..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE NISAN BATU MAYIT

Nisan Batu Mayit

 

Episode I : PASUKAN KELELAWAR 
Episode II : MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Episode III : BANGKITNYA DEWA PETAKA
Episode IV : NISAN BATU MAYIT
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU
SEBENARNYA terlalu sulit untuk menentukan 
di mana harus berdiri saat kebenaran menjadi teramat 
pahit dan pedih. Memutuskan untuk berdiri di atas 
kebenaran itu sendiri seakan-akan sengaja menjeru-
muskan diri ke dalam kawah yang tak hanya menyik-
sa, namun terkadang dapat membunuh. Berdiri mem-
belakangi kebenaran mungkin lebih mudah. Bahkan 
cenderung begitu menyenangkan, bagai menikmati roti 
hangat di tengah malam dingin.
Dan itulah kenyataan yang ditawarkan sang 
dunia yang telah demikian renta. Disuguhkannya tiga 
pilihan yang selalu dapat diambil salah satunya; berdi-
ri di atas kebenaran, membelakangi, dan lari dari ke-
benaran, atau menginjak-injak kebenaran.
Seperti kenyataan manis dan pahit, kebenaran 
tak pernah lebih bisa dinikmati, kecuali pahitnya. Dan 
rasa manis itu tak akan kunjung nyata, kecuali ketika 
rasa pahit sudah terhayati secara penuh. Bukankah 
pahit ada karena manusia kenal rasa manis?
Seorang manusia bernama Arya Sonta telah 
memilih satu di antara tiga pilihan hidup. Dia memu-
tuskan untuk menginjak-injak kebenaran berpuluh-
puluh tahun lalu hanya untuk memuaskan kerakusan 
nafsunya.
Karena pilihannya itu pula, dia harus menerima 
nasib dimusnahkan oleh seorang raja yang justru ber-
diri di atas kebenaran dan menjadi seterunya. Matilah 
dia. Membawa segenap kemaksiatan ke dalam liang la-
hat.
Namun, selama dunia masih berdenyut, tak 
ada yang bisa menjamin kebenaran akan tetap tegak

sebagai pemenang. Pada saatnya, kebatilan akan 
bangkit kembali dan mengacungkan tantangan. Begitu 
pula Arya Sonta. Dari kematian, dia bangkit kembali. 
Diusungnya kembali sebutan yang telah lama terku-
bur; Manusia Makam Keramat! Berarti, sekali lagi ke-
tajaman kebenaran diuji. Sekali lagi, ketajamannya ha-
rus mampu menghadapi tantangan kebatilan.
Namun begitu, kebenaran selalu punya 
'sesuatu' untuk dipergunakan membabat 'lawan ab-
adi'nya. Untuk Arya Sonta, si Manusia Makam Kera-
mat, 'sesuatu' yang dimaksud adalah....
Keris Kiai Kuning!
* * *
Malam menua, pekat dengan hawa dingin. Ke-
kelaman tak terusik sinar gemintang dan bulan. Detik-
detik merayap menuju tepat tengah malam.
Di batas Desa Rangkas, sesosok bayangan me-
mangkas udara dingin. Asalnya dari atas sebuah po-
hon besar. Melintas cepat seperti setan kesiangan ke 
bawah, lalu hinggap tanpa suara di atas tanah.
Di bawah sendiri, telah menanti dua sosok tu-
buh. Satu orang berperawakan gagah. Dia seorang 
pemuda berambut panjang. Mengenakan rompi bulu 
dari samakan kulit hewan. Yang lain adalah lelaki ku-
rus. Usianya jauh bertaut dengan si pemuda. Terlalu 
tua. Rambutnya terlalu panjang. Ujungnya bahkan 
sampai tergerai di tanah. Wajahnya terlalu seram un-
tuk ukuran manusia. Apalagi dengan jenggot yang tak 
kalah panjang dengan rambutnya. Tanpa pakaian. Dia 
hanya mengenakan balutan kain kotor pengganti cela-
na.
Tak begitu jauh dari tempat kedua lelaki berbe

da usia itu berdiri, seorang perempuan tergeletak tak 
sadarkan diri di dekat semak belukar. Perempuan yang 
terbilang ayu dan bertubuh sintal. Dari pakaiannya, 
dia lebih kentara sebagai gadis desa biasa ketimbang 
wanita warga persilatan.
Orang yang baru turun dari atas pohon berusia 
tak kalah tua dengan lelaki berambut panjang. Kepa-
lanya gundul sehabis-habisnya. Sepertinya, sudah tak 
ada harapan rambutnya bakal tumbuh lagi, kecuali 
untuk jamur atau kudis. Wajahnya tak terlalu jelek. 
Yah, mirip-mirip siluman pasar yang paling ganteng 
begitu! Badannya sudah kurus kering. Dia pun men-
genakan penutup kain dekil sebagai pengganti celana.
Begitu tiba, manusia keropos yang tak lebih da-
ri sekumpulan tulang hidup itu langsung mengomel 
sepanjang gerbong kereta tebu. Ricuhnya melebihi te-
riakan burung Cucarawa satu kadipaten! Kata-katanya 
sulit dimengerti. Omelannya terlalu cepat dan simpang 
siur. Kalau sudah begitu, siapa yang bakal merasa 
diomeli? Sewaktu nafasnya sudah hampir putus, baru 
kalimatnya agak bisa dimengerti.
"Dasar manusia kualat! Tak pernah kapok-
kapoknya kau berbuat brengsek hos... hos... hos!"
Si pemuda menyambut kehadirannya dengan 
senyum mengembang. Sumringah, kendati sedikit me-
ringis.
"Apa kabar, Kek?" sapanya.
Sahutannya sungguh tak nyaman didengar.
"Apa kabar? Tai kucing, diam kau! Ini urusan 
orang tua. Kau bocah, cukup tutup mulut!!"
Lalu, dengan langkah dibanting-banting sampai 
menyebabkan tanah bergetar dan pohon menggigil, 
orang tua berkepala 'plontos' mendekati lelaki tua be-
rambut panjang.

"Truna.... Apa kabarmu, Tua Bangka?" sambut 
Manusia Makam Keramat. Nama semasa muda Dong-
dongka disebutnya. Di dunia persilatan, hanya segelin-
tir orang yang mengetahui nama muda Dongdongka.
Itu pun terbatas pada orang-orang yang sudah amat 
mengenalnya. Walhasil, Arya Sonta si Manusia Makam 
Keramat pasti salah seorang yang sudah amat men-
genal sesepuh persilatan itu.
Kenyataannya memang demikian. Arya Sonta 
adalah saudara Dongdongka sendiri. Saudara satu 
ayah lain ibu. Mereka sempat tumbuh besar bersama 
di Mataram ketika masih kecil. (Baca kembali episode 
sebelumnya: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Dongdongka mendengus sekali, lalu dua kali, 
tiga kali, dan berkali-kali. Dia sudah mirip banteng 
jantan tua yang siap mengamuk. Seraya bertolak ping-
gang tinggi-tinggi, (memperlihatkan ketiak yang sudah 
kehabisan bulu) si tua berjuluk Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul itu mulai berkoar lagi.
"Katakan padaku Arya Sial, apa maumu sebe-
narnya?!"
Mendapati pertanyaan Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul, Manusia Makam Keramat malah memper-
dengarkan tawa.
"Kau memang tolol, Truna! Kau pikir untuk apa 
aku bangkit dari alam yang amat gelap? Untuk seka-
dar melihat tampang memuakkan mu? Tidak, Truna! 
Aku kembali dengan satu tujuan. Takhta Pajajaran 
yang dulu luput ku genggam, harus dapat ku raih kali 
ini. Lebih dari itu, aku ingin seluruh kalangan persila-
tan menciumi telapak kakiku setiap pagi dan sore!!!" 
sesumbar Manusia Makam Keramat, di ujung ledakan 
tawanya.
"Kau memang bejat, Arya! Kau tahu itu?!" caci

Dongdongka.
"Apa kau baru mengenalku, Truna? Hm? Me-
mang begitulah aku.... Setelah puluhan tahun men-
genal aku, apa kau berharap aku tiba-tiba berubah 
menjadi malaikat suci??"
"Aku berharap kau berubah menjadi kotoran 
kerbau!" sergah Dongdongka.
Manusia Makam Keramat tertawa lagi.
"Kau pun tetap tak berubah, Truna. Kau sadari 
itu? Lalu untuk apa kau berharap aku berubah? Apa 
kau mengira langit akan menjadi bumi? Bumi menjadi 
matahari? Matahari menjadi angin? Mereka memain-
kan peran sendiri-sendiri!"
"Tapi kau bukan bumi, langit, matahari, angin, 
atau tai kucing, dan segala macam! Kau manusia Arya. 
Manusia punya kemampuan untuk mengubah peran 
dirinya. Kecuali kau bukan manusia. Kecuali kau tak 
lebih dari penjelmaan iblis durjana! Sepanjang usia 
semesta yang renta ini, iblis tetap memerankan kedur-
janaan. Apa kau seperti itu?"
"Jangan menceramahi aku, Truna!"
"Siapa yang bilang aku menceramahi mu? Aku 
mengingatkan mu, tahu! Sebagai seorang saudara, aku 
punya kewajiban untuk itu!"
"Tapi aku tak memerlukannya!"
Sisa gigi di mulut Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul bergemeletukan. 'Geregetan' sekali dia dengan 
saudaranya ini. Dari dulu sampai sekarang, yang na-
manya Arya Sonta tak pernah bisa membuat darahnya 
jadi sedikit tenang.
"Tai kucing, tai kucing, tai kucing kau Arya!"
Akhirnya, Dongdongka cuma bisa menyumpah-
nyumpah sampai jakunnya hampir mau meloncat ke-
luar.

Manusia Makam Keramat sendiri seperti tak 
mempedulikan kegusaran Dongdongka. Mata berbinar 
menggidikkannya malah menerkam rembulan di langit. 
Makin dekat ke tengah malam. Bulan kian tiba di pu-
cuk peredarannya. Wajah Arya Sonta berubah. Garis-
garis parasnya mengejang. Lalu, matanya beralih ke 
arah Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ku ingatkan kepadamu, Truna! Jangan coba 
halangi jalanku! Perintahkan pula muridmu itu agar 
menyingkir!!" tandasnya kemudian, pekat api pada se-
tiap kata.
Diam-diam, Satria yang sejak tadi hanya berdiri 
di belakang guru 'sinting'-nya, memperhatikan sikap 
Manusia Makam Keramat.
"Kenapa tampaknya kau begitu tergesa, Manu-
sia Makam Keramat? Apakah mengambangnya bulan 
tepat di atas kepala menjadi satu saat yang teramat 
genting untukmu?" sindir si pendekar muda.
Mendengar muridnya menyela, Dongdongka 
mendelik. Murid sialan, pikirnya. Sudah disuruh diam, 
masih saja membacot! Badannya berbalik. Di depan 
Satria, dia bertolak pinggang. Wajahnya lebih seram 
dari jelangkung tengah malam.
"Kubilang jangan ikut campur!" hardiknya. Tapi 
setelah itu, keningnya berkerut tinggi-tinggi. Matanya 
menyipit.
"Kau tadi bilang apa, Cah Gendeng?" tanyanya 
dengan nada melandai.
"Arya Sial itu begitu mengkhawatirkan bulan 
tengah malam, ya?" cecarnya. Mendadak wajah keriput 
tua bangka itu menjadi cerah. Bulan pun kalah cerah.
"Aha, aku tahu!" serunya sambil berjingkat dan 
membalikkan badan kembali ke arah Manusia Makam 
Keramat.

"Kau ada satu keperluan yang mendesak dan 
amat genting, bukan? Begitu Arya? Kau hendak me-
laksanakan sesuatu yang berhubungan dengan niatmu 
menaklukkan dunia persilatan tengah malam nanti? 
He he he...."
Satria cuma bisa merutuk dalam hati. Ma-
kanya, dengarkan dulu kalau orang bicara!
Sementara itu, di kejauhan terdengar suara-
suara orang yang berlari. Jumlahnya puluhan orang. 
Menuju tempat di mana ketiga orang itu berdiri. Satria 
tahu, mereka tentu orang Perguruan Belalang Putih 
bersama Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit. Selain 
Satria sendiri, mereka pun mengejar Manusia Makam 
Keramat setelah kejadian di Perguruan Belalang Putih.
Pada kejadian itu, beberapa orang murid mati 
terbantai di tangan Manusia Makam Keramat. Terma-
suk guru besarnya, Ki Arga Pasa. Sementara Ki Damar 
Sakti dan Ki Manda Langit adalah sahabat mendiang 
Ki Arga Pasa yang hendak menuntut kematiannya.
Di samping alasan itu, Arya Sonta telah melari-
kan pula putri tunggal Ki Arga Pasa. Gadis itulah yang 
kini tergolek di sudut dekat semak.
(Baca kembali serial Satria Gendeng dalam epi-
sode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
Sadar dirinya akan makin dibuat kehilangan 
waktu lebih banyak, Manusia Makam Keramat menjadi 
gusar. Dari gelagatnya, mulai terlihat tanda-tanda ka-
lau dia hendak menyambar tubuh Rara Lanjar dan me-
larikannya.
Untunglah mata jeli Satria Gendeng tak luput 
menangkap hal itu. Dengan maksud untuk memancing 
agar Manusia Makam Keramat tak melaksanakan 
niatnya, Satria segera berseru pada gurunya, "Lihatlah 
Kakek! Betapa seorang sakti yang mampu bangkit dari
kematiannya ternyata menjadi gelisah mendengar se-
begitu banyak lawan datang!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menoleh 
dengan cuping hidung kembang-kempis serabutan.
"Kau benar-benar tak mengerti ucapanku atau 
tuli, hah?! Kubilang diam! Jangan ikut campur!" ben-
taknya, untuk kesekian kali.
Satria Gendeng jadi garuk-garuk jidat sendiri. 
Rasanya, pikiranku dengan pikiran manusia renta satu 
ini tak akan sejalan sampai bumi memuntahkan kem-
bali mayat-mayat dari kubur sekalipun, kalau caranya 
begini, gerutu Satria membatin.
Untunglah, pancingan pendekar muda sebe-
lumnya tidak cuma menghasilkan bentakan menyebal-
kan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Manusia Ma-
kam Keramat pun rupanya terpengaruh pula.
"Kau jangan sembarangan buka mulut, Bocah!" 
hardiknya, mengguntur. Nyali siapa pun yang men-
dengarnya tak akan luput tergetar.
Satria ngeri untuk berbicara lagi selama belum 
dapat 'restu' dari gurunya. Tapi, ah peduli setan! Pikir 
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu. Urusan 
sedang genting. Dia tak bisa berdiam diri kalau Rara 
Lanjar ayu yang pernah mempermalukannya di tepi 
sungai hendak dilarikan Manusia Makam Keramat!
"Lalu, kenapa kau tampak begitu kalut, Orang 
Tua? Kenapa? Atau kau memang benar-benar hendak 
mengejar batas waktu tengah malam untuk satu ke-
pentingan maha besar bagi dirimu?" gempur Satria 
Gendeng, menyudutkan Manusia Makam Keramat.
Perkataan Satria bagi Manusia Makam Keramat 
terasa seperti mengunci mati semua dalih. Dia tak bisa 
berkata apa-apa. Sampai-sampai dia tak habis menger-
ti kenapa bocah bau kencur yang baru beranjak dewa

sa bisa mempermainkannya dengan perkataan menyu-
dutkan demikian rupa.
Yang akhir-akhirnya meledak dalam diri Manu-
sia Makam Keramat cuma kegusaran memuncak.
"Kau memang bocah bedebah!"
Begitu tahu muridnya menyudutkan Arya Son-
ta, Dongdongka tak lagi membentak Satria. Dia malah 
cengar-cengir sendirian. Bahkan dia mulai latah pula 
menyudutkan Manusia Makam Keramat.
"Ya, kenapa? Ayo kenapa, Arya?! Jawab!"
Rahang Manusia Makam Keramat mengeras. 
Matanya memancarkan api kemarahan berkobaran. 
Wajahnya mengeras.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terkekeh.
"Kau tak menjawab? Itu artinya, dugaanku 
memang benar. Kau memang sedang memburu batas 
waktu tengah malam! He he he...," ejek Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul. Seenaknya saja dia mengaku 
telah menduga bahwa Manusia Makam Keramat se-
dang memburu batas waktu tengah malam! Satria 
hendak di kemanakan?
"Kalian guru dan murid keparat!!!" Muntah ke-
marahan Manusia Makam Keramat. Itu dibarengi pula 
dengan termuntahnya terjangan ke arah Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul.
DUA
DEDENGKOT Sinting Kepala Gundul menyam-
but serangan Manusia Makam Keramat dengan cara 
yang terlalu mengundang risiko tinggi. Dia hanya 
membuat sedikit geseran badan menyamping. Padahal

sabetan kuku panjang yang melingkar-lingkar seperti 
akar pohon milik Manusia Makam Keramat amat ber-
bahaya. Terutama karena sang Dewa Petaka mengalir-
kan tenaga dalam tingkat tinggi ke sekujur otot tan-
gannya.
Wezzz!
Dedengkot Sinting Kepala Gundul nyengir seje-
lek-jeleknya ketika sabetan lawan luput hanya satu jari 
di sampingnya. Kalau bukan tua bangka sesepuh per-
silatan itu, tentu akan tersentak lebih dari empat tin-
dak ke belakang hanya karena angin sabetan kuku 
Manusia Makam Keramat!
"Enteng!" ledek Dongdongka, tanpa mengubah 
posisi badan yang masih sedikit miring ke samping. 
Gayanya sudah seperti seorang penari jaipong kehilan-
gan suara gendang.
Manusia Makam Keramat makin mengamuk. 
Dia melanjutkan terjangan jauh lebih menggebu. Ca-
kar tangan yang lain menyayat udara.
Suaranya mengiris telinga.
Tajam.
Kepala gundul Dongdongka hendak dijadikan 
sasaran.
"Pecah kepalamu, Truna!" 
Wezzzz!
"Hati-hati dengan kuku mu, Arya! Sudah bera-
pa tahun kau tak pernah memotongnya? Barangkali, 
kuku mu sudah dijadikan sarang kutu busuk satu 
kampung!" oceh Dedengkot Sinting Kepala Gundul se-
raya serabutan menghindar.
Manusia Makam Keramat tak membiarkan la-
wan menarik napas lega. Terus dicecarnya Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul dengan sabetan-sabetan kuku 
membabi-buta.

Terlalu banyak menghindar, Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul akhirnya bosan sendiri.
"Tolong izinkan aku menangkis dan membalas, 
Arya Slompret!" tukasnya, dibayangi papakan tangan 
keroposnya yang sesungguhnya bisa lebih ampuh dari 
satu peti mesiu.
Dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul tam-
paknya tak hanya berniat menangkis. Lebih jauh, dia 
berharap dapat mempermainkan lawan lebih jauh. 
Kendati dia sendiri menyadari benar, mempermainkan 
Arya Sonta seperti bermain-main dengan maut. Sebut-
lah Dongdongka adalah seorang yang diakui banyak 
kalangan sebagai sesepuh dunia persilatan, namun da-
lam menghadapi lawan yang seangkatan dengannya 
ini, Dongdongka tak bisa terlalu berharap banyak un-
tuk dapat mengunggulinya. 
Tap!
"Dapat!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul benar-benar 
menangkap dua kuku jari Manusia Makam Keramat! 
Tangannya mencekal kuat. Bagai kerang samudera 
menjepit mangsa!!
Tindakan lawan sama sekali tak diduga Manu-
sia Makam Keramat. Dia semula mengira Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul akan menghindar lagi. Setidak-
nya menangkis. Tak terpikir kalau lawan sekali ini ju-
stru menangkap kuku jarinya.
Detik berikutnya, tangan kurus berbalut kulit 
keriput sang sesepuh 'setengah sinting' dunia persila-
tan tanah Jawa membuat peluntiran ke dalam. Tenaga 
dalam berkekuatan hebat mengaliri tangannya. Hanya 
dalam satu-dua kejap lagi, kuku panjang melingkar 
Manusia Makam Keramat akan terpatah!
Manusia Makam Keramat merasa ditantang

mentah-mentah!
"Kau hendak mengadu kekuatan, Truna Kepa-
rat! Baik...," desis Arya Sonta, menyambuti tantangan 
tak langsung lawan.
Sebelum kukunya mengalami nasib naas, Ma-
nusia Makam Keramat sudah secepatnya mengalirkan 
kuat-kuat tenaga dalam ke sekujur tangannya. Biar-
pun sebenarnya dia dapat mematahkan usaha lawan 
dengan melakukan satu gerakan tipuan yang memanc-
ing Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk mele-
paskan cengkeraman tangannya. Nyata-nyata Manusia 
Makam Keramat memang hendak mengajak lawan un-
tuk mengadu kesaktian!
Ada sentakan keras pada tangan dua manusia 
tua sakti mandraguna itu manakala sebentuk aliran 
tenaga teramat kuat bertumbukan.
Getaran itu sanggup menciptakan bunyi berge-
tar pada udara. 
Bunyi yang tipis meruncing. Juga dibauri deng-
ing.
Menyusul kemudian, asap kebiru-biruan men-
gembang dari sela-sela cengkeraman tangan Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
Menyaksikan hal terakhir, mata kelabu si tua 
bangka Dongdongka menjadi membesar. Ada bersit ke-
terpanjatan yang tak bisa disembunyikan.
"Bangsat satu ini mulai unjuk taring. Dia telah 
mengerahkan inti 'Semburan Naga Bintang'-nya," ke-
luh Dedengkot Sinting Kepala Gundul dalam hati.
'Semburan Naga Bintang' pada masa kejayaan 
nama besar dua tua bangka itu, adalah ajian yang pal-
ing dihindari oleh setiap lawan. Bukan saja mampu 
menciptakan panas dahsyat yang dapat melebur biji 
baja, namun juga mengandung racun yang dapat

membusukkan daging perlahan-lahan pada tubuh 
korbannya. Pembusukan perlahan-lahan itu akan san-
gat menyiksa dalam waktu yang cukup lama. Hidup 
korban yang menderita tak lebih dari bangkai bernya-
wa yang merasakan kesakitan tak terperi manakala 
sedikit demi sedikit daging badannya membusuk! Hal 
itulah yang menyebabkan banyak lawan Arya Sonta 
menjadi gentar.
Wajar saja kalau Dongdongka menjadi tersen-
tak karenanya. Pada saat itu, tangannya yang menyen-
tuh langsung kuku lawan akan memungkinkan dia ter-
jangkit racun dari ajian 'Semburan Naga Bintang'! 
Maut siap menyapanya! Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul cepat menyadari. Dengan perhitungan agar ti-
dak telanjur terserang racun 'Semburan Naga Bintang', 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul langsung mengerah-
kan salah satu kesaktian pamungkas pada tangan 
lain, ajian 'Gunung Api Menyembur Langit'!
Sebelah tangan Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul yang bebas mendadak berpendar kemerahan lak-
sana warna lahar!
Cepat menohok dari bawah. Karena mengira 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul akan melayani adu 
kekuatan, Manusia Makam Keramat tak menyadari 
tangan lawan yang lain menanduk ke arah perutnya. 
Dash!
Saat yang sama, Dongdongka melepas cengke-
ramannya pada kuku Manusia Makam Keramat. Aki-
batnya, manusia yang berhasil bangkit dari kematian-
nya itu langsung terpental sengit ke belakang.
Kendati luncuran tubuhnya deras tak kepalang, 
dengan cantik Arya Sonta sanggup memanfaatkan te-
kanan udara untuk mengendalikan kembali keseim-
bangan tubuh. Dia berputaran di udara. Hanya karena

hantaman tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
bukanlah serangan sembarangan, Arya Sonta tak ber-
hasil mempertahankan kekuatan kakinya untuk berpi-
jak di bumi. Dia tersungkur ke belakang, terseret dua-
tiga tombak, lalu terkapar di tanah. Perlahan-lahan, 
dia bangkit kemudian. Sementara itu, Dongdongka si-
buk meniup-niup telapak tangannya yang tersengat 
'Semburan Naga Bintang'. Sebentar kemudian, dia ma-
lah tertegun menyaksikan Arya Sonta telah tegak kem-
bali di atas kuda-kudanya.
Slompret empat puluh kali untukmu, Arya! Ma-
kinya dalam hati. Bagaimana dia masih dapat bangkit 
setelah terkena ajian 'Gunung Api Menyembur Langit' 
milikku? Perangah Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
membatin.
Dalam perhitungan Dongdongka, bagian dalam 
perut lawan akan hancur berlobang-lobang seperti ter-
kena hujanan biji baja membara. Keampuhan itu yang 
akan diakibatkan ajiannya pada tubuh lawan. Kalau 
isi perut sudah hancur, tak ada seorang pun yang bisa 
menjamin nyawa akan tetap di badan.
Tapi, Arya Sonta Slompret ini?
Kala itulah Dongdongka mulai menyadari satu
hal yang hampir saja terlupa karena sudah terkubur 
waktu demikian lama. Arya Sonta tak pernah bisa di-
bunuh oleh senjata atau pukulan apa pun, kecuali 
oleh....
Ah, Dongdongka lupa pada kelemahan saudara 
kandung kualatnya itu.
* * *
Rombongan Ki Damar Sakti dan Ki Manda lan-
git akhirnya tiba. Tanpa memperhatikan keberadaan

seorang sesepuh persilatan tanah Jawa yang seharus-
nya dihormati, dua ketua perguruan itu langsung 
menghambur ke arah Manusia Makam Keramat. Mere-
ka terlalu dirasuk kemurkaan atas perbuatan sang 
dewa petaka sebelumnya.
Pertarungan sengit antara dua sahabat setia Ki 
Arga Pasa dengan Manusia Makam Keramat tak bisa 
dicegah lagi. Kekalapan Ki Manda Langit dan Ki Damar 
Sakti meletus. Serangan pertama gagal, disusul den-
gan serangan berikutnya. Tak peduli lagi sepasang le-
laki tua pemimpin dua perguruan silat itu pada siapa 
mereka berhadapan. Lawannya jelas bukan orang 
sembarangan. Kalau sahabat mereka, Ki Arga Pasa 
yang memiliki kedigdayaan di atas mereka saja bisa 
disingkirkan tanpa banyak kesulitan, bagaimana lagi 
mereka?
Namun bagi Ki Damar Sakti dan Ki Manda Lan-
git sendiri, persoalannya sekarang bukanlah kedig-
dayaan siapa lebih unggul. Melainkan, bagaimana me-
reka bisa menuntut pelunasan hutang nyawa terhadap 
kematian seorang sahabat. Nyawa harus ditebus nya-
wa, pikir keduanya. Dan kalaupun tak berhasil melu-
naskan dendam dengan mencabut nyawa lawan, seti-
daknya mereka tetap merasa puas.
Tanpa disadari Ki Damar Sakti dan Ki Manda 
Langit, justru itu menjadi satu kesalahan fatal. Dalam 
satu pertarungan, api dendam tak menjamin seorang 
keluar menjadi pemenang. Bahkan sering kali letupan 
nafsu justru membawa akibat merugikan diri sendiri.
Terbukti ketika satu tendangan maut kesekian 
dicoba didaratkan Ki Damar Sakti ke dada lawan,
Manusia Makam Keramat mendadak membuat 
gerakan tak terduga. Lelaki setengah siluman itu mu-
la-mula berkelit ke sisi. Dilanjutkan dengan gerakan

pinggul setengah putaran. Dan dari sisi tubuhnya, ti-
ba-tiba berseliwer benda lurus ke arah Ki Damar Sakti. 
Ki Damar Sakti tercekat. Kesiagaannya selama 
ini hanya dipusatkan pada serangan kuku lawan. Dia 
tak menyangka kalau lawan akan mempergunakan ba-
gian tubuh lain. Pada detik itu, Ki Damar Sakti sudah 
terlambat menyadari.
Desh!
Ulu hatinya langsung terhajar benda yang ter-
nyata kaki kiri Manusia Makam Keramat. Bagian tu-
buh lawan tersebut menghantam layaknya sebatang 
balok besar. Padahal, dalam hal jurus-jurus yang men-
gandalkan keampuhan kaki, Ki Manda Langit adalah 
seorang ahlinya.
Tubuh lelaki berjuluk Tendangan Maut itu ter-
jengkang ke belakang. Di atas tanah berumput, dia 
terseret sekitar enam-tujuh langkah.
"He he he!" Manusia Makam Keramat terkekeh. 
Dia begitu puas, apalagi menyaksikan Ki Damar Sakti 
meregang-regang mendekap ulu hatinya.
"Begitulah akibatnya kalau kalian berani me-
nentang Manusia Makam Keramat!!!"
Ki Manda Langit teramat gusar menyaksikan 
keadaan nasib sahabat seperjuangannya. Ditatapnya 
Manusia Makam Keramat dengan pandangan meng-
hanguskan.
"Kenapa kalian tak maju serentak saja?!" ledek 
Manusia Makam Keramat meremehkan sekali.
Ki Manda Langit hendak beranjak maju. Tapi 
tangan Dedengkot Sinting Kepala Gundul membentang 
di depan, menghadangnya.
"Belum waktunya," bisik Dongdongka, tegas.
Di belakang mereka, Ki Damar Sakti beringsut 
bangkit kembali. Dengan mata merah pekat, dia me

langkah tertatih.
"Aku belum menyerah, Durjana!" erangnya ber-
getaran. Memang tak ada tanda-tanda kalau lelaki 
berkumis tebal itu terluka dalam. Tak ada darah kehi-
taman mengalir keluar dari mulut atau hidungnya. 
Dan sampai saat itu, keadaannya tampak masih me-
mungkinkan untuk melanjutkan pertarungan.
Sewaktu Ki Damar Sakti hendak memulai kem-
bali terjangannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
kembali berusaha mencegah.
Meski tak puas dengan tindakan sang sesepuh 
dunia persilatan, Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit 
menurut.
"Kenapa kau tak puas-puasnya menyengsara-
kan banyak orang, Arya?" ucap Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, setelah sebelumnya dia melangkah maju 
beberapa tindak.
"Kau telah bunuh sekian puluh manusia. Kau 
pun membunuh guru-gurumu. Kini setelah puluhan 
tahun berlalu, dan kau berhasil bangkit dari kuburmu, 
masih juga kau belum puas?"
Tak kentara lagi sifat 'angot-angotan' tua bang-
ka itu. Yang lebih menonjol sekarang, justru sikap seo-
rang yang begitu memprihatinkan keadaan saudara 
kandungnya. Kalau dipikir-pikir lagi, memang agak 
aneh juga. Ada apa gerangan sampai tua bangka biang 
'kesintingan' ini mendadak bisa bersikap waras? Apa 
dia mulai main akal-akalan?
Satria Gendeng tak senang mendengar perka-
taan gurunya barusan. Meski dia murid Dongdongka, 
bukan berarti dia harus selalu setuju dengannya. Ba-
ginya, perkataan Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
bukanlah yang tepat untuk dikatakan pada sejenis 
manusia terkutuk seperti Arya Sonta.

"Kenapa Kakek ini?!" protes Satria Gendeng gu-
sar. Dia maju ke depan Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul, lalu ditentangnya Manusia Makam Keramat 
dengan cara bertolak pinggang.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menghela 
napas. Dia mengerti bagaimana sifat anak muda seper-
ti Satria sebenarnya. Darah mudanya terkadang lebih 
mempengaruhi sikapnya ketimbang pikiran jernih.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul menepuk 
bahu muridnya. Ketika pemuda lugu namun beradat 
keras itu menoleh, ditatapnya mata Satria Gendeng le-
kat-lekat.
"Aku bukan takut berurusan dengan Arya 
Slompret ini, tahu! Cuma saja aku punya alasan! Kita 
harus menghindari dulu manusia laknat ini. Percuma 
kau bertarung jungkir-balik dengannya. Sampai kau 
mampus, dia tak akan bisa kau bunuh!" ucap Dong-
dongka dengan mengirim suara batin.
"Kenapa begitu?" Satria memprotes lagi. Sekali 
ini dengan suara batin pula. Sepasang guru murid itu 
memang telah menguasai satu ajian yang disebut 
'Melepas Sukma'. Salah satu kelebihannya adalah da-
pat mengirim suara batin antara satu pemilik ajian 
dengan pemilik yang lain.
"Dasar bocah ingusan! Apa kau pikir aku yang 
setua ini tidak tahu siapa Arya Sonta itu?! Dia hanya 
dapat dibunuh dengan satu senjata pusaka, tahu! Ka-
lau tak salah, senjata itu adalah... ah, aku belum sem-
pat tahu! Pokoknya senjata itu milik Prabu Pajajaran 
yang berhasil membunuhnya untuk pertama kali!"
"Jadi bagaimana Truna!" sentak Arya Sonta, si 
Manusia Makam Keramat.
"Kau boleh pergi dengan tenang dari tempat ini. 
Aku tak akan menghalangi...."

Ki Damar Sakti dan Ki Manda Langit terperan-
gah. Mana mungkin Dedengkot Sinting Kepala Gundul 
bisa berkata seperti itu? Apa mungkin seorang sesepuh 
dunia persilatan akan mengambil keputusan demikian 
bodoh? Manusia Makam Keramat telah membunuh Ki 
Arga Pasa. Jelas-jelas itu kesalahan yang tak bisa di-
biarkan seperti membiarkan berlalunya angin!
Untunglah Satria Gendeng cepat memberi isya-
rat dengan kelopak mata ketika kedua pendekar tua 
itu hendak bertindak lebih jauh.
"Ha ha haa!" Manusia Makam Keramat tertawa 
meriah. "Apakah dengan begitu berarti kau membiar-
kan aku pula untuk membawa perempuan itu?!" tu-
kasnya sambil menunjuk Rara Lanjar yang tergolek di 
dekat semak. 
Bibir kusut Dongdongka bergerak-gerak. Seka-
rang posisinya jadi sulit. Terlalu gila kalau membiar-
kan saudara kandung laknatnya itu membawa Rara 
Lanjar. Slompret besar kau, Arya, kutuknya membatin. 
Aku harus mengubah siasat! Pikir Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul. Semampunya dia harus menghindari 
pertarungan langsung antar mereka dengan Manusia 
Makam Keramat.
Kepala licinnya sebentar kemudian mengang-
guk-angguk. Dengan tatapan yakin, Dedengkot Sinting 
Kepala Gundul menyahut, "Ya, kau bisa membawa pe-
rempuan itu!"
"Apa?!"
Hampir serempak, Satria, Ki Manda Langit, Ki 
Damar Sakti berseru tertahan.
Guruku sudah resmi edan barangkali? Rutuk 
Satria, tak habis mengerti.
***

TIGA
KENDATI diombang-ambing keterkejutan, Sa-
tria, Ki Damar Sakti, Ki Manda Langit, dan seluruh 
murid Perguruan Belalang Putih hanya dapat menyak-
sikan kepergian Manusia Makam Keramat membawa 
Rara Lanjar.
Mereka toh tak dapat berkata apa-apa. Pada 
kenyataannya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul jauh 
lebih banyak makan asam-garam ketimbang mereka. 
Dengan pertimbangan itu, sudah sepantasnya mereka 
mempercayai seluruh perhitungan Dongdongka.
Sebelum pergi, Manusia Makam Keramat meno-
leh pada si tua bangka guru Satria Gendeng. Pandan-
gannya mencemooh. 
"Kau telah membuat keputusan yang tak hanya 
tepat, namun juga amat berguna bagi mereka semua, 
Truna! Kau tahu pasti, jika kau tak membiarkan aku 
pergi, maka akan banyak nyawa melayang!"
Peduli setan bau! Rutuk Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul membatin.
"Selamat tinggal! Kuharap, jangan sampai ada 
seorang pun yang mencoba membuntuti ku. Tak juga 
kau, Truna. Jika perkataan ku dilanggar, jangan harap 
perempuan ini akan tetap hidup." Manusia Makam Ke-
ramat mengakhiri ucapan dengan ancaman seraya
berkelebat cepat meninggalkan tempat.
Satria masih menatapi gurunya dengan pan-
dangan tak puas.
"Apa lihat-lihat?!" hardik Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul, sewot merasa ditentang oleh murid gen-
dengnya.
"Apa Kakek akan diam saja?" tanya Satria tetap

tak mengerti jalan pikiran manusia buluk tapi sakti 
minta ampun itu.
Dongdongka mencibir. "Tentu saja tidak?"
"Lalu, apa yang akan Kakek lakukan?" desak 
Satria Gendeng, meminta penjelasan.
"Kau pikir apa?" Dongdongka seperti main kuc-
ing-kucingan. Itu membuat semua orang jadi agak ge-
mas. Kalau saja dia bukan seorang tua yang disegani 
dan dihormati, mungkin sudah habis dikeroyok.
"Apa?!" ulang Satria, makin tak sabar. Cuma 
dia seorang yang masih berani ngotot dengan sang se-
sepuh persilatan.
"Aku akan mengikutinya, Tolol!" ledak Dong-
dongka dibarengi sontokan keras ke jidat muridnya.
Satria meringis-ringis. Tapi mulutnya masih be-
lum puas mengajukan pertanyaan.
"Kakek tahu sendiri, Manusia Makam Keramat 
bukan orang yang bisa dimain-mainkan. Bagaimana 
kalau dia tahu Kakek menguntitnya? Aku cuma kha-
watir keadaan Rara Lanjar. Apa Kakek tidak?"
"Eit, tunggu dulu sampai situ! Siapa yang kau 
maksud Rara Lanjar?"
"Gadis itu, Kek!"
"Gadis itu yang mana, Gendeng! Bicara jangan 
bertele-tele! Aku tak ingin kehilangan jejak Arya 
Slompret itu!"
"Perempuan yang dibawa Manusia Makam Ke-
ramat!"
"O, kau sudah mengenalnya, ya? Dasar bocah 
gatal! Kau tak bisa melihat perempuan berjidat licin, 
ya? Ceritakan padaku, bagaimana kau bertemu den-
gannya?"
Sinting juga, pikir Satria. Belum lama dia yang 
dibentak supaya jangan bertele-tele. Sekarang justru

gurunya sendiri yang mulai bicara ngelantur!
"Tak ada waktu lagi untuk bercerita, Kek!"
"Aku juga tahu itu! Jangan mengingatkan aku, 
Bocah Sok Tahu!"
Memang serba salah!
"Sudah, sebaiknya aku segera 'minggat' dari si-
ni!" putus Dedengkot Sinting Kepala Gundul, akhirnya. 
Dia berkelebat laksana bayangan. Tak kalah gesit den-
gan gerakan Manusia Makam Keramat.
"Tapi bagaimana kalau manusia durjana itu ta-
hu Kakek menguntitnya???!!!" teriak Satria. Perta-
nyaan itu memang belum sempat dijawab oleh Dong-
dongka.
Dongdongka kembali lagi (masih sempat-
sempatnya!). Tepat di depan hidung muridnya, lelaki 
uzur itu bertolak pinggang.
"Kau pikir, untuk apa perempuan itu dibawa 
susah-susah?" tanyanya dengan mata mendelik. "Itu 
karena dia pasti membutuhkan perempuan itu. Dia tak 
akan berani membunuhnya kalau perempuan itu sen-
diri amat penting baginya. Kau mengerti?" 
"Penting untuk apa?"
"Mana aku tahu? Kenapa kau tak tanyakan sa-
ja pada Arya Sial itu?!"
Lalu, Dedengkot Sinting Kepala Gundul berke-
lebat lagi. Dan cepat lenyap di pekatnya malam yang 
mulai menapaki menit-menit tengah malam.
Tinggal Satria Gendeng mengumpat-umpat 
sendiri.
* * *
Manusia Makam Keramat terus berlari bagai 
dikejar segerombolan hantu pemburu manusia. Wak

tunya makin sempit. Tengah malam, saat di mana bu-
lan menggantung tepat di puncaknya hanya tinggal 
beberapa saat lagi. Satu kesempatan besar, akan di-
tentukan oleh kehebatan ilmu lari cepatnya.
Di kejauhan, secara diam-diam Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul terus mengikutinya. Dalam hal lari 
cepat, tua bangka itu setara dengan orang yang dikun-
titnya. Karena itu, kendati jaraknya cukup jauh, dia 
tak begitu kerepotan.
Sampai pengejarannya tiba di suatu tempat 
yang tanahnya agak membentuk bukit-bukit kecil. Ka-
rena keadaan tanah turun-naik, suatu ketika tubuh 
Manusia Makam Keramat tak tampak dari pengawasan 
mata Dongdongka. Manusia Makam Keramat telah me-
lewati bukit kecil, sementara Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul masih berada di seberangnya. Bukit itu yang 
menghalangi pandangan Dongdongka.
Kekhawatiran Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul saat itu cuma satu. Dia khawatir akan kehilangan 
jejak setelah sosok Manusia Makam Keramat luput be-
berapa saat dari pandangannya. 
Kekhawatirannya terbukti kemudian. Saat De-
dengkot Sinting Kepala Gundul tiba pula di seberang 
lain bukit kecil tadi, Manusia Makam Keramat sudah 
tak terlihat lagi.
"Biang kutu jelek!" maki Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul mendesis-desis. Kepalanya dijotos-jotos 
sendiri bertubi-tubi. Gelagat seperti itu pertanda dia 
mulai jengkel.
Walaupun Dongdongka sudah berusaha men-
gerahkan seluruh kemampuan lari cepatnya untuk 
meneliti wilayah sekitar, Manusia Makam Keramat te-
tap tak ditemukan. Meski hanya penampakan bokong-
nya.

Sampai Dongdongka akhirnya menyerah. Dia 
melempar pantat geram-geram ke tanah. Kesal serasa 
mau mampus setengah sekarat pada diri sendiri. 
Bayangan di kepalanya Satria akan mengomelinya ha-
bis-habisan. Tahu sendiri adat Satria. Biarpun gu-
runya, Dongdongka tak bisa menjamin dirinya akan 
selamat dari 'kegendengan' si murid yang bikin susah 
kalau sudah kambuh!
Meringis-ringislah wajah keriput Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul membayangkan 'semprotan' Sa-
tria. Lalu, ringisannya menghilang cepat ketika men-
dengar suara teriakan mengguruh di kejauhan.
"Nah, apa pula itu?" bisiknya seraya bergegas 
bangkit.
Secepatnya dia mengerahkan kembali ilmu lari 
cepat, mengejar arah suara teriakan tadi.
Di tempat yang dituju, Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul menemukan Manusia Makam Keramat! 
Syukur... syukur, bisik Dongdongka dalam hati. Cuma, 
ada satu yang kurang. Perempuan yang digondolnya 
sudah tak ada lagi di bahu manusia terkutuk itu. Se-
mentara, Manusia Makam Keramat sendiri sedang si-
buk memaki-maki kasar. Entah siapa yang dimakinya.
Entah pula ke mana Rara Lanjar.... 
* * *
Sepekan terlewati sejak kejadian berdarah di 
Perguruan Belalang Putih. Palguna, salah seorang mu-
rid kepercayaan Ki Arga Pasa terlihat di dalam pendapa 
perguruan. Lelaki muda berperawakan kurus itu berja-
lan hilir-mudik. Ada sesuatu yang begitu mengganggu 
pikirannya. Wajahnya menampakkan kebimbangan 
kental. Selaku seorang murid kepercayaan, kematian

gurunya, Ki Arga Pasa tentu saja membuat perasaan-
nya demikian tak menentu. Tapi yang merisaukannya 
kali ini bukan hal itu. Ada sesuatu yang lain.
Lama Palguna hanya melakukan hal itu. Seben-
tar-sebentar dia berhenti melangkah. Dipandanginya 
satu bagian lantai gubuk dengan mata nanar. Tangan-
nya mengepal kuat, seakan ingin membulatkan tekad. 
Sebentar kemudian, kepalanya menggeleng-geleng ra-
gu. Dia berjalan lagi. Tak lama, diulanginya pula mem-
perhatikan satu bagian lantai tanah gubuknya.
Sampai akhirnya, lelaki itu memutuskan untuk 
melaksanakan niat yang terus mendidih dalam dirinya.
"Aku harus melakukannya! Harus!" tekadnya 
seraya bergegas mengambil cangkul kecil dari gantun-
gan dinding. Membawa benda tadi, didekati bagian lan-
tai tanah yang sejak tadi diperhatikan. Di bagian ter-
sebut, Palguna mulai menghujamkan mata cangkul 
dengan wajah mengeras. Gambaran rasa tegang dan 
waswas yang bertumbukan kasar dalam dirinya.
Selang seperempat jam berikutnya, sudah ter-
cipta lobang selebar roda pedati. Dalamnya satu kaki. 
Di dasar lobang, didapat satu peti kayu berkerangka 
baja. Kayunya sudah tampak begitu tua. Di permu-
kaan kayu, terdapat pahatan berukir. Kendati tua, 
namun tetap terlihat kokoh. Sedangkan kerangka ba-
janya sudah berkarat.
Peti tersebut diangkat Palguna dari dasar lo-
bang. Dibawanya ke atas meja kayu, dan diletakkan di 
tepinya. Untuk beberapa saat, si lelaki kurus berkumis 
tipis itu hanya memandangi peti. Keraguan mulai me-
ruyak lagi dalam dirinya. Lebih terlihat jelas dalam 
bersit sinar matanya. Ketika ingat kematian menge-
naskan Ki Arga Pasa dan beberapa saudara sepergu-
ruannya, wajah lelaki muda itu mengeras. Garis

garisnya menguat, menebarkan hawa kegeraman, lalu 
menyingkirkan keraguan dalam dirinya.
Perlahan-lahan bayang kejadian yang pernah 
dialami beberapa minggu lalu kembali terngiang dalam 
benaknya. Mendiang Ki Arga Pasa pernah menitipkan 
satu amanat padanya.
"Kutitipkan satu kitab padamu, Palguna. Kau 
adalah salah seorang murid yang sangat aku percaya. 
Jika, aku tak ada umur, kuharap kau dapat mewakili
ku untuk mengeluarkan kitab itu dari tempat persem-
bunyiannya jika waktunya tiba," ucap Ki Arga Pasa, 
sekitar tiga tahun lalu.
"Kapan waktu yang kau maksud, Eyang Guru?" 
tanya Palguna.
"Ketika timbul kegegeran besar di bumi Pajaja-
ran ini."
"Kegegeran?"
"Ya. Geger karena banyak perempuan hilang 
tak tentu rimbanya. Setelah itu, menyusul kegegeran 
lain. Datangnya seorang durjana yang membunuh tan-
pa perasaan."
"Bagaimana ciri-ciri orang itu, Eyang?"
"Menurut kitab tulisan Prabu Pajajaran yang 
berkuasa waktu itu, si manusia durjana akan datang 
dengan rambut, jenggot, dan kuku yang demikian pan-
jang. Di dadanya, ada bekas luka kecil bekas tusukan 
senjata...." 
Palguna ketika itu terdiam sejenak, memaku-
kan seluruh wasiat gurunya dalam-dalam di dalam be-
nak. 
"Lalu, bila semua itu telah terjadi, aku harus 
mengeluarkan kitab itu?" ucapnya, menyusulkan per-
tanyaan.
"Tepat. Itu pun kalau aku tak ada umur."

"Kalau Guru sendiri...," Palguna memutus se-
bentar ucapannya. "Maafkan aku Guru, kalau Guru 
sendiri telah tiada, untuk apa lagi kitab itu dikelua-
rkan?"
Dengan paras yang tetap memancarkan kewi-
bawaan, Ki Arga Pasa menjawab pertanyaan sungkan 
muridnya.
"Karena dalam kitab itu, tertulis secara lengkap 
kisah tentang seorang manusia laknat yang akan 
bangkit kembali suatu hari nanti. Kitab itu pula yang 
akan menjelaskan tentang kelemahan manusia durja-
na itu. Yaitu tentang senjata pusaka milik sang Prabu 
Pajajaran yang telah menewaskannya untuk pertama 
kali."
Wajah Palguna menampakkan sedikit ketidak-
mengertian.
"Apa hubungannya orang itu dengan si pem-
buat kegegeran yang sebelumnya Eyang katakan?"
Dengan senyum samar, Ki Arga Pasa menya-
hut, "Si pembuat kegegeran dan manusia laknat yang 
bangkit dari kematian adalah orang yang sama."
"Maksud Guru?"
"Kegegeran akan dibuatnya manakala dia ber-
hasil bangkit."
Palguna tersadar dari lamunan singkatnya. Se-
luruh wasiat gurunya telah terbukti sepekan lalu. Be-
berapa waktu sebelumnya, kegemparan tentang hi-
langnya para perempuan pun telah berlangsung.
Seolah, Ki Arga Pasa telah mempunyai firasat 
buruk sehingga dia meninggalkan wasiat beberapa 
minggu sebelum kematiannya.
Jika seluruh kejadian seperti diwasiatkan gu-
runya telah terjadi, berarti Palguna harus melaksana-
kan wasiat itu. Dia harus mengeluarkan kitab yang

dimaksud dari tempatnya. Hanya yang jadi masalah, 
apa yang harus dilakukan dengan kitab itu setelah dia 
berhasil mengeluarkannya? Jika harus diberikan pada 
seseorang, pada siapa harus diserahkan? Masalah itu 
luput diungkapkan Ki Arga Pasa karena waktu itu ber-
tandang seorang ketua perguruan sahabatnya.
Selain dia, ada seorang lagi yang pernah diwa-
siati tentang kitab tersebut oleh Ki Arga Pasa. Orang 
itu adalah Rara Lanjar. Kini, Rara Lanjar tak ada. Me-
nurut laporan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, anak 
gadis Ki Arga Pasa itu telah lolos dari tangan Manusia 
Makam Keramat.
Namun, kenapa dia masih belum kembali juga? 
Bukankah Rara Lanjar lebih berhak untuk melaksana-
kan wasiat Ki Arga Pasa ketimbang dirinya?
Sejenak Palguna kembali dihadang keraguan. 
Apa dia punya pilihan lain? Tak mungkin dia terus 
menunggu Rara Lanjar tanpa kepastian. Karena dia 
merasa punya tanggung jawab untuk melaksanakan 
pesan yang sempat disampaikan gurunya, murid ke-
percayaan itu pun membulatkan tekad. 
Dengan rahang mengejang, tangan Palguna 
lambat-lambat mendekati peti di depannya. Tangan 
kurus itu agak bergetar, pertanda dia hendak melaku-
kan sesuatu yang pasti amat berat untuk dikerjakan. 
Tutup peti lalu dibukanya berkawal ketegangan, sea-
kan ingin membunuh keraguan yang masih mencecar-
nya bertubi.
Kini, terlihatlah satu kitab kuno setebal satu ja-
ri. Sampulnya terbuat dari kayu tipis berukir. Sedang-
kan lembar-lembar didalamnya terbuat daun lontar 
kering.
Palguna terpaku sejenak menatapi gurat per-
mukaan kitab tadi, lekuk demi lekuk. Tangannya ma

kin bergeletar. Dibaliknya sampul kitab. Di halaman 
pertama, ditemukan dua baris tulisan lain.
Kutulis kitab ini sebagai peringatan bagi anak-
cucuku, yang kelak akan berhadapan langsung 
dengan Arya Sonta... si Manusia Makam Kera-
mat!
Sampai di situ, Palguna tak berani lagi membu-
ka halaman selanjutnya. Sudah jelas dia bukanlah sa-
lah seorang keturunan Prabu Pajajaran yang telah me-
nulis kitab tersebut. Tak ada hak baginya untuk mem-
baca!
Kalau begitu, siapa yang akan membacanya? 
EMPAT
SEPULUH hari berlalu. Di kaki Gunung Buran-
grang, saat itu terlihat seorang wanita muda sedang 
berdiri mematung sendiri. Tangannya disilangkan di 
dada dengan sikap tegak.
Wajah wanita ini sangat menawan. Di samping 
karena memiliki hidung yang mancung membentuk 
bayangan tinggi memanjang di sisinya, berbibir mungil 
merah matang, juga karena matanya berbulu lebat, 
dan lentik. Namun begitu, kecantikan wajahnya tidak 
menyembunyikan sedikit pun kesan kekerasan yang 
tergurat di wajahnya saat itu. Tampaknya dia sedang 
menanti sesuatu yang membuat dirinya menegang.
Meski tubuhnya tergolong mungil untuk uku-
ran wanita seumurnya, tetap tampak sekali kekoko-
hannya selagi berdiri. Rambut panjang hitamnya dike

pang berayun-ayun dipermainkan angin.
Matanya terus menatap lurus ke arah barat, di 
mana matahari terus saja merambat turun. Sinar ben-
da langit raksasa itu mulai pula meredup matang ke-
merahan.
Sejak tengah hari bolong dia menunggu seperti 
itu. Pekerjaan yang sebenarnya amat menyebalkan. 
Hanya karena ada satu hal penting yang mesti diurus-
nya, mau tak mau dia melakukannya juga.
Tepat ketika ubun-ubun matahari benar-benar 
dibenamkan di sudut bumi sebelah barat, di kejauhan 
terlihat seseorang tergesa berjalan menuju dirinya. Se-
sekali orang itu berlari-lari kecil.
Setibanya di dekat perempuan tadi, lelaki yang 
ternyata seorang pemuda tampan berambut panjang 
kemerahan sebatas bahu, mengenakan rompi bulu da-
ri kulit hewan itu langsung meruntunkan pertanyaan.
"Astaga, ternyata kau benar selamat, Rara Lan-
jar! Aku hampir-hampir tak bisa mempercayai laporan 
guruku waktu itu? Bagaimana kau bisa lolos dari tan-
gan manusia durjana itu? Siapa yang membantu me-
nyelamatkanmu? Kau melihat wajah si penyelamat-
nya?"
Perempuan itu memang Rara Lanjar. Masih 
menjadi teka-teki bagaimana dia bisa selamat. Tak he-
ran, pemuda yang baru tiba begitu menggebu-gebu 
bertanya. Pemuda itu tentu saja Satria Gendeng. Seha-
ri sebelumnya, dia menerima pesan dari seseorang 
penduduk desa bahwa seseorang menantinya di kaki 
Gunung Burangrang. Tak dinyana kalau orang itu ter-
nyata Rara Lanjar.
Bukannya menjawab pertanyaan Satria sebe-
lumnya, Rara Lanjar malah menggeleng-gelengkan ke-
pala.

"Kenapa geleng-geleng kepala?" tegur Satria. 
Menanggapi teguran barusan, Rara Lanjar mencibir. 
Bahkan nyaris cemberut. Wajahnya keruh. Tampak 
sekali dia sedang jengkel.
"Kau tahu sudah berapa lama aku menunggu-
mu di sini? Setengah harian! Selama itu, aku digarang 
matahari. Apa kau tak bisa lebih cepat datang?! Aku 
menunggumu di sini bukan memintamu untuk men-
gencani ku. Ini urusan genting!"
Sambutan yang tak nyaman bagi si pemuda! 
Wajahnya jadi berubah kebodohan, tak tahu harus bi-
lang apa.
Wanita di depannya tentu jadi jengkel.
"Huh!" dengusnya. 
"Kenapa?!" 
"Aku kesal setengah mati!"
"Kesal...?" ulang Satria Gendeng dengan nada 
bertanya, tanpa perasaan bersalah pula. Wajahnya 
makin terlihat bodoh, sekaligus mendongkolkan.
Dari kesal yang kelewatan, akhirnya Rara Lan-
jar malah berbalik tersenyum terpaksa menyaksikan 
mimik wajah pemuda di depannya.
"Satria.... Satria...," katanya terseret tawa terta-
han. Bibir mungil ranumnya didekap.
Satria menjadi lega. Sebelumnya dia mengira 
bakalan kena dampratan habis-habisan karena sudah 
terlambat datang. Semua gara-gara ulah guru breng-
seknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Tua bangka 
itu meminta dia untuk mencarikan seekor rusa jantan 
untuk dipanggang. Penyakit lamanya kambuh, kepin-
gin sedikit dimanja oleh muridnya. Seperti dulu ketika 
Satria masih berguru di Tanjung Karangbolong.
Brengsek sekali!
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode "Kail

Naga Samudera"!).
"He he he!" Satria ikut tertawa.
"Diam!" bentak si perempuan. "Aku tertawa bu-
kan berarti kejengkelan ku padamu hilang."
Lalu....
Duk!
Satu tinju dari tangan mungil si wanita men-
cumbu hidung Satria Gendeng. Anak muda itu merin-
gis-ringis menahan sakit sambil memegangi batang hi-
dungnya yang berdenyut-denyut.
"Sekarang kau ikut aku!" ucapnya ketus.
Satria Gendeng cuma bisa mengekori dari bela-
kang kalau tidak ingin hidungnya didarati tinju lagi. 
Anak muda itu diajak si wanita berpakaian putih ke 
balik bukit pasir sekitar seratus depa dari tempat se-
mula.
* * *
Saat itu keduanya sudah berangkat menuju 
Perguruan Belalang Putih dengan menggunakan pedati 
yang sebelumnya telah dipersiapkan Rara Lanjar. Ren-
cananya di sana mereka akan mengambil kitab.
Di tengah perjalanan, Satria Gendeng mulai lagi 
mengungkit-ungkit pertanyaannya yang belum terja-
wab.
"Kau belum menceritakan padaku, bagaimana 
kau bisa selamat dari tangan Manusia Makam Kera-
mat, Lanjar?" tanyanya sambil menghentak kecil tali 
kendali pedati.
Di sebelahnya, Rara Lanjar menatap ke depan. 
Pandangannya seperti menerawang sebentar.
"Aku memang diselamatkan seseorang...," ka-
tanya di sela hempasan napas.

Satria menoleh. Wajahnya menampakkan pe-
nasaran yang makin membukit.
"Siapa orang itu?" susulnya.
Rara Lanjar menggeleng.
"Aku tak tahu," katanya. "Cuma dia mengena-
kan topeng kayu Arjuna. Mengenakan blangkon Para-
hiyangan dan berpakaian seperti seorang ningrat Paja-
jaran...."
"Orang aneh.... Siapa dia, ya?" gumam Satria 
Gendeng, merasa dilemparkan ke dalam teka-teki.
Lalu keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran 
masing-masing. Sampai suatu ketika sekelebatan 
bayangan teramat cepat mendadak melintas cepat di 
sisi kiri sepasang kuda penarik pedati. Kedua hewan 
itu meringkik-ringkik karena demikian terkejut. Dua 
kaki depan mereka terangkat tinggi-tinggi seakan hen-
dak melemparkan tubuh penumpangnya dari atas pe-
dati.
Kedua muda-mudi itu terlonjak-lonjak di bang-
ku pedati. Untuk beberapa hentakan punggung kuda, 
mereka nyaris terlempar. Rara Lanjar merangkul erat-
erat pinggang Satria. Untung saja kesigapan tangan 
Satria mencengkeram tali kendali tak kalah kuat dari 
hentakan punggung kuda.
Tak beberapa lama, Satria sudah berhasil men-
gendalikan kedua hewan itu. Meski begitu, kaki dua 
binatang itu masih saja bergerak-gerak gelisah. Kalau 
tak segera ditenangkan Satria Gendeng, tentu kedua-
nya akan panik kembali.
"Kenapa dengan kuda-kuda ini?" aju Satria, tak 
mengerti pada apa yang sesungguhnya terjadi. 
"Mungkin ada hewan kecil yang telah menge-
jutkan mereka," sahut Rara Lanjar. Nafasnya masih 
turun-naik tak teratur. Dibenarkannya letak duduk,

sedikit malu hati karena baru saja merangkul pinggang 
pemuda di sisinya terlalu erat.
"Hewan kecil? Hewan kecil apa? Aku tak men-
gerti. Aku sama sekali tak melihat ada hewan melintas. 
Kalau pun ada, aku tak yakin dapat membuat kuda ki-
ta menjadi liar seperti itu," tukas Satria Gendeng.
Satria curiga ada seseorang yang hendak usil 
pada mereka. Untuk membuktikan kecurigaan itu, di-
lepas pandangan ke sekeliling. Tidak ada apa-apa. Se-
panjang jangkauan penglihatannya, hanya ada jajaran 
pepohonan dan gerombolan semak belukar.
Yakin semuanya beres, anak muda itu men-
ganggap perkataan Rara Lanjar tidak keliru. Mungkin 
ada hewan kecil yang mengejutkan kuda penarik peda-
ti mereka. Sementara Satria sendiri mungkin tak begi-
tu menyadari.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan.
"Apa tujuanmu kembali ke Perguruan Belalang 
Putih?" tanya Satria pada Rara Lanjar, setelah bebera-
pa jauh berlalu.
"Ada laporan bahwa ayahku mewasiatkan satu 
kitab pada Palguna...."
"Siapa Palguna?" sela Satria, tak sabar me-
nunggu sampai Rara Lanjar menyelesaikan ucapan. 
"Murid kepercayaan Ayah...." 
"Kitab apa yang diwasiatkan padanya?" serobot 
Satria lagi. Dan lagi-lagi dia memangkas ucapan Rara 
Lanjar. Dua kali diperlakukan begitu, Rara Lanjar jadi 
mangkel sendiri. Dipasangnya wajah 'perang'. Setelah 
itu dia diam tanpa peduli pada pertanyaan Satria.
"Kau tak menjawab pertanyaanku, Lanjar," usik 
Satria. Anak muda itu sibuk menyentak-nyentak tali 
kekang. Tak disadarinya kalau perempuan di sebelah-
nya sedang merajuk.

"Kalau kau tak banyak tanya, semua keinginta-
huan mu bakal terjawab!"
Satria sampai terlonjak. Rara Lanjar terlalu te-
riak membentak di depan telinganya.
"Kau ini apa-apaan?" sungut Satria, sambil me-
ringis mengusap-usap telinganya.
"Kau mau mendengarkan aku atau tidak?" an-
cam Rara Lanjar.
Dengan tak kalah merajuk, Satria menggerutu.
"Terserah kau...."
Rara Lanjar tersipu sembunyi-sembunyi me-
nyaksikan wajah pendekar muda yang mulai punya 
nama besar di dunia persilatan itu. Tampangnya tam-
pak jadi seperti orang keracunan jengkol kalau sedang 
merajuk.
Tapi, Rara Lanjar jadi ngeri juga kalau Satria 
terus memasang wajah seperti itu sepanjang perjala-
nan. Bisa seperti berpedati dengan Hanoman murka!
"Kau mau aku melanjutkan penjelasanku, Sa-
tria?" rayu Rara Lanjar.
"Tak perlu!"
"Ya, sudah!"
Keduanya terdiam dengan wajah terlipat. Ak-
hirnya, jadi juga mereka seperti sepasang Hanoman 
murka! Entah siapa yang lebih mirip....
LIMA
KI Manda Langit didatangi dua orang asing di 
perguruannya. Seorang perempuan setengah baya, dan 
seorang lelaki cebol. Yang perempuan, kendati sudah 
memasuki usia setengah baya masih memiliki pancar

kecantikan pada wajahnya. Pesonanya mengundang 
hasrat lelaki. Dari wajahnya seolah terpancar kuat go-
daan birahi. Matanya berbulu lebat, merangsang serta 
berkesan nakal. Bibirnya merah ranum. Kulit putih 
halus tanpa cacat, terbungkus gaun sutera putih pan-
jang yang memiliki belahan panjang pada bagian paha.
Sedang lelaki di sisinya bertampang seperti pe-
rempuan. Sebaliknya, matanya memancarkan ketelen-
gasan. Seolah dia tak pernah memandang siapa pun 
jika saatnya harus membunuh. Tubuhnya cebol. Ram-
butnya keriting, dan kulitnya hitam. Di tali pinggang-
nya terselip sepasang senjata berupa cakar logam ber-
mata tiga.
Wajah keduanya tak sebetik pun memperli-
hatkan sikap bersahabat ketika menegur Ki Manda 
Langit. Pemimpin Perguruan Kuda Terbang itu tak me-
nyangka akan kedatangan tamu saat perguruannya 
sedang menghentikan kegiatan sepekan penuh untuk 
memperingati hari berkabung meninggalkan Ki Arga 
Pasa.
Saat itu dia sendiri sedang berada di kamar 
pribadinya untuk menyepi ketika salah seorang murid 
melaporkan bahwa mereka kedatangan tamu tak di-
undang. Kalau saja kedua tamu meminta izin terlebih 
dahulu pada murid yang berjaga di gerbang, mereka 
tak akan pernah diizinkan untuk masuk mengingat Ki 
Manda Langit tak ingin diusik. Namun karena mereka 
melompat pagar, membuat kekacauan dan memaksa 
untuk bertemu dengan Ki Manda Langit, mau tak mau 
seorang murid akhirnya melaporkan pada Ki Manda 
Langit.
"Kau yang bernama Manda Langit, pemimpin 
perguruan ini?!" sapa perempuan cantik bergaun putih 
ketika Ki Manda Langit sudah tiba di halaman depan

perguruan.
Ki Manda Langit mengangguk sekali. Biarpun 
sebenarnya dia tak suka pada cara si tamu wanita me-
negur.
"Ada keperluan apa sampai kalian datang ke 
perguruan kami?" tanyanya kemudian.
"Kami ingin meminta sedikit keterangan pada-
mu, Manda Langit!" susul wanita cantik bergaun putih.
"Tidakkah kalian berpikir bahwa aku belum 
tentu sudi menyahuti pertanyaan orang yang masuk 
ke pekarangan orang lain tanpa tata krama?" sindir Ki 
Manda Langit.
Si perempuan tersenyum tanggung.
"Kurasa, kau tak membutuhkan permintaan 
maaf kami, bukan? Kami pun tak begitu sudi untuk 
memohon maaf kepadamu. Selain itu, aku tak akan 
terlalu rewel dan banyak tingkah jika seandainya kau 
mau memberi tahu kami tentang seorang sahabatmu 
yang kudengar tewas di tangan Manusia Makam Ke-
ramat."
Ki Manda Langit terdiam demi nama Manusia 
Makam Keramat disebut-sebut. Wajahnya membeku.
"Apa tujuan kalian menanyakan hal itu?" Ki 
Manda Langit balik bertanya.
"Itu urusan kami, Manda langit. Kau tak perlu 
mengetahuinya," sahut perempuan bergaun putih lagi. 
"Kalau begitu caranya, aku pun tak akan ber-
sedia menjawab pertanyaanmu. Kuharap kalian segera 
meninggalkan perguruan ini. Aku tak ingin ada keke-
rasan selama masa berkabung...," tandas Ki Manda 
Langit, seraya membalikkan badan untuk masuk kem-
bali ke kamar pribadinya.
Si cebol menggeram. Tampak sekali dia benar-
benar gusar pada sikap Ki Manda Langit. Dia hendak

maju, memberi pelajaran pada Ki Manda Langit. Tapi, 
tangan perempuan cantik di sebelahnya cepat mena-
han.
"Tunggu, Manda Langit!" cegah si perempuan 
bergaun, menahan langkah Ketua Perguruan Kuda 
Langit itu.
Ki Manda Langit membalikkan badan.
Seraya menebar senyum menggoda, perempuan 
bergaun melangkah dua tindak ke depan. Beberapa 
murid Perguruan Kuda Langit bergerak ke depan pula 
dengan sikap siaga. Mereka tentu tak ingin terjadi se-
rangan mendadak terhadap guru mereka.
"Bukankah tak seharusnya kita bersikap tegang 
seperti ini? Kami cuma ingin menanyakan apakah sa-
habatmu yang tewas di tangan Manusia Makam Kera-
mat menyebut-nyebut satu kitab?" ujar perempuan 
cantik tadi pada Ki Manda Langit.
Wajah Ki Manda Langit langsung berubah.
"Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyanya. Wa-
jahnya memperlihatkan gurat keingintahuan menda-
lam.
Perempuan bergaun putih mulai melangkah hi-
lir-mudik. Pinggul padatnya melenggang-lenggok genit. 
Tanpa menghentikan langkah yang demikian gemulai 
di mata setiap lelaki, dia berkata, "Kami mendengar 
kabar bahwa Manusia Makam Keramat mendatangi 
Perguruan Belalang Putih dan membunuh ketuanya, 
Arga Pasa. Tak mungkin dia datang tanpa tujuan, bu-
kan? Karena kau adalah salah seorang sahabat Arga 
Pasa, tentu kau tahu banyak tentang dirinya."
Si perempuan cantik berhenti sebentar, sambil 
mengulum ujung jarinya.
"Mmm, oya! Kenapa kami bisa tahu? Itu perta-
nyaanmu, bukan? Perlu kau ketahui, Manda Langit.

Lelaki cebol yang bersamaku ini adalah Penjaga Ger-
bang Neraka...."
Untuk kedua kalinya, wajah Ki Arga Pasa beru-
bah kembali. Sekali ini menyiratkan keterkejutan yang 
tak bisa disembunyikannya.
Terlalu kalau Ki Manda Langit tak pernah men-
dengar julukan Penjaga Gerbang Neraka. Salah satu 
tokoh kesohor yang hampir-hampir sulit dimengerti. 
Teramat jarang terlihat, namun nama besarnya tak 
pernah lekang oleh masa. Karena itu pula wajahnya ja-
rang dikenal. Termasuk oleh Ki Manda Langit sendiri.
"Kau terkejut, bukan? Terkejut karena tokoh 
seangkatan Dedengkot Sinting Kepala Gundul ini akan 
turun kembali ke dunia persilatan??" ujar si perem-
puan cantik.
"Nah," lanjutnya kemudian. "Perlu kau ketahui 
pula, bahwa lelaki cebol berjuluk Penjaga Gerbang Ne-
raka ini adalah salah seorang musuh lama Manusia 
Makam Keramat. Selama ini dia memburunya. Suatu 
kali, perburuan itu menjadi sia-sia karena Manusia 
Makam Keramat mati terbunuh oleh seorang Prabu Pa-
jajaran. Kini, musuhnya itu telah bangkit. Kau tahu 
artinya? Artinya, dia punya kesempatan kedua untuk 
memburu Manusia Makam Keramat dan melunasi 
dendamnya...."
Ki Manda Langit menimbang-nimbang sejenak. 
Kepalanya mengangguk-angguk perlahan.
"Bagaimana aku percaya kalau lelaki itu adalah 
Penjaga Gerbang Neraka?" ajunya pada perempuan 
yang tak lain Dewi Melati, pendamping genit Penjaga 
Gerbang Neraka. Beberapa waktu lalu, perburuan me-
reka mengikuti jejak Manusia Makam Keramat mene-
mui jalan buntu. Tak lama, tersebar kabar bahwa Ma-
nusia Makam Keramat telah membantai rombongan

murid Kuda Langit yang bertugas mengantar kereta 
kencana.
Keduanya pun lalu mengusut hal itu sampai 
mereka tiba di Perguruan Kuda Langit.
(Untuk mengetahui tentang mereka berdua, ba-
calah dua episode sebelumnya : "Memburu Manusia 
Makam Keramat" dan "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau perlu bukti? Baik," kata Dewi Melati. Di-
dekatinya Penjaga Gerbang Neraka. Dengan bahasa 
isyarat tangan yang hanya dimengerti oleh mereka, ke-
duanya berbicara beberapa saat.
Lelaki cebol itu terlihat mengangguk kecil.
Lalu....
"Grrrhhh!"
Dibuka erangan serak meledak, Penjaga Ger-
bang Neraka mendadak meloloskan sepasang senja-
tanya. Teramat cepat, hampir tak dapat diikuti pan-
dangan tangannya bergerak. Senjatanya terlepas, ber-
pusing liar di udara, membubungkan suara menderu.
Wukh wukh wukh!
Di tengah jalan, dua logam maut milik Penjaga 
Gerbang Neraka berhenti meluncur, namun tetap ber-
putar liar bagai sepasang cakra milik dewa.
Terlalu sulit untuk mengendalikan senjata yang 
sedang meluncur di udara. Apalagi menghentikan la-
junya secara mendadak. Bagi sebagian besar kalangan, 
hal itu tergolong mustahil.
Tidak untuk Penjaga Gerbang Neraka!
Kendati kejadian itu sudah luar biasa, masih 
ada pula keluarbiasaan yang lebih mencengangkan. 
Sepasang senjata yang terus berpusing berdampingan 
itu mendadak menebar cahaya kuning samar. Cahaya 
mengembang membentuk pusaran. Pada saatnya, 
pendaran cahaya membersit ke satu arah.

Cdar!
Sepuluh pohon besar dalam satu barisan lurus 
langsung bertumbangan, bagai rumput terpangkas sa-
bit!
Sebentuk tenaga dahsyat yang dieram di dalam 
sepasang senjata dari logam....
Kecuali Dewi Melati, semua yang menyaksikan 
kejadian itu menjadi terperangah. Ki Manda Langit pun 
tak luput.
"Ajian Cakra Kuning," bisiknya perlahan, me-
nyebutkan satu ajian yang hanya dimiliki oleh Penjaga 
Gerbang Neraka. Dan itu sudah diketahui oleh seba-
gian besar kalangan persilatan.
Sekarang, sahabat baik mendiang Ki Arga Pasa 
percaya pada ucapan Dewi Melati.
"Karena tampaknya kau sudah percaya, sudi-
kah kau menjawab pertanyaanku?" tukas Dewi Melati.
"Ya, mendiang sahabatku memang menyebut-
nyebut tentang satu kitab." Akhirnya, Ki Manda Langit 
masih bersedia memberikan jawaban.
"Bagus! Yang ingin ku tahu, apakah Arga Pasa 
pernah mengatakan di mana dia menyimpan kitab 
itu?"
"Apa yang kalian harapkan dari kitab itu sebe-
narnya?"
"Kau terlalu rewel, Manda Langit. Tapi, aku 
masih berbaik hati untuk menjelaskan. Menurut lelaki 
cebol ini, kitab itu berisi tentang riwayat Manusia Ma-
kam Keramat. Ditulis oleh Prabu Pajajaran yang telah 
membunuhnya untuk pertama kali. Dalam kitab itulah 
bisa ditemukan kunci kelemahan Manusia Makam Ke-
ramat. Selain dari itu, dia tak akan dapat dibunuh! Ka-
lau kau menginginkan pembunuh sahabatmu itu da-
pat secepatnya dikembalikan ke neraka oleh si cebol

ini, sebaiknya kau mengatakan di mana Arga Pasa me-
letakkan kitab itu...."
Ki Manda Langit menggeleng perlahan.
"Sebenarnya, aku pun menginginkan Manusia 
Makam Keramat terkubur kembali di perut bumi. Tapi, 
sebelum kematiannya, Arga Pasa tak sempat menye-
but-nyebut tempat penyimpanan kitab itu," katanya 
setengah mengeluh.
"Sial!" maki Dewi Melati.
Buntu. Pencarian mereka menemui jalan buntu 
kembali.
"Aku percaya kalian akan mengenyahkan Ma-
nusia Makam Keramat. Karena itu, kusarankan kalian 
sebaiknya menanyakan tentang hal itu pada murid-
murid kepercayaan Arga Pasa. Mungkin saja salah seo-
rang di antara mereka pernah dititipkan pesan. Asal 
kuminta, kalian tidak mempergunakan cara kekerasan 
sewaktu meminta keterangan.
Bibir Dewi Melati mengembang lebar. Matanya 
mengerling nakal.
"Kalau kau masih muda, akan kuhadiahkan ci-
uman hangat, Manda Langit," pujinya seraya menarik 
lengan Penjaga Gerbang Neraka keluar halaman pergu-
ruan.
ENAM
SATRIA dengan Rara Lanjar akhirnya tiba di 
tempat tujuan. Dari Gunung Burangrang ke Perguruan 
Belalang Putih memakan waktu dua hari dua malam.
Tiba di gerbang perguruan, mereka langsung 
disambut oleh tiga orang murid yang mendapat giliran 
tugas jaga. Mereka bergegas mendekat dengan wajah

kalut. Besar kemungkinan, ada sesuatu telah terjadi.
Belum lagi pedati memasuki pintu gerbang, 
seorang murid langsung berseru,
"Kitab itu telah hilang, Nona Lanjar!"
Mata Rara Lanjar membeliak.
"Apa?!"
Dia cepat melompat turun dari pedati.
"Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya meledak-
ledak. Wajah terbakar. Sepantasnya dia lebih kalut 
dan gusar dari murid Perguruan Belalang Putih.
"Kakang Palguna yang mengetahui secara jelas 
kejadiannya!" susul murid yang lain.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Rara Lanjar me-
langkah memasuki pintu gerbang. Langkahnya ter-
banting-banting keras.
Satria mengangkat bahu. Rasanya dia sudah 
diacuhkan.... Pendekar muda itu pun melompat turun 
dari pedati. Seorang murid perguruan yang masih ber-
diri di sana dimintanya untuk memasukkan pedati. 
Dia sendiri menyusul Rara Lanjar.
"Di mana sekarang Kakang Palguna?" tanya Ra-
ra Lanjar, selagi melangkah diiringi dua orang murid 
Perguruan Belalang Putih.
"Dia sedang dirawat oleh tabib perguruan, ter-
luka dalam karena bertarung dengan orang yang mela-
rikan kitab itu!" lapor murid di sebelah kiri.
Di belakang mereka, Satria mengekori seperti 
kacung.
Keempatnya tiba di ruang perawatan Palguna. 
Melihat putri Ki Arga Pasa tiba, dia memaksakan diri 
untuk bangkit. Rara Lanjar menahannya agar tetap 
berbaring. Setelah meminta tabib perguruan untuk ke-
luar, Palguna mulai menerima pertanyaan demi perta-
nyaan gadis itu.

"Ceritakan apa yang sesungguhnya telah terja-
di, Kang?" tanya Rara Lanjar. Kendati telah berusaha 
menguasai kegusaran, tak urung nafasnya masih ter-
dengar rusuh.
"Empat hari lalu, ketika kitab yang diwasiatkan 
Eyang baru saja ku keluarkan dari tempat persembu-
nyiannya. Datang seorang bertopeng kayu Arjuna. En-
tah bagaimana caranya dia bisa lolos dari penjagaan 
para murid yang sedang bertugas. Tahu-tahu saja dia 
sudah berada di belakangku. Tanpa banyak cakap dia 
hendak merebut kitab itu dari tanganku."
Palguna terbatuk-batuk kecil, menyebabkan ce-
ritanya terpenggal sementara.
Rara Lanjar dan Satria saling bertatapan. Hati 
mereka sama-sama bertanya. Seorang bertopeng Arju-
na? Bukankah dia pula orang yang telah menyela-
matkan Rara Lanjar dari Manusia Makam Keramat? 
Benar-benar sulit dimengerti....
"Lalu?" desak Rara Lanjar.
"Aku berusaha mempertahankannya. Tapi ke-
digdayaan orang itu ternyata jauh di atasku. Hanya 
dalam satu dua gebrakan, aku sudah dapat dijatuhkan 
dengan mudah.... Maafkan aku, Nona Lanjar. Aku me-
nyesal sekali tak dapat menjalani pesan Eyang dengan 
baik. Kalau kau hendak menghukumku, aku siap."
Rara Lanjar hanya menggeleng-gelengkan kepa-
la perlahan.
"Bukan masalah berhasil atau tidak kau menja-
lankan kewajibanmu. Melainkan, apakah kau telah 
berbuat yang terbaik untuk menjalaninya. Kau telah 
melakukan yang terbaik, Kang. Jadi semuanya dapat 
dimaafkan," tandas Rara Lanjar, tegas dan arif.
Dalam hati, Satria mengacungkan jempol. Uru-
san memang jadi lebih lancar jika setiap pihak bisa

dengan bijak menilai keadaan! Ah, belajar dari mana 
kau, Lanjar?
Ketika menyaksikan seorang murid lewat di de-
kat pintu ruang perawatan, mendadak saja Satria te-
ringat kejadian yang dialami sebelumnya ketika berpe-
dati dengan Rara Lanjar.
"Kau ingat peristiwa di perjalanan itu, Lanjar?" 
ucap Satria, di telinga si dara.
Rara Lanjar menoleh. Dengan pandangannya, 
dia bertanya. Mungkin dia sudah melupakan peristiwa 
yang dianggap remeh itu.
"Ketika kuda-kuda kita menjadi liar dan ham-
pir-hampir tak dapat dikendalikan...." Satria Gendeng 
mengingatkan.
Rara Lanjar mengangguk sekali. Dia baru men-
gerti maksud Satria. Alisnya yang legam agak terlipat.
"Apa kau berpikir bahwa orang bertopeng Arju-
na itulah yang melintas mendahului kita, lalu ke sini 
untuk merebut kitab itu?" 
Satria menggeleng, ragu. 
"Tapi aku kurang yakin. Kedatangan orang ber-
topeng ke perguruan ini untuk merebut kitab itu terja-
di empat hari lalu. Sedangkan kejadian yang kita alami 
baru berselang dua hari...," katanya seperti bergumam.
"Jadi maksudmu?"
"Aku tak tahu, Lanjar. Namun perasaanku 
mengatakan ada sesuatu yang tidak beres."
* * *
Satria Gendeng dan Rara Lanjar masih belum 
mengerti kenapa orang bertopeng kayu Arjuna meram-
pas kitab pemberian mendiang Ki Arga Pasa. Satria 
sudah mulai meruntunkan gerutuannya. Dongkol bu

kan main hati anak muda itu mengetahui dirinya telah 
didahului seseorang. Rasanya seperti baru saja diper-
mainkan.
Ketika itu keduanya berada di halaman Pergu-
ruan Belalang Putih.
Rara Lanjar bukannya tak dongkol. Lebih dari 
itu, sudah sulit rasanya dia menjelaskan bagaimana 
perasaannya saat itu. Serba campur-aduk, serba tak 
karuan. Seperti tak karuannya perasaan, wajah wanita 
itu pun turut tak karuan. Inginnya dia menjungkir-
balikkan apa saja yang bisa dijadikan sasaran kegusa-
rannya.
"Aku hampir tak percaya kalau orang bertopeng 
Arjuna itu merebut kitab rahasia milik ayahku, setelah 
sebelumnya dia menyelamatkan aku dari tangan Ma-
nusia Makam Keramat!" geramnya. "Aku tak tahu apa 
maksudnya dengan semua itu...."
"Ssttt!"
Kedongkolan Rara Lanjar dijegal desis mulut 
Satria Gendeng. Mata anak muda itu menatapnya tan-
pa berkedip. Sementara wajahnya tampak mengeras.
"Ada orang datang...," bisiknya, memperingati 
Rara Lanjar.
Perempuan yang semula sedang meruntunkan 
kegusaran melalui mulut mungilnya kali ini mencoba 
menajamkan pendengaran. Belum lagi niatnya terlak-
sana, selantun suara siulan berirama amat tajam 
mendadak tercipta.
Menyeruak angkasa.
Menerjang gendang telinga.
Telinga kedua muda-mudi itu terasa direjam te-
lak-telak. Gendang telinga mereka sudah terasa hen-
dak terkoyak. Keduanya cepat mendekap telinga den-
gan kedua tangan.

Kasihan Rara Lanjar. Dia merasakan siksaan 
rasa sakit yang lebih parah dari Satria. Penyebabnya 
jelas karena tingkat tenaga dalamnya berada jauh di 
bawah tenaga dalam Satria Gendeng.
"Berhentiiii!" teriakan mengguntur keluar dari 
pita suara Satria, bagai hendak menggempur langit!
Tak ada lain yang hendak diperbuat Satria 
Gendeng dengan teriakan yang disalurkan tenaga da-
lam tadi, kecuali melawan suara siulan berkekuatan 
tenaga dalam amat tinggi milik si orang usil. Dugaan-
nya meleset sama sekali! Suara siulan ternyata tetap 
bergeletar amat kuat di udara. Bahkan kekuatannya 
tak sedikit pun berkurang.
Ini benar-benar mengejutkan Satria Gendeng, 
sekaligus memancing kegusarannya lebih jauh. Satria 
sungguh mampus tak menerima perlakuan seperti itu. 
Cepat darahnya bergejolak naik ke ubun-ubun. Dia 
mengkelap. Masih dengan tangan mendekap telinga, 
dikerahkannya tenaga dalam kesaluran napas di teng-
gorokan.
Sekali ini, kemengkelapan si pendekar muda 
menyebabkan tenaga sakti dari dalam tubuhnya turut 
meledak. Jarang orang persilatan dapat menandingi 
kekuatan sakti Satria Gendeng pada tingkat demikian.
Saat bersamaan, si Rara Lanjar pun hendak 
melakukan hal yang sama. Tanpa perlu tahu apakah 
Satria membutuhkan bantuannya atau tidak, Rara 
Lanjar merasa harus melawan serangan suara lawan 
yang membuat gendang telinganya nyaris pecah.
"Heaaaaa!!!!"
Berbarengan, dua teriakan terlepas dari dua 
kerongkongan berbeda. Keduanya telah mengerahkan 
kekuatan tenaga dalam masing-masing hampir ke 
tingkat puncak.

Melawan kekuatan siulan.
Hasilnya ternyata tetap tak cukup untuk mem-
buat siulan tadi tertebas di udara! Ini gila, pikir Satria. 
Satu-satunya pertanyaan besar yang melintas di be-
naknya saat itu adalah siapa yang sebenarnya tengah 
kuhadapi kini?
Sementara tubuh Satria mulai terhuyung-
huyung, Rara Lanjar justru telah tersungkur di atas 
lututnya. Hanya berselang dua tarikan napas, gadis itu 
pun ambruk terlungkup.
"Rara Lanjar! Kau tak apa-apa?!" teriak pende-
kar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul, 
mencoba menyaingi suara lawan agar teriakannya bisa 
ditangkap Rara lanjar.
Tak ada jawaban. Rara Lanjar tetap tergeletak 
tak bergerak. Tampaknya wanita itu sudah tak sadar-
kan diri.
"Kalau sampai terjadi apa-apa pada wanita itu, 
akan ku rencah-rencah dagingmu!!!" umbar Satria 
Gendeng, sarat kemurkaan.
Siulan mendadak terhenti. Bukan karena ke-
kuatan teriakan anak muda itu telah berhasil mempe-
cundangi, melainkan si pemilik suara siulan rupanya 
memang sudah bosan dengan permainan tersebut. 
"Bukankah memang sudah terjadi apa-apa pa-
da dirinya?" 
Terdengar sebentuk suara yang sama sekali tak 
dikenali Satria. Dari warna suaranya, Satria menilai 
kalau orang yang sedang berurusan dengannya adalah 
seorang tua bangka. 
Satria Gendeng menurunkan tangan dari telin-
ga. Suara terakhir tidak lagi melepas kekuatan tenaga 
dalam tingkat tinggi. Hanya suara jarak jauh.
"Tampakkan dirimu! Siapa kau sebenarnya?!"

hardik Satria, tak kurang kegeraman.
Jawabannya cuma tawa berat.
"Sial benar! Kau pikir aku suka dengan suara 
tawa jelek mu itu!"
Lagi-lagi terdengar tawa.
"Dasar anak muda! Rupanya kau selalu tak 
mau tahu sedang berurusan dengan siapa?!"
"Ya, siapa kau?! Bukankah itu yang memang 
ku tanyakan tadi padamuuuuu!!!" Satria Gendeng ma-
kin dibuat kalap. Urat lehernya sampai nyaris putus 
karena begitu geram berteriak. Matanya melotot-lotot. 
Hidungnya kembang-kempis. Mengenaskan. Wajahnya 
sudah lebih parah dari manusia pesakitan!
Seseorang akhirnya muncul dengan cara tak 
terduga-duga, bahkan oleh Satria Gendeng sendiri. 
Seorang lelaki tua telah berdiri hanya satu tindak di 
belakangnya!
Sulit mengukur usianya. Yang pasti sudah le-
bih dari seratus tahun. Jenggotnya putih tergerai sam-
pai dada. Rambutnya pun putih, digelung di atas kepa-
la dengan ikatan dari kulit hewan. Wajahnya meman-
carkan kharisma yang kuat. Menatapnya seperti me-
nyaksikan mentari di ambang pagi. Bersinar, namun 
sejuk. Tubuhnya dibalut kain putih seperti seorang 
paderi, memanjang hingga menutupi kaki.
Sampai beberapa lama, Satria tetap tak menya-
dari kehadirannya, seolah tarikan nafasnya pun tak 
terdengar.
Siapa pula kakek ini?
***

TUJUH
ADA tangan lembut menyentuh bahu si pende-
kar muda tanah Jawa. Satria terkesiap. Dia membalik-
kan badan. Ditemukannya seorang kakek tua penuh 
wibawa. Kakek itu tersenyum kecil. 
"Siapa kau, Orang Tua?" tanya Satria Gendeng. 
"Kau tak perlu banyak tanya, Anak Muda. Sebaiknya, 
kau segera membawa gadis itu pergi dari perguruan 
ini...," ucap kakek tua berpakaian putih.
"Kenapa kau berkata begitu? Bukankah kau 
orang yang belum lama bermain-main dengan tenaga 
dalam itu, Orang Tua? Dan aku yakin pula, bahwa kau 
pula yang telah membuat kuda-kuda penarik pedati 
kami waktu itu menjadi tak tenang!" Satria tetap pena-
saran. 
Si kakek mengangguk.
"Tapi aku tak bermaksud main-main seperti ka-
tamu."
"Lalu?" serobot Satria. Masih ada sisa kegusa-
rannya.
"Kulakukan karena aku harus membuat gadis 
itu tak sadarkan diri untuk sementara." 
"Kenapa?" cecar Satria. Si kakek tersenyum.
"Aku punya alasan sendiri. Kuharap aku bisa 
menjelaskan lain waktu. Sekarang ini, yang penting 
kau segera pergi membawa gadis itu dari tempat ini...."
"Kenapa harus pergi?" Satria tetap rewel.
"Karena Arya Sonta akan segera sampai di tem-
pat ini dalam beberapa lama lagi."
Arya Sonta? Manusia Makam Keramat itu? Bi-
sik murid Manusia Makam Keramat dalam hati. Dari 
cara kakek tua ini menyebut nama asli Manusia Ma

kam Keramat, tampaknya dia cukup mengenal siapa 
Arya Sonta. Caranya menyebut nama Arya Sonta, 
mengingatkan Satria pada cara gurunya. Ada dugaan 
dalam diri Satria bahwa kakek ini pun mempunyai 
urusan lama dengan Manusia Makam Keramat.
Dan anehnya, Satria bisa mempercayai begitu 
saja ucapan si kakek. Rasanya telinganya hanya me-
nangkap suara yang jernih dan tulus, tanpa getar dus-
ta sedikit pun. Sebenarnya, ada hal aneh lain yang lu-
put diperhatikan Satria. Seluruh murid Perguruan Be-
lalang Putih tak ada satu pun yang keluar. Padahal se-
belumnya terjadi pertarungan suara bertenaga dalam 
seru yang menggetar sampai keluar lingkungan pergu-
ruan!
Satria Gendeng cepat menjemput Rara Lanjar 
yang masih tak sadarkan diri di halaman perguruan. 
Diangkatnya, lalu dia bersiap meninggalkan tempat 
itu. Sebelum menggenjot tubuh, Satria masih sempat 
berkata, "Kau masih hutang penjelasan padaku, Orang 
Tua!"
Kakek tadi hanya menyahuti dengan senyum. 
Yang lagi-lagi penuh kekuatan wibawa.
Sepeninggalan Satria, seseorang tiba di muka 
Perguruan Belalang Putih. Tepat seperti ucapan si ka-
kek berpakaian putih, orang itu adalah Arya Sonta! Dia 
kembali untuk mengulang kembali usahanya menculik 
Rara Lanjar setelah tempo hari gagal.
Menyaksikan seseorang telah menyambutnya di 
gerbang Perguruan Belalang Putih, Manusia Makam 
Keramat mendengus.
"Siapa kau?!" tanyanya, menghardik. Sejenak 
dia meneliti wajah orang tua yang berdiri hanya sebe-
las tombak dari tempatnya. Ada garis-garis di wajah itu
yang mengingatkan Arya Sonta pada seseorang. Teru

tama matanya yang memancarkan kekuatan kharisma. 
Dia merasa pernah mengenal mata itu. Kapan? Di ma-
na? Dia berusaha mengingatnya, tapi tak berhasil. 
Niat untuk secepatnya mendapatkan Rara Lan-
jar kembali, menghanguskan keinginannya untuk be-
rusaha mengingat keras wajah si kakek.
Kembali dihujamkan pandangan ke arah kakek 
berjenggot putih. Sekali lagi, dilontarkan pertanyaan.
"Siapa kau, Tua Bangka?!"
Tak ada sahutan dari si kakek. Dia hanya ter-
senyum dengan tangan terlipat di depan dada.
Merasa dilecehkan, Manusia Makam Keramat 
menjadi gusar. Tergulir geraman berat dari kerongkon-
gannya. Matanya menerjang garang, seolah hendak 
mengunyah bulat-bulat si kakek.
"Aku bertanya padamu!" Kegusarannya mele-
dak menjadi teriakan mengguntur.
Tanah gemetar, retak di beberapa tempat.
Pepohonan berderak, kulitnya mengelupas.
Dedaunan gugur, bagai runtuhan hujan.
Angin digebah, berbalik arah.
Kain putih di tubuh si kakek menggelepar-
gelepar. Di beberapa tempat bahkan terkoyak. Cabi-
kannya tersungkur bersama daun.
Tapi si kakek sendiri sama sekali tak bergem-
ing. Berdiri dia, bagai arca tanpa terusik sedikit juga. 
Bahkan masih bisa mengumbar senyumnya.
Kulit hidung Manusia Makam Keramat terlipat. 
Matanya berkilat. Barisan gigi bertaringnya diperli-
hatkan. Dia memang terkesiap menyaksikan kenya-
taan itu. Namun, keangkuhannya tak memungkinkan 
dia memperlihatkan pada wajahnya.
"Kau tak tahu sedang berhadapan dengan sia-
pa, Manusia Renta?!" geramnya, mengancam.

"Aku tahu," Si kakek buka suara. "Kau adalah 
manusia durjana yang memimpikan kekuasaan mut-
lak...," lanjutnya. Kata-katanya mengalir datar. Seolah 
momok menakutkan yang pernah menghantui dunia 
persilatan berpuluh tahun silam tak bisa menggetar-
kan nyalinya barang sekejap.
"Aku tidak hanya memimpikan kekuasaan dan 
keabadian ku. Aku akan mendapatkannya satu hari! 
Kau dengar?!"
"Apa kau sadar, terkadang manusia tak bisa 
membedakan hidup dengan kenyataan atau hidup 
dengan mimpi. Kau tergolong orang kedua. Kau cuma 
hidup dengan mimpi. Selamanya kau tak akan menda-
patkan kekuasaan mutlak. Kau mungkin bisa mengu-
asai bumi Pajajaran, atau seluruh tanah Jawa, atau 
seluruh dunia. Ketika kau memandang langit, barulah 
kau sadar kekuasaanmu cuma setitik debu tak berarti 
yang akan tergilas masa pada waktunya. Mutlakkah 
itu?"
"Jangan berkhotbah, Keparat!"
"Tak ada yang ingin peduli pada hikmah hidup 
kecuali hewan," sindir si kakek, tak mempedulikan me-
luapnya kemarahan Manusia Makam Keramat.
Kian digarang saja kemarahan Manusia Makam 
Keramat. Pada waktunya, dia menuding dengan sege-
nap kenyalangan parasnya. 
"Menyingkir, atau kau akan mampus!"
"Kau tak perlu bertindak kasar padaku. Tanpa 
kau paksa, aku pun akan menyingkir. Aku tak akan 
melayanimu bertarung, karena aku sudah meninggal-
kan jalan kekerasan. Tapi tetap ku ingatkan, kau tak 
akan mendapatkan gadis itu. Dia sudah tak ada lagi di 
sini setelah aku memperingati. Kalau kau ingin menya-
lahkan aku, silakan. Kalau kau ingin mengumbar ke

marahan padaku, silakan. Aku tak akan melawan...," 
tutur si kakek seraya melangkah perlahan dengan te-
nang ke arah Manusia Makam Keramat.
Manusia Makam Keramat sebenarnya agak ber-
tanya-tanya bagaimana kakek tua asing itu tahu kalau 
kedatangannya hendak menculik Rara Lanjar. Kehera-
nan itu tak terlalu menarik perhatiannya. Manusia 
durjana itu lebih terpancing ke arah ucapan si kakek 
yang mengatakan Rara Lanjar telah pergi karena pe-
ringatannya. Manusia Makam Keramat tak perlu mera-
gukan kebenaran ucapan itu, kalau si kakek sendiri 
sudah dapat mengetahui tujuannya datang. Hanya sa-
ja dia menjadi geram karenanya. Dia merasa diper-
mainkan mentah-mentah.
"Berkhotbahlah kau di neraka!" serunya, meng-
gempar seraya melepas pukulan bertenaga dalam ke 
dada kakek berjenggot putih.
Tangan Manusia Makam Keramat melesat de-
ras.
Angin menderu di sekitarnya.
Sebelum tiba di dada kakek berjenggot putih, 
pukulannya tiba-tiba saja terpantul. Tangannya sea-
kan baru saja menghantam dinding karet tak terlihat!
Terperangahlah Manusia Makam Keramat. 
Keangkuhannya, tak bisa lagi menyembunyikan keka-
guman yang semestinya sejak tadi terlihat di wajahnya.
Dan dengan tenang, kakek berjenggot terus me-
langkah. Dia melintas begitu saja tepat di samping 
Manusia Makam Keramat.
Napas Arya Sonta mendengus. Keparat ini ru-
panya hendak menjajal kesaktianku, serapahnya da-
lam hati. Kau akan merasakan satu ajian pamungkas 
ku, ancamnya membatin dengan sekujur otot badan 
mengejang menahan amukan kemurkaan.

Manusia Makam Keramat berteriak, siap me-
lancarkan ajian pamungkas. Tubuhnya berbalik cepat.
Wushh!
Ketika kedua tangannya membuat gerakan me-
nyibak udara, membersitlah cahaya merah membara, 
membentuk bola api raksasa. Hawa panasnya bergu-
lung-gulung sampai jauh. Sayangnya, si kakek ber-
jenggot telah raib entah ke mana. Padahal, hanya se-
kedipan mata sebelumnya dia masih di belakang Ma-
nusia Makam Keramat!
* * *
Malam itu langit tak menampakkan wajah ra-
mah. Jutaan bintang dikekang gumpalan-gumpalan 
mega kelabu. Arakan tambun yang merayap tersendat. 
Pada tanggal di bulan tersebut, semestinya cakrawala 
bertabur cahaya bulan bulat penuh. Sayang itu tak 
terwujud, karena bulan purnama bernasib sama den-
gan gugus gemintang.
Mungkin suasana itu sudah biasa pada setiap 
musim penghujan. Arakan awan pekat, bekukan udara 
dingin, gelap yang meraja adalah hal biasa. Tapi, akan 
jadi tak biasa kalau nyatanya suasana seperti itu ter-
bangun pada musim-musim panas seperti sekarang.
Ada yang tak beres dengan alam? Pertanyaan 
yang sesungguhnya amat pantas dipertanyakan siapa 
pun, oleh manusia dari mana pun, kecuali oleh seo-
rang tua yang kini berdiri sendiri di satu pekuburan 
angker, Makam Keramat Maut.
Orang tua itu berambut amat panjang, tergerai 
sampai ke tanah. Begitupun jenggotnya. Seperti tidak 
ingin sedikit pun memperlihatkan wajahnya dibiarkan 
rambut depannya menjuntai liar.

Wajah orang itu seperti suasana malam. Dingin 
dan memeram kegelapan, pancaran kehitaman ji-
wanya. Kulit wajahnya pucat, seakan darahnya telah 
terperah sekian puluh tahun lalu. Bibirnya kerontang, 
pecah-pecah seperti dataran di bawah kakinya. Di ke-
dua sudut bibirnya menyembul gigi taring kecil. Sepa-
sang matanya selalu melesatkan pandangan menikam. 
Besar dan berwarna kehijauan di sekujur kelopaknya.
Penampilannya tak mencerminkan yang lain 
kecuali sebongkah kesan kematian. Dengan kain hitam 
kelam yang membalut bagian terlarangnya.
Di pusat hamparan pekuburan kuno yang di-
kepung keangkeran dan ancaman maut, orang menye-
ramkan tadi memacakkan kaki. Dia diam mengarca. 
Tangannya menjuntai tanpa kehendak. Angin membe-
kukan mengusik rambut dan pakaiannya. Dia tak pe-
duli. Dia sungguh tak peduli apa-apa. Tak peduli pada 
suasana mencekam, atau bahkan dia seperti tak peduli 
pada dirinya sendiri.
Yang ingin dilakukannya saat itu cuma men-
dongakkan kepala kaku-kaku ke angkasa. Tepat ke 
gumpalan-gumpalan awan pekat kelabu yang me-
nyemburatkan cahaya tipis bulan. Tirus wajahnya se-
pintas menampakkan susunan tulang pipi yang me-
nonjol bengis.
Jika ada yang melihatnya, maka orang itu akan 
sulit menentukan, apakah dia manusia atau mayat hi-
dup.
Pada saatnya, gumpalan awan tambun terge-
bah angin. Purnama di atas sana sejenak punya ke-
sempatan meneroboskan cahayanya. Lalu cahaya pu-
cat itu jatuh ke tempat yang tak kalah pucat; wajah si 
tadi.
Mendapati siraman cahaya bulan, orang ini seperti mendapat limpahan kepuasan ganjil. Ditariknya 
napas dalam-dalam, seakan hendak menghirup rasa 
dari cahaya bulan. Setelah tertahan beberapa saat, ba-
rulah dia menghempas dadanya kembali. Seperti sebe-
lumnya, dada itu mencekung kembali.
Awan pekat rupanya memberi kesempatan cu-
kup lama pada bulan untuk menyiramkan cahayanya 
ke bumi. Waktu pun merayap. Pada menit kesekian 
dari titik tengah malam, bulan bulat perlahan-lahan 
ditelan awan.
Tepat ketika bulan tertelan penuh oleh gumpa-
lan hitam, tadi mendengus-dengus berkali-kali. Tubuh 
kurus merunduk dalam hingga bersujud mencium ta-
nah. Perlahan-lahan, dia mulai merayap. Hidungnya 
terus mendengus dan mengendus seperti seekor anjing 
melacak jejak.
Setelah merayap dengan cara yang terlalu aneh, 
tubuh orang itu berhenti. Pada satu kuburan sederha-
na yang tanahnya nyaris datar karena telah ratusan 
tahun terbengkalai.
Sejenak dia terdiam. Kemudian bangkit menda-
dak sekali.
Belum lagi cukup lama kaki kurusnya menje-
jak, dia sudah tersungkur lagi. Tidak. Sesungguhnya 
dia tak tersungkur. Sengaja dia menjatuhkan kedua 
lututnya. Selanjutnya, dengan tangan berkuku pan-
jang yang melingkar-lingkar dia mulai menggali, men-
gais, mendongkel sarat kejalangan. Tingkahnya serupa 
dengan anjing malam yang hendak menggali penda-
man seonggok tulang.
Caranya menggali tak lagi seperti manusia bi-
asa. Tangannya mengais amat kuat, seakan ada tenaga 
puluhan makhluk-makhluk gaib yang merasuk dalam 
dirinya. Setiap kali tangannya mencakar tanah, maka

bongkahan besar tanah terhambur keluar.
Tak memakan waktu lama, sudah terbentuk 
liang besar. Lebar lingkarannya sekitar sembilan kaki 
dengan kedalaman tak kurang dari lima depa. Di dasar 
lobang, mencuat semacam benda tumpul dari batu.
Mendapati benda tersebut, kesibukan menggila 
si tua berambut panjang terhenti sejenak. Diamatinya 
benda itu tanpa kedip di mata. Bagai seorang yang 
memendam kerindungan asing, diusap-usapnya tonjo-
lan benda tumpul tadi. Dienyahkan pula debu di per-
mukaannya. Dia bahkan menciumi benda itu dengan 
garis bibir yang sulit diartikan.
Selang sekian waktu berikutnya, dia sudah mu-
lai mengais-ngais lagi, seperti mencoba mengeluarkan 
benda menonjol tadi.
Jika melihat bentuknya, orang masih sulit 
menduga benda apa gerangan. Ketika benda itu berha-
sil dikeluarkan, barulah tampak jelas wujud sesung-
guhnya. Satu nisan batu berbentuk segi empat. Tebal-
nya hampir dua jengkal. Lebarnya lebih dari tubuh tua 
aneh itu sendiri!
Kendati begitu, tak ada kesulitan saat si tua 
mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
"Ha ha ha ha...! Nisan keramat dari batu kera-
mat, kau akan menjadikan ku penguasa jagat!" pekik 
si kurus menyaingi sentakan petir. Ya, dia telah men-
dapatkan sesuatu yang begitu meluapkan perasaan-
nya.
Kegempitaan di wajahnya pupus seketika ma-
nakala melintas sesuatu di benaknya. Tentang kegaga-
lannya membawa seorang gadis beberapa waktu lalu. 
Karena darah gadis itu, 'hanya darah gadis itu' yang 
akan membangkitkan kekuatan dahsyat Nisan Batu 
Mayit di tangannya. Di mana darahnya harus memandikan batu nisan tepat ketika bulan purnama meng-
gantung di pucuknya.
Dua kali sudah usahanya untuk membawa pe-
rempuan itu ke Makam Keramat Maut lantak di tengah 
jalan. Usaha terakhir telah dikacaukan oleh seorang le-
laki tua yang berhasil mendahuluinya mengingatkan 
Satria dan Rara Lanjar, sekaligus mengecohkan kesak-
tiannya di depan Perguruan Belalang Putih. Lain kali, 
dia tak sudi gagal lagi! Harus didapatnya perempuan
itu! Perempuan yang dimaksud adalah.... Rara Lanjar! 
Dia sendiri, tak lain Manusia Makam Keramat. Arya 
Sonta menyeringai dingin. "Aku harus mengatur siasat 
lain untuk mendapatkan perempuan yang masih ber-
sama murid Truna Keparat itu!" desisnya, bertekad.
DELAPAN
DI salah satu sudut wilayah Kulon Jawa, seseo-
rang tampak berdiri di tengah jalan berdebu tebal. Dia 
mengenakan caping lebar, berjubah hitam panjang 
menjangkau betis. Dengan kepala merunduk, akan 
sangat sulit bagi orang lain untuk menyaksikan wa-
jahnya. Tangannya bersidekap erat di dada.
Di kejauhan, dari arah yang berlawanan den-
gan arah orang tadi menghadap, terlihat tiga ekor kuda 
berlari menggila. Debu membubung pekat, mengekori 
setiap hentakan ladam kuda pada tanah kering.
Para penunggang di atasnya, tak henti-henti 
menggebah serta melecut hewan-hewan itu. Suara te-
riakan-teriakan mereka seriuh guruh di kejauhan. Ber-
tumbukan kacau dengan ringkikan panjang dan derap 
kaki kuda. Pada pakaian mereka, tersulam gambar

kuda terbang. Dengan gambar itu, mereka mudah di-
kenali sebagai orang Perguruan Kuda Langit, murid-
murid Ki Manda Langit.
"Hea! Hea! Heaaaa!!!!"
Lari ketiga kuda semakin dekat dengan orang 
yang berdiri di tengah jalan. Semakin memperpendek 
pula jarak di antara mereka. Semakin dekat, semakin 
cepat kemungkinan orang di tengah jalan akan terin-
jak-injak. Namun tampaknya, dia tak pernah merasa-
kan takut pada labrakan kaki-kaki kuda.
Menjelang lima depa jarak tersisa, ketiga pe-
nunggang yang seluruhnya terpaksa menyentak tali 
kekang tunggangan masing-masing.
Seperti diberi aba-aba serentak, ketiga kuda 
kekar perkasa mereka meringkik panjang. Kaki depan 
tiga binatang itu terangkat tinggi ke atas, seraya mela-
kukan gerakan menendang-nendang liar.
"Kisanak, kenapa kau berdiri di tengah jalan 
seperti itu? Tidakkah kau sadar kau hanya akan men-
celakakan diri sendiri?"
Salah satu penunggang berkumis tebal menco-
ba menegur.
Orang yang menghadang tak menjawab. Melirik 
pun tidak. Bahkan sikap berdirinya tak berubah sama 
sekali dari sebelumnya.
"Kisanak. Kami sedang ada urusan amat pent-
ing! Sudikah kiranya kau memberi kami jalan?" sam-
bung orang berkumis tebal, masih berusaha untuk 
bersikap ramah.
"Kalian tak akan bisa melewati jalan ini sebe-
lum kalian mengatakan satu hal padaku!" tandas 
penghadang. Suaranya terdengar samar. Seakan orang 
itu malas berbicara. Biar begitu, terdengar amat berte-
kanan kuat.

Ketiga penunggang kuda saling bertatap. "Apa 
yang hendak kau tanyakan Kisanak?" sambung orang 
berkumis.
"Siapa di antara kalian yang mengetahui di ma-
na Satria Gendeng berada?"
Ketiga orang yang berada di atas punggung ku-
da tersenyum. Mereka hampir saja tertawa kalau tak 
segera menahannya.
"Tentu saja orang yang kau maksud tidak kami 
ketahui keberadaannya. Kisanak pasti sedang bergu-
rau kalau menganggap salah seorang di antara kami 
mengetahuinya...," gurau penunggang paling muda. 
"Hm.... Kalau begitu, katakan padaku pada sia-
pa aku bisa mencari keterangan tentang diri Bocah 
Busuk itu." 
Mendengar nada bicara yang seperti meman-
dang sebelah mata nama besar pendekar muda dari 
tanah Jawa itu, ketiga penunggang kuda saling mena-
tap kembali. Siapa orang ini sebenarnya? Bisik hati 
masing-masing.
"Sebenarnya, ada urusan apa Kisanak pada Sa-
tria Gendeng?" Tanpa menjawab pertanyaan pengha-
dang barusan, penunggang berusia paling muda justru 
balik bertanya.
Penghadang tak menjawab sepatah katapun. 
Tetap diam dengan kesan dingin pekatnya. Caping le-
barnya tetap ditundukkan. Sampai....
"Jangan banyak mulut, jawab saja pertanyaan-
ku?!!!" hardikan tiba-tiba saja mencelat dari kerong-
kongannya. Keras. Bahkan terlalu keras untuk ukuran 
seorang yang sedang murka sekalipun. Selain itu, har-
dikan barusan tidak dimaksudkan untuk membentak 
semata, melainkan untuk melepas tenaga dalam mela-
lui gelombang suara.

Tiga kuda jantan besar di sana meringkik keta-
kutan. Mereka seperti disentak oleh salakan guntur. 
Dengan nyalang mereka menendang-nendangkan kaki 
depan tinggi-tinggi. Penunggangnya seperti hendak di-
lemparkan dari punggung. Untung saja ketiga tadi 
memiliki cukup kemahiran dalam seni menunggang 
kuda.
Ketiga penunggang kuda berjuang untuk me-
nenangkan kembali tunggangan mereka. Satu tangan 
mereka dirangkulkan erat ke leher kuda. Sedang tan-
gan yang lain mengelus-elus.
Susah-payah, akhirnya mereka bisa membuat 
ketiga hewan gagah itu tenang kembali. Sewaktu me-
reka melepas perhatian pada penghadang, orang itu 
ternyata sudah tak ada lagi di tempat berdiri.
Tiga kali dengan itu mereka bersitatap. Mereka 
tak mengerti, ke mana penghadang tadi. Padahal, me-
reka sama sekali tak melihat ada gerakan. Sementara 
sejauh mata memandang, hanya ada hamparan ladang 
jagung kering. Kalau orang tadi pergi, tentunya mereka 
masih bisa menyaksikan sosoknya di kejauhan.
"Kau pikir, apa kita telah bertemu dengan de-
demit?" tanya berkumis pada kedua temannya.
Kedua temannya malah bertukar pandangan 
seperti orang kebanyakan minum tuak.
"Ah, sebaiknya kita cepat menyingkir dari tem-
pat ini. Aku merasa ada yang tak beres dengan tempat 
ini.... Lagi pula, kita harus segera ke padepokan Ki 
Damar Sakti."
Ketiganya sepakat untuk meninggalkan tempat 
tersebut. Berbarengan, kaki mereka menghentak perut 
kuda. Tali kekang dilecutkan, ketiga kuda siap berpacu 
di jalan berdebu kembali.
Baru sekitar tiga puluh langkah kuda berlari,

debu bahkan belum sempat menebar jauh, sayup-
sayup terdengar suara dengung di belakang ketiganya. 
Suara asing tadi tidak terdengar jauh, tapi tidak juga 
terdengar dekat.
Ketiganya curiga. Meski tak sepakat terlebih 
dahulu seperti sebelumnya, mereka menoleh ke bela-
kang sambil tetap menunggang.
Ketika itu, ketiganya menyaksikan suatu pe-
mandangan yang membuat bulu tengkuk mereka me-
negang seketika. Mata mereka mendelik sebesar-
besarnya. Otot di tubuh mereka serentak mengejang 
tegang. Sementara tanpa sadar, mereka menarik tali 
kendali kuda masing-masing.
Samar-samar, mata mereka menyaksikan seso-
sok tubuh bergerak cepat di kejauhan. Yang membuat 
mereka nyaris mati terkejut di tempat, karena sosok 
itu mengapung dua tombak di atas tanah! Getaran pa-
kaiannya menimbulkan desis tajam yang berbaur den-
gan dengung.
Keterperangahan hebat ketiganya diputuskan 
oleh terkaman sosok tadi. Seperti rajawali, orang sakti 
tak dikenal itu menyambar dua kepala penunggang 
kuda dengan cakar depannya. 
Cras! 
Hanya dalam sekedipan mata, dua kepala 
menggelinding. Tubuhnya seperti terserang keram. Dia 
akan bernasib sama dengan dua kawannya kalau saja 
kuda tunggangannya tak segera lari sepenuh kekua-
tan, bagai dikejar setan. Begitu juga dua kuda bekas 
tunggangan dua temannya. Nasibnya, memang masih 
bagus. Meski dia harus terkencing-kencing di celana.
* * *

Tiga orang terlibat perkelahian menggila. Dua di 
antaranya mengeroyok satu orang.
Salah satu pengeroyok adalah seorang tua 
bangka yang usianya mungkin sudah menjelang senja. 
Kepalanya berambut jarang dan tipis. Warna rambut-
nya seperti jagung. Wajahnya bulat, ditimbuni lemak, 
mengimbangi badannya yang subur. Perutnya saja 
hampir sebesar gentong. Punuknya tebal. Lelaki gemuk 
ini mengenakan pakaian berwarna kuning-kuning 
mencolok.
Pengeroyok lain seorang lelaki lebih muda. 
Tampangnya berangasan. Matanya seperti tak pernah 
berhenti mendelik. Dagunya kasar. Sudut bibirnya se-
lalu terungkit naik seakan menyeringai. Dengan pa-
kaian serba hitam, lelaki ini makin terlihat sangar.
Sedangkan orang yang dikeroyok adalah salah 
seorang sahabat Ki Arga Pasa. Wajahnya banjir peluh, 
memperlihatkan raut tegar dalam usianya.
Dia adalah Ki Damar Sakti. Tokoh berjuluk 
Tendangan Maut itu adalah lelaki setengah baya ber-
ebat kain dengan kumis tebal.
Perkelahian berjalan sama sekali tak seimbang. 
Bentrokan-bentrokan tangan, dan kaki terdengar susul 
menyusul. Diricuhi pula oleh deru gerakan demi gera-
kan cepat. Pertarungan tersebut telah berlangsung cu-
kup alot. Orang yang dikeroyok punya cukup kemam-
puan yang diandalkan untuk bertahan dari serangan 
kedua lawan, meski dia terus terdesak.
Bersenjatakan kedua kaki mautnya, Ki Damar 
Sakti berusaha mengimbangi serangan-serangan para 
pengeroyoknya. Sementara di pihak para pengeroyok, 
hanya orang tua gendut mempergunakan senjata be-
rupa gada batu besar.
Pertarungan mereka beringsut terus, dari tem

pat yang satu ke lain tempat. Terjadi karena orang 
yang dikeroyok berusaha untuk membebaskan diri da-
ri kepungan.
Tiba di tepi sebuah telaga, Ki Damar Sakti jatuh 
dalam keadaan terjepit. Dia tidak bisa lagi bergerak le-
bih leluasa dalam usaha melepaskan diri dari kepun-
gan. Telaga terbentang di belakangnya. Sementara di 
depan, dua lawan setiap saat dapat menendangnya ke 
liang lahat.
"Sekarang kau tak dapat menyingkir ke mana 
pun, Ki Damar Sakti!" cibir orang tua gendut, mencoba 
meruntuhkan semangat perlawanan Ki Damar Sakti.
"Ya. Dan hari ini kau akan segera mati, jika tak 
mengatakan pada kami di mana sepasang muda-mudi 
itu!" timpal orang berwajah bengis.
"Kenapa kalian begitu menginginkan mereka?!" 
tanya Ki Damar Sakti, serak. Dadanya kembang-
kempis tak beraturan. Wajahnya setiap kali member-
sitkan kelelahan. Tampaknya meski dia punya cukup 
kepandaian kanuragan tinggi untuk bertahan, tak 
urung dia kepayahan.
Orang tua gendut terkikik geli. Sehabis tertawa 
singkat, wajahnya berubah berangasan kembali. "Kau 
tak perlu pusing-pusing memikirkan tujuan kami!" tu-
kasnya sinis.
"Tapi kalian memang merencanakan suatu 
yang busuk pada mereka, bukan?!" kecam Ki Damar 
Sakti.
"Itu sebabnya kau merasa harus tutup mulut?! 
Jangan bodoh! Jadilah orang pandai yang tahu kapan 
harus tutup mulut dan kapan harus buka mulut. Den-
gan begitu, kau akan selamat," sela lelaki berwajah 
bengis.
"Kalian tak akan mendapatkan apa-apa dariku.

Kalaupun aku tahu di mana mereka, aku tetap tak 
akan memberi tahu kalian, Manusia-manusia Laknat!" 
maki Ki Damar Sakti gusar.
Si tua gendut terkikik meriah. Sulit menentu-
kan apa yang dianggapnya lucu dari makian Ki Damar 
Sakti tadi. Yang jelas, sepasang bola matanya tetap 
menerjangkan sinar haus darah ke arah lawan.
"Itu artinya, kau meminta mati!" tandas lelaki 
bertampang bengis, mengancam.
"Kau tak bisa mengancamku!"
Orang tua gendut mencibir. Gadanya ditum-
buk-tumbukkan ke bumi. Lalu serunya, "Sekarang, 
berdoalah secepatnya kepada Tuhanmu, sebab kami 
akan segera mengirimmu ke akhirat!"
Akhir ucapan orang tua gendut menjadi pemicu 
pengeroyokan tak seimbang kembali. Manusia bertu-
buh boros itu memulai dengan satu lepasan gada 
menggeledek di atas selangkangan lawan.
SEMBILAN
UKH! Deb!
Ki Damar Sakti tahu dirinya tak mungkin lagi 
menghindar ke mana pun, selain memapaki senjata 
lawan. Dengan agak nekat, disambutnya gada si Tua 
Gendut dengan kakinya. 
Prak!
Hantaman hebat mengenai ujung gada dari ba-
tu alam itu. Saat bersamaan, terdengar derak keras. 
Ujung senjata orang tua gendut berserpihan menebari 
udara dalam pecahan-pecahan kecil. Tendangan am-
puh Ki Damar Sakti penyebabnya!

Orang tua gendut terkesiap. Semula dia me-
mang tak memperkirakan hadangan tendangan lawan 
memiliki kekuatan penghancur yang hebat. Tapi, tak 
sedikit pun dia memperhitungkan kalau kehebatan 
tendangan lawan sanggup melantakkan senjatanya. 
Padahal, batu yang dijadikan senjatanya termasuk ba-
tu mulia yang memiliki kekerasan tak diragukan.
Tak dapat dibiarkan berlarut-larut keterkesia-
pannya tadi manakala kaki lawan lain menderu pula 
mengejar dirinya.
Wukh!
Untung saja, tinju lelaki bengis memenggal niat 
Ki Damar Sakti. Dan pada kejap berikutnya, kaki lelaki 
bengis terayun pula.
"Haih!"
Jarak yang terlalu dekat memaksa Ki Damar 
Sakti berjumpalitan ke depan, melewati kepala lelaki 
bengis. Sayang, di sana sudah menunggu lawan lain, 
orang tua gendut yang sebelumnya berhasil melompat 
ke belakang. Pijakan kaki Ki Damar Sakti di tanah dis-
ambut oleh sepakan setengah putaran kaki itu.
Zeb!
Sekali lagi, Ki Damar Sakti pontang-panting 
menyelamatkan diri. Tak ingin dibiarkan kepalanya di-
remukkan punggung kaki lawan. Dia mengembalikan 
tubuh ke belakang dengan salto sempit agar tak terlalu 
dekat ke arah si Tua Gendut.
Belum lagi nafasnya lega, Lelaki Bengis mulai 
pula melepas gempuran. Tangannya membelah udara, 
memperdengarkan desing tipis di sisi buruannya, se-
mentara tubuh Ki Damar Sakti sendiri masih berada di 
udara.
Ki Damar Sakti benar-benar hendak dijadikan 
bulan-bulanan!

Keadaan yang sudah amat terjepit membuat Ki 
Damar Sakti tak bisa lagi melakukan kelitan seberapa 
lincah pun dia. Jalan satu-satunya, dia harus memen-
tahkan ancaman serangan tangan lawan tadi. Dengan 
posisi tanggung, untung-untungan disampoknya tusu-
kan hebat tangan Lelaki Bengis.
Dag!
Cuma satu harapan Ki Damar Sakti agar ujung 
jari maut itu urung menghantam iganya. Sayang, tena-
ga yang mengaliri tangan lawan nyatanya jauh dari 
perkiraan. Sampokannya terpantul saat itu juga. Nyeri 
luar biasa menjalari sekujur tangannya.
Saat berikutnya, bukan cuma nyeri di tangan 
dirasakan, tapi juga sebentuk rasa sakit tak alang ke-
palang menerjang bagian bahu kirinya.
Tendangan susulan lelaki berwajah seram ru-
panya telah bersarang empuk. Tenaga tendangan itu 
melontarkan tubuh Ki Damar Sakti ke tengah-tengah 
telaga.
Byur!
Permukaan telaga menelannya bulat-bulat. 
Air beriak.
Gelombangnya mengembang sampai jauh, 
membentuk cincin-cincin bergerak. Perlahan-lahan, 
riak permukaan telaga menghilang. Tubuh tadi tak 
kunjung muncul di permukaan.
Telah direnggut ajalkah dia?
"Apakah kau yakin dia bakal benar-benar me-
nemui ajal, Bengis?" tanya si Tua Gendut.
"Aku yakin sekali," sahut berwajah seram yang 
dipanggil Bengis. "Tendangan ku mengenai dada ki-
rinya. Setidaknya jantungnya telah pecah!" tambahnya 
yakin.
Setelah puas memastikan bahwa lawan tak

muncul kembali di permukaan telaga, keduanya me-
ninggalkan tempat itu dengan wajah dingin.
Mereka adalah pasangan Gendut Tangan Tung-
gal dan Pendekar Muka Bengis. Begitukah? Apa yang 
telah terjadi pada diri mereka sehingga harus memu-
suhi Ki Damar Sakti yang jelas-jelas adalah tokoh go-
longan lurus?
Pertanyaan itu akan terjawab jika kembali pada 
kejadian beberapa hari sebelumnya.
Beberapa hari ke belakang.
Ketika itu, Gendut Tangan Tunggal dan Pende-
kar Muka Bengis sedang terpana menemukan bocah-
bocah Pasukan Kelelawar menjelma menjadi bocah-
bocah tak punya dosa di bawah sebuah pohon besar. 
(Baca serial Satria Gendeng dalam episode : 
"Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Apa yang terjadi pada diri mereka?" tanya 
Gendut Tangan Tunggal terheran-heran.
"Aku sendiri tak habis mengerti," jawab Pende-
kar Muka Bengis dengan mata tak lepas dari sekum-
pulan bocah yang sebagian dari mereka lantas menan-
gis menyaksikan wajahnya.
"Lihatlah, Bengis. Jika dulu mereka mampu 
membuat kita kalang-kabut, sekarang melihat wajah-
mu pun mereka sudah ketakutan," tukas Gendut Tan-
gan Tunggal, nyaris tertawa geli dia melihatnya.
Pendekar Muka Bengis menyikut perut gentong 
Gendut Tangan Tunggal, mengingatkannya agar tidak 
bermain-main di saat yang membutuhkan pemikiran 
seperti itu.
Pendekar Muka Bengis mencoba mendekati me-
reka. Baru satu tindak, beberapa anak makin mengge-
rung-gerung. Bahkan ada yang sempat menjerit-jerit 
segala.

Pendekar Muka Bengis meringis. Dia mundur 
teratur.
"Kau lagi! Sudah tahu wajahmu menakutkan 
mereka, kenapa mesti kau dekati lagi!" kecam kawan 
buncitnya. Hampir saja tawa gelinya hendak meledak 
lagi.
"Sekali saja kau tertawa, akan ku kuras isi pe-
rutmu, Buncit!" ancam Pendekar Muka Bengis, dong-
kol.
"Baik, baik. Aku cuma ingin tahu, sebenarnya 
apa maumu mendekati mereka?"
"Pakai otakmu, Buncit. Setidaknya, mereka bi-
sa kita tanya. Mungkin mereka ingat sesuatu saat me-
reka menjadi Pasukan Kelelawar!"
"Ooooo...." Mulut Gendut Tangan Tunggal 
membundar.
"Jangan cuma memajukan mulut, Buncit. Se-
baiknya, kau saja yang menanyakan mereka!" hardik 
Pendekar Muka Bengis.
"Kau yakin mereka tak akan takut padaku?"
"Perutmu mungkin akan mereka anggap lucu, 
daripada dianggap seram!"
"Kutu busuk!"
Sambil menggerutu, Gendut Tangan Tunggal 
hati-hati mendekati kesembilan bocah itu.
"Kenapa kalian menangis?" tanyanya kemudian 
ketika tiba di dekat para bocah. Gendut Tangan Tung-
gal setengah berjongkok untuk bisa lebih dekat pada 
mereka 'setengah' berjongkok pun rasanya sudah begi-
tu menyiksa untuknya mengingat perutnya seperti su-
dah hendak meledak keluar.
Sementara itu, Pendekar Muka Bengis jengkel 
sendiri. Kenapa kalian menangis? Gerutunya mengiku-
ti ucapan Gendut Tangan Tunggal. Pertanyaan bodoh

macam apa itu? Tentu saja mereka menangis karena 
ketakutan! Manusia kerbau satu ini apa tak bisa men-
gajukan pertanyaan yang lebih tepat? Pendekar Muka 
Bengis menggerutu terus dalam hati.
Terisak-isak, salah seorang bocah paling tua 
mulai berani berkata.
"Aku... aku takut..."
"Takut? Pada genderuwo di belakangku ini?" 
lanjut Gendut Tangan Tunggal sambil menunjuk persis 
di depan hidung Pendekar Muka Bengis.
"Sial kau, Buncit! Tanyakan pada mereka, ke-
napa mereka bisa sampai di sini!" bisik Pendekar Muka 
Bengis mendengus-dengus, tertahan-tahan.
"Oh, iya. Kenapa kalian bisa sampai di sini?"
Bocah yang sebelumnya bicara sesenggukan la-
gi.
Yang lain menimpali.
"Waktu itu aku sedang main di desa ku...," mu-
lai si bocah kembali, dengan ucapan-ucapan cadel. 
"Ya, terus? Terus?"
"Tiba-tiba ada dua orang jelek melarikan aku 
dengan pedati...."
"Orang jelek seperti dia?" sela Gendut Tangan 
Tunggal sambil menuding lagi Pendekar Muka Bengis.
"Diam kau, Buncit!" bisik Pendekar Muka Ben-
gis, mendesis-desis kesal.
"Lalu kedua orang itu melakukan apa terha-
dapmu?"
"Mereka memaksa aku meminum sesuatu. Aku 
takut, jadi aku meminumnya. Selesai minum aku jadi 
mengantuk. Aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku 
sudah digantung terbalik di atas sebuah pohon...."
"Lalu?! Lalu?!" Gendut Tangan Tunggal menjadi 
seru sendiri. Dia sudah seperti biang bocah yang sedang mendengarkan dongeng dari kakek moyang-nya. 
Apa tidak terbalik?
"Karena ikatannya tak begitu kencang, aku 
berhasil melepaskan diriku. Dua hari kemudian, aku 
seperti...," si bocah mulai menangis lagi. Tergambar ke-
takutan teramat sangat pada wajahnya, membuat dia 
tampak begitu pucat.
"Ssssst, tak apa-apa.... Tak apa-apa...," bujuk
Gendut Tangan Tunggal sambil mengusap-usap kepala 
si bocah. "Lanjutkan ceritamu."
Si bocah melanjutkan. Katanya hari itu dia me-
rasakan keanehan. Dia seperti dibawa masuk ke dalam 
alam lain yang sulit sekali untuk dijelaskan. Setelah 
itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Setelah sadar, dia sudah 
berada di bawah pohon yang ditemukan Gendut Tan-
gan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis bersama bo-
cah lain.
Sewaktu semua bocah ditanya, mereka mence-
ritakan kejadian serupa.
"Aneh...," nilai Pendekar Muka Bengis setelah 
mendengar seluruh penuturan si bocah.
"Siapa dua orang yang telah menculik mereka 
dari desa masing-masing, ya?" gumam Gendut Tangan 
Tunggal.
"Aku rasa, mereka adalah orang suruhan Ma-
nusia Makam Keramat, sebelum manusia itu bangkit 
dari kematian. Mungkin saja arwahnya mengancam 
dua lelaki yang tampaknya hanya orang desa biasa 
yang percaya pada kekuatan-kekuatan alam lelem-
but.... Kedua orang itu tentu memaksa para bocah un-
tuk meminum ramuan yang mengakibatkan mereka 
tunduk pada semua perintah Manusia Makam Kera-
mat!"
"Tapi...," Gendut Tangan Tunggal menggaruk

garuk kepala, lalu perutnya.
"Apa yang kau pikirkan, Buncit?" tanya Pende-
kar Muka Bengis, ingin tahu sesuatu yang mengusik 
pikiran kawan brengseknya.
Dengan wajah setengah terlipat, Gendut Tan-
gan Tunggal bertanya, "Apa kau tak menyadari keja-
dian yang dialami para bocah ini persis seperti kita 
alami...?"
"Astaga...," Pendekar Muka Bengis terperangah. 
Dia baru ingat pada kejadian waktu itu, di mana mere-
ka pun mengalami kejadian serupa.
Tiba-tiba bulu kuduk pasangan ganjil itu me-
remang hebat. Mereka tak mengerti, tapi mereka mera-
sakan ketakutan menerobos langsung ke ceruk nyali.
Mereka bergidik. Teramat sangat.
"Jangan-jangan..." Sekali lagi Gendut Tangan 
Tunggal memotong kalimat.
"Jangan-jangan apa, Buncit?! Bicara yang be-
nar, jangan membuat aku mati berdiri karena penasa-
ran!"
"Jangan-jangan, kita pun dipaksa meminum 
sesuatu ramuan ketika kita tak sadarkan diri setelah 
bertarung dengan Pasukan Kelelawar...."
"Artinya," bisik Pendekar Muka Bengis, tersa-
mar getar kengerian. "Kita bisa saja menjelma menjadi 
budak manusia iblis itu...."
SEPULUH
SEPENINGGALAN Gendut Tangan Tunggal dan 
Pendekar Muka Bengis, telaga tempat Ki Damar Sakti 
terjatuh menjadi sunyi kembali. Bisu suasana. Hanya

ada desis angin yang merambah sela-sela dedaunan 
pohon dan meluncuri permukaan telaga.
Sampai suatu saat, terdengar gericik halus air 
telaga dari salah satu tepinya. Satu kepala muncul. 
Menyusul badan, sampai tampak jelas keseluruhan 
perawakan orang itu. Ki Damar Sakti belum mati. Dia 
keluar dari telaga dalam keadaan basah kuyup. Kea-
daan itu memang tak akan menjadi masalah. Persoa-
lannya, di tubuh sahabat Ki Arga Pasa itu kini mende-
kam luka dalam yang tak ringan. Jika tak cepat dito-
long, besar kemungkinan nyawanya akan melayang.
Tersuruk-suruk, lelaki tua berjuluk si Tendan-
gan Maut itu mengangkat diri dari telaga. Lemah ge-
raknya. Hampir-hampir dia tak kuat melakukan. Sebe-
lum benar-benar bisa mengangkat diri, beberapa kali 
dia terjatuh kembali.
Di tepi telaga berlumpur, Ki Damar Sakti me-
rayap. Bermandi lumpur sudah pasti. Tak hanya ba-
dan, tapi juga wajah. Setiap kali dia hendak bangkit, 
saat itu juga tubuhnya terpuruk dan jatuh kembali ke 
tanah berlumpur coklat kehitaman.
Susah-payah, perjuangan antara hidup dan 
mati, Ki Damar Sakti sampai pula di bagian tanah 
yang kering. Tak ada lumpur, berarti tak licin. Sayang 
keadaan tubuhnya tak menjamin dia dapat dengan 
mudah untuk bangkit dan berjalan.
Setelah sempat jatuh bangun kesekian kali, Ki 
Damar Sakti bisa juga berjalan.
Terseok-seok dia.
Melangkah terus.
Berkutat mempertahankan nyawa.
Setiap hitungan langkah, dirasakannya bumi 
makin sulit dipijak. Semuanya mengambang. Pandan-
gannya mengabur. Tapi tekadnya tak bisa mengalah

kannya untuk tidak meneruskan langkah.
Tak jauh, dua pasang mata mengawasi. Dari 
tempat tersembunyi yang sulit untuk ditemukan Ki 
Damar Sakti. Kalau pun mereka tak sembunyi, Ki Da-
mar Sakti pun tak akan terlalu memperhatikan kebe-
radaan mereka.
Salah seorang pengintai menyeringai.
"Sudah kukatakan, dia akan mengantar kita 
kepada muda-mudi yang kita cari...," desisnya. Orang 
itu adalah Pendekar Muka Bengis. Di sebelahnya siapa 
lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal. Mereka sen-
gaja berpura-pura pergi meninggalkan tempat itu un-
tuk memberikan kesempatan pada Ki Damar Sakti ke-
luar dari telaga.
Kalau sebelumnya mereka berkata telah yakin 
akan kematian Ki Damar Sakti, itu pun cuma siasat.
Mereka ingin memastikan Ki Damar Sakti tak 
curiga ketika mereka menguntit diam-diam. Lagi pula, 
Gendut Tangan Tunggal tahu kekuatan hantamannya 
pada tubuh Ki Damar Sakti. Dia mengukur, hanta-
mannya hanya akan mengakibatkan pendekar tua itu 
akan mengalami luka dalam parah. Tidak membuatnya 
mati. Dan kemungkinan mati karena tenggelam pun 
terlalu kecil, mengingat kedalaman telaga tak lebih dari 
leher manusia.
Tampak jelas, perangai, watak dan pikiran dua 
pendekar golongan lurus itu telah dijungkir-balikkan 
oleh Manusia Makam Keramat. Benak mereka diputar 
menjadi licik, telengas, dan tak berbelas dan hanya 
bertujuan untuk mengabdi pada Manusia Makam Ke-
ramat. Kekuatan tenaga dalam mereka yang sebelum-
nya perlahan-lahan lenyap selama mereka belum ter-
pengaruh oleh permainan Manusia Makam Keramat, 
kini justru menjadi berlipat ganda. Boleh dibilang, mereka telah menjelma menjadi boneka tangguh Manusia 
Makam Keramat!
"Tentu 'majikan' kita akan senang jika kita te-
lah mendapatkan sepasang muda-mudi itu!" timpal 
Gendut Tangan Tunggal, disebutnya Manusia Makam 
Keramat dengan sebutan majikan. Makin memperjelas 
siapa mereka sesungguhnya kini.
"Tentu... tentu...," sahut Pendekar Muka Ben-
gis.
* * *
Ke mana Satria Gendeng dan Rara Lanjar per-
gi?
Kedua muda-mudi itu tampak di sekitar Gu-
nung Burangrang. Setelah mendapat peringatan dari 
kakek tua berpakaian putih, mereka memutuskan un-
tuk kembali ke gunung itu. Di samping karena tem-
patnya cukup jauh dari Perguruan Belalang Putih yang 
setiap saat bisa disantroni kembali oleh Manusia Ma-
kam Keramat, juga Gunung Burangrang cukup aman 
untuk bersembunyi. Di samping itu, mereka cukup 
dekat dengan Perguruan Kaki Baja yang dipimpin Ki 
Damar Sakti.
Sebelumnya, mereka sempat pula mengunjungi 
Ki Damar Sakti di perguruannya untuk menanyakan 
beberapa hal yang menyangkut kitab titipan Ki Arga 
Pasa. Sayangnya, Ki Damar Sakti tak tahu menahu 
soal itu. Termasuk tentang orang bertopeng Arjuna 
yang telah menjadi teka-teki bagi Satria dan Rara Lan-
jar.
Di kaki gunung tempat mereka bersembunyi 
kini, ada sebuah gubuk kecil yang terawat. Cocok se-
kali untuk tempat menyepi. Di gubuk itu keduanya


tinggal untuk sementara. Gubuk itu terawat apik.
Lengkap dengan perabotan sederhana. Sepertinya 
tempat itu dirawat oleh seseorang.
Hingga hari itu, sudah terlewat empat hari tiga 
malam tepatnya. Memang tidur satu atap, tapi dijamin 
tak satu ranjang. Berani Satria mencoba-coba, Rara 
Lanjar bisa berubah lebih galak dari macan betina sa-
kit gigi!
"Bagaimana kau tahu di tempat ini ada gubuk 
yang bisa ditinggali, Lanjar?" tanya Satria.
"Itu yang belum kuceritakan kepadamu," ucap 
Rara Lanjar.
"Cerita apa?"
"Setelah dibebaskan dari tangan Manusia Ma-
kam Keramat, aku dibawa oleh orang bertopeng Arjuna 
ke tempat ini...."
"Begitukah?"
"Kau tak percaya padaku?!"
"Bukan begitu."
Satria mendekati Rara Lanjar. Matanya mena-
tap dengan tatapan berpikir.
"Apa kau tak bertanya-tanya dalam hati?" su-
sulnya, setengah berbisik.
Rara Lanjar menunggu.
"Bukankah tempat ini dekat dengan Perguruan 
Kaki Baja?" kata Satria lagi.
"Lalu?"
"Masa' kau tak bisa menduga sesuatu?" lengak 
Satria dengan wajah hampir mendongak.
"Kau bertele-tele, Satria!"
"Bukan aku yang bertele-tele. Hanya otakmu 
yang mungkin...."
"Mungkin apa? Kau mau mengatakan aku agak 
tolol?"

Mata Rara Lanjar membeliak. Satria cengenge-
san.
"Maksudku, apa kau tak merasa curiga kalau 
orang bertopeng itu sebenarnya Ki Damar Sakti?" sam-
bung Satria kemudian.
"Untuk apa Ki Damar Sakti merebut kitab titi-
pan ayahku, setelah menyelamatkanku? Bukankah ka-
lau dia berniat menguasai kitab itu, aku dapat diang-
gap sebagai ancaman? Kenapa dia tak membiarkan 
aku dibantai oleh Manusia Makam Keramat?"
Satria garuk-garuk kepala.
"Iya juga, ya...," gumamnya buntu.
Karena kalah berdebat, dia melangkah sambil 
memain-mainkan anak rambut, persis seperti perawan 
kampung malu-malu kucing.
"Kau tahu, sebenarnya aku tak suka kalau kita 
harus bersembunyi seperti cecurut tak punya nyali se-
perti ini," gerutu Satria pada sahabat wanitanya yang 
sebenarnya belum cukup lama dikenal. Namun karena 
Rara Lanjar tergolong perempuan penuh keyakinan di-
ri, riang, lincah bersahabat, dia bisa cepat akrab den-
gan siapa saja. Termasuk Satria.
Satria Gendeng berdiri pada sebuah batu besar. 
Matanya melayap ke kejauhan. Di bawah sana, mem-
bentang pemandangan hijau yang tuntas. Sejuk. Da-
mai. Alam punya kemewahan.
"Kau kira aku suka?" sergah Rara Lanjar, se-
raya melempar ranting kering. Dia duduk di atas se-
rumpun rumput dengan berongkang kaki. Salah satu 
sifat perempuan satu ini memang agak kelelaki-
lelakian. Namun tetap bisa dipercaya bahwa dia adalah 
wanita tulen.
"Maksudku, apa tidak ada yang bisa kita laku-
kan?"

"Melakukan apa?"
Dari membelakangi Rara Lanjar, Satria Gen-
deng berbalik.
"Mencari tahu apa maunya Manusia Makam 
Keramat terhadapmu sebenarnya, misalnya!"
"Bagaimana caranya? Mendatangi sarangnya? 
Apa kau yakin dapat mengungguli kesaktiannya tanpa 
senjata yang bisa menewaskan lelaki terkutuk itu?" 
Satria menggedikkan bahu. 
"Iya juga, ya...," keluhnya. Kalah lagi Satria 
berdebat. Rasanya menyebalkan juga buatnya. Apalagi 
ini menyangkut perempuan.
Satria jadi serba salah lagi. Ke sini salah. Ke 
sana juga salah. Berdiri salah, duduk salah. Mondar-
mandir dia, sampai langkahnya dihentikan oleh suara 
mencurigakan yang datang dari semak-semak.
Krak!
Suara ranting kering patah terinjak.
Rara Lanjar menoleh ke arah Satria. Pandan-
gannya seolah bertanya apakah si pendekar muda ta-
nah Jawa mendengar suara mencurigakan itu juga.
Satria balas menatap. Telunjuknya diacungkan 
di depan bibir, meminta Rara Lanjar untuk tetap diam 
di tempat. Bahkan tidak untuk mengeluarkan suara.
Keduanya menanti. Mereka tak ingin bertindak 
tergesa. Takut-takut kalau suara tadi dihasilkan oleh 
binatang liar semata.
Tapi tidak juga.
Hanya selang dua tarikan napas....
Krassk!
Suara lebih keras terdengar. Menyusul tubuh 
seseorang menyeruak semak-semak.
Satria dan Rara Lanjar tercekat. Mereka mema-
sang kuda-kuda. Serangan jelas tak datang. Karena

orang yang menyeruak semak langsung jatuh terte-
lungkup.
"Ki Damar Sakti!" jerit Rara Lanjar, ketika me-
nyaksikan wajah orang itu.
Keduanya segera memburu. Satria Gendeng 
membalikkan badan pendekar tua itu. Di atas pa-
hanya, kepala Ki Damar Sakti disandarkan.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Orang Tua?" 
tanya Satria.
Ki Damar Sakti melenguh berat.
Wajahnya pucat.
Nafasnya tak teratur, terpenggal-penggal. Lalu 
pingsanlah dia.
Satria menatap tak mengerti kepada Rara Lan-
jar.
"Apa yang kau tunggu lagi, Pendekar Tolol!" 
sembur Rara Lanjar. "Cepat kau bawa dia ke gubuk! 
Kita harus segera menolongnya!!" tambahnya hampir 
memekik di depan telinga Satria Gendeng.
Satria sampai meringis-ringis. Salahnya juga 
masih sempat menatap Rara Lanjar. Cuma, ya jangan 
berteriak di depan telinga begitu kenapa? Gerutu Sa-
tria membatin sambil membopong tubuh Ki Damar 
Sakti ke gubuk.
Persis ketika tubuh mereka tertelan ke dalam 
gubuk, dua orang muncul. Tentu saja mereka adalah 
Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tangan Tunggal. 
Mereka telah tiba di tempat buruan!
Keduanya saling menatap sejenak dengan ber-
sit mata dua ekor serigala yang siap melahap mangsa. 
Bibir mereka menyeringai, mengisyaratkan sesuatu 
yang hanya dimengerti keduanya. Gendut Tangan 
Tunggal. Keduanya pun melangkah menuju gubuk. 
Yang jelas, mereka telah memiliki rencana untuk men

jebak sepasang muda-mudi di dalam gubuk agar ke-
duanya dapat dicengkeram oleh Manusia Makam Ke-
ramat!
Sandiwara apa yang hendak mereka mainkan?
"Hoooi, ada orang di sana??!" seru Gendut Tan-
gan Tunggal berpura-pura, setelah tak begitu melang-
kah mendekati gubuk. Kebengisan yang terpancar di 
wajahnya disembunyikan demikian rapi.
Pintu gubuk terkuak. Rara Lanjar muncul. Dia 
tak mengenali kedua orang yang datang. Karenanya 
matanya memancarkan kecurigaan berlebihan.
Satria pun muncul. Dia sempat terbelalak me-
nyaksikan kedua orang di luar. Sebentar kemudian, 
dia sudah keluar dengan teriakan keras.
"Rupanya kalian dua tua bangka tengik!!"
* * *
Sehari berlalu.
Ki Damar Sakti belum juga siuman. Satria su-
dah berusaha sebisanya menyalurkan hawa murni ke 
dalam tubuhnya. Hasilnya memang cukup menggembi-
rakan sejauh itu. Wajah Ki Damar Sakti sudah tak 
tampak pucat lagi. Tapi, luka dalam pendekar tua itu 
tak hanya cukup disembuhkan dengan menyalurkan 
hawa murni. Harus ada tabib yang mengobatinya, be-
gitu menurut Satria. Pukulan yang menghajar Ki Da-
mar Sakti tampaknya bukan sembarang pukulan.
Satria sudah salah menduga. Dengan menya-
lurkan hawa murni, sebenarnya sudah cukup untuk 
membuat Ki Damar Sakti siuman. Namun, Gendut 
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis yang ber-
pura-pura turut membantu menyalurkan hawa murni, 
diam-diam menyalurkan tenaga perusak ke dalam tu

buh Ki Damar Sakti. Bisa saja mereka membunuh 
langsung dengan cara itu. Namun, mereka tak mela-
kukan. Mereka tak ingin Satria curiga. Maka dipilihnya 
jalan kedua. Ki Damar Sakti akan dibunuh dengan ca-
ra perlahan-lahan.
"Tampaknya, di antara kita harus ada yang 
menjemput tabib di desa terdekat," usul Satria.
"Aku yang akan melakukannya!" tukas Rara 
Lanjar. Gadis itu rupanya terlalu khawatir pada kea-
daan sahabat mendiang ayahnya. Sampai dia lupa ka-
lau dirinya sedang diincar oleh seseorang di luar sana.
"Tidak," putus Satria. "Manusia Makam Kera-
mat saat ini sedang mengincar-incar mu. Akan sangat 
berbahaya jika kau meninggalkan tempat ini."
"Aku tak peduli!" kilah Rara Lanjar, bersikeras.
"Biar aku saja!" aju Pendekar Muka Bengis, 
menyela.
"Kalau kau; aku setuju!" tandas Satria Gen-
deng.
"Sebaiknya kau segera pergi, Bengis," ucap 
Gendut Tangan Tunggal. Di bola matanya, terbetik 
isyarat. 
Pendekar Muka Bengis mengangguk sekali. Dia 
melangkah keluar gubuk. Tak ada niat sedikit pun da-
lam benaknya untuk mencarikan Ki Damar Sakti seo-
rang tabib. Dia mengajukan diri hanya agar mendapat 
alasan untuk melapor pada Manusia Makam Keramat!
Kelicikan tersembunyi yang begitu mudah lahir 
semenjak mereka berada dalam pengaruh Manusia 
Makam Keramat.
Sepeninggalan Pendekar Muka Bengis, Satria 
keluar gubuk. Dia perlu sedikit hawa segar setelah le-
lah menguras tenaga saat menyalurkan hawa murni ke 
tubuh Ki Damar Sakti.

Rara Lanjar diam di tempat. Duduk di bangku 
kayu di sebelah pembaringan Ki Damar Sakti. Kekha-
watirannya menyebabkan dia tak sampai hati untuk 
meninggalkan Ki Damar Sakti begitu saja. Padahal, tak 
ada lagi yang bisa dilakukan.
Di luar, Satria Gendeng mengayun langkah per-
lahan meninggalkan gubuk agak jauh. Dia ingin lebih 
menikmati hawa kaki Pegunungan Burangrang yang 
bersahabat. Apalagi kebetulan saat itu sedang pagi ha-
ri.
Ada kabut lembut di pucuk Burangrang.
Ada hawa sejuk.
Ada kicau burung.
Ada sehimpun kedamaian.
Andai saja perangai manusia sedamai suasana 
pagi seperti itu. Mungkin tak perlu lagi ada pertumpa-
han darah. Mungkin tak diperlukan lagi bala tentara, 
mungkin tak diperlukan lagi senjata. Mungkin....
Satria mendesah. Berkali-kali dia memadatkan 
paru-paru dengan hawa sejuk. Saat pandangannya 
melata, matanya tertumbuk pada sebatang pohon be-
sar. Alangkah tenangnya bila berleha-leha sejenak di 
bawah pohon besar rindang, pikir Satria. Didekatinya 
pohon berukuran tiga kali pelukan manusia itu.
Di bawahnya, pada akar pohon yang menjorok 
naik, dia merebahkan diri. Matanya menerawang ke 
atas. Daun pohon teramat rimbun. Cahaya matahari 
pagi tak sanggup menembusnya.
Tiba-tiba, matanya tertumbuk pada satu dahan 
pohon besar di atas. Ada yang agak ganjil dari batang 
pohon itu. Seperti ada lobang yang sengaja ditutupi 
oleh oyot-oyot pepohonan. Satria jadi tertarik.
Pendekar muda itu bangkit. Hanya dengan se-
kali lompatan ringan, dia tiba di dahan pohon yang di

curigai. Apakah ini hanya lobang pohon biasa? Hatinya 
bertanya-tanya, ketika telah lebih dekat mengamati. 
Atau ini semacam lobang tempat hewan melata bersa-
rang?
Tapi kalau melihat keadaannya, Satria yakin 
ada orang yang dengan sengaja membuatnya. Bisa ter-
lihat dari bentuknya yang tak alami. Lagi pula, kera-
tannya seperti hasil keratan senjata tajam. 
Karena penasaran, Satria memasukkan tangan 
ke dalam lobang. Cukup dalam. Sampai sikunya ma-
suk. Sesuatu tersentuh tangannya. Apa ini? Tanyanya 
bergumam. Seperti batang logam....
Hati-hati, Satria mengeluarkan benda yang di-
dapatnya. Begitu benda itu keluar dari mulut lobang, 
Satria dipaksa terperanjat. Bagaimana tidak terperan-
jat kalau yang ditemukannya ternyata senjatanya sen-
diri yang beberapa waktu lalu menghilang tak tentu 
rimba?
"Kail Naga Samudera?" bisik Satria. "Bagaimana 
bisa sampai tersembunyi di tempat ini??"
Ragu-ragu Satria mengamati lagi. Dia mungkin 
masih belum percaya. Ada kemungkinan benda itu 
palsu. Atau sebuah tombak pendek yang kebetulan 
berbentuk serupa dengan Kail Naga Samudera. Ketika 
batang logam ditarik, bentuknya pun memanjang, ter-
bagi atas beberapa ruas. Di ruang paling ujung, terda-
pat tali dari ekor pari berwarna pelangi.
Tak salah lagi, itu memang Kail Naga Samude-
ra!
Di hati si pemuda bergerombol berbagai pera-
saan yang campur aduk. Senang, terkejut, bingung, 
juga penasaran. Benar-benar sulit dimengerti bagai-
mana senjata pusakanya bisa sampai di sana. Benar-
benar sulit dimengerti.

Setiap teka-teki, selalu ada jawaban, pikir Sa-
tria. Sekarang pun, dia bisa memulai usaha untuk 
mencari jawaban. Ditatapnya lagi lobang pada dahan 
pohon besar.
"Apalagi yang kau sembunyikan selain Kail Na-
ga Samudera-ku?" gumamnya.
Kedua kali, tangannya merogoh dalam-dalam. 
Dua kali pula, tangannya menyentuh sesuatu. Seka-
rang dia merasakan sesuatu yang agak lebar. Bahan-
nya seperti dari kayu.
Satria mengeluarkannya.
"Topeng Arjuna...?" bisiknya dengan nada ber-
tanya.
Setelah kail Naga Samudera, topeng kayu Arju-
na, lalu apa lagi? Makin penasaran saja Satria Gen-
deng.
Sekali lagi tangannya merogoh lobang. Ada satu 
benda tersisa. Benda terakhir itu pun dikeluarkannya. 
Dan, yang disaksikannya kini tak kalah mengejutkan. 
Dia menemukan sebuah kitab berkulit kayu.
"Aku yakin, ini adalah kitab yang dititipkan Ki 
Arga Pasa pada murid kepercayaannya...," duga Satria, 
kendati dia belum pernah menyaksikan sendiri kitab 
itu.
Pertanyaan sekarang, siapa orang yang telah 
mengumpulkan semua benda itu di dalam lobang? Ja-
wabannya, sudah pasti si orang bertopeng yang me-
nyembunyikan alat penyamarannya di dalam lobang. 
Bukankah orang bertopeng yang telah merebut kitab 
titipan Ki Arga Pasa dari tangan Palguna? Dan bukan 
tak mungkin, dia pula yang telah memindahkan tubuh 
Satria ketika pendekar muda itu dalam keadaan ping-
san (Baca serial Satria Gendeng dalam episode : "Mem-
buru Manusia Makam Keramat!"), lalu mengambil Kail

Naga Samudera.
"Siapa dia???" desis Satria.
* * *
Nah ini baru seru banget, dah!
Ayo, siapa si orang bertopeng?
Serunya juga, dua tokoh sakti telah menjadi 
'boneka mainan' Manusia Makam Keramat! Bisa di-
bayangkan? Kalau belum bisa membayangkan, se-
baiknya baca terus lanjutannya....
Sementara itu, (tahu sendiri!) Satria Gendeng 
tak akan menyadari kalau dua sahabat tengiknya telah 
menjelma menjadi budak-budak manusia durjana. Ba-
gaimana Satria Gendeng bisa menghadapinya nanti? 
Ini pasti muslihat yang dijanjikan Manusia Makam Ke-
ramat. Apa lagi rencananya setelah itu? Jangan luput 
dari ketegangan berikutnya....

                            SELESAI

Segera menyusullll Serial Satria Gendeng 
dalam episode:
RENCANA MANUSIA TERKUTUK


https://matjenuhkhairil.blogspot.com


 
Share:

0 comments:

Posting Komentar