..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 26 Januari 2025

SATRIA GENDENG EPISODE PENGHUNI KUIL NERAKA

Penghuni Kuil Neraka


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit

SATU

DI BAWAH sinar rembulan yang meningkahi 
Gunung Arjuna, lima sosok tubuh tersuruk-suruk 
mendaki tebing jurang. Mereka kehabisan tenaga, te-
tapi tetap memaksakan diri merayap ke puncak gu-
nung. Wajah mereka dipenati debu. Berpakaian com-
pang-camping akibat tercabik karang tajam. Kaki dan 
tangan mereka penuh gurat-gurat darah, tersayat duri-
duri semak.
Namun kelima orang yang ditaksir berusia seki-
tar tiga puluh sampai empat puluhan rupanya seke-
lompok orang berkemauan sekeras karang. Dan, agak-
nya mereka tengah melaksanakan tugas penting yang 
mengharuskan mereka berkejaran dengan waktu.
Sekalipun dalam keadaan tak karuan, kepriba-
dian kelima orang itu tetap menonjol. Wajah mereka 
cakap berseri. Berpakaian seragam. Mengenakan cela-
na dan baju keprajuritan. Di lengan masing-masing 
melingkar logam tipis berwarna kuning keemasan. Se-
dang di pinggang, terselip pedang dengan bentuk seru-
pa, mencerminkan bahwa mereka benar-benar para 
prajurit.
Jerih payah kelima orang itu berhasil membuat 
mereka tiba di kuburan di tengah hutan, tak jauh dari 
puncak Gunung Arjuna.
Tiba-tiba mata kelima orang tadi terbelalak ke-
tika tertumbuk pada sebongkah batu sebesar gajah. Di 
atas batu itu tersusun tujuh tengkorak manusia.
DI tengah batu, tergurat sebaris tulisan berhu-
ruf Jawa Kuno yang artinya TUJUH DEWA KEMATIAN. 
Tidak jauh dari letak batu, hanya berselang sekitar tiga 
tombak, berdiri bangunan yang mirip candi. Di muka

bangunan, terpancang gapura. Di masing-masing sisi 
gapura, juga terdapat tengkorak kepala manusia.
Mata kelima prajurit tadi berkilatan bagai me-
mancarkan api.
Musuh besar mereka sudah di depan mata! 
"Kita serang!"
Golak darah dan semangat kelima orang terse-
but menyalakan keberanian. Dengan menghunus pe-
dang, mereka melangkah mendekati bangunan tadi.
"Kita harus hati-hati!" Salah seorang yang me-
langkah paling depan memperingati.
Langkah mereka mendadak terhenti. Mereka 
termangu.
Persis di depan bangunan, tepatnya di halaman 
depan, tampak berpuluh-puluh tengkorak manusia 
berserakan di tanah. Perlahan-lahan tapi pasti, kelima 
orang itu melangkah lebih dekat ke pintu masuk. Mata 
mereka terbentang tatkala menyaksikan di atas pintu 
gerbang terpancar cahaya lentera merah membentuk 
huruf-huruf bertuliskan; KUIL NERAKA!
"Di sini rupanya iblis-iblis itu bercokol," gumam 
salah seorang yang termuda di antara mereka. "Ya, 
Adik Sentana."
Siapa mereka sebenarnya? Cukupkah mereka 
punya nyali untuk memasuki Kuil Neraka, sarang per-
sembunyian Tujuh Dewa Kematian?!
Mereka adalah kelompok kecil ksatria yang 
mendapat gelar Prajurit Kembar. Para pendekar muda 
gagah berani. Keberanian mereka dalam melaksanakan 
tugas membasmi para penyamun telah menggegerkan 
tanah Jawa beberapa waktu lalu. Prajurit Kembar ada-
lah utusan dari Kadipaten Lumajang.
Ketika itu, Adipati Lumajang bernama Wisnu 
Bernawa mendengar tentang keganasan Tujuh Dewa

Kematian. Segera diperintahkannya Prajurit Kembar 
untuk menumpas dan menghentikan sepak terjang 
momok menakutkan itu.
Prajurit tertua bernama Darma Sukanta. Dis-
usul oleh Aji Sukanta, lalu Surya Sukanta, Sukma Su-
kanta, dan yang termuda bernama Sentana Sukanta. 
Karena wajah serta cara berpakaian mereka serupa, 
maka kalangan persilatan memberi julukan Prajurit 
Kembar.
Hati-hati, Prajurit Kembar kini mencoba mem-
buka pintu.
"Hm," dengus Darma Sukanta seraya melang-
kah lebar memasuki pintu gerbang. Di belakangnya, 
yang lain menyusul.
"Lihat Kakak Darma! Di dinding itu terdapat tu-
lisan lagi...!" seru Sentana. Disusul dengan mengusap-
usap tulisan yang tertutup debu.
"Bacakan!" perintah Darma, selesai adik bung-
sunya membersihkan debu. Sentana membaca,
"Setiap kali ada orang berkunjung, Kuil Neraka 
tentu bertambah penghuni...."
Di ujung kalimat Sentana, mereka dikejutkan 
oleh lengkingan tawa yang menusuk gendang telinga.
"Ha ha ha ha!!!"
Kelima Prajurit Kembar menutup rapat-rapat 
telinga masing-masing. Lamat-lamat, tawa tadi memu-
pus. Suasana menjadi seperti sediakala, sunyi senyap 
tanpa suara apa-apa. Sehimpun satwa seperti enggan 
memperdengarkan tembang milik masing-masing. 
Yang meraja cuma kesunyian menikam.
Kalau bukan Prajurit Kembar, terlalu sedikit 
orang berani memasuki Kuil Neraka. Mendengar na

manya saja sudah membuat bulu roma bergidik.
Menanggapi kejadian tadi, Prajurit Kembar 
memburu masuk lebih ke dalam, mencoba mencari 
sumber tawa. Mereka tiba di suatu ruangan seluas la-
pangan. Tegang, mereka pancang wajah ke muka.
Di antara selimut kabut, samar-samar tampak 
tujuh orang paderi berjubah hitam tengah berdiri ber-
jajar. Satu orang berdiri terpisah di depan. Tangan dan 
kaki mereka tak terlihat karena tertutup jubah. Kecua-
li bagian kepala yang rata-rata besar, melebihi ukuran 
orang biasa. Telinga mereka lebar. Mata bundar, tanpa 
alis di atasnya. Mulut mereka berkeriput, menandakan 
tidak ada lagi gigi yang tumbuh di baliknya. Ketujuh 
orang tersebut berperawakan sama. Hampir semua ku-
rus.
Di samping mereka, ada satu pemandangan 
lain yang menarik perhatian Prajurit Kembar. Di sebe-
lah kiri barisan Tujuh Dewa Kematian, tergeletak satu 
peti mati berukuran besar. Sepertinya, benda hitam 
menyeramkan itu sengaja dipersiapkan. Cuma saja, 
belum jelas untuk apa atau untuk siapa.
"O, kiranya inilah para manusia iblis yang ber-
juluk Tujuh Dewa Kematian? Entah dari mana asal-
usul manusia-manusia aneh ini...," gumam Darma Su-
kanta, dilapisi geraman.
Mendadak sontak, mencelat bunyi berderak 
dahsyat dari peti mati besar.
Peti terkuak.
Gulungan asap menyeruak.
Dari dalam peti, muncul manusia yang lebih 
menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu. 
Wajahnya teramat menakutkan. Tidak mengenakan 
pakaian, hanya cawat kecil menutupi bagian selang-
kangannya. Cawat itu terbuat dari logam berwarna

kuning keemasan.
Ia tertawa meringkik-ringkik. Kemudian, di-
langkahkannya kaki ke depan Tujuh Dewa Kematian. 
Setelah itu, makhluk yang menyerupai mayat hidup itu 
menjura.
Salah seorang yang berdiri di depan mengang-
kat tangan ke atas. Ditudingnya Prajurit Kembar. Me-
lihat komando dari salah seorang pemimpinnya, mayat 
hidup itu bangkit dari menjura, lalu menoleh ke arah 
Prajurit Kembar. Dengan suara meruncing, dia meng-
geram.
"Akan kubunuh kelima manusia dungu itu!" 
Kelima Prajurit Kembar menyiapkan kuda-kuda, siaga 
dengan pedang di tangan masing-masing.
"Adik-adikku, siapkan jurus 'Pedang Kembar 
Menyapu Awan'!" komando Darma Sukanta.
Di ujung komando Darma Sukanta, enam sau-
daranya yang lain segera membentuk formasi pembuka 
jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan'. Satu orang 
berdiri di depan, disusul yang lain membentuk jajaran 
memanjang.
Tak ragu lagi, Prajurit Kembar segera mener-
jang Manusia Mayat Hidup dengan menutup empat 
penjuru mata angin. Jurus 'Pedang Kembar Menyapu 
Awan' digunakan secara serentak, meliuk-liuk, me-
nyambar ke kiri dan kanan.
Manusia Mayat Hidup menghadapi dengan te-
nang. Tebasan-tebasan pedang ditangkalnya dengan 
mudah. Sesekali, tubuhnya melentik ke udara seraya 
memberikan serangan balasan. 
"Hiaah!!"
Pertarungan berjalan kurang lebih beberapa 
menit. Kedua pihak belum tampak ada yang kalah. Pe-
dang berdesingan, menyambar-nyambar seolah ber

nyawa. Formasi Jurus 'Pedang Kembar Menyapu Awan' 
sulit ditembus oleh Manusia Mayat Hidup. Tak heran 
kalau Prajurit Kembar sangat ditakuti para perampok 
di seluruh tanah Jawa.
Jurus yang digunakan Manusia Mayat Hidup 
sangat aneh. Tubuhnya lemas seperti belut. Kibasan-
kibasan tangannya mengandung hawa dingin sehingga 
menyulitkan Prajurit Kembar untuk menghujamkan 
pedang ke dada lawan.
Di saat pertarungan sedang memuncak, tiba-
tiba Manusia Mayat Hidup menghentakkan kaki. Tu-
buhnya melentik mundur, menghindari lawan, lalu 
mendarat dengan mulus persis di depan Tujuh Dewa 
Kematian.
Prajurit Kembar pun berhenti dan berdiri tegak, 
menatap tajam ke arah musuh-musuh mereka.
"Apa maksud setan jelek ini menghentikan per-
tarungan Kakak Darma?" tanya Aji Sukanta.
"Apakah kau tidak melihatnya? Saat kita berta-
rung tadi, iblis yang berdiri paling depan mengangkat 
tangan kanannya...."
Tapi apa maksud iblis itu menghentikan perta-
rungan? Bisik hati Aji Sukanta, seraya menatap tajam 
tak berkedip ke arah Tujuh Dewa Kematian.
Tujuh Dewa Kematian bergerak melingkar, 
mengitari Manusia Mayat Hidup. Manusia Mayat Hi-
dup berdiri mematung. Tangannya membentuk siku-
siku di dada. Kaki kanannya diangkat. Seketika, se-
gulungan asap keluar dari lehernya. Kejadian itu tak 
berlangsung lama. Tujuh Dewa Kematian kembali da-
lam posisi semula. Hanya Manusia Mayat Hidup yang 
tidak berubah.
Prajurit Kembar termangu-mangu melihat hal 
ganjil yang dilakukan Tujuh Dewa Kematian.

Selesai melakukan semacam upacara singkat, 
Tujuh Dewa Kematian tertawa serempak.
"Huaa ha ha ha!!!!"
Rupanya, yang barusan dilakukan adalah se-
buah upacara kecil untuk menyambut pendatang baru 
yang masuk ke Kuil Neraka. Di sela gelak tawa yang 
bergema, lamat-lamat Manusia Mayat Hidup menu-
runkan tangan dan kaki kembali. Tawa pun terhenti. 
Matanya menatap bengis ke arah Prajurit Kembar yang 
sejak tadi termangu-mangu menyaksikan kejadian 
yang mereka anggap ganjil.
Perlahan-lahan, Tujuh Dewa Kematian melang-
kah mendekati Prajurit Kembar. Senyuman sinis ter-
sungging di mulut yang tak bergigi. Lebih kentara se-
bagai seringai. Alangkah mengerikan sekali senyuman 
itu....
"Kisanak sekalian, siapa yang mengutus kalian 
datang ke sini?" tanya seorang dari Tujuh Dewa Kema-
tian.
"Kami datang atas titah adipati," sahut Sukma 
Sukanta, datar.
"Kalian datang cuma mengantar nyawa!!"
Mendengar perkataan bernada ancaman, darah 
Prajurit Kembar bergejolak. Diam-diam, Sentana Su-
kanta memaki dalam hati. Sebaliknya, justru ini hari 
terakhirmu, Setan-setan Jelek!
Sesaat kemudian, seorang dari Tujuh Dewa 
Kematian yang menjadi pemimpin menyusulkan perta-
nyaan, "Siapa kalian?"
"Kami adalah Prajurit Kembar!" jawab Darma 
Sukanta. 
Si pemimpin tadi tertawa mencemooh.
"Sungguh besar sekali peruntungan kami hari 
ini, dapat menerima kunjungan Prajurit Kembar yang


ditakuti para perampok tanah Jawa. Lalu, apa maksud 
dan tujuan kalian datang ke Kuil Neraka?"
Dengan sikap tegas dan suara lantang, Darma 
Sukanta sebagai orang tertua menjawab pertanyaan 
itu.
"Aku serta keempat saudaraku datang ke sini 
untuk menghentikan sepak terjang kalian!" 
"Ha ha ha haa!!"
Tujuh Dewa Kematian malah tertawa. Kali ini 
tawa mereka bergulung-gulung, menderu bagai gemu-
ruh petir.
Kembali Prajurit Kembar menutupi telinga 
sambil mengatur tenaga dalam untuk menangkal sua-
ra tawa yang menusuk telinga.
Tawa Tujuh Dewa Kematian makin lama makin 
melengking, membubung ke angkasa. Dinding kuil 
berderak retak. Burung-burung malam di luar sana 
terjatuh dan mati. Kelelawar-kelelawar mencuit-cuit 
sekarat. Suasana di sekitar Gunung Arjuna jadi ber-
gemuruh meliuk-liuk. Lebih jauh, tawa Dewa Kematian 
membangunkan penduduk yang berada jauh di kaki 
Gunung Arjuna.
Prajurit Kembar dibuat kerepotan.
"Akh!"
Sukma Sukanta dan Sentana terhuyung-
huyung. Darah mulai merembes dari telinga dan hi-
dung keduanya. Mulut mereka menyeringai kesakitan.
Dengan serentak, tawa terhenti. Suasana kem-
bali seperti semula. Tubuh Surya Sukanta dan Senta-
na yang sebelumnya terhuyung-huyung menjadi lim-
bung, lalu ambruk.
***

DUA
SUKMA Sukanta menggoncang-goncangkan tu-
buh kedua saudaranya seolah tak mempercayai keja-
dian yang menimpa kedua saudaranya. Darma Sukan-
ta dan Aji Sukanta diam sesaat, lalu kepalanya meno-
leh ke arah Tujuh Dewa Kematian. Paras wajahnya 
terbakar. Tubuhnya menggigil menahan gejolak ama-
rah yang memuncak. Digenggamnya pedang erat-erat 
seraya berkata, "Aku Darma Sukanta ingin sekali men-
gunyah dagingmu, mengulitimu!! Kau telah membu-
nuh kedua saudaraku, kau harus mempertanggung 
jawabkan perbuatanmu!"
Ketujuh momok sakti itu tetap berdiri di tem-
pat, kemudian salah satu di antaranya menukas di-
kawal tawa tawar. Tiba-tiba pula wajahnya berubah 
menjadi garang. Dari mulutnya yang tak bergigi, ke-
luarlah ucapan dengan nada garang.
"Sudah menjadi ketetapan berpuluh tahun 
bahwa, barang siapa memasuki Kuil Neraka tentu ti-
dak akan keluar dengan selamat."
Selesai berkata, ia mengacungkan tangan ke 
atas. Manusia Mayat Hidup yang sejak tadi mematung, 
perlahan-lahan mulai menurunkan tangan dan ka-
kinya. Dia maju. Tiga tindak kemudian, dibalikkannya 
tubuh ke arah peti mati. Ternyata Manusia Mayat Hi-
dup melangkah mendekati peti itu. Tangannya terang-
kat ke depan. Mulutnya komat-kamit, kemudian di-
hentakkannya kaki kanan tiga kali ke lantai.
Duk duk duk!! 
Lambat-laun, peti itu terangkat ke atas. Dipu-
tarnya tubuh bersamaan dengan gerak peti mati ke 
arah tiga orang Prajurit Kembar yang tengah berdiri te

gak.
Manusia Mayat Hidup mengibaskan tangannya 
pelan tapi penuh tenaga. Angin menderu. Gemuruh 
menyentak peti mati. Benda besar itu meluncur deras 
ke arah tiga orang Prajurit Kembar.
Sisa tiga orang Prajurit Kembar yang sejak tadi 
berdiri tegak, terperangah menyadari bahwa mereka 
diserang dengan cepat. Mereka menghentakkan kaki. 
Tubuh ketiganya melentik ke udara, menghindari ter-
jangan peti mati. Peti itu pun menghantam tempat ko-
song. 
Des!
Seperti bernyawa, peti itu berputar arah lalu 
menerjang kembali. Angin putarannya mendengus-
dengus. Dia terus berputar dan berputar, memburu 
dan memburu. Ketiga Prajurit Kembar jungkir balik ke 
sana kemari.
"Berhenti!!" perintah seorang dari Tujuh Dewa 
Kematian.
Manusia Mayat Hidup pun menghentikan man-
teranya. Bersamaan dengan itu, peti mati yang tadi 
mengamuk mendadak berhenti, kemudian jatuh ber-
debam.
"Mengapa dihentikan, Tuan? Aku ingin mem-
bunuhnya! Sudah lama aku tak membunuh. Aku sela-
lu terkurung di dalam peti itu!"
"Sabar. Kau tak perlu membunuh mereka. Aku 
ingin menjadikan mereka pengikutku," dengus ketua 
Tujuh Dewa Kematian. Sedangkan yang lain terdiam.
"Hai Darma Sukanta, bagaimana kalau kau dan 
kedua saudaramu menjadi budakku?! Kau setuju?"
"Cuih! Lebih baik kami bertarung sampai titik 
darah terakhir daripada menjadi budak setan-setan je-
lek macam kalian!"

"Kalau begitu, kau mencari mati!"
"Mati sekarang atau nanti, bagi kami sama sa-
ja. Yang jelas, lepaskan bayi-bayi yang kau culik dari 
desa Karang Haur!"
"Kenapa baru kau tanyakan sekarang?"
"Setan jelek, kenapa kau menculik para bayi 
serta membunuh orang-orang tak berdosa?" tanpa 
berniat menjawab, Aji Sukanta malah balik bertanya.
"Itu urusan kami! Kalian tak perlu tahu! Kini, 
bersiaplah untuk mati!"
Selesai menebar ancaman, Ketua Tujuh Dewa 
Kematian mendorong tangan perlahan-lahan. Memang 
tampak tak bertenaga, tapi hebatnya tak terkira. Itulah 
jurus 'Petir Membelah Gunung'. Angin mendesis laksa-
na suara seribu ekor ular. Segulung tenaga dahsyat 
melanda tiga orang Prajurit Kembar.
Tiga Prajurit Kembar tegak berdiri di tempat, 
bersiaga penuh menyambut badai serangan lawan 
dengan bersiap melontarkan pukulan 'Tandukan Ban-
teng Kembar'. Tiga kekuatan yang melebur menjadi sa-
tu dilancarkan, mencoba menghadang serangan lawan.
Dark!
Terpecah suara benturan pukulan kedua belah 
pihak. Heran, momok sakti itu tetap berdiri tegak.
Baik badan maupun kuda-kudanya tak berge-
mik sedikit pun. 
Lain dengan tiga orang Prajurit Kembar. Mereka 
terpental membentur dinding, dan ambruk ke tanah. 
Dari mulut ketiganya termuntah darah segar.
"Ukhh!"
Dalam sekali gebrak, ketiganya menderita luka 
dalam yang berat. Dalam keadaan terluka, Darma Su-
kanta terhuyung-huyung menghampiri kedua adiknya 
yang tampak menderita luka lebih parah.

"Kau tidak apa-apa, Adikku?" tanya Darma Su-
kanta sambil menyeringai kesakitan.
"Dadaku sesak," keluh Aji Sukanta. Selesai 
berkata, dia mencoba mengatur pernapasan.
Sedangkan Sukma Sukanta mengerang-erang 
seraya terbatuk-batuk kecil.
"Sukma, sebaiknya kau keluar dari tempat ter-
kutuk ini. Di antara kita harus ada seorang yang sela-
mat agar bisa menyampaikan berita pada Adipati Ber-
nawa!" erang Darma Sukanta, tetap dengan mengatur 
hawa murni.
"Tidak, Kak! Kita pergi bersama, maka mati pun 
kita harus bersama!"
"Jangan gegabah! Iblis ini terlalu sakti untuk 
dihadapi. Cepat pergi dari sini! Biar aku dan Aji yang 
menghadapi mereka...."
Dengan berat hati, Sukma Sukanta meninggal-
kan kedua kakaknya yang baru saja terluka. Tujuh 
Dewa Kematian tidak bertindak apa-apa. Momok sakti 
itu tetap tegak di tempat masing-masing.
Karena dalam sekali gebrak Prajurit Kembar 
menderita luka dalam yang berat, maka Darma Sukan-
ta dan Aji Sukanta segera menguras tenaga yang ma-
sih tersisa untuk mengerahkan ilmu simpanan. Kedu-
anya berusaha untuk menebus kekalahan.
Tetapi, gila benar momok sakti yang bergelar 
Tujuh Dewa Kematian itu. Hanya dengan menge-
butkan lengan baju, maka tekanan angin pukulan 
yang dilontarkan dua bersaudara itu dapat ditahan. 
Seiring dengan itu, sebentuk tenaga terpantul keras 
dan melempar kedua bersaudara itu sampai enam 
tombak.
Kedua bersaudara itu merasakan bumi di seke-
lilingnya menjadi gelap gulita. Sesaat kemudian, mereka tak berkutik lagi....
* * *
Sayup-sayup terdengar ayam jantan berkokok.
Malam yang kelam sebentar lagi akan berganti fajar. 
Sukma Sukanta keluar dari gerbang Kuil Neraka. Tak 
dihiraukannya luka dalam. Ia terus berlari menjauhi 
tempat laknat itu.
Fajar sudah menampakkan wajahnya. Kuil Ne-
raka sudah jauh tertinggal. Jatuh bangun Sukma Su-
kanta. Nafasnya terengah-engah. Tubuhnya bersimbah 
peluh. Rasa sesak di dada menghimpit pernapasan. 
Sampai tiba saatnya dia kehabisan tenaga. Pucat wa-
jah Sukma Sukanta. Matanya berkunang-kunang. 
Bumi terasa berputar.
Dengan susah payah, dia mencoba bangkit un-
tuk melanjutkan langkah. Tapi tubuhnya terhuyung 
lalu tersuruk ke semak. Dicobanya untuk bangkit 
kembali. Tapi dia tak kuasa. Tubuhnya lemas. Sukma 
Sukanta cuma dapat tertelungkup. Erangan kesakitan 
terdengar bersambungan.
Sang Surya makin meninggi. Sinarnya makin 
terasa menyengat kulit. Sementara Sukma Sukanta 
masih tergolek tak berdaya di sisi jalan setapak.
Dari kejauhan terdengar suara siulan diselingi 
nyanyian sumbang. Siapakah si empunya suara? 
Muncul seorang pemuda yang baru beranjak dewasa. 
Wajahnya tampan, bergaris rahang jantan. Pemuda itu 
masih saja bersiul-siul, melenggang enteng. Tampak 
terbersit keceriaan di wajahnya.
Pemuda itu mengenakan rompi bulu putih dari 
kulit hewan. Bercelana pangsi biru sebatas lutut. Pada 
kain ikat pinggangnya terselip semacam tongkat pen

dek berwarna hitam. Berpangkal logam perak berben-
tuk kepala naga, berujung logam perak berbentuk ekor 
naga.
Siulan si pemuda terpenggal. Ada suara eran-
gan dari kejauhan mengusiknya. Seorang lelaki beru-
sia tiga puluh tahunan berpakaian seragam keprajuri-
tan sedang merangkak-rangkak dibarengi erangan le-
mah di sisi jalan setapak. Dia adalah Sukma Sukanta.
Pemuda tadi tertarik. Dia berlari kecil meng-
hampiri. Tiba di dekat Sukma Sukanta, pemuda itu 
cepat berjongkok dan segera membalik tubuhnya.
"Apa yang telah terjadi pada diri orang ini?" 
dengus si pemuda sambil memijat nadi Sukma Sukan-
ta.
Merasakan ada sentuhan hangat, Sukma Su-
kanta membuka matanya. Ditatapnya dalam-dalam 
wajah si pemuda.
"Si... siapa kau Adik Muda?" tanyanya tersen-
dat-sendat.
"Jangan bertanya dulu. Sekarang duduklah. 
Atur pernapasan lalu pusatkan pikiran," sergah si pe-
muda seraya membantu Sukma Sukanta untuk du-
duk.
"Terima kasih, Adik Muda...."
"Sudahlah.... Kita sesama manusia memang 
seharusnya saling tolong menolong. Siapa nama Ka-
kang?" tanya pemuda itu dengan nada datar.
"Namaku Sukma Sukanta. Aku prajurit keper-
cayaan Adipati Lumajang."
"O, pantas Kakang mengenakan pakaian sera-
gam keprajuritan. Lalu kenapa Kakang bisa di sini 
dengan tubuh terluka dalam?"
"Ceritanya panjang. Ah, aku belum tahu na-
mamu, Adik Muda."

"Panggil aku Satria, Kang."
"Satria.... Nama yang cukup bagus. Ugh-ugh!"
Sukma Sukanta terbatuk-batuk kecil. Pemuda 
yang mengaku bernama Satria merangkul tubuh Suk-
ma Sukanta sambil berkata, "Sudahlah.... Kakang jan-
gan banyak bicara dulu. Dada Kakang masih sesak."
"Biarlah. Aku tak apa-apa...."
"Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini dulu, 
Kang. Kita cari bantuan penduduk untuk merawat lu-
ka Kakang."
"Baiklah."
Sukma Sukanta mencoba bangkit, dibantu Sa-
tria.
* * *
Waktu terus bergulir. Tak terasa sang surya te-
lah condong ke sebelah barat. Dua orang yang saling 
merangkul seperti dua saudara sudah berada di jalan 
berbatu kerikil yang menuju desa terdekat. Keduanya 
tidak lain Sukma Sukanta dan Satria. Orang terakhir 
dikenal oleh kalangan persilatan sebagai salah seorang 
pendekar muda sakti berjuluk Satria Gendeng.
Keduanya menunggu di sisi jalan, kalau-kalau 
ada pedati yang lewat. Mereka berniat menumpang.
Nasib mereka memang sedang bagus. Tak lama 
menunggu, ada sebuah pedati melintas. Kusir pedati 
seorang lelaki tua berpakaian coklat dekil. Rambutnya 
putih, kaku seperti orang yang tak pernah keramas se-
lama seribu satu tahun. Di atas kepalanya bertengger 
topi dari kulit berbentuk bulat. Matanya redup, di-
naungi alis lebat memutih.
Satria Gendeng langsung melambaikan tangan.
"Tunggu, Pak Tua!"

Kuda meringkik karena tali kekang ditarik 
mendadak. Pedati berhenti, tak jauh di depan calon 
penumpangnya. Kusirnya tak sedikit pun melepas te-
guran. Wajahnya kekar membeku.
"Maaf, Pak Tua. Kami terpaksa mengganggu 
perjalananmu."
"Ada apa?" sentak Pak Kusir Tua.
"Kami ingin menumpang, Pak Tua!"
Tak banyak kata atau tanya, si kusir tua mem-
buat isyarat dengan gerakan kepala. Satria mengang-
gap itu pertanda mereka diizinkan untuk naik. Meski 
dalam hati, Satria mengomel-ngomel juga pada sikap 
kusir tua yang dingin dan kaku. Apa dia baru saja 
'dipecat' jadi suami oleh istrinya? Guraunya membatin.
Satria dan Sukma menaiki pedati. Pak Kusir 
Tua menggebah kuda kurusnya untuk melanjutkan 
perjalanan.
Pedati berjalan lamat. Sesekali sang kusir mele-
cut kudanya untuk mempercepat perjalanan. Tapi, te-
tap saja kuda kurus kering itu berjalan seperti bina-
tang pesakitan.
Satria dan Sukma Sukanta duduk tenang di be-
lakang kusir. Wajah Sukma Sukanta terus dikungkung 
kemurungan, seolah menyimpan timbunan duka di ha-
ti.
Melihat wajah Sukma, Satria menepis lutut le-
laki itu. Kebetulan mereka duduk berhadapan. "Ada 
apa, Kang?" 
"Ah, tidak...."
"Kalau tidak ada apa-apa, kenapa wajah Ka-
kang murung?"
"Aku hanya ingat saudara-saudaraku." 
"Kenapa dengan mereka? Oh ya, Kakang pun 
belum menjelaskan kenapa Kakang bisa berada di

tempat tadi, sedangkan letak Kadipaten Lumajang cu-
kup jauh dari tempat ini? Perlu waktu dua hari kalau 
berjalan kaki ke sana...."
"Aku lupa menceritakannya padamu. Sebagai 
seorang prajurit, aku selalu berada di mana saja. De-
kat maupun jauh. Semua itu aku lakukan untuk me-
laksanakan perintah adipati dalam membasmi para pe-
rompak yang mengganggu rakyat...."
"Jadi, Kakang terluka waktu itu karena berta-
rung dengan perampok?" potong Satria.
"Ya. Mereka bisa disebut iblis!" 
"Kenapa begitu? Siapa mereka sebenarnya, 
Kang?" susul Satria penasaran. Terbersit keinginta-
huan di wajahnya.
"Mereka bergelar Tujuh Dewa Kematian, para 
penghuni Kuil Neraka. Keganasan mereka tak kepa-
lang. Mereka membunuh tokoh-tokoh aliran putih dan 
membunuh Empu-empu kepercayaan adipati. Yang le-
bih menyakitkan lagi, mereka menculik bayi-bayi yang 
masih suci. Oleh karena itu, sebutan yang paling cocok 
adalah 'iblis'!!"
Satria menghela napas panjang setelah men-
dengar penuturan Sukma Sukanta. Dia menggeser du-
duknya ke samping. Tanpa sengaja, benda berbentuk 
tongkat pendek menyembul keluar dari kain ikat ping-
gangnya.
"Benda apa itu, Adik Muda?" tanya Sukma Su-
kanta. Matanya menilik lekat-lekat ke pinggang Satria 
Gendeng. 
"OOh, ini.... Cuma benda pemberian guruku, 
Kang," kilah Satria, tak ingin berterus terang.
Mendengar jawaban tadi, Sukma Sukanta tidak 
ingin memperpanjang masalah. Lelaki itu cukup mak-
lum kalau Satria tampaknya tak ingin membicarakan

nya. Dia hanya menganguk-anggukkan kepala.
Lain halnya dengan kusir pedati. Dari diamnya, 
tiba-tiba dia terkekeh. 
"He he he he!"
Langkah kudanya terhenti. Hewan penghela 
pedati itu meringkik-ringkik dan berjingkat-jingkat. Sa-
tria dan Sukma Sukanta tak mengerti apa yang ter-
jadi. Terbetik pertanyaan di hati masing-masing. "Ada 
apa, Pak Tua?" tanya Sukma Sukanta. Kusir tua itu 
tak menjawab. Dia terus menyambung kekehnya, di-
tingkahi ringkikan kuda. Merasakan ada gelagat tak 
baik, Satria bergegas melompat turun dari atas pedati. 
Sukma Sukanta menyusul.
***
TIGA

KALIAN kenapa turun. Cah?" Tanpa menoleh, si 
kusir tua bertanya. 
"Kenapa Pak Tua tertawa dan kenapa pula ku-
da itu meringkik ringkik?" balas tanya Sukma Sukan-
ta, curiga.
"Benda di pinggang Cah Gondrong itu...," ujar 
kusir tua. Lalu, kakinya dihentakkan. Dia melentik 
ringan ke udara. Mendarat mulus di atap pedati den-
gan posisi bersila. Matanya menghunus langsung ke 
arah ikat pinggang Satria Gendeng.
Satria sendiri malah cengengesan menyaksikan
tingkah tua bangka itu. Perbuatannya terasa lucu bagi 
si pendekar muda berhati polos.
"Hey, Cah! Dari mana kau dapatkan benda itu?" 
tanya Kusir Tua sambil melompat turun. Nadanya

agak menjangkit. Kesannya mulai kasar.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Satria balik ber-
tanya.
"Eleh eleh... ditanya malah balik bertanya!" 
"Kalau boleh kami tahu, siapa Pak Tua ini se-
benarnya?" sela Sukma Sukanta.
"Aku Setan Syair!"
"Setan Syair?!" Sukma Sukanta terbelalak. Per-
nah didengarnya nama itu. Setan Syair sama biadab-
nya dengan Tujuh Dewa Kematian. Apa pun yang diin-
ginkannya harus tercapai, kendati harus membunuh! 
Baginya, nyawa manusia tak lebih berharga dari lalat. 
Kapan pun dia mau, di situlah dia membunuh.
"Setan Syair, sepertinya kau menginginkan 
benda milik sahabat mudaku ini?" susul Sukma Su-
kanta lagi.
Setan Syair mundur tiga langkah. Dia menarik 
napas. Kepalanya mendongak ke atas. Sikap seperti itu 
sudah amat dikenal kalangan persilatan sebagai satu 
ciri Setan Syair. Gelagatnya dia hendak menguman-
dangkan syair kematiannya.
"Rajawali terbang membumbung ke angkasa, 
melayang-layang mencari mangsa. 
Yang kucari kini di depan mata,
dipegang bocah yang masih belia"
Lantunan syair berupa pantun melambung ke 
angkasa. Memantul di udara, menerjang pepohonan, 
membuat terdiam mematung siapa yang mendengar-
kan.
Sukma Sukanta menutup telinga. Satria tetap 
berdiri tegak, tak bergemik sedikit pun. Pendekar mu-
da itu hanya meringis-ringis. Satria bukan pemuda be

rotak udang. Dia tahu jelas apa yang dikehendaki si 
kusir tua dengan mengumandangkan syair murahan-
nya dengan menyalurkan tenaga dalam tingkat tinggi. 
Pasti masalah Kail Naga Samudera, pikirnya. Senjata 
milikku ini selalu saja bikin perkara, rutuknya memba-
tin.
"Pak Tua Setan Syair, apa maksudmu mengu-
mandangkan syair itu di depanku?" seru Satria, berpu-
ra-pura tak tahu
"Jangan banyak tanya, Cah! Serahkan saja 
benda itu padaku! Kau tak layak memilikinya," desis 
Setan Syair. Diam-diam, hatinya menyembunyikan ra-
sa kagum pada Satria yang tak terpengaruh kekuatan 
tenaga dalam yang disalurkan melalui suaranya baru-
san.
Satria menampar kening dengan mata membe-
liak.
"Rupanya kita salah menumpang. Ternyata 
orang yang kita tumpangi tak lebih dari tukang umbar 
syair pinggiran jalan yang senang merebut hak orang 
lain...," katanya pada Sukma Sukanta.
Sukma Sukanta dipaksa menautkan alis men-
dengar ucapan seenak dengkul Satria. Dia tahu benar 
siapa Setan Syair. Julukan yang tak bisa dimain-
mainkan kecuali hendak menyerahkan nyawa. Tapi 
pemuda satu ini? Apa sudah tak punya otak lagi dia?
Terpukullah harga diri Si Setan Syair. Dia di-
remehkan oleh seorang pemuda yang baru beranjak 
dewasa.
"Bocah keparat!" makinya.
Setan Syair menatap dengan bersit mata meni-
kam. Lalu, kepalanya mendongak kembali. Dia hendak 
mengumandangkan syairnya lagi.

"Aku Setan Syair. Bila ku berpijak,
bumi berderak, awan berarak,
manusia terbelalak. 
Datang dari Goa Setan.
Mencari Kail Naga Samudera sebagai dambaan. 
Kulumat siapa pun yang menjadi rintangan, 
ku koyak seperti hewan!"
He he he he...."
Kembali lantunan syair murahan bergulung-
gulung, dibarengi ringkikan kuda yang melengking 
nyaring.
"Kuda kurus meringkik, pertanda tangan kema-
tian turun menukik...," sambungnya, lebih kentara se-
bagai ancaman tak langsung terhadap si pendekar 
muda tanah Jawa.
Mendadak syairnya terhenti, dipenggal oleh 
bentakan keras yang terpental dari kerongkongan Sa-
tria.
"Berhenti!!!"
Suara Satria santer, tak hanya seperti pekikan 
bergeletar, namun juga mengguntur. Kekuatannya 
menyebabkan seekor burung yang kebetulan melayang 
di angkasa tersentak lalu menukik jatuh. Se-bentuk 
kesaktian yang sesungguhnya tak cukup pantas dimi-
liki orang semuda dia.
Sayang, untuk itu Sukma Sukanta harus me-
nerima akibatnya juga. Dia hanya bisa mendekap te-
linga.
Setan Syair tersentak. Dia tertegun sejenak. 
Tak dinyana olehnya bocah yang baru beranjak dewasa 
dapat mengeluarkan bentakan yang mengandung te-
naga dalam nyaris sempurna. Sementara, suara berte-
naga dalam pada tingkat seperti itu hanya dimiliki oleh

tokoh-tokoh tua tertentu.
"Hm. Darimana bocah ini belajar ilmu olah ka-
nuragan dan mengapa Kail Naga Samudera ada di tan-
gannya?" Bisik hati Setan Syair.
"Bocah, cepat serahkan benda itu sekarang ju-
ga! Kalau tidak, kurobek-robek tubuhmu!"
"Ambil sendiri kalau kau mampu!" tantang Sa-
tria.
Wajah Setan Syair menjadi beringas. Sinar ma-
tanya menyalak, menatap ke arah Satria. Lalu geram-
nya terseret, "Kau memang cari mampus!"
Suasana yang semula hening, yang terdengar 
hanya derap langkah kuda kurus, kicauan burung di 
dahan, serta suara seretan daun kering di tanah, kini 
berubah menjadi suasana yang mengundang pertum-
pahan darah. Gejolak hawa nafsu membunuh terpan-
car dari raut wajah Setan Syair. Matanya yang redup 
kini mendelik. Posisi tubuhnya membentuk kuda-kuda 
Jurus 'Cakar Landak Menerkam'.
Sukma Sukanta yang menyaksikan kejadian 
tersebut menjadi terdiam, membisu seribu kata. Ma-
tanya terpentang tanpa kedip, memancarkan sinar ke-
takpercayaan pada perbuatan Satria, pemuda yang ba-
ru dikenalnya. Sedangkan direlung hatinya terlintas 
sejuta pertanyaan terhadap diri pemuda itu.
Di lain pihak, mata tajam dan jeli Satria mena-
tap sejurus ke arah lawan yang sedang membentang-
kan kuda-kudanya. Satria Gendeng pun dengan gera-
kan ringan membuka jurus yang diturunkan oleh Ki 
Kusumo, "Mematuk Bunga Karang'.
Setan Syair siap menerjang. Sebelum itu, di-
awalinya dengan mengumandangkan syair berbau da-
rah.

"Awan mendung bergulung.
Mengerubung bumi yang sebentar nanti berka-
bung 
Saksikan wahai gunung!
Saksikan wahai burung!
dan saksikan wahai para petarung!"
Tubuh Setan Syair melesat dengan cepat ke 
arah pemuda berambut kemerahan. Pendekar muda 
itu pun menyambut serangan yang dilontarkan lawan.
Suasana berubah mencekam. Kibasan-kibasan 
jurus 'Mamatuk Bunga Karang' menerjang seperti me-
nemukan geram murka seekor elang. Setan Syair pun 
mengimbangi dengan jurus 'Cakar Landak Menerkam'. 
Kali ini dia tidak bisa menganggap enteng lawannya. 
Kendati yang dihadapi seorang bocah baru beranjak 
dewasa.
"Hiaaat!"
Debb deb!
Setan Syair menerjang buas bagai singa lapar. 
Jurus cakar landaknya menghantam, menerjang, men-
cakar-cakar ke arah dada Satria.
Satria bergerak ringan. Tubuhnya berkelit di se-
la-sela serangan lawan. Melihat serangannya selalu 
kandas dan dengan mudah dipatahkan, Setan Syair 
tambah geram. Kini serangan-serangannya berubah 
menjadi lebih cepat dan ganas. Cakar-cakarnya me-
nyambar bagai kilat yang siap membobol gunung!
Tubuh Satria Gendeng jungkir balik, melentik-
lentik, sesekali membentuk salto di udara. Jurus-
jurusnya kini berubah aneh. Meliuk-liuk lemas bagai-
kan seorang pemabuk. Kadang-kadang dia ber-
jingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan.
Pertarungan berlangsung sudah tiga puluh jurus. Satria masih tetap bertahan dalam posisi semula. 
Sedangkan Setan Syair tampak mulai terengah-engah 
kehabisan tenaga. Jurus-jurusnya mulai tak karuan. 
Posisi kuda-kudanya sudah mulai oleng. Satu kesem-
patan emas terbuka bagi Satria Gendeng. Pemuda itu 
menghentakkan kaki kiri. Tubuhnya melentik ke uda-
ra, berputar cepat ke belakang. Kecepatan putarannya 
hampir tak dapat ditangkap mata biasa. Selanjutnya, 
Satria mendarat tepat di belakang Setan Syair. Tanpa 
membuang waktu, pendekar muda itu menghentak 
tangan, membuat dorongan berkekuatan penuh ke 
punggung Setan Syair. 
Degh!
"Eghk!" pekik Setan Syair. Cepat dia tersungkur 
ke depan, sejauh tiga tombak!
Setan Syair mengerang-erang kesakitan di ta-
nah tempatnya tersungkur. Tangannya mendekap da-
da. Darah segar keluar dari sudut bibirnya yang biru. 
Betapa sakit bagian dalam tubuhnya. Terseok-seok, 
dia mencoba bangkit. Tak lama kemudian dia sudah 
sanggup berdiri dengan segala kegarangan. Tapi kega-
rangannya ditahan dalam dada yang sesak. Mulutnya 
menyeringai seraya berkata dengan nada syairnya.
"Aku malu, aku malu, aku malu.
Terunduk di depan bocah lugu. 
Aku malu, aku malu, aku malu,
Berwindu berguru, 
Aku malu, aku malu, aku malu.
Jurusku lumpuh di tangan bocah lugu.
Si Setan Syair tersenyum sinis. Dia sadar kalau 
bocah yang berdiri di depannya bukan bocah semba-
rangan. Kemudian dihentakkan kaki. Tubuhnya me

lentik membentuk salto di udara, dan mendarat tepat 
di kursi kusir pedati. Digenggamnya tali kekang erat-
erat. Setelah itu digebahnya kuda kurus dengan hen-
takan kuat.
"Hiaa! Hiaa!"
Kuda itu pun melanjutkan perjalanan dengan 
langkah tergontai-gontai. Kembali Setan Syair menye-
nandungkan syairnya dengan suara keras membaha-
na.
"Aku datang dengan sengaja.
Aku pergi dengan hati luka.
Aku berjanji padamu pemuda.
Aku akan kembali padamu 
bersama sejuta celaka... sejuta celaka!"
Satria berdiri tegak sambil menatap tajam ke-
pergian si Setan Syair dengan pedati tuanya sampai hi-
lang di kelokan jalan. Yang terdengar hanya pantulan-
pantulan syairnya yang kemudian lamat-lamat hilang 
terbawa angin.
Sukma Sukanta yang sejak tadi menyaksikan 
pertarungan Satria dengan Setan Syair menjadi terhe-
ran-heran. Dalam hati dia berkata, "Aku tak menyang-
ka tokoh tua macam Setan Syair dapat dikalahkan 
hanya dalam tiga puluh jurus! Padahal ilmunya sangat 
tinggi.... Siapa anak muda ini sebenarnya?"
Sukma Sukanta beranjak dari tempatnya berdi-
ri, melangkah ke arah Satria yang sedang memandang 
kepergian Setan Syair.
"Satria," tegur Sukma Sukanta.
Satria menoleh, sambil menyunggingkan se-
nyum kebodoh-bodohan.
"Ada apa, Kang?" tanyanya


"Kau tidak apa-apa?" tanya Sukma Sukanta. 
Meski sudah bersikap wajar, matanya tak bisa me-
nyembunyikan binar kekaguman sekaligus penasaran 
yang belum juga padam.
"Tidak, Kang."
"Aku sungguh tak menyangka kalau kau memi-
liki kesaktian yang dapat mempecundangi Setan 
Syair," sanjung Sukma Sukanta.
"Sekadar untuk jaga diri, Kang!" tukas Satria 
Gendeng sambil mengayun langkah, seperti tak terjadi 
apa-apa.
"Kau jangan merendahkan diri. Aku tahu siapa 
lawanmu tadi. Dia bukan orang sembarangan! Apa kau 
tak keberatan kalau aku menanyakan siapa dirimu se-
benarnya?" Sukma Sukanta mengikuti.
"Kakang tahu siapa Setan Syair?" alih Satria, 
memancing pembicaraan lain yang tidak menyinggung-
nyinggung tentang jati dirinya.
"Kau jangan sengaja mengalihkan pembicaraan, 
Adik Muda. Tak baik menjawab pertanyaan dengan 
pertanyaan pula!"
Satria mengedikkan bahu.
"Apa lagi yang harus kukatakan pada Kakang. 
Bukankah aku sudah mengatakan bahwa namaku Sa-
tria."
"Satria.... Satria.... Satria." Sukma Sukanta 
bergumam, mengulang-ulang nama pemuda itu. Ken-
tara dari wajahnya dia sedang mengingat-ingat sesua-
tu.
"Aku pernah mendengar selentingan kabar bu-
rung tentang seorang pendekar muda yang hari-hari 
belakangan makin santer terdengar. Cuma, aku tak je-
las julukannya. Kaukah pendekar muda itu?" desak 
Sukma, penasaran.

"Banyak pendekar muda, Kang. Yang Kakang 
maksud yang mana?" kelit Satria. Dia berusaha untuk 
main kucing-kucingan.
Tahu pemuda di depannya tak ingin mengung-
kapkan jati dirinya, Sukma merasa harus memaklumi. 
Hak setiap orang untuk berbicara, atau tidak bicara. 
Dia hanya bisa menghela napas saja akhirnya.
"Bagaimana dengan pertanyaanku barusan, 
Kang? Soal Setan Syair," susul Satria.
"Ya, aku tahu dari cerita orang. Konon kabar-
nya Setan Syair bernama Subali. Dia putra seorang pe-
tani miskin dari Desa Karang Galing. Subali adalah 
seorang pemuda malas. Kebiasaannya hanya duduk 
termenung, keluyuran, dan membuat syair. Syair-
syairnya diperuntukkan untuk memikat gadis-gadis. 
Sampai pada saatnya salah seorang gadis cantik anak 
saudagar garam jatuh cinta pada Subali.
Cinta kasih mereka dilakukan dengan sem-
bunyi-sembunyi karena orangtua si gadis tidak meres-
tui hubungan mereka berdua. Tanpa sepengetahuan 
Subali, kekasihnya sudah dijodohkan dengan seorang 
pemuda anak angkat dari kerabat ayah si gadis. Tak 
lama kemudian, kekasihnya menikah dengan pemuda 
pilihan orang tuanya.
Pada saat pernikahan kekasihnya itu, diam-
diam Subali pergi meninggalkan desanya serta kedua 
orangtuanya entah ke mana. Kini setelah tujuh puluh 
tahun berselang, dia muncul kembali dengan syair 
syairnya yang selalu berbau darah. Setiap kali kemun-
culan selalu saja ada darah tertumpah. Dia datang se-
cara tiba-tiba pergi pun tiba-tiba tak ubah seperti se-
tan. Kadang-kadang yang terdengar hanya suara 
syairnya yang keras membahana. Sedangkan orangnya 
sendiri tidak tampak. Atas dasar itulah orang-orang

kalangan persilatan memberi Julukan Setan Syair. 
Hanya itulah yang aku ketahui," Sukma Sukanta me-
nyudahi ceritanya.
"Hm, mungkin dia melakukan itu semua akibat 
kekecewaannya. Dia membunuh sebagai pelampiasan 
gejolak hatinya yang kacau."
"Ya, mungkin juga. Tapi, sudahlah. Kita tak 
usah memikirkan Subali alias Setan Syair. Sekarang, 
mari kita lanjutkan perjalanan!"
"Bagaimana dengan luka Kakang?"
"Sudah tidak mengkhawatirkan, mungkin aki-
bat hawa murni yang kau salurkan. Sehingga, dadaku 
tidak begitu sesak."
"Syukurlah kalau begitu. Ayo, Kang!"
***
EMPAT
KADIPATEN Lumajang adalah sebuah kadipa-
ten yang cukup besar dibanding kadipaten lain di wi-
layah Jawa bagian timur. Di sekeliling pusat kekadipa-
tenan berdiri benteng yang cukup tinggi. Di setiap su-
dut benteng terlihat para pengawal bersenjatakan tom-
bak.
Kadipaten ini dipimpin seorang adipati yang arif 
dan bijaksana. Terlihat dari kehidupan rakyatnya yang 
makmur. Tidak ada kemiskinan yang tampak. Kalau-
pun ada mungkin hanya karena terlewat dari penga-
matan adipati.
Senja perlahan-lahan beranjak mendekati ma-
lam. Rembulan menampakkan wajah, walaupun sedi-
kit tertutup awan. Pada malam itu udara terasa pengap. Tepat di pusat kadipaten, tampak para penjaga 
kadipaten hilir-mudik di depan pintu gerbang dengan 
penuh kesiagaan. Di sisi lain, ada empat orang penjaga 
sedang duduk-duduk di sebuah gubuk jaga untuk me-
nunggu giliran. Mereka bercakap-cakap sekadar 
menghilangkan kantuk.
"Hmm, udara panas sekali malam ini," keluh 
salah satu penjaga Sarkawi sambil membuka baju ka-
rena kegerahan.
"Yah, tidak biasanya," timpal temannya yang 
sedang duduk bersandar di tiang.
"Kamu gerah tidak, Jo? Aku gerah sekali 
nih...?" tanya Sarkawi lagi pada temannya, Joyo yang 
duduk bersandar.
"Gerah juga, sih. Tapi, tidak seperti kamu, pa-
kai buka baju segala. Kamu gerah tidak, Min, No?" 
tanya Joyo pada Gimin dan Noyo yang sedang rebah-
rebahan di pelataran.
"Sama kayak kamu!" jawab Gimin, sedangkan 
Noyo diam saja.
"Aku heran, kenapa malam ini terasa pengap. 
Mungkin, mungkin akan ada sesuatu. Kita harus was-
pada," gumam Sarkawi.
Gimin dan Noyo bangkit dari rebahnya, lalu 
duduk bersila. Sedangkan Noyo berdiri, kemudian me-
langkah menghampiri Sarkawi sambil berkata.
"Betul, hari ini kita harus meningkat kewaspa-
daan sebab firasatku mengatakan akan ada sesuatu 
bakal terjadi di sini. Jangan-jangan...."
"Jangan-jangan apa, Yo? Ketiganya temannya 
bertanya serempak. Noyo menatap tegas-tegas kawan-
nya satu persatu, lalu berkata dengan nada setengah 
berbisik.
"Jangan-jangan iblis-iblis itu akan datang ke

sini...."
"Iblis-iblis apa? Jangan menakut-nakuti kamu, 
Yo!" Sarkawi penasaran.
"Tujuh Dewa Kematian dari Kuil Neraka!" bisik 
Noyo bergidik.
"Sssst, sok tahu kamu!"
"Kamu takut? Biar kalau mereka datang, aku 
yang hadapi sendiri!" sergah Sarkawi congkak.
"Ala sok kamu! Kamu belum kenal dengan De-
wa Kematian? Mereka terdiri dari tujuh orang aneh 
dan kejam. Pantang bagi mereka membiarkan musuh 
lolos. Jangankan kamu, yang bisanya cuma 'ngeloni' 
Iyem tukang masak Kanjeng Adipati, sedangkan Praju-
rit Kembar yang disegani sudah dua pekan belum 
kembali," damprat Noyo, ketus.
"Tenang kamu, Yo! Aku juga disegani oleh...."
"Mertuamu!" serobot Noyo.
"Eh, kamu belum tahu kalau aku punya jimat, 
dan silat?"
"Heem, coba kulihat?" tantang Noyo sambil 
mencibir. Sedangkan Gimin dan Joyo cuma terse-
nyum-senyum melihat tingkah mereka.
"Nih lihat jurus ‘Kucing Bunting Berguling-
guling’. Ciaat-ciaat!" Sarkawi menunjukkan jurus-
jurusnya yang tak karuan.
"Huh, konyol!" cemooh Noyo sambil menggebrak 
Sarkawi. Tak ayal lagi, kuda-kuda Sarkawi jadi ter-
seok. Dia jatuh.
Gedubrak!
Sarkawi menyeringai kesakitan sambil menge-
lus-elus pantatnya yang menimpa batu. Gimin dan 
Joyo tertawa terpingkal-pingkal melihat kekonyolan 
Sarkawi.
Tiba-tiba tawa mereka mendadak terhenti. Mereka dikejutkan oleh suara ledakan keras dari arah 
pintu gerbang kadipaten. Disusul jeritan meninggi.
Memapas malam.
Memagut nyali.
"Aaaa!"
Serentak keempat penjaga yang sedang bergu-
rau itu menoleh ke arah gerbang kadipaten. Mata me-
reka mendelik seolah-olah hendak mencelat keluar ke-
tika melihat pintu gerbang ambrol berantakan, seakan 
ditanduk seratus ekor banteng gila. Daun pintunya 
terpental, lalu menimpa dua penjaga yang sedang ber-
siaga di baliknya.
Kedua penjaga itu tewas seketika setelah men-
jerit terlebih dahulu. Tubuh keduanya tewas dalam 
keadaan mengerikan, tertembus pecahan daun pintu. 
Darah segar menyembur membasahi sekujur tubuh 
mereka.
Keempat penjaga tadi masih saja mendelik tak 
berkedip. Belum lagi keterkejutan mereka sirna, mere-
ka dipaksa lebih mendelik tatkala pandangan mereka 
beralih dan menyaksikan tujuh sosok dIselimuti kabut 
tipis. Di bawah sinar rembulan yang meningkahi ma-
lam, ketujuh sosok itu berjalan berjajar memasuki ger-
bang kadipaten.
Ketujuh orang itu berpakaian seragam hitam-
hitam seperti pakaian paderi. Tangan dan kaki mereka 
tidak terlihat karena tertutup pakaian bagian bawah. 
Kini ketujuh orang tersebut sudah melintasi gerbang 
kadipaten dan berdiri di antara pintu gerbang dengan 
tempat peristirahatan Kanjeng Adipati. Para penjaga 
yang ada di sudut-sudut dan di belakang benteng ber-
larian ke arah tujuh sosok yang tidak lain Tujuh Dewa 
Kematian.
Penjaga-penjaga itu kemudian mengepung, ber

senjatakan tombak yang siap menghujam ke dada Tu-
juh Dewa Kematian. Tujuh Dewa Kematian menatap 
tajam ke arah para pengepung mereka. Dari tatapan 
mereka, terbersit keganasan tak terbayangkan. Di ha-
dapan mereka tergeletak dua mayat penjaga yang me-
nurut mereka menghalangi jalan. Lalu, salah satu di 
antara mereka yang berdiri paling tengah maju dua 
langkah ke depan, mendekati dua mayat tadi. Dengan 
kaki kanan, dienyahkan kedua mayat dengan benta-
kan ringan, tapi mengandung tenaga yang kuat. Kedua 
mayat seketika terpental dan terseret dua belas tom-
bak!
Mata penjaga yang mengepung Tujuh Dewa 
Kematian menjadi tak berkedip menyaksikan kejadian 
itu. Perlahan-lahan mereka tersurut mundur beberapa 
tindak. Lebih-lebih Sarkawi yang sebelumnya begitu 
congkak. Kini wajahnya berubah pucat. Kakinya geme-
taran sampai terkencing-kencing di celana. Kemudian 
Sarkawi menyelinap di belakang Joyo.
Para penjaga yang tersurut mundur saling ber-
tatapan satu sama lain. Salah seorang penjaga membe-
ranikan diri untuk bertanya.
"Apa maksud kalian datang ke sini?!"
"Aku ingin bertemu pemimpin kalian!" jawab 
seorang dari Tujuh Dewa Kematian yang berdiri paling 
kiri.
"Ingin bertemu pemimpin kami? Kanjeng Adipa-
ti maksud kalian?"
"Ya. Suruh dia keluar sebelum kubumi han-
guskan Kadipaten Lumajang ini!"
"Lalu, apa yang kalian inginkan dari pemimpin 
kami?!"
"Kau tak perlu tahu, Cecunguk!" 
Mendengar jawaban berbau penghinaan, penjaga yang bernyali itu menggeram. Dilemparkannya tom-
bak ke arah orang yang menghinanya. Tombak itu pun 
meluncur cepat. 
Wusss!
Walaupun tak disertai tenaga dalam, ujung 
tombak yang runcing dari besi tak diragukan siap me-
nembus jantung sasarannya.
Ketika tombak tinggal berjarak satu jari, den-
gan cepat momok ganas itu mengibaskan tangan.
Bess!
Seketika hawa panas keluar dan kibasannya. 
Tombak yang siap menembus jantungnya berbalik dan 
meluncur lebih cepat ke arah tuannya. Tak ayal lagi, 
penjaga yang tidak memiliki cukup ilmu bela diri itu 
tertembus senjata sendiri.
"Akh!"
Penjaga itu menjerit keras dengan nada memi-
lukan. Tubuhnya jatuh tak berkutik, bersimbah darah. 
Sarkawi yang semula sudah terkencing-kencing makin 
ciut. Matanya mendelik. Juling sedikit dan tahu-tahu 
dia sudah pingsan!
Para penjaga yang lain menjadi geram. Darah 
mereka mendidih. Mata mereka nanar penuh gejolak 
amarah yang memuncak, namun mereka tidak berani 
gegabah. Mereka sadar bahwa kesaktian Tujuh Dewa 
Kematian bukanlah tandingan mereka.
Tapi dua orang penjaga tak dapat menahan di-
ri. Mereka maju menerjang ke arah seorang lawan yang 
telah membunuh teman mereka. Dengan bersenjata-
kan tombak di tangan, kedua orang itu menerjang di-
barengi teriakan panjang. 
"Ciaaa!"
Momok ganas yang dituju sebagai sasaran diam 
tak bergeming. Ketika kedua penyerang siap menghujamkan tombak ke dadanya, lagi-lagi momok ganas itu 
mengibaskan tangan. Hawa panas pun kembali terasa. 
Kedua penjaga yang begitu bernafsu membunuh pun 
terpental jauh ke samping. Mereka tewas seketika den-
gan wajah hangus legam. Darah kental kehitaman ke-
luar dari sudut bibir mereka.
Sarkawi kebetulan baru saja siuman. Kebetulan 
pula (memang dia sedang agak naas), salah satu mayat 
prajurit tadi jatuh tepat di dekatnya. Wajah mayat 
yang hangus dengan mata membeliak, berhadapan pu-
la dengan 'moncong' antik Sarkasi. Akibatnya, lelaki 
banyak mulut itu langsung mendelik lagi. Dia itu 
menggigil di tempat. Tak lama dia kemudian, dia me-
neruskan pingsannya yang nyenyak!
"Siapa lagi yang ingin mati seperti tikus buduk 
itu?!" seru salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian.
"Cukup!" Seruan keras terdengar dari arah be-
lakang para penjaga yang sedang menghadang Tujuh 
Dewa Kematian.
Para penjaga membalikkan badan ke belakang. 
Serempak mereka menjura dalam.
"Sudahlah...." Suara berat tertahan keluar dari 
mulut seseorang yang sudah berdiri tegak dengan pe-
nuh kewibawaan. Pancaran matanya tajam. Tubuhnya 
tinggi besar dengan dada bidang. Lelaki itu mengena-
kan pakaian kebesaran kekadipatenan. Usianya terbi-
lang lima puluh tahun, tapi masih tergambar sisa-sisa 
ketampanan di wajahnya. Alis lebat menaungi kedua 
bola matanya. Kumis tebal menghiasi atas bibir, me-
nambah sempurna wibawa di wajahnya. Lelaki yang 
dihormati itu adalah Adipati Wisnu Bernawa.
Para penjaga yang merundukkan kepalanya 
menegakkan badan. Sigap mereka diri kembali berba-
lik ke arah Tujuh Dewa Kematian.

"Ada angin apa yang membawa Tuan-tuan yang 
terhormat datang ke sini?!" tegur Wisnu Bernawa den-
gan nada penuh keagungan.
"Kau jangan berlagak pilon!" sahut momok yang 
berdiri di sebelah kanan sambil mengacungkan tangan 
ke arah Wisnu Bernawa.
Kening Wisnu Bernawa berkerut.
"Ke mana Prajurit Kembar yang kuutus untuk 
membasmi iblis-iblis keji ini? Apakah mereka belum 
sampai ke sarang iblis itu atau mereka tewas? Ah ti-
dak...," ucapnya membatin.
"Hai Wisnu Bernawa! Kenapa kau diam? Apa-
kah kau memikirkan kelima orang utusanmu yang kau 
tugaskan untuk menumpas kami?!" seru momok tadi, 
seakan bisa membaca pikiran Wisnu Bernawa.
Wisnu Bernawa masih terdiam. Dalam hati, ada 
keraguan tentang keselamatan Prajurit Kembar utu-
sannya.
"Wisnu Bernawa! Para prajurit utusanmu su-
dah kami enyahkan dari muka bumi! Atas kelancan-
ganmu itu, kami akan menghukummu dengan ganja-
ran; kau harus menyerahkan putrimu sebagai tumbal 
Kuil Neraka pada purnama bulan ke tujuh!"
Wisnu Bernawa tersentak. Bertepatan dengan 
itu, seorang dara cantik keluar dari kamar. Dara itu 
bertubuh semampai. Kulitnya kuning langsat. Bola 
matanya yang indah dihiasi dengan bulu mata lentik. 
Dia berlari ke arah ayahnya sambil menangis. Gadis 
itu adalah Pitaloka, putri tunggal sang Adipati Luma-
jang, Wisnu Bernawa.
Tak lama berselang, menyusul seorang wanita 
setengah baya dari dalam. Wanita itu langsung meng-
hampiri dan berdiri di belakang Wisnu Bernawa. Dia 
bernama Nyi Larasati, istri Wisnu Bernawa.

"Ibu...," lirih Pitaloka di sela tangisnya setelah 
melepaskan pelukan. Dia menghambur ke arah Nyi La-
rasati. Dipeluknya perempuan itu.
"Tenang anakku. Ayahmu tak akan merela-
kanmu dirampas oleh mereka...," Nyi Larasati berkata 
dengan nada penuh kasih seraya membelai rambut 
anaknya yang tergerai panjang.
"Aku takut Ibu..., aku takut," isak Pitaloka.
"Kakang, bagaimana ini? Walau apa pun yang 
terjadi, kita jangan menyerahkan putri kita kepada ib-
lis-iblis itu," pinta istrinya pada Wisnu Bernawa.
"Aku mengerti Nyai," jawab Wisnu Bernawa. 
Kemudian dihelanya napas panjang-panjang. Wisnu 
Bernawa mendongak ke atas lalu kembali menatap Tu-
juh Dewa Kematian dengan tatapan penuh kemarahan. 
Bibirnya bergetar.
"Tak ada pilihan lain, selain mempertahankan 
putriku," tekadnya dalam hati. Wisnu Bernawa me-
langkah mendekati Tujuh Dewa Kematian. Belum lagi 
dia beranjak cukup jauh.
"Jangan, Kang!" Nyi Larasati menghalangi lang-
kah suaminya. Terbersit kecemasan mendalam di wa-
jahnya.
"Tak perlu khawatir, Nyai," gumam Wisnu Ber-
nawa, penuh keyakinan.
"Kalau begitu, Kakang harus hati-hati. Tam-
paknya mereka orang-orang yang sangat kejam," ucap 
Nyi Larasati.
Wisnu Bernawa menatap istrinya lekat-lekat. Di 
dalam hatinya ada keharuan sekaligus kebanggaan 
memiliki istri seperti Nyi Larasati, yang selalu tegar 
mendampingi suami dalam menghadapi situasi bagai-
manapun. Memang itulah yang selalu diharapkan Wis-
nu Bernawa. Mungkin pula oleh setiap kaum adam.

Baginya, seorang istri yang tabah dan setia merupakan 
mahkota paling mulia di kolong jagat.
Wisnu Bernawa beranjak mendekati Tujuh De-
wa Kematian yang sedang berdiri dengan tangan bersi-
dekap di dada. Kedua telapak tangan mereka dima-
sukkan ke dalam sela-sela lengan baju yang kebesa-
ran. Wajah mereka kelam membesi. Mulut mereka 
yang keriput karena tak bergigi sesekali menyeringai.
Langkah Wisnu Bernawa diikuti oleh para pra-
jurit tangguh yang bersenjatakan tombak. Sampai pa-
da jarak kira-kira lima tombak jauhnya antara Wisnu 
Bernawa dan Tujuh Dewa Kematian, dia berdiri tegak 
dan menatap tajam ke arah para momok ganas itu.
"Dengarkan baik-baik, Tuan-tuan. Aku tidak 
akan menyerahkan putriku pada kalian sebab perbua-
tan kalian benar-benar biadab. Kalian menjadikan 
manusia sebagai korban persembahan, lalu kalian 
anggap apa nyawa manusia?!" tandas Wisnu Bernawa 
dengan nada rendah tapi penuh ketegasan.
"He he he...." Seorang dari Tujuh Dewa Kema-
tian terkekeh-kekeh lalu berkata dengan nada men-
gancam.
"Kau dan seluruh rakyatmu akan mendapat 
ganjaran yang lebih buruk apabila putrimu tidak kau 
serahkan pada kami!" 
Wisnu Bernawa tersentak. Telinganya bagai di-
gempur selaksa petir. Wajahnya semerah darah. Na-
mun dia cepat menguasai diri.
***

LIMA
WISNU Bernawa tidak segera menjawab. Dita-
tapnya tajam-tajam momok yang melontarkan anca-
man tadi. Pandangan bertumbukan. Dia merasakan 
ada getaran aneh menyelimuti hatinya ketika pandan-
gannya sejurus menatap momok itu.
"Kalian boleh mengancam aku demikian. Aku 
adalah seorang adipati yang harus bertanggungjawab 
atas keselamatan rakyatku, juga keluargaku. Kalian 
mengerti?!"
"Jadi kau pilih mampus!"
"Mati adalah suatu hal yang biasa bagi setiap 
makhluk yang bernyawa. Itu pun urusan Sang Pencip-
ta, bukan urusan kalian!"
Wajah salah seorang dari Tujuh Dewa Kematian 
bersungut-sungut. Kiranya dirinya terpojok. Lalu mo-
mok ganas itu mengangkat kedua tangannya setinggi 
dada. Disatukannya telapak tangannya di depan dada.
Tak lama berselang, asap hitam mengepul dari sela-
sela telapak tangannya. Asap hitam itu lalu menggum-
pal-gumpal membentuk bundaran, laksana bola hitam. 
Momok itu pun mulai merenggangkan telapak tangan-
nya yang semula menyatu.
"Hiaa!!"
Teriakan pendek keluar dari mulutnya seraya 
menghentakan tangan ke depan. Asap hitam meng-
gumpal pun meluncur cepat ke arah Wisnu Bernawa. 
Wisnu Bernawa yang sejak tadi memperhatikan gerak-
gerik tokoh keji itu terkesiap ketika gumpalan asap hi-
tam hampir mengenai tubuhnya. Dengan cepat dia 
berkelit ke samping kanan dengan gerakan memutar. 
Dharr!

Satu letusan keras menggelegar. Ditambah 
menghamparnya hawa panas luar biasa. Pilar besar 
yang letaknya persis di belakang adipati pecah beran-
takan dengan warna berubah menjadi kehitaman dan 
mengepulkan asap.
Berpasang-pasang mata terbelalak. Para praju-
rit bergidik ngeri. Pilar dari batu cadas saja bisa han-
cur berantakan, bagaimana lagi kalau mengenai mere-
ka?
Tokoh jahat itu tertawa lebar.
"Wisnu Bernawa, lihatlah para prajuritmu! 
Tampaknya mereka ketakutan melihat kehebatan pu-
kulan 'Selaksa Racun" aliran kami!"
Wisnu Bernawa menggertakkan geraham. Dia 
harus bertindak untuk menimbulkan semangat baru 
kepada para prajuritnya yang kini dilanda kepanikan. 
Prajurit!" teriak Wisnu Bernawa.
"Siap!" sahut para prajurit.
"Jangan kau pentingkan keselamatan pribadi! 
Utamakan keselamatan orang banyak. Usir mereka da-
ri sini!" komando Wisnu Bernawa, lantang.
Seperti mendapat setetes air di padang pasir 
tandus, empat puluh prajurit kembali tegar dan penuh 
semangat. Tombak-tombak di tangan kembali dipegang 
erat-erat. Ujung-ujung tombak yang runcing diacung-
kan ke arah para lawan. Para prajurit bergerak maju. 
Kemudian bergerak memutar mengelilingi ketujuh la-
wan yang berdiri mematung.
Wajah Tujuh Dewa kematian yang kelam mem-
besi, kini berubah merah darah. Mulut mereka menye-
ringai menggidikkan.
"Serang!" seru Wisnu Bernawa.
Para prajurit pun menerjang dibarengi teriakan-
teriakan panjang. Suasana yang beberapa waktu sebe

lumnya damai penuh kelakar para prajurit yang bertu-
gas jaga malam, kini berubah menjadi kancah pertem-
puran yang setiap saat siap menuntut tumpahan da-
rah!
Pitaloka dan Larasati masih berpelukan. Hati 
Larasati berdebar keras. "Semoga Hyang Widhi menye-
lamatkan kami semua...," keluh Nyai Larasati memba-
tin.
Tujuh Dewa Kematian menyambut serangan 
para prajurit tangguh Kadipaten Lumajang dengan po-
sisi tak bergeming sedikit pun. Hanya tangan mereka 
yang berkelebatan menghalau hujaman-hujaman tom-
bak para ksatria Lumajang.
Dask dhak!
"Hmm," Adipati Lumajang bergumam penuh ar-
ti. Kini para prajurit Lumajang bukan berhadapan 
dengan sesama prajurit biasa. Melainkan berhadapan 
dengan tujuh tokoh jahat yang bila mendengar na-
manya saja sudah membuat nyali menciut.
Dengan penuh semangat, para ksatria Luma-
jang menerjang. Satu orang terpental, yang lain mener-
jang.
Susul menyusul.
Bagai amukan air bah.
Bertubi-tubi gempuran datang.
Wisnu Bernawa pun tidak tinggal diam. Dia se-
gera menceburkan diri ke kancah pertarungan sengit. 
Hanya seorang pemimpin pengecut yang hanya bisa 
melepas komando perang tanpa turut berjuang!
Aneh, sungguh aneh. Tujuh Dewa Kematian ti-
dak tampak terdesak walaupun mendapat serangan 
serupa itu. Sebaliknya, justru para prajurit yang dija-
dikan bulan-bulanan oleh mereka.
Pertarungan berjalan sudah cukup lama. Tanpa

disadari oleh Wisnu Bernawa dan prajurit-prajuritnya, 
ketujuh sosok manusia ganas berkepala botak dengan 
wajah hampir serupa, melakukan suatu gerakan aneh. 
Tubuh ketujuh manusia ganas itu serentak bergerak 
memutar.
Wess wes!
Putaran tubuh mereka makin lama makin ce-
pat. Seketika hawa di sekitar kancah pertarungan be-
rubah menjadi panas disertai angin kencang menderu-
deru. Para prajurit yang mengepung beringsut mun-
dur.
Wisnu Bernawa tertegun. "Kesaktian macam 
apa lagi yang mereka pertunjukkan?"
Tiba-tiba terdengar tujuh ledakan keras disusul 
dengan suara jeritan bersusulan. Ternyata tujuh orang 
prajurit Lumajang jatuh bergelimpangan. Pipi kanan 
mereka menghitam dengan asap mengepul laksana 
tersambar petir.
Tujuh Dewa Kematian yang semula berputar, 
kini berhenti. Suara aneh keluar dari mulut masing-
masing. Lalu, ketujuh momok itu menghambur ke atas 
dan bertengger di atas benteng kadipaten. Wisnu Ber-
nawa dan para pengikutnya tersentak bukan alang ke-
palang.
"Kejar!" perintah Wisnu Bernawa. Separuh pra-
juritnya mengejar ke arah di mana Tujuh Dewa Kema-
tian berada.
"Jahanam! Turun kalian!" teriak para prajurit.
"Itu pelajaran pertama bagi kalian yang tidak 
patuh pada kami. Wisnu Bernawa, kami tunggu keda-
tanganmu di Puncak Arjuna pada purnama bulan ke-
tujuh!" selesai berkata, ketujuh tokoh sakti itu berke-
lebat cepat, lalu menghilang dari pandangan.
"Ayah...." Pitaloka berlari ke arah Wisnu Ber

nawa, diikuti Nyai Larasati.
Saat-saat menegangkan telah usai. Terlihat pa-
ra prajurit berjalan lusuh ke tempat mereka semula. 
Benarkan begitu adanya?
"Mereka datang lagi!"
Suara keras keluar dari mulut salah seorang 
prajurit yang kebetulan masih berdiri di muka pintu 
kadipaten. Wisnu Bernawa dan para prajurit tersengat 
keterkejutan. Mereka berhamburan ke arah datangnya 
suara tadi.
"Mana?! Mana?!" tanya yang lain.
"Tuh, lihat!" sahut prajurit yang berteriak se-
raya menunjuk ke arah dua sosok bayangan yang me-
langkah menuju ke arah mereka.
Benar. Tampak dua sosok sedang berjalan di-
kegelapan malam ke arah mereka. Wisnu Bernawa 
menatap tegas-tegas, memasang pandangan lebih teliti.
"Kok, mereka cuma berdua? Yang lain ke ma-
na?" bisik salah seorang prajurit yang mulai tegang. 
"Mungkin yang lain lewat belakang," duga yang lain.
Para prajurit siap siaga. Mereka kembali me-
nyiapkan senjata masing-masing.
Kedua sosok itu menghentikan langkah. Siapa-
kah mereka? Kedua manusia itu adalah Sukma Su-
kanta bersama seorang pemuda berambut panjang 
kemerahan. Pemuda yang berkemauan sekeras baja 
dan berhati sehalus pualam. Dia adalah Satria Gen-
deng, murid kesayangan dua tokoh kenamaan tanah 
Jawa.
"Lihat Satria, rupanya mereka mengetahui ke-
datangan kita!" ujar Sukma Sukanta, gembira. 
"Betul, Kang," timpal Satria.
Keduanya melanjutkan langkah. Mendadak.... 
"Seraaaaang!"


Sukma Sukanta tergelak heran. Begitu juga Sa-
tria. Mereka celingukan keheranan. Para prajurit men-
gepung, menutup seluruh penjuru mata angin.
"Hai kenapa kalian mengepung kami?! Tahan, 
tahan dulu!" cegah Sukma Sukanta serabutan. Se-
dangkan Satria masih tetap kebingungan.
Kekacauan yang baru saja sirna membuat para 
prajurit tidak dapat menilai dengan lebih seksama sia-
pa kawan, siapa lawan. Keganasan Tujuh Dewa Kema-
tian yang mereka saksikan tadi, masih melekat di pe-
lupuk mata para prajurit. Wajar saja mereka terlam-
pau cemas pada setiap pendatang. Ditambah lagi ge-
lapnya malam, membuat para prajurit sulit mengenali.
"Tahan!" seru Wisnu Bernawa. Para prajurit 
yang mengepung celingukan, kemudian mereka meno-
leh ke arah Wisnu Bernawa. Salah seorang prajurit be-
ranjak mendekati sang Adipati. Prajurit itu pun mem-
bungkukkan badan tanda penghormatan.
"Ampun Kanjeng Adipati, kenapa Kanjeng 
menghentikan kami?" prajurit tadi bertanya.
"Apakah kau tidak mengenali siapa orang itu?" 
tukas adipati dengan nada mengomel.
"Ampun Kanjeng. Siapa mereka sebenarnya?"
"Dia Sukma Sukanta, salah satu dari Prajurit 
Kembar," susul Wisnu Bernawa.
Prajurit tadi tersentak kaget. Dia langsung ber-
balik ke arah tempat di mana Sukma dan Satria dike-
pung. Cepat-cepat dia menghaturkan sembah.
"Tahan, tahan! Beliau Sukma Sukanta!" teriak-
nya sambil menyibak kepungan para prajurit. Prajurit 
lain tersentak kaget mendengar nama itu. Sukma dan 
Satria menghela napas lega. Rupanya kejadian itu aki-
bat kesalah pahaman semata, gumam Sukma Sukanta 
dalam hati.

Serentak, para prajurit segera meletakkan sen-
jata mereka di tanah. Kemudian dengan serentak pula 
mereka membungkukkan badan tanda memberi hor-
mat. Sukma dan Satria membungkukkan badan pula, 
membalas penghormatan mereka. 
Seorang prajurit melangkah mendekati Sukma 
dan Satria. Dipersilakannya kedua lelaki itu masuk 
untuk menghadap Kanjeng Adipati. Sementara sang 
Adipati sedang berdiri di muka pintu kadipaten, di-
dampingi istri dan putrinya.
Sukma dan Satria kini sudah berada di hada-
pan sang Adipati. Keduanya menghaturkan sembah. 
Adipati mengangkat sebelah tangannya. Kedua orang 
itu pun kembali menegakkan badan.
"Ampun Kanjeng. Hamba tidak berhasil me-
numpas iblis-iblis keji yang bersarang di puncak Arju-
na," lapor Sukma.
"Sudahlah Sukma. Aku sudah tahu. Lalu ke 
mana empat saudaramu?" tanya sang Adipati.
Mendung menyelimuti raut wajah Sukma Su-
kanta. Dia tercenung diam. Dari sudut matanya tam-
pak garis bening membentang.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Sukma?" tanya 
sang Adipati lagi.
"Mereka tewas," jawab Sukma, singkat.
"Iblis itu benar-benar keji!" maki Wisnu Berna-
wa.
"Kakang, sebaiknya kita bicarakan di dalam sa-
ja," usul Nyi Larasati.
Adipati setuju. Mereka beranjak. Para prajurit 
kembali ke tempat masing-masing. Kali ini penjagaan 
dilakukan dua kali lipat dari semula.
Waktu sudah melewati tengah malam. Saat itu, 
terdengar sayup-sayup kentongan malam bertalu tiga


kali. Sementara di dalam ruang peristirahatan, Satria, 
Sukma Sukanta, adipati beserta istri dan putrinya su-
dah duduk di lantai beralaskan permadani indah. Di 
sudut ruangan terdapat guci-guci terbuat dari marmer 
Tiongkok.
Satria terkagum-kagum ketika melayangkan 
pandangan ke segenap penjuru dinding ruangan. Se-
muanya berhiaskan barang-barang bernilai seni tinggi. 
Walaupun demikian, kesederhanaan pribadi adipati te-
tap tercermin dari sikapnya.
Hm, sosok adipati yang agung. Mempersilakan 
aku yang gembel ini duduk sejajar dengannya. Betul-
betul seorang yang bijak..., puji Satria dalam hati.
"O, ya Kanjeng. Hamba lupa memperkenalkan 
sahabat muda hamba ini," ucap Wisnu Bernawa.
"Siapa adik muda ini?"
"Nama hamba Satria, Kanjeng."
"Di mana adik tinggal?"
"Hamba hanya seorang pengembara. Bumi ada-
lah rumah hamba dan langit sebagai atapnya," jawab 
Satria.
Wisnu Bernawa tersenyum mendengar jawaban 
yang dilontarkan Satria. Dilayangkannya pandangan 
ke arah Sukma Sukanta.
"Sebetulnya aku sudah mempunyai prasangka 
buruk terhadapmu, dan saudaramu."
Sukma Sukanta terhenyak mendengar perka-
taan adipati. Dia menundukkan kepala. Hatinya tak 
karuan karena ada rasa kecewa. Dia tak menyangka 
kalau adipati akan berprasangka begitu. Sukma mene-
gakkan kepala kembali.
"Maksud Kanjeng, hamba telah melalaikan tu-
gas?" 
"Bukan begitu maksudku."

"Lalu apa maksud Kanjeng?"
"Begini Sukma. Sebelum kau tiba, Tujuh Dewa 
Kematian telah mengacau lebih dahulu di sini."
"Apa?!" sentak Sukma Sukanta. Bukan alang 
kepalang terkejutnya dia, laksana disengat seribu le-
bah. Didongakkannya kepala ke langit-langit. Mulut-
nya bergemeletak menahan kemarahan. Tangannya 
mengepal kuat-kuat.
"Bedebah!"
"Sukma, mereka mengancam kami," Nyai Lara-
sati menyela di sela kemarahan Sukma Sukanta.
"Apa yang mereka katakan Kanjeng Putri?"
"Mereka...." Belum sempat Nyai Larasati mene-
ruskan pembicaraan, adipati sudah memotongnya.
"Sudahlah, Nyai. Suruh Sukma dan sahabat 
mudanya ini istirahat dulu. Pembicaraan kita teruskan
besok saja...."
Kelima orang itu kemudian bangkit dari du-
duknya. Adipati beserta istri dan putrinya beranjak ke 
arah kamar peristirahatan. Sedangkan Sukma dan Sa-
tria menuju ke arah pendapa kadipatenan yang letak-
nya di sebelah kiri peristirahatan adipati.
***
ENAM

WAKTU terus bergulir cepat. Malam yang kelam 
sudah berganti fajar. Para penjaga malam pun sudah 
berganti dengan penjaga-penjaga yang bertugas siang. 
Sedangkan para petani sudah lebih dahulu pergi 
membawa keranjang seukuran pelukan orang dewasa.
Di keranjang terselip sebuah arit yang akan dipergu

nakan untuk membabat rumput hijau di ladang. Rum-
put-rumput itu nantinya dipergunakan sebagai santa-
pan kuda-kuda peliharaan adipati.
Di pendapa kadipatenan, Sukma Sukanta du-
duk termenung. Matanya merah. Sepertinya dia tak bi-
sa tidur semalaman. Sedangkan Satria masih men-
dengkur dengan nyenyak. Mungkin lelah sehabis me-
lakukan perjalanan jauh. Dia memanfaatkan kesempa-
tan ini untuk beristirahat sepuas-puasnya. Ataukah 
tidak adanya sedikit pun masalah di benaknya?
Ah, mana mungkin! Pada dasarnya setiap ma-
nusia yang hidup di kolong jagat pasti memiliki masa-
lah sendiri-sendiri. Kecuali orang gila. Yang satu ini ti-
dak memiliki masalah, melainkan menimbulkan masa-
lah! Lalu mengapa Satria tidur begitu lelap, sedangkan 
situasi di Kadipaten Lumajang sedang genting? Hanya 
Satria sendiri yang dapat menjawab.
Sukma Sukanta masih tetap tak beranjak dari 
posisinya. Tatapan matanya kosong. Mendung masih 
menyelimutinya.
"Sungguh hidup ini terkadang terlalu berat un-
tuk dilakoni. Belum lagi terselesaikan masalah yang 
satu, sudah muncul masalah baru" gumam hati kecil-
nya. Dalam ketermenungan, Sukma mencoba men-
guak makna arti hidup dan kehidupan yang dialami 
sekarang ini. Sedangkan peristiwa yang belum lama 
dialaminya masih terbayang di pelupuk mata, mem-
buat dia semakin larut dalam lamunan. 
Tiba-tiba.... 
"Hoaaahhhhh!"
SI Bocah Gendeng menguap lebar. Sukma ter-
sentak dari lamunannya, lalu menoleh ke belakang. Di-
lihatnya sang sahabat muda sudah bangun dari tidur 
yang singkat. Satria mengusap-usap mata dengan

punggung tangan seraya menguap lebar untuk kedua 
kalinya.
"Rupanya kau sudah bangun, Adik Satria...," 
tegur Sukma Sukanta.
"Oh, Kakang sudah bangun terlebih dahulu, 
rupanya!"
Satria bangkit. Didekatinya Sukma Sukanta. 
"Aku tak bisa tidur semalam. Perasaanku gelisah. Piki-
ranku kacau," tandas Sukma Sukanta seraya menepuk 
kening.
"Yah, aku pun dapat merasakan apa yang Ka-
kang rasakan. Kehilangan selalu membuat perasaan 
kita lowong. Seperti ada bagian diri kita yang tertinggal 
di masa lalu. Apalagi jika kehilangan orang-orang yang 
kita cintai...."
Mata si pendekar muda menerawang jauh. 
Jauh. Mengenang saat-saat dia kehilangan seorang 
yang dekat dengannya di Tanjung Karangbolong, Nyai 
Cemarawangi. Seorang wanita yang sudah seperti ibu 
angkatnya. Karena itu, dia pun bisa merasakan pera-
saan Sukma Sukanta.
(Tentang tokoh wanita ini, bacalah episode : 
"Tabib Sakti Pulau Dedemit"!).
Sukma mengernyitkan kening. Ditatapnya wa-
jah Satria dalam-dalam. Bocah yang sepengetahuan-
nya adalah seorang yang tak banyak mulut kini bisa 
bicara tepat dengan perasaan yang dialami beberapa 
hari belakangan ini.
"Kakang, aku akan senang sekali bila dapat 
membantu penderitaan yang Kakang rasakan seka-
rang."
Wajah Sukma berbinar. Dia merasakan satu 
tawaran ikhlas keluar dari mulut bocah berkepribadian 
mengagumkan. Sebelum sempat mengatakan apa

apa....
Tok tok tok!
Pintu diketuk seseorang.
Sukma dan Satria saling tatap sejenak. Kemu-
dian Sukma sendiri yang membuka pintu. Setelah di-
buka, ternyata Bi Emban, pelayan adipati.
"Ada apa, Bi Emban?"
"Tuan berdua dipanggil untuk menghadap Kan-
jeng Adipati sekarang juga," jawab Bi Emban. Lalu, dia 
memohon diri. 
"Ada apa, Kang?" tanya Satria.
"Kita diminta menghadap adipati sekarang," ja-
wab Sukma Sukanta. Lalu dia merapikan pakaian dan
rambutnya yang kusut. Satria latah ikut-ikutan.
Sekiranya menurut Sukma sudah siap, kedua 
sahabat baru itu langsung beranjak untuk menghadap 
Kanjeng Adipati. 
Sementara di balai kadipatenan, sudah ada li-
ma sesepuh setempat yang sengaja diundang pada ma-
lam itu juga oleh Adipati Wisnu Bernawa. Mereka du-
duk berjajar menghadap timur. Kelima sesepuh itu 
berperawakan sama. Dua orang menggunakan baju 
dan celana pangsi hitam. Yang satu berkumis lebat 
dan bergaris alis hitam. Rambutnya masih berwarna 
hitam. Sedangkan yang lain tidak berkumis. Matanya 
cekung dan bergaris alis tipis berwarna putih dengan 
rambut putih pula. Kedua orang itu tampak akrab se-
kali. Mereka bercakap-cakap berdua tanpa mempedu-
likan tiga orang lain di sisi mereka.
Tiga orang yang lain, tampaknya jengkel juga 
melihat kedua sosok tua berpakaian hitam-hitam. Me-
reka seperti tak tahu adat, ngobrol berdua saja tanpa 
mempedulikan yang lain.
Walaupun tampak jengkel, ketiga orang itu masih bisa bersikap ramah. Karena mereka menyadari 
keberadaan mereka di balai kadipatenan atas undan-
gan langsung adipati. 
Tak lama kemudian, muncul Sukma Sukanta 
dan Satria, mereka menghaturkan sembah kepada 
yang hadir.
"Rupanya ada yang lebih dahulu di sini," basa-
basi Sukma.
Kelima orang tadi membalas dengan senyum. 
Satria lain sendiri. Matanya justru mendelik ketika 
pandangannya tertumbuk ke arah deretan paling ping-
gir sebelah kiri. Di situ ada sesepuh desa bertubuh ku-
rus, berkepala botak licin. Tak sehelai rambut pun 
tumbuh di kepalanya. Tubuh kurus itu dibungkus 
dengan baju putih yang agak kusut dan kusam. Satria 
jadi teringat pada gurunya, Dongdongka alias Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul. Ada sedih bila Satria men-
genang jasanya. Ada lucu bila Satria terbayang kepala 
klimisnya.
Orang berkepala botak sadar kalau dirinya di-
perhatikan Satria.
"Ada apa, Kisanak muda ini menatap aku de-
mikian? Apakah aku mirip dengan kakek moyangmu?" 
dengusnya. Rupanya dia tidak enak hati.
"Ya, Ki. Aki ini mirip sekali dengan guruku!"
"Apanya yang mirip? Wajahku, penampilanku, 
atau... kepalaku?" Rupanya Aki berkepala botak itu ja-
di juga jengkel. Terdengar dari nada suaranya yang ke-
tus.
"Semuanya, Ki."
"Kalau begitu, gurumu itu orang yang jelek se-
perti aku."
Satria akhirnya cuma bisa cengar-cengir serba 
salah.


"Bocah edan. Rupanya gurumu tidak menga-
jarkan tata-krama, sehingga kau berani bicara semba-
rangan,"
Keempat sesepuh yang lain tampak kebingun-
gan melihat tingkah Satria yang terlalu polos. Kecuali 
Sukma. Dia sudah cukup mengenal Satria dan mak-
lum karenanya. Bibirnya cuma menyembulkan se-
nyum tipis.
"Bocah edan, siapa nama gurumu hingga kau 
samakan tampangnya denganku?" susul sesepuh ber-
kepala botak, penasaran.
Satria geli sendiri. Rupanya orang satu ini tidak 
menerima bila disamakan dengan guruku, nilainya da-
lam hati.
"Bocah edan, ayo sebutkan siapa gurumu itu?" 
desak sesepuh botak. Marahnya menjadi dua kali lipat 
karena pertanyaannya tak kunjung mendapat jawa-
ban.
Sebenarnya, Satria sendiri tak ingin menye-
butkan siapa gurunya sebenarnya. Alasannya bukan 
karena dia malu memiliki guru yang terkenal dengan 
tabiat 'sinting-sintingan'-nya. Hanya saja, dia tak ingin 
membuat keributan kecil jika nama atau julukan tua 
bangka sakti itu disebut-sebut. Tahu sendiri, selaku 
sesepuh dunia persilatan tanah Jawa, nama Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul sudah tercekam kuat di be-
nak hampir seluruh warga persilatan. Bahkan orang 
biasa saja masih banyak yang mengetahui nama dan 
julukannya. Kalau nanti Satria mengaku sebagai mu-
ridnya, apa tidak membuat kegemparan kecil?
Lagi pula, apa mereka mau begitu saja percaya? 
Jangan-jangan, bukan mendapat sanjungan, malah 
didapatnya cemoohan. Disangkanya nanti dia mem-
bual seperti tukang obat di pinggir jalan kotapraja,

atau seperti para pedagang dan usahawan yang rajin 
membual untuk mengeruk keuntungan, atau....
"Bocah, ayo jawab!" 
Bentak sesepuh kepala botak lagi. Nadanya 
makin meruncing, makin menanjak. Bikin suasana 
makin terasa tak enak.
"Guruku cuma seorang tua kesepian yang su-
dah begitu bosan kehidupan dunia...," jawab Satria, 
berusaha untuk menutup-nutupi.
"Aku cuma menanyakan namanya!" sambar se-
sepuh botak yang sudah kurus, galak pula.
Karena didesak, Satria akhirnya bicara apa 
adanya. Peduli setan apakah nantinya semua yang 
mendengar akan percaya atau tidak. Malah, barangkali 
lebih baik begitu, biar jati dirinya untuk sementara te-
tap tertutup rapat.
"Guruku, Dongdongka...."
Kontan, tercenganglah semua orang yang hadir 
di sana. Tak terkecuali Sukma Sukanta.
"Apa aku tak salah dengar?" kejar sesepuh bo-
tak. Parasnya menampakkan ketidakpercayaan. Na-
mun, kemarahannya sudah agak surut oleh ketercen-
gangannya. Masih cukup bagus, pikir Satria. Ketim-
bang dia makin kalap karena merasa dibohongi.
Kelima orang di sana, termasuk Sukma Sukan-
ta langsung memandangi si pendekar muda dari ubun-
ubun ke ujung jempol kaki, lalu kembali lagi ke ubun-
ubun. Mereka pernah mendengar selentingan kabar 
tentang ciri-ciri murid tunggal Dedengkot Sinting Ke-
pala Gundul. Sekarang mereka hendak mencocokkan 
dengan pemuda polos yang baru saja mengaku-ngaku 
sebagai murid Sang Sesepuh.
Makin lama diteliti, wajah mereka makin tak 
sedap bagi Satria. Memangnya enak diperhatikan den

gan pandangan mereka yang seperti orang-orang yang 
berhasil menangkap basah pencopet kampung?
Ketika mata sesepuh botak menangkap ujung 
Kail Naga Samudera, parasnya berubah. Dari bersit 
matanya tersirat bahwa dia kini percaya pada ucapan 
Satria. Ada selintas rasa malu yang lantas disembu-
nyikan.
"Ya, benar! Aku memang seperti gurumu, Cah! 
Bahkan wajahku saja mirip beliau!" ledak sesepuh bo-
tak galak tadi, tiba-tiba. Lalu dia tergelak-gelak sendiri.
Tengik juga orang satu ini. Sebelumnya dia be-
gitu gusar karena Satria mengatakan dia mirip dengan 
gurunya. Sekarang, dia seperti bangga setengah mod-
ar. Sampai-sampai parasnya seperti mau modar bena-
ran!
"Maafkan aku, Bocah. Aku yang tua ini terlalu 
cepat tersinggung. Kupikir kau tadi berniat mengejek-
ku...," tambahnya lebih jauh.
"Tidak apa-apa, Aki...," balas Satria.
Sementara Sukma Sukanta dan yang lain ma-
sih tetap menatapi si anak muda berambut kemera-
han. Sampai wajah mereka pun berubah seperti orang 
yang baru saja mendapatkan ilham di atas jamban.
"Aku ingat! Aku ingat, sekarang!" cetus Sukma, 
tak kurang riuh dari sesepuh botak tadi.
Pandangan sekarang terpusat ke arah Sukma 
Sukanta.
"Kau Satria Gendeng itu! Ya, kau Satria Gen-
deng! Jangan coba main kucing-kucingan lagi dengan-
ku, Satria!" tukasnya nyaris berseru dengan paras ke-
girangan.
Satria celingukan. Kiri... kanan, kanan... kiri. 
Bibirnya tersenyum serba salah. Kartunya sudah ter-
buka sekarang. Tapi, rasanya kok seperti baru saja di

telanjangi!
Untung situasi yang lebih menyiksa daripada 
menahan buang hajat bagi Satria Gendeng segera be-
rakhir ketika adipati datang.
Pintu masuk balai kadipatenan terbuka. Semua 
yang hadir di sana melayangkan pandangan sejurus ke 
arah pintu. Adipati Bernawa muncul. 
Para sesepuh, Satria dan Sukma berdiri. Mere-
ka sama-sama membungkukkan badan. Adipati men-
gangkat tangan setinggi dada. Mereka pun menegak-
kan badan, lalu duduk kembali ketika adipati sudah 
duduk terlebih dahulu.
Lima sesepuh, Satria dan Sukma duduk berja-
jar.
Duduk paling pinggir adalah Ki Besi, seorang 
empu pandai besi dari Desa Karang Kuruk. Di sebe-
lahnya, duduk lelaki tua seusia Ki Besi. Lelaki itu 
mengenakan seragam kuning susu. Dia bernama Ki 
Lengut. Di sebelah Ki Lengut, duduk orang tua berbaju 
merah hati dan bercelana pangsi hitam tambalan. Dia 
adalah Ki Sastro. Duduk di sebelah Ki Sastro, seorang 
tua berpakaian silat putih bercelana warna coklat kun-
ing bernama Ki Mangku Langit. Menyusul lelaki tua 
berpakaian hitam-hitam, berkumis lebat Namanya Ki 
Durga. Sedangkan lelaki yang berpakaian sama den-
gannya tapi tak berkumis adalah Ki Sentul Gusti.
"Aku pribadi mengucapkan banyak-banyak te-
rima kasih atas kehadiran para sesepuh desa yang 
kami undang secara mendadak," Wisnu Bernawa 
membuka pembicaraan. 
"Sama-sama Kanjeng!"
"Ada rencana apakah sehingga Kanjeng men-
gundang secara mendadak begini? Tidak seperti bi-
asanya...," tanya Ki Besi.

Adipati memalingkan wajah ke arah orang tua 
gundul itu.
"Kita semua mengetahui, bahwa akhir-akhir ini, 
daerah kita sedang terancam. Kekejian yang dilakukan 
Tujuh Dewa Kematian di sebagian besar wilayah Kadi-
paten Lumajang sungguh sudah melampaui betas. Aku 
tak mengerti, kenapa mereka hanya menghantui dae-
rah kita...."
"Mungkin ada sesuatu yang mereka inginkan 
dari Kadipaten ini, Kanjeng!" Ki Sastro angkat bicara.
"Mungkin," timpal adipati, datar.
"Apa tindakan kita sekarang, Kanjeng?" tanya 
Ki Mangku Langit.
"Sebelumnya, kalian harus tahu dulu. Semalam 
mereka mengacau ke sini. Mereka pun memerintah 
aku untuk menyerahkan putriku pada purnama di bu-
lan ke tujuh."
Para sesepuh desa terdiam. Di wajah masing-
masing terbersit kegeraman.
"Jadi apa rencana Kanjeng?" ulang Ki Mangku 
Langit.
"Rencanaku, aku ingin mengundang para tokoh 
aliran putih untuk bergabung melawan Tujuh Dewa 
Kematian. Untuk itu aku mengumpulkan kalian di si-
ni. Aku berharap kalian semua dapat membantu me-
nunjuk siapa saja tokoh-tokoh yang harus kita ajak 
kerjasama."
Para sesepuh berembuk. Termasuk Sukma Su-
kanta. Satria bungkam. Sebagai orang paling muda, 
dia tak mau banyak mulut. Nguping saja sudah bagus! 
Kendati begitu, tetap saja para sesepuh mendesaknya 
meminta pertimbangan ini-itu. Maklum, biar usia ter-
bilang mentah, mereka sudah banyak mendengar se-
pak-terjang Satria Gendeng yang banyak membuat ka

langan berdecak kagum. Itu pun setelah mereka me-
nyadari siapa sebenarnya Satria. Kalau tidak, mungkin 
dia cuma dianggap anak bawang.
Tak lama rembukan tuntas. Tiga tokoh terpilih.
"Siapa yang nanti akan menyampaikan undan-
gan?" aju Ki Besi selang beberapa saat kemudian.
"Biar aku!" sergah Satria.
"Kau?" tanya adipati. Matanya menyiratkan 
bahwa dia agak ragu pada kemampuan si anak muda.
Sukma Sukanta hendak memperkenalkan pada 
adipati siapa sebenarnya Satria. Belum-belum, Satria 
sudah menyikut perutnya diam-diam. Sampai Sukma 
meringis menahan mual. Dengan isyarat mata. dimin-
tanya Sukma untuk tutup mulut.
"Percayalah, Kanjeng. Dia mampu melakukan-
nya...," sela Ki Besi. menebas keragu-raguan adipati. 
Diliriknya Satria Gendeng. Orang tua itu tersenyum 
penuh arti sambil mengelus-elus kepalanya yang kli-
mis.
***
TUJUH
PAGI itu juga, Satria Gendeng berangkat menja-
lani tugas yang diemban dari Adipati Wisnu Bernawa. 
Seekor kuda jantan gagah berwarna hitam telah dis-
ediakan oleh adipati untuknya. Dari halaman, pemuda 
itu dilepas oleh adipati dan Sukma Sukanta. 
"Heaaa!"
Usai memohon pamit, Satria menggebah ku-
danya. Kuda jantan meringkik. Kaki depannya menen-
dang ke depan, setelah itu berlari nyalang. Gerbang

yang masih tak karuan dilewati. Dua prajurit kekadi-
patenan memberi juraan serta ucapan selamat jalan 
penuh semangat.
Sekitar tiga puluh tombak melewati gerbang, 
seseorang menanti pendekar muda itu di bawah se-
buah pohon Beringin besar rindang. Dari kejauhan 
agak sulit mengenalinya, karena rindangnya pohon. 
Apalagi karena orang itu berdiri dengan posisi bersem-
bunyi di sisi batang pohon. Ketika sudah dekat, Satria 
harus memaksa kuda jantannya berhenti.
"Sedang apa Putri di sini?" tanyanya dengan 
wajah keheranan.
Orang di bawah pohon ternyata Pitaloka, putri 
adipati. Gadis itu menghampiri Satria. Matanya melirik 
sesekali ke arah kadipatenan, takut-takut mata praju-
rit memergokinya.
"Aku ingin bertemu denganmu, Tuan Pende-
kar," kata Pitaloka sesampainya di sisi kuda Satria.
Satria turun. Tak enak hati dia tetap di atas 
kuda sementara putri adipati di bawah. Persis di depan 
Pitaloka, si pendekar muda tanah Jawa itu berdiri. Me-
reka hanya dipisahkan jarak kurang dari satu tombak.
Dalam jarak sedekat itu, Satria Gendeng baru 
bisa melihat dengan jelas paras Pitaloka. Sungguh ayu, 
pikir Satria. Matanya lembut. Garis wajahnya mena-
wan, memancarkan kekuatan pesona kecantikan ga-
dis-gadis Jawa. Semalam, kenapa aku tak begitu me-
nyadari kalau gadis ini demikian ayu? Gumamnya 
membatin. Apa karena gelap malam? Atau karena aku 
terlalu malu untuk memperhatikannya karena berada 
di dekat adipati....
Diperhatikan seperti itu, Pitaloka jadi jengah 
sendiri. Kepalanya tertunduk. Pandangannya terbuang 
ke tanah. Semu merah merekah di kedua belahan pipinya.
Satria sendiri baru menyadari kalau tatapannya 
sudah kelewatan. Kagum boleh saja. Tapi kalau sam-
pai membuat gadis semanis dia menjadi jengah, apa 
tidak kelewatan namanya. Akhir-akhirnya, Satria jadi 
kikuk sendiri.
"Apa keperluan Putri denganku? Dan kenapa 
harus bertemu di tempat ini? Apa Putri tidak tahu ke-
mungkinan bahaya yang akan menimpa Putri setelah 
kejadian semalam?" Seperti tak sempat menarik napas, 
Satria meruntunkan pertanyaan. Ini baru yang na-
manya gugup. Satria Gendeng merasa malu besar ka-
rena memperhatikan seorang gadis seperti menatapi 
makanan lezat yang mengundang untuk disantap. 
Brengsek sekali kau Satria, makinya pada diri sendiri.
"Aku tahu itu, Tuan Pendekar," ucap Pitaloka 
sambil tetap merunduk. Karena jengah tetap berdiri 
berhadapan dengan seorang pemuda tampan (meski 
tatapan matanya agak kebodoh-bodohan), Pitaloka 
membalikkan badan. Dua tindak dia melangkah. "Aku 
tahu bahaya apa yang akan kudapat," ulangnya. "Tu-
juh Dewa Kematian memang meringankan diriku.... 
Tapi, aku benar-benar harus bertemu denganmu, Tuan 
Pendekar."
"Panggil aku Satria saja."
"Aku pun sudah tahu itu."
"Kau sudah tahu namaku?"
"Aku pun sudah tahu siapa kau sebenarnya...."
Alis Satria bertaut.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Aku mencuri-curi pembicaraan kalian di balai 
kadipatenan semalam. Kudengar Kang Sukma Sukanta 
menyebut-nyebutmu sebagai Satria Gendeng.... Pende-
kar muda yang sering kudengar diceritakan oleh bebe

rapa prajurit kadipatenan"
Satria nyengir sedikit. Sedikit cukup. Terlalu 
banyak, takut disangka besar kepala.
"Ah, aku cuma orang kecil yang ingin keadilan 
dan kebenaran tegak di bumi ini," katanya merendah.
Pitaloka berbalik.
"Karena itu, Kang Satria," mulai Pitaloka lagi. 
Kini dia sudah mengganti panggilan 'Tuan Pendekar'-
nya dengan menyebut langsung nama Satria.
"Aku memohon sekali padamu agar dapat me-
nyelamatkan kadipaten ini dari kekejaman tangan Tu-
juh Dewa Kematian," sambung si gadis,
"Aku hanya berusaha. Semuanya Tuhan yang 
menentukan, Putri...." 
"Panggil aku Pitaloka."
"Pitaloka," ralat Satria, agak bergumam sung-
kan.
"Aku berharap banyak padamu, Kang Satria. 
Karena hanya kau yang kuanggap dapat diandalkan 
untuk menyelesaikan petaka ini," tandas Pitaloka. Ma-
tanya yang jernih menatap langsung Satria. Membuat 
Satria merasa terpojok. Dia tertunduk. Sialan sekali, 
kenapa sekarang justru aku yang jadi tak punya nyali 
memandang matanya! Rutuk Satria di hati. 
"Kau mau berjanji, Kang Satria?"
"Hah?" Satria gelagapan sendiri. Pertanyaan Pi-
taloka datang ketika pikirannya sendiri sedang ke ma-
na-mana.
"Kau mau berjanji padaku?" ulang Pitaloka. 
Gadis itu melangkah tambah dekat ke arah Satria. 
Tampaknya dia ingin agar Satria mengucapkan janji.
Satria agak 'panas-dingin'. Dia memang jenis 
pemuda lugu yang jarang berurusan dengan perem-
puan. Terutama perempuan seayu Pitaloka. Itu bisa

membuat perasaannya jungkir balik.
"Ya, aku berjanji," gegas Satria, seraya buru-
buru menaiki kuda kembali. Dia cuma takut, kalau-
kalau Pitaloka memergoki kegugupannya. Wuh, pasti 
malu besar kalau sempat terjadi! 
Mendengar ucapan Satria, Pitaloka tersenyum, 
seperti membayar janji itu dengan senyum menawan-
nya.
"Sekarang sebaiknya kau segera kembali, ng.... 
Pitaloka. Aku tak ingin terjadi apa-apa pada dirimu." 
kata Satria, setelah menyiapkan tali kendali.
Pitaloka merunduk. Perkataan terakhir Satria 
membuatnya risih.
Satria meringis. Slompret sekali, apa yang baru 
kuucapkan barusan! Rutuknya membatin. Tak mau 
jadi serba salah lebih lama, Satria Gendeng segera 
menggebah kuda jantannya.
Pitaloka melepasnya dengan pandangan penuh 
harap. Sampai Satria menghilang di kejauhan.
* * *
Waktu terus bergulir. Cepat bagai sekedipan 
mata. Bola penerang jagat sudah mendekati titik ter-
tingginya. Sinar mentari yang menyorot garang tak 
membendung perjalanan seorang penunggang kuda.
Dia adalah Satria Gendeng.
Kadipaten Lumajang sudah jauh tertinggal kira-
kira dua kali penanakan nasi perjalanan. Satria yang 
duduk di punggung kuda hitamnya tiba-tiba menghen-
tikan langkah kuda persis di persimpangan jalan. Pe-
muda berkepribadian mengagumkan itu mengeluarkan 
sesuatu berbentuk gulungan kecil dari kulit yang se-
lama ini terselip di pinggangnya. Gulungan kulit terse

but adalah undangan yang ditujukan kepada tiga to-
koh sakti aliran putih. Mereka terdiri dari tokoh yang 
namanya hampir terlupakan di dunia persilatan.
Satria membuka gulungan, lalu membacanya. 
Pada gulungan pertama, Satria menemukan tulisan;
'Untuk Ki Jerangkong bergelar Dewa Gila di 
Lembah Pangrango, untuk Pengemis Tuak alias Ki Dagul 
di Pesisir Tuban, dan untuk Arya Wadam....'
Tiga lembaran berikutnya berisi sama. Masing-
masing gulungan ditujukan untuk ketiga tokoh yang 
tertera pada gulungan pertama.
'Aku mengundangmu untuk datang ke Kadipaten 
Lumajang. Ada kegentingan di Kadipaten Kami. Untuk 
itu, dengan segala hormat, aku meminta kesediaanmu 
untuk menyingsingkan lengan membantu kesulitan ka-
mi. Kesulitan kami tersebut bersangkut-paut dengan se-
pak terjang Tujuh Dewa Kematian.
Tertanda, Wisnu Bernawa'
Selesai membaca, Satria menggulungnya kem-
bali. Diselipkannya ke tempat semula.
"Hm, ke mana dulu aku mesti pergi? Ke Pan-
grango, atau ke Tuban?"
Satria terdiam sebentar. Tangannya mengga-
ruk-garuk kepala. Bibirnya meringis.
"Ke mana pula aku harus menemukan Arya 
Wadam? Adipati tak menjelaskan dalam surat perin-
tahnya. Tapi tak mungkin adipati lupa menuliskan 
tempatnya...."
Mulut pendekar muda itu komat-kamit kemba-
li.
"Sebaiknya aku ke Lembah Pangrango dulu. Se


telah itu ke pesisir Tuban. Urusan di mana Arya Wa-
dam, bisa kupikirkan belakangan!" putusnya kemu-
dian.
"Ngomong-ngomong, sekarang ini sudah masuk 
hari ke berapa bulan ke berapa, ya?" gumamnya pada 
diri sendiri. Dia celingukan mencari orang lewat yang 
mungkin bisa ditanyakan tentang hal itu. Tak ada satu 
batang hidung pun ditemui, dia menampar jidatnya 
sendiri, disusul makian sebal.
"Setan alas, tidak ada seorang pun yang lewat! 
Ke mana aku harus bertanya?" 
Dari kelokan jalan di kejauhan, muncul pemu-
da sebayanya.
"Nah, ada orang lewat!" ujar Satria, nyaris ber-
jingkat di atas kuda. Dia segera turun dari atas ku-
danya. Dia berdiri di sisi kuda, memegangi tali kendali. 
Pemuda tadi kebetulan lewat di dekatnya. Seorang pe-
muda dekil yang melangkah kuyu. Lusuh mukanya 
seperti dirundung putus cinta. Pipinya biru seperti ba-
ru dipukuli orang sekampung.
"Saudara," tegur Satria.
Pemuda dekil tetap berlalu, acuh tak acuh.
"Saudara Muda, aku ingin bertanya!" susul Sa-
tria lagi, mengutarakan maksudnya.
Pemuda dekil tadi menoleh. Wajahnya tak me-
nawarkan sebetik pun keceriaan.
"Mau tanya apa kau?!" ketusnya
Satria merengut.
"Ke mana arah Lembah Pangrango?" katanya. 
"Kau harus menuju matahari tenggelam," jawab 
Pemuda Dekil seraya mengacungkan tangan malas. Se-
lesai menjawab, dia pun melanjutkan langkah. Baru 
beberapa jejakan kaki, Satria mencegahnya.
"Tunggu Saudara Muda, aku ingin bertanya satu lagi!"
"Tanya apa lagi?!" sungut Pemuda Dekil.
"Sekarang hari ke berapa bulan ke berapa?"
"Kau manusia hidup atau sudah mampus? 
Dengan hari yang sering kau lewati saja tidak tahu!"
Pemuda Dekil kembali meneruskan langkah.
"Hai, Saudara Muda! Tolong jawab dulu perta-
nyaanku!" seru Satria, setengah berteriak, setengahnya 
lagi dongkol.
Tapi Pemuda Dekil tak mempedulikannya. Me-
noleh saja tidak. Dia berjalan gontai dengan kepala ter-
tunduk-tunduk dan wajah suntuk. Barangkali telin-
ganya sudah ditutup rapat-rapat oleh setan buduk, 
umpat Satria membatin.
"Oh, nasib.... Mengapa aku memiliki nasib se-
perti ini?"
Di kejauhan, si Pemuda Dekil meratapi nasib-
nya. Kepalanya lalu mendongak ke langit seraya me-
nengadahkan tangan.
"Oh, Hyang Widhi... kenapa kau biarkan ham-
ba-Mu telantar seperti ini?"
Pemuda Dekil itu terus menyambung ratapan-
nya. Kalau ada orang yang kebetulan berpapasan, tak 
diragukan mereka akan menganggapnya gila. Dia sen-
diri seperti tak peduli. Langkah terus diseretnya sam-
pai dia berhenti di depan sebuah batu cadas. Matanya 
menatap ke depan. Pandangannya kosong melompong.
Satria cuma bisa geleng-geleng kepala menyak-
sikan dari kejauhan. Tak lama, dia memutuskan un-
tuk segera melanjutkan perjalanan.
***

DELAPAN
HARI menjelang malam. Di suatu desa di mana 
para penduduknya selalu diliputi ketakutan. Terutama 
mereka yang memiliki bayi, rasa takut lebih menghan-
tui. Takut kalau-kalau Tujuh Dewa Kematian mengin-
ginkan bayi mereka.
Malam menjenuh. Rembulan pucat, ditabiri 
awan pekat.
Dari ujung desa, muncul sesosok tubuh di ke-
gelapan malam. Dia berjalan. Langkahnya terseok-
seok. Tangan kanannya mendekap perut. Kurus tu-
buhnya, dibungkus sehelai pakaian yang kolor kecok-
latan. Rambutnya kusut masai tertumpuk debu. Di-
alah pemuda dekil yang siang tadi berpapasan dengan 
Satria Gendeng.
"Oh, nasibku yang malang.... Kenapa sampai 
saat ini belum juga berganti senang? Hyang Widhi, 
Engkah Maha Tahu. Sampai kapan aku menanggung 
nasib ini? Kini perutku lapar...."
Terdengar keluh kesahnya yang seperti tak pu-
tus-putus sejak siang tadi. Sejurus dia berdiri diam, 
mengamati rumah-rumah gubuk di sepanjang jalan se-
tapak desa.
"Hoi, Orang-orang Kampung! Apakah kalian 
memiliki sedikit sisa makanan? Berilah aku, sekadar 
untuk mengganjal perut yang seharian belum bertemu 
makanan!"
Di tengah-tengah kesunyian, dia berteriak-
teriak. Tak lagi dia peduli pada apa pun atau siapa 
pun.
"Wahai awan hitam kelam, janganlah kau ha-
langi sinar Dewi Malam! Biarlah Dewi Malam tahu


bahwa aku di sini sedang kelaparan!"
Sambil mendongakkan kepala, pemuda dekil 
itu terus meratap-ratap dan berteriak-teriak.
Sementara para penduduk yang mendengarnya 
malah mendekap telinga rapat-rapat. Mereka seper-
tinya tak asing lagi mendengar keluh kesah dan teria-
kan kacau balau si pemuda dekil.
"Hai gembel, pergi kau!" hardik seorang pendu-
duk dari dalam gubuknya. "Aku bosan mendengar ra-
tapanmu. Lebih baik aku mendengar suara kaleng 
rombeng!" tambahnya menusuk.
Si pemuda melanjutkan langkah. Kalau tak ada 
yang mau ambil peduli pada dirinya, lalu apa alasan-
nya untuk tetap tinggal?
Setelah cukup jauh Pemuda Dekil meninggal-
kan tempat sebelumnya, muncul pula satu bayangan 
dari arah yang sama di mana si pemuda muncul. Sua-
ra derak terdengar sayup-sayup. Ditingkahi pula den-
gan suara kerikil tergilas.
Ada satu pedati tua yang dikusiri seseorang. 
Kegelapan malam sulit menyingkap siapa atau bagai-
mana sang kusir. Yang jelas, sejak siang tadi pedati itu 
terus menguntit si pemuda. Gerak-gerik Pemuda Dekil 
terus diawasi kusirnya. Semua itu sama sekali di luar 
pengetahuan orang yang dikuntit.
* * *
Pagi hari sudah merambat ke pertengahan 
siang. Pemuda gagah bergaris rahang jantan, Satria 
Gendeng tampak memacu kudanya merambah hutan, 
mendaki tanah berbukit.
Pada pertengahan hari, pendekar muda tang-
guh itu sampai di suatu perkampungan. Dia memper

lambat langkah kudanya. Pertama yang hendak dituju 
adalah sebuah kedai makanan yang dari kejauhan su-
dah terlihat.
Sesampainya di depan kedai, Satria menambat 
kudanya di sebuah tonggak bambu terletak di sebelah 
kiri kedai. Sementara di dalam kedai sudah ada sepu-
luh orang. Pengunjung di sudut kiri ada empat orang 
bertampang seram, mengenakan pakaian silat merah 
hati dan bercelana pangsi hitam. Di pinggang mereka 
melingkar sabuk mengkilat berukuran sejengkalan 
orang dewasa. Di ikat pinggang, mereka menyelipkan 
trisula berwarna perak mengkilat. Tubuh keempat 
orang itu tinggi besar. Satu orang di antara mereka 
memiliki perut buncit.
Satria mengambil tempat di tengah ruangan. 
Belum lama duduk, datang seorang pelayan lelaki be-
rusia muda. Mungkin masih bisa dibilang bocah.
"Makan, Den?" sambutnya, ramah sekaligus tak 
bertele-tele.
Satria mengangguk sekali.
"Perlu tuak juga?" susul si pelayan muda.
Satria menggeleng. Juga sekali.
Pelayan muda tadi mengangguk. Dia berbalik
hendak mengambil pesanan yang diminta tamunya. 
Kebetulan, pintu dapur kedai yang cukup besar itu 
melewati meja yang diduduki empat orang berpakaian 
merah hati. Tangan salah seorang dari mereka meng-
hadang si bocah pelayan, mencengkeram leher ba-
junya, lalu menariknya kasar.
"Ambilkan kami tuak lagi!" seru si lelaki ber-
tampang buruk dan kasar.
Si bocah pelayan mengangguk berkali-kali den-
gan wajah ketakutan setengah mampus, sampai ceng-
keraman kerah bajunya dilepas.

"Cepat jalan, Jongos!" hardik lelaki tadi seraya 
mendorong punggung si bocah pelayan. Dorongan itu 
terlalu keras. Tanpa perlu tenaga dalam, bocah kurus 
macam pelayan muda tentu tak akan bisa bertahan. 
Dia 'nyelonong' ke depan, menuju meja lain yang didu-
duki oleh seseorang bertopi pandan seperti bakul nasi.
Menyambut tubuh si pelayan muda yang tak 
terkendali, tangan orang itu bergerak sedikit ke atas. 
Dada si pelayan muda disanggahnya, tanpa membuat 
bocah pelayan itu kesakitan.
"Hati-hati kalau berjalan," katanya, seperti ber-
bisik.
Bocah pelayan geragapan.
"Ma... maaf, Den. Sssaya tak sengaja," kata bo-
cah pelayan, memohon maaf.
Orang bertudung menurunkan tangan. Gerak-
nya lambat, tenang, namun mantap. Selain tangan, tak 
ada anggota tubuh lainnya bergerak. Dia duduk seperti 
bersemadi. Tangannya dibiarkan tertelungkup di atas 
meja. Di depannya, terdapat kendi air putih dan gelas 
tanah liat.
"Bawakan aku makanan, Dik!" pintanya kemu-
dian. Tetap dengan suara seperti orang berbisik.
"Nasi dengan lauk?" tanya bocah pelayan ter-
bungkuk-bungkuk. Dia masih saja merasa telah ber-
buat salah, kendati bukan dia penyebab kejadian ba-
rusan.
"Boleh," sahut orang bertudung, enteng.
Bocah pelayan mengangguk. Dia baru hendak 
berbalik ketika orang bertudung menahannya.
"O, iya! Campurkan segelas arak pada nasiku."
Bocah pelayan terbengong. Mencampurkan se-
gelas arak pada nasi? Apa dia tak salah dengar? Itu 
permintaan aneh yang seumur-umur baru kali ini di

dengarnya....
"Mencampurkan segelas arak pada nasi, Den?" 
ulang Bocah pelayan tak yakin.
Orang bertudung dengan pakaian yang cukup 
perlente mengangguk.
"Aneh, ya?" tanyanya.
Si pelayan muda buru-buru menggeleng.
"Ah, soal selera, orang kan berbeda-beda. Ram-
but boleh sama hitam, tapi selera berlainan...," tukas-
nya seraya tertawa kecil.
"Ya... ya," timpal orang bertudung. "Kalau begi-
tu...."
Belum selesai ucapan tambahannya, lelaki bu-
ruk rupa yang duduk pada kelompok orang berpakaian 
merah hati membentak kasar.
"Hei, Jongos! Bukankah aku meminta kau un-
tuk mengambilkan arak! Kenapa kau masih berlama-
lama?!"
Lalu dihantamnya meja. 
Drak!
Membuat piring-piring berhamburan ke lantai. 
Tiga kawannya yang lain tertawa terbahak-bahak. En-
tah apa yang mereka anggap lucu dari kejadian itu.
Untung saja bocah pelayan tidak termasuk 
orang berpenyakit 'jantungan'. Badannya terlonjak di 
tempat. Wajahnya kontan memucat. Bibirnya gemeta-
ran.
"Cepatlah kau layani mereka, Adik. Tak menga-
pa pesananku kau antar belakangan," pinta orang ber-
tudung, sedikit memberi kelapangan pada bocah pe-
layan.
Buru-buru pelayan muda itu beranjak ke arah 
dapur. Tak lama dia sudah keluar membawa dua kendi 
tuak. Dengan tangan gemetaran seperti dilanda lindukecil, diletakkannya dua kendi tuak ke atas meja 
orang-orang berpakaian merah hati.
Baru hendak beranjak, tangan lelaki berperut 
buncit menahannya. Tak kalah kasar dengan cara le-
laki sebelumnya.
"Kau berdiri di sini saja. Kami tak mau kalau 
kau tak ada saat kami memesan yang lain!" ujarnya 
dengan nada mengancam. "Kau mengerti, heh??" sam-
barnya lagi. Matanya melirik sinis ke arah orang ber-
tudung. Sudah jelas niat sebenarnya. Lelaki berperut 
buncit sengaja menahan bocah pelayan agar pesanan 
orang bertudung tak sampai-sampai.
Keterlaluan memang.
Bocah pelayan menelan ludah. Dia tak bisa 
mengangguk atau menggeleng. Mengangguk berarti dia 
setuju untuk tak melayani pesanan orang bertudung. 
Kalau menggeleng, sama artinya dia sengaja minta bo-
gem mentah!
"Apa kau tak bisa mengangguk? Lehermu ka-
ku? Perlu aku buat agar lehermu bisa lemas?!" hardik 
lelaki lain, mendukung 'permainan' tengik kawannya.
Satria melirik malas-malas. Jangankan pesa-
nan orang bertudung. Pesanannya pun belum jelas 
juntrungannya. Sudah sejak tadi dia menunggu. Pe-
rutnya sudah ngadat berat minta diisi. Pendekar muda 
itu menarik napas, menahan-nahan kesabaran.
Dia bangkit. Urusan manusia tengik macam 
begitu tak perlu membuatnya turun tangan. Hanya 
membuang tenaga. Sebaiknya dia mencari kedai lain, 
pikir Satria.
"Hei, mau ke mana kau Kisanak?!" cetus salah 
seorang lelaki berpakaian merah hati.
"Tak jadi makan karena merasa tak dilayani? 
Merasa tak dihargai?!" ledeknya seraya mengusap

usap dagu berbewok tipis namun kasar.
Satria diam sebentar. Selesai cemoohan tadi, 
dia melanjutkan langkah.
"Ya, pergilah kau!" teriak lelaki gendut seraya 
menenggak tuak langsung dari kendi.
Keempat lelaki itu tertawa tergelak-gelak, sea-
kan para petarung yang baru memenangkan pertem-
puran hebat di medan laga. Cara tertawa mereka seo-
lah-olah dunia mereka yang punya.
Satria tak mau ambil pusing. Dia meneruskan 
langkah. Sampai langkahnya tertahan oleh seruan da-
tar orang bertudung.
"Adik Pelayan, tolong bawakan pesananku dan 
pesanan Kisanak berompi bulu itu!"
Bocah pelayan melirik takut-takut. Sekali dia 
melirik orang bertudung, sekali dia melirik kawanan 
orang berpakaian merah hati. Sewaktu menyaksikan 
gagang senjata di balik pakaian orang kasar di depan-
nya, dia menelan ludah.
"Sudahlah.... Ayo, ambilkan saja pesananku 
dan pesanan Kisanak itu," pinta orang bertudung, na-
danya tak memaksa. Namun lebih dekat seperti orang 
yang bergurau.
Bocah pelayan tak beranjak juga. Dia masih 
ngeri membayangkan senjata orang di depannya berge-
rak dan 'menyunat' lehernya. Apa mau dibegitukan?
"Kalau kau merasa susah seperti itu, kenapa 
kau tak mencoba pelihara 'kucing', Adik Pelayan...."
Mendadak orang gendut bangkit dari kursi. Ma-
tanya berangasan. Wajahnya yang sudah merah kare-
na pengaruh tuak menjadi lebih matang.
"Kau hendak mengatakan kalau kami ini seka-
wanan tikus, Bangsat?!" bentaknya, meledak-ledak. 
Ludahnya menyembur seru, menghujani teman di de

pannya.
"Kau yang berkata begitu, bukan aku," kilah 
orang bertudung. Ketenangannya sama sekali tak teru-
sik. Dia tetap duduk tak bergeming.
"Bangsat betul kau!" maki lelaki gendut, diba-
rengi dengan gerakan tangan menepis kendi tuak di 
atas meja.
Wush!
Angin menderu.
Kendi berpusing di udara.
Melesat lurus.
Cepat seperti terjangan anak panah. Orang ber-
tudung tetap tak bergeming. Sudah nekat dia?
Kala tak ada seorang pun percaya orang bertu-
dung bisa menghindari terkaman kendi tuak yang me-
luncur ganas, jarinya tahu-tahu sudah menjentik. Ge-
rakan yang kecil saja. Tapi, akibatnya cukup untuk 
membuat gelas di depannya mencelat seketika
Sing....
Denging santer terdengar. 
Mengkebiri deru dari Kendi tuak. 
Prang!
Gelas tadi menghantam kendi tuak. Kedua 
benda lebur berserpih. Yang tak kalah mengagumkan, 
seluruh pecahannya justru meluncur sengit ke arah 
kawanan orang berpakaian merah hati.
"Keparat!!"
Dibarengi sumpah-serapah, keempat lelaki itu 
berhamburan dari tempatnya. Mereka harus mem-
buang diri dari tempat masing-masing. Jika kalah ce-
pat dari kepingan tadi, mereka akan bernasib serupa 
dengan meja kayu yang kini tertembus.
Satria melirik. Sikapnya acuh tak acuh. Dalam 
hati, dia mau tak mau mengagumi kepiawaian orang

bertudung mengatur tenaga dalamnya. Mungkin orang 
akan luput menilai hal tersebut. Satria tidak.
Dia cukup jeli. Betapa sulit untuk membuat 
kepingan-kepingan gelas dan kendi tuak tidak menge-
nai bocah pelayan yang berdiri terlalu dekat dengan 
kawanan lelaki berpakaian merah.
Tindakannya menjegal luncuran kendi tuak 
dengan menjentik gelas saja sudah cukup memperli-
hatkan siapa dirinya. Ditambah dengan kehebatannya 
mengatur arah kepingan yang demikian banyak, makin 
jelas saja siapa dirinya. Dia bukan orang sembaran-
gan, nilai Satria.
Keempat lelaki berpakaian merah hati berdiri 
pada tempat yang baru. Dua orang di atas meja. Si-
sanya mendarat di lantai. Wajah mereka sudah terba-
kar tak tertolong. Semuanya siap dengan kuda-kuda.
"Kau akan kurencah, Keparat!" geram lelaki 
gendut seraya menggenggam gagang senjata di ping-
gangnya.
"Kau sendiri?" tukas orang bertudung. "Kenapa 
tak kau ajak kawanmu yang lain. Biar cepat kuselesai-
kan urusan dengan kalian...," kata orang bertudung. 
Datar saja. Namun tajam menghujam.
Srang!
Lelaki gendut tak bisa menahan tangan. Senja-
ta diloloskan. "Haaaahh!!"
Dari atas meja, tubuhnya menerkam. Berat 
memang tubuhnya. Kalau dia tak memiliki cukup ilmu
peringan tubuh, akan terlalu sulit baginya untuk me-
lakukan tindakan itu. Senjata di tangannya menyabet 
udara. Arahnya ke batok kepala orang bertudung.
Wukh!
Tebasan pertama!
Orang tenang saja. Tangannya mengangkat

kendi air dari atas meja. Masih sempat dia meneguk 
isinya sebelum akhirnya dia menangkis senjata lawan.
Tang!
Sewajarnya kendi tanah liat akan pecah ber-
hamburan. Tak wajar kalau tidak terjadi. Kenyataan-
nya memang demikian. Siapa yang ingin terperangah, 
silakan. Lelaki gendut adalah orang pertama yang ter-
perangah di udara.
Kesempatan baik untuk orang bercaping. Ke-
terperangahan lawan dimanfaatkan. Tangannya meng-
gerakkan kendi tanah liat kembali.
Wukh!
Deras menuju kepala lawan. Jaraknya cuma 
satu lengan. Bahaya besar buat lelaki gendut. Sebe-
lumnya dia menyaksikan sendiri senjatanya tidak 
sanggup membuat kendi terpecah, kendati dia sudah 
mengerahkan tenaga penuh. Kalau kepalanya seka-
rang yang harus bertumbukan dengan kendi tanah 
liat, apa yang bisa diharapkan?
Masih di udara, lelaki buncit menjerit. Matanya 
ditutup rapat-rapat. Wajahnya terlipat. Ketakutan te-
ramat sangat, sudah pasti.
Tepat hanya dua jari di depan hidung lelaki 
buncit, kendi tanah liat berhenti. Tubuhnya terus me-
layang. Karena merasa dia akan segera mampus, lelaki 
buncit tak sempat memikirkan lagi bagaimana me-
nyeimbangkan badan. Dia jatuh berdebam menimpa 
meja. Meja sampai berantakan.
Cukup lama dia tak berdiri. Tengkurap saja di 
atas pecahan meja dengan tangan dan kaki tergantung 
seperti biang kura-kura sedang berjemur. Se-bentar 
kemudian matanya terbuka pelan-pelan. Tangannya 
memeriksa wajah. Tak ada yang kurang sedikit pun, 
pikirnya. Bagaimana bisa begitu? Bukankah kendi air

di tangan prang bertudung sudah tak mungkin lagi lu-
put dari kepalanya?
Biarkan dia kebingungan sendiri. Tetap seperti 
kura-kura sampai kiamat pun biar saja!
Sementara itu, ketiga kawannya masih juga be-
lum menyadari siapa yang dihadapi sebenarnya. Te-
rang saja, mereka memang belum menerima 'jatah'. 
Jadi silakan saja kalau mereka mau memintanya.
"Bantai!" seru seorang di antara mereka. Lagak 
sekali. Seolah mereka tiga jago yang tak terkalahkan 
selama tujuh puluh tujuh turunan.
Ketiganya melompat berbarengan.
Silakan!
Di pihak lawan, orang bertudung benar-benar 
tak berniat ke mana-mana. Sejenis manusia sakti pe-
malaskah dia? Siapa yang ambil pusing?
Yang jelas, ketika serangan datang memberon-
dong, dia meneguk air dalam kendi lagi. Beberapa te-
guk tertelan. Sisanya tetap di mulut.
Seperti sengaja bermain-main, dimancurkannya 
air dari mulut ke permukaan meja seperti air dari pan-
curan kecil. Belum sempat ujung kucuran air menyen-
tuh permukaan meja, jari tangannya menjentik.
Tas!
Dua orang lawan yang menyerang dari sisi ka-
nan mendadak kaku di tempat. Wajah mereka tetap 
dalam mimik buas. Sebelumnya pasti seram. Bisa 
membuat jantung orang jompo soak di tempat. Tapi 
kalau terus begitu tanpa berubah-ubah, malah jadi 
terlihat lucu.
Kawannya yang paling akhir menyerang turut
berhenti juga. Bukan kaku mendadak. Melainkan dia 
sendiri yang menghentikan geraknya. Matanya tak 
berkedip menatap dua kawannya. Bagaimana bisa dua

orang mendadak kaku di tempat? Ceracau hatinya, 
gentar. Jangan-jangan, orang yang kuhadapi sekarang 
sejenis tukang sihir atau dukun santet, pikirnya was-
was. 
Sewaktu orang bertudung mulai menenggak air 
dalam kendi tanah liat kembali, lawan terakhir tadi 
menelan ludah susah payah. Apakah sekarang giliran-
nya?
Ketimbang kaku, lebih baik minggat, pikirnya. 
Cukup bijaksana. Sebab kalau tidak, urusan jadi agak 
lebih lama. Itu menurut pihak orang bertudung.
Lantas, lelaki tadi pun 'ngacir'! Berlomba den-
gan lelaki buncit yang sudah bangkit lebih dahulu.
Satria tersenyum kecil. Dia melangkah kembali 
ke mejanya. Sekarang sudah bertambah satu penilaian 
lagi untuk orang bertudung. Bahwa orang itu adalah 
ahli jalan darah. Kendati masih cukup sulit untuk me-
nyaksikan percikan air yang dijentik orang bertopeng, 
namun Satria bisa menduga kelanjutannya. Percikan 
air dalam kecepatan amat tinggi itu menotok beberapa 
titik jalan darah dua orang lawannya. Itu yang menye-
babkan mereka menjadi kaku mendadak. Itu pula yang 
menyebabkan lawan terakhir tak melihat kalau ka-
wannya kaku karena tertotok.
Permainan lihai....
"Terimakasih, Saudara...," ucap Satria seraya 
menoleh pada orang bertudung.
"Terima kasih untuk apa?"
"Entahlah. Mungkin untuk kesediaanmu men-
gingatkan pelayan untuk membawakan pesananku?" 
kelakar Satria.
Tak terdengar orang bertudung tertawa. Tapi, 
Satria tetap percaya dia tersenyum di balik tudungnya.
"Dan, kau...," lanjut Satria, sambil mengarah

kan pandangan ke arah bocah pelayan, "Kenapa masih 
berdiri di sana? Bukankah kau seharusnya mengan-
tarkan pesanan kami?"
Masih dengan wajah pucat dan bibir gemetar, 
bocah pelayan tersenyum. Bergegas dia melangkah ke 
dapur. Jalannya agak diseret. Bukan apa-apa. Dia su-
dah terkencing di celana!
* * *
Satria berniat melanjutkan perjalanan setelah 
perutnya cukup terisi. Sebelum keluar, dia hendak 
pamit pada orang bertudung yang duduk di meja bela-
kang. Ketika menoleh, Satria sudah tak menemukan 
orang itu lagi. Di mejanya tertinggal beberapa keping 
kepeng yang cukup untuk membayar makanan dan 
minumannya, sekaligus kerusakan akibat keributan.
"Siapa orang itu?" gumam Satria ketika dia me-
naiki kudanya. Dalam hati, Satria agak menyesali ke-
napa dia tak menanyakan jati diri orang itu sejak mu-
la. Sekarang orang itu sudah tak ada. Menyesal tak 
ada guna.
"Ah, kalau ada sumur di ladang, bolehlah me-
numpang mandi. Kalau umur panjang, mungkin nanti 
jumpa lagi" gumam pendekar muda itu lagi, menghibur 
diri.
Lalu digebahnya kuda.
"Heaa!!!"
Kuda berlari kencang.
Menyisakan debu yang mengambang di bela-
kang.
***

SEMBILAN
SATRIA tiba di Lembah Pangrango, setelah me-
nempuh berhari-hari perjalanan yang amat melelah-
kan. Pagi hari ketika itu. Malam sebelumnya, Satria 
memaksa untuk terus memacu kuda. Berhubung su-
dah dekat, dia tak ingin membuang waktu. Menurut 
perkiraannya, dia akan tiba pagi hari. Memang tak me-
leset.
Suasana nyaman menyambutnya. Sejuk men-
gepung. Matahari masih menyembul malu-malu di ba-
hu lembah sebelah timur. Sinarnya masih lamat. Na-
mun sudah cukup menghangatkan. Rerumputan hijau 
menghampar. Pepohonan di beberapa tempat masih 
dibasahi embun. Cemara bergerak kecil disapa angin. 
Burung di atasnya menembangkan senandung alam. 
Lembah Pangrango sudah seperti surga kecil.
Sesaat Satria menikmati seluruh keramahan 
alam di atas punggung kudanya. Rasanya, dia ingin te-
rus menarik dada dan menikmati kesejukan itu untuk 
selamanya. Jelas itu tak mungkin. Pendekar muda itu 
lalu turun dari punggung binatang tunggangannya. Di-
tuntunnya kuda itu sebentar, dan dibiarkan memakan 
rumput segar.
"Di bagian mana aku bisa menemukan dia?" 
gumamnya.
Pandangannya menebar. Tak ada sedikit pun 
tanda-tanda seseorang pernah tinggal. Tak di mana 
pun, meski dia sudah memandang ke segenap penjuru.
Dewa Gila. Kalau menilik julukannya, Satria 
Gendeng yakin orang yang hendak ditemui memiliki 
tabiat aneh. Mungkin tak jauh beda dengan gurunya. 
Karena itu dia disebut Dewa Gila. Orang bertabiat

aneh, biasanya memiliki kebiasaan dan cara hidup 
yang berbeda dengan orang kebanyakan.
Satria tertawa sendiri. Lucu juga, pikirnya. Ka-
lau ada orang punya kebiasaan yang berbeda dengan 
kebiasaan orang banyak, lalu orang itu pun disebut 
tak waras. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja ju-
stru orang kebanyakan yang mungkin sudah tak wa-
ras. Sementara orang yang dituduh gila, sableng, sint-
ing, gendeng, dan sebagainya justru orang yang masih 
tetap waras.
Yah, kalau jaman semakin edan, biasanya 
orang kebanyakan juga ikut edan. Mereka yang edan 
ini mana mau disebut tak waras? Buntut-buntutnya, 
mereka mencari 'kambing hitam'. Orang yang berlai-
nan cara hidupnya dengan mereka pun dituding tak 
waras.
Ini yang disebut; 'zaman jungkir-balik'! Yang sa-
lah bisa disebut benar. Sebaliknya, yang benar malah 
dikatakan salah. Kepala dijadikan kaki, kaki dijadikan 
kepala. Walhasil, kebanyakan orang pun menjalani hi-
dup dengan 'pantat' sebagai kepalanya!
Memutus renungannya, Satria Gendeng kemu-
dian menambatkan tali kekang kuda ke batang pohon. 
Dibiarkannya kuda jantan itu merumput. Satria sendi-
ri melangkah, mencoba mencari tempat persembu-
nyian Dewa Gila.
Menurut kabar burung, Dewa Gila sudah lama 
tak turun ke dunia persilatan. Menyepi atau mati, tak 
jelas lagi. Terhitung sudah empat puluh tahun dia tak 
menampakkan batang hidung. Sudah banyak kalan-
gan muda persilatan yang tak mengenal rupa Dewa Gi-
la kecuali julukannya. Termasuk Satria sendiri. Jadi 
kalau nanti dia mengalami kesulitan, bisa dianggap 
wajar saja.

"Hoiii, apa ada manusia di sekitar tempat ini??!" 
Satria Gendeng mulai berteriak, memancing siapa pun 
keluar. Dia berharap ada ‘sepotong’ manusia bakal 
muncul. Bukan dedemit atau tikus lembah kesasar.
"Hooiii, apa ada yang mendengar?!!"
Tak ada apa-apa. Tak muncul seorang pun se-
perti yang diharapkan. Satria tak cepat putus asa. Dia 
berteriak-teriak lagi. Mungkin kalau dia meneriakkan 
nama Dewa Gila, orang yang dicarinya akan segera 
muncul. Siapa tahu?
"Dewa Gilaaaa!!!!"
Masih tetap sama.
"Dewa Giiaaaa!! Aku ingin bertemu denganmu!!"
Sampai teriakan pendekar muda itu berubah 
serak, tetap tak ada seorang pun muncul.
"Sial," rutuk Satria. "Barangkali benar ucapan 
beberapa orang, Dewa Gila sudah mati. Kalau sudah 
jadi bangkai, mana mungkin bisa mendengar," rutuk-
nya lagi, berkomat-kamit.
Mendadak saja....
Ngung!
Sebentuk benda sebesar kepalan tangan me-
layang deras ke arah Satria Gendeng. Berputar hingga 
menghasilkan dengung. Arahnya dari barisan pepoho-
nan rindang di tepi lembah. Satria terkesiap. Kesiga-
pannya tak berkurang. Tangannya gesit memapak.
Tap!
Sesuatu tertangkap tangannya. Ketika diteliti, 
ternyata hanya sepotong kincir kecil dari bambu yang 
biasa dibuat anak-anak untuk permainan.
"Apa-apaan ini?" bisik Satria tak mengerti.
Sebelum kebingungannya terjawab.
Ngung... ngung... ngung.... 
Mata Satria membelalak. Dari arah yang sama

dengan kincir sebelumnya, bermunculan puluhan kin-
cir lain.
Berkejaran.
Cepat.
Berdengung-dengung tumpang-tindih.
"Sial!!!" maki Satria Gendeng seraya berjumpali-
tan kian ke mari menghindari terjangan seluruh kincir. 
Memang itu semacam mainan anak-anak. Tapi kalau 
mendengar dari dengung yang dihasilkan serta kecepa-
tannya, bukan tak mustahil benda itu bisa melu-
kainya. Bahkan bisa saja lebih parah dari itu... mam-
pus!
Trak trak!
Karena dihujani terlalu deras, Satria Gendeng 
terpaksa mengeluarkan Kail Naga Samudera yang ma-
sih berbentuk tongkat pendek. Dengan senjata pusaka 
itu, dibabatnya beberapa kincir sampai hancur beran-
takan.
Napas si pendekar muda murid Dedengkot 
Sinting Kepala Gundul dan Tabib Sakti Pulau Dedemit 
itu terengah-engah ketika serangan mendadak itu bisa 
diatasi.
"Heii, siapa kau?!" serunya kemudian, dengan 
posisi memasang kuda-kuda. Hanya bersiaga jika ada 
serangan mendadak susulan.
Sepi.
Tak ada dengung lagi.
Sudah usai? Belum. Karena tak lama kemu-
dian, datang lagi satu kincir yang lebih besar. Bahkan 
jauh lebih besar dari ukuran sebelumnya. Yang keluar 
sekarang bisa dibilang 'biang'-nya kincir, berukuran 
kira-kira seukuran setengah badan manusia!
Yang satu ini bisa dipercaya sanggup memeng-
gal kutung tangan atau kepalanya!


Ngunggg!!!
Arah serangan yang lurus saja agak memudah-
kan Satria Gendeng untuk menangkisnya dengan Kail 
Naga Samudera. Bodoh kalau dia mencoba memapaki 
dengan tangan telanjang.
Trak!
Kincir besar tersentak ke samping. Arahnya 
berbelok, namun tak cukup membuat Satria Gendeng 
lega. Karena kejap berikutnya, arah senjata (itu pun 
kalau bisa disebut begitu!) ganjil itu berputar kembali 
menuju dirinya.
Satria baru sadar kalau benda itu dikendalikan 
dari jarak jauh ketika matanya menangkap benang ha-
lus yang membentang dari belakang kincir ke jajaran 
pepohonan rindang di tepi lembah. Betul-betul per-
mainan yang tak bisa dianggap main-main! 
"Haih!"
Karena kincir besar berbelok demikian menda-
dak, Satria dipaksa untuk membuang diri ke samping. 
Tubuhnya berjumpalitan di atas tanah. Kincir menge-
jarnya. Tak sempat lagi bagi Satria Gendeng untuk 
memperbaiki posisi kecuali terus berjumpalitan. Be-
nar-benar dia dijadikan bulan-bulanan. Untung saja 
sewaktu menjalani godokan dari Tabib Sakti Pulau De-
demit, dia terbiasa menghadapi ancaman karang di 
tengah lautan yang berombak sangar. Naluri menyela-
matkan dirinya jadi demikian tajam.
Satria Gendeng tak mau terus berjumpalitan 
sampai kepalanya tujuh keliling. Dalam kegentingan, 
dia mencari akal. Dibawanya kincir ke arah satu pohon 
besar. Ketika tiba di dekat pohon nanti, dia akan me-
lompat tiba-tiba ke atas. Biar kincir itu menghantam 
pohon yang besarnya empat kali pelukan manusia. 
Masa' iya kincir tidak hancur?

Satria pun terus berjumpalitan ke arah pohon.
Sampai....
"Heeaa!!"
Dia menjejakkan kaki tiba-tiba, dan langsung 
melompat ke atas dahan pohon yang lebih tinggi seper-
ti rencananya. Sejauh itu memang berhasil. Namun 
kalau berharap kincir besar menghantam pohon, Sa-
tria Gendeng terlalu tergesa-gesa. Karena begitu tubuh 
Satria membuat atraksi cepat ke atas dahan pohon, 
kincir besar itu pun berbelok ke samping. Jaraknya 
padahal hanya tinggal dua jengkal lagi dari pohon.
Satria dibuat takjub. Bisa dinilainya kelihaian 
si pengendali kincir besar!
Di kejauhan sana, tepatnya dari jajaran pohon 
rindang di tepi lembah, tercetus kekeh kecil yang re-
nyah.
"He he he!!!"
Satria mengerutkan kening. Apa aku tak salah 
dengan? Usik pikirannya. Suara kekeh itu bukan milik 
seorang tua, melainkan milik bocah kecil! Semula, Sa-
tria Gendeng mengira permainan berbahaya tadi dila-
kukan oleh Dewa Gila. Sepanjang pengetahuannya, 
Dewa Gila sudah tua bangka. Bukan bocah ingusan!
Sedang dilanda kecamuk pikirannya, Satria 
Gendeng diserang lagi oleh kincir besar dari arah 
samping bawah.
Ngungg!
Pendekar muda itu melompat dari atas dahan. 
Tras!
Gila juga! Dahan sebesar paha manusia lang-
sung terpenggal seperti sepotong pedang menebas ba-
tang pisang! Bagaimana kalau mata kincir sempat 
mengenai kakiku? Perangah Satria dalam hati.
Selanjutnya Satria mendarat empuk di tanah

berumput. Tempat yang terbuka. Tentu saja akan lebih 
memberi keleluasaan bagi kincir besar untuk terus 
memburunya. Satria tidak bodoh. Dia punya renca-
na....
"Heaaa!!!"
Srat, cletar!
Kail Naga Samudera yang semula berbentuk 
tongkat pendek, mendadak terulur. Disusul oleh lecu-
tan tali kail terbuat dari ekor pari pelangi. Sekarang, 
apa masih bisa kincir besar itu unjuk gigi jika berha-
dapan dengan senjata pusakaku? Ancam Satria dalam 
hati.
Kincir besar pun memburunya.
Satria memang berharap begitu.
Ngungg!
Kian dekat....
Saat kincir besar sudah mencapai jarak jang-
kau Kail Naga Samudera, Satria membuat lecutan 
mendadak disertai pengerahan tenaga dalam.
Wukh, cletar!!
Seakan tahu betapa berbahayanya ujung Kail 
Naga Samudera, kincir besar mendadak membuat ge-
rak kiri-kanan yang cepat. Lecutan pertama tak mem-
bawa hasil apa-apa. Sementara jarak semakin dekat.
Satria tersenyum, agak menyeringai. Kau kira 
aku tak bisa mengimbangi kecepatan gerak kincirmu? 
Dengusnya membatin. Untuk rencana itu, Satria tak 
beranjak dari tempat berdirinya. Agak nekat memang, 
tapi dia tahu pasti apa yang hendak diperbuatnya.
Ketika kincir semakin dekat dengan luncuran 
zig-zag, Satria mengebutkan kembali Kail Naga Samu-
dera. Jika sebelumnya dari atas ke bawah, kini dari si-
si ke sisi. 
Wukh, cletar!

Ujung Kail Naga Samudera membentuk liukan 
bertenaga dengan arah menyamping. Hal itu berakibat 
tertutupnya gerak kiri-kanan kincir besar.
Krakh!
Tepat pada liukan sengit di ujung mata kail, 
kincir besar melepaskan suara keras. Satu mata kin-
cirnya terhantam dan patah seketika.
Kincir besar jadi kehilangan keseimbangan. Se-
saat benda itu melayang-layang ngawur. Sempoyongan 
sana-sini. Tak beda dengan layangan 'singit', atau pe-
mabok kebanyakan minum. Sampai akhirnya jatuh 
berdebam menimpa bumi.
Satria tergelak menyaksikan kejadian itu.
Di jajaran pepohonan rindang, malah terdengar 
rengekan yang kemudian berubah menjadi raungan 
menjadi-jadi. Eh, bocah siapa yang kehilangan mai-
nan?
***
SEPULUH
TERLALU kecele Satria jika mengira rengekan 
yang didengarnya datang dari seorang bocah. Sebab 
ketika muncul seseorang dari jajaran rapat pepohonan, 
Satria menyaksikan seorang yang sama sekali tidak bi-
sa disebut bocah. Badannya bongsor. Wajah kebodoh-
bodohan. Kian parah penampilannya dengan menge-
nakan baju monyet.
Sambil mengusap-usap mata dengan punggung 
tangan, lelaki ketolol-tololan itu berjalan beberapa 
langkah ke arah Satria. Dia berhenti dalam jarak tiga 
puluh tombak.

"Hu hu hu... kau telah merusak mainanku, 
Kunyuk!" makinya merajuk-rajuk. Bibir bawahnya ma-
ju sekian senti. Jelek tak tertolong.
Satria serba salah. Mau meringis salah, mau 
tersenyum salah, mau tertawa apa lagi. Kalau tertawa, 
jangan-jangan disangka meledek. Bakalan kian menja-
di tangisan yang sama sekali tak sedap masuk ke te-
linga itu. Sebenarnya pemandangan yang dilihatnya 
amat bisa membuat dia tersenyum. Tapi, apa pantas? 
Sepertinya dengan tersenyum dia merasa telah menge-
jek seorang berotak udang. Kalau meringis? Apa 
mungkin dia melakukan hanya karena ikut prihatin 
dengan kesedihan tengik si 'bocah ajaib'?
Akhirnya, Satria cuma bisa garuk-garuk kepala. 
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Satria. 
"Siapa... siapa. Pakai tanya segala. Kau pikir 
aku tak akan jadi marah karena kau berlagak ramah 
seperti itu. Huh, tak sudi!" omel si bocah tengik. Se-
bentar dia memutuskan rengekannya. Sebentar kemu-
dian dia menyambung kembali. Dari lagak dan 
gayanya bicara, benar-benar tak bisa dibedakan den-
gan seorang bocah berumur tujuh tahun. Tapi, ya Tu-
han. Orang ini bukan bocah lagi. Kalau bocah, apa iya 
kakinya 'kaya' dengan bulu. Tak terhitung bulu-bulu di 
tempat tersembunyi. Sudah berkumis pula. Jenggot 
pun ada, kendati cuma beberapa lembar.
"Kau bukan Dewa Gila?" tanya Satria lagi, ma-
sih dikungkung kebingungan.
"Dewa Gila.... Dewa Gila. Seperti kau sudah 
kenal dengan guruku saja...."
"Hey jadi kau murid Dewa Gila?" perangah Sa-
tria.
"Diam! Aku tak menerima pertanyaan dari 
orang yang telah merusak mainanku!"

"Mainanmu?!" Dua kali Satria terperangah. 
Mestinya sejak dari tadi. Sebelumnya bocah bongsor 
itu sudah menyebut-nyebut hal itu. Hanya karena Sa-
tria terkesima menyaksikan orang yang dikiranya cu-
ma seorang bocah berusia tak lebih dari tujuh tahun 
jika dinilai dari suaranya yang terdengar sebelumnya, 
dia tak begitu memperhatikan.
"Mainan katanya?" dengus Satria. "Mainan yang 
bagus kalau bisa membuat aku nyaris mampus...."
Satria mencak-mencak. Dihampirinya kincir 
besar milik si bocah bongsor. Ditendangnya benda itu 
gemas-gemas. Benda itu hancur berantakan. Lebih 
hancur dari sebelumnya. Sisa mata kincirnya berpen-
talan ke mana-mana. "Huaaaaa!"
Meraunglah si bocah ajaib. Suara raungannya 
melayap entah sampai ke mana.
"Itu yang kau bilang mainan?" dengus Satria, 
belum puas. "Benda sial yang hampir saja membuat 
kepalaku menggelinding?! Kenapa kau tak kau jadikan 
saja semua senjata paling berbahaya di jagat ini seba-
gai mainanmu?!" semprotnya meledak-ledak.
"Tapi... tapi...," tercekat-cekat, si bocah ajaib 
yang sebenarnya lebih pantas disebut bocah ganjil, 
mencoba berkilah.
"Tapi, itu benar-benar mainanku, Bapak...." Sa-
tria mendelik. Sejak kapan aku jadi bapaknya? Lagi 
pula, apa wajahku sudah kelihatan tua sampai disebut 
begitu? Tampik Satria. "Hey, jangan panggil aku Ba-
pak!" 
"Iya, Kakang...," katanya terseguk. Apalagi keti-
ka mendapat bentakan Satria.
"Itu lebih bagus!"
"Jadi, Kakang mau membuatkan aku mainan 
baru, ya???" dari merengek-rengek, si bocah ajaib ter

senyum-senyum. Kedua tangannya dikatupkan di de-
pan wajah. Lalu badannya bergoyang-goyang. Seper-
tinya dia hendak mengambil hati Satria.
Satria merengut. Mimpi apa aku semalam sam-
pai harus berhadapan dengan manusia ini? Keluhnya 
membatin.
"Mau apa tidak Kakang membuatkan aku mai-
nan baru?" tanya si bocah ajaib. Senyumnya hilang 
karena tak juga mendapat jawaban dari Satria. "Mau 
apa tidak?"
Satria tetap diam. Tetap merengut.
"Mau apa tidak?!"
Lalu nadanya mulai berubah galak kembali. 
Mendelik pula matanya!
"Sudah diam! Katakan saja, siapa kau sebenar-
nya? Apa hubunganmu dengan Dewa Gila?!" serbu Sa-
tria.
"Dia muridku, Bocah Brengsek!"
Sebentuk suara mendadak memenggal.
Satria tersentak. Bukan semata karena tak 
menduga munculnya suara tadi. Melainkan dia mera-
sakan betapa tenaga dalam yang terkandung dalam ge-
lombang suara itu demikian hebat menggetarkan. Yang 
aneh, tidak di gendang telinga. Melainkan langsung ke 
dalam hatinya. Nyalinya seperti hendak dipaksa men-
ciut.
Satria berusaha menemukan sumber suara itu. 
Tak pernah berhasil. Sumber suara itu seperti bisa da-
ri mana saja. Seakan dari satu tempat yang tak ada di 
mana-mana. Pendekar muda itu celingukan ke sana
kemari.
"Mencari siapa kau, heh?!" 
Terdengar kembali bentakan angker. Dari orang 
yang sama. Tetap tak bisa ditentukan dari mana sum

bernya.
Satria mulai berpikir, mungkin orang inilah 
Dewa Gila yang hendak ditemuinya. Pucuk dicinta 
ulam pun tiba kalau begitu!
"Hoi, apakah kau si tua Dewa Gila?!" seru Sa-
tria.
"Apa maumu bertanya-tanya?"
"Aku ada satu keperluan denganmu!!"
"Terangkan!"
"Bisakah kau keluar terlebih dahulu?!"
"Jelaskan saja, Brengsek!"
"Aku mendapat tugas dari Adipati Wisnu Ber-
nawa!"
"Aku tak kenal dia!"
"Beliau Adipati Lumajang!"
"Mau Lumajang kek, mau neraka kek!"
"Baiklah... baiklah. Kalau kau tak mau tahu 
dengan beliau, setidaknya kau ingin melihat surat 
yang dititipkan padaku untukmu, bukan?"
"Tak perlu! Minggat saja kau dari tempat ini!"
"Ini soal besar! Kau dibutuhkan untuk mem-
bantu menyelesaikannya!"
"Membantu? Heh, kau pikir aku ini semacam 
jongos?"
Satria geleng-geleng kepala.
Si bocah ajaib malah cengar-cengir. Dia kegi-
rangan seperti hendak melompat langsung ke awan sa-
ja mendengar suara Dewa Gila yang diakui sebagai gu-
runya. Dan sebaliknya, Dewa Gila pun mengakui dia 
sebagai muridnya. Girang, karena Satria menurutnya 
sedang dipermainkan. Balas dendam cara seorang bo-
cah....
"Tentu saja kau bukan jongos...," keluh Satria, 
pegal berteriak-teriak seperti orang kehilangan akal.

"Kau mau pergi atau tidak?!" ancam suara tadi.
"Aku mengemban amanat, Orang Tua. Sebagai 
seorang ksatria, tak mungkin rasanya aku pergi sebe-
lum amanat disampaikan kepada yang berhak mene-
rimanya. Aku siap menerima apa pun akibatnya, asal 
kau mau menyempatkan waktu membaca surat yang 
kubawa ini...." 
"Pergi kataku! Atau kau akan kuinjak-injak 
sampai rata dengan tanah!"
Astaga, apakah Dewa Gila itu sejenis tokoh Bi-
ma dalam pewayangan yang memiliki tubuh meraksa-
sa sampai bisa menginjak-injak orang sampai rata 
dengan tanah? Satria berbisik dalam hati. Ngeri-ngeri, 
campur geli.
"Sudah kubilang aku tak bisa," tandas Satria.
"Pergi atau tidak?"
"Tidak, Orang Tua...," ucap Satria. Nadanya 
agak merendah, supaya bisa sedikit mengambil hati 
tua bangka yang belum lagi disaksikan rupa dan wa-
jahnya.
"Hmm, kalau begitu terserah kaulah!"
Nada suara si orang tua pun melandai. Ru-
panya dia termasuk manusia yang mudah tersentuh 
oleh sedikit kerendahan hati. Atau mungkin dia bisa 
menilai Satria sebagai seorang pemuda yang patut di-
hargai dengan kemantapan tekadnya untuk suatu 
yang diyakini?
"Bagaimana dengan surat dari adipati?"
Tak ada jawaban.
Satria curiga. Jangan-jangan orang tua itu su-
dah minggat dari tempatnya.
"Orang tua? Kau masih di sana?!" ulang Satria. 
Tak juga ada jawaban.
Satria menghempas napas. Dia sudah menyim

pulkan Dewa Gila telah pergi. Masih ada kemungkinan 
untuk menemukannya selama dia masih berada di 
Lembah Pangrango. Timbang punya timbang, mungkin 
dia memang tak sudi dilibatkan dalam masalah di Lu-
majang, pikir Satria. Kalau sudah begitu, percuma saja 
jika dia mencarinya kembali.
Satria mendapat akal. Bocah ajaib itu mungkin 
bisa dimanfaatkan untuk membujuk gurunya. Bukan-
kah orang semacam dia paling bisa merayu dengan 
gaya yang memelasnya seperti pernah dilakukan sebe-
lumnya terhadap Satria. Kalau benar Dewa Gila terma-
suk orang tua yang cepat tersentuh dengan kerenda-
han hati, bukan tak mungkin kekerasan keputusannya 
akan luruh dengan rayuan memelas sang murid.
Satria menoleh ke tempat bocah berkumis tadi. 
Sudah tidak ada.
"Sial...," rutuk Satria.
Selagi menikmati kekesalan, mendadak terden-
gar suara kekeh tawa. 
Satria tersenyum. Suara itu milik Dewa Gila. 
Berarti dia masih di sekitar tempat itu.
"Bagaimana, Orang Tua?" tukas Satria, meng-
gebu.
"Soal surat itu maksudmu?" 
"Benar!"
Dewa Gila terkekeh lagi. Satria menautkan alis. 
Apanya yang lucu sehingga perlu ditertawakan? 
"Mau kau membacakan untukku...?" kata Dewa 
Gila lagi dengan nada malu-malu.
Satria Gendeng menampar kening sendiri. Se-
karang dia baru tahu 'biang keladi' penyebab Dewa Gi-
la menolak mentah-mentah surat Adipati Wisnu Ber-
nawa. Dia pasti tidak bisa baca!
Satria pun membuka surat tersebut, lalu dibacanya.
Di ujung kalimat, mendadak saja mendesir an-
gin tajam dari arah belakang.
Satria sigap membalikkan badan.
Tahu-tahu, di depan hidungnya sudah berdiri 
seorang kakek bungkuk yang tingginya hanya sebahu 
Satria. Hidungnya berwarna ungu kehijauan. Persis 
buah terung. Matanya besar sebelah. Rambutnya ka-
sar dan awut-awutan berwarna kelabu. Orang tua itu 
mengenakan pakaian berwarna biru tua.
"Kau sebut-sebut soal Tujuh Dewa Kematian?!!" 
serunya persis di depan wajah Satria Gendeng.
Pendekar muda murid dua tokoh kenamaan ta-
nah Jawa itu meringis. Telinganya pekak tak kepalang. 
Mau pecah rasanya gendang telinga. Tidak pecah, su-
dah beruntung besar.
"Kau dengar aku bertanya? Apa kau sebut tadi 
Tujuh Dewa Kematian?!" ulang Dewa Gila lebih meng-
geledek.
Apa dikiranya Satria sudah tuli?
"Benar, Orang Tua," jawab Satria akhirnya.
Dewa Gila menghantamkan tinju ke telapak 
tangan.
"Kau tahu dengan Tujuh Dewa Kematian, 
Orang Tua?" tanya Satria, ingin tahu.
"Siapa yang tak kenal dengan tujuh manusia 
kembar banyak tingkah itu!" ucap Dewa Gila, dilapisi 
kegeraman.
"Bagus kalau begitu. Jadi kau menerima per-
mintaan Adipati, bukan?" sergah Satria.
Dewa Gila mencibir. Diangkatnya tangan tinggi-
tinggi. Sampai ketiaknya hampir mampir di dagu Sa-
tria Gendeng.
"Kalau aku kesal dengan Tujuh Dewa Kematian

bukan berarti aku setuju dengan permintaan Adipati 
itu..."
"Jadi?"
Dewa Gila menempatkan ujung telunjuknya di 
kening. Wajahnya berkerut lebih banyak dari sebelum-
nya.
"Aku akan menyuruh Joyolelano untuk mewa-
kiliku!"
"Siapa dia?" 
"Muridku itu...."
Mak! Mau bilang apa Satria. Yang jelas ma-
tanya tak bisa ditahan untuk tidak mendelik.
"Kau hendak mengutus lelaki yang pikirannya 
tak lebih dari seorang bocah itu untuk satu urusan be-
sar?" perangah Satria. Wajahnya tertarik lebih ketat 
dari seorang yang terkejut disambar dedemit nyasar.
"Jangan kau sebut dia begitu!" hardik Dewa Gi-
la. "Asal kau tahu, di samping muridku, dia juga 
anakku!" 
"Aku tak bermaksud menghina anakmu... dia 
anakmu? Bagaimana mungkin kau memiliki anak se-
perti itu? Dari perut siapa dia lahir?"
"Ya, dari perut istriku. Apa kau pikir dari perut 
kerbau?! Sudah, aku tak mau banyak mulut lagi den-
ganmu. Pokoknya kau terima atau tidak?"
Satria menghembuskan napas. Barangkali pe-
patah lama ada benarnya; 'tak ada rotan, akar pun ja-
di'.
"Baiklah," putus Satria, akhirnya. Menyerah 
dia. Siapa pun tak bisa memaksakan kehendak terha-
dap orang lain. Apalagi menyangkut penegakan keadi-
lan. Semuanya harus datang dari kesadaran pribadi 
terdalam.
"Tapi, asal kau berjanji tetap akan datang jika

anakmu itu mendapat kesulitan...."
"Peduli setan dengan janji!" gerutu Dewa Gila 
seraya 'ngeloyor' begitu saja.
"Oh, ya Orang Tua! Aku ingin bertanya satu hal 
lagi!"
"Tanyakan sebelum aku menghilang seperti 
kentut!"
"Kau tahu bagaimana aku harus menemukan 
Arya Wadam?"
"Kau tak bisa mencarinya. Dia tak pernah ting-
gal di satu tempat!" kata Dewa Gila seraya terus me-
langkah.
"Jadi?"
"Kalau beruntung, kau akan bertemu dengan-
nya secara kebetulan di sebuah kedai. Dia punya ciri 
tersendiri. Arya Wadam akan memesan nasi dicampur 
arak...."
Satria terkesima. Dia ingat pernah menjumpai 
orang itu di kedai beberapa waktu lalu.... Jadi dia per-
nah bertemu Arya Wadam yang mungkin akan amat 
sulit dicari, dan dia meninggalkannya begitu saja?
Apa mungkin si tua bangka Dewa Gila diwakili 
oleh si bocah berkumis untuk mengurus persoalan 
amat besar? Bagaimana lagi cara Satria bisa menemu-
kan Arya Wadam? Siapa dan bagaimana sebenarnya 
dia?


                          SELESAI

 

Share:

0 comments:

Posting Komentar