..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE BANGKITNYA DEWA PETAKA

Bangkitnya Dewa Petaka

 

Episode I: PASUKAN KELELAWAR 
Episode II: MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Episode III: BANGKITNYA DEWA PETAKA
BANGKITNYA
DEWA PETAKA
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU
PEREMPUAN ketiga puluh. Adalah syarat pun-
cak bagi seorang tokoh sesat berjuluk Manusia Makam 
Keramat untuk bangkit dari kematiannya. Kematian 
yang telah memenjarakan arwahnya dalam dingin dan 
kebekuan himpitan dua alam. Antara alam nyata dan 
gaib. Kematian yang diterima melalui tangan seorang 
Prabu Pajajaran, yang telah menikamkan keris pusaka 
ke dadanya!
Perempuan ketiga puluh. Telah datang untuk-
nya. Malam ini. Dipersembahkan oleh iringan para bo-
cah terkutuk yang menjadi momok dengan sebutan 
Pasukan Kelelawar. Mereka, para bocah yang meneri-
ma seribu satu kutukan dan sumpah serapah dari go-
longan lurus telah berhasil hingga saat itu melaksana-
kan segala titah sang Eyang Guru. Dari kejaran tokoh-
tokoh ternama, mereka pun berhasil lolos.
Mereka, sembilan manusia muda namun ber-
kedigdayaan sebanding dengan tokoh-tokoh jajaran 
atas dunia persilatan, datang dengan segala kesan 
keangkeran ke tempat di mana jasad manusia durjana 
terbaring. Di bahu salah seorang bocah, tertelungkup 
lunglai seorang perempuan muda. Perempuan ketiga 
puluh. Tumbal yang akan disediakan untuk melantak 
batas gerbang dua alam yang membelenggu sang dur-
jana sekian lama.
Perempuan ketiga puluh.
Dalam kepekatan kabut serta engahan angin, 
Pasukan Kelelawar sampai di makam Eyang Guru me-
reka. Malam gulita. Satwa tak punya nyali untuk ber-
suara. Dalam kungkungan sepi, mereka mengitari ma-
kam paling besar bernisan raksasa dari batu berben

tuk tengkorak manusia.
Perempuan ketiga puluh.
Perempuan ketiga puluh!
Perempuan ketiga puluh....
Perempuan penyempurna bangkitnya sang De-
wa Petaka!
Akankah simbahan darah membanjiri tanah 
Jawa?
* * *
"Hua hua haa...!"
Tawa keras terdengar mengusik kesunyian pa-
gi. Panjang, sarat ke gempitaan. Gemanya merambat 
ke seluruh pelosok.
Suara itu berasal dari salah satu di antara se-
kian banyak kuburan kuno yang terdapat di Makam 
Keramat Maut. Sebuah pemakaman yang hampir tidak 
pernah didatangi orang. Masalahnya, setiap orang yang 
datang ke sana jarang yang kembali lagi. Mungkin itu 
sebabnya, tempat itu dinamakan Makam Keramat 
Maut.
Menurut cerita yang tersebar di dunia persila-
tan, di sekitar Makam Keramat Maut banyak terdapat 
tempat-tempat berbahaya. Lumpur hidup serta jalan-
jalan setapak yang terdapat di antara hamparan ila-
lang setinggi satu setengah tombak, menyembunyikan 
bahaya sangat menyiksa bagi korbannya. Selain itu, di 
sana banyak berkeliaran kelelawar-kelelawar ganas. 
Semua itu hanya merupakan sebagian kecil dari ba-
haya-bahaya yang menghadang perjalanan menuju ke 
Makam Keramat Maut. Tak aneh kalau tempat itu di-
takuti tokoh-tokoh persilatan, dan dinamakan Makam 
Keramat Maut!

Mendadak dari dalam kuburan kuno berbatu 
nisan tengkorak sebesar kerbau, tempat asal tawa 
membahana tadi, melesat sesosok tubuh. Gerakannya
cepat luar biasa. Yang terlihat hanya sekelebatan 
bayangan hitam dalam bentuk tidak jelas. Sesaat ke-
mudian, di depan bangunan kuno itu telah berdiri seo-
rang kakek kurus berambut dan berjenggot putih amat 
panjang. Ujungnya bahkan sampai di tanah. Wajahnya 
sepucat manusia yang darahnya habis terperah. Bu-
kan itu saja yang menggidikkan. Kuku-kuku di jari 
tangan dan kakinya demikian panjang melingkar-
lingkar. Perawakannya kurus, hanya seperti tulang 
terbungkus kulit. Dia hanya mengenakan cawat dari 
kain.
"Sekarang tibalah waktunya bagiku untuk me-
wujudkan cita-citaku dulu! Aku bersumpah seluruh 
bumi Pajajaran dan dunia persilatan akan bertekuk lu-
tut padaku...!"
Usai berkata demikian, si kakek merangkapkan 
kedua tangannya ke dada. Tiba-tiba saja dari sela gi-
ginya keluar taring panjang. Sepasang matanya pun 
berubah. Bola mata hitamnya menjadi tegak memipih, 
tajam berkilat mengeluarkan sinar kehijauan,
Hanya sesaat saja, dia bersikap demikian. Ke-
mudian, diawali bunyi menggeram serak layaknya ke-
luar dari mulut gorila, dia melompat ke atas.
Sungguh menakjubkan! Ringan bukan main ge-
rakannya. Lebih ringan dari sehelai bulu tubuhnya 
melayang ke atas. Setibanya di sana, tangan kanannya 
dikibaskan.
Wuttt! Blarrr!
Bunyi berderak keras langsung terdengar keti-
ka angin kibasan tangannya menghantam batu nisan 
sebesar kerbau yang berada di atas liang lahat di mana

dia keluar sebelumnya. Apa pun tujuannya, kentara 
sekali dia begitu membenci nisan liang lahat sendiri.
Jleg!
Begitu kedua kakinya hinggap di tanah, si ka-
kek kurus langsung mengumbar kembali tawanya. 
Terdengar lepas sesak dengan nada kepuasan.
"Tak ada lagi prasasti terkutuk itu! Aku telah 
kembali!! Aku telah kembali sang Prabu! Kuharap selu-
ruh darah keturunanmu akan membasahi kerongkon-
gan ku!"
Masih dengan tawa keras, dia melesat mening-
galkan tempat itu. Luar biasa! Hanya dengan sekali 
menghentakkan kaki yang terlihat begitu enteng, dia 
telah berada belasan tombak di depan. Tanpa memiliki 
ilmu meringankan tubuh sangat tinggi, jarak seperti 
itu tak akan bisa dicapai!
Baru beberapa kali lesatan, kakek kurus tadi 
menghentikan langkah. Pandangannya diarahkan ke 
depan, di mana terhampar ilalang setinggi satu seten-
gah tombak. Wajahnya membeku. Sesuatu sedang ter-
lintas dalam benaknya.
Dipandanginya seluruh wilayah Makam Kera-
mat Maut. Tempat di mana selama lebih dari seratus 
tahun jasadnya terkungkung bumi. Menyaksikan Ma-
kam Keramat Maut baginya seperti membayangi wajah 
Prabu Pajajaran yang telah membunuhnya. Itu mengo-
barkan kebencian tak terhingga dalam dirinya. Keben-
cian yang bersumber pada sang Prabu, dan merambat 
pada seluruh keturunannya!
Tanpa alasan yang bisa dimengerti siapa pun 
kecuali dirinya, untuk kesekian kalinya dia tertawa 
bergelak-gelak. Cukup lama. Sebelum akhirnya ber-
henti. Lebih tepatnya lagi dihentikan secara mendadak. 
Mendadak pula ia memutar tubuhnya, dengan arah

gerakan ke kanan. Itu pun dibarengi dengan gerakan 
tangannya. Mendadak....
Bluppp!
Ajaib! Tubuh si kakek kontan lenyap. Di tem-
patnya berdiri semula hanya tampak kepulan asap. 
Wujudnya raib!
Sementara, ke manakah sembilan bocah sakti 
para budaknya, menjadi tanda tanya.
* * *
Matahari telah bergeser jauh dari tempatnya 
semula. Meskipun demikian tetap belum mencapai ti-
tik puncaknya, ketika sebuah rombongan kecil kereta 
kuda, memasuki mulut Hutan Rangkas.
Rombongan kecil itu terdiri dari sebuah kereta 
dan delapan ekor kuda pengiring. Kedelapan ekor kuda 
ditunggangi para lelaki gagah. Posisinya melindungi 
kereta. Tiga di bagian belakang dan depan. Sedangkan 
pada masing-masing sisi kereta, terdapat satu.
Seperti juga binatang-binatang tunggangan 
yang semuanya berwarna coklat, sosok-sosok gagah di 
atas punggung kuda itu pun mengenakan pakaian 
dengan warna serupa. Pada bagian dada kiri pakaian-
nya tersulam gambar seekor kuda bersayap. Pedang 
bergagang kepala kuda, tampak di balik punggung me-
reka. Senjata-senjata itu membuktikan kalau rombon-
gan ini bukan orang-orang lemah.
Melihat sikap para penunggang yang terlihat 
begitu melindungi kereta, bisa diduga kalau orang 
yang berada di dalamnya dari kalangan berdarah biru. 
Dengan lambang kebesaran Kerajaan Pajajaran pada 
pintu kereta kuda, orang akan makin yakin pada du-
gaan itu. Setidaknya di dalam sana duduk keluarga ra

ja.
"Tahan...!"
Mendadak salah satu dari tiga penunggang ter-
depan, berkata dengan suara pelan sambil mengangkat 
tangan kanannya ke atas seraya menarik tali kekang 
kudanya.
Seketika itu pula, rombongan yang berada di 
belakang tiga sosok itu menghentikan langkah kuda 
mereka.
Seiring dengan dilakukannya tindakan itu, 
masing-masing sosok berpakaian merah muda bersi-
kap waspada. Masalahnya, mereka melihat adanya 
penghadang. Seorang kakek kurus kering berambut 
dan berjenggot amat panjang. Berdiri diam layaknya 
tonggak mati. Tangannya bersidekap di dada.
Sementara itu salah satu dari tiga penunggang 
kuda terdepan, seorang lelaki tegap berkumis jarang, 
melompat turun. Indah dan manis dilihat gerakannya. 
Bahkan ketika kedua kakinya mendarat di tanah, tidak 
terdengar adanya bunyi berarti. Hal itu menjadi per-
tanda kalau ilmu meringankan tubuhnya cukup tinggi.
Lalu dengan langkah dan sikap tenang, lelaki 
berkumis jarang itu menghampiri sosok berjubah hi-
tam yang berdiri dalam jarak sepuluh tombak di de-
pannya.
Tentu saja tindakan lelaki berkumis jarang 
yang bisa dipastikan pimpinan rombongan kecil itu, ti-
dak luput dari perhatian rekan-rekannya dan si peng-
hadang.
"Maaf, Orang Tua. Bisakah kau menyingkir se-
bentar? Kami hendak lewat, dan tengah memburu 
waktu," ucap lelaki berkumis jarang, pelan dan sopan.
Tak ada jawaban. Bahkan sekadar helaan na-
pas. Penghadang tadi seolah tak memperlihatkan tan

da-tanda kehidupan. Kelopak matanya bahkan tertu-
tup.
Lelaki tadi menautkan alis. Tak mungkin orang 
tua ini sedang bersemadi di tengah jalan dengan posisi 
yang tak lazim pula, pikirnya. Diperhatikannya wajah 
si penghadang cermat-cermat. Saat itu, melintas geta-
ran ketakutan yang sulit dipahami dalam dirinya. Dia 
bergidik. Entah kenapa.
"Maaf, Kisanak. Mungkin perlu kau ketahui, 
kami adalah orang-orang dari Perguruan Kuda Langit. 
Kebetulan sekali, aku pemimpin rombongan ini. Na-
maku Wicaksana. Saat ini kami tengah mendapat tu-
gas, yang harus cepat kami laksanakan. Berarti kami 
tidak punya banyak waktu. Sekali lagi kuminta kau 
dapat menyingkir dari tempatmu, Kisanak. Berilah 
kami kesempatan untuk lewat," pinta lelaki tadi, men-
coba kembali.
"Cuiihhh...!"
Tanggapan dari si penghadang adalah sembu-
ran ludah ke tanah. Kasar dan menjijikkan sekali ca-
ranya.
"Siapa pun adanya kalian aku tidak peduli! Dari 
Perguruan Kuda Langit atau Perguruan Kuda Setan, 
bukan urusanku! Yang jelas, kalian harus menyerah-
kan penumpang dalam kereta kuda itu!"
"Keparat...!"
Terdengar suara makian keras bernada penuh 
kemarahan. Kemudian disusul dengan melompatnya 
salah seorang penunggang kuda yang tadi berada di 
sebelah Wicaksana. Dia adalah seorang lelaki bertubuh 
pendek gendut.
"Biar aku yang akan melemparkan orang tua 
sombong itu, Kang!" pinta lelaki pendek gendut ketika 
telah berada di dekat Wicaksana.

Wicaksana tidak langsung menjawab perta-
nyaan itu. Ditatapnya wajah lelaki pendek gendut itu, 
sejenak.
"Baik! Tapi, hati-hati, Loringga! Jangan bertin-
dak sembrono. Aku yakin dia bukan orang sembaran-
gan," beri tahu lelaki berkumis jarang seraya melang-
kah mundur, memberi kesempatan pada rekannya.
"Mengapa harus membuang-buang waktu?! Le-
bih baik kalian semua maju berbarengan!" tantang si 
kakek kurus, tanpa menyembunyikan kesan sombong 
pada wajah membatunya.
Karuan saja, hal itu membuat semua orang 
yang berada di dalam rombongan Perguruan Kuda 
Langit jadi gusar.
Hal yang sama pun dialami oleh Loringga! Ke-
marahannya semakin berkobar mendengar sesumbar 
lawannya. Maka diputuskan untuk segera melaksana-
kan maksudnya.
"Orang tua sombong! Lihat serangan! Hih!"
Loringga membuka serangannya dengan se-
buah tendangan lurus ke arah dada. Deru angin cukup 
keras yang mengiringi tibanya serangan itu menjadi 
pertanda kalau pemuda bertubuh pendek gendut itu 
memiliki tenaga dalam cukup kuat.
Tapi orang yang diserang tetap bersikap tenang. 
Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau dia akan me-
lakukan tindakan. Baik tangkisan atau elakan. Mem-
buka mata saja tidak!
Begitu serangan Loringga menyambar semakin 
dekat, si kakek kurus itu menurunkan kedua tangan-
nya. Sebuah tindakan yang membuat ancaman bahaya 
semakin besar. Betapa tidak? Karena bagian dadanya 
semakin dibuka lebar-lebar.
Karuan saja hal ini membuat semua orang yang

berada di situ merasa terkejut. Tak terkecuali Loringga! 
Sudah gilakah si kakek kurus itu! Kalau tidak, mana 
mungkin membiarkan serangan lawan menghantam-
nya? Ataukah dia memiliki kepandaian yang demikian 
tinggi, sehingga berani menerima serangan lawan?
***
DUA
PERTANYAAN demi pertanyaan itu menggayuti 
semua kepala anggota rombongan Perguruan Kuda 
Langit. Sekarang, mereka hanya menunggu kenyataan 
yang akan terjadi dengan perasaan tegang.
Anggota Perguruan Kuda Langit tidak perlu 
menunggu lama untuk membuktikan kenyataan itu. 
Karena sesaat kemudian....
Bukkk!
Telak dan keras sekali kaki Loringga mendarat 
di dada si kakek kurus.
Akibat selanjutnya benar-benar mengejutkan 
hati. Betapa tidak? Kalau menurut perhitungan, tulang 
rusuk si kakek kurus pasti jebol! Tapi yang terjadi ti-
dak demikian. Loringga-lah yang menjerit-jerit kesaki-
tan sambil memegangi kakinya.
Pemuda bertubuh pendek gendut ini merasa-
kan betapa kakinya seperti bukan menghantam tubuh 
manusia yang terdiri dari daging dan tulang. Tapi, 
mengenai bongkahan batu karang! Rasa sakit yang ti-
dak tertolong langsung menderanya.
Tentu saja rekan-rekan Loringga merasa terke-
jut bukan main melihat hal itu. Sekarang mereka sa-
dar kalau lawan memiliki kepandaian tinggi. Bagai di

beri perintah mereka serempak melompat dari pung-
gung kuda masing-masing. Sudah dapat diduga mak-
sudnya. Apalagi kalau bukan untuk membantu Loring-
ga. Tapi.... 
"Hentikan! Jangan ada seorang pun yang ber-
pindah dari kedudukan masing-masing!"
Seruan Wicaksana membuat anggota rombon-
gan Perguruan Kuda Langit yang berada di samping 
dan di belakang kereta, menghentikan tindakan. Mere-
ka menyadari adanya kebenaran dalam ucapan itu.
"Hua hua haa...! Mengapa berhenti? Tidak usah 
malu-malu! Teruskan saja maksud kalian untuk men-
geroyokku, agar pertarungan jadi lebih menarik! Hua 
hua haa...!"
Si kakek kurus mengeluarkan pernyataannya 
dengan penuh ejekan. Sikapnya, terlihat memandang 
rendah sekali.
"Siapa kau, Orang Tua?! Mengapa tanpa alasan 
apa pun kau mengganggu kami?! Setahuku, pihak Per-
guruan Kuda Langit tidak pernah mempunyai urusan 
denganmu!" ujar Wicaksana sambil melangkah maju. 
Sama sekali tidak dipedulikannya sikap sombong si 
kakek kurus.
"Hua hua haa...!" Lagi-lagi kakek kurus itu ter-
tawa sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan Wi-
caksana.
"Apa gunanya aku memperkenalkan diri pada 
cecunguk macam kalian, hm? Namun, aku masih cu-
kup punya kebaikan. Kalian boleh menyebutku Manu-
sia Makam Keramat! Kau dengar?!"
"Manusia Makam Keramat?!" gumam Wicaksa-
na dengan dahi berkernyit.
Lelaki berkumis jarang mencoba mengingat-
ingat, barangkali saja pernah didengarnya tokoh persilatan yang mempunyai nama demikian. Tapi sampai le-
lah dia menguras otaknya, tetap tidak didapatkannya 
tokoh persilatan yang mempunyai nama seperti itu. 
"Kau belum mengemukakan alasanmu meng-
hadang perjalanan kami, Orang Tua?" susul Wicaksa-
na bernada mengingatkan.
"Sederhana saja," timpal Manusia Makam Ke-
ramat, tenang.
"Apa?!" tanya Wicaksana, ingin tahu.
"Membuang cecunguk macam kalian ke nera-
ka!" tandas Manusia Makam Keramat.
"Keparat!" maki Wicaksana, geram karena me-
rasa dipermainkan oleh Manusia Makam Keramat. Se-
lanjutnya....
Srattt!
Sinar terang menyilaukan mata mencuat ketika 
pimpinan rombongan Perguruan Kuda Langit ini men-
cabut pedangnya. Kejadian yang menimpa diri Loring-
ga, menyebabkan Wicaksana tanpa ragu-ragu lagi 
menghunus senjata. Disadari kalau Manusia Makam 
Keramat adalah seorang lawan yang amat tangguh!
"Hmmmrr...!"
Sebuah dengusan pendek dari Manusia Makam 
Keramat yang menyambuti tindakan Wicaksana. Juga 
seperti sebelumnya, si kakek kurus ini tetap bersikap 
tenang seolah-olah tidak ada bahaya maut yang men-
gancamnya.
"Cabut senjatamu, Manusia Makam Keramat!" 
seru Wicaksana ketika melihat lawan masih berdiam 
diri.
"Tidak usah berlagak gagah, Anak Muda," ejek 
Manusia Makam Keramat. "Seranglah aku! Jangan ra-
gu-ragu untuk mengeluarkan seluruh kemampuan-
mu."

"Sombong! Ingat, Orang Tua! Jangan salahkan 
aku telah bertindak curang menyerang lawan yang ti-
dak bersenjata. Tapi kau sendiri telah mengabaikan 
kesempatan yang kuberikan!"
"Tidak usah banyak mulut, Anak Muda! Kau 
memang bukan pengecut, serang aku!" tandas Manu-
sia Makam Keramat, tak peduli!
Kontan wajah Wicaksana merah padam. Sepa-
sang matanya pun berkilat-kilat memancarkan ama-
rah. Sikap Manusia Makam Keramat yang terlalu som-
bong, penyebab utamanya. Lalu....
"Hiaaat...!"
Diawali teriakan nyaring yang membuat suasa-
na di sekitar tempat itu bergetar hebat, Wicaksana me-
lancarkan serangan pertamanya. Ditusukkan pedang-
nya ke arah leher Manusia Makam Keramat!
Cittt!
Bunyi mencicit dari udara yang terobek, ter-
dengar ketika pedang Wicaksana meluncur menuju sa-
saran.
Cepat bukan main meluncurnya serangan itu. 
Tapi masih lebih cepat lagi gerakan Manusia Makam 
Keramat. Hanya dengan memiringkan kepalanya ke 
kanan, tanpa bergeser dari tempatnya semula, Manu-
sia Makam Keramat telah membuat serangan itu kan-
das. Ujung pedang Wicaksana lewat beberapa jari di 
sebelah kiri leher Manusia Makam Keramat.
Melihat serangan pertamanya, berhasil dielak-
kan lawan secara mudah, Wicaksana jadi penasaran. 
Segera dikirimkan serangan susulan yang merupakan 
kelanjutan sebelumnya. Diayunkan pedangnya secara 
mendatar ke arah leher lagi!
Wuttt!
Untuk yang kedua kalinya babatan pedang Wicaksana hanya mengenai angin. Karena Manusia Ma-
kam Keramat telah menarik kepalanya ke belakang. 
Sungguh hebatnya, hal itu dilakukan tanpa menggeser 
kaki!
Tapi Wicaksana tidak menjadi putus asa kare-
nanya. Bahkan sebaliknya! Serangan-serangan yang 
dikirimkannya semakin dahsyat. Pedangnya berkeleba-
tan cepat mengancam berbagai bagian berbahaya di 
tubuh Manusia Makam Keramat disertai bunyi menci-
cit yang menyakitkan telinga.
Berturut-turut Wicaksana melancarkan seran-
gan dahsyat secara bertubi-tubi. Tapi semua itu ber-
hasil dielakkan oleh Manusia Makam Keramat tanpa 
menggeser kaki seujung kuku pun! Laksana bayangan, 
tubuhnya digerakkan ke sana kemari untuk menge-
lakkan semua serangan Wicaksana.
"Heih!"
Wicaksana menggertakkan gigi. Perasaan ma-
rah dan sakit hati berkecamuk di hatinya mendapati 
serangan demi serangan yang dikirimkan dipatahkan 
lawan secara demikian mudah. Sebagai akibatnya, se-
rangan-serangan yang dikirimkannya pun semakin 
dahsyat!
"Sekarang giliranku!" 
Di antara bunyi riuh rendah berkelebatannya 
pedang Wicaksana, terdengar seruan Manusia Makam 
Keramat. Tapi Wicaksana yang tengah dilanda amarah 
tidak mempedulikannya. Dia terus saja melancarkan 
serangan. Pedang di tangannya dikelebatkan ke arah 
berbagai bagian berbahaya di tubuh Manusia Makam 
Keramat. Namun....
Tappp! 
"Akh!"
Jeritan pendek bernada kaget keluar dari mulut

Wicaksana ketika batang pedangnya kena dicengkeram 
Manusia Makam Keramat. Memang, kejadiannya ber-
langsung demikian cepat dan tak terduga-duga.
Meskipun demikian Wicaksana tidak menjadi 
kehilangan akal karenanya. Secepat batang pedangnya 
tercengkeram, secepat itu pula ditariknya seraya men-
gerahkan seluruh tenaga dalamnya. Tergambar di be-
naknya jari-jari tangan Manusia Makam Keramat akan 
putus tersayat mata pedang. Paling tidak, tangan itu 
akan terluka! Jika hal itu terjadi, pasti Manusia Ma-
kam Keramat akan melepaskan cengkeramannya.
Tapi harapan Wicaksana pupus seketika. Pe-
dang itu sama sekali tidak bergeming dari cengkera-
man tangan Manusia Makam Keramat. Seolah-olah 
bukan tercengkeram oleh tangan manusia, melainkan 
dihimpit kaki gajah! Betapa pun telah dikerahkan selu-
ruh tenaganya, tetap saja tidak bergerak!
Meskipun demikian, Wicaksana tidak putus 
asa. Tetap diteruskan maksudnya sampai wajahnya 
merah padam dan nafasnya terengah-engah.
Berbeda dengan Wicaksana, keadaan Manusia 
Makam Keramat biasa saja. Tidak terlihat adanya tan-
da-tanda kalau dia mengerahkan tenaganya. Raut wa-
jahnya tetap seperti semula. 
Beku. Membatu.
Semua kejadian ini disaksikan secara jelas oleh 
semua anggota Perguruan Kuda Langit. Terutama se-
kali oleh Loringga dan rekannya yang berada di bagian 
terdepan. Tanpa diberi tahu pun mereka menyadari 
sepenuhnya kalau pimpinan mereka berada dalam 
keadaan tidak menguntungkan!
Tahu kalau keadaan itu dibiarkan akan mem-
bahayakan keselamatan Wicaksana, Loringga dan re-
kannya langsung bertindak! Bagai telah disepakati se

belumnya, keduanya menghunus senjata masing-
masing. Kemudian melompat ke dalam kancah perta-
rungan.
Shing, shing!
Bunyi mendesing langsung terdengar ketika 
dua batang pedang meluncur ke arah leher Manusia 
Makam Keramat. Loringga mengirimkan serangan dari 
sebelah kanan, sedangkan rekannya dari arah berla-
wanan. Kedua serangan itu dilakukan dari atas. Tin-
dakan itu mengingatkan orang akan seekor burung 
elang yang hendak menerkam mangsanya.
Menukik.
Sengit.
Hebat dan cepat datangnya serangan gabungan 
ini. Namun Manusia Makam Keramat melayani jauh 
lebih cepat. Sekali jari-jari tangannya yang mencengke-
ram bergerak, terdengar bunyi derak dalam, disusul 
dengan patahnya batang pedang Wicaksana! Padahal, 
saat itu Wicaksana tengah bersitegang menarik senja-
tanya!
Kelanjutan dari kejadian itu sudah dapat didu-
ga! Wicaksana terjengkang deras ke belakang terbawa 
tenaga tarikannya sendiri. Potongan pedangnya ter-
genggam di tangan Manusia Makam Keramat!
Di saat itulah, Manusia Makam Keramat ber-
tindak! Tangan kanannya dikibaskan!
Shinggg!
Seketika itu pula potongan pedang Wicaksana 
meluncur dalam kecepatan tinggi ke arah pemiliknya 
sendiri! Padahal, saat itu Wicaksana masih dalam kea-
daan kehilangan keseimbangan.
Moncong maut mendekat!
Sementara itu, tindakan si kakek kurus tidak 
berhenti hanya sampai di situ. Terbukti kedua tangan

nya langsung disampokkan ke atas.
Trekkk trekkk cappp!
"Akh...!"
Menakjubkan! Dalam waktu sekejapan saja 
rentetan kejadian itu terjadi! Kegagalan yang dialami 
oleh Loringga dan rekannya. Serangan mereka berhasil 
dilumpuhkan oleh Manusia Makam Keramat dengan 
sampokan tangannya yang membuat pedang mereka 
terpatah-patah, hampir berbarengan dengan amblas-
nya potongan pedang Wicaksana di perut majikannya 
sendiri. Itulah sebabnya, Wicaksana memekik kesaki-
tan!
"Kakang...!"
Loringga dan rekannya menjerit kaget melihat 
kejadian yang menimpa Wicaksana. Jeritan itu lang-
sung keluar begitu keduanya berhasil mematahkan 
kekuatan yang membuat tubuh mereka melayang aki-
bat sampokan kuat tangan Manusia Makam Keramat.
Seiring keluarnya jeritan itu, Loringga dan re-
kannya langsung meluruk ke arah Wicaksana yang 
masih berdiri limbung sambil memegangi perutnya. 
Kenyataan ini menunjukkan ketangguhan daya tahan 
Wicaksana. Dia masih mampu hinggap di tanah den-
gan bertumpu pada kedua kaki. Padahal, saat itu pe-
rutnya tertembus potongan pedang.
Bukan hanya Loringga dan anggota Perguruan 
Kuda Langit yang satu kelompok dengan Wicaksana 
saja, yang meluruk ke arah lelaki berkumis jarang itu. 
Anggota rombongan Perguruan Kuda Langit yang lain-
nya pun melakukan hal yang sama. Sedangkan Manu-
sia Makam Keramat hanya tertawa-tawa. Tawa gembira 
penuh dengan nada ejekan.
***

TIGA
BERTEPATAN dengan malam di mana tumbal 
perempuan terakhir dipersembahkan sembilan bocah 
Pasukan Kelelawar, terjadi satu peristiwa langka. Ma-
lam itu, langit dirobek oleh terjangan selarik sinar te-
rang berwarna putih kekuningan.
Benderang, namun tak menyilaukan.
Gesit, sengit, tak menggiring bayangan.
Sinar itu terbang dari arah Makam Keramat 
Maut menuju selatan. Melesat bagaikan bintang jatuh. 
Melanglangi angkasa untuk sekian kedip mata, lalu 
menukik ke satu desa yang terletak di sekitar Hutan 
Rangkas. 
Di batas Hutan Rangkas dengan Desa Lebak, 
seseorang berdiri membatu. Dalam diam, dalam hening 
malam. Kepekatan malam yang tiada memiliki sebetik 
cahaya dari benda langit, membuat wujudnya hanya 
tampak sebagai seonggok bayangan yang tegak me-
mancangi gelap. Kepalanya menengadah ke angkasa.
Dalam diam, dalam hening malam.
Tak ada yang cukup tahu siapa dirinya. Seperti 
tak ada yang cukup tahu pula apa yang dinantinya, 
serta kilau apa yang sedang melesati angkasa raya
Pada waktunya, sinar putih kekuningan tiba di 
atas orang itu untuk satu tujuan. Geraknya makin de-
kat. Makin pasti menuju dirinya.
Sampai.... 
Wsss!
Tep!
Tepat ketika tukikan sinar putih kekuningan 
mendatanginya dari arah depan, orang tadi mengang-
kat sebelah tangan. Tak kalah cepat dengan terjangan

sinar. Dengan tangan kanannya, disambutnya sinar 
putih kekuningan. Yang paling mempesona dari tinda-
kannya, sinar itu ditangkapnya!
Bersama bunyi seperti sebuah benda bertum-
bukan dengan telapak tangan, sinar itu pun dalam 
genggaman. Cahayanya mencuat dari sela-sela jari. 
Memanjang hingga merayapi wajah dan sebagian tu-
buh orang tadi. Kini, terlihat samar bahwa orang itu 
mengenakan topeng kayu Arjuna. Kepalanya menge-
nakan blangkon parahiyangan. Sedangkan pakaiannya 
seperti ningrat Pajajaran.
Dalam beberapa tarikan napas, sinar di geng-
gamannya seperti berdenyut-denyut. Perlahan lalu 
memupus. Sinarnya melamat, tapi tak sampai sekarat. 
Perlahan-lahan pula, wujud sinar itu menjelma ke da-
lam bentuk kecil padat.
Sebatang keris wesi kuning yang panjangnya 
tak lebih dari satu jengkal! Membara, bukan dalam 
warna merah menyala. Melainkan kuning keemasan.
Keris itu diacungkan lebih tinggi lagi, seakan 
hendak menohok langit. Ketika senjata keramat itu te-
pat di atas ubun-ubunnya, orang bertopeng berkata.
Terpendam, dalam.
Berat.
Pekat
Samar.
Bergeletar.
Di sehimpun senyap mayapada.
"Eyang! Kuterima Keris Kiai Kuning ini sebagai 
amanat amat berat darimu. Tugasmu menumpas sang 
Dewa Petaka dahulu, akan ku alihkan ke tanganku...."
Selesai berkata yang lebih pantas disebut seba-
gai sumpah, orang bertopeng mendekatkan keris yang 
disebutnya dengan nama Kiai Kuning ke depan wajah.


Setelah itu, dia menjemput sarung keris yang sejak 
lama terselip di balik kain ikat pinggangnya. Sarung 
keris berukir indah. Terlihat sudah begitu tua, tapi tak 
sedikit pun kehilangan keangkeran.
Manakala keris memasuki warangkanya, men-
dadak saja sinarnya meredup dan hilang.
"Kiai Kuning telah kembali ke 'singgasana'-nya. 
Sekali tercabut, harus ada darah manusia durjana 
memandikannya...," bisik orang bertopeng lagi sambil 
menatap keris. Sesaat kemudian, diselipkannya keris 
tadi ke ikat pinggang. Tubuhnya berkelebat. Mencelat 
bagai hantu. Dan sirna di rerimbunan rimba.
* * *
Ada dua manusia bertaut usia sedang perang 
mulut di sebuah tempat. Mereka sama-sama ngotot 
untuk menang. Tak peduli kalau urat leher mereka pe-
cah sekalipun. Yang satu menuding-nuding yang lain. 
Yang dituding bersungut-sungut sebal. Yang satu 
mencaci-maki yang lain bertubi-tubi. Yang dicaci maki 
habis-habisan menggerutu.
Orang pertama, yang lebih seru meruntunkan 
omelan 'sambar geledek'nya, adalah orang tua kurus 
kering. Punggungnya agak melengkung. Tulang iganya 
sudah seperti penggilasan. Kepalanya gundul subur. 
Subur dengan busik, maksudnya. Wajahnya tak per-
nah dianggap siapa pun sedap dipandang. Tak terke-
cuali oleh monyet perempuan yang genit sekalipun. Gi-
ginya sudah banyak yang rontok. Tapi jangan tanya 
kalau dia tersenyum! Senyumnya itu... hmmm, me-
nyebalkan!
Tak ambil pusing dengan badan yang tinggal 
sebatang, dia nekat bertelanjang dada. Cuma orang

nekat yang berani mempermalukan diri sendiri seperti 
itu. Peduli setan orang menganggapnya kerangka ber-
jalan! Kalaupun ada yang ditutupi, cuma perabotan 
kesayangannya. Itu pun dengan kain bau tengik, yang 
rendamannya cukup untuk meracuni seribu satu tua 
bangka macam dirinya.
Tanya soal nama, tua bangka ini yang namanya 
Dongdongka. Kedengaran aneh. Padahal memang 
aneh. Kalau ada orang yang punya nama tanpa jun-
trungan seperti itu, Dongdongka salah satunya. Apalah 
arti sebuah nama (Yang penting bawa rezeki!). Julu-
kannya di dunia persilatan bukan sekadar sebutan ko-
song. Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Manusia ra-
da-rada 'miring' yang kesaktiannya disegani seantero 
dunia-akhirat, eh dunia persilatan! Kata banyak ka-
langan, dialah sesepuhnya dunia persilatan. Dan kata 
dia, orang-oranglah yang menyebutnya sesepuh. Tak 
perlu memusingkan pendapat mana yang benar, yang 
jelas dedengkot satu ini adalah guru besar si anak 
muda yang sedang diomelinya.
O, iya. Bicara sedikit soal si anak muda. Dia 
adalah pemuda berambut panjang kemerahan. Perka-
sa, dan berwajah tampan. Bertolak belakang dengan 
perawakannya yang terlihat gagah, sorot matanya ju-
stru memancarkan keluguan. Dia mengenakan rompi 
bulu berwarna putih keabuan dari samakan kulit he-
wan. Celana pangsinya sebatas lutut.
Cukup?
Belum? Pemuda ini juga yang belakangan 
membuat geger dunia persilatan dengan julukan Satria 
Gendeng. Pewaris kesaktian Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Pembuat onar 
bagi kalangan sesat. Momok bagi orang biadab.
Sekarang cukup!

(Kalau belum cukup juga, bacalah episode: "Ta-
bib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger Pesisir Jawa"!)
Ceritanya, setiap hari dalam satu pekan, tak 
peduli malam atau siang Satria terus menerus dibe-
rondong omelan guru setengah sintingnya. Kalau orang 
lain setua dia, biasanya sudah mampus kehabisan na-
pas. Tapi yang namanya Dongdongka, mengomel seri-
bu tahun lagi pun masih sanggup!
Siapa yang tak jadi mangkel kalau dibegitukan? 
Satria tentu saja jadi mulas berkali-kali. Menghindar 
tak bisa. Lari tak akan mungkin. Si dedengkot satu itu, 
tua-tua tak bisa dengan mudah dikecohkan. Kadal pun 
tak bisa mengadalinya. Itu susahnya!
Perkara sebenarnya cuma satu. Kail Naga Sa-
mudera telah raib dari tangan Satria. Itu terjadi ketika 
pendekar muda itu tak sadarkan diri terkena pukulan 
tua bangka cebol, Penjaga Gerbang Neraka (Baca kem-
bali kisahnya pada episode: "Memburu Manusia Ma-
kam Keramat'!).
Menurut si tua keropos Dongdongka, Satria di-
temukannya dalam keadaan pingsan di tepi bukit da-
lam keadaan luka dalam. Orangnya ditemukan, tapi 
senjata pusakanya hilang. Dongdongka ngamuk besar. 
Barangkali dia lebih suka menemukan senjata pusaka 
itu, dan muridnya silakan hilang?
Untung dia gurunya. Kalau tidak, Satria bakal 
menyumpahinya sebagai 'guru kualat'!
Ada pepatah bilang, 'sepandai-pandainya tupai 
melompat, pasti akan jatuh juga'. Biarpun Dongdongka 
bukan tupai, atau hendak menyamakannya dengan 
bajing, dalam hal ini, sekuat-kuatnya dia mengomel, 
toh akhirnya bungkam juga. Bibirnya mungkin sudah 
kering dan kaku. Maunya terus, tapi apa daya bacot 
tak sampai.
"Sudah, Kek?" tanya Satria, santai sambil du-
duk bersiul-siul.
"Stompret! Bukannya mikir, kau malah bersiul!"
"Aku juga sedang berpikir. Kalau Kakek berhen-
ti mengomel beberapa hari lalu, tentu aku akan me-
nemukan jalan keluar untuk menemukan Kail Naga 
Samudera!"
"Tai kucing!"
"Mengomel lagi...."
"Sekarang mikir!" 
"Sudah."
"Apa yang kau dapat?"
"Kupikir, sebaiknya Kakek pulang saja ke Tan-
jung Karangbolong."
"Murid kualat!" 
Dukk!
Dari arah belakang, telapak kaki Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul mampir di ubun-ubun Satria. 
"Sekarang pikirkan yang benar!" 
"Sudah."
"Apa?" Mata Dongdongka melotot. Persis di de-
pan hidung muridnya, dia bertolak pinggang. "Jangan 
coba-coba main-main lagi, Kunyuk! Ku tendang mu-
kamu baru tahu!" ancamnya.
Satria ngeri juga. Padahal tadinya mau menja-
wab; kupikir telapak kakimu bau jemuran jengkol, 
Kek! Tapi tidak jadi. Dia ngeri wajahnya didarati tela-
pak kaki bau itu.
"Kupikir, sebaiknya aku kembali dulu ke tem-
pat kejadian. Dari sana, aku bisa mulai menyelidiki."
Kepala plontos Dongdongka mengangguk-
angguk.
"Pemikiran yang bagus." 
Satria bangkit.

"Kalau begitu, aku berangkat!"
"Tunggu dulu!"
Satria menghela napas. Apa lagi maunya tua 
bangka satu ini, keluhnya.
"Ceritakan dulu masalah yang tengah kau ha-
dapi padaku! Aku ingin tahu sekecil-kecilnya. Jangan 
sampai ada yang lewat! Mengerti???!!"
Mau tak mau, Satria akhirnya bercerita. Dari 
urusannya dengan Pasukan Kelelawar, sampai berte-
mu dengan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar Muka 
Bengis, Dewi Melati, dan Penjaga Gerbang Neraka. Per-
soalan Manusia Makam Keramat pun tak luput diceri-
takan.
"Kau menyebut-nyebut soal Manusia Makam 
Keramat?!!" Mendadak Dongdongka berteriak ngotot 
sekali. Kuping Satria tidak tuli. Tapi kalau caranya be-
gitu, dia bisa benar-benar tuli!
"Si Arya Sonta???!!!" Dongdongka berteriak lagi. 
Tambah ngotot.
"Mana aku tahu?"
Sehabis menjawab, pendekar muda itu jadi 
bengong sendiri.
"Apa barusan Kakek menyebut nama asli Ma-
nusia Makam Keramat?" tanyanya kemudian.
"Kau tuli!! Jelas, aku menyebut namanya!!!" 
Masih saja Dongdongka berteriak-teriak layaknya ga-
gak bertemu makanan.
"Tak usah berteriak-teriak, Kek. Aku belum tuli! 
Aku cuma ingin tahu, bagaimana Kakek bisa tahu na-
ma orang itu?"
"Ya, tahu! Aku memang sudah mengenalnya se-
jak muda. Bahkan ketika masih bocah. Aku dan dia 
pernah besar bersama di Mataram, tahu! Terus terang, 
dia itu kakak kandungku! Tapi terus terang juga, aku

malu punya saudara macam dia. Sejak muda dia su-
dah jadi anak kualat, anak slompret, tengik, anak ku-
nyuk kurang ajar! Bayangkan saja, masa' dia pernah 
berniat melemparkan aku dari jurang? Dan...."
Mulut Dongdongka kembali membuat kericu-
han.
Satria bengong sendiri. Bukan tekun menden-
garkan ocehan gurunya. Dia cuma tak menyangka ka-
lau biang keladi Pasukan Kelelawar yang demikian 
menggemparkan jagat persilatan ternyata masih kakak 
kandung gurunya.
***
EMPAT
MASIH dengan tawa yang tidak putus, Manusia 
Makam Keramat memperhatikan semua kekalutan 
rombongan Perguruan Kuda Langit. Tampak olehnya, 
Loringga dan kawan-kawannya mengerumuni Wicak-
sana. Tubuh pimpinan rombongan Perguruan Kuda 
Langit itu setengah terbaring di tanah. Kalau saja tidak 
ada tangan Loringga yang menegakkan punggungnya, 
pasti tubuh Wicaksana terbaring.
"Kang...! Kuatkan dirimu, Kang...! Kau akan se-
lamat...," ucap Loringga terbata-bata dengan suara 
bergetar.
Terlihat jelas kesedihan Loringga, baik dalam 
nada suara maupun tarikan wajahnya. Gambaran pe-
rasaan yang sama membias di wajah semua anggota 
Perguruan Kuda Langit.
"Tidak, Loringga. Hhh..., aku... sudah ti... tidak 
kuat lagi. Lak... laksanakan tugas kalian se... sebaik

baiknya. Lekas... akh...!"
Seiring dengan terkulai kepalanya, nyawa Wi-
caksana pun melayang ke alam abadi. "Kang...! Kang 
Wicaksana...!"
Penuh perasaan kalap, Loringga mengguncang-
guncangkan tubuh Wicaksana sambil memanggil-
manggil namanya. Sikap lelaki pendek berperut gendut 
menunjukkan ketidakrelaannya akan kematian Wicak-
sana. Penyebabnya bukan semata karena mereka sau-
dara seperguruan. Lebih dari itu, Wicaksana adalah 
kakak kandung Loringga.
"Hua hua haa...!"
Tawa gembira digumpali nada mengejek mem-
buat Loringga dan rekan-rekannya teringat kembali 
akan keberadaan Manusia Makam Keramat di situ. 
Seiring dengan itu, perasaan geram dan keinginan un-
tuk membalas dendam pun menjangkit.
"Tenangkanlah hatimu, Kang. Akan kubalaskan 
semua sakit hatimu!"
Sambil berkata demikian, dengan hati-hati Lo-
ringga membaringkan tubuh Wicaksana di tanah. Ke-
mudian dia bangkit. Ditatapnya lawan. Matanya me-
nyala. Terlihat jelas sinar kemarahan dan kebencian di 
sana!
"Kubunuh kau, Iblis Keji!" desis Loringga den-
gan suara bergetar. Lalu....
Srattt!
Pantulan sinar mencuat ketika lelaki pendek 
gendut yang tengah dilanda amarah ini, mencabut pe-
dangnya. 
Bukan hanya Loringga saja yang menghunus 
senjatanya. Enam rekannya pun melakukan tindakan 
yang sama. Dalam cekaman perasaan marah, rombon-
gan Perguruan Kuda Langit ini seperti tidak mempedulikan nilai-nilai keksatriaan lagi.
Betapa tidak? Lawan yang akan dihadapi hanya 
seorang dan bertangan kosong. Sementara mereka ber-
jumlah tujuh orang! Itu pun masih ditambah lagi den-
gan adanya senjata di genggaman. Kelihatannya tidak 
adil sekali!
Tapi persoalannya bukan terletak di sana. Yang 
jelas, mereka harus melakukan tindakan itu, mengin-
gat kesaktian lawan masih sulit terukur. Jika tidak, 
besar kemungkinan mereka akan tumpas satu demi 
satu seperti nasib Wicaksana.
Manusia Makam Keramat sepertinya tidak 
mempedulikan serbuan para lawan. Bahkan sikapnya 
menunjukkan justru dia memandang remeh. Tampak 
jelas dari sikap dingin dan kebekuannya.
"Hiaaat...!"
Diawali sebuah teriakan keras, Loringga yang 
telah tak kuat lagi menahan amarahnya, mulai berge-
rak. Rekan-rekannya pun mengikuti. Mereka tahu, Lo-
ringga bukan tandingan Manusia Makam Keramat 
yang sakti. Kalau tidak dibantu, lelaki pendek gendut 
itu akan tewas di tangan lawannya.
Pertarungan lebih ganas pun meletus lagi. Tu-
juh orang gagah dari Perguruan Kuda Langit menye-
rang laksana kuda langit. Pedang-pedang di tangan 
mereka berkelebatan cepat mengancam berbagai ba-
gian tubuh Manusia Makam Keramat.
Tapi Manusia Makam Keramat tetap bersikap 
tenang. Ditunggunya hingga serangan-serangan itu 
menyambar dekat. Baru setelah itu, si kakek kurus ini 
menanggapi.
Menggiriskan sekali tindakan Manusia Makam 
Keramat! Babatan, dan tusukan senjata lawan dipa-
paknya dengan tangan kosong. Bunyi berdetak keras

seperti ada benda-benda keras beradu, terdengar keti-
ka sepasang tangan Manusia Makam Keramat berben-
turan dengan senjata lawan-lawannya.
Hebatnya, kedua tangan Manusia Makam Ke-
ramat sama sekali tidak terluka! Malah sebaliknya, se-
tiap kali terjadi benturan, tubuh anggota Perguruan 
Kuda Langit terhuyung-huyung ke belakang dengan 
tangan terasa sakit-sakit.
Meskipun demikian, mereka tidak menjadi gen-
tar karenanya. Tanpa mempedulikan rasa sakit yang 
mendera, rombongan Perguruan Kuda Langit kembali 
melancarkan serangan. Pertarungan sengit pun kem-
bali berlanjut.
Pertarungan berlangsung tak imbang. Kendati 
banyak dalam jumlah, para lawan si kakek kurus di-
buat blingsatan. Rombongan Perguruan Kuda Langit 
harus mengakui kalau Manusia Makam Keramat me-
mang terlalu kuat untuk dapat ditandingi.
Sebenarnya, sejak semula pun sudah dapat di-
ketahui kalau Manusia Makam Keramat memang terla-
lu tangguh untuk dihadapi oleh rombongan Perguruan 
Kuda Langit. Keadaan Loringga dan kawan-kawannya 
tak ubahnya dengan semut-semut yang menerjang api, 
roboh sebelum berhasil mendekati sasaran.
"Hua hua haa...! Hanya sampai di sinikah ke-
mampuan kalian? Benar-benar mengecewakan!" ujar 
Manusia Makam Keramat keras, mengatasi bisingnya 
suasana pertarungan. Jelas, dia mengerahkan tenaga 
dalam pada suaranya.
Tidak ada tanggapan sama sekali dari mulut 
anggota rombongan Perguruan Kuda Langit. Walaupun 
sebenarnya hati mereka bagai terbakar, karena pera-
saan geram yang melanda. Tapi, yang dilakukan mere-
ka adalah semakin memperhebat serangannya.

Ada tanggapan atau tidak atas ucapannya, Ma-
nusia Makam Keramat tidak mempedulikan.
"Sekarang aku akan membalas! Bersiaplah ka-
lian...!"
Usai berkata demikian, si kakek kurus menje-
jakkan kaki. Seketika tubuhnya mencelat tinggi ke 
atas, melewati kepala para pengeroyoknya. Lalu....
Jleg!
Ringan laksana kapas jatuh, Manusia Makam 
Keramat mendaratkan kedua kakinya di tanah, di luar 
kepungan. Kemudian, tanpa menunggu lebih lama lagi 
dirangkapkan kedua tangannya, seperti tengah meme-
luk. Sekejapan itu juga mengepul asap putih. 
Manusia Makam Keramat menyusun jari-jari 
tangannya berkuku panjang melingkar membentuk 
cakar-cakar aneh. Kaki kanannya terletak di depan 
agak ditekuk. Sedangkan kaki kirinya di belakang, se-
dikit lurus. Inilah salah satu ajian sesatnya 'Kelelawar 
Penghisap Darah'!
Cukup aneh pembukaan ajian 'Kelelawar Peng-
hisap Darah' milik Manusia Makam Keramat. Rombon-
gan Perguruan Kuda Langit menjadi agak keheranan 
karenanya.
Tapi hanya sesaat saja Loringga dan kawan-
kawannya dikungkung perasaan heran. Kemudian, 
dengan diawali teriakan-teriakan keras memekakkan 
telinga mereka meluruk ke arah Manusia Makam Ke-
ramat. Pedang di tangan mereka siap untuk dikele-
batkan.
"Aarkg!"
Bunyi mengeram keras terdengar dari mulut 
Manusia Makam Keramat. Nyaring, serak serta me-
nyakitkan telinga. Belum lagi gema suara itu lenyap, 
Manusia Makam Keramat melakukan tindakan yang

sama dengan lawan-lawannya. Dia memapak serbuan 
rombongan Perguruan Kuda Langit.
Melihat hal ini Loringga tidak tinggal diam. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi mereka segera 
menyambut papakan Manusia Makam Keramat dengan 
ayunan pedang.
Shing, shing, shing!
Crat, crat, crat! 
"Akh, akh, akh...!"
Rentetan kejadian itu berlangsung demikian 
cepat sehingga sulit untuk dirinci. Jelasnya, jeritan 
menyayat hati keluar susul-menyusul dari mulut rom-
bongan Perguruan Kuda Langit.
Itu pun masih disusul dengan berpentalannya 
tubuh-tubuh mereka ke belakang. Jatuh bergedebuk 
di tanah. Berkelojotan sejenak sebelum akhirnya men-
gejang, kaku selamanya. 
"Hua hua haa...!"
Manusia Makam Keramat tertawa bergelak. Ke-
ras dan penuh kegembiraan. Dirayapinya mayat tujuh 
orang lawannya sejenak. Mereka semua menjadi kor-
ban kedahsyatan ajian 'Kelelawar Penghisap Darah'-
nya.
Memang, ajian itu demikian dahsyat! Dalam 
penggunaannya, tubuh Manusia Makam Keramat jadi 
sedemikian ringannya. Kecepatan geraknya pun me-
nakjubkan. Dengan mengandalkan kecepatan gerak 
itu, Manusia Makam Keramat berhasil membinasakan 
lawan-lawan seperti menepuki nyamuk. Ketujuh ang-
gota Perguruan Kuda Langit itu tewas terkena samba-
ran cakar aneh si kakek kurus.
Masih dengan tawa yang belum putus, Manusia 
Makam Keramat mengalihkan perhatian ke arah kere-
ta. Pertama kali yang dilihatnya adalah sang kusir ke

reta. 
Karuan saja hal itu membuat sang kusir yang 
merupakan salah satu anggota Perguruan Kuda Langit, 
meremang bulu kuduknya. Nyalinya kontan menciut. 
Baru kali itu disaksikannya bola mata si kakek kurus.
Hijau.
Begitu menghunus.
Pekat dengan kilat anyir.
Disadari kalau dia bukan tandingan Manusia 
Makam Keramat yang demikian menggiriskan! Karena 
kegentaran itu, sang kusir mengambil tindakan pen-
gamanan.
Ctar, ctar!
"Hiya! Hiyaaa...!"
Dengan perasaan kalang-kabut yang melimpah 
di wajahnya, sang kusir menggebah kudanya. Kontan 
binatang tunggangan itu berlari.
"Hih!"
Manusia Makam Keramat hanya mendengus 
melihat tindakan yang diambil sang kusir! Dengan so-
rot mata bengis, dijumputnya sebutir batu kerikil, dan 
dijentikkannya ke arah binatang penghela kereta itu.
Tukk!
Sesaat kemudian, akibat yang sungguh menga-
gumkan hati langsung terjadi. Lari kuda penarik kereta 
itu langsung terhenti. Demikian mendadak kejadian-
nya.
Peristiwa itu membuat si kusir kelabakan. Pe-
rasaan takut yang mendera, membuatnya tidak dapat 
berpikir panjang. Cambuk di tangannya langsung dile-
cutkan ke bagian belakang tubuh kuda!
Ctar, ctar, ctar!
Keras bukan kepalang bunyi yang terdengar. 
Udara tergeletar.

Sang kusir bertenaga jauh lebih kuat dari sebe-
lumnya.
Tapi sampai telah melecutkan cambuk, tetap 
saja kuda itu diam mengarca! Hal ini membuat sang 
kusir sadar kalau tindakan yang diambilnya sia-sia. 
Meskipun tidak mengetahui bagaimana hal itu terjadi, 
si kusir kereta itu yakin kalau Manusia Makam Kera-
mat telah berhasil menotok kaku kudanya dari jauh 
dengan sebutir batu kerikil!
Dari perasaan takut, anggota Perguruan Kuda 
Langit yang bertugas sebagai kusir kereta ini, menjadi 
nekat. Pedang yang tergantung di punggung langsung
dicabutnya. Kemudian dia melompat turun.
Jleg!
Secepat kedua kakinya menginjak tanah, sece-
pat itu pula sang kusir melancarkan serangan ke arah 
Manusia Makam Keramat. Pedangnya diputar laksana 
kincir, kemudian ditusukkan ke arah dada lawannya.
Manusia Makam Keramat hanya tersenyum 
mengejek melihat serangan sisa anggota Perguruan 
Kuda Langit itu. Ditunggunya hingga dekat, baru ke-
mudian tangannya bergerak cepat!
Teppp!
Mata pedang anggota Perguruan Kuda Langit 
itu telah berhasil ditangkap Manusia Makam Keramat. 
Sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu, Manusia 
Makam Keramat telah lebih dahulu bertindak. Dike-
rahkan sebagian tenaga dalamnya untuk menyorong-
kan pedang yang telah dicengkeram. Akibatnya....
Cappp!
"Akh...!"
Kusir kereta yang malang itu mengeluarkan je-
ritan menyayat ketika pedangnya sendiri menancap di 
perutnya hingga tembus ke punggung. Tentu saja den

gan gagang lebih dulu.
Wajah sisa anggota Perguruan Kuda Langit me-
negang menahan rasa sakit menjangkit. Sepasang ma-
tanya pun membelalak lebar. Namun hal itu hanya 
berlangsung sekejap saja. Begitu Manusia Makam Ke-
ramat melepaskan cekalannya, tubuh si kusir itu pun 
ambruk.
"Hua hua haa...!"
Entah untuk yang keberapa kalinya, Manusia 
Makam Keramat kembali mengumbar tawa puas. 
Hanya saja kali ini lebih singkat dari sebelumnya.
Setelah menghentikan tawa, Manusia Makam 
Keramat mengayunkan langkah menghampiri kereta 
kuda. Kelihatannya sembarangan saja kakinya dilang-
kahkan, tapi hasil yang dicapai benar-benar menak-
jubkan! Hanya dengan sekali mengayunkan kaki, dia 
telah berada di dekat kereta.
"Hih!"
Brakkk!
Daun pintu kereta kuda itu langsung jebol me-
nimbulkan bunyi hingar-bingar ketika tangan Manusia 
Makam Keramat yang berisi tenaga dalam kuat mena-
riknya.
"Auwww...!"
Teriakan melengking nyaring mencelat keluar 
seiring jebolnya pintu kereta itu. Menilik suaranya bisa 
diketahui kalau penumpang kereta adalah seorang 
wanita!
Di dalam kereta duduk dengan tubuh menggigil 
seorang gadis berusia sekitar dua puluh dua tahun. 
Meskipun sebagian wajahnya tertutup oleh kedua tan-
gan, bisa diketahui kalau wajahnya sangat cantik. Ter-
bukti kulitnya putih, halus, dan mulus! Pakaian indah 
berwarna merah muda yang membungkus tubuh montoknya menjadi pertanda kalau gadis itu berasal dari 
satu keluarga ningrat
"Hih!"
Sorot kekejaman langsung membayang di wa-
jah dan sepasang mata Manusia Makam Keramat keti-
ka melihat isi kereta kuda itu.
Sementara itu, si gadis berpakaian merah muda 
semakin ketakutan. Disadari adanya bahaya mengan-
cam. Maka tanpa pikir panjang lagi, masih dengan jeri-
tan-jeritan meminta pertolongan, dibukanya pintu ke-
reta yang satu lagi!
Kreett...!
Seiring dengan terbukanya pintu kereta, gadis 
berpakaian merah muda langsung melompat keluar. 
Sudah bisa diduga maksudnya. Apalagi kalau bukan 
hendak melarikan diri?
"Akan lari ke mana kau, Gadis Cantik?!" desis 
Manusia Makam Keramat penuh ancaman.
Tanpa perubahan paras wajah sedikit pun, di-
ambilnya sebutir kerikil dan dilemparkannya ke arah 
gadis berpakaian merah muda itu.
Wuttt! 
Tukkk!
"Akh...!"
Berkawal jeritan kesakitan, tubuh gadis tadi 
langsung tersungkur di tanah. Batu yang dilemparkan 
Manusia Makam Keramat mengenai belakang lututnya.
Sebelum gadis buruannya berbuat sesuatu, 
Manusia Makam Keramat telah melesat, menyambar 
tubuhnya dan membawanya kabur dari situ.
"Tolooong...! Lepaskan aku, Iblis Keji...!" teriak 
gadis berpakaian merah muda, kalap!
Tapi Manusia Makam Keramat tidak mempedu-
likannya. Dia terus berlari. Hanya dengan beberapa

kali lesatan saja, tubuhnya telah lenyap.
* * *
Jauh dari tempat pembantaian, masih di dalam 
wilayah Kerajaan Pajajaran, sepasang perempuan dan 
lelaki berjalan menuju selatan. Yang perempuan beru-
sia setengah baya. Terlepas dari usianya yang terbilang 
cukup tua, wajahnya sendiri masih mempesona, jika 
belum cukup untuk disebut cantik. Luar biasa me-
mang pada usia seperti dia. Sebaliknya, tak terlalu luar 
biasa sebenarnya kalau menilai riasan wajahnya yang 
begitu apik serta cara berpakaiannya yang mencolok. 
Mungkin kekuatan pesonanya datang dari sana. 
Mungkin juga tidak.
Perempuan paro baya berambut hitam panjang 
tergerai. Rambutnya dihiasi ronce bunga melati yang 
menaburkan wangi setiap waktu. Dia mengenakan pa-
kaian sutera putih panjang seperti gaun, dengan bela-
han panjang di bagian bawah sampai pangkal paha. 
Dari cara berjalan yang melenggak-lenggok seperti 
sengaja memainkan tari pinggul, jelas perempuan ini 
mempunyai perangai genit.
Lelaki di sebelahnya adalah seorang kerdil. 
Tingginya hanya di bawah pinggang perempuan separo 
baya tadi. Berwajah mirip perempuan. Rambutnya ke-
riting. Berkulit hitam. Sementara matanya selalu 
membersitkan kilatan menyeramkan. Mendukung ke-
bengisan pancar mata, di kedua belah tangannya ter-
genggam senjata logam berbentuk cakar bermata tiga.
Mereka adalah pasangan guru-murid (atau su-
ami-istri edan-edanan), Dewi Melati dan Penjaga Ger-
bang Neraka. Terakhir kali, mereka terlibat dalam satu 
peristiwa menegangkan di tepi sebuah sungai.

Di tepi sungai tempat seorang penduduk desa 
menemukan mayat-mayat perempuan, keduanya beru-
rusan dengan cahaya aneh yang datang dari dalam lo-
rong anak sungai bawah tanah. Cahaya aneh itu me-
miliki kekuatan teramat dahsyat. Mereka yang sedang 
berusaha untuk menyelidiki lorong terpental oleh ter-
jangannya.
Setelah berbenturan dengan tenaga dalam Pen-
jaga Gerbang Neraka yang memiliki nama asli Patigeni, 
cahaya itu menjadi terburai. Beberapa saat kemudian, 
seluruh serpihan cahaya menyatu kembali. Lalu me-
nukik dan kembali ke dalam lorong. (Baca episode se-
belumnya: "Memburu Manusia Makam Keramat'!).
Penjaga Gerbang Neraka ketika itu pula menco-
ba mengejar ke dalam lorong.
Kesaktian tua bangka cebol itu memang men-
gagumkan. Dia patut mendapatkan acungan jempol, 
mungkin dari seluruh warga persilatan. Setelah me-
lompat dari tepian sungai, tubuhnya kembali menga-
pung di atas permukaan air, seperti dilakukan sebe-
lumnya. Hanya dengan satu perbedaan. Jika sebelum-
nya dia mengapung di atas air dan bergerak perlahan 
ke dalam lorong, maka kali ini dia bergerak laksana 
terkaman seekor macan pohon.
Wrrr!!!
Dengan mengandalkan tenaga dorongan dari 
sepasang senjatanya yang diputar bagai dua bilah bal-
ing-baling, tubuh Penjaga Gerbang Neraka melesat di 
atas air dengan posisi menghadap ke belakang.
Entah memiliki mata di belakang kepala, mulut 
lorong yang sempit dimasukinya tanpa menoleh ke be-
lakang sedikit pun. Ditambah kecepatan meluncur
yang demikian menggila, tentu saja tindakannya men-
jadi satu unjuk kebolehan yang mengagumkan!

Tetap dengan memutar sepasang senjata di ke-
dua belah tangan sebagai baling-baling pendorong, 
Penjaga Gerbang Neraka meluncur mengejar cahaya 
aneh yang telah lebih dahulu melesat ke dalam lorong 
anak sungai bawah tanah.
Ukuran tubuh yang kecil, memungkinkan di 
untuk bergerak lincah dalam tempat yang demikian 
sempit. Beberapa kali ujung senjatanya dihalangi oleh 
dinding sempit. Tua bangka cebol itu pantang dihalan-
gi. Dia menerjang terus dalam posisi mundur, tetap 
meluncur di atas permukaan anak sungai bawah ta-
nah. Senjatanya pun berbenturan dengan dinding lo-
rong. Tanah basah berhamburan ke segenap arah. 
Bunga api berpercikan manakala ujung senjatanya 
menghajar bebatuan. 
Riuh sepanjang lorong.
Laksana ada seekor naga mengamuk dalam 
liangnya!
Berliku-liku lorong yang ditempuh, tak mem-
buat si tua bangka cebol menjadi kehilangan kecepa-
tan. Bahkan bisa dibilang dia hampir-hampir menya-
mai kecepatan cahaya yang dikejar.
Sampai satu tikungan lorong yang membentuk 
tiga percabangan, Patigeni kehilangan jejak buruan-
nya. Dihentikannya putaran senjata di tangan.
Sunyi.
Sisa batu dan tanah yang gugur ke dalam anak 
sungai di lantai lorong terdengar lamat-lamat.
Di tengah persimpangan yang menyerupai 
ruangan agak lebar, Penjaga Gerbang Neraka berdiri 
diam di atas permukaan air. Arus anak sungai di ba-
wahnya memperdengarkan gemericik ketika terpisah 
ke arah percabangan.
Patigeni tak terusik.

Diam. 
Siaga.
Kehilangan buruan, bukan berarti dia harus 
lengah terhadap setiap kemungkinan. Sebelumnya dia 
telah memburu. Bukan tak mungkin saat berikutnya 
dia menjelma menjadi buruan.
Menanti tegang untuk sekian lama, tak menda-
tangkan apa-apa. Suasana tetap hening. Hanya suara 
gemericik air yang merayap samar. Tak ada apa-apa. 
Tidak juga serangan menggila seperti sebelumnya.
Patigeni mendengus. Gusar, telah kehilangan 
buruan yang mungkin dapat membawanya kepada 
musuh besar yang tak pernah ditemuinya, Manusia 
Makam Keramat! Sekarang ini, dia cuma harus memu-
tuskan apakah dia harus memilih salah satu perca-
bangan anak sungai untuk dimasuki, atau dia kemba-
li.
Menimbang dia belum tentu berhasil mengikut 
cahaya misterius tadi dengan memilih salah satu per-
cabangan lorong, Penjaga Gerbang Neraka memu-
tuskan untuk keluar terlebih dahulu. Sebaiknya dia 
menemui Dewi Melati dulu. Bukan tak mungkin wanita 
itu menjadi sasaran penculikan Pasukan Kelelawar ke-
tika Patigeni sendiri tetap bersikeras dalam lorong. 
Menimbang hal itu, si tua bangka Cebol bisu, dan tuli 
memutuskan untuk kembali ke tempat semula.
Kekhawatirannya tak terbukti. Dewi Melati ma-
sih menunggu di luar. Setelah itu, mereka memu-
tuskan untuk melakukan pencarian dari darat. Patige-
ni yakin, cepat atau lambat kesempatan untuk meng-
hadapi Manusia Makam Keramat akan terjadi.
***

LIMA
MATAHARI belum lagi menampakkan diri. Si-
narnya masih terhalang oleh pekatnya kabut pagi. Ma-
sih gelap! Tapi, dalam suasana seperti itu seorang pe-
muda telah tampak berjalan santai di pinggir Hutan 
Rangkas.
Pemuda itu tak lain pendekar muda tanah Ja-
wa, Satria Gendeng. Setelah bertemu dengan Dong-
dongka, gurunya yang menemukannya dalam keadaan 
tak sadarkan diri waktu itu, dia meneruskan penca-
rian. Sejak pingsan terkena pukulan Penjaga Gerbang 
Neraka, Satria kehilangan arah penyelidikan sama se-
kali. Sekarang dia harus mulai dari awal. Di samping 
harus menemukan bocah-bocah penculik perempuan, 
Pasukan Kelelawar, dia juga harus mencari dua rekan 
tengiknya; Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Mu-
ka Bengis. Itu sebenarnya sudah cukup berat. Akan 
makin berat kalau dia harus pula mencari tahu siapa 
yang telah merampas senjata pusakanya ketika dia tak 
sadarkan diri.
Agak ke timur tepi hutan, terdapat bentangan 
sungai tak begitu besar. Airnya jernih. Dasarnya yang 
berpasir dan berbatu bahkan tampak dengan jelas, 
kendati sinar surya masih lamat. Pagi yang segar ten-
tunya saat yang tepat untuk mandi, mengingat badan-
nya sudah sebau ketiak dedemit! Pikir Satria.
Berkat ilmu meringankan tubuhnya yang cu-
kup tinggi, tanpa membutuhkan waktu terlalu lama, 
pemuda itu telah berada dekat dengan tempat yang di-
tuju. Tak lama, Satria sudah melompat ke sungai, se-
telah sebelumnya melepaskan pakaian.
Byuurrr...!

Air sungai yang semula mengalir tenang bergo-
lak ketika tubuh Satria menampar air. Pemuda murid 
dua sesepuh persilatan ini berenang sampai ke tengah 
sungai, tempat yang lebih dalam.
Menyelam.
Menikmati belaian kesejukan.
Pada saat si pendekar muda berwajah kekana-
kan itu menyelam, dari arah selatan datang seorang 
gadis cantik berpakaian warna putih. Gadis cantik itu 
membawa sebuah keranjang berisi pakaian yang hen-
dak dicuci di sungai itu. Usai meletakkan bakul berisi 
pakaian di atas batu sungai, dia melepaskan bebatan 
kain batik coklat yang membungkus tubuhnya. Kese-
garan air sungai mengundangnya untuk mandi. Uru-
san mencuci pakaian, bisa ditunda sebentar, pikirnya. 
Sebelum kainnya telanjur terlepas....
Byarrr...!
Dari tengah sungai, menyembul mendadak se-
buah kepala berkawal bunyi ramai sibakan air. Ram-
butnya centang-perenang ke mana-mana, menutupi 
wajah yang keluar dari dalam air. Mulutnya membulat 
seperti mujair seraya mengeluarkan suara tarikan na-
pas yang tak kalah menyeramkan dari kentut siluman.
Seketika itu pula gadis cantik berbebat kain 
mendekap mulut. Matanya membulat penuh. Mendelik 
bisa jadi. Dia mengira ada sebangsa siluman sungai 
muncul kepagian. Tapi apa iya ada siluman keluar se-
pagi ini, pikirnya. Akhirnya dia merutuki kebodohan-
nya sendiri. Bisa saja kepala yang muncul dari dalam 
sungai cuma kepala orang yang sedang mandi. 
Gadis berbebat kain itu segera menjemput ba-
kul cucian. Mengendap-endap, dia bersembunyi di ba-
lik batu besar. Bukan apa-apa, dia cuma belum begitu 
yakin benar pada orang yang muncul dari dalam sungai tadi. Perempuan atau lelaki? Dari tempatnya kini, 
dia mengintip siapa orang yang tengah mandi di pagi 
buta. Tidak seperti biasanya, sepagi ini ada orang yang 
mandi di sungai. Karena gadis cantik berbebat kain 
merasa yakin bahwa belum ada penduduk desa seki-
tar, terutama para gadis-gadis yang berangkat ke sun-
gai sepagi ini, selain dirinya.
Usaha gadis cantik mencari tahu siapa orang 
yang mandi itu tidak sia-sia. Dia berhasil melihat jelas 
punggung orang yang sedang mandi dari kejauhan. 
Tapi itu belum cukup.
Rambut panjang? Tanyanya membatin. Ke-
ningnya berkerut. "Aneh! Setahuku gadis-gadis di desa 
ini tidak ada yang mempunyai rambut panjang keme-
rahan. Kalau begitu siapa dia, ya?" tanya gadis berbe-
bat kain itu dalam hati.
Deggg!
Tiba-tiba saja wajah gadis cantik itu memerah 
seketika. Betapa tidak? Karena ketika orang yang se-
dang mandi itu membalikkan tubuhnya, disaksikan-
nya dada orang itu tampak bidang. Tidak ada buah 
dadanya! Sejak zaman apa, seorang gadis yang mem-
punyai dada bidang? Hal inilah yang membuat wajah 
gadis cantik itu memerah. Dia terkejut. Tanpa sengaja 
kaki gadis cantik itu menyentuh sebuah batu. Sialnya 
lagi batu itu bergulir ke bawah. Diiringi bunyi riuh ba-
tu itu menggelinding ke arah sungai.
Bunyi yang cukup berisik itu menarik perhatian 
Satria yang sedang mandi. Seketika itu pula, dia lang-
sung menghentikan kesibukan mandinya dan menge-
darkan pandangan ke asal keributan kecil.
"Hey, siapa di situ? Cepat tunjukkan diri...!" se-
ru Satria Gendeng.
Tidak ada sahutan.
Cukup lama.
"Hemm.... Baiklah kalau kau memang tidak 
mau menunjukkan diri. Jangan salahkan aku jika 
kau...." Ancam Satria Gendeng. Sengaja kalimatnya di-
penggal untuk membuat pancingan, agar orang yang 
membuatnya curiga muncul.
Sementara itu gadis cantik berbebat kain nam-
pak mulai bingung. Diam-diam dia menyesali seruntun 
kebodohannya.
"Baiklah jika memang kau mau mencari penya-
kit denganku...!" tegas Satria Gendeng, sambil melesat 
menyambar pakaian. Kalau tidak begitu, bisa terlihat 
perabotannya!
Mendengar ancaman Satria, karuan saja si ga-
dis cantik semakin kelabakan. Perasaan gelisah me-
landa hatinya. Dadanya berdentam-dentam kencang. 
Mau bilang apa dia nanti? Mengintip perjaka mandi?! 
Mau ditaruh di mana mukanya? Di bakul cucian?
Dapat dibayangkan betapa malu dirinya nanti.
Tapi sebelum gadis itu bergerak keluar, orang 
yang diintipnya telah berada di hadapannya. Seketika 
tubuh gadis cantik itu bergetar hebat.
"Siapa kau...?! Mengapa kau mengintip aku 
mandi?!" tanya Satria Gendeng bersungut-sungut. He-
ran juga Satria. Masa' iya ada perempuan senang men-
gintip? Gila apa? Pikirnya,
"Ak... akhu..., tid... tiddakk senggajaa...!" jawab
gadis berbebat kain, tergagap. Pandangan matanya 
merunduk ke tanah. Tidak mampu melihat wajah 
orang di hadapannya. Malu hati sebesar bukit!
"Siapa namamu, Nona?"
"Aku.... Rara Lanjar," jawab singkat si gadis 
bernama Rara Lanjar.
"Apa tujuanmu berada di sini dan mengintip ku

begitu rupa?" tanya Satria sambil melihat rona merah 
pada kedua pipi Rara Lanjar. Caranya bertanya agak 
sengit. Maklum, dia merasa dipermalukan.
"Aku sedang mencuci pakaian. Tidak bermak-
sud apa-apa...," kembali gadis cantik itu menjawab
pertanyaan Satria Gendeng dengan wajah tertunduk.
"Mencuci pakaian dengan cara bersembunyi 
seperti ini? Jangan ngaco! Bilang saja kau sejenis pe-
rempuan 'gatal'!?" semprot Satria, keki.
Kian terbakar wajah putih mulus Rara Lanjar 
mendengar ucapan pemuda di depannya yang diang-
gapnya sama sekali tidak berperasaan. Bacot pemuda 
semacam ini mesti disumpal kepalan, gusarnya. 
"Kurang ajar!"
Sambil memaki, tangan perempuan itu melepas 
tamparan. Tamparan yang tidak mungkin dilakukan 
oleh perempuan desa biasa. Terlalu bertenaga. Sebe-
lum sampai saja, angin sambarannya sudah terasa.
Satria tidak bisa tidak dibuat agak terperanjat. 
Semula dikira gadis di depannya cuma gadis desa bi-
asa. Kalau cuma sempat terperanjat, bisa sial besar 
dia. Tamparan perempuan itu bisa saja membuat mu-
lutnya 'penyok'! Makanya Satria buru-buru menoleh-
kan kepala.
Tamparan lewat di depannya.
Si gadis tak puas. Sepertinya baru akan puas 
kalau kepalannya sudah menyodok mulut si pemuda 
sampai ke tenggorokan. Ini yang namanya tindakan 
memberi pelajaran pada pemuda bermulut lancang!
Lalu kaki mulusnya terangkat, membuat sa-
puan ke tempat Satria berpijak. Kainnya tersingkap le-
bar. Sampai ke pangkal paha. Mulusnya minta tobat.
Bagi si pemuda, 'pemandangan bagus' itu bisa 
berarti dua hal. Pertama, 'rezeki nomplok' di pagi buta.


Kedua, 'kesialan'. Kesialan karena matanya jadi tak 
berkedip mengikuti gerakan pangkal paha yang meren-
tang aduhai itu. Meski gerakannya cepat, tapi tetap 
nikmat. Karena itu (sialnya), dia jadi tertegun.
Dak!
Tulang kering di kakinya kontan tersapu kaki 
Rara Lanjar. Keras. Telak. Satria berteriak dengan ma-
ta menjuling.
"Wadau!"
Keseimbangan tubuhnya oleng. Dia hendak 
bersalto ke belakang. Tapi, tangan Rara Lanjar sudah 
lebih cepat memburunya.
Bukh!
Dadanya terhantam. Tubuhnya ambruk ke be-
lakang. Sungai menantinya. 
Byur! 
Basah!
"Sial!!!" umpat Satria sambil menatapi pakaian-
nya yang kuyup semua. Dia bangkit dengan bibir maju 
mundur. Demi nenek moyang gurunya yang sinting, 
akan dimaki-makinya perempuan brengsek itu! Habis-
habisan. Didekatinya lagi Rara Lanjar.
Belum sempat mulutnya menyemprotkan ma-
kian, Satria sudah keduluan.
"Cuih! Untuk apa aku mengintip mu yang tidak 
ada gunanya buatku?! Kalau bicara hati-hati! Lihat du-
lu, apa aku punya tampang wanita nakal?! Jawab pe-
muda bermulut lancang! Jangan-jangan, justru kau 
yang termasuk pemuda nakal!!" omel Rara Lanjar, le-
bat seperti hujan.
Satria jadi bengong. Bukankah mestinya dia 
yang mengomel?
Berhasil menekan rasa malunya dengan kegu-
saran, Rara Lanjar mendongakkan kepala. Ditantang

nya mata pemuda di hadapannya. Tegas-tegas.
Saat itulah, entah bagaimana terbetik keterpa-
kuan pada mata si gadis menyaksikan ketampanan 
wajah pemuda di hadapannya. Perasaan jadi berubah 
lagi. Jadi rada pontang-panting, makin dijungkirbalik-
kan. Gundah. Campur resah. Campur sebal, campur 
baur dengan es campur, eh campur malu! 
"Kenapa kau memandangku seperti itu, Nona?" 
bentak Satria Gendeng. Masih saja dia bersungut-
sungut tak sedap.
Rara Lanjar gelagapan.
"Kau juga belum jawab pertanyaanku tadi, apa 
yang sedang kau lakukan di sini?!" serbu Satria lagi.
"Aku tidak mengintip mu! Aku memang ingin 
mencuci pakaian. Kalaupun aku bersembunyi, panjang 
juga ceritanya!" balas Rara Lanjar mulai memberani-
kan diri.
"Jelaskan saja!"
Si gadis sejenak menarik napas panjang, mene-
nangkan kerusuhan perasaannya. Setelah terasa te-
nang, barulah Rara Lanjar kembali memandang wajah 
pemuda tampan di depannya.
Satria yang melihat lebih jelas lagi wajah Rara 
Lanjar jadi berdecak kagum. Sungguh indah dan elok 
paras wajah Rara Lanjar. Tidak kalah dengan wajah 
Mayangseruni atau Tresnasari. Dua gadis yang pernah 
dikenalnya. Tapi, perasaan 'dipermalukan' jadi soal 
lain. Dia tidak terima diintip!
"Ayo, jelaskan padaku, Nona!" desak Satria.
"Sebenarnya aku tidak bermaksud mengintip 
mu mandi. Karena perlu kau ketahui, bahwa sungai ini 
khusus untuk para gadis yang boleh mandi dan men-
cuci di sini. Sedangkan untuk pemuda sebelah utara 
sungai ini. Jadi aku kaget dan malu ketika tahu kau

sedang mandi. Makanya aku sembunyi. Kau juga yang 
salah!" tukas Rara Lanjar.
"Eee.... Mana aku tahu di sini cuma tempat un-
tuk para gadis," kata Satria Gendeng, mulai menurun 
nada suaranya. Sadar kalau dirinya yang salah.
Anak muda itu tersenyum-senyum kebodohan. 
Cengar-cengir serba salah. Sejelek anak monyet. Un-
tung dia bukan anak monyet!
"Kalau benar begitu aku minta maaf, Nona!" 
ujar Satria, malu-malu.
"Aku juga minta maaf, Kang" balas Rara Lanjar, 
merunduk ketika mengingat peristiwa sebelumnya. 
Terpaksa kalimatnya terpenggal.
"Panggil saja aku Satria...," ujar Satria Gen-
deng. Lupa mengenalkan dirinya. "Siapa pula nama-
mu, Nona?" 
"Rara Lanjar," sahutnya perlahan.
Tak lama kemudian mereka dilingkupi suasana 
hening. Masing-masing tidak ada yang berbicara. Sa-
ma-sama kehabisan kata. Sehingga akhirnya Satria 
Gendeng memutuskan untuk pamit saja. Daripada ha-
rus terus seperti orang tolol, pikirnya.
"Oh ya, Rara Lanjar. Aku minta diri untuk me-
lanjutkan perjalananku pagi ini...," pamitnya, mengu-
sik lamunan gadis cantik di depannya.
Rara Lanjar yang melamun dan menatap ko-
song ke depan menjadi tergagap ketika mendengar 
pamitan pemuda yang baru dikenalnya.
"Oh, silakan, Satria...," jawabnya dengan terba-
ta-bata.
Ringan, Satria Gendeng kembali melangkahkan 
kaki, melanjutkan perjalanannya. Belum lama Satria 
Gendeng melangkah.... 
"Satria! Nanti malam di tempatku ada pesta pa

nen! Kalau kau sempat, datanglah ke Desa Lebak! Aku 
mengundangmu...!" teriak Rara Lanjar.
Satria Gendeng yang mendengar teriakan Rara 
Lanjar, hanya tersenyum di kejauhan.
* * *
"Hemm.... Ada apa, ya?" gumam Satria sambil 
menghentikan ayunan kakinya. Anak muda itu tengah 
memasuki Hutan Rangkas lebih ke dalam.
"Suara apa ya?" bisiknya lagi seraya mengga-
ruk-garuk kening
Satria mencoba memperuncing pendengaran-
nya untuk meyakinkan apa yang tengah didengarnya. 
Dia tercenung sejenak seperti tengah memperkirakan 
sesuatu.
"Sepertinya suara itu teriakan orang meminta 
pertolongan," duga pemuda berambut kemerahan itu, 
lebih meyakinkan dari sebelumnya.
"Suara yang tertangkap oleh telingaku terlalu 
lemah. Jadi, susah bagiku untuk dapat memastikan 
dari mana datangnya. Kalau saja terdengar lagi, 
meskipun hanya sekali, mungkin bisa kuketahui sum-
bernya," ujar pemuda tampan berompi bulu pada di-
rinya sendiri.
Satria menatap ke sekeliling hutan sambil men-
gangguk-anggukkan kepala. Entah apa yang dipikirkan 
oleh pemuda bersifat lugu itu.
"Hutan ini cukup luas juga. Bagaimana aku 
dapat mencari sumber suara tadi tanpa mengetahui 
arahnya, laksana mencari jarum dalam tumpukan je-
rami! Sulit!"
"Tapi... biar bagaimanapun aku harus mencari 
sumber suara itu." Kembali murid Dedengkot Sinting

Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu ber-
bicara sendiri. Sinting juga, barangkali!
Satria melakukan pencarian secara lambat. 
Masalahnya, dia tak tahu arah yang harus ditempuh. 
Sambil menindakkan kaki, pendengarannya dipasang 
tajam-tajam. Hal itu dilakukan dengan sepercik hara-
pan yang bergayut di hati. Barangkali saja, jeritan itu 
kembali terdengar.
Cukup lama juga pendekar muda sakti pem-
buat kegegeran di tanah Jawa, momok kalangan sesat 
itu melakukan pencarian. Tak jarang dia harus mema-
pas semak-semak yang menghalangi perjalanannya. 
Sampai akhirnya....
"Hemm.... Garis apa itu?"
Satria Gendeng mengarahkan pandangan ke 
tanah yang terdapat cekungan selebar tiga jari pada 
bagian tanah hutan yang tidak tertutup rumput. Ce-
kungan itu memanjang. Jumlahnya tidak hanya satu 
melainkan sepasang! Jarak antara keduanya terpisah 
sekitar setengah tombak!
"Hemm.... Bukankah garis memanjang ini ada-
lah jejak roda kereta...?!" gumam Satria Gendeng, 
meyakinkan apa yang baru dilihatnya. Selain jejak ke-
reta kuda yang memanjang dari barat ke timur dite-
mukannya pula jejak-jejak kuda.
"Apakah jejak kereta ini mempunyai hubun-
gannya dengan asal jeritan yang tadi kudengar?" Kem-
bali Satria Gendeng berbicara pada dirinya sendiri. 
Memang dalam kesunyian hutan ada baiknya berbica-
ra sendiri untuk mengusir rasa sepi. Toh, binatang hu-
tan atau pepohonan tak akan menganggapnya sinting!
Merasa menemukan titik terang, Satria mulai 
mengamati rentang jejak kereta kuda sepanjang jalan 
tanah.

"Masalahnya sekarang, ke arah mana kereta 
kuda itu pergi?" gumamnya kemudian. "Ke timur, atau 
ke barat?"
Pemuda berambut kemerahan itu tidak perlu 
berpikir terlalu keras untuk menentukan arah yang 
semestinya ditujunya. Dari posisi bekas telapak kuda 
di tanah, dia bisa langsung memastikan arah jejak ta-
di. Lengkungan bekas tapal kuda semuanya mengarah 
ke barat. Jadi, arah itu yang harus dituju! Langsung 
saja kakinya melangkah lebar mengikuti jejak-jejak ta-
di.
Satria harus teliti sekali. Masalahnya, beberapa 
kali jejak roda kereta itu tidak tampak. Bahkan tidak 
berbekas sama sekali ketika melewati tanah berumput 
tebal. Syukurlah, berkat keuletannya, penyelidikan itu 
pun sampai pada tempat di mana Manusia Makam Ke-
ramat melakukan penghadangan.
"Hemm...," gumam Satria Gendeng untuk kese-
kian kali, sambil melepas pandangan tegas-tegas ke 
depan. Disaksikannya suatu pemandangan yang demi-
kian mencolok! Sehingga meskipun jaraknya masih 
cukup jauh, dia merasa telah melihat di depan mata!
Cukup menggiriskan hati pemandangan yang 
terpampang di hadapan pendekar muda itu. Mayat-
mayat anggota Perguruan Kuda Langit berserakan di 
sana-sini dalam keadaan mengenaskan. Sementara tak 
jauh dari situ, tampak sebuah kereta dengan binatang 
penghelanya yang masih berdiri kaku seperti patung.
Satria bertindak sangat hati-hati dan waspada. 
Pikirnya, mungkin saja pelakunya belum pergi jauh. 
Sekujur otot dan urat saraf pemuda itu menegang 
waspada. Pendengaran dan penglihatannya dipasang 
setajam mungkin, bersiap menghadapi segala ke-
mungkinan.

Tapi tindakan hati-hati yang dilakukan pende-
kar muda ini sia-sia. Sampai berada dekat dengan ge-
limpangan mayat, peristiwa yang tidak diharapkan ti-
dak terjadi. Suasana tetap lengang.
"Hem... brengsek! Bagaimana aku dapat me-
nyimpulkan apa yang telah terjadi dari mayat-mayat 
ini?" gumam Satria Gendeng, tetap memasang sikap 
waspada.
Satria Gendeng tidak mampu berbuat lain. Dia 
hanya tercenung beberapa saat lamanya seakan-akan 
tengah mencari jawaban bagi pertanyaannya sendiri.
"Apa iya, orang-orang yang terbunuh dicegat 
oleh perampok-perampok hutan ini? Sepertinya mayat-
mayat di sini berasal dari satu kelompok? Andaikan 
yang menghadang mereka adalah para perampok hu-
tan ini, tapi kenapa tak ada tanda-tanda ada benda 
berharga yang hilang. Berarti, bukan perampok-
perampok yang telah mencegat perjalanan kelompok 
ini."
Kembali Satria Gendeng hanya mampu mendu-
ga-duga.
Satria Gendeng hanya mengangkat bahu. Bin-
gung memikirkan kejadian yang tidak pasti juntrun-
gannya itu.
"Sekarang tinggal satu lagi yang belum aku pe-
riksa yaitu kereta! Aku yakin, orang yang berada di da-
lam kereta merupakan tokoh penting. Buktinya dia di-
kawal!" pikirnya kembali
Di dalam kereta yang pintunya telah rusak, dia 
tak menemukan apa-apa. Nihil.
"Kosong...?!" desis pemuda tampan murid De-
dengkot Sinting Kepala Gundul ketika telah berada te-
pat di samping kereta itu.
"Hemmm...!" Satria Gendeng bergumam sambil

mengangguk-anggukkan kepala. Diperhatikannya pin-
tu kereta yang tidak berdaun lagi. Tanpa ada yang 
menceritakan pun, sudah bisa ditebak peristiwa yang 
telah terjadi.
"Mungkinkah suara orang minta tolong ada hu-
bungannya dengan semua peristiwa ini. Tapi, karena 
jaraknya terlampau jauh, tidak terdengar secara jelas."
Sampai sebegitu jauh, tak juga ditemukannya 
titik terang. Akhirnya, Satria memutuskan untuk me-
lanjutkan perjalanan. Siapa tahu di tengah perjalanan 
dia bisa menemukan ceceran petunjuk atas peristiwa 
tersebut.
Sampai dia tiba di suatu tempat, cukup jauh 
dari tempat pembantaian rombongan tadi.
"Ah...!" 
Satria mengeluarkan seruan tertahan. Lebih 
mendekati keluhan. Kepalanya tertunduk, tak kuasa 
menyaksikan pemandangan di depannya. Tak jauh da-
rinya, dalam jarak sekitar tiga belas tombak terpam-
pang tubuh seorang gadis berpakaian merah muda da-
lam keadaan mengerikan.
Tubuh perempuan itu menempel di atas seba-
tang pohon besar. Tangan dan kaki agak terentang le-
bar. Keadaannya amat menggiriskan hati! Tubuhnya 
kelihatan hampir kering. Pakaiannya sudah koyak 
moyak di sana-sini. Malah, keadaan si gadis malang 
nyaris telanjang.
"Hemm.... Biadab!"
Setelah terdiam beberapa saat lamanya karena 
hatinya terguncang, keluar juga sebuah makian dari 
mulut Satria Gendeng. Tarikan wajah dan sorot ma-
tanya memancarkan kemarahan yang amat sangat.
"Siapa pun pelakunya, dia tidak layak untuk 
dibiarkan hidup lebih lama!"

Dengan kemarahan membludak di dada, Satria 
menghampiri. Jarak yang cukup jauh membuat dia ti-
dak dapat melihat mengapa tubuh gadis berpakaian 
merah muda itu dapat menempel di batang pohon.
Hanya dalam beberapa langkahan kaki, si pen-
dekar muda tanah Jawa dapat mengetahuinya. Hal itu 
membuat kemarahannya semakin bergejolak.
"Iblis!"
Kembali makian geram keluar dari mulut Satria 
ketika dia telah melihat mengapa tubuh gadis malang 
itu dapat menempel pada batang pohon. Telapak tan-
gan dan kakinya dipakukan dengan pasak dari kayu 
sebesar ibu jari ke pohon!
"Kalau aku tidak dapat menemukan dan mem-
basmi iblis keji ini. Jangan biarkan aku hidup, oh Gus-
ti!" janji Satria sungguh-sungguh.
Tanpa membuang waktu lagi, pemuda tampan 
murid tua bangka sinting, Dongdongka, langsung 
menggenjotkan kaki. Tubuhnya melayang ke atas! Ge-
sit. Cepat. Tangkas. Begitu Satria Gendeng melayang 
turun, tangannya telah membopong tubuh gadis ber-
pakaian merah muda tadi.
Ringan laksana sehelai daun kering, Satria 
Gendeng menjejakkan kedua kakinya di tanah. Diper-
hatikannya keadaan mayat gadis berpakaian merah 
muda itu yang nampak pucat. Sekilas pendekar murid 
dua tokoh kenamaan tanah Jawa itu melihat dua titik 
kemerahan pada leher gadis cantik itu yang sangat pu-
tih. Dua titik itu layaknya bekas sebuah gigitan. Entah
itu gigitan manusia atau binatang buas. Kalau gigitan 
binatang buas kenapa mayat gadis cantik ini bisa di-
pasak di batang pohon? Jelas ini adalah perbuatan 
manusia, tapi siapa? Setelah berpikir keras dan tidak 
menemukan tanda-tanda yang cukup berarti, Satria

Gendeng lalu merebahkan tubuh mayat gadis itu di 
tanah. Kemudian, dicarinya tempat yang layak untuk 
menguburnya.
Sementara itu, Satria tidak tahu semua gerak-
geriknya diperhatikan oleh seseorang yang bertengger 
di atas pohon cukup lebat! Orang itu adalah kakek 
durjana, Manusia Makam Keramat. Satria terus diawa-
sinya. Bahkan sampai dia menguburkan mayat gadis 
berpakaian merah muda.
Sepasang mata Manusia Makam Keramat itu 
tampak berpijar ketika mendengar ucapan Satria Gen-
deng seusai menguburkan mayat gadis berpakaian me-
rah muda itu.
"Siapa pun dirimu, aku berjanji untuk memba-
laskan kematianmu. Akan kucari pelaku perbuatan ke-
ji ini!" ucap Satria Gendeng sambil mendongakkan wa-
jahnya.
"Hhh...!"
Satria menghela napas berat seusai mengu-
capkan sumpahnya.
Agak gontai, pendekar muda itu melangkah 
pergi.
Sepeninggalan Satria....
Diiringi suara mendesir, Manusia Makam Ke-
ramat meluncur turun dari pohon tempatnya berteng-
ger. Ditatap gundukan tanah merah yang masih basah. 
Tatapannya sulit diterjemahkan.
"Kau bukan keturunan sang Prabu, Perempuan 
Sundal! Aku bisa mencicipi darahmu. Aku bisa mera-
sakan apakah kau keturunan Prabu Keparat itu atau 
bukan! Ternyata kau bukan keturunannya! Aku telah 
tertipu.... Keparat mana yang berani mempermainkan 
aku," desisnya dengan nada gusar tanpa terlihat 
menggerakkan bibir.

ENAM
SANG surya telah sejak tadi tenggelam di barat. 
Kini sang dewi malam menggantikan tugasnya, mene-
rangi persada dari kungkungan kegelapan. Meskipun 
saat itu tidak muncul dalam bentuknya yang utuh, bu-
lan cukup mampu untuk mengusir kegelapan.
Langit cerah. Bintang-gemintang menaburi 
angkasa, berkelip-kelip ceria karena tak ada segumpal 
pun awan menggantung di sana. Semua itu menjadi-
kan suasana semakin sumringah.
Ternyata tidak hanya suasana di langit saja 
yang cerah ceria. Hal yang sama pun terjadi pula di 
Desa Lebak. Obor-obor terpancang ditiap-tiap rumah 
penduduk, dalam jumlah yang lebih banyak dari bi-
asanya sehingga membuat keadaan desa terang bende-
rang. Jelas, ada acara sedang berlangsung di desa ter-
sebut.
Tidak keliru jika ada orang menduga seperti itu. 
Terbukti, di mulut desa terpampang umbul-umbul 
yang indah dalam bentuk beraneka ragam. Hiasan 
yang sama terpampang di depan rumah Ki Arga Pasa.
Di tempat tinggal Ki Arga Pasa, di Perguruan 
Belalang Putih, nampak meriah. Umbul-umbul terpa-
jang, berderet dengan rapi dan teratur mulai dari pintu 
gerbang sampai ke bagian dalam. Obor-obor pun ter-
pancang di sana-sini, membuat tempat itu terang-
benderang laksana siang hari.
Hal demikian tidak aneh karena saat itu tengah 
dilangsungkan pesta panen sawah. Tak pelak lagi, ke-
sibukan pun melanda Perguruan Belalang Putih. Kare-
na pada saat itu Perguruan Belalang Putihlah yang 
menjadi tuan rumah dalam pesta panen sawah itu.

Sehingga murid-murid perguruan itu, yang tidak bera-
pa banyak, tampak kerepotan melayani para tamu 
yang datang untuk merayakan hasil panen.
Kegegeran yang dilakukan oleh Pasukan Kele-
lawar waktu-waktu belakangan tidak membuat surut 
semangat Desa Lebak untuk merayakan pesta panen 
sawah. Hal itu terbukti dengan banyaknya tamu yang 
berdatangan untuk merayakan.
Tamu-tamu yang hadir tidak sedikit. Ketua Per-
guruan Belalang Putih adalah orang yang terpandang, 
disegani, sekaligus dihormati. Tidak hanya di dalam 
Desa Lebak saja. Tapi juga dari desa-desa sekitar. Se-
hingga mereka cukup merasa aman dan tidak terlalu 
takut bila muncul Pasukan Kelelawar. Ki Arga Pasa 
sendiri terlihat setenang permukaan telaga. Tidak ada 
garis kekhawatiran di wajahnya.
Sementara itu di pendapa, duduk keluarga ke-
hormatan Ki Arga Pasa. Tak henti-henti mereka ber-
gembira. Tawa terbahak-bahak jarak terputus.
Rara Lanjar, putri sulungnya yang sangat can-
tik tak henti-hentinya mengembangkan senyum pada 
para tamu. Terlihat jelas, betapa keluarga Ki Arga Pasa 
sangat bergembira. Tak aneh, karena pesta, panen itu 
berlangsung atas bantuan-bantuan dari para pendu-
duk dan segenap murid perguruan dengan suka rela.
Tak jauh dari tempat duduk keluarga Ki Arga 
Pasa, tampak pula keluarga Kepala Desa Lebak, dan 
tamu-tamu kehormatan yang terdiri dari kepala-kepala 
desa dan ketua-ketua perguruan silat di sekitar Desa 
Lebak.
"Hasil panen mu tahun ini nampaknya cukup 
besar juga hasilnya, Arga."
Ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki 
berbebat kain. Raut wajahnya terlihat gagah dengan

kumis tebal melintang yang menghias bawah hidung-
nya.
"Hal itu memang sudah semestinya. Mengapa 
kau berkata demikian, Damar?!" tanya seorang kakek 
berpakaian merah dengan mulut menyunggingkan se-
nyum geli.
Meskipun senyum menghias bibir, tapi tetap 
saja tidak mampu mengusir keangkeran kakek itu. 
Bentuk wajahnya yang persegi penuh ditumbuhi bulu. 
Tidak hanya kumis dan jenggot, tapi juga cambang! 
Sepasang alisnya tebal dan hitam. Potongan tubuhnya 
pun tidak kalah angker, tinggi besar.
Bukan hanya itu. Pada bagian dada kanan dan 
dada kiri pakaiannya pun tersulam gambar seekor ku-
da terbang! Lengkaplah sudah semua hal yang mem-
buat kakek ini terlihat angker!
"Ah tidak, Manda?!" sahut lelaki berkumis me-
lintang yang dipanggil Damar, bernada berkelit. "Kau 
kan tahu kalau sawahku hanya berselisih tidak jauh 
dengan milik Ki Arga Pasa! Kalau kali ini dia pesta pa-
nen besar, mudah-mudahan nanti dia mau membagi-
kan beberapa petak sawahnya kepadaku. Dengan begi-
tu bukankah nantinya aku yang bakalan mendapat 
kesempatan untuk merayakan pesta panen besar...?!"
"Ha ha ha...!"
Serempak, bagai diberi perintah, Ki Arga Pasa 
dan kakek berpakaian merah yang dipanggil Manda 
yang mempunyai nama lengkap Manda Langit, tertawa 
bergelak. Kelihatan geli mendengar pernyataan Damar 
yang bernama lengkap Damar Sakti.
"Mengapa kalian tertawa?!" tanya Damar Sakti 
setengah memprotes.
"Kami hanya merasa geli saja, Damar," Ki Arga 
Pasa yang menjawab, setengah tertawa. Ini menjadi

pertanda kalau perasaan geli masih melanda hatinya.
"Benar, Damar," sambut Manda Langit mendu-
kung pernyataan Ketua Perguruan Belalang Putih. 
"Mengapa kau sepertinya berkeinginan sekali untuk 
melaksanakan pesta panen sawah?! Hendak kau ke 
manakan julukan Pendekar Tendangan Maut, jika kau 
masih berpikiran akan harta dunia!"
"Tepat!" timpal Ki Arga Pasa, cepat. "Bahkan 
aku berani bertaruh kalau, keampuhan tendangan mu 
semakin meningkat dengan semakin meningkatnya la-
tihanmu ketimbang mengurus sawah!" 
"Ha ha ha...!" Sekarang ganti Damar Sakti yang 
berjuluk Pendekar Tendangan Maut yang tertawa ter-
kekeh.
"Luar biasa! Ternyata waktu yang sekian la-
manya tidak mengubah sikap kalian! Kurasa sudah 
saatnya kalian berdua membuang puji-pujian kosong 
itu! Apa hebatnya, ilmu 'Tendangan Maut'-ku diband-
ing jurus 'Kuda Langit' milikmu, Manda?! Atau per-
mainan langkahmu yang mampu menghancurkan apa 
saja yang terbentur, Arga?!" ujar Damar Sakti bernada 
merendah. 
"Ha ha ha...!" 
Untuk yang kedua kalinya Ki Arga Pasa da 
Manda Langit tertawa bergelak.
"Lagi pula, bukan cuma aku saja yang cuma 
mengurus keampuhan kedigdayaan. Kudengar kabar, 
perguruanmu menyediakan jasa pengawalan baik bagi 
orang-orang yang hendak berpergian jauh, maupun 
untuk pengiriman barang berharga?! Bukankah demi-
kian, Manda?!" sambung Damar Sakti.
"Hhh...!"
Manda Langit malah menghela napas berat. 
Wajah mendadak berubah muram.

Karuan saja perubahan sikap kakek berwajah 
mirip harimau ini membuat Ki Arga Pasa dan Pendekar 
Tendangan Maut merasa heran. Senyum yang ter-
sungging di bibir pun kontan lenyap. Tetapi sekarang, 
dengan pandang mata penuh selidik dan penult rasa 
ingin tahu, keduanya menatap wajah Manda Langit.
"Mengapa, Manda?! Adakah ucapanku yang sa-
lah dan tidak berkenan di hatimu?!" tanya Pendekar 
Tendangan Maut, bernada sungguh-sungguh.
Tidak ada lagi nada main-main dalam suara 
Damar Sakti. Masalahnya, seperti juga Ki Arga Pasa, 
dia tahu kalau Manda Langit tidak akan bersikap se-
perti itu, apabila tidak ada masalah yang melanda.
"Tidak, Damar. Tidak ada yang salah dengan 
ucapanmu," Manda Langit menggelengkan kepala 
sambil tersenyum.
Baik Ki Arga Pasa maupun Pendekar Tendan-
gan Maut, bukan orang bodoh. Itulah sebabnya, mere-
ka tahu kalau senyum Manda Langit hanya pulasan 
dan tidak keluar dari lubuk hatinya. Karuan saja hal 
itu membuat kedua tokoh itu penasaran, terutama se-
kali Pendekar Tendangan Maut yang memang memiliki 
watak agak 'panasan'.
"Kalau orang lain, mungkin dapat kau bohongi, 
Manda. Pada kami, kau tidak mungkin dapat. Mulut-
mu mungkin dapat membohongi kami, tapi matamu 
mengatakan yang sebaliknya. Apakah kau tidak per-
caya lagi pada kami, Manda?! Sehingga kau tidak mau 
mengemukakan masalah yang kau hadapi?!" 
Terdengar jelas nada penasaran dalam ucapan 
Pendekar Tendangan Maut.
Manda Langit tetap diam.
Melihat hal ini, Ki Arga Pasa merasa khawatir 
Pendekar Tendangan Maut akan mengeluarkan ucapan

dengan nada lebih keras lagi. Maka diputuskan untuk 
mendahului berbicara.
"Apa yang dikatakan Damar benar, Manda. 
Kami adalah sahabat-sahabatmu. Rasanya tidak pada 
tempatnya kalau kau menyembunyikan masalah yang 
kau hadapi. Percayalah, masalahmu adalah masalah 
kami juga. Katakanlah, Manda! Jangan buat kami pe-
nasaran. Ingatkah kau akan ikrar kita bertiga setelah 
berhasil menghancurleburkan Gerombolan Singa Si-
luman?!"
Rupanya ucapan Ki Arga Pasa yang bernada 
lembut mengenai sasarannya. Terbukti, ada reaksi di 
wajah Manda Langit sungguhpun dia masih tetap di-
am.
Melihat hal ini, Pendekar Tendangan Maut 
bermaksud untuk menyambung ucapannya yang tadi 
tertunda karena didahului oleh Ki Arga Pasa. Tapi se-
belum maksudnya dilaksanakan, Ki Arga Pasa telah 
lebih dulu memberi isyarat padanya untuk membiar-
kan Manda Langit.
Meskipun rasa tidak puas melanda hati, Damar 
Sakti bersedia menuruti isyarat yang diberikan rekan-
nya. Dia tahu, Ketua Perguruan Belalang Putih itu 
mempunyai alasan yang cukup kuat, sehingga mela-
rangnya berbicara lagi.
Dugaan Pendekar Tendangan Maut tidak salah. 
Ki Arga Pasa memang mempunyai alasan kuat. Ketua 
Perguruan Belalang Putih itu yakin kalau Manda Lan-
git terpengaruh oleh ucapannya. Keluarnya penjelasan 
kakek tinggi besar itu hanya tinggal menunggu waktu 
saja.
Memang benar demikian. Ucapan Ki Arga Pasa 
mempunyai pengaruh kuat. Ucapan itu mengingatkan 
Manda Langit akan masa-masa mudanya. Dulu, lebih

dua puluh tahun lalu, dia seperti juga Ki Arga Pasa 
dan Damar Sakti adalah pendekar-pendekar pembela 
kebenaran. Setiap ada tindak ketidakadilan, mereka 
pasti turun tangan. Mereka selalu berhasil menum-
pasnya. Tak terhitung sudah tokoh-tokoh golongan hi-
tam yang ditewaskan sehingga membuat nama mereka 
menjulang di dunia persilatan.
Semula ketiga tokoh pembela kebenaran ini ti-
dak saling mengenal. Mereka baru berkenalan dan sal-
ing bahu-membahu ketika menghadapi kelompok pe-
rampok yang terkenal dengan julukan Gerombolan 
Singa Siluman, karena setiap kali melakukan keonaran 
selalu mengamuk laksana singa, dan jejak mereka sulit 
untuk dicari. Lenyap begitu saja laksana siluman.
Kalau saja tidak bekerjasama, mungkin mereka 
telah tewas. Gerombolan Singa Siluman memang amat 
tangguh dan juga licik. Melalui kerjasama yang rapi, 
ketiganya berhasil menumpas Gerombolan Singa Silu-
man. Di antara mereka, Ki Arga Pasa lebih dituakan.
Itulah kebersamaan mereka yang terakhir. Se-
jak saat itu mereka berpisah, menempuh sendiri-
sendiri. Sebelum berpisah mereka sempat berjanji un-
tuk saling membantu apabila di antara mereka bertiga 
mendapat kesulitan.
"Hhh...!"
Manda Langit menghela napas berat ketika te-
ringat akan kejadian yang membebani pikirannya. Ke-
mudian dialihkan pandangannya ke arah Ki Arga Pasa 
dan Pendekar Tendangan maut yang masih menung-
gunya berbagi masalah.
"Kalian memang kawan-kawan yang baik," ujar 
Manda Langit mengawali pembicaraannya.
"Semula aku tidak ingin memberitahukan ke-
pada siapa pun karena hal ini memang tanggung ja

wabku."
"Lupakanlah pendirianmu yang keliru itu, 
Manda. Ketahuilah, masalahmu adalah masalah kami 
juga! Bukankah demikian, Arga?!" Pendekar Tendan-
gan Maut langsung saja menyelak.
Ki Arga Pasa menganggukkan kepala.
"Benar, Manda. Apa yang dikatakan Damar 
Sakti sama sekali tidak salah. Masalahmu adalah ma-
salah kami juga. Tentu saja sepanjang masalah itu ti-
dak menyangkut urusan dalam perguruan! Namun, 
meskipun demikian ada baiknya kau menceritakannya 
pada kami. Percayalah, andaikata kami pandang uru-
san itu terlampau pribadi, dengan senang hati akan 
kami biarkan kau menuntaskannya sendiri."
Pendekar Tendangan Maut mengangguk-
anggukkan kepala. Disadari kalau ucapan Ki Arga Pa-
sa ada benar. Pandangan Ketua Perguruan Belalang 
Putih itu demikian bijaksana. Dalam hati Damar Sakti 
merasa salut atas sikap Ki Arga Pasa.
Bukan hanya Pendekar Tendangan Maut yang 
mengakui kebenaran pendapat Ki Arga Pasa. Manda 
Langit pun demikian. Berdasarkan ucapan itu, tidak 
ada alasan lagi baginya untuk menyembunyikan masa-
lah yang merisaukan hatinya.
"Kalau benar demikian, kalian dengarlah baik-
baik," ujar Manda Langit memulai kisahnya. "Seperti 
yang dikatakan Damar Sakti tadi, aku memang mem-
punyai sebuah perguruan yang kuberi nama Pergu-
ruan Kuda Langit. Cukup banyak murid yang kumiliki. 
Karena satu kesulitan, akhirnya aku mempunyai pe-
mikiran menggunakan kepandaian mereka untuk 
mencari penghasilan."
Sampai di sini Manda Langit menghentikan 
ucapannya untuk mengambil napas.

"Sejak saat itu, Perguruan Kuda Langit menye-
diakan jasa pengawalan. Segala kegiatan, baik untuk 
pengiriman barang-barang berharga maupun pengawa-
lan atas orang yang melakukan perjalanan." 
Lagi-lagi Manda Langit menghentikan cerita. 
Hanya saja kali ini digunakan untuk melihat tangga-
pan kedua rekannya. Tapi Ki Arga Pasa maupun Pen-
dekar Tendangan Maut tidak mengucapkan sepatah 
kata pun. Dengan sabar mereka menunggu hingga Ke-
tua Perguruan Kuda Langit itu melanjutkan cerita dan 
menyelesaikannya.
Sebenarnya, baik Ki Arga Pasa maupun Daman 
Sakti sudah dapat menerka kelanjutan cerita Manda 
Langit. Tapi, mereka tidak mau menyela. Bagai telah 
bersepakat sebelumnya, keduanya memutuskan untuk 
mendengarkan hingga Manda Langit menyelesaikan ki-
sahnya.
Memang kemudian, Manda Langit langsung 
melanjutkan cerita ketika melihat tidak ada tanggapan 
dari kedua rekannya.
"Beberapa hari yang lalu, datang orang asing 
berpenampilan aneh. Dia mengendarai kereta kencana 
milik keluarga Raja Pajajaran. Dari pakaiannya ku ya-
kin dia seorang lelaki berdarah biru Pajajaran. Yang 
kuanggap aneh, dia mengenakan topeng wayang. Aku 
ingat jelas, topengnya itu berupa wajah Arjuna. Pada 
kami, dia meminta untuk mengantarkan kereta kenca-
na ke istana. Permintaan itu pun kuanggap aneh. Ke-
napa tidak dia saja yang membawa kalau dia sendiri 
adalah salah seorang keluarga kerajaan? Karena men-
ganggap pelanggan adalah raja, kami bersedia juga 
membawa kereta kencana itu ke istana."
Untuk yang kesekian kalinya Manda Langit 
menghentikan cerita. Malah kali ini lebih lama dari se

belumnya. Tarikan wajah dan sinar matanya menyi-
ratkan perasaan terpukul yang amat sangat.
Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut ti-
dak mau mengusik. Mereka malah membiarkannya. 
Keduanya tahu, tidak ada gunanya menghibur Manda 
Langit. Pada saat itu, si kakek tinggi besar sama sekali 
tidak membutuhkannya.
Mulai lagi Manda langit menghela napas.
Sarat.
Padat.
Juga berbeban.
"Sejak mula, aku merasa memiliki firasat bu-
ruk. Namun, aku mempercayai rombongan murid-
muridku yang mengantarkan kereta kencana itu. Tiga 
hari yang lalu, burung elang perak dengan kain hitam 
di kaki kanannya tiba di perguruanku. Saat itulah aku 
menyadari firasat buruk ku beralasan. Bahaya besar 
menimpa rombongan yang mengawal kereta kencana!"
"Tunggu dulu, Manda," sela Pendekar Tendan-
gan Maut, cepat. "Burung elang dengan kain hitam di 
kaki kanannya?! Aku tidak mengerti maksudmu?!"
Manda Langit menatap wajah Damar Sakti se-
jenak. Kemudian dialihkan pandangannya ke arah Ki 
Arga Pasa.
"Begini, Arga, Damar. Aku mempunyai cara un-
tuk mengetahui keadaan murid-muridku yang tengah 
mengadakan pengawalan. Caranya adalah dengan 
memanfaatkan burung elang yang telah kami latih. Ji-
ka rombongan muridku telah berhasil melaksanakan 
tugas tanpa halangan, mereka akan melepas burung 
elang berikat kain hijau yang akan terbang pulang ke 
perguruan. Sementara, jika rombongan berada dalam 
bahaya, maka burung elang akan diikatkan kain hitam 
di kakinya."

Ki Arga Pasa dan Pendekar Tendangan Maut 
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka mengerti.
"Tahu akan kejadian itu, segera saja kuutus 
beberapa murid kepercayaan ku untuk menyelidikinya. 
Mereka menemukan rombongan pengawal kereta ken-
cana telah dibantai. Salah seorang yang sedang seka-
rat sempat melaporkan kejadian yang menimpa."
Alis putih orang tua itu bertaut. Keningnya ber-
kerut. 
Ketat.
"Ada satu hal yang tak bisa ku mengerti. Menu-
rut laporan muridku yang sekarat, mereka secara ke-
betulan mengangkut seorang perempuan yang hendak 
menumpang di tengah jalan. Perempuan itu kebetulan 
hendak ke kotapraja. Tak ada satu orang muridku 
yang keberatan kalau perempuan itu menumpang di 
dalam kereta kencana. Di tengah jalan, mereka diha-
dang seorang kakek keji. Mereka bertugas untuk me-
lindungi kereta kencana agar tiba di istana. Tapi, 
anehnya, penghadang itu justru menginginkan perem-
puan di dalamnya...."
***
TUJUH
MENDADAK. 
"Hua hua ha...!" 
Tergulir di angkasa suara tawa menggelegar 
mengalahkan segenap keramaian di pesta panen Desa 
Lebak.
Setiap dada tergetar.
Setiap telinga seperti dipekakkan bersamaan.

Tanah bagai diusik lini. 
Kulit kering dedaunan terkelupas.
Daun kering gugur, di udara menggelepar-
gelepar.
Puluhan orang terkapar seketika dengan tan-
gan mendekap telinga. Menggelepar-gelepar mereka di 
atas tanah. Kebanyakan dari mereka cuma penduduk 
desa yang tak memiliki olah kanuragan sedikit pun. 
Sebagian bahkan orang yang sudah cukup lama me-
nekuni ilmu olah kanuragan.
Yang sanggup bertahan dengan susah payah, 
cuma beberapa gelintir orang. Itu pun dengan darah 
yang mengalir dari hidung dan telinga. Segenap mata 
mereka dipaksa tertuju ke sumber tawa. Tidak terke-
cuali mata ketiga pentolan tua yang disegani; Ki Arga 
Pasa, Pendekar Tendangan Maut, dan Ki Manda Lan-
git. Hanya mereka dan beberapa ketua perguruan un-
dangan yang tak tampak terlalu menderita. Kendati 
mereka memiliki ilmu olah kanuragan yang ditakuti 
banyak orang dari golongan sesat, tak urung sorot ma-
ta ketiganya mengubur keterkejutan.
Keterkejutan itu tentu saja beralasan. Baik Ki 
Arga Pasa, Pendekar Tendangan Maut, maupun Ki 
Manda Langit, sama-sama bisa merasakan betapa da-
da mereka agak sesak akibat guncangan tenaga tawa 
tadi. Mereka pun cepat sadar kalau pemilik tawa me-
miliki tenaga dalam amat kuat.
Berarti, tamu tak diundang itu adalah seorang 
berkepandaian tinggi. Kalau tidak datang dengan niat 
baik, berarti pula dia calon lawan amat tangguh.
Tawa tadi ternyata berasal dari bagian depan 
perguruan. Entah bagaimana caranya dia masuk, ta-
hu-tahu bisa berada di dalam tanpa sepengetahuan 
murid-murid Ki Arga Pasa yang bertugas menjaga pin

tu gerbang. Padahal, saat itu suasana sudah sepi. Da-
lam arti kata tidak ada tamu yang datang lagi.
Kenyataan ini pun mengejutkan penjaga-
penjaga gerbang. Dengan agak tergesa-gesa, dua di an-
tara mereka bergerak menghampiri sang pemilik tawa 
yang telah berada di dalam.
"Hey! Berhenti! Mengapa kau menimbulkan ke-
ributan di sini?! Cepat keluar sebelum ku patah-
patahkan tulang-tulang kakimu!" ancam salah seorang 
murid Perguruan Belalang Putih bermulut besar.
Sang pemilik tawa seorang tua berambut dan 
berjenggot kelewat panjang. Dia menghentikan tawa. 
Wajahnya tetap ditundukkan, tersembunyi di sela-sela 
rambut. Masih dengan wajah menunduk dibalikkan-
nya tubuh, menghadap dua orang murid Perguruan 
Belalang Putih yang menghampiri.
"Benarkah kalian mampu melakukan padaku? 
Kalau begitu, lakukanlah!" sahut sosok berjubah hi-
tam, tenang. Dia tidak lain Manusia Makam Keramat!
Sementara itu Ki Arga Pasa mengernyitkan dahi 
menyaksikan Manusia Makam Keramat. Terlihat jelas 
kalau dia tengah mengingat-ingat keras. Ada selintas 
pikiran mengusik benaknya. Sementara sepasang ma-
tanya menatap penuh selidik pada sosok tamu tak di-
undang. Sikap orang tua itu tak luput dari perhatian 
rekan-rekannya. Karuan saja, hal itu membuat Ki 
Manda Langit dan Pendekar Tendangan Maut merasa 
heran.
"Mengapa, Arga?! Apakah kau mengenalnya?" 
tanya Ki Manda Langit, ingin tahu.
"Entahlah, Manda," jawab Ki Arga Pasa bernada 
tidak yakin. "Rasanya aku pernah mengenal ciri-ciri 
orang ini. Di mana aku mendengar atau melihat ciri-
ciri seperti itu, aku belum ingat...."

Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan 
Maut saling pandang.
"Ingat-ingatlah, Arga!" tukas Pendekar Tendan-
gan Maut. "Aku yakin kau mempunyai pengamatan 
dan ingatan yang tajam."
"Apa yang dikatakan Damar Sakti memang ti-
dak keliru, Arga," dukung Ki Manda Langit, "Kita tidak 
tahu seberapa tinggi kepandaiannya. Jika kau tahu se-
suatu tentang diri manusia busuk tak dikenal ini, ten-
tu kita dapat mempertimbangkan cara untuk mengha-
dapinya."
Ucapan rekan-rekannya memaksa Ki Arga Pasa 
untuk terus memperhatikan sosok Manusia Makam 
Keramat. Ingin diketahuinya, bagaimana tindakan Ma-
nusia Makam Keramat itu dengan ancaman dua orang 
muridnya.
Di lain pihak, ketiga tokoh itu tak bisa berdiam 
diri saja. Dua murid perguruan yang mencoba mengu-
sir sang tamu tak diundang besar kemungkinan bera-
da di moncong maut.
Sementara itu, salah seorang murid Perguruan 
Belalang Putih yang berbibir tebal rupanya sudah tidak 
kuat lagi menahan sabar. Tanpa menunggu lebih lama 
lagi dilancarkan serangan berupa pukulan bertubi-tubi 
ke arah dada Manusia Makam Keramat!
"Hmh!"
Manusia Makam Keramat hanya mendengus 
melihat serangan lawan. Wajahnya memperlihatkan 
kesan seolah dia hanya sedang menghadapi seekor ke-
pinding. Dan itu bukan sekadar pepesan kosong.
Prakkk!
"Aaakh...!"
Lelaki berbibir tebal itu hanya sempat menge-
luarkan jeritan panjang ketika tangan Manusia Makam

Keramat itu menghantam batok kepalanya hingga 
hancur berantakan. Seketika itu pula nyawanya me-
layang meninggalkan raga.
Tentu saja kejadian yang demikian menge-
jutkan itu membuat semua orang yang berada di situ 
terperanjat. Tak terkecuali, Ki Arga Pasa, Pendekar 
Tendangan Maut, dan Ki Manda Langit.
Hanya Manusia Makam Keramat yang bersikap 
tidak peduli. Tanpa memperhatikan orang-orang men-
gerubungi murid Perguruan Belalang Putih yang tewas, 
dibalikkannya tubuh. Lalu diayunkan langkahnya ke 
arah ruang pendapa.
Di saat, Manusia Makam Keramat membalik-
kan tubuh itulah, rambutnya tersingkap angin. Seki-
las, hanya sekilas saja Ki Arga Pasa sempat melihat 
wajahnya. Tapi itu pun sudah cukup baginya untuk 
menangkap lekuk dan gurat wajah si manusia laknat. 
Dia makin ingat pada sesuatu. Makin dekat pada pe-
tunjuk di kepalanya....
"'Kitab' itu...!" desis Ki Arga Pasa tanpa me-
nyembunyikan perasaan kagetnya.
Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan 
Maut yang baru bersiap hendak melompat turun, 
mengurungkan niatnya.
"Apa yang kau katakan, Arga?! 'Kitab' apa yang 
kau maksud?!" sergah Damar Sakti, memburu.
Hampir berbareng dengan pertanyaan Ki Damar 
Sakti, dari Ki Manda Langit pun itu keluar pertanyaan 
senada. Namun jawaban kedua sahabatnya tak men-
dapat jawaban dari Ki Arga Pasa sendiri. Dia justru le-
bih dahulu melompat. Satu hal yang membuatnya tak 
lagi mempedulikan pertanyaan Ki Manda Langit dan Ki 
Damar Sakti, Manusia Makam Keramat menghampiri
tempat anak sulungnya!

Tanpa pikir panjang lagi, Ketua Perguruan Be-
lalang Putih itu langsung bersalto beberapa kali di 
udara, sebelum akhirnya kemudian meluruk turun 
sambil melancarkan serangan berupa cengkeraman ke 
arah kepala Manusia Makam Keramat. Tindakannya 
laksana seekor burung elang menyambar mangsa.
Melihat serangan ini, terpaksa Manusia Makam 
Keramat mengurungkan maksudnya untuk mendekati 
Rara Lanjar. Karena kalau dia bersikeras meneruskan 
maksudnya, sebelum tercapai, cengkeraman Ki Arga 
Pasa yang akan lebih dulu tiba.
Manusia Makam Keramat tidak menginginkan 
hal itu terjadi. Dia dapat mengukur, betapa dahsyat-
nya serangan itu. Cengkeraman Ki Arga Pasa mampu 
membuat batu karang paling keras hancur lebur! Da-
pat diperkirakan apabila mengenai kepala manusia 
yang jelas tak sekeras karang!
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat 
tidak memperlihatkan kegentaran. Tanpa ragu-ragu, 
dipapaknya serangan itu dengan sampokan kedua tan-
gannya.
Plak! Plakkk! 
"Aekhg...!"
Jerit keterkejutan bercampur kesakitan keluar 
dari mulut Ki Arga Pasa begitu tangannya berbenturan 
dengan tangan Manusia Makam Keramat. Jari-jari ke-
dua tangannya terasa sakit luar biasa. Menyengat ke 
segenap urat sarafnya. Untuk beberapa saat, kedua 
tangannya tak bisa digerakkan!
Lebih parah lagi, tubuh Ki Arga Pasa langsung 
terpental jauh ke belakang! Padahal, Manusia Makam 
Keramat sama sekali tidak bergeming. Hal itu menun-
jukkan betapa tenaga dalam lawan, berada jauh di 
atas guru Perguruan Belalang Putih.

Tentu saja kejadian itu mengejutkan semua 
yang menyaksikan. Tidak salahkah penglihatan mere-
ka? Benarkah Ki Arga Pasa terjengkang karena berben-
turan dengan lawannya? Ki Arga yang begitu disegani?
Pertanyaan demi pertanyaan membebani benak 
orang-orang yang menyaksikan kejadian itu. Tak ter-
kecuali Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan 
Maut. Mereka bertambah tak yakin dapat mengukur 
tingkat kedigdayaan lawan. Kendati tak ada rasa gen-
tar dalam diri mereka.
Ki Arga Pasa bukan sembarang tokoh. Dia me-
rupakan pentolan tokoh golongan putih! Walaupun ti-
dak termasuk dedengkot atau datuk, tapi tak mudah 
menemukan tokoh yang memiliki kepandaian setingkat 
dengannya. Kalau kenyataannya dalam benturan tena-
ga dalam, lawan lebih unggul, bagaimana lagi kedua-
nya dapat menjajaki kesaktian kakek berambut dan 
berjenggot amat panjang itu?
Atau, jangan-jangan Ki Arga Pasa tidak menge-
rahkan seluruh tenaganya! Mungkin tidak, mungkin 
iya?
Mereka tidak tahu kalau Ki Arga Pasa telah 
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya dalam seran-
gan tadi! Ketua Perguruan Belalang Putih tidak gega-
bah melancarkan serangan. Hanya dia seorang yang 
sadar betul lawan yang tengah dihadapi. Ya, hanya dia! 
Sementara, begitu melihat tubuh Ki Arga Pasa 
terlempar, murid-murid Perguruan Belalang Putih 
langsung bergerak untuk melancarkan serangan.
Tapi....
"Tahan...!"
Mendengar cegahan itu, murid-murid Pergu-
ruan Belalang Putih pun mengurungkan niat. Bukan 
karena takut pada Manusia Makam Keramat, melain

kan karena mereka patuh sepenuhnya pada guru me-
reka.
"Hua hua haa...! Ternyata kau cukup jeli juga," 
cemooh Manusia Makam Keramat, terselubung pujian.
Manusia Makam Keramat kembali tertawa ter-
gelak-gelak. Meledak-ledak.
Mendengar penuturan kental dengan nada pon-
gah, Ki Arga hanya menggeram, menahan rasa sakit 
yang masih saja menjalar. Kian yakin saja dirinya ter-
hadap jati diri kakek tua berambut dan berjenggot 
panjang itu.
Ki Manda Langit dan Ki Damar Sakti melompat 
ke belakangnya.
"Kau tak apa-apa, Arga?" serbu Ki Damar Sakti.
Ki Arga Pasa mengangguk kecil, nyaris tak ken-
tara. Dia tak begitu memperhatikan kehadiran dua sa-
habat di belakangnya. Matanya tegas-tegas terhujam 
ke arah Manusia Makam Keramat.
Dalam ketercekaman, bibir orang tua itu berbi-
sik lamat-lamat.
"Rupanya, kaulah manusia durjana itu. Aku 
memang telah curiga ketika belakangan ini ada kegege-
ran Pasukan Kelelawar. Kau telah kembali, manusia 
pembawa petaka.... Tak kusangka aku akan berhada-
pan langsung denganmu...."
"Apa yang kau katakan, Arga!?" pangkas Ki 
Manda Langit. Rasanya gundah jika rasa penasaran 
menjadi tergantung-gantung tak pasti.
Tetap tanpa melepaskan pandangan dari Ma-
nusia Makam Keramat, Ki Arga Pasa berkata lagi. Uca-
pannya hampir-hampir mendesis.
"Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Ber-
siaplah kalian untuk bertarung hidup-mati!"
Kedua sahabat di belakangnya saling pandang

dengan kelopak mata menyempit.
***
DELAPAN
SESUATU memang telah terjadi pada diri Gen-
dut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Sesu-
atu yang sulit untuk dijelaskan. Sulit pula untuk di-
mengerti oleh mereka berdua. Tanpa sebab yang jelas, 
tentu saja kejadian yang mereka alami menjadi sulit 
dimengerti. Begitupun dijelaskan.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka 
Bengis masih tampak berada di sekitar bentangan la-
dang ilalang jangkung. Masih berdiri diam laksana dua 
patung batu tak bernyawa. Masih saja mereka merasa-
kan diri masing-masing didamparkan dalam alam lain 
yang penuh dengan pemandangan dan suasana asing 
sama sekali. Saat itu, keduanya sedang dalam usaha 
mencari Satria Gendeng yang mereka anggap hilang. 
Ketika tiba di padang ilalang itulah mereka mengalami 
kejadian tak terduga.
(Baca episode sebelumnya: "Memburu Manusia 
Makam Keramat"!).
Lama mereka mengalami kejadian aneh itu, 
sampai mereka sendiri tak bisa menentukan sudah be-
rapa hari berapa malam keduanya mengalami hal itu.
Sampai akhirnya, keduanya tersadar. Jika se-
belumnya, Gendut Tangan Tunggal mengalami keja-
dian aneh itu lebih dahulu, setelah itu menyusul Pen-
dekar Muka Bengis. Kesadaran mereka justru terjadi 
berbarengan.
"Apa yang telah terjadi pada diriku sebenar

nya?" tanya Gendut Tangan Tunggal.
"Apa yang terjadi pada dirimu? Aku sendiri tak 
tahu apa yang telah terjadi pada diriku sebenarnya," 
jawab Pendekar Muka Bengis.
Kendati kawan berwajah garang di sebelahnya 
sama sekali tidak menanyakan kejadian yang diala-
minya, Gendut Tangan Tunggal menceritakan juga.
"Aku seperti dilempar ke satu alam asing. Be-
nar-benar aneh. Apa iya aku hanya sedang berkhayal? 
Tapi, kenapa bisa begitu" Lalu perut sebesar gentong-
nya digaruk-garuk berirama, pertanda kebingungan 
besar sedang melanda benaknya.
"Apa yang kau alami?" susul Gendut Tangan 
Tunggal.
"Aku pun mengalami hal serupa, Gendut!"
"Ah!" sentak Gendut Tangan Tunggal tak per-
caya. "Bagaimana bisa begitu?"
"Mana aku tahu! Semuanya begitu aneh...."
"Iya benar! Aneh, ajaib...."
Pendekar Muka Bengis terdiam memikirkan se-
suatu. Lain dengan Gendut Tangan Tunggal. Mulut 
orang tua berbadan subur itu tak bisa berhenti.
"Jadi bagaimana sekarang? Apa kita menghen-
tikan saja pencarian kita? Sebab kupikir kita telah 
memasuki wilayah...."
Bahu Gendut Tangan Tunggal bergidik. "Aku 
merasa kita telah lancang memasuki tempat para si-
luman...."
"Diam kau, Gendut!" hardik Pendekar Muka 
Bengis. "Beri kesempatan padaku untuk berpikir!"
"Ya, teruslah berpikir sampai para siluman me-
nyedot otakmu!" gerutu Gendut Tangan Tunggal.
"Aku yakin, ada seseorang yang telah melaku-
kan sesuatu pada kita...," simpul Pendekar Muka Ben

gis.
"Siapa orangnya? Dan 'sesuatu' apa maksud-
mu?"
"Aku belum tahu."
"Kalau begitu, percuma kau berpikir. Sudah, 
sebaiknya kita kembali. Tak perlu kita lanjutkan pen-
carian pemuda itu. Kupikir, dia pun bisa menjaga di-
rinya sendiri."
Dengan wajah terlipat, Gendut Tangan Tunggal 
meninggalkan tempat tersebut. Langkahnya terbant-
ing-banting gusar di tanah.
"Tidak bisa begitu, Gendut!" sergah Pendekar 
Muka Bengis.
Gendut Tangan Tunggal tak peduli. Kalau su-
dah begitu maunya, mana dia dengar ucapan kawan-
nya tadi? Dia terus saja berjalan meninggalkan batas 
tepian padang ilalang. Tampaknya dia agak seram juga 
untuk melanjutkan pencarian menembus padang ila-
lang lebat yang tingginya mencapai kepala manusia
itu. Dalam benaknya, masih bergentayangan bayan-
gan-bayangan yang dialaminya. Dugaan-dugaan yang 
tidak-tidak pun berseliweran. Cuma karena takut di-
anggap penakut, dia tak menampakkannya di wajah.
Jengkel juga Pendekar Muka Bengis dengan si-
kap kawannya yang selalu bikin perut mulas itu. Di 
belakang, dia mengekori. Sampai berjalan cukup jauh 
meninggalkan batas padang ilalang, Gendut Tangan 
Tunggal tak juga mau menghentikan langkah. Hilang 
kesabaran Pendekar Muka Bengis. Disentaknya kaki. 
Tubuhnya melompat tinggi mendahului Gendut Tan-
gan Tunggal dari atas. Di depan orang tua berperut 
buncit itu, Pendekar Muka Bengis menghadang.
"Berhenti, Gendut!" hardiknya, masygul.
"Jangan halangi jalanku, Bengis!" balas Gendut

Tangan Tunggal.
"Bagaimana kau ini! Sudah jelas pendekar mu-
da itu sedang dalam kesulitan. Kau sudah lihat cece-
ran darahnya, bukan? Lalu kenapa kau seperti tidak 
peduli?!"
"Aku bukan tak peduli!"
"Lantas apa?!" 
"Aku cuma.... Ah, menyingkir saja kau! Pokok-
nya, aku tak mau meneruskan pencarian. Titik!"
Wajah Pendekar Muka Bengis mencemooh.
"Bilang saja kau takut. Begitu, bukan?"
Mendeliklah mata Gendut Tangan Tunggal. Wa-
jahnya jadi merah padam. Masa' dirinya disebut begi-
tu? Kendati dalam hati dia memang menyembunyikan 
sedikit ketakutan, Gendut Tangan Tunggal tetap tak 
sudi diangggap pengecut. Biar yang bicara Dewa seka-
lipun, dia bisa melabraknya!
"Aku, Gendut Tangan Tunggal, pantang untuk 
takut!" sesumbarnya.
"Lalu kenapa kau hendak kembali?" Pendekar 
Muka Bengis makin memojokkan.
Cuping hidung Gendut Tangan Tunggal kem-
bang-kempis. Dia merasa terpojok. Karena tak bisa 
menemukan alasan untuk berdalih, dia jadi mangkel 
sendiri.
"Minggir, Bengis. Jangan halangi jalanku!!!" te-
riaknya kalap.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
"Aku berjanji akan melabrakmu!"
"Lakukan saja kalau itu maumu!"
Sudah bures kesabaran Gendut Tangan Tung-
gal. Disodorkannya satu sampokan tangan ke depan. 
Keras. Tujuannnya bukan untuk melakukan serangan. 
Dia hanya ingin membuat Pendekar Muka Bengis menyingkir dari jalannya.
Pendekar Muka Bengis berkelit ke belakang. 
Wajahnya memerah. Sama sekali dia tak menyangka 
kalau temannya akan benar-benar menyerang. Paras-
nya memperlihatkan keterperangahan. Dia telah salah 
menyangka maksud Gendut Tangan Tunggal menyam-
pokkan tangan.
"Hei, kau benar-benar hendak melabrakku, ru-
panya! Kau sungguh-sungguh, heh?!"
"Bukan begitu maksudku...." Gendut Tangan 
Tunggal hendak menjelaskan, tapi Pendekar Muka 
Bengis sudah melancarkan balasan yang lebih mirip 
serangan gusar.
Sialan, pikir Gendut Tangan Tunggal. Sebenar-
nya, dia tak mau berkelahi dengan kawan sendiri. Tapi 
sekarang dia terpaksa harus melakukannya.
Wukh!
Sodokan kaki Pendekar Muka Bengis menda-
tangi kepala Gendut Tangan Tunggal. Benar-benar 
dengan niat menyerang, tidak seperti tindakan Gendut 
Tangan Tunggal sebelumnya. Gendut Tangan Tunggal 
bisa menilainya dari angin tendangan kawannya itu. 
Kawan? Bah! Sekarang dia pun jadi sulit untuk me-
nyebut Pendekar Muka Bengis kawan.
Tak mau mukanya jadi sasaran telapak kaki 
Pendekar Muka Bengis, Gendut Tangan Tunggal me-
mapaknya dengan tangan kanan. Ketika terbentur, 
mulut orang tua tukang makan itu menganga.
Dia terjajar mundur. Pedas sekali telapak tan-
gannya. Rasanya seperti baru ditampar dengan lem-
pengan baja.
"Kau menyerangku dengan sungguh-sungguh, 
Bengis! Kau memang berniat membuat mukaku beran-
takan, ya?!"

Meledak juga kemarahan Gendut Tangan Tung-
gal.
"Kalau itu maumu, baik!"
Lalu, dipasangnya kuda-kuda. Jurus-jurus 
ampuhnya siap dikucurkan. Dia tak mau sungkan 
atau ragu lagi menghadapi kawan yang mulai breng-
sek. Bersamaan dengan itu, Pendekar Muka Bengis 
pun mempersiapkan jurus-jurusnya pula. Dia pun 
menganggap kawannya mulai brengsek dan patut 
mendapat sedikit pelajaran.
"Heaaa!!!"
"Whuaaa!!!"
Berkawal teriakan yang mencelat dari tenggoro-
kan masing-masing, kedua pihak memulai perkela-
hian. Keduanya sudah tak mau banyak berpikir lagi. 
Dan tak mau banyak menimbang. Mereka sudah diku-
asai kemarahan.
Pertukaran jurus pun tak bisa dihindari.
Jurus-jurus ampuh dua tokoh kenamaan tanah 
Jawa.
Dua tokoh bertabiat aneh.
Dua pendekar tua berbeda angkatan yang ber-
diri dalam satu panji yang sama, panji golongan lurus. 
Lucu kalau mereka sekarang berseteru. Lepas dari itu, 
bukankah manusia memang selalu berbuat keliru?
Sampai beberapa belas jurus berselang, men-
dadak saja Pendekar Muka Bengis melompat jauh ke 
belakang. Dia mengambil jarak cukup jauh. Agak aneh 
untuk tokoh kawakan macam dirinya harus mengam-
bil jarak pada saat dia belum dalam posisi terdesak. 
Apalagi jarak yang diambilnya cukup jauh. Kalau cu-
ma ingin memperbaharui posisi, kenapa harus sejauh 
itu?
"Tunggu, Gendut!" serunya.

"Apa, kau mulai merasa takut? Makanya, jan-
gan kau bilang aku yang takut!"
"Bukan begitu! Apa kau tak merasakan sesuatu 
yang ganjil pada dirimu?!"
"Apa?!"
"Kau merasa kekuatan tenaga dalammu makin 
lama makin berkurang?!"
Gendut Tangan Tunggal terdiam sejenak. Sebe-
lah tangannya menggaruk-garuk perut,
"Sebenarnya, aku juga ingin menanyakan itu 
padamu...," jawabnya sambil meringis.
"Kau merasakan juga?" Mendengar pengakuan 
kawannya, lelaki berwajah garang itu tak urung terpe-
ranjat.
"Iya. Kau tahu kenapa sebabnya?"
Pendekar Muka Bengis menggeleng.
"Ada yang aneh," gumamnya kemudian. "Aku 
yakin, ini masih ada hubungannya dengan kejadian 
yang kita alami sebelumnya di padang ilalang itu...."
Garukan tangan Gendut Tangan Tunggal pada 
perutnya makin seru. Sampai-sampai suaranya ter-
dengar ramai. Tak cukup merdu untuk telinga siapa 
pun. Sebelumnya dia sudah dibikin bingung. Sekarang 
kebingungannya makin menjadi-jadi. Tampangnya su-
dah tak karuan lagi.
Sepertinya dia akan berhenti menggaruk perut 
sampai kiamat kalau saja tidak ada suara teriakan 
bercampur tangisan dari jarak tak jauh dari tempat 
mereka.
Pendekar Muka Bengis menoleh ke asal suara.
"Apa itu?" tanya Gendut Tangan Tunggal kebo-
dohan. Bagaimana tidak bodoh, sudah jelas yang di-
dengarnya teriakan dan tangisan.
Pendekar Muka Bengis tak menunggu lama.

Dia cepat melompat dari tempatnya. Berlari, diburunya 
asal suara tadi. Kawan buncitnya menyusul di bela-
kang.
Kira-kira berlari seratus langkah, keduanya tiba 
di dekat pepohonan besar. Di bawah satu pohon mere-
ka menyaksikan hal yang sebenarnya sulit untuk di-
percaya. Keduanya menemukan Pasukan Kelelawar. 
Kalau itu saja, mungkin mereka tak terlalu heran. Se-
baliknya, bisa jadi mereka justru menjadi senang dan 
tegang. Senang karena dengan menemukan bocah-
bocah aneh itu, berarti mereka menemukan jalan un-
tuk menuntaskan persoalan yang merongrong dunia 
persilatan hari-hari belakangan. Tegang, karena tahu 
mereka akan menghadapi lawan yang sulit untuk dika-
lahkan.
Yang sulit dipercaya, kesembilan bocah itu se-
dang duduk berkumpul di bawah pohon sambil me-
nangis. Yang satu menggerung-gerung. Yang lain sese-
gukan. Yang satu merengek-rengek, yang lain menjerit-
jerit.
Tingkah mereka sudah tak beda dengan bocah-
bocah kecil yang kehilangan orang tua. Tak tampak la-
gi kegarangan, keganasan, keberingasan mereka seper-
ti sebelumnya. Mereka benar-benar telah menjelma 
kembali menjadi bocah biasa!
***
SEMBILAN
KEMBALI ke Perguruan Belalang Putih.
Ki Arga Pasa melompat maju beberapa tombak 
lebih dekat ke arah tamu tak diundang pembuat keo

naran. Seperti sengaja menghadang, dia berdiri hanya 
empat-lima tindak dari Manusia Makam Keramat.
"Apa maumu datang ke tempat ini sebenarnya, 
Orang Tua Asing?" tanyanya. Dari caranya bertanya, 
tampak jelas kalau Ki Arga Pasa begitu hati-hati.
"Menyingkir saja dari hadapanku! Aku tak 
punya urusan apa-apa denganmu!"
"Aku tuan rumah di sini. Apa pun yang terjadi 
di perguruanku berarti urusanku juga!"
"Jangan banyak bicara! Katakan, di mana ke-
tua perguruan yang memiliki lambang ini!"
Usai berucap kasar, Manusia Makam Keramat 
menunjukkan sobekan kain yang selama ini terus da-
lam genggamannya. Sobekan bergambar kuda langit 
yang didapat dari salah seorang pengawal kereta ken-
cana!
Ki Arga Pasa dibuat terkesiap. Secara tak sadar,
dia menoleh ke belakang pada sahabatnya, Ki Manda 
Langit yang masih berdiri cukup jauh.
Mengikuti gerak mata Ki Arga Pasa, pandangan 
Manusia Makam Keramat pun turut berhenti pada Ke-
tua Perguruan Kuda Langit itu. Bibirnya menyeringai. 
Tanpa perlu mendapat jawaban atas pertanyaan sebe-
lumnya, dia telah menemukan orang yang dicari.
Ki Manda Langit yang baru sempat melihat ca-
rikan kain ketika Ki Arga Pasa menoleh, menaikkan 
alis. Matanya menatap sang tamu tak diundang den-
gan sorot mata curiga. Dia hendak turut maju ke de-
pan. Tapi Ki Arga Pasa cepat mencegah dengan isyarat 
tangan.
"Ada perlu apa kau dengan sahabatku?"
"O, jadi ketua perguruan dengan lambang ini 
adalah sahabatmu?!" sinis Manusia Makam Keramat, 
berpura-pura tak tahu. "Aku hendak memaksanya bicara tentang orang yang meminta jasa perguruannya 
mengawal kereta kencana Pajajaran beberapa hari lalu. 
Jelas?"
"Apa hubunganmu dengan pembantaian rom-
bongan itu?" selidik Ki Arga Pasa. Satu pertanyaan 
yang tak perlu. Sebenarnya, Ketua Perguruan Belalang 
Putih itu sudah punya dugaan kuat bahwa orang yang 
dihadapinya kini adalah biang keladi pembantaian itu. 
Hanya karena dia adalah seorang satria sejati, tak pa-
tut baginya untuk langsung menjatuhkan tuduhan.
"Aku yang membunuh mereka," jawab Manusia 
Makam Keramat, berbisik seraya menyorongkan kepala 
ke depan. Seolah dia hendak mengolok-olok.
Ki Arga Pasa mendengus gusar. Kini, tak ada 
lagi alasan untuk tetap berdiam diri.
"Manusia tua terkutuk! Semoga segenap isi 
bumi dan langit mengutuk perbuatanmu!"
Saru saja ucapan yang dikeluarkannya pupus 
disambar angin, Ki Arga Pasa langsung melancarkan 
serangan. Ketua Perguruan Belalang Putih ini membu-
ka serangannya dengan sebuah tendangan kaki kanan 
lurus ke arah pusar.
Wuttt!
Hanya dengan mendoyongkan tubuh ke kiri, 
tanpa memindahkan kaki, Manusia Makam Keramat 
telah berhasil membuat serangan lawan mengenai 
tempat kosong! Kaki Ki Arga Pasa meluncur beberapa 
jari di sebelah kanan Manusia Makam Keramat.
Tapi, serangan Ki Arga Pasa tidak terhenti sam-
pai di situ! Kegagalan serangan pertama sudah dalam 
perhitungannya. Begitu Manusia Makam Keramat itu 
berhasil mengelak, segera disusul dengan serangan 
lanjutan. Sadar akan kelihaian lawan, Ki Arga Pasa ti-
dak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan seluruh ke

mampuannya.
Hebat bukan main serangan-serangan Ki Arga 
Pasa. Bunyi menderu, mengaung, dan bergemuruh, 
mengiringi bergeraknya tangan atau kakinya. Susul-
menyusul hampir tanpa henti laksana amukan badai!
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat 
mampu meredam semua serangannya. Lincah me-
nunggang angin dan gesit bagai mengendara kilat, Ma-
nusia Makam Keramat mengelakkan semua serangan 
itu. Semuanya dilakukan seperti tanpa mengalami ke-
sulitan sama sekali.
Pada satu kesempatan, dia mengambil jarak.
"Kuberi kesempatan padamu untuk menye-
rangku selama sepuluh jurus. Pergunakanlah sebaik-
baiknya!" ujar Manusia Makam Keramat dengan sorot 
mata menikam.
"Tutup mulutmu, Manusia Jahanam!" maki Ki 
Arga Pasa penuh perasaan geram.
Sebagai akibat kegusaran yang terus menanjak 
naik, serangan-serangan yang dilancarkan Pemimpin 
Belalang Putih itu pun semakin dahsyat. Ucapan la-
wan tadi dianggapnya telah secara tak langsung men-
ginjak-injak kepala.
Meski Ki Arga Pasa telah menguras seluruh 
kemampuannya, tetap saja semua serangannya berha-
sil dielakkan Manusia Makam Keramat. Kesombongan 
dan sesumbar kakek durjana yang telah kembali dari 
kematian memang beralasan! Kesanggupannya berbi-
cara di saat serangan Ki Arga Pasa bertubi menghuja-
ni, membuktikan kalau serangan-serangan lawan tidak 
cukup merepotkannya.
Jurus demi jurus berlalu. Tak terasa sudah se-
puluh jurus Ki Arga Pasa melancarkan serangan sejak, 
Manusia Makam Keramat melontarkan tantangan ang

kuhnya. Selama itu, tak satu jurus pun mengenai sa-
saran. 
"Sekarang giliranku...!" ujar Manusia Makam 
Keramat bernada memperingatkan. 
"Bersiap-siaplah, Lelaki Tua Keropos! Ketahui-
lah, aku tidak ragu untuk membunuhmu!" 
"Tutup mulutmu, Jahanam!" 
Makian penuh kegeraman menyambuti pernya-
taan Manusia Makam Keramat. Itu pun masih ditam-
bah lagi dengan sebuah tendangan kaki kanan ke arah 
leher!
"Hih...!"
Manusia Makam Keramat mendengus melihat 
serangan itu. Tidak terlihat adanya tanda-tanda kalau 
dia akan mengelak. Dengan kata lain, berarti Manusia 
Makam Keramat memang telah siap dengan siasat ta-
rung di benaknya.
Ternyata tidak salah! Begitu kaki Ki Arga Pasa 
menyambar dekat, dengan kecepatan yang sukar di-
ikuti mata, Manusia Makam Keramat menggerakkan 
tangan kanannya. Akibatnya....
Tepp!
"Heihhh...?!"
Ki Arga Pasa memekik kaget melihat pergelan-
gan kakinya dicekal lawan. Tahu bahaya besar men-
gancam, buru-buru ditarik kakinya agar dapat terlepas 
dari cekalan.
Untuk yang kedua kalinya Ki Arga Pasa dilanda 
kekagetan. Jangankan menarik, membuat bergeming 
saja pun dia tidak mampu. Seolah-olah kakinya telah 
terjepit oleh dua buah bukit!
"Hua hua ha...!"
Manusia Makam Keramat tertawa tergelak me-
lihat Wajah Ki Arga Pasa merah padam saat menge

rahkan seluruh tenaganya untuk menarik kakinya.
Masih dengan tawa belum putus, Manusia Ma-
kam Keramat menggerakkan jari-jari tangannya.
Meremas.
Krekk...!
"Aaakh...!"
Ki Arga Pasa tidak mampu menahan keluarnya 
jerit kesakitan dari mulutnya ketika tulang-tulang ka-
kinya remuk akibat remasan tangan Manusia Makam 
Keramat.
Tindakan Manusia Makam Keramat tidak ter-
henti sampai di situ saja. Tangannya dihentakkan. 
Kuat! Tak pelak lagi tubuh Ki Arga Pasa terhuyung ke 
arahnya. Padahal, Ki Arga Pasa telah berusaha mem-
pertahankan diri.
Di saat tubuh Ki Arga Pasa melayang, tangan 
kiri Manusia Makam Keramat bergerak menyampok!
Wuttt! Prakk!
"Aaa...!"
Hanya jeritan panjang saja yang dapat dikelua-
rkan Ki Arga Pasa sebelum akhirnya tubuh itu ambruk 
ke tanah dengan tulang pelipis hancur! Tragis sekali 
kematian Ketua Perguruan Belalang Putih itu!
Peristiwa itu berlangsung demikian cepat. Tak 
seorang pun sempat berbuat sesuatu. Mereka baru sa-
dar ketika tubuh Ki Arga Pasa telah ambruk ke tanah.
"Biaaadab!"
Hampir berbareng bentakan keras itu keluar 
dari mulut Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan 
Maut. Bersamaan dengan keluarnya teriakan, kedua-
nya melesat dari tempatnya.
Cepat gerakan kedua kawan Ki Arga Pasa itu. 
Bersamaan dengan itu murid-murid Perguruan Bela-
lang Putih menghambur ke tengah arena! Diawali teriakan-teriakan bernada kemarahan yang menggun-
cang, mereka menyerang Manusia Makam Keramat. 
Tempat yang lebih dekat dengan Manusia Makam Ke-
ramat memungkinkan serangan mereka tiba lebih dulu 
daripada Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan 
Maut.
Karena murid-murid Perguruan Belalang Putih 
itu menggunakan senjata, dan melakukan penyeran-
gan secara serempak, tak pelak lagi hujan senjata me-
luruk ke berbagai bagian tubuh Manusia Makam Ke-
ramat.
Tapi dengan kecepatan gerak luar biasa, Manu-
sia Makam Keramat menyelinap di antara sambaran 
senjata lawan. Hasilnya, serangan murid-murid Pergu-
ruan Belalang Putih mengenai tempat kosong! Dengan 
cara yang hampir sulit dipercaya, Manusia Makam Ke-
ramat itu telah melesat keluar dari kepungan.
Dengan kebekuan wajah dan ketenangan men-
gagumkan, si kakek durjana menghampiri tempat Rara 
Lanjar berada. Mata berurat kemerahannya seperti 
menyorot tajam. Ada yang diamati olehnya pada diri 
Rara Lanjar. Cara menatapnya sulit diterjemahkan. 
Rupanya dia menemukan sesuatu yang hanya bisa di-
pahami oleh dirinya sendiri.
Hal itu pula yang menyebabkan dia begitu ber-
niat melarikan Rara Lanjar. Dan semua itu luput dari 
perhatian siapa pun. Juga oleh Ki Arga Pasa sebelum 
dia tewas.
"Aku bisa merasakan, siapa dirimu sebenarnya, 
Anak Gadis. Kau tak bisa menipuku...," desisnya ter-
samar riuh-rendah suara murid-murid Perguruan Be-
lalang Putih.
Manusia Makam Keramat makin dekat.
Makin pasti untuk menuntaskan niat

Menyambar si gadis, lalu minggat!
Minggat? Ya. Semula, tujuannya datang ke 
tempat itu adalah melacak jejak Pemimpin Perguruan 
Kuda Langit. Dia hendak mengorek keterangan tentang 
kereta kencana yang dikawal oleh orang-orang pergu-
ruan tersebut. Paling tidak, bisa didapatnya nama 
orang yang telah meminta jasa pengawalan itu.
Namun ketika dia menyaksikan untuk pertama 
kali Rara Lanjar, mendadak terbersit pikiran lain da-
lam benaknya. Terutama karena dia 'mengendus' se-
suatu pada diri Rara Lanjar!
Hanya saja, cuma dia sendiri yang tahu.
Karuan saja orang yang berada satu ruangan 
dengan gadis itu menjadi kelabakan bukan kepalang. 
Disadari akan datangnya ancaman maut. Sementara 
Rara Lanjar sudah tak sadarkan diri dipangkuan 
ibunya. Rupanya guncangan batin melihat kematian 
ayahnya di depan matanya terlalu berat untuknya.
Tapi sebelum Manusia Makam Keramat berha-
sil melaksanakan maksudnya terhadap istri Ki Arga 
Pasa yang telah bersiap-siap untuk mengadakan per-
lawanan....
Jleg!
Ki Manda Langit dan Pendekar Tendangan 
Maut telah berada di depannya.
"Manusia setan! Makhluk seperti kau tidak 
layak untuk dibiarkan hidup!" geram Ki Manda Langit.
Manusia Makam Keramat tersenyum mengejek. 
Diperhatikannya Ki Manda Langit dan Pendekar Ten-
dangan Maut, sesaat. Diliriknya lambang kuda terbang 
pada pakaian Ki Manda Langit.
"Aku memang datang karena satu urusan den-
ganmu?! Berkaitan dengan rombongan yang kubantai 
beberapa waktu lalu! Cukup sulit aku menelusuri jejak

perguruanmu," tukasnya pada sang Pemimpin Pergu-
ruan Kuda Langit.
Ki Manda Langit berseru terkesiap. Sama sekali 
tidak disangka kalau dia akan bertemu dengan penjag-
al murid-muridnya.
"Rupanya kau yang telah melakukan tindakan 
keji itu! Kau telah membunuh murid-muridku, Manu-
sia Biadab!!"
"Ooo... jadi mereka murid-muridmu? Lalu siapa 
gadis yang ada di dalam kereta? Anakmu-kah?! Semu-
la aku berharap dia salah satu orang yang ingin kehi-
rup darahnya. Namun ternyata bukan! Kau pikir, aku 
dapat tertipu?" ejek Manusia Makam Keramat tenang.
"Sayang gadis cantik itu bukanlah salah seo-
rang yang tengah aku buru. Tapi dia telah membuat 
aku gusar, maka...."
"Jahanam! Kepaaraatt.... Mampuslah kau!"
Tanpa menunggu Manusia Makam Keramat 
menyelesaikan ucapannya, Ki Manda Langit langsung 
melancarkan serangan dengan setimbun kegeraman. 
Tanpa mendengar secara lengkap pun, sudah dapat 
diduga nasib si gadis yang dimaksud tadi!
Mati!
Melihat Ki Manda Langit telah menyerang, Pen-
dekar Tendangan Maut tidak tinggal diam. Dia pun 
melakukan hal yang sama. Disadari kalau Ki Manda 
Langit tak akan mampu menghadapi Manusia Makam 
Keramat sendirian. Dengan satu pertimbangan, tingkat 
kepandaian Ketua Perguruan Elang Perak itu setingka-
tan dengan Ki Arga Pasa.
Tapi rupanya Manusia Makam Keramat tidak 
berminat untuk bertarung. Terbukti, dia tidak me-
nyambuti serangan lawan-lawannya. Digenjotkan kaki, 
sehingga tubuhnya melayang ke atas melewati kepala

kedua penyerangnya.
Begitu kakinya mendarat di tanah, langsung 
saja dia melesat ke arah Rara Lanjar. Jelas, Manusia 
Makam Keramat itu mengincar putri Ki Arga Pasa.
Melihat hal ini Kumparan, murid tertua yang 
berada di dekatnya tidak bisa tinggal diam. Dia tidak 
ingin putri tunggal ketuanya mengalami nasib yang 
sama dengan ayahnya. Dengan modal agak nekat, di-
hadangnya Manusia Makam Keramat. Langsung dis-
ambutnya kedatangan orang tua berwatak bejat itu 
dengan tusukan goloknya.
Hadangan itu tidak membuat Manusia Makam 
Keramat mengurungkan niat. Ditangkapnya golok 
Kumparan. Kemudian hanya dengan sekali sentak, tu-
buh Kumparan telah dilemparkannya.
Lalu dengan kecepatan tidak mengendor, Ma-
nusia Makam Keramat meluncur ke arah Rara Lanjar. 
Maka....
Tappp!
Crash!
"Aaah!"
Begitu membunuh istri Ketua Perguruan Bela-
lang Putih, tubuh putri Ki Arga Pasa berhasil ditang-
kap, lalu Manusia Makam Keramat melesat mening-
galkan tempat itu.
Tentu saja Ki Manda Langit, Pendekar Tendan-
gan Maut, murid-murid Perguruan Belalang Putih, dan 
yang lain-lain tidak akan membiarkan hal itu terjadi. 
Mereka pun melakukan penghadangan.
Tapi kejadian sebelumnya pun kembali teru-
lang. Dengan mudah Manusia Makam Keramat itu 
berhasil meloloskan diri dari hadangan. Lalu, hanya 
dengan beberapa kali lesatan, manusia yang sudah se-
perti setengah siluman itu telah berada di luar markas


Perguruan Belalang Putih.
Meskipun demikian, Manusia Makam Keramat 
tidak menekan kecepatan larinya. Dia terus saja mele-
sat dengan kecepatan tinggi. Hanya dalam waktu sing-
kat, markas Perguruan Belalang Putih telah berhasil 
ditinggalkannya.
Di tengah jalan, manusia terkutuk itu meng-
hentikan langkah sejenak. Didongakkan kepala. Dita-
tapinya rembulan. Menyaksikan bulan hanya tinggal 
beberapa jengkal dari takhta puncaknya, wajah bengis 
sarat keriputnya tertarik ketat.
"Aku harus cepat membawa perawan ini ke Ma-
kam Keramat Maut sebelum bulan menggantung tepat 
di atas kepala...," bisiknya bergetar, seperti seseorang 
yang dilanda kekhawatiran kental.
***
SEPULUH
"BERHENTI...!" Terdengar bentakan keras yang 
mencoba menahan lari Manusia Makam Keramat. 
Menggelegar laksana sambaran gledek. Jelas, bentakan 
itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga dalam ting-
gi.
Tapi bukan Manusia Makam Keramat kalau 
menjadi gentar karenanya. Dengan berani dia malah 
menghentikan langkah larinya. Dibalikkannya tubuh 
untuk melihat orang yang dianggapnya telah lancang 
menahannya.
Berjarak lima tombak dari Manusia Makam Ke-
ramat, berdiri seorang pemuda berambut panjang ke-
merahan. Mengenakan rompi bulu dari kulit hewan.

Tubuhnya tinggi tegap. Siapa lagi kalau bukan murid 
Dongdongka dan Ki Kusumo alias Satria Gendeng.
"Jika kau memang masih ingin hidup. Cepat se-
rahkan wanita itu, Manusia Biadab!" seru Satria Gen-
deng, mengancam.
"Lagi-lagi kau," sahut Manusia Makam Keramat 
sambil tersenyum mengejek. "Kuberi kesempatan un-
tuk pergi dari sini sebelum aku mengubah keputusan! 
Cepat menyingkir! Atau kau ingin mengalami nasib 
sama dengan rombongan yang kau temukan di hutan 
beberapa hari yang lalu?!"
Satria Gendeng langsung kaget mendengar 
ucapan itu. Sama sekali tidak disangka kalau orang 
tua ini yang telah melakukan kekejian terhadap gadis 
yang dia kuburkan!
Memang, Satria Gendeng telah mengetahui ka-
lau Manusia Makam Keramat menculik putri sulung Ki 
Arga Pasa, Rara Lanjar. Di tengah perjalanan menuju 
Desa Lebak, dia bertemu dengan rombongan Ki Manda 
Langit yang masih terus melakukan pengejaran.
"Jadi... kau penjahat terkutuk itu?!" desis Sa-
tria Gendeng dengan geram.
"Kalau begitu, mampuslah!" 
Wuttt!
Bunyi deru angin keras terdengar ketika Satria 
Gendeng melancarkan serangan. Tangan kanannya 
membentuk patukan, diluncurkan ke arah ulu hati 
Manusia Makam Keramat. Dalam cekaman kemarahan 
menggelegak, Satria Gendeng telah mengeluarkan ju-
rus 'Mencuri Bunga Karang', pemberian Tabib Sakti 
Pulau Dedemit.
"Ah...!"
Manusia Makam Keramat berseru kaget ketika 
melihat gerakan Satria Gendeng murid tunggal dua tokoh kenamaan persilatan. Setiap gerakannya menim-
bulkan getaran-getaran, cukup membuat hatinya ber-
getar. Sekali lihat saja dia tahu kalau kepandaian pe-
muda berwajah seperti bocah itu lebih tinggi diban-
dingkan dengan Ki Arga Pasa. Oleh karena itu, Manu-
sia Makam Keramat tidak berani bertindak main-main. 
"High!"
Sambil menggertakkan gigi, dipapaknya seran-
gan Satria Gendeng dengan pengerahan seluruh tena-
ga dalamnya. Sehingga....
Plakk...!
Terdengar bunyi keras ketika dua tangan yang 
sama-sama mengandung tenaga dalam tinggi itu ber-
benturan. Sesaat kemudian, tubuh Satria Gendeng ter-
jajar satu tindak ke belakang. Sama dengan Satria 
Gendeng, Manusia Makam Keramat terjajar satu tin-
dak ke belakang. Hal ini menunjukkan kalau tenaga 
dalam manusia yang bangkit dari kematiannya itu sa-
ma tinggi dari lawannya.
Sementara itu, Manusia Makam Keramat mulai 
sadar kalau lawannya kali ini jauh lebih sakti dari Ki 
Arga Pasa. Disadari pula jurus-jurus Satria Gendeng 
cukup membahayakan dirinya. Maka, dilemparkan tu-
buh Rara Lanjar di tanah. Dia pun mempersiapkan ju-
rus-jurus ampuhnya!
Cit, cit, cit!
Diiringi bunyi berdecit nyaring yang keluar dari 
gerakan tangannya yang berkuku panjang dan hitam, 
Manusia Makam Keramat melompat menerjang Satria 
Gendeng. Ketika tengah berada di udara, tangan ka-
nannya disampokkan ke arah pelipis. 
Wettt!
Hanya dengan mencondongkan badan, Satria 
Gendeng telah berhasil membuat serangan itu mengenai tempat kosong. Sampokan Manusia Makam Kera-
mat lewat beberapa jengkal di atas kepalanya. Meski-
pun demikian, saking kerasnya tenaga yang terkan-
dung di dalam serangan itu, seluruh pakaian Satria 
sampai berkibaran keras.
"Keparat...! Lihai juga kau, Bocah!" geram Ma-
nusia Makam Keramat.
Karuan saja kenyataan ini membuat Manusia 
Makam Keramat gelisah. Disadari kalau Satria Gen-
deng terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan. Lagi pu-
la, andaikan dapat pun, membutuhkan waktu lama. 
Padahal dia tidak ingin berlama-lama di tempat ini. 
Ada satu hal yang harus diburunya sebelum tengah 
malam nanti. Hal itu meletakkan dirinya pada keadaan 
yang tidak menguntungkan. Apabila Ki Manda Langit 
datang membantu lawan yang dihadapinya atau rom-
bongan pengejar dari Perguruan Belalang Putih tiba 
dan mengeroyoknya, dia makin tak punya kesempatan 
untuk tiba di Makam Keramat Maut sebelum tengah 
malam!
Terbetik di pikirannya untuk melarikan diri se-
mentara ini.
Sebelum lawan membayar serangannya, Manu-
sia Makam Keramat telah lebih dahulu menggenjot tu-
buh. Rara Lanjar disambarnya seperti gerak seekor 
elang menyambar mangsa. Dari satu pohon, dia melen-
tik ke pohon lain.
Tapi....
"Hendak lari ke mana kau!"
Bagai siluman muda kesetanan, Satria Gendeng 
memburu lawannya. Kelincahan Manusia Makam Ke-
ramat di udara, diimbanginya dengan sempurna. Ke-
jar-kejaran berlangsung sengit. Lama kelamaan, si ka-
kek durjana jadi gusar sendiri. Bagaimana mungkin

bocah semuda dia mampu mengimbangi gerakanku? 
Penasaran dengan kelihaian lawan mudanya, yang 
muncul kemudian adalah kegeraman menggelegak. Di 
atas tanah, dia telah berdiri dengan segenap muatan 
kemarahan dalam diri.
"Akan kulayani kalau itu maumu, Bocah," de-
sisnya seraya melempar tubuh Rara Lanjar untuk ke-
dua kali begitu saja di salah serumpun semak.
Kegagalan serangan sebelumnya telah cukup 
meledakkan kegusaran Manusia Makam Keramat. Ki-
ni, dinantinya Satria dengan hati yang lebih mengke-
lap. Tanpa sempat memberi kesempatan pada Satria 
untuk mendarat mantap, Manusia Makam Keramat 
sudah mengucurkan serangan.
Serangan-serangan lanjutannya semakin dah-
syat.
Lagi-lagi, Satria Gendeng sanggup meladeninya. 
Berkat jurus 'Dedengkot Sinting Kegirangan'-nya yang 
mulai dikerahkan untuk mengimbangi kecepatan dan 
kesangaran gerakan-gerakan Manusia Makam Kera-
mat. Bahkan serangan-serangan balasan yang diki-
rimkan pemuda berambut panjang dikepang itu tak 
kalah dahsyatnya.
Tak pelak lagi, pertarungan sengit dan menarik 
antara dua tokoh yang sama-sama memiliki kepan-
daian tinggi pun tidak bisa dielakkan lagi.
Sungguh hebat bukan main pertarungan yang 
terjadi. Bunyi menderu, bergemuruh, dan mengaung, 
menyemaraki jalannya pertarungan. Jurus demi jurus 
berlangsung cepat. Masalahnya, kedua be-lah pihak 
memang memiliki kecepatan gerak mengagumkan. 
Memang, ilmu yang dimiliki Satria Gendeng dan Ma-
nusia Makam Keramat sama-sama menitik beratkan 
pada kemampuan ilmu meringankan tubuh!

Tak terasa pertarungan telah berlangsung lebih 
dari seratus jurus. Selama itu belum nampak adanya 
tanda-tanda pihak yang akan keluar sebagai peme-
nang. Pertarungan masih berlangsung seimbang.
Masuk lebih ke dalam pada jurus-jurus inti, si 
kakek durjana merasa pernah mengenal gaya serangan 
Satria. Hatinya bertanya-tanya. Sia-sia kalau dia 
hanya mengulang-ulang pertanyaan di hati. Pada satu 
kesempatan, Manusia Makam Keramat mengambil ja-
rak. Dia mencelat dari bumi, melayang seperti hantu 
lalu menjejak di batang pohon sebesar lengan.
Satria mengira lawannya hanya bermaksud 
menjadikan pohon itu sebagai tumpuan untuk melom-
pat ke tempat lain. Kalau benar, dia bisa memburu ke 
arah yang mungkin diambil lawan dan menyambutnya 
selagi di udara. Dugaannya keliru. Begitu kakinya ber-
hasil menjejak di batang pohon kecil yang tegak lurus, 
Manusia Makam Keramat sama sekali tak beranjak la-
gi.
Dia menempel laksana cecak!
Menyaksikan unjuk kebolehan itu, dalam be-
nak si pendekar muda melintas bayangan kejadian be-
berapa waktu lalu. Ketika pertama kali menemukan 
Pasukan Kelelawar di dalam goa, disaksikannya bocah-
bocah sakti itu pun dapat menempel di langit-langit 
goa.
Apa hubungan orang tua sesat ini dengan Pa-
sukan Kelelawar, tanyanya membatin. Sebelum sempat 
mengajukan pertanyaan, lawan telah mendahului.
"Ada hubungan apa kau dengan Truna?!" lon-
tarnya.
Satria sejenak terpaku. Dia berpikir sejenak. 
Truna? Diingat-ingatnya nama itu. Bukankah kalau 
tak salah nama itu adalah nama semasa muda gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul? Bagaimana 
dia bisa tahu nama asli gurunya? Dan kala teringat 
pengakuan Dongdongka beberapa hari lalu yang men-
gatakan bahwa Manusia Makam Keramat adalah sau-
dara lelakinya, Satria pun mulai dapat mengendusi 
siapa sesungguhnya sang lawan.
"Jadi kaulah biang keladi Pasukan Kelelawar 
itu...," desisnya. "Pantas saja rupa mu membuatku 
demikian muak....'
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Bocah! 
Jangan sampai tubuhmu kupreteli satu persatu untuk 
memaksamu bicara! Katakan, ada hubungan apa kau 
dengan Truna?!"
"Dia muridku!!!!"
Menyalak satu sahutan yang menggoncangkan 
udara....
* * *
Apa maunya Manusia Makam Keramat mencu-
lik Rara Lanjar? Kenapa dia iseng banget? Siapa ma-
nusia bertopeng Arjuna yang mendapat Keris Kiai Kun-
ing? Kok bisa begitu, hah? Kitab apa yang dimaksud Ki 
Arga Pasa? Nah, urusan Pasukan Kelelawar yang dite-
mukan dua pasangan tengik, Gendut Tangan Tunggal 
dan Pendekar Muka Bengis gimana? Kok tahu-tahu ja-
di berubah menjadi anak-anak ileran?


                          SELESAI

https://matjenuhkhairil.blogspot.com
 
Share:

0 comments:

Posting Komentar