Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
MATAHARI pagi kian merambat. Kini sudah
menempati titik tertingginya, butiran-butiran embun
sudah tidak lagi bergayut di dedaunan karena terhisap
oleh sinar hangat bola penerang jagat.
Siang yang cerah, tampak dari kejauhan dua
sosok manusia sedang menuruni lembah Pangrango.
Satu orang di antaranya seorang pemuda tampan ber-
garis rahang jantan. Dia duduk di atas punggung ku-
da. Dipacunya kuda dengan kecepatan tinggi seperti
kesetanan. Rambutnya yang panjang kemerahan me-
lambai-lambai diterpa angin, seolah-olah mengu-
capkan selamat tinggal pada pepohonan dan hewan
liar. Dia adalah Satria Gendeng, murid dua tokoh sakti
kenamaan persilatan. Sedang yang lain adalah seorang
lelaki berbadan bongsor dan berkumis, mengenakan
baju monyet. Namanya Joyolelono, anak sekaligus mu-
rid tunggal Ki Jerangkong alias Dewa Gila. Kendati
berpenampilan tak meyakinkan, dia bukan tokoh yang
bisa disembarangi begitu saja.
"Hia! Hia!"
Satria terus menggebah kuda tunggangannya.
Sementara Joyolelono berlari sambil berjingkrak-
jingkrak kegirangan, mengikuti derap langkah kuda.
Tingkahnya seperti bocah yang sedang menyambut
sang ayah yang baru pulang dari rantau.
"Hoi! Ho!" teriaknya 'gila-gilaan'.
Kuda terus dipacu oleh Satria. Sedangkan
Joyolelono pun terus berlari mengimbangi kecepatan
langkah kuda, bahkan sesekali dia dapat berlari men-
dahului kecepatan lari kuda tunggangan Satria Gen-
deng.
"Ayo, Kakang! Kejar aku!" seru si 'bocah' ber-
kumis yang sedang berlari sambil menggoyang-
goyangkan pantatnya.
"Slompret!" maki Satria. "Aku dianggap sedang
main kejar-kejaran! Hm, harus kuakui lelaki tengik ini
memiliki ilmu lari cepat sangat baik sekali...," gumam-
nya dalam hati.
"Ayo Kakang! Dipercepat sedikit lari kudamu!
Ayo kejar aku!" ejek Joyolelono, sepuluh tombak di de-
pan kuda Satria Gendeng.
"Baik bocah berkumis, kususul kau!" timpal Sa-
tria. Pada akhirnya dia meladeni juga ajakan konyol
Joyolelono. Memang bukan saatnya bermain-main, ta-
pi kalau tidak dilayani malah bisa membuat runyam
lelaki kebocahan di depan sana. Dia bisa 'ngadat' di
tengah jalan. Lebih baik menjinakkan seekor badak
liar ketimbang membujuknya jika sudah 'ngadat'!
Joyolelono, biarpun kekanak-kanakan dan be-
rotak tanggung, merupakan wakil dari Dewa Gila. Se-
suai julukannya, Dewa Gila memang benar-benar 'gila'!
Seenak perutnya sendiri dia memberi keputusan tanpa
dipikir-pikir lebih dahulu untuk mengutus Joyolelo-
no....
Keduanya terus kejar-kejaran, sampai pada ak-
hirnya tiba di suatu jalan yang di kiri-kanannya ter-
hampar sawah luas, seluas mata memandang. Bentan-
gan sawah itu sudah ditanami padi, sebentar lagi akan
muncul tangkai-tangkainya. Dalam keadaan memacu
kuda, Satria Gendeng melayangkan pandangan ke se-
kitar. Daun-daun padi yang hijau terhampar luas ba-
gaikan permadani raksasa yang sengaja dibentangkan
oleh Yang Maha Kuasa.
Satria memperlambat langkah kudanya, tak
peduli dengan Joyolelono yang terus berlari sambil ber
jingkrak-jingkrak.
"Hoii, Kakang! Kenapa lambat sekali?! Ayo, kita
main kejar-kejaran terus!" teriak Joyolelono dari ke-
jauhan.
"Cukup! Kudaku sudah lelah!" sahut Satria.
Mendengar jawaban tadi, Joyolelono kemudian
membanting pantat di tepi jalan berumput. Lalu dihen-
tak-hentakkannya kaki. Mulutnya mengembung sam-
bil menggaruk-garuk kepala.
"Aku benci, aku benci! Dia tidak mau main-
main dengan aku," rengek Joyolelono.
Satria yang melihat tingkahnya dari kejauhan,
segera menghampiri.
"Hal, Bocah Berkumis! Kenapa cemberut seperti
katak minta hujan?" tegur Satria dengan nada mele-
dek.
"Hu hu hu! Aku benci kau!" jawab bocah ber-
kumis sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan.
"Benci kenapa, slompret!"
Bocah berkumis makin bertambah keras tan-
gisnya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Sa-
tria.
"Hu hu hu! Aku bukan 'slompret'. Kau yang bi-
ang 'slompret'!" kilah Joyolelono.
Satria jadi bingung sendiri. Dia memijat-mijat
kening kepusingan. Sepertinya dia sedang berpikir ba-
gaimana caranya menghentikan tangis bocah berkumis
agar dapat melanjutkan perjalanan kembali.
Sial, jadi juga dia menjinakkan orang yang
adatnya lebih dari biangnya segala biang badak!
* * *
Ketika itu matahari menjerang garang penghuni
bumi di belahan mana pun. Tak terkecuali pantai pesi-
sir Tuban. Keangkuhan sang mentari seperti hendak
mendidihkan isi lautan. Ombak bergulung ke tepian
berpasir yang menjadi kehangatan.
Di atas pasir yang terhampar sepanjang pantai,
sepasang insan berjalan tergesa-gesa. Jejak mereka
memanjang ke belakang. Arah langkah keduanya me-
nuju sebuah gubuk. Gubuk tersebut dibangun tinggi-
tinggi, ditopang empat batang pohon kelapa yang
ujungnya ditebang. Sungguh unik. Siapa yang akan
berpikir kalau penghuni gubuk adalah orang waras?
Kalau tidak gendeng, siapa yang mau membangun ru-
mah setinggi itu? Sementara, tak terlihat ada satu
tangga pun menuju ke atas.
Mereka adalah Satria Gendeng dan Joyolelono.
Murid dua tokoh kenamaan tanah Jawa sudah tak
menunggangi kuda. Hewan itu sudah dilepasnya me-
masuki perbatasan Tuban setelah terlalu lelah dia
membawa tuannya menempuh jarak sebegitu jauh.
Kuda saja menurut Satria merasakan kelelahan. He-
rannya, si kumis bertampang tolol tetap segar-segar
saja. Wajahnya dari memulai perjalanan sampai saat
itu tetap saja cerah-ceria seperti orang yang menang
lotere. Tujuan ke Tuban tentunya untuk menyampai-
kan surat kepada Adipati Wisnu Bernawa kepada Ki
Dagul alias Pengemis Tuak.
Tiga puluh tombak dari gubuk di atas batang
pohon kelapa, kedua pemuda itu menghentikan lang-
kah. Mereka berdiri sejenak. Wajah keduanya dipaksa
meringis terkena terjangan sinar matahari manakala
mendongak ke arah gubuk. Tangan Satria Gendeng te-
rangkai di depan kening, mencoba menghalangi senga-
tan sinar matahari yang mengganggu pandangan. Le
laki bertampang tolol melakukan juga. Sekadar iseng
melatahi perbuatan pemuda di sebelahnya.
"Kata orang, di sini dia tinggal," gumam Satria,
tersamar bisikan angin pantai. "Apa sekarang ini dia
ada di dalam sana?" tambahnya.
Langkah dilanjutkan. Lebih dekat ke arah gu-
buk, si pemuda menghentikan langkah kembali. Di-
angkatnya kedua tangan ke depan mulut. Dia berteriak
keras.
"Ki Dagul! Apakah kau berada di dalam?"
Latah pula Joyolelono di sebelahnya hendak
ikut berteriak. Baru mengangkat tangan di depan mu-
lut, dia mengurungkan niat untuk berteriak. Tangan-
nya malah menggaruk-garuk kepala. Dia lupa apa
yang baru saja diteriakkan Satria tadi. Akhirnya dia
berteriak 'semau gua'.
"Di dalam Ki Dagul ada apa?!!"
Tak lama terdengar sahutan. Nada suaranya
terdengar agak malas, serak, dan sumbang, seperti
orang 'ngelindur', atau seperti orang yang baru me-
nenggak segentong tuak.
"Siapa...?"
"Aku utusan dari Adipati Lumajang!"
"Siapa...?" ulang orang di dalam gubuk.
"Satria!"
"Menurutku, kau mau mengibuliku. Aku tahu,
Adipati Lumajang bernama Wisnu Bernawa, bukan Sa-
tria...."
"Aku barusan mengatakan padamu bahwa na-
maku Satria!" seru si pemuda, mengetahui jawabannya
sudah keliru. Rupanya orang di dalam gubuk hendak
menanyakan nama Adipati Lumajang dengan perta-
nyaan kedua. Bukan menanyakan namanya.
"Ooooh, kau mau mengaku sebagai Adipati Lu
majang? Maaf saja, aku tak tertipu...."
Satria merengut. Sudah panas ditimpa terik
mentari, masih saja ada orang yang membuatnya tam-
bah panas. Kalau tak berotak soak, pasti orang itu se-
dang mabuk berat, pikirnya.
"Aku memang diutus oleh Adipati Wisnu Ber-
nawa. Namaku Satria!" serunya, meralat kesalahpa-
haman orang di dalam gubuk.
"Ooo, begitu.... Kenapa Wisnu Bernawa mengu-
tusmu?"
"Ada pesan yang harus disampaikan padamu!"
"Naiklah ke atas!"
Si pemuda mengangguk, tak jelas mengangguki
siapa. Dia melangkah lebih dekat. Terdiam sebentar,
memikirkan cara naik ke atas gubuk di atas dahan po-
hon kelapa tanpa tangga. Pekerjaan yang agak sulit.
Memanjat terlalu makan waktu. Apalagi dengan batang
yang polos tanpa lobang-lobang undakan. Tapi bagi si
pemuda yang lebih kesohor sebagai salah seorang pen-
dekar muda tanah Jawa kenamaan dengan julukan
Satria Gendeng, bukan perkara terlalu sulit untuk naik
ke atas sana tanpa harus memanjat.
Di kepalanya, terbayang kembali peristiwa be-
berapa tahun silam, ketika dia masih berada dalam
godokan salah seorang guru 'sinting-sintingannya',
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Suatu kali, gurunya
itu pernah menyuruhnya memetikan pohon kelapa
tanpa alat bantu apa-apa, dan tak pula diperbolehkan
untuk memanjat seperti seeker anak kera. Keadaannya
persis seperti sekarang dihadapi. Perpaduan antara
kecerdikan dan hasil godokan teramat keras mengaki-
batkan dirinya bisa melaksanakan perintah gurunya
yang tak lebih dari satu ujian (Baca kisah-kisah per-
dana: "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Naga Samudera"!)
Caranya kini diulangi kembali untuk naik ke
atas gubuk. Dia menjejak kaki, melompat dengan pen-
gerahan segenap peringan tubuh ke satu batang pohon
kelapa. Ketika tiba di dahan itu, kakinya kembali men-
jejak dan memantulkan tubuhnya lebih tinggi ke da-
han lain di sebelahnya. Dari dahan itu, tubuhnya me-
mantul kembali ke dahan sebelumnya. Begitu seterus-
nya, sampai dia tiba di depan pintu gubuk yang ber-
lantai kayu.
Di bawah, lelaki bertampang tolol pelanga-
pelongo sendiri. Mau turut ke atas, agak malas. Dia le-
bih suka menunggu di bawah. Lalu dilemparnya pan-
tat ke pasir. Dipandanginya seekor keong laut yang
merangkak-rangkak di dekatnya sambil cengar-cengir
sendiri.
Tep!
Begitu Satria menjejakkan kaki, bau tuak me-
nyengat hidungnya. Begitu menyengat, sampai-sampai
hidungnya mendengus-denguskan napas. Asalnya dari
pintu gubuk yang agak terkuak. Hebatnya, aroma tuak
itu saja sudah sanggup membuat kepala si pendekar
muda merasa pusing tujuh keliling. Jangan-jangan,
tuaknya malah bisa meracuni orang lain. Tuak sekeras
apa yang telah diminum penghuni gubuk ini? Ta-
nyanya membatin.
"Masuklah!"
Dari dalam gubuk, mencelat suara yang serak,
malas dan sumbang tadi.
Satria Gendeng melangkah setindak. Didorong-
nya pintu gubuk. Sinar matahari menerobos masuk ke
dalam ruangan yang gelap dan pengap itu. Jerami ker-
ing di mana-mana. Kotor sekali. Pantasnya disebut
kandang kerbau, nilai Satria. Baru saja terkuak, dari
arah dalam mendadak saja terdengar suara semburan.
"Fruaah!!!"
Sekilas, mata Satria Gendeng menangkap per-
cikan air menerjang ke arahnya. Untung saja kesia-
gaan murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Ta-
bib Sakti Pulau Dedemit itu tetap terjaga. Sigap, dia
melompat dengan tubuh membungkal. Berputar sekali,
lalu hinggap kembali di tempat semula. Semburan tadi
lewat begitu saja, hanya setengah jengkal dari pung-
gungnya. Meski begitu, punggungnya sendiri merasa-
kan panas seperti disengat bara. Masih belum jelas ba-
gi si pendekar muda, rasa panas itu berasal dari ke-
rasnya tuak yang disemburkan, atau dari tenaga da-
lam pemiliknya. Namun, dari situ sudah cukup ba-
ginya untuk menilai betapa tinggi kesaktian orang di
dalam gubuk.
"Maaf Cah. Sudah jadi kebiasaanku kalau meli-
hat sinar matahari masuk ke dalam gubuk, aku lang-
sung berkumur dan membuang sisa kumurnya. Kebia-
saanku kalau baru bangun tidur tengah hari bolong,"
ceracau orang setengah mabuk di dalam gubuk. Seo-
rang tua, bersandar setengah telentang di dinding gu-
buk dari kayu. Rambutnya merah keemasan dan kaku
berantakan. Wajahnya merah matang akibat pengaruh
tuak. Matanya sayu, terkatup-katup. Ukuran tubuh-
nya lebih kecil dari kebanyakan orang. Mengenakan
pakaian yang amat kumal. Saking kumal, Satria Gen-
deng menyaksikan berapa ekor kepinding merangkak-
rangkak di sela-selanya. Satria Gendeng dibuat me-
rinding.
Orang inilah yang bernama Ki Dagul. Di dunia
persilatan lebih dikenal dengan julukan Pengemis
Tuak.
"Kenapa masih berdiri di sana? Mana surat
yang kau bawa untukku? Hik..," seru si orang tua dis
usul seguknya.
Satria melangkah hati-hati. Cuma berjaga-jaga
jangan sampai mulut Ki Dagul yang usil menyembur-
nya lagi.
"Cepat Cah! Kenapa kau seperti orang pesaki-
tan begitu?!" bentak Ki Dagul dengan mata mendelik.
Satria Gendeng menyerahkan selembar gulun-
gan kulit yang diambil dari kain ikat pinggangnya pada
Ki Dagul. Ki Dagul menerima, lalu dibentangkan persis
di depan hidungnya. Beberapa saat dia sibuk bergu-
mam sendiri. Gumamannya susah dibedakan dengan
suara orang menguap.
Srk!
Tiba-tiba saja dia menutup lembaran kulit tadi.
Wajahnya terlihat kembali dengan paras yang berubah
tegang. Buktinya matanya mendelik besar.
"Tujuh Dewa Kematian," Geramnya.
"Kau mengenal mereka, Orang Tua?"
"Bukan kenal lagi, aku memang berseteru den-
gan mereka dari dulu, hik.... Mereka musuh bebuyu-
tanku!" sentak Pengemis Tuak dengan mata terus
mendelik-delik pada Satria.
Ngamuk pada Tujuh Dewa Kematian, kenapa
melototnya padaku, gerutu Satria Gendeng dalam hati.
"Kau tahu, mereka sudah berkali-kali beruru-
san denganku sejak masih berguru bersama di Tuban.
Ya, mereka memang pernah jadi saudara sepergurua-
nku. Kau tak percaya? Terserah kau saja. Yang jelas,
mereka itu telah berkhianat pada Eyang Guru. Aku
yang akhirnya jadi repot menjalankan titah Eyang
Guru untuk menghukum mereka. Bayangkan, selama
puluhan tahun aku harus bertemu dan bertarung, ber-
temu dan bertarung, dan selalu dipecundangi mereka.
Manusia-manusia sialan itu entah berguru dengan
siapa. Dedemit barangkali! Heg.... Sekarang ini, aku
tak mau kalah lagi. Aku sudah mempersiapkan ilmu-
ilmu baruku. Biar mereka tahu rasa sewaktu aku
menghukum mereka, hik.... iya, kan??"
Satria Gendeng jadi pusing sendiri mendengar-
kan cerita ngalor-ngidul Ki Dagul.
"Kalau begitu, kuharap kau secepatnya pergi ke
Lumajang. Adipati Wisnu Bernawa mengharapkan se-
kali kedatanganmu," ucapnya buru-buru, daripada
mulut orang tua berambut kaku masai itu meneruskan
ceritanya yang sama sekali tak menarik itu.
"Sudah berbuat apa mereka pada Adipati?!!"
sentak Pengemis Tuak kembali seraya bangkit menda-
dak. Lagaknya hendak 'pamer' kemarahan. Namun,
karena masih dipengaruhi tuak yang diminumnya, ba-
dannya sempoyongan ke samping dan malah menam-
brak dinding kayo. Untung gubuk itu masih cukup
kuat, jika tidak tentu tubuhnya sudah jatuh bebas ke
bawah.
"Mereka meminta Pitaloka sebagai tumbal."
"Bangsat! Berani-beraninya mereka berbuat
itu!" Mendadak Ki Dagul terdiam dengan kening berke-
rut dan mata terkantuk-kantuk. Katanya, "Tapi, ngo-
mong-ngomong, siapa Pitaloka?"
"Putri tunggal Adipati."
"Bangsat lagi! Mereka benar-benar kepingin ku-
tebas habis, hik.... Bayangkan saja, mereka berani-
beraninya meminta putri Adipati - sahabatku - untuk
dijadikan tumbal?! Keterlaluan, kan? Heg.... iya, kan?"
Di belakang cerocosannya, Pengemis Tuak me-
nenggak tuak dalam kendi di tangan kanannya. Bebe-
rapa teguk ditelan. Sisanya dikumpulkan dalam mulut.
"Fruaii!"
Geram, disemburkannya tuak dalam mulutnya
ke segenap arah. Satria sampai-sampai harus merun-
duk sambil memegangi kepalanya.
Wsssss! Bes bes bes!
Ketika Satria Gendeng mengedarkan pandan-
gan, sudah terlihat puluhan lobang mengelilingi sekitar
dinding. Sinar matahari meranggas masuk melalui se-
tiap lobang, membentuk cahaya memanjang yang sal-
ing menyilang tak karuan. Satria Gendeng meringis-
ringis sendiri. Coba kalau tadi dia tak sempat merun-
duk. Mungkin jidatnya senasib dengan dinding itu!
"Kau tahu Cah? Akan kubuat Tujuh Dewa Ke-
matian seperti dinding itu jika mereka berani merebut
putri Adipati, hik...," ancam Pengemis Tuak dengan
muka makin merah, terbakar kemarahan sekaligus
terbakar kerasnya tuak. Setelah itu, sekali lagi Ki Da-
gul terdiam mendadak. Keningnya berkerut lagi. Ma-
tanya tak mau berhenti terkatup-katup sayu.
"Lho, jadi Adipati sudah punya putri?" peran-
gahnya dengan mata membelalak. Terlambat mikir lagi
dia.
Satria Gendeng geleng-geleng kepala. Ini su-
sahnya kalau berbicara dengan tukang mabuk! Heran
juga dia. Bagaimana Adipati Wisnu Bernawa bisa
punya sahabat seperti Ki Dagul, seperti diakui Ki Da-
gul sendiri barusan?
"Jadi, kapan kau akan berangkat?" tanya Sa-
tria, meminta ketegasan.
"Begini saja," putus Ki Dagul seraya menenggak
kembali kendi tuak di tangannya. Sekali tenggak, en-
tah berapa teguk. Cara minumnya seperti seekor onta
gurun.
Satria Gendeng menunggu ucapan selanjutnya.
Tapi....
Bruk!
Pengemis Tuak malah ambruk di tempat!
***
DUA
Di SEBUAH desa kecil yang menjadi pusat ke-
giatan warga masyarakat, seseorang berjalan di jalan
tanah kering yang mengkerangkai desa. Beberapa ru-
mah berdiri di sisi jalan dalam jarak yang cukup ber-
jauhan. Sebagian bangunan berupa kelontong dan sa-
tu dua di antaranya adalah kedai makanan. Orang itu
mengenakan topi pandan berbentuk seperti bakul nasi.
Mengenakan pakaian silat warna hitam dengan bunta-
lan kain kusam di belakang bahunya.
Tenang berjalan menyusuri terus jalan tanah,
tibalah orang itu di depan sebuah kedai. Dia berbelok
arah, menuju kedai sederhana yang sebenarnya lebih
tepat dikatakan sebagai warung makan rakyat.
Di depan meja besar yang menyediakan maka-
nan kecil hingga lauk-pauk, terdapat bangku kayu
panjang. Ditempatinya satu sisi bangku tersebut den-
gan gerak-gerik yang demikian lemah perlahan seakan
seorang pesakitan. Orang yang melihatnya mungkin
menganggap orang itu belum makan selama dua ha-
rian.
Seorang wanita setengah baya pemilik kedai
berdiri di belakang meja besar. Dia menawarkan ta-
munya dengan keramahan wajar, tak dibuat-buat.
Tanpa berniat membuka tudungnya yang terli-
hat begitu bikin gerah, orang tadi mengajukan pesa-
nannya.
"Sediakan nasi dicampur arak, Nyi," katanya
dengan suara yang datar dan agak mendesis, nyaris
tak kentara. Bagus perempuan setengah baya pemilik
kedai tidak tuli. Kendati harus menyorongkan kepala,
dia menangkap pesanan tamunya. Alisnya agak ber-
taut mendengar pesanan tadi. Apa dia tak salah den-
gar, pikirnya. Masak nasi dicampur arak?
"Nasi campur arak?" ulang pemilik kedai, ingin
meyakinkan diri.
Tak banyak cakap, orang bertudung mengang-
guk.
Tak banyak cakap pula, pemilik kedai pun me-
nyiapkan pesanan tadi.
"Pucuk dicinta, ulam pun tiba!" seru seseorang
dari arah belakang. Suaranya keras, kasar, juga agak
angkuh, Tidak ada kesan bertatakrama sedikit pun.
Orang bertudung tak menggubris. Menoleh saja
tidak.
"Hei, Orang Bertudung! Tak perlu kau berpura-
pura dan bersembunyi di balik tudungmu lagi! Aku
sudah tahu bahwa kau adalah Arya Wadam!"
Pemilik kedai merengket ketakutan. Disaksikan
olehnya dua lelaki berperawakan seram. Sudah sama-
sama berjambang lebar, masih pula membawa senjata
mengerikan, rantai berbandul bola baja berduri. Di
tangan keduanya, bola berduri sebesar kepala bayi di-
ayun-ayunkan seakan hendak menggertak setiap nyali
yang melihatnya. Meski tidak kembar, penampilan ke-
duanya tak jauh berbeda. Mengenakan pakaian biru
tua. Wajah salah seorang di antaranya cacat oleh be-
kas luka sayatan memanjang dari kening kiri ke ra-
hang kanan. Luka itu telah membutakan sebelah ma-
tanya.
"Kau masih punya utang padaku, Arya Wadam!
Hari ini aku akan menagihnya!"
Tiga kali sudah bentakan orang berjambang le-
bat, berwajah cacat tak mendapat gubrisan dari orang
bertudung yang dipanggil Arya Wadam. Tentu saja hal
itu membuat darah orang berwajah cacat mendidih.
Murka dia. Bergemelutuk rahangnya.
"Keparat kau, Arya! Kau dengar aku?!" berge-
muruh hardikan lelaki berwajah cacat, melantak sua-
sana.
Pemilik warung makin ciut.
Puncak kegusaran orang berwajah cacat tiba.
Dikawal geraman berat, tangannya memutar-mutar
rantai bola baja berduri. Menghasilkan suara dengung
keras.
Ngung... wrr!
Pada saatnya, senjata itu meluncur juga. Ran-
tainya terjulur cepat. Ujungnya menerkam ke arah ke-
pala orang bertudung. Orang yang hendak dijadikan
sasaran sendiri seperti tak pernah menyadari bahaya
besar mendatanginya. Dia masih duduk tanpa berge-
rak. Bahkan dadanya seperti tak pernah mengembang
untuk menarik napas.
Perempuan setengah baya pemilik kedai menje-
rit keras-keras. Masih untung kalau dia tidak semaput.
Tidak untungnya, dia terpaksa terkencing-kencing di
tempat.
Begitu bandul berduri tinggal sejenggal lagi me-
remukkan batok kepalanya. Orang bertudung menda-
dak membalikkan badan. Tangannya bergerak cepat ke
atas.
Tep!
Mengagumkan. Ditangkapnya ujung rantai itu
seperti gerakan menepuk nyamuk. Dan berhasil! Ban-
dul berduri terhenti seketika hanya dua jari dari wa-
jahnya.
"Apa kabar. Paman Remeng? Paman Poleng?"
sapa orang bertudung, datar dan dingin.
Pemilik rantai baja mendengus. Kemarahannya
tentu saja tak mudah lunas hanya dengan teguran
yang terdengar tak cukup ramah itu.
"Kadal kau, Arya!" hardiknya sambil menyentak
rantai baja dengan kasar.
Arya Wadam melepaskan ujung rantai baja dari
himpitan tangannya. Dia membiarkan saja lelaki ber-
wajah cacat mendapatkan kembali senjatanya secara
utuh. Tak perlu ada adu tenaga dalam.
"Jangan sekali-kali kau tak menyahut jika kau
kupanggil, Tolol!" maki orang berwajah cacat kembali,
masih tersisa kegusarannya. Lalu dia melangkah men-
dekati orang bertudung yang dipanggilnya Arya Wa-
dam. Sementara lelaki berjambang kedua tak beranjak
dari tempat semula.
Arya Wadam inilah orang ketiga yang hendak
ditemui Satria Gendeng untuk menyampaikan amanat
dari Adipati Wisnu Bernawa. Beberapa waktu lalu,
pendekar muda itu tanpa sengaja bertemu dengannya
di sebuah kedai. Namun karena belum pernah men-
genal ciri-ciri Arya Wadam, Satria Gendeng luput me-
nyampaikan amanat itu (Untuk lebih jelasnya, bacalah
episode awal: "Penghuni Kuil Neraka"!).
"Maaf, Paman. Kupikir bukan kau...," kata Arya
Wadam.
Tiba di dekat Arya Wadam, lelaki berwajah ca-
cat bernama Remeng mencoba menyambar tudungnya.
Tangan Arya Wadam bergerak tak kalah cepat.
Tep!
Ditangkapnya pergelangan tangan Remeng.
Seketika Remeng tergelak-gelak di tempat.
"Kadal kau Arya Wadam! Rupanya semakin hari
gerakanmu makin sempurna saja! Ha ha ha!"
Remeng menoleh pada lelaki berjambang lebar
yang sejak tadi hanya berdiri di belakang sana.
"Hei, Poleng! Ke sini kau! Apa kau tak mau se-
dikit berbasa-basi dengan si kadal ini?!"
Lelaki yang dipanggil Poleng berjalan mendekat.
Tak seperti Remeng, lelaki ini lebih banyak diam. Bah-
kan paras wajahnya tak berubah sama sekali ketika
mendekati Arya Wadam. Entah wajahnya terbuat dari
batu atau apa.
"Bagaimana soal utangku?" tanya Remeng ke-
mudian, ketika Poleng tetap saja dingin, tanpa berniat
berbasa-basi dengan Arya Wadam.
"Masih sulit, Paman. Aku belum juga menemu-
kan Keparat yang melarikan pedang itu. Sulit mela-
caknya"
"Maling busuk! Awas jika kau kudapatkan Raja
Pencuri Dari Selatan!"
"Tapi aku berjanji akan mendapatkan benda itu
kembali, Paman. Dengan begitu, aku dapat melunasi
utang janji pada Paman."
Remeng tergelak-gelak. Cekakakan keras-keras
tanpa ambil pusing pada perempuan tua pemilik wa-
rung yang makin merengket-rengket ketakutan men-
dengar suara tawanya.
"Eh, ya! Kudengar dari beberapa orang persila-
tan, ada seseorang sedang mencarimu!" sentak Re-
meng di akhir tawanya. "Kau sudah dengar berita itu?"
Arya Wadam menggeleng.
"Kau ini bagaimana? Melanglang ngalor-ngidul
tapi luput mendengar berita yang bersangkutan den-
gan dirimu sendiri!"
"Apa yang Paman tahu tentang berita itu?"
"Iya itu. Ada orang yang mencarimu! Seorang
pemuda. Belum jelas siapa dia. Tapi kalau mendengar
ucapan beberapa orang persilatan yang sempat meli-
hatnya, ciri-ciri orang itu mengingatkan aku pada seo-
rang pendekar muda tanah Jawa."
Arya Wadam menanti.
Remeng mendekatkan mulutnya ke sisi kepala
Arya Wadam. Dia berbisik. Seolah dia begitu khawatir
seseorang mendengar perkataan yang hendak di-
ucapkannya.
"Apa kau pernah berurusan dengan murid Pa-
nembahan Dongdongka dan Panembahan Kusumo?"
Meski tetap menjaga gerak-gerik tenangnya, tak
urung kepala Arya Wadam terhenyak.
"Satria Gendeng?" tanyanya, seperti berbisik
pula.
Remeng mengangguk sambil menegakkan kem-
bali badannya. Sebelah matanya terus menatap ke
arah tudung Arya Wadam.
"Untuk apa aku berurusan dengan seorang
pendekar golongan lurus seperti dia? Kecuali dia ber-
tingkah macam-macam dan kebetulan bertemu den-
ganku...," kata Arya Wadam. Nada suaranya datar
kembali.
"Paman tahu ciri-ciri pendekar itu?" lanjutnya.
Menyahuti pertanyaan Arya Wadam, Remeng
menuturkan ciri-ciri Satria Gendeng yang pernah di-
dengarnya dari selentingan kabar.
"Dia seorang pemuda. Tampan. Berusia dua pu-
luhan. Mengenakan rompi bulu putih. Rambutnya ke-
merahan. Ng... Oya, satu lagi yang menjadi ciri khas-
nya. Dia memiliki senjata pusaka berbentuk kail yang
bisa dipendekkan seperti tongkat. Aku lupa na-
manya...."
"Kail Naga Samudera. Aku pernah mendengar
nya, Paman."
Sejenak Arya Wadam terdiam. Dia membayang-
kan ciri-ciri orang yang baru saja dipaparkan Remeng.
Di benaknya, terbayang kembali seseorang yang per-
nah dijumpainya di suatu kedai beberapa waktu lalu.
"Rasanya aku pernah menjumpainya. Kalau
benar berita itu bahwa dia sedang mencariku, entah
kenapa waktu itu dia malah tak begitu mempedulikan
ku...," gumam Arya Wadam.
***
TIGA
WAKTU berlalu. Perlahan-lahan Sang Surya
menyembul dari ufuk timur. Sinar kuning keemasan-
nya menebar di seluruh wajah bumi, menerobos celah-
celah dedaunan, hingga membentuk sehimpun garis
lurus. Salah satu garis cahaya jatuh tepat di pelupuk
mata seorang pemuda yang sedang lelap tidur di sela
akar pohon raksasa.
Kehangatan membuatnya terjaga.
Matanya terbuka.
"Sudah siang!" cekatnya.
Pemuda yang tak lain Satria Gendeng itu terpe-
rangah sendiri sambil celingukan ke sana kemari,
mencari-cari sesuatu. Tak begitu lama, telinganya me-
nangkap dengkur halus dari atas kepalanya. Satria
mendongak.
Sesuatu yang dicarinya ditemukan. Sebenarnya
bukan sekadar 'sesuatu', melainkan seseorang yang
hari-hari terakhir menjadi rekan seperjalanannya,
Joyolelono. Mengetahui Joyolelono masih berada di dekatnya, Satria agak tenang. Dia menguap sebentar se-
raya menggeliat-geliatkan badan.
"Slompret benar si Arya Wadam," gumamnya.
"Ke mana lagi aku harus mencari dia."
Dalam benaknya, Satria mengkhawatirkan ba-
tas waktu purnama yang sudah demikian dekat. Pada
saat itu, Tujuh Dewa Kematian akan merampas Pitalo-
ka, putri sang Adipati. Sementara itu, tugasnya saja
masih belum lagi dituntaskan. Kalau sampai Arya Wa-
dam tak didapatkan hingga menjelang purnama, apa-
kah dia harus kembali ke Lumajang dan mengatakan
pada Adipati Wisnu Bernawa bahwa tugas yang diem-
bannya tak berhasil secara sempurna. Malu bukan
main Satria pada dirinya, kalau begitu. Ya, malu pada
nama besarnya, ya malu pada kedua gurunya.
"Sebaiknya, pencarian Arya Wadam secepatnya
ku lanjutkan," putus Satria. Dia melirik ke atas kem-
bali, ke arah di mana Joyolelono masih saja pulas den-
gan dengkur merdunya.
"Hei, Joyo, turun kau!" seru Satria. Si kumis
bertabiat kebocahan tak mendengar teriakan tadi. Bu-
kannya melihat Joyolelono terbangun, Satria malah
mendapatkan sesuatu yang lain. Tetesan berbau minta
tobat mengalir dari sudut bibir Joyolelono. Bisa dibi-
lang rejeki nomplok pagi-pagi buat Satria. Bayangkan
saja kalau lendir itu jatuh tepat ke arah wajahnya? Un-
tung Satria cepat menggeser tubuh ke samping. Paras-
nya tampak ngeri-ngeri. Lebih ngeri ketimbang tertiban
hantaman gada Minakjingga.
Tak urung Satria menutup hidung. Kepalanya
berkunang-kunang demi telanjur mencium lendir dari
mulut Joyolelono. Dalam hati, dia mengutuk.
"Hai, bangun kau!!" hardiknya kembali dengan
sedikit penyaluran tenaga dalam. Jika tidak begitu,
mana bisa Joyolelono terbangun. Tidurnya lebih hebat
dari pingsan. Orang pingsan saja tidak akan seperti
itu.
Bentakan bertenaga dalam Satria membawa
hasil. Bocah ajaib berkumis itu tersentak. Gelagapan
sebentar dia. Tubuhnya oleng, lalu meluncur jatuh.
Dengan sebelah mata masih terpejam, Joyole-
lono bangkit.
"Kau nanti menemui Adipati Lumajang sendiri.
Aku akan meneruskan pencarian Arya Wadam," kata
Satria, menjelaskan rencananya.
Joyolelono menguap lebar-lebar. Mulutnya
mengenyam-enyam.
"Hei, kau mengerti apa yang kukatakan?!" ben-
tak Satria, agak kesal.
Joyolelono mengangguk.
Bagus, ujar Satria dalam hati. "Sekarang, ayo
kita berangkat!" ajaknya seraya melangkah ke arah
kuda tertambat di dekat semak. Satria tak mendengar
suara langkah di belakangnya. Dia pun menoleh.
Minta ampun! Joyolelono sudah pulas lagi
sambil berdiri!
* * *
Seorang lelaki pelanga-pelongo di depan ger-
bang kadipaten Lumajang. Wajah lelaki itu kebodoh-
bodohan. Penampilannya membuat orang lain terkikik
geli. Bayangkan, dia memakai baju monyet! Pantasnya
yang mengenakan pakaian itu seorang bocah kecil,
bukan lelaki berkumis dan berjenggot jarang macam
dia!
Seorang prajurit kadipatenan yang melihatnya
segera menghampiri.
"Ada perlu apa?"
Si kumis berbaju monyet malah tengak-tengok
seperti menganggap pertanyaan prajurit kadipatenan
tadi tak lebih dari hembusan kentut.
"Maaf, Saudara punya kepentingan di sini?"
ulang si prajurit kadipatenan.
Si kumis mengangguk. Bibirnya tersenyum
tanggung. Antara mimik wajah orang telat buang hajat
dengan mimik orang ketiban rejeki nomplok.
"Ada perlu apa?" ulang si penjaga.
Jawaban si kumis malah anggukan lagi. Di-
tambah senyum tanggung yang tak beda jauh dengan
sebelumnya. Sekarang, tangannya mulai menggaruk-
garuk kepala pula. Dia cengengesan.
"Kalau tak ada keperluan apa-apa, sebaiknya
Saudara segera pergi dari sini!" peringat si penjaga
gerbang. Meski bertampang galak, cara bicaranya cu-
kup bertatakrama. Mungkin karena dia merasa sedang
berhadapan dengan seorang yang tak memerlukan si-
kap garang, melotot sambil memeluntir-meluntir ujung
kumis baplang.
Si kumis cengengesan lagi. Sebelah alis ma-
tanya terungkit-ungkit. Mulaslah perasaan penjaga
gerbang. Dari sabar, sampai tak sabar. Dari ramah,
sampai mulai kepingin marah-marah. Sewaktu menilik
kembali penampilan si kumis, kemarahan ditahannya.
Dia berusaha untuk tetap memaklumi.
Sambil memegang bahu si kumis, pengawal tadi
berbicara perlahan di dekat telinganya.
"Sebaiknya kau 'bermain' di tempat lain, ya?
Main yang jauh dari sini. Di sini bukan tempat ber-
main. Di sini tempat Kanjeng Adipati. Kalau kau main
di sini, nanti Kanjeng Adipati marah, lho!"
Apa pun yang dikatakan si prajurit, meski dia
mengatakan dunia kebelet kiamat, tetap saja jawaban
si kumis cuma cengengesan.
Prajurit tadi menarik napas. Mulai tak sabar la-
gi dia. Tangannya pun mulai memeluntir-meluntir
ujung kumis. Dia menggeram, niatnya mau sedikit
menakut-nakuti. Matanya melotot.
"Pergi!" bentaknya kemudian dengan kegalakan
seorang centeng terlambat gajian. Tangannya menud-
ing jauh-jauh.
Yang bikin pegal hati si prajurit, lelaki berku-
mis dengan serta-merta menirukan ulahnya. Matanya
bahkan mendelik lebih hebat. Sampai si prajurit sendi-
ri ngeri melihatnya.
Giliran si prajurit yang garuk-garuk kepala.
Mau diapakan lagi orang macam ini? Pikirnya dalam
hati, kehabisan akal. Apa perlu pakai kekerasan? Apa
nanti dibilang tak punya rasa perikemanusiaan? Ah
peduli setan!
Menganggap orang di depannya cuma seorang
'anak kecil' berumur tua, si prajurit pun menjalankan
cara-cara yang biasa dipakai untuk menangani anak
kecil. Dijewernya telinga bocah berkumis.
"E-eh, malah meledek...," gerutu si prajurit
kembali melihat bocah berkumis itu masih saja cen-
gengesan.
Jeweran pun dikeraskan lagi.
Cengengesan juga balasannya.
Lebih dikeraskan.
Masih tetap cengengesan.
Mata si prajurit mendelik. Jewerannya lebih di-
keraskan lagi. Bahkan sampai otot tangannya berton-
jolan dan wajahnya memerah. Lama-lama, hati si pra-
jurit jadi ciut sendiri. Orang macam apa ini? Masa' su-
dah dijewer sekuat tenaga masih bisa cengengesan be
gitu rupa?
Jeweran dilepaskan. Si prajurit mundur teratur
dengan mata tetap tak berkedip mengawasi si bocah
berkumis yang masih saja... cengengesan!
Sampai dengan tiba-tiba, si bocah berkumis
berteriak keras-keras.
"Suaaakiiiiitt!!!"
Si prajurit mencelat dari tempatnya. Jantung-
nya hampir mau rontok saat itu juga. Kepalanya ber-
denyut tujuh puluh tujuh keliling. Untung dia tak
sempat jatuh. Cuma sempoyongan karena terlalu ka-
get.
Dua prajurit lain datang mendengar teriakan
sambar geledek Joyolelono.
Bocah berkumis yang menyatroni pintu gerbang
ke kadipatenan Lumajang adalah Joyolelono. Satria
menyuruhnya untuk menghadap Adipati lebih dahulu
sementara dia menyelesaikan urusan dengan Arya
Wadam.
Satria mengantar wakil Dewa Gila itu sampai ke
batas Kadipaten. Selanjutnya dia meneruskan perjala-
nan. Dia berpikir, tentunya tak akan terlalu sulit bagi
Joyolelono menemukan kadipaten setelah diantar cu-
kup dekat ke tempat tujuan. Toh otaknya tak terlalu
anjlok daripada otak keledai.
Memang dia bisa tiba juga di sana. Itu pun se-
telah ada seorang penduduk desa yang mengantarnya.
Cuma masalahnya, bagaimana dia bisa menjelaskan
bahwa dia hendak menghadap Adipati Wisnu Bernawa
sebagai wakil Dewa Gila. Itu yang tak sempat terpikir
oleh si pendekar muda, Satria Gendeng.
Maka, jadilah dia membuat masalah di depan
gerbang.
"Ada apa ini?!" seru dua prajurit yang baru da
tang tergopoh-gopoh.
Prajurit yang belum lagi hilang terkejutnya,
menunjuk Joyolelono dengan wajah pucat pasi seperti
menantu serong kepergok mertua.
"Kenapa dengan orang itu?!" tanya satu prajurit
tak mengerti. Melihat Joyolelono mulai cengengesan
lagi, bagaimana dia tidak jadi bingung sendiri?
"Usir dia!" kata si prajurit 'jantungan'.
Dengan dahi berkerut, kedua prajurit menuruti
permintaan rekannya.
"Pergi kau!" bentak prajurit pertama. Sikapnya
benar-benar galak, garang dan seram. Rupanya, orang
satu ini tergolong petugas kamtib yang suka main
'sapu bersih'. Tak ada kompromi, atau sedikit timbang
rasa, biarpun berhadapan dengan orang yang keliha-
tan lemah.
Dari tadi terus disuruh pergi, pikir Joyolelono.
Memangnya apa salahku? Joyolelono menggeleng.
"Sup, kau beri sedikit dia pelajaran," bisik pra-
jurit pertama pada rekan disebelahnya.
Orang yang dipanggil Sup' (entah namanya Yu-
sup, Supardi, Supeno, atau Sup kaki...) mengangguk
sekali. Kalau temannya sudah dibuat pucat nyaris ma-
ti berdiri, memang mestinya orang ini diberi sedikit pe-
lajaran. Sikat saja, pikirnya.
Dengan gemas, tangan kanan orang itu me-
nyiapkan sedikit sontekan kecil ke jidat bocah berku-
mis. Sontekan kecil saja cukuplah. Kalau bisa bikin
benjol sebesar telur angsa, boleh juga.
"Hih!"
Bletak!
"Whuaaa-haaa!"
Mencelat raungan kesakitan. Keliru kalau me-
nyangka raungan itu berasal dari tenggorokan Joyole
lono. Memang ada jidat yang kena jitak. Tapi bukan ji-
dat Joyolelono. Justru jidat prajurit yang berniat men-
jitaknya. Rupanya Joyolelono sudah lebih dahulu
punya niat yang sama. Dia sudah mulai dongkol den-
gan mereka.
Lalu tanpa berniat pamit atau sekadar mengu-
cap 'kulonuwun', Joyolelono melompat ke atas gerbang
kadipatenan. Geraknya agak blingsatan, tapi tetap
mengagumkan. Ringan dia menjejak sekali di pucuk
benteng beton, lalu melompat masuk ke pekarangan.
***
EMPAT
ADIPATI Wisnu Bernawa tak bisa tinggal diam
ketika mendengar keributan dari pekarangan kadipa-
tenan. Apalagi didengarnya teriakan-teriakan para pra-
jurit pengawal.
"Ada apa ini?" tanya Wisnu Beranawa setibanya
di luar.
Dua orang prajurit tergopoh-gopoh menghadap.
"Ada orang asing memasuki kadipatenan, Kan-
jeng Adipati," lapor seorang dari mereka.
Tak perlu ditunjuk oleh seorang prajurit pun,
Wisnu Bernawa langsung dapat menduga siapa pene-
lusup yang dimaksudkan dalam laporan sang prajurit
barusan. Dilihatnya seorang lelaki muda berkumis.
Wajahnya cukup mengesankan. Khususnya
'mengesankan' seorang yang berotak sejempol. Cengi-
ran diumbar sepuas-puasnya ke segenap penjuru. Tak
perduli pada Adipati, punggawa, bibi emban yang ke-
betulan mengintip dari jendela kaputrenan, tukang ke
bun, atau pada beberapa ekor kuda di pekarangan de-
pan yang membalas cengirannya. Pokoknya pukul ra-
ta! Kalau cuma itu, Adipati tak terlalu memusingkan.
Tapi kalau dia menyaksikan pakaian si penelusup, ya
mau tidak mau dia mengernyitkan kening juga.
"Siapakah engkau, Adik Muda?" tanya Wisnu
Bernawa. Nada suaranya datar, namun lantang. Tak
terkesan adanya kemarahan, kendati sekadar kegusa-
ran.
Joyolelono mengangguk-anggukkan kepala. Di-
tanya apa, jawabannya apa. Melangkah dia ke arah
Wisnu Bernawa tanpa perasaan berdosa.
Beberapa punggawa mulai hendak bergerak
menyorongkan tombak.
Wisnu Bernawa mengangkat tangan kanan. Pa-
ra punggawa mengurungkan niat. Joyolelono cembe-
rut. Mendengus sekali dia dengan wajah bermusuhan.
Dua punggawa yang sebelumnya melapor harus
menyingkir ke samping ketika lelaki kekanak-kanakan
itu menyerobot tempat mereka di depan Wisnu Berna-
wa.
Joyolelono menundukkan badan. Cara menju-
ranya berbeda dengan kebiasaan kadipatenan. Dia me-
runduk dalam-dalam sampai jidatnya menyentuh
dengkul sendiri.
"Jelaskan maksud kedatanganmu ke sini. Adik
Muda," pinta Wisnu Bernawa.
Tapi Joyolelono tampaknya masih betah me-
runduk. Kepalanya belum juga diangkat. Setelah Wis-
nu Bernawa memerintah, barulah dia menegakkan ba-
dan kembali. Lalu, Adipati Lumajang itu mengulang
pertanyaannya.
"Aku.... Dewa Gila," jawab Joyolelono.
Wisnu Bernawa mau tak mau tersenyum men
dengar jawaban tamu brengseknya itu. Dia cukup
kenal Dewa Gila alias Ki Jerangkong. Setidaknya dia
tahu bagaimana rupa dan perawakannya. Kalau orang
di depannya kini mengaku Dewa Gila, apa Wisnu Ber-
nawa tak merasa sedang dikibuli oleh tukang tipu ke-
las teri?
"Sudahlah, kau tak perlu berbohong padaku...,"
ucap Wisnu Bernawa.
"Aku.... Dewa Gila," ulang Joyolelono, tak mau
mundur dari pengakuan pertama.
Wisnu Bernawa menggeleng-geleng kepala.
Joyolelono sengit sendiri.
"Aku.... Dewa Gila, muridnya!!!" cetusnya ham-
pir berteriak mengembungkan urat leher.
Sekarang baru jelas duduk perkaranya bagi
Wisnu Bernawa.
"Mana Ki Jerangkong?" tanya Wisnu Bernawa
lagi. Sebab yang diharapkan kedatangannya sebenar-
nya adalah Dewa Gila sendiri.
Joyolelono cuma mengacungkan jarinya ke ma-
na-mana dengan wajah tetap tertekuk.
"Jadi Ki Jerangkong mengutusmu?"
Joyolelono mengangguki pertanyaan Wisnu
Bernawa, tak peduli mengerti atau tidak.
"Ada halangan apa beliau sampai bisa tak da-
tang?"
Joyolelono menggeleng.
"Kau tidak tahu?"
Joyolelono mengangguk.
Kalau jawabannya cuma menggeleng dan men-
gangguk, sampai dunia menelorkan buto ijo pun, ma-
salah tak akan beres-beres.
Sang Adipati pun menarik napas. Sesabar-
sabarnya dia, lama-lama pegal juga hatinya mengha
dapi manusia satu ini. Tak habis pikir juga dia, kenapa
Ki Jerangkong harus mengutus muridnya untuk se-
buah urusan besar seperti ini. Kalau tak menghormati
Ki Jerangkong sebagai seorang sesepuh, Wisnu Berna-
wa tentu sudah merasa terhina. Syukurnya dia sadar
bahwa tak selamanya keputusan seseorang dapat dis-
alahkan begitu saja. Apalagi dalam hal ini Ki Jerang-
kong memiliki hak sendiri untuk menolak atau mene-
rima undangan seorang penguasa seperti Adipati Lu-
majang. Memaksakan kehendak bagi seorang pengua-
sa cuma akan membuat kepercayaan yang diberikan
kepadanya akan terkikis, timbang Wisnu Bernawa.
"Kalau begitu, ajaklah tamu kita ini beristirahat
dulu!" perintahnya kemudian pada salah seorang
punggawa.
Punggawa yang diperintah bengong sendiri.
Kanjeng Adipati apa sudah salah makan? Sergahnya
membatin.
Belum lagi perintah dilaksanakan, dari arah
gerbang sudah terdengar pula teriakan gaduh para
punggawa penjaga gerbang.
"Ada penelusup lagi!!!"
Geger lagi seluruh penghuni Kadipatenan Lu-
majang. Sekarang, siapa yang menelusup? Salah seo-
rang dari Tujuh Dewa Kematian? Atau orang tengik la-
gi seperti sebelumnya?
* * *
Malam sebelumnya, di mana uap dingin pem-
bawa embun menebar ke segenap penjuru, lalu mem-
basahi apa saja di atas permukaan bumi. Lolongan sri-
gala susul-menyusul memapas-mapas malam. Suasa-
na mencekam, membuat nyali siapa pun menjadi ter
pagut kengerian. Para penduduk yang berada di seki-
tar Gunung Arjuna tak ada yang berani keluar, walau-
pun sedang mulas menahan buang hajat. Mereka me-
milih diam di atas ranjang, menanti mentari menyem-
bul dari ufuk timur.
Tidak bagi tujuh manusia berkepala botak di
Puncak Arjuna sana. Mereka duduk bersila memben-
tuk sebuah lingkaran di atas sebongkah batu datar be-
sar. Mata mereka terpejam rapat. Tangan mereka me-
nyatu satu dengan yang lain.
Mereka adalah Tujuh Dewa Kematian yang se-
dang melakukan semadi. Mereka sedang menyempur-
nakan ilmu sesat yang belum kunjung sempurna. Te-
rutama disebabkan karena untuk mencapai taraf itu,
mereka harus mengorbankan seorang perempuan suci
yang memiliki ciri-ciri tertentu. Perempuan itu, dis-
amping perawan, juga harus seorang yang memiliki ti-
ga bintik tahi lalat di leher belakangnya. Terakhir, dia
harus lahir tepat ketika terjadi gerhana bulan.
Semua persyaratan itu mereka dapatkan pada
diri Pitaloka, anak Adipati Wisnu Bernawa yang menje-
lang purnama depan akan dituntut oleh mereka. Me-
mang sejak lama, mereka mengawasi gadis manis itu.
Mereka pun selama ini menggali-gali masa lalu Pitalo-
ka, termasuk hari lahirnya. Ketika yakin bahwa gadis
itu cocok untuk menjadi tumbal penyempurnaan ilmu
sesat mereka, mereka pun sewenang-wenang menun-
tutnya langsung dari orangtua Pitaloka, Wisnu Berna-
wa.
Wisnu Bernawa yang sejak semula memang su-
dah memaklumatkan Tujuh Dewa Kematian sebagai
musuh negeri dan rakyat yang harus diberantas, tentu
saja menjadi gusar. Sebelumnya, dia memerintah Tu-
juh Prajurit Kembar untuk menumpas mereka. Seti
daknya menggiring mereka ke pengadilan kadipatenan
untuk menjalani hukuman. Namun, utusan berjiwa
satria itu malah mengalami nasib mengenaskan, gugur
terbunuh di Puncak Arjuna dan hanya satu orang yang
kembali dengan selamat. Usaha kedua dijalankan Wis-
nu Bernawa dengan mengusahakan mengundang tiga
tokoh persilatan sakti. Satrialah yang kemudian me-
nyediakan diri untuk mengantarkan undangannya.
(Seluruh kisah itu dapat dibaca pada episode sebelum-
nya: "Penghuni Kuil Neraka"!).
Kembali kepada Tujuh Dewa Kematian. Kini,
mereka menyatu satu dengan yang lain perlahan-
lahan. Beberapa saat berikutnya, tangan mereka ber-
getar. Asap tipis berwarna hitam pekat keluar dari se-
la-sela jari. Getaran makin hebat. Pada puncaknya,
terkerahkan hawa panas yang meranggas.
Tubuh mereka bersimbah peluh. Batu datar
yang mereka duduki yang semula dibasahi embun,
mulai kering mengepulkan asap tipis. Seekor
Jangkring melompat ke batu itu. Naas baginya. Dalam
sekejap, si jangkrik terkapar hangus.
Sekonyong-konyong....
Glar!
Letusan memantul ke segenap penjuru. Tubuh
ke tujuh manusia sesat itu terseret mundur tanpa ber-
geming dari posisi semula. Darah hitam mengalir ke-
luar dari sudut bibir masing-masing.
Peralahan-lahan mereka bangkit.
"Keparat, ajian itu menghantam kita!" maki sa-
lah seorang.
"Itu karena kita belum melengkapi seluruh sya-
ratnya!"
"Artinya, jika kita tetap ngotot untuk memper-
gunakannya dalam satu pertarungan, maka kita harus
siap menelan akibatnya. Mungkin lebih buruk dari
akibat yang kini kita alami."
"Kecuali kita menyelesaikan upacara persem-
bahan di purnama mendatang!"
"Tersisa delapan hari lagi," sela yang lain.
"Sebaiknya, kita segera bersiap-siap. Aku tak
mau kita kehilangan perawan calon tumbal yang telah
kita incar sejak dia masih hijau!"
Ketujuh manusia sesat beranjak meninggalkan
tempat itu dengan luka akibat penolakan tenaga yang
mereka salurkan ke tubuh masing-masing.
***
LIMA
APA mau dikata, satu makhluk brengsek lain
telah telanjur menyatroni Kadipatenan Lumajang, biar
pun para punggawa serabutan dan kelimpungan ma-
cam sekumpulan kakek kebakaran jenggot. Orang itu
adalah lelaki tua bangka. Tahu-tahu sudah saja dia ti-
dur-tiduran di atas wuwungan kaputren. Sudah ber-
gaya santai, masih juga dia menenggak satu dua kali
tuak dalam guci sebesar pelukan tangan orang dewa-
sa. Kalau saja seorang prajurit tak melihatnya lebih
awal, tentu dia sudah benar-benar terpulas di atas sa-
na.
Kalau sebelumnya si pengacau berpenampilan
aneh. Orang ini berpenampilan agak berantakan. Pa-
kaian kumal, menebar seribu satu bebauan ke mana-
mana. Rambutnya merah keemasan dan kaku minta
ampun. Berwajah merah, bermata sayu,
"Hei, siapa yang berada di atas sana?" seru seorang punggawa kadipaten.
Keterlaluan, seruan itu diacuhkan. Jawaban
yang terdengar malah sendawa keras susul-menyusul,
nyaris bertubi-tubi. Setelah mendapat teriakan kaleng
rombeng untuk ketiga kalinya, barulah dia mulai ber-
suara.
"Mana si Wisnu Bernawa??? Hik...."
Kontan terlonjaklah seluruh punggawa. Ini
orang tak tahu adat sekali! Masak nama Kanjeng Adi-
pati disebut secara 'bugil' begitu? Mau disodokkan ga-
lah ke mulutnya apa?
"Kau jangan sembarangan bicara!" sembur
punggawa yang lain, kalap. Matanya mendelik. Ludah-
nya menyemprot-nyemprot. Sementara Adipati sendiri
justru masih adem-ayem saja. Cuma dia masih berdiri
cukup jauh untuk bisa melihat dengan jelas siapa si
pembuat onar baru.
"Sesukaku saja. Ini mulutku, jadi terserah apa
mauku bicara...."
Yang begini ini namanya sudah berani mengin-
jak-injak kepala! Seorang punggawa pun jadi tak sa-
bar. Tangannya bergerak. Tombak melayang. Sebagai
seorang yang terlatih mempergunakan tombak, lempa-
rannya tentu saja tak asal sampai. Kalau dia menga-
rahkan ke perut, perut sasaran yang akan termakan.
Kalau ke dada, ya kena dada. Kalau ke jidat, ya kena
jidat. Kalau melempar ke arah jidat kena jempol kaki,
itu punggawa mesti dipensiunkan secepatnya.
Wsss!
Mata tombak mengarah bengis ke rusuk kiri ca-
lon korban. Calon korban sendiri tak pernah mengang-
gap dia akan menjadi calon bangkai. Tenang-tenang
saja sikapnya, seakan ancaman mata tombak tak lebih
dari ujung peniti untuknya.
Dan ketika mata tombak nyaris sampai, dari
posisi tidur mendadak saja tubuhnya tegak mendadak
tanpa terlihat menggerakkan apa-apa. Sepertinya dia
telah memanfaatkan tiupan angin sepoi-sepoi belaka
untuk berdiri. Padahal, kalau seorang mandraguna
bermata jeli dapat langsung menilai bahwa orang itu
telah mempergunakan sentakan otot punggungnya
dengan menyalurkan tenaga dalam. Dengan begitu, te-
naga dalam orang itu tentu saja sudah amat sempur-
na. Unjuk gigi yang patut dapat acungan jempol.
Dengan terhuyung-huyung, seakan tenaganya
sudah terperas habis, dia melangkah di atas wuwun-
gan. Sebentar-sebentar dia merundukkan kepala,
mencoba mengintip dari lobang udara. Keputren tem-
patnya putri-putri kadipatenan, termasuk putri adipati
sendiri. Barangkali orang brengsek itu berharap dia
sempat mendapat rejeki nomplok dapat mengintip seo-
rang perempuan kadipaten. Bik emban putri adipati
bolehlah. Syukur-syukur putri adipati sendiri.
Makin galak saja para punggawa dibuatnya.
Mereka berbarengan mendelikkan mata. Beberapa
orang yang punya kepandaian lebih segera melompat
naik ke atas wuwungan. Mereka sampai lupa kalau
adipati belum menurunkan perintah apa-apa.
Tiga orang menyusul si pengacau. Kemampuan
peringan tubuh yang lumayan membuat mereka bisa
berlari cukup lincah di atas wuwungan tanpa mem-
buat kerusakan berarti. Tiba di dekat si pengacau, tiga
orang itu langsung menggebrak.
"Ciaaah!"
Sebatang golok membelah udara. Arahnya me-
nuju batok kepala si pemabuk.
Pengacau baru itu menoleh tenang. Matanya
tersayu-sayu. Ketika mata golok hendak tiba, badan
nya terhuyung ke samping. Sengaja tak sengaja, yang
jelas bacokan tadi tak sampai ke sasaran. Luput hanya
dua jari dari kepala si pengacau.
Dua punggawa yang lain menusukkan tombak
berbareng. Dari atas dan bawah. Satu ke tenggorokan,
yang lain ke 'isi' selangkangan. Termasuk serangan ke-
jam. Namun, dua punggawa sudah tak lagi peduli ru-
panya. Mereka sudah telanjur kalap. Kalau orang ka-
lap apa masih bisa pikir atau menimbang macam-
macam?
Si pengacau tak bisa hanya mengandalkan
huyungan tubuhnya untuk mementahkan serangan
ini. Dia butuh sedikit gerakan lain. Sedikit saja sudah
cukup. Seperti gerakan yang tak disengaja, dia mene-
guk isi guci.
Trang!
Tombak pertama yang mengarah ke tenggoro-
kan tentu saja terhadang guci besar dari logamnya.
Yang satu luput. Tinggal sisanya yang mengarah ke 'isi'
selangkangan, daerah paling berbahaya kalau sempat
'bocor'. Karena tak ingin ada kebocoran, badan si pen-
gacau pun bergerak lagi. Lagi-lagi, gerakannya seperti
tak disengaja. Dia seperti terhuyung ke depan. Karena
hendak menyeimbangkan tubuh agar tidak nyelonong,
kedua kakinya berjinjit. Pantat pun sedikit ditungging-
kan ke belakang.
Wsss!
Dan tusukan tombak yang tak menghormati wi-
layah-wilayah ‘hutan lindung’ justru yang nyelonong
melewati di bawah sasaran. Gerakkan berikutnya, pa-
ha si pengacau tahu-tahu sudah menghimpit badan
tombak.
"Ngek!"
Sedikit mengejan, tombak itu pun patah dua!
Si pengacau tersenyum penuh kemenangan,
memamerkan dua butir giginya yang kehitaman. Sebu-
tir di gusi atas, sebutir di gusi bawah. Irit benar dia.
Punggawa bersenjata golok masih penasaran.
Dibabatkannya senjata ke arah dada lawan. Serangan
pertama barangkali cuma sedang tak punya peruntun-
gan, sekadar apes. Siapa tahu serangan kedua dia bisa
membelah dada pengacau berlidah serampangan itu.
"Hih!"
Wukh!
Harapannya tak terkabul sama sekali. Hanya
dengan menyorongkan mulut, dijepitnya golok lawan.
Bukan dengan selangkangan lagi tentunya. Sekali ini
dia memakai dua butir gigi pusakanya.
Kling!
Begitu rahang si tua bangka itu mengejang,
terbelah dualah golok itu. Lihat caranya mematahkan
golok dari campuran logam pilihan itu, mengingatkan
pada kegaringan kerupuk kulit di mulut seorang bo-
cah.
Terpana punggawa pemilik golok. Sudah tahu
patah, masih juga ditatapnya golok itu. Dua punggawa
yang lain saling pandang. Mau serang lagi apa tidak?
Begitu sinar mata mereka kalau bisa diterjemahkan.
Keduanya ragu. Rasanya percuma juga kalau
tetap dihadapi. Mereka tak punya kesempatan me-
nang. Tapi biar bagaimana, pamor sebagai seorang
punggawa tak boleh luntur. Jadi harus ada jalan ke-
luarnya.
Dan entah kenapa bisa punya pikiran seragam,
keduanya berpura-pura menyerang kembali dengan
mimik muka seganas-ganasnya (Biar terlihat meyakin-
kan). Belum-belum lawan melakukan gerakan untuk
membalas, keduanya mendadak saja terguling di atas
wuwungan. Sebenarnya bukan terguling. Cuma mere-
ka saja yang menggulingkan diri.
Berbarengan mereka jatuh menimpa bumi.
Bruak buk!
Akal bulus mereka berjalan lancar.
Mereka pikir, tak apa-apa sakit sedikit, asal tak
cacat seumur hidup dikunyah gigi pusaka lawan. Di
samping peringan tubuh yang pas pasan, itulah salah
satu ajian andalan mereka. Ajian 'Selamat Diri, Sela-
mat Gengsi'! Mereka memang tak punya bakat jadi
punggawa.
Tinggal sisa punggawa. Masih saja dia memelo-
toti golok buntungnya sendiri. Kalau memang mau ma-
rah, mestinya pada si tua bangka tukang mabuk, bu-
kan pada goloknya. Begitu tersadar dia tinggal sendiri
di atas wuwungan, bibirnya pun cengengesan pada
sang lawan.
Tua bangka pengacau menggeram. Tangannya
terangkat sedikit. Belum juga tangannya bergerak me-
nuju sasaran, si punggawa mendadak berteriak seperti
orang terkena tusukan seribu satu anak panah.
"Wuaaa!"
Menggiris.
Menggidikkan.
Yang paling pasti, meyakinkan!
Lalu tubuhnya terlempar, bergulingan di wu-
wungan dan jatuh berdebam seperti dua punggawa se-
belumnya. 'Lagu lama' lagi. Sayangnya, tua bangka tu-
kang mabuk di atas sana sama sekali tak menyadari
siasat cari selamat ketiga punggawa. Tinggal dia yang
pelonga-pelongo sendiri di atas wuwungan sambil me-
natapi tangan sendiri. Tadi itu ajian milikku yang ma-
na? Kok, belum kuhajar mereka sudah berpentalan?
Hatinya tercengang-cengang.
Sedang asyiknya ‘mengagumi’ kehebatan di-
rinya yang datang seperti mukjizat, telinga tua bangka
pemabuk itu mendengar desir angin halus dari arah
belakang. Dia tahu mulai ada yang hendak bermain
api lagi padanya. Sekali ini bukan lagi orang yang ber-
kepandaian bertaraf punggawa, dengan sekali-dua ge-
brakan saja sudah keok. Sekarang tua bangka itu me-
nilai orang yang menyerangnya termasuk orang berke-
pandaian tinggi. Dari tinggi rendahnya nada desir an-
gin yang didengarnya, dia dapat menilai setidaknya se-
berapa tinggi tingkat peringan tubuh orang itu.
Dia cepat berbalik. Dengan tubuh yang tetap
sempoyongan seakan tak memiliki cukup kuda-kuda.
Benar saja. Selang satu kedipan mata, satu bo-
gem berseliwer di depan hidungnya. Tua bangka itu
mengegoskan badan. Gerakannya seperti penari jai-
pong wanita yang menolehkan kepala pada pasangan
di belakangnya.
Santer terdengar angin sambaran pukulan la-
wan. Tingkat tenaga dalam lawan pun dinilai-nilai tua
bangka pemabuk.
Tuak diteguk. Sepuluh teguk sekaligus dalam
waktu hanya tiga kedipan mats. Kerongkongannya se-
perti punya tiga saluran berbeda. Mulutnya mengem-
bung oleh sisa tuak yang tak ditelan. Mau disembur-
nya orang lancang yang berani main bokong barusan.
Belum-belum....
"Cukup Danusentana!"
Mencelat seruan berwibawa.
Tua bangka yang dipanggil Danusentana meno-
leh ke muka. Dengan mata nanap dia melirik, lalu ter-
kekeh panjang.
"Aku telah datang Wisnu.... Aku telah datang!
Apa persiapanmu sebegitu buruk untuk menyambut
seorang sahabat lama?!" koarnya serak-serak banjir
seraya membentangkan sebelah tangan lebar-lebar.
Orang yang melayangkan tinju sebagai salam perte-
muan rupanya Adipati Wisnu Bernawa sendiri.
Danusentana. Itu nama asli si tua bangka. Na-
ma yang tidak asli, dan itu justru lebih dikenal oleh
banyak kalangan adalah Ki Dagul alias Pengemis Tuak!
Ki Dagul dan Wisnu Bernawa pun melayang tu-
run. Hinggap tak cukup jauh dari tempat masing-
masing. Sebentar tua bangka berjuluk Pengemis Tuak
meneliti penampilan sahabat lamanya dengan tatapan
yang tetap sayu dan dagu terangkat-angkat.
"Kulihat kau makin gemuk saja, Wisnu. Atau
apa karena aku yang merasa makin kurus? Hei, kau
tak biasa menelan uang rakyat, bukan? Kalau benar,
terkutuklah kau! Semoga kau menjadi kerak neraka!"
Diikuti lagi oleh kekehnya, berderai-derai.
Wisnu Bernawa menggeleng-gelengkan kepala.
Bibirnya menawarkan senyum. Senyum yang kental
persahabatan. Tangannya terbuka lebar-lebar. Begitu
juga tangan Ki Dagul. Mereka saling mendekat, lalu
berangkulan erat-erat sambil tertawa penuh suka. Dua
sahabat yang mungkin saja terpisah oleh nasib. Persa-
habatan sejati menyatukan mereka kembali setiap saat
mereka inginkan.
Tak lama kemudian, mereka sudah berjalan be-
riringan sambil menembang sama-sama, kebiasaan
lama mereka ketika sama-sama muda.
Tinggal para punggawa cuma bisa melongo.
Kok, begitu saja akhirnya?
***
ENAM
SATRIA masih belum tahu jelas ke mana harus
mulai mencari Arya Wadam. Perangainya aneh. Sulit
Satria untuk mengerti. Karena itu, akan sulit pula ba-
ginya untuk menduga di mana kira-kira Arya Wadam
kini.
Tanpa kejelasan tujuan, tentu saja pekerjaan-
nya akan menjadi membosankan. Bukan itu saja, ma-
lah menjengkelkan. Apa iya dia harus terus berjalan,
berjalan, dan berkuda menelusuri daerah demi dae-
rah? Bukan cuma membuang waktu percuma, sekali-
gus juga membuang tenaganya.
Kalau dulu Ki Jerangkong alias Dewa Gila per-
nah mengatakan bahwa Arya Wadam punya kebiasaan
khas dalam hal makan. Dia makan nasi dicampur
arak. Itu satu petunjuk. Tak ada salahnya untuk di-
ikuti. Tapi ampun juga! Berarti dia harus menyinggahi
kedai makanan di setiap tempat yang dilewati?
Cara lain, Satria mungkin bisa cari tahu dari
beberapa orang yang berpapasan dengannya. Dia min-
ta sedikit keterangan. Siapa tahu mereka pernah ber-
temu dengan Arya Wadam di suatu tempat.
Sampai saat itu, belum ada satu orang pun
yang memberinya petunjuk. Kebanyakan mereka
menggelengkan kepala.
"Slompret...," rutuk Satria, jadi jengkel sendiri.
Saat itu dia menunggangi kuda ke arah Barat.
Baru saja dia meninggalkan sebuah desa tandus yang
tanahnya kapur melulu. Tenggorokannya sudah kering
kerontang. Kuda tunggangnya pun sudah perlu istira-
hat dan minum.
Kebetulan sekali dia melewati mata air kecil
yang mengalir jernih dari bukit kapur. Kuda pun di-
hentikan. Dia turun. Dituntunnya kuda ke mata air.
Sang tuan dari hewannya minum bersama.
Saat itulah matanya tertumbuk pada sesuatu
yang menarik perhatiannya. Ada helai-helai bulu ayam
terbawa aliran kecil mata air yang memanjang ke arah
bukit kapur di sebelah kanan sana. Ketika Satria me-
noleh ke arah bukit kapur, dilihatnya ada asap tipis
mengepul dari atas semak semak liar.
Satria cepat mengambil kesimpulan. Tentu ada
seorang yang sedang menyiangi ayam dan hendak di-
bakarnya. Orang itu perlu juga ditanyai tentang Arya
Wadam. Kalau dia pun tidak tahu menahu, siapa tahu
Satria bisa sedikit meminta potongan ayam panggang-
nya.
Cukup melepaskan dahaga, Satria menuntun
kudanya ke arah kepulan asap. Jarak sudah cukup
dekat, didengarnya teriakan menggeledek. Arahnya
persis dari sumber kepulan asap tadi.
"Hiaa haaa!"
Satria sampai terlonjak. Belum jelas baginya te-
riakan itu dikarenakan sebab apa. Karena pertarun-
gan, tak mungkin. Sejak tadi dia tak mendengar keri-
butan apa-apa.
Kudanya mengalami keterkejutan paling parah.
Hewan itu meringkik-ringkik ketakutan seraya men-
gangkat-angkat kaki depannya.
Liar.
Sulit dikendalikan.
Saat yang sama, sesosok tubuh mencelat dari
balik semak-semak tempat asap mengepul. Gerakan-
nya cepat, membentuk kelebatan bayangan. Kurang
dari sepuluh tombak dari tempat Satria Gendeng, so-
sok itu menjejakkan kaki.
"Siapa kau?!" bentaknya pada Satria dengan
wajah kelewat sangar. Ditunjuknya Satria dengan jari
telunjuk bergetar kuat, bukan karena takut. Wajahnya
saja tak menunjukkan kalau dia dilanda ketakutan
atas kedatangan Satria Gendeng.
Satria sendiri tertegun sejenak menyaksikan
rupa orang itu. Sebelah kakinya kutung hingga sebatas
dengkul, disambung oleh tulang rusuk harimau Jawa.
Wajahnya tirus dipenuhi rajah bergambar tetek-
bengek. Usianya terbilang cukup tua. Punggungnya
agak bungkuk. Bajunya besar berwarna ungu menye-
rupai jubah. Bahunya membopong buntalan kain se-
besar anak kerbau.
"Maaf, Orang Tua, aku tak bermaksud meng-
ganggumu," hatur Satria, mencoba meredam kemara-
han si orang tua berwajah penuh rajah.
"Siapa kau?! Aku tanya, siapa kau?!" hardik
orang itu lagi, tak peduli pada ucapan Satria Gendeng.
"Aku cuma seorang musafir...."
"Sekali lagi kutanya, siapa kau?! Kau tuli, bo-
doh atau bagaimana?! Maksudku, ya namamu!"
Satria mengangkat bahu. Apa sulitnya menye-
butkan nama, pikirnya. Cuma saja dia agak enggan
untuk menyebutkan nama pada orang-orang persila-
tan. Salah satu sifatnya yang ingin selalu menyembu-
nyikan jati diri sesungguhnya sebagai seorang pende-
kar muda tanah Jawa ternama. Cuma pula, kalau su-
dah ada yang ngotot sesengit itu untuk mengetahui
siapa namanya, mau bilang apa lagi?
"Satria," sebut Satria. Tanpa harus meneruskan
dengan julukannya.
"Hm, bagus! Satria, itu namamu bukan?"
Satria Gendeng mengangguk. Semula niatnya
hendak bertanya ini itu pada orang yang baru sekali
seumur hidup dilihatnya itu. Sekarang kenapa malah
dia yang ditanya macam-macam? Gobloknya pula, ke-
napa dia mau saja diperlakukan seperti maling ter-
tangkap basah....
"Kalau kau tak punya tujuan apa-apa di sini,
Satria, sebaiknya kau segera menyingkir saja! Me-
nyingkir, Satria, seperti angin, seperti kentut, atau se-
perti apalah!"
"Tapi, aku sebenarnya punya tujuan, Orang
Tua," sergah Satria.
"Apa peduliku," gerutu orang tadi seraya mem-
balikkan badan. Dia ngeloyor begitu saja, kembali ke
tempat semula. Satria terlolong menatap bokong bong-
koknya seperti orang tolol.
Orang itu menoleh.
"Kenapa masih belum menyingkir, Satria?!"
bentaknya lagi, masih terus menyebut-nyebut nama si
pendekar muda tanah Jawa, seolah seorang bapak ter-
hadap anaknya.
"Aku ingin bertanya tentang seorang yang
mungkin kau kenal, Orang Tua! Tentang Arya Wadam!"
Pantang mundur, Satria mencoba lagi.
"Kubilang, apa peduliku?! Bertanya saja pada
kudamu, atau dengkulmu sendiri!"
Namun begitu mengingat kalimat terakhir mu-
rid Tabib Sakti Pulau Dedemit dan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul itu, si orang tua berwajah penuh rajah
menghentikan langkah tiba-tiba. Badannya berbalik
tergesa.
"Kau tadi menyebut-nyebut nama Arya Wadam,
Satria?!" perangahnya.
Satria mengangguk. Senyum tipis disembunyi-
kan. Orang tua ini terpancing. Aku mulai menang satu
langkah, pikirnya.
Orang tua tadi melangkah kembali. Didekatinya
Satria, lebih dekat dari sebelumnya. Lebih dekat lagi,
sampai jarak antara mereka hanya satu langkah. Lalu
dia bertanya dengan paras menyelidik. Ada bersit ke-
curigaan terselip. Satria bisa melihatnya sekilas. Ar-
tinya, nama Arya Wadam tampaknya berarti khusus
untuk orang tua ini, pikir Satria lagi. "Aku sedang
mencarinya."
"Aku malah sedang dicarinya, tapi siapa peduli!
Masa bodo siapa mencari siapa! Yang aku ingin tahu,
kenapa kau mencarinya?"
Mulai sengit lagi dia pada Satria.
"Aku harus menyampaikan undangan pa-
danya."
"Ah, kukira apa...," gerutunya. Kembali dia
membalikkan badan. Kembali pula dia ngeloyor.
Satria jadi pegal hati. Urusannya belum lagi
beres. Dia belum sempat menanyakan kepentingannya.
Malah dia yang jadi sasaran pertanyaan terus.
"Tunggu, Orang Tua. Aku ingin bertanya apa
kau tahu di mana aku dapat menemukan Arya Wa-
dam?" lontar Satria, setengah berseru.
"Dasar anak tolol sejati. Berpikir sedikit, Satria.
Bukankah tadi sudah aku katakan bahwa Arya Wa-
dam justru sedang mencariku. Buat apa lagi aku men-
cari tahu di mana dia sekarang. Kalaupun aku tahu,
aku akan secepatnya menyingkir jauh-jauh sampai
aku bisa tak tahu lagi di mana dia...."
Makin tak karuan saja urusan, rutuk Satria da-
lam hati. Kalau diteruskan, bukannya dapat petunjuk,
bisa-bisa dia mendapat serangan darah tinggi. Bagus
kalau tak kejang-kejang di tempat.
Satria akhirnya menyerah. Tak dicobanya me-
nyusul orang tua bertabiat panas-panasan itu atau
mencoba bertanya lagi. Dia pun naik ke punggung ku-
da.
"Hei, Satria!" panggil orang tua tadi.
Satria menoleh.
Di kejauhan kepala si orang tua berwajah pe-
nuh rajah menyembul dari balik semak-semak tem-
patnya membuat api. Dia mengacungkan sepotong
ayam bakar.
"Tangkaplah!" serunya sambil melemparkan
panggangan ayam yang masih panas itu kepada Satria.
"Kudengar tadi perutmu 'melapor' padaku. Jadi, isilah
dulu! Tak baik kau kelaparan dalam perjalanan!"
Satria menyambutnya. Sebentar, ditatapnya
orang tua itu dari kejauhan. Tak disangka, di balik si-
fat panasnya ternyata ada rasa welas asih juga, pu-
jinya membatin.
"Terima kasih, Orang Tua!"
"Sekarang menyingkirlah!"
Satria pun meninggalkan tempat itu. Di pung-
gung kuda yang berjalan tak terlalu cepat, disikatnya
jatah ayam bakar pemberian si orang tua. Lahap. Mak-
lum perutnya memang belum tersentuh makanan se-
lama hampir dua hari. Sampai potongan ayam jantan
besar itu tandas hanya dalam waktu singkat.
Bersilap-silap, tulang terakhir pun dilempar-
kan. Satria bersendawa, salah satu 'tata krama' yang
diturunkan guru sintingnya; Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Tangannya yang penuh minyak disapukan ke
pakaian begitu saja. Itu pun 'tatakrama' buatan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul. Asli.
Kebetulan, tangannya tersentuh kain ikat ping-
gang. Wajahnya berubah seketika. Membatu. Matanya
tak berkedip. Rasanya ada yang tak beres, pikir Satria.
Bukan pada daging ayam bakar yang sudah tandas
menjadi penghuni perutnya, melainkan pada sesuatu
di ikat pinggangnya.
Satria buru-buru melirik ke ikat pinggang.
Busret! Ke mana senjata pusakaku?! Perangah-
nya. Kail Naga Samudera telah tak ada lagi! Ini benar-
benar busret! Setelah itu, barulah dia menyadari keto-
lolannya.
"Orang tua slompret! Dia telah mencuri senjata
pusakaku dengan cara demikian licin dan halus," ge-
ram Satria, merasa terpedaya mentah-mentah (Setelah
mendapat ayam panggang yang justru 'matang-
matang).
Jadi, sewaktu orang tua itu mendekat kepa-
danya, diam-diam dia mencopet Kail Naga Samudera
dari ikat pinggang Satria. Sebuah seni mencuri yang
demikian lihai. Mata Satria Gendeng sendiri yang se-
sungguhnya sudah terlatih hingga memiliki ketajaman
mata seekor elang, luput menyaksikan tangan orang
tua berwajah penuh rajah bergerak.
Setelah berhasil mengambil Kail Naga Samude-
ra dengan sengaja dia memberi Satria sepotong besar
ayam panggang. Sebuah siasat cerdik untuk menga-
lihkan perhatian Satria sementara. Sementara Satria
sibuk dengan kelahabannya menyikat ayam panggang
bakar di punggung kuda yang terus menjauh, maka
pencuri sial itu pun pergi dari tempatnya dengan
membodoh-bodohkan Satria.
Satria tahu, kembali ke tempat semula pun
akan sia-sia. Tentu pencuri senjata pusakanya telah
menghilang entah ke mana. Karena penasaran, dige-
bahnya juga kuda.
Tiba di sana, orang tua tadi memang sudah tak
ada lagi. Tinggal onggokan bara yang masih mengepul-
kan asap. Serta sehelai kulit hewan yang bertuliskan
pesan
Maaf, Satria Gendeng! Aku mencuri benda ke-
sayanganmu,
Raja Pencuri Dari Selatan.
Raja Pencuri Dari Selatan. Ya, tua bangka itu-
lah yang selama ini dicari-cari oleh Arya Wadam. Kare-
na itu pula, Satria mengalami kesulitan. Sekarang ke-
sulitan yang dibawa Raja Pencuri Dari Selatan menjadi
bertambah, kendati Satria sendiri belum mengeta-
huinya
Satria Gendeng gemas sekali. Jadi tua bangka
sialan itu telah tahu siapa aku sebenarnya? Dia cuma
pura-pura seolah nama Satria tidak berarti apa-apa
untuknya. Rupanya saat Satria menyebutkan nama, si
pencuri tua itu pun langsung dapat menduga siapa se-
sungguhnya Satria.
Menjadi lebih gemas lagi Satria begitu selesai
membaca surat di atas secarik kulit itu. Bagaimana bi-
sa seorang pencuri meminta maaf? Tengik sejati!
Ingin rasanya Satria memaki-maki kudanya
sendiri untuk melampiaskan kedongkolan....
* * *
Tengah hari berikutnya, Satria Gendeng tiba di
sebuah desa yang berbatasan dengan wilayah pesisir.
Dimasukinya desa itu. Sudah teramat jauh dia me-
ninggalkan Lumajang, tapi belum juga ditemukan
kembali Arya Wadam. Urusan yang satu belum beres,
sudah pula muncul urusan lain dengan dicurinya Kail
Naga Samudera oleh orang yang mengaku berjuluk Ra-
ja Pencuri Dari Selatan.
Seperti biasa, Satria memasuki kedai di desa
itu. Harapannya cuma satu. Kalau nasib bagus, dia bi-
sa bertemu secara kebetulan dengan Arya Wadam. Ka-
lau sekali ini berhasil ditemukan, dia tak akan mem-
biarkan begitu saja Arya Wadam minggat. Akan dita-
hannya orang itu. Kalau perlu memaksa, akan dipak-
sanya Arya Wadam untuk menerima surat dari Adipati
Lumajang. Atau kalau perlu sekali, akan disumpal-
kannya langsung gulungan surat itu ke bacotnya!
Ah, gara-gara si pencuri sial, Raja Pencuri Dari
Selatan, Satria Gendeng merasa dia jadi terus-terusan
dipermainkan kedongkolan.
Selesai menambatkan kudanya, Satria melang-
kah masuk ke dalam kedai kecil sederhana. Tak begitu
luas, namun nyaman. Hanya ada beberapa meja dan
bangku. Satria Gendeng menempati salah satunya.
Rupanya Tuhan sedang berbaik hati padanya
saat itu. Kata orang; 'pucuk dicinta ulam pun tiba'. Be-
lum lagi lama Satria memesan makanan, dari luar ma-
suk orang yang selama ini dicari-carinya, Arya Wadam!
"Hei, itukah kau!" ujar Satria, nyaris berseru.
Heboh bukan main hatinya. Rasa girang yang berbalut
kelegaan karena tak harus menjadi 'anjing pelacak'
yang terus mengendus-endusi jejak Arya Wadam.
"Kita berjumpa lagi, Pendekar," balas Arya Wa-
dam. Seperti biasa, ucapannya datar, dan terdengar
seperti berbisik.
Dilewatinya Satria Gendeng begitu saja, menuju
meja di sudut ruangan.
Satria berdiri. Kendati sudah demikian penat
mencari selama berhari-hari dan sempat pula diacuh-
kan waktu itu, dia berusaha untuk tetap bersikap ra-
mah. Toh, dalam hal ini yang butuh adalah dirinya.
Jadi cukup wajar jika dia bersikap ramah serta bersahabat, timbangnya.
"Kenapa tak bergabung saja?" tawar Satria den-
gan senyum mengembang.
Arya mengangkat tangan tanpa berniat meno-
leh. Satria Gendeng mengangkat bahu. Tampaknya,
keramahannya dan sikap persahabatannya pun tak
membawa hasil. Dia tak mau menyerah. Bukan sifat-
nya menyerah di tengah jalan.
"Kalau kau tak mau bergabung di mejaku, ya
aku saja yang akan bergabung di mejamu." gumam-
nya. Tanpa peduli apakah Arya Wadam setuju dengan
usulnya, anak muda itu mengekor di belakangnya.
Arya Wadam menghentikan langkah.
Satria juga.
"Aku tak ingin ditemani," tandasnya singkat.
Satria Gendeng mengangguk. Sekadar men-
gangguk apa ada yang melarang? Tak peduli apakah
nantinya dia akan menuruti kemauan orang di depan-
nya atau tidak.
Arya Wadam melanjutkan langkah. Satria tetap
saja mengekor di belakang. Salahnya Arya Wadam. Ka-
lau mau main-main keras kepala, ya jangan dengan
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu sama saja
cari kejengkelan dengan sengaja.
"Kenapa masih saja mengikutiku?" tanya orang
bertudung itu ketika dia telah menempati kursi pili-
hannya.
Satria duduk pula tanpa peduli. Dia sudah tak
mau lagi kehilangan Arya Wadam. Mencari-cari tanpa
juntrungan itu bikin pegal hati. Satria tak mau mem-
perpanjang pekerjaan menjengkelkan itu. Sekarang,
terserah Arya Wadam. Kehadirannya mau diterima
syukur, tidak diterima... ya terpaksa harus 'memaksa'.
"Terus terang saja, Nona, Tuan, 'Nona-Tuan'
atau apa sajalah, bahwa aku sudah tak mau lagi men-
gendusi-endusi jejakmu tanpa kepastian apakah pen-
carianku akan berhasil atau tidak. Karena dengan baik
hati sekali kau tahu-tahu sudah berada di depan hi-
dungku, jadi tak ada salahnya kalau aku pun tak me-
lepaskanmu."
Sudah panjang-lebar Satria nyerocos, Arya Wa-
dam malah tidak mengacuhkan. Siapa yang tak jengkel
diperlakukan seperti itu?
Satria menarik napas. Tak puas sekali. Mesti
beberapa tarikan, biar kejengkelannya tak tumbuh le-
bih besar.
"Baik. Kuminta dengan hormat, bolehkah aku
menyampaikan tujuanku padamu?" mulai Satria Gen-
deng kembali.
Arya Wadam diam saja.
Edan, keras sekali hati orang ini, pikir Satria.
Angkuh sekali.... Cuping hidung pendekar muda itu
pun jadi kuncup-mekar. Dan penyakit warisan gu-
runya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun men-
jangkit sampai ke bubur otaknya. Anak muda itu men-
jitaki kepala sendiri.
"Kalau aku sedang bicara, kau dengarkan, ta-
hu?!" hardiknya, mendelik.
Arya Wadam tak peduli juga. Dia malah mem-
beri isyarat tangan memanggil pelayan. Pelayan da-
tang. Dia pun memesan pesanan seperti biasa.
"Jangan salahkan aku jika kau menjadi gusar,"
kata Arya Wadam, akhirnya.
"Jangan menyalahkanmu?" sergah Satria, ter-
perangah dibuat-buat. "Kau pikir enak mencari seseo-
rang tanpa juntrungan, hah?"
"Kenapa kau harus mencariku?"
Tambah pegal hati Satria Gendeng.
"Karena aku ada keperluan denganmu. Kalau
tidak, kau pikir aku sejenis orang yang tak punya ker-
jaan apa?"
"Apa keperluanmu?"
Satria menarik napas. Agak lega mendengar
pertanyaan terakhir orang di depannya.
"Aku harus menyampaikan satu pesan untuk-
mu.... Pesan dari Adipati Lumajang, Wisnu Bernawa."
"Apa maunya?"
"Dia memintamu untuk membantunya meng-
hadapi Tujuh Dewa Kematian yang hendak meminta
putrinya untuk dijadikan tumbal."
"Itu bukan urusanku."
"Kau ini seorang ksatria atau bukan? Seorang
pendekar sejati atau bukan?"
"Terserah kau."
"Jangan edan, ya!" Satria sampai bangkit dari
kursinya karena sudah terlalu dongkol. Wajahnya me-
rah padam. Matang sendiri oleh gelegak darah yang
sudah naik ke kepala.
"Kau mau memaksaku dengan kekerasan? Ka-
lau benar begitu, silakan. Cuma, perlu kuberi tahu,
kau tak beda dengan para penguasa yang merasa di-
rinya berhak mengatur orang lain seenak dengkulnya
sendiri."
"Kau perlu kuberi tahu juga, bahwa Wisnu Ber-
nawa bukan jenis manusia tengik macam itu!"
"Syukurlah...."
"Jadi bagaimana?"
Satria duduk kembali ketika pelayan datang
dan menyediakan pesanan mereka.
"Aku tetap tak bersedia," tandas Arya Wadam.
Semula sudah agak tenang, sekarang darah Sa-
tria Gendeng mulai rusuh lagi.
"Begini saja. Kau tentu punya alasan kenapa
menolak permintaan Wisnu Bernawa, bukan? Alasan
itu kuyakin berupa halangan bagimu. Jika kau mem-
punyai halangan sekarang ini yang menyebabkan kau
tidak bisa memenuhi permintaan itu, aku bersedia
membantumu mengatasi halangan tersebut, sampai
menjelang purnama nanti. Jika halanganmu bisa kita
atasi, aku cuma meminta kau untuk ikut aku ke Lu-
majang. Setelah tiba di sana, kau boleh memutuskan
apakah kau hendak memenuhi permintaan adipati
atau tidak. Bagaimana?"
Selama Satria Gendeng berbicara seru sampai
bibirnya seperti melilit-lilit, Arya Wadam malah asyik
menyantap makanan di atas meja.
Habis sudah kesabaran Satria. Sikap Arya Wa-
dam dianggapnya sudah keterlaluan. Keangkuhan
yang perlu mendapat sedikit pelajaran! Satria men-
gangkat tangan, hendak menyampok piring tanah liat
di meja. Tapi tak dilanjutkan. Tergetar, diturunkannya
tangan kembali. Pada saat-saat tertentu, kemarahan
tak dibutuhkan sama sekali, pikiran jernihnya men-
gingatkan.
Akhirnya Satria Gendeng cuma bisa menarik
napas sarat-sarat, padat-padat mencoba mendingin-
kan kegusaran. Dikeluarkan gulungan kulit dari balik
baju. Perlahan diletakkan benda itu di depan Arya Wa-
dam.
"Aku cuma bertugas untuk menyampaikan
amanat ini. Sekarang aku serahkan padamu. Terserah
kau apakah sudi membacanya atau tidak," kata Satria
dengan nada suara yang mulai surut.
Rupanya Arya Wadam tetap dingin. Ibarat gu-
nung es kutub selatan, dia meneruskan makan. Ber-
henti sejenak pun tidak.
Satria menghempas napas. Percuma mene-
ruskan kata-kata kalau setiap ucapannya hanya di-
anggap angin, pikirnya. Dia pun membalikkan badan.
"Selamat tinggal," ucapnya.
Satria melangkah.
"Tunggu! Baiklah, aku terima undangan ini.
Tapi dengan syarat, kau mau membantuku menyele-
saikan masalahku terlebih dahulu!"
Dia pun membalikkan badan. Ketika itulah dia
langsung menjadi terpana. Arya Wadam telah membu-
ka tudungnya, mungkin untuk menunjukkan sedikit
niat baiknya. Dengan membuka tudung, akan terasa
dia lebih menghormati.
Yang membuat Satria terpana bukan itu. Ada
yang lebih dahsyat untuk pandangan si pendekar mu-
da. Disaksikannya wajah Arya Wadam ternyata demi-
kian jelita, ayu, dan mempesona. Sama sekali berbeda
jauh dengan bayangan Satria selama ini yang men-
ganggapnya sebagai seorang perempuan berwajah ka-
sar yang sifatnya kelelakian! Satu lagi, Satria pun tak
menyangka kalau Arya Wadam ternyata berusia tak
jauh beda dengan dirinya!
***
TUJUH
SIANG saat itu. Hari tak begitu panas. Sinar
matahari dihadang gulungan awan seputih gumpalan-
gumpalan kapas raksasa. Angin menghembus bersa-
habat. Cukup membuat orang menjadi terkantuk-
kantuk.
Empat lelaki terlihat berjalan di sebuah lapangan rumput luas. Keempat orang itu berpenampilan
menyeramkan, kalau belum cukup disebut sangar. Ra-
ta-rata memiliki wajah tak sedap dipandang. Bahkan
mungkin bisa membuat seorang anak kecil menjadi
sawan. Keempatnya mengenakan berjubah pendek me-
rah hati, bercelana pangsi hitam. Di pinggang masing-
masing terselip satu trisula perak mengkilat. Satu
orang di antaranya bertubuh tambun.
Mereka melangkah terburu-buru ke satu arah,
beriringan tak teratur. Tak begitu jauh melintasi la-
pangan rumput, mereka dinanti oleh seorang lelaki
lain. Lelaki itu berdiri di bawah sebuah pohon asam
kering.
Tak beda jauh dengan keempat lelaki tadi,
orang satu ini pun memiliki penampilan dan wajah tak
se-menggah. Masa' wajahnya mesti dirajah segala ru-
pa? Apa itu tidak semenggah namanya? Sudah begitu,
sebelah kakinya kutung hingga sebatas dengkul, dis-
ambung oleh tulang rusuk harimau Jawa. Usianya ter-
bilang cukup tua. Punggungnya agak bungkuk. Ba-
junya besar berwarna ungu menyerupai jubah. Ba-
hunya membopong buntalan kain sebesar anak ker-
bau.
Dari kejauhan, keempat lelaki seram berpa-
kaian merah hati sudah berteriak memanggil-manggil
seperti sekawanan anak ayam yang bertemu dengan
induknya.
"Guru! Guru! Guroooooo!"
Wajah lelaki tua mengedik-kedik. Telinganya
pekak mendengar teriakan-teriakan suntuk seperti itu.
"Diaaaam kalian!!!" hardiknya membalas.
Keempat lelaki tadi langsung menutup bacot
rapat-rapat. Mereka melangkah perlahan-lahan dengan
kepala tertunduk, mendekati si orang tua berwajah
penuh rajah yang tampaknya membuat nyali mereka
menguncup.
"Kenapa kalian berteriak-teriak seperti itu? Ka-
lian tahu telingaku tidak soak?! Huah?!" mengkelap si
orang tua berwajah penuh rajah, membentaki keempat
orang tadi.
Empat orang yang disemprot cuma mengang-
guk-angguk.
Orang tua berwajah penuh rajah mendengus.
Dagunya sedikit mendongkel ke atas. Dengan sebelah
tangan di dada dan tangan lain mengelus-elus dagu,
dia mulai mengajukan pertanyaan.
"Sekarang, katakan padaku kenapa kalian
membuat api unggun besar di puncak bukit itu tengah
malam?" ajunya sambil menujuk satu bukit menjulang
di kejauhan.
Salah seorang lelaki berpakaian merah hati
memberanikan diri mengangkat kepala. Wajahnya
memperlihatkan protes.
"Lho, bukankah Guru yang mengatakan kalau
kita hendak bertemu Guru, maka kita harus membuat
isyarat berupa api unggun besar di bukit itu!" tukas-
nya seraya latah menunjuk ke arah bukit. "Itu kesepa-
katan Guru. Kalau kesepakatan tidak bisa dihormati,
bagaimana Guru pun bisa dihormati?!"
"Diam kau, Kambing!"
Bungkam. Langsung saja lelaki sok buka bacot
itu tertunduk lagi. Malah lebih dalam dari sebelumnya.
"Aku mau tanya alasan kalian, alasan kalian,
sekali lagi alasan kalian!" bentak orang tua yang di-
panggil Guru oleh keempat lelaki di depannya.
"Kami mau bertemu dengan Guru...," sahut sa-
lah seorang.
"Jawaban tolol lagi! Tentu saja kau membuat
isyarat api unggun itu untuk bertemu denganku! Tapi,
apa alasan kalian ingin bertemu denganku?!" makin
menyemprot-nyemprot saja ucapan sang Guru.
"Kami mau melapor, Guru."
Mata si guru mendelik.
"Ingin melapor padaku? Melapor, cuma itu,
huah? Apa kalian tidak tahu, kalian telah mengganggu
urusan besarku?!"
Menggeleng keempat lelaki tadi. Jawaban yang
tak diminati oleh sang Guru sedikit pun.
"Jawaban tolol juga! Mestinya kalian mengang-
guk, biar aku tidak terlalu kesal pada ketololan dan
ketidak-acuhan kalian pada diriku, Guru kalian!!!"
"Memangnya Guru sendiri punya perhatian pa-
da kami?" sela seorang murid, kebodoh-bodohan.
Kontan saja si guru menjadi mengkelap sede-
mikian rupa mendengar jawaban tadi. Tak ayal lagi
kaki kutungnya turut berbicara. Satu kelebatan saja
cukup. Artinya, sudah cukup untuk menggasak setiap
tempurung dengkul keempat muridnya, segaring-
garingnya.
Wuth beletuk-tak-tak-tuk!
Kelojotan keempat lelaki berpakaian merah ha-
ti.
Berjingkat-jingkat.
Melintir-melintir.
Dan berkesudahan dengan benjol sebesar telur
angsa di dengkul masing-masing.
"Sudah cukup?" tegur orang berkaki kutung
dengan nada yang agak bersahabat. Barangkali ke-
mangkelannya sudah cukup terobati dengan menjitaki
keempat muridnya.
"Cukup, Guru! Cukup!"
Hampir berbarengan, keempat muridnya berebut menjawab. Tangan mereka masih saja mendekapi
dengkul, seakan takut musibah mampir kembali ke
sana.
Si guru mengusap-usap dagu.
Puas.
Kenyang.
"Tunggu apa lagi?! Ayo ceritakan apa tujuan ka-
lian hendak menemuiku?!"
Keempat lelaki tadi malah celingak-elinguk satu
dengan yang lain, saling pandang dengan tatapan ke-
cut. Lelaki berbadan buntal memberanikan diri untuk
bicara.
"Kami bertemu dengan seseorang Guru...."
"Hm...."
"Ketika itu, kami...."
"Langsung ke masalahnya!"
"Orang itu menghina Guru...."
"Hm...."
"Guru disebut berwajah pantat kerbau...."
"Hmm.... Hah?!"
"Bukan aku yang bilang begitu, Guru! Sung-
guh.... Orang itu yang bilang!"
"Siapa dia?" geram si orang tua berwajah penuh
rajah. Parasnya membuat hati keempat muridnya men-
jadi kecut.
"Arya Wadam, Guru."
Sang Guru mendadak terdiam. Matanya menyi-
pit.
"Kenapa kalian bisa berurusan dengan si Arya?"
susulnya, bertanya.
"Kami waktu itu hendak sedikit bersenang-
senang...."
"Langsung ke masalahnya!"
"Tidak bisa, Guru. Harus diceritakan dari awal
dulu!"
"Kalau begitu, teruskan!"
"Kami membawa seorang gadis ke dalam gubuk
terbengkalai di hutan...."
Tiba-tiba terulang kembali musibah menimpa
dengkul keempat lelaki berpakaian merah hati. Deng-
kul yang masih waras terkena bagian.
Wuth beletak-tuk-tuk-tak!
Kembali mereka kelojotan, berjingkat-jingkat,
melintir-lintir. Sekarang seimbang sudah besar tempu-
rung dengkul kiri dan kanan.
"Sudah kularang kalian menodai perempuan!!"
"Ampoon, Guru!"
"Itu sebabnya kalian berurusan dengan si Arya!
Dia itu paling tidak suka kalau ada perempuan diper-
lakukan seenak dengkul oleh lelaki macam kalian. Dia
itu seorang pendekar wanita yang benar-benar ingin
mengangkat martabat kaumnya! Itu salah kalian!"
"Ampooon lagi, Guru!"
Si guru mendadak celinguk sana-sini. Wajah-
nya terlipat, digeluti kesan ketakutan. Tak heran kalau
dia bertingkah seperti itu. Dia adalah Raja Pencuri Da-
ri Selatan, orang yang tengah diburu oleh Arya Wadam.
Cerita muridnya barusan membuat dia agak waswas,
takut kalau Arya Wadam mengikuti keempat muridnya
untuk bertemu dengannya. Urusan bisa kacau, pikir-
nya. Namun karena masih berada di depan keempat
muridnya, dia tak mau kehilangan muka. Cepat-cepat
dia membenahi wajah. Sedangkan keempat muridnya
pernah berurusan dengan Arya Wadam beberapa wak-
tu lalu di sebuah kedai. Dasar murid tengik mereka
hendak melebih-lebihkan laporan pada sang Guru!
(Untuk mengetahui kejelasan kisahnya, bacalah epi-
sode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka"!).
"Bayangkan kalau dia sempat mengintai kalian
hingga menemukan aku? Padahal selama ini dia se-
dang mencari-cari aku! Bisa bayangkan tidak?!"
Sekali lagi jawaban keempat muridnya menye-
leweng dari harapan sang Guru. Mereka menggeleng
serempak. Raja Pencuri Dari Selatan melotot mengeri-
kan.
"Lagi-lagi jawaban tolol!"
"Habis...," murid bertubuh tambun nekat-
nekatan menggerutu. Wajahnya jadi tambah jelek
mengenaskan.
"Apanya yang habis?!"
"Habis.... Guru sendiri punya kebiasaan tak
baik. Mencuri itu apa baik, Guru? Jadi kami pun
punya 'kebiasaan tak baik' juga.... Guru kencing berdi-
ri, murid kencing berlari!"
Raja Pencuri Dari Selatan mendelik lebih gawat
seperti paras orang tersedak sekarung tepung.
"Kau berani menyalahkan aku.... Biar bagaima-
napun, yang namanya Guru tidak bisa disalahkan,"
geramnya, mau menang sendiri. "Tergantung bagaima-
na muridnya. Mereka harus tahu apa yang mesti ditiru
dan mesti dibuang dari tingkah laku seorang guru. Ka-
lau aku makan kotoran kerbau, apa kalian akan ikut
makan kotoran kerbau?!" gempur Raja Pencuri Dari
Selatan kembali, menggebu-gebu.
Salah seorang muridnya menyahut tak kalah
bersemangat.
"Mau Guru! Setidaknya kami akan makan koto-
ran 'murid'nya kerbau!"
Celaka dua belas! Maki Raja Pencuri Dari Sela-
tan. Kenapa tidak dari dulu saja dia sadar kalau para
muridnya punya otak udang semua?! Dia selaku seo-
rang pencuri bukan sembarangan mencuri. Dia punya
tujuan yang 'rada-rada' luhur. Orang bilang, dialah si
maling budiman. Mencuri untuk kepentingan rakyat
jelata yang sering digencet saudagar kaya, lintah darat,
pengijon, pejabat keparat, dan sejenisnya. Benda-
benda yang dicurinya biasanya dijual pada orang-
orang yang berminat. Rencananya, termasuk Kail Naga
Samudera yang berhasil dicopet dari Satria Gendeng.
Uangnya dibagikan tanpa pilih bulu kepada orang-
orang susah. Itu kan namanya punya tujuan 'rada-
rada' luhur?
Tapi kalau keempat muridku ini? Masa' pera-
wan orang main sikat saja? Memangnya gampang bikin
anak perempuan, eh... maksudnya membesarkan anak
perawan? Beh, bikin otakku jadi mulas saja memikir-
kan mereka, rutuk si orang tua bermuka rajah dalam
hati.
Karena sudah kepalang geram, sambil mengu-
tuki habis-habisan murid berbadan tambun, dia me-
nyentak kaki kutungnya.
Wuth beletuk!
Tahu-tahu, mata si lelaki tambun menjadi jul-
ing. Badannya singit sebentar. Selanjutnya ambruk.
Semaput dia terkena hantaman telak di jidat!
"Kalian juga menyalahkan aku?!" hardik Raja
Pencuri Dari Selatan mendelik-delik pada tiga murid-
nya yang lain. Mau ikut semaput? Silakan ngoceh
sembarangan!
Tapi memang keterlaluan Raja Pencuri Dari Se-
latan kalau sedang ngadat. Dia tak puas membuat sa-
tu muridnya jatuh telentang. Meskipun tiga muridnya
yang lain sudah menggeleng kuat-kuat seperti hendak
melepas kepala sendiri, tetap saja dihantaminya satu
persatu.
Wuth beletak!
Wuth beletuk!
Wuth beledak!
Ketiganya juling berbareng, singit berbareng, la-
lu semaput berbarengan... dengan penuh kekhusukan.
Setelah itu, Raja Pencuri Dari Selatan malah
jadi uring-uringan pada diri sendiri. Dia mengomel-
omel, mencak-mencak dan menyikat pohon kering di
sampingnya dengan sambungan kaki kutungnya ha-
bis-habisan, sampai menciptakan ratusan lobang. Ka-
lau perlu, bumi pun hendak dilobanginya.
"Kadal, aku belum tanya apa yang dikatakan si
Arya pada mereka!"
***
DELAPAN
MATANYA itu, menyiratkan ketegaran pribadi di
balik lembutnya garis, bulu lentik, dan beningnya bola
mata. Hidungnya mancung dan mungil. Bibirnya me-
merah ramah. Rambutnya dipotong pendek, tak meni-
piskan sedikit pun kejelitaannya, bahkan justru me-
munculkan bentuk wajah yang memikat.
Satria Gendeng niscaya akan terus terbengong
melompong kalau saja Arya tak segera menegurnya. Itu
pun setelah keempat kalinya!
Si pendekar muda gelagapan sejenak, menda-
pat teguran terakhir yang kerasnya sebenarnya sudah
cukup untuk menggebah seekor kuda!
"Kau mau duduk apa terus berdiri seperti itu?"
susul Arya dengan sebaris senyum menawan. Purnama
pun seperti dikalahkan pesonanya. Hampir saja Satria
Gendeng melompong lagi.
"Ya, ya, aku akan duduk," gegas Satria, masih
juga tergagap.
Pemuda itu duduk di depan Arya. Gadis ber-
nama dan bersikap seperti pria itu tersenyum lagi.
"Kau tak mau mengambil makananmu dulu?"
ujarnya pada Satria sambil melirik seluruh makanan
dan minuman pesanan Satria yang sudah berpindah
meja karena peristiwa barusan.
Satria Gendeng nyengir kuda. "Ya, ya, aku akan
ambil," gagapnya lagi, terburu-buru memindahkan
makanan dan minumannya. Sekarang, makanan da-
lam piringnya malah sempat berantakan ke lantai ke-
dai.
Makin malu hati Satria. Tapi, dia tak mau am-
bil pusing. Toh, 'rejeki nomplok' sudah berada di depan
mata!
Satria Gendeng dan Arya Wadam mulai makan
bersama di satu meja. Arya makan dengan lahap. Ka-
kinya diangkat sebelah ke bangku. Satria sendiri mau-
mau tidak. Satu kali suap, lalu bengong menatapi
Arya. Sekali suap, lalu bengong lagi menatapi Arya.
Begitu terus....
Dan sampai Arya selesai makan, tetap saja Sa-
tria masih keasyikan bengong.
"Sekarang, kita bicarakan lagi tawaranmu sebe-
lumnya," mulai Arya setelah dia mencuci tangannya.
"Tawaran apa?" tanya Satria, baru sadar.
"Bukankah kau mengatakan bahwa kau berse-
dia membantu masalahku, jika aku bersedia ke Luma-
jang?"
"O, iya iya! Bilang saja. Aku pasti Bantu!" Se-
mangat sekali pendekar muda itu. Entah ke mana lagi
kedongkolan pada Arya sebelumnya. Padahal dongkol-
nya di tenggorokan belum lama sudah terasa sebesar
kepalan centeng.
Dijamin, laparnya pun sudah bernasib sama,
kabur entah ke mana!
"Aku sebenarnya bukan tak mau membantu
masalah Adipati Lumajang itu."
"Ya, ya. Terus, terus?"
"Karena aku masih ada urusan dengan seseo-
rang. Orang itu telah mencuri sebuah benda milik dua
orang yang dekat denganku. Benda itu amat diperlu-
kan secepatnya. Sayang, orang yang mencuri belum
lagi sempat kutemukan."
"Benda apa yang dicuri?"
"Aku belum bisa menceritakan padamu. Yang
jelas, benda itu amat dibutuhkan oleh Paman Remeng
dan Poleng dalam tiga hari terakhir."
"Siapa orang yang mencurinya?" cecar Satria.
Semangatnya benar-benar menggebu-gebu. Hebat juga
pengaruh Arya terhadap dirinya. Jangan-jangan, dis-
uruh jungkir-balik di tempat dia mau juga
"Raja Pencuri Dari Selatan."
Satria Gendeng menggebrak meja dengan wajah
galak.
"Dia orangnya!"
"Kau kenal?"
"Dia mencuri senjata pusakaku, Slompret!"
Arya merengut.
"E, bukan kau yang kusebut slompret...," gegas
Satria Gendeng sambil senyum lebar-lebar, biar sedikit
mengesankan bagi perempuan ayu di depannya. Tapi,
tetap saja seperti keledai ngadat!
* * *
Arya Wadam sebenarnya memang seorang wanita. Kisah hidupnya berawal dua puluh lima tahun si-
lam. Waktu itu ada sebuah desa yang dirampok oleh
sekawanan begal. Seluruh desa dibakar habis. Pendu-
duknya dibantai secara keji. Tak ada seorang pun yang
selamat, kecuali seorang bayi perempuan kecil.
Cara Tuhan melaksanakan kehendak-Nya me-
mang terkadang aneh. Termasuk cara-Nya menyela-
matkan si cabang bayi perempuan. Tali seekor kamb-
ing yang terlepas tanpa sengaja tersangkut pada kain
pembedong bayi. Lalu si cabang bayi diseret-seret
hingga amat jauh. Bahkan sampai ke sebuah hutan
rimba yang jarang dijamah manusia.
Waktu itu ada dua lelaki warga persilatan se-
dang berburu di sebuah rimba belantara tersebut. Me-
reka adalah dua tokoh utama perguruan yang cukup
disegani di kawasan barat persilatan, Rantai Baja.
Ketika mendengar suara gemerisik semak, me-
reka segera menyiapkan senjata. Ada satu kebiasaan
orang-orang Perguruan Rantai Baja saat berburu. Me-
reka tidak mempergunakan senjata berburu yang la-
zim.
Senjata yang mereka pergunakan adalah rantai
baja berbandul bola duri sebagai senjata perguruan.
Sengaja itu dibiasakan dengan tujuan untuk melatih
kehandalan mereka mempergunakan senjata unik ter-
sebut. Mata keduanya pun menyaksikan seekor kamb-
ing gemuk. Mereka mengira kambing itu adalah kamb-
ing hutan.
Bersilap-silaplah mulut mereka, membayang-
kan akan makan besar kambing guling!
Rantai baja mereka lontarkan.
Menerkam.
Berbarengan.
Nyaris mengenai sasaran, mendadak saja ada
sekelebat bayangan melesat membelah lintasan sepa-
sang senjata mereka.
Tak tak!
Bandul berduri disampok kelebatan bayangan
tadi.
Kedua lelaki tadi terkesiap. Tapi terlambat un-
tuk menarik senjata. Bahkan, sampokan kelebatan
bayangan menyebabkan senjata mereka terputus.
Bandulnya terpental. Bentuknya sudah tak karuan la-
gi. Padahal bandul berduri itu terbuat dari baja!
"Kalian tolol!!!"
Meledak hardikan seseorang yang kekuatan su-
aranya saja sanggup menyentak badan kedua lelaki
tadi hingga empat tindak ke belakang.
Terlihatlah di pucuk semak seorang perempuan
cantik yang nyaris seperti bidadari berpakaian serba
merah. Anehnya, rambut perempuan itu seluruhnya
sudah berubah menjadi uban! Di belakang punggung-
nya harpa.
Kedua lelaki merasa tengah berhadapan dengan
semacam peri hutan rimba. Mereka melotot sejadi-
jadinya. Kaku sekujur badan. Mereka bergetar, antara
ngeri dan terpesona.
"Kalian hampir saja membunuh bayi ini?!" ben-
tak si perempuan cantik lagi, galak.
Kedua lelaki sampai terlonjak-lonjak. Apa salah
kami? Bisik hati mereka. Setahu mereka, mereka hen-
dak mengincar seekor kambing gemuk. Kenapa seka-
rang berubah menjadi bayi? Apa jangan-jangan kamb-
ing gemuk tadi adalah anak si peri? Rusuh hati mere-
ka, makin tak karuan.
Si perempuan cantik menimang-nimang bayi di
pelukannya sambil berbicara sendiri.
"O, bayi cantik, berbadan segar, bertulang bagus.... Kau tetap begitu bersemangat meski kau ba-
nyak mengalami luka dan terseret-seret begitu lama."
Langsung dua lelaki pemburu membayangkan
si perempuan cantik akan menyantap mentah-mentah
bayi merah dalam gendongannya. Sebab mereka masih
berpikir kalau perempuan itu peri atau dedemit hutan.
"Nah," mulai si perempuan cantik lagi. "Kalian
harus bertanggung jawab pada bayi ini. Aku tak mau
peduli apakah kalian menerima atau tidak. Pokoknya
kalian harus menerima."
Lalu dilemparnya bayi itu ke arah kedua pem-
buru.
Bayi melayang deras. Dua pemburu mendelik.
Mereka ngeri kalau bayi itu jatuh ke tanah dan...
mencret!
Di udara, luncuran tubuh bayi mendadak ter-
henti. Sebentar melayang-layang seperti sedang di da-
lam buaian tak terlihat mata. Lalu, perlahan-lahan tu-
run ke arah dua pemburu yang sudah menantinya.
"Kalian pelihara bayi itu dengan baik. Setiap
purnama, aku akan menjenguknya. Jika usianya su-
dah mencapai sembilan tahun, kalian harus mengan-
tarnya kembali ke sini. Aku akan menjadikannya mu-
rid!" tandas si perempuan cantik. Setelah itu, tubuh-
nya menghilang.
Dua pemburu itu adalah Remeng dan Poleng.
Sedangkan si perempuan cantik, di kemudian hari
menjadi guru si bayi. Karena dipelihara di perguruan
silat yang semua muridnya lelaki, maka sifatnya mirip
lelaki. Lalu, dia pun dinamakan Arya Wadam. Kendati
dia sebenarnya tetap perempuan sejati.
Si perempuan cantik sendiri adalah tokoh tua
yang tetap muda yang hanya tinggal di belantara itu.
* * *
Menggelindingnya hari menuju siang dipenati
cahaya panas terik. Dari puncaknya, mentari seperti
sengaja menombakkan panas ke setiap ubun-ubun
manusia di atas bumi. Bumi yang sepanas itu, hari
yang semenyiksa itu, tidak menghalangi langkah dua
orang di sebuah daerah berbukit-bukit. Pohon tumbuh
jarang. Hanya rumput menghampar hampir di segenap
penjuru.
Langkah keduanya mantap, tegap dan kokoh.
Pertanda kalau mereka orang-orang berusia muda. Sa-
tu orang pemuda dan orang bertudung yang tak cukup
jelas lelaki atau wanita. Si pemuda berambut panjang
kemerahan sepanjang bahu. Wajahnya tampan, kokoh,
keras, sekaligus bersinar mata lembut. Dia mengena-
kan pakaian rompi bulu berwarna putih keabuan. Te-
gap perawakannya. Bidang dadanya. Dengan celana
pangsi hitam dan ikat kain, makin tampak gagah pe-
nampilannya.
Orang bertudung sendiri tak setinggi si pemuda
berambut kemerahan. Berpakaian silat sederhana
berwarna hitam serta buntalan kain kusam di bela-
kang bahunya. Kalau menilik cara jalannya yang ga-
gah, orang berpikir dia adalah seorang laki-laki. Na-
mun jika melihat bentuk pinggul yang terkadang terli-
hat saat dia melangkah, orang jadi ragu lagi. Lelaki
atau wanita?
Sepanjang perjalanan, pemuda berambut keme-
rahan terus mencuri-curi pandang pada teman seper-
jalanannya. Sesekali dia melirik ke pinggul orang itu.
Tak jarang pula dia melirik ke dadanya. Memang, ken-
dati mengenakan pakaian yang agak kendor, tak bisa
dipungkiri ada sedikit benda yang sesekali terlihat me
nonjol.
Si pemuda berambut kemerahan mesem-
mesem. Kepalanya menggeleng-geleng. Di dalam piki-
rannya, pasti ada sesuatu yang sedang bermain-main.
Bukan sejenis pikiran dekil. Cuma tak habis pikir pada
sikap dan sifat teman seperjalanannya. Dia adalah
pendekar muda kita, Satria Gendeng. Sedangkan orang
bertudung yang berjalan di sebelahnya adalah Arya
Wadam, pendekar wanita yang sifat dan tingkah la-
kunya kelelakian.
Keduanya berjalan bersama dengan satu tu-
juan, hendak mencari seorang tokoh tengik dunia per-
silatan berjuluk Raja Pencuri Dari Selatan. Untuk Sa-
tria, tokoh itu telah mencuri senjata pusakanya, Kail
Naga Samudera. Sedangkan untuk Arya Wadam, Raja
Pencuri Dari Selatan punya satu utang urusan karena
telah mencuri satu benda milik dua paman angkatnya,
Remeng dan Poleng. (Kisah selengkapnya dapat dibaca
pada episode sebelumnya: "Penghuni Kuil Neraka").
Murid dua tokoh kawakan tanah Jawa masih
saja asyik mencuri-curi pandang. Sampai saatnya, ke-
nakalan kecil itu harus terkena batunya. Arya Wadam
mendadak memergokinya.
Satria buru-buru meluruskan pandangan.
'Kura-kura dalam perahu' dia. Tapi perasaannya tak
bisa diajak berdamai. Dadanya jadi dag-dig-dug-
bleduk. Wajahnya pun memerah. Dia coba mesem-
mesem lagi. Tapi kok kayaknya seperti sedang merin-
gis?
"Kenapa?" cetus Arya seraya melepas pandang
ke depan kembali, seakan keusilan mata pemuda di
sebelahnya tak mengusik perasaannya sama sekali.
Dia memang bukan sejenis perempuan lugu yang
gampang dipermainkan lelaki atau perasaannya sendi
ri.
Satria menoleh dengan wajah masih saja ber-
pura-pura bodoh.
"Kenapa apa?"
"Kenapa kau melirikku begitu rupa?"
"Melirik apa?" hindar Satria lagi.
Pertanyaan bodoh. Justru pertanyaan seperti
itu malah mendorong Arya menebak dirinya dengan
ucapan selanjutnya.
"Melirik-lirik pinggul dan dadaku...."
Mak! Satria memekik dalam hati. Malu bukan
main dirinya. Rasanya kepingin membuang wajah
jauh-jauh, atau menguburkannya dalam-dalam di pe-
rut bumi! Wajah pemuda itu makin matang saja. Men-
dadak dia seperti diserang penyakit gatal-gatal. Dia ga-
ruk-garuk pipi, garuk-garuk jidat, garuk-garuk leher,
sementara bibir terus cengengesan.
"Kau tahu, ya...?" katanya malu-malu.
"Kau pikir aku sudah buta."
"Ya jelas tidaaaaak...."
"Lalu?"
"Lalu apanya?"
"Kau mau menjawab atau tidak?"
"O, itu...." Satria Gendeng menggaruk-garuk ji-
dat lagi. "Aku cuma heran, kenapa kau tak berpakaian
seperti layaknya wanita saja."
"Aku merasa lebih leluasa dengan berpakaian
seperti ini."
"Itu bukan alasan. Kau toh, bisa memilih pa-
kaian wanita yang bisa membuatmu bergerak leluasa."
"Baik. Aku memang terbiasa. Bukankah sudah
kuceritakan padamu bahwa aku dibesarkan di tempat
yang semuanya lelaki."
"Aku jadi penasaran...," Satria memotong kali
mat sendiri, ragu-ragu.
Arya sedikit menoleh.
"Penasaran?" tanyanya.
Satria memberanikan diri.
"Aku penasaran, apakah kau masih memiliki si-
fat-sifat kewanitaanmu?" cetusnya.
Arya tertawa kecil.
"Kau ingin membuktikannya?" tukasnya, tak
acuh. Satria sendiri langsung bungkam. Heran, mes-
tinya dia yang menggoda perempuan. Kenapa sekarang
dia yang digoda perempuan?
"Apa kau termasuk lelaki yang merendahkan
martabat seorang wanita?" aju Arya, lebih jauh.
Satria Gendeng melengak. Mulutnya membun-
dar.
"Oooo, tidak! Tentu saja tidak! Memangnya ke-
napa?"
"Aku hanya ingin tahu. Aku tak mau berjalan
berbareng dengan lelaki yang suka merendahkan mar-
tabat perempuan," tandasnya.
"Ah, menurutku lelaki atau perempuan sama
saja. Bedanya cuma pada peranan yang harus dijalan-
kan dalam hidup. Peranan itu maksudku adalah pera-
nan yang sudah menjadi kodrat. Seperti melahirkan,
tak mungkin bukan kalau lelaki yang harus melahir-
kan? Sedangkan soal martabat. Itu urusan pribadi un-
tuk lelaki atau wanita.... Tergantung setiap pribadi
masing-masing apakah hendak meninggikan marta-
batnya atau tidak dalam kehidupan ini. Kalau seorang
perempuan ingin derajatnya turun seperti hewan, yang
silakan berprilaku seperti hewan betina. Begitu juga le-
laki. Kurasa, Tuhan pun punya penilaian yang adil da-
lam hal martabat hidup manusia di dunia.... Bukan-
kah Dia menilai siapa yang lebih takwa? Baik itu perempuan atau lelaki?"
"Hem hem hem...," gumam Arya. "Aku tak me-
nyangka kalau pemuda macam kau rupanya masih bi-
sa berpikir dalam dan jauh, ketimbang hanya memi-
kirkan hal-hal yang dekil."
Satria Gendeng tergelak.
"Aku hanya meneruskan perkataan seorang se-
sepuh rakyat di Bintaro Demak yang pernah kute-
mui...," aku Satria, lalu lanjutnya, "Kalau soal mata
usilku tadi, aku cuma iseng. He he he!" tertawa pula
dia.
"Ya, iseng yang sudah menjadi ‘penyakit’" ketus
Arya.
Satria tergelak lagi.
Keduanya terus berjalan. Percakapan hangat
dua insan terus pula terjulur. Keduanya seperti tak la-
gi merasakan terik mentari.
Sampai keduanya tiba di sebuah tempat yang
dulu pernah disinggahi Satria Gendeng.
"Ini tempat terakhir aku bertemu dengan Raja
Pencuri Dari Selatan. Di tempat ini pula, aku dikelabui
olehnya, senjata pusakaku disikatnya!" ucap Satria
Gendeng meletus-letus, terbawa kekesalan mengingat
kejadian beberapa waktu lalu. Matanya kemudian ter-
tumbuk pada gerombolan semak.
"Kemarilah!" ajak Satria Gendeng seraya mena-
rik pergelangan tangan Arya Wadam. Entah karena ter-
lalu bernafsu menunjukkan sesuatu, sampai si pende-
kar muda lupa kalau Arya Wadam tetap seorang wan-
na. Sayangnya, Satria terus saja tak sadar. Sampai di
dekat semak, dia menunjuk dengan tangan lain se-
tumpuk arang sisa perapian.
"Kau lihat itu?! Dulu dia membakar ayam
panggangnya di sini. Lalu dia lemparkan ayam pang
gang itu padaku agar aku untuk sesaat asyik menyan-
tapnya dan melalaikan Kail Naga Samudera yang su-
dah disikatnya!" lapor Satria Gendeng dengan wajah
merajuk-rajuk, seperti seorang bocah ingusan yang se-
dang mengadu pada emaknya.
Sampai akhirnya, pendekar muda itu jadi sadar
bahwa Arya justru tengah memperhatikan tangannya
yang masih memegangi pergelangan tangan gadis itu.
"Eh-oh, maaf.... Aku tak bermaksud apa-apa.
Sungguh!" kebut Satria Gendeng, seraya buru-buru
melepaskan pegangannya.
"Kau suka cari kesempatan juga, ya?" usil Arya.
Satria tak suka dikatakan begitu.
"Jangan sembarangan bicara, ya?!" sengitnya.
Menanggapi sikap si pendekar muda, Arya
hanya tertawa halus.
Dalam hati, Satria mengutuki diri sendiri. Ke-
napa dia bodoh sekali tak menyadari telah memegang
dan menarik lengan gadis itu sekian lama? Meski sete-
lah dirasa-rasa lagi, Satria Gendeng jadi agak senang
juga. Arya buat Satria termasuk satu di antara seribu
gadis. Ya, kecantikannya. Ya, pribadinya. Jadi tak ter-
lalu aneh jika ada perasaan yang sulit dijelaskan.
Mungkin sekadar cetusan gejolak darah muda. Rasa
'serrr' yang 'serrr' begitu. Mengerti maksudnya, bukan?
"Sekarang apa pula yang kau lamunkan?!" sen-
tak Arya, mengejutkan si pendekar muda tanah Jawa.
"Jadi, bagaimana?" kilah Satria Gendeng, beru-
saha menutupi perubahan wajahnya.
Arya tak menyahut. Dia berjongkok. Ditelitinya
tumpukan abu dan arang sisa perapian. Selesai mene-
liti bekas perapian, matanya beredar ke sekeliling. Ter-
dengar desah napasnya.
"Tidak ada apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Sebagai seorang pencuri kawakan, dia memang
hebat. Tak sedikit pun dia meninggalkan jejak."
Satria Gendeng turut menghela napas, serta
menghempaskannya.
"Jadi bagaimana? Sementara waktu kita sudah
demikian menipis. Tinggal dua hari lagi kedua pa-
manmu membutuhkan benda yang dicuri Raja Pencuri
Dari Selatan. Sementara purnama pun tinggal empat
hari lagi...," katanya, setengah mengeluh.
Arya bangkit.
"Kau mengeluh?" sindirnya.
Satria sengit lagi. Sungguh, kalau saja nenek
peot yang mengatakan begitu, dia tak akan ambil pus-
ing. Tapi kalau wanita cantik menawan dan berpribadi
mantap seperti Arya, dia bisa tersinggung berat. Pera-
saannya ibarat bisul, tak boleh tersenggol sedikit saja.
"Aku tidak mengeluh. Cuma aku gusar. Apa tak
boleh?"
"Sebaiknya memang begitu. Sebab, aku malu
berjalan dengan seorang yang sudah telanjur menda-
pat julukan besar di dunia persilatan, tapi terlalu
gampang mengeluh...," sambil berkata, Arya ngeloyor
begitu saja.
Ah, lagi pula apa salahnya mengeluh? Gerutu
Satria membatin. Memangnya perasaan manusia sela-
lu bisa menampung seluruh kekalutan? Hm, wanita ini
kenapa merasa ingin lebih gagah dari lelaki?
"Hei, kau mulai melamun lagi!"
"Iya iya!"
Bersungut-sungut, si pendekar muda mengiku-
ti langkah Arya. Dalam hati, dia memaki. "Dasar pe-
rempuan!"
"Hei, ceritakan dulu benda apa yang telah dicu-
ri si bajingan bermuka rajah itu dari kedua paman
angkatmu?" usul Satria beberapa saat setelah mereka
melangkah cukup jauh.
"Ceritanya panjang."
"Ceritakan saja."
"Makin panjang, makin bagus. Dengan begitu,
aku bisa lebih lama bersamamu," kicau Satria Gen-
deng dalam hati.
***
SEMBILAN
LIMA hari menjelang purnama. Tujuh Dewa
Kematian tanpa diduga-duga mengubah rencananya.
Mereka yang semula menuntut Pitaloka diserahkan
pada malam purnama mendadak saja menyatroni Ka-
dipaten Lumajang untuk menuntut putri sang Adipati
itu sekarang juga!
Kuat dugaan, mereka mengkhawatirkan kega-
galan menyempurnakan ilmu sesat mereka jika men-
gundur-undur waktu merampas Pitaloka. Bisa saja
pada saatnya nanti, Pitaloka dihijrahkan ke satu tem-
pat tersembunyi. Tentu saja itu akan menyulitkan me-
reka sendiri. Mereka bukalah orang golongan sesat ke-
las teri. Mereka punya otak. Sebagai siasat, mereka
menuntut putri sang Adipati pada bulan purnama,
tanpa harus melaksanakannya seperti itu pula. Den-
gan tindakan tak terduga, biasanya keadaan lawan be-
sar kemungkinan kurang siap menghadapi mereka. Itu
satu keuntungan buat mereka.
Ketujuh momok itu pun datang. Dua orang
memasuki kadipetanan dengan cara menelusup. Si-
sanya tetap di batas kadipaten, menanti waktu yang
tepat untuk bergerak pula.
Rencana matang memang telah tercetak di ke-
pala masing-masing. Rencana yang mereka yakini
akan mengecohkan semua pihak. Terutama Adipati
Wisnu Bernawa yang sebenarnya punya rencana pula.
Namun sayang, rencana itu dipersiapkan untuk malam
bulan purnama.
Layaknya permainan catur, Tujuh Dewa Kema-
tian telah menang satu langkah.
Langkah selanjutnya, adalah untuk bidak-
bidak penentu.
Ketika mengetahui dua dari momok mena-
kutkan memasuki kadipatenan, suasana pun goncang.
Keributan besar begitu cepat menyubur. Para pungga-
wa dengan senjata di tangan mengepung dua orang
penghuni Kuil Neraka yang berdiri di halaman depan.
Dua orang penghuni Kuil Neraka mendongak.
Perlahan-lahan mereka menurunkan kepala. Wajah
mereka berubah membesi. Sorot mata menggidikan.
Menghujam. Menjerang nyali. Dari mulut salah seo-
rang terlompat serapah.
"Kuhabisi kalian!!!" Suasana kian keruh. Bau
anyir darah menjenuh. Nyawa-nyawa sebentar lagi
akan berpentalan dari setiap raga.
Sebelum hal itu sampai terjadi, tiba-tiba ter-
dengar suara keras membahana, memantul-mantul di
angkasa, mengitari tempat tersebut.
"Jangan kau tambah korban lagi, Setan-setan
Botak!"
Semua yang berada di tempat tercengang. Me-
reka celingukan, mencari-cari dari mana suara itu be-
rasal. Dua dari Tujuh Dewa Kematian mengerahkan
kekuatan indra pendengaran. Mata keduanya terpe-
jam. Daun telinga mereka bergerak-gerak. Napas pun
seperti mereka tahan untuk bisa menentukan sumber
suara.
"Rupanya yang datang bukan orang sembaran-
gan, saudaraku," bisik salah seorang dengan nada ha-
lus. Hampir-hampir tak terdengar oleh para penge-
pung. Mungkin hanya yang memiliki pendengaran see-
kor rubah yang bisa menangkapnya.
"Hei botak! Aku memang bukan orang semba-
rangan!"
Suara itu terdengar lagi. Kali ini yang mereka
dengar suara seperti milik seorang bocah tujuh tahu-
nan. Tercekatlah seluruh orang di sana. Bagaimana
mungkin bocah tujuh tahun dapat mengerahkan suara
bertenaga dalam sedemikian sempurna? Yang paling
dibuat heran adalah dua iblis botak, karena suara me-
reka yang begitu halus dapat didengar oleh seorang
yang berada begitu jauh. Sedangkan para pengepung
sendiri yang cukup dekat dengan mereka tak menang-
kapnya.
Kedua setan botak kembali menutup batin. Ma-
ta mereka terkatup rapat, telinga bergerak-gerak. Kali
ini mereka menangkap suara gemeretak dari balik se-
mak di tepi dinding kadipatenan.
Kretaak!
Kedua Dewa Kematian terkesiap. Tangan mere-
ka cepat menghentak ke arah suara di balik rerimbu-
nan tadi. Empat larik sinar hitam mencelat dari tela-
pak tangan keduanya. Letusan keras tercipta.
Glar!
Para pengepung yang terdiri dari para pungga-
wa bernyali besar menjadi ciut juga, menyaksikan ke-
hebatan musuh mereka. Kendati begitu, mereka tak la-
ri, karena sebelumnya menyadari lebih baik mati ber-
kalang tanah sebagai seorang satria, ketimbang hidup
sebagai pengecut.
Dedaunan yang terhantam oleh pukulan jarak
jauh milik Dua Dewa Kematian menggelepar dan ber-
ganti warna menjadi hitam. Pohonnya sendiri seketika
kering-kerontang. Sebagian daunnya menjadi layu dan
menguning. Tidak lama kemudian, dedaunan itu pun
berguguran ditiup angin. Sedangkan sasaran yang me-
reka tuju ternyata cuma seekor kelelawar kesiangan.
"Hue Ha ha ha!"
Gelak tawa mencelat hampir bersamaan dari
arah belakang mereka. Dengan gesit kedua tokoh sesat
itu membalikkan badan, kemudian menghentakkan
pukulan. Kembali empat larik sinar hitam melesat dari
telapak tangan mereka.
Letusan keras menggelegar kembali.
Glar!
Gelak tawa terpenggal. Tak lama, tersambung
kembali. Kini berasal dari balik semak-semak di ping-
gir kiri dua manusia botak. Gesit, keduanya memba-
likkan badan. Menyusul hantaman pukulan jarak jauh
berikutnya. Belum lagi ujung bersit hitam menghan-
tam sasaran, suara tawa sudah berpindah ke arah ka-
nan. Gelak tawa itu seperti memiliki nyawa sendiri,
melompat-lompat dari satu tempat ke lain tempat.
Dua Dewa Kematian dibuat kelimpungan. Se-
makin mengerikan wajah mereka. Murka. Seringai
menggidikkan tersungging di sudut bibir keriput kedu-
anya.
"Hei, tampakkan dirimu!" teriakan garang ke-
luar dari kerongkongan salah seorang, suatu teriakan
yang disertai penyaluran tenaga dalam hebat.
Menyayat-nyayat desiran angin.
Mengiang-ngiang.
Menyengat-nyengat.
Bumi digempakan
Gendang telinga puluhan punggawa, robek se-
ketika.
Dua manusia berhati iblis menyeringai, menuai
rasa kemenangan.
"Hei, keluar kau! Kalau tidak, akan kami lumat
manusia-manusia bodoh ini!" ancam salah seorang
momok dari Kuil Neraka.
Amarah mereka, telah berpindah. Bukan lagi
terhadap para punggawa, melainkan diarahkan kepada
seorang yang telah berani mempermainkan mereka.
Seruan yang tadi dilontarkan tak mendapat ja-
waban. Suasana lengang. Ketegangan bergeliat.
Angin bertiup wajar. Namun begitu, suasana
seperti itu suatu saat pasti akan meletus menjadi per-
tumpahan darah. Itu tercermin dari raut wajah kedua
manusia sesat yang memeram keangkeran. Mulut ke-
riput mereka terkatup rapat dan menggumpal.
Keheningan tiba-tiba dibelah oleh desingan ta-
jam. Asalnya dari benda sebesar dua kepalan tangan
orang dewasa.
Nngung!
Benda tersebut meluncur deras, menerjang dua
Dewa Kematian. Keduanya menghindar ke samping.
"Setan, benda apa itu?!" rutuk seorang dari me-
reka.
Ngung ngung!
Benda tadi mendesing-desing, berputar dengan
kecepatan tinggi hingga yang tampak hanya pusingan
di udara. Dua penghuni Kuil Neraka dibuat tambah
mendelik. Bagaimana tidak? Benda itu terus membu-
ru, menyerbu, menerjang, menerkam. Keduanya di-
buat kelimpungan. Mereka berjumpalitan. Kadang tu-
buh mereka melenting di udara.
Seluruh mata menyaksikan kejadian itu. Mere-
ka semua dibuat berdecak kagum. Para punggawa, bo-
leh menganga. Geleng-geleng kepala pun tak dilarang.
Benda sebesar dua kepalan tangan masih terus
mengejar sengit. Pada suatu saat, dua manusia sesat
menemukan satu taktik. Mereka memecah gerakan
menjadi dua arah. Yang satu melompat ke kiri, se-
dangkan yang lain ke kanan. Dengan demikian, bisa
membingungkan pengendali benda aneh itu. Tidak
mungkin satu benda menyerang dua sasaran terpisah
sekaligus.
Siasat dua Dewa Kematian berhasil. Benda
aneh tadi hanya dapat mengejar salah satu sasaran sa-
ja. Itu membuka peluang bagi yang lain untuk meng-
hancurkannya!
Benda aneh yang datang tak tahu juntrungan-
nya, mengincar seorang dari Tujuh Dewa Kematian
yang melenting ke arah kiri. Sedangkan yang melompat
ke kanan dengan penuh kesiagaan mengikuti gerak la-
ju benda itu. Dengan perhitungan teramat matang dan
jeli, pada saatnya dia membuat sapuan dengan lengan
jubah. Memenggal gerakan benda aneh di tengah jalan.
"Khiaaah!"
Suara berdentam membuncah di udara. Benda
sasarannya kontan hancur berantakan, sedangkan
lengan baju orang yang melepas sapuan tak terkoyak
sedikit pun. Itu menandakan adanya kekuatan tenaga
hebat yang membentengi lengan bajunya.
Benda yang disampok ternyata hanya sebuah
kincir bambu yang biasa dimainkan bocah belasan ta-
hun!
Puluhan pasang mata terbelalak menyaksikan
kenyataan tersebut. Sungguh kejadian yang mereka
anggap luar biasa. Kalau kincir saja bisa membuat dua
momok dari Kuil Neraka lintang-pukang, bagaimana
lagi orangnya? Tentu seorang tokoh sakti mandraguna
berusia amat lanjut yang mungkin sedikit nyentrik.
Keliru besar kalau mereka beranggapan seperti
itu.
Selang sekian tarikan napas, keluar seseorang
dari balik semak-semak.
"Hu hu hu!" raungnya, gila-gilaan. Disusul ke-
mudian dengan makian panjang-pendeknya.
Dua Dewa Kematian sendiri saat itu sedang te-
rengah-engah kehabisan napas. Menyaksikan yang ke-
luar seorang lelaki kumis berpakaian norak, keduanya
jadi mengernyitkan kening. Joyolelono orangnya. Kincir
mainan tadi pun miliknya.
Para punggawa yang sebelumnya sudah men-
genal Joyolelono sebelumnya seperti dikomando untuk
garuk-garuk jidat berbarengan. Lho, kok bisa dia? Bu-
kannya seorang tua berjenggot putih dengan wibawa
terpancar di wajah seperti bayangan mereka, malah
orang tengik pembuat onar! Protes hati mereka, seperti
tak bisa mempercayai.
"Siapa kau sesungguhnya, Keparat?!" geram
seorang Dewa Kematian, menyambut langkah-langkah
Joyolelono.
Sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan, Joyolelono menyahut.
"Kenapa kalian jadi marah? Seharusnya aku
yang marah karena kalian telah merusak mainanku,
wee!"
Menyaksikan perangai lawan yang bisa mem-
buat otak buntu, dua Dewa Kematian menggeram
tanggung. Disebut meringis, bukan. Disebut seringai
pun tidak.
"Sinting rupanya keparat ini!" maki seorang
Dewa Kematian. Keduanya lalu sama-sama memaku-
kan pandangan beringas kepada Joyolelono. Gelagat-
nya, mereka akan menghajar si bocah berkumis.
Para punggawa kasak-kusuk. Mereka sudah
yakin Joyolelono akan dipermak habis oleh dua Dewa
Kematian. Kasihan juga, pikir mereka kalau mengingat
keadaan Joyolelono. Apalagi lawan adalah sejenis ma-
nusia tak berhati.
Baru saja kedua momok menerkam ke arah
Joyolelono, menderu sebentuk angin pukulan jarak
jauh, menjegal mereka dari depan.
Jlegar!
Tanah pekarangan kadipatenan berlobang se-
besar gajah! Tanahnya berhamburan ke angkasa, me-
nebar ke segenap penjuru seperti hujan.
Luruh.
Riuh.
Dua Dewa Kematian sendiri sempat terpental
cukup jauh. Mereka berhasil menjaga keseimbangan.
Kendati begitu, tak urung mulut mereka mengalirkan
darah kehitaman.
Menyusul, suara senandung samar-samar.
Timbul tenggelam di antara tiupan angin. Merdu saja
tidak. Malah mirip-mirip suara gerutuan orang satu
kelurahan.
Selang berikutnya, muncul pula orang kedua.
Seorang tua berwajah merah matang membawa guci
tuak besar. Berjalan dia sempoyong sana sempoyong
sini dari satu sudut kadipatenan.
Wajah Dua Dewa Kematian berubah menyaksi-
kan orang yang baru keluar.
"Danusentana...," bisik keduanya, hampir ber-
barengan. Seperti pernah dikatakan Ki Dagul atau Da-
nusentana sendiri pada Satria beberapa waktu lalu,
bahwa sebenarnya antara dirinya dengan Tujuh Dewa
Kematian sudah saling mengenal sejak lama. Mereka
adalah saudara-saudara seperguruannya yang berk-
hianat.
"Apa kabar kalian? Mana lima monyet botak
yang lain? Apa kalian sudah mati satu persatu terkena
panu?" mulai Pengemis Tuak sambil sesekali meneguk
tuaknya.
Dua penghalang yang tak enteng, nilai dua De-
wa Kematian. Pengemis Tuak sendiri saja sudah men-
jadi masalah besar untuk mereka. Mereka cukup tahu
seberapa tangguh orang tua peminum itu. Berkali-kali
mereka telah bertemu dalam pertarungan. Memang
berkali-kali Pengemis Tuak harus menelan kekalahan.
Setelah lama tak berjumpa kembali, mereka tak
bisa menganggap kesaktiannya tak bertambah. Mung-
kin saja kesaktiannya kali ini dapat mengakibatkan
kesulitan teramat besar bagi Tujuh Dewa Kematian....
"He he he, tiba waktunya aku memetik keme-
nangan dan membayar kekalahan! Kau botak-botak,
akan segera menerima hukuman yang semestinya te-
lah lama kalian rasakan!" koar Pengemis Tuak, seperti
mengerti kecamuk pikiran dua Dewa Kematian.
Dua manusia kembar saling menukar pandan-
gan. Mereka menaikan sudut bibir, seakan hendak
mengejek. Salah seorang mengibaskan lengan bajunya
ke arah daun kering yang tergeletak di tanah, satu tin-
dak di depannya.
Wsss!
Seketika angin memekik. Daun kering mencelat
dan melesat bagai lempeng dari pecahan meriam ke
arah seorang punggawa. Mereka sengaja memancing
keributan!
Melihat tindakan manusia keji yang tidak
menghargai arti nyawa manusia, Pendekar Tuak segera
bertindak. Dengan mengimbangi gerak laju daun ker-
ing tadi, tubuhnya meluncur. Di udara, tangan tua
bangka itu mengayun guci tuak besarnya, menanduk
gerak laju daun kering. Benturan terjadi.
Klang!
Terlahir bunyi keras.
Arah luncuran daun menyimpang.
Tembok pagar kadipatenan jadi sasaran.
Lobang menganga tercipta.
Beberapa punggawa berdecak. Punggawa yang
hendak jadi sasaran daun, tak bisa berdecak. Dia ke-
buru semaput di tempat akibat terlalu kaget. Jantun-
gan kambuhan.
Selesai melakukan hal itu, si jago tua me-
nyunggingkan senyum sinis kepada dua Dewa Kema-
tian.
"Kalian benar-benar biadab! Manusia semacam
kalian tidak layak hidup di dunia. Mati pun kalian tak
layak dikubur di perut bumi! Pantasnya kalian dikubur
di dalam perut serigala!" omel Ki Dagul
"Kau mau menceramahi kami, atau hendak
menjajal kesaktian kami lagi, Danusentana? Barangka-
li, kau ingin kami mempecundangimu lagi untuk yang
kesekian kali?" cemooh salah satu Dewa Kematian.
"Ah," Ki Dagul menepis udara dengan gaya
'mabuk'nya seraya mencibir. Tak mau kalah, dice-
moohnya pula kedua musuh lamanya.
"Kalian berdua? Kenapa tak kalian semua da-
tang dan menghadapi aku sendiri! Tujuh.... kalau perlu
kalian menyulap diri menjadi seratus orang!"
Ki Dagul menepuk dada. Bunyinya garing. Mak-
lum cuma tulang melulu.
Suasana menjadi kian membakar.
Dua Dewa Kematian tak bisa menahan gejolak
nafsu.
Mereka meluruk. Pertarungan pecah.
Joyolelono tak bisa diam. Sebenarnya dia su-
dah amat gatal sejak tadi. Namun karena kebingungan
dengan ribut-ribut Ki Dagul dan Dua Dewa Kematian
yang memperebutkan pepesan kosong, akhirnya dia
cuma pelanga-pelongo.
Sebelum terjun ke medan laga, lelaki keboca-
han itu menarik napas dalam-dalam. Dadanya men-
gembung. Lalu dari mulutnya mengalirlah raungan
panjang, seperti tangisan seorang bocah yang ditinggal
mati orang tua.
"Ngaaaaaaaaa!"
Jurus 'Dewa Langit Menangis'! Jurus aneh mi-
lik Dewa Gila yang diturunkan kepadanya mulai diper-
tunjukkan....
Dua Dewa Kematian mencecar Pengemis Tuak
dari dua arah berlawanan. Satu mencoba menggempur
dari kiri, yang lain dari sisi kanan. Siasat tarung yang
mencoba membuat lawan kerepotan.
Menghadapi serangan macam itu, Ki Dagul ma-
lah terkekeh-kekeh. Dia kenal siapa lawan. Kenal be-
tul, seperti dia mengenal ketiak sendiri. Kedua lawan
mencoba mendesaknya dengan mengerahkan jurus
'Amukan Tujuh Dewa', itu pun terbaca oleh Ki Dagul.
Kalau orang tua pemabuk itu terkekeh, penyebabnya
karena 'Amukan Tujuh Dewa' seharusnya diperguna-
kan untuk tujuh orang. Bukan dua orang seperti kini
dihadapinya. Dengan begitu, keampuhan 'Amukan Tu-
juh Dewa' seperti kehilangan taji di mata Ki Dagul.
"Kalian sedang mengejekku, ya?" kekeh Ki Da-
gul, ramai dan melengking. "Masa' kalian mengerahkan
jurus tumpul itu padaku sekarang ini? Sudah kubilang, kalian harus kumpul bersama sekalian mengha-
dapiku agar 'Amukan Tujuh Dewa' kalian tidak cuma
membuat aku terkikik geli"
Dua Dewa Kematian tak peduli.
Mereka terus merangsak.
Sing sing!
Telapak tangan mereka mendesing-desing,
membuat babatan ke segenap titik terlemah pertaha-
nan lawan.
Sampai saatnya si bocah berkumis pun tiba.
Dengan wajah kelewat memelas seperti menahan kese-
dihan hebat, Joyolelono memotong serangan salah seo-
rang Dewa Kematian. Gerakannya agak tengik. Main
seruduk saja. Tangannya bergerak hendak memeluk
lawan. Bibirnya memancung ke depan, matanya terka-
tup layaknya seorang wanita genit hendak mencumbu
mesra-mesra pemuda pujaan hati.
Orang yang dituju tentu saja terperangah. Se-
lintas, terpikir olehnya dia sedang menghadapi orang
sinting. Namun begitu dia mendengar dengus angin
yang ditimbulkan gerak merangkul lawan, dia pun sa-
dar dirinya tak hanya menghadapi kesintingan, me-
lainkan satu jurus ampuh mematikan!
Si botak itu pun jungkir balik.
Krep!
Sentakan dalam meletup ketika pelukan Joyole-
lono tak menemukan tubuh lawan. Selaku tokoh sakti,
lawan bisa menilai dari letupan tadi. Seandainya tu-
buhnya sempat terpeluk, tak disangsikan tulang ru-
suknya akan terpatah-patah!
"Hei, Lelaki Tolol, apa yang kau lakukan?!"
semprot Ki Dagul mengetahui dirinya telah mendapat
dukungan. Gusar. Mestinya dia berterima kasih. Seti-
daknya merasa senang. Ini malah sewot. Malah sempat-sempatnya dia menggebah Joyolelono dengan guci
besarnya.
Wung!
"Enyah kau!"
Untung saja Joyolelono sudah membuka ma-
tanya kembali. Dia cepat mendoyongkan badan ke
samping. Kalau tidak begitu, jidatnya bisa empuk se-
ketika.
Tanpa sengaja, tindakan Ki Dagul malah men-
jegal serangan balasan lawan Joyolelono yang berniat
hendak menyentakkan telapak tangan ke depan. Ter-
paksa, diurungkannya serangan. Tak hanya itu, dia
pun harus berjumpalitan ke atas jika tak ingin da-
danya digebuk guci tuak Ki Dagul.
Joyolelono sendiri tidak mengamuk. Marah saja
tidak. Dia merasa Ki Dagul tak punya niat apa-apa.
Barangkali tak sengaja. Yang dia tahu, lawannya ada-
lah dua lelaki tua gundul berbibir gombal. Itu saja.
Medan laga pun terbagi dua.
Joyolelono mulai memainkan jurus lagi. Ba-
dannya berjingkat-jingkat genit. Wajahnya memperli-
hatkan mimik menangis memelas.
Lawannya bersiap dengan wajah setengah me-
longo.
Ki Dagul makin sewot.
Joyolelono berjinjit menggelikan ke arah lawan.
Dadanya dibusungkan seakan perawan yang memiliki
buah dada sebesar semangka. Sebaliknya, mulutnya
terus memperdengarkan gerungan menggila.
Ki Dagul makin sewot. Rasanya pekerjaannya
sudah diganggu oleh seorang laki-laki tolol. Lawan bo-
tak yang sedang dihadapinya malah ditinggal. Dikejar-
nya Joyolelono.
"Kubilang kau jangan turut campur! Ini uru
sanku dengan dua Dewa Botak Sialan!"
Sambil memaki, Ki Dagul menggebah Joyolelo-
no kembali dengan gucinya dari belakang.
Si bocah berkumis merasakan deru keras
membokongnya. Tanpa perlu menoleh, dia mengguling
badan di bumi.
Wung!
Terjangan guci Pengemis Tuak pun nyelonong
ke depan, persis ke arah kepala si botak yang semula
menanti serangan Joyolelono. Perhatiannya terpecah
seketika. Dia mengelakkan hantaman guci Pengemis
Tuak. Tapi, dia malah lupa pada Joyolelono yang ber-
gulingan.
Ketika si bocah berkumis sudah berdiri menda-
dak di depan hidungnya, barulah dia terkesiap. Mau
menghindar, sudah terlambat. Sepasang tangan Joyo-
lelono sudah lebih dahulu melayap ke dadanya dengan
gerakan menjawil.
"Kena!"
Menjawil.
Tangan si bocah berkumis hanya terlihat men-
jawil dada lawan. Akibatnya sungguh di luar perkiraan.
Seketika lawannya mendekap dada dengan wajah nya-
ris membiru menahan rasa sakit luar biasa dalam
rongga dadanya.
Panas.
Meranggas.
Melecut-lecut.
Tak begitu lama, si botak seorang dari Dewa
Kematian itu pun memuntahkan darah segar.
Botak yang lain terperangah. Dia mulai men-
gendusi jurus maut yang terlihat remeh milik salah
seorang lawan.
"Dewi Langit Menangis'...," desisnya. Dia jelas
pernah mendengar seorang tokoh kawakan wilayah ba-
rat yang amat kesohor sebagai pemilik jurus tersebut.
Tampaknya, korban 'jawilan' Joyolelono pun
menyadari hal itu. Keduanya saling berpandangan.
"Apa hubungan orang tolol ini dengan si Je-
rangkong Dewa Gila itu?" erang orang tua botak yang
mendekap dada.
Sedangkan Joyolelono sendiri sekadar mesem-
mesem keledai. Dia melirik Ki Dagul dengan perasaan
girang, merasa Ki Dagul telah membantunya dalam
keberhasilan serangan tadi. Padahal, Ki Dagul penasa-
ran sekali ingin membuat 'empuk' kepala lelaki berotak
tak 'empuk' itu?!
SELESAI
Ikuti lanjutan kisahnya dalam:
TUMBAL TUJUH DEWA KEMATIAN
0 comments:
Posting Komentar