..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 08 Desember 2024

PENDEKAR BODOH EPISODE PUSAKA PEDANG NAGA

PENDEKAR BODOH EPISODE PUSAKA PEDANG NAGA

 Hak cipta dan copy right

pada penerbit di bawah lindungan

undang-undang

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit



SATU


PEMUDA remaja berpakaian biru-biru itu men-

gakhiri semadinya seraya bangkit berdiri. Dia tekan 

pembuluh nadinya sembari menarik napas panjang 

beberapa kali. Bola mata si pemuda langsung berbinar 

penuh luapan rasa gembira. Detak jantung dan pere-

daran darahnya sudah normal kembali. Itu berarti lu-

ka dalamnya telah dapat diatasi.

Pemuda tampan yang sinar matanya menyi-

ratkan keluguan itu mengedarkan pandangan ke ber-

bagai penjuru. Kedua kakinya melangkah seiring tata-

pan matanya yang berpindah arah. Sepi menjadi raja 

tunggal di alam sekitar. Tak ada makhluk lain yang 

terlihat, juga burung-burung yang biasa terbang di 

angkasa luas. Sepi benar-benar menjerat dan men-

gungkung suasana pagi.

"Heran aku...," gumam si pemuda. "Orang itu 

baru saja menyembuhkan luka dalamku. Kenapa dia 

malah pergi dengan tiba-tiba? Sepertinya..., ada sesua-

tu yang dikhawatirkannya apabila dia berdekatan den-

ganku. Hmmm.... Telah beberapa kali dia menanam 

budi baik kepadaku. Tapi..., kenapa dia tak mau mem-

buka jati dirinya?"

Pemuda bertubuh tinggi tegap yang tak lain Se-

no Prasetyo atau Pendekar Bodoh itu mengedarkan 

pandangan lagi.

Jauh di sana, terlihat puncak Gunung Lawu 

yang tersaput mega putih. Langit cerah berwarna biru 

kelabu. Pagi yang baru bangun membuat mentari ber-

sinar lembut, hangat terasa mengelus jiwa. Butir-butir 

embun bergulir dan menetes ke hamparan tanah, ba-

gai untaian mutiara ditebarkan.


Seno berdiri terpaku. Sampai beberapa lama 

dia terlena dalam keelokan hari yang baru berganti. 

Melihat bukit, ngarai, aliran sungai kecil di antara ton-

jolan batu cadas, dan rimbunan bambu yang tumbuh 

subur di dekat sungai itu, Seno tahu bila dirinya bera-

da di sebuah tempat bernama Lembah Bambu.

Lembah Bambu? Ya, Lembah Bambu! Hanya 

saja, Seno jadi bertambah heran. Kalau dirinya saat 

sekarang ini berada di Lembah Bambu, sama artinya 

bila si lelaki bertopeng telah membawanya berlari se-

jauh ratusan tombak! Untuk apa dia bersusah payah 

semacam itu? Apakah dia punya sifat yang amat baik, 

sehingga bersedia menanam banyak budi kepada 

orang lain? Ataukah ada suatu maksud tersembunyi di 

balik kebaikannya?

Otak Seno Jadi buntu. Tak bisa menjawab per-

tanyaan yang berkecamuk di benaknya. Ketika men-

dengar suara berkeruyukan dari dalam perutnya, si 

pemuda nyengir kuda sambil menggaruk-garuk kepa-

lanya yang tak gatal. Rasa lapar menyerang. Dan, ke-

betulan sekali pada saat itulah dia mencium aroma ha-

rum daging panggang. 

"Kalau perut sedang lapar, tak ada yang lebih 

baik dilakukan kecuali makan. Ya! Makan! Mudah-

mudahan orang yang berada di sana itu mau berbuat 

baik kepadaku. Hmmm.... Alangkah nikmatnya...." Se-

no menelan ludah.

Di kejauhan, terlihat kepulan asap yang mem-

bubung ke angkasa. Orang yang sedang memanggang 

daging itu tentu berada di sana, pikir Seno. Namun... 

sebelum si pemuda melangkahkan kaki, sebuah syair 

tiba-tiba menyeruak lepas dari kungkungan sepi....

Seno berdiri terpaku lagi.


Satemene manungsa urip ing alam donya kuwi 

darbe wajib wolung prakara, yakuwi:

Siji, mangesti manembah Gusti Wujud Hawa 

(gaib) ingkang Maha Suci Gusti ingkang Murba Wasesa 

ing dumadi.

Loro, manembah lan tuhu tresna maring Bapa-

Ibu kang sejati;

Bapak - Whanyaning Surya / Kawasa / Angka-

sa, Ibu - Bumi suci

Telu, manembah lan ngabekti maring Nyang Sari 

Tri Murti/Sari Tri Tunggal (sari tetelu); Sari Samirana, 

Sari Taranggana (Tirta), Sari Agni (Dahana); Sari Tri 

Murti - anenggih Sang Nyawa utawa huriping manungsa

Papat, manembah mituhu patuh ing reh maring 

Rahso Suci diri pribadi-raos Gusti (Rosul) as pandoming 

Pribadi

Kening Seno semakin berkerut rapat.

Cukup lama murid Dewa Dungu itu berdiri ter-

paku dengan raut wajah kebodoh-bodohan. Dia men-

coba menyelami untaian kata-kata yang baru didengar, 

agar dapat memahami maksudnya. Namun, kepalanya 

malah terasa pening. Perutnya pun semakin melilit-

lilit....

"Uhhh...! Apa maksud orang yang melantunkan 

syair itu?" gerutu Seno. "Mungkin dia tahu kalau aku 

tak seberapa pintar. Mungkin dia sengaja hendak 

membodohiku! Uhhh...!"

Pendekar Bodoh menggaruk pantatnya yang ti-

ba-tiba terasa amat gatal. Ditatapnya lekat-tekat kepu-

lan asap di antara rimbunan bambu yang terbentang 

sekitar lima puluh tombak ke barat. Aroma harum 

daging panggang semakin menggelitik selera makan-

nya.


* * *

Lelaki bertopeng itu memutar-mutar dua pang-

gang kelinci gemuk yang telah menebarkan aroma ha-

rum-gurih. Asap yang mengepul dari perapian mem-

buat aroma daging panggang semakin menebar.

Sambil terus memutar-mutar daging panggang-

nya di atas bara api, lelaki bertopeng yang mengena-

kan pakaian putih-putih itu melanjutkan kata-kata 

syairnya....

Lima, manembah angraketi lan bekti maring 

Pancakarsa lan Nawaksara; nunggaling Panca Indriya 

lan nunggaling babahan Hawa Sanga

Enem, manembah lan tuhu tresna maring Bapa 

lan Ibu kang kinarya lantaran tumitah

Pitu, manembah ngabekti maring Sang Guru 

/Whiku Ningrat/Duta Suci/Utusan sipat Kawasa

Wolu, manembah mituhu ing reh maring Sang 

Nara Bawana/Bawana Pranata, lan sakabehing Pang-

reh Negara/Praja

"Silakan duduk...."

Di ujung syairnya, lelaki berkulit putih halus 

seperti kulit kaum bangsawan itu mempersilakan Pen-

dekar Bodoh yang telah berdiri tak jauh darinya. Pen-

dekar Bodoh nyengir kuda sejenak sambil memilin-

milin ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari kain 

merah. Setelah mengambil tempat duduk beralaskan 

dedaunan, di hadapan lelaki bertopeng, mendadak ra-

sa laparnya lenyap begitu saja. Otaknya bertambah 

beku memikirkan makna syair yang baru dilantunkan 

lelaki bertopeng.

"Paman sangat baik...," ujar Seno, menatap lekat lelaki bertopeng yang masih sibuk memutar-mutar 

daging panggangnya. "Entah dengan apa aku akan 

membalas kebaikan Paman...."

"Tak perlu berpikir tentang hal itu," sergap lela-

ki bertopeng. "Dari gurumu, kau tentu telah mendapat 

banyak wejangan. Baik tentang Tuhan dan peribada-

tan, tentang manusia dan peradatan, maupun tentang 

budi-pekerti, tentang bagaimana bersikap dan bertin-

dak sebagai makhluk ber-Tuhan yang hidup di antara 

sesama makhluk lainnya.... Ketahuilah, Seno, apa 

yang telah kulakukan kepadamu tak lebih dari sekadar 

melaksanakan ajaran-ajaran seperti itu."

"Paman memang orang yang sangat baik. Pa-

man juga orang yang sangat pintar...," puji Seno, tulus.

Lelaki bertopeng diam. Daging panggang ham-

pir matang. Aroma harum dan gurihnya menebar 

membangkitkan selera. Namun, Pendekar Bodoh yang 

tadinya merasa amat lapar, benar-benar telah hilang 

selera makannya. Sesuatu yang ada di benaknya telah 

melenyapkan rasa lapar itu.

"Paman...." 

"Ya."

"Ketika aku menyelesaikan semadi, kukira Pa-

man telah pergi meninggalkanku. Kiranya, Paman be-

rada di sini. Apakah Paman memang sengaja menung-

gu kedatanganku?"

"Begitulah...," sahut lelaki bertopeng yang tak 

lain dari Ksatria Topeng Putih adanya. "Mengingat 

umurmu yang belum seberapa, sementara kau telah 

banyak terlibat dalam berbagai urusan rimba persila-

tan, ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu. 

Aku tahu ilmu kesaktianmu sudah dapat disejajarkan 

dengan tokoh-tokoh rimba persilatan jajaran atas. Na-

mun ketahuilah, Seno, semakin tinggi ilmu kesaktian


seseorang, semakin besar godaan setan yang akan me-

nyeret ke tindak kejahatan. Semakin tinggi kekuasaan 

seseorang maupun semakin banyak kekayaan seseo-

rang, dia akan cenderung melupakan kodratnya seba-

gai manusia. Karena, hal itu memang salah satu sifat 

manusia, yang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa 

melepaskan diri dari khilaf dan lupa...."

Seno mengangguk-angguk. "Ya. Ya, Paman. 

Aku mengerti. Guruku sering mengatakan hal itu ju-

ga."

"Bagus kalau kau mengerti. Aku sengaja me-

nunggumu di tempat ini, seperti yang kukatakan tadi, 

ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu...."

"Apa itu, Paman?"

"Kau dengar kata-kata syairku tadi?"

"Ya. Bagus sekali, Paman. Hanya saja...,"

"Hanya saja apa?"

"Aku mendengar syair Paman sebagai untaian 

kata-kata yang amat merdu didengar telinga. Akan te-

tapi, aku sama sekali tak mengerti artinya. Kalau pun 

mengerti, hanya sebatas pada arti tiap kata secara ter-

pisah...."

"Kau ingin tahu makna keseluruhannya?"

"Tentu saja."

"Makna yang tersirat dalam kata-kata syairku 

itulah yang ingin kusampaikan kepadamu. Walau ma-

nusia tak bisa melepaskan diri dari khilaf dan lupa, 

namun apabila kau dapat menyelami makna syairku 

yang akan kusampaikan nanti, mudah-mudahan kau 

akan menjadi seorang manusia berbudi luhur yang ta-

hu kodratmu sebagai manusia ber-Tuhan."

Perlahan Ksatria Topeng Putih mengangkat dua 

daging panggang yang tampaknya telah matang. Yang 

sebuah langsung diangsurkan kepada Seno.


"Makanlah.... Perut kosong biasanya membuat 

otak sulit untuk diajak berpikir maupun menerima 

pengertian. Oleh karena itu, makanlah dulu. Kita bica-

ra setelah perutmu kenyang...." 

Seno mengangguk seraya menerima daging 

panggang yang diangsurkan Ksatria Topeng Putih.

"Makanlah.... Yang sebuah ini Juga kusediakan 

untukmu." Ksatria Topeng Putih menunjuk daging 

panggang satunya lagi, yang masih berada dalam ceka-

lannya.

"Ah, Paman.... Mana aku bisa makan kalau 

Paman tidak turut makan?" sahut Seno, tak enak hati.

"Dua ekor kelinci ini kutangkap dan kupang-

gang memang sengaja untuk kuberikan kepadamu, 

Seno. Tak perlu kau sungkan dan merasa tak enak ha-

ti. Makanlah.... Aku sudah makan beberapa macam 

buah sesaat lalu."

Seno nyengir kuda.

Namun ketika mencium aroma harum daging 

panggang di tangannya, selera makan pemuda bertu-

buh tinggi tegap itu tiba-tiba muncul lagi. "Baiklah ka-

lau begitu, aku makan sendiri, Paman. Terima kasih 

atas semua kebaikan, termasuk jerih payah Paman 

yang telah menyediakan sarapan untukku ini...." 

Pemuda remaja yang di ikat pinggangnya terse-

lip sebatang tongkat pendek berwarna putih itu men-

galirkan sedikit kekuatan Pukulan Inti Dingin. Sehing-

ga hanya dalam dua tarikan napas, daging panggang di 

tangannya sudah tak panas lagi. Dan, mulailah dia 

menggigit....

Tapi, dalam hati Seno berkata, "Agaknya Paman 

yang baik hati ini masih ingin menyembunyikan siapa 

jati dirinya kepadaku. Tentu saja dia tak mau makan 

bersamaku. Kalau makan, berarti dia harus membuka


topengnya terlebih dahulu. Dia tak mau wajahnya ku-

kenali...."

"Makanlah sepuasmu, Seno. Lepaskan dulu 

masalah yang mungkin mengganjal dalam benak-

mu...," ujar Ksatria Topeng Putih dengan suara lembut.

"Ya! Ya, Paman. Aku memang lapar sekali..."

Merasakan nikmatnya daging panggang pada 

gigitan pertama, Seno jadi tampak rakus. Dia menggi-

git, mengunyah, menggigit lagi, mengunyah lagi.... Tak 

sadar dari mulutnya terdengar suara kecapan yang 

cukup keras.

Ksatria Topeng Putih tersenyum.

Entah apa arti senyuman itu,

* * *

"Sebenarnya, untaian kata-kata syair yang ku-

lantunkan beberapa saat tadi adalah petikan dari isi 

Kitab Pustaka Raja," beri tahu Ksatria Topeng Putih.

Pendekar Bodoh mengangguk beberapa kali. 

Dua daging panggang hanya tinggal tulang-belulang. 

Seno telah melahapnya sampai tandas. Murid Dewa 

Dungu itu duduk bersila dengan perut menggembung 

karena kekenyangan.

"Kitab Pustaka Raja?" desis Seno, mengulang 

ucapan Ksatria Topeng Putih. 

"Ya, Kitab Pustaka Raja. Aku yakin kau belum 

pernah mendengar nama kitab yang banyak mengajar-

kan tentang budi pekerti luhur itu. Memang, hanya 

orang-orang tertentu saja yang pernah membacanya 

secara langsung. Dari merekalah isi kitab itu terse-

bar...." 

"Siapa orang-orang tertentu itu?"

"Hal itu tidak seberapa penting."


"Kenapa?" 

"Sudahlah. Yang perlu kau ketahui, Kitab Pus-

taka Raja ditulis oleh seorang tetua, yang di dalam ki-

tab itu namanya tertulis sebagai Sang Whikuningrat 

Rangga Puspita Kresna...," 

"Hmmm.... Sebuah nama yang amat bagus dan 

terkesan gagah, sekaligus menyiratkan kewibawaan."

"Dan, kata-kata syairku tadi adalah bagian Ki-

tab Pustaka Raja yang bernama Mustika Manik Hasta 

Aksara. Di situ disebutkan bahwa sesungguhnya ma-

nusia hidup di dunia ini mempunyai delapan kewaji-

ban...."

"Ya. Ya, aku tahu, Paman. Paman telah menga-

takannya dalam bentuk syair...."

"Kau paham artinya?" 

Seno menggeleng. "Seperti yang kukatakan, 

mungkin aku hanya paham arti setiap katanya secara 

terpisah. Sementara, arti keseluruhannya masih amat 

samar-samar."

Ksatria Topeng Putih menatap wajah Pendekar 

Bodoh lekat-lekat. Setelah menarik napas panjang, dia 

berkata, "Kewajiban manusia yang pertama menurut 

Mustika Manik Hasta Aksara adalah mangesti manem-

bah Gusti Wujud Hawa ingkang Maha Suci. Itu artinya 

bahwa setiap manusia wajib menyembah dan beriba-

dah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tentang hal ini, 

tentu kau telah tahu, Seno."

"Ya, Paman. Guruku, Dewa Dungu, memang te-

lah mengajarkan hal itu. Semua makhluk di bumi ini 

ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Oleh karenanya, 

manusia memang wajib menyembah dan beribadah 

kepada-Nya."

"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih. "Selalu 

mengingat kebesaran Tuhan adalah salah satu ciri


manusia berbudi luhur. Ingat hal ini baik-baik, Se-

no...."

Pendekar Bodoh mengangguk.

Ksatria Topeng Putih menghela napas seraya 

melanjutkan perkataannya. "Kewajiban manusia yang 

kedua adalah manembah lan tuhu tresna maring Bapa-

Ibu kang sejati. Yang dimaksud Bapa dan Ibu sejati 

adalah matahari dan bumi. Namun, jangan salah men-

gerti. Manembah yang dimaksud bukan mewajibkan 

manusia untuk menyembah dalam arti memuja dan 

mengharapkan perlindungan dari kedua benda itu. Ki-

ta tahu bahwa matahari dan bumi pun ciptaan Tuhan. 

Kita harus mencintainya karena matahari dan bumi 

adalah sumber kehidupan di antara sumber-sumber 

kehidupan lainnya."

"Ya, aku tahu, Paman," sahut Seno. "Tanpa si-

nar matahari, tanpa bumi tempat kita berpijak yang 

menjadi tempat tumbuh berkembangnya berbagai jenis 

tumbuhan, kita memang tak akan dapat hidup."

"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih lagi. "Lalu, 

kewajiban manusia yang ketiga adalah manembah lan 

ngabekti maring Nyang Sari Tri Murti. Nyang Sari Tri 

Murti adalah angin, air, dan api. Manusia juga tak 

akan bisa hidup tanpa ketiga unsur itu. Sementara, 

kewajiban manusia yang keempat adalah manembah 

mituhu patuh ing reh maring Rahso Suci diri pribadi. 

Rahso adalah sesuatu yang lebih lembut dari nurani 

dan lebih halus dari perasaan. Rahso akan selalu 

mendampingi hidup seseorang selama orang itu masih 

hidup. Rahso banyak membantu kehidupan manusia 

dalam bentuk firasat, petunjuk yang muncul dari diri 

sendiri, atau hal-hal semacam itu. Oleh karenanya, 

manusia wajib berterima kasih kepada rahso-nya mas-

ing-masing."


Ksatria Topeng Putih mendongak, menatap 

sang baskara yang telah beranjak naik. Sinarnya yang 

semula menyapa hangat, kini mulai sedikit garang. 

Beberapa ekor burung dadali mulai tampak melesat di 

angkasa. Di pucuk-pucuk bambu pun muncul seke-

lompok burung manyar. Kehidupan makhluk bersayap 

di Lembah Bambu itu rupanya baru terawali kembali 

saat hari menjelang siang.

"Bagaimana, Seno? Kau dapat menyelami arti 

yang kuberikan tadi?" tanya Ksatria Topeng Putih.

"Ya, Aku bisa mengerti, Paman," jawab Seno. 

"Lanjutkan, Paman. Masih ada empat pengertian lagi, 

bukan?"

Mengangguk Ksatria Topeng Putih. "Kewajiban 

manusia yang nomer lima menurut Mustika Manik 

Hasta Aksara adalah manembah angraketi lan bekti 

maring Pancakarsa lan Nawaksara. Pancakarsa adalah 

panca indera kita, yang tak lain indera penglihatan, 

pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa. Bisa 

dibayangkan, andai manusia tak memiliki salah satu 

saja dari lima indera itu, dia akan menjadi manusia 

cacat, yang tentu saja akan memiliki lebih banyak ke-

kurangan jika dibanding dengan manusia yang tak ca-

cat secara lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan 

Nawaksara adalah sembilan unsur kehidupan lainnya 

yang menjadi teman manusia hidup. Kau tentu telah 

tahu sembilan unsur apa itu, Seno."

"Ya. Aku pernah mendapat ajaran dari guruku. 

Menurutnya, sembilan unsur kehidupan itu adalah 

kayu, batu, tanah, dan lain sebagainya," ujar Send. 

"Walau benda mati, tapi benda-benda itu juga amat 

penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kayu be-

rasal dari tumbuhan. Sementara, tumbuhan adalah 

salah satu sumber makanan manusia. Batu, tanah,


dan lain sebagainya adalah bagian dari bumi. Semen-

tara, bumi adalah tempat manusia menjalani kehidu-

pan...."

"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih untuk kese-

kian kalinya. "Oleh karena itulah manusia harus tahu 

diri dan berterima kasih kepada Pancakarsa dan Na-

waksara."

"Lalu, kewajiban manusia yang keenam apa, 

Paman?" tanya Pendekar Bodoh yang menjadi sangat 

kagum dan suka sekali melihat kepintaran serta keari-

fan Ksatria Topeng Putih.

"Manembah lan tuhu tresna maring Bapa lan Ibu 

kang kinarya lantaran tumitah. Di sini sudah jelas pen-

gertiannya. Tanpa ayah dan Ibu, kita berdua ini tak 

akan pernah ada. Ayah dan ibu adalah lantaran atau 

perantara atau asal muasal keberadaan kita sebagai 

manusia. Oleh karena itu, kita dan manusia-manusia 

lainnya wajib berbakti kepada kedua orangtua."

Ketika mengucapkan kalimat itu, suara Ksatria 

Topeng Putih terdengar lebih mantap dan penuh teka-

nan. Ksatria Topeng Putih memang menginginkan 

Pendekar Bodoh mengerti benar bagian itu.

"Ya! Ya, Paman," sambut Seno. "Kalau ada anak 

yang tak berbakti kepada orangtuanya, sama artinya 

dia telah melakukan dosa besar."

"Bagus! Camkan itu baik-baik. Kau harus dapat 

menjalankan apa yang kau ucapkan sendiri."

"Ya, Paman," angguk Seno, tak begitu memper-

hatikan ucapan Ksatria Topeng Putih yang berubah te-

kanan.

"Kewajiban manusia yang ketujuh dan kedela-

pan adalah manembah mituhu maring Sang Guru dan 

Sang Nara Bawana. Kalau manusia berbakti dan me-

nuruti perintah gurunya, itu sudah merupakan keha


rusan. Begitu juga dengan menuruti aturan yang telah 

ditetapkan oleh Sang Nara Bawana atau seseorang 

yang menjadi penguasa negara di mana manusia itu 

tinggal. Kau mengerti, Seno?"

Pendekar Bodoh mengangguk.

Ksatria Topeng Putih tersenyum tipis, lalu 

bangkit berdiri seraya berkata, "Cukup sampai di sini 

pertemuan kita, Seno. Ingat baik-baik apa yang telah 

kukatakan tadi. Mudah-mudahan setiap tindak perbu-

atanmu selalu didasari sikap adil bijaksana."

Usai berkata, tiba-tiba lelaki yang seluruh wa-

jahnya tertutup topeng baja putih itu menjejak tanah. 

Cepat sekali tubuhnya berkelebat, lalu menghilang di 

balik rimbunan bambu di seberang.

Tinggallah Pendekar Bodoh duduk termangu. 

Cengar-cengir sambil menatap sisa daging panggang 

yang hanya berupa tulang-belulang...

***

DUA



UH! Masih ada urusan yang harus segera kuse-

lesaikan. Kenapa aku malah duduk bengong di tempat 

ini?!" rutuk Pendekar Bodoh kepada dirinya sendiri.

Bergegas pemuda remaja itu bangkit berdiri. 

Namun sebelum kakinya melangkah, mendadak ter-

dengar tiupan angin berkesiur. Ketika menoleh, berbi-

narlah bola mata si pemuda.

Di tempat itu telah muncul dua sosok manusia. 

Mereka dua orang wanita yang sama-sama mengena-

kan pakaian serba kuning. Rambut mereka pun sama-

sama digelung ke atas. Namun usia kedua wanita itu


terpaut cukup jauh. Yang satu seorang nenek berumur 

sekitar lima puluh tahun. Sementara, yang satunya la-

gi seorang gadis remaja berwajah cantik.

Mereka adalah Nini Kembangsari atau Dewi Pe-

dang Halilintar dan muridnya yang bernama Kemuning 

atau Dewi Pedang Kuning.

"Kemuning...," desis Seno, menatap lekat wajah 

cantik Dewi Pedang Kuning.

"Ya. Ini aku, Seno," sahut Kemuning. "Sedang 

apa kau di sini?"

Pendekar Bodoh tak segera menjawab. Murid 

Dewa Dungu itu merasakan getar aneh pada nada 

ucapan Kemuning. Ketika diperhatikan lebih seksama, 

sinar mata Kemuning pun tampak lain dari biasanya. 

Apa yang telah terjadi pada diri Si gadis?

Karena itu, Pendekar Bodoh hendak menguta-

rakan rasa herannya. Namun Dewi Pedang Halilintar 

keburu berkata, "Kalau cuma untuk berbasa-basi, se-

baiknya kita segera meninggalkan tempat ini, Kemun-

ing!"

"Uh! Kau galak benar, Nek!" tegur Seno. "Ke-

muning sahabatku, Nek. Walau kau punya urusan 

amat penting, apa tidak boleh kalau aku bercakap-

cakap beberapa lama dengan muridmu itu?"

"Sudahlah, Seno. Aku dan guruku memang ha-

rus segera pergi ke Pondok Matahari. Kebetulan aku 

melihatmu di sini. Kau sedang apa? Melihat bekas ta-

pak kaki di hadapanmu itu, kau tentu tidak seorang 

diri."

Seno diam saja.

Setelah memperhatikan beberapa lama, pemu-

da remaja itu jadi tahu bila tatapan Kemuning menyi-

ratkan kekhawatiran. Namun, kekhawatiran apa itu? 

Seno belum dapat menerkanya.


Mendadak, peristiwa yang pernah dialami ber-

sama Kemuning berkelebatan kembali di benak Seno. 

Dan..., debar-debar di hati Sena juga kembali muncul. 

Membuat si pemuda menatap tak berkedip wajah gadis 

itu, yang memang cantik jelita.

"Dasar bocah gemblung!" semprot Dewi Pedang 

Halilintar. 

Lalu, nenek keras kepala yang biasa bersikap 

ketus itu berkata kepada muridnya, "Kita harus segera 

pergi, Kemuning. Tak perlu banyak cakap dengan pe-

muda geblek itu!"

Seno nyengir kuda, menatap wajah Dewi Pe-

dang Halilintar yang tampak garang.

"Uh! Kau bukan harimau, Nek! Kenapa begitu 

galak?!" sembur murid Dewa Dungu itu.

Dewi Pedang Halilintar mendengus gusar. Wa-

jahnya terlihat makin garang. "Aku bukan tak tahu ka-

lau kau pernah menyelamatkan jiwa Kemuning. Tapi 

saat ini, waktu bagiku amat berharga," sergapnya se-

raya menggamit lengan Kemuning. "Ayo kita pergi!"

"Tapi, Eyang,..," tolak Kemuning.

"Hus! Kita harus segera sampai ke Pondok Ma-

tahari. Lain itu, kita pun harus menghindari Sabit 

Maut!"

Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar yang 

tiba-tiba menyiratkan kekhawatiran, Kemuning meng-

hela napas. "Ya, Eyang. Kita memang harus segera 

pergi."

"Eh! Tunggu dulu!" cegah Seno. "Aku ingin ber-

bicara denganmu beberapa lama, Kemuning. Kalau 

ada masalah, katakan saja. Barangkali aku bisa mem-

bantumu."

"Lain waktu saja!" sahut Kemuning.

Usai berkata, Kemuning menjejak tanah seraya


berkelebat meninggalkan Seno. Dewi Pedang Halilintar 

langsung mengikuti langkah kaki muridnya itu.

"Uuuuhhhh...!" dengus Seno, menumpahkan 

kekecewaannya.

Kaki Seno menggedruk tanah, lalu menyepak 

tulang-belulang kelinci panggang yang berada di de-

katnya. Tampak kesal dan kecewa bukan main pemu-

da remaja itu.

Sejak pertemuannya di kaki Gunung Lawu, 

Kemuning telah menjadi kembang mimpi Seno. Walau 

belum begitu kenal Kemuning secara mendalam, na-

mun gadis itu telah menciptakan harapan-harapan in-

dah dalam benak Seno.

Apa yang membuat Kemuning dan gurunya 

tampak begitu khawatir? Di manakah Pondok Matahari 

yang hendak mereka tuju? Dan, siapa itu Sabit Maut 

yang tampaknya ditakuti oleh Dewi Pedang Halilintar?

Seno terus terpaku memikirkan hal itu. Sambil 

nyengir kuda, dia geleng-geleng kepala beberapa la-

ma....

* * *

"Celaka!" kesiap Dewi Pedang Halilintar.

Nenek yang tubuhnya masih tampak sintal itu 

menghentikan kelebatan tubuhnya. Kemuning bertin-

dak serupa. Dengan sinar mata nyalang, mereka me-

natap seorang lelaki pendek gemuk yang berdiri meng-

hadang.

Lelaki itu seorang kakek-kakek berumur sekitar 

enam puluh tahun, mengenakan pakaian putih ketat. 

Rambutnya panjang tergerai, berwarna putih meletak. 

Di tangannya tercekal sebuah cangkul bergagang pan-

jang.


"Cangkul Sakti...," desis Dewi Pedang Halilintar, 

menyebut julukan kakek pendek gemuk yang mengha-

dang di pinggir hutan kecil itu.

Menarik napas panjang Dewi Pedang Halilintar, 

mencoba menenangkan hatinya yang berdebar-debar 

tak karuan. Cangkul Sakti adalah tokoh jahat yang 

mempunyai ilmu kesaktian amat tinggi. Walau Dewi 

Pedang Halilintar tak pernah berurusan langsung den-

gan Cangkul Sakti, tapi melihat sikap dan tatapan ma-

ta kakek bersenjata cangkul itu, Dewi Pedang Halilin-

tar merasa giris dan ngeri. Apalagi, dia tengah meng-

hindari pertemuan dengan Sabit Maut. Sementara, Sa-

bit Maut adalah saudara seperguruan Cangkul Sakti!

"Kita balik saja, Eyang," cetus Kemuning yang 

mendadak juga terserang rasa gentar.

Dewi Pedang Halilintar tak berucap

Nenek itu segera menggamit lengan muridnya 

untuk diajak berkelebat pergi. Namun... ketika mem-

balikkan badan, sekitar sepuluh tombak di belakang 

guru dan murid itu, ternyata telah berdiri seorang ka-

kek kurus kerempeng dengan tatapan tajam berkilat 

menyiratkan nafsu membunuh.

Si kakek mengenakan pakaian putih kedom-

brongan, mencekal senjata berupa tongkat panjang 

yang di bagian ujungnya terdapat best pipih bengkok 

mirip sabit. Dia berdiri angkuh, menyeringai dingin. 

Membuat Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning me-

langkah mundur.

"Ha ha ha...!" tawa gelak kakek berjuluk Sabit 

Maut itu, berjalan mendekati Dewi Pedang Halilintar. 

"Mau lari ke mana kau, Nenek Bengal?! Hantu Pemetik 

Bunga menyerahkan urusannya kepadaku! Ha ha 

ha...!"

Selagi Sabit Maut tertawa panjang, si kakek


pendek gemuk Cangkul Sakti berjalan mendekati Dewi 

Pedang Halilintar juga.

Dewi Pedang Halilintar yang biasanya amat ke-

ras kepala dan cenderung sombong, kali ini tampak 

mati kutu. Jantung si nenek berdegup keras sekali. 

Dia sadar bila bahaya besar tengah mengintai nya-

wanya.

Kemuning yang berdiri di dekat nenek itu pun 

tampak memucat wajahnya. Keberanian yang selalu di-

tunjukkan Kemuning tiba-tiba hilang entah ke mana. 

Si gadis tampak bergidik ngeri, menatap bergantian 

sosok Sabit Maut dan Cangkul Sakti.

Guru dan murid itu tahu benar bila Sabit Maut 

dan Cangkul Sakti punya sifat licik serta amat kejam. 

Kedua kakek itu saudara seperguruan. Jika mereka 

bermaksud membunuh seseorang, dapat dipastikan bi-

la mereka akan melakukan siksaan terlebih dulu. Sen-

jata mereka yang berupa sabit dan cangkul akan men-

cincang dan mencerai-beraikan tubuh sang korban!

"Bagaimana ini, Eyang?" desis Kemuning. "Mes-

tinya tadi kita tak perlu meninggalkan Pendekar Bo-

doh...."

"Hus!" sergap Dewi Pedang Halilintar. "Aku tahu 

pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, kau mes-

ti tahu bahwa kehormatan di atas segala-galanya. Ke-

hormatan lebih berharga dari nyawa!"

"Jadi..., kita akan melawan mereka, Eyang?"

"Apa boleh buat...."

Cekatan sekali Dewi Pedang Halilintar menghu-

nus bilah pedang yang terselip di punggungnya. Ke-

muning pun berbuat serupa.

Set!

Pedang guru dan murid itu sama-sama terbuat 

dari logam pilihan berwarna kuning. Tampak tajam


berkilat-kilat tertimpa sinar matahari.

"Hmmm.... Kalian dua orang dungu!" dengus 

Dewi Pedang Halilintar, menetapkan hatinya. "Sejak 

semula aku sudah menduga, kalian mengejarku hanya 

karena permintaan Hantu Pemetik Bunga. Huh! Dasar 

sama-sama iblis!"

"Sungguh bagus pedangmu, Nenek Bengal...," 

cibir Sabit Maut. "Tapi sayang..., keindahan pedangmu 

justru akan merenggut nyawamu beserta muridmu itu! 

Ha ha ha...!"

"Ya! Tapi sebelum kalian mati, tampaknya aku 

dan kakak seperguruanku akan bersenang-senang du-

lu! Ha ha ha...!" timpal Cangkul Sakti.

Dewi Pedang Halilintar tak memperhatikan 

ucapan kedua kakek itu. "Jika nanti kau melihat ke-

sempatan, larilah...," bisiknya kepada Kemuning.

"Untuk apa Kemuning lari kalau Eyang tetap di 

sini?" tolak Kemuning. "Aku rela mati bersama 

Eyang...."

"Hus! Kau masih muda! Kau tidak boleh mati 

sia-sia! Pergilah ke Pondok Matahari. Katakan pada 

Hati Selembut Dewa kalau kau muridku. Mintalah pe-

tunjuk darinya. Kau mengerti, Kemuning?"

"Tidak, Eyang! Kalau pergi, Eyang harus ber-

samaku. Kalau Eyang di sini, aku pun di sini. Mati da-

lam pertempuran melawan orang jahat bukan mati sia-

sia, Eyang...."

"Ha ha ha...!" tawa gelak Cangkul Sakti. "Benar 

kata muridmu, Nenek Bengal! Kalian berdua harus te-

tap di sini. Kematian kalian memang akan sangat me-

nyenangkan hati kami! Ha ha ha...!"

"Hmmm.... Walau sudah tua, tubuhmu masih 

boleh juga, Kembangsari...," sahut Sabit Maut. "Sebe-

lum mati, bolehlah nanti kau kuberi kesenangan dulu!"


Lelaki kurus kerempeng itu menelan ludah, 

hingga jakunnya yang besar tampak naik-turun. Sinar 

matanya berubah kurang ajar, membuat Dewi Pedang 

Halilintar muak dan jijik.

"Bangsat!" geram si nenek, menghalau rasa 

gentar di hatinya. "Kalian berdua bandot tua yang tak 

tahu malu! Kalau kalian memang ingin bersenang-

senang, makan pedangku ini! Hiattt...!"

Menggembor keras Dewi Pedang Halilintar.

Nenek itu pada dasarnya memang bukan seseo-

rang yang takut mati ataupun berjiwa pengecut. Walau 

sadar dan tahu benar bila dirinya bukanlah lawan 

yang seimbang bagi Sabit Maut maupun Cangkul Sak-

ti, dia malah mendahului menerjang. Melihat keadaan 

yang sudah tak memungkinkan lagi untuk berlari me-

nyelamatkan diri, si nenek jadi nekat dan bermaksud 

mengadu nyawa.

"Kita hadapi mereka bersama, Eyang...!" seru 

Kemuning.

Sementara Dewi Pedang Halilintar menyerang 

Sabit Maut, gadis cantik itu menerjang Cangkul Sakti. 

Pedang si gadis berkelebat cepat sekali. Tusukan atau-

pun sabetannya senantiasa menimbulkan ledakan ke-

ras yang memekakkan gendang telinga. Agaknya, Ke-

muning menyerang Cangkul Sakti dengan jurus 

'Pedang Halilintar Rontokkan Awan'.

"Jangan nekat, Kemuning!" teriak Dewi Pedang 

Halilintar sambil mengirim tusukan ke dada Sabit 

Maut. "Ingat kata-kataku tadi!"

"Tidak, Eyang! Aku akan tetap di sini bersama 

Eyang!" sahut Kemuning seraya menyerang Cangkul 

Sakti lebih gencar.

Mendengus gusar Dewi Pedang Halilintar. Ke-

nekatan Kemuning membuatnya kalap. Si nenek menyerang Sabit Maut dengan membabi buta. Dia kelua-

rkan jurus-jurus andalannya, hingga bilah pedangnya 

berubah menjadi selarik sinar kuning yang terus me-

nusuk dan membabat amat berbahaya.

Namun, tampaknya sabit bergagang. panjang di 

tangan Sabit Maut dapat meredam semua serangan 

Dewi Pedang Halilintar. Setiap terjadi benturan, Dewi 

Pedang Halilintar selalu meringis kesakitan. Pedang si 

nenek bergetar kencang, membuat jemari tangannya 

terasa amat ngilu dan kesemutan. 

"Hiahhh...!"

Dewi Pedang Halilintar menggeram marah. Di-

keluarkannya seutas tali putih pipih dari balik baju. 

Begitu dialiri kekuatan tenaga dalam, tali itu langsung 

diselubungi lidah-lidah api yang menebarkan hawa 

amat panas!

"Cambuk Api Neraka...!" seru Sabit Maut, me-

nyebut nama senjata di tangan kiri Dewi Pedang Hali-

lintar.

"Ya! Ini memang Cambuk Api Neraka! Makan-

lah...!" sahut Dewi Pedang Halilintar seraya menya-

betkan cambuknya ke muka.

Jderrr...!

"Ih...!"

Sambil berkelit, bergegas Sabit Maut mengirim 

serangan balasan. Senjata di tangannya berkelebat ce-

pat dan mengeluarkan suara berdesing, mengincar ja-

lan kematian di tubuh Dewi Pedang Halilintar.

Sementara, pertempuran antara Dewi Pedang 

Kuning dan Cangkul Sakti berjalan berat sebelah. Wa-

lau Kemuning telah mengeluarkan jurus terhebatnya, 

dia tak dapat meredam kehebatan senjata Cangkul 

Sakti yang berupa cangkul bergagang panjang. Selain 

kalah tenaga, Kemuning juga kalah pengalaman. Beberapa kali dia terkecoh oleh gerak tipu Cangkul Sakti. 

Hingga akhirnya....

Bret...! 

"Ah...!"

Terkejut tiada terkira Dewi Pedang Halilintar 

mendengar jeritan Kemuning. Namun, nenek itu dapat 

bernapas sedikit lega. Senjata Cangkul Sakti hanya 

mengoyak kain baju Kemuning. Tubuh si gadis sama 

sekali tak terluka.

"Jangan tengak-tengok seperti monyet kehilan-

gan ekor!" ejek Sabit Maut. "Lihat serangan!"

Tak dapat Dewi Pedang Halilintar melihat kea-

daan Kemuning lagi. Karena, Sabit Maut telah mengi-

rim serangan yang amat berbahaya. Senjata si kakek 

berkelebat ganas hendak membelah kepalanya. Seran-

gan itu masih dibarengi dengan tendangan maut yang 

mengincar ulu hati!

Bret...! 

"Ah...!"

Kembali Kemuning menjerit. Kain bajunya ter-

koyak lagi oleh sabetan senjata Cangkul Sakti. Semen-

tara, si kakek tampak tertawa terkekeh-kekeh melihat 

bagian tubuh Kemuning yang terbuka. Agaknya, kakek 

pendek gemuk itu sengaja hendak mempermainkan 

Kemuning.

"Jahanam...!"

Sembari menghindari serangan Sabit Maut, 

Dewi Pedang Halilintar yang tak tega melihat muridnya 

dipermainkan, meloncat sebat. Ujung pedangnya me-

luncur deras, mengarah batok kepala Cangkul Sakti. 

Dan, Cambuk Api Neraka pun bergeletar hendak mem-

babat pinggang si kakek! Tapi....

Des...! 

"Argh...!"


Tendangan Sabit Maut keburu bersarang di 

punggung Dewi Pedang Halilintar. Akibatnya, si nenek 

jatuh tersungkur lalu bergulingan di atas tanah. Cam-

buk Api Neraka-nya terlepas dari cekalan. Saat me-

nyentuh tanah, karena tak teraliri kekuatan tenaga da-

lam lagi, lidah-lidah api yang menyelubungi senjata itu 

langsung hilang. Hingga, Cambuk Api Neraka berubah 

ke wujudnya semula, yaitu seutas tali putih berbentuk 

pipih.

Darah segar keluar dari sudut bibir Dewi Pe-

dang Halilintar. Napasnya terasa buntu. Dan, tena-

ganya pun telah banyak berkurang. Melihat wajah si 

nenek yang pucat pasi, jelas bila dia menderita luka 

dalam.

Ketika meloncat bangkit, melototlah bol mata 

nenek itu. Sekitar tujuh tombak dari hadapannya, sen-

jata Cangkul Sakti berkelebat cepat sekali. Lagi-lagi 

Kemuning menjerit ngeri. Namun, tubuhnya tetap tak 

terluka. Hanya kain bajunya yang semakin terkoyak-

koyak.

"Ha ha ha...!" tawa senang Cangkul Sakti. "Tu-

buhmu mulus sekali, Anak Manis. Tahukah kau, ali-

ran darahku jadi berdesir tak karuan? Ha ha ha...! Aku 

ingin... aku ingin...."

Mendadak, kakek bertubuh pendek gemuk itu 

menerkam. Tak dia pedulikan ujung pedang Kemuning 

yang terjulur lurus ke dadanya!

"Mati kau!" seru Kemuning.

Dan..., tusukan gadis itu benar-benar mengenai 

sasaran! Tapi, dia sendiri malah memekik keras. Se-

mentara, Sabit Maut terus tertawa. Kedua tangannya 

membuka untuk segera memeluk tubuh sintal Kemun-

ing!

Sabit Maut sama sekali tak terluka walau pe


dang Kemuning tampak telah menusuk tembus da-

danya. Tak ada darah yang menguour. Bahkan, kain 

baju si kakek tak robek sedikit pun!

Apa yang terjadi?

Kemuning terpaku memikirkan keanehan itu!

Tiba-tiba, pedang Kemuning terpental lepas dari 

cekalan karena terbentur senjata Cangkul Sakti. Da-

lam keterkejutannya, gadis itu merasakan tubuhnya 

limbung, seperti terjepit balok baja yang amat kuat!

Kemudian..., ada suatu benda lunak yang me-

nelusuri pipi dan bibir Kemuning. Membuat si gadis 

bergidik jijik. Cangkul Sakti telah menindih dan men-

daratkan ciuman ganas bertubi-tubi!

"Setan alas!" gembor Dewi Pedang Halilintar 

yang melihat Kemuning digumuli Cangkul Sakti.

Tak peduli pada luka dalamnya, nenek itu me-

loncat cepat. Pedangnya berkelebat hendak membabat 

kepala Cangkul Sakti sampai tanggal. Tapi....

Trang...!

Pedang si nenek keburu lepas dari cekalan. 

Senjata Sabit Maut telah mengait dan melontarkannya!

Ketika Dewi Pedang Halilintar berdiri terpaku, 

Sabit Maut berkelebat menerkam. Dan..., tubuh dua 

anak manusia yang sudah tak muda lagi itu jatuh ber-

gulingan di tanah. Apa yang terjadi pada Kemuning, 

terjadi pula pada diri Dewi Pedang Halilintar....

***

TIGA



BURUNG-BURUNG menceracau parau. Terbang 

melesat dari pucuk dedaunan. Mereka tak sampai hati


melihat adegan yang tengah berlangsung di pinggir hu-

tan kecil itu. Hembusan angin yang mendesau seakan 

turut mengutuk perbuatan tak senonoh Sabit Maut 

dan Cangkul Sakti.

"Jahaham! Lepaskan aku!" 

"Ha ha ha....! Kenapa minta dilepaskan? Bu-

kankah aku hendak membuatmu senang?" 

"Jangan! Tak tahu malu!" 

"Hmmm.... Kau cantik sekali, Anak Manis. Ayo-

lah, kita pergi ke surga bersama-sama. Ha ha ha...!"

Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning me-

nyumpah serapah. Mereka memberontak, berusaha 

melepaskan diri....

Namun..., kedua tangan Sabit Maut dan Cang-

kul Sakti merengkuh erat sekali. Walau Dewi Pedang 

Halilintar dan Kemuning telah mengerahkan seluruh 

tenaga dalamnya, mereka tetap tak dapat melepaskan 

diri dari cengkeraman nafsu kedua kakek itu.

Napas Sabit Maut dan Cangkul Sakti terdengar 

memburu, seiring hasrat mereka yang memuncak. Me-

reka seperti tengah berpesta pora, menjadikan Dewi 

Pedang Halilintar dan Kemuning sebagai barang mai-

nan.

Burung-burung semakin banyak yang terbang 

meninggalkan tempat di pinggir hutan kecil itu. Mere-

ka benar-benar tak kuasa melihat kebiadaban manu-

sia....

* * *

Lelaki berpakaian putih-putih yang tengah 

mengintai dari balik batang pohon besar itu menden-

gus gusar. Tubuhnya bergetar karena menahan hawa 

amarah.


"Biadab!" geramnya. "Keterlaluan sekali perbua-

tan Sabit Maut dan Cangkul Sakti itu! Aku harus ber-

tindak!"

Tanpa pikir panjang, lelaki yang wajahnya ter-

tutup topeng baja putih itu menjejak tanah, hendak 

berkelebat menerjang Sabit Maut dan Cangkul Sakti 

yang terus berusaha melepas gairahnya.

Namun... sebelum keluar dari tempat persem-

bunyiannya, dia mendengar suara berkesiur halus. 

Cepat dia arahkan pandangan ke asal suara. Dan..., le-

laki yang tak lain Ksatria Topeng Putih itu tak jadi ber-

kelebat keluar dari tempat persembunyiannya karena 

melihat sesosok bayangan yang mendahului menye-

rang Sabit Maut dan Cangkul Sakti!

Tep...! Tep...!

Sosok bayangan yang muncul dari kelokan ja-

lan setapak di pinggir hutan kecil itu langsung men-

jambret tengkuk Sabit Maut dan Cangkul Sakti. Cepat 

sekali gerakan si bayangan. Tahu-tahu tubuh Sabit

Maut dan Cangkul Sakti terlontar tinggi ke udara, lalu 

jatuh terbanting di tanah!

Bresss...! Brukkk...!

"Wuahhh...! Uhhh...!"

Memekik parau kedua kakek seperguruan itu 

dalam rasa gusar dan amarah. Mereka benar-benar 

kecewa karena gagal melampiaskan hasrat hati mereka 

terhadap Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning.

"Jahanam...! Berani benar kau menggangguku!" 

geram Sabit Maut sambil membenarkan letak pa-

kaiannya yang sedikit kedodoran.

"Keparat...! Kau pasti telah bosan hidup!" 

Cangkul Sakti turut menggeram marah. 

Dengan tatapan beringas, Sabit Maut dan 

Cangkul Sakti menatap seorang pemuda remaja yang


tengah berdiri tegak tak seberapa jauh dari hadapan 

Dewi Pedang Halilintar dan muridnya. Pemuda itu ber-

paras tampan, mengenakan pakaian biru-biru dengan 

ikat pinggang kain merah.

Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh!

"Ajak Kemuning menyingkir dulu, Nek...," ujar 

si pemuda, tak mempedulikan Sabit Maut dan Cangkul 

Sakti. "Aku tak bisa melihat Kemuning dalam keadaan 

seperti ini...."

"Ya..., ya!" sahut Dewi Pedang Halilintar sambil 

meringis kesakitan. Luka dalam akibat tendangan di 

punggung membuat sekujur tubuhnya amat nyeri.

Kemuning tak dapat mengucap sepatah kata 

pun melihat Pendekar Bodoh telah menyelamatkan ke-

hormatannya. Bibir si gadis tampak bergetar, namun 

tetap tak ada suara yang keluar. Walau begitu, sinar 

matanya jelas menyiratkan rasa syukur dan ucapan 

terima kasih mendalam.

Gadis cantik itu baru menyadari keadaan saat 

Dewi Pedang Halilintar menuntunnya untuk diajak 

berlalu dari hadapan Seno.

"Kau dan muridmu jangan pergi jauh-jauh du-

lu, Nek...," pinta Seno. "Aku tahu kau terluka dalam. 

Aku pun tak ingin pertemuanku dengan Kemuning kali 

ini berlalu dengan cepat."

"Aku tahu kau memiliki kesaktian hebat. Tapi, 

jangan remehkan kemampuan kedua kakek itu," sahut 

Dewi Pedang Halilintar.

"Jangan khawatir.... Aku bisa mengukur ke-

mampuan orang." 

Mendengar perkataan Pendekar Bodoh yang 

tampak penuh keyakinan, Dewi Pedang Halilintar tak 

menyahuti. Dia terus berjalan sambil berpegangan pa-

da pinggang Kemuning.


"Bocah edan! Siapa kau?!" bentak Sabit Maut, 

mendekati Pendekar Bodoh seraya memungut senja-

tanya yang berupa sabit bergagang panjang.

"Siapa aku? Hmmm.... Justru kaulah yang ha-

rus menjawab pertanyaan itu!" sergap Seno. "Melihat 

perbuatan busukmu tadi, gatal tanganku untuk segera 

menghadiahkan bogem mentah!"

"Sontoloyo!" maki Cangkul Sakti yang juga telah 

memungut senjata andalannya. "Berani benar kau 

berkata seperti itu! Apa kau tidak tahu bila sedang 

berhadapan dengan Cangkul Sakti dan Sabit Maut?!"

"Hmmm.... Cangkul Sakti dan Sabit Maut? Ju-

lukan yang terdengar ganjil. Tapi..., kukira pantaslah 

kalian berdua berjuluk seperti itu. Mungkin karena tak 

dapat lagi menggarap sawah-ladang di saat kemarau 

panjang, kalian lalu berkeliaran menjadi durjana hina-

dina!"

"Jahanam! Makan kesombonganmu itu!" 

Sambil berteriak lantang, Sabit Maut melompat 

ke depan. Senjata sabit bergagang panjang di tangan-

nya berkelebat cepat untuk mengait dan menebas leh-

er Pendekar Bodoh!

Wuttt...!

Serangan Sabit Maut hanya mengenai tempat 

kosong karena Pendekar Bodoh telah melompat ke be-

lakang. Namun sebelum kaki si pemuda menginjak 

permukaan tanah, Cangkul Sakti menyambung seran-

gan saudara seperguruannya yang gagal. Cangkul ber-

gagang panjang kakek pendek gemuk itu menderu ga-

nas untuk mengemplang kepala!

Bergegas Pendekar Bodoh meloloskan Tongkat 

Dewa Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Dan..., 

begitu senjata berupa tongkat putih sepanjang dua 

jengkal itu dikibaskan, terbelalaklah mata Cangkul


Sakti.

Wuttt...!

Tas...!

Gagang cangkul yang sebenarnya terbuat dari 

kayu pilihan tak kuasa menahan benturan senjata 

Pendekar Bodoh. Patah menjadi dua bagian! Mata 

cangkulnya terpental ke udara lalu jatuh berdentang di 

tanah.

Sementara, tiupan angin yang ditimbulkan oleh 

kibasan Tongkat Dewa Badai mampu membuat tubuh 

Cangkul Sakti terhempas, dan jatuh terbanting-

banting!

Sabit Maut turut terkejut bagai disambar petir. 

Bola matanya melotot besar dengan mulut terbuka le-

bar. Dia seperti tak percaya pada penglihatannya sen-

diri. Bagaimana mungkin Cangkul Sakti bisa dipecun-

dangi begitu mudah pada gebrakan pertama?

"Kau tampak sangat terkejut, Kek. Apa kau se-

dang melihat hantu di siang bolong begini?" ejek Seno 

dengan suara datar.

"Keparat...!" geram Sabit Maut. 

Mengikuti hawa amarahnya, kakek kurus ke-

rempeng itu menerjang kalap. Senjatanya berkelebat 

lagi, mengeluarkan suara menderu ganas, menya-

kitkan gendang telinga dan terasa mengiris kulit.

Pendekar Bodoh yang sempat melihat perla-

kuan Sabit Maut terhadap Dewi Pedang Halilintar, tak 

mau memberi hati. Saat senjata Sabit Maut berada te-

pat di depan matanya, dia kibaskan Tongkat Dewa Ba-

dai dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyambar Pisang' 

yang dipelajarinya dari Dewa Dungu.

Wesss...! 

Sabit Maut tahu kehebatan senjata di tangan 

Seno. Dia tarik senjata sabit bergagang panjangnya.


Namun, walau senjata itu dapat diselamatkan, tubuh 

si kakek tetap saja terhempas oleh gelombang angin 

pukulan yang tercipta dari kibasan Tongkat Dewa Ba-

dai!

"Wuahhh...!"

Brukkkk...!

Diiringi pekik panjang, tubuh Sabit Maut jatuh 

terbanting tepat di sebelah kanan Cangkul Sakti yang 

masih duduk mengelus-elus punggung. Sementara Sa-

bit Maut mengaduh-aduh kesakitan, Cangkul Sakti 

tampak terlongong bengong.

Kakek pendek gemuk itu sangat terkejut ber-

campur heran. Dia dan saudara seperguruannya ada-

lah dua tokoh tua yang telah punya nama besar di 

rimba persilatan. Tapi, kenapa menghadapi seorang 

pemuda yang tampak masih bau kencur saja, mereka 

mudah sekali dirobohkan?

"Kita gunakan ilmu 'Pengganda Raga'...," bisik 

Sabit Maut seraya bangkit berdiri dan menyambar sen-

jatanya yang kebetulan jatuh tak seberapa jauh.

Bergegas Cangkul Sakti melompat ke depan. Di 

lain kejap, pergelangan tangan kakek pendek gemuk 

itu berubah warna menjadi hitam kehijauan. Bau amis 

menebar ke mana-mana, amat menusuk lubang hi-

dung!

Walau Cangkul Sakti telah kehilangan senja-

tanya, tapi kedua tangan si kakek tak kalah berba-

haya. Dia menyerang Seno dengan ilmu pukulan yang 

mengandung hawa beracun.

Sementara, Sabit Maut pun telah menerjang 

ganas. Senjata di tangan kakek kurus kerempeng itu

berseliweran, mengincar bagian-bagian terpenting di 

tubuh Pendekar Bodoh!

Dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyembah


Dewa', Seno selalu dapat menghindari serangan Sabit 

Maut. Dan, kibasan Tongkat Dewa Badai yang mem-

punyai khasiat pemusnah racun juga selalu dapat me-

nawarkan pengaruh hawa beracun yang menebar dari 

kedua pergelangan tangan Cangkul Sakti.

Bahkan, setelah tiga jurus berlalu, Seno dapat 

menekan pertahanan Sabit Maut dan Cangkul Sakti. 

Kedua kakek itu jadi amat kerepotan. Semua serangan 

mereka selalu dapat dimentahkan. Batang Tongkat 

Dewa Badai dan kepalan tangan Seno berkelebatan, 

mengurung mereka dari berbagai penjuru. Hingga 

sampai akhirnya....

Wuttt...!

Cusss...!

Pukulan Pendekar Bodoh yang hanya dialiri se-

bagian kecil kekuatan tenaga dalam tepat bersarang di 

dada Sabit Maut. Namun, Pendekar Bodoh malah me-

mekik kaget. 

"Ya, Tuhan...."

Murid Dewa Dungu itu sama sekali tak me-

nyangka melihat kepalan tangan kirinya yang tembus 

sampai ke punggung Sabit Maut!

Kontan Pendekar Bodoh menyesal bukan main, 

karena merasa telah menjatuhkan maut.

Tapi, keterkejutan kembali menghantam diri 

Pendekar Bodoh. Tubuh Sabit Maut ternyata tak ber-

geming sedikit pun! Si kakek tetap berdiri tegak tanpa 

setetes darah yang keluar dari dadanya. Tubuh si ka-

kek seakan telah berubah jadi bayangan yang tahan 

pukulan.

Selagi Seno terpaku dalam keterkejutan, ter-

dengar suara berdesing keras. Cepat pemuda remaja 

itu menyadari keadaan. Dia rundukkan kepalanya un-

tuk menghindari sambaran senjata Sabit Maut. Namun, tak urung tendangan Cangkul Sakti menerpa 

bahu kirinya! 

Des... 

"Uhhh...!" 

Tubuh Seno jatuh terguling ke tanah. Ringis 

kesakitan segera menghiasi bibirnya. Belum sempat 

dia meloncat bangkit, tubuh Cangkul Sakti tampak 

melesat cepat sekali. Tangan kanan kakek pendek ge-

muk itu meluncur deras dari atas untuk menggedor 

dada Seno. Jelas bahaya maut tengah mengintai nya-

wa Seno, karena kepalan tangan Cangkul Sakti men-

gandung hawa beracun, amat mematikan!

Ksatria Topeng Putih yang mengintai dari balik 

batang pohon membelalakkan mata. Tentu saja dia tak 

ingin melihat Pendekar Bodoh mati di tangan Cangkul 

Sakti. Namun, sekali lagi dia membatalkan niatnya un-

tuk keluar dari tempat persembunyian. Dia melihat 

Pendekar Bodoh mengacungkan tangan kanannya ke 

atas. Salah satu ujung Tongkat Dewa Badai yang runc-

ing hendak memapaki luncuran tubuh Cangkul Sakti! 

Wuttt...!

Cusss...!

Kalau ada orang disengat kalajengking selagi ti-

dur nyenyak, begitulah kira-kira keterkejutan yang 

tengah dirasakan Seno. Ujung Tongkat Dewa Badai te-

pat menancap di dada Cangkul Sakti. Tapi..., tongkat 

mustika itu seperti menusuk sebuah bayangan. Tak 

ada suara jerit kesakitan yang keluar dari mulut 

Cangkul Sakti. Tak ada pula darah yang menetes. Jerit 

kesakitan justru keluar dari mulut Seno!

Punggung pemuda berparas tampan itu terbe-

nam setengah jengkal ke tanah. Walau masih sempat 

berkelit, bahu kirinya yang tadi telah kena tendang, 

menjadi sasaran pukulan Cangkul Sakti!


Tanpa pikir panjang, Seno mengempos tenaga. 

Dengan menggunakan Ilmu 'Lesatan Angin Meniup 

Dingin', dia buang tubuhnya jauh-jauh. Setelah bersal-

to tiga kali di udara, dia mendarat sigap di tanah.

Namun, ringis kesakitan terus menghiasi bibir 

Seno. Bahu kirinya terasa amat panas dan pedih luar 

biasa! 

Cepat pemuda itu nenyingkapkan kain baju. 

Ternyata, kulit bahunya yang kena pukulan Cangkul 

Sakti berubah warna menjadi hitam kehijauan.

"Racun...," desis Seno.

Mengetahui ada hawa beracun yang bersarang 

di tubuhnya, bergegas di tempelkan Tongkat Dewa Ba-

dai ke bahu kiri. Di lain kejap, Tongkat Dewa Badai 

yang semula berwarna putih bersih menjadi hitam ke-

hijauan. Dan, bahu kiri Seno kembali ke warna as-

linya, putih kemerahan. Itu berarti hawa beracun aki-

bat pukulan Cangkul Sakti telah tersedot oleh batang 

tongkat mustika Dewa Badai.

"Phuhhh...!"

Wesss...!

Seno meniup. Warna hitam kehijauan pada 

Tongkat Dewa Badai langsung pudar, kembali putih 

bersih tanpa noda.

Namun..., murid Dewa Dungu itu tampak ter-

surut mundur saat melihat Sabit Maut dan Cangkul 

Sakti berjalan mendekatinya.

"Kepalan tanganku..., bahkan Tongkat Dewa 

Badai telah menembus tubuh kedua kakek itu. Tapi, 

kenapa mereka sama sekali tak terluka?" kata hati 

Pendekar Bodoh, mencetuskan rasa heran. "Apakah 

mereka mempunyai nyawa rangkap? Atau mungkin, 

mereka dapat mengelabuiku? Tapi, mengelabui bagai-

mana?"


"Ha ha ha...!" tawa gelak Sabit Maut. "Wajahmu 

pucat sekali, Bocah Edan! Kau terkejut melihat kesak-

tian kami, bukan? Baiklah, aku akan menghilangkan 

keterkejutanmu itu. Tapi, tentu saja lewat cara menu-

karnya dengan nyawamu!" 

Senjata Sabit Maut berkelebat lagi. Cangkul 

Sakti turut menerjang kembali. Cepat Pendekar Bodoh 

menghalau rasa gentarnya. Dia pun balas menyerang. 

Akan tetapi..., pukulan ataupun tusukan Tongkat De-

wa Badai yang mengenal sasaran, tetap tak mampu 

merobohkan Sabit Maut dan Cangkul Sakti. Pendekar

Bodoh seperti memukul ataupun menusuk bayangan! 

Sementara, Sabit Maut dan Cangkul Sakti terus me-

nyerang gencar....

Melihat Seno terdesak hebat, Ksatria Topeng 

Putih yang masih mengintai jalannya pertempuran, tak 

mau tinggal diam. Sebagai seorang tokoh yang sudah 

matang pengalaman, Ksatria Topeng Putih tahu raha-

sia kehebatan ilmu kesaktian Sabit Maut dan Cangkul 

Sakti. Maka, dia buka rahasia itu kepada Seno dengan 

membisikkannya melalui ilmu mengirim suara dari ja-

rak jauh.

"Kau Jangan terkecoh! Kedua lawanmu itu 

menggunakan ilmu sihir bernama 'Pengganda Raga' 

Yang senantiasa kau serang hanya bayangan mereka. 

Cepat himpun kekuatan batinmu!"

Sambil berkelit ke sana-sini, Seno mengedarkan 

pandangan untuk mencari orang yang telah memberi 

petunjuk. Namun, dia tak melihat siapa-siapa. Ksatria 

Topeng Putih telah menyembunyikan tubuhnya di ba-

lik batang pohon besar.

"Aku tak tahu siapa yang telah memberi petun-

juk kepadaku. Tapi, ada baiknya bila kucoba...," kata 

hati Pendekar Bodoh kemudian.



Sambil terus menghindari serangan Sabit Maut 

dan Cangkul Sakti, Pendekar Bodoh berusaha meng-

himpun kekuatan batinnya. Begitu dapat, dia lenting-

kan tubuhnya cepat sekali. Lalu dengan jurus 'Dewa 

Badai Turun ke Bumi', dia jatuhkan pukulan ke dada 

Cangkul Sakti! 

Desss...! 

"Argh...!"

Bersorak girang Seno dalam hati. Dia melihat 

tubuh Cangkul Sakti terlontar jauh diiringi pekik ke-

sakitan. Kekuatan batin Seno ternyata memang dapat 

mengatasi ilmu 'Pengganda Raga' Cangkul Sakti.

Di lain kejap, senjata Sabit Maut pun terlepas 

dari cekalan dan terpental tinggi ke udara. Tubuh ka-

kek kurus kerempeng itu juga mencelat jauh, menyu-

sul Cangkul Sakti yang telah rebah di tanah!

Namun... sambil menahan rasa sakit yang me-

rejam tubuh, mereka meloncat bangkit, lalu menye-

rang nekat dengan tangan kosong!

Pendekar Bodoh yang sudah tahu rahasia ilmu 

kesaktian kedua kakek itu, bersikap tenang-tenang sa-

ja. Terjangan Sabit Maut dan Cangkul Sakti dibalasnya 

dengan kibasan Tongkat Dewa Badai!

Wesss...!

Bresss...! 

Sekali lagi, tubuh Sabit Maut dan Cangkul Sak-

ti terlontar ke udara, lalu jatuh terbanting di tanah. 

Wajah mereka pucat pasi dengan darah segar me-

rembes dari sudut bibir. Kedua kakek itu hanya dapat 

duduk mendeprok sambil menatap takut-takut sosok 

Pendekar Bodoh. 

Saat si pemuda mengacungkan Tongkat Dewa 

Badai-nya, Sabit Maut dan Cangkul Sakti beringsut 

mundur. Sinar mata mereka jadi amat nyalang. Rasa


takut dan gentar telah merajai akal pikiran mereka.

"Jangan...!" desis Sabit Maut dan Cangkul Sak-

ti, hampir bersamaan.

Seno menghentikan langkahnya seraya berkata, 

"Aku masih mau memberi kesempatan kepada kalian 

untuk menghirup udara segar. Jadilah orang baik-

baik. Tapi, ingat! Lain kali kalau aku masih melihat 

kalian berbuat jahat, tak akan ada ampunan lagi! Per-

gilah...!"

Di ujung kalimatnya, Pendekar Bodoh mengi-

baskan Tongkat Dewa Badai. Gelombang angin puku-

lan yang tercipta membuat tubuh Sabit Maut dan 

Cangkul Sakti terangkat dari permukaan tanah. Sete-

lah jatuh bergulingan, mereka langsung lari lintang-

pukang....

Seno melihat kepergian kedua kakek itu sambil 

nyengir kuda beberapa lama. Sesaat kemudian, dia 

mengedarkan pandangan. Dicarinya orang yang telah 

membisikkan rahasia ilmu kesaktian Sabit Maut dan 

Cangkul Sakti. Tapi, Ksatria Topeng Putih telah berke-

lebat pergi meninggalkan tempat.

Namun, Seno tak jadi kecewa. Matanya berbi-

nar-binar saat melihat Kemuning berjalan mendatan-

ginya.

"Seno...!" seru gadis itu seraya menghambur.

Cepat Pendekar Bodoh menyelipkan kembali 

Tongkat Dewa Badai-nya ke ikat pinggang. Lalu, dia 

sambut kedatangan Kemuning dengan pelukan han-

gat.

"Terima kasih, Seno...," desis Kemuning, balas 

memeluk. 

Pendekar Bodoh tak berkata apa-apa. Tapi di 

dalam hati, dia berseru girang bukan main. Kembang 

mimpinya telah berada dalam pelukan. Tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan Seno saat itu....

***

EMPAT



MENYESAL aku telah berlaku sombong...," de-

sah Pendekar Bodoh. "Kalau saja tidak ada orang yang 

membantuku, kemungkinan besar aku akan mati di 

tangan mereka."

"Membantumu? Aku tak melihat siapa-siapa...," 

ungkap Kemuning.

"Ada orang yang mengirim bisikan dengan ilmu 

mengirim suara. Dia membuka rahasia ilmu kesaktian 

Sabit Maut dan saudara seperguruannya." 

"Siapa dia?" tanya Dewi Pedang Halilintar. 

Kepala Seno menggeleng lemah. "Entahlah. Aku 

juga tak melihat siapa-siapa, Aku hanya mendengar 

bisikan yang tak kukenali warna suaranya." Percaka-

pan terhenti.

Ketiga anak manusia yang tengah duduk di 

bawah naungan pohon besar itu larut dalam pikiran 

masing-masing. Tercetus dalam benak Seno keinginan 

mengantar Kemuning dan gurunya ke Pondok Mataha-

ri.

Tapi, teringat akan kejahatan Setan Selaksa 

Wajah yang telah membuat lumpuh kedua kaki Dewa 

Dungu, Seno jadi ragu. Jika kewajiban belum tertunai-

kan, tak pada tempatnya bila dia bersenang-senang. 

Bukankah masih banyak waktu untuk dapat membuat 

perjumpaan lagi dengan Kemuning?

Sepi berkuasa penuh atas suasana siang di

pinggir hutan kecil itu. Tak ada kicau burung yang 

terdengar. Satwa-satwa yang berada di dalam hutan 

pun membisu. Hanya desau angin yang mampu meng-

getarkan gendang telinga. Ranting pepohonan meliuk 

lemah, melambai malas dalam kejenuhan.

Sepi terpecah manakala Kemuning tertawa geli 

mengikik. Kontan Seno tersentak dari lamunannya, la-

lu mengangkat wajah dengan tatapan tak mengerti. 

Dewi Pedang Halilintar juga menatap wajah muridnya 

dengan kening berkerut rapat.

"Kau menertawakan apa, Kemuning?" Seno 

mendahului bertanya.

"Tentu saja aku menertawakan sesuatu yang 

menggelikan," jawab Kemuning, tersenyum-senyum.

"Apa?" buru Seno.

"Bukan apa' tapi 'siapa'!"

"Maksudmu?"

"Kaulah yang ku tertawakan! Hik hik hik...."

"Aku?"

"Hik hik hik...."

"Uh! Kenapa kau menertawakan aku?!"

"Wajahmu itu!"

"Kenapa?"

"Amat polos, bahkan terkesan amat tolol! Hik 

hik hik.... Tak salah bila aku dulu memberimu julukan 

Pendekar Bodoh!" 

"Uuuh!" sungut Seno.

"Kau jangan main-main, Kemuning!" tegur Dewi 

Pedang Halilintar yang merasa tak enak hati melihat 

sikap muridnya. Seno baru menyelamatkan kehorma-

tan dan juga nyawa mereka. Sangat tak terpuji kalau 

Seno malah diolok-olok.

"Ah! Tak jadi apa. Aku memang tolol! Otakku 

memang bebal!" seru Seno kemudian. Namun, walau


mulutnya berkata begitu, hatinya mengatakan lain. 

Mana ada orang yang suka disebut bodoh ataupun to-

lol?

"Hik.... Aku cuma bercanda, Seno. Kenapa di-

ambil hati?" sahut Kemuning, tampaknya dapat mera-

sakan isi hati Pendekar Bodoh. "Aku tahu kau berkali-

kali menanam budi kepadaku. Dan sekarang, kau te-

lah menanam budi pula kepada guruku. Bagaimana 

mungkin kalau aku malah mengejekmu?"

"Ya! Ya, aku tahu kau bercanda," sambut Seno, 

namun bibirnya masih merengut kesal

Dewi Pedang Halilintar beringsut mendekati 

Kemuning. Luka dalam nenek itu sudah tak memba-

hayakan jiwanya lagi. Beberapa waktu lalu, Pendekar 

Bodoh telah membantu mengatasi luka dalam si ne-

nek.

"Kalau bicara di hadapannya, kau jangan cep-

las-ceplos!" tegur Dewi Pedang Halilintar, berbisik di 

telinga Kemuning.

"Setelah memperhatikan wajahnya. Hik hik.... 

Aku juga ingin tertawa, tapi ku tahan. Hik hik hik...."

Mendengar bisikan itu, Kemuning malah terta-

wa lebar. Badannya sampai terbungkuk-bungkuk. 

Agaknya, Kemuning amat mudah melupakan peristiwa 

yang baru dialaminya. Perbuatan Cangkul Sakti yang 

tak senonoh sepertinya telah hilang dari benak Ke-

muning.

Bibir Seno makin merengut. Bola matanya 

mendelik menatap wajah Kemuning. Tapi, hal itu ju-

stru membuat raut wajahnya makin tampak menggeli-

kan. Dewi Pedang Halilintar pun tak dapat lagi mena-

han tawanya.

"Uuuhhh...! Seballl...!" sungut Seno. "Orang wa-

ras biasa menertawakan orang gila. Sebaliknya, orang


gila juga biasa menertawakan orang waras. Sekarang 

aku melihat dua orang menertawakan aku. Karena aku 

merasa tak gila, berarti merekalah yang gila!"

Sindiran Pendekar Bodoh tepat mengenai sasa-

ran. Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning langsung 

menghentikan tawanya.

"Silakan kalau kalian hendak berangkat ke 

Pondok Matahari sekarang," ujar Pendekar Bodoh ke-

mudian. "Aku juga hendak meninggalkan tempat ini. 

Ada banyak urusan yang harus segera kuselesaikan."

"Kau marah?" tanya Kemuning, tak main-main 

lagi.

"Aku tak akan marah pada orang yang kucin... 

eh...."

"Eh... apa?" 

Pendekar Bodoh yang merasa hampir kelepasan 

bicara tampak memerah wajahnya. Namun, cepat dia 

alihkan pembicaraan. "Aku harus segera membuat 

perhitungan dengan Setan Selaksa Wajah! Aku juga 

harus mencari Ksatria Seribu Syair!"

"Ksatria Seribu Syair?" sergap Dewi Pedang Ha-

lilintar tampak kaget.

"Ya. Kenapa dengan dia? Bukankah tempo hari 

sudah kukatakan bila Ksatria Seribu Syair adalah 

ayahku? Namun, walau begitu, aku punya perhitungan 

tersendiri dengan orang itu. Dia telah membuat Ibuku 

hidup sengsara!"

Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning terdiam. 

Mendengar nada ucapan Pendekar Bodoh yang me-

ninggi, sedikit-banyak mereka dapat mengetahui apa 

yang tengah dirasakan si pemuda saat itu.

"Maaf...," ujar Dewi Pedang Halilintar. "Sering 

kali harapan sangat jauh berbeda dengan kenyataan. 

Banyak kejadian atau peristiwa di dunia ini yang


membuat manusia jadi kecewa. Tapi kukira, kau akan 

dapat menerima kenyataan ini dengan dada lapang, 

Seno. Ksatria Seribu Syair memang bukan orang baik-

baik.... Dia suka mengumbar nafsu buruknya kepada 

gadis-gadis yang tak berdosa!"

"Eyang!" tegur Kemuning, keras sekali. "Maaf, 

Eyang. Bukan aku hendak mengajari Eyang. Tuduhan 

yang tidak ada bukti adalah fitnah. Dan kukira, mem-

fitnah adalah perbuatan yang amat jahat!"

Dewi Pedang Halilintar tersenyum tipis. Dita-

tapnya lekat-lekat wajah Kemuning seraya berkata, 

"Lebih dari separo usiamu kau selalu bersamaku, Ke-

muning. Aku mengenal watak dan tabiatmu dengan 

baik. Aku pun yakin bila kau juga mengenal watak dan 

tabiatku dengan baik. Selama bersamaku, pernahkah 

kau melihat aku menjatuhkan fitnah kepada orang 

lain?" 

Kemuning menunduk.

Seno membuka telinga lebar-lebar, mendengar-

kan ucapan Dewi Pedang Halilintar dengan seksama. 

Dia memang perlu mengorek keterangan perihal Ksa-

tria Seribu Syair sebanyak-banyaknya.

"Walau sikapmu terhadap Seno tampak acuh 

tak acuh bahkan terkesan meremehkan, tapi aku tahu 

kalau kau sebenarnya menaruh hati kepadanya," lan-

jut Dewi Pedang Halilintar. "Mendengar kata-katamu 

tadi, aku pun dapat menduga apa yang ada di hatimu. 

Kau tentu tak sampai hati atau mungkin sangat tak 

percaya bila orang yang kau cintai sesungguhnya ada-

lah keturunan orang jahat...."

Begitu blak-blakan Dewi Pedang Halilintar. 

Pendekar Bodoh tersinggung, tapi dia dapat menahan 

diri. Lain lagi dengan Kemuning....

"Eyang...!" jerit si gadis dengan mata berkaca


kaca. "Eyang jangan berkata seperti itu. Aku...."

"Ah! Sudahlah, Kemuning...," sela Pendekar 

Bodoh. "Tak perlu berkata kasar kepada gurumu. Jan-

gan buat dosa. Aku tahu siapa diriku. Untuk apa dibe-

la? Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. 

Mungkin peribahasa itulah yang membuatmu tak enak 

hati. Tapi, harap kau tahu, Kemuning. Kalau pun ke-

lak ayahku memang terbukti sebagai orang jahat, kau 

akan tetap mengenalku sebagai pribadi Seno yang se-

karang ini. Orang jahat tak selamanya mempunyai ke-

turunan jahat. Orang berbudi luhur tak selamanya 

mempunyai keturunan orang yang baik budi pula. Du-

nia ini ada banyak macam keanehan, Kemuning. Tapi, 

semuanya tak lepas dari kehendak Tuhan juga. Harap 

kau mengerti dan menyadarinya.... Aku bukan orang 

jahat, dan tak pernah berpikir dalam benakku untuk 

berbuat jahat. Kau tentu tahu itu, Kemuning...."

Pendekar Bodoh bicara cukup panjang. Kata-

kata yang keluar dari mulutnya terdengar runtut. Keti-

ka dia berkata penuh kesungguhan itulah, wajahnya 

tak lagi tampak kebodoh-bodohan. Namun, hal itu ju-

stru membuat air mata Kemuning mengalir deras bagai 

bendungan yang jebol.

Kemuning sangat terharu mendengar kata-kata 

Pendekar Bodoh. Walau dia membisu seribu bahasa, 

tapi dalam hatinya telah tercetus satu keyakinan. Sia-

pa pun Seno, bagaimanapun Seno, rasa hatinya terha-

dap pemuda itu tetap tak akan berubah ataupun ber-

kurang sedikit pun.

Memang, sebagai manusia biasa Kemuning pun 

tak dapat menipu dan mengelabui rasa hatinya sendiri. 

Apalagi, si gadis masih begitu muda. Gejolak jiwa mu-

danya lebih berperan dalam mengambil keputusan.

"Nek...," sebut Pendekar Bodoh kemudian, menatap tak berkedip wajah Dewi Pedang Halilintar.

"Sampai sekarang aku belum pernah bertemu 

dengan Ksatria Seribu Syair. Tempo hari ketika aku 

mengejarnya, aku kehilangan jejak. Dapatkah kau 

memberiku petunjuk, Nek?"

"Sebetulnya tidak seberapa sulit untuk mencari 

keterangan tentang ayahmu itu. Saat ini, dia sudah ja-

rang sekali muncul dengan memakai gelar Ksatria Se-

ribu Syair. Tapi kalau kau mendengar gelar Hantu Pe-

metik Bunga, itulah dia."

"Hantu Pemetik Bunga?" kesiap Seno. Julukan 

yang didengarnya sudah jelas menyiratkan suatu tin-

dak kejahatan.

"Ya! Dalam setiap kemunculannya, dia selalu 

mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih."

"Hah?! Apa, Nek? Topeng baja putih?"

"Aku tahu kau terkejut. Kau pasti telah men-

dengar julukan Ksatria Topeng Putih, atau mungkin 

malah sudah pernah berjumpa langsung dengan orang 

itu. Ketahuilah Seno, Ksatria Seribu Syair, Hantu Pe-

metik Bunga, dan Ksatria Topeng Putih adalah tiga ju-

lukan atau gelar yang hanya dimiliki oleh satu orang 

saja. Ayahmu itu!"

"Tak mungkin...," desis Seno, menggeleng-

geleng.

"Apanya yang tak mungkin? Sebenarnya, aku 

punya dendam permusuhan terhadap Hantu Pemetik 

Bunga. Dan, aku pernah membuka topeng lelaki itu. 

Aku tak salah lihat. Dia memang Darma Pasulangit 

atau Ksatria Seribu Syair!" (Tentang peristiwa yang di-

alami oleh nenek ini, bisa diikuti pada serial Pendekar 

Bodoh dalam episode : "Ratu Perut Bumi").

"Ah! Benarkah itu, Nek?" sahut Seno, masih 

meragu.


"Untuk apa aku berbohong? Apa untungnya 

aku memberimu pengertian yang menyesatkan?"

"Tapi..., aku mengenal Ksatria Topeng Putih se-

bagai seorang pendekar budiman. Dia telah banyak 

menolongku. Bahkan, tadi pagi dia memberiku banyak 

sekali nasihat. Aku tak percaya kalau dia orang ja-

hat...."

"Kau tak percaya, itu hakmu. Aku tak akan 

memaksamu untuk percaya. Aku hanya mengatakan 

apa yang kuketahui. Namun... kalau kau menganggap 

Ksatria Seribu Syair adalah orang yang berbeda den-

gan Ksatria Topeng Putih ataupun Hantu Pemetik 

Bunga, pernahkah kau melihat wajah mereka?"

Seno menggeleng. "Aku tak tahu bagaimana ru-

pa ayahku. Aku pun tak tahu bagaimana wajah Ksa-

tria Topeng Putih. Memang benar aku telah beberapa 

kali bertemu dengan Ksatria Topeng Putih, tapi aku 

tak dapat melihat wajahnya karena dia selalu menge-

nakan topeng...."

"Nah! Di situlah letak kuncinya. Dia selalu 

mengenakan topeng karena tak mau wajahnya dikenali 

orang. Mungkin dia masih merasa sebagai Ksatria Se-

ribu Syair yang terkenal sebagai pendekar budiman. 

Kalau dia orang baik-baik, kenapa malah menyembu-

nyikan jati dirinya? Aku yakin, kau pasti belum men-

genal sama sekali orang itu! Karena memang dia ber-

maksud menyembunyikan jati dirinya kepadamu"

Pendekar Bodoh terdiam. Kali ini dia dapat me-

rasakan kebenaran kata-kata Dewi Pedang Halilintar. 

Oleh karena itu, tatapan Seno jadi beringas. Sinar ma-

tanya berkilat-kilat dengan segudang hawa amarah di 

hati.

"Jahanam!" geram si pemuda. "Dasar serigala 

berbulu domba! Di depanku kau selalu memperlihatkan sikap baik. Tapi..., siapa sangka kalau kau seo-

rang durjana! Keparat!"

Seno berteriak marah seakan melihat Ksatria 

Seribu Syair berada di hadapannya. Tak kuasa Seno 

menekan perasaannya yang galau dan kalut tak ka-

ruan. Dia bangkit dari duduknya, lalu berkelebat pergi 

dengan meninggalkan suara, 

"Jahanam! Sampai ke ujung langit pun, aku 

akan terus mengejarmu!"

Pendekar Bodoh memang terlalu lugu untuk 

dapat menerima kenyataan itu. Jalan pikirannya terla-

lu sederhana. Hingga, begitu mudahnya dia larut da-

lam rasa benci dan dendam.

"Seno...!" seru Kemuning dengan air mata ma-

sih menganak sungai.

Tapi, Pendekar Bodoh tak mau peduli. Dia terus 

berlari dan terus berlari....

"Seno...!" teriak Kemuning lagi seraya meloncat 

bangkit untuk mengejar.

"Tak perlu!" cegah Dewi Pedang Halilintar. "Kita 

harus segera sampai ke Pondok Matahari!"

Kemuning terpaku menatap wajah ketus gu-

runya. Dan, semakin menjadi-jadilah tangis gadis itu. 

Walau Kemuning punya sifat keras kepala dan sering 

tak mau peduli pada urusan orang lain, tapi apa yang 

baru dilihat dan didengarnya sanggup memukul telak 

perasaan hatinya. Membuat dia jadi amat sedih dan te-

ramat sedih....

***


LIMA


Di bawah siraman sinar mentari pagi, barisan 

pemuda berseragam putih-biru tampak berjalan menu-

ju kaki Bukit Pralambang. Mereka bersenjata lengkap 

seperti hendak mengawali sebuah pertempuran besar. 

Debu mengepul tebal seiring derap langkah yang 

membuat sunyi terpecah

Pemimpin mereka adalah seorang lelaki berpe-

rawakan kekar, mengenakan pakaian putih-kuning 

dengan baju luar seperti jubah berwarna merah. Lelaki 

itu berumur sekitar lima puluh tahun. Berwajah halus 

tampan. Matanya menatap lurus ke depan, amat ja-

rang terkedipkan.

Dia Aji Pamenak, ketua Partai Naga Timur! Aji 

Pamenak menunggang kuda putih. Di kanan-kirinya 

berjajar kuda lain yang ditunggangi enam pemuda ber-

pakaian ketat putih-kuning. Salah seorang di anta-

ranya membawa umbul-umbul biru bergambar seekor 

naga yang disulam dengan benang emas. Itulah simbol 

Partai Naga Timur!

Sekitar dua ratus anggota partai yang berjalan 

di belakang, tak tahu sama sekali apa maksud Aji Pa-

menak mengajak mereka berkumpul di kaki Bukit Pra-

lambang. Di sepanjang perjalanan, hati mereka senan-

tiasa tergeluti berbagai tanda tanya. Tapi, mereka tak 

berani kasak-kusuk. Wibawa Aji Pamenak memang 

mampu menciutkan nyali para pemuda anggota partai 

yang dipimpinnya.

Di tempat lain, pada waktu yang hampir ber-

samaan, tiga kelompok barisan pemuda juga tampak 

bergerak menuju ke kaki Bukit Pralambang sebelah 

timur. Masing-masing barisan itu berseragam putih


hijau, putih-merah, dan putih-hitam.

Tiga umbul-umbul dibawa salah seorang dari 

mereka, yang menunggang kuda. Umbul-umbul itu 

semuanya bergambar naga tersulam dari benang emas. 

Hanya saja, kain umbul-umbul berbeda warna, yaitu 

hijau, merah, dan hitam.

Barisan pemuda yang juga bersenjata lengkap 

itu adalah para anggota Partai Naga Barat, Partai Naga 

Selatan, dan Partai Naga Utara. Aji Baguskara, Aji 

Kembarapati, dan Aji Rangsang yang menjadi ketua 

masing-masing partai tampak menunggang kuda di 

depan barisan.

Anehnya, seperti Aji Pamenak, ketiga lelaki ga-

gah itu tatapan matanya sama-sama tertuju lurus ke 

depan dan nyaris tak pernah berkedip. Jika diperhati-

kan dengan seksama, dapat dilihat bila keadaan mere-

ka sangatlah tidak wajar.

Memang, mereka telah terkena pengaruh keku-

atan gaib Pusaka Pedang Naga yang sanggup membe-

lokkan jalan pikiran mereka. Pusaka Pedang Naga ada-

lah sebuah senjata bertuah andalan Pendekar Naga 

yang pernah jaya pada puluhan tahun silam. Dan, Aji 

Pamenak beserta ketiga ketua Partai Naga lainnya ada-

lah keturunan pendekar besar itu.

Sementara, yang membangkitkan kekuatan 

gaib Pusaka Pedang Naga tak lain Mahisa Lodra atau 

Setan Selaksa Wajah. Si kakek bermaksud menyusun 

pasukan untuk menggempur istana Mahespati. Dia 

hendak menggulingkan takhta Prabu Wira Parameswa-

ra! (Agar lebih jelas, silakan baca serial Pendekar Bo-

doh dalam episode : "Pengejaran ke Masa Silam").

Manakala mentari terlihat naik sejengkal dari 

garis cakrawala, sekitar enam ratus anggota Partai Na-

ga telah sampai di tempat tujuan. Aji Pamenak, Aji Ba


guskara, Aji Kembarapati, dan Aji Rangsang tetap du-

duk di punggung kuda masing-masing. Tatapan mere-

ka pun tetap tertuju lurus ke depan, diam seribu ba-

hasa pula. Ratusan pemuda anggota partai yang mere-

ka pimpin tampak berdiri dengan membentuk empat 

kelompok.

Mendadak, dari lereng bukit terdengar suara 

tawa panjang bergelak. Disusul berkelebatnya sesosok 

bayangan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, so-

sok bayangan itu mendarat sigap di atas bongkah batu 

besar, di hadapan Aji Pamenak dan ketiga saudaranya.

Orang yang baru datang itu berpakaian serba 

merah. Berwajah tampan seperti seorang pemuda dua 

puluh lima tahun. Namun sebenarnya, umurnya telah 

lebih dari enam puluh tahun. Dia memang memiliki 

Ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti', sehingga dia da-

pat mengubah raut wajahnya sedemikian rupa sesuai 

keinginan hati.

Ya, dia memang Mahisa Lodra atau Setan Se-

laksa Wajah!

Tangan kanan kakek bertubuh tegap itu men-

cekal sebatang pedang berukuran besar. Hulu pedang 

berupa ukiran kepala naga sepanjang dua jengkal. 

Dan, bilahnya berlekuk-lekuk seperti keris. Dilihat se-

kilas, pedang itu mirip seekor naga yang tengah meli-

ukkan tubuh. Pusaka Pedang Naga!

Melihat kedatangan Setan Selaksa Wajah, ratu-

san anggota Partai Naga langsung kasak-kusuk. Seba-

gian menatap penuh kebencian. Agaknya, mereka telah 

tahu siapa sebenarnya Setan Selaksa Wajah, yang 

memang seorang tokoh licik yang biasa berbuat kejam.

Lebih terkejut dan heran pada pemuda itu saat 

melihat Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati, 

dan Aji Rangsang turun dari kuda masing-masing lalu


membungkuk hormat ke arah Setan Selaksa Wajah. 

Akibatnya, semakin keras suara kasak-kusuk yang 

terdengar. Namun, tak satu pun anggota partai yang 

berani beranjak dari tempat berdirinya.

Sekitar dua puluh anggota partai yang datang 

dengan menunggang kuda turut meloncat turun. Na-

mun, mereka cuma berdiri di belakang Aji Pamenak 

dan ketiga saudaranya. Mereka tak berbuat apa-apa 

kecuali menatap dengan sinar mata keheranan.

"Ha ha ha...!" tawa gelak Setan Selaksa Wajah. 

"Kalian memang bisa diandalkan. Telah tiba saatnya 

aku menunjukkan kekuasaan di depan mata Wira Pa-

rameswara! Ha ha ha... Ayo, tunggu apa lagi?! Segera 

perintahkan seluruh anggota partai kalian untuk me-

nuju ke kotapraja!"

Sambil berkata, Setan Selaksa Wajah men-

gangkat bilah Pusaka Pedang Naga di atas kepala. Ter-

kena pengaruh kekuatan gaib pedang itu, Aji Pamenak 

dan ketiga saudaranya membalikkan badan. Lalu den-

gan suara berat berwibawa, mereka berteriak memerin-

tah.

"Sekarang juga, ikuti aku ke kotapraja!"

Seluruh anggota Partai Naga yang rata-rata pa-

ra pemuda berumur di bawah tiga puluh tahun, sema-

kin bertambah heran. Mereka tak segera menjalankan 

perintah. Tetap berdiri di tempat masing-masing den-

gan tatapan tak mengerti.

Setan Selaksa Wajah mendengus gusar. Diang-

katnya lagi bilah Pusaka Pedang Naga di atas kepala.

"Ulangi perintah kalian!"

Teriakan keras Setan Selaksa Wajah itu mem-

buat tubuh Aji Pamenak dan ketiga saudaranya berge-

tar. Kepala mereka mengangguk-angguk lemah. Ham-

pir bersamaan mereka berkata, "Sekarang juga, ikuti


aku ke kotapraja!"

Perintah empat ketua Partai Naga itu terdengar 

berat berwibawa. Sekitar enam ratus bawahan mereka 

langsung menegakkan tubuh. Walau masih digeluti se-

gudang tanda tanya, para pemuda itu akhirnya ber-

siap-siap menjalankan perintah. 

Aji Pamenak dan ketiga ketua Partai Naga lain-

nya meloncat lagi ke punggung kuda. Namun sebelum 

mereka menghentak kendali kuda untuk meninggalkan 

tempat, seorang pemuda berpakaian putih-kuning me-

loncat dari barisan.

"Tunggu...!" seru anggota Partai Naga Timur itu, 

keras menggelegar.

Sementara anggota empat Partai Naga menjadi 

kasak-kusuk lagi, pemuda bertubuh tinggi besar itu 

menghampiri Aji Pamenak yang tengah duduk di pela-

na kuda. Setelah membungkuk hormat, dia berkata, 

"Tuan Aji Pamenak..., bukan saya hendak berani ter-

hadap Tuan. Harap Tuan berpikir dua kali jika hendak 

membawa anggota partai ke kotapraja. Melihat kekua-

tan partai yang cukup besar ini, orang-orang kerajaan 

pasti mengira bila kita hendak memberontak...."

Kata-kata si pemuda disabuti tawa gelak Setan 

Selaksa Wajah. "Ha ha ha...! Memang itulah yang men-

jadi tujuanku! Menggulingkan takhta Wira Parameswa-

ra adalah cita-cita hidupku! Minggir kau!"

Kaget tiada terkira pemuda berpakaian putih-

kuning. Dengan sinar mata berapi-api, ditatapnya Se-

tan Selaksa Wajah.

"Tua bangka keparat! Walau kau dapat mengu-

bah wajahmu sekehendak hati, aku tetap dapat men-

genalimu! Jahanam kau durjana licik! Melihat bentuk 

pedang di tanganmu, aku menduga itulah Pusaka Pe-

dang Naga. Kini aku tahu bila empat ketua Partai Naga


berada dalam pengaruh kekuatan gaib pedang itu!"

"Ha ha ha...! Kalau sudah tahu, kau mau apa?" 

tantang Setan Selaksa Wajah.

"Jahanam! Lepaskan pengaruh kekuatan gaib 

itu! Serahkan pedang di tanganmu!"

"Kalau aku tidak mau?"

"Mati saja kau!"

Tiba-tiba, pemuda berpakaian putih-kuning 

menghunus golok yang menggantung di pinggangnya. 

Sambil menggembor keras, dia menerjang ganas ke 

arah Setan Selaksa Wajah!

"Hiahhhh...!"

Tes...!

Pelan saja Setan Selaksa Wajah menggerakkan 

pedang pusaka di tangannya. Namun, akibatnya sung-

guh di luar dugaan pemuda berpakaian putih-kuning. 

Golok si pemuda yang hendak membabat pinggang 

mendadak terpotong menjadi dua bagian! Padahal go-

lok itu terbuat dari logam pilihan yang amat keras!

"Ha ha ha...! Bagaimana, Anak Muda? Masih-

kah kau hendak melawanku?" ejek Setan Selaksa Wa-

jah.

Pemuda berpakaian putih-kuning tak menja-

wab. Geram kemarahan keluar dari mulutnya. Dia 

alirkan seluruh kekuatan tenaga dalam ke tangan ka-

nan. Kemudian, golok yang tinggal setengah bagian

disambitkan!

Zing...!

Potongan golok itu meluncur cepat, mengelua-

rkan suara bergemuruh keras. Namun, Setan Selaksa 

Wajah tak beranjak sedikit pun. Sambil tertawa berge-

lak-gelak, dia gerakkan Pusaka Pedang Naga beberapa 

kali....

Crash! Crash!


Luar biasa. Bilah golok yang tinggal setengah 

bagian tampak tercacah-cacah menjadi kepingan kecil, 

yang segera jatuh menebar di permukaan tanah!

"Ha ha ha...!" tawa pongah Setan Selaksa Wa-

jah. "Segeralah kembali ke barisanmu, Anak Muda. 

Dan, ikuti perintah ketuamu!"

"Huh! Kalau aku kembali ke barisanku, sama 

halnya dengan aku menuruti keinginan busukmu!" ge-

ram pemuda berpakaian putih-kuning, menghalau ra-

sa gentar di hatinya. "Untuk menyelamatkan nama 

baik empat Partai Naga, aku akan mengadu nyawa 

denganmu!"

Nekat sekali pemuda itu menerjang dengan 

tangan kosong. Sepuluh jari tangannya yang teraliri 

kekuatan tenaga dalam, meluncur deras. Yang kiri 

bermaksud merebut Pusaka Pedang Naga, sedang yang 

kanan digunakan untuk meremas hancur ulu hati Se-

tan Selaksa Wajah!

Tapi....

Set! Set! Set!

Pusaka Pedang Naga di tangan Setan Selaksa 

Wajah bergerak membabat tiga kali. Gerakan pemuda 

berpakaian putih-kuning tertahan di udara. Si pemuda 

tak sempat menjerit manakala tubuhnya jatuh ke ta-

nah dalam keadaan terpotong menjadi empat bagian! 

Tak ayal lagi, cairan darah segar memercik ke mana-

mana!

"Kejam! Kau bunuh saudara kami! Aku menun-

tut balas!" teriak salah seorang anggota Partai Naga 

Timur yang berdiri di barisan paling depan.

Pemuda yang memegang tombak itu langsung 

meloncat untuk menyerang Setan Selaksa Wajah. Be-

berapa temannya berbuat serupa, menyerang dengan 

senjata masing-masing. Agaknya, mereka hendak sabela pati atas kematian pemuda berpakaian putih-

kuning tadi.

"Aku berada di pihak kalian!" seru salah seo-

rang anggota Partai Naga Barat.

Anak buah Aji Baguskara itu turut menerjang 

Setan Selaksa Wajah bersama beberapa orang teman-

nya. Melihat hal demikian, anggota Partai Naga Selatan 

dan Parta Naga Utara tak mau ketinggalan. Hingga, 

sekitar dua puluh pemuda bersenjata tampak menye-

rang Setan Selaksa Wajah dalam waktu hampir bersa-

maan.

Namun sebelum senjata-senjata mereka men-

genai sasaran, Setan Selaksa Wajah telah meloncat 

tangga ke belakang. Lalu sambil bersalto di udara, mu-

rid murtad Dewa Dungu itu membabatkan Pusaka Pe-

dang Naga dengan disertai aliran tenaga dalam!

Bet...!

Wusss...!

Seberkas sinar merah menggidikkan tiba-tiba 

melesat dari bilah Pusaka Pedang Naga. Tanpa dapat 

dibendung, sinar yang menebarkan hawa amat panas 

itu menerpa tubuh pemuda-pemuda yang tengah me-

nerjang Setan Selaksa Wajah!

Disertai pekik parau menyayat hati, tubuh me-

reka terhempas. Ketika jatuh ke tanah, tubuh para 

pemuda naas itu tinggal tulang-belulang yang menge-

pulkan asap merah berbau sangit!

Ratusan anggota Partai Naga terperangah den-

gan mata terbelelak lebar. Tanpa sadar mereka tersu-

rut mundur. Apa yang telah terjadi benar-benar mem-

buat mereka bergidik ngeri.

Namun, Aji Pamenak dan ketiga saudaranya 

yang masih duduk di pelana kuda cuma menatap tan-

pa arti. Kematian anak buah mereka sama sekali tak


membuat terkejut.

"Kita berangkat sekarang!" seru Setan Selaksa 

Wajah seraya melompat tinggi, dan hinggap di pung-

gung kuda coklat.

Murid murtad Dewa Dungu itu menghentak 

kendali kuda perlahan. Keempat kaki kuda segera me-

langkah. Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati, 

dan Aji Rangsang segera mengikuti. Empat orang ketu-

runan Pendekar Naga itu memberi isyarat tangan ke-

pada seluruh anggota partai yang mereka pimpin un-

tuk segera mengikuti di belakang.

Tak seorang pun mengetahui manakala dari ba-

lik jajaran pohon melesat setitik benda kecil yang nya-

ris tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Benda ke-

cil yang tak lain sebutir kelereng terbuat dari baja pu-

tih itu melesat cepat luar biasa. Dan..., tepat menghan-

tam bilah Pusaka Pedang Naga yang dipegang Setan 

Selaksa Wajah!

Ting...!

"Heh?!"

Alangkah terkejutnya Setan Selaksa Wajah saat 

pedang pusaka di tangannya terlepas dari cekalan lalu 

terlontar tinggi ke udara. Pedang yang mengandung 

tuah itu berputar-putar beberapa lama, lalu jatuh me-

nancap di permukaan batu!

"Haram jadah!" maki Setan Selaksa Wajah se-

raya meloncat dari punggung kuda.

Tentu saja kakek berwajah pemuda itu ber-

maksud menyambar kembali Pusaka Pedang Naga 

yang merupakan sarana untuk mempengaruhi jalan 

pikiran empat ketua Partai Naga. Tapi sebelum mak-

sud si kakek terlaksana, dari balik jajaran pohon mele-

sat lagi setitik benda kecil mengarah kepalanya!


Kali ini Setan Selaksa Wajah tahu akan adanya 

bahaya. Cepat dia hentikan luncuran tubuhnya den-

gan mengibaskan ujung lengan baju. Gelombang angin 

yang timbul membuat tubuh si kakek tertahan di uda-

ra, sehingga senjata rahasia yang mengincar kepalanya 

lewat begitu saja, lalu membentur sebongkah batu. 

Hebatnya, batu itu langsung meledak dan hancur ber-

keping-keping!

"Setan alas!" maki Setan Selaksa Wajah lagi 

saat mendarat di tanah, 

Sekitar empat tombak dari hadapan kakek itu 

ternyata telah berdiri seorang lelaki berpakaian putih-

putih dengan ikat pinggang kain biru. Kulitnya halus 

seperti kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tu-

buh. Namun, wajahnya tak dapat dikenali karena dia 

mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih.

Dia Ksatria Topeng Putih! "Terpaksa aku ber-

tindak demikian, Mahisa Lodra...," ujar lelaki bertubuh 

tinggi tegap itu. "Aku melemparkan senjata rahasia 

agar Pusaka Pedang Naga tak berada di tangan orang 

jahat! Sekarang tiba saatnya pengaruh kekuatan gaib 

pedang itu kulenyapkan!"

"Tidak...! Jangaaaan...!"

Setan Selaksa Wajah berteriak keras sekali. Dia 

menerjang dengan mengirim pukulan maut ke arah 

dada. Tapi, Ksatria Topeng Putih telah melentingkan 

tubuhnya.

Sebelum kaki lelaki bertopeng itu mendarat di 

tanah, tangan kanannya disorongkan ke arah Pusaka 

Pedang Naga yang berdiri menancap di permukaan ba-

tu.

Wusss...!

Splash...!

"'Sinar Putih Pelenyap Sihir'...!" kesiap Setan


Selaksa Wajah, melihat bilah Pusaka Pedang Naga ter-

timpa sinar putih berkilat yang keluar dari telapak 

tangan kanan Ksatria Topeng Putih.

Memuncaklah amarah Setan Selaksa Wajah.

Tanpa sadar murid murtad Dewa Dungu itu 

mengeluarkan ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'-nya. 

Hingga di lain kejap, wajah si kakek berubah menjadi 

wajah aslinya, yaitu wajah kakek-kakek enam puluhan 

tahun!

Ksatria Topeng Putih tersenyum tipis.

Ratusan anggota Partai Naga yang sempat me-

lihat apa yang terjadi pada diri Setan Selaksa Wajah 

tampak terperangah. Bola mata mereka melotot besar, 

menatap tak berkedip sosok Setan Selaksa Wajah yang 

telah berganti rupa. Walau mereka telah mendengar 

kabar tentang kehebatan ilmu 'Selaksa Wajah Bergan-

ti-ganti' tapi apa yang baru mereka lihat benar-benar 

dapat mengundang keterkejutan.

Sementara, Aji Pamenak dan ketiga saudaranya 

yang masih duduk di pelana kuda, mengeluh pendek. 

Tubuh empat keturunan Pendekar Naga itu bergetar. 

Sesaat kemudian, mereka menoleh ke kanan dan ke 

kiri seperti orang kebingungan.

"Apa yang terjadi?"

"Oh! Di mana aku?"

"Astaga! Untuk apa anak buahku berada di sini 

semua?"

"Ya, Tuhan. Tiga saudaraku berada di tempat 

ini. Untuk apa? Apa yang telah terjadi?"

Begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Aji 

Pamenak dan tiga ketua Partai Naga lainnya. Mereka 

mengeluh dan mendesah seakan baru tersadar dari 

mimpi buruk.

Mengetahui empat ketua Partai Naga telah terbebas dari pengaruh kekuatan gaib Pusaka Pedang 

Naga, semakin memuncak amarah Setan Selaksa Wa-

jah. Sembari memekik nyaring, dia hentakkan telapak

tangan kanannya ke depan. Selarik sinar biru berkere-

dapan tiba-tiba melesat ganas ke arah Ksatria Topeng 

Putih!

Wusss...!

Ringan saja Ksatria Topeng Putih melentingkan 

tubuhnya ke samping kiri. Selarik sinar biru yang me-

lesat dari telapak tangan Setan Selaksa Wajah terus 

meluncur, dan menerpa bilah Pusaka Pedang Naga!

Slash...!

Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya 

Ksatria Topeng Putih. Selarik sinar biru ciptaan Setan 

Selaksa Wajah ternyata mampu menyedot bilah Pusa-

ka Pedang Naga. Pedang pusaka itu tercabut dari 

bongkah batu. Setelah melesat beberapa saat, dengan 

mudah Setan Selaksa Wajah menangkapnya!

"Tunggu pembalasanku!" ancam si kakek se-

raya berkelebat pergi. Bilah Pusaka Pedang Naga di-

kembalikan ke sarungnya yang terselip di punggung.

Ksatria Topeng Putih yang telah terkecoh, 

menghela napas panjang beberapa kali. "Tuan Aji Pa-

menak...," sebutnya kemudian. "Tak ada waktu untuk 

menjelaskan. Beri tahu kepada ketiga adik Tuan untuk 

segera kembali ke tempat masing-masing. Apabila ada 

orang kerajaan yang tahu seluruh anggota Partai Naga 

berada di tempat ini, Tuan akan mendapat banyak ke-

sulitan. Bergegaslah untuk pergi. Jangan sampai Par-

tai Naga dituduh punya niat melakukan pemberonta-

kan."

Usia berkata, lelaki bertopeng itu menjejak ta-

nah seraya berkelebat pergi. Mengejar Setan Selaksa 

Wajah!


ENAM


LEMBAH Kebencian.... Diapit dua tebing cadas 

tinggi menjulang, di situlah letak Lembah Kesucian. 

Tanahnya tandus terseraki bongkah-bongkah batu be-

sar. Berada ratusan tombak di sebelah selatan Bukit 

Pralambang.

Setan Selaksa Wajah duduk bersila dengan ma-

ta terpejam rapat. Kain baju dan anak-anak rambut-

nya berkibaran tertiup angin. Tak peduli pada sinar 

mentari yang tengah terik memanggang. Wajah si ka-

kek telah berubah lagi menjadi wajah seorang pemuda 

tampan.

Bilah Pusaka Pedang Naga tampak berdiri tegak 

menancap di tengah bongkah batu, di depan murid 

murtad Dewa Dungu itu. Agaknya, Setan Selaksa Wa-

jah tengah bersemadi untuk membangkitkan kembali 

kekuatan gaib Pusaka Pedang Naga.

Tanpa membuka kelopak mata, bibir Setan Se-

laksa Wajah menyungging senyum manakala bilah Pu-

saka Pedang Naga memancarkan sinar merah berkilat. 

Sinar itu menebarkan getaran aneh yang membuat bu-

rung-burung terbang ketakutan. Dan, satwa-satwa lain 

yang kebetulan berada di dekat situ pun terlihat berla-

rian dengan memperdengarkan suara hiruk-pikuk. Me-

reka seakan tengah melihat sesuatu yang amat meng-

giriskan.

Tak seberapa lama kemudian, Setan Selaksa 

Wajah menyelesaikan semadinya. Sambil tertawa ber-

gelak, hendak dicekalnya hulu Pusaka Pedang Naga. 

Tapi...

Set...!

Ting...!


Mendadak, bilah Pusaka Pedang Naga terpental 

jauh ke udara. Sebuah senjata rahasia berupa kelereng 

baja putih telah menghantamnya. Kontan mata Setan 

Selaksa Wajah menatap tak berkedip saat bilah Pusaka 

Pedang Naga berputar-putar di atas bongkahan batu.

"Pedang itu harus jadi milikku!" seru si kakek 

seraya bangkit dan berkelebat. 

"Mengumbar angkara murka hanya akan mem-

buat dirimu celaka, Mahisa Lodra!" sahut sesosok 

bayangan yang tadi telah menyambitkan senjata raha-

sia.

Bayangan itu berkelebat cepat sekali, memapa-

ki luncuran tubuh Setan Selaksa Wajah. Sehingga, 

terpaksa Setan Selaksa Wajah mengurungkan niatnya 

untuk menyambar bilah Pusaka Pedang Naga yang 

masih melayang di udara. Karena, dada si kakek men-

jadi sasaran tendangan!

Wuttt...!

"Haya...!"

Dengan melentingkan tubuh seraya bersalto 

dua kali, Setan Selaksa Wajah berhasil mengelak.

Sosok bayangan yang tak lain Ksatria Topeng 

Putih mendarat sigap di tanah. Dalam waktu hampir 

bersamaan, Setan Selaksa Wajah juga mendaratkan 

tubuhnya di tanah. Sementara Pusaka Pedang Naga 

tampak menancap di tebing cadas. Sinar merah yang 

memancar dari bilah pedang bertuah itu lenyap seketi-

ka saat Ksatria Topeng Putih mengeluarkan ilmu 'Sinar 

Putih Pelenyap Sihir'.

"Mahisa Lodra...," sebut Ksatria Topeng Putih 

kemudian. "Sungguh aku amat menyesalkan perbua-

tanmu yang tak terpuji. Kau curi Pusaka Pedang Naga 

yang tersimpan di puncak Gunung Arjuna. Kau bang-

kitkan kekuatan gaib pedang itu. Kau pengaruhi jalan


pikiran empat ketua Partai Naga. Kau bermaksud 

menggulingkan takhta Mahespati. Kau benar-benar te-

lah melenceng jauh, Mahisa Lodra...." 

"Jahanam!" dengus Setan Selaksa Wajah. "Tak 

perlu banyak cakap di hadapanku. Aku bukan anak 

kecil yang masih perlu dituntun dan diarahkan. Aku 

tahu apa yang lebih baik kukerjakan. Aku tahu apa 

yang harus kulakukan untuk mewujudkan cita-cita."

"Hmmm.... Sungguh kau manusia kepala batu, 

Mahisa Lodra. Betapa banyak dosa yang telah kau 

perbuat. Betapa banyak orang yang telah kau sengsa-

rakan. Kalau cara halus tak dapat menyadarkanmu, 

apa boleh buat. Jika kekerasan yang menjadi keingi-

nanmu, aku pun siap melayani...."

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa 

Wajah. "Kau berkata seakan kau telah berubah menja-

di dewa perkasa. Kesombonganmu membuat panas te-

lingaku. Bolehlah kalau kau ingin mencoba kemampu-

anku!"

Menarik napas panjang Setan Selaksa Wajah. 

Dia alirkan kekuatan tenaga dalam ke kedua tangan-

nya sampai ke puncak. Di lain kejap, pergelangan tan-

gan kakek itu telah berubah warna menjadi biru dan 

mengepulkan asap. Hawa panas menebar. Serangga-

serangga kecil yang berada di dekat kaki Setan Selaksa 

Wajah langsung terbakar. Mati dengan tubuh berubah 

jadi serbuk halus!

Ksatria Topeng Putih tersurut mundur karena 

terhantam keterkejutan. "Aneh sekali!" ucapnya dalam 

hati. "Aku tahu Mahisa Lodra mengeluarkan ilmu pu-

kulan 'Pelebur Sukma'. Tapi..., beberapa waktu lalu 

kehebatannya tidak sampai seperti itu. Hmmm.... Ka-

lau begitu benar kata orang. Jika seseorang menyim-

pan dendam dan rasa benci mendalam, dia akan mendapat kekuatan ganda bila berada di Lembah Keben-

cian. Hmmm.... Pantas Mahisa Lodra memilih berdiam 

diri di tempat ini...."

"He! Kenapa kau diam saja!" tegur Setan Selak-

sa Wajah, keras membentak. "Apa kau tidak melihat 

bila aku telah bersiap sedia untuk mencabut nyawa-

mu?! Berilah perlawanan hebat agar aku bisa berpesta 

pora melihat kematianmu! Ha ha ha...!"

"Sombong sekali kau, Mahisa Lodra...," sahut 

Ksatria Topeng Putih, kalem. "Biasanya orang sombong 

tak pernah dapat melihat batu yang akan menjegal 

langkahnya. Kalau sudah jatuh, barulah dia menyadari 

sifat buruknya. Dan, timbullah penyesalan. Tapi, apa 

guna penyesalan yang hanya dapat datang di akhir 

perbuatan? Lebih baik berpikir sebelum bertindak da-

ripada terjerat rasa sesal berkepanjangan." 

"Ha ha ha...!" tawa gelak Setan Selaksa Wajah. 

"Sudah kubilang, aku bukan anak kecil yang masih 

perlu dituntun dan diarahkan. Nasihatmu itu hanya 

pantas diberikan kepada orang bodoh yang tidak me-

nyadari kebodohannya. Orang demikian ibarat orang 

buta yang tengah berjalan di bibir tebing terjal. Maka, 

perlulah kau memberi nasihat dan petunjuk kepa-

danya. Tapi, sungguh tak perlu kau mengumbar kata-

kata di hadapanku! Aku tahu apa yang harus kukerja-

kan. Bersiaplah untuk mati karena kematianmu ada-

lah bagian dari cita-citaku!"

Usai berkata, murid murtad Dewi Dungu itu 

menerjang. Kedua tangannya yang berwarna biru ber-

kelebat cepat. Satu mengarah ke dada, satunya lagi 

mengarah ke kepala!

"Hiahhh...!"

Pukulan Setan Selaksa Wajah kurang dua tom-

bak untuk mengenai sasaran, tapi Ksatria Topeng Putih merasakan tubuhnya bagai digodok di tungku 

pembakaran. Maka, cepat dia kerahkan tenaga dalam 

untuk membentengi tubuhnya. Lalu, bergegas dia me-

loncat jauh ke samping kanan, sehingga kedua puku-

lan beruntun Setan Selaksa Wajah hanya mengenai 

angin kosong.

Namun, mendelik mata Ksatria Topeng Putih 

ketika melihat tubuh Setan Selaksa Wajah terus me-

luncur. Si kakek bermaksud menyambar bilah Pusaka 

Pedang Naga yang masih menancap di tebing cadas!

"Orang buta pun tak akan terperosok di lubang 

yang sama!" seru Ksatria Topeng Putih.

Cepat sekali lelaki berpakaian putih-putih itu 

menyambitkan dua kelereng baja. Disertai suara ber-

siut keras, dua senjata rahasia berwarna putih itu me-

lesat sebat, melebihi luncuran anak panah tepas dari 

busur!

Zit...!

Zit...!

Akan tetapi, Setan Selaksa Wajah tak mau 

mengurungkan niatnya walau pelipis dan pinggang ki-

rinya menjadi sasaran serangan maut. Tubuh si kakek 

meluncur dengan tangan kanan siap menyambar hulu 

Pusaka Pedang Naga!

Ksatria Topeng Putih mendelikkan mata lagi. 

Dia seakan tak percaya pada penglihatannya sendiri. 

Kalau Setan Selaksa Wajah benar-benar tak mengelak, 

dapat dipastikan bila kematian akan segera menjem-

putnya. Kenapa begitu mudah membinasakan durjana 

licik itu?

Ternyata, dugaan Ksatria Topeng Putih meleset. 

Setan Selaksa Wajah bukan tidak tahu kalau malaikat 

kematian tengah mengincar nyawanya. Saat dua senja-

ta rahasia hampir mengenai sasaran, si kakek mengibaskan telapak tangan kirinya!

Wusss...!

Seberkas sinar biru yang melesat dari telapak 

tangan Setan Selaksa Wajah mampu menahan luncu-

ran senjata rahasia Ksatria Topeng Putih. Luar biasa 

sekali ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' murid murtad 

Dewa Dungu itu. Dua kelereng baja yang telah terku-

rung sinar biru tiba-tiba meleleh menjadi cairan kental 

yang segera menetes jatuh ke tanah berbatu!

Ketika Ksatria Topeng Putih berdiri terpaku, 

tangan kanan Setan Selaksa Wajah berhasil menyam-

bar hulu Pusaka Pedang Naga!

"Ha ha ha...!" tertawa pongah Setan Selaksa 

Wajah sambil menimang bilah Pusaka Pedang Naga. 

"Rupanya, kau masih berjiwa anak-anak, Lelaki Berto-

peng! Kau lempar aku dengan kelereng. Apakah kau 

menganggapku sebagai teman sepermainanmu?"

Tersenyum tipis Ksatria Topeng Putih menden-

gar ejekan Setan Selaksa Wajah. Tahu kehebatan la-

wan yang telah membawa sebuah pedang pusaka, lela-

ki bertubuh tinggi tegap itu tak mau bertindak gega-

bah. Ditariknya napas panjang seraya mengalirkan ke-

kuatan tenaga dalam ke kedua tangannya.

Tak ada perubahan yang terjadi pada kulit tan-

gan Ksatria Topeng Putih. Tapi, hawa yang amat dingin 

tiba-tiba menebar. Perlahan, bongkah-bongkah batu di 

sekitar Ksatria Topeng Putih mulai terlapisi gumpalan 

salju bening!

"Ilmu 'Dewa Kutub'...," desis Setan Selaksa Wa-

jah.

Terperangah kakek berwajah pemuda itu. Ilmu 

'Dewa Kutub' yang diperlihatkan Ksatria Topeng Putih 

adalah sebuah ilmu pukulan yang hanya dimiliki oleh 

raja Mahespati beserta keturunannya.


Menurut cerita para tetua, raja Mahespati yang 

pertama, Prabu Darma Sindukarma pernah bertempur 

melawan sekelompok ikan siluman yang bermaksud 

menghalangi Darma Sindukarma mendirikan kerajaan. 

Karena ikan-ikan siluman itu memiliki kesaktian hebat 

luar biasa, terpaksa Darma Sindukarma membekukan 

sebuah selat yang terletak di ujung timur Pulau Jawa, 

yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan siluman, Darma 

Sindukarma membekukan air di selat itu dengan 

menggunakan Ilmu pukulan 'Dewa Kutub'.

Kalau cerita itu benar, sungguh tak bisa di-

gambarkan lagi betapa hebatnya ilmu pukulan itu!

"Hmmm ... Kini aku bertambah yakin," ujar Se-

tan Selaksa Wajah, menekan debar-debar di hatinya. 

"Ilmu pukulan 'Dewa Kutub' hanya dimiliki anak ketu-

runan Prabu Darma Sindukarma. Karena kau dapat 

menguasai ilmu itu, aku jadi semakin yakin bila kau 

memang Darma Pasulangit, putra Darma Sagotra, raja 

yang telah digulingkan oleh Wira Parameswara!"

Ksatria Topeng Putih diam. Tak membenarkan 

maupun menyalahkan keyakinan Setan Selaksa Wa-

jah.

"Aku telah bersiap sedia untuk meladeni gem-

puranmu, Mahisa Lodra," ujar lelaki bertopeng itu ke-

mudian. "Kenapa ganti kau yang menjadi banyak ca-

kap?"

Tertawa bergelak lagi Setan Selaksa Wajah. "Ha 

ha ha...! Rupanya, kau sangat yakin akan dapat mem-

bunuhku, Lelaki Bertopeng! Kita lihat saja, siapa yang 

lebih unggul di antara kita!"

Murid murtad Dewa Dungu itu menerjang ga-

nas. Bilah Pusaka Pedang Naga ditangan kanannya 

berkelebat cepat, mengincar jalan kematian di tubuh 

Ksatria Topeng Putih. Sementara, tangan kirinya yang


masih berwarna biru turut menyerang tak kalah ber-

bahaya. Hawa panas yang muncul dari pengerahan il-

mu pukulan 'Pelebur Sukma' berusaha mengurung 

dan menghancurkan tubuh Ksatria Topeng Putih.

Tentu saja Ksatria Topeng Putih tak mau ting-

gal diam. Sambil menghindari tusukan ataupun baba-

tan bilah Pusaka Pedang Naga, dia memberikan perla-

wanan hebat. Dan setiap tangan lelaki bertopeng itu 

bergerak, hawa dingin selalu menebar. Hingga perla-

han namun pasti, Lembah Kebencian mulai tertutup 

oleh gumpalan salju bening!

***

TUJUH



SANG baskara telah jauh bergeser ke garis ca-

krawala barat. Cukup lama putaran waktu berlalu, 

namun pertempuran antara Ksatria Topeng Putih dan 

Setan Selaksa Wajah belum ada tanda-tanda akan se-

gera berakhir.

Kedua tebing cadas yang mengapit Lembah Ke-

bencian nyaris berubah menjadi bukit es, karena tertu-

tup lapisan salju bening yang keluar dari penerapan 

ilmu pukulan 'Dewa Kutub' Ksatria Topeng Putih. Ha-

wa di tempat itu benar-benar amat dingin luar biasa. 

Tak ada binatang yang berani mendekat. Takut tubuh-

nya akan membeku!

Namun setiap kali Setan Selaksa Wajah melan-

carkan pukulan jarak jauh, sinar biru yang melesat 

dari telapak tangan kiri si kakek mampu menghancur-

kan gumpalan-gumpalan salju. Tusukan dan babatan 

Pusaka Pedang Naga pun menebarkan hawa panas.Sehingga, gumpalan salju banyak yang runtuh dari 

permukaan tebing cadas.

Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. 

Kedua tangan Ksatria Topeng Putih yang dilambari il-

mu pukulan 'Dewa Kutub' dapat menciptakan gumpa-

lan salju lebih tebal. Akibatnya, semakin lama Lembah 

Kebencian diliputi hawa dingin bagai berada di kutub 

bumi!

Lembah Kebencian adalah sebuah tempat aneh 

yang dapat melipatgandakan kekuatan seseorang apa-

bila orang itu mempunyai dendam dan rasa benci 

mendalam. Dari situlah Setan Selaksa Wajah menda-

pat keuntungan. Andai kekuatan tenaga dalamnya ti-

dak bertambah, dapat dipastikan bila si kakek tak 

akan berdaya menghadapi kedahsyatan ilmu pukulan 

'Dewa Kutub' yang memang amat luar biasa.

Agaknya, hal itu disadari benar oleh Ksatria 

Topeng Putih. Keuntungan Setan Selaksa Wajah tidak 

bertahan lama manakala Ksatria Topeng Putih menge-

luarkan ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Dengan ilmu sihir 

itu, Ksatria Topeng Putih dapat menipu pandangan Se-

tan Selaksa Wajah. Sehingga, Setan Selaksa Wajah jadi 

kebingungan saat sosok Ksatria Topeng Putih menghi-

lang dari pandangannya!

"Jahanam!" geram si kakek, mengedarkan pan-

dangan. "Aku bukan anak kecil yang suka diajak main 

kucing-kucingan! Segera tampakkan batang hidung-

mu, Bangsat!"

"Jangan salah mengerti, Mahisa Lodra...," sahut 

Ksatria Topeng Putih, tanpa menampakkan wujudnya. 

"Aku bukan sedang main kucing-kucingan. Bukankah 

kau ingin mengetahui seberapa tinggi ilmu kesaktian-

ku? Kini tibalah saatnya kau membuka mata lebar-

lebar...."


Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Telinga 

si kakek yang tajam mendengar suara berkesiur menu-

ju ke arahnya. Walau suara itu tanpa wujud, si kakek 

tahu bila ada bahaya yang tengah mengancamnya.

"Keparat!"

Setan Selaksa Wajah menggeram marah seraya 

membuang tubuhnya jauh-jauh ke samping kiri. Se-

buah tendangan tak kasat mata berhasil dielakkan. 

Tapi....

Duk...!

"Uh...!"

Tak dapat lagi Setan Selaksa Wajah berkelit 

saat siku kanannya menjadi sasaran pukulan. Mulut si 

kakek pun tak kuasa lagi menahan keluhan.

Pukulan yang dilancarkan Ksatria Topeng Putih 

yang masih menerapkan ilmu 'Sihir Penutup Raga' itu 

cukup keras. Membuat tulang lengan Setan Selaksa 

Wajah terasa remuk dan lumpuh. Hingga, Pusaka Pe-

dang Naga terlepas dari cekalan.

Sebelum pedang bertuah itu jatuh ke tanah, 

terdengar suara berkesiur lagi. Tiba-tiba, bilah Pusaka 

Pedang Naga terangkat di udara.

Dan..., mendengus gusarlah Setan Selaksa Wa-

jah. Sekitar lima tombak dari hadapannya, ternyata 

Ksatria Topeng Putih telah berdiri tegak dengan men-

cekal erat Pusaka Pedang Naga.

"Pusaka Pedang Naga bukan milikmu, Mahisa 

Lodra...," ujar Ksatria Topeng Putih, tenang berwibawa. 

"Pedang pusaka ini harus segera dikembalikan ke 

asalnya. Tapi, aku masih punya sedikit urusan den-

ganmu. Kau telah banyak menyusahkan orang. Kau te-

lah banyak berbuat kejahatan. Berdosa aku bila tidak 

menjatuhkan hukuman...."

"Setan alas!" sahut Setan Selaksa Wajah sambil


menghalau rasa sakit di lengan kanannya. "Kau pikir 

mudah untuk melaksanakan niatmu itu! Hmmm.... 

Jangan panggil aku Setan Selaksa Wajah kalau aku ti-

dak mampu menanggalkan kepalamu!"

Tersenyum tipis Ksatria Topeng Putih. Lalu ka-

tanya, "Hati dan pikiran orang yang sudah dikuasai 

nafsu setan sering kali tak dapat dipulihkan lagi. Ke-

sadaran datang manakala kematian sudah di pelupuk 

mata. Apa boleh buat. Bila kau tak dapat menyadari 

kesalahanmu, mungkin hanya kematianlah yang dapat 

menghentikan keangkaramurkaanmu, Mahisa Lodra."

"Ha ha ha.„!" tertawa bergelak Setan Selaksa 

Wajah. "Walau Pusaka Pedang Naga telah berada di 

tanganmu, walau kau memiliki ilmu pukulan yang te-

ramat dahsyat, jangan kira mudah membunuhku! Se-

ribu setan yang menghuni Lembah Kebencian ini akan 

membantuku untuk meremukkan kepalamu! Lihat 

baik-baik, Lelaki Bangsat...!"

Dengan menarik napas panjang beberapa kali, 

Setan Selaksa Wajah menghimpun seluruh kekuatan 

tenaga dalamnya. Tampak kemudian, urat-urat di ke-

dua lengan si kakek menggembung besar. Kulit len-

gannya memancarkan sinar biru yang lebih terang. 

Agaknya, Setan Selaksa Wajah tengah mempersiapkan 

ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'-nya pada tingkatan ter-

tinggi!

Ksatria Topeng Putih mundur selangkah. Sete-

lah menancapkan Pusaka Pedang Naga di bongkah ba-

tu, dia berjongkok seraya menarik kedua pergelangan 

tangannya sejajar pinggang. Lelaki bertopeng itu pun 

mempersiapkan ilmu pukulannya yang terhebat, ilmu 

'Dewa Kutub'!

Setan Selaksa Wajah yang sudah tahu kekua-

tan tenaga dalamnya bertambah. tak gentar sedikit

pun untuk mengadu ilmu pukulan. Ditatapnya sosok 

Ksatria Topeng Putih dengan sinar mata berapi-api pe-

nuh kebencian.

Dan manakala Setan Selaksa Wajah dan Ksa-

tria Topeng Putih sama-sama menghentakkan kedua 

telapak tangannya, segera terlihat pemandangan yang 

amat menggiriskan. Dua larik sinar biru berkilat ben-

trok dengan dua larik sinar putih bening.

Wusss...!

Blammm...!

Timbul ledakan keras menggelegar. Dua tebing 

cadas yang mengapit Lembah Kebencian langsung run-

tuh. Tak dapat dicegah lagi, bongkah-bongkah batu 

bercampur gumpalan tanah berhamburan ke angkasa. 

Bumi berguncang keras seperti terjadi gempa hebat!

Saat pandangan kembali terang, dapat dilihat 

bila di sana-sini permukaan tanah diseraki gumpalan 

salju bening. Di sebagian tempat, permukaan tanah di-

lapisi lidah-lidah api berwarna biru.

Anehnya, walau akibat yang ditimbulkan oleh 

bentrokan dua ilmu pukulan itu sedemikian dahsyat, 

Pusaka Pedang Naga masih tetap menancap di bong-

kahan batu. Pedang bertuah itu tetap berada di tem-

patnya tanpa bergeming sedikit pun!

Sementara, keadaan di sekitar Pusaka Pedang 

Naga juga tak berubah sama sekali. Bongkah-bongkah 

batu tetap berada di tempatnya, tanpa ada yang ber-

geser ataupun berpindah tempat! Hal demikian terjadi 

karena Pusaka Pedang Naga memang memiliki kekua-

tan gaib yang hebat luar biasa.

Ketika terjadi ledakan tadi, tubuh Ksatria To-

peng Putih dan Setan Selaksa Wajah sama-sama ter-

pental jauh, lalu jatuh terbanting di atas tanah berba-

tu-batu. Mereka pun sama-sama memuntahkan darah


segar. Dengan wajah pucat-pasi, bergegas mereka 

bangkit berdiri.

Kedua lelaki yang telah menderita luka dalam 

itu tak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Mana-

kala melihat Pusaka Pedang Naga yang berdiri menan-

cap di bongkahan batu, tanpa pikir panjang mereka 

mengempos tenaga. Hingga, terjadilah usaha mengadu 

kecepatan untuk saling mendahului menyambar Pusa-

ka Pedang Naga!

Tapi, tampaknya luka dalam yang diderita Se-

tan Selaksa Wajah lebih parah. Kelebatan tubuh si ka-

kek terlihat lebih lambat. Sehingga, adu kecepatan itu 

dimenangkan oleh Ksatria Topeng Putih!

Pusaka Pedang Naga berhasil disambar oleh si 

lelaki bertopeng. Membuat darah Setan Selaksa Wajah 

menggelegak naik sampai ke ubun-ubun.

"Haram jadah!" geram Setan Selaksa Wajah.

Tanpa menghentikan luncuran tubuhnya, mu-

rid murtad Dewa Dungu itu melancarkan serangan be-

runtun. Kedua tangan dan kakinya bergerak cepat, be-

rusaha menyarangkan pukulan maupun tendangan 

maut. Dan sewaktu Ksatria Topeng Putih berkelit, dia 

keluarkan ilmu mengolah racun dalam perut bernama 

'Racun Pembunuh Naga'! 

"Mati kau...!"

Sambil berseru demikian, mulut Setan Selaksa 

Wajah menyemburkan serangkum angin berwarna hi-

jau gelap!

Jangan dikira 'Racun Pembunuh Naga' tidak 

berbahaya. Jika seseorang menghirup udara beracun 

yang berasal dari dalam perut Setan Selaksa Wajah, ti-

dak sampai tiga tarikan napas kemudian, jiwa orang 

itu pasti melayang dijemput maut dengan tubuh le-

bam-lebam dan paru-paru pecah!


Namun, Ksatria Topeng Putih tetap dapat ber-

sikap tenang. Dia tahu kehebatan 'Racun Pembunuh 

Naga'. Dia juga tahu kehebatan Pusaka Pedang Naga 

yang berada di tangan kanannya. Selain mempunyai 

kekuatan gaib hebat, Pusaka Pedang Naga mampu 

menawarkan segala macam jenis racun. Oleh kare-

nanya, untuk meredam serangan Pusaka Pedang Naga, 

Ksatria Topeng Putih cukup membabatkan bilah Pusa-

ka Pedang Naga dua kali!

Bet...!

Bet...!

Babatan bilah Pusaka Pedang Naga yang dialiri 

kekuatan tenaga dalam menciptakan serangkum angin 

pukulan berwarna merah. Udara beracun yang me-

nyembur dari mulut Setan Selaksa Wajah langsung le-

nyap tertelan serangkum angin pukulan itu!

"Mahisa Lodra...," seru Ksatria Topeng Putih. 

"Kita telah sama-sama terluka dalam. Tapi, aku tahu 

luka dalammu lebih parah. Jika pertempuran ini dite-

ruskan, tidakkah terpikir olehmu bila kau akan jatuh 

terkapar meregang nyawa? Apalagi, Pusaka Pedang 

Naga berada di tanganku.... Namun, aku masih mau 

memberimu kesempatan. Bukalah akal dan pikiranmu 

yang telah tertutup nafsu setan. Kejahatan tak akan 

pernah mendatangkan kebahagiaan. Satu tindak keja-

hatan cenderung mengundang kejahatan lainnya. 

Hanya kesadaran untuk bertobatlah yang dapat men-

gikisnya."

Setan Selaksa Wajah yang berada dalam kea-

daan tak menguntungkan, masih bisa menunjukkan 

sifat sombong dan congkak. Setelah menarik napas 

panjang untuk menghalau rasa sesak di dadanya, si 

kakek tertawa bergelak-gelak. Tak peduli pada kea-

daan dirinya yang benar-benar sudah tidak mengun


tungkan lagi.

"Ha ha ha...! Sama seperti aku, kau juga punya 

dua telinga, Lelaki Keparat! Tapi, kenapa kau tak dapat 

mendengar kata-kataku? Sudah dua kali kubilang, aku 

bukan anak kecil yang masih perlu dituntun dan di-

arahkan! Kalau ingin berkotbah, kau bukan berada di 

hadapan orang yang tepat! Aku tahu diriku sendiri. 

Aku tahu jalan pikiranku sendiri. Aku pun tahu apa 

yang harus kukerjakan!"

Di ujung kalimatnya, mendadak Setan Selaksa 

Wajah meloncat sebat. Kedua tangannya yang dilam-

bari ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' bergerak cepat un-

tuk menjatuhkan pukulan! 

"Dasar kepala batu!" seru Ksatria Topeng Putih 

seraya berkelit.

Pertempuran seru berlangsung kembali.

Namun, kali ini Ksatria Topeng Putih jelas be-

rada di atas angin. Tusukan ataupun babatan Pusaka 

Pedang Naga dapat mengurung tubuh Setan Selaksa 

Wajah. Ke mana pun si kakek pergi, ketajaman pedang 

bertuah itu selalu mengejarnya!

"Jahanam!" geram Setan Selaksa Wajah. "Se-

moga geledek menghancurkan tubuhmu, Keparat!"

Sambil memaki-maki tiada henti, murid murtad 

Dewa Dungu itu berjuang keras untuk dapat menja-

tuhkan pukulan maupun tendangan. Namun, lagi-lagi 

ketajaman Pusaka Pedang Naga senantiasa dapat 

membatasi ruang gerak si kakek.

Hingga tampak kemudian, bilah Pusaka Pedang 

Naga meluncur cepat sekali hendak menusuk ulu hati 

Setan Selaksa Wajah. Sambil menggembor marah, si 

kakek membuang tubuhnya ke samping kanan seraya 

memutar tubuh untuk melancarkan tendangan. Tapi....


Des...!

"Argh...!"

Ksatria Topeng Putih dapat membaca gerakan 

kakek berwajah pemuda itu. Sebelum tendangan si 

kakek mengenai dadanya, dia telah meloncat ke atas. 

Dan, sebuah tendangan menyilang tepat menerpa 

punggung Setan Selaksa Wajah!

Namun, Setan Selaksa Wajah tak mau mem-

biarkan tubuhnya rebah di tanah terlalu lama. Cepat 

dia bangkit seraya menyerang lagi. Akan tetapi, tena-

ganya sudah terkuras. Serangan si kakek teramat mu-

dah untuk dibaca. Kenekatannya justru membuat tu-

buhnya jatuh terbanting-banting. Pukulan Ksatria To-

peng Putih berkali-kali menggedor isi dada si kakek.

"Haram jadah! Setan atas kau, Lelaki Keparat!"

Mulut Setan Selaksa Wajah terus memaki. Dia 

bangkit lagi. Menyerang lagi. Namun, tubuhnya malah 

menjadi bulan-bulanan Ksatria Topeng Putih.

"Kesabaran manusia ada batasnya. Jika keja-

hatan tak bisa dibalas dengan kebaikan, jalan berda-

rah akan menyelesaikannya!"

Ksatria Topeng Putih merasa amat jengkel dan 

kesal bukan main. Saat melihat Setan Selaksa Wajah 

menyerang kalap, lelaki bertopeng itu melancarkan 

tendangan amat keras, tertuju tepat ke ulu hati!

Desss...!

"Wuahhh...!"

Kali ini Setan Selaksa Wajah memekik parau 

amat panjang. Tubuhnya jatuh berdebam. Cairan da-

rah segera kembali menyembur dari mulutnya!

"Ja... jahanam kau..,!"

Setan Selaksa Wajah masih mengumpat juga. 

Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya malah jatuh ber-

guling-guling....


SEMBILAN


MELIHAT keadaan sekarang ini, kupikir cukup-

lah aku memberi hukuman. Apa yang telah terjadi, 

kuharap dapat kau jadikan pelajaran. Kejahatan hanya 

mendatangkan kebahagiaan semu. Kejahatan hanya 

akan mendatangkan kesengsaraan...." ujar Ksatria To-

peng Putih dengan lembut namun terkesan berwibawa, 

"Karena aku harus segera mengembalikan Pusaka Pe-

dang Naga ke tempat penyimpanannya, berikan sarung 

pedang yang kau sandang di punggungmu itu."

Setan Selaksa Wajah menatap tak berkedip so-

sok lelaki bertopeng. Perlahan, si kakek berusaha me-

negakkan punggung untuk dapat duduk bersila. Wa-

jahnya amat pucat. Tarikan napasnya pun terdengar 

memburu.

"Ksatria Topeng Putih...," sebut kakek berpa-

kaian serba merah itu. "Sudah menjadi keyakinan hi-

dupku, aku tak sudi meminta belas kasihan orang. 

Aku pun tak sudi memohon ampunan orang. Ksatria 

Topeng Putih..., kalau kau ingin membunuhku, aku 

akan bangga dan senang hati menerima kematian di 

tangan seorang pendekar budiman sepertimu...."

Menggeleng Ksatria Topeng Putih. "Apa guna 

membunuh orang yang sudah tak berdaya? Bila orang 

dapat menyadari kesalahannya, kenapa tidak diberi 

kesempatan?" katanya. "Hidup ini menyimpan banyak 

persoalan. Tapi kukira, persoalan yang paling sulit 

adalah usaha mengalahkan hawa nafsu. Namun jika 

seseorang punya bekal kesadaran atas kodratnya se-

bagai manusia lemah, orang itu akan dapat selalu ber-

sikap dan bertindak hati-hati. Nafsu bisa memperbu-

dak. Nafsu juga bisa menjadi teman yang baik. Memang, manusia hidup tak bisa melepaskan diri dari 

adanya nafsu. Dengan mengingat kebesaran Tuhan 

adalah satu jalan terbaik untuk mengendalikan nafsu 

itu...."

"Terima kasih, Ksatria Topeng Putih...," sahut 

Setan Selaksa Wajah. "Nasihatmu sungguh bisa me-

nyinari kegelapan dalam akal pikiranku. Akan kuingat 

baik-baik dan tak akan pernah kulupakan...."

"Syukur bila kau dapat menyadarinya. Walau 

penyesalan selalu datang terlambat, tapi itu lebih baik 

daripada tidak sama sekali.... aku tidak bisa terlalu 

lama berada di tempat ini, Mahisa Lodra. Segera se-

rahkan sarung Pusaka Pedang Naga...."

Begitu selesai Ksatria Topeng Putih berkata, Se-

tan Selaksa Wajah melepas tali yang mengikat sarung 

Pusaka Pedang Naga di punggungnya. Tapi..., siapa 

sangka kalau murid murtad Dewa Dungu itu telah me-

rencanakan siasat licik?

Ksatria Topeng Putih menyangka Setan Selaksa 

Wajah benar-benar telah menyesali dan menyadari ke-

salahannya. Dia jadi lengah! Dia tidak tahu bahaya be-

sar tengah mengancam jiwanya ketika...

"Terimalah sarung pedang ini. Semoga keberun-

tungan selalu bersamamu...."

Setan Selaksa Wajah menyodorkan sarung Pu-

saka Pedang Naga. Ksatria Topeng Putih menerimanya 

tanpa menaruh curiga sedikit pun. Padahal, sambil 

mencekal sarung Pusaka Pedang Naga, jemari tangan 

Setan Selaksa Wajah juga menggenggam puluhan ja-

rum beracun!

"Mudah-mudahan kebaikan selalu menerangi 

jalan hidupmu selanjutnya, Mahisa Lodra...," sambut 

Ksatria Topeng Putih.

Dan..., begitu lelaki bertopeng itu menerima sarung Pusaka Pedang Naga. Setan Selaksa Wajah meng-

gembor keras sekali. Tangan kanan si kakek tersorong 

ke depan dengan jari-jari terbuka! 

Srattt...!

Terkejut bukan alang-kepalang Ksatria Topeng 

Putih melihat puluhan jarum biru menyembur ke 

arahnya. Cepat dia kibaskan Pusaka Pedang Naga dan 

sarungnya untuk menghalau jarum-jarum yang me-

nyerbu bagai air bah itu!

Bet...!

Bet...!

Serangkum angin pukulan yang dibuat Ksatria 

Topeng Putih memang berhasil merontokkan jarum-

jarum yang dilontarkan Setan Selaksa Wajah. Tapi, ti-

dak semuanya! Ada beberapa batang yang lolos!

"Ih...!"

Menjerit kecil Ksatria Topeng Putih. Kedua ba-

hu dan dada lelaki bertubuh tinggi tegak itu tertancapi 

beberapa batang jarum beracun!

"Ya, Tuhan.... Kau... kau...! Sungguh tak ku-

sangka...," desis si lelaki bertopeng dengan mata terbe-

liak lebar.

Terpaksa Ksatria Topeng Putih menjatuhkan 

Pusaka Pedang Naga dan sarungnya ke tanah. Berge-

gas dia menggerakkan kedua telunjuk jari tangannya 

bergantian guna menotok bagian-bagian tertentu di 

tubuhnya, agar racun tidak menjalar ke jantung.

Dan... pada saat itulah, Setan Selaksa Wajah 

menyambar bilah Pusaka Pedang Naga. Lalu, kejadian 

yang berlangsung cepat sekali. Tahu-tahu Ksatria To-

peng Putih tampak tersurut mundur beberapa lang-

kah.

Tubuh lelaki bertopeng itu bermandi darah. Pu-

saka Pedang Naga telah membabat pinggang kiri dan


menusuk tembus dada kanannya!

"Ya, Tuhan...," sebut Ksatria Topeng Putih lagi. 

"Kau... kau sungguh amat licik, Mahisa Lodra...."

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa 

Wajah sambil menimang bilah Pusaka Pedang Naga 

yang telah berlumuran darah. "Untuk mewujudkan ci-

ta-cita, apa pun cara harus dilakukan. Seorang pengu-

asa yang tampak arif bijaksana pun jangan dikira tak 

pernah berlaku licik. Apalagi, aku! Ha ha ha...! Seribu 

kelicikan, sejuta tipu muslihat pasti kugunakan kalau 

memang dengan cara itu aku akan dapat mewujudkan 

cita-cita! Ha ha ha...!"

Seperti seorang anak yang baru mendapat mai-

nan idamannya, Setan Selaksa Wajah tertawa gembira 

melihat Ksatria Topeng Putih jatuh terduduk tanpa 

daya. Si kakek yang telah hilang sifat kemanusiaannya 

mengangkat bilah Pusaka Pedang Naga tinggi-tinggi, 

siap memenggal maupun membelah kepala Ksatria To-

peng Putih!

"Kematian akan terlihat sangat indah bila kau 

mengikhlaskan nyawamu..." ujar si kakek. "Dengan 

tubuh terluka parah seperti itu, aku tahu kau terse-

rang rasa sakit hebat. Oleh karenanya, aku akan 

mempercepat kematianmu, agar kau segera terbebas 

dari siksaan. Bersiap-siaplah...!"

Terbelalak mata Ksatria Topeng Putih. Walau 

dia bukan orang yang takut mati, tapi melihat ketaja-

man Pusaka Pedang Naga yang siap mencabut nya-

wanya, hati Ksatria Topeng Putih berdebar juga.

"Ya, Tuhan...," sekali lagi Ksatria Topeng Putih 

menyebut nama Sang Penguasa Tunggal. "Aku telah 

berbuat di jalan-Mu. Aku masih ingin berjumpa den-

gan putra ku. Dapatkah kau memperpanjang usiaku 

beberapa saat lagi...?"


Lelaki bertopeng itu menyampaikan harapan te-

rakhirnya dengan khusuk. Dengan mata terpejam ra-

pat, bibirnya bergetar mengucap doa. Sementara, Se-

tan Selaksa Wajah menatap dengan sinar berbinar pe-

nuh kemenangan. Lalu..., si kakek menarik napas pan-

jang seraya membabatkan bilah Pusaka Pedang Naga 

di tangannya! 

Zing...!

Namun sebelum nyawa Ksatria Topeng Putih 

melayang dijemput malaikat kematian, tiba-tiba seso-

sok bayangan berkelebat dari balik bongkahan batu 

besar. Kelebatan bayangan itu amat cepat luar biasa, 

melebihi luncuran anak panah lepas dari busur!

Trang...!

"Uh...!"

Memekik Setan Selaksa Wajah. Babatan Pusa-

ka Pedang Naga membentur suatu benda yang amat 

keras. Bilah pedang bertuah itu langsung bergetar 

kencang. Akibatnya, rasa sakit menjalar dari telapak 

tangan kanan si kakek yang mencekal hulu pedang. 

Untung cekalannya tidak terlepas sehingga Pusaka Pe-

dang Naga tidak terlontar.

"Bangsat...?" geram Setan Selaksa Wajah den-

gan segudang kemarahan.

Tubuh Ksatria Topeng Putih ternyata telah ber-

pindah tempat karena disambar seorang pemuda re-

maja berpakaian biru-biru. Pemuda itu berparas tam-

pan, sinar matanya menyiratkan sifat yang amat lugu. 

Sementara, di tangan kanan si pemuda tercekal se-

buah tongkat pendek berwarna putih.

Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! Den-

gan Tongkat Dewa Badai-nya, Seno telah menangkis 

babatan Pusaka Pedang Naga. Karena Tongkat Dewa 

Badai adalah sebuah senjata mustika, tongkat sepan


jang dua jengkal itu tak sampai rusak ataupun terba-

bat putus.

"Keparat!" geram Setan Selaksa Wajah lagi. "Un-

tuk apa kau datang ke sini, Bocah Gemblung?!"

"Hmmm.... Apa kau lupa bila di antara kita ma-

sih ada urusan yang belum terselesaikan?" sahut Se-

no, mencibir. "Sekali lagi ku ingatkan, kau punya dosa 

yang teramat besar. Kau curi dua bagian Kitab Sangga-

langit, lalu kau buat lumpuh sepasang kaki gurumu 

sendiri. Hmmm... Aku punya kuasa untuk menjatuh-

kan hukuman kepadamu, Mahisa Lodra.... Melihat 

keadaanmu yang tidak begitu menguntungkan, kuberi 

kau kesempatan untuk menyerangku sampai tiga ju-

rus. Aku tak akan melawan. Tapi setelah itu, kau ha-

rus siap menerima hukuman!"

"Seno.... Seno...," desis Ksatria Topeng Putih 

yang terbaring lemah di dekat kaki Pendekar Bodoh.

"Diamlah!" bentak Seno tiba-tiba. "Aku datang 

bukan untuk menolongmu! Setelah kuselesaikan uru-

sanku dengan durjana itu, kau pun harus memper-

tanggung jawabkan perbuatanmu di masa lalu!"

"Seno...," desah Ksatria Topeng Putin, berusaha 

bangkit. "Aku memang bersalah, tapi...."

"Cukup!" bentak Pendekar Bodoh lagi. "Aku ta-

hu siapa kau! Jangan harap topeng di wajahmu itu 

dapat menutupi sifat busukmu!"

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa 

Wajah. "Tergelitik rasa hatiku mendengar kalian bera-

du mulut! Teruskan! Teruskan saja! Kuberi kalian ba-

nyak waktu!"

Usai berkata, mendadak murid murtad Dewa 

Dungu itu menjejak tanah untuk mengambil langkah 

seribu. Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau mele-

paskan si kakek menyelamatkan diri. Sambil mendengus gusar, Pendekar Bodoh meloncat sebat. Dan, tu-

buh si pemuda pun melesat cepat sekali karena dia 

menggunakan ilmu peringan tubuh 'Tiupan Angin Me-

niup Dingin'.

"Kurang ajar...!" umpat Setan Selaksa Wajah 

ketika melihat sosok Pendekar Bodoh telah berada di 

hadapannya.

"Apa kau tidak mendengar perkataanku, Mahi-

sa Lodra?" ujar Seno. "Aku mau bermurah hati untuk 

memberimu kesempatan menyerang sampai tiga jurus. 

Kenapa kau malah hendak melarikan diri?"

"Hmmm.... Ternyata, kau tidak sebodoh yang 

kukira, Bocah Gemblung. Kau dapat berkata seperti 

itu karena kau tahu bila aku telah menderita luka da-

lam."

"Jangan salah mengerti! Aku tidak mau men-

gambil keuntungan dari keadaanmu sekarang ini. Adil 

bukan apa yang kutawarkan kepadamu?"

"Jahanam! Setan Selaksa Wajah tidak biasa di-

hina orang! Mati kau! Hiahhh...!"

Kakek berwajah pemuda itu menerjang nekat. 

Bilah Pusaka Pedang Naga berkelebatan dengan mem-

perdengarkan suara mendengung seperti suara seke-

lompok lebah sedang terbang. Tapi, Tongkat Dewa Ba-

dai di tangan Seno selalu dapat mematahkan serangan 

senjata pusaka itu. Pusaka Pedang Naga seakan telah 

lenyap keampuhannya ketika bertemu dengan senjata 

andalan Seno.

Tiga jurus berlalu dengan cepat. Manakala Se-

tan Selaksa Wajah mengubah jurus 'Memetik Bunga 

Melempar Batu', mulailah Pendekar Bodoh melancar-

kan serangan balasan. Keadaan Setan Selaksa Wajah 

yang sudah lemah memudahkan si pemuda untuk me-

nyarangkan pukulan!


Des...!

"Wuahhh...!"

Pukulan Pendekar Bodoh membuat tubuh Se-

tan Selaksa Wajah terlontar tinggi. Darah segar yang 

menyembur dari mulut si kakek menebar ke mana-

mana. Dan, tubuhnya pun segera jatuh terbanting di 

atas bongkahan batu, lalu menggelosoh ke permukaan 

tanah bagai selembar kain tak berharga.

"Bangunlah!" seru Seno. "Untuk membalaskan 

kebiadabanmu kepada Kakek Dewa Dungu, aku harus 

membuat sepasang kakimu lumpuh pula. Tapi, cepat-

lah bangun! Aku memberimu kesempatan guna mela-

kukan perlawanan lagi!"

"Sombong benar kau, Bocah Gemblung!" den-

gus Setan Selaksa Wajah. "Tak akan ada orang yang 

mampu menyakitiku! Tak akan ada orang yang dapat 

mengalahkan aku! Ha ha ha...!"

Berkerut kening Pendekar Bodoh melihat si ka-

kek tertawa bergelak. Agaknya, rasa putus asa telah 

membuat jalan pikiran Setan Selaksa Wajah tergang-

gu.

"Mati kau! Mati kau!"

Sambil berseru lantang, kakek berpakaian ser-

ba merah itu menerjang lagi. Namun, serangkum angin 

pukulan yang timbul dari kibasan Tongkat Dewa Badai 

di tangan Pendekar Bodoh telah menghadang. Hingga, 

tubuh si kakek jatuh terbanting kembali!

"Jahanam! Iblis laknat kau?" maki Setan Selak-

sa Wajah. 

Karena pikirannya sudah tak bisa dibilang wa-

ras lagi, si kakek membabatkan bilah Pusaka Pedang 

Naga ke bongkah-bongkah batu besar. Kontan beba-

tuan itu hancur lebur menjadi potongan-potongan ke-

cil. Suara hiruk-pikuk segera memenuhi setiap tempat


di Lembah Kebencian,

Mendengus gusar Seno saat melihat tangan kiri 

Setan Selaksa Wajah berubah warna menjadi biru te-

rang. Si kakek mengeluarkan ilmu pukulan 'Pelebur 

Sukma'!

"Semakin kau nekat, kematianmu semakin de-

kat, Mahisa Lodra!" seru Pendekar Bodoh.

"Kaulah yang harus mati! Aku tak mau mati! 

Aku adalah raja Mahespati! Ha ha ha..,!"

Tertawa bergelak Setan Selaksa Wajah seraya 

meloncat cepat. Bergegas Seno menggerakkan Tongkat 

Dewa Badai untuk menangkis babatan Pusaka Pedang 

Naga.

Trang! 

"Uh...!"

Bunga api berpijar ke segala penjuru. Karena 

tenaga Setan Selaksa Wajah telah terkuras, bilah Pu-

saka Pedang Naga terlepas dari cekalan. Namun, si ka-

kek jadi lebih nekat. Tangan kirinya berkelebat cepat 

untuk menghantam dada Pendekar Bodoh!

Wuttt...! 

Tanpa pikir panjang, Pendekar Bodoh menga-

lirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan kiri. Dengan 

ilmu 'Pukulan Inti Panas', dipapakinya telapak tangan 

Setan Selaksa Wajah!

Blar...!

Tak dapat dicegah lagi, dua telapak tangan 

yang mempunyai daya penghancur hebat bertemu di 

udara. Bersamaan dengan ledakan yang timbul, tubuh 

Setan Selaksa Wajah terpental jauh. Saat jatuh ke ta-

nah, tubuh si kakek berubah jadi tulang-belulang yang 

terjilati lidah api putih berkilat. Dan..., tamatlah ri-

wayat Setan Selaksa Wajah sampai di situ!

"Ya, Tuhan...," sabut Pendekar Bodoh yang ma


sih berdiri tegak di tempatnya. 

Ketika memapaki pukulan Setan Selaksa Wajah 

tadi, pemuda lugu itu hanya menggunakan setengah 

bagian kekuatan tenaga dalamnya. Dia sama sekali tak 

menyangka bila pukulannya akan bisa berakibat se-

demikian rupa.

Pendekar Bodoh tidak tahu jika rasa bencinya 

yang mendalam terhadap Setan Selaksa Wajah telah 

melipat gandakan tenaga dalamnya!

***

SEPULUH



SENJA tegak menantang untuk segera me-

nyambut kehadiran sang dewi malam. Hanya desau 

angin yang bersedia menemani sepi di Lembah Keben-

cian. Namun, keheningan di alam sekitar, berlainan 

benar dengan isi hati Pendekar Bodoh yang tengah 

bergolak dan bergemuruh....

"Terima kasih atas segala kebaikan yang per-

nah kau berikan, walau sebenarnya aku tak tahu ada 

maksud apa di balik kebaikanmu itu...," ujar si pemu-

da dengan suara dalam. "Ada beberapa pertanyaan 

yang harus kau jawab dengan jujur, Paman. Pertama, 

benarkah kau ayahku?"

Ksatria Topeng Putih terdiam, tak dapat segera 

menjawab pertanyaan itu. Dalam keadaan rebah mir-

ing, dia mencoba menatap wajah Seno. Lalu sambil 

menahan rasa sakit yang amat menyiksa, perlahan 

tangan kanannya bergerak. Topeng baja putih ditang-

galkannya. Sehingga, tampaklah seraut wajah halus 

tampan dengan sinar mata lembut, menatap ke arah

Seno penuh rasa haru....

"Kau... kau...," desis Pendekar Bodoh, tak jelas 

apa makna ucapannya.

Pemuda berambut panjang tergerai itu berdiri 

terpaku dengan mata membelalak. Garis-garis wajah 

Ksatria Topeng Putih amat mirip dengan dirinya! Rasa 

benci yang telah lama terpendam dalam hati Seno tiba-

tiba berubah jadi rasa rindu.

Ingin rasanya Seno memeluk seorang ayah yang 

telah mengukir jiwa raganya. Ingin rasanya Seno me-

numpahkan segala isi hatinya di hadapan sang ayah. 

Tapi..., bukankah ayahnya itu orang jahat? Bukankah 

dia telah bersumpah akan menuntut balas atas pende-

ritaan ibunya?

"Seno...," sebut Ksatria Topeng Putih, mengua-

tkan diri Untuk duduk bersila. "Aku tahu apa yang 

kau rasakan. Walau kebencianmu terhadapku setinggi 

gunung dan sedalam lautan, cobalah kau dengar kata-

kataku...."

"Tidak!" seta Seno, menepis rasa hatinya yang 

berdebar tak karuan. "Kau tak pantas bicara terlalu 

banyak. Jawab saja pertanyaanku! Benarkah kau 

ayahku?" 

Mencoba tersenyum Ksatria Topeng Putih. 

"Tanpa kujawab, kau pasti sudah tahu. Dapatkah kau 

menipu dirimu sendiri?"

"Keparat! Pandai benar kau bersilat lidah. Ibu-

ku jatuh ke dalam jurang kesengsaraan pasti karena 

bujuk rayumu! Hayo! Benar, bukan?!"

"Seno..., kau keliru. Kenapa aku mesti me-

nyengsarakan orang yang kucintai? Cinta menyatukan 

dua hati. Bila aku menyengsarakan ibumu, bukankah 

sama artinya dengan aku menyengsarakan diriku sen-

diri?"


"Darma Pasulangit...," Seno menyebut nama 

kecil Ksatria Topeng Putih yang memang Darma Pasu-

langit, ayah si pemuda. "Kuakui, aku terlalu bodoh un-

tuk berdebat denganmu. Tapi, jawab lagi pertanyaanku 

dengan jujur. Melihat topeng yang kau bawa, tak salah 

aku memastikan bila kau Ksatria Topeng Putih. Benar, 

bukan?"

Ksatria Topeng Putih menggigit bibir kuat-kuat. 

Dia tak tahu ke mana arah pertanyaan Pendekar Bo-

doh.

"Hayo, jawab!" bentak Seno. 

"Ya! Aku memang Ksatria Topeng Putih," jawab 

Darma Pasulangit kemudian.

"Hmmm.... Kalau begitu, kau memang pantas 

untuk mati. Kau memang penjahat culas, licik, kejam! 

Penjahat yang suka merenggut kehormatan gadis-gadis 

cantik!"

Tersentak kaget Darma Pasulangit mendengar 

ucapan Pendekar Bodoh yang kasar berapi-api, "Ap... 

apa maksudmu, Seno? Aku memang berdosa besar 

pada ibumu. Tapi..., aku tidak sejahat yang kau kata-

kan itu...."

"Omong kosong! Hendak bersilat lidah lagi kau 

rupanya! Jangan mungkir! Kematianmu sudah dekat, 

kenapa tidak kau akui semua dosamu?!"

"Seno...!" sebut Ksatria Topeng Putih, "Sekali 

lagi kukatakan, aku memang punya dosa besar terha-

dap ibumu. Tapi, dosa itu tak pernah ku sengaja. Kea-

daanlah yang membuat ibumu sengsara.... Apa pun 

yang telah terjadi, aku memang merasa sangat berdosa 

terhadap ibumu. Perasaan berdosa itu membuatku tak 

berani bertatap muka langsung denganmu. Terpaksa 

aku memakai topeng agar kau tak dapat mengenaliku, 

Seno. Kau belum dewasa. Aku takut kau akan lepas


kendali. Dan..., sekarang kekhawatiranku terbukti. 

Kau belum bisa menerima kenyataan yang memang 

amat pahit ini...."

"Boleh kau katakan aku belum dewasa. Boleh 

kau katakan aku tak bisa menerima kenyataan. Tapi 

kau pun harus tahu, siapa yang bisa menahan diri ka-

lau ayahnya adalah seorang penjahat besar?"

"Aku bukan penjahat...."

"Hmmm.... Kau mungkir lagi! Sekarang jawab 

satu pertanyaanku lagi, siapa itu Hantu Pemetik Bun-

ga?"

Ksatria Topeng Putih menghela napas beberapa 

kali. Wajahnya jadi amat sedih. Sementara, luka baba-

tan pedang di tubuhnya masih mengalirkan darah se-

gar.... 

"Kau diam karena tak bisa menjawab, bukan? 

Kau memang Hantu Pemetik Bunga! Akui itu!"

"Aku Hantu Pemetik Bunga? Siapa bilang?"

"Tak perlu kukatakan! Jawab saja, ya atau ti-

dak."

"Seno...," desis Ksatria Topeng Putih, mengin-

gat-ingat kejadian tempo hari. "Aku tahu sekarang. 

Kau menuduhku sebagai Hantu Pemetik Bunga pasti 

karena ucapan Dewi Pedang Halilintar...."

"Tepat! Tapi, ucapan nenek itu disertai bukti 

yang kuat. Bukankah kau selalu memakai topeng? To-

pengmu itulah buktinya!"

Ksatria Topeng Putih meringis kesakitan. Men-

dadak, tubuhnya terguling. Darah segar merembes ke 

permukaan tanah.

"Ajalku akan segera tiba,,.," desis bekas putra 

mahkota yang tergulingkan itu. "Arwahku akan pena-

saran jika kau masih menuduhku sebagai seorang 

penjahat, Seno. Aku bukan Hantu Pemetik Bunga..."


Kepala Darma Pasulangit jatuh terkulai.

Seperti dihampiri bayangan yang amat mena-

kutkan, tiba-tiba Pendekar Bodoh menjerit keras. Lalu, 

si pemuda meloncat seraya memeluk tubuh Darma Pa-

sulangit.

"Ayah...! Ayah...!"

Perlahan, kelopak mata Darma Pasulangit ter-

buka. "Apakah aku tidak salah dengar? Kau memang-

gil 'ayah', Seno?"

"Ya! Ya, kau memang ayahku...," ucap Pendekar 

Bodoh, menahan air mata yang hendak jatuh.

"Terima kasih, Seno. Rupanya, kebahagiaan 

mau datang ketika aku hampir dijemput ajal. Dan, ke-

bahagiaan itu akan lengkap jika kau tidak menuduhku 

sebagai orang jahat, Seno. Aku memang bukan Hantu 

Pemetik Bunga. Apakah kau ingin punya ayah seorang 

penjahat macam itu?"

"Tidak! Tidak, Ayah!" pekik Seno. "Aku hanya 

mengatakan isi hatiku!"

"Aku tidak bisa membuktikan bahwa aku bu-

kan Hantu Pemetik Bunga. Tapi, suatu saat kau pasti 

akan menemukan bukti itu. Yakinlah, Seno. Aku me-

mang bukan Hantu Pemetik Bunga. Aku adalah Darma 

Pasulangit. Aku Wisnu Sidharta. Aku Ksatria Seribu 

Syair. Aku Ksatria Topeng Putih. Tapi, aku, bukan 

Hantu Pemetik Bunga...."

"Ayah...."

"Aku pernah menjadi putra mahkota kerajaan 

Mahespati. Aku rela hidup sengsara karena takhta 

Ayahanda Darma Sagotra digulingkan orang. Tapi, aku 

tidak rela jika putra ku menuduhku sebagai seorang 

penjahat...." 

"Ayahhhh...!"

Pendekar Bodoh menjerit keras sekali. Digun


cang-guncangkannya tubuh Darma Pasulangit. Lalu, 

dia peluk erat tubuh lelaki itu....

"Lepaskan, Seno...," pinta Darma Pasulangit. 

"Ada satu hal yang harus kusampaikan kepadamu."

"Ya! Yah, Ayah.... Katakan! Katakan saja! Maaf-

kan aku...," desah Pendekar Bodoh dengan tatapan 

nyalang.

"Kau lihat pedang di sampingmu itu...."

"Ya, aku melihatnya, Ayah...."

"Itulah Pusaka Pedang Naga. Kau berdarah bi-

ru, Seno. Kau keturunan raja. Jika kau ingin merebut 

kembali takhta Mahespati, Pusaka Pedang Naga dapat 

membantumu, Empat ketua Partai Naga yang memiliki 

pasukan besar akan bersedia membantumu. Katakan 

saja bahwa kau putra ku...."

"Ayah...." 

"Tapi kalau kau tak mau, kubur pedang itu 

bersama jasadku...."

"Tidak! Tidak, Ayah! Kau tak boleh mati! Sete-

lah berpisah dengan Ibu, aku tak ingin berpisah den-

ganmu. Aku ingin hidup bersamamu...," ujar Pendekar 

Bodoh, mengutarakan isi hatinya.

"Seno...," sebut Ksatria Seribu Syair, menahan 

haru. "Aku pun ingin hidup bersamamu, Anakku. Ta-

pi..., aku telah terluka parah. Dan..., aku juga terluka 

oleh jarum beracun...."

Begitu mendengar kata 'racun', Seno teringat 

akan Tongkat Dewa Badai-nya yang mempunyai kha-

siat memusnahkan segala jenis racun.

Dengan hati berdebar tak karuan, Pendekar 

Bodoh menotok beberapa jalan darah di tubuh Ksatria 

Seribu Syair untuk menghentikan pendarahan pada 

luka lelaki setengah baya itu. Sesudahnya, Pendekar 

Bodoh mencabut jarum-jarum yang masih menancap


di tubuh si lelaki setengah baya seraya menempelkan 

batang Tongkat Dewa Badai di bekas luka tusukan ja-

rum-jarum itu.

Di lain kejap, wajah Darma Pasulangit tidak se-

berapa pucat lagi. Seluruh racun yang bersarang di 

tubuhnya telah terhisap oleh batang Tongkat Dewa 

Badai. Ketika Seno hendak membalut luka di dada dan 

pinggangnya dengan menyobek kain baju si pemuda 

sendiri, cepat bekas putra mahkota itu mencegah....

"Tak perlu, Anakku. Aku tahu bajumu bukan-

lah baju sembarangan...,"

Sebelum Pendekar Bodoh menyahuti, Darma 

Pasulangit telah merobek-robek bajunya sendiri. Lalu, 

dia membalut luka di tubuhnya walau dengan tangan 

bergetar.

Dan ketika melihat sinar mata Seno yang me-

nyiratkan rasa cinta dan kasih sayang sekaligus me-

nyiratkan rasa khawatir yang mendalam, mendadak 

semangat hidup dalam diri Ksatria Topeng Putih kem-

bali berkobar menyala-nyala. Karena semangat hidup 

itulah Ksatria Seribu Syair dapat menghirup udara 

dunia lebih lama.

"Terima kasih, Anakku...," ucap Darma Pasu-

langit kemudian, menatap wajah Pendekar Bodoh le-

kat-lekat.

Entah apa yang ada di benak lelaki setengah 

baya itu, setelah menepuk bahu Pendekar Bodoh, dia 

membalikkan badan seraya melangkah pergi.

"Ayahhh...!" panggil Seno untuk mencegah ke-

pergian ayahnya.

Namun..., Darma Pasulangit terus melangkah, 

walau dengan tubuh sempoyongan dan kaki terseret. 

Tak lupa lelaki setengah baya itu membawa Pusaka 

Pedang Naga dan sarungnya.


"Ayahhh...!" panggil Pendekar Bodoh lagi, lebih 

keras.

Darma Pasulangit menoleh pelan seraya berka-

ta, "Masing-masing dari kita punya tugas dan kewaji-

ban. Kalau umur sama panjang, barangkali Tuhan 

berkenan mempertemukan kita lagi. Hati-hatilah men-

jaga diri, Anakku. Berpikirlah masak-masak sebelum 

bertindak...."

Kaki Darma Pasulangit melangkah lagi.

Seno menatap dengan hati pedih....

"Ayah...," desis Pendekar Bodoh. "Biarlah takh-

ta tetap dipegang Prabu Wira Parameswara, Rakyat 

sudah hidup tenang dan damai. Tak perlu aku mem-

buat perang besar yang hanya akan menyengsarakan 

rakyat...."

Pendekar Bodoh diam beberapa lama, lalu ka-

tanya, "Aku masih ingat kata-katamu, Ayah. Ketika 

mengenalkan diri sebagai Ksatria Topeng Putih, kau 

berkata bahwa kekuasaan yang besar cenderung 

membuat manusia lupa diri. Aku tak mau lupa diri, 

Ayah. Biarlah aku tak punya kekuasaan apa-apa asal-

kan aku bisa hidup di jalan Tuhan.... Suatu saat, akan 

kubuktikan bahwa kau memang bukan Hantu Pemetik 

Bunga. Selamat tinggal, Ayah...."

Ketika angin dingin berhembus membawa em-

bun, Pendekar Bodoh melangkah meninggalkan Lem-

bah Kebencian. Sosok si pemuda segera lenyap tertelan 

kegelapan malam. Di bagian lain, Ksatria Topeng Putih 

alias Ksatria Seribu Syair juga melangkah menjauhi 

Lembah Kebencian yang telah membuka mata hati 

sang putra tercinta....


                          SELESAI



Segera terbit!!


SENGKETA AHLI SIHIR


Share:

0 comments:

Posting Komentar