Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
SESOSOK tubuh melintas teramat cepat di se-
panjang dataran luas berbukit-bukit yang membentang
di kaki Gunung Burangrang. Teramat cepat, sampai-
sampai amat sulit untuk menyaksikan secara jelas ru-
pa orang itu. Beberapa batu gunung besar yang meng-
halangi dilompatinya tanpa kesulitan. Tak pandang
apakah tingginya melebihi pucuk cemara sekalipun.
Dari kelebatan tubuhnya yang menyerupai
bayangan berwarna kuning, bisa dinilai kalau orang
itu mengenakan pakaian kuning pula. Terlampau
mencolok untuk digunakan di siang bolong yang kebe-
tulan gencar dengan sorotan sinar matahari. Dari
gambaran kelebatan bayangannya juga, masih bisa di-
nilai bahwa orang itu bertubuh lebih besar dari orang
kebanyakan.
Sampai di suatu tempat di dekat hutan bambu
kuning, sosok bayangan tadi menghentikan larinya.
Dia berdiri di atas tanah yang agak tinggi. Kepalanya
menoleh ke sana, dan sebentar ke sini. Mungkin men-
cari seseorang, atau sesuatu. Yang diharapkan tampak
belum muncul.
Sekarang, rupa serta perawakannya menjadi
jauh lebih jelas. Dia seorang tua berbadan subur.
Tinggi tidak. Hanya saja badannya terlalu mekar dis-
esaki lemak. Perutnya buncit, menyebabkan pakaian
yang dikenakannya jadi kesempitan. Rambutnya tipis
kekuningan. Tak beda dengan rambut jagung. Orang
segemuk dia, tentu saja berpipi tebal. Kalau bayi
mungkin menggemaskan. Sementara untuk orang se-
perti dia, siapa yang sudi jadi gemas? Sorot matanya
memijarkan sesuatu yang mengerikan. Ada sebentuk
kejahatan kasat mata yang bersemayam dalam dirinya.
Dan hal itu hanya bisa ditemukan oleh pandangan
seorang waskita. Satu tangan si orang tua gendut
membawa senjata besar dari logam. Bentuknya berupa
gada. Sementara di bahu sebelah kanan, dia menyan-
dang tas besar dari kulit.
Beberapa saat menanti, akhirnya datang juga
seseorang. Mula-mula terdengar desir kencang angin
yang menandakan kehebatan ilmu lari cepat si penda-
tang. Lalu sekelebat bayangan melintas dari arah de-
pan si orang tua gendut. Hanya dalam sekedipan mata
berikutnya, sudah muncul seorang bercaping lebar
dan mengenakan jubah hitam-hitam.
Seperti tak hendak berbasa-basi, orang berju-
bah hitam dengan tetap menyembunyikan wajahnya
dibalik caping bertanya, "Apa yang kau dapat?"
"Kami telah menemukan mereka," lapor orang
tua gendut, datar.
Orang berjubah hitam mengangguk samar. Ter-
lihat dari gerakan capingnya.
"Di mana mereka?" susulnya dengan suara be-
rat. Seperti sejak awal dia bertanya.
"Di suatu tempat di kaki Gunung Burangrang.
Mari kuantar"
"Tidak sekarang," sergah orang berjubah hitam.
Lalu lanjutnya, "Purnama masih berselang cukup la-
ma. Aku tak mau membawa gadis itu lebih awal. Ada
orang-orang tertentu yang akan berusaha membe-
baskannya dariku. Jika waktunya tak tepat. Aku tak
mau ada halangan. Segalanya sebaiknya berjalan mu-
lus!"
Orang tua gendut mengangguk sekali.
"Yang penting sekarang, kalian harus tetap ber-
sama mereka. Laporkan di mana pun mereka berada.
Jika saatnya tiba, aku akan membawa si anak pera-
wan itu. Kau mengerti?"
Orang tua gendut mengangguk lagi.
"Sekarang kembalilah kau! Ingat, aku tak ingin
rencana ini gagal. Jika itu sampai terjadi, maka kalian
akan kehilangan kepala!"
Selesai menandaskan pernyataan yang lebih
mirip sebuah ancaman, orang berjubah hitam berge-
rak. Mendadak dia seperti raib dari tempatnya berdiri.
Dia tak lain tak bukan, Manusia Makam Keramat. Pe-
nampilannya telah berubah, sesuai dengan rencana
baru yang akan dijalankan.
Sementara orang tua gendut pun meninggalkan
tempat tersebut menuju arah di mana dia datang sebe-
lumnya. Dia tentu saja Gendut Tangan Tunggal. Seba-
gaimana diketahui bahwa pendekar tua bertubuh bun-
tal itu menjadi kehilangan jati dirinya setelah dikuasai
pengaruh Manusia Makam Keramat. Dia kini tak lebih
dari budak berhati bejat. Sebagaimana nasib yang di-
alami oleh kawan seperjuangannya pula, Pendekar
Muka Bengis.
Terakhir kali, pasangan aneh itu bertemu den-
gan Satria dan Rara Lanjar yang tengah bersembunyi
di kaki Gunung Burangrang. Karena hal itu pula Gen-
dut Tangan Tunggal melaporkan pada Manusia Makam
Keramat. (Baca serial Satria Gendeng pada episode:
"Nisan Batu Mayit").
* * *
Satria masih tertegun-tegun setelah menemu-
kan tiga benda di dalam lobang sebuah pohon besar
tua. Salah satu benda sudah amat dikenalinya. Benda
itu tak lain Kail Naga Samudera, senjata pusaka si
pendekar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit. Senjata itu bebe-
rapa waktu telah hilang tak tentu rimbanya. (Dapat di-
baca pada episode sebelumnya: "Memburu Manusia
Makam Keramat")
Dua benda lain tak begitu asing lagi di benak
Satria Gendeng. Topeng kayu Arjuna dan sebuah kitab
berkulit kayu. Kendati baru sekali itu melihat, Satria
yakin kitab yang ditemukannya adalah kitab amanat
dari Ki Arga Pasa yang direbut orang bertopeng Arjuna,
sebagaimana penuturan Palguna, salah seorang murid
kepercayaan Ki Arga Pasa.
Satria menyelipkan Kail Naga Samudera ke ikat
pinggang. Sudah cukup lama benda itu tak ada di sa-
na, semenjak dicuri diam-diam darinya. Sampai seka-
rang, tak jelas siapa pelakunya. Satria jadi bertanya-
tanya dalam hati, untuk apa Kail Naga Samudera dicu-
ri setelah itu hanya disimpan dalam sebuah lobang
pohon tua? Padahal berpuluh-puluh bahkan mungkin
beratus orang dunia persilatan justru amat bernafsu
untuk secepatnya memanfaatkan jika mereka sempat
memiliki. Satu pertanyaan yang sulit sekali untuk di-
jawab saat sekarang ini, pikir Satria.
Sedangkan dia sendiri masih belum bisa men-
duga-duga siapa sesungguhnya orang selalu bersem-
bunyi di balik topeng Arjuna. Satu kesimpulan yang
sudah cukup jelas cuma, bahwa si orang bertopeng te-
lah mencuri Kail Naga Samudera, sekaligus kitab ama-
nat Ki Arga Pasa.
"Hendak ku apakan dua benda ini sekarang?"
bisiknya, menanyakan diri sendiri.
"Hanya ada satu cara agar aku bisa mengetahui
siapa orang di balik topeng yang telah mencuri Kail
Naga Samudera dan kitab amanat Ki Arga Pasa," bi
siknya lagi sambil menimang-nimang kedua benda di
tangannya.
Satria Gendeng tersenyum. Dia ada akal kecil.
Akan diletakkan kembali dua benda tersebut ke tempat
semula. Setelah itu, tinggal ditunggunya siapa yang
akan datang mengambil. Orang yang mengambilnya,
sudah bisa dipastikan sebagai si pencuri sekaligus
orang yang selama ini bersembunyi di balik topeng Ar-
juna! Untuk Kail Naga Samudera, Satria tetap akan
menahannya.
Akal kecil yang sebenarnya terlalu sederhana,
bukan? Sama sekali tak akan ada salahnya bila dico-
ba, pikir Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu baru hendak
melompat kembali ke atas dahan yang berdekatan
dengan lobang tapi urung oleh teguran pikirannya.
"Kenapa aku begitu bodoh! Bukankah tanpa
perlu meletakkan kembali kedua benda itu, si pencuri
tetap akan datang mengambil? Terutama selama orang
itu tak menyadari kalau aku telah mengambil seluruh
benda itu? Dengan begitu, kedua benda ini tetap akan
aman di tanganku...," timbangnya.
Terlintas juga dalam pikiran Satria untuk me-
nyerahkan kitab di tangannya kepada Rara Lanjar ter-
lebih dahulu. Namun, kembali pikiran lain datang. Ba-
gaimana kalau si pencuri datang ketika dia sedang
kembali ke gubuk? Itu berarti dia telah kehilangan ke-
sempatan besar untuk membuka rahasia wajah di ba-
lik topeng Arjuna.
Satria menggeleng.
"Tidak bisa," katanya, memutuskan.
Selesai menimbang kembali rencana kecilnya,
Satria segera mencari tempat yang cukup tersembunyi.
Diputuskan untuk menanti dan mengintai orang pe
nuh teka-teki itu. Ditemukannya semak belukar. Cu-
kup rimbun. Cukup pula untuk tempatnya mengintai
tanpa terlihat.
"Aku penasaran sekali, siapa sesungguhnya
orang itu," ucapnya tetap berbisik sambil menurunkan
badan ke balik semak. Dia duduk bersila menghadap
ke arah pohon besar tua. Mulai sekarang, dia akan
menanti.
Menanti. Pekerjaan yang membosankan untuk
siapa pun, kecuali bagi orang tak waras. Biar bagai-
mana, Satria merasa harus melakukannya. Sampai be-
rapa lama, dia sendiri belum bisa memastikan. Mung-
kin setengah hari, satu hari, dua hari, atau lebih.
Memikirkan kemungkinan itu, kepalanya dige-
leng-gelengkan.
"Entah kenapa aku mau melakukan ini. Bodoh
sekali sepertinya. Aku pasti menyesal kalau orang itu
tak akan muncul hingga lebih dari seminggu, atau aku
berlumut di sini!" gerutunya pada diri sendiri, kendati
dia sudah benar-benar berniat untuk tetap menunggu.
Sambil menanti, dia mencoba bersemadi. Den-
gan cara itu, Satria bisa mengenyahkan kejenuhan.
Sementara bersemadi, akan tetap dipasangnya pen-
dengaran tajam-tajam. Suara mencurigakan sekecil
apa pun, bisa dijadikan patokan untuk memutus sege-
ra semadinya.
Syukurlah pekerjaan paling menjemukan itu
tak berlangsung lama. Hanya sekitar dua kali penana-
kan nasi, akhirnya datang juga seseorang ke tempat
tersebut. Satria memutus semadinya. Pandangan dipa-
sang setajam mungkin. Dari sela-sela rerimbunan se-
mak, dia mengawasi.
"Satria! Satria!"
Terdengar pula seruan suara wanita, memang
gil namanya. Menyusul munculnya seseorang. Pende-
kar muda itu menghela napas. Wajahnya memperli-
hatkan garis agak kecewa mengetahui orang yang da-
tang ter-nyata Rata Lanjar. Dia bangkit.
"Aku di sini, Lanjar!" ucapnya, agak ditahan-
tahan.
Rara Lanjar menghampiri.
"Dari mana saja kau, Satria? Aku sudah men-
cari-carimu ke mana-mana. Sudah hampir tujuh kelil-
ing aku mencari, tak tahunya kau malah sedang enak-
enakan di semak-semak. Sedang apa kau sebenarnya?
Tidur? O, main sembunyi-sembunyian? Kau pikir aku
akan suka? Kau bukan anak kecil lagi, Satria. Aku pun
tidak mau kau perlakukan seperti anak kecil," sembur
Rara Lanjar sengit. Wajahnya bersungut-sungut.
"Sabar... sabar," bujuk Satria berbisik. Telun-
juknya diangkat ke depan bibir, mengisyaratkan Rara
Lanjar untuk tidak ribut.
"Bagaimana aku bisa sabar? Apa kau tahu kea-
daan Ki Damar Sakti mulai memburuk lagi!" hardik
Rara Lanjar.
Satria meringis gemas sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Kubilang jangan bikin ribut!" desisnya.
Rara Lanjar baru hendak buka mulut lagi. Sa-
tria tak mau mendapat semprotan seorang perawan
yang bisa membuat dirinya kebingungan seperti orang
tolol. Didahuluinya saja Rara Lanjar dengan mengelua-
rkan topeng kayu dan kitab yang ditemukannya.
"Lihat ini!" sergahnya.
Rara Lanjar tak berkedip menyaksikan dua
benda yang diperlihatkan Satria. Alisnya bertaut.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan benda ini?"
tanyanya dengan paras ternganga.
"Ssssst!"
Satria menarik pangkal lengan gadis di depan-
nya, memaksanya untuk merunduk ke dalam semak.
"Mau apa kau, hah?" sentak Rara Lanjar den-
gan wajah memerah. Ditepisnya tangan Satria.
Brengsek dua belas kali, rutuk Satria memba-
tin. Ada yang telah salah tanggap rupanya
"Sial kau! Aku bukan hendak berbuat mesum.
Kau pikir aku ini sejenis pemuda yang senang main
'semak-semak'an?"
Rara Lanjar bersungut. Meskipun Satria tak
mengatakan langsung, Rara Lanjar tetap menganggap
ucapan Satria agak mesum. Dia jadi sebal.
"Jadi kau mau apa?!" tanyanya masih dibayangi
nada membentak.
"Sudah kau merunduk saja ke semak. Nanti ku
jelaskan!"
Rara Lanjar menurut juga.
"Sekarang jelaskan!" pintanya kemudian, tanpa
mengubah parasnya yang terlalu kecut di pandangan
Satria Gendeng.
"Aku menemukan kedua benda ini di atas lo-
bang pohon itu!" papar Satria, setelah dia turut me-
nyembunyikan diri ke dalam semak. Tangannya me-
nunjuk pohon besar tua.
"Bagaimana kau bisa tahu di sana ada lobang
tempat menyembunyikan benda ini?"
"Semacam naluri kependekaranku yang me-
mang amat peka...," puji Satria pada diri sendiri. Mak-
sudnya bukan begitu sebenarnya. Dia cuma ingin me-
ledek Rara Lanjar.
Rara Lanjar mencibir.
"Ah, kau tak perlu bertanya begitu. Pokoknya,
kau harus tahu bahwa aku sengaja bersembunyi di
tempat ini untuk mengintai orang yang telah meletak-
kan semua benda-benda ini di lobang pohon besar itu,"
tandas Satria Gendeng.
"Dengan begitu kau akan mengetahui siapa
orang yang telah mengenakan topeng kayu ini?"
"Kau bukan gadis tolol rupanya."
"Tapi bagaimana dengan Ki Damar Sakti?!"
"Bagaimana dengan dia?"
"Kau ini bagaimana? Aku sudah bilang baru-
san, orang tua itu keadaannya mulai memburuk lagi!
Apa kau tuli?"
"Aku tidak tuli! Cuma aku agak bingung me-
nentukan apa aku harus tetap menanti atau kembali
ke gubuk?!"
"Kau ini pemuda apa? Tak sepantasnya kau
menanyakan satu keputusan genting pada orang lain.
Kau harus belajar dari setiap keadaan, jangan meng-
gantungkan keputusan selalu pada orang lain!" cera-
mah Rara Lanjar.
Satria gemas. Sok tahu sekali gadis ini! "Baik...
baik. Begini saja. Kau kembali ke gubuk, aku akan te-
tap di sini!" putusnya, ngotot.
"Percuma saja aku menyusulmu ke sini kalau
begitu. Aku tak tahu menahu soal pengobatan. Orang
tua buncit belum kembali membawa tabib sampai se-
karang. Sedangkan kau sedikit banyak tahu soal itu.
Bukankah kau murid Ki Kusumo, Tabib Sakti Pulau
Dedemit itu?" serang Rara Lanjar, tak mau kalah.
Satria bersungut-sungut. Jadi juga dia kebin-
gungan oleh semprotan-semprotan 'sakti' seorang pe-
rawan seperti Rara Lanjar. Tapi, demi kepala plontos
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, dia tak sudi disebut
sebagai pemuda yang tak punya ketegasan oleh Rara
Lanjar.
Satria bangkit. Kedongkolan mendekam di wa-
jahnya.
"Begini saja. Kau yang menunggu di sini, aku
akan kembali ke gubuk!"
"Itu lebih bagus! Sekarang cepatlah kau kemba-
li!"
"Tapi apa kau yakin bisa mengatasi semua ini?"
"Pergi saja kataku! Pergi!"
DUA
MATAHARI sudah beranjak cukup tinggi. Siang
datang menjelang. Panas tak terlampau sengit. Teduh
saja. Karena awan putih hampir menirai rata seluruh
wajah angkasa.
Sementara Satria Gendeng dalam perjalanan
kembali ke gubuk di kaki Gunung Burangrang. Di gu-
buk itu sendiri Ki Damar Sakti telah siuman. Di atas
balai, lelaki tua itu menceracau sesuatu tak jelas, se-
perti orang mengigau. Wajahnya dipenuhi peluh. Kepa-
lanya bergerak-gerak lemah. Tubuhnya bergetaran.
Beberapa kali terlihat bagai menggigil hebat. Seper-
tinya dia dalam keadaan berkutat untuk melepaskan
diri dari suatu belenggu.
Di balik pintu gubuk, seseorang mendengarkan
lenguhan dan ceracauan Ki Damar Sakti dengan wajah
tegang. Parasnya tertarik amat parah. Ada sesuatu
yang begitu mengkhawatirkan orang itu. Bukan terha-
dap keadaan memprihatinkan pendekar tua yang sakit
terluka dalam parah di dalam sana. Melainkan khawa-
tir kalau Ki Damar Sakti sempat siuman dan mengata-
kan rahasia yang diketahuinya pada Satria atau Rara
Lanjar. Orang ini adalah Pendekar Muka Bengis. Tokoh
golongan lurus, kawan Gendut Tangan Tunggal, yang
telah menempuh jalan sesat tanpa disadari akibat pen-
garuh Manusia Makam Keramat.
Sebagaimana diketahui, Ki Damar Sakti tidak
semata mengalami luka dalam. Selama ini, sedikit de-
mi sedikit tubuhnya digerogoti dari dalam oleh penya-
luran hawa perusak yang dilakukan oleh Gendut Tan-
gan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis. Satria atau
Rara Lanjar tak mengendusi. Mereka hanya mengira
kalau kedua orang itu sedang menyalurkan hawa
murni untuk membantu penyembuhan Ki Damar Sak-
ti.
"Hmm," gumam Pendekar Muka Bengis seperti
mendengus. "Aku bagaimana mungkin Damar Sakti
masih sempat siuman setelah aku dan si Buncit me-
nyalurkan hawa perusak ke dalam dirinya beberapa
kali?" lanjutnya bertanya-tanya sendiri.
Pendekar Muka Bengis patut mengherankan
keadaan Ki Damar Sakti. Namun kalau dia mengerti
bagaimana kekuatan hati pendekar tua itu untuk me-
nyampaikan rahasia yang diketahuinya pada Satria
dan Rara Lanjar, tentu Pendekar Muka Bengis bisa
mengerti. Kendati dalam keadaan setengah sadar, da-
lam kalbu Ki Damar Sakti sudah terpatri kuat keingi-
nan untuk memperingati Satria dan Rara Lanjar ten-
tang ancaman yang datang dari Gendut Tangan Tung-
gal dan Pendekar Muka Bengis. Kekuatan hati terka-
dang mendatangkan sebentuk keajaiban jika tak bisa
disebut mukjizat. Dan itu dialami oleh Ki Damar Sakti
sekarang ini. Meskipun jika dinilai oleh Pendekar Mu-
ka Bengis, dia sudah tak mungkin lagi untuk siuman.
"Bisa berbahaya jika Damar Sakti keparat ini
membuka mulut...," desis Pendekar Muka Bengis. "Aku
harus membunuhnya sekarang juga. Jika nanti Satria
Gendeng datang, akan kukatakan saja bahwa jiwa
Damar Sakti tak dapat diselamatkan akibat luka da-
lamnya yang sudah kelewat parah..."
Pendekar Muka Bengis melirik kian kemari se-
jenak, mewaspadai kedatangan Satria Gendeng. Yakin
dia masih punya cukup waktu untuk menjalankan
rencana sebelum Satria Gendeng tiba, dia segera ma-
suk ke dalam gubuk.
Di dalam dia melangkah mendekati tempat
pembaringan Ki Damar Sakti.
Wajahnya berubah.
Membatu.
Dan memeram hawa angkara.
Satu tindak dari Ki Damar Sakti yang masih
terbaring gelisah, tangan kiri Pendekar Muka Bengis
terangkat perlahan menuju dada pendekar tua itu. Te-
lapaknya membuka lebar, kaku. Ditempelkannya tela-
pak tangan ke dada Ki Damar Sakti.
Wajah Pendekar Muka Bengis makin membatu.
Bibirnya melekuk ganjil.
Perlahan warnanya berubah merah kebiruan.
Ada getaran kuat.
Nafasnya menyentak-nyentak.
Dari wajah, getaran beringsut turun ke tangan.
Sebentuk tenaga pun mengalir dari sekujur se-
rat di tangan itu. Menggiring sengatan maut. Mata ma-
nusia biasa, tak akan menangkap adanya semacam
cahaya halus berwarna keunguan yang mengaliri seku-
jur tangan kiri Pendekar Muka Bengis. Lambat tapi
pasti, ujung cahaya mendekat ke dada Ki Damar Sakti.
Jaraknya kian dekat. Tersisa dua jari saja.
Sampai suara pintu gubuk dikuak seseorang,
memenggal usaha keji Pendekar Muka Bengis meng-
habisi riwayat Ki Damar Sakti. Cepat-cepat lelaki ber
wajah garang itu menurunkan tangan kiri dari dada
calon korbannya.
Berbalik cepat, dicoba menyembunyikan wajah
berhawa angkaranya serapat mungkin.
"Ah, Satria... syukurlah kau telah kembali!"
sambutnya, ketika menyaksikan orang yang masuk.
Satria yang mengkhawatirkan keadaan Ki Damar Sakti
tentu tak begitu memperhatikan paras Pendekar Muka
Bengis. Keadaan itu menguntungkan Pendekar Muka
Bengis. Dia selamat dari kecurigaan si pendekar muda.
Satria bergegas mendekati pembaringan Ki Da-
mar Sakti.
"Bagaimana keadaannya, Orang Tua?" tanya
Satria.
"Buruk. Luka dalamnya makin parah saja," sa-
hut Pendekar Muka Bengis sambil membuang wajah
ke arah Ki Damar Sakti agar Satria tak menemukan
warna parasnya saat bertanya barusan. Sekaligus pula
menyamarkan kegusaran karena rencana busuknya
telah gagal.
Tetap berdiri di samping pembaringan, Satria
memeriksa keadaan Ki Damar Sakti. Menyaksikan wa-
jah Ki Damar Sakti basah oleh keringat, Satria melepas
kain ikat pinggangnya. Diletakkan Kail Naga Samudera
ke sisi pembaringan. Setelah itu dia sendiri yang me-
nyapu keringat di wajah Ki Damar Sakti.
"Lihatlah bibirnya sudah demikian membiru,"
ucap Satria terdengar memelas. "Dia dalam keadaan
amat gawat. Luka dalamnya telah sampai ke jalan da-
rah menuju otaknya," duganya atas dasar pelajaran
seni pengobatan yang sempat diterimanya dari Ki Ku-
sumo.
"Kupikir juga begitu," timpal Pendekar Muka
Bengis. Padahal matanya tertuju pada Kail Naga Samudera, seakan seekor kucing liar yang menatap sepo-
tong daging empuk.
Satria melangkah. Tak tenang, dia berjalan hi-
lir-mudik.
"Aku masih tak mengerti. Bagaimana hawa
murni yang selama ini kita kerahkan ke dalam tubuh
Ki Damar Sakti seperti tak berpengaruh sama sekali?"
gumamnya, gundah.
Pendekar Muka Bengis diam saja. Kalau Satria
Gendeng lengah, matanya kembali menerkam rakus ke
arah Kail Naga Samudera.
"Bagaimana dengan Pak Tua Gendut? Apa dia
belum juga kembali?" tanya Satria.
Pendekar Muka Bengis menggeleng. Satria
mengeluh.
"Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap Ki
Damar Sakti. Keadaannya sudah terlalu parah untuk
bisa kutangani dengan sedikit pengetahuan pengoba-
tan yang kupunya. Bagaimana dengan kau, Orang
Tua?"
Pendekar Muka Bengis menggeleng lagi.
"Kita tak bisa hanya menunggu kedatangan Pak
Tua Gendut. Sebaiknya kita bawa segera Ki Damar
Sakti ke seorang tabib."
Pendekar Muka Bengis mengangguk. Kendati
dalam hatinya menyumpah-nyumpah
Bergegas, Satria mengangkat tubuh menggigil
Ki Damar Sakti dari pembaringan. Dibopongnya ke-
luar. Terlalu khawatir dia pada keselamatan pendekar
tua itu. Salah satu sifat yang menjadi dinding kalbu si
pendekar muda sejak masih kanak-kanak. Kendati hi-
dup dalam dunia persilatan yang berbau anyir sepan-
jang waktu, dalam kebengisan, kekerasan, dan dunia
yang selalu cenderung tak berbelas, hatinya tak per
nah kehilangan sifat welas asih.
Besi boleh lebur oleh panas tinggi. Karang boleh
kikis oleh gelombang. Benteng boleh gugur oleh tem-
paan hujan dan terik mentari. Tapi sifat welas asih itu
dalam dirinya tidak.
Sementara, si pendekar muda sepertinya nyaris
melupakan Kail Naga Samudera di sisi pembaringan.
Pendekar Muka Bengis menyeringai tersem-
bunyi.
Dia benar-benar berharap Satria melupakan
senjata pusaka itu. Dengan begitu, dia akan mengam-
bilnya. Persoalan apakah Satria akan mencarinya nan-
ti, urusan belakangan.
Untung saja, ketika Satria mengangkat tubuh
Ki Damar Sakti, tanpa sengaja Kail Naga Samudera
terdorong sikunya. Benda itu jatuh ke tanah.
Pendekar Muka Bengis menatap dengan mata
gusar.
"Ah, hampir saja aku melupakan senjataku itu,"
ucap Satria.
"Pak Tua, bisakah kau menolongku mengam-
bilkan benda itu?" pinta Satria pada Pendekar Muka
Bengis. Dia sudah tak bisa merunduk karena telanjur
membopong Ki Damar Sakti.
Lelaki berwajah bengis itu tersenyum dipaksa-
kan. Keparat, rutuknya dalam hati. Dia tak pernah
berharap mengambilkan benda pusaka itu untuk si
pemuda. Gusarnya mungkin melonjak sampai ke teng-
gorokan atau ubun-ubun. Tapi itu harus ditelan Pen-
dekar Muka Bengis mentah-mentah dengan senyum
dibuat-buat sepanjang hendak menjaga siasat.
Sebenarnya, bisa saja Pendekar Muka Bengis
mengambil Kail Naga Samudera, lalu dihajarnya Satria
secara mendadak dengan benda itu. Dalam keadaan
tak menduga sama sekali, tentu tak terlalu sulit untuk
menjatuhkan pendekar muda itu. Terlebih dia dibebani
tubuh Ki Damar Sakti. Namun jika itu dilakukan, ma-
ka dia telah menghancurkan seluruh siasat. Rara Lan-
jar yang sedang dalam incaran Manusia Makam Kera-
mat yang kini menjadi semacam 'majikannya', tentu
akan curiga. Sementara Gendut Tangan Tunggal belum
juga kembali untuk mengabarkan rencana selanjutnya.
Pendekar Muka Bengis menyerahkan Kail Naga
Samudera langsung ke tangan Satria.
"Terima kasih, Pak Tua," hatur Satria, meng-
hargai.
Untuk Pendekar Muka Bengis, terasa seperti
ejekan.
Satria keluar lebih dahulu dari gubuk.
Pendekar Muka Bengis mengikuti di belakang-
nya.
"Apa yang hendak kau lakukan, Pak Tua?"
tanya Satria seraya berbalik.
Pendekar Muka Bengis agak terkejut mendapat
pertanyaan Satria Gendeng. Dia mengira Satria mulai
curiga dengan sikapnya.
"Apa maksudmu?" tanya Pendekar Muka Ben-
gis.
"Kau turut keluar? Apa kau ingin turut men-
gantar?"
"Ya, tentu saja!" ujar Pendekar Muka Bengis,
lega. Dugaannya keliru.
"Kurasa tak perlu. Sebaiknya kau menyusul
Rara Lanjar di sebelah Tenggara kaki gunung. Dia pas-
ti lebih membutuhkan bantuanmu."
"Kenapa dengan gadis itu?"
"Aku tak sempat menjelaskan. Sebaiknya kau
ke sana saja!"
"Baik."
Lalu, Satria melanjutkan langkah yang tertun-
da. Dia berlari mengerahkan segenap kemampuan ilmu
meringankan tubuh sekitar sepuluh tombak dari pintu
gubuk.
"Keparat...," geram Pendekar Muka Bengis, se-
peninggalan pendekar muda itu. Pertama dia gusar se-
tengah mampus karena tak berhasil mendapatkan Kail
Naga Samudera tanpa harus merusak siasat. Kedua
dia mengkhawatirkan Ki Damar Sakti sempat membo-
corkan siasat itu pada si pendekar muda tanah Jawa.
Kalau terjadi, seluruh siasat akan hancur tanpa hasil.
Di lain tempat, Satria berlari bagai kesetanan.
Arahnya menuju desa terdekat, tanpa kepastian apa-
kah di sana tinggal seorang tabib atau tidak. Satria tak
terlalu mempedulikan itu. Setiap usaha memang se-
perti mata uang logam yang memiliki dua sisi. Bisa
berhasil, atau gagal. Terkadang usaha dalam hidup tak
bisa dibedakan dengan perjudian. Tak jarang pula ta-
ruhannya nyawa. Biar begitu, hidup tetap hidup. Ni-
lainya tak bisa ditentukan dari pandangan seorang
penjudi. Melainkan dari pandangan seorang pejuang
hidup itu sendiri, yang menganggap nilai tertingginya
terdapat pada perbuatan terbaik yang bisa diusaha-
kan. Bukan sekadar hasil semata.
"Ssssatriaa.... Sat... ria...."
Sedang gencar mengayun kaki, sayup-sayup te-
linga si pendekar muda menangkap suara bisikan.
Satria menghentikan larinya. Dia ingin meya-
kinkan apa yang barusan didengarnya. Dan bisikan itu
terdengar lagi. Sekali ini jauh lebih jelas. Datangnya
dari diri Ki Damar Sakti dalam bopongannya.
"Jangan banyak bicara dulu, Ki. Aku hendak
mengusahakan agar kau bisa dirawat oleh seorang tabib," cegah Satria ketika menyaksikan bibir pendekar
tua itu bergerak-gerak hendak berkata.
Tangan kanan Ki Damar Sakti terangkat susah-
payah dan bergetar.
"Ak... aku hhharus mengatakan sess... suatu
padamu, Satria...," katanya lagi, terbata.
Menyaksikan bersit mata redup Ki Damar Sakti
yang demikian berharap untuk didengarkan, Satria ja-
di tak ingin mencegah orang tua itu untuk melan-
jutkan ucapan. Diperhatikannya setiap potong kata
yang tersendat keluar dari mulut Ki Damar Sakti.
"Kkk... au hharrus hati... hati. Ad... a."
"Ada apa, Ki?"
Tak ada jawaban lagi. Sia-sia Satria bertanya.
Bahkan tak juga ada tarikan napas pendekar tua itu.
Dia telah kehilangan nyawa sebelum Satria sempat
mengantarkannya pada seorang tabib.
TIGA
SAYANG sekali Ki Damar Sakti belum sempat
mengungkapkan rahasia yang diketahuinya. Ajal me-
mang datang pada waktunya, tanpa bisa diundur atau
dicegah. Kapan dan di mana kematian akan menda-
tangi insan menjadi sebagian teka-teki milik Tuhan.
Biar bagaimana, Satria Gendeng tak bisa bilang
apa-apa. Pada dasarnya, dia pun tak bisa menyesali
keterlambatan Ki Damar Sakti untuk mengatakan se-
suatu yang ingin disampaikan pada Satria. Selama ini,
Ki Damar Sakti tak sadarkan diri. Ketika siuman, maut
malah lebih cepat menjelang dari keinginan kuatnya
mengungkap rahasia.
Satria sendiri tak pernah menduga sebelumnya
mendiang pendekar tua itu hendak mengungkap sesu-
atu. Kalaupun tahu, tetap tak akan bisa memaksa Ki
Damar Sakti bicara saat dia tak sadarkan diri.
Yang ada kini dalam hati Satria cuma rasa pe-
nasaran yang menggumpal-gumpal. Penasaran pada
ucapan yang tak sempat dikatakan Ki Damar Sakti.
"Apa sebenarnya yang hendak kau ungkapkan
kepadaku, Orang Tua?" tanya Satria, berbisik. Jasad
Ki Damar Sakti masih di atas bopongannya.
"Aku yakin, kau hendak mengungkap sesuatu
yang demikian genting, sehingga saat maut menjelang
pun kau masih bersikeras untuk bicara..." reka pende-
kar muda murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Satria memutuskan untuk menyelidik perkara
itu. 'Asap ada karena api'. Seperti juga keinginan Ki
Damar Sakti berbicara menjelang ajal tentu didorong
oleh satu alasan tertentu.
Satria kemudian menggali liang.
Liang selesai, jasad Ki Damar Sakti pun dita-
nam di dalamnya.
"Aku harus pergi ke perguruan yang dipimpin
mendiang Ki Damar Sakti. Dari sana aku bisa memulai
penyelidikan...," gumamnya kemudian.
"Tapi bagaimana dengan masalah yang harus
dihadapi Rara Lanjar?" sergahnya pada diri sendiri.
"Ah, bukankah telah ada Pak Tua Muka Bengis.
Jelas dia bisa diandalkan untuk membantu jika Rara
Lanjar dalam kesulitan," tepisnya.
Satria pun beranjak.
Gundukan basah membisu mengiring keper-
gian Satria. Angin menyenandungkan tembang pengir-
ing keberangkatan satu jiwa ke alam abadi.
* * *
Rara Lanjar masih berada di tempat Satria me-
nemukan kitab, topeng, dan senjata pusakanya. Sebe-
lum pergi waktu itu, Satria Gendeng menyerahkan to-
peng kayu dan kitab kepada Rara Lanjar. Menurut Sa-
tria, Rara Lanjar-lah yang punya kepentingan besar
terhadap kedua benda itu.
Kepentingan Satria sendiri cuma Kail Naga Sa-
mudera. Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menggan-
tungkan keselamatannya pada senjata pusaka itu. Dia
lebih mempercayai dirinya sendiri. Bukankah kesela-
matan tergantung bagaimana seseorang dapat mem-
bawa dirinya dalam mengarungi kehidupan?
Cuma saja, Kail Naga Samudera adalah benda
pemberian salah seorang gurunya, Ki Kusumo. Tak
pantas rasanya jika dia tak bisa menjaga benda ama-
nat itu. Ada satu alasan lagi yang paling membuat nge-
ri Satria jika benda itu hilang atau sempat jatuh ke
tangan orang sesat. Apalagi kalau bukan omelan
'samber geledek' Dongdongka, guru 'rada-rada'-nya?
Kembali kepada Rara Lanjar, saat itu dia men-
dengar seseorang mendatangi tempatnya. Langkah-
langkahnya terdengar ringan. Langkah seperti itu
hanya terdengar dari langkah seorang yang memiliki
ilmu meringankan tubuh. Jelas dia orang persilatan.
Tubuh Rara Lanjar mematung. Tegang. Wajah-
nya tak bergeming.
"Satria?" bisiknya menduga-duga.
Hanya terdengar gesekan dedaunan terusik an-
gin.
Rara Lanjar semakin tegang. Telinganya kini
sama sekali tak menangkap lagi suara langkah-
langkah halus. Padahal sebelumnya dia yakin telah
mendengar derap di atas rumput yang mendekat ke
arahnya.
Bulu-bulu halus di tengkuknya meremang. Dia
mulai mengendusi satu ancaman. Selang berikutnya,
perasaannya memperingati adanya seseorang yang
tengah mengintai dari arah belakang.
Rara Lanjar sigap menoleh.
Bertepatan dengan itu, sekelebatan bayangan
meluncur deras dari atas pohon besar, sekitar tujuh
tombak di belakangnya. Gerakannya menghasilkan de-
ru santer, pertanda kematangan tingkat ilmu merin-
gankan tubuhnya. Gerakannya mirip tukikan seekor
elang menyambar mangsa.
Sengit.
Ganas.
Wrrrr!
Lalu sekelebatan, mata Rara Lanjar menangkap
gerakan tangan orang yang meloncat. Sasarannya ki-
tab bersampul kayu di tangan kanan Rara Lanjar.
Gerakan mendadak itu tak sempat membuat
Rara Lanjar kehilangan ketenangan. Nalurinya cepat
menyentakkan perintah. Tangan kanannya diturun-
kan.
Wukh!
Sambaran orang yang jelas-jelas hendak mere-
but kitab tulisan seorang prabu Pajajaran itu menjadi
luput. Hanya menyambar angin.
Rara Lanjar menyusulkan gerakan. Tangan ki-
rinya yang memegang topeng kayu disampokkan ke
depan, mengimbangi kecepatan gerak menyambar
orang tadi.
"Heaaa!"
Wush!
Masih di udara, orang tadi memapak sampokan
Rara Lanjar dengan sepasang telapak tangannya. Den-
gan tindakan itu pula, dia menghentikan laju tubuh-
nya, sekaligus membuat putaran tinggi kembali ke be-
lakang.
Di atas pohon sebelumnya, sosok itu menjejak
lalu mencelat kembali ke pohon yang lebih lebat. Ber-
kali-kali. Dari satu pohon ke pohon yang bersebelahan.
Membentuk lingkaran besar, seakan seekor dewa kera
yang sedang mempermainkan musuhnya.
Sampai celatan ke sekian, sosok itu menghilang
di rerimbunan dedaunan.
Rara Lanjar mencari-cari dengan mata yang
membesar dan membersitkan ketegangan memuncak,
setelah sebelumnya dia dipaksa berputar-putar mengi-
kuti gerakan cepat sosok tadi.
Hanya terdengar suara gesekan dedaunan
kembali.
Tak ada suara mencurigakan, biarpun Rara
Lanjar telah memasang pendengaran kuat-kuat.
Ketegangan memagut.
Suasana terasa bagai intaian maut.
Yang siap menerkam dari satu sudut.
Sampai suatu ketika....
Wrrr!
Suara angin tergetar tercipta dari arah belakang
Rara Lanjar. Tajam. Kesanterannya berlipat dua dari
sebelumnya. Orang ini bersungguh-sungguh ingin me-
rebut kitab ini, pikir Rara Lanjar. Gadis putri Ki Arga
Pasa itu segera membalikkan badan. Dia pun menge-
rahkan segenap kecepatan lebih dari sebelumnya.
Sekali ini, sosok yang belum lagi jelas rupa dan
perawakannya itu tak hanya berniat menyambar kitab
di tangan Rara Lanjar. Lebih dari itu, dia hendak me-
nyarangkan serangan ganas ke diri Rara Lanjar.
"Heaa!"
Debb!
Tendangan menyapu membentuk gerak me-
lengkung mengarah ke leher Rara Lanjar. Serangan ke-
ji! Tak perlu menyalurkan tenaga dalam terlalu kuat
pun, tendangan seperti itu bisa melempar seseorang ke
liang lahat dengan tenggorokan hancur!
Rara Lanjar tak mau mengalaminya. Biarpun
posisinya masih rawan karena baru saja membalikkan
badan, dengan nekat dia memilih untuk menangkis
dengan kedua tangannya.
Dakh!
Bersamaan dengan itu, Rara Lanjar terpental
telak ke belakang. Lehernya bisa diselamatkan. Tapi
dua benda di tangan kanannya tidak. Topeng kayu di
tangan kiri hanya terpental deras ketika itu juga. Se-
dangkan kitab amanat Ki Arga Pasa menjadi beranta-
kan lembar demi lembarnya. Sampul kayunya menga-
lami nasib sama dengan topeng kayu.
Rara Lanjar terjerembab keras di tanah.
Masih dengan nyeri merejam di bagian bela-
kang badannya yang terasa sampai ke tulang sum-
sum, dia menyentak otot perut dan sentakan tangan di
belakang kepala untuk berdiri. Setelah menemukan pi-
jakan, dipasangnya kuda-kuda. Siap menanti serangan
lawan kembali.
Tak ada serangan susulan. Bahkan si penye-
rang gelap sendiri sudah tak tampak lagi. Seolah Rara
Lanjar sengaja dipermainkan.
Lembar-lembar kitab rebah di tanah dan re-
rumputan. Suaranya halus. Selain itu, hanya terden-
gar gesekan dedaunan. Rara Lanjar kian tegang. Na-
fasnya pun ditahan. Sekujur otot tubuhnya mengejang.
Menanti.
Dengan peluh membasahi.
Sampai sekian lama berdiri diam dalam posisi
kuda-kuda, tetap tak ada serangan susulan.
Mungkinkah orang itu telah pergi? Tanya hati
Rara Lanjar ragu. Karena tetap tak ada serangan, ak-
hirnya gadis itu meyakinkan dirinya sendiri bahwa
sang lawan memang telah pergi.
"Aku tak habis mengerti kenapa orang itu tiba-
tiba menyerang lalu pergi begitu saja?" gumamnya.
"Kalau dia masih waras, tentu dia punya alasan me-
nyerangku," pikirnya.
Menilai serangan awal, Rara Lanjar yakin orang
itu hendak merebut kitab dari tangannya. Sekarang,
lembaran kitab telah bertebaran ke mana-mana. Kalau
memang benar orang tadi menginginkan kitab itu,
akan amat sulit baginya untuk membawa pergi. Kecua-
li dia membereskan Rara Lanjar terlebih dahulu agar
dia dapat leluasa mengumpulkan lembar demi lembar
kitab. Kejadiannya justru tidak begitu.
"Aneh juga...," nilai Rara Lanjar. Penasaran dia,
tapi tak ingin melupakan begitu saja. Ada sesuatu
yang tak beres menurut penilaiannya.
Lalu dia mulai mencoba memunguti lembaran-
lembaran kitab. Selembar demi selembar. Sampai ak-
hirnya seluruhnya terkumpul. Tapi ketika diteliti, ada
satu lembar yang hilang. Lembar yang letaknya paling
tengah.
Mungkin saja belum ditemukan, begitu pikir-
nya. Karena itu dia mencoba mencari lagi. Semak-
semak disingkapi, rerumputan disibak, pepohonan di
sekitarnya ditengoki. Tak ada lembaran yang dicari.
Lebih jauh dari tempat itu sudah tak mungkin. Di seki-
tar tempat itu, hembusan angin tak cukup kuat untuk
menerbangkannya.
"Itulah sebab orang itu menghentikan seran-
gan," cetus Rara Lanjar, menyadari sesuatu.
"Rupanya dia hanya membutuhkan satu lembar
dalam kitab ini. Lembaran itu sudah didapatnya ketika
seluruh isi kitab berhamburan ke udara...."
Rara Lanjar mendengus.
Dia merasa telah kecolongan.
Sekarang, timbul beberapa pertanyaan baru di
benaknya. Apa sesungguhnya isi pada lembaran yang
hilang? Kenapa orang itu begitu menginginkannya?
Siapa pula dia?
Atau mungkinkah dia orang yang bersembunyi
di balik topeng kayu Arjuna selama ini?
Tak beberapa lama kemudian, kesiagaan Rara
Lanjar bangkit kembali. Didengarnya seseorang men-
dekat ke arah tempatnya. Bukan tak mungkin penye-
rangnya kembali lagi. Biarpun bukan tak mungkin pu-
la orang lain yang datang.
Rara Lanjar bersiap. Dia jadi lega ketika me-
nyaksikan orang yang datang. Ternyata Pendekar Mu-
ka Bengis. Dihembuskannya napas.
"Kukira siapa kau, Orang Tua!" sapa Rara Lan-
jar.
"Memang kau pikir siapa?"
Rara Lanjar menarik napas, memadati rongga
paru-parunya dengan udara sarat-sarat.
"Ada orang yang baru saja menyerangku...," la-
pornya.
Pendekar Muka Bengis menampakkan wajah
cemas. Paras yang sudah pasti sekadar sandiwara.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Rara Lanjar mengge-
leng.
"Aku sendiri tak kurang apa-apa. Hanya...," Ra-
ra Lanjar ragu menyambung kalimat.
"Hanya apa?" desak Pendekar Muka Bengis.
Seraya menunjukkan tumpukan lembaran ki-
tab yang sudah tak berbentuk kitab lagi, Rara Lanjar
meneruskan.
"Hanya saja, kitab ini menjadi berantakan aki-
bat serangan orang usil tadi," katanya, menyembunyi-
kan peristiwa sesungguhnya, bahwa ada satu lembar
yang telah hilang. Dia sendiri tak mengerti kenapa me-
rasa harus menyembunyikan hal itu. Bukankah dari
Satria dia mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis
adalah seorang tokoh golongan lurus? Rasanya ada
semacam firasat tersamar yang menitah dia untuk tak
mengungkap apa adanya.
"Kitab apa itu?" tanya Pendekar Muka Bengis.
"Kitab yang ditulis oleh salah seorang prabu Pa-
jajaran."
Pendekar Muka Bengis mengangguk-angguk
dengan paras tawar, seolah-olah dia tak sedikit pun
mempunyai kepentingan dengan kitab itu. Padahal,
Manusia Makam Keramat jauh hari sebelumnya me-
merintah dia untuk setiap saat merebut kitab itu jika
ada kesempatan.
Sekarang, tampaknya kesempatan sudah bera-
da di depan mata. Seperti juga kesempatan untuk me-
rebut Kail Naga Samudera dari tangan Satria Gendeng
sebelumnya. Namun Pendekar Muka Bengis tidak bisa
bertindak begitu saja tanpa perhitungan. Lagi-lagi ke-
sempatannya dihalangi siasat yang sebelumnya telah
dijalani. Pendekar Muka Bengis tak mungkin mengor-
bankan siasat matang itu untuk merebut langsung ki-
tab dari tangan Rara Lanjar.
Sementara, Rara Lanjar masih saja bertanya-
tanya dalam hati, siapa orang yang belum lama berha-
sil melarikan satu lembar kitab?
"Kau mau menjelaskan, kenapa Satria meminta
kau tetap di tempat ini?" tanya Pendekar Muka Bengis.
Rara Lanjar pun menceritakan alasan Satria
menyuruhnya menanti di tempat tersebut. Singkat tak
bertele-tele.
Pendekar Muka Bengis mendengarkan dengan
bersit mata yang terus berubah-ubah. Jelas, seluruh
kejadian yang diceritakan Rara Lanjar menjadi kepen-
tingan besar bagi 'majikan'nya, Manusia Makam Ke-
ramat....
EMPAT
SIANG telah jatuh. Senja sampai. Mentari mulai
rebah. Satria belum tiba di perguruan Ki Damar Sakti.
Perjalanannya tak membutuhkan waktu lama. Dari
kaki Gunung Burangrang, tempat tujuannya memang
tak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu setengah
harian berjalan kaki. Karena menganggap urusannya
cukup genting, Satria tidak berjalan. Dia berlari den-
gan mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Gerbang perguruan sudah terlihat. Satria
memperlambat larinya. Gerbang sepi. Tak tampak seo-
rang pun di sana. Bahkan tak ada suara. Seperti sua-
sana pemakaman yang dikungkung kebisuan semata.
Layaknya sebuah perguruan, mestinya ada beberapa
murid menjaga di depan gerbang. Ini tidak.
Satria Gendeng jadi curiga. Apa ada sesuatu te-
lah terjadi? Tanyanya membatin.
Tak ingin dipermainkan rasa penasaran, Satria
memutuskan untuk tidak mengetuk gerbang. Dia me-
milih untuk melompati pagar. Masuk melalui gerbang
bukan pilihan yang tepat di saat mencurigakan. Jika
telah terjadi sesuatu di dalam sana, ada kekacauan
oleh orang golongan sesat berkesaktian tinggi misal-
nya, Satria bisa menjadi sasaran empuk. Karenanya,
pendekar muda itu berjalan memutari pagar. Di bagian
yang dianggap cukup tersudut, dia bersiap melompat.
Wrrr!
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
kembali, pagar setinggi tujuh tombak terbuat dari kayu
gelondongan Satria mencelat ke ubun-ubun pagar.
Ringan, tanpa menimbulkan suara berarti. Di atas, se-
bentar dia mengawasi ke sekitar perguruan. Sayap kiri
perguruan pun sesepi di depan gerbang. Tak ada tan-
da-tanda kehidupan. Ke mana mereka semua? Bisik
Satria, makin dibingungkan. Dari atas, dia melompat
turun ke balik pagar.
Tap!
Sewaktu tiba di tanah, ada sesuatu yang terja-
tuh dari pakaiannya. Sebuah benda kecil yang masih
sulit ditentukan. Satria memungutnya. Dari dekat, dia
memperhatikan teliti benda sebesar ujung ibu jari itu.
"Seperti batu...," gumamnya. "Tapi, ini bukan
batu biasa. Dari warna dan sebagian permukaannya,
aku seperti pernah melihat batu jenis ini."
Niat untuk menyelidiki keadaan perguruan Ki
Damar Sakti untuk sementara urung. Perhatian si
pendekar muda tanah Jawa tersedot ke arah benda
kecil itu. Beberapa saat, Satria memutar-mutar benda
itu pada jarinya. Matanya tak lepas memperhatikan.
Dia sedang mengingat-ingat. Sampai akhirnya dia
menggenggam benda kecil berupa pecahan batu. Pa-
rasnya berubah.
"Ya, aku ingat sekarang," cetusnya. Batu jenis
itu pernah disaksikannya sebagai gada milik Gendut
Tangan Tunggal. Baru dia ingat pula bahwa senjata
pendekar tua itu pun agak sompal ketika tiba di gubuk
mereka di kaki Gunung Burangrang. Satria tak begitu
memperhatikan karena terlalu gembira bertemu kem-
bali dengan pasangan pendekar aneh itu.
"Besar kemungkinan, batu ini adalah pecahan
senjata milik Pak Tua Buncit. Mengapa ada di dalam
pakaianku?" bisik Satria, mereka-reka lebih jauh.
Tiba-tiba parasnya berubah lagi.
"Ki Damar Sakti.... Tentu dia yang telah mema-
sukkan benda ini ke balik pakaianku ketika aku se-
dang membopongnya. Karena saat itu aku sedang ber-
lari, aku tak begitu menyadari."
Satria tercenung.
"Tapi sumpah mampus, aku masih tak menger-
ti apa maksudnya?" bisiknya, merutuk.
Kendati masih menemui jalan buntu, Satria te-
tap yakin pecahan gada itu merupakan satu mata ran-
tai yang akan menghubungkan sebuah teka-teki. Teru-
tama teka-teki mengenai kematian Ki Damar Sakti.
Juga suasana perguruan yang begitu lengang.
Perguruan. Satria baru sadar kembali niatnya
untuk menyelidiki tempat itu.
Perlahan-lahan, Satria melangkah di pekaran-
gan sayap kiri perguruan itu. Langkahnya diringankan.
Dirinya disiagakan. Dia tak mau kecolongan sedikit
pun.
Sampai ke bagian kiri bangunan perguruan, tak
terjadi apa-apa. Satria tak juga menemukan apa pun.
Lalu pendekar pewaris kesaktian dua tokoh ke-
namaan tanah Jawa itu berputar ke arah halaman de-
pan perguruan.
Tiba di sana, dia dibuat terbelalak besar-besar.
Berpuluh-puluh bangkai murid perguruan bergelim-
pangan. Sebagian timpang-tindih.
Wajah Satria meringis, biarpun sebagai orang
persilatan sudah seringkali menelan pemandangan se-
perti itu. Sewaktu melangkah lebih dekat, hidungnya
disengat bau busuk. Kepalanya berkunang-kunang.
Kalau saja dia tak segera mengatur pernapasan, bisa-
bisa dia muntah di tempat itu juga.
Ketika makin dekat, Satria lebih jelas menyak-
sikan seluruh mayat murid perguruan sudah dirubun-
gi lalat.
"Mereka mati telah lama," duga Satria. "Siapa
manusia biadab yang telah membantai mereka seperti
sekawanan binatang seperti ini?" dengusnya.
Salah satu mayat diperhatikan. Di kepalanya,
Satria menemukan luka memar yang mencekung ke
dalam tanpa mengakibatkan kulit terkoyak. Sudah
pasti tulang tengkorak orang itu remuk hingga mene-
kan bubur otaknya! Seperti bekas hantaman benda
tumpul yang dilakukan oleh seorang ahli. Mayat lain
diteliti. Sebagian di antaranya menderita luka serupa.
Hanya pada bagian berbeda-beda. Sebagian mayat
yang lain menderita luka pukulan tangan kosong me-
matikan.
Ketika itulah, Satria teringat kembali pada batu
pecahan gada yang terjatuh dari balik pakaiannya be-
lum lama.
Matanya bersinar ragu.
"Apa mungkin semua ini perbuatan Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis?" desis-
nya, antara percaya dan tidak. "Mungkinkah menje-
lang ajalnya Ki Damar Sakti hendak mengatakan hal
itu padaku?"
Lalu Satria seperti tersengat sesuatu.
"Rara Lanjar," bisiknya gamang.
Gadis itu ditinggal sendiri. Baiklah jika du
gaannya keliru. Tapi bagaimana kalau benar? Jika be-
nar bahwa pembunuhan Ki Damar Sakti serta pem-
bantaian murid-muridnya dilakukan Gendut Tangan
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, artinya Rara Lan-
jar pun dalam bahaya besar.
Pendekar muda itu terbayang peristiwa yang
pernah dialaminya ketika menghadapi tokoh sesat pe-
rempuan yang berhasil menguasai diri Tresnasari, ga-
dis yang dekat di hatinya. Kala itu, Nini Jonggrang
berhasil menenung Tresnasari sehingga diri gadis itu
tak lebih sebagai budak tak punya hati. Kepribadian-
nya telah dirampas kekuatan hitam. (Bacalah episode
sebelumnya : "Perempuan Pengumpul Bangkai" dan
"Kiamat di Goa Sewu"!). Bukan tidak mungkin Gendut
Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis pun men-
galami hal serupa.
"Bisa saja ada seseorang yang mendalangi dan
memanfaatkan dua pendekar itu...."
Sadar kemungkinan tersebut bisa saja terjadi,
Satria Gendeng segera menggenjot tubuh untuk kem-
bali ke kaki Gunung Burangrang.
* * *
Sepasang manusia berjalan meninggalkan Per-
guruan Belalang Putih. Wajah keduanya suntuk. Ada
sesuatu yang membuat mereka begitu sebal, kesal,
jengkel, dan entah apa lagi. Mereka bisa disebut pa-
sangan yang bertolak-belakang. Seperti batu sungai
dengan berlian, atau seperti danau dengan selokan.
Pokoknya yang semacam itu!
Pasalnya, si perempuan terlihat begitu mena-
wan. Cantik di usia yang terbilang cukup matang. Me-
narik dengan penampilan yang dirias apik. Mengena
kan gaun sutera putih yang mempertontonkan kulit
kuning halusnya. Rambutnya yang panjang mayang
pun dihiasi ronce bunga melati.
Pasangannya, seorang lelaki cebol tingginya tak
lebih dari pinggul tebal si wanita. Rambutnya keriting.
Wajahnya seperti perempuan. Sebaliknya, matanya se-
perti orang yang hendak menanti kiamat di depan ba-
tang hidung. Ah, bukan... bukan! Lebih mirip tatapan
seorang berhati dengki yang selalu ingin bermusuhan
dengan tetangganya. Misalnya, kalau tetangga beli ini
itu, orang itu yang mendelik bengis. Kalau tetangga
senang sedikit, orang itu juga mendelik-delik mengeri-
kan. Nah seperti itu tatapan si lelaki cebol. Di ikat
pinggangnya terselip sepasang senjata logam berben-
tuk cakar mata tiga.
Bukankah tak salah kalau mereka bisa diiba-
ratkan dengan batu sungai dengan berlian? Yang satu
buruk, yang lain menawan....
Bicara soal buruk pada jasmani, tak ada salah-
nya. Siapa yang berani menyalahkan kalau nyatanya
Tuhan yang sudah menentukan dan menciptakan? Ja-
di adil kalau Tuhan tak menilai orang dari jasadnya,
melainkan di batinnya. Kalau soal buruk di hati, ini
yang bikin bumi jadi 'gerah' untuk dihuni.
Kata orang, buruk di 'luar' bukan berarti buruk
di 'dalam'. Durian saja punya kulit mengerikan, tapi
isinya tidak begitu. Orang macam begini, mesti dika-
gumi. Ada juga sebaliknya. Manis di muka, tapi pahit
di dalam. Mirip-mirip pemimpin muka dua yang ker-
janya mengambil hati rakyat untuk terus dipilih. Orang
macam ini, mestinya dimasukkan ke kandang macan
yang belum makan selama sebulan! Sayangnya, ba-
nyak juga orang sudah buruk di dalam, buruk juga di
luar. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Orang sema
cam ini, rasanya patut dikasihani....
Kembali pada pasangan manusia ini. Mereka
adalah Penjaga Gerbang Neraka dengan Dewi Melati.
Setelah tak mendapat hasil mencari keterangan dari Ki
Manda Langit di Perguruan Kuda Terbang, mereka be-
rangkat ke perguruan Belalang Putih. Mereka berniat
untuk menanyakan perihal kitab tulisan seorang pra-
bu Padjajaran yang telah dititipkan pada Ki Arga Pasa.
Karena Ki Arga Pasa selaku Pemimpin Perguruan Bela-
lang Putih sudah tiada, mereka berniat menanyakan
hal itu pada murid-murid kepercayaan Ki Arga Pasa.
(Untuk mengetahui perjalanan terakhir mereka, baca-
lah episode : "Nisan Batu Mayit"!).
Sampai di sana mereka mendapat jawaban
yang tak diharapkan sama sekali dari Palguna, murid
kepercayaan Ki Arga Pasa. Kata Palguna, kitab incaran
mereka telah lebih dahulu direbut seorang bertopeng
kayu Arjuna.
Mulanya mereka tak percaya. Tahu sendiri,
Penjaga Gerbang Neraka termasuk orang yang selalu
saja curiga dengan orang lain. Dia pasti sudah men-
gamuk lebih mengerikan dari amukan raja siluman
pasar ikan, kalau saja Dewi Melati tak cepat mence-
gahnya. Namun begitu, Palguna masih sempat mene-
rima tamparan di pipinya. Tidak terlalu sakit. Bagai-
mana bisa merasa sakit kalau dia langsung semaput?
Lalu Dewi Melati menjalankan aksi ancam-
mengancam, satu jenis pekerjaan manusia brengsek
yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
tujuan. Beberapa murid dihajarnya sampai jungkir ba-
lik. Dia mengancam akan mulai membunuhi mereka
jika tak mengatakan di mana kitab itu disimpan.
Karena jawaban semua murid itu-itu juga, sa-
ma seperti jawaban Palguna, akhirnya Dewi Melati per
caya. Kendati pun ada yang dibunuh, yang lain pasti
tetap berkata serupa.
Artinya, mereka memang telah kedahuluan se-
seorang. Itu yang membuat tampang mereka beranta-
kan sekeluarga dari Perguruan Belalang Putih.
Mereka terus berjalan. Sampai tiba di batas de-
sa Rangkas, perjalanan keduanya dihadang oleh seseo-
rang. Lelaki berjubah hitam. Mengenakan caping lebar
pada kepalanya.
"Jangan menghalangi jalanku, Lelaki Berjubah!"
hardik Dewi Melati, melengking. Sudah suntuk, ada
yang cari perkara. Bagaimana dia tak jadi mangkel.
Orang berjubah diam saja. Tuli atau pura-pura
tuli, tak jelas.
"Menyingkir, atau harus kulempar?!" ancam
Dewi Melati, sengit.
Jangankan menyahut, menaikkan wajah saja
tidak. Orang bertudung tetap tak beranjak. Berdiri dia
dengan kesan angkuh. Tangannya bersedekap di dada.
Dewi Melati jadi mengkelap.
"Kau cari mampus! Hih!"
Diawali pekikan menyumpah, perempuan yang
terkenal dengan kegenitan dan kebinalannya itu men-
gayunkan rambut.
Wusshh!
Kuntum-kuntum bunga melati berhamburan.
Cepat, gesit, nyaris tak terlihat. Setiap kuntum meng-
hasilkan dengusan tajam di udara. Jika tergabung,
akan terdengar deru yang serupa dengan suara kepa-
kan seekor rajawali. Bagi seorang tokoh atas berpen-
dengaran jeli, dia bisa menilai bahwa kekuatan setiap
kuntum bisa menembus dua tubuh manusia sekali-
gus.
Enteng saja, orang berjubah bergerak. Diang
katnya ujung jubah sampai menutupi seluruh badan
dan wajahnya.
Tap tap tap!
Ketika mengenai permukaan jubah, seluruh
kuntum melati seperti kehilangan kekuatan. Jangan-
kan menembus badan, kain saja tidak. Seolah kekua-
tannya terserap seketika ke dalam kain. Lalu, satu
persatu bunga-bunga melati itu berjatuhan.
Wajah Dewi Melati jadi berangasan. Mulutnya
menyumpah-nyumpah. Tak jelas apa yang diucapkan-
nya. Dia sebenarnya terkejut kalau serangan senjata
rahasianya yang ampuh dan ditakuti oleh banyak ka-
langan hanya sempat 'mengecup' permukaan kain.
Menyaksikan kejadian itu, Penjaga Gerbang Ne-
raka melotot. Dia mulai kalap pula. Kalau dia mulai
kalap, jangan harap ada nyawa lolos. Selama ini belum
ada satu pun orang bisa selamat dari amukannya, ke-
cuali Dewi Melati turun tangan.
Setelah senjata rahasianya dipencundangi, ma-
na sudi Dewi Melati menahan-nahan amukan lelaki
cebol (Yang menurut hikayat adalah suami angkatnya).
Sama saja membodohi diri sendiri, pikirnya. Justru dia
sengaja memanas-manasi Penjaga Gerbang Neraka un-
tuk segera melabrak orang berjubah. Dasar perempuan
tukang 'ngompor'!
Orang berjubah menurunkan jubahnya.
"Tahan dia, Perempuan! Aku tak bernafsu un-
tuk bertarung dengan kalian."
"E, rupanya kau tak tuli atau bisu, heh?" cibir
Dewi Melati sinis.
"Dengarkan aku, dan katakan pada si cebol itu
setiap perkataanku. Aku akan memberikan sesuatu
yang sedang kalian cari!" sergah orang berjubah.
Kening Dewi Melati terangkat.
"Apa yang kau ketahui tentang 'sesuatu' yang
kami cari?!" tanyanya seraya mencegah Penjaga Ger-
bang Neraka untuk melabrak orang berjubah.
"Kitab tulisan seorang prabu Pajajaran," ujar
orang berjubah. Singkat, datar, namun mengena sasa-
ran.
"Kau mau kami percaya bualanmu itu? Heh?"
cibir Dewi Melati seraya melenggokkan pinggul. Tan-
gannya berkacak pinggang. Liukan pinggulnya jadi
kentara jelas. Menggiurkan.
"Katakan saja pada lelaki cebol itu. Bukankah
hanya dia yang berkepentingan!"
"Kau kira aku jongosmu?!"
"Baik. Kalau itu maumu, aku akan pergi. Terse-
rah kau apakah mau menerima kesempatan yang ku-
tawarkan," ancam orang berjubah seraya membalikkan
badan.
Dewi Melati terpancing.
"Eh, tunggu-tunggu! Biar aku katakan pa-
danya!" seru Dewi Melati.
Orang berjubah mengurungkan niat untuk per-
gi. Meskipun dia tak berniat sungguh-sungguh.
Dewi Melati pun mulai berbicara dengan baha-
sa isyarat pada Penjaga Gerbang Neraka. Paras lelaki
cebol itu berubah mendengar penjelasan perempuan di
sisinya. Ada gambaran gejolak semangat menggebu-
gebu.
"Dia bertanya padamu, apa kau dapat membuat
kami percaya?" kata Dewi Melati, menerjemahkan per-
kataan isyarat Penjaga Gerbang Neraka.
Dengan gerak yang terlihat terlalu hemat, orang
berjubah mengeluarkan segulungan kertas dari balik
pakaiannya.
Gulungan berwarna merah.
Dia membentang gulungan di depan wajah. La-
lu membacakan satu baris yang tertera paling atas.
Sementara itu, Dewi Melati terus menerjemahkan se-
tiap kata yang keluar dari mulut orang berjubah.
"Itu memang lembaran gulungan kitab sang
Prabu Pajajaran!" kata Penjaga Gerbang Neraka den-
gan isyarat tangannya.
"Tapi katamu, kau hendak mencari kitab. Bu-
kan selembar gulungan kertas!" kilah Dewi Melati, juga
dengan isyarat tangan.
"Aku tak membutuhkan seluruh isi kitab itu!
Aku hanya membutuhkan satu lembar isi kitab itu.
Dan lembaran itu yang kini di tangannya!"
"Kenapa begitu?"
"Karena di dalamnya ada rahasia bagaimana
aku dapat mengalahkan kesaktian Manusia Makam
Keramat! Tanyakan padanya, imbalan apa yang dia
minta agar aku dapat mendapatkan lembaran itu!"
Dewi Melati menyampaikan ucapan Penjaga
Gerbang Neraka pada orang berjubah.
"Katakan padanya, kalau dia hendak menda-
patkan lembaran ini, dia harus memenuhi satu syarat.
Dia harus menukar lembaran ini dengan kepala Satria
Gendeng?!"
"Apaaa?!" Dewi Melati berteriak melengking.
Membunuh Satria Gendeng? Pemuda pujaannya itu?
Pendekar yang tampan dan menggemaskan itu? Yang
membuatnya 'ngebet' minta ampoooon???? Gila apa?!
***
LIMA
SATRIA Gendeng sampai kembali di kaki Gu-
nung Burangrang. Gubuk tak dihuni siapa-siapa. Tak
ada juga tanda-tanda mencurigakan seperti dikhawa-
tirkannya. Karena itu, si pendekar muda menduga be-
lum ada seorang pun kembali.
Rara Lanjar tentu masih di tempat di mana Sa-
tria menemukan tiga benda di lobang pohon. Pendekar
Muka Bengis tentu sudah tiba pula di sana, lama sebe-
lum Satria kembali. Jadi, kemungkinan terburuk bisa
saja telah terjadi jika benar Pendekar Muka Bengis te-
lah berubah menjadi manusia sesat. Begitu khawatir-
nya Satria pada Rara Lanjar. Kalau menilik bagaimana
mengenaskannya cara kematian murid-murid Ki Da-
mar Sakti, Satria jadi membayangkan kejadian menge-
naskan itu akan menimpa Rara Lanjar pula. Untuk
saat ini, dia hanya bisa berharap kekhawatirannya ke-
liru.
Sementara itu, Gendut Tangan Tunggal belum
juga kembali. Jika semula Gendut Tangan Tunggal
mengatakan hendak mencari tabib, sekarang Satria
meragukan alasan itu. Tak mungkin dia pergi begitu
lama hanya untuk mendapatkan seorang tabib. Satria
bahkan tak yakin lagi apakah kepergian Gendut Tan-
gan Tunggal benar-benar hendak mencari tabib. Dia
curiga ada tujuan lain yang belum bisa diduganya
hingga kini.
Kalau benar mereka berubah perangai, sung-
guh menjadi satu pertanyaan besar bagi si pendekar
muda tanah Jawa. Soal bagaimana cara mereka men-
jadi sesat, Satria tak terlalu mempertanyakan. Yang
sungguh akan membuatnya bertanya-tanya selalu,
siapakah orang yang telah menjelmakan mereka men-
jadi binatang biadab seperti itu?
Bulu kuduk Satria meremang ketika dia ingat
pada Manusia Makam Keramat. Bukan tak mungkin
perubahan sifat dan perangai dua pendekar aneh itu
adalah hasil pekerjaannya. Menurut riwayat, dulunya
Arya Sonta, si Manusia Makam Keramat itu adalah
orang yang menuntut berbagai macam ilmu. Bisa saja
dia telah menganut semacam ajian, atau telah mempe-
lajari sebuah ramuan yang dapat mengendalikan piki-
ran dan kemauan seseorang di bawah perintahnya.
Betapa menggidikkan jika benar begitu. Tentu
dia bisa berbuat banyak untuk menciptakan huru-
hara besar di dunia persilatan. Misalnya saja, dia bisa
memecah belah partai-partai golongan lurus hingga
saling membantai satu dengan yang lain. Kalau sudah
begitu, yang akan muncul cuma malapetaka besar!
Satria tersadar dari ketercenungan. Celaka tu-
juh keliling! Kenapa aku jadi melupakan Lanjar! Ru-
tuknya dalam hati sambil bergegas menggenjot tubuh.
Dipacunya segenap kemampuan ilmu lari cepat yang
dimiliki. Dia seperti sudah tak mau ambil peduli pada
apa-apa lagi. Bahkan kalaupun setan botak mengha-
dangnya, tetap dia tak peduli.
Senja akhirnya luruh. Tak ada yang bisa men-
cegah malam merambah. Dari persada Timur, kegela-
pan mulai menjajah. Rara Lanjar dan Pendekar Muka
Bengis masih dalam perjalanan menuju gubuk di kaki
Gunung Burangrang.
Ketika itu, Pendekar Muka Bengis berubah pi-
kiran menyadari Gendut Tangan Tunggal tak kunjung
kembali. Dia mulai mengendusi sesuatu yang tak beres
telah terjadi terhadap diri Gendut Tangan Tunggal.
Kekhawatirannya merangas dalam diri, mengimbangi
kecurigaannya. Dia curiga Ki Damar Sakti telah mem-
buka mulut pada Satria Gendeng ketika pendekar mu-
da itu hendak membawanya ke tabib.
Terpikir olehnya untuk segera bertindak. Se-
bab, jika Gendut Tangan Tunggal tak juga kembali
menyampaikan perintah dari Manusia Makam Kera-
mat, artinya dia harus segera mengambil tindakan
sendiri. Setidaknya, membawa Rara Lanjar ke Makam
Keramat Maut untuk diserahkan kepada sang Majikan.
Tindakan itu lebih baik diambil, ketimbang seluruh
rencana gagal jika ternyata benar Satria Gendeng telah
mengetahui kejadian sebenarnya!. Lagi pula, bukan-
kah dengan bertindak sekarang, dia akan menda-
patkan dua mangsa sekaligus yang begitu diharapkan
sang Majikan? Yang pertama Rara Lanjar. Sedang yang
kedua, kitab tua di tangannya....
Rara Lanjar melangkah di depan. Pendekar
Muka Bengis diam-diam terus mengawasinya dari be-
lakang. Matanya tak putus-putus menyemburatkan
bersit jahat. Yang terbetik dalam benaknya cuma men-
cari kesempatan Rara Lanjar lengah.
Dan saatnya pun tiba.
Manakala gadis di depannya sedang memperha-
tikan lembaran kitab di tangannya, jauh lebih cepat
dari terkaman seekor macan lapar, Pendekar Muka
Bengis menghambur ke depan. Sebagai salah seorang
tokoh jajaran atas dunia persilatan, tentu saja gerakan
cepat yang dilakukan secara mendadak akan amat su-
lit untuk dihindari.
Naluri Rara Lanjar sempat merasakan adanya
ancaman dari arah belakang. Sayangnya, dia tak cu-
kup sempat untuk membalikkan badan dan menghin-
darinya.
Tuk!
Satu totokan tepat mendarat di jalan darah ga-
dis keturunan salah seorang Prabu Pajajaran itu. Tu-
buhnya lemas seketika. Sebelum terjatuh, Pendekar
Muka Bengis sudah menyambarnya. Sekaligus me-
nyambar lembaran-lembaran kitab di tangannya.
Setelah itu, dibawanya Rara Lanjar pergi.
* * *
Sungsang-sumbel Satria mengaduk-aduk selu-
ruh wilayah kaki Gunung Burangrang. Sampai malam
semakin matang, Rara Lanjar tak juga ditemukan.
Kekhawatirannya berubah menjadi kegusaran. Sedang
kecurigaannya telah menjelma menjadi bukti bahwa
Rara Lanjar telah dalam rangkulan bahaya!
Sambil menyumpah-nyumpahi diri sampai mu-
lutnya kering, Satria kembali ke gubuk. Kalau sudah
begitu, apa yang bisa dilakukan kecuali menyumpah-
nyumpah? Kalaupun mau mengamuk, siapa yang ha-
rus diamuki? Genderuwo penunggu Gunung Buran-
grang?
Pikir punya pikir, Satria memutuskan untuk
menjernihkan dulu pikirannya yang sedang kalut.
Dengan segarnya pikiran, dia dapat mencari pemeca-
han masalah lebih jernih dan cermat. Betapa pun be-
sar kekhawatirannya terhadap diri Rara Lanjar, toh dia
harus menyadari bahwa ketergesaan dan kebernafsuan
biasanya tak akan menghasilkan apa-apa.
Baru tiba di muka gubuk, seseorang berseru di
kejauhan.
"Anak Muda, aku sudah kembali!"
Satria menoleh. Dalam keremangan sinar ben-
da-benda langit, disaksikannya Gendut Tangan Tung-
gal datang dengan seseorang. Seorang kakek tua berjubah putih. Sewaktu menyaksikan, Satria dibuat ter-
peranjat. Bagaimana tidak, kalau kakek berjubah pu-
tih itu pernah ditemuinya beberapa waktu lalu di ha-
laman Perguruan Belalang Putih? Seorang yang bisa
disebut sebagai tokoh golongan tua yang kesaktiannya
terlalu sulit diukur. Waktu itu, si kakek memperingati
kedatangan Manusia Makam Keramat sehingga Satria
Gendeng dan Rara Lanjar dapat meloloskan diri ke ka-
ki Gunung Burangrang. (Untuk lebih jelas, bacalah ep-
isode: "Bangkitnya Dewa Petaka"!).
"Kau...," gumam Satria.
Si kakek berjenggot putih dengan rambut dige-
lung kecil di atas kepala tersenyum. Samar saja. Na-
mun sudah cukup untuk menebarkan pesona wibawa
yang kuat.
"Apa kabar, Anak Muda?" sapa si kakek.
Satria terdiam. Pikirannya masih diusik oleh
dugaan-dugaan terhadap diri Gendut Tangan Tunggal.
Kalau sekarang pendekar tua berperut besar itu da-
tang dengan kakek ini, apa tak mungkin kakek ini pun
sebenarnya punya niat busuk di balik wajahnya yang
selalu tampak ramah dan bening? Ini dunia, tempat di
mana tipu daya dan kepalsuan tumbuh terus sepan-
jang masa. Apalagi sekadar kepalsuan wajah. Yang tak
bisa dimengerti, kenapa dulu dia memperingati Satria
dan Rara Lanjar akan kedatangan Manusia Makam Ke-
ramat?
"Mari ikut aku ke dalam gubuk," ajak si kakek
seraya merangkul bahu Satria.
Anehnya, Satria merasa tak pantas menolak
ajakan itu. Bahkan tak kuasa untuk menolaknya.
Sampai kekhawatiran Satria sebelumnya pada Rara
Lanjar bagai terpental begitu saja dari benaknya. Apa-
kah ini yang] orang sebut 'kekuatan prabawa'? Atau
kah ini tenung yang telah melalap bulat-bulat jiwa
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis
hingga mereka berubah biadab?
Di belakang mereka, Gendut Tangan Tunggal
menguntit.
* * *
Apa yang sebenarnya telah terjadi pada diri
Gendut Tangan Tunggal?
Waktu itu si pendekar tua berperut gentong
tengah berjalan kembali ke kaki Gunung Burangrang.
Tak ada seorang pun bersamanya. Tak seorang tabib
pun ditemui. Berniat untuk mencari saja tidak. Jika
dia harus kembali juga ke kaki Gunung Burangrang,
semata hanya karena hendak menyampaikan perintah
Manusia Makam Keramat pada Pendekar Muka Bengis
untuk menunda rencana melarikan Rara Lanjar ke
Makam Keramat Maut. Dan kalaupun harus kembali
dengan membawa tabib agar tidak dicurigai, dia akan
mencari seseorang yang malah bisa memberi ramuan
untuk mempercepat kematian Ki Damar Sakti.
Sedang melangkah, tiba-tiba saja pendekar go-
longan tua yang jiwanya sedang dikuasai oleh penga-
ruh Manusia Makam Keramat itu merasakan ada se-
suatu datang dari arah belakang. Telinganya tak me-
nangkap desiran angin sedikit pun. Hanya saja nalu-
rinya berkata lain.
Gendut Tangan Tunggal berbalik sigap.
Ternyata memang tak ada siapa-siapa.
Dia menyumpah-nyumpah dalam dan kental.
Baru saja membalikkan badan hendak meneruskan
langkah, dia dibuat terkesiap. Seseorang telah berdiri
tepat dua tindak di depannya.
"Keparat Busuk, siapa kau?!" makinya, gusar
bukan main karena merasa baru saja dipermainkan.
Orang di depannya hanya tersenyum.
Di mata Gendut Tangan Tunggal, senyuman itu
tak lebih dari ejekan. Membuatnya muak, hingga lang-
sung membangkitkan kebuasan hewani yang belakan-
gan ini begitu membludak dalam hatinya.
"Mampuslah kau!"
Diterjangnya orang itu dengan satu hantaman
gada. Sasarannya mematikan. Langsung ke batok ke-
pala orang di depan.
Wukh!
Orang itu tak bergerak. Gada besar mengerikan
pun terayun telak menuju sasaran. Gendut Tangan
Tunggal bahkan telah yakin gadanya benar-benar
mengenai sasaran.
Yang ganjil, biarpun gada itu telah menghan-
tam kepala orang di depan, Gendut Tangan Tunggal
tak mendengar suara apa-apa kecuali dengus senja-
tanya. Mestinya terlahir suara berderak keras tengko-
rak yang retak, atau berantakan di dalam. Ini tidak.
Bahkan tangan kanannya tak merasakan benturan
apa-apa.
Gendut Tangan Tunggal menggeram. Dia pena-
saran. Disusulnya satu hantaman lagi. Ke bagian yang
tak kalah mematikan, selangkangan orang itu.
Wukh!
Kejadian tadi terulang. Sasaran tak bergerak.
Senjata tepat mengenanya. Tapi tak ada suara apa-
apa. Tak juga dirasakan benturan. Orang itu tetap
berdiri tegak tanpa kurang suatu apa pun. Tubuhnya
seolah dibentuk dari asap yang terangkum tanpa tersi-
bak angin.
Gendut Tangan Tunggal mulai bimbang. Mesti
kah dia melakukan serangan lanjutan? Atau dia hanya
keliru menempatkan hantaman. Tapi bagaimana
mungkin tokoh sekelas dia dapat keliru? Tangan ka-
nannya yang terlatih mempergunakan gada sanggup
menghantam seekor burung walet yang sedang melin-
tas cepat di atas kepalanya. Apa yang salah? Ataukah
dia tak menyadari kalau orang yang berdiri di depan-
nya mungkin saja bisa bergerak lebih cepat dari kedi-
pan mata?
Nafsu kebinatangan dalam hatinya makin
membludak-bludak. Bukannya gentar, Gendut Tangan
Tunggal malah menjadi kalap.
"Heaaaa!!!"
Dihantaminya berkali-kali tubuh orang itu. Da-
lam satu helaan napas saja, dia dapat mengayun gada
belasan kali. Dan sejauh itu, semua hantamannya tak
luput. Tapi tetap tak mengusik orang yang dijadikan
sasaran.
Mengucur sudah hantaman. Menghujan.
Menggila gada diayunkan.
Benda yang beratnya sama dengan empat bayi
gemuk itu seperti sebatang lidi yang demikian ringan.
Sampai pada saatnya, Gendut Tangan Tunggal kehabi-
san tenaga sendiri. Nafasnya tersengal-sengal. Perut-
nya turun naik jauh lebih hebat. Sepertinya dia sudah
hendak mati di tempat. Banjir pakaiannya oleh kerin-
gat.
Dengan tenang, orang di depannya mengulur-
kan tangan. Wajah Gendut Tangan Tunggal diusap,
dan dia pun semaput!
"Kau terkena ramuan rahasia milik Arya Sonta.
Aku akan mencoba menolongmu," bisik orang itu.
Tanpa perlu mengalami kesulitan dengan ba-
dan seberat bapak moyang kerbau, orang itu memang
gul tubuh Gendut Tangan Tunggal. Dibawanya pergi
dari tempat itu.
ENAM
DUA puluh dua tahun lalu, datang seorang le-
laki tua kepada mendiang Ki Arga Pasa. Dia meni-
tipkan seorang bayi perempuan kecil. Karena ketua
Perguruan Belalang Putih itu tak pernah dikarunia
seorang anak pun dari kandungan istrinya, maka den-
gan suka cita, dia dan istrinya pun menerima titipan
mungil itu.
Selain bayi, lelaki tua juga menitipkan satu ki-
tab di dalam peti kayu.
Malam waktu itu. Si lelaki tua diterima Ki Arga
Pasa dan istrinya di ruang pendapa perguruan yang
belum begitu lama dibangun. Saat itu, muridnya masih
terhitung dengan jari. Salah seorang di antara mereka
adalah Palguna, bocah kecil telantar yang dipungut
oleh Ki Arga Pasa di kotaraja Pajajaran.
Di atas gelaran tikar pandan lebar, mereka du-
duk. Ki Arga Pasa ditemani istri di sampingnya. Se-
mentara tamunya duduk bersila berhadapan dengan
mereka.
"Kenapa engkau memilih kami untuk dititipi
semua ini, Orang Tua?" tanya Ki Arga Pasa waktu itu.
Sebagai seorang yang mengemban amanat, apalagi
menyangkut hidup-mati seorang anak manusia, tentu
saja dia merasa perlu menanyakan alasan lelaki tua
itu.
"Aku memilih kau dan istrimu, karena aku per-
caya pada diri kalian," kata orang tua itu lagi.
"Percaya? Bagaimana bisa? Sementara bertemu
saja baru kali ini...," tukas Ki Arga Pasa ditingkahi ta-
wa kecil, sedikit berkelakar. Lelaki tua tersenyum.
"Dua tiga bulan sebelum hari ini, aku telah
mengawasi kehidupan kalian hampir setiap hari. Aku
tahu tindakanku itu lancang. Tapi, aku hanya ingin
meyakinkan bahwa bayi ini dapat dibesarkan dalam
lingkungan yang baik. Bukankah lingkungan pula
yang amat besar pengaruhnya dalam membentuk pri-
badi seorang anak manusia?"
Ki Arga Pasa mengangguk-angguk. Istrinya pun
begitu. Dalam hati, mereka agak risih karena secara
tak langsung tamu mereka telah menganggap mereka
adalah sepasang suami-istri yang baik. Pribadi-pribadi
yang baik, tentunya akan membangun satu lingkun-
gan yang baik.
"Lalu, kalau boleh kami tahu, anak siapa sebe-
narnya bayi ini, Orang Tua?" susul Ki Arga Pasa.
Lelaki tua terdiam sebentar. Wajahnya keruh
oleh kesan duka. Garis-garisnya terlipat lebih banyak.
Pandangannya terjatuh ke tikar pandan.
"Itulah yang amat kusesali. Kedua orangtua
bayi ini telah meninggal dunia," ucapnya kemudian
dengan nada melandai.
"Kasihan sekali...," desah istri Ki Arga Pasa, tu-
rut prihatin.
"Apa penyebabnya?" lanjut Ki Arga Pasa, ber-
tanya lagi.
"Sulit diketahui penyebab kematian kedua
orangtua bayi kecil perempuan ini. Kedua orangtuanya
mendadak meninggal dunia pada suatu malam. Mere-
ka mati dalam keadaan tercekik saat tidur. Tetangga
mereka yang menemukan mengatakan bahwa wajah
mereka membiru. Tangan mereka masih pada leher,
seakan mati berkutat untuk melepaskan cekikan...."
"Kematian yang aneh...," desis Ki Arga Pasa.
Bahu istri di sebelahnya mengedik-ngedik. Dia
bergidik. Tangannya mengusap tengkuk sendiri, men-
gikuti meremangnya bulu kuduk. Wajahnya meringis-
ringis.
"Apakah sudah diketahui sebabnya?" tanya istri
Ki Arga Pasa. Takut, namun penasaran. Bergidik, tapi
terlalu ingin tahu.
Si lelaki tua menggeleng.
"Aku mengira karena masalah keturunan...,"
katanya, seperti mendesah.
"Apa maksudmu?"
"Salah seorang kakek buyut bayi itu, pernah
berurusan dengan seorang durjana sakti madraguna.
Orang itu dibunuhnya. Saat itu, si orang durjana ber-
sumpah akan membunuh setiap keturunannya."
"Bagaimana seseorang bisa membunuh kalau
dia sendiri sudah mati terbunuh?" sergah istri Ki Arga
Pasa. Seperti kebanyakan perempuan, dia amat terta-
rik dengan hal-hal yang mengusik perasaannya.
"Karena orang durjana itu adalah penganut il-
mu-ilmu sesat. Tak terhitung lagi ilmu sesat yang di-
tuntutnya. Selama hidup, dia seperti seorang pemburu
kesaktian yang tak pernah puas untuk terus menam-
bah dan menambah kekuasaan dirinya."
"Keserakahan manusia...," simpul Ki Arga Pasa.
"Salah satu ilmu sesat yang dianutnya mem-
buat sukma sesatnya tak diterima oleh 'gerbang' alam
kubur. Entah sampai kapan. Selama sukma terkutuk-
nya terkatung-katung di batas dua alam, dia punya
kesempatan sekali-kali untuk menelusup masuk ke
alam nyata. Saat seperti itulah dia membunuh keturu-
nan keluarga lawannya saat mereka tertidur. Hanya
saat seperti itu, dia bisa menerobos garba sukma orang
yang hendak dibunuhnya dengan cara gaib. Kedua
orangtua bayi perempuan ini adalah keturunan keem-
pat yang mengalami nasib serupa."
"Jadi, apa hanya tinggal bayi ini saja yang ma-
sih hidup dari keturunan orang itu?" tanya Ki Arga Pa-
sa.
"Benar sekali."
Ki Arga Pasa menggeleng-gelengkan kepala. Is-
trinya latah ikut-ikutan. Bagi Ki Arga Pasa, akan se-
makin berat saja gambaran amanat yang harus dipi-
kulnya. Artinya, dia tak hanya harus membesarkan,
merawat, dan mendidik. Tapi juga melindungi bayi pe-
rempuan itu dari jangkauan sukma sesat yang setiap
saat akan kembali ke alam nyata untuk membunuh-
nya.
"Bagaimana aku dapat melindungi Cah Ayu ini
agar selamat dari kekuatan jahat sukma itu," keluh-
nya, bergumam. Diliriknya bayi kecil yang tertidur le-
lap di dalam ranjang berselimut kulit domba. Keda-
maian terangkum dalam parasnya yang masih begitu
halus. Menyaksikannya seperti menatap kemurnian
sebuah kehidupan.
Ki Arga Pasa menghela napas. Sanggupkah aku
melindunginya? Tanyanya membatin. Resah.
Lelaki tua memperhatikan keresahan Ki Arga
Pasa. Lalu katanya, "Kau tak perlu khawatir pada ke-
selamatannya."
"Bagaimana aku tak khawatir kalau aku mera-
sa tak cukup punya kekuatan untuk melindunginya
dari kekuatan sukma sesat itu?"
"Kalau kau tak punya, kenapa kau tak memo-
hon Pemilik Segala Sesuatu? Tak ada daya yang bisa
mencelakakan jika Dia berkehendak menjaga seorang
manusia. Dan tak ada daya apa pun yang bisa menye
lamatkan, kalau Dia berkehendak seseorang celaka...."
Seperti mendapat siraman sejuk, kegelisahan Ki
Arga Pasa memudar. Kepalanya mengangguk-angguk
lamat.
"Ya. Tiada daya dan upaya selain dari pertolon-
gan-Nya," timpalnya ditingkahi hembusan napas pan-
jang.
"Lalu bagaimana dengan kitab ini?" lanjut Ki
Arga Pasa seraya menempatkan tangannya ke atas peti
tempat penyimpanan kitab di depannya.
"Kitab ini berhubungan dengan cerita yang ba-
ru saja kupaparkan."
"Artinya. Kitab ini berhubungan dengan si
bayi?"
Lelaki tua mengangguk.
"Apa yang harus aku lakukan dengan kitab
ini?"
"Tak ada."
"Tak ada?"
"Ya. Kau hanya perlu menyimpannya. Pada
saatnya nanti, kau harus menyerahkan kitab ini pada
bayi itu."
"Kapan waktunya?"
"Ketika ada kekacauan di mana-mana yang di-
lakukan oleh sekawanan bocah."
"Kawanan bocah?" desis istri Ki Arga Pasa,
mengulangi. Dia bergidik lagi. "Apa yang mereka laku-
kan?" tanyanya. Padahal, tanpa perlu bertanya pun, le-
laki tua tetap akan melanjutkan penuturannya.
"Bocah-bocah itu akan menculik perempuan-
perempuan."
Mendengar kata 'perempuan' disebut-sebut, is-
tri Ki Arga Pasa tambah bergidik.
"Aih... aih...," ujarnya tak sadar.
"Setelah itu menyusul munculnya seorang ber-
kesaktian tinggi yang rupanya seperti dedemit. Beram-
but amat panjang, berkuku amat panjang, dan ber-
jenggot juga amat panjang."
Sekarang, mendengar kata 'jenggot' Istri Ki Arga
Pasa yang agak latah mengusap dagunya sambil me-
ringis.
"Siapa dia, Orang Tua?" sela Ki Arga Pasa.
"Dialah manusia durjana yang telah mati dibu-
nuh oleh kakek buyut bayi ini."
"Maksudmu, orang itu bangkit dari kubur?"
tanya Ki Arga Pasa. Tak urung dia jadi turut bergidik.
Kalau saja dia bergidik, apalagi istrinya? Perempuan
separuh baya itu langsung menggeser duduknya, lebih
dekat ke Ki Arga Pasa. Takut-takut, matanya melirik ke
belakang, seolah ada sesuatu yang sedang bersiap-siap
mencekiknya sampai modar!
"Mungkin pertanyaanku kali ini agak lancang,
Orang tua...."
"Bertanyalah!"
"Bagaimana atau dari mana kau bisa tahu ke-
jadian itu akan terjadi?"
Lelaki tua tersenyum. Dia tak menjawab. Tidak
juga berkata apa-apa. Karena setelah itu mendadak sa-
ja sosoknya raib dari tempat. Angin seperti membawa
lari seluruh jasadnya tanpa sisa.
Keesokan harinya, istri Ki Arga Pasa menemu-
kan sesuatu di tangga pendapa perguruan. Sebatang
gelang tangan dari emas yang biasa dipakai di pangkal
lengan seorang raja Pajajaran. Ketika mencoba ber-
tanya-tanya pada beberapa sesepuh tanah Paparan, Ki
Arga Pasa mendapat jawaban mengejutkan. Gelang itu
adalah milik seorang Prabu Pajajaran yang turun tahta
tanpa alasan jelas. Sang Prabu menghilang tanpa dike
tahui rimbanya. Tak ada harta istana dibawa, kecuali
gelang tangan yang kini dimiliki oleh Ki Arga Pasa.
Prabu itulah yang telah membunuh untuk pertama
kail si manusia durjana.... Manusia Makam Keramat!
* * *
Satria selesai mendengarkan cerita orang tua
berjubah putih. Dialah orang yang dihadapi Gendut
Tangan Tunggal ketika dalam perjalan menuju kaki
Gunung Burangrang. Dialah orang yang telah mele-
paskan pengaruh jahat Manusia Makam Keramat da-
lam diri Gendut Tangan Tunggal.
"Bayi yang dititipkan itu kemudian diberi nama
Rara Lanjar oleh mendiang Ki Arga Pasa," tambah si
orang tua.
Alls si pendekar muda bertaut.
"Sedangkan kau sendiri adalah lelaki tua yang
telah menitipkan bayi kepada mendiang Ki Arga Pasa
dan Istrinya?" tanyanya, tak begitu yakin.
Si orang tua yang kini duduk bersila di atas ba-
lai bambu bersama Satria Gendeng dan Gendut Tan-
gan Tunggal menganggukkan kepala. Tenang.
Satria Gendeng tercengang-cengang, antara
percaya dan tidak percaya. Bibirnya terbuka lebar. Be-
runtung tak ada lalat lewat. Wajahnya jadi terlihat tolol
kelewatan. Lalu ditepuknya kening. Keras atau tidak,
membuat pening tujuh kali tujuh keliling atau tidak,
dia tak peduli.
"Kalau begitu, kau... adalah seorang Prabu Pa-
jajaran? Dan Rara Lanjar adalah cicit buyutmu?" susul
Satria lagi.
Orang tua berjenggot putih menggeleng.
"Kau keliru," katanya, meralat.
"Keliru bagaimana? Bukankah kau barusan
menceritakan dirimu sewaktu menyerahkan Rara Lan-
jar kepada Ki Arga Pasa dan istrinya?"
Pertanyaan Satria Gendeng mendapat anggu-
kan.
"Dan gelang yang kau sebut-sebut itu? Apa itu
bukan berarti kau adalah sang Prabu?"
Si kakek diam sebentar. Lalu dijawabnya perta-
nyaan Satria.
"Sebaiknya aku perkenalkan diri padamu, Anak
Muda. Aku bernama Danujaya. Kau boleh memanggil-
ku Ki Danuwijaya. Perlu Kau ketahui, sebenarnya aku
murid Gusti Prabu. Aku berguru kepadanya beberapa
tahun setelah dia meninggalkan takhta. Dialah yang
menyuruh aku untuk menitipkan Rara Lanjar sewaktu
bayi kepada seseorang yang bisa dipercaya. Selain bayi
dan kitab, aku diperintahkannya pula untuk menye-
rahkan gelang miliknya secara diam-diam. Aku tak
pernah tahu maksudnya. Kalau kau mengatakan Rara
Lanjar adalah keturunan guruku, itu memang benar.
Sampai saat ini, aku masih mengemban tanggung ja-
wab dari guruku untuk mengawasi bayi yang kini telah
menjadi seorang dara ayu itu."
Begitulah kenyataannya. Rara Lanjar adalah
satu-satunya keturunan sang Prabu yang kini tak per-
nah diketahui lagi kabar beritanya. Itulah sebabnya,
Manusia Makam Keramat sewaktu datang pertama kali
ke Perguruan Belalang Putih mengendusi sesuatu yang
tersembunyi dari diri si dara. Dan ketika kesaktiannya
sanggup membaca darah yang mengalir di diri Rara
Lanjar sebagai keturunan sang Prabu, Manusia Ma-
kam Keramat pun berusaha untuk membawa gadis itu
ke Makam Keramat Maut. Tujuannya adalah untuk
menumbalkan darah Rara Lanjar bagi Nisan Batu
Mayit.
"Kalau boleh aku tahu, Ki Danujaya? Apakah
sang Prabu masih hidup?"
Untuk pertanyaan Satria satu ini, si kakek ber-
nama Danujaya tampak mengalami kesulitan menja-
wab.
"Aku tak tahu," jawabnya singkat. "Dia menghi-
lang begitu saja setelah tuntas menurunkan ilmunya
padaku. Hidup atau sudah wafat, tak jelas lagi bagi-
ku."
Satria seperti tak puas bertanya. Dia masih in-
gin tahu lebih banyak.
"Sebagai muridnya, kenapa kau tidak bertindak
untuk mencegah keangkaramurkaan yang dilakukan
Manusia Makam Keramat?" tanya Satria Gendeng ke-
mudian.
Ki Danujaya menggelengkan kepala.
"Aku banyak belajar dari Gusti Prabu tentang
penyucian diri. Untuk itu, aku tak mungkin mengotori
tangan dengan membunuh Arya Sonta.... Bahkan aku
sudah tak ingin lagi keluar ke dunia penuh nista ini
seandainya aku tak perlu mengawasi Rara Lanjar...."
"Tunggu dulu," sergah Satria. Dia teringat se-
suatu ketika mendengar kata-kata terakhir kakek tua
di depannya. Mengawasi Rara Lanjar, katanya? Satria
membatin. Kalau begitu, jelas dia merasa bertanggung
jawab penuh pada keselamatan si dara ayu. Menurut
cerita Rara Lanjar, dia diselamatkan oleh orang berto-
peng kayu Arjuna ketika Manusia Makam Keramat
hendak melarikannya ke Makam Keramat Maut. Kalau
begitu....
"Kau bilang bahwa kau bertanggung jawab ter-
hadap sang Prabu untuk mengawasi Rara Lanjar? Ka
lau begitu... kau pasti orang bertopeng kayu Arjuna
itu, bukan?!" tembak Satria, tak ragu-ragu.
Ki Danujaya menggeleng. Alis putihnya mele-
kuk.
"Apa maksudmu?" tukasnya, malah balik ber-
tanya.
Mulut Satria menganga. Keliru lagi? Dugaannya
kecele lagi? Bagaimana bisa begitu? Kenapa jadi serba
tak menentu? Gerutunya dalam hati. Kalau bukan ka-
kek ini, lalu siapa orang bertopeng kayu itu?
"Kenapa dengan orang bertopeng kayu?" Ki Da-
nujaya malah bertanya lebih jauh. Satria sendiri ham-
pir tak percaya orang yang sudah dianggap begitu
waskita ternyata masih bisa luput pada satu kejadian
penting yang menyangkut tanggung jawabnya. Manu-
sia mana yang tak memiliki kekurangan?
Satria Gendeng mencoba mengamati wajah ka-
kek itu. Tak ada kesan kalau dia sedang bergurau.
Yang tersirat cuma kesungguhan dan keingintahuan.
"Sudahlah, Orang Tua...," hindar Satria akhir-
nya. Lantas dikembalikannya pembicaraan ke masalah
Manusia Makam Keramat!
"Jika kau tak bersedia turun tangan menumpas
manusia durjana itu, lalu siapa yang harus melaku-
kannya?"
"Tuhan selalu punya rencana yang sempurna,
Anak Muda," ujar Ki Danujaya seraya bangkit dari ba-
lai. Jawabannya sama sekali tak memuaskan hati Sa-
tria Gendeng.
"Kau hendak ke mana, Orang Tua?"
Belum kering lidah Satria mengucapkan perta-
nyaan, sosok si orang tua sudah raib dari tempatnya.
Dari arah pintu gubuk, terdengar suara derit halus.
Bukan main kecepatan geraknya. Dia sebenarnya ti
daklah menghilang begitu saja, melainkan pergi mela-
lui pintu. Namun karena tingkat peringan tubuhnya
sudah demikian sempurna, gerakannya jadi sulit di-
ikuti mata. Bahkan oleh orang sekelas Gendut Tangan
Tunggal, atau si murid Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit!
TUJUH
Di TENGAH malam kental kegelapan, satu so-
sok berlari tak terputus-putus ke arah suatu tempat.
Tujuannya adalah daerah angker yang amat ditakuti,
bukan saja oleh penduduk biasa, tapi juga oleh banyak
kalangan persilatan. Ditakuti, di samping karena dae-
rah itu penuh dengan bahaya maut yang tercipta oleh
keganasan alam, juga karena tempat itu menjadi tem-
pat 'bersarangnya' seorang manusia durjana berkesak-
tian tak terukur yang bangkit kembali dari kematian.
Di bahu sosok yang berlari, tertelungkup lemas
sosok orang lain. Pingsan akibat totokan di satu jalan
darahnya. Ketika awan menyibakkan diri, sinar bulan
yang menjelang purnama dalam beberapa hari terak-
hir. Pun memperjelas rupa sosok yang berlari dan yang
dipanggulnya.
Orang yang berlari, berwajah amat menyeram-
kan. Tentu saja dia adalah Pendekar Muka Bengis. Se-
dangkan orang di bahunya tak lain Rara Lanjar.
Tanpa pernah sedikit pun diketahui oleh Pen-
dekar Muka bengis, jauh di belakangnya seseorang
menguntit sepanjang perjalanan. Kegelapan dan kece-
patan gerak orang itu tak memungkinkan mata untuk
menyaksikan rupanya dengan jelas. Kendati untuk
mata terlatih sekali pun.
Jarak yang berselang cukup jauh antara si
penguntit dengan buruannya menyebabkan keadaan
menjadi cukup aman. Selama itu, Pendekar Muka
Bengis sama sekali tak menyadari. Meskipun bukan
cuma itu penyebabnya. Cara bergerak si penguntit
yang begitu cepat dan ringan serta kelihaiannya me-
nyamarkan diri di tempat-tempat tertentu, justru yang
berperan besar untuk mengelabui Pendekar Muka
Bengis.
"Sebentar lagi, kita akan segera tiba, Gadis...,"
bisik Pendekar Muka Bengis, di antara desis angin ma-
lam.
Seperti katanya, tak lama mereka pun tiba di
Makam Keramat Maut.
"Tuanku, Tuanku!! Aku datang membawa gadis
yang kau inginkan!" seru Pendekar Muka Bengis di
muka Makam Keramat Maut.
Pemakaman kuno sunyi. Hanya jangkrik berde-
rik-derik, memperdengarkan sahutan yang tak dipelu-
kan Pendekar Muka Bengis.
"Tuanku!!" ulang Pendekar Muka Bengis, men-
coba kembali. Kedua kali.
"Tuanku, ke mana kau?!"
Dan ketiga kali.
Tetap tak ada jawaban dari setiap sudut pema-
kaman. Nisan dan gundukan terlihat samar-samar,
timbul tenggelam di antara iring-iringan lambat kabut
pekat.
"Ke mana tuan ku, Manusia Makam Keramat?!
Kenapa tempat ini sepi?" gumam Pendekar Muka Ben-
gis. "Apa mungkin dia sedang meninggalkan tempat
ini?" sambungnya, terus bertanya-tanya sendiri.
Yakin Manusia Makam Keramat sedang tak ada
di 'sarang' laknatnya, Pendekar Muka Bengis memu
tuskan untuk meninggalkan Makam Keramat Maut se-
cepatnya. Terlebih dahulu, dia akan meninggalkan Ra-
ra Lanjar dalam sebuah liang tempat dikuburnya Ma-
nusia Makam Keramat dulu.
Ditujunya liang tersebut. Liang ditemukan, tu-
buh Rara Lanjar pun hendak dilemparkan. Baru saja
tubuh Rara Lanjar terlempar masuk ke mulut liang,
sekelebatan bayangan menyambarnya dalam kecepa-
tan menghantu.
Pendekar Muka Bengis sebagai salah seorang
tokoh papan atas dunia persilatan merasa kecolongan.
Sekejapan dia sempat dibuat terpana. Selanjutnya dia
mengutuki diri habis-habisan ketika kelebatan bayan-
gan tadi pergi memburu membawa Rara Lanjar.
"Berhenti!!" seru Pendekar Muka Bengis, begitu
tersadar dari keterpanaan. Dikejarnya kelebatan
bayangan tadi dengan nafsu meletup-letup.
Tak mudah mengejar kelebatan bayangan tadi.
Pendekar Muka Bengis dibuat kedodoran. Dia
merasa dirinya bukan lagi mengejar manusia, melain-
kan mengejar bayangan sesungguhnya. Jarak antara
dirinya dengan buruan tak pernah menyusut. Kalau-
pun terjadi, akan segera melebar lagi. "Bangsat," ma-
kinya gusar.
Di dunia persilatan, Pendekar Muka Bengis bu-
kan orang yang bisa dibuat main-main. Sudah malang
melintang dia selama belasan tahun. Kesaktiannya di-
kenal hampir setiap kalangan. Harga dirinya akan ter-
pukul jika harus kedodoran mengejar buruannya. Ru-
panya, nafsu membuta yang bersemayam dalam garba
jiwa Pendekar Muka Bengis telah pula membutakan
akalnya. Semestinya dia sudah sadar sejak dini bahwa
tingkat kesaktian lawan berada lebih tinggi beberapa
tingkat di atasnya.
"Berhenti kataku!!"
Dalam kegeraman, seraya berseru sekali lagi,
Pendekar Muka Bengis mengirim serangkum pukulan
jarak jauh
Wusssh!
Serangkum tenaga berkekuatan dua puluh
banteng jantan menerkam di kegelapan. Sengit mem-
buru.
Blarrrr!
Tanpa terlihat menoleh atau kerepotan, bayan-
gan yang menyambar Rara Lanjar menghindari puku-
lan jarak jauh Pendekar Muka Bengis dengan begitu
enteng. Dia hanya mencelat ketika serangkum tenaga
dahsyat menukik dari udara. Akibatnya, satu kuburan
tua dari batu menjadi sasaran empuk. Hancur beran-
takan melahirkan suara hingar-bingar.
Merencah kesunyian.
Mengetahui pukulan jarak jauhnya pun dapat
ditaklukkan, kemarahan Pendekar Muka Bengis makin
menjadi-jadi. Mendengus-dengus napasnya selama
berlari.
Kalau terus begitu, sampai dunia mendekati
kiamat pun, tampaknya Pendekar Muka Bengis tak
akan sanggup mengungguli ketangguhan ilmu lari ce-
pat buruannya. Kecuali jika kelebatan sosok itu sendiri
yang menghentikan larinya.
Hal itu terjadi saat berikutnya. Kelebatan sosok
itu menghentikan laju tubuhnya. Berdirilah dia tegak
di atas satu nisan tinggi terbuat dari kayu meranti. Se-
perti tak menganggap pengejarnya menjadi ancaman,
orang itu tak menoleh sama sekali.
Pendekar Muka Bengis turut memenggal lang-
kah larinya. Lima belas tindak di belakang orang yang
melarikan Rara Lanjar. Lelaki setengah baya berwajah
seram itu menghempas napas sekali, seolah melo-
loskan kegeraman yang melonjak-lonjak dari dalam
dada.
"Serahkan perempuan itu padaku!!" serunya,
menyalak.
"Kenapa kau pikir aku akan menyerahkan pe-
rempuan ini padamu?" sahut orang di kejauhan sana.
"Kalau kau tak menyerahkan...."
"Kau akan membunuhku?" sela orang tadi. Su-
aranya begitu tenang dan datar. Tanpa getar, tanpa
terhanyut rasa apa pun. Sepertinya, tak ada sesuatu
pun yang bisa membuat dia menjadi takut atau gentar.
"Kau...." Pendekar Muka Bengis menggeram.
"Tak perlu kau melakukan itu! Percuma saja!"
tukas sosok tadi. Tak jelas apakah dia bermaksud
memperingati, mengancam, atau sekadar meledek.
Bagi Pendekar Muka Bengis sendiri, perkataan
tadi tak lebih dari hinaan yang menampar wajahnya
telak-telak.
"Bangsat!!!"
Tak menanti lebih lama lagi, Pendekar Muka
Bengis merangsak ke depan. Ganas. Beringas.
Melepas serangan telengas.
Hanya dengan satu lompatan jauh, Pendekar
Muka Bengis sudah tiba tepat di belakang batu nisan
tempat sosok tadi berdiri memanggul tubuh Rara Lan-
jar. Begitu tiba, langsung dihantamnya bokong orang
itu dengan tinju menggeledek.
Wukh!
Tinju menderu.
Sasarannya, tak sedikit pun berniat menoleh.
Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas. Hantaman lawan
dimentahkan hingga hanya sempat memakan angin.
Begitu kepala Pendekar Muka Bengis mendon
gak mengikuti arah lompatan lawan, sosok tadi men-
dadak berputar di udara. Amat cepat gerakannya. Da-
lam keadaan dibebani seseorang di bahu, hampir tak
mungkin seseorang dapat melakukan itu dengan kece-
patan luar biasa. Nyatanya tak begitu dengan orang
penuh misteri ini.
Wush!
Menyusul putaran tiba-tiba tubuhnya, kaki
orang tadi membuat satu sapuan melengkung ke arah
kepala lawan.
Pendekar Muka Bengis terperangah. Dia dipak-
sa membuang diri ke belakang.
"Heaa!"
Berjumpalitan, Pendekar Muka Bengis menye-
lamatkan kepala. Ketika posisi dan keseimbangannya
sudah dapat dikuasai, pendekar yang menjadi sesat itu
menjejakkan kaki di salah satu batu nisan. Kuda-
kudanya terpasang. Matanya mencari lawan. Tapi tak
ditemukan.
Jelalatan Pendekar Muka Bengis mencari. Di
segenap penjuru, lawan tak ditemukan. Tak ada di
mana-mana.
Lawan seolah telah lenyap ditelan salah satu
gundukan makam ke dalam bumi.
Pendekar Muka Bengis hanya bisa mendengus-
dengus. Rahangnya mengeras, memperdengarkan sua-
ra bergemeletuk. Dilanjutkan dengan teriakan melo-
long, melampiaskan kejengkelan.
* * *
Satria Gendeng tak pernah bisa diam. Dia terus
berjalan hilir-mudik di muka gubuk. Wajahnya kusut.
Sebentar-sebentar dia menarik napas panjang
panjang. Ada yang sangat meresahkannya. Soal nasib
Rara Lanjar yang tak tentu rimbanya. Tak ada sebetik
berita mengenai perempuan itu sampai sekarang. Me-
mang, dia termasuk perempuan yang terkadang bikin
sebal, tapi biar bagaimana Satria sudah cukup merasa
dekat dengannya. Bukan semata karena dia cantik.
Dia ingin mencarinya. Hanya saja tak pernah
tahu ke mana hendak mencari. Menanti saja apa
mungkin? Itu pun bukan pekerjaan yang tak memua-
kkan.
"Hi hi hi...."
Di samping pintu gubuk, di dekat anak tangga,
Gendut Tangan Tunggal tertawa. Tertawa tanpa sebab
cuma pekerjaan orang gila. Gendut Tangan Tunggal
bukan sejenis orang itu. Dia hanya geli menyaksikan
keruwetan wajah si pendekar muda dan kerepotannya
berjalan bolak-balik.
Satria menghentikan langkah. Ditolehnya Gen-
dut Tangan Tunggal dengan wajah asam. Merengut
dia, sejelek kera.
Gendut Tangan Tunggal cepat-cepat menghen-
tikan tawa. Mulutnya bahkan tak berani dibiarkan ter-
lekuk. Takut Satria Gendeng menggasaknya.
"Kenapa tertawa, Pak Tua Buncit?" tanya Sa-
tria, tak senang hati.
Gendut Tangan Tunggal menelan ludah. Kepa-
lanya menggeleng takut-takut.
"Telingaku masih belum tuli, Pak Tua. Aku
mendengar kau tertawa tadi. Aku ingin tahu kenapa
kau tertawa?" desak Satria dengan wajah yang sema-
kin asam.
Sambil mengumbar cengiran tak sedap, Gendut
Tangan Tunggal berkata, "Kalau kau hanya berjalan
hilir-mudik seperti itu, apa mungkin kau akan mene
mukan Rara Lanjar? Itu sebabnya aku jadi agak geli
melihat tingkahmu...."
"Jadi apa saranmu?"
"Cari dia!"
Gendut Tangan Tunggal bangkit susah payah,
mengangkat perutnya yang menjorok di tanah.
"Kalau aku tahu ke mana mencarinya, sudah
kucari dia sejak kemarin!" sungut Satria Gendeng.
"Sekarang begini saja," tepis Gendut Tangan
Tunggal. "Menurutmu, siapa yang kau kira telah men-
culik perempuan itu?" lanjutnya.
"Pendekar Muka Bengis."
Gendut Tangan Tunggal kontan terkikik geli
mendengar jawaban Satria.
Satria tak menerima. Dia cemberut.
Gendut Tangan Tunggal pun lantas menghenti-
kan tawa. Paras wajahnya diperbaiki. Biar si pendekar
muda yang terkadang besar adat itu tidak mengamuk.
"Kenapa tertawa?" tanya Satria.
"Bagaimana tidak? Aku kenal si Bengis. Dia tak
mungkin menculik perawan orang!"
Sekarang Satria Gendeng baru maklum kenapa
Gendut Tangan Tunggal menertawainya. Setelah dis-
embuhkan oleh Ki Danujaya dari pengaruh ramuan
rahasia Manusia Makam Keramat, rupanya dia belum
juga mengetahui kalau Pendekar Muka Bengis pun
mengalami kejadian serupa dengan dirinya.
"Ngomong-ngomong, ke mana si Bengis itu, ya?"
gumam Gendut Tangan Tunggal.
"Itulah...," tukas Satria. "Apa kau tak pernah
menyadari sesuatu yang terjadi pada dirimu ketika ti-
ba-tiba kau berada di hadapan Ki Danujaya? Begitu
yang kau ceritakan padaku, bukan?"
Gendut Tangan Tunggal mengangguk. "Ya. Aku
heran juga. Terakhir yang kuingat, aku dan Bengis te-
lah menemukan Pasukan Kelelawar yang telah men-
jelma menjadi bocah-bocah tak berdosa. Setelah kami
mengantar mereka ke desa masing-masing, aku tak in-
gat apa-apa lagi. Sadar-sadar, aku sudah berada di
depan Ki Danujaya. Kenapa begitu, ya?"
"Kau tak bertanya pada Ki Danujaya?" Pende-
kar golongan tua 'hamil ganjil' itu menggeleng.
Satria Gendeng menggerutu tak kentara. Dasar
manusia yang tak mau sedikit berpikir, makinya. Apa
tak pernah juga dia membuang sedikit sifat yang selalu
menggampangkan masalah itu?
"Kau mau menjelaskan padaku?" tanya Gendut
Tangan Tunggal. Semestinya, pertanyaan itu sudah di-
lontarkan pada Ki Danujaya. Dasar brengsek!
"Menurut Ki Danujaya, kau terkena racun ra-
hasia Manusia Makam Keramat."
"Huahh?!"
Mendeliklah biji mata Gendut tangan Tunggal.
Sebesar-besarnya. Membuat wajahnya jadi terlihat je-
lek, sejelek-jeleknya.
"Ramuan rahasia itu pula yang telah membuat
Pasukan Kelelawar bisa 'dibentuk' menjadi bocah-
bocah budak si manusia durjana itu. Dan itu pun di-
alami oleh Pendekar Muka Bengis," papar Satria Gen-
deng.
Gendut Tangan Tunggal meringis ngeri.
"Si Bengis sekarang jadi budaknya Manusia
Makam Keramat?" desisnya tak percaya.
Satria mengangguk.
"Aku menduga, dialah yang telah melarikan Ra-
ra Lanjar untuk diserahkan pada Manusia Makam Ke-
ramat. Sebab, sepanjang pengetahuanku, manusia
durjana itu sedang mengincar Rara Lanjar."
"Itu dia!" cetus Gendut Tangan Tunggal berjing-
kat mendadak. Sampai permukaan perutnya terayun
ke atas seperti anggukan kepala kerbau tolol.
Satria Gendeng menunggu.
"Kita cari perempuan itu ke sarang Manusia
Makam Keramat!" susul Gendut Tangan Tunggal, ber-
semangat.
Satria menggeleng tak bernafsu.
"Itulah masalahnya. Aku tak pernah tahu di
mana tempatnya!"
"Di Makam Keramat Maut, tentunya!"
atria melotot. Orang tua ini sekadar tuli atau
berotak tumpul?
"Sudah kubilang, aku tak tahu tempatnya.
Maksudku, aku sudah-tahu nama tempat itu. Tapi,
aku tak tahu di mana letaknya. Apa di kolong balai
atau di bawah tikar...," gerutu Satria Gendeng, dong-
kol. Gendut Tangan Tunggal mencibir.
"Aaah, kalau cuma tempat itu aku tahu!" ujar-
nya seraya mendongakkan kepala dan membusungkan
dada. Sialnya, yang maju ke depan tetap saja ujung
pusarnya yang agak 'menunjuk' ke depan.
"Kau tahu?" Satria hampir terperanjat. "Ayo
kuantar!" timpal Gendut Tangan Tunggal seraya me-
langkah.
Satria Gendeng dengan wajah meluapkan se-
mangat, mengikuti di belakangnya.
Baru beberapa tindak berjalan, terdengar se-
ruan seseorang. Membuat langkah keduanya terpeng-
gal seketika.
"Tunggu!!"
Satria Gendeng menoleh. Demikian pula Gen-
dut Tangan Tunggal. Mereka saling bertatapan ketika
menyaksikan orang yang datang. Dan rasanya, mereka
tak mempercayai penglihatan sendiri.
DELAPAN
DEWI Melati dan Penjaga Gerbang Neraka ber-
diri tegak. Tak ada kesan persahabatan di wajah Pen-
jaga Gerbang Neraka. Bukan sekadar karena dasar si-
fatnya. Melainkan ada bersit lain yang lebih menghu-
nus pada kedua biji mata lelaki itu. Sementara Dewi
Melati sendiri tak berubah. Dia tetap terlihat seronok
dengan tingkahnya yang genit. Terutama ketika me-
nyaksikan, si pendekar muda tampan, Satria Gendeng.
"Kita kedatangan musibah, Anak Muda...," ge-
rutu Gendut Tangan Tunggal tak kentara.
Satria Gendeng melirik lelaki tua buncit di se-
belahnya.
"Aneh, aku pun merasakan hal itu. Aku melihat
ada sinar permusuhan di mata lelaki cebol itu. Apa
kau merasakannya pula?"
"Peduli setan, apakah aku merasakan atau ti-
dak. Yang jelas bagiku, bertemu dengan orang yang
tak bisa sedikit di-'senggol' seperti cebol itu, berarti
musibah!"
Setelah menggerutu, Gendut Tangan Tunggal
mengembangkan senyum lebar, kendati dipaksa-
paksa.
"Haaaa, apa kabar 'sahabat'??!" serunya, sok
ramah seraya membentang tangan.
Satria menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa perlu kalian sebenarnya?!" serunya pula,
tanpa mau berbasa-basi. Malah wajahnya lebih kenta-
ra memperlihatkan kekesalan. Bagaimana tidak kesal
kalau kedua orang itu telah menghambat usaha mereka untuk segera membebaskan Rara Lanjar?
Gendut Tangan Tunggal menyikut tangan pen-
dekar muda di sebelahnya.
"Bersikaplah ramah sedikit pada si cebol itu!"
bentaknya berbisik. Wajahnya cemberut. Namun keti-
ka dia menoleh kembali pada Penjaga Gerbang Neraka,
senyumnya pun mekar mendadak lagi. Sejenis senyum
karbitan orang-orang yang cari selamat. Dia bukan se-
jenis orang yang suka cari muka, atau pengecut yang
cari selamat dengan cara bermuka dua. Mungkin se-
kadar kapok dengan Penjaga Gerbang Neraka yang du-
lu pernah hendak 'menggebuki'nya habis-habisan
hanya karena keusilan Dewi Melati. (Untuk lebih jelas-
nya, bacalah kembali episode sebelumnya : "Bangkit-
nya Dewa Petaka"!).
"Aku tak perlu mereka," tandas Satria tegas.
"Dan aku tak peduli siapa pun dia. Kalau dia meng-
hambat usahaku, apa perlu aku bersikap ramah?"
"Sssst... ssttt!!"
Mulut Gendut Tangan Tunggal ber-'sat-sut' ke-
limpungan. Matanya melirik takut-takut ke arah Pen-
jaga Gerbang Neraka. Takut si cebol itu mendengar
perkataan Satria Gendeng. Padahal, kalaupun Satria
berteriak, Penjaga Gerbang Neraka tak akan menden-
garnya.
Untuk kesekian kali, Gendut Tangan Tunggal
tersenyum lebar-lebar kembali pada si tua bangka ce-
bol, salah satu momok paling menakutkan dunia persi-
latan.
Orang seperti Gendut Tangan Tunggal yang ter-
golong tokoh papan atas dunia persilatan saja merasa
gentar dengannya. Tapi si pendekar muda di sebelah-
nya....
"Kami sedang tergesa! Kenapa tak katakan
maksud kalian menahan kami?!" sambung Satria, mu-
lai terdengar membentak. Nadanya agak melonjak.
Makin ngeri saja Gendut Tangan Tunggal. Kia-
mat... kiamat..., pikir tokoh tua berperut buncit itu.
Tangannya dinaikkan ke kepala.
Di kejauhan sana, wajah Penjaga Gerbang Ne-
raka memperlihatkan kerutan-kerutan bengis.
Menyaksikannya, Gendut Tangan Tunggal pun
meringis.
"Menyesal sekali aku harus menyampaikan se-
suatu padamu, Pemuda Ganteng," balas Dewi Melati
akhirnya.
"Jangan bertele-tele, Dewi! Jelaskan saja lang-
sung!"
"Guruku, eh... maksudku 'suami angkat'-ku ini
berniat hendak membunuhmu."
"Apa?!"
Satria terlonjak. Apa aku tak salah dengar? Le-
lucon macam apa ini?.Ceracau hatinya, tak menerima.
Lain lagi Gendut Tangan Tunggal. Tokoh tua
berbadan subur itu bukan lagi sekadar meringis. Dia
pun mulai memperlihatkan wajah memelas. Dengan
tangan mengusap-usap permukaan kulit perutnya, dia
lebih pantas disamakan dengan orang mulas.
"Kau jangan gila! Apa urusannya aku dengan
tua bangka itu sampai dia hendak membunuhku?!"
"Aku tak perlu menjelaskan. Yang kuperlukan
untuk membantu 'suami angkat'-ku cuma...." Dewi
Melati mengedikkan bahu. Telapak tangannya menen-
gadah ke depan. "... cuma kepalamu," tambahnya,
mengakhiri kalimat yang terputus.
Wajah perempuan cantik genit itu terlipat se-
perti merajuk.
"Padahal sebenarnya, aku masih ingin sekali
mengenalmu lebih dekat. Jauuuuuuh lebih dekat,"
gumamnya sambil menggoyang-goyangkan pinggulnya.
"Mereka benar-benar sinting!" maki Satria.
"Kau pun sinting kalau kau terus bersikap tak
ramah pada si cebol itu," desis Gendut Tangan Tung-
gal.
"Diam kau!!!" hardik Satria, kehilangan kesaba-
ran.
Sementara itu, pikirannya berkutat. Pasti telah
terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka berniat
menyingkirkanku. Setidaknya ada biang keladi dari
semua ini, duga Satria. Tanpa mengorek keterangan
langsung dari Dewi Melati, Satria tak akan cepat men-
getahui latar belakang maksud sinting mereka berdua.
Kalau mengorek dari Penjaga Gerbang Neraka jelas su-
dah tak mungkin. Dia hanya bisa berbicara bahasa
syarat dengan Dewi Melati.
Sekarang ini, Satria Gendeng harus cepat me-
nemukan cara agar Dewi Melati mau buka mulut. Itu
pun kalau Penjaga Gerbang Neraka tak telanjur me-
rangsaknya lebih dahulu. Cuma, bagaimana caranya?
Satria harus mencari akal.
Harus!
Brengseknya, sedang pikirannya berkutat,
Gendut Tangan Tunggal masih saja tak mau sedikit
mengerti. Bacotnya pun tak bisa diam sebentar saja.
"Bagaimana ini, Anak Muda? Bagaimana ini?
Kalau si cebol itu hendak membunuhmu, bukan tak
mungkin dia pun akan membunuhku pula? Seperti
kau tak tahu saja sifat Penjaga Gerbang Neraka itu?
Dia...."
Ampun! Darah Satria Gendeng terasa hendak
menjebol Ubun-ubun. Matanya mendeliki Gendut Tan-
gan Tunggal sampai hendak melejit keluar.
"Kalau kau tak bisa diam, aku yang akan mem-
bunuhmu secepatnya!" geram Satria.
Gendut Tangan Tunggal bergidik. Dia beringsut
menjauhi si pendekar muda. Mulutnya meringis-ringis
tak henti.
Sementara itu, Penjaga Gerbang Neraka sudah
melangkahkan kaki ke depan. Langkahnya mengan-
dung ancaman. Seperti juga tatapan dan parasnya.
Gendut Tangan Tunggal tambah beringsut-
ingsut. Semakin jauh semakin baik, pikirnya. Sumpah
ditenung jadi kodok buduk, dia kapok menghadapi ke-
sangaran dan keganasan serangan si manusia cebol
yang galaknya seperti setan kepedasan itu!
"Tunggu!" cegah Satria.
Tak mungkin Penjaga Gerbang Neraka menden-
gar.
Satu-satu, langkahnya diayunkan.
Makin mempersempit jarak.
Di depan, siap terbentang medan laga.
Baginya, dan bagi si pendekar muda.
"Khuaaa!!"
Berkawal teriakan yang terdengar ganjil dan
sumbang, jadi juga Satria Gendeng diterjang Penjaga
Gerbang Neraka. Sebutlah kesialan yang sudah tak
tertahankan!
Memaki-maki, Satria Gendeng menghindari se-
rangan Penjaga Gerbang Neraka.
Ssing!
Berdesing, senjata logam berbentuk cakar mata
tiga Penjaga Gerbang Neraka mengancam perut Satria.
Hendak dirobeknya perut pendekar muda itu dan
mengeluarkan isinya sekaligus.
Kelimpungan, pendekar muda murid Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit
mencelat ke belakang. Ujung senjata lawan merobek
udara hanya selebar kuku dari pakaiannya.
Gila, lain kali bisa-bisa pakaiannya akan ter-
sayat, menyusul kulitnya! Satria bergidik juga mem-
bayangkan itu.
Menghadapi seorang tokoh sekelas gurunya
sendiri ini, Satria memang tak bisa berharap terlalu
banyak. Dulu pun dia sempat menjajal bagaimana ke-
tangguhan kesaktian lawan. Kecepatannya begitu
mengerikan. Kalau bukan bernyali seorang ksatria, ba-
rangkali Satria sudah kapok dibuatnya.
Sekarang ini, jika melayani berarti Satria telah
setuju untuk bertarung sampai salah seorang dari me-
reka terperosok ke liang lahat. Tidak melayani, sama
saja dengan bunuh diri perlahan-lahan. Situasinya jadi
serba sulit untuk Satria Gendeng.
"Hei, hei tunggu!"
Seraya lintang-pukang berkelit dan menghin-
dar, Satria Gendeng berusaha untuk menghentikan
amukan Penjaga Gerbang Neraka. Tindakan yang bo-
doh kalau dia sendiri sebenarnya tahu telinga lawan
tuli.
Satu-satunya jalan untuk 'menyabarkan' si ce-
bol galak cuma melalui Dewi Melati. Sebab hanya pe-
rempuan itu yang tahu dan mengerti bercakap-cakap
dengannya.
"Dewi, katakan padanya untuk berhenti!" seru
Satria, makin kelimpungan. Tangannya terangkat ke
depan berkali-kali, seolah hendak mencegah. Parasnya
pun mulai tak karuan. Benar-benar keadaan yang sial
baginya! Bukannya Satria gentar pada nama besar
Penjaga Gerbang Neraka. Apa kata guru gundulnya ka-
lau dia jeri menghadapi manusia cebol itu? Hanya saja
pendekar muda itu sadar, berurusan dengan Penjaga
Gerbang Neraka bukan masalah yang mudah tersele-
saikan. Bagi si cebol mandraguna itu, masalah akan
selesai kalau salah satu pihak telah kehilangan nyawa.
Dewi Melati malah mesem-mesem menyebal-
kan.
"Pasti telah terjadi salah paham, Dewi! Katakan
padanya untuk segera berhenti! Kita harus membica-
rakan masalah ini dengan kepala dingin!"
Sing wukh!
"Waduh, sialan!!!"
Diselingi sumpah serapah, si pendekar muda
berusaha untuk membujuk Dewi Melati. Aneh juga,
kalau caranya membujuk harus dengan berteriak se-
tengah edan dan dibumbui pula dengan sumpah sera-
pah. Rasanya itu bukan bujukan....
"Dewi, kau dengar aku?!" coba Satria lagi.
"Apa imbalannya bagiku?"
Imbalan untuk perempuan 'samber geledek' ini?
Beban pikiran lagi untuk Satria! Demi nenek moyang
Dongdongka, akan ku kuliti perempuan ini nanti,
sumpah Satria membatin.
"Bagaimana kalau kutraktir makan di kedai
terminal kotapraja?"
Dewi Melati menggeleng.
"Ya... ya, itu memang tawaran tolol," gerutu Sa-
tria sambil berjumpalitan menghindari sapuan kaki
lawan. "Ah, bagaimana kalau kuajak kau berjalan-
jalan di sepanjang kaki Gunung Burangrang?!"
Dewi Melati mencibir.
"Ya, itu pun tawaran tolol," gerutu Satria lagi.
"Atau... bagaimana kalau..., slompret!!"
Kalimat Satria Gendeng terputus oleh samba-
ran senjata lawan yang berseliwer persis di depan hi-
dungnya.
Dewi Melati menunggu dengan mata disayu-
sayukan menyebalkan.
"Bagaimana kalau kau menginap semalam den-
ganku di penginapan kotapraja?!" ucap Satria, asal
bunyi. Dia tak akan pernah berniat menawarkan
'kemesuman'. Kalau cuma menginap saja apa salah-
nya? Salah otak mesum Dewi Melati sendiri kalau dia
jadi salah mengartikan, pikirnya.
Dewi Melati langsung mengumbar senyum. Ma-
na lebar. Astaga....
Lalu, secepatnya dia melompat ke depan Penja-
ga Gerbang Neraka. Dengan bahasa isyarat dia berbi-
cara pada manusia cebol galak itu. Entah bagaimana
caranya perempuan cantik gatal itu bisa mengibuli
Penjaga Gerbang Neraka. Jinaklah dia. Seperti seekor
cucu kerbau dicocok hidungnya!
SEMBILAN
MALAM kental dengan hawa dingin. Makam Ke-
ramat Maut masih pekat dengan suasana mena-
kutkan.
"Kau memang bodoh!!!"
Sebentuk suara mencelat ke angkasa. Menggi-
dikkan, bagai hentakan kaki seribu ekor kuda terbang
di langit.
"Aku sudah katakan pada Gendut Laknat itu
agar tidak membawa gadis itu ke tempat ini kecuali
mendekati malam-malam purnama. Sekarang kau ma-
lah mengacaukannya! Kau membawa juga gadis itu ke
sini. Lalu apa jadinya? Kau katakan gadis itu dilarikan
seseorang yang tak pernah kau lihat rupanya dengan
jelas! Dasar manusia tolol keparat!!!"
Bentakan dan makian itu lahir dari kerongkon-
gan seorang bercaping lebar dan berjubah hitam yang
menyatu dengan kepekatan malam. Dia tentu saja Ma-
nusia Makam Keramat yang baru saja kembali ke Ma-
kam Keramat Maut. Tiba di sana, dia mendapat lapo-
ran dari Pendekar Muka Bengis yang membuat darah-
nya naik.
Pendekar Muka Bengis berdiri diam tanpa gem-
ing di depan Manusia Makam Keramat. Seluruh serat
tubuhnya mengejang kaku. Tangan terentang lebar,
seperti dibentang rantai baja kasat mata. Bahkan ke-
lopak matanya tak berkedip-kedip. Sulit mengira apa
yang telah dilakukan Manusia Makam Keramat terha-
dap dirinya.
Tangan Manusia Makam Keramat tiba-tiba
mencengkeram leher Pendekar Muka Bengis.
Crrep!
Berkawal getaran, diangkatnya tubuh Pendekar
Muka Bengis seperti mengangkat sehelai pelepah pi-
sang kering.
"Kalau tenagamu tak kuperlukan sudah kuro-
bek tenggorokanmu sekarang juga!" geramnya, na-
danya menjangkit dan menukik.
Menjelang puncak tertinggi tangannya sanggup
terangkat, mendadak pula dilemparnya tubuh kaku
Pendekar Muka Bengis.
Wushhh!
Angin bergeletar terbedah luncuran tubuh Pen-
dekar Muka Bengis.
Jauh terlempar. Hingga puluhan tombak.
Menghantam nisan-nisan dan menggusur gundukan
pemakaman.
Kemurkaan Manusia Makam Keramat tak ter-
puaskan hanya dengan melempar tubuh Pendekar
Muka Bengis. Masih pula dilampiaskannya gelegak
amarah dalam dada dengan menghantami nisan-nisan
batu sebesar gubuk di sekitarnya.
Glar glar glar!
Puing-puing serabutan.
Debu terbangun.
Tinggi mengapung.
Tergiring angin.
Lalu perlahan rebah di bumi.
Di antara seluruh kekacauan keadaan, tubuh
Manusia Makam Keramat tegak mengejang dengan ke-
pala tertunduk, melepas sisa kegeramannya. Tak lama
dia menegakkan kepala. Tangan kanannya menunjuk
Pendekar Muka Bengis yang masih telentang diam seo-
lah seonggok kayu tak bernyawa.
Dari ujung jarinya membersit seleret sinar kebi-
ruan.
Ssss!
Mendesis.
Tepat di tengah kening, antara dua alis Pende-
kar Muka Bengis, sinar yang memanjang tadi menda-
rat. "Sekarang bangunlah!!!"
Ketika itu juga, tubuh Pendekar Muka Bengis
dapat digerakkan. Dia bangkit terseok. Sedangkan wa-
jahnya sendiri tak menunjukkan baru saja mengalami
rasa sakit luar biasa. Paras yang dingin, membatu.
"Sekali lagi kau mengacaukan rencanaku, kau
akan ku kubur di bawah salah satu kuburan ini hi-
dup-hidup!!" ancamnya sangar.
Pendekar Muka Bengis berjalan perlahan ke
arah Manusia Makam Keramat. Tiba di dekatnya, pe-
rintah pun keluar.
"Singkirkan Dewi Melati, perempuan yang akan
menghambat rencanaku saja untuk menyingkirkan
pendekar muda keparat itu dengan tangan si cebol bu-
suk!!!"
Pendekar Muka Bengis mengangguk gamang.
"Dan menjauhlah dari gadis itu. Dia akan kuu-
rus sendiri. Akan kulobangi ubun-ubun dan menghi-
sap otak orang yang telah berani menyatroni 'sarang'-
ku dan melarikan gadis itu!" dengus Manusia Makam
Keramat.
* * *
"Aku ingin tahu alasan kalian hendak membu-
nuhku?" tanya Satria Gendeng setelah keadaan sudah
agak tenang.
"Sebenarnya, bukan aku yang menginginkan
kematianmu, Pemuda Ganteng. Bukan pula aku yang
hendak menurunkan tangan membunuhmu...," kata
Dewi Melati.
"Aku tak menanyakan itu. Yang kutanyakan
alasan kalian," sergah Satria.
"Ya... bagaimana, ya...."
Dewi Melati melenggok sana-sini. Tangannya
bergerak kian kemari seperti tangan penari.
Satria jadi sebal dengan tingkah perempuan
itu. Bertele-tele sekali, nilainya.
"Cepat katakan!"
Dewi Melati mendelik. Bukannya menakutkan,
malah terlihat menggemaskan dengan bola mata ber-
bulu lentiknya. Bagi Satria Gendeng tetap saja menye-
balkan!
"Ada seseorang yang bersedia menukarkan
lembaran inti kitab tulisan Prabu Pajajaran yang berisi
rahasia kelemahan Manusia Makam Keramat dengan
kepalamu dan senjata pusakamu, Kail Naga Samude
ra...," kata Dewi Melati akhirnya.
"Kau tahu siapa orang itu?"
Dewi Melati menggeleng.
"Kalau begitu, katakan saja ciri-cirinya!"
"Semalam tak cukup!"
Kening Satria Gendeng berkerut.
"Apa maksudmu?"
"Soal 'menginap' denganmu."
Slompret asli! Gerutu Satria.
"Baik, dua malam!"
Dewi Melati tersenyum.
"Sekarang cepat katakan ciri-ciri orang itu?!"
"Baik... baik, apa kau tak bisa bersabar sedikit?
Huh dasar lelaki!"
"Cepat!!!"
"Iya, iya! Orang itu mengenakan caping lebar,
dan berjubah hitam."
"Itu saja?"
"Apa kau mau aku melebih-lebihkan?"
"Kalau cuma itu, bisa siapa saja."
"Memang. Bisa bapak moyangku, atau bapak
moyangmu. Bisa juga monyet buduk!"
"Maksudku, apa ada ciri-ciri khas orang itu?"
Dewi Melati menggeleng. "Ingat-ingat, Dewi!!"
"Kalau ditambah mengingat-ingat, 'dua malam'
jadi tak cukup rasanya...."
Slompret asli lagi!
"Baik, kau dapatkan tiga malam!"
Bermalamlah dengan siluman, rutuk Satria
menambahkan dalam hati.
Senyum Dewi Melati mekar lagi.
"Sebentar kuingat-ingat," katanya seraya me-
nempatkan ujung jari telunjuk ke kening.
"Ah!" serunya mendadak.
"Apa? Kau ingat sesuatu??!"
"Belum...."
"Slompret!"
"Sekarang aku ingat!"
"Katakan! Katakan!"
"Orang itu kuperhatikan baru saja memotong
kukunya...."
"Ini bukan urusan perawatan kecantikan, bu-
kan?!" ledak Satria, jengkel. Bagaimana mungkin pe-
rempuan brengsek ini menjawab seperti itu. Mentang-
mentang dia termasuk perempuan yang memperhati-
kan benar-benar penampilannya!
"Sungguh! Aku memang melihatnya. Soal se-
perti itu, aku jarang meluputkan. Tahu sendiri, bu-
kan?"
"Cukup gurauanmu, Dewi!"
"Aku tidak bergurau, sialan!"
Tidak bergurau? Satria terdiam. Dia mulai me-
mikirkan kemungkinan-kemungkinan. Tunggu dulu,
sergah hatinya. Rasanya dia ingat sesuatu. Dia teringat
pada Manusia Makam Keramat. Sejak pertama kali
bangkit dari kematian, kuku manusia durjana itu de-
mikian panjang.
Tiba-tiba, Satria merasa ada gunanya juga kei-
sengan Dewi Melati memperhatikan penampilan orang
lain sampai ke ujung kuku. Rasanya, dia mulai bisa
menduga siapa dalang yang menginginkan kematian-
nya di tangan Penjaga Gerbang Neraka!
"Manusia Makam Keramat...," ucapnya, yakin.
Ya, tentu saja Manusia Makam Keramat. Per-
tama, dia menyamar dengan mempergunakan caping
dan jubah hitam karena dia sadar beberapa tokoh
yang menjadi musuh beratnya telah mengenali pe-
nampilannya ketika baru pertama kali bangkit. Agar
dapat menjalankan rencananya tanpa halangan dari
musuh-musuh lamanya, tentu dia menyamar untuk
sementara;
Yang kedua, setidaknya dia adalah salah seo-
rang yang cukup tahu tentang kitab itu, di samping
penulisnya sendiri. Dengan begitu, tentu dia dapat
mencuri lembaran kitab yang paling penting bagi di-
rinya. Meskipun Satria belum bisa menduga bagaima-
na cara manusia durjana itu mendapatkan lembaran
seperti disebutkan Dewi melati.
Ketiga, dia pun tahu bahwa musuh lamanya,
Penjaga Gerbang Neraka akan sangat bernafsu jika di-
tawarkan lembaran rahasia itu. Lalu dimanfaatkan
musuh lamanya untuk menyingkirkan musuh lain.
Dengan imbalan lembaran rahasia yang tak akan
mungkin diberikan kalaupun Penjaga Gerbang Neraka
berhasil membawa kepala Satria. Adu domba yang li-
cik!
"Apa katamu?!" perangah Dewi Melati, menden-
gar ucapan. Satria Gendeng sebelumnya.
"Orang itu tentu Manusia Makam Keramat, De-
wi!" ulang Satria Gendeng menegaskan.
"Kau jangan bergurau, Pemuda Ganteng!"
Sekarang giliran Dewi Melati yang tak percaya.
"Baik, barangkali kau akan percaya jika aku
menjelaskan alasan ku mengatakan bahwa orang itu
adalah Manusia Makam Keramat."
"Katakan! Katakan!"
Satria pun mulai memaparkan satu persatu ke-
curigaannya dan dasarnya mencurigai orang yang di-
ceritakan Dewi Melati. Selama mendengarkan, Dewi
Melati mengangguk-angguk dengan alis lebat mengge-
maskan bertaut rapat. Mudah-mudahan dia tidak se-
kadar mengangguk. Mudah-mudahan dia mengerti. Ji
ka tidak, urusan bakal jadi runyam lagi.
"Sialan benar," rutuk Dewi Melati, tuntas Satria
memaparkan pikirannya. "Kau percaya sekarang?" De-
wi Melati mendengus.
"Rupanya, kita hendak diadu seperti domba to-
lol!"
"Itulah maksudku!"
"Jadi bagaimana sekarang?"
Satria belum sempat menyahuti pertanyaan
Dewi Melati ketika didengarnya teriakan tarung meng-
geledek.
"Khuuaaaa!!"
Dia terperangah teramat sangat. Disaksikannya
tubuh Penjaga Gerbang Neraka menerkam ke angkasa.
Sepasang senjatanya tergenggam di tangan, siap di-
ayunkan, siap mencabik, siap merencah, siap membu-
nuh....
Dewi Melati memekik mencoba mencegah.
Sia-sia tentu saja. Apa dia telah lupa bahwa te-
linga si lelaki cebol sama sekali tak mendengar?
Mungkinkah dia tak bisa bersabar lagi untuk
membunuh Satria Gendeng? Mungkinkah dia sudah
tak sudi lagi di bawah bayang-bayang pengaruh Dewi
Melati?
Mungkin juga tidak begitu. Karena pada saat
yang sama, berkelebat pula sesosok bayangan lain dari
arah berbeda, menusuk kegelapan malam.
Yang satu dari Utara.
Yang lain dari Barat.
Kelebatannya sama-sama gesit. Menuju satu ti-
tik!
Dewi Melati hanya menyangka Penjaga Gerbang
Neraka hendak menyingkirkan Satria. Dia melompat.
Kesalahan fatal telah dilakukannya. Karena kelebatan
bayangan yang meluruk dari arah lain sebenarnya
mengancam dirinya.
"Dewi awass!!!"
Satria memperingati.
Memperingati saja tak cukup. Dia pun mencelat
hendak menghadang kelebatan sosok dari arah Utara.
Sayang sudah kalah cepat.
Sesungguhnya, tindakan itu pun dilakukan
Penjaga Gerbang Neraka. Dia melompat karena hendak
menyelamatkan Dewi Melati yang terancam. Naluri le-
laki kecil itu memang demikian tajam sehingga me-
nangkap dengan jelas maksud kelebatan bayangan da-
ri Utara kendati jaraknya masih cukup jauh.
Dash!
Dash!
Dua suara dalam terdengar.
Kemudian menyusul dua tubuh terpental.
Dewi Melati melayang ke arah Selatan, terkena
bokongan keji kelebatan bayangan dari arah Utara.
Sedangkan si pembokong, sekejap setelah ber-
hasil mendaratkan pukulan ke tubuh Dewi Melati ter-
hantam pula oleh tendangan Penjaga Gerbang Neraka.
Senjata di tangan lelaki cebol itu tak cukup menjang-
kau. Karenanya dia mempergunakan kaki sebisa
mungkin. Namun tetap saja terlambat.
Berbarengan pekikan tertahan Dewi Melati, tu-
buh si pembokong melayang pula ke arah Timur.
Dewi Melati jatuh berdebam. Darah termuntah
dari mulutnya. Kental kehitaman. Tanda luka dalam
yang kelewat parah! Tanpa mempedulikan apa-apa,
Penjaga Gerbang Neraka memburu ke arahnya. Seperti
seorang bocah kehilangan orangtua, dia meraung-
raung ganjil.
Satria hanya sempat mengutuki keterlamba
tannya.
Di atas tanah, si tua bangka cebol memeluk tu-
buh Dewi Melati. Sejenak tubuh perempuan itu tersen-
tak-sentak. Untuk selanjutnya nyawanya terlepas dari
badan.
Satria terbengong. Matanya tak berkedip. Bu-
kan tak menyesali kematian Dewi Melati. Cuma saja
dia tak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan pada
Penjaga Gerbang Neraka tentang siasat busuk Manusia
Makam Keramat mengadu domba dirinya dengan lelaki
cebol itu?
Diam-diam, Satria menyingkir. Saat itu, dia ba-
ru sadar kalau Gendut Tangan Tunggal pun sudah
menyingkir sejak tadi....
SEPULUH
PAGI menjelang. Damai.
Sepanjang perjalanan, mulut Satria Gendeng
tak kunjung habis meruntunkan sumpah serapah dan
makian. Dia kesal karena Gendut Tangan Tunggal te-
lah meninggalkannya begitu saja. Pendekar tua macam
apa dia? Dia pun jengkel setengah mati pada si pem-
bokong Dewi Melati yang tak sempat lagi disaksikan
rupanya.
Kenapa harus membokong pada saat dia mem-
butuhkan Dewi Melati untuk menerangkan sesuatu
pada Penjaga Gerbang Neraka? Kenapa tidak tunggu
sampai besok, tahun depan, atau sampai lebaran mo-
nyet nanti?
Semuanya jadi kacau-balau seperti desa yang
diaduk-aduk angin topan sekaligus raja kentut!
Pagi yang semestinya disambuti dengan sanjungan puji syukur ke hadirat Pemilik Semesta Alam
jadi disambut si pendekar muda dengan kejengkelan.
Sampai dia kehabisan napas sendiri, barulah
umpatannya berhenti. Pemuda itu menghempas pantat
ke rerumputan. Lusuh tampangnya. Bukan sekadar
belum mandi pagi, tentunya.
Jelas kini, tak dapat disangkal lagi, kalau di-
rinya bakal menjadi buruan Penjaga Gerbang Neraka.
Dalam kekalutan akibat kehilangan orang yang dicin-
tai, akan makin sulit saja bagi Satria menjelaskan pa-
danya duduk perkara sebenarnya.
Satria Gendeng merasa dirinya terdampar di
suatu pulau. Tak ada yang bisa dilakukan. Mencoba
mencari Rara Lanjar ke Makam Keramat Muat percu-
ma. Dia tak pernah tahu letak daerahnya. Sementara
orang yang tahu, malah sudah 'ngacir' entah ke mana.
Mudah-mudahan tersesat di hutan Alas Roban dan
dimakan nenek moyang dedemit! Belum lagi dia tak
tahu cara menghadapi Penjaga Gerbang Neraka nanti.
Satria meringis-ringis sebal.
Saking sebalnya, dia menghantami kepala sen-
diri ke tanah. Jangan-jangan, sudah tertular 'penyakit'
Dedengkot Sinting Kepala Gundul....
Sampai suatu ketika, ada seseorang mendatan-
ginya.
Satria terkesiap. Cepat dia bangkit. Kuda-kuda
dipasang. Siapa tahu yang datang Penjaga Gerbang
Neraka. Ternyata bukan. Namun bukan berarti tak jadi
terkejut. Sosok yang dilihatnya membuat matanya sulit
berkedip.
"Kau...," desisnya, tak percaya.
"Siapa kau sebenarnya?" susulnya, sama sekali
membingungkan. Kalau semula dia bergumam seakan
pernah melihat orang itu, kini dia bertanya seakan
akan tak pernah mengenalnya.
Sesungguhnya pantas saja Satria Gendeng be-
gitu. Karena yang disaksikan adalah orang bertopeng
kayu Arjuna. Dia mengenakan pakaian seorang ningrat
Parahyangan. Lengkap dengan blangkon dan keris.
"Aku hendak menemuimu...," kata orang berto-
peng.
"O, jangan tanya bagaimana aku pun begitu in-
gin menemuimu sejak lama," sindir Satria.
"Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu."
"Katakan selama telingaku belum tuli sama se-
kali."
"Kalau kau hendak mencari Rara Lanjar, se-
baiknya kau pergi ke gubuk di kaki Gunung Buran-
grang."
"Apa maksudmu? Yang ku tahu, dia telah dicu-
lik...."
"Kini dia telah selamat dan berada di sana."
Satria Gendeng menggeleng sambil tersenyum
tanggung.
"Kau hendak mengibuliku, heh?"
"Kau bisa membuktikan sendiri," ucap si orang
bertopeng seraya melangkah hendak meninggalkan Sa-
tria Gendeng.
"Tunggu!" cegah Satria. "Kurasa, aku telah bisa
menduga siapa kau sebenarnya," katanya dengan tata-
pan menyelidik.
"Begitu?" tanya orang bertopeng tanpa memba-
likkan badan.
"Ya. Kau pasti Rara Lanjar sendiri?!" duga Sa-
tria yakin.
Orang bertopeng terdiam sesaat. Badannya ke-
mudian berbalik menghadap Satria.
"Kenapa kau berpikir begitu?" tanyanya.
"Karena aku sudah mendengar cerita Ki Danu-
jaya. Kau jangan menyangkal lagi Rara Lanjar. Aku ta-
hu Ki Danujaya hanya berpura-pura tak tahu untuk
mengamankan penyamaranmu. Bukan begitu?"
Satria Gendeng berjalan mengitari orang berto-
peng. Lagaknya sudah seperti kepala centeng menga-
wasi mating kampung. Matanya terus menatap penuh
selidik.
"Ki Danujaya sendiri yang mengatakan bahwa
kau adalah salah seorang keturunan sang Prabu. Me-
nurut beliau pula, bahwa keselamatanmu menjadi
tanggung jawabnya. Jadi bukan tak mungkin selama
ini kau telah diselamatkan oleh Ki Danujaya. Begitu
pula saat kau pertama kali lolos dari tangan Manusia
Makam Keramat. Hanya saja kau mengarang cerita te-
lah diselamatkan oleh orang bertopeng Arjuna. Padahal
orang bertopeng itu kau sendiri."
Satria menatap lekat-lekat keris di belitan kain
orang bertopeng.
"Dan keris itu. Bukankah itu keris yang diper-
gunakan sang Prabu untuk membunuh Arya Sonta si
Manusia Makam Keramat untuk pertama kali?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ah, pertanyaan bodoh, Lanjar! Guruku adalah
saudara langsung Arya Sonta. Dia tumbuh dan hidup
di masa yang sama dengan manusia terkutuk itu. Gu-
ruku terkadang pelupa. Sewaktu kejadian di dekat
Perguruan Belalang Putih, pada malam Ki Arga Pasa
terbunuh, dia tak ingat senjata yang bisa membunuh
Arya Sonta. Tapi, suatu kali dia teringat dan menceri-
takannya padaku...."
"Lalu?"
"Pertanyaan bodoh lagi, Lanjar! Tentu saja se-
bagai seorang keturunannya, kaulah yang akan mewa
riskan senjata pusaka itu. Hanya saja aku memang tak
tahu jelas bagaimana cara kau mendapatkannya...."
"Soal keris ini, kau benar. Soal yang lain, kau
keliru," tandas orang bertopeng seraya membalikkan
badan kembali.
"Keliru bagaimana?" Satria Gendeng penasaran.
Tak sudi dia ditinggal begitu saja seperti kambing con-
gek.
"Aku bukan orang yang kau sebutkan." Satria
Gendeng tergelak.
"Kau benar-benar pandai bersandiwara, Lanjar!
Kau mengatakan aku keliru, sementara tetap kau
sembunyikan wajah di balik topeng itu."
"Maaf, Saudara. Aku tak punya waktu untuk
memperdebatkan pepesan kosong padamu...."
Lalu si orang bertopeng meneruskan langkah.
Satria cepat menghadang di depan.
"Kau tak bisa pergi begitu saja, Lanjar. Sebelum
kau jelaskan alasan kenapa kau harus menyamar den-
gan topeng kayu itu?"
"Masih juga kau tak percaya?"
Satria Gendeng merengut sejadi-jadinya. Dasar
perempuan keras kepala! Omelnya dalam hati.
"Apa maumu agar aku membuktikan bahwa
kau adalah Rara Lanjar. Apa aku harus memaksa me-
rebut topengmu??!! Heh?" desak Satria Gendeng.
Orang bertopeng menggeleng.
"Kau tak perlu melakukannya. Saatnya nanti,
kau pun akan segera tahu. Sekarang, biarkan aku per-
gi...."
"Tak bisa! Tak bisa!" sengit Satria, ngotot berat.
Mendadak saja, tangan pendekar muda itu ber-
gerak cepat. Amat cepat. Gerakan yang terlatih selama
dia harus mengumpulkan bunga karang dari Lautan
Selatan dalam godokan Tabib Sakti Pulau Dedemit du-
lu. Dibarengi dengan jurus 'Mematuk Bunga Karang',
tentu saja gerakan itu jadi amat sulit ditaklukkan da-
lam jarak terlampau dekat.
Kalau Satria mengira dia akan segera dapat me-
rebut topeng dari wajah orang di depannya, dia keliru.
"Haih!"
Hanya dengan mencondongkan badan sedikit
menyamping, sambaran tangan Satria Gendeng lolos.
Kecepatan gerak si orang bertopeng sanggup mengim-
bangi gerakan Satria Gendeng.
"He he he," Satria terkekeh. "Dari mana kau be-
lajar gerakan seanggun itu, Lanjar?" ledeknya.
Selanjutnya....
"Hia!!"
Satria Gendeng membentak. Dibayangi gerak
mematuk beruntun.
Berkali.
Bertubi.
Cep tak, cep tak, cep tak!
Dan... semuanya lolos! Jika sebelumnya si
orang bertopeng hanya mencondongkan badan, meng-
hadapi gencarnya patukan tangan Satria Gendeng, kini
dia mempergunakan tangan untuk menangkis.
"Slompret kau, Rara Lanjar!" umpat si pendekar
muda, mulai 'angot' sendiri. "Kenapa kau tak mele-
paskan saja topeng butut itu. Apa salahnya, heh? Apa
kau tak percaya padaku lag!?!" serbunya, menyemprot-
nyemprot. Mencak-mencak pula.
Orang bertopeng menghela napas.
"Jika kau memang memaksa, memang sebaik-
nya aku memperlihatkan diriku padamu.... Toh, kau
orang yang bisa kupercaya...."
Satria Gendeng terkekeh geli.
"Lihatlah.... Dari ucapanmu, kau mulai mau
mengaku. Bagaimana kau dapat mengatakan aku ada-
lah orang yang bisa dipercaya kalau kau tak menge-
nalku...," katanya, merasa menang.
Disambungnya tawa makin geli. Sampai dia tak
menyaksikan kalau orang di depannya sudah membu-
ka topeng.
Begitu Satria menghentikan tawa, mulutnya
menganga seketika. Wajah di balik topeng telah disak-
sikannya. Tapi kenapa harus melongo tolol?
* * *
Siapa tuh orang? Benar Rara Lanjar? Bagaima-
na urusannya dengan Si cebol (nan galak), Penjaga
Gerbang Neraka? Bisa apa tidak Satria mengatasinya?
Weleh... weleh....
SELESAI
Segera ikuti kelanjutannya!!!
Serial Satria Gendeng
dalam episode:
PEWARIS KERIS KIAI KUNING
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar