..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE RENCANA MANUSIA TERKUTUK

Rencana Manusia Terkutuk

 Hak cipta dan copy right pada

penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU
SESOSOK tubuh melintas teramat cepat di se-
panjang dataran luas berbukit-bukit yang membentang 
di kaki Gunung Burangrang. Teramat cepat, sampai-
sampai amat sulit untuk menyaksikan secara jelas ru-
pa orang itu. Beberapa batu gunung besar yang meng-
halangi dilompatinya tanpa kesulitan. Tak pandang 
apakah tingginya melebihi pucuk cemara sekalipun. 
Dari kelebatan tubuhnya yang menyerupai 
bayangan berwarna kuning, bisa dinilai kalau orang 
itu mengenakan pakaian kuning pula. Terlampau 
mencolok untuk digunakan di siang bolong yang kebe-
tulan gencar dengan sorotan sinar matahari. Dari 
gambaran kelebatan bayangannya juga, masih bisa di-
nilai bahwa orang itu bertubuh lebih besar dari orang 
kebanyakan.
Sampai di suatu tempat di dekat hutan bambu 
kuning, sosok bayangan tadi menghentikan larinya. 
Dia berdiri di atas tanah yang agak tinggi. Kepalanya 
menoleh ke sana, dan sebentar ke sini. Mungkin men-
cari seseorang, atau sesuatu. Yang diharapkan tampak 
belum muncul.
Sekarang, rupa serta perawakannya menjadi 
jauh lebih jelas. Dia seorang tua berbadan subur. 
Tinggi tidak. Hanya saja badannya terlalu mekar dis-
esaki lemak. Perutnya buncit, menyebabkan pakaian 
yang dikenakannya jadi kesempitan. Rambutnya tipis 
kekuningan. Tak beda dengan rambut jagung. Orang 
segemuk dia, tentu saja berpipi tebal. Kalau bayi 
mungkin menggemaskan. Sementara untuk orang se-
perti dia, siapa yang sudi jadi gemas? Sorot matanya 
memijarkan sesuatu yang mengerikan. Ada sebentuk

kejahatan kasat mata yang bersemayam dalam dirinya. 
Dan hal itu hanya bisa ditemukan oleh pandangan 
seorang waskita. Satu tangan si orang tua gendut 
membawa senjata besar dari logam. Bentuknya berupa 
gada. Sementara di bahu sebelah kanan, dia menyan-
dang tas besar dari kulit.
Beberapa saat menanti, akhirnya datang juga 
seseorang. Mula-mula terdengar desir kencang angin 
yang menandakan kehebatan ilmu lari cepat si penda-
tang. Lalu sekelebat bayangan melintas dari arah de-
pan si orang tua gendut. Hanya dalam sekedipan mata 
berikutnya, sudah muncul seorang bercaping lebar 
dan mengenakan jubah hitam-hitam.
Seperti tak hendak berbasa-basi, orang berju-
bah hitam dengan tetap menyembunyikan wajahnya 
dibalik caping bertanya, "Apa yang kau dapat?"
"Kami telah menemukan mereka," lapor orang 
tua gendut, datar.
Orang berjubah hitam mengangguk samar. Ter-
lihat dari gerakan capingnya.
"Di mana mereka?" susulnya dengan suara be-
rat. Seperti sejak awal dia bertanya.
"Di suatu tempat di kaki Gunung Burangrang. 
Mari kuantar"
"Tidak sekarang," sergah orang berjubah hitam. 
Lalu lanjutnya, "Purnama masih berselang cukup la-
ma. Aku tak mau membawa gadis itu lebih awal. Ada 
orang-orang tertentu yang akan berusaha membe-
baskannya dariku. Jika waktunya tak tepat. Aku tak 
mau ada halangan. Segalanya sebaiknya berjalan mu-
lus!"
Orang tua gendut mengangguk sekali.
"Yang penting sekarang, kalian harus tetap ber-
sama mereka. Laporkan di mana pun mereka berada.

Jika saatnya tiba, aku akan membawa si anak pera-
wan itu. Kau mengerti?"
Orang tua gendut mengangguk lagi.
"Sekarang kembalilah kau! Ingat, aku tak ingin 
rencana ini gagal. Jika itu sampai terjadi, maka kalian 
akan kehilangan kepala!"
Selesai menandaskan pernyataan yang lebih 
mirip sebuah ancaman, orang berjubah hitam berge-
rak. Mendadak dia seperti raib dari tempatnya berdiri. 
Dia tak lain tak bukan, Manusia Makam Keramat. Pe-
nampilannya telah berubah, sesuai dengan rencana 
baru yang akan dijalankan.
Sementara orang tua gendut pun meninggalkan 
tempat tersebut menuju arah di mana dia datang sebe-
lumnya. Dia tentu saja Gendut Tangan Tunggal. Seba-
gaimana diketahui bahwa pendekar tua bertubuh bun-
tal itu menjadi kehilangan jati dirinya setelah dikuasai 
pengaruh Manusia Makam Keramat. Dia kini tak lebih 
dari budak berhati bejat. Sebagaimana nasib yang di-
alami oleh kawan seperjuangannya pula, Pendekar 
Muka Bengis.
Terakhir kali, pasangan aneh itu bertemu den-
gan Satria dan Rara Lanjar yang tengah bersembunyi 
di kaki Gunung Burangrang. Karena hal itu pula Gen-
dut Tangan Tunggal melaporkan pada Manusia Makam 
Keramat. (Baca serial Satria Gendeng pada episode: 
"Nisan Batu Mayit").
* * *
Satria masih tertegun-tegun setelah menemu-
kan tiga benda di dalam lobang sebuah pohon besar 
tua. Salah satu benda sudah amat dikenalinya. Benda 
itu tak lain Kail Naga Samudera, senjata pusaka si

pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Senjata itu bebe-
rapa waktu telah hilang tak tentu rimbanya. (Dapat di-
baca pada episode sebelumnya: "Memburu Manusia 
Makam Keramat")
Dua benda lain tak begitu asing lagi di benak 
Satria Gendeng. Topeng kayu Arjuna dan sebuah kitab 
berkulit kayu. Kendati baru sekali itu melihat, Satria 
yakin kitab yang ditemukannya adalah kitab amanat 
dari Ki Arga Pasa yang direbut orang bertopeng Arjuna, 
sebagaimana penuturan Palguna, salah seorang murid 
kepercayaan Ki Arga Pasa.
Satria menyelipkan Kail Naga Samudera ke ikat 
pinggang. Sudah cukup lama benda itu tak ada di sa-
na, semenjak dicuri diam-diam darinya. Sampai seka-
rang, tak jelas siapa pelakunya. Satria jadi bertanya-
tanya dalam hati, untuk apa Kail Naga Samudera dicu-
ri setelah itu hanya disimpan dalam sebuah lobang 
pohon tua? Padahal berpuluh-puluh bahkan mungkin 
beratus orang dunia persilatan justru amat bernafsu 
untuk secepatnya memanfaatkan jika mereka sempat 
memiliki. Satu pertanyaan yang sulit sekali untuk di-
jawab saat sekarang ini, pikir Satria.
Sedangkan dia sendiri masih belum bisa men-
duga-duga siapa sesungguhnya orang selalu bersem-
bunyi di balik topeng Arjuna. Satu kesimpulan yang 
sudah cukup jelas cuma, bahwa si orang bertopeng te-
lah mencuri Kail Naga Samudera, sekaligus kitab ama-
nat Ki Arga Pasa.
"Hendak ku apakan dua benda ini sekarang?" 
bisiknya, menanyakan diri sendiri.
"Hanya ada satu cara agar aku bisa mengetahui 
siapa orang di balik topeng yang telah mencuri Kail 
Naga Samudera dan kitab amanat Ki Arga Pasa," bi

siknya lagi sambil menimang-nimang kedua benda di 
tangannya.
Satria Gendeng tersenyum. Dia ada akal kecil. 
Akan diletakkan kembali dua benda tersebut ke tempat 
semula. Setelah itu, tinggal ditunggunya siapa yang 
akan datang mengambil. Orang yang mengambilnya, 
sudah bisa dipastikan sebagai si pencuri sekaligus 
orang yang selama ini bersembunyi di balik topeng Ar-
juna! Untuk Kail Naga Samudera, Satria tetap akan 
menahannya.
Akal kecil yang sebenarnya terlalu sederhana, 
bukan? Sama sekali tak akan ada salahnya bila dico-
ba, pikir Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu baru hendak 
melompat kembali ke atas dahan yang berdekatan 
dengan lobang tapi urung oleh teguran pikirannya.
"Kenapa aku begitu bodoh! Bukankah tanpa 
perlu meletakkan kembali kedua benda itu, si pencuri 
tetap akan datang mengambil? Terutama selama orang 
itu tak menyadari kalau aku telah mengambil seluruh 
benda itu? Dengan begitu, kedua benda ini tetap akan 
aman di tanganku...," timbangnya.
Terlintas juga dalam pikiran Satria untuk me-
nyerahkan kitab di tangannya kepada Rara Lanjar ter-
lebih dahulu. Namun, kembali pikiran lain datang. Ba-
gaimana kalau si pencuri datang ketika dia sedang 
kembali ke gubuk? Itu berarti dia telah kehilangan ke-
sempatan besar untuk membuka rahasia wajah di ba-
lik topeng Arjuna. 
Satria menggeleng. 
"Tidak bisa," katanya, memutuskan.
Selesai menimbang kembali rencana kecilnya, 
Satria segera mencari tempat yang cukup tersembunyi. 
Diputuskan untuk menanti dan mengintai orang pe

nuh teka-teki itu. Ditemukannya semak belukar. Cu-
kup rimbun. Cukup pula untuk tempatnya mengintai 
tanpa terlihat.
"Aku penasaran sekali, siapa sesungguhnya 
orang itu," ucapnya tetap berbisik sambil menurunkan 
badan ke balik semak. Dia duduk bersila menghadap 
ke arah pohon besar tua. Mulai sekarang, dia akan 
menanti.
Menanti. Pekerjaan yang membosankan untuk 
siapa pun, kecuali bagi orang tak waras. Biar bagai-
mana, Satria merasa harus melakukannya. Sampai be-
rapa lama, dia sendiri belum bisa memastikan. Mung-
kin setengah hari, satu hari, dua hari, atau lebih.
Memikirkan kemungkinan itu, kepalanya dige-
leng-gelengkan.
"Entah kenapa aku mau melakukan ini. Bodoh 
sekali sepertinya. Aku pasti menyesal kalau orang itu 
tak akan muncul hingga lebih dari seminggu, atau aku 
berlumut di sini!" gerutunya pada diri sendiri, kendati 
dia sudah benar-benar berniat untuk tetap menunggu.
Sambil menanti, dia mencoba bersemadi. Den-
gan cara itu, Satria bisa mengenyahkan kejenuhan. 
Sementara bersemadi, akan tetap dipasangnya pen-
dengaran tajam-tajam. Suara mencurigakan sekecil 
apa pun, bisa dijadikan patokan untuk memutus sege-
ra semadinya.
Syukurlah pekerjaan paling menjemukan itu 
tak berlangsung lama. Hanya sekitar dua kali penana-
kan nasi, akhirnya datang juga seseorang ke tempat 
tersebut. Satria memutus semadinya. Pandangan dipa-
sang setajam mungkin. Dari sela-sela rerimbunan se-
mak, dia mengawasi. 
"Satria! Satria!"
Terdengar pula seruan suara wanita, memang

gil namanya. Menyusul munculnya seseorang. Pende-
kar muda itu menghela napas. Wajahnya memperli-
hatkan garis agak kecewa mengetahui orang yang da-
tang ter-nyata Rata Lanjar. Dia bangkit.
"Aku di sini, Lanjar!" ucapnya, agak ditahan-
tahan.
Rara Lanjar menghampiri.
"Dari mana saja kau, Satria? Aku sudah men-
cari-carimu ke mana-mana. Sudah hampir tujuh kelil-
ing aku mencari, tak tahunya kau malah sedang enak-
enakan di semak-semak. Sedang apa kau sebenarnya? 
Tidur? O, main sembunyi-sembunyian? Kau pikir aku 
akan suka? Kau bukan anak kecil lagi, Satria. Aku pun 
tidak mau kau perlakukan seperti anak kecil," sembur 
Rara Lanjar sengit. Wajahnya bersungut-sungut.
"Sabar... sabar," bujuk Satria berbisik. Telun-
juknya diangkat ke depan bibir, mengisyaratkan Rara 
Lanjar untuk tidak ribut.
"Bagaimana aku bisa sabar? Apa kau tahu kea-
daan Ki Damar Sakti mulai memburuk lagi!" hardik 
Rara Lanjar.
Satria meringis gemas sambil menggaruk-garuk 
kepala.
"Kubilang jangan bikin ribut!" desisnya.
Rara Lanjar baru hendak buka mulut lagi. Sa-
tria tak mau mendapat semprotan seorang perawan 
yang bisa membuat dirinya kebingungan seperti orang 
tolol. Didahuluinya saja Rara Lanjar dengan mengelua-
rkan topeng kayu dan kitab yang ditemukannya.
"Lihat ini!" sergahnya.
Rara Lanjar tak berkedip menyaksikan dua 
benda yang diperlihatkan Satria. Alisnya bertaut.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan benda ini?" 
tanyanya dengan paras ternganga.

"Ssssst!"
Satria menarik pangkal lengan gadis di depan-
nya, memaksanya untuk merunduk ke dalam semak.
"Mau apa kau, hah?" sentak Rara Lanjar den-
gan wajah memerah. Ditepisnya tangan Satria.
Brengsek dua belas kali, rutuk Satria memba-
tin. Ada yang telah salah tanggap rupanya
"Sial kau! Aku bukan hendak berbuat mesum. 
Kau pikir aku ini sejenis pemuda yang senang main 
'semak-semak'an?"
Rara Lanjar bersungut. Meskipun Satria tak 
mengatakan langsung, Rara Lanjar tetap menganggap 
ucapan Satria agak mesum. Dia jadi sebal.
"Jadi kau mau apa?!" tanyanya masih dibayangi 
nada membentak.
"Sudah kau merunduk saja ke semak. Nanti ku 
jelaskan!"
Rara Lanjar menurut juga.
"Sekarang jelaskan!" pintanya kemudian, tanpa 
mengubah parasnya yang terlalu kecut di pandangan 
Satria Gendeng.
"Aku menemukan kedua benda ini di atas lo-
bang pohon itu!" papar Satria, setelah dia turut me-
nyembunyikan diri ke dalam semak. Tangannya me-
nunjuk pohon besar tua.
"Bagaimana kau bisa tahu di sana ada lobang 
tempat menyembunyikan benda ini?"
"Semacam naluri kependekaranku yang me-
mang amat peka...," puji Satria pada diri sendiri. Mak-
sudnya bukan begitu sebenarnya. Dia cuma ingin me-
ledek Rara Lanjar.
Rara Lanjar mencibir.
"Ah, kau tak perlu bertanya begitu. Pokoknya, 
kau harus tahu bahwa aku sengaja bersembunyi di

tempat ini untuk mengintai orang yang telah meletak-
kan semua benda-benda ini di lobang pohon besar itu," 
tandas Satria Gendeng.
"Dengan begitu kau akan mengetahui siapa 
orang yang telah mengenakan topeng kayu ini?"
"Kau bukan gadis tolol rupanya."
"Tapi bagaimana dengan Ki Damar Sakti?!"
"Bagaimana dengan dia?" 
"Kau ini bagaimana? Aku sudah bilang baru-
san, orang tua itu keadaannya mulai memburuk lagi! 
Apa kau tuli?"
"Aku tidak tuli! Cuma aku agak bingung me-
nentukan apa aku harus tetap menanti atau kembali 
ke gubuk?!"
"Kau ini pemuda apa? Tak sepantasnya kau 
menanyakan satu keputusan genting pada orang lain. 
Kau harus belajar dari setiap keadaan, jangan meng-
gantungkan keputusan selalu pada orang lain!" cera-
mah Rara Lanjar.
Satria gemas. Sok tahu sekali gadis ini! "Baik... 
baik. Begini saja. Kau kembali ke gubuk, aku akan te-
tap di sini!" putusnya, ngotot.
"Percuma saja aku menyusulmu ke sini kalau 
begitu. Aku tak tahu menahu soal pengobatan. Orang 
tua buncit belum kembali membawa tabib sampai se-
karang. Sedangkan kau sedikit banyak tahu soal itu. 
Bukankah kau murid Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau 
Dedemit itu?" serang Rara Lanjar, tak mau kalah.
Satria bersungut-sungut. Jadi juga dia kebin-
gungan oleh semprotan-semprotan 'sakti' seorang pe-
rawan seperti Rara Lanjar. Tapi, demi kepala plontos 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tak sudi disebut 
sebagai pemuda yang tak punya ketegasan oleh Rara 
Lanjar.

Satria bangkit. Kedongkolan mendekam di wa-
jahnya.
"Begini saja. Kau yang menunggu di sini, aku 
akan kembali ke gubuk!"
"Itu lebih bagus! Sekarang cepatlah kau kemba-
li!" 
"Tapi apa kau yakin bisa mengatasi semua ini?" 
"Pergi saja kataku! Pergi!"
DUA
MATAHARI sudah beranjak cukup tinggi. Siang 
datang menjelang. Panas tak terlampau sengit. Teduh 
saja. Karena awan putih hampir menirai rata seluruh 
wajah angkasa.
Sementara Satria Gendeng dalam perjalanan 
kembali ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Di gu-
buk itu sendiri Ki Damar Sakti telah siuman. Di atas 
balai, lelaki tua itu menceracau sesuatu tak jelas, se-
perti orang mengigau. Wajahnya dipenuhi peluh. Kepa-
lanya bergerak-gerak lemah. Tubuhnya bergetaran. 
Beberapa kali terlihat bagai menggigil hebat. Seper-
tinya dia dalam keadaan berkutat untuk melepaskan 
diri dari suatu belenggu.
Di balik pintu gubuk, seseorang mendengarkan 
lenguhan dan ceracauan Ki Damar Sakti dengan wajah 
tegang. Parasnya tertarik amat parah. Ada sesuatu 
yang begitu mengkhawatirkan orang itu. Bukan terha-
dap keadaan memprihatinkan pendekar tua yang sakit 
terluka dalam parah di dalam sana. Melainkan khawa-
tir kalau Ki Damar Sakti sempat siuman dan mengata-
kan rahasia yang diketahuinya pada Satria atau Rara 
Lanjar. Orang ini adalah Pendekar Muka Bengis. Tokoh

golongan lurus, kawan Gendut Tangan Tunggal, yang 
telah menempuh jalan sesat tanpa disadari akibat pen-
garuh Manusia Makam Keramat.
Sebagaimana diketahui, Ki Damar Sakti tidak 
semata mengalami luka dalam. Selama ini, sedikit de-
mi sedikit tubuhnya digerogoti dari dalam oleh penya-
luran hawa perusak yang dilakukan oleh Gendut Tan-
gan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Satria atau 
Rara Lanjar tak mengendusi. Mereka hanya mengira 
kalau kedua orang itu sedang menyalurkan hawa 
murni untuk membantu penyembuhan Ki Damar Sak-
ti.
"Hmm," gumam Pendekar Muka Bengis seperti 
mendengus. "Aku bagaimana mungkin Damar Sakti 
masih sempat siuman setelah aku dan si Buncit me-
nyalurkan hawa perusak ke dalam dirinya beberapa 
kali?" lanjutnya bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Muka Bengis patut mengherankan 
keadaan Ki Damar Sakti. Namun kalau dia mengerti 
bagaimana kekuatan hati pendekar tua itu untuk me-
nyampaikan rahasia yang diketahuinya pada Satria 
dan Rara Lanjar, tentu Pendekar Muka Bengis bisa 
mengerti. Kendati dalam keadaan setengah sadar, da-
lam kalbu Ki Damar Sakti sudah terpatri kuat keingi-
nan untuk memperingati Satria dan Rara Lanjar ten-
tang ancaman yang datang dari Gendut Tangan Tung-
gal dan Pendekar Muka Bengis. Kekuatan hati terka-
dang mendatangkan sebentuk keajaiban jika tak bisa 
disebut mukjizat. Dan itu dialami oleh Ki Damar Sakti 
sekarang ini. Meskipun jika dinilai oleh Pendekar Mu-
ka Bengis, dia sudah tak mungkin lagi untuk siuman. 
"Bisa berbahaya jika Damar Sakti keparat ini 
membuka mulut...," desis Pendekar Muka Bengis. "Aku 
harus membunuhnya sekarang juga. Jika nanti Satria

Gendeng datang, akan kukatakan saja bahwa jiwa 
Damar Sakti tak dapat diselamatkan akibat luka da-
lamnya yang sudah kelewat parah..."
Pendekar Muka Bengis melirik kian kemari se-
jenak, mewaspadai kedatangan Satria Gendeng. Yakin 
dia masih punya cukup waktu untuk menjalankan 
rencana sebelum Satria Gendeng tiba, dia segera ma-
suk ke dalam gubuk.
Di dalam dia melangkah mendekati tempat 
pembaringan Ki Damar Sakti.
Wajahnya berubah.
Membatu.
Dan memeram hawa angkara.
Satu tindak dari Ki Damar Sakti yang masih 
terbaring gelisah, tangan kiri Pendekar Muka Bengis 
terangkat perlahan menuju dada pendekar tua itu. Te-
lapaknya membuka lebar, kaku. Ditempelkannya tela-
pak tangan ke dada Ki Damar Sakti.
Wajah Pendekar Muka Bengis makin membatu.
Bibirnya melekuk ganjil.
Perlahan warnanya berubah merah kebiruan.
Ada getaran kuat.
Nafasnya menyentak-nyentak.
Dari wajah, getaran beringsut turun ke tangan.
Sebentuk tenaga pun mengalir dari sekujur se-
rat di tangan itu. Menggiring sengatan maut. Mata ma-
nusia biasa, tak akan menangkap adanya semacam 
cahaya halus berwarna keunguan yang mengaliri seku-
jur tangan kiri Pendekar Muka Bengis. Lambat tapi 
pasti, ujung cahaya mendekat ke dada Ki Damar Sakti. 
Jaraknya kian dekat. Tersisa dua jari saja.
Sampai suara pintu gubuk dikuak seseorang, 
memenggal usaha keji Pendekar Muka Bengis meng-
habisi riwayat Ki Damar Sakti. Cepat-cepat lelaki ber


wajah garang itu menurunkan tangan kiri dari dada 
calon korbannya.
Berbalik cepat, dicoba menyembunyikan wajah 
berhawa angkaranya serapat mungkin.
"Ah, Satria... syukurlah kau telah kembali!" 
sambutnya, ketika menyaksikan orang yang masuk. 
Satria yang mengkhawatirkan keadaan Ki Damar Sakti 
tentu tak begitu memperhatikan paras Pendekar Muka 
Bengis. Keadaan itu menguntungkan Pendekar Muka 
Bengis. Dia selamat dari kecurigaan si pendekar muda.
Satria bergegas mendekati pembaringan Ki Da-
mar Sakti.
"Bagaimana keadaannya, Orang Tua?" tanya 
Satria.
"Buruk. Luka dalamnya makin parah saja," sa-
hut Pendekar Muka Bengis sambil membuang wajah 
ke arah Ki Damar Sakti agar Satria tak menemukan 
warna parasnya saat bertanya barusan. Sekaligus pula 
menyamarkan kegusaran karena rencana busuknya 
telah gagal.
Tetap berdiri di samping pembaringan, Satria 
memeriksa keadaan Ki Damar Sakti. Menyaksikan wa-
jah Ki Damar Sakti basah oleh keringat, Satria melepas 
kain ikat pinggangnya. Diletakkan Kail Naga Samudera 
ke sisi pembaringan. Setelah itu dia sendiri yang me-
nyapu keringat di wajah Ki Damar Sakti. 
"Lihatlah bibirnya sudah demikian membiru," 
ucap Satria terdengar memelas. "Dia dalam keadaan 
amat gawat. Luka dalamnya telah sampai ke jalan da-
rah menuju otaknya," duganya atas dasar pelajaran 
seni pengobatan yang sempat diterimanya dari Ki Ku-
sumo.
"Kupikir juga begitu," timpal Pendekar Muka 
Bengis. Padahal matanya tertuju pada Kail Naga Samudera, seakan seekor kucing liar yang menatap sepo-
tong daging empuk.
Satria melangkah. Tak tenang, dia berjalan hi-
lir-mudik.
"Aku masih tak mengerti. Bagaimana hawa 
murni yang selama ini kita kerahkan ke dalam tubuh 
Ki Damar Sakti seperti tak berpengaruh sama sekali?" 
gumamnya, gundah.
Pendekar Muka Bengis diam saja. Kalau Satria 
Gendeng lengah, matanya kembali menerkam rakus ke 
arah Kail Naga Samudera.
"Bagaimana dengan Pak Tua Gendut? Apa dia 
belum juga kembali?" tanya Satria.
Pendekar Muka Bengis menggeleng. Satria 
mengeluh.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap Ki 
Damar Sakti. Keadaannya sudah terlalu parah untuk 
bisa kutangani dengan sedikit pengetahuan pengoba-
tan yang kupunya. Bagaimana dengan kau, Orang 
Tua?"
Pendekar Muka Bengis menggeleng lagi. 
"Kita tak bisa hanya menunggu kedatangan Pak 
Tua Gendut. Sebaiknya kita bawa segera Ki Damar 
Sakti ke seorang tabib."
Pendekar Muka Bengis mengangguk. Kendati 
dalam hatinya menyumpah-nyumpah
Bergegas, Satria mengangkat tubuh menggigil 
Ki Damar Sakti dari pembaringan. Dibopongnya ke-
luar. Terlalu khawatir dia pada keselamatan pendekar 
tua itu. Salah satu sifat yang menjadi dinding kalbu si 
pendekar muda sejak masih kanak-kanak. Kendati hi-
dup dalam dunia persilatan yang berbau anyir sepan-
jang waktu, dalam kebengisan, kekerasan, dan dunia 
yang selalu cenderung tak berbelas, hatinya tak per

nah kehilangan sifat welas asih.
Besi boleh lebur oleh panas tinggi. Karang boleh 
kikis oleh gelombang. Benteng boleh gugur oleh tem-
paan hujan dan terik mentari. Tapi sifat welas asih itu 
dalam dirinya tidak.
Sementara, si pendekar muda sepertinya nyaris 
melupakan Kail Naga Samudera di sisi pembaringan.
Pendekar Muka Bengis menyeringai tersem-
bunyi.
Dia benar-benar berharap Satria melupakan 
senjata pusaka itu. Dengan begitu, dia akan mengam-
bilnya. Persoalan apakah Satria akan mencarinya nan-
ti, urusan belakangan.
Untung saja, ketika Satria mengangkat tubuh 
Ki Damar Sakti, tanpa sengaja Kail Naga Samudera 
terdorong sikunya. Benda itu jatuh ke tanah.
Pendekar Muka Bengis menatap dengan mata 
gusar.
"Ah, hampir saja aku melupakan senjataku itu," 
ucap Satria.
"Pak Tua, bisakah kau menolongku mengam-
bilkan benda itu?" pinta Satria pada Pendekar Muka 
Bengis. Dia sudah tak bisa merunduk karena telanjur 
membopong Ki Damar Sakti.
Lelaki berwajah bengis itu tersenyum dipaksa-
kan. Keparat, rutuknya dalam hati. Dia tak pernah 
berharap mengambilkan benda pusaka itu untuk si 
pemuda. Gusarnya mungkin melonjak sampai ke teng-
gorokan atau ubun-ubun. Tapi itu harus ditelan Pen-
dekar Muka Bengis mentah-mentah dengan senyum 
dibuat-buat sepanjang hendak menjaga siasat.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Muka Bengis 
mengambil Kail Naga Samudera, lalu dihajarnya Satria 
secara mendadak dengan benda itu. Dalam keadaan

tak menduga sama sekali, tentu tak terlalu sulit untuk 
menjatuhkan pendekar muda itu. Terlebih dia dibebani 
tubuh Ki Damar Sakti. Namun jika itu dilakukan, ma-
ka dia telah menghancurkan seluruh siasat. Rara Lan-
jar yang sedang dalam incaran Manusia Makam Kera-
mat yang kini menjadi semacam 'majikannya', tentu 
akan curiga. Sementara Gendut Tangan Tunggal belum 
juga kembali untuk mengabarkan rencana selanjutnya.
Pendekar Muka Bengis menyerahkan Kail Naga 
Samudera langsung ke tangan Satria.
"Terima kasih, Pak Tua," hatur Satria, meng-
hargai.
Untuk Pendekar Muka Bengis, terasa seperti 
ejekan.
Satria keluar lebih dahulu dari gubuk.
Pendekar Muka Bengis mengikuti di belakang-
nya.
"Apa yang hendak kau lakukan, Pak Tua?" 
tanya Satria seraya berbalik.
Pendekar Muka Bengis agak terkejut mendapat 
pertanyaan Satria Gendeng. Dia mengira Satria mulai 
curiga dengan sikapnya.
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Muka Ben-
gis.
"Kau turut keluar? Apa kau ingin turut men-
gantar?"
"Ya, tentu saja!" ujar Pendekar Muka Bengis, 
lega. Dugaannya keliru.
"Kurasa tak perlu. Sebaiknya kau menyusul 
Rara Lanjar di sebelah Tenggara kaki gunung. Dia pas-
ti lebih membutuhkan bantuanmu."
"Kenapa dengan gadis itu?"
"Aku tak sempat menjelaskan. Sebaiknya kau 
ke sana saja!"


"Baik."
Lalu, Satria melanjutkan langkah yang tertun-
da. Dia berlari mengerahkan segenap kemampuan ilmu 
meringankan tubuh sekitar sepuluh tombak dari pintu 
gubuk.
"Keparat...," geram Pendekar Muka Bengis, se-
peninggalan pendekar muda itu. Pertama dia gusar se-
tengah mampus karena tak berhasil mendapatkan Kail 
Naga Samudera tanpa harus merusak siasat. Kedua 
dia mengkhawatirkan Ki Damar Sakti sempat membo-
corkan siasat itu pada si pendekar muda tanah Jawa. 
Kalau terjadi, seluruh siasat akan hancur tanpa hasil.
Di lain tempat, Satria berlari bagai kesetanan. 
Arahnya menuju desa terdekat, tanpa kepastian apa-
kah di sana tinggal seorang tabib atau tidak. Satria tak 
terlalu mempedulikan itu. Setiap usaha memang se-
perti mata uang logam yang memiliki dua sisi. Bisa 
berhasil, atau gagal. Terkadang usaha dalam hidup tak 
bisa dibedakan dengan perjudian. Tak jarang pula ta-
ruhannya nyawa. Biar begitu, hidup tetap hidup. Ni-
lainya tak bisa ditentukan dari pandangan seorang 
penjudi. Melainkan dari pandangan seorang pejuang 
hidup itu sendiri, yang menganggap nilai tertingginya 
terdapat pada perbuatan terbaik yang bisa diusaha-
kan. Bukan sekadar hasil semata.
"Ssssatriaa.... Sat... ria...."
Sedang gencar mengayun kaki, sayup-sayup te-
linga si pendekar muda menangkap suara bisikan.
Satria menghentikan larinya. Dia ingin meya-
kinkan apa yang barusan didengarnya. Dan bisikan itu 
terdengar lagi. Sekali ini jauh lebih jelas. Datangnya 
dari diri Ki Damar Sakti dalam bopongannya.
"Jangan banyak bicara dulu, Ki. Aku hendak 
mengusahakan agar kau bisa dirawat oleh seorang tabib," cegah Satria ketika menyaksikan bibir pendekar 
tua itu bergerak-gerak hendak berkata.
Tangan kanan Ki Damar Sakti terangkat susah-
payah dan bergetar.
"Ak... aku hhharus mengatakan sess... suatu 
padamu, Satria...," katanya lagi, terbata.
Menyaksikan bersit mata redup Ki Damar Sakti 
yang demikian berharap untuk didengarkan, Satria ja-
di tak ingin mencegah orang tua itu untuk melan-
jutkan ucapan. Diperhatikannya setiap potong kata 
yang tersendat keluar dari mulut Ki Damar Sakti.
"Kkk... au hharrus hati... hati. Ad... a."
"Ada apa, Ki?"
Tak ada jawaban lagi. Sia-sia Satria bertanya. 
Bahkan tak juga ada tarikan napas pendekar tua itu. 
Dia telah kehilangan nyawa sebelum Satria sempat 
mengantarkannya pada seorang tabib.
TIGA
SAYANG sekali Ki Damar Sakti belum sempat 
mengungkapkan rahasia yang diketahuinya. Ajal me-
mang datang pada waktunya, tanpa bisa diundur atau 
dicegah. Kapan dan di mana kematian akan menda-
tangi insan menjadi sebagian teka-teki milik Tuhan.
Biar bagaimana, Satria Gendeng tak bisa bilang 
apa-apa. Pada dasarnya, dia pun tak bisa menyesali 
keterlambatan Ki Damar Sakti untuk mengatakan se-
suatu yang ingin disampaikan pada Satria. Selama ini, 
Ki Damar Sakti tak sadarkan diri. Ketika siuman, maut 
malah lebih cepat menjelang dari keinginan kuatnya 
mengungkap rahasia.
Satria sendiri tak pernah menduga sebelumnya

mendiang pendekar tua itu hendak mengungkap sesu-
atu. Kalaupun tahu, tetap tak akan bisa memaksa Ki 
Damar Sakti bicara saat dia tak sadarkan diri.
Yang ada kini dalam hati Satria cuma rasa pe-
nasaran yang menggumpal-gumpal. Penasaran pada 
ucapan yang tak sempat dikatakan Ki Damar Sakti.
"Apa sebenarnya yang hendak kau ungkapkan 
kepadaku, Orang Tua?" tanya Satria, berbisik. Jasad 
Ki Damar Sakti masih di atas bopongannya.
"Aku yakin, kau hendak mengungkap sesuatu 
yang demikian genting, sehingga saat maut menjelang 
pun kau masih bersikeras untuk bicara..." reka pende-
kar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan 
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Satria memutuskan untuk menyelidik perkara 
itu. 'Asap ada karena api'. Seperti juga keinginan Ki 
Damar Sakti berbicara menjelang ajal tentu didorong 
oleh satu alasan tertentu.
Satria kemudian menggali liang.
Liang selesai, jasad Ki Damar Sakti pun dita-
nam di dalamnya.
"Aku harus pergi ke perguruan yang dipimpin 
mendiang Ki Damar Sakti. Dari sana aku bisa memulai 
penyelidikan...," gumamnya kemudian.
"Tapi bagaimana dengan masalah yang harus 
dihadapi Rara Lanjar?" sergahnya pada diri sendiri.
"Ah, bukankah telah ada Pak Tua Muka Bengis. 
Jelas dia bisa diandalkan untuk membantu jika Rara 
Lanjar dalam kesulitan," tepisnya.
Satria pun beranjak.
Gundukan basah membisu mengiring keper-
gian Satria. Angin menyenandungkan tembang pengir-
ing keberangkatan satu jiwa ke alam abadi.

* * *
Rara Lanjar masih berada di tempat Satria me-
nemukan kitab, topeng, dan senjata pusakanya. Sebe-
lum pergi waktu itu, Satria Gendeng menyerahkan to-
peng kayu dan kitab kepada Rara Lanjar. Menurut Sa-
tria, Rara Lanjar-lah yang punya kepentingan besar 
terhadap kedua benda itu.
Kepentingan Satria sendiri cuma Kail Naga Sa-
mudera. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menggan-
tungkan keselamatannya pada senjata pusaka itu. Dia 
lebih mempercayai dirinya sendiri. Bukankah kesela-
matan tergantung bagaimana seseorang dapat mem-
bawa dirinya dalam mengarungi kehidupan?
Cuma saja, Kail Naga Samudera adalah benda 
pemberian salah seorang gurunya, Ki Kusumo. Tak 
pantas rasanya jika dia tak bisa menjaga benda ama-
nat itu. Ada satu alasan lagi yang paling membuat nge-
ri Satria jika benda itu hilang atau sempat jatuh ke 
tangan orang sesat. Apalagi kalau bukan omelan 
'samber geledek' Dongdongka, guru 'rada-rada'-nya?
Kembali kepada Rara Lanjar, saat itu dia men-
dengar seseorang mendatangi tempatnya. Langkah-
langkahnya terdengar ringan. Langkah seperti itu 
hanya terdengar dari langkah seorang yang memiliki 
ilmu meringankan tubuh. Jelas dia orang persilatan.
Tubuh Rara Lanjar mematung. Tegang. Wajah-
nya tak bergeming.
"Satria?" bisiknya menduga-duga.
Hanya terdengar gesekan dedaunan terusik an-
gin.
Rara Lanjar semakin tegang. Telinganya kini 
sama sekali tak menangkap lagi suara langkah-
langkah halus. Padahal sebelumnya dia yakin telah

mendengar derap di atas rumput yang mendekat ke 
arahnya.
Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Dia 
mulai mengendusi satu ancaman. Selang berikutnya, 
perasaannya memperingati adanya seseorang yang 
tengah mengintai dari arah belakang.
Rara Lanjar sigap menoleh.
Bertepatan dengan itu, sekelebatan bayangan 
meluncur deras dari atas pohon besar, sekitar tujuh 
tombak di belakangnya. Gerakannya menghasilkan de-
ru santer, pertanda kematangan tingkat ilmu merin-
gankan tubuhnya. Gerakannya mirip tukikan seekor 
elang menyambar mangsa.
Sengit. 
Ganas.
Wrrrr!
Lalu sekelebatan, mata Rara Lanjar menangkap 
gerakan tangan orang yang meloncat. Sasarannya ki-
tab bersampul kayu di tangan kanan Rara Lanjar.
Gerakan mendadak itu tak sempat membuat 
Rara Lanjar kehilangan ketenangan. Nalurinya cepat 
menyentakkan perintah. Tangan kanannya diturun-
kan.
Wukh!
Sambaran orang yang jelas-jelas hendak mere-
but kitab tulisan seorang prabu Pajajaran itu menjadi 
luput. Hanya menyambar angin.
Rara Lanjar menyusulkan gerakan. Tangan ki-
rinya yang memegang topeng kayu disampokkan ke 
depan, mengimbangi kecepatan gerak menyambar 
orang tadi.
"Heaaa!" 
Wush!
Masih di udara, orang tadi memapak sampokan

Rara Lanjar dengan sepasang telapak tangannya. Den-
gan tindakan itu pula, dia menghentikan laju tubuh-
nya, sekaligus membuat putaran tinggi kembali ke be-
lakang.
Di atas pohon sebelumnya, sosok itu menjejak 
lalu mencelat kembali ke pohon yang lebih lebat. Ber-
kali-kali. Dari satu pohon ke pohon yang bersebelahan. 
Membentuk lingkaran besar, seakan seekor dewa kera 
yang sedang mempermainkan musuhnya.
Sampai celatan ke sekian, sosok itu menghilang 
di rerimbunan dedaunan.
Rara Lanjar mencari-cari dengan mata yang 
membesar dan membersitkan ketegangan memuncak, 
setelah sebelumnya dia dipaksa berputar-putar mengi-
kuti gerakan cepat sosok tadi.
Hanya terdengar suara gesekan dedaunan 
kembali.
Tak ada suara mencurigakan, biarpun Rara 
Lanjar telah memasang pendengaran kuat-kuat.
Ketegangan memagut.
Suasana terasa bagai intaian maut.
Yang siap menerkam dari satu sudut. 
Sampai suatu ketika....
Wrrr!
Suara angin tergetar tercipta dari arah belakang 
Rara Lanjar. Tajam. Kesanterannya berlipat dua dari 
sebelumnya. Orang ini bersungguh-sungguh ingin me-
rebut kitab ini, pikir Rara Lanjar. Gadis putri Ki Arga 
Pasa itu segera membalikkan badan. Dia pun menge-
rahkan segenap kecepatan lebih dari sebelumnya.
Sekali ini, sosok yang belum lagi jelas rupa dan 
perawakannya itu tak hanya berniat menyambar kitab 
di tangan Rara Lanjar. Lebih dari itu, dia hendak me-
nyarangkan serangan ganas ke diri Rara Lanjar.

"Heaa!"
Debb!
Tendangan menyapu membentuk gerak me-
lengkung mengarah ke leher Rara Lanjar. Serangan ke-
ji! Tak perlu menyalurkan tenaga dalam terlalu kuat 
pun, tendangan seperti itu bisa melempar seseorang ke 
liang lahat dengan tenggorokan hancur!
Rara Lanjar tak mau mengalaminya. Biarpun 
posisinya masih rawan karena baru saja membalikkan 
badan, dengan nekat dia memilih untuk menangkis 
dengan kedua tangannya.
Dakh!
Bersamaan dengan itu, Rara Lanjar terpental 
telak ke belakang. Lehernya bisa diselamatkan. Tapi 
dua benda di tangan kanannya tidak. Topeng kayu di 
tangan kiri hanya terpental deras ketika itu juga. Se-
dangkan kitab amanat Ki Arga Pasa menjadi beranta-
kan lembar demi lembarnya. Sampul kayunya menga-
lami nasib sama dengan topeng kayu.
Rara Lanjar terjerembab keras di tanah.
Masih dengan nyeri merejam di bagian bela-
kang badannya yang terasa sampai ke tulang sum-
sum, dia menyentak otot perut dan sentakan tangan di 
belakang kepala untuk berdiri. Setelah menemukan pi-
jakan, dipasangnya kuda-kuda. Siap menanti serangan 
lawan kembali.
Tak ada serangan susulan. Bahkan si penye-
rang gelap sendiri sudah tak tampak lagi. Seolah Rara 
Lanjar sengaja dipermainkan.
Lembar-lembar kitab rebah di tanah dan re-
rumputan. Suaranya halus. Selain itu, hanya terden-
gar gesekan dedaunan. Rara Lanjar kian tegang. Na-
fasnya pun ditahan. Sekujur otot tubuhnya mengejang.
Menanti.

Dengan peluh membasahi.
Sampai sekian lama berdiri diam dalam posisi 
kuda-kuda, tetap tak ada serangan susulan.
Mungkinkah orang itu telah pergi? Tanya hati 
Rara Lanjar ragu. Karena tetap tak ada serangan, ak-
hirnya gadis itu meyakinkan dirinya sendiri bahwa 
sang lawan memang telah pergi.
"Aku tak habis mengerti kenapa orang itu tiba-
tiba menyerang lalu pergi begitu saja?" gumamnya. 
"Kalau dia masih waras, tentu dia punya alasan me-
nyerangku," pikirnya.
Menilai serangan awal, Rara Lanjar yakin orang 
itu hendak merebut kitab dari tangannya. Sekarang, 
lembaran kitab telah bertebaran ke mana-mana. Kalau 
memang benar orang tadi menginginkan kitab itu, 
akan amat sulit baginya untuk membawa pergi. Kecua-
li dia membereskan Rara Lanjar terlebih dahulu agar 
dia dapat leluasa mengumpulkan lembar demi lembar 
kitab. Kejadiannya justru tidak begitu.
"Aneh juga...," nilai Rara Lanjar. Penasaran dia, 
tapi tak ingin melupakan begitu saja. Ada sesuatu 
yang tak beres menurut penilaiannya.
Lalu dia mulai mencoba memunguti lembaran-
lembaran kitab. Selembar demi selembar. Sampai ak-
hirnya seluruhnya terkumpul. Tapi ketika diteliti, ada 
satu lembar yang hilang. Lembar yang letaknya paling 
tengah.
Mungkin saja belum ditemukan, begitu pikir-
nya. Karena itu dia mencoba mencari lagi. Semak-
semak disingkapi, rerumputan disibak, pepohonan di 
sekitarnya ditengoki. Tak ada lembaran yang dicari. 
Lebih jauh dari tempat itu sudah tak mungkin. Di seki-
tar tempat itu, hembusan angin tak cukup kuat untuk 
menerbangkannya.

"Itulah sebab orang itu menghentikan seran-
gan," cetus Rara Lanjar, menyadari sesuatu.
"Rupanya dia hanya membutuhkan satu lembar 
dalam kitab ini. Lembaran itu sudah didapatnya ketika 
seluruh isi kitab berhamburan ke udara...."
Rara Lanjar mendengus. 
Dia merasa telah kecolongan.
Sekarang, timbul beberapa pertanyaan baru di 
benaknya. Apa sesungguhnya isi pada lembaran yang 
hilang? Kenapa orang itu begitu menginginkannya? 
Siapa pula dia?
Atau mungkinkah dia orang yang bersembunyi 
di balik topeng kayu Arjuna selama ini?
Tak beberapa lama kemudian, kesiagaan Rara 
Lanjar bangkit kembali. Didengarnya seseorang men-
dekat ke arah tempatnya. Bukan tak mungkin penye-
rangnya kembali lagi. Biarpun bukan tak mungkin pu-
la orang lain yang datang.
Rara Lanjar bersiap. Dia jadi lega ketika me-
nyaksikan orang yang datang. Ternyata Pendekar Mu-
ka Bengis. Dihembuskannya napas.
"Kukira siapa kau, Orang Tua!" sapa Rara Lan-
jar.
"Memang kau pikir siapa?"
Rara Lanjar menarik napas, memadati rongga 
paru-parunya dengan udara sarat-sarat.
"Ada orang yang baru saja menyerangku...," la-
pornya.
Pendekar Muka Bengis menampakkan wajah 
cemas. Paras yang sudah pasti sekadar sandiwara. 
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Rara Lanjar mengge-
leng.
"Aku sendiri tak kurang apa-apa. Hanya...," Ra-
ra Lanjar ragu menyambung kalimat.

"Hanya apa?" desak Pendekar Muka Bengis. 
Seraya menunjukkan tumpukan lembaran ki-
tab yang sudah tak berbentuk kitab lagi, Rara Lanjar 
meneruskan.
"Hanya saja, kitab ini menjadi berantakan aki-
bat serangan orang usil tadi," katanya, menyembunyi-
kan peristiwa sesungguhnya, bahwa ada satu lembar 
yang telah hilang. Dia sendiri tak mengerti kenapa me-
rasa harus menyembunyikan hal itu. Bukankah dari 
Satria dia mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis 
adalah seorang tokoh golongan lurus? Rasanya ada 
semacam firasat tersamar yang menitah dia untuk tak 
mengungkap apa adanya.
"Kitab apa itu?" tanya Pendekar Muka Bengis.
"Kitab yang ditulis oleh salah seorang prabu Pa-
jajaran."
Pendekar Muka Bengis mengangguk-angguk 
dengan paras tawar, seolah-olah dia tak sedikit pun 
mempunyai kepentingan dengan kitab itu. Padahal, 
Manusia Makam Keramat jauh hari sebelumnya me-
merintah dia untuk setiap saat merebut kitab itu jika 
ada kesempatan.
Sekarang, tampaknya kesempatan sudah bera-
da di depan mata. Seperti juga kesempatan untuk me-
rebut Kail Naga Samudera dari tangan Satria Gendeng 
sebelumnya. Namun Pendekar Muka Bengis tidak bisa 
bertindak begitu saja tanpa perhitungan. Lagi-lagi ke-
sempatannya dihalangi siasat yang sebelumnya telah 
dijalani. Pendekar Muka Bengis tak mungkin mengor-
bankan siasat matang itu untuk merebut langsung ki-
tab dari tangan Rara Lanjar.
Sementara, Rara Lanjar masih saja bertanya-
tanya dalam hati, siapa orang yang belum lama berha-
sil melarikan satu lembar kitab?

"Kau mau menjelaskan, kenapa Satria meminta 
kau tetap di tempat ini?" tanya Pendekar Muka Bengis.
Rara Lanjar pun menceritakan alasan Satria 
menyuruhnya menanti di tempat tersebut. Singkat tak 
bertele-tele.
Pendekar Muka Bengis mendengarkan dengan 
bersit mata yang terus berubah-ubah. Jelas, seluruh 
kejadian yang diceritakan Rara Lanjar menjadi kepen-
tingan besar bagi 'majikan'nya, Manusia Makam Ke-
ramat....
EMPAT
SIANG telah jatuh. Senja sampai. Mentari mulai 
rebah. Satria belum tiba di perguruan Ki Damar Sakti. 
Perjalanannya tak membutuhkan waktu lama. Dari 
kaki Gunung Burangrang, tempat tujuannya memang 
tak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu setengah 
harian berjalan kaki. Karena menganggap urusannya 
cukup genting, Satria tidak berjalan. Dia berlari den-
gan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerbang perguruan sudah terlihat. Satria 
memperlambat larinya. Gerbang sepi. Tak tampak seo-
rang pun di sana. Bahkan tak ada suara. Seperti sua-
sana pemakaman yang dikungkung kebisuan semata. 
Layaknya sebuah perguruan, mestinya ada beberapa 
murid menjaga di depan gerbang. Ini tidak.
Satria Gendeng jadi curiga. Apa ada sesuatu te-
lah terjadi? Tanyanya membatin.
Tak ingin dipermainkan rasa penasaran, Satria 
memutuskan untuk tidak mengetuk gerbang. Dia me-
milih untuk melompati pagar. Masuk melalui gerbang 
bukan pilihan yang tepat di saat mencurigakan. Jika

telah terjadi sesuatu di dalam sana, ada kekacauan 
oleh orang golongan sesat berkesaktian tinggi misal-
nya, Satria bisa menjadi sasaran empuk. Karenanya, 
pendekar muda itu berjalan memutari pagar. Di bagian 
yang dianggap cukup tersudut, dia bersiap melompat. 
Wrrr!
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh 
kembali, pagar setinggi tujuh tombak terbuat dari kayu 
gelondongan Satria mencelat ke ubun-ubun pagar. 
Ringan, tanpa menimbulkan suara berarti. Di atas, se-
bentar dia mengawasi ke sekitar perguruan. Sayap kiri 
perguruan pun sesepi di depan gerbang. Tak ada tan-
da-tanda kehidupan. Ke mana mereka semua? Bisik 
Satria, makin dibingungkan. Dari atas, dia melompat 
turun ke balik pagar.
Tap!
Sewaktu tiba di tanah, ada sesuatu yang terja-
tuh dari pakaiannya. Sebuah benda kecil yang masih 
sulit ditentukan. Satria memungutnya. Dari dekat, dia 
memperhatikan teliti benda sebesar ujung ibu jari itu.
"Seperti batu...," gumamnya. "Tapi, ini bukan 
batu biasa. Dari warna dan sebagian permukaannya, 
aku seperti pernah melihat batu jenis ini."
Niat untuk menyelidiki keadaan perguruan Ki 
Damar Sakti untuk sementara urung. Perhatian si 
pendekar muda tanah Jawa tersedot ke arah benda 
kecil itu. Beberapa saat, Satria memutar-mutar benda 
itu pada jarinya. Matanya tak lepas memperhatikan. 
Dia sedang mengingat-ingat. Sampai akhirnya dia 
menggenggam benda kecil berupa pecahan batu. Pa-
rasnya berubah.
"Ya, aku ingat sekarang," cetusnya. Batu jenis 
itu pernah disaksikannya sebagai gada milik Gendut 
Tangan Tunggal. Baru dia ingat pula bahwa senjata

pendekar tua itu pun agak sompal ketika tiba di gubuk 
mereka di kaki Gunung Burangrang. Satria tak begitu 
memperhatikan karena terlalu gembira bertemu kem-
bali dengan pasangan pendekar aneh itu.
"Besar kemungkinan, batu ini adalah pecahan 
senjata milik Pak Tua Buncit. Mengapa ada di dalam 
pakaianku?" bisik Satria, mereka-reka lebih jauh.
Tiba-tiba parasnya berubah lagi.
"Ki Damar Sakti.... Tentu dia yang telah mema-
sukkan benda ini ke balik pakaianku ketika aku se-
dang membopongnya. Karena saat itu aku sedang ber-
lari, aku tak begitu menyadari."
Satria tercenung.
"Tapi sumpah mampus, aku masih tak menger-
ti apa maksudnya?" bisiknya, merutuk.
Kendati masih menemui jalan buntu, Satria te-
tap yakin pecahan gada itu merupakan satu mata ran-
tai yang akan menghubungkan sebuah teka-teki. Teru-
tama teka-teki mengenai kematian Ki Damar Sakti. 
Juga suasana perguruan yang begitu lengang.
Perguruan. Satria baru sadar kembali niatnya 
untuk menyelidiki tempat itu.
Perlahan-lahan, Satria melangkah di pekaran-
gan sayap kiri perguruan itu. Langkahnya diringankan. 
Dirinya disiagakan. Dia tak mau kecolongan sedikit 
pun.
Sampai ke bagian kiri bangunan perguruan, tak 
terjadi apa-apa. Satria tak juga menemukan apa pun.
Lalu pendekar pewaris kesaktian dua tokoh ke-
namaan tanah Jawa itu berputar ke arah halaman de-
pan perguruan.
Tiba di sana, dia dibuat terbelalak besar-besar. 
Berpuluh-puluh bangkai murid perguruan bergelim-
pangan. Sebagian timpang-tindih.

Wajah Satria meringis, biarpun sebagai orang 
persilatan sudah seringkali menelan pemandangan se-
perti itu. Sewaktu melangkah lebih dekat, hidungnya 
disengat bau busuk. Kepalanya berkunang-kunang. 
Kalau saja dia tak segera mengatur pernapasan, bisa-
bisa dia muntah di tempat itu juga.
Ketika makin dekat, Satria lebih jelas menyak-
sikan seluruh mayat murid perguruan sudah dirubun-
gi lalat.
"Mereka mati telah lama," duga Satria. "Siapa 
manusia biadab yang telah membantai mereka seperti 
sekawanan binatang seperti ini?" dengusnya.
Salah satu mayat diperhatikan. Di kepalanya, 
Satria menemukan luka memar yang mencekung ke 
dalam tanpa mengakibatkan kulit terkoyak. Sudah 
pasti tulang tengkorak orang itu remuk hingga mene-
kan bubur otaknya! Seperti bekas hantaman benda 
tumpul yang dilakukan oleh seorang ahli. Mayat lain 
diteliti. Sebagian di antaranya menderita luka serupa. 
Hanya pada bagian berbeda-beda. Sebagian mayat 
yang lain menderita luka pukulan tangan kosong me-
matikan.
Ketika itulah, Satria teringat kembali pada batu 
pecahan gada yang terjatuh dari balik pakaiannya be-
lum lama.
Matanya bersinar ragu.
"Apa mungkin semua ini perbuatan Gendut 
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis?" desis-
nya, antara percaya dan tidak. "Mungkinkah menje-
lang ajalnya Ki Damar Sakti hendak mengatakan hal 
itu padaku?"
Lalu Satria seperti tersengat sesuatu.
"Rara Lanjar," bisiknya gamang.
Gadis itu ditinggal sendiri. Baiklah jika du

gaannya keliru. Tapi bagaimana kalau benar? Jika be-
nar bahwa pembunuhan Ki Damar Sakti serta pem-
bantaian murid-muridnya dilakukan Gendut Tangan 
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, artinya Rara Lan-
jar pun dalam bahaya besar.
Pendekar muda itu terbayang peristiwa yang 
pernah dialaminya ketika menghadapi tokoh sesat pe-
rempuan yang berhasil menguasai diri Tresnasari, ga-
dis yang dekat di hatinya. Kala itu, Nini Jonggrang 
berhasil menenung Tresnasari sehingga diri gadis itu 
tak lebih sebagai budak tak punya hati. Kepribadian-
nya telah dirampas kekuatan hitam. (Bacalah episode 
sebelumnya : "Perempuan Pengumpul Bangkai" dan 
"Kiamat di Goa Sewu"!). Bukan tidak mungkin Gendut 
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis pun men-
galami hal serupa.
"Bisa saja ada seseorang yang mendalangi dan 
memanfaatkan dua pendekar itu...." 
Sadar kemungkinan tersebut bisa saja terjadi, 
Satria Gendeng segera menggenjot tubuh untuk kem-
bali ke kaki Gunung Burangrang.
* * *
Sepasang manusia berjalan meninggalkan Per-
guruan Belalang Putih. Wajah keduanya suntuk. Ada 
sesuatu yang membuat mereka begitu sebal, kesal, 
jengkel, dan entah apa lagi. Mereka bisa disebut pa-
sangan yang bertolak-belakang. Seperti batu sungai 
dengan berlian, atau seperti danau dengan selokan. 
Pokoknya yang semacam itu!
Pasalnya, si perempuan terlihat begitu mena-
wan. Cantik di usia yang terbilang cukup matang. Me-
narik dengan penampilan yang dirias apik. Mengena

kan gaun sutera putih yang mempertontonkan kulit 
kuning halusnya. Rambutnya yang panjang mayang 
pun dihiasi ronce bunga melati.
Pasangannya, seorang lelaki cebol tingginya tak 
lebih dari pinggul tebal si wanita. Rambutnya keriting. 
Wajahnya seperti perempuan. Sebaliknya, matanya se-
perti orang yang hendak menanti kiamat di depan ba-
tang hidung. Ah, bukan... bukan! Lebih mirip tatapan 
seorang berhati dengki yang selalu ingin bermusuhan 
dengan tetangganya. Misalnya, kalau tetangga beli ini 
itu, orang itu yang mendelik bengis. Kalau tetangga 
senang sedikit, orang itu juga mendelik-delik mengeri-
kan. Nah seperti itu tatapan si lelaki cebol. Di ikat 
pinggangnya terselip sepasang senjata logam berben-
tuk cakar mata tiga.
Bukankah tak salah kalau mereka bisa diiba-
ratkan dengan batu sungai dengan berlian? Yang satu 
buruk, yang lain menawan....
Bicara soal buruk pada jasmani, tak ada salah-
nya. Siapa yang berani menyalahkan kalau nyatanya 
Tuhan yang sudah menentukan dan menciptakan? Ja-
di adil kalau Tuhan tak menilai orang dari jasadnya,
melainkan di batinnya. Kalau soal buruk di hati, ini 
yang bikin bumi jadi 'gerah' untuk dihuni.
Kata orang, buruk di 'luar' bukan berarti buruk 
di 'dalam'. Durian saja punya kulit mengerikan, tapi 
isinya tidak begitu. Orang macam begini, mesti dika-
gumi. Ada juga sebaliknya. Manis di muka, tapi pahit 
di dalam. Mirip-mirip pemimpin muka dua yang ker-
janya mengambil hati rakyat untuk terus dipilih. Orang 
macam ini, mestinya dimasukkan ke kandang macan 
yang belum makan selama sebulan! Sayangnya, ba-
nyak juga orang sudah buruk di dalam, buruk juga di 
luar. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Orang sema

cam ini, rasanya patut dikasihani....
Kembali pada pasangan manusia ini. Mereka 
adalah Penjaga Gerbang Neraka dengan Dewi Melati. 
Setelah tak mendapat hasil mencari keterangan dari Ki 
Manda Langit di Perguruan Kuda Terbang, mereka be-
rangkat ke perguruan Belalang Putih. Mereka berniat 
untuk menanyakan perihal kitab tulisan seorang pra-
bu Padjajaran yang telah dititipkan pada Ki Arga Pasa. 
Karena Ki Arga Pasa selaku Pemimpin Perguruan Bela-
lang Putih sudah tiada, mereka berniat menanyakan 
hal itu pada murid-murid kepercayaan Ki Arga Pasa. 
(Untuk mengetahui perjalanan terakhir mereka, baca-
lah episode : "Nisan Batu Mayit"!).
Sampai di sana mereka mendapat jawaban 
yang tak diharapkan sama sekali dari Palguna, murid 
kepercayaan Ki Arga Pasa. Kata Palguna, kitab incaran 
mereka telah lebih dahulu direbut seorang bertopeng 
kayu Arjuna.
Mulanya mereka tak percaya. Tahu sendiri, 
Penjaga Gerbang Neraka termasuk orang yang selalu 
saja curiga dengan orang lain. Dia pasti sudah men-
gamuk lebih mengerikan dari amukan raja siluman 
pasar ikan, kalau saja Dewi Melati tak cepat mence-
gahnya. Namun begitu, Palguna masih sempat mene-
rima tamparan di pipinya. Tidak terlalu sakit. Bagai-
mana bisa merasa sakit kalau dia langsung semaput?
Lalu Dewi Melati menjalankan aksi ancam-
mengancam, satu jenis pekerjaan manusia brengsek 
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan 
tujuan. Beberapa murid dihajarnya sampai jungkir ba-
lik. Dia mengancam akan mulai membunuhi mereka 
jika tak mengatakan di mana kitab itu disimpan.
Karena jawaban semua murid itu-itu juga, sa-
ma seperti jawaban Palguna, akhirnya Dewi Melati per


caya. Kendati pun ada yang dibunuh, yang lain pasti 
tetap berkata serupa.
Artinya, mereka memang telah kedahuluan se-
seorang. Itu yang membuat tampang mereka beranta-
kan sekeluarga dari Perguruan Belalang Putih.
Mereka terus berjalan. Sampai tiba di batas de-
sa Rangkas, perjalanan keduanya dihadang oleh seseo-
rang. Lelaki berjubah hitam. Mengenakan caping lebar 
pada kepalanya.
"Jangan menghalangi jalanku, Lelaki Berjubah!" 
hardik Dewi Melati, melengking. Sudah suntuk, ada 
yang cari perkara. Bagaimana dia tak jadi mangkel.
Orang berjubah diam saja. Tuli atau pura-pura 
tuli, tak jelas.
"Menyingkir, atau harus kulempar?!" ancam 
Dewi Melati, sengit.
Jangankan menyahut, menaikkan wajah saja 
tidak. Orang bertudung tetap tak beranjak. Berdiri dia 
dengan kesan angkuh. Tangannya bersedekap di dada.
Dewi Melati jadi mengkelap.
"Kau cari mampus! Hih!"
Diawali pekikan menyumpah, perempuan yang 
terkenal dengan kegenitan dan kebinalannya itu men-
gayunkan rambut.
Wusshh!
Kuntum-kuntum bunga melati berhamburan. 
Cepat, gesit, nyaris tak terlihat. Setiap kuntum meng-
hasilkan dengusan tajam di udara. Jika tergabung, 
akan terdengar deru yang serupa dengan suara kepa-
kan seekor rajawali. Bagi seorang tokoh atas berpen-
dengaran jeli, dia bisa menilai bahwa kekuatan setiap 
kuntum bisa menembus dua tubuh manusia sekali-
gus.
Enteng saja, orang berjubah bergerak. Diang

katnya ujung jubah sampai menutupi seluruh badan 
dan wajahnya.
Tap tap tap!
Ketika mengenai permukaan jubah, seluruh 
kuntum melati seperti kehilangan kekuatan. Jangan-
kan menembus badan, kain saja tidak. Seolah kekua-
tannya terserap seketika ke dalam kain. Lalu, satu 
persatu bunga-bunga melati itu berjatuhan.
Wajah Dewi Melati jadi berangasan. Mulutnya 
menyumpah-nyumpah. Tak jelas apa yang diucapkan-
nya. Dia sebenarnya terkejut kalau serangan senjata 
rahasianya yang ampuh dan ditakuti oleh banyak ka-
langan hanya sempat 'mengecup' permukaan kain.
Menyaksikan kejadian itu, Penjaga Gerbang Ne-
raka melotot. Dia mulai kalap pula. Kalau dia mulai 
kalap, jangan harap ada nyawa lolos. Selama ini belum 
ada satu pun orang bisa selamat dari amukannya, ke-
cuali Dewi Melati turun tangan.
Setelah senjata rahasianya dipencundangi, ma-
na sudi Dewi Melati menahan-nahan amukan lelaki 
cebol (Yang menurut hikayat adalah suami angkatnya). 
Sama saja membodohi diri sendiri, pikirnya. Justru dia 
sengaja memanas-manasi Penjaga Gerbang Neraka un-
tuk segera melabrak orang berjubah. Dasar perempuan 
tukang 'ngompor'!
Orang berjubah menurunkan jubahnya.
"Tahan dia, Perempuan! Aku tak bernafsu un-
tuk bertarung dengan kalian."
"E, rupanya kau tak tuli atau bisu, heh?" cibir 
Dewi Melati sinis.
"Dengarkan aku, dan katakan pada si cebol itu 
setiap perkataanku. Aku akan memberikan sesuatu 
yang sedang kalian cari!" sergah orang berjubah.
Kening Dewi Melati terangkat.

"Apa yang kau ketahui tentang 'sesuatu' yang 
kami cari?!" tanyanya seraya mencegah Penjaga Ger-
bang Neraka untuk melabrak orang berjubah.
"Kitab tulisan seorang prabu Pajajaran," ujar 
orang berjubah. Singkat, datar, namun mengena sasa-
ran.
"Kau mau kami percaya bualanmu itu? Heh?" 
cibir Dewi Melati seraya melenggokkan pinggul. Tan-
gannya berkacak pinggang. Liukan pinggulnya jadi 
kentara jelas. Menggiurkan.
"Katakan saja pada lelaki cebol itu. Bukankah 
hanya dia yang berkepentingan!"
"Kau kira aku jongosmu?!"
"Baik. Kalau itu maumu, aku akan pergi. Terse-
rah kau apakah mau menerima kesempatan yang ku-
tawarkan," ancam orang berjubah seraya membalikkan 
badan.
Dewi Melati terpancing.
"Eh, tunggu-tunggu! Biar aku katakan pa-
danya!" seru Dewi Melati.
Orang berjubah mengurungkan niat untuk per-
gi. Meskipun dia tak berniat sungguh-sungguh.
Dewi Melati pun mulai berbicara dengan baha-
sa isyarat pada Penjaga Gerbang Neraka. Paras lelaki 
cebol itu berubah mendengar penjelasan perempuan di 
sisinya. Ada gambaran gejolak semangat menggebu-
gebu.
"Dia bertanya padamu, apa kau dapat membuat 
kami percaya?" kata Dewi Melati, menerjemahkan per-
kataan isyarat Penjaga Gerbang Neraka.
Dengan gerak yang terlihat terlalu hemat, orang 
berjubah mengeluarkan segulungan kertas dari balik 
pakaiannya. 
Gulungan berwarna merah.

Dia membentang gulungan di depan wajah. La-
lu membacakan satu baris yang tertera paling atas. 
Sementara itu, Dewi Melati terus menerjemahkan se-
tiap kata yang keluar dari mulut orang berjubah.
"Itu memang lembaran gulungan kitab sang 
Prabu Pajajaran!" kata Penjaga Gerbang Neraka den-
gan isyarat tangannya.
"Tapi katamu, kau hendak mencari kitab. Bu-
kan selembar gulungan kertas!" kilah Dewi Melati, juga 
dengan isyarat tangan.
"Aku tak membutuhkan seluruh isi kitab itu! 
Aku hanya membutuhkan satu lembar isi kitab itu. 
Dan lembaran itu yang kini di tangannya!" 
"Kenapa begitu?"
"Karena di dalamnya ada rahasia bagaimana 
aku dapat mengalahkan kesaktian Manusia Makam 
Keramat! Tanyakan padanya, imbalan apa yang dia 
minta agar aku dapat mendapatkan lembaran itu!"
Dewi Melati menyampaikan ucapan Penjaga 
Gerbang Neraka pada orang berjubah.
"Katakan padanya, kalau dia hendak menda-
patkan lembaran ini, dia harus memenuhi satu syarat. 
Dia harus menukar lembaran ini dengan kepala Satria 
Gendeng?!"
"Apaaa?!" Dewi Melati berteriak melengking. 
Membunuh Satria Gendeng? Pemuda pujaannya itu? 
Pendekar yang tampan dan menggemaskan itu? Yang 
membuatnya 'ngebet' minta ampoooon???? Gila apa?!
***

LIMA
SATRIA Gendeng sampai kembali di kaki Gu-
nung Burangrang. Gubuk tak dihuni siapa-siapa. Tak 
ada juga tanda-tanda mencurigakan seperti dikhawa-
tirkannya. Karena itu, si pendekar muda menduga be-
lum ada seorang pun kembali.
Rara Lanjar tentu masih di tempat di mana Sa-
tria menemukan tiga benda di lobang pohon. Pendekar 
Muka Bengis tentu sudah tiba pula di sana, lama sebe-
lum Satria kembali. Jadi, kemungkinan terburuk bisa 
saja telah terjadi jika benar Pendekar Muka Bengis te-
lah berubah menjadi manusia sesat. Begitu khawatir-
nya Satria pada Rara Lanjar. Kalau menilik bagaimana 
mengenaskannya cara kematian murid-murid Ki Da-
mar Sakti, Satria jadi membayangkan kejadian menge-
naskan itu akan menimpa Rara Lanjar pula. Untuk 
saat ini, dia hanya bisa berharap kekhawatirannya ke-
liru.
Sementara itu, Gendut Tangan Tunggal belum 
juga kembali. Jika semula Gendut Tangan Tunggal 
mengatakan hendak mencari tabib, sekarang Satria 
meragukan alasan itu. Tak mungkin dia pergi begitu 
lama hanya untuk mendapatkan seorang tabib. Satria 
bahkan tak yakin lagi apakah kepergian Gendut Tan-
gan Tunggal benar-benar hendak mencari tabib. Dia 
curiga ada tujuan lain yang belum bisa diduganya 
hingga kini.
Kalau benar mereka berubah perangai, sung-
guh menjadi satu pertanyaan besar bagi si pendekar 
muda tanah Jawa. Soal bagaimana cara mereka men-
jadi sesat, Satria tak terlalu mempertanyakan. Yang 
sungguh akan membuatnya bertanya-tanya selalu,

siapakah orang yang telah menjelmakan mereka men-
jadi binatang biadab seperti itu?
Bulu kuduk Satria meremang ketika dia ingat 
pada Manusia Makam Keramat. Bukan tak mungkin 
perubahan sifat dan perangai dua pendekar aneh itu 
adalah hasil pekerjaannya. Menurut riwayat, dulunya 
Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat itu adalah 
orang yang menuntut berbagai macam ilmu. Bisa saja 
dia telah menganut semacam ajian, atau telah mempe-
lajari sebuah ramuan yang dapat mengendalikan piki-
ran dan kemauan seseorang di bawah perintahnya.
Betapa menggidikkan jika benar begitu. Tentu 
dia bisa berbuat banyak untuk menciptakan huru-
hara besar di dunia persilatan. Misalnya saja, dia bisa 
memecah belah partai-partai golongan lurus hingga 
saling membantai satu dengan yang lain. Kalau sudah 
begitu, yang akan muncul cuma malapetaka besar!
Satria tersadar dari ketercenungan. Celaka tu-
juh keliling! Kenapa aku jadi melupakan Lanjar! Ru-
tuknya dalam hati sambil bergegas menggenjot tubuh. 
Dipacunya segenap kemampuan ilmu lari cepat yang 
dimiliki. Dia seperti sudah tak mau ambil peduli pada 
apa-apa lagi. Bahkan kalaupun setan botak mengha-
dangnya, tetap dia tak peduli.
Senja akhirnya luruh. Tak ada yang bisa men-
cegah malam merambah. Dari persada Timur, kegela-
pan mulai menjajah. Rara Lanjar dan Pendekar Muka 
Bengis masih dalam perjalanan menuju gubuk di kaki 
Gunung Burangrang.
Ketika itu, Pendekar Muka Bengis berubah pi-
kiran menyadari Gendut Tangan Tunggal tak kunjung 
kembali. Dia mulai mengendusi sesuatu yang tak beres 
telah terjadi terhadap diri Gendut Tangan Tunggal. 
Kekhawatirannya merangas dalam diri, mengimbangi

kecurigaannya. Dia curiga Ki Damar Sakti telah mem-
buka mulut pada Satria Gendeng ketika pendekar mu-
da itu hendak membawanya ke tabib.
Terpikir olehnya untuk segera bertindak. Se-
bab, jika Gendut Tangan Tunggal tak juga kembali 
menyampaikan perintah dari Manusia Makam Kera-
mat, artinya dia harus segera mengambil tindakan 
sendiri. Setidaknya, membawa Rara Lanjar ke Makam 
Keramat Maut untuk diserahkan kepada sang Majikan. 
Tindakan itu lebih baik diambil, ketimbang seluruh
rencana gagal jika ternyata benar Satria Gendeng telah 
mengetahui kejadian sebenarnya!. Lagi pula, bukan-
kah dengan bertindak sekarang, dia akan menda-
patkan dua mangsa sekaligus yang begitu diharapkan 
sang Majikan? Yang pertama Rara Lanjar. Sedang yang 
kedua, kitab tua di tangannya....
Rara Lanjar melangkah di depan. Pendekar 
Muka Bengis diam-diam terus mengawasinya dari be-
lakang. Matanya tak putus-putus menyemburatkan 
bersit jahat. Yang terbetik dalam benaknya cuma men-
cari kesempatan Rara Lanjar lengah.
Dan saatnya pun tiba.
Manakala gadis di depannya sedang memperha-
tikan lembaran kitab di tangannya, jauh lebih cepat 
dari terkaman seekor macan lapar, Pendekar Muka 
Bengis menghambur ke depan. Sebagai salah seorang 
tokoh jajaran atas dunia persilatan, tentu saja gerakan 
cepat yang dilakukan secara mendadak akan amat su-
lit untuk dihindari.
Naluri Rara Lanjar sempat merasakan adanya 
ancaman dari arah belakang. Sayangnya, dia tak cu-
kup sempat untuk membalikkan badan dan menghin-
darinya.
Tuk!

Satu totokan tepat mendarat di jalan darah ga-
dis keturunan salah seorang Prabu Pajajaran itu. Tu-
buhnya lemas seketika. Sebelum terjatuh, Pendekar 
Muka Bengis sudah menyambarnya. Sekaligus me-
nyambar lembaran-lembaran kitab di tangannya.
Setelah itu, dibawanya Rara Lanjar pergi.
* * *
Sungsang-sumbel Satria mengaduk-aduk selu-
ruh wilayah kaki Gunung Burangrang. Sampai malam 
semakin matang, Rara Lanjar tak juga ditemukan. 
Kekhawatirannya berubah menjadi kegusaran. Sedang 
kecurigaannya telah menjelma menjadi bukti bahwa 
Rara Lanjar telah dalam rangkulan bahaya!
Sambil menyumpah-nyumpahi diri sampai mu-
lutnya kering, Satria kembali ke gubuk. Kalau sudah 
begitu, apa yang bisa dilakukan kecuali menyumpah-
nyumpah? Kalaupun mau mengamuk, siapa yang ha-
rus diamuki? Genderuwo penunggu Gunung Buran-
grang?
Pikir punya pikir, Satria memutuskan untuk 
menjernihkan dulu pikirannya yang sedang kalut. 
Dengan segarnya pikiran, dia dapat mencari pemeca-
han masalah lebih jernih dan cermat. Betapa pun be-
sar kekhawatirannya terhadap diri Rara Lanjar, toh dia 
harus menyadari bahwa ketergesaan dan kebernafsuan 
biasanya tak akan menghasilkan apa-apa.
Baru tiba di muka gubuk, seseorang berseru di 
kejauhan.
"Anak Muda, aku sudah kembali!"
Satria menoleh. Dalam keremangan sinar ben-
da-benda langit, disaksikannya Gendut Tangan Tung-
gal datang dengan seseorang. Seorang kakek tua berjubah putih. Sewaktu menyaksikan, Satria dibuat ter-
peranjat. Bagaimana tidak, kalau kakek berjubah pu-
tih itu pernah ditemuinya beberapa waktu lalu di ha-
laman Perguruan Belalang Putih? Seorang yang bisa 
disebut sebagai tokoh golongan tua yang kesaktiannya 
terlalu sulit diukur. Waktu itu, si kakek memperingati 
kedatangan Manusia Makam Keramat sehingga Satria 
Gendeng dan Rara Lanjar dapat meloloskan diri ke ka-
ki Gunung Burangrang. (Untuk lebih jelas, bacalah ep-
isode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau...," gumam Satria.
Si kakek berjenggot putih dengan rambut dige-
lung kecil di atas kepala tersenyum. Samar saja. Na-
mun sudah cukup untuk menebarkan pesona wibawa 
yang kuat.
"Apa kabar, Anak Muda?" sapa si kakek.
Satria terdiam. Pikirannya masih diusik oleh 
dugaan-dugaan terhadap diri Gendut Tangan Tunggal. 
Kalau sekarang pendekar tua berperut besar itu da-
tang dengan kakek ini, apa tak mungkin kakek ini pun 
sebenarnya punya niat busuk di balik wajahnya yang 
selalu tampak ramah dan bening? Ini dunia, tempat di 
mana tipu daya dan kepalsuan tumbuh terus sepan-
jang masa. Apalagi sekadar kepalsuan wajah. Yang tak 
bisa dimengerti, kenapa dulu dia memperingati Satria 
dan Rara Lanjar akan kedatangan Manusia Makam Ke-
ramat?
"Mari ikut aku ke dalam gubuk," ajak si kakek 
seraya merangkul bahu Satria.
Anehnya, Satria merasa tak pantas menolak 
ajakan itu. Bahkan tak kuasa untuk menolaknya. 
Sampai kekhawatiran Satria sebelumnya pada Rara 
Lanjar bagai terpental begitu saja dari benaknya. Apa-
kah ini yang] orang sebut 'kekuatan prabawa'? Atau

kah ini tenung yang telah melalap bulat-bulat jiwa 
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis 
hingga mereka berubah biadab? 
Di belakang mereka, Gendut Tangan Tunggal 
menguntit.
* * *
Apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri 
Gendut Tangan Tunggal?
Waktu itu si pendekar tua berperut gentong 
tengah berjalan kembali ke kaki Gunung Burangrang. 
Tak ada seorang pun bersamanya. Tak seorang tabib 
pun ditemui. Berniat untuk mencari saja tidak. Jika 
dia harus kembali juga ke kaki Gunung Burangrang, 
semata hanya karena hendak menyampaikan perintah 
Manusia Makam Keramat pada Pendekar Muka Bengis 
untuk menunda rencana melarikan Rara Lanjar ke 
Makam Keramat Maut. Dan kalaupun harus kembali 
dengan membawa tabib agar tidak dicurigai, dia akan 
mencari seseorang yang malah bisa memberi ramuan 
untuk mempercepat kematian Ki Damar Sakti.
Sedang melangkah, tiba-tiba saja pendekar go-
longan tua yang jiwanya sedang dikuasai oleh penga-
ruh Manusia Makam Keramat itu merasakan ada se-
suatu datang dari arah belakang. Telinganya tak me-
nangkap desiran angin sedikit pun. Hanya saja nalu-
rinya berkata lain.
Gendut Tangan Tunggal berbalik sigap.
Ternyata memang tak ada siapa-siapa.
Dia menyumpah-nyumpah dalam dan kental. 
Baru saja membalikkan badan hendak meneruskan 
langkah, dia dibuat terkesiap. Seseorang telah berdiri 
tepat dua tindak di depannya.

"Keparat Busuk, siapa kau?!" makinya, gusar 
bukan main karena merasa baru saja dipermainkan. 
Orang di depannya hanya tersenyum.
Di mata Gendut Tangan Tunggal, senyuman itu 
tak lebih dari ejekan. Membuatnya muak, hingga lang-
sung membangkitkan kebuasan hewani yang belakan-
gan ini begitu membludak dalam hatinya.
"Mampuslah kau!"
Diterjangnya orang itu dengan satu hantaman 
gada. Sasarannya mematikan. Langsung ke batok ke-
pala orang di depan.
Wukh!
Orang itu tak bergerak. Gada besar mengerikan 
pun terayun telak menuju sasaran. Gendut Tangan 
Tunggal bahkan telah yakin gadanya benar-benar 
mengenai sasaran.
Yang ganjil, biarpun gada itu telah menghan-
tam kepala orang di depan, Gendut Tangan Tunggal 
tak mendengar suara apa-apa kecuali dengus senja-
tanya. Mestinya terlahir suara berderak keras tengko-
rak yang retak, atau berantakan di dalam. Ini tidak. 
Bahkan tangan kanannya tak merasakan benturan 
apa-apa.
Gendut Tangan Tunggal menggeram. Dia pena-
saran. Disusulnya satu hantaman lagi. Ke bagian yang 
tak kalah mematikan, selangkangan orang itu.
Wukh! 
Kejadian tadi terulang. Sasaran tak bergerak. 
Senjata tepat mengenanya. Tapi tak ada suara apa-
apa. Tak juga dirasakan benturan. Orang itu tetap 
berdiri tegak tanpa kurang suatu apa pun. Tubuhnya 
seolah dibentuk dari asap yang terangkum tanpa tersi-
bak angin.
Gendut Tangan Tunggal mulai bimbang. Mesti

kah dia melakukan serangan lanjutan? Atau dia hanya
keliru menempatkan hantaman. Tapi bagaimana 
mungkin tokoh sekelas dia dapat keliru? Tangan ka-
nannya yang terlatih mempergunakan gada sanggup 
menghantam seekor burung walet yang sedang melin-
tas cepat di atas kepalanya. Apa yang salah? Ataukah 
dia tak menyadari kalau orang yang berdiri di depan-
nya mungkin saja bisa bergerak lebih cepat dari kedi-
pan mata?
Nafsu kebinatangan dalam hatinya makin 
membludak-bludak. Bukannya gentar, Gendut Tangan 
Tunggal malah menjadi kalap.
"Heaaaa!!!"
Dihantaminya berkali-kali tubuh orang itu. Da-
lam satu helaan napas saja, dia dapat mengayun gada 
belasan kali. Dan sejauh itu, semua hantamannya tak 
luput. Tapi tetap tak mengusik orang yang dijadikan 
sasaran.
Mengucur sudah hantaman. Menghujan.
Menggila gada diayunkan.
Benda yang beratnya sama dengan empat bayi 
gemuk itu seperti sebatang lidi yang demikian ringan. 
Sampai pada saatnya, Gendut Tangan Tunggal kehabi-
san tenaga sendiri. Nafasnya tersengal-sengal. Perut-
nya turun naik jauh lebih hebat. Sepertinya dia sudah 
hendak mati di tempat. Banjir pakaiannya oleh kerin-
gat.
Dengan tenang, orang di depannya mengulur-
kan tangan. Wajah Gendut Tangan Tunggal diusap, 
dan dia pun semaput!
"Kau terkena ramuan rahasia milik Arya Sonta. 
Aku akan mencoba menolongmu," bisik orang itu.
Tanpa perlu mengalami kesulitan dengan ba-
dan seberat bapak moyang kerbau, orang itu memang

gul tubuh Gendut Tangan Tunggal. Dibawanya pergi 
dari tempat itu.
ENAM
DUA puluh dua tahun lalu, datang seorang le-
laki tua kepada mendiang Ki Arga Pasa. Dia meni-
tipkan seorang bayi perempuan kecil. Karena ketua 
Perguruan Belalang Putih itu tak pernah dikarunia 
seorang anak pun dari kandungan istrinya, maka den-
gan suka cita, dia dan istrinya pun menerima titipan 
mungil itu.
Selain bayi, lelaki tua juga menitipkan satu ki-
tab di dalam peti kayu.
Malam waktu itu. Si lelaki tua diterima Ki Arga 
Pasa dan istrinya di ruang pendapa perguruan yang 
belum begitu lama dibangun. Saat itu, muridnya masih 
terhitung dengan jari. Salah seorang di antara mereka 
adalah Palguna, bocah kecil telantar yang dipungut 
oleh Ki Arga Pasa di kotaraja Pajajaran.
Di atas gelaran tikar pandan lebar, mereka du-
duk. Ki Arga Pasa ditemani istri di sampingnya. Se-
mentara tamunya duduk bersila berhadapan dengan 
mereka.
"Kenapa engkau memilih kami untuk dititipi 
semua ini, Orang Tua?" tanya Ki Arga Pasa waktu itu. 
Sebagai seorang yang mengemban amanat, apalagi 
menyangkut hidup-mati seorang anak manusia, tentu 
saja dia merasa perlu menanyakan alasan lelaki tua 
itu.
"Aku memilih kau dan istrimu, karena aku per-
caya pada diri kalian," kata orang tua itu lagi.
"Percaya? Bagaimana bisa? Sementara bertemu

saja baru kali ini...," tukas Ki Arga Pasa ditingkahi ta-
wa kecil, sedikit berkelakar. Lelaki tua tersenyum.
"Dua tiga bulan sebelum hari ini, aku telah 
mengawasi kehidupan kalian hampir setiap hari. Aku 
tahu tindakanku itu lancang. Tapi, aku hanya ingin 
meyakinkan bahwa bayi ini dapat dibesarkan dalam 
lingkungan yang baik. Bukankah lingkungan pula 
yang amat besar pengaruhnya dalam membentuk pri-
badi seorang anak manusia?" 
Ki Arga Pasa mengangguk-angguk. Istrinya pun 
begitu. Dalam hati, mereka agak risih karena secara 
tak langsung tamu mereka telah menganggap mereka 
adalah sepasang suami-istri yang baik. Pribadi-pribadi 
yang baik, tentunya akan membangun satu lingkun-
gan yang baik.
"Lalu, kalau boleh kami tahu, anak siapa sebe-
narnya bayi ini, Orang Tua?" susul Ki Arga Pasa.
Lelaki tua terdiam sebentar. Wajahnya keruh 
oleh kesan duka. Garis-garisnya terlipat lebih banyak. 
Pandangannya terjatuh ke tikar pandan.
"Itulah yang amat kusesali. Kedua orangtua 
bayi ini telah meninggal dunia," ucapnya kemudian 
dengan nada melandai.
"Kasihan sekali...," desah istri Ki Arga Pasa, tu-
rut prihatin.
"Apa penyebabnya?" lanjut Ki Arga Pasa, ber-
tanya lagi.
"Sulit diketahui penyebab kematian kedua 
orangtua bayi kecil perempuan ini. Kedua orangtuanya 
mendadak meninggal dunia pada suatu malam. Mere-
ka mati dalam keadaan tercekik saat tidur. Tetangga 
mereka yang menemukan mengatakan bahwa wajah 
mereka membiru. Tangan mereka masih pada leher, 
seakan mati berkutat untuk melepaskan cekikan...."

"Kematian yang aneh...," desis Ki Arga Pasa.
Bahu istri di sebelahnya mengedik-ngedik. Dia 
bergidik. Tangannya mengusap tengkuk sendiri, men-
gikuti meremangnya bulu kuduk. Wajahnya meringis-
ringis.
"Apakah sudah diketahui sebabnya?" tanya istri 
Ki Arga Pasa. Takut, namun penasaran. Bergidik, tapi 
terlalu ingin tahu.
Si lelaki tua menggeleng.
"Aku mengira karena masalah keturunan...," 
katanya, seperti mendesah.
"Apa maksudmu?"
"Salah seorang kakek buyut bayi itu, pernah 
berurusan dengan seorang durjana sakti madraguna. 
Orang itu dibunuhnya. Saat itu, si orang durjana ber-
sumpah akan membunuh setiap keturunannya."
"Bagaimana seseorang bisa membunuh kalau 
dia sendiri sudah mati terbunuh?" sergah istri Ki Arga 
Pasa. Seperti kebanyakan perempuan, dia amat terta-
rik dengan hal-hal yang mengusik perasaannya.
"Karena orang durjana itu adalah penganut il-
mu-ilmu sesat. Tak terhitung lagi ilmu sesat yang di-
tuntutnya. Selama hidup, dia seperti seorang pemburu 
kesaktian yang tak pernah puas untuk terus menam-
bah dan menambah kekuasaan dirinya."
"Keserakahan manusia...," simpul Ki Arga Pasa.
"Salah satu ilmu sesat yang dianutnya mem-
buat sukma sesatnya tak diterima oleh 'gerbang' alam 
kubur. Entah sampai kapan. Selama sukma terkutuk-
nya terkatung-katung di batas dua alam, dia punya 
kesempatan sekali-kali untuk menelusup masuk ke 
alam nyata. Saat seperti itulah dia membunuh keturu-
nan keluarga lawannya saat mereka tertidur. Hanya 
saat seperti itu, dia bisa menerobos garba sukma orang

yang hendak dibunuhnya dengan cara gaib. Kedua 
orangtua bayi perempuan ini adalah keturunan keem-
pat yang mengalami nasib serupa."
"Jadi, apa hanya tinggal bayi ini saja yang ma-
sih hidup dari keturunan orang itu?" tanya Ki Arga Pa-
sa.
"Benar sekali."
Ki Arga Pasa menggeleng-gelengkan kepala. Is-
trinya latah ikut-ikutan. Bagi Ki Arga Pasa, akan se-
makin berat saja gambaran amanat yang harus dipi-
kulnya. Artinya, dia tak hanya harus membesarkan, 
merawat, dan mendidik. Tapi juga melindungi bayi pe-
rempuan itu dari jangkauan sukma sesat yang setiap 
saat akan kembali ke alam nyata untuk membunuh-
nya.
"Bagaimana aku dapat melindungi Cah Ayu ini 
agar selamat dari kekuatan jahat sukma itu," keluh-
nya, bergumam. Diliriknya bayi kecil yang tertidur le-
lap di dalam ranjang berselimut kulit domba. Keda-
maian terangkum dalam parasnya yang masih begitu 
halus. Menyaksikannya seperti menatap kemurnian 
sebuah kehidupan.
Ki Arga Pasa menghela napas. Sanggupkah aku 
melindunginya? Tanyanya membatin. Resah.
Lelaki tua memperhatikan keresahan Ki Arga 
Pasa. Lalu katanya, "Kau tak perlu khawatir pada ke-
selamatannya."
"Bagaimana aku tak khawatir kalau aku mera-
sa tak cukup punya kekuatan untuk melindunginya 
dari kekuatan sukma sesat itu?"
"Kalau kau tak punya, kenapa kau tak memo-
hon Pemilik Segala Sesuatu? Tak ada daya yang bisa 
mencelakakan jika Dia berkehendak menjaga seorang 
manusia. Dan tak ada daya apa pun yang bisa menye

lamatkan, kalau Dia berkehendak seseorang celaka...."
Seperti mendapat siraman sejuk, kegelisahan Ki 
Arga Pasa memudar. Kepalanya mengangguk-angguk 
lamat.
"Ya. Tiada daya dan upaya selain dari pertolon-
gan-Nya," timpalnya ditingkahi hembusan napas pan-
jang.
"Lalu bagaimana dengan kitab ini?" lanjut Ki 
Arga Pasa seraya menempatkan tangannya ke atas peti 
tempat penyimpanan kitab di depannya.
"Kitab ini berhubungan dengan cerita yang ba-
ru saja kupaparkan."
"Artinya. Kitab ini berhubungan dengan si 
bayi?"
Lelaki tua mengangguk.
"Apa yang harus aku lakukan dengan kitab 
ini?" 
"Tak ada." 
"Tak ada?"
"Ya. Kau hanya perlu menyimpannya. Pada 
saatnya nanti, kau harus menyerahkan kitab ini pada 
bayi itu." 
"Kapan waktunya?"
"Ketika ada kekacauan di mana-mana yang di-
lakukan oleh sekawanan bocah."
"Kawanan bocah?" desis istri Ki Arga Pasa, 
mengulangi. Dia bergidik lagi. "Apa yang mereka laku-
kan?" tanyanya. Padahal, tanpa perlu bertanya pun, le-
laki tua tetap akan melanjutkan penuturannya.
"Bocah-bocah itu akan menculik perempuan-
perempuan."
Mendengar kata 'perempuan' disebut-sebut, is-
tri Ki Arga Pasa tambah bergidik.
"Aih... aih...," ujarnya tak sadar.

"Setelah itu menyusul munculnya seorang ber-
kesaktian tinggi yang rupanya seperti dedemit. Beram-
but amat panjang, berkuku amat panjang, dan ber-
jenggot juga amat panjang."
Sekarang, mendengar kata 'jenggot' Istri Ki Arga 
Pasa yang agak latah mengusap dagunya sambil me-
ringis.
"Siapa dia, Orang Tua?" sela Ki Arga Pasa.
"Dialah manusia durjana yang telah mati dibu-
nuh oleh kakek buyut bayi ini."
"Maksudmu, orang itu bangkit dari kubur?" 
tanya Ki Arga Pasa. Tak urung dia jadi turut bergidik. 
Kalau saja dia bergidik, apalagi istrinya? Perempuan 
separuh baya itu langsung menggeser duduknya, lebih 
dekat ke Ki Arga Pasa. Takut-takut, matanya melirik ke 
belakang, seolah ada sesuatu yang sedang bersiap-siap 
mencekiknya sampai modar!
"Mungkin pertanyaanku kali ini agak lancang, 
Orang tua...."
"Bertanyalah!"
"Bagaimana atau dari mana kau bisa tahu ke-
jadian itu akan terjadi?"
Lelaki tua tersenyum. Dia tak menjawab. Tidak 
juga berkata apa-apa. Karena setelah itu mendadak sa-
ja sosoknya raib dari tempat. Angin seperti membawa 
lari seluruh jasadnya tanpa sisa.
Keesokan harinya, istri Ki Arga Pasa menemu-
kan sesuatu di tangga pendapa perguruan. Sebatang 
gelang tangan dari emas yang biasa dipakai di pangkal 
lengan seorang raja Pajajaran. Ketika mencoba ber-
tanya-tanya pada beberapa sesepuh tanah Paparan, Ki 
Arga Pasa mendapat jawaban mengejutkan. Gelang itu 
adalah milik seorang Prabu Pajajaran yang turun tahta 
tanpa alasan jelas. Sang Prabu menghilang tanpa dike

tahui rimbanya. Tak ada harta istana dibawa, kecuali 
gelang tangan yang kini dimiliki oleh Ki Arga Pasa. 
Prabu itulah yang telah membunuh untuk pertama 
kail si manusia durjana.... Manusia Makam Keramat!
* * *
Satria selesai mendengarkan cerita orang tua 
berjubah putih. Dialah orang yang dihadapi Gendut 
Tangan Tunggal ketika dalam perjalan menuju kaki 
Gunung Burangrang. Dialah orang yang telah mele-
paskan pengaruh jahat Manusia Makam Keramat da-
lam diri Gendut Tangan Tunggal.
"Bayi yang dititipkan itu kemudian diberi nama 
Rara Lanjar oleh mendiang Ki Arga Pasa," tambah si 
orang tua.
Alls si pendekar muda bertaut.
"Sedangkan kau sendiri adalah lelaki tua yang 
telah menitipkan bayi kepada mendiang Ki Arga Pasa 
dan Istrinya?" tanyanya, tak begitu yakin.
Si orang tua yang kini duduk bersila di atas ba-
lai bambu bersama Satria Gendeng dan Gendut Tan-
gan Tunggal menganggukkan kepala. Tenang.
Satria Gendeng tercengang-cengang, antara 
percaya dan tidak percaya. Bibirnya terbuka lebar. Be-
runtung tak ada lalat lewat. Wajahnya jadi terlihat tolol 
kelewatan. Lalu ditepuknya kening. Keras atau tidak, 
membuat pening tujuh kali tujuh keliling atau tidak, 
dia tak peduli.
"Kalau begitu, kau... adalah seorang Prabu Pa-
jajaran? Dan Rara Lanjar adalah cicit buyutmu?" susul 
Satria lagi.
Orang tua berjenggot putih menggeleng.
"Kau keliru," katanya, meralat.

"Keliru bagaimana? Bukankah kau barusan 
menceritakan dirimu sewaktu menyerahkan Rara Lan-
jar kepada Ki Arga Pasa dan istrinya?"
Pertanyaan Satria Gendeng mendapat anggu-
kan.
"Dan gelang yang kau sebut-sebut itu? Apa itu 
bukan berarti kau adalah sang Prabu?" 
Si kakek diam sebentar. Lalu dijawabnya perta-
nyaan Satria.
"Sebaiknya aku perkenalkan diri padamu, Anak 
Muda. Aku bernama Danujaya. Kau boleh memanggil-
ku Ki Danuwijaya. Perlu Kau ketahui, sebenarnya aku 
murid Gusti Prabu. Aku berguru kepadanya beberapa 
tahun setelah dia meninggalkan takhta. Dialah yang 
menyuruh aku untuk menitipkan Rara Lanjar sewaktu 
bayi kepada seseorang yang bisa dipercaya. Selain bayi 
dan kitab, aku diperintahkannya pula untuk menye-
rahkan gelang miliknya secara diam-diam. Aku tak 
pernah tahu maksudnya. Kalau kau mengatakan Rara 
Lanjar adalah keturunan guruku, itu memang benar. 
Sampai saat ini, aku masih mengemban tanggung ja-
wab dari guruku untuk mengawasi bayi yang kini telah 
menjadi seorang dara ayu itu."
Begitulah kenyataannya. Rara Lanjar adalah 
satu-satunya keturunan sang Prabu yang kini tak per-
nah diketahui lagi kabar beritanya. Itulah sebabnya, 
Manusia Makam Keramat sewaktu datang pertama kali 
ke Perguruan Belalang Putih mengendusi sesuatu yang 
tersembunyi dari diri si dara. Dan ketika kesaktiannya 
sanggup membaca darah yang mengalir di diri Rara 
Lanjar sebagai keturunan sang Prabu, Manusia Ma-
kam Keramat pun berusaha untuk membawa gadis itu 
ke Makam Keramat Maut. Tujuannya adalah untuk 
menumbalkan darah Rara Lanjar bagi Nisan Batu

Mayit.
"Kalau boleh aku tahu, Ki Danujaya? Apakah 
sang Prabu masih hidup?"
Untuk pertanyaan Satria satu ini, si kakek ber-
nama Danujaya tampak mengalami kesulitan menja-
wab.
"Aku tak tahu," jawabnya singkat. "Dia menghi-
lang begitu saja setelah tuntas menurunkan ilmunya 
padaku. Hidup atau sudah wafat, tak jelas lagi bagi-
ku."
Satria seperti tak puas bertanya. Dia masih in-
gin tahu lebih banyak.
"Sebagai muridnya, kenapa kau tidak bertindak 
untuk mencegah keangkaramurkaan yang dilakukan 
Manusia Makam Keramat?" tanya Satria Gendeng ke-
mudian.
Ki Danujaya menggelengkan kepala.
"Aku banyak belajar dari Gusti Prabu tentang 
penyucian diri. Untuk itu, aku tak mungkin mengotori 
tangan dengan membunuh Arya Sonta.... Bahkan aku 
sudah tak ingin lagi keluar ke dunia penuh nista ini 
seandainya aku tak perlu mengawasi Rara Lanjar...."
"Tunggu dulu," sergah Satria. Dia teringat se-
suatu ketika mendengar kata-kata terakhir kakek tua 
di depannya. Mengawasi Rara Lanjar, katanya? Satria 
membatin. Kalau begitu, jelas dia merasa bertanggung 
jawab penuh pada keselamatan si dara ayu. Menurut 
cerita Rara Lanjar, dia diselamatkan oleh orang berto-
peng kayu Arjuna ketika Manusia Makam Keramat 
hendak melarikannya ke Makam Keramat Maut. Kalau 
begitu....
"Kau bilang bahwa kau bertanggung jawab ter-
hadap sang Prabu untuk mengawasi Rara Lanjar? Ka

lau begitu... kau pasti orang bertopeng kayu Arjuna 
itu, bukan?!" tembak Satria, tak ragu-ragu.
Ki Danujaya menggeleng. Alis putihnya mele-
kuk.
"Apa maksudmu?" tukasnya, malah balik ber-
tanya.
Mulut Satria menganga. Keliru lagi? Dugaannya 
kecele lagi? Bagaimana bisa begitu? Kenapa jadi serba 
tak menentu? Gerutunya dalam hati. Kalau bukan ka-
kek ini, lalu siapa orang bertopeng kayu itu?
"Kenapa dengan orang bertopeng kayu?" Ki Da-
nujaya malah bertanya lebih jauh. Satria sendiri ham-
pir tak percaya orang yang sudah dianggap begitu 
waskita ternyata masih bisa luput pada satu kejadian 
penting yang menyangkut tanggung jawabnya. Manu-
sia mana yang tak memiliki kekurangan?
Satria Gendeng mencoba mengamati wajah ka-
kek itu. Tak ada kesan kalau dia sedang bergurau. 
Yang tersirat cuma kesungguhan dan keingintahuan.
"Sudahlah, Orang Tua...," hindar Satria akhir-
nya. Lantas dikembalikannya pembicaraan ke masalah 
Manusia Makam Keramat!
"Jika kau tak bersedia turun tangan menumpas
manusia durjana itu, lalu siapa yang harus melaku-
kannya?"
"Tuhan selalu punya rencana yang sempurna, 
Anak Muda," ujar Ki Danujaya seraya bangkit dari ba-
lai. Jawabannya sama sekali tak memuaskan hati Sa-
tria Gendeng.
"Kau hendak ke mana, Orang Tua?"
Belum kering lidah Satria mengucapkan perta-
nyaan, sosok si orang tua sudah raib dari tempatnya. 
Dari arah pintu gubuk, terdengar suara derit halus. 
Bukan main kecepatan geraknya. Dia sebenarnya ti

daklah menghilang begitu saja, melainkan pergi mela-
lui pintu. Namun karena tingkat peringan tubuhnya 
sudah demikian sempurna, gerakannya jadi sulit di-
ikuti mata. Bahkan oleh orang sekelas Gendut Tangan 
Tunggal, atau si murid Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit!
TUJUH
Di TENGAH malam kental kegelapan, satu so-
sok berlari tak terputus-putus ke arah suatu tempat. 
Tujuannya adalah daerah angker yang amat ditakuti, 
bukan saja oleh penduduk biasa, tapi juga oleh banyak 
kalangan persilatan. Ditakuti, di samping karena dae-
rah itu penuh dengan bahaya maut yang tercipta oleh 
keganasan alam, juga karena tempat itu menjadi tem-
pat 'bersarangnya' seorang manusia durjana berkesak-
tian tak terukur yang bangkit kembali dari kematian.
Di bahu sosok yang berlari, tertelungkup lemas 
sosok orang lain. Pingsan akibat totokan di satu jalan 
darahnya. Ketika awan menyibakkan diri, sinar bulan 
yang menjelang purnama dalam beberapa hari terak-
hir. Pun memperjelas rupa sosok yang berlari dan yang 
dipanggulnya.
Orang yang berlari, berwajah amat menyeram-
kan. Tentu saja dia adalah Pendekar Muka Bengis. Se-
dangkan orang di bahunya tak lain Rara Lanjar.
Tanpa pernah sedikit pun diketahui oleh Pen-
dekar Muka bengis, jauh di belakangnya seseorang 
menguntit sepanjang perjalanan. Kegelapan dan kece-
patan gerak orang itu tak memungkinkan mata untuk 
menyaksikan rupanya dengan jelas. Kendati untuk 
mata terlatih sekali pun.

Jarak yang berselang cukup jauh antara si 
penguntit dengan buruannya menyebabkan keadaan 
menjadi cukup aman. Selama itu, Pendekar Muka 
Bengis sama sekali tak menyadari. Meskipun bukan 
cuma itu penyebabnya. Cara bergerak si penguntit 
yang begitu cepat dan ringan serta kelihaiannya me-
nyamarkan diri di tempat-tempat tertentu, justru yang 
berperan besar untuk mengelabui Pendekar Muka 
Bengis.
"Sebentar lagi, kita akan segera tiba, Gadis...," 
bisik Pendekar Muka Bengis, di antara desis angin ma-
lam.
Seperti katanya, tak lama mereka pun tiba di 
Makam Keramat Maut.
"Tuanku, Tuanku!! Aku datang membawa gadis 
yang kau inginkan!" seru Pendekar Muka Bengis di 
muka Makam Keramat Maut.
Pemakaman kuno sunyi. Hanya jangkrik berde-
rik-derik, memperdengarkan sahutan yang tak dipelu-
kan Pendekar Muka Bengis.
"Tuanku!!" ulang Pendekar Muka Bengis, men-
coba kembali. Kedua kali.
"Tuanku, ke mana kau?!"
Dan ketiga kali.
Tetap tak ada jawaban dari setiap sudut pema-
kaman. Nisan dan gundukan terlihat samar-samar, 
timbul tenggelam di antara iring-iringan lambat kabut 
pekat.
"Ke mana tuan ku, Manusia Makam Keramat?! 
Kenapa tempat ini sepi?" gumam Pendekar Muka Ben-
gis. "Apa mungkin dia sedang meninggalkan tempat 
ini?" sambungnya, terus bertanya-tanya sendiri.
Yakin Manusia Makam Keramat sedang tak ada 
di 'sarang' laknatnya, Pendekar Muka Bengis memu

tuskan untuk meninggalkan Makam Keramat Maut se-
cepatnya. Terlebih dahulu, dia akan meninggalkan Ra-
ra Lanjar dalam sebuah liang tempat dikuburnya Ma-
nusia Makam Keramat dulu.
Ditujunya liang tersebut. Liang ditemukan, tu-
buh Rara Lanjar pun hendak dilemparkan. Baru saja 
tubuh Rara Lanjar terlempar masuk ke mulut liang, 
sekelebatan bayangan menyambarnya dalam kecepa-
tan menghantu.
Pendekar Muka Bengis sebagai salah seorang 
tokoh papan atas dunia persilatan merasa kecolongan. 
Sekejapan dia sempat dibuat terpana. Selanjutnya dia 
mengutuki diri habis-habisan ketika kelebatan bayan-
gan tadi pergi memburu membawa Rara Lanjar.
"Berhenti!!" seru Pendekar Muka Bengis, begitu 
tersadar dari keterpanaan. Dikejarnya kelebatan 
bayangan tadi dengan nafsu meletup-letup.
Tak mudah mengejar kelebatan bayangan tadi.
Pendekar Muka Bengis dibuat kedodoran. Dia 
merasa dirinya bukan lagi mengejar manusia, melain-
kan mengejar bayangan sesungguhnya. Jarak antara 
dirinya dengan buruan tak pernah menyusut. Kalau-
pun terjadi, akan segera melebar lagi. "Bangsat," ma-
kinya gusar.
Di dunia persilatan, Pendekar Muka Bengis bu-
kan orang yang bisa dibuat main-main. Sudah malang 
melintang dia selama belasan tahun. Kesaktiannya di-
kenal hampir setiap kalangan. Harga dirinya akan ter-
pukul jika harus kedodoran mengejar buruannya. Ru-
panya, nafsu membuta yang bersemayam dalam garba 
jiwa Pendekar Muka Bengis telah pula membutakan 
akalnya. Semestinya dia sudah sadar sejak dini bahwa 
tingkat kesaktian lawan berada lebih tinggi beberapa 
tingkat di atasnya.

"Berhenti kataku!!"
Dalam kegeraman, seraya berseru sekali lagi, 
Pendekar Muka Bengis mengirim serangkum pukulan 
jarak jauh
Wusssh!
Serangkum tenaga berkekuatan dua puluh 
banteng jantan menerkam di kegelapan. Sengit mem-
buru. 
Blarrrr!
Tanpa terlihat menoleh atau kerepotan, bayan-
gan yang menyambar Rara Lanjar menghindari puku-
lan jarak jauh Pendekar Muka Bengis dengan begitu 
enteng. Dia hanya mencelat ketika serangkum tenaga 
dahsyat menukik dari udara. Akibatnya, satu kuburan 
tua dari batu menjadi sasaran empuk. Hancur beran-
takan melahirkan suara hingar-bingar.
Merencah kesunyian.
Mengetahui pukulan jarak jauhnya pun dapat 
ditaklukkan, kemarahan Pendekar Muka Bengis makin 
menjadi-jadi. Mendengus-dengus napasnya selama 
berlari.
Kalau terus begitu, sampai dunia mendekati 
kiamat pun, tampaknya Pendekar Muka Bengis tak 
akan sanggup mengungguli ketangguhan ilmu lari ce-
pat buruannya. Kecuali jika kelebatan sosok itu sendiri 
yang menghentikan larinya.
Hal itu terjadi saat berikutnya. Kelebatan sosok 
itu menghentikan laju tubuhnya. Berdirilah dia tegak 
di atas satu nisan tinggi terbuat dari kayu meranti. Se-
perti tak menganggap pengejarnya menjadi ancaman, 
orang itu tak menoleh sama sekali.
Pendekar Muka Bengis turut memenggal lang-
kah larinya. Lima belas tindak di belakang orang yang 
melarikan Rara Lanjar. Lelaki setengah baya berwajah

seram itu menghempas napas sekali, seolah melo-
loskan kegeraman yang melonjak-lonjak dari dalam 
dada.
"Serahkan perempuan itu padaku!!" serunya, 
menyalak.
"Kenapa kau pikir aku akan menyerahkan pe-
rempuan ini padamu?" sahut orang di kejauhan sana.
"Kalau kau tak menyerahkan...."
"Kau akan membunuhku?" sela orang tadi. Su-
aranya begitu tenang dan datar. Tanpa getar, tanpa 
terhanyut rasa apa pun. Sepertinya, tak ada sesuatu 
pun yang bisa membuat dia menjadi takut atau gentar.
"Kau...." Pendekar Muka Bengis menggeram.
"Tak perlu kau melakukan itu! Percuma saja!" 
tukas sosok tadi. Tak jelas apakah dia bermaksud 
memperingati, mengancam, atau sekadar meledek.
Bagi Pendekar Muka Bengis sendiri, perkataan 
tadi tak lebih dari hinaan yang menampar wajahnya 
telak-telak.
"Bangsat!!!"
Tak menanti lebih lama lagi, Pendekar Muka 
Bengis merangsak ke depan. Ganas. Beringas.
Melepas serangan telengas.
Hanya dengan satu lompatan jauh, Pendekar 
Muka Bengis sudah tiba tepat di belakang batu nisan 
tempat sosok tadi berdiri memanggul tubuh Rara Lan-
jar. Begitu tiba, langsung dihantamnya bokong orang 
itu dengan tinju menggeledek.
Wukh!
Tinju menderu.
Sasarannya, tak sedikit pun berniat menoleh. 
Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas. Hantaman lawan 
dimentahkan hingga hanya sempat memakan angin.
Begitu kepala Pendekar Muka Bengis mendon

gak mengikuti arah lompatan lawan, sosok tadi men-
dadak berputar di udara. Amat cepat gerakannya. Da-
lam keadaan dibebani seseorang di bahu, hampir tak 
mungkin seseorang dapat melakukan itu dengan kece-
patan luar biasa. Nyatanya tak begitu dengan orang 
penuh misteri ini.
Wush!
Menyusul putaran tiba-tiba tubuhnya, kaki 
orang tadi membuat satu sapuan melengkung ke arah 
kepala lawan.
Pendekar Muka Bengis terperangah. Dia dipak-
sa membuang diri ke belakang.
"Heaa!"
Berjumpalitan, Pendekar Muka Bengis menye-
lamatkan kepala. Ketika posisi dan keseimbangannya 
sudah dapat dikuasai, pendekar yang menjadi sesat itu 
menjejakkan kaki di salah satu batu nisan. Kuda-
kudanya terpasang. Matanya mencari lawan. Tapi tak 
ditemukan.
Jelalatan Pendekar Muka Bengis mencari. Di 
segenap penjuru, lawan tak ditemukan. Tak ada di 
mana-mana.
Lawan seolah telah lenyap ditelan salah satu 
gundukan makam ke dalam bumi.
Pendekar Muka Bengis hanya bisa mendengus-
dengus. Rahangnya mengeras, memperdengarkan sua-
ra bergemeletuk. Dilanjutkan dengan teriakan melo-
long, melampiaskan kejengkelan.
* * *
Satria Gendeng tak pernah bisa diam. Dia terus 
berjalan hilir-mudik di muka gubuk. Wajahnya kusut. 
Sebentar-sebentar dia menarik napas panjang

panjang. Ada yang sangat meresahkannya. Soal nasib 
Rara Lanjar yang tak tentu rimbanya. Tak ada sebetik 
berita mengenai perempuan itu sampai sekarang. Me-
mang, dia termasuk perempuan yang terkadang bikin 
sebal, tapi biar bagaimana Satria sudah cukup merasa 
dekat dengannya. Bukan semata karena dia cantik.
Dia ingin mencarinya. Hanya saja tak pernah 
tahu ke mana hendak mencari. Menanti saja apa 
mungkin? Itu pun bukan pekerjaan yang tak memua-
kkan. 
"Hi hi hi...."
Di samping pintu gubuk, di dekat anak tangga, 
Gendut Tangan Tunggal tertawa. Tertawa tanpa sebab 
cuma pekerjaan orang gila. Gendut Tangan Tunggal 
bukan sejenis orang itu. Dia hanya geli menyaksikan 
keruwetan wajah si pendekar muda dan kerepotannya 
berjalan bolak-balik.
Satria menghentikan langkah. Ditolehnya Gen-
dut Tangan Tunggal dengan wajah asam. Merengut 
dia, sejelek kera.
Gendut Tangan Tunggal cepat-cepat menghen-
tikan tawa. Mulutnya bahkan tak berani dibiarkan ter-
lekuk. Takut Satria Gendeng menggasaknya.
"Kenapa tertawa, Pak Tua Buncit?" tanya Sa-
tria, tak senang hati.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kepa-
lanya menggeleng takut-takut.
"Telingaku masih belum tuli, Pak Tua. Aku 
mendengar kau tertawa tadi. Aku ingin tahu kenapa 
kau tertawa?" desak Satria dengan wajah yang sema-
kin asam.
Sambil mengumbar cengiran tak sedap, Gendut 
Tangan Tunggal berkata, "Kalau kau hanya berjalan 
hilir-mudik seperti itu, apa mungkin kau akan mene

mukan Rara Lanjar? Itu sebabnya aku jadi agak geli 
melihat tingkahmu...."
"Jadi apa saranmu?"
"Cari dia!"
Gendut Tangan Tunggal bangkit susah payah, 
mengangkat perutnya yang menjorok di tanah.
"Kalau aku tahu ke mana mencarinya, sudah 
kucari dia sejak kemarin!" sungut Satria Gendeng.
"Sekarang begini saja," tepis Gendut Tangan 
Tunggal. "Menurutmu, siapa yang kau kira telah men-
culik perempuan itu?" lanjutnya.
"Pendekar Muka Bengis."
Gendut Tangan Tunggal kontan terkikik geli 
mendengar jawaban Satria.
Satria tak menerima. Dia cemberut.
Gendut Tangan Tunggal pun lantas menghenti-
kan tawa. Paras wajahnya diperbaiki. Biar si pendekar 
muda yang terkadang besar adat itu tidak mengamuk.
"Kenapa tertawa?" tanya Satria.
"Bagaimana tidak? Aku kenal si Bengis. Dia tak 
mungkin menculik perawan orang!"
Sekarang Satria Gendeng baru maklum kenapa 
Gendut Tangan Tunggal menertawainya. Setelah dis-
embuhkan oleh Ki Danujaya dari pengaruh ramuan 
rahasia Manusia Makam Keramat, rupanya dia belum 
juga mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis pun 
mengalami kejadian serupa dengan dirinya.
"Ngomong-ngomong, ke mana si Bengis itu, ya?" 
gumam Gendut Tangan Tunggal.
"Itulah...," tukas Satria. "Apa kau tak pernah 
menyadari sesuatu yang terjadi pada dirimu ketika ti-
ba-tiba kau berada di hadapan Ki Danujaya? Begitu 
yang kau ceritakan padaku, bukan?"
Gendut Tangan Tunggal mengangguk. "Ya. Aku

heran juga. Terakhir yang kuingat, aku dan Bengis te-
lah menemukan Pasukan Kelelawar yang telah men-
jelma menjadi bocah-bocah tak berdosa. Setelah kami 
mengantar mereka ke desa masing-masing, aku tak in-
gat apa-apa lagi. Sadar-sadar, aku sudah berada di 
depan Ki Danujaya. Kenapa begitu, ya?" 
"Kau tak bertanya pada Ki Danujaya?" Pende-
kar golongan tua 'hamil ganjil' itu menggeleng.
Satria Gendeng menggerutu tak kentara. Dasar 
manusia yang tak mau sedikit berpikir, makinya. Apa 
tak pernah juga dia membuang sedikit sifat yang selalu 
menggampangkan masalah itu?
"Kau mau menjelaskan padaku?" tanya Gendut 
Tangan Tunggal. Semestinya, pertanyaan itu sudah di-
lontarkan pada Ki Danujaya. Dasar brengsek!
"Menurut Ki Danujaya, kau terkena racun ra-
hasia Manusia Makam Keramat."
"Huahh?!"
Mendeliklah biji mata Gendut tangan Tunggal. 
Sebesar-besarnya. Membuat wajahnya jadi terlihat je-
lek, sejelek-jeleknya.
"Ramuan rahasia itu pula yang telah membuat 
Pasukan Kelelawar bisa 'dibentuk' menjadi bocah-
bocah budak si manusia durjana itu. Dan itu pun di-
alami oleh Pendekar Muka Bengis," papar Satria Gen-
deng.
Gendut Tangan Tunggal meringis ngeri.
"Si Bengis sekarang jadi budaknya Manusia 
Makam Keramat?" desisnya tak percaya.
Satria mengangguk.
"Aku menduga, dialah yang telah melarikan Ra-
ra Lanjar untuk diserahkan pada Manusia Makam Ke-
ramat. Sebab, sepanjang pengetahuanku, manusia 
durjana itu sedang mengincar Rara Lanjar."

"Itu dia!" cetus Gendut Tangan Tunggal berjing-
kat mendadak. Sampai permukaan perutnya terayun 
ke atas seperti anggukan kepala kerbau tolol.
Satria Gendeng menunggu.
"Kita cari perempuan itu ke sarang Manusia 
Makam Keramat!" susul Gendut Tangan Tunggal, ber-
semangat.
Satria menggeleng tak bernafsu.
"Itulah masalahnya. Aku tak pernah tahu di 
mana tempatnya!"
"Di Makam Keramat Maut, tentunya!" 
atria melotot. Orang tua ini sekadar tuli atau 
berotak tumpul?
"Sudah kubilang, aku tak tahu tempatnya. 
Maksudku, aku sudah-tahu nama tempat itu. Tapi, 
aku tak tahu di mana letaknya. Apa di kolong balai 
atau di bawah tikar...," gerutu Satria Gendeng, dong-
kol. Gendut Tangan Tunggal mencibir.
"Aaah, kalau cuma tempat itu aku tahu!" ujar-
nya seraya mendongakkan kepala dan membusungkan 
dada. Sialnya, yang maju ke depan tetap saja ujung 
pusarnya yang agak 'menunjuk' ke depan.
"Kau tahu?" Satria hampir terperanjat. "Ayo 
kuantar!" timpal Gendut Tangan Tunggal seraya me-
langkah.
Satria Gendeng dengan wajah meluapkan se-
mangat, mengikuti di belakangnya.
Baru beberapa tindak berjalan, terdengar se-
ruan seseorang. Membuat langkah keduanya terpeng-
gal seketika.
"Tunggu!!"
Satria Gendeng menoleh. Demikian pula Gen-
dut Tangan Tunggal. Mereka saling bertatapan ketika 
menyaksikan orang yang datang. Dan rasanya, mereka
tak mempercayai penglihatan sendiri.
DELAPAN
DEWI Melati dan Penjaga Gerbang Neraka ber-
diri tegak. Tak ada kesan persahabatan di wajah Pen-
jaga Gerbang Neraka. Bukan sekadar karena dasar si-
fatnya. Melainkan ada bersit lain yang lebih menghu-
nus pada kedua biji mata lelaki itu. Sementara Dewi 
Melati sendiri tak berubah. Dia tetap terlihat seronok 
dengan tingkahnya yang genit. Terutama ketika me-
nyaksikan, si pendekar muda tampan, Satria Gendeng.
"Kita kedatangan musibah, Anak Muda...," ge-
rutu Gendut Tangan Tunggal tak kentara.
Satria Gendeng melirik lelaki tua buncit di se-
belahnya.
"Aneh, aku pun merasakan hal itu. Aku melihat 
ada sinar permusuhan di mata lelaki cebol itu. Apa 
kau merasakannya pula?"
"Peduli setan, apakah aku merasakan atau ti-
dak. Yang jelas bagiku, bertemu dengan orang yang 
tak bisa sedikit di-'senggol' seperti cebol itu, berarti 
musibah!"
Setelah menggerutu, Gendut Tangan Tunggal 
mengembangkan senyum lebar, kendati dipaksa-
paksa.
"Haaaa, apa kabar 'sahabat'??!" serunya, sok 
ramah seraya membentang tangan. 
Satria menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa perlu kalian sebenarnya?!" serunya pula, 
tanpa mau berbasa-basi. Malah wajahnya lebih kenta-
ra memperlihatkan kekesalan. Bagaimana tidak kesal 
kalau kedua orang itu telah menghambat usaha mereka untuk segera membebaskan Rara Lanjar?
Gendut Tangan Tunggal menyikut tangan pen-
dekar muda di sebelahnya.
"Bersikaplah ramah sedikit pada si cebol itu!" 
bentaknya berbisik. Wajahnya cemberut. Namun keti-
ka dia menoleh kembali pada Penjaga Gerbang Neraka, 
senyumnya pun mekar mendadak lagi. Sejenis senyum 
karbitan orang-orang yang cari selamat. Dia bukan se-
jenis orang yang suka cari muka, atau pengecut yang 
cari selamat dengan cara bermuka dua. Mungkin se-
kadar kapok dengan Penjaga Gerbang Neraka yang du-
lu pernah hendak 'menggebuki'nya habis-habisan 
hanya karena keusilan Dewi Melati. (Untuk lebih jelas-
nya, bacalah kembali episode sebelumnya : "Bangkit-
nya Dewa Petaka"!).
"Aku tak perlu mereka," tandas Satria tegas.
"Dan aku tak peduli siapa pun dia. Kalau dia meng-
hambat usahaku, apa perlu aku bersikap ramah?"
"Sssst... ssttt!!"
Mulut Gendut Tangan Tunggal ber-'sat-sut' ke-
limpungan. Matanya melirik takut-takut ke arah Pen-
jaga Gerbang Neraka. Takut si cebol itu mendengar 
perkataan Satria Gendeng. Padahal, kalaupun Satria 
berteriak, Penjaga Gerbang Neraka tak akan menden-
garnya.
Untuk kesekian kali, Gendut Tangan Tunggal 
tersenyum lebar-lebar kembali pada si tua bangka ce-
bol, salah satu momok paling menakutkan dunia persi-
latan.
Orang seperti Gendut Tangan Tunggal yang ter-
golong tokoh papan atas dunia persilatan saja merasa 
gentar dengannya. Tapi si pendekar muda di sebelah-
nya....
"Kami sedang tergesa! Kenapa tak katakan

maksud kalian menahan kami?!" sambung Satria, mu-
lai terdengar membentak. Nadanya agak melonjak.
Makin ngeri saja Gendut Tangan Tunggal. Kia-
mat... kiamat..., pikir tokoh tua berperut buncit itu. 
Tangannya dinaikkan ke kepala.
Di kejauhan sana, wajah Penjaga Gerbang Ne-
raka memperlihatkan kerutan-kerutan bengis.
Menyaksikannya, Gendut Tangan Tunggal pun 
meringis.
"Menyesal sekali aku harus menyampaikan se-
suatu padamu, Pemuda Ganteng," balas Dewi Melati 
akhirnya.
"Jangan bertele-tele, Dewi! Jelaskan saja lang-
sung!"
"Guruku, eh... maksudku 'suami angkat'-ku ini 
berniat hendak membunuhmu."
"Apa?!" 
Satria terlonjak. Apa aku tak salah dengar? Le-
lucon macam apa ini?.Ceracau hatinya, tak menerima.
Lain lagi Gendut Tangan Tunggal. Tokoh tua 
berbadan subur itu bukan lagi sekadar meringis. Dia 
pun mulai memperlihatkan wajah memelas. Dengan 
tangan mengusap-usap permukaan kulit perutnya, dia 
lebih pantas disamakan dengan orang mulas.
"Kau jangan gila! Apa urusannya aku dengan 
tua bangka itu sampai dia hendak membunuhku?!"
"Aku tak perlu menjelaskan. Yang kuperlukan 
untuk membantu 'suami angkat'-ku cuma...." Dewi 
Melati mengedikkan bahu. Telapak tangannya menen-
gadah ke depan. "... cuma kepalamu," tambahnya, 
mengakhiri kalimat yang terputus.
Wajah perempuan cantik genit itu terlipat se-
perti merajuk.
"Padahal sebenarnya, aku masih ingin sekali

mengenalmu lebih dekat. Jauuuuuuh lebih dekat," 
gumamnya sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"Mereka benar-benar sinting!" maki Satria.
"Kau pun sinting kalau kau terus bersikap tak 
ramah pada si cebol itu," desis Gendut Tangan Tung-
gal.
"Diam kau!!!" hardik Satria, kehilangan kesaba-
ran.
Sementara itu, pikirannya berkutat. Pasti telah 
terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka berniat 
menyingkirkanku. Setidaknya ada biang keladi dari 
semua ini, duga Satria. Tanpa mengorek keterangan 
langsung dari Dewi Melati, Satria tak akan cepat men-
getahui latar belakang maksud sinting mereka berdua. 
Kalau mengorek dari Penjaga Gerbang Neraka jelas su-
dah tak mungkin. Dia hanya bisa berbicara bahasa 
syarat dengan Dewi Melati.
Sekarang ini, Satria Gendeng harus cepat me-
nemukan cara agar Dewi Melati mau buka mulut. Itu 
pun kalau Penjaga Gerbang Neraka tak telanjur me-
rangsaknya lebih dahulu. Cuma, bagaimana caranya?
Satria harus mencari akal.
Harus!
Brengseknya, sedang pikirannya berkutat, 
Gendut Tangan Tunggal masih saja tak mau sedikit 
mengerti. Bacotnya pun tak bisa diam sebentar saja.
"Bagaimana ini, Anak Muda? Bagaimana ini? 
Kalau si cebol itu hendak membunuhmu, bukan tak 
mungkin dia pun akan membunuhku pula? Seperti 
kau tak tahu saja sifat Penjaga Gerbang Neraka itu? 
Dia...."
Ampun! Darah Satria Gendeng terasa hendak 
menjebol Ubun-ubun. Matanya mendeliki Gendut Tan-
gan Tunggal sampai hendak melejit keluar.

"Kalau kau tak bisa diam, aku yang akan mem-
bunuhmu secepatnya!" geram Satria.
Gendut Tangan Tunggal bergidik. Dia beringsut 
menjauhi si pendekar muda. Mulutnya meringis-ringis 
tak henti.
Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka sudah 
melangkahkan kaki ke depan. Langkahnya mengan-
dung ancaman. Seperti juga tatapan dan parasnya.
Gendut Tangan Tunggal tambah beringsut-
ingsut. Semakin jauh semakin baik, pikirnya. Sumpah 
ditenung jadi kodok buduk, dia kapok menghadapi ke-
sangaran dan keganasan serangan si manusia cebol 
yang galaknya seperti setan kepedasan itu! 
"Tunggu!" cegah Satria.
Tak mungkin Penjaga Gerbang Neraka menden-
gar.
Satu-satu, langkahnya diayunkan.
Makin mempersempit jarak.
Di depan, siap terbentang medan laga.
Baginya, dan bagi si pendekar muda.
"Khuaaa!!"
Berkawal teriakan yang terdengar ganjil dan 
sumbang, jadi juga Satria Gendeng diterjang Penjaga 
Gerbang Neraka. Sebutlah kesialan yang sudah tak 
tertahankan!
Memaki-maki, Satria Gendeng menghindari se-
rangan Penjaga Gerbang Neraka. 
Ssing!
Berdesing, senjata logam berbentuk cakar mata 
tiga Penjaga Gerbang Neraka mengancam perut Satria. 
Hendak dirobeknya perut pendekar muda itu dan 
mengeluarkan isinya sekaligus.
Kelimpungan, pendekar muda murid Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit

mencelat ke belakang. Ujung senjata lawan merobek 
udara hanya selebar kuku dari pakaiannya.
Gila, lain kali bisa-bisa pakaiannya akan ter-
sayat, menyusul kulitnya! Satria bergidik juga mem-
bayangkan itu. 
Menghadapi seorang tokoh sekelas gurunya 
sendiri ini, Satria memang tak bisa berharap terlalu 
banyak. Dulu pun dia sempat menjajal bagaimana ke-
tangguhan kesaktian lawan. Kecepatannya begitu 
mengerikan. Kalau bukan bernyali seorang ksatria, ba-
rangkali Satria sudah kapok dibuatnya.
Sekarang ini, jika melayani berarti Satria telah 
setuju untuk bertarung sampai salah seorang dari me-
reka terperosok ke liang lahat. Tidak melayani, sama 
saja dengan bunuh diri perlahan-lahan. Situasinya jadi 
serba sulit untuk Satria Gendeng.
"Hei, hei tunggu!"
Seraya lintang-pukang berkelit dan menghin-
dar, Satria Gendeng berusaha untuk menghentikan 
amukan Penjaga Gerbang Neraka. Tindakan yang bo-
doh kalau dia sendiri sebenarnya tahu telinga lawan 
tuli.
Satu-satunya jalan untuk 'menyabarkan' si ce-
bol galak cuma melalui Dewi Melati. Sebab hanya pe-
rempuan itu yang tahu dan mengerti bercakap-cakap 
dengannya.
"Dewi, katakan padanya untuk berhenti!" seru 
Satria, makin kelimpungan. Tangannya terangkat ke 
depan berkali-kali, seolah hendak mencegah. Parasnya 
pun mulai tak karuan. Benar-benar keadaan yang sial 
baginya! Bukannya Satria gentar pada nama besar 
Penjaga Gerbang Neraka. Apa kata guru gundulnya ka-
lau dia jeri menghadapi manusia cebol itu? Hanya saja 
pendekar muda itu sadar, berurusan dengan Penjaga

Gerbang Neraka bukan masalah yang mudah tersele-
saikan. Bagi si cebol mandraguna itu, masalah akan 
selesai kalau salah satu pihak telah kehilangan nyawa.
Dewi Melati malah mesem-mesem menyebal-
kan.
"Pasti telah terjadi salah paham, Dewi! Katakan 
padanya untuk segera berhenti! Kita harus membica-
rakan masalah ini dengan kepala dingin!"
Sing wukh!
"Waduh, sialan!!!"
Diselingi sumpah serapah, si pendekar muda 
berusaha untuk membujuk Dewi Melati. Aneh juga, 
kalau caranya membujuk harus dengan berteriak se-
tengah edan dan dibumbui pula dengan sumpah sera-
pah. Rasanya itu bukan bujukan....
"Dewi, kau dengar aku?!" coba Satria lagi.
"Apa imbalannya bagiku?"
Imbalan untuk perempuan 'samber geledek' ini? 
Beban pikiran lagi untuk Satria! Demi nenek moyang 
Dongdongka, akan ku kuliti perempuan ini nanti, 
sumpah Satria membatin.
"Bagaimana kalau kutraktir makan di kedai 
terminal kotapraja?"
Dewi Melati menggeleng.
"Ya... ya, itu memang tawaran tolol," gerutu Sa-
tria sambil berjumpalitan menghindari sapuan kaki 
lawan. "Ah, bagaimana kalau kuajak kau berjalan-
jalan di sepanjang kaki Gunung Burangrang?!"
Dewi Melati mencibir. 
"Ya, itu pun tawaran tolol," gerutu Satria lagi.
"Atau... bagaimana kalau..., slompret!!"
Kalimat Satria Gendeng terputus oleh samba-
ran senjata lawan yang berseliwer persis di depan hi-
dungnya.

Dewi Melati menunggu dengan mata disayu-
sayukan menyebalkan.
"Bagaimana kalau kau menginap semalam den-
ganku di penginapan kotapraja?!" ucap Satria, asal 
bunyi. Dia tak akan pernah berniat menawarkan 
'kemesuman'. Kalau cuma menginap saja apa salah-
nya? Salah otak mesum Dewi Melati sendiri kalau dia 
jadi salah mengartikan, pikirnya.
Dewi Melati langsung mengumbar senyum. Ma-
na lebar. Astaga....
Lalu, secepatnya dia melompat ke depan Penja-
ga Gerbang Neraka. Dengan bahasa isyarat dia berbi-
cara pada manusia cebol galak itu. Entah bagaimana 
caranya perempuan cantik gatal itu bisa mengibuli 
Penjaga Gerbang Neraka. Jinaklah dia. Seperti seekor 
cucu kerbau dicocok hidungnya!
SEMBILAN
MALAM kental dengan hawa dingin. Makam Ke-
ramat Maut masih pekat dengan suasana mena-
kutkan. 
"Kau memang bodoh!!!"
Sebentuk suara mencelat ke angkasa. Menggi-
dikkan, bagai hentakan kaki seribu ekor kuda terbang 
di langit.
"Aku sudah katakan pada Gendut Laknat itu 
agar tidak membawa gadis itu ke tempat ini kecuali 
mendekati malam-malam purnama. Sekarang kau ma-
lah mengacaukannya! Kau membawa juga gadis itu ke 
sini. Lalu apa jadinya? Kau katakan gadis itu dilarikan 
seseorang yang tak pernah kau lihat rupanya dengan 
jelas! Dasar manusia tolol keparat!!!"

Bentakan dan makian itu lahir dari kerongkon-
gan seorang bercaping lebar dan berjubah hitam yang 
menyatu dengan kepekatan malam. Dia tentu saja Ma-
nusia Makam Keramat yang baru saja kembali ke Ma-
kam Keramat Maut. Tiba di sana, dia mendapat lapo-
ran dari Pendekar Muka Bengis yang membuat darah-
nya naik.
Pendekar Muka Bengis berdiri diam tanpa gem-
ing di depan Manusia Makam Keramat. Seluruh serat 
tubuhnya mengejang kaku. Tangan terentang lebar, 
seperti dibentang rantai baja kasat mata. Bahkan ke-
lopak matanya tak berkedip-kedip. Sulit mengira apa 
yang telah dilakukan Manusia Makam Keramat terha-
dap dirinya.
Tangan Manusia Makam Keramat tiba-tiba 
mencengkeram leher Pendekar Muka Bengis. 
Crrep!
Berkawal getaran, diangkatnya tubuh Pendekar 
Muka Bengis seperti mengangkat sehelai pelepah pi-
sang kering.
"Kalau tenagamu tak kuperlukan sudah kuro-
bek tenggorokanmu sekarang juga!" geramnya, na-
danya menjangkit dan menukik.
Menjelang puncak tertinggi tangannya sanggup 
terangkat, mendadak pula dilemparnya tubuh kaku 
Pendekar Muka Bengis.
Wushhh!
Angin bergeletar terbedah luncuran tubuh Pen-
dekar Muka Bengis.
Jauh terlempar. Hingga puluhan tombak. 
Menghantam nisan-nisan dan menggusur gundukan 
pemakaman.
Kemurkaan Manusia Makam Keramat tak ter-
puaskan hanya dengan melempar tubuh Pendekar

Muka Bengis. Masih pula dilampiaskannya gelegak 
amarah dalam dada dengan menghantami nisan-nisan 
batu sebesar gubuk di sekitarnya.
Glar glar glar!
Puing-puing serabutan.
Debu terbangun.
Tinggi mengapung.
Tergiring angin.
Lalu perlahan rebah di bumi.
Di antara seluruh kekacauan keadaan, tubuh 
Manusia Makam Keramat tegak mengejang dengan ke-
pala tertunduk, melepas sisa kegeramannya. Tak lama 
dia menegakkan kepala. Tangan kanannya menunjuk 
Pendekar Muka Bengis yang masih telentang diam seo-
lah seonggok kayu tak bernyawa.
Dari ujung jarinya membersit seleret sinar kebi-
ruan. 
Ssss!
Mendesis.
Tepat di tengah kening, antara dua alis Pende-
kar Muka Bengis, sinar yang memanjang tadi menda-
rat. "Sekarang bangunlah!!!"
Ketika itu juga, tubuh Pendekar Muka Bengis 
dapat digerakkan. Dia bangkit terseok. Sedangkan wa-
jahnya sendiri tak menunjukkan baru saja mengalami 
rasa sakit luar biasa. Paras yang dingin, membatu.
"Sekali lagi kau mengacaukan rencanaku, kau 
akan ku kubur di bawah salah satu kuburan ini hi-
dup-hidup!!" ancamnya sangar.
Pendekar Muka Bengis berjalan perlahan ke 
arah Manusia Makam Keramat. Tiba di dekatnya, pe-
rintah pun keluar. 
"Singkirkan Dewi Melati, perempuan yang akan 
menghambat rencanaku saja untuk menyingkirkan

pendekar muda keparat itu dengan tangan si cebol bu-
suk!!!"
Pendekar Muka Bengis mengangguk gamang.
"Dan menjauhlah dari gadis itu. Dia akan kuu-
rus sendiri. Akan kulobangi ubun-ubun dan menghi-
sap otak orang yang telah berani menyatroni 'sarang'-
ku dan melarikan gadis itu!" dengus Manusia Makam 
Keramat.
* * *
"Aku ingin tahu alasan kalian hendak membu-
nuhku?" tanya Satria Gendeng setelah keadaan sudah 
agak tenang.
"Sebenarnya, bukan aku yang menginginkan 
kematianmu, Pemuda Ganteng. Bukan pula aku yang 
hendak menurunkan tangan membunuhmu...," kata 
Dewi Melati.
"Aku tak menanyakan itu. Yang kutanyakan 
alasan kalian," sergah Satria.
"Ya... bagaimana, ya...."
Dewi Melati melenggok sana-sini. Tangannya 
bergerak kian kemari seperti tangan penari. 
Satria jadi sebal dengan tingkah perempuan 
itu. Bertele-tele sekali, nilainya.
"Cepat katakan!"
Dewi Melati mendelik. Bukannya menakutkan, 
malah terlihat menggemaskan dengan bola mata ber-
bulu lentiknya. Bagi Satria Gendeng tetap saja menye-
balkan!
"Ada seseorang yang bersedia menukarkan 
lembaran inti kitab tulisan Prabu Pajajaran yang berisi 
rahasia kelemahan Manusia Makam Keramat dengan 
kepalamu dan senjata pusakamu, Kail Naga Samude

ra...," kata Dewi Melati akhirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?"
Dewi Melati menggeleng.
"Kalau begitu, katakan saja ciri-cirinya!"
"Semalam tak cukup!"
Kening Satria Gendeng berkerut.
"Apa maksudmu?"
"Soal 'menginap' denganmu."
Slompret asli! Gerutu Satria.
"Baik, dua malam!"
Dewi Melati tersenyum.
"Sekarang cepat katakan ciri-ciri orang itu?!"
"Baik... baik, apa kau tak bisa bersabar sedikit? 
Huh dasar lelaki!"
"Cepat!!!"
"Iya, iya! Orang itu mengenakan caping lebar, 
dan berjubah hitam."
"Itu saja?"
"Apa kau mau aku melebih-lebihkan?"
"Kalau cuma itu, bisa siapa saja."
"Memang. Bisa bapak moyangku, atau bapak 
moyangmu. Bisa juga monyet buduk!"
"Maksudku, apa ada ciri-ciri khas orang itu?" 
Dewi Melati menggeleng. "Ingat-ingat, Dewi!!"
"Kalau ditambah mengingat-ingat, 'dua malam' 
jadi tak cukup rasanya...."
Slompret asli lagi!
"Baik, kau dapatkan tiga malam!"
Bermalamlah dengan siluman, rutuk Satria 
menambahkan dalam hati.
Senyum Dewi Melati mekar lagi.
"Sebentar kuingat-ingat," katanya seraya me-
nempatkan ujung jari telunjuk ke kening.
"Ah!" serunya mendadak.

"Apa? Kau ingat sesuatu??!"
"Belum...."
"Slompret!"
"Sekarang aku ingat!"
"Katakan! Katakan!"
"Orang itu kuperhatikan baru saja memotong 
kukunya...."
"Ini bukan urusan perawatan kecantikan, bu-
kan?!" ledak Satria, jengkel. Bagaimana mungkin pe-
rempuan brengsek ini menjawab seperti itu. Mentang-
mentang dia termasuk perempuan yang memperhati-
kan benar-benar penampilannya!
"Sungguh! Aku memang melihatnya. Soal se-
perti itu, aku jarang meluputkan. Tahu sendiri, bu-
kan?"
"Cukup gurauanmu, Dewi!"
"Aku tidak bergurau, sialan!"
Tidak bergurau? Satria terdiam. Dia mulai me-
mikirkan kemungkinan-kemungkinan. Tunggu dulu, 
sergah hatinya. Rasanya dia ingat sesuatu. Dia teringat 
pada Manusia Makam Keramat. Sejak pertama kali 
bangkit dari kematian, kuku manusia durjana itu de-
mikian panjang.
Tiba-tiba, Satria merasa ada gunanya juga kei-
sengan Dewi Melati memperhatikan penampilan orang 
lain sampai ke ujung kuku. Rasanya, dia mulai bisa 
menduga siapa dalang yang menginginkan kematian-
nya di tangan Penjaga Gerbang Neraka!
"Manusia Makam Keramat...," ucapnya, yakin.
Ya, tentu saja Manusia Makam Keramat. Per-
tama, dia menyamar dengan mempergunakan caping 
dan jubah hitam karena dia sadar beberapa tokoh 
yang menjadi musuh beratnya telah mengenali pe-
nampilannya ketika baru pertama kali bangkit. Agar


dapat menjalankan rencananya tanpa halangan dari 
musuh-musuh lamanya, tentu dia menyamar untuk 
sementara;
Yang kedua, setidaknya dia adalah salah seo-
rang yang cukup tahu tentang kitab itu, di samping 
penulisnya sendiri. Dengan begitu, tentu dia dapat 
mencuri lembaran kitab yang paling penting bagi di-
rinya. Meskipun Satria belum bisa menduga bagaima-
na cara manusia durjana itu mendapatkan lembaran 
seperti disebutkan Dewi melati.
Ketiga, dia pun tahu bahwa musuh lamanya, 
Penjaga Gerbang Neraka akan sangat bernafsu jika di-
tawarkan lembaran rahasia itu. Lalu dimanfaatkan 
musuh lamanya untuk menyingkirkan musuh lain. 
Dengan imbalan lembaran rahasia yang tak akan 
mungkin diberikan kalaupun Penjaga Gerbang Neraka 
berhasil membawa kepala Satria. Adu domba yang li-
cik!
"Apa katamu?!" perangah Dewi Melati, menden-
gar ucapan. Satria Gendeng sebelumnya.
"Orang itu tentu Manusia Makam Keramat, De-
wi!" ulang Satria Gendeng menegaskan.
"Kau jangan bergurau, Pemuda Ganteng!"
Sekarang giliran Dewi Melati yang tak percaya.
"Baik, barangkali kau akan percaya jika aku 
menjelaskan alasan ku mengatakan bahwa orang itu 
adalah Manusia Makam Keramat."
"Katakan! Katakan!"
Satria pun mulai memaparkan satu persatu ke-
curigaannya dan dasarnya mencurigai orang yang di-
ceritakan Dewi Melati. Selama mendengarkan, Dewi 
Melati mengangguk-angguk dengan alis lebat mengge-
maskan bertaut rapat. Mudah-mudahan dia tidak se-
kadar mengangguk. Mudah-mudahan dia mengerti. Ji

ka tidak, urusan bakal jadi runyam lagi.
"Sialan benar," rutuk Dewi Melati, tuntas Satria 
memaparkan pikirannya. "Kau percaya sekarang?" De-
wi Melati mendengus.
"Rupanya, kita hendak diadu seperti domba to-
lol!"
"Itulah maksudku!"
"Jadi bagaimana sekarang?"
Satria belum sempat menyahuti pertanyaan 
Dewi Melati ketika didengarnya teriakan tarung meng-
geledek.
"Khuuaaaa!!"
Dia terperangah teramat sangat. Disaksikannya 
tubuh Penjaga Gerbang Neraka menerkam ke angkasa. 
Sepasang senjatanya tergenggam di tangan, siap di-
ayunkan, siap mencabik, siap merencah, siap membu-
nuh....
Dewi Melati memekik mencoba mencegah.
Sia-sia tentu saja. Apa dia telah lupa bahwa te-
linga si lelaki cebol sama sekali tak mendengar?
Mungkinkah dia tak bisa bersabar lagi untuk 
membunuh Satria Gendeng? Mungkinkah dia sudah 
tak sudi lagi di bawah bayang-bayang pengaruh Dewi 
Melati?
Mungkin juga tidak begitu. Karena pada saat 
yang sama, berkelebat pula sesosok bayangan lain dari 
arah berbeda, menusuk kegelapan malam.
Yang satu dari Utara. 
Yang lain dari Barat.
Kelebatannya sama-sama gesit. Menuju satu ti-
tik!
Dewi Melati hanya menyangka Penjaga Gerbang 
Neraka hendak menyingkirkan Satria. Dia melompat. 
Kesalahan fatal telah dilakukannya. Karena kelebatan

bayangan yang meluruk dari arah lain sebenarnya 
mengancam dirinya.
"Dewi awass!!!"
Satria memperingati.
Memperingati saja tak cukup. Dia pun mencelat 
hendak menghadang kelebatan sosok dari arah Utara. 
Sayang sudah kalah cepat.
Sesungguhnya, tindakan itu pun dilakukan 
Penjaga Gerbang Neraka. Dia melompat karena hendak 
menyelamatkan Dewi Melati yang terancam. Naluri le-
laki kecil itu memang demikian tajam sehingga me-
nangkap dengan jelas maksud kelebatan bayangan da-
ri Utara kendati jaraknya masih cukup jauh.
Dash!
Dash!
Dua suara dalam terdengar.
Kemudian menyusul dua tubuh terpental.
Dewi Melati melayang ke arah Selatan, terkena 
bokongan keji kelebatan bayangan dari arah Utara.
Sedangkan si pembokong, sekejap setelah ber-
hasil mendaratkan pukulan ke tubuh Dewi Melati ter-
hantam pula oleh tendangan Penjaga Gerbang Neraka. 
Senjata di tangan lelaki cebol itu tak cukup menjang-
kau. Karenanya dia mempergunakan kaki sebisa 
mungkin. Namun tetap saja terlambat.
Berbarengan pekikan tertahan Dewi Melati, tu-
buh si pembokong melayang pula ke arah Timur.
Dewi Melati jatuh berdebam. Darah termuntah 
dari mulutnya. Kental kehitaman. Tanda luka dalam 
yang kelewat parah! Tanpa mempedulikan apa-apa, 
Penjaga Gerbang Neraka memburu ke arahnya. Seperti 
seorang bocah kehilangan orangtua, dia meraung-
raung ganjil.
Satria hanya sempat mengutuki keterlamba

tannya.
Di atas tanah, si tua bangka cebol memeluk tu-
buh Dewi Melati. Sejenak tubuh perempuan itu tersen-
tak-sentak. Untuk selanjutnya nyawanya terlepas dari 
badan.
Satria terbengong. Matanya tak berkedip. Bu-
kan tak menyesali kematian Dewi Melati. Cuma saja 
dia tak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan pada 
Penjaga Gerbang Neraka tentang siasat busuk Manusia 
Makam Keramat mengadu domba dirinya dengan lelaki 
cebol itu?
Diam-diam, Satria menyingkir. Saat itu, dia ba-
ru sadar kalau Gendut Tangan Tunggal pun sudah 
menyingkir sejak tadi....
SEPULUH
PAGI menjelang. Damai.
Sepanjang perjalanan, mulut Satria Gendeng 
tak kunjung habis meruntunkan sumpah serapah dan 
makian. Dia kesal karena Gendut Tangan Tunggal te-
lah meninggalkannya begitu saja. Pendekar tua macam 
apa dia? Dia pun jengkel setengah mati pada si pem-
bokong Dewi Melati yang tak sempat lagi disaksikan 
rupanya. 
Kenapa harus membokong pada saat dia mem-
butuhkan Dewi Melati untuk menerangkan sesuatu 
pada Penjaga Gerbang Neraka? Kenapa tidak tunggu 
sampai besok, tahun depan, atau sampai lebaran mo-
nyet nanti?
Semuanya jadi kacau-balau seperti desa yang 
diaduk-aduk angin topan sekaligus raja kentut!
Pagi yang semestinya disambuti dengan sanjungan puji syukur ke hadirat Pemilik Semesta Alam 
jadi disambut si pendekar muda dengan kejengkelan.
Sampai dia kehabisan napas sendiri, barulah 
umpatannya berhenti. Pemuda itu menghempas pantat 
ke rerumputan. Lusuh tampangnya. Bukan sekadar 
belum mandi pagi, tentunya.
Jelas kini, tak dapat disangkal lagi, kalau di-
rinya bakal menjadi buruan Penjaga Gerbang Neraka.
Dalam kekalutan akibat kehilangan orang yang dicin-
tai, akan makin sulit saja bagi Satria menjelaskan pa-
danya duduk perkara sebenarnya.
Satria Gendeng merasa dirinya terdampar di 
suatu pulau. Tak ada yang bisa dilakukan. Mencoba 
mencari Rara Lanjar ke Makam Keramat Muat percu-
ma. Dia tak pernah tahu letak daerahnya. Sementara 
orang yang tahu, malah sudah 'ngacir' entah ke mana. 
Mudah-mudahan tersesat di hutan Alas Roban dan 
dimakan nenek moyang dedemit! Belum lagi dia tak 
tahu cara menghadapi Penjaga Gerbang Neraka nanti.
Satria meringis-ringis sebal.
Saking sebalnya, dia menghantami kepala sen-
diri ke tanah. Jangan-jangan, sudah tertular 'penyakit' 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul....
Sampai suatu ketika, ada seseorang mendatan-
ginya.
Satria terkesiap. Cepat dia bangkit. Kuda-kuda 
dipasang. Siapa tahu yang datang Penjaga Gerbang 
Neraka. Ternyata bukan. Namun bukan berarti tak jadi 
terkejut. Sosok yang dilihatnya membuat matanya sulit 
berkedip.
"Kau...," desisnya, tak percaya.
"Siapa kau sebenarnya?" susulnya, sama sekali 
membingungkan. Kalau semula dia bergumam seakan 
pernah melihat orang itu, kini dia bertanya seakan

akan tak pernah mengenalnya.
Sesungguhnya pantas saja Satria Gendeng be-
gitu. Karena yang disaksikan adalah orang bertopeng 
kayu Arjuna. Dia mengenakan pakaian seorang ningrat 
Parahyangan. Lengkap dengan blangkon dan keris.
"Aku hendak menemuimu...," kata orang berto-
peng.
"O, jangan tanya bagaimana aku pun begitu in-
gin menemuimu sejak lama," sindir Satria.
"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu."
"Katakan selama telingaku belum tuli sama se-
kali."
"Kalau kau hendak mencari Rara Lanjar, se-
baiknya kau pergi ke gubuk di kaki Gunung Buran-
grang."
"Apa maksudmu? Yang ku tahu, dia telah dicu-
lik...."
"Kini dia telah selamat dan berada di sana."
Satria Gendeng menggeleng sambil tersenyum 
tanggung.
"Kau hendak mengibuliku, heh?"
"Kau bisa membuktikan sendiri," ucap si orang 
bertopeng seraya melangkah hendak meninggalkan Sa-
tria Gendeng.
"Tunggu!" cegah Satria. "Kurasa, aku telah bisa 
menduga siapa kau sebenarnya," katanya dengan tata-
pan menyelidik.
"Begitu?" tanya orang bertopeng tanpa memba-
likkan badan.
"Ya. Kau pasti Rara Lanjar sendiri?!" duga Sa-
tria yakin.
Orang bertopeng terdiam sesaat. Badannya ke-
mudian berbalik menghadap Satria.
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanyanya.

"Karena aku sudah mendengar cerita Ki Danu-
jaya. Kau jangan menyangkal lagi Rara Lanjar. Aku ta-
hu Ki Danujaya hanya berpura-pura tak tahu untuk 
mengamankan penyamaranmu. Bukan begitu?"
Satria Gendeng berjalan mengitari orang berto-
peng. Lagaknya sudah seperti kepala centeng menga-
wasi mating kampung. Matanya terus menatap penuh 
selidik.
"Ki Danujaya sendiri yang mengatakan bahwa 
kau adalah salah seorang keturunan sang Prabu. Me-
nurut beliau pula, bahwa keselamatanmu menjadi 
tanggung jawabnya. Jadi bukan tak mungkin selama 
ini kau telah diselamatkan oleh Ki Danujaya. Begitu 
pula saat kau pertama kali lolos dari tangan Manusia 
Makam Keramat. Hanya saja kau mengarang cerita te-
lah diselamatkan oleh orang bertopeng Arjuna. Padahal 
orang bertopeng itu kau sendiri."
Satria menatap lekat-lekat keris di belitan kain 
orang bertopeng.
"Dan keris itu. Bukankah itu keris yang diper-
gunakan sang Prabu untuk membunuh Arya Sonta si 
Manusia Makam Keramat untuk pertama kali?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ah, pertanyaan bodoh, Lanjar! Guruku adalah 
saudara langsung Arya Sonta. Dia tumbuh dan hidup 
di masa yang sama dengan manusia terkutuk itu. Gu-
ruku terkadang pelupa. Sewaktu kejadian di dekat 
Perguruan Belalang Putih, pada malam Ki Arga Pasa 
terbunuh, dia tak ingat senjata yang bisa membunuh 
Arya Sonta. Tapi, suatu kali dia teringat dan menceri-
takannya padaku...." 
"Lalu?"
"Pertanyaan bodoh lagi, Lanjar! Tentu saja se-
bagai seorang keturunannya, kaulah yang akan mewa

riskan senjata pusaka itu. Hanya saja aku memang tak 
tahu jelas bagaimana cara kau mendapatkannya...."
"Soal keris ini, kau benar. Soal yang lain, kau 
keliru," tandas orang bertopeng seraya membalikkan 
badan kembali.
"Keliru bagaimana?" Satria Gendeng penasaran. 
Tak sudi dia ditinggal begitu saja seperti kambing con-
gek.
"Aku bukan orang yang kau sebutkan." Satria 
Gendeng tergelak.
"Kau benar-benar pandai bersandiwara, Lanjar! 
Kau mengatakan aku keliru, sementara tetap kau 
sembunyikan wajah di balik topeng itu."
"Maaf, Saudara. Aku tak punya waktu untuk 
memperdebatkan pepesan kosong padamu...."
Lalu si orang bertopeng meneruskan langkah.
Satria cepat menghadang di depan.
"Kau tak bisa pergi begitu saja, Lanjar. Sebelum 
kau jelaskan alasan kenapa kau harus menyamar den-
gan topeng kayu itu?"
"Masih juga kau tak percaya?"
Satria Gendeng merengut sejadi-jadinya. Dasar 
perempuan keras kepala! Omelnya dalam hati.
"Apa maumu agar aku membuktikan bahwa 
kau adalah Rara Lanjar. Apa aku harus memaksa me-
rebut topengmu??!! Heh?" desak Satria Gendeng.
Orang bertopeng menggeleng.
"Kau tak perlu melakukannya. Saatnya nanti, 
kau pun akan segera tahu. Sekarang, biarkan aku per-
gi...."
"Tak bisa! Tak bisa!" sengit Satria, ngotot berat.
Mendadak saja, tangan pendekar muda itu ber-
gerak cepat. Amat cepat. Gerakan yang terlatih selama 
dia harus mengumpulkan bunga karang dari Lautan


Selatan dalam godokan Tabib Sakti Pulau Dedemit du-
lu. Dibarengi dengan jurus 'Mematuk Bunga Karang', 
tentu saja gerakan itu jadi amat sulit ditaklukkan da-
lam jarak terlampau dekat.
Kalau Satria mengira dia akan segera dapat me-
rebut topeng dari wajah orang di depannya, dia keliru.
"Haih!"
Hanya dengan mencondongkan badan sedikit 
menyamping, sambaran tangan Satria Gendeng lolos. 
Kecepatan gerak si orang bertopeng sanggup mengim-
bangi gerakan Satria Gendeng.
"He he he," Satria terkekeh. "Dari mana kau be-
lajar gerakan seanggun itu, Lanjar?" ledeknya.
Selanjutnya.... 
"Hia!!"
Satria Gendeng membentak. Dibayangi gerak 
mematuk beruntun. 
Berkali. 
Bertubi.
Cep tak, cep tak, cep tak!
Dan... semuanya lolos! Jika sebelumnya si 
orang bertopeng hanya mencondongkan badan, meng-
hadapi gencarnya patukan tangan Satria Gendeng, kini 
dia mempergunakan tangan untuk menangkis.
"Slompret kau, Rara Lanjar!" umpat si pendekar 
muda, mulai 'angot' sendiri. "Kenapa kau tak mele-
paskan saja topeng butut itu. Apa salahnya, heh? Apa 
kau tak percaya padaku lag!?!" serbunya, menyemprot-
nyemprot. Mencak-mencak pula.
Orang bertopeng menghela napas.
"Jika kau memang memaksa, memang sebaik-
nya aku memperlihatkan diriku padamu.... Toh, kau 
orang yang bisa kupercaya...."
Satria Gendeng terkekeh geli.

"Lihatlah.... Dari ucapanmu, kau mulai mau 
mengaku. Bagaimana kau dapat mengatakan aku ada-
lah orang yang bisa dipercaya kalau kau tak menge-
nalku...," katanya, merasa menang.
Disambungnya tawa makin geli. Sampai dia tak 
menyaksikan kalau orang di depannya sudah membu-
ka topeng.
Begitu Satria menghentikan tawa, mulutnya 
menganga seketika. Wajah di balik topeng telah disak-
sikannya. Tapi kenapa harus melongo tolol?
* * *
Siapa tuh orang? Benar Rara Lanjar? Bagaima-
na urusannya dengan Si cebol (nan galak), Penjaga 
Gerbang Neraka? Bisa apa tidak Satria mengatasinya?
Weleh... weleh....

                           SELESAI

Segera ikuti kelanjutannya!!! 
Serial Satria Gendeng 
dalam episode:
PEWARIS KERIS KIAI KUNING


https://matjenuhkhairil.blogspot.com
 
Share:

0 comments:

Posting Komentar