..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 08 Desember 2024

PENDEKAR BODOH EPISODE SENGKETA AHLI SIHIR

PENDEKAR BODOH EPISODE SENGKETA AHLI SIHIR

 Hak cipta dan copy right

pada penerbit di bawah lindungan

undang-undang


Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-

gian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


SATU


ARCA Dewa Langit berupa seorang lelaki berju-

bah yang berdiri dengan tangan menengadah. Di kepa-

lanya bertengger sebuah tiara bergerigi. Tinggi arca 

hampir menyamai tinggi batang pohon kelapa. Tampak 

gagah berwibawa manakala tersiram cahaya rembulan 

malam keemasan.

Sekitar lima puluh tombak di hadapan arca 

yang terbuat dari batu gunung itu terpampang sebuah 

danau berair bening, terpagari beraneka jenis pohon 

bunga. Danau Siani, begitu warga Suku Asantar mem-

beri nama.

Anehnya, di malam itu seorang pemuda bertu-

buh tegap tampak memanjat Arca Dewa Langit. Kedua 

tangan dan kakinya terus bergerak merayap di antara 

tonjolan batu arca. Pakaiannya yang berwarna hitam-

hitam membuat sosok tubuhnya sulit dilihat dari ke-

jauhan. 

Sementara, sepi berkuasa penuh atas suasana 

alam sekitar. Dingin membelenggu dan hendak mere-

mas tulang. Hanya suara desau angin tersahuti lolon-

gan serigala yang kadang menggetarkan gendang telin-

ga.

"Sebentar lagi.... Sebentar lagi! Rencana ini te-

lah kususun sejak lama. Aku tak boleh gagal!" kata ha-

ti pemuda yang tengah memanjat Arca Dewa Langit.

Dia berumur sekitar tiga puluh tahun. Berparas 

tampan, namun ketika itu kulit wajahnya penuh co-

reng-moreng hitam karena olesan jelaga.

Manakala tubuhnya yang tegap telah berada di 

atas kepala Arca Dewa Langit, si pemuda berdiri tegak 

dengan tangan bersedekap. Kedua bola matanya ben


ing berkilat seperti mata elang, menatap tak berkedip 

Puri Dewa Langit yang tinggi menjulang.

Letak Puri Dewa Langit dengan Arca Dewa Lan-

git dibatasi bentangan Danau Siani yang luas. Jadi, ja-

rak kedua bangunan itu terpaut cukup jauh. Dan pada 

malam itu, Puri Dewa Langit yang dilamur warna hijau 

lumut hanya terlihat samar-samar. Pantulan cahaya 

rembulan tak sanggup menerangi, malah seperti hen-

dak membutakan mata.

Namun demikian, pemuda yang tengah berdiri 

di atas kepala Arca Dewa Langit terus menatap Puri 

Dewa Langit tanpa bosan. Tak peduli tiupan angin 

yang kadang terasa hendak melontarkan tubuhnya. 

Tak peduli pula pada kain bajunya yang mulai basah 

karena terpaan kabut dingin.

Tapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian 

hitam-hitam itu mengangkat kedua tangannya seperti 

mengiba. Lalu, dari mulutnya terdengar rentetan kata 

seperti sebuah mantra panjang..

"Aku Sasak Padempuan. Kupanggil roh para le-

luhur Suku Asantar. Gabungkan kekuatan untuk 

membuat jalan menuju Puri Dewa Langit. Hom asan-

tarnas paranas... ramsas..!"

Usai berkata, pemuda yang menyebut dirinya 

sebagai Sasak Padempuan itu meluruskan kedua tan-

gannya sejajar pergelangan kaki, lalu diangkat lurus ke 

arah Puri Dewa Langit. Tiba-tiba, terdengar suara 

mendesis seperti bara tersiram air. Dari kedua mata 

Arca Dewa Langit memancar sinar merah kebiruan, 

meloncat cepat ke sebuah jendela terbuka di Puri Dewa 

Langit!

"Ha ha ha...!" Sasak Padempuan tertawa berge-

lak. "Kini tiba saatnya aku mewujudkan impian. 

Orang-orang Suku Asantar tak akan dapat mengalah


kan ilmu sihir Sasak Padempuan! Kemenangan itu te-

lah terbentang di depan mata! Ha ha ha...!"

Sambil terus tertawa bergelak, Sasak Padem-

puan melangkah. Luar biasa! Sinar merah kebiruan 

yang melesat dari mata Arca Dewa Langit mampu me-

nopang tubuh pemuda itu!

Sasak Padempuan berjalan menuju Puri Dewa 

Langit tanpa kesulitan sedikit pun. Dia melewati ben-

tangan Danau Siana dengan berjalan sepuluh tombak 

di atas permukaan danau itu. Sinar merah kebiruan 

benar-benar telah menjadi titian yang menghubungkan 

Arca Dewa Langit dengan Puri Dewa Langit!

* * *

Perkampungan Suku Asantar terasa sunyi len-

gang. Semua penghuninya sudah larut dalam buaian 

mimpi. Entah karena apa tak seorang pun warga yang 

masih terjaga. Padahal, beberapa orang yang mempu-

nyai kedudukan di suku itu suka tidur ketika telah da-

tang dini hari.

Sementara, di tepi aliran sungai, sekitar sepe-

minum teh perjalanan ke arah utara perkampungan 

Suku Asantar, tampak seorang pemuda bertelanjang 

dada tengah duduk bersemadi. Hanya pemuda itulah 

yang tak terlelap dalam tidur.

Walau pantulan cahaya rembulan hanya dapat 

memberi keremangan, dapatlah dilihat bila si pemuda 

bertubuh padat berisi. Otot dan urat-uratnya pun ter-

lihat bertonjolan. Dia berwajah tampan dengan sepa-

sang alis tebal melintang bak sayap elang yang sedang 

terbang menukik. Rahangnya yang kokoh berbentuk 

persegi, seperti dapat menggambarkan sifatnya yang 

keras dan amat teguh dalam memegang pendirian.


Namun, tidak seperti orang yang sedang berse-

madi pada umumnya, pemuda bercelana panjang war-

na merah itu melakukan semadi di atas rimbunan 

daun pohon! Beberapa ranting kecil yang menopang 

tubuhnya tak melengkung ataupun patah. Agaknya, si 

pemuda memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup bi-

sa diandalkan.

Dia adalah Bancakluka, putra Kepala Suku 

Asantar yang lebih dikenal dengan sebutan Baulau. 

Sebagai putra Baulau Asantar, Bancakluka mempu-

nyai hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya 

yang bernama Bancakdulina. Dan menurut rencana 

yang telah disepakati Bancakdulina dengan seluruh 

warga suku, Bancakluka akan menggantikan kedudu-

kan baulau pada malam bulan purnama depan, men-

gingat Bancakdulina sendiri sudah lanjut usia. Tapi 

sebelum dilakukan upacara adat penyerahan kedudu-

kan kepala suku itu, Bancakluka wajib memperli-

hatkan kemampuan ilmu bela dirinya di hadapan selu-

ruh warga Suku Asantar.

Apabila Bancakluka dianggap kurang cakap, 

maka kedudukan baulau akan digantikan warga Suku 

Asantar lainnya yang dirasa lebih tinggi ilmu bela di-

rinya. Oleh karena itulah Bancakluka sejak beberapa 

bulan lalu telah giat memperdalam ilmu kesaktiannya.

Kokok ayam terdengar melengking tinggi mana-

kala Bancakluka membuka kelopak mata. Tapi, dia tak 

segera meloncat turun dari atas pohon. Kening si pe-

muda tampak berkerut rapat. Ada sesuatu yang mem-

buatnya terkejut.

"Astaga! Aku melihat sinar merah kebiruan me-

lesat dari mata Arca Dewa Langit. Itu sinar 'Titisan Le-

luhur'! Siapa yang berani memasuki Puri Dewa Langit? 

Belum pernah aku melihat orang selancang itu. Dia


pasti punya maksud jahat. Aku harus berbuat sesua-

tu!"

Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Ban-

cakluka meloncat dari ranting pohon yang semula di-

jadikannya sebagai tempat bersemadi. Ringan sekali 

tubuh si pemuda melayang turun. Sebelum menyentuh 

permukaan tanah, dia bersalto tiga kali. Dan saat men-

jejak permukaan tanah, tiba-tiba tubuh pemuda beru-

sia dua puluh lima tahun itu berkelebat cepat. Lalu, 

menghilang ditelan kegelapan malam....

* * *

Sasak Padempuan berada di bibir salah satu 

jendela Puri Dewa Langit yang terbuka. Salah satu ka-

kinya telah menginjak lantai ditingkat enam. Sesaat di-

tatapnya sinar merah kebiruan yang telah digunakan-

nya sebagai titian.

"Kulepas roh para leluhur Suku Asantar. Bersa-

tulah kalian untuk membantu mewujudkan keingi-

nanku. Hom asantarnas paranas... ramsas...!"

Di ujung kalimat yang mengandung kekuatan

sihir itu, Sasak Padempuan mengangkat kedua tan-

gannya ke depan. Terdengar suara mendesis seperti 

suara bara api yang tersiram air. Sinar merah kebiruan 

yang memancar dari kedua mata Arca Dewa Langit 

langsung lenyap!

Sasak Padempuan membalikkan badan seraya 

memutar pandangan. Bola matanya tak henti bergerak 

mencari sesuatu. Perlahan, kaki si pemuda pun mulai 

melangkah.

Enam batang obor tampak menempel di dinding 

ruangan tingkat enam Puri Dewa Langit itu. Di lantai 

banyak terdapat kotak kayu berukir yang disusun rapi.


Sebagian tertutup kain beludru hitam. Dan di ruangan 

yang cukup besar itu juga terdapat beraneka arca. 

Semuanya berupa kepala manusia berkepala binatang.

Bibir Sasak Padempuan tersenyum senang saat 

melihat sebuah kotak kecil yang menempel di dada ar-

ca manusia berkepala naga. Kotak itu penuh ukiran 

indah, terbuat dari kayu hitam. Tampak berkilat ter-

timpa cahaya obor.

"Kitab Palanumsas...!" desis Sasak Padempuan.

Dengan bola mata berbinar-binar, pemuda yang 

kulit wajahnya penuh jelaga itu menyambar kotak 

kayu yang menarik perhatiannya. Tapi... alangkah ter-

kejutnya Sasak Padempuan. Kotak kayu berukir yang 

melekat di dada arca manusia berkepala naga tak da-

pat dilepas. Melekat erat karena ada suatu kekuatan 

yang menahannya!

"Hmmm.... Mana dapat kekuatan sihir orang-

orang Suku Asantar melawan keinginanku?" gumam 

Sasak Padempuan.

Beberapa kali pemuda itu menarik napas pan-

jang. Sambil mundur dua langkah, dia menatap tajam 

kotak kayu di hadapannya. Lalu....

"Wahai para leluhur Suku Asantar..., anak-

cucu kalian sengaja hendak menghalangi keinginanku. 

Cobalah tunjukkan kekuatan. Lepaskan ikatan kotak 

kayu itu! Hom asantarnas paranas..,, ramsas...!"

Ketika Sasak Padempuan menjulurkan kedua 

pergelangan tangannya ke depan, mendadak arca ma-

nusia berkepala naga memancarkan sinar putih. Ber-

samaan dengan itu, kotak kayu berukir jatuh terpe-

lanting!

Tanpa pikir panjang, Sasak Padempuan me-

lompat. Tangan kanannya bergerak cekatan. Di lain 

kejap, kotak kayu berukir telah berada dalam cekalan


nya.

"Kitab Palanumsas...!" desis Sasak Padempuan. 

"Akan segera jadi milikku! Aku akan menjadi raja sihir 

yang mempunyai empat kekuatan alam maha dahsyat! 

Ha ha ha...!"

Suara tawa pemuda berpakaian hitam-hitam 

itu menggema di setiap ruangan Puri Dewa Langit. 

Sampai Sasak Padempuan berlari-lari menuruni tang-

ga, suara tawa si pemuda masih terus menggema pan-

jang. Agaknya, Sasak Padempuan yakin bila tidak ada 

orang yang mengetahui perbuatannya. Sehingga, dia 

bisa begitu bebas mengeluarkan suara tawanya yang 

keras mengakak.

"Setelah kulakukan upacara persembahan, ko-

tak kayu ini pasti terbuka dengan sendirinya. Dan..., 

ha ha ha...! Isi Kitab Palanumsas akan segera dapat 

kupelajari! Aku akan menjadi raja dari segala raja si-

hir! Ha ha ha...!"

Begitulah, sambil terus tertawa penuh luapan 

rasa gembira, Sasak Padempuan mempercepat langkah 

kakinya agar segera dapat meninggalkan Puri Dewa 

Langit. 

Ketika sampai di lantai paling bawah, pintu pu-

ri yang terbuat dari kayu besi tebal ditendang hancur 

oleh pemuda itu. Diiringi suara ledakan cukup keras, 

pecahan kayu berhamburan. Bergegas Sasak Padem-

puan berlari menembus kegelapan malam. Tapi tiba-

tiba..., sesosok bayangan datang menghadang! 

"Astaga!"

Berseru kaget Sasak Padempuan. Sosok bayan-

gan yang menghadang langkahnya ternyata sesosok 

makhluk berwujud mengiriskan!

Makhluk itu tubuh bagian bawahnya berupa 

tubuh manusia pada umumnya. Namun, si makhluk


memiliki kepala tiga! Lebih aneh lagi, ketiga kepala itu 

berupa kepala naga!

"Pencuri busuk! Kembalikan pusaka Suku 

Asantar itu! Cepatlah! Atau, kau ingin tulang-belulang 

mu kuremukkan?!"

Mulut kepala naga yang di tengah mengelua-

rkan suara ngorok menyiratkan ancaman. Terdengar 

keras menggelegar, hingga mampu merontokkan daun 

pepohonan di dekat bangunan puri.

Sasak Padempuan tersurut mundur tiga lang-

kah. Cepat dia tekan rasa keterkejutannya. Mendadak, 

si pemuda tertawa bergelak.

"Ha ha ha...! Rupanya, kau tak mempan 'Sihir 

Penidur'-ku, Naga Kepala Tiga. Hmmm.... Jangan besar 

mulut di hadapan Sasak Padempuan! Minggirlah! Kitab 

Palanumsas tetap akan menjadi milikku!"

Ketiga kepala makhluk yang disebut Naga Ke-

pala Tiga tampak menjulur panjang ke depan, si mak-

hluk marah mendengar kata-kata Sasak Padempuan. 

Dan, semua bola mata makhluk itu memancarkan se-

berkas sinar merah yang menebarkan hawa panas!

Segera Sasak Padempuan menyadari keadaan. 

Dia tahu bila dirinya menjadi sasaran serangan. Serta-

merta si pemuda mengangkat tangan kanannya seraya 

berkata....

"Gelombang angin datang menghancurkan se-

gala sesuatu! Naga Kepala Tiga terlontar dan jatuh ter-

banting! Dia tak akan pernah bangun lagi! Hom asan-

tarnas paranas... ramsas...!"

Maka, saat itu juga terdengar suara bergemu-

ruh keras. Angin puting beliung muncul, menerpa tu-

buh Naga Kepala Tiga!

***


DUA


Di dalam rumah panggung besar terbuat dari 

susunan kayu jati, seekor anjing berbulu hitam tam-

pak mengendus-endus wajah seorang kakek yang ten-

gah tertidur lelap. Lidah anjing itu merah basah, se-

nantiasa bergerak menjilati pipi dan dahi si kakek.

"Huing...! Huing...! "

Anjing berbulu hitam mendengking. Lidahnya 

terjulur makin panjang. Terus mengendus dan menjila-

ti wajah si kakek yang tak lain dari tuannya.

Kakek itu tengah tergolek lemah seperti sudah 

tak punya nyawa. Dia mengenakan baju kuning kee-

masan. Bercelana longgar warna hijau daun. Rambut-

nya putih meletak. Namun demikian, tubuhnya masih 

tampak sehat dan tegap. Dia adalah Bancakdulina, 

baulau atau kepala Suku Asantar.

"Huing...! Huing...!"

Mendengking lagi anjing berbulu hitam. Karena 

Bancakdulina tak segera bangun, anjing gemuk dan 

bertenaga kuat itu menggigit kain baju si kakek. Lalu, 

dia bergerak mundur, hingga terseretlah tubuh Ban-

cakdulina.

Bruk...!

"Uh...!" 

Tak ayal lagi, tubuh Bancakdulina jatuh dari 

pembaringan. Mengeluh kesakitan dia karena tulang 

bahunya membentur lantai papan yang cukup keras. 

Mata si kakek memicing sebentar, tapi dia segera terle-

lap kembali. Sepertinya, kepala suku itu terserang rasa 

kantuk yang amat hebat.

"Huing...! Huing...!"

Anjing berbulu hitam terus mendengking


dengking. Sekali lagi, taringnya yang runcing menggigit 

kain baju Bancakdulina. Diseretnya tubuh kakek itu 

ke luar rumah.

Sampai di ambang pintu. Bancakdulina menge-

luh lagi. Kali ini, kelopak matanya terbuka lebar. Keti-

ka tahu tubuhnya tengah diseret anjing berbulu hitam, 

tersentak kaget kepala suku itu.

"Ya, Tuhan.... Apa yang sedang kau perbuat, 

Jana?" tegur Bancakdulina

"Huing...! Huing...!"

Walau tahu Bancakdulina telah tersadar, anjing 

berbulu hitam yang dipanggil Jana terus mendengking. 

Ganti kain celana si kakek yang digigitnya.

"Hei! Hei! Kau hendak mengajakku ke mana, 

Jana?" tegur Bancakdulina lagi. "Jangan kau seret aku 

seperti ini!"

Tapi, Jana tak mau peduli. Kain Bancakdulina 

tetap ditarik-tariknya ke luar rumah. Terpaksa si ka-

kek mesti mengikuti.

Dan manakala Bancakdulina berjalan menuru-

ni tangga, terdengar suara kokok ayam bersahutan.

Berkerut kening Bancakdulina seketika.

"Hari hampir pagi," gumam si kakek. "Aku tak 

tahu apa yang telah terjadi. Kenapa aku begitu terlelap 

dalam tidur?"

Jana yang telah berada di anak tangga paling 

bawah menetap lekat wajah Bancakdulina. Kepalanya

bergerak-gerak menandakan ajakan.

"Huing...! Huing...!"

"Kini aku tahu apa yang tengah kau rasakan, 

Jana...," ujar Bancakdulina. "Tapi, cobalah bersikap 

tenang. Melihat keadaan yang begitu sepi dan terkesan 

tak wajar, seorang pasti telah menerapkan ilmu 'Sihir 

Penidur'. Namun..., kenapa aku juga terkena pengaruh


ilmu itu? Padahal, aku punya sebuah ilmu penang-

kal...."

Kerut merut di kening Bancakdulina semakin 

terlihat jelas. Si kakek berdiri terpaku memikirkan pe-

ristiwa yang baru dialaminya. Sementara, anjing ber-

bulu hitam Jana tampak sudah sangat tak sabaran la-

gi untuk mengajak tuannya itu ke suatu tempat.

"Ah! Kenapa Bancakluka belum juga pulang? 

Berada di mana pemuda itu?" ujar Bancakdulina, me-

nanyakan putra tunggalnya.

"Huing...! Huing...!"

Mendengking lagi Jana. Kepalanya mengang-

guk-angguk. Agaknya anjing jantan bertubuh cukup 

besar itu mengerti pertanyaan Bancakdulina.

"Apa? Kau tahu?" utang si kakek untuk meya-

kinkan. 

"Huing...!"

Jana mengangguk lagi. Lalu, dia berlari pelan 

melewati jalan yang membelah perkampungan.

"Tampaknya, anjing itu ingin menunjukkan se-

suatu yang amat penting kepadaku," gumam Bancak-

dulina. "Jana punya naluri yang kuat. Firasatnya tak 

pernah salah. Aku harus mengikutinya. Barangkali 

ada sesuatu yang membutuhkan pertolonganku...." 

Tahu Bancakdulina mengikuti, Jana memper-

cepat larinya. Dan karena tak mau ketinggalan, Ban-

cakdulina pun harus mengeluarkan ilmu peringan tu-

buh.

Walau malam yang pekat hampir membutakan 

penglihatan, Bancakdulina tak mendapat kesulitan un-

tuk terus mengikuti langkah kaki Jana. Karena, anjing 

itu menoleh ke belakang berkali-kali, sehingga bola 

matanya yang merah berkilat dapat memberi arah ja-

lan bagi Bancakdulina.


Sasak Padempuan menatap tak berkedip sosok 

Naga Kepala Tiga yang tengah meronta-ronta melawan 

putaran angin puting beliung. Kotak kayu berukir yang 

baru diambil dari dalam puri dicekalnya erat-erat. Ma-

nakala tubuh Naga Kepala Tiga mulai terseret, tak ku-

asa lagi Sasak Padempuan menahan suara tawa.

"Ha ha ha...! Mana dapat kau melawan ilmu si-

hir ku, Naga Kepala Tiga? Sebentar lagi, tubuhmu pas-

ti terangkat dan terlontar jauh, lalu... jatuh terbanting-

banting! Ha ha ha...! Habislah riwayatmu dengan tu-

buh remuk redam. Sikap usilmu membuat celaka di-

rimu sendiri! Impian mu untuk menjadi baulau akan 

kandas pula! Ha ha ha...!"

"Jahanam!" dengus Naga Kepala Tiga. "Kenapa 

kau tega berbuat jahat seperti ini, Padempuan? Kena-

pa kau curi barang pusaka leluhur mu sendiri? Apa 

kau tidak takut akan jatuhnya kutuk? Ingat! Orang 

Asantar yang melanggar adat pasti mati tanpa mening-

galkan kehormatan. Tubuhnya akan hancur lebur, 

hingga tak mungkin dapat disembahyangi lagi! Ingat! 

Kau akan mati dengan cara seperti itu, Padempuan!"

"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan. 

"Sudah! Tak perlu banyak cakap! Melanggar adat atau 

tidak, itu urusanku sendiri! Mati dengan kehormatan 

atau tidak, itu tak penting bagiku! Kalau sudah mati, 

mana dapat orang tahu apa yang akan terjadi pada tu-

buhnya? Ha ha ha...! Pikirkan saja keadaan dirimu 

yang sudah hampir dijemput ajal itu!"

Usai berkata, pemuda berpakaian hitam-hitam 

itu membalikkan badan. Namun sebelum pergi, ia me-

nyempatkan menoleh seraya berkata,

"Nikmati kematianmu, Naga Kepala Tiga. Maaf. 

Aku tak bisa menemanimu. Tapi, esok hari akan ku 

usahakan untuk datang pada upacara penguburan


mu...."

Menggeram marah Naga Kepala Tiga. Ketiga ke-

palanya menjulur panjang berusaha menyerang Sasak 

Padempuan. Dari mulut ketiga kepala itu menyembur 

gumpalan api merah menyala-nyala!

Namun, angin puting beliung ciptaan Sasak 

Padempuan mampu meredam semua serangan Naga 

Kepala Tiga. Bahkan, tubuh Naga Kepala Tiga terus 

terseret menjauhi puri, dan... mulai terangkat dari 

permukaan tanah!

"Selamat tinggal, Naga Kepala Tiga. Sayang se-

kali, kau tak akan dapat melihat Sasak Padempuan 

yang akan dinobatkan menjadi baulau...."

Setelah mengucapkan kata-kata ejekan, Sasak 

Padempuan berkelebat pergi. Tubuh si pemuda segera 

lenyap tertelan kegelapan malam. Tapi, suara tawanya 

masih terdengar sampai beberapa lama.

Tinggallah Naga Kepala Tiga yang tengah ber-

juang melawan maut. Mendadak, satu keanehan terli-

hat. Sosok makhluk itu berubah menjadi sosok pemu-

da bertubuh kekar dan berwajah tampan.

Dia Bancakluka!

"Gelombang angin datang! Bertiup dahsyat dan 

mengusir marabahaya! Hom asantarnas dadaulas... 

hurinas...!"

Bancakluka yang telah berubah ke wujud as-

linya menepukkan kedua telapak tangan di atas kepa-

la. Dibarengi satu ledakan keras, muncul tiupan angin 

puting beliung. Namun, tiupan angin yang berputar-

putar itu segera lenyap tertelan angin puting beliung

ciptaan Sasak Padempuan!

"Ya, Tuhan...," keluh Bancakluka dalam hati. 

"Pemuda jahat itu benar-benar memiliki kekuatan he-

bat. Sungguh aku tak menyangka! Uhhh...!"


Karena ilmu sihirnya tak dapat mengalahkan 

ilmu sihir Sasak Padempuan, tubuh Bancakluka se-

makin terseret jauh. Dan tak lama kemudian, tubuh 

putra baulau itu terangkat lebih tinggi. Jelas si pemu-

da telah berada di ambang kematian! Tapi menda-

dak....

"Gelombang angin datang! Selamatkan putra 

baulau! Hom asantarnas dadaulas... hurinas...! "

Muncul tiupan angin puting beliung lagi. Na-

mun, kali ini tiupan angin itu lebih kuat dari angin cip-

taan Bancakluka. Akibatnya, dua putaran angin puting 

beliung yang mempunyai kekuatan sama dahsyat ber-

benturan. 

Blammm...!

Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh 

Bancakluka jatuh bergulingan di tanah. Walau begitu, 

nyawanya malah selamat karena tubuh si pemuda tak 

jadi terbawa putaran angin puting beliung ciptaan Sa-

sak Padempuan.

Suasana jadi sunyi senyap.

Tak ada lagi suara gemuruh. Putaran angin 

puting beliung lenyap. Beberapa batang pohon tum-

bang. Sebagian telah terlontar entah ke mana. Permu-

kaan tanah yang semula. rata terlihat jadi banyak ku-

bangan.

Berseru girang Bancakluka melihat kedatangan 

seorang kakek berambut putih meletak bersama see-

kor anjing berbulu hitam.

"Sangkuk...!" ucap Bancakluka, menyebut 

panggilan seorang ayah.

"Ya, Anakku. Memang aku yang datang. Syu-

kurlah kau selamat!" sahut kakek berambut putih me-

letak yang tak lain Bancakdulina, kepala Suku Asan-

tar.


Bergegas Bancakluka bangkit. Setelah melon-

cat, si pemuda berlutut di hadapan Bancakdulina.

"Terima kasih, Sangkuk. Bancakluka berhutang 

nyawa...."

"Hus! Antara orangtua dan anak, tak ada istilah 

utang-piutang!" tegur Bancakdulina. "Kalau ingin ber-

terima kasih, sampaikan saja kepada Jana. Kalau tak 

ada dia, mana dapat nyawamu diselamatkan?"

Bancakluka menegakkan badan seraya meng-

hampiri anjing berbulu hitam Jana. Dipeluknya anjing 

itu penuh kasih.

"Terima kasih, Jana. Pasti kau yang mengajak 

Sangkuk kemari.... "

"Huing...!"

Jana mendengking. Lidahnya terjulur, menjilati 

dada Bancakluka. Sehingga, si pemuda merasa geli 

dan tertawa mengikik. 

"Kau tak apa-apa?" tanya Bancakdulina.

"Beginilah, Sangkuk. Aku tak apa-apa. Hanya 

luka lecet yang tak berarti," jawab Bancakluka. "Ta-

pi...."

"Tapi apa?"

"Sasak Padempuan...."

"Kenapa dengan dia?"

"Dia mencuri salah satu pusaka leluhur."

"Apa?" kejut Bancakdulina.

"Kalau tidak salah aku melihat, kotak yang di-

curi itu pasti berisi Kitab Palanumsas!"

"Astaga! Pemuda itu bukan saja telah mem-

buatmu hampir celaka, dia juga berani melanggar atu-

ran para leluhur! Kita kejar dia! Kau masih dapat ber-

lari jauh, bukan?"

"Dapat... dapat, Sangkuk," sambut Bancakluka, 

bangkit berdiri.


"Ayo, Jana! Kita kejar seorang penjahat! Cari je-

jak Sasak Padempuan!" perintah Bancakluka kepada 

anjing piaraannya.

Jana yang tengah menjilati kaki Bancakluka 

langsung menghentikan perbuatannya. Cepat sekali 

binatang itu berlari sambil mengendus-endus permu-

kaan tanah. Bancakluka dan ayahnya segera mengiku-

ti.

***

TIGA



SEMBURAT cahaya jingga di langit timur me-

nandakan hari telah berganti. Mentari tersenyum ma-

lu-malu menampakkan wajahnya. Alam menggeliat 

bangun, pagi datang menjelang.

Di dekat muara Sungai Simandau, Sasak Pa-

dempuan tampak sibuk melakukan sesuatu. Jelaga 

yang mengotori wajahnya telah dibersihkan. Walau 

dingin masih terasa meremas tulang, tubuh pemuda 

itu bermandikan keringat. Nafasnya pun terdengar 

memburu. Dia tengah berusaha keras membuka kotak 

kayu berukir yang baru dicurinya dari Puri Dewa Lan-

git.

"Luar biasa! Luar biasa!" desis Sasak Padem-

puan, "Telah ku kerahkan seluruh tenaga agar dapat 

membuka kotak kayu ini. Namun, hasilnya hanya sia-

sia belaka. Agaknya, aku memang harus melakukan 

upacara persembahan. Ilmu sihir yang melindungi Ki-

tab Palanumsas terlalu kuat untuk dilawan..."

Sasak Padempuan menatap lekat kotak kayu 

berukir di pangkuannya. Untuk beberapa lama, si pemuda berpikir-pikir lagi. Kedua ujung alisnya hampir 

bertautan. Keningnya pun segera dipenuhi keringat.

"Hmmm.... Kalau melakukan upacara persem-

bahan, aku mesti menunggu sampai datangnya bulan 

purnama. Selain harus menunggu beberapa hari lagi, 

aku juga butuh seutas akar kelapa yang ujungnya ber-

cabang delapan dan secangkir darah kucing jantan 

yang tak punya kemaluan. Uh! Betapa sulitnya meme-

nuhi kedua syarat persembahan itu.... Ah! Kenapa ko-

tak ini tidak kuhancurkan saja? Ya! Kuhancurkan sa-

ja! Kitab Palanumsas adalah benda pusaka. Tidak 

akan turut hancur!"

Merasa mendapat gagasan bagus, air muka Sa-

sak Padempuan yang semula keruh langsung berubah 

cerah. Dengan bola mata berbinar, pemuda berambut 

ikal panjang itu meletakkan kotak kayu berukir di atas 

lempengan batu. Lalu....

Blakk!

Blaakk!

Dua kali telapak tangan kanan Sasak Padem-

puan menghantam kotak kayu berukir. Namun... ko-

tak kayu yang menyimpan sebuah kitab pelajaran ilmu 

sihir mana hebat itu cuma bergetar. Tak pecah atau-

pun remuk. Padahal, lempengan batu yang menopang-

nya tampak retak!

Mendengus gusar Sasak Padempuan. Ditarik-

nya napas panjang seraya mengalirkan seluruh kekua-

tan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu, dia berka-

ta....

"Demi langit yang menjadi bapakku dan bumi 

yang menjadi ibuku... di mana lagi aku menaruh muka 

kalau tak dapat memecahkan kotak kayu ini? Bapak 

dan ibuku pasti tahu kesulitanku ini. Bantulah! Keku-

atan telah ku salurkan ke tangan kanan. Kotak kayu


pecah dan keinginanku terlaksana!"

Sembari menghembuskan udara dengan deras, 

tangan kanan Sasak Padempuan terayun cepat. Saat 

berkelebat, tangan si pemuda mengeluarkan suara 

bergemuruh keras.

Wuusss...!

Blarr...!

Ledakan keras membahana di angkasa. Na-

mun..., tak dapat lagi digambarkan betapa terkejutnya 

Sasak Padempuan. Bola mata si pemuda melotot besar 

dengan mulut ternganga lebar. Tak sadar pemuda ber-

kulit sawo matang itu berdiri terpaku beberapa lama.

Lempengan batu yang menopang kayu berukir 

hancur berkeping-keping. Pecahannya yang telah me-

nyerupai pasir beterbangan ke segala arah. Bumi pun 

sempat bergetar kencang. Tapi, kotak kayu berukir 

hanya amblas satu jengkal di bawah permukaan ta-

nah. Tetap tak pecah ataupun remuk!

"Luar biasa! Luar biasa!" seru Sasak Padem-

puan setelah menyadari keadaan. "Tak ada cara lain! 

Kekuatan ilmu sihir harus dilawan pula dengan ilmu 

sihir. Apa boleh buat. 'Sihir Peruntuh Gunung' akan 

menyelesaikan kesulitan ini!"

Ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' adalah ilmu sihir 

terhebat yang dimiliki warga Suku Asantar. Sehingga, 

hanya warga Suku Asantar tertentu yang dapat men-

guasainya, walau hampir seluruh warga Suku Asantar 

amat berbakat mendalami ilmu sihir.

Sampai sejauh ini, hanya ada tiga golongan Su-

ku Asantar yang dapat menguasai ilmu 'Sihir Peruntuh 

Gunung'. Golongan pertama adalah keturunan baulau 

atau kepala suku yang pertama, yaitu keturunan Sa-

sak Padempuan. Kedua, para ksatria Suku Asantar 

yang bertugas melindungi seluruh warga suku dari serangan warga suku lainnya. Ketiga, warga suku biasa 

yang memiliki peruntungan diberi kekuatan oleh Dewa 

Langit. Menurut kepercayaan Suku Asantar, Dewa 

Langit adalah dewa tertinggi, yang menguasai alam ba-

gian atas.

Dan, Sasak Padempuan adalah warga Suku 

Asantar yang masuk golongan pertama. Oleh kare-

nanya dia dapat menguasai ilmu 'Sihir Peruntuh Gu-

nung'.

Setiap warga Suku Asantar percaya, jika ilmu 

sihir itu diterapkan, sebuah gunung yang semula diam 

tenang pun akan meletus dengan tiba-tiba. Bahkan, 

ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' juga sanggup menaikkan 

permukaan air laut, sehingga perkampungan yang be-

rada di sekitar pantai akan tenggelam.

Apabila kepercayaan itu benar, bisa dibayang-

kan kalau Sasak Padempuan mengeluarkan ilmu sihir 

yang mempunyai daya penghancur dahsyat itu. Dan, 

tampaknya si pemuda yang telah panas hatinya tak 

mau pikir panjang lagi. Dengan kedua pergelangan 

tangan dijulurkan, dia mengucapkan kata-kata untuk 

membangkitkan kekuatan 'Sihir Peruntuh Gunung'....

"Aku Sasak Padempuan. Adalah keturunan 

Umpak Padempuan. Para dewa di jagat raya memper-

dengarkan keinginanku. 'Sihir Peruntuh Gunung' akan 

menunjukkan kehebatannya. Pecahkan kotak kayu di 

hadapanku! Hom asantarnas... "

Tapi... sebelum Sasak Padempuan menyelesai-

kan kata-kata kunci ilmu sihirnya, mendadak sesosok 

bayangan hitam menerkam tubuhnya dari belakang

"Hhauuung...!"

"Aargh...!"

Memekik kaget Sasak Padempuan. Tubuhnya 

jatuh bergulingan di tanah berdebu. Yang menerkam

nya ternyata seekor anjing berbulu hitam pekat. Jana!

Untung, anjing itu cuma bermaksud menjatuh-

kan Sasak Padempuan. Dia tidak bermaksud menggigit 

ataupun mencakar tubuh si pemuda. Namun demi-

kian, terkaman anjing itu telah menggagalkan niat si 

pemuda yang hendak mengeluarkan ilmu 'Sihir Perun-

tuh Gunung'.

"Keparat kau, Anjing Buduk!"

Setelah mengumpat, Sasak Padempuan tak 

mempedulikan lagi sosok Jana yang berdiri dengan 

mata bersinar garang. Si pemuda memutar pandangan 

untuk mencari kotak kayu hasil curiannya. Dan..., 

mendidih darahnya seketika. Kotak kayu berukir su-

dah tak berada di tempatnya lagi!

Sekitar lima tombak di hadapan Sasak Padem-

puan, berdiri seorang pemuda bertelanjang dada ber-

sama seorang kakek berambut putih meletak. Mereka 

tak lain Bancakluka dan ayahnya, Bancakdulina. Se-

mentara, tangan kanan Bancakluka mencekal erat ko-

tak kayu berukir yang tadi hendak dipecahkan oleh 

Sasak Padempuan.

"Sasak Padempuan...," sebut Bancakdulina, 

mendahului putranya berkata, "Aku tahu kau keturu-

nan keenam Umpak Padempuan. Sayang, kau tidak 

memiliki sifat seperti kakek buyutmu itu. Telah bebe-

rapa kali kau berbuat merugikan orang lain. Karena 

itulah warga suku tidak suka mencalonkanmu sebagai 

baulau. Dan, perbuatanmu sekarang ini sudah tidak 

bisa dimaafkan lagi. Mencuri pusaka leluhur adalah 

dosa besar. Kau harus kutangkap untuk dihadapkan 

pada Pengadilan Agung!"

"Huh!" cibir Sasak Padempuan. "Mana dapat 

kau menangkapku? Walau kau baulau, kau tetap ke-

turunan warga biasa. Dan karena kau sudah tahu kalau aku keturunan Umpak Padempuan, seharusnya 

kau berlutut di hadapanku, Bancakdulina! Lalu, biar-

kan aku pergi dengan membawa kotak kayu yang di-

bawa anakmu itu!"

"Keparat!" geram Bancakluka. "Berani benar 

kau berkata kasar kepada seorang kepala suku. Terku-

tuk kau, Padempuan!"

Terkutuk? Ha ha ha...," Tertawa bergelak Sasak 

Padempuan. "Apa itu terkutuk? Jangan berkata yang 

bukan-bukan, Bancakluka! Aku tahu, jiwamu harus 

diselamatkan orang tua buruk rupa itu. Dan, agar ba-

haya tak mengancam jiwamu lagi, berlututlah kau di 

hadapanku. Setelah membenturkan jidatmu ke tanah 

tiga kali, akan ku maafkan segala kesalahanmu. Lalu, 

kau dan orang tua buruk rupa itu boleh pergi. Tapi, 

kotak kayu berukir itu harus kau tinggalkan! Cepatlah! 

Jangan sampai kesabaranku habis!"

"Jahanam!" seru Bancakluka. "Kata-katamu 

memanaskan telinga dan hatiku. Kalau tak dapat aku 

meringkusmu, malulah aku di hadapan warga suku. 

Periuk di asap nan terbebat, taklah perbaiki wujud 

wadah. Untuk membela martabat, darah tak sayang bi-

la ditumpah."

"Tak-lah perbaiki wadah, tapi-lah menolak pe-

riuk dibelah. Tak sayang darah ditumpah, derajat Ban-

cakluka tetap-lah setinggi tanah," sahut Sasak Padem-

puan. Bagi warga Suku Asantar, derajat setinggi tanah 

adalah derajat yang paling rendah, bahkan lebih ren-

dah dari derajat seorang penjahat.

Mendengar kata-kata Sasak Padempuan, men-

didih darah Bancakluka. Namun sebelum dia berbuat 

sesuatu, Bancakdulina berbisik, "Walau sudah tua, 

aku masih tetap kepala suku. Biarlah aku yang me-

nangkap pemuda sombong itu."

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Sasak Pa-

dempuan. Pemuda ini sempat mendengar bisikan Ban-

cakdulina yang ditujukan kepada putranya. "Kalau 

yang sudah tua masih berkeras hati bekerja peras ke-

ringat, lalu yang muda untuk apa? Apakah hanya un-

tuk menggali tanah kubur apabila yang tua sudah lagi 

tak punya umur?"

"Biarkan aku...," cetus Bancakluka, tapi kali-

matnya terpotong.

"Kau minggir saja, Bancakluka. Jaga Kitab Pa-

lanumsas," ujar Bancakdulina.

"Hei! Hei!" tegur Sasak Padempuan. "Kalian se-

perti dua ekor anjing yang sedang berebut tulang. Ka-

lau memang sama-sama punya keinginan, kenapa ti-

dak maju bersamaan?"

"Jahanam! Sombong sekali kau!" seru Bancak-

luka. "Bolehlah tadi aku mengaku kalah. Tapi seka-

rang, lihat kemampuanku...!"

Bancakluka memindahkan kotak kayu berukir 

ke tangan kiri. Lalu, tangan kanannya dijulurkan ke 

depan, tepat menghadap dada Sasak Padempuan.

"Jerat sinar merah melumpuhkan raga. Akan 

datang membuat penjahat jatuh tak berdaya! Hom 

asantarnas dadaulas... hurinas...!"

Di ujung kalimat itu, mendadak dari jari-jari 

tangan kanan melesat lima larik sinar merah menggi-

dikkan!

Srat...!

"Sinar merah memang datang, tapi akan menje-

rat sang empunya sendiri. Hom asantarnas paranas... 

ramsas...!" seru Sasak Padempuan.

Terkejut setengah mati Bancakluka. Lima larik 

sinar merah yang keluar dari jari-jari tangannya men-

dadak berbalik arah. Dan, menjerat tubuhnya sendiri.


Sehingga, kedua tangan dan kakinya tak dapat dige-

rakkan lagi! 

Bruk...!

Tubuh Bancakluka yang telah kehilangan ke-

seimbangan ambruk ke tanah. Namun, kotak kayu be-

rukir tetap tercekal erat di tangan kiri.

Kejadian itu berlangsung amat cepat. Membuat 

Bancakdulina tak sempat menolong putranya. Jelas 

ilmu sihir Bancakluka kalah jauh dibanding ilmu sihir 

Sasak Padempuan.

Maka, Bancakdulina yang telah berumur enam 

puluh tahun tak mau bertindak gegabah. Cepat dia ke-

luarkan ilmu sihirnya yang terhebat untuk dapat me-

naklukkan Sasak Padempuan.

"Bila sinar merah berubah jadi baja, manusia

durjana tak akan dapat berbuat apa-apa. Hom asan-

tarnas dadaulas... uhh...!"

Kata kunci ilmu sihir Bancakdulina terpotong.

Kepala Suku Asantar itu memekik lirih. Dua ja-

rum berwarna kuning telah menancap di bahunya!

"Licik! Licik kau, Padempuan!" saru Bancakdu-

lina dengan wajah pucat-pasi.

"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan. 

"Untuk apa bermain ilmu sihir, Pak Tua? Kalau aku 

dapat membunuhmu dengan 'Jarum Peremuk Tulang'. 

Biarlah kusimpan ilmu sihir ku! Ha ha ha...!"

Sambil tertawa bergelak, Sasak Padempuan me-

langkah perlahan. Dihampirinya tubuh Bancakluka 

yang masih terjerat lima larik sinar merah.

Tahu Sasak Padempuan hendak mengambil ko-

tak kayu berukir, Bancakdulina menerjang. Namun..., 

gerakannya terhenti di udara. Tubuh si kakek tiba-tiba 

jatuh terbanting ke tanah. Racun 'Jarum Peremuk Tu-

lang' telah menghisap seluruh daya kekuatannya!


EMPAT


CUKUP lama sesosok tubuh itu mengintai dari 

balik jajaran pohon bersemak-semak. Dia seorang pe-

muda bertubuh tinggi tegap, mengenakan pakaian bi-

ru-biru dengan ikat pinggang kain merah. Kulitnya pu-

tih halus, berparas tampan rupawan. Sementara, di 

balik ketampanan wajahnya terpancar sinar keluguan 

dan kejujuran.

Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! "Asta-

ga!" seru si pemuda dalam hati. "Kenapa aku jadi ter-

pukau melihat kehebatan ilmu mereka? Kakek beram-

but putih itu terkena sambitan jarum beracun! Aku 

harus menolongnya!"

Murid Dewa Dungu itu dapat mendengar per-

cakapan antara Sasak Padempuan, Bancakluka, dan 

Bancakdulina. Walau tidak semua kata dapat dimen-

gerti artinya, Seno bisa memastikan bila Sasak Padem-

puan adalah orang jahat yang baru mencuri suatu 

benda berharga.

Dan menuruti jalan pikirannya yang ingin me-

nolong Bancakdulina, bergegas Seno meloloskan Tong-

kat Dewa Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Ta-

pi..., seperti telah kehilangan ingatan, mendadak pe-

muda remaja itu cuma cengar-cengir dan berdiri ter-

paku.

Rupanya, Seno melihat anjing hitam Jana yang 

tengah menerjang Sasak Padempuan dari belakang. 

Tubuh Sasak Padempuan langsung jatuh bergulingan 

di tanah karena serudukan kepala Jana tepat menerpa 

punggungnya.

"Anjing buduk keparat!" geram Sasak Padem-

puan dengan sorot mata berkilat, langsung meloncat


bangkit.

"Haung...!"

Jana balas menatap. Sorot matanya tak kalah 

berkilat. Melihat dua orang tuannya tergeletak tanpa 

daya, amarah anjing bertubuh besar itu memuncak.

Setelah meraung panjang, dia menyeringai din-

gin memperlihatkan taring-taringnya yang runcing bak 

mata panah. Sekali lagi, dia menerjang ganas. Kali ini 

kedua cakarnya bergerak cepat untuk merobek-robek 

tubuh Sasak Padempuan! 

"Haung...!"

"Jahanam! Mati saja kau!" seru Sasak Padem-

puan seraya mengegos tubuhnya ke kiri.

Terkaman Jana tak mengenai sasaran.

Saat tubuh anjing berbulu hitam pekat itu ma-

sih melayang di udara, mendadak Sasak Padempuan 

meloncat. Telapak tangan si pemuda berkelebat luar 

biasa cepat, memperdengarkan suara berkesiur keras. 

Lalu....

Prak...!

"Huiing,..! Huiiing...!"

Tamparan Sasak Padempuan tepat mendarat di 

kepala Jana!

Pendekar Bodoh yang masih berdiri terpaku 

tampak membelalakkan mata. Hatinya bergetar meli-

hat tubuh Jana yang jatuh terbanting di tanah. Sasak 

Padempuan tertawa bergelak-gelak.

"Ha ha ha...! Kalau cuma anjing buduk, mana 

dapat menggagalkan niatku? Nikmati kematianmu! Ha 

ha ha...!"

Pemuda berambut ikal itu terus tertawa berge-

lak melihat Jana yang telah menggeliat kesakitan. Tak 

lama kemudian, geliatan Jana terhenti. Bola matanya 

melotot besar dengan lidah terjulur keluar. Mati!


Batok kepala anjing itu telah pecah! "Kejam se-

kali! Kejam sekali!" seru Seno tanpa sadar.

Terkesiap Sasak Padempuan mendengar seruan 

murid Dewa Dungu itu. Dia mendengus gusar mana-

kala melihat sosok Pendekar Bodoh yang tengah berdi-

ri di balik semak-semak.

"Hmmm.... Rupanya masih ada binatang lain 

yang minta mampus!" ujar Sasak Padempuan. "Keluar 

kau, Pengintai Busuk!"

"Eh! Eh!" sahut Seno, entah apa makna uca-

pannya.

Pemuda remaja berambut panjang tergerai itu 

menggaruk-garuk pantatnya yang mendadak terasa 

amat gatal. Tanpa ragu-ragu, dia melangkah mendeka-

ti Sasak Padempuan. 

"Hmmm.... Menilik raut wajahmu, agaknya kau 

bukan warga Suku Asantar," tebak Sasak Padempuan, 

keras menggeram. "Siapa kau? Kenapa ada di sini? Un-

tuk apa mengintai? Apa kau memang sudah bosan hi-

dup?"

"Uh! Panjang amat pertanyaanmu!" sungut Se-

no. "Kalau bertanya satu-satu saja! Sebentar, ya.... 

Kau bisa menyelesaikan urusan denganku nanti. Aku 

mau menolong kakek yang kau racuni dengan sambi-

tan jarum itu terlebih dulu...."

Lugu sekali Pendekar Bodoh menganggap ben-

takan Sasak Padempuan seperti angin lalu. Tenang-

tenang saja dia berjalan mendekati tubuh Bancakduli-

na yang terbaring lemah.

Tanpa berkata apa-apa, murid Dewa Dungu itu 

membuka kain baju Bancakdulina. Ketika melihat dua 

titik kecil berwarna kuning di bahu si kakek, si pemu-

da menempelkan telapak tangannya di kedua tempat 

itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang bersifat


mengisap, Seno bermaksud mengeluarkan 'Jarum Pe-

remuk Tulang'.

Melihat perbuatan Pendekar Bodoh itu, Sasak 

Padempuan cuma diam terbengong-bengong. Sikap 

Pendekar Bodoh yang benar-benar amat lugu malah

membuatnya tak dapat melakukan sesuatu. Sasak Pa-

dempuan sendiri tidak tahu kenapa dia bisa membiar-

kan begitu saja perbuatan Pendekar Bodoh yang beru-

saha menyelamatkan jiwa Bancakdulina.

Dan... hanya dalam dua tarikan napas, kedua 

'Jarum Peremuk Tulang' telah berhasil dikeluarkan 

Seno dari bahu Bancakdulina. Sementara, Bancakdu-

lina tampak diam saja karena si kakek tengah tak sa-

darkan diri.

"Kau tak usah khawatir, Kek. Kau akan sem-

buh seperti sedia kala...," ujar Seno, seperti tak tahu 

kalau Bancakdulina pingsan.

Lalu, pemuda lugu itu menempelkan batang 

Tongkat Dewa Badai ke kedua bahu Bancakdulina 

bergantian. Tongkat Dewa Badai yang mempunyai 

khasiat memusnahkan segala jenis racun dapat men-

gisap seluruh racun yang hampir merenggut nyawa 

Bancakdulina.

Batang Tongkat Dewa Badai yang semula ber-

warna putih bersih berubah kekuningan. Itu tandanya 

racun yang bersarang di dalam tubuh Bancakdulina 

telah berhasil diisap habis.

"Puhhh...!"

Seno meniup batang tongkat mustikanya. Dari 

salah satu ujung tongkat yang runcing menyembur 

asap kuning. Dan, warna Tongkat Dewa Badai kembali 

putih bersih seperti semula.

"Beristirahat dulu, Kek. Aku juga harus meno-

long putramu...," ujar Seno kemudian.


Sasak Padempuan benar-benar tak habis men-

gerti melihat perlakuan Pendekar Bodoh yang dirasa 

aneh. Begitu enaknya Pendekar Bodoh mengobati Ban-

cakdulina tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Se-

pertinya, Pendekar Bodoh menganggap Sasak Padem-

puan hanya sebuah patung yang tak bernyawa dan 

sama sekali tak berbahaya. Padahal, sorot mata Sasak 

Padempuan jelas menyiratkan kemarahan besar serta 

segudang nafsu membunuh!

"Uh! Apa ini? Apa ini?" seru Seno ketika meme-

riksa keadaan Bancakluka. "Sinar merah yang menje-

rat tubuhmu ini amat aneh. Bagaimana aku harus 

memutuskannya?"

Walau dalam keadaan tak berdaya, Bancakluka 

tersenyum geli melihat Pendekar Bodoh yang cengar-

cengir di hadapannya.

"Kau mengerti sihir?" tanya Bancakluka. Seje-

nak, pemuda ini lupa bila Sasak Padempuan masih be-

rada tak jauh darinya.

"Memangnya kenapa?" Seno balik bertanya.

"Sinar merah yang menjeratku ini tercipta oleh 

kekuatan sihir. Untuk memusnahkannya harus dila-

wan dengan ilmu sihir pula," tutur Bancakluka.

"Ooo..., begitu...," Seno melongo. Raut wajahnya 

semakin tampak kebodoh-bodohan.

"Keparat!" geram Sasak Padempuan tiba-tiba, 

seperti baru tersadar dari mimpi panjang.

Tak dapat lagi pemuda itu menahan hawa ama-

rah. Dia merasa tak dianggap, dan tersinggung bukan 

main. Sikap serta tindakan Pendekar Bodoh memang 

teramat lugu sampai berkesan tak mempedulikan ke-

beradaan Sasak Padempuan.

Sementara, Bancakluka yang mendengar kata 

kotor Sasak Padempuan langsung terserang rasa khawatir hebat. Hal itu tergambar dari sorot matanya yang 

berubah semakin nyalang.

Dia memandang lekat-lekat wajah Pendekar 

Bodoh seakan ingin melongok isi hati pemuda remaja 

itu. Melihat sinar mata Pendekar Bodoh yang tampak 

amat lugu dan jujur, akhirnya Bancakluka berkata....

"Terima kasih atas pertolonganmu kepada 

ayah-ku. Tapi, kau harus cepat pergi! Bawalah benda 

ini. Serahkan kepada salah seorang sesepuh Suku 

Asantar."

Di ujung kalimatnya, Bancakluka melepas ce-

kalannya pada kayu kotak berukir. Namun, Seno cuma 

menatap kotak kayu itu tanpa berbuat apa-apa. Mem-

buat Bancakluka bertambah khawatir.

"Cepatlah pergi! Dia datang! Dia tak boleh me-

miliki benda ini!" seru Bancakluka, melihat Sasak Pa-

dempuan melangkah menghampiri.

"Biar saja dia datang. Untuk apa aku pergi? Ka-

lau berniat menolong orang, tak perlu tanggung-

tanggung...," sahut Seno, amat lugu.

"Hei kau monyet berbaju biru!" bentak Sasak 

Padempuan. "Aku tak tahu kau punya ilmu apa, hing-

ga kau dapat membuatku jadi terpaku. Hmmm.... Sia-

pa kau sebenarnya, heh?!"

"Aku? Kau bertanya kepadaku?" tanya Seno, 

bangkit berdiri.

"Ya! Siapa lagi kalau bukan kau, Monyet?!"

"Tapi, aku bukan monyet! Aku Seno Prasetyo, 

tahu!"

Menggeram marah Sasak Padempuan melihat 

tatapan tajam Pendekar Bodoh. "Hmmm.... Seno Pra-

setyo? Namamu terdengar aneh di telingaku. Pergilah! 

Perbuatanmu tadi hampir membuatku melepas tangan 

maut. Tetapi, aku masih bermurah hati untuk tak


membunuhmu asal kau segera enyah dari tempat ini!"

"Untuk apa aku pergi? Aku mau menolong 

orang, tahu!" sahut Seno tak kalah garang, namun la-

gaknya malah terlihat seperti orang berotak amat beb-

al.

"Jahanam! Tak mau diberi hati, kau memang 

lebih baik mati!"

Melihat Sasak Padempuan hendak menerjang, 

Bancakluka yang tergeletak di belakang Seno berte-

riak, "Bawalah benda itu pergi! Cepat!"

Tanpa menoleh, Seno menjawab. "Tenang-

tenang sajalah. Apa kau tidak ingin melihat seorang 

pencuri dihajar?"

Mendesah panjang Bancakluka mendengar 

ucapan Pendekar Bodoh yang tampak begitu yakin 

akan kemampuannya. Karena khawatir Sasak Padem-

puan dapat merebut Kitab Palanumsas yang tersimpan 

di dalam kotak kayu berukir, putra kepala Suku Asan-

tar itu berteriak lagi.

"Jangan bodoh! Di daerah ini, ilmu sihir Suku 

Asantar adalah yang terhebat! Kau akan mati konyol 

bila berhadapan dengan pemuda itu! Lekaslah pergi! 

Kebodohanmu bukan hanya merugikan dirimu sendiri. 

Benda pusaka Suku Asantar akan hilang dicuri orang! 

Bawalah pergi benda ini selagi masih punya kesempa-

tan!"

"Anjing busuk kau, Bancakluka!" sergap Sasak 

Padempuan. "Kenapa mulutmu jadi begitu ceriwis? Apa 

kau minta aku memperlihatkan lagi kehebatan ilmu 

sihir ku, hah?!"

Bancakluka tak mempedulikan ucapan Sasak 

Padempuan. Namun, jengkel dan gemas juga hatinya 

melihat Pendekar Bodoh tak segera beranjak mening-

galkan tempat. Sekali lagi, dia berteriak.


"Apa kau tidak mendengar ucapanku? Jangan 

bertindak bodoh! Tolong serahkan benda ini kepada 

sesepuh Suku Asantar! Kau akan mendapat hadiah 

besar!"

"Hus! Aku tidak memburu hadiah. Aku juga ti-

dak sedang berbuat bodoh. Walau aku dijuluki orang 

Pendekar Bodoh, tapi aku tidak bodoh! Kau jangan 

menyebutku 'bodoh', ya?! Tak enak didengar!"

Kata-kata Pendekar Bodoh nyerocos seenaknya. 

Kesal tiada terkira Bancakluka. Memikirkan keselama-

tan Kitab Palanumsas, Bancakluka meronta-ronta se-

kuat tenaga untuk dapat melepaskan diri dari jeratan 

sinar merah.

Heran bukan alang kepalang pemuda bertubuh 

kekar itu. Lima larik sinar merah yang menjerat tu-

buhnya adalah ciptaannya sendiri, tapi kenapa tidak 

bisa dikendalikannya lagi? Malah menjerat amat erat 

sampai dia tak mampu menggerakkan tangan dan ka-

kinya sama sekali. Karena menyadari kehebatan ilmu 

sihir Sasak Padempuan itulah kekhawatiran di hati 

Bancakluka semakin menjadi-jadi.

"Pendekar Bodoh! Pendekar Bodoh!" teriak Ban-

cakluka, menumpahkan kekesalannya melihat perila-

ku Seno yang tampak konyol. "Dasar Pendekar Bodoh! 

Walau kau berkata tidak bodoh, mana orang percaya? 

Kalau kau tidak segera pergi, berarti kau memang le-

bih bodoh dari seekor kerbau!"

"Hei! Hei" tegur Seno. "Aku hendak menolong-

mu, kenapa kau malah mengataiku? Hayo! Kau diam 

saja di situ! Aku akan menghajar pencuri itu!"

Seno berkata penuh keyakinan. Namun, dia ti-

dak sedang main-main atau bermaksud menyombong-

kan diri. Semua perkataannya tercetus karena sifatnya 

yang amat lugu.


"Ha ha ha...!" mendadak Sasak Padempuan ter-

tawa bergelak. "Rupanya, hari ini aku telah berjumpa 

dengan orang sinting. Ha ha ha...! Orang sinting hen-

dak menghajar ku? Ha ha ha...! Mana bisa? Mana bi-

sa?"

"Hah? Apa katamu? Aku sinting?" sungut Seno. 

"Aku tidak sinting, Tolol!"

"Jahanam! Sinting atau tidak, agaknya aku 

memang harus mengirim nyawamu ke neraka!"

Sambil menggembor keras, Sasak Padempuan 

menerjang. Kedua kepalan tangannya bergerak berun-

tun untuk menonjok dada dan muka Pendekar Bodoh. 

Tapi....

Bluk! Tok!

"Uh! Aduh!"

Mata Bancakluka terbelalak dalam keterpa-

naan. Walau tak dapat bergerak, pemuda itu sempat 

melihat kedua tangan Pendekar Bodoh yang berkelebat 

lebih cepat. Bukan saja dapat menghindari pukulan 

Sasak Padempuan, Pendekar Bodoh juga berhasil 

mendaratkan serangan dengan telak.

Tubuh Sasak Padempuan jatuh terbanting di 

tanah. Tak dapat menahan rasa sakit, mulutnya men-

gaduh-aduh beberapa lama.

"Luar biasa! Luar biasa!" seru Bancakluka.

"He he he...," Seno tertawa terkekeh. "Kau lihat 

aku menghajar pencuri itu, bukan? Perutnya telah ku-

gebuk. Kepalanya telah ku jitak. He he he.... Biar dia 

tahu rasa!"

"Ya! Ya! Kau tak sebodoh yang kukira!" sahut 

Bancakluka, tersenyum senang.

***


LIMA


SETAN alas!" dengus Sasak Padempuan seraya 

meloncat bangkit. "Rupanya, kau sengaja menyembu-

nyikan kepandaian di balik sikap tololmu itu. 

Hmmm.... Bukan keturunan Umpak Padempuan kalau 

aku tak mampu meremukkan tulang-belulang mu!"

"Eh! Eh! Siapa yang menyembunyikan kepan-

daian?" sahut Seno dengan air muka polos seperti bayi 

tak punya dosa. "Bukankah kau baru saja kugebuk 

dan ku jitak? Aku telah memperlihatkan kepandaian. 

Jangan keliru, eh... siapa ya namamu? Dan, eh... siapa 

itu Umpak Padempuan?"

Mendengar kata-kata Pendekar Bodoh, makin 

memuncak amarah Sasak Padempuan. Raut wajahnya 

kontan menegang garang. Darahnya mendidih naik 

sampai ke ubun-ubun.

Lalu sambil menghembuskan seluruh udara di 

paru-parunya, pemuda berpakaian hitam-hitam itu 

menerjang ganas. Pergelangan kakinya berkelebat ce-

pat untuk mendaratkan tendangan melingkar. Tentu 

saja dia bergerak lebih hati-hati karena tak mau keja-

dian pada gebrakan pertama tadi terulang lagi.

"Hiaahhh...!"

Seno cuma cengar-cengir melihat tubuh Sasak 

Padempuan yang melesat cepat ke arahnya. Namun 

saat telapak kaki kanan pemuda itu hampir menerpa 

wajahnya, bergegas Seno membuang tubuh ke kiri.

Dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyambar Pi-

sang', tiba-tiba telapak tangan kiri Seno berkelebat ce-

pat sekali.

Plakkk...!

"Aduh...!"


Sekali lagi, tubuh Sasak Padempuan jatuh ter-

banting ke tanah. Kali ini si pemuda sempat merasa 

pusing beberapa lama karena tamparan Pendekar Bo-

doh yang cukup keras tepat menerpa pipinya!

"Luar biasa! Luar biasa! Ilmu silat yang sangat 

hebat!" seru girang Bancakluka. Andai pemuda ini ti-

dak sedang terjerat lima larik sinar merah, pastilah dia 

berjingkrak-jingkrak senang melihat Pendekar Bodoh 

menghajar Sasak Padempuan.

Sementara hati Bancakluka terpenuhi luapan 

rasa gembira, berlawanan dengan isi hati Sasak Pa-

dempuan. Merah padam wajah Sasak Padempuan. Pipi 

kanannya terasa panas luar biasa. Kepalanya pun te-

rasa amat pening, membuat pandangannya berku-

nang-kunang. Jemari tangan Pendekar Bodoh membe-

kas merah di pipi kanan pemuda itu.

"Jahanam! Keparat busuk kau, Pemuda Asing!" 

maki Sasak Padempuan. "Soal ilmu silat, mungkin aku 

kalah denganmu. Tapi, aku adalah keturunan Umpak 

Padempuan. Ku tantang kau mengadu ilmu sihir!"

"Boleh...," sahut Seno sambil menggaruk pan-

tat.

Begitu mudahnya murid Dewa Dungu itu me-

nyambut tantangan Sasak Padempuan, padahal dia 

nyaris tak paham ilmu sihir sama sekali. Dia tak tahu 

bagaimana menyerang maupun menahan gempuran 

ilmu sihir. Apa yang tercetus dari benak Seno hanya 

karena sifatnya yang amat lugu. Begitu lugunya, sam-

pai-sampai dia belum menyadari bila Sasak Padem-

puan adalah sosok manusia kejam yang amat berba-

haya, walau beberapa saat tadi dia sempat melihat tin-

dakan licik Sasak Padempuan yang menyambitkan dua 

batang jarum beracun ke bahu Bancakdulina.

Sementara, Bancakluka masih terus terba


luapan rasa gembira. Melihat dua kali Pendekar Bodoh 

memukul roboh Sasak Padempuan, putra Bancakduli-

na itu jadi percaya dan amat yakin bila Pendekar Bo-

doh akan dapat mengalahkan Sasak Padempuan. Tapi, 

benarkah begitu?

"Api datang? Panas membakar! Tak ada yang 

sanggup menahannya! Juga, pemuda berbaju biru itu!

Hom asantarnas paranas... ramsas...!" seru Sasak Pa-

dempuan dengan kedua tangan terjulur lurus ke de-

pan.

Si pemuda lugu Seno Prasetyo masih terus cen-

gar-cengir. Dia tidak melihat adanya aliran tenaga da-

lam di pergelangan tangan Sasak Padempuan. Hingga, 

dia bisa bersikap tenang. Tapi setelah melihat ujung 

jemari tangan Sasak Padempuan mengeluarkan lidah-

lidah api, barulah Seno menyadari akan adanya ba-

haya.

Wesss...!

"Astaga! Aku harus melawannya dengan 

'Pukulan Inti Dingin'!" cetus Seno di balik keterkeju-

tannya.

Tanpa pikir panjang, murid Dewa Dungu itu 

memindahkan Tongkat Dewa Badai ke tangan kiri. 

Sementara, tangan kanannya langsung dialiri kekua-

tan tenaga dalam. Hingga di lain kejap, pergelangan 

tangan Seno berubah warna menjadi kuning keema-

san!

"'Pukulan inti Dingin'...!" seru Seno seraya 

menghentakkan telapak tangan kanannya.

Melesat gumpalan salju berwarna kuning kee-

masan. Hawa dingin menyebar ke mana-mana. Na-

mun, mendelik mata Seno. Gumpalan salju wujud dari 

'Pukulan Inti Dingin'-nya tak dapat memapaki ataupun 

menahan lesatan api merah ciptaan Sasak Padempuan.

Gumpalan salju terus melesat tanpa memben-

tur apa-apa. Dan, lidah-lidah api yang tercipta dari il-

mu sihir Sasak Padempuan juga terus melesat. Hingga, 

jiwa Seno dan Sasak Padempuan sama-sama dalam 

bahaya!

"Keparat!" geram Sasak Padempuan sambil me-

loncat jauh ke kanan.

Pukulan jarak jauh Seno hanya menerpa ba-

tang pohon. Ledakan cukup keras terdengar. Batang 

pohon sebesar dua pelukan manusia dewasa itu lang-

sung tumbang. Titik-titik salju berhamburan ke ang-

kasa. Saat jatuh turun kembali, di tempat itu bagai 

terjadi hujan salju. Permukaan tanah dan air Sungai 

Simandau yang semula bersih bening jadi dipenuhi ti-

tik-titik salju yang menebarkan hawa dingin menusuk.

Untuk menghindari bahaya maut, Pendekar 

Bodoh berbuat serupa dengan Sasak Padempuan. 

Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh 'Lesatan 

Angin Meniup Dingin', Pendekar Bodoh mampu melen-

tingkan tubuhnya seringan kapas. Selamatlah jiwanya 

dari serbuan lidah api yang panas menyala-nyala.

Namun..., tanpa disadari oleh pemuda lugu itu. 

Lesatan lidah-lidah api ciptaan Sasak Padempuan 

mendadak terhenti di belakang tubuhnya. Lalu, mele-

sat lebih cepat untuk segera membakar tubuh Pende-

kar Bodoh!

"Awaasss...!" teriak Bancakluka, mengingatkan.

Cepat Seno menoleh. Betapa terkejutnya dia 

melihat lidah-lidah api yang melesat amat cepat ke 

arahnya. Namun, dia tak mau berkelit. Tongkat Dewa 

Badai dikibaskan sekuat tenaga.

Wesss...!

Gelombang angin pukulan muncul bak tiupan

topan. Tapi, gelombang angin itu lewat begitu saja. Li-

dah-lidah api terus melesat tanpa tertahankan lagi!

"Celaka!" desah Seno.

Bergegas pemuda remaja itu merunduk seraya 

menggulingkan tubuhnya ke tanah. Namun tak urung, 

sebagian rambutnya terbakar dan menebarkan bau 

sangit!

"Celaka! Bagaimana ini? Bagaimana ini? Ilmu 

setan! Ilmu setan!"

Begitulah teriakan yang keluar dari mulut Pen-

dekar Bodoh. Si pemuda meloncat ke sana-sini untuk 

menghindari lidah-lidah api ciptaan Sasak Padem-

puan. Untung, Pendekar Bodoh memiliki ilmu peringan 

tubuh 'Lesatan Angin Meniup Dingin', hingga tak mu-

dah lidah-lidah api itu menyentuh tubuhnya. Namun 

demikian, bahaya maut tetap mengintai jiwa Pendekar 

Bodoh!

Wajah Bancakluka pun berubah pucat pasi me-

lihat apa yang tengah terjadi pada Pendekar Bodoh. 

Dia hendak membantu memusnahkan lidah-lidah api 

yang tercipta dari kekuatan ilmu sihir. Tapi, niatnya 

itu tak pernah terwujud karena kedua tangan dan ka-

kinya masih terjerat sinar merah yang membuatnya 

tak bisa bergerak.

Sementara, Sasak Padempuan tampak tertawa 

bergelak penuh kemenangan.

"Ha ha ha...! Ilmu pukulanmu memang hebat, 

Pemuda Asing! Tapi, mana mungkin dapat meredam 

kehebatan ilmu sihir ku? Ha ha ha...!"

Ketika Sasak Padempuan tertawa itulah tubuh 

Bancakdulina menampakkan gerakan. Setelah menge-

luh pendek, si kakek siuman! 

"Sangkuk...! Sangkuk...!" teriak Bancakluka 

penuh pengharapan. "Kau lihat pemuda berbaju biru


itu, Sangkuk! Dia bisa menolongmu! Kini, tolonglah 

dia, Sangkuk! Dia tak mengerti ilmu sihir!"

Bancakdulina mengedarkan pandangan. Ke-

ningnya langsung berkerut rapat melihat Pendekar Bo-

doh yang tengah dikejar lidah-lidah api. Walau baru 

tersadar dari pingsan, teriakan Bancakluka dapat di-

dengarnya dan dapat pula dimengerti. Merasakan te-

naganya yang sudah pulih seperti sedia kala, tahulah 

si kakek bila ucapan Bancakluka memang benar. Pe-

muda baju biru yang tak lain Pendekar Bodoh pasti te-

lah menolongnya.

Maka, serta-merta Bancakdulina meloncat 

bangkit seraya berteriak, "Gelombang angin membawa 

api pergi. Bahaya lenyap dan takkan kembali lagi. Hom 

asantarnas dadaulas... hurinas...!"

Di ujung kalimat kepala Suku Asantar itu, en-

tah dari mana asalnya tiba-tiba muncul putaran angin 

puting beliung. Diiringi suara bergemuruh memekak-

kan gendang telinga, putaran angin yang tercipta dari 

ilmu sihir itu menghadang lesatan lidah-lidah api yang 

tengah mengejar Pendekar Bodoh,

Blarrr...! Wesss...!

Sesaat, terdengar ledakan menggelegar. Lidah-

lidah api terkurung putaran angin puting beliung, lalu 

dibawa terbang ke angkasa. Dan, lenyap tanpa bekas!

Marah luar biasa Sasak Padempuan. Darahnya 

yang menggelegak panas membuat mulutnya terngan-

ga dan tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. 

Hanya bola matanya yang melotot besar, menatap 

Bancakdulina penuh kebencian.

Sementara, Bancakdulina tak begitu memper-

hatikan pemuda itu. Si kakek menjulurkan kedua tan-

gannya ke arah Bancakluka yang masih terbaring di 

tanah.


"Kekuatan hebat datang. Sinar merah lenyap. 

Putra ku bebas tak terikat lagi! Hom asantarnas da-

daulas... hurinas...!"

Berseru girang Bancakluka. Lima larik sinar 

merah yang menjerat tubuhnya tiba-tiba lenyap. Hing-

ga, dapatlah dia menggerakkan kedua tangan dan ka-

kinya.

"Terima kasih, Sangkuk! Terima kasih!" seru 

Bancakluka seraya meloncat mendekati ayahnya.

Pendekar Bodoh cuma cengar-cengir melihat 

permainan ilmu sihir Bancakdulina. Namun, di-

ucapkannya rasa syukur dalam hati karena telah ter-

bebas dari bahaya maut.

"Sangkuk, pemuda berbaju biru itu telah men-

geluarkan 'Jarum Peremuk Tulang' dari bahu Sang-

kuk," beri tahu Bancakluka. "Dia hebat. Sayang, dia 

tak mengerti ilmu sihir."

Dari jarak sekitar empat tombak, Bancakdulina 

menatap wajah lugu Seno. "Berdirilah di sisi ku! Di si-

tu amat berbahaya!" pintanya, berteriak keras.

Ada kekuatan aneh yang menyuruh Seno men-

ganggukkan kepala. Lalu seperti kerbau dicocok hi-

dungnya, pemuda lugu itu melangkah ke sisi kanan 

Bancakdulina.

"Kotak itu!" seru Bancakluka tiba-tiba.

Rupanya, Bancakluka melihat kelebatan tubuh 

Sasak Padempuan yang hendak menyambar kotak 

kayu berukir yang tergeletak di tanah. Tadi, Bancaklu-

ka lupa membawa kotak kayu itu.

"Tenang saja!" sahut Pendekar Bodoh yang te-

lah menyadari keadaan.

Murid Dewa Dungu itu menghadapkan telapak 

tangan kanannya ke depan. Tongkat Dewa Badai telah 

diselipkan kembali ke ikat pinggangnya.


Wusss...!

Satu kekuatan tak kasat mata melesat dari te-

lapak tangan Seno. Kekuatan yang berasal dari penge-

rahan tenaga dalam tingkat tinggi itu menarik kotak 

kayu berukir!

Berdecak kagum Bancakdulina dan putranya 

melihat kotak kayu berisi Kitab Palanumsas melayang 

sebat, lalu menempel di telapak tangan kanan Seno. 

Kekaguman mereka terhadap kemampuan Seno jelas 

terlihat di sorot mata.

Bertolak belakang dengan Sasak Padempuan. 

Menggeram marah dia. Sambarannya hanya mengenai 

angin kosong. Karena kelebatan tubuhnya diliputi ha-

wa amarah, membuat pemuda itu kurang hati-hati. 

Hingga, si pemuda tak dapat lagi mengendalikan gerak 

tubuhnya. Dan, jatuhlah dia terguling-guling!

Sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya 

segera menyembur dari mulut Sasak Padempuan. Na-

mun dengan tenang, Bancakdulina menyahuti....

"Sasak Padempuan..., tak perlu kau teruskan 

niatmu yang ingin memiliki Kitab Palanumsas. Men-

gingat kau keturunan Umpak Padempuan, bolehlah 

kau kuberi ampunan atas kesalahanmu ini. Pergilah! 

Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki di Perkam-

pungan Suku Asantar!"

"Sangkuk...," sergah Bancakluka. "Dia tak boleh 

pergi begitu saja. Lihat itu!"

Bancakdulina mengarahkan pandangan ke 

tempat yang ditunjukkan Bancakluka. Kontan bola 

mata kakek yang wajahnya telah dipenuhi kerutan itu 

melotot besar. Dia melihat anjing piaraannya, Jana, te-

lah mati dengan batok kepala pecah!

Dengan menarik napas panjang beberapa kali, 

Bancakdulina berusaha menekan perasaan tak enak di


hatinya.

"Kau benar-benar jahat dan kejam, Sasak Pa-

dempuan...," ujar Bancakdulina kemudian. "Kau telah 

membunuh anjing kesayanganku. Namun, meman-

dang muka Umpak Padempuan, bolehlah kau tetap 

kuberi ampunan. Cepat pergi! Jangan sampai aku be-

rubah pikiran!"

Sasak Padempuan malah tertawa bergelak. "Ha 

ha ha...! Sombong benar kau, Tua bangka! Jangan kau 

kira dengan kehadiran pemuda asing itu kau dapat 

mengalahkan ilmu sihir ku! Justru kaulah yang harus 

pergi!"

"Keparat!" maki Bancakdulina. "Diberi hati ma-

lah menantang perkara. Terkutuk kau, Padempuan!"

"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan. 

"Apa guna kau turut berkata, Bancakluka? Ilmu ke-

pandaianmu hanya sejengkal. Diamlah! Tunggu saja 

saat kematianmu setelah kubunuh dulu bapakmu itu!"

"Keparat!" maki Bancakluka lagi.

Pemuda bertelanjang dada itu hendak mener-

jang, namun tangan kiri Bancakdulina keburu mene-

kan bahunya.

"Biarkan aku yang memberi pelajaran pa-

danya!" bisik si kakek.

"Tapi..., dia menghinaku, Sangkuk...," tolak 

Bancakluka.

"Diam kataku!" bentak Bancakdulina. "Apa kau 

lupa kejadian di dekat Puri Dewa Langit tadi?"

Mendengar ucapan itu, langsung meredup sinar 

mata Bancakluka. Di dekat Puri Dewa Langit, dia me-

mang hampir celaka karena tak mampu melawan ilmu 

sihir Sasak Padempuan.

"Kalau kau hendak menjajal ilmu sihir ku, ku-

beri kesempatan kepadamu untuk memulai dulu!" seru


Bancakdulina.

Sasak Padempuan menatap sejenak wajah ke-

pala Suku Asantar itu, lalu....

"Kekuatan api, tanah, air, dan angin akan me-

nyatu. Tak ada satu pun kekuatan lain yang mampu 

melawan! Segala...."

"Astaga!" kesiap Bancakluka di tengah-tengah 

kalimat Sasak Padempuan, "Dia hendak mengeluarkan 

ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung', Sangkuk!"

Bancakdulina tampak terkejut. Tentu saja si 

kakek tahu bagaimana kedahsyatan ilmu 'Sihir Perun-

tuh Gunung' karena dia sendiri juga menguasai ilmu 

itu. Sebelum menjadi baulau atau kepala Suku Asan-

tar, Bancakdulina adalah seorang ksatria suku. Se-

mentara, seorang ksatria adalah golongan kedua warga 

Suku Asantar yang dapat menguasai Ilmu 'Sihir Perun-

tuh Gunung'.

Kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' 

hanya dapat dilawan dengan ilmu 'Sihir Peruntuh Gu-

nung' pula. Tapi, bentrokan dua ilmu sihir yang sama 

jenis itu akan mengakibatkan ledakan dan kerusakan 

hebat, Korban jiwa pasti jatuh! Memikirkan akibat itu, 

Bancakdulina jadi ragu-ragu untuk mengeluarkan il-

mu 'Sihir Peruntuh Gunung'-nya. Dan keraguan dalam 

diri si kakek membuatnya berdiri terpaku tanpa ber-

buat apa-apa. Padahal, bahaya besar akan segera da-

tang!

Mendadak, Bancakluka meloncat ke belakang 

Pendekar Bodoh yang masih tampak tenang-tenang sa-

ja karena tak tahu apa yang akan terjadi. Bancakluka 

langsung menempelkan kedua ujung telunjuk jari tan-

gannya ke pelipis Pendekar Bodoh.

"Aku mohon keluarkan lagi ilmu 'Pukulan Inti 

Dingin'-mu. Kubantu kau dengan kekuatan ilmu sihir!"


bisik Bancakluka.

Walau belum tahu apa maksud Bancakluka, 

Pendekar Bodoh berkata, "Ya! Ya...."

Dalam sekejap mata, pergelangan tangan ka-

nan. Seno berubah warna menjadi kuning keemasan. 

Itu tandanya dia telah mempersiapkan ilmu 'Pukulan 

Inti Dingin'!

"... sesuatu meledak tanpa ampun! Mereka mati 

dengan tubuh hancur tercerai-berai!" seru Sasak Pa-

dempuan, lanjutan kalimatnya tadi. "Hom asantarnas 

paranas... ramsas...!"

Mendadak, bumi bergetar kencang bagai terjadi 

gempa hebat. Di sana-sini permukaan tanah retak. 

Beberapa batang pohon langsung tumbang!

Dari jemari tangan Sasak Padempuan keluar 

sepuluh larik sinar melengkung-lengkung berwarna 

kuning kemerahan. Garis-Garis sinar itu langsung me-

nyerbu cepat ke depan! Sesaat, hawa udara berubah 

panas membakar!

"Sekarang!" seru Bancakluka tanpa melepas 

kedua telunjuk jarinya dari pelipis Seno.

"Sekarang apanya?" tanya Seno, tak mengerti.

"Keluarkan Ilmu pukulanmu itu, Tolol!" perin-

tah Bancakluka, setengah jengkel.

Pendekar Bodoh mengangguk. Telapak tangan 

kanannya dihentakkan ke depan, Gumpalan salju 

berwarna kuning keemasan melesat cepat, memapaki 

garis-garis sinar yang keluar dari jemari tangan Sasak 

Padempuan!

Wuusss...!

Blammm...! 

Pendekar Bodoh, Bancakluka, dan Bancakduli-

na memekik panjang menyayat hati. Bersamaan den-

gan bongkah-bongkah batu dan gumpalan tanah yang


melayang berhamburan, tubuh mereka terlontar amat 

cepat. Lalu..., tercebur ke Sungai Simandau yang cu-

kup dalam!

***

ENAM



BUMI yang berguncang dibarengi ledakan dah-

syat membuat kerusakan hebat. Permukaan air Sungai 

Simandau bergolak naik, membentuk gelombang be-

sar. Hampir semua batang pohon di sekitar sungai itu 

tumbang dan tercabut akarnya dari dalam tanah. Se-

bagian malah hancur luluh menjadi serbuk halus. Di 

pusat ledakan terbentuk lubang amat dalam bergaris 

tengah sepuluh tombak, cukup untuk menguburkan 

bangkai tiga ekor gajah sekaligus!

Anehnya, walau terjadi kerusakan yang begitu 

mengiriskan, tubuh Sasak Padempuan tetap berdiri te-

gak di tempatnya. Hanya saja, dia tak dapat bergerak 

sedikit pun, apalagi beranjak ke tempat lain. Sekujur 

tubuh pemuda itu terbungkus lapisan salju keras ber-

warna kuning keemasan. Hawa yang teramat dingin te-

lah menguras seluruh tenaganya. Ancaman kematian 

mengintai karena cairan darahnya mulai membeku!

Agaknya 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar Bodoh 

yang disertai kekuatan ilmu sihir Bancakluka sanggup 

mengalahkan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' Sasak Pa-

dempuan. Ilmu sihir Bancakluka memang tak setinggi 

ilmu sihir Sasak Padempuan. Tapi ketika digabungkan 

dengan ilmu pukulan Pendekar Bodoh, ilmu sihir Ban-

cakluka berubah menjadi sebuah ilmu sihir lain yang 

berkekuatan luar biasa dahsyat.


Putaran waktu berlalu menjadikan hening sua-

sana. Tak ada satwa yang berani mendekat. Hanya de-

sau angin yang kerap menepuk gendang telinga. Se-

mentara, gemericik air Sungai Simandau terdengar ba-

gai mewakili nyanyian alam yang mendendangkan lagu 

duka.

Namun, aliran sungai itu segera membentuk 

gelombang lagi. Sesosok tubuh muncul bersama cipra-

tan air. Rambutnya panjang terurai.

Sesosok tubuh itu lalu bergerak menepi. Sambil 

berenang menepi, tangan kanannya mencekal erat se-

batang tongkat pendek berwarna putih. Dia si Pende-

kar Bodoh, Seno Prasetyo!

Manakala pemuda lugu itu tengah terbaring 

dengan napas megap-megap, aliran Sungai Simandau 

terbentuk dua gelombang bersamaan. Diiringi suara 

berdebur, dua sosok tubuh melesat ke tepian. Mereka 

Bancakluka dan ayahnya, Bancakdulina!

"Kita selamat, Sangkuk! Kita selamat!" ujar 

Bancakluka di antara dengus nafasnya yang terengah-

engah.

"Di mana pemuda itu?" sahut Bancakdulina, 

menanyakan Pendekar Bodoh.

Dengan napas yang masih megap-megap, Ban-

cakluka mengedarkan pandangan. Demikian pula den-

gan Bancakdulina. Ketika melihat tubuh Pendekar Bo-

doh yang terbaring tak bergerak di tanah, seperti diberi 

aba-aba Bancakluka dan ayahnya merangkak meng-

hampiri bersamaan.

"Pendekar Bodoh! Pendekar Bodoh!" teriak 

khawatir Bancakluka

"Uh! Siapa memanggilku?" sahut Seno seraya 

bangkit duduk.

"Kau... kau tidak apa-apa, Anak Muda?" tanya

Bancakdulina.

"Tidak apa-apa bagaimana? Napas ku hampir 

putus.... Untung, aku tidak mati..."

Wajah Seno menegang kaku seperti menyimpan 

kejengkelan di hati. Namun mendadak, dia tertawa 

terkekeh-kekeh.

"He he he.... Lihat itu! Lihat itu! Pemuda itu jadi 

patung salju! He he he...." 

Bancakluka dan ayahnya langsung mengarah-

kan pandangan ke arah tudingan Seno. Mereka meli-

hat tubuh Sasak Padempuan yang masih berdiri tegak 

terbungkus lapisan salju kuning keemasan.

"Makan kesombonganmu itu! He he he.... Kalau 

sudah begitu, kau mau apa lagi? Mau pamer ilmu sihir 

lagi? Mana bisa? Mana bisa?" ujar Seno di sela suara 

tawanya.

"Celaka!" desis Bancakdulina tiba-tiba, air mu-

kanya terlihat muram menyimpan rasa takut.

"Ada apa, Sangkuk?" tanya Bancakluka, tak 

mengerti.

"Kalau dia mati, seluruh warga Suku Asantar 

akan kejatuhan kutuk!"

"Ah! Benarkah itu?" air muka Bancakluka turut 

mengeras. "Bagaimana bisa begitu, Sangkuk?"

"Seorang kepala suku termasuk keturunannya 

memiliki harkat dan martabat tinggi. Dia tidak boleh 

disakiti, apalagi dibunuh! Kalau ada yang berani mela-

kukannya, kutuk para dewa akan jatuh. Seluruh war-

ga Suku Asantar akan menderita!"

"Benarkah itu, Sangkuk?"

"Begitulah kepercayaan yang melekat erat di 

suku kita. Kepercayaan itu telah ada jauh-jauh hari 

sebelum aku lahir. Setiap orang percaya kebenaran-

nya...."

"Aku tak mengerti apa yang kalian bicara-

kan...," sela Seno. "Pemuda itu keturunan kepala su-

ku?"

Bancakdulina mengangguk. "Dia bernama Sa-

sak Padempuan, keturunan Umpak Padempuan. Se-

mentara, Umpak Padempuan adalah kepala suku per-

tama kami, yang hidup puluhan tahun silam," tutur-

nya menjelaskan.

"Ooo..., begitu.... Namun, kadang-kadang ke-

percayaan hanya tinggal kepercayaan. Belum tentu bi-

sa dibuktikan kebenarannya...," sahut Seno sambil 

menggeleng-geleng. Pemuda remaja ini sudah tahu bila 

Bancakdulina adalah Kepala Suku Asantar. "Kalau se-

tiap kepala suku dan keturunannya tidak boleh disaki-

ti ataupun dibunuh, kenapa pemuda itu hendak mela-

kukannya padamu dan putramu, Kek?"

"Itu karena dia jahat. Sebenarnya, dia telah la-

ma keluar dari pergaulan suku, karena tak ada orang 

yang menyukainya. Mungkin dia punya dendam dan 

sakit hati, sehingga ia bermaksud membuat sengsara 

warga suku dengan berbuat sesuatu yang melanggar 

salah satu kepercayaan...," tutur Bancakdulina.

"Ah! Begitu? Masuk akal juga. Tapi...." 

"Tapi apa?" Bancakluka yang bertanya. 

"Kita belum saling mengenal. Kenapa kok su-

dah akrab begini, ya...." sergap Seno, cengar-cengir. 

"Eh! Ya, ya!"

"He he he.... Aku ingin bersahabat dengan ka-

lian. Tapi, kita urus dulu pemuda itu. Dia belum mati."

Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno meloncat. 

Ringan sekali tubuhnya melayang menempuh jarak 

sekitar sepuluh tombak. Dia mendarat sigap di hada-

pan Sasak Padempuan.

Setelah cengar-cengir sejenak, murid Dewa


Dungu itu mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke 

tangan kiri. Dengan mengeluarkan ilmu 'Pukulan Inti 

Panas', dia menghadapkan telapak tangan kirinya ke 

tubuh Sasak Padempuan. Hawa panas menebar, 

membuat lapisan salju yang membungkus tubuh Sa-

sak Padempuan meleleh perlahan.

Saat lapisan salju tak tampak lagi, tubuh Sasak 

Padempuan jatuh terjengkang. Dan tetap tak dapat 

bergerak karena kesadarannya telah lenyap. Pingsan!

"Kita hadapkan saja dia ke Pengadilan Agung. 

Biar para sesepuh suku yang menjatuhkan hukuman!" 

cetus Bancakdulina.

"Ya? Aku juga berpikir begitu, Sangkuk," tegas 

Bancakdulina.

Seno cuma cengar-cengir.

* * *

"Dengan menumpang kapal seorang saudagar, 

aku pergi ke Pulau Salyadwipa ini. Saudagar yang baik 

hati itu mengaku bila dirinya salah seorang warga Su-

ku Asantar. Dia banyak bercerita tentang kehebatan 

dan kekuatan ilmu sihir. Ketika dia menunjukkan sa-

lah satu kemampuannya, aku benar-benar terkejut 

dan tercengang. Ilmu sihirnya memang amat hebat. 

Tapi katanya, ilmu sihirnya tidak seberapa. Kalau aku 

ingin melihat kekuatan ilmu sihir yang lebih hebat, dia 

menyuruhku untuk datang langsung ke Perkampun-

gan Suku Asantar. Aku tertarik. Selama beberapa hari 

di atas kapal, aku belajar bahasa Suku Asantar kepa-

danya...," tutur Pendekar Bodoh, menceritakan asal 

mula kedatangannya.

Murid Dewa Dungu itu duduk bersila di balai-

balai rumah Bancakdulina, beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman serat pohon sejenis pohon pisang. 

Bancakdulina dan Bancakluka tampak duduk bersila

pula.

Mereka bertiga telah berganti baju. Bancakdu-

lina dan putranya mengenakan pakaian putih merah 

yang dihiasi sulaman benang emas. Di kepala kedua 

lelaki itu terdapat topi yang terbuat dari kain merah 

panjang yang dililitkan melingkar. Pendekar Bodoh 

mengenakan pakaian dengan potongan serupa, tapi 

berwarna putih-kuning. Rambutnya dibiarkan tergerai 

panjang ke punggung.

"Saudagar itu pasti Suta Sedadang," tebak Ban-

cakdulina.

"Tepat sekali. Saudagar yang kapalnya cukup 

besar dan memimpin anak buah dua puluh orang itu 

memang Suta Sedadang," membenarkan Seno. "Dia 

baik sekali, Kek. Hendak diantarnya aku ke Perkam-

pungan Suku Asantar ini. Dan, hendak diperkenalkan 

pula aku kepada keluarganya. Hanya sayang, kapalnya 

tak dapat lama-lama berlabuh. Ada barang dagangan 

lagi yang harus cepat sampai ke tanah Jawa. Eh..., kok 

Kakek tahu kalau saudagar itu Suta Sedadang...."

"Di antara Suku Asantar, hanya dia yang mem-

punyai kapal dan bermata pencarian sebagai peda-

gang. Kami semua di sini hidup dengan bercocok ta-

nam," jelas Bancakdulina.

"Eng.... Maaf, Seno," sahut Bancakluka. "Apa 

benar kau bergelar Pendekar Bodoh?"

"Memangnya kenapa?" Seno balik bertanya.

"Ah! Tidak apa-apa. Cuma bertanya."

"Hmmm.... Bilang saja kalau gelarku terdengar 

aneh. Pendekar Bodoh. He he he.... Boleh saja orang 

menyebutku demikian. Kau juga boleh. Eh, kudengar 

kau bergelar Naga Kepala Tiga. Benar?"


Mengangguk Bancakluka.

"Gelar yang bagus dan terdengar hebat. Tapi, 

juga menimbulkan pertanyaan bagiku. Kenapa kau di-

beri gelar seperti itu? Naga Kepala Tiga. Apa kau per-

nah membunuh seekor naga berkepala tiga, sehingga 

orang-orang mengabadikan kemenangan itu dengan 

menyebutmu Naga Kepala Tiga?"

"Ah! Sudahlah. Aku jadi malu. Gelarku keden-

garannya memang hebat. Tapi, jelas sekali bila aku tak 

sebanding denganmu, Seno...."

"Tak sebanding bagaimana?"

"Soal ilmu kepandaian, aku jauh berada di ba-

wahmu."

"Siapa bilang? Kau mahir ilmu sihir. Aku ingin 

belajar darimu."

"Ah! Bukan aku menolak, Seno. Ilmu sihir ku

tidak seberapa tinggi. Kalau aku mengajarimu, aku ta-

kut akan membuat malu warga Suku Asantar. Kau be-

lajar saja pada Sangkuk. Bukan begitu, Sangkuk?"

Mendengar perkataan putranya, Bancakdulina 

mengangguk. "Ilmu sihir ku juga tidak seberapa tinggi, 

Seno. Tapi kalau cuma mengenalkan kepadamu apa 

dan bagaimana cara menggunakan ilmu sihir, mung-

kin aku bisa mengajarimu."

"Kakek terlalu merendah. Aku tahu Kakek amat 

hebat. Sungguh suatu kehormatan yang tiada terkira 

apabila Kakek bersedia mengajariku ilmu sihir. Tidak 

perlu sampai mendalam. Asal dapat digunakan untuk 

menghalau serangan ilmu sihir jahat, aku akan senang 

sekali. Barangkali saja di lain waktu aku dapat meng-

gunakannya untuk menolong kaum lemah."

"Boleh. Boleh saja," sambut Bancakdulina. 

"Tinggallah beberapa hari di sini. Aku akan mengaja-

rimu bersama Bancakluka."


"Terima kasih, Kek."

Seno membungkukkan tubuh sampai dahinya 

hampir menyentuh tikar. Namun cepat Bancakdulina 

menepuk bahu pemuda itu untuk menyuruhnya me-

negakkan tubuh kembali.

"Kau adalah dewa penolongku, Seno. Kau telah 

menyelamatkan jiwaku dan putraku. Kau juga punya 

andil besar dalam menyelamatkan Kitab Palanumsas. 

Oleh karenanya, tak perlu kau berlutut di hadapanku. 

Kalau aku mengajarimu ilmu sihir Suku Asantar, ang-

gap saja itu sebagai balas budiku atas kebaikanmu."

"Terima kasih. Terima kasih, Kek. Sebenarnya, 

aku menolong bukan untuk mengharapkan apa-apa. 

Tapi...," menggantung kalimat Seno. Keningnya tam-

pak berkerut rapat.

"Tapi apa?" buru Bancakdulina.

"Kalau aku belajar ilmu sihir Suku Asantar, 

apakah tidak melanggar aturan ataupun adat sini, 

Kek?"

"Tidak. Semua orang yang punya maksud baik 

boleh mempelajari ilmu sihir Suku Asantar," Bancak-

luka yang menjelaskan.

"Besok kau bisa mengawali latihan. Sekarang 

kau beristirahatlah dulu di kamar yang sudah kuse-

diakan," sahut Bancakdulina. "Aku bersama Bancak-

luka harus mempersiapkan segala sesuatu yang ber-

kenaan dengan Pengadilan Agung. Nanti sore kau ha-

rus siap untuk menjadi saksi, Seno. Sasak Padempuan 

pasti akan mendapat hukuman yang seadil-adilnya."

"Ya. Ya, Kek...," sambut Seno.

***


TUJUH


DI sebuah kamar berdinding papan berlabur 

warna kuning gading, Seno duduk terpekur di hada-

pan jendela. Matanya tak berkedip menatap tangkai-

tangkai daun pohon pisang yang bergerak melambai 

tertiup angin.

Murid Dewa Dungu itu duduk di kursi rotan. 

Kedua tangannya menimang dua benda mustika. 

Tongkat Dewa Badai dan cermin 'Terawang Tempat 

Lewati Masa'.

Tanpa mengalihkan pandangan dari tangkai-

tangkai daun pohon pisang, Seno meletakkan batang 

Tongkat Dewa Badai ke meja yang terletak di sisi ka-

nan jendela. Sejenak, ia menimang lagi cermin 

'Terawang Tempat Lewati Masa'. Cermin ajaib milik Ra-

tu Perut Bumi itu hanya selebar telapak tangan. Ber-

bentuk persegi empat. Keempat sisinya berukir indah 

seperti ukiran cermin putri istana.

"'Terawang Tempat Lewati Masa'...," gumam Se-

no. "Untung, cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi ini ti-

dak hilang ketika aku jatuh tercebur ke Sungai Si-

mandau. Untung sekali. Ya! Aku memang masih memi-

liki peruntungan bagus...."

Pemuda lugu itu tampak mengangguk-

anggukkan kepala. Kini, matanya menatap lekat cer-

min 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Lalu seperti se-

dang berhadapan dengan Ratu Perut Bumi, Seno ber-

kata....

"Dengan menggunakan kekuatan gaib cermin 

ini, aku bisa mengejar Raja Penyasar Sukma yang me-

larikan diri ke masa silam, Ratu. Terpaksa aku meng-

hukum mati orang itu. Namun, maafkan aku, Ratu.


Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang Ratu pin-

jamkan kepadaku ini belum bisa kukembalikan. Aku 

membutuhkannya untuk mengejar Hantu Pemetik 

Bunga. Aku harus membuktikan bila ayahku bukanlah 

Hantu Pemetik Bunga seperti yang dituduhkan Dewi 

Pedang Halilintar. Maafkan aku, Ratu. Begitu kembali 

dari Pulau Salyadwipa ini, aku pasti mengembalikan 

cermin milikmu...."

Menggerigap kaget Seno saat mendengar pintu 

kamar diketuk. Ketukan itu perlahan, namun cukup 

mengejutkan si pemuda yang tengah melamun. Seno 

menyangka yang datang adalah Bancakluka. Oleh ka-

renanya, dia berkata....

"Tidak dikunci. Masuklah...."

Perlahan, pintu terkuak. Seno menggerigap ka-

get lagi. Yang membuka pintu ternyata bukan Bancak-

luka, melainkan seorang gadis berumur sekitar dua 

puluh tahun. Tubuhnya padat berisi. Berkulit kehita-

man, namun wajahnya terlihat manis sekali. Si gadis 

mengenakan pakaian adat Suku Asantar berwarna 

kuning-merah. Sanggulan rambutnya dihiasi selen-

dang kecil berwarna putih yang dilibatkan sebagian, 

sehingga kedua ujungnya menggantung dan tampak 

terayun-ayun.

"Saya boleh masuk, Tuan...?" ujar gadis itu, 

masih berdiri di ambang pintu.

Seno tak langsung menjawab. Matanya mena-

tap sosok si gadis dari ujung rambut sampai telapak 

kaki. Namun setelah melihat lipatan kain yang dibawa 

gadis hitam manis itu, dia mempersilakan.

"Kau membawakan bajuku, bukan? Kok cepat 

sekali kering? Masuklah...."

Gadis hitam manis melangkah masuk. Diletak-

kannya pakaian Seno di meja besar yang terletak di


dekat pembaringan, kemudian berkata, "Tuan Baulau 

menyuruhku mengeringkan pakaian Tuan cepat-cepat. 

Terpaksa saya mengeringkannya di atas bara api."

"Di atas bara api? Tidak ada yang terbakar, bu-

kan?" tanya Seno dengan raut wajah kebodoh-

bodohan.

"Tidak, Tuan. Mana saya berani merusakkan 

pakaian Tuan? Tuan adalah orang yang amat baik...." 

"Ah! Siapa bilang aku orang amat baik?" 

"Tuan Baulau." 

"Kakek Bancakdulina?" 

"Ya, Tuan...."

"Eh, jangan panggil aku tuan!. Panggil saja Se-

no. Namaku Seno Prasetyo."

Gadis hitam manis tak menyahuti. Kakinya me-

langkah untuk keluar kamar. Pendekar Bodoh yang 

sempat terpesona melihat penampilan gadis itu cuma 

terlongong bengong.

"Nama saya Silasati. Kalau Tuan Seno membu-

tuhkan sesuatu, panggillah saya. Saya disuruh Tuan 

Baulau untuk melayani semua kebutuhan Tuan...," be-

ri tahu gadis hitam manis ketika berada di ambang 

pintu.

"Eh! Apa katamu? Kau disuruh melayani semua 

kebutuhanku?" tanya Seno, seperti tak yakin.

Kening gadis bernama Silasati tampak berke-

rut. "Jangan salah mengerti, Tuan Seno," sergahnya. 

"Saya memang disuruh melayani semua kebutuhan 

Tuan. Tapi, hanya sampai pada batas-batas tertentu."

"Maksudmu?"

Kening Silasati semakin berkerut rapat. "Saya 

hanya melayani kebutuhan Tuan Seno seperti me-

nyiapkan makanan, menyediakan sesuatu yang Tuan 

butuhkan, dan hal-hal lain semacamnya, asal bukan


yang satu itu...."

Kening Seno turut berkerut. "'Yang satu itu' 

apa, ya? Aku tak mengerti...."

"Beberapa suku lain yang berada di daerah sini 

biasa menyediakan seorang wanita penghibur untuk 

melayani tamu kehormatan. Tidak demikian kebiasaan 

yang berlaku di Suku Asantar. Kaum wanita Suku 

Asantar memiliki derajat yang sama tinggi dengan 

kaum pria. Kami memiliki derajat yang sama tinggi 

dengan kaum pria. Kami memiliki hak untuk menen-

tukan pilihan. Kami juga punya hak untuk menolak 

sesuatu yang tidak kami inginkan...."

Seno cengar-cengir. Tak seberapa paham mak-

na ucapan Silasati. Namun, kepala si pemuda terlihat 

mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Ya! Ya, Silasati. 

Jangan panggil aku 'tuan'. Sekali lagi, namaku Seno 

Prasetyo. Panggil saja 'Seno'."

"Ya, Bu..., eh Tuan Seno...."

"Seno' saja. Tak perlu pakai tuan'. Aku orang 

miskin papa. Tak pantas dipanggil tuan!"

"Tapi, Tuan Seno adalah tamu terhormat Tuan 

Baulau. Mana saya berani memanggil sembarangan?"

Seno cengar-cengir lagi. "Ya, sudahlah. Terse-

rah kau. Asal tahu saja, sebelum ini aku tak pernah 

dipanggil 'tuan'. Panggilan itu membuatku risih. Aku 

tak begitu suka...."

Silasati tampak tercenung sejenak. Malu-malu 

dia menatap wajah lugu Seno seraya berkata, "Saya 

harus pergi. Kalau ada apa-apa, panggil saja saya...."

"Ya, pergilah. Terima kasih, ya...."

Setelah Silasati menutup lagi daun pintu, Seno

langsung menyambar pakaian biru-birunya. Masih 

utuh. Memang tidak ada yang terbakar. Hanya baunya 

sedikit berubah. Biasanya pakaian Seno selalu menebarkan aroma harum kayu cendana, kini aroma harum 

itu agak tersamar oleh bau sangit. 

"Tak jadi apa. Tak jadi apa...," gumam Seno. 

"Senang sekali pakaian pemberian Kakek Dewa Dungu 

ini cepat kering. Aku bisa memakainya lagi."

* * *

"Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan para 

saksi, dengan ini Pengadilan Agung menyatakan Sasak 

Padempuan bersalah. Dia terbukti berusaha mencuri 

Kitab Palanumsas yang tersimpan di Puri Dewa Langit. 

Dia telah membunuh seekor anjing kesayangan kepala 

suku, Bancakdulina. Dia juga berusaha membunuh 

Bancakdulina dengan 'Jarum Peremuk Tulang'. Lain 

itu, dia terbukti pula berusaha membunuh Bancaklu-

ka dengan kekuatan ilmu sihirnya...," ujar seorang le-

laki tua yang menjadi hakim kepala di Pengadilan 

Agung Suku Asantar. "Atas semua kesalahan itu, Pen-

gadilan Agung menjatuhkan dua hukuman kepada Sa-

sak Padempuan. Pertama, seluruh kekuatan ilmu si-

hirnya akan dilenyapkan. Kedua, dia diusir dan tidak 

dianggap lagi sebagai warga Suku Asantar."

Kakek yang duduk di belakang meja panjang 

itu mengangkat telapak tangan kanannya sejajar kepa-

la. Seorang pemuda bertubuh kekar, yang berdiri di si-

si kanan meja, langsung memukul tambur yang diba-

wanya tiga kali. Hal itu menandakan bila hukuman 

yang dijatuhkan kepada Sasak Padempuan telah sah 

dan tak dapat ditarik kembali.

"Tidak! Tidak! Jangan hilangkan ilmu sihir ku! 

Siapa yang berani melakukannya akan kubunuh!" an-

cam Sasak Padempuan, keras menggelegar.

Pemuda yang tampak panik itu bergegas bangkit dari duduknya. Namun, dia tak dapat berbuat apa-

apa karena kedua tangan dan kakinya terikat tali yang 

amat kuat.

Pendekar Bodoh yang telah berpakaian biru-

biru tampak duduk di bangku saksi bersama Bancak-

dulina dan Bancakluka. Mereka hanya diam tak ber-

buat apa ketika melihat Sasak Padempuan melonjak-

lonjak bagai orang kesetanan.

Sementara, lima orang sesepuh Suku Asantar 

yang menjadi hakim pada Pengadilan Agung itu tam-

pak bangkit dari tempat duduknya. Dengan dipimpin 

oleh hakim kepala yang berada di tengah, mereka men-

julurkan kedua tangan ke arah Sasak Padempuan.

Lalu, kakek yang berada di tengah berkata, "Pa-

ra leluhur Suku Asantar selalu menjunjung tinggi ke-

benaran dan menentang kejahatan. Hari ini Pengadilan 

Agung telah menyatakan Sasak Padempuan bersalah. 

Para leluhur Suku Asantar akan mencabut seluruh 

kekuatan ilmu sihir pemuda itu...."

Empat kakek lainnya yang sama-sama mema-

kai jubah hitam menyambung dengan kalimat, "Hom 

asantarnas salawunas.... barnas...!"

Di ujung kalimat itu, mendadak Sasak Padem-

puan menjerit parau. Sekujur tubuhnya memancarkan 

sinar merah menyilaukan. Hampir semua warga Suku 

Asantar yang melihat jalannya Pengadilan Agung itu 

memalingkan muka karena mata mereka terasa amat 

pedih.

"Wuaaahhh..,! Hentikan! Hentikaaannn...! Ku-

bunuh kalian semua! Kubunuh kalian semua...!" teriak 

parau Sasak Padempuan.

Pemuda berambut ikal panjang itu terus melon-

jak dan meronta-ronta. Sinar merah yang memencar 

dari tubuhnya semakin menipis. Lalu lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya sinar itu, lenyap 

pula seluruh kekuatan ilmu sihir si pemuda!

"Hukuman kedua akan dijatuhkan.,.," ujar ha-

kim kepala.

Setelah suasana menjadi hening, kakek itu 

berkata, "Kekuatan para leluhur datang kembali. Sa-

sak Padempuan terusir keluar dari Perkampungan Su-

ku Asantar...."

Empat kakek berjubah hitam langsung menya-

huti, "Hom asantarnas salawunas... barnas...!"

Saat itu juga, Sasak Padempuan menjerit lebih 

panjang. Tiba-tiba, tubuhnya terbungkus sinar ber-

warna kuning. Sinar kuning itu membawa tubuh si 

pemuda melayang ke utara. Melesat sangat cepat. Se-

hingga tidak sampai lima kejap mata, tubuh Sasak Pa-

dempuan sudah lenyap dari pandangan!

Semua menghela napas lega. Mendadak, Ban-

cakdulina bangkit berdiri. Setelah membungkuk hor-

mat kepada lima sesepuh suku, dia mengangkat tan-

gan kanannya tinggi-tinggi.

"Mohon perhatian...," ujar kepala suku itu. 

"Saya bersyukur atas keputusan para sesepuh yang te-

lah menjatuhkan hukuman berat kepada Sasak Pa-

dempuan. Lalu setelah itu, saya selaku kepala suku 

menyampaikan kabar bahwa upacara pengangkatan 

kepala suku yang baru akan diajukan pekan depan. 

Tepatnya, hari kedelapan purnama ini"

Ucapan Bancakdulina disambut kasak-kusuk 

orang-orang yang berada di tempat itu. Namun, tidak 

ada yang berani mencetuskan isi hati mereka secara 

langsung.

Melihat Bancakdulina kembali duduk di kur-

sinya, satu persatu para hakim Pengadilan Agung yang 

merupakan sesepuh Suku Asantar beranjak meninggalkan tempat. Warga Suku Asantar lainnya mengiku-

ti. Begitu juga dengan Pendekar Bodoh, Bancakdulina, 

dan Bancakluka.

Seorang wanita berkerudung hitam tampak 

berdiri tegak, menatap tak berkedip sosok Pendekar 

Bodoh yang tengah berjalan diapit Bancakdulina dan 

Bancakluka. Menilik tatapan si wanita yang tajam me-

nusuk, dapat dipastikan bila di dalam benaknya ter-

simpan maksud tak baik. Namun ketika sosok Pende-

kar Bodoh menghilang dari pandangan, wanita berke-

rudung hitam itu turut beranjak meninggalkan tempat.

Dia Danyangsuli, seorang ahli ilmu sihir Suku 

Asantar, yang juga ahli ilmu teluh dan tenung!

Ketika hari jatuh ke pelukan senja, tanah la-

pang yang menjadi tempat dilangsungkannya Pengadi-

lan Agung Suku Asantar berubah sunyi lengang. Ke-

sunyian makin berkuasa manakala malam rebah men-

gantarkan kegelapan.

***

DELAPAN



DI sisi kanan rumah Bancakluka, berdiri ru-

mah gadang lain yang tak kalah besar. Bahkan, terli-

hat lebih bagus dan megah. Di rumah yang dilabur 

warna biru laut itulah Silasati tinggal bersama kedua 

orangtuanya. Sama seperti Bancakluka, Silasati juga 

anak tunggal. Hanya saja, ibu Bancakluka telah me-

ninggal ketika Bancakluka berumur lima belas tahun. 

Jadi, Bancakluka menempati rumahnya yang besar 

hanya bersama Bancakdulina ayahnya.

Keluarga Silasati tergolong orang yang cukup


terpandang karena ayah Silasati adalah adik kandung 

Bancakdulina. Sementara, Bancakdulina adalah bau-

lau atau kepala suku. Oleh sebab itulah warga Suku 

Asantar juga sangat menghormati ayah Silasati yang 

bernama Buncaksika. Selain itu, ayah Silasati memiliki 

kekayaan melimpah berupa sawah luas dan puluhan 

kerbau serta hewan ternak lainnya.

Malam itu, Silasati yang punya nama lengkap 

Bancak Silasati tak dapat tidur. Hatinya gelisah tak 

menentu. Bukan karena memikirkan pertemuannya 

dengan Pendekar Bodoh yang lugu tapi berparas tam-

pan. Tapi, karena memikirkan saat dirinya yang telah 

dijodohkan dengan Bancakluka.

Suku Asantar memang menganut perkawinan 

sedarah. Sehingga, boleh-boleh saja Bancakdulina 

menjodohkan Bancakluka putranya dengan Silasati 

yang tak lain keponakannya sendiri.

"Dia memang baik. Dia gagah. Dia juga tampan. 

Tapi..., aku tak mencintainya...," kata hati Silasati, 

menerawang atap sirap rumahnya yang ditata amat 

rapi.

Cukup lama gadis hitam manis itu terbaring te-

lentang. Matanya tak pernah dapat dipejamkan. Sore 

tadi, Bancakdulina mengumumkan bila upacara pen-

gangkatan kepala suku baru diajukan pekan depan. 

Kalau Bancakluka terpilih, maka esok harinya Silasati 

akan duduk di pelaminan bersama Bancakluka. 

Akan tetapi, menjadi istri Bancakluka yang 

menjabat baulau atau kepala suku tidak akan menda-

tangkan kebahagiaan bagi Silasati. Karena, dia tak 

pernah mencintai Bancakluka.

Sebagai warga Suku Asantar, Silasati memang 

mempunyai hak untuk memilih ataupun menentukan 

pasangan hidupnya. Namun, apakah dia akan tega


menghancurkan harapan kedua orangtuanya? Semen-

tara, kedua orangtua Silasati sangat berkeinginan me-

lihat anaknya menjadi istri Bancakluka.

Kenapa Silasati tidak suka dijodohkan dan 

menjadi istri Bancakluka? Jawabnya sederhana saja. 

Silasati telah menjatuhkan harapan hidupnya kepada 

pemuda lain. Dan, pemuda itu juga sangat mencintai

Silasati. Oleh karenanya, berat bagi Silasati untuk 

mengkhianati cinta pemuda tambatan hatinya itu.

Selagi Silasati merenungkan nasib cintanya, 

seorang pemuda berpakaian kuning-coklat tampak 

mendekati jendela. Gerakan pemuda itu tak memper-

dengarkan suara sedikit pun. Setelah berada di dekat 

daun jendela, si pemuda mengetuk perlahan. Ketika 

itu hari telah lewat tengah malam. Perkampungan Su-

ku Asantar sunyi-senyap seperti tak ada kehidupan di

dalamnya.

"Silasati... Silasati...," panggil si pemuda.

Terkesiap Silasati mendengar namanya disebut. 

Tapi setelah mengenali warna suara si pemuda, bola 

mata gadis itu langsung berbinar.

"Sadeng Sabantar...?" desis Silasati untuk 

meyakinkan pendengarannya.

"Ya. Ini aku, Silasati," sebut pemuda berpa-

kaian kuning-coklat yang dipanggil Sadeng Sabantar.

Hati-hati sekali Silasati membuka daun jendela. 

Tentu saja dia tak mau suara berderitnya daun jendela 

membuat bangun siapa pun, apalagi kedua orangtua-

nya.

"Sadeng...," desis Sisasati.

Walau daun jendela terkuak sedikit, sinar 

Sampu kamar mampu menerobos keluar. Sehingga, 

terlihatlah wajah Sadeng Sabantar yang halus tampan, 

berhidung mancung dan berbibir kemerahan.


"Keluarlah, Sati. Ada yang hendak kukatakan 

kepadamu," sahut Sadeng Sabantar, tangannya meme-

gang erat pinggiran jendela agar tubuhnya tak jatuh.

Silasati merasa senang melihat kehadiran Sa-

deng Sabantar. Tapi, air muka gadis yang wajahnya 

dihiasi lesung pipi itu terlihat keruh.

"Kalau ada orang memergoki kita, kita akan ce-

laka...," khawatir si gadis.

"Tak akan ada orang tahu, Sati. Tak perlu ta-

kut," desak Sadeng Sabantar.

Silasati tampak berpikir-pikir. Sebenarnya, dia 

ingin sekali menuruti ajakan Sadeng Sabantar. Tapi 

kalau kekhawatirannya menjadi kenyataan, orang te-

tap akan menuduhnya yang bukan-bukan, meskipun 

dia dan Sadeng Sabantar tidak melakukan hal yang ti-

dak senonoh.

Akibatnya, dia akan dikeluarkan dari pergaulan 

hidup Suku Asantar. Lebih dari itu, sebelum diusir, dia 

dan Sadeng Sabantar akan dihukum cambuk seratus 

kali. Begitulah aturan yang berlaku di Suku Asantar.

Memikirkan akibat itu, Silasati jadi ragu. Dia 

tak dapat membayangkan betapa sedih, marah, dan 

malunya kedua orangtuanya apabila dirinya sampai 

menerima hukuman adat seperti itu. Silasati pun tak 

dapat membayangkan rasa hati Bancakdulina dan 

Bancakluka, calon mertua dan suaminya itu. Mereka 

tentu amat kecewa, bahkan teramat kecewa!

"Sati! Aku tak bisa berdiri terlalu lama di sini! 

Aku mau jatuh...," desak Sadeng Sabantar yang beru-

sia dua puluh tiga tahun. Pemuda ini putra kedua seo-

rang warga Suku Asantar yang cukup terpandang pu-

la.

"Aku takut...," desis Silasati, mengutarakan isi 

hatinya.


"Kau tidak mencintaiku? Hatimu telah terpaut 

pada Bancakluka yang calon kepala suku itu? Baiklah 

kalau begitu. Aku memang tak pantas menemuimu la-

gi! Selamat tinggal, Sati. Jangan menyesal bila di hari 

pernikahanmu nanti, kau melihat aku telah terbujur 

kaku menjadi mayat!"

Kecewa sekali Sadeng Sabantar. Sinar matanya 

langsung meredup. Raut wajahnya pun langsung men-

gelam. Seribu perasaan yang tak mengenakkan hati 

memaksanya meloncat turun.

Silasati dapat merasakan kekecewaan Sadeng 

Sabantar. Silasati tak dapat menipu dirinya sendiri. 

Dia akan benar-benar kehilangan jika sampai Sadeng 

Sabantar membuktikan kata-katanya itu.

Oleh karenanya, ketika Sadeng Sabantar baru 

melangkah dua tindak untuk meninggalkan tempat, 

Silasati berseru dengan suara dalam, 

"Tunggu,..?"

Langkah Sadeng Sabantar terhenti.

"Aku akan ikut denganmu, Sadeng...," putus Si-

lasati.

"Kalau kau keluar dari kamarmu itu, kau harus 

dapat melupakan semua yang ada di perkampungan 

ini. Semuanya! Terutama perjodohanmu dengan Ban-

cakluka!" ujar Sadeng Sabantar, dengan suara dalam 

pula.

"Apa maksudmu!?"

"Hal itulah yang hendak kubicarakan. Sungguh 

aku sangat mencintaimu, Sati. Tak mungkin aku men-

celakakanmu, Sati. Tak mungkin aku mencelakakan-

mu. Jika kau masih mencintaiku, turunlah cepat. Tak 

perlu pikir panjang lagi."

Silasati menatap lekat wajah Sadeng Sabantar. 

Gadis hitam manis itu berusaha mengukur seberapa


besar cinta Sadeng Sabantar lewat sorot mata si pe-

muda.

Lalu tanpa berkata apa-apa, Silasati beranjak 

keluar dari kamarnya lewat daun jendela. Setelah daun 

jendela tertutupnya kembali, dia meloncat turun. Sigap 

sekali Sadeng Sabantar menyambut loncatan tubuh Si-

lasati.

"Silasati.... Silasati.... aku mencintaimu...," bi-

sik Sadeng Sabantar. Hilang sudah rasa kecewanya 

melihat Silasati telah memberi keputusan.

"Aku juga mencintaimu, Sadeng. Tapi..., aku 

takut sekali...," ungkap Silasati.

Sadeng Sabantar tak menyahuti. Tangannya 

yang kokoh menuntun Silasati untuk meninggalkan 

tempat.

"Kita hendak ke mana?"

"Ada yang hendak kubicarakan kepadamu. Kita 

cari tempat yang aman."

Mendengar nada ucapan Sadeng Sabantar yang 

penuh keyakinan, Silasati menuruti saja ketika dirinya 

diajak berjalan menembus kegelapan, lalu keluar dari 

perkampungan penduduk Suku Asantar.

Sesampai di sebuah tempat terlindung pepoho-

nan, tak seberapa jauh dari Puri Dewa Langit, Sadeng 

Sabantar merengkuh bahu Silasati seraya memeluknya 

erat-erat.

"Silasati.... Silasati.... Aku tak mau kehilangan 

dirimu. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Aku mencin-

taimu, Sati. Sungguh aku mencintaimu...."

Silasati tak menyahuti. Dia pun balas meme-

luk. Hawa dingin malam tak terasa lagi. Kehangatan 

mengalir dari dada bidang Sadeng Sabantar. Lebih-

lebih lagi, kehangatan cinta si pemuda membuatnya 

amat bahagia. Dan, kebahagiaan itu benar-benar


membuatnya terlena.

"Sati..., katakan sekali lagi. Kau pun mencin-

taiku, Sati...."

Silasati tak menjawab.

Sadeng Sabantar merenggangkan pelukannya. 

"Katakan, Sati. Kau pun mencintaiku!"

"Ya. Ya, Sadeng. Aku mencintaimu...."

Bola mata Sadeng Sabantar langsung berbinar-

binar. Bahagia sekali dia memeluk tubuh sintal Silasa-

ti. Silasati pun balas memeluk lagi. Mereka nikmati 

benar kebahagiaan itu dengan saling memeluk dan te-

rus memeluk, seakan tak mungkin ada kekuatan lain 

yang mampu memisahkan mereka.

Dan... bagaimanapun, persentuhan kulit dua 

anak manusia berlainan jenis yang saling mencinta, di 

malam yang dingin dan sepi, selalu bisa mengundang 

godaan setan. Apa yang terjadi pada Sadeng Sabantar 

dan Silasati pun sudah dapat ditebak. Begitu pelukan 

mereka merenggang, mereka saling cium..., saling me-

numpahkan hasrat cinta mereka. Lalu, persentuhan 

bibir yang hangat penuh kenikmatan membuat mereka 

semakin terlena. Jangkerik yang tengah mengerik 

langsung terdiam manakala Sadeng Sabantar memba-

ringkan tubuh Silasati di atas rumput tebal.

Mereka saling cium lagi. Jemari tangan Sadeng 

Sabantar turut bergerak nakal. Ditelusurinya setiap 

lekuk liku tubuh Silasati dengan rabaan-rabaan pa-

nas. Namun, sejenak si pemuda menghentikan perbua-

tannya.

"Sati..., kau sudah tahu kalau pemilihan kepala 

suku diajukan minggu depan. Hari pernikahanmu 

dengan Bancakluka diajukan minggu depan. Hari per-

nikahanmu dengan Bancakluka semakin dekat. Aku 

tak mau kehilangan dirimu, Sati. Kau milikku! Apa


pun yang terjadi, kau harus tetap jadi milikku!"

Silasati tak dapat menyahuti karena jemari 

tangan Sadeng Sabantar mulai bergerak nakal lagi. Ge-

rakan jemari yang bergetar itu membuat aliran darah-

nya berdesir tak karuan. Apalagi, setelah bibir Sadeng 

Sabantar ikut mengulum dan melumat bibirnya. Tak 

kuasa Silasati menolak ketika Sadeng Sabantar mem-

bukai kancing bajunya....

***

SEMBILAN



SEPASANG kaki itu melangkah... perlahan na-

mun pasti. Gelap malam tak menjadi penghalang. Te-

rus melangkah seirama detak jantung pemiliknya.

Dia seorang wanita berwajah cantik jelita dan 

bertubuh montok menggiurkan. Rambutnya yang pan-

jang dijepit ke atas dengan penjepit emas. Kesempur-

naan sosok wanita itu semakin terlihat karena ia men-

genakan pakaian merah gemerlap, tak kalah bagus di-

banding dengan pakaian seorang ratu. Sayangnya, so-

rot mata wanita itu amat tajam menusuk, sanggup 

menciutkan nyali siapa saja yang berhadapan dengan-

nya.

Di tengah sepi membisu, sepasang kaki putih 

mulus milik wanita itu terus melangkah. Ringan sekali 

menjejak tanah. Tak terdengar suara sedikit pun walau 

berkali-kali menginjak patahan ranting dan dedaunan 

kering.

Setelah melewati rimbunan pohon di tepi sun-

gai, sepasang kaki si wanita mulai menapaki jalan kecil 

yang menuju ke Puri Dewa Langit. Ya! Menuju ke Puri


Dewa Langit! Memang ke situlah tujuannya! Tapi, bu-

kan kemegahan bangunan itu yang menarik perhatian 

si wanita, melainkan sesuatu yang tengah terjadi di 

dekatnya!

Sementara, Sadeng Sabantar dan Silasati tak 

tahu sedikit pun bila ada orang yang sedang berjalan 

mendekati. Mereka benar-benar telah terbuai oleh 

nikmatnya permainan asmara. Buaian itu begitu mele-

nakan, sehingga tak terpikir oleh Sadeng Sabantar dan 

Silasati bila bahaya besar akan datang. Dan..., bahaya 

itu akan segera menjadi kenyataan manakala....

"Sadeng...!"

Terdengar bentakan keras menggelegar. Kesu-

nyian malam yang semula hanya digeluti desah napas 

Sadeng Sabantar dan Silasati jadi terkoyak pecah. Tak 

dapat lagi digambarkan betapa terkejutnya kedua anak 

manusia yang tengah asyik masyuk itu.

Tanpa sadar Sadeng Sabantar melepas pelu-

kannya seraya meloncat tinggi ke udara. Silasati men-

jerit kaget dengan bola mata terbelalak lebar. Dia pun 

meloncat berdiri. Tak menyadari bila keadaan tubuh-

nya hampir telanjang!

Sampai beberapa tarikan napas, Sadeng Saban-

tar dan Silasati berdiri terpaku di tempatnya. Mata me-

reka sama-sama menatap sosok wanita berpakaian 

merah gemerlap. Wanita berusia tiga puluh tahun itu-

lah yang tadi mengeluarkan suara bentakan.

"Danyangsuli...," desis Sadeng Sabantar dan Si-

lasati, hampir bersamaan.

Wanita berpakaian merah gemerlap yang me-

mang Dayangsuli terlihat geleng-geleng kepala. Dari ja-

rak sekitar tiga depa, ditatapnya wajah Sadeng Saban-

tar dan Silasati bergantian. Lalu dengan suara dalam, 

dia berkata, "Kalian baru saja berbuat apa yang seharusnya tidak boleh kalian perbuat. Kalian baru saja 

melanggar apa yang sebenarnya tidak boleh kalian 

langar. Tapi walau telah begitu rendah moral kalian, 

apakah kalian tetap akan membiarkan anggota tubuh 

kalian yang terlarang dilihat orang?"

Sekali lagi, Sadeng Sabantar dan Silasati meng-

gerigap kaget. Kata-kata Danyangsuli menyadarkan bi-

la mereka tengah berdiri dengan tubuh nyaris telan-

jang. Oleh karenanya, tanpa pikir panjang mereka me-

loncat dan menyambar pakaian mereka yang bercece-

ran di tanah.

"Oh, Dewa-dewa di langit sana.... Apa yang ba-

ru kuperbuat...?" desah Silasati dengan raut wajah pu-

cat pasi. Menyadari kekhilafannya, perlahan air mata 

mulai menitik jatuh, membasahi pipinya yang halus.

Walau belum mengenakan pakaian pelengkap-

nya, putri Bancaksika itu berlari cepat untuk mening-

galkan tempat. Rasa malu dan takut terbayang jelas di 

matanya. Namun belum genap kakinya melangkah se-

puluh tindak, Danyangsuli berteriak lantang....

"Hei! Mau lari ke mana kau?!"

Sambil berteriak, Danyangsuli menggerakkan 

telapak tangan kanannya ke depan. Satu kekuatan tak 

kasat mata melesat. Memekik kecil Silasati saat mera-

sakan tubuhnya terseret lalu jatuh telentang di hada-

pan Danyangsuli.

"Bila kau lari, kau justru akan mendapat cela-

ka! Tidak sadarkah kau bila aku adalah saksi perbua-

tan tak terpujimu? Kalau aku melapor pada Baulau 

Bancakdulina ataupun kepada Bancaksika ayahmu, 

hukuman apa yang akan kau terima? Kau sudah tahu, 

bukan? Kau baru saja berbuat tak senonoh dengan 

seorang pemuda yang bukan suamimu. Kau akan di-

hukum cambuk seratus kali! Kau pun akan diusir! Ingat! Dan..., kekasihmu yang bernama Sadeng Sabantar 

itu mana bisa lolos dari tangan maut Bancakluka, Sa-

ti? Dia akan dibunuh Bancakluka untuk melam-

piaskan kekecewaannya! Bukankah kau tunangan 

Bancakluka, Sati?" 

Mendengar rentetan kata yang cukup panjang 

itu, rasa takut semakin membayang di mata Silasati. 

Tampak amat panik dia saat bangkit seraya merang-

kak dan mencium kaki Danyangsuli.

"Jangan...! Jangan... katakan pada siapa-

siapa...," pinta si gadis dengan air mata terus bercucu-

ran. "Aku mohon, Nyinyi. Aku mohon... jangan katakan 

pada siapa-siapa...."

Silasati menyebut Danyangsuli 'nyinyi' karena 

'nyinyi' adalah kata sebutan yang diperuntukkan bagi 

seorang wanita yang dihormati. Sementara, Danyang-

suli yang mendapat sebutan itu malah tersenyum si-

nis. Tangannya bergerak menjambak rambut Silasati. 

Wajah si gadis ditengadahkannya.

"Silasati..., adat Suku Asantar amat keras. Sia-

pa pun yang berani melanggarnya akan mendapat hu-

kuman berat. Tak peduli siapa pun dia. Tak peduli dia 

anak orang terpandang, sesepuh suku, ataupun bau-

lau. Seringkali kenikmatan harus ditebus dengan pen-

deritaan, Silasati. Kau baru saja merasakan kenikma-

tan. Tapi sayang, kenikmatan itu kau peroleh dengan 

cara melanggar aturan adat suku kita. Oleh kare-

nanya, kau pantas mendapat siksa dan penderitaan..."

"Oh...! Jangan! Aku mohon jangan katakan pa-

da siapa-siapa, Nyinyi...," pinta Silasati lagi.

"Kalau aku tak mau?" Geleng-geleng kepala lagi 

Danyangsuli. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum 

sinis.

Semakin memucat wajah Silasati. Bayangan


buruk berkelebatan di benaknya. Dengan suara serak 

parau, dia berkata, "Aku mohon.... Atau... bunuh saja 

aku...."

"Hmmm.... Tak semudah itu, Sati. Kalau aku 

membunuhmu, sama halnya aku menyimpan gumpa-

lan api di dalam saku. Api itu akan membuatku cela-

ka. Tentu saja aku tak mau hal itu terjadi. Lebih baik 

aku laporkan saja perbuatanmu ini kepada Baulau 

Bancakdulina...."

Danyangsuli melepas cekalannya pada rambut 

Silasati. Dan pada saat tubuh Silasati jatuh ke tanah, 

mendadak Sadeng Sabantar yang telah selesai merapi-

kan bajunya meloncat mendekati.

"Tidak ada orang yang tahu perbuatanku ber-

sama Silasati! Bukankah aku bisa membunuhmu, Pe-

rempuan Keparat?!"

Usai mengucapkan kalimat itu, Sadeng Saban-

tar menerjang ganas. Sebilah pisau bergagang bengkok 

mirip badik meluncur cepat untuk menusuk jantung 

Danyangsuli! 

Wuttt...!

Tenang-tenang saja Danyangsuli memiringkan 

tubuhnya. Saat pisau Sadeng Sabantar lewat di depan 

dada, wanita bertubuh amat menggiurkan itu mengge-

rakkan kedua tangannya. Tangan kiri digunakan un-

tuk memukul siku Sadeng Sabantar. Dan, yang kanan 

bergerak cepat menangkap pisau Sadeng Sabantar 

yang lepas dari cekalan.

"Kau gagal, Sadeng!" cibir Danyangsuli. "Coba-

lah sekali lagi kalau kau berani!"

Menggeram marah Sadeng Sabantar. Tertimpa 

cahaya rembulan, bola mata pemuda bertubuh tegap 

itu tampak berkilat.

Tak satu pun warga Suku Asantar yang tak


mengenal Danyangsuli. Demikian juga dengan Sadeng 

Sabantar. Dia tahu bila Danyangsuli adalah ahli sihir 

yang juga pandai ilmu tenung. Hampir tak ada orang 

yang dapat menyamai keahlian Danyangsuli. Oleh ka-

renanya, seluruh warga Suku Asantar amat menaruh 

hormat kepada wanita itu, termasuk Baulau Bancak-

dulina.

Namun demikian, Sadeng Sabantar menatap 

wajah Danyangsuli penuh nafsu membunuh. Rasa ta-

kut yang berkuasa dalam hatinya mencetuskan niat 

jahat. Hingga tampak kemudian, Sadeng Sabantar me-

loncat menerkam. Kedua tangannya terjulur untuk 

mencekik leher Danyangsuli!

"Mati kau...!"

Melihat serangan Sadeng Sabantar yang tak 

mencerminkan gerakan ataupun jurus silat, Danyang-

suli tersenyum mengejek. Ketika tubuh Sadeng Saban-

tar masih melayang di udara, cepat sekali tangan ka-

nan wanita itu bergerak!

Brett...! Brettt...!

"Sadeng...!"

Menjerit khawatir Silasati. Walau gelap malam 

menghalangi pandangan, dia dapat melihat pisau di 

tangan Danyangsuli yang berkelebat di dada dan perut 

Sadeng Sabantar.

Namun, Silasati dapat pula menghirup napas 

lega. Pisau di tangan Danyangsuli hanya mengoyak-

ngoyak kain baju Sadeng Sabantar. Danyangsuli tak 

bermaksud membunuh pemuda itu.

"Aku masih mau bermurah hati kepadamu, Sa-

deng...," ujar Danyangsuli. "Seperti halnya dengan Si-

lasati, kau tentu telah tahu akibat apa yang akan sege-

ra kau terima. Setelah para sesepuh suku menjatuh-

kan hukuman, bersiap-siaplah kau untuk menerima


kematianmu di tangan Bancakluka!"

"Jahanam!" geram Sadeng Sabantar, menahan 

rasa sakit di siku kanannya. "Tak ada yang akan 

menghukumku karena tak ada yang melaporkan per-

buatanku! Kematian yang akan membungkam mulut-

mu!"

Di ujung kalimatnya, Sadeng Sabantar mener-

jang lebih nekat. Tubuhnya melesat dengan kaki ka-

nan terjulur lurus. Walau tendangan pemuda itu 

hanya mengandalkan tenaga luar, tapi karena dilan-

carkan dengan sekuat tenaga, maka cukuplah berba-

haya bila mengenai sasaran dengan telak.

"Rupanya, aku harus menjatuhkan hukuman 

dulu kepadamu!" dengus Danyangsuli.

Pelan saja wanita berwajah amat menarik itu 

menggerakkan kedua tangannya. Namun, akibatnya 

sungguh tak pernah disangka oleh Sadeng Sabantar.

Plak! Des! 

"Uh! Aduh...!"

Diiringi pekik kesakitan, tubuh Sadeng Saban-

tar jatuh terbanting ke tanah. Tapi mengingat huku-

man berat yang akan dijatuhkan sesepuh suku, dia ja-

di kalap. Bergegas dia bangkit. Sepuluh jari tangannya 

terkepal kuat. Siap menghujani tubuh Danyangsuli 

dengan pukulan beruntun.

Akan tetapi, serangan pemuda itu sama sekali 

tak membuat repot Danyangsuli. Sengaja Danyangsuli 

bergerak meliuk-liuk beberapa saat untuk memperli-

hatkan keindahan tubuhnya. Dan selagi Sadeng Sa-

bantar digeluti rasa kesal bercampur penasaran dan 

hawa amarah, Danyangsuli melompat tinggi ke udara. 

Secepat kilat ujung jari telunjuk tangan kanannya me-

luncur. Tepat menotok ubun-ubun Sadeng Sabantar!

Tuk!


"Wuah...!"

"Sadeng...!" Jerit Silasati, penuh kekhawatiran. 

Serta-merta gadis hitam manis itu meloncat seraya 

memeluk tubuh Sadeng Sabantar. Namun, si pemuda 

sudah tak dapat bergerak lagi. Dia berdiri kaku-kejang 

dengan bola mata melotot besar dan mulut terbuka le-

bar. Totokan Danyangsuli mengandung kekuatan sihir 

yang mampu mempengaruhi saraf pemuda itu.

"Sadeng...! Sadeng...! Kau kenapa, Sadeng...?!" 

seru Silasati, semakin khawatir.

Seperti telah kehilangan ingatan, Silasati meng-

guncang-guncangkan tubuh Sadeng Sabantar. Tapi, 

tubuh si pemuda tetap berdiri kaku di tempatnya bagai 

patung batu yang melekat erat di tanah.

"Jangan seperti anak kecil, Sati...!" ujar Da-

nyangsuli. "Dia tidak mati. Namun, nasib pemuda itu 

tergantung bagaimana sikap dan tindakanmu. Sikap 

dan tindakanmu juga menentukan nasibmu sendiri."

Perlahan, Silasati melepas cekalannya pada ba-

hu Sadeng Sabantar. Dengan sinar mata nanar, dita-

tapnya wajah Danyangsuli.

"Apa maksudmu?"

"Jika kau tak ingin aku melaporkan perbua-

tanmu dengan Sadeng Sabantar kepada Baulau Ban-

cakdulina, kau harus melakukan satu pekerjaan un-

tukku."

Semakin nanar tatapan Silasati. Namun, mu-

lutnya tak dapat lagi berkata-kata. Terkunci rapat ba-

gai tak akan bisa dibuka lagi.

"Dengar baik-baik, Sati...," lanjut Danyangsuli. 

"Tentu kau tahu bila di rumah Baulau Bancakdulina 

telah tinggal seorang pemuda yang datang dari Pulau 

Jawa bernama Seno Prasetyo. Bawa dia ke hadapanku 

saat ini juga!"


"Ba... bawa dia?" tergagap Silasati. "Malam-

malam begini? Tuan Baulau tentu curiga...."

"Jangan khawatir. Sampai hari menjelang fajar 

nanti, Bancakdulina tak akan pulang. Dia sedang me-

meriksa pengairan sawah ladangnya yang luas. Jadi, di 

rumahnya hanya ada Bancakluka dan pemuda itu."

Termangu Silasati. Pikirannya yang bingung 

membuat rasa takutnya sirna sejenak. Namun, sang-

gupkah dia menjalankan perintah Danyangsuli? Jika 

benar Bancakdulina tidak berada di rumah, apakah 

Bancakluka tidak akan menaruh sakwasangka melihat 

kedatangannya? Bukankah dirinya seorang gadis, yang 

tentu saja tak pantas mengajak seorang pemuda ke-

luar rumah di malam hari seperti ini? Dan lagi, bagai-

mana nanti sikap Seno Prasetyo? Tidakkah dia akan 

punya pikiran yang macam-macam? Tidakkah pemuda 

itu nanti akan menganggap dirinya gadis murahan? 

Tapi kalau perintah Danyangsuli tidak dikerjakan, ba-

gaimana nasib Sadeng Sabantar dan nasibnya sendiri?

Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk di 

benak Silasati. Hingga sampai beberapa lama, gadis itu 

cuma dapat berdiri terbengong-bengong tanpa mengu-

cap sepatah kata pun.

"Bagaimana, Sati? Kau sudah mengambil kepu-

tusan?" desak Danyangsuli

"Ah! Aku...," sahut Silasati, tak jelas apa mak-

sudnya.

"Jangan bodoh! Kalau aku melaporkan perbua-

tan tak senonohmu, maka derajatmu akan jatuh! Dera-

jatmu akan lebih rendah dari anjing kurap sekalipun! 

Ingat itu!"

Mengelam paras Silasati. Setelah berpikir-pikir, 

akhirnya dia mengambil keputusan....

"Baiklah, Nyinyi..., asal kau berjanji tak akan


melaporkan perbuatanku pada siapa pun."

"Bagus! itu artinya kau masih dapat berpikir 

jernih. Nah! Sekarang tunggu apa lagi? Segeralah be-

rangkat!"

"Tapi, Nyinyi mesti berjanji dulu...."

"Hmmm.... Ya! Ya! Jika kau dapat membawa 

Seno Prasetyo ke hadapanku malam ini, kau dan Sa-

deng Sabantar akan kulepaskan. Soal perbuatanmu 

yang tak senonoh tadi, akan kuanggap tak pernah ada! 

Bagaimana?"

Silasati menatap tajam wajah Danyangsuli. Dia 

ingin memastikan apakah ucapan Danyangsuli bisa 

dipercaya. Sementara, Danyangsuli yang melihat Sila-

sati tak segera beranjak dari tempatnya menjadi tak 

sabaran. Keras sekali dia membentak....

"Kalau fajar keburu datang, kau tak punya ke-

sempatan untuk melepaskan diri dari hukuman sese-

puh suku!"

"Ah! Baik! Baiklah, Nyinyi, aku berangkat...."

Tergopoh-gopoh Silasati berjalan dari hadapan 

Danyangsuli. Namun....

"Tunggu!" cegah Danyangsuli tiba-tiba.

Danyangsuli berjalan menghampiri Silasati 

yang terhenyak langkah. Disodorkannya bungkusan 

kain putih kepada putri Bancaksika itu.

"Apa ini?" tanya Silasati, tak mengerti.

"Terima saja. Tebarkan isinya bila kau akan 

mengetuk pintu rumah. Itu akan melancarkan usaha-

mu membawa Seno Prasetyo."

Silasati tak menyahuti. Dia tidak tahu apa isi 

bungkusan yang disodorkan Danyangsuli. Tapi, tan-

gannya bergerak menerima bungkusan itu. Kemudian, 

dia berlari-lari menembus kegelapan malam. Sementa-

ra, Danyangsuli tersenyum penuh kemenangan.


SEPULUH


SETELAH meniti anak-anak tangga yang ter-

buat dari sambungan kayu jati, meragu Silasati untuk 

mengetuk daun pintu. Memang, sangatlah tidak pada 

tempatnya bila seseorang bertemu di waktu menjelang 

dini hari. Apalagi, tamu itu seorang gadis seperti Sila-

sati. Dapat dipastikan bila tuan rumah akan menaruh 

pikiran yang macam-macam.

Semakin meragu Silasati saat mengingat perin-

tah Danyangsuli yang mengharuskannya membawa 

Seno Prasetyo menemui ahli sihir itu. Apa tujuan Da-

nyangsuli sebenarnya? Tidakkah dia akan bermaksud 

jahat? Dan kalau benar Danyangsuli punya maksud 

jahat, tidakkah dirinya akan terkena getahnya?

Cukup lama Silasati berdiri terpaku di muka 

pintu. Namun setelah ingat ancaman Danyangsuli 

yang akan melaporkan perbuatan tak terpujinya ber-

sama Sadeng Sabantar, keraguan dalam diri Silasati 

lenyap seketika. Nasib Sadeng Sabantar dan dirinya 

sendiri tergantung pada tindakan apa yang akan dila-

kukannya sekarang ini. Maka, membulatlah tekat Sila-

sati untuk membawa Seno Prasetyo ke hadapan Da-

nyangsuli. 

Tampak kemudian, tangan kanan Silasati te-

rangkat untuk mengetuk daun pintu. Tapi, gerakannya 

terhenti di udara. Dia teringat bungkusan kain putih 

pemberian Danyangsuli. Sebelum mengetuk daun pin-

tu, Silasati diperintah menebarkan isi bungkusan itu 

terlebih dulu.

Maka sambil menghela napas panjang, Silasati 

mengeluarkan bungkusan kain putih yang tersimpan 

di saku bajunya. Setelah dibuka ternyata isinya sejimpit garam dan beberapa butir kacang hijau. Mengingat 

Danyangsuli adalah ahli sihir yang juga pandai ilmu 

tenung, dapatlah Silasati menduga bila garam dan ka-

cang hijau itu mengandung kekuatan gaib. Kekuatan 

gaib yang bagaimana dan apa manfaatnya? Tak hen-

dak Silasati memikirkan hal itu. Kalau dia bisa mem-

bawa Seno Prasetyo ke hadapan Danyangsuli itu su-

dah bagus. Perihal isi bungkusan kain putih yang 

punya kekuatan gaib, bukan urusannya. Begitulah ka-

ta hati Silasati.

Oleh karena itu, usai menebarkan garam dan 

kacang hijau pemberian Danyangsuli, tanpa pikir pan-

jang Silasati mengetuk daun pintu. Satu kali, tak ada 

jawaban. Dua kali, juga tak ada jawaban. Tiga kali, te-

tap tak ada jawaban. Baru pada ketukan keempat, ter-

dengar suara teguran Bancakluka.

"Siapa?"

"Aku, Bancakluka...," sahut Silasati, menekan 

perasaannya yang berdebar tak karuan. 

"Silasati?" 

"Ya."

Dari dalam rumah terdengar menderitnya suara 

dipan kayu, disusul suara langkah kaki. Hampir saja 

Silasati menjerit kaget karena pintu dibuka dengan ti-

ba-tiba.

"Silasati?" sebut Bancakluka, menatap sekujur 

tubuh Silasati dari ujung rambut sampai ujung kaki. 

Pemuda ini seperti tak percaya pada penglihatannya 

sendiri.

"Kau Silasati?" ulang Bancakluka.

"Ya. Ya..., aku Silasati, Bancakluka...," tegas Si-

lasati, sedikit tergagap.

"Malam-malam begini...," menggantung kalimat 

Bancakluka.


"Boleh aku masuk?"

"Tentu saja. Silakan. Tampaknya, ada sesua-

tu...."

"Ya! Ya," sergah Silasati, cepat. "Aku disuruh 

ayahmu untuk menjemput Seno Prasetyo."

"Apa? Menjemput?" kejut Bancakluka, tak jadi 

mempersilakan Silasati duduk.

"Baru saja ayahmu mampir ke rumahku. Sete-

lah berbincang-bincang dengan ayahku, ayahmu me-

mintaku untuk menjemput Seno Prasetyo. Ayahmu in-

gin Seno Prasetyo turut memeriksa pengairan di sawah 

ladangnya. Bukankah Seno Prasetyo berasal dari ta-

nah Jawa yang terkenal subur? Barangkali pemuda itu 

bisa memberikan sumbang saran untuk perbaikan ca-

ra-cara bercocok tanam di tanah kelahiran kita ini...," 

kilah Silasati. 

"Malam-malam begini...," selidik Bancakluka li-

rih seperti menggumam. "Kenapa Sangkuk tidak lang-

sung saja pulang dan mengatakan keinginannya sendi-

ri kepada Seno?"

"Ah! Mana aku tahu jalan pikiran ayahmu. Aku 

cuma menuruti permintaannya, dan kebetulan juga 

aku belum tidur. Jadi, dengan senang hati aku datang 

ke sini."

"Tapi...."

Kalimat Bancakluka tak berlanjut karena dia 

melihat sosok si Pendekar Bodoh, Seno Prasetyo yang 

tengah berjalan menghampiri. Wajah Seno tampak ku-

sut karena sulit tidur.

"Kudengar kalian membicarakan diriku," ujar 

pemuda berpakaian biru-biru itu. "Kakek Bancakduli-

na memerlukan kehadiranku? Benarkah itu? Di mana 

dia sekarang?"

Pendekar Bodoh yang sejak sore tadi cuma duduk merenung di kamarnya, menatap lekat wajah Sila-

sati. Aneh memang bila Silasati yang seorang gadis 

disuruh Bancakdulina untuk menjemput Pendekar 

Bodoh yang seorang pemuda menginjak dewasa. Tapi, 

Pendekar Bodoh yang amat lugu tak begitu menghi-

raukan keanehan itu. Dia percaya benar pada kata-

kata Silasati yang sempat didengarnya dari dalam ka-

mar. Pendekar Bodoh mengangguk-angguk manakala 

Silasati berkata.... 

"Tuan Baulau menunggumu, Tuan Seno. Mari-

lah kuantar Tuan untuk menemui beliau."

"Ya. Ya...," sambut Pendekar Bodoh seraya ber-

jalan ke luar rumah. Namun..., kedatangan Silasati 

yang begitu mendadak membuat si pemuda lupa 

membawa cermin ajaib 'Terawang Tempat Lewati Ma-

sa'!

Bergegas Silasati mengikuti. Senang bukan 

main hati gadis itu karena merasa akan dapat menja-

lankan perintah Danyangsuli. Keluguan Pendekar Bo-

doh ternyata dapat memudahkan urusannya.

Sementara, Bancakluka yang melihat Pendekar 

Bodoh dan Silasati berjalan menuruni tangga hanya 

dapat menatap seperti telah hilang kesadarannya. Na-

mun setelah dua anak manusia itu menginjakkan kaki 

di pelataran, barulah Bancakluka menyadari benar 

akan adanya kejanggalan atas sikap dan tindak-

tanduk Silasati.

"Tunggu...!" cegah Bancakluka.

Teriakan putra Bancakdulina itu sebenarnya 

sudah cukup keras untuk dapat menghentikan lang-

kah Pendekar Bodoh dan Silasati, tapi tampaknya 

Pendekar Bodoh dan Silasati sama sekali tak menden-

gar teriakan Bancakluka. Mereka terus berjalan tanpa 

menoleh sedikit pun ke belakang.


"Hei, Seno! Tunggu!" teriak Bancakluka lagi.

Pendekar Bodoh tetap tak menoleh.

Pemuda remaja berparas tampan itu memang 

tak mendengar teriakan Bancakluka. Sementara, Ban-

cakluka belum menyadari bila keadaan di sekitar ru-

mahnya telah dikuasai pengaruh kekuatan gaib Da-

nyangsuli. Kekuatan gaib itu bersumber dari garam 

dan kacang hijau yang ditebarkan Silasati di depan 

pintu.

"Silasati...!" teriak Bancakluka untuk ketiga ka-

linya.

Teriakan itu pun tak membuahkan hasil seperti 

yang diharapkan Bancakluka. Pendekar Bodoh dan Si-

lasati terus berjalan semakin jauh. Dan karena terdo-

rong rasa penasaran akibat melihat kejanggalan sikap 

Silasati, Bancakluka meloncat dari lantai rumah. Begi-

tu kakinya menginjak tanah, dia berteriak lebih keras.

"Seno! Sati! Tunggu...!"

Namun, sosok Pendekar Bodoh dan Silasati te-

lah menghilang dari pandangan, tertelan kegelapan 

malam. Maka, hati Bancakluka pun semakin digeluti 

rasa penasaran. Tapi, dia tetap belum menyadari bila 

keadaan di sekitar rumahnya telah dikuasai pengaruh 

kekuatan gaib Danyangsuli.

Di lain kejap, Bancakluka tampak berlari-lari 

mengempos seluruh tenaganya. Pemuda calon kepala 

Suku Asantar itu terus berlari seakan sedang mengejar 

Pendekar Bodoh dan Silasati. Tapi sebenarnya, dia 

cuma berlari-lari mengelilingi bangunan rumahnya!

* * *

"Untuk apa kita jalan ke sini...?* ujar Seno 

mencetuskan rasa herannya karena arah jalan Silasati


tidak menuju ke sawah ladang milik Bancakdulina 

yang terletak di sebelah timur Perkampungan Suku 

Asantar.

"Sudahlah. Ikuti saja," sahut Silasati seraya 

mempercepat langkah.

"Uh! Hari masih gelap begini. Aku jadi heran. 

Jangan-jangan kau hendak berbuat yang tidak-tidak, 

Sati...," tegur Seno. Nada suaranya masih terdengar 

datar, mencerminkan keluguannya. 

"Kau jangan memandang rendah!" bentak Sila-

sati tiba-tiba. "Kalau tidak karena terpaksa, tak akan 

aku menginjak rumah Bancakluka. Apalagi, menga-

jakmu seperti ini!"

"Jadi, karena terpaksa? Tak suka pada Kakek 

Bancakdulina? Juga tak suka pada Bancakluka?" sa-

hut Seno dengan raut wajah tak berdosa. Tentu saja 

pemuda ini tidak tahu jalan pikiran Silasati. Disang-

kanya bila si gadis memang tengah menuruti permin-

taan Bancakdulina.

"Jangan banyak cakap lagi. Ikuti saja langkah-

ku!"

Mendengar ucapan Silasati yang ketus, Seno 

nyengir kuda sejenak. Karena masih menyangka Sila-

sati memang menuruti permintaan Bancakdulina, ber-

gegas ia mengekor langkah gadis hitam manis itu. Dia 

tak mau mengecewakan Bancakdulina yang tentunya 

telah cukup lama menantikan kedatangannya.

Tak seberapa lama kemudian, dua anak manu-

sia itu berjalan dalam kebisuan. Tak ada yang mau 

membuka suara lagi. Mereka sama-sama larut dalam 

pikiran di benak masing-masing. Hanya suara tapak 

kaki mereka yang kadang terdengar memecah kesu-

nyian.

Lamat-lamat terdengar lolongan serigala. Tekurburung hantu tak ketinggalan turut mencoba mengu-

sik suasana malam yang dingin dan sepi. Sementara, 

suara jengkerik mengerik seakan mengiringi langkah 

kaki Seno dan Silasati. Dan manakala terdengar suara 

kokok ayam alas, Silasati tampak mempercepat lang-

kah.

"Ayolah...!" ajak gadis itu, setengah berlari.

"Hei! Kita makin salah arah. Tidak sadarkah 

kau, Sati?" sergap Seno.

"Jangan banyak bicara, kataku! Percepatlah 

langkahmu!"

Seno nyengir kuda lagi. Ketika melihat bangu-

nan Puri Dewa Langit yang samar-samar, Seno meng-

hentikan langkah.

"Puri Dewa Langit...," desisnya. "Kau sengaja 

mengajakku ke sana? Apakah Kakek Bancakdulina 

menungguku di tempat itu?"

Silasati tak menjawab. Jantungnya berdegup 

lebih kencang.

Semakin dekat dengan Puri Dewi Langit, berarti 

semakin mudahlah dia menyelesaikan perintah Da-

nyangsuli. Tapi saat melihat Pendekar Bodoh yang ti-

ba-tiba menghentikan langkah lalu berdiri bengong, 

dia jadi tak sabaran. Dihampirinya pemuda itu,

"Hai! Hai, kenapa kau?" tegur Seno karena tan-

gannya dicekal erat dan setengah ditarik-tarik oleh Si-

lasati.

"Ayolah! Kita sudah dekat!" desak Silasati. 

"Kakek Bancakdulina menungguku di puri itu?" 

"Kau akan tahu sendiri!" 

"Jawab saja pertanyaanku!" bentak Pendekar 

Bodoh yang merasa ucapan Silasati berubah galak.

"Tak perlu aku menjawab pertanyaanmu! Kau 

akan segera tahu sendiri jawabannya!" Silasati balas


membentak. Ditariknya tangan Seno sampai pemuda 

itu terhuyung-huyung.

"Eh! Eh! Bagaimana ini?" ujar Seno. "Aku jadi 

curiga. Jangan-jangan kau hendak mencelakakan 

aku...." 

"Tidak! Aku tidak bermaksud mencelakakan-

mu!" sahut Silasati. "Kalau kau menuruti kemauanku, 

aku akan berterima kasih sekali kepadamu. Kau telah 

menolongku. Untuk kesekian kalinya, Pendekar Bodoh 

nyengir kuda. Sambil menggaruk-garuk pantatnya 

yang tiba-tiba terasa amat gatal, ditatapnya wajah Si-

lasati lekat-lekat. Tahulah kini Seno, di balik tatapan 

ketus Silasati tersimpan rasa takut dan kekhawatiran.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Sati? Apa 

yang telah kau katakan tadi adalah suatu kebohongan 

belaka, bukan?" selidik Seno kemudian. Terdiam Sila-

sati. Mendadak, air bening menitik dari kedua sudut 

mata putri Bancaksika itu. Kening Seno langsung ber-

kerut rapat. Si pemuda merasa heran melihat peruba-

han sikap Silasati.

"Kau menangis? Kalau ada apa-apa, aku berse-

dia menolongmu...," tawar Send, kebodoh-bodohan

"Te... terima kasih, Tuan Seno...," sambut Sila-

sati, sesenggukan. Nada bicaranya kembali menjadi 

hormat. "Kalau Tuan memang ingin menolongku, sudi-

lah Tuan mengikutiku ke Puri Dewa Langit..." 

"Itu akan menyelesaikan persoalanmu?"

Mengangguk Silasati.

"Kalau cuma itu permintaanmu, apa susahnya? 

Tapi, tidakkah kau ingin berterus terang kepadaku? 

Apa permasalahanmu sebenarnya? Ada hubungannya 

dengan Bancakluka?" desak Seno. Pemuda itu sudah 

tahu perihal pertunangan Silasati dengan Bancakluka

Silasati diam beberapa lama. Setelah menarik


napas panjang beberapa kali, dia berkata, "Itu juga 

menjadi permasalahanku. Aku jadi amat susah kare-

nanya. Tapi, sekali lagi kukatakan..., kalau Tuan me-

mang ingin menolongku, ikutlah aku ke Puri Dewa 

Langit...." 

Seno cengar-cengir lagi. Berpikir-pikir dia, dan 

menimbang-nimbang pula. Melihat raut wajah Silasati 

yang tampak begitu sedih, akhirnya dia menyanggupi 

permintaan gadis itu.

"Tunggu apa lagi? Ayolah...," ganti Pendekar 

Bodoh yang bersemangat untuk datang ke Puri Dewa 

Langit. Pendekar Bodoh benar-benar tak tahu bila ba-

haya besar telah menantikannya.

Sementara, bola mata Silasati langsung berbi-

nar. Gadis itu pun tak menyangka bila sebenarnya 

Danyangsuli punya maksud tak baik terhadap Seno 

Prasetyo!

* * *

Bersorak girang dalam hati Danyangsuli ketika 

melihat sosok Pendekar Bodoh yang datang ke hada-

pannya bersama Silasati. Begitu gembiranya dia, hing-

ga sampai beberapa lama dia cuma berdiri terpaku 

dengan bola mata berbinar-binar!

"Nyinyi! Aku telah mewujudkan apa yang kau 

inginkan...," seru Silasati. "Sekarang lepaskan penga-

ruh sihirmu pada Sadeng Sabantar, dan biarkan kami 

pergi! ingat pula janjimu, Nyinyi!"

"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli 

"Tentu! Tentu saja aku akan menepati janjiku. Kau 

memang seorang gadis yang amat penurut Sati. Nah! 

Pergilah sekarang kau cepat-cepat!"

Sambil berkata, Danyangsuli menghadapkan


kepalan tangan kanannya ke arah Sadeng Sabantar 

yang masih berdiri kaku. Dari cincin bercupu kelela-

war yang melingkar di jari tengah tangan kanan wanita 

itu keluar sebentuk kekuatan gaib yang melepaskan 

pengaruh kekuatan sihir pada diri Sadeng Sabantar. 

Maka saat itu juga, Sadeng Sabantar langsung bisa 

menggerakkan tubuhnya kembali.

"Silasati...!"

Kata itulah yang pertama kali diucapkan oleh 

Sadeng Sabantar saat dirinya telah pulih seperti sedia 

kala. Disertai luapan rasa syukur, dia meloncat ke ha-

dapan Silasati. Dipeluknya gadis itu penuh haru.

Pendekar Bodoh yang melihat kejadian itu ter-

lihat cengar-cengir. Walau masih samar-samar, tahu-

lah dia apa sebenarnya yang menjadi tujuan Silasati 

membawanya keluar dari rumah Bancakdulina.

"Hei! Kenapa tidak segera pergi? Apa kalian in-

gin melihat aku berubah pikiran?" ancam Danyangsuli 

saat melihat Sadeng Sabantar dan Silasati terus berpe-

lukan.

"Ya! Ya, Nyinyi! Kami pergi!" sahut Sadeng Sa-

bantar, menyimpan rasa takut.

Melihat wajah Danyangsuli yang menegang ga-

rang, tanpa pikir panjang lagi pemuda itu mencekal 

lengan Silasati. Lalu, diajaknya si gadis berlari-lari 

meninggalkan tempat. Sementara, Pendekar Bodoh 

masih saja cengar-cengir tanpa melakukan sesuatu.

"Ha ha ha....!" Danyangsuli tertawa bergelak la-

gi. "Selamat! Selamat berjumpa dengan Danyangsuli si 

Ratu Sihir Tercantik, Seno Prasetyo.... Selamat! Sela-

mat datang ke Kerajaan Gaib-ku, Seno Prasetyo. Se-

bentar lagi kau akan melihat kemegahan istana kera-

jaan milikku itu! Ha ha ha...!"

Mendengus gusar Pendekar Bodoh mendengar


tawa gelak Danyangsuli yang lepas berderai. 

"Hmmm....Tahulah aku sekarang..." ujarnya. "Ru-

panya, Silasati telah kau peralat, hei kau Danyangsuli 

yang mengaku bergelar Ratu Sihir Tercantik! Wajahmu 

memang amat cantik jelita. Bentuk tubuhmu memang 

amat menarik. Tapi melihat sorot matamu, aku tahu 

kau menyimpan maksud tak baik terhadapku...."

"Uts! Jangan keburu menuduh yang bukan-

bukan!" sergah Danyangsuli.

"Di antara kita tak ada silang sengketa. Tak ada 

pula utang-piutang. Tapi melihat kau memperalat Sila-

sati, rupanya kau hendak mencoba membuat urusan 

denganku. Hmmm.... Manis tutur katamu mungkin bi-

sa meredam hawa amarahku. Tapi, sikap dan tinda-

kanmu tetap tak bisa menutupi sifat jahatmu! 

Hmmm.... Kalau memang kau sengaja hendak mem-

buat urusan denganku, besok pagi datanglah ke ru-

mah Kakek Bancakdulina!" 

Usai berkata, Pendekar Bodoh membalikkan 

badan. Tenang saja dia melangkah untuk kembali ke 

rumah Bancakdulina. Mana dia mau berhadapan mu-

ka dengan seorang wanita di malam buta seperti itu?

"Tunggu!" seru Danyangsuli.

Ketika Seno menoleh, mendadak Danyangsuli 

menanggalkan bajunya, sehingga tonjolan buah da-

danya terlihat. Walau masih tertutup kain berenda pu-

tih, tapi itu sudah cukup untuk membuat darah muda 

Seno berdesir tiba-tiba.

"Ap... apa maksudmu...?" ujar Seno, sedikit ter-

gagap. 

"Kau tadi mengatakan aku cantik. Tubuhku ju-

ga menggiurkan, bukan? Tidakkah kau ingin menci-

umku? Tidakkah kau ingin memelukku? Hari sudah 

gelap, Seno. Andai kau punya kemauan, masih banyak


waktu untuk menuruti kemauanmu itu...."

Mendengar kata-kata Danyangsuli yang begitu 

menggoda, Seno malah berdiri terpaku. Mulutnya ter-

kunci rapat. Namun, bola matanya terbelalak makin 

lebar.

"Ayolah, Seno.... Segeralah mendekat...," ajak 

Danyangsuli.

Wanita itu meliukkan tubuhnya sedemikian 

rupa, hingga membuat aliran darah Seno semakin ber-

desir tak karuan. Apalagi setelah Danyangsuli turut 

membuka kain berenda yang menutupi buah dadanya 

yang montok ranum. 

Namun..., tak diduga-duga....

"Oh! Tidak! Perempuan lacur!" teriak Seno tiba-

tiba, tersadar dari godaan Danyangsuli.

Bergegas murid Dewa Dungu itu meloncat se-

bat untuk meninggalkan Danyangsuli. Tapi..., lonca-

tannya segera terhenti manakala Danyangsuli men-

dengus gusar seraya menghadapkan cincin bercupu 

kelelawarnya ke arah si pemuda.

"Kemarilah! Peluk aku! Jadilah kekasih yang 

baik!" perintah Danyangsuli yang mengandung kekua-

tan sihir.

Begitu hebatnya pengaruh sihir yang keluar le-

wat cupu cincin Danyangsuli, hingga terlihat Pendekar 

Bodoh terlongong-bengong. Lalu perlahan, si pemuda 

melangkah mendekati..., dan memeluk mesra tubuh 

Danyangsuli seraya menjatuhkan ciuman ganas di bi-

bir wanita itu....

Manakala ciuman Pendekar Bodoh beralih ke 

dadanya, Danyangsuli tertawa bergelak-gelak. "Ha ha 

ha...! Terbukti sudah ketajaman penglihatanku. Sete-

lah aku berdekatan dengannya, dia memang memiliki 

inti kekuatan tubuh yang hebat luar biasa! Ha ha ha...!


Aku akan segera mengisapnya! Ha ha ha...!"

Sementara Danyangsuli larut dalam kegembi-

raan, Pendekar Bodoh larut dalam nafsu birahi yang 

tiba-tiba menguasai jalan pikirannya. Dan tampaknya, 

tempat sepi di dekat Puri Dewa Langit itu akan segera 

menjadi ajang pelampiasan nafsu setan...


                  SELESAI


Segera terbit!!!

RAJA ALAM SIHIR


Share:

0 comments:

Posting Komentar