Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
PAGI baru menginjak usia muda. Berkawal
kokok ayam jantan, roda kehidupan mulai mena-
pak. Sisa-sisa embun mulai terusir oleh jilatan
sinar keperakan matahari yang menyembul malu-
malu di garis Bukit Munthang. Sebagian sinar
matahari menyirami Kadipaten Ponorogo yang
mulai menggeliat oleh kesibukan para penduduk-
nya.
"Heaa...! Heaaa...!"
Dan keheningan pagi pun tergempur oleh
teriakan seseorang yang memacu kencang ku-
danya. Membelah jalan utama kota kadipaten,
membuyarkan beberapa pedagang maupun petani
yang berjalan bergerombol menuju tempat usa-
hanya masing-masing.
Tak ada sumpah serapah yang keluar, ke-
cuali hanya menggeleng-geleng kepala sambil
mengelus dada. Sebab, mereka tahu, siapa si pe-
nunggang kuda. Warok Darmo Singo!
Dia dikenal sebagai adik Warok Singo Lo-
dra, jawara tak tertandingi di Kadipaten Ponorogo
ini. Kendati ilmunya masih di bawah Warok Singo
Lodra, tapi Warok Darmo Singo justru lebih di-
kenal karena ulahnya yang ugal-ugalan.
Wajahnya lebar. Tarikan rahangnya kekar.
Kumisnya lebat dengan cambang juga lebat.
Jenggotnya tak ubahnya sarang lebah. Meman-
jang ke bawah. Pancaran matanya tajam, meman
carkan ketegasan sikapnya.
Pakaiannya komprang warna hitam tanpa
dikancingi. Sepertinya dia hendak memperli-
hatkan dadanya yang ditumbuhi bulu lebat. Ce-
lananya juga komprang berwarna sama.
Si penunggang kuda berusia sekitar tiga
puluhan itu seperti tak ingin peduli. Kudanya te-
rus digebah kencang. Mengarak debu tinggi dan
panjang. Tubuhnya seperti terlonjak-lonjak, sei-
rama dengan derap langkah kuda yang memben-
tak-bentak. Pakaian hitamnya berkibaran, ditera-
bas angin pagi.
Kelihatannya, Warok Darmo Singo tengah
terburu-buru. Itu terlihat dari sikapnya yang se-
perti tak peduli dengan keadaan sekitar. Kudanya
yang megap-megap nyaris kehabisan napas terus
dipacu makin kencang.
Di sebuah rumah besar, Warok Darmo Sin-
go menarik tali kekang. Kuda meringkik seraya
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Ketika kuda tenang, Warok Darmo Singo melom-
pat turun. Dituntunnya kuda memasuki hala-
man.
"Kang! Kang Singo!" teriaknya, lantang.
Menyentak keheningan pagi merekah. Memaksa si
penghuni rumah untuk keluar tergopoh-gopoh.
"Ah, kukira siapa? Kenapa kau berteriak-
teriak seperti orang kesurupan begitu, Darmo?!"
seru seorang lelaki berpakaian sama dengan Wa-
rok Darmo Singo. Wajahnya pun dihiasi brewok
lebat, hanya saja jenggotnya lebih panjang dan
sudah dihiasi warna putih. Rambutnya juga su-
dah berwarna dua. Usianya sekitar lima puluh
enam tahun.
Dialah Warok Singo Lodra, kakak kandung
Warok Darmo Singo.
"Gawat, Kang! Gawat!" terabas Warok Dar-
mo Singo.
"Apa yang gawat, Darmo. Katakan, jangan
berbelit-belit!"
Sebelum menjawab, Warok Darmo Singo
menyerahkan tali kekang kuda kepada seorang
pemuda pengurus kuda. Hendak dibawanya kuda
berwarna putih belang hitam itu ke istal di bela-
kang rumah.
"Kudengar, Warok Jogoboyo akan meni-
kahkan anaknya dengan putra Adipati Ngawi.
Bukankah Nawangsih keponakanku sudah ber-
hubungan lama dengan Senoaji? Malah kudengar
kau akan segera menikahkan mereka?" cerocos
Warok Darmo Singo.
"Kau tidak sedang bergurau, Darmo?"
tanya Warok Singo Lodra. Perlahan saja sua-
ranya, tapi penuh tekanan. Bahkan mendadak
wajahnya menjadi merah bagai terbakar. Jan-
tungnya jadi berdegup kencang, menanti jawaban
adik kandungnya.
"Buat apa aku terburu-buru ke sini kalau
hanya untuk bercanda?"
"Edan..., edan! Keparat! Kenapa Adipati
Ngawi jadi melenceng begitu? Bukankah dia sen-
diri yang berkirim surat kepadaku kalau akan
meminang Nawangsih anakku? Hhmmmhh...!
Mau taruh di mana mukaku kalau dia merubah
rencananya?! Menjilat ludah sendiri itu na-
manya!" dengus Warok Singo Lodra, menggeram
hebat. Dadanya bergerak cepat turun naik, me-
nahan guncangan amarah yang menggelegak,
nyaris hendak meledakkan kepalanya.
"Kakang harus bertindak. Kasihan Na-
wangsih kalau sampai tahu. Kalau hal ini sampai
terjadi, sama saja wajah Kakang tercoreng tai sa-
pi!" Warok Darmo Singo mengompori.
"Kalau kata-katamu benar, akan kuhabisi
Adipati gemblung itu!" desis Warok Singo Lodra.
"Kenapa Kakang tidak menghabisi Warok
Jogoboyo sekalian?" timpal si adik kandung.
"Aku tidak berurusan dengannya!"
"Tapi pasti dia penyebabnya!"
"Kenapa bisa begitu?"
"Bisa saja Warok Jogoboyo sengaja mena-
nam budi pada Adipati sialan itu. Lalu Warok Jo-
goboyo sengaja menawarkan anaknya. Karena
merasa berhutang budi, Adipati sialan itu berse-
dia menjodohkan anaknya dengan anak Warok
Jogoboyo. Dan itu berarti, Warok Jogoboyo me-
mang sengaja ingin menghina Kakang!"
Warok Singo Lodra manggut-manggut. Ma-
suk akal juga kata-kata adik kandungnya. Dan
dadanya pun kian bergemuruh. Kasar, tubuhnya
berbalik. Lalu langkah berdebamnya diarahkan ke
dalam rumah.
Sementara, segaris senyum samar terlihat
di bibir Warok Darmo Singo. Sebuah senyum yang
mengandung banyak makna dan sukar ditafsir-
kan. Lalu dia ikut melangkah, masuk ke dalam
rumah kakak kandungnya.
* * *
Kadipaten Trenggalek pada waktu yang
sama.
Sebuah rombongan berkuda memasuki ha-
laman rumah besar di pinggiran kadipaten. Dari
pakaian dan umbul-umbul yang dibawa, menyi-
ratkan kalau rombongan itu berasal dari Kadipa-
ten Ngawi. Mereka adalah para prajurit kadipaten
Ngawi yang tengah mengawal sebuah kereta ber-
kuda, berisi peti-peti berbagai ukuran.
Di depan pintu rumah besar itu telah ber-
diri menunggu seorang lelaki berperawakan tam-
bun. Wajah bulatnya dipenuhi brewok lebat. Alis
matanya tebal, memayungi matanya yang menco-
rong tajam. Pakaiannya berwarna hitam kom-
prang, tanpa dikancingi. Seolah ingin memamer-
kan bulu-bulu lebat di dada bidangnya. Rambut-
nya yang panjang ditutupi blangkon hitam.
Dialah Warok Jogoboyo. Jawara tak tertan-
dingi di sekitar Kadipaten Trenggalek. Sejak diwi-
suda dari perguruannya, lelaki berusia enam pu-
luh tahun ini langsung memilih Trenggalek seba-
gai daerah yang dijaganya, meski asalnya dari
Kadipaten Ngawi.
Di belakang Warok Jogoboyo berdiri sepu
luh orang lelaki lain. Semuanya mengenakan sur-
jan lengkap dengan kain batik dan blangkon.
"Selamat datang..., selamat datang di ke-
diamanku, Panglima Adi Kencono," sambut Warok
Jogoboyo begitu seorang lelaki berpakaian pan-
glima kadipaten turun dari kudanya.
"Terima kasih, Kangmas Warok Jogoboyo.
Kanjeng Adipati titip salam sejahtera buatmu,"
balas lelaki gagah bernama Adi Kencono. Melihat
pakaian yang disandangnya, dia memang ber-
pangkat panglima kadipaten.
"Terima kasih..., terima kasih...."
"Kami diutus oleh Kanjeng Adipati untuk
menyerahkan mas kawin bagi Ratna Kumala, pu-
tri Kangmas. Untuk itu, mohon diterima," jelas
Panglima Adi Kencono. Lalu kepalanya memberi
isyarat pada para prajurit yang menyertainya.
Dua puluh prajurit Kadipaten Ngawi lang-
sung melompat dari punggung kuda masing-
masing. Tanpa banyak cakap, segera dibongkar-
nya muatan kereta berkuda.
Warok Jogoboyo pun memberi isyarat pada
sepuluh orang di belakangnya untuk membantu
menerima peti-peti dari tangan para prajurit. Un-
tuk selanjutnya, peti-peti itu dibawa masuk ke
dalam.
"Mari kita berbincang-bincang di dalam,
Panglima," ajak Warok Jogoboyo. Sambil sedikit
membungkuk, jempol tangan kanannya menun-
juk ke arah pintu rumahnya.
"Mari.... Kebetulan aku cukup lelah setelah
menempuh perjalanan satu hari satu malam."
Kedua lelaki itu segera melangkah gagah.
Keduanya memasuki rumah besar selagi para ba-
wahannya sibuk mengangkuti peti-peti.
* * *
"Kanjeng Adipati mengucapkan terima ka-
sih pula. Karena pertolongan Kangmas Warok Jo-
goboyo sewaktu terjadi perampokan atas diri Kan-
jeng Adipati di Hutan Wonocolo purnama lalu.
Tanpa pertolongan Kangmas, rasanya kami akan
kehilangan Junjungan kami," buka Panglima Adi
Kencono.
Di ruang tengah mereka duduk bersebe-
rangan, dibatasi sebuah meja bulat yang di atas-
nya tersaji bermacam-macam buah-buahan dan
makanan ringan. Dua cangkir teh manis juga te-
lah tersaji.
"Ah, itu hanya kebetulan, Panglima. Kebe-
tulan aku lewat di Hutan Wonocolo setelah me-
nengok keluarga di Kadipaten Ngawi," sahut Wa-
rok Jogoboyo, merendah.
"Tapi biar bagaimanapun jasamu perlu di-
beri ganjaran, Kangmas. Oleh sebab itu, Kanjeng
Adipati tak ragu-ragu lagi menjodohkan putra
tunggalnya dengan putrimu, Kangmas," tegas
Panglima Adi Kencono.
Warok Jogoboyo tersenyum lebar. Terselip
rasa bangga di hatinya. Betapa tidak? Kendati
memiliki kedigdayaan, belumlah lengkap bila be
lum menjadi keluarga ningrat. Sedikitnya, berbe-
sanan dengan keluarga ningrat. Artinya, derajat
keluarganya akan terangkat.
"Tapi apa benar kalau perampokan itu di-
dalangi oleh Warok Singo Lodra?" usik Panglima
Adi Kencono.
"Benar tidaknya, perlu dibuktikan lagi,
Panglima. Aku tak ingin membenarkan, juga tak
ingin menyangkal. Biar bagaimanapun, Warok
Singo Lodra adalah kakak seperguruanku di Pa-
depokan Gunung Wilis. Aku tahu betul watak dan
sikapnya. Jadi, rasanya mustahil kalau kakak se-
perguruanku bertindak begitu," papar Warok Jo-
goboyo.
"Lantas, kenapa terbetik berita kalau Wa-
rok Singo Lodra yang jadi dalangnya?" kejar sang
Panglima.
"Itu hanya pengakuan segelintir para pe-
rampok yang berhasil kutewaskan sebelum mere-
ka mati. Sayang, sebagian perampok berhasil me-
larikan diri masuk ke dalam hutan."
"Kalau benar Warok Singo Lodra dalang-
nya?"
Wajah Warok Jogoboyo kontan berubah.
Sederhana saja kalimat yang dilontarkan Pangli-
ma Adi Kencono, tapi terasa sengak terdengar di
kuping lelaki penuh brewok itu. Biar bagaimana-
pun, dia tak mau berprasangka buruk terhadap
kakak seperguruannya. Semuanya harus dibukti-
kan lebih jelas lagi. Tak cukup hanya berasal dari
mulut para perampok. Siapa tahu itu hanya fit
nah belaka.
Melihat perubahan wajah lelaki brewok di
hadapannya, Panglima Adi Kencono jadi tak enak
hati. Sedikitnya, dia telah menyinggung perasaan
Warok Jogoboyo. Tapi itu memang bagian tugas-
nya untuk menanyakan lebih jauh tentang orang-
orang yang hendak mencelakakan junjungannya.
"Kurasa waktunya belum tepat untuk me-
nanyakan hal ini padamu. Maafkan aku, Kang-
mas. Tapi mohon mengertilah. Ini juga sebagian
dari tugasku. Sekali lagi, aku mohon maaf," ucap
Panglima Adi Kencono, lirih. Sikapnya jadi serba
salah. Sejumput senyum di bibir Warok Jogoboyo
tak cukup mengobati rasa tidak enak hatinya.
Kekakuan pun terjadi. Tak ada yang ber-
suara. Hening.
"Kalau begitu, aku mohon pamit, Kangmas.
Kurasa urusanku di sini telah selesai," buka Pan-
glima Adi Kencono. Kekakuan yang terjadi mem-
buatnya tak betah duduk di sini. Pantatnya pun
sudah terasa panas.
"Yah, baiklah. Sampaikan sembah hor-
matku pada Kanjeng Adipati. Katakan kalau
tanggal dan hari baiknya pernikahan putra-putri
kami akan dibicarakan lebih lanjut. Sebab, hari
yang telah ditentukan Kanjeng Adipati kurasa
masih belum cocok dengan hari pasaran anakku,"
ujar Warok Jogoboyo.
"Oh, tentu. Tentu. Semuanya akan aku
sampaikan."
* * *
"Siapa mereka, Ayah?" Seorang gadis mun-
cul tiba-tiba di belakang Warok Jogoboyo yang
masih berdiri di beranda, memandangi utusan
Kadipaten Ngawi yang telah lenyap dari pandan-
gan.
Warok Jogoboyo berbalik. Bibirnya terse-
nyum, memandangi wajah cantik berkulit putih
bersih. Rambut panjangnya dibiarkan terurai. Hi-
tam berkilatan, benar-benar dirawat secara tela-
ten. Kedua matanya indah berbinar, bak bintang
kejora. Dialah Ratna Kumala, putri tunggal Warok
Jogoboyo.
"Mereka utusan Adipati Ngawi, Ratna," ja-
wab lelaki tambun ini.
"Ada apa mereka kemari?"
"Menyerahkan mas kawin."
"Buat siapa?"
Warok Jogoboyo tak menyahut. Dia me-
mang belum menceritakan secara terus terang
pada putrinya. Keputusan adipati memang men-
dadak. Begitu sang warok menyelamatkannya,
langsung saja dia menyatakan akan menjodohkan
putranya dengan Ratna Kumala. Terutama, sete-
lah timbul dugaan kalau Warok Singo Lodra terli-
bat dalam perampokan atas diri adipati.
Sang warok tak bisa menampik. Penolakan
berarti sebuah penghinaan bagi seorang adipati.
Namun untuk mengutarakan pinangan itu pada
Ratna Kumala, justru Warok Jogoboyo tak memi
liki keberanian. Tak dipungkiri, hatinya memang
senang bila anaknya berjodoh dengan anak adipa-
ti. Bukankah itu sebuah kebanggaan tersendiri?
Tapi bagaimana dengan Ratna Kumala sendiri?
Apakah anak satu-satunya ini bersedia?
''Buatmu, Anakku," jawab Warok Jogoboyo,
tak ingin berlarut-larut dalam kebimbangan. Te-
kadnya sudah bulat untuk menceritakan semua-
nya terhadap Ratna Kumala.
"Buatku? Maksud Ayah, Adipati yang su-
dah tua itu ingin melamarku? Sudah tua-tua be-
gitu masih suka daun muda?" cekat Ratna Kuma-
la lugu.
"Bukan buat Adipati sendiri, tapi buat
anaknya. Senoaji," jelas Warok Jogoboyo.
"Lho? Bukankah Kangmas Senoaji akan
menikah dengan Mbakyu Nawangsih, putri kakak
seperguruan Ayah sendiri? Kok tiba-tiba aku dis-
uruh menikah dengannya?" tuntut Ratna Kumala.
Ada rasa suka di hatinya, jika nanti akan ber-
sanding dengan Senoaji yang memang sudah di-
kenalnya. Tapi di sisi lain, ada rasa tak enak ka-
rena dia harus merebut kekasih orang. Dan orang
itu amat dikenalnya.
"Sudahlah, Ratna. Itu urusan orang tua.
Aku tahu, kau tak enak hati dengan Mbakyumu
Nawangsih. Tapi, itu sudah diatur oleh Adipati
Ngawi. Berdoa saja, mudah-mudahan urusan ini
jadi lancar," ujar Warok Jogoboyo. Disembunyi-
kannya apa yang sesungguhnya terjadi, kenapa
Adipati membatalkan pinangannya terhadap Nawangsih.
DUA
TIDAK...! Tidak mungkin...! Kangmas Se-
noaji sudah berjanji menikahiku! Tak mungkin
kalau dia memperistri gadis lain!" Keheningan
terkoyak. Jeritan melengking memilukan menda-
dak sontak membuat penghuni rumah Warok
Singo Lodra terhenyak. Kecemasan pun merebak.
Kecemasan yang selama ini dikhawatirkan oleh
Warok Singo Lodra dan istrinya.
Dan malam itu, rumah Warok Singo Lodra
pun gaduh. Seluruh penghuni rumah tergopoh-
gopoh mendatangi sebuah kamar. Warok Singo
Lodra dan Nyai Gembili istrinya, berada paling
depan dengan wajah disaput kecemasan.
"Nduk.... Buka! Buka pintunya, Nduk....
Ada apa...?" Nyai Gembili menggedor-gedor pintu
kamar anaknya.
"Iya, Nduk.... Buka pintunya," sambung
Warok Singo Lodra.
Beberapa pelayan lelaki dan wanita hanya
saling berpandangan di belakang Warok Singo
Lodra dan istrinya. Lalu kepala mereka menun-
duk saat Warok Singo Lodra menoleh ke bela-
kang. Seolah, mereka takut disalahkan.
Tak ada sahutan, kecuali tangis sesenggu-
kan dari dalam kamar.
"Nduk.... Kenapa kau menangis...? Buka
pintunya, Nduk. Ayo, Ibu mau melihat keadaan-
mu...," desak Nyai Gembili lagi.
"Hi hi hi.... Oh, Kangmas Senoaji.... Kita
akan segera menikah, ya Kangmas.... Bukankah
kau sudah berjanji begitu...? HI hi hi… La la la....
Aku akan menikah.... La la la.... Horee...!"
Di luar kamar, semua orang jadi berpan-
dangan. Kenapa tiba-tiba tangisan barusan beru-
bah jadi tawa campur tetembangan? Apakah Na-
wangsih sudah gila? Begitu dugaan yang muncul
di benak mereka. Separah itukah Nawangsih? La-
gi pula, siapa yang membocorkan rahasia kalau
putra Adipati Ngawi yang bernama Senoaji akan
menikah dengan gadis lain?
Warok Singo Lodra lantas berbalik. Mata
tajamnya langsung merayapi para pelayannya.
Satu persatu. Para pelayan pun tak kuasa menen-
tang tatapan sang majikan. Satu persatu pula
mereka kembali menundukkan kepala.
Dugaan buruk tergambar di benak sang
Warok terhadap perubahan sikap anaknya. Tapi,
siapa yang membocorkan rahasia yang sudah dis-
impannya rapi selama beberapa hari? Tanyanya,
tak habis pikir. Mendengar ocehan-ocehan tak ka-
ruan dari bibir Nawangsih di kamar, Warok Singo
Lodra yakin kalau telah terjadi sesuatu terhadap
diri anaknya.
Kegeraman pun memuncak. Dada pun ber-
golak. Sementara napas jadi sesak.
"Hih!"
Braakk...!
Sekali menyentakkan kedua tangannya,
Warok Singo Lodra mendobrak pintu kamar Na-
wangsih. Begitu terkuak, Nawangsih terlonjak.
"Oh..., Kangmas Senoaji.... Kutunggu-
tunggu akhirnya kau datang juga...." Nawangsih
langsung menubruk ayahnya sendiri. Dalam
bayangannya, Warok Singo Lodra tergambar se-
bagai wajah Senoaji, putra Adipati Ngawi.
"Sadar, Nduk.... Sadarlah.... Aku ayah-
mu...," bujuk Warok Singo Lodra. "Lihat, ini Ibu-
mu...."
Warok Singo Lodra segera melepaskan pe-
lukan erat anaknya. Nawangsih terkesiap sesaat.
Sebagian pikiran warasnya mulai bekerja kembali.
Lalu, tangisnya pun meledak saat itu juga.
Nyai Gembili begitu trenyuh melihat kea-
daan anaknya. Dipeluknya erat-erat Nawangsih.
Tangisnya pun tak terbendung lagi. Air mata ma-
kin deras bergulir di pipinya.
"Duh, Gusti.... Dosa apa yang telah kami
perbuat, sehingga Kau menurunkan cobaan yang
demikian berat...," keluh Nyai Gembili.
Di tempatnya, Warok Singo Lodra terpaku
dalam kegeraman. Kembali dia teringat dengan
kata-kata adiknya bahwa Warok Jogoboyo me-
mang sengaja menghinanya. Tapi apa mungkin?
Sebab, dia tahu betul watak adik seperguruannya
yang selalu menghormatinya. Warok Singo Lodra
waktu itu memang tidak ingin langsung percaya
pada laporan adik kandungnya, Warok Darmo
Singo. Dia tak ingin bertindak gegabah karena
hanya laporan sepihak. Ingin dilihatnya dulu per-
kembangan selanjutnya.
Tapi apa yang terjadi ternyata sungguh di
luar perkiraannya. Ibarat jatuh, dia langsung ter-
timpa tangga. Sudah malu lantaran Nawangsih
gagal dipinang Senoaji, kini Nawangsih malah jadi
gila. Dan itu rasanya sudah cukup untuk mem-
percayai kata-kata adik kandungnya. Artinya, dia
harus melabrak Warok Jogoboyo, kendati sebagai
adik seperguruannya sekalipun.
"Bangsat! Tunggu pembalasanku, Jogo-
boyo! Semua ini karena ulah mu!" sentaknya, se-
raya memukulkan tinju kanan kiri ke telapak
tangan kanan. Urat lehernya mengembung. Gera-
hamnya berkerut-kerut. Wajahnya tegang dengan
mata nyaris melompat keluar.
"Kakang.... Kenapa Kakang menyalahkan
Adi Jogoboyo? Ingat, Kakang. Dia adik sepergu-
ruanmu!" Ingat Nyai Gembili di antara isaknya.
"Persetan dengan adik seperguruan! Dia te-
lah mencoreng mukaku dengan arang! Apakah dia
tidak tahu kalau Nawangsih akan dilamar Adipati
Ngawi? Eh, dia dengan seenaknya malah meneri-
ma lamaran Adipati sialan itu! Mestinya kan dia
bisa menolak! Setan alas!"
"Mungkin Adi Jogoboyo terpaksa, karena
tak mungkin menolak perintah," kata Nyai Gembi-
li lagi.
"Tidak! Mestinya dia lebih menghargai aku
daripada adipati sialan itu. Hhmmm! Setan alas!
Tunggu, Jogoboyo! Kau harus mati di tanganku!"
* * *
Bulan sepotong menggantung di angkasa.
Sinarnya tak mampu menyirami bulan, terkepung
oleh gumpalan awan hitam berarakan. Alam se-
perti mati. Angin pun seolah tak mampu mengu-
sir awan hitam yang begitu pekat.
Dalam gerak lamat, sepuluh orang berpa-
kaian hitam mengendap-endap di sekitar rumah
Warok Jogoboyo. Kesepuluh orang itu lantas me-
nyebar. Tiga ke belakang rumah, dua ke samping
kanan, dua ke samping kiri, dan sisanya bergerak
ke depan.
Di depan pagar tembok rumah Warok Jo-
goboyo bagian depan, dua orang yang juga menu-
tupi kepalanya dengan kain hitam kecuali bagian
mata itu merapatkan tubuhnya ketika tiga orang
penjaga rumah bergerak menuju halaman. Mena-
han napas, keduanya bersiap siaga. Sementara,
golok-golok mereka telah telanjang, lepas dari sa-
rungnya.
"Perasaanku malam ini tak enak, Kakang
Reksa. Mau ada apa, ya?" buka salah satu dari ti-
ga lelaki penjaga rumah Warok Jogoboyo.
"Aku juga mau bilang begitu, Kasan. Kuli-
hat, di angkasa awan begitu pekat. Tapi hujan tak
turun-turun," sahut lelaki yang dipanggil Reksa.
"Apa perasaanmu sama, Panut?" Reksa menoleh
ke arah lelaki di kanannya.
"Ah, itu hanya perasaan kalian saja," tepis
Panut. "Memang memedi mana yang berani sama
kita? Kalau ada perampok pun, rasanya belum
tentu berani menyatroni rumah majikan kita.
Jangankan perampok. Setan gundul pun tak be-
rani mendekati rumah ini."
"Kasan! Seperti biasa, kau kelilingi rumah
ini lewat samping kanan. Sedangkan Panut lewat
samping kiri. Dan aku menunggu kalian di depan
rumah ini," ujar Reksa, memberi perintah. Agak-
nya, dia yang menjadi ketua regu penjaga malam
rumah ini.
Ketiganya terus melangkah menuju pintu
pagar rumah. Tak ada kecurigaan sedikit pun.
Dan....
"Hih!"
Crass! Craaasss!
"Aaakhh...!"
Kasan dan Panut kontan roboh ketika se-
kelebatan mata golok menyambar leher mereka.
Sedang Reksa yang berada di tengah sempat me-
lompat ke belakang. Namun begitu bangkit, satu
orang berpakaian serba hitam sudah siap mener-
jang.
"Bangsat! Siapa kalian?!" bentak Reksa.
Dibuangnya tubuh ke kiri, ketika mata golok la-
wan kembali menyambar.
Tanpa menjawab, si orang berpakaian ser-
ba hitam kembali menyerang. Goloknya diputar-
putar di udara sebelum dibabatkan ke tubuh
Reksa yang baru saja melenting bangkit. Udara
terpangkas Reksa terkesiap. Bahaya mau siap
melahap. Sigap, Reksa melangkah satu tindak.
Begitu sambaran golok lewat, dibuatnya satu pu-
taran tubuh dengan kaki kiri menyapu. Deras.
Arahnya ke bagian selangkangan lawan.
Ternyata, si lelaki berpakaian serba hitam
sudah menduga gerakannya. Saat itu juga dia
melompat tinggi ke udara. Dalam keadaan begini,
bisa saja dia langsung melepas tendangan ke ke-
pala lawan. Tapi itu tak dilakukannya. Karena....
"Mampus kau, Cecunguk!" dengusnya se-
raya melempar golok. Amat cepat. Bahkan Reksa
sama sekali tak menduga.
Tahu-tahu saja....
Craappp!
Mata Reksa mendelik. Mulutnya menganga
tak bermakna. Golok yang menghujam kepalanya
membuat perlawanannya berakhir. Sejenak tu-
buhnya terhuyung-huyung, lalu ambruk tak ber-
daya. Darah pun kembali bersimbah.
"Setan alas! Rupanya rumahku dikunjungi
tikus-tikus clurut!"
Bentakan menggelegar terdengar. Amat
santer, membuat lawan Reksa tadi bergetar. Be-
tapa tidak? Bentakan tadi disertai tenaga dalam
tinggi. Demikian pula yang dialami orang berbaju
hitam yang berdiri menyaksikan pertarungan tadi.
Tak urung, tubuhnya ter-lempar beberapa tindak.
Untung saja kedua lelaki berpakaian serba
hitam itu mempunyai tenaga dalam yang cukup
untuk meredam bentakan tadi. Kalau tidak, jan-
gan harap bisa berdiri di tempat ini. Dan ini juga
merupakan suatu bukti kalau keduanya memang
tak bisa dianggap remeh.
Bukti lainnya, kematian Reksa. Hanya be-
berapa gebrakan saja, Reksa dibuat tak berkutik.
Menemui ajal dengan amat mengenaskan.
Cukup sudah bagi si orang yang memben-
tak untuk berhati-hati. Setidaknya, tak ingin me-
remehkan kedua lelaki berpakaian serba hitam
yang bersiaga di halaman rumahnya.
"Siapa kalian, Tikus-tikus Busuk?!" bentak
lelaki bertubuh tambun. Pakaiannya juga berwar-
na hitam tanpa dikancingi. Seolah ingin mema-
merkan dadanya yang berbulu. Celananya kom-
prang, juga berwarna hitam. Wajahnya dipenuhi
brewok lebat. Kumis lebatnya nyaris menutupi
mulut. Rambut panjangnya ditutupi blangkon
berwarna hitam pula.
Dialah Warok Jogoboyo.
Melihat ketiga penjaga rumahnya terkapar
bermandikan darah, mendidihlah darahnya. Mata
bulatnya memerah. Urat-urat lehernya mengem-
bung. Dadanya yang berbulu bergerak cepat tu-
run naik. Kelihatannya amarahnya telah terbakar.
Dan kalau sudah terbakar, rasanya sulit untuk
dipadamkan. Begitu biasanya watak seorang wa-
rok.
"Setan alas! Kalian belum juga menjawab
pertanyaanku?!" sembur sang warok, penuh kege-
raman. Perlahan-lahan, tangan kanannya mele-
pas tali yang menjadi ikat pinggangnya. Begitu
terlepas, yang tergenggam di tangannya ternyata
sebuah pecut berwarna putih.
"Kami adalah orang-orang yang mengingin-
kan nyawamu, Warok Jogoboyo!" jawab salah sa-
tu orang berpakaian serba hitam.
"Apa kesalahanku sehingga kalian mengin-
ginkan nyawaku?" tuntut Warok Jogoboyo. Penuh
getaran pada suaranya, pertanda amarah telah
membakar dadanya.
"Kesalahanmu banyak, Setan! Tapi yang
paling utama, kau berani menikahkan putrimu
dengan putra Adipati Ngawi," desis lelaki berpa-
kaian serba hitam yang berada di sebelah kanan.
"Apa hubungannya kalian dengan pernika-
han putriku?" pancing Warok Jogoboyo.
"Karena kami adalah utusan Warok Singo
Lodra!"
"Kau tidak berdusta, Kisanak? Jangan-
jangan kalian hanya mengadu domba antara aku
dengan kakang seperguruanku?"
"Terserah apa tanggapanmu, Warok Jogo-
boyo! Yang penting, kau harus mampus di tangan
kami!"
"He he he.... Kalian hendak menakut-
nakutiku? Kalian kira aku bocah bau kencur yang
bakal terkencing-kencing ditakuti dedemit macam
kalian? Majulah! Nyawa ketiga anak buahku ha-
rus kalian bayar!"
Di ujung kalimatnya, Warok Jogoboyo me-
nyentak kedua kakinya. Ringan sekali gerakan-
nya. Tahu-tahu, dia telah berada tiga tombak di
depan kedua calon lawan.
Pertarungan siap digelar. Mata sang Warok
pun jadi liar. Amarah telah berkobar. Sementara,
cambuk telah diputar-putar, siap menggeletar.
Dua calon lawan bukannya tak bergetar.
Mereka cukup tahu, siapa Warok Jogoboyo. Seo-
rang jawara tak tertandingi di kadipaten Trengga-
lek. Jangan ditanya soal kesaktiannya. Memang
benar, kedua lelaki berpakaian serba hitam itu
mampu melumpuhkan tiga penjaga rumah sang
Warok hanya beberapa gebrakan. Tapi untuk me-
nandingi Warok Jogoboyo, jangankan dua orang
macam mereka. Sepuluh orang macam mereka
pun sama sekali tak membuat nyali sang Warok
ciut. Malah bisa jadi, merekalah yang bertekuk
lutut.
Tapi sebelum pertarungan terjadi....
"Aaaa...!"
Warok Jogoboyo terhenyak. Suara jeritan
menyayat yang barusan terdengar adalah suara
perempuan. Dan itu berasal dari dalam rumah-
nya. Apa yang terjadi?
* * *
Tanpa menghiraukan kedua calon lawan,
Warok Jogoboyo melesat ke dalam rumahnya.
Mendadak saja, hatinya dirasuki rasa tak enak.
Tahu-tahu saja, dugaan buruk melintas di be-
naknya. Entah kenapa, langkahnya malah tertuju
ke kamar putrinya.
Brakk!
Terhenyak Warok Jogoboyo melihat apa
yang ada di hadapannya. Matanya mendelik tak
percaya. Mulutnya menganga.
"Ratna Kumala...," sebut Warok Jogoboyo,
bergetar.
Di hadapan lelaki tambun kekar ini tergo-
lek tak bernyawa seorang gadis. Perutnya bersim-
bah darah, koyak oleh besetan senjata tajam. Si
gadis memang Ratna Kumala, putri Warok Jogo-
boyo yang hendak dinikahkan dengan putra Adi-
pati Ngawi
Apa yang terjadi pada Ratna Kumala? Keti-
ka Warok Jogoboyo sedang bersitegang tadi, tiga
lelaki berpakaian serba hitam telah berhasil me-
nelusup ke dalam kamar Ratna Kumala. Dengan
gerakan amat cepat, langsung dihabisi gadis yang
tengah terjaga karena mendengar suara bentakan
ayahnya tadi. Selesai membunuh secara keji, ke-
tiga lelaki itu langsung melarikan diri lewat jende-
la yang kini menganga lebar.
Warok Jogoboyo lantas bergerak ke arah
jendela. Yang dijumpai hanya kegelapan ketika
kepalanya melongok. Dan ketika tubuhnya berba-
lik, di ambang pintu yang tadi dijebolnya berdiri
seorang perempuan setengah baya. Nyai Kumitir
namanya. Dialah istri Warok Jogoboyo.
"Ratna Kumala anakku...! Apa yang terjadi
pada dirimu, Nduk...!" jerit Nyai Kumitir, lang-
sung menubruk mayat Ratna Kumala yang tergo-
lek di lantai. Tangisnya langsung meledak. Mera-
tap-ratap, menangisi mayat putri tunggalnya.
Warok Jogoboyo sendiri langsung kembali
teringat pada kedua calon lawannya di halaman
rumah. Seolah ingin melampiaskan kemarahan
pada dua lelaki tadi, tubuhnya kembali melesat
keluar. Hanya sekejapan, lelaki tambun kekar ini
telah berdiri di ambang pintu depan. Nyatanya,
kedua calon lawan tadi telah menghilang entah ke
mana.
Penasaran, sang Warok segera berkelebat.
Amat cepat, mengerahkan ilmu meringankan tu-
buhnya. Dicobanya untuk mengelilingi rumah ter-
lebih dahulu. Tapi, hanya kehampaan yang dida-
pat. Lalu tubuhnya segera melesat ke arah utara.
Sebab, kalau betul orang-orang tadi suruhan Wa-
rok Singo Lodra, pasti arah datangnya dari utara.
Sampai sejauh lima ratus tombak Warok
Jogoboyo melesat. Tapi yang ditemukannya hanya
keheningan malam. Didorong rasa penasarannya,
tubuhnya berhenti melesat. Dan tanpa mengenal
kata lelah, dia berbalik lalu melesat kembali, ber-
lawanan arah dari sebelumnya.
Tak juga ada tanda-tanda kalau orang-
orang berpakaian serba hitam tadi pergi ke arah
ini. Maka putus sudah harapannya. Hanya satu
petunjuk yang ada. Yakni, orang-orang tadi men-
gaku sebagai suruhan Warok Singo Lodra.
Tapi, benarkah pengakuan mereka? Tanya
hati Warok Jogoboyo. Apakah ini hanya fitnah
adu domba belaka? Dan kalau melihat latar bela-
kang pembunuhan, masuk akal juga. Tapi apakah
Warok Singo Lodra sepicik itu dengan hanya
mengirimkan orang-orangnya? Kenapa dia tidak
datang sendiri untuk menyatakan ketidak senan-
gannya atas pernikahan Ratna Kumala dengan
Senoaji? Apalagi, orang-orangnya juga menutupi
wajah dengan kain hitam. Bukankah itu menun-
jukkan kepengecutan?
Ruwet.
Itu satu kata yang tepat untuk menggam-
barkan yang berkecamuk di benak Warok Jogoboyo.
TIGA
KADIPATEN Ngawi. Matahari baru sepeng-
galah. Tapi teriknya mulai menyengat. Membuat
dua orang prajurit penjaga keraton mulai blingsa-
tan dengan peluh bersimbahan. Pintu gerbang
yang mereka jaga memang tak ada atap yang
memayungi. Untuk menghindari sengatan terik
matahari, mereka berusaha berlindung di gerbang
yang mirip gapura itu.
Namun baru saja bersandar, dari kejauhan
terdengar derap langkah kuda di kejauhan. Ber-
gegas, mereka kembali ke tempat masing-masing,
seolah takut dikatakan lalai dari tugasnya.
Si penunggang kuda makin lama makin
mendekati pintu gerbang. Tubuh tegapnya terlihat
melonjak-lonjak di atas punggung kuda. Di bela-
kangnya, debu-debu mengepul seolah ikut mengi-
ringinya.
Semakin dekat si penunggang kuda. Dia
adalah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap. Dari
cara berpakaiannya, jelas kalau dia adalah seo-
rang panglima.
Tiba dua tombak di depan pintu gerbang,
sang Panglima menghentikan lari kudanya. Dita-
tapnya kedua penjaga yang tengah membungkuk
hormat dengan sikap takut-takut.
"Rasanya hari masih pagi, Prajurit?" Nada
suara sang Panglima seperti bertanya. Tapi sebe-
narnya mengandung maksud lain.
"Benar, Panglima. Rasanya hari ini amat
cerah. Segar sekali," sahut prajurit yang menjaga
di sebelah kanan. Seolah dia hendak menutup-
nutupi apa yang telah dilakukannya tadi.
"Tapi kenapa kulihat tadi kalian sudah se-
perti cacing kepanasan? Bermalas-malasan den-
gan berlindung dari terik matahari?'' tembak sang
Panglima.
Merah wajah kedua prajurit. Mereka cen-
gar-cengir serba salah. Sungguh mereka tak men-
gira kalau tindakan mereka diketahui pangli-
manya.
"Ampun, Panglima Adi Kencono. Hamba...
hamba... hanya...."
"Jangan banyak beralasan, Prajurit!" ben-
tak Panglima Adi Kencono, membuat kedua pra-
jurit itu terlonjak. Nyaris jatuh terduduk kalau
tak segera berpegangan pada tembok gapura.
"Prajurit..., prajurit. Bagaimana kalau kalian da-
lam pertempuran? Baru tersengat matahari se-
penggalah saja, sudah blingsatan macam cacing
kepanasan. Apalagi di tengah medan pertempu-
ran?" Suara Panglima Adi Kencono melemah.
"Maafkan kami, Panglima," ucap prajurit
jaga yang berada di sebelah kiri.
"Kali ini kalian kumaafkan. Tapi bila kalian
begini lagi, jangan mengabdi di Kadipaten Ngawi.
Karena, kadipaten ini tak butuh orang loyo ma-
cam kalian!"
Di ujung kalimatnya, Panglima Adi Kenco-
no menggebah kudanya, kembali. Meninggalkan
kedua prajurit yang masih terbungkuk-bungkuk.
Meninggalkan kepulan debu yang langsung
mengguyur kedua prajurit.
* * *
Panglima Adi Kencono langsung mengha-
dap Adipati Ngawi di ruang pendopo. Sang Adipati
adalah seorang lelaki berusia kepala lima. Tapi,
wajahnya masih terlihat tampan kendati telah di-
hiasi kerut-kerut garis ketuaannya. Tubuhnya ju-
ga masih terlihat gagah.
"Bagaimana dengan hasil penyelidikan mu,
Panglima Adi Kencono?" tanya Adipati Ngawi.
Nama aslinya, Raden Mas Suro Brajan.
"Ampun, Kanjeng. Perampok-perampok di
Hutan Wonocolo makin mengganas saja. Rasanya,
kita perlu bantuan para pendekar untuk menum-
pasnya. Kalau sekarang kita minta bantuan Wa-
rok Jogoboyo, rasanya terlalu sungkan. Sebab,
beliau pasti tengah disibuki dengan urusan pernikahan anaknya dengan putra Kanjeng sendiri,"
lapor Panglima Adi Kencono.
"Kau benar, Panglima. Aku juga tak ingin
melibatkan calon besanku dengan urusan ini. Ka-
sihan dia. Oh, ya. Apakah kau telah menemukan
bukti kalau Warok Singo Lodra ikut terlibat dalam
urusan perampokan itu?" kejar Adipati Suro Bra-
jan.
"Ampun, Kanjeng. Pembuktian itu hanya
berdasarkan pengakuan perampok sebelum me-
nemui ajal di tangan Warok Jogoboyo waktu itu.
Selebihnya, hamba belum menemukan bukti apa-
apa," tutur sang Panglima, hati-hati.
"Sebenarnya, aku juga tak yakin kalau Wa-
rok Singo Lodra terlibat. Sekarang bagaimana
pendapatmu, Panglima? Apakah keputusanku
melarang putraku Senoaji yang berhubungan
dengan putri Warok Singo Lodra sudah tepat?"
aju sang Adipati.
"Ampun, Kanjeng. Kanjeng dikenal sebagai
adipati yang bijaksana dan mau mendengar saran
orang lain. Maka, hamba saat ini bukannya ingin
ikut campur dalam urusan pernikahan putra
Kanjeng," kata Panglima Adi Kencono, hati-hati.
"Katakanlah, Panglima. Aku mendengar sa-
ranmu."
"Menurut hamba, Kanjeng terlalu terburu-
buru dengan memutuskan hubungan antara Ra-
den Senoaji dengan Nawangsih. Sebab menurut
hemat hamba, bukti-bukti belum cukup kalau
Warok Singo Lodra terlibat dalam perampokan
itu. Apalagi menurut hamba, kenapa Warok Singo
Lodra mesti jadi perampok? Bukankah itu sama
saja mencoreng mukanya sendiri? Dan rasanya
pula, kekayaan Warok Singo Lodra sudah cukup,"
jelas Panglima Adi Kencono.
"Tapi aku telah berhutang budi dengan
Warok Jogoboyo, Panglima. Dialah orang yang
menyelamatkanku dari para perampok itu. Kalau
tak ada dia, tak bakalan aku bisa duduk di kursi
ini. Dan lagi, aku juga telah mengirim utusan ke-
pada Warok Singo Lodra. Utusan itu membawa
suratku yang berisi pembatalan pinangan anakku
pada Nawangsih. Hanya entah kenapa, utusanku
saat ini belum kembali ke Kadipaten Ngawi. Aku
jadi ragu, jangan-jangan suratku belum sampai
ke tangan Warok Singo Lodra."
Ada kekhawatiran di hati Adipati Sura Bra-
jan. Karena bila surat itu tak sampai di tangan
Warok Singo Lodra, bisa jadi akan timbul salah
paham. Artinya, sang Adipati harus bersiap-siap
menghadapi tuntutan Warok Singo Lodra. Dan
sang Adipati hanya bisa menarik napas sesak.
Sejenak suasana jadi hening. Masing-
masing hanyut dalam arus perjalanan benak me-
reka. Menerawang, membayangkan apa yang
bakal terjadi.
"Menurut hamba, Kanjeng tak bersalah.
Kanjeng sudah berusaha mengirim utusan. Dan
kita tinggal menjelaskannya kembali pada Warok
Singo Lodra," hibur Panglima Adi Kencono.
Tak menjawab, Adipati Wiro Brajan mang
gut-manggut. Dia berusaha membenarkan tinda-
kannya. Tapi, masih saja ada yang mengganjal di
hatinya. Yakni, soal putranya. Senoaji. Seharus-
nya, Senoaji sudah tiba di keraton pagi ini. Menu-
rut kabar yang dikirim Senoaji, dia telah selesai
berguru di Padepokan Blambangan. Hmm, kena-
pa putraku belum tiba juga? Gumam hatinya.
Sementara di sisi keping hatinya terselip
rasa penyesalan, karena tanpa sepengetahuan
Senoaji, Adipati Suro Brajan telah membatalkan
pinangan anaknya pada Nawangsih. Padahal, dia
tahu kalau Senoaji telah berhubungan cukup la-
ma dengan putri Warok Singo Lodra itu.
Awal pertemuan dua sejoli itu boleh dibi-
lang tak sengaja. Waktu itu Senoaji yang baru be-
rusia tujuh belas tahun berkunjung ke sebuah
pasar malam di Kadipaten Ponorogo. Setiap panen
besar, biasanya sebuah kadipaten membuat se-
macam pesta rakyat yang diisi juga oleh kebera-
daan pasar malam. Bila ada acara seperti ini, pi-
hak kadipaten akan mengundang para adipati be-
serta keluarganya.
Adipati Ngawi waktu itu datang bersama
Senoaji beserta dua pasukan pengawal. Ketika
mereka menonton sebuah panggung yang diisi ta-
ri-tarian, Senoaji yang memang berjiwa seni terta-
rik oleh lenggak-lenggok gemulai seorang penari
wanita. Seorang gadis berambut panjang. Wajah-
nya cantik. Bibirnya merah merekah dengan hi-
dung bangir. Bentuk wajahnya bulat lonjong den-
gan tahi lalat kecil di batang hidung kiri.
Tanpa sadar, pemuda tampan berpakaian
kebesaran keraton itu melangkah mendekati
tangga panggung. Sementara kedua biji matanya
seolah tak mau berkedip, melekat erat dalam ira-
ma gerak tubuh gemulai si gadis.
Ketika selesai menari, si gadis berjalan
hendak menuruni panggung. Tapi dasar bernasib
sial, kakinya tersandung kaki penabuh gamelan
yang menyelonjor kelelahan. Tak urung, tubuh si
gadis terjerembab hendak jatuh dari atas pang-
gung.
Entah apa yang membuat gerakannya begi-
tu cepat, Senoaji melompat sigap. Tangkas, di-
tangkapnya tubuh ramping si gadis. Seperti ada
yang mengatur, jatuhnya si gadis tepat pada
punggungnya. Sehingga lama sekali dia bertata-
pan dengan Senoaji. Dari tatapan tak sengaja
yang serba kaku, berangsur-angsur berubah
menjadi tatapan saling mengagumi.
Senoaji sendiri sengaja mengirimkan isya-
rat-isyarat mata lewat tatapannya. Dalam waktu
yang sesingkat itu, mereka sempat berkenalan.
Namun karena masih berjiwa pemalu, gadis yang
memperkenalkan diri bernama Nawangsih itu ce-
pat turun dari dekapan Senoaji. Dengan wajah
merah, dia berpamitan untuk pulang tanpa bisa
dicegah Senoaji.
Penasaran, dengan bertanya sana-sini, Se-
noaji mendapat keterangan kalau Nawangsih ada-
lah putri Warok Singo Lodra. Semula hatinya ke-
cut juga mendengar nama Warok yang cukup
menggetarkan di wilayah Ponorogo itu. Tapi kare-
na rasa tertariknya yang amat mendalam. dengan
ditemani ayahnya. Senoaji keesokan harinya ber-
tandang ke rumah Warok Singo Lodra. Dan sejak
itu, Senoaji dan Nawangsih resmi menjadi sepa-
sang kekasih.
Karena harus memperdalam ilmu olah ka-
nuragan lebih mendalam, Senoaji harus berguru
di Padepokan Blambangan selama tiga tahun.
Maka sejak itu dia tak berhubungan lagi dengan
Nawangsih. Dan tak heran kalau pemuda itu tak
tahu bahwa pinangannya sebelum keberangka-
tannya ke Blambangan, telah dibatalkan ayahnya
sendiri.
Inilah ganjalan yang menyentak-nyentak
hati Adipati Ngawi. Dia merasa bersalah terhadap
anaknya, juga terhadap Warok Singo Lodra. Yang
dapat dilakukannya hanya mendesah. Membuang
napas sesak dengan kepala menggeleng-geleng.
"Kembali ke soal perampokan, apakah kau
tak bisa mencarikan tokoh persilatan yang bisa
mengganyang para perampok Itu, Panglima? Se-
kaligus, mencari bukti apakah Warok Singo Lodra
ikut terlibat," lanjut Adipati Ngawi, mengalihkan
permasalahan.
Panglima Adi Kencono merenung sejenak.
Dicobanya mengingat-ingat beberapa tokoh persi-
latan yang pernah dikenalnya. Tapi tak satu pun
rasanya yang bisa menandingi pimpinan peram-
pok yang menguasai Hutan Wonocolo.
Siapa yang bisa menandingi Tentara Langit
yang menguasai Hutan Wonocolo? Tanya hati
sang Panglima. Hmm.... Belum juga urusan tokoh
sesat itu tuntas, muncul perampok lain yang
mengaku anak buah Warok Singo Lodra. Kalau
anak buah Tentara Langit menguasai wilayah ti-
mur hutan, maka anak buah Warok Singo Lodra
sering berkeliaran di wilayah barat. Apakah mere-
ka merupakan satu kesatuan atau terpisah? Ka-
lau mereka menjadi satu, betapa hebatnya kekua-
tan mereka?
"Bagaimana, Panglima? Kau sudah mene-
mukan orangnya?" usik Adipati Ngawi, membelah
lamunan Panglima Adi Kencono.
"Biang perampok itu memang susah dite-
mukan, Kanjeng," sahut Panglima, bergegas.
"Bukan. Maksudku, tokoh persilatan yang
akan membantu kita," ralat sang Adipati.
Panglima Adi Kencono tersenyum getir. Sa-
lah tangkap rupanya dia. Namun mendadak inga-
tannya tertuju pada Kerajaan Demak. Sebuah ke-
rajaan besar di tanah Jawa bagian tengah. Konon,
kerajaan itu menyimpan banyak tokoh persilatan
yang memiliki kedigdayaan tinggi. Dan dia juga
ingat kalau Adipati Ngawi ini masih mempunyai
hubungan darah dengan Keraton Demak.
"Para tokoh digdaya, setahu hamba banyak
ditemui di sebuah kerajaan tempat leluhur Kan-
jeng sendiri," jawab Panglima Adi Kencono, terse-
nyum cerah.
"Maksudmu, Kerajaan Demak?" Kening
Adipati Suro Brajan berkerut.
"Betul, Kanjeng."
"Tunggu..., tunggu.... Aku baru ingat. Ka-
kang Mahapatih Bagaspati di Demak pernah ber-
cerita kepadaku kalau di daerahnya ada seorang
pendekar muda digdaya. Masih muda, tapi kesak-
tiannya tak terkira. Malah, konon pendekar muda
itu berhasil menaklukkan biang perampok yang
waktu itu merajalela di Demak. Perampok itu
bernama Dirgasura. Cuma, aku tak ingat siapa
nama pendekar muda itu," Sebersit sinar cerah
mulai merasuki hati Adipati Ngawi. Seolah, baru
saja menemukan setitik air di gurun tandus.
"Mungkin yang Kanjeng maksudkan Satria
Gendeng?" sodor sang Panglima.
"Satria Gendeng? Ah, masa bodoh dengan
namanya! Yang penting, usahakan agar pendekar
muda itu mau membantu kita dalam menghadapi
para perampok liar itu!" terabas Adipati Ngawi,
semangat sekali.
"Pendekar muda itu memang digdaya, Kan-
jeng. Hamba mendengar kiprahnya ketika pende-
kar muda itu membantu Adipati Lumajang dalam
menghadapi Tujuh Malaikat Kematian di Kuil Ne-
raka beberapa purnama yang lalu," lanjut Pangli-
ma Adi Kencono. (Tentang Tujuh Dewa Kematian,
baca episode: "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tum-
bal Tujuh Dewa Kematian").
"Ya, sudah. Sekarang kau kutugaskan un-
tuk mengundang Satria...."
"Satria Gendeng. Kanjeng."
* * *
"Ya, ampun.... bagaimana aku bisa mencari
Satria Gendeng? Kudengar pendekar muda itu ja-
rang ada di tempatnya.... Ah, bodohnya aku. Sak-
ing semangatnya, sampai terlupa kalau aku tak
tahu di mana tempat tinggal pendekar muda itu,"
keluh Panglima Adi Kencono, ketika meninggal-
kan keraton Kadipaten Ngawi.
Kuda putihnya berjalan perlahan-lahan
membawanya menuju bagian belakang keraton,
tempat di mana para prajurit yang tak bertugas
berkumpul. Beberapa prajurit yang bertugas saat
ini membungkukkan badan saat berpapasan den-
gannya.
Tiba di belakang keraton, Panglima Adi
Kencono menghentikan langkah kudanya. Begitu
turun dari kudanya, seorang punggawa meng-
hampiri. Sikapnya gagah penuh hormat.
"Selamat siang, Panglima. Apakah ada tu-
gas penting yang akan kami lakukan?" sapa si
punggawa.
"Bagaimana dengan tugas kalian mele-
nyapkan para perampok di Hutan Wonocolo?
Apakah sudah ada perkembangan yang meng-
gembirakan?" Panglima Adi Kencono malah men-
gajukan pertanyaan.
"Ampun, Panglima. Justru sebaliknya. Ma-
lah hamba dengar, seorang pedagang besar dari
kadipaten kita telah menjadi korban keganasan
mereka. Hamba nyaris patah semangat mengha
dapi mereka, Panglima. Jadi, hamba mohon pe-
tunjuk lebih lanjut," lapor si punggawa, hati-hati.
Sang Panglima menarik napas sesak. Kepa-
lanya menggeleng-geleng, seolah sudah kehilan-
gan akal menghadapi keganasan para perampok.
Harapan satu-satunya memang meminta bantuan
para tokoh persilatan dari Kerajaan Demak. Bu-
kan. Bukannya di Kadipaten Ngawi ini tak ada to-
koh persilatan. Bukannya pula sang Panglima be-
lum meminta bantuan mereka.
Sudah beberapa kali Panglima Adi Kencono
meminta bantuan beberapa tokoh persilatan dari
Kadipaten Ngawi, dan Kadipaten tetangga. Tapi
hasilnya sia-sia saja. Bahkan, telah banyak tokoh
persilatan yang pulang hanya nama saja. Artinya,
kekuatan para perampok memang tak bisa diang-
gap remeh.
"Kalau begitu, besok kau kumpulkan bebe-
rapa prajurit di halaman keraton. Aku akan
memberi beberapa petunjuk dan tugas untuk ka-
lian," sabda sang Panglima.
"Hamba menjunjung tugas, Panglima," sa-
hut si punggawa.
"Bagus. Nah, sekarang beristirahatlah."
EMPAT
BARU saja Warok Singo Lodra hendak be-
rangkat menuju Trenggalek,
Warok Darmo Singo tiba di depan rumah
nya. Sigap, adik kandung Warok Singo Lodra itu
melompat dari punggung kuda kekarnya. Lalu, di-
tuntunnya kuda tunggangannya itu ke halaman.
"Kakang,..!" panggil Warok Darmo Singo
begitu melihat kakak kandungnya berdiri di de-
pan pintu. Seekor kuda juga telah siap menunggu
yang akan membawanya ke Kadipaten Trengga-
lek.
Setelah menyerahkan kuda pada salah seo-
rang pelayan, Warok Darmo Singo menghampiri
Warok Singo. Langkah berdebamnya menyiratkan
kalau ada sesuatu yang hendak disampaikannya
segera.
Alis tebal Warok Singo Lodra bertautan.
Kening tuanya berkerut dalam. Mata bulatnya
menyorot tajam ke arah adik kandungnya. Ada
apa lagi ini? Tanya hatinya.
"Kakang mau ke mana?" susul Warok
Darmo Singo, begitu tiba satu tombak di hadapan
kakaknya.
"Aku mau ke Trenggalek! Warok Jogoboyo
telah mencoreng mukaku!" jawab Warok Singo
Lodra tegas.
"Akhirnya Kakang mempercayai kata-
kataku."
"Kenyataannya memang begitu, Adi. Meli-
hat keadaan Nawangsih, aku memang harus
mempercayai kata-katamu. Untuk itu, aku harus
menyelesaikan urusan dengan adik sepergurua-
nku!"
Warok Darmo Singo tersenyum. Sulit ditaf
sirkan, apa arti senyumnya itu.
"Kau tak mengajakku masuk, Kakang?"
usiknya.
"Maaf, Adi. Aku terburu-buru, Aku harus
tiba di sana secepatnya! Aku tak ingin masalah
ini berlarut-larut. Kalau kau mau masuk, masuk-
lah!" Warok Singo Lodra hendak melangkah. Tapi,
Warok Darmo Singo malah memegangi kedua ba-
hunya.
"Sabar, Kakang. Masalah ini hendaknya
diselesaikan dengan kepala dingin. Hatimu boleh
panas, tapi tetaplah berpikiran dingin," bujuk Wa-
rok Darmo Singo.
"Apa maksudmu menahan langkahku,
Adi?" tanya Warok Singo Lodra tak senang.
Segaris senyum kembali terukir di bibir
Warok Darmo Singo. Halus sekali, tangannya be-
rusaha membalikkan arah tubuh kakaknya. Seo-
lah dia ingin meredam kemarahan kakaknya yang
siap meledak dalam dada.
"Mari, Kakang. Kita masuk dulu. Aku ingin
menjelaskan sesuatu padamu," ajak si adik.
Menurut, Warok Singo Lodra berbalik. Ke-
tika adik kandungnya mengajak melangkah, dia
juga menurut. Seolah hatinya telah tersihir oleh
kelembutan adiknya. Di samping itu hatinya juga
penasaran dengan apa yang akan dikatakan Wa-
rok Darmo Singo.
Di ruang tengah, mereka duduk bersebe-
rangan. Sebuah meja bulat menjadi pembatasnya.
Di atasnya, terhadap beberapa suguhan buah
buahan.
"Apa yang hendak kau katakana Adi? Ce-
pat, aku sudah tak sabar lagi. Dan, jangan berbe-
lit-belit!" terabas Warok Singo Lodra, penasaran
"Begini, Kakang. Sebagai warok sejati, mes-
tinya Kakang bertindak ksatria. Jangan terbawa
nafsu hanya untuk menyelesaikan suatu urusan.
Nafsu boleh-boleh saja, tapi jangan berlebihan.
Kalau berlebihan, itu artinya kelemahan. Dan, ke-
lemahan pangkal kekalahan" kata-kata bijak me-
luncur begitu, saja dari bibir tebal Warok Darmo
Singo.
"Sudah kubilang jangan berbelit-belit, Adi!
Jelaskan saja, apa maksudmu! Aku pusing den-
gan kata-katamu!" desak Warok Singo Lodra. Ke-
ras suaranya membuat Nyai Gembili istrinya ke-
luar dari kamar.
"Sabar..., Kang. Maksudnya begini. Kakang
boleh-boleh saja menyelesaikan urusan dengan
Warok Jogoboyo. Tapi jangan menggunakan cara-
cara liar,"
"Cara liar bagaimana?"
"Menyatroni rumahnya, sama saja meng-
gunakan cara liar. Bukankah jiwa warok menen-
tang cara-cara seperti itu? Warok biasanya berta-
rung di tempat sepi dan terpencil bila hendak
menyelesaikan urusan di antara mereka. tak ingin
ditonton atau melibatkan orang lain. Itulah jiwa
sejati yang dianut kaum warok," papar Warok
Darmo Singo, panjang lebar.
Warok Singo Lodra terdiam. Tersihir oleh
kata-kata adik kandungnya. Tak dapat dipungkiri
kalau kata-kata itu memang telah menyadarkan
dari sebuah aib. Karena, melanggar hokum warok
sama saja mencoreng mukanya sendiri dengan
kotoran kerbau.
"Lantas, apa yang harus kulakukan Adi?"
tanya Warok Singo Lodra, seolah menyerah oleh
jalan pikirannya yang buntu.
"Buat surat tantangan untuk Warok Jogo-
boyo. Tangan dia di Bukit Munthang, tempat para
warok biasa menyelesaikan urusan. Bukankah
begitu hukum yang berlaku di kalangan para wa-
rok?" jelas Warok Darmo Singo, semangat.
"Hmmm.... Edan..., edan. Tak kusangka,
otakmu begitu bening Adi. Sungguh aku kagum
denganmu," puji Warok Singa Lodra.
"Jangan dengar kata-katanya, Kakang!"
Kedua lelaki bertampang kasar itu tersen-
tak. Sebuah suara bernada tak setuju langsung
menyita perhatian mereka.
"Nyai Gembili...? Apa maksudmu?"
* * *
Ingin rasanya Warok Jogoboyo menyatroni
rumah Warok Singo Lodra sekarang juga. Tapi
untuk itu, dia belum cukup bukti untuk menu-
duh bahwa Warok Singo Lodra-lah orang di balik
kematian putrinya. Sebab, kata-kata yang keluar
dari perampok tak bisa dipercaya begitu saja. Bi-
sa saja para perampok yang membunuh putrinya
hanya sekadar memfitnah, dengan melempar tu-
duhan pada orang lain.
Warok Jogoboyo tak ingin bertindak gega-
bah. Ingin diselidikinya dahulu, siapa orang di ba-
lik semua ini. Sebab biar bagaimanapun, bertin-
dak ceroboh sama saja menciptakan sebuah pe-
nyesalan amat dalam yang sukar diobati. Kendati,
untuk itu dia harus menahan ke-marahan meng-
gelegak atas kematian putri kesayangannya dan
tiga orang penjaga rumahnya.
Untuk langkah pertama, Warok Jogoboyo
sudah langsung mengirim utusan ke Kadipaten
Ngawi. Sekaligus, mengabarkan tentang kematian
Ratna Kumala, anaknya.
Tetapi sesungguhnya, jangan ditanya ba-
gaimana perasaannya saat ini. Dia ingin segera
melampiaskannya, tapi pada siapa. Setan mana
yang mau dijadikan pelampiasannya? Kepada-
Warok Singo Lodra? Nanti dulu. Dia merasa be-
lum punya bukti untuk itu. Atau setidaknya, buk-
tinya belum kuat.
Duka.
Kecewa.
Geram.
Sedih.
Semua kata-kata itu berkumpul jadi satu,
membentuk guncangan batin yang amat kuat.
Nyaris menggoyahkan hati jantannya. Untung sa-
ja dia masih punya kata wasiat; bijaksana.
Di sisi lain, Warok Jogoboyo agak menye-
salkan sikap penduduk di daerahnya yang seolah
tak mau peduli pada lingkungan. Waktu malam
kejadian, kenapa tak seorang penduduk pun yang
menampakkan diri. Lelaki tambun ini tak menger-
ti, apakah para tetangganya telah tuli? Sebab
waktu itu teriakannya cukup keras. Rasanya
mustahil kalau para penduduk tak men-dengar
teriakannya. Satu-satunya dugaan adalah, para
tetangganya merasa takut. Ini yang cukup berala-
san. Sebab anggapan mereka, orang yang berani
menyatroni rumah Warok Jogoboyo hanyalah
orang yang memiliki kepandaian tinggi. Kalau me-
reka ikut campur, jangan-jangan nyawa mereka
sendiri yang melayang.
Pagi tadi, Warok Jogoboyo telah mengu-
burkan anaknya yang tercinta, juga mayat ketiga
penjaga rumahnya. Banyak juga penduduk yang
mengantarkan sampai ke pemakaman sekalian
menyatakan turut berduka cita. Dan lelaki tam-
bun ini hanya tersenyum getir ketika para pendu-
duk menyatakan berbagai macam alasan menga-
pa mereka tak muncul waktu malam kejadian.
Di beranda rumahnya, Warok Jogoboyo
duduk di damping! istrinya. Masing-masing telah
larut dalam kedukaan. Mestikah aku berseteru
dengan kakak seperguruanku sendiri? Tanya hati
kecilnya. Apa jadinya kalau Kakang Warok Singo
Lodra ternyata memang berada di balik peristiwa
ini?
Justru memang itu yang paling ditakutkan
Warok Jogoboyo. Bagaimana bila kakak sepergu-
ruannya nyata-nyata berada di balik peristiwa
itu? Artinya, mau tak mau, suka tak suka, dia ha-
rus berhadapan dengan Warok Singo Lodra!
* * *
Hutan Wonocolo
Tempat di mana puluhan ribu batang po-
hon jati berjejer, membangun sebuah gerombolan
hijau bila dilihat dari angkasa raya. Juga tempat
di mana para perampok yang dipimpin Tentara
Langit bersarang.
Tempat yang dikenal amat angker itu sama
sekali tak membuat seorang pemuda tampan me-
nyurutkan langkahnya. Pakaiannya rompi putih
dari kulit binatang. Rahangnya bergaris jantan.
Rambut panjangnya yang melebihi bahu berwar-
na kemerahan. Mata sembilunya mencorong ke
depan, berusaha menembus keremangan karena
cahaya matahari nyaris tak pernah sampai ke
muka bumi. Celananya pangsi sebatas lutut ber-
warna hitam. di balik kain ikat pinggangnya terse-
lip sebatang tongkat kecil. Di ujungnya terdapat
hiasan kepala naga berwarna emas. Di ujung lain
berbentuk ekor naga berwarna emas.
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Satria?
Seorang pendekar muda digdaya yang belum lama
meramaikan gonjang-ganjing dunia persilatan?
"Apa masih jauh ya, letak Kadipaten Nga-
wi?" tanya si pemuda pada diri sendiri. "Ah, Tres-
nawati… Tresnawati. Sudah lama kita tak berte-
mu. Sekali ingin bertemu, aku kau suruh men-
jemputmu di Kadipaten Ngawi. Inilah susahnya
kalau orang punya kekasih. Kalau tak dipenuhi
keinginannya, dibilang tak cinta. Kalau dipenuhi,
malah menyiksa diri. Cinta… cinta," suara si pe-
muda terdengar menggerundeng sendirian.
Dan gerutuan Satria mendadak berhenti.
Perhatiannya tersita kea rah gerumbulan semak-
semak di samping kiri kanan di depannya. Nalu-
rinya mengatakan kalau ada sesuatu yang tak
beres di sekitarnya. Untuk itu, kewaspadaannya
makin ditingkatkan ketika sudah cukup lumayan
jauh memasuki Hutan Wonocolo.
Benar saja. Dalam beberapa tarikan napas
kemudian, dari samping kiri dan kanan berlompa-
tan beberapa orang lelaki berpakaian serba hitam
dari balik-balik semak dan pepohonan. Rata-rata
mereka bertubuh tinggi besar dan berwajah ka-
sar.
Tidak. Satria tak kaget barang sedikitpun.
Karena dia memang telah menduganya. Malah
kakinya terus melangkah, seolah tak mempeduli-
kan orang-orang yang berdiri di depannya dalam
keadaan siap siaga.
"Permisi… Numpang lewat," Satria mem-
bungkukkan badannya. Tangan kanannya menju-
lur ke bawah. Hendak dibelahnya barisan lelaki
berpakaian serba hitam yang menghadang lang-
kahnya.
"Tahan langkahmu, Bocah!" bentak lelaki
yang berada paling tengah. Di sebelah kirinya dua
lelaki lain telah menghunus golok. Sedang dua di
sebelah kanannya telah menghunus clurit.
Mau tak mau, Satria Gendeng menghenti-
kan langkahnya. Karena tak ada tanda-tanda ka
lau kelima lelaki ini mau memberinya jalan. Yang
hanya dilakukan adalah garuk-garuk kepala yang
tak gatal.
"Ada yang salah dengan langkahku, Pa-
man?" tanya Satria polos. Meski sudah menang-
kap gelagat tak baik, tapi sikapnya masih terlihat
tenang saja.
"Serahkan hartamu. Atau, nyawamu me-
layang ke neraka!" bentak lelaki di tengah. Berde-
bam, dia melangkah dua tindak ke depan.
"O, jadi kalian perampok? Bilang dong dari
tadi. Bukankah kalian bisa memperkenalkan diri
dengan mengatakan, maaf, kami perampok. Kami
hendak meminta hartamu. Begitu...," oceh Satria.
"Apakah kalau aku meminta secara baik-
baik kau akan memberi?" tanya salah satu lelaki
yang berada di sebelah kanan.
"Kalau itu nanti dulu. Aku kan cuma me-
nyuruh kalian meminta baik-baik. Soal memberi,
he he he...." Satria cengengesan. Jelek sekali,
membuat para perampok geram bukan main.
"Bangsat! Kau mau mempermainkan kami,
Bocah?! Apa kau tak tahu, siapa kami?!" bentak
lelaki yang berada di kanan tadi.
"Mempermainkan? Apa kalian bisa diajak
main-main? Kalian maunya main apa? Umpet-
umpetan? Galah asin? Atau...."
"Diam!"
"Oh, main diam-diaman? Baik. Aku juga
bisa. Ka...."
"Kubilang tutup mulutmu!"
Kata-kata Satria Gendeng terpangkas oleh
bentakan lelaki yang berada paling tengah. Mu-
lutnya langsung mengatup. Bentakan tadi me-
mang cukup berisi tenaga dalam. Tapi sama seka-
li tak membuat Satria goyah.
"Kau tak tahu, siapa kami, heh?!" lanjut le-
laki tadi. Satria diam. Mulutnya mengatup.
"Ayo jawab pertanyaanku?!" bentak lelaki
di tengah lagi.
Satria tetap diam....
"Setan! Apa kau tak punya mulut, heh?!"
Terpaksa Satria membuka mulutnya. "Ka-
lian ini bagaimana, sih? Tadi aku disuruh tutup
mulut. Sekarang disuruh menjawab pertanyaan.
Maunya kalian apa?!"
"Bocah ini sedang mengerjai kita, Kakang
Lingga! Kita ringkus saja!" kata lelaki yang berada
paling kiri.
"Benar! Ringkus saja, Kang! Kita kuras har-
tanya. Siapa tahu dia membawa uang banyak,"
sambung yang lain.
Dikompori begitu lelaki bernama Lingga
makin bernafsu saja. Malah nafsunya melebihi bi-
la matanya melihat perempuan cantik. Apa yang
ada di benaknya hanyalah uang kepeng atau
uang emas. Siapa tahu pemuda di depan mereka
seorang hartawan.
"Bocah! Kau saat ini sedang berhadapan
dengan anak buah Tentara Langit yang mengua-
sai Hutan Wonocolo. Maka suka atau tidak, kami
akan melenyapkanmu. Sudah menjadi hukum
kami bahwa orang yang lewat tempat ini harus
mampus!" desis Lingga.
"Kalau aku punya harta?" pancing Satria.
"Kau tetap harus mampus!"
"Kalau aku melawan?"
"Kau juga harus mampus!"
"Kalau aku mampus?"
"Kau tetap harus melaw..., eh?! Setan! Kau
mau mengerjaiku lagi, Cah! Bangsat! Terima ke-
matianmu! Heaaatt...!"
Di ujung kalimatnya, lelaki bernama Lingga
langsung menggebrak dengan sebuah hantaman
kepalan tangan. Keras, berisi tenaga dalam lu-
mayan. Menerabas udara, menciptakan angin
menderu.
Di mata Satria, justru gerakan itu amat
lambat. Sehingga dia belum bertindak ketika joto-
san itu sedikit lagi hinggap di wajah segarnya. Ba-
ru ketika satu jari lagi pukulan mendarat, enak
sekali tubuhnya bergeser ke kanan.
Serangan luput. Lawan terkejut. Sungguh
tak disangka kalau si pemuda yang kelihatan bau
kencur mampu menghindari pukulan yang menu-
rut perkiraan si pemiliknya adalah paling dahsyat
yang pernah dimilikinya.
Serangan berlanjut. Lingga yang sudah ma-
ju selangkah menyodorkan sikut. Hendak diha-
jarnya dada si pemuda bau kencur dengan sikut
kasarnya.
Bed!
"Hih!"
Pak!
Lagi-lagi serangan kandas. Satria memapak
sikut lawan dengan tangan kirinya. Sementara
tangan kanan menyampok dari bawah. Arahnya
ulu hati lawan.
Bekh!
"Hekh!"
Serangan balik Satria membuat lawan cen-
gar-cengir serba salah. Ulu hatinya yang jadi sa-
saran terasa nyeri bukan main. Napasnya seolah
berhenti mendadak. Sementara matanya melotot
tak percaya. Saking kalapnya, lelaki ini melengos
ke arah kawan-kawannya.
"Kenapa kalian diam saja, Tolol?! Habisi
bocah sialan ini!" bentaknya.
Bergegas, empat lelaki lain langsung ber-
lompatan menyerang Satria. Dan pertarungan
pun kembali tergelar. Sarat dengan kekejian yang
siap berkobar.
LIMA
APA maksudmu berkata begitu, Nyai? Yang
dikatakan Adi Darmo Singo benar. Persoalan ini
harus diselesaikan berdasarkan hukum yang ber-
laku di kalangan Warok!" tegas Warok Singo Lo-
dra, ketika Nyai Gembili istrinya telah berada di
depannya.
"Tidak, Kakang. Kalau Kakang mau menya-
lahkan, salahkanlah Adipati Ngawi. Bukan Warok
Jogoboyo. Dia hanyalah rakyat biasa yang tak
menolak titah sang Adipati. Aku yakin, Warok Jo-
goboyo pun sudah tahu kalau anak kita hendak
menikah dengan Senoaji. Tapi kalau sang Adipati
punya keputusan lain?" sergah Nyai Gembili.
"Tapi kalau Warok Jogoboyo sengaja me-
nanam budi dengan maksud agar sang Adipati
membatalkan pertunangan antara Nawangsih
dengan Senoaji?" sela Warok Darmo Singo.
"Betul, Nyai. Dan lagi, mestinya Warok Jo-
goboyo lebih menghargai aku daripada adipati sia-
lan itu," sambung Warok Singo Lodra.
"Aku berharap, supaya kau tak menyesal
nanti. Kau telah salah tuduh, Kakang. Aku yakin,
ada seseorang yang hendak mengadu domba an-
tara kau dengan Warok Jogoboyo. Untuk itu, ber-
pikirlah lebih jernih. Tahan amarahmu," bujuk
Nyai Gembili.
"Tidak. Nyai!" suara Warok Singo Lodra
makin keras. "Kalau kau tak setuju, kau boleh
meninggalkan rumah ini!"
"Kakang? Kau hendak mengusirku?"
"Terserah apa anggapanmu!"
"Tapi aku hanya, mencoba mengingatkan-
mu, agar kau tak menyesal di kemudian hari. Dan
kalau Kakang memang hendak mengusirku, baik!
Aku pergi sekarang juga!" Nyai Gembili langsung
berbalik. Lalu menghambur memasuki kamarnya
disertai ledakan tangis memilukan.
Warok Singo Lodra menghembuskan napas
sesak. Kegeramannya memang sudah memuncak.
Amarahnya menggelegak. Tak ada seorang pun
yang dapat membendung niatnya untuk menan-
tang Warok Jogoboyo. Tak pula istrinya.
* * *
Walaupun lima lawan merangsaknya ha-
bis-habisan, tapi Satria Gendeng masih terlihat
tenang-tenang saja. Tebasan-tebasan golok mau-
pun clurit yang dibuat para lawannya, di matanya
bagaikan tebasan yang bergerak amat lambat. Si
pemuda hanya berlompatan ke sana kemari un-
tuk menghindarinya.
Wukh! Wukh!
Dua tebasan kini hendak disarangkan dua
orang lawan di dua tempat yang mematikan tu-
buh Satria. Satu di bagian leher, satu lagi di ba-
gian lambung. Angin sambarannya memangkas
udara. Seiring dengan itu, terdengar pula suara
menderu tajam. Agaknya, kedua serangan itu di-
kawal dengan tenaga dalam tinggi.
"Mampus kau, Tikus Busuk!" geram salah
seorang lawan.
"Hih!"
Satria menarik lehernya ke belakang
menghindari tebasan yang hendak mengancam-
nya. Sementara serangan yang mengancam lam-
bungnya dipapak dengan patukan telapak tangan
kirinya yang membentuk kepala ular. Bergerak
amat cepat, sehingga sebelum tebasan sampai di
lambungnya, patukan tangan Satria telah mendarat.
Tak!
"Adauuuww!"
Golok terlepas. Pemiliknya malah menjerit
kesakitan. Mantap sekali patukan tangan si pe-
muda bau kencur menyengat pergelangan tan-
gannya yang memegang golok tadi. Sendinya se-
ketika terlepas, tak dapat digerakkan lagi.
Sebelum lawan yang hendak menebas le-
hernya tadi membuat serangan kembali, si anak
muda cepat membuat putaran tubuh. Dibuatnya
satu tendangan melingkar. Begitu cepat dan tak
terduga.
Dan....
Bukk!
Lawan terjungkal. Tendangan kaki kiri Sa-
tria telak bersarang di iganya. Tubuhnya melun-
cur sampai sepuluh tombak, saking kerasnya
tendangan tadi. Bahkan setelah itu, tak ada gera-
kan lagi ketika tubuhnya mencium tanah.
Melihat kedua kawan mereka begitu mu-
dah dijatuhkan, ketiga lelaki berpakaian serba hi-
tam lainnya jadi ciut nyalinya. Tapi bukan berarti
mereka menyerah begitu saja. Karena, mungkin
saja kedua tangan mereka terlalu ceroboh.
"Hiaaahh!"
Sebuah gebrakan baru dibuat lelaki ber-
nama Lingga. Senjatanya yang juga berupa clurit
telah terhunus dan terangkat di atas kepala keti-
ka tubuhnya meluruk.
Wukh! Wukh!
Udara seolah terbelah oleh putaran clurit-
nya. Setiap putarannya seolah hendak mengge-
tarkan nyali si pemuda. Sarat ancaman kematian
mengiriskan.
Tidak. Sedikit pun Satria tak pernah gentar
menghadapi serangan biar seganas apa pun. Tak
ada dalam kamus hidupnya untuk kata gentar.
Ketangguhan si pemuda telah teruji ketika men-
garungi Lautan Hindia dengan berenang seorang
diri di Pulau Dedemit. (Baca petualangannya di
episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit" dan "Geger
Pesisir Jawa").
Satria Gendeng yang sejak tadi mengerah-
kan jurus 'Patukan Bunga Karang' kembali ber-
siap. Mata sembilunya berusaha menangkap arah
yang dituju mata clurit.
Wukh!
Sambaran clurit ternyata mengarah ke
ubun-ubunnya. Deras dan ganas. Hanya kema-
tian seolah hendak ditebarkan lewat sambaran-
nya. Udara pun terpangkas ke bawah.
Satria tak memandang rendah. Jelas kali
ini sambaran clurit lawan yang kelihatannya me-
miliki kepandaian paling tinggi itu tak bisa diang-
gap remeh.
"Kheaaa...!"
Satu jari lagi mata clurit menghujam ubun-
ubun, Satria menggulingkan tubuhnya ke depan.
Bersamaan dengan itu, sebuah teriakan menyen-
tak dibuatnya. Amat keras. Lalu tiba-tiba kedua
kakinya menjulur ke depan, mengarah ke bagian
selangkangan lawan.
Bukk!
Lawan mendelik. Cluritnya terjatuh begitu
saja dari tangannya. Perlahan-lahan, tangannya
meraba bagian kantong menyannya. Perlahan tapi
pasti, tubuhnya melorot laksana kolor lecek.
Tepat ketika Satria Gendeng bangkit kem-
bali hendak bersiap menghadapi dua lawan yang
tersisa, justru kedua lawannya malah ambruk
dengan mata melorot. Di punggung mereka tahu-
tahu tertembus anak panah.
Sebelum Satria menyadari apa yang terjadi,
dari balik pepohonan bermunculan orang-orang
gagah berpakaian prajurit. Busur-busur panah
tampak masih tergenggam di tangan. Di antara
mereka, terdapat seorang berpakaian panglima
tanpa memegang busur panah
"Terima kasih, Paman Panglima. Tapi terus
terang, aku masih sanggup melumpuhkan mere-
ka tanpa harus menghilangkan nyawa mereka,"
ucap Satria kepada lelaki gagah yang berpakaian
panglima.
"Mereka perampok ganas, Anak Muda. Me-
reka dikenal sebagai anak buah Tentara Langit
yang menguasai Hutan Wonocolo ini. Sayang, sa-
lah seorang dari mereka keburu kabur ketika ka-
mi datang tadi. Sementara saat itu kau masih
bertarung dengan lawan terakhir yang kau roboh-
kan," kata si panglima.
Satria menoleh ke belakang. Kenyataannya,
lawan yang pergelangan tangannya patah tadi su
dah lenyap entah ke mana. Dan si pemuda me-
mang tak begitu memperhatikan ketika para pra-
jurit yang dipimpin seorang panglima tadi datang.
Tahu-tahu ketika dia berdiri, para prajurit yang
memegang panah telah berhasil melumpuhkan
dua lelaki berpakaian serba hitam yang meme-
gang clurit tadi.
"Siapa namamu, Anak Muda? Dan ke mana
tujuanmu?" tanya si panglima.
"Aku Satria. Tujuanku ke Kadipaten Nga-
wi," jawab Satria, terus terang.
"Apakah..., tunggu..., tunggu. Biar kute-
bak. Melihat ciri-cirimu, aku jadi teringat seorang
pendekar muda yang baru-baru ini meramaikan
gonjang-ganjing dunia persilatan. Apakah kau
yang dikenal sebagai Satria Gendeng?" Sebaris
senyum siap dilepas sang Panglima.
"Mungkin kabar lebih indah dari berita.
Apa yang dikatakan orang, kadang tak terlalu se-
suai dengan kenyataannya. Tapi kalau kau bilang
bahwa aku Satria Gendeng, memang begitu ke-
nyataannya," sahut si pemuda. Sebenarnya ada
ketidaksukaan jika julukannya disebut-sebut. Ta-
pi karena mungkin maksud si panglima hanya
sekadar untuk meyakinkan diri.
"Ah, tak dinyana. Selagi aku kebingungan
mencari-cari, ternyata yang dicari ada di depan
mata. Benar dugaanku. Kau pasti Satria Gendeng
yang tengah kami cari-cari!" Tanpa ragu-ragu lagi.
si panglima memeluk tubuh si anak muda perka-
sa. Sudah dipeluk, diangkatnya tubuh Satria dan
diguncang-guncangkannya. Tinggal Satria yang
meringis-ringis tak mengerti.
Heran? Kesurupan setan gundul mana
panglima ini? Begitu yang melintas di benak si
anak muda perkasa.
* * *
Bukan main terperanjatnya ketika Warok
Jogoboyo membaca secarik lontar berisi tantan-
gan. Yang paling membuatnya terkejut, surat tan-
tangan itu berasal dari Warok Singo Lodra. Asli!
Lewat salah seorang utusannya, Warok
Singo Lodra mengirimkan surat tantangan setelah
Warok Darmo Singo berhasil membujuknya. Dua
hari kemudian, surat itu telah sampai di tangan
Warok Jogoboyo. Melihat ciri tulisan serta tanda
tangan yang tertera, Warok Jogoboyo yakin kalau
surat itu memang berasal dari kakak sepergu-
ruannya.
"Hmmm.... Kini terbukti sudah. Warok Sin-
go Lodra memang sengaja menantangku. Dan
ternyata dialah orang di balik semua peristiwa se-
lama ini. Baik! Kupenuhi tantangannya! Sekalian
untuk menuntaskan semua persoalan yang mem-
buatku nyaris gila!" desis Warok Jogoboyo.
Kembali mata Warok Jogoboyo menempel
lekat-lekat di lembaran lontar berisi surat tantan-
gan.
"Dia tak menyebutkan, apa alasannya me-
nantang ku. Sama sekali tak disinggung peristiwa
yang terjadi selama ini. Dia mengambil tempat di
Bukit Munthang, tempat yang biasa digunakan
para warok untuk menuntaskan persoalan," gu-
mam Warok Jogoboyo. Perlahan sekali suaranya.
Nyaris tak terdengar.
Masih dibalut kegeraman, Warok Jogoboyo
meremas daun lontar dalam genggamannya.
"Purnama nanti aku harus sudah ada di
puncak Bukit Munthang. Dan katanya, dia sudah
menunggu di sana," gumamnya lagi.
Lalu tubuhnya berbalik. Lebar-lebar, ka-
kinya melangkah masuk ke dalam rumahnya
dengan napas memburu. Matanya berubah men-
jadi liar. Ketika matanya tertuju pada sebuah
cambuk di dinding rumahnya, napasnya meng-
hembus kencang. Seolah, dia merasa berat untuk
menurunkan Cambuk Buntut Kala, yang selama
ini menjadi senjata andalannya. Karena yang di-
hadapi adalah kakak seperguruannya. Ini yang
memberatkannya.
* * *
"Selamat datang di Kadipaten Ngawi, Pen-
dekar Muda," sambut Adipati Suro Brajan ketika
Satria Gendeng dibawa ke dalam pendopo kera-
ton.
Di samping Satria, duduk seorang lelaki
gagah berpangkat panglima. Dialah Panglima Adi
Kencono yang membawa Satria ke Kadipaten
Ngawi, setelah mereka bertemu di Hutan Wonoco
lo kemarin.
"Terima kasih, Kanjeng Adipati. Sebenar-
nya, aku agak kaget juga ketika mendengar penu-
turan Panglima Adi Kencono bahwa Kanjeng Adi-
pati membutuhkan tenagaku. Maklumlah. Aku
hanyalah pemuda kemarin sore yang tak berke-
mampuan apa-apa," ucap Satria, merendah.
"Jangan merendah, Pendekar Muda. Kami
telah mendengar cerita tentangmu tadi. Juga ceri-
ta tentang sepak terjangmu selama ini," ujar Adi-
pati Ngawi.
"Maaf, Kanjeng. Tolong panggil aku Satria,"
ralat si pendekar muda.
"Baik, Satria. Kau berhasil melumpuhkan
beberapa anak buah Tentara Langit, itu suatu
bukti bahwa kemampuanmu memang dibutuhkan
di kadipaten ini. Untuk itu, atas nama rakyat ka-
dipaten, aku mengharapkan kesediaanmu ikut
menumpas gerombolan perampok yang dipimpin
Tentara Langit. Di samping itu, ada juga gerombo-
lan perampok yang dipimpin Warok Singo Lodra.
Sebenarnya, gerombolan ini yang paling berba-
haya. Sebab, dipimpin oleh jawara tak tertandingi
dari Kadipaten Ponorogo. Aku sendiri tak tahu,
kenapa Warok Singo Lodra jadi berubah haluan
seperti itu," papar Adipati Suro Brajan.
"Maksud Kanjeng?" tanya Satria.
"Dia dikenal sebagai jawara beraliran putih.
Tapi entah kenapa berubah menjadi seorang pe-
mimpin perampok."
"Sudah ada buktinya kalau Warok Singo
Lodra menjadi pemimpin perampok?"
"Sudah. Dari penuturan salah seorang
anak buahnya sebelum tewas di tangan Warok
Jogoboyo dari Kadipaten Trenggalek."
"Itu belum bisa menjadi pegangan, Kan-
jeng," sergah Satria, terus terang.
"Maksudmu?"
"Apakah Kanjeng akan percaya begitu saja
kata-kata yang keluar dari mulut seorang peram-
pok."
Sang Adipati terdiam. Semua terdiam.
Apakah tindakanku selama ini salah? Se-
buah pertanyaan tiba-tiba muncul di benak Adi-
pati Suro Brajan.
ENAM
BUKIT Munthang. Langit cerah. Bulan me-
rekah. Tapi, alam mulai resah.
Dua manusia bertubuh besar berpakaian
serba hitam berdiri saling berhadapan. Wajah ke-
duanya sama-sama dihiasi brewok lebat. Mata
merah mereka saling bertatapan. Perlahan namun
pasti, masing-masing mulai menggeser langkah
secara melingkar, memutari ajang pertarungan
yang siap digelar. Siapakah mereka?
Lelaki yang bertubuh lebih tambun adalah
Warok Jogoboyo. Seorang jawara tak tertandingi
dari Kadipaten Trenggalek. Wajahnya yang ber-
jenggot panjang tampak tegang. Matanya nyaris
tak berkedip mengikuti setiap gerak langkah lela-
ki besar di depannya.
Di depan Warok Jogoboyo sudah pasti Wa-
rok Singo Lodra. Lelaki tinggi besar inilah yang
menantang Warok Jogoboyo untuk bertarung di
Bukit Munthang. Sebuah bukit yang biasa digu-
nakan kaum warok untuk menyelesaikan masa-
lah di antara mereka, secara jantan.
"Mengapa persaudaraan kita berakhir seca-
ra demikian, Kakang?" Suara menggelegar Warok
Jogoboyo terdengar. Ada nada penyesalan dalam
suaranya.
"Jangan lagi kau memanggilku Kakang!
Tak ada lagi persaudaraan di antara kita! Gara-
gara ulah mu, anakku gila, tahu?!" jawab Warok
Singo Lodra, tak kalah menggelegar.
"Kenapa aku yang kau salahkan?"
"Jangan pura-pura tak tahu. Kau sengaja
menanam budi pada adipati Ngawi, agar anakmu
dinikah dengan putranya. Padahal kau tahu, Na-
wangsih telah dilamar Senoaji. Bahkan adipati
sendiri telah berkirim surat padaku!"
"Itu sudah keputusan Kanjeng Adipati
Ngawi. Hal itu terjadi, karena kau telah membuat
persoalan dengannya. Asal kau tahu, Warok Singo
Lodra! Anakku Ratna Kumala pun tewas di tan-
gan anak buahmu!" tunjuk Warok Jogoboyo, gu-
sar bukan main.
Warok Singo Lodra nyaris terlonjak. Kaget
juga hatinya mendengar berita yang tak disangka-
sangka. Bukan saja kematian Ratna Kumala yang
membuatnya kaget, tapi tuduhan kalau dia seba-
gai dalang pembunuhan itu yang membuatnya
tersentak. Kedua biji matanya nyaris keluar, seo-
lah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Dua kali kau membuatku murka, Warok
Jogoboyo. Pertama kau membuatku malu dengan
mengacaukan rencanaku menikahi Nawangsih.
Kedua, kau memfitnahku. Apa persoalanku den-
gan adipati sialan itu?! Lalu, kapan aku menyu-
ruh anak buahku membunuh putrimu? Tudu-
hanmu tak beralasan, Warok Jogoboyo!" sergah
Warok Singo Lodra.
"Kau telah merampok Kanjeng Adipati
Ngawi beberapa waktu yang lalu. Dan empat hari
yang lalu, kau telah menyuruh anak buahmu
membunuh putriku, karena kau marah lantaran
Nawangsih tak jadi menikah dengan Senoaji," pa-
par Warok Jogoboyo.
"Setan! Kau memfitnahku, Kunyuk!"
Bentakan menggelegar Warok Singo Lodra
membelah keheningan malam. Saking marahnya,
tenaga dalamnya pun tersalur dalam bentakan
tadi. Untungnya Warok Jogoboyo telah siaga pula
dengan menyalurkan tenaga dalam pada kedua
kupingnya.
Wajah Warok Singo Lodra mengelam. Urat-
urat matanya memerah. Lehernya mengembung,
siap meledakkan amarah membuncah.
"Persoalan harus segera dituntaskan, Wa-
rok Jogoboyo. Aku tak peduli lagi kalau kita bekas
satu seperguruan. Kini, terimalah kematianmu.
Keaaa...!"
Sebuah terjangan ganas dibuat Warok Sin-
go Lodra. Begitu tubuhnya berada di udara, ke-
dua kepalan tangannya yang besar membuat be-
berapa gerakan di depan dada.
"Kheaaa...!"
Tak mau kalah, Warok Jogoboyo menyen-
tak kedua kakinya. Tubuhnya juga mencelat. Ka-
rena sama-sama dari satu perguruan, maka jurus
yang dibuatnya pun sama dengan lawan. Kedua
tangannya juga membuat beberapa gerakan di
depan dada.
Di udara, pukulan keduanya saling berte-
mu.
Plak! Plak!
Sejauh tiga tombak, masing-masing terpen-
tal ke belakang. Amat deras. Lalu mantap sekali
mereka sampai di bumi. Kini, keduanya saling
menatap tajam. Siap membuka jurus baru.
Pertarungan hidup mati siap berlanjut.
Siapakah yang bakal menemui ajal? Pa-
dahal yang dipersoalkan bisa diselesaikan secara
baik-baik. Asal, kedua pihak sama-sama berkepa-
la dingin. Tapi itulah yang terjadi…
* * *
Kadipaten Ngawi di pagi hari,
Masih seperti dulu. Tetap ramai oleh orang
yang hilir mudik. Sebagian mencari nafkah, seba-
gian lagi sekadar iseng-iseng cuci mata.
Di keraton sendiri justru saat ini tengah
terjadi ketegangan. Ketika Adipati Ngawi baru saja
menjamu sarapan Satria Gendeng, seorang praju-
rit melaporkan bahwa ada utusan dari Warok Jo-
goboyo. Si utusan mengabarkan bahwa Ratna
Kumala telah tewas dibunuh. Konon menurut ka-
bar dalang semua itu adalah Warok Singo Lodra.
Tapi tak lama berselang, prajurit lain men-
gabarkan bahwa istri Warok Singo Lodra datang
menghadap. Menurut si prajurit, kedatangan Nyai
Gembili adalah dengan maksud menjelaskan apa
yang terjadi di antara kedua warok yang tengah
berseteru itu.
Di pendopo, Adipati Suro Brajan terpaksa
mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang
bersangkutan.
"Nyai Gembili! Apa yang menyebabkan su-
amimu menantang Warok Jogoboyo?" tanya Adi-
pati Ngawi.
"Ampun kanjeng. Hamba telah membujuk
suami hamba untuk membatalkan pertarungan-
nya dengan Warok Jogoboyo. Tapi Warok Darmo
Singo, adik ipar hamba, membujuknya. Bahkan
hamba sampai diusir oleh Kakang Warok Singo
Lodra. Adapun persoalannya, suami hamba mera-
sa malu, karena gagal menikahi putri kami den-
gan putra Kanjeng," Jelas Nyai Gembili.
"Lho? Bukankah aku pernah menyurati
suamimu bahwa pertunangan itu dibatalkan. Hal
itu karana suamimu dicurigai sebagai dalang pe-
rampokan terhadapku? Apakah surat itu belum
sampai, Nyai?" Kening sang Adipati berkerut.
"Setahu hamba, sejak Kanjeng menyurati
kami tentang pinangan itu, tak ada lagi surat
yang datang. Dan bukannya hamba membela su-
ami hamba, terus terang Kang Warok Singo Lodra
sudah sekian tahun tak keluar rumah, sampai
kabar tentang pernikahan antara putra Kanjeng
dengan putri Warok Jogoboyo sampai di telinga
kami," papar Nyai Gembili.
"Lantas, siapa yang mengabarkan kalau
anakku akan menikahi Ratna Kumala?"
"Kalau tak salah, adik ipar hamba sendiri.
Warok Darmo Singo."
Adipati Ngawi terhenyak. Perasaannya jadi
tak enak.
"Maaf, Kanjeng. Boleh hamba menyela?"
Satria merapatkan kedua tangan di depan hi-
dung.
"Silakan..., silakan, Satria," sambut Adipati
Suro Brajan,
"Menurut hamba, ada orang yang sengaja
mengadu domba kedua warok itu," Satria berhen-
ti sebentar. Hening.
"Lanjutkan, Satria," pinta Adipati Ngawi.
"Entah apa maksudnya, yang jelas si pen-
gadu domba telah sengaja membuat suasana jadi
keruh. Kalau dipikir-pikir, surat pemberitahuan
pembatalan pinangan itu pasti jatuh ke tangan
orang yang tak berhak. Entah dengan cara apa.
Yang jelas, si orang itu mengabarkan lagi, hingga
sampai ke telinga Warok Singe Lodra," papar Sa
tria.
Adipati Ngawi makin tertarik dengan penje-
lasan gamblang Satria Gendeng. Sungguh tak
disangka kalau bocah pemuda itu mempunyai
otak seencer bubur. Sebening permata, dan seta-
jam pisau.
"Lalu?" pinta tang Adipati lagi. Senyum ce-
rah menghias bibirnya.
"Seperti yang pernah hamba jelaskan wak-
tu itu, mestinya kita tak mudah percaya dengan
omongan penjahat," jelas Satria. Maksudnya bu-
kan menyindir, Adipati Ngawi. Tapi tetap saja wa-
jah lelaki tampan itu memerah.
"Bisa jadi, orang yang merampok Kanjeng
waktu itu memang sengaja menyebar fitnah den-
gan mengatakan bahwa Warok Singo Lodra seba-
gai dalangnya. Dan orang itu pasti sudah tahu
tentang akan adanya pernikahan yang akan ter-
jadi."
Kali ini, utusan Warok Jogoboyo yang me-
merah wajahnya. Seolah kata-kata Satria barusan
ditujukan kepadanya.
"Tapi anak buah Warok Singo Lodra telah
membunuh Ratna Kumala!" sentak si utusan,
saking geregetannya.
"Sabar, Kisanak. Aku belum selesai," po-
tong Satria. Bibirnya melepas senyum cerah.
"Harap berlaku sopan di tempat ini," sela
Panglima Adi Kencono, seraya menatap si utusan
tadi.
"Boleh kulanjutkan?" tanya Satria.
"Silakan, Satria," terabas Adipati Ngawi.
Makin tertarik saja
"Begini. Kelihatannya, si pengadu domba
cukup lihai. Selain mengadu domba antara Kan-
jeng Adipati dengan Warok Singo Lodra, juga
mengadu domba antara Warok Singo Lodra den-
gan Warok Jogoboyo. Si pengadu domba menyu-
ruh apak buahnya menyatroni Warok Jogoboyo,
lalu membunuh Ratna Kumala. Tentu saja keda-
tangan mereka di situ dengan membawa-bawa
nama Warok Singo Lodra. Bukankah dengan begi-
tu makin sempurna kerja si pengadu domba?"
papar Satria lagi
Sekali lagi, Adipati Ngawi geleng-geleng ke-
pala mendengar penjelasan panjang lebar Satria
yang amat gamblang. Sungguh dikaguminya ke-
cerdasan si anak muda. Di sisi keeping hatinya
yang paling dalam, timbul penyesalan, kenapa
waktu itu dia terburu-buru membatalkan perni-
kahan anaknya dengan anak Warok Singo Lodra
hanya karena pengakuan para perampok yang
tewas di tangan Warok Jogoboyo. Kenapa dia tak
mengirim utusan kembali ke rumah Warok Singo
Lodra, setelah utusan pertama tak kembali pu-
lang untuk mengabarkan hasilnya. Kenapa waktu
itu..., ah! Sehimpun penyesalan terbangun di da-
lam dada sang Adipati. Tapi bukankah penyesa-
lan datangnya belakangan?
"Yang penting sekarang kita mencari tahu,
siapa orang yang mengadu domba antara aku,
Warok Singo Lodra, dan Warok Jogoboyo," cetus
Adipati Suro Brajan. "Apakah kau punya gamba-
ran siapa orang yang mengadu domba, Satria?"
Mata sang Adipati menatap si anak muda perka-
sa.
"Kalau itu, hamba tak berani menuduh,
Kanjeng. Memang ada dalam benak hamba orang
yang mengadu domba. Tapi rasanya tak baik di-
utarakan di sini. Bukankah sebaiknya kita tanya-
kan langsung pada kedua warok yang bersangku-
tan?" lempar Satria.
Tatapan Adipati Ngawi lalu berpindah pada
Nyai Gembili. "Nyai, kapan suamimu akan me-
nantang Warok Jogoboyo?" tanyanya langsung
"Kalau tak salah tepat pada malam purna-
ma," sahut Nyai Gembili
"Kapan datangnya malam purnama?" susul
sang Adipati.
"Semalam, Kanjeng," Satria yang menya-
hut.
"Apa…?!"
* * *
Kembali ke Hutan Wonocolo
Siraman matahari pagi tak sampai ke per-
mukaan, terhadang rimbunnya daun-daun hutan
jati. Tak jauh dari mulut hutan, seorang lelaki
tinggi besar berjalan gagah. Pakaiannya kom-
prang warna hitam. Juga celananya. Wajahnya
penuh brewok lebat. Alis matanya yang besar juga
lebat. Kepalanya yang besar ditutup blangkon
warna hitam. Penampilannya memang bergaya
warok. Tapi dia memang seorang warok. Namanya
Warok Darmo Singo.
Di belakang Warok Darmo Singo berjalan
sepuluh orang lelaki gagah. Pakaian mereka serba
hitam, namun terlihat ketat. Wajah mereka kasar,
menyiratkan kebengisan. Sesungguhnya, anak
buah Warok Darmo Singo berjumlah lima belas
orang. Tapi beberapa waktu yang lalu, lima orang
dari mereka yang mendapat tugas merampok di
Hutan Wonocolo terlibat bentrokan dengan pen-
dekar muda bernama Satria Gendeng. Ketika Wa-
rok Darmo Singo kembali ke hutan setelah menja-
lankan siasatnya, dia hanya menemukan dua
anak buahnya terluka parah. Dua lagi tewas den-
gan anak panah menembus punggung. Sedang-
kan yang seorang lagi lenyap entah ke mana.
Dengan pertimbangan bahwa kedua anak
buahnya yang terluka parah akan merepotkan,
Warok Darmo Singo tanpa belas kasihan meng-
habisi nyawa mereka
"Ha ha he…. Kita akan kaya raya, Kawan-
kawan. Menurut guruku, kedua lempengan logam
ini berisi peta harta karun," kata Warok Darmo
Singo sambil memperlihatkan kedua potongan
lempengan logam di tangannya. "Kedua warok
bodoh itu telah kita perdayai. Mungkin mereka te-
lah mampus di Bukit Munthang. Dan, tinggal kita
yang mengeruk hasilnya. Ha ha ha.... Sementara,
Adipati Ngawi kini sedang uring-uringan, karena
tak jadi menikahkan anaknya. Ha ha ha...!" Tawa
Warok Darmo Singo disambut tawa meriah sepu-
luh lelaki yang tak lain anak buahnya.
Dua potongan lempeng logam di tangan
Warok Darmo Singo sebenarnya tak cuma berisi
peta harta karun, tapi juga peta tempat penyim-
panan sebuah kitab berisi ilmu tingkat tinggi
Kedua lempengan logam itu sebenarnya
milik Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo.
Mendiang guru kedua warok dari Gunung Wilis
itu telah mewariskan masing-masing sebuah po-
tongan lempeng logam berisi peta harta karun
dan kitab ilmu tinggi. Harapan sang Guru harta
karun yang tersimpan bisa dibagi dua, untuk di-
bagi-bagikan pada rakyat jelata. Sementara kitab
berisi ilmu tingkat tinggi itu bisa diamalkan me-
reka berdua. Dengan harapan, kedua warok itu
menjadi manusia yang mumpuni. Konon bila ke-
duanya sanggup menyerap ilmu-ilmu yang terda-
pat dalam kitab, keduanya bisa menjadi sesepuh-
nya para sesepuh dunia persilatan.
Sayang, kedua lempengan logam itu kini di
tangan orang yang salah. Lantas apa jadinya du-
nia persilatan bila kitab berisi ilmu tingkat tinggi
itu kini di tangan Warok Darmo Singo. Karena,
dialah biang perampok yang dikenal sebagai Ten-
tara Langit!
TUJUH
BAGAIMANA Warok Darmo Singo bisa
sampai mendapatkan kedua lempeng logam yang
berisi peta harta karun dan kitab tingkat tinggi
itu?
Persoalannya mudah saja. Tak lama sete-
lah Warok Singo Lodra pergi ke Bukit Munthang,
Warok Darmo Singo mengobrak-abrik peti tempat
penyimpanan benda-benda pusaka milik kakak
kandungnya. Sebagai adik kandung, dia tahu be-
tul tempat penyimpanan potongan lempengan lo-
gam itu. Apalagi, dia sering pula memasuki kamar
kakaknya.
Sementara untuk mendapatkan potongan
satu lagi, Warok Darmo Singo memerintah anak
buahnya untuk menyatroni kembali rumah Warok
Jogoboyo yang telah pergi ke Bukit Munthang pu-
la. Dengan membunuhi para penjaga rumah serta
pelayan dan mengancam Nyai Kumitir, mereka
berhasil mendapatkan lempengan logam yang sa-
tu lagi.
Apa sebenarnya yang menyebabkan Warok
Darmo Singo berubah menjadi manusia telengas?
Nafsu serakah, yang dipoles guru sesatnya.
Sebelum terjun ke dunia persilatan, Darmo
Singo yang belum jadi warok berguru pada tokoh
sesat berjuluk Iblis Rogo Jembangan. Sebagai da-
tuknya kaum sesat di daerah timur tanah Jawa,
Iblis Rogo Jembangan pernah mendengar bahwa
musuh bebuyutannya yang bermukim di Gunung
Wilis telah membuat peta dari lempengan logam.
Dan konon peta itu berisi petunjuk tentang tem-
pat penyimpanan harta karun dan sebuah kitab
berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi.
Musuh bebuyutan Iblis Rogo Jembangan
kabarnya adalah bekas seorang raja sakti man-
draguna, keturunan Raden Hayam Wuruk. Kare-
na tak mampu memimpin pemerintahan, sang
Raja mengundurkan diri dan memilih menjadi re-
si di Gunung Wilis.
Kabar dari mulut ke mulut mengatakan,
raja yang mengubah namanya menjadi Resi Ka-
langwan itu juga membawa harta, yang sedianya
akan dibagi-bagikan pada rakyat jelata. Dan mak-
sud itu lantas diutarakan kepada kedua murid-
nya, yang kini dikenal sebagai Warok Singo Lodra
dan Warok Jogoboyo.
Tapi, memang. Apa yang terjadi susah dite-
bak. Seolah semua rencana matang, bisa begitu
mudah berantakan. Selesai Resi Kalangwan me-
nulis kitab ilmu-ilmu tingkat tinggi dan menyim-
pannya bersama harta karun di tempat tersem-
bunyi yang tak diketahui kedua muridnya, sang
Resi keburu wafat. Untung saja, sebelum wafat,
Resi Kalangwan sempat memotong lempengan lo-
gam menjadi dua bagian. Lalu masing-masing di-
bagi kepada kedua muridnya. Tak ada pesan yang
terucap saat kematiannya.
Sejenak saat itu, kabar tentang Resi Ka-
langwan menguap begitu saja. Iblis Rogo Jemban
gan sendiri yakin kalau kedua lempengan logam
itu pasti berada di tangan kedua murid Resi Ka-
langan. Tapi untuk mendapatkannya tentu bukan
hal yang mudah. Sebab ketika menghadapi salah
satu dari murid Resi Kalangwan, Iblis Rogo Jem-
bangan takluk. Dia tak menyangka kalau salah
satu warok yang dihadapinya memiliki kesaktian
lebih tinggi. Warok itu tak lain Warok Singo Lo-
dra. Karena diam-diam, setelah berguru pada Resi
Kalangwan, Warok Singo Lodra juga berguru pada
tokoh sakti lain, sehingga namanya ditambah
menjadi Warok.
Demikian pula Warok Jogoboyo. Maka tak
heran kalau kedua murid musuh bebuyutannya
itu kini bergelar Warok.
Tapi, pucuk dicinta ulam tiba.
Iblis Rogo Jembangan bertemu seorang
pemuda patah hati bernama Darmo Singo. Den-
gan bujuk rayunya, akhirnya Darmo Singo berse-
dia menjadi murid Iblis Rogo Jembangan. Selain
menjanjikan ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, Darmo
Singo dibujuk kalau dirinya bakal kaya raya bila
bersedia menjadi muridnya.
Walhasil, Darmo Singo lantas benar-benar
telah berubah. Seolah, otaknya telah dicuci oleh
Iblis Rogo Jembangan. Maka ketika dia diperintah
untuk mencuri kedua lempengan logam itu, Dar-
mo Singo yang sekadar ikut-ikutan menggunakan
gelar Warok di depan namanya segera menyusun
siasat untuk mendapatkan kedua benda yang di-
maksudkan gurunya.
Pertarungan di Bukit Munthang sudah
sampai pada taraf yang mengkhawatirkan. Mas-
ing-masing warok telah mengerahkan ilmu kedig-
dayaan yang paling tinggi. Namun belum ada,
yang unggul. Tidak Warok Singo Lodra. Tak juga
Warok Jogoboyo. Keduanya sama-sama alot dan
sama-sama memiliki kesaktian seimbang.
Selain telah mengandalkan senjata pusaka
warisan Resi Kalangwan, keduanya juga telah
mengerahkan ajian tingkat tinggi. Tak heran bila
di sekitar pertarungan telah porak-poranda,
layaknya habis diamuk ribuan gajah liar.
Sampai menjelang tengah hari, kedua wa-
rok itu telah bertukar lebih dari ratusan jurus.
Baik jurus-jurus yang diwariskan oleh Resi Ka-
langwan, maupun dari guru mereka setelah Resi
Kalangwan wafat. Tapi dasar keduanya keras ke-
pala, tetap saja tak ada yang mau mengalah.
Cletarr…!
Cletarr...!
Lecutan Cambuk Buntut Kala milik Warok
Jogoboyo disambut lecutan Cambuk Buntut Kela-
bang milik Warok Singo Lodra. Udara pun terbe-
lah oleh suara meledak-ledak lecutan kedua cam-
buk.
Pada akhirnya, Cambuk milik Warok Singo
Lodra yang diberi nama Cambuk Buntut Kelabang
saling membelit dengan Cambuk Buntut Kala.
Begitu kuat, seolah tak ingin terlepas lagi.
Adu tarik menarik pun terjadi. Masing-
masing segera mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Seolah seorang yang mengendurkan sedikit saja
tenaga dalam, berarti mati.
Wajah keduanya sama-sama tegang. Gigi-
gigi geraham saling bergemeletuk. Kedua biji mata
memerah mereka melotot, saling beradu pandang.
Tangan kanan kekar berhias gelang akar bahar
milik masing-masing menampakkan urat-urat
mengeras. Juga urat-urat pada leher. Keringat
semakin membasahi pakaian.
Di kejap kemudian, kuda-kuda kokoh me-
reka mulai goyah. Sementara, kaki-kaki mereka
mulai menghujam bumi. Tubuh masing-masing
bergetar keras.
Pada puncaknya....
"Heaaa...!"
"Heaaa...!"
Deb! Deb!
Bersamaan, kedua warok itu menyentak
tangan kiri satu sama lain. Udara pun terbelah.
Angin keras menderu dari pukulan jarak jauh
masing-masing meluncur, mendekati satu titik.
Dan....
Blarrr...!
Sehimpun kekuatan dahsyat bertemu men-
jadi satu. Hasilnya, tercipta satu ledakan layak-
nya gunung api memuntahkan laharnya. Mencip-
takan pula segerombolan asap tebal membubung
ke angkasa bak jamur raksasa. Getarannya bah-
kan meruntuhkan dahan-dahan pepohonan pada
jarak lima puluh tombak!
Masing-masing warok terlempar sejauh dua
puluh tombak. Keduanya berusaha bangkit meski
tertatih-tatih. Guncangan amat dahsyat tadi
membuat isi dada mereka seolah bergemuruh
hendak rontok. Mulut dan hidung pun telah dile-
lehi darah segar.
Warok Singo Lodra membuat gerakan den-
gan kedua tangannya. Hendak disalurkannya ha-
wa murni untuk menghilangkan rasa sesak pada
dadanya. Juga, Warok Jogoboyo. Lalu masing-
masing bersiap kembali dengan kuda-kudanya.
"Ini yang terakhir, Jogoboyo! Salah satu di
antara kita harus ada yang mampus. Kerahkan
aji pamungkas milik kita masing-masing!" desis
Warok Singo Lodra. Matanya nyalang, menghujam
ke manik-manik mata Warok Jogoboyo.
"Permintaanmu kulayani, Singo Lodra! Kita
sudah kepalang basah. Apa pun yang terjadi, aku
siap menghadapi," sambut Warok Jogoboyo.
Hawa kematian siap menebar di Puncak
Bukit Munthang.
Kaki-kaki kokoh mulai terpentang.
Mencari siapa yang kalah, dan siapa yang
menang....
Tenang.
Perlahan-lahan, alam mulai meremang.
Senja mulai beranjak datang.
Sebelum pertarungan terbentang....
"Tahan serangan!"
Sebuah suara bentakan menggelegar ter-
dengar. Kedua warok saling menarik ajian yang
siap dilepaskan. Siapakah yang datang...?
* * *
Sungguh sulit dipercaya. Ternyata yang da-
tang hanyalah seorang pemuda kemarin sore!
Berpakaian rompi putih dari bulu binatang. Ber-
garis rahang jantan, Berambut panjang melebihi
bahu, berwarna kemerahan. Celananya pangsi hi-
tam sebatas lutut.
Dialah Satria.
Edan! Berani-beraninya bocah bau kencur
itu menghentikan pertarungan tingkat tinggi dari
dua warok yang amat disegani? Setan mana yang
membujuk otaknya, sehingga berani-beraninya
datang ke tempat ini? Orang waras sekalipun
akan berpikir dua kali jika berurusan dengan wa-
rok-warok ini. Tapi Satria?
Cengengesan, Satria Gendeng melangkah.
Dia berhenti di tengah-tengah, antara Warok Sin-
go Lodra dan Warok Jogoboyo. Sebentar mata
sembilunya menatap warok yang berada di sebe-
lah kiri, lalu berpindah pada warok di sebelah ka-
nan.
"Mana yang bernama Warok Singo Lodra,
tunjuk tangan!" serunya, sok gagah. Sok sebagai
wasit yang siap memimpin sebuah pertandingan
silat.
Warok Singo Lodra sendiri nyaris terlonjak.
Siapa bocah ini? Tanyanya membatin. Edan! Be-
rani-beraninya dia menyuruhku tunjuk tangan?
Apa dia punya nyawa rangkap berani menyuruh-
ku?
"Aku Warok Singo Lodra! Apa maksudmu
datang ke tempat ini, Cah?!" Aneh. Membatin be-
gitu, tapi Warok Singo Lodra malah menjawab
pertanyaan si bocah bau kencur.
Si anak muda menatap ke sebelah kanan,
ke arah Warok Singo Lodra. Sekali lagi dengan la-
gaknya yang membuat orang kesal bukan main,
dia tak mempedulikan jawaban Warok Singo Lo-
dra. Bahkan kemudian kepalanya melengos ke
sebelah kiri.
"Pasti kau yang bernama Warok Jogoboyo,"
tebaknya. Menyebalkan sekali lagaknya.
Edan! Kali ini justru Warok Jogoboyo yang
merutuk dalam hati. Siapa bocah ini? Tatapan
matanya..., edan! Sungguh mengandung perbawa
kuat. Aneh. Dadaku terasa bergetar ketika mena-
tap matanya. Sumpah serapah Warok Jogoboyo
berlanjut.
"Hei, Cah! Kau belum menjawab perta-
nyaanku!" bentak Warok Singo Lodra. Dalam te-
riakannya disertai tenaga dalam lumayan. Karena
kalau menggunakan tenaga dalam tinggi, dadanya
masih belum kuat akibat benturan pukulan jarak
jauh tadi.
Warok Singo Lodra yang mengira kalau bo-
cah bau kencur itu akan jatuh terduduk jadi ter-
peranjat bukan main. Tenaga dalamnya yang dis-
alurkan lewat bentakan tadi sudah cukup mem-
buat kambing ngejoprak mati. Tapi kucing buduk
ini...? Bahkan...
"Aku belum selesai, tahu?!" bentak Satria
Gendeng. Tak mau kalah, bentakannya juga dis-
ertai tenaga dalam lumayan. Hasilnya?
Warok Singo Lodra nyaris jatuh, kalau tak
cepat menguasai keseimbangan. Juga Warok Jo-
goboyo. Bisa jadi mereka sampai bisa begitu, ka-
rena telah habis-habisan bertarung.
"Kalian tahu, pertarungan ini hanya mem-
perebutkan pepesan kosong!" lanjut si pemuda,
tanpa disertai tenaga dalam. Namun suaranya
cukup lantang.
"Sebutkan dulu, siapa namamu, Cah!" pin-
ta Warok Jogoboyo.
"Aku Satria," sahut si anak muda. Tetap
lantang.
"Yang ku maksud Julukanmu!" ralat Warok
Jogoboyo.
"Satria saja. Tak perlu julukan," elak Sa-
tria, enggan menjelaskan kepanjangan namanya
yang dikenal di dunia persilatan.
"Setidaknya, kau memiliki guru, Siapa gu-
rumu?!" Kali ini Warok Singo Lodra yang merasa
penasaran.
"Kakek Kusumo dan Kakek Dongdongka."
"Apa...?!"
Warok Singo Lodra dan Warok Jogoboyo
sama-sama tercekat. Mata mereka mendelik tak
percaya mendengar pengakuan si anak muda.
Habis, siapa yang tak pernah mendengar kebesa-
ran nama Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau De-
demit dan Dongdongka alias Dedengkot Sinting
Kepala Gundul?
DELAPAN
IBARAT permainan catur, maka Warok
Darmo Singo telah menang selangkah. Dia tinggal
memecahkan teka-teki yang ada di lempengan lo-
gam yang telah disambungnya, maka kemenan-
gan sejati pun akan diraihnya. Selain mendapat
harta karun, juga mendapat sebuah kitab berisi
ilmu tingkat tinggi.
Lelaki bertubuh tinggi besar itu kini telah
sampai di kaki Gunung Wilis bersama sepuluh
anak buahnya. Seharusnya, begitu mendapat ke-
dua potongan lempeng logam itu, dia harus sege-
ra menghadap gurunya, Iblis Rogo Jembangan.
Tapi perintah itu tak dipedulikannya. Manusia li-
cik macam Darmo Singo agaknya sudah biasa
bertindak demikian. Sekalipun, yang dilicikinya
gurunya sendiri!
Warok Darmo Singo sendiri tak begitu pe-
duli terhadap lima anak buahnya di Hutan Wono-
colo. Dua orang diketahuinya telah mati. Dua ter-
luka parah, dan sisanya entah ke mana. Baginya,
makin sedikit orang, makin besar jatahnya untuk
mengangkangi harta karun dan kitab berisi ilmu
tingkat tinggi. Bahkan dengan teganya dia mem-
bunuh dua anak buahnya yang terluka parah di
Hutan Wonocolo. Licik dan serakah.
Itu dua kata yang tepat untuk Warok Dar-
mo Singo. Bahkan diam-diam dia hendak meng-
habisi sepuluh anak buahnya yang kini bersa
manya, setelah apa yang dicarinya berhasil dite-
mukan. Senja pun merayap.
Warok Darmo Singo menghentikan lang-
kahnya bawah sebuah pohon besar. Kesepuluh
anak buahnya mengikuti. Mereka semua melem-
par pantat gempal masing-masing ke atas tanah
berumput. Setelah berjalan sekian lama, rasanya
penat mulai menghadang.
Seperti kurang yakin dengan keberadaan
dua lempengan logam di sakunya, dirogohnya
kembali kedua benda itu. Lalu matanya mulai
merayapi tulisan-tulisan yang tertera di atas lem-
pengan. Diejanya kata-kata yang terdiri dari bari-
san huruf-huruf Jawa kawi.
"Berjalan bersama ke utara dan selatan.
Hindari mulut singa, masuk ke mulut buaya," bi-
bir hitam tebal Warok Darmo Singo bergerak-
gerak. "Apa maksudnya? Kau mengerti, Lanang?"
susulnya pada lelaki di depannya.
Lelaki bernama Lanang menggeleng. Otak-
nya memang tergolong bebal. Kalimat begitu se-
derhana, dia tak mengerti maksudnya.
"Siapa yang mau masuk mulut buaya? Kau
berani, Gempol?" Lanang menoleh pada lelaki di
sebelah kirinya.
Gempol juga menggeleng. Memangnya gila
apa, disuruh masuk ke mulut buaya? Begitu ru-
tuknya.
"Kalau takut, jangan berani-berani. Kalau
berani, jangan takut-takut," lanjut Warok Darmo
Singo. "Kejujuran adalah kuncinya. Hadapi saja
segala iblis neraka."
Makin pening saja kepala Warok Darmo
Singo.
Orang macam dia apa mungkin tergolong
jujur? Tapi dasar keras kepala. Dia bertekad
mencari harta karun serta kitab berisi ilmu-ilmu
tingkat tinggi. Berhasilkah dia?
* * *
"Jangan main-main, Cah! Aku kenal betul
dengan Kusumo dan Dongdongka. Rasanya te-
rakhir kali aku bertemu, mereka belum mempu-
nyai murid," sanggah Warok Singo Lodra. Terlupa
dia akan perseteruannya dengan Warok Jogoboyo.
Sebaliknya, Warok Jogoboyo pun demikian.
"Lho? Paman berdua ini bagaimana? Tadi
bertanya. Sekarang menyanggah. Lalu aku harus
mengaku sebagai murid siapa? Murid kucing tua
buduk? Atau murid setan belang panuan?" Polos,
Satria memberengut.
Merasa kurang puas, Warok Singo Lodra
meneliti sekujur tubuh si anak muda. Satria yang
dipandangi begitu jadi ikut-ikutan meneliti seku-
jur tubuhnya.
"Ada apa, Paman?" Satria telah mengubah
panggilannya pada kedua warok tadi, setelah
amarah mereka mulai surut. "Rasanya, tubuhku
tak terlalu menarik untuk dipelototi begitu. Aku
tak punya ekor. Tanganku cuma dua. Kakiku
dua. Mataku dua. Kupingku dua. Hidungku
dua..., lubangnya. He he he...."
Tak peduli, Warok Singo Lodra terus mene-
liti.
"Paman, aku bukan dedemit...," ingat Sa-
tria.
"Sekarang aku baru yakin...," desah Warok
Singa Lodra.
"Apa?!" cekat Satria. "Paman yakin kalau
aku dedemit?!"
"Maksudku, aku yakin kalau kau murid
Tabib Sakti Pulau Dedemit."
"O...," lega hati Satria. Dihembuskannya
napas panjang. Habis, siapa yang sudi dibilang
dedemit?
"Apakah yang kau selipkan di pinggangmu
itu Kail Naga Samudera?" lanjut Warok Singo Lo-
dra.
"Begitulah kira-kira, Paman," sahut Satria.
"Jawab yang pasti," tekan Warok Singo Lo-
dra.
"Kata guruku sih begitu."
Puas, Warok Singo Lodra manggut-
manggut. "Lantas, kenapa kau berani-beraninya
datang ke sini. Kuharap, kau kembali. Kami se-
dang menyelesaikan sebuah urusan. Dan kau
jangan ikut campur!" susulnya kemudian.
"Menyingkirlah, Satria," suara Warok Jogo-
boyo lebih lembut, menyuruh Satria menyingkir.
"Tidak, sebelum kalian mengakhiri perta-
rungan yang hanya mengorbankan nyawa sia-
sia!" Satria keras kepala. Tetap berdiri di tengah
tengah.
"Kuhargai kesaktianmu, Cah. Tapi jangan
anggap kami takut kepadamu, walaupun kau mu-
rid Ki Kusumo dan Dongdongka. Kau mencampu-
ri urusan kami, sama saja mencari mati. Kau
dengar?!" sembur Warok Singo Lodra.
"Dengarlah, Paman berdua. Sebenarnya
kalian adalah korban adu domba dari seseorang
yang tak bertanggung jawab. Tadi pagi, aku habis
bertemu Adipati Ngawi di keraton Kadipaten Nga-
wi. Di sana, aku juga bertemu Nyai Gembili, Istri
Paman Warok Singo Lodra. Juga bertemu seorang
utusan dari Paman Warok Jogoboyo. Usut punya
usut, ternyata telah terjadi kesalahpahaman di
antara paman berdua yang disebabkan ulah
orang lain," papar Satria Gendeng.
Kedua warok itu kini mengerti, kenapa bo-
cah bau kencur itu bisa tiba di tempat ini, sekali-
gus mengetahui pokok permasalahannya.
"Terus terang, Adipati Ngawi menyatakan
penyesalannya kepadaku bahwa dia telah meng-
gagalkan pertunangan Nawangsih dengan Senoaji.
Tapi hal itu dilakukan dengan terpaksa. Sebab,
waktu itu ada suatu gerombolan yang mengaku
suruhan Warok Singo Lodra telah merampoknya
di Hutan Wonocolo. Untung waktu itu Warok Jo-
goboyo lewat, menyelamatkan Adipati," papar Sa-
tria lagi.
"Dan karena hutang budi, sang Adipati lan-
tas mengalihkan pinangannya pada putri Jogo-
boyo. Begitu?" tebak Warok Singo Lodra. Sinis suaranya.
"Betul, tapi Adipati terlebih dulu telah
mengirim surat kepadamu, lewat seorang utusan.
Sayangnya, utusan itu tak pernah kembali. Ke-
simpulanku, utusan itu dirampok seseorang. Dan
ketika membaca surat itu, dikabarkan lagi kepa-
damu. Sekarang aku tanya. Dari mana orang itu
tahu kalau putri Warok Jogoboyo akan dipinang,
kalau tidak dari surat itu?"
Warok Singo Lodra tercekat. Mukanya kon-
tan memerah. Baru kini disadari kebodohannya.
Ya, dari mana adik kandungnya tahu kalau sang
Adipati membatalkan pinangan terhadap anak-
nya, lalu mengalihkannya pada putri Warok Jo-
goboyo. Setan, si Darmo Singo! Rupanya dia sen-
gaja mengadu domba antara aku dengan Warok
Jogoboyo. Juga dengan Adipati Ngawi. Pantas,
waktu itu dia begitu semangat membujukku un-
tuk memusuhi Warok Jogoboyo! Begitu geramnya,
membuat geraham Warok Singo Lodra menggeru-
tukan gerahamnya.
"Tapi anakku sekarang gila, Anak Muda,"
bergetar suara Warok Singo Lodra.
"Aku memakluminya, Paman Warok. Tapi
coba diingat-ingat, bagaimana putrimu sampai
tahu kalau pernikahannya gagal? Apakah kau
sendiri yang mengatakannya?" sambung Satria.
Kembali Warok Singo Lodra tercekat. Kegu-
sarannya makin menggila. Ya, dari mana Na-
wangsih bisa tahu kalau pernikahannya gagal?
Padahal, hal itu sudah dirahasiakannya. Kalau
Nyai Gembili istrinya, tidak mungkin. Nyai Gembi-
li dikenal sebagai wanita halus yang mampu me-
megang rahasia. Para pembantunya? Rasanya ju-
ga tidak mungkin, sebab mereka sangat takut
dengan Warok Singo Lodra. Satu-satunya orang
adalah..., Warok Darmo Singo adik kandungnya!
"Setan laknat...!" desisnya.
"Hah?!" justru Satria sendiri yang terperan-
jat. Jakunnya turun naik berusaha susah payah
menelan ludahnya. "Jadi..., yang memberi tahu
anakmu si setan laknat?" Salah tangkap rupanya
Satria.
Tak peduli dengan tingkah tengik Satria,
justru Warok Singo Lodra malah menubruknya.
Langsung dipeluknya si anak muda perkasa. Ka-
ruan saja Satria jadi gelagapan. Susah payah dia
menarik napas. Dipeluk oleh manusia sebesar itu,
apa bukan sama saja dipeluk kebo bunting?
"Sudah..., sudah, Paman. Aku bukan Nyai
Gembili," Satria berusaha melepaskan pelukan.
"Maaf, Anak Muda. Aku begitu terpana
dengan penjelasanmu. Tak kusangka, aku yang
setua ini justru memiliki otak dangkal. Aku ka-
gum padamu, Cah. Kau semuda ini justru memi-
liki otak gemerlap seperti permata. Pandanganmu
begitu luas bagai cakrawala tak bertepi," Warok
Singo Lodra melepaskan pelukannya pada si anak
muda.
"Ah, Paman bisa saja. Setahuku, maka-
nanku cuma tempe bongkrek. Mana mungkin kau
bisa mengandaikan begitu. Tapi, sudahlah. Yang
penting sekarang telah mengerti duduk permasa-
lahannya," elak Satria, masih sempat-sempatnya
bergurau. Padahal yang dihadapi seorang tokoh
yang tak gampang ditaklukkan begitu saja. Me-
mang secara diam-diam, pada saat memberi pen-
jelasan Satria mengerahkan tenaga saktinya ke
kedua matanya. Dan ketika Warok Singo Lodra
menatapnya, hatinya terasa berguncang. Perlahan
namun pasti, amarahnya yang semula menggele-
gak mulai tenang kembali.
Warok Singo Lodra lalu menatap adik se-
perguruannya. Matanya merambang. Ada keha-
ruan dalam hatinya. Haru karena selama ini dia
telah salah duga terhadap Warok Jogoboyo.
"Adi Warok Jogoboyo," panggilnya. Bahkan
sebutan Adi kini digunakan untuk memanggil
adik seperguruannya. "Kau sudi memaafkanku,
bukan?"
Warok Jogoboyo memang dikenal sebagai
orang yang memiliki hati besar. Walau tampang-
nya kasar bak batu cadas, tapi hatinya selembut
salju. Walaupun anaknya tewas, dia tak gampang
menuduh seseorang. Walau amarahnya mengge-
legak, dia mampu mengendalikannya. Itu bedanya
dengan Warok Singo Lodra.
"Sejak semula aku sudah mengharapkan
demikian, Kakang. Sebab sejak semula aku yakin,
kita semua hanyalah korban dari fitnahan seseo-
rang. Orang itu sengaja memecah persaudaraan
kita. Bila kita hancur, maka dia tinggal memun-
gut keuntungannya. Aku sendiri telah merelakan
kepergian Ratna Kumala. Mungkin memang su-
dah takdirnya dia tewas secara mengenaskan.
Dan rasanya sangat tidak mungkin kalau lanta-
ran persoalan anak kita, lalu terjadi saling mem-
bunuh," sahut Warok Jogoboyo mendesah.
"Sungguh mulia hatimu, Adi. Aku yakin,
walau tak terucap dari bibirmu, hatimu yang
memiliki samudera maaf telah memaafkan diri-
ku," Warok Singo Lodra melangkah perlahan-
lahan mendekati Warok Jogoboyo.
Kedua warok saling bertatapan dengan ma-
ta merembang. Lalu mereka saling berpelukan.
Lama sekali. Bagaikan dua saudara kandung
yang lama berpisah, lalu dipertemukan kembali.
Satria ikut-ikutan haru. Serba salah dia.
Mau menangis rasanya kok malu. Tertawa? Ah,
apa yang lucu? Suasananya saja sedang haru be-
gini. Enaknya apa, ya? Satria membatin.
Tiba-tiba....
"Aaah...!"
Satria ambruk. Lebih gila lagi, tubuhnya
melejang-lejang seperti ayam dipotong. Matanya
mendelik-delik liar.
Kedua warok terkejut. Pelukan mereka di-
lepas. Bersamaan, mereka menghampiri si anak
muda.
Ada apa dengan pendekar berwatak tengik
itu...?
* * *
"Anak muda...! Anak muda...! Kenapa
kau?!" sebut Warok Singo Lodra seraya meraih
bahu Satria yang masih melonjak-lonjak seperti
orang kesurupan.
"Anak muda!" timpal Warok Jogoboyo, di
sisi tubuh Satria. "Kau kenapa...?"
Si anak muda tetap tak menyahut. Ma-
tanya semakin mendelik-delik. Sementara kedua
warok saling berpandangan, tak mengerti.
"Mungkin dia keracunan," duga Warok Sin-
go Lodra.
"Atau mungkin kesurupan penunggu Bukit
Munthang ini," sambung Warok Jogoboyo.
"Mungkin mulasku kumat. Maklum aku
tadi pagi tak jadi sarapan di keraton kadipaten,"
tiba-tiba Satria membuka suara. Matanya tak
mendelik-delik lagi. Tubuhnya tak melonjak-
lonjak lagi. Bibirnya mengulas senyum tengik.
Tinggal kedua warok yang kembali berpan-
dangan. Mau meledak tawa mereka dikerjai habis-
habisan oleh si anak muda bertabiat sinting.
"Slompret kau, Cah!" Warok Singo Lodra
melepas tangannya yang memegangi bahu Satria.
Karuan saja si anak muda terpuruk di tanah.
"Habis, kalian terlalu membuatku haru,
sih," kilah Satria. Si anak muda bangkit. Ditepak-
tepaknya tanah yang melekat di rompi putih dari
kulit binatang. "Oh, ya. Asal tahu saja, sebenar-
nya aku datang ke sini bersama Kanjeng Adipati
Ngawi dan Panglima Adi Kencono."
"Di mana mereka?" tanya Warok Jogoboyo.
"Sebentar lagi juga muncul," jawab Satria.
Benar saja. Dari balik sebuah batu besar,
dua lelaki gagah muncul, setelah si anak muda
bertepuk tiga kali. Rupanya itu merupakan isya-
rat kalau keadaan telah aman. Dan adipati serta
panglima bisa menghampiri kedua warok yang
semula tengah bertarung habis-habisan.
SEMBILAN
MEMANG terlalu mudah untuk menemu-
kan, di mana para warok biasa menyelesaikan
suatu persoalan secara jantan. Di Bukit Mun-
thang. Itu sebabnya, begitu Adipati Ngawi men-
dengar bahwa Warok Singo Lodra tengah berta-
rung dengan Warok Jogoboyo dari Nyai Gembili,
dia segera mengajak Panglima Adi Kencono dan
Satria untuk menuju Bukit Munthang.
Tapi justru terlalu sulit bahkan persoalan
akan semakin rumit bila sang Adipati muncul be-
gitu saja. Sebab, bukan mustahil bila Warok Sin-
go Lodra tiba-tiba menyerangnya. Semula Adipati
Suro Brajan ingin menemui kedua warok lang-
sung. Untungnya Satria punya pendapat lain, dan
menyediakan diri untuk menengahi persoalan ke-
dua warok itu. Bila keadaan sudah aman, baru
sang Adipati diperkenankan untuk menampakkan
diri.
"Salam hormat kami, Kanjeng Adipati," ke-
dua warok itu sama-sama merapatkan kedua
tangan di depan hidung.
"Sama-sama, Kakang Warok berdua. Sung-
guh betapa bahagianya aku sekarang ini melihat
kalian rukun kembali. Tapi rasanya aku belum
puas kalau belum mengucapkan kata maaf pada
kalian. Terutama pada Warok Singo Lodra. Untuk
itu, aku mohon Kakang Warok Singo Lodra mem-
buka pintu maaf kepadaku. Dan aku turut priha-
tin atas kejadian yang menimpa Nawangsih. Juga
aku turut mengucapkan turut berduka cita atas
musibah yang dialami Ratna Kumala, putri Warok
Jogoboyo," Adipati Ngawi berpaling menatap Wa-
rok Jogoboyo. "Apakah kalian sudah ikhlas mene-
rima cobaan yang menimpa keluarga kalian?"
"Ikhlas, Kanjeng," sahut kedua warok, nya-
ris bersamaan.
"Yah, semua telah diatur oleh Yang Maha
Kuasa. Dan kita tak mampu mengelaknya. Untuk
itu, langkah selanjutnya kita tinggal mencari
orang yang memfitnah kita, sehingga di antara ki-
ta timbul salah paham. Nah, Kakang warok ber-
dua. Apakah kalian punya dugaan, siapa yang
menyebabkan peristiwa ini?"
Sebenarnya, Adipati Ngawi telah mempu-
nyai dugaan pasti kalau orang yang memfitnah
mereka adalah adik kandung Warok Singo Lodra.
Sebelum berangkat, dia telah bertukar pikiran
dengan si anak muda berotak encer Satria. Dari
penuturan Nyai Gembili di keraton tadi pagi, bisa
ditebak kalau orang yang memfitnah adalah adik
kandung Warok Singo Lodra. Dan sengaja pertanyaan itu dilontarkan adipati dengan maksud in-
gin melihat, apa tanggapan kedua warok itu.
Warok Jogoboyo menggeleng.
"Hamba tahu, Kanjeng. Pemuda itulah
yang membuka mata hati hamba," Warok Singo
Lodra menunjuk Satria dengan jempolnya. "Siapa
namamu, Cah? Maaf, aku lupa tak begitu meng-
hiraukan namamu tadi."
"Satria," sebut si anak muda.
"Ya, Satria. Dialah yang menuntun otak
hamba sehingga mempunyai keyakinan siapa da-
lang di balik semua ini. Dia tak lain adik kandung
hamba sendiri, Warok Darmo Singo," sahut Warok
Singo Lodra, tenang. Sikapnya terlihat ksatria se-
kali, tak ingin menutup-nutupi kesalahan salah
seorang keluarganya. Sekali salah, ya tetap salah.
Begitu pandangan hidupnya. Tak pandang ke-
luarga. Tak pandang bulu. Entah bulu ketiak, bu-
lu kaki, dan bulu-bulu lainnya.
"Kuhargai sikap ksatriamu, Kakang Warok
Singo Lodra. Nah, kira-kira apa tanggapanmu bila
memang dia yang telah memecah belah kita?"
pancing Adipati Suro Bjaran.
"Apapun yang Kanjeng inginkan sebagai
hukuman, akan hamba laksanakan. Meski harus
memancung kepalanya!" tegas Warok Singo Lodra,
mendesis.
"Kalau begitu, dia menjadi tanggung ja-
wabmu, Kakang Warok. Nah, sekarang urusan di
antara kita telah selesai. Tapi, oh ya. Maaf, ada
yang terlupa kusampaikan. Tadi sebelum kami
berangkat, Senoaji putraku telah kembali ke kera-
ton setelah selesai berguru ilmu olah kanuragan
di Padepokan Blambangan. Setelah kutanya, ter-
nyata dia tetap mencintai Nawangsih, apapun
keadaannya," urai Adipati Ngawi.
Warok Singo Lodra tersentak. Tak mampu
berkata-kata. Hanya bibirnya yang bergerak-gerak
dibalut keharuan yang bergolak.
"Apakah dalam hal ini Kakang Warok Jo-
goboyo tidak kecewa seandainya Senoaji menikah
dengan Nawangsih?" Adipati Ngawi menatap Wa-
rok Jogoboyo.
"Bagi hamba, Nawangsih putri Kakang Wa-
rok Singo Lodra juga putri hamba. Hamba ikhlas
sepenuh hati bila Senoaji dinikahkan dengan Na-
wangsih." Kembali hati besar Warok Jogoboyo di-
perlihatkan. Betapa tegarnya hati lelaki ini. Su-
dah anaknya tewas di tangan orang yang tak ber-
peri kemanusiaan, kini dia melihat kenyataan ka-
lau sebenarnya Senoaji memang mencintai Na-
wangsih.
Cerah wajah Adipati Suro Brajan. Saat itu
juga kakinya melangkah mendekati Warok Jogo-
boyo. Langsung dipeluknya lelaki tambun itu pe-
nuh persaudaraan.
"Sungguh aku kagum dengan hati besar-
mu, Kakang Warok. Rasanya tak ada kata yang
lebih tepat kecuali bahagia. Aku bangga padamu,
Kakang Warok. Sikapmu membuatku bahagia.
Dan aku tak segan-segan mengangkatmu menjadi
kakak. Bagaimana?" puji Adipati Ngawi.
Tak malu-malu lagi Warok Jogoboyo me-
nangis haru. Tak menyahut, hanya kepalanya
yang manggut-manggut. Bahunya berguncang-
guncang oleh tangis sesenggukan. Seolah, sikap
tegarnya terdepak entah kemana.
Juga, Warok Singo Lodra. Mendengar ja-
waban adik seperguruannya, serta keputusan
yang diambil Adipati untuk mengangkat kakak
pada adik seperguruannya, kakinyapun bergerak
melangkah. Di dekatinya kedua lelaki yang tengah
berpelukan.
Melihat Warok Singo Lodra menghampiri,
kedua lelaki itu langsung meraih. Kini ketiga lela-
ki itu berpelukan penuh persaudaraan.
Sudahkah urusan ini selesai?
* * *
Hari pun bergulir.
Sang dewi malam telah tergelincir di barat.
Angin pagi bertiup semilir. Menerpa Warok Darmo
Singo yang tertidur di bawah sebuah pohon besar
di kaki Gunung Wilis.
Sepuluh anak buahnya tertidur saling
tumpang tindih. Satu orang tampak malah me-
numpangkan kakinya di mulut yang lain. Yang di-
tumpangi malah tengah bermimpi berciuman
dengan seorang gadis cantik. Tak urung, kaki ber-
telapak lebar itu dikecup dan diciumi penuh ha-
srat. Dalam bayangan mimpinya, telapak kaki itu
adalah wajah seorang gadis.
"Oh..., Purbasari.... Wajahmu cantik. Tapi
kenapa bau tahi ayam?" igau si lelaki yang tengah
bermimpi. Kendati merasa bau tahi ayam, tetap
saja diciumi wajah gadis cantik yang bernama
Purbasari.
Lebih seru lagi, ternyata lelaki yang ka-
kinya tengah diciumi justru tengah bermimpi
hendak dimakan harimau. Dalam bayangan mim-
pinya, dia merasa sudah tak berdaya dalam kea-
daan berbaring. Perlahan-lahan Sang Raja Hutan
mendekati, lalu mengendus-endus. Hendak dima-
kannya sedikit demi sedikit lelaki itu. Mulai dari
perut, paha, lalu kaki.
Dan....
"Tolong.... Aku mau dimakan harimau....!"
Orang-orang yang tidak bermimpi kontan
terbangun. Mereka celingukkan mencari-cari ha-
rimau yang diteriakkan tadi. Sementara, kedua le-
laki yang masih bermimpi masih bergulat dengan
bayangan semunya. Lelaki yang satu masih terus
beringas mencium dan menggigit gadis dalam
bayang mimpinya, sementara lelaki yang satu lagi
berkutat berusaha minta tolong karena kakinya
mulai digigit harimau.
Begitu menyadari apa yang terjadi, orang-
orang yang telah terbangun kontan tertawa terba-
hak-bahak. Sebuah pertunjukan seru terjadi. Le-
laki yang bermimpi mencium gadis cantik makin
beringas. Sedangkan lelaki yang bermimpi digigit
harimau makin menjerit-jerit dengan tubuh bling-
satan
"Bangunkan mereka!" ujar Warok Darmo
Singo, tak ingin larut dalam pertunjukan seru di
depannya.
Dua lelaki langsung beranjak. Mereka sege-
ra membangunkan kedua lelaki yang tengah ber-
mimpi.
"Lanang! Bangun! Telapak kaki Gempol
bau tahu ayam. Kenapa kau ciumi?!"
Lanang terbangun. Ketika menyadari di
depan wajahnya hanya kaki temannya yang ber-
nama Gempol, langsung disentakkannya. Wajah-
nya seketika berubah kecewa. Hilang sudah wa-
jah Purbasari di pelupuk matanya.
Sementara Gempol makin berteriak seru.
Untung saja temannya segera membangunkan-
nya. Terjingkat, Gempol bangkit. Dadanya turun
naik amat cepat. Kendati hawa cukup dingin, tak
urung keringat membasahi sekujur tubuhnya.
Masih belum percaya, kepalanya celingukan.
"Setan! Aku bermimpi dimakan harimau!"
rutuknya, begitu tersadar.
"Iya, kakimu habis digigiti Lanang. Padah-
al, kakimu kan bau tahi ayam. Heran, mau-
maunya Lanang menciumi kakimu," lelaki di se-
belah Gempol memberitahu. "Kau mimpi apa, La-
nang?" lanjutnya.
"He he he.... Aku dapat gadis cantik. Na-
manya Purbasari. Dia menciumiku, langsung saja
kubalas. Eh, tak tahunya kaki bau tahi ayam si
Gempol yang kusikat," jelas Lanang.
Gempol yang sudah bisa menguasai diri
cengar-cengir. Tahu rasa, kau! Katanya, memba-
tin.
"Sudah. Ayo sekarang kita berangkat me-
nuju puncak. Aku sudah tak sabar lagi menda-
patkan harta karun itu!" penggal Warok Darmo
Singo.
Kesepuluh anak buah Warok Darmo Singo
beranjak bangkit. Sebagian masih mengulet sam-
bil berdiri. Sebagian lagi merapikan pakaian yang
kusut. Sedangkan Warok Darmo Singo sudah
bergerak melangkah menuju puncak Gunung Wi-
lis.
Tapi baru beberapa tindak....
"Bagus..., bagus. Terus saja melangkah ka-
lau mau mampus!"
Sebuah bentakan keras terdengar, meng-
hadang langkah Warok Darmo Singo. Tercekat
dia. Dikenali betul suara bentakan yang terden-
gar. Sedangkan kesepuluh anak buahnya lang-
sung bersiaga, menghadap ke segala penjuru. Ta-
pi tak seorang pun yang terlihat. Mereka celingu-
kan ke sana kemari.
"Guru...," desis Warok Darmo Singo, nyaris
tak kentara. Matanya pun jelalatan mencari-cari.
"Aku ada di sini, Cah Gemblung!"
"Hah?!"
* * *
Bukan main terperanjatnya Warok Singo
Lodra begitu melihat keadaan rumahnya. Para tetangganya memberi tahu bahwa setelah Warok
Singo Lodra berangkat, Warok Darmo Singo da-
tang. Lalu terjadi pertarungan antara para penja-
ga rumahnya dengan adik kandungnya. Tak lama
kemudian, Warok Darmo Singo keluar kembali
dengan senyum-senyum gembira. Tak ada yang
berani mencegahnya, karena para penduduk tahu
siapa Warok Darmo Singo.
Nyai Gembili yang tiba lebih dulu setelah
pulang dari Kadipaten Ngawi pun hanya menge-
lus-elus dada ketika mendengar penuturan para
penduduk. Dalam hati, dia menyesalkan sikap ke-
ras kepala suaminya yang tak mau mendengar
kata-katanya. Tapi mau bilang apa lagi? Semua-
nya telah terjadi.
Tapi yang menjadi kekhawatiran Nyai
Gembili waktu itu adalah keadaan Nawangsih.
Ketika ditinggal ke Kadipaten Ngawi, dia ingat
Nawangsih masih terkurung di kamarnya yang
dikunci dari luar. Untung saja Warok Singo Lodra
menjelaskan kalau sebelum berangkat, dia telah
menitipkan Nawangsih pada adik misannya yang
bertempat tinggal masih di sekitar Kadipaten Po-
norogo.
Ketika memeriksa kamarnya, Warok Singo
Lodra makin terperanjat lagi. Lemari tempat pe-
nyimpanan peti berisi benda-benda pusaka telah
jebol. Sementara isi peti telah terobrak-abrik. Ke-
tika mencari satu-satunya benda yang amat dija-
ganya tapi tak ditemukan, makin mendelik saja
Warok Singo Lodra.
"Nyaiii...! Bangsat itu ternyata mencuri po-
tongan lempeng logam milikku!" teriaknya, kalut.
Tergopoh-gopoh, Nyai Gembili masuk ke
kamar, menghampiri suaminya. Matanya lang-
sung tertuju ke arah peti.
"Lihat, Nyai. Potongan lempeng logam wari-
san guruku ternyata disikat bangsat itu. Ah me-
nyesal dulu aku tak mempercayai kata-katamu.
Hmmmh. Potongan lempeng lainnya juga dimiliki
Adi Warok Jogoboyo. Jangan-jangan...," kata-kata
Warok Singo Lodra terpenggal. Mendadak saja se-
buah bayangan buruk melintas di pelupuk ma-
tanya.
"Jangan-jangan apa, Kakang?" tanya Nyai
Gembili. "Licik!" bentak Warok Singo Lodra.
Menggelegar suaranya. Membuat Nyai Gembili
nyaris terjengkang. "Ini kelicikan yang telah di-
perbuat setan sialan Darmo Singo! Entah, iblis
apa yang merasuki adikku itu. Ternyata dia sen-
gaja mengadu domba dan mengojok-ngojokku
agar bertarung dengan Warok Jogoboyo. Dengan
demikian, dia leluasa mengambil warisan guruku
yang harus ku jaga itu. Dia sengaja memancingku
keluar rumah dengan fitnahnya. Padahal kau ta-
hu sendiri. Aku harus banyak-banyak di dalam
rumah sejak beberapa tahun lalu. Itu kulakukan
sebagai tirakat untuk persiapan semadi. Karena
aku harus memecahkan makna yang tergurat da-
lam potongan lempeng itu, setelah digabung den-
gan milik Warok Jogoboyo!"
"Dan Warok Jogoboyo juga bertirakat de
mikian, Kakang?" cetus Nyai Gembili.
"Tentu saja! Dan ketika dia bersedia datang
ke Bukit Munthang, Darmo Singo Lodra sialan itu
menyuruh anak buahnya untuk mengambil po-
tongan lempeng logam satunya! Bukankah itu li-
cik, namanya?" geram Warok Singo Lodra.
"Bukankah berarti Nyai Kumitir berada
sendirian di rumah? Atau paling tidak, hanya di-
temani beberapa pelayan dan penjaga rumah?" te-
rabas Nyai Gembili.
Makin melotot saja Warok Singo Lodra.
Bayangan buruk yang sempat melintas di pelu-
puk matanya kembali terulang.
"Aku harus ke rumah Warok Jogoboyo! Aku
sangat mengkhawatirkan keadaannya," letus Wa-
rok Singo Lodra, tiba-tiba.
"Aku ikut, Kakang!" cetus Nyai Gembili.
"Kau baru saja melakukan perjalanan jauh, Nyai?
Apakah kau tak lelah?" Warok Singo Lodra me-
nunjukkan rasa kasih sayangnya pada Nyai Gem-
bili yang sempat hilang beberapa waktu lalu.
"Tidak, Kakang. Biar bagaimanapun aku
harus ikut. Warok Jogoboyo sudah seperti sauda-
ra kandung kita. Kesulitan yang terjadi padanya,
juga kesulitan kita," tegas Nyai Gembili.
"Baik, kalau begitu. Ayo, cepat!"
* * *
Apa yang diduga Warok Singo Lodra me-
mang tak berlebihan. Nyatanya begitu sampai di
rumahnya, Warok Jogoboyo hanya mendengar
penuturan para tetangganya kalau istrinya serta
para pembantunya telah tewas di tangan para pe-
rampok. Itu terjadi ketika Warok Jogoboyo belum
lama pergi ke Bukit Munthang.
Para penduduk waktu itu dengan suka rela
menguburkan mayat-mayat yang bergelimpangan
pada keesokan harinya. Hanya itu yang diketa-
huinya dari para penduduk. Sebab, memang tak
ada yang tahu saat terjadi perampokan. Atau bisa
saja itu hanya dalih para penduduk agar tidak
disalahkan oleh Warok Jogoboyo. Karena sebe-
narnya tak mungkin para penduduk tak menden-
gar suara pertarungan di halaman rumahnya. Ka-
rena takut, para penduduk tak ada yang berani
keluar rumah. Begitu dugaan Warok Jogoboyo.
Di hati Warok Jogoboyo timbul keyakinan,
bahwa orang-orang yang membunuh istri serta
para pembantunya adalah orang yang sama den-
gan yang membunuh anaknya. Artinya, orang-
orang itu pasti berpakaian serba hitam. Dan itu
sudah pasti anak buah Warok Darmo Singo.
Hantaman yang mendera batin Warok Jo-
goboyo makin sempurna ketika menyadari bahwa
potongan logam warisan dari gurunya telah hilang
dari peti tempat penyimpanan. Lemari rumahnya
telah diobrak-abrik. Keadaan rumahnya benar-
benar berantakan.
Di tengah-tengah di antara pusara Ratna
Kumala dan Nyai Kumitir, Warok Jogoboyo ber-
jongkok. Arahnya menghadap pusara Nyai Kumitir yang masih merah. Wajahnya tampak menge-
lam. Dadanya bergemuruh menahan kegeraman.
Rahangnya bergemelutukan. Urat-urat lehernya
mengeras. Juga urat-urat tangannya saat tela-
paknya meremas segumpal tanah merah yang di-
ambil dari pusara istrinya.
"Nyai..., maafkan aku. Aku lelaki bodoh
yang gampang terpedaya oleh omongan orang
lain. Sehingga aku tak bisa menjagamu. Maafkan
aku, Nyai. Temanilah Ratna Kumala di alam sana.
Mudah-mudahan, aku bisa membalas perlakuan
kejam orang-orang yang mengusir kebahagiaan
hidup keluarga kita," desah Warok Jogoboyo.
Sejenak, mata lelaki tambun ini menera-
wang. Langit cerah. Angin mendesah. Air mata
Warok Jogoboyo bergulir, membuat pipinya ba-
sah.
Perlahan, Warok Jogoboyo bangkit berdiri.
Kepalanya kini menunduk, menatapi pusara is-
trinya. Setelah menghapus air mata dengan
punggung tangan tubuhnya berbalik. Kini, ditata-
pinya pusara Ratna Kumala. Masih berwarna me-
rah walau mulai ditumbuhi rumput liar.
Tanpa kata lagi, Warok Jogoboyo mema-
lingkan tubuh ke kanan, hendak melangkah. Tapi
mendadak langkahnya terhadang oleh sesuatu di
depannya, sejauh tiga tombak.
"Satria...?" sebutnya, perlahan sekali.
SEPULUH
BEGITU berbalik, bukan main terkejutnya
Warok Darmo Singo. Saking kagetnya, membuat
tubuhnya terlonjak dan mundur beberapa tindak.
Di depannya tahu-tahu telah berdiri seorang lela-
ki tua. Kepalanya gundul. Manik-manik matanya
yang besar bergaris hitam ke bawah seperti mata
kucing. Hidungnya besar dan lebar. Ketika me-
nyeringai, gigi-gigi runcingnya terlihat mengeri-
kan. Tak berbaju, seperti hendak memamerkan
tubuh bundarnya yang berkulit hitam.
Dialah Iblis Rogo Jembangan, guru Warok
Darmo Singo.
"A..., ada apa Guru datang ke sini?" gagap
lelaki brewok dengan jenggot seperti sarang lebah
itu.
"Ada apa? Kau bilang ada apa, Kunyuk?!"
damprat Iblis Rogo Jembangan. "Serahkan kedua
potongan lempengan logam itu, Murid Murtad!
Kau sudah melanggar aturan. Sudah kubilang,
setelah mendapatkan kedua potongan logam itu,
kau harus menghadapku di Gunung Rogo Jem-
bangan. Tapi kenapa malah ngelayap kemari,
heh?!"
Warok Jogoboyo tercekat. Matanya mende-
lik dengan jakun turun naik. Susah payah dia be-
rusaha menelan ludahnya sendiri. Dia tak habis
mengerti, kenapa gurunya tahu kalau kedua po-
tongan lempeng logam itu sudah berada di tan
gannya?
"Mau kau kangkangi harta itu sendirian,
ya?!" sambung Iblis Rogo Jembangan.
"Aaa..., aku cuma...."
"Cuma apa?! Cuma-cuma atau cumi-
cumi?" penggal Iblis Rogo Jembangan. "Ayo cepat
serahkan kedua benda itu padaku! Atau kau ha-
rus mampus ditanganku?!" ancamnya.
Segarang-garangnya Warok Darmo Singo,
memang tak ada seujung kuku bila dibanding ke-
garangan gurunya. Sesakti-saktinya dia, tak ada
seujung upil kesaktian gurunya. Maklum saja, Ib-
lis Rogo Jembangan terhitung datuk sesat golon-
gan tua yang tak pernah mau tobat. Bayangkan
saja. Di usianya yang sudah lapuk itu dia masih
belum rela meninggalkan dunianya. Seolah, ha-
tinya belum merasa puas kalau belum menguasai
dunia persilatan sepenuhnya. Padahal tokoh-
tokoh seangkatannya nyaris tak beredar di jagat
ini.
Soal kekejamannya? Jangan ditanya. Iblis
dasar neraka mungkin kalah kejam dibanding to-
koh uzur ini. Kalau perlu, bila Warok Darmo Sin-
go macam-macam di hadapannya, akan dicabu-
tinya satu persatu seluruh bulu di tubuh lelaki
tinggi besar itu. Tak terkecuali bulu....
Tapi ternyata keras kepala Warok Darmo
Singo kumat lagi. Tiba-tiba dia berpaling pada ke-
sepuluh anak buahnya.
"Seraaangg...!" teriaknya, lantang.
"Ha..., ha ha ha.... Darmo..., Darmo. Ke
pinding-kepinding busuk kau suruh mengeroyok-
ku? Dasar murid tak tahu diuntung. Baik..., baik
kalau itu memang kemauanmu," leceh iblis Rogo
Jembangan.
Sementara kesepuluh anak buah Warok
Darmo Singo langsung mengurung Iblis Rogo
Jembangan. Golok serta clurit mereka telah ter-
hunus, berkilatan tertimpa matahari pagi. Seolah
hendak mendepak nyali lawan mengerikan mere-
ka.
"Ayo, serang aku, Tikus-tikus Clurut! Jan-
gan malu-malu. Pilih! Bagian tubuh mana yang
kalian suka," sambut lelaki tua menyeramkan itu,
jumawa.
"Hiaaat!"
Bersamaan, kesepuluh anak buah Warok
Darmo Singo merangsek maju. Senjata tajam me-
reka langsung berseliweran dari segala penjuru.
Tapi, lawan yang diserang tetap bersikap seperti
biasa. Berdiri sambil bersedakap dengan senyum
meremehkan.
Dua jari lagi senjata-senjata itu menghu-
jam, tiba-tiba Iblis Rogo Jembangan memutar tu-
buhnya seperti gangsing. Amat cepat. Lalu....
Ting! Ting! Ting! Ting!
Hanya dengan jari tangan kanan, kesepu-
luh senjata tajam para pengeroyok dijentiknya.
Ketika terkena jentikan jari Iblis Rogo Jemban-
gan, senjata-senjata itu terlihat bergetar. Semen-
tara pemiliknya mundur terjajar. Bahkan dada
mereka terasa berguncang, panas membakar.
Tangan mereka dilanda rasa nyeri. Pergelangan
tangan lemas.
Sementara Iblis Rogo Jembangan makin
memperlihatkan kepongahannya dengan tawa re-
nyahnya. Serenyah rempeyek kacang. Bahkan
kemudian tangannya kembali bersedakap di de-
pan dada.
Bukannya sadar kalau kesaktian lawan
jauh di atas mereka, kesepuluh lelaki berpakaian
serba hitam itu kembali bergerak. Seolah, tak pe-
duli kalau nyawa mereka sebenarnya bagaikan te-
lur di ujung tanduk mereka segera menghantam-
kan senjata-senjata tajam ke tubuh Iblis Rogo
Jembangan.
"Hiaaah...!"
Teriakan kemarahan Iblis Rogo Jembangan
pun terlempar. Pada saat yang sama, dibuatnya
suatu gerakan amat mendadak. Lewat sentakan
kaki, tubuhnya terlontar ke udara. Begitu lawan-
lawannya hanya menyambar sasaran angin ko-
song, lelaki berkulit hitam dan hanya bercawat
dari kulit buaya itu menukik.
Lalu....
Prak! Prak! Prak!
Pergerakan tangan Iblis Rogo Jembangan
memang sulit diikuti mata. Bertubi-tubi kedua
tangannya menghantam kepala lawan-lawannya.
Amat cepat. Tahu-tahu....
Kesepuluh lelaki berpakaian serba hitam
itu berjatuhan dengan kepala retak. Darah merah
meleleh dari kepala. Tubuh mereka berkelojotan
sejenak, lalu diam tak bergerak lagi.
Iblis Rogo Jembangan sendiri telah sampai
di bumi. Mata liarnya memperhatikan mayat-
mayat lawannya sejenak. Lalu tatapannya beralih
ke tempat Warok Darmo Singo tadi berdiri.
Tapi....
"Setan belang! Diam-diam kecoak itu mela-
rikan diri ketika anak buahnya menyerangku!"
Sumpah serapah Iblis Rogo Jembangan
berlanjut kemudian. Mata kucingnya jelalatan ke
sana kemari, mencari-cari sosok Warok Darmo
Singo yang kabur entah ke mana.
Sampai sejauh itu, dia belum tahu ke ma-
na murid murtadnya melarikan diri. Dan lelaki
berwajah mengerikan ini jadi tersenyum kecut
sendiri. Betapa tidak? Ternyata dia bisa dikerjai
oleh muridnya sendiri. Bukankah keparat itu na-
manya?
"Kau tak bakalan lolos dari tanganku, Mu-
rid Sialan! Aku tahu tujuan akhir mu. Puncak
Gunung Wilis! Kau tentu tak ingin melewatkan
harta karun itu, bukan? He he he...!"
Iblis Rogo Jembangan malah tertawa-tawa
sendirian. Ada sebuah rencana dalam otaknya
untuk memperdayai murid murtadnya. Sayang,
hanya dia yang tahu....
SEBELAS
BEGITU gembiranya Warok Jogoboyo keti-
ka tahu Satria Gendeng tahu-tahu telah berada di
depannya. Langsung diajaknya pemuda itu kem-
bali ke rumahnya di pinggiran Kadipaten Trengga-
lek
"Aku turut berduka cita atas kematian is-
trimu, Paman Warok," ucap Satria.
"Dari mana kau tahu kalau istriku mening-
gal dunia Satria?" tanya Warok Jogoboyo, agak
heran juga.
"Lho? Tadi kau menyebut-nyebut Nyai di
depan makam yang masih baru itu," Satria meno-
leh ke arah pemakaman yang semakin jauh di-
tinggalkan. Lalu kepalanya kembali mengarah ke
depan. "Bukankah Nyai panggilan untuk istri seo-
rang warok? Memangnya, ada berapa Nyai-mu,
Paman?" tanyanya, polos.
Warok Jogoboyo tersenyum. Amat dimak-
luminya watak si anak muda. Ketika bertemu dan
menatapnya pertama kali di Bukit Munthang, le-
laki tambun ini sudah amat kagum dengan Satria
Gendeng. Terutama, pancaran matanya serta otak
encernya. Buktinya, bocah bau kencur ini bisa
menengahi pertarungannya dengan Warok Singo
Lodra yang juga kakak seperguruannya.
"Ya, Nyai-ku tentu saja hanya satu. Hanya
saja, aku tak menyangka kalau kau mau mene-
muiku di Trenggalek ini. Lantas, kau tahu dari
mana kalau aku ada di sini?" tanya Warok Jogo-
boyo.
"Malu bertanya sesat di jalan, Paman. Keti-
ka aku tiba di Ngawi setelah dari Bukit Mun-
thang, aku langsung mohon diri pada Kanjeng
Adipati Suro Brajan. Terus terang, aku sangat ka-
gum dengan kebesaran hatimu waktu di Bukit
Munthang. Untuk itu, aku ingin sekali bertemu
denganmu. Aku ingin belajar padamu, Paman,"
papar Satria, terus terang.
"Belajar? Belajar apa lagi yang kau ingin-
kan, Satria. Aku yakin, sebagai murid Ki Kusumo
dan Dongdongka, kau diwarisi ilmu-ilmu tingkat
tinggi. Bahkan aku yakin, kau bisa mengalahkan-
ku tak lebih dari sepuluh jurus," kening Warok
Jogoboyo berkerut dalam.
Keduanya terus melangkah, sehingga tak
terasa hampir sampai di rumah Warok Jogoboyo.
"Aku ingin belajar, bagaimana Paman
menghadapi kesemrawutan dunia ini. Belajar ba-
gaimana mengendalikan diri dengan menekan
hawa nafsu sedalam-dalamnya. Sehingga, kelak
aku bisa memiliki hati besar seperti Paman," un-
gkap Satria, sejujurnya.
Justru Warok Jogoboyo yang melengak.
Semakin bertambah saja rasa kagumnya pada si
bocah bau kencur ini. Betapa tidak? Semuda itu
tapi sudah memiliki kerendahan hati yang jarang
dimiliki pemuda sebayanya.
Sejenak Warok Jogoboyo menghentikan
langkahnya di halaman rumahnya yang kini tam
pak lengang. Tak ada sambutan mesra lagi dari
istrinya. Tak ada lagi yang menyediakan kopi pa-
hit untuknya. Yang bisa diteguknya kini hanya
kehidupan pahit seorang warok tua.
"Ada apa, Paman? Kenapa Paman berhenti
tiba-tiba?" tanya Satria.
"Ada yang kulupa, Satria."
"Apa?"
"Sekarang aku tak punya istri lagi. Lantas,
siapa yang akan membuatkanmu minuman? Lalu
siapa yang menyediakan makanan? Terus terang,
aku terlalu kaku untuk pekerjaan itu, Satria,"
Warok Jogoboyo tersenyum kecut. "Sebaiknya, ki-
ta berbincang-bincang di kedai saja, ya? Kau
mau? Bukankah waktu di Bukit Munthang kau
kejang-kejang lantaran belum sarapan?"
Satria malah tertawa. Bisa juga lelaki kasar
ini mencandai dirinya. Kalau tak mengenal Warok
Jogoboyo, orang memang menyangka bahwa lela-
ki ini berperangai kasar. Tapi sebenarnya di balik
wajahnya yang pantas untuk menakut-nakuti bo-
cah cilik, terselip kelembutannya. Itulah sifat as-
linya.
"Boleh juga kalau Paman mengajakku ke
sana. Tapi Paman yang bayar, ya? Terus terang,
aku...."
"Slompret kau, Cah!" sembur Warok Jogo-
boyo, menepak bahu Satria. "Kau tamu terhor-
matku, tahu?! Ayo kita balik ke pusat kadipaten,"
ajaknya kemudian.
Tapi begitu mereka berbalik....
"Adi Warok Jogoboyo...!"
"Kakang Warok Singo Lodra...!"
Ternyata di hadapan Warok Jogoboyo dan
Satria telah berdiri Warok Singo Lodra dan Nyai
Gembili. Karena begitu mengkhawatirkan kea-
daan Warok Jogoboyo, Warok Singo Lodra waktu
berangkat ke tempat ini langsung mengerahkan
ilmu lari cepatnya bersama Nyai Gembili. Dengan
memotong jalan melintasi Bukit Munthang yang
membelah dua kadipaten yakni Trenggalek dan
Ponorogo, keduanya hanya butuh setengah hari
untuk mencapai tempat ini.
Tidak seperti Nyai Kumitir yang tak memi-
liki ilmu olah kanuragan, maka Nyai Gembili se-
benarnya adalah bekas tokoh silat wanita. Ki-
prahnya baru berhenti setelah menikah dengan
Warok Singo Lodra. Tak heran kalau dia juga
mempunyai ilmu lari cepat yang hampir setaraf
dengan suaminya.
"Satria! Kita tak jadi ke kedai. Ada Nyai
Gembili di sini. Kita minta tolong dia memasak
yang enak-enak buat santap bersama. Kau setu-
ju?!" sentak Warok Jogoboyo, tiba-tiba.
Tinggal Warok Singo Lodra dan Nyai Gem-
bili yang terheran-heran. Ada apa dengan mere-
ka? Tanya suami-istri itu, dalam hati.
* * *
Apa tanggapan Warok Singo Lodra bila
mendengar kematian Nyai Kumitir? Bagaimana
sepak terjang Warok Darmo Singo selanjutnya?
Berhasilkah dia menemukan harta karun di Gu-
nung Wilis? Berhasilkah Iblis Rogo Jembangan
menemukan murid murtadnya yang membawa
dua lempengan logam berisi petunjuk tentang se-
tumpuk harta karun dan sebuah kitab berisi ilmu-ilmu tingkat tinggi? Apa tindakan Warok Singo Lodra terhadap adik kandungnya.
SELESAI
Segera menyusul:
BISIKAN IBLIS LEMBAH KERAMAT
0 comments:
Posting Komentar