Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
PEMUDA remaja berpakaian biru-biru itu men-
gakhiri semadinya seraya bangkit berdiri. Dia tekan
pembuluh nadinya sembari menarik napas panjang
beberapa kali. Bola mata si pemuda langsung berbinar
penuh luapan rasa gembira. Detak jantung dan pere-
daran darahnya sudah normal kembali. Itu berarti lu-
ka dalamnya telah dapat diatasi.
Pemuda tampan yang sinar matanya menyi-
ratkan keluguan itu mengedarkan pandangan ke ber-
bagai penjuru. Kedua kakinya melangkah seiring tata-
pan matanya yang berpindah arah. Sepi menjadi raja
tunggal di alam sekitar. Tak ada makhluk lain yang
terlihat, juga burung-burung yang biasa terbang di
angkasa luas. Sepi benar-benar menjerat dan men-
gungkung suasana pagi.
"Heran aku...," gumam si pemuda. "Orang itu
baru saja menyembuhkan luka dalamku. Kenapa dia
malah pergi dengan tiba-tiba? Sepertinya..., ada sesua-
tu yang dikhawatirkannya apabila dia berdekatan den-
ganku. Hmmm.... Telah beberapa kali dia menanam
budi baik kepadaku. Tapi..., kenapa dia tak mau mem-
buka jati dirinya?"
Pemuda bertubuh tinggi tegap yang tak lain Se-
no Prasetyo atau Pendekar Bodoh itu mengedarkan
pandangan lagi.
Jauh di sana, terlihat puncak Gunung Lawu
yang tersaput mega putih. Langit cerah berwarna biru
kelabu. Pagi yang baru bangun membuat mentari ber-
sinar lembut, hangat terasa mengelus jiwa. Butir-butir
embun bergulir dan menetes ke hamparan tanah, ba-
gai untaian mutiara ditebarkan.
Seno berdiri terpaku. Sampai beberapa lama
dia terlena dalam keelokan hari yang baru berganti.
Melihat bukit, ngarai, aliran sungai kecil di antara ton-
jolan batu cadas, dan rimbunan bambu yang tumbuh
subur di dekat sungai itu, Seno tahu bila dirinya bera-
da di sebuah tempat bernama Lembah Bambu.
Lembah Bambu? Ya, Lembah Bambu! Hanya
saja, Seno jadi bertambah heran. Kalau dirinya saat
sekarang ini berada di Lembah Bambu, sama artinya
bila si lelaki bertopeng telah membawanya berlari se-
jauh ratusan tombak! Untuk apa dia bersusah payah
semacam itu? Apakah dia punya sifat yang amat baik,
sehingga bersedia menanam banyak budi kepada
orang lain? Ataukah ada suatu maksud tersembunyi di
balik kebaikannya?
Otak Seno Jadi buntu. Tak bisa menjawab per-
tanyaan yang berkecamuk di benaknya. Ketika men-
dengar suara berkeruyukan dari dalam perutnya, si
pemuda nyengir kuda sambil menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal. Rasa lapar menyerang. Dan, ke-
betulan sekali pada saat itulah dia mencium aroma ha-
rum daging panggang.
"Kalau perut sedang lapar, tak ada yang lebih
baik dilakukan kecuali makan. Ya! Makan! Mudah-
mudahan orang yang berada di sana itu mau berbuat
baik kepadaku. Hmmm.... Alangkah nikmatnya...." Se-
no menelan ludah.
Di kejauhan, terlihat kepulan asap yang mem-
bubung ke angkasa. Orang yang sedang memanggang
daging itu tentu berada di sana, pikir Seno. Namun...
sebelum si pemuda melangkahkan kaki, sebuah syair
tiba-tiba menyeruak lepas dari kungkungan sepi....
Seno berdiri terpaku lagi.
Satemene manungsa urip ing alam donya kuwi
darbe wajib wolung prakara, yakuwi:
Siji, mangesti manembah Gusti Wujud Hawa
(gaib) ingkang Maha Suci Gusti ingkang Murba Wasesa
ing dumadi.
Loro, manembah lan tuhu tresna maring Bapa-
Ibu kang sejati;
Bapak - Whanyaning Surya / Kawasa / Angka-
sa, Ibu - Bumi suci
Telu, manembah lan ngabekti maring Nyang Sari
Tri Murti/Sari Tri Tunggal (sari tetelu); Sari Samirana,
Sari Taranggana (Tirta), Sari Agni (Dahana); Sari Tri
Murti - anenggih Sang Nyawa utawa huriping manungsa
Papat, manembah mituhu patuh ing reh maring
Rahso Suci diri pribadi-raos Gusti (Rosul) as pandoming
Pribadi
Kening Seno semakin berkerut rapat.
Cukup lama murid Dewa Dungu itu berdiri ter-
paku dengan raut wajah kebodoh-bodohan. Dia men-
coba menyelami untaian kata-kata yang baru didengar,
agar dapat memahami maksudnya. Namun, kepalanya
malah terasa pening. Perutnya pun semakin melilit-
lilit....
"Uhhh...! Apa maksud orang yang melantunkan
syair itu?" gerutu Seno. "Mungkin dia tahu kalau aku
tak seberapa pintar. Mungkin dia sengaja hendak
membodohiku! Uhhh...!"
Pendekar Bodoh menggaruk pantatnya yang ti-
ba-tiba terasa amat gatal. Ditatapnya lekat-tekat kepu-
lan asap di antara rimbunan bambu yang terbentang
sekitar lima puluh tombak ke barat. Aroma harum
daging panggang semakin menggelitik selera makan-
nya.
* * *
Lelaki bertopeng itu memutar-mutar dua pang-
gang kelinci gemuk yang telah menebarkan aroma ha-
rum-gurih. Asap yang mengepul dari perapian mem-
buat aroma daging panggang semakin menebar.
Sambil terus memutar-mutar daging panggang-
nya di atas bara api, lelaki bertopeng yang mengena-
kan pakaian putih-putih itu melanjutkan kata-kata
syairnya....
Lima, manembah angraketi lan bekti maring
Pancakarsa lan Nawaksara; nunggaling Panca Indriya
lan nunggaling babahan Hawa Sanga
Enem, manembah lan tuhu tresna maring Bapa
lan Ibu kang kinarya lantaran tumitah
Pitu, manembah ngabekti maring Sang Guru
/Whiku Ningrat/Duta Suci/Utusan sipat Kawasa
Wolu, manembah mituhu ing reh maring Sang
Nara Bawana/Bawana Pranata, lan sakabehing Pang-
reh Negara/Praja
"Silakan duduk...."
Di ujung syairnya, lelaki berkulit putih halus
seperti kulit kaum bangsawan itu mempersilakan Pen-
dekar Bodoh yang telah berdiri tak jauh darinya. Pen-
dekar Bodoh nyengir kuda sejenak sambil memilin-
milin ujung ikat pinggangnya yang terbuat dari kain
merah. Setelah mengambil tempat duduk beralaskan
dedaunan, di hadapan lelaki bertopeng, mendadak ra-
sa laparnya lenyap begitu saja. Otaknya bertambah
beku memikirkan makna syair yang baru dilantunkan
lelaki bertopeng.
"Paman sangat baik...," ujar Seno, menatap lekat lelaki bertopeng yang masih sibuk memutar-mutar
daging panggangnya. "Entah dengan apa aku akan
membalas kebaikan Paman...."
"Tak perlu berpikir tentang hal itu," sergap lela-
ki bertopeng. "Dari gurumu, kau tentu telah mendapat
banyak wejangan. Baik tentang Tuhan dan peribada-
tan, tentang manusia dan peradatan, maupun tentang
budi-pekerti, tentang bagaimana bersikap dan bertin-
dak sebagai makhluk ber-Tuhan yang hidup di antara
sesama makhluk lainnya.... Ketahuilah, Seno, apa
yang telah kulakukan kepadamu tak lebih dari sekadar
melaksanakan ajaran-ajaran seperti itu."
"Paman memang orang yang sangat baik. Pa-
man juga orang yang sangat pintar...," puji Seno, tulus.
Lelaki bertopeng diam. Daging panggang ham-
pir matang. Aroma harum dan gurihnya menebar
membangkitkan selera. Namun, Pendekar Bodoh yang
tadinya merasa amat lapar, benar-benar telah hilang
selera makannya. Sesuatu yang ada di benaknya telah
melenyapkan rasa lapar itu.
"Paman...."
"Ya."
"Ketika aku menyelesaikan semadi, kukira Pa-
man telah pergi meninggalkanku. Kiranya, Paman be-
rada di sini. Apakah Paman memang sengaja menung-
gu kedatanganku?"
"Begitulah...," sahut lelaki bertopeng yang tak
lain dari Ksatria Topeng Putih adanya. "Mengingat
umurmu yang belum seberapa, sementara kau telah
banyak terlibat dalam berbagai urusan rimba persila-
tan, ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu.
Aku tahu ilmu kesaktianmu sudah dapat disejajarkan
dengan tokoh-tokoh rimba persilatan jajaran atas. Na-
mun ketahuilah, Seno, semakin tinggi ilmu kesaktian
seseorang, semakin besar godaan setan yang akan me-
nyeret ke tindak kejahatan. Semakin tinggi kekuasaan
seseorang maupun semakin banyak kekayaan seseo-
rang, dia akan cenderung melupakan kodratnya seba-
gai manusia. Karena, hal itu memang salah satu sifat
manusia, yang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa
melepaskan diri dari khilaf dan lupa...."
Seno mengangguk-angguk. "Ya. Ya, Paman.
Aku mengerti. Guruku sering mengatakan hal itu ju-
ga."
"Bagus kalau kau mengerti. Aku sengaja me-
nunggumu di tempat ini, seperti yang kukatakan tadi,
ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu...."
"Apa itu, Paman?"
"Kau dengar kata-kata syairku tadi?"
"Ya. Bagus sekali, Paman. Hanya saja...,"
"Hanya saja apa?"
"Aku mendengar syair Paman sebagai untaian
kata-kata yang amat merdu didengar telinga. Akan te-
tapi, aku sama sekali tak mengerti artinya. Kalau pun
mengerti, hanya sebatas pada arti tiap kata secara ter-
pisah...."
"Kau ingin tahu makna keseluruhannya?"
"Tentu saja."
"Makna yang tersirat dalam kata-kata syairku
itulah yang ingin kusampaikan kepadamu. Walau ma-
nusia tak bisa melepaskan diri dari khilaf dan lupa,
namun apabila kau dapat menyelami makna syairku
yang akan kusampaikan nanti, mudah-mudahan kau
akan menjadi seorang manusia berbudi luhur yang ta-
hu kodratmu sebagai manusia ber-Tuhan."
Perlahan Ksatria Topeng Putih mengangkat dua
daging panggang yang tampaknya telah matang. Yang
sebuah langsung diangsurkan kepada Seno.
"Makanlah.... Perut kosong biasanya membuat
otak sulit untuk diajak berpikir maupun menerima
pengertian. Oleh karena itu, makanlah dulu. Kita bica-
ra setelah perutmu kenyang...."
Seno mengangguk seraya menerima daging
panggang yang diangsurkan Ksatria Topeng Putih.
"Makanlah.... Yang sebuah ini Juga kusediakan
untukmu." Ksatria Topeng Putih menunjuk daging
panggang satunya lagi, yang masih berada dalam ceka-
lannya.
"Ah, Paman.... Mana aku bisa makan kalau
Paman tidak turut makan?" sahut Seno, tak enak hati.
"Dua ekor kelinci ini kutangkap dan kupang-
gang memang sengaja untuk kuberikan kepadamu,
Seno. Tak perlu kau sungkan dan merasa tak enak ha-
ti. Makanlah.... Aku sudah makan beberapa macam
buah sesaat lalu."
Seno nyengir kuda.
Namun ketika mencium aroma harum daging
panggang di tangannya, selera makan pemuda bertu-
buh tinggi tegap itu tiba-tiba muncul lagi. "Baiklah ka-
lau begitu, aku makan sendiri, Paman. Terima kasih
atas semua kebaikan, termasuk jerih payah Paman
yang telah menyediakan sarapan untukku ini...."
Pemuda remaja yang di ikat pinggangnya terse-
lip sebatang tongkat pendek berwarna putih itu men-
galirkan sedikit kekuatan Pukulan Inti Dingin. Sehing-
ga hanya dalam dua tarikan napas, daging panggang di
tangannya sudah tak panas lagi. Dan, mulailah dia
menggigit....
Tapi, dalam hati Seno berkata, "Agaknya Paman
yang baik hati ini masih ingin menyembunyikan siapa
jati dirinya kepadaku. Tentu saja dia tak mau makan
bersamaku. Kalau makan, berarti dia harus membuka
topengnya terlebih dahulu. Dia tak mau wajahnya ku-
kenali...."
"Makanlah sepuasmu, Seno. Lepaskan dulu
masalah yang mungkin mengganjal dalam benak-
mu...," ujar Ksatria Topeng Putih dengan suara lembut.
"Ya! Ya, Paman. Aku memang lapar sekali..."
Merasakan nikmatnya daging panggang pada
gigitan pertama, Seno jadi tampak rakus. Dia menggi-
git, mengunyah, menggigit lagi, mengunyah lagi.... Tak
sadar dari mulutnya terdengar suara kecapan yang
cukup keras.
Ksatria Topeng Putih tersenyum.
Entah apa arti senyuman itu,
* * *
"Sebenarnya, untaian kata-kata syair yang ku-
lantunkan beberapa saat tadi adalah petikan dari isi
Kitab Pustaka Raja," beri tahu Ksatria Topeng Putih.
Pendekar Bodoh mengangguk beberapa kali.
Dua daging panggang hanya tinggal tulang-belulang.
Seno telah melahapnya sampai tandas. Murid Dewa
Dungu itu duduk bersila dengan perut menggembung
karena kekenyangan.
"Kitab Pustaka Raja?" desis Seno, mengulang
ucapan Ksatria Topeng Putih.
"Ya, Kitab Pustaka Raja. Aku yakin kau belum
pernah mendengar nama kitab yang banyak mengajar-
kan tentang budi pekerti luhur itu. Memang, hanya
orang-orang tertentu saja yang pernah membacanya
secara langsung. Dari merekalah isi kitab itu terse-
bar...."
"Siapa orang-orang tertentu itu?"
"Hal itu tidak seberapa penting."
"Kenapa?"
"Sudahlah. Yang perlu kau ketahui, Kitab Pus-
taka Raja ditulis oleh seorang tetua, yang di dalam ki-
tab itu namanya tertulis sebagai Sang Whikuningrat
Rangga Puspita Kresna...,"
"Hmmm.... Sebuah nama yang amat bagus dan
terkesan gagah, sekaligus menyiratkan kewibawaan."
"Dan, kata-kata syairku tadi adalah bagian Ki-
tab Pustaka Raja yang bernama Mustika Manik Hasta
Aksara. Di situ disebutkan bahwa sesungguhnya ma-
nusia hidup di dunia ini mempunyai delapan kewaji-
ban...."
"Ya. Ya, aku tahu, Paman. Paman telah menga-
takannya dalam bentuk syair...."
"Kau paham artinya?"
Seno menggeleng. "Seperti yang kukatakan,
mungkin aku hanya paham arti setiap katanya secara
terpisah. Sementara, arti keseluruhannya masih amat
samar-samar."
Ksatria Topeng Putih menatap wajah Pendekar
Bodoh lekat-lekat. Setelah menarik napas panjang, dia
berkata, "Kewajiban manusia yang pertama menurut
Mustika Manik Hasta Aksara adalah mangesti manem-
bah Gusti Wujud Hawa ingkang Maha Suci. Itu artinya
bahwa setiap manusia wajib menyembah dan beriba-
dah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tentang hal ini,
tentu kau telah tahu, Seno."
"Ya, Paman. Guruku, Dewa Dungu, memang te-
lah mengajarkan hal itu. Semua makhluk di bumi ini
ciptaan Tuhan, termasuk manusia. Oleh karenanya,
manusia memang wajib menyembah dan beribadah
kepada-Nya."
"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih. "Selalu
mengingat kebesaran Tuhan adalah salah satu ciri
manusia berbudi luhur. Ingat hal ini baik-baik, Se-
no...."
Pendekar Bodoh mengangguk.
Ksatria Topeng Putih menghela napas seraya
melanjutkan perkataannya. "Kewajiban manusia yang
kedua adalah manembah lan tuhu tresna maring Bapa-
Ibu kang sejati. Yang dimaksud Bapa dan Ibu sejati
adalah matahari dan bumi. Namun, jangan salah men-
gerti. Manembah yang dimaksud bukan mewajibkan
manusia untuk menyembah dalam arti memuja dan
mengharapkan perlindungan dari kedua benda itu. Ki-
ta tahu bahwa matahari dan bumi pun ciptaan Tuhan.
Kita harus mencintainya karena matahari dan bumi
adalah sumber kehidupan di antara sumber-sumber
kehidupan lainnya."
"Ya, aku tahu, Paman," sahut Seno. "Tanpa si-
nar matahari, tanpa bumi tempat kita berpijak yang
menjadi tempat tumbuh berkembangnya berbagai jenis
tumbuhan, kita memang tak akan dapat hidup."
"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih lagi. "Lalu,
kewajiban manusia yang ketiga adalah manembah lan
ngabekti maring Nyang Sari Tri Murti. Nyang Sari Tri
Murti adalah angin, air, dan api. Manusia juga tak
akan bisa hidup tanpa ketiga unsur itu. Sementara,
kewajiban manusia yang keempat adalah manembah
mituhu patuh ing reh maring Rahso Suci diri pribadi.
Rahso adalah sesuatu yang lebih lembut dari nurani
dan lebih halus dari perasaan. Rahso akan selalu
mendampingi hidup seseorang selama orang itu masih
hidup. Rahso banyak membantu kehidupan manusia
dalam bentuk firasat, petunjuk yang muncul dari diri
sendiri, atau hal-hal semacam itu. Oleh karenanya,
manusia wajib berterima kasih kepada rahso-nya mas-
ing-masing."
Ksatria Topeng Putih mendongak, menatap
sang baskara yang telah beranjak naik. Sinarnya yang
semula menyapa hangat, kini mulai sedikit garang.
Beberapa ekor burung dadali mulai tampak melesat di
angkasa. Di pucuk-pucuk bambu pun muncul seke-
lompok burung manyar. Kehidupan makhluk bersayap
di Lembah Bambu itu rupanya baru terawali kembali
saat hari menjelang siang.
"Bagaimana, Seno? Kau dapat menyelami arti
yang kuberikan tadi?" tanya Ksatria Topeng Putih.
"Ya, Aku bisa mengerti, Paman," jawab Seno.
"Lanjutkan, Paman. Masih ada empat pengertian lagi,
bukan?"
Mengangguk Ksatria Topeng Putih. "Kewajiban
manusia yang nomer lima menurut Mustika Manik
Hasta Aksara adalah manembah angraketi lan bekti
maring Pancakarsa lan Nawaksara. Pancakarsa adalah
panca indera kita, yang tak lain indera penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa. Bisa
dibayangkan, andai manusia tak memiliki salah satu
saja dari lima indera itu, dia akan menjadi manusia
cacat, yang tentu saja akan memiliki lebih banyak ke-
kurangan jika dibanding dengan manusia yang tak ca-
cat secara lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan
Nawaksara adalah sembilan unsur kehidupan lainnya
yang menjadi teman manusia hidup. Kau tentu telah
tahu sembilan unsur apa itu, Seno."
"Ya. Aku pernah mendapat ajaran dari guruku.
Menurutnya, sembilan unsur kehidupan itu adalah
kayu, batu, tanah, dan lain sebagainya," ujar Send.
"Walau benda mati, tapi benda-benda itu juga amat
penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kayu be-
rasal dari tumbuhan. Sementara, tumbuhan adalah
salah satu sumber makanan manusia. Batu, tanah,
dan lain sebagainya adalah bagian dari bumi. Semen-
tara, bumi adalah tempat manusia menjalani kehidu-
pan...."
"Bagus!" puji Ksatria Topeng Putih untuk kese-
kian kalinya. "Oleh karena itulah manusia harus tahu
diri dan berterima kasih kepada Pancakarsa dan Na-
waksara."
"Lalu, kewajiban manusia yang keenam apa,
Paman?" tanya Pendekar Bodoh yang menjadi sangat
kagum dan suka sekali melihat kepintaran serta keari-
fan Ksatria Topeng Putih.
"Manembah lan tuhu tresna maring Bapa lan Ibu
kang kinarya lantaran tumitah. Di sini sudah jelas pen-
gertiannya. Tanpa ayah dan Ibu, kita berdua ini tak
akan pernah ada. Ayah dan ibu adalah lantaran atau
perantara atau asal muasal keberadaan kita sebagai
manusia. Oleh karena itu, kita dan manusia-manusia
lainnya wajib berbakti kepada kedua orangtua."
Ketika mengucapkan kalimat itu, suara Ksatria
Topeng Putih terdengar lebih mantap dan penuh teka-
nan. Ksatria Topeng Putih memang menginginkan
Pendekar Bodoh mengerti benar bagian itu.
"Ya! Ya, Paman," sambut Seno. "Kalau ada anak
yang tak berbakti kepada orangtuanya, sama artinya
dia telah melakukan dosa besar."
"Bagus! Camkan itu baik-baik. Kau harus dapat
menjalankan apa yang kau ucapkan sendiri."
"Ya, Paman," angguk Seno, tak begitu memper-
hatikan ucapan Ksatria Topeng Putih yang berubah te-
kanan.
"Kewajiban manusia yang ketujuh dan kedela-
pan adalah manembah mituhu maring Sang Guru dan
Sang Nara Bawana. Kalau manusia berbakti dan me-
nuruti perintah gurunya, itu sudah merupakan keha
rusan. Begitu juga dengan menuruti aturan yang telah
ditetapkan oleh Sang Nara Bawana atau seseorang
yang menjadi penguasa negara di mana manusia itu
tinggal. Kau mengerti, Seno?"
Pendekar Bodoh mengangguk.
Ksatria Topeng Putih tersenyum tipis, lalu
bangkit berdiri seraya berkata, "Cukup sampai di sini
pertemuan kita, Seno. Ingat baik-baik apa yang telah
kukatakan tadi. Mudah-mudahan setiap tindak perbu-
atanmu selalu didasari sikap adil bijaksana."
Usai berkata, tiba-tiba lelaki yang seluruh wa-
jahnya tertutup topeng baja putih itu menjejak tanah.
Cepat sekali tubuhnya berkelebat, lalu menghilang di
balik rimbunan bambu di seberang.
Tinggallah Pendekar Bodoh duduk termangu.
Cengar-cengir sambil menatap sisa daging panggang
yang hanya berupa tulang-belulang...
***
DUA
UH! Masih ada urusan yang harus segera kuse-
lesaikan. Kenapa aku malah duduk bengong di tempat
ini?!" rutuk Pendekar Bodoh kepada dirinya sendiri.
Bergegas pemuda remaja itu bangkit berdiri.
Namun sebelum kakinya melangkah, mendadak ter-
dengar tiupan angin berkesiur. Ketika menoleh, berbi-
narlah bola mata si pemuda.
Di tempat itu telah muncul dua sosok manusia.
Mereka dua orang wanita yang sama-sama mengena-
kan pakaian serba kuning. Rambut mereka pun sama-
sama digelung ke atas. Namun usia kedua wanita itu
terpaut cukup jauh. Yang satu seorang nenek berumur
sekitar lima puluh tahun. Sementara, yang satunya la-
gi seorang gadis remaja berwajah cantik.
Mereka adalah Nini Kembangsari atau Dewi Pe-
dang Halilintar dan muridnya yang bernama Kemuning
atau Dewi Pedang Kuning.
"Kemuning...," desis Seno, menatap lekat wajah
cantik Dewi Pedang Kuning.
"Ya. Ini aku, Seno," sahut Kemuning. "Sedang
apa kau di sini?"
Pendekar Bodoh tak segera menjawab. Murid
Dewa Dungu itu merasakan getar aneh pada nada
ucapan Kemuning. Ketika diperhatikan lebih seksama,
sinar mata Kemuning pun tampak lain dari biasanya.
Apa yang telah terjadi pada diri Si gadis?
Karena itu, Pendekar Bodoh hendak menguta-
rakan rasa herannya. Namun Dewi Pedang Halilintar
keburu berkata, "Kalau cuma untuk berbasa-basi, se-
baiknya kita segera meninggalkan tempat ini, Kemun-
ing!"
"Uh! Kau galak benar, Nek!" tegur Seno. "Ke-
muning sahabatku, Nek. Walau kau punya urusan
amat penting, apa tidak boleh kalau aku bercakap-
cakap beberapa lama dengan muridmu itu?"
"Sudahlah, Seno. Aku dan guruku memang ha-
rus segera pergi ke Pondok Matahari. Kebetulan aku
melihatmu di sini. Kau sedang apa? Melihat bekas ta-
pak kaki di hadapanmu itu, kau tentu tidak seorang
diri."
Seno diam saja.
Setelah memperhatikan beberapa lama, pemu-
da remaja itu jadi tahu bila tatapan Kemuning menyi-
ratkan kekhawatiran. Namun, kekhawatiran apa itu?
Seno belum dapat menerkanya.
Mendadak, peristiwa yang pernah dialami ber-
sama Kemuning berkelebatan kembali di benak Seno.
Dan..., debar-debar di hati Sena juga kembali muncul.
Membuat si pemuda menatap tak berkedip wajah gadis
itu, yang memang cantik jelita.
"Dasar bocah gemblung!" semprot Dewi Pedang
Halilintar.
Lalu, nenek keras kepala yang biasa bersikap
ketus itu berkata kepada muridnya, "Kita harus segera
pergi, Kemuning. Tak perlu banyak cakap dengan pe-
muda geblek itu!"
Seno nyengir kuda, menatap wajah Dewi Pe-
dang Halilintar yang tampak garang.
"Uh! Kau bukan harimau, Nek! Kenapa begitu
galak?!" sembur murid Dewa Dungu itu.
Dewi Pedang Halilintar mendengus gusar. Wa-
jahnya terlihat makin garang. "Aku bukan tak tahu ka-
lau kau pernah menyelamatkan jiwa Kemuning. Tapi
saat ini, waktu bagiku amat berharga," sergapnya se-
raya menggamit lengan Kemuning. "Ayo kita pergi!"
"Tapi, Eyang,..," tolak Kemuning.
"Hus! Kita harus segera sampai ke Pondok Ma-
tahari. Lain itu, kita pun harus menghindari Sabit
Maut!"
Mendengar ucapan Dewi Pedang Halilintar yang
tiba-tiba menyiratkan kekhawatiran, Kemuning meng-
hela napas. "Ya, Eyang. Kita memang harus segera
pergi."
"Eh! Tunggu dulu!" cegah Seno. "Aku ingin ber-
bicara denganmu beberapa lama, Kemuning. Kalau
ada masalah, katakan saja. Barangkali aku bisa mem-
bantumu."
"Lain waktu saja!" sahut Kemuning.
Usai berkata, Kemuning menjejak tanah seraya
berkelebat meninggalkan Seno. Dewi Pedang Halilintar
langsung mengikuti langkah kaki muridnya itu.
"Uuuuhhhh...!" dengus Seno, menumpahkan
kekecewaannya.
Kaki Seno menggedruk tanah, lalu menyepak
tulang-belulang kelinci panggang yang berada di de-
katnya. Tampak kesal dan kecewa bukan main pemu-
da remaja itu.
Sejak pertemuannya di kaki Gunung Lawu,
Kemuning telah menjadi kembang mimpi Seno. Walau
belum begitu kenal Kemuning secara mendalam, na-
mun gadis itu telah menciptakan harapan-harapan in-
dah dalam benak Seno.
Apa yang membuat Kemuning dan gurunya
tampak begitu khawatir? Di manakah Pondok Matahari
yang hendak mereka tuju? Dan, siapa itu Sabit Maut
yang tampaknya ditakuti oleh Dewi Pedang Halilintar?
Seno terus terpaku memikirkan hal itu. Sambil
nyengir kuda, dia geleng-geleng kepala beberapa la-
ma....
* * *
"Celaka!" kesiap Dewi Pedang Halilintar.
Nenek yang tubuhnya masih tampak sintal itu
menghentikan kelebatan tubuhnya. Kemuning bertin-
dak serupa. Dengan sinar mata nyalang, mereka me-
natap seorang lelaki pendek gemuk yang berdiri meng-
hadang.
Lelaki itu seorang kakek-kakek berumur sekitar
enam puluh tahun, mengenakan pakaian putih ketat.
Rambutnya panjang tergerai, berwarna putih meletak.
Di tangannya tercekal sebuah cangkul bergagang pan-
jang.
"Cangkul Sakti...," desis Dewi Pedang Halilintar,
menyebut julukan kakek pendek gemuk yang mengha-
dang di pinggir hutan kecil itu.
Menarik napas panjang Dewi Pedang Halilintar,
mencoba menenangkan hatinya yang berdebar-debar
tak karuan. Cangkul Sakti adalah tokoh jahat yang
mempunyai ilmu kesaktian amat tinggi. Walau Dewi
Pedang Halilintar tak pernah berurusan langsung den-
gan Cangkul Sakti, tapi melihat sikap dan tatapan ma-
ta kakek bersenjata cangkul itu, Dewi Pedang Halilin-
tar merasa giris dan ngeri. Apalagi, dia tengah meng-
hindari pertemuan dengan Sabit Maut. Sementara, Sa-
bit Maut adalah saudara seperguruan Cangkul Sakti!
"Kita balik saja, Eyang," cetus Kemuning yang
mendadak juga terserang rasa gentar.
Dewi Pedang Halilintar tak berucap
Nenek itu segera menggamit lengan muridnya
untuk diajak berkelebat pergi. Namun... ketika mem-
balikkan badan, sekitar sepuluh tombak di belakang
guru dan murid itu, ternyata telah berdiri seorang ka-
kek kurus kerempeng dengan tatapan tajam berkilat
menyiratkan nafsu membunuh.
Si kakek mengenakan pakaian putih kedom-
brongan, mencekal senjata berupa tongkat panjang
yang di bagian ujungnya terdapat best pipih bengkok
mirip sabit. Dia berdiri angkuh, menyeringai dingin.
Membuat Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning me-
langkah mundur.
"Ha ha ha...!" tawa gelak kakek berjuluk Sabit
Maut itu, berjalan mendekati Dewi Pedang Halilintar.
"Mau lari ke mana kau, Nenek Bengal?! Hantu Pemetik
Bunga menyerahkan urusannya kepadaku! Ha ha
ha...!"
Selagi Sabit Maut tertawa panjang, si kakek
pendek gemuk Cangkul Sakti berjalan mendekati Dewi
Pedang Halilintar juga.
Dewi Pedang Halilintar yang biasanya amat ke-
ras kepala dan cenderung sombong, kali ini tampak
mati kutu. Jantung si nenek berdegup keras sekali.
Dia sadar bila bahaya besar tengah mengintai nya-
wanya.
Kemuning yang berdiri di dekat nenek itu pun
tampak memucat wajahnya. Keberanian yang selalu di-
tunjukkan Kemuning tiba-tiba hilang entah ke mana.
Si gadis tampak bergidik ngeri, menatap bergantian
sosok Sabit Maut dan Cangkul Sakti.
Guru dan murid itu tahu benar bila Sabit Maut
dan Cangkul Sakti punya sifat licik serta amat kejam.
Kedua kakek itu saudara seperguruan. Jika mereka
bermaksud membunuh seseorang, dapat dipastikan bi-
la mereka akan melakukan siksaan terlebih dulu. Sen-
jata mereka yang berupa sabit dan cangkul akan men-
cincang dan mencerai-beraikan tubuh sang korban!
"Bagaimana ini, Eyang?" desis Kemuning. "Mes-
tinya tadi kita tak perlu meninggalkan Pendekar Bo-
doh...."
"Hus!" sergap Dewi Pedang Halilintar. "Aku tahu
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Tapi, kau mes-
ti tahu bahwa kehormatan di atas segala-galanya. Ke-
hormatan lebih berharga dari nyawa!"
"Jadi..., kita akan melawan mereka, Eyang?"
"Apa boleh buat...."
Cekatan sekali Dewi Pedang Halilintar menghu-
nus bilah pedang yang terselip di punggungnya. Ke-
muning pun berbuat serupa.
Set!
Pedang guru dan murid itu sama-sama terbuat
dari logam pilihan berwarna kuning. Tampak tajam
berkilat-kilat tertimpa sinar matahari.
"Hmmm.... Kalian dua orang dungu!" dengus
Dewi Pedang Halilintar, menetapkan hatinya. "Sejak
semula aku sudah menduga, kalian mengejarku hanya
karena permintaan Hantu Pemetik Bunga. Huh! Dasar
sama-sama iblis!"
"Sungguh bagus pedangmu, Nenek Bengal...,"
cibir Sabit Maut. "Tapi sayang..., keindahan pedangmu
justru akan merenggut nyawamu beserta muridmu itu!
Ha ha ha...!"
"Ya! Tapi sebelum kalian mati, tampaknya aku
dan kakak seperguruanku akan bersenang-senang du-
lu! Ha ha ha...!" timpal Cangkul Sakti.
Dewi Pedang Halilintar tak memperhatikan
ucapan kedua kakek itu. "Jika nanti kau melihat ke-
sempatan, larilah...," bisiknya kepada Kemuning.
"Untuk apa Kemuning lari kalau Eyang tetap di
sini?" tolak Kemuning. "Aku rela mati bersama
Eyang...."
"Hus! Kau masih muda! Kau tidak boleh mati
sia-sia! Pergilah ke Pondok Matahari. Katakan pada
Hati Selembut Dewa kalau kau muridku. Mintalah pe-
tunjuk darinya. Kau mengerti, Kemuning?"
"Tidak, Eyang! Kalau pergi, Eyang harus ber-
samaku. Kalau Eyang di sini, aku pun di sini. Mati da-
lam pertempuran melawan orang jahat bukan mati sia-
sia, Eyang...."
"Ha ha ha...!" tawa gelak Cangkul Sakti. "Benar
kata muridmu, Nenek Bengal! Kalian berdua harus te-
tap di sini. Kematian kalian memang akan sangat me-
nyenangkan hati kami! Ha ha ha...!"
"Hmmm.... Walau sudah tua, tubuhmu masih
boleh juga, Kembangsari...," sahut Sabit Maut. "Sebe-
lum mati, bolehlah nanti kau kuberi kesenangan dulu!"
Lelaki kurus kerempeng itu menelan ludah,
hingga jakunnya yang besar tampak naik-turun. Sinar
matanya berubah kurang ajar, membuat Dewi Pedang
Halilintar muak dan jijik.
"Bangsat!" geram si nenek, menghalau rasa
gentar di hatinya. "Kalian berdua bandot tua yang tak
tahu malu! Kalau kalian memang ingin bersenang-
senang, makan pedangku ini! Hiattt...!"
Menggembor keras Dewi Pedang Halilintar.
Nenek itu pada dasarnya memang bukan seseo-
rang yang takut mati ataupun berjiwa pengecut. Walau
sadar dan tahu benar bila dirinya bukanlah lawan
yang seimbang bagi Sabit Maut maupun Cangkul Sak-
ti, dia malah mendahului menerjang. Melihat keadaan
yang sudah tak memungkinkan lagi untuk berlari me-
nyelamatkan diri, si nenek jadi nekat dan bermaksud
mengadu nyawa.
"Kita hadapi mereka bersama, Eyang...!" seru
Kemuning.
Sementara Dewi Pedang Halilintar menyerang
Sabit Maut, gadis cantik itu menerjang Cangkul Sakti.
Pedang si gadis berkelebat cepat sekali. Tusukan atau-
pun sabetannya senantiasa menimbulkan ledakan ke-
ras yang memekakkan gendang telinga. Agaknya, Ke-
muning menyerang Cangkul Sakti dengan jurus
'Pedang Halilintar Rontokkan Awan'.
"Jangan nekat, Kemuning!" teriak Dewi Pedang
Halilintar sambil mengirim tusukan ke dada Sabit
Maut. "Ingat kata-kataku tadi!"
"Tidak, Eyang! Aku akan tetap di sini bersama
Eyang!" sahut Kemuning seraya menyerang Cangkul
Sakti lebih gencar.
Mendengus gusar Dewi Pedang Halilintar. Ke-
nekatan Kemuning membuatnya kalap. Si nenek menyerang Sabit Maut dengan membabi buta. Dia kelua-
rkan jurus-jurus andalannya, hingga bilah pedangnya
berubah menjadi selarik sinar kuning yang terus me-
nusuk dan membabat amat berbahaya.
Namun, tampaknya sabit bergagang. panjang di
tangan Sabit Maut dapat meredam semua serangan
Dewi Pedang Halilintar. Setiap terjadi benturan, Dewi
Pedang Halilintar selalu meringis kesakitan. Pedang si
nenek bergetar kencang, membuat jemari tangannya
terasa amat ngilu dan kesemutan.
"Hiahhh...!"
Dewi Pedang Halilintar menggeram marah. Di-
keluarkannya seutas tali putih pipih dari balik baju.
Begitu dialiri kekuatan tenaga dalam, tali itu langsung
diselubungi lidah-lidah api yang menebarkan hawa
amat panas!
"Cambuk Api Neraka...!" seru Sabit Maut, me-
nyebut nama senjata di tangan kiri Dewi Pedang Hali-
lintar.
"Ya! Ini memang Cambuk Api Neraka! Makan-
lah...!" sahut Dewi Pedang Halilintar seraya menya-
betkan cambuknya ke muka.
Jderrr...!
"Ih...!"
Sambil berkelit, bergegas Sabit Maut mengirim
serangan balasan. Senjata di tangannya berkelebat ce-
pat dan mengeluarkan suara berdesing, mengincar ja-
lan kematian di tubuh Dewi Pedang Halilintar.
Sementara, pertempuran antara Dewi Pedang
Kuning dan Cangkul Sakti berjalan berat sebelah. Wa-
lau Kemuning telah mengeluarkan jurus terhebatnya,
dia tak dapat meredam kehebatan senjata Cangkul
Sakti yang berupa cangkul bergagang panjang. Selain
kalah tenaga, Kemuning juga kalah pengalaman. Beberapa kali dia terkecoh oleh gerak tipu Cangkul Sakti.
Hingga akhirnya....
Bret...!
"Ah...!"
Terkejut tiada terkira Dewi Pedang Halilintar
mendengar jeritan Kemuning. Namun, nenek itu dapat
bernapas sedikit lega. Senjata Cangkul Sakti hanya
mengoyak kain baju Kemuning. Tubuh si gadis sama
sekali tak terluka.
"Jangan tengak-tengok seperti monyet kehilan-
gan ekor!" ejek Sabit Maut. "Lihat serangan!"
Tak dapat Dewi Pedang Halilintar melihat kea-
daan Kemuning lagi. Karena, Sabit Maut telah mengi-
rim serangan yang amat berbahaya. Senjata si kakek
berkelebat ganas hendak membelah kepalanya. Seran-
gan itu masih dibarengi dengan tendangan maut yang
mengincar ulu hati!
Bret...!
"Ah...!"
Kembali Kemuning menjerit. Kain bajunya ter-
koyak lagi oleh sabetan senjata Cangkul Sakti. Semen-
tara, si kakek tampak tertawa terkekeh-kekeh melihat
bagian tubuh Kemuning yang terbuka. Agaknya, kakek
pendek gemuk itu sengaja hendak mempermainkan
Kemuning.
"Jahanam...!"
Sembari menghindari serangan Sabit Maut,
Dewi Pedang Halilintar yang tak tega melihat muridnya
dipermainkan, meloncat sebat. Ujung pedangnya me-
luncur deras, mengarah batok kepala Cangkul Sakti.
Dan, Cambuk Api Neraka pun bergeletar hendak mem-
babat pinggang si kakek! Tapi....
Des...!
"Argh...!"
Tendangan Sabit Maut keburu bersarang di
punggung Dewi Pedang Halilintar. Akibatnya, si nenek
jatuh tersungkur lalu bergulingan di atas tanah. Cam-
buk Api Neraka-nya terlepas dari cekalan. Saat me-
nyentuh tanah, karena tak teraliri kekuatan tenaga da-
lam lagi, lidah-lidah api yang menyelubungi senjata itu
langsung hilang. Hingga, Cambuk Api Neraka berubah
ke wujudnya semula, yaitu seutas tali putih berbentuk
pipih.
Darah segar keluar dari sudut bibir Dewi Pe-
dang Halilintar. Napasnya terasa buntu. Dan, tena-
ganya pun telah banyak berkurang. Melihat wajah si
nenek yang pucat pasi, jelas bila dia menderita luka
dalam.
Ketika meloncat bangkit, melototlah bol mata
nenek itu. Sekitar tujuh tombak dari hadapannya, sen-
jata Cangkul Sakti berkelebat cepat sekali. Lagi-lagi
Kemuning menjerit ngeri. Namun, tubuhnya tetap tak
terluka. Hanya kain bajunya yang semakin terkoyak-
koyak.
"Ha ha ha...!" tawa senang Cangkul Sakti. "Tu-
buhmu mulus sekali, Anak Manis. Tahukah kau, ali-
ran darahku jadi berdesir tak karuan? Ha ha ha...! Aku
ingin... aku ingin...."
Mendadak, kakek bertubuh pendek gemuk itu
menerkam. Tak dia pedulikan ujung pedang Kemuning
yang terjulur lurus ke dadanya!
"Mati kau!" seru Kemuning.
Dan..., tusukan gadis itu benar-benar mengenai
sasaran! Tapi, dia sendiri malah memekik keras. Se-
mentara, Sabit Maut terus tertawa. Kedua tangannya
membuka untuk segera memeluk tubuh sintal Kemun-
ing!
Sabit Maut sama sekali tak terluka walau pe
dang Kemuning tampak telah menusuk tembus da-
danya. Tak ada darah yang menguour. Bahkan, kain
baju si kakek tak robek sedikit pun!
Apa yang terjadi?
Kemuning terpaku memikirkan keanehan itu!
Tiba-tiba, pedang Kemuning terpental lepas dari
cekalan karena terbentur senjata Cangkul Sakti. Da-
lam keterkejutannya, gadis itu merasakan tubuhnya
limbung, seperti terjepit balok baja yang amat kuat!
Kemudian..., ada suatu benda lunak yang me-
nelusuri pipi dan bibir Kemuning. Membuat si gadis
bergidik jijik. Cangkul Sakti telah menindih dan men-
daratkan ciuman ganas bertubi-tubi!
"Setan alas!" gembor Dewi Pedang Halilintar
yang melihat Kemuning digumuli Cangkul Sakti.
Tak peduli pada luka dalamnya, nenek itu me-
loncat cepat. Pedangnya berkelebat hendak membabat
kepala Cangkul Sakti sampai tanggal. Tapi....
Trang...!
Pedang si nenek keburu lepas dari cekalan.
Senjata Sabit Maut telah mengait dan melontarkannya!
Ketika Dewi Pedang Halilintar berdiri terpaku,
Sabit Maut berkelebat menerkam. Dan..., tubuh dua
anak manusia yang sudah tak muda lagi itu jatuh ber-
gulingan di tanah. Apa yang terjadi pada Kemuning,
terjadi pula pada diri Dewi Pedang Halilintar....
***
TIGA
BURUNG-BURUNG menceracau parau. Terbang
melesat dari pucuk dedaunan. Mereka tak sampai hati
melihat adegan yang tengah berlangsung di pinggir hu-
tan kecil itu. Hembusan angin yang mendesau seakan
turut mengutuk perbuatan tak senonoh Sabit Maut
dan Cangkul Sakti.
"Jahaham! Lepaskan aku!"
"Ha ha ha....! Kenapa minta dilepaskan? Bu-
kankah aku hendak membuatmu senang?"
"Jangan! Tak tahu malu!"
"Hmmm.... Kau cantik sekali, Anak Manis. Ayo-
lah, kita pergi ke surga bersama-sama. Ha ha ha...!"
Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning me-
nyumpah serapah. Mereka memberontak, berusaha
melepaskan diri....
Namun..., kedua tangan Sabit Maut dan Cang-
kul Sakti merengkuh erat sekali. Walau Dewi Pedang
Halilintar dan Kemuning telah mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya, mereka tetap tak dapat melepaskan
diri dari cengkeraman nafsu kedua kakek itu.
Napas Sabit Maut dan Cangkul Sakti terdengar
memburu, seiring hasrat mereka yang memuncak. Me-
reka seperti tengah berpesta pora, menjadikan Dewi
Pedang Halilintar dan Kemuning sebagai barang mai-
nan.
Burung-burung semakin banyak yang terbang
meninggalkan tempat di pinggir hutan kecil itu. Mere-
ka benar-benar tak kuasa melihat kebiadaban manu-
sia....
* * *
Lelaki berpakaian putih-putih yang tengah
mengintai dari balik batang pohon besar itu menden-
gus gusar. Tubuhnya bergetar karena menahan hawa
amarah.
"Biadab!" geramnya. "Keterlaluan sekali perbua-
tan Sabit Maut dan Cangkul Sakti itu! Aku harus ber-
tindak!"
Tanpa pikir panjang, lelaki yang wajahnya ter-
tutup topeng baja putih itu menjejak tanah, hendak
berkelebat menerjang Sabit Maut dan Cangkul Sakti
yang terus berusaha melepas gairahnya.
Namun... sebelum keluar dari tempat persem-
bunyiannya, dia mendengar suara berkesiur halus.
Cepat dia arahkan pandangan ke asal suara. Dan..., le-
laki yang tak lain Ksatria Topeng Putih itu tak jadi ber-
kelebat keluar dari tempat persembunyiannya karena
melihat sesosok bayangan yang mendahului menye-
rang Sabit Maut dan Cangkul Sakti!
Tep...! Tep...!
Sosok bayangan yang muncul dari kelokan ja-
lan setapak di pinggir hutan kecil itu langsung men-
jambret tengkuk Sabit Maut dan Cangkul Sakti. Cepat
sekali gerakan si bayangan. Tahu-tahu tubuh Sabit
Maut dan Cangkul Sakti terlontar tinggi ke udara, lalu
jatuh terbanting di tanah!
Bresss...! Brukkk...!
"Wuahhh...! Uhhh...!"
Memekik parau kedua kakek seperguruan itu
dalam rasa gusar dan amarah. Mereka benar-benar
kecewa karena gagal melampiaskan hasrat hati mereka
terhadap Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning.
"Jahanam...! Berani benar kau menggangguku!"
geram Sabit Maut sambil membenarkan letak pa-
kaiannya yang sedikit kedodoran.
"Keparat...! Kau pasti telah bosan hidup!"
Cangkul Sakti turut menggeram marah.
Dengan tatapan beringas, Sabit Maut dan
Cangkul Sakti menatap seorang pemuda remaja yang
tengah berdiri tegak tak seberapa jauh dari hadapan
Dewi Pedang Halilintar dan muridnya. Pemuda itu ber-
paras tampan, mengenakan pakaian biru-biru dengan
ikat pinggang kain merah.
Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh!
"Ajak Kemuning menyingkir dulu, Nek...," ujar
si pemuda, tak mempedulikan Sabit Maut dan Cangkul
Sakti. "Aku tak bisa melihat Kemuning dalam keadaan
seperti ini...."
"Ya..., ya!" sahut Dewi Pedang Halilintar sambil
meringis kesakitan. Luka dalam akibat tendangan di
punggung membuat sekujur tubuhnya amat nyeri.
Kemuning tak dapat mengucap sepatah kata
pun melihat Pendekar Bodoh telah menyelamatkan ke-
hormatannya. Bibir si gadis tampak bergetar, namun
tetap tak ada suara yang keluar. Walau begitu, sinar
matanya jelas menyiratkan rasa syukur dan ucapan
terima kasih mendalam.
Gadis cantik itu baru menyadari keadaan saat
Dewi Pedang Halilintar menuntunnya untuk diajak
berlalu dari hadapan Seno.
"Kau dan muridmu jangan pergi jauh-jauh du-
lu, Nek...," pinta Seno. "Aku tahu kau terluka dalam.
Aku pun tak ingin pertemuanku dengan Kemuning kali
ini berlalu dengan cepat."
"Aku tahu kau memiliki kesaktian hebat. Tapi,
jangan remehkan kemampuan kedua kakek itu," sahut
Dewi Pedang Halilintar.
"Jangan khawatir.... Aku bisa mengukur ke-
mampuan orang."
Mendengar perkataan Pendekar Bodoh yang
tampak penuh keyakinan, Dewi Pedang Halilintar tak
menyahuti. Dia terus berjalan sambil berpegangan pa-
da pinggang Kemuning.
"Bocah edan! Siapa kau?!" bentak Sabit Maut,
mendekati Pendekar Bodoh seraya memungut senja-
tanya yang berupa sabit bergagang panjang.
"Siapa aku? Hmmm.... Justru kaulah yang ha-
rus menjawab pertanyaan itu!" sergap Seno. "Melihat
perbuatan busukmu tadi, gatal tanganku untuk segera
menghadiahkan bogem mentah!"
"Sontoloyo!" maki Cangkul Sakti yang juga telah
memungut senjata andalannya. "Berani benar kau
berkata seperti itu! Apa kau tidak tahu bila sedang
berhadapan dengan Cangkul Sakti dan Sabit Maut?!"
"Hmmm.... Cangkul Sakti dan Sabit Maut? Ju-
lukan yang terdengar ganjil. Tapi..., kukira pantaslah
kalian berdua berjuluk seperti itu. Mungkin karena tak
dapat lagi menggarap sawah-ladang di saat kemarau
panjang, kalian lalu berkeliaran menjadi durjana hina-
dina!"
"Jahanam! Makan kesombonganmu itu!"
Sambil berteriak lantang, Sabit Maut melompat
ke depan. Senjata sabit bergagang panjang di tangan-
nya berkelebat cepat untuk mengait dan menebas leh-
er Pendekar Bodoh!
Wuttt...!
Serangan Sabit Maut hanya mengenai tempat
kosong karena Pendekar Bodoh telah melompat ke be-
lakang. Namun sebelum kaki si pemuda menginjak
permukaan tanah, Cangkul Sakti menyambung seran-
gan saudara seperguruannya yang gagal. Cangkul ber-
gagang panjang kakek pendek gemuk itu menderu ga-
nas untuk mengemplang kepala!
Bergegas Pendekar Bodoh meloloskan Tongkat
Dewa Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Dan...,
begitu senjata berupa tongkat putih sepanjang dua
jengkal itu dikibaskan, terbelalaklah mata Cangkul
Sakti.
Wuttt...!
Tas...!
Gagang cangkul yang sebenarnya terbuat dari
kayu pilihan tak kuasa menahan benturan senjata
Pendekar Bodoh. Patah menjadi dua bagian! Mata
cangkulnya terpental ke udara lalu jatuh berdentang di
tanah.
Sementara, tiupan angin yang ditimbulkan oleh
kibasan Tongkat Dewa Badai mampu membuat tubuh
Cangkul Sakti terhempas, dan jatuh terbanting-
banting!
Sabit Maut turut terkejut bagai disambar petir.
Bola matanya melotot besar dengan mulut terbuka le-
bar. Dia seperti tak percaya pada penglihatannya sen-
diri. Bagaimana mungkin Cangkul Sakti bisa dipecun-
dangi begitu mudah pada gebrakan pertama?
"Kau tampak sangat terkejut, Kek. Apa kau se-
dang melihat hantu di siang bolong begini?" ejek Seno
dengan suara datar.
"Keparat...!" geram Sabit Maut.
Mengikuti hawa amarahnya, kakek kurus ke-
rempeng itu menerjang kalap. Senjatanya berkelebat
lagi, mengeluarkan suara menderu ganas, menya-
kitkan gendang telinga dan terasa mengiris kulit.
Pendekar Bodoh yang sempat melihat perla-
kuan Sabit Maut terhadap Dewi Pedang Halilintar, tak
mau memberi hati. Saat senjata Sabit Maut berada te-
pat di depan matanya, dia kibaskan Tongkat Dewa Ba-
dai dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyambar Pisang'
yang dipelajarinya dari Dewa Dungu.
Wesss...!
Sabit Maut tahu kehebatan senjata di tangan
Seno. Dia tarik senjata sabit bergagang panjangnya.
Namun, walau senjata itu dapat diselamatkan, tubuh
si kakek tetap saja terhempas oleh gelombang angin
pukulan yang tercipta dari kibasan Tongkat Dewa Ba-
dai!
"Wuahhh...!"
Brukkkk...!
Diiringi pekik panjang, tubuh Sabit Maut jatuh
terbanting tepat di sebelah kanan Cangkul Sakti yang
masih duduk mengelus-elus punggung. Sementara Sa-
bit Maut mengaduh-aduh kesakitan, Cangkul Sakti
tampak terlongong bengong.
Kakek pendek gemuk itu sangat terkejut ber-
campur heran. Dia dan saudara seperguruannya ada-
lah dua tokoh tua yang telah punya nama besar di
rimba persilatan. Tapi, kenapa menghadapi seorang
pemuda yang tampak masih bau kencur saja, mereka
mudah sekali dirobohkan?
"Kita gunakan ilmu 'Pengganda Raga'...," bisik
Sabit Maut seraya bangkit berdiri dan menyambar sen-
jatanya yang kebetulan jatuh tak seberapa jauh.
Bergegas Cangkul Sakti melompat ke depan. Di
lain kejap, pergelangan tangan kakek pendek gemuk
itu berubah warna menjadi hitam kehijauan. Bau amis
menebar ke mana-mana, amat menusuk lubang hi-
dung!
Walau Cangkul Sakti telah kehilangan senja-
tanya, tapi kedua tangan si kakek tak kalah berba-
haya. Dia menyerang Seno dengan ilmu pukulan yang
mengandung hawa beracun.
Sementara, Sabit Maut pun telah menerjang
ganas. Senjata di tangan kakek kurus kerempeng itu
berseliweran, mengincar bagian-bagian terpenting di
tubuh Pendekar Bodoh!
Dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyembah
Dewa', Seno selalu dapat menghindari serangan Sabit
Maut. Dan, kibasan Tongkat Dewa Badai yang mem-
punyai khasiat pemusnah racun juga selalu dapat me-
nawarkan pengaruh hawa beracun yang menebar dari
kedua pergelangan tangan Cangkul Sakti.
Bahkan, setelah tiga jurus berlalu, Seno dapat
menekan pertahanan Sabit Maut dan Cangkul Sakti.
Kedua kakek itu jadi amat kerepotan. Semua serangan
mereka selalu dapat dimentahkan. Batang Tongkat
Dewa Badai dan kepalan tangan Seno berkelebatan,
mengurung mereka dari berbagai penjuru. Hingga
sampai akhirnya....
Wuttt...!
Cusss...!
Pukulan Pendekar Bodoh yang hanya dialiri se-
bagian kecil kekuatan tenaga dalam tepat bersarang di
dada Sabit Maut. Namun, Pendekar Bodoh malah me-
mekik kaget.
"Ya, Tuhan...."
Murid Dewa Dungu itu sama sekali tak me-
nyangka melihat kepalan tangan kirinya yang tembus
sampai ke punggung Sabit Maut!
Kontan Pendekar Bodoh menyesal bukan main,
karena merasa telah menjatuhkan maut.
Tapi, keterkejutan kembali menghantam diri
Pendekar Bodoh. Tubuh Sabit Maut ternyata tak ber-
geming sedikit pun! Si kakek tetap berdiri tegak tanpa
setetes darah yang keluar dari dadanya. Tubuh si ka-
kek seakan telah berubah jadi bayangan yang tahan
pukulan.
Selagi Seno terpaku dalam keterkejutan, ter-
dengar suara berdesing keras. Cepat pemuda remaja
itu menyadari keadaan. Dia rundukkan kepalanya un-
tuk menghindari sambaran senjata Sabit Maut. Namun, tak urung tendangan Cangkul Sakti menerpa
bahu kirinya!
Des...
"Uhhh...!"
Tubuh Seno jatuh terguling ke tanah. Ringis
kesakitan segera menghiasi bibirnya. Belum sempat
dia meloncat bangkit, tubuh Cangkul Sakti tampak
melesat cepat sekali. Tangan kanan kakek pendek ge-
muk itu meluncur deras dari atas untuk menggedor
dada Seno. Jelas bahaya maut tengah mengintai nya-
wa Seno, karena kepalan tangan Cangkul Sakti men-
gandung hawa beracun, amat mematikan!
Ksatria Topeng Putih yang mengintai dari balik
batang pohon membelalakkan mata. Tentu saja dia tak
ingin melihat Pendekar Bodoh mati di tangan Cangkul
Sakti. Namun, sekali lagi dia membatalkan niatnya un-
tuk keluar dari tempat persembunyian. Dia melihat
Pendekar Bodoh mengacungkan tangan kanannya ke
atas. Salah satu ujung Tongkat Dewa Badai yang runc-
ing hendak memapaki luncuran tubuh Cangkul Sakti!
Wuttt...!
Cusss...!
Kalau ada orang disengat kalajengking selagi ti-
dur nyenyak, begitulah kira-kira keterkejutan yang
tengah dirasakan Seno. Ujung Tongkat Dewa Badai te-
pat menancap di dada Cangkul Sakti. Tapi..., tongkat
mustika itu seperti menusuk sebuah bayangan. Tak
ada suara jerit kesakitan yang keluar dari mulut
Cangkul Sakti. Tak ada pula darah yang menetes. Jerit
kesakitan justru keluar dari mulut Seno!
Punggung pemuda berparas tampan itu terbe-
nam setengah jengkal ke tanah. Walau masih sempat
berkelit, bahu kirinya yang tadi telah kena tendang,
menjadi sasaran pukulan Cangkul Sakti!
Tanpa pikir panjang, Seno mengempos tenaga.
Dengan menggunakan Ilmu 'Lesatan Angin Meniup
Dingin', dia buang tubuhnya jauh-jauh. Setelah bersal-
to tiga kali di udara, dia mendarat sigap di tanah.
Namun, ringis kesakitan terus menghiasi bibir
Seno. Bahu kirinya terasa amat panas dan pedih luar
biasa!
Cepat pemuda itu nenyingkapkan kain baju.
Ternyata, kulit bahunya yang kena pukulan Cangkul
Sakti berubah warna menjadi hitam kehijauan.
"Racun...," desis Seno.
Mengetahui ada hawa beracun yang bersarang
di tubuhnya, bergegas di tempelkan Tongkat Dewa Ba-
dai ke bahu kiri. Di lain kejap, Tongkat Dewa Badai
yang semula berwarna putih bersih menjadi hitam ke-
hijauan. Dan, bahu kiri Seno kembali ke warna as-
linya, putih kemerahan. Itu berarti hawa beracun aki-
bat pukulan Cangkul Sakti telah tersedot oleh batang
tongkat mustika Dewa Badai.
"Phuhhh...!"
Wesss...!
Seno meniup. Warna hitam kehijauan pada
Tongkat Dewa Badai langsung pudar, kembali putih
bersih tanpa noda.
Namun..., murid Dewa Dungu itu tampak ter-
surut mundur saat melihat Sabit Maut dan Cangkul
Sakti berjalan mendekatinya.
"Kepalan tanganku..., bahkan Tongkat Dewa
Badai telah menembus tubuh kedua kakek itu. Tapi,
kenapa mereka sama sekali tak terluka?" kata hati
Pendekar Bodoh, mencetuskan rasa heran. "Apakah
mereka mempunyai nyawa rangkap? Atau mungkin,
mereka dapat mengelabuiku? Tapi, mengelabui bagai-
mana?"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sabit Maut. "Wajahmu
pucat sekali, Bocah Edan! Kau terkejut melihat kesak-
tian kami, bukan? Baiklah, aku akan menghilangkan
keterkejutanmu itu. Tapi, tentu saja lewat cara menu-
karnya dengan nyawamu!"
Senjata Sabit Maut berkelebat lagi. Cangkul
Sakti turut menerjang kembali. Cepat Pendekar Bodoh
menghalau rasa gentarnya. Dia pun balas menyerang.
Akan tetapi..., pukulan ataupun tusukan Tongkat De-
wa Badai yang mengenal sasaran, tetap tak mampu
merobohkan Sabit Maut dan Cangkul Sakti. Pendekar
Bodoh seperti memukul ataupun menusuk bayangan!
Sementara, Sabit Maut dan Cangkul Sakti terus me-
nyerang gencar....
Melihat Seno terdesak hebat, Ksatria Topeng
Putih yang masih mengintai jalannya pertempuran, tak
mau tinggal diam. Sebagai seorang tokoh yang sudah
matang pengalaman, Ksatria Topeng Putih tahu raha-
sia kehebatan ilmu kesaktian Sabit Maut dan Cangkul
Sakti. Maka, dia buka rahasia itu kepada Seno dengan
membisikkannya melalui ilmu mengirim suara dari ja-
rak jauh.
"Kau Jangan terkecoh! Kedua lawanmu itu
menggunakan ilmu sihir bernama 'Pengganda Raga'
Yang senantiasa kau serang hanya bayangan mereka.
Cepat himpun kekuatan batinmu!"
Sambil berkelit ke sana-sini, Seno mengedarkan
pandangan untuk mencari orang yang telah memberi
petunjuk. Namun, dia tak melihat siapa-siapa. Ksatria
Topeng Putih telah menyembunyikan tubuhnya di ba-
lik batang pohon besar.
"Aku tak tahu siapa yang telah memberi petun-
juk kepadaku. Tapi, ada baiknya bila kucoba...," kata
hati Pendekar Bodoh kemudian.
Sambil terus menghindari serangan Sabit Maut
dan Cangkul Sakti, Pendekar Bodoh berusaha meng-
himpun kekuatan batinnya. Begitu dapat, dia lenting-
kan tubuhnya cepat sekali. Lalu dengan jurus 'Dewa
Badai Turun ke Bumi', dia jatuhkan pukulan ke dada
Cangkul Sakti!
Desss...!
"Argh...!"
Bersorak girang Seno dalam hati. Dia melihat
tubuh Cangkul Sakti terlontar jauh diiringi pekik ke-
sakitan. Kekuatan batin Seno ternyata memang dapat
mengatasi ilmu 'Pengganda Raga' Cangkul Sakti.
Di lain kejap, senjata Sabit Maut pun terlepas
dari cekalan dan terpental tinggi ke udara. Tubuh ka-
kek kurus kerempeng itu juga mencelat jauh, menyu-
sul Cangkul Sakti yang telah rebah di tanah!
Namun... sambil menahan rasa sakit yang me-
rejam tubuh, mereka meloncat bangkit, lalu menye-
rang nekat dengan tangan kosong!
Pendekar Bodoh yang sudah tahu rahasia ilmu
kesaktian kedua kakek itu, bersikap tenang-tenang sa-
ja. Terjangan Sabit Maut dan Cangkul Sakti dibalasnya
dengan kibasan Tongkat Dewa Badai!
Wesss...!
Bresss...!
Sekali lagi, tubuh Sabit Maut dan Cangkul Sak-
ti terlontar ke udara, lalu jatuh terbanting di tanah.
Wajah mereka pucat pasi dengan darah segar me-
rembes dari sudut bibir. Kedua kakek itu hanya dapat
duduk mendeprok sambil menatap takut-takut sosok
Pendekar Bodoh.
Saat si pemuda mengacungkan Tongkat Dewa
Badai-nya, Sabit Maut dan Cangkul Sakti beringsut
mundur. Sinar mata mereka jadi amat nyalang. Rasa
takut dan gentar telah merajai akal pikiran mereka.
"Jangan...!" desis Sabit Maut dan Cangkul Sak-
ti, hampir bersamaan.
Seno menghentikan langkahnya seraya berkata,
"Aku masih mau memberi kesempatan kepada kalian
untuk menghirup udara segar. Jadilah orang baik-
baik. Tapi, ingat! Lain kali kalau aku masih melihat
kalian berbuat jahat, tak akan ada ampunan lagi! Per-
gilah...!"
Di ujung kalimatnya, Pendekar Bodoh mengi-
baskan Tongkat Dewa Badai. Gelombang angin puku-
lan yang tercipta membuat tubuh Sabit Maut dan
Cangkul Sakti terangkat dari permukaan tanah. Sete-
lah jatuh bergulingan, mereka langsung lari lintang-
pukang....
Seno melihat kepergian kedua kakek itu sambil
nyengir kuda beberapa lama. Sesaat kemudian, dia
mengedarkan pandangan. Dicarinya orang yang telah
membisikkan rahasia ilmu kesaktian Sabit Maut dan
Cangkul Sakti. Tapi, Ksatria Topeng Putih telah berke-
lebat pergi meninggalkan tempat.
Namun, Seno tak jadi kecewa. Matanya berbi-
nar-binar saat melihat Kemuning berjalan mendatan-
ginya.
"Seno...!" seru gadis itu seraya menghambur.
Cepat Pendekar Bodoh menyelipkan kembali
Tongkat Dewa Badai-nya ke ikat pinggang. Lalu, dia
sambut kedatangan Kemuning dengan pelukan han-
gat.
"Terima kasih, Seno...," desis Kemuning, balas
memeluk.
Pendekar Bodoh tak berkata apa-apa. Tapi di
dalam hati, dia berseru girang bukan main. Kembang
mimpinya telah berada dalam pelukan. Tak ada kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan Seno saat itu....
***
EMPAT
MENYESAL aku telah berlaku sombong...," de-
sah Pendekar Bodoh. "Kalau saja tidak ada orang yang
membantuku, kemungkinan besar aku akan mati di
tangan mereka."
"Membantumu? Aku tak melihat siapa-siapa...,"
ungkap Kemuning.
"Ada orang yang mengirim bisikan dengan ilmu
mengirim suara. Dia membuka rahasia ilmu kesaktian
Sabit Maut dan saudara seperguruannya."
"Siapa dia?" tanya Dewi Pedang Halilintar.
Kepala Seno menggeleng lemah. "Entahlah. Aku
juga tak melihat siapa-siapa, Aku hanya mendengar
bisikan yang tak kukenali warna suaranya." Percaka-
pan terhenti.
Ketiga anak manusia yang tengah duduk di
bawah naungan pohon besar itu larut dalam pikiran
masing-masing. Tercetus dalam benak Seno keinginan
mengantar Kemuning dan gurunya ke Pondok Mataha-
ri.
Tapi, teringat akan kejahatan Setan Selaksa
Wajah yang telah membuat lumpuh kedua kaki Dewa
Dungu, Seno jadi ragu. Jika kewajiban belum tertunai-
kan, tak pada tempatnya bila dia bersenang-senang.
Bukankah masih banyak waktu untuk dapat membuat
perjumpaan lagi dengan Kemuning?
Sepi berkuasa penuh atas suasana siang di
pinggir hutan kecil itu. Tak ada kicau burung yang
terdengar. Satwa-satwa yang berada di dalam hutan
pun membisu. Hanya desau angin yang mampu meng-
getarkan gendang telinga. Ranting pepohonan meliuk
lemah, melambai malas dalam kejenuhan.
Sepi terpecah manakala Kemuning tertawa geli
mengikik. Kontan Seno tersentak dari lamunannya, la-
lu mengangkat wajah dengan tatapan tak mengerti.
Dewi Pedang Halilintar juga menatap wajah muridnya
dengan kening berkerut rapat.
"Kau menertawakan apa, Kemuning?" Seno
mendahului bertanya.
"Tentu saja aku menertawakan sesuatu yang
menggelikan," jawab Kemuning, tersenyum-senyum.
"Apa?" buru Seno.
"Bukan apa' tapi 'siapa'!"
"Maksudmu?"
"Kaulah yang ku tertawakan! Hik hik hik...."
"Aku?"
"Hik hik hik...."
"Uh! Kenapa kau menertawakan aku?!"
"Wajahmu itu!"
"Kenapa?"
"Amat polos, bahkan terkesan amat tolol! Hik
hik hik.... Tak salah bila aku dulu memberimu julukan
Pendekar Bodoh!"
"Uuuh!" sungut Seno.
"Kau jangan main-main, Kemuning!" tegur Dewi
Pedang Halilintar yang merasa tak enak hati melihat
sikap muridnya. Seno baru menyelamatkan kehorma-
tan dan juga nyawa mereka. Sangat tak terpuji kalau
Seno malah diolok-olok.
"Ah! Tak jadi apa. Aku memang tolol! Otakku
memang bebal!" seru Seno kemudian. Namun, walau
mulutnya berkata begitu, hatinya mengatakan lain.
Mana ada orang yang suka disebut bodoh ataupun to-
lol?
"Hik.... Aku cuma bercanda, Seno. Kenapa di-
ambil hati?" sahut Kemuning, tampaknya dapat mera-
sakan isi hati Pendekar Bodoh. "Aku tahu kau berkali-
kali menanam budi kepadaku. Dan sekarang, kau te-
lah menanam budi pula kepada guruku. Bagaimana
mungkin kalau aku malah mengejekmu?"
"Ya! Ya, aku tahu kau bercanda," sambut Seno,
namun bibirnya masih merengut kesal
Dewi Pedang Halilintar beringsut mendekati
Kemuning. Luka dalam nenek itu sudah tak memba-
hayakan jiwanya lagi. Beberapa waktu lalu, Pendekar
Bodoh telah membantu mengatasi luka dalam si ne-
nek.
"Kalau bicara di hadapannya, kau jangan cep-
las-ceplos!" tegur Dewi Pedang Halilintar, berbisik di
telinga Kemuning.
"Setelah memperhatikan wajahnya. Hik hik....
Aku juga ingin tertawa, tapi ku tahan. Hik hik hik...."
Mendengar bisikan itu, Kemuning malah terta-
wa lebar. Badannya sampai terbungkuk-bungkuk.
Agaknya, Kemuning amat mudah melupakan peristiwa
yang baru dialaminya. Perbuatan Cangkul Sakti yang
tak senonoh sepertinya telah hilang dari benak Ke-
muning.
Bibir Seno makin merengut. Bola matanya
mendelik menatap wajah Kemuning. Tapi, hal itu ju-
stru membuat raut wajahnya makin tampak menggeli-
kan. Dewi Pedang Halilintar pun tak dapat lagi mena-
han tawanya.
"Uuuhhh...! Seballl...!" sungut Seno. "Orang wa-
ras biasa menertawakan orang gila. Sebaliknya, orang
gila juga biasa menertawakan orang waras. Sekarang
aku melihat dua orang menertawakan aku. Karena aku
merasa tak gila, berarti merekalah yang gila!"
Sindiran Pendekar Bodoh tepat mengenai sasa-
ran. Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning langsung
menghentikan tawanya.
"Silakan kalau kalian hendak berangkat ke
Pondok Matahari sekarang," ujar Pendekar Bodoh ke-
mudian. "Aku juga hendak meninggalkan tempat ini.
Ada banyak urusan yang harus segera kuselesaikan."
"Kau marah?" tanya Kemuning, tak main-main
lagi.
"Aku tak akan marah pada orang yang kucin...
eh...."
"Eh... apa?"
Pendekar Bodoh yang merasa hampir kelepasan
bicara tampak memerah wajahnya. Namun, cepat dia
alihkan pembicaraan. "Aku harus segera membuat
perhitungan dengan Setan Selaksa Wajah! Aku juga
harus mencari Ksatria Seribu Syair!"
"Ksatria Seribu Syair?" sergap Dewi Pedang Ha-
lilintar tampak kaget.
"Ya. Kenapa dengan dia? Bukankah tempo hari
sudah kukatakan bila Ksatria Seribu Syair adalah
ayahku? Namun, walau begitu, aku punya perhitungan
tersendiri dengan orang itu. Dia telah membuat Ibuku
hidup sengsara!"
Dewi Pedang Halilintar dan Kemuning terdiam.
Mendengar nada ucapan Pendekar Bodoh yang me-
ninggi, sedikit-banyak mereka dapat mengetahui apa
yang tengah dirasakan si pemuda saat itu.
"Maaf...," ujar Dewi Pedang Halilintar. "Sering
kali harapan sangat jauh berbeda dengan kenyataan.
Banyak kejadian atau peristiwa di dunia ini yang
membuat manusia jadi kecewa. Tapi kukira, kau akan
dapat menerima kenyataan ini dengan dada lapang,
Seno. Ksatria Seribu Syair memang bukan orang baik-
baik.... Dia suka mengumbar nafsu buruknya kepada
gadis-gadis yang tak berdosa!"
"Eyang!" tegur Kemuning, keras sekali. "Maaf,
Eyang. Bukan aku hendak mengajari Eyang. Tuduhan
yang tidak ada bukti adalah fitnah. Dan kukira, mem-
fitnah adalah perbuatan yang amat jahat!"
Dewi Pedang Halilintar tersenyum tipis. Dita-
tapnya lekat-lekat wajah Kemuning seraya berkata,
"Lebih dari separo usiamu kau selalu bersamaku, Ke-
muning. Aku mengenal watak dan tabiatmu dengan
baik. Aku pun yakin bila kau juga mengenal watak dan
tabiatku dengan baik. Selama bersamaku, pernahkah
kau melihat aku menjatuhkan fitnah kepada orang
lain?"
Kemuning menunduk.
Seno membuka telinga lebar-lebar, mendengar-
kan ucapan Dewi Pedang Halilintar dengan seksama.
Dia memang perlu mengorek keterangan perihal Ksa-
tria Seribu Syair sebanyak-banyaknya.
"Walau sikapmu terhadap Seno tampak acuh
tak acuh bahkan terkesan meremehkan, tapi aku tahu
kalau kau sebenarnya menaruh hati kepadanya," lan-
jut Dewi Pedang Halilintar. "Mendengar kata-katamu
tadi, aku pun dapat menduga apa yang ada di hatimu.
Kau tentu tak sampai hati atau mungkin sangat tak
percaya bila orang yang kau cintai sesungguhnya ada-
lah keturunan orang jahat...."
Begitu blak-blakan Dewi Pedang Halilintar.
Pendekar Bodoh tersinggung, tapi dia dapat menahan
diri. Lain lagi dengan Kemuning....
"Eyang...!" jerit si gadis dengan mata berkaca
kaca. "Eyang jangan berkata seperti itu. Aku...."
"Ah! Sudahlah, Kemuning...," sela Pendekar
Bodoh. "Tak perlu berkata kasar kepada gurumu. Jan-
gan buat dosa. Aku tahu siapa diriku. Untuk apa dibe-
la? Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga.
Mungkin peribahasa itulah yang membuatmu tak enak
hati. Tapi, harap kau tahu, Kemuning. Kalau pun ke-
lak ayahku memang terbukti sebagai orang jahat, kau
akan tetap mengenalku sebagai pribadi Seno yang se-
karang ini. Orang jahat tak selamanya mempunyai ke-
turunan jahat. Orang berbudi luhur tak selamanya
mempunyai keturunan orang yang baik budi pula. Du-
nia ini ada banyak macam keanehan, Kemuning. Tapi,
semuanya tak lepas dari kehendak Tuhan juga. Harap
kau mengerti dan menyadarinya.... Aku bukan orang
jahat, dan tak pernah berpikir dalam benakku untuk
berbuat jahat. Kau tentu tahu itu, Kemuning...."
Pendekar Bodoh bicara cukup panjang. Kata-
kata yang keluar dari mulutnya terdengar runtut. Keti-
ka dia berkata penuh kesungguhan itulah, wajahnya
tak lagi tampak kebodoh-bodohan. Namun, hal itu ju-
stru membuat air mata Kemuning mengalir deras bagai
bendungan yang jebol.
Kemuning sangat terharu mendengar kata-kata
Pendekar Bodoh. Walau dia membisu seribu bahasa,
tapi dalam hatinya telah tercetus satu keyakinan. Sia-
pa pun Seno, bagaimanapun Seno, rasa hatinya terha-
dap pemuda itu tetap tak akan berubah ataupun ber-
kurang sedikit pun.
Memang, sebagai manusia biasa Kemuning pun
tak dapat menipu dan mengelabui rasa hatinya sendiri.
Apalagi, si gadis masih begitu muda. Gejolak jiwa mu-
danya lebih berperan dalam mengambil keputusan.
"Nek...," sebut Pendekar Bodoh kemudian, menatap tak berkedip wajah Dewi Pedang Halilintar.
"Sampai sekarang aku belum pernah bertemu
dengan Ksatria Seribu Syair. Tempo hari ketika aku
mengejarnya, aku kehilangan jejak. Dapatkah kau
memberiku petunjuk, Nek?"
"Sebetulnya tidak seberapa sulit untuk mencari
keterangan tentang ayahmu itu. Saat ini, dia sudah ja-
rang sekali muncul dengan memakai gelar Ksatria Se-
ribu Syair. Tapi kalau kau mendengar gelar Hantu Pe-
metik Bunga, itulah dia."
"Hantu Pemetik Bunga?" kesiap Seno. Julukan
yang didengarnya sudah jelas menyiratkan suatu tin-
dak kejahatan.
"Ya! Dalam setiap kemunculannya, dia selalu
mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih."
"Hah?! Apa, Nek? Topeng baja putih?"
"Aku tahu kau terkejut. Kau pasti telah men-
dengar julukan Ksatria Topeng Putih, atau mungkin
malah sudah pernah berjumpa langsung dengan orang
itu. Ketahuilah Seno, Ksatria Seribu Syair, Hantu Pe-
metik Bunga, dan Ksatria Topeng Putih adalah tiga ju-
lukan atau gelar yang hanya dimiliki oleh satu orang
saja. Ayahmu itu!"
"Tak mungkin...," desis Seno, menggeleng-
geleng.
"Apanya yang tak mungkin? Sebenarnya, aku
punya dendam permusuhan terhadap Hantu Pemetik
Bunga. Dan, aku pernah membuka topeng lelaki itu.
Aku tak salah lihat. Dia memang Darma Pasulangit
atau Ksatria Seribu Syair!" (Tentang peristiwa yang di-
alami oleh nenek ini, bisa diikuti pada serial Pendekar
Bodoh dalam episode : "Ratu Perut Bumi").
"Ah! Benarkah itu, Nek?" sahut Seno, masih
meragu.
"Untuk apa aku berbohong? Apa untungnya
aku memberimu pengertian yang menyesatkan?"
"Tapi..., aku mengenal Ksatria Topeng Putih se-
bagai seorang pendekar budiman. Dia telah banyak
menolongku. Bahkan, tadi pagi dia memberiku banyak
sekali nasihat. Aku tak percaya kalau dia orang ja-
hat...."
"Kau tak percaya, itu hakmu. Aku tak akan
memaksamu untuk percaya. Aku hanya mengatakan
apa yang kuketahui. Namun... kalau kau menganggap
Ksatria Seribu Syair adalah orang yang berbeda den-
gan Ksatria Topeng Putih ataupun Hantu Pemetik
Bunga, pernahkah kau melihat wajah mereka?"
Seno menggeleng. "Aku tak tahu bagaimana ru-
pa ayahku. Aku pun tak tahu bagaimana wajah Ksa-
tria Topeng Putih. Memang benar aku telah beberapa
kali bertemu dengan Ksatria Topeng Putih, tapi aku
tak dapat melihat wajahnya karena dia selalu menge-
nakan topeng...."
"Nah! Di situlah letak kuncinya. Dia selalu
mengenakan topeng karena tak mau wajahnya dikenali
orang. Mungkin dia masih merasa sebagai Ksatria Se-
ribu Syair yang terkenal sebagai pendekar budiman.
Kalau dia orang baik-baik, kenapa malah menyembu-
nyikan jati dirinya? Aku yakin, kau pasti belum men-
genal sama sekali orang itu! Karena memang dia ber-
maksud menyembunyikan jati dirinya kepadamu"
Pendekar Bodoh terdiam. Kali ini dia dapat me-
rasakan kebenaran kata-kata Dewi Pedang Halilintar.
Oleh karena itu, tatapan Seno jadi beringas. Sinar ma-
tanya berkilat-kilat dengan segudang hawa amarah di
hati.
"Jahanam!" geram si pemuda. "Dasar serigala
berbulu domba! Di depanku kau selalu memperlihatkan sikap baik. Tapi..., siapa sangka kalau kau seo-
rang durjana! Keparat!"
Seno berteriak marah seakan melihat Ksatria
Seribu Syair berada di hadapannya. Tak kuasa Seno
menekan perasaannya yang galau dan kalut tak ka-
ruan. Dia bangkit dari duduknya, lalu berkelebat pergi
dengan meninggalkan suara,
"Jahanam! Sampai ke ujung langit pun, aku
akan terus mengejarmu!"
Pendekar Bodoh memang terlalu lugu untuk
dapat menerima kenyataan itu. Jalan pikirannya terla-
lu sederhana. Hingga, begitu mudahnya dia larut da-
lam rasa benci dan dendam.
"Seno...!" seru Kemuning dengan air mata ma-
sih menganak sungai.
Tapi, Pendekar Bodoh tak mau peduli. Dia terus
berlari dan terus berlari....
"Seno...!" teriak Kemuning lagi seraya meloncat
bangkit untuk mengejar.
"Tak perlu!" cegah Dewi Pedang Halilintar. "Kita
harus segera sampai ke Pondok Matahari!"
Kemuning terpaku menatap wajah ketus gu-
runya. Dan, semakin menjadi-jadilah tangis gadis itu.
Walau Kemuning punya sifat keras kepala dan sering
tak mau peduli pada urusan orang lain, tapi apa yang
baru dilihat dan didengarnya sanggup memukul telak
perasaan hatinya. Membuat dia jadi amat sedih dan te-
ramat sedih....
***
LIMA
Di bawah siraman sinar mentari pagi, barisan
pemuda berseragam putih-biru tampak berjalan menu-
ju kaki Bukit Pralambang. Mereka bersenjata lengkap
seperti hendak mengawali sebuah pertempuran besar.
Debu mengepul tebal seiring derap langkah yang
membuat sunyi terpecah
Pemimpin mereka adalah seorang lelaki berpe-
rawakan kekar, mengenakan pakaian putih-kuning
dengan baju luar seperti jubah berwarna merah. Lelaki
itu berumur sekitar lima puluh tahun. Berwajah halus
tampan. Matanya menatap lurus ke depan, amat ja-
rang terkedipkan.
Dia Aji Pamenak, ketua Partai Naga Timur! Aji
Pamenak menunggang kuda putih. Di kanan-kirinya
berjajar kuda lain yang ditunggangi enam pemuda ber-
pakaian ketat putih-kuning. Salah seorang di anta-
ranya membawa umbul-umbul biru bergambar seekor
naga yang disulam dengan benang emas. Itulah simbol
Partai Naga Timur!
Sekitar dua ratus anggota partai yang berjalan
di belakang, tak tahu sama sekali apa maksud Aji Pa-
menak mengajak mereka berkumpul di kaki Bukit Pra-
lambang. Di sepanjang perjalanan, hati mereka senan-
tiasa tergeluti berbagai tanda tanya. Tapi, mereka tak
berani kasak-kusuk. Wibawa Aji Pamenak memang
mampu menciutkan nyali para pemuda anggota partai
yang dipimpinnya.
Di tempat lain, pada waktu yang hampir ber-
samaan, tiga kelompok barisan pemuda juga tampak
bergerak menuju ke kaki Bukit Pralambang sebelah
timur. Masing-masing barisan itu berseragam putih
hijau, putih-merah, dan putih-hitam.
Tiga umbul-umbul dibawa salah seorang dari
mereka, yang menunggang kuda. Umbul-umbul itu
semuanya bergambar naga tersulam dari benang emas.
Hanya saja, kain umbul-umbul berbeda warna, yaitu
hijau, merah, dan hitam.
Barisan pemuda yang juga bersenjata lengkap
itu adalah para anggota Partai Naga Barat, Partai Naga
Selatan, dan Partai Naga Utara. Aji Baguskara, Aji
Kembarapati, dan Aji Rangsang yang menjadi ketua
masing-masing partai tampak menunggang kuda di
depan barisan.
Anehnya, seperti Aji Pamenak, ketiga lelaki ga-
gah itu tatapan matanya sama-sama tertuju lurus ke
depan dan nyaris tak pernah berkedip. Jika diperhati-
kan dengan seksama, dapat dilihat bila keadaan mere-
ka sangatlah tidak wajar.
Memang, mereka telah terkena pengaruh keku-
atan gaib Pusaka Pedang Naga yang sanggup membe-
lokkan jalan pikiran mereka. Pusaka Pedang Naga ada-
lah sebuah senjata bertuah andalan Pendekar Naga
yang pernah jaya pada puluhan tahun silam. Dan, Aji
Pamenak beserta ketiga ketua Partai Naga lainnya ada-
lah keturunan pendekar besar itu.
Sementara, yang membangkitkan kekuatan
gaib Pusaka Pedang Naga tak lain Mahisa Lodra atau
Setan Selaksa Wajah. Si kakek bermaksud menyusun
pasukan untuk menggempur istana Mahespati. Dia
hendak menggulingkan takhta Prabu Wira Parameswa-
ra! (Agar lebih jelas, silakan baca serial Pendekar Bo-
doh dalam episode : "Pengejaran ke Masa Silam").
Manakala mentari terlihat naik sejengkal dari
garis cakrawala, sekitar enam ratus anggota Partai Na-
ga telah sampai di tempat tujuan. Aji Pamenak, Aji Ba
guskara, Aji Kembarapati, dan Aji Rangsang tetap du-
duk di punggung kuda masing-masing. Tatapan mere-
ka pun tetap tertuju lurus ke depan, diam seribu ba-
hasa pula. Ratusan pemuda anggota partai yang mere-
ka pimpin tampak berdiri dengan membentuk empat
kelompok.
Mendadak, dari lereng bukit terdengar suara
tawa panjang bergelak. Disusul berkelebatnya sesosok
bayangan. Setelah bersalto beberapa kali di udara, so-
sok bayangan itu mendarat sigap di atas bongkah batu
besar, di hadapan Aji Pamenak dan ketiga saudaranya.
Orang yang baru datang itu berpakaian serba
merah. Berwajah tampan seperti seorang pemuda dua
puluh lima tahun. Namun sebenarnya, umurnya telah
lebih dari enam puluh tahun. Dia memang memiliki
Ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti', sehingga dia da-
pat mengubah raut wajahnya sedemikian rupa sesuai
keinginan hati.
Ya, dia memang Mahisa Lodra atau Setan Se-
laksa Wajah!
Tangan kanan kakek bertubuh tegap itu men-
cekal sebatang pedang berukuran besar. Hulu pedang
berupa ukiran kepala naga sepanjang dua jengkal.
Dan, bilahnya berlekuk-lekuk seperti keris. Dilihat se-
kilas, pedang itu mirip seekor naga yang tengah meli-
ukkan tubuh. Pusaka Pedang Naga!
Melihat kedatangan Setan Selaksa Wajah, ratu-
san anggota Partai Naga langsung kasak-kusuk. Seba-
gian menatap penuh kebencian. Agaknya, mereka telah
tahu siapa sebenarnya Setan Selaksa Wajah, yang
memang seorang tokoh licik yang biasa berbuat kejam.
Lebih terkejut dan heran pada pemuda itu saat
melihat Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati,
dan Aji Rangsang turun dari kuda masing-masing lalu
membungkuk hormat ke arah Setan Selaksa Wajah.
Akibatnya, semakin keras suara kasak-kusuk yang
terdengar. Namun, tak satu pun anggota partai yang
berani beranjak dari tempat berdirinya.
Sekitar dua puluh anggota partai yang datang
dengan menunggang kuda turut meloncat turun. Na-
mun, mereka cuma berdiri di belakang Aji Pamenak
dan ketiga saudaranya. Mereka tak berbuat apa-apa
kecuali menatap dengan sinar mata keheranan.
"Ha ha ha...!" tawa gelak Setan Selaksa Wajah.
"Kalian memang bisa diandalkan. Telah tiba saatnya
aku menunjukkan kekuasaan di depan mata Wira Pa-
rameswara! Ha ha ha... Ayo, tunggu apa lagi?! Segera
perintahkan seluruh anggota partai kalian untuk me-
nuju ke kotapraja!"
Sambil berkata, Setan Selaksa Wajah men-
gangkat bilah Pusaka Pedang Naga di atas kepala. Ter-
kena pengaruh kekuatan gaib pedang itu, Aji Pamenak
dan ketiga saudaranya membalikkan badan. Lalu den-
gan suara berat berwibawa, mereka berteriak memerin-
tah.
"Sekarang juga, ikuti aku ke kotapraja!"
Seluruh anggota Partai Naga yang rata-rata pa-
ra pemuda berumur di bawah tiga puluh tahun, sema-
kin bertambah heran. Mereka tak segera menjalankan
perintah. Tetap berdiri di tempat masing-masing den-
gan tatapan tak mengerti.
Setan Selaksa Wajah mendengus gusar. Diang-
katnya lagi bilah Pusaka Pedang Naga di atas kepala.
"Ulangi perintah kalian!"
Teriakan keras Setan Selaksa Wajah itu mem-
buat tubuh Aji Pamenak dan ketiga saudaranya berge-
tar. Kepala mereka mengangguk-angguk lemah. Ham-
pir bersamaan mereka berkata, "Sekarang juga, ikuti
aku ke kotapraja!"
Perintah empat ketua Partai Naga itu terdengar
berat berwibawa. Sekitar enam ratus bawahan mereka
langsung menegakkan tubuh. Walau masih digeluti se-
gudang tanda tanya, para pemuda itu akhirnya ber-
siap-siap menjalankan perintah.
Aji Pamenak dan ketiga ketua Partai Naga lain-
nya meloncat lagi ke punggung kuda. Namun sebelum
mereka menghentak kendali kuda untuk meninggalkan
tempat, seorang pemuda berpakaian putih-kuning me-
loncat dari barisan.
"Tunggu...!" seru anggota Partai Naga Timur itu,
keras menggelegar.
Sementara anggota empat Partai Naga menjadi
kasak-kusuk lagi, pemuda bertubuh tinggi besar itu
menghampiri Aji Pamenak yang tengah duduk di pela-
na kuda. Setelah membungkuk hormat, dia berkata,
"Tuan Aji Pamenak..., bukan saya hendak berani ter-
hadap Tuan. Harap Tuan berpikir dua kali jika hendak
membawa anggota partai ke kotapraja. Melihat kekua-
tan partai yang cukup besar ini, orang-orang kerajaan
pasti mengira bila kita hendak memberontak...."
Kata-kata si pemuda disabuti tawa gelak Setan
Selaksa Wajah. "Ha ha ha...! Memang itulah yang men-
jadi tujuanku! Menggulingkan takhta Wira Parameswa-
ra adalah cita-cita hidupku! Minggir kau!"
Kaget tiada terkira pemuda berpakaian putih-
kuning. Dengan sinar mata berapi-api, ditatapnya Se-
tan Selaksa Wajah.
"Tua bangka keparat! Walau kau dapat mengu-
bah wajahmu sekehendak hati, aku tetap dapat men-
genalimu! Jahanam kau durjana licik! Melihat bentuk
pedang di tanganmu, aku menduga itulah Pusaka Pe-
dang Naga. Kini aku tahu bila empat ketua Partai Naga
berada dalam pengaruh kekuatan gaib pedang itu!"
"Ha ha ha...! Kalau sudah tahu, kau mau apa?"
tantang Setan Selaksa Wajah.
"Jahanam! Lepaskan pengaruh kekuatan gaib
itu! Serahkan pedang di tanganmu!"
"Kalau aku tidak mau?"
"Mati saja kau!"
Tiba-tiba, pemuda berpakaian putih-kuning
menghunus golok yang menggantung di pinggangnya.
Sambil menggembor keras, dia menerjang ganas ke
arah Setan Selaksa Wajah!
"Hiahhhh...!"
Tes...!
Pelan saja Setan Selaksa Wajah menggerakkan
pedang pusaka di tangannya. Namun, akibatnya sung-
guh di luar dugaan pemuda berpakaian putih-kuning.
Golok si pemuda yang hendak membabat pinggang
mendadak terpotong menjadi dua bagian! Padahal go-
lok itu terbuat dari logam pilihan yang amat keras!
"Ha ha ha...! Bagaimana, Anak Muda? Masih-
kah kau hendak melawanku?" ejek Setan Selaksa Wa-
jah.
Pemuda berpakaian putih-kuning tak menja-
wab. Geram kemarahan keluar dari mulutnya. Dia
alirkan seluruh kekuatan tenaga dalam ke tangan ka-
nan. Kemudian, golok yang tinggal setengah bagian
disambitkan!
Zing...!
Potongan golok itu meluncur cepat, mengelua-
rkan suara bergemuruh keras. Namun, Setan Selaksa
Wajah tak beranjak sedikit pun. Sambil tertawa berge-
lak-gelak, dia gerakkan Pusaka Pedang Naga beberapa
kali....
Crash! Crash!
Luar biasa. Bilah golok yang tinggal setengah
bagian tampak tercacah-cacah menjadi kepingan kecil,
yang segera jatuh menebar di permukaan tanah!
"Ha ha ha...!" tawa pongah Setan Selaksa Wa-
jah. "Segeralah kembali ke barisanmu, Anak Muda.
Dan, ikuti perintah ketuamu!"
"Huh! Kalau aku kembali ke barisanku, sama
halnya dengan aku menuruti keinginan busukmu!" ge-
ram pemuda berpakaian putih-kuning, menghalau ra-
sa gentar di hatinya. "Untuk menyelamatkan nama
baik empat Partai Naga, aku akan mengadu nyawa
denganmu!"
Nekat sekali pemuda itu menerjang dengan
tangan kosong. Sepuluh jari tangannya yang teraliri
kekuatan tenaga dalam, meluncur deras. Yang kiri
bermaksud merebut Pusaka Pedang Naga, sedang yang
kanan digunakan untuk meremas hancur ulu hati Se-
tan Selaksa Wajah!
Tapi....
Set! Set! Set!
Pusaka Pedang Naga di tangan Setan Selaksa
Wajah bergerak membabat tiga kali. Gerakan pemuda
berpakaian putih-kuning tertahan di udara. Si pemuda
tak sempat menjerit manakala tubuhnya jatuh ke ta-
nah dalam keadaan terpotong menjadi empat bagian!
Tak ayal lagi, cairan darah segar memercik ke mana-
mana!
"Kejam! Kau bunuh saudara kami! Aku menun-
tut balas!" teriak salah seorang anggota Partai Naga
Timur yang berdiri di barisan paling depan.
Pemuda yang memegang tombak itu langsung
meloncat untuk menyerang Setan Selaksa Wajah. Be-
berapa temannya berbuat serupa, menyerang dengan
senjata masing-masing. Agaknya, mereka hendak sabela pati atas kematian pemuda berpakaian putih-
kuning tadi.
"Aku berada di pihak kalian!" seru salah seo-
rang anggota Partai Naga Barat.
Anak buah Aji Baguskara itu turut menerjang
Setan Selaksa Wajah bersama beberapa orang teman-
nya. Melihat hal demikian, anggota Partai Naga Selatan
dan Parta Naga Utara tak mau ketinggalan. Hingga,
sekitar dua puluh pemuda bersenjata tampak menye-
rang Setan Selaksa Wajah dalam waktu hampir bersa-
maan.
Namun sebelum senjata-senjata mereka men-
genai sasaran, Setan Selaksa Wajah telah meloncat
tangga ke belakang. Lalu sambil bersalto di udara, mu-
rid murtad Dewa Dungu itu membabatkan Pusaka Pe-
dang Naga dengan disertai aliran tenaga dalam!
Bet...!
Wusss...!
Seberkas sinar merah menggidikkan tiba-tiba
melesat dari bilah Pusaka Pedang Naga. Tanpa dapat
dibendung, sinar yang menebarkan hawa amat panas
itu menerpa tubuh pemuda-pemuda yang tengah me-
nerjang Setan Selaksa Wajah!
Disertai pekik parau menyayat hati, tubuh me-
reka terhempas. Ketika jatuh ke tanah, tubuh para
pemuda naas itu tinggal tulang-belulang yang menge-
pulkan asap merah berbau sangit!
Ratusan anggota Partai Naga terperangah den-
gan mata terbelelak lebar. Tanpa sadar mereka tersu-
rut mundur. Apa yang telah terjadi benar-benar mem-
buat mereka bergidik ngeri.
Namun, Aji Pamenak dan ketiga saudaranya
yang masih duduk di pelana kuda cuma menatap tan-
pa arti. Kematian anak buah mereka sama sekali tak
membuat terkejut.
"Kita berangkat sekarang!" seru Setan Selaksa
Wajah seraya melompat tinggi, dan hinggap di pung-
gung kuda coklat.
Murid murtad Dewa Dungu itu menghentak
kendali kuda perlahan. Keempat kaki kuda segera me-
langkah. Aji Pamenak, Aji Baguskara, Aji Kembarapati,
dan Aji Rangsang segera mengikuti. Empat orang ketu-
runan Pendekar Naga itu memberi isyarat tangan ke-
pada seluruh anggota partai yang mereka pimpin un-
tuk segera mengikuti di belakang.
Tak seorang pun mengetahui manakala dari ba-
lik jajaran pohon melesat setitik benda kecil yang nya-
ris tak dapat dilihat dengan mata telanjang. Benda ke-
cil yang tak lain sebutir kelereng terbuat dari baja pu-
tih itu melesat cepat luar biasa. Dan..., tepat menghan-
tam bilah Pusaka Pedang Naga yang dipegang Setan
Selaksa Wajah!
Ting...!
"Heh?!"
Alangkah terkejutnya Setan Selaksa Wajah saat
pedang pusaka di tangannya terlepas dari cekalan lalu
terlontar tinggi ke udara. Pedang yang mengandung
tuah itu berputar-putar beberapa lama, lalu jatuh me-
nancap di permukaan batu!
"Haram jadah!" maki Setan Selaksa Wajah se-
raya meloncat dari punggung kuda.
Tentu saja kakek berwajah pemuda itu ber-
maksud menyambar kembali Pusaka Pedang Naga
yang merupakan sarana untuk mempengaruhi jalan
pikiran empat ketua Partai Naga. Tapi sebelum mak-
sud si kakek terlaksana, dari balik jajaran pohon mele-
sat lagi setitik benda kecil mengarah kepalanya!
Kali ini Setan Selaksa Wajah tahu akan adanya
bahaya. Cepat dia hentikan luncuran tubuhnya den-
gan mengibaskan ujung lengan baju. Gelombang angin
yang timbul membuat tubuh si kakek tertahan di uda-
ra, sehingga senjata rahasia yang mengincar kepalanya
lewat begitu saja, lalu membentur sebongkah batu.
Hebatnya, batu itu langsung meledak dan hancur ber-
keping-keping!
"Setan alas!" maki Setan Selaksa Wajah lagi
saat mendarat di tanah,
Sekitar empat tombak dari hadapan kakek itu
ternyata telah berdiri seorang lelaki berpakaian putih-
putih dengan ikat pinggang kain biru. Kulitnya halus
seperti kulit kaum bangsawan yang biasa merawat tu-
buh. Namun, wajahnya tak dapat dikenali karena dia
mengenakan topeng yang terbuat dari baja putih.
Dia Ksatria Topeng Putih! "Terpaksa aku ber-
tindak demikian, Mahisa Lodra...," ujar lelaki bertubuh
tinggi tegap itu. "Aku melemparkan senjata rahasia
agar Pusaka Pedang Naga tak berada di tangan orang
jahat! Sekarang tiba saatnya pengaruh kekuatan gaib
pedang itu kulenyapkan!"
"Tidak...! Jangaaaan...!"
Setan Selaksa Wajah berteriak keras sekali. Dia
menerjang dengan mengirim pukulan maut ke arah
dada. Tapi, Ksatria Topeng Putih telah melentingkan
tubuhnya.
Sebelum kaki lelaki bertopeng itu mendarat di
tanah, tangan kanannya disorongkan ke arah Pusaka
Pedang Naga yang berdiri menancap di permukaan ba-
tu.
Wusss...!
Splash...!
"'Sinar Putih Pelenyap Sihir'...!" kesiap Setan
Selaksa Wajah, melihat bilah Pusaka Pedang Naga ter-
timpa sinar putih berkilat yang keluar dari telapak
tangan kanan Ksatria Topeng Putih.
Memuncaklah amarah Setan Selaksa Wajah.
Tanpa sadar murid murtad Dewa Dungu itu
mengeluarkan ilmu 'Selaksa Wajah Berganti-ganti'-nya.
Hingga di lain kejap, wajah si kakek berubah menjadi
wajah aslinya, yaitu wajah kakek-kakek enam puluhan
tahun!
Ksatria Topeng Putih tersenyum tipis.
Ratusan anggota Partai Naga yang sempat me-
lihat apa yang terjadi pada diri Setan Selaksa Wajah
tampak terperangah. Bola mata mereka melotot besar,
menatap tak berkedip sosok Setan Selaksa Wajah yang
telah berganti rupa. Walau mereka telah mendengar
kabar tentang kehebatan ilmu 'Selaksa Wajah Bergan-
ti-ganti' tapi apa yang baru mereka lihat benar-benar
dapat mengundang keterkejutan.
Sementara, Aji Pamenak dan ketiga saudaranya
yang masih duduk di pelana kuda, mengeluh pendek.
Tubuh empat keturunan Pendekar Naga itu bergetar.
Sesaat kemudian, mereka menoleh ke kanan dan ke
kiri seperti orang kebingungan.
"Apa yang terjadi?"
"Oh! Di mana aku?"
"Astaga! Untuk apa anak buahku berada di sini
semua?"
"Ya, Tuhan. Tiga saudaraku berada di tempat
ini. Untuk apa? Apa yang telah terjadi?"
Begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Aji
Pamenak dan tiga ketua Partai Naga lainnya. Mereka
mengeluh dan mendesah seakan baru tersadar dari
mimpi buruk.
Mengetahui empat ketua Partai Naga telah terbebas dari pengaruh kekuatan gaib Pusaka Pedang
Naga, semakin memuncak amarah Setan Selaksa Wa-
jah. Sembari memekik nyaring, dia hentakkan telapak
tangan kanannya ke depan. Selarik sinar biru berkere-
dapan tiba-tiba melesat ganas ke arah Ksatria Topeng
Putih!
Wusss...!
Ringan saja Ksatria Topeng Putih melentingkan
tubuhnya ke samping kiri. Selarik sinar biru yang me-
lesat dari telapak tangan Setan Selaksa Wajah terus
meluncur, dan menerpa bilah Pusaka Pedang Naga!
Slash...!
Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya
Ksatria Topeng Putih. Selarik sinar biru ciptaan Setan
Selaksa Wajah ternyata mampu menyedot bilah Pusa-
ka Pedang Naga. Pedang pusaka itu tercabut dari
bongkah batu. Setelah melesat beberapa saat, dengan
mudah Setan Selaksa Wajah menangkapnya!
"Tunggu pembalasanku!" ancam si kakek se-
raya berkelebat pergi. Bilah Pusaka Pedang Naga di-
kembalikan ke sarungnya yang terselip di punggung.
Ksatria Topeng Putih yang telah terkecoh,
menghela napas panjang beberapa kali. "Tuan Aji Pa-
menak...," sebutnya kemudian. "Tak ada waktu untuk
menjelaskan. Beri tahu kepada ketiga adik Tuan untuk
segera kembali ke tempat masing-masing. Apabila ada
orang kerajaan yang tahu seluruh anggota Partai Naga
berada di tempat ini, Tuan akan mendapat banyak ke-
sulitan. Bergegaslah untuk pergi. Jangan sampai Par-
tai Naga dituduh punya niat melakukan pemberonta-
kan."
Usia berkata, lelaki bertopeng itu menjejak ta-
nah seraya berkelebat pergi. Mengejar Setan Selaksa
Wajah!
ENAM
LEMBAH Kebencian.... Diapit dua tebing cadas
tinggi menjulang, di situlah letak Lembah Kesucian.
Tanahnya tandus terseraki bongkah-bongkah batu be-
sar. Berada ratusan tombak di sebelah selatan Bukit
Pralambang.
Setan Selaksa Wajah duduk bersila dengan ma-
ta terpejam rapat. Kain baju dan anak-anak rambut-
nya berkibaran tertiup angin. Tak peduli pada sinar
mentari yang tengah terik memanggang. Wajah si ka-
kek telah berubah lagi menjadi wajah seorang pemuda
tampan.
Bilah Pusaka Pedang Naga tampak berdiri tegak
menancap di tengah bongkah batu, di depan murid
murtad Dewa Dungu itu. Agaknya, Setan Selaksa Wa-
jah tengah bersemadi untuk membangkitkan kembali
kekuatan gaib Pusaka Pedang Naga.
Tanpa membuka kelopak mata, bibir Setan Se-
laksa Wajah menyungging senyum manakala bilah Pu-
saka Pedang Naga memancarkan sinar merah berkilat.
Sinar itu menebarkan getaran aneh yang membuat bu-
rung-burung terbang ketakutan. Dan, satwa-satwa lain
yang kebetulan berada di dekat situ pun terlihat berla-
rian dengan memperdengarkan suara hiruk-pikuk. Me-
reka seakan tengah melihat sesuatu yang amat meng-
giriskan.
Tak seberapa lama kemudian, Setan Selaksa
Wajah menyelesaikan semadinya. Sambil tertawa ber-
gelak, hendak dicekalnya hulu Pusaka Pedang Naga.
Tapi...
Set...!
Ting...!
Mendadak, bilah Pusaka Pedang Naga terpental
jauh ke udara. Sebuah senjata rahasia berupa kelereng
baja putih telah menghantamnya. Kontan mata Setan
Selaksa Wajah menatap tak berkedip saat bilah Pusaka
Pedang Naga berputar-putar di atas bongkahan batu.
"Pedang itu harus jadi milikku!" seru si kakek
seraya bangkit dan berkelebat.
"Mengumbar angkara murka hanya akan mem-
buat dirimu celaka, Mahisa Lodra!" sahut sesosok
bayangan yang tadi telah menyambitkan senjata raha-
sia.
Bayangan itu berkelebat cepat sekali, memapa-
ki luncuran tubuh Setan Selaksa Wajah. Sehingga,
terpaksa Setan Selaksa Wajah mengurungkan niatnya
untuk menyambar bilah Pusaka Pedang Naga yang
masih melayang di udara. Karena, dada si kakek men-
jadi sasaran tendangan!
Wuttt...!
"Haya...!"
Dengan melentingkan tubuh seraya bersalto
dua kali, Setan Selaksa Wajah berhasil mengelak.
Sosok bayangan yang tak lain Ksatria Topeng
Putih mendarat sigap di tanah. Dalam waktu hampir
bersamaan, Setan Selaksa Wajah juga mendaratkan
tubuhnya di tanah. Sementara Pusaka Pedang Naga
tampak menancap di tebing cadas. Sinar merah yang
memancar dari bilah pedang bertuah itu lenyap seketi-
ka saat Ksatria Topeng Putih mengeluarkan ilmu 'Sinar
Putih Pelenyap Sihir'.
"Mahisa Lodra...," sebut Ksatria Topeng Putih
kemudian. "Sungguh aku amat menyesalkan perbua-
tanmu yang tak terpuji. Kau curi Pusaka Pedang Naga
yang tersimpan di puncak Gunung Arjuna. Kau bang-
kitkan kekuatan gaib pedang itu. Kau pengaruhi jalan
pikiran empat ketua Partai Naga. Kau bermaksud
menggulingkan takhta Mahespati. Kau benar-benar te-
lah melenceng jauh, Mahisa Lodra...."
"Jahanam!" dengus Setan Selaksa Wajah. "Tak
perlu banyak cakap di hadapanku. Aku bukan anak
kecil yang masih perlu dituntun dan diarahkan. Aku
tahu apa yang lebih baik kukerjakan. Aku tahu apa
yang harus kulakukan untuk mewujudkan cita-cita."
"Hmmm.... Sungguh kau manusia kepala batu,
Mahisa Lodra. Betapa banyak dosa yang telah kau
perbuat. Betapa banyak orang yang telah kau sengsa-
rakan. Kalau cara halus tak dapat menyadarkanmu,
apa boleh buat. Jika kekerasan yang menjadi keingi-
nanmu, aku pun siap melayani...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah. "Kau berkata seakan kau telah berubah menja-
di dewa perkasa. Kesombonganmu membuat panas te-
lingaku. Bolehlah kalau kau ingin mencoba kemampu-
anku!"
Menarik napas panjang Setan Selaksa Wajah.
Dia alirkan kekuatan tenaga dalam ke kedua tangan-
nya sampai ke puncak. Di lain kejap, pergelangan tan-
gan kakek itu telah berubah warna menjadi biru dan
mengepulkan asap. Hawa panas menebar. Serangga-
serangga kecil yang berada di dekat kaki Setan Selaksa
Wajah langsung terbakar. Mati dengan tubuh berubah
jadi serbuk halus!
Ksatria Topeng Putih tersurut mundur karena
terhantam keterkejutan. "Aneh sekali!" ucapnya dalam
hati. "Aku tahu Mahisa Lodra mengeluarkan ilmu pu-
kulan 'Pelebur Sukma'. Tapi..., beberapa waktu lalu
kehebatannya tidak sampai seperti itu. Hmmm.... Ka-
lau begitu benar kata orang. Jika seseorang menyim-
pan dendam dan rasa benci mendalam, dia akan mendapat kekuatan ganda bila berada di Lembah Keben-
cian. Hmmm.... Pantas Mahisa Lodra memilih berdiam
diri di tempat ini...."
"He! Kenapa kau diam saja!" tegur Setan Selak-
sa Wajah, keras membentak. "Apa kau tidak melihat
bila aku telah bersiap sedia untuk mencabut nyawa-
mu?! Berilah perlawanan hebat agar aku bisa berpesta
pora melihat kematianmu! Ha ha ha...!"
"Sombong sekali kau, Mahisa Lodra...," sahut
Ksatria Topeng Putih, kalem. "Biasanya orang sombong
tak pernah dapat melihat batu yang akan menjegal
langkahnya. Kalau sudah jatuh, barulah dia menyadari
sifat buruknya. Dan, timbullah penyesalan. Tapi, apa
guna penyesalan yang hanya dapat datang di akhir
perbuatan? Lebih baik berpikir sebelum bertindak da-
ripada terjerat rasa sesal berkepanjangan."
"Ha ha ha...!" tawa gelak Setan Selaksa Wajah.
"Sudah kubilang, aku bukan anak kecil yang masih
perlu dituntun dan diarahkan. Nasihatmu itu hanya
pantas diberikan kepada orang bodoh yang tidak me-
nyadari kebodohannya. Orang demikian ibarat orang
buta yang tengah berjalan di bibir tebing terjal. Maka,
perlulah kau memberi nasihat dan petunjuk kepa-
danya. Tapi, sungguh tak perlu kau mengumbar kata-
kata di hadapanku! Aku tahu apa yang harus kukerja-
kan. Bersiaplah untuk mati karena kematianmu ada-
lah bagian dari cita-citaku!"
Usai berkata, murid murtad Dewi Dungu itu
menerjang. Kedua tangannya yang berwarna biru ber-
kelebat cepat. Satu mengarah ke dada, satunya lagi
mengarah ke kepala!
"Hiahhh...!"
Pukulan Setan Selaksa Wajah kurang dua tom-
bak untuk mengenai sasaran, tapi Ksatria Topeng Putih merasakan tubuhnya bagai digodok di tungku
pembakaran. Maka, cepat dia kerahkan tenaga dalam
untuk membentengi tubuhnya. Lalu, bergegas dia me-
loncat jauh ke samping kanan, sehingga kedua puku-
lan beruntun Setan Selaksa Wajah hanya mengenai
angin kosong.
Namun, mendelik mata Ksatria Topeng Putih
ketika melihat tubuh Setan Selaksa Wajah terus me-
luncur. Si kakek bermaksud menyambar bilah Pusaka
Pedang Naga yang masih menancap di tebing cadas!
"Orang buta pun tak akan terperosok di lubang
yang sama!" seru Ksatria Topeng Putih.
Cepat sekali lelaki berpakaian putih-putih itu
menyambitkan dua kelereng baja. Disertai suara ber-
siut keras, dua senjata rahasia berwarna putih itu me-
lesat sebat, melebihi luncuran anak panah tepas dari
busur!
Zit...!
Zit...!
Akan tetapi, Setan Selaksa Wajah tak mau
mengurungkan niatnya walau pelipis dan pinggang ki-
rinya menjadi sasaran serangan maut. Tubuh si kakek
meluncur dengan tangan kanan siap menyambar hulu
Pusaka Pedang Naga!
Ksatria Topeng Putih mendelikkan mata lagi.
Dia seakan tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Kalau Setan Selaksa Wajah benar-benar tak mengelak,
dapat dipastikan bila kematian akan segera menjem-
putnya. Kenapa begitu mudah membinasakan durjana
licik itu?
Ternyata, dugaan Ksatria Topeng Putih meleset.
Setan Selaksa Wajah bukan tidak tahu kalau malaikat
kematian tengah mengincar nyawanya. Saat dua senja-
ta rahasia hampir mengenai sasaran, si kakek mengibaskan telapak tangan kirinya!
Wusss...!
Seberkas sinar biru yang melesat dari telapak
tangan Setan Selaksa Wajah mampu menahan luncu-
ran senjata rahasia Ksatria Topeng Putih. Luar biasa
sekali ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' murid murtad
Dewa Dungu itu. Dua kelereng baja yang telah terku-
rung sinar biru tiba-tiba meleleh menjadi cairan kental
yang segera menetes jatuh ke tanah berbatu!
Ketika Ksatria Topeng Putih berdiri terpaku,
tangan kanan Setan Selaksa Wajah berhasil menyam-
bar hulu Pusaka Pedang Naga!
"Ha ha ha...!" tertawa pongah Setan Selaksa
Wajah sambil menimang bilah Pusaka Pedang Naga.
"Rupanya, kau masih berjiwa anak-anak, Lelaki Berto-
peng! Kau lempar aku dengan kelereng. Apakah kau
menganggapku sebagai teman sepermainanmu?"
Tersenyum tipis Ksatria Topeng Putih menden-
gar ejekan Setan Selaksa Wajah. Tahu kehebatan la-
wan yang telah membawa sebuah pedang pusaka, lela-
ki bertubuh tinggi tegap itu tak mau bertindak gega-
bah. Ditariknya napas panjang seraya mengalirkan ke-
kuatan tenaga dalam ke kedua tangannya.
Tak ada perubahan yang terjadi pada kulit tan-
gan Ksatria Topeng Putih. Tapi, hawa yang amat dingin
tiba-tiba menebar. Perlahan, bongkah-bongkah batu di
sekitar Ksatria Topeng Putih mulai terlapisi gumpalan
salju bening!
"Ilmu 'Dewa Kutub'...," desis Setan Selaksa Wa-
jah.
Terperangah kakek berwajah pemuda itu. Ilmu
'Dewa Kutub' yang diperlihatkan Ksatria Topeng Putih
adalah sebuah ilmu pukulan yang hanya dimiliki oleh
raja Mahespati beserta keturunannya.
Menurut cerita para tetua, raja Mahespati yang
pertama, Prabu Darma Sindukarma pernah bertempur
melawan sekelompok ikan siluman yang bermaksud
menghalangi Darma Sindukarma mendirikan kerajaan.
Karena ikan-ikan siluman itu memiliki kesaktian hebat
luar biasa, terpaksa Darma Sindukarma membekukan
sebuah selat yang terletak di ujung timur Pulau Jawa,
yang menjadi tempat tinggal ikan-ikan siluman, Darma
Sindukarma membekukan air di selat itu dengan
menggunakan Ilmu pukulan 'Dewa Kutub'.
Kalau cerita itu benar, sungguh tak bisa di-
gambarkan lagi betapa hebatnya ilmu pukulan itu!
"Hmmm ... Kini aku bertambah yakin," ujar Se-
tan Selaksa Wajah, menekan debar-debar di hatinya.
"Ilmu pukulan 'Dewa Kutub' hanya dimiliki anak ketu-
runan Prabu Darma Sindukarma. Karena kau dapat
menguasai ilmu itu, aku jadi semakin yakin bila kau
memang Darma Pasulangit, putra Darma Sagotra, raja
yang telah digulingkan oleh Wira Parameswara!"
Ksatria Topeng Putih diam. Tak membenarkan
maupun menyalahkan keyakinan Setan Selaksa Wa-
jah.
"Aku telah bersiap sedia untuk meladeni gem-
puranmu, Mahisa Lodra," ujar lelaki bertopeng itu ke-
mudian. "Kenapa ganti kau yang menjadi banyak ca-
kap?"
Tertawa bergelak lagi Setan Selaksa Wajah. "Ha
ha ha...! Rupanya, kau sangat yakin akan dapat mem-
bunuhku, Lelaki Bertopeng! Kita lihat saja, siapa yang
lebih unggul di antara kita!"
Murid murtad Dewa Dungu itu menerjang ga-
nas. Bilah Pusaka Pedang Naga ditangan kanannya
berkelebat cepat, mengincar jalan kematian di tubuh
Ksatria Topeng Putih. Sementara, tangan kirinya yang
masih berwarna biru turut menyerang tak kalah ber-
bahaya. Hawa panas yang muncul dari pengerahan il-
mu pukulan 'Pelebur Sukma' berusaha mengurung
dan menghancurkan tubuh Ksatria Topeng Putih.
Tentu saja Ksatria Topeng Putih tak mau ting-
gal diam. Sambil menghindari tusukan ataupun baba-
tan bilah Pusaka Pedang Naga, dia memberikan perla-
wanan hebat. Dan setiap tangan lelaki bertopeng itu
bergerak, hawa dingin selalu menebar. Hingga perla-
han namun pasti, Lembah Kebencian mulai tertutup
oleh gumpalan salju bening!
***
TUJUH
SANG baskara telah jauh bergeser ke garis ca-
krawala barat. Cukup lama putaran waktu berlalu,
namun pertempuran antara Ksatria Topeng Putih dan
Setan Selaksa Wajah belum ada tanda-tanda akan se-
gera berakhir.
Kedua tebing cadas yang mengapit Lembah Ke-
bencian nyaris berubah menjadi bukit es, karena tertu-
tup lapisan salju bening yang keluar dari penerapan
ilmu pukulan 'Dewa Kutub' Ksatria Topeng Putih. Ha-
wa di tempat itu benar-benar amat dingin luar biasa.
Tak ada binatang yang berani mendekat. Takut tubuh-
nya akan membeku!
Namun setiap kali Setan Selaksa Wajah melan-
carkan pukulan jarak jauh, sinar biru yang melesat
dari telapak tangan kiri si kakek mampu menghancur-
kan gumpalan-gumpalan salju. Tusukan dan babatan
Pusaka Pedang Naga pun menebarkan hawa panas.Sehingga, gumpalan salju banyak yang runtuh dari
permukaan tebing cadas.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama.
Kedua tangan Ksatria Topeng Putih yang dilambari il-
mu pukulan 'Dewa Kutub' dapat menciptakan gumpa-
lan salju lebih tebal. Akibatnya, semakin lama Lembah
Kebencian diliputi hawa dingin bagai berada di kutub
bumi!
Lembah Kebencian adalah sebuah tempat aneh
yang dapat melipatgandakan kekuatan seseorang apa-
bila orang itu mempunyai dendam dan rasa benci
mendalam. Dari situlah Setan Selaksa Wajah menda-
pat keuntungan. Andai kekuatan tenaga dalamnya ti-
dak bertambah, dapat dipastikan bila si kakek tak
akan berdaya menghadapi kedahsyatan ilmu pukulan
'Dewa Kutub' yang memang amat luar biasa.
Agaknya, hal itu disadari benar oleh Ksatria
Topeng Putih. Keuntungan Setan Selaksa Wajah tidak
bertahan lama manakala Ksatria Topeng Putih menge-
luarkan ilmu 'Sihir Penutup Raga'. Dengan ilmu sihir
itu, Ksatria Topeng Putih dapat menipu pandangan Se-
tan Selaksa Wajah. Sehingga, Setan Selaksa Wajah jadi
kebingungan saat sosok Ksatria Topeng Putih menghi-
lang dari pandangannya!
"Jahanam!" geram si kakek, mengedarkan pan-
dangan. "Aku bukan anak kecil yang suka diajak main
kucing-kucingan! Segera tampakkan batang hidung-
mu, Bangsat!"
"Jangan salah mengerti, Mahisa Lodra...," sahut
Ksatria Topeng Putih, tanpa menampakkan wujudnya.
"Aku bukan sedang main kucing-kucingan. Bukankah
kau ingin mengetahui seberapa tinggi ilmu kesaktian-
ku? Kini tibalah saatnya kau membuka mata lebar-
lebar...."
Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Telinga
si kakek yang tajam mendengar suara berkesiur menu-
ju ke arahnya. Walau suara itu tanpa wujud, si kakek
tahu bila ada bahaya yang tengah mengancamnya.
"Keparat!"
Setan Selaksa Wajah menggeram marah seraya
membuang tubuhnya jauh-jauh ke samping kiri. Se-
buah tendangan tak kasat mata berhasil dielakkan.
Tapi....
Duk...!
"Uh...!"
Tak dapat lagi Setan Selaksa Wajah berkelit
saat siku kanannya menjadi sasaran pukulan. Mulut si
kakek pun tak kuasa lagi menahan keluhan.
Pukulan yang dilancarkan Ksatria Topeng Putih
yang masih menerapkan ilmu 'Sihir Penutup Raga' itu
cukup keras. Membuat tulang lengan Setan Selaksa
Wajah terasa remuk dan lumpuh. Hingga, Pusaka Pe-
dang Naga terlepas dari cekalan.
Sebelum pedang bertuah itu jatuh ke tanah,
terdengar suara berkesiur lagi. Tiba-tiba, bilah Pusaka
Pedang Naga terangkat di udara.
Dan..., mendengus gusarlah Setan Selaksa Wa-
jah. Sekitar lima tombak dari hadapannya, ternyata
Ksatria Topeng Putih telah berdiri tegak dengan men-
cekal erat Pusaka Pedang Naga.
"Pusaka Pedang Naga bukan milikmu, Mahisa
Lodra...," ujar Ksatria Topeng Putih, tenang berwibawa.
"Pedang pusaka ini harus segera dikembalikan ke
asalnya. Tapi, aku masih punya sedikit urusan den-
ganmu. Kau telah banyak menyusahkan orang. Kau te-
lah banyak berbuat kejahatan. Berdosa aku bila tidak
menjatuhkan hukuman...."
"Setan alas!" sahut Setan Selaksa Wajah sambil
menghalau rasa sakit di lengan kanannya. "Kau pikir
mudah untuk melaksanakan niatmu itu! Hmmm....
Jangan panggil aku Setan Selaksa Wajah kalau aku ti-
dak mampu menanggalkan kepalamu!"
Tersenyum tipis Ksatria Topeng Putih. Lalu ka-
tanya, "Hati dan pikiran orang yang sudah dikuasai
nafsu setan sering kali tak dapat dipulihkan lagi. Ke-
sadaran datang manakala kematian sudah di pelupuk
mata. Apa boleh buat. Bila kau tak dapat menyadari
kesalahanmu, mungkin hanya kematianlah yang dapat
menghentikan keangkaramurkaanmu, Mahisa Lodra."
"Ha ha ha.„!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah. "Walau Pusaka Pedang Naga telah berada di
tanganmu, walau kau memiliki ilmu pukulan yang te-
ramat dahsyat, jangan kira mudah membunuhku! Se-
ribu setan yang menghuni Lembah Kebencian ini akan
membantuku untuk meremukkan kepalamu! Lihat
baik-baik, Lelaki Bangsat...!"
Dengan menarik napas panjang beberapa kali,
Setan Selaksa Wajah menghimpun seluruh kekuatan
tenaga dalamnya. Tampak kemudian, urat-urat di ke-
dua lengan si kakek menggembung besar. Kulit len-
gannya memancarkan sinar biru yang lebih terang.
Agaknya, Setan Selaksa Wajah tengah mempersiapkan
ilmu pukulan 'Pelebur Sukma'-nya pada tingkatan ter-
tinggi!
Ksatria Topeng Putih mundur selangkah. Sete-
lah menancapkan Pusaka Pedang Naga di bongkah ba-
tu, dia berjongkok seraya menarik kedua pergelangan
tangannya sejajar pinggang. Lelaki bertopeng itu pun
mempersiapkan ilmu pukulannya yang terhebat, ilmu
'Dewa Kutub'!
Setan Selaksa Wajah yang sudah tahu kekua-
tan tenaga dalamnya bertambah. tak gentar sedikit
pun untuk mengadu ilmu pukulan. Ditatapnya sosok
Ksatria Topeng Putih dengan sinar mata berapi-api pe-
nuh kebencian.
Dan manakala Setan Selaksa Wajah dan Ksa-
tria Topeng Putih sama-sama menghentakkan kedua
telapak tangannya, segera terlihat pemandangan yang
amat menggiriskan. Dua larik sinar biru berkilat ben-
trok dengan dua larik sinar putih bening.
Wusss...!
Blammm...!
Timbul ledakan keras menggelegar. Dua tebing
cadas yang mengapit Lembah Kebencian langsung run-
tuh. Tak dapat dicegah lagi, bongkah-bongkah batu
bercampur gumpalan tanah berhamburan ke angkasa.
Bumi berguncang keras seperti terjadi gempa hebat!
Saat pandangan kembali terang, dapat dilihat
bila di sana-sini permukaan tanah diseraki gumpalan
salju bening. Di sebagian tempat, permukaan tanah di-
lapisi lidah-lidah api berwarna biru.
Anehnya, walau akibat yang ditimbulkan oleh
bentrokan dua ilmu pukulan itu sedemikian dahsyat,
Pusaka Pedang Naga masih tetap menancap di bong-
kahan batu. Pedang bertuah itu tetap berada di tem-
patnya tanpa bergeming sedikit pun!
Sementara, keadaan di sekitar Pusaka Pedang
Naga juga tak berubah sama sekali. Bongkah-bongkah
batu tetap berada di tempatnya, tanpa ada yang ber-
geser ataupun berpindah tempat! Hal demikian terjadi
karena Pusaka Pedang Naga memang memiliki kekua-
tan gaib yang hebat luar biasa.
Ketika terjadi ledakan tadi, tubuh Ksatria To-
peng Putih dan Setan Selaksa Wajah sama-sama ter-
pental jauh, lalu jatuh terbanting di atas tanah berba-
tu-batu. Mereka pun sama-sama memuntahkan darah
segar. Dengan wajah pucat-pasi, bergegas mereka
bangkit berdiri.
Kedua lelaki yang telah menderita luka dalam
itu tak begitu memperhatikan keadaan sekitar. Mana-
kala melihat Pusaka Pedang Naga yang berdiri menan-
cap di bongkahan batu, tanpa pikir panjang mereka
mengempos tenaga. Hingga, terjadilah usaha mengadu
kecepatan untuk saling mendahului menyambar Pusa-
ka Pedang Naga!
Tapi, tampaknya luka dalam yang diderita Se-
tan Selaksa Wajah lebih parah. Kelebatan tubuh si ka-
kek terlihat lebih lambat. Sehingga, adu kecepatan itu
dimenangkan oleh Ksatria Topeng Putih!
Pusaka Pedang Naga berhasil disambar oleh si
lelaki bertopeng. Membuat darah Setan Selaksa Wajah
menggelegak naik sampai ke ubun-ubun.
"Haram jadah!" geram Setan Selaksa Wajah.
Tanpa menghentikan luncuran tubuhnya, mu-
rid murtad Dewa Dungu itu melancarkan serangan be-
runtun. Kedua tangan dan kakinya bergerak cepat, be-
rusaha menyarangkan pukulan maupun tendangan
maut. Dan sewaktu Ksatria Topeng Putih berkelit, dia
keluarkan ilmu mengolah racun dalam perut bernama
'Racun Pembunuh Naga'!
"Mati kau...!"
Sambil berseru demikian, mulut Setan Selaksa
Wajah menyemburkan serangkum angin berwarna hi-
jau gelap!
Jangan dikira 'Racun Pembunuh Naga' tidak
berbahaya. Jika seseorang menghirup udara beracun
yang berasal dari dalam perut Setan Selaksa Wajah, ti-
dak sampai tiga tarikan napas kemudian, jiwa orang
itu pasti melayang dijemput maut dengan tubuh le-
bam-lebam dan paru-paru pecah!
Namun, Ksatria Topeng Putih tetap dapat ber-
sikap tenang. Dia tahu kehebatan 'Racun Pembunuh
Naga'. Dia juga tahu kehebatan Pusaka Pedang Naga
yang berada di tangan kanannya. Selain mempunyai
kekuatan gaib hebat, Pusaka Pedang Naga mampu
menawarkan segala macam jenis racun. Oleh kare-
nanya, untuk meredam serangan Pusaka Pedang Naga,
Ksatria Topeng Putih cukup membabatkan bilah Pusa-
ka Pedang Naga dua kali!
Bet...!
Bet...!
Babatan bilah Pusaka Pedang Naga yang dialiri
kekuatan tenaga dalam menciptakan serangkum angin
pukulan berwarna merah. Udara beracun yang me-
nyembur dari mulut Setan Selaksa Wajah langsung le-
nyap tertelan serangkum angin pukulan itu!
"Mahisa Lodra...," seru Ksatria Topeng Putih.
"Kita telah sama-sama terluka dalam. Tapi, aku tahu
luka dalammu lebih parah. Jika pertempuran ini dite-
ruskan, tidakkah terpikir olehmu bila kau akan jatuh
terkapar meregang nyawa? Apalagi, Pusaka Pedang
Naga berada di tanganku.... Namun, aku masih mau
memberimu kesempatan. Bukalah akal dan pikiranmu
yang telah tertutup nafsu setan. Kejahatan tak akan
pernah mendatangkan kebahagiaan. Satu tindak keja-
hatan cenderung mengundang kejahatan lainnya.
Hanya kesadaran untuk bertobatlah yang dapat men-
gikisnya."
Setan Selaksa Wajah yang berada dalam kea-
daan tak menguntungkan, masih bisa menunjukkan
sifat sombong dan congkak. Setelah menarik napas
panjang untuk menghalau rasa sesak di dadanya, si
kakek tertawa bergelak-gelak. Tak peduli pada kea-
daan dirinya yang benar-benar sudah tidak mengun
tungkan lagi.
"Ha ha ha...! Sama seperti aku, kau juga punya
dua telinga, Lelaki Keparat! Tapi, kenapa kau tak dapat
mendengar kata-kataku? Sudah dua kali kubilang, aku
bukan anak kecil yang masih perlu dituntun dan di-
arahkan! Kalau ingin berkotbah, kau bukan berada di
hadapan orang yang tepat! Aku tahu diriku sendiri.
Aku tahu jalan pikiranku sendiri. Aku pun tahu apa
yang harus kukerjakan!"
Di ujung kalimatnya, mendadak Setan Selaksa
Wajah meloncat sebat. Kedua tangannya yang dilam-
bari ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' bergerak cepat un-
tuk menjatuhkan pukulan!
"Dasar kepala batu!" seru Ksatria Topeng Putih
seraya berkelit.
Pertempuran seru berlangsung kembali.
Namun, kali ini Ksatria Topeng Putih jelas be-
rada di atas angin. Tusukan ataupun babatan Pusaka
Pedang Naga dapat mengurung tubuh Setan Selaksa
Wajah. Ke mana pun si kakek pergi, ketajaman pedang
bertuah itu selalu mengejarnya!
"Jahanam!" geram Setan Selaksa Wajah. "Se-
moga geledek menghancurkan tubuhmu, Keparat!"
Sambil memaki-maki tiada henti, murid murtad
Dewa Dungu itu berjuang keras untuk dapat menja-
tuhkan pukulan maupun tendangan. Namun, lagi-lagi
ketajaman Pusaka Pedang Naga senantiasa dapat
membatasi ruang gerak si kakek.
Hingga tampak kemudian, bilah Pusaka Pedang
Naga meluncur cepat sekali hendak menusuk ulu hati
Setan Selaksa Wajah. Sambil menggembor marah, si
kakek membuang tubuhnya ke samping kanan seraya
memutar tubuh untuk melancarkan tendangan. Tapi....
Des...!
"Argh...!"
Ksatria Topeng Putih dapat membaca gerakan
kakek berwajah pemuda itu. Sebelum tendangan si
kakek mengenai dadanya, dia telah meloncat ke atas.
Dan, sebuah tendangan menyilang tepat menerpa
punggung Setan Selaksa Wajah!
Namun, Setan Selaksa Wajah tak mau mem-
biarkan tubuhnya rebah di tanah terlalu lama. Cepat
dia bangkit seraya menyerang lagi. Akan tetapi, tena-
ganya sudah terkuras. Serangan si kakek teramat mu-
dah untuk dibaca. Kenekatannya justru membuat tu-
buhnya jatuh terbanting-banting. Pukulan Ksatria To-
peng Putih berkali-kali menggedor isi dada si kakek.
"Haram jadah! Setan atas kau, Lelaki Keparat!"
Mulut Setan Selaksa Wajah terus memaki. Dia
bangkit lagi. Menyerang lagi. Namun, tubuhnya malah
menjadi bulan-bulanan Ksatria Topeng Putih.
"Kesabaran manusia ada batasnya. Jika keja-
hatan tak bisa dibalas dengan kebaikan, jalan berda-
rah akan menyelesaikannya!"
Ksatria Topeng Putih merasa amat jengkel dan
kesal bukan main. Saat melihat Setan Selaksa Wajah
menyerang kalap, lelaki bertopeng itu melancarkan
tendangan amat keras, tertuju tepat ke ulu hati!
Desss...!
"Wuahhh...!"
Kali ini Setan Selaksa Wajah memekik parau
amat panjang. Tubuhnya jatuh berdebam. Cairan da-
rah segera kembali menyembur dari mulutnya!
"Ja... jahanam kau..,!"
Setan Selaksa Wajah masih mengumpat juga.
Dia berusaha bangkit, tapi tubuhnya malah jatuh ber-
guling-guling....
SEMBILAN
MELIHAT keadaan sekarang ini, kupikir cukup-
lah aku memberi hukuman. Apa yang telah terjadi,
kuharap dapat kau jadikan pelajaran. Kejahatan hanya
mendatangkan kebahagiaan semu. Kejahatan hanya
akan mendatangkan kesengsaraan...." ujar Ksatria To-
peng Putih dengan lembut namun terkesan berwibawa,
"Karena aku harus segera mengembalikan Pusaka Pe-
dang Naga ke tempat penyimpanannya, berikan sarung
pedang yang kau sandang di punggungmu itu."
Setan Selaksa Wajah menatap tak berkedip so-
sok lelaki bertopeng. Perlahan, si kakek berusaha me-
negakkan punggung untuk dapat duduk bersila. Wa-
jahnya amat pucat. Tarikan napasnya pun terdengar
memburu.
"Ksatria Topeng Putih...," sebut kakek berpa-
kaian serba merah itu. "Sudah menjadi keyakinan hi-
dupku, aku tak sudi meminta belas kasihan orang.
Aku pun tak sudi memohon ampunan orang. Ksatria
Topeng Putih..., kalau kau ingin membunuhku, aku
akan bangga dan senang hati menerima kematian di
tangan seorang pendekar budiman sepertimu...."
Menggeleng Ksatria Topeng Putih. "Apa guna
membunuh orang yang sudah tak berdaya? Bila orang
dapat menyadari kesalahannya, kenapa tidak diberi
kesempatan?" katanya. "Hidup ini menyimpan banyak
persoalan. Tapi kukira, persoalan yang paling sulit
adalah usaha mengalahkan hawa nafsu. Namun jika
seseorang punya bekal kesadaran atas kodratnya se-
bagai manusia lemah, orang itu akan dapat selalu ber-
sikap dan bertindak hati-hati. Nafsu bisa memperbu-
dak. Nafsu juga bisa menjadi teman yang baik. Memang, manusia hidup tak bisa melepaskan diri dari
adanya nafsu. Dengan mengingat kebesaran Tuhan
adalah satu jalan terbaik untuk mengendalikan nafsu
itu...."
"Terima kasih, Ksatria Topeng Putih...," sahut
Setan Selaksa Wajah. "Nasihatmu sungguh bisa me-
nyinari kegelapan dalam akal pikiranku. Akan kuingat
baik-baik dan tak akan pernah kulupakan...."
"Syukur bila kau dapat menyadarinya. Walau
penyesalan selalu datang terlambat, tapi itu lebih baik
daripada tidak sama sekali.... aku tidak bisa terlalu
lama berada di tempat ini, Mahisa Lodra. Segera se-
rahkan sarung Pusaka Pedang Naga...."
Begitu selesai Ksatria Topeng Putih berkata, Se-
tan Selaksa Wajah melepas tali yang mengikat sarung
Pusaka Pedang Naga di punggungnya. Tapi..., siapa
sangka kalau murid murtad Dewa Dungu itu telah me-
rencanakan siasat licik?
Ksatria Topeng Putih menyangka Setan Selaksa
Wajah benar-benar telah menyesali dan menyadari ke-
salahannya. Dia jadi lengah! Dia tidak tahu bahaya be-
sar tengah mengancam jiwanya ketika...
"Terimalah sarung pedang ini. Semoga keberun-
tungan selalu bersamamu...."
Setan Selaksa Wajah menyodorkan sarung Pu-
saka Pedang Naga. Ksatria Topeng Putih menerimanya
tanpa menaruh curiga sedikit pun. Padahal, sambil
mencekal sarung Pusaka Pedang Naga, jemari tangan
Setan Selaksa Wajah juga menggenggam puluhan ja-
rum beracun!
"Mudah-mudahan kebaikan selalu menerangi
jalan hidupmu selanjutnya, Mahisa Lodra...," sambut
Ksatria Topeng Putih.
Dan..., begitu lelaki bertopeng itu menerima sarung Pusaka Pedang Naga. Setan Selaksa Wajah meng-
gembor keras sekali. Tangan kanan si kakek tersorong
ke depan dengan jari-jari terbuka!
Srattt...!
Terkejut bukan alang-kepalang Ksatria Topeng
Putih melihat puluhan jarum biru menyembur ke
arahnya. Cepat dia kibaskan Pusaka Pedang Naga dan
sarungnya untuk menghalau jarum-jarum yang me-
nyerbu bagai air bah itu!
Bet...!
Bet...!
Serangkum angin pukulan yang dibuat Ksatria
Topeng Putih memang berhasil merontokkan jarum-
jarum yang dilontarkan Setan Selaksa Wajah. Tapi, ti-
dak semuanya! Ada beberapa batang yang lolos!
"Ih...!"
Menjerit kecil Ksatria Topeng Putih. Kedua ba-
hu dan dada lelaki bertubuh tinggi tegak itu tertancapi
beberapa batang jarum beracun!
"Ya, Tuhan.... Kau... kau...! Sungguh tak ku-
sangka...," desis si lelaki bertopeng dengan mata terbe-
liak lebar.
Terpaksa Ksatria Topeng Putih menjatuhkan
Pusaka Pedang Naga dan sarungnya ke tanah. Berge-
gas dia menggerakkan kedua telunjuk jari tangannya
bergantian guna menotok bagian-bagian tertentu di
tubuhnya, agar racun tidak menjalar ke jantung.
Dan... pada saat itulah, Setan Selaksa Wajah
menyambar bilah Pusaka Pedang Naga. Lalu, kejadian
yang berlangsung cepat sekali. Tahu-tahu Ksatria To-
peng Putih tampak tersurut mundur beberapa lang-
kah.
Tubuh lelaki bertopeng itu bermandi darah. Pu-
saka Pedang Naga telah membabat pinggang kiri dan
menusuk tembus dada kanannya!
"Ya, Tuhan...," sebut Ksatria Topeng Putih lagi.
"Kau... kau sungguh amat licik, Mahisa Lodra...."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah sambil menimang bilah Pusaka Pedang Naga
yang telah berlumuran darah. "Untuk mewujudkan ci-
ta-cita, apa pun cara harus dilakukan. Seorang pengu-
asa yang tampak arif bijaksana pun jangan dikira tak
pernah berlaku licik. Apalagi, aku! Ha ha ha...! Seribu
kelicikan, sejuta tipu muslihat pasti kugunakan kalau
memang dengan cara itu aku akan dapat mewujudkan
cita-cita! Ha ha ha...!"
Seperti seorang anak yang baru mendapat mai-
nan idamannya, Setan Selaksa Wajah tertawa gembira
melihat Ksatria Topeng Putih jatuh terduduk tanpa
daya. Si kakek yang telah hilang sifat kemanusiaannya
mengangkat bilah Pusaka Pedang Naga tinggi-tinggi,
siap memenggal maupun membelah kepala Ksatria To-
peng Putih!
"Kematian akan terlihat sangat indah bila kau
mengikhlaskan nyawamu..." ujar si kakek. "Dengan
tubuh terluka parah seperti itu, aku tahu kau terse-
rang rasa sakit hebat. Oleh karenanya, aku akan
mempercepat kematianmu, agar kau segera terbebas
dari siksaan. Bersiap-siaplah...!"
Terbelalak mata Ksatria Topeng Putih. Walau
dia bukan orang yang takut mati, tapi melihat ketaja-
man Pusaka Pedang Naga yang siap mencabut nya-
wanya, hati Ksatria Topeng Putih berdebar juga.
"Ya, Tuhan...," sekali lagi Ksatria Topeng Putih
menyebut nama Sang Penguasa Tunggal. "Aku telah
berbuat di jalan-Mu. Aku masih ingin berjumpa den-
gan putra ku. Dapatkah kau memperpanjang usiaku
beberapa saat lagi...?"
Lelaki bertopeng itu menyampaikan harapan te-
rakhirnya dengan khusuk. Dengan mata terpejam ra-
pat, bibirnya bergetar mengucap doa. Sementara, Se-
tan Selaksa Wajah menatap dengan sinar berbinar pe-
nuh kemenangan. Lalu..., si kakek menarik napas pan-
jang seraya membabatkan bilah Pusaka Pedang Naga
di tangannya!
Zing...!
Namun sebelum nyawa Ksatria Topeng Putih
melayang dijemput malaikat kematian, tiba-tiba seso-
sok bayangan berkelebat dari balik bongkahan batu
besar. Kelebatan bayangan itu amat cepat luar biasa,
melebihi luncuran anak panah lepas dari busur!
Trang...!
"Uh...!"
Memekik Setan Selaksa Wajah. Babatan Pusa-
ka Pedang Naga membentur suatu benda yang amat
keras. Bilah pedang bertuah itu langsung bergetar
kencang. Akibatnya, rasa sakit menjalar dari telapak
tangan kanan si kakek yang mencekal hulu pedang.
Untung cekalannya tidak terlepas sehingga Pusaka Pe-
dang Naga tidak terlontar.
"Bangsat...?" geram Setan Selaksa Wajah den-
gan segudang kemarahan.
Tubuh Ksatria Topeng Putih ternyata telah ber-
pindah tempat karena disambar seorang pemuda re-
maja berpakaian biru-biru. Pemuda itu berparas tam-
pan, sinar matanya menyiratkan sifat yang amat lugu.
Sementara, di tangan kanan si pemuda tercekal se-
buah tongkat pendek berwarna putih.
Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! Den-
gan Tongkat Dewa Badai-nya, Seno telah menangkis
babatan Pusaka Pedang Naga. Karena Tongkat Dewa
Badai adalah sebuah senjata mustika, tongkat sepan
jang dua jengkal itu tak sampai rusak ataupun terba-
bat putus.
"Keparat!" geram Setan Selaksa Wajah lagi. "Un-
tuk apa kau datang ke sini, Bocah Gemblung?!"
"Hmmm.... Apa kau lupa bila di antara kita ma-
sih ada urusan yang belum terselesaikan?" sahut Se-
no, mencibir. "Sekali lagi ku ingatkan, kau punya dosa
yang teramat besar. Kau curi dua bagian Kitab Sangga-
langit, lalu kau buat lumpuh sepasang kaki gurumu
sendiri. Hmmm... Aku punya kuasa untuk menjatuh-
kan hukuman kepadamu, Mahisa Lodra.... Melihat
keadaanmu yang tidak begitu menguntungkan, kuberi
kau kesempatan untuk menyerangku sampai tiga ju-
rus. Aku tak akan melawan. Tapi setelah itu, kau ha-
rus siap menerima hukuman!"
"Seno.... Seno...," desis Ksatria Topeng Putih
yang terbaring lemah di dekat kaki Pendekar Bodoh.
"Diamlah!" bentak Seno tiba-tiba. "Aku datang
bukan untuk menolongmu! Setelah kuselesaikan uru-
sanku dengan durjana itu, kau pun harus memper-
tanggung jawabkan perbuatanmu di masa lalu!"
"Seno...," desah Ksatria Topeng Putin, berusaha
bangkit. "Aku memang bersalah, tapi...."
"Cukup!" bentak Pendekar Bodoh lagi. "Aku ta-
hu siapa kau! Jangan harap topeng di wajahmu itu
dapat menutupi sifat busukmu!"
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa
Wajah. "Tergelitik rasa hatiku mendengar kalian bera-
du mulut! Teruskan! Teruskan saja! Kuberi kalian ba-
nyak waktu!"
Usai berkata, mendadak murid murtad Dewa
Dungu itu menjejak tanah untuk mengambil langkah
seribu. Tentu saja Pendekar Bodoh tak mau mele-
paskan si kakek menyelamatkan diri. Sambil mendengus gusar, Pendekar Bodoh meloncat sebat. Dan, tu-
buh si pemuda pun melesat cepat sekali karena dia
menggunakan ilmu peringan tubuh 'Tiupan Angin Me-
niup Dingin'.
"Kurang ajar...!" umpat Setan Selaksa Wajah
ketika melihat sosok Pendekar Bodoh telah berada di
hadapannya.
"Apa kau tidak mendengar perkataanku, Mahi-
sa Lodra?" ujar Seno. "Aku mau bermurah hati untuk
memberimu kesempatan menyerang sampai tiga jurus.
Kenapa kau malah hendak melarikan diri?"
"Hmmm.... Ternyata, kau tidak sebodoh yang
kukira, Bocah Gemblung. Kau dapat berkata seperti
itu karena kau tahu bila aku telah menderita luka da-
lam."
"Jangan salah mengerti! Aku tidak mau men-
gambil keuntungan dari keadaanmu sekarang ini. Adil
bukan apa yang kutawarkan kepadamu?"
"Jahanam! Setan Selaksa Wajah tidak biasa di-
hina orang! Mati kau! Hiahhh...!"
Kakek berwajah pemuda itu menerjang nekat.
Bilah Pusaka Pedang Naga berkelebatan dengan mem-
perdengarkan suara mendengung seperti suara seke-
lompok lebah sedang terbang. Tapi, Tongkat Dewa Ba-
dai di tangan Seno selalu dapat mematahkan serangan
senjata pusaka itu. Pusaka Pedang Naga seakan telah
lenyap keampuhannya ketika bertemu dengan senjata
andalan Seno.
Tiga jurus berlalu dengan cepat. Manakala Se-
tan Selaksa Wajah mengubah jurus 'Memetik Bunga
Melempar Batu', mulailah Pendekar Bodoh melancar-
kan serangan balasan. Keadaan Setan Selaksa Wajah
yang sudah lemah memudahkan si pemuda untuk me-
nyarangkan pukulan!
Des...!
"Wuahhh...!"
Pukulan Pendekar Bodoh membuat tubuh Se-
tan Selaksa Wajah terlontar tinggi. Darah segar yang
menyembur dari mulut si kakek menebar ke mana-
mana. Dan, tubuhnya pun segera jatuh terbanting di
atas bongkahan batu, lalu menggelosoh ke permukaan
tanah bagai selembar kain tak berharga.
"Bangunlah!" seru Seno. "Untuk membalaskan
kebiadabanmu kepada Kakek Dewa Dungu, aku harus
membuat sepasang kakimu lumpuh pula. Tapi, cepat-
lah bangun! Aku memberimu kesempatan guna mela-
kukan perlawanan lagi!"
"Sombong benar kau, Bocah Gemblung!" den-
gus Setan Selaksa Wajah. "Tak akan ada orang yang
mampu menyakitiku! Tak akan ada orang yang dapat
mengalahkan aku! Ha ha ha...!"
Berkerut kening Pendekar Bodoh melihat si ka-
kek tertawa bergelak. Agaknya, rasa putus asa telah
membuat jalan pikiran Setan Selaksa Wajah tergang-
gu.
"Mati kau! Mati kau!"
Sambil berseru lantang, kakek berpakaian ser-
ba merah itu menerjang lagi. Namun, serangkum angin
pukulan yang timbul dari kibasan Tongkat Dewa Badai
di tangan Pendekar Bodoh telah menghadang. Hingga,
tubuh si kakek jatuh terbanting kembali!
"Jahanam! Iblis laknat kau?" maki Setan Selak-
sa Wajah.
Karena pikirannya sudah tak bisa dibilang wa-
ras lagi, si kakek membabatkan bilah Pusaka Pedang
Naga ke bongkah-bongkah batu besar. Kontan beba-
tuan itu hancur lebur menjadi potongan-potongan ke-
cil. Suara hiruk-pikuk segera memenuhi setiap tempat
di Lembah Kebencian,
Mendengus gusar Seno saat melihat tangan kiri
Setan Selaksa Wajah berubah warna menjadi biru te-
rang. Si kakek mengeluarkan ilmu pukulan 'Pelebur
Sukma'!
"Semakin kau nekat, kematianmu semakin de-
kat, Mahisa Lodra!" seru Pendekar Bodoh.
"Kaulah yang harus mati! Aku tak mau mati!
Aku adalah raja Mahespati! Ha ha ha..,!"
Tertawa bergelak Setan Selaksa Wajah seraya
meloncat cepat. Bergegas Seno menggerakkan Tongkat
Dewa Badai untuk menangkis babatan Pusaka Pedang
Naga.
Trang!
"Uh...!"
Bunga api berpijar ke segala penjuru. Karena
tenaga Setan Selaksa Wajah telah terkuras, bilah Pu-
saka Pedang Naga terlepas dari cekalan. Namun, si ka-
kek jadi lebih nekat. Tangan kirinya berkelebat cepat
untuk menghantam dada Pendekar Bodoh!
Wuttt...!
Tanpa pikir panjang, Pendekar Bodoh menga-
lirkan kekuatan tenaga dalam ke tangan kiri. Dengan
ilmu 'Pukulan Inti Panas', dipapakinya telapak tangan
Setan Selaksa Wajah!
Blar...!
Tak dapat dicegah lagi, dua telapak tangan
yang mempunyai daya penghancur hebat bertemu di
udara. Bersamaan dengan ledakan yang timbul, tubuh
Setan Selaksa Wajah terpental jauh. Saat jatuh ke ta-
nah, tubuh si kakek berubah jadi tulang-belulang yang
terjilati lidah api putih berkilat. Dan..., tamatlah ri-
wayat Setan Selaksa Wajah sampai di situ!
"Ya, Tuhan...," sabut Pendekar Bodoh yang ma
sih berdiri tegak di tempatnya.
Ketika memapaki pukulan Setan Selaksa Wajah
tadi, pemuda lugu itu hanya menggunakan setengah
bagian kekuatan tenaga dalamnya. Dia sama sekali tak
menyangka bila pukulannya akan bisa berakibat se-
demikian rupa.
Pendekar Bodoh tidak tahu jika rasa bencinya
yang mendalam terhadap Setan Selaksa Wajah telah
melipat gandakan tenaga dalamnya!
***
SEPULUH
SENJA tegak menantang untuk segera me-
nyambut kehadiran sang dewi malam. Hanya desau
angin yang bersedia menemani sepi di Lembah Keben-
cian. Namun, keheningan di alam sekitar, berlainan
benar dengan isi hati Pendekar Bodoh yang tengah
bergolak dan bergemuruh....
"Terima kasih atas segala kebaikan yang per-
nah kau berikan, walau sebenarnya aku tak tahu ada
maksud apa di balik kebaikanmu itu...," ujar si pemu-
da dengan suara dalam. "Ada beberapa pertanyaan
yang harus kau jawab dengan jujur, Paman. Pertama,
benarkah kau ayahku?"
Ksatria Topeng Putih terdiam, tak dapat segera
menjawab pertanyaan itu. Dalam keadaan rebah mir-
ing, dia mencoba menatap wajah Seno. Lalu sambil
menahan rasa sakit yang amat menyiksa, perlahan
tangan kanannya bergerak. Topeng baja putih ditang-
galkannya. Sehingga, tampaklah seraut wajah halus
tampan dengan sinar mata lembut, menatap ke arah
Seno penuh rasa haru....
"Kau... kau...," desis Pendekar Bodoh, tak jelas
apa makna ucapannya.
Pemuda berambut panjang tergerai itu berdiri
terpaku dengan mata membelalak. Garis-garis wajah
Ksatria Topeng Putih amat mirip dengan dirinya! Rasa
benci yang telah lama terpendam dalam hati Seno tiba-
tiba berubah jadi rasa rindu.
Ingin rasanya Seno memeluk seorang ayah yang
telah mengukir jiwa raganya. Ingin rasanya Seno me-
numpahkan segala isi hatinya di hadapan sang ayah.
Tapi..., bukankah ayahnya itu orang jahat? Bukankah
dia telah bersumpah akan menuntut balas atas pende-
ritaan ibunya?
"Seno...," sebut Ksatria Topeng Putih, mengua-
tkan diri Untuk duduk bersila. "Aku tahu apa yang
kau rasakan. Walau kebencianmu terhadapku setinggi
gunung dan sedalam lautan, cobalah kau dengar kata-
kataku...."
"Tidak!" seta Seno, menepis rasa hatinya yang
berdebar tak karuan. "Kau tak pantas bicara terlalu
banyak. Jawab saja pertanyaanku! Benarkah kau
ayahku?"
Mencoba tersenyum Ksatria Topeng Putih.
"Tanpa kujawab, kau pasti sudah tahu. Dapatkah kau
menipu dirimu sendiri?"
"Keparat! Pandai benar kau bersilat lidah. Ibu-
ku jatuh ke dalam jurang kesengsaraan pasti karena
bujuk rayumu! Hayo! Benar, bukan?!"
"Seno..., kau keliru. Kenapa aku mesti me-
nyengsarakan orang yang kucintai? Cinta menyatukan
dua hati. Bila aku menyengsarakan ibumu, bukankah
sama artinya dengan aku menyengsarakan diriku sen-
diri?"
"Darma Pasulangit...," Seno menyebut nama
kecil Ksatria Topeng Putih yang memang Darma Pasu-
langit, ayah si pemuda. "Kuakui, aku terlalu bodoh un-
tuk berdebat denganmu. Tapi, jawab lagi pertanyaanku
dengan jujur. Melihat topeng yang kau bawa, tak salah
aku memastikan bila kau Ksatria Topeng Putih. Benar,
bukan?"
Ksatria Topeng Putih menggigit bibir kuat-kuat.
Dia tak tahu ke mana arah pertanyaan Pendekar Bo-
doh.
"Hayo, jawab!" bentak Seno.
"Ya! Aku memang Ksatria Topeng Putih," jawab
Darma Pasulangit kemudian.
"Hmmm.... Kalau begitu, kau memang pantas
untuk mati. Kau memang penjahat culas, licik, kejam!
Penjahat yang suka merenggut kehormatan gadis-gadis
cantik!"
Tersentak kaget Darma Pasulangit mendengar
ucapan Pendekar Bodoh yang kasar berapi-api, "Ap...
apa maksudmu, Seno? Aku memang berdosa besar
pada ibumu. Tapi..., aku tidak sejahat yang kau kata-
kan itu...."
"Omong kosong! Hendak bersilat lidah lagi kau
rupanya! Jangan mungkir! Kematianmu sudah dekat,
kenapa tidak kau akui semua dosamu?!"
"Seno...!" sebut Ksatria Topeng Putih, "Sekali
lagi kukatakan, aku memang punya dosa besar terha-
dap ibumu. Tapi, dosa itu tak pernah ku sengaja. Kea-
daanlah yang membuat ibumu sengsara.... Apa pun
yang telah terjadi, aku memang merasa sangat berdosa
terhadap ibumu. Perasaan berdosa itu membuatku tak
berani bertatap muka langsung denganmu. Terpaksa
aku memakai topeng agar kau tak dapat mengenaliku,
Seno. Kau belum dewasa. Aku takut kau akan lepas
kendali. Dan..., sekarang kekhawatiranku terbukti.
Kau belum bisa menerima kenyataan yang memang
amat pahit ini...."
"Boleh kau katakan aku belum dewasa. Boleh
kau katakan aku tak bisa menerima kenyataan. Tapi
kau pun harus tahu, siapa yang bisa menahan diri ka-
lau ayahnya adalah seorang penjahat besar?"
"Aku bukan penjahat...."
"Hmmm.... Kau mungkir lagi! Sekarang jawab
satu pertanyaanku lagi, siapa itu Hantu Pemetik Bun-
ga?"
Ksatria Topeng Putih menghela napas beberapa
kali. Wajahnya jadi amat sedih. Sementara, luka baba-
tan pedang di tubuhnya masih mengalirkan darah se-
gar....
"Kau diam karena tak bisa menjawab, bukan?
Kau memang Hantu Pemetik Bunga! Akui itu!"
"Aku Hantu Pemetik Bunga? Siapa bilang?"
"Tak perlu kukatakan! Jawab saja, ya atau ti-
dak."
"Seno...," desis Ksatria Topeng Putih, mengin-
gat-ingat kejadian tempo hari. "Aku tahu sekarang.
Kau menuduhku sebagai Hantu Pemetik Bunga pasti
karena ucapan Dewi Pedang Halilintar...."
"Tepat! Tapi, ucapan nenek itu disertai bukti
yang kuat. Bukankah kau selalu memakai topeng? To-
pengmu itulah buktinya!"
Ksatria Topeng Putih meringis kesakitan. Men-
dadak, tubuhnya terguling. Darah segar merembes ke
permukaan tanah.
"Ajalku akan segera tiba,,.," desis bekas putra
mahkota yang tergulingkan itu. "Arwahku akan pena-
saran jika kau masih menuduhku sebagai seorang
penjahat, Seno. Aku bukan Hantu Pemetik Bunga..."
Kepala Darma Pasulangit jatuh terkulai.
Seperti dihampiri bayangan yang amat mena-
kutkan, tiba-tiba Pendekar Bodoh menjerit keras. Lalu,
si pemuda meloncat seraya memeluk tubuh Darma Pa-
sulangit.
"Ayah...! Ayah...!"
Perlahan, kelopak mata Darma Pasulangit ter-
buka. "Apakah aku tidak salah dengar? Kau memang-
gil 'ayah', Seno?"
"Ya! Ya, kau memang ayahku...," ucap Pendekar
Bodoh, menahan air mata yang hendak jatuh.
"Terima kasih, Seno. Rupanya, kebahagiaan
mau datang ketika aku hampir dijemput ajal. Dan, ke-
bahagiaan itu akan lengkap jika kau tidak menuduhku
sebagai orang jahat, Seno. Aku memang bukan Hantu
Pemetik Bunga. Apakah kau ingin punya ayah seorang
penjahat macam itu?"
"Tidak! Tidak, Ayah!" pekik Seno. "Aku hanya
mengatakan isi hatiku!"
"Aku tidak bisa membuktikan bahwa aku bu-
kan Hantu Pemetik Bunga. Tapi, suatu saat kau pasti
akan menemukan bukti itu. Yakinlah, Seno. Aku me-
mang bukan Hantu Pemetik Bunga. Aku adalah Darma
Pasulangit. Aku Wisnu Sidharta. Aku Ksatria Seribu
Syair. Aku Ksatria Topeng Putih. Tapi, aku, bukan
Hantu Pemetik Bunga...."
"Ayah...."
"Aku pernah menjadi putra mahkota kerajaan
Mahespati. Aku rela hidup sengsara karena takhta
Ayahanda Darma Sagotra digulingkan orang. Tapi, aku
tidak rela jika putra ku menuduhku sebagai seorang
penjahat...."
"Ayahhhh...!"
Pendekar Bodoh menjerit keras sekali. Digun
cang-guncangkannya tubuh Darma Pasulangit. Lalu,
dia peluk erat tubuh lelaki itu....
"Lepaskan, Seno...," pinta Darma Pasulangit.
"Ada satu hal yang harus kusampaikan kepadamu."
"Ya! Yah, Ayah.... Katakan! Katakan saja! Maaf-
kan aku...," desah Pendekar Bodoh dengan tatapan
nyalang.
"Kau lihat pedang di sampingmu itu...."
"Ya, aku melihatnya, Ayah...."
"Itulah Pusaka Pedang Naga. Kau berdarah bi-
ru, Seno. Kau keturunan raja. Jika kau ingin merebut
kembali takhta Mahespati, Pusaka Pedang Naga dapat
membantumu, Empat ketua Partai Naga yang memiliki
pasukan besar akan bersedia membantumu. Katakan
saja bahwa kau putra ku...."
"Ayah...."
"Tapi kalau kau tak mau, kubur pedang itu
bersama jasadku...."
"Tidak! Tidak, Ayah! Kau tak boleh mati! Sete-
lah berpisah dengan Ibu, aku tak ingin berpisah den-
ganmu. Aku ingin hidup bersamamu...," ujar Pendekar
Bodoh, mengutarakan isi hatinya.
"Seno...," sebut Ksatria Seribu Syair, menahan
haru. "Aku pun ingin hidup bersamamu, Anakku. Ta-
pi..., aku telah terluka parah. Dan..., aku juga terluka
oleh jarum beracun...."
Begitu mendengar kata 'racun', Seno teringat
akan Tongkat Dewa Badai-nya yang mempunyai kha-
siat memusnahkan segala jenis racun.
Dengan hati berdebar tak karuan, Pendekar
Bodoh menotok beberapa jalan darah di tubuh Ksatria
Seribu Syair untuk menghentikan pendarahan pada
luka lelaki setengah baya itu. Sesudahnya, Pendekar
Bodoh mencabut jarum-jarum yang masih menancap
di tubuh si lelaki setengah baya seraya menempelkan
batang Tongkat Dewa Badai di bekas luka tusukan ja-
rum-jarum itu.
Di lain kejap, wajah Darma Pasulangit tidak se-
berapa pucat lagi. Seluruh racun yang bersarang di
tubuhnya telah terhisap oleh batang Tongkat Dewa
Badai. Ketika Seno hendak membalut luka di dada dan
pinggangnya dengan menyobek kain baju si pemuda
sendiri, cepat bekas putra mahkota itu mencegah....
"Tak perlu, Anakku. Aku tahu bajumu bukan-
lah baju sembarangan...,"
Sebelum Pendekar Bodoh menyahuti, Darma
Pasulangit telah merobek-robek bajunya sendiri. Lalu,
dia membalut luka di tubuhnya walau dengan tangan
bergetar.
Dan ketika melihat sinar mata Seno yang me-
nyiratkan rasa cinta dan kasih sayang sekaligus me-
nyiratkan rasa khawatir yang mendalam, mendadak
semangat hidup dalam diri Ksatria Topeng Putih kem-
bali berkobar menyala-nyala. Karena semangat hidup
itulah Ksatria Seribu Syair dapat menghirup udara
dunia lebih lama.
"Terima kasih, Anakku...," ucap Darma Pasu-
langit kemudian, menatap wajah Pendekar Bodoh le-
kat-lekat.
Entah apa yang ada di benak lelaki setengah
baya itu, setelah menepuk bahu Pendekar Bodoh, dia
membalikkan badan seraya melangkah pergi.
"Ayahhh...!" panggil Seno untuk mencegah ke-
pergian ayahnya.
Namun..., Darma Pasulangit terus melangkah,
walau dengan tubuh sempoyongan dan kaki terseret.
Tak lupa lelaki setengah baya itu membawa Pusaka
Pedang Naga dan sarungnya.
"Ayahhh...!" panggil Pendekar Bodoh lagi, lebih
keras.
Darma Pasulangit menoleh pelan seraya berka-
ta, "Masing-masing dari kita punya tugas dan kewaji-
ban. Kalau umur sama panjang, barangkali Tuhan
berkenan mempertemukan kita lagi. Hati-hatilah men-
jaga diri, Anakku. Berpikirlah masak-masak sebelum
bertindak...."
Kaki Darma Pasulangit melangkah lagi.
Seno menatap dengan hati pedih....
"Ayah...," desis Pendekar Bodoh. "Biarlah takh-
ta tetap dipegang Prabu Wira Parameswara, Rakyat
sudah hidup tenang dan damai. Tak perlu aku mem-
buat perang besar yang hanya akan menyengsarakan
rakyat...."
Pendekar Bodoh diam beberapa lama, lalu ka-
tanya, "Aku masih ingat kata-katamu, Ayah. Ketika
mengenalkan diri sebagai Ksatria Topeng Putih, kau
berkata bahwa kekuasaan yang besar cenderung
membuat manusia lupa diri. Aku tak mau lupa diri,
Ayah. Biarlah aku tak punya kekuasaan apa-apa asal-
kan aku bisa hidup di jalan Tuhan.... Suatu saat, akan
kubuktikan bahwa kau memang bukan Hantu Pemetik
Bunga. Selamat tinggal, Ayah...."
Ketika angin dingin berhembus membawa em-
bun, Pendekar Bodoh melangkah meninggalkan Lem-
bah Kebencian. Sosok si pemuda segera lenyap tertelan
kegelapan malam. Di bagian lain, Ksatria Topeng Putih
alias Ksatria Seribu Syair juga melangkah menjauhi
Lembah Kebencian yang telah membuka mata hati
sang putra tercinta....
SELESAI
Segera terbit!!
SENGKETA AHLI SIHIR
0 comments:
Posting Komentar