..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE SETAN MADAT

Setan Madat

 Hak cipta dan copy right pada

penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

PAGI masih muda. Tanda-tanda kehidupan 
mulai merangkak menggapai harapan yang belum 
pasti. Mayapada seperti tengah dilanda duka. Pagi 
yang mestinya penuh kecerahan dan keceriaan 
kali ini tak nampak di Sedayu. Sebuah desa yang 
tak jauh dari perbatasan Kerajaan Demak.
Mestinya pagi ini diisi oleh kegiatan-
kegiatan kehidupan. Tapi kali ini terasa mati. Tak 
terlihat para petani yang berangkat menuju sa-
wah ladangnya. Tak terlihat pula para pedagang 
yang biasa mangkal di pasar desa. Bocah-bocah 
kecil yang biasa berlari-larian di tiap-tiap jalan 
desa dengan canda rianya, kini tak terlihat lagi. 
Semuanya terlihat sepi. 
Mati.
Pintu-pintu maupun jendela-jendela di 
tiap-tiap rumah tertutup rapat. Bahkan mungkin 
terkunci dari dalam. Tak ada suara yang terden-
gar dari rumah-rumah itu. Entah, apa yang terja-
di di Desa Sedayu ini.
Dari mulut desa yang masih terkepung ka-
but, seorang pemuda berusia belasan berjalan te-
nang. Wajahnya tampan. Bergaris rahang jantan. 
Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan. 
Pakaiannya rompi berwarna putih dari kulit bina-
tang. Celananya pangsi sebatas lutut. Pada kain 
putih pengikat pinggangnya ter-selip semacam 
tongkat berkeping logam perak ekor naga.

"Aneh.... Sepi sekali desa ini. Seperti mati. 
Apa semua penduduknya masih molor? Kebluk 
amat? Atau desa ini memang sudah tak berpeng-
huni?" desah si pemuda sambil terus melangkah 
menuju jantung desa.
Dialah Satria.
Sesekali pemuda murid Dongdongka alias 
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan murid Ki 
Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit ini ber-
paling ke kiri dan kanan. Dan keningnya berkerut 
membentuk lipatan kain wiron saat melihat ke sa-
lah satu rumah yang terletak di sudut jalan.
"Heh?! Jendela rumah di pojokan sana tadi 
kulihat terbuka sedikit. Kenapa ketika aku me-
mandang ke sana tiba-tiba tertutup kembali? Pas-
ti ada yang sedang mengintip. Apa yang dita-
kutkannya? Jelas, desa ini ada penghuninya. Tapi 
mereka seperti ketakutan. Ada apa, ya? Apa takut 
padaku? Masa' pemuda tampan macam aku dita-
kuti? Kalau begitu, hebat amat aku ini, ya?" Sa-
tria berkata-kata sendiri dalam hati. Dan kecuri-
gaan membuat hatinya penasaran. "Ah, sebaiknya 
kuhampiri saja rumah di sudut jalan itu."
Tenang, si pemuda melangkah. Wajah su-
mringahnya dipasang. Pandangannya yang seta-
jam sembilu mengarah pada rumah yang dituju.
"Sampurasun...," ucap Satria ketika tiba 
dua tombak di depan pintu rumah yang diduga 
ada penghuninya.
Tak ada jawaban. Hanya saja si pemuda 
menangkap suara tarikan napas seseorang di da

lam rumah itu yang semakin lama semakin mem-
buru.
"Sampurasun...," ulang si pemuda tak pa-
tah semangat. Bukan Satria namanya kalau gam-
pang patah semangat. Sementara otak cerdik Sa-
tria berputar, mencari cara agar penghuni rumah 
di depannya membukakan pintu.
"Walah! Sombong sekali penghuni rumah 
ini? Ya! Aku ada cara agar mereka keluar," letus 
Satria. Bibirnya tersenyum cerdik.
Sejenak Satria celingukan ke kiri dan ka-
nan. Ketika merasa yakin tak ada orang yang 
mengintip, kakinya melangkah mundur dua tin-
dak.
"Kalau tak mau membuka pintu, ya sudah. 
Jalan lagi, ahh.... "
Di ujung kalimatnya, kaki Satria menghen-
tak. Tubuhnya melompat tinggi ke udara, lalu 
hinggap di atas rumah yang didatanginya tanpa 
menimbulkan suara sedikit pun.
Sejenak si pemuda menunggu di atas atap 
sambil tersenyum-senyum.
Benar saja. Tak lama dari rumah yang di-
hinggapinya keluar seorang lelaki setengah baya 
bertelanjang dada, memamerkan tubuhnya yang 
kurus kering bak papan penggilesan clingukan, 
seperti mencari-cari.
Di saat pandangan si lelaki keropos tertuju 
ke depan, Satria melompat turun dengan gerakan 
ringan.
Kembali tanpa suara sedikit pun kakinya

mendarat di belakang lelaki yang tengah celingu-
kan.
"Apa yang kau cari, Pak Tua?" tegur Satria 
polos sambil mencoel bahu lelaki itu.
"Warakadah...!" Lelaki bertelanjang dada 
itu terjingkat. Untung saja jantungnya menempel 
kuat dalam rongganya. Kalau tidak, dia bisa mati 
berdiri. Hanya saja tanpa terasa bagian selang-
kangannya telah basah karena terkencing-
kencing.
"Tenang, Pak Tua. Aku orang baik-baik. 
Aku hanya kebetulan lewat di desa ini. Yah..., ba-
rangkali saja kau sudi menawarkan aku secangkir 
kopi dan sepotong singkong rebus," Satria cengar-
cengir bagai orang tak punya dosa. Padahal, dia 
hampir saja membuat lelaki di depannya mati 
berdiri.
"Be..., benar kau orang jauh dari tempat 
ini? Jangan-jangan kau orangnya Setan Madat?" 
gagap lelaki kurus kering ini. Saking kurusnya, 
tulang-tulang tuanya bertonjolan tertutup kulit 
keriput berwarna keling.
"Setan Madat? Siapa dia? Seram amat na-
manya?" Satria malah bertanya. Dari kata-
katanya jelas kalau si pemuda memang tak kenal 
dengan orang yang disebut si tua ini.
"Dia tokoh sesat yang sekarang menguasai 
desa ini. Tapi, tempat tinggalnya di tengah Hutan 
Sawangan. Kau sendiri siapa, Anak Muda?" susul 
lelaki itu.
"Aku? Seperti katamu tadi, aku orang jauh


dari tempat ini. Namaku Satria," sahut si pende-
kar muda polos.
"Apa kau sendiri tak takut dengan Setan 
Madat?"
"Takut? Dengar namanya sih, memang me-
nakutkan. Apa orangnya memang berwajah seper-
ti dedemit sawah, Pak Tua? Kalau benar, boleh 
jadi aku takut. Hiiyy...!" oceh si pemuda. Kedua 
bahunya terangkat ke atas.
"O..., jadi kau memang belum tahu.... Ka-
lau begitu, mari cepat masuk. Aku khawatir ada 
orang-orangnya Setan Madat yang mengetahui 
kehadiranmu. Sebab, lelaki telengas itu akan 
membunuh orang asing yang berani memasuki 
desa ini," ajak lelaki ini, lalu bergegas masuk ke 
dalam rumahnya. Satria mengikuti dari belakang.
* * * 
"Sesungguhnya, apa yang tengah terjadi di 
desa ini, Ki Rembang? Kenapa penduduknya begi-
tu ketakutan?" tanya Satria pada lelaki pemilik 
rumah yang disinggahinya.
Satria duduk berhadapan dengan lelaki 
yang mengaku bernama Ki Rembang. Di atas meja 
tersaji dua cangkir kopi dan sepiring singkong re-
bus. Tiga buah potongan singkong telah singgah 
di perut si pemuda. Sementara di tangan kanan-
nya telah pula tergenggam potongan singkong 
yang telah digigitnya.
Ditanya begitu, Ki Rembang malah menun

dukkan kepala. Sepertinya ada beban berat dalam 
dadanya yang hendak dimuntahkan keluar. Ma-
tanya merembang.
Ah, cengeng sekali Pak Tua ini. Belum-
belum sudah seperti gadis yang mau dikawin 
paksa, desah si pemuda dalam hati.
"Lho? Kok malah menangis, Ki Rembang. 
Kau kan belum cerita apa-apa. Cerita dulu, baru 
kau boleh menangis," celetuk si pemuda seenak 
udelnya.
Terpaksa Ki Rembang membuat senyum 
lebar. Buru-buru punggung tangannya mengha-
pus air mala yang siap meluncur ke pipi.
"Aku hanya teringat anak istriku, Satria. is-
triku tewas dibunuh anak buah Setan Madat ke-
tika menghalangi anakku Ratih yang dibawa me-
reka," tutur Ki Rembang.
Satria baru sadar kalau keadaan rumah ini 
memang terlihat sepi. Tadi saja, Ki Rembang sen-
diri yang memasak singkong rebus dan menyeduh 
kopi.
"Sudah lima purnama Setan Madat men-
guasai desa ini. Dan sejak itu pula semua pendu-
duk harus membayar upeti yang mencekik leher. 
Belum lagi, kami juga harus menyerahkan anak-
anak gadis kami pada tiap purnama. Bagi pendu-
duk yang menentang, nyawa taruhannya. Semen-
tara, kami sendiri tak berani mengungsi. Karena, 
anak buah Setan Madat menyebar di mana-mana, 
memata-matai kegiatan kami. Pendeknya, mereka 
telah menebar petaka di desa ini," papar Ki Rem

bang, penuh kegalauan.
Satria belum berkata-kata. Benaknya ma-
sih membayangkan penderitaan penduduk desa 
ini. Naluri kependekarannya terbangkit. Gera-
hamnya bergemelutuk, menyiratkan kemarahan 
siap membuncah.
"Tenang, Pak Tua. Akan kuberi pelajaran 
orang-orang telengas itu. Kalau perlu, mereka ha-
rus mencium pantatmu dulu, baru kuberi am-
pun," desis Satria, asal keluar saja dari mulutnya.
"Kau mungkin belum tahu, bagaimana 
keadaan sebenarnya, sehingga bisa berkata begi-
tu. Jangan dulu kau hadapi Setan Madat. Baru 
menghadapi anak buahnya mungkin kau sudah 
lari terbirit-birit. Belum lama saja, kudengar ada 
seorang tokoh persilatan golongan putih yang 
mencoba menolong desa ini dari penderitaan, ha-
rus merelakan nyawanya di tangan anak buah Se-
tan Madat. Kalau tak salah dia bernama Ki Ru-
meksa yang dikenal sebagai Pendekar Kelana," tu-
tur Ki Rembang, seperti meremehkan tekad mulia 
si pendekar muda.
Satria sama sekali tak tersinggung dire-
mehkan begitu. Tapi bukan berarti tekadnya ter-
jegal begitu saja. Apa pun alasannya, dia memang 
paling tak sudi harkat manusia diinjak-injak oleh 
ketidakadilan. Segendeng-gendengnya Satria 
Gendeng, lebih gendeng lagi kalau dia tak turun
tangan.
"Ya, aku memang pernah mendengar nama 
Pendekar Kelana. Tapi apa benar dia mati di tan

gan Setan Madat? Bukankah kesaktiannya amat 
tinggi?" tanya Satria seperti untuk dirinya sendiri.
"Kabarnya memang belum pasti. Tapi aku 
yakin, buktinya Setan Madat masih bercokol dan 
makin merajalela. Sementara kabar Pendekar Ke-
lana sudah tidak terdengar lagi. Malah kabar ke-
matiannya yang katanya tercebur ke dalam ju-
rang setelah mendapat pukulan maut dari Setan 
Madat sudah santer terdengar di mana-mana," 
tandas Ki Rembang, meyakinkan.
Satria terdiam. Wajah kekarnya menegang.
Suasana terkurung sepi. 
Hening.
"Sekarang coba ceritakan, bagaimana saja 
sepak terjang Setan Madat itu, Pak Tua?" cetus si 
pemuda, membongkar keheningan.
"Dia bagaikan raja kecil di tengah Hutan 
Sawangan. Pemuda-pemuda desa ini dibawa un-
tuk dijadikan prajuritnya. Gadis-gadis diboyong 
untuk pemuas nafsu. Sementara orang-orang tua 
dan anak-anak dijadikan pekerja paksa di perke-
bunan madat milik Setan Madat. Setiap purnama, 
para kaki tangan Setan Madat datang ke sini un-
tuk memungut upeti, sekaligus membawa orang-
orang desa yang ditunjuk."
"Lalu, bagaimana kepala desanya? Apa ti-
dak bertindak?"
"Ah, dia lagi. Semua penduduk sudah tahu 
kalau Ki Rengges justru merupakan kaki tangan 
Setan Madat pula."
Giris hati Satria mendengar penuturan Ki


Rembang. Menurut si pemuda, sebagai kepala de-
sa mestinya harus melindungi rakyatnya. Apa gu-
nanya dipilih oleh rakyat kalau akhirnya malah 
menindas rakyat? Bukankah pemilihan kepala 
desa berdasarkan kesepakatan rakyat? Artinya, 
rakyat menunjuk seseorang menjadi kepala desa 
dengan harapan si kepala desa bisa mengayomi 
kepentingan masyarakatnya. Tapi ini?
Kini tak ada lagi yang bersuara. Suasana 
kembali terkurung sepi. Di luar sana, angin siang 
mendesis-desis, meratapi keadaan desa ini. Na-
mun tiba-tiba, Satria mengangkat tangan kanan-
nya.
"Ada beberapa orang di luar sana, Pak Tua. 
Dan mereka kini berhenti di depan rumahmu," bi-
sik Satria, memberi tahu.
Baru saja kata-kata Satria tuntas....
"Rembang! Keluar kau! Bawa tamu asing-
mu sekalian!"
Sejenak Ki Rembang terpaku dengan mata 
melotot. Hatinya gusar bukan main, karena 
orang-orang di luar sana sepertinya telah tahu 
apa yang terjadi di rumahnya. Sikapnya jadi serba 
salah. Antara rasa takut dengan rasa menyesal te-
lah berani menerima seorang makhluk kelaparan 
macam Satria.
"Siapakah orang-orang di luar sana?"
***

DUA

TEMUILAH mereka dulu, Pak Tua. Biar aku 
belakangan. Aku mau tahu dulu, apa mau mere-
ka," kata Satria, tenang. Ki Rembang mengangguk 
setelah menguasai perasaannya. Kakinya lantas 
bergerak menuju pintu rumahnya yang tertutup 
rapat dan di kunci dari dalam.
Satria Gendeng memang tak mau gegabah 
dalam bertindak. Siapa tahu, orang-orang di luar 
sana hanya ingin memastikan siapa yang datang. 
Lagian, si pemuda berharap Ki Rembang bisa me-
nyelesaikan masalah tanpa adu urat atau adu jo-
tos.
Pintu telah terbuka. Dari celah pintu yang 
terbuka pendekar muda ini sempat melihat bebe-
rapa orang berdiri di halaman rumah Ki Rem-
bang. Dua orang berusia sebaya dengan Ki Rem-
bang. Lima orang lainnya bertampang telengas. 
Dua orang sudah uzur, sisanya masih muda-
muda.
"O, Ki Rengges. Ada apa, Ki?" sapa Ki Rem-
bang ramah, begitu tiba di halaman. Sementara 
hatinya bertanya-tanya heran, mengapa kepala 
desanya bisa tahu kalau rumahnya kedatangan 
tamu asing.
"Jangan berbasa-basi, Rembang! Kau tadi 
telah kedatangan tamu asing. Aku tahu, itu. Nah, 
cepat suruh keluar tamumu itu!" ujar Ki Rengges 
kasar. Bentakannya disertai, semprotan ludah

nya. Maklum, dua giginya telah tanggal di bagian 
depan.
"Dia hanya mampir sebentar, Ki. Dia kela-
paran dan butuh makan," Ki Rembang berusaha 
menjelaskan.
"Persetan dengan alasanmu. Kau telah me-
langgar aturan yang dibuat Setan Madat bahwa 
setiap orang yang datang ke desa ini harus lapor 
ke rumahku!" sembur Ki Rengges. Urat-urat le-
hernya mengembung saking ngototnya menyum-
pah serapah.
"Jangan mencari bahaya, Ki Rembang," 
timpal lelaki di sebelah Ki Rengges.
"Dia hanya seorang pemuda kelaparan, Ki 
Rawit. Tak berarti apa-apa," kilah Ki Rembang.
"Tak berarti apa-apa katamu? Rawit! Ceri-
takan, apa yang kau lihat tadi pagi!" terabas Ki 
Rengges.
"Tadi pagi aku melihat seorang pemuda 
melompat ke atas atap rumah Ki Rembang. Meni-
lik gerakannya, dia pasti tokoh persilatan," jelas 
lelaki yang bernama Rawit.
Ki Rembang tak bisa berkelit lagi. Usa-
hanya untuk menutupi kehadiran seorang pemu-
da kandas begitu saja. Dalam hati dia hanya bisa 
merutuki kepengecutan Ki Rengges, kepala desa 
ini. Hanya karena takut mampus, dia rela men-
gorbankan penduduknya demi kepentingan Setan 
Madat.
"Nah, Rembang. Adakah orang yang tak be-
rarti apa-apa bisa melompat ke atas atap rumah

mu. Apa namanya orang itu kalau ternyata memi-
liki kepandaian? Kau tak bisa mungkir lagi, Rem-
bang. Ayo, mana pemuda asing itu?!" tekan Ki 
Rengges. Mata liarnya lantas melirik ke arah dua 
tokoh persilatan yang merupakan kaki tangan-
kaki tangan Setan Madat. Lalu tatapannya beralih 
pada tiga orang yang menjadi keroconya Setan 
Madat. Mungkin dengan memandang begitu dia 
bermaksud minta dukungan.
Dan harapan lelaki berpakaian surjan itu 
terkabul. "Jangan mencari penyakit, Rembang! 
Serahkan saja pemuda itu ke hadapan kami. Ma-
ka, nyawamu akan selamat," dukung lelaki ber-
pakaian serba merah.
Dalam hati, Ki Rembang merutuk. Siapa 
yang cari penyakit? Penyakit panunya saja belum 
sempat diobati, masa' sekarang cari penyakit lagi?
"Cepat, Rembang! Panggil orang it...." 
"Tak usah dipanggil aku datang sendiri, 
kok." Kata-kata Ki Rengges terpangkas oleh suara 
dari dalam rumah Ki Rembang. Dari dalam pintu 
keluar seorang pemuda tampan. Garis rahangnya 
jantan dengan tatapan setajam sembilu. Satria 
namanya.
Semua yang bercokol di tempat itu seperti 
tertenung oleh tatapan yang seperti mengandung 
perbawa kuat milik si pemuda. Kalau pemuda itu 
jahil, mungkin dengan bentakannya mereka lang-
sung jatuh terduduk.
Satria sendiri sudah berdiri di sisi Ki Rem-
bang. Sikapnya tetap tenang.

"Sebutkan siapa dirimu, Anak Muda?!" 
bentak Ki Rengges berusaha menunjukkan kewi-
bawaannya di hadapan si pemuda. Tapi bagi Sa-
tria sikap lelaki itu tak lebih dari penjilat mura-
han saja.
"Aku hanya pemuda loyo yang tak berarti 
apa-apa. Namaku Satria. Lantas, kenapa aku di-
curigai? Aku ke tempat ini hanya sekadar lewat. 
Kebetulan perutku lapar, lalu sekadar minta se-
potong singkong dan secangkir kopi. Apa itu sa-
lah?" cerocos si pemuda.
"Benar, Ki Rengges. Orang itulah yang tadi 
kulihat melompat ke atas atap rumah Ki Rem-
bang. Tingkah lakunya patut dicurigai, Ki!" sam-
bar Ki Rawit, berbisik.
Satria yang memiliki pendengaran tajam 
tak urung mendengar pula bisikan Ki Rawit baru-
san. Sungguh, di hati pendekar muda ini timbul 
rasa menyesal karena telah bertindak ceroboh di 
halaman rumah Ki Rembang. Buktinya, tindakan 
itu ternyata diintai oleh salah seorang penduduk 
desa ini yang menjadi anak buah Ki Rengges. Dan 
akibatnya, Ki Rembanglah yang ketiban pulung. 
Apa bukan cilaka dua belas itu namanya?"
"Maaf, Pak Tua. Ki Rembang tidak salah. 
Akulah yang memaksanya untuk masuk ke ru-
mahnya. Habis, cacing-cacing dalam perutku 
nakal-nakal sih. Padahal, semalam sudah kuberi 
makan. Tapi tetap saja bandel," oceh si pemuda 
tak jelas juntrungannya.
"Kau tahu, Anak Muda. Desa ini tertutup

bagi orang asing. Kalau ada orang yang masuk, 
harus lapor dulu kepadaku, kepala desa di sini," 
Ki Rengges menepuk dadanya sendiri. Terlalu ke-
ras, membuat dada ringkihnya nyaris jebol. Ham-
pir dia terbatuk, untung cepat ditahannya. Malu 
dong kalau menepuk dadanya sendiri sampai ter-
batuk-batuk. Hanya saja mulutnya yang berbibir 
kendor cengar-cengir serba salah. Nyesal juga ha-
tinya karena terlalu semangat menunjukkan ke-
galakannya.
"Dan kau telah melanggarnya, Anak Muda!" 
serobot Ki Rawit ikut-ikutan galak. Siapa tahu 
nanti Ki Rengges menaikkan gajinya. 
Tak mau memperpanjang urusan, Satria 
mencoba mengalah. "Baiklah, aku mengaku sa-
lah. Apa keinginan kalian sekarang? Aku pergi 
dari sini? Gampang. Kaki tinggal melangkah, apa 
susahnya?" Tenang, kaki si pemuda melangkah. 
"Pak Tua Rembang, kuucapkan terima kasih atas 
sarapan dan keramahanmu," ucapnya sambil ber-
lalu.
Ki Rengges dan Ki Rawit bergeser memberi 
jalan pada Satria. Tapi, tidak bagi lima orang kaki 
tangan-kaki tangan Setan Madat. Dua orang yang 
berusia cukup uzur dengan pakaian hijau dan 
merah malah langsung memasang muka garang.
Yang berpakaian hijau kepalanya plontos 
pelit rambut. Matanya besar, nyaris keluar dari 
rongganya. Bibirnya yang keriput mirip gombal 
lecek melepas senyum meremehkan. Dia dikenal 
sebagai Laba-laba Hijau. Di tangannya melilit li

patan jaring seperti Jala.
Sementara yang berpakaian serba merah 
adalah lelaki uzur dengan rambut sebahu ber-
warna putih. Kepalanya diikat kain berwarna me-
rah pula. Matanya memerah penuh nafsu mem-
bunuh. Dia dikenal sebagai Jalak Merah. 
"Kau boleh pergi setelah jadi mayat, Bo-
cah!" dengus Jalak Merah garang. Kata-katanya 
terdengar menggetarkan, hendak meruntuhkan 
nyali si pemuda.
Tapi bukan Satria namanya kalau digertak 
begitu saja sudah kendor semangatnya. Pendekar 
muda itu malah tertawa renyah, serenyah krupuk 
udang.
"Yang benar saja, Pak Tua. Kalau aku jadi 
mayat, mana bisa pergi dari sini? Memang aku 
mayat hidup? Kalau kau bisa jadi. Karena tanpa 
perlu jadi mayat, wajahmu sudah seperti mayat, 
sih," oceh Satria.
Memerahlah wajah Jalak Merah. Giginya 
langsung bergemelutuk. Pipinya mengembung 
dengan urat-urat leher bertonjolan. Kemarahan-
nya siap terbongkar.
"Bocah tengik ini terlalu merendahkanmu, 
Jalak Merah. Cari mati rupanya pemuda cacingan 
ini!" Laba-laba Hijau mengompori.
"Kau benar, Laba-laba Hijau! Mari kita ha-
bisi dia!"
"Sabar, sabar, Pak Tua. Rasanya kita tak 
ada silang sengketa. Jadi, sudahilah persoalan ki-
ta. Tak ada gunanya kita bertarung yang hanya


memperebutkan pepesan kosong," cegah Satria.
"Apa katamu, Kunyuk Kecil?! Kau telah 
menghinaku, tahu?!" bentak Jalak Merah, gusar 
bukan main.
"Lho? Jadi kata-kataku tadi menghinamu. 
tho? Waa, mana aku tahu? Nah, sekarang aku 
mau tanya, kau mayat apa bukan?" tukas Satria 
tenang.
"Bukan!"
"Ya, sudah. Kalau kau tak merasa jadi 
mayat, kenapa mesti marah?"
"Setan alas! Kau memang patut diberi pela-
jaran, Kunyuk Dekil!"
Terjebak dengan kata-kata Satria, kemara-
han Jalak Merah makin membuncah. Dengan ke-
palanya, dia memberi isyarat pada tiga lelaki yang 
semuanya berpakaian serba hitam untuk menye-
rang pemuda tengil itu.
Tiga orang langsung melompat dengan go-
lok terhunus.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus, 
heh?! Masih muda sudah banyak tingkah!" Me-
luncur serapah susulan salah satu orang berpa-
kaian serba hitam. Dilanjutkan dengan sambaran 
golok keras sekaligus deras ke batang leher lawan 
bau kencurnya.
Wukh!
Mata golok besar itu tinggal berjarak satu 
jari lagi di sisi Leher Satria. Sebelum benar-benar 
sampai, dengan gesit pemuda tengil ini merun-
dukkan badan. Lalu sambil melempar tubuh ke

samping, tangan kanannya terjulur lurus ke perut 
lawan. 
Begh!
"Ngekh!"
Mata penyerangnya mendelik. Masih di 
tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan ba-
dan setengah membungkuk. Tangannya menekap 
perut yang terasa diaduk-aduk. Raut wajahnya? 
Busyet! Menyeramkan sekali untuk dikatakan se-
bagai wajah manusia. Mulutnya meringis begitu 
hebat. Monyet beranak pun kalah hebat dengan 
ringisannya. Pasti dia merasakan penderitaan la-
hir dan batin
Satria Gendeng sudah berdiri kembali. Ter-
lihat senyum nakalnya tersembul samar
Melihat salah seorang kawan mereka dibe-
gitukan dengan mudah oleh pemuda kemarin 
sore, dua lelaki lain makin meringis. Dikira, ka-
wan mereka terlalu bertindak ceroboh, sehingga 
dengan mudah lawan bau kencur mereka bisa 
memperdayai. Dan mereka menganggap, serangan 
Satria tadi hanya kebetulan saja bisa mendarat 
telak di perut kawan mereka.
Dasar manusia besar kepala, mereka be-
nar-benar tak melihat bagaimana Satria menye-
rang tadi. Dengan kecepatan mengagumkan, si 
pemuda mampu berkelit sekaligus mendaratkan 
kepalan tangannya. Kecepatan tak terukur si pe-
muda benar-benar tak dianggap oleh orang-orang 
itu. Dan mereka menganggapnya hanya sebuah 
kebetulan?

"Tak kusangka, rupanya kau punya sedikit 
kepandaian juga, Bocah Bau Kencur! Sekarang, 
jaga seranganku! Heaaa…!"
Dikawal bentakan garang, si lelaki berpa-
kaian serba hitam menyerang. Ayunan goloknya 
membabat dari atas ke bawah secara menyamp-
ing. Dengan begitu dia bermaksud membelah tu-
buh si pemuda. Sungguh suatu serangan keji.
Dua atau tiga jari lagi mata golok memba-
bat, Satria menyambutnya dengan satu sampo-
kan kaki yang terangkat sampai menyentuh hi-
dungnya.
Wukh! Kraakk! 
Ketajaman mata si pemuda mendukung 
papakannya tadi tepat mendarat pada pergelan-
gan tangan lawan. Golok itu kontan terpental 
amat jauh, lantas nyangsang di atap rumah Ki 
Rembang. Si penyerang sendiri berteriak luar bi-
asa. Tak disangkal lagi, sampokan kaki Satria 
menyebabkan pergelangan tangannya remuk se-
ketika
Sebelum si lelaki serba hitam menikmati 
rasa sakitnya, dengan jurus 'Patukan Bunga Ka-
rang', jari-jari Satria telanjur menyodok ke depan.
Buk!
"Aaakh...!"
Tangan kokoh si pemuda yang membentuk 
patukan elang laut, mendarat telak di ulu hati la-
wan. Seketika terdengar suara berdebam menggi-
riskan hati. Tubuh lelaki itu roboh tanpa dapat 
bergerak lagi. Mungkin semaput, tak kuat mena

han rasa nyeri yang melanda ulu hati.
Lawan berpakaian serba hitam yang masih 
tersisa tak kunjung menyerang. Entah dibekam 
rasa takut luar biasa melihat kehebatan lawan 
mudanya, entah kakinya terlalu berat untuk di-
ajak melangkah. Yang jelas, nyalinya memang te-
lah kabur entah ke mana. Wajah pucatnya pun 
disimbahi keringat dingin.
Dan Sekali Satria membentak…
"Hiaaa…!"
Lelaki itu kontan ambruk tak sadarkan di-
ri. Padahal, Satria cuma membentak. Sedikit pun 
pk menggerakkan tangannya.
Jalak Merah dan Laba-laba hijau tak urung 
jadi terpana. Hanya satu dua gebrakan, ternyata 
pemuda bau kencur itu bisa menjatuhkan lawan 
dengan mudahnya. Sementara, Ki Rengges dan Ki 
Rawit sudah sejak tadi bersembunyi di balik se-
mak. Kegalakan mereka tadi pun terusir melihat 
kehebatan pemuda yang menjadi tamu asing di 
desa ini. 
"Kau hanya mendapat lawan tikus-tikus 
cecurut, Bocah Tengil!" desis Jalak Merah.
"O, jadi yang kuhadapi sekarang ini kuc-
ing-kucing buduk?" sahut Satria seenaknya.
"Bangsat! Kau sudah keterlaluan, Bocah! 
Terima seranganku! Heaaa...!"
Jalak Merah menerjang ganas, diikuti La-
ba-laba Hijau. Pertarungan pun tak terelakkan la-
gi. Ki Rembang sendiri sudah beringsut mundur, 
memasuki rumahnya. Dia merasa, lebih baik me

nonton pertarungan dari celah-celah dinding bilik 
rumahnya saja. Demikian pula beberapa pendu-
duk yang mendengar suara ribut-ribut itu. Walau 
tetap di dalam rumah, mereka berusaha mencari 
tahu, apa yang terjadi.
* * *
Siang terik di Tanjung Karangbolong. Ki 
Kusumo khusuk dengan semadinya. Sedang 
Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul malah khusuk dengan tidurnya. Di sebuah 
tiang, lelaki uzur panjang umur itu menempelkan 
begitu saja tubuhnya mirip cicak menempel di 
dinding. Memang banyak tingkah aneh para sese-
puh dunia persilatan. Tapi rasanya tak ada yang 
sanggup mengalahkan keanehan Dongdongka.
"Sudah lama kita tak bertemu murid kita, 
Kusumo," entah sedang mengigau atau sudah 
terbangun, kalimat itu meluncur begitu saja dari 
bibir lecek Dongdongka.
Semadi Ki Kusumo terampas. Matanya 
kontan membuka. Di atas dipan, dia beringsut 
sedikit ke bibir dipan. Kakinya yang buntung se-
batas lutut dan disambung dengan logam runcing 
diselonjorkan.
"Kau benar, Panembahan. Tapi dari kabar 
yang kudengar, dia mendapat tugas dari Adipati 
Lumajang untuk mengantarkan surat pada Tiga 
Pendekar Aneh. Kabarnya, Kadipaten Lumajang 
mendapat ancaman dari Tujuh Dewa Kematian.

Itu sebabnya, sang Adipati minta bantuan Dewa 
Gila, Pengemis Tuak, dan Arya Wadam. Entah, 
apakah urusan itu sudah selesai atau belum. 
Mudah-mudahan murid kita berhasil menyam-
paikan amanat sang Adipati pada ketiga pendekar 
aneh itu," tutur Ki Kusumo. (Untuk mengetahui 
tentang kerusuhan di Kadipaten Lumajang, baca 
episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tu-
juh Dewa Kematian"). 
"Kau tak percaya dengan kemampuan mu-
rid kita, Kusumo?" celetuk Dongdongka.
"Bukan begitu, Panembahan. Aku hanya 
khawatir. Karena kudengar Tujuh Dewa Kematian 
memiliki ilmu sesat yang susah dicari tandingan-
nya. Kau tahu, Panembahan. Murid kita tak bisa 
tinggal diam melihat keangkaramurkaan. Dan ku-
rasa, dia belum sanggup menghadapi Tujuh Desa 
Kematian," keluh Ki Kusumo.
"Anak tengik itu jangan terlalu dikhawatir-
kan, Kusumo!" cibir Dongdongka. Jelek sekali wa-
jahnya kalau sedang begini. "Dia jangan terlalu 
banyak disuapi. Biar pengalaman yang menem-
panya. Kau tahu maksudku? Pengalaman adalah 
guru yang terbaik buat bocah itu. Kita sebagai gu-
runya hanya memberi sesuatu yang belum dimili-
kinya, tahu?!"
Ki Kusumo mengiyakan. Tapi dalam ha-
tinya jadi tertawa sendiri. Betapa tidak? Bukan-
kah Dongdongka sendiri yang mengusik sema-
dinya dengan keluh kesah terhadap Satria? Bu-
kankah itu juga menyiratkan kekhawatirannya?

"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada 
Bocah Gendeng kita itu. Iya, kan? Tapi kuin-
gatkan, jangan terlalu berlebihan, nanti malah 
membuatnya manja. Mengerti maksudku, Kusu-
mo?"
Ki Kusumo mengangguk.
Tumben sekali si tua bertabiat sinting ini 
bisa berbicara agak waras. Padahal, biasanya ka-
ta-katanya bisa lebih tak jelas juntrungannya ke-
timbang monyet mabuk.
"Benar, Panembahan. Tapi bukankah Pa-
nembahan sendiri yang membuka pembicaraan 
tentang Satria? Bukankah itu juga mewakili kek-
hawatiran Panembahan sendiri?"
Di ujung kata-kata Ki Kusumo, Dongdong-
ka malah kembali memejamkan matanya. Di tiang 
itu, Dongdongka seperti tertidur.
"Jadi apa salahnya kalau Panembahan 
mencari tahu keadaan bocah kita itu?"
Kata-kata Ki Kusumo tak ditanggapi lebih 
lanjut oleh Dongdongka. Ki Kusumo segera pamit 
keluar gubuk yang ditinggali mereka.
Sepeninggal Ki Kusumo, Dongdongka me-
micingkan mata hati-hati. Sebelah bola matanya 
melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki 
Kusumo benar-benar telah keluar gubuk. 
"Slompret! Dia menyudutkanku!"
Bisa jadi Dongdongka pura-pura tertidur. 
Maklum, dia malu disudutkan Ki Kusumo tadi. 
Cuma karena gengsi, maaf saja kalau kata-kata 
Ki Kusumo tak ingin didengarnya.

Kini si tua bangka bertabiat sinting ini 
kembali memejamkan matanya. Aneh sekali cara 
lelaki bangkotan ini bersemadi. Dengan menempel 
pada tiang tanpa menyentuh tanah sedikit pun, 
kedua tangannya bersidakap. Matanya kembali 
terpejam.
Jika dia sekarang terlihat semadi, bisa jadi 
dia tengah mengawasi muridnya dari jarak jauh. 
Maka ajian 'Melepas Sukma' yang dimilikinya pun 
dikerahkan. Sebuah ajian yang hanya diturunkan 
pada dirinya oleh Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Memang, jarang tokoh persilatan yang 
mampu memiliki ajian 'Melepas Sukma'. Kalau-
pun ada, pasti bisa dihitung dengan jari. Salah 
satunya adalah Satria Gendeng, yang diturunkan 
oleh Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sebenarnya, penurunan ajian 'Melepas 
Sukma' pada seorang anak muda bisa dianggap 
kejadian luar biasa. Sebab, biasanya hanya tokoh 
yang mempunyai kewaskitaan tinggi saja yang 
mampu mempelajarinya. Tapi nyatanya, ajian itu 
berhasil diturunkan pada Satria Gendeng.
Makin khusuk Dedengkot Sinting Kepala 
Gundul bersemadi, maka dari kepalanya menge-
pul asap tipis membentuk bayangan mirip Dong-
dongka. Lambat laun, bayangan itu utuh lalu ke-
luar dari jasad asli si tua bangka ini. Sejenak 
bayangan itu menatap jasad Dongdongka, lalu 
melayang keluar gubuk.

TIGA

SABETAN golok besar Jalak Merah me-
mangkas udara. Namun si pemuda tengik seperti 
tak ingin bergemik. Seolah dia suka rela menye-
diakan tubuhnya untuk dirancah. Hanya saja di 
balik diamnya justru dia tengah mengukur, sam-
pai di mana kekuatan lawan.
Dua jari lagi golok lawan menebas leher-
nya, tangan si pemuda bergerak cepat. Dipapak-
nya gerakan golok lawan. Sebuah cara bertahan 
yang mengandung bahaya besar.
Pak!
Serangan pertama luput.
Jalak Merah makin geram. Serangannya di-
lanjutkan dengan sodokan dengkul ke perut. Pe-
nuh tenaga dan terbalut kebengisan. Tapi sayang, 
lawan calon korban dengkulnya telah menge-
nyahkan tubuhnya ke kanan. Malah bersamaan 
dengan itu, tangan kanannya yang membentuk 
kepala ular menemui sasaran di tubuh Jalak Me-
rah.
Begh!
Jalak Merah terjajar. Perutnya yang jadi 
sasaran seperti teraduk-aduk. Mulutnya merin-
gis-ringis jelek. Kasihan sekali dia. Saking keras-
nya sodokan tangan lawan ke perut, tanpa dapat 
ditahan angin sialan berhawa busuk tanpa permi-
si meluncur dari pantatnya.
"Sialan kau, Pak Tua Jelek! Mulas, sih mu

las. Tapi jangan kentut sembarangan dong!" ejek 
Satria. Telingannya yang tajam sempat juga men-
dengar bunyi sialan tadi.
"Jahanam! Kurancah tubuhmu, Bocah!"
Wukh!
Kembali ayunan golok lawan mengincar 
dada Satria. Hendak membelah dada bidang si 
pemuda dari samping. Satria mengembangkan ju-
rusnya menjadi Jurus 'Mencuri Bunga Karang'. 
Lentur, si pemuda membuang tubuhnya ke bela-
kang, sehingga punggungnya sejajar tanah. Lalu 
dengan sentakan perutnya, tubuhnya diputar. 
Gerakannya mirip lumba-lumba bergulingan di 
tengah samudera. Dan pada saat itu pula kaki 
kanannya menyampok saat tebasan golok lawan 
lewat.
Buk!
"Heekhh!"
Lagi-lagi kaki kanan Satria mampir di perut 
lawan yang sudah telanjur maju dua tindak. Lagi-
lagi, mulut si tua bangka itu meringis-ringis se-
perti orang hendak buang hajat. Lagi-lagi pula 
angin sialan kembali meluncur dari perutnya. 
Bahkan kali ini dengan sedikit ampasnya.
"Wah, kau pasti cepirit, Pak Tua!" tebak Sa-
tria, yakin.
Makin merah wajah Jalak Merah. Sebentuk 
kemarahan sebenarnya siap dilampiaskan. Tapi 
apa daya, perutnya makin tak terkendali. Tubuh-
nya pun masih menekuk seperti udang. Kedua 
tangannya terus memegangi perut.

"Kunyuk keparat! Hadapi aku, Bocah sia-
lan!"
Sederet sumpah serapah mengalir deras 
dari mulut kendor Laba-laba Hijau. Bahkan pula 
diiringi tebaran deras jaring yang membelit tan-
gannya.
Werrrtt!
Jaring mengembang, menyergap si pemu-
da. Tebarannya disertai angin menderu. Tajam, 
memangkas udara.
"Hei, hei! Kau kira aku ikan sepat, Pak Ne-
layan! Kau salah alamat kalau menjaring ikan di 
sini!" cerocos si bocah tengik berhati baja begitu 
bangkit berdiri.
Di ujung kalimatnya, justru si pemuda 
membuat gerakan luar biasa. Entah kapan me-
nyentak kakinya, tahu-tahu membuat salto bebe-
rapa kali ke samping. Cepat luar biasa. Gerakan 
ini sering dibuatnya ketika si pemuda harus be-
renang dari Tanjung Karangbolong ke Pulau De-
demit di Lautan Hindia. Biasanya ketika hampir 
mencapai bibir pantai, dia sering berpapasan 
dengan nelayan yang tengah menebar jalanya. 
Untuk menghindarinya, terpaksa Satria harus 
berkelit. (Untuk apa yang dilakukan Satria di Pu-
lau Dedemit, baca episode : Tabib Sakti Pulau 
Dedemit").
Jaring Laba-laba Hijau hanya menangkap 
angin. Sasarannya sendiri tahu-tahu malah su-
dah meluncur deras. Sepertinya Satria tak ingin 
berlama-lama. Kedua tangannya yang memben

tuk kepala ular mengebut bertubi-tubi.
Bed! Bed!
Laba-laba Hijau tersentak. Terhenyak, nya-
ris tak mampu berbuat apa-apa. Tapi kesadaran-
nya segera bangkit. Kalau tidak begitu, sudah 
pasti kebutan tangan lawan akan membuat gi-
ginya rontok. Cepat tubuhnya dibuang ke samp-
ing.
Tapi, justru itu yang ditunggu Satria. Cepat 
sekali pergerakan si bocah bertabiat sinting ini.
Ketika lawan terlihat membuang tubuh ke samp-
ing, tiba-tiba tubuhnya berputar seraya melepas 
tendangan setengah lingkaran.
Dess!
Tendangan Satria tepat menghadang laju 
tubuh Laba-laba Hijau. Si tua bangka itu kontan 
terlempar, dan jatuh mencium tanah. Wajah me-
ringisnya malah lebih mengerikan lagi. Karena bi-
bir kendornya telah bercampur darah. Agaknya, 
tendangan Satria yang sedikit disertai tenaga da-
lam itu cukup kuat menggedor dada kerempeng-
nya.
Di tengah penderitaannya, Jalak Merah 
terperangah melihat kawannya ambruk dalam se-
kali gebrakan di tangan lawan muda bau kencur-
nya. Dia sebenarnya ingin melawan lagi. Tapi, itu 
lho. Mulas di perutnya tak kunjung reda. Apalagi, 
ada sedikit ampas di pantatnya, sehingga mem-
buatnya terganggu. Malu juga dia kalau baunya 
sampai tercium lawan mudanya. Bisa matang wa-
jahnya kalau diejek terus menerus. Mungkin ka

rena angin saat ini bertiup cukup keras, membuat 
baunya tak tercium.
Sok gagah, Jalak Merah menegakkan tu-
buhnya. Seolah, tak terjadi apa-apa terhadap di-
rinya.
"Siapa kau sesungguhnya, Pemuda Ten-
gik?! Lama-lama kuperhatikan, jurus-jurusmu 
seperti milik Ki Kusumo. Hmm, apa hubunganmu 
dengan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" tanya Ja-
lak Merah lantang ketika matanya menerjang lu-
rus ke pinggang si pemuda yang sudah berhada-
pan dengannya.
"Tadi sudah kukatakan, namaku Satria. 
Apa kurang jelas?" sahut Satria.
"Maksudku julukanmu, Setan!" bentak Ja-
lak Merah.
Ini yang paling sulit. Satria paling kesal ka-
lau jati dirinya diutak-atik. "Satria, ya Satria. Ti-
tik!" jawabnya, mangkel.
"Bocah kunyuk! Kau tidak tahu, siapa ka-
mi?!" gertak Jalak Merah. Matanya kian mendelik.
"Tidak," sahut Satria enteng.
"Kami kaki tangan-kaki tangan Setan Ma-
dat, tahu?!"
"Tidak."
"Kalau kau belum tahu, akan kuberi tahu. 
Setan Madat adalah salah satu biangnya tokoh 
sesat yang bersarang di Hutan Sawangan, tahu?!"
"Tidak."
"Bangsat! Jadi kau tidak takut pada kami, 
Kunyuk Tengik?!"

"Tidak."
Mestinya, kemarahan Jalak Merah sudah 
terbongkar. Tapi dia berusaha menahannya se-
kuat mungkin. Entah kenapa, ketika melihat 
tongkat pendek yang terselip di kain ikat pinggang 
lawan mudanya, nyalinya seperti terdepak entah 
ke mana.
Kail Naga Samudera? Sebut tua bangka ini. 
Sebagai tokoh tua, tak heran kalau Jalak Merah 
pernah mendengar adanya sebuah senjata pusaka 
yang memiliki perbawa luar biasa. Setahunya, 
senjata itu dimiliki oleh tokoh putih berkepan-
daian tinggi yang berjuluk Tabib Sakti Pulau De-
demit. Tapi, kenapa senjata itu ada di tangan pe-
muda ini? Apakah dia murid Ki Kusumo? Sehim-
pun pertanyaan memenuhi benak Jalak Merah.
Si pemuda belum mengeluarkan senjata 
andalannya. Bagaimana kalau Kail Naga Samude-
ra dikeluarkan? Nyali Jalak Merah kian menguap 
ketika menyadari hal itu. Jelas, pemuda ini tidak 
bisa dianggap main-main.
Masih berusaha menyembunyikan kegenta-
rannya, Jalak Merah membantu Laba-laba Hijau 
bangkit berdiri. Ada sejuta dendam membara di 
relung hati mereka. Tapi bukan untuk dilam-
piaskan sekarang. Nanti. Terutama bila Setan 
Madat ikut turun tangan. Untuk itu mereka me-
rasa harus segera melaporkan hal ini pada Setan 
Madat. Rasanya, memang hanya Setan Madat 
yang mampu menghadapi pemuda bau kencur 
itu.

"Kami belum kalah, Bocah Edan! Tunggu-
lah pembalasan kami nanti!" desis Jalak Merah.
"Saatnya nanti kau akan meratap-ratap 
minta ampun pada kami, Bocah! Tunggu saja!" 
timpal Laba-laba Hijau.
Seperti mendapat kata sepakat mereka se-
gera beranjak dari tempat ini. Tiga orang berbaju 
hitam yang salah seorang sudah siuman segera 
mengikuti.
Satria memandang kepergian mereka den-
gan mata tajamnya. Kepalanya menggeleng-geleng 
melihat kepengecutan mereka.
Sementara itu, Ki Rengges dan Ki Rawit di-
am-diam juga pergi dari tempat persembunyian-
nya. Melihat kesaktian si pemuda, rasanya mere-
ka tak ingin cari persoalan. Buktinya, Jalak Me-
rah dan Laba-laba Hijau saja sudah pontang-
panting begitu. Apalagi mereka yang baru punya 
ilmu olah kanuragan dua-tiga jurus?
Baru saja Satria berbalik hendak melang-
kah menuju rumah Ki Rembang, tiba-tiba....
"Hantu...!"
Ki Rembang pontang-panting keluar dari 
rumahnya. Wajahnya pucat. Tubuhnya gemetar 
dengan gigi bergemelutuk.
"Tenang, Pak Tua. Tenang. Masa' siang-
siang begini ada hantu? Di mana hantunya?"
Satria berusaha menenangkan lelaki tua 
kurus kering itu.
"Cobalah kau masuk ke dalam rumahku. 
Ada kakek-kakek tahu-tahu muncul di belakang

ku. Wajahnya menyeramkan!" lapor Ki Rembang 
setelah berusaha menenangkan hatinya.
Satria cepat melangkah menuju rumah Ki 
Rembang.
Tak urung hati si pemuda jadi tegang keti-
ka dua tombak sebelum tiba di rumah itu, pintu 
telah terbuka dengan sendirinya. Hanya saja hati 
Satria tak mudah digertak begitu saja. Segera di-
masukinya rumah itu.
"Kakek Dongdongka?" sebut Satria begitu 
tiba di ambang pintu.
"Slompret! Kutanya baik-baik orang itu ma-
lah aku dikira hantu!" omel seorang lelaki tua 
bangka berkepala gundul. Tubuhnya hanya ditu-
tupi kulit ular sanca pada bagian terlarangnya. 
Dialah lelaki bertabiat sinting. Dongdongka na-
manya.
* * *
"Kau keterlaluan, Cah! Sudah berapa pur-
nama kau tak pulang ke Tanjung Karangbolong?!" 
omel Dongdongka.
"Maaf, Kek. Aku masih ada urusan pent-
ing," sahut Satria tenang.
"Soal perempuan?" 
"Begitulah."
"Sudah kau apakan perempuan itu?" 
"Jangan ngawur, Kek. Sebetulnya, aku ma-
sih mencari seorang pendekar bertabiat aneh. Dia 
seorang perempuan, tapi berpenampilan seperti

lelaki. Namanya Arya Wadam. Di tengah penca-
rianku, aku tiba di desa ini. Dan ternyata, desa 
ini sedang tertimpa petaka. Ada seorang tokoh se-
sat yang berjuluk Setan Madat. Dia telah mengu-
asai desa ini dan memaksa rakyat untuk mem-
bayar upeti yang mencekik Leher. Bahkan gadis-
gadis desa ini juga diangkut ke markasnya di Hu-
tan Sawangan. Para pemudanya dijadikan praju-
rit. Sedangkan anak-anak dan orang tua dijadi-
kan pekerja paksa di perkebunan madat milik Se-
tan Madat. Juga, dia te...."
"Sudah, sudah! Puyeng aku mendengar ce-
ritamu! Aku ke sini bukan mau dengar ceritamu, 
tahu? Aku cuma mau melihat keadaanmu. Gini-
gini, aku juga mengkhawatirkan keadaanmu, ta-
hu?!" penggal si tua bangka bertabiat aneh itu.
Satria Gendeng terdiam. Bibirnya cemberut 
kecewa.
"Pokoknya setelah tugasmu selesai, kau 
harus pulang ke Tanjung Karangbolong!" susul 
Dongdongka. 
"Kalau aku tak mau?" ledek Satria. 
"Harus mau!" 
"Kalau tetap tak mau?" 
"Slompret! Kau akan kupaksa tahu?!"
Satria tertawa ringan. 
"Malah tertawa!" bentak Dongdongka. 
"Sejak kapan Kakek jadi pikun?" tukas Sa-
tria. 
"Pikun bagaimana?!"
"Mana bisa Kakek memaksaku, sedangkan

Kakek sedang mengerahkan ajian 'Melepas Suk-
ma'? Kalau begitu, aku sama saja dipaksa sama 
lelembut, dong?" sambar Satria.
Alamak! Dongdongka merutuki kebodo-
hannya sendiri. Tentu saja dengan tubuh yang 
berupa bayangan dia tak bakal mungkin memak-
sa Satria untuk pulang ke Tanjung Karangbolong. 
Habis, bagaimana mungkin sebentuk roh bisa 
menjewer telinga pemuda tengik macam Satria?
"Begini saja, Kek," buka Satria lagi.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka, 
sewot.
"Selesai aku menumpas Setan Madat dan 
keroco-keroconya, aku mau mencari Arya Wadam 
dulu," jelas Satria, tak peduli kemarahan si ka-
kek.
"Soal perempuan lagi! Tapi cantik apa ti-
dak?"
Yang begini, ini. Sudah tua bangka bau ta-
nah, pura-pura marah mendengar muridnya akan 
berurusan dengan perempuan, lalu tiba-tiba 
tanya cantik apa tidak. Malah wajah marahnya 
mendadak sirna, berganti tatapan berbinar-binar.
"Ingat, Kek. Dengkul Kakek sudah keropos. 
Lagian, jatah anak muda masih mau disambar 
saja!" cibir Satria.
"Bagaimana ciri-cirinya? Biar kucari dia!" 
sambar si tua bangka makin berbinar-binar.
"Lho? Lho? Tak kusangka kalau Kakek ma-
sih punya semangat tinggi kalau soal perempuan. 
Baru aku ingat sekarang. Ada pepatah bilang,

tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi. Ibarat 
kelapa, makin tua makin banyak santennya. He 
he...."
"Dasar bocah gendeng! Aku justru ingin 
membantumu, Tolol!" sentak Dongdongka.
"Bantu bagaimana, Kek?" tanya Satria, pe-
nasaran.
Dongdongka tak menyahut. Bibirnya terse-
nyum-senyum meledek, membuat si pemuda ten-
gil ini makin penasaran. Sekarang baru tahu rasa 
kau, Cah Gendeng! Maki si kakek. Kubuat kau 
makin penasaran.
"Ayo dong, Kek," desak si pemuda.
Makin hebat saja cengiran si kakek.
Satria makin penasaran. Sementara 
bayangan Arya Wadam makin menggila dalam 
benaknya. Waktu itu, dia benar-benar penasaran 
dengan sikap Arya Wadam. Setelah menumpas 
Tujuh Dewa Kematian, gadis itu pergi begitu saja. 
Dan ketika Satria mampir di kedai tempat perte-
muan mereka pertama dulu, si bocah pelayan
memberinya surat yang ternyata dari Arya Wa-
dam.
Dalam surat itu, Arya Wadam mengung-
kapkan segala isi hatinya. Dan Satria menangkap 
isyarat bahwa Arya Wadam menyukainya. Tapi 
waktu itu, Satria belum yakin dengan kata ha-
tinya. Siapa tahu itu hanya permainan perasaan-
nya saja. Tapi ketika sekian lama tak bertemu ga-
dis itu, si pemuda merasa ada sesuatu yang hi-
lang dalam hidupnya. Itu sebabnya, dia memu

tuskan untuk mencari Arya Wadam. (Untuk men-
getahui tentang Arya Wadam, baca episode: 
"Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa 
Kematian").
"Ayo dong, Kek. Bagaimana caranya kau 
membantuku?" desak Satria lagi.
"He he he.... Penasaran juga kau rupanya, 
Bocah Kunyuk! Pokoknya, begini saja," kata si 
kakek.
"Tidak, begitu saja!" potong Satria.
"Setan kau! Begini! Suatu saat nanti, kau 
pasti akan ketemu Arya Wadam. Nah, makanya 
coba ceritakan bagaimana ciri-cirinya!"
Satria tercenung. Dikumpulkannya ingatan 
tentang bagaimana wajah Arya Wadam.
"Wajah cantik, Kek," buka Satria, yakin.
"Mana ada seorang gadis berwajah ganteng. 
Di mana-mana namanya gadis ya cantik!" potong 
Dongdongka.
Satria menelan kekecewaan. Dongkolnya 
bukan main. Bahkan melebihi kepalan seorang 
centeng.
"Maksudku, wajahnya begini!" Satria mem-
beri jempol tangannya.
"Lantas?"
"Dia selalu memakai tudung seperti bakul 
nasi. Bila tudungnya dibuka, matanya begitu 
memikat. Alis matanya menukik. Tatapan ma-
tanya tajam. Hidungnya mancung dengan bibir 
merah merekah. Kebiasaannya selalu makan nasi 
dicampur arak. Pakaiannya serba putih. Kau bisa

menemuinya di kedai-kedai, Kek!" papar Satria 
semangat.
Saking semangatnya, dia tak sadar kalau 
gurunya telah menghilang dari tempat ini.
"Sial! Mulutku sampai berbusa, dia tega-
teganya meninggalkan aku sendiri!" rutuk Satria.
Si pemuda tiba-tiba teringat pada Ki Rem-
bang. Cepat dia melangkah keluar rumah gubuk 
itu. Dilihatnya lelaki kurus pemilik rumah ini ma-
sih berdiri gelisah menunggu.
"Bagaimana, Satria. Benar kan di rumahku 
ada hantunya?!" terabas Ki Rembang langsung. 
Dia berharap Satria mendukung kata-katanya.
Harapannya terkabul. Kepala Satria terlihat 
mengangguk.
"Tapi hantu doyan nasi, Pak Tua. Aku ma-
lah sempat berbincang-bincang dengannya," kata 
Satria seenaknya.
"Kau yang benar, Satria! Mana ada hantu 
doyan nasi! Yang ada hantu doyan kembang dan 
kemenyan!" sanggah si tua kurus ini.
"Sudahlah, Pak Tua. Tak perlu memper-
soalkan hantu itu lagi. Dia sudah kuusir secara 
baik-baik. Dia berjanji tak akan mengganggumu 
lagi," bual si pemuda. Dalam hatinya dia tertawa 
tergelak-gelak. Betapa tidak. Wajah Dongdongka 
bisa jadi memang pantas untuk menakut-nakuti 
anak kecil dan lelaki tua macam Ki Rembang.
Karena kata-kata si pemuda terdengar 
meyakinkan, maka makin lengkap saja kekagu-
man Ki Rembang terhadap Satria. Bayangkan sa

ja. Selain bisa mengusir tokoh-tokoh silat berwa-
tak telengas, pemuda itu ternyata juga bisa men-
gusir dedemit! Apa bukan hebat namanya?
"Benar hantu itu bilang begitu, Satria?" Ki 
Rembang penasaran.
"Benar! Tapi dia akan datang lagi kalau 
penduduk di sini masih berjiwa pengecut. Mak-
sudku, takut terhadap keadaan yang terjadi di 
desa ini," oceh Satria sok tua.
"Aku tak mengerti?"
"Begini, Pak Tua. Kau bilang, sudah lima 
purnama desa ini dikuasai Setan Madat. Tapi ka-
rena kalian terlalu dipengaruhi bayang-bayang 
ketakutan, terutama dalam menghadapi para 
anak buah Setan Madat, penduduk desa ini jadi 
seperti kalah sebelum berperang. Padahal kalau 
mau bersatu, aku yakin para anak buah Setan 
Madat bisa dicegah. Nah sekarang aku mau 
tanya, apa yang menyebabkan penduduk desa ini 
begitu gampang dikuasai oleh Setan Madat?"
"Ceritanya panjang, Satria," desah Ki Rem-
bang.
"Aku bersedia mendengarkan."
"Baiklah...."
* * *
Sebelum Desa Sedayu dikuasai Setan Ma-
dat, desa ini tergolong makmur, aman, tenteram, 
gemah ripah loh jinawi. Sebagian besar rakyatnya 
hidup berkecukupan. Baik dari hasil sawah la

dang, peternakan, maupun perdagangan.
Tiga puluh tahun yang lalu, ada seorang 
pemuda yang terusir dari desa itu karena keper-
gok berzina dengan istri kepala desa. Si pemuda 
pergi entah ke mana. Tapi dua puluh sembilan 
tahun kemudian, pemuda yang bernama Wareng-
keh itu datang kembali secara diam-diam. Secara 
diam-diam pula, dia menyebar madat dengan me-
nyamar sebagai penjual rokok. Setiap rokok yang 
dijualnya telah dicampur madat. Dan bagi si 
pembeli, akan ditambah dua batang rokok bila 
membeli satu batang.
Karena menganggap rokok milik Wareng-
keh begitu nikmat, bahkan sampai melambung-
kan perasaan ke surga, pelanggan di desa ini ma-
kin melimpah. Akibatnya, hampir semua lelaki di 
desa ini berlomba-lomba membeli rokok racikan 
Warengkeh.
Melihat keadaan penduduk mulai dimabuk 
kenikmatan, Warengkeh mulai melancarkan balas 
dendamnya yang dipendam selama dua puluh 
sembilan tahun. Saat itu pula dia beserta anak 
buahnya menyerbu Desa Sedayu.
Tentu saja, tak ada perlawanan berarti dari 
penduduk yang telah mabuk madat. Apalagi, ke-
pala desanya juga paling doyan madat. Maka se-
jak itulah Desa Sedayu jatuh ke tangan Wareng-
keh.
Usut punya usut, ternyata Warengkeh te-
lah berguru dengan tokoh sesat di Negeri Gajah 
Putih, di semenanjung Malaya. Konon, di negeri

itu memang gudangnya madat. Pulang dari negeri 
itu, Warengkeh membawa bibit-bibit tanaman 
madat yang kemudian dikembangkan di Hutan 
Sawangan.
Dengan kesaktian dan pengaruhnya, Wa-
rengkeh yang menjuluki dirinya Setan Madat se-
bentar saja sudah banyak memiliki pengikut.
Bahkan setelah Desa Sedayu berhasil dikuasai, 
sang Kepala Desa ikut-ikutan jadi pengikutnya.
* * *
"Begitulah ceritanya, Satria," kata Ki Rem-
bang menutup ceritanya.
Satria masih bungkam. Hatinya jadi meng-
giris bila melihat keadaan desa ini sekarang. Ter-
nyata sepinya desa ini bukan saja karena pendu-
duknya banyak diangkut ke Hutan Sawangan, ta-
pi banyak pula yang masih terkulai menikmati 
bayangan semu asap-asap madat. 
"Anak muda!"
Terdengar panggilan, membegal kata-kata 
yang hendak dilontarkan Satria. Si pemuda lang-
sung menoleh ke arah suara tadi.
"Ki Rengges? Ada apa dia ke sini lagi?" ta-
nyanya, heran.
***

EMPAT

HARI makin tua. Matahari terpuruk di ufuk 
barat. Senja di Desa Karangkemboja Wetan. Ca-
haya merah jingga matahari menciptakan bayan-
gan panjang dari orang-orang yang berlalu lalang. 
Sebagian penduduk mengakhiri sisa-sisa waktu 
ini dengan beristirahat di rumah masing-masing. 
Sebagian lagi lebih memilih cari hiburan di luar 
rumah sekalian cuci mata.
Bagi para pendatang atau petualang, mere-
ka lebih memilih sebuah kedai yang cukup ramai 
di desa ini. Lima lelaki bertampang kasar duduk 
di meja paling tengah. Gelak tawa mereka berde-
rai, seolah mencari perhatian dari para pengun-
jung lainnya.
Di sudut ruang kedai, seseorang berpa-
kaian perlente warna putih seperti tak ingin pedu-
li melihat kegaduhan itu. Tudung seperti bakul 
nasi yang dikenakannya membuat wajahnya sulit 
dikenali. Tapi dari makanan yang terhidang di 
mejanya yang mengepulkan asap bercampur aro-
ma arak bisa diduga kalau orang itu tak lain dari 
Arya Wadam. Salah satu Pendekar Aneh yang 
menjadi sahabat baru bagi Satria Gendeng.
Suasana makin panas. Pengaruh tuak 
membuat kelima lelaki berpakaian serba hitam 
itu semakin bertindak liar. Sudah sepuluh guci 
arak telah habis mereka sikat. Tindakan mereka 
makin tak terkendali. Pelayan yang semuanya

wanita mulai diusili. 
"Aauuu...!"
Seorang pelayan wanita berparas cantik ja-
di sasaran. Salah satu lelaki kasar itu tiba-tiba 
meraih pinggang si pelayan. Begitu jatuh di pang-
kuannya, bibir dowernya langsung nyosor ke pipi 
si pelayan.
Si pelayan cantik hanya bisa menjerit nge-
ri. Matanya kontan terpejam penuh ketakutan ke-
tika bibir dower tadi mendarat di pipinya. Selain 
bau arak, aroma bau jengkol juga tercium dari 
mulut besar si lelaki. Untung si lelaki kasar sege-
ra melepaskannya.
Tapi ibarat terlepas dari mulut macan ma-
suk ke mulut buaya, begitu terlepas, lelaki kasar 
lainnya segera menyambar si pelayan. Maka kem-
bali pipi halusnya menjadi santapan mengasyik-
kan bagi buaya-buaya darat itu.
"Lepaskan, Tuan.... Aku mohon...," ratap si 
pelayan.
"Kau akan kulepaskan setelah kami puas. 
Sayang, kami tak akan pernah puas melihat pe-
rawan montok macam kau, ha ha ha...!" umbar si 
lelaki kasar. Lalu dia menyerahkan perempuan 
dalam dekapannya ke lelaki lain.
Mendapat jatah, si lelaki kasar yang dis-
odori perempuan itu terlonjak kegirangan. Mata 
merahnya akibat pengaruh arak langsung berbi-
nar mengerikan.
Sementara itu, para pengunjung kedai 
lainnya satu persatu mulai meninggalkan kedai.

Mereka merasa lebih baik tak ikut campur ketim-
bang cari penyakit. Juga pelayan-pelayan wanita 
lainnya. Sedangkan si pemilik kedai, sudah sejak 
tadi melepas tanggung jawabnya terhadap kese-
lamatan para pegawainya. Lebih baik dia bersem-
bunyi dulu ketimbang berurusan dengan kelima 
lelaki yang membuat onar di kedainya. Toh kalau 
terjadi apa-apa terhadap pegawainya yang semu-
anya wanita, dia dengan cepat bisa menggantinya 
dengan pegawai baru?
Inikah sifat manusia?
Mencari keuntungan mau, tapi bertang-
gung jawab nanti dulu?
Sejari lagi bibir kasar lelaki ketiga yang 
hendak mencium wanita pelayan itu tiba, sebuah 
benda kecil yang berkecepatan tinggi melesat ga-
nas.
Nginggg...!
Dikawal lengkingan nyaring akibat gesekan 
dengan udara, benda kecil itu langsung menghan-
tam pipi lelaki yang hendak mendaratkan bibir 
kasarnya ke pipi si pelayan.
Tak...!
"Adaauu...!"
Si lelaki menjerit kesakitan. Pegangannya 
terhadap si pelayan dilepaskan. Sementara tan-
gannya langsung memegangi pipi. Begitu tangan 
diturunkan, ternyata telah bersimbah darah. Le-
bih gila lagi, pipinya bolong. Menembus dari pipi 
kanan ke pipi kiri. Di telapak tangan kirinya yang 
memegangi pipi kiri, terdapat sebutir nasi yang te

lah bercampur darah. Hanya sebutir nasi!
Keempat lelaki kasar kawan dari lelaki 
yang sedang naas ini menebar pandangan ke se-
keliling. Mata mereka makin beringas. Dan mere-
ka yakin, pengunjung kedai yang ada di sudut 
ruangan sebagai pelakunya. Sebab, kedai nyaris 
kosong kecuali mereka berlima dan seseorang 
memakai tudung itu. Sedangkan pelayan wanita 
yang jadi korban kebuasan mereka sudah me-
nyingkir begitu mendapat kesempatan.
"Bangat! Pasti dia yang cari gara-gara den-
gan kita!" tunjuk salah seorang, garang.
"Siapa lagi kalau bukan kunyuk itu. Di da-
lam ruangan ini cuma ada kita dan dia!" timpal 
yang lainnya.
"Beri pelajaran padanya, Kang! Biar dia ta-
hu, siapa kita sebenarnya!"
Sementara orang yang jadi sasaran kema-
rahan masih terlihat tenang dengan santapannya. 
Sedikit pun tidak merasa terusik mendengar 
sumpah serapah yang jelas ditujukan buatnya.
Geram, lelaki paling tua di antara kelima 
orang kasar meraih satu sendok makan di atas 
meja. Langsung dilemparkannya sekuat tenaga ke 
arah orang bertudung itu.
Ngungg...!
Suara berdengung mengawal luncuran 
sendok. Dahsyat juga. Tapi tak sedahsyat luncu-
ran sebutir nasi tadi. Sungguh. Kemarahan mem-
buat mata kelima lelaki ini buta. Sebutir nasi 
yang tak seberapa, mampu menembus dinding

pipi salah seorang dari mereka. Bukankah ini be-
rarti si pelempar memiliki tenaga dalam tinggi? Ini 
yang luput dari perhatian mereka.
Tak ada gerakan apa pun dari orang bertu-
dung saat sebatang sendok siap menghajar leher-
nya. Tapi dua jengkal lagi sang sendok hinggap di 
sasaran orang bertudung itu menggerakan tan-
gannya seperti mengibas. Perlahan sekali. Hasil-
nya, luar biasa!
Bed! Tak!
Ngungng...!
Sang sendok berbalik arah. Lebih dahsyat 
dari sebelumnya. Arahnya, jelas menuju orang 
yang melempar tadi. Sebisanya, lelaki kasar itu 
menghindar. Sialnya, dia melompat ke arah lelaki 
yang tengah dirundung malang akibat pipinya bo-
long tertembus sebutir nasi.
Gabrukk...!
"Adaaooo...!"
Maka makin lengkaplah kemalangan lelaki 
yang pipinya bolong itu. Tengah dia nungging-
nungging menikmati sakit di pipinya, kali ini ma-
lah tertiban bobot berat temannya.
Sang sendok terus meluncur ganas. Kali ini 
dinding ruangan kedai sasarannya.
Clap!
Bukan main! Sang sendok menancap ham-
pir setengahnya di dinding kayu jati yang tebalnya 
setengah jari! Bagaimana kalau kepala manusia 
yang ditembusnya?
Tiga lelaki kasar mendelik tak percaya ke

arah sendok tadi. Lalu delikan mata mereka 
menghujam telak-telak ke arah si orang bertu-
dung. Dasar tak bisa membuka mata, tetap saja 
kejadian barusan tak dianggap sebagai pelajaran. 
Mereka belum puas kalau belum mencabik-cabik 
orang bertudung itu dengan golok.
Srat! Sraat! Sraatt!
Tiga buah golok tercabut sudah dari sa-
rungnya. Berbarengan, ketiga lelaki kasar ini ber-
lompatan mengepung Arya Wadam.
"Hei, Tikus Busuk! Kau mau berurusan 
dengan Gerombolan Setan Madat, ya?!" bentak 
yang paling kiri.
Di balik tudung bakul nasinya, kening Arya 
Wadam berkerut. Setan Madat? Siapa pula dia? 
Tanyanya dalam hati.
"Bangsat! Kau tuli, ya?!" bentak lelaki yang 
berdiri di tengah.
"Kalian tak perlu mengumbar bacot kalau 
baru punya kepandaian seujung kuku!" sahut 
Arya Wadam, menyakitkan.
Merah padamlah wajah ketiga lelaki kasar 
ini. Dari merah, berubah biru. Lalu, berganti hi-
jau. Dengusan napas kegeraman mereka bak sapi 
jantan melihat pasangannya. Menderu liar, siap 
membuncah
"Makanlah ini!"
Berkawal teriakan membelah udara, lelaki 
yang berada paling kiri membabatkan goloknya. 
Arahnya, hendak menebas tudung yang dikena-
kan Arya Wadam. Sekaligus, hendak membelah

kepala pemiliknya. Ganas dan menggidikkan.
Wukh!
Tak ada gerakan yang dibuat Arya Wadam. 
Tenang sekali sikapnya. Dua orang teman lelaki 
kasar itu malah sudah menduga, darah akan se-
gera memancur. Tapi apa yang terjadi?
"Aaakhh...!"
Sebuah teriakan memilukan terdengar. 
Bukan. Bukan terlontar dari mulut Arya Wadam. 
Tapi justru dari mulut penyerangnya. Kenapa bisa 
begitu?
Cerdik sekali Arya Wadam.
Waktu ketiga lelaki kasar tadi menghampi-
rinya, di ujung jari telunjuk tangan kanannya te-
lah disiapkan sebutir nasi. Dan ketika dua jari la-
gi golok itu mendarat ditudungnya, dijentikkan-
nya sebutir nasi itu saat tangannya berada di ba-
wah. Kedahsyatan tenaga dalam milik Arya Wa-
dam membuat butiran nasi itu langsung menem-
bus bagian selangkangan penyerangnya, tepat 
mengenai kantong menyannya.
Terlonjak-lonjak lelaki kasar itu menikmati 
rasa sakit luar biasa pada daerah terlarangnya. 
Goloknya pun mental entah ke mana. Mulutnya 
meringis serba salah. Bahkan tubuhnya langsung 
berguling-gulingan, menabrak meja dan bangku 
di dalam kedai.
Dua orang teman si lelaki kasar terlongo 
bengong. Sungguh mereka tak mengerti, apa yang 
terjadi terhadap teman mereka itu.
"Bangsat! Kau apakan temanku, heh?!"

semprot lelaki yang tadi berdiri paling tengah. 
"Minta disunat kali," sahut Arya Wadam 
enteng.
"Kambing buduk! Kurang ajar! Terima se-
ranganku!"
Berbarengan, dua lelaki kasar di depan 
Arya Wadam membabatkan golok. Dahsyat juga, 
tapi tak membuat Arya Wadam bergemik dari 
tempatnya. Padahal, babatan golok dari kanan ki-
rinya siap membelah tubuhnya.
"Hup!"
Masih dalam keadaan duduk, Arya Wadam 
menarik tubuhnya ke belakang. Bangku yang di-
dudukinya condong ke belakang dengan dua kaki. 
Sedangkan kedua kaki wanita ini terangkat cepat, 
seraya membawa meja di depannya ke atas.
Traasss! Traasss!
Meja kontan terbelah jadi dua bagian. Satu 
bagian jatuh menumpahkan hidangan di atasnya, 
sebagian lagi dipergunakan Arya Wadam. Dijejak-
nya potongan meja itu untuk menyampok kedua 
penyerangnya sambil melompat bangkit dari du-
duknya.
Diegh! Diegh!
Pekikan kedua lelaki kasar dipaksa lahir 
membelah udara. Sampokan lewat belahan meja 
membuat tubuh mereka terdongkel ke atas dan 
ambruk di lantai kedai.
Arya Wadam sendiri telah berdiri siap me-
nanti serangan selanjutnya. Tapi kedua lawan 
malah mengerang-erang dengan ringisan meme

las. Kegarangan mereka sirna sudah. Hajaran 
yang mendarat di rahang masing-masing mem-
buat mata mereka berkunang-kunang. Sementara 
mulut mereka dipenuhi darah. Kalau sudah begi-
ni, mereka persis nenek-nenek mengunyah sirih 
sambil buang hajat. Kasihan sekali.
Tertatih-tatih, kedua lelaki kasar itu bang-
kit. Mereka segera menghampiri kawan mereka 
yang masih asyik memegangi benda kesayangan-
nya dengan mulut meringis-ringis menggelikan.
"Cepat pergi dari sini sebelum aku bertin-
dak lebih jauh!" ancam Arya Wadam.
Masih terselimut dendam, ketiga lelaki ka-
sar itu segera pergi meninggalkan kedai. Sedang 
dua teman mereka yang lain sudah sejak tadi ke-
luar kedai begitu melihat salah seorang terjeng-
kang sambil memegangi benda kesayangannya.
"Hebat..., hebat! Seorang gadis bisa menji-
nakkan lima binatang liar...."
Perhatian Arya Wadam mendadak terpang-
kas oleh suara sember dari belakangnya. Tang-
kas, dia berbalik dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Orang Tua?"
"He he he...."
* * *
Kenapa Ki Rengges kembali lagi ke rumah 
Ki Rembang lagi? Mungkinkah dia masih penasa-
ran pada Satria? Kenapa kali ini kegarangannya 
hilang?

"Jangan khawatir, Pak Tua. Aku sebentar 
lagi akan pamitan dengan Pak Tua Rembang," te-
rabas Satria langsung begitu Ki Rengges tiba dua 
tombak di hadapannya.
Senja saat itu makin tua. Kegelapan mulai 
mengurung Desa Sedayu. Ki Rembang telah me-
masang sentir di depan rumahnya. Cahaya lemah 
menjelita wajah-wajah mereka.
"Jangan, Anak Muda. Jangan kau tinggal-
kan desa ini," cegah Ki Rengges, membuat Satria 
jadi bingung.
Apa-apaan ini? Tadi dia penuh semangat 
hendak mengusirku. Tapi sekarang? Setan apa 
yang merasuki tubuhnya sehingga bisa berubah 
demikian cepat. Atau jangan-jangan dia sedang 
mengigau. Satria berkata-kata sendiri dalam hati.
"Aku tak mengerti maksudmu. Pak Tua? 
Tadi kau begitu bersemangat hendak mengusirku. 
Sekarang kau malah menahanku. Kok kau jadi 
plin-plan begitu? Jangan-jangan kau kesambet 
memedi sawah?" cerocos Satria seenaknya.
"Ya, aku mengaku salah, Anak Muda. Tapi 
tolong, Jangan kau tinggalkan desa ini. Aku mo-
hon. Dan kalau bisa, bebaskanlah desa ini dari 
tangan Setan Madat serta begundal-
begundalnya...," ratap Ki Rengges.
Setan apa lagi yang membuat Ki Rengges 
jadi berubah haluan. Kalau semula selama ini dia 
jadi kaki tangan Setan Madat, kenapa sekarang 
memusuhinya? Dan kenapa wajahnya demikian 
memelas meratap pada Satria?

"Maaf, Pak Tua. Aku tak bisa percaya begi-
tu saja kepadamu," kata Satria, sok jual mahal.
"Lantas, apa yang harus kulakukan agar 
kau percaya? Sungguh aku menyesal jadi kaki 
tangan mereka, Anak Muda. Se..., Setan Madat 
kini malah mengincar anak gadisku satu-
satunya," ratap Ki Rengges. Tak malu-malu, dia 
mulai menangis meraung-raung. "Tolong, Anak 
Muda. Dia anak gadis satu-satunya. Tak mungkin 
aku menyerahkannya pada Setan Madat. Biar aku 
kaki tangannya, aku lebih menyayangi putriku. 
Bahkan anakku akan bunuh diri bila diserahkan 
kepada Setan Madat. Hu hu hu.... Tolong, Anak 
Muda...."
Beginikah sifat seorang sesepuh desa? Kata 
batin Satria. Semula petantang-petenteng di atas 
penderitaan orang lain. Sekarang ketika penderi-
taan itu menimpa dirinya, dia meratap-ratap min-
ta tolong. Muak juga si pemuda melihat sifat ke-
pengecutan Ki Rengges. Tapi jiwa kependekaran 
pemuda ini berkata lain. Biar bagaimana, Satria 
harus menolong.
"Kapan kau tahu kalau anakmu akan di-
minta Setan Madat?" tanya Satria akhirnya.
"Tadi ketika aku pulang dari sini, utusan 
Setan Madat datang memberi surat ini," Ki 
Rengges memberikan surat pada Satria. 
Si pemuda langsung membaca surat dari 
Setan Madat. Selesai membaca, bukan diberikan 
kembali pada Ki Rengges, tapi diremas-remasnya. 
Kini dia yakin dengan kata-kata Ki Rengges.

"Sekarang bagaimana baiknya, Pak Tua?" 
tanya Satria.
"Lho? Yang jadi pendekar kan kau, bukan 
aku. Jadi bagaimana baiknya menurutmu?" balik 
Ki Rengges. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang 
membasahi pipinya.
"Menurutku, sebaiknya aku mengisi pe-
rutku dulu," sahut Satria seenaknya. Lalu wajah-
nya dialihkan ke arah Ki Rembang. "Pak Tua 
Rembang, apa masih ada singkong rebus tadi pa-
gi?" tanyanya, enteng. Merasa sebagai orang yang 
dibutuhkan, besar kepala juga pendekar satu ini.
"Oh, ada, ada, Satria. Mari kita masuk du-
lu. Kita ngobrol-ngobrol di dalam," jawab Ki Rem-
bang langsung saja. "Mari Ki Rengges, masuk da-
lam gubukku," ajaknya kepada kepala desanya.
Sungguh sejak pertama kali menjabat ke-
pala desa, baru kali ini Ki Rengges memasuki ru-
mah Ki Rembang. Menurutnya, bisa jatuh gengsi 
bila memasuki gubuk yang mungkin hanya dis-
enggol anjing akan roboh itu.
* *
"Aku memang sudah mendengar keadaan 
di desa ini dari Pak Tua Rembang. Tapi bolehlah 
kalau kau mau menambahkan sedikit," kata Sa-
tria. Saat ini si pendekar muda duduk mengelilin-
gi meja bersama Ki Rembang dan Ki Rengges.
"Terus terang, aku menyatakan permoho-
nan maaf dan penyesalanku pada Ki Rembang. Is

trinya telah jadi korban kebiadaban Setan Madat. 
Juga anak gadisnya. Semua ini gara-garaku. Aku 
terlalu mengikuti ajakan setan untuk menghisap 
madat. Bahkan hampir semua penduduk desa ini 
juga telah terbuai oleh nikmatnya madat. Aku 
masa bodoh terhadap rakyatku. Sehingga dengan 
mudah Setan Madat bersama anak buahnya bisa 
menguasai desa ini. Sampai pada akhirnya, aku 
ditekan untuk ikut bergabung dengan mereka. 
Katanya kalau aku tidak mau bergabung, anak 
gadisku akan di bawa. Aku sendiri akan dibunuh. 
Tanpa banyak cincong, aku menuruti ajakan me-
reka. Tapi nyatanya, ketika Setan Madat melihat 
anak gadisku dengan mata kepalanya sendiri, ke-
putusannya berubah. Semula, dia hanya meminta 
biasa saja. Tapi, lewat surat ini, dia sudah berani 
mengancamku. Dan ketika hal ini kuceritakan 
pada anakku Ratih, dia mengancam akan bunuh 
diri.... Hu hu hu...."
Di akhir ceritanya, Ki Rengges malah mele-
dakkan tangisnya.
"Aku..., aku juga minta maaf pada ra-
kyatku. Entah sudah berapa gadis yang dikirim 
ke Hutan Sawangan demi memenuhi nafsu bejad 
Setan Madat. Juga, berapa banyak pemuda, orang 
tua, serta anak-anak yang menjadi budak-budak 
Setan Madat. Hu hu hu.... Padahal kalau dulu 
mereka tak terbuai madat, kita bisa bersatu me-
lawan Setan Madat dan anak buahnya. Hu hu 
hu...."
Terlambat! Maki Satria dalam hati. Nah,


ketahuan, Ki Rengges sendiri juga ikut-ikutan 
terbuai madat, walaupun tak begitu parah. Eh, 
dia malah menyesali rakyatnya yang sudah men-
jadi budak-budak madat.
"Sudahlah, Pak Tua. Menangis tak akan bi-
sa menyelesaikan masalah. Dan itu hanya pantas 
dilakukan oleh perempuan," ujar Satria. Gila juga 
pendekar muda satu ini. Berani-beraninya dia 
menasihati orang tua. Seorang kepala desa lagi! 
Dan anehnya, yang dinasihati malah manggut-
manggut. Seolah, kata-kata Satria keluar dari 
mulut seorang resi.
Dan sang Resi Satria dengan enaknya 
mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku. Di-
ambilnya singkong rebus masakan Ki Rembang 
tadi pagi.
"Kalau tak salah, seluruh kegiatan anak 
buah-anak buah Setan Madat dilakukan pada 
saat purnama. Kapan ya, purnama berlangsung?" 
cetus Satria, memecah keheningan sejenak.
"Besok, Satria," Ki Rembang yang menja-
wab.
"Giliran gadis anak siapa yang akan diang-
kut?"
"Aku!" Ki Rengges mengacung. "Apa kau 
tadi tak membaca surat yang kuberikan?"
"Maaf, aku lupa, Pak Tua. Oh, ya. Ke mana 
perginya orang-orang Setan Madat yang tadi pagi 
bertarung denganku, Pak Tua?" tanya Satria 
langsung. 
"Katanya mereka langsung ke Hutan Sa

wangan. Pasti mereka hendak melaporkan keja-
dian tadi pagi pada Setan Madat," jelas Ki 
Rengges.
"Kalau begitu kau perlu menyiapkan hi-
dangan yang enak-enak, Pak Tua."
"Untuk apa?! Untuk mereka?! Maaf saja! 
Aku bertekad sekarang untuk melawan mereka!" 
lonjak Ki Rengges.
"Siapa bilang untuk mereka? Mendingan 
untuk aku saja. Maaf, dari pagi aku belum kena 
nasi. Makan singkong terus takut kentut melulu. 
He he he...," oceh si pemuda, lalu menoleh ke 
arah Ki Rembang. "Maaf, Pak Tua Rembang. Bu-
kannya aku tak suka singkongmu. Tapi kebanya-
kan singkong juga tidak baik, lho."
Dasar Satria. Mau makan enak saja, pakai 
ngomong ngalor-ngidul. Tapi orang seperti Ki 
Rengges sekali-kali memang perlu dikerjai. Biar 
rada kapok, gitu.
***
LIMA

SIAPAKAH lelaki tua keropos yang ditemui 
Arya Wadam di kedai Desa Karangkemboja We-
tan? Siapa lagi kalau bukan Dongdongka? Semu-
la, Arya Wadam tak mau percaya begitu saja. Tapi 
ketika teringat cerita Satria tentang gurunya, Arya 
Wadam baru yakin kalau lelaki keropos di belakangnya memang Dongdongka alias, Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul.
Dari pertemuan singkat itu, Dongdongka 
bilang bahwa Satria tengah mencari-cari Arya 
Wadam. Dan bocah gendeng itu, kata Dongdong-
ka lagi, kini berada di Desa Sedayu untuk me-
numpas gerombolan Setan Madat.
"Satria mencari-cari aku?" tanya Arya Wa-
dam pada dirinya sendiri. Kini dia terbaring di se-
buah ruangan penginapan, masih di Desa Ka-
rangkemboja Wetan. Malam kian larut, merang-
kak menuju pagi. Di luar sana keadaan telah sepi. 
Anjing-anjing liar melolong-lolong manggiriskan. 
Saat ini sulit bagi Arya Wadam untuk me-
nutup kelopak matanya. Seolah di matanya ada 
sebatang lidi yang mengganjal sehingga kelopak-
nya sulit dipejamkan. Sedangkan bayangan wajah 
Satria terus saja menyita benaknya. Menggumpal 
jadi satu menjadi sebentuk kerinduan. Padahal, 
Arya Wadam sudah menyisihkan angan-angannya 
untuk bisa bersama-sama pendekar muda itu.
Arya Wadam merasa tak pantas berdam-
pingan dengan pendekar sakti murid Dongdongka 
dan Ki Kusumo itu. Apalagi bila mengingat kea-
daan dirinya. Ada semacam benang merah yang 
membuat gadis ini tak meneruskan niatannya 
mendekati Satria. Untuk itu dia merasa lebih baik 
meninggalkan Satria setelah bersama-sama 
menghancurkan Tujuh Dewa Kematian di Kuil 
Neraka beberapa purnama yang lalu.
"Ada apa Satria mencari-cari aku? Apakah

dia sudah membaca suratku yang kutitipkan pa-
da seorang bocah pelayan kedai di Desa..., ah aku 
lupa namanya. Tapi yang pasti, aku yakin kalau 
Satria sudah membaca suratku. Hmmm..., men-
gertikah dia akan makna suratku. Ah, aku rasa 
pemuda itu tidak sebodoh yang aku duga. Dia 
mencari-cari aku, berarti dia mengerti maksud 
suratku...."
Wajar kalau seorang gadis seperti Arya 
Wadam berharap setinggi gunung. Sebagai tokoh 
silat wanita, tentu saja impiannya adalah menda-
patkan kekasih dari kalangan pendekar pula. 
Tentu saja dengan kesaktian yang melebihinya. 
Dan itu ada pada diri Satria.
Tapi kalau cinta hanya bertepuk sebelah 
tangan, apa mau dipaksa? Apakah Arya Wadam 
terlalu dipermainkan perasannya sendiri? Jan-
gan-jangan kalau Arya Wadam terus mengejar-
ngejar, Satria malah jadi besar kepala. Atau ma-
lah si pemuda memang tidak mencintainya lanta-
ran keadaan dirinya yang seperti lelaki?
Sulit Arya Wadam untuk menjawabnya.
"Tapi, Satria saat ini pasti butuh bantuan. 
Dia ada di Desa Sedayu untuk membantu meng-
hentikan sepak terjang Setan Madat. Oh, ya. Lima 
orang lelaki kasar berpakaian serba hitam yang 
membuat onar di kedai sore tadi kalau tak salah 
mengaku sebagai kaki tangan Setan Madat. Be-
rarti, sepak terjang Setan Madat mulai merambah 
desa ini. Ah, aku akan membantu Sa...."
Lamunan Arya Wadam terjegal oleh suara

langkah halus mendekati pintu kamarnya. Kecu-
rigaannya pun terbangkit. Cepat dimatikannya 
lampu di sisi pembaringan. 
Ruangan gelap. 
Suara langkah halus makin nyata, berhenti 
di pintu kamarnya. Siapa dia? Bisik hati Arya 
Wadam.
* * *
Hutan Sawangan. Sebuah hutan tak terlalu 
besar di pinggiran selatan wilayah Demak. Ada 
kegiatan membahayakan di dalam hutan itu yang 
luput dari perhatian pihak kerajaan. 
Di tengah hutan itulah Setan Madat mem-
bangun kerajaan kecilnya. Sebuah kerajaan yang 
siap meruntuhkan kedaulatan dan kewibawaan 
Kerajaan Demak.
Sebuah bangunan yang dikelilingi perke-
bunan madat di tengah Hutan Sawangan. Begitu 
megah walau tak terlalu besar. Empat buah tiang 
besar dari kayu gelondongan yang diukir indah 
menjadi penyangga bagian depan bangunan dari 
kayu jati ukiran Jepara. Semua dinding juga be-
rukir, menggambarkan kegagahan sang Rahwana. 
Maklum, Setan Madat pengagum berat tokoh hi-
tam pewayangan dalam lakon Rama-Shinta.
Di sekeliling bangunan berukir itu berjaga-
jaga puluhan pemuda berpakaian serba hitam. Di 
dalamnya, Setan Madat sendiri tengah berpesta 
pora bersama para pengikutnya.

Di kiri-kanan pangkuan Setan Madat, du-
duk dua gadis berwajah murung. Tak ada kece-
riaan di wajah mereka selain kepasrahan. Lelaki 
berusia sekitar setengah abad itu sesekali menci-
umi dua gadis di pangkuannya. Setiap kali ci-
umannya, disambut gelak tawa para pengikutnya.
Sementara kedua gadis itu hanya bisa me-
nyumpah serapah dalam hati tanpa bisa berbuat 
apa-apa. Habis, mana sudi mereka dicium lelaki 
tua berwajah tirus itu? Matanya saja memerah, 
memancarkan kebengisan. Bibirnya kendor ber-
warna hitam. Mulutnya selalu menebarkan bau 
madat yang menyesakkan dada. Lelaki berpa-
kaian mirip jubah berwarna hitam ini selalu tak 
jauh dari cangklong panjangnya yang selalu berisi 
tembakau bercampur madat.
Di depan Setan Madat duduk lelaki tua 
berpakaian serba merah. Rambutnya putih seba-
hu diikat kain merah. Siapa lagi makhluk telen-
gas itu kalau bukan Jalak Merah. Di pangkuan le-
laki uzur ini tak disinggahi seekor gadis pun. 
Maklum, walaupun julukannya memakai nama 
burung, tapi sebenarnya burung si kakek telah 
lama mati. Dia sudah berusaha berobat ke tabib-
tabib maupun dukun-dukun, tetap saja burung-
nya tak bisa gagah di atas ranjang. Malah saking 
putus asanya, dia bertekad hendak memotong sa-
ja burungnya.
Lama berpikir, si kakek berpakaian merah 
ini akhirnya memutuskan untuk membiarkan bu-
rung sialannya itu. Karena kalau dipikir lebih

panjang, bagaimana kata orang bila dia kepergok 
mandi di kali tanpa memiliki burung? Paling ti-
dak, sang burung merupakan tanda kalau dia 
adalah seorang lelaki.
Lain halnya dengan lelaki tua berkepala 
gundul dengan pakaian serba hijau di sebelah Ja-
lak Merah. Lelaki yang tak lain Laba-laba Hijau 
memang dikenal doyan perempuan. Nafsunya 
memang kelewat besar, walau tak diimbangi den-
gan kemampuannya di atas ranjang. Saking besar 
nafsunya, baru bersanding dengan perempuan 
saja sudah bocor duluan. Walhasil, di tempat ti-
dur dia cuma mendengkur saja sambil menikmati 
mimpi-mimpi indahnya. Maka tak heran kalau di 
pangkuannya juga tak terdapat seekor gadis pun. 
Tentu saja dia malu, karena takut bocor di depan 
Setan Madat. Karena kalau sampai kejadian, bisa 
jadi Setan Madat akan menertawakannya habis-
habisan.
Di tempatnya, Laba-laba Hijau hanya me-
mandang penuh minat melihat keasyikan Setan 
Madat. Jakunnya turun naik, menelan ludah su-
sah payah membayangkan kenikmatan di depan-
nya.
Puas dengan keasyikannya, Setan Madat 
mengusir kedua gadis tadi. Dua gadis itu cepat 
berlalu dengan wajah menampakkan kengerian 
mendalam. Sementara Setan Madat segera meraih 
cangklong panjangnya. Dihisapnya dalam-dalam 
sumber asap di dalam mangkuk cangklong. Nik-
mat sekali. Lalu bibir hitamnya tersenyum

senyum sendiri. Mirip monyet ke sambet.
"Kita masih menunggu sahabatku dari Ke-
rajaan Demak. Dia adalah seorang panglima yang 
ingin menumbangkan Kerajaan Demak. Tapi 
sambil menunggu bolehlah kalian memberi lapo-
ran kepadaku," kata Setan Madat, datar. Tam-
paknya benaknya tengah melayang-layang menu-
ju surga terbuai oleh kenikmatan madat.
"Ketika tadi pagi aku dan Laba-laba Hijau 
mengunjungi desa Sedayu untuk menarik seba-
gian upeti, di rumah warga Ki Rengges terdapat 
bocah asing. Dia tanpa izin memasuki desa itu, 
Ketua," buka Jalak Merah
"Hanya seorang bocah kau repot-repot me-
lapor padaku, Jalak Merah?" tukas Setan Madat 
kalem. 
"Bukan. Maksudku, seorang pemuda," ralat 
Jalak Merah.
"Hanya seorang pemuda? Tapi kalian bisa 
mengatasinya, bukan?"
"Bukan, eh! Maksudku, pemuda itu amat 
sakti. Bahkan dia membawa pusaka Kail Naga 
Samudera. Kami terpaksa menghindar, mengingat 
pusaka itu amat dahsyat."
"Kail Naga Samudera?!" cekat Setan Madat. 
Cangklong yang hendak dihisapnya diletakkan 
kembali. "Ceritakan tentang pemuda itu!"
"Dia pasti muridnya Ki Kusumo alias Tabib 
Sakti Pulau Dedemit. Ciri-cirinya, memakai rompi 
dari kulit binatang berwarna putih. Celananya 
pangsi berwarna hitam. Rambutnya panjang se

bahu berwarna kemerahan. Matanya...."
"Cukup! Cukup! Aku sudah tahu siapa 
pemuda itu, walau belum pernah bertemu. Ya, 
berarti sekarang kita telah berurusan dengan pe-
muda kemarin sore yang saat ini menjadi buah 
bibir kaum persilatan. Satria Gendeng keparat!" 
Mata Setan Madat mendelik. Warna merah mem-
bara pada dua bola matanya menyiratkan kege-
raman luar biasa.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau sampai 
bergidik melihat sinar merah penuh kemarahan di 
bola mata Setan Madat. Memang, walaupun ke-
dua lelaki bangkotan itu cukup banyak makan 
asam garam dunia persilatan, tapi pengetahuan 
mereka tentang tokoh-tokoh saat ini masih ku-
rang. Ditambah lagi, perkembangan ilmu silat me-
reka pun mentok sampai di situ. Tak ada ke-
mauan di hati mereka untuk berguru pada tokoh 
sakti yang lebih hebat ilmunya.
Baru setelah Setan Madat menaklukkan 
mereka, kedua lelaki bangkotan ini sadar bahwa 
menambah ilmu itu suatu hal yang amat penting. 
Ketinggian hati mereka yang menganggap diri pal-
ing sakti terkikis oleh kesaktian milik Setan Ma-
dat.
Di atas langit, masih ada langit. Begitu ka-
ta pepatah.
Kedua lelaki bangkotan itu merasa sadar, 
tapi mereka juga merasa sudah terlalu tua untuk 
menambah ilmu. Paling tidak membutuhkan wak-
tu puluhan tahun, begitu kata mereka waktu itu.

Sementara usia mereka hanya tinggal sisa-sisa 
saja. Itu pun kalau Tuhan berbaik hati dengan 
memanjangkan usia mereka.
Tapi anehnya, walaupun sampai saat ini 
Tuhan masih memanjangkan umur mereka, tetap 
saja Jalak Merah dan Laba-laba Hijau tak pernah 
berpikir untuk tobat.
Kedua lelaki bangkotan ini sebenarnya 
saudara satu perguruan aliran putih. Karena ke-
duanya kepergok berzina dengan beberapa gadis 
desa, sang Guru mengusir mereka dari pergu-
ruan. Bahkan sang Guru sempat bersumpah, ke-
dua murid bejadnya itu tak akan punya kejanta-
nan lagi. Apalagi untuk mempunyai istri. Dan 
nyatanya, sumpah itu terbukti. Dua bulan kemu-
dian, burung milik Jalak Merah seolah seperti 
mati. Sedangkan milik Laba-laba Hijau, masih 
untung sedikit. Kendati bisa berkluruk, tapi cuma 
sesaat. Setelah itu, bocor....
Sejak itulah kedua lelaki ini memutuskan 
untuk terjun ke dunia sesat....
* * *
Arya Wadam pura-pura tertidur. Napasnya 
diatur sedemikian rupa agar dengkurannya ter-
dengar wajar.
Sosok di luar kamar mulai membuka pintu. 
Hati-hati sekali. Baru saja pintu terbuka sedikit, 
mendadak pintu tertutup kembali. Mungkinkah 
sosok itu tahu kalau Arya Wadam belum tidur?

Kenapa dia tidak jadi masuk? Padahal, Arya Wa-
dam sudah siap mengempos tenaganya untuk 
membekuk orang yang hendak memasuki ka-
marnya. 
Penasaran, Arya Wadam bangkit. Penuh 
kehati-hatian, gadis ini segera mendekati pintu. 
Telinganya dipasang tajam-tajam di daun pintu. 
Tak ada suara mencurigakan, selain desah napas 
di balik pintu.
Tangkas dan waspada, Arya Wadam mem-
buka pintu.
Wutt!!! 
"Eh?!"
* * *
"Siapa kau?!" terabas Arya Wadam, lang-
sung meringkus seorang wanita di depan pintu 
kamarnya.
"Ma..., maaf Nona Pendekar. A..., aku pe-
layan kedai yang petang tadi Nona Pendekar to-
long," gagap si pelayan kedai.
"Ada apa kau ke sini? Mengapa sikapmu 
begitu mencurigakan?" terjang Arya Wadam, na-
mun segera melepas ringkusannya.
"Maaf, Nona Pendekar...."
"Panggil aku Arya Wadam!"
"Baik, Non, eh! Arya Wadam. Begini, 
mmm.... Bolehkah kita berbincang-bincang di da-
lam?" pinta wanita pelayan itu.
Arya Wadam tercenung sejenak. Lalu, 
"Baik. Masuklah."

Si wanita pelayan segera masuk kamar. 
Arya Wadam mengikuti. Mereka sama-sama 
menghenyakkan pantat di ranjang kamar, setelah 
Arya Wadam menutup pintu rapat-rapat.
"Nah, sekarang ceritakan, apa maksudmu 
datang ke kamarku secara mencurigakan?" to-
dong Arya Wadam, langsung saja setelah menya-
lakan lampu minyak dengan pemantik api.
"Aku perlu hati-hati ke sini, Arya. Mereka 
sangat berbahaya," jelas si pelayan.
"Mereka? Siapa mereka?" Kening Arya Wa-
dam berkerut.
"Anak buah Setan Madat. Mereka ada di 
mana-mana."
"Lalu, apa urusannya denganku?"
"Kau adalah seorang pendekar, Arya. Aku 
yakin itu. Setelah kau membuat pontang-panting 
anak buah Setan Madat petang tadi, aku diam-
diam mengikutimu, hingga aku tahu kau mengi-
nap di sini. Dan ketika aku kembali ke kedai telah 
ada orang-orang berpakaian serba hitam lainnya 
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian pan-
glima Kerajaan Demak. Untungnya mereka tak 
tahu kalau lima orang teman mereka sebelumnya 
habis kau lumpuhkan di kedai itu"
"Langsung saja ke pangkal persoalannya!" 
ujar Arya Wadam, tak sabar.
"Baik. Ketika aku tiba di sana, aku mencuri 
dengar pembicaraan mereka. Ternyata, panglima 
Kerajaan Demak itu akan membuat pemberonta-
kan terhadap Raja. Untuk itu, dia perlu dana un

tuk menyuap prajurit-prajurit Demak agar ikut 
memberontak. Dan dana itu akan diperolehnya 
dari Setan Madat. Sebab dari hasil penjualan ma-
datnya, Setan Madat kini sudah seperti raja kecil 
saja," papar si pelayan. 
Arya Wadam manggut-manggut. Tudung-
nya tak dikenakan lagi. Maka wajah cantiknya 
pun jadi bahan kekaguman si pelayan. Dia tak 
menyangka ada pendekar wanita begitu cantik. 
Muda, lagi. Sepengetahuannya, seorang pendekar 
telah berusia tua dan berwajah pas-pasan. Tapi 
begitu melihat Arya Wadam, pendapatnya pun 
tersapu begitu saja.
"Lantas, apakah panglima itu masih ada?" 
tanya Arya Wadam, mulai tertarik.
"Kira-kira sudah sepeminum teh dia me-
ninggalkan kedai bersama orang-orang berpa-
kaian serba hitam itu," ungkap si pelayan.
"Ke mana mereka pergi?" 
"Menurut yang kudengar, ke Hutan Sa-
wangan."
Arya Wadam tercenung kembali. Dia beru-
saha mengingat, di mana letak Hutan Sawangan.
Suasana hening dalam keremangan lampu 
minyak.
Mendadak....
Wusss!!!
"Awass...!"
Arya Wadam langsung menubruk si pe-
layan. Suara angin menderu yang mengiringi lun-
curan sebuah benda berkilatan sempat dirasakan

Arya Wadam. Kepekaan nalurinya mengisya-
ratkan ada bahaya mengintai.
Clap!
Benda berkilatan tadi langsung menancap 
di pintu kamar. Arahnya dari dinding bilik tepat 
di belakang mereka. Begitu jatuh di lantai bersa-
ma si pelayan, Arya Wadam langsung menghu-
jamkan pandangannya ke arah benda berkilatan 
tadi yang menancap di pintu. Sebuah belati.
Penuh kesigapan, Arya Wadam bangkit 
berdiri. Lalu....
"Hiaaa...!"
Brosss...! 
Dinding bilik penginapan diterjang Arya 
Wadam. Seketika tercipta lobang besar seukuran 
tubuhnya. Si penerjang sendiri segera menda-
ratkan kakinya di luar kedai. Matanya nyalang 
menyapu ke sekeliling. Sepi.
Penasaran, Arya Wadam berkelebat menge-
lilingi penginapan. Tetap tak ada seorang pun 
yang ditemuinya. Hanya keremangan yang ada 
dan tiupan angin yang mendengus-dengus. Arya 
Wadam yakin, si pelempar pisau memiliki kepan-
daian tinggi. Buktinya, begitu cepat dia menghi-
lang setelah melempar pisau. Tapi siapa?
Kelima lelaki yang kuhajar petang tadi? Ti-
dak mungkin! Sanggah Arya Wadam dalam hati. 
Kepandaian mereka belum seberapa. Gerakan si-
lat mereka masih lambat dan kasar, walaupun 
mempunyai tenaga dalam lumayan. Sedang si pe-
lempar pisau, selain mempunyai indera pendengaran tinggi, juga mempunyai Ilmu meringankan 
tubuh sempurna. Buktinya, dia bisa menentukan 
di mana sosok manusia yang jadi sasarannya, 
dan cepat bisa menghilang begitu habis melempar 
pisau.
Di depan kedai, Arya Wadam masih ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Tapi sebelum se-
mua pertanyaannya terjawab.... 
"Aaa...!"
Arya Wadam tercekat. Ingatannya langsung 
tertuju pada si pelayan di kamarnya. Entah kena-
pa, dia begitu mencemaskannya. Maka cepat ga-
dis ini masuk ke dalam kedai.
Apa yang terjadi pada diri si pelayan...?
***
ENAM

AKU menugaskan pada kalian berdua un-
tuk merebut Kail Naga Samudera dari Satria Gen-
deng!" titah Setan Madat kepada Jalak Merah dan 
Laba-laba Hijau.
Tercekat kedua lelaki bangkotan itu. Seke-
japan mereka saling memandang, lalu beralih pa-
da Setan Madat. Sinar mata mereka sarat akan 
keragu-raguan. 
"Apa tidak salah pendengaran kami, Ke-
tua?" Jalak Merah menyahuti.
"Apa kau sudah tuli, Jalak Merah?" balik

Setan Madat.
"Kail Naga Samudera amat dahsyat, Ke-
tua?" bela Laba-laba Hijau.
"Tapi pemiliknya hanya pemuda kemarin 
sore, bukan?"
Memang, pemiliknya pemuda kemarin sore. 
Tapi kepandaiannya? Jalak Merah dan Laba-laba 
Hijau menggerutu dalam hati. Bisa jadi seenak-
nya Setan Madat berkata begitu, karena memang 
belum menjajal kehebatan pendekar tengik murid 
Dongdongka dan Ki Kusumo itu.
"Jangan khawatir. Kalian besok akan di-
bantu sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Na-
manya Pratamp Shirapong. Dia ahli melempar pi-
sau. Sekarang dia sedang berada di Desa Karang-
kemboja Wetan untuk membantu Sugiri yang ka-
tanya mempunyai persoalan dengan seorang pen-
dekar bertudung. Sebentar lagi dia juga datang. 
Mungkin bersamaan waktunya dengan kedatan-
gan Panglima Ganang Laksono di istanaku ini," 
cetus Setan Madat.
Legalah hati kedua lelaki bangkotan itu. 
Sesak napas yang mendadak menyerang dada 
sirna sudah. Dan sebelum ada yang membuka 
suara, dari arah pintu datang seorang pemuda 
berpakaian serba hitam.
Si pemuda memberi hormat sejenak. Tu-
buhnya dibungkukkan sedikit. Lalu dibukanya 
senyum lebar.
"Ketua, tamu kehormatan telah tiba," lapor 
si pemuda.

"Suruh langsung masuk," sahut Setan Ma-
dat.
"Baik," Si pemuda segera menghormat lagi. 
Lalu dia berjalan gagah keluar.
Tak ada sepuluh hitungan, dari arah pintu 
muncul seorang lelaki setengah baya. Pakaiannya 
jelas menandakan kalau dia adalah seorang pan-
glima kerajaan. Wajahnya kokoh dihiasi kumis 
dan brewok. Pancaran matanya tajam. Di ping-
gangnya terselip sebuah pedang.
"Selamat datang di istana kecilku, Pangli-
ma Ganang Laksono," sambut Setan Madat. Si-
kapnya terkesan dibuat-buat.
"Terima kasih sobatku, Setan Madat. 
Sungguh suatu kehormatan besar aku bisa ber-
temu denganmu, setelah sekian tahun kita tidak 
berjumpa," ucap Panglima bernama Ganang Lak-
sono ini.
Kedua lelaki ini saling bersalaman. Setan 
Madat lantas membawa sahabatnya ke kursi di 
sebelahnya.
"Tak perlu banyak beristiadatan di istana-
ku, Panglima. Kau dan aku sudah seperti sauda-
ra. Kalau tiada kau, mana mungkin aku berhasil 
membawa bibit-bibit madat ke tanah Jawadwipa 
ini. Walhasil, aku kini bagaikan raja kecil di Hu-
tan Sawangan ini. Kekayaanku sekarang melim-
pah. Dan itu berkat jasamu, Panglima," kata Se-
tan Madat.
"Dan kau sekarang mengerti kepentingan-
ku, bukan?" todong Panglima Ganang Laksono,

tanpa tedeng aling-aling.
"Oh, tentu. Tentu, Panglima. Berapa pun 
biaya yang kau butuhkan, aku pasti akan mem-
bantu mewujudkan cita-citamu dalam merebut 
takhta Kerajaan Demak. Dengan begitu, bukan-
kah nantinya kita akan meningkatkan kerja sa-
ma?" 
Panglima Ganang Laksono tertawa terba-
hak. Ada nada kepuasan dalam setiap tarikan ta-
wanya.
"Oh, ya. Kuperkenalkan para pembantu-
ku," lanjut Setan Madat. "Yang memakai pakaian 
serba merah bernama Jalak Merah. Sedangkan 
yang berpakaian serba hijau bernama Laba-laba 
Hijau."
Kedua tokoh sesat yang disebut Setan Ma-
dat berdiri dari duduknya. Tubuh mereka mem-
bungkuk sedikit, memberi hormat pada Panglima 
Ganang Laksono. Sementara sang panglima 
hanya mengangguk sedikit. Pelit kelihatannya un-
tuk memberi balasan penghormatan lebih banyak. 
Maklum, pejabat kerajaan rata-rata memang begi-
tu. Terutama, mereka yang merasa dirinya dibu-
tuhkan.
"Aku juga mengundang sahabatku dari Ne-
geri Gajah Putih. Sebentar lagi dia akan muncul. 
Namanya, Pratamp Shirapong. Setelah dia menye-
lesaikan tugasku, dia bisa kau pinjam untuk 
membantumu merebut takhta kerajaan. Dia ahli 
melempar pisau. Kau pasti tertarik dengan ke-
pandaiannya," tambah Setan Madat.

"Terima kasih, atas jerih payahmu, Setan 
Madat. Aku tak akan melupakan budimu. Kelak 
bila aku berhasil merebut takhta, kau akan kua-
ngkat menjadi salah satu menteriku," sambut 
Panglima Ganang Laksono.
"Ha ha ha.... Dan aku akan dikelilingi ba-
nyak selir. Ha ha ha.... Kalau begitu dari sekarang 
aku mesti rajin minum ramuan obat kuat, biar 
tak cepat loyo.... Ha ha ha...." 
Tawa meledak di ruangan ini. Bahu mas-
ing-masing berguncang keras, seolah cita-cita me-
reka sudah tergenggam di telapak tangan. Ada 
keyakinan kuat di hati sang Panglima. Betapa ti-
dak? Kadipaten Kutowinangun dan Kadipaten 
Purworejo telah siap mendukungnya dalam mere-
but takhta Kerajaan Demak. Apalagi sekarang di-
bantu beberapa tokoh hitam berkepandaian lu-
mayan.
Panglima Ganang Laksono adalah salah sa-
tu panglima yang tak puas dengan aturan kera-
jaan. Dia telah cukup lama mengabdi di kerajaan, 
tapi tetap saja pangkatnya masih panglima. Dia 
berharap, Raden Sutawijaya yang menjadi raja 
saat itu mengangkatnya menjadi adipati di salah 
satu wilayah kekuasaan Demak. Lelaki ini merasa 
sudah sangat berjasa kepada kerajaan, tapi na-
sibnya tak masuk hitungan. Malah, kawan-
kawannya yang waktu itu masih menjadi pung-
gawa kini sudah berpangkat panglima. Bahkan 
sudah ada yang diangkat menjadi adipati di wi-
layah timur Demak

Ketidakpuasan itu menimbulkan dendam. 
Ibarat api tersiram minyak, dendam itu makin 
membara ketika adik Panglima Ganang Laksono 
dihukum mati karena dituduh melarikan istri 
orang. Saat itu sang Panglima hanya pasrah. Tapi 
dalam hatinya, dia merasa harus melaksanakan 
dendamnya itu.
Dalam suatu kesempatan, Panglima Ga-
nang Laksono pergi ke Kadipaten Kutowinangun. 
Sang Adipati yang masih kakak ipar Panglima 
Ganang Laksono, gampang saja termakan bujuk 
rayu. Demikian pula Adipati Purworejo yang ma-
sih sepupunya. Mereka semua termakan ucapan 
berbisa sang Panglima, sehingga bersedia mem-
bantu untuk meruntuhkan takhta Kerajaan De-
mak.
Tentu saja, untuk mewujudkan impiannya 
itu Panglima Ganang Laksono butuh biaya ba-
nyak. Dasar nasibnya sedang bagus, di pantai 
Demak dia bertemu seorang saudagar yang men-
gaku bernama Warengkeh. Ketika sang panglima 
bermaksud menangkapnya karena si saudagar 
membawa berkarung-karung bibit madat dalam 
perahunya, timbullah dalam benaknya untuk 
memanfaatkan saudagar itu.
Dari kesepakatan yang terjadi, Panglima 
Ganang Laksono akan memperoleh biaya dari Wa-
rengkeh yang kemudian dikenal sebagai Setan 
Madat. Sedangkan Setan Madat diberi perlindun-
gan menanam bibit-bibit madat itu di tempat yang 
tersembunyi. Bila panen, madat-madat itu akan

dijual ke seluruh pelosok lewat kaki-kaki tangan 
Setan Madat. Dan hasilnya dibagi dua, antara Se-
tan Madat dengan Panglima Ganang Laksono. 
Sekian tahun, Setan Madat menjual madat 
itu hanya sembunyi-sembunyi. Tapi beberapa 
purnama belakangan ini, dia menjualnya secara 
terang-terangan. Dan bila ada kaki tangannya 
yang tertangkap, maka Panglima Ganang Lakso-
nolah yang membebaskannya.
* * *
Brakk!
Arya Wadam mendobrak pintu kamar pen-
ginapannya. Tapi di tempat tidurnya telah tergo-
lek si pelayan wanita yang menemuinya tadi. Te-
pat di dada kirinya tertancap sebilah belati. Cepat 
wanita itu menghampiri si pelayan.
Tak ada gerakan sedikit pun pada tubuh si 
pelayan ketika Arya Wadam memeriksa. Si pe-
layan telah mati.
"Sialan! Rupanya si pelempar pisau meng-
gunakan kesempatan selagi aku mencarinya. 
Atau, si pelempar pisau ada beberapa orang. Satu 
orang memancingku agar keluar, sementara yang 
lainnya masuk melalui pintu? Ya, aku yakin begi-
tu," bisik Arya Wadam berkata sendiri.
Selagi Arya Wadam membenahi mayat si 
pelayan, dari arah pintu bermunculan beberapa 
keamanan dan orang-orang yang menginap di 
penginapan ini.

"Dia pembunuhnya, Kisanak. Aku melihat-
nya," tunjuk seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam pada Arya Wadam.
Arya Wadam mengenali orang yang menun-
juknya. Dia adalah salah seorang lelaki anak 
buah Setan Madat yang dibuat pontang-panting 
olehnya petang tadi.
"Slompret! Jangan menuduh sembarangan, 
Keparat! Aku sedang memeriksanya, tahu?!" ben-
tak Arya Wadam, kalap.
"Bohong! Aku tadi melihatnya. Dia men-
gendap-endap masuk kamar ini lalu sekejap ke-
mudian terdengar teriakan. Pasti dia pelakunya! 
Ayo kita tangkap!"
"Wah, jadi gawat urusannya!" desis Arya 
Wadam perlahan dengan sikap waspada.
Percuma saja sepertinya Arya Wadam be-
rusaha berkelit. Sebab, orang-orang di depan pin-
tu mulai mengurungnya. Sejenak tatapannya 
menghujam pada lelaki yang memfitnahnya. Dia 
melihat, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
Arya Wadam tak ingin ada korban jatuh 
dari orang-orang tak bersalah. Dia tahu pasti, pa-
ra lelaki yang mulai bergerak ke arahnya ini 
hanya terpengaruh ucapan lelaki berbaju hitam 
itu. Untuk meladeni, rasanya tidak pada tempat-
nya. Untuk itu, Arya Wadam merasa lebih baik 
menghindar. 
"Hap!"
Lewat satu teriakan, Arya Wadam melent-
ing ke belakang. Langsung diterobosnya lobang

pada dinding yang dibuatnya tadi, ketika menge-
jar orang yang melempar pisau. Begitu mendarat, 
tubuhnya segera melesat meninggalkan kedai.
Cepat sekali Arya Wadam berlari. Samar-
samar telinganya masih mendengar seruan orang-
orang yang mengejarnya. Tapi dia tak peduli. Le-
satannya makin cepat, menuju Desa Sedayu....
* * *
"Tak kusangka, pendekar bertudung itu 
ternyata seorang wanita. Dialah yang mempecun-
dangi teman-temanku, Tuan Pratamp! Aku harus 
mengejarnya!" kata seorang lelaki berpakaian ser-
ba hitam di depan penginapan di Desa Karang-
kemboja Wetan.
"Tak perlu, Sugiri!" sergah lelaki setengah 
baya berpakaian dari kulit gajah yang disamak 
halus. Di sekeliling pinggangnya berjejer barisan 
belati. Wajahnya lebar dengan mata agak sipit. 
Hidungnya mekar berlobang besar. Tanpa kumis 
dan jenggot. Rambutnya sebahu, tapi botak pada 
bagian atasnya. Celananya pangsi berwarna hi-
tam. Dialah Pratamp Shirapong dari Negeri Gajah 
Putih atau Campa (Negeri Gajah Putih atau Cam-
pa, sekarang dikenai sebagai Muang-
thai/Thailand di Semenanjung Malaka. Di nege-
rinya dia dikenai sebagai Belati Iblis). 
"Kenapa, Tuan Pratamp?" tukas lelaki ber-
nama Sugiri. Nadanya kurang puas.
"Jangan terlalu buang tenaga, Sugiri," jelas

Pratamp Shirapong dengan logat Campa yang 
kental. "Pertama kita harus cepat kembali ke Hu-
tan Sawangan. Kedua, besok kita harus menuju 
Desa Sedayu. Ketiga, pendekar wanita itu akan 
berpikir dua kali jika kembali ke desa ini. Jelas 
penduduk desa ini telah mengenalinya. Sehingga 
ruang gerak wanita itu akan sangat ter-batas. 
Dan kau sendiri akan bebas menjalankan tugas 
Setan Madat dalam menyebar madat di desa ini. 
Kau paham?" 
"Wah, Tuan Pratamp ternyata sangat cer-
dik. Tak percuma Ketua mengundang Tuan ke 
Jawadwipa ini," puji Sugiri.
Pratamp Shirapong makin membusungkan 
dada dipuji begitu. Tarikan senyumnya justru 
menyiratkan kalau dia sangat meremehkan ke-
pandaian para penduduk pribumi. Termasuk, Su-
giri. Baginya, Sugiri tak lebih dari kucing buduk. 
Mengeong-ngeong terlalu keras, begitu digertak 
lari terbirit-birit.
Bukan tanpa alasan Sugiri memuji Pra-
tamp Shirapong begitu tinggi. Sewaktu kembali ke 
Hutan Sawangan setelah dia dan empat kawan-
nya petangnya dibuat pontang-panting oleh Arya 
Wadam, Sugiri sudah melihat kehebatan Pratamp 
Shirapong dalam melempar pisau. 
Dengan mata tertutup, dari jarak sekitar 
sepuluh tombak Pratamp Shirapong mampu 
membidik sasaran yang hanya berupa sebiji buah 
duku. Tak tanggung-tanggung, sebutir buah duku 
sebesar kelereng itu diletakkan di atas kepala bo

tak salah seorang anak buah Setan Madat. Begitu 
pisau meleset.... 
Wesss....! 
Tak! Brukk!
Bukan hanya buah duku yang terpental. 
Lelaki botak yang kepalanya dijadikan tempat 
menaruh duku pun ambruk pingsan. Betapa ti-
dak? Semula dia dengan gagahnya menyediakan 
kepalanya untuk ditaruh buah duku. Dipikirnya, 
mata Pratamp Shirapong tak ditutup. Tapi begitu 
salah seorang anak buah Setan Madat menutup 
mata lelaki dari Negeri Campa itu, si lelaki botak 
mulai menggigil ketakutan. Wajahnya pucat bu-
kan main. Matanya melotot nyaris keluar dari 
rongganya. Dengkulnya gemetar. Dan dari se-
langkangannya muncul mata air berbau pesing 
bukan main.
Ketika buah duku tersambar pisau, kesa-
daran lelaki botak itu telah lenyap bersama angin 
lalu. Kasihan dia. Maunya sih sok gagah di depan 
Setan Madat. Tak tahunya, malah disiram air sa-
tu ember untuk menyadarkannya. 
Di malam itu, Sugiri tak kuat menahan ta-
wanya melihat si lelaki botak menderita lahir ba-
tin begitu. Tapi. Justru tawanya mengundang 
perhatian Pratamp Sharapong. Dan sekali lelaki 
dari Campa ini mengebutkan tangannya....
Wess.... 
Clap! 
"Aaahh.... "
Sugiri mendesah lirih. Dia yang saat itu

berdiri bersender di bawah tiang soko guru ke-
diaman Setan Madat melirik ke bawah. Dan jan-
tungnya nyaris copot ketika melihat pisau yang 
dilemparkan Pratamp Shirapong menancap di de-
kat selangkangannya, langsung menembus tiang 
dari kayu berukir. Untung saja pisau itu hanya 
menembus kain celana, hanya beberapa rambut 
dari kantong menyannya. Tapi tak urung, ada 
mata air berbau pesing pula yang tiba-tiba mun-
cul dari situ...
Keyakinan makin bertambah, ketika di De-
sa Karangkemboja Wetan Pratamp Shirapong 
membuktikan keahliannya dalam menentukan 
sasaran. Hanya sayang, waktu itu yang jadi sasa-
ran Arya Wadam. Sehingga tak mudah bagi si pi-
sau menyentuh pendekar wanita itu.
Kepergian Pratamp Shirapong ke desa ini 
juga berkat perintah Setan Madat, setelah Sugiri 
melaporkan bahwa dia dan empat kawannya di-
ganggu oleh seorang pendekar bertudung.
Selesai melaporkan, bersama Pratamp Shi-
rapong, Sugiri kembali ke kedai, tepat ketika Pan-
glima Ganang Laksono belum lama meninggalkan 
kedai. Setelah bertanya-tanya, Sugiri mendapat 
keterangan kalau pendekar bertudung itu mengi-
nap di seberang kedai tempat terjadi keributan 
petang sebelumnya.
***

TUJUH

NANTI malam, purnama tiba.
Seperti peraturan yang dibuat Setan Ma-
dat, pada malam itu Kepala Desa Rengges harus 
sudah menyiapkan upeti, seorang gadis, dan seo-
rang lelaki yang akan dibawa ke Hutan Sawan-
gan.
Bila purnama-purnama sebelumnya Ki 
Rengges akan penuh suka cita menyerahkan se-
mua permintaan Setan Madat, kali ini nanti dulu. 
Apalagi gadis yang akan diserahkan kali ini ada-
lah anaknya sendiri. Ratih. Karena pada surat Se-
tan Madat kemarin siang, Ki Rengges diharuskan 
untuk menyerahkan anak gadis satu-satunya pa-
da Setan Madat. Itu setelah beberapa hari yang 
lalu, lelaki sesat itu melihat dengan mata kepala 
sendiri, betapa cantiknya anak Ki Rengges.
Selain sayang pada anak satu-satunya, 
tentu saja Ki Rengges amat kecewa, karena Setan 
Madat telah melanggar janjinya. Karena sebelum 
Ki Rengges jadi pengikutnya, Setan Madat berjanji 
untuk tidak mengganggu keluarga kepala desa 
itu. Tapi, memang sia-sia bersepakat dengan to-
koh sesat macam Setan Madat. Janji tinggal janji. 
Soal dipenuhi, sampai berak kapur tak akan ter-
jadi.
Sejak itulah Ki Rengges sadar akan kekeli-
ruannya. Apalagi setelah di desanya datang seo-
rang pendekar muda bernama Satria. Lelaki tua

ini bertekad untuk menentang Setan Madat. Dan 
untuk menebus dosa-dosanya pada para pendu-
duk dia bertekad untuk ikut menghadang para 
pengikut Setan Madat.
Tapi, Satria Gendeng punya siasat tersen-
diri. Si pemuda tengik ini cukup mengerti dengan 
tekad Ki Rengges. Namun dia tak bisa membiar-
kan Ki Rengges bertarung dengan mengandalkan 
kepandaian yang seadanya. Sebab dengan keja-
dian kemarin, si pemuda yakin kalau Setan Ma-
dat akan membawa kekuatan yang lebih kuat.
Siasat apakah yang akan dijalankan pe-
muda bertabiat tengik itu? 
* * *
Seperti biasa, Ki Rengges menyambut para 
anak buah Setan Madat dengan pesta besar. Ma-
kanan dan minuman berlimpah ruah. Juga ma-
dat. Ruangan di rumah Ki Rengges bagaikan di-
penuhi kabut. Semuanya menyesakkan dan me-
mabukkan.
"Bagaimana, Ki Rengges? Apakah kau su-
dah menyediakan semua permintaan Setan Ma-
dat?" tanya Jalak Merah. Lelaki berpakaian serba 
merah ini duduk berdampingan dengan Laba-laba 
Hijau. Sedangkan Pratamp Shirapong yang me-
mang ditugasi untuk mengawal kedua lelaki 
bangkotan itu duduk di sebelah Ki Rengges.
Di ruangan yang mereka tempati tak ba-
nyak dikepung oleh asap rokok berisi madat, ka

rena berada paling dalam. Ki Rengges berusaha 
untuk tidak mengundang kecurigaan dengan ber-
sikap sewajarnya.
"Oh, itu. Semuanya sudah kusiapkan," sa-
hut Ki Rengges, pendek.
"Lantas. Ke mana pemuda bernama Satria 
yang kemarin menjadi tamu asing di desa ini?" ce-
tus Laba-laba Hijau. Dia mana sudi mengatakan, 
mana pemuda yang mengalahkannya?
"Dia sudah pergi kemarin," sahut Ki 
Rengges, pendek lagi.
"Kalau dia masih ada, pasti akan berlutut 
minta ampun pada kami. Kau lihat. Di sebelahmu 
duduk seorang tokoh tingkat tinggi dari Negeri 
Campa. Dia ahli melempar pisau. Namanya, Pra-
tamp Shirapong," kata Laba-laba Hijau bangga. 
Matanya mengarah pada Pratamp Shirapong.
"Siapa? Macam Ompong?" Ki Rengges 
mendekatkan telinga ke arah Laba-laba Hijau. 
Mungkin karena di ruang depan sana suasana 
terlalu dikepung kebisingan. Atau memang Ki 
Rengges sendiri yang sudah rada tuli?
"Jangan sembarangan kau, Ki!" ledak Laba-
laba Hijau. "Dia tak akan memberi ampun pada 
setiap lawan!"
"Oh, maaf. Habis, di luar berisik sekali," 
ucap Ki Rengges buru-buru. "Siapa tadi?"
"Pratamp Shirapong."
Ki Rengges tak mau menyebut nama itu. 
Takut salah. Kalau salah lagi, lelaki dari Negeri 
Campa di sebelahnya sudah mengepalkan jari

tangannya.
"Nah, sekarang, cepat keluarkan anak ga-
dismu, Ki Rengges. Setan Madat sepertinya sudah 
tak sabar untuk memilikinya," cetus Jalak Merah. 
"Sabar, sabar. Nikmatilah makanan di 
ruangan depan sana dulu. Istriku masak sangat 
banyak tadi siang," ujar Ki Rengges.
"Tidak. Kami tidak lapar. Cukup tuak ini 
saja yang menjadi hidangan kami," tolak Laba-
laba Hijau.
Jawaban Laba-laba Hijau agaknya mewaki-
li Jalak Merah dan Pratamp Shirapong. Buktinya, 
kepala mereka mengangguk-angguk tanda setuju. 
Tapi bagi Ki Rengges jawaban itu makin mem-
buatnya gelisah.
Gawat! Bisa gagal rencana Satria! Gerutu 
Ki Rengges dalam hati. Matanya sebentar-
sebentar melirik ke kamar Ratih. Lalu ke arah ke-
ramaian di depan sana. Keringat dingin mulai 
membasahi tubuhnya.
"Kenapa kau, Ki? Kau gelisah sekali? Ada 
yang mengkhawatirkanmu?" tanya Laba-laba Hi-
jau, curiga.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya ma-
suk angin sedikit," tangkis Ki Rengges.
"Apa kau keberatan anak gadismu dibawa 
ke Hutan Sawangan? Kalau keberatan bilang saja. 
Jadi kami gampang memberesimu sekarang juga," 
kali ini Pratamp Shirapong yang buka mulut sete-
lah dari tadi diam saja. Mungkin manusia ini ter-
lalu asyik dengan suguhan madat Ki Rengges.

Buktinya matanya memerah saat menatap nya-
lang pada lelaki tua kepala desa itu.
"Tid..., tidak. Ak..., aku tidak keberatan. 
Tap..., tapi hanya merasa sedih harus berpisah 
dari anakku," gagap Ki Rengges. 
"Bagaimana kau ini, Ki. Kau kan salah satu 
anggota Setan Madat. Dan kau bebas menengok 
anakmu di Hutan Sawangan kapan saja. Nah, se-
karang panggil anakmu," ujar Jalak Merah tegas.
Ki Rengges mulai beranjak ketika di ruan-
gan depan suasana gaduh mulai agak reda. Suara 
gelak tawa mulai menipis. Yang ada kini hanya 
ocehan-ocehan tak beraturan dan gumaman-
gumaman tak bermakna. 
Tepat ketika Ki Rengges memasuki kamar 
Ratih, beberapa orang berpakaian serba hitam 
yang menjadi prajuritnya Setan Madat bertum-
bangan. Dan suasana pun senyap.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau terpana 
saling pandang. Sedang Pratamp Shirapong lebih 
hebat lagi. Matanya mendelik seolah tak bakal 
mengatup lagi. Giginya bergemelutuk seketika.
"Bajingaaaann! Kita dikelabui tua bangka 
itu!" ledak Pratamp Shirapong langsung menyusul 
ke kamar Ratih, mengejar Ki Rengges. 
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau melom-
pat ke arah ruangan depan. Di lantai, sepuluh 
orang berpakaian serba hitam teman mereka te-
lah terbujur nyenyak. Kedua tua bangka ini sege-
ra memeriksa makanan dan minuman yang terhi-
dang. Mengendus-endus, mirip kucing dapur.

"Benar kata Pratamp Shirapong. Kita terti-
pu. Makanan dan minuman ini mengandung ma-
dat berkadar tinggi yang dicampur ramuan terten-
tu, sehingga membuat mereka mabuk sangat be-
rat! Keparat tua bangka itu!" sumpah serapah ter-
lontar dari bibir kendor Jalak Merah. 
Tanpa menjawab kata-kata Jalak Merah, 
Laba-laba Hijau segera kembali ke tempat semula, 
lalu menyusul Pratamp Shirapong. Jalak Merah 
segera mengikuti.
Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap se-
puluh orang berpakaian serba hitam itu?
Inilah sebagian dari siasat Satria. Tak per-
cuma rupanya bocah tengik itu menjadi murid 
Tabib Sakti Pulau Dedemit. Soal ramu meramu, 
jangan tanya. Walau tak setaraf gurunya, paling 
tidak si pemuda punya bekal tentang obat-
obatan. Maka ketika pemuda ini minta madat pa-
da Ki Rengges, lelaki tua ini jadi mendelik tak 
percaya. Tingkah apa lagi yang akan dibuatnya? 
Apa Satria sudah keranjingan madat?
Tidak. Si pemuda justru meraciknya den-
gan beberapa getah tumbuhan yang juga men-
gandung zat-zat pelumpuh syaraf. Biasanya, 
tumbuhan itu digunakan untuk menghilangkan 
rasa sakit dalam pengobatan. Racik punya racik, 
lalu ditambah jahe, kunyit, dan bawang putih, 
Satria lantas mencampurkannya dengan masakan 
yang dibuat istri Ki Rengges. Untuk minumannya, 
Satria tinggal menambahkan sari jeruk nipis pada 
tuak yang terhidang. Hasilnya, cukup memua

skan walau agak melenceng sedikit.
Sedianya, Satria mengharapkan Jalak Me-
rah dan Laba-laba Hijau serta Pratamp Shirapong 
ikut maka dan minum di rumah Ki Rengges. Tapi 
ternyata mereka menolak. Padahal kalau mereka 
mau, kan tinggal membekuk saja? Itu sebabnya, 
mengapa Ki Rengges tampak demikian gelisah.
Setelah membubuhkan racikan pembius 
pada makanan dan minuman, Satria menyuruh 
istri dan anak Ki Rengges menyingkir dari ru-
mahnya. Itu semata-mata demi keamanan mere-
ka.
* * *
"Mana tua bangka itu, Tuan Pratamp?" 
tanya Jalak Merah begitu lelaki dari Negeri Cam-
pa itu keluar dari kamar Ratih.
"Melarikan diri dari jendela. Kita telah diti-
pu mentah-mentah. Rupanya lelaki keparat itu te-
lah berkhianat. Huh! Sejak datang ke tempat ini 
sebenarnya aku sudah curiga!" dengus Pratamp 
Shirapong. "Dan ternyata, aku hanya menemani 
dua kerbau tua berotak udang!" 
"Kau jangan menyalahkan kami, Bangsat! 
Mana kami tahu kalau tertipu begini?!" bentak 
Laba-laba Hijau. Terhina sekali dia dikatakan 
kerbau tua. Berotak udang, lagi. 
"Nyatanya? Kalian sebelum pergi ke tempat 
ini sudah bercerita kalau ada seorang pemuda 
yang memasuki wilayah ini. Lalu, pemuda itu

berseteru dengan kalian?" tukas Pratamp Shira-
pong. 
"Iya, tapi apa hubungannya dengan keja-
dian ini?!" tuntut Jalak Merah. Tentu saja Jalak 
Merah juga merasa harga dirinya terinjak-injak. 
"Bisa saja pemuda itu mempengaruhi Ki 
Rengges. Lalu lelaki tua keparat itu sadar, dan 
Jadi berkhianat terhadap kita." 
"Tidak bisa! Ki Rengges telah disumpah se-
belum masuk menjadi pengikut Setan Madat!" 
Laba-laba Hijau bersikeras.
"Apalah artinya sumpah kalau harus kehi-
langan orang yang disayangi?" balik Pratamp Shi-
rapong. 
"Maksudmu?"
"Ah, dasar kalian memang berotak bebal! 
Putri Ki Rengges itu anak satu-satunya. Dan dia 
diinginkan oleh Setan Madat. Lantas apakah Ki 
Rengges membiarkan begitu saja anaknya diam-
bil? Dan mumpung ada seorang pendekar di de-
sanya, kenapa tidak dimanfaatkan tenaga si pen-
dekar? Masihkah kalian belum mengerti?"
"Boleh jadi kami mengerti. Tapi cabut dulu 
kata-kata penghinaanmu tadi!" ledak Jalak Me-
rah.
Makin merah wajah Laba-laba Hijau dan 
Setan Merah. Dada mereka turun naik, siap me-
ledakkan amarah. Mata mereka pun mendelik gu-
sar. Untuk saat ini, mereka tak ingin memandang 
Pratamp Shirapong sebagai kawan lagi. Tak pan-
dang bahwa lelaki asal Negeri Campa itu adalah

kawan dekat Setan Madat. Kata-kata Pratamp ta-
di benar-benar menusuk dalam perasaan mereka. 
Jangan dikira mentang-mentang mereka tokoh 
sesat, lantas tak punya perasaan.
"Jadi kalian tersinggung dengan kata-
kataku tadi?" balik lelaki berwajah lebar ini.
"Jelas kami tersinggung!"
"Lalu, apa mau kalian? Bertarung? Ku-
tunggu kalian di luar!"
Di ujung kalimatnya, Pratamp Shirapong 
melesat keluar rumah Ki Rengges. Sejenak Jalak 
Merah dan Laba-laba Hijau saling memandang. 
Lalu ketika kepala Laba-laba Hijau mengegos, ke-
duanya segera menyusul Pratamp Shirapong.
Baru saja kedua kaki Jalak Merah dan La-
ba-laba Hijau mendarat....
Wuss...!
Dua buah pisau milik lelaki asal Negeri 
Campa itu meluncur dahsyat. Angin menderu 
mengiringi luncurannya, seperti hendak merobek 
udara. Kalau kedua lelaki bangkotan itu tokoh 
kemarin sore, pasti tak akan mampu berkelit.
"Hiaaah...."
Dua jengkal lagi dua pisau menggila itu 
menyentuh sasaran, kedua lelaki uzur ini melen-
tik tinggi. Di udara, mereka berputaran sejenak. 
Lalu tak tanggung-tanggung, mereka segera me-
lontarkan pukulan jarak jauh. 
Bed! Bed!
Tepat ketika kedua pisau tadi menghujam 
dinding rumah Ki Rengges, dua pukulan jarak

jauh milik Jalak Merah dan Laba-laba Hijau me-
luncur menerabas udara. Saat bergesekan dengan 
udara, hawa panas mengiringi. Liar dan dahsyat. 
"Khaaa...!"
Tak mau kalah, Pratamp Shirapong menge-
rahkan pukulan jarak jauh andalan negerinya. 
Tak percuma dia diundang ke Jawadwipa oleh Se-
tan Madat kalau hanya punya kepandaian seu-
jung kuku. Ganas, dua buah angin dahsyat mele-
sat. Dipapaknya kedua angin menderu dari kedua 
tangan lawan.
Blaaggg!
Masing-masing pihak terpental mundur. 
Belum ada yang kalah. Ketiga orang yang saling 
menjajal tingkat tenaga dalam itu bangkit kemba-
li. Mata masing-masing menyorot tajam, berusaha 
menilai satu sama lain.
Pratamp Shirapong menggeser langkahnya 
ke kiri, tetap dengan kuda-kuda kokohnya. Se-
dang Jalak Merah lebih aneh lagi. Berlompatan 
seperti burung jalak, dia memutari lawan. Juga 
Laba-laba Hijau. Dengan gerakan seperti laba-
laba menjerat mangsa, dia memutari lawan den-
gan langkah mundur. Kedua tangannya memben-
tuk cakar, menghadap ke dalam seperti orang 
memeluk.
Pertarungan dahsyat siap berkobar. Siapa-
kah yang bakal jadi pemenang?
* * *

Penduduk Desa Sedayu secara sembunyi-
sembunyl tak ingin terlewat untuk menyaksikan 
pertarungan dahsyat di depan halaman rumah Ki 
Rengges yang cukup luas. Sebelumnya, Ki 
Rengges dan Satria juga sudah memperingatkan 
mereka untuk tidak dekat-dekat dengan rumah Ki 
Rengges. Para penduduk mematuhi. Mereka 
hanya menonton dari balik Jendela, pintu, kan-
dang sapi, atau kubangan tanah. Itu pun dari ja-
rak yang cukup jauh.
Sedangkan Satria dan Ki Rengges sendiri 
tengah bersembunyi di balik semak yang diperki-
rakan cukup aman untuk berlindung. Dari sinar 
mata maupun tarikan bibir si pemuda, bisa dite-
bak kalau Satria cukup puas dengan hasil siasat-
nya.
"Apa yang mereka rebutkan, Pak Tua? Se-
potong ayam masakan istrimu? He he he.... See-
kor anjing berkelahi dengan dua ekor kucing ga-
ra-gara sepotong ayam," oceh si pemuda berbisik.
"Ah, masa' gara-gara sepotong ayam?" tu-
kas Ki Rengges, terbawa ocehan si bocah tengik. 
"Ya, pasti gara-gara siasatmu! Mereka pasti saling 
tuduh, begitu melihat orang-orang berpakaian 
serba hitam itu ngejoprak tak berdaya!"
Aku juga sudah tahu, Pak Tua! Sambar si 
pemuda dalam hati. Kalau sudah tahu, kenapa 
tanya? Ah, tengik juga bocah ini. Satria lantas 
mengalihkan perhatian ke arah pertarungan 
kembali.
"Taruhan, Pak Tua? Kau pegang siapa?"

ocehnya lagi.
"Kelihatannya, lelaki berwajah lebar yang 
tadi mengaku bernama Pratamp Shirapong yang 
menang. Gerakan silatnya lebih cepat dan ganas. 
Tapi, gerakannya kok sepertinya bukan seperti si-
lat Jawa? Aneh sekali," cetus Ki Rengges.
"Lho? Kau sendiri yang tadi cerita, kalau le-
laki itu dari Negeri Campa. Ya, pasti silatnya bera-
liran sana!" tukas Satria.
"Oh, iya. Aku lupa."
Hari kian merangkak menuju petang. Kege-
lapan mulai mengepung. Matahari kian lelah sete-
lah seharian menertawakan isi dunia ini. Cuaca 
mulai dirasuki hawa dingin. Tapi pertarungan ju-
stru kian memanas.
"Heaaa…!"
Di kawal satu bentakan yang menghentak 
jantung, Laba-laba Hijau mendahului Jalak Me-
rah dalam menyerang. Begitu tepat berada di de-
pan Pratamp Shirapong tubuhnya mencelat den-
gan kaki kanan terjulur ke wajah lawan. Ganas 
sekali. 
"Hiaaa...."
Jalak Merah tak mau kalah. Dari samping 
kiri dia melompat bak seekor burung jalak meli-
hat ular pohon. Kedua tangannya yang mengem-
bang layaknya sayap menyambar-nyambar ganas.
Tenang, Pratamp Shirapong menanti se-
rangan. Perhatiannya terpaksa harus dibagi dua. 
Tapi dari tarikan wajahnya, bisa dipastikan kalau 
dia tak menganggap remeh kedua serangan la

wan.
"Chaaa...!"
Dua jari lagi tendangan Laba-laba Hijau 
mendarat, Pratamp Shirapong memalangkan tan-
gannya ke depan wajah. Sedangkan kaki kirinya 
terangkat lurus, menghadang serangan Jalak Me-
rah dari samping.
Krak!
Cepat sekali Pratamp Shirapong menggunt-
ing kaki Laba-laba Hijau dengan kedua tangan-
nya. Suara berderak tulang patah terdengar. Le-
laki botak berbaju serba hijau itu langsung jatuh 
di tanah dan meringis serba salah. Ringisannya 
makin membuat wajahnya sulit di-gambarkan. 
Jelek sekali. 
Tak!
Pada saat yang sama, kaki Pratamp Shira-
pong terhantam kibasan tangan Jalak Merah. Se-
buah hantaman bertenaga dalam tinggi. Tapi, apa 
hasilnya?
Malah tubuh Jalak Merah yang terjajar dua 
tombak jauhnya. Dia tadi bagaikan menghantam 
kaki baja yang kerasnya minta ampun. Jalak, Me-
rah menganggap, sambaran tangannya tadi bakal 
mematahkan kaki lawan. Tapi justru tangannya 
yang berdenyar-denyar sampai ke lubuk hati.
Itulah kecerdikan lelaki dari Negeri Campa 
itu. Ketika menghadang serangan Jalak Merah, 
tentu saja kaki kirinya telah dilapisi dengan tena-
ga dalam tinggi. Ketika adu pukulan jarak jauh 
tadi, sengaja lelaki berwajah lebar ini mengerah

kan sedikit tenaga dalamnya di bawah kedua la-
wan. Karena dia tahu, kalau lawan sudah ter-
pancing amarahnya, apalagi dari golongan sesat, 
akan langsung mengerahkan tenaga dalam se-
tinggi-tingginya. Apalagi, macam Jalak Merah dan 
Laba-laba Hijau yang memang terlalu bodoh un-
tuk dipecundangi. Kedua lelaki bangkotan itu ten-
tu mengira kalau tenaga dalam Pratamp Shira-
pong hanya beda sedikit di bawah mereka. Maka 
dengan keyakinan kuat, mereka memantapkan
serangan.
Dan Pratamp Shirapong boleh berbangga 
hati melihat hasil kerja otak cerdiknya. Kedua la-
wan tampak menderita lahir batin. Tenaga da-
lamnya yang dikira lawan tak seberapa, ternyata 
dahsyat bukan kepalang. Dan itu memang salah 
kedua lelaki bangkotan itu sendiri. Terlalu cero-
boh, dan gampang terbawa amarah.
"Bajingan! Kuhancurkan kepalamu, Orang 
Campa!" robek Jalak Merah lewat suara sember-
nya. Tak sudi dia melihat sahabat karibnya di-
buat cedera seperti itu. Begitu bangkit, diterjang-
nya Pratamp Shirapongi!
Kali ini, lelaki berpakaian serba merah ini 
tak mau main-main lagi. Begitu menerjang, golok 
besarnya segera tercabut dari pinggang.
Wukh! Wukh!
Dua tebasan menggila dibuat Jalak Merah. 
Dalam hati, lelaki ini menyesali, kenapa tadi La-
ba-laba Hijau terlalu ceroboh sehingga lupa 
menggunakan jaringnya. Tapi sebentar kemudian

dia juga merutuki kebodohannya sendiri, kenapa 
tidak menggunakan golok dari tadi?
"Hup!"
Satu liukan manis dibuat Pratamp Shira-
pong. Ketika golok besar lawan menebas dari ka-
nan ke kiri, lelaki dari Campa ini menarik tubuh-
nya ke belakang agak ke kiri. Dan ketika golok 
menyabet dari kiri ke kanan, tubuhnya sudah 
merendah. Lalu sekali menyentak kakinya ke de-
pan, maka kepalanya sudah meluncur lurus ke 
perut Jalak Merah.
Bekhh!
"Heekkh!"
Jalak Merah melongo tak percaya. Bibir 
kendornya lantas menjebik-jebik seperti orang be-
rusaha buang hajat, tapi tak keluar-keluar. Kepa-
la Pratamp Shirapong mantap sekali menghantam 
ulu hatinya. Penderitaan luar biasa pun dialami 
lelaki bangkotan itu. Bahkan saat sang kepalan 
menghantam, angin dahsyat tak tahu malu ikut 
keluar dari pantat teposnya. Soal sakit, jangan 
tanya lagi. Buktinya saat jatuh terduduk, mulut-
nya langsung meringis dengan kedua tangan me-
megangi perut yang terasa diaduk-aduk. Semen-
tara, golok-goloknya ngelayap entah ke mana.
"Sekarang, giliran kepalamu yang akan ku-
hancurkan. Hih!"
Seiring dengusannya, Pratamp Shirapong 
melepas tendangan ke kepala lawan. Pelan sekali 
kelihatannya. Tapi dari angin yang menderu tera-
sa kalau tendangan itu tidak bisa dianggap main


main.
Sebodoh-bodohnya Jalak Merah, akan le-
bih bodoh lagi kalau tak cepat menghindar. Sesa-
kit-sakit di perutnya, akan lebih sakit kalau kepa-
lanya hancur. Jelas, dia merasakan angin dahsyat 
mengiringi tendangan lawan. Padahal, dia kini da-
lam keadaan terduduk, menikmati sakitnya.
"Uts...!"
Jalak Merah membuang tubuh ke kanan. 
Dia cepat berguling-guling, sementara tendangan 
lawan hanya memangkas angin.
"Jahanam! Masih alot juga kau rupanya!" 
sembur Pratamp Shirapong.
Selagi Jalak Merah masih bergulingan, Pra-
tamp Shirapong sudah memasang kuda-kuda ko-
koh. Kedua tangannya menyatu pada bagian per-
gelangan tangan, membuka di depan pusar.
Bed!
"Jalak Merah, awaaaass!"
Laba-laba Hijau berusaha memperingatkan 
Jalak Merah yang bergulir ke arahnya. Tapi ra-
sanya, teriakannya sia-sia saja. Untuk itu, se-
mangatnya segera dikempos. Lalu sebisanya, dia 
melompat sambil menghentakkan tangan, mema-
pak pukulan jarak jauh ganas milik Pratamp Shi-
rapong.
Blakkk! 
Sebentuk angin bertenaga ribuan kati 
menghentak dada Laba-laba Hijau. Sementara 
angin pukulannya sendiri seperti ambyar begitu 
saja, bahkan mungkin ikut menyatu dengan an

gin pukulan lawan. Akibatnya, lelaki botak itu 
terpental jauh, lalu menabrak sebuah pohon be-
sar tak jauh dari halaman rumah Ki Rengges.
Tetesan darah merah saat tubuh Laba-laba 
Hijau meluncur mengisyaratkan kalau lelaki bo-
tak itu terluka dalam amat parah. Bahkan saat 
tubuhnya menyentuh tanah, sudah tak bergerak-
gerak lagi.
Jalak Merah yang baru saja bangkit berdiri 
tercekat. Matanya memandang tak percaya ke 
arah jasad sahabatnya. Liar, kini matanya meng-
hujam ke tubuh Pratamp Shirapong yang terse-
nyum mengejek.
"Kau harus bayar nyawa sahabatku, Kepa-
rat! Heaaa...!"
"Kau jangan bisa omong terus. Buktikan! 
Hiaaa…!"
Dua teriakan terdengar saling susul. Bu-
kan sekadar bersaing siapa paling keras, tapi juga 
bersaing nyawa siapa yang bakal lepas. Mereka 
sama-sama mengerahkan pukulan jarak jauh be-
risi tenaga dalam tinggi. Tak ada yang bisa men-
cegah pertarungan kecuali kematian. Kejap selan-
jutnya.... 
Blaamm!
Benturan hebat terjadi di udara yang me-
rambat malam. Begitu hebatnya, hingga mencip-
takan bunga api ke segala arah. Terangnya bulan 
purnama makin diperterang lagi oleh bunga-
bunga api tadi, walau hanya sekejap.
"Aahh…!"

Pekikan menyayat terdengar dari kerong-
kongan Jalak Merah. Pekikan asli tak dibuat-
buat. Penuh penderitaan. Seiring pekikannya, tu-
buh lelaki bangkotan itu terpental. Melayang di 
udara seperti dihempas kekuatan dahsyat. 
Bruk!
Keras, tubuh Jalak Merah mencium tanah. 
Kedot juga nyawa manusia uzur ini. Walaupun 
dari mulutnya mengalir darah berwarna kehita-
man, tapi dia berusaha untuk bangkit. 
Sebelum Jalak Merah berhasil dengan 
usahanya, Pratamp Shirapong telah memasang 
kuda-kuda kokohnya kembali. Agaknya dia ber-
nafsu untuk segera mengakhiri umur lelaki tua 
lawannya. Tapi sebelum hal itu terjadi, entah dari 
mana datangnya tahu-tahu di belakang Pratamp 
Shirapong telah berdiri seseorang.
"Tahan serangan. Tak sepantasnya kau 
bertarung dengan lawan yang tak berdaya!"
Melengak, Pratamp Shirapong berbalik. 
Matanya yang sipit dibukanya lebar-lebar. Siapa 
perempuan cantik di depannya yang membentak 
tadi?
"Siapa kau?!"
***
DELAPAN

ARYA Wadam?! Apa yang dilakukannya di 
sini? Ah, pasti dia mencari aku. Dan itu pasti
berkat pertolongan Kakek Dongdongka. Tapi, wah 
celaka! Kenapa dia malah ikut-ikutan menghada-
pi orang Campa itu?!" gerutu Satria masih di balik 
semak tempat persembunyiannya.
"Kau kenal gadis yang baru datang itu, Sa-
tria?" tanya Ki Rengges. 
"Dialah gadis yang kucari-cari, sehingga 
aku sampai di desamu ini, Pak Tua," jawab Satria 
Jujur. 
"Kalau begitu, kenapa kau masih saja ber-
sembunyi di sini?" 
Ya! Kenapa aku masih bersembunyi di si-
ni? Sambar Satria merutuki keterpanaannya. Pe-
muda tengik ini segera keluar dari persembu-
nyiannya. Enteng sekali langkahnya. Entah apa 
penyebabnya. Karena ada Arya Wadam yang ten-
gah dicari-carinya, atau karena siasat yang dis-
usunnya berhasil dengan baik. 
"Arya Wadam! Ke mana saja kau? Kucari-
cari, tak tahunya malah muncul di sini," kata Sa-
tria, nyerocos begitu saja. Seolah dia tak men-
ganggap kalau Pratamp Shirapong ada di situ. 
Begitu berbalik, Arya Wadam tersentak. Sa-
tria? Jerit hatinya. Wajahnya yang semula tegang 
menghadapi Pratamp Shirapong kontan berbalur 
kebahagiaan. Walau sudah menduga kalau bocah 
tengik itu ada di desa ini, tak urung gadis ini me-
rasa bergetar bukan main.
"Apa yang kau lakukan di sini? Menghada-
pi kunyuk Campa itu? Ah, dia tak berarti buatmu. 
Biar aku saja yang menghadapinya. Biar lebih cepat selesai urusan," ujar Satria seenaknya. 
"Kau tanya apa yang kulakukan di sini, Sa-
tria? Kok pertanyaanmu begitu?" ucap Arya Wa-
dam, galau.
Satria jadi blingsatan. Bodoh! Rutuknya. 
Kenapa aku malah tanya begitu? 
"Maksudku, kau di sini mencari aku, ya? 
Eh, bukan. Maksudku, apa kau sudah bertemu 
Kakek Dongdongka? Dan apakah dia su...."
"Bangsat!"
Bentakan berisi tenaga dalam merampas 
suara Satria. Si pemuda melengak. Dadanya ber-
guncang hebat. Untung dia cepat menguasai diri. 
Ditatapnya tajam-tajam kedua bola mata Pratamp 
Shirapong yang membentak tadi.
Dahsyat! 
Jahanam! Desis Pratamp Shirapong dalam 
hati. Tatapan pemuda itu membuat sukmaku seo-
lah bergetar! Tatapan guruku pun tak segarang 
ini. Dan tanpa sadar, kaki lelaki ini bergerak 
mundur.
"Kau anggap aku apa, heh?!" bentak Pra-
tamp Shirapong, tak segarang tadi.
"Kau mau kuanggap apa? Nyamuk? Lalat? 
Kepinding? Atau, kecoak?" balik Satria tenang. 
Dia sudah berdiri di samping Arya Wadam kini.
"Pemuda kemarin sore mau jual lagak. Sia-
pa namamu, Bocah?" cibir Pratamp Shirapong.
"Satria."
"Melihat ciri-cirimu, menurut Setan Madat 
kau adalah Satria Gendeng. Betul itu?"

"Tolong jangan sekadar melihat ciri-cirinya. 
Bisa jadi Setan Madat tak lengkap menyebutkan 
ciri-ciriku. Ada satu hal yang menjadi ciri-ciri 
utamaku."
"Apa itu?"
"Ketampanan wajahku. Jangan ngiri, ya. 
Aku maklum, tampangmu tak lebih dari kunyuk 
Campa," ejek Satria, habis-habisan.
"Jahanam! Mulut lancangmu perlu kuro-
bek-robek sekarang juga! Heaaa...!"
"Minggir dulu, Arya. Nanti obrolan kita di-
lanjut lagi."
Arya Wadam menurut. Diberinya kesempa-
tan buat Satria dalam menghadapi lawan.
Kemurkaan Pratamp Shirapong dibuktikan 
dengan serangan pukulan bertubi-tubi. Kepala 
dan dada lawan jadi sasaran. Kecepatannya luar 
biasa, dikawal suara menggetarkan sukma.
Bed! Bed!
Satria mengenyahkan tubuhnya ke samp-
ing kiri. Kaki kanannya bergerak maju secara 
menyilang, lalu kaki kiri membuat sapuan ke pe-
rut lawan.
Wutt!
Lawan rupanya telah membaca gerakan 
Satria. Ditahannya kaki kiri pemuda tengik itu 
dengan tangan kanan.
Pak!
Menggunakan tenaga benturan, Pratamp 
Shirapong memutar tubuhnya. Kaki kirinya lang-
sung melepas tendangan setengah lingkaran. Sa

sarannya, dada lawan yang hendak menegakkan 
tubuhnya.
Satria tercekat. Sungguh tak disangka la-
wan pun bergerak secepat itu. Kini baru terbukti 
bahwa makhluk dari Campa ini mempunyai gera-
kan silat yang sangat cepat. Tapi bukan Satria 
namanya kalau begitu saja sudah patah seman-
gat.
Secepatnya, si pemuda memalangkan ke-
dua tangannya di depan dada. 
Pak!
Luar biasa. Tubuh Satria sampai terdong-
kel, lalu jatuh terduduk di tanah. Napasnya ngos-
ngosan. Tangannya terasa nyeri bukan main 
sampai ke tulang sumsum. Ringisan jeleknya 
mengisyaratkan kalau tendangan tadi adalah se-
buah peringatan baginya.
Pratamp Shirapong telah berada dalam si-
kap siap sedia. Kuda-kudanya dipasang kokoh. 
Tatapannya nyalang, memandang lawan yang se-
perti kakek-kakek terserang encok. 
Di dada Satria, kemarahan mulai merasuki 
benaknya. Kendati tidak seharusnya kemarahan 
itu kepada Pratamp Shirapong, karena urusannya 
adalah dengan Setan Madat, tapi sudah cukup 
beralasan baginya untuk sedikit melampiaskan-
nya pada lelaki ini. Sebab, biar bagaimanapun, 
Pratamp Shirapong termasuk kaki tangan Setan 
Madat yang cukup berbahaya.
"Hup!"
Lewat satu sentakan perut, Satria Gendeng

bangkit. Tatapannya kian nyalang, hendak mela-
hap tubuh lawan. Darahnya dibuat mendidih.
"Boleh juga kemampuanmu, Anak Muda, 
Tapi kau akan kubuat mampus! Heaaa...!"
Kalap, Pratamp Shirapong menerjang. Ten-
dangan lurus datang ke arah si pendekar muda. 
Serangan yang demikian cepat, karena dilakukan 
dalam jarak yang demikian dekat.
Deb! Deb!
Hantaman kaki lelaki dari Campa itu 
hanya menyambar angin, menampar-nampar 
udara. Sementara si calon sasaran justru telah 
berpindah tempat, berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terkejut pada gerak bagai 
bayangan lelaki Campa, Satria tak ingin mundur 
barang setapak pun. Dikejarnya Pratamp Shira-
pong.
"Hiaaa...!"
Tendangan lurus pula dibuat Satria. Tubuh 
lawan yang baru mendarat hendak dijadikan sa-
saran. Dikawal teriakan naga muda murka, si 
pemuda tengik tak mau menyia-nyiakan kesem-
patan, selagi lawan belum membuka jurus baru.
Sayang, Satria salah perhitungan. Karena 
mendadak, tubuh Pratamp Shirapong berbalik 
dengan tangan kanan menghentak. Tidak dengan 
kuda-kuda, tapi hanya memutar tubuh. Maka 
pukulan jarak jauh terlontar sudah. Akibatnya....
Splasssh....
Blangg...!
Tubuh pendekar muda itu terlempar

jauh....
* * *
"Satria...!"
Bebas dari tercekatnya, Arya Wadam 
menghambur ke arah jatuhnya Satria Gendeng. 
Langsung diraihnya bahu si pemuda, dan disan-
darkan di paha kirinya.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam, 
khawatir.
"Enak...," sahut Satria lirih. Darah menga-
lir di sudut-sudut bibir.
"Kau terluka dalam begini enak?"
"Maksudku, bersender di pahamu enak."
Arya Wadam serba salah. Mau marah kea-
daan Satria sedang begini. Mau tak marah, kata-
kata si pemuda membuatnya jengkel setengah 
mati. Entah, setan mana yang merasuki pemuda 
tengik ini.
"Biar dia kuhadapi, Satria!" cetus Arya Wa-
dam, diletakkannya tubuh Satria di tanah.
Sial! Baru enak-enakan tidur di paha Arya 
Wadam, sekarang malah tidur di samping kotoran 
ayam! Satria memaki dalam hati.
Satria tak bisa menggerutu lebih banyak 
lagi, karena harus memusatkan perhatian pada, 
pertarungan antara Arya Wadam dengan Pratamp 
Shirapong yang baru saja berlangsung.
Deb! Deb! Deb! 
Tiga sodokan sisi telapak kaki Arya Wadam

lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dija-
dikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bah-
kan oleh mata Arya Wadam sendiri yang boleh di-
bilang cukup diperhitungkan dalam dunia persila-
tan.
Kepala lelaki dari Campa itu seperti ber-
pindah-pindah tempat meski badannya sama se-
kali tak bergeming. Bila kaki gadis itu menohok 
ke samping kiri, kepala lawan tahu-tahu sudah 
condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya.
Di akhir serangan beruntun barusan, kaki 
Arya Wadam membuat satu putaran dengan ber-
tumpu pada sendi lututnya. Seakan hendak di-
puntirnya Pratamp Shirapong.
Kecil kemungkinan selamat bila manusia 
dari Campa itu hanya menggerakkan lehernya 
kali ini. Sebab, putaran kaki lawan telah menutup 
ruang gerak otot lehernya.
Wutt!
Kembali bergerak bagai bayangan, tangan 
Pratamp Shirapong mendadak terangkat. Lalu 
disambarnya kaki lancang si gadis.
Tap!
Mata Arya Wadam membeliak. Cengkera-
man tangan di kakinya bagai sebuah penjepit 
raksasa yang sanggup meremukkan tulang-tulang 
kaki si gadis. Keras. Kuat. Dan mengunci erat, 
Arya Wadam berusaha melepaskan kakinya den-
gan mengerahkan tenaga dalam. Tidak bisa.
Perlahan tapi pasti, tangan kekar Pratamp 
Shirapong mengangkat kaki Arya Wadam. Tentu

saja si gadis sadar, kalau tetap bertahan demi-
kian, tangan jahil lelaki ini pasti akan menjalar ke 
daerah terlarangnya.
Untuk menyelamatkan miliknya yang pal-
ing berharga, Arya Wadam segera memanfaatkan 
tenaga dorongan ke atas tangan lawan untuk 
mengangkat tubuhnya ke udara.
Lalu....
"Hiaaa...!"
Dalam keadaan miring di udara, Arya Wa-
dam memutar tubuhnya setengah lingkaran. Se-
belah kakinya yang bebas diayunkan berbareng 
dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya, tangan 
lawan yang mencengkeram kaki lainnya, sekali-
gus menghantam leher.
Sayang, serangan Arya Wadam mudah di-
baca Pratamp Shirapong. Sama sekali tak berba-
haya. Apalagi sanggup menyetak nyali lawan. Se-
belum serangannya sampai, lawan telah men-
cengkeram kaki dengan kedua tangannya, sekali-
gus memutar tubuh Arya Wadam di udara.
Dan...
Shuuttt....
Tubuh Arya Wadam terlempar deras. San-
gat deras. 
Brukkk!
Luncuran tubuh si gadis baru berhenti ke-
tika menabrak pohon mangga di halaman rumah 
Ki Rengges. Dari mulut si gadis meleleh darah se-
gar. Benturan antara badan dengan pohon yang 
amat keras, membuatnya meringis-ringis.

Sebelum Arya Wadam bisa berbuat apa-
apa, Pratamp Shirapong telah melanjutkan seran-
gannya. Lebih gila lagi, kali ini ditelapak tangan 
kanannya telah terdapat dua buah pisau belati 
sepanjang satu jengkal. Dan dalam sekejapan....
Wuss...! Wuss!!
Meluruklah dua buah pisau belati memba-
wa angin keras.
Terkesiaplah wajah Arya Wadam, si calon 
korban. Namun mendadak.... 
Cletarr! 
Trang! Trang!
Gila! Sungguh gila! Pada saat yang gawat 
itu tiba-tiba Satria Gendeng yang telah bisa men-
gobati dirinya dengan menyalurkan hawa murni 
telah meluruk cepat.
Di tangan kanannya telah tergenggam sen-
jata Kail Naga Samudera yang langsung dile-
cutkan. Hasilnya, kedua pisau belati itu tertahan, 
lalu mendadak meluncur ke si pemilik. Luncu-
rannya lebih hebat semula.
Melotot, Pratamp Shirapong membuang tu-
buhnya ke samping kalau tak mau jadi santapan 
belatinya sendiri. Dengan wajah gusar, dia beru-
saha bangkit.
Inikah senjata Kail Naga Samudera yang 
diinginkan Setan Madat? Hati Pratamp Shirapong 
berbisik lirih. Matanya tak lepas melekat pada 
senjata di tangan lawan mudanya. Pantas, Setan 
Madat begitu berminat. Senjata itu memang dah-
syat, bisik hatinya lagi.

"Serahkan senjata itu baik-baik padaku, 
Anak Muda. Maka nyawamu akan kuampuni," ka-
ta lelaki dari Negeri Campa itu, dingin.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga Samudera. 
Sekaligus melampiaskan kekesalannya, karena 
masih ada saja makhluk yang menginginkan sen-
jata pusakanya. Malah dengan cara seenaknya, 
tanpa susah payah. Meminta.
"Rebutlah dari tanganku?" tantangnya.
"Keparat laknat! Kau kira aku tak bisa me-
rebut dari tanganmu! Lihat saja! Heaaa...!"
Bertubi-tubi, Pratamp Shirapong menge-
butkan tangannya. Tahu-tahu beberapa pisau be-
lati telah melesat. Amat cepat. Ganas. Lebih ga-
nas dari sebelumnya.
Cekatan, si pemuda memutar Kail Naga 
Samudera secepat mungkin. Secepat yang dia 
mampu. Secepat kekuatan angin menghem-
paskan ombak di pantai karang.
Trang! Trang! Trang!
Tiga buah pisau belati terhantam ujung 
Kail Naga Samudera yang berupa ekor naga. Dua 
buah mental tak jelas ke mana. Sisanya memutar 
balik, meluncur balik ke si pemilik tadi berdiri. 
Wuss...!
Namun Pratamp Shirapong telah lebih dulu 
berpindah tempat. Tubuhnya telah meletik ke 
udara. Dari ketinggian sekitar tiga tombak, lelaki 
sesat ini melepaskan pukulan jarak jauh. Kuat. 
Bertenaga dalam tinggi.

"Heaaa...!"
Splash!
Suara menderu mengiring luncuran seben-
tuk angin keras mengancam keselamatan Satria. 
Apa yang dilakukan si pemuda bertabiat sederha-
na namun ceplas-ceplos itu?
***
SEMBILAN

JUSTRU Satria makin memutar Kail Naga 
Samudera lebih ganas lagi. Hanya saja, kalau se-
mula membentuk lingkaran ke depan, maka kali 
ini membentuk lingkaran ke atas. Seakan gulun-
gan putaran Kail Naga Samudera memayungi tu-
buhnya.
Akibat putaran yang sangat kuat, tercipta 
satu benteng kasat mata yang amat kokoh di atas 
kepala Satria. Dan ketika angin pukulan Pratamp 
Shirapong menghantam....
Cplashhh...! 
"Heh?!"
Masih di udara, Pratamp Shirapong mende-
lik. Pukulan jarak jauh miliknya justru berbalik 
ke arahnya. Padahal, dikerahkan dengan tenaga 
dalam tinggi. Malah luncurannya lebih cepat dari 
sebelumnya. Tak bisa lagi dia menghindar dalam 
keadaan di udara.
Lalu....

Blangg...!
Pratamp Shirapong terpental. Melayang de-
ras berkawal pekikan terlontar dari kerongkon-
gan. Ketika jatuh di tanah, dia menggeliat seben-
tar. Kejap kemudian tubuhnya sudah mengejang 
kaku. Mati di negeri orang.
Satria Gendeng telah memasukkan kembali 
Kail Naga Samudera ke pinggangnya. Ditatapnya 
sejenak mayat Pratamp Shirapong dari jarak se-
puluh tombak.
Lalu perhatiannya beralih pada Arya Wa-
dam.
"Kau tak apa-apa, Arya?" tanya Satria. Di-
tolongnya Arya Wadam berdiri. Ketika terjadi per-
tarungan antara Satria dengan Pratamp Shira-
pong tadi, si gadis berusaha menyembuhkan luka 
dalamnya yang tak begitu parah dengan menya-
lurkan hawa murni.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Arya 
Wadam, tak ingin dikasihani. 
"Untuk menjaga kesehatanmu, minumlah 
obat ini," Satria mengambil sebutir obat dari balik 
kain di pinggangnya. Lalu diserahkannya obat pu-
lung pada Arya Wadam.
Tersenyum, Arya Wadam menggeleng. "Lu-
ka dalamku tak begitu parah, Satria. Dengan ha-
wa murni, sebentar saja sudah sembuh," tolak-
nya. 
Satria kembali memasukkan obat pulung 
itu ke dalam ikat kain di pinggangnya.
"Apa kabarmu, Arya. Wajahmu makin can

tik saja," cetus Satria memberanikan diri. Entah 
kenapa, hanya pada Arya Wadam pemuda tengik 
ini susah bersikap wajar. Sifat ceplas-ceplosnya 
mendadak lenyap. Padahal kalau soal cinta, dia 
tidak buta sama sekali. Artinya, Satria punya 
pengalamanlah walau cuma sedikit. Tapi terhadap 
Arya Wadam pengalamannya seperti tak berarti 
sama sekali.
Untung saja, Satria cukup pandai merubah 
kekakuannya. Dia mampu mengendalikan diri 
agar tidak keseleo lidah lagi. Kata-katanya mulai 
diatur rapi.
"Merayu, ya?" balik Arya Wadam.
"Kalau itu kau anggap merayu, memang 
kenapa?"
Kali ini Arya Wadam yang memerah dadu 
wajahnya. Tak sanggup dia menatap balik Satria. 
Si pemuda seolah hendak menelannya bulat-bulat 
lewat tatapan matanya. Membuat si gadis tertun-
duk. Tersipu malu, tapi mau. 
"Apakah kau bertemu Kakek Dongdongka, 
Arya?" tanya Satria memecah kebisuan.
"Ya," jawab Arya Wadam pendek, tetap me-
nunduk.
"Dia bilang apa?"
"Katanya kau menunggu di desa ini. Kau 
mencari-cari aku, ya?"
"Ya. Aku memang mencari-carimu. Habis, 
aku penasaran denganmu. Kenapa setelah kita 
menumpas Tujuh Dewa Kematian di puncak Gu-
nung Arjuna kau menghilang begitu saja?"

"Bukankah kau sudah membaca suratku?"
"Itulah yang membuatku makin penasaran 
mencarimu, hingga ke desa ini. Untung Kakek 
Dongdongka sudi menemuiku di sini, sekaligus 
menolongku. Oh, ya. Di mana Kakek Dongdongka 
menemuimu?"
"Di Desa Karangkemboja Wetan."
"Lho? Bukankah perjalanan ke desa ini 
hanya setengah harian? Kenapa baru sampai ma-
lam ini?"
"Aku ragu-ragu menemuimu. Masa' seo-
rang gadis mendatangi pemuda?"
"Lho? Apa salahnya?" tukas Satria. "Setan 
mana yang membuat aturan seperti itu?"
"Menurut adat timur, seorang gadis tak bo-
leh menghampiri pemuda. Pamali namanya. Me-
mang aku gadis murahan?" jawab Arya Wadam 
mantap.
"Lho, kalau pemuda menghampiri gadis 
namanya pemuda murahan dong. Memangnya 
aku pemuda murahan?" balik Satria.
"Ah, ngomong denganmu sama saja ngo-
mong dengan nenek-nenek kehilangan sirih. Ma-
lah kau lebih cerewet lagi," ledek Arya Wadam.
Kini keduanya tak ada yang membuka sua-
ra lagi. Dan tiba-tiba kening Satria Gendeng ber-
kerut. Penuh tanda tanya.
"Eh, ke mana jasad Laba-laba Hijau tadi?" 
tanya Satria.
"Tadi ketika kau bertarung dengan lelaki 
dari Campa itu, kakek yang berpakaian merah

dengan tertatih-tatih membawa pergi mayat ka-
kek yang berkepala botak. Kasihan mereka," de-
sah Arya Wadam.
"Ah, kau tak perlu kasihan pada mereka! 
Kedua kakek itu setali tiga uang dengan lelaki da-
ri Negeri Campa itu!" sahut Satria.
"Maksudmu?"
"Semula, mereka berkawan. Akrab sekali. 
Tapi setelah kukadali, mereka jadi bertarung sen-
git dan akibatnya, kau lihat sendiri."
"Aku kurang mengerti ceritamu?"
"Nantilah kuceritakan panjang lebar. Se-
baiknya kita masuk rumah Ki Rengges dulu. Aku 
yakin dia berada di dalam, setelah bersamaku 
bersembunyi tadi."
* * *
Dengan kebesaran hati, para penduduk 
Desa dayu telah memaafkan segala kesalahan Ki 
Rengges. Itu pun berkat jasa Satria yang membe-
rikan pengertian pada mereka. Bahkan si pemuda 
bertabiat tengik itu ternyata juga bisa menyadar-
kan para penduduk yang sudah lama terbuai 
asap madat. Hebat juga pengaruhnya bocah itu!
Di rumah Ki Rengges, para penduduk juga 
telah menyatukan tekad untuk bergotong royong 
melawan Setan Madat. Gotong royong mereka se-
belumnya, dibuktikan dengan menguburkan 
mayat Pratamp Shirapong dan memberesi sepu-
luh anak buah Setan Madat yang dibuat mabuk

oleh Satria.
Kepada Arya Wadam, juga kepada para 
penduduk Desa Sedayu, Satria Gendeng menje-
laskan siasat yang dijalankan ketika melumpuh-
kan anak buah Setan Madat. Walaupun siasat itu 
agak melenceng sedikit, tapi tetap berhasil gemi-
lang. 
Maka semakin kagum saja Arya Wadam 
terhadap otak encer Satria. Sungguh tak disang-
ka, ternyata pemuda bertabiat sinting itu memiliki 
otak seencer bubur.
Malam itu pun di depan Arya Wadam, Ki 
Rengges, Ki Rembang, dan para penduduk lain-
nya, Satria kembali memaparkan langkah selan-
jutnya.
"Sekarang, langkah selanjutnya adalah 
menghadapi Setan Madat. Tapi aku yakin, Setan 
Madat akan penasaran, lalu menyatroni desa ini," 
cetus Satria. "Dia pasti kebingungan, kenapa para 
pengikutnya tak kembali ke markas."
"Oh, ya. Bagaimana dengan sepuluh anak 
buah Setan Madat yang kita tawan di gudang be-
lakang rumahku?" tanya Ki Rengges.
"Tenang. Pak Tua. Totokan yang kuberikan 
cukup untuk membuat mereka istirahat selama 
empat hari. Dan dalam empat hari itu pula, kita 
harus sudah menyelesaikan urusan dengan Setan 
Madat," tegas Satria.
"Kalau kalian bicara soal Setan Madat, aku 
baru ingat. Di Desa Karangkemboja Wetan pun 
aku telah berurusan dengan anak buah Setan

Madat. Kelihatannya mereka mulai meluaskan 
sayap ke desa itu pula," cetus Arya Wadam.
Semua mata langsung menghujam ke tu-
buh Arya Wadam. Si gadis cantik ini bersemangat 
bercerita.
"Malahan menurut keterangan yang kuda-
pat, Setan Madat juga bekerja sama dengan seo-
rang panglima Kerajaan Demak. Aku tak tahu 
namanya. Tapi yang jelas, usianya setengah baya. 
Badannya gagah dengan kumis dan brewok," lan-
jut Arya Wadam.
Panglima Bagaspati? Sebut hati Satria, ti-
ba-tiba. Tak mungkin? Sanggahnya.
"Kira-kira, apa tujuan panglima itu berka-
wan dengan Setan Madat, Arya?" susul Satria, 
penasaran. 
"Pemberontakan." 
"Apa?!"
Satria Gendeng tercekat. Matanya melebar
dengan mulut ternganga. 
"Kau berkata sungguh-sungguh, Arya Wa-
dam?" 
"Apa aku pernah berdusta padamu?" 
Satria tercenung. Kusut sekali pikirannya. 
Belum juga urusan dengan Setan Madat tuntas, 
dia mendengar ada seorang panglima Kerajaan 
Demak hendak memberontak. Maka saat itu juga 
naluri kependekarannya terbangkit.
Panglima Bagaspati di Kerajaan Demak 
adalah sahabat karib Satria. Bahkan si pemuda 
tengik ini pernah mendapat penghargaan dari ke

rajaan berkat jasa-jasanya menumpas gerombo-
lan perampok bernama Laskar Lawa Merah yang 
dipimpin Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa. 
(Baca episode : "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Na-
ga Samudera").
Tentu saja, Satria tak sudi ada seorang 
panglima hendak berkhianat terhadap kerajaan 
yang sekarang dipimpin oleh Kanjeng Sutawijaya. 
Dia harus bertindak. Kalau berlarut-larut, makin 
sulit untuk memadamkan. Ibarat api jangan di-
biarkan menjalar. Kendalikan sejak masih kecil. 
"Kalau begitu, kita harus bagi-bagi tu-
gas...."
***
SEPULUH

BAJINGOAANNN...!" ledak Setan Madat 
murka. Di hadapannya, terbujur dua sosok 
mayat. Yang terbalut pakaian hijau adalah mayat 
lelaki tua berkepala botak. Itulah mayat Laba-
laba Hijau. Di atasnya, dalam keadaan memeluk 
adalah mayat Jalak Merah.
Sebelum Jalak Merah menghembuskan 
napas yang terakhir, dia sempat bercerita kalau 
luka dalamnya akibat perbuatan Pratamp Shira-
pong. Tapi bukan itu yang membuat teriakan Se-
tan Madat begitu keras menggetarkan ruangan is-
tana kecilnya. Juga bukan pula meneriaki kematian sahabatnya dari negeri se-berang itu. Tidak. 
Setan Madat tak memiliki tabiat cengeng dengan 
menyesali kematian sahabatnya. Apalagi kema-
tian Jalak Merah dan Laba-laba Hijau yang ba-
ginya hanya dianggap dua kucing tua buduk.
Kemarahan Setan Madat disebabkan, ke-
gagalan para anak buahnya dalam merebut Kail
Naga Samudera dari tangan Pendekar Gendeng. 
Ini yang amat disesalkannya.
"Bangsat! Aku harus cepat menghubungi 
kawan-kawan segolongan. Atau kalau perlu me-
minta bantuan Panglima Ganang Laksono untuk 
menghantam Satria Gendeng! Hmm.... Dari cerita 
Jalak Merah tadi aku menangkap isyarat kalau Ki 
Rengges yang menjadi anak buahku telah berk-
hianat. Dengan begitu, dia telah bersekutu den-
gan pemuda asing itu. Berarti, mereka menyusun 
kekuatan untuk menghadapiku. Aku mendahului 
sebelum didahului!"
Tanpa menghiraukan kedua mayat Jalak 
Men dan Laba-laba Hijau, Setan Madat melang-
kah keluar istananya. Kakinya mantap menjejak 
lantai.
Tiba di luar, matanya beredar ke sekeliling.
"Sugiri...!" teriaknya.
Salah seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam yang menggerombol di pojokan tergopoh-
gopoh menghadap. Wajahnya kasar. Giginya om-
pong di tengah. Terlihat ketika dia tersenyum 
yang lebih mirip seringai.
"Kumpulkan anak-anak! Kita serang Desa

Sedayu sekarang juga! Sekalian aku ingin menjaj-
al kehebatan pemuda tengik bernama Satria Gen-
deng!" sabda Setan Madat.
"Baik, Tuan," sahut Sugiri mantap.
"Juga, sisakan beberapa orang untuk men-
gawasi para pekerja dan gadis-gadis di Kaputren. 
Lekas pergi!" ledak Setan Madat.
Dada lelaki ini kian menggemuruh. Teru-
tama bila mengingat pengkhianatan yang dilaku-
kan Ki Rengges. Ingin direjamnya lelaki kepala 
desa itu bila berada di depannya.
Sementara, matahari pagi mulai mengintip 
malu-malu di ufuk timurnya. Tapi sinarnya tak 
membuat cerah wajah Setan Madat. Wajahnya 
kian mengelam dengan tatapan mata merah. 
Baru saja para anak buah Setan Madat 
berkumpul di halaman....
"Hoi! Ada apa ini rame-rame? Pembagian 
jatah beras, ya? Aku ikut, dong!"
* * *
Dari arah pagar halaman depan, tiba-tiba 
melompat seorang pemuda berbaju rompi dari ku-
lit binatang berwarna putih. Wajahnya tampan. 
Bergaris rahang jantan. Tatapan matanya setajam 
sembilu. Rambutnya panjang sebahu berwarna 
kemerahan. Pada lilitan kain ikat pinggangnya 
terselip semacam tongkat pendek. Berpangkal lo-
gam berbentuk kepala naga. Ujungnya menyeru-
pai ekor naga.

Dialah Satria.
Wajahnya dipasang tenang. Senyum su-
mringahnya menghiasi bibirnya yang kemerahan.
"Siapa yang bernama Setan Madat tunjuk 
tangan!" oceh si pemuda seenaknya. Matanya pu-
ra-pura menyapu para anak buah Setan Madat 
yang sudah mengelilinginya. Padahal, hatinya su-
dah yakin kalau yang berdiri dekat tiang soko 
guru di istana kecil itu adalah Setan Madat
"Lagakmu memuakkan, Satria Gendeng!"
Bukan main bentakan Setan Madat. Lang-
sung dikerahkannya tenaga dalam pada benta-
kannya. Akibatnya, beberapa anak buah Setan 
Madat yang mempunyai tenaga dalam pas-pasan 
langsung jatuh berlutut dengan telinga nyaris pe-
cah.
"Wah, di sini tak ada orang yang bernama 
Setan Madat, ya? Kok tak ada yang mau tunjuk 
tangan, sih? Kalau begitu aku pulang saja, deh!" 
kata Satria, tak terpengaruh bentakan Setan Ma-
dat yang terisi tenaga dalam tinggi tadi.
Sedikit kagum Setan Madat melihat ke-
tangguhan si pemuda. Namun itu tak mengurangi 
tekadnya untuk membunuh pemuda kemarin 
sore yang kini suka rela mengantarkan nyawa ke 
istananya.
"Aku, Setan Madat!" sebut lelaki berwajah 
tirus itu.
"O, kau yang bernama Setan Madat? Dari 
tadi, kek!"
"Jangan banyak lagak di depanku, Satria

Gendeng. Kau kini berada di kandang macan, ta-
hu?!"
"Yang ku tahu, aku berada di kandang ba-
jingan-bajingan perusak masyarakat. Kau tanam 
madat dan kau ramu dengan rokok-rokokmu, lalu 
kau sebarkan ke masyarakat. Kau hancurkan 
masa depan pemuda dan gadis desa hanya demi 
nafsu iblismu!"
"Aku tak banyak waktu untuk mendengar 
khotbahmu, Pemuda Tengik! Hadapi dulu praju-
rit-prajuritku. Baru kau boleh berhadapan den-
ganku!"
"Siapa pun yang menghalangi langkahku, 
jangan salahkan kalau daku bertindak kejam!" 
ancam Satria.
"Jangan banyak bacot! Anak-anak! Se-
rang...!"
Begitu mendengar perintah Setan Madat, 
sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam 
di bawah pimpinan Sugiri menyerang Satria. Ga-
nas dan menggetarkan. Apalagi, mereka telah 
menghunus golok sejak tadi. Maka begitu menye-
rang, kilatan-kilatan golok akibat jilatan sinar 
matahari bersliweran di seluruh penjuru mengu-
rung si pemuda.
Pada saat yang sama, di kebun-kebun mi-
lik Setan Madat terdengar teriakan-teriakan 
membahana.
"Bakar...! Bakar...!"
Tahu-tahu, api telah mengepung kebun-
kebun madat milik Setan Madat. Perbuatan siapa

lagi kalau bukan Arya Wadam, Ki Rengges, dan 
para penduduk Desa Sedayu yang selama ini me-
nyimpan dendam pada Setan Madat. Tentu saja 
tindakan mereka dibantu oleh para pekerja paksa 
yang juga berasal dari Desa Sedayu. Malah bebe-
rapa pemuda yang selama ini dijadikan prajurit 
oleh Setan Madat, begitu melihat orang tua mere-
ka ikut menyerang tempat ini, jadi berbalik ikut 
membantu.
"Keparat! Mereka tak bisa didiamkan!" den-
gus Setan Madat
Sekali menghentakkan kakinya, tubuh Se-
tan Madat telah meluncur keluar halaman. Tapi 
baru saja menjejak tanah, seorang gadis telah 
berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Keparat!"
"Siapa kau?!" bentak Setan Madat.
"Aku Arya Wadam," sahut gadis yang me-
mang Arya Wadam.
"Apa urusanmu di sini? Kau tak perlu ikut 
campur. Aku menyayangkan kulitmu yang putih 
halus. Jangan-jangan nanti terkena cangklong 
panjangku ini," Setan Madat mencabut cangklong 
dari kain ikat pinggangnya.
"Justru aku ingin merasakan kehebatan 
cangklongmu itu, Setan Madat!" tantang Arya 
Wadam. 
"Jahanam! Terima seranganku! Heaa...!"
Ganas, Setan Madat membabatkan
cangklongnya yang ternyata juga berguna sebagai 
senjata mematikan. Keras. Sambarannya seolah

hendak merobek udara.
Sedikit menarik tubuhnya ke belakang, 
Arya Wadam mengangkat tangan kirinya. Dipa-
paknya sabetan cangklong Setan Madat.
Pak!
Tangan Arya Wadam tepat menghantam 
tangan Setan Madat. Tapi justru tangan gadis 
cantik itu sendiri yang berdenyut-denyut seperti 
mau remuk tulangnya. Tubuhnya pun tergeser ke 
kanan, seiring gerakan tangan Setan Madat. 
Dari benturan barusan, Arya Wadam bisa 
menilai kalau tenaga dalam lawan sedikit berada 
di atasnya. Tapi bukan berarti dia kalah. Wanita 
ini tak mau dibilang kalah, sebelum nyawa terpu-
tus dari badan. 
Begitu menguasai keadaan, Arya Wadam 
memutar tubuhnya. Kaki kanan cepat membuat 
tendangan melingkar. Calon sasarannya adalah 
rahang lawan.
Bed! Bed! Bed! 
Tiga kali Arya Wadam mengibaskan sisi te-
lapak kakinya. Tapi tak satu pun yang mengenai 
sasaran. Karena, Setan Madat dengan cerdik me-
rundukkan tubuhnya. Bahkan seketika dia ber-
putar, melepas sapuan keras ke kaki Arya Wadam 
yang satunya.
Pak!
Bruk!
Arya Wadam jatuh terduduk. Keras sekali 
pantatnya mencium tanah. Dan dia segera meng-
gulingkan tubuhnya, menghindari hantaman

cangklong panjang milik Setan Madat.
Bluk!
Mangkuk cangklong hanya menghantam 
tanah kosong. Sedang yang jadi sasaran telah 
berdiri sigap dengan sikap siap tarung kembali.
Di tempat lain, Satria Gendeng mulai men-
gerahkan jurus warisan Ki Kusumo. Dalam 
menghadapi serbuan puluhan golok, tubuhnya 
meliuk-liuk seperti pesut dengan tangan memben-
tuk patuk, siap menghujam di tubuh lawan. 
Agaknya, pemuda ini tengah mengerahkan Jurus 
'Patukan Bunga Karang'.
* * *
Mampukah Satria Gendeng dan Arya Wa-
dam, serta penduduk Desa Sedayu menghancur-
kan markas Setan Madat? Bagaimanakah pembe-
rontakan yang akan dibuat Panglima Ganang 
Laksono? Bisakah Satria Gendeng menggagal-
kannya? Agar tidak penasaran, ikuti lanjutannya 
di....

                            SELESAI

Segera menyusul:
BADAI DI KERATON DEMAK

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar