria, makin tak sabar. Cuma
dia seorang yang masih berani ngotot dengan sang se-
sepuh persilatan.
"Aku akan mengikutinya, Tolol!" ledak Dong-
dongka dibarengi sontokan keras ke jidat muridnya.
Satria meringis-ringis. Tapi mulutnya masih be-
lum puas mengajukan pertanyaan.
"Kakek tahu sendiri, Manusia Makam Keramat
bukan orang yang bisa dimain-mainkan. Bagaimana
kalau dia tahu Kakek menguntitnya? Aku cuma kha-
watir keadaan Rara Lanjar. Apa Kakek tidak?"
"Eit, tunggu dulu sampai situ! Siapa yang kau
maksud Rara Lanjar?"
"Gadis itu, Kek!"
"Gadis itu yang mana, Gendeng! Bicara jangan
bertele-tele! Aku tak ingin kehilangan jejak Arya
Slompret itu!"
"Perempuan yang dibawa Manusia Makam Ke-
ramat!"
"O, kau sudah mengenalnya, ya? Dasar bocah
gatal! Kau tak bisa melihat perempuan berjidat licin,
ya? Ceritakan padaku, bagaimana kau bertemu den-
gannya?"
Sinting juga, pikir Satria. Belum lama dia yang
dibentak supaya jangan bertele-tele. Sekarang justru
gurunya sendiri yang mulai bicara ngelantur!
"Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Kek!"
"Aku juga tahu itu! Jangan mengingatkan aku,
Bocah Sok Tahu!"
Memang serba salah!
"Sudah, sebaiknya aku segera 'minggat' dari si-
ni!" putus Dedengkot Sinting Kepala Gundul, akhirnya.
Dia berkelebat laksana bayangan. Tak kalah gesit den-
gan gerakan Manusia Makam Keramat.
"Tapi bagaimana kalau manusia durjana itu ta-
hu Kakek menguntitnya???!!!" teriak Satria. Perta-
nyaan itu memang belum sempat dijawab oleh Dong-
dongka.
Dongdongka kembali lagi (masih sempat-
sempatnya!). Tepat di depan hidung muridnya, lelaki
uzur itu bertolak pinggang.
"Kau pikir, untuk apa perempuan itu dibawa
susah-susah?" tanyanya dengan mata mendelik. "Itu
karena dia pasti membutuhkan perempuan itu. Dia tak
akan berani membunuhnya kalau perempuan itu sen-
diri amat penting baginya. Kau mengerti?"
"Penting untuk apa?"
"Mana aku tahu? Kenapa kau tak tanyakan sa-
ja pada Arya Sial itu?!"
Lalu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul berke-
lebat lagi. Dan cepat lenyap di pekatnya malam yang
mulai menapaki menit-menit tengah malam.
Tinggal Satria Gendeng mengumpat-umpat
sendiri.
* * *
Manusia Makam Keramat terus berlari bagai
dikejar segerombolan hantu pemburu manusia. Wak
tunya makin sempit. Tengah malam, saat di mana bu-
lan menggantung tepat di puncaknya hanya tinggal
beberapa saat lagi. Satu kesempatan besar, akan di-
tentukan oleh kehebatan ilmu lari cepatnya.
Di kejauhan, secara diam-diam Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul terus mengikutinya. Dalam hal lari
cepat, tua bangka itu setara dengan orang yang dikun-
titnya. Karena itu, kendati jaraknya cukup jauh, dia
tak begitu kerepotan.
Sampai pengejarannya tiba di suatu tempat
yang tanahnya agak membentuk bukit-bukit kecil. Ka-
rena keadaan tanah turun-naik, suatu ketika tubuh
Manusia Makam Keramat tak tampak dari pengawasan
mata Dongdongka. Manusia Makam Keramat telah me-
lewati bukit kecil, sementara Dedengkot Sinting Kepala
Gundul masih berada di seberangnya. Bukit itu yang
menghalangi pandangan Dongdongka.
Kekhawatiran Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul saat itu cuma satu. Dia khawatir akan kehilangan
jejak setelah sosok Manusia Makam Keramat luput be-
berapa saat dari pandangannya.
Kekhawatirannya terbukti kemudian. Saat De-
dengkot Sinting Kepala Gundul tiba pula di seberang
lain bukit kecil tadi, Manusia Makam Keramat sudah
tak terlihat lagi.
"Biang kutu jelek!" maki Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul mendesis-desis. Kepalanya dijotos-jotos
sendiri bertubi-tubi. Gelagat seperti itu pertanda dia
mulai jengkel.
Walaupun Dongdongka sudah berusaha men-
gerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya untuk
meneliti wilayah sekitar, Manusia Makam Keramat te-
tap tak ditemukan. Meski hanya penampakan bokong-
nya.
Sampai Dongdongka akhirnya menyerah. Dia
melempar pantat geram-geram ke tanah. Kesal serasa
mau mampus setengah sekarat pada diri sendiri.
Bayangan di kepalanya Satria akan mengomelinya ha-
bis-habisan. Tahu sendiri adat Satria. Biarpun gu-
runya, Dongdongka tak bisa menjamin dirinya akan
selamat dari 'kegendengan' si murid yang bikin susah
kalau sudah kambuh!
Meringis-ringislah wajah keriput Dedengkot
Sinting Kepala Gundul membayangkan 'semprotan' Sa-
tria. Lalu, ringisannya menghilang cepat ketika men-
dengar suara teriakan mengguruh di kejauhan.
"Nah, apa pula itu?" bisiknya seraya bergegas
bangkit.
Secepatnya dia mengerahkan kembali ilmu lari
cepat, mengejar arah suara teriakan tadi.
Di tempat yang dituju, Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul menemukan Manusia Makam Keramat!
Syukur... syukur, bisik Dongdongka dalam hati. Cuma,
ada satu yang kurang. Perempuan yang digondolnya
sudah tak ada lagi di bahu manusia terkutuk itu. Se-
mentara, Manusia Makam Keramat sendiri sedang si-
buk memaki-maki kasar. Entah siapa yang dimakinya.
Entah pula ke mana Rara Lanjar....
* * *
Sepekan terlewati sejak kejadian berdarah di
Perguruan Belalang Putih. Palguna, salah seorang mu-
rid kepercayaan Ki Arga Pasa terlihat di dalam pendapa
perguruan. Lelaki muda berperawakan kurus itu berja-
lan hilir-mudik. Ada sesuatu yang begitu mengganggu
pikirannya. Wajahnya menampakkan kebimbangan
kental. Selaku seorang murid kepercayaan, kematian
gurunya, Ki Arga Pasa tentu saja membuat perasaan-
nya demikian tak menentu. Tapi yang merisaukannya
kali ini bukan hal itu. Ada sesuatu yang lain.
Lama Palguna hanya melakukan hal itu. Seben-
tar-sebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya
satu bagian lantai gubuk dengan mata nanar. Tangan-
nya mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad.
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ra-
gu. Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula mem-
perhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk
melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya
seraya bergegas mengambil cangkul kecil dari gantun-
gan dinding. Membawa benda tadi, didekati bagian lan-
tai tanah yang sejak tadi diperhatikan. Di bagian ter-
sebut, Palguna mulai menghujamkan mata cangkul
dengan wajah mengeras. Gambaran rasa tegang dan
waswas yang bertumbukan kasar dalam dirinya.
Selang seperempat jam berikutnya, sudah ter-
cipta lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki.
Di dasar lobang, didapat satu peti kayu berkerangka
baja. Kayunya sudah tampak begitu tua. Di permu-
kaan kayu, terdapat pahatan berukir. Kendati tua,
namun tetap terlihat kokoh. Sedangkan kerangka ba-
janya sudah berkarat.
Peti tersebut diangkat Palguna dari dasar lo-
bang. Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di
tepinya. Untuk beberapa saat, si lelaki kurus berkumis
tipis itu hanya memandangi peti. Keraguan mulai me-
ruyak lagi dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam
bersit sinar matanya. Ketika ingat kematian menge-
naskan Ki Arga Pasa dan beberapa saudara sepergu-
ruannya, wajah lelaki muda itu mengeras. Garis
garisnya menguat, menebarkan hawa kegeraman, lalu
menyingkirkan keraguan dalam dirinya.
Perlahan-lahan bayang kejadian yang pernah
dialami beberapa minggu lalu kembali terngiang dalam
benaknya. Mendiang Ki Arga Pasa pernah menitipkan
satu amanat padanya.
"Kutitipkan satu kitab padamu, Palguna. Kau
adalah salah seorang murid yang sangat aku percaya.
Jika, aku tak ada umur, kuharap kau dapat mewakili
ku untuk mengeluarkan kitab itu dari tempat persem-
bunyiannya jika waktunya tiba," ucap Ki Arga Pasa,
sekitar tiga tahun lalu.
"Kapan waktu yang kau maksud, Eyang Guru?"
tanya Palguna.
"Ketika timbul kegegeran besar di bumi Pajaja-
ran ini."
"Kegegeran?"
"Ya. Geger karena banyak perempuan hilang
tak tentu rimbanya. Setelah itu, menyusul kegegeran
lain. Datangnya seorang durjana yang membunuh tan-
pa perasaan."
"Bagaimana ciri-ciri orang itu, Eyang?"
"Menurut kitab tulisan Prabu Pajajaran yang
berkuasa waktu itu, si manusia durjana akan datang
dengan rambut, jenggot, dan kuku yang demikian pan-
jang. Di dadanya, ada bekas luka kecil bekas tusukan
senjata...."
Palguna ketika itu terdiam sejenak, memaku-
kan seluruh wasiat gurunya dalam-dalam di dalam be-
nak.
"Lalu, bila semua itu telah terjadi, aku harus
mengeluarkan kitab itu?" ucapnya, menyusulkan per-
tanyaan.
"Tepat. Itu pun kalau aku tak ada umur."
"Kalau Guru sendiri...," Palguna memutus se-
bentar ucapannya. "Maafkan aku Guru, kalau Guru
sendiri telah tiada, untuk apa lagi kitab itu dikelua-
rkan?"
Dengan paras yang tetap memancarkan kewi-
bawaan, Ki Arga Pasa menjawab pertanyaan sungkan
muridnya.
"Karena dalam kitab itu, tertulis secara lengkap
kisah tentang seorang manusia laknat yang akan
bangkit kembali suatu hari nanti. Kitab itu pula yang
akan menjelaskan tentang kelemahan manusia durja-
na itu. Yaitu tentang senjata pusaka milik sang Prabu
Pajajaran yang telah menewaskannya untuk pertama
kali."
Wajah Palguna menampakkan sedikit ketidak-
mengertian.
"Apa hubungannya orang itu dengan si pem-
buat kegegeran yang sebelumnya Eyang katakan?"
Dengan senyum samar, Ki Arga Pasa menya-
hut, "Si pembuat kegegeran dan manusia laknat yang
bangkit dari kematian adalah orang yang sama."
"Maksud Guru?"
"Kegegeran akan dibuatnya manakala dia ber-
hasil bangkit."
Palguna tersadar dari lamunan singkatnya. Se-
luruh wasiat gurunya telah terbukti sepekan lalu. Be-
berapa waktu sebelumnya, kegemparan tentang hi-
langnya para perempuan pun telah berlangsung.
Seolah, Ki Arga Pasa telah mempunyai firasat
buruk sehingga dia meninggalkan wasiat beberapa
minggu sebelum kematiannya.
Jika seluruh kejadian seperti diwasiatkan gu-
runya telah terjadi, berarti Palguna harus melaksana-
kan wasiat itu. Dia harus mengeluarkan kitab yang
dimaksud dari tempatnya. Hanya yang jadi masalah,
apa yang harus dilakukan dengan kitab itu setelah dia
berhasil mengeluarkannya? Jika harus diberikan pada
seseorang, pada siapa harus diserahkan? Masalah itu
luput diungkapkan Ki Arga Pasa karena waktu itu ber-
tandang seorang ketua perguruan sahabatnya.
Selain dia, ada seorang lagi yang pernah diwa-
siati tentang kitab tersebut oleh Ki Arga Pasa. Orang
itu adalah Rara Lanjar. Kini, Rara Lanjar tak ada. Me-
nurut laporan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, anak
gadis Ki Arga Pasa itu telah lolos dari tangan Manusia
Makam Keramat.
Namun, kenapa dia masih belum kembali juga?
Bukankah Rara Lanjar lebih berhak untuk melaksana-
kan wasiat Ki Arga Pasa ketimbang dirinya?
Sejenak Palguna kembali dihadang keraguan.
Apa dia punya pilihan lain? Tak mungkin dia terus
menunggu Rara Lanjar tanpa kepastian. Karena dia
merasa punya tanggung jawab untuk melaksanakan
pesan yang sempat disampaikan gurunya, murid ke-
percayaan itu pun membulatkan tekad.
Dengan rahang mengejang, tangan Palguna
lambat-lambat mendekati peti di depannya. Tangan
kurus itu agak bergetar, pertanda dia hendak melaku-
kan sesuatu yang pasti amat berat untuk dikerjakan.
Tutup peti lalu dibukanya berkawal ketegangan, sea-
kan ingin membunuh keraguan yang masih mencecar-
nya bertubi.
Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal satu ja-
ri. Sampulnya terbuat dari kayu tipis berukir. Sedang-
kan lembar-lembar didalamnya terbuat daun lontar
kering.
Palguna terpaku sejenak menatapi gurat per-
mukaan kitab tadi, lekuk demi lekuk. Tangannya ma
kin bergeletar. Dibaliknya sampul kitab. Di halaman
pertama, ditemukan dua baris tulisan lain.
Kutulis kitab ini sebagai peringatan bagi anak-
cucuku, yang kelak akan berhadapan langsung
dengan Arya Sonta... si Manusia Makam Kera-
mat!
Sampai di situ, Palguna tak berani lagi membu-
ka halaman selanjutnya. Sudah jelas dia bukanlah sa-
lah seorang keturunan Prabu Pajajaran yang telah me-
nulis kitab tersebut. Tak ada hak baginya untuk mem-
baca!
Kalau begitu, siapa yang akan membacanya?
EMPAT
SEPULUH hari berlalu. Di kaki Gunung Buran-
grang, saat itu terlihat seorang wanita muda sedang
berdiri mematung sendiri. Tangannya disilangkan di
dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping
karena memiliki hidung yang mancung membentuk
bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil
merah matang, juga karena matanya berbulu lebat,
dan lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak
menyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang
tergurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang
menanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk uku-
ran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekoko-
hannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dike
pang berayun-ayun dipermainkan angin.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di
mana matahari terus saja merambat turun. Sinar ben-
da langit raksasa itu mulai pula meredup matang ke-
merahan.
Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti
itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan.
Hanya karena ada satu hal penting yang mesti diurus-
nya, mau tak mau dia melakukannya juga.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar
dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan
terlihat seseorang tergesa berjalan menuju dirinya. Se-
sekali orang itu berlari-lari kecil.
Setibanya di dekat perempuan tadi, lelaki yang
ternyata seorang pemuda tampan berambut panjang
kemerahan sebatas bahu, mengenakan rompi bulu da-
ri kulit hewan itu langsung meruntunkan pertanyaan.
"Astaga, ternyata kau benar selamat, Rara Lan-
jar! Aku hampir-hampir tak bisa mempercayai laporan
guruku waktu itu? Bagaimana kau bisa lolos dari tan-
gan manusia durjana itu? Siapa yang membantu me-
nyelamatkanmu? Kau melihat wajah si penyelamat-
nya?"
Perempuan itu memang Rara Lanjar. Masih
menjadi teka-teki bagaimana dia bisa selamat. Tak he-
ran, pemuda yang baru tiba begitu menggebu-gebu
bertanya. Pemuda itu tentu saja Satria Gendeng. Seha-
ri sebelumnya, dia menerima pesan dari seseorang
penduduk desa bahwa seseorang menantinya di kaki
Gunung Burangrang. Tak dinyana kalau orang itu ter-
nyata Rara Lanjar.
Bukannya menjawab pertanyaan Satria sebe-
lumnya, Rara Lanjar malah menggeleng-gelengkan ke-
pala.
"Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur Satria.
Menanggapi teguran barusan, Rara Lanjar mencibir.
Bahkan nyaris cemberut. Wajahnya keruh. Tampak
sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu-
mu di sini? Setengah harian! Selama itu, aku digarang
matahari. Apa kau tak bisa lebih cepat datang?! Aku
menunggumu di sini bukan memintamu untuk men-
gencani ku. Ini urusan genting!"
Sambutan yang tak nyaman bagi si pemuda!
Wajahnya jadi berubah kebodohan, tak tahu harus bi-
lang apa.
Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya.
"Kenapa?!"
"Aku kesal setengah mati!"
"Kesal...?" ulang Satria Gendeng dengan nada
bertanya, tanpa perasaan bersalah pula. Wajahnya
makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya Rara Lan-
jar malah berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan
mimik wajah pemuda di depannya.
"Satria.... Satria...," katanya terseret tawa terta-
han. Bibir mungil ranumnya didekap.
Satria menjadi lega. Sebelumnya dia mengira
bakalan kena dampratan habis-habisan karena sudah
terlambat datang. Semua gara-gara ulah guru breng-
seknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Tua bangka
itu meminta dia untuk mencarikan seekor rusa jantan
untuk dipanggang. Penyakit lamanya kambuh, kepin-
gin sedikit dimanja oleh muridnya. Seperti dulu ketika
Satria masih berguru di Tanjung Karangbolong.
Brengsek sekali!
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode "Kail
Naga Samudera"!).
"He he he!" Satria ikut tertawa.
"Diam!" bentak si perempuan. "Aku tertawa bu-
kan berarti kejengkelan ku padamu hilang."
Lalu....
Duk!
Satu tinju dari tangan mungil si wanita men-
cumbu hidung Satria Gendeng. Anak muda itu merin-
gis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hi-
dungnya yang berdenyut-denyut.
"Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Satria Gendeng cuma bisa mengekori dari bela-
kang kalau tidak ingin hidungnya didarati tinju lagi.
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian putih ke
balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat se-
mula.
* * *
Saat itu keduanya sudah berangkat menuju
Perguruan Belalang Putih dengan menggunakan pedati
yang sebelumnya telah dipersiapkan Rara Lanjar. Ren-
cananya di sana mereka akan mengambil kitab.
Di tengah perjalanan, Satria Gendeng mulai lagi
mengungkit-ungkit pertanyaannya yang belum terja-
wab.
"Kau belum menceritakan padaku, bagaimana
kau bisa selamat dari tangan Manusia Makam Kera-
mat, Lanjar?" tanyanya sambil menghentak kecil tali
kendali pedati.
Di sebelahnya, Rara Lanjar menatap ke depan.
Pandangannya seperti menerawang sebentar.
"Aku memang diselamatkan seseorang...," ka-
tanya di sela hempasan napas.
Satria menoleh. Wajahnya menampakkan pe-
nasaran yang makin membukit.
"Siapa orang itu?" susulnya.
Rara Lanjar menggeleng.
"Aku tak tahu," katanya. "Cuma dia mengena-
kan topeng kayu Arjuna. Mengenakan blangkon Para-
hiyangan dan berpakaian seperti seorang ningrat Paja-
jaran...."
"Orang aneh.... Siapa dia, ya?" gumam Satria
Gendeng, merasa dilemparkan ke dalam teka-teki.
Lalu keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran
masing-masing. Sampai suatu ketika sekelebatan
bayangan teramat cepat mendadak melintas cepat di
sisi kiri sepasang kuda penarik pedati. Kedua hewan
itu meringkik-ringkik karena demikian terkejut. Dua
kaki depan mereka terangkat tinggi-tinggi seakan hen-
dak melemparkan tubuh penumpangnya dari atas pe-
dati.
Kedua muda-mudi itu terlonjak-lonjak di bang-
ku pedati. Untuk beberapa hentakan punggung kuda,
mereka nyaris terlempar. Rara Lanjar merangkul erat-
erat pinggang Satria. Untung saja kesigapan tangan
Satria mencengkeram tali kendali tak kalah kuat dari
hentakan punggung kuda.
Tak beberapa lama, Satria sudah berhasil men-
gendalikan kedua hewan itu. Meski begitu, kaki dua
binatang itu masih saja bergerak-gerak gelisah. Kalau
tak segera ditenangkan Satria Gendeng, tentu kedua-
nya akan panik kembali.
"Kenapa dengan kuda-kuda ini?" aju Satria, tak
mengerti pada apa yang sesungguhnya terjadi.
"Mungkin ada hewan kecil yang telah menge-
jutkan mereka," sahut Rara Lanjar. Nafasnya masih
turun-naik tak teratur. Dibenarkannya letak duduk,
sedikit malu hati karena baru saja merangkul pinggang
pemuda di sisinya terlalu erat.
"Hewan kecil? Hewan kecil apa? Aku tak men-
gerti. Aku sama sekali tak melihat ada hewan melintas.
Kalau pun ada, aku tak yakin dapat membuat kuda ki-
ta menjadi liar seperti itu," tukas Satria Gendeng.
Satria curiga ada seseorang yang hendak usil
pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, di-
lepas pandangan ke sekeliling. Tidak ada apa-apa. Se-
panjang jangkauan penglihatannya, hanya ada jajaran
pepohonan dan gerombolan semak belukar.
Yakin semuanya beres, anak muda itu men-
ganggap perkataan Rara Lanjar tidak keliru. Mungkin
ada hewan kecil yang mengejutkan kuda penarik peda-
ti mereka. Sementara Satria sendiri mungkin tak begi-
tu menyadari.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu kembali ke Perguruan Belalang
Putih?" tanya Satria pada Rara Lanjar, setelah bebera-
pa jauh berlalu.
"Ada laporan bahwa ayahku mewasiatkan satu
kitab pada Palguna...."
"Siapa Palguna?" sela Satria, tak sabar me-
nunggu sampai Rara Lanjar menyelesaikan ucapan.
"Murid kepercayaan Ayah...."
"Kitab apa yang diwasiatkan padanya?" serobot
Satria lagi. Dan lagi-lagi dia memangkas ucapan Rara
Lanjar. Dua kali diperlakukan begitu, Rara Lanjar jadi
mangkel sendiri. Dipasangnya wajah 'perang'. Setelah
itu dia diam tanpa peduli pada pertanyaan Satria.
"Kau tak menjawab pertanyaanku, Lanjar," usik
Satria. Anak muda itu sibuk menyentak-nyentak tali
kekang. Tak disadarinya kalau perempuan di sebelah-
nya sedang merajuk.
"Kalau kau tak banyak tanya, semua keinginta-
huan mu bakal terjawab!"
Satria sampai terlonjak. Rara Lanjar terlalu te-
riak membentak di depan telinganya.
"Kau ini apa-apaan?" sungut Satria, sambil me-
ringis mengusap-usap telinganya.
"Kau mau mendengarkan aku atau tidak?" an-
cam Rara Lanjar.
Dengan tak kalah merajuk, Satria menggerutu.
"Terserah kau...."
Rara Lanjar tersipu sembunyi-sembunyi me-
nyaksikan wajah pendekar muda yang mulai punya
nama besar di dunia persilatan itu. Tampangnya tam-
pak jadi seperti orang keracunan jengkol kalau sedang
merajuk.
Tapi, Rara Lanjar jadi ngeri juga kalau Satria
terus memasang wajah seperti itu sepanjang perjala-
nan. Bisa seperti berpedati dengan Hanoman murka!
"Kau mau aku melanjutkan penjelasanku, Sa-
tria?" rayu Rara Lanjar.
"Tak perlu!"
"Ya, sudah!"
Keduanya terdiam dengan wajah terlipat. Ak-
hirnya, jadi juga mereka seperti sepasang Hanoman
murka! Entah siapa yang lebih mirip....
LIMA
KI Manda Langit didatangi dua orang asing di
perguruannya. Seorang perempuan setengah baya, dan
seorang lelaki cebol. Yang perempuan, kendati sudah
memasuki usia setengah baya masih memiliki pancar
kecantikan pada wajahnya. Pesonanya mengundang
hasrat lelaki. Dari wajahnya seolah terpancar kuat go-
daan birahi. Matanya berbulu lebat, merangsang serta
berkesan nakal. Bibirnya merah ranum. Kulit putih
halus tanpa cacat, terbungkus gaun sutera putih pan-
jang yang memiliki belahan panjang pada bagian paha.
Sedang lelaki di sisinya bertampang seperti pe-
rempuan. Sebaliknya, matanya memancarkan ketelen-
gasan. Seolah dia tak pernah memandang siapa pun
jika saatnya harus membunuh. Tubuhnya cebol. Ram-
butnya keriting, dan kulitnya hitam. Di tali pinggang-
nya terselip sepasang senjata berupa cakar logam ber-
mata tiga.
Wajah keduanya tak sebetik pun memperli-
hatkan sikap bersahabat ketika menegur Ki Manda
Langit. Pemimpin Perguruan Kuda Terbang itu tak me-
nyangka akan kedatangan tamu saat perguruannya
sedang menghentikan kegiatan sepekan penuh untuk
memperingati hari berkabung meninggalkan Ki Arga
Pasa.
Saat itu dia sendiri sedang berada di kamar
pribadinya untuk menyepi ketika salah seorang murid
melaporkan bahwa mereka kedatangan tamu tak di-
undang. Kalau saja kedua tamu meminta izin terlebih
dahulu pada murid yang berjaga di gerbang, mereka
tak akan pernah diizinkan untuk masuk mengingat Ki
Manda Langit tak ingin diusik. Namun karena mereka
melompat pagar, membuat kekacauan dan memaksa
untuk bertemu dengan Ki Manda Langit, mau tak mau
seorang murid akhirnya melaporkan pada Ki Manda
Langit.
"Kau yang bernama Manda Langit, pemimpin
perguruan ini?!" sapa perempuan cantik bergaun putih
ketika Ki Manda Langit sudah tiba di halaman depan
perguruan.
Ki Manda Langit mengangguk sekali. Biarpun
sebenarnya dia tak suka pada cara si tamu wanita me-
negur.
"Ada keperluan apa sampai kalian datang ke
perguruan kami?" tanyanya kemudian.
"Kami ingin meminta sedikit keterangan pada-
mu, Manda Langit!" susul wanita cantik bergaun putih.
"Tidakkah kalian berpikir bahwa aku belum
tentu sudi menyahuti pertanyaan orang yang masuk
ke pekarangan orang lain tanpa tata krama?" sindir Ki
Manda Langit.
Si perempuan tersenyum tanggung.
"Kurasa, kau tak membutuhkan permintaan
maaf kami, bukan? Kami pun tak begitu sudi untuk
memohon maaf kepadamu. Selain itu, aku tak akan
terlalu rewel dan banyak tingkah jika seandainya kau
mau memberi tahu kami tentang seorang sahabatmu
yang kudengar tewas di tangan Manusia Makam Ke-
ramat."
Ki Manda Langit terdiam demi nama Manusia
Makam Keramat disebut-sebut. Wajahnya membeku.
"Apa tujuan kalian menanyakan hal itu?" Ki
Manda Langit balik bertanya.
"Itu urusan kami, Manda langit. Kau tak perlu
mengetahuinya," sahut perempuan bergaun putih lagi.
"Kalau begitu caranya, aku pun tak akan ber-
sedia menjawab pertanyaanmu. Kuharap kalian segera
meninggalkan perguruan ini. Aku tak ingin ada keke-
rasan selama masa berkabung...," tandas Ki Manda
Langit, seraya membalikkan badan untuk masuk kem-
bali ke kamar pribadinya.
Si cebol menggeram. Tampak sekali dia benar-
benar gusar pada sikap Ki Manda Langit. Dia hendak
maju, memberi pelajaran pada Ki Manda Langit. Tapi,
tangan perempuan cantik di sebelahnya cepat mena-
han.
"Tunggu, Manda Langit!" cegah si perempuan
bergaun, menahan langkah Ketua Perguruan Kuda
Langit itu.
Ki Manda Langit membalikkan badan.
Seraya menebar senyum menggoda, perempuan
bergaun melangkah dua tindak ke depan. Beberapa
murid Perguruan Kuda Langit bergerak ke depan pula
dengan sikap siaga. Mereka tentu tak ingin terjadi se-
rangan mendadak terhadap guru mereka.
"Bukankah tak seharusnya kita bersikap tegang
seperti ini? Kami cuma ingin menanyakan apakah sa-
habatmu yang tewas di tangan Manusia Makam Kera-
mat menyebut-nyebut satu kitab?" ujar perempuan
cantik tadi pada Ki Manda Langit.
Wajah Ki Manda Langit langsung berubah.
"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyanya. Wa-
jahnya memperlihatkan gurat keingintahuan menda-
lam.
Perempuan bergaun putih mulai melangkah hi-
lir-mudik. Pinggul padatnya melenggang-lenggok genit.
Tanpa menghentikan langkah yang demikian gemulai
di mata setiap lelaki, dia berkata, "Kami mendengar
kabar bahwa Manusia Makam Keramat mendatangi
Perguruan Belalang Putih dan membunuh ketuanya,
Arga Pasa. Tak mungkin dia datang tanpa tujuan, bu-
kan? Karena kau adalah salah seorang sahabat Arga
Pasa, tentu kau tahu banyak tentang dirinya."
Si perempuan cantik berhenti sebentar, sambil
mengulum ujung jarinya.
"Mmm, oya! Kenapa kami bisa tahu? Itu perta-
nyaanmu, bukan? Perlu kau ketahui, Manda Langit.
Lelaki cebol yang bersamaku ini adalah Penjaga Ger-
bang Neraka...."
Untuk kedua kalinya, wajah Ki Arga Pasa beru-
bah kembali. Sekali ini menyiratkan keterkejutan yang
tak bisa disembunyikannya.
Terlalu kalau Ki Manda Langit tak pernah men-
dengar julukan Penjaga Gerbang Neraka. Salah satu
tokoh kesohor yang hampir-hampir sulit dimengerti.
Teramat jarang terlihat, namun nama besarnya tak
pernah lekang oleh masa. Karena itu pula wajahnya ja-
rang dikenal. Termasuk oleh Ki Manda Langit sendiri.
"Kau terkejut, bukan? Terkejut karena tokoh
seangkatan Dedengkot Sinting Kepala Gundul ini akan
turun kembali ke dunia persilatan??" ujar si perem-
puan cantik.
"Nah," lanjutnya kemudian. "Perlu kau ketahui
pula, bahwa lelaki cebol berjuluk Penjaga Gerbang Ne-
raka ini adalah salah seorang musuh lama Manusia
Makam Keramat. Selama ini dia memburunya. Suatu
kali, perburuan itu menjadi sia-sia karena Manusia
Makam Keramat mati terbunuh oleh seorang Prabu Pa-
jajaran. Kini, musuhnya itu telah bangkit. Kau tahu
artinya? Artinya, dia punya kesempatan kedua untuk
memburu Manusia Makam Keramat dan melunasi
dendamnya...."
Ki Manda Langit menimbang-nimbang sejenak.
Kepalanya mengangguk-angguk perlahan.
"Bagaimana aku percaya kalau lelaki itu adalah
Penjaga Gerbang Neraka?" ajunya pada perempuan
yang tak lain Dewi Melati, pendamping genit Penjaga
Gerbang Neraka. Beberapa waktu lalu, perburuan me-
reka mengikuti jejak Manusia Makam Keramat mene-
mui jalan buntu. Tak lama, tersebar kabar bahwa Ma-
nusia Makam Keramat telah membantai rombongan
murid Kuda Langit yang bertugas mengantar kereta
kencana.
Keduanya pun lalu mengusut hal itu sampai
mereka tiba di Perguruan Kuda Langit.
(Untuk mengetahui tentang mereka berdua, ba-
calah dua episode sebelumnya : "Memburu Manusia
Makam Keramat" dan "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau perlu bukti? Baik," kata Dewi Melati. Di-
dekatinya Penjaga Gerbang Neraka. Dengan bahasa
isyarat tangan yang hanya dimengerti oleh mereka, ke-
duanya berbicara beberapa saat.
Lelaki cebol itu terlihat mengangguk kecil.
Lalu....
"Grrrhhh!"
Dibuka erangan serak meledak, Penjaga Ger-
bang Neraka mendadak meloloskan sepasang senja-
tanya. Teramat cepat, hampir tak dapat diikuti pan-
dangan tangannya bergerak. Senjatanya terlepas, ber-
pusing liar di udara, membubungkan suara menderu.
Wukh wukh wukh!
Di tengah jalan, dua logam maut milik Penjaga
Gerbang Neraka berhenti meluncur, namun tetap ber-
putar liar bagai sepasang cakra milik dewa.
Terlalu sulit untuk mengendalikan senjata yang
sedang meluncur di udara. Apalagi menghentikan la-
junya secara mendadak. Bagi sebagian besar kalangan,
hal itu tergolong mustahil.
Tidak untuk Penjaga Gerbang Neraka!
Kendati kejadian itu sudah luar biasa, masih
ada pula keluarbiasaan yang lebih mencengangkan.
Sepasang senjata yang terus berpusing berdampingan
itu mendadak menebar cahaya kuning samar. Cahaya
mengembang membentuk pusaran. Pada saatnya,
pendaran cahaya membersit ke satu arah.
Cdar!
Sepuluh pohon besar dalam satu barisan lurus
langsung bertumbangan, bagai rumput terpangkas sa-
bit!
Sebentuk tenaga dahsyat yang dieram di dalam
sepasang senjata dari logam....
Kecuali Dewi Melati, semua yang menyaksikan
kejadian itu menjadi terperangah. Ki Manda Langit pun
tak luput.
"Ajian Cakra Kuning," bisiknya perlahan, me-
nyebutkan satu ajian yang hanya dimiliki oleh Penjaga
Gerbang Neraka. Dan itu sudah diketahui oleh seba-
gian besar kalangan persilatan.
Sekarang, sahabat baik mendiang Ki Arga Pasa
percaya pada ucapan Dewi Melati.
"Karena tampaknya kau sudah percaya, sudi-
kah kau menjawab pertanyaanku?" tukas Dewi Melati.
"Ya, mendiang sahabatku memang menyebut-
nyebut tentang satu kitab." Akhirnya, Ki Manda Langit
masih bersedia memberikan jawaban.
"Bagus! Yang ingin ku tahu, apakah Arga Pasa
pernah mengatakan di mana dia menyimpan kitab
itu?"
"Apa yang kalian harapkan dari kitab itu sebe-
narnya?"
"Kau terlalu rewel, Manda Langit. Tapi, aku
masih berbaik hati untuk menjelaskan. Menurut lelaki
cebol ini, kitab itu berisi tentang riwayat Manusia Ma-
kam Keramat. Ditulis oleh Prabu Pajajaran yang telah
membunuhnya untuk pertama kali. Dalam kitab itulah
bisa ditemukan kunci kelemahan Manusia Makam Ke-
ramat. Selain dari itu, dia tak akan dapat dibunuh! Ka-
lau kau menginginkan pembunuh sahabatmu itu da-
pat secepatnya dikembalikan ke neraka oleh si cebol
ini, sebaiknya kau mengatakan di mana Arga Pasa me-
letakkan kitab itu...."
Ki Manda Langit menggeleng perlahan.
"Sebenarnya, aku pun menginginkan Manusia
Makam Keramat terkubur kembali di perut bumi. Tapi,
sebelum kematiannya, Arga Pasa tak sempat menye-
but-nyebut tempat penyimpanan kitab itu," katanya
setengah mengeluh.
"Sial!" maki Dewi Melati.
Buntu. Pencarian mereka menemui jalan buntu
kembali.
"Aku percaya kalian akan mengenyahkan Ma-
nusia Makam Keramat. Karena itu, kusarankan kalian
sebaiknya menanyakan tentang hal itu pada murid-
murid kepercayaan Arga Pasa. Mungkin saja salah seo-
rang di antara mereka pernah dititipkan pesan. Asal
kuminta, kalian tidak mempergunakan cara kekerasan
sewaktu meminta keterangan.
Bibir Dewi Melati mengembang lebar. Matanya
mengerling nakal.
"Kalau kau masih muda, akan kuhadiahkan ci-
uman hangat, Manda Langit," pujinya seraya menarik
lengan Penjaga Gerbang Neraka keluar halaman pergu-
ruan.
ENAM
SATRIA dengan Rara Lanjar akhirnya tiba di
tempat tujuan. Dari Gunung Burangrang ke Perguruan
Belalang Putih memakan waktu dua hari dua malam.
Tiba di gerbang perguruan, mereka langsung
disambut oleh tiga orang murid yang mendapat giliran
tugas jaga. Mereka bergegas mendekat dengan wajah
kalut. Besar kemungkinan, ada sesuatu telah terjadi.
Belum lagi pedati memasuki pintu gerbang,
seorang murid langsung berseru,
"Kitab itu telah hilang, Nona Lanjar!"
Mata Rara Lanjar membeliak.
"Apa?!"
Dia cepat melompat turun dari pedati.
"Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya meledak-
ledak. Wajah terbakar. Sepantasnya dia lebih kalut
dan gusar dari murid Perguruan Belalang Putih.
"Kakang Palguna yang mengetahui secara jelas
kejadiannya!" susul murid yang lain.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rara Lanjar me-
langkah memasuki pintu gerbang. Langkahnya ter-
banting-banting keras.
Satria mengangkat bahu. Rasanya dia sudah
diacuhkan.... Pendekar muda itu pun melompat turun
dari pedati. Seorang murid perguruan yang masih ber-
diri di sana dimintanya untuk memasukkan pedati.
Dia sendiri menyusul Rara Lanjar.
"Di mana sekarang Kakang Palguna?" tanya Ra-
ra Lanjar, selagi melangkah diiringi dua orang murid
Perguruan Belalang Putih.
"Dia sedang dirawat oleh tabib perguruan, ter-
luka dalam karena bertarung dengan orang yang mela-
rikan kitab itu!" lapor murid di sebelah kiri.
Di belakang mereka, Satria mengekori seperti
kacung.
Keempatnya tiba di ruang perawatan Palguna.
Melihat putri Ki Arga Pasa tiba, dia memaksakan diri
untuk bangkit. Rara Lanjar menahannya agar tetap
berbaring. Setelah meminta tabib perguruan untuk ke-
luar, Palguna mulai menerima pertanyaan demi perta-
nyaan gadis itu.
"Ceritakan apa yang sesungguhnya telah terja-
di, Kang?" tanya Rara Lanjar. Kendati telah berusaha
menguasai kegusaran, tak urung nafasnya masih ter-
dengar rusuh.
"Empat hari lalu, ketika kitab yang diwasiatkan
Eyang baru saja ku keluarkan dari tempat persembu-
nyiannya. Datang seorang bertopeng kayu Arjuna. En-
tah bagaimana caranya dia bisa lolos dari penjagaan
para murid yang sedang bertugas. Tahu-tahu saja dia
sudah berada di belakangku. Tanpa banyak cakap dia
hendak merebut kitab itu dari tanganku."
Palguna terbatuk-batuk kecil, menyebabkan ce-
ritanya terpenggal sementara.
Rara Lanjar dan Satria saling bertatapan. Hati
mereka sama-sama bertanya. Seorang bertopeng Arju-
na? Bukankah dia pula orang yang telah menyela-
matkan Rara Lanjar dari Manusia Makam Keramat?
Benar-benar sulit dimengerti....
"Lalu?" desak Rara Lanjar.
"Aku berusaha mempertahankannya. Tapi ke-
digdayaan orang itu ternyata jauh di atasku. Hanya
dalam satu dua gebrakan, aku sudah dapat dijatuhkan
dengan mudah.... Maafkan aku, Nona Lanjar. Aku me-
nyesal sekali tak dapat menjalani pesan Eyang dengan
baik. Kalau kau hendak menghukumku, aku siap."
Rara Lanjar hanya menggeleng-gelengkan kepa-
la perlahan.
"Bukan masalah berhasil atau tidak kau menja-
lankan kewajibanmu. Melainkan, apakah kau telah
berbuat yang terbaik untuk menjalaninya. Kau telah
melakukan yang terbaik, Kang. Jadi semuanya dapat
dimaafkan," tandas Rara Lanjar, tegas dan arif.
Dalam hati, Satria mengacungkan jempol. Uru-
san memang jadi lebih lancar jika setiap pihak bisa
dengan bijak menilai keadaan! Ah, belajar dari mana
kau, Lanjar?
Ketika menyaksikan seorang murid lewat di de-
kat pintu ruang perawatan, mendadak saja Satria te-
ringat kejadian yang dialami sebelumnya ketika berpe-
dati dengan Rara Lanjar.
"Kau ingat peristiwa di perjalanan itu, Lanjar?"
ucap Satria, di telinga si dara.
Rara Lanjar menoleh. Dengan pandangannya,
dia bertanya. Mungkin dia sudah melupakan peristiwa
yang dianggap remeh itu.
"Ketika kuda-kuda kita menjadi liar dan ham-
pir-hampir tak dapat dikendalikan...." Satria Gendeng
mengingatkan.
Rara Lanjar mengangguk sekali. Dia baru men-
gerti maksud Satria. Alisnya yang legam agak terlipat.
"Apa kau berpikir bahwa orang bertopeng Arju-
na itulah yang melintas mendahului kita, lalu ke sini
untuk merebut kitab itu?"
Satria menggeleng, ragu.
"Tapi aku kurang yakin. Kedatangan orang ber-
topeng ke perguruan ini untuk merebut kitab itu terja-
di empat hari lalu. Sedangkan kejadian yang kita alami
baru berselang dua hari...," katanya seperti bergumam.
"Jadi maksudmu?"
"Aku tak tahu, Lanjar. Namun perasaanku
mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."
* * *
Satria Gendeng dan Rara Lanjar masih belum
mengerti kenapa orang bertopeng kayu Arjuna meram-
pas kitab pemberian mendiang Ki Arga Pasa. Satria
sudah mulai meruntunkan gerutuannya. Dongkol bu
kan main hati anak muda itu mengetahui dirinya telah
didahului seseorang. Rasanya seperti baru saja diper-
mainkan.
Ketika itu keduanya berada di halaman Pergu-
ruan Belalang Putih.
Rara Lanjar bukannya tak dongkol. Lebih dari
itu, sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana
perasaannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak
karuan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita
itu pun turut tak karuan. Inginnya dia menjungkir-
balikkan apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusa-
rannya.
"Aku hampir tak percaya kalau orang bertopeng
Arjuna itu merebut kitab rahasia milik ayahku, setelah
sebelumnya dia menyelamatkan aku dari tangan Ma-
nusia Makam Keramat!" geramnya. "Aku tak tahu apa
maksudnya dengan semua itu...."
"Ssttt!"
Kedongkolan Rara Lanjar dijegal desis mulut
Satria Gendeng. Mata anak muda itu menatapnya tan-
pa berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati
Rara Lanjar.
Perempuan yang semula sedang meruntunkan
kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini mencoba
menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya terlak-
sana, selantun suara siulan berirama amat tajam
mendadak tercipta.
Menyeruak angkasa.
Menerjang gendang telinga.
Telinga kedua muda-mudi itu terasa direjam te-
lak-telak. Gendang telinga mereka sudah terasa hen-
dak terkoyak. Keduanya cepat mendekap telinga den-
gan kedua tangan.
Kasihan Rara Lanjar. Dia merasakan siksaan
rasa sakit yang lebih parah dari Satria. Penyebabnya
jelas karena tingkat tenaga dalamnya berada jauh di
bawah tenaga dalam Satria Gendeng.
"Berhentiiii!" teriakan mengguntur keluar dari
pita suara Satria, bagai hendak menggempur langit!
Tak ada lain yang hendak diperbuat Satria
Gendeng dengan teriakan yang disalurkan tenaga da-
lam tadi, kecuali melawan suara siulan berkekuatan
tenaga dalam amat tinggi milik si orang usil. Dugaan-
nya meleset sama sekali! Suara siulan ternyata tetap
bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya
tak sedikit pun berkurang.
Ini benar-benar mengejutkan Satria Gendeng,
sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh. Satria
sungguh mampus tak menerima perlakuan seperti itu.
Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-ubun. Dia
mengkelap. Masih dengan tangan mendekap telinga,
dikerahkannya tenaga dalam kesaluran napas di teng-
gorokan.
Sekali ini, kemengkelapan si pendekar muda
menyebabkan tenaga sakti dari dalam tubuhnya turut
meledak. Jarang orang persilatan dapat menandingi
kekuatan sakti Satria Gendeng pada tingkat demikian.
Saat bersamaan, si Rara Lanjar pun hendak
melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah
Satria membutuhkan bantuannya atau tidak, Rara
Lanjar merasa harus melawan serangan suara lawan
yang membuat gendang telinganya nyaris pecah.
"Heaaaaa!!!!"
Berbarengan, dua teriakan terlepas dari dua
kerongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan
kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke
tingkat puncak.
Melawan kekuatan siulan.
Hasilnya ternyata tetap tak cukup untuk mem-
buat siulan tadi tertebas di udara! Ini gila, pikir Satria.
Satu-satunya pertanyaan besar yang melintas di be-
naknya saat itu adalah siapa yang sebenarnya tengah
kuhadapi kini?
Sementara tubuh Satria mulai terhuyung-
huyung, Rara Lanjar justru telah tersungkur di atas
lututnya. Hanya berselang dua tarikan napas, gadis itu
pun ambruk terlungkup.
"Rara Lanjar! Kau tak apa-apa?!" teriak pende-
kar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
mencoba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa
ditangkap Rara lanjar.
Tak ada jawaban. Rara Lanjar tetap tergeletak
tak bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadar-
kan diri.
"Kalau sampai terjadi apa-apa pada wanita itu,
akan ku rencah-rencah dagingmu!!!" umbar Satria
Gendeng, sarat kemurkaan.
Siulan mendadak terhenti. Bukan karena ke-
kuatan teriakan anak muda itu telah berhasil mempe-
cundangi, melainkan si pemilik suara siulan rupanya
memang sudah bosan dengan permainan tersebut.
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pa-
da dirinya?"
Terdengar sebentuk suara yang sama sekali tak
dikenali Satria. Dari warna suaranya, Satria menilai
kalau orang yang sedang berurusan dengannya adalah
seorang tua bangka.
Satria Gendeng menurunkan tangan dari telin-
ga. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga
dalam tingkat tinggi. Hanya suara jarak jauh.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?!"
hardik Satria, tak kurang kegeraman.
Jawabannya cuma tawa berat.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara
tawa jelek mu itu!"
Lagi-lagi terdengar tawa.
"Dasar anak muda! Rupanya kau selalu tak
mau tahu sedang berurusan dengan siapa?!"
"Ya, siapa kau?! Bukankah itu yang memang
ku tanyakan tadi padamuuuuu!!!" Satria Gendeng ma-
kin dibuat kalap. Urat lehernya sampai nyaris putus
karena begitu geram berteriak. Matanya melotot-lotot.
Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan. Wajahnya
sudah lebih parah dari manusia pesakitan!
Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak
terduga-duga, bahkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Seorang lelaki tua telah berdiri hanya satu tindak di
belakangnya!
Sulit mengukur usianya. Yang pasti sudah le-
bih dari seratus tahun. Jenggotnya putih tergerai sam-
pai dada. Rambutnya pun putih, digelung di atas kepa-
la dengan ikatan dari kulit hewan. Wajahnya meman-
carkan kharisma yang kuat. Menatapnya seperti me-
nyaksikan mentari di ambang pagi. Bersinar, namun
sejuk. Tubuhnya dibalut kain putih seperti seorang
paderi, memanjang hingga menutupi kaki.
Sampai beberapa lama, Satria tetap tak menya-
dari kehadirannya, seolah tarikan nafasnya pun tak
terdengar.
Siapa pula kakek ini?
***
TUJUH
ADA tangan lembut menyentuh bahu si pende-
kar muda tanah Jawa. Satria terkesiap. Dia membalik-
kan badan. Ditemukannya seorang kakek tua penuh
wibawa. Kakek itu tersenyum kecil.
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Satria Gendeng.
"Kau tak perlu banyak tanya, Anak Muda. Sebaiknya,
kau segera membawa gadis itu pergi dari perguruan
ini...," ucap kakek tua berpakaian putih.
"Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau
orang yang belum lama bermain-main dengan tenaga
dalam itu, Orang Tua? Dan aku yakin pula, bahwa kau
pula yang telah membuat kuda-kuda penarik pedati
kami waktu itu menjadi tak tenang!" Satria tetap pena-
saran.
Si kakek mengangguk.
"Tapi aku tak bermaksud main-main seperti ka-
tamu."
"Lalu?" serobot Satria. Masih ada sisa kegusa-
rannya.
"Kulakukan karena aku harus membuat gadis
itu tak sadarkan diri untuk sementara."
"Kenapa?" cecar Satria. Si kakek tersenyum.
"Aku punya alasan sendiri. Kuharap aku bisa
menjelaskan lain waktu. Sekarang ini, yang penting
kau segera pergi membawa gadis itu dari tempat ini...."
"Kenapa harus pergi?" Satria tetap rewel.
"Karena Arya Sonta akan segera sampai di tem-
pat ini dalam beberapa lama lagi."
Arya Sonta? Manusia Makam Keramat itu? Bi-
sik murid Manusia Makam Keramat dalam hati. Dari
cara kakek tua ini menyebut nama asli Manusia Ma
kam Keramat, tampaknya dia cukup mengenal siapa
Arya Sonta. Caranya menyebut nama Arya Sonta,
mengingatkan Satria pada cara gurunya. Ada dugaan
dalam diri Satria bahwa kakek ini pun mempunyai
urusan lama dengan Manusia Makam Keramat.
Dan anehnya, Satria bisa mempercayai begitu
saja ucapan si kakek. Rasanya telinganya hanya me-
nangkap suara yang jernih dan tulus, tanpa getar dus-
ta sedikit pun. Sebenarnya, ada hal aneh lain yang lu-
put diperhatikan Satria. Seluruh murid Perguruan Be-
lalang Putih tak ada satu pun yang keluar. Padahal se-
belumnya terjadi pertarungan suara bertenaga dalam
seru yang menggetar sampai keluar lingkungan pergu-
ruan!
Satria Gendeng cepat menjemput Rara Lanjar
yang masih tak sadarkan diri di halaman perguruan.
Diangkatnya, lalu dia bersiap meninggalkan tempat
itu. Sebelum menggenjot tubuh, Satria masih sempat
berkata, "Kau masih hutang penjelasan padaku, Orang
Tua!"
Kakek tadi hanya menyahuti dengan senyum.
Yang lagi-lagi penuh kekuatan wibawa.
Sepeninggalan Satria, seseorang tiba di muka
Perguruan Belalang Putih. Tepat seperti ucapan si ka-
kek berpakaian putih, orang itu adalah Arya Sonta! Dia
kembali untuk mengulang kembali usahanya menculik
Rara Lanjar setelah tempo hari gagal.
Menyaksikan seseorang telah menyambutnya di
gerbang Perguruan Belalang Putih, Manusia Makam
Keramat mendengus.
"Siapa kau?!" tanyanya, menghardik. Sejenak
dia meneliti wajah orang tua yang berdiri hanya sebe-
las tombak dari tempatnya. Ada garis-garis di wajah itu
yang mengingatkan Arya Sonta pada seseorang. Teru
tama matanya yang memancarkan kekuatan kharisma.
Dia merasa pernah mengenal mata itu. Kapan? Di ma-
na? Dia berusaha mengingatnya, tapi tak berhasil.
Niat untuk secepatnya mendapatkan Rara Lan-
jar kembali, menghanguskan keinginannya untuk be-
rusaha mengingat keras wajah si kakek.
Kembali dihujamkan pandangan ke arah kakek
berjenggot putih. Sekali lagi, dilontarkan pertanyaan.
"Siapa kau, Tua Bangka?!"
Tak ada sahutan dari si kakek. Dia hanya ter-
senyum dengan tangan terlipat di depan dada.
Merasa dilecehkan, Manusia Makam Keramat
menjadi gusar. Tergulir geraman berat dari kerongkon-
gannya. Matanya menerjang garang, seolah hendak
mengunyah bulat-bulat si kakek.
"Aku bertanya padamu!" Kegusarannya mele-
dak menjadi teriakan mengguntur.
Tanah gemetar, retak di beberapa tempat.
Pepohonan berderak, kulitnya mengelupas.
Dedaunan gugur, bagai runtuhan hujan.
Angin digebah, berbalik arah.
Kain putih di tubuh si kakek menggelepar-
gelepar. Di beberapa tempat bahkan terkoyak. Cabi-
kannya tersungkur bersama daun.
Tapi si kakek sendiri sama sekali tak bergem-
ing. Berdiri dia, bagai arca tanpa terusik sedikit juga.
Bahkan masih bisa mengumbar senyumnya.
Kulit hidung Manusia Makam Keramat terlipat.
Matanya berkilat. Barisan gigi bertaringnya diperli-
hatkan. Dia memang terkesiap menyaksikan kenya-
taan itu. Namun, keangkuhannya tak memungkinkan
dia memperlihatkan pada wajahnya.
"Kau tak tahu sedang berhadapan dengan sia-
pa, Manusia Renta?!" geramnya, mengancam.
"Aku tahu," Si kakek buka suara. "Kau adalah
manusia durjana yang memimpikan kekuasaan mut-
lak...," lanjutnya. Kata-katanya mengalir datar. Seolah
momok menakutkan yang pernah menghantui dunia
persilatan berpuluh tahun silam tak bisa menggetar-
kan nyalinya barang sekejap.
"Aku tidak hanya memimpikan kekuasaan dan
keabadian ku. Aku akan mendapatkannya satu hari!
Kau dengar?!"
"Apa kau sadar, terkadang manusia tak bisa
membedakan hidup dengan kenyataan atau hidup
dengan mimpi. Kau tergolong orang kedua. Kau cuma
hidup dengan mimpi. Selamanya kau tak akan menda-
patkan kekuasaan mutlak. Kau mungkin bisa mengu-
asai bumi Pajajaran, atau seluruh tanah Jawa, atau
seluruh dunia. Ketika kau memandang langit, barulah
kau sadar kekuasaanmu cuma setitik debu tak berarti
yang akan tergilas masa pada waktunya. Mutlakkah
itu?"
"Jangan berkhotbah, Keparat!"
"Tak ada yang ingin peduli pada hikmah hidup
kecuali hewan," sindir si kakek, tak mempedulikan me-
luapnya kemarahan Manusia Makam Keramat.
Kian digarang saja kemarahan Manusia Makam
Keramat. Pada waktunya, dia menuding dengan sege-
nap kenyalangan parasnya.
"Menyingkir, atau kau akan mampus!"
"Kau tak perlu bertindak kasar padaku. Tanpa
kau paksa, aku pun akan menyingkir. Aku tak akan
melayanimu bertarung, karena aku sudah meninggal-
kan jalan kekerasan. Tapi tetap ku ingatkan, kau tak
akan mendapatkan gadis itu. Dia sudah tak ada lagi di
sini setelah aku memperingati. Kalau kau ingin menya-
lahkan aku, silakan. Kalau kau ingin mengumbar ke
marahan padaku, silakan. Aku tak akan melawan...,"
tutur si kakek seraya melangkah perlahan dengan te-
nang ke arah Manusia Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sebenarnya agak ber-
tanya-tanya bagaimana kakek tua asing itu tahu kalau
kedatangannya hendak menculik Rara Lanjar. Kehera-
nan itu tak terlalu menarik perhatiannya. Manusia
durjana itu lebih terpancing ke arah ucapan si kakek
yang mengatakan Rara Lanjar telah pergi karena pe-
ringatannya. Manusia Makam Keramat tak perlu mera-
gukan kebenaran ucapan itu, kalau si kakek sendiri
sudah dapat mengetahui tujuannya datang. Hanya sa-
ja dia menjadi geram karenanya. Dia merasa diper-
mainkan mentah-mentah.
"Berkhotbahlah kau di neraka!" serunya, meng-
gempar seraya melepas pukulan bertenaga dalam ke
dada kakek berjenggot putih.
Tangan Manusia Makam Keramat melesat de-
ras.
Angin menderu di sekitarnya.
Sebelum tiba di dada kakek berjenggot putih,
pukulannya tiba-tiba saja terpantul. Tangannya sea-
kan baru saja menghantam dinding karet tak terlihat!
Terperangahlah Manusia Makam Keramat.
Keangkuhannya, tak bisa lagi menyembunyikan keka-
guman yang semestinya sejak tadi terlihat di wajahnya.
Dan dengan tenang, kakek berjenggot terus me-
langkah. Dia melintas begitu saja tepat di samping
Manusia Makam Keramat.
Napas Arya Sonta mendengus. Keparat ini ru-
panya hendak menjajal kesaktianku, serapahnya da-
lam hati. Kau akan merasakan satu ajian pamungkas
ku, ancamnya membatin dengan sekujur otot badan
mengejang menahan amukan kemurkaan.
Manusia Makam Keramat berteriak, siap me-
lancarkan ajian pamungkas. Tubuhnya berbalik cepat.
Wushh!
Ketika kedua tangannya membuat gerakan me-
nyibak udara, membersitlah cahaya merah membara,
membentuk bola api raksasa. Hawa panasnya bergu-
lung-gulung sampai jauh. Sayangnya, si kakek ber-
jenggot telah raib entah ke mana. Padahal, hanya se-
kedipan mata sebelumnya dia masih di belakang Ma-
nusia Makam Keramat!
* * *
Malam itu langit tak menampakkan wajah ra-
mah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan
mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat.
Pada tanggal di bulan tersebut, semestinya cakrawala
bertabur cahaya bulan bulat penuh. Sayang itu tak
terwujud, karena bulan purnama bernasib sama den-
gan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa pada setiap
musim penghujan. Arakan awan pekat, bekukan udara
dingin, gelap yang meraja adalah hal biasa. Tapi, akan
jadi tak biasa kalau nyatanya suasana seperti itu ter-
bangun pada musim-musim panas seperti sekarang.
Ada yang tak beres dengan alam? Pertanyaan
yang sesungguhnya amat pantas dipertanyakan siapa
pun, oleh manusia dari mana pun, kecuali oleh seo-
rang tua yang kini berdiri sendiri di satu pekuburan
angker, Makam Keramat Maut.
Orang tua itu berambut amat panjang, tergerai
sampai ke tanah. Begitupun jenggotnya. Seperti tidak
ingin sedikit pun memperlihatkan wajahnya dibiarkan
rambut depannya menjuntai liar.
Wajah orang itu seperti suasana malam. Dingin
dan memeram kegelapan, pancaran kehitaman ji-
wanya. Kulit wajahnya pucat, seakan darahnya telah
terperah sekian puluh tahun lalu. Bibirnya kerontang,
pecah-pecah seperti dataran di bawah kakinya. Di ke-
dua sudut bibirnya menyembul gigi taring kecil. Sepa-
sang matanya selalu melesatkan pandangan menikam.
Besar dan berwarna kehijauan di sekujur kelopaknya.
Penampilannya tak mencerminkan yang lain
kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam
kelam yang membalut bagian terlarangnya.
Di pusat hamparan pekuburan kuno yang di-
kepung keangkeran dan ancaman maut, orang menye-
ramkan tadi memacakkan kaki. Dia diam mengarca.
Tangannya menjuntai tanpa kehendak. Angin membe-
kukan mengusik rambut dan pakaiannya. Dia tak pe-
duli. Dia sungguh tak peduli apa-apa. Tak peduli pada
suasana mencekam, atau bahkan dia seperti tak peduli
pada dirinya sendiri.
Yang ingin dilakukannya saat itu cuma men-
dongakkan kepala kaku-kaku ke angkasa. Tepat ke
gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang me-
nyemburatkan cahaya tipis bulan. Tirus wajahnya se-
pintas menampakkan susunan tulang pipi yang me-
nonjol bengis.
Jika ada yang melihatnya, maka orang itu akan
sulit menentukan, apakah dia manusia atau mayat hi-
dup.
Pada saatnya, gumpalan awan tambun terge-
bah angin. Purnama di atas sana sejenak punya ke-
sempatan meneroboskan cahayanya. Lalu cahaya pu-
cat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat; wajah si
tadi.
Mendapati siraman cahaya bulan, orang ini seperti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya
napas dalam-dalam, seakan hendak menghirup rasa
dari cahaya bulan. Setelah tertahan beberapa saat, ba-
rulah dia menghempas dadanya kembali. Seperti sebe-
lumnya, dada itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cu-
kup lama pada bulan untuk menyiramkan cahayanya
ke bumi. Waktu pun merayap. Pada menit kesekian
dari titik tengah malam, bulan bulat perlahan-lahan
ditelan awan.
Tepat ketika bulan tertelan penuh oleh gumpa-
lan hitam, tadi mendengus-dengus berkali-kali. Tubuh
kurus merunduk dalam hingga bersujud mencium ta-
nah. Perlahan-lahan, dia mulai merayap. Hidungnya
terus mendengus dan mengendus seperti seekor anjing
melacak jejak.
Setelah merayap dengan cara yang terlalu aneh,
tubuh orang itu berhenti. Pada satu kuburan sederha-
na yang tanahnya nyaris datar karena telah ratusan
tahun terbengkalai.
Sejenak dia terdiam. Kemudian bangkit menda-
dak sekali.
Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menje-
jak, dia sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya
dia tak tersungkur. Sengaja dia menjatuhkan kedua
lututnya. Selanjutnya, dengan tangan berkuku pan-
jang yang melingkar-lingkar dia mulai menggali, men-
gais, mendongkel sarat kejalangan. Tingkahnya serupa
dengan anjing malam yang hendak menggali penda-
man seonggok tulang.
Caranya menggali tak lagi seperti manusia bi-
asa. Tangannya mengais amat kuat, seakan ada tenaga
puluhan makhluk-makhluk gaib yang merasuk dalam
dirinya. Setiap kali tangannya mencakar tanah, maka
bongkahan besar tanah terhambur keluar.
Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk
liang besar. Lebar lingkarannya sekitar sembilan kaki
dengan kedalaman tak kurang dari lima depa. Di dasar
lobang, mencuat semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggila
si tua berambut panjang terhenti sejenak. Diamatinya
benda itu tanpa kedip di mata. Bagai seorang yang
memendam kerindungan asing, diusap-usapnya tonjo-
lan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula debu di per-
mukaannya. Dia bahkan menciumi benda itu dengan
garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, dia sudah mu-
lai mengais-ngais lagi, seperti mencoba mengeluarkan
benda menonjol tadi.
Jika melihat bentuknya, orang masih sulit
menduga benda apa gerangan. Ketika benda itu berha-
sil dikeluarkan, barulah tampak jelas wujud sesung-
guhnya. Satu nisan batu berbentuk segi empat. Tebal-
nya hampir dua jengkal. Lebarnya lebih dari tubuh tua
aneh itu sendiri!
Kendati begitu, tak ada kesulitan saat si tua
mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
"Ha ha ha ha...! Nisan keramat dari batu kera-
mat, kau akan menjadikan ku penguasa jagat!" pekik
si kurus menyaingi sentakan petir. Ya, dia telah men-
dapatkan sesuatu yang begitu meluapkan perasaan-
nya.
Kegempitaan di wajahnya pupus seketika ma-
nakala melintas sesuatu di benaknya. Tentang kegaga-
lannya membawa seorang gadis beberapa waktu lalu.
Karena darah gadis itu, 'hanya darah gadis itu' yang
akan membangkitkan kekuatan dahsyat Nisan Batu
Mayit di tangannya. Di mana darahnya harus memandikan batu nisan tepat ketika bulan purnama meng-
gantung di pucuknya.
Dua kali sudah usahanya untuk membawa pe-
rempuan itu ke Makam Keramat Maut lantak di tengah
jalan. Usaha terakhir telah dikacaukan oleh seorang le-
laki tua yang berhasil mendahuluinya mengingatkan
Satria dan Rara Lanjar, sekaligus mengecohkan kesak-
tiannya di depan Perguruan Belalang Putih. Lain kali,
dia tak sudi gagal lagi! Harus didapatnya perempuan
itu! Perempuan yang dimaksud adalah.... Rara Lanjar!
Dia sendiri, tak lain Manusia Makam Keramat. Arya
Sonta menyeringai dingin. "Aku harus mengatur siasat
lain untuk mendapatkan perempuan yang masih ber-
sama murid Truna Keparat itu!" desisnya, bertekad.
DELAPAN
DI salah satu sudut wilayah Kulon Jawa, seseo-
rang tampak berdiri di tengah jalan berdebu tebal. Dia
mengenakan caping lebar, berjubah hitam panjang
menjangkau betis. Dengan kepala merunduk, akan
sangat sulit bagi orang lain untuk menyaksikan wa-
jahnya. Tangannya bersidekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan den-
gan arah orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda
berlari menggila. Debu membubung pekat, mengekori
setiap hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti
menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara te-
riakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan. Ber-
tumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap
kaki kuda. Pada pakaian mereka, tersulam gambar
kuda terbang. Dengan gambar itu, mereka mudah di-
kenali sebagai orang Perguruan Kuda Langit, murid-
murid Ki Manda Langit.
"Hea! Hea! Heaaaa!!!!"
Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang
yang berdiri di tengah jalan. Semakin memperpendek
pula jarak di antara mereka. Semakin dekat, semakin
cepat kemungkinan orang di tengah jalan akan terin-
jak-injak. Namun tampaknya, dia tak pernah merasa-
kan takut pada labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga pe-
nunggang yang seluruhnya terpaksa menyentak tali
kekang tunggangan masing-masing.
Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda
kekar perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan
tiga binatang itu terangkat tinggi ke atas, seraya mela-
kukan gerakan menendang-nendang liar.
"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan
seperti itu? Tidakkah kau sadar kau hanya akan men-
celakakan diri sendiri?"
Salah satu penunggang berkumis tebal menco-
ba menegur.
Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik
pun tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama
sekali dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat pent-
ing! Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sam-
bung orang berkumis tebal, masih berusaha untuk
bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebe-
lum kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas
penghadang. Suaranya terdengar samar. Seakan orang
itu malas berbicara. Biar begitu, terdengar amat berte-
kanan kuat.
Ketiga penunggang kuda saling bertatap. "Apa
yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung orang
berkumis.
"Siapa di antara kalian yang mengetahui di ma-
na Satria Gendeng berada?"
Ketiga orang yang berada di atas punggung ku-
da tersenyum. Mereka hampir saja tertawa kalau tak
segera menahannya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak kami
ketahui keberadaannya. Kisanak pasti sedang bergu-
rau kalau menganggap salah seorang di antara kami
mengetahuinya...," gurau penunggang paling muda.
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku pada sia-
pa aku bisa mencari keterangan tentang diri Bocah
Busuk itu."
Mendengar nada bicara yang seperti meman-
dang sebelah mata nama besar pendekar muda dari
tanah Jawa itu, ketiga penunggang kuda saling mena-
tap kembali. Siapa orang ini sebenarnya? Bisik hati
masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa Kisanak pada Sa-
tria Gendeng?" Tanpa menjawab pertanyaan pengha-
dang barusan, penunggang berusia paling muda justru
balik bertanya.
Penghadang tak menjawab sepatah katapun.
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Caping le-
barnya tetap ditundukkan. Sampai....
"Jangan banyak mulut, jawab saja pertanyaan-
ku?!!!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari kerong-
kongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk ukuran
seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu, har-
dikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak
semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam mela-
lui gelombang suara.
Tiga kuda jantan besar di sana meringkik keta-
kutan. Mereka seperti disentak oleh salakan guntur.
Dengan nyalang mereka menendang-nendangkan kaki
depan tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak di-
lemparkan dari punggung. Untung saja ketiga tadi
memiliki cukup kemahiran dalam seni menunggang
kuda.
Ketiga penunggang kuda berjuang untuk me-
nenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan
mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tan-
gan yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat
ketiga hewan gagah itu tenang kembali. Sewaktu me-
reka melepas perhatian pada penghadang, orang itu
ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka
tak mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, me-
reka sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara
sejauh mata memandang, hanya ada hamparan ladang
jagung kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka
masih bisa menyaksikan sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan de-
demit?" tanya berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan
seperti orang kebanyakan minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tem-
pat ini. Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat
ini.... Lagi pula, kita harus segera ke padepokan Ki
Damar Sakti."
Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat
tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut
kuda. Tali kekang dilecutkan, ketiga kuda siap berpacu
di jalan berdebu kembali.
Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari,
debu bahkan belum sempat menebar jauh, sayup-
sayup terdengar suara dengung di belakang ketiganya.
Suara asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga
terdengar dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih
dahulu seperti sebelumnya, mereka menoleh ke bela-
kang sambil tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu pe-
mandangan yang membuat bulu tengkuk mereka me-
negang seketika. Mata mereka mendelik sebesar-
besarnya. Otot di tubuh mereka serentak mengejang
tegang. Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali
kendali kuda masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan seso-
sok tubuh bergerak cepat di kejauhan. Yang membuat
mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena sosok
itu mengapung dua tombak di atas tanah! Getaran pa-
kaiannya menimbulkan desis tajam yang berbaur den-
gan dengung.
Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan
oleh terkaman sosok tadi. Seperti rajawali, orang sakti
tak dikenal itu menyambar dua kepala penunggang
kuda dengan cakar depannya.
Cras!
Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala
menggelinding. Tubuhnya seperti terserang keram. Dia
akan bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja
kuda tunggangannya tak segera lari sepenuh kekua-
tan, bagai dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas
tunggangan dua temannya. Nasibnya, memang masih
bagus. Meski dia harus terkencing-kencing di celana.
* * *
Tiga orang terlibat perkelahian menggila. Dua di
antaranya mengeroyok satu orang.
Salah satu pengeroyok adalah seorang tua
bangka yang usianya mungkin sudah menjelang senja.
Kepalanya berambut jarang dan tipis. Warna rambut-
nya seperti jagung. Wajahnya bulat, ditimbuni lemak,
mengimbangi badannya yang subur. Perutnya saja
hampir sebesar gentong. Punuknya tebal. Lelaki gemuk
ini mengenakan pakaian berwarna kuning-kuning
mencolok.
Pengeroyok lain seorang lelaki lebih muda.
Tampangnya berangasan. Matanya seperti tak pernah
berhenti mendelik. Dagunya kasar. Sudut bibirnya se-
lalu terungkit naik seakan menyeringai. Dengan pa-
kaian serba hitam, lelaki ini makin terlihat sangar.
Sedangkan orang yang dikeroyok adalah salah
seorang sahabat Ki Arga Pasa. Wajahnya banjir peluh,
memperlihatkan raut tegar dalam usianya.
Dia adalah Ki Damar Sakti. Tokoh berjuluk
Tendangan Maut itu adalah lelaki setengah baya ber-
ebat kain dengan kumis tebal.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang.
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul
menyusul. Diricuhi pula oleh deru gerakan demi gera-
kan cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung cu-
kup alot. Orang yang dikeroyok punya cukup kemam-
puan yang diandalkan untuk bertahan dari serangan
kedua lawan, meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan kedua kaki mautnya, Ki Damar
Sakti berusaha mengimbangi serangan-serangan para
pengeroyoknya. Sementara di pihak para pengeroyok,
hanya orang tua gendut mempergunakan senjata be-
rupa gada batu besar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tem
pat yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang
yang dikeroyok berusaha untuk membebaskan diri da-
ri kepungan.
Tiba di tepi sebuah telaga, Ki Damar Sakti jatuh
dalam keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak le-
bih leluasa dalam usaha melepaskan diri dari kepun-
gan. Telaga terbentang di belakangnya. Sementara di
depan, dua lawan setiap saat dapat menendangnya ke
liang lahat.
"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana
pun, Ki Damar Sakti!" cibir orang tua gendut, mencoba
meruntuhkan semangat perlawanan Ki Damar Sakti.
"Ya. Dan hari ini kau akan segera mati, jika tak
mengatakan pada kami di mana sepasang muda-mudi
itu!" timpal orang berwajah bengis.
"Kenapa kalian begitu menginginkan mereka?!"
tanya Ki Damar Sakti, serak. Dadanya kembang-
kempis tak beraturan. Wajahnya setiap kali member-
sitkan kelelahan. Tampaknya meski dia punya cukup
kepandaian kanuragan tinggi untuk bertahan, tak
urung dia kepayahan.
Orang tua gendut terkikik geli. Sehabis tertawa
singkat, wajahnya berubah berangasan kembali. "Kau
tak perlu pusing-pusing memikirkan tujuan kami!" tu-
kasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu
yang busuk pada mereka, bukan?!" kecam Ki Damar
Sakti.
"Itu sebabnya kau merasa harus tutup mulut?!
Jangan bodoh! Jadilah orang pandai yang tahu kapan
harus tutup mulut dan kapan harus buka mulut. Den-
gan begitu, kau akan selamat," sela lelaki berwajah
bengis.
"Kalian tak akan mendapatkan apa-apa dariku.
Kalaupun aku tahu di mana mereka, aku tetap tak
akan memberi tahu kalian, Manusia-manusia Laknat!"
maki Ki Damar Sakti gusar.
Si tua gendut terkikik meriah. Sulit menentu-
kan apa yang dianggapnya lucu dari makian Ki Damar
Sakti tadi. Yang jelas, sepasang bola matanya tetap
menerjangkan sinar haus darah ke arah lawan.
"Itu artinya, kau meminta mati!" tandas lelaki
bertampang bengis, mengancam.
"Kau tak bisa mengancamku!"
Orang tua gendut mencibir. Gadanya ditum-
buk-tumbukkan ke bumi. Lalu serunya, "Sekarang,
berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu, sebab kami
akan segera mengirimmu ke akhirat!"
Akhir ucapan orang tua gendut menjadi pemicu
pengeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertu-
buh boros itu memulai dengan satu lepasan gada
menggeledek di atas selangkangan lawan.
SEMBILAN
UKH! Deb!
Ki Damar Sakti tahu dirinya tak mungkin lagi
menghindar ke mana pun, selain memapaki senjata
lawan. Dengan agak nekat, disambutnya gada si Tua
Gendut dengan kakinya.
Prak!
Hantaman hebat mengenai ujung gada dari ba-
tu alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras.
Ujung senjata orang tua gendut berserpihan menebari
udara dalam pecahan-pecahan kecil. Tendangan am-
puh Ki Damar Sakti penyebabnya!
Orang tua gendut terkesiap. Semula dia me-
mang tak memperkirakan hadangan tendangan lawan
memiliki kekuatan penghancur yang hebat. Tapi, tak
sedikit pun dia memperhitungkan kalau kehebatan
tendangan lawan sanggup melantakkan senjatanya.
Padahal, batu yang dijadikan senjatanya termasuk ba-
tu mulia yang memiliki kekerasan tak diragukan.
Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesia-
pannya tadi manakala kaki lawan lain menderu pula
mengejar dirinya.
Wukh!
Untung saja, tinju lelaki bengis memenggal niat
Ki Damar Sakti. Dan pada kejap berikutnya, kaki lelaki
bengis terayun pula.
"Haih!"
Jarak yang terlalu dekat memaksa Ki Damar
Sakti berjumpalitan ke depan, melewati kepala lelaki
bengis. Sayang, di sana sudah menunggu lawan lain,
orang tua gendut yang sebelumnya berhasil melompat
ke belakang. Pijakan kaki Ki Damar Sakti di tanah dis-
ambut oleh sepakan setengah putaran kaki itu.
Zeb!
Sekali lagi, Ki Damar Sakti pontang-panting
menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya di-
remukkan punggung kaki lawan. Dia mengembalikan
tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu
dekat ke arah si Tua Gendut.
Belum lagi nafasnya lega, Lelaki Bengis mulai
pula melepas gempuran. Tangannya membelah udara,
memperdengarkan desing tipis di sisi buruannya, se-
mentara tubuh Ki Damar Sakti sendiri masih berada di
udara.
Ki Damar Sakti benar-benar hendak dijadikan
bulan-bulanan!
Keadaan yang sudah amat terjepit membuat Ki
Damar Sakti tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa
lincah pun dia. Jalan satu-satunya, dia harus memen-
tahkan ancaman serangan tangan lawan tadi. Dengan
posisi tanggung, untung-untungan disampoknya tusu-
kan hebat tangan Lelaki Bengis.
Dag!
Cuma satu harapan Ki Damar Sakti agar ujung
jari maut itu urung menghantam iganya. Sayang, tena-
ga yang mengaliri tangan lawan nyatanya jauh dari
perkiraan. Sampokannya terpantul saat itu juga. Nyeri
luar biasa menjalari sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan
dirasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang ke-
palang menerjang bagian bahu kirinya.
Tendangan susulan lelaki berwajah seram ru-
panya telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu
melontarkan tubuh Ki Damar Sakti ke tengah-tengah
telaga.
Byur!
Permukaan telaga menelannya bulat-bulat.
Air beriak.
Gelombangnya mengembang sampai jauh,
membentuk cincin-cincin bergerak. Perlahan-lahan,
riak permukaan telaga menghilang. Tubuh tadi tak
kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia?
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar me-
nemui ajal, Bengis?" tanya si Tua Gendut.
"Aku yakin sekali," sahut berwajah seram yang
dipanggil Bengis. "Tendangan ku mengenai dada ki-
rinya. Setidaknya jantungnya telah pecah!" tambahnya
yakin.
Setelah puas memastikan bahwa lawan tak
muncul kembali di permukaan telaga, keduanya me-
ninggalkan tempat itu dengan wajah dingin.
Mereka adalah pasangan Gendut Tangan Tung-
gal dan Pendekar Muka Bengis. Begitukah? Apa yang
telah terjadi pada diri mereka sehingga harus memu-
suhi Ki Damar Sakti yang jelas-jelas adalah tokoh go-
longan lurus?
Pertanyaan itu akan terjawab jika kembali pada
kejadian beberapa hari sebelumnya.
Beberapa hari ke belakang.
Ketika itu, Gendut Tangan Tunggal dan Pende-
kar Muka Bengis sedang terpana menemukan bocah-
bocah Pasukan Kelelawar menjelma menjadi bocah-
bocah tak punya dosa di bawah sebuah pohon besar.
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode :
"Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Apa yang terjadi pada diri mereka?" tanya
Gendut Tangan Tunggal terheran-heran.
"Aku sendiri tak habis mengerti," jawab Pende-
kar Muka Bengis dengan mata tak lepas dari sekum-
pulan bocah yang sebagian dari mereka lantas menan-
gis menyaksikan wajahnya.
"Lihatlah, Bengis. Jika dulu mereka mampu
membuat kita kalang-kabut, sekarang melihat wajah-
mu pun mereka sudah ketakutan," tukas Gendut Tan-
gan Tunggal, nyaris tertawa geli dia melihatnya.
Pendekar Muka Bengis menyikut perut gentong
Gendut Tangan Tunggal, mengingatkannya agar tidak
bermain-main di saat yang membutuhkan pemikiran
seperti itu.
Pendekar Muka Bengis mencoba mendekati me-
reka. Baru satu tindak, beberapa anak makin mengge-
rung-gerung. Bahkan ada yang sempat menjerit-jerit
segala.
Pendekar Muka Bengis meringis. Dia mundur
teratur.
"Kau lagi! Sudah tahu wajahmu menakutkan
mereka, kenapa mesti kau dekati lagi!" kecam kawan
buncitnya. Hampir saja tawa gelinya hendak meledak
lagi.
"Sekali saja kau tertawa, akan ku kuras isi pe-
rutmu, Buncit!" ancam Pendekar Muka Bengis, dong-
kol.
"Baik, baik. Aku cuma ingin tahu, sebenarnya
apa maumu mendekati mereka?"
"Pakai otakmu, Buncit. Setidaknya, mereka bi-
sa kita tanya. Mungkin mereka ingat sesuatu saat me-
reka menjadi Pasukan Kelelawar!"
"Ooooo...." Mulut Gendut Tangan Tunggal
membundar.
"Jangan cuma memajukan mulut, Buncit. Se-
baiknya, kau saja yang menanyakan mereka!" hardik
Pendekar Muka Bengis.
"Kau yakin mereka tak akan takut padaku?"
"Perutmu mungkin akan mereka anggap lucu,
daripada dianggap seram!"
"Kutu busuk!"
Sambil menggerutu, Gendut Tangan Tunggal
hati-hati mendekati kesembilan bocah itu.
"Kenapa kalian menangis?" tanyanya kemudian
ketika tiba di dekat para bocah. Gendut Tangan Tung-
gal setengah berjongkok untuk bisa lebih dekat pada
mereka 'setengah' berjongkok pun rasanya sudah begi-
tu menyiksa untuknya mengingat perutnya seperti su-
dah hendak meledak keluar.
Sementara itu, Pendekar Muka Bengis jengkel
sendiri. Kenapa kalian menangis? Gerutunya mengiku-
ti ucapan Gendut Tangan Tunggal. Pertanyaan bodoh
macam apa itu? Tentu saja mereka menangis karena
ketakutan! Manusia kerbau satu ini apa tak bisa men-
gajukan pertanyaan yang lebih tepat? Pendekar Muka
Bengis menggerutu terus dalam hati.
Terisak-isak, salah seorang bocah paling tua
mulai berani berkata.
"Aku... aku takut..."
"Takut? Pada genderuwo di belakangku ini?"
lanjut Gendut Tangan Tunggal sambil menunjuk persis
di depan hidung Pendekar Muka Bengis.
"Sial kau, Buncit! Tanyakan pada mereka, ke-
napa mereka bisa sampai di sini!" bisik Pendekar Muka
Bengis mendengus-dengus, tertahan-tahan.
"Oh, iya. Kenapa kalian bisa sampai di sini?"
Bocah yang sebelumnya bicara sesenggukan la-
gi.
Yang lain menimpali.
"Waktu itu aku sedang main di desa ku...," mu-
lai si bocah kembali, dengan ucapan-ucapan cadel.
"Ya, terus? Terus?"
"Tiba-tiba ada dua orang jelek melarikan aku
dengan pedati...."
"Orang jelek seperti dia?" sela Gendut Tangan
Tunggal sambil menuding lagi Pendekar Muka Bengis.
"Diam kau, Buncit!" bisik Pendekar Muka Ben-
gis, mendesis-desis kesal.
"Lalu kedua orang itu melakukan apa terha-
dapmu?"
"Mereka memaksa aku meminum sesuatu. Aku
takut, jadi aku meminumnya. Selesai minum aku jadi
mengantuk. Aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku
sudah digantung terbalik di atas sebuah pohon...."
"Lalu?! Lalu?!" Gendut Tangan Tunggal menjadi
seru sendiri. Dia sudah seperti biang bocah yang sedang mendengarkan dongeng dari kakek moyang-nya.
Apa tidak terbalik?
"Karena ikatannya tak begitu kencang, aku
berhasil melepaskan diriku. Dua hari kemudian, aku
seperti...," si bocah mulai menangis lagi. Tergambar ke-
takutan teramat sangat pada wajahnya, membuat dia
tampak begitu pucat.
"Ssssst, tak apa-apa.... Tak apa-apa...," bujuk
Gendut Tangan Tunggal sambil mengusap-usap kepala
si bocah. "Lanjutkan ceritamu."
Si bocah melanjutkan. Katanya hari itu dia me-
rasakan keanehan. Dia seperti dibawa masuk ke dalam
alam lain yang sulit sekali untuk dijelaskan. Setelah
itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, dia sudah
berada di bawah pohon yang ditemukan Gendut Tan-
gan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis bersama bo-
cah lain.
Sewaktu semua bocah ditanya, mereka mence-
ritakan kejadian serupa.
"Aneh...," nilai Pendekar Muka Bengis setelah
mendengar seluruh penuturan si bocah.
"Siapa dua orang yang telah menculik mereka
dari desa masing-masing, ya?" gumam Gendut Tangan
Tunggal.
"Aku rasa, mereka adalah orang suruhan Ma-
nusia Makam Keramat, sebelum manusia itu bangkit
dari kematian. Mungkin saja arwahnya mengancam
dua lelaki yang tampaknya hanya orang desa biasa
yang percaya pada kekuatan-kekuatan alam lelem-
but.... Kedua orang itu tentu memaksa para bocah un-
tuk meminum ramuan yang mengakibatkan mereka
tunduk pada semua perintah Manusia Makam Kera-
mat!"
"Tapi...," Gendut Tangan Tunggal menggaruk
garuk kepala, lalu perutnya.
"Apa yang kau pikirkan, Buncit?" tanya Pende-
kar Muka Bengis, ingin tahu sesuatu yang mengusik
pikiran kawan brengseknya.
Dengan wajah setengah terlipat, Gendut Tan-
gan Tunggal bertanya, "Apa kau tak menyadari keja-
dian yang dialami para bocah ini persis seperti kita
alami...?"
"Astaga...," Pendekar Muka Bengis terperangah.
Dia baru ingat pada kejadian waktu itu, di mana mere-
ka pun mengalami kejadian serupa.
Tiba-tiba bulu kuduk pasangan ganjil itu me-
remang hebat. Mereka tak mengerti, tapi mereka mera-
sakan ketakutan menerobos langsung ke ceruk nyali.
Mereka bergidik. Teramat sangat.
"Jangan-jangan..." Sekali lagi Gendut Tangan
Tunggal memotong kalimat.
"Jangan-jangan apa, Buncit?! Bicara yang be-
nar, jangan membuat aku mati berdiri karena penasa-
ran!"
"Jangan-jangan, kita pun dipaksa meminum
sesuatu ramuan ketika kita tak sadarkan diri setelah
bertarung dengan Pasukan Kelelawar...."
"Artinya," bisik Pendekar Muka Bengis, tersa-
mar getar kengerian. "Kita bisa saja menjelma menjadi
budak manusia iblis itu...."
SEPULUH
SEPENINGGALAN Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis, telaga tempat Ki Damar Sakti
terjatuh menjadi sunyi kembali. Bisu suasana. Hanya
ada desis angin yang merambah sela-sela dedaunan
pohon dan meluncuri permukaan telaga.
Sampai suatu saat, terdengar gericik halus air
telaga dari salah satu tepinya. Satu kepala muncul.
Menyusul badan, sampai tampak jelas keseluruhan
perawakan orang itu. Ki Damar Sakti belum mati. Dia
keluar dari telaga dalam keadaan basah kuyup. Kea-
daan itu memang tak akan menjadi masalah. Persoa-
lannya, di tubuh sahabat Ki Arga Pasa itu kini mende-
kam luka dalam yang tak ringan. Jika tak cepat dito-
long, besar kemungkinan nyawanya akan melayang.
Tersuruk-suruk, lelaki tua berjuluk si Tendan-
gan Maut itu mengangkat diri dari telaga. Lemah ge-
raknya. Hampir-hampir dia tak kuat melakukan. Sebe-
lum benar-benar bisa mengangkat diri, beberapa kali
dia terjatuh kembali.
Di tepi telaga berlumpur, Ki Damar Sakti me-
rayap. Bermandi lumpur sudah pasti. Tak hanya ba-
dan, tapi juga wajah. Setiap kali dia hendak bangkit,
saat itu juga tubuhnya terpuruk dan jatuh kembali ke
tanah berlumpur coklat kehitaman.
Susah-payah, perjuangan antara hidup dan
mati, Ki Damar Sakti sampai pula di bagian tanah
yang kering. Tak ada lumpur, berarti tak licin. Sayang
keadaan tubuhnya tak menjamin dia dapat dengan
mudah untuk bangkit dan berjalan.
Setelah sempat jatuh bangun kesekian kali, Ki
Damar Sakti bisa juga berjalan.
Terseok-seok dia.
Melangkah terus.
Berkutat mempertahankan nyawa.
Setiap hitungan langkah, dirasakannya bumi
makin sulit dipijak. Semuanya mengambang. Pandan-
gannya mengabur. Tapi tekadnya tak bisa mengalah
kannya untuk tidak meneruskan langkah.
Tak jauh, dua pasang mata mengawasi. Dari
tempat tersembunyi yang sulit untuk ditemukan Ki
Damar Sakti. Kalau pun mereka tak sembunyi, Ki Da-
mar Sakti pun tak akan terlalu memperhatikan kebe-
radaan mereka.
Salah seorang pengintai menyeringai.
"Sudah kukatakan, dia akan mengantar kita
kepada muda-mudi yang kita cari...," desisnya. Orang
itu adalah Pendekar Muka Bengis. Di sebelahnya siapa
lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal. Mereka sen-
gaja berpura-pura pergi meninggalkan tempat itu un-
tuk memberikan kesempatan pada Ki Damar Sakti ke-
luar dari telaga.
Kalau sebelumnya mereka berkata telah yakin
akan kematian Ki Damar Sakti, itu pun cuma siasat.
Mereka ingin memastikan Ki Damar Sakti tak
curiga ketika mereka menguntit diam-diam. Lagi pula,
Gendut Tangan Tunggal tahu kekuatan hantamannya
pada tubuh Ki Damar Sakti. Dia mengukur, hanta-
mannya hanya akan mengakibatkan pendekar tua itu
akan mengalami luka dalam parah. Tidak membuatnya
mati. Dan kemungkinan mati karena tenggelam pun
terlalu kecil, mengingat kedalaman telaga tak lebih dari
leher manusia.
Tampak jelas, perangai, watak dan pikiran dua
pendekar golongan lurus itu telah dijungkir-balikkan
oleh Manusia Makam Keramat. Benak mereka diputar
menjadi licik, telengas, dan tak berbelas dan hanya
bertujuan untuk mengabdi pada Manusia Makam Ke-
ramat. Kekuatan tenaga dalam mereka yang sebelum-
nya perlahan-lahan lenyap selama mereka belum ter-
pengaruh oleh permainan Manusia Makam Keramat,
kini justru menjadi berlipat ganda. Boleh dibilang, mereka telah menjelma menjadi boneka tangguh Manusia
Makam Keramat!
"Tentu 'majikan' kita akan senang jika kita te-
lah mendapatkan sepasang muda-mudi itu!" timpal
Gendut Tangan Tunggal, disebutnya Manusia Makam
Keramat dengan sebutan majikan. Makin memperjelas
siapa mereka sesungguhnya kini.
"Tentu... tentu...," sahut Pendekar Muka Ben-
gis.
* * *
Ke mana Satria Gendeng dan Rara Lanjar per-
gi?
Kedua muda-mudi itu tampak di sekitar Gu-
nung Burangrang. Setelah mendapat peringatan dari
kakek tua berpakaian putih, mereka memutuskan un-
tuk kembali ke gunung itu. Di samping karena tem-
patnya cukup jauh dari Perguruan Belalang Putih yang
setiap saat bisa disantroni kembali oleh Manusia Ma-
kam Keramat, juga Gunung Burangrang cukup aman
untuk bersembunyi. Di samping itu, mereka cukup
dekat dengan Perguruan Kaki Baja yang dipimpin Ki
Damar Sakti.
Sebelumnya, mereka sempat pula mengunjungi
Ki Damar Sakti di perguruannya untuk menanyakan
beberapa hal yang menyangkut kitab titipan Ki Arga
Pasa. Sayangnya, Ki Damar Sakti tak tahu menahu
soal itu. Termasuk tentang orang bertopeng Arjuna
yang telah menjadi teka-teki bagi Satria dan Rara Lan-
jar.
Di kaki gunung tempat mereka bersembunyi
kini, ada sebuah gubuk kecil yang terawat. Cocok se-
kali untuk tempat menyepi. Di gubuk itu keduanya
tinggal untuk sementara. Gubuk itu terawat apik.
Lengkap dengan perabotan sederhana. Sepertinya
tempat itu dirawat oleh seseorang.
Hingga hari itu, sudah terlewat empat hari tiga
malam tepatnya. Memang tidur satu atap, tapi dijamin
tak satu ranjang. Berani Satria mencoba-coba, Rara
Lanjar bisa berubah lebih galak dari macan betina sa-
kit gigi!
"Bagaimana kau tahu di tempat ini ada gubuk
yang bisa ditinggali, Lanjar?" tanya Satria.
"Itu yang belum kuceritakan kepadamu," ucap
Rara Lanjar.
"Cerita apa?"
"Setelah dibebaskan dari tangan Manusia Ma-
kam Keramat, aku dibawa oleh orang bertopeng Arjuna
ke tempat ini...."
"Begitukah?"
"Kau tak percaya padaku?!"
"Bukan begitu."
Satria mendekati Rara Lanjar. Matanya mena-
tap dengan tatapan berpikir.
"Apa kau tak bertanya-tanya dalam hati?" su-
sulnya, setengah berbisik.
Rara Lanjar menunggu.
"Bukankah tempat ini dekat dengan Perguruan
Kaki Baja?" kata Satria lagi.
"Lalu?"
"Masa' kau tak bisa menduga sesuatu?" lengak
Satria dengan wajah hampir mendongak.
"Kau bertele-tele, Satria!"
"Bukan aku yang bertele-tele. Hanya otakmu
yang mungkin...."
"Mungkin apa? Kau mau mengatakan aku agak
tolol?"
Mata Rara Lanjar membeliak. Satria cengenge-
san.
"Maksudku, apa kau tak merasa curiga kalau
orang bertopeng itu sebenarnya Ki Damar Sakti?" sam-
bung Satria kemudian.
"Untuk apa Ki Damar Sakti merebut kitab titi-
pan ayahku, setelah menyelamatkanku? Bukankah ka-
lau dia berniat menguasai kitab itu, aku dapat diang-
gap sebagai ancaman? Kenapa dia tak membiarkan
aku dibantai oleh Manusia Makam Keramat?"
Satria garuk-garuk kepala.
"Iya juga, ya...," gumamnya buntu.
Karena kalah berdebat, dia melangkah sambil
memain-mainkan anak rambut, persis seperti perawan
kampung malu-malu kucing.
"Kau tahu, sebenarnya aku tak suka kalau kita
harus bersembunyi seperti cecurut tak punya nyali se-
perti ini," gerutu Satria pada sahabat wanitanya yang
sebenarnya belum cukup lama dikenal. Namun karena
Rara Lanjar tergolong perempuan penuh keyakinan di-
ri, riang, lincah bersahabat, dia bisa cepat akrab den-
gan siapa saja. Termasuk Satria.
Satria Gendeng berdiri pada sebuah batu besar.
Matanya melayap ke kejauhan. Di bawah sana, mem-
bentang pemandangan hijau yang tuntas. Sejuk. Da-
mai. Alam punya kemewahan.
"Kau kira aku suka?" sergah Rara Lanjar, se-
raya melempar ranting kering. Dia duduk di atas se-
rumpun rumput dengan berongkang kaki. Salah satu
sifat perempuan satu ini memang agak kelelaki-
lelakian. Namun tetap bisa dipercaya bahwa dia adalah
wanita tulen.
"Maksudku, apa tidak ada yang bisa kita laku-
kan?"
"Melakukan apa?"
Dari membelakangi Rara Lanjar, Satria Gen-
deng berbalik.
"Mencari tahu apa maunya Manusia Makam
Keramat terhadapmu sebenarnya, misalnya!"
"Bagaimana caranya? Mendatangi sarangnya?
Apa kau yakin dapat mengungguli kesaktiannya tanpa
senjata yang bisa menewaskan lelaki terkutuk itu?"
Satria menggedikkan bahu.
"Iya juga, ya...," keluhnya. Kalah lagi Satria
berdebat. Rasanya menyebalkan juga buatnya. Apalagi
ini menyangkut perempuan.
Satria jadi serba salah lagi. Ke sini salah. Ke
sana juga salah. Berdiri salah, duduk salah. Mondar-
mandir dia, sampai langkahnya dihentikan oleh suara
mencurigakan yang datang dari semak-semak.
Krak!
Suara ranting kering patah terinjak.
Rara Lanjar menoleh ke arah Satria. Pandan-
gannya seolah bertanya apakah si pendekar muda ta-
nah Jawa mendengar suara mencurigakan itu juga.
Satria balas menatap. Telunjuknya diacungkan
di depan bibir, meminta Rara Lanjar untuk tetap diam
di tempat. Bahkan tidak untuk mengeluarkan suara.
Keduanya menanti. Mereka tak ingin bertindak
tergesa. Takut-takut kalau suara tadi dihasilkan oleh
binatang liar semata.
Tapi tidak juga.
Hanya selang dua tarikan napas....
Krassk!
Suara lebih keras terdengar. Menyusul tubuh
seseorang menyeruak semak-semak.
Satria dan Rara Lanjar tercekat. Mereka mema-
sang kuda-kuda. Serangan jelas tak datang. Karena
orang yang menyeruak semak langsung jatuh terte-
lungkup.
"Ki Damar Sakti!" jerit Rara Lanjar, ketika me-
nyaksikan wajah orang itu.
Keduanya segera memburu. Satria Gendeng
membalikkan badan pendekar tua itu. Di atas pa-
hanya, kepala Ki Damar Sakti disandarkan.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Orang Tua?"
tanya Satria.
Ki Damar Sakti melenguh berat.
Wajahnya pucat.
Nafasnya tak teratur, terpenggal-penggal. Lalu
pingsanlah dia.
Satria menatap tak mengerti kepada Rara Lan-
jar.
"Apa yang kau tunggu lagi, Pendekar Tolol!"
sembur Rara Lanjar. "Cepat kau bawa dia ke gubuk!
Kita harus segera menolongnya!!" tambahnya hampir
memekik di depan telinga Satria Gendeng.
Satria sampai meringis-ringis. Salahnya juga
masih sempat menatap Rara Lanjar. Cuma, ya jangan
berteriak di depan telinga begitu kenapa? Gerutu Sa-
tria membatin sambil membopong tubuh Ki Damar
Sakti ke gubuk.
Persis ketika tubuh mereka tertelan ke dalam
gubuk, dua orang muncul. Tentu saja mereka adalah
Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal.
Mereka telah tiba di tempat buruan!
Keduanya saling menatap sejenak dengan ber-
sit mata dua ekor serigala yang siap melahap mangsa.
Bibir mereka menyeringai, mengisyaratkan sesuatu
yang hanya dimengerti keduanya. Gendut Tangan
Tunggal. Keduanya pun melangkah menuju gubuk.
Yang jelas, mereka telah memiliki rencana untuk men
jebak sepasang muda-mudi di dalam gubuk agar ke-
duanya dapat dicengkeram oleh Manusia Makam Ke-
ramat!
Sandiwara apa yang hendak mereka mainkan?
"Hoooi, ada orang di sana??!" seru Gendut Tan-
gan Tunggal berpura-pura, setelah tak begitu melang-
kah mendekati gubuk. Kebengisan yang terpancar di
wajahnya disembunyikan demikian rapi.
Pintu gubuk terkuak. Rara Lanjar muncul. Dia
tak mengenali kedua orang yang datang. Karenanya
matanya memancarkan kecurigaan berlebihan.
Satria pun muncul. Dia sempat terbelalak me-
nyaksikan kedua orang di luar. Sebentar kemudian,
dia sudah keluar dengan teriakan keras.
"Rupanya kalian dua tua bangka tengik!!"
* * *
Sehari berlalu.
Ki Damar Sakti belum juga siuman. Satria su-
dah berusaha sebisanya menyalurkan hawa murni ke
dalam tubuhnya. Hasilnya memang cukup menggembi-
rakan sejauh itu. Wajah Ki Damar Sakti sudah tak
tampak pucat lagi. Tapi, luka dalam pendekar tua itu
tak hanya cukup disembuhkan dengan menyalurkan
hawa murni. Harus ada tabib yang mengobatinya, be-
gitu menurut Satria. Pukulan yang menghajar Ki Da-
mar Sakti tampaknya bukan sembarang pukulan.
Satria sudah salah menduga. Dengan menya-
lurkan hawa murni, sebenarnya sudah cukup untuk
membuat Ki Damar Sakti siuman. Namun, Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis yang ber-
pura-pura turut membantu menyalurkan hawa murni,
diam-diam menyalurkan tenaga perusak ke dalam tu
buh Ki Damar Sakti. Bisa saja mereka membunuh
langsung dengan cara itu. Namun, mereka tak mela-
kukan. Mereka tak ingin Satria curiga. Maka dipilihnya
jalan kedua. Ki Damar Sakti akan dibunuh dengan ca-
ra perlahan-lahan.
"Tampaknya, di antara kita harus ada yang
menjemput tabib di desa terdekat," usul Satria.
"Aku yang akan melakukannya!" tukas Rara
Lanjar. Gadis itu rupanya terlalu khawatir pada kea-
daan sahabat mendiang ayahnya. Sampai dia lupa ka-
lau dirinya sedang diincar oleh seseorang di luar sana.
"Tidak," putus Satria. "Manusia Makam Kera-
mat saat ini sedang mengincar-incar mu. Akan sangat
berbahaya jika kau meninggalkan tempat ini."
"Aku tak peduli!" kilah Rara Lanjar, bersikeras.
"Biar aku saja!" aju Pendekar Muka Bengis,
menyela.
"Kalau kau; aku setuju!" tandas Satria Gen-
deng.
"Sebaiknya kau segera pergi, Bengis," ucap
Gendut Tangan Tunggal. Di bola matanya, terbetik
isyarat.
Pendekar Muka Bengis mengangguk sekali. Dia
melangkah keluar gubuk. Tak ada niat sedikit pun da-
lam benaknya untuk mencarikan Ki Damar Sakti seo-
rang tabib. Dia mengajukan diri hanya agar mendapat
alasan untuk melapor pada Manusia Makam Keramat!
Kelicikan tersembunyi yang begitu mudah lahir
semenjak mereka berada dalam pengaruh Manusia
Makam Keramat.
Sepeninggalan Pendekar Muka Bengis, Satria
keluar gubuk. Dia perlu sedikit hawa segar setelah le-
lah menguras tenaga saat menyalurkan hawa murni ke
tubuh Ki Damar Sakti.
Rara Lanjar diam di tempat. Duduk di bangku
kayu di sebelah pembaringan Ki Damar Sakti. Kekha-
watirannya menyebabkan dia tak sampai hati untuk
meninggalkan Ki Damar Sakti begitu saja. Padahal, tak
ada lagi yang bisa dilakukan.
Di luar, Satria Gendeng mengayun langkah per-
lahan meninggalkan gubuk agak jauh. Dia ingin lebih
menikmati hawa kaki Pegunungan Burangrang yang
bersahabat. Apalagi kebetulan saat itu sedang pagi ha-
ri.
Ada kabut lembut di pucuk Burangrang.
Ada hawa sejuk.
Ada kicau burung.
Ada sehimpun kedamaian.
Andai saja perangai manusia sedamai suasana
pagi seperti itu. Mungkin tak perlu lagi ada pertumpa-
han darah. Mungkin tak diperlukan lagi bala tentara,
mungkin tak diperlukan lagi senjata. Mungkin....
Satria mendesah. Berkali-kali dia memadatkan
paru-paru dengan hawa sejuk. Saat pandangannya
melata, matanya tertumbuk pada sebatang pohon be-
sar. Alangkah tenangnya bila berleha-leha sejenak di
bawah pohon besar rindang, pikir Satria. Didekatinya
pohon berukuran tiga kali pelukan manusia itu.
Di bawahnya, pada akar pohon yang menjorok
naik, dia merebahkan diri. Matanya menerawang ke
atas. Daun pohon teramat rimbun. Cahaya matahari
pagi tak sanggup menembusnya.
Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada satu dahan
pohon besar di atas. Ada yang agak ganjil dari batang
pohon itu. Seperti ada lobang yang sengaja ditutupi
oleh oyot-oyot pepohonan. Satria jadi tertarik.
Pendekar muda itu bangkit. Hanya dengan se-
kali lompatan ringan, dia tiba di dahan pohon yang di
curigai. Apakah ini hanya lobang pohon biasa? Hatinya
bertanya-tanya, ketika telah lebih dekat mengamati.
Atau ini semacam lobang tempat hewan melata bersa-
rang?
Tapi kalau melihat keadaannya, Satria yakin
ada orang yang dengan sengaja membuatnya. Bisa ter-
lihat dari bentuknya yang tak alami. Lagi pula, kera-
tannya seperti hasil keratan senjata tajam.
Karena penasaran, Satria memasukkan tangan
ke dalam lobang. Cukup dalam. Sampai sikunya ma-
suk. Sesuatu tersentuh tangannya. Apa ini? Tanyanya
bergumam. Seperti batang logam....
Hati-hati, Satria mengeluarkan benda yang di-
dapatnya. Begitu benda itu keluar dari mulut lobang,
Satria dipaksa terperanjat. Bagaimana tidak terperan-
jat kalau yang ditemukannya ternyata senjatanya sen-
diri yang beberapa waktu lalu menghilang tak tentu
rimba?
"Kail Naga Samudera?" bisik Satria. "Bagaimana
bisa sampai tersembunyi di tempat ini??"
Ragu-ragu Satria mengamati lagi. Dia mungkin
masih belum percaya. Ada kemungkinan benda itu
palsu. Atau sebuah tombak pendek yang kebetulan
berbentuk serupa dengan Kail Naga Samudera. Ketika
batang logam ditarik, bentuknya pun memanjang, ter-
bagi atas beberapa ruas. Di ruang paling ujung, terda-
pat tali dari ekor pari berwarna pelangi.
Tak salah lagi, itu memang Kail Naga Samude-
ra!
Di hati si pemuda bergerombol berbagai pera-
saan yang campur aduk. Senang, terkejut, bingung,
juga penasaran. Benar-benar sulit dimengerti bagai-
mana senjata pusakanya bisa sampai di sana. Benar-
benar sulit dimengerti.
Setiap teka-teki, selalu ada jawaban, pikir Sa-
tria. Sekarang pun, dia bisa memulai usaha untuk
mencari jawaban. Ditatapnya lagi lobang pada dahan
pohon besar.
"Apalagi yang kau sembunyikan selain Kail Na-
ga Samudera-ku?" gumamnya.
Kedua kali, tangannya merogoh dalam-dalam.
Dua kali pula, tangannya menyentuh sesuatu. Seka-
rang dia merasakan sesuatu yang agak lebar. Bahan-
nya seperti dari kayu.
Satria mengeluarkannya.
"Topeng Arjuna...?" bisiknya dengan nada ber-
tanya.
Setelah kail Naga Samudera, topeng kayu Arju-
na, lalu apa lagi? Makin penasaran saja Satria Gen-
deng.
Sekali lagi tangannya merogoh lobang. Ada satu
benda tersisa. Benda terakhir itu pun dikeluarkannya.
Dan, yang disaksikannya kini tak kalah mengejutkan.
Dia menemukan sebuah kitab berkulit kayu.
"Aku yakin, ini adalah kitab yang dititipkan Ki
Arga Pasa pada murid kepercayaannya...," duga Satria,
kendati dia belum pernah menyaksikan sendiri kitab
itu.
Pertanyaan sekarang, siapa orang yang telah
mengumpulkan semua benda itu di dalam lobang? Ja-
wabannya, sudah pasti si orang bertopeng yang me-
nyembunyikan alat penyamarannya di dalam lobang.
Bukankah orang bertopeng yang telah merebut kitab
titipan Ki Arga Pasa dari tangan Palguna? Dan bukan
tak mungkin, dia pula yang telah memindahkan tubuh
Satria ketika pendekar muda itu dalam keadaan ping-
san (Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Mem-
buru Manusia Makam Keramat!"), lalu mengambil Kail
Naga Samudera.
"Siapa dia???" desis Satria.
* * *
Nah ini baru seru banget, dah!
Ayo, siapa si orang bertopeng?
Serunya juga, dua tokoh sakti telah menjadi
'boneka mainan' Manusia Makam Keramat! Bisa di-
bayangkan? Kalau belum bisa membayangkan, se-
baiknya baca terus lanjutannya....
Sementara itu, (tahu sendiri!) Satria Gendeng
tak akan menyadari kalau dua sahabat tengiknya telah
menjelma menjadi budak-budak manusia durjana. Ba-
gaimana Satria Gendeng bisa menghadapinya nanti?
Ini pasti muslihat yang dijanjikan Manusia Makam Ke-
ramat. Apa lagi rencananya setelah itu? Jangan luput
dari ketegangan berikutnya....
SELESAI
Segera menyusullll Serial Satria Gendeng
dalam episode:
RENCANA MANUSIA TERKUTUK
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar