Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
PAGI masih muda. Tanda-tanda kehidupan
mulai merangkak menggapai harapan yang belum
pasti. Mayapada seperti tengah dilanda duka. Pagi
yang mestinya penuh kecerahan dan keceriaan
kali ini tak nampak di Sedayu. Sebuah desa yang
tak jauh dari perbatasan Kerajaan Demak.
Mestinya pagi ini diisi oleh kegiatan-
kegiatan kehidupan. Tapi kali ini terasa mati. Tak
terlihat para petani yang berangkat menuju sa-
wah ladangnya. Tak terlihat pula para pedagang
yang biasa mangkal di pasar desa. Bocah-bocah
kecil yang biasa berlari-larian di tiap-tiap jalan
desa dengan canda rianya, kini tak terlihat lagi.
Semuanya terlihat sepi.
Mati.
Pintu-pintu maupun jendela-jendela di
tiap-tiap rumah tertutup rapat. Bahkan mungkin
terkunci dari dalam. Tak ada suara yang terden-
gar dari rumah-rumah itu. Entah, apa yang terja-
di di Desa Sedayu ini.
Dari mulut desa yang masih terkepung ka-
but, seorang pemuda berusia belasan berjalan te-
nang. Wajahnya tampan. Bergaris rahang jantan.
Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan.
Pakaiannya rompi berwarna putih dari kulit bina-
tang. Celananya pangsi sebatas lutut. Pada kain
putih pengikat pinggangnya ter-selip semacam
tongkat berkeping logam perak ekor naga.
"Aneh.... Sepi sekali desa ini. Seperti mati.
Apa semua penduduknya masih molor? Kebluk
amat? Atau desa ini memang sudah tak berpeng-
huni?" desah si pemuda sambil terus melangkah
menuju jantung desa.
Dialah Satria.
Sesekali pemuda murid Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan murid Ki
Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit ini ber-
paling ke kiri dan kanan. Dan keningnya berkerut
membentuk lipatan kain wiron saat melihat ke sa-
lah satu rumah yang terletak di sudut jalan.
"Heh?! Jendela rumah di pojokan sana tadi
kulihat terbuka sedikit. Kenapa ketika aku me-
mandang ke sana tiba-tiba tertutup kembali? Pas-
ti ada yang sedang mengintip. Apa yang dita-
kutkannya? Jelas, desa ini ada penghuninya. Tapi
mereka seperti ketakutan. Ada apa, ya? Apa takut
padaku? Masa' pemuda tampan macam aku dita-
kuti? Kalau begitu, hebat amat aku ini, ya?" Sa-
tria berkata-kata sendiri dalam hati. Dan kecuri-
gaan membuat hatinya penasaran. "Ah, sebaiknya
kuhampiri saja rumah di sudut jalan itu."
Tenang, si pemuda melangkah. Wajah su-
mringahnya dipasang. Pandangannya yang seta-
jam sembilu mengarah pada rumah yang dituju.
"Sampurasun...," ucap Satria ketika tiba
dua tombak di depan pintu rumah yang diduga
ada penghuninya.
Tak ada jawaban. Hanya saja si pemuda
menangkap suara tarikan napas seseorang di da
lam rumah itu yang semakin lama semakin mem-
buru.
"Sampurasun...," ulang si pemuda tak pa-
tah semangat. Bukan Satria namanya kalau gam-
pang patah semangat. Sementara otak cerdik Sa-
tria berputar, mencari cara agar penghuni rumah
di depannya membukakan pintu.
"Walah! Sombong sekali penghuni rumah
ini? Ya! Aku ada cara agar mereka keluar," letus
Satria. Bibirnya tersenyum cerdik.
Sejenak Satria celingukan ke kiri dan ka-
nan. Ketika merasa yakin tak ada orang yang
mengintip, kakinya melangkah mundur dua tin-
dak.
"Kalau tak mau membuka pintu, ya sudah.
Jalan lagi, ahh.... "
Di ujung kalimatnya, kaki Satria menghen-
tak. Tubuhnya melompat tinggi ke udara, lalu
hinggap di atas rumah yang didatanginya tanpa
menimbulkan suara sedikit pun.
Sejenak si pemuda menunggu di atas atap
sambil tersenyum-senyum.
Benar saja. Tak lama dari rumah yang di-
hinggapinya keluar seorang lelaki setengah baya
bertelanjang dada, memamerkan tubuhnya yang
kurus kering bak papan penggilesan clingukan,
seperti mencari-cari.
Di saat pandangan si lelaki keropos tertuju
ke depan, Satria melompat turun dengan gerakan
ringan.
Kembali tanpa suara sedikit pun kakinya
mendarat di belakang lelaki yang tengah celingu-
kan.
"Apa yang kau cari, Pak Tua?" tegur Satria
polos sambil mencoel bahu lelaki itu.
"Warakadah...!" Lelaki bertelanjang dada
itu terjingkat. Untung saja jantungnya menempel
kuat dalam rongganya. Kalau tidak, dia bisa mati
berdiri. Hanya saja tanpa terasa bagian selang-
kangannya telah basah karena terkencing-
kencing.
"Tenang, Pak Tua. Aku orang baik-baik.
Aku hanya kebetulan lewat di desa ini. Yah..., ba-
rangkali saja kau sudi menawarkan aku secangkir
kopi dan sepotong singkong rebus," Satria cengar-
cengir bagai orang tak punya dosa. Padahal, dia
hampir saja membuat lelaki di depannya mati
berdiri.
"Be..., benar kau orang jauh dari tempat
ini? Jangan-jangan kau orangnya Setan Madat?"
gagap lelaki kurus kering ini. Saking kurusnya,
tulang-tulang tuanya bertonjolan tertutup kulit
keriput berwarna keling.
"Setan Madat? Siapa dia? Seram amat na-
manya?" Satria malah bertanya. Dari kata-
katanya jelas kalau si pemuda memang tak kenal
dengan orang yang disebut si tua ini.
"Dia tokoh sesat yang sekarang menguasai
desa ini. Tapi, tempat tinggalnya di tengah Hutan
Sawangan. Kau sendiri siapa, Anak Muda?" susul
lelaki itu.
"Aku? Seperti katamu tadi, aku orang jauh
dari tempat ini. Namaku Satria," sahut si pende-
kar muda polos.
"Apa kau sendiri tak takut dengan Setan
Madat?"
"Takut? Dengar namanya sih, memang me-
nakutkan. Apa orangnya memang berwajah seper-
ti dedemit sawah, Pak Tua? Kalau benar, boleh
jadi aku takut. Hiiyy...!" oceh si pemuda. Kedua
bahunya terangkat ke atas.
"O..., jadi kau memang belum tahu.... Ka-
lau begitu, mari cepat masuk. Aku khawatir ada
orang-orangnya Setan Madat yang mengetahui
kehadiranmu. Sebab, lelaki telengas itu akan
membunuh orang asing yang berani memasuki
desa ini," ajak lelaki ini, lalu bergegas masuk ke
dalam rumahnya. Satria mengikuti dari belakang.
* * *
"Sesungguhnya, apa yang tengah terjadi di
desa ini, Ki Rembang? Kenapa penduduknya begi-
tu ketakutan?" tanya Satria pada lelaki pemilik
rumah yang disinggahinya.
Satria duduk berhadapan dengan lelaki
yang mengaku bernama Ki Rembang. Di atas meja
tersaji dua cangkir kopi dan sepiring singkong re-
bus. Tiga buah potongan singkong telah singgah
di perut si pemuda. Sementara di tangan kanan-
nya telah pula tergenggam potongan singkong
yang telah digigitnya.
Ditanya begitu, Ki Rembang malah menun
dukkan kepala. Sepertinya ada beban berat dalam
dadanya yang hendak dimuntahkan keluar. Ma-
tanya merembang.
Ah, cengeng sekali Pak Tua ini. Belum-
belum sudah seperti gadis yang mau dikawin
paksa, desah si pemuda dalam hati.
"Lho? Kok malah menangis, Ki Rembang.
Kau kan belum cerita apa-apa. Cerita dulu, baru
kau boleh menangis," celetuk si pemuda seenak
udelnya.
Terpaksa Ki Rembang membuat senyum
lebar. Buru-buru punggung tangannya mengha-
pus air mala yang siap meluncur ke pipi.
"Aku hanya teringat anak istriku, Satria. is-
triku tewas dibunuh anak buah Setan Madat ke-
tika menghalangi anakku Ratih yang dibawa me-
reka," tutur Ki Rembang.
Satria baru sadar kalau keadaan rumah ini
memang terlihat sepi. Tadi saja, Ki Rembang sen-
diri yang memasak singkong rebus dan menyeduh
kopi.
"Sudah lima purnama Setan Madat men-
guasai desa ini. Dan sejak itu pula semua pendu-
duk harus membayar upeti yang mencekik leher.
Belum lagi, kami juga harus menyerahkan anak-
anak gadis kami pada tiap purnama. Bagi pendu-
duk yang menentang, nyawa taruhannya. Semen-
tara, kami sendiri tak berani mengungsi. Karena,
anak buah Setan Madat menyebar di mana-mana,
memata-matai kegiatan kami. Pendeknya, mereka
telah menebar petaka di desa ini," papar Ki Rem
bang, penuh kegalauan.
Satria belum berkata-kata. Benaknya ma-
sih membayangkan penderitaan penduduk desa
ini. Naluri kependekarannya terbangkit. Gera-
hamnya bergemelutuk, menyiratkan kemarahan
siap membuncah.
"Tenang, Pak Tua. Akan kuberi pelajaran
orang-orang telengas itu. Kalau perlu, mereka ha-
rus mencium pantatmu dulu, baru kuberi am-
pun," desis Satria, asal keluar saja dari mulutnya.
"Kau mungkin belum tahu, bagaimana
keadaan sebenarnya, sehingga bisa berkata begi-
tu. Jangan dulu kau hadapi Setan Madat. Baru
menghadapi anak buahnya mungkin kau sudah
lari terbirit-birit. Belum lama saja, kudengar ada
seorang tokoh persilatan golongan putih yang
mencoba menolong desa ini dari penderitaan, ha-
rus merelakan nyawanya di tangan anak buah Se-
tan Madat. Kalau tak salah dia bernama Ki Ru-
meksa yang dikenal sebagai Pendekar Kelana," tu-
tur Ki Rembang, seperti meremehkan tekad mulia
si pendekar muda.
Satria sama sekali tak tersinggung dire-
mehkan begitu. Tapi bukan berarti tekadnya ter-
jegal begitu saja. Apa pun alasannya, dia memang
paling tak sudi harkat manusia diinjak-injak oleh
ketidakadilan. Segendeng-gendengnya Satria
Gendeng, lebih gendeng lagi kalau dia tak turun
tangan.
"Ya, aku memang pernah mendengar nama
Pendekar Kelana. Tapi apa benar dia mati di tan
gan Setan Madat? Bukankah kesaktiannya amat
tinggi?" tanya Satria seperti untuk dirinya sendiri.
"Kabarnya memang belum pasti. Tapi aku
yakin, buktinya Setan Madat masih bercokol dan
makin merajalela. Sementara kabar Pendekar Ke-
lana sudah tidak terdengar lagi. Malah kabar ke-
matiannya yang katanya tercebur ke dalam ju-
rang setelah mendapat pukulan maut dari Setan
Madat sudah santer terdengar di mana-mana,"
tandas Ki Rembang, meyakinkan.
Satria terdiam. Wajah kekarnya menegang.
Suasana terkurung sepi.
Hening.
"Sekarang coba ceritakan, bagaimana saja
sepak terjang Setan Madat itu, Pak Tua?" cetus si
pemuda, membongkar keheningan.
"Dia bagaikan raja kecil di tengah Hutan
Sawangan. Pemuda-pemuda desa ini dibawa un-
tuk dijadikan prajuritnya. Gadis-gadis diboyong
untuk pemuas nafsu. Sementara orang-orang tua
dan anak-anak dijadikan pekerja paksa di perke-
bunan madat milik Setan Madat. Setiap purnama,
para kaki tangan Setan Madat datang ke sini un-
tuk memungut upeti, sekaligus membawa orang-
orang desa yang ditunjuk."
"Lalu, bagaimana kepala desanya? Apa ti-
dak bertindak?"
"Ah, dia lagi. Semua penduduk sudah tahu
kalau Ki Rengges justru merupakan kaki tangan
Setan Madat pula."
Giris hati Satria mendengar penuturan Ki
Rembang. Menurut si pemuda, sebagai kepala de-
sa mestinya harus melindungi rakyatnya. Apa gu-
nanya dipilih oleh rakyat kalau akhirnya malah
menindas rakyat? Bukankah pemilihan kepala
desa berdasarkan kesepakatan rakyat? Artinya,
rakyat menunjuk seseorang menjadi kepala desa
dengan harapan si kepala desa bisa mengayomi
kepentingan masyarakatnya. Tapi ini?
Kini tak ada lagi yang bersuara. Suasana
kembali terkurung sepi. Di luar sana, angin siang
mendesis-desis, meratapi keadaan desa ini. Na-
mun tiba-tiba, Satria mengangkat tangan kanan-
nya.
"Ada beberapa orang di luar sana, Pak Tua.
Dan mereka kini berhenti di depan rumahmu," bi-
sik Satria, memberi tahu.
Baru saja kata-kata Satria tuntas....
"Rembang! Keluar kau! Bawa tamu asing-
mu sekalian!"
Sejenak Ki Rembang terpaku dengan mata
melotot. Hatinya gusar bukan main, karena
orang-orang di luar sana sepertinya telah tahu
apa yang terjadi di rumahnya. Sikapnya jadi serba
salah. Antara rasa takut dengan rasa menyesal te-
lah berani menerima seorang makhluk kelaparan
macam Satria.
"Siapakah orang-orang di luar sana?"
***
DUA
TEMUILAH mereka dulu, Pak Tua. Biar aku
belakangan. Aku mau tahu dulu, apa mau mere-
ka," kata Satria, tenang. Ki Rembang mengangguk
setelah menguasai perasaannya. Kakinya lantas
bergerak menuju pintu rumahnya yang tertutup
rapat dan di kunci dari dalam.
Satria Gendeng memang tak mau gegabah
dalam bertindak. Siapa tahu, orang-orang di luar
sana hanya ingin memastikan siapa yang datang.
Lagian, si pemuda berharap Ki Rembang bisa me-
nyelesaikan masalah tanpa adu urat atau adu jo-
tos.
Pintu telah terbuka. Dari celah pintu yang
terbuka pendekar muda ini sempat melihat bebe-
rapa orang berdiri di halaman rumah Ki Rem-
bang. Dua orang berusia sebaya dengan Ki Rem-
bang. Lima orang lainnya bertampang telengas.
Dua orang sudah uzur, sisanya masih muda-
muda.
"O, Ki Rengges. Ada apa, Ki?" sapa Ki Rem-
bang ramah, begitu tiba di halaman. Sementara
hatinya bertanya-tanya heran, mengapa kepala
desanya bisa tahu kalau rumahnya kedatangan
tamu asing.
"Jangan berbasa-basi, Rembang! Kau tadi
telah kedatangan tamu asing. Aku tahu, itu. Nah,
cepat suruh keluar tamumu itu!" ujar Ki Rengges
kasar. Bentakannya disertai, semprotan ludah
nya. Maklum, dua giginya telah tanggal di bagian
depan.
"Dia hanya mampir sebentar, Ki. Dia kela-
paran dan butuh makan," Ki Rembang berusaha
menjelaskan.
"Persetan dengan alasanmu. Kau telah me-
langgar aturan yang dibuat Setan Madat bahwa
setiap orang yang datang ke desa ini harus lapor
ke rumahku!" sembur Ki Rengges. Urat-urat le-
hernya mengembung saking ngototnya menyum-
pah serapah.
"Jangan mencari bahaya, Ki Rembang,"
timpal lelaki di sebelah Ki Rengges.
"Dia hanya seorang pemuda kelaparan, Ki
Rawit. Tak berarti apa-apa," kilah Ki Rembang.
"Tak berarti apa-apa katamu? Rawit! Ceri-
takan, apa yang kau lihat tadi pagi!" terabas Ki
Rengges.
"Tadi pagi aku melihat seorang pemuda
melompat ke atas atap rumah Ki Rembang. Meni-
lik gerakannya, dia pasti tokoh persilatan," jelas
lelaki yang bernama Rawit.
Ki Rembang tak bisa berkelit lagi. Usa-
hanya untuk menutupi kehadiran seorang pemu-
da kandas begitu saja. Dalam hati dia hanya bisa
merutuki kepengecutan Ki Rengges, kepala desa
ini. Hanya karena takut mampus, dia rela men-
gorbankan penduduknya demi kepentingan Setan
Madat.
"Nah, Rembang. Adakah orang yang tak be-
rarti apa-apa bisa melompat ke atas atap rumah
mu. Apa namanya orang itu kalau ternyata memi-
liki kepandaian? Kau tak bisa mungkir lagi, Rem-
bang. Ayo, mana pemuda asing itu?!" tekan Ki
Rengges. Mata liarnya lantas melirik ke arah dua
tokoh persilatan yang merupakan kaki tangan-
kaki tangan Setan Madat. Lalu tatapannya beralih
pada tiga orang yang menjadi keroconya Setan
Madat. Mungkin dengan memandang begitu dia
bermaksud minta dukungan.
Dan harapan lelaki berpakaian surjan itu
terkabul. "Jangan mencari penyakit, Rembang!
Serahkan saja pemuda itu ke hadapan kami. Ma-
ka, nyawamu akan selamat," dukung lelaki ber-
pakaian serba merah.
Dalam hati, Ki Rembang merutuk. Siapa
yang cari penyakit? Penyakit panunya saja belum
sempat diobati, masa' sekarang cari penyakit lagi?
"Cepat, Rembang! Panggil orang it...."
"Tak usah dipanggil aku datang sendiri,
kok." Kata-kata Ki Rengges terpangkas oleh suara
dari dalam rumah Ki Rembang. Dari dalam pintu
keluar seorang pemuda tampan. Garis rahangnya
jantan dengan tatapan setajam sembilu. Satria
namanya.
Semua yang bercokol di tempat itu seperti
tertenung oleh tatapan yang seperti mengandung
perbawa kuat milik si pemuda. Kalau pemuda itu
jahil, mungkin dengan bentakannya mereka lang-
sung jatuh terduduk.
Satria sendiri sudah berdiri di sisi Ki Rem-
bang. Sikapnya tetap tenang.
"Sebutkan siapa dirimu, Anak Muda?!"
bentak Ki Rengges berusaha menunjukkan kewi-
bawaannya di hadapan si pemuda. Tapi bagi Sa-
tria sikap lelaki itu tak lebih dari penjilat mura-
han saja.
"Aku hanya pemuda loyo yang tak berarti
apa-apa. Namaku Satria. Lantas, kenapa aku di-
curigai? Aku ke tempat ini hanya sekadar lewat.
Kebetulan perutku lapar, lalu sekadar minta se-
potong singkong dan secangkir kopi. Apa itu sa-
lah?" cerocos si pemuda.
"Benar, Ki Rengges. Orang itulah yang tadi
kulihat melompat ke atas atap rumah Ki Rem-
bang. Tingkah lakunya patut dicurigai, Ki!" sam-
bar Ki Rawit, berbisik.
Satria yang memiliki pendengaran tajam
tak urung mendengar pula bisikan Ki Rawit baru-
san. Sungguh, di hati pendekar muda ini timbul
rasa menyesal karena telah bertindak ceroboh di
halaman rumah Ki Rembang. Buktinya, tindakan
itu ternyata diintai oleh salah seorang penduduk
desa ini yang menjadi anak buah Ki Rengges. Dan
akibatnya, Ki Rembanglah yang ketiban pulung.
Apa bukan cilaka dua belas itu namanya?"
"Maaf, Pak Tua. Ki Rembang tidak salah.
Akulah yang memaksanya untuk masuk ke ru-
mahnya. Habis, cacing-cacing dalam perutku
nakal-nakal sih. Padahal, semalam sudah kuberi
makan. Tapi tetap saja bandel," oceh si pemuda
tak jelas juntrungannya.
"Kau tahu, Anak Muda. Desa ini tertutup
bagi orang asing. Kalau ada orang yang masuk,
harus lapor dulu kepadaku, kepala desa di sini,"
Ki Rengges menepuk dadanya sendiri. Terlalu ke-
ras, membuat dada ringkihnya nyaris jebol. Ham-
pir dia terbatuk, untung cepat ditahannya. Malu
dong kalau menepuk dadanya sendiri sampai ter-
batuk-batuk. Hanya saja mulutnya yang berbibir
kendor cengar-cengir serba salah. Nyesal juga ha-
tinya karena terlalu semangat menunjukkan ke-
galakannya.
"Dan kau telah melanggarnya, Anak Muda!"
serobot Ki Rawit ikut-ikutan galak. Siapa tahu
nanti Ki Rengges menaikkan gajinya.
Tak mau memperpanjang urusan, Satria
mencoba mengalah. "Baiklah, aku mengaku sa-
lah. Apa keinginan kalian sekarang? Aku pergi
dari sini? Gampang. Kaki tinggal melangkah, apa
susahnya?" Tenang, kaki si pemuda melangkah.
"Pak Tua Rembang, kuucapkan terima kasih atas
sarapan dan keramahanmu," ucapnya sambil ber-
lalu.
Ki Rengges dan Ki Rawit bergeser memberi
jalan pada Satria. Tapi, tidak bagi lima orang kaki
tangan-kaki tangan Setan Madat. Dua orang yang
berusia cukup uzur dengan pakaian hijau dan
merah malah langsung memasang muka garang.
Yang berpakaian hijau kepalanya plontos
pelit rambut. Matanya besar, nyaris keluar dari
rongganya. Bibirnya yang keriput mirip gombal
lecek melepas senyum meremehkan. Dia dikenal
sebagai Laba-laba Hijau. Di tangannya melilit li
patan jaring seperti Jala.
Sementara yang berpakaian serba merah
adalah lelaki uzur dengan rambut sebahu ber-
warna putih. Kepalanya diikat kain berwarna me-
rah pula. Matanya memerah penuh nafsu mem-
bunuh. Dia dikenal sebagai Jalak Merah.
"Kau boleh pergi setelah jadi mayat, Bo-
cah!" dengus Jalak Merah garang. Kata-katanya
terdengar menggetarkan, hendak meruntuhkan
nyali si pemuda.
Tapi bukan Satria namanya kalau digertak
begitu saja sudah kendor semangatnya. Pendekar
muda itu malah tertawa renyah, serenyah krupuk
udang.
"Yang benar saja, Pak Tua. Kalau aku jadi
mayat, mana bisa pergi dari sini? Memang aku
mayat hidup? Kalau kau bisa jadi. Karena tanpa
perlu jadi mayat, wajahmu sudah seperti mayat,
sih," oceh Satria.
Memerahlah wajah Jalak Merah. Giginya
langsung bergemelutuk. Pipinya mengembung
dengan urat-urat leher bertonjolan. Kemarahan-
nya siap terbongkar.
"Bocah tengik ini terlalu merendahkanmu,
Jalak Merah. Cari mati rupanya pemuda cacingan
ini!" Laba-laba Hijau mengompori.
"Kau benar, Laba-laba Hijau! Mari kita ha-
bisi dia!"
"Sabar, sabar, Pak Tua. Rasanya kita tak
ada silang sengketa. Jadi, sudahilah persoalan ki-
ta. Tak ada gunanya kita bertarung yang hanya
memperebutkan pepesan kosong," cegah Satria.
"Apa katamu, Kunyuk Kecil?! Kau telah
menghinaku, tahu?!" bentak Jalak Merah, gusar
bukan main.
"Lho? Jadi kata-kataku tadi menghinamu.
tho? Waa, mana aku tahu? Nah, sekarang aku
mau tanya, kau mayat apa bukan?" tukas Satria
tenang.
"Bukan!"
"Ya, sudah. Kalau kau tak merasa jadi
mayat, kenapa mesti marah?"
"Setan alas! Kau memang patut diberi pela-
jaran, Kunyuk Dekil!"
Terjebak dengan kata-kata Satria, kemara-
han Jalak Merah makin membuncah. Dengan ke-
palanya, dia memberi isyarat pada tiga lelaki yang
semuanya berpakaian serba hitam untuk menye-
rang pemuda tengil itu.
Tiga orang langsung melompat dengan go-
lok terhunus.
"Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus,
heh?! Masih muda sudah banyak tingkah!" Me-
luncur serapah susulan salah satu orang berpa-
kaian serba hitam. Dilanjutkan dengan sambaran
golok keras sekaligus deras ke batang leher lawan
bau kencurnya.
Wukh!
Mata golok besar itu tinggal berjarak satu
jari lagi di sisi Leher Satria. Sebelum benar-benar
sampai, dengan gesit pemuda tengil ini merun-
dukkan badan. Lalu sambil melempar tubuh ke
samping, tangan kanannya terjulur lurus ke perut
lawan.
Begh!
"Ngekh!"
Mata penyerangnya mendelik. Masih di
tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan ba-
dan setengah membungkuk. Tangannya menekap
perut yang terasa diaduk-aduk. Raut wajahnya?
Busyet! Menyeramkan sekali untuk dikatakan se-
bagai wajah manusia. Mulutnya meringis begitu
hebat. Monyet beranak pun kalah hebat dengan
ringisannya. Pasti dia merasakan penderitaan la-
hir dan batin
Satria Gendeng sudah berdiri kembali. Ter-
lihat senyum nakalnya tersembul samar
Melihat salah seorang kawan mereka dibe-
gitukan dengan mudah oleh pemuda kemarin
sore, dua lelaki lain makin meringis. Dikira, ka-
wan mereka terlalu bertindak ceroboh, sehingga
dengan mudah lawan bau kencur mereka bisa
memperdayai. Dan mereka menganggap, serangan
Satria tadi hanya kebetulan saja bisa mendarat
telak di perut kawan mereka.
Dasar manusia besar kepala, mereka be-
nar-benar tak melihat bagaimana Satria menye-
rang tadi. Dengan kecepatan mengagumkan, si
pemuda mampu berkelit sekaligus mendaratkan
kepalan tangannya. Kecepatan tak terukur si pe-
muda benar-benar tak dianggap oleh orang-orang
itu. Dan mereka menganggapnya hanya sebuah
kebetulan?
"Tak kusangka, rupanya kau punya sedikit
kepandaian juga, Bocah Bau Kencur! Sekarang,
jaga seranganku! Heaaa…!"
Dikawal bentakan garang, si lelaki berpa-
kaian serba hitam menyerang. Ayunan goloknya
membabat dari atas ke bawah secara menyamp-
ing. Dengan begitu dia bermaksud membelah tu-
buh si pemuda. Sungguh suatu serangan keji.
Dua atau tiga jari lagi mata golok memba-
bat, Satria menyambutnya dengan satu sampo-
kan kaki yang terangkat sampai menyentuh hi-
dungnya.
Wukh! Kraakk!
Ketajaman mata si pemuda mendukung
papakannya tadi tepat mendarat pada pergelan-
gan tangan lawan. Golok itu kontan terpental
amat jauh, lantas nyangsang di atap rumah Ki
Rembang. Si penyerang sendiri berteriak luar bi-
asa. Tak disangkal lagi, sampokan kaki Satria
menyebabkan pergelangan tangannya remuk se-
ketika
Sebelum si lelaki serba hitam menikmati
rasa sakitnya, dengan jurus 'Patukan Bunga Ka-
rang', jari-jari Satria telanjur menyodok ke depan.
Buk!
"Aaakh...!"
Tangan kokoh si pemuda yang membentuk
patukan elang laut, mendarat telak di ulu hati la-
wan. Seketika terdengar suara berdebam menggi-
riskan hati. Tubuh lelaki itu roboh tanpa dapat
bergerak lagi. Mungkin semaput, tak kuat mena
han rasa nyeri yang melanda ulu hati.
Lawan berpakaian serba hitam yang masih
tersisa tak kunjung menyerang. Entah dibekam
rasa takut luar biasa melihat kehebatan lawan
mudanya, entah kakinya terlalu berat untuk di-
ajak melangkah. Yang jelas, nyalinya memang te-
lah kabur entah ke mana. Wajah pucatnya pun
disimbahi keringat dingin.
Dan Sekali Satria membentak…
"Hiaaa…!"
Lelaki itu kontan ambruk tak sadarkan di-
ri. Padahal, Satria cuma membentak. Sedikit pun
pk menggerakkan tangannya.
Jalak Merah dan Laba-laba hijau tak urung
jadi terpana. Hanya satu dua gebrakan, ternyata
pemuda bau kencur itu bisa menjatuhkan lawan
dengan mudahnya. Sementara, Ki Rengges dan Ki
Rawit sudah sejak tadi bersembunyi di balik se-
mak. Kegalakan mereka tadi pun terusir melihat
kehebatan pemuda yang menjadi tamu asing di
desa ini.
"Kau hanya mendapat lawan tikus-tikus
cecurut, Bocah Tengil!" desis Jalak Merah.
"O, jadi yang kuhadapi sekarang ini kuc-
ing-kucing buduk?" sahut Satria seenaknya.
"Bangsat! Kau sudah keterlaluan, Bocah!
Terima seranganku! Heaaa...!"
Jalak Merah menerjang ganas, diikuti La-
ba-laba Hijau. Pertarungan pun tak terelakkan la-
gi. Ki Rembang sendiri sudah beringsut mundur,
memasuki rumahnya. Dia merasa, lebih baik me
nonton pertarungan dari celah-celah dinding bilik
rumahnya saja. Demikian pula beberapa pendu-
duk yang mendengar suara ribut-ribut itu. Walau
tetap di dalam rumah, mereka berusaha mencari
tahu, apa yang terjadi.
* * *
Siang terik di Tanjung Karangbolong. Ki
Kusumo khusuk dengan semadinya. Sedang
Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul malah khusuk dengan tidurnya. Di sebuah
tiang, lelaki uzur panjang umur itu menempelkan
begitu saja tubuhnya mirip cicak menempel di
dinding. Memang banyak tingkah aneh para sese-
puh dunia persilatan. Tapi rasanya tak ada yang
sanggup mengalahkan keanehan Dongdongka.
"Sudah lama kita tak bertemu murid kita,
Kusumo," entah sedang mengigau atau sudah
terbangun, kalimat itu meluncur begitu saja dari
bibir lecek Dongdongka.
Semadi Ki Kusumo terampas. Matanya
kontan membuka. Di atas dipan, dia beringsut
sedikit ke bibir dipan. Kakinya yang buntung se-
batas lutut dan disambung dengan logam runcing
diselonjorkan.
"Kau benar, Panembahan. Tapi dari kabar
yang kudengar, dia mendapat tugas dari Adipati
Lumajang untuk mengantarkan surat pada Tiga
Pendekar Aneh. Kabarnya, Kadipaten Lumajang
mendapat ancaman dari Tujuh Dewa Kematian.
Itu sebabnya, sang Adipati minta bantuan Dewa
Gila, Pengemis Tuak, dan Arya Wadam. Entah,
apakah urusan itu sudah selesai atau belum.
Mudah-mudahan murid kita berhasil menyam-
paikan amanat sang Adipati pada ketiga pendekar
aneh itu," tutur Ki Kusumo. (Untuk mengetahui
tentang kerusuhan di Kadipaten Lumajang, baca
episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tu-
juh Dewa Kematian").
"Kau tak percaya dengan kemampuan mu-
rid kita, Kusumo?" celetuk Dongdongka.
"Bukan begitu, Panembahan. Aku hanya
khawatir. Karena kudengar Tujuh Dewa Kematian
memiliki ilmu sesat yang susah dicari tandingan-
nya. Kau tahu, Panembahan. Murid kita tak bisa
tinggal diam melihat keangkaramurkaan. Dan ku-
rasa, dia belum sanggup menghadapi Tujuh Desa
Kematian," keluh Ki Kusumo.
"Anak tengik itu jangan terlalu dikhawatir-
kan, Kusumo!" cibir Dongdongka. Jelek sekali wa-
jahnya kalau sedang begini. "Dia jangan terlalu
banyak disuapi. Biar pengalaman yang menem-
panya. Kau tahu maksudku? Pengalaman adalah
guru yang terbaik buat bocah itu. Kita sebagai gu-
runya hanya memberi sesuatu yang belum dimili-
kinya, tahu?!"
Ki Kusumo mengiyakan. Tapi dalam ha-
tinya jadi tertawa sendiri. Betapa tidak? Bukan-
kah Dongdongka sendiri yang mengusik sema-
dinya dengan keluh kesah terhadap Satria? Bu-
kankah itu juga menyiratkan kekhawatirannya?
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada
Bocah Gendeng kita itu. Iya, kan? Tapi kuin-
gatkan, jangan terlalu berlebihan, nanti malah
membuatnya manja. Mengerti maksudku, Kusu-
mo?"
Ki Kusumo mengangguk.
Tumben sekali si tua bertabiat sinting ini
bisa berbicara agak waras. Padahal, biasanya ka-
ta-katanya bisa lebih tak jelas juntrungannya ke-
timbang monyet mabuk.
"Benar, Panembahan. Tapi bukankah Pa-
nembahan sendiri yang membuka pembicaraan
tentang Satria? Bukankah itu juga mewakili kek-
hawatiran Panembahan sendiri?"
Di ujung kata-kata Ki Kusumo, Dongdong-
ka malah kembali memejamkan matanya. Di tiang
itu, Dongdongka seperti tertidur.
"Jadi apa salahnya kalau Panembahan
mencari tahu keadaan bocah kita itu?"
Kata-kata Ki Kusumo tak ditanggapi lebih
lanjut oleh Dongdongka. Ki Kusumo segera pamit
keluar gubuk yang ditinggali mereka.
Sepeninggal Ki Kusumo, Dongdongka me-
micingkan mata hati-hati. Sebelah bola matanya
melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki
Kusumo benar-benar telah keluar gubuk.
"Slompret! Dia menyudutkanku!"
Bisa jadi Dongdongka pura-pura tertidur.
Maklum, dia malu disudutkan Ki Kusumo tadi.
Cuma karena gengsi, maaf saja kalau kata-kata
Ki Kusumo tak ingin didengarnya.
Kini si tua bangka bertabiat sinting ini
kembali memejamkan matanya. Aneh sekali cara
lelaki bangkotan ini bersemadi. Dengan menempel
pada tiang tanpa menyentuh tanah sedikit pun,
kedua tangannya bersidakap. Matanya kembali
terpejam.
Jika dia sekarang terlihat semadi, bisa jadi
dia tengah mengawasi muridnya dari jarak jauh.
Maka ajian 'Melepas Sukma' yang dimilikinya pun
dikerahkan. Sebuah ajian yang hanya diturunkan
pada dirinya oleh Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Memang, jarang tokoh persilatan yang
mampu memiliki ajian 'Melepas Sukma'. Kalau-
pun ada, pasti bisa dihitung dengan jari. Salah
satunya adalah Satria Gendeng, yang diturunkan
oleh Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sebenarnya, penurunan ajian 'Melepas
Sukma' pada seorang anak muda bisa dianggap
kejadian luar biasa. Sebab, biasanya hanya tokoh
yang mempunyai kewaskitaan tinggi saja yang
mampu mempelajarinya. Tapi nyatanya, ajian itu
berhasil diturunkan pada Satria Gendeng.
Makin khusuk Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bersemadi, maka dari kepalanya menge-
pul asap tipis membentuk bayangan mirip Dong-
dongka. Lambat laun, bayangan itu utuh lalu ke-
luar dari jasad asli si tua bangka ini. Sejenak
bayangan itu menatap jasad Dongdongka, lalu
melayang keluar gubuk.
TIGA
SABETAN golok besar Jalak Merah me-
mangkas udara. Namun si pemuda tengik seperti
tak ingin bergemik. Seolah dia suka rela menye-
diakan tubuhnya untuk dirancah. Hanya saja di
balik diamnya justru dia tengah mengukur, sam-
pai di mana kekuatan lawan.
Dua jari lagi golok lawan menebas leher-
nya, tangan si pemuda bergerak cepat. Dipapak-
nya gerakan golok lawan. Sebuah cara bertahan
yang mengandung bahaya besar.
Pak!
Serangan pertama luput.
Jalak Merah makin geram. Serangannya di-
lanjutkan dengan sodokan dengkul ke perut. Pe-
nuh tenaga dan terbalut kebengisan. Tapi sayang,
lawan calon korban dengkulnya telah menge-
nyahkan tubuhnya ke kanan. Malah bersamaan
dengan itu, tangan kanannya yang membentuk
kepala ular menemui sasaran di tubuh Jalak Me-
rah.
Begh!
Jalak Merah terjajar. Perutnya yang jadi
sasaran seperti teraduk-aduk. Mulutnya merin-
gis-ringis jelek. Kasihan sekali dia. Saking keras-
nya sodokan tangan lawan ke perut, tanpa dapat
ditahan angin sialan berhawa busuk tanpa permi-
si meluncur dari pantatnya.
"Sialan kau, Pak Tua Jelek! Mulas, sih mu
las. Tapi jangan kentut sembarangan dong!" ejek
Satria. Telingannya yang tajam sempat juga men-
dengar bunyi sialan tadi.
"Jahanam! Kurancah tubuhmu, Bocah!"
Wukh!
Kembali ayunan golok lawan mengincar
dada Satria. Hendak membelah dada bidang si
pemuda dari samping. Satria mengembangkan ju-
rusnya menjadi Jurus 'Mencuri Bunga Karang'.
Lentur, si pemuda membuang tubuhnya ke bela-
kang, sehingga punggungnya sejajar tanah. Lalu
dengan sentakan perutnya, tubuhnya diputar.
Gerakannya mirip lumba-lumba bergulingan di
tengah samudera. Dan pada saat itu pula kaki
kanannya menyampok saat tebasan golok lawan
lewat.
Buk!
"Heekhh!"
Lagi-lagi kaki kanan Satria mampir di perut
lawan yang sudah telanjur maju dua tindak. Lagi-
lagi, mulut si tua bangka itu meringis-ringis se-
perti orang hendak buang hajat. Lagi-lagi pula
angin sialan kembali meluncur dari perutnya.
Bahkan kali ini dengan sedikit ampasnya.
"Wah, kau pasti cepirit, Pak Tua!" tebak Sa-
tria, yakin.
Makin merah wajah Jalak Merah. Sebentuk
kemarahan sebenarnya siap dilampiaskan. Tapi
apa daya, perutnya makin tak terkendali. Tubuh-
nya pun masih menekuk seperti udang. Kedua
tangannya terus memegangi perut.
"Kunyuk keparat! Hadapi aku, Bocah sia-
lan!"
Sederet sumpah serapah mengalir deras
dari mulut kendor Laba-laba Hijau. Bahkan pula
diiringi tebaran deras jaring yang membelit tan-
gannya.
Werrrtt!
Jaring mengembang, menyergap si pemu-
da. Tebarannya disertai angin menderu. Tajam,
memangkas udara.
"Hei, hei! Kau kira aku ikan sepat, Pak Ne-
layan! Kau salah alamat kalau menjaring ikan di
sini!" cerocos si bocah tengik berhati baja begitu
bangkit berdiri.
Di ujung kalimatnya, justru si pemuda
membuat gerakan luar biasa. Entah kapan me-
nyentak kakinya, tahu-tahu membuat salto bebe-
rapa kali ke samping. Cepat luar biasa. Gerakan
ini sering dibuatnya ketika si pemuda harus be-
renang dari Tanjung Karangbolong ke Pulau De-
demit di Lautan Hindia. Biasanya ketika hampir
mencapai bibir pantai, dia sering berpapasan
dengan nelayan yang tengah menebar jalanya.
Untuk menghindarinya, terpaksa Satria harus
berkelit. (Untuk apa yang dilakukan Satria di Pu-
lau Dedemit, baca episode : Tabib Sakti Pulau
Dedemit").
Jaring Laba-laba Hijau hanya menangkap
angin. Sasarannya sendiri tahu-tahu malah su-
dah meluncur deras. Sepertinya Satria tak ingin
berlama-lama. Kedua tangannya yang memben
tuk kepala ular mengebut bertubi-tubi.
Bed! Bed!
Laba-laba Hijau tersentak. Terhenyak, nya-
ris tak mampu berbuat apa-apa. Tapi kesadaran-
nya segera bangkit. Kalau tidak begitu, sudah
pasti kebutan tangan lawan akan membuat gi-
ginya rontok. Cepat tubuhnya dibuang ke samp-
ing.
Tapi, justru itu yang ditunggu Satria. Cepat
sekali pergerakan si bocah bertabiat sinting ini.
Ketika lawan terlihat membuang tubuh ke samp-
ing, tiba-tiba tubuhnya berputar seraya melepas
tendangan setengah lingkaran.
Dess!
Tendangan Satria tepat menghadang laju
tubuh Laba-laba Hijau. Si tua bangka itu kontan
terlempar, dan jatuh mencium tanah. Wajah me-
ringisnya malah lebih mengerikan lagi. Karena bi-
bir kendornya telah bercampur darah. Agaknya,
tendangan Satria yang sedikit disertai tenaga da-
lam itu cukup kuat menggedor dada kerempeng-
nya.
Di tengah penderitaannya, Jalak Merah
terperangah melihat kawannya ambruk dalam se-
kali gebrakan di tangan lawan muda bau kencur-
nya. Dia sebenarnya ingin melawan lagi. Tapi, itu
lho. Mulas di perutnya tak kunjung reda. Apalagi,
ada sedikit ampas di pantatnya, sehingga mem-
buatnya terganggu. Malu juga dia kalau baunya
sampai tercium lawan mudanya. Bisa matang wa-
jahnya kalau diejek terus menerus. Mungkin ka
rena angin saat ini bertiup cukup keras, membuat
baunya tak tercium.
Sok gagah, Jalak Merah menegakkan tu-
buhnya. Seolah, tak terjadi apa-apa terhadap di-
rinya.
"Siapa kau sesungguhnya, Pemuda Ten-
gik?! Lama-lama kuperhatikan, jurus-jurusmu
seperti milik Ki Kusumo. Hmm, apa hubunganmu
dengan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" tanya Ja-
lak Merah lantang ketika matanya menerjang lu-
rus ke pinggang si pemuda yang sudah berhada-
pan dengannya.
"Tadi sudah kukatakan, namaku Satria.
Apa kurang jelas?" sahut Satria.
"Maksudku julukanmu, Setan!" bentak Ja-
lak Merah.
Ini yang paling sulit. Satria paling kesal ka-
lau jati dirinya diutak-atik. "Satria, ya Satria. Ti-
tik!" jawabnya, mangkel.
"Bocah kunyuk! Kau tidak tahu, siapa ka-
mi?!" gertak Jalak Merah. Matanya kian mendelik.
"Tidak," sahut Satria enteng.
"Kami kaki tangan-kaki tangan Setan Ma-
dat, tahu?!"
"Tidak."
"Kalau kau belum tahu, akan kuberi tahu.
Setan Madat adalah salah satu biangnya tokoh
sesat yang bersarang di Hutan Sawangan, tahu?!"
"Tidak."
"Bangsat! Jadi kau tidak takut pada kami,
Kunyuk Tengik?!"
"Tidak."
Mestinya, kemarahan Jalak Merah sudah
terbongkar. Tapi dia berusaha menahannya se-
kuat mungkin. Entah kenapa, ketika melihat
tongkat pendek yang terselip di kain ikat pinggang
lawan mudanya, nyalinya seperti terdepak entah
ke mana.
Kail Naga Samudera? Sebut tua bangka ini.
Sebagai tokoh tua, tak heran kalau Jalak Merah
pernah mendengar adanya sebuah senjata pusaka
yang memiliki perbawa luar biasa. Setahunya,
senjata itu dimiliki oleh tokoh putih berkepan-
daian tinggi yang berjuluk Tabib Sakti Pulau De-
demit. Tapi, kenapa senjata itu ada di tangan pe-
muda ini? Apakah dia murid Ki Kusumo? Sehim-
pun pertanyaan memenuhi benak Jalak Merah.
Si pemuda belum mengeluarkan senjata
andalannya. Bagaimana kalau Kail Naga Samude-
ra dikeluarkan? Nyali Jalak Merah kian menguap
ketika menyadari hal itu. Jelas, pemuda ini tidak
bisa dianggap main-main.
Masih berusaha menyembunyikan kegenta-
rannya, Jalak Merah membantu Laba-laba Hijau
bangkit berdiri. Ada sejuta dendam membara di
relung hati mereka. Tapi bukan untuk dilam-
piaskan sekarang. Nanti. Terutama bila Setan
Madat ikut turun tangan. Untuk itu mereka me-
rasa harus segera melaporkan hal ini pada Setan
Madat. Rasanya, memang hanya Setan Madat
yang mampu menghadapi pemuda bau kencur
itu.
"Kami belum kalah, Bocah Edan! Tunggu-
lah pembalasan kami nanti!" desis Jalak Merah.
"Saatnya nanti kau akan meratap-ratap
minta ampun pada kami, Bocah! Tunggu saja!"
timpal Laba-laba Hijau.
Seperti mendapat kata sepakat mereka se-
gera beranjak dari tempat ini. Tiga orang berbaju
hitam yang salah seorang sudah siuman segera
mengikuti.
Satria memandang kepergian mereka den-
gan mata tajamnya. Kepalanya menggeleng-geleng
melihat kepengecutan mereka.
Sementara itu, Ki Rengges dan Ki Rawit di-
am-diam juga pergi dari tempat persembunyian-
nya. Melihat kesaktian si pemuda, rasanya mere-
ka tak ingin cari persoalan. Buktinya, Jalak Me-
rah dan Laba-laba Hijau saja sudah pontang-
panting begitu. Apalagi mereka yang baru punya
ilmu olah kanuragan dua-tiga jurus?
Baru saja Satria berbalik hendak melang-
kah menuju rumah Ki Rembang, tiba-tiba....
"Hantu...!"
Ki Rembang pontang-panting keluar dari
rumahnya. Wajahnya pucat. Tubuhnya gemetar
dengan gigi bergemelutuk.
"Tenang, Pak Tua. Tenang. Masa' siang-
siang begini ada hantu? Di mana hantunya?"
Satria berusaha menenangkan lelaki tua
kurus kering itu.
"Cobalah kau masuk ke dalam rumahku.
Ada kakek-kakek tahu-tahu muncul di belakang
ku. Wajahnya menyeramkan!" lapor Ki Rembang
setelah berusaha menenangkan hatinya.
Satria cepat melangkah menuju rumah Ki
Rembang.
Tak urung hati si pemuda jadi tegang keti-
ka dua tombak sebelum tiba di rumah itu, pintu
telah terbuka dengan sendirinya. Hanya saja hati
Satria tak mudah digertak begitu saja. Segera di-
masukinya rumah itu.
"Kakek Dongdongka?" sebut Satria begitu
tiba di ambang pintu.
"Slompret! Kutanya baik-baik orang itu ma-
lah aku dikira hantu!" omel seorang lelaki tua
bangka berkepala gundul. Tubuhnya hanya ditu-
tupi kulit ular sanca pada bagian terlarangnya.
Dialah lelaki bertabiat sinting. Dongdongka na-
manya.
* * *
"Kau keterlaluan, Cah! Sudah berapa pur-
nama kau tak pulang ke Tanjung Karangbolong?!"
omel Dongdongka.
"Maaf, Kek. Aku masih ada urusan pent-
ing," sahut Satria tenang.
"Soal perempuan?"
"Begitulah."
"Sudah kau apakan perempuan itu?"
"Jangan ngawur, Kek. Sebetulnya, aku ma-
sih mencari seorang pendekar bertabiat aneh. Dia
seorang perempuan, tapi berpenampilan seperti
lelaki. Namanya Arya Wadam. Di tengah penca-
rianku, aku tiba di desa ini. Dan ternyata, desa
ini sedang tertimpa petaka. Ada seorang tokoh se-
sat yang berjuluk Setan Madat. Dia telah mengu-
asai desa ini dan memaksa rakyat untuk mem-
bayar upeti yang mencekik Leher. Bahkan gadis-
gadis desa ini juga diangkut ke markasnya di Hu-
tan Sawangan. Para pemudanya dijadikan praju-
rit. Sedangkan anak-anak dan orang tua dijadi-
kan pekerja paksa di perkebunan madat milik Se-
tan Madat. Juga, dia te...."
"Sudah, sudah! Puyeng aku mendengar ce-
ritamu! Aku ke sini bukan mau dengar ceritamu,
tahu? Aku cuma mau melihat keadaanmu. Gini-
gini, aku juga mengkhawatirkan keadaanmu, ta-
hu?!" penggal si tua bangka bertabiat aneh itu.
Satria Gendeng terdiam. Bibirnya cemberut
kecewa.
"Pokoknya setelah tugasmu selesai, kau
harus pulang ke Tanjung Karangbolong!" susul
Dongdongka.
"Kalau aku tak mau?" ledek Satria.
"Harus mau!"
"Kalau tetap tak mau?"
"Slompret! Kau akan kupaksa tahu?!"
Satria tertawa ringan.
"Malah tertawa!" bentak Dongdongka.
"Sejak kapan Kakek jadi pikun?" tukas Sa-
tria.
"Pikun bagaimana?!"
"Mana bisa Kakek memaksaku, sedangkan
Kakek sedang mengerahkan ajian 'Melepas Suk-
ma'? Kalau begitu, aku sama saja dipaksa sama
lelembut, dong?" sambar Satria.
Alamak! Dongdongka merutuki kebodo-
hannya sendiri. Tentu saja dengan tubuh yang
berupa bayangan dia tak bakal mungkin memak-
sa Satria untuk pulang ke Tanjung Karangbolong.
Habis, bagaimana mungkin sebentuk roh bisa
menjewer telinga pemuda tengik macam Satria?
"Begini saja, Kek," buka Satria lagi.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka,
sewot.
"Selesai aku menumpas Setan Madat dan
keroco-keroconya, aku mau mencari Arya Wadam
dulu," jelas Satria, tak peduli kemarahan si ka-
kek.
"Soal perempuan lagi! Tapi cantik apa ti-
dak?"
Yang begini, ini. Sudah tua bangka bau ta-
nah, pura-pura marah mendengar muridnya akan
berurusan dengan perempuan, lalu tiba-tiba
tanya cantik apa tidak. Malah wajah marahnya
mendadak sirna, berganti tatapan berbinar-binar.
"Ingat, Kek. Dengkul Kakek sudah keropos.
Lagian, jatah anak muda masih mau disambar
saja!" cibir Satria.
"Bagaimana ciri-cirinya? Biar kucari dia!"
sambar si tua bangka makin berbinar-binar.
"Lho? Lho? Tak kusangka kalau Kakek ma-
sih punya semangat tinggi kalau soal perempuan.
Baru aku ingat sekarang. Ada pepatah bilang,
tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi. Ibarat
kelapa, makin tua makin banyak santennya. He
he...."
"Dasar bocah gendeng! Aku justru ingin
membantumu, Tolol!" sentak Dongdongka.
"Bantu bagaimana, Kek?" tanya Satria, pe-
nasaran.
Dongdongka tak menyahut. Bibirnya terse-
nyum-senyum meledek, membuat si pemuda ten-
gil ini makin penasaran. Sekarang baru tahu rasa
kau, Cah Gendeng! Maki si kakek. Kubuat kau
makin penasaran.
"Ayo dong, Kek," desak si pemuda.
Makin hebat saja cengiran si kakek.
Satria makin penasaran. Sementara
bayangan Arya Wadam makin menggila dalam
benaknya. Waktu itu, dia benar-benar penasaran
dengan sikap Arya Wadam. Setelah menumpas
Tujuh Dewa Kematian, gadis itu pergi begitu saja.
Dan ketika Satria mampir di kedai tempat perte-
muan mereka pertama dulu, si bocah pelayan
memberinya surat yang ternyata dari Arya Wa-
dam.
Dalam surat itu, Arya Wadam mengung-
kapkan segala isi hatinya. Dan Satria menangkap
isyarat bahwa Arya Wadam menyukainya. Tapi
waktu itu, Satria belum yakin dengan kata ha-
tinya. Siapa tahu itu hanya permainan perasaan-
nya saja. Tapi ketika sekian lama tak bertemu ga-
dis itu, si pemuda merasa ada sesuatu yang hi-
lang dalam hidupnya. Itu sebabnya, dia memu
tuskan untuk mencari Arya Wadam. (Untuk men-
getahui tentang Arya Wadam, baca episode:
"Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa
Kematian").
"Ayo dong, Kek. Bagaimana caranya kau
membantuku?" desak Satria lagi.
"He he he.... Penasaran juga kau rupanya,
Bocah Kunyuk! Pokoknya, begini saja," kata si
kakek.
"Tidak, begitu saja!" potong Satria.
"Setan kau! Begini! Suatu saat nanti, kau
pasti akan ketemu Arya Wadam. Nah, makanya
coba ceritakan bagaimana ciri-cirinya!"
Satria tercenung. Dikumpulkannya ingatan
tentang bagaimana wajah Arya Wadam.
"Wajah cantik, Kek," buka Satria, yakin.
"Mana ada seorang gadis berwajah ganteng.
Di mana-mana namanya gadis ya cantik!" potong
Dongdongka.
Satria menelan kekecewaan. Dongkolnya
bukan main. Bahkan melebihi kepalan seorang
centeng.
"Maksudku, wajahnya begini!" Satria mem-
beri jempol tangannya.
"Lantas?"
"Dia selalu memakai tudung seperti bakul
nasi. Bila tudungnya dibuka, matanya begitu
memikat. Alis matanya menukik. Tatapan ma-
tanya tajam. Hidungnya mancung dengan bibir
merah merekah. Kebiasaannya selalu makan nasi
dicampur arak. Pakaiannya serba putih. Kau bisa
menemuinya di kedai-kedai, Kek!" papar Satria
semangat.
Saking semangatnya, dia tak sadar kalau
gurunya telah menghilang dari tempat ini.
"Sial! Mulutku sampai berbusa, dia tega-
teganya meninggalkan aku sendiri!" rutuk Satria.
Si pemuda tiba-tiba teringat pada Ki Rem-
bang. Cepat dia melangkah keluar rumah gubuk
itu. Dilihatnya lelaki kurus pemilik rumah ini ma-
sih berdiri gelisah menunggu.
"Bagaimana, Satria. Benar kan di rumahku
ada hantunya?!" terabas Ki Rembang langsung.
Dia berharap Satria mendukung kata-katanya.
Harapannya terkabul. Kepala Satria terlihat
mengangguk.
"Tapi hantu doyan nasi, Pak Tua. Aku ma-
lah sempat berbincang-bincang dengannya," kata
Satria seenaknya.
"Kau yang benar, Satria! Mana ada hantu
doyan nasi! Yang ada hantu doyan kembang dan
kemenyan!" sanggah si tua kurus ini.
"Sudahlah, Pak Tua. Tak perlu memper-
soalkan hantu itu lagi. Dia sudah kuusir secara
baik-baik. Dia berjanji tak akan mengganggumu
lagi," bual si pemuda. Dalam hatinya dia tertawa
tergelak-gelak. Betapa tidak. Wajah Dongdongka
bisa jadi memang pantas untuk menakut-nakuti
anak kecil dan lelaki tua macam Ki Rembang.
Karena kata-kata si pemuda terdengar
meyakinkan, maka makin lengkap saja kekagu-
man Ki Rembang terhadap Satria. Bayangkan sa
ja. Selain bisa mengusir tokoh-tokoh silat berwa-
tak telengas, pemuda itu ternyata juga bisa men-
gusir dedemit! Apa bukan hebat namanya?
"Benar hantu itu bilang begitu, Satria?" Ki
Rembang penasaran.
"Benar! Tapi dia akan datang lagi kalau
penduduk di sini masih berjiwa pengecut. Mak-
sudku, takut terhadap keadaan yang terjadi di
desa ini," oceh Satria sok tua.
"Aku tak mengerti?"
"Begini, Pak Tua. Kau bilang, sudah lima
purnama desa ini dikuasai Setan Madat. Tapi ka-
rena kalian terlalu dipengaruhi bayang-bayang
ketakutan, terutama dalam menghadapi para
anak buah Setan Madat, penduduk desa ini jadi
seperti kalah sebelum berperang. Padahal kalau
mau bersatu, aku yakin para anak buah Setan
Madat bisa dicegah. Nah sekarang aku mau
tanya, apa yang menyebabkan penduduk desa ini
begitu gampang dikuasai oleh Setan Madat?"
"Ceritanya panjang, Satria," desah Ki Rem-
bang.
"Aku bersedia mendengarkan."
"Baiklah...."
* * *
Sebelum Desa Sedayu dikuasai Setan Ma-
dat, desa ini tergolong makmur, aman, tenteram,
gemah ripah loh jinawi. Sebagian besar rakyatnya
hidup berkecukupan. Baik dari hasil sawah la
dang, peternakan, maupun perdagangan.
Tiga puluh tahun yang lalu, ada seorang
pemuda yang terusir dari desa itu karena keper-
gok berzina dengan istri kepala desa. Si pemuda
pergi entah ke mana. Tapi dua puluh sembilan
tahun kemudian, pemuda yang bernama Wareng-
keh itu datang kembali secara diam-diam. Secara
diam-diam pula, dia menyebar madat dengan me-
nyamar sebagai penjual rokok. Setiap rokok yang
dijualnya telah dicampur madat. Dan bagi si
pembeli, akan ditambah dua batang rokok bila
membeli satu batang.
Karena menganggap rokok milik Wareng-
keh begitu nikmat, bahkan sampai melambung-
kan perasaan ke surga, pelanggan di desa ini ma-
kin melimpah. Akibatnya, hampir semua lelaki di
desa ini berlomba-lomba membeli rokok racikan
Warengkeh.
Melihat keadaan penduduk mulai dimabuk
kenikmatan, Warengkeh mulai melancarkan balas
dendamnya yang dipendam selama dua puluh
sembilan tahun. Saat itu pula dia beserta anak
buahnya menyerbu Desa Sedayu.
Tentu saja, tak ada perlawanan berarti dari
penduduk yang telah mabuk madat. Apalagi, ke-
pala desanya juga paling doyan madat. Maka se-
jak itulah Desa Sedayu jatuh ke tangan Wareng-
keh.
Usut punya usut, ternyata Warengkeh te-
lah berguru dengan tokoh sesat di Negeri Gajah
Putih, di semenanjung Malaya. Konon, di negeri
itu memang gudangnya madat. Pulang dari negeri
itu, Warengkeh membawa bibit-bibit tanaman
madat yang kemudian dikembangkan di Hutan
Sawangan.
Dengan kesaktian dan pengaruhnya, Wa-
rengkeh yang menjuluki dirinya Setan Madat se-
bentar saja sudah banyak memiliki pengikut.
Bahkan setelah Desa Sedayu berhasil dikuasai,
sang Kepala Desa ikut-ikutan jadi pengikutnya.
* * *
"Begitulah ceritanya, Satria," kata Ki Rem-
bang menutup ceritanya.
Satria masih bungkam. Hatinya jadi meng-
giris bila melihat keadaan desa ini sekarang. Ter-
nyata sepinya desa ini bukan saja karena pendu-
duknya banyak diangkut ke Hutan Sawangan, ta-
pi banyak pula yang masih terkulai menikmati
bayangan semu asap-asap madat.
"Anak muda!"
Terdengar panggilan, membegal kata-kata
yang hendak dilontarkan Satria. Si pemuda lang-
sung menoleh ke arah suara tadi.
"Ki Rengges? Ada apa dia ke sini lagi?" ta-
nyanya, heran.
***
EMPAT
HARI makin tua. Matahari terpuruk di ufuk
barat. Senja di Desa Karangkemboja Wetan. Ca-
haya merah jingga matahari menciptakan bayan-
gan panjang dari orang-orang yang berlalu lalang.
Sebagian penduduk mengakhiri sisa-sisa waktu
ini dengan beristirahat di rumah masing-masing.
Sebagian lagi lebih memilih cari hiburan di luar
rumah sekalian cuci mata.
Bagi para pendatang atau petualang, mere-
ka lebih memilih sebuah kedai yang cukup ramai
di desa ini. Lima lelaki bertampang kasar duduk
di meja paling tengah. Gelak tawa mereka berde-
rai, seolah mencari perhatian dari para pengun-
jung lainnya.
Di sudut ruang kedai, seseorang berpa-
kaian perlente warna putih seperti tak ingin pedu-
li melihat kegaduhan itu. Tudung seperti bakul
nasi yang dikenakannya membuat wajahnya sulit
dikenali. Tapi dari makanan yang terhidang di
mejanya yang mengepulkan asap bercampur aro-
ma arak bisa diduga kalau orang itu tak lain dari
Arya Wadam. Salah satu Pendekar Aneh yang
menjadi sahabat baru bagi Satria Gendeng.
Suasana makin panas. Pengaruh tuak
membuat kelima lelaki berpakaian serba hitam
itu semakin bertindak liar. Sudah sepuluh guci
arak telah habis mereka sikat. Tindakan mereka
makin tak terkendali. Pelayan yang semuanya
wanita mulai diusili.
"Aauuu...!"
Seorang pelayan wanita berparas cantik ja-
di sasaran. Salah satu lelaki kasar itu tiba-tiba
meraih pinggang si pelayan. Begitu jatuh di pang-
kuannya, bibir dowernya langsung nyosor ke pipi
si pelayan.
Si pelayan cantik hanya bisa menjerit nge-
ri. Matanya kontan terpejam penuh ketakutan ke-
tika bibir dower tadi mendarat di pipinya. Selain
bau arak, aroma bau jengkol juga tercium dari
mulut besar si lelaki. Untung si lelaki kasar sege-
ra melepaskannya.
Tapi ibarat terlepas dari mulut macan ma-
suk ke mulut buaya, begitu terlepas, lelaki kasar
lainnya segera menyambar si pelayan. Maka kem-
bali pipi halusnya menjadi santapan mengasyik-
kan bagi buaya-buaya darat itu.
"Lepaskan, Tuan.... Aku mohon...," ratap si
pelayan.
"Kau akan kulepaskan setelah kami puas.
Sayang, kami tak akan pernah puas melihat pe-
rawan montok macam kau, ha ha ha...!" umbar si
lelaki kasar. Lalu dia menyerahkan perempuan
dalam dekapannya ke lelaki lain.
Mendapat jatah, si lelaki kasar yang dis-
odori perempuan itu terlonjak kegirangan. Mata
merahnya akibat pengaruh arak langsung berbi-
nar mengerikan.
Sementara itu, para pengunjung kedai
lainnya satu persatu mulai meninggalkan kedai.
Mereka merasa lebih baik tak ikut campur ketim-
bang cari penyakit. Juga pelayan-pelayan wanita
lainnya. Sedangkan si pemilik kedai, sudah sejak
tadi melepas tanggung jawabnya terhadap kese-
lamatan para pegawainya. Lebih baik dia bersem-
bunyi dulu ketimbang berurusan dengan kelima
lelaki yang membuat onar di kedainya. Toh kalau
terjadi apa-apa terhadap pegawainya yang semu-
anya wanita, dia dengan cepat bisa menggantinya
dengan pegawai baru?
Inikah sifat manusia?
Mencari keuntungan mau, tapi bertang-
gung jawab nanti dulu?
Sejari lagi bibir kasar lelaki ketiga yang
hendak mencium wanita pelayan itu tiba, sebuah
benda kecil yang berkecepatan tinggi melesat ga-
nas.
Nginggg...!
Dikawal lengkingan nyaring akibat gesekan
dengan udara, benda kecil itu langsung menghan-
tam pipi lelaki yang hendak mendaratkan bibir
kasarnya ke pipi si pelayan.
Tak...!
"Adaauu...!"
Si lelaki menjerit kesakitan. Pegangannya
terhadap si pelayan dilepaskan. Sementara tan-
gannya langsung memegangi pipi. Begitu tangan
diturunkan, ternyata telah bersimbah darah. Le-
bih gila lagi, pipinya bolong. Menembus dari pipi
kanan ke pipi kiri. Di telapak tangan kirinya yang
memegangi pipi kiri, terdapat sebutir nasi yang te
lah bercampur darah. Hanya sebutir nasi!
Keempat lelaki kasar kawan dari lelaki
yang sedang naas ini menebar pandangan ke se-
keliling. Mata mereka makin beringas. Dan mere-
ka yakin, pengunjung kedai yang ada di sudut
ruangan sebagai pelakunya. Sebab, kedai nyaris
kosong kecuali mereka berlima dan seseorang
memakai tudung itu. Sedangkan pelayan wanita
yang jadi korban kebuasan mereka sudah me-
nyingkir begitu mendapat kesempatan.
"Bangat! Pasti dia yang cari gara-gara den-
gan kita!" tunjuk salah seorang, garang.
"Siapa lagi kalau bukan kunyuk itu. Di da-
lam ruangan ini cuma ada kita dan dia!" timpal
yang lainnya.
"Beri pelajaran padanya, Kang! Biar dia ta-
hu, siapa kita sebenarnya!"
Sementara orang yang jadi sasaran kema-
rahan masih terlihat tenang dengan santapannya.
Sedikit pun tidak merasa terusik mendengar
sumpah serapah yang jelas ditujukan buatnya.
Geram, lelaki paling tua di antara kelima
orang kasar meraih satu sendok makan di atas
meja. Langsung dilemparkannya sekuat tenaga ke
arah orang bertudung itu.
Ngungg...!
Suara berdengung mengawal luncuran
sendok. Dahsyat juga. Tapi tak sedahsyat luncu-
ran sebutir nasi tadi. Sungguh. Kemarahan mem-
buat mata kelima lelaki ini buta. Sebutir nasi
yang tak seberapa, mampu menembus dinding
pipi salah seorang dari mereka. Bukankah ini be-
rarti si pelempar memiliki tenaga dalam tinggi? Ini
yang luput dari perhatian mereka.
Tak ada gerakan apa pun dari orang bertu-
dung saat sebatang sendok siap menghajar leher-
nya. Tapi dua jengkal lagi sang sendok hinggap di
sasaran orang bertudung itu menggerakan tan-
gannya seperti mengibas. Perlahan sekali. Hasil-
nya, luar biasa!
Bed! Tak!
Ngungng...!
Sang sendok berbalik arah. Lebih dahsyat
dari sebelumnya. Arahnya, jelas menuju orang
yang melempar tadi. Sebisanya, lelaki kasar itu
menghindar. Sialnya, dia melompat ke arah lelaki
yang tengah dirundung malang akibat pipinya bo-
long tertembus sebutir nasi.
Gabrukk...!
"Adaaooo...!"
Maka makin lengkaplah kemalangan lelaki
yang pipinya bolong itu. Tengah dia nungging-
nungging menikmati sakit di pipinya, kali ini ma-
lah tertiban bobot berat temannya.
Sang sendok terus meluncur ganas. Kali ini
dinding ruangan kedai sasarannya.
Clap!
Bukan main! Sang sendok menancap ham-
pir setengahnya di dinding kayu jati yang tebalnya
setengah jari! Bagaimana kalau kepala manusia
yang ditembusnya?
Tiga lelaki kasar mendelik tak percaya ke
arah sendok tadi. Lalu delikan mata mereka
menghujam telak-telak ke arah si orang bertu-
dung. Dasar tak bisa membuka mata, tetap saja
kejadian barusan tak dianggap sebagai pelajaran.
Mereka belum puas kalau belum mencabik-cabik
orang bertudung itu dengan golok.
Srat! Sraat! Sraatt!
Tiga buah golok tercabut sudah dari sa-
rungnya. Berbarengan, ketiga lelaki kasar ini ber-
lompatan mengepung Arya Wadam.
"Hei, Tikus Busuk! Kau mau berurusan
dengan Gerombolan Setan Madat, ya?!" bentak
yang paling kiri.
Di balik tudung bakul nasinya, kening Arya
Wadam berkerut. Setan Madat? Siapa pula dia?
Tanyanya dalam hati.
"Bangsat! Kau tuli, ya?!" bentak lelaki yang
berdiri di tengah.
"Kalian tak perlu mengumbar bacot kalau
baru punya kepandaian seujung kuku!" sahut
Arya Wadam, menyakitkan.
Merah padamlah wajah ketiga lelaki kasar
ini. Dari merah, berubah biru. Lalu, berganti hi-
jau. Dengusan napas kegeraman mereka bak sapi
jantan melihat pasangannya. Menderu liar, siap
membuncah
"Makanlah ini!"
Berkawal teriakan membelah udara, lelaki
yang berada paling kiri membabatkan goloknya.
Arahnya, hendak menebas tudung yang dikena-
kan Arya Wadam. Sekaligus, hendak membelah
kepala pemiliknya. Ganas dan menggidikkan.
Wukh!
Tak ada gerakan yang dibuat Arya Wadam.
Tenang sekali sikapnya. Dua orang teman lelaki
kasar itu malah sudah menduga, darah akan se-
gera memancur. Tapi apa yang terjadi?
"Aaakhh...!"
Sebuah teriakan memilukan terdengar.
Bukan. Bukan terlontar dari mulut Arya Wadam.
Tapi justru dari mulut penyerangnya. Kenapa bisa
begitu?
Cerdik sekali Arya Wadam.
Waktu ketiga lelaki kasar tadi menghampi-
rinya, di ujung jari telunjuk tangan kanannya te-
lah disiapkan sebutir nasi. Dan ketika dua jari la-
gi golok itu mendarat ditudungnya, dijentikkan-
nya sebutir nasi itu saat tangannya berada di ba-
wah. Kedahsyatan tenaga dalam milik Arya Wa-
dam membuat butiran nasi itu langsung menem-
bus bagian selangkangan penyerangnya, tepat
mengenai kantong menyannya.
Terlonjak-lonjak lelaki kasar itu menikmati
rasa sakit luar biasa pada daerah terlarangnya.
Goloknya pun mental entah ke mana. Mulutnya
meringis serba salah. Bahkan tubuhnya langsung
berguling-gulingan, menabrak meja dan bangku
di dalam kedai.
Dua orang teman si lelaki kasar terlongo
bengong. Sungguh mereka tak mengerti, apa yang
terjadi terhadap teman mereka itu.
"Bangsat! Kau apakan temanku, heh?!"
semprot lelaki yang tadi berdiri paling tengah.
"Minta disunat kali," sahut Arya Wadam
enteng.
"Kambing buduk! Kurang ajar! Terima se-
ranganku!"
Berbarengan, dua lelaki kasar di depan
Arya Wadam membabatkan golok. Dahsyat juga,
tapi tak membuat Arya Wadam bergemik dari
tempatnya. Padahal, babatan golok dari kanan ki-
rinya siap membelah tubuhnya.
"Hup!"
Masih dalam keadaan duduk, Arya Wadam
menarik tubuhnya ke belakang. Bangku yang di-
dudukinya condong ke belakang dengan dua kaki.
Sedangkan kedua kaki wanita ini terangkat cepat,
seraya membawa meja di depannya ke atas.
Traasss! Traasss!
Meja kontan terbelah jadi dua bagian. Satu
bagian jatuh menumpahkan hidangan di atasnya,
sebagian lagi dipergunakan Arya Wadam. Dijejak-
nya potongan meja itu untuk menyampok kedua
penyerangnya sambil melompat bangkit dari du-
duknya.
Diegh! Diegh!
Pekikan kedua lelaki kasar dipaksa lahir
membelah udara. Sampokan lewat belahan meja
membuat tubuh mereka terdongkel ke atas dan
ambruk di lantai kedai.
Arya Wadam sendiri telah berdiri siap me-
nanti serangan selanjutnya. Tapi kedua lawan
malah mengerang-erang dengan ringisan meme
las. Kegarangan mereka sirna sudah. Hajaran
yang mendarat di rahang masing-masing mem-
buat mata mereka berkunang-kunang. Sementara
mulut mereka dipenuhi darah. Kalau sudah begi-
ni, mereka persis nenek-nenek mengunyah sirih
sambil buang hajat. Kasihan sekali.
Tertatih-tatih, kedua lelaki kasar itu bang-
kit. Mereka segera menghampiri kawan mereka
yang masih asyik memegangi benda kesayangan-
nya dengan mulut meringis-ringis menggelikan.
"Cepat pergi dari sini sebelum aku bertin-
dak lebih jauh!" ancam Arya Wadam.
Masih terselimut dendam, ketiga lelaki ka-
sar itu segera pergi meninggalkan kedai. Sedang
dua teman mereka yang lain sudah sejak tadi ke-
luar kedai begitu melihat salah seorang terjeng-
kang sambil memegangi benda kesayangannya.
"Hebat..., hebat! Seorang gadis bisa menji-
nakkan lima binatang liar...."
Perhatian Arya Wadam mendadak terpang-
kas oleh suara sember dari belakangnya. Tang-
kas, dia berbalik dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Orang Tua?"
"He he he...."
* * *
Kenapa Ki Rengges kembali lagi ke rumah
Ki Rembang lagi? Mungkinkah dia masih penasa-
ran pada Satria? Kenapa kali ini kegarangannya
hilang?
"Jangan khawatir, Pak Tua. Aku sebentar
lagi akan pamitan dengan Pak Tua Rembang," te-
rabas Satria langsung begitu Ki Rengges tiba dua
tombak di hadapannya.
Senja saat itu makin tua. Kegelapan mulai
mengurung Desa Sedayu. Ki Rembang telah me-
masang sentir di depan rumahnya. Cahaya lemah
menjelita wajah-wajah mereka.
"Jangan, Anak Muda. Jangan kau tinggal-
kan desa ini," cegah Ki Rengges, membuat Satria
jadi bingung.
Apa-apaan ini? Tadi dia penuh semangat
hendak mengusirku. Tapi sekarang? Setan apa
yang merasuki tubuhnya sehingga bisa berubah
demikian cepat. Atau jangan-jangan dia sedang
mengigau. Satria berkata-kata sendiri dalam hati.
"Aku tak mengerti maksudmu. Pak Tua?
Tadi kau begitu bersemangat hendak mengusirku.
Sekarang kau malah menahanku. Kok kau jadi
plin-plan begitu? Jangan-jangan kau kesambet
memedi sawah?" cerocos Satria seenaknya.
"Ya, aku mengaku salah, Anak Muda. Tapi
tolong, Jangan kau tinggalkan desa ini. Aku mo-
hon. Dan kalau bisa, bebaskanlah desa ini dari
tangan Setan Madat serta begundal-
begundalnya...," ratap Ki Rengges.
Setan apa lagi yang membuat Ki Rengges
jadi berubah haluan. Kalau semula selama ini dia
jadi kaki tangan Setan Madat, kenapa sekarang
memusuhinya? Dan kenapa wajahnya demikian
memelas meratap pada Satria?
"Maaf, Pak Tua. Aku tak bisa percaya begi-
tu saja kepadamu," kata Satria, sok jual mahal.
"Lantas, apa yang harus kulakukan agar
kau percaya? Sungguh aku menyesal jadi kaki
tangan mereka, Anak Muda. Se..., Setan Madat
kini malah mengincar anak gadisku satu-
satunya," ratap Ki Rengges. Tak malu-malu, dia
mulai menangis meraung-raung. "Tolong, Anak
Muda. Dia anak gadis satu-satunya. Tak mungkin
aku menyerahkannya pada Setan Madat. Biar aku
kaki tangannya, aku lebih menyayangi putriku.
Bahkan anakku akan bunuh diri bila diserahkan
kepada Setan Madat. Hu hu hu.... Tolong, Anak
Muda...."
Beginikah sifat seorang sesepuh desa? Kata
batin Satria. Semula petantang-petenteng di atas
penderitaan orang lain. Sekarang ketika penderi-
taan itu menimpa dirinya, dia meratap-ratap min-
ta tolong. Muak juga si pemuda melihat sifat ke-
pengecutan Ki Rengges. Tapi jiwa kependekaran
pemuda ini berkata lain. Biar bagaimana, Satria
harus menolong.
"Kapan kau tahu kalau anakmu akan di-
minta Setan Madat?" tanya Satria akhirnya.
"Tadi ketika aku pulang dari sini, utusan
Setan Madat datang memberi surat ini," Ki
Rengges memberikan surat pada Satria.
Si pemuda langsung membaca surat dari
Setan Madat. Selesai membaca, bukan diberikan
kembali pada Ki Rengges, tapi diremas-remasnya.
Kini dia yakin dengan kata-kata Ki Rengges.
"Sekarang bagaimana baiknya, Pak Tua?"
tanya Satria.
"Lho? Yang jadi pendekar kan kau, bukan
aku. Jadi bagaimana baiknya menurutmu?" balik
Ki Rengges. Dihapusnya sisa-sisa air mata yang
membasahi pipinya.
"Menurutku, sebaiknya aku mengisi pe-
rutku dulu," sahut Satria seenaknya. Lalu wajah-
nya dialihkan ke arah Ki Rembang. "Pak Tua
Rembang, apa masih ada singkong rebus tadi pa-
gi?" tanyanya, enteng. Merasa sebagai orang yang
dibutuhkan, besar kepala juga pendekar satu ini.
"Oh, ada, ada, Satria. Mari kita masuk du-
lu. Kita ngobrol-ngobrol di dalam," jawab Ki Rem-
bang langsung saja. "Mari Ki Rengges, masuk da-
lam gubukku," ajaknya kepada kepala desanya.
Sungguh sejak pertama kali menjabat ke-
pala desa, baru kali ini Ki Rengges memasuki ru-
mah Ki Rembang. Menurutnya, bisa jatuh gengsi
bila memasuki gubuk yang mungkin hanya dis-
enggol anjing akan roboh itu.
* *
"Aku memang sudah mendengar keadaan
di desa ini dari Pak Tua Rembang. Tapi bolehlah
kalau kau mau menambahkan sedikit," kata Sa-
tria. Saat ini si pendekar muda duduk mengelilin-
gi meja bersama Ki Rembang dan Ki Rengges.
"Terus terang, aku menyatakan permoho-
nan maaf dan penyesalanku pada Ki Rembang. Is
trinya telah jadi korban kebiadaban Setan Madat.
Juga anak gadisnya. Semua ini gara-garaku. Aku
terlalu mengikuti ajakan setan untuk menghisap
madat. Bahkan hampir semua penduduk desa ini
juga telah terbuai oleh nikmatnya madat. Aku
masa bodoh terhadap rakyatku. Sehingga dengan
mudah Setan Madat bersama anak buahnya bisa
menguasai desa ini. Sampai pada akhirnya, aku
ditekan untuk ikut bergabung dengan mereka.
Katanya kalau aku tidak mau bergabung, anak
gadisku akan di bawa. Aku sendiri akan dibunuh.
Tanpa banyak cincong, aku menuruti ajakan me-
reka. Tapi nyatanya, ketika Setan Madat melihat
anak gadisku dengan mata kepalanya sendiri, ke-
putusannya berubah. Semula, dia hanya meminta
biasa saja. Tapi, lewat surat ini, dia sudah berani
mengancamku. Dan ketika hal ini kuceritakan
pada anakku Ratih, dia mengancam akan bunuh
diri.... Hu hu hu...."
Di akhir ceritanya, Ki Rengges malah mele-
dakkan tangisnya.
"Aku..., aku juga minta maaf pada ra-
kyatku. Entah sudah berapa gadis yang dikirim
ke Hutan Sawangan demi memenuhi nafsu bejad
Setan Madat. Juga, berapa banyak pemuda, orang
tua, serta anak-anak yang menjadi budak-budak
Setan Madat. Hu hu hu.... Padahal kalau dulu
mereka tak terbuai madat, kita bisa bersatu me-
lawan Setan Madat dan anak buahnya. Hu hu
hu...."
Terlambat! Maki Satria dalam hati. Nah,
ketahuan, Ki Rengges sendiri juga ikut-ikutan
terbuai madat, walaupun tak begitu parah. Eh,
dia malah menyesali rakyatnya yang sudah men-
jadi budak-budak madat.
"Sudahlah, Pak Tua. Menangis tak akan bi-
sa menyelesaikan masalah. Dan itu hanya pantas
dilakukan oleh perempuan," ujar Satria. Gila juga
pendekar muda satu ini. Berani-beraninya dia
menasihati orang tua. Seorang kepala desa lagi!
Dan anehnya, yang dinasihati malah manggut-
manggut. Seolah, kata-kata Satria keluar dari
mulut seorang resi.
Dan sang Resi Satria dengan enaknya
mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku. Di-
ambilnya singkong rebus masakan Ki Rembang
tadi pagi.
"Kalau tak salah, seluruh kegiatan anak
buah-anak buah Setan Madat dilakukan pada
saat purnama. Kapan ya, purnama berlangsung?"
cetus Satria, memecah keheningan sejenak.
"Besok, Satria," Ki Rembang yang menja-
wab.
"Giliran gadis anak siapa yang akan diang-
kut?"
"Aku!" Ki Rengges mengacung. "Apa kau
tadi tak membaca surat yang kuberikan?"
"Maaf, aku lupa, Pak Tua. Oh, ya. Ke mana
perginya orang-orang Setan Madat yang tadi pagi
bertarung denganku, Pak Tua?" tanya Satria
langsung.
"Katanya mereka langsung ke Hutan Sa
wangan. Pasti mereka hendak melaporkan keja-
dian tadi pagi pada Setan Madat," jelas Ki
Rengges.
"Kalau begitu kau perlu menyiapkan hi-
dangan yang enak-enak, Pak Tua."
"Untuk apa?! Untuk mereka?! Maaf saja!
Aku bertekad sekarang untuk melawan mereka!"
lonjak Ki Rengges.
"Siapa bilang untuk mereka? Mendingan
untuk aku saja. Maaf, dari pagi aku belum kena
nasi. Makan singkong terus takut kentut melulu.
He he he...," oceh si pemuda, lalu menoleh ke
arah Ki Rembang. "Maaf, Pak Tua Rembang. Bu-
kannya aku tak suka singkongmu. Tapi kebanya-
kan singkong juga tidak baik, lho."
Dasar Satria. Mau makan enak saja, pakai
ngomong ngalor-ngidul. Tapi orang seperti Ki
Rengges sekali-kali memang perlu dikerjai. Biar
rada kapok, gitu.
***
LIMA
SIAPAKAH lelaki tua keropos yang ditemui
Arya Wadam di kedai Desa Karangkemboja We-
tan? Siapa lagi kalau bukan Dongdongka? Semu-
la, Arya Wadam tak mau percaya begitu saja. Tapi
ketika teringat cerita Satria tentang gurunya, Arya
Wadam baru yakin kalau lelaki keropos di belakangnya memang Dongdongka alias, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul.
Dari pertemuan singkat itu, Dongdongka
bilang bahwa Satria tengah mencari-cari Arya
Wadam. Dan bocah gendeng itu, kata Dongdong-
ka lagi, kini berada di Desa Sedayu untuk me-
numpas gerombolan Setan Madat.
"Satria mencari-cari aku?" tanya Arya Wa-
dam pada dirinya sendiri. Kini dia terbaring di se-
buah ruangan penginapan, masih di Desa Ka-
rangkemboja Wetan. Malam kian larut, merang-
kak menuju pagi. Di luar sana keadaan telah sepi.
Anjing-anjing liar melolong-lolong manggiriskan.
Saat ini sulit bagi Arya Wadam untuk me-
nutup kelopak matanya. Seolah di matanya ada
sebatang lidi yang mengganjal sehingga kelopak-
nya sulit dipejamkan. Sedangkan bayangan wajah
Satria terus saja menyita benaknya. Menggumpal
jadi satu menjadi sebentuk kerinduan. Padahal,
Arya Wadam sudah menyisihkan angan-angannya
untuk bisa bersama-sama pendekar muda itu.
Arya Wadam merasa tak pantas berdam-
pingan dengan pendekar sakti murid Dongdongka
dan Ki Kusumo itu. Apalagi bila mengingat kea-
daan dirinya. Ada semacam benang merah yang
membuat gadis ini tak meneruskan niatannya
mendekati Satria. Untuk itu dia merasa lebih baik
meninggalkan Satria setelah bersama-sama
menghancurkan Tujuh Dewa Kematian di Kuil
Neraka beberapa purnama yang lalu.
"Ada apa Satria mencari-cari aku? Apakah
dia sudah membaca suratku yang kutitipkan pa-
da seorang bocah pelayan kedai di Desa..., ah aku
lupa namanya. Tapi yang pasti, aku yakin kalau
Satria sudah membaca suratku. Hmmm..., men-
gertikah dia akan makna suratku. Ah, aku rasa
pemuda itu tidak sebodoh yang aku duga. Dia
mencari-cari aku, berarti dia mengerti maksud
suratku...."
Wajar kalau seorang gadis seperti Arya
Wadam berharap setinggi gunung. Sebagai tokoh
silat wanita, tentu saja impiannya adalah menda-
patkan kekasih dari kalangan pendekar pula.
Tentu saja dengan kesaktian yang melebihinya.
Dan itu ada pada diri Satria.
Tapi kalau cinta hanya bertepuk sebelah
tangan, apa mau dipaksa? Apakah Arya Wadam
terlalu dipermainkan perasannya sendiri? Jan-
gan-jangan kalau Arya Wadam terus mengejar-
ngejar, Satria malah jadi besar kepala. Atau ma-
lah si pemuda memang tidak mencintainya lanta-
ran keadaan dirinya yang seperti lelaki?
Sulit Arya Wadam untuk menjawabnya.
"Tapi, Satria saat ini pasti butuh bantuan.
Dia ada di Desa Sedayu untuk membantu meng-
hentikan sepak terjang Setan Madat. Oh, ya. Lima
orang lelaki kasar berpakaian serba hitam yang
membuat onar di kedai sore tadi kalau tak salah
mengaku sebagai kaki tangan Setan Madat. Be-
rarti, sepak terjang Setan Madat mulai merambah
desa ini. Ah, aku akan membantu Sa...."
Lamunan Arya Wadam terjegal oleh suara
langkah halus mendekati pintu kamarnya. Kecu-
rigaannya pun terbangkit. Cepat dimatikannya
lampu di sisi pembaringan.
Ruangan gelap.
Suara langkah halus makin nyata, berhenti
di pintu kamarnya. Siapa dia? Bisik hati Arya
Wadam.
* * *
Hutan Sawangan. Sebuah hutan tak terlalu
besar di pinggiran selatan wilayah Demak. Ada
kegiatan membahayakan di dalam hutan itu yang
luput dari perhatian pihak kerajaan.
Di tengah hutan itulah Setan Madat mem-
bangun kerajaan kecilnya. Sebuah kerajaan yang
siap meruntuhkan kedaulatan dan kewibawaan
Kerajaan Demak.
Sebuah bangunan yang dikelilingi perke-
bunan madat di tengah Hutan Sawangan. Begitu
megah walau tak terlalu besar. Empat buah tiang
besar dari kayu gelondongan yang diukir indah
menjadi penyangga bagian depan bangunan dari
kayu jati ukiran Jepara. Semua dinding juga be-
rukir, menggambarkan kegagahan sang Rahwana.
Maklum, Setan Madat pengagum berat tokoh hi-
tam pewayangan dalam lakon Rama-Shinta.
Di sekeliling bangunan berukir itu berjaga-
jaga puluhan pemuda berpakaian serba hitam. Di
dalamnya, Setan Madat sendiri tengah berpesta
pora bersama para pengikutnya.
Di kiri-kanan pangkuan Setan Madat, du-
duk dua gadis berwajah murung. Tak ada kece-
riaan di wajah mereka selain kepasrahan. Lelaki
berusia sekitar setengah abad itu sesekali menci-
umi dua gadis di pangkuannya. Setiap kali ci-
umannya, disambut gelak tawa para pengikutnya.
Sementara kedua gadis itu hanya bisa me-
nyumpah serapah dalam hati tanpa bisa berbuat
apa-apa. Habis, mana sudi mereka dicium lelaki
tua berwajah tirus itu? Matanya saja memerah,
memancarkan kebengisan. Bibirnya kendor ber-
warna hitam. Mulutnya selalu menebarkan bau
madat yang menyesakkan dada. Lelaki berpa-
kaian mirip jubah berwarna hitam ini selalu tak
jauh dari cangklong panjangnya yang selalu berisi
tembakau bercampur madat.
Di depan Setan Madat duduk lelaki tua
berpakaian serba merah. Rambutnya putih seba-
hu diikat kain merah. Siapa lagi makhluk telen-
gas itu kalau bukan Jalak Merah. Di pangkuan le-
laki uzur ini tak disinggahi seekor gadis pun.
Maklum, walaupun julukannya memakai nama
burung, tapi sebenarnya burung si kakek telah
lama mati. Dia sudah berusaha berobat ke tabib-
tabib maupun dukun-dukun, tetap saja burung-
nya tak bisa gagah di atas ranjang. Malah saking
putus asanya, dia bertekad hendak memotong sa-
ja burungnya.
Lama berpikir, si kakek berpakaian merah
ini akhirnya memutuskan untuk membiarkan bu-
rung sialannya itu. Karena kalau dipikir lebih
panjang, bagaimana kata orang bila dia kepergok
mandi di kali tanpa memiliki burung? Paling ti-
dak, sang burung merupakan tanda kalau dia
adalah seorang lelaki.
Lain halnya dengan lelaki tua berkepala
gundul dengan pakaian serba hijau di sebelah Ja-
lak Merah. Lelaki yang tak lain Laba-laba Hijau
memang dikenal doyan perempuan. Nafsunya
memang kelewat besar, walau tak diimbangi den-
gan kemampuannya di atas ranjang. Saking besar
nafsunya, baru bersanding dengan perempuan
saja sudah bocor duluan. Walhasil, di tempat ti-
dur dia cuma mendengkur saja sambil menikmati
mimpi-mimpi indahnya. Maka tak heran kalau di
pangkuannya juga tak terdapat seekor gadis pun.
Tentu saja dia malu, karena takut bocor di depan
Setan Madat. Karena kalau sampai kejadian, bisa
jadi Setan Madat akan menertawakannya habis-
habisan.
Di tempatnya, Laba-laba Hijau hanya me-
mandang penuh minat melihat keasyikan Setan
Madat. Jakunnya turun naik, menelan ludah su-
sah payah membayangkan kenikmatan di depan-
nya.
Puas dengan keasyikannya, Setan Madat
mengusir kedua gadis tadi. Dua gadis itu cepat
berlalu dengan wajah menampakkan kengerian
mendalam. Sementara Setan Madat segera meraih
cangklong panjangnya. Dihisapnya dalam-dalam
sumber asap di dalam mangkuk cangklong. Nik-
mat sekali. Lalu bibir hitamnya tersenyum
senyum sendiri. Mirip monyet ke sambet.
"Kita masih menunggu sahabatku dari Ke-
rajaan Demak. Dia adalah seorang panglima yang
ingin menumbangkan Kerajaan Demak. Tapi
sambil menunggu bolehlah kalian memberi lapo-
ran kepadaku," kata Setan Madat, datar. Tam-
paknya benaknya tengah melayang-layang menu-
ju surga terbuai oleh kenikmatan madat.
"Ketika tadi pagi aku dan Laba-laba Hijau
mengunjungi desa Sedayu untuk menarik seba-
gian upeti, di rumah warga Ki Rengges terdapat
bocah asing. Dia tanpa izin memasuki desa itu,
Ketua," buka Jalak Merah
"Hanya seorang bocah kau repot-repot me-
lapor padaku, Jalak Merah?" tukas Setan Madat
kalem.
"Bukan. Maksudku, seorang pemuda," ralat
Jalak Merah.
"Hanya seorang pemuda? Tapi kalian bisa
mengatasinya, bukan?"
"Bukan, eh! Maksudku, pemuda itu amat
sakti. Bahkan dia membawa pusaka Kail Naga
Samudera. Kami terpaksa menghindar, mengingat
pusaka itu amat dahsyat."
"Kail Naga Samudera?!" cekat Setan Madat.
Cangklong yang hendak dihisapnya diletakkan
kembali. "Ceritakan tentang pemuda itu!"
"Dia pasti muridnya Ki Kusumo alias Tabib
Sakti Pulau Dedemit. Ciri-cirinya, memakai rompi
dari kulit binatang berwarna putih. Celananya
pangsi berwarna hitam. Rambutnya panjang se
bahu berwarna kemerahan. Matanya...."
"Cukup! Cukup! Aku sudah tahu siapa
pemuda itu, walau belum pernah bertemu. Ya,
berarti sekarang kita telah berurusan dengan pe-
muda kemarin sore yang saat ini menjadi buah
bibir kaum persilatan. Satria Gendeng keparat!"
Mata Setan Madat mendelik. Warna merah mem-
bara pada dua bola matanya menyiratkan kege-
raman luar biasa.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau sampai
bergidik melihat sinar merah penuh kemarahan di
bola mata Setan Madat. Memang, walaupun ke-
dua lelaki bangkotan itu cukup banyak makan
asam garam dunia persilatan, tapi pengetahuan
mereka tentang tokoh-tokoh saat ini masih ku-
rang. Ditambah lagi, perkembangan ilmu silat me-
reka pun mentok sampai di situ. Tak ada ke-
mauan di hati mereka untuk berguru pada tokoh
sakti yang lebih hebat ilmunya.
Baru setelah Setan Madat menaklukkan
mereka, kedua lelaki bangkotan ini sadar bahwa
menambah ilmu itu suatu hal yang amat penting.
Ketinggian hati mereka yang menganggap diri pal-
ing sakti terkikis oleh kesaktian milik Setan Ma-
dat.
Di atas langit, masih ada langit. Begitu ka-
ta pepatah.
Kedua lelaki bangkotan itu merasa sadar,
tapi mereka juga merasa sudah terlalu tua untuk
menambah ilmu. Paling tidak membutuhkan wak-
tu puluhan tahun, begitu kata mereka waktu itu.
Sementara usia mereka hanya tinggal sisa-sisa
saja. Itu pun kalau Tuhan berbaik hati dengan
memanjangkan usia mereka.
Tapi anehnya, walaupun sampai saat ini
Tuhan masih memanjangkan umur mereka, tetap
saja Jalak Merah dan Laba-laba Hijau tak pernah
berpikir untuk tobat.
Kedua lelaki bangkotan ini sebenarnya
saudara satu perguruan aliran putih. Karena ke-
duanya kepergok berzina dengan beberapa gadis
desa, sang Guru mengusir mereka dari pergu-
ruan. Bahkan sang Guru sempat bersumpah, ke-
dua murid bejadnya itu tak akan punya kejanta-
nan lagi. Apalagi untuk mempunyai istri. Dan
nyatanya, sumpah itu terbukti. Dua bulan kemu-
dian, burung milik Jalak Merah seolah seperti
mati. Sedangkan milik Laba-laba Hijau, masih
untung sedikit. Kendati bisa berkluruk, tapi cuma
sesaat. Setelah itu, bocor....
Sejak itulah kedua lelaki ini memutuskan
untuk terjun ke dunia sesat....
* * *
Arya Wadam pura-pura tertidur. Napasnya
diatur sedemikian rupa agar dengkurannya ter-
dengar wajar.
Sosok di luar kamar mulai membuka pintu.
Hati-hati sekali. Baru saja pintu terbuka sedikit,
mendadak pintu tertutup kembali. Mungkinkah
sosok itu tahu kalau Arya Wadam belum tidur?
Kenapa dia tidak jadi masuk? Padahal, Arya Wa-
dam sudah siap mengempos tenaganya untuk
membekuk orang yang hendak memasuki ka-
marnya.
Penasaran, Arya Wadam bangkit. Penuh
kehati-hatian, gadis ini segera mendekati pintu.
Telinganya dipasang tajam-tajam di daun pintu.
Tak ada suara mencurigakan, selain desah napas
di balik pintu.
Tangkas dan waspada, Arya Wadam mem-
buka pintu.
Wutt!!!
"Eh?!"
* * *
"Siapa kau?!" terabas Arya Wadam, lang-
sung meringkus seorang wanita di depan pintu
kamarnya.
"Ma..., maaf Nona Pendekar. A..., aku pe-
layan kedai yang petang tadi Nona Pendekar to-
long," gagap si pelayan kedai.
"Ada apa kau ke sini? Mengapa sikapmu
begitu mencurigakan?" terjang Arya Wadam, na-
mun segera melepas ringkusannya.
"Maaf, Nona Pendekar...."
"Panggil aku Arya Wadam!"
"Baik, Non, eh! Arya Wadam. Begini,
mmm.... Bolehkah kita berbincang-bincang di da-
lam?" pinta wanita pelayan itu.
Arya Wadam tercenung sejenak. Lalu,
"Baik. Masuklah."
Si wanita pelayan segera masuk kamar.
Arya Wadam mengikuti. Mereka sama-sama
menghenyakkan pantat di ranjang kamar, setelah
Arya Wadam menutup pintu rapat-rapat.
"Nah, sekarang ceritakan, apa maksudmu
datang ke kamarku secara mencurigakan?" to-
dong Arya Wadam, langsung saja setelah menya-
lakan lampu minyak dengan pemantik api.
"Aku perlu hati-hati ke sini, Arya. Mereka
sangat berbahaya," jelas si pelayan.
"Mereka? Siapa mereka?" Kening Arya Wa-
dam berkerut.
"Anak buah Setan Madat. Mereka ada di
mana-mana."
"Lalu, apa urusannya denganku?"
"Kau adalah seorang pendekar, Arya. Aku
yakin itu. Setelah kau membuat pontang-panting
anak buah Setan Madat petang tadi, aku diam-
diam mengikutimu, hingga aku tahu kau mengi-
nap di sini. Dan ketika aku kembali ke kedai telah
ada orang-orang berpakaian serba hitam lainnya
dan seorang lelaki setengah baya berpakaian pan-
glima Kerajaan Demak. Untungnya mereka tak
tahu kalau lima orang teman mereka sebelumnya
habis kau lumpuhkan di kedai itu"
"Langsung saja ke pangkal persoalannya!"
ujar Arya Wadam, tak sabar.
"Baik. Ketika aku tiba di sana, aku mencuri
dengar pembicaraan mereka. Ternyata, panglima
Kerajaan Demak itu akan membuat pemberonta-
kan terhadap Raja. Untuk itu, dia perlu dana un
tuk menyuap prajurit-prajurit Demak agar ikut
memberontak. Dan dana itu akan diperolehnya
dari Setan Madat. Sebab dari hasil penjualan ma-
datnya, Setan Madat kini sudah seperti raja kecil
saja," papar si pelayan.
Arya Wadam manggut-manggut. Tudung-
nya tak dikenakan lagi. Maka wajah cantiknya
pun jadi bahan kekaguman si pelayan. Dia tak
menyangka ada pendekar wanita begitu cantik.
Muda, lagi. Sepengetahuannya, seorang pendekar
telah berusia tua dan berwajah pas-pasan. Tapi
begitu melihat Arya Wadam, pendapatnya pun
tersapu begitu saja.
"Lantas, apakah panglima itu masih ada?"
tanya Arya Wadam, mulai tertarik.
"Kira-kira sudah sepeminum teh dia me-
ninggalkan kedai bersama orang-orang berpa-
kaian serba hitam itu," ungkap si pelayan.
"Ke mana mereka pergi?"
"Menurut yang kudengar, ke Hutan Sa-
wangan."
Arya Wadam tercenung kembali. Dia beru-
saha mengingat, di mana letak Hutan Sawangan.
Suasana hening dalam keremangan lampu
minyak.
Mendadak....
Wusss!!!
"Awass...!"
Arya Wadam langsung menubruk si pe-
layan. Suara angin menderu yang mengiringi lun-
curan sebuah benda berkilatan sempat dirasakan
Arya Wadam. Kepekaan nalurinya mengisya-
ratkan ada bahaya mengintai.
Clap!
Benda berkilatan tadi langsung menancap
di pintu kamar. Arahnya dari dinding bilik tepat
di belakang mereka. Begitu jatuh di lantai bersa-
ma si pelayan, Arya Wadam langsung menghu-
jamkan pandangannya ke arah benda berkilatan
tadi yang menancap di pintu. Sebuah belati.
Penuh kesigapan, Arya Wadam bangkit
berdiri. Lalu....
"Hiaaa...!"
Brosss...!
Dinding bilik penginapan diterjang Arya
Wadam. Seketika tercipta lobang besar seukuran
tubuhnya. Si penerjang sendiri segera menda-
ratkan kakinya di luar kedai. Matanya nyalang
menyapu ke sekeliling. Sepi.
Penasaran, Arya Wadam berkelebat menge-
lilingi penginapan. Tetap tak ada seorang pun
yang ditemuinya. Hanya keremangan yang ada
dan tiupan angin yang mendengus-dengus. Arya
Wadam yakin, si pelempar pisau memiliki kepan-
daian tinggi. Buktinya, begitu cepat dia menghi-
lang setelah melempar pisau. Tapi siapa?
Kelima lelaki yang kuhajar petang tadi? Ti-
dak mungkin! Sanggah Arya Wadam dalam hati.
Kepandaian mereka belum seberapa. Gerakan si-
lat mereka masih lambat dan kasar, walaupun
mempunyai tenaga dalam lumayan. Sedang si pe-
lempar pisau, selain mempunyai indera pendengaran tinggi, juga mempunyai Ilmu meringankan
tubuh sempurna. Buktinya, dia bisa menentukan
di mana sosok manusia yang jadi sasarannya,
dan cepat bisa menghilang begitu habis melempar
pisau.
Di depan kedai, Arya Wadam masih ber-
tanya-tanya sendiri dalam hati. Tapi sebelum se-
mua pertanyaannya terjawab....
"Aaa...!"
Arya Wadam tercekat. Ingatannya langsung
tertuju pada si pelayan di kamarnya. Entah kena-
pa, dia begitu mencemaskannya. Maka cepat ga-
dis ini masuk ke dalam kedai.
Apa yang terjadi pada diri si pelayan...?
***
ENAM
AKU menugaskan pada kalian berdua un-
tuk merebut Kail Naga Samudera dari Satria Gen-
deng!" titah Setan Madat kepada Jalak Merah dan
Laba-laba Hijau.
Tercekat kedua lelaki bangkotan itu. Seke-
japan mereka saling memandang, lalu beralih pa-
da Setan Madat. Sinar mata mereka sarat akan
keragu-raguan.
"Apa tidak salah pendengaran kami, Ke-
tua?" Jalak Merah menyahuti.
"Apa kau sudah tuli, Jalak Merah?" balik
Setan Madat.
"Kail Naga Samudera amat dahsyat, Ke-
tua?" bela Laba-laba Hijau.
"Tapi pemiliknya hanya pemuda kemarin
sore, bukan?"
Memang, pemiliknya pemuda kemarin sore.
Tapi kepandaiannya? Jalak Merah dan Laba-laba
Hijau menggerutu dalam hati. Bisa jadi seenak-
nya Setan Madat berkata begitu, karena memang
belum menjajal kehebatan pendekar tengik murid
Dongdongka dan Ki Kusumo itu.
"Jangan khawatir. Kalian besok akan di-
bantu sahabatku dari Negeri Gajah Putih. Na-
manya Pratamp Shirapong. Dia ahli melempar pi-
sau. Sekarang dia sedang berada di Desa Karang-
kemboja Wetan untuk membantu Sugiri yang ka-
tanya mempunyai persoalan dengan seorang pen-
dekar bertudung. Sebentar lagi dia juga datang.
Mungkin bersamaan waktunya dengan kedatan-
gan Panglima Ganang Laksono di istanaku ini,"
cetus Setan Madat.
Legalah hati kedua lelaki bangkotan itu.
Sesak napas yang mendadak menyerang dada
sirna sudah. Dan sebelum ada yang membuka
suara, dari arah pintu datang seorang pemuda
berpakaian serba hitam.
Si pemuda memberi hormat sejenak. Tu-
buhnya dibungkukkan sedikit. Lalu dibukanya
senyum lebar.
"Ketua, tamu kehormatan telah tiba," lapor
si pemuda.
"Suruh langsung masuk," sahut Setan Ma-
dat.
"Baik," Si pemuda segera menghormat lagi.
Lalu dia berjalan gagah keluar.
Tak ada sepuluh hitungan, dari arah pintu
muncul seorang lelaki setengah baya. Pakaiannya
jelas menandakan kalau dia adalah seorang pan-
glima kerajaan. Wajahnya kokoh dihiasi kumis
dan brewok. Pancaran matanya tajam. Di ping-
gangnya terselip sebuah pedang.
"Selamat datang di istana kecilku, Pangli-
ma Ganang Laksono," sambut Setan Madat. Si-
kapnya terkesan dibuat-buat.
"Terima kasih sobatku, Setan Madat.
Sungguh suatu kehormatan besar aku bisa ber-
temu denganmu, setelah sekian tahun kita tidak
berjumpa," ucap Panglima bernama Ganang Lak-
sono ini.
Kedua lelaki ini saling bersalaman. Setan
Madat lantas membawa sahabatnya ke kursi di
sebelahnya.
"Tak perlu banyak beristiadatan di istana-
ku, Panglima. Kau dan aku sudah seperti sauda-
ra. Kalau tiada kau, mana mungkin aku berhasil
membawa bibit-bibit madat ke tanah Jawadwipa
ini. Walhasil, aku kini bagaikan raja kecil di Hu-
tan Sawangan ini. Kekayaanku sekarang melim-
pah. Dan itu berkat jasamu, Panglima," kata Se-
tan Madat.
"Dan kau sekarang mengerti kepentingan-
ku, bukan?" todong Panglima Ganang Laksono,
tanpa tedeng aling-aling.
"Oh, tentu. Tentu, Panglima. Berapa pun
biaya yang kau butuhkan, aku pasti akan mem-
bantu mewujudkan cita-citamu dalam merebut
takhta Kerajaan Demak. Dengan begitu, bukan-
kah nantinya kita akan meningkatkan kerja sa-
ma?"
Panglima Ganang Laksono tertawa terba-
hak. Ada nada kepuasan dalam setiap tarikan ta-
wanya.
"Oh, ya. Kuperkenalkan para pembantu-
ku," lanjut Setan Madat. "Yang memakai pakaian
serba merah bernama Jalak Merah. Sedangkan
yang berpakaian serba hijau bernama Laba-laba
Hijau."
Kedua tokoh sesat yang disebut Setan Ma-
dat berdiri dari duduknya. Tubuh mereka mem-
bungkuk sedikit, memberi hormat pada Panglima
Ganang Laksono. Sementara sang panglima
hanya mengangguk sedikit. Pelit kelihatannya un-
tuk memberi balasan penghormatan lebih banyak.
Maklum, pejabat kerajaan rata-rata memang begi-
tu. Terutama, mereka yang merasa dirinya dibu-
tuhkan.
"Aku juga mengundang sahabatku dari Ne-
geri Gajah Putih. Sebentar lagi dia akan muncul.
Namanya, Pratamp Shirapong. Setelah dia menye-
lesaikan tugasku, dia bisa kau pinjam untuk
membantumu merebut takhta kerajaan. Dia ahli
melempar pisau. Kau pasti tertarik dengan ke-
pandaiannya," tambah Setan Madat.
"Terima kasih, atas jerih payahmu, Setan
Madat. Aku tak akan melupakan budimu. Kelak
bila aku berhasil merebut takhta, kau akan kua-
ngkat menjadi salah satu menteriku," sambut
Panglima Ganang Laksono.
"Ha ha ha.... Dan aku akan dikelilingi ba-
nyak selir. Ha ha ha.... Kalau begitu dari sekarang
aku mesti rajin minum ramuan obat kuat, biar
tak cepat loyo.... Ha ha ha...."
Tawa meledak di ruangan ini. Bahu mas-
ing-masing berguncang keras, seolah cita-cita me-
reka sudah tergenggam di telapak tangan. Ada
keyakinan kuat di hati sang Panglima. Betapa ti-
dak? Kadipaten Kutowinangun dan Kadipaten
Purworejo telah siap mendukungnya dalam mere-
but takhta Kerajaan Demak. Apalagi sekarang di-
bantu beberapa tokoh hitam berkepandaian lu-
mayan.
Panglima Ganang Laksono adalah salah sa-
tu panglima yang tak puas dengan aturan kera-
jaan. Dia telah cukup lama mengabdi di kerajaan,
tapi tetap saja pangkatnya masih panglima. Dia
berharap, Raden Sutawijaya yang menjadi raja
saat itu mengangkatnya menjadi adipati di salah
satu wilayah kekuasaan Demak. Lelaki ini merasa
sudah sangat berjasa kepada kerajaan, tapi na-
sibnya tak masuk hitungan. Malah, kawan-
kawannya yang waktu itu masih menjadi pung-
gawa kini sudah berpangkat panglima. Bahkan
sudah ada yang diangkat menjadi adipati di wi-
layah timur Demak
Ketidakpuasan itu menimbulkan dendam.
Ibarat api tersiram minyak, dendam itu makin
membara ketika adik Panglima Ganang Laksono
dihukum mati karena dituduh melarikan istri
orang. Saat itu sang Panglima hanya pasrah. Tapi
dalam hatinya, dia merasa harus melaksanakan
dendamnya itu.
Dalam suatu kesempatan, Panglima Ga-
nang Laksono pergi ke Kadipaten Kutowinangun.
Sang Adipati yang masih kakak ipar Panglima
Ganang Laksono, gampang saja termakan bujuk
rayu. Demikian pula Adipati Purworejo yang ma-
sih sepupunya. Mereka semua termakan ucapan
berbisa sang Panglima, sehingga bersedia mem-
bantu untuk meruntuhkan takhta Kerajaan De-
mak.
Tentu saja, untuk mewujudkan impiannya
itu Panglima Ganang Laksono butuh biaya ba-
nyak. Dasar nasibnya sedang bagus, di pantai
Demak dia bertemu seorang saudagar yang men-
gaku bernama Warengkeh. Ketika sang panglima
bermaksud menangkapnya karena si saudagar
membawa berkarung-karung bibit madat dalam
perahunya, timbullah dalam benaknya untuk
memanfaatkan saudagar itu.
Dari kesepakatan yang terjadi, Panglima
Ganang Laksono akan memperoleh biaya dari Wa-
rengkeh yang kemudian dikenal sebagai Setan
Madat. Sedangkan Setan Madat diberi perlindun-
gan menanam bibit-bibit madat itu di tempat yang
tersembunyi. Bila panen, madat-madat itu akan
dijual ke seluruh pelosok lewat kaki-kaki tangan
Setan Madat. Dan hasilnya dibagi dua, antara Se-
tan Madat dengan Panglima Ganang Laksono.
Sekian tahun, Setan Madat menjual madat
itu hanya sembunyi-sembunyi. Tapi beberapa
purnama belakangan ini, dia menjualnya secara
terang-terangan. Dan bila ada kaki tangannya
yang tertangkap, maka Panglima Ganang Lakso-
nolah yang membebaskannya.
* * *
Brakk!
Arya Wadam mendobrak pintu kamar pen-
ginapannya. Tapi di tempat tidurnya telah tergo-
lek si pelayan wanita yang menemuinya tadi. Te-
pat di dada kirinya tertancap sebilah belati. Cepat
wanita itu menghampiri si pelayan.
Tak ada gerakan sedikit pun pada tubuh si
pelayan ketika Arya Wadam memeriksa. Si pe-
layan telah mati.
"Sialan! Rupanya si pelempar pisau meng-
gunakan kesempatan selagi aku mencarinya.
Atau, si pelempar pisau ada beberapa orang. Satu
orang memancingku agar keluar, sementara yang
lainnya masuk melalui pintu? Ya, aku yakin begi-
tu," bisik Arya Wadam berkata sendiri.
Selagi Arya Wadam membenahi mayat si
pelayan, dari arah pintu bermunculan beberapa
keamanan dan orang-orang yang menginap di
penginapan ini.
"Dia pembunuhnya, Kisanak. Aku melihat-
nya," tunjuk seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam pada Arya Wadam.
Arya Wadam mengenali orang yang menun-
juknya. Dia adalah salah seorang lelaki anak
buah Setan Madat yang dibuat pontang-panting
olehnya petang tadi.
"Slompret! Jangan menuduh sembarangan,
Keparat! Aku sedang memeriksanya, tahu?!" ben-
tak Arya Wadam, kalap.
"Bohong! Aku tadi melihatnya. Dia men-
gendap-endap masuk kamar ini lalu sekejap ke-
mudian terdengar teriakan. Pasti dia pelakunya!
Ayo kita tangkap!"
"Wah, jadi gawat urusannya!" desis Arya
Wadam perlahan dengan sikap waspada.
Percuma saja sepertinya Arya Wadam be-
rusaha berkelit. Sebab, orang-orang di depan pin-
tu mulai mengurungnya. Sejenak tatapannya
menghujam pada lelaki yang memfitnahnya. Dia
melihat, lelaki itu tersenyum penuh kemenangan.
Arya Wadam tak ingin ada korban jatuh
dari orang-orang tak bersalah. Dia tahu pasti, pa-
ra lelaki yang mulai bergerak ke arahnya ini
hanya terpengaruh ucapan lelaki berbaju hitam
itu. Untuk meladeni, rasanya tidak pada tempat-
nya. Untuk itu, Arya Wadam merasa lebih baik
menghindar.
"Hap!"
Lewat satu teriakan, Arya Wadam melent-
ing ke belakang. Langsung diterobosnya lobang
pada dinding yang dibuatnya tadi, ketika menge-
jar orang yang melempar pisau. Begitu mendarat,
tubuhnya segera melesat meninggalkan kedai.
Cepat sekali Arya Wadam berlari. Samar-
samar telinganya masih mendengar seruan orang-
orang yang mengejarnya. Tapi dia tak peduli. Le-
satannya makin cepat, menuju Desa Sedayu....
* * *
"Tak kusangka, pendekar bertudung itu
ternyata seorang wanita. Dialah yang mempecun-
dangi teman-temanku, Tuan Pratamp! Aku harus
mengejarnya!" kata seorang lelaki berpakaian ser-
ba hitam di depan penginapan di Desa Karang-
kemboja Wetan.
"Tak perlu, Sugiri!" sergah lelaki setengah
baya berpakaian dari kulit gajah yang disamak
halus. Di sekeliling pinggangnya berjejer barisan
belati. Wajahnya lebar dengan mata agak sipit.
Hidungnya mekar berlobang besar. Tanpa kumis
dan jenggot. Rambutnya sebahu, tapi botak pada
bagian atasnya. Celananya pangsi berwarna hi-
tam. Dialah Pratamp Shirapong dari Negeri Gajah
Putih atau Campa (Negeri Gajah Putih atau Cam-
pa, sekarang dikenai sebagai Muang-
thai/Thailand di Semenanjung Malaka. Di nege-
rinya dia dikenai sebagai Belati Iblis).
"Kenapa, Tuan Pratamp?" tukas lelaki ber-
nama Sugiri. Nadanya kurang puas.
"Jangan terlalu buang tenaga, Sugiri," jelas
Pratamp Shirapong dengan logat Campa yang
kental. "Pertama kita harus cepat kembali ke Hu-
tan Sawangan. Kedua, besok kita harus menuju
Desa Sedayu. Ketiga, pendekar wanita itu akan
berpikir dua kali jika kembali ke desa ini. Jelas
penduduk desa ini telah mengenalinya. Sehingga
ruang gerak wanita itu akan sangat ter-batas.
Dan kau sendiri akan bebas menjalankan tugas
Setan Madat dalam menyebar madat di desa ini.
Kau paham?"
"Wah, Tuan Pratamp ternyata sangat cer-
dik. Tak percuma Ketua mengundang Tuan ke
Jawadwipa ini," puji Sugiri.
Pratamp Shirapong makin membusungkan
dada dipuji begitu. Tarikan senyumnya justru
menyiratkan kalau dia sangat meremehkan ke-
pandaian para penduduk pribumi. Termasuk, Su-
giri. Baginya, Sugiri tak lebih dari kucing buduk.
Mengeong-ngeong terlalu keras, begitu digertak
lari terbirit-birit.
Bukan tanpa alasan Sugiri memuji Pra-
tamp Shirapong begitu tinggi. Sewaktu kembali ke
Hutan Sawangan setelah dia dan empat kawan-
nya petangnya dibuat pontang-panting oleh Arya
Wadam, Sugiri sudah melihat kehebatan Pratamp
Shirapong dalam melempar pisau.
Dengan mata tertutup, dari jarak sekitar
sepuluh tombak Pratamp Shirapong mampu
membidik sasaran yang hanya berupa sebiji buah
duku. Tak tanggung-tanggung, sebutir buah duku
sebesar kelereng itu diletakkan di atas kepala bo
tak salah seorang anak buah Setan Madat. Begitu
pisau meleset....
Wesss....!
Tak! Brukk!
Bukan hanya buah duku yang terpental.
Lelaki botak yang kepalanya dijadikan tempat
menaruh duku pun ambruk pingsan. Betapa ti-
dak? Semula dia dengan gagahnya menyediakan
kepalanya untuk ditaruh buah duku. Dipikirnya,
mata Pratamp Shirapong tak ditutup. Tapi begitu
salah seorang anak buah Setan Madat menutup
mata lelaki dari Negeri Campa itu, si lelaki botak
mulai menggigil ketakutan. Wajahnya pucat bu-
kan main. Matanya melotot nyaris keluar dari
rongganya. Dengkulnya gemetar. Dan dari se-
langkangannya muncul mata air berbau pesing
bukan main.
Ketika buah duku tersambar pisau, kesa-
daran lelaki botak itu telah lenyap bersama angin
lalu. Kasihan dia. Maunya sih sok gagah di depan
Setan Madat. Tak tahunya, malah disiram air sa-
tu ember untuk menyadarkannya.
Di malam itu, Sugiri tak kuat menahan ta-
wanya melihat si lelaki botak menderita lahir ba-
tin begitu. Tapi. Justru tawanya mengundang
perhatian Pratamp Sharapong. Dan sekali lelaki
dari Campa ini mengebutkan tangannya....
Wess....
Clap!
"Aaahh.... "
Sugiri mendesah lirih. Dia yang saat itu
berdiri bersender di bawah tiang soko guru ke-
diaman Setan Madat melirik ke bawah. Dan jan-
tungnya nyaris copot ketika melihat pisau yang
dilemparkan Pratamp Shirapong menancap di de-
kat selangkangannya, langsung menembus tiang
dari kayu berukir. Untung saja pisau itu hanya
menembus kain celana, hanya beberapa rambut
dari kantong menyannya. Tapi tak urung, ada
mata air berbau pesing pula yang tiba-tiba mun-
cul dari situ...
Keyakinan makin bertambah, ketika di De-
sa Karangkemboja Wetan Pratamp Shirapong
membuktikan keahliannya dalam menentukan
sasaran. Hanya sayang, waktu itu yang jadi sasa-
ran Arya Wadam. Sehingga tak mudah bagi si pi-
sau menyentuh pendekar wanita itu.
Kepergian Pratamp Shirapong ke desa ini
juga berkat perintah Setan Madat, setelah Sugiri
melaporkan bahwa dia dan empat kawannya di-
ganggu oleh seorang pendekar bertudung.
Selesai melaporkan, bersama Pratamp Shi-
rapong, Sugiri kembali ke kedai, tepat ketika Pan-
glima Ganang Laksono belum lama meninggalkan
kedai. Setelah bertanya-tanya, Sugiri mendapat
keterangan kalau pendekar bertudung itu mengi-
nap di seberang kedai tempat terjadi keributan
petang sebelumnya.
***
TUJUH
NANTI malam, purnama tiba.
Seperti peraturan yang dibuat Setan Ma-
dat, pada malam itu Kepala Desa Rengges harus
sudah menyiapkan upeti, seorang gadis, dan seo-
rang lelaki yang akan dibawa ke Hutan Sawan-
gan.
Bila purnama-purnama sebelumnya Ki
Rengges akan penuh suka cita menyerahkan se-
mua permintaan Setan Madat, kali ini nanti dulu.
Apalagi gadis yang akan diserahkan kali ini ada-
lah anaknya sendiri. Ratih. Karena pada surat Se-
tan Madat kemarin siang, Ki Rengges diharuskan
untuk menyerahkan anak gadis satu-satunya pa-
da Setan Madat. Itu setelah beberapa hari yang
lalu, lelaki sesat itu melihat dengan mata kepala
sendiri, betapa cantiknya anak Ki Rengges.
Selain sayang pada anak satu-satunya,
tentu saja Ki Rengges amat kecewa, karena Setan
Madat telah melanggar janjinya. Karena sebelum
Ki Rengges jadi pengikutnya, Setan Madat berjanji
untuk tidak mengganggu keluarga kepala desa
itu. Tapi, memang sia-sia bersepakat dengan to-
koh sesat macam Setan Madat. Janji tinggal janji.
Soal dipenuhi, sampai berak kapur tak akan ter-
jadi.
Sejak itulah Ki Rengges sadar akan kekeli-
ruannya. Apalagi setelah di desanya datang seo-
rang pendekar muda bernama Satria. Lelaki tua
ini bertekad untuk menentang Setan Madat. Dan
untuk menebus dosa-dosanya pada para pendu-
duk dia bertekad untuk ikut menghadang para
pengikut Setan Madat.
Tapi, Satria Gendeng punya siasat tersen-
diri. Si pemuda tengik ini cukup mengerti dengan
tekad Ki Rengges. Namun dia tak bisa membiar-
kan Ki Rengges bertarung dengan mengandalkan
kepandaian yang seadanya. Sebab dengan keja-
dian kemarin, si pemuda yakin kalau Setan Ma-
dat akan membawa kekuatan yang lebih kuat.
Siasat apakah yang akan dijalankan pe-
muda bertabiat tengik itu?
* * *
Seperti biasa, Ki Rengges menyambut para
anak buah Setan Madat dengan pesta besar. Ma-
kanan dan minuman berlimpah ruah. Juga ma-
dat. Ruangan di rumah Ki Rengges bagaikan di-
penuhi kabut. Semuanya menyesakkan dan me-
mabukkan.
"Bagaimana, Ki Rengges? Apakah kau su-
dah menyediakan semua permintaan Setan Ma-
dat?" tanya Jalak Merah. Lelaki berpakaian serba
merah ini duduk berdampingan dengan Laba-laba
Hijau. Sedangkan Pratamp Shirapong yang me-
mang ditugasi untuk mengawal kedua lelaki
bangkotan itu duduk di sebelah Ki Rengges.
Di ruangan yang mereka tempati tak ba-
nyak dikepung oleh asap rokok berisi madat, ka
rena berada paling dalam. Ki Rengges berusaha
untuk tidak mengundang kecurigaan dengan ber-
sikap sewajarnya.
"Oh, itu. Semuanya sudah kusiapkan," sa-
hut Ki Rengges, pendek.
"Lantas. Ke mana pemuda bernama Satria
yang kemarin menjadi tamu asing di desa ini?" ce-
tus Laba-laba Hijau. Dia mana sudi mengatakan,
mana pemuda yang mengalahkannya?
"Dia sudah pergi kemarin," sahut Ki
Rengges, pendek lagi.
"Kalau dia masih ada, pasti akan berlutut
minta ampun pada kami. Kau lihat. Di sebelahmu
duduk seorang tokoh tingkat tinggi dari Negeri
Campa. Dia ahli melempar pisau. Namanya, Pra-
tamp Shirapong," kata Laba-laba Hijau bangga.
Matanya mengarah pada Pratamp Shirapong.
"Siapa? Macam Ompong?" Ki Rengges
mendekatkan telinga ke arah Laba-laba Hijau.
Mungkin karena di ruang depan sana suasana
terlalu dikepung kebisingan. Atau memang Ki
Rengges sendiri yang sudah rada tuli?
"Jangan sembarangan kau, Ki!" ledak Laba-
laba Hijau. "Dia tak akan memberi ampun pada
setiap lawan!"
"Oh, maaf. Habis, di luar berisik sekali,"
ucap Ki Rengges buru-buru. "Siapa tadi?"
"Pratamp Shirapong."
Ki Rengges tak mau menyebut nama itu.
Takut salah. Kalau salah lagi, lelaki dari Negeri
Campa di sebelahnya sudah mengepalkan jari
tangannya.
"Nah, sekarang, cepat keluarkan anak ga-
dismu, Ki Rengges. Setan Madat sepertinya sudah
tak sabar untuk memilikinya," cetus Jalak Merah.
"Sabar, sabar. Nikmatilah makanan di
ruangan depan sana dulu. Istriku masak sangat
banyak tadi siang," ujar Ki Rengges.
"Tidak. Kami tidak lapar. Cukup tuak ini
saja yang menjadi hidangan kami," tolak Laba-
laba Hijau.
Jawaban Laba-laba Hijau agaknya mewaki-
li Jalak Merah dan Pratamp Shirapong. Buktinya,
kepala mereka mengangguk-angguk tanda setuju.
Tapi bagi Ki Rengges jawaban itu makin mem-
buatnya gelisah.
Gawat! Bisa gagal rencana Satria! Gerutu
Ki Rengges dalam hati. Matanya sebentar-
sebentar melirik ke kamar Ratih. Lalu ke arah ke-
ramaian di depan sana. Keringat dingin mulai
membasahi tubuhnya.
"Kenapa kau, Ki? Kau gelisah sekali? Ada
yang mengkhawatirkanmu?" tanya Laba-laba Hi-
jau, curiga.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya ma-
suk angin sedikit," tangkis Ki Rengges.
"Apa kau keberatan anak gadismu dibawa
ke Hutan Sawangan? Kalau keberatan bilang saja.
Jadi kami gampang memberesimu sekarang juga,"
kali ini Pratamp Shirapong yang buka mulut sete-
lah dari tadi diam saja. Mungkin manusia ini ter-
lalu asyik dengan suguhan madat Ki Rengges.
Buktinya matanya memerah saat menatap nya-
lang pada lelaki tua kepala desa itu.
"Tid..., tidak. Ak..., aku tidak keberatan.
Tap..., tapi hanya merasa sedih harus berpisah
dari anakku," gagap Ki Rengges.
"Bagaimana kau ini, Ki. Kau kan salah satu
anggota Setan Madat. Dan kau bebas menengok
anakmu di Hutan Sawangan kapan saja. Nah, se-
karang panggil anakmu," ujar Jalak Merah tegas.
Ki Rengges mulai beranjak ketika di ruan-
gan depan suasana gaduh mulai agak reda. Suara
gelak tawa mulai menipis. Yang ada kini hanya
ocehan-ocehan tak beraturan dan gumaman-
gumaman tak bermakna.
Tepat ketika Ki Rengges memasuki kamar
Ratih, beberapa orang berpakaian serba hitam
yang menjadi prajuritnya Setan Madat bertum-
bangan. Dan suasana pun senyap.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau terpana
saling pandang. Sedang Pratamp Shirapong lebih
hebat lagi. Matanya mendelik seolah tak bakal
mengatup lagi. Giginya bergemelutuk seketika.
"Bajingaaaann! Kita dikelabui tua bangka
itu!" ledak Pratamp Shirapong langsung menyusul
ke kamar Ratih, mengejar Ki Rengges.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau melom-
pat ke arah ruangan depan. Di lantai, sepuluh
orang berpakaian serba hitam teman mereka te-
lah terbujur nyenyak. Kedua tua bangka ini sege-
ra memeriksa makanan dan minuman yang terhi-
dang. Mengendus-endus, mirip kucing dapur.
"Benar kata Pratamp Shirapong. Kita terti-
pu. Makanan dan minuman ini mengandung ma-
dat berkadar tinggi yang dicampur ramuan terten-
tu, sehingga membuat mereka mabuk sangat be-
rat! Keparat tua bangka itu!" sumpah serapah ter-
lontar dari bibir kendor Jalak Merah.
Tanpa menjawab kata-kata Jalak Merah,
Laba-laba Hijau segera kembali ke tempat semula,
lalu menyusul Pratamp Shirapong. Jalak Merah
segera mengikuti.
Sebenarnya, apa yang terjadi terhadap se-
puluh orang berpakaian serba hitam itu?
Inilah sebagian dari siasat Satria. Tak per-
cuma rupanya bocah tengik itu menjadi murid
Tabib Sakti Pulau Dedemit. Soal ramu meramu,
jangan tanya. Walau tak setaraf gurunya, paling
tidak si pemuda punya bekal tentang obat-
obatan. Maka ketika pemuda ini minta madat pa-
da Ki Rengges, lelaki tua ini jadi mendelik tak
percaya. Tingkah apa lagi yang akan dibuatnya?
Apa Satria sudah keranjingan madat?
Tidak. Si pemuda justru meraciknya den-
gan beberapa getah tumbuhan yang juga men-
gandung zat-zat pelumpuh syaraf. Biasanya,
tumbuhan itu digunakan untuk menghilangkan
rasa sakit dalam pengobatan. Racik punya racik,
lalu ditambah jahe, kunyit, dan bawang putih,
Satria lantas mencampurkannya dengan masakan
yang dibuat istri Ki Rengges. Untuk minumannya,
Satria tinggal menambahkan sari jeruk nipis pada
tuak yang terhidang. Hasilnya, cukup memua
skan walau agak melenceng sedikit.
Sedianya, Satria mengharapkan Jalak Me-
rah dan Laba-laba Hijau serta Pratamp Shirapong
ikut maka dan minum di rumah Ki Rengges. Tapi
ternyata mereka menolak. Padahal kalau mereka
mau, kan tinggal membekuk saja? Itu sebabnya,
mengapa Ki Rengges tampak demikian gelisah.
Setelah membubuhkan racikan pembius
pada makanan dan minuman, Satria menyuruh
istri dan anak Ki Rengges menyingkir dari ru-
mahnya. Itu semata-mata demi keamanan mere-
ka.
* * *
"Mana tua bangka itu, Tuan Pratamp?"
tanya Jalak Merah begitu lelaki dari Negeri Cam-
pa itu keluar dari kamar Ratih.
"Melarikan diri dari jendela. Kita telah diti-
pu mentah-mentah. Rupanya lelaki keparat itu te-
lah berkhianat. Huh! Sejak datang ke tempat ini
sebenarnya aku sudah curiga!" dengus Pratamp
Shirapong. "Dan ternyata, aku hanya menemani
dua kerbau tua berotak udang!"
"Kau jangan menyalahkan kami, Bangsat!
Mana kami tahu kalau tertipu begini?!" bentak
Laba-laba Hijau. Terhina sekali dia dikatakan
kerbau tua. Berotak udang, lagi.
"Nyatanya? Kalian sebelum pergi ke tempat
ini sudah bercerita kalau ada seorang pemuda
yang memasuki wilayah ini. Lalu, pemuda itu
berseteru dengan kalian?" tukas Pratamp Shira-
pong.
"Iya, tapi apa hubungannya dengan keja-
dian ini?!" tuntut Jalak Merah. Tentu saja Jalak
Merah juga merasa harga dirinya terinjak-injak.
"Bisa saja pemuda itu mempengaruhi Ki
Rengges. Lalu lelaki tua keparat itu sadar, dan
Jadi berkhianat terhadap kita."
"Tidak bisa! Ki Rengges telah disumpah se-
belum masuk menjadi pengikut Setan Madat!"
Laba-laba Hijau bersikeras.
"Apalah artinya sumpah kalau harus kehi-
langan orang yang disayangi?" balik Pratamp Shi-
rapong.
"Maksudmu?"
"Ah, dasar kalian memang berotak bebal!
Putri Ki Rengges itu anak satu-satunya. Dan dia
diinginkan oleh Setan Madat. Lantas apakah Ki
Rengges membiarkan begitu saja anaknya diam-
bil? Dan mumpung ada seorang pendekar di de-
sanya, kenapa tidak dimanfaatkan tenaga si pen-
dekar? Masihkah kalian belum mengerti?"
"Boleh jadi kami mengerti. Tapi cabut dulu
kata-kata penghinaanmu tadi!" ledak Jalak Me-
rah.
Makin merah wajah Laba-laba Hijau dan
Setan Merah. Dada mereka turun naik, siap me-
ledakkan amarah. Mata mereka pun mendelik gu-
sar. Untuk saat ini, mereka tak ingin memandang
Pratamp Shirapong sebagai kawan lagi. Tak pan-
dang bahwa lelaki asal Negeri Campa itu adalah
kawan dekat Setan Madat. Kata-kata Pratamp ta-
di benar-benar menusuk dalam perasaan mereka.
Jangan dikira mentang-mentang mereka tokoh
sesat, lantas tak punya perasaan.
"Jadi kalian tersinggung dengan kata-
kataku tadi?" balik lelaki berwajah lebar ini.
"Jelas kami tersinggung!"
"Lalu, apa mau kalian? Bertarung? Ku-
tunggu kalian di luar!"
Di ujung kalimatnya, Pratamp Shirapong
melesat keluar rumah Ki Rengges. Sejenak Jalak
Merah dan Laba-laba Hijau saling memandang.
Lalu ketika kepala Laba-laba Hijau mengegos, ke-
duanya segera menyusul Pratamp Shirapong.
Baru saja kedua kaki Jalak Merah dan La-
ba-laba Hijau mendarat....
Wuss...!
Dua buah pisau milik lelaki asal Negeri
Campa itu meluncur dahsyat. Angin menderu
mengiringi luncurannya, seperti hendak merobek
udara. Kalau kedua lelaki bangkotan itu tokoh
kemarin sore, pasti tak akan mampu berkelit.
"Hiaaah...."
Dua jengkal lagi dua pisau menggila itu
menyentuh sasaran, kedua lelaki uzur ini melen-
tik tinggi. Di udara, mereka berputaran sejenak.
Lalu tak tanggung-tanggung, mereka segera me-
lontarkan pukulan jarak jauh.
Bed! Bed!
Tepat ketika kedua pisau tadi menghujam
dinding rumah Ki Rengges, dua pukulan jarak
jauh milik Jalak Merah dan Laba-laba Hijau me-
luncur menerabas udara. Saat bergesekan dengan
udara, hawa panas mengiringi. Liar dan dahsyat.
"Khaaa...!"
Tak mau kalah, Pratamp Shirapong menge-
rahkan pukulan jarak jauh andalan negerinya.
Tak percuma dia diundang ke Jawadwipa oleh Se-
tan Madat kalau hanya punya kepandaian seu-
jung kuku. Ganas, dua buah angin dahsyat mele-
sat. Dipapaknya kedua angin menderu dari kedua
tangan lawan.
Blaaggg!
Masing-masing pihak terpental mundur.
Belum ada yang kalah. Ketiga orang yang saling
menjajal tingkat tenaga dalam itu bangkit kemba-
li. Mata masing-masing menyorot tajam, berusaha
menilai satu sama lain.
Pratamp Shirapong menggeser langkahnya
ke kiri, tetap dengan kuda-kuda kokohnya. Se-
dang Jalak Merah lebih aneh lagi. Berlompatan
seperti burung jalak, dia memutari lawan. Juga
Laba-laba Hijau. Dengan gerakan seperti laba-
laba menjerat mangsa, dia memutari lawan den-
gan langkah mundur. Kedua tangannya memben-
tuk cakar, menghadap ke dalam seperti orang
memeluk.
Pertarungan dahsyat siap berkobar. Siapa-
kah yang bakal jadi pemenang?
* * *
Penduduk Desa Sedayu secara sembunyi-
sembunyl tak ingin terlewat untuk menyaksikan
pertarungan dahsyat di depan halaman rumah Ki
Rengges yang cukup luas. Sebelumnya, Ki
Rengges dan Satria juga sudah memperingatkan
mereka untuk tidak dekat-dekat dengan rumah Ki
Rengges. Para penduduk mematuhi. Mereka
hanya menonton dari balik Jendela, pintu, kan-
dang sapi, atau kubangan tanah. Itu pun dari ja-
rak yang cukup jauh.
Sedangkan Satria dan Ki Rengges sendiri
tengah bersembunyi di balik semak yang diperki-
rakan cukup aman untuk berlindung. Dari sinar
mata maupun tarikan bibir si pemuda, bisa dite-
bak kalau Satria cukup puas dengan hasil siasat-
nya.
"Apa yang mereka rebutkan, Pak Tua? Se-
potong ayam masakan istrimu? He he he.... See-
kor anjing berkelahi dengan dua ekor kucing ga-
ra-gara sepotong ayam," oceh si pemuda berbisik.
"Ah, masa' gara-gara sepotong ayam?" tu-
kas Ki Rengges, terbawa ocehan si bocah tengik.
"Ya, pasti gara-gara siasatmu! Mereka pasti saling
tuduh, begitu melihat orang-orang berpakaian
serba hitam itu ngejoprak tak berdaya!"
Aku juga sudah tahu, Pak Tua! Sambar si
pemuda dalam hati. Kalau sudah tahu, kenapa
tanya? Ah, tengik juga bocah ini. Satria lantas
mengalihkan perhatian ke arah pertarungan
kembali.
"Taruhan, Pak Tua? Kau pegang siapa?"
ocehnya lagi.
"Kelihatannya, lelaki berwajah lebar yang
tadi mengaku bernama Pratamp Shirapong yang
menang. Gerakan silatnya lebih cepat dan ganas.
Tapi, gerakannya kok sepertinya bukan seperti si-
lat Jawa? Aneh sekali," cetus Ki Rengges.
"Lho? Kau sendiri yang tadi cerita, kalau le-
laki itu dari Negeri Campa. Ya, pasti silatnya bera-
liran sana!" tukas Satria.
"Oh, iya. Aku lupa."
Hari kian merangkak menuju petang. Kege-
lapan mulai mengepung. Matahari kian lelah sete-
lah seharian menertawakan isi dunia ini. Cuaca
mulai dirasuki hawa dingin. Tapi pertarungan ju-
stru kian memanas.
"Heaaa…!"
Di kawal satu bentakan yang menghentak
jantung, Laba-laba Hijau mendahului Jalak Me-
rah dalam menyerang. Begitu tepat berada di de-
pan Pratamp Shirapong tubuhnya mencelat den-
gan kaki kanan terjulur ke wajah lawan. Ganas
sekali.
"Hiaaa...."
Jalak Merah tak mau kalah. Dari samping
kiri dia melompat bak seekor burung jalak meli-
hat ular pohon. Kedua tangannya yang mengem-
bang layaknya sayap menyambar-nyambar ganas.
Tenang, Pratamp Shirapong menanti se-
rangan. Perhatiannya terpaksa harus dibagi dua.
Tapi dari tarikan wajahnya, bisa dipastikan kalau
dia tak menganggap remeh kedua serangan la
wan.
"Chaaa...!"
Dua jari lagi tendangan Laba-laba Hijau
mendarat, Pratamp Shirapong memalangkan tan-
gannya ke depan wajah. Sedangkan kaki kirinya
terangkat lurus, menghadang serangan Jalak Me-
rah dari samping.
Krak!
Cepat sekali Pratamp Shirapong menggunt-
ing kaki Laba-laba Hijau dengan kedua tangan-
nya. Suara berderak tulang patah terdengar. Le-
laki botak berbaju serba hijau itu langsung jatuh
di tanah dan meringis serba salah. Ringisannya
makin membuat wajahnya sulit di-gambarkan.
Jelek sekali.
Tak!
Pada saat yang sama, kaki Pratamp Shira-
pong terhantam kibasan tangan Jalak Merah. Se-
buah hantaman bertenaga dalam tinggi. Tapi, apa
hasilnya?
Malah tubuh Jalak Merah yang terjajar dua
tombak jauhnya. Dia tadi bagaikan menghantam
kaki baja yang kerasnya minta ampun. Jalak, Me-
rah menganggap, sambaran tangannya tadi bakal
mematahkan kaki lawan. Tapi justru tangannya
yang berdenyar-denyar sampai ke lubuk hati.
Itulah kecerdikan lelaki dari Negeri Campa
itu. Ketika menghadang serangan Jalak Merah,
tentu saja kaki kirinya telah dilapisi dengan tena-
ga dalam tinggi. Ketika adu pukulan jarak jauh
tadi, sengaja lelaki berwajah lebar ini mengerah
kan sedikit tenaga dalamnya di bawah kedua la-
wan. Karena dia tahu, kalau lawan sudah ter-
pancing amarahnya, apalagi dari golongan sesat,
akan langsung mengerahkan tenaga dalam se-
tinggi-tingginya. Apalagi, macam Jalak Merah dan
Laba-laba Hijau yang memang terlalu bodoh un-
tuk dipecundangi. Kedua lelaki bangkotan itu ten-
tu mengira kalau tenaga dalam Pratamp Shira-
pong hanya beda sedikit di bawah mereka. Maka
dengan keyakinan kuat, mereka memantapkan
serangan.
Dan Pratamp Shirapong boleh berbangga
hati melihat hasil kerja otak cerdiknya. Kedua la-
wan tampak menderita lahir batin. Tenaga da-
lamnya yang dikira lawan tak seberapa, ternyata
dahsyat bukan kepalang. Dan itu memang salah
kedua lelaki bangkotan itu sendiri. Terlalu cero-
boh, dan gampang terbawa amarah.
"Bajingan! Kuhancurkan kepalamu, Orang
Campa!" robek Jalak Merah lewat suara sember-
nya. Tak sudi dia melihat sahabat karibnya di-
buat cedera seperti itu. Begitu bangkit, diterjang-
nya Pratamp Shirapongi!
Kali ini, lelaki berpakaian serba merah ini
tak mau main-main lagi. Begitu menerjang, golok
besarnya segera tercabut dari pinggang.
Wukh! Wukh!
Dua tebasan menggila dibuat Jalak Merah.
Dalam hati, lelaki ini menyesali, kenapa tadi La-
ba-laba Hijau terlalu ceroboh sehingga lupa
menggunakan jaringnya. Tapi sebentar kemudian
dia juga merutuki kebodohannya sendiri, kenapa
tidak menggunakan golok dari tadi?
"Hup!"
Satu liukan manis dibuat Pratamp Shira-
pong. Ketika golok besar lawan menebas dari ka-
nan ke kiri, lelaki dari Campa ini menarik tubuh-
nya ke belakang agak ke kiri. Dan ketika golok
menyabet dari kiri ke kanan, tubuhnya sudah
merendah. Lalu sekali menyentak kakinya ke de-
pan, maka kepalanya sudah meluncur lurus ke
perut Jalak Merah.
Bekhh!
"Heekkh!"
Jalak Merah melongo tak percaya. Bibir
kendornya lantas menjebik-jebik seperti orang be-
rusaha buang hajat, tapi tak keluar-keluar. Kepa-
la Pratamp Shirapong mantap sekali menghantam
ulu hatinya. Penderitaan luar biasa pun dialami
lelaki bangkotan itu. Bahkan saat sang kepalan
menghantam, angin dahsyat tak tahu malu ikut
keluar dari pantat teposnya. Soal sakit, jangan
tanya lagi. Buktinya saat jatuh terduduk, mulut-
nya langsung meringis dengan kedua tangan me-
megangi perut yang terasa diaduk-aduk. Semen-
tara, golok-goloknya ngelayap entah ke mana.
"Sekarang, giliran kepalamu yang akan ku-
hancurkan. Hih!"
Seiring dengusannya, Pratamp Shirapong
melepas tendangan ke kepala lawan. Pelan sekali
kelihatannya. Tapi dari angin yang menderu tera-
sa kalau tendangan itu tidak bisa dianggap main
main.
Sebodoh-bodohnya Jalak Merah, akan le-
bih bodoh lagi kalau tak cepat menghindar. Sesa-
kit-sakit di perutnya, akan lebih sakit kalau kepa-
lanya hancur. Jelas, dia merasakan angin dahsyat
mengiringi tendangan lawan. Padahal, dia kini da-
lam keadaan terduduk, menikmati sakitnya.
"Uts...!"
Jalak Merah membuang tubuh ke kanan.
Dia cepat berguling-guling, sementara tendangan
lawan hanya memangkas angin.
"Jahanam! Masih alot juga kau rupanya!"
sembur Pratamp Shirapong.
Selagi Jalak Merah masih bergulingan, Pra-
tamp Shirapong sudah memasang kuda-kuda ko-
koh. Kedua tangannya menyatu pada bagian per-
gelangan tangan, membuka di depan pusar.
Bed!
"Jalak Merah, awaaaass!"
Laba-laba Hijau berusaha memperingatkan
Jalak Merah yang bergulir ke arahnya. Tapi ra-
sanya, teriakannya sia-sia saja. Untuk itu, se-
mangatnya segera dikempos. Lalu sebisanya, dia
melompat sambil menghentakkan tangan, mema-
pak pukulan jarak jauh ganas milik Pratamp Shi-
rapong.
Blakkk!
Sebentuk angin bertenaga ribuan kati
menghentak dada Laba-laba Hijau. Sementara
angin pukulannya sendiri seperti ambyar begitu
saja, bahkan mungkin ikut menyatu dengan an
gin pukulan lawan. Akibatnya, lelaki botak itu
terpental jauh, lalu menabrak sebuah pohon be-
sar tak jauh dari halaman rumah Ki Rengges.
Tetesan darah merah saat tubuh Laba-laba
Hijau meluncur mengisyaratkan kalau lelaki bo-
tak itu terluka dalam amat parah. Bahkan saat
tubuhnya menyentuh tanah, sudah tak bergerak-
gerak lagi.
Jalak Merah yang baru saja bangkit berdiri
tercekat. Matanya memandang tak percaya ke
arah jasad sahabatnya. Liar, kini matanya meng-
hujam ke tubuh Pratamp Shirapong yang terse-
nyum mengejek.
"Kau harus bayar nyawa sahabatku, Kepa-
rat! Heaaa...!"
"Kau jangan bisa omong terus. Buktikan!
Hiaaa…!"
Dua teriakan terdengar saling susul. Bu-
kan sekadar bersaing siapa paling keras, tapi juga
bersaing nyawa siapa yang bakal lepas. Mereka
sama-sama mengerahkan pukulan jarak jauh be-
risi tenaga dalam tinggi. Tak ada yang bisa men-
cegah pertarungan kecuali kematian. Kejap selan-
jutnya....
Blaamm!
Benturan hebat terjadi di udara yang me-
rambat malam. Begitu hebatnya, hingga mencip-
takan bunga api ke segala arah. Terangnya bulan
purnama makin diperterang lagi oleh bunga-
bunga api tadi, walau hanya sekejap.
"Aahh…!"
Pekikan menyayat terdengar dari kerong-
kongan Jalak Merah. Pekikan asli tak dibuat-
buat. Penuh penderitaan. Seiring pekikannya, tu-
buh lelaki bangkotan itu terpental. Melayang di
udara seperti dihempas kekuatan dahsyat.
Bruk!
Keras, tubuh Jalak Merah mencium tanah.
Kedot juga nyawa manusia uzur ini. Walaupun
dari mulutnya mengalir darah berwarna kehita-
man, tapi dia berusaha untuk bangkit.
Sebelum Jalak Merah berhasil dengan
usahanya, Pratamp Shirapong telah memasang
kuda-kuda kokohnya kembali. Agaknya dia ber-
nafsu untuk segera mengakhiri umur lelaki tua
lawannya. Tapi sebelum hal itu terjadi, entah dari
mana datangnya tahu-tahu di belakang Pratamp
Shirapong telah berdiri seseorang.
"Tahan serangan. Tak sepantasnya kau
bertarung dengan lawan yang tak berdaya!"
Melengak, Pratamp Shirapong berbalik.
Matanya yang sipit dibukanya lebar-lebar. Siapa
perempuan cantik di depannya yang membentak
tadi?
"Siapa kau?!"
***
DELAPAN
ARYA Wadam?! Apa yang dilakukannya di
sini? Ah, pasti dia mencari aku. Dan itu pasti
berkat pertolongan Kakek Dongdongka. Tapi, wah
celaka! Kenapa dia malah ikut-ikutan menghada-
pi orang Campa itu?!" gerutu Satria masih di balik
semak tempat persembunyiannya.
"Kau kenal gadis yang baru datang itu, Sa-
tria?" tanya Ki Rengges.
"Dialah gadis yang kucari-cari, sehingga
aku sampai di desamu ini, Pak Tua," jawab Satria
Jujur.
"Kalau begitu, kenapa kau masih saja ber-
sembunyi di sini?"
Ya! Kenapa aku masih bersembunyi di si-
ni? Sambar Satria merutuki keterpanaannya. Pe-
muda tengik ini segera keluar dari persembu-
nyiannya. Enteng sekali langkahnya. Entah apa
penyebabnya. Karena ada Arya Wadam yang ten-
gah dicari-carinya, atau karena siasat yang dis-
usunnya berhasil dengan baik.
"Arya Wadam! Ke mana saja kau? Kucari-
cari, tak tahunya malah muncul di sini," kata Sa-
tria, nyerocos begitu saja. Seolah dia tak men-
ganggap kalau Pratamp Shirapong ada di situ.
Begitu berbalik, Arya Wadam tersentak. Sa-
tria? Jerit hatinya. Wajahnya yang semula tegang
menghadapi Pratamp Shirapong kontan berbalur
kebahagiaan. Walau sudah menduga kalau bocah
tengik itu ada di desa ini, tak urung gadis ini me-
rasa bergetar bukan main.
"Apa yang kau lakukan di sini? Menghada-
pi kunyuk Campa itu? Ah, dia tak berarti buatmu.
Biar aku saja yang menghadapinya. Biar lebih cepat selesai urusan," ujar Satria seenaknya.
"Kau tanya apa yang kulakukan di sini, Sa-
tria? Kok pertanyaanmu begitu?" ucap Arya Wa-
dam, galau.
Satria jadi blingsatan. Bodoh! Rutuknya.
Kenapa aku malah tanya begitu?
"Maksudku, kau di sini mencari aku, ya?
Eh, bukan. Maksudku, apa kau sudah bertemu
Kakek Dongdongka? Dan apakah dia su...."
"Bangsat!"
Bentakan berisi tenaga dalam merampas
suara Satria. Si pemuda melengak. Dadanya ber-
guncang hebat. Untung dia cepat menguasai diri.
Ditatapnya tajam-tajam kedua bola mata Pratamp
Shirapong yang membentak tadi.
Dahsyat!
Jahanam! Desis Pratamp Shirapong dalam
hati. Tatapan pemuda itu membuat sukmaku seo-
lah bergetar! Tatapan guruku pun tak segarang
ini. Dan tanpa sadar, kaki lelaki ini bergerak
mundur.
"Kau anggap aku apa, heh?!" bentak Pra-
tamp Shirapong, tak segarang tadi.
"Kau mau kuanggap apa? Nyamuk? Lalat?
Kepinding? Atau, kecoak?" balik Satria tenang.
Dia sudah berdiri di samping Arya Wadam kini.
"Pemuda kemarin sore mau jual lagak. Sia-
pa namamu, Bocah?" cibir Pratamp Shirapong.
"Satria."
"Melihat ciri-cirimu, menurut Setan Madat
kau adalah Satria Gendeng. Betul itu?"
"Tolong jangan sekadar melihat ciri-cirinya.
Bisa jadi Setan Madat tak lengkap menyebutkan
ciri-ciriku. Ada satu hal yang menjadi ciri-ciri
utamaku."
"Apa itu?"
"Ketampanan wajahku. Jangan ngiri, ya.
Aku maklum, tampangmu tak lebih dari kunyuk
Campa," ejek Satria, habis-habisan.
"Jahanam! Mulut lancangmu perlu kuro-
bek-robek sekarang juga! Heaaa...!"
"Minggir dulu, Arya. Nanti obrolan kita di-
lanjut lagi."
Arya Wadam menurut. Diberinya kesempa-
tan buat Satria dalam menghadapi lawan.
Kemurkaan Pratamp Shirapong dibuktikan
dengan serangan pukulan bertubi-tubi. Kepala
dan dada lawan jadi sasaran. Kecepatannya luar
biasa, dikawal suara menggetarkan sukma.
Bed! Bed!
Satria mengenyahkan tubuhnya ke samp-
ing kiri. Kaki kanannya bergerak maju secara
menyilang, lalu kaki kiri membuat sapuan ke pe-
rut lawan.
Wutt!
Lawan rupanya telah membaca gerakan
Satria. Ditahannya kaki kiri pemuda tengik itu
dengan tangan kanan.
Pak!
Menggunakan tenaga benturan, Pratamp
Shirapong memutar tubuhnya. Kaki kirinya lang-
sung melepas tendangan setengah lingkaran. Sa
sarannya, dada lawan yang hendak menegakkan
tubuhnya.
Satria tercekat. Sungguh tak disangka la-
wan pun bergerak secepat itu. Kini baru terbukti
bahwa makhluk dari Campa ini mempunyai gera-
kan silat yang sangat cepat. Tapi bukan Satria
namanya kalau begitu saja sudah patah seman-
gat.
Secepatnya, si pemuda memalangkan ke-
dua tangannya di depan dada.
Pak!
Luar biasa. Tubuh Satria sampai terdong-
kel, lalu jatuh terduduk di tanah. Napasnya ngos-
ngosan. Tangannya terasa nyeri bukan main
sampai ke tulang sumsum. Ringisan jeleknya
mengisyaratkan kalau tendangan tadi adalah se-
buah peringatan baginya.
Pratamp Shirapong telah berada dalam si-
kap siap sedia. Kuda-kudanya dipasang kokoh.
Tatapannya nyalang, memandang lawan yang se-
perti kakek-kakek terserang encok.
Di dada Satria, kemarahan mulai merasuki
benaknya. Kendati tidak seharusnya kemarahan
itu kepada Pratamp Shirapong, karena urusannya
adalah dengan Setan Madat, tapi sudah cukup
beralasan baginya untuk sedikit melampiaskan-
nya pada lelaki ini. Sebab, biar bagaimanapun,
Pratamp Shirapong termasuk kaki tangan Setan
Madat yang cukup berbahaya.
"Hup!"
Lewat satu sentakan perut, Satria Gendeng
bangkit. Tatapannya kian nyalang, hendak mela-
hap tubuh lawan. Darahnya dibuat mendidih.
"Boleh juga kemampuanmu, Anak Muda,
Tapi kau akan kubuat mampus! Heaaa...!"
Kalap, Pratamp Shirapong menerjang. Ten-
dangan lurus datang ke arah si pendekar muda.
Serangan yang demikian cepat, karena dilakukan
dalam jarak yang demikian dekat.
Deb! Deb!
Hantaman kaki lelaki dari Campa itu
hanya menyambar angin, menampar-nampar
udara. Sementara si calon sasaran justru telah
berpindah tempat, berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terkejut pada gerak bagai
bayangan lelaki Campa, Satria tak ingin mundur
barang setapak pun. Dikejarnya Pratamp Shira-
pong.
"Hiaaa...!"
Tendangan lurus pula dibuat Satria. Tubuh
lawan yang baru mendarat hendak dijadikan sa-
saran. Dikawal teriakan naga muda murka, si
pemuda tengik tak mau menyia-nyiakan kesem-
patan, selagi lawan belum membuka jurus baru.
Sayang, Satria salah perhitungan. Karena
mendadak, tubuh Pratamp Shirapong berbalik
dengan tangan kanan menghentak. Tidak dengan
kuda-kuda, tapi hanya memutar tubuh. Maka
pukulan jarak jauh terlontar sudah. Akibatnya....
Splasssh....
Blangg...!
Tubuh pendekar muda itu terlempar
jauh....
* * *
"Satria...!"
Bebas dari tercekatnya, Arya Wadam
menghambur ke arah jatuhnya Satria Gendeng.
Langsung diraihnya bahu si pemuda, dan disan-
darkan di paha kirinya.
"Bagaimana, Satria?" tanya Arya Wadam,
khawatir.
"Enak...," sahut Satria lirih. Darah menga-
lir di sudut-sudut bibir.
"Kau terluka dalam begini enak?"
"Maksudku, bersender di pahamu enak."
Arya Wadam serba salah. Mau marah kea-
daan Satria sedang begini. Mau tak marah, kata-
kata si pemuda membuatnya jengkel setengah
mati. Entah, setan mana yang merasuki pemuda
tengik ini.
"Biar dia kuhadapi, Satria!" cetus Arya Wa-
dam, diletakkannya tubuh Satria di tanah.
Sial! Baru enak-enakan tidur di paha Arya
Wadam, sekarang malah tidur di samping kotoran
ayam! Satria memaki dalam hati.
Satria tak bisa menggerutu lebih banyak
lagi, karena harus memusatkan perhatian pada,
pertarungan antara Arya Wadam dengan Pratamp
Shirapong yang baru saja berlangsung.
Deb! Deb! Deb!
Tiga sodokan sisi telapak kaki Arya Wadam
lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dija-
dikan sasaran bergerak nyaris tak kentara. Bah-
kan oleh mata Arya Wadam sendiri yang boleh di-
bilang cukup diperhitungkan dalam dunia persila-
tan.
Kepala lelaki dari Campa itu seperti ber-
pindah-pindah tempat meski badannya sama se-
kali tak bergeming. Bila kaki gadis itu menohok
ke samping kiri, kepala lawan tahu-tahu sudah
condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya.
Di akhir serangan beruntun barusan, kaki
Arya Wadam membuat satu putaran dengan ber-
tumpu pada sendi lututnya. Seakan hendak di-
puntirnya Pratamp Shirapong.
Kecil kemungkinan selamat bila manusia
dari Campa itu hanya menggerakkan lehernya
kali ini. Sebab, putaran kaki lawan telah menutup
ruang gerak otot lehernya.
Wutt!
Kembali bergerak bagai bayangan, tangan
Pratamp Shirapong mendadak terangkat. Lalu
disambarnya kaki lancang si gadis.
Tap!
Mata Arya Wadam membeliak. Cengkera-
man tangan di kakinya bagai sebuah penjepit
raksasa yang sanggup meremukkan tulang-tulang
kaki si gadis. Keras. Kuat. Dan mengunci erat,
Arya Wadam berusaha melepaskan kakinya den-
gan mengerahkan tenaga dalam. Tidak bisa.
Perlahan tapi pasti, tangan kekar Pratamp
Shirapong mengangkat kaki Arya Wadam. Tentu
saja si gadis sadar, kalau tetap bertahan demi-
kian, tangan jahil lelaki ini pasti akan menjalar ke
daerah terlarangnya.
Untuk menyelamatkan miliknya yang pal-
ing berharga, Arya Wadam segera memanfaatkan
tenaga dorongan ke atas tangan lawan untuk
mengangkat tubuhnya ke udara.
Lalu....
"Hiaaa...!"
Dalam keadaan miring di udara, Arya Wa-
dam memutar tubuhnya setengah lingkaran. Se-
belah kakinya yang bebas diayunkan berbareng
dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya, tangan
lawan yang mencengkeram kaki lainnya, sekali-
gus menghantam leher.
Sayang, serangan Arya Wadam mudah di-
baca Pratamp Shirapong. Sama sekali tak berba-
haya. Apalagi sanggup menyetak nyali lawan. Se-
belum serangannya sampai, lawan telah men-
cengkeram kaki dengan kedua tangannya, sekali-
gus memutar tubuh Arya Wadam di udara.
Dan...
Shuuttt....
Tubuh Arya Wadam terlempar deras. San-
gat deras.
Brukkk!
Luncuran tubuh si gadis baru berhenti ke-
tika menabrak pohon mangga di halaman rumah
Ki Rengges. Dari mulut si gadis meleleh darah se-
gar. Benturan antara badan dengan pohon yang
amat keras, membuatnya meringis-ringis.
Sebelum Arya Wadam bisa berbuat apa-
apa, Pratamp Shirapong telah melanjutkan seran-
gannya. Lebih gila lagi, kali ini ditelapak tangan
kanannya telah terdapat dua buah pisau belati
sepanjang satu jengkal. Dan dalam sekejapan....
Wuss...! Wuss!!
Meluruklah dua buah pisau belati memba-
wa angin keras.
Terkesiaplah wajah Arya Wadam, si calon
korban. Namun mendadak....
Cletarr!
Trang! Trang!
Gila! Sungguh gila! Pada saat yang gawat
itu tiba-tiba Satria Gendeng yang telah bisa men-
gobati dirinya dengan menyalurkan hawa murni
telah meluruk cepat.
Di tangan kanannya telah tergenggam sen-
jata Kail Naga Samudera yang langsung dile-
cutkan. Hasilnya, kedua pisau belati itu tertahan,
lalu mendadak meluncur ke si pemilik. Luncu-
rannya lebih hebat semula.
Melotot, Pratamp Shirapong membuang tu-
buhnya ke samping kalau tak mau jadi santapan
belatinya sendiri. Dengan wajah gusar, dia beru-
saha bangkit.
Inikah senjata Kail Naga Samudera yang
diinginkan Setan Madat? Hati Pratamp Shirapong
berbisik lirih. Matanya tak lepas melekat pada
senjata di tangan lawan mudanya. Pantas, Setan
Madat begitu berminat. Senjata itu memang dah-
syat, bisik hatinya lagi.
"Serahkan senjata itu baik-baik padaku,
Anak Muda. Maka nyawamu akan kuampuni," ka-
ta lelaki dari Negeri Campa itu, dingin.
"Kau mau benda ini?"
Satria melecutkan Kail Naga Samudera.
Sekaligus melampiaskan kekesalannya, karena
masih ada saja makhluk yang menginginkan sen-
jata pusakanya. Malah dengan cara seenaknya,
tanpa susah payah. Meminta.
"Rebutlah dari tanganku?" tantangnya.
"Keparat laknat! Kau kira aku tak bisa me-
rebut dari tanganmu! Lihat saja! Heaaa...!"
Bertubi-tubi, Pratamp Shirapong menge-
butkan tangannya. Tahu-tahu beberapa pisau be-
lati telah melesat. Amat cepat. Ganas. Lebih ga-
nas dari sebelumnya.
Cekatan, si pemuda memutar Kail Naga
Samudera secepat mungkin. Secepat yang dia
mampu. Secepat kekuatan angin menghem-
paskan ombak di pantai karang.
Trang! Trang! Trang!
Tiga buah pisau belati terhantam ujung
Kail Naga Samudera yang berupa ekor naga. Dua
buah mental tak jelas ke mana. Sisanya memutar
balik, meluncur balik ke si pemilik tadi berdiri.
Wuss...!
Namun Pratamp Shirapong telah lebih dulu
berpindah tempat. Tubuhnya telah meletik ke
udara. Dari ketinggian sekitar tiga tombak, lelaki
sesat ini melepaskan pukulan jarak jauh. Kuat.
Bertenaga dalam tinggi.
"Heaaa...!"
Splash!
Suara menderu mengiring luncuran seben-
tuk angin keras mengancam keselamatan Satria.
Apa yang dilakukan si pemuda bertabiat sederha-
na namun ceplas-ceplos itu?
***
SEMBILAN
JUSTRU Satria makin memutar Kail Naga
Samudera lebih ganas lagi. Hanya saja, kalau se-
mula membentuk lingkaran ke depan, maka kali
ini membentuk lingkaran ke atas. Seakan gulun-
gan putaran Kail Naga Samudera memayungi tu-
buhnya.
Akibat putaran yang sangat kuat, tercipta
satu benteng kasat mata yang amat kokoh di atas
kepala Satria. Dan ketika angin pukulan Pratamp
Shirapong menghantam....
Cplashhh...!
"Heh?!"
Masih di udara, Pratamp Shirapong mende-
lik. Pukulan jarak jauh miliknya justru berbalik
ke arahnya. Padahal, dikerahkan dengan tenaga
dalam tinggi. Malah luncurannya lebih cepat dari
sebelumnya. Tak bisa lagi dia menghindar dalam
keadaan di udara.
Lalu....
Blangg...!
Pratamp Shirapong terpental. Melayang de-
ras berkawal pekikan terlontar dari kerongkon-
gan. Ketika jatuh di tanah, dia menggeliat seben-
tar. Kejap kemudian tubuhnya sudah mengejang
kaku. Mati di negeri orang.
Satria Gendeng telah memasukkan kembali
Kail Naga Samudera ke pinggangnya. Ditatapnya
sejenak mayat Pratamp Shirapong dari jarak se-
puluh tombak.
Lalu perhatiannya beralih pada Arya Wa-
dam.
"Kau tak apa-apa, Arya?" tanya Satria. Di-
tolongnya Arya Wadam berdiri. Ketika terjadi per-
tarungan antara Satria dengan Pratamp Shira-
pong tadi, si gadis berusaha menyembuhkan luka
dalamnya yang tak begitu parah dengan menya-
lurkan hawa murni.
"Tidak, aku tidak apa-apa," jawab Arya
Wadam, tak ingin dikasihani.
"Untuk menjaga kesehatanmu, minumlah
obat ini," Satria mengambil sebutir obat dari balik
kain di pinggangnya. Lalu diserahkannya obat pu-
lung pada Arya Wadam.
Tersenyum, Arya Wadam menggeleng. "Lu-
ka dalamku tak begitu parah, Satria. Dengan ha-
wa murni, sebentar saja sudah sembuh," tolak-
nya.
Satria kembali memasukkan obat pulung
itu ke dalam ikat kain di pinggangnya.
"Apa kabarmu, Arya. Wajahmu makin can
tik saja," cetus Satria memberanikan diri. Entah
kenapa, hanya pada Arya Wadam pemuda tengik
ini susah bersikap wajar. Sifat ceplas-ceplosnya
mendadak lenyap. Padahal kalau soal cinta, dia
tidak buta sama sekali. Artinya, Satria punya
pengalamanlah walau cuma sedikit. Tapi terhadap
Arya Wadam pengalamannya seperti tak berarti
sama sekali.
Untung saja, Satria cukup pandai merubah
kekakuannya. Dia mampu mengendalikan diri
agar tidak keseleo lidah lagi. Kata-katanya mulai
diatur rapi.
"Merayu, ya?" balik Arya Wadam.
"Kalau itu kau anggap merayu, memang
kenapa?"
Kali ini Arya Wadam yang memerah dadu
wajahnya. Tak sanggup dia menatap balik Satria.
Si pemuda seolah hendak menelannya bulat-bulat
lewat tatapan matanya. Membuat si gadis tertun-
duk. Tersipu malu, tapi mau.
"Apakah kau bertemu Kakek Dongdongka,
Arya?" tanya Satria memecah kebisuan.
"Ya," jawab Arya Wadam pendek, tetap me-
nunduk.
"Dia bilang apa?"
"Katanya kau menunggu di desa ini. Kau
mencari-cari aku, ya?"
"Ya. Aku memang mencari-carimu. Habis,
aku penasaran denganmu. Kenapa setelah kita
menumpas Tujuh Dewa Kematian di puncak Gu-
nung Arjuna kau menghilang begitu saja?"
"Bukankah kau sudah membaca suratku?"
"Itulah yang membuatku makin penasaran
mencarimu, hingga ke desa ini. Untung Kakek
Dongdongka sudi menemuiku di sini, sekaligus
menolongku. Oh, ya. Di mana Kakek Dongdongka
menemuimu?"
"Di Desa Karangkemboja Wetan."
"Lho? Bukankah perjalanan ke desa ini
hanya setengah harian? Kenapa baru sampai ma-
lam ini?"
"Aku ragu-ragu menemuimu. Masa' seo-
rang gadis mendatangi pemuda?"
"Lho? Apa salahnya?" tukas Satria. "Setan
mana yang membuat aturan seperti itu?"
"Menurut adat timur, seorang gadis tak bo-
leh menghampiri pemuda. Pamali namanya. Me-
mang aku gadis murahan?" jawab Arya Wadam
mantap.
"Lho, kalau pemuda menghampiri gadis
namanya pemuda murahan dong. Memangnya
aku pemuda murahan?" balik Satria.
"Ah, ngomong denganmu sama saja ngo-
mong dengan nenek-nenek kehilangan sirih. Ma-
lah kau lebih cerewet lagi," ledek Arya Wadam.
Kini keduanya tak ada yang membuka sua-
ra lagi. Dan tiba-tiba kening Satria Gendeng ber-
kerut. Penuh tanda tanya.
"Eh, ke mana jasad Laba-laba Hijau tadi?"
tanya Satria.
"Tadi ketika kau bertarung dengan lelaki
dari Campa itu, kakek yang berpakaian merah
dengan tertatih-tatih membawa pergi mayat ka-
kek yang berkepala botak. Kasihan mereka," de-
sah Arya Wadam.
"Ah, kau tak perlu kasihan pada mereka!
Kedua kakek itu setali tiga uang dengan lelaki da-
ri Negeri Campa itu!" sahut Satria.
"Maksudmu?"
"Semula, mereka berkawan. Akrab sekali.
Tapi setelah kukadali, mereka jadi bertarung sen-
git dan akibatnya, kau lihat sendiri."
"Aku kurang mengerti ceritamu?"
"Nantilah kuceritakan panjang lebar. Se-
baiknya kita masuk rumah Ki Rengges dulu. Aku
yakin dia berada di dalam, setelah bersamaku
bersembunyi tadi."
* * *
Dengan kebesaran hati, para penduduk
Desa dayu telah memaafkan segala kesalahan Ki
Rengges. Itu pun berkat jasa Satria yang membe-
rikan pengertian pada mereka. Bahkan si pemuda
bertabiat tengik itu ternyata juga bisa menyadar-
kan para penduduk yang sudah lama terbuai
asap madat. Hebat juga pengaruhnya bocah itu!
Di rumah Ki Rengges, para penduduk juga
telah menyatukan tekad untuk bergotong royong
melawan Setan Madat. Gotong royong mereka se-
belumnya, dibuktikan dengan menguburkan
mayat Pratamp Shirapong dan memberesi sepu-
luh anak buah Setan Madat yang dibuat mabuk
oleh Satria.
Kepada Arya Wadam, juga kepada para
penduduk Desa Sedayu, Satria Gendeng menje-
laskan siasat yang dijalankan ketika melumpuh-
kan anak buah Setan Madat. Walaupun siasat itu
agak melenceng sedikit, tapi tetap berhasil gemi-
lang.
Maka semakin kagum saja Arya Wadam
terhadap otak encer Satria. Sungguh tak disang-
ka, ternyata pemuda bertabiat sinting itu memiliki
otak seencer bubur.
Malam itu pun di depan Arya Wadam, Ki
Rengges, Ki Rembang, dan para penduduk lain-
nya, Satria kembali memaparkan langkah selan-
jutnya.
"Sekarang, langkah selanjutnya adalah
menghadapi Setan Madat. Tapi aku yakin, Setan
Madat akan penasaran, lalu menyatroni desa ini,"
cetus Satria. "Dia pasti kebingungan, kenapa para
pengikutnya tak kembali ke markas."
"Oh, ya. Bagaimana dengan sepuluh anak
buah Setan Madat yang kita tawan di gudang be-
lakang rumahku?" tanya Ki Rengges.
"Tenang. Pak Tua. Totokan yang kuberikan
cukup untuk membuat mereka istirahat selama
empat hari. Dan dalam empat hari itu pula, kita
harus sudah menyelesaikan urusan dengan Setan
Madat," tegas Satria.
"Kalau kalian bicara soal Setan Madat, aku
baru ingat. Di Desa Karangkemboja Wetan pun
aku telah berurusan dengan anak buah Setan
Madat. Kelihatannya mereka mulai meluaskan
sayap ke desa itu pula," cetus Arya Wadam.
Semua mata langsung menghujam ke tu-
buh Arya Wadam. Si gadis cantik ini bersemangat
bercerita.
"Malahan menurut keterangan yang kuda-
pat, Setan Madat juga bekerja sama dengan seo-
rang panglima Kerajaan Demak. Aku tak tahu
namanya. Tapi yang jelas, usianya setengah baya.
Badannya gagah dengan kumis dan brewok," lan-
jut Arya Wadam.
Panglima Bagaspati? Sebut hati Satria, ti-
ba-tiba. Tak mungkin? Sanggahnya.
"Kira-kira, apa tujuan panglima itu berka-
wan dengan Setan Madat, Arya?" susul Satria,
penasaran.
"Pemberontakan."
"Apa?!"
Satria Gendeng tercekat. Matanya melebar
dengan mulut ternganga.
"Kau berkata sungguh-sungguh, Arya Wa-
dam?"
"Apa aku pernah berdusta padamu?"
Satria tercenung. Kusut sekali pikirannya.
Belum juga urusan dengan Setan Madat tuntas,
dia mendengar ada seorang panglima Kerajaan
Demak hendak memberontak. Maka saat itu juga
naluri kependekarannya terbangkit.
Panglima Bagaspati di Kerajaan Demak
adalah sahabat karib Satria. Bahkan si pemuda
tengik ini pernah mendapat penghargaan dari ke
rajaan berkat jasa-jasanya menumpas gerombo-
lan perampok bernama Laskar Lawa Merah yang
dipimpin Dirgasura alias Tangan Seribu Dewa.
(Baca episode : "Geger Pesisir Jawa" dan "Kail Na-
ga Samudera").
Tentu saja, Satria tak sudi ada seorang
panglima hendak berkhianat terhadap kerajaan
yang sekarang dipimpin oleh Kanjeng Sutawijaya.
Dia harus bertindak. Kalau berlarut-larut, makin
sulit untuk memadamkan. Ibarat api jangan di-
biarkan menjalar. Kendalikan sejak masih kecil.
"Kalau begitu, kita harus bagi-bagi tu-
gas...."
***
SEPULUH
BAJINGOAANNN...!" ledak Setan Madat
murka. Di hadapannya, terbujur dua sosok
mayat. Yang terbalut pakaian hijau adalah mayat
lelaki tua berkepala botak. Itulah mayat Laba-
laba Hijau. Di atasnya, dalam keadaan memeluk
adalah mayat Jalak Merah.
Sebelum Jalak Merah menghembuskan
napas yang terakhir, dia sempat bercerita kalau
luka dalamnya akibat perbuatan Pratamp Shira-
pong. Tapi bukan itu yang membuat teriakan Se-
tan Madat begitu keras menggetarkan ruangan is-
tana kecilnya. Juga bukan pula meneriaki kematian sahabatnya dari negeri se-berang itu. Tidak.
Setan Madat tak memiliki tabiat cengeng dengan
menyesali kematian sahabatnya. Apalagi kema-
tian Jalak Merah dan Laba-laba Hijau yang ba-
ginya hanya dianggap dua kucing tua buduk.
Kemarahan Setan Madat disebabkan, ke-
gagalan para anak buahnya dalam merebut Kail
Naga Samudera dari tangan Pendekar Gendeng.
Ini yang amat disesalkannya.
"Bangsat! Aku harus cepat menghubungi
kawan-kawan segolongan. Atau kalau perlu me-
minta bantuan Panglima Ganang Laksono untuk
menghantam Satria Gendeng! Hmm.... Dari cerita
Jalak Merah tadi aku menangkap isyarat kalau Ki
Rengges yang menjadi anak buahku telah berk-
hianat. Dengan begitu, dia telah bersekutu den-
gan pemuda asing itu. Berarti, mereka menyusun
kekuatan untuk menghadapiku. Aku mendahului
sebelum didahului!"
Tanpa menghiraukan kedua mayat Jalak
Men dan Laba-laba Hijau, Setan Madat melang-
kah keluar istananya. Kakinya mantap menjejak
lantai.
Tiba di luar, matanya beredar ke sekeliling.
"Sugiri...!" teriaknya.
Salah seorang lelaki berpakaian serba hi-
tam yang menggerombol di pojokan tergopoh-
gopoh menghadap. Wajahnya kasar. Giginya om-
pong di tengah. Terlihat ketika dia tersenyum
yang lebih mirip seringai.
"Kumpulkan anak-anak! Kita serang Desa
Sedayu sekarang juga! Sekalian aku ingin menjaj-
al kehebatan pemuda tengik bernama Satria Gen-
deng!" sabda Setan Madat.
"Baik, Tuan," sahut Sugiri mantap.
"Juga, sisakan beberapa orang untuk men-
gawasi para pekerja dan gadis-gadis di Kaputren.
Lekas pergi!" ledak Setan Madat.
Dada lelaki ini kian menggemuruh. Teru-
tama bila mengingat pengkhianatan yang dilaku-
kan Ki Rengges. Ingin direjamnya lelaki kepala
desa itu bila berada di depannya.
Sementara, matahari pagi mulai mengintip
malu-malu di ufuk timurnya. Tapi sinarnya tak
membuat cerah wajah Setan Madat. Wajahnya
kian mengelam dengan tatapan mata merah.
Baru saja para anak buah Setan Madat
berkumpul di halaman....
"Hoi! Ada apa ini rame-rame? Pembagian
jatah beras, ya? Aku ikut, dong!"
* * *
Dari arah pagar halaman depan, tiba-tiba
melompat seorang pemuda berbaju rompi dari ku-
lit binatang berwarna putih. Wajahnya tampan.
Bergaris rahang jantan. Tatapan matanya setajam
sembilu. Rambutnya panjang sebahu berwarna
kemerahan. Pada lilitan kain ikat pinggangnya
terselip semacam tongkat pendek. Berpangkal lo-
gam berbentuk kepala naga. Ujungnya menyeru-
pai ekor naga.
Dialah Satria.
Wajahnya dipasang tenang. Senyum su-
mringahnya menghiasi bibirnya yang kemerahan.
"Siapa yang bernama Setan Madat tunjuk
tangan!" oceh si pemuda seenaknya. Matanya pu-
ra-pura menyapu para anak buah Setan Madat
yang sudah mengelilinginya. Padahal, hatinya su-
dah yakin kalau yang berdiri dekat tiang soko
guru di istana kecil itu adalah Setan Madat
"Lagakmu memuakkan, Satria Gendeng!"
Bukan main bentakan Setan Madat. Lang-
sung dikerahkannya tenaga dalam pada benta-
kannya. Akibatnya, beberapa anak buah Setan
Madat yang mempunyai tenaga dalam pas-pasan
langsung jatuh berlutut dengan telinga nyaris pe-
cah.
"Wah, di sini tak ada orang yang bernama
Setan Madat, ya? Kok tak ada yang mau tunjuk
tangan, sih? Kalau begitu aku pulang saja, deh!"
kata Satria, tak terpengaruh bentakan Setan Ma-
dat yang terisi tenaga dalam tinggi tadi.
Sedikit kagum Setan Madat melihat ke-
tangguhan si pemuda. Namun itu tak mengurangi
tekadnya untuk membunuh pemuda kemarin
sore yang kini suka rela mengantarkan nyawa ke
istananya.
"Aku, Setan Madat!" sebut lelaki berwajah
tirus itu.
"O, kau yang bernama Setan Madat? Dari
tadi, kek!"
"Jangan banyak lagak di depanku, Satria
Gendeng. Kau kini berada di kandang macan, ta-
hu?!"
"Yang ku tahu, aku berada di kandang ba-
jingan-bajingan perusak masyarakat. Kau tanam
madat dan kau ramu dengan rokok-rokokmu, lalu
kau sebarkan ke masyarakat. Kau hancurkan
masa depan pemuda dan gadis desa hanya demi
nafsu iblismu!"
"Aku tak banyak waktu untuk mendengar
khotbahmu, Pemuda Tengik! Hadapi dulu praju-
rit-prajuritku. Baru kau boleh berhadapan den-
ganku!"
"Siapa pun yang menghalangi langkahku,
jangan salahkan kalau daku bertindak kejam!"
ancam Satria.
"Jangan banyak bacot! Anak-anak! Se-
rang...!"
Begitu mendengar perintah Setan Madat,
sekitar dua puluh orang berpakaian serba hitam
di bawah pimpinan Sugiri menyerang Satria. Ga-
nas dan menggetarkan. Apalagi, mereka telah
menghunus golok sejak tadi. Maka begitu menye-
rang, kilatan-kilatan golok akibat jilatan sinar
matahari bersliweran di seluruh penjuru mengu-
rung si pemuda.
Pada saat yang sama, di kebun-kebun mi-
lik Setan Madat terdengar teriakan-teriakan
membahana.
"Bakar...! Bakar...!"
Tahu-tahu, api telah mengepung kebun-
kebun madat milik Setan Madat. Perbuatan siapa
lagi kalau bukan Arya Wadam, Ki Rengges, dan
para penduduk Desa Sedayu yang selama ini me-
nyimpan dendam pada Setan Madat. Tentu saja
tindakan mereka dibantu oleh para pekerja paksa
yang juga berasal dari Desa Sedayu. Malah bebe-
rapa pemuda yang selama ini dijadikan prajurit
oleh Setan Madat, begitu melihat orang tua mere-
ka ikut menyerang tempat ini, jadi berbalik ikut
membantu.
"Keparat! Mereka tak bisa didiamkan!" den-
gus Setan Madat
Sekali menghentakkan kakinya, tubuh Se-
tan Madat telah meluncur keluar halaman. Tapi
baru saja menjejak tanah, seorang gadis telah
berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Keparat!"
"Siapa kau?!" bentak Setan Madat.
"Aku Arya Wadam," sahut gadis yang me-
mang Arya Wadam.
"Apa urusanmu di sini? Kau tak perlu ikut
campur. Aku menyayangkan kulitmu yang putih
halus. Jangan-jangan nanti terkena cangklong
panjangku ini," Setan Madat mencabut cangklong
dari kain ikat pinggangnya.
"Justru aku ingin merasakan kehebatan
cangklongmu itu, Setan Madat!" tantang Arya
Wadam.
"Jahanam! Terima seranganku! Heaa...!"
Ganas, Setan Madat membabatkan
cangklongnya yang ternyata juga berguna sebagai
senjata mematikan. Keras. Sambarannya seolah
hendak merobek udara.
Sedikit menarik tubuhnya ke belakang,
Arya Wadam mengangkat tangan kirinya. Dipa-
paknya sabetan cangklong Setan Madat.
Pak!
Tangan Arya Wadam tepat menghantam
tangan Setan Madat. Tapi justru tangan gadis
cantik itu sendiri yang berdenyut-denyut seperti
mau remuk tulangnya. Tubuhnya pun tergeser ke
kanan, seiring gerakan tangan Setan Madat.
Dari benturan barusan, Arya Wadam bisa
menilai kalau tenaga dalam lawan sedikit berada
di atasnya. Tapi bukan berarti dia kalah. Wanita
ini tak mau dibilang kalah, sebelum nyawa terpu-
tus dari badan.
Begitu menguasai keadaan, Arya Wadam
memutar tubuhnya. Kaki kanan cepat membuat
tendangan melingkar. Calon sasarannya adalah
rahang lawan.
Bed! Bed! Bed!
Tiga kali Arya Wadam mengibaskan sisi te-
lapak kakinya. Tapi tak satu pun yang mengenai
sasaran. Karena, Setan Madat dengan cerdik me-
rundukkan tubuhnya. Bahkan seketika dia ber-
putar, melepas sapuan keras ke kaki Arya Wadam
yang satunya.
Pak!
Bruk!
Arya Wadam jatuh terduduk. Keras sekali
pantatnya mencium tanah. Dan dia segera meng-
gulingkan tubuhnya, menghindari hantaman
cangklong panjang milik Setan Madat.
Bluk!
Mangkuk cangklong hanya menghantam
tanah kosong. Sedang yang jadi sasaran telah
berdiri sigap dengan sikap siap tarung kembali.
Di tempat lain, Satria Gendeng mulai men-
gerahkan jurus warisan Ki Kusumo. Dalam
menghadapi serbuan puluhan golok, tubuhnya
meliuk-liuk seperti pesut dengan tangan memben-
tuk patuk, siap menghujam di tubuh lawan.
Agaknya, pemuda ini tengah mengerahkan Jurus
'Patukan Bunga Karang'.
* * *
Mampukah Satria Gendeng dan Arya Wa-
dam, serta penduduk Desa Sedayu menghancur-
kan markas Setan Madat? Bagaimanakah pembe-
rontakan yang akan dibuat Panglima Ganang
Laksono? Bisakah Satria Gendeng menggagal-
kannya? Agar tidak penasaran, ikuti lanjutannya
di....
SELESAI
Segera menyusul:
BADAI DI KERATON DEMAK
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar