Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
DI BAWAH sinar rembulan yang meningkahi
Gunung Arjuna, lima sosok tubuh tersuruk-suruk
mendaki tebing jurang. Mereka kehabisan tenaga, te-
tapi tetap memaksakan diri merayap ke puncak gu-
nung. Wajah mereka dipenati debu. Berpakaian com-
pang-camping akibat tercabik karang tajam. Kaki dan
tangan mereka penuh gurat-gurat darah, tersayat duri-
duri semak.
Namun kelima orang yang ditaksir berusia seki-
tar tiga puluh sampai empat puluhan rupanya seke-
lompok orang berkemauan sekeras karang. Dan, agak-
nya mereka tengah melaksanakan tugas penting yang
mengharuskan mereka berkejaran dengan waktu.
Sekalipun dalam keadaan tak karuan, kepriba-
dian kelima orang itu tetap menonjol. Wajah mereka
cakap berseri. Berpakaian seragam. Mengenakan cela-
na dan baju keprajuritan. Di lengan masing-masing
melingkar logam tipis berwarna kuning keemasan. Se-
dang di pinggang, terselip pedang dengan bentuk seru-
pa, mencerminkan bahwa mereka benar-benar para
prajurit.
Jerih payah kelima orang itu berhasil membuat
mereka tiba di kuburan di tengah hutan, tak jauh dari
puncak Gunung Arjuna.
Tiba-tiba mata kelima orang tadi terbelalak ke-
tika tertumbuk pada sebongkah batu sebesar gajah. Di
atas batu itu tersusun tujuh tengkorak manusia.
DI tengah batu, tergurat sebaris tulisan berhu-
ruf Jawa Kuno yang artinya TUJUH DEWA KEMATIAN.
Tidak jauh dari letak batu, hanya berselang sekitar tiga
tombak, berdiri bangunan yang mirip candi. Di muka
bangunan, terpancang gapura. Di masing-masing sisi
gapura, juga terdapat tengkorak kepala manusia.
Mata kelima prajurit tadi berkilatan bagai me-
mancarkan api.
Musuh besar mereka sudah di depan mata!
"Kita serang!"
Golak darah dan semangat kelima orang terse-
but menyalakan keberanian. Dengan menghunus pe-
dang, mereka melangkah mendekati bangunan tadi.
"Kita harus hati-hati!" Salah seorang yang me-
langkah paling depan memperingati.
Langkah mereka mendadak terhenti. Mereka
termangu.
Persis di depan bangunan, tepatnya di halaman
depan, tampak berpuluh-puluh tengkorak manusia
berserakan di tanah. Perlahan-lahan tapi pasti, kelima
orang itu melangkah lebih dekat ke pintu masuk. Mata
mereka terbentang tatkala menyaksikan di atas pintu
gerbang terpancar cahaya lentera merah membentuk
huruf-huruf bertuliskan; KUIL NERAKA!
"Di sini rupanya iblis-iblis itu bercokol," gumam
salah seorang yang termuda di antara mereka. "Ya,
Adik Sentana."
Siapa mereka sebenarnya? Cukupkah mereka
punya nyali untuk memasuki Kuil Neraka, sarang per-
sembunyian Tujuh Dewa Kematian?!
Mereka adalah kelompok kecil ksatria yang
mendapat gelar Prajurit Kembar. Para pendekar muda
gagah berani. Keberanian mereka dalam melaksanakan
tugas membasmi para penyamun telah menggegerkan
tanah Jawa beberapa waktu lalu. Prajurit Kembar ada-
lah utusan dari Kadipaten Lumajang.
Ketika itu, Adipati Lumajang bernama Wisnu
Bernawa mendengar tentang keganasan Tujuh Dewa
Kematian. Segera diperintahkannya Prajurit Kembar
untuk menumpas dan menghentikan sepak terjang
momok menakutkan itu.
Prajurit tertua bernama Darma Sukanta. Dis-
usul oleh Aji Sukanta, lalu Surya Sukanta, Sukma Su-
kanta, dan yang termuda bernama Sentana Sukanta.
Karena wajah serta cara berpakaian mereka serupa,
maka kalangan persilatan memberi julukan Prajurit
Kembar.
Hati-hati, Prajurit Kembar kini mencoba mem-
buka pintu.
"Hm," dengus Darma Sukanta seraya melang-
kah lebar memasuki pintu gerbang. Di belakangnya,
yang lain menyusul.
"Lihat Kakak Darma! Di dinding itu terdapat tu-
lisan lagi...!" seru Sentana. Disusul dengan mengusap-
usap tulisan yang tertutup debu.
"Bacakan!" perintah Darma, selesai adik bung-
sunya membersihkan debu. Sentana membaca,
"Setiap kali ada orang berkunjung, Kuil Neraka
tentu bertambah penghuni...."
Di ujung kalimat Sentana, mereka dikejutkan
oleh lengkingan tawa yang menusuk gendang telinga.
"Ha ha ha ha!!!"
Kelima Prajurit Kembar menutup rapat-rapat
telinga masing-masing. Lamat-lamat, tawa tadi memu-
pus. Suasana menjadi seperti sediakala, sunyi senyap
tanpa suara apa-apa. Sehimpun satwa seperti enggan
memperdengarkan tembang milik masing-masing.
Yang meraja cuma kesunyian menikam.
Kalau bukan Prajurit Kembar, terlalu sedikit
orang berani memasuki Kuil Neraka. Mendengar na
manya saja sudah membuat bulu roma bergidik.
Menanggapi kejadian tadi, Prajurit Kembar
memburu masuk lebih ke dalam, mencoba mencari
sumber tawa. Mereka tiba di suatu ruangan seluas la-
pangan. Tegang, mereka pancang wajah ke muka.
Di antara selimut kabut, samar-samar tampak
tujuh orang paderi berjubah hitam tengah berdiri ber-
jajar. Satu orang berdiri terpisah di depan. Tangan dan
kaki mereka tak terlihat karena tertutup jubah. Kecua-
li bagian kepala yang rata-rata besar, melebihi ukuran
orang biasa. Telinga mereka lebar. Mata bundar, tanpa
alis di atasnya. Mulut mereka berkeriput, menandakan
tidak ada lagi gigi yang tumbuh di baliknya. Ketujuh
orang tersebut berperawakan sama. Hampir semua ku-
rus.
Di samping mereka, ada satu pemandangan
lain yang menarik perhatian Prajurit Kembar. Di sebe-
lah kiri barisan Tujuh Dewa Kematian, tergeletak satu
peti mati berukuran besar. Sepertinya, benda hitam
menyeramkan itu sengaja dipersiapkan. Cuma saja,
belum jelas untuk apa atau untuk siapa.
"O, kiranya inilah para manusia iblis yang ber-
juluk Tujuh Dewa Kematian? Entah dari mana asal-
usul manusia-manusia aneh ini...," gumam Darma Su-
kanta, dilapisi geraman.
Mendadak sontak, mencelat bunyi berderak
dahsyat dari peti mati besar.
Peti terkuak.
Gulungan asap menyeruak.
Dari dalam peti, muncul manusia yang lebih
menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu.
Wajahnya teramat menakutkan. Tidak mengenakan
pakaian, hanya cawat kecil menutupi bagian selang-
kangannya. Cawat itu terbuat dari logam berwarna
kuning keemasan.
Ia tertawa meringkik-ringkik. Kemudian, di-
langkahkannya kaki ke depan Tujuh Dewa Kematian.
Setelah itu, makhluk yang menyerupai mayat hidup itu
menjura.
Salah seorang yang berdiri di depan mengang-
kat tangan ke atas. Ditudingnya Prajurit Kembar. Me-
lihat komando dari salah seorang pemimpinnya, mayat
hidup itu bangkit dari menjura, lalu menoleh ke arah
Prajurit Kembar. Dengan suara meruncing, dia meng-
geram.
"Akan kubunuh kelima manusia dungu itu!"
Kelima Prajurit Kembar menyiapkan kuda-kuda, siaga
dengan pedang di tangan masing-masing.
"Adik-adikku, siapkan jurus 'Pedang Kembar
Menyapu Awan'!" komando Darma Sukanta.
Di ujung komando Darma Sukanta, enam sau-
daranya yang lain segera membentuk formasi pembuka
jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'. Satu orang
berdiri di depan, disusul yang lain membentuk jajaran
memanjang.
Tak ragu lagi, Prajurit Kembar segera mener-
jang Manusia Mayat Hidup dengan menutup empat
penjuru mata angin. Jurus 'Pedang Kembar Menyapu
Awan' digunakan secara serentak, meliuk-liuk, me-
nyambar ke kiri dan kanan.
Manusia Mayat Hidup menghadapi dengan te-
nang. Tebasan-tebasan pedang ditangkalnya dengan
mudah. Sesekali, tubuhnya melentik ke udara seraya
memberikan serangan balasan.
"Hiaah!!"
Pertarungan berjalan kurang lebih beberapa
menit. Kedua pihak belum tampak ada yang kalah. Pe-
dang berdesingan, menyambar-nyambar seolah ber
nyawa. Formasi Jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'
sulit ditembus oleh Manusia Mayat Hidup. Tak heran
kalau Prajurit Kembar sangat ditakuti para perampok
di seluruh tanah Jawa.
Jurus yang digunakan Manusia Mayat Hidup
sangat aneh. Tubuhnya lemas seperti belut. Kibasan-
kibasan tangannya mengandung hawa dingin sehingga
menyulitkan Prajurit Kembar untuk menghujamkan
pedang ke dada lawan.
Di saat pertarungan sedang memuncak, tiba-
tiba Manusia Mayat Hidup menghentakkan kaki. Tu-
buhnya melentik mundur, menghindari lawan, lalu
mendarat dengan mulus persis di depan Tujuh Dewa
Kematian.
Prajurit Kembar pun berhenti dan berdiri tegak,
menatap tajam ke arah musuh-musuh mereka.
"Apa maksud setan jelek ini menghentikan per-
tarungan Kakak Darma?" tanya Aji Sukanta.
"Apakah kau tidak melihatnya? Saat kita berta-
rung tadi, iblis yang berdiri paling depan mengangkat
tangan kanannya...."
Tapi apa maksud iblis itu menghentikan perta-
rungan? Bisik hati Aji Sukanta, seraya menatap tajam
tak berkedip ke arah Tujuh Dewa Kematian.
Tujuh Dewa Kematian bergerak melingkar,
mengitari Manusia Mayat Hidup. Manusia Mayat Hi-
dup berdiri mematung. Tangannya membentuk siku-
siku di dada. Kaki kanannya diangkat. Seketika, se-
gulungan asap keluar dari lehernya. Kejadian itu tak
berlangsung lama. Tujuh Dewa Kematian kembali da-
lam posisi semula. Hanya Manusia Mayat Hidup yang
tidak berubah.
Prajurit Kembar termangu-mangu melihat hal
ganjil yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian.
Selesai melakukan semacam upacara singkat,
Tujuh Dewa Kematian tertawa serempak.
"Huaa ha ha ha!!!!"
Rupanya, yang barusan dilakukan adalah se-
buah upacara kecil untuk menyambut pendatang baru
yang masuk ke Kuil Neraka. Di sela gelak tawa yang
bergema, lamat-lamat Manusia Mayat Hidup menu-
runkan tangan dan kaki kembali. Tawa pun terhenti.
Matanya menatap bengis ke arah Prajurit Kembar yang
sejak tadi termangu-mangu menyaksikan kejadian
yang mereka anggap ganjil.
Perlahan-lahan, Tujuh Dewa Kematian melang-
kah mendekati Prajurit Kembar. Senyuman sinis ter-
sungging di mulut yang tak bergigi. Lebih kentara se-
bagai seringai. Alangkah mengerikan sekali senyuman
itu....
"Kisanak sekalian, siapa yang mengutus kalian
datang ke sini?" tanya seorang dari Tujuh Dewa Kema-
tian.
"Kami datang atas titah adipati," sahut Sukma
Sukanta, datar.
"Kalian datang cuma mengantar nyawa!!"
Mendengar perkataan bernada ancaman, darah
Prajurit Kembar bergejolak. Diam-diam, Sentana Su-
kanta memaki dalam hati. Sebaliknya, justru ini hari
terakhirmu, Setan-setan Jelek!
Sesaat kemudian, seorang dari Tujuh Dewa
Kematian yang menjadi pemimpin menyusulkan perta-
nyaan, "Siapa kalian?"
"Kami adalah Prajurit Kembar!" jawab Darma
Sukanta.
Si pemimpin tadi tertawa mencemooh.
"Sungguh besar sekali peruntungan kami hari
ini, dapat menerima kunjungan Prajurit Kembar yang
ditakuti para perampok tanah Jawa. Lalu, apa maksud
dan tujuan kalian datang ke Kuil Neraka?"
Dengan sikap tegas dan suara lantang, Darma
Sukanta sebagai orang tertua menjawab pertanyaan
itu.
"Aku serta keempat saudaraku datang ke sini
untuk menghentikan sepak terjang kalian!"
"Ha ha ha haa!!"
Tujuh Dewa Kematian malah tertawa. Kali ini
tawa mereka bergulung-gulung, menderu bagai gemu-
ruh petir.
Kembali Prajurit Kembar menutupi telinga
sambil mengatur tenaga dalam untuk menangkal sua-
ra tawa yang menusuk telinga.
Tawa Tujuh Dewa Kematian makin lama makin
melengking, membubung ke angkasa. Dinding kuil
berderak retak. Burung-burung malam di luar sana
terjatuh dan mati. Kelelawar-kelelawar mencuit-cuit
sekarat. Suasana di sekitar Gunung Arjuna jadi ber-
gemuruh meliuk-liuk. Lebih jauh, tawa Dewa Kematian
membangunkan penduduk yang berada jauh di kaki
Gunung Arjuna.
Prajurit Kembar dibuat kerepotan.
"Akh!"
Sukma Sukanta dan Sentana terhuyung-
huyung. Darah mulai merembes dari telinga dan hi-
dung keduanya. Mulut mereka menyeringai kesakitan.
Dengan serentak, tawa terhenti. Suasana kem-
bali seperti semula. Tubuh Surya Sukanta dan Senta-
na yang sebelumnya terhuyung-huyung menjadi lim-
bung, lalu ambruk.
***
DUA
SUKMA Sukanta menggoncang-goncangkan tu-
buh kedua saudaranya seolah tak mempercayai keja-
dian yang menimpa kedua saudaranya. Darma Sukan-
ta dan Aji Sukanta diam sesaat, lalu kepalanya meno-
leh ke arah Tujuh Dewa Kematian. Paras wajahnya
terbakar. Tubuhnya menggigil menahan gejolak ama-
rah yang memuncak. Digenggamnya pedang erat-erat
seraya berkata, "Aku Darma Sukanta ingin sekali men-
gunyah dagingmu, mengulitimu!! Kau telah membu-
nuh kedua saudaraku, kau harus mempertanggung
jawabkan perbuatanmu!"
Ketujuh momok sakti itu tetap berdiri di tem-
pat, kemudian salah satu di antaranya menukas di-
kawal tawa tawar. Tiba-tiba pula wajahnya berubah
menjadi garang. Dari mulutnya yang tak bergigi, ke-
luarlah ucapan dengan nada garang.
"Sudah menjadi ketetapan berpuluh tahun
bahwa, barang siapa memasuki Kuil Neraka tentu ti-
dak akan keluar dengan selamat."
Selesai berkata, ia mengacungkan tangan ke
atas. Manusia Mayat Hidup yang sejak tadi mematung,
perlahan-lahan mulai menurunkan tangan dan ka-
kinya. Dia maju. Tiga tindak kemudian, dibalikkannya
tubuh ke arah peti mati. Ternyata Manusia Mayat Hi-
dup melangkah mendekati peti itu. Tangannya terang-
kat ke depan. Mulutnya komat-kamit, kemudian di-
hentakkannya kaki kanan tiga kali ke lantai.
Duk duk duk!!
Lambat-laun, peti itu terangkat ke atas. Dipu-
tarnya tubuh bersamaan dengan gerak peti mati ke
arah tiga orang Prajurit Kembar yang tengah berdiri te
gak.
Manusia Mayat Hidup mengibaskan tangannya
pelan tapi penuh tenaga. Angin menderu. Gemuruh
menyentak peti mati. Benda besar itu meluncur deras
ke arah tiga orang Prajurit Kembar.
Sisa tiga orang Prajurit Kembar yang sejak tadi
berdiri tegak, terperangah menyadari bahwa mereka
diserang dengan cepat. Mereka menghentakkan kaki.
Tubuh ketiganya melentik ke udara, menghindari ter-
jangan peti mati. Peti itu pun menghantam tempat ko-
song.
Des!
Seperti bernyawa, peti itu berputar arah lalu
menerjang kembali. Angin putarannya mendengus-
dengus. Dia terus berputar dan berputar, memburu
dan memburu. Ketiga Prajurit Kembar jungkir balik ke
sana kemari.
"Berhenti!!" perintah seorang dari Tujuh Dewa
Kematian.
Manusia Mayat Hidup pun menghentikan man-
teranya. Bersamaan dengan itu, peti mati yang tadi
mengamuk mendadak berhenti, kemudian jatuh ber-
debam.
"Mengapa dihentikan, Tuan? Aku ingin mem-
bunuhnya! Sudah lama aku tak membunuh. Aku sela-
lu terkurung di dalam peti itu!"
"Sabar. Kau tak perlu membunuh mereka. Aku
ingin menjadikan mereka pengikutku," dengus ketua
Tujuh Dewa Kematian. Sedangkan yang lain terdiam.
"Hai Darma Sukanta, bagaimana kalau kau dan
kedua saudaramu menjadi budakku?! Kau setuju?"
"Cuih! Lebih baik kami bertarung sampai titik
darah terakhir daripada menjadi budak setan-setan je-
lek macam kalian!"
"Kalau begitu, kau mencari mati!"
"Mati sekarang atau nanti, bagi kami sama sa-
ja. Yang jelas, lepaskan bayi-bayi yang kau culik dari
desa Karang Haur!"
"Kenapa baru kau tanyakan sekarang?"
"Setan jelek, kenapa kau menculik para bayi
serta membunuh orang-orang tak berdosa?" tanpa
berniat menjawab, Aji Sukanta malah balik bertanya.
"Itu urusan kami! Kalian tak perlu tahu! Kini,
bersiaplah untuk mati!"
Selesai menebar ancaman, Ketua Tujuh Dewa
Kematian mendorong tangan perlahan-lahan. Memang
tampak tak bertenaga, tapi hebatnya tak terkira. Itulah
jurus 'Petir Membelah Gunung'. Angin mendesis laksa-
na suara seribu ekor ular. Segulung tenaga dahsyat
melanda tiga orang Prajurit Kembar.
Tiga Prajurit Kembar tegak berdiri di tempat,
bersiaga penuh menyambut badai serangan lawan
dengan bersiap melontarkan pukulan 'Tandukan Ban-
teng Kembar'. Tiga kekuatan yang melebur menjadi sa-
tu dilancarkan, mencoba menghadang serangan lawan.
Dark!
Terpecah suara benturan pukulan kedua belah
pihak. Heran, momok sakti itu tetap berdiri tegak.
Baik badan maupun kuda-kudanya tak berge-
mik sedikit pun.
Lain dengan tiga orang Prajurit Kembar. Mereka
terpental membentur dinding, dan ambruk ke tanah.
Dari mulut ketiganya termuntah darah segar.
"Ukhh!"
Dalam sekali gebrak, ketiganya menderita luka
dalam yang berat. Dalam keadaan terluka, Darma Su-
kanta terhuyung-huyung menghampiri kedua adiknya
yang tampak menderita luka lebih parah.
"Kau tidak apa-apa, Adikku?" tanya Darma Su-
kanta sambil menyeringai kesakitan.
"Dadaku sesak," keluh Aji Sukanta. Selesai
berkata, dia mencoba mengatur pernapasan.
Sedangkan Sukma Sukanta mengerang-erang
seraya terbatuk-batuk kecil.
"Sukma, sebaiknya kau keluar dari tempat ter-
kutuk ini. Di antara kita harus ada seorang yang sela-
mat agar bisa menyampaikan berita pada Adipati Ber-
nawa!" erang Darma Sukanta, tetap dengan mengatur
hawa murni.
"Tidak, Kak! Kita pergi bersama, maka mati pun
kita harus bersama!"
"Jangan gegabah! Iblis ini terlalu sakti untuk
dihadapi. Cepat pergi dari sini! Biar aku dan Aji yang
menghadapi mereka...."
Dengan berat hati, Sukma Sukanta meninggal-
kan kedua kakaknya yang baru saja terluka. Tujuh
Dewa Kematian tidak bertindak apa-apa. Momok sakti
itu tetap tegak di tempat masing-masing.
Karena dalam sekali gebrak Prajurit Kembar
menderita luka dalam yang berat, maka Darma Sukan-
ta dan Aji Sukanta segera menguras tenaga yang ma-
sih tersisa untuk mengerahkan ilmu simpanan. Kedu-
anya berusaha untuk menebus kekalahan.
Tetapi, gila benar momok sakti yang bergelar
Tujuh Dewa Kematian itu. Hanya dengan menge-
butkan lengan baju, maka tekanan angin pukulan
yang dilontarkan dua bersaudara itu dapat ditahan.
Seiring dengan itu, sebentuk tenaga terpantul keras
dan melempar kedua bersaudara itu sampai enam
tombak.
Kedua bersaudara itu merasakan bumi di seke-
lilingnya menjadi gelap gulita. Sesaat kemudian, mereka tak berkutik lagi....
* * *
Sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok.
Malam yang kelam sebentar lagi akan berganti fajar.
Sukma Sukanta keluar dari gerbang Kuil Neraka. Tak
dihiraukannya luka dalam. Ia terus berlari menjauhi
tempat laknat itu.
Fajar sudah menampakkan wajahnya. Kuil Ne-
raka sudah jauh tertinggal. Jatuh bangun Sukma Su-
kanta. Nafasnya terengah-engah. Tubuhnya bersimbah
peluh. Rasa sesak di dada menghimpit pernapasan.
Sampai tiba saatnya dia kehabisan tenaga. Pucat wa-
jah Sukma Sukanta. Matanya berkunang-kunang.
Bumi terasa berputar.
Dengan susah payah, dia mencoba bangkit un-
tuk melanjutkan langkah. Tapi tubuhnya terhuyung
lalu tersuruk ke semak. Dicobanya untuk bangkit
kembali. Tapi dia tak kuasa. Tubuhnya lemas. Sukma
Sukanta cuma dapat tertelungkup. Erangan kesakitan
terdengar bersambungan.
Sang Surya makin meninggi. Sinarnya makin
terasa menyengat kulit. Sementara Sukma Sukanta
masih tergolek tak berdaya di sisi jalan setapak.
Dari kejauhan terdengar suara siulan diselingi
nyanyian sumbang. Siapakah si empunya suara?
Muncul seorang pemuda yang baru beranjak dewasa.
Wajahnya tampan, bergaris rahang jantan. Pemuda itu
masih saja bersiul-siul, melenggang enteng. Tampak
terbersit keceriaan di wajahnya.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu putih dari
kulit hewan. Bercelana pangsi biru sebatas lutut. Pada
kain ikat pinggangnya terselip semacam tongkat pen
dek berwarna hitam. Berpangkal logam perak berben-
tuk kepala naga, berujung logam perak berbentuk ekor
naga.
Siulan si pemuda terpenggal. Ada suara eran-
gan dari kejauhan mengusiknya. Seorang lelaki beru-
sia tiga puluh tahunan berpakaian seragam keprajuri-
tan sedang merangkak-rangkak dibarengi erangan le-
mah di sisi jalan setapak. Dia adalah Sukma Sukanta.
Pemuda tadi tertarik. Dia berlari kecil meng-
hampiri. Tiba di dekat Sukma Sukanta, pemuda itu
cepat berjongkok dan segera membalik tubuhnya.
"Apa yang telah terjadi pada diri orang ini?"
dengus si pemuda sambil memijat nadi Sukma Sukan-
ta.
Merasakan ada sentuhan hangat, Sukma Su-
kanta membuka matanya. Ditatapnya dalam-dalam
wajah si pemuda.
"Si... siapa kau Adik Muda?" tanyanya tersen-
dat-sendat.
"Jangan bertanya dulu. Sekarang duduklah.
Atur pernapasan lalu pusatkan pikiran," sergah si pe-
muda seraya membantu Sukma Sukanta untuk du-
duk.
"Terima kasih, Adik Muda...."
"Sudahlah.... Kita sesama manusia memang
seharusnya saling tolong menolong. Siapa nama Ka-
kang?" tanya pemuda itu dengan nada datar.
"Namaku Sukma Sukanta. Aku prajurit keper-
cayaan Adipati Lumajang."
"O, pantas Kakang mengenakan pakaian sera-
gam keprajuritan. Lalu kenapa Kakang bisa di sini
dengan tubuh terluka dalam?"
"Ceritanya panjang. Ah, aku belum tahu na-
mamu, Adik Muda."
"Panggil aku Satria, Kang."
"Satria.... Nama yang cukup bagus. Ugh-ugh!"
Sukma Sukanta terbatuk-batuk kecil. Pemuda
yang mengaku bernama Satria merangkul tubuh Suk-
ma Sukanta sambil berkata, "Sudahlah.... Kakang jan-
gan banyak bicara dulu. Dada Kakang masih sesak."
"Biarlah. Aku tak apa-apa...."
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini dulu,
Kang. Kita cari bantuan penduduk untuk merawat lu-
ka Kakang."
"Baiklah."
Sukma Sukanta mencoba bangkit, dibantu Sa-
tria.
* * *
Waktu terus bergulir. Tak terasa sang surya te-
lah condong ke sebelah barat. Dua orang yang saling
merangkul seperti dua saudara sudah berada di jalan
berbatu kerikil yang menuju desa terdekat. Keduanya
tidak lain Sukma Sukanta dan Satria. Orang terakhir
dikenal oleh kalangan persilatan sebagai salah seorang
pendekar muda sakti berjuluk Satria Gendeng.
Keduanya menunggu di sisi jalan, kalau-kalau
ada pedati yang lewat. Mereka berniat menumpang.
Nasib mereka memang sedang bagus. Tak lama
menunggu, ada sebuah pedati melintas. Kusir pedati
seorang lelaki tua berpakaian coklat dekil. Rambutnya
putih, kaku seperti orang yang tak pernah keramas se-
lama seribu satu tahun. Di atas kepalanya bertengger
topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya redup, di-
naungi alis lebat memutih.
Satria Gendeng langsung melambaikan tangan.
"Tunggu, Pak Tua!"
Kuda meringkik karena tali kekang ditarik
mendadak. Pedati berhenti, tak jauh di depan calon
penumpangnya. Kusirnya tak sedikit pun melepas te-
guran. Wajahnya kekar membeku.
"Maaf, Pak Tua. Kami terpaksa mengganggu
perjalananmu."
"Ada apa?" sentak Pak Kusir Tua.
"Kami ingin menumpang, Pak Tua!"
Tak banyak kata atau tanya, si kusir tua mem-
buat isyarat dengan gerakan kepala. Satria mengang-
gap itu pertanda mereka diizinkan untuk naik. Meski
dalam hati, Satria mengomel-ngomel juga pada sikap
kusir tua yang dingin dan kaku. Apa dia baru saja
'dipecat' jadi suami oleh istrinya? Guraunya membatin.
Satria dan Sukma menaiki pedati. Pak Kusir
Tua menggebah kuda kurusnya untuk melanjutkan
perjalanan.
Pedati berjalan lamat. Sesekali sang kusir mele-
cut kudanya untuk mempercepat perjalanan. Tapi, te-
tap saja kuda kurus kering itu berjalan seperti bina-
tang pesakitan.
Satria dan Sukma Sukanta duduk tenang di be-
lakang kusir. Wajah Sukma Sukanta terus dikungkung
kemurungan, seolah menyimpan timbunan duka di ha-
ti.
Melihat wajah Sukma, Satria menepis lutut le-
laki itu. Kebetulan mereka duduk berhadapan. "Ada
apa, Kang?"
"Ah, tidak...."
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa wajah Ka-
kang murung?"
"Aku hanya ingat saudara-saudaraku."
"Kenapa dengan mereka? Oh ya, Kakang pun
belum menjelaskan kenapa Kakang bisa berada di
tempat tadi, sedangkan letak Kadipaten Lumajang cu-
kup jauh dari tempat ini? Perlu waktu dua hari kalau
berjalan kaki ke sana...."
"Aku lupa menceritakannya padamu. Sebagai
seorang prajurit, aku selalu berada di mana saja. De-
kat maupun jauh. Semua itu aku lakukan untuk me-
laksanakan perintah adipati dalam membasmi para pe-
rompak yang mengganggu rakyat...."
"Jadi, Kakang terluka waktu itu karena berta-
rung dengan perampok?" potong Satria.
"Ya. Mereka bisa disebut iblis!"
"Kenapa begitu? Siapa mereka sebenarnya,
Kang?" susul Satria penasaran. Terbersit keinginta-
huan di wajahnya.
"Mereka bergelar Tujuh Dewa Kematian, para
penghuni Kuil Neraka. Keganasan mereka tak kepa-
lang. Mereka membunuh tokoh-tokoh aliran putih dan
membunuh Empu-empu kepercayaan adipati. Yang le-
bih menyakitkan lagi, mereka menculik bayi-bayi yang
masih suci. Oleh karena itu, sebutan yang paling cocok
adalah 'iblis'!!"
Satria menghela napas panjang setelah men-
dengar penuturan Sukma Sukanta. Dia menggeser du-
duknya ke samping. Tanpa sengaja, benda berbentuk
tongkat pendek menyembul keluar dari kain ikat ping-
gangnya.
"Benda apa itu, Adik Muda?" tanya Sukma Su-
kanta. Matanya menilik lekat-lekat ke pinggang Satria
Gendeng.
"OOh, ini.... Cuma benda pemberian guruku,
Kang," kilah Satria, tak ingin berterus terang.
Mendengar jawaban tadi, Sukma Sukanta tidak
ingin memperpanjang masalah. Lelaki itu cukup mak-
lum kalau Satria tampaknya tak ingin membicarakan
nya. Dia hanya menganguk-anggukkan kepala.
Lain halnya dengan kusir pedati. Dari diamnya,
tiba-tiba dia terkekeh.
"He he he he!"
Langkah kudanya terhenti. Hewan penghela
pedati itu meringkik-ringkik dan berjingkat-jingkat. Sa-
tria dan Sukma Sukanta tak mengerti apa yang ter-
jadi. Terbetik pertanyaan di hati masing-masing. "Ada
apa, Pak Tua?" tanya Sukma Sukanta. Kusir tua itu
tak menjawab. Dia terus menyambung kekehnya, di-
tingkahi ringkikan kuda. Merasakan ada gelagat tak
baik, Satria bergegas melompat turun dari atas pedati.
Sukma Sukanta menyusul.
***
TIGA
KALIAN kenapa turun. Cah?" Tanpa menoleh, si
kusir tua bertanya.
"Kenapa Pak Tua tertawa dan kenapa pula ku-
da itu meringkik ringkik?" balas tanya Sukma Sukan-
ta, curiga.
"Benda di pinggang Cah Gondrong itu...," ujar
kusir tua. Lalu, kakinya dihentakkan. Dia melentik
ringan ke udara. Mendarat mulus di atap pedati den-
gan posisi bersila. Matanya menghunus langsung ke
arah ikat pinggang Satria Gendeng.
Satria sendiri malah cengengesan menyaksikan
tingkah tua bangka itu. Perbuatannya terasa lucu bagi
si pendekar muda berhati polos.
"Hey, Cah! Dari mana kau dapatkan benda itu?"
tanya Kusir Tua sambil melompat turun. Nadanya
agak menjangkit. Kesannya mulai kasar.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Satria balik ber-
tanya.
"Eleh eleh... ditanya malah balik bertanya!"
"Kalau boleh kami tahu, siapa Pak Tua ini se-
benarnya?" sela Sukma Sukanta.
"Aku Setan Syair!"
"Setan Syair?!" Sukma Sukanta terbelalak. Per-
nah didengarnya nama itu. Setan Syair sama biadab-
nya dengan Tujuh Dewa Kematian. Apa pun yang diin-
ginkannya harus tercapai, kendati harus membunuh!
Baginya, nyawa manusia tak lebih berharga dari lalat.
Kapan pun dia mau, di situlah dia membunuh.
"Setan Syair, sepertinya kau menginginkan
benda milik sahabat mudaku ini?" susul Sukma Su-
kanta lagi.
Setan Syair mundur tiga langkah. Dia menarik
napas. Kepalanya mendongak ke atas. Sikap seperti itu
sudah amat dikenal kalangan persilatan sebagai satu
ciri Setan Syair. Gelagatnya dia hendak menguman-
dangkan syair kematiannya.
"Rajawali terbang membumbung ke angkasa,
melayang-layang mencari mangsa.
Yang kucari kini di depan mata,
dipegang bocah yang masih belia"
Lantunan syair berupa pantun melambung ke
angkasa. Memantul di udara, menerjang pepohonan,
membuat terdiam mematung siapa yang mendengar-
kan.
Sukma Sukanta menutup telinga. Satria tetap
berdiri tegak, tak bergemik sedikit pun. Pendekar mu-
da itu hanya meringis-ringis. Satria bukan pemuda be
rotak udang. Dia tahu jelas apa yang dikehendaki si
kusir tua dengan mengumandangkan syair murahan-
nya dengan menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi.
Pasti masalah Kail Naga Samudera, pikirnya. Senjata
milikku ini selalu saja bikin perkara, rutuknya memba-
tin.
"Pak Tua Setan Syair, apa maksudmu mengu-
mandangkan syair itu di depanku?" seru Satria, berpu-
ra-pura tak tahu
"Jangan banyak tanya, Cah! Serahkan saja
benda itu padaku! Kau tak layak memilikinya," desis
Setan Syair. Diam-diam, hatinya menyembunyikan ra-
sa kagum pada Satria yang tak terpengaruh kekuatan
tenaga dalam yang disalurkan melalui suaranya baru-
san.
Satria menampar kening dengan mata membe-
liak.
"Rupanya kita salah menumpang. Ternyata
orang yang kita tumpangi tak lebih dari tukang umbar
syair pinggiran jalan yang senang merebut hak orang
lain...," katanya pada Sukma Sukanta.
Sukma Sukanta dipaksa menautkan alis men-
dengar ucapan seenak dengkul Satria. Dia tahu benar
siapa Setan Syair. Julukan yang tak bisa dimain-
mainkan kecuali hendak menyerahkan nyawa. Tapi
pemuda satu ini? Apa sudah tak punya otak lagi dia?
Terpukullah harga diri Si Setan Syair. Dia di-
remehkan oleh seorang pemuda yang baru beranjak
dewasa.
"Bocah keparat!" makinya.
Setan Syair menatap dengan bersit mata meni-
kam. Lalu, kepalanya mendongak kembali. Dia hendak
mengumandangkan syairnya lagi.
"Aku Setan Syair. Bila ku berpijak,
bumi berderak, awan berarak,
manusia terbelalak.
Datang dari Goa Setan.
Mencari Kail Naga Samudera sebagai dambaan.
Kulumat siapa pun yang menjadi rintangan,
ku koyak seperti hewan!"
He he he he...."
Kembali lantunan syair murahan bergulung-
gulung, dibarengi ringkikan kuda yang melengking
nyaring.
"Kuda kurus meringkik, pertanda tangan kema-
tian turun menukik...," sambungnya, lebih kentara se-
bagai ancaman tak langsung terhadap si pendekar
muda tanah Jawa.
Mendadak syairnya terhenti, dipenggal oleh
bentakan keras yang terpental dari kerongkongan Sa-
tria.
"Berhenti!!!"
Suara Satria santer, tak hanya seperti pekikan
bergeletar, namun juga mengguntur. Kekuatannya
menyebabkan seekor burung yang kebetulan melayang
di angkasa tersentak lalu menukik jatuh. Se-bentuk
kesaktian yang sesungguhnya tak cukup pantas dimi-
liki orang semuda dia.
Sayang, untuk itu Sukma Sukanta harus me-
nerima akibatnya juga. Dia hanya bisa mendekap te-
linga.
Setan Syair tersentak. Dia tertegun sejenak.
Tak dinyana olehnya bocah yang baru beranjak dewasa
dapat mengeluarkan bentakan yang mengandung te-
naga dalam nyaris sempurna. Sementara, suara berte-
naga dalam pada tingkat seperti itu hanya dimiliki oleh
tokoh-tokoh tua tertentu.
"Hm. Darimana bocah ini belajar ilmu olah ka-
nuragan dan mengapa Kail Naga Samudera ada di tan-
gannya?" Bisik hati Setan Syair.
"Bocah, cepat serahkan benda itu sekarang ju-
ga! Kalau tidak, kurobek-robek tubuhmu!"
"Ambil sendiri kalau kau mampu!" tantang Sa-
tria.
Wajah Setan Syair menjadi beringas. Sinar ma-
tanya menyalak, menatap ke arah Satria. Lalu geram-
nya terseret, "Kau memang cari mampus!"
Suasana yang semula hening, yang terdengar
hanya derap langkah kuda kurus, kicauan burung di
dahan, serta suara seretan daun kering di tanah, kini
berubah menjadi suasana yang mengundang pertum-
pahan darah. Gejolak hawa nafsu membunuh terpan-
car dari raut wajah Setan Syair. Matanya yang redup
kini mendelik. Posisi tubuhnya membentuk kuda-kuda
Jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Sukma Sukanta yang menyaksikan kejadian
tersebut menjadi terdiam, membisu seribu kata. Ma-
tanya terpentang tanpa kedip, memancarkan sinar ke-
takpercayaan pada perbuatan Satria, pemuda yang ba-
ru dikenalnya. Sedangkan direlung hatinya terlintas
sejuta pertanyaan terhadap diri pemuda itu.
Di lain pihak, mata tajam dan jeli Satria mena-
tap sejurus ke arah lawan yang sedang membentang-
kan kuda-kudanya. Satria Gendeng pun dengan gera-
kan ringan membuka jurus yang diturunkan oleh Ki
Kusumo, "Mematuk Bunga Karang'.
Setan Syair siap menerjang. Sebelum itu, di-
awalinya dengan mengumandangkan syair berbau da-
rah.
"Awan mendung bergulung.
Mengerubung bumi yang sebentar nanti berka-
bung
Saksikan wahai gunung!
Saksikan wahai burung!
dan saksikan wahai para petarung!"
Tubuh Setan Syair melesat dengan cepat ke
arah pemuda berambut kemerahan. Pendekar muda
itu pun menyambut serangan yang dilontarkan lawan.
Suasana berubah mencekam. Kibasan-kibasan
jurus 'Mamatuk Bunga Karang' menerjang seperti me-
nemukan geram murka seekor elang. Setan Syair pun
mengimbangi dengan jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Kali ini dia tidak bisa menganggap enteng lawannya.
Kendati yang dihadapi seorang bocah baru beranjak
dewasa.
"Hiaaat!"
Debb deb!
Setan Syair menerjang buas bagai singa lapar.
Jurus cakar landaknya menghantam, menerjang, men-
cakar-cakar ke arah dada Satria.
Satria bergerak ringan. Tubuhnya berkelit di se-
la-sela serangan lawan. Melihat serangannya selalu
kandas dan dengan mudah dipatahkan, Setan Syair
tambah geram. Kini serangan-serangannya berubah
menjadi lebih cepat dan ganas. Cakar-cakarnya me-
nyambar bagai kilat yang siap membobol gunung!
Tubuh Satria Gendeng jungkir balik, melentik-
lentik, sesekali membentuk salto di udara. Jurus-
jurusnya kini berubah aneh. Meliuk-liuk lemas bagai-
kan seorang pemabuk. Kadang-kadang dia ber-
jingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan.
Pertarungan berlangsung sudah tiga puluh jurus. Satria masih tetap bertahan dalam posisi semula.
Sedangkan Setan Syair tampak mulai terengah-engah
kehabisan tenaga. Jurus-jurusnya mulai tak karuan.
Posisi kuda-kudanya sudah mulai oleng. Satu kesem-
patan emas terbuka bagi Satria Gendeng. Pemuda itu
menghentakkan kaki kiri. Tubuhnya melentik ke uda-
ra, berputar cepat ke belakang. Kecepatan putarannya
hampir tak dapat ditangkap mata biasa. Selanjutnya,
Satria mendarat tepat di belakang Setan Syair. Tanpa
membuang waktu, pendekar muda itu menghentak
tangan, membuat dorongan berkekuatan penuh ke
punggung Setan Syair.
Degh!
"Eghk!" pekik Setan Syair. Cepat dia tersungkur
ke depan, sejauh tiga tombak!
Setan Syair mengerang-erang kesakitan di ta-
nah tempatnya tersungkur. Tangannya mendekap da-
da. Darah segar keluar dari sudut bibirnya yang biru.
Betapa sakit bagian dalam tubuhnya. Terseok-seok,
dia mencoba bangkit. Tak lama kemudian dia sudah
sanggup berdiri dengan segala kegarangan. Tapi kega-
rangannya ditahan dalam dada yang sesak. Mulutnya
menyeringai seraya berkata dengan nada syairnya.
"Aku malu, aku malu, aku malu.
Terunduk di depan bocah lugu.
Aku malu, aku malu, aku malu,
Berwindu berguru,
Aku malu, aku malu, aku malu.
Jurusku lumpuh di tangan bocah lugu.
Si Setan Syair tersenyum sinis. Dia sadar kalau
bocah yang berdiri di depannya bukan bocah semba-
rangan. Kemudian dihentakkan kaki. Tubuhnya me
lentik membentuk salto di udara, dan mendarat tepat
di kursi kusir pedati. Digenggamnya tali kekang erat-
erat. Setelah itu digebahnya kuda kurus dengan hen-
takan kuat.
"Hiaa! Hiaa!"
Kuda itu pun melanjutkan perjalanan dengan
langkah tergontai-gontai. Kembali Setan Syair menye-
nandungkan syairnya dengan suara keras membaha-
na.
"Aku datang dengan sengaja.
Aku pergi dengan hati luka.
Aku berjanji padamu pemuda.
Aku akan kembali padamu
bersama sejuta celaka... sejuta celaka!"
Satria berdiri tegak sambil menatap tajam ke-
pergian si Setan Syair dengan pedati tuanya sampai hi-
lang di kelokan jalan. Yang terdengar hanya pantulan-
pantulan syairnya yang kemudian lamat-lamat hilang
terbawa angin.
Sukma Sukanta yang sejak tadi menyaksikan
pertarungan Satria dengan Setan Syair menjadi terhe-
ran-heran. Dalam hati dia berkata, "Aku tak menyang-
ka tokoh tua macam Setan Syair dapat dikalahkan
hanya dalam tiga puluh jurus! Padahal ilmunya sangat
tinggi.... Siapa anak muda ini sebenarnya?"
Sukma Sukanta beranjak dari tempatnya berdi-
ri, melangkah ke arah Satria yang sedang memandang
kepergian Setan Syair.
"Satria," tegur Sukma Sukanta.
Satria menoleh, sambil menyunggingkan se-
nyum kebodoh-bodohan.
"Ada apa, Kang?" tanyanya
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sukma Sukanta.
Meski sudah bersikap wajar, matanya tak bisa me-
nyembunyikan binar kekaguman sekaligus penasaran
yang belum juga padam.
"Tidak, Kang."
"Aku sungguh tak menyangka kalau kau memi-
liki kesaktian yang dapat mempecundangi Setan
Syair," sanjung Sukma Sukanta.
"Sekadar untuk jaga diri, Kang!" tukas Satria
Gendeng sambil mengayun langkah, seperti tak terjadi
apa-apa.
"Kau jangan merendahkan diri. Aku tahu siapa
lawanmu tadi. Dia bukan orang sembarangan! Apa kau
tak keberatan kalau aku menanyakan siapa dirimu se-
benarnya?" Sukma Sukanta mengikuti.
"Kakang tahu siapa Setan Syair?" alih Satria,
memancing pembicaraan lain yang tidak menyinggung-
nyinggung tentang jati dirinya.
"Kau jangan sengaja mengalihkan pembicaraan,
Adik Muda. Tak baik menjawab pertanyaan dengan
pertanyaan pula!"
Satria mengedikkan bahu.
"Apa lagi yang harus kukatakan pada Kakang.
Bukankah aku sudah mengatakan bahwa namaku Sa-
tria."
"Satria.... Satria.... Satria." Sukma Sukanta
bergumam, mengulang-ulang nama pemuda itu. Ken-
tara dari wajahnya dia sedang mengingat-ingat sesua-
tu.
"Aku pernah mendengar selentingan kabar bu-
rung tentang seorang pendekar muda yang hari-hari
belakangan makin santer terdengar. Cuma, aku tak je-
las julukannya. Kaukah pendekar muda itu?" desak
Sukma, penasaran.
"Banyak pendekar muda, Kang. Yang Kakang
maksud yang mana?" kelit Satria. Dia berusaha untuk
main kucing-kucingan.
Tahu pemuda di depannya tak ingin mengung-
kapkan jati dirinya, Sukma merasa harus memaklumi.
Hak setiap orang untuk berbicara, atau tidak bicara.
Dia hanya bisa menghela napas saja akhirnya.
"Bagaimana dengan pertanyaanku barusan,
Kang? Soal Setan Syair," susul Satria.
"Ya, aku tahu dari cerita orang. Konon kabar-
nya Setan Syair bernama Subali. Dia putra seorang pe-
tani miskin dari Desa Karang Galing. Subali adalah
seorang pemuda malas. Kebiasaannya hanya duduk
termenung, keluyuran, dan membuat syair. Syair-
syairnya diperuntukkan untuk memikat gadis-gadis.
Sampai pada saatnya salah seorang gadis cantik anak
saudagar garam jatuh cinta pada Subali.
Cinta kasih mereka dilakukan dengan sem-
bunyi-sembunyi karena orangtua si gadis tidak meres-
tui hubungan mereka berdua. Tanpa sepengetahuan
Subali, kekasihnya sudah dijodohkan dengan seorang
pemuda anak angkat dari kerabat ayah si gadis. Tak
lama kemudian, kekasihnya menikah dengan pemuda
pilihan orang tuanya.
Pada saat pernikahan kekasihnya itu, diam-
diam Subali pergi meninggalkan desanya serta kedua
orangtuanya entah ke mana. Kini setelah tujuh puluh
tahun berselang, dia muncul kembali dengan syair
syairnya yang selalu berbau darah. Setiap kali kemun-
culan selalu saja ada darah tertumpah. Dia datang se-
cara tiba-tiba pergi pun tiba-tiba tak ubah seperti se-
tan. Kadang-kadang yang terdengar hanya suara
syairnya yang keras membahana. Sedangkan orangnya
sendiri tidak tampak. Atas dasar itulah orang-orang
kalangan persilatan memberi Julukan Setan Syair.
Hanya itulah yang aku ketahui," Sukma Sukanta me-
nyudahi ceritanya.
"Hm, mungkin dia melakukan itu semua akibat
kekecewaannya. Dia membunuh sebagai pelampiasan
gejolak hatinya yang kacau."
"Ya, mungkin juga. Tapi, sudahlah. Kita tak
usah memikirkan Subali alias Setan Syair. Sekarang,
mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Bagaimana dengan luka Kakang?"
"Sudah tidak mengkhawatirkan, mungkin aki-
bat hawa murni yang kau salurkan. Sehingga, dadaku
tidak begitu sesak."
"Syukurlah kalau begitu. Ayo, Kang!"
***
EMPAT
KADIPATEN Lumajang adalah sebuah kadipa-
ten yang cukup besar dibanding kadipaten lain di wi-
layah Jawa bagian timur. Di sekeliling pusat kekadipa-
tenan berdiri benteng yang cukup tinggi. Di setiap su-
dut benteng terlihat para pengawal bersenjatakan tom-
bak.
Kadipaten ini dipimpin seorang adipati yang arif
dan bijaksana. Terlihat dari kehidupan rakyatnya yang
makmur. Tidak ada kemiskinan yang tampak. Kalau-
pun ada mungkin hanya karena terlewat dari penga-
matan adipati.
Senja perlahan-lahan beranjak mendekati ma-
lam. Rembulan menampakkan wajah, walaupun sedi-
kit tertutup awan. Pada malam itu udara terasa pengap. Tepat di pusat kadipaten, tampak para penjaga
kadipaten hilir-mudik di depan pintu gerbang dengan
penuh kesiagaan. Di sisi lain, ada empat orang penjaga
sedang duduk-duduk di sebuah gubuk jaga untuk me-
nunggu giliran. Mereka bercakap-cakap sekadar
menghilangkan kantuk.
"Hmm, udara panas sekali malam ini," keluh
salah satu penjaga Sarkawi sambil membuka baju ka-
rena kegerahan.
"Yah, tidak biasanya," timpal temannya yang
sedang duduk bersandar di tiang.
"Kamu gerah tidak, Jo? Aku gerah sekali
nih...?" tanya Sarkawi lagi pada temannya, Joyo yang
duduk bersandar.
"Gerah juga, sih. Tapi, tidak seperti kamu, pa-
kai buka baju segala. Kamu gerah tidak, Min, No?"
tanya Joyo pada Gimin dan Noyo yang sedang rebah-
rebahan di pelataran.
"Sama kayak kamu!" jawab Gimin, sedangkan
Noyo diam saja.
"Aku heran, kenapa malam ini terasa pengap.
Mungkin, mungkin akan ada sesuatu. Kita harus was-
pada," gumam Sarkawi.
Gimin dan Noyo bangkit dari rebahnya, lalu
duduk bersila. Sedangkan Noyo berdiri, kemudian me-
langkah menghampiri Sarkawi sambil berkata.
"Betul, hari ini kita harus meningkat kewaspa-
daan sebab firasatku mengatakan akan ada sesuatu
bakal terjadi di sini. Jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Yo? Ketiganya temannya
bertanya serempak. Noyo menatap tegas-tegas kawan-
nya satu persatu, lalu berkata dengan nada setengah
berbisik.
"Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang ke
sini...."
"Iblis-iblis apa? Jangan menakut-nakuti kamu,
Yo!" Sarkawi penasaran.
"Tujuh Dewa Kematian dari Kuil Neraka!" bisik
Noyo bergidik.
"Sssst, sok tahu kamu!"
"Kamu takut? Biar kalau mereka datang, aku
yang hadapi sendiri!" sergah Sarkawi congkak.
"Ala sok kamu! Kamu belum kenal dengan De-
wa Kematian? Mereka terdiri dari tujuh orang aneh
dan kejam. Pantang bagi mereka membiarkan musuh
lolos. Jangankan kamu, yang bisanya cuma 'ngeloni'
Iyem tukang masak Kanjeng Adipati, sedangkan Praju-
rit Kembar yang disegani sudah dua pekan belum
kembali," damprat Noyo, ketus.
"Tenang kamu, Yo! Aku juga disegani oleh...."
"Mertuamu!" serobot Noyo.
"Eh, kamu belum tahu kalau aku punya jimat,
dan silat?"
"Heem, coba kulihat?" tantang Noyo sambil
mencibir. Sedangkan Gimin dan Joyo cuma terse-
nyum-senyum melihat tingkah mereka.
"Nih lihat jurus ‘Kucing Bunting Berguling-
guling’. Ciaat-ciaat!" Sarkawi menunjukkan jurus-
jurusnya yang tak karuan.
"Huh, konyol!" cemooh Noyo sambil menggebrak
Sarkawi. Tak ayal lagi, kuda-kuda Sarkawi jadi ter-
seok. Dia jatuh.
Gedubrak!
Sarkawi menyeringai kesakitan sambil menge-
lus-elus pantatnya yang menimpa batu. Gimin dan
Joyo tertawa terpingkal-pingkal melihat kekonyolan
Sarkawi.
Tiba-tiba tawa mereka mendadak terhenti. Mereka dikejutkan oleh suara ledakan keras dari arah
pintu gerbang kadipaten. Disusul jeritan meninggi.
Memapas malam.
Memagut nyali.
"Aaaa!"
Serentak keempat penjaga yang sedang bergu-
rau itu menoleh ke arah gerbang kadipaten. Mata me-
reka mendelik seolah-olah hendak mencelat keluar ke-
tika melihat pintu gerbang ambrol berantakan, seakan
ditanduk seratus ekor banteng gila. Daun pintunya
terpental, lalu menimpa dua penjaga yang sedang ber-
siaga di baliknya.
Kedua penjaga itu tewas seketika setelah men-
jerit terlebih dahulu. Tubuh keduanya tewas dalam
keadaan mengerikan, tertembus pecahan daun pintu.
Darah segar menyembur membasahi sekujur tubuh
mereka.
Keempat penjaga tadi masih saja mendelik tak
berkedip. Belum lagi keterkejutan mereka sirna, mere-
ka dipaksa lebih mendelik tatkala pandangan mereka
beralih dan menyaksikan tujuh sosok dIselimuti kabut
tipis. Di bawah sinar rembulan yang meningkahi ma-
lam, ketujuh sosok itu berjalan berjajar memasuki ger-
bang kadipaten.
Ketujuh orang itu berpakaian seragam hitam-
hitam seperti pakaian paderi. Tangan dan kaki mereka
tidak terlihat karena tertutup pakaian bagian bawah.
Kini ketujuh orang tersebut sudah melintasi gerbang
kadipaten dan berdiri di antara pintu gerbang dengan
tempat peristirahatan Kanjeng Adipati. Para penjaga
yang ada di sudut-sudut dan di belakang benteng ber-
larian ke arah tujuh sosok yang tidak lain Tujuh Dewa
Kematian.
Penjaga-penjaga itu kemudian mengepung, ber
senjatakan tombak yang siap menghujam ke dada Tu-
juh Dewa Kematian. Tujuh Dewa Kematian menatap
tajam ke arah para pengepung mereka. Dari tatapan
mereka, terbersit keganasan tak terbayangkan. Di ha-
dapan mereka tergeletak dua mayat penjaga yang me-
nurut mereka menghalangi jalan. Lalu, salah satu di
antara mereka yang berdiri paling tengah maju dua
langkah ke depan, mendekati dua mayat tadi. Dengan
kaki kanan, dienyahkan kedua mayat dengan benta-
kan ringan, tapi mengandung tenaga yang kuat. Kedua
mayat seketika terpental dan terseret dua belas tom-
bak!
Mata penjaga yang mengepung Tujuh Dewa
Kematian menjadi tak berkedip menyaksikan kejadian
itu. Perlahan-lahan mereka tersurut mundur beberapa
tindak. Lebih-lebih Sarkawi yang sebelumnya begitu
congkak. Kini wajahnya berubah pucat. Kakinya geme-
taran sampai terkencing-kencing di celana. Kemudian
Sarkawi menyelinap di belakang Joyo.
Para penjaga yang tersurut mundur saling ber-
tatapan satu sama lain. Salah seorang penjaga membe-
ranikan diri untuk bertanya.
"Apa maksud kalian datang ke sini?!"
"Aku ingin bertemu pemimpin kalian!" jawab
seorang dari Tujuh Dewa Kematian yang berdiri paling
kiri.
"Ingin bertemu pemimpin kami? Kanjeng Adipa-
ti maksud kalian?"
"Ya. Suruh dia keluar sebelum kubumi han-
guskan Kadipaten Lumajang ini!"
"Lalu, apa yang kalian inginkan dari pemimpin
kami?!"
"Kau tak perlu tahu, Cecunguk!"
Mendengar jawaban berbau penghinaan, penjaga yang bernyali itu menggeram. Dilemparkannya tom-
bak ke arah orang yang menghinanya. Tombak itu pun
meluncur cepat.
Wusss!
Walaupun tak disertai tenaga dalam, ujung
tombak yang runcing dari besi tak diragukan siap me-
nembus jantung sasarannya.
Ketika tombak tinggal berjarak satu jari, den-
gan cepat momok ganas itu mengibaskan tangan.
Bess!
Seketika hawa panas keluar dan kibasannya.
Tombak yang siap menembus jantungnya berbalik dan
meluncur lebih cepat ke arah tuannya. Tak ayal lagi,
penjaga yang tidak memiliki cukup ilmu bela diri itu
tertembus senjata sendiri.
"Akh!"
Penjaga itu menjerit keras dengan nada memi-
lukan. Tubuhnya jatuh tak berkutik, bersimbah darah.
Sarkawi yang semula sudah terkencing-kencing makin
ciut. Matanya mendelik. Juling sedikit dan tahu-tahu
dia sudah pingsan!
Para penjaga yang lain menjadi geram. Darah
mereka mendidih. Mata mereka nanar penuh gejolak
amarah yang memuncak, namun mereka tidak berani
gegabah. Mereka sadar bahwa kesaktian Tujuh Dewa
Kematian bukanlah tandingan mereka.
Tapi dua orang penjaga tak dapat menahan di-
ri. Mereka maju menerjang ke arah seorang lawan yang
telah membunuh teman mereka. Dengan bersenjata-
kan tombak di tangan, kedua orang itu menerjang di-
barengi teriakan panjang.
"Ciaaa!"
Momok ganas yang dituju sebagai sasaran diam
tak bergeming. Ketika kedua penyerang siap menghujamkan tombak ke dadanya, lagi-lagi momok ganas itu
mengibaskan tangan. Hawa panas pun kembali terasa.
Kedua penjaga yang begitu bernafsu membunuh pun
terpental jauh ke samping. Mereka tewas seketika den-
gan wajah hangus legam. Darah kental kehitaman ke-
luar dari sudut bibir mereka.
Sarkawi kebetulan baru saja siuman. Kebetulan
pula (memang dia sedang agak naas), salah satu mayat
prajurit tadi jatuh tepat di dekatnya. Wajah mayat
yang hangus dengan mata membeliak, berhadapan pu-
la dengan 'moncong' antik Sarkasi. Akibatnya, lelaki
banyak mulut itu langsung mendelik lagi. Dia itu
menggigil di tempat. Tak lama dia kemudian, dia me-
neruskan pingsannya yang nyenyak!
"Siapa lagi yang ingin mati seperti tikus buduk
itu?!" seru salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
"Cukup!" Seruan keras terdengar dari arah be-
lakang para penjaga yang sedang menghadang Tujuh
Dewa Kematian.
Para penjaga membalikkan badan ke belakang.
Serempak mereka menjura dalam.
"Sudahlah...." Suara berat tertahan keluar dari
mulut seseorang yang sudah berdiri tegak dengan pe-
nuh kewibawaan. Pancaran matanya tajam. Tubuhnya
tinggi besar dengan dada bidang. Lelaki itu mengena-
kan pakaian kebesaran kekadipatenan. Usianya terbi-
lang lima puluh tahun, tapi masih tergambar sisa-sisa
ketampanan di wajahnya. Alis lebat menaungi kedua
bola matanya. Kumis tebal menghiasi atas bibir, me-
nambah sempurna wibawa di wajahnya. Lelaki yang
dihormati itu adalah Adipati Wisnu Bernawa.
Para penjaga yang merundukkan kepalanya
menegakkan badan. Sigap mereka diri kembali berba-
lik ke arah Tujuh Dewa Kematian.
"Ada angin apa yang membawa Tuan-tuan yang
terhormat datang ke sini?!" tegur Wisnu Bernawa den-
gan nada penuh keagungan.
"Kau jangan berlagak pilon!" sahut momok yang
berdiri di sebelah kanan sambil mengacungkan tangan
ke arah Wisnu Bernawa.
Kening Wisnu Bernawa berkerut.
"Ke mana Prajurit Kembar yang kuutus untuk
membasmi iblis-iblis keji ini? Apakah mereka belum
sampai ke sarang iblis itu atau mereka tewas? Ah ti-
dak...," ucapnya membatin.
"Hai Wisnu Bernawa! Kenapa kau diam? Apa-
kah kau memikirkan kelima orang utusanmu yang kau
tugaskan untuk menumpas kami?!" seru momok tadi,
seakan bisa membaca pikiran Wisnu Bernawa.
Wisnu Bernawa masih terdiam. Dalam hati, ada
keraguan tentang keselamatan Prajurit Kembar utu-
sannya.
"Wisnu Bernawa! Para prajurit utusanmu su-
dah kami enyahkan dari muka bumi! Atas kelancan-
ganmu itu, kami akan menghukummu dengan ganja-
ran; kau harus menyerahkan putrimu sebagai tumbal
Kuil Neraka pada purnama bulan ke tujuh!"
Wisnu Bernawa tersentak. Bertepatan dengan
itu, seorang dara cantik keluar dari kamar. Dara itu
bertubuh semampai. Kulitnya kuning langsat. Bola
matanya yang indah dihiasi dengan bulu mata lentik.
Dia berlari ke arah ayahnya sambil menangis. Gadis
itu adalah Pitaloka, putri tunggal sang Adipati Luma-
jang, Wisnu Bernawa.
Tak lama berselang, menyusul seorang wanita
setengah baya dari dalam. Wanita itu langsung meng-
hampiri dan berdiri di belakang Wisnu Bernawa. Dia
bernama Nyi Larasati, istri Wisnu Bernawa.
"Ibu...," lirih Pitaloka di sela tangisnya setelah
melepaskan pelukan. Dia menghambur ke arah Nyi La-
rasati. Dipeluknya perempuan itu.
"Tenang anakku. Ayahmu tak akan merela-
kanmu dirampas oleh mereka...," Nyi Larasati berkata
dengan nada penuh kasih seraya membelai rambut
anaknya yang tergerai panjang.
"Aku takut Ibu..., aku takut," isak Pitaloka.
"Kakang, bagaimana ini? Walau apa pun yang
terjadi, kita jangan menyerahkan putri kita kepada ib-
lis-iblis itu," pinta istrinya pada Wisnu Bernawa.
"Aku mengerti Nyai," jawab Wisnu Bernawa.
Kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Wisnu
Bernawa mendongak ke atas lalu kembali menatap Tu-
juh Dewa Kematian dengan tatapan penuh kemarahan.
Bibirnya bergetar.
"Tak ada pilihan lain, selain mempertahankan
putriku," tekadnya dalam hati. Wisnu Bernawa me-
langkah mendekati Tujuh Dewa Kematian. Belum lagi
dia beranjak cukup jauh.
"Jangan, Kang!" Nyi Larasati menghalangi lang-
kah suaminya. Terbersit kecemasan mendalam di wa-
jahnya.
"Tak perlu khawatir, Nyai," gumam Wisnu Ber-
nawa, penuh keyakinan.
"Kalau begitu, Kakang harus hati-hati. Tam-
paknya mereka orang-orang yang sangat kejam," ucap
Nyi Larasati.
Wisnu Bernawa menatap istrinya lekat-lekat. Di
dalam hatinya ada keharuan sekaligus kebanggaan
memiliki istri seperti Nyi Larasati, yang selalu tegar
mendampingi suami dalam menghadapi situasi bagai-
manapun. Memang itulah yang selalu diharapkan Wis-
nu Bernawa. Mungkin pula oleh setiap kaum adam.
Baginya, seorang istri yang tabah dan setia merupakan
mahkota paling mulia di kolong jagat.
Wisnu Bernawa beranjak mendekati Tujuh De-
wa Kematian yang sedang berdiri dengan tangan bersi-
dekap di dada. Kedua telapak tangan mereka dima-
sukkan ke dalam sela-sela lengan baju yang kebesa-
ran. Wajah mereka kelam membesi. Mulut mereka
yang keriput karena tak bergigi sesekali menyeringai.
Langkah Wisnu Bernawa diikuti oleh para pra-
jurit tangguh yang bersenjatakan tombak. Sampai pa-
da jarak kira-kira lima tombak jauhnya antara Wisnu
Bernawa dan Tujuh Dewa Kematian, dia berdiri tegak
dan menatap tajam ke arah para momok ganas itu.
"Dengarkan baik-baik, Tuan-tuan. Aku tidak
akan menyerahkan putriku pada kalian sebab perbua-
tan kalian benar-benar biadab. Kalian menjadikan
manusia sebagai korban persembahan, lalu kalian
anggap apa nyawa manusia?!" tandas Wisnu Bernawa
dengan nada rendah tapi penuh ketegasan.
"He he he...." Seorang dari Tujuh Dewa Kema-
tian terkekeh-kekeh lalu berkata dengan nada men-
gancam.
"Kau dan seluruh rakyatmu akan mendapat
ganjaran yang lebih buruk apabila putrimu tidak kau
serahkan pada kami!"
Wisnu Bernawa tersentak. Telinganya bagai di-
gempur selaksa petir. Wajahnya semerah darah. Na-
mun dia cepat menguasai diri.
***
LIMA
WISNU Bernawa tidak segera menjawab. Dita-
tapnya tajam-tajam momok yang melontarkan anca-
man tadi. Pandangan bertumbukan. Dia merasakan
ada getaran aneh menyelimuti hatinya ketika pandan-
gannya sejurus menatap momok itu.
"Kalian boleh mengancam aku demikian. Aku
adalah seorang adipati yang harus bertanggungjawab
atas keselamatan rakyatku, juga keluargaku. Kalian
mengerti?!"
"Jadi kau pilih mampus!"
"Mati adalah suatu hal yang biasa bagi setiap
makhluk yang bernyawa. Itu pun urusan Sang Pencip-
ta, bukan urusan kalian!"
Wajah salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian
bersungut-sungut. Kiranya dirinya terpojok. Lalu mo-
mok ganas itu mengangkat kedua tangannya setinggi
dada. Disatukannya telapak tangannya di depan dada.
Tak lama berselang, asap hitam mengepul dari sela-
sela telapak tangannya. Asap hitam itu lalu menggum-
pal-gumpal membentuk bundaran, laksana bola hitam.
Momok itu pun mulai merenggangkan telapak tangan-
nya yang semula menyatu.
"Hiaa!!"
Teriakan pendek keluar dari mulutnya seraya
menghentakan tangan ke depan. Asap hitam meng-
gumpal pun meluncur cepat ke arah Wisnu Bernawa.
Wisnu Bernawa yang sejak tadi memperhatikan gerak-
gerik tokoh keji itu terkesiap ketika gumpalan asap hi-
tam hampir mengenai tubuhnya. Dengan cepat dia
berkelit ke samping kanan dengan gerakan memutar.
Dharr!
Satu letusan keras menggelegar. Ditambah
menghamparnya hawa panas luar biasa. Pilar besar
yang letaknya persis di belakang adipati pecah beran-
takan dengan warna berubah menjadi kehitaman dan
mengepulkan asap.
Berpasang-pasang mata terbelalak. Para praju-
rit bergidik ngeri. Pilar dari batu cadas saja bisa han-
cur berantakan, bagaimana lagi kalau mengenai mere-
ka?
Tokoh jahat itu tertawa lebar.
"Wisnu Bernawa, lihatlah para prajuritmu!
Tampaknya mereka ketakutan melihat kehebatan pu-
kulan 'Selaksa Racun" aliran kami!"
Wisnu Bernawa menggertakkan geraham. Dia
harus bertindak untuk menimbulkan semangat baru
kepada para prajuritnya yang kini dilanda kepanikan.
Prajurit!" teriak Wisnu Bernawa.
"Siap!" sahut para prajurit.
"Jangan kau pentingkan keselamatan pribadi!
Utamakan keselamatan orang banyak. Usir mereka da-
ri sini!" komando Wisnu Bernawa, lantang.
Seperti mendapat setetes air di padang pasir
tandus, empat puluh prajurit kembali tegar dan penuh
semangat. Tombak-tombak di tangan kembali dipegang
erat-erat. Ujung-ujung tombak yang runcing diacung-
kan ke arah para lawan. Para prajurit bergerak maju.
Kemudian bergerak memutar mengelilingi ketujuh la-
wan yang berdiri mematung.
Wajah Tujuh Dewa kematian yang kelam mem-
besi, kini berubah merah darah. Mulut mereka menye-
ringai menggidikkan.
"Serang!" seru Wisnu Bernawa.
Para prajurit pun menerjang dibarengi teriakan-
teriakan panjang. Suasana yang beberapa waktu sebe
lumnya damai penuh kelakar para prajurit yang bertu-
gas jaga malam, kini berubah menjadi kancah pertem-
puran yang setiap saat siap menuntut tumpahan da-
rah!
Pitaloka dan Larasati masih berpelukan. Hati
Larasati berdebar keras. "Semoga Hyang Widhi menye-
lamatkan kami semua...," keluh Nyai Larasati memba-
tin.
Tujuh Dewa Kematian menyambut serangan
para prajurit tangguh Kadipaten Lumajang dengan po-
sisi tak bergeming sedikit pun. Hanya tangan mereka
yang berkelebatan menghalau hujaman-hujaman tom-
bak para ksatria Lumajang.
Dask dhak!
"Hmm," Adipati Lumajang bergumam penuh ar-
ti. Kini para prajurit Lumajang bukan berhadapan
dengan sesama prajurit biasa. Melainkan berhadapan
dengan tujuh tokoh jahat yang bila mendengar na-
manya saja sudah membuat nyali menciut.
Dengan penuh semangat, para ksatria Luma-
jang menerjang. Satu orang terpental, yang lain mener-
jang.
Susul menyusul.
Bagai amukan air bah.
Bertubi-tubi gempuran datang.
Wisnu Bernawa pun tidak tinggal diam. Dia se-
gera menceburkan diri ke kancah pertarungan sengit.
Hanya seorang pemimpin pengecut yang hanya bisa
melepas komando perang tanpa turut berjuang!
Aneh, sungguh aneh. Tujuh Dewa Kematian ti-
dak tampak terdesak walaupun mendapat serangan
serupa itu. Sebaliknya, justru para prajurit yang dija-
dikan bulan-bulanan oleh mereka.
Pertarungan berjalan sudah cukup lama. Tanpa
disadari oleh Wisnu Bernawa dan prajurit-prajuritnya,
ketujuh sosok manusia ganas berkepala botak dengan
wajah hampir serupa, melakukan suatu gerakan aneh.
Tubuh ketujuh manusia ganas itu serentak bergerak
memutar.
Wess wes!
Putaran tubuh mereka makin lama makin ce-
pat. Seketika hawa di sekitar kancah pertarungan be-
rubah menjadi panas disertai angin kencang menderu-
deru. Para prajurit yang mengepung beringsut mun-
dur.
Wisnu Bernawa tertegun. "Kesaktian macam
apa lagi yang mereka pertunjukkan?"
Tiba-tiba terdengar tujuh ledakan keras disusul
dengan suara jeritan bersusulan. Ternyata tujuh orang
prajurit Lumajang jatuh bergelimpangan. Pipi kanan
mereka menghitam dengan asap mengepul laksana
tersambar petir.
Tujuh Dewa Kematian yang semula berputar,
kini berhenti. Suara aneh keluar dari mulut masing-
masing. Lalu, ketujuh momok itu menghambur ke atas
dan bertengger di atas benteng kadipaten. Wisnu Ber-
nawa dan para pengikutnya tersentak bukan alang ke-
palang.
"Kejar!" perintah Wisnu Bernawa. Separuh pra-
juritnya mengejar ke arah di mana Tujuh Dewa Kema-
tian berada.
"Jahanam! Turun kalian!" teriak para prajurit.
"Itu pelajaran pertama bagi kalian yang tidak
patuh pada kami. Wisnu Bernawa, kami tunggu keda-
tanganmu di Puncak Arjuna pada purnama bulan ke-
tujuh!" selesai berkata, ketujuh tokoh sakti itu berke-
lebat cepat, lalu menghilang dari pandangan.
"Ayah...." Pitaloka berlari ke arah Wisnu Ber
nawa, diikuti Nyai Larasati.
Saat-saat menegangkan telah usai. Terlihat pa-
ra prajurit berjalan lusuh ke tempat mereka semula.
Benarkan begitu adanya?
"Mereka datang lagi!"
Suara keras keluar dari mulut salah seorang
prajurit yang kebetulan masih berdiri di muka pintu
kadipaten. Wisnu Bernawa dan para prajurit tersengat
keterkejutan. Mereka berhamburan ke arah datangnya
suara tadi.
"Mana?! Mana?!" tanya yang lain.
"Tuh, lihat!" sahut prajurit yang berteriak se-
raya menunjuk ke arah dua sosok bayangan yang me-
langkah menuju ke arah mereka.
Benar. Tampak dua sosok sedang berjalan di-
kegelapan malam ke arah mereka. Wisnu Bernawa
menatap tegas-tegas, memasang pandangan lebih teliti.
"Kok, mereka cuma berdua? Yang lain ke ma-
na?" bisik salah seorang prajurit yang mulai tegang.
"Mungkin yang lain lewat belakang," duga yang lain.
Para prajurit siap siaga. Mereka kembali me-
nyiapkan senjata masing-masing.
Kedua sosok itu menghentikan langkah. Siapa-
kah mereka? Kedua manusia itu adalah Sukma Su-
kanta bersama seorang pemuda berambut panjang
kemerahan. Pemuda yang berkemauan sekeras baja
dan berhati sehalus pualam. Dia adalah Satria Gen-
deng, murid kesayangan dua tokoh kenamaan tanah
Jawa.
"Lihat Satria, rupanya mereka mengetahui ke-
datangan kita!" ujar Sukma Sukanta, gembira.
"Betul, Kang," timpal Satria.
Keduanya melanjutkan langkah. Mendadak....
"Seraaaaang!"
Sukma Sukanta tergelak heran. Begitu juga Sa-
tria. Mereka celingukan keheranan. Para prajurit men-
gepung, menutup seluruh penjuru mata angin.
"Hai kenapa kalian mengepung kami?! Tahan,
tahan dulu!" cegah Sukma Sukanta serabutan. Se-
dangkan Satria masih tetap kebingungan.
Kekacauan yang baru saja sirna membuat para
prajurit tidak dapat menilai dengan lebih seksama sia-
pa kawan, siapa lawan. Keganasan Tujuh Dewa Kema-
tian yang mereka saksikan tadi, masih melekat di pe-
lupuk mata para prajurit. Wajar saja mereka terlam-
pau cemas pada setiap pendatang. Ditambah lagi ge-
lapnya malam, membuat para prajurit sulit mengenali.
"Tahan!" seru Wisnu Bernawa. Para prajurit
yang mengepung celingukan, kemudian mereka meno-
leh ke arah Wisnu Bernawa. Salah seorang prajurit be-
ranjak mendekati sang Adipati. Prajurit itu pun mem-
bungkukkan badan tanda penghormatan.
"Ampun Kanjeng Adipati, kenapa Kanjeng
menghentikan kami?" prajurit tadi bertanya.
"Apakah kau tidak mengenali siapa orang itu?"
tukas adipati dengan nada mengomel.
"Ampun Kanjeng. Siapa mereka sebenarnya?"
"Dia Sukma Sukanta, salah satu dari Prajurit
Kembar," susul Wisnu Bernawa.
Prajurit tadi tersentak kaget. Dia langsung ber-
balik ke arah tempat di mana Sukma dan Satria dike-
pung. Cepat-cepat dia menghaturkan sembah.
"Tahan, tahan! Beliau Sukma Sukanta!" teriak-
nya sambil menyibak kepungan para prajurit. Prajurit
lain tersentak kaget mendengar nama itu. Sukma dan
Satria menghela napas lega. Rupanya kejadian itu aki-
bat kesalah pahaman semata, gumam Sukma Sukanta
dalam hati.
Serentak, para prajurit segera meletakkan sen-
jata mereka di tanah. Kemudian dengan serentak pula
mereka membungkukkan badan tanda memberi hor-
mat. Sukma dan Satria membungkukkan badan pula,
membalas penghormatan mereka.
Seorang prajurit melangkah mendekati Sukma
dan Satria. Dipersilakannya kedua lelaki itu masuk
untuk menghadap Kanjeng Adipati. Sementara sang
Adipati sedang berdiri di muka pintu kadipaten, di-
dampingi istri dan putrinya.
Sukma dan Satria kini sudah berada di hada-
pan sang Adipati. Keduanya menghaturkan sembah.
Adipati mengangkat sebelah tangannya. Kedua orang
itu pun kembali menegakkan badan.
"Ampun Kanjeng. Hamba tidak berhasil me-
numpas iblis-iblis keji yang bersarang di puncak Arju-
na," lapor Sukma.
"Sudahlah Sukma. Aku sudah tahu. Lalu ke
mana empat saudaramu?" tanya sang Adipati.
Mendung menyelimuti raut wajah Sukma Su-
kanta. Dia tercenung diam. Dari sudut matanya tam-
pak garis bening membentang.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Sukma?" tanya
sang Adipati lagi.
"Mereka tewas," jawab Sukma, singkat.
"Iblis itu benar-benar keji!" maki Wisnu Berna-
wa.
"Kakang, sebaiknya kita bicarakan di dalam sa-
ja," usul Nyi Larasati.
Adipati setuju. Mereka beranjak. Para prajurit
kembali ke tempat masing-masing. Kali ini penjagaan
dilakukan dua kali lipat dari semula.
Waktu sudah melewati tengah malam. Saat itu,
terdengar sayup-sayup kentongan malam bertalu tiga
kali. Sementara di dalam ruang peristirahatan, Satria,
Sukma Sukanta, adipati beserta istri dan putrinya su-
dah duduk di lantai beralaskan permadani indah. Di
sudut ruangan terdapat guci-guci terbuat dari marmer
Tiongkok.
Satria terkagum-kagum ketika melayangkan
pandangan ke segenap penjuru dinding ruangan. Se-
muanya berhiaskan barang-barang bernilai seni tinggi.
Walaupun demikian, kesederhanaan pribadi adipati te-
tap tercermin dari sikapnya.
Hm, sosok adipati yang agung. Mempersilakan
aku yang gembel ini duduk sejajar dengannya. Betul-
betul seorang yang bijak..., puji Satria dalam hati.
"O, ya Kanjeng. Hamba lupa memperkenalkan
sahabat muda hamba ini," ucap Wisnu Bernawa.
"Siapa adik muda ini?"
"Nama hamba Satria, Kanjeng."
"Di mana adik tinggal?"
"Hamba hanya seorang pengembara. Bumi ada-
lah rumah hamba dan langit sebagai atapnya," jawab
Satria.
Wisnu Bernawa tersenyum mendengar jawaban
yang dilontarkan Satria. Dilayangkannya pandangan
ke arah Sukma Sukanta.
"Sebetulnya aku sudah mempunyai prasangka
buruk terhadapmu, dan saudaramu."
Sukma Sukanta terhenyak mendengar perka-
taan adipati. Dia menundukkan kepala. Hatinya tak
karuan karena ada rasa kecewa. Dia tak menyangka
kalau adipati akan berprasangka begitu. Sukma mene-
gakkan kepala kembali.
"Maksud Kanjeng, hamba telah melalaikan tu-
gas?"
"Bukan begitu maksudku."
"Lalu apa maksud Kanjeng?"
"Begini Sukma. Sebelum kau tiba, Tujuh Dewa
Kematian telah mengacau lebih dahulu di sini."
"Apa?!" sentak Sukma Sukanta. Bukan alang
kepalang terkejutnya dia, laksana disengat seribu le-
bah. Didongakkannya kepala ke langit-langit. Mulut-
nya bergemeletak menahan kemarahan. Tangannya
mengepal kuat-kuat.
"Bedebah!"
"Sukma, mereka mengancam kami," Nyai Lara-
sati menyela di sela kemarahan Sukma Sukanta.
"Apa yang mereka katakan Kanjeng Putri?"
"Mereka...." Belum sempat Nyai Larasati mene-
ruskan pembicaraan, adipati sudah memotongnya.
"Sudahlah, Nyai. Suruh Sukma dan sahabat
mudanya ini istirahat dulu. Pembicaraan kita teruskan
besok saja...."
Kelima orang itu kemudian bangkit dari du-
duknya. Adipati beserta istri dan putrinya beranjak ke
arah kamar peristirahatan. Sedangkan Sukma dan Sa-
tria menuju ke arah pendapa kadipatenan yang letak-
nya di sebelah kiri peristirahatan adipati.
***
ENAM
WAKTU terus bergulir cepat. Malam yang kelam
sudah berganti fajar. Para penjaga malam pun sudah
berganti dengan penjaga-penjaga yang bertugas siang.
Sedangkan para petani sudah lebih dahulu pergi
membawa keranjang seukuran pelukan orang dewasa.
Di keranjang terselip sebuah arit yang akan dipergu
nakan untuk membabat rumput hijau di ladang. Rum-
put-rumput itu nantinya dipergunakan sebagai santa-
pan kuda-kuda peliharaan adipati.
Di pendapa kadipatenan, Sukma Sukanta du-
duk termenung. Matanya merah. Sepertinya dia tak bi-
sa tidur semalaman. Sedangkan Satria masih men-
dengkur dengan nyenyak. Mungkin lelah sehabis me-
lakukan perjalanan jauh. Dia memanfaatkan kesempa-
tan ini untuk beristirahat sepuas-puasnya. Ataukah
tidak adanya sedikit pun masalah di benaknya?
Ah, mana mungkin! Pada dasarnya setiap ma-
nusia yang hidup di kolong jagat pasti memiliki masa-
lah sendiri-sendiri. Kecuali orang gila. Yang satu ini ti-
dak memiliki masalah, melainkan menimbulkan masa-
lah! Lalu mengapa Satria tidur begitu lelap, sedangkan
situasi di Kadipaten Lumajang sedang genting? Hanya
Satria sendiri yang dapat menjawab.
Sukma Sukanta masih tetap tak beranjak dari
posisinya. Tatapan matanya kosong. Mendung masih
menyelimutinya.
"Sungguh hidup ini terkadang terlalu berat un-
tuk dilakoni. Belum lagi terselesaikan masalah yang
satu, sudah muncul masalah baru" gumam hati kecil-
nya. Dalam ketermenungan, Sukma mencoba men-
guak makna arti hidup dan kehidupan yang dialami
sekarang ini. Sedangkan peristiwa yang belum lama
dialaminya masih terbayang di pelupuk mata, mem-
buat dia semakin larut dalam lamunan.
Tiba-tiba....
"Hoaaahhhhh!"
SI Bocah Gendeng menguap lebar. Sukma ter-
sentak dari lamunannya, lalu menoleh ke belakang. Di-
lihatnya sang sahabat muda sudah bangun dari tidur
yang singkat. Satria mengusap-usap mata dengan
punggung tangan seraya menguap lebar untuk kedua
kalinya.
"Rupanya kau sudah bangun, Adik Satria...,"
tegur Sukma Sukanta.
"Oh, Kakang sudah bangun terlebih dahulu,
rupanya!"
Satria bangkit. Didekatinya Sukma Sukanta.
"Aku tak bisa tidur semalam. Perasaanku gelisah. Piki-
ranku kacau," tandas Sukma Sukanta seraya menepuk
kening.
"Yah, aku pun dapat merasakan apa yang Ka-
kang rasakan. Kehilangan selalu membuat perasaan
kita lowong. Seperti ada bagian diri kita yang tertinggal
di masa lalu. Apalagi jika kehilangan orang-orang yang
kita cintai...."
Mata si pendekar muda menerawang jauh.
Jauh. Mengenang saat-saat dia kehilangan seorang
yang dekat dengannya di Tanjung Karangbolong, Nyai
Cemarawangi. Seorang wanita yang sudah seperti ibu
angkatnya. Karena itu, dia pun bisa merasakan pera-
saan Sukma Sukanta.
(Tentang tokoh wanita ini, bacalah episode :
"Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
Sukma mengernyitkan kening. Ditatapnya wa-
jah Satria dalam-dalam. Bocah yang sepengetahuan-
nya adalah seorang yang tak banyak mulut kini bisa
bicara tepat dengan perasaan yang dialami beberapa
hari belakangan ini.
"Kakang, aku akan senang sekali bila dapat
membantu penderitaan yang Kakang rasakan seka-
rang."
Wajah Sukma berbinar. Dia merasakan satu
tawaran ikhlas keluar dari mulut bocah berkepribadian
mengagumkan. Sebelum sempat mengatakan apa
apa....
Tok tok tok!
Pintu diketuk seseorang.
Sukma dan Satria saling tatap sejenak. Kemu-
dian Sukma sendiri yang membuka pintu. Setelah di-
buka, ternyata Bi Emban, pelayan adipati.
"Ada apa, Bi Emban?"
"Tuan berdua dipanggil untuk menghadap Kan-
jeng Adipati sekarang juga," jawab Bi Emban. Lalu, dia
memohon diri.
"Ada apa, Kang?" tanya Satria.
"Kita diminta menghadap adipati sekarang," ja-
wab Sukma Sukanta. Lalu dia merapikan pakaian dan
rambutnya yang kusut. Satria latah ikut-ikutan.
Sekiranya menurut Sukma sudah siap, kedua
sahabat baru itu langsung beranjak untuk menghadap
Kanjeng Adipati.
Sementara di balai kadipatenan, sudah ada li-
ma sesepuh setempat yang sengaja diundang pada ma-
lam itu juga oleh Adipati Wisnu Bernawa. Mereka du-
duk berjajar menghadap timur. Kelima sesepuh itu
berperawakan sama. Dua orang menggunakan baju
dan celana pangsi hitam. Yang satu berkumis lebat
dan bergaris alis hitam. Rambutnya masih berwarna
hitam. Sedangkan yang lain tidak berkumis. Matanya
cekung dan bergaris alis tipis berwarna putih dengan
rambut putih pula. Kedua orang itu tampak akrab se-
kali. Mereka bercakap-cakap berdua tanpa mempedu-
likan tiga orang lain di sisi mereka.
Tiga orang yang lain, tampaknya jengkel juga
melihat kedua sosok tua berpakaian hitam-hitam. Me-
reka seperti tak tahu adat, ngobrol berdua saja tanpa
mempedulikan yang lain.
Walaupun tampak jengkel, ketiga orang itu masih bisa bersikap ramah. Karena mereka menyadari
keberadaan mereka di balai kadipatenan atas undan-
gan langsung adipati.
Tak lama kemudian, muncul Sukma Sukanta
dan Satria, mereka menghaturkan sembah kepada
yang hadir.
"Rupanya ada yang lebih dahulu di sini," basa-
basi Sukma.
Kelima orang tadi membalas dengan senyum.
Satria lain sendiri. Matanya justru mendelik ketika
pandangannya tertumbuk ke arah deretan paling ping-
gir sebelah kiri. Di situ ada sesepuh desa bertubuh ku-
rus, berkepala botak licin. Tak sehelai rambut pun
tumbuh di kepalanya. Tubuh kurus itu dibungkus
dengan baju putih yang agak kusut dan kusam. Satria
jadi teringat pada gurunya, Dongdongka alias Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul. Ada sedih bila Satria men-
genang jasanya. Ada lucu bila Satria terbayang kepala
klimisnya.
Orang berkepala botak sadar kalau dirinya di-
perhatikan Satria.
"Ada apa, Kisanak muda ini menatap aku de-
mikian? Apakah aku mirip dengan kakek moyangmu?"
dengusnya. Rupanya dia tidak enak hati.
"Ya, Ki. Aki ini mirip sekali dengan guruku!"
"Apanya yang mirip? Wajahku, penampilanku,
atau... kepalaku?" Rupanya Aki berkepala botak itu ja-
di juga jengkel. Terdengar dari nada suaranya yang ke-
tus.
"Semuanya, Ki."
"Kalau begitu, gurumu itu orang yang jelek se-
perti aku."
Satria akhirnya cuma bisa cengar-cengir serba
salah.
"Bocah edan. Rupanya gurumu tidak menga-
jarkan tata-krama, sehingga kau berani bicara semba-
rangan,"
Keempat sesepuh yang lain tampak kebingun-
gan melihat tingkah Satria yang terlalu polos. Kecuali
Sukma. Dia sudah cukup mengenal Satria dan mak-
lum karenanya. Bibirnya cuma menyembulkan se-
nyum tipis.
"Bocah edan, siapa nama gurumu hingga kau
samakan tampangnya denganku?" susul sesepuh ber-
kepala botak, penasaran.
Satria geli sendiri. Rupanya orang satu ini tidak
menerima bila disamakan dengan guruku, nilainya da-
lam hati.
"Bocah edan, ayo sebutkan siapa gurumu itu?"
desak sesepuh botak. Marahnya menjadi dua kali lipat
karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawa-
ban.
Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menye-
butkan siapa gurunya sebenarnya. Alasannya bukan
karena dia malu memiliki guru yang terkenal dengan
tabiat 'sinting-sintingan'-nya. Hanya saja, dia tak ingin
membuat keributan kecil jika nama atau julukan tua
bangka sakti itu disebut-sebut. Tahu sendiri, selaku
sesepuh dunia persilatan tanah Jawa, nama Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul sudah tercekam kuat di be-
nak hampir seluruh warga persilatan. Bahkan orang
biasa saja masih banyak yang mengetahui nama dan
julukannya. Kalau nanti Satria mengaku sebagai mu-
ridnya, apa tidak membuat kegemparan kecil?
Lagi pula, apa mereka mau begitu saja percaya?
Jangan-jangan, bukan mendapat sanjungan, malah
didapatnya cemoohan. Disangkanya nanti dia mem-
bual seperti tukang obat di pinggir jalan kotapraja,
atau seperti para pedagang dan usahawan yang rajin
membual untuk mengeruk keuntungan, atau....
"Bocah, ayo jawab!"
Bentak sesepuh kepala botak lagi. Nadanya
makin meruncing, makin menanjak. Bikin suasana
makin terasa tak enak.
"Guruku cuma seorang tua kesepian yang su-
dah begitu bosan kehidupan dunia...," jawab Satria,
berusaha untuk menutup-nutupi.
"Aku cuma menanyakan namanya!" sambar se-
sepuh botak yang sudah kurus, galak pula.
Karena didesak, Satria akhirnya bicara apa
adanya. Peduli setan apakah nantinya semua yang
mendengar akan percaya atau tidak. Malah, barangkali
lebih baik begitu, biar jati dirinya untuk sementara te-
tap tertutup rapat.
"Guruku, Dongdongka...."
Kontan, tercenganglah semua orang yang hadir
di sana. Tak terkecuali Sukma Sukanta.
"Apa aku tak salah dengar?" kejar sesepuh bo-
tak. Parasnya menampakkan ketidakpercayaan. Na-
mun, kemarahannya sudah agak surut oleh ketercen-
gangannya. Masih cukup bagus, pikir Satria. Ketim-
bang dia makin kalap karena merasa dibohongi.
Kelima orang di sana, termasuk Sukma Sukan-
ta langsung memandangi si pendekar muda dari ubun-
ubun ke ujung jempol kaki, lalu kembali lagi ke ubun-
ubun. Mereka pernah mendengar selentingan kabar
tentang ciri-ciri murid tunggal Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul. Sekarang mereka hendak mencocokkan
dengan pemuda polos yang baru saja mengaku-ngaku
sebagai murid Sang Sesepuh.
Makin lama diteliti, wajah mereka makin tak
sedap bagi Satria. Memangnya enak diperhatikan den
gan pandangan mereka yang seperti orang-orang yang
berhasil menangkap basah pencopet kampung?
Ketika mata sesepuh botak menangkap ujung
Kail Naga Samudera, parasnya berubah. Dari bersit
matanya tersirat bahwa dia kini percaya pada ucapan
Satria. Ada selintas rasa malu yang lantas disembu-
nyikan.
"Ya, benar! Aku memang seperti gurumu, Cah!
Bahkan wajahku saja mirip beliau!" ledak sesepuh bo-
tak galak tadi, tiba-tiba. Lalu dia tergelak-gelak sendiri.
Tengik juga orang satu ini. Sebelumnya dia be-
gitu gusar karena Satria mengatakan dia mirip dengan
gurunya. Sekarang, dia seperti bangga setengah mod-
ar. Sampai-sampai parasnya seperti mau modar bena-
ran!
"Maafkan aku, Bocah. Aku yang tua ini terlalu
cepat tersinggung. Kupikir kau tadi berniat mengejek-
ku...," tambahnya lebih jauh.
"Tidak apa-apa, Aki...," balas Satria.
Sementara Sukma Sukanta dan yang lain ma-
sih tetap menatapi si anak muda berambut kemera-
han. Sampai wajah mereka pun berubah seperti orang
yang baru saja mendapatkan ilham di atas jamban.
"Aku ingat! Aku ingat, sekarang!" cetus Sukma,
tak kurang riuh dari sesepuh botak tadi.
Pandangan sekarang terpusat ke arah Sukma
Sukanta.
"Kau Satria Gendeng itu! Ya, kau Satria Gen-
deng! Jangan coba main kucing-kucingan lagi dengan-
ku, Satria!" tukasnya nyaris berseru dengan paras ke-
girangan.
Satria celingukan. Kiri... kanan, kanan... kiri.
Bibirnya tersenyum serba salah. Kartunya sudah ter-
buka sekarang. Tapi, rasanya kok seperti baru saja di
telanjangi!
Untung situasi yang lebih menyiksa daripada
menahan buang hajat bagi Satria Gendeng segera be-
rakhir ketika adipati datang.
Pintu masuk balai kadipatenan terbuka. Semua
yang hadir di sana melayangkan pandangan sejurus ke
arah pintu. Adipati Bernawa muncul.
Para sesepuh, Satria dan Sukma berdiri. Mere-
ka sama-sama membungkukkan badan. Adipati men-
gangkat tangan setinggi dada. Mereka pun menegak-
kan badan, lalu duduk kembali ketika adipati sudah
duduk terlebih dahulu.
Lima sesepuh, Satria dan Sukma duduk berja-
jar.
Duduk paling pinggir adalah Ki Besi, seorang
empu pandai besi dari Desa Karang Kuruk. Di sebe-
lahnya, duduk lelaki tua seusia Ki Besi. Lelaki itu
mengenakan seragam kuning susu. Dia bernama Ki
Lengut. Di sebelah Ki Lengut, duduk orang tua berbaju
merah hati dan bercelana pangsi hitam tambalan. Dia
adalah Ki Sastro. Duduk di sebelah Ki Sastro, seorang
tua berpakaian silat putih bercelana warna coklat kun-
ing bernama Ki Mangku Langit. Menyusul lelaki tua
berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat Namanya Ki
Durga. Sedangkan lelaki yang berpakaian sama den-
gannya tapi tak berkumis adalah Ki Sentul Gusti.
"Aku pribadi mengucapkan banyak-banyak te-
rima kasih atas kehadiran para sesepuh desa yang
kami undang secara mendadak," Wisnu Bernawa
membuka pembicaraan.
"Sama-sama Kanjeng!"
"Ada rencana apakah sehingga Kanjeng men-
gundang secara mendadak begini? Tidak seperti bi-
asanya...," tanya Ki Besi.
Adipati memalingkan wajah ke arah orang tua
gundul itu.
"Kita semua mengetahui, bahwa akhir-akhir ini,
daerah kita sedang terancam. Kekejian yang dilakukan
Tujuh Dewa Kematian di sebagian besar wilayah Kadi-
paten Lumajang sungguh sudah melampaui betas. Aku
tak mengerti, kenapa mereka hanya menghantui dae-
rah kita...."
"Mungkin ada sesuatu yang mereka inginkan
dari Kadipaten ini, Kanjeng!" Ki Sastro angkat bicara.
"Mungkin," timpal adipati, datar.
"Apa tindakan kita sekarang, Kanjeng?" tanya
Ki Mangku Langit.
"Sebelumnya, kalian harus tahu dulu. Semalam
mereka mengacau ke sini. Mereka pun memerintah
aku untuk menyerahkan putriku pada purnama di bu-
lan ke tujuh."
Para sesepuh desa terdiam. Di wajah masing-
masing terbersit kegeraman.
"Jadi apa rencana Kanjeng?" ulang Ki Mangku
Langit.
"Rencanaku, aku ingin mengundang para tokoh
aliran putih untuk bergabung melawan Tujuh Dewa
Kematian. Untuk itu aku mengumpulkan kalian di si-
ni. Aku berharap kalian semua dapat membantu me-
nunjuk siapa saja tokoh-tokoh yang harus kita ajak
kerjasama."
Para sesepuh berembuk. Termasuk Sukma Su-
kanta. Satria bungkam. Sebagai orang paling muda,
dia tak mau banyak mulut. Nguping saja sudah bagus!
Kendati begitu, tetap saja para sesepuh mendesaknya
meminta pertimbangan ini-itu. Maklum, biar usia ter-
bilang mentah, mereka sudah banyak mendengar se-
pak-terjang Satria Gendeng yang banyak membuat ka
langan berdecak kagum. Itu pun setelah mereka me-
nyadari siapa sebenarnya Satria. Kalau tidak, mungkin
dia cuma dianggap anak bawang.
Tak lama rembukan tuntas. Tiga tokoh terpilih.
"Siapa yang nanti akan menyampaikan undan-
gan?" aju Ki Besi selang beberapa saat kemudian.
"Biar aku!" sergah Satria.
"Kau?" tanya adipati. Matanya menyiratkan
bahwa dia agak ragu pada kemampuan si anak muda.
Sukma Sukanta hendak memperkenalkan pada
adipati siapa sebenarnya Satria. Belum-belum, Satria
sudah menyikut perutnya diam-diam. Sampai Sukma
meringis menahan mual. Dengan isyarat mata. dimin-
tanya Sukma untuk tutup mulut.
"Percayalah, Kanjeng. Dia mampu melakukan-
nya...," sela Ki Besi. menebas keragu-raguan adipati.
Diliriknya Satria Gendeng. Orang tua itu tersenyum
penuh arti sambil mengelus-elus kepalanya yang kli-
mis.
***
TUJUH
PAGI itu juga, Satria Gendeng berangkat menja-
lani tugas yang diemban dari Adipati Wisnu Bernawa.
Seekor kuda jantan gagah berwarna hitam telah dis-
ediakan oleh adipati untuknya. Dari halaman, pemuda
itu dilepas oleh adipati dan Sukma Sukanta.
"Heaaa!"
Usai memohon pamit, Satria menggebah ku-
danya. Kuda jantan meringkik. Kaki depannya menen-
dang ke depan, setelah itu berlari nyalang. Gerbang
yang masih tak karuan dilewati. Dua prajurit kekadi-
patenan memberi juraan serta ucapan selamat jalan
penuh semangat.
Sekitar tiga puluh tombak melewati gerbang,
seseorang menanti pendekar muda itu di bawah se-
buah pohon Beringin besar rindang. Dari kejauhan
agak sulit mengenalinya, karena rindangnya pohon.
Apalagi karena orang itu berdiri dengan posisi bersem-
bunyi di sisi batang pohon. Ketika sudah dekat, Satria
harus memaksa kuda jantannya berhenti.
"Sedang apa Putri di sini?" tanyanya dengan
wajah keheranan.
Orang di bawah pohon ternyata Pitaloka, putri
adipati. Gadis itu menghampiri Satria. Matanya melirik
sesekali ke arah kadipatenan, takut-takut mata praju-
rit memergokinya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Tuan Pende-
kar," kata Pitaloka sesampainya di sisi kuda Satria.
Satria turun. Tak enak hati dia tetap di atas
kuda sementara putri adipati di bawah. Persis di depan
Pitaloka, si pendekar muda tanah Jawa itu berdiri. Me-
reka hanya dipisahkan jarak kurang dari satu tombak.
Dalam jarak sedekat itu, Satria Gendeng baru
bisa melihat dengan jelas paras Pitaloka. Sungguh ayu,
pikir Satria. Matanya lembut. Garis wajahnya mena-
wan, memancarkan kekuatan pesona kecantikan ga-
dis-gadis Jawa. Semalam, kenapa aku tak begitu me-
nyadari kalau gadis ini demikian ayu? Gumamnya
membatin. Apa karena gelap malam? Atau karena aku
terlalu malu untuk memperhatikannya karena berada
di dekat adipati....
Diperhatikan seperti itu, Pitaloka jadi jengah
sendiri. Kepalanya tertunduk. Pandangannya terbuang
ke tanah. Semu merah merekah di kedua belahan pipinya.
Satria sendiri baru menyadari kalau tatapannya
sudah kelewatan. Kagum boleh saja. Tapi kalau sam-
pai membuat gadis semanis dia menjadi jengah, apa
tidak kelewatan namanya. Akhir-akhirnya, Satria jadi
kikuk sendiri.
"Apa keperluan Putri denganku? Dan kenapa
harus bertemu di tempat ini? Apa Putri tidak tahu ke-
mungkinan bahaya yang akan menimpa Putri setelah
kejadian semalam?" Seperti tak sempat menarik napas,
Satria meruntunkan pertanyaan. Ini baru yang na-
manya gugup. Satria Gendeng merasa malu besar ka-
rena memperhatikan seorang gadis seperti menatapi
makanan lezat yang mengundang untuk disantap.
Brengsek sekali kau Satria, makinya pada diri sendiri.
"Aku tahu itu, Tuan Pendekar," ucap Pitaloka
sambil tetap merunduk. Karena jengah tetap berdiri
berhadapan dengan seorang pemuda tampan (meski
tatapan matanya agak kebodoh-bodohan), Pitaloka
membalikkan badan. Dua tindak dia melangkah. "Aku
tahu bahaya apa yang akan kudapat," ulangnya. "Tu-
juh Dewa Kematian memang meringankan diriku....
Tapi, aku benar-benar harus bertemu denganmu, Tuan
Pendekar."
"Panggil aku Satria saja."
"Aku pun sudah tahu itu."
"Kau sudah tahu namaku?"
"Aku pun sudah tahu siapa kau sebenarnya...."
Alis Satria bertaut.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku mencuri-curi pembicaraan kalian di balai
kadipatenan semalam. Kudengar Kang Sukma Sukanta
menyebut-nyebutmu sebagai Satria Gendeng.... Pende-
kar muda yang sering kudengar diceritakan oleh bebe
rapa prajurit kadipatenan"
Satria nyengir sedikit. Sedikit cukup. Terlalu
banyak, takut disangka besar kepala.
"Ah, aku cuma orang kecil yang ingin keadilan
dan kebenaran tegak di bumi ini," katanya merendah.
Pitaloka berbalik.
"Karena itu, Kang Satria," mulai Pitaloka lagi.
Kini dia sudah mengganti panggilan 'Tuan Pendekar'-
nya dengan menyebut langsung nama Satria.
"Aku memohon sekali padamu agar dapat me-
nyelamatkan kadipaten ini dari kekejaman tangan Tu-
juh Dewa Kematian," sambung si gadis,
"Aku hanya berusaha. Semuanya Tuhan yang
menentukan, Putri...."
"Panggil aku Pitaloka."
"Pitaloka," ralat Satria, agak bergumam sung-
kan.
"Aku berharap banyak padamu, Kang Satria.
Karena hanya kau yang kuanggap dapat diandalkan
untuk menyelesaikan petaka ini," tandas Pitaloka. Ma-
tanya yang jernih menatap langsung Satria. Membuat
Satria merasa terpojok. Dia tertunduk. Sialan sekali,
kenapa sekarang justru aku yang jadi tak punya nyali
memandang matanya! Rutuk Satria di hati.
"Kau mau berjanji, Kang Satria?"
"Hah?" Satria gelagapan sendiri. Pertanyaan Pi-
taloka datang ketika pikirannya sendiri sedang ke ma-
na-mana.
"Kau mau berjanji padaku?" ulang Pitaloka.
Gadis itu melangkah tambah dekat ke arah Satria.
Tampaknya dia ingin agar Satria mengucapkan janji.
Satria agak 'panas-dingin'. Dia memang jenis
pemuda lugu yang jarang berurusan dengan perem-
puan. Terutama perempuan seayu Pitaloka. Itu bisa
membuat perasaannya jungkir balik.
"Ya, aku berjanji," gegas Satria, seraya buru-
buru menaiki kuda kembali. Dia cuma takut, kalau-
kalau Pitaloka memergoki kegugupannya. Wuh, pasti
malu besar kalau sempat terjadi!
Mendengar ucapan Satria, Pitaloka tersenyum,
seperti membayar janji itu dengan senyum menawan-
nya.
"Sekarang sebaiknya kau segera kembali, ng....
Pitaloka. Aku tak ingin terjadi apa-apa pada dirimu."
kata Satria, setelah menyiapkan tali kendali.
Pitaloka merunduk. Perkataan terakhir Satria
membuatnya risih.
Satria meringis. Slompret sekali, apa yang baru
kuucapkan barusan! Rutuknya membatin. Tak mau
jadi serba salah lebih lama, Satria Gendeng segera
menggebah kuda jantannya.
Pitaloka melepasnya dengan pandangan penuh
harap. Sampai Satria menghilang di kejauhan.
* * *
Waktu terus bergulir. Cepat bagai sekedipan
mata. Bola penerang jagat sudah mendekati titik ter-
tingginya. Sinar mentari yang menyorot garang tak
membendung perjalanan seorang penunggang kuda.
Dia adalah Satria Gendeng.
Kadipaten Lumajang sudah jauh tertinggal kira-
kira dua kali penanakan nasi perjalanan. Satria yang
duduk di punggung kuda hitamnya tiba-tiba menghen-
tikan langkah kuda persis di persimpangan jalan. Pe-
muda berkepribadian mengagumkan itu mengeluarkan
sesuatu berbentuk gulungan kecil dari kulit yang se-
lama ini terselip di pinggangnya. Gulungan kulit terse
but adalah undangan yang ditujukan kepada tiga to-
koh sakti aliran putih. Mereka terdiri dari tokoh yang
namanya hampir terlupakan di dunia persilatan.
Satria membuka gulungan, lalu membacanya.
Pada gulungan pertama, Satria menemukan tulisan;
'Untuk Ki Jerangkong bergelar Dewa Gila di
Lembah Pangrango, untuk Pengemis Tuak alias Ki Dagul
di Pesisir Tuban, dan untuk Arya Wadam....'
Tiga lembaran berikutnya berisi sama. Masing-
masing gulungan ditujukan untuk ketiga tokoh yang
tertera pada gulungan pertama.
'Aku mengundangmu untuk datang ke Kadipaten
Lumajang. Ada kegentingan di Kadipaten Kami. Untuk
itu, dengan segala hormat, aku meminta kesediaanmu
untuk menyingsingkan lengan membantu kesulitan ka-
mi. Kesulitan kami tersebut bersangkut-paut dengan se-
pak terjang Tujuh Dewa Kematian.
Tertanda, Wisnu Bernawa'
Selesai membaca, Satria menggulungnya kem-
bali. Diselipkannya ke tempat semula.
"Hm, ke mana dulu aku mesti pergi? Ke Pan-
grango, atau ke Tuban?"
Satria terdiam sebentar. Tangannya mengga-
ruk-garuk kepala. Bibirnya meringis.
"Ke mana pula aku harus menemukan Arya
Wadam? Adipati tak menjelaskan dalam surat perin-
tahnya. Tapi tak mungkin adipati lupa menuliskan
tempatnya...."
Mulut pendekar muda itu komat-kamit kemba-
li.
"Sebaiknya aku ke Lembah Pangrango dulu. Se
telah itu ke pesisir Tuban. Urusan di mana Arya Wa-
dam, bisa kupikirkan belakangan!" putusnya kemu-
dian.
"Ngomong-ngomong, sekarang ini sudah masuk
hari ke berapa bulan ke berapa, ya?" gumamnya pada
diri sendiri. Dia celingukan mencari orang lewat yang
mungkin bisa ditanyakan tentang hal itu. Tak ada satu
batang hidung pun ditemui, dia menampar jidatnya
sendiri, disusul makian sebal.
"Setan alas, tidak ada seorang pun yang lewat!
Ke mana aku harus bertanya?"
Dari kelokan jalan di kejauhan, muncul pemu-
da sebayanya.
"Nah, ada orang lewat!" ujar Satria, nyaris ber-
jingkat di atas kuda. Dia segera turun dari atas ku-
danya. Dia berdiri di sisi kuda, memegangi tali kendali.
Pemuda tadi kebetulan lewat di dekatnya. Seorang pe-
muda dekil yang melangkah kuyu. Lusuh mukanya
seperti dirundung putus cinta. Pipinya biru seperti ba-
ru dipukuli orang sekampung.
"Saudara," tegur Satria.
Pemuda dekil tetap berlalu, acuh tak acuh.
"Saudara Muda, aku ingin bertanya!" susul Sa-
tria lagi, mengutarakan maksudnya.
Pemuda dekil tadi menoleh. Wajahnya tak me-
nawarkan sebetik pun keceriaan.
"Mau tanya apa kau?!" ketusnya
Satria merengut.
"Ke mana arah Lembah Pangrango?" katanya.
"Kau harus menuju matahari tenggelam," jawab
Pemuda Dekil seraya mengacungkan tangan malas. Se-
lesai menjawab, dia pun melanjutkan langkah. Baru
beberapa jejakan kaki, Satria mencegahnya.
"Tunggu Saudara Muda, aku ingin bertanya satu lagi!"
"Tanya apa lagi?!" sungut Pemuda Dekil.
"Sekarang hari ke berapa bulan ke berapa?"
"Kau manusia hidup atau sudah mampus?
Dengan hari yang sering kau lewati saja tidak tahu!"
Pemuda Dekil kembali meneruskan langkah.
"Hai, Saudara Muda! Tolong jawab dulu perta-
nyaanku!" seru Satria, setengah berteriak, setengahnya
lagi dongkol.
Tapi Pemuda Dekil tak mempedulikannya. Me-
noleh saja tidak. Dia berjalan gontai dengan kepala ter-
tunduk-tunduk dan wajah suntuk. Barangkali telin-
ganya sudah ditutup rapat-rapat oleh setan buduk,
umpat Satria membatin.
"Oh, nasib.... Mengapa aku memiliki nasib se-
perti ini?"
Di kejauhan, si Pemuda Dekil meratapi nasib-
nya. Kepalanya lalu mendongak ke langit seraya me-
nengadahkan tangan.
"Oh, Hyang Widhi... kenapa kau biarkan ham-
ba-Mu telantar seperti ini?"
Pemuda Dekil itu terus menyambung ratapan-
nya. Kalau ada orang yang kebetulan berpapasan, tak
diragukan mereka akan menganggapnya gila. Dia sen-
diri seperti tak peduli. Langkah terus diseretnya sam-
pai dia berhenti di depan sebuah batu cadas. Matanya
menatap ke depan. Pandangannya kosong melompong.
Satria cuma bisa geleng-geleng kepala menyak-
sikan dari kejauhan. Tak lama, dia memutuskan un-
tuk segera melanjutkan perjalanan.
***
DELAPAN
HARI menjelang malam. Di suatu desa di mana
para penduduknya selalu diliputi ketakutan. Terutama
mereka yang memiliki bayi, rasa takut lebih menghan-
tui. Takut kalau-kalau Tujuh Dewa Kematian mengin-
ginkan bayi mereka.
Malam menjenuh. Rembulan pucat, ditabiri
awan pekat.
Dari ujung desa, muncul sesosok tubuh di ke-
gelapan malam. Dia berjalan. Langkahnya terseok-
seok. Tangan kanannya mendekap perut. Kurus tu-
buhnya, dibungkus sehelai pakaian yang kolor kecok-
latan. Rambutnya kusut masai tertumpuk debu. Di-
alah pemuda dekil yang siang tadi berpapasan dengan
Satria Gendeng.
"Oh, nasibku yang malang.... Kenapa sampai
saat ini belum juga berganti senang? Hyang Widhi,
Engkah Maha Tahu. Sampai kapan aku menanggung
nasib ini? Kini perutku lapar...."
Terdengar keluh kesahnya yang seperti tak pu-
tus-putus sejak siang tadi. Sejurus dia berdiri diam,
mengamati rumah-rumah gubuk di sepanjang jalan se-
tapak desa.
"Hoi, Orang-orang Kampung! Apakah kalian
memiliki sedikit sisa makanan? Berilah aku, sekadar
untuk mengganjal perut yang seharian belum bertemu
makanan!"
Di tengah-tengah kesunyian, dia berteriak-
teriak. Tak lagi dia peduli pada apa pun atau siapa
pun.
"Wahai awan hitam kelam, janganlah kau ha-
langi sinar Dewi Malam! Biarlah Dewi Malam tahu
bahwa aku di sini sedang kelaparan!"
Sambil mendongakkan kepala, pemuda dekil
itu terus meratap-ratap dan berteriak-teriak.
Sementara para penduduk yang mendengarnya
malah mendekap telinga rapat-rapat. Mereka seper-
tinya tak asing lagi mendengar keluh kesah dan teria-
kan kacau balau si pemuda dekil.
"Hai gembel, pergi kau!" hardik seorang pendu-
duk dari dalam gubuknya. "Aku bosan mendengar ra-
tapanmu. Lebih baik aku mendengar suara kaleng
rombeng!" tambahnya menusuk.
Si pemuda melanjutkan langkah. Kalau tak ada
yang mau ambil peduli pada dirinya, lalu apa alasan-
nya untuk tetap tinggal?
Setelah cukup jauh Pemuda Dekil meninggal-
kan tempat sebelumnya, muncul pula satu bayangan
dari arah yang sama di mana si pemuda muncul. Sua-
ra derak terdengar sayup-sayup. Ditingkahi pula den-
gan suara kerikil tergilas.
Ada satu pedati tua yang dikusiri seseorang.
Kegelapan malam sulit menyingkap siapa atau bagai-
mana sang kusir. Yang jelas, sejak siang tadi pedati itu
terus menguntit si pemuda. Gerak-gerik Pemuda Dekil
terus diawasi kusirnya. Semua itu sama sekali di luar
pengetahuan orang yang dikuntit.
* * *
Pagi hari sudah merambat ke pertengahan
siang. Pemuda gagah bergaris rahang jantan, Satria
Gendeng tampak memacu kudanya merambah hutan,
mendaki tanah berbukit.
Pada pertengahan hari, pendekar muda tang-
guh itu sampai di suatu perkampungan. Dia memper
lambat langkah kudanya. Pertama yang hendak dituju
adalah sebuah kedai makanan yang dari kejauhan su-
dah terlihat.
Sesampainya di depan kedai, Satria menambat
kudanya di sebuah tonggak bambu terletak di sebelah
kiri kedai. Sementara di dalam kedai sudah ada sepu-
luh orang. Pengunjung di sudut kiri ada empat orang
bertampang seram, mengenakan pakaian silat merah
hati dan bercelana pangsi hitam. Di pinggang mereka
melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan
orang dewasa. Di ikat pinggang, mereka menyelipkan
trisula berwarna perak mengkilat. Tubuh keempat
orang itu tinggi besar. Satu orang di antara mereka
memiliki perut buncit.
Satria mengambil tempat di tengah ruangan.
Belum lama duduk, datang seorang pelayan lelaki be-
rusia muda. Mungkin masih bisa dibilang bocah.
"Makan, Den?" sambutnya, ramah sekaligus tak
bertele-tele.
Satria mengangguk sekali.
"Perlu tuak juga?" susul si pelayan muda.
Satria menggeleng. Juga sekali.
Pelayan muda tadi mengangguk. Dia berbalik
hendak mengambil pesanan yang diminta tamunya.
Kebetulan, pintu dapur kedai yang cukup besar itu
melewati meja yang diduduki empat orang berpakaian
merah hati. Tangan salah seorang dari mereka meng-
hadang si bocah pelayan, mencengkeram leher ba-
junya, lalu menariknya kasar.
"Ambilkan kami tuak lagi!" seru si lelaki ber-
tampang buruk dan kasar.
Si bocah pelayan mengangguk berkali-kali den-
gan wajah ketakutan setengah mampus, sampai ceng-
keraman kerah bajunya dilepas.
"Cepat jalan, Jongos!" hardik lelaki tadi seraya
mendorong punggung si bocah pelayan. Dorongan itu
terlalu keras. Tanpa perlu tenaga dalam, bocah kurus
macam pelayan muda tentu tak akan bisa bertahan.
Dia 'nyelonong' ke depan, menuju meja lain yang didu-
duki oleh seseorang bertopi pandan seperti bakul nasi.
Menyambut tubuh si pelayan muda yang tak
terkendali, tangan orang itu bergerak sedikit ke atas.
Dada si pelayan muda disanggahnya, tanpa membuat
bocah pelayan itu kesakitan.
"Hati-hati kalau berjalan," katanya, seperti ber-
bisik.
Bocah pelayan geragapan.
"Ma... maaf, Den. Sssaya tak sengaja," kata bo-
cah pelayan, memohon maaf.
Orang bertudung menurunkan tangan. Gerak-
nya lambat, tenang, namun mantap. Selain tangan, tak
ada anggota tubuh lainnya bergerak. Dia duduk seperti
bersemadi. Tangannya dibiarkan tertelungkup di atas
meja. Di depannya, terdapat kendi air putih dan gelas
tanah liat.
"Bawakan aku makanan, Dik!" pintanya kemu-
dian. Tetap dengan suara seperti orang berbisik.
"Nasi dengan lauk?" tanya bocah pelayan ter-
bungkuk-bungkuk. Dia masih saja merasa telah ber-
buat salah, kendati bukan dia penyebab kejadian ba-
rusan.
"Boleh," sahut orang bertudung, enteng.
Bocah pelayan mengangguk. Dia baru hendak
berbalik ketika orang bertudung menahannya.
"O, iya! Campurkan segelas arak pada nasiku."
Bocah pelayan terbengong. Mencampurkan se-
gelas arak pada nasi? Apa dia tak salah dengar? Itu
permintaan aneh yang seumur-umur baru kali ini di
dengarnya....
"Mencampurkan segelas arak pada nasi, Den?"
ulang Bocah pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian yang cukup
perlente mengangguk.
"Aneh, ya?" tanyanya.
Si pelayan muda buru-buru menggeleng.
"Ah, soal selera, orang kan berbeda-beda. Ram-
but boleh sama hitam, tapi selera berlainan...," tukas-
nya seraya tertawa kecil.
"Ya... ya," timpal orang bertudung. "Kalau begi-
tu...."
Belum selesai ucapan tambahannya, lelaki bu-
ruk rupa yang duduk pada kelompok orang berpakaian
merah hati membentak kasar.
"Hei, Jongos! Bukankah aku meminta kau un-
tuk mengambilkan arak! Kenapa kau masih berlama-
lama?!"
Lalu dihantamnya meja.
Drak!
Membuat piring-piring berhamburan ke lantai.
Tiga kawannya yang lain tertawa terbahak-bahak. En-
tah apa yang mereka anggap lucu dari kejadian itu.
Untung saja bocah pelayan tidak termasuk
orang berpenyakit 'jantungan'. Badannya terlonjak di
tempat. Wajahnya kontan memucat. Bibirnya gemeta-
ran.
"Cepatlah kau layani mereka, Adik. Tak menga-
pa pesananku kau antar belakangan," pinta orang ber-
tudung, sedikit memberi kelapangan pada bocah pe-
layan.
Buru-buru pelayan muda itu beranjak ke arah
dapur. Tak lama dia sudah keluar membawa dua kendi
tuak. Dengan tangan gemetaran seperti dilanda lindukecil, diletakkannya dua kendi tuak ke atas meja
orang-orang berpakaian merah hati.
Baru hendak beranjak, tangan lelaki berperut
buncit menahannya. Tak kalah kasar dengan cara le-
laki sebelumnya.
"Kau berdiri di sini saja. Kami tak mau kalau
kau tak ada saat kami memesan yang lain!" ujarnya
dengan nada mengancam. "Kau mengerti, heh??" sam-
barnya lagi. Matanya melirik sinis ke arah orang ber-
tudung. Sudah jelas niat sebenarnya. Lelaki berperut
buncit sengaja menahan bocah pelayan agar pesanan
orang bertudung tak sampai-sampai.
Keterlaluan memang.
Bocah pelayan menelan ludah. Dia tak bisa
mengangguk atau menggeleng. Mengangguk berarti dia
setuju untuk tak melayani pesanan orang bertudung.
Kalau menggeleng, sama artinya dia sengaja minta bo-
gem mentah!
"Apa kau tak bisa mengangguk? Lehermu ka-
ku? Perlu aku buat agar lehermu bisa lemas?!" hardik
lelaki lain, mendukung 'permainan' tengik kawannya.
Satria melirik malas-malas. Jangankan pesa-
nan orang bertudung. Pesanannya pun belum jelas
juntrungannya. Sudah sejak tadi dia menunggu. Pe-
rutnya sudah ngadat berat minta diisi. Pendekar muda
itu menarik napas, menahan-nahan kesabaran.
Dia bangkit. Urusan manusia tengik macam
begitu tak perlu membuatnya turun tangan. Hanya
membuang tenaga. Sebaiknya dia mencari kedai lain,
pikir Satria.
"Hei, mau ke mana kau Kisanak?!" cetus salah
seorang lelaki berpakaian merah hati.
"Tak jadi makan karena merasa tak dilayani?
Merasa tak dihargai?!" ledeknya seraya mengusap
usap dagu berbewok tipis namun kasar.
Satria diam sebentar. Selesai cemoohan tadi,
dia melanjutkan langkah.
"Ya, pergilah kau!" teriak lelaki gendut seraya
menenggak tuak langsung dari kendi.
Keempat lelaki itu tertawa tergelak-gelak, sea-
kan para petarung yang baru memenangkan pertem-
puran hebat di medan laga. Cara tertawa mereka seo-
lah-olah dunia mereka yang punya.
Satria tak mau ambil pusing. Dia meneruskan
langkah. Sampai langkahnya tertahan oleh seruan da-
tar orang bertudung.
"Adik Pelayan, tolong bawakan pesananku dan
pesanan Kisanak berompi bulu itu!"
Bocah pelayan melirik takut-takut. Sekali dia
melirik orang bertudung, sekali dia melirik kawanan
orang berpakaian merah hati. Sewaktu menyaksikan
gagang senjata di balik pakaian orang kasar di depan-
nya, dia menelan ludah.
"Sudahlah.... Ayo, ambilkan saja pesananku
dan pesanan Kisanak itu," pinta orang bertudung, na-
danya tak memaksa. Namun lebih dekat seperti orang
yang bergurau.
Bocah pelayan tak beranjak juga. Dia masih
ngeri membayangkan senjata orang di depannya berge-
rak dan 'menyunat' lehernya. Apa mau dibegitukan?
"Kalau kau merasa susah seperti itu, kenapa
kau tak mencoba pelihara 'kucing', Adik Pelayan...."
Mendadak orang gendut bangkit dari kursi. Ma-
tanya berangasan. Wajahnya yang sudah merah kare-
na pengaruh tuak menjadi lebih matang.
"Kau hendak mengatakan kalau kami ini seka-
wanan tikus, Bangsat?!" bentaknya, meledak-ledak.
Ludahnya menyembur seru, menghujani teman di de
pannya.
"Kau yang berkata begitu, bukan aku," kilah
orang bertudung. Ketenangannya sama sekali tak teru-
sik. Dia tetap duduk tak bergeming.
"Bangsat betul kau!" maki lelaki gendut, diba-
rengi dengan gerakan tangan menepis kendi tuak di
atas meja.
Wush!
Angin menderu.
Kendi berpusing di udara.
Melesat lurus.
Cepat seperti terjangan anak panah. Orang ber-
tudung tetap tak bergeming. Sudah nekat dia?
Kala tak ada seorang pun percaya orang bertu-
dung bisa menghindari terkaman kendi tuak yang me-
luncur ganas, jarinya tahu-tahu sudah menjentik. Ge-
rakan yang kecil saja. Tapi, akibatnya cukup untuk
membuat gelas di depannya mencelat seketika
Sing....
Denging santer terdengar.
Mengkebiri deru dari Kendi tuak.
Prang!
Gelas tadi menghantam kendi tuak. Kedua
benda lebur berserpih. Yang tak kalah mengagumkan,
seluruh pecahannya justru meluncur sengit ke arah
kawanan orang berpakaian merah hati.
"Keparat!!"
Dibarengi sumpah-serapah, keempat lelaki itu
berhamburan dari tempatnya. Mereka harus mem-
buang diri dari tempat masing-masing. Jika kalah ce-
pat dari kepingan tadi, mereka akan bernasib serupa
dengan meja kayu yang kini tertembus.
Satria melirik. Sikapnya acuh tak acuh. Dalam
hati, dia mau tak mau mengagumi kepiawaian orang
bertudung mengatur tenaga dalamnya. Mungkin orang
akan luput menilai hal tersebut. Satria tidak.
Dia cukup jeli. Betapa sulit untuk membuat
kepingan-kepingan gelas dan kendi tuak tidak menge-
nai bocah pelayan yang berdiri terlalu dekat dengan
kawanan lelaki berpakaian merah.
Tindakannya menjegal luncuran kendi tuak
dengan menjentik gelas saja sudah cukup memperli-
hatkan siapa dirinya. Ditambah dengan kehebatannya
mengatur arah kepingan yang demikian banyak, makin
jelas saja siapa dirinya. Dia bukan orang sembaran-
gan, nilai Satria.
Keempat lelaki berpakaian merah hati berdiri
pada tempat yang baru. Dua orang di atas meja. Si-
sanya mendarat di lantai. Wajah mereka sudah terba-
kar tak tertolong. Semuanya siap dengan kuda-kuda.
"Kau akan kurencah, Keparat!" geram lelaki
gendut seraya menggenggam gagang senjata di ping-
gangnya.
"Kau sendiri?" tukas orang bertudung. "Kenapa
tak kau ajak kawanmu yang lain. Biar cepat kuselesai-
kan urusan dengan kalian...," kata orang bertudung.
Datar saja. Namun tajam menghujam.
Srang!
Lelaki gendut tak bisa menahan tangan. Senja-
ta diloloskan. "Haaaahh!!"
Dari atas meja, tubuhnya menerkam. Berat
memang tubuhnya. Kalau dia tak memiliki cukup ilmu
peringan tubuh, akan terlalu sulit baginya untuk me-
lakukan tindakan itu. Senjata di tangannya menyabet
udara. Arahnya ke batok kepala orang bertudung.
Wukh!
Tebasan pertama!
Orang tenang saja. Tangannya mengangkat
kendi air dari atas meja. Masih sempat dia meneguk
isinya sebelum akhirnya dia menangkis senjata lawan.
Tang!
Sewajarnya kendi tanah liat akan pecah ber-
hamburan. Tak wajar kalau tidak terjadi. Kenyataan-
nya memang demikian. Siapa yang ingin terperangah,
silakan. Lelaki gendut adalah orang pertama yang ter-
perangah di udara.
Kesempatan baik untuk orang bercaping. Ke-
terperangahan lawan dimanfaatkan. Tangannya meng-
gerakkan kendi tanah liat kembali.
Wukh!
Deras menuju kepala lawan. Jaraknya cuma
satu lengan. Bahaya besar buat lelaki gendut. Sebe-
lumnya dia menyaksikan sendiri senjatanya tidak
sanggup membuat kendi terpecah, kendati dia sudah
mengerahkan tenaga penuh. Kalau kepalanya seka-
rang yang harus bertumbukan dengan kendi tanah
liat, apa yang bisa diharapkan?
Masih di udara, lelaki buncit menjerit. Matanya
ditutup rapat-rapat. Wajahnya terlipat. Ketakutan te-
ramat sangat, sudah pasti.
Tepat hanya dua jari di depan hidung lelaki
buncit, kendi tanah liat berhenti. Tubuhnya terus me-
layang. Karena merasa dia akan segera mampus, lelaki
buncit tak sempat memikirkan lagi bagaimana me-
nyeimbangkan badan. Dia jatuh berdebam menimpa
meja. Meja sampai berantakan.
Cukup lama dia tak berdiri. Tengkurap saja di
atas pecahan meja dengan tangan dan kaki tergantung
seperti biang kura-kura sedang berjemur. Se-bentar
kemudian matanya terbuka pelan-pelan. Tangannya
memeriksa wajah. Tak ada yang kurang sedikit pun,
pikirnya. Bagaimana bisa begitu? Bukankah kendi air
di tangan prang bertudung sudah tak mungkin lagi lu-
put dari kepalanya?
Biarkan dia kebingungan sendiri. Tetap seperti
kura-kura sampai kiamat pun biar saja!
Sementara itu, ketiga kawannya masih juga be-
lum menyadari siapa yang dihadapi sebenarnya. Te-
rang saja, mereka memang belum menerima 'jatah'.
Jadi silakan saja kalau mereka mau memintanya.
"Bantai!" seru seorang di antara mereka. Lagak
sekali. Seolah mereka tiga jago yang tak terkalahkan
selama tujuh puluh tujuh turunan.
Ketiganya melompat berbarengan.
Silakan!
Di pihak lawan, orang bertudung benar-benar
tak berniat ke mana-mana. Sejenis manusia sakti pe-
malaskah dia? Siapa yang ambil pusing?
Yang jelas, ketika serangan datang memberon-
dong, dia meneguk air dalam kendi lagi. Beberapa te-
guk tertelan. Sisanya tetap di mulut.
Seperti sengaja bermain-main, dimancurkannya
air dari mulut ke permukaan meja seperti air dari pan-
curan kecil. Belum sempat ujung kucuran air menyen-
tuh permukaan meja, jari tangannya menjentik.
Tas!
Dua orang lawan yang menyerang dari sisi ka-
nan mendadak kaku di tempat. Wajah mereka tetap
dalam mimik buas. Sebelumnya pasti seram. Bisa
membuat jantung orang jompo soak di tempat. Tapi
kalau terus begitu tanpa berubah-ubah, malah jadi
terlihat lucu.
Kawannya yang paling akhir menyerang turut
berhenti juga. Bukan kaku mendadak. Melainkan dia
sendiri yang menghentikan geraknya. Matanya tak
berkedip menatap dua kawannya. Bagaimana bisa dua
orang mendadak kaku di tempat? Ceracau hatinya,
gentar. Jangan-jangan, orang yang kuhadapi sekarang
sejenis tukang sihir atau dukun santet, pikirnya was-
was.
Sewaktu orang bertudung mulai menenggak air
dalam kendi tanah liat kembali, lawan terakhir tadi
menelan ludah susah payah. Apakah sekarang giliran-
nya?
Ketimbang kaku, lebih baik minggat, pikirnya.
Cukup bijaksana. Sebab kalau tidak, urusan jadi agak
lebih lama. Itu menurut pihak orang bertudung.
Lantas, lelaki tadi pun 'ngacir'! Berlomba den-
gan lelaki buncit yang sudah bangkit lebih dahulu.
Satria tersenyum kecil. Dia melangkah kembali
ke mejanya. Sekarang sudah bertambah satu penilaian
lagi untuk orang bertudung. Bahwa orang itu adalah
ahli jalan darah. Kendati masih cukup sulit untuk me-
nyaksikan percikan air yang dijentik orang bertopeng,
namun Satria bisa menduga kelanjutannya. Percikan
air dalam kecepatan amat tinggi itu menotok beberapa
titik jalan darah dua orang lawannya. Itu yang menye-
babkan mereka menjadi kaku mendadak. Itu pula yang
menyebabkan lawan terakhir tak melihat kalau ka-
wannya kaku karena tertotok.
Permainan lihai....
"Terimakasih, Saudara...," ucap Satria seraya
menoleh pada orang bertudung.
"Terima kasih untuk apa?"
"Entahlah. Mungkin untuk kesediaanmu men-
gingatkan pelayan untuk membawakan pesananku?"
kelakar Satria.
Tak terdengar orang bertudung tertawa. Tapi,
Satria tetap percaya dia tersenyum di balik tudungnya.
"Dan, kau...," lanjut Satria, sambil mengarah
kan pandangan ke arah bocah pelayan, "Kenapa masih
berdiri di sana? Bukankah kau seharusnya mengan-
tarkan pesanan kami?"
Masih dengan wajah pucat dan bibir gemetar,
bocah pelayan tersenyum. Bergegas dia melangkah ke
dapur. Jalannya agak diseret. Bukan apa-apa. Dia su-
dah terkencing di celana!
* * *
Satria berniat melanjutkan perjalanan setelah
perutnya cukup terisi. Sebelum keluar, dia hendak
pamit pada orang bertudung yang duduk di meja bela-
kang. Ketika menoleh, Satria sudah tak menemukan
orang itu lagi. Di mejanya tertinggal beberapa keping
kepeng yang cukup untuk membayar makanan dan
minumannya, sekaligus kerusakan akibat keributan.
"Siapa orang itu?" gumam Satria ketika dia me-
naiki kudanya. Dalam hati, Satria agak menyesali ke-
napa dia tak menanyakan jati diri orang itu sejak mu-
la. Sekarang orang itu sudah tak ada. Menyesal tak
ada guna.
"Ah, kalau ada sumur di ladang, bolehlah me-
numpang mandi. Kalau umur panjang, mungkin nanti
jumpa lagi" gumam pendekar muda itu lagi, menghibur
diri.
Lalu digebahnya kuda.
"Heaa!!!"
Kuda berlari kencang.
Menyisakan debu yang mengambang di bela-
kang.
***
SEMBILAN
SATRIA tiba di Lembah Pangrango, setelah me-
nempuh berhari-hari perjalanan yang amat melelah-
kan. Pagi hari ketika itu. Malam sebelumnya, Satria
memaksa untuk terus memacu kuda. Berhubung su-
dah dekat, dia tak ingin membuang waktu. Menurut
perkiraannya, dia akan tiba pagi hari. Memang tak me-
leset.
Suasana nyaman menyambutnya. Sejuk men-
gepung. Matahari masih menyembul malu-malu di ba-
hu lembah sebelah timur. Sinarnya masih lamat. Na-
mun sudah cukup menghangatkan. Rerumputan hijau
menghampar. Pepohonan di beberapa tempat masih
dibasahi embun. Cemara bergerak kecil disapa angin.
Burung di atasnya menembangkan senandung alam.
Lembah Pangrango sudah seperti surga kecil.
Sesaat Satria menikmati seluruh keramahan
alam di atas punggung kudanya. Rasanya, dia ingin te-
rus menarik dada dan menikmati kesejukan itu untuk
selamanya. Jelas itu tak mungkin. Pendekar muda itu
lalu turun dari punggung binatang tunggangannya. Di-
tuntunnya kuda itu sebentar, dan dibiarkan memakan
rumput segar.
"Di bagian mana aku bisa menemukan dia?"
gumamnya.
Pandangannya menebar. Tak ada sedikit pun
tanda-tanda seseorang pernah tinggal. Tak di mana
pun, meski dia sudah memandang ke segenap penjuru.
Dewa Gila. Kalau menilik julukannya, Satria
Gendeng yakin orang yang hendak ditemui memiliki
tabiat aneh. Mungkin tak jauh beda dengan gurunya.
Karena itu dia disebut Dewa Gila. Orang bertabiat
aneh, biasanya memiliki kebiasaan dan cara hidup
yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Satria tertawa sendiri. Lucu juga, pikirnya. Ka-
lau ada orang punya kebiasaan yang berbeda dengan
kebiasaan orang banyak, lalu orang itu pun disebut
tak waras. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja ju-
stru orang kebanyakan yang mungkin sudah tak wa-
ras. Sementara orang yang dituduh gila, sableng, sint-
ing, gendeng, dan sebagainya justru orang yang masih
tetap waras.
Yah, kalau jaman semakin edan, biasanya
orang kebanyakan juga ikut edan. Mereka yang edan
ini mana mau disebut tak waras? Buntut-buntutnya,
mereka mencari 'kambing hitam'. Orang yang berlai-
nan cara hidupnya dengan mereka pun dituding tak
waras.
Ini yang disebut; 'zaman jungkir-balik'! Yang sa-
lah bisa disebut benar. Sebaliknya, yang benar malah
dikatakan salah. Kepala dijadikan kaki, kaki dijadikan
kepala. Walhasil, kebanyakan orang pun menjalani hi-
dup dengan 'pantat' sebagai kepalanya!
Memutus renungannya, Satria Gendeng kemu-
dian menambatkan tali kekang kuda ke batang pohon.
Dibiarkannya kuda jantan itu merumput. Satria sendi-
ri melangkah, mencoba mencari tempat persembu-
nyian Dewa Gila.
Menurut kabar burung, Dewa Gila sudah lama
tak turun ke dunia persilatan. Menyepi atau mati, tak
jelas lagi. Terhitung sudah empat puluh tahun dia tak
menampakkan batang hidung. Sudah banyak kalan-
gan muda persilatan yang tak mengenal rupa Dewa Gi-
la kecuali julukannya. Termasuk Satria sendiri. Jadi
kalau nanti dia mengalami kesulitan, bisa dianggap
wajar saja.
"Hoiii, apa ada manusia di sekitar tempat ini??!"
Satria Gendeng mulai berteriak, memancing siapa pun
keluar. Dia berharap ada ‘sepotong’ manusia bakal
muncul. Bukan dedemit atau tikus lembah kesasar.
"Hooiii, apa ada yang mendengar?!!"
Tak ada apa-apa. Tak muncul seorang pun se-
perti yang diharapkan. Satria tak cepat putus asa. Dia
berteriak-teriak lagi. Mungkin kalau dia meneriakkan
nama Dewa Gila, orang yang dicarinya akan segera
muncul. Siapa tahu?
"Dewa Gilaaaa!!!!"
Masih tetap sama.
"Dewa Giiaaaa!! Aku ingin bertemu denganmu!!"
Sampai teriakan pendekar muda itu berubah
serak, tetap tak ada seorang pun muncul.
"Sial," rutuk Satria. "Barangkali benar ucapan
beberapa orang, Dewa Gila sudah mati. Kalau sudah
jadi bangkai, mana mungkin bisa mendengar," rutuk-
nya lagi, berkomat-kamit.
Mendadak saja....
Ngung!
Sebentuk benda sebesar kepalan tangan me-
layang deras ke arah Satria Gendeng. Berputar hingga
menghasilkan dengung. Arahnya dari barisan pepoho-
nan rindang di tepi lembah. Satria terkesiap. Kesiga-
pannya tak berkurang. Tangannya gesit memapak.
Tap!
Sesuatu tertangkap tangannya. Ketika diteliti,
ternyata hanya sepotong kincir kecil dari bambu yang
biasa dibuat anak-anak untuk permainan.
"Apa-apaan ini?" bisik Satria tak mengerti.
Sebelum kebingungannya terjawab.
Ngung... ngung... ngung....
Mata Satria membelalak. Dari arah yang sama
dengan kincir sebelumnya, bermunculan puluhan kin-
cir lain.
Berkejaran.
Cepat.
Berdengung-dengung tumpang-tindih.
"Sial!!!" maki Satria Gendeng seraya berjumpali-
tan kian ke mari menghindari terjangan seluruh kincir.
Memang itu semacam mainan anak-anak. Tapi kalau
mendengar dari dengung yang dihasilkan serta kecepa-
tannya, bukan tak mustahil benda itu bisa melu-
kainya. Bahkan bisa saja lebih parah dari itu... mam-
pus!
Trak trak!
Karena dihujani terlalu deras, Satria Gendeng
terpaksa mengeluarkan Kail Naga Samudera yang ma-
sih berbentuk tongkat pendek. Dengan senjata pusaka
itu, dibabatnya beberapa kincir sampai hancur beran-
takan.
Napas si pendekar muda murid Dedengkot
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit
itu terengah-engah ketika serangan mendadak itu bisa
diatasi.
"Heii, siapa kau?!" serunya kemudian, dengan
posisi memasang kuda-kuda. Hanya bersiaga jika ada
serangan mendadak susulan.
Sepi.
Tak ada dengung lagi.
Sudah usai? Belum. Karena tak lama kemu-
dian, datang lagi satu kincir yang lebih besar. Bahkan
jauh lebih besar dari ukuran sebelumnya. Yang keluar
sekarang bisa dibilang 'biang'-nya kincir, berukuran
kira-kira seukuran setengah badan manusia!
Yang satu ini bisa dipercaya sanggup memeng-
gal kutung tangan atau kepalanya!
Ngunggg!!!
Arah serangan yang lurus saja agak memudah-
kan Satria Gendeng untuk menangkisnya dengan Kail
Naga Samudera. Bodoh kalau dia mencoba memapaki
dengan tangan telanjang.
Trak!
Kincir besar tersentak ke samping. Arahnya
berbelok, namun tak cukup membuat Satria Gendeng
lega. Karena kejap berikutnya, arah senjata (itu pun
kalau bisa disebut begitu!) ganjil itu berputar kembali
menuju dirinya.
Satria baru sadar kalau benda itu dikendalikan
dari jarak jauh ketika matanya menangkap benang ha-
lus yang membentang dari belakang kincir ke jajaran
pepohonan rindang di tepi lembah. Betul-betul per-
mainan yang tak bisa dianggap main-main!
"Haih!"
Karena kincir besar berbelok demikian menda-
dak, Satria dipaksa untuk membuang diri ke samping.
Tubuhnya berjumpalitan di atas tanah. Kincir menge-
jarnya. Tak sempat lagi bagi Satria Gendeng untuk
memperbaiki posisi kecuali terus berjumpalitan. Be-
nar-benar dia dijadikan bulan-bulanan. Untung saja
sewaktu menjalani godokan dari Tabib Sakti Pulau De-
demit, dia terbiasa menghadapi ancaman karang di
tengah lautan yang berombak sangar. Naluri menyela-
matkan dirinya jadi demikian tajam.
Satria Gendeng tak mau terus berjumpalitan
sampai kepalanya tujuh keliling. Dalam kegentingan,
dia mencari akal. Dibawanya kincir ke arah satu pohon
besar. Ketika tiba di dekat pohon nanti, dia akan me-
lompat tiba-tiba ke atas. Biar kincir itu menghantam
pohon yang besarnya empat kali pelukan manusia.
Masa' iya kincir tidak hancur?
Satria pun terus berjumpalitan ke arah pohon.
Sampai....
"Heeaa!!"
Dia menjejakkan kaki tiba-tiba, dan langsung
melompat ke atas dahan pohon yang lebih tinggi seper-
ti rencananya. Sejauh itu memang berhasil. Namun
kalau berharap kincir besar menghantam pohon, Sa-
tria Gendeng terlalu tergesa-gesa. Karena begitu tubuh
Satria membuat atraksi cepat ke atas dahan pohon,
kincir besar itu pun berbelok ke samping. Jaraknya
padahal hanya tinggal dua jengkal lagi dari pohon.
Satria dibuat takjub. Bisa dinilainya kelihaian
si pengendali kincir besar!
Di kejauhan sana, tepatnya dari jajaran pohon
rindang di tepi lembah, tercetus kekeh kecil yang re-
nyah.
"He he he!!!"
Satria mengerutkan kening. Apa aku tak salah
dengan? Usik pikirannya. Suara kekeh itu bukan milik
seorang tua, melainkan milik bocah kecil! Semula, Sa-
tria Gendeng mengira permainan berbahaya tadi dila-
kukan oleh Dewa Gila. Sepanjang pengetahuannya,
Dewa Gila sudah tua bangka. Bukan bocah ingusan!
Sedang dilanda kecamuk pikirannya, Satria
Gendeng diserang lagi oleh kincir besar dari arah
samping bawah.
Ngungg!
Pendekar muda itu melompat dari atas dahan.
Tras!
Gila juga! Dahan sebesar paha manusia lang-
sung terpenggal seperti sepotong pedang menebas ba-
tang pisang! Bagaimana kalau mata kincir sempat
mengenai kakiku? Perangah Satria dalam hati.
Selanjutnya Satria mendarat empuk di tanah
berumput. Tempat yang terbuka. Tentu saja akan lebih
memberi keleluasaan bagi kincir besar untuk terus
memburunya. Satria tidak bodoh. Dia punya renca-
na....
"Heaaa!!!"
Srat, cletar!
Kail Naga Samudera yang semula berbentuk
tongkat pendek, mendadak terulur. Disusul oleh lecu-
tan tali kail terbuat dari ekor pari pelangi. Sekarang,
apa masih bisa kincir besar itu unjuk gigi jika berha-
dapan dengan senjata pusakaku? Ancam Satria dalam
hati.
Kincir besar pun memburunya.
Satria memang berharap begitu.
Ngungg!
Kian dekat....
Saat kincir besar sudah mencapai jarak jang-
kau Kail Naga Samudera, Satria membuat lecutan
mendadak disertai pengerahan tenaga dalam.
Wukh, cletar!!
Seakan tahu betapa berbahayanya ujung Kail
Naga Samudera, kincir besar mendadak membuat ge-
rak kiri-kanan yang cepat. Lecutan pertama tak mem-
bawa hasil apa-apa. Sementara jarak semakin dekat.
Satria tersenyum, agak menyeringai. Kau kira
aku tak bisa mengimbangi kecepatan gerak kincirmu?
Dengusnya membatin. Untuk rencana itu, Satria tak
beranjak dari tempat berdirinya. Agak nekat memang,
tapi dia tahu pasti apa yang hendak diperbuatnya.
Ketika kincir semakin dekat dengan luncuran
zig-zag, Satria mengebutkan kembali Kail Naga Samu-
dera. Jika sebelumnya dari atas ke bawah, kini dari si-
si ke sisi.
Wukh, cletar!
Ujung Kail Naga Samudera membentuk liukan
bertenaga dengan arah menyamping. Hal itu berakibat
tertutupnya gerak kiri-kanan kincir besar.
Krakh!
Tepat pada liukan sengit di ujung mata kail,
kincir besar melepaskan suara keras. Satu mata kin-
cirnya terhantam dan patah seketika.
Kincir besar jadi kehilangan keseimbangan. Se-
saat benda itu melayang-layang ngawur. Sempoyongan
sana-sini. Tak beda dengan layangan 'singit', atau pe-
mabok kebanyakan minum. Sampai akhirnya jatuh
berdebam menimpa bumi.
Satria tergelak menyaksikan kejadian itu.
Di jajaran pepohonan rindang, malah terdengar
rengekan yang kemudian berubah menjadi raungan
menjadi-jadi. Eh, bocah siapa yang kehilangan mai-
nan?
***
SEPULUH
TERLALU kecele Satria jika mengira rengekan
yang didengarnya datang dari seorang bocah. Sebab
ketika muncul seseorang dari jajaran rapat pepohonan,
Satria menyaksikan seorang yang sama sekali tidak bi-
sa disebut bocah. Badannya bongsor. Wajah kebodoh-
bodohan. Kian parah penampilannya dengan menge-
nakan baju monyet.
Sambil mengusap-usap mata dengan punggung
tangan, lelaki ketolol-tololan itu berjalan beberapa
langkah ke arah Satria. Dia berhenti dalam jarak tiga
puluh tombak.
"Hu hu hu... kau telah merusak mainanku,
Kunyuk!" makinya merajuk-rajuk. Bibir bawahnya ma-
ju sekian senti. Jelek tak tertolong.
Satria serba salah. Mau meringis salah, mau
tersenyum salah, mau tertawa apa lagi. Kalau tertawa,
jangan-jangan disangka meledek. Bakalan kian menja-
di tangisan yang sama sekali tak sedap masuk ke te-
linga itu. Sebenarnya pemandangan yang dilihatnya
amat bisa membuat dia tersenyum. Tapi, apa pantas?
Sepertinya dengan tersenyum dia merasa telah menge-
jek seorang berotak udang. Kalau meringis? Apa
mungkin dia melakukan hanya karena ikut prihatin
dengan kesedihan tengik si 'bocah ajaib'?
Akhirnya, Satria cuma bisa garuk-garuk kepala.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Satria.
"Siapa... siapa. Pakai tanya segala. Kau pikir
aku tak akan jadi marah karena kau berlagak ramah
seperti itu. Huh, tak sudi!" omel si bocah tengik. Se-
bentar dia memutuskan rengekannya. Sebentar kemu-
dian dia menyambung kembali. Dari lagak dan
gayanya bicara, benar-benar tak bisa dibedakan den-
gan seorang bocah berumur tujuh tahun. Tapi, ya Tu-
han. Orang ini bukan bocah lagi. Kalau bocah, apa iya
kakinya 'kaya' dengan bulu. Tak terhitung bulu-bulu di
tempat tersembunyi. Sudah berkumis pula. Jenggot
pun ada, kendati cuma beberapa lembar.
"Kau bukan Dewa Gila?" tanya Satria lagi, ma-
sih dikungkung kebingungan.
"Dewa Gila.... Dewa Gila. Seperti kau sudah
kenal dengan guruku saja...."
"Hey jadi kau murid Dewa Gila?" perangah Sa-
tria.
"Diam! Aku tak menerima pertanyaan dari
orang yang telah merusak mainanku!"
"Mainanmu?!" Dua kali Satria terperangah.
Mestinya sejak dari tadi. Sebelumnya bocah bongsor
itu sudah menyebut-nyebut hal itu. Hanya karena Sa-
tria terkesima menyaksikan orang yang dikiranya cu-
ma seorang bocah berusia tak lebih dari tujuh tahun
jika dinilai dari suaranya yang terdengar sebelumnya,
dia tak begitu memperhatikan.
"Mainan katanya?" dengus Satria. "Mainan yang
bagus kalau bisa membuat aku nyaris mampus...."
Satria mencak-mencak. Dihampirinya kincir
besar milik si bocah bongsor. Ditendangnya benda itu
gemas-gemas. Benda itu hancur berantakan. Lebih
hancur dari sebelumnya. Sisa mata kincirnya berpen-
talan ke mana-mana. "Huaaaaa!"
Meraunglah si bocah ajaib. Suara raungannya
melayap entah sampai ke mana.
"Itu yang kau bilang mainan?" dengus Satria,
belum puas. "Benda sial yang hampir saja membuat
kepalaku menggelinding?! Kenapa kau tak kau jadikan
saja semua senjata paling berbahaya di jagat ini seba-
gai mainanmu?!" semprotnya meledak-ledak.
"Tapi... tapi...," tercekat-cekat, si bocah ajaib
yang sebenarnya lebih pantas disebut bocah ganjil,
mencoba berkilah.
"Tapi, itu benar-benar mainanku, Bapak...." Sa-
tria mendelik. Sejak kapan aku jadi bapaknya? Lagi
pula, apa wajahku sudah kelihatan tua sampai disebut
begitu? Tampik Satria. "Hey, jangan panggil aku Ba-
pak!"
"Iya, Kakang...," katanya terseguk. Apalagi keti-
ka mendapat bentakan Satria.
"Itu lebih bagus!"
"Jadi, Kakang mau membuatkan aku mainan
baru, ya???" dari merengek-rengek, si bocah ajaib ter
senyum-senyum. Kedua tangannya dikatupkan di de-
pan wajah. Lalu badannya bergoyang-goyang. Seper-
tinya dia hendak mengambil hati Satria.
Satria merengut. Mimpi apa aku semalam sam-
pai harus berhadapan dengan manusia ini? Keluhnya
membatin.
"Mau apa tidak Kakang membuatkan aku mai-
nan baru?" tanya si bocah ajaib. Senyumnya hilang
karena tak juga mendapat jawaban dari Satria. "Mau
apa tidak?"
Satria tetap diam. Tetap merengut.
"Mau apa tidak?!"
Lalu nadanya mulai berubah galak kembali.
Mendelik pula matanya!
"Sudah diam! Katakan saja, siapa kau sebenar-
nya? Apa hubunganmu dengan Dewa Gila?!" serbu Sa-
tria.
"Dia muridku, Bocah Brengsek!"
Sebentuk suara mendadak memenggal.
Satria tersentak. Bukan semata karena tak
menduga munculnya suara tadi. Melainkan dia mera-
sakan betapa tenaga dalam yang terkandung dalam ge-
lombang suara itu demikian hebat menggetarkan. Yang
aneh, tidak di gendang telinga. Melainkan langsung ke
dalam hatinya. Nyalinya seperti hendak dipaksa men-
ciut.
Satria berusaha menemukan sumber suara itu.
Tak pernah berhasil. Sumber suara itu seperti bisa da-
ri mana saja. Seakan dari satu tempat yang tak ada di
mana-mana. Pendekar muda itu celingukan ke sana
kemari.
"Mencari siapa kau, heh?!"
Terdengar kembali bentakan angker. Dari orang
yang sama. Tetap tak bisa ditentukan dari mana sum
bernya.
Satria mulai berpikir, mungkin orang inilah
Dewa Gila yang hendak ditemuinya. Pucuk dicinta
ulam pun tiba kalau begitu!
"Hoi, apakah kau si tua Dewa Gila?!" seru Sa-
tria.
"Apa maumu bertanya-tanya?"
"Aku ada satu keperluan denganmu!!"
"Terangkan!"
"Bisakah kau keluar terlebih dahulu?!"
"Jelaskan saja, Brengsek!"
"Aku mendapat tugas dari Adipati Wisnu Ber-
nawa!"
"Aku tak kenal dia!"
"Beliau Adipati Lumajang!"
"Mau Lumajang kek, mau neraka kek!"
"Baiklah... baiklah. Kalau kau tak mau tahu
dengan beliau, setidaknya kau ingin melihat surat
yang dititipkan padaku untukmu, bukan?"
"Tak perlu! Minggat saja kau dari tempat ini!"
"Ini soal besar! Kau dibutuhkan untuk mem-
bantu menyelesaikannya!"
"Membantu? Heh, kau pikir aku ini semacam
jongos?"
Satria geleng-geleng kepala.
Si bocah ajaib malah cengar-cengir. Dia kegi-
rangan seperti hendak melompat langsung ke awan sa-
ja mendengar suara Dewa Gila yang diakui sebagai gu-
runya. Dan sebaliknya, Dewa Gila pun mengakui dia
sebagai muridnya. Girang, karena Satria menurutnya
sedang dipermainkan. Balas dendam cara seorang bo-
cah....
"Tentu saja kau bukan jongos...," keluh Satria,
pegal berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal.
"Kau mau pergi atau tidak?!" ancam suara tadi.
"Aku mengemban amanat, Orang Tua. Sebagai
seorang ksatria, tak mungkin rasanya aku pergi sebe-
lum amanat disampaikan kepada yang berhak mene-
rimanya. Aku siap menerima apa pun akibatnya, asal
kau mau menyempatkan waktu membaca surat yang
kubawa ini...."
"Pergi kataku! Atau kau akan kuinjak-injak
sampai rata dengan tanah!"
Astaga, apakah Dewa Gila itu sejenis tokoh Bi-
ma dalam pewayangan yang memiliki tubuh meraksa-
sa sampai bisa menginjak-injak orang sampai rata
dengan tanah? Satria berbisik dalam hati. Ngeri-ngeri,
campur geli.
"Sudah kubilang aku tak bisa," tandas Satria.
"Pergi atau tidak?"
"Tidak, Orang Tua...," ucap Satria. Nadanya
agak merendah, supaya bisa sedikit mengambil hati
tua bangka yang belum lagi disaksikan rupa dan wa-
jahnya.
"Hmm, kalau begitu terserah kaulah!"
Nada suara si orang tua pun melandai. Ru-
panya dia termasuk manusia yang mudah tersentuh
oleh sedikit kerendahan hati. Atau mungkin dia bisa
menilai Satria sebagai seorang pemuda yang patut di-
hargai dengan kemantapan tekadnya untuk suatu
yang diyakini?
"Bagaimana dengan surat dari adipati?"
Tak ada jawaban.
Satria curiga. Jangan-jangan orang tua itu su-
dah minggat dari tempatnya.
"Orang tua? Kau masih di sana?!" ulang Satria.
Tak juga ada jawaban.
Satria menghempas napas. Dia sudah menyim
pulkan Dewa Gila telah pergi. Masih ada kemungkinan
untuk menemukannya selama dia masih berada di
Lembah Pangrango. Timbang punya timbang, mungkin
dia memang tak sudi dilibatkan dalam masalah di Lu-
majang, pikir Satria. Kalau sudah begitu, percuma saja
jika dia mencarinya kembali.
Satria mendapat akal. Bocah ajaib itu mungkin
bisa dimanfaatkan untuk membujuk gurunya. Bukan-
kah orang semacam dia paling bisa merayu dengan
gaya yang memelasnya seperti pernah dilakukan sebe-
lumnya terhadap Satria. Kalau benar Dewa Gila terma-
suk orang tua yang cepat tersentuh dengan kerenda-
han hati, bukan tak mungkin kekerasan keputusannya
akan luruh dengan rayuan memelas sang murid.
Satria menoleh ke tempat bocah berkumis tadi.
Sudah tidak ada.
"Sial...," rutuk Satria.
Selagi menikmati kekesalan, mendadak terden-
gar suara kekeh tawa.
Satria tersenyum. Suara itu milik Dewa Gila.
Berarti dia masih di sekitar tempat itu.
"Bagaimana, Orang Tua?" tukas Satria, meng-
gebu.
"Soal surat itu maksudmu?"
"Benar!"
Dewa Gila terkekeh lagi. Satria menautkan alis.
Apanya yang lucu sehingga perlu ditertawakan?
"Mau kau membacakan untukku...?" kata Dewa
Gila lagi dengan nada malu-malu.
Satria Gendeng menampar kening sendiri. Se-
karang dia baru tahu 'biang keladi' penyebab Dewa Gi-
la menolak mentah-mentah surat Adipati Wisnu Ber-
nawa. Dia pasti tidak bisa baca!
Satria pun membuka surat tersebut, lalu dibacanya.
Di ujung kalimat, mendadak saja mendesir an-
gin tajam dari arah belakang.
Satria sigap membalikkan badan.
Tahu-tahu, di depan hidungnya sudah berdiri
seorang kakek bungkuk yang tingginya hanya sebahu
Satria. Hidungnya berwarna ungu kehijauan. Persis
buah terung. Matanya besar sebelah. Rambutnya ka-
sar dan awut-awutan berwarna kelabu. Orang tua itu
mengenakan pakaian berwarna biru tua.
"Kau sebut-sebut soal Tujuh Dewa Kematian?!!"
serunya persis di depan wajah Satria Gendeng.
Pendekar muda murid dua tokoh kenamaan ta-
nah Jawa itu meringis. Telinganya pekak tak kepalang.
Mau pecah rasanya gendang telinga. Tidak pecah, su-
dah beruntung besar.
"Kau dengar aku bertanya? Apa kau sebut tadi
Tujuh Dewa Kematian?!" ulang Dewa Gila lebih meng-
geledek.
Apa dikiranya Satria sudah tuli?
"Benar, Orang Tua," jawab Satria akhirnya.
Dewa Gila menghantamkan tinju ke telapak
tangan.
"Kau tahu dengan Tujuh Dewa Kematian,
Orang Tua?" tanya Satria, ingin tahu.
"Siapa yang tak kenal dengan tujuh manusia
kembar banyak tingkah itu!" ucap Dewa Gila, dilapisi
kegeraman.
"Bagus kalau begitu. Jadi kau menerima per-
mintaan Adipati, bukan?" sergah Satria.
Dewa Gila mencibir. Diangkatnya tangan tinggi-
tinggi. Sampai ketiaknya hampir mampir di dagu Sa-
tria Gendeng.
"Kalau aku kesal dengan Tujuh Dewa Kematian
bukan berarti aku setuju dengan permintaan Adipati
itu..."
"Jadi?"
Dewa Gila menempatkan ujung telunjuknya di
kening. Wajahnya berkerut lebih banyak dari sebelum-
nya.
"Aku akan menyuruh Joyolelano untuk mewa-
kiliku!"
"Siapa dia?"
"Muridku itu...."
Mak! Mau bilang apa Satria. Yang jelas ma-
tanya tak bisa ditahan untuk tidak mendelik.
"Kau hendak mengutus lelaki yang pikirannya
tak lebih dari seorang bocah itu untuk satu urusan be-
sar?" perangah Satria. Wajahnya tertarik lebih ketat
dari seorang yang terkejut disambar dedemit nyasar.
"Jangan kau sebut dia begitu!" hardik Dewa Gi-
la. "Asal kau tahu, di samping muridku, dia juga
anakku!"
"Aku tak bermaksud menghina anakmu... dia
anakmu? Bagaimana mungkin kau memiliki anak se-
perti itu? Dari perut siapa dia lahir?"
"Ya, dari perut istriku. Apa kau pikir dari perut
kerbau?! Sudah, aku tak mau banyak mulut lagi den-
ganmu. Pokoknya kau terima atau tidak?"
Satria menghembuskan napas. Barangkali pe-
patah lama ada benarnya; 'tak ada rotan, akar pun ja-
di'.
"Baiklah," putus Satria, akhirnya. Menyerah
dia. Siapa pun tak bisa memaksakan kehendak terha-
dap orang lain. Apalagi menyangkut penegakan keadi-
lan. Semuanya harus datang dari kesadaran pribadi
terdalam.
"Tapi, asal kau berjanji tetap akan datang jika
anakmu itu mendapat kesulitan...."
"Peduli setan dengan janji!" gerutu Dewa Gila
seraya 'ngeloyor' begitu saja.
"Oh, ya Orang Tua! Aku ingin bertanya satu hal
lagi!"
"Tanyakan sebelum aku menghilang seperti
kentut!"
"Kau tahu bagaimana aku harus menemukan
Arya Wadam?"
"Kau tak bisa mencarinya. Dia tak pernah ting-
gal di satu tempat!" kata Dewa Gila seraya terus me-
langkah.
"Jadi?"
"Kalau beruntung, kau akan bertemu dengan-
nya secara kebetulan di sebuah kedai. Dia punya ciri
tersendiri. Arya Wadam akan memesan nasi dicampur
arak...."
Satria terkesima. Dia ingat pernah menjumpai
orang itu di kedai beberapa waktu lalu.... Jadi dia per-
nah bertemu Arya Wadam yang mungkin akan amat
sulit dicari, dan dia meninggalkannya begitu saja?
Apa mungkin si tua bangka Dewa Gila diwakili
oleh si bocah berkumis untuk mengurus persoalan
amat besar? Bagaimana lagi cara Satria bisa menemu-
kan Arya Wadam? Siapa dan bagaimana sebenarnya
dia?
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar