Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
SEBUAH bayangan hitam melesat membe-
lah angin pagi yang bertiup semilir. Arahnya terus
menjauhi Gunung Wilis yang berdiri kokoh me-
nantang langit. Puncaknya masih terkepung ka-
but tebal berwarna kehitaman. Mungkin di sana
sebentar lagi akan turun hujan lebat. Buktinya
matahari tak kunjung muncul yang mestinya saat
ini sudah sepenggalah. Seolah bola api raksasa
itu telah terkunci mati oleh gerombolan awan hi-
tam di timur sana.
Sekian jauh berlari, si bayangan hitam te-
rus saja mengerahkan ilmu meringankan tubuh-
nya yang lumayan tinggi. Cukup cepat, sampai-
sampai cukup sulit untuk melihat secara jelas
rupa orang bertubuh tinggi besar itu. Beberapa
dahan pohon besar yang menghalangi langkah-
nya dilompati. Bebatuan besar juga dilompati, tak
peduli kalau batu itu hanya sekepalan tangan.
Entah, apa yang dikhawatirkan si bayan-
gan hitam. Melihat gelagatnya yang sebentar-
sebentar menengok ke belakang, agaknya si
bayangan hitam tengah mencoba memastikan
apakah ada orang yang mengejarnya
Sampai di sebuah lembah bebatuan cadas
menghampar, sosok bayangan tadi menghentikan
langkahnya. Dia berbalik, lalu kepalanya celingu-
kan. Seolah hendak memastikan kembali, apakah
ada orang yang mengejarnya. Begitu yakin, bibir
tebalnya mengukir senyum.
Sekarang, rupa si bayangan hitam menjadi
jauh lebih jelas, kendati awan mendung masih
menebar kegelapan. Wajahnya dipenuhi brewok
lebat. Jenggotnya nyaris menutupi leher. Alis ma-
tanya tebal, menukik hendak menghujam kedua
matanya yang besar. Pakaiannya komprang ber-
warna hitam tanpa dikancingi, seolah hendak
memamerkan bulu-bulu lebatnya di dadanya
yang bidang kekar. Padahal, di tempat ini tak ada
seorang pun. Jadi hendak dipamerkan kepada
siapa bulu-bulunya itu?
Kalau sudah melihat ciri-cirinya, sudah
pasti dia seorang lelaki. Sebab mana mungkin ada
perempuan brewokan seperti itu kalau tidak ka-
rena kualat? Celananya juga komprang, berwarna
hitam. Siapa lelaki ini?
Dialah Warok Darmo Singo.
Seorang warok sesat adik dari Warok Singo
Lodra yang cukup disegani di Kadipaten Ponoro-
go. (Baca episode: "Pertunangan Berdarah").
Setelah berhasil melarikan diri dari anca-
man gurunya, Warok Darmo Singo bersumpah
tak ingin kembali ke Gunung Wilis, sebelum
mempunyai kesaktian yang melebihi Iblis Rogo
Jembangan. Karena dia tahu, guru sesatnya itu
tak akan membiarkan dirinya mengangkangi har-
ta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu ting-
kat tinggi yang tersembunyi di puncak Gunung
Wilis
Warok Darmo Singo juga tidak bodoh. Seti
daknya, dia juga harus bersiap diri untuk meng-
hadapi kakak kandungnya sendiri yang diadu
domba dengan Warok Jogoboyo. Entah siapa yang
bakal jadi pemenang, yang penting dia harus
mempersiapkan diri. Untuk itu, harus dicarinya
tokoh sakti lain yang bisa menurunkan ilmu-ilmu
tingkat tinggi kepadanya. Dan dia tahu kalau di
Lembah Keramat tempat dia berdiri sekarang ini
tinggal seorang tokoh sakti yang konon telah lama
tenggelam dari percaturan dunia persilatan. Siapa
tokoh itu?
Manusia Sesat Kaki Empat!
"Hmmm.... Kalau tak salah, ini yang ber-
nama Lembah Keramat. Tapi, di mana tepatnya
tempat tinggal tokoh bernama Manusia Sesat Ka-
ki Empat itu?" gumam Warok Darmo Singo.
Sang Warok sesat mengusap-usap jenggot
lebatnya. Matanya terus saja jelalatan mencari-
cari. Liar, matanya menyapu hamparan lembah
yang berupa tanah bebatuan cadas yang sebagian
besar terselimuti lumut hijau. Di kanan-kiri lem-
bah mengapit dua buah bukit tak terlalu besar.
"Namanya Lembah Keramat. Cukup meng-
gidikkan. Tapi tempatnya tak sesuai namanya.
Biasa saja. Apa yang menakutkan dari lembah
ini?" tanyanya, masih menggumam.
Salah besar kalau Warok Darmo Singo
menduga demikian. Dia tak tahu kalau di lembah
ini justru tempat di mana para iblis dari segala
jenis berkumpul, bercengkrama membangun se-
buah pesta pora dari sejak matahari terbenam
hingga fajar menyingsing.
Perlahan tapi pasti, kaki kekar Warok
Darmo Singo melangkah menuju kaki lembah se-
belah kiri. Entah, bisikan apa yang membuat
langkahnya tertuju ke sana. Bahkan hatinya sen-
diri malah bertanya-tanya. Heran? Kenapa seolah
ada yang menuntunku ke bukit sebelah kiri itu?
Dan, kenapa aku tak mampu menolaknya?
Hati galau Warok Darmo Singo makin larut
dalam ketidakberdayaan. Terperangkap dalam se-
buah kekuatan yang tak mampu ditepisnya. Ke-
kuatan yang menyeret langkahnya menuju bukit
sebelah kiri. Bukit Para Dayang!
Edan! Kenapa hatiku tiba-tiba ciut begini?
Setan alas! Sumpah serapah dari bibir tebalnya
menyusul kemudian. Menyumpah-nyumpah begi-
tu, tapi tetap saja langkahnya tak kuasa dihenti-
kan. Ini yang membuat hatinya terus bertanya-
tanya tak mengerti. Bahkan sedikit-demi sedikit
hatinya mulai digerogoti rasa takut yang kian
mendera.
Tiba di kaki bukit yang hanya tersusun da-
ri tumpukan batu cadas, jantung Warok Darmo
Singo makin berdetak amat kencang. Aliran da-
rahnya seolah terbalik. Perasaannya jadi tak me-
nentu. Tingkahnya bagaikan orang linglung. Tak
tahu apa yang harus diperbuatnya.
Di hati kecilnya yang paling dalam, Warok
Darmo Singo berusaha berontak dari ketidakmen-
gertian. Malah, tenaga batinnya berusaha dike-
rahkan. Tapi tetap saja langkahnya terus bergerak mendekati dinding bukit cadas berselimut
lumut hijau.
"He he he.... Selamat datang di Bukit Para
Danyang, Anak Manusia! Aku tahu maksud keda-
tanganmu dari sinar matamu yang tersaput kera-
kusan. Kau tahu nafsu besarmu, Anak Manusia.
Sungguh tepat kau dapat ke Istanaku...."
Suara berat menyentak akal waras Warok
Darmo Singo. Mendadak saja, rasa linglungnya
terdepak entah ke mana. Dan matanya jadi jelala-
tan tak mengerti, mengapa dia tak bisa mengelak
dari kekuatan halus yang membawanya ke tempat
ini?
"Siapa kau?!" bentak Warok Darmo Singo
begitu bisa menguasai diri. Suaranya menggele-
gar, seolah hendak menohok langit. Bergaung ke
segala arah, terbawa angin yang mendesah-desah
lirih.
"He he he.... Suaramu begitu keras, tapi
hanya patut untuk menakut-nakuti kucing kurus
yang besok pagi mau mati. Kalau aku tahu mak-
sud kedatanganmu yang ingin berguru kepadaku,
apakah kau masih perlu tahu namaku? Simpan
saja pertanyaanmu di puser bodongmu itu, Anak
Manusia.... He he he...," leceh suara tak berwu-
jud, membuat Warok Darmo Singo tercekat.
"Ja..., jadi kau Manusia Sesat Kaki Em-
pat...?" gagap lelaki tinggi besar ini. Tingkahnya
jadi serba salah. Keberaniannya yang semula
muncul kembali kontan terusir begitu saja. Wa-
jahnya mendadak pucat pasi. Sementara, ma
tanya tak seliar tadi.
"Sudah kubilang, simpan saja pertanyaan-
mu itu, Anak Manusia! Sekarang, ikuti perintah-
ku!"
Suara sarat kekuatan batin kontan men-
goyak nyali Warok Darmo Singo. Penuh tekanan
dan mengandung sebuah kekuatan yang mem-
buat Warok Darmo Singo kembali bagai orang lin-
glung!
"Nah! Kau sekarang sudah berada di bawah
pengaruhku! Kau harus patuhi segala perintahku!
Mengerti?!" lanjut suara berat tadi.
"Mengerti...," lirih, suara Warok Darmo
Singo terlempar dari bibir tebalnya. Tak segalak
tadi. Tak seberat tadi. Semuanya serba ringan, se-
ringan kakinya yang seolah tak bertenaga lagi.
"Sekarang, dekati batu besar runcing di se-
belah kananmu!" perintah wujud yang masih ka-
sat mata.
Perlahan namun pasti, kaki Warok Darmo
Singo melangkah terseret ke arah batu yang di-
maksud. Pandangannya kosong tanpa makna.
Seperti kerbau dicucuk hidungnya, kata-kata seo-
lah bagaikan sabda yang memang harus dituru-
tinya.
Tiba di dekat batu besar runcing-runcing
itu, langkah Warok Darmo Singo terhenti begitu
saja. Sepertinya, ada sebuah kekuatan yang me-
nuntunnya.
"Kau lihat sebuah mulut goa di balik batu
itu? Nah, masuklah!" lanjut suara tadi.
Kembali langkah Warok Darmo Singo ber-
gerak. Dilewatinya batu cadas runcing-runcing
yang bagaikan sebuah tugu ini. Dengan pandan-
gan kosong, didekatinya sebuah mulut goa yang
tak begitu besar yang cukup dimasuki satu orang
saja.
Karena tubuhnya agak besar, susah payah
Warok Darmo Singo memasuki mulut goa. Aki-
batnya, pakaian komprangnya tersangkut taring-
taring batu cadas yang membentuk mulut goa.
Sobek di sana-sini. Tapi dia tak peduli. Padahal,
sebagian tubuhnya mulai terasa perih oleh gore-
san taring-taring cadas.
Berhasil. Warok Darmo Singo berhasil me-
masuki mulut goa yang bagaikan memasuki mu-
lut buaya itu. Dan baru beberapa langkah dari
mulut goa, sebuah kegelapan amat kental meng-
hadangnya. Tapi, karena jalan pikirannya bagai-
kan dituntun oleh sebuah kekuatan yang mera-
suki jiwanya, langkahnya seperti tak peduli berge-
rak memasuki perut goa.
Makin masuk melangkah, perut goa makin
melebar. Dalam kegelapan, Warok Darmo Singo
berusaha membuka matanya selebar mungkin.
Berusaha menembus kepekatan kendati tatapan-
nya nyaris tak bermakna. Kosong tanpa mengerti
kenapa kakinya enak saja melangkah tak tersan-
dung sedikit pun.
"Dua langkah lagi, kau berbelok ke kanan.
Maka kau akan sampai ke hadapanku!" suara be-
rat kembali terdengar. Bergema terpantul dinding
dinding goa.
Benar. Dua langkah kemudian, terdapat
mulut lorong lain. Tapi suasananya tak segelap
tadi. Begitu Warok Darmo Singo berbelok ke ka-
nan dan memasuki mulut lorong, cahaya remang-
remang dari sebuah obor tak begitu besar yang
terpancang di dinding lorong goa segera menyam-
butnya.
Sepuluh langkah kemudian, Warok Darmo
Singo telah tiba di sebuah ruangan cukup lebar.
Terasa lembab, dan berhawa busuk menyesak-
kan.
"He he he.... Kau telah sampai di hadapan-
ku, Anak Manusia. Duduklah di hadapanku," ujar
suara berat bergema. Bahkan kali ini suara itu
kembali seperti mengandung kekuatan batin, se-
hingga menyadarkan jalan pikiran Warok Darmo
Singo.
Lelaki tinggi besar itu melengak. Terkejut
menyadari dirinya tahu-tahu telah berada di tem-
pat ini. Seolah, dia baru saja terbangun dari ti-
dur.
"Di..., di mana aku?" tanyanya, tak menger-
ti.
Tatapan Warok Darmo Singo kuyu menga-
rah ke pojokan ruangan pengap berhawa busuk
ini. Di situ duduk bersila seorang lelaki tua kurus
di atas sebuah batu cadas berbentuk pipih. Tak
berbaju, kecuali bagian bawahnya yang ditutupi
kain kusam yang dibebatkan begitu saja. Ram-
butnya putih tak terurus dibiarkan tumbuh begitu saja. Kumis dan jenggotnya juga telah meman-
jang tak terurus, menjuntai bagai akar-akar po-
hon beringin.
"He he he.... Sungguh tak salah kau ingin
berguru denganku, Anak Manusia. Selamat da-
tang di kediaman Manusia Sesat Kaki Empat." ka-
ta lelaki tua berjuluk Manusia Sesat Kaki Empat.
Kendati tadi telah disuruh duduk, tetap sa-
ja Warok Darmo Singo masih terpaku berdiri. Ma-
tanya terus mengawasi lelaki tua di depannya Ka-
tanya, berkaki empat. Mana kakinya yang dua la-
gi? Tanya lelaki tinggi besar ini.
"Kau mau tahu dua kakiku yang lainnya,
ya?" tebak Manusia Sesat Kaki Empat, membuat
Warok Darmo Singo terperanjat.
Tak menyahut, kepala lelaki tinggi besar
itu manggut-manggut.
Untuk memenuhi keingintahuan Warok
Darmo Singo, masih dalam bersila Manusia Sesat
Kaki Empat memutar tubuhnya. Tanpa kesulitan.
Berputar begitu saja di atas pantat teposnya yang
bagai memiliki sumbu. Sungguh sebuah kepan-
daian yang menakjubkan! Pantatnya sama sekali
tak terangkat. Tak terlihat tanda-tanda kalau dia
mengerahkan tenaga.
Begitu berbalik, terlihat di atas pantat Ma-
nusia Sesat Kaki Empat tumbuh dua kaki yang
juga dalam keadaan bersila. Begitu santai, layak-
nya dua kaki yang ada di depannya.
Maka makin lengkap kalau lelaki tua itu
pantas berjuluk Manusia Sesat Kaki Empat.
Siapakah
DUA
KADIPATEN Trenggalek. Alam baru saja di-
guyur hujan lebat. Siang mulai merambat. Mata-
hari masih terkunci rapat oleh gerombolan awan
hitam yang membangun sebuah kekuasaan di
langit hitam pekat. Menebar rintik-rintik air dari
langit diselingi sambaran kilat.
Di ruang tengah rumah Warok Jogoboyo,
bocah sakti tanah Jawa baru saja menandaskan
ayam goreng masakan Nyai Gembili, istri Warok
Singo Lodra. Mulutnya masih berdecap-decap. La-
lu dicungkilinya sisa-sisa daging ayam yang ma-
sih nyempil di sela-sela gigi putihnya. Sesekali
terdengar sendawanya yang membuat Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo tersenyum seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
Kedua warok itu kini semakin paham pada
tabiat si anak muda bernama Satria Gendeng.
Tabiat sinting warisan Dongdongka jelas tergam-
bar pada tingkah laku Satria. Mudah-mudahan
saja wajah jelek Dongdongka tak ikut terwarisi
pada si anak muda ini. Begitu harapan dua warok
yang paling ditakuti di Kadipaten Trenggalek dan
Kadipaten Ponorogo itu.
"Rasanya baru kali ini aku makan ayam
goreng begini nikmatnya. Enak sekali masakan is-
trimu, Paman Warok Singo." pecah Satria, memuji
"Mungkin karena perutmu kelewat lapar,
sehingga masakan sederhana itu kau bilang
enak," tepis Warok Singo Lodra, tak ingin menon-
jolkan kepandaian istrinya dalam hal memasak.
"Satria benar, Kakang. Mendiang istriku
saja tak bisa menyamai kepandaian istrimu da-
lam hal memasak," Warok Jogoboyo memperkuat
pujian Satria.
Nyai Gembili yang duduk di sebelah Warok
Singo Lodra hanya tersipu. Bisa jadi hatinya ber-
bunga-bunga. Sebab sebagai tokoh persilatan pu-
la, ternyata kepandaian masaknya tak pernah ka-
lah dari wanita kebanyakan.
Warok Jogoboyo sendiri merasa bersyukur
atas kedatangan Warok Singo Lodra dan istrinya.
Artinya, kedatangan kakak seperguruannya sedi-
kit banyak cukup mengobati rasa dukanya saat
ini. Betapa tidak? Belum lama Ratna Kumala
anaknya tewas di tangan anak buah Warok Dar-
mo Singo. Lalu dirinya diadu domba dengan Wa-
rok Singo Lodra kakak seperguruannya. Kemu-
dian ketika baru tiba di rumah, dia dikabari bah-
wa istrinya telah tewas dan telah dikuburkan di
pemakaman umum di pinggiran kadipaten (Baca
episode : "Pertunangan Berdarah").
Sewaktu Warok Singo Lodra datang bersa-
ma istrinya, Warok Jogoboyo langsung meminta
Nyai Gembili untuk memasakkan untuknya. Saat
Nyai Gembili pergi ke pasar, Warok Jogoboyo se-
gera menceritakan tentang peristiwa yang terjadi
di rumahnya. Termasuk tentang hilangnya poton
gan lempengan logam warisan guru mereka, Resi
Kalangwan. Nyatanya, kekhawatiran Warok Singo
Lodra terbukti. Sejak dari rumah, pikirannya te-
lah dihantui kekhawatiran terhadap Nyai Kumitir
istri Warok Jogoboyo, serta hilangnya potongan
lempengan logam seperti yang dialaminya.
Untungnya, kedua warok itu tak begitu ka-
lut menghadapi hilangnya potongan lempeng lo-
gam yang mereka miliki. Kini mereka seolah tak
begitu mempersoalkan warisan guru mereka yang
berisi peta petunjuk tentang sebuah harta karun
dan sebuah kitab suci berisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi.
Yang jadi persoalan buat mereka adalah,
Warok Darmo Singo. Manusia laknat yang telah
mengadu domba mereka. Mereka tahu, tak mu-
dah untuk menemukan harta karun dan kitab
sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan di
puncak Gunung Wilis. Sebab, tak mudah untuk
memecahkan makna yang tergurat di atas peta.
Disamping membutuhkan otak cerdas, juga
membutuhkan kebersihan jiwa yang amat tinggi.
Itu yang membuat mereka tak begitu kalut. La-
gian, mana ada tokoh yang memiliki hati bersih?
Dan bila Warok Darmo Singo berhasil
mendapatkan kedua potongan lempeng logam itu,
bukan berarti bisa mengangkangi harta serta ki-
tab sakti tadi. Cuma saja, sepak terjangnya itulah
yang membuat kedua warok geram bukan main.
Mengadu domba serta membuat anak- anak me-
reka harus menerima akibatnya. Ini yang membuat Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo me-
rasa harus membuat perhitungan dengan Warok
Darmo Singo.
Begitu pulang dari pasar, Nyai Gembili ba-
ru diceritakan tentang keadaan Nyai Kumitir.
Sempat perempuan ini memarahi suaminya yang
tidak segera menceritakan, tapi segera dilerai Wa-
rok Jogoboyo dan Satria Gendeng.
"Kira-kira, kapan Paman Warok berdua
akan segera mencari biang kutil itu?" letus Satria,
tiba-tiba.
Bujubuneng! Satria menyebut Warok Dar-
mo Singo biang kutil di hadapan Warok Singo Lo-
dra? Sesesat-sesatnya Warok Darmo Singo bu-
kankah dia adik kandung Warok Singo Lodra?
Enteng betul mulut si bocah bau kencur itu. Ka-
lau Warok Darmo Singo biang kutil, lalu Warok
Singo Lodra apa? Kakeknya kutil? Atau rajanya
kutil?
Tapi mana mau peduli si bocah bertabiat
sinting dengan segala ucapannya. Baginya, segala
ucapan yang terlempar dari mulutnya tak lebih
dari kentut yang berlalu begitu saja. Nyaris tanpa
makna. Kecuali dalam hal-hal tertentu.
"Sebentar lagi kami berangkat, Satria. Sa-
saran pertama kami adalah Gunung Wilis. Kami
yakin, dia menuju ke sana," jawab Warok Singo
Lodra, tak tersinggung adik kandungnya dibilang
biang kutil. Baginya, julukan apa saja yang bu-
ruk-buruk bagi adik kandungnya tak cukup un-
tuk mengampuni perbuatan adiknya. Ganjaran
yang pantas bagi Warok Darmo Singo hanyalah
mati! Begitu tekadnya.
"Kau bersedia membantu kami, Satria?" se-
la Warok Jogoboyo, menoleh pada si bocah tengik.
Dasar Satria. Tawaran Warok Jogoboyo ba-
ginya dianggap sebagai penghormatan besar. Pe-
rasaannya pun melambung. Dadanya sedikit te-
rangkat. Cuma karena tidak tahu harus bagaima-
na melampiaskannya, walhasil mulutnya hanya
cengar-cengir serba salah.
"Tentu, tentu, Paman. Sekuat tenaga aku
akan membantu kalian. Asal...."
Satria memenggal kata-katanya. Sengaja.
Entah, apa maksudnya.
"Asal apa, Satria?" tanya Warok Singo Lo-
dra, penasaran.
"Asal Paman Warok berdua bisa mengenda-
likan diri masing-masing. Artinya, tak gampang
menjadi korban adu domba lagi," kata-kata Satria
meluncur begitu saja dan seolah ditujukan kepa-
da kedua warok. Tapi justru yang blingsatan ma-
lah Warok Singo Lodra. Sebab, dialah orang keras
kepala dengan menuruti bisikan setan selama ini.
"Maksudku begini," Satria berusaha menjelaskan
lebih lanjut, tak enak bila dia menyinggung pera-
saan Warok Singo Lodra. "Jika Kalian berhadapan
dengan Warok Darmo Singo, yang ada di hadapan
kalian adalah kejahatan. Bukan Warok Darmo
Singo. Masalahnya, yang kita perangi adalah ke-
jahatan, bukan adik kandung Warok Singo Lodra.
Dan bukan mustahil, Warok Darmo Singo akan
mempersiapkan diri dengan siasat-siasat lain,
yang belum kita ketahui."
Mestinya, kedua warok amat marah dina-
sihati bocah kemarin sore di hadapan mereka ini.
Tapi, entah kenapa kedua warok ini memandang
Satria Gendeng bak layaknya seorang resi yang
membawa perbawa tinggi. Bahkan kepala mereka
manggut-manggut, seolah tengah berhadapan
dengan guru mereka sendiri. Edan! Malaikat ma-
na yang tengah merasuki si bocah bertabiat sint-
ing?
"Kami mengerti, Satria. Mudah-mudahan
kami bisa memandang lebih jeli dengan siapa
kami berhadapan, tanpa memandang siapa la-
wan. Kini, aku sendiri lebih mengerti, apa hidup
sebenarnya. Bahwa hidup selalu tak lepas dari
persoalan. Dan setiap persoalan butuh penyele-
saian, kendati itu terasa pahit. Biar bagaimana-
pun kita harus menghadapinya. Sejak aku tahu
bahwa adikkulah yang menjadi pokok permasala-
hannya, aku telah bersumpah untuk mele-
nyapkannya. Aku tak peduli, siapa dia. Meski, dia
adalah adik kandungku sendiri. Karena aku juga
menyadari yang kuhadapi adalah kejahatan, bu-
kan adik kandungku," papar Warok Singo Lodra
tegas.
"Syukur kalau Paman Warok Singo Lodra
berpandangan demikian. Lalu, bagaimana dengan
Paman Warok Jogoboyo?" lempar Satria. Kepa-
lanya menoleh pada tuan rumah.
"Sebenarnya, hukum warok memang demi
kian, Satria. Kami tak memandang siapa yang
bersalah. Kami hanya memandang kesalahannya.
Dan menurut kami, kesalahan Warok Darmo Sin-
go sudah di luar batas. Maka dengan amat ter-
paksa tanpa mengurangi rasa maafku pada Ka-
kang Warok Singo Lodra, aku harus membunuh-
nya," Warok Jogoboyo menatap Warok Singo Lo-
dra.
"Jangan bicara begitu, Adi Warok Jogo-
boyo. Rasanya justru aku merasa malu terha-
dapmu. Seandainya nanti kau harus membunuh
adik kandungku di hadapanku, rasanya aku pun
ingin meludahi mayatnya. Bahkan rasanya itu be-
lum cukup. Kau tahu sendiri, anakku Nawangsih
telah dibuat gila olehnya," geram Warok Singo Lo-
dra, bila mengingat perbuatan Warok Darmo Sin-
go.
"Gila? Siapa yang gila, Paman Warok?" ma-
lah Satria yang tercekat.
"Anakku, Satria. Nawangsih. Karena per-
buatan adik kandungku, Nawangsih kini kuung-
sikan di rumah kerabat istriku. Aku benar-benar
terpukul, Satria. Aku malu karena anakku gila...,"
desah Warok Singo Lodra, sarat kegalauan.
Satria manggut-manggut. Berat juga per-
soalan yang dihadapi kedua warok ini, katanya
dalam hati. Mereka sama-sama terkena musibah
akibat ulah biang kutil itu. Seperti apa sih orang-
nya? Rasanya tanganku sudah gatal ingin mem-
brondoli bulu-bulunya. Tentu saja tidak untuk
bulu yang itu, lanjutnya, mesam-mesem sendiri.
"Kalau begitu, aku akan pergi ke rumah
Paman Warok Singo Lodra. Mudah-mudahan saja,
aku bisa menyembuhkan putri Paman," cetus Sa-
tria.
"Apa?!" ledak Warok Singo Lodra, kontan
berdiri dari duduknya. Matanya melotot, nyaris
membuat jantung Satria copot. "Kau bisa me-
nyembuhkan anakku, Satria?!" lengaknya, nyaris
tak percaya.
Menyesal Satria berkata begitu. Pelototan
Warok Singo Lodra tak sedikit banyak membuat
tangannya harus mengelus-elus dada. Kaget sih
kaget. Tapi jangan pakai melotot begitu, dong! Ru-
tuk Satria dalam hati. Sudah tampangnya seram,
pakai melotot lagi. Apa jadinya tak seperti gen-
druwo?
"Ya, lihat saja nanti, Paman. Aku tak mau
membuat janji. Yang penting aku akan mengusa-
hakannya," sahut Satria, kalem.
"Oh, terima kasih. Terima kasih, Satria,"
ucap Nyai Gembili, terharu, seraya meremas-
remas tangannya sendiri. Maksudnya sih mau
meremas-remas Satria dalam pelukannya, tapi
rasanya suaminya bakal naik pitam.
Saking harunya, justru Warok Singo Lodra
yang menghampiri Satria. Dipeluknya si bocah
sakti tanah Jawa yang masih duduk di kursi ma-
kan. Tinggal Satria yang meringis-ringis, tergelitik
oleh bulu-bulu lebat di wajah Warok Singo Lodra.
"Terima kasih, Satria. Kalaupun kau tak
berhasil menyembuhkan anakku, aku tetap akan
menghargai usahamu. Niat baikmu menunjukkan
bahwa kau adalah pendekar sejati yang selalu pe-
duli pada kesulitan orang lain," ucap Warok Singo
Lodra.
"Dan aku juga akan berterima kasih jika
kau sudi menyingkirkan bulu-bulu dari wajahku,
Paman Warok. He he he.... Geli, tahu!" semprot
Satria.
"He he he.... Edan..., edan. Heran. Aku kok
tak bisa marah padamu, Can Bagus! Mungkin ka-
lau orang lain sudah kukemplang kepalanya bila
berani mengusik-usik bulu-buluku. Tapi terha-
dapmu?" Warok Singo Lodra melepaskan pelukan
seraya menggeleng-geleng kepala.
"Tapi aku tak tahu ada di mana anakmu,
Paman?" tanya Satria.
"Kau bisa ke Ponorogo bersama istriku,"
kata Warok Singo Lodra.
"Paman tak cemburu?" Satria melirik nakal
pada Nyai Gembili yang masih terlihat cantik,
kendati usianya telah kepala empat.
"Aku sangat percaya padamu, Cah Bagus!"
"Kenapa Paman begitu percaya kepadaku?"
"Karena kau Satria Gendeng."
"Kalau aku bukan Satria Gendeng?"
"Pasti kau orang gendeng! Ha ha ha...."
* * *
Kadipaten Ngawi pada waktu yang sama.
Sehabis makan siang. Adipati Suro Brajan
duduk bersama Panglima Adi Kencono di pendopo
keraton. Di sebelah sang Adipati duduk seorang
pemuda berpakaian kebesaran keraton. Sedang-
kan istri sang Adipati tak terlihat. Mungkin se-
dang berada di kaputren bersama putri perem-
puannya yang beranjak dewasa.
"Kau sekarang telah mengerti keadaan Na-
wangsih. Dan kau telah bertekad untuk tetap
menikahinya. Apa kau tak malu mempunyai istri
gila, Anakku?" tanya Adipati Ngawi, pada pemuda
di sebelahnya.
Dialah Senoaji. Putra sang Adipati yang be-
lum lama pulang ke keraton setelah berguru ilmu
olah kanuragan di Padepokan Blambangan.
"Apa pun keadaan Nawangsih, aku tetap
akan menikahinya, Ayah. Aku yakin Gusti Yang
Maha Agung akan menyembuhkan Nawangsih,"
tegas Senoaji. Yakin, seyakin-yakinnya. Tutur ka-
tanya pun terdengar halus, tapi mengandung ke-
tegasan.
"Aku kagum padamu, Anakku. Ternyata di
Blambangan kau tak hanya ditempa ilmu-ilmu si-
lat, tapi juga ditempa dengan sifat-sifat welas
asih. Kata-katamu benar-benar membanggakan-
ku, Anakku. Lalu, kapan kau akan pergi ke Pono-
rogo?" Mata sang Adipati berbinar-binar, meman-
carkan rasa kekaguman yang tak dibuat-buat.
Tulus dari hatinya yang paling dalam.
"Mungkin sore nanti aku akan berangkat,
Ayah. Apakah Ayah tak keberatan?" sahut Senoa-
ji, halus.
"Oh, tidak. Kendati rasa rinduku belum
habis, tapi demi memulihkan nama baikku di ha-
dapan Kakang Warok Singo Lodra, aku rela mele-
pasmu. Jaga nama baik Ayah di hadapan Warok
Singo Lodra. Sampaikan salam hormatku pa-
danya," Adipati Suro Brajan mengucek-ucek ram-
but panjang anaknya.
"Sekarang, aku mohon restu Ayah. Doakan
agar aku senantiasa dilindungi oleh-Nya," Senoaji
mengatupkan kedua telapak tangannya di depan
hidung.
"Tentu, Anakku. Doaku selalu mengiringi
langkahmu. Dan kau bisa ditemani Panglima Adi
Kencono selama perjalananmu," Adipati Suro Bra-
jan memandang lelaki gagah berpakaian panglima
di hadapannya yang duduk bersila di lantai bera-
laskan permadani halus.
Senoaji memandang pula pada panglima
yang tengah menakupkan kedua telapak tangan
di depan hidung. Lalu bibir si pemuda tersenyum.
Sumringah sekali.
"Aku rasa tak perlu, Ayah," tolak Senoaji,
membuat ayahnya terlengak.
"Apa maksudmu, Anakku? Perjalanan me-
nuju Ponorogo cukup berbahaya. Perampok yang
dipimpin Tentara Langit masih berbahaya di Hu-
tan Wonocolo. Sedangkan kau mau pergi seorang
diri?" terabas sang Adipati.
"Maksudku bukan apa-apa, Ayah. Justru
kalau aku ditemani Paman Panglima Adi Kencono
malah menarik perhatian mereka. Maka untuk
itu, aku akan menyamar sebagai rakyat jelata.
Apakah Ayah tak keberatan?"
Sejenak Adipati Suro Brajan tercenung. Bi-
sa jadi pendapat anaknya benar. Sebab, kebanya-
kan para perampok di Hutan Wonocolo telah
mengenali wajah Panglima Adi Kencono. Begitu
seringnya sang Panglima menyatroni hutan itu,
membuat wajahnya gampang dikenali. Lain hal-
nya Senoaji.
"Bagaimana, Ayah?" usik Senoaji.
"Kalau itu sudah jadi tekadmu, aku menu-
rut saja. Aku yakin kau tak sia-sia memperdalam
ilmu-ilmu silat dan kesaktian di Blambangan.
Doaku menyertaimu," desah sang Adipati.
"Oh, terima kasih, Ayah...." Senoaji bang-
kit, lalu memeluk erat-erat ayahnya.
TIGA
TOKOH tua mana yang tak mengenal Ma-
nusia Sesat Kaki Empat?
Kalau bisa mundur seratus tahun lalu,
maka dunia persilatan tak akan lupa dengan se-
pak terjang Manusia Sesat Kaki Empat. Boleh di-
bilang, tokoh itu adalah datuknya kaum sesat di
kawasan Jawa bagian Timur. Konon, ia berasal
dari tanah Bali. Atau tepatnya di Gunung Agung.
Begitu menginjakkan kakinya di Banyuwangi, pe-
taka pun dibuatnya. Sejarah kelam pun ditoreh-
nya dalam dunia persilatan. Dengan alasan yang
hanya sepele, tangan kejamnya pun bisa mema-
kan korban jiwa. Bahkan hanya persoalan kentut
sekalipun!
Pernah suatu kali, Manusia Sesat Kaki
Empat bertandang ke sebuah desa di Banyuwan-
gi. Di sebuah kedai, kebetulan dia berpapasan
dengan seorang lelaki tua yang kebelet buang air
besar lantaran sakit perut. Si tua itu tanpa senga-
ja kentut di hadapan Manusia Sesat Kaki Empat.
Tak ayal lagi, tangannya pun melayang tanpa be-
las kasihan. Sekali kepruk, nyawa si tua itu ter-
cabut!
Sepak terjang Manusia Sesat Kaki Empat
berlanjut. Akibatnya membuat kepala Adipati Ba-
nyuwangi puyeng senat-senut. Bahkan kemudian
di kadipaten itu berjangkit sebuah penyakit men-
gerikan, akibat ulah racun yang ditebarkan Ma-
nusia Sesat Kaki Empat di sungai yang menjadi
sumber kehidupan rakyat Banyuwangi.
Untuk menghentikan sepak terjang Manu-
sia Sesat Kaki Empat, Adipati Banyuwangi lantas
meminta bantuan Resi Kalangwan. Dan lewat se-
buah pertarungan sengit, Manusia Sesat Kaki
Empat bisa dikalahkan. Maka sejak itu si tokoh
sesat lenyap entah ke mana. Tak berbekas, bagai
kentut yang meletus dari pantat. Terbawa angin,
lalu lenyap tak tahu juntrungannya.
Tak ada yang tahu kalau kemudian Manu-
sia Sesat Kaki Empat bersembunyi di Lembah Ke-
ramat, kecuali orang-orang tertentu di kalangan
tokoh sesat.
Kalaupun Warok Darmo Singo bisa tahu
tentang tempat tinggal Manusia Sesat Kaki Em-
pat, maka itu tak lain dari cerita guru sesatnya
yang bergelar Iblis Rogo Jembangan.
Secara kebetulan, ketika Warok Darmo
Singo tiba di Lembah Keramat, sebuah suara te-
lah menuntunnya. Membawanya ke hadapan to-
koh yang diharapkan bisa membantu dirinya.
Manusia Sesat Kaki Empat.
Waktu terus bergulir.
Seperti air mengalir.
Hari-hari lalu mulai tersingkir.
Lama berpikir, akhirnya Warok Darmo Sin-
go memutuskan untuk menjadikan Manusia Se-
sat Kaki Empat sebagai guru terakhir. Tekadnya
sudah bulat. Hatinya membaja
"Aku telah membuat keputusan untuk
menjadi muridmu, Manusia Sesat Kaki Empat,"
putus Warok Darmo Singo waktu itu, ketika lelaki
tua kurus berkaki empat di hadapannya menje-
laskan asal-usul dirinya.
"Bagus ... bagus.... Kau tak salah pilih. As-
al tahu saja, aku telah memperdalam sebuah ilmu
hitam yang dapat kau gunakan untuk menghada-
pi musuh-musuhmu, Kau mau?" lanjut Manusia
Sesat Kaki Empat.
Warok Darmo Singo mengangguk cepat.
Karena, memang itu yang diharapkannya.
"Tapi ada syaratnya...," sambung lelaki tua
keropos itu.
"Apa syaratnya?"
"Cari mayat perawan yang meninggal tak
lebih dari setengah purnama. Dan, bawa mayat
itu ke sini," jelas Manusia Sesat Kaki Empat,
gamblang.
Warok Darmo Singo melengak. Susah
payah dia menelan ludahnya sendiri. Matanya
mendelik. Bibir tebalnya meringis jelek.
"A..., apa... ada syarat lain?" gagapnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo,
kalau berurusan dengan gali kubur hatinya ke-
bat-kebit juga. Memang, dia sudah sering melihat
mayat-mayat dari orang-orang yang dibunuhnya.
Tapi kalau melihat mayat yang telah lama dipen-
dam dalam tanah?
"Kalau kau minta syarat lain, enyah saja
dari hadapanku!" semprot Manusia Sesat Kaki
Empat, enteng.
"Tap..., tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cari mayat tepat
pada tengah malam. Terserah, di kuburan mana
kau cari. Pastikan kalau mayat itu masih pera-
wan. Kau sanggup?!" tekan Manusia Sesat Kaki
Empat, lebih galak lagi nada suaranya. Biji ma-
tanya nyaris melompat keluar.
Tak ingin berbelit-belit, kepala Warok Dar-
mo Singo mengangguk-angguk. "Sang..., sang-
gup!" katanya. Hati ciutnya berusaha dikembang-
kan.
"Nah, pergilah sekarang juga. Kuberi kau
waktu selama lima hari. Lewat dari hari yang ku-
tentukan, jangan bermimpi bisa berguru dengan
ku!"
"Baiklah, Manusia Sesat Kaki Empat," baru
saja Warok Darmo Singo hendak bangkit....
"Hei, Slompret!" bentak lelaki tua kropos.
Tercekat, Warok Darmo Singo menahan ge-
rakannya. Lalu, kembali duduk bersila seperti ta-
di.
"Mana hormatmu terhadap gurumu?!" le-
dak si tua berkaki lebih.
"Oh, maaf. Sembah hormatku padamu,
Guru," ucap lelaki tinggi besar itu seraya mena-
kupkan kedua tangan di depan hidung. Lalu tu-
buhnya berbalik, meninggalkan ruangan goa ini.
Untuk menuntun jalan dalam kegelapan, dica-
butnya obor yang menancap di dinding.
* * *
Siang terik.
Dua sosok manusia gagah menempatkan
telapak tangannya di jidat. Tatapan mereka tera-
rah ke puncak Gunung Wilis yang tinggi menju-
lang seolah hendak menggapai langit. Keduanya
sama-sama mengenakan pakaian komprang war-
na hitam tanpa dikancingi. Seolah hendak me-
mamerkan bulu-bulu lebat di dada kekar mereka.
Celana mereka berwarna sama, juga terlihat
komprang. Wajah mereka pun sama-sama ditum-
buhi bulu-bulu lebat. Yang membedakan satu
sama lain, yang seorang bertubuh lebih tambun.
Siapa mereka?
Siapa lagi mereka kalau bukan Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo? Dua warok satu
perguruan yang belum lama diadu domba oleh
Warok Darmo Singo, adik kandung Warok Singo
Lodra sendiri? (Baca episode : "Pertunangan Ber-
darah").
"Kau yakin Darmo Singo ada di sana, Ka-
kang?" buka Warok Jogoboyo. Mata jelinya men-
garah ke puncak Gunung Wilis.
"Kalau keparat itu sudah mendapatkan
dua potongan lempeng logam warisan Guru kita,
ke mana lagi tujuannya?" tukas Warok Singo Lo-
dra, yakin sekali.
"Aku heran, bagaimana Darmo Singo bisa
tahu kalau kita memiliki peta itu, Kakang?"
"Tak usah heran, Adi. Kalau kita tahu
bahwa Iblis Rogo Jembangan masih hidup, kehe-
rananmu akan terjawab."
"Maksudmu? Kau curiga bahwa di balik pe-
ristiwa ini, Iblis Rogo Jembangan adalah dalang-
nya?"
"Tepat. Karena, siapa lagi manusia sesat
yang mengetahui tentang lempeng logam warisan
Guru kita kalau bukan dia?"
"Jadi dugaanmu, Warok Darmo Singo telah
berguru pada Iblis Rogo Jembangan?"
"Kau tepat lagi. Sebenarnya sudah lama
aku curiga padanya. Terutama ketika dia mem-
bawa-bawa senjata pusaka Keris Klabang Ijo yang
kita ketahui milik Iblis Rogo Jembangan. Semula
aku tak peduli, karena kupikir itu urusannya.
Dan lagi saat itu dia sedang patah hati, setelah
cintanya ditolak oleh seorang gadis," papar Warok
Singo Lodra.
Sejenak suasana jadi mati. Alam seolah
membisu. Angin gunung mendesah-desah, me-
nerpa wajah mereka. Warok Singo Lodra men-
gembuskan napas sesak. Dadanya menggelegak
bila mengingat perbuatan adik kandungnya.
"Ternyata ketidakpedulianku membawa pe-
taka. Aku tahu, tabiat adik kandungku beberapa
tahun ini. Begitu brangasan. Tapi sungguh tak
kuduga kalau tindakannya telah terlalu jauh. Aku
benar-benar menyesal, Adi," desah Warok Singo
Lodra.
"Sudahlah, Kakang. Aku sendiri telah ik-
hlas dengan kepergian istri dan anakku. Aku ya-
kin, semua ini karena kehendak Yang Maha Kua-
sa. Jadi kau tak perlu menyesal lagi, Kakang.
Yang penting sekarang, kita harus memerangi ke-
jahatan yang dilakukan Darmo Singo, seperti kata
bocah digdaya bernama Satria itu," hibur Warok
Jogoboyo.
"Kau benar, Adi. Rasanya kita tak perlu
menyesali apa yang telah terjadi. Hhmmmh! Aku
tak akan peduli, siapa yang akan kuhadapi. Meski
harus berhadapan dengan adik kandungku seka-
lipun!" geram Warok Singo Lodra.
"Sekarang, mari kita melanjutkan perjala-
nan, Kakang," ajak Warok Jogoboyo.
Tak menjawab, Warok Singo Lodra segera
menggebah kuda kekarnya. Gerakannya segera
diikuti Warok Jogoboyo.
Tapi baru saja beberapa tarikan napas me-
reka menggebah....
Wrrrr...!
"Awas, Adi!"
"Hih!"
Satu sambaran angin menderu. Memburu.
Membawa satu ancaman maut dengan se-
bentuk kekuatan dahsyat. Tapi, kedua warok tak
kalah sigap. Tangkas, keduanya melenting dari
punggung kuda yang masih berlari kencang. Di
udara, mereka berputaran lalu meluruk turun ke
bumi.
Di tanah, keduanya segera mengedarkan
pandangan. Mata besar mencorong mereka men-
delik, mencari-cari siapa orang yang berani usil
terhadap mereka.
Sebuah pohon yang terhantam angin men-
deru tadi kontan tumbang. Menciptakan suara
gemuruh. Batang pohon yang jadi sasaran tam-
pak hangus. Jelas, angin menderu yang agaknya
dari sebuah pukulan jarak jauh itu dilepaskan
oleh seseorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Kalau saja kedua warok itu tidak bertindak sigap,
bisa dipastikan akan mengalami nasib serupa se-
perti pohon tadi.
Selagi kedua warok masih mengedarkan
pandangan....
"Dilarang memasuki kawasan Gunung Wi-
lis...." Sebuah suara serak dan kasar menahan
gerak kepala kedua warok. Tersentak, mereka
lantas saling berpandangan. Suara tadi seperti
dari belakang. Tapi ketika tadi mereka melihat ke
belakang, tak sepotong manusia pun ada di sana.
Lantas, siapa yang bersuara?
Penasaran, Warok Singo Lodra dan Warok
Jogoboyo saling mengadu punggung sambil terus
mengedarkan pandangan. Tapi, tak juga ditemu-
kan orang yang bersuara tadi.
"Tikus brewok macam kalian sebaiknya ce-
pat menyingkir dari sini, sebelum kesabaranku
habis!"
Kembali suara serak dan kasar menyentak.
Membuat kegeraman kedua warok mulai mengge-
legak. Bagi mereka, manusia yang tak mau me-
nampakkan diri setelah melepas serangan gelap
adalah pengecut. Dan kedua warok ini paling ti-
dak sudi dipermainkan oleh pengecut busuk!
"Siapa pun kau, keluar pengecut busuk!
Kami tak punya waktu untuk mengurusi manusia
pengecut macam kau!" sembur Warok Singo Lo-
dra, tak kuasa menahan kegeraman. Gelegar sua-
ranya bagai hendak menohok langit. Menggema,
menyebar ke segala penjuru. Matanya sendiri te-
lah memerah, menyiratkan kemarahannya. Urat-
urat lehernya mengembung dengan gigi bergemu-
lutuk.
"Kalian menantangku?" leceh suara serak.
"Jika kau mengusik kami, apa salahnya?"
sambut Warok Jogoboyo.
"Mendiang guru kalian si tua keropos Resi
Kalangwan saja belum bisa mengalahkanku. Kini
kalian hendak menantangku. Sebenarnya, aku
masih penasaran dengan si tua keparat Kalang-
wan. Sayang, dia keburu mampus. Mungkin seka-
rang tinggal tengkorak, ya?" Suara serak tadi
kembali bernada melecehkan.
Kembali, kedua warok itu tersentak. Seti-
daknya, mereka mulai bisa menerka suara siapa
yang terdengar. Apakah mungkin musuh besar
guru mereka telah hadir pula di Gunung Wilis?
Lantas, kenapa yang muncul bukan Warok Dar-
mo Singo?
"Aku tahu, siapa kau, Keparat?! Apa uru-
sanmu mencegah kami memasuki kawasan Gu-
nung Wilis ini?!" ledak Warok Singo Lodra.
'"Asal kalian tahu saja, sejak hari ini Gu-
nung Wilis telah menjadi wilayah kekuasaanku!"
"Apa hakmu mengangkangi wilayah ini?
Sejak dulu, Gunung Wilis adalah tempat di mana
Guru kami bersemayam. Tempat itu terlalu suci
untuk diinjak oleh manusia macam kau! Sudah-
lah, keluar saja dari tempat persembunyianmu,
Iblis Rogo Jembangan! Cepat atau lambat, kami
akan menemukanmu!" dengus Warok Singo Lo-
dra.
"Itu berarti kalian menginginkan kematian
kalian sendiri!"
"Terserah, apa anggapan mu!"
Brosss!
Kata-kata terakhir Warok Singo Lodra dis-
ambut oleh buncahan tanah ke udara tepat lima
tombak di hadapan kedua warok. Bersama teba
ran tanah ke udara, melesat satu bayangan hi-
tam.
Beberapa kali si bayangan hitam berputa-
ran, lalu mendarat empuk di bumi. Tatapan nya-
langnya langsung menghujam pada kedua warok
di hadapannya.
"Iblis Rogo Jembangan...." Meski telah
menduga siapa orang yang bersuara tadi, tak
urung nama itu meluncur dari bibir kedua warok
secara berbarengan...
.
EMPAT
SATRIA dan Nyai Gembili akhirnya tiba di
tempat tujuan. Dari Kadipaten Trenggalek ke Ka-
dipaten Ponorogo jika memotong jalan lewat Bukit
Munthang hanya memerlukan perjalanan seten-
gah harian. Itu kalau mereka menggunakan ilmu
lari cepat. Dan pada kenyataannya memang de-
mikian.
Semula Satria tak tahu, siapa Nyai Gembili.
Dikiranya, wanita berusia kepala empat itu hanya
ibu rumah tangga biasa. Dan si pemuda jadi amat
tercengang ketika Nyai Gembili mengajaknya ber-
lari sambil mengerahkan ilmu meringankan tu-
buh.
"Kau..., kau tak salah, Nyai?" perangah Sa-
tria, waktu itu.
"Memang kenapa? Kau pikir hanya kaum
lelaki saja yang bisa berlari cepat? Ayolah, Satria.
Jangan membuat kepercayaanku meluntur," de-
sak Nyai Gembili. Maksudnya dia ingin menguji
Satria. Sebab selama ini dia hanya mendengar da-
ri mulut ke mulut saja tentang kepandaian si
anak muda bau kencur. Bukan membuktikannya
secara langsung.
"Ah, Nyai. Kau ada-ada saja. Kepercayaan
apa yang Nyai maksudkan?" Satria berpura-pura.
"Jangan berlagak pilon, Cah. Suamiku per-
nah bilang kalau kau adalah pendekar hebat di
tanah Jawa. Tapi itu belum cukup untuk mem-
buatku percaya. Apalagi kau berniat menyem-
buhkan anakku. Di rumah Adi Warok Jogoboyo
aku bisa percaya dengan omonganmu. Tapi di sini
nanti dulu. Aku perlu bukti dulu dengan menga-
jak mu berlari cepat. Kau setuju? Bila kau meno-
lak, lebih baik urungkan niatmu untuk mengobati
anakku. Biar aku mencari tabib yang lebih sakti
ketimbang berhadapan dengan bocah kemarin
sore," cecar Nyai Gembili.
"Kepandaian seseorang bukan untuk di-
pamerkan, Nyai. Tapi diamalkan," kilah si bocah
bau kencur, bijak.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu kalau kau
memiliki kemampuan sedangkan untuk kuajak
berlari cepat saja kau menolak?" cecar Nyai Gem-
bili, keras kepala.
Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Kepala batu juga perempuan ini, rutuknya. Mu-
lutnya meringis. Bukan karena takut kalah, tapi
karena dugaannya terhadap Nyai Gembili meleset
amat jauh. Dan melihat perempuan tua itu men-
desaknya terus-menerus, si anak muda merasa
yakin kalau wanita itu ternyata tak bisa dianggap
sembarangan.
"Bagaimana, Cah Bagus?" cetus Nyai Gem-
bili, menggusur lamunan Satria.
"Larilah lebih dulu, Nyai," sahut Satria en-
teng.
Kali ini malah Nyai Gembili yang tercekat.
"Kau..., kau tak salah, Cah Bagus? Kau menyu-
ruhku lari lebih dulu?" gagapnya.
"Lho...? Nyai ini bagaimana, sih? Tadi me-
nantangku, sekarang malah seperti ayam kesam-
bet?" celoteh Satria.
"Bukan begitu. Tapi apakah kau tak takut
kalah?" tukas Nyai Gembili.
"Kalah menang soal belakangan. Nah, lari-
lah lebih dulu," tekan Satria.
"Baiklah kalau begitu."
Di ujung kalimatnya, perempuan itu lang-
sung mengempos semangatnya. Sekali sentak,
tubuhnya telah melesat cepat bagai anak panah
dilepaskan dari busur. Membelah udara bebas,
memangkas angin yang menerpa ke arahnya.
Si anak muda bertabiat sinting hanya
menggeleng-geleng kepala melihat semangat Nyai
Gembili yang menggebu-gebu. Keras juga ke-
mauan perempuan itu, katanya membatin. Entah
apakah buah kelapa di dadanya masih sekeras
kemampuannya? Eh, kenapa aku jadi ngomong
melantur begini? Habis, walaupun sudah beru
mur, wajahnya masih kelihatan cantik, sih! Kalau
tak ingat Paman Warok Singo Lodra sudah ku...,
he he he.... Bisa ngeres juga otakku. Jangan-
jangan, aku ketularan Kakek Dongdongka? Tapi
memang bisa jadi. Biar sudah keropos begitu, Ka-
kek Dongdongka bisa ijo juga bila melihat tunggir
besar!
Dalam hati, si anak muda bertabiat sinting
menghitung. Tepat sampai hitungan keseratus,
tubuhnya meletik ke atas pohon. Sehimpun ke-
kuatan pun dikerahkan ke kedua kakinya disertai
ilmu meringankan tubuh. Lalu tubuhnya melesat
ke pohon lain, searah dengan kepergian Nyai
Gembili tadi. Dari pohon itu, tubuhnya kembali
melesat ke pohon lain. Begitu seterusnya.
Hanya beberapa tarikan napas, dari atas
pohon Satria Gendeng sudah bisa menangkap ke-
lebatan tubuh Nyai Gembili. Di bawah sana, tam-
pak si perempuan sebentar-sebentar menoleh ke
belakang. Ketika matanya tak menangkap tubuh
Satria, samar-samar senyumnya mengembang.
Hatinya sudah merasa yakin kalau Satria tak
mampu mengalahkannya.
Satria Gendeng mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh setinggi mungkin. Sehingga ketika
melewati lesatan tubuh Nyai Gembili, gerakannya
tak tertangkap sedikit pun oleh si perempuan ke-
ras kepala. Bahkan ketika Bukit Munthang telah
terlewati, Nyai Gembili masih mengira kalau la-
wannya telah tertinggal jauh di belakang.
Memasuki Kadipaten Ponorogo, Satria
Gendeng menghentikan lesatan tubuhnya. Di de-
kat pintu gerbang kadipaten, dia turun dari atas
pohon. Ditunggunya Nyai Gembili di jalan utama
kadipaten. Dia yakin istri Warok Singo Lodra itu
akan melewati jalan ini.
Benar saja.
Lamat-lamat, mata si anak muda menang-
kap bayangan ramping menuju ke arahnya. Ce-
pat, Satria bersembunyi di balik gerbang yang be-
rupa gapura dari batu.
Saat itu, Nyai Gembili sudah berjalan se-
perti biasa. Dia tak ingin menarik perhatian pen-
duduk kadipaten dengan lari cepatnya. Dan keti-
ka satu tombak lagi sampai di dekat gerbang....
"Apa kabar, Nyai. Tak ada gangguan dalam
perjalanan?" Tiba-tiba Satria nongol dari balik
gerbang. Bibirnya tersenyum-senyum nakal. Ting-
gal Nyai Gembili yang terlongong bengong. Ma-
tanya mendelik dengan mulut terbuka. Untung
saja tak ada lalat jahil yang berniat memasuki
mulutnya.
"Kau..., kau.... Kenapa bisa begitu...?" ga-
gapnya, setelah bisa menguasai keadaan.
"Ya bisa saja. Memangnya kenapa? Aneh?
Ah, sudahlah Nyai. Ayo tunjukkan, di mana Na-
wangsih diungsikan?" tepis Satria terhadap kehe-
ranan Nyai Gembili.
Masih dengan rasa penasaran, Nyai Gembi-
li melangkah. Satria menjajari. Sesekali matanya
melirik ke wajah perempuan di sampingnya yang
masih terlihat merah dadu. Agaknya rasa malu
belum terusir dari hatinya.
Sementara, Nyai Gembili seolah masih be-
lum mempercayai kekalahannya dari si pemuda
bau kencur. Kepalanya menggeleng-geleng lemah,
Edan! Rutuknya, membatin. Kini aku benar-benar
yakin, siapa Satria sesungguhnya. Ah, kalau saja
Nawangsih tidak dipinang oleh Senoaji, aku mau
memungut anak muda tampan ini menjadi man-
tuku....
* * *
Tidak. Warok Singo Lodra dan Warok Jogo-
boyo tak gentar barang sedikit pun ketika seorang
lelaki tua berkepala botak telah berdiri di hada-
pan mereka. Matanya bulat besar, nyaris keluar
dari rongganya. Hidungnya lebar. Ketika meringis,
gigi-giginya lancip seperti mata gergaji. Tidak ber-
pakaian, kecuali pada bagian terlarangnya yang
hanya ditutupi kulit kayu. Yang menjadi ciri
khasnya, kedua manik matanya berbentuk seperti
mata kucing. Dia memang Iblis Rogo Jembangan!
"He he he.... Rasa penasaranku terhadap
guru kalian bisa ku tuntaskan pada kalian. Seka-
ligus, untuk mencegah kalian memasuki wilayah
yang sekarang sudah menjadi milikku," celoteh
Iblis Rogo Jembangan.
"Mestinya kau tahu, Keparat! Gunung Wilis
adalah tempat asal kami. Di sana telah berse-
mayam jasad Guru kami. Dan tak seorang pun
boleh mengutak-atik kesuciannya!" damprat Wa
rok Singo Lodra.
"Tak ada yang bisa menghalangi niatku,
Tikus-tikus Brewok! Kalau kalian tak terima, sila-
kan hadapi aku," tantang Iblis Rogo Jembangan,
jumawa.
"Sebelum kami membuat perhitungan den-
ganmu, aku ada pertanyaan buatmu," timpal Wa-
rok Jogoboyo, kalem.
"Apa?!"
"Apa hubunganmu dengan Warok Darmo
Singo?"
"O, dia. Si tikus clurut itu kini telah men-
jadi murid murtadku. Dia telah berkhianat kepa-
daku. Dan aku wajib membunuhnya. Sayang,
waktu itu dia mampu melarikan diri dari tangan-
ku," sahut Iblis Rogo Jembangan, makin memper-
lihatkan kepongahannya. "Kalau tak salah, murid
murtadku itu adik salah satu dari kalian yang
bernama Warok Singo Lodra. Yang mana Warok
Singo Lodra? Tunjuk tangan!"
Memerah wajah Warok Singo Lodra. Kata-
kata Iblis Rogo Jembangan membuat kupingnya
terasa panas. Cuping hidungnya jadi kembang-
kempis mendengus-dengus bagai banteng liar.
Memang benar, Warok Darmo Singo adik kan-
dungnya. Tapi kalau disuruh tunjuk tangan begi-
tu? Sama saja si tua keropos itu sengaja hendak
menginjak-injak harga dirinya!
"Kelihatannya tingkahmu semakin tengik
saja, Orang Tua Keparat! Dan kami tidak tinggal
diam melihat tingkah busukmu. Kini sudah jelas,
siapa yang jadi biang keladi kerusuhan di Kadipa-
ten Ponorogo dan Trenggalek. Sekarang kami
akan menagih tanggung jawabmu!"
Di ujung kalimatnya, Warok Singo Lodra
melompat ke kiri. Lincah, dibuatnya kuda-kuda
kokoh setelah melepas cemeti Buntut Kelabang
miliknya yang sekaligus menjadi ikat pinggang.
Cletarrr...!
Udara seolah robek oleh sambaran cemeti
yang dilecutkan Warok Singo Lodra. Menghadapi
lawan yang nyaris setara dengan mendiang gu-
runya, lelaki brewokan ini tak mau bertindak
tanggung-tanggung lagi. Senjata pusakanya lang-
sung dikerahkan. Karena menurutnya, orang ma-
cam Iblis Rogo Jembangan pun akan bertindak
sama.
Cletarrr...!
Sama halnya Warok Singo Lodra, Warok
Jogoboyo pun telah melepas cemeti Buntut Kela-
bang miliknya yang sekaligus sebagai ikat ping-
gang. Dia pun cukup tahu, siapa Iblis Rogo Jem-
bangan. Untuk itu, dia tak ingin bertindak seten-
gah-setengah. Suara cemetinya pun memangkas
udara, membawa hawa kematian.
Kedua warok itu sama sekali tak mempe-
dulikan kalau beberapa hari yang lalu mereka te-
lah bertarung habis-habisan. Luka dalam mereka
belum lagi pulih. Sekarang, mereka harus berta-
rung dengan salah satu datuk sesat yang kepan-
daiannya nyaris setara dengan mendiang guru
mereka.
Memang, waktu itu Satria sempat memberi
obat pulung pada kedua warok untuk mengobati
luka dalam sehabis bertarung di Bukit Munthang.
Tapi kemudian disarankan agar kedua warok itu
segera bersemadi. Sayang, saran Satria tak begitu
ditanggapi, karena mereka merasa sudah baik-
kan. Tapi untuk menghadapi tokoh sesat berke-
pandaian tinggi macam Iblis Rogo Jembangan je-
las membutuhkan pengerahan tenaga dalam se-
tinggi-tingginya. Dan kalau hal itu sampai terjadi,
ibarat meniupkan udara pada plembungan yang
sudah terisi penuh oleh udara.
Sesuatu yang dipaksa memang akan
menghasilkan risiko tinggi. Tapi kedua warok tak
peduli. Mereka telah mematok harga mati. Siapa
saja yang berani mengusik kesucian puncak Gu-
nung Wilis, berarti mati. Apalagi, orang itu ternya-
ta biang keladi.
"Heaaa...!"
Berkawal bentakan merobek angkasa, Wa-
rok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo melompat
bersamaan. Menerjang dengan satu sambaran
cemeti yang menjilat-jilat angkasa.
Cletarrr...!
"Hih!"
Saling bersahutan, salakan cemeti kembali
terdengar. Sambarannya mengincar kepala dan
dada Iblis Rogo Jembangan. Hendak dirancahnya
tubuh keropos si lelaki sesat.
Tapi, Iblis Rogo Jembangan bukan tokoh
kemarin sore. Seujung jari lagi kedua cambuk
menyengat, dibuangnya tubuh ke belakang. Keti-
ka kakinya sampai di tanah setelah membuat pu-
taran beberapa kali, tubuhnya langsung menghu-
jam tanah, masuk ke perut bumi. Lalu hilang tak
berbekas!
Tinggal kedua warok yang celingukan. Me-
reka cepat menghampiri tempat Iblis Rogo Jem-
bangan menembus tanah tadi. Mestinya, tanah
bekas dihujam tubuh sebesar itu akan mencipta-
kan lubang. Tapi pada kenyataannya, seolah ta-
nah-tanah itu bisa seperti diuruk kembali.
Belum habis keheranan kedua warok, dari
belakang....
Bross...!
Bed...!
Di belakang mereka, Iblis Rogo Jembangan
tiba-tiba muncul dalam jarak lima tombak. Kedua
tangannya langsung menghentak ke depan, mele-
pas pukulan jarak jauh.
Merasakan desir angin panas dari bela-
kang, kedua warok tercekat. Kini mereka tahu,
dengan cara inilah Iblis Rogo Jembangan menye-
rang mereka tadi. Pantas tadi mereka mencari-
cari, tapi tak berhasil menemukan orang yang
menyerang, sebelum Iblis Rogo Jembangan me-
nampakkan diri.
Tak gampang menaklukkan kedua warok
begitu saja. Sebelum angin panas menghantam,
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo meng-
hentakkan kedua kaki. Saat itu juga tubuh mere-
ka meletik ke atas, menghindari serangan.
Angin panas terus menderu ke depan.
Menciptakan suara menggetarkan. Memangkas
udara, lalu menghantam sebuah pohon cukup
besar.
Blarrr...!
Tepat ketika kedua warok mendarat di ta-
nah, menghadap ke arah serangan, pohon yang
terkena sasaran nyasar kontan tumbang. Seperti
tadi, batang pohonnya terlihat berlubang dan
hangus.
Si pemilik pukulan jarak jauh sendiri telah
kembali amblas ke dalam bumi, menghilang bagai
tikus tanah.
Dengan memasang pendengaran tajam
yang diarahkan ke permukaan bumi, kedua wa-
rok berusaha melacak keberadaan Iblis Rogo
Jembangan. Kening mereka berkerut dalam den-
gan kepala agak miring. Memang terdengar suara
bergemuruh di dalam bumi. Sepertinya, Iblis Rogo
Jembangan tengah menggangsir tanah dengan
kecepatan tinggi. Mirip tikus yang tengah mencari
jalan di dalam tanah.
Tiba-tiba....
Tap!
"Heh?!"
Tahu-tahu kedua kaki Warok Joboyo telah
tercengkeram dua tangan yang menjulur dari
permukaan tanah. Begitu cepat, sehingga lelaki
tambun itu tak sempat mengelak.
Dengan mengerahkan tenaga dalamnya,
Warok Jogoboyo berusaha melepaskan diri. Namun, usahanya menemui jalan buntu. Agaknya,
tenaga dalam Iblis Rogo Jembangan dua tingkat
di atasnya.
Di tempatnya, Warok Singo Lodra terperan-
jat begitu menyadari bahwa adik seperguruannya
menemui bahaya. Bahkan kini dengan amat ce-
pat, kaki Warok Jogoboyo telah terbenam hingga
lutut. Sebisanya, Warok Singo Lodra menangkap
kedua tangan Warok Jogoboyo setelah menye-
lipkan gagang cemetinya ke pinggang.
"Tahan, Adi! Pegang tanganku kuat-kuat.
Kerahkan tenaga dalammu!" perintah Warok Sin-
go Lodra.
Sungguh serangan seperti ini di luar perki-
raan kedua warok. Sewaktu mereka mendapat se-
rangan gelap dengan cara aneh tadi, sebenarnya
mereka cukup terkejut kalau yang berbuat adalah
Iblis Rogo Jembangan. Setahu mereka, lelaki tua
keropos itu belum memiliki ajian amblas bumi
seperti ini. Tapi nyatanya?
"Ah, Kakang! Tarikan dari bawah begitu
kuat! Aku sudah mengerahkan tenaga dalam
sampai setinggi mungkin. Tapi semakin banyak
kukerahkan, dadaku terasa nyeri sekali. Kita ter-
lalu bodoh, Kakang. Kita tak menggubris saran
pendekar muda itu," rintih Warok Jogoboyo. Mu-
lutnya meringis-ringis dengan mata menyipit. Su-
sah payah dia berusaha bertahan, tapi per-lahan
tapi pasti tubuhnya makin terbenam dalam ta-
nah. Padahal, Warok Singo Lodra telah berusaha
membantu menariknya ke atas. Juga, dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi!
"Jangan patah semangat, Adi! Bertahanlah.
Aku tak akan membiarkanmu mati secara seperti
ini!" Warok Singo Lodra terus memberi semangat
pada adik seperguruannya. Tapi, usahanya sia-sia
saja. Tetap saja tubuh Warok Jogoboyo kian ter-
benam. Bahkan sekarang sudah mencapai kedua
pahanya.
"Ha ha ha.... Dua tikus brewokan kalang
kabut dijemput maut. Sudah kubilang, kalian tak
lebih dari tikus-tikus korengan yang belum pan-
tas menghadapiku...."
Samar-samar, terdengar suara melecehkan
Iblis Rogo Jembangan. Sungguh suatu kepan-
daian yang luar biasa. Bagaimana mungkin bila
tubuhnya berada di dalam tanah, tapi masih bisa
mengirimkan suara ke permukaan bumi. Bahkan
mungkin, untuk menggerakkan bibir saja susah
bukan kepalang. Tapi lelaki sesat itu?
"Iblis keparat! Bertarunglah secara jantan!
Jangan jadi pengecut begini!" teriak Warok Singo
Lodra, kalut bukan main. Malah tanpa dapat di-
cegahnya, tubuh Warok Jogoboyo telah terbenam
sampai dada! Mengenaskan sekali nasib adik se-
perguruan Warok Singo Lodra itu kali ini. Wajah-
nya telah terlihat memerah. Mulutnya makin me-
ringis-ringis dahsyat. Napasnya mendengus-
dengus. Giginya bergemelutukan. Dia berusaha
bertahan, tapi sia-sia.
Semakin lama, tubuh Warok Jogoboyo te-
lah terbenam sampai ke leher. Warok Singo Lodra
sendiri nyaris putus asa. Perasaannya jadi tak ka-
ruan. Tak tega dia melihat nasib adik sepergu-
ruannya.
Tapi tiba-tiba....
Bross!
Entah bagaimana, tahu-tahu tubuh Warok
Jogoboyo begitu ringan bisa ditarik keluar. Bah-
kan kemudian....
"Aaakh...!"
Ada apa gerangan?
LIMA
SETELAH mengambil Nawangsih di rumah
salah satu kerabatnya, Nyai Gembili segera me-
nyerahkannya pada Satria Gendeng untuk dioba-
ti. Ketika bertemu si pemuda, Nawangsih melihat
seolah-olah wajah Satria adalah wajah Senoaji.
Langsung diterkamnya si anak muda. Dihuja-
ninya wajah Satria dengan ciuman-ciuman ganas.
Satria sejenak gelagapan. Namun cepat
tangannya bergerak menotok. Tiga kali totokan,
membuat si gadis kontan tak berdaya. Barulah
ketika Nawangsih ditidurkan di pembaringannya,
Satria Gendeng bisa memulai pengobatan.
Sebagai murid Tabib Sakti Pulau Dedemit,
Satria pun diturunkan ilmu totokan untuk mem-
buka aliran urat-urat syaraf. Sehingga ketika
mengobati Nawangsih, diterapkannya semua ilmu
totokan untuk membuka urat-urat syaraf yang
mengganggu alam pikiran si gadis.
Hanya sekali pandang saja, si anak muda
perkasa tahu kalau penyebab gilanya Nawangsih
bukan karena mengetahui bahwa dia gagal meni-
kah dengan Senoaji, tapi juga pengaruh totokan
di bagian kepala belakangnya. Satria menduga
demikian, karena sewaktu Nawangsih menubruk-
nya, gerakan kepalanya, terlihat kaku. Bisa jadi,
sebelum Nawangsih ditotok pada bagian kepa-
lanya, dia terlebih dulu dijejali oleh cerita tentang
kegagalan pernikahannya. Walhasil, begitu dia
tertotok, yang menyangkut dalam ingatannya
hanya bayangan Senoaji.
Selesai diobati, Nawangsih tergolek ping-
san. Dan Satria segera meninggalkannya. Begitu
tiba di ambang pintu kamar, Nyai Gembili cepat
menyambutnya.
"Bagaimana, Satria? Apakah Nawangsih bi-
sa kau sembuhkan?" sodor Nyai Gembili, tak sa-
bar.
"Tenang, Nyai. Aku belum bisa memasti-
kan. Tunggu saja sampai dia siuman. Terlalu pagi
kalau aku bilang bahwa Nawangsih sudah sem-
buh. Kalau dia sudah siuman, baru bisa dilihat,"
tukas si anak muda, kalem.
Nyai Gembili menghembuskan napas kece-
wa. Tarikan pada wajahnya menyiratkan demi-
kian. Tanpa kata, diterobosnya masuk ke dalam
kamar Nawangsih. Satria sendiri segera melang-
kah menuju ruang tengah.
Baru saja Nyai Gembili duduk di sisi pem
baringan....
"Ohh...."
Satu desahan halus terlontar dari bibir me-
rah merekah Nawangsih. Kepalanya membuat ge-
rakan lemah. Lalu perlahan-lahan matanya mem-
buka. Pandangannya masih samar-samar. Lamat-
lamat, terlihat sebuah bayangan di depan wajah-
nya. Bayangan yang amat dikenalnya.
"Ibu...?" sebut Nawangsih begitu pandan-
gannya mulai menjelas.
Nyai Gembili tersentak. Keharuan dan ke-
gembiraan bergumul menjadi satu dalam hatinya.
Ditubruknya si anak dengan segala ungkapan ka-
sih sayang.
"Anakku.... Kau sudah sembuh, Nak?"
Meski sudah tahu kalau anaknya telah siuman
pertanda kesembuhannya, masih saja pertanyaan
itu meluncur dari bibir Nyai Gembili.
"Memangnya aku kenapa, Bu?" aju Na-
wangsih.
Tinggal si ibu gelagapan. Mau bilang bahwa
anaknya gila, jelas tak mungkin. Bisa jadi Na-
wangsih bakal terpukul hatinya. Dan Nyai Gembi-
li jadi cengar-cengir serba salah.
"Kau pingsan berkepanjangan, Anakku,"
katanya, berdusta.
"Kenapa aku sampai pingsan? Setahuku, di
kamar ini hanya ada Paman Warok Darmo Singo.
Dia menceritakan kepadaku bahwa Senoaji telah
berkhianat terhadapku. Dan katanya, aku batal
dinikahi oleh Kangmas Senoaji. Benarkah itu,
Bu?" tuntut Nawangsih, menggebu-gebu.
"Pamanmu berdusta, Anakku," sergah Nyai
Gembili, tak ingin bercerita banyak-banyak kare-
na khawatir anaknya akan terpukul.
"Kata Paman Warok Darmo Singo, Kang-
mas Senoaji akan menikah dengan Ratna Kuma-
la, anak Paman Warok Jogoboyo? Dan ayah ka-
tanya mau membuat perhitungan pada Kangmas
Senoaji serta Paman Warok Jogoboyo? Benarkah
itu, Ibu?" cecar Nawangsih.
Kembali Nyai Gembili gelagapan. Bingung
dia menjawabnya.
"Sekarang apa yang kau rasakan, Anak-
ku?" Nyai Gembili mengalihkan perhatian.
"Rasanya badanku berangsur-angsur mulai
segar, Bu. Ketika Paman Warok Darmo Singo ber-
cerita, dia mengelus-elus kepalaku dengan kasih
sayang. Lalu aku merasakan kepalaku pusing
bukan main. Tak lama kemudian, aku tak ingat
apa-apa lagi, kecuali wajah Kangmas Senoaji. Itu
saja," papar Nawangsih.
Nyai Gembili makin yakin bahwa yang me-
nyebabkan Nawangsih gila tak lain adalah adik
kandung suaminya sendiri. Karena nafsu setan
telah menguasai hatinya, keluarga sendiri tega-
teganya dijadikan korban.
"Nah sekarang kau beristirahatlah dulu.
Ibu akan mengambil makan untukmu. Kau mau?"
ujar Nyai Gembili.
"Aku belum lapar, Bu. Oh, ya. Ayah mana?
Apakah Ayah jadi menyatroni Paman Warok Jogoboyo?" tanya Nawangsih.
"Ayahmu sedang berziarah ke makam gu-
runya di Gunung Wilis bersama Warok Jogoboyo,"
sahut Nyai Gembili, hati-hati.
"Mereka tidak bertarung?"
Nyai Gembili menggeleng lemah. "Tak ada
pertarungan di antara mereka. Ayahmu dan Pa-
man Warok Jogoboyo telah seperti saudara kan-
dung."
Nawangsih mengerutkan keningnya. Heran.
Tapi sebelum dia mengajukan pertanyaan, ibunya
telah berlalu dari kamarnya. Seolah takut disodori
pertanyaan-pertanyaan yang membuat dadanya
sesak. Betapa tidak? Peristiwa demi peristiwa
yang terjadi akibat ulah Warok Darmo Singo be-
nar-benar menyesakkan dadanya!
Tiba di luar kamar, Nyai Gembili menuju
ke ruang tengah. Tapi di sana dia tidak menemu-
kan Satria lagi.
Ke mana bocah itu?
Penasaran, Nyai Gembili keluar rumahnya.
Kepalanya celingukan di luar. Tak juga terlihat
batang hidung si bocah bau kencur. Satria meng-
hilang tanpa meninggalkan pesan. Seperti kentut.
Muncul begitu saja tanpa permisi, menghilang be-
gitu saja meninggalkan bau.
Slompret juga itu anak. Datang ke rumah
orang, pulang tanpa mohon pamit. Untung saja
dia telah berjasa pada Nyai Gembili. Kalau tidak,
Nyai Gembili bakal mencapnya sebagai bocah
yang tak punya sopan santun. Tapi, bocah macam Satria mana kenal sopan santun? Bahkan
tabiatnya cenderung sinting. Bisa jadi tabiat De-
dengkot Sinting Kepala Gundul menurun ke pa-
danya.
Nyai Gembili melihat ada seorang tetang-
ganya tengah menumbuk padi di halaman sebe-
rang rumahnya. Seorang wanita berusia cukup
tua. Dihampirinya si wanita tua.
"Kau tak melihat seorang pemuda berpa-
kaian rompi putih keluar dari rumahku, Nini?"
tanyanya, ketika berada di pinggir jalan depan
rumahnya.
"Rambutnya panjang berwarna kemera-
han?" Si perempuan tua berusaha meyakinkan.
"Ya! Ke mana dia?"
"Aku tadi melihat dia keluar dari rumah-
mu. Lalu, dia pergi ke arah utara," sahut si pe-
rempuan tua.
Nyai Gembili mengarahkan pandangannya
ke utara. Tak ada tanda-tanda bayangan tubuh si
pemuda. Begitu cepat perginya Satria. Nyai Gem-
bili jadi teringat kekalahannya dalam mengadu
ilmu lari cepat dengan si pemuda perkasa. Wajar
saja kalau Satria begitu cepat menghilang....
* * *
Kembali ke kaki Gunung Wilis.
Apa yang terjadi pada pertarungan antara
Warok Singa Lodra dan Warok Jogoboyo melawan
Iblis Rogo Jembangan?
Satu lengking kesakitan terdengar. Men-
goyak ketegangan dua warok yang nyaris putus
asa. Asalnya bukan dari mulut Warok Jogoboyo.
Dan itu disadari betul oleh Warok Singo Lodra.
Karena saat menarik adik seperguruannya tadi,
tak terdengar suara apa pun dari mulut Warok
Jogoboyo. Lantas dari mulut siapa?
Tepatnya, memang dari mulut Iblis Rogo
Jembangan. Karena sebentar kemudian permu-
kaan tanah tak jauh dari kedua warok membun-
cah ke angkasa. Bersamaan dengan itu, terlihat
tubuh Iblis Rogo Jembangan mencelat ke angka-
sa. Disusul kemudian, mencelat pula satu sosok
tubuh dari lubang yang sama! Siapakah dia?
"Hei, Tikus Tanah! Jangan lari kau! Aku
belum puas memencet benda keramatmu!" seru
sosok tubuh keropos yang muncul belakangan.
Iblis Rogo Jembangan sendiri masih merin-
gis-ringis ketika sampai di bumi. Kedua telapak
tangannya membekap benda keramatnya yang
tadi dipencet lelaki tua keropos berkepala gundul
yang kini telah berdiri di depannya.
"Setan kau, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul! Mengapa kau mencampuri urusanku!"
geram Iblis Rogo Jembangan, memaki kalang ka-
but. Untung saja, benda keramatnya tak sempat
pecah saat dipencet oleh lelaki gundul yang tak
lain Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala
Gundul.
Setan apa yang membuat Dedengkot Sint-
ing Kepala Gundul ada di kaki Gunung Wilis?
Bahkan tiba-tiba muncul di dalam tanah, lang-
sung memamerkan kesintingannya. Tapi, siapa
yang peduli Dongdongka mau muncul di mana?
Wong manusia macam dia saja sudah diibaratkan
bagaikan manusia setengah siluman? Mau mun-
cul lubang kubur kek, di kolong ranjang pengan-
tin kek, mana mau Dongdongka peduli?
"Aku mencampuri urusanmu dengan apa?
Dengan tai kambing? Atau dengan tai sapi? Yah,
siapa tahu rasanya tambah sedap. Nah, kau ma-
kanlah sendiri!" balas Dongdongka, seenaknya.
Panas telinga Iblis Rogo Jembangan men-
dengar kata-kata sengak Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul. Namun menghadapi sesepuhnya para
sesepuh dunia persilatan, nyalinya terdepak en-
tah ke mana. Dia cukup tahu diri, siapa Dong-
dongka. Manusia langka tahan mati yang paling
ditakuti oleh golongan sesat. Menghadapi Resi Ka-
langwan, Iblis Rogo Jembangan boleh berimbang.
Dan terakhir malah dia kalah, kemudian kembali
muncul setelah memperdalam ilmu sesatnya.
Sayang, Resi Kalangwan telah mati. Tapi untuk
menghadapi Dongdongka, Iblis Rogo Jembangan
mesti menelan ludah beberapa kali. Itu pun den-
gan susah payah.
"'Sayang, aku tak punya waktu untuk
menghadapimu, Tua Busuk!" desis Iblis Rogo
Jembangan, menyembunyikan ketakutannya.
"Jadi, kapan kau punya waktu? Kapan...,
kapan? Ayo bilang padaku! Terus terang, aku be-
lum puas meremas benda keramatmu!" seru
Dongdongka, bak bujangan menagih janji pada
kekasihnya.
"Suatu waktu, Tua Keparat! Suatu waktu
aku harus membalas perlakuanmu!"
"Perlakuanku? Bukankah perlakuanku
mengenakkanmu? Malah tadi kulihat kau merem-
melek. Asyik, kan?" ledek Dongdongka.
Karena untuk melawan sudah tak punya
nyali, Iblis Rogo Jembangan berbalik. Sekali ka-
kinya menyentak, tubuhnya telah melesat me-
ninggalkan tempat ini. Membawa dendam menda-
lam pada lelaki buluk bernama Dedengkot Sinting
Kepala Gundul.
"Terima kasih, Panembahan. Kau telah
menyelamatkan nyawa kami berdua...."
Sebuah suara berat perlahan membuat si
tua buluk berbalik. Keningnya langsung berkerut,
menatapi Warok Singo Lodra yang bersuara tadi.
Sedangkan Warok Jogoboyo tengah bersemadi,
setelah tadi habis-habisan mengerahkan tenaga
dalamnya.
"Siapa kau, Manusia Bulu?" Seenaknya
Dongdongka memanggil Warok Singo Lodra den-
gan julukan seperti itu. Sambil berkata begitu,
bambu tipis di tangan kirinya diketuk-ketukkan
ke kepalanya yang licin tidak berbulu.
"Saya Warok Singo Lodra. Dan itu, adik se-
perguruan saya, Warok Jogoboyo," sahut Warok
Singo Lodra. Tak tersinggung dia dibilang Manu-
sia Bulu oleh manusia lapuk di depannya.
"Hmmm, ya. Apakah kalian tahu, di mana
makam si Kalangwan manusia sok suci itu?"
tanya Dongdongka dingin.
Tercekat Warok Singo Lodra. Nada suara
lelaki lapuk itu terdengar dingin. Seolah, ada per-
soalan antara Dedengkot Sinting Kepala Gundul
dengan Resi Kalangwan, gurunya. Setahuku, De-
dengkot Sinting Kepala Gundul adalah tokoh pu-
tih, walaupun tabiatnya rada sinting? Tanya Wa-
rok Singo Lodra, membatin. Bahkan dia juga guru
dari anak muda yang memisahkan pertarunganku
dengan Warok Jogoboyo? Tapi, kok dia mengata-
kan kalau Resi Kalangwan sebagai manusia sok
suci? Apakah dia ada persoalan dengan guru?
Kalau dia ada persoalan, kenapa mesti
mencari makamnya? Dan berarti, dia tahu kalau
guru sudah mati. Lanjut batin Warok Singo Lo-
dra. Mau apa dia ke makam guru? Mau mengo-
brak-abrik?
"Aku tak menyuruhmu melamun, Manusia
Bulu?" sentak Dongdongka, menggusur lamunan
Warok Singo Lodra. "Aku menyuruhmu menjawab
pertanyaanku, heh?! Ayo, jawab!"
"Maaf, Panembahan, makam Guru kami
berada di puncak Gunung Wilis itu," Warok Singo
Lodra menunjuk ke arah gunung. "Kira-kira, ada
keperluan apa Panembahan mengunjungi makam
Guru Kami?"
"Bodoh..., bodoh!"
"Siapa yang bodoh, Panembahan?"
"Kau!" tunjuk Dongdongka, seenaknya.
Merah wajah Warok Singo Lodra. Mestinya,
dia berhak marah dan menghajar Dongdongka.
Tapi, lelaki brewok ini sangat tahu, siapa Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul. Sabar..., sabar.... Hi-
burnya dalam hati.
"Tolong tunjukkan kebodohan saya, Pa-
nembahan," pinta Warok Singo Lodra, tetap beru-
saha bersabar.
"Itu, benda keramatmu kelihatan, Goblok!"
tunjuk Dongdongka ke arah bagian bawah Warok
Singo Lodra.
Lelaki tinggi besar itu melirik ke bawah.
Dan..., ya ampun! Celana komprangnya telah me-
lorot tanpa disadari! Mendelik kedua biji mata
Warok Singo Lodra. Cepat ditariknya celana yang
melorot. Cengar-cengir, lelaki tinggi besar itu
memandang Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"He he he.... Keasyikan, ya? Manusia Bu-
lu..., Manusia Bulu. Ternyata bulu-bulumu men-
jalar tak karuan, ya? Kok, kenapa aku begitu ger-
sang, ya?" oceh Dongdongka, mulai ngeres otak-
nya.
"Maaf, Panembahan. Saya benar-benar tak
menyadari," ucap Warok Singo Lodra, gugup.
Bagaimana Warok Singo Lodra sampai tak
tahu kalau celananya melorot?
Awalnya, dari kedatangan Dongdongka ke
tempat ini. Lelaki buluk itu sebenarnya hendak
menziarahi makam Resi Kalangwan di Gunung
Wilis. Cuma, dia tak tahu di mana letak yang pas-
ti. Ketika baru tiba di kaki gunung, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul melihat Warok Singo Lodra
tengah menarik Warok Jogoboyo. Menduga ada
sesuatu di dalam bumi, dengan kepandaiannya
yang amat tinggi, si tua buluk segera amblas ke
bumi. Perut bumi digangsirnya, hingga sampai ke
arah Iblis Rogo Jembangan yang tengah menarik
Warok Jogoboyo. Begitu sampai, langsung dipen-
cetnya benda keramat milik Iblis Rogo Jemban-
gan.
Begitu pegangan Iblis Rogo Jembangan pa-
da Warok Jogoboyo terlepas, Warok Singo Lodra
dapat menarik adik seperguruannya ke permu-
kaan bumi. Tapi sayang, tangan kiri Warok Jogo-
boyo terlepas dari pegangan. Karena kaget bisa
terlepas tiba-tiba, tangan kiri Warok Jogoboyo
tanpa sengaja menarik celana komprang Warok
Singo Lodra. Dan itu tidak disadari Warok Singo
Lodra, sampai terlihat oleh Dongdongka.
"Eh, tadi kau bilang, kalian murid dari si
Kalangwan sok suci itu, ya?" Dongdongka menga-
lihkan pembicaraan.
"Benar, Panembahan," sahut Warok Singo
Lodra.
"Kalau begitu, kau bisa mengantarku ke
makamnya. Aku mau menziarahinya," pinta si tua
buluk, seenaknya.
"Bagaimana dengan adik seperguruan
saya, Panembahan?" Warok Singo Lodra melirik
Warok Jogoboyo yang masih bersemadi.
"Tinggalkan saja di sini. Kuntilanak juga
ketakutan melihat wajahnya," sahut Dongdongka.
Lagi-lagi seenaknya. Serba salah Warok Singo Lo
dra. Bila tak mau, yang meminta adalah kenalan
gurunya. Dengan menziarahi makam Resi Ka-
langwan, Warok Singo Lodra yakin kalau Dong-
dongka adalah kawan dekat gurunya. Dan bila dia
bersedia mengantarkan, hatinya tak tega pada
Warok Jogoboyo yang agaknya terluka dalam cu-
kup parah.
"Kau mengkhawatirkan adik seperguruan-
mu?" Dongdongka tahu gelagat.
"Benar, Panembahan," desah Warok Singo
Lodra.
"Percayalah.... Dalam sepuluh hitungan dia
pasti sudah selesai bersemadi...," paksa Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul.
Belum juga Warok Singo Lodra menya-
hut....
"Tinggalkan aku. Kakang. Antarkan Pa-
nembahan Dongdongka ke makam Guru," belum
sampai sepuluh hitungan, Warok Jogoboyo telah
bersuara.
Lega hati Warok Singo Lodra.
"Apa kubilang...?" lonjak Dongdongka.
ENAM
KADIPATEN Trenggalek. Malam menawar-
kan kebencian hampir pada setiap makhluk. Alam
seolah menggeliat. Angin mendengus-dengus,
menerpa pepohonan hingga meliuk-liuk. Kegela-
pan mengurung permukaan bumi. Bulan yang
hanya sepotong tak berdaya terkepung gerombo-
lan awan hitam. Bak tangan-tangan iblis hendak
menjamah sang Dewi Malam. Bintang gemintang
sendiri nyaris bernasib sama. Kecuali pada ca-
krawala di bagian barat yang hanya tersaput
awan putih.
Tak jauh dari pemakaman umum di pinggi-
ran Kadipaten Trenggalek, sebuah bayangan hi-
tam bergerak menembus kegelapan. Langkahnya
terlihat ringan, tak peduli pakaiannya berkibaran
dipermainkan angin malam.
Di pintu masuk pemakaman, kepala si
bayangan hitam menoleh ke kanan dan kiri. Seo-
lah hendak memastikan, apakah ada orang yang
melihatnya atau tidak. Merasa pasti tidak ada
orang yang melihatnya, bayangan hitam yang
agaknya adalah seorang lelaki bertubuh tinggi be-
sar cepat memasuki pemakaman.
"Kuk! Kuuuuk...!" suara burung hantu me-
nyambut kedatangan si lelaki berpakaian hitam
komprang dengan celana komprang berwarna
sama.
"Sialan burung itu! Bikin aku kaget saja!"
rutuknya, perlahan.
Langkahnya yang tersendat kembali dilan-
jutkan.
Disingkirkannya rasa takut yang menge-
kang hatinya demi sebuah tekad.
"Hmm.... Aku tak boleh gagal. Manusia Se-
sat Kaki Empat hanya memberi waktu padaku li-
ma hari. Tapi di mana makam Ratna Kumala?
Menurut perhitungan, mayatnya baru dikubur
dua atau tiga hari," gumam lelaki tinggi besar.
Mata nyalangnya menyapu ke setiap nisan kayu
di pemakaman. Ada rasa menggiris ketika ma-
tanya membentur pada sebuah makam yang am-
brol!
Si lelaki tinggi besar terus mencari-cari.
Dan bibirnya mengukir senyum ketika matanya
melihat sebuah nisan bertuliskan RATNA
KUMALA. PUTRI TERSAYANG WAROK
JOGOBOYO.
"Nah, ini dia yang kucari. Hanya mayat in-
ilah yang ku tahu berusia tak lebih dari seming-
gu," kata si lelaki.
Secepatnya dihampirinya kuburan yang di
dalamnya berisi mayat Ratna Kumala.
Siapakah lelaki tinggi besar ini?
Siapa lagi kalau bukan Warok Darmo Sin-
go. Seorang lelaki adik kandung Warok Singo Lo-
dra yang telah terjerumus dalam kesesatan. Bah-
kan karena belum puas dengan kepandaiannya,
dia mencari seorang guru sesat lain. Dan sang
Guru kemudian menyuruhnya mencari mayat pe-
rawan yang baru berumur seminggu.
Warok Darmo Singo lantas mencabut Keris
Klabang Ijo pemberian guru yang telah dikhiana-
tinya, Iblis Rogo Jembangan. Begitu keris yang
diselipkan di pinggang tercabut, si lelaki tinggi
besar segera menggali kuburan Ratna Kumala.
Karena mengerahkan tenaga dalam, dalam
waktu singkat mayat Ratna Kumala telah terlihat.
Semakin menggali, maka bentuk utuh mayat Rat-
na Kumala makin nyata. Seiring senyum puas-
nya, Warok Darmo Singo menyelipkan kembali
keris miliknya. Lalu diangkatnya mayat dari da-
lam kuburan.
Sejak mayat terlihat, sebenarnya Warok
Darmo Singo merasa mual amat sangat. Perutnya
terasa diaduk-aduk, mengendusi bau busuk yang
amat menyengat. Tapi semua berusaha ditahan-
nya demi sebuah tekad.
Sejenak Warok Darmo Singo meletakkan
mayat di tepi makam. Dikeluarkannya selembar
kain putih yang telah dipersiapkan, dan dibe-
batkan di bagian perutnya. Dibungkusnya mayat
itu agar tak begitu menyebarkan bau menyengat.
Selesai membungkus mayat yang belum
begitu rusak, Warok Darmo Singo melompat ke
atas makam. Lalu, dibopongnya mayat itu, dan
berkelebat meninggalkan tempat ini.
Bersamaan dengan itu, hujan turun deras
bagai ditumpahkan dari langit. Petir menyalak-
nyalak, seolah mengeluarkan sumpah serapah
atas apa yang terjadi di pemakaman umum ping-
giran Kadipaten Trenggalek.
Tak ingin buang-buang waktu lagi, Warok
Darmo Singo berkelebat cepat. Seolah dia takut
para penghuni makam ini akan mengejarnya. Me-
nuntutnya untuk mengembalikan salah satu
penghuni makam yang dicurinya.
Baru saja beberapa tombak Warok Darmo
Singo meninggalkan makam....
"Berhenti, Kisanak!"
Sebuah suara keras bagaikan hendak
mengalahkan suara deru hujan lebat mengha-
dang langkah Warok Darmo Singo. Tercekat, si le-
laki tinggi besar menghadapkan tubuhnya ke
samping kanan, arah bentakan tadi.
Pada jarak lima tombak, berdiri satu tubuh
kekar. Berpakaian ketat warna putih berkilat. Ke-
tika alam sejenak terang oleh sambaran petir, ter-
lihat kalau sosok itu berambut panjang sebahu
berwarna hitam berkilat. Wajahnya sukar dikena-
li, karena tertutup caping bulat dari tikar pandan.
"Siapa kau, Anak Muda?" desis Warok
Darmo Singo. Sejenak tadi dia berusaha menge-
nali, tapi sia-sia saja.
"Apa yang kau bawa, Kisanak?" Tak mem-
pedulikan pertanyaan Warok Darmo Singo, si pe-
muda malah balik bertanya.
"Apa urusanmu?!" bentak Warok Darmo
Singo, tak suka dengan pertanyaan usil si pemu-
da.
"Jadi urusanku, kalau yang kau bawa itu
adalah mayat yang kau curi dari pemakaman ini!"
Warok Darmo Singo selintas melirik ke
arah mayat dalam pondongannya. Bibirnya terse-
nyum dingin, menyadari kalau si pemuda telah
mengetahui apa yang dibawanya.
"Mau mayat, kek. Mau bangkai, kek. Kau
tak berhak mencampuri urusanku, tahu?! Jika
kau keras kepala, jangan menyesal kalau kau ma-
ti muda!" sentak si lelaki tinggi besar.
"Sudah kubilang, kau akan berurusan
denganku. Maka tinggalkan mayat itu di sini se-
belum terjadi perselisihan di antara kita!" balas si
anak muda.
"Bangsat! Keras juga rupanya kepalamu!
Ingin tahu, sampai di mana bacot sialanmu itu!"
Warok Darmo Singo melempar mayat Ratna Ku-
mata dalam pondongannya, "Tahan seranganku!
Heaaa...!"
Berkawal bentakan keras merobek angkasa
gelap ditingkahi deru suara hujan lebat, Warok
Darmo Singo menerjang. Hebat dan ganas. Ter-
cium bau kematian dalam serangannya. Bahkan
dalam setiap kebutan kepal kekarnya terdengar
suara menderu memangkas udara.
Deb! Deb!
Si anak muda mundur tiga langkah ke be-
lakang. Pada jarak yang memungkinkan, tubuh-
nya bergerak ke samping kiri. Lalu dibuatnya satu
putaran dengan kaki menyapu. Sedangkan kaki
kanan menjadi tumpuan.
Bed!
Warok Darmo Singo tercekat. Serangan
bertubi-tubinya dengan kepalan hanya memang-
kas angin kosong. Bahkan secara tak terduga,
kaki kekar lawan bergerak ke arah dadanya.
"Hih!"
Si lelaki tinggi besar berusaha menahan
dengan menyampok kaki lawan dari bawah. Tapi
dengan amat cepat, kaki lawan telah ditarik kem-
bali, lalu menghujam ke bawah. Ke perutnya.
Dan....
Desss...!
Warok Darmo Singo tergusur mundur. Kaki
lawan tadi telak mendarat di perutnya yang lo-
wong. Matanya kontan mendelik tak percaya. Mu-
lutnya meringis jelek seperti kakek ompong ma-
kan rempeyek.
"Keparat kau, Pemuda Busuk! Jangan diki-
ra kau sudah menang!" Sumpah serapahnya me-
luncur kemudian. "Coba yang satu ini, jahanam!
Heaaa...!"
Pukulan jarak jauh dibuat Warok Darmo
Singo. Angin menderu. Menggebu.
Menerobos lawan muda yang masih diam
membisu
"Khiaaa...!"
Teriakan tak kalah seru dibuat si pemuda.
Suaranya membelah udara malam. Hendak dika-
lahkannya suara guntur yang sesekali terdengar
menyalak. Pada titik akhir teriakannya, kedua
tangannya menghentak ke depan. Akan dipapak-
nya deru angin pukulan jarak jauh lawan.
Blaaappp!
Yang terdengar hanya bunyi tak berarti.
Suara kentut maling malah mungkin lebih keras.
Tapi hasilnya, kedua orang yang tengah berseteru
terpental ke belakang. Melayang hingga sejauh
lima tombak. Ceprottt!
Keduanya sama-sama jatuh bergumul den-
gan tanah becek. Lalu sama-sama bangkit dengan
tubuh berbalur lumpuh basah. Keadaan mereka
kini bagai setan sawah!
Dari ringisan di bibir masing-masing,
agaknya keduanya sama-sama didera rasa nyeri
pada dada. Buktinya, keduanya juga tengah me-
megangi dada masing-masing. Sementara darah
yang meleleh di sudut bibir cepat tersapu oleh air
hujan yang terus menggila.
Edan! Tenaga dalamnya tinggi sekali. Da-
lam sekali gebrakan lagi aku pasti tak mampu
menghadapinya. Rutuk si pemuda, membatin.
Dadanya tampak turun naik cepat tanda napas-
nya memburu.
Di tempatnya, Warok Darmo Singo juga
membatin. Gawat! Waktuku bisa habis kalau te-
rus meladeni bocah sialan ini! Aku harus cepat-
cepat menyingkir kalau tak mau rencanaku gagal.
Mendadak....
"Heaaah...!"
Satu bentakan nyaring dibuat Warok Dar-
mo Singo. Bersamaan dengan itu, dilepaskannya
kembali satu pukulan jarak jauh. Teramat ganas,
mengandung hawa kematian. Seketika, angin
menderu terlontar. Memangkas udara malam,
menciptakan sebuah kekuatan menggetarkan.
"Hih!"
Karena serangan terlalu mendadak, sebi-
sanya si pemuda menghindar tanpa sempat
membalas. Dibuangnya tubuh ke kanan, lalu ber-
guling-gulingan. Membuat seluruh tubuhnya ma-
kin dibaluri lumpur.
Kesempatan yang amat singkat itu diguna
kan Warok Darmo Singo untuk menyambar mayat
Ratna Kumala yang juga telah bersimbah lumpur
mengotori kain pembungkusnya. Tubuh si lelaki
tinggi besar cepat berkelebat dari tempat ini, sela-
gi si anak muda lawannya masih bergulingan.
Blaarr...!
Pukulan jarak jauh yang tak menemui sa-
saran menghantam sebuah pohon beringin muda
hingga tumbang. Bersamaan dengan itu, si anak
muda telah bangkit berdiri. Dan dia jadi celingu-
kan, karena lawan telah menghilang entah ke
mana.
"Biadab! Ke mana larinya manusia keparat
itu! Aku yakin, yang dibawanya sesosok mayat!"
maki si pemuda.
"Siapa yang kau cari, Kisanak?"
Tiba-tiba sebuah suara agak keras me-
menggal kekecewaan si anak muda lantaran la-
wannya menghilang begitu saja. Terkejut, si pe-
muda berbalik. Makin terkejut lagi, ketika men-
genali siapa yang menegurnya tadi.
"Satria...?"
* * *
Si anak muda berpakaian ketat warna pu-
tih membuka capingnya. Tapi, wajahnya yang di-
penuhi lumpur tetap saja tak dikenali sosok yang
baru datang tadi. Sosok pemuda berpakaian rom-
pi putih dari kulit binatang. Sosok Satria Gen-
deng!
"Kau, siapa ya? Apakah kau bukan pe-
nunggu makam ini?" tanya Satria.
Ketika air hujan sedikit demi sedikit me-
nyingkirkan lumpur di wajah si pemuda berpa-
kaian ketat putih, barulah Satria bisa mengenali.
"Ah, maafkan hamba, Tuan Muda! Hamba
kira...."
"Ah, sudahlah Satria. Tak usah memang-
gilku begitu. Panggil aku Senoaji saja!" pinta si
anak muda yang ternyata Senoaji, putra Adipati
Ngawi, memenggal kata-kata Satria.
"Iya, Senoaji. Tadi kau mencari siapa? Dan
mengapa kau berada di tempat ini?"
Satria memang telah mengenal Senoaji, wa-
laupun baru bertemu sekali di Kadipaten Ngawi.
Waktu itu, si anak muda perkasa baru saja hen-
dak berangkat menuju Bukit Munthang untuk
memisahkan pertarungan Warok Singo Lodra me-
lawan Warok Jogoboyo. (Baca episode : "Pertu-
nangan Berdarah").
Ketika hendak berangkat, Senoaji tiba di
keraton setelah berguru di Blambangan. Setelah
berkenalan sejenak, Satria berangkat ke Bukit
Munthang bersama Adipati Ngawi dan Panglima
Adi Kencono.
"Aku memergoki seseorang ketika melewati
tempat ini. Orang itu kelihatannya mencurigakan,
karena memondong sesosok mayat yang dibung-
kus kain putih. Dari bau busuk yang tercium,
aku yakin kalau yang dibawanya adalah mayat.
Ketika aku menyuruhnya untuk meninggalkan
mayat itu, dia malah menyerangku. Kami berta-
rung sejenak, dan tiba-tiba dia melarikan diri,"
papar Senoaji.
"Kau mengenali ciri-cirinya?" tanya Satria.
"Penampilannya seperti seorang warok. Ta-
pi yang pasti bukan Warok Singo Lodra atau Wa-
rok Jogoboyo. Entah siapa, aku tak mengenal-
nya," jelas Senoaji.
"Jangan-jangan, dia Warok Darmo Singo,"
duga Satria.
"Warok Darmo Singo? Maksudmu, orang
yang selama ini mengadu domba dua warok ter-
kenal itu?"
"Siapa lagi? Tapi, mayat siapa yang dibawa.
Ah, masa bodoh mayat siapa itu. Yang jelas, se-
pertinya Warok Darmo Singo tengah memperda-
lam ilmu sesat. Jadi, dia saat ini bukan berada di
Gunung Wilis. Licik sekali manusia sialan itu!"
Satria seolah berkata-kata untuk dirinya sendiri.
"Kau tak mau memeriksa, kuburan siapa
yang dibongkarnya?" aju Senoaji.
Mendadak, pikiran buruk melintas di be-
nak si anak muda perkasa. Terutama ketika me-
nyadari kalau saat ini berada di pemakaman
umum pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tanpa berkata-kata, Satria segera berkele-
bat masuk ke dalam pemakaman. Gerakannya
segera diikuti Senoaji. Dalam lima hitungan, ke-
dua anak muda itu telah tiba di makam Ratna
Kumala yang kini telah terbongkar.
"Setan belang! Lihat, Senoaji! Kunyuk bu
luk itu telah membongkar makam Ratna Kumala,
gadis yang hendak dijodohkan denganmu!" tunjuk
Satria, menggeram.
Walaupun tak mencintai Ratna Kumala,
tak urung Senoaji merasa terpukul melihat ma-
kam sahabat kekasihnya terbongkar. Anak muda
ini lantas berjongkok di tepi makam. Diraihnya
tanah makam bekas galian.
"Tenanglah di alammu, Ratna. Tak akan
kubiarkan orang yang berani mengganggu ma-
kammu!" desisnya, seraya meremas tanah makam
dalam kepalannya.
"Aku yakin, Warok Darmo Singo hendak
menggunakan mayat Ratna Kumala sebagai sya-
rat dalam menuntut ilmu sesat. Dan dia pasti se-
dang berguru pada seorang tokoh hitam.
Hmmm..., siapa tokoh hitam itu, ya?" gumam Sa-
tria. Keningnya berkerut dalam.
Senoaji merasa tak perlu menjawab. Ma-
kanya dia diam saja. Dia yakin, Satria cuma se-
kadar berkata untuk dirinya sendiri.
"Oh, ya Senoaji. Bagaimana ceritanya kau
bisa sampai ada di sini?" Satria menyusuli dengan
pertanyaan. Dan jelas, kali ini Senoaji merasa ha-
rus menjawabnya.
"Aku sebenarnya hendak ke Ponorogo, me-
nemui Nawangsih. Tapi mendadak pikiranku be-
rubah. Tiba-tiba saja aku ingin mengunjungi Pa-
man Warok Jogoboyo lebih dulu. Yah..., sekadar
menyatakan duka cita. Dan ketika kemalaman di
pinggiran kadipaten ini, aku bertemu manusia
keparat itu!" tutur Senoaji, penuh kegeraman.
"Aku rasa, kau tak perlu ke rumah Warok
Jogoboyo. Sebab, beliau kalau tak salah sedang
berada di Gunung Wilis bersama Warok Singo Lo-
dra," saran Satria.
Sementara, hujan kini mulai reda, berubah
menjadi rintik-rintik. Seperti jarum-jarum halus
yang ditumpahkan dari langit. Alam mulai tenang.
Angin malam berhembus semilir, tidak menggila
seperti tadi.
"Ada apa mereka di sana?" tanya Senoaji.
"Kalau tak salah, ada pohon, batu, tanah,
angin.... Pokoknya, semua-semua ada deh. He he
he.... Ya, mereka yang jelas mengejar Warok Dar-
mo Singo," gurau Satria.
"Hmmm.... Kalau begitu, kita harus mem-
bagi tugas," cetus Senoaji.
"Sebenarnya aku bermaksud begitu. Cuma
aku tak enak saja bila harus memberi tugas pada
seorang anak adipati, tidak sopan rasanya," kata
Satria.
Senoaji tersenyum. "Di keraton, aku me-
mang anak adipati. Tapi di dunia luar, aku sama
sepertimu, Satria. Sama-sama orang persilatan.
Itu sebabnya, aku sekarang mengenakan pakaian
seperti ini serta caping di kepalaku, supaya be-
nar-benar dianggap sebagai orang persilatan," tu-
kas Senoaji.
"Ya, jelas lain, dong," bantah Satria.
"Maksudmu?"
"Aku lebih ganteng sedikit, he he he ...."
Kembali Senoaji tersenyum.
"Nah, sekarang sebaiknya kau pergi ke Gu-
nung Wilis. Kabarkan pada Paman Warok Singo
Lodra dan Paman Warok Jogoboyo kalau si warok
kentut tidak ada di Gunung Wilis," lanjut Satria,
sikapnya berubah jadi bersungguh-sungguh.
"Sekarang, aku harus pergi ke sana?" tanya
Senoaji.
"Tidak, tahun depan saja kau ke sana. Ya,
sekarang.... Mau kapan lagi?" ledak Satria.
"Baiklah kalau begitu," Senoaji bersiap
hendak melangkah. Tapi....
"Tunggu...," cegah Satria.
"Apa lagi, Satria?" kening Senoaji berkerut.
"Setelah ke Gunung Wilis, temuilah Na-
wangsih. Dia titip salam buatmu," Satria sedikit
berdusta.
"Kau ada-ada saja, Satria. Dia masih sa-
kit...." Senoaji tanpa sungkan-sungkan menyi-
langkan telunjuknya di jidat.
"Sembarangan kau, Senoaji!"
"Maksudmu, dia sudah sembuh?"
"Sudahlah.... Yang penting jalankan tu-
gasmu dengan baik lebih dulu," sergah Satria
dengan senyum terukir di bibir.
"Baik..., baik Satria. Akan kujalankan tu-
gasku dengan baik. Selamat tinggal"
Di ujung kalimatnya, Senoaji berkelebat ke-
luar dari pemakaman umum. Sekejap kemudian,
Satria menyusul. Bila Senoaji berkelebat menuju
Gunung Wilis, si anak muda perkasa dengan
mengandalkan ketajaman indra penciumannya
berkelebat menuju arah Warok Darmo Singo pergi.
TUJUH
TEPAT ketika matahari menyembul di ca-
krawala bagian timur, Senoaji tiba di kaki Gu-
nung Wilis. Tapi sebelum anak muda ini mendaki
menuju puncak, dari arah berlawanan berkelebat
dua bayangan hitam. Semakin dekat, semakin je-
las kalau dua bayangan hitam itu adalah dua so-
sok lelaki tinggi besar berpakaian serba hitam.
Berwajah brewok dengan tatapan tajam ke depan.
Siapakah mereka?
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Setelah mengantar Dongdongka serta me-
nunggu Warok Darmo Singo di puncak Gunung
Wilis selama dua hari namun tak ada hasil, mere-
ka memutuskan untuk turun gunung. Dan mere-
ka begitu terkejut ketika di hadapan mereka ber-
diri satu sosok tegap berpakaian ketat warna pu-
tih. Mengenakan caping, nyaris menutupi wajah-
nya.
Dua tombak di depan si anak muda, kedua
warok menghentikan lari mereka. Mata tajam me-
reka mengawasi dan berusaha mengenali, siapa
pemuda tegap yang menghadang.
Baru ketika caping si anak muda di bu-
ka....
"Raden Senoaji...?" sebut kedua warok,
nyaris berbarengan.
"Maaf, Paman Warok berdua. Mungkin aku
mengagetkanmu. Tapi ada sebuah berita yang
membuat. Paman berdua akan lebih kaget lagi,"
kata Senoaji, langsung.
"Tunggu dulu, Raden. Kenapa tiba-tiba Ra-
den muncul di tempat ini," potong Warok Singo
Lodra.
"Justru itu, Paman. Begini ceritanya," Se-
noaji membuka penuturannya. "Aku berniat ke
Ponorogo hendak menemui Nawangsih. Aku sen-
gaja lewat Trenggalek, bermaksud menemui Pa-
man Warok Jogoboyo untuk menyatakan bela-
sungkawa. Tapi ketika aku kemalaman dan lewat
di pinggiran Kadipaten Trenggalek, aku bertemu
Warok Darmo Singo yang baru saja mencuri seso-
sok mayat di pemakaman umum kadipaten. Aku
sempat bertarung beberapa jurus dengannya, tapi
kemudian Warok Darmo Singo melarikan diri,"
Senoaji sejenak menghentikan ceritanya.
Entah kenapa, tiba-tiba perasaan Warok
Jogoboyo terkunci dalam kecemasan. Ada rasa
tak enak yang mengoyak batinnya. Seolah cerita
Senoaji kian mengiris-iris hatinya.
"Ketika Warok Darmo Singo berhasil mela-
rikan diri dengan membawa mayat yang dicu-
rinya, Satria datang. Lalu kami segera memeriksa
ke pemakaman. Ternyata..., kuburan Ratna Ku-
mala telah dibongkarnya," lanjut Senoaji, nyaris
tak terdengar suaranya. "Lalu kami membagi tugas. Aku ke Gunung Wilis untuk menemui Paman
Warok berdua, sedangkan Satria aku yakin, ten-
gah mengejar Warok Darmo Singo...."
Memucat wajah Warok Jogoboyo. Hatinya
benar-benar terpukul. Hatinya ingin menjerit, tapi
sifat jantannya melarang. Dan suaranya hanya
sampai di tenggorokan saja. Dadanya benar-benar
hendak meledak. Amarahnya nyaris terbongkar di
tempat ini, tapi berusaha mati-matian diredam-
nya. Hanya bibir di balik kumis lebatnya yang
berkemik-kemik. Sementara matanya mendelik.
Seolah tak percaya dengan pendengarannya.
Sedangkan Warok Singo Lodra menggeram
hebat. Amarahnya terbakar mendengar kuburan
putri saudara seperguruannya diobrak-abrik ma-
nusia laknat, kendati manusia itu adalah adik
kandungnya sendiri. Dia jadi begitu prihatin atas
penderitaan adik seperguruannya yang seperti tak
ada habisnya. Sudah putri tersayangnya mati,
masih juga kuburannya diobrak-abrik. Yang lebih
menyakitkan, orang yang mengobrak-abrik adalah
dalang dari semua peristiwa yang terjadi. Penye-
salan mendalam pun makin mengoyak perasaan-
nya. Menyesal, kenapa sampai saat ini belum
berhasil meringkus Warok Darmo Singo yang su-
dah dianggapnya sebagai manusia iblis!
"Menurut Satria, jelas bahwa Warok Darmo
Singo memang tak menuju Gunung Wilis. Dia se-
dang berada di suatu tempat untuk memperda-
lam ilmu hitam. Dan salah satu syaratnya, men-
cari mayat. Bisa jadi semua itu dilakukan dalam
rangka untuk mendapatkan harta karun dan ki-
tab sakti yang disembunyikan guru Paman ber-
dua. Sebab aku tahu dari ayahandaku, Warok
Darmo Singo tengah memburu harta karun serta
sebuah kitab sakti peninggalan guru Paman Wa-
rok berdua," ungkap Senoaji.
"Pantas, kami menunggu dua malam di
puncak Gunung Wilis, ternyata keparat itu tak
muncul-muncul. Dan karena perasaanku nggak
enak, aku mengajak Kakang Warok Singo Lodra
untuk turun gunung. Kasihan Panembahan
Dongdongka. Dia kami tinggal sendirian di sana.
Kelihatannya dia begitu khusuk berdoa untuk
Guru kami," desah Warok Jogoboyo.
Sebelum ada yang bersuara....
"Siapa bilang aku khusuk?" Tiba-tiba se-
buah suara sember merampas keheningan. Suara
siapa lagi kalau bukan suara Dongdongka. Buk-
tinya, tahu-tahu saja manusia lapuk itu telah be-
rada di belakang kedua warok. Sama sekali tak
diketahui kehadirannya. Datang seperti perut mu-
las, dan hilang seperti kentut terbawa angin. Tak
berbekas. "Kalian mestinya harus memasang ke-
lambu di makam guru kalian, para Manusia Bu-
lu!" sembur Dongdongka. "Di sana banyak nya-
muk!"
Tak ada alasan bagi kedua warok untuk
tersinggung. Mereka cukup paham tabiat manu-
sia sinting itu. Biar bagaimanapun, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul adalah sahabat guru me-
reka, Resi Kalangwan. Dan mereka memang mengakui kalau di makam guru mereka binatang-
binatang penghisap darah itu sering mengganggu
bila sedang khusuk berdoa.
"Maaf, Panembahan. Kami berjanji akan
merawat makam Guru kami," kata Warok Singo
Lodra, berbalik ke samping. Seolah hendak mem-
beri jalan pada si manusia buluk berkepala botak.
"Panembahan, kuperkenalkan pada pemu-
da ini," Warok Jogoboyo menghampiri Senoaji.
"Dia putra Adipati Ngawi yang baru saja terjun
dalam dunia persilatan. Namanya, Senoaji."
Dongdongka melangkah menghampiri. Ma-
tanya menyipit, seolah sedang meneliti sosok yang
diperkenalkan Warok Jogoboyo. Sedang Senoaji
sendiri yang semula terkejut dengan kedatangan
Dongdongka segera memasang sikap gagah. Diki-
ranya, Dongdongka akan memberi sembah pa-
danya.
Tapi....
Tuk! Tuk! Tuk!
Bambu tipis di tangan si manusia lapuk
malah hinggap di kepala Senoaji. Keterlaluan se-
kali tabiat Dongdongka. Padahal di hadapannya
adalah seorang putra adipati!
"O..., jadi kau putra si Suro Brajan doyan
makan itu ya? Bagus..., bagus. Kalau sudah ter-
jun dalam gonjang-ganjing dunia persilatan, lu-
pakanlah kesenangan duniawi. Kau harus siap
menanggung segala akibatnya, termasuk mati di
atas pusar wanita sesat.... He he he...," oceh
Dongdongka, seenaknya.
Memerah wajah Senoaji. Amarahnya mau
meledak. Siapa tokoh kurang ajar ini? Tanya ha-
tinya. Bukannya menyembah, tapi malah menge-
tuk-ngetuk kepalaku dengan bambu tipisnya.
Bahkan kata-katanya terdengar sengak sekali.
"Kau jangan tersinggung dengan tabiat Pa-
nembahan Dongdongka, Senoaji. Biar bagaima-
napun, Panembahan Dongdongka sahabat Guru
kami. Bahkan kalau menarik sejarah masa lam-
pau, menurut Guru kami Panembahan Dong-
dongka adalah bekas ksatria dari Kerajaan Maja-
pahit," Warok Jogoboyo yang membaca gelagat
tak sedap di hati Senoaji berusaha menengahi.
Kali ini, justru Senoaji yang menjatuhkan
diri. Bersimpuh di depan kaki kurus keropos
Dongdongka....
* * *
"Bagus..., bagus.... Tak sia-sia aku mem-
bimbingmu kemari, Darmo. Mayat yang kau dapat
masih baik. Dan berarti, kau telah berhasil men-
jalani syaratku. Sebentar lagi, kau akan menda-
patkan ilmu langka yang tak ada bandingnya di
dunia. Ha ha ha...!"
Ledakan tawa Manusia Sesat Kaki Empat
memecah keheningan dalam goa di Bukit Para
Danyang. Di hadapannya, Warok Darmo Singo
hanya manggut-manggut sekaligus merasa bang-
ga karena dia berhasil memenuhi syarat untuk
mendalami sebuah ilmu hitam yang diminta Manusia Sesat Kaki Empat.
"Sekarang juga, aku sudah bisa memulai
upacara persembahan mayat perawan ini kepada
Ratu Danyang, Darmo. Mudah-mudahan, kau
akan mendapatkan apa yang kau impikan. Sete-
lah upacara selesai, kau resmi menjadi sekutu
para Danyang. Artinya, sejak saat itu kau tak lagi
manusia biasa, tapi setengah siluman. Tentu saja
dengan kepandaian luar biasa. Salah satu di an-
taranya, kau bisa meminta bantuan para iblis, ji-
ka kau menghendaki sesuatu. Kau mau?" lanjut
Manusia Sesat Kaki Empat, panjang lebar.
Warok Darmo Singo memang tak ingin se-
tengah-setengah dalam keinginannya untuk men-
jadi tokoh persilatan yang ditakuti. Apalagi, dia
bercita-cita juga ingin menguasai harta serta ki-
tab sakti peninggalan Resi Kalangwan. Mendapat
penjelasan dari lelaki tua di hadapannya, Warok
Darmo Singo merasa yakin kalau para iblis bisa
membantunya dalam mendapatkan kedua benda
yang diidam-idamkan. Sebab selama ini, dia juga
tak mampu memecahkan petunjuk di dalam dua
lempengan logam yang dicurinya dari Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo.
Syarat telah dipenuhi. Apakah Warok Dar-
mo Singo akan mundur begitu saja setelah me-
nyadari dirinya akan bersekutu dengan para Da-
nyang? Tidak! Tegas hatinya, bulat-bulat. Aku
sudah jauh melangkah. Haruskah aku kembali
lagi? Setelah peristiwa-peristiwa lalu, pasti Ka-
kang Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo
akan mencari-cariku. Dan buntut-buntutnya, me-
reka pasti akan membunuhku. Kalau aku tidak
mempersiapkan diri, mustahil aku bisa menga-
lahkan mereka. Begitu tekad bulat Warok Darmo
Singo.
"Tentu Guru," sahut Warok Darmo Singo
yang telah memanggil guru pada Manusia Sesat
Kaki Empat. "Tak ada lagi keraguan dalam hati-
ku. Karena aku memang harus menghadapi mu-
suh-musuhku!"
"Bagus..., bagus. Tapi, ingat! Ada syarat se-
telah kau mendapat ilmu para Danyang!" kata
Manusia Sesat Kaki Empat.
"Apa itu, Guru?"
"Tiap purnama, kau harus menyediakan
mayat perawan kepadaku yang berusia kurang
dari seminggu."
"Hanya itu, Guru?"
"Bantu aku untuk mengalahkan musuh-
musuh besarku."
"Siapa saja mereka, Guru?"
"Resi Kalangwan."
"Dia telah meninggal beberapa tahun yang
lalu,"
"Kalau begitu, sahabat-sahabatnya."
"Di antaranya?"
"Dedengkot Sinting Kepala Gundul."
"Ada lagi, Guru?"
"Itu saja dulu."
* * *
Upacara persembahan mayat dimulai. Di
sebuah batu pipih, mayat Ratna Kumala diba-
ringkan. Di atas kepala mayat terdapat pendu-
paan dengan asap kemenyan mengepul memenu-
hi ruangan goa. Membuat dada sesak dan mata
pedih.
Dalam keadaan telanjang bulat, lat, Manu-
sia Sesat Kaki Empat dan Warok Darmo Singo
menari-nari mengitari mayat Ratna Kumala. Dari
bibir kendor si tua kaki empat terlontar mantra-
mantra yang sulit dimengerti Warok Darmo Singo.
Lelaki tinggi besar ini hanya mengikuti gerak yang
diperagakan guru sesatnya.
Terkadang mereka berjingkrak-jingkrakan.
Kedua tangan menyentak-nyentak ke samping
dengan kepala manggut-manggut. Sekali waktu
mereka menggoyang-goyangkan pinggul. Saat
Manusia Sesat Kaki Empat menggoyang-
goyangkan pinggul, nyaris Warok Darmo Singo
tertawa. Betapa dilihatnya kedua kaki gurunya
yang berada di belakang bergoyang-goyang me-
rangsang. Namun dia segera memusatkan piki-
rannya kembali kalau tak mau upacara ini gagal.
Pada puncaknya, tarian aneh Manusia Se-
sat Kaki Empat melambat. Mantra yang terlontar
dari bibir kendornya tak lagi cepat. Begitu khusuk
penuh makna keramat.
Seperti gerakan Manusia Sesat Kaki Em-
pat, gerakan Warok Darmo Singo pun melambat.
Dan mendadak, jiwanya terasa melayang bak di
awang-awang.
Tepat berada di samping mayat Ratna Ku-
mala, Manusia Sesat Kaki Empat duduk bersim-
puh, diikuti Warok Darmo Singo. Kepalanya ter-
tunduk, dengan kedua tangan berada di paha.
Demikian pula Warok Darmo Singo. Sekejapan
kemudian, dari pendupaan lamat-lamat terlihat
sebuah bayang ramping. Bayangan seorang pe-
rempuan cantik tanpa benang sehelai pun. Seper-
ti melenggak-lenggok, seirama dengan liukan asap
pendupaan.
"Wayan... bangunlah. Aku telah hadir...."
Suara halus terdengar menggelitik sukma.
Manusia Sesat Kaki Empat yang bernama
Wayan, atau tepatnya Wayan Swadaya mengang-
kat kepalanya. Dan bibirnya tersenyum saat me-
natap bayang-bayang perempuan tanpa benang
sehelai pun.
"Nini Gedeng Swastami.... Akhirnya kau
datang juga. Syukurlah, Nini. Ini, Nini. Aku mem-
persembahkan wadag kasar dari seorang perawan
cantik. Untuk itu, setelah kau masuk ke dalam
jasadnya, sudilah kiranya memberi ajian pada
muridku yang bersimpuh di sampingku," lapor
Manusia Sesat Kaki Empat, penuh khidmat.
Bayang-bayang perempuan yang dipanggil
Nini Gedeng Swastami menoleh ke arah jasad
mayat Ratna Kumala. Bibir merahnya tersenyum
lamat. Lalu kepala manggut-manggut, tanda me-
nyetujui persembahan yang diberikan Manusia
Sesat Kaki Empat.
"Kalau begitu, aku akan segera memasuki
jasad mayat gadis ini. Biar kita bisa bercengke-
rama dengan leluasa, Wayan," kata Nini Gedeng
Swastami, genit.
"Silakan, Nini. Aku pun sudah merindu-
kanmu," kata Manusia Sesat Kaki Empat, berse-
mangat.
Warok Darmo Singo sendiri hanya meman-
dang takjub dengan apa yang dilihatnya. Teruta-
ma ketika melihat bayangan perempuan itu per-
lahan-lahan bergerak, memasuki jasad mayat
Ratna Kumala melalui ubun-ubun.
Sejenak suasana hening.
Merinding.
Di luar sana, lolongan serigala melengking.
Perlahan namun pasti, waktu terus berges-
er. Sudah lewat dini hari. Bersamaan dengan itu,
tubuh mayat Ratna Kumala bergerak perlahan.
Awalnya, kedua tangannya. Lalu kaki, dan diikuti
kepala. Yang mencengangkan, mayat yang semula
rusak perlahan-lahan kembali seperti semula. Ha-
lus mulus berlapis kulit kuning langsat.
Dalam gerak perlahan, jasad Ratna Kumala
bangkit, setelah matanya membuka. Langsung di-
tolehkan kepalanya ke arah Manusia Sesat Kaki
Empat. Lalu berpindah ke wajah Warok Darmo
Singo.
Tengkuk lelaki tinggi besar yang semula
merinding perlahan mereda. Bahkan ganti terpe-
sona melihat kecantikan wajah Ratna Kumala
yang telah bangkit kembali.
"Bagaimana, Wayan? Apakah aku kelihatan
cantik?" Tatapan Ratna Kumala yang telah dima-
suki jasad halus Nini Gedeng Swastami berpindah
pada wajah tua Manusia Sesat Kaki Empat.
"Cantik sekali, Nini. Bahkan teramat can-
tik. Ah, sungguh tak kusangka. Ternyata usahaku
tak sia-sia untuk bersekutu denganmu di Bukit
Para Danyang, Nini. Kau telah menepati janjimu,"
desah Wayan Swadaya.
Siapakah Nini Gedeng Swastami sebenar-
nya?
Dialah Ratu Para Danyang yang berse-
mayam di bukit Para Danyang ini. Sejak Manusia
Sesat Kaki Empat memilih tempat ini sebagai
tempat untuk memperdalam ilmu hitamnya, dia
sudah beberapa kali meminta kehadiran Ratu Pa-
ra Danyang ini. Namun, selama itu usahanya tak
menemui hasil.
Baru ketika Manusia Sesat Kaki Empat
membawa lima belas mayat perawan ke hadapan
Nini Gedeng Swastami, Ratu Para Danyang itu
mau menampakkan diri. Itu pun setelah Manusia
Sesat Kaki Empat berjanji dalam setiap purnama
senantiasa menyediakan mayat perawan sebagai
wadah bagi Nini Gedeng Swastami untuk hadir di
dunia kasar.
Sebagai makhluk halus, Nini Gedeng Swas-
tami juga memiliki nafsu. Termasuk, nafsu untuk
melampiaskan gejolak birahinya. Itu sebabnya,
dia butuh jasad kasar sebagai sarana untuk me-
menuhi gelora birahinya. Karena memang, kege-
maran wanita siluman ini adalah berhubungan
intim dengan makhluk bernama manusia. Lagian,
mana mungkin dia bisa berhubungan dalam kea-
daan hanya berupa bayang-bayang? Apa enak-
nya?
Hubungan intim itu terus berlangsung
hingga beberapa tahun, sampai akhirnya Wayan
Swadaya memiliki ajian pemberian Nini Gedeng
Swastami. Ajian dapat membuatnya mampu
mempengaruhi jalan pikiran orang lain. Bahkan
mampu menghilang bila mengucapkan mantra-
mantra tertentu.
Untuk memenuhi syarat menyediakan
mayat perawan, Manusia Sesat Kaki Empat tak
ingin bersusah-susah. Itu sebabnya ketika Warok
Darmo Singo berada di lembah di dekat Bukit Pa-
ra Danyang, Manusia Sesat Kaki Empat menje-
ratnya dengan pengaruh jarak jauh.
"Sekarang, mari kita mandi bersama di
sendang bawah tanah, Nini," ajak Wayan, berse-
mangat.
"Mari, Wayan. Aku juga sudah tak sabar
untuk menurunkan ajian lain pada muridmu itu.
Sekaligus, menjajal kejantanannya," sahut Nini
Gedeng Swastami.
"Nini kupersilakan untuk menjajalnya nan-
ti," Manusia Sesat Kaki Empat melirik pada Wa-
rok Darmo Singo yang terus menatap lekat-lekat
ke seluruh lekuk-lekuk tubuh Ratna Kumala.
DELAPAN
ATAS saran Warok Jogoboyo dan Warok
Singo Lodra, Senoaji berangkat menuju Kadipaten
Ponorogo. Karena setelah mendengar penuturan
Senoaji tadi, kedua warok yakin kalau Satria telah
selesai mengobati Nawangsih. Soal sembuh atau
belum, kedua warok itu belum tahu. Tapi kalau
mendengar cerita Senoaji bahwa Nawangsih titip
salam buat anak muda ini, jelas bahwa Nawang-
sih telah sembuh.
Ketika Senoaji telah pergi, Warok Singo Lo-
dra dan Warok Jogoboyo mengajak Dongdongka
untuk ke Trenggalek untuk memeriksa makam
Ratna Kumala. Kali ini tanpa menunjukkan tabiat
sintingnya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
menyanggupi untuk ikut serta.
Dengan mengerahkan kepandaian ilmu lari
cepat masing-masing, dalam setengah harian me-
reka telah tiba di Trenggalek. Atau tepatnya di
pemakaman umum. Begitu tiba, di tepian makam
telah berdiri seorang pemuda berpakaian rompi
putih dari kulit binatang. Berambut panjang me-
lebihi bahu, berwarna kemerahan. Celananya
pangsi sebatas lutut.
"Hei, Cah Gendeng! Kau sekarang sudah
jadi penunggu makam?!" sapa Dongdongka, begi-
tu tiba.
Cah Gendeng yang dimaksud Dongdongka
tentu saja Satria. Si anak muda perkasa tanah
Jawa yang mulai menghebohkan dunia persilatan.
"Kakek Dongdongka? Kok Kakek tahu-tahu
ada di sini?" Satria langsung berbalik.
"Suka-suka aku! Mau ada di pantat sapi,
kek. Mau ada di kamar pengantin, kek. Siapa
yang mau melarang?" sahut Dongdongka, ketus.
"Sekarang, kenapa kau sampai kelayapan ke dae-
rah Jawa bagian timur ini, hah?!"
"Semula aku mencari Tresnawati, Kek. Tapi
ternyata di daerah ini aku diminta menyelesaikan
sebuah persoalan. Ya, terpaksa pencarianku ter-
tunda. Aku diminta Kanjeng Adipati Nga...."
"Sudah! Sudah! Aku sudah mendengar se-
muanya dari kedua Manusia Bulu ini!" potong
Dongdongka, melempar dagu keriputnya pada
Warok Singo Lodra chin Warok Jogoboyo. Heran,
padahal lelaki tua lapuk itu sudah tahu nama ke-
dua warok itu. Tapi tega-teganya masih memang-
gil mereka manusia bulu. Dasar tak punya pera-
saan!
Satria melempar pandangan pula ke arah
kedua warok. Kedua lelaki tinggi besar penuh
brewok itu mengangguk, membenarkan. Memang
selama perjalanan sambil berlari cepat Warok
Singo Lodra telah menceritakan semua yang ter-
jadi.
"Katanya kau mengejar Warok Darmo Sin-
go, Satria? Bagaimana hasilnya?" tanya Warok
Jogoboyo.
"Maaf, Paman. Selain kedatanganku ter-
lambat saat terjadi pertarungan antara Senoaji
dengan manusia keparat itu, ternyata Warok
Darmo Singo juga mengandalkan ilmu lari cepat-
nya. Aku kehilangan jejak ketika sampai di se-
buah lembah bercadas. Untuk itulah aku memu-
tuskan untuk kembali. Dan karena aku yakin ka-
lian akan ke tempat ini, maka aku menunggu di
sini. Aku tak tahu, lembah apa itu namanya. Ke-
tika tiba di sana, pikiranku mendadak kacau.
Terdengar suara-suara aneh di sana. Tempat itu
begitu menggiriskan. Seolah, hatiku jadi bimbang.
Makanya, kuputuskan untuk kembali saja," jelas
Satria, jujur.
"Lembah Keramat...," desis Warok Singo
Lodra dan Warok Jogoboyo, nyaris bersamaan.
Semua manusia yang ada di pemakaman
umum pinggiran Kadipaten Trenggalek ini hanyut
dalam kegeraman, kecuali Dongdongka. Ah, in-
dahnya kalau aku yang berada di lubang itu, kata
Dedengkot Sinting Kepala Gundul ketika melem-
par pandangannya ke arah lubang kubur milik
Ratna Kumala yang terbongkar. Kenapa aku yang
lapuk ini tak mati-mati juga, ya? Eh, perawan
yang cantik anak salah satu Manusia Bulu itu
malah gampang banget matinya?
Namanya juga harapan sinting. Ya, yang
tercetus juga terdengar aneh. Di mana sebagian
besar manusia bertahan untuk hidup, malah si
tua lapuk itu ingin mati. Bahkan susahnya minta
ampun. Tak dipungkiri walaupun telah menyadari
bahwa mati-hidup adalah urusan Sang Khalik, te-
tap saja pikiran itu bisa nongol dalam benaknya
sewaktu-waktu. Dia bahkan terlalu cemburu bila
melihat orang mati. Seandainya ada orang mati
yang bersedia mengajaknya, dengan senang hati
dia akan mengikutinya. Dengan syarat, tidak den-
gan cara bunuh diri. Itu tindakan pengecut! Ka-
tanya.
"Aku tak mengerti, apa maunya manusia
telengas itu mencuri mayat Ratna Kumala?" buka
Warok Singo Lodra.
"Ilmu hitam, Paman. Sepertinya, Warok
Darmo Singo tengah menuntut ilmu hitam di
lembah itu," duga Satria, sok yakin.
"Dan tepatnya di Lembah Keramat," sam-
bung Warok Jogoboyo. "Hmm siapa tokoh yang
bermukim di Lembah Keramat...?"
"Kira-kira siapa, Kakek Dongdongka?"
tanya Satria pada guru sintingnya. Kelihatannya,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul begitu khusuk
dengan lamunannya.
"Mungkin aku," sahut Dongdongka, salah
tangkap.
"Hah?!" Satria terperangah.
"Eh, apa yang kau tanyakan, Cah Gen-
deng?" Dongdongka mengedip-ngedipkan kelopak
keriput matanya.
"Kira-kira, siapa tokoh sesat yang bermu-
kim di Lembah Keramat?" ulang Satria, sambil
mengelus-elus dadanya.
"He he he.... Kedengaranku. Manusia Bulu
itu bilang, siapa yang mau bermukim di makam
ini. Maaf, kupingku sudah lama tak kukorek. Kalau soal tokoh yang bermukim di Lembah Kera-
mat sepanjang pengetahuan hanyalah manusia
sesat yang paling getol mendalami ilmu hitam.
Dia adalah musuh besar Resi Kalangwan, saha-
batku. Namanya Wayan Swadaya alias Manusia
Sesat Kaki Empat. Resi Kalangwan pernah cerita
tentang musuh besarnya itu padaku. Entah, di
mana tepatnya Manusia Sesat Kaki Empat berada
setelah dikalahkan Resi Kalangwan. Memang ada
kabar burung kalau dia berada di Lembah Kera-
mat. Untuk tepatnya, aku tak tahu," papar Dong-
dongka. Kali ini kesintingannya lenyap sejenak.
Kata-katanya begitu lancar, selancar semprotan-
semprotan liurnya yang melesat dari bibir ken-
dornya.
"Hm.... Guru tak pernah cerita tentang Ma-
nusia Sesat Kaki Empat...," gumam Warok Singo
Lodra dan Warok Jogoboyo, nyaris bersamaan.
"Manusia Sesat Kaki Empat?" Satria me-
nyusul kemudian. "Paman Warok! Apakah kalian
tahu, di mana tepatnya letak Lembah Keramat?"
"Di selatan Gunung Wilis," sahut Warok
Jogoboyo.
"Kalau begitu, kenapa kita buang-buang
waktu?" terabas Satria, tak ingin berlama-lama.
"Kalau kau mau jadi budak iblis, silakan
saja, Cah Gendeng," timpal Dongdongka, tiba-
tiba.
"Maksud Kakek?" aju Satria. Darah mu-
danya mulai bergolak, karena gurunya seolah me-
remehkannya.
"Setahuku, Lembah Keramat adalah tempat
berkumpulnya para iblis. Para Danyang yang
mendiami gunung, sungai, laut, lembah, hutan,
dan tempat-tempat liar lainnya. Para Danyang itu
dipimpin oleh seorang Ratu Danyang. Kalau tak
salah namanya Nini Gedeng Swastami. Nah,
mungkin Manusia Sesat Kaki Empat telah berse-
kutu dengannya. Lalu apa kau sanggup mengha-
dapinya. Ayo pikir! Pikir!" ledak Dongdongka. Se-
benarnya di balik kata-kata kasarnya tersimpan
rasa kekhawatiran terhadap murid gendengnya.
Dia tak ingin Satria celaka atau bahkan menjadi
budak iblis di Lembah Keramat.
Lalu, apakah si anak muda perkasa jadi
ciut nyalinya? Mundur teratur karena nyawanya
bakal tergempur?
SEMBILAN
SETELAH melakukan hubungan intim den-
gan Manusia Sesat Kaki Empat, Nini Gedeng
Swastami berkenan memberi ajian 'Petuah Iblis'
kepada Warok Darmo Singo. Tentu saja setelah le-
laki tinggi besar itu dijajal kejantanannya terlebih
dahulu. Setelah perempuan siluman itu merasa
puas, Warok Darmo Singo ditiup embun-
embunannya. Maka saat itu juga dia bisa meme-
rintahkan para iblis untuk mengerjakan apa yang
diperintahnya. Termasuk, mengambil harta karun
dan sebuah kitab sakti yang disimpan Resi Kalangwan di puncak Gunung Wilis.
Tak ada kesulitan bagi para iblis suruhan
Warok Darmo Singo untuk mengambil benda-
benda yang diinginkannya. Dengan demikian, dia
tak perlu lagi susah payah mencarinya. Iblis-iblis
yang menghuni puncak Gunung Wilis ikut berpe-
ran dalam menemukan harta karun serta kitab
sakti yang disembunyikan Resi Kalangwan. Sema-
laman saja, semua tugas itu telah selesai dikerja-
kan para iblis
Di dalam goa Bukit Para Danyang, Warok
Darmo Singo tersenyum girang. Sepeti emas per-
mata dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi telah berada di depannya. Kalau dipikir-
pikir, rasanya dia agak kecewa juga, mengapa ba-
ru sekarang begitu mudah mendapatkan kedua
benda itu. Tapi tanpa pertemuanku dengan Iblis
Rogo Jembangan, mustahil aku bisa tahu kalau
di tempat ini ada tokoh sesat yang pintar dalam
ilmu hitam? Kata hati Warok Darmo Singo.
Hmmm.... Manusia Sesat Kaki Empat secara tidak
langsung Ikut membantuku dalam mewujudkan
apa yang kucita-citakan.
"Hendak kau apakan harta sebanyak itu,
Darmo?" tanya Manusia Sesat Kaki Empat di de-
pan Warok Darmo Singo.
"Sebagai modal, Guru. Modal untuk men-
jadi seorang raja kecil untuk kemudian menjadi
raja besar yang paling ditakuti di tanah Jawa ini.
Akan kulenyapkan semua musuh-musuhku.
Akan kulenyapkan semua pendekar-pendekar
yang bertingkah di hadapanku," jawab Warok
Darmo Singo, semangat.
"Tapi kau jangan lupa dengan syarat-
syaratku," terabas Manusia Sesat Kaki Empat.
"Tentu, Guru. Akan kucari orang yang ber-
nama Dongdongka. Dan akan kucari mayat-
mayat perawan untuk wadah Nini Gedeng Swas-
tami. Tapi, bagaimana ciri-ciri orang yang berna-
ma Dongdongka itu, Guru?"
"Tua bangka itu berkepala gundul. Dia
hanya bercawat dari kulit ular sanca," jelasnya.
"Baiklah, Guru. Oh, ya. Ngomong-
ngomong, bagaimana dengan Nini Gedeng Swas-
tami? Apakah dia sudah kembali ke alamnya?"
tanya Warok Darmo Singo. Masih teringat dalam
benaknya, bagaimana perempuan siluman itu
memuji permainan cintanya.
"Dia sudah kembali ke alamnya. Sekarang,
buanglah mayat itu. Kita sudah tak mengguna-
kannya lagi. Maka sekarang tugasmu mencari
mayat baru," ujar Manusia Sesat Kaki Empat, se-
raya melirik mayat Ratna Kumala.
"Baik, Guru. Nanti malam mayat itu akan
ku buang. Sekalian aku akan mohon diri," sahut
Warok Darmo Singo.
* * *
Menjelang dini hari, Warok Darmo Singo te-
lah meninggalkan Bukit Para Danyang. Selain un-
tuk membuang mayat Ratna Kumala, juga untuk
memulai hidup baru sebagai tokoh yang bakal
mengguncangkan dan menghebohkan.
Tepat ketika matahari terbit di ufuk timur,
seorang pemuda kekar berpakaian rompi putih
dari kulit binatang telah berdiri di Lembah Kera-
mat. Parasnya tampan, bergaris rahang jantan.
Tatapan sembilunya menghujam ke arah Bukit
Para Danyang. Rambut panjang kemerahannya
melenggak-lenggok dipermainkan angin pagi.
Dialah Satria.
Di samping si anak muda perkasa, berdiri
dua lelaki tinggi besar berpakaian komprang war-
na hitam. Celananya komprang, berwarna sama.
Yang seorang bertubuh tambun. Mereka tak lain
dari Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo. La-
lu, di mana Dongdongka?
Tua bangka lapuk itu ternyata punya ren-
cana sendiri. Satria sendiri harus menelan keke-
cewaan, karena guru sintingnya tak bersedia
menjelaskan apa rencananya. Yang jelas, begitu
selesai melihat keadaan makam Ratna Kumala,
Dongdongka pergi bagai kentut yang disemburkan
begitu saja.
"Di mana kira-kira letak tempat tinggal
Manusia Sesat Kaki Empat, Paman?" tanya Sa-
tria, menoleh pada Warok Singo Lodra.
Sejenak mata Warok Singo Lodra menyapu
hamparan batu cadas di lembah ini. Lalu tata-
pannya berhenti ke arah bukit sebelah kiri.
"Kalau tak salah bukit yang sebelah kiri
itu," tunjuk Warok Singo Lodra.
Belum sempat Satria mengajak kedua wa-
rok itu ke sana....
"Satria, lihat!" Warok Jogoboyo menunjuk
ke sebuah batu cadas di sebelah kiri. Di balik ba-
tu, segerombolan lalat hijau tengah membangun
sebuah pesta pora di sana. Agak menyembul di
balik batu, terlihat sebentuk kaki membujur.
Tanpa banyak kata, ketiga orang itu me-
lompat ke sebuah batu cadas di sebelah kiri yang
tak begitu jauh. Begitu tiba, mereka semua terpe-
rangah!
"Ratna...!" desis Warok Jogoboyo dan Wa-
rok Singo Lodra berbarengan. Kedua mata mereka
mendelik dengan mulut ternganga.
"Biadab!" geram Satria, seraya memaling-
kan wajah. Tak tega hatinya melihat mayat dalam
keadaan telanjang. Memperlihatkan bagian-
bagian tubuh menggiurkan, namun telah rusak di
sana-sini. Dan anehnya, tak sedikit pun tercium
bau busuk!
Warok Jogoboyo dan Warok Singo Lodra
membuka baju komprangnya. Penuh rasa haru
dan kegeraman, mereka segera membungkus
mayat dengan baju. Lalu bersama-sama mereka
mengangkat mayat Ratna Kumala yang begitu
mengenaskan.
"Kau harus mati di tanganku, keparat!" de-
sis Warok Jogoboyo, tak kuasa menahan kegera-
man. Yang dimaksud keparat tentu saja Warok
Darmo Singo yang seenak udelnya membuang
mayat Ratna Kumala di tempat ini
"Kita telah bersumpah untuk melenyapkan
bangsat itu, Adi!" timpal Warok Singo Lodra, tak
tega melihat adik seperguruannya selalu dirun-
dung duka. Sementara, orang yang membuat du-
ka justru masih berkeliaran.
"Sebaiknya, Paman berdua pulang ke
Trenggalek. Kuburkan mayat Ratna Kumala di
tempat layak. Biar Manusia Sesat Kaki Empat
dan Warok Darmo Singo menjadi urusanku!" de-
sis Satria. Darah si anak muda sudah begitu
menggelegak. Jiwa kependekarannya memberon-
tak. Meledak-ledak, seolah tak puas dengan keti-
dakadilan dan keangkaramurkaan yang terjadi.
"Tidak, Satria! Kami harus memusnahkan
manusia laknat itu!" tegas Warok Singo Lodra,
menggelegar. Niatnya tak tergoyahkan lagi untuk
segera membunuh manusia biadab bernama Wa-
rok Darmo Singo. Meski, itu adalah adik kan-
dungnya sendiri.
Maksud Satria memang baik. Artinya, si
pemuda benar-benar tak tega melihat mayat Rat-
na Kumala. Tapi rasanya dia cukup memaklumi
kemarahan kedua warok ini. Makanya, dia lebih
baik membiarkan kedua warok itu bersamanya.
Tanpa banyak cakap lagi, Satria segera
menyentak kakinya. Seketika tubuhnya berkele-
bat ke arah Bukit Para Danyang. Kedua warok itu
segera mengikuti sambil terus memondong mayat
Ratna Kumala. Warok Jogoboyo pada bagian ba-
hu, sementara Warok Singo Lodra pada bagian
bokong.
Dalam beberapa hitungan, mereka bertiga
telah tiba di kaki Bukit Para Danyang. Sejenak
mereka memandang ke sekeliling. Dan sebelum
ada yang membuka suara....
"Selamat datang di Bukit Para Danyang,
para pendekar congak...."
Tercekat Satria. Juga kedua warok itu. Su-
ara yang terdengar barusan, seolah membuai pe-
rasaan mereka. Begitu halus, namun terasa
membuat jalan pikiran mereka kacau!
Ada apa rupanya?
* * *
Satu sosok tinggi besar berpakaian kom-
prang serba hitam melangkah gagah. Di bahunya
terpanggul sebuah peti tak terlalu besar. Wajah-
nya penuh brewoknya menggambarkan kegembi-
raan luar biasa. Sebentar-sebentar bibir tebalnya
melepas senyum. Entah ditujukan kepada siapa.
Tiba di pinggiran kadipaten Trenggalek, so-
sok seorang lelaki tinggi besar ini mendadak
menghentikan langkahnya. Tatapannya langsung
tertuju ke arah pemakaman umum yang beberapa
tombak lagi akan dilewatinya.
Siapa lelaki tinggi besar itu?
Warok Darmo Singo. Seorang warok yang
selama ini dicari-cari oleh Satria Gendeng, Warok
Jogoboyo, dan Warok Singo Lodra. Dan agaknya,
warok sesat ini cukup cerdik sehingga tak sampai
bertemu orang-orang yang selama ini mencari
carinya.
Sewaktu berhasil melarikan diri setelah
bertarung dengan Senoaji, Warok Darmo Singo
yakin kalau dirinya kini sedang dicari-cari. Untuk
menghindari hal-hal yang tak diinginkan, sengaja
dicarinya jalan lain, yakni dengan memutar sedi-
kit perjalanan. Artinya, dia harus memutari bukit
yang berhadapan dengan Bukit Para Danyang.
Dengan mengikuti jalan setapak, sampailah dia di
pinggiran Kadipaten Trenggalek.
Tapi baru saja si warok sesat hendak me-
lanjutkan langkahnya....
"Berat juga bawaanmu. Boleh kubantu...?"
Sebuah suara memangkas keheningan pagi
ini. Sang warok tercekat. Jantungnya nyaris men-
celat. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan
sinar berkilat. Tak ada siapa-siapa, kecuali pepo-
honan dan semak belukar. Sedangkan di kanan-
nya terdapat sebuah empang dengan jamban gan-
tung. Ketika matanya terpatri ke sana, hatinya
yakin kalau ada seseorang yang berjongkok di
jamban gantung.
"Jangan main-main denganku! Cepat tun-
jukkan diri kalau tak mau mampus!" bentak Wa-
rok Darmo Singo.
"Siapa yang main-main? Wong aku sedang
asyik buang hajat dibilang main-main," sahut su-
ara dari jamban gantung. Enteng sekali suaranya.
"Lantas, kenapa kau mengganggu perjala-
nanku?!"
"Karena kau memang patut untuk digang
gu. Bukankah kau suka mengganggu orang lain?
Nah, kalau aku sekarang mengganggumu, bu-
kankah itu baru adil?"
"Setan laknat! Jangan salahkan kalau aku
bertindak kasar. Heaa!"
Wusss...!
Udara terpangkas saat itu juga oleh luncu-
ran angin panas.
Menderu.
Menggebu.
Siap meluluh lantakkan jamban gantung
berikut isinya hingga jadi debu.
Satu jari lagi angin menderu dari pukulan
jarak jauh Warok Darmo Singo menghantam, se-
buah keajaiban terjadi. Mendadak, angin mende-
ru tadi memecah ke segala arah. Menghantam
beberapa pohon yang berada di sekelilingnya.
Brak! Brakk!
Pohon-pohon bertumbangan. Menciptakan
suara gemuruh. Membuat nyali luruh. Sementa-
ra, hati Warok Darmo Singo jadi kisruh. Pukulan
jarak jauh yang dibuatnya tadi dikawal dengan
kemarahan amat sangat. Tak heran bila disertai
tenaga dalam tinggi. Tapi hasilnya?
"He he he.... Pukulan untuk membunuh
cacing dipamerkan di hadapanku," dari balik
jamban, nongol satu sosok keropos berkepala bo-
tak. Memamerkan giginya yang nyaris tandas,
menyisakan gusi-gusi hitam. Begitu keluar dari
jamban gantung, si tua lapuk itu hanya menge-
nakan cawat dari kulit ular sanca. Semen-tara,
tangan kanannya memegang bambu tipis yang
sesekali diketuk-ketukkan ke kepalanya. Siapa
lagi manusia langka itu kalau bukan Dongdong-
ka.
"Siapa kau, Orang Tua?!" bentak Warok
Darmo Singo. Sementara hatinya terus menduga-
duga, apakah ciri-ciri orang ini sama dengan se-
perti yang diceritakan gurunya, Manusia Sesat
Kaki Empat.
"Lucu..., lucu. Aku mau membantumu
mengangkat peti itu, kau malah marah. Hati-hati,
nanti kumismu rontok. Kau pasti juga sejenis
Manusia Bulu. Apakah kau yang bernama Warok
Darmo Singo? Ayo, ngaku! Kalau tak mengaku,
kucabuti seluruh bulu-bulumu. Kecuali.... He he
he!" kekeh lelaki tua keropos.
Edan! Dia tahu jati diriku! Damprat hati
Warok Darmo Singo. Hmmm.... Kalau melihat ciri-
cirinya, dia pasti Dongdongka. Kebetulan. Guruku
menyuruhku untuk membunuhnya! Kata hatinya
lagi.
"Apakah kau yang bernama Dongdongka,
Orang Tua?" tanya si warok.
"Tumben, ada yang peduli dengan nama-
ku," sahut Dongdongka.
"Hmmm.... Kalau begitu, kau harus mati!
Heaaa...!"
Berkawal bentakan keras, kembali Warok
Darmo Singo melepas pukulan jarak jauh ketika
Dedengkot Sinting Kepala Gundul baru saja sam-
pai di tepi empang. Sebuah jarak yang amat dekat
untuk mempercepat kematian si tua lapuk.
Sungguh, Warok Darmo Singo tak tahu,
siapa Dongdongka. Seorang sesepuhnya para se-
sepuh dunia persilatan. Yang ada di benaknya,
Dongdongka hanyalah tokoh silat uzur bertubuh
keropos. Dan sungguh, dia lupa dengan seran-
gannya yang tadi tak berarti apa-apa ketika lelaki
uzur itu masih berada di jamban gantung.
Dan ketika angin panas hendak melabrak,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul memutar bam-
bu tipisnya. Perlahan saja. Hasilnya....
Deb!
Dashh!
Putaran angin tercipta dari hasil putaran
bambu tipis Dongdongka. Menahan laju angin
panas milik sang warok, dan membalikkannya ke
arah datangnya. Akibatnya, tubuh Warok Darmo
Singo termakan pukulan jarak jauhnya sendiri!
Si lelaki tinggi besar terpental. Melayang
sejauh tiga tombak, langsung menabrak pohon.
Tertatih-tatih, dia berusaha bangkit. Sebenarnya,
Warok Darmo Singo ingin mengerahkan aji
'Petuah Iblis'. Sebuah ajian yang dapat memanggil
para iblis untuk ditugasi sesuai kehendak sang
warok. Termasuk membunuh Dongdongka. Tapi
sialnya, ajian itu hanya bisa digunakan pada ma-
lam hari. Sialnya lagi, Warok Darmo Singo berte-
mu Dongdongka pada pagi hari.
"Bagaimana? Masih kurang?" ledek Dong-
dongka.
"Keparat busuk! Jangan dikira aku telah
kalah! Heaaat...!"
Kali ini Warok Darmo Singo harus merela-
kan petinya yang terpental jauh darinya. Dia tak
mempedulikannya lagi. Tubuhnya telah maju,
menerjang Dongdongka dengan jurus-jurus silat
andalannya.
"Ah, masih berlagak juga. Jurus-jurus silat
seperti cacing kepanasan dipamerkan," ledek
Dongdongka, habis-habisan.
Deb! Deb!
Dua buah pukulan dibuat Warok Darmo
Singo. Satu mengarah ke kepala, sisanya ke dada.
Suara menderu mengiringi. Ganas, dan berhawa
maut.
Tapi di mata kelabu Dongdongka, gerakan
si warok tak lebih dari gerakan gadis penari. Le-
mah lembut tak bertenaga. Dongdongka hanya
perlu bergeser ke samping sedikit, lalu bambu ti-
pisnya bergerak menotok.
Tuk! Tuk!
Dua buah totokan yang disarangkan De-
dengkot Sinting Kepala Gundul tepat mampir di
urat-urat gerak si warok. Seketika, gerakannya
terhenti. Mata si warok mendelik tanpa mampu
berbuat apa-apa.
"He he he.... Kubilang juga apa, Manusia
Bulu? Eh, tapi kau pasti Manusia Bulu palsu.
Coba kuperiksa brewokmu," Dongdongka menarik
keras jenggot Warok Darmo Singo.
Breett!
"Aaahhh...!" jerit sang Warok dengan mulut
meringis.
"He he he.... Ternyata bulu asli. Kalau yang
ada di balik celanamu, apakah juga bulu asli? Bo-
leh kuperiksa, ya?"
Tapi baru saja Dongdongka hendak mem-
buka celana Warok Darmo Singo....
"Oh, iya. Aku harus membantu Cah Gen-
dengku. Hmmm.... Sebaiknya di jamban gantung
itu lagi. Sekalian aku menyembunyikan Manusia
Bulu di situ," ocehnya.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cepat
mengangkat Warok Darmo Singo dan memba-
wanya ke dalam jamban gantung. Dengan satu to-
tokan pula, dibuatnya si warok agar berjongkok.
Lalu tubuhnya berkelebat lagi, mengambil peti
yang jatuh dari tangan Warok Darmo Singo. Begi-
tu cepat gerakan lelaki tua lapuk itu, sehingga
sebentar saja dia sudah berada di jamban gan-
tung kembali. Bahkan kemudian ini telah ikut-
ikutan berjongkok. Mau apa dia? Buang hajat?
SEPULUH
SUNGGUH tepat kalian datang ke tempat
ini. Mari..., jangan ragu. Di sebelah kanan kalian
ada sebuah batu cadas. Dekatilah," lanjut suara
halus yang begitu mengganggu jalan pikiran Sa-
tria, Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo.
"Kendalikan jalan pikiran kalian, Paman!
Jangan turuti kemauan suara itu. Aku yakin, ada
maksud-maksud tertentu. Kata-kata itu mengan-
dung sihir yang amat kuat, Paman!" seru Satria,
ketika melihat kedua warok itu bergerak mende-
kati batu yang dimaksud suara halus itu.
Sia-sia usaha Satria. Kedua warok itu terus
melangkah. Bahkan kali ini dengan tatapan ko-
song. Si anak muda sendiri mati-matian berusaha
menguasai jalan pikirannya. Dikerahkannya te-
naga dalam untuk menangkal suara suara yang
menggelitik telinganya, dan menyusup ke sanuba-
rinya.
"Buang dulu mayat itu, Anak Manusia! Aku
sudah tak memerlukannya lagi," lagi, suara ber-
pengaruh itu terdengar.
Ajaib! Kedua warok itu pun menuruti pe-
rintah dari suara halus tadi. Mayat Ratna Kumala
dibuang begitu saja, seolah yang ada di pondon-
gan mereka hanyalah sebatang kayu tak berhar-
ga. Lalu, kaki mereka kembali melangkah menuju
batu.
"Paman! Ja..., aaakh!"
Cegahan Satria terpangkas oleh sebuah
kekuatan kasat mata yang seperti hendak men-
congkel pendengarannya. Si anak muda hendak
melangkah, mencegah kedua warok itu. Tapi rasa
sakit yang mendera kedua lubang kupingnya
memaksanya untuk berhenti. Didekapnya kuat-
kuat kedua telinganya. Sementara, lututnya sen-
diri telah bergetar hebat. Agaknya, si anak muda
tengah mengerahkan tenaga dalam setinggi
mungkin.
"He he he.... Kau cukup tangguh juga, Cah!
Pengaruh suara gaibku rupanya harus susah
payah menembus benteng sukmamu. Tapi jangan
dikira aku tak bisa menguasaimu, Cah! Nah, ra-
sakanlah!"
Begitu suara halus itu lenyap, Satria Gen-
deng merasakan seolah hatinya seperti ditusuk-
tusuk. Matanya menjadi gelap saat itu juga. Pera-
saannya bagai melambung di cakrawala tak ber-
tepi.
Pada saat yang begini, Satria begitu kela-
bakan. Tak terpikirkan untuk mengerahkan ke-
kuatan sakti yang mengendap dalam dirinya. Ke-
kuatan sakti yang didapatnya dari Lautan Sela-
tan. Si anak muda makin keras saja membekap
kedua kupingnya dengan mulut meringis-ringis.
Suara halus tadi kini berubah melengking-
lengking, menyentak-nyentak dan mengoyak-
ngoyak perasaannya.
Tapi mendadak....
"He he he.... Kubilang apa, Cah Gendeng?
Dasar otakmu di dengkul! Kau yang menyuruh
kedua Manusia Bulu itu untuk mengendalikan
perasaan, tapi kau malah ikut-ikutan tak ka-
ruan!"
Bagai menemukan air di padang tandus,
mendadak hati si anak muda terasa seperti ada
yang membelai-belai. Hati kecilnya tergugah. Ma-
ti-matian, berusaha dikendalikannya perasaan
seperti semula. Suara barusan amat dikenalnya.
Ya, suara guru sintingnya yang tahu-tahu muncul
begitu saja. Suara itu seolah mengandung kekua-
tan kasat mata yang sedikit demi sedikit mengusir
suara-suara gaib yang mengoyak-ngoyak pera-
saannya.
Perlahan namun pasti, Satria mulai bisa
mengendalikan perasaannya. Dan itu berarti, dia
mulai bisa berpikir untuk mengerahkan tenaga
maha dahsyat yang mendekam dalam perutnya.
Maka saat itu juga, dibuatnya kuda-kuda kokoh.
Gerahamnya bergemeletuk. Bola matanya meme-
rah. Lehernya mengembung.
"Kheaaa...!"
Teriakan melengking dibuat Satria.
Membelah udara.
Mengoyak sukma.
Merobek sebuah kekuatan kasat mata.
Di dalam goa sana, terdengar teriakan tak
kalah hebat. Cuma saja, nadanya jauh berlainan.
Bila teriakan Satria bak naga murka, maka teria-
kan dari dalam goa bak kakek pikun mengerang
kesakitan.
Satria yang sudah bisa mengendalikan pe-
rasaannya, menatap ke samping. Di situ, terlihat
Dongdongka berjongkok seperti orang tengah
buang hajat. Lagian siapa peduli dengan tabiat-
nya. Mau tiduran, kek. Mau nungging, kek. Tak
ada yang mampu melarang!
Memang, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
yang tadi mengirimkan suara halus yang menye-
jukkan hati Satria. Dan Satria tahu, guru sinting-
nya saat ini tengah dalam wujud halusnya. Artinya, si tua lapuk tengah mengerahkan aji
'Melepas Sukma'. Jadi, betapa cerdiknya siasat
Dongdongka. Karena bila dia menyertakan wujud
jasad kasarnya, bukan mustahil akan ikut ter-
pengaruh oleh suara gaib yang diduga berasal da-
ri Manusia Sesat Kaki Empat.
Suara halus dari Dongdongka pun ternyata
disertai kekuatan sakti yang mampu menolak su-
ara yang mempengaruhi jalan pikiran Satria. Ma-
ka begitu si anak muda merasakan ada kekuatan
lain yang membantunya, pikirannya pun terbuka
untuk mengerahkan kekuatan sakti miliknya.
"Nah, sekarang kau boleh masuk ke dalam
goa di balik batu besar itu, Cah Gendeng!"
Lewat pembicaraan batin, Dongdongka
menyuruh Satria untuk segera bertindak. Maka
tanpa buang waktu lagi, si anak muda segera
berkelebat ke arah yang ditunjuk guru sintingnya.
Di depan goa, ternyata Warok Singo Lodra
dan Warok Jogoboyo telah tergeletak pingsan. Su-
ara dahsyat dari bibir Satria rupanya cukup me-
nyentak isi dada mereka hingga pingsan. Tapi Sa-
tria tak ingin buang-buang waktu. Dia harus
menghentikan sepak terjang Manusia Sesat Kaki
Empat dan Warok Darmo Singo.
Satria Gendeng cepat menyusup ke dalam
mulut goa yang tak begitu sempit untuk ukuran
tubuhnya. Tapi bagi kedua warok itu agaknya ha-
rus susah payah bila memasukinya.
Tak terlalu sulit bagi Satria untuk melihat
dalam kegelapan. Pengalaman di Pulau Dedemit
telah mengajarkannya bagaimana untuk melihat
dalam gelap. Dan bagai ada yang menuntunnya,
si anak muda berbelok ke arah kanan. Sekejap
kemudian dia telah sampai di sebuah ruangan
agak besar yang hanya diterangi sebatang obor
yang menancap di dinding.
Tapi baru saja tiba....
Desss!
"Aaakhh..!"
Satria terpekik. Sebuah pukulan keras
menghantam dadanya. Tubuhnya sendiri terpen-
tal, keluar ruangan. Yang membuatnya tak habis
pikir, siapa yang memukulnya? Padahal, ketika
masuk ke ruangan tadi, tak seorang pun yang ter-
lihat. Tak ada Manusia Sesat Kaki Empat, tak ju-
ga Warok Darmo Singo. Lalu, teriakan siapa yang
terdengar? Siapa yang tadi menjerit kesakitan?"
Tertatih-tatih, Satria berusaha bangkit. Di-
besutnya darah yang muncul di sudut-sudut bi-
bir. Pukulan tadi agaknya cukup membuat bagian
dalam dadanya terluka.
Kemarahan si anak muda pun meraja. Da-
danya bergemuruh, hendak membuncah. Tapi ba-
ru saja akan bertindak....
Diegh...!
"Uhhh...!"
Si anak muda terpental ke samping kiri.
Satu hantaman yang entah datang dari mana ta-
hu-tahu menghantam pipi kanannya. Dan yang
membuatnya geram dia tak tahu di mana lawan-
nya.
Slompret! Setan atau manusia yang meng-
hajarku! Kalau setan, mana ada setan yang bisa
memukul begini dahsyatnya. Kalau manusia, di
mana batang hidung sialannya! Rutuk Satria,
kembali susah payah bangkit berdiri.
Satria mau tak mau harus mengandalkan
pendengarannya. Slompret, kenapa baru kepiki-
ran sekarang kalau aku harus mengerahkan in-
dra pendengaranku! Makinya, membatin.
Si anak muda perkasa memang belum me-
nyadari kalau lawan tengah mengerahkan sejenis
ajian 'Halimunan'. Suatu ajian yang dapat mem-
buat lawan menghilang. Dan memang itu yang
tengah dilakukan Manusia Sesat Kaki Empat,
Dengan ilmu 'Sirna Raga' tubuhnya jadi tak terli-
hat Lawan.
Bed! Bed!
Telinga tajam Satria menangkap suara
menderu ke arah kepala dan ulu hati. Amat dah-
syat. Siap mengirimnya ke akhirat.
"Hih!"
Tangkas, Satria Gendeng menarik tubuh-
nya ke kanan. Lalu kaki kirinya bergerak cepat,
membuat sapuan ke arah lawan yang dikira ada
di depan.
Blass....
Sapuan kaki kiri Satria memangkas angin.
Selagi si anak muda akan menegakkan tubuhnya,
tahu-tahu bahunya terhantam satu kekuatan
amat keras.
Buk!
"Aaaakh!"
Kembali tubuh Satria terlempar, langsung
menghantam dinding goa cadas runcing. Tak
urung si anak muda meringis ketika jidatnya te-
rantuk tonjolan cadas runcing. Dirabanya jidat
yang telah melelehkan darah.
Kunyuk sialan! Makinya, membatin. Manu-
sia keparat itu tak bisa dibiarkan.
"Kheaaa...!"
Satu teriakan melengking dibuat Satria.
Penuh kemarahan yang siap dilampiaskan. Urat-
urat tangannya mengeras. Kedua bola matanya
memerah. Wajahnya mengelam. Gerahamnya ber-
gemelutuk. Teriakannya tadi seolah hendak me-
runtuhkan langit-langit goa cadas ini. Sikapnya
bak naga murka siap mengoyak-ngoyak lawan.
Bangkit, Satria langsung meraba ping-
gangnya. Digenggamnya gagang Kail Naga Samu-
dera senjata pusakanya. Lalu....
Cletarr...!
Merah.
Kuning.
Hijau.
Jingga.
Sekali lecut, satu lingkaran berwarna-warni
tercipta dari Kail Naga Samudera. Suara lecutan-
nya menggelegar, menyentak-nyentak. Bahkan
kemudian, si anak muda melecut-lecutkan senja-
ta pusakanya ke segala arah. Memecahkan dind-
ing-dinding goa. Tapi si pemuda tak peduli. Sam-
bil merangsak maju dengan pengerahan indra
pendengarannya untuk mengetahui keberadaan
lawan kasat matanya, Kail Naga Samudera terus
dilecutkannya. Hingga pada akhirnya....
Cletarrr....
"Aakhh!"
Buk!
Terdengar suara jeritan kesakitan yang
disusul bunyi badan beradu dengan dinding goa.
Sejenak Satria Gendeng menghentikan tindakan-
nya. Matanya nyalang mencari-cari.
Perlahan-lahan, di pinggiran dinding goa
mulai tampak satu sosok tubuh keropos. Ketika
semakin jelas, tampak kalau tubuh keropos itu
tengah menungging kesakitan. Di bagian bela-
kang pinggangnya terlihat dua kaki lainnya yang
menjuntai lemah.
Mata nyalang Satria terus menatapi tubuh
yang terus menungging. Dan ketika si anak muda
hendak melangkah menghampiri....
"Ampun, Anak Muda.... Aku mengaku ka-
lah. Jangan kau bunuh aku.... Kasihani aku," ra-
tap sosok keropos yang tak lain Manusia Sesat
Kaki Empat.
Agak heran juga Satria melihat Manusia
Sesat Kaki Empat tetap saja menungging. Tapi dia
berusaha untuk tak peduli.
"Hei, Pak Tua! Di mana Warok Darmo Sin-
go!" bentak si anak muda, galak.
"Aku tak tahu. Setelah dia menyelesaikan
ilmu sesatnya, dia katanya akan menjadi tuan ta-
nah di Ponorogo. Dia telah berhasil mendapatkan
harta serta sebuah kitab sakti yang tersimpan di
puncak Gunung Wilis," jelas Manusia Sesat Kaki
Empat.
Tercekat Satria. Hatinya pun geram, karena
tak menemui Warok Darmo Singo di tempat ini.
Sementara itu, dinding-dinding cadas yang tadi
terhantam Kail Naga Samudera mulai berjatuhan,
seolah gema lecutan tak pernah berhenti.
Si anak muda tahu, goa ini sepertinya akan
runtuh. Maka segera dikembalikannya keadaan
Kail Naga Samudera seperti semula, lalu dis-
elipkannya di pinggang.
Tenang, Satria Gendeng melangkah keluar.
Dilewatinya tubuh Manusia Sesat Kaki Empat
yang terus menungging.
"Anak muda.... Jangan tinggalkan aku…"
ratap si tua lapuk.
"Sudah tua masih cengeng! Bangun saja
sendiri. Dan lagi kau kan biasa di tempat ini!" ru-
tuk Satria.
"Anak muda...., Lecutan cambukmu mem-
buatku lumpuh! Aku sama sekali tak bisa meng-
gerakkan badanku. Tolonglah aku, Anak Muda...,"
ratap si tua kaki empat.
Terperangah juga Satria. Jiwa kependeka-
rannya pun dituntut untuk menolong orang yang
tak berdaya. Tapi baru saja kakinya akan berge-
rak
Wrrr...
Jrottt!
Satria menarik tubuhnya kembali ketika
satu bongkahan batu cadas sebesar anak kamb-
ing meluncur ke bawah, dan tepat menghantam
kepala Manusia Sesat Kaki Empat.
Sementara suara gemuruh makin santer,
saja. Agaknya, sebentar lagi goa ini akan runtuh.
Dengan desahan napas, Satria segera berkelebat
keluar goa. Dan baru saja mencapai mulut goa,
seluruh langit-langit goa pun runtuh.
Tiba di luar goa, Warok Singo Lodra, Warok
Jogoboyo, dan Dongdongka menyambutnya. Ru-
panya, kedua warok itu telah tersadar dari ping-
sannya. Ternyata lagi, wadag halus si lelaki buluk
masih setia menunggui murid gendengnya.
"Kau tak apa-apa, Cah Gendeng?" serobot
Dongdongka
Satria menggeleng.
"Apakah Darmo Singo ikut terkubur di da-
lam goa?" sambung Warok Singo Lodra.
Satria kembali menggeleng. "Keparat itu te-
lah pergi dari sini, Paman. Dia telah berhasil
mendapatkan kitab sakti, juga harta karun itu.
Kata Manusia Sesat Kaki Empat, tujuannya ke
Ponorogo" jelas Satria.
"Tapi sampainya hanya di jamban gantung,
pinggiran Kadipaten Trenggalek," timpal Dong-
dongka.
"Maksud Kakek?" Kening Satria berkerut.
"Tengoklah dia di sana. Mungkin dia sudah
puas bermain-main di jamban gantung. Eh, Ngo-
mong-ngomong..., apakah bulu di balik celana
warok slompret itu juga bulu asli? Tapi ketika aku
hendak memeriksa, aku keburu ingat kalian. Jadi
tak sempat memeriksa lagi," pembicaraan Dong-
dongka mulai ngawur.
"Sudahlah, Kek. Jangan bicara ngawur,"
sergah Satria tak sabar. "Sekarang jawab dulu
pertanyaanku. Apakah Warok sialan itu sudah
kau tangkap?"
"Bukan saja kutangkap. Bahkan kubuat
dia jadi palang untuk penunggu jamban gantung,"
sahut Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Berbarengan, Satria, Warok Singo Lodra,
dan Warok Jogoboyo menarik napas lega.
"Sekarang, mari kita tinggalkan tempat ini.
Kelihatannya tempat ini sudah tak ramah lagi pa-
da kita, senja sebentar lagi datang. Bisa jadi, para
Iblis mulai berkumpul di tempat ini. Kalau mere-
ka tahu bahwa Manusia Sesat Kaki Empat telah
tewas, apa jadinya, ya?" lempar Satria pada kedua
warok.
Tak ada yang menyahut. Yang jelas, mere-
ka kini mulai meninggalkan tempat ini. Tak lupa
Warok Jogoboyo kembali membopong mayat Rat-
na Kumala yang tadi dilemparnya tanpa sadar.
SELESAI
Segera terbit:
PERTAPA CEMARA TUNGGAL
0 comments:
Posting Komentar