Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak seba-
gian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU
ARCA Dewa Langit berupa seorang lelaki berju-
bah yang berdiri dengan tangan menengadah. Di kepa-
lanya bertengger sebuah tiara bergerigi. Tinggi arca
hampir menyamai tinggi batang pohon kelapa. Tampak
gagah berwibawa manakala tersiram cahaya rembulan
malam keemasan.
Sekitar lima puluh tombak di hadapan arca
yang terbuat dari batu gunung itu terpampang sebuah
danau berair bening, terpagari beraneka jenis pohon
bunga. Danau Siani, begitu warga Suku Asantar mem-
beri nama.
Anehnya, di malam itu seorang pemuda bertu-
buh tegap tampak memanjat Arca Dewa Langit. Kedua
tangan dan kakinya terus bergerak merayap di antara
tonjolan batu arca. Pakaiannya yang berwarna hitam-
hitam membuat sosok tubuhnya sulit dilihat dari ke-
jauhan.
Sementara, sepi berkuasa penuh atas suasana
alam sekitar. Dingin membelenggu dan hendak mere-
mas tulang. Hanya suara desau angin tersahuti lolon-
gan serigala yang kadang menggetarkan gendang telin-
ga.
"Sebentar lagi.... Sebentar lagi! Rencana ini te-
lah kususun sejak lama. Aku tak boleh gagal!" kata ha-
ti pemuda yang tengah memanjat Arca Dewa Langit.
Dia berumur sekitar tiga puluh tahun. Berparas
tampan, namun ketika itu kulit wajahnya penuh co-
reng-moreng hitam karena olesan jelaga.
Manakala tubuhnya yang tegap telah berada di
atas kepala Arca Dewa Langit, si pemuda berdiri tegak
dengan tangan bersedekap. Kedua bola matanya ben
ing berkilat seperti mata elang, menatap tak berkedip
Puri Dewa Langit yang tinggi menjulang.
Letak Puri Dewa Langit dengan Arca Dewa Lan-
git dibatasi bentangan Danau Siani yang luas. Jadi, ja-
rak kedua bangunan itu terpaut cukup jauh. Dan pada
malam itu, Puri Dewa Langit yang dilamur warna hijau
lumut hanya terlihat samar-samar. Pantulan cahaya
rembulan tak sanggup menerangi, malah seperti hen-
dak membutakan mata.
Namun demikian, pemuda yang tengah berdiri
di atas kepala Arca Dewa Langit terus menatap Puri
Dewa Langit tanpa bosan. Tak peduli tiupan angin
yang kadang terasa hendak melontarkan tubuhnya.
Tak peduli pula pada kain bajunya yang mulai basah
karena terpaan kabut dingin.
Tapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian
hitam-hitam itu mengangkat kedua tangannya seperti
mengiba. Lalu, dari mulutnya terdengar rentetan kata
seperti sebuah mantra panjang..
"Aku Sasak Padempuan. Kupanggil roh para le-
luhur Suku Asantar. Gabungkan kekuatan untuk
membuat jalan menuju Puri Dewa Langit. Hom asan-
tarnas paranas... ramsas..!"
Usai berkata, pemuda yang menyebut dirinya
sebagai Sasak Padempuan itu meluruskan kedua tan-
gannya sejajar pergelangan kaki, lalu diangkat lurus ke
arah Puri Dewa Langit. Tiba-tiba, terdengar suara
mendesis seperti bara tersiram air. Dari kedua mata
Arca Dewa Langit memancar sinar merah kebiruan,
meloncat cepat ke sebuah jendela terbuka di Puri Dewa
Langit!
"Ha ha ha...!" Sasak Padempuan tertawa berge-
lak. "Kini tiba saatnya aku mewujudkan impian.
Orang-orang Suku Asantar tak akan dapat mengalah
kan ilmu sihir Sasak Padempuan! Kemenangan itu te-
lah terbentang di depan mata! Ha ha ha...!"
Sambil terus tertawa bergelak, Sasak Padem-
puan melangkah. Luar biasa! Sinar merah kebiruan
yang melesat dari mata Arca Dewa Langit mampu me-
nopang tubuh pemuda itu!
Sasak Padempuan berjalan menuju Puri Dewa
Langit tanpa kesulitan sedikit pun. Dia melewati ben-
tangan Danau Siana dengan berjalan sepuluh tombak
di atas permukaan danau itu. Sinar merah kebiruan
benar-benar telah menjadi titian yang menghubungkan
Arca Dewa Langit dengan Puri Dewa Langit!
* * *
Perkampungan Suku Asantar terasa sunyi len-
gang. Semua penghuninya sudah larut dalam buaian
mimpi. Entah karena apa tak seorang pun warga yang
masih terjaga. Padahal, beberapa orang yang mempu-
nyai kedudukan di suku itu suka tidur ketika telah da-
tang dini hari.
Sementara, di tepi aliran sungai, sekitar sepe-
minum teh perjalanan ke arah utara perkampungan
Suku Asantar, tampak seorang pemuda bertelanjang
dada tengah duduk bersemadi. Hanya pemuda itulah
yang tak terlelap dalam tidur.
Walau pantulan cahaya rembulan hanya dapat
memberi keremangan, dapatlah dilihat bila si pemuda
bertubuh padat berisi. Otot dan urat-uratnya pun ter-
lihat bertonjolan. Dia berwajah tampan dengan sepa-
sang alis tebal melintang bak sayap elang yang sedang
terbang menukik. Rahangnya yang kokoh berbentuk
persegi, seperti dapat menggambarkan sifatnya yang
keras dan amat teguh dalam memegang pendirian.
Namun, tidak seperti orang yang sedang berse-
madi pada umumnya, pemuda bercelana panjang war-
na merah itu melakukan semadi di atas rimbunan
daun pohon! Beberapa ranting kecil yang menopang
tubuhnya tak melengkung ataupun patah. Agaknya, si
pemuda memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup bi-
sa diandalkan.
Dia adalah Bancakluka, putra Kepala Suku
Asantar yang lebih dikenal dengan sebutan Baulau.
Sebagai putra Baulau Asantar, Bancakluka mempu-
nyai hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya
yang bernama Bancakdulina. Dan menurut rencana
yang telah disepakati Bancakdulina dengan seluruh
warga suku, Bancakluka akan menggantikan kedudu-
kan baulau pada malam bulan purnama depan, men-
gingat Bancakdulina sendiri sudah lanjut usia. Tapi
sebelum dilakukan upacara adat penyerahan kedudu-
kan kepala suku itu, Bancakluka wajib memperli-
hatkan kemampuan ilmu bela dirinya di hadapan selu-
ruh warga Suku Asantar.
Apabila Bancakluka dianggap kurang cakap,
maka kedudukan baulau akan digantikan warga Suku
Asantar lainnya yang dirasa lebih tinggi ilmu bela di-
rinya. Oleh karena itulah Bancakluka sejak beberapa
bulan lalu telah giat memperdalam ilmu kesaktiannya.
Kokok ayam terdengar melengking tinggi mana-
kala Bancakluka membuka kelopak mata. Tapi, dia tak
segera meloncat turun dari atas pohon. Kening si pe-
muda tampak berkerut rapat. Ada sesuatu yang mem-
buatnya terkejut.
"Astaga! Aku melihat sinar merah kebiruan me-
lesat dari mata Arca Dewa Langit. Itu sinar 'Titisan Le-
luhur'! Siapa yang berani memasuki Puri Dewa Langit?
Belum pernah aku melihat orang selancang itu. Dia
pasti punya maksud jahat. Aku harus berbuat sesua-
tu!"
Mengikuti pikiran di benaknya, bergegas Ban-
cakluka meloncat dari ranting pohon yang semula di-
jadikannya sebagai tempat bersemadi. Ringan sekali
tubuh si pemuda melayang turun. Sebelum menyentuh
permukaan tanah, dia bersalto tiga kali. Dan saat men-
jejak permukaan tanah, tiba-tiba tubuh pemuda beru-
sia dua puluh lima tahun itu berkelebat cepat. Lalu,
menghilang ditelan kegelapan malam....
* * *
Sasak Padempuan berada di bibir salah satu
jendela Puri Dewa Langit yang terbuka. Salah satu ka-
kinya telah menginjak lantai ditingkat enam. Sesaat di-
tatapnya sinar merah kebiruan yang telah digunakan-
nya sebagai titian.
"Kulepas roh para leluhur Suku Asantar. Bersa-
tulah kalian untuk membantu mewujudkan keingi-
nanku. Hom asantarnas paranas... ramsas...!"
Di ujung kalimat yang mengandung kekuatan
sihir itu, Sasak Padempuan mengangkat kedua tan-
gannya ke depan. Terdengar suara mendesis seperti
suara bara api yang tersiram air. Sinar merah kebiruan
yang memancar dari kedua mata Arca Dewa Langit
langsung lenyap!
Sasak Padempuan membalikkan badan seraya
memutar pandangan. Bola matanya tak henti bergerak
mencari sesuatu. Perlahan, kaki si pemuda pun mulai
melangkah.
Enam batang obor tampak menempel di dinding
ruangan tingkat enam Puri Dewa Langit itu. Di lantai
banyak terdapat kotak kayu berukir yang disusun rapi.
Sebagian tertutup kain beludru hitam. Dan di ruangan
yang cukup besar itu juga terdapat beraneka arca.
Semuanya berupa kepala manusia berkepala binatang.
Bibir Sasak Padempuan tersenyum senang saat
melihat sebuah kotak kecil yang menempel di dada ar-
ca manusia berkepala naga. Kotak itu penuh ukiran
indah, terbuat dari kayu hitam. Tampak berkilat ter-
timpa cahaya obor.
"Kitab Palanumsas...!" desis Sasak Padempuan.
Dengan bola mata berbinar-binar, pemuda yang
kulit wajahnya penuh jelaga itu menyambar kotak
kayu yang menarik perhatiannya. Tapi... alangkah ter-
kejutnya Sasak Padempuan. Kotak kayu berukir yang
melekat di dada arca manusia berkepala naga tak da-
pat dilepas. Melekat erat karena ada suatu kekuatan
yang menahannya!
"Hmmm.... Mana dapat kekuatan sihir orang-
orang Suku Asantar melawan keinginanku?" gumam
Sasak Padempuan.
Beberapa kali pemuda itu menarik napas pan-
jang. Sambil mundur dua langkah, dia menatap tajam
kotak kayu di hadapannya. Lalu....
"Wahai para leluhur Suku Asantar..., anak-
cucu kalian sengaja hendak menghalangi keinginanku.
Cobalah tunjukkan kekuatan. Lepaskan ikatan kotak
kayu itu! Hom asantarnas paranas..,, ramsas...!"
Ketika Sasak Padempuan menjulurkan kedua
pergelangan tangannya ke depan, mendadak arca ma-
nusia berkepala naga memancarkan sinar putih. Ber-
samaan dengan itu, kotak kayu berukir jatuh terpe-
lanting!
Tanpa pikir panjang, Sasak Padempuan me-
lompat. Tangan kanannya bergerak cekatan. Di lain
kejap, kotak kayu berukir telah berada dalam cekalan
nya.
"Kitab Palanumsas...!" desis Sasak Padempuan.
"Akan segera jadi milikku! Aku akan menjadi raja sihir
yang mempunyai empat kekuatan alam maha dahsyat!
Ha ha ha...!"
Suara tawa pemuda berpakaian hitam-hitam
itu menggema di setiap ruangan Puri Dewa Langit.
Sampai Sasak Padempuan berlari-lari menuruni tang-
ga, suara tawa si pemuda masih terus menggema pan-
jang. Agaknya, Sasak Padempuan yakin bila tidak ada
orang yang mengetahui perbuatannya. Sehingga, dia
bisa begitu bebas mengeluarkan suara tawanya yang
keras mengakak.
"Setelah kulakukan upacara persembahan, ko-
tak kayu ini pasti terbuka dengan sendirinya. Dan...,
ha ha ha...! Isi Kitab Palanumsas akan segera dapat
kupelajari! Aku akan menjadi raja dari segala raja si-
hir! Ha ha ha...!"
Begitulah, sambil terus tertawa penuh luapan
rasa gembira, Sasak Padempuan mempercepat langkah
kakinya agar segera dapat meninggalkan Puri Dewa
Langit.
Ketika sampai di lantai paling bawah, pintu pu-
ri yang terbuat dari kayu besi tebal ditendang hancur
oleh pemuda itu. Diiringi suara ledakan cukup keras,
pecahan kayu berhamburan. Bergegas Sasak Padem-
puan berlari menembus kegelapan malam. Tapi tiba-
tiba..., sesosok bayangan datang menghadang!
"Astaga!"
Berseru kaget Sasak Padempuan. Sosok bayan-
gan yang menghadang langkahnya ternyata sesosok
makhluk berwujud mengiriskan!
Makhluk itu tubuh bagian bawahnya berupa
tubuh manusia pada umumnya. Namun, si makhluk
memiliki kepala tiga! Lebih aneh lagi, ketiga kepala itu
berupa kepala naga!
"Pencuri busuk! Kembalikan pusaka Suku
Asantar itu! Cepatlah! Atau, kau ingin tulang-belulang
mu kuremukkan?!"
Mulut kepala naga yang di tengah mengelua-
rkan suara ngorok menyiratkan ancaman. Terdengar
keras menggelegar, hingga mampu merontokkan daun
pepohonan di dekat bangunan puri.
Sasak Padempuan tersurut mundur tiga lang-
kah. Cepat dia tekan rasa keterkejutannya. Mendadak,
si pemuda tertawa bergelak.
"Ha ha ha...! Rupanya, kau tak mempan 'Sihir
Penidur'-ku, Naga Kepala Tiga. Hmmm.... Jangan besar
mulut di hadapan Sasak Padempuan! Minggirlah! Kitab
Palanumsas tetap akan menjadi milikku!"
Ketiga kepala makhluk yang disebut Naga Ke-
pala Tiga tampak menjulur panjang ke depan, si mak-
hluk marah mendengar kata-kata Sasak Padempuan.
Dan, semua bola mata makhluk itu memancarkan se-
berkas sinar merah yang menebarkan hawa panas!
Segera Sasak Padempuan menyadari keadaan.
Dia tahu bila dirinya menjadi sasaran serangan. Serta-
merta si pemuda mengangkat tangan kanannya seraya
berkata....
"Gelombang angin datang menghancurkan se-
gala sesuatu! Naga Kepala Tiga terlontar dan jatuh ter-
banting! Dia tak akan pernah bangun lagi! Hom asan-
tarnas paranas... ramsas...!"
Maka, saat itu juga terdengar suara bergemu-
ruh keras. Angin puting beliung muncul, menerpa tu-
buh Naga Kepala Tiga!
***
DUA
Di dalam rumah panggung besar terbuat dari
susunan kayu jati, seekor anjing berbulu hitam tam-
pak mengendus-endus wajah seorang kakek yang ten-
gah tertidur lelap. Lidah anjing itu merah basah, se-
nantiasa bergerak menjilati pipi dan dahi si kakek.
"Huing...! Huing...! "
Anjing berbulu hitam mendengking. Lidahnya
terjulur makin panjang. Terus mengendus dan menjila-
ti wajah si kakek yang tak lain dari tuannya.
Kakek itu tengah tergolek lemah seperti sudah
tak punya nyawa. Dia mengenakan baju kuning kee-
masan. Bercelana longgar warna hijau daun. Rambut-
nya putih meletak. Namun demikian, tubuhnya masih
tampak sehat dan tegap. Dia adalah Bancakdulina,
baulau atau kepala Suku Asantar.
"Huing...! Huing...!"
Mendengking lagi anjing berbulu hitam. Karena
Bancakdulina tak segera bangun, anjing gemuk dan
bertenaga kuat itu menggigit kain baju si kakek. Lalu,
dia bergerak mundur, hingga terseretlah tubuh Ban-
cakdulina.
Bruk...!
"Uh...!"
Tak ayal lagi, tubuh Bancakdulina jatuh dari
pembaringan. Mengeluh kesakitan dia karena tulang
bahunya membentur lantai papan yang cukup keras.
Mata si kakek memicing sebentar, tapi dia segera terle-
lap kembali. Sepertinya, kepala suku itu terserang rasa
kantuk yang amat hebat.
"Huing...! Huing...!"
Anjing berbulu hitam terus mendengking
dengking. Sekali lagi, taringnya yang runcing menggigit
kain baju Bancakdulina. Diseretnya tubuh kakek itu
ke luar rumah.
Sampai di ambang pintu. Bancakdulina menge-
luh lagi. Kali ini, kelopak matanya terbuka lebar. Keti-
ka tahu tubuhnya tengah diseret anjing berbulu hitam,
tersentak kaget kepala suku itu.
"Ya, Tuhan.... Apa yang sedang kau perbuat,
Jana?" tegur Bancakdulina
"Huing...! Huing...!"
Walau tahu Bancakdulina telah tersadar, anjing
berbulu hitam yang dipanggil Jana terus mendengking.
Ganti kain celana si kakek yang digigitnya.
"Hei! Hei! Kau hendak mengajakku ke mana,
Jana?" tegur Bancakdulina lagi. "Jangan kau seret aku
seperti ini!"
Tapi, Jana tak mau peduli. Kain Bancakdulina
tetap ditarik-tariknya ke luar rumah. Terpaksa si ka-
kek mesti mengikuti.
Dan manakala Bancakdulina berjalan menuru-
ni tangga, terdengar suara kokok ayam bersahutan.
Berkerut kening Bancakdulina seketika.
"Hari hampir pagi," gumam si kakek. "Aku tak
tahu apa yang telah terjadi. Kenapa aku begitu terlelap
dalam tidur?"
Jana yang telah berada di anak tangga paling
bawah menetap lekat wajah Bancakdulina. Kepalanya
bergerak-gerak menandakan ajakan.
"Huing...! Huing...!"
"Kini aku tahu apa yang tengah kau rasakan,
Jana...," ujar Bancakdulina. "Tapi, cobalah bersikap
tenang. Melihat keadaan yang begitu sepi dan terkesan
tak wajar, seorang pasti telah menerapkan ilmu 'Sihir
Penidur'. Namun..., kenapa aku juga terkena pengaruh
ilmu itu? Padahal, aku punya sebuah ilmu penang-
kal...."
Kerut merut di kening Bancakdulina semakin
terlihat jelas. Si kakek berdiri terpaku memikirkan pe-
ristiwa yang baru dialaminya. Sementara, anjing ber-
bulu hitam Jana tampak sudah sangat tak sabaran la-
gi untuk mengajak tuannya itu ke suatu tempat.
"Ah! Kenapa Bancakluka belum juga pulang?
Berada di mana pemuda itu?" ujar Bancakdulina, me-
nanyakan putra tunggalnya.
"Huing...! Huing...!"
Mendengking lagi Jana. Kepalanya mengang-
guk-angguk. Agaknya anjing jantan bertubuh cukup
besar itu mengerti pertanyaan Bancakdulina.
"Apa? Kau tahu?" utang si kakek untuk meya-
kinkan.
"Huing...!"
Jana mengangguk lagi. Lalu, dia berlari pelan
melewati jalan yang membelah perkampungan.
"Tampaknya, anjing itu ingin menunjukkan se-
suatu yang amat penting kepadaku," gumam Bancak-
dulina. "Jana punya naluri yang kuat. Firasatnya tak
pernah salah. Aku harus mengikutinya. Barangkali
ada sesuatu yang membutuhkan pertolonganku...."
Tahu Bancakdulina mengikuti, Jana memper-
cepat larinya. Dan karena tak mau ketinggalan, Ban-
cakdulina pun harus mengeluarkan ilmu peringan tu-
buh.
Walau malam yang pekat hampir membutakan
penglihatan, Bancakdulina tak mendapat kesulitan un-
tuk terus mengikuti langkah kaki Jana. Karena, anjing
itu menoleh ke belakang berkali-kali, sehingga bola
matanya yang merah berkilat dapat memberi arah ja-
lan bagi Bancakdulina.
Sasak Padempuan menatap tak berkedip sosok
Naga Kepala Tiga yang tengah meronta-ronta melawan
putaran angin puting beliung. Kotak kayu berukir yang
baru diambil dari dalam puri dicekalnya erat-erat. Ma-
nakala tubuh Naga Kepala Tiga mulai terseret, tak ku-
asa lagi Sasak Padempuan menahan suara tawa.
"Ha ha ha...! Mana dapat kau melawan ilmu si-
hir ku, Naga Kepala Tiga? Sebentar lagi, tubuhmu pas-
ti terangkat dan terlontar jauh, lalu... jatuh terbanting-
banting! Ha ha ha...! Habislah riwayatmu dengan tu-
buh remuk redam. Sikap usilmu membuat celaka di-
rimu sendiri! Impian mu untuk menjadi baulau akan
kandas pula! Ha ha ha...!"
"Jahanam!" dengus Naga Kepala Tiga. "Kenapa
kau tega berbuat jahat seperti ini, Padempuan? Kena-
pa kau curi barang pusaka leluhur mu sendiri? Apa
kau tidak takut akan jatuhnya kutuk? Ingat! Orang
Asantar yang melanggar adat pasti mati tanpa mening-
galkan kehormatan. Tubuhnya akan hancur lebur,
hingga tak mungkin dapat disembahyangi lagi! Ingat!
Kau akan mati dengan cara seperti itu, Padempuan!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan.
"Sudah! Tak perlu banyak cakap! Melanggar adat atau
tidak, itu urusanku sendiri! Mati dengan kehormatan
atau tidak, itu tak penting bagiku! Kalau sudah mati,
mana dapat orang tahu apa yang akan terjadi pada tu-
buhnya? Ha ha ha...! Pikirkan saja keadaan dirimu
yang sudah hampir dijemput ajal itu!"
Usai berkata, pemuda berpakaian hitam-hitam
itu membalikkan badan. Namun sebelum pergi, ia me-
nyempatkan menoleh seraya berkata,
"Nikmati kematianmu, Naga Kepala Tiga. Maaf.
Aku tak bisa menemanimu. Tapi, esok hari akan ku
usahakan untuk datang pada upacara penguburan
mu...."
Menggeram marah Naga Kepala Tiga. Ketiga ke-
palanya menjulur panjang berusaha menyerang Sasak
Padempuan. Dari mulut ketiga kepala itu menyembur
gumpalan api merah menyala-nyala!
Namun, angin puting beliung ciptaan Sasak
Padempuan mampu meredam semua serangan Naga
Kepala Tiga. Bahkan, tubuh Naga Kepala Tiga terus
terseret menjauhi puri, dan... mulai terangkat dari
permukaan tanah!
"Selamat tinggal, Naga Kepala Tiga. Sayang se-
kali, kau tak akan dapat melihat Sasak Padempuan
yang akan dinobatkan menjadi baulau...."
Setelah mengucapkan kata-kata ejekan, Sasak
Padempuan berkelebat pergi. Tubuh si pemuda segera
lenyap tertelan kegelapan malam. Tapi, suara tawanya
masih terdengar sampai beberapa lama.
Tinggallah Naga Kepala Tiga yang tengah ber-
juang melawan maut. Mendadak, satu keanehan terli-
hat. Sosok makhluk itu berubah menjadi sosok pemu-
da bertubuh kekar dan berwajah tampan.
Dia Bancakluka!
"Gelombang angin datang! Bertiup dahsyat dan
mengusir marabahaya! Hom asantarnas dadaulas...
hurinas...!"
Bancakluka yang telah berubah ke wujud as-
linya menepukkan kedua telapak tangan di atas kepa-
la. Dibarengi satu ledakan keras, muncul tiupan angin
puting beliung. Namun, tiupan angin yang berputar-
putar itu segera lenyap tertelan angin puting beliung
ciptaan Sasak Padempuan!
"Ya, Tuhan...," keluh Bancakluka dalam hati.
"Pemuda jahat itu benar-benar memiliki kekuatan he-
bat. Sungguh aku tak menyangka! Uhhh...!"
Karena ilmu sihirnya tak dapat mengalahkan
ilmu sihir Sasak Padempuan, tubuh Bancakluka se-
makin terseret jauh. Dan tak lama kemudian, tubuh
putra baulau itu terangkat lebih tinggi. Jelas si pemu-
da telah berada di ambang kematian! Tapi menda-
dak....
"Gelombang angin datang! Selamatkan putra
baulau! Hom asantarnas dadaulas... hurinas...! "
Muncul tiupan angin puting beliung lagi. Na-
mun, kali ini tiupan angin itu lebih kuat dari angin cip-
taan Bancakluka. Akibatnya, dua putaran angin puting
beliung yang mempunyai kekuatan sama dahsyat ber-
benturan.
Blammm...!
Terdengar ledakan keras menggelegar. Tubuh
Bancakluka jatuh bergulingan di tanah. Walau begitu,
nyawanya malah selamat karena tubuh si pemuda tak
jadi terbawa putaran angin puting beliung ciptaan Sa-
sak Padempuan.
Suasana jadi sunyi senyap.
Tak ada lagi suara gemuruh. Putaran angin
puting beliung lenyap. Beberapa batang pohon tum-
bang. Sebagian telah terlontar entah ke mana. Permu-
kaan tanah yang semula. rata terlihat jadi banyak ku-
bangan.
Berseru girang Bancakluka melihat kedatangan
seorang kakek berambut putih meletak bersama see-
kor anjing berbulu hitam.
"Sangkuk...!" ucap Bancakluka, menyebut
panggilan seorang ayah.
"Ya, Anakku. Memang aku yang datang. Syu-
kurlah kau selamat!" sahut kakek berambut putih me-
letak yang tak lain Bancakdulina, kepala Suku Asan-
tar.
Bergegas Bancakluka bangkit. Setelah melon-
cat, si pemuda berlutut di hadapan Bancakdulina.
"Terima kasih, Sangkuk. Bancakluka berhutang
nyawa...."
"Hus! Antara orangtua dan anak, tak ada istilah
utang-piutang!" tegur Bancakdulina. "Kalau ingin ber-
terima kasih, sampaikan saja kepada Jana. Kalau tak
ada dia, mana dapat nyawamu diselamatkan?"
Bancakluka menegakkan badan seraya meng-
hampiri anjing berbulu hitam Jana. Dipeluknya anjing
itu penuh kasih.
"Terima kasih, Jana. Pasti kau yang mengajak
Sangkuk kemari.... "
"Huing...!"
Jana mendengking. Lidahnya terjulur, menjilati
dada Bancakluka. Sehingga, si pemuda merasa geli
dan tertawa mengikik.
"Kau tak apa-apa?" tanya Bancakdulina.
"Beginilah, Sangkuk. Aku tak apa-apa. Hanya
luka lecet yang tak berarti," jawab Bancakluka. "Ta-
pi...."
"Tapi apa?"
"Sasak Padempuan...."
"Kenapa dengan dia?"
"Dia mencuri salah satu pusaka leluhur."
"Apa?" kejut Bancakdulina.
"Kalau tidak salah aku melihat, kotak yang di-
curi itu pasti berisi Kitab Palanumsas!"
"Astaga! Pemuda itu bukan saja telah mem-
buatmu hampir celaka, dia juga berani melanggar atu-
ran para leluhur! Kita kejar dia! Kau masih dapat ber-
lari jauh, bukan?"
"Dapat... dapat, Sangkuk," sambut Bancakluka,
bangkit berdiri.
"Ayo, Jana! Kita kejar seorang penjahat! Cari je-
jak Sasak Padempuan!" perintah Bancakluka kepada
anjing piaraannya.
Jana yang tengah menjilati kaki Bancakluka
langsung menghentikan perbuatannya. Cepat sekali
binatang itu berlari sambil mengendus-endus permu-
kaan tanah. Bancakluka dan ayahnya segera mengiku-
ti.
***
TIGA
SEMBURAT cahaya jingga di langit timur me-
nandakan hari telah berganti. Mentari tersenyum ma-
lu-malu menampakkan wajahnya. Alam menggeliat
bangun, pagi datang menjelang.
Di dekat muara Sungai Simandau, Sasak Pa-
dempuan tampak sibuk melakukan sesuatu. Jelaga
yang mengotori wajahnya telah dibersihkan. Walau
dingin masih terasa meremas tulang, tubuh pemuda
itu bermandikan keringat. Nafasnya pun terdengar
memburu. Dia tengah berusaha keras membuka kotak
kayu berukir yang baru dicurinya dari Puri Dewa Lan-
git.
"Luar biasa! Luar biasa!" desis Sasak Padem-
puan, "Telah ku kerahkan seluruh tenaga agar dapat
membuka kotak kayu ini. Namun, hasilnya hanya sia-
sia belaka. Agaknya, aku memang harus melakukan
upacara persembahan. Ilmu sihir yang melindungi Ki-
tab Palanumsas terlalu kuat untuk dilawan..."
Sasak Padempuan menatap lekat kotak kayu
berukir di pangkuannya. Untuk beberapa lama, si pemuda berpikir-pikir lagi. Kedua ujung alisnya hampir
bertautan. Keningnya pun segera dipenuhi keringat.
"Hmmm.... Kalau melakukan upacara persem-
bahan, aku mesti menunggu sampai datangnya bulan
purnama. Selain harus menunggu beberapa hari lagi,
aku juga butuh seutas akar kelapa yang ujungnya ber-
cabang delapan dan secangkir darah kucing jantan
yang tak punya kemaluan. Uh! Betapa sulitnya meme-
nuhi kedua syarat persembahan itu.... Ah! Kenapa ko-
tak ini tidak kuhancurkan saja? Ya! Kuhancurkan sa-
ja! Kitab Palanumsas adalah benda pusaka. Tidak
akan turut hancur!"
Merasa mendapat gagasan bagus, air muka Sa-
sak Padempuan yang semula keruh langsung berubah
cerah. Dengan bola mata berbinar, pemuda berambut
ikal panjang itu meletakkan kotak kayu berukir di atas
lempengan batu. Lalu....
Blakk!
Blaakk!
Dua kali telapak tangan kanan Sasak Padem-
puan menghantam kotak kayu berukir. Namun... ko-
tak kayu yang menyimpan sebuah kitab pelajaran ilmu
sihir mana hebat itu cuma bergetar. Tak pecah atau-
pun remuk. Padahal, lempengan batu yang menopang-
nya tampak retak!
Mendengus gusar Sasak Padempuan. Ditarik-
nya napas panjang seraya mengalirkan seluruh kekua-
tan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu, dia berka-
ta....
"Demi langit yang menjadi bapakku dan bumi
yang menjadi ibuku... di mana lagi aku menaruh muka
kalau tak dapat memecahkan kotak kayu ini? Bapak
dan ibuku pasti tahu kesulitanku ini. Bantulah! Keku-
atan telah ku salurkan ke tangan kanan. Kotak kayu
pecah dan keinginanku terlaksana!"
Sembari menghembuskan udara dengan deras,
tangan kanan Sasak Padempuan terayun cepat. Saat
berkelebat, tangan si pemuda mengeluarkan suara
bergemuruh keras.
Wuusss...!
Blarr...!
Ledakan keras membahana di angkasa. Na-
mun..., tak dapat lagi digambarkan betapa terkejutnya
Sasak Padempuan. Bola mata si pemuda melotot besar
dengan mulut ternganga lebar. Tak sadar pemuda ber-
kulit sawo matang itu berdiri terpaku beberapa lama.
Lempengan batu yang menopang kayu berukir
hancur berkeping-keping. Pecahannya yang telah me-
nyerupai pasir beterbangan ke segala arah. Bumi pun
sempat bergetar kencang. Tapi, kotak kayu berukir
hanya amblas satu jengkal di bawah permukaan ta-
nah. Tetap tak pecah ataupun remuk!
"Luar biasa! Luar biasa!" seru Sasak Padem-
puan setelah menyadari keadaan. "Tak ada cara lain!
Kekuatan ilmu sihir harus dilawan pula dengan ilmu
sihir. Apa boleh buat. 'Sihir Peruntuh Gunung' akan
menyelesaikan kesulitan ini!"
Ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' adalah ilmu sihir
terhebat yang dimiliki warga Suku Asantar. Sehingga,
hanya warga Suku Asantar tertentu yang dapat men-
guasainya, walau hampir seluruh warga Suku Asantar
amat berbakat mendalami ilmu sihir.
Sampai sejauh ini, hanya ada tiga golongan Su-
ku Asantar yang dapat menguasai ilmu 'Sihir Peruntuh
Gunung'. Golongan pertama adalah keturunan baulau
atau kepala suku yang pertama, yaitu keturunan Sa-
sak Padempuan. Kedua, para ksatria Suku Asantar
yang bertugas melindungi seluruh warga suku dari serangan warga suku lainnya. Ketiga, warga suku biasa
yang memiliki peruntungan diberi kekuatan oleh Dewa
Langit. Menurut kepercayaan Suku Asantar, Dewa
Langit adalah dewa tertinggi, yang menguasai alam ba-
gian atas.
Dan, Sasak Padempuan adalah warga Suku
Asantar yang masuk golongan pertama. Oleh kare-
nanya dia dapat menguasai ilmu 'Sihir Peruntuh Gu-
nung'.
Setiap warga Suku Asantar percaya, jika ilmu
sihir itu diterapkan, sebuah gunung yang semula diam
tenang pun akan meletus dengan tiba-tiba. Bahkan,
ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' juga sanggup menaikkan
permukaan air laut, sehingga perkampungan yang be-
rada di sekitar pantai akan tenggelam.
Apabila kepercayaan itu benar, bisa dibayang-
kan kalau Sasak Padempuan mengeluarkan ilmu sihir
yang mempunyai daya penghancur dahsyat itu. Dan,
tampaknya si pemuda yang telah panas hatinya tak
mau pikir panjang lagi. Dengan kedua pergelangan
tangan dijulurkan, dia mengucapkan kata-kata untuk
membangkitkan kekuatan 'Sihir Peruntuh Gunung'....
"Aku Sasak Padempuan. Adalah keturunan
Umpak Padempuan. Para dewa di jagat raya memper-
dengarkan keinginanku. 'Sihir Peruntuh Gunung' akan
menunjukkan kehebatannya. Pecahkan kotak kayu di
hadapanku! Hom asantarnas... "
Tapi... sebelum Sasak Padempuan menyelesai-
kan kata-kata kunci ilmu sihirnya, mendadak sesosok
bayangan hitam menerkam tubuhnya dari belakang
"Hhauuung...!"
"Aargh...!"
Memekik kaget Sasak Padempuan. Tubuhnya
jatuh bergulingan di tanah berdebu. Yang menerkam
nya ternyata seekor anjing berbulu hitam pekat. Jana!
Untung, anjing itu cuma bermaksud menjatuh-
kan Sasak Padempuan. Dia tidak bermaksud menggigit
ataupun mencakar tubuh si pemuda. Namun demi-
kian, terkaman anjing itu telah menggagalkan niat si
pemuda yang hendak mengeluarkan ilmu 'Sihir Perun-
tuh Gunung'.
"Keparat kau, Anjing Buduk!"
Setelah mengumpat, Sasak Padempuan tak
mempedulikan lagi sosok Jana yang berdiri dengan
mata bersinar garang. Si pemuda memutar pandangan
untuk mencari kotak kayu hasil curiannya. Dan...,
mendidih darahnya seketika. Kotak kayu berukir su-
dah tak berada di tempatnya lagi!
Sekitar lima tombak di hadapan Sasak Padem-
puan, berdiri seorang pemuda bertelanjang dada ber-
sama seorang kakek berambut putih meletak. Mereka
tak lain Bancakluka dan ayahnya, Bancakdulina. Se-
mentara, tangan kanan Bancakluka mencekal erat ko-
tak kayu berukir yang tadi hendak dipecahkan oleh
Sasak Padempuan.
"Sasak Padempuan...," sebut Bancakdulina,
mendahului putranya berkata, "Aku tahu kau keturu-
nan keenam Umpak Padempuan. Sayang, kau tidak
memiliki sifat seperti kakek buyutmu itu. Telah bebe-
rapa kali kau berbuat merugikan orang lain. Karena
itulah warga suku tidak suka mencalonkanmu sebagai
baulau. Dan, perbuatanmu sekarang ini sudah tidak
bisa dimaafkan lagi. Mencuri pusaka leluhur adalah
dosa besar. Kau harus kutangkap untuk dihadapkan
pada Pengadilan Agung!"
"Huh!" cibir Sasak Padempuan. "Mana dapat
kau menangkapku? Walau kau baulau, kau tetap ke-
turunan warga biasa. Dan karena kau sudah tahu kalau aku keturunan Umpak Padempuan, seharusnya
kau berlutut di hadapanku, Bancakdulina! Lalu, biar-
kan aku pergi dengan membawa kotak kayu yang di-
bawa anakmu itu!"
"Keparat!" geram Bancakluka. "Berani benar
kau berkata kasar kepada seorang kepala suku. Terku-
tuk kau, Padempuan!"
Terkutuk? Ha ha ha...," Tertawa bergelak Sasak
Padempuan. "Apa itu terkutuk? Jangan berkata yang
bukan-bukan, Bancakluka! Aku tahu, jiwamu harus
diselamatkan orang tua buruk rupa itu. Dan, agar ba-
haya tak mengancam jiwamu lagi, berlututlah kau di
hadapanku. Setelah membenturkan jidatmu ke tanah
tiga kali, akan ku maafkan segala kesalahanmu. Lalu,
kau dan orang tua buruk rupa itu boleh pergi. Tapi,
kotak kayu berukir itu harus kau tinggalkan! Cepatlah!
Jangan sampai kesabaranku habis!"
"Jahanam!" seru Bancakluka. "Kata-katamu
memanaskan telinga dan hatiku. Kalau tak dapat aku
meringkusmu, malulah aku di hadapan warga suku.
Periuk di asap nan terbebat, taklah perbaiki wujud
wadah. Untuk membela martabat, darah tak sayang bi-
la ditumpah."
"Tak-lah perbaiki wadah, tapi-lah menolak pe-
riuk dibelah. Tak sayang darah ditumpah, derajat Ban-
cakluka tetap-lah setinggi tanah," sahut Sasak Padem-
puan. Bagi warga Suku Asantar, derajat setinggi tanah
adalah derajat yang paling rendah, bahkan lebih ren-
dah dari derajat seorang penjahat.
Mendengar kata-kata Sasak Padempuan, men-
didih darah Bancakluka. Namun sebelum dia berbuat
sesuatu, Bancakdulina berbisik, "Walau sudah tua,
aku masih tetap kepala suku. Biarlah aku yang me-
nangkap pemuda sombong itu."
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak lagi Sasak Pa-
dempuan. Pemuda ini sempat mendengar bisikan Ban-
cakdulina yang ditujukan kepada putranya. "Kalau
yang sudah tua masih berkeras hati bekerja peras ke-
ringat, lalu yang muda untuk apa? Apakah hanya un-
tuk menggali tanah kubur apabila yang tua sudah lagi
tak punya umur?"
"Biarkan aku...," cetus Bancakluka, tapi kali-
matnya terpotong.
"Kau minggir saja, Bancakluka. Jaga Kitab Pa-
lanumsas," ujar Bancakdulina.
"Hei! Hei!" tegur Sasak Padempuan. "Kalian se-
perti dua ekor anjing yang sedang berebut tulang. Ka-
lau memang sama-sama punya keinginan, kenapa ti-
dak maju bersamaan?"
"Jahanam! Sombong sekali kau!" seru Bancak-
luka. "Bolehlah tadi aku mengaku kalah. Tapi seka-
rang, lihat kemampuanku...!"
Bancakluka memindahkan kotak kayu berukir
ke tangan kiri. Lalu, tangan kanannya dijulurkan ke
depan, tepat menghadap dada Sasak Padempuan.
"Jerat sinar merah melumpuhkan raga. Akan
datang membuat penjahat jatuh tak berdaya! Hom
asantarnas dadaulas... hurinas...!"
Di ujung kalimat itu, mendadak dari jari-jari
tangan kanan melesat lima larik sinar merah menggi-
dikkan!
Srat...!
"Sinar merah memang datang, tapi akan menje-
rat sang empunya sendiri. Hom asantarnas paranas...
ramsas...!" seru Sasak Padempuan.
Terkejut setengah mati Bancakluka. Lima larik
sinar merah yang keluar dari jari-jari tangannya men-
dadak berbalik arah. Dan, menjerat tubuhnya sendiri.
Sehingga, kedua tangan dan kakinya tak dapat dige-
rakkan lagi!
Bruk...!
Tubuh Bancakluka yang telah kehilangan ke-
seimbangan ambruk ke tanah. Namun, kotak kayu be-
rukir tetap tercekal erat di tangan kiri.
Kejadian itu berlangsung amat cepat. Membuat
Bancakdulina tak sempat menolong putranya. Jelas
ilmu sihir Bancakluka kalah jauh dibanding ilmu sihir
Sasak Padempuan.
Maka, Bancakdulina yang telah berumur enam
puluh tahun tak mau bertindak gegabah. Cepat dia ke-
luarkan ilmu sihirnya yang terhebat untuk dapat me-
naklukkan Sasak Padempuan.
"Bila sinar merah berubah jadi baja, manusia
durjana tak akan dapat berbuat apa-apa. Hom asan-
tarnas dadaulas... uhh...!"
Kata kunci ilmu sihir Bancakdulina terpotong.
Kepala Suku Asantar itu memekik lirih. Dua ja-
rum berwarna kuning telah menancap di bahunya!
"Licik! Licik kau, Padempuan!" saru Bancakdu-
lina dengan wajah pucat-pasi.
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan.
"Untuk apa bermain ilmu sihir, Pak Tua? Kalau aku
dapat membunuhmu dengan 'Jarum Peremuk Tulang'.
Biarlah kusimpan ilmu sihir ku! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa bergelak, Sasak Padempuan me-
langkah perlahan. Dihampirinya tubuh Bancakluka
yang masih terjerat lima larik sinar merah.
Tahu Sasak Padempuan hendak mengambil ko-
tak kayu berukir, Bancakdulina menerjang. Namun...,
gerakannya terhenti di udara. Tubuh si kakek tiba-tiba
jatuh terbanting ke tanah. Racun 'Jarum Peremuk Tu-
lang' telah menghisap seluruh daya kekuatannya!
EMPAT
CUKUP lama sesosok tubuh itu mengintai dari
balik jajaran pohon bersemak-semak. Dia seorang pe-
muda bertubuh tinggi tegap, mengenakan pakaian bi-
ru-biru dengan ikat pinggang kain merah. Kulitnya pu-
tih halus, berparas tampan rupawan. Sementara, di
balik ketampanan wajahnya terpancar sinar keluguan
dan kejujuran.
Dia Seno Prasetyo atau Pendekar Bodoh! "Asta-
ga!" seru si pemuda dalam hati. "Kenapa aku jadi ter-
pukau melihat kehebatan ilmu mereka? Kakek beram-
but putih itu terkena sambitan jarum beracun! Aku
harus menolongnya!"
Murid Dewa Dungu itu dapat mendengar per-
cakapan antara Sasak Padempuan, Bancakluka, dan
Bancakdulina. Walau tidak semua kata dapat dimen-
gerti artinya, Seno bisa memastikan bila Sasak Padem-
puan adalah orang jahat yang baru mencuri suatu
benda berharga.
Dan menuruti jalan pikirannya yang ingin me-
nolong Bancakdulina, bergegas Seno meloloskan Tong-
kat Dewa Badai yang terselip di ikat pinggangnya. Ta-
pi..., seperti telah kehilangan ingatan, mendadak pe-
muda remaja itu cuma cengar-cengir dan berdiri ter-
paku.
Rupanya, Seno melihat anjing hitam Jana yang
tengah menerjang Sasak Padempuan dari belakang.
Tubuh Sasak Padempuan langsung jatuh bergulingan
di tanah karena serudukan kepala Jana tepat menerpa
punggungnya.
"Anjing buduk keparat!" geram Sasak Padem-
puan dengan sorot mata berkilat, langsung meloncat
bangkit.
"Haung...!"
Jana balas menatap. Sorot matanya tak kalah
berkilat. Melihat dua orang tuannya tergeletak tanpa
daya, amarah anjing bertubuh besar itu memuncak.
Setelah meraung panjang, dia menyeringai din-
gin memperlihatkan taring-taringnya yang runcing bak
mata panah. Sekali lagi, dia menerjang ganas. Kali ini
kedua cakarnya bergerak cepat untuk merobek-robek
tubuh Sasak Padempuan!
"Haung...!"
"Jahanam! Mati saja kau!" seru Sasak Padem-
puan seraya mengegos tubuhnya ke kiri.
Terkaman Jana tak mengenai sasaran.
Saat tubuh anjing berbulu hitam pekat itu ma-
sih melayang di udara, mendadak Sasak Padempuan
meloncat. Telapak tangan si pemuda berkelebat luar
biasa cepat, memperdengarkan suara berkesiur keras.
Lalu....
Prak...!
"Huiing,..! Huiiing...!"
Tamparan Sasak Padempuan tepat mendarat di
kepala Jana!
Pendekar Bodoh yang masih berdiri terpaku
tampak membelalakkan mata. Hatinya bergetar meli-
hat tubuh Jana yang jatuh terbanting di tanah. Sasak
Padempuan tertawa bergelak-gelak.
"Ha ha ha...! Kalau cuma anjing buduk, mana
dapat menggagalkan niatku? Nikmati kematianmu! Ha
ha ha...!"
Pemuda berambut ikal itu terus tertawa berge-
lak melihat Jana yang telah menggeliat kesakitan. Tak
lama kemudian, geliatan Jana terhenti. Bola matanya
melotot besar dengan lidah terjulur keluar. Mati!
Batok kepala anjing itu telah pecah! "Kejam se-
kali! Kejam sekali!" seru Seno tanpa sadar.
Terkesiap Sasak Padempuan mendengar seruan
murid Dewa Dungu itu. Dia mendengus gusar mana-
kala melihat sosok Pendekar Bodoh yang tengah berdi-
ri di balik semak-semak.
"Hmmm.... Rupanya masih ada binatang lain
yang minta mampus!" ujar Sasak Padempuan. "Keluar
kau, Pengintai Busuk!"
"Eh! Eh!" sahut Seno, entah apa makna uca-
pannya.
Pemuda remaja berambut panjang tergerai itu
menggaruk-garuk pantatnya yang mendadak terasa
amat gatal. Tanpa ragu-ragu, dia melangkah mendeka-
ti Sasak Padempuan.
"Hmmm.... Menilik raut wajahmu, agaknya kau
bukan warga Suku Asantar," tebak Sasak Padempuan,
keras menggeram. "Siapa kau? Kenapa ada di sini? Un-
tuk apa mengintai? Apa kau memang sudah bosan hi-
dup?"
"Uh! Panjang amat pertanyaanmu!" sungut Se-
no. "Kalau bertanya satu-satu saja! Sebentar, ya....
Kau bisa menyelesaikan urusan denganku nanti. Aku
mau menolong kakek yang kau racuni dengan sambi-
tan jarum itu terlebih dulu...."
Lugu sekali Pendekar Bodoh menganggap ben-
takan Sasak Padempuan seperti angin lalu. Tenang-
tenang saja dia berjalan mendekati tubuh Bancakduli-
na yang terbaring lemah.
Tanpa berkata apa-apa, murid Dewa Dungu itu
membuka kain baju Bancakdulina. Ketika melihat dua
titik kecil berwarna kuning di bahu si kakek, si pemu-
da menempelkan telapak tangannya di kedua tempat
itu. Dengan mengerahkan tenaga dalam yang bersifat
mengisap, Seno bermaksud mengeluarkan 'Jarum Pe-
remuk Tulang'.
Melihat perbuatan Pendekar Bodoh itu, Sasak
Padempuan cuma diam terbengong-bengong. Sikap
Pendekar Bodoh yang benar-benar amat lugu malah
membuatnya tak dapat melakukan sesuatu. Sasak Pa-
dempuan sendiri tidak tahu kenapa dia bisa membiar-
kan begitu saja perbuatan Pendekar Bodoh yang beru-
saha menyelamatkan jiwa Bancakdulina.
Dan... hanya dalam dua tarikan napas, kedua
'Jarum Peremuk Tulang' telah berhasil dikeluarkan
Seno dari bahu Bancakdulina. Sementara, Bancakdu-
lina tampak diam saja karena si kakek tengah tak sa-
darkan diri.
"Kau tak usah khawatir, Kek. Kau akan sem-
buh seperti sedia kala...," ujar Seno, seperti tak tahu
kalau Bancakdulina pingsan.
Lalu, pemuda lugu itu menempelkan batang
Tongkat Dewa Badai ke kedua bahu Bancakdulina
bergantian. Tongkat Dewa Badai yang mempunyai
khasiat memusnahkan segala jenis racun dapat men-
gisap seluruh racun yang hampir merenggut nyawa
Bancakdulina.
Batang Tongkat Dewa Badai yang semula ber-
warna putih bersih berubah kekuningan. Itu tandanya
racun yang bersarang di dalam tubuh Bancakdulina
telah berhasil diisap habis.
"Puhhh...!"
Seno meniup batang tongkat mustikanya. Dari
salah satu ujung tongkat yang runcing menyembur
asap kuning. Dan, warna Tongkat Dewa Badai kembali
putih bersih seperti semula.
"Beristirahat dulu, Kek. Aku juga harus meno-
long putramu...," ujar Seno kemudian.
Sasak Padempuan benar-benar tak habis men-
gerti melihat perlakuan Pendekar Bodoh yang dirasa
aneh. Begitu enaknya Pendekar Bodoh mengobati Ban-
cakdulina tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Se-
pertinya, Pendekar Bodoh menganggap Sasak Padem-
puan hanya sebuah patung yang tak bernyawa dan
sama sekali tak berbahaya. Padahal, sorot mata Sasak
Padempuan jelas menyiratkan kemarahan besar serta
segudang nafsu membunuh!
"Uh! Apa ini? Apa ini?" seru Seno ketika meme-
riksa keadaan Bancakluka. "Sinar merah yang menje-
rat tubuhmu ini amat aneh. Bagaimana aku harus
memutuskannya?"
Walau dalam keadaan tak berdaya, Bancakluka
tersenyum geli melihat Pendekar Bodoh yang cengar-
cengir di hadapannya.
"Kau mengerti sihir?" tanya Bancakluka. Seje-
nak, pemuda ini lupa bila Sasak Padempuan masih be-
rada tak jauh darinya.
"Memangnya kenapa?" Seno balik bertanya.
"Sinar merah yang menjeratku ini tercipta oleh
kekuatan sihir. Untuk memusnahkannya harus dila-
wan dengan ilmu sihir pula," tutur Bancakluka.
"Ooo..., begitu...," Seno melongo. Raut wajahnya
semakin tampak kebodoh-bodohan.
"Keparat!" geram Sasak Padempuan tiba-tiba,
seperti baru tersadar dari mimpi panjang.
Tak dapat lagi pemuda itu menahan hawa ama-
rah. Dia merasa tak dianggap, dan tersinggung bukan
main. Sikap serta tindakan Pendekar Bodoh memang
teramat lugu sampai berkesan tak mempedulikan ke-
beradaan Sasak Padempuan.
Sementara, Bancakluka yang mendengar kata
kotor Sasak Padempuan langsung terserang rasa khawatir hebat. Hal itu tergambar dari sorot matanya yang
berubah semakin nyalang.
Dia memandang lekat-lekat wajah Pendekar
Bodoh seakan ingin melongok isi hati pemuda remaja
itu. Melihat sinar mata Pendekar Bodoh yang tampak
amat lugu dan jujur, akhirnya Bancakluka berkata....
"Terima kasih atas pertolonganmu kepada
ayah-ku. Tapi, kau harus cepat pergi! Bawalah benda
ini. Serahkan kepada salah seorang sesepuh Suku
Asantar."
Di ujung kalimatnya, Bancakluka melepas ce-
kalannya pada kayu kotak berukir. Namun, Seno cuma
menatap kotak kayu itu tanpa berbuat apa-apa. Mem-
buat Bancakluka bertambah khawatir.
"Cepatlah pergi! Dia datang! Dia tak boleh me-
miliki benda ini!" seru Bancakluka, melihat Sasak Pa-
dempuan melangkah menghampiri.
"Biar saja dia datang. Untuk apa aku pergi? Ka-
lau berniat menolong orang, tak perlu tanggung-
tanggung...," sahut Seno, amat lugu.
"Hei kau monyet berbaju biru!" bentak Sasak
Padempuan. "Aku tak tahu kau punya ilmu apa, hing-
ga kau dapat membuatku jadi terpaku. Hmmm.... Sia-
pa kau sebenarnya, heh?!"
"Aku? Kau bertanya kepadaku?" tanya Seno,
bangkit berdiri.
"Ya! Siapa lagi kalau bukan kau, Monyet?!"
"Tapi, aku bukan monyet! Aku Seno Prasetyo,
tahu!"
Menggeram marah Sasak Padempuan melihat
tatapan tajam Pendekar Bodoh. "Hmmm.... Seno Pra-
setyo? Namamu terdengar aneh di telingaku. Pergilah!
Perbuatanmu tadi hampir membuatku melepas tangan
maut. Tetapi, aku masih bermurah hati untuk tak
membunuhmu asal kau segera enyah dari tempat ini!"
"Untuk apa aku pergi? Aku mau menolong
orang, tahu!" sahut Seno tak kalah garang, namun la-
gaknya malah terlihat seperti orang berotak amat beb-
al.
"Jahanam! Tak mau diberi hati, kau memang
lebih baik mati!"
Melihat Sasak Padempuan hendak menerjang,
Bancakluka yang tergeletak di belakang Seno berte-
riak, "Bawalah benda itu pergi! Cepat!"
Tanpa menoleh, Seno menjawab. "Tenang-
tenang sajalah. Apa kau tidak ingin melihat seorang
pencuri dihajar?"
Mendesah panjang Bancakluka mendengar
ucapan Pendekar Bodoh yang tampak begitu yakin
akan kemampuannya. Karena khawatir Sasak Padem-
puan dapat merebut Kitab Palanumsas yang tersimpan
di dalam kotak kayu berukir, putra kepala Suku Asan-
tar itu berteriak lagi.
"Jangan bodoh! Di daerah ini, ilmu sihir Suku
Asantar adalah yang terhebat! Kau akan mati konyol
bila berhadapan dengan pemuda itu! Lekaslah pergi!
Kebodohanmu bukan hanya merugikan dirimu sendiri.
Benda pusaka Suku Asantar akan hilang dicuri orang!
Bawalah pergi benda ini selagi masih punya kesempa-
tan!"
"Anjing busuk kau, Bancakluka!" sergap Sasak
Padempuan. "Kenapa mulutmu jadi begitu ceriwis? Apa
kau minta aku memperlihatkan lagi kehebatan ilmu
sihir ku, hah?!"
Bancakluka tak mempedulikan ucapan Sasak
Padempuan. Namun, jengkel dan gemas juga hatinya
melihat Pendekar Bodoh tak segera beranjak mening-
galkan tempat. Sekali lagi, dia berteriak.
"Apa kau tidak mendengar ucapanku? Jangan
bertindak bodoh! Tolong serahkan benda ini kepada
sesepuh Suku Asantar! Kau akan mendapat hadiah
besar!"
"Hus! Aku tidak memburu hadiah. Aku juga ti-
dak sedang berbuat bodoh. Walau aku dijuluki orang
Pendekar Bodoh, tapi aku tidak bodoh! Kau jangan
menyebutku 'bodoh', ya?! Tak enak didengar!"
Kata-kata Pendekar Bodoh nyerocos seenaknya.
Kesal tiada terkira Bancakluka. Memikirkan keselama-
tan Kitab Palanumsas, Bancakluka meronta-ronta se-
kuat tenaga untuk dapat melepaskan diri dari jeratan
sinar merah.
Heran bukan alang kepalang pemuda bertubuh
kekar itu. Lima larik sinar merah yang menjerat tu-
buhnya adalah ciptaannya sendiri, tapi kenapa tidak
bisa dikendalikannya lagi? Malah menjerat amat erat
sampai dia tak mampu menggerakkan tangan dan ka-
kinya sama sekali. Karena menyadari kehebatan ilmu
sihir Sasak Padempuan itulah kekhawatiran di hati
Bancakluka semakin menjadi-jadi.
"Pendekar Bodoh! Pendekar Bodoh!" teriak Ban-
cakluka, menumpahkan kekesalannya melihat perila-
ku Seno yang tampak konyol. "Dasar Pendekar Bodoh!
Walau kau berkata tidak bodoh, mana orang percaya?
Kalau kau tidak segera pergi, berarti kau memang le-
bih bodoh dari seekor kerbau!"
"Hei! Hei" tegur Seno. "Aku hendak menolong-
mu, kenapa kau malah mengataiku? Hayo! Kau diam
saja di situ! Aku akan menghajar pencuri itu!"
Seno berkata penuh keyakinan. Namun, dia ti-
dak sedang main-main atau bermaksud menyombong-
kan diri. Semua perkataannya tercetus karena sifatnya
yang amat lugu.
"Ha ha ha...!" mendadak Sasak Padempuan ter-
tawa bergelak. "Rupanya, hari ini aku telah berjumpa
dengan orang sinting. Ha ha ha...! Orang sinting hen-
dak menghajar ku? Ha ha ha...! Mana bisa? Mana bi-
sa?"
"Hah? Apa katamu? Aku sinting?" sungut Seno.
"Aku tidak sinting, Tolol!"
"Jahanam! Sinting atau tidak, agaknya aku
memang harus mengirim nyawamu ke neraka!"
Sambil menggembor keras, Sasak Padempuan
menerjang. Kedua kepalan tangannya bergerak berun-
tun untuk menonjok dada dan muka Pendekar Bodoh.
Tapi....
Bluk! Tok!
"Uh! Aduh!"
Mata Bancakluka terbelalak dalam keterpa-
naan. Walau tak dapat bergerak, pemuda itu sempat
melihat kedua tangan Pendekar Bodoh yang berkelebat
lebih cepat. Bukan saja dapat menghindari pukulan
Sasak Padempuan, Pendekar Bodoh juga berhasil
mendaratkan serangan dengan telak.
Tubuh Sasak Padempuan jatuh terbanting di
tanah. Tak dapat menahan rasa sakit, mulutnya men-
gaduh-aduh beberapa lama.
"Luar biasa! Luar biasa!" seru Bancakluka.
"He he he...," Seno tertawa terkekeh. "Kau lihat
aku menghajar pencuri itu, bukan? Perutnya telah ku-
gebuk. Kepalanya telah ku jitak. He he he.... Biar dia
tahu rasa!"
"Ya! Ya! Kau tak sebodoh yang kukira!" sahut
Bancakluka, tersenyum senang.
***
LIMA
SETAN alas!" dengus Sasak Padempuan seraya
meloncat bangkit. "Rupanya, kau sengaja menyembu-
nyikan kepandaian di balik sikap tololmu itu.
Hmmm.... Bukan keturunan Umpak Padempuan kalau
aku tak mampu meremukkan tulang-belulang mu!"
"Eh! Eh! Siapa yang menyembunyikan kepan-
daian?" sahut Seno dengan air muka polos seperti bayi
tak punya dosa. "Bukankah kau baru saja kugebuk
dan ku jitak? Aku telah memperlihatkan kepandaian.
Jangan keliru, eh... siapa ya namamu? Dan, eh... siapa
itu Umpak Padempuan?"
Mendengar kata-kata Pendekar Bodoh, makin
memuncak amarah Sasak Padempuan. Raut wajahnya
kontan menegang garang. Darahnya mendidih naik
sampai ke ubun-ubun.
Lalu sambil menghembuskan seluruh udara di
paru-parunya, pemuda berpakaian hitam-hitam itu
menerjang ganas. Pergelangan kakinya berkelebat ce-
pat untuk mendaratkan tendangan melingkar. Tentu
saja dia bergerak lebih hati-hati karena tak mau keja-
dian pada gebrakan pertama tadi terulang lagi.
"Hiaahhh...!"
Seno cuma cengar-cengir melihat tubuh Sasak
Padempuan yang melesat cepat ke arahnya. Namun
saat telapak kaki kanan pemuda itu hampir menerpa
wajahnya, bergegas Seno membuang tubuh ke kiri.
Dengan gerakan 'Kunyuk Lapar Menyambar Pi-
sang', tiba-tiba telapak tangan kiri Seno berkelebat ce-
pat sekali.
Plakkk...!
"Aduh...!"
Sekali lagi, tubuh Sasak Padempuan jatuh ter-
banting ke tanah. Kali ini si pemuda sempat merasa
pusing beberapa lama karena tamparan Pendekar Bo-
doh yang cukup keras tepat menerpa pipinya!
"Luar biasa! Luar biasa! Ilmu silat yang sangat
hebat!" seru girang Bancakluka. Andai pemuda ini ti-
dak sedang terjerat lima larik sinar merah, pastilah dia
berjingkrak-jingkrak senang melihat Pendekar Bodoh
menghajar Sasak Padempuan.
Sementara hati Bancakluka terpenuhi luapan
rasa gembira, berlawanan dengan isi hati Sasak Pa-
dempuan. Merah padam wajah Sasak Padempuan. Pipi
kanannya terasa panas luar biasa. Kepalanya pun te-
rasa amat pening, membuat pandangannya berku-
nang-kunang. Jemari tangan Pendekar Bodoh membe-
kas merah di pipi kanan pemuda itu.
"Jahanam! Keparat busuk kau, Pemuda Asing!"
maki Sasak Padempuan. "Soal ilmu silat, mungkin aku
kalah denganmu. Tapi, aku adalah keturunan Umpak
Padempuan. Ku tantang kau mengadu ilmu sihir!"
"Boleh...," sahut Seno sambil menggaruk pan-
tat.
Begitu mudahnya murid Dewa Dungu itu me-
nyambut tantangan Sasak Padempuan, padahal dia
nyaris tak paham ilmu sihir sama sekali. Dia tak tahu
bagaimana menyerang maupun menahan gempuran
ilmu sihir. Apa yang tercetus dari benak Seno hanya
karena sifatnya yang amat lugu. Begitu lugunya, sam-
pai-sampai dia belum menyadari bila Sasak Padem-
puan adalah sosok manusia kejam yang amat berba-
haya, walau beberapa saat tadi dia sempat melihat tin-
dakan licik Sasak Padempuan yang menyambitkan dua
batang jarum beracun ke bahu Bancakdulina.
Sementara, Bancakluka masih terus terba
luapan rasa gembira. Melihat dua kali Pendekar Bodoh
memukul roboh Sasak Padempuan, putra Bancakduli-
na itu jadi percaya dan amat yakin bila Pendekar Bo-
doh akan dapat mengalahkan Sasak Padempuan. Tapi,
benarkah begitu?
"Api datang? Panas membakar! Tak ada yang
sanggup menahannya! Juga, pemuda berbaju biru itu!
Hom asantarnas paranas... ramsas...!" seru Sasak Pa-
dempuan dengan kedua tangan terjulur lurus ke de-
pan.
Si pemuda lugu Seno Prasetyo masih terus cen-
gar-cengir. Dia tidak melihat adanya aliran tenaga da-
lam di pergelangan tangan Sasak Padempuan. Hingga,
dia bisa bersikap tenang. Tapi setelah melihat ujung
jemari tangan Sasak Padempuan mengeluarkan lidah-
lidah api, barulah Seno menyadari akan adanya ba-
haya.
Wesss...!
"Astaga! Aku harus melawannya dengan
'Pukulan Inti Dingin'!" cetus Seno di balik keterkeju-
tannya.
Tanpa pikir panjang, murid Dewa Dungu itu
memindahkan Tongkat Dewa Badai ke tangan kiri.
Sementara, tangan kanannya langsung dialiri kekua-
tan tenaga dalam. Hingga di lain kejap, pergelangan
tangan Seno berubah warna menjadi kuning keema-
san!
"'Pukulan inti Dingin'...!" seru Seno seraya
menghentakkan telapak tangan kanannya.
Melesat gumpalan salju berwarna kuning kee-
masan. Hawa dingin menyebar ke mana-mana. Na-
mun, mendelik mata Seno. Gumpalan salju wujud dari
'Pukulan Inti Dingin'-nya tak dapat memapaki ataupun
menahan lesatan api merah ciptaan Sasak Padempuan.
Gumpalan salju terus melesat tanpa memben-
tur apa-apa. Dan, lidah-lidah api yang tercipta dari il-
mu sihir Sasak Padempuan juga terus melesat. Hingga,
jiwa Seno dan Sasak Padempuan sama-sama dalam
bahaya!
"Keparat!" geram Sasak Padempuan sambil me-
loncat jauh ke kanan.
Pukulan jarak jauh Seno hanya menerpa ba-
tang pohon. Ledakan cukup keras terdengar. Batang
pohon sebesar dua pelukan manusia dewasa itu lang-
sung tumbang. Titik-titik salju berhamburan ke ang-
kasa. Saat jatuh turun kembali, di tempat itu bagai
terjadi hujan salju. Permukaan tanah dan air Sungai
Simandau yang semula bersih bening jadi dipenuhi ti-
tik-titik salju yang menebarkan hawa dingin menusuk.
Untuk menghindari bahaya maut, Pendekar
Bodoh berbuat serupa dengan Sasak Padempuan.
Dengan menggunakan ilmu peringan tubuh 'Lesatan
Angin Meniup Dingin', Pendekar Bodoh mampu melen-
tingkan tubuhnya seringan kapas. Selamatlah jiwanya
dari serbuan lidah api yang panas menyala-nyala.
Namun..., tanpa disadari oleh pemuda lugu itu.
Lesatan lidah-lidah api ciptaan Sasak Padempuan
mendadak terhenti di belakang tubuhnya. Lalu, mele-
sat lebih cepat untuk segera membakar tubuh Pende-
kar Bodoh!
"Awaasss...!" teriak Bancakluka, mengingatkan.
Cepat Seno menoleh. Betapa terkejutnya dia
melihat lidah-lidah api yang melesat amat cepat ke
arahnya. Namun, dia tak mau berkelit. Tongkat Dewa
Badai dikibaskan sekuat tenaga.
Wesss...!
Gelombang angin pukulan muncul bak tiupan
topan. Tapi, gelombang angin itu lewat begitu saja. Li-
dah-lidah api terus melesat tanpa tertahankan lagi!
"Celaka!" desah Seno.
Bergegas pemuda remaja itu merunduk seraya
menggulingkan tubuhnya ke tanah. Namun tak urung,
sebagian rambutnya terbakar dan menebarkan bau
sangit!
"Celaka! Bagaimana ini? Bagaimana ini? Ilmu
setan! Ilmu setan!"
Begitulah teriakan yang keluar dari mulut Pen-
dekar Bodoh. Si pemuda meloncat ke sana-sini untuk
menghindari lidah-lidah api ciptaan Sasak Padem-
puan. Untung, Pendekar Bodoh memiliki ilmu peringan
tubuh 'Lesatan Angin Meniup Dingin', hingga tak mu-
dah lidah-lidah api itu menyentuh tubuhnya. Namun
demikian, bahaya maut tetap mengintai jiwa Pendekar
Bodoh!
Wajah Bancakluka pun berubah pucat pasi me-
lihat apa yang tengah terjadi pada Pendekar Bodoh.
Dia hendak membantu memusnahkan lidah-lidah api
yang tercipta dari kekuatan ilmu sihir. Tapi, niatnya
itu tak pernah terwujud karena kedua tangan dan ka-
kinya masih terjerat sinar merah yang membuatnya
tak bisa bergerak.
Sementara, Sasak Padempuan tampak tertawa
bergelak penuh kemenangan.
"Ha ha ha...! Ilmu pukulanmu memang hebat,
Pemuda Asing! Tapi, mana mungkin dapat meredam
kehebatan ilmu sihir ku? Ha ha ha...!"
Ketika Sasak Padempuan tertawa itulah tubuh
Bancakdulina menampakkan gerakan. Setelah menge-
luh pendek, si kakek siuman!
"Sangkuk...! Sangkuk...!" teriak Bancakluka
penuh pengharapan. "Kau lihat pemuda berbaju biru
itu, Sangkuk! Dia bisa menolongmu! Kini, tolonglah
dia, Sangkuk! Dia tak mengerti ilmu sihir!"
Bancakdulina mengedarkan pandangan. Ke-
ningnya langsung berkerut rapat melihat Pendekar Bo-
doh yang tengah dikejar lidah-lidah api. Walau baru
tersadar dari pingsan, teriakan Bancakluka dapat di-
dengarnya dan dapat pula dimengerti. Merasakan te-
naganya yang sudah pulih seperti sedia kala, tahulah
si kakek bila ucapan Bancakluka memang benar. Pe-
muda baju biru yang tak lain Pendekar Bodoh pasti te-
lah menolongnya.
Maka, serta-merta Bancakdulina meloncat
bangkit seraya berteriak, "Gelombang angin membawa
api pergi. Bahaya lenyap dan takkan kembali lagi. Hom
asantarnas dadaulas... hurinas...!"
Di ujung kalimat kepala Suku Asantar itu, en-
tah dari mana asalnya tiba-tiba muncul putaran angin
puting beliung. Diiringi suara bergemuruh memekak-
kan gendang telinga, putaran angin yang tercipta dari
ilmu sihir itu menghadang lesatan lidah-lidah api yang
tengah mengejar Pendekar Bodoh,
Blarrr...! Wesss...!
Sesaat, terdengar ledakan menggelegar. Lidah-
lidah api terkurung putaran angin puting beliung, lalu
dibawa terbang ke angkasa. Dan, lenyap tanpa bekas!
Marah luar biasa Sasak Padempuan. Darahnya
yang menggelegak panas membuat mulutnya terngan-
ga dan tak dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Hanya bola matanya yang melotot besar, menatap
Bancakdulina penuh kebencian.
Sementara, Bancakdulina tak begitu memper-
hatikan pemuda itu. Si kakek menjulurkan kedua tan-
gannya ke arah Bancakluka yang masih terbaring di
tanah.
"Kekuatan hebat datang. Sinar merah lenyap.
Putra ku bebas tak terikat lagi! Hom asantarnas da-
daulas... hurinas...!"
Berseru girang Bancakluka. Lima larik sinar
merah yang menjerat tubuhnya tiba-tiba lenyap. Hing-
ga, dapatlah dia menggerakkan kedua tangan dan ka-
kinya.
"Terima kasih, Sangkuk! Terima kasih!" seru
Bancakluka seraya meloncat mendekati ayahnya.
Pendekar Bodoh cuma cengar-cengir melihat
permainan ilmu sihir Bancakdulina. Namun, di-
ucapkannya rasa syukur dalam hati karena telah ter-
bebas dari bahaya maut.
"Sangkuk, pemuda berbaju biru itu telah men-
geluarkan 'Jarum Peremuk Tulang' dari bahu Sang-
kuk," beri tahu Bancakluka. "Dia hebat. Sayang, dia
tak mengerti ilmu sihir."
Dari jarak sekitar empat tombak, Bancakdulina
menatap wajah lugu Seno. "Berdirilah di sisi ku! Di si-
tu amat berbahaya!" pintanya, berteriak keras.
Ada kekuatan aneh yang menyuruh Seno men-
ganggukkan kepala. Lalu seperti kerbau dicocok hi-
dungnya, pemuda lugu itu melangkah ke sisi kanan
Bancakdulina.
"Kotak itu!" seru Bancakluka tiba-tiba.
Rupanya, Bancakluka melihat kelebatan tubuh
Sasak Padempuan yang hendak menyambar kotak
kayu berukir yang tergeletak di tanah. Tadi, Bancaklu-
ka lupa membawa kotak kayu itu.
"Tenang saja!" sahut Pendekar Bodoh yang te-
lah menyadari keadaan.
Murid Dewa Dungu itu menghadapkan telapak
tangan kanannya ke depan. Tongkat Dewa Badai telah
diselipkan kembali ke ikat pinggangnya.
Wusss...!
Satu kekuatan tak kasat mata melesat dari te-
lapak tangan Seno. Kekuatan yang berasal dari penge-
rahan tenaga dalam tingkat tinggi itu menarik kotak
kayu berukir!
Berdecak kagum Bancakdulina dan putranya
melihat kotak kayu berisi Kitab Palanumsas melayang
sebat, lalu menempel di telapak tangan kanan Seno.
Kekaguman mereka terhadap kemampuan Seno jelas
terlihat di sorot mata.
Bertolak belakang dengan Sasak Padempuan.
Menggeram marah dia. Sambarannya hanya mengenai
angin kosong. Karena kelebatan tubuhnya diliputi ha-
wa amarah, membuat pemuda itu kurang hati-hati.
Hingga, si pemuda tak dapat lagi mengendalikan gerak
tubuhnya. Dan, jatuhlah dia terguling-guling!
Sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya
segera menyembur dari mulut Sasak Padempuan. Na-
mun dengan tenang, Bancakdulina menyahuti....
"Sasak Padempuan..., tak perlu kau teruskan
niatmu yang ingin memiliki Kitab Palanumsas. Men-
gingat kau keturunan Umpak Padempuan, bolehlah
kau kuberi ampunan atas kesalahanmu ini. Pergilah!
Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki di Perkam-
pungan Suku Asantar!"
"Sangkuk...," sergah Bancakluka. "Dia tak boleh
pergi begitu saja. Lihat itu!"
Bancakdulina mengarahkan pandangan ke
tempat yang ditunjukkan Bancakluka. Kontan bola
mata kakek yang wajahnya telah dipenuhi kerutan itu
melotot besar. Dia melihat anjing piaraannya, Jana, te-
lah mati dengan batok kepala pecah!
Dengan menarik napas panjang beberapa kali,
Bancakdulina berusaha menekan perasaan tak enak di
hatinya.
"Kau benar-benar jahat dan kejam, Sasak Pa-
dempuan...," ujar Bancakdulina kemudian. "Kau telah
membunuh anjing kesayanganku. Namun, meman-
dang muka Umpak Padempuan, bolehlah kau tetap
kuberi ampunan. Cepat pergi! Jangan sampai aku be-
rubah pikiran!"
Sasak Padempuan malah tertawa bergelak. "Ha
ha ha...! Sombong benar kau, Tua bangka! Jangan kau
kira dengan kehadiran pemuda asing itu kau dapat
mengalahkan ilmu sihir ku! Justru kaulah yang harus
pergi!"
"Keparat!" maki Bancakdulina. "Diberi hati ma-
lah menantang perkara. Terkutuk kau, Padempuan!"
"Ha ha ha...!" tawa gelak Sasak Padempuan.
"Apa guna kau turut berkata, Bancakluka? Ilmu ke-
pandaianmu hanya sejengkal. Diamlah! Tunggu saja
saat kematianmu setelah kubunuh dulu bapakmu itu!"
"Keparat!" maki Bancakluka lagi.
Pemuda bertelanjang dada itu hendak mener-
jang, namun tangan kiri Bancakdulina keburu mene-
kan bahunya.
"Biarkan aku yang memberi pelajaran pa-
danya!" bisik si kakek.
"Tapi..., dia menghinaku, Sangkuk...," tolak
Bancakluka.
"Diam kataku!" bentak Bancakdulina. "Apa kau
lupa kejadian di dekat Puri Dewa Langit tadi?"
Mendengar ucapan itu, langsung meredup sinar
mata Bancakluka. Di dekat Puri Dewa Langit, dia me-
mang hampir celaka karena tak mampu melawan ilmu
sihir Sasak Padempuan.
"Kalau kau hendak menjajal ilmu sihir ku, ku-
beri kesempatan kepadamu untuk memulai dulu!" seru
Bancakdulina.
Sasak Padempuan menatap sejenak wajah ke-
pala Suku Asantar itu, lalu....
"Kekuatan api, tanah, air, dan angin akan me-
nyatu. Tak ada satu pun kekuatan lain yang mampu
melawan! Segala...."
"Astaga!" kesiap Bancakluka di tengah-tengah
kalimat Sasak Padempuan, "Dia hendak mengeluarkan
ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung', Sangkuk!"
Bancakdulina tampak terkejut. Tentu saja si
kakek tahu bagaimana kedahsyatan ilmu 'Sihir Perun-
tuh Gunung' karena dia sendiri juga menguasai ilmu
itu. Sebelum menjadi baulau atau kepala Suku Asan-
tar, Bancakdulina adalah seorang ksatria suku. Se-
mentara, seorang ksatria adalah golongan kedua warga
Suku Asantar yang dapat menguasai Ilmu 'Sihir Perun-
tuh Gunung'.
Kedahsyatan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung'
hanya dapat dilawan dengan ilmu 'Sihir Peruntuh Gu-
nung' pula. Tapi, bentrokan dua ilmu sihir yang sama
jenis itu akan mengakibatkan ledakan dan kerusakan
hebat, Korban jiwa pasti jatuh! Memikirkan akibat itu,
Bancakdulina jadi ragu-ragu untuk mengeluarkan il-
mu 'Sihir Peruntuh Gunung'-nya. Dan keraguan dalam
diri si kakek membuatnya berdiri terpaku tanpa ber-
buat apa-apa. Padahal, bahaya besar akan segera da-
tang!
Mendadak, Bancakluka meloncat ke belakang
Pendekar Bodoh yang masih tampak tenang-tenang sa-
ja karena tak tahu apa yang akan terjadi. Bancakluka
langsung menempelkan kedua ujung telunjuk jari tan-
gannya ke pelipis Pendekar Bodoh.
"Aku mohon keluarkan lagi ilmu 'Pukulan Inti
Dingin'-mu. Kubantu kau dengan kekuatan ilmu sihir!"
bisik Bancakluka.
Walau belum tahu apa maksud Bancakluka,
Pendekar Bodoh berkata, "Ya! Ya...."
Dalam sekejap mata, pergelangan tangan ka-
nan. Seno berubah warna menjadi kuning keemasan.
Itu tandanya dia telah mempersiapkan ilmu 'Pukulan
Inti Dingin'!
"... sesuatu meledak tanpa ampun! Mereka mati
dengan tubuh hancur tercerai-berai!" seru Sasak Pa-
dempuan, lanjutan kalimatnya tadi. "Hom asantarnas
paranas... ramsas...!"
Mendadak, bumi bergetar kencang bagai terjadi
gempa hebat. Di sana-sini permukaan tanah retak.
Beberapa batang pohon langsung tumbang!
Dari jemari tangan Sasak Padempuan keluar
sepuluh larik sinar melengkung-lengkung berwarna
kuning kemerahan. Garis-Garis sinar itu langsung me-
nyerbu cepat ke depan! Sesaat, hawa udara berubah
panas membakar!
"Sekarang!" seru Bancakluka tanpa melepas
kedua telunjuk jarinya dari pelipis Seno.
"Sekarang apanya?" tanya Seno, tak mengerti.
"Keluarkan Ilmu pukulanmu itu, Tolol!" perin-
tah Bancakluka, setengah jengkel.
Pendekar Bodoh mengangguk. Telapak tangan
kanannya dihentakkan ke depan, Gumpalan salju
berwarna kuning keemasan melesat cepat, memapaki
garis-garis sinar yang keluar dari jemari tangan Sasak
Padempuan!
Wuusss...!
Blammm...!
Pendekar Bodoh, Bancakluka, dan Bancakduli-
na memekik panjang menyayat hati. Bersamaan den-
gan bongkah-bongkah batu dan gumpalan tanah yang
melayang berhamburan, tubuh mereka terlontar amat
cepat. Lalu..., tercebur ke Sungai Simandau yang cu-
kup dalam!
***
ENAM
BUMI yang berguncang dibarengi ledakan dah-
syat membuat kerusakan hebat. Permukaan air Sungai
Simandau bergolak naik, membentuk gelombang be-
sar. Hampir semua batang pohon di sekitar sungai itu
tumbang dan tercabut akarnya dari dalam tanah. Se-
bagian malah hancur luluh menjadi serbuk halus. Di
pusat ledakan terbentuk lubang amat dalam bergaris
tengah sepuluh tombak, cukup untuk menguburkan
bangkai tiga ekor gajah sekaligus!
Anehnya, walau terjadi kerusakan yang begitu
mengiriskan, tubuh Sasak Padempuan tetap berdiri te-
gak di tempatnya. Hanya saja, dia tak dapat bergerak
sedikit pun, apalagi beranjak ke tempat lain. Sekujur
tubuh pemuda itu terbungkus lapisan salju keras ber-
warna kuning keemasan. Hawa yang teramat dingin te-
lah menguras seluruh tenaganya. Ancaman kematian
mengintai karena cairan darahnya mulai membeku!
Agaknya 'Pukulan Inti Dingin' Pendekar Bodoh
yang disertai kekuatan ilmu sihir Bancakluka sanggup
mengalahkan ilmu 'Sihir Peruntuh Gunung' Sasak Pa-
dempuan. Ilmu sihir Bancakluka memang tak setinggi
ilmu sihir Sasak Padempuan. Tapi ketika digabungkan
dengan ilmu pukulan Pendekar Bodoh, ilmu sihir Ban-
cakluka berubah menjadi sebuah ilmu sihir lain yang
berkekuatan luar biasa dahsyat.
Putaran waktu berlalu menjadikan hening sua-
sana. Tak ada satwa yang berani mendekat. Hanya de-
sau angin yang kerap menepuk gendang telinga. Se-
mentara, gemericik air Sungai Simandau terdengar ba-
gai mewakili nyanyian alam yang mendendangkan lagu
duka.
Namun, aliran sungai itu segera membentuk
gelombang lagi. Sesosok tubuh muncul bersama cipra-
tan air. Rambutnya panjang terurai.
Sesosok tubuh itu lalu bergerak menepi. Sambil
berenang menepi, tangan kanannya mencekal erat se-
batang tongkat pendek berwarna putih. Dia si Pende-
kar Bodoh, Seno Prasetyo!
Manakala pemuda lugu itu tengah terbaring
dengan napas megap-megap, aliran Sungai Simandau
terbentuk dua gelombang bersamaan. Diiringi suara
berdebur, dua sosok tubuh melesat ke tepian. Mereka
Bancakluka dan ayahnya, Bancakdulina!
"Kita selamat, Sangkuk! Kita selamat!" ujar
Bancakluka di antara dengus nafasnya yang terengah-
engah.
"Di mana pemuda itu?" sahut Bancakdulina,
menanyakan Pendekar Bodoh.
Dengan napas yang masih megap-megap, Ban-
cakluka mengedarkan pandangan. Demikian pula den-
gan Bancakdulina. Ketika melihat tubuh Pendekar Bo-
doh yang terbaring tak bergerak di tanah, seperti diberi
aba-aba Bancakluka dan ayahnya merangkak meng-
hampiri bersamaan.
"Pendekar Bodoh! Pendekar Bodoh!" teriak
khawatir Bancakluka
"Uh! Siapa memanggilku?" sahut Seno seraya
bangkit duduk.
"Kau... kau tidak apa-apa, Anak Muda?" tanya
Bancakdulina.
"Tidak apa-apa bagaimana? Napas ku hampir
putus.... Untung, aku tidak mati..."
Wajah Seno menegang kaku seperti menyimpan
kejengkelan di hati. Namun mendadak, dia tertawa
terkekeh-kekeh.
"He he he.... Lihat itu! Lihat itu! Pemuda itu jadi
patung salju! He he he...."
Bancakluka dan ayahnya langsung mengarah-
kan pandangan ke arah tudingan Seno. Mereka meli-
hat tubuh Sasak Padempuan yang masih berdiri tegak
terbungkus lapisan salju kuning keemasan.
"Makan kesombonganmu itu! He he he.... Kalau
sudah begitu, kau mau apa lagi? Mau pamer ilmu sihir
lagi? Mana bisa? Mana bisa?" ujar Seno di sela suara
tawanya.
"Celaka!" desis Bancakdulina tiba-tiba, air mu-
kanya terlihat muram menyimpan rasa takut.
"Ada apa, Sangkuk?" tanya Bancakluka, tak
mengerti.
"Kalau dia mati, seluruh warga Suku Asantar
akan kejatuhan kutuk!"
"Ah! Benarkah itu?" air muka Bancakluka turut
mengeras. "Bagaimana bisa begitu, Sangkuk?"
"Seorang kepala suku termasuk keturunannya
memiliki harkat dan martabat tinggi. Dia tidak boleh
disakiti, apalagi dibunuh! Kalau ada yang berani mela-
kukannya, kutuk para dewa akan jatuh. Seluruh war-
ga Suku Asantar akan menderita!"
"Benarkah itu, Sangkuk?"
"Begitulah kepercayaan yang melekat erat di
suku kita. Kepercayaan itu telah ada jauh-jauh hari
sebelum aku lahir. Setiap orang percaya kebenaran-
nya...."
"Aku tak mengerti apa yang kalian bicara-
kan...," sela Seno. "Pemuda itu keturunan kepala su-
ku?"
Bancakdulina mengangguk. "Dia bernama Sa-
sak Padempuan, keturunan Umpak Padempuan. Se-
mentara, Umpak Padempuan adalah kepala suku per-
tama kami, yang hidup puluhan tahun silam," tutur-
nya menjelaskan.
"Ooo..., begitu.... Namun, kadang-kadang ke-
percayaan hanya tinggal kepercayaan. Belum tentu bi-
sa dibuktikan kebenarannya...," sahut Seno sambil
menggeleng-geleng. Pemuda remaja ini sudah tahu bila
Bancakdulina adalah Kepala Suku Asantar. "Kalau se-
tiap kepala suku dan keturunannya tidak boleh disaki-
ti ataupun dibunuh, kenapa pemuda itu hendak mela-
kukannya padamu dan putramu, Kek?"
"Itu karena dia jahat. Sebenarnya, dia telah la-
ma keluar dari pergaulan suku, karena tak ada orang
yang menyukainya. Mungkin dia punya dendam dan
sakit hati, sehingga ia bermaksud membuat sengsara
warga suku dengan berbuat sesuatu yang melanggar
salah satu kepercayaan...," tutur Bancakdulina.
"Ah! Begitu? Masuk akal juga. Tapi...."
"Tapi apa?" Bancakluka yang bertanya.
"Kita belum saling mengenal. Kenapa kok su-
dah akrab begini, ya...." sergap Seno, cengar-cengir.
"Eh! Ya, ya!"
"He he he.... Aku ingin bersahabat dengan ka-
lian. Tapi, kita urus dulu pemuda itu. Dia belum mati."
Di ujung kalimatnya, tiba-tiba Seno meloncat.
Ringan sekali tubuhnya melayang menempuh jarak
sekitar sepuluh tombak. Dia mendarat sigap di hada-
pan Sasak Padempuan.
Setelah cengar-cengir sejenak, murid Dewa
Dungu itu mengalirkan kekuatan tenaga dalamnya ke
tangan kiri. Dengan mengeluarkan ilmu 'Pukulan Inti
Panas', dia menghadapkan telapak tangan kirinya ke
tubuh Sasak Padempuan. Hawa panas menebar,
membuat lapisan salju yang membungkus tubuh Sa-
sak Padempuan meleleh perlahan.
Saat lapisan salju tak tampak lagi, tubuh Sasak
Padempuan jatuh terjengkang. Dan tetap tak dapat
bergerak karena kesadarannya telah lenyap. Pingsan!
"Kita hadapkan saja dia ke Pengadilan Agung.
Biar para sesepuh suku yang menjatuhkan hukuman!"
cetus Bancakdulina.
"Ya? Aku juga berpikir begitu, Sangkuk," tegas
Bancakdulina.
Seno cuma cengar-cengir.
* * *
"Dengan menumpang kapal seorang saudagar,
aku pergi ke Pulau Salyadwipa ini. Saudagar yang baik
hati itu mengaku bila dirinya salah seorang warga Su-
ku Asantar. Dia banyak bercerita tentang kehebatan
dan kekuatan ilmu sihir. Ketika dia menunjukkan sa-
lah satu kemampuannya, aku benar-benar terkejut
dan tercengang. Ilmu sihirnya memang amat hebat.
Tapi katanya, ilmu sihirnya tidak seberapa. Kalau aku
ingin melihat kekuatan ilmu sihir yang lebih hebat, dia
menyuruhku untuk datang langsung ke Perkampun-
gan Suku Asantar. Aku tertarik. Selama beberapa hari
di atas kapal, aku belajar bahasa Suku Asantar kepa-
danya...," tutur Pendekar Bodoh, menceritakan asal
mula kedatangannya.
Murid Dewa Dungu itu duduk bersila di balai-
balai rumah Bancakdulina, beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman serat pohon sejenis pohon pisang.
Bancakdulina dan Bancakluka tampak duduk bersila
pula.
Mereka bertiga telah berganti baju. Bancakdu-
lina dan putranya mengenakan pakaian putih merah
yang dihiasi sulaman benang emas. Di kepala kedua
lelaki itu terdapat topi yang terbuat dari kain merah
panjang yang dililitkan melingkar. Pendekar Bodoh
mengenakan pakaian dengan potongan serupa, tapi
berwarna putih-kuning. Rambutnya dibiarkan tergerai
panjang ke punggung.
"Saudagar itu pasti Suta Sedadang," tebak Ban-
cakdulina.
"Tepat sekali. Saudagar yang kapalnya cukup
besar dan memimpin anak buah dua puluh orang itu
memang Suta Sedadang," membenarkan Seno. "Dia
baik sekali, Kek. Hendak diantarnya aku ke Perkam-
pungan Suku Asantar ini. Dan, hendak diperkenalkan
pula aku kepada keluarganya. Hanya sayang, kapalnya
tak dapat lama-lama berlabuh. Ada barang dagangan
lagi yang harus cepat sampai ke tanah Jawa. Eh..., kok
Kakek tahu kalau saudagar itu Suta Sedadang...."
"Di antara Suku Asantar, hanya dia yang mem-
punyai kapal dan bermata pencarian sebagai peda-
gang. Kami semua di sini hidup dengan bercocok ta-
nam," jelas Bancakdulina.
"Eng.... Maaf, Seno," sahut Bancakluka. "Apa
benar kau bergelar Pendekar Bodoh?"
"Memangnya kenapa?" Seno balik bertanya.
"Ah! Tidak apa-apa. Cuma bertanya."
"Hmmm.... Bilang saja kalau gelarku terdengar
aneh. Pendekar Bodoh. He he he.... Boleh saja orang
menyebutku demikian. Kau juga boleh. Eh, kudengar
kau bergelar Naga Kepala Tiga. Benar?"
Mengangguk Bancakluka.
"Gelar yang bagus dan terdengar hebat. Tapi,
juga menimbulkan pertanyaan bagiku. Kenapa kau di-
beri gelar seperti itu? Naga Kepala Tiga. Apa kau per-
nah membunuh seekor naga berkepala tiga, sehingga
orang-orang mengabadikan kemenangan itu dengan
menyebutmu Naga Kepala Tiga?"
"Ah! Sudahlah. Aku jadi malu. Gelarku keden-
garannya memang hebat. Tapi, jelas sekali bila aku tak
sebanding denganmu, Seno...."
"Tak sebanding bagaimana?"
"Soal ilmu kepandaian, aku jauh berada di ba-
wahmu."
"Siapa bilang? Kau mahir ilmu sihir. Aku ingin
belajar darimu."
"Ah! Bukan aku menolak, Seno. Ilmu sihir ku
tidak seberapa tinggi. Kalau aku mengajarimu, aku ta-
kut akan membuat malu warga Suku Asantar. Kau be-
lajar saja pada Sangkuk. Bukan begitu, Sangkuk?"
Mendengar perkataan putranya, Bancakdulina
mengangguk. "Ilmu sihir ku juga tidak seberapa tinggi,
Seno. Tapi kalau cuma mengenalkan kepadamu apa
dan bagaimana cara menggunakan ilmu sihir, mung-
kin aku bisa mengajarimu."
"Kakek terlalu merendah. Aku tahu Kakek amat
hebat. Sungguh suatu kehormatan yang tiada terkira
apabila Kakek bersedia mengajariku ilmu sihir. Tidak
perlu sampai mendalam. Asal dapat digunakan untuk
menghalau serangan ilmu sihir jahat, aku akan senang
sekali. Barangkali saja di lain waktu aku dapat meng-
gunakannya untuk menolong kaum lemah."
"Boleh. Boleh saja," sambut Bancakdulina.
"Tinggallah beberapa hari di sini. Aku akan mengaja-
rimu bersama Bancakluka."
"Terima kasih, Kek."
Seno membungkukkan tubuh sampai dahinya
hampir menyentuh tikar. Namun cepat Bancakdulina
menepuk bahu pemuda itu untuk menyuruhnya me-
negakkan tubuh kembali.
"Kau adalah dewa penolongku, Seno. Kau telah
menyelamatkan jiwaku dan putraku. Kau juga punya
andil besar dalam menyelamatkan Kitab Palanumsas.
Oleh karenanya, tak perlu kau berlutut di hadapanku.
Kalau aku mengajarimu ilmu sihir Suku Asantar, ang-
gap saja itu sebagai balas budiku atas kebaikanmu."
"Terima kasih. Terima kasih, Kek. Sebenarnya,
aku menolong bukan untuk mengharapkan apa-apa.
Tapi...," menggantung kalimat Seno. Keningnya tam-
pak berkerut rapat.
"Tapi apa?" buru Bancakdulina.
"Kalau aku belajar ilmu sihir Suku Asantar,
apakah tidak melanggar aturan ataupun adat sini,
Kek?"
"Tidak. Semua orang yang punya maksud baik
boleh mempelajari ilmu sihir Suku Asantar," Bancak-
luka yang menjelaskan.
"Besok kau bisa mengawali latihan. Sekarang
kau beristirahatlah dulu di kamar yang sudah kuse-
diakan," sahut Bancakdulina. "Aku bersama Bancak-
luka harus mempersiapkan segala sesuatu yang ber-
kenaan dengan Pengadilan Agung. Nanti sore kau ha-
rus siap untuk menjadi saksi, Seno. Sasak Padempuan
pasti akan mendapat hukuman yang seadil-adilnya."
"Ya. Ya, Kek...," sambut Seno.
***
TUJUH
DI sebuah kamar berdinding papan berlabur
warna kuning gading, Seno duduk terpekur di hada-
pan jendela. Matanya tak berkedip menatap tangkai-
tangkai daun pohon pisang yang bergerak melambai
tertiup angin.
Murid Dewa Dungu itu duduk di kursi rotan.
Kedua tangannya menimang dua benda mustika.
Tongkat Dewa Badai dan cermin 'Terawang Tempat
Lewati Masa'.
Tanpa mengalihkan pandangan dari tangkai-
tangkai daun pohon pisang, Seno meletakkan batang
Tongkat Dewa Badai ke meja yang terletak di sisi ka-
nan jendela. Sejenak, ia menimang lagi cermin
'Terawang Tempat Lewati Masa'. Cermin ajaib milik Ra-
tu Perut Bumi itu hanya selebar telapak tangan. Ber-
bentuk persegi empat. Keempat sisinya berukir indah
seperti ukiran cermin putri istana.
"'Terawang Tempat Lewati Masa'...," gumam Se-
no. "Untung, cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi ini ti-
dak hilang ketika aku jatuh tercebur ke Sungai Si-
mandau. Untung sekali. Ya! Aku memang masih memi-
liki peruntungan bagus...."
Pemuda lugu itu tampak mengangguk-
anggukkan kepala. Kini, matanya menatap lekat cer-
min 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Lalu seperti se-
dang berhadapan dengan Ratu Perut Bumi, Seno ber-
kata....
"Dengan menggunakan kekuatan gaib cermin
ini, aku bisa mengejar Raja Penyasar Sukma yang me-
larikan diri ke masa silam, Ratu. Terpaksa aku meng-
hukum mati orang itu. Namun, maafkan aku, Ratu.
Cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa' yang Ratu pin-
jamkan kepadaku ini belum bisa kukembalikan. Aku
membutuhkannya untuk mengejar Hantu Pemetik
Bunga. Aku harus membuktikan bila ayahku bukanlah
Hantu Pemetik Bunga seperti yang dituduhkan Dewi
Pedang Halilintar. Maafkan aku, Ratu. Begitu kembali
dari Pulau Salyadwipa ini, aku pasti mengembalikan
cermin milikmu...."
Menggerigap kaget Seno saat mendengar pintu
kamar diketuk. Ketukan itu perlahan, namun cukup
mengejutkan si pemuda yang tengah melamun. Seno
menyangka yang datang adalah Bancakluka. Oleh ka-
renanya, dia berkata....
"Tidak dikunci. Masuklah...."
Perlahan, pintu terkuak. Seno menggerigap ka-
get lagi. Yang membuka pintu ternyata bukan Bancak-
luka, melainkan seorang gadis berumur sekitar dua
puluh tahun. Tubuhnya padat berisi. Berkulit kehita-
man, namun wajahnya terlihat manis sekali. Si gadis
mengenakan pakaian adat Suku Asantar berwarna
kuning-merah. Sanggulan rambutnya dihiasi selen-
dang kecil berwarna putih yang dilibatkan sebagian,
sehingga kedua ujungnya menggantung dan tampak
terayun-ayun.
"Saya boleh masuk, Tuan...?" ujar gadis itu,
masih berdiri di ambang pintu.
Seno tak langsung menjawab. Matanya mena-
tap sosok si gadis dari ujung rambut sampai telapak
kaki. Namun setelah melihat lipatan kain yang dibawa
gadis hitam manis itu, dia mempersilakan.
"Kau membawakan bajuku, bukan? Kok cepat
sekali kering? Masuklah...."
Gadis hitam manis melangkah masuk. Diletak-
kannya pakaian Seno di meja besar yang terletak di
dekat pembaringan, kemudian berkata, "Tuan Baulau
menyuruhku mengeringkan pakaian Tuan cepat-cepat.
Terpaksa saya mengeringkannya di atas bara api."
"Di atas bara api? Tidak ada yang terbakar, bu-
kan?" tanya Seno dengan raut wajah kebodoh-
bodohan.
"Tidak, Tuan. Mana saya berani merusakkan
pakaian Tuan? Tuan adalah orang yang amat baik...."
"Ah! Siapa bilang aku orang amat baik?"
"Tuan Baulau."
"Kakek Bancakdulina?"
"Ya, Tuan...."
"Eh, jangan panggil aku tuan!. Panggil saja Se-
no. Namaku Seno Prasetyo."
Gadis hitam manis tak menyahuti. Kakinya me-
langkah untuk keluar kamar. Pendekar Bodoh yang
sempat terpesona melihat penampilan gadis itu cuma
terlongong bengong.
"Nama saya Silasati. Kalau Tuan Seno membu-
tuhkan sesuatu, panggillah saya. Saya disuruh Tuan
Baulau untuk melayani semua kebutuhan Tuan...," be-
ri tahu gadis hitam manis ketika berada di ambang
pintu.
"Eh! Apa katamu? Kau disuruh melayani semua
kebutuhanku?" tanya Seno, seperti tak yakin.
Kening gadis bernama Silasati tampak berke-
rut. "Jangan salah mengerti, Tuan Seno," sergahnya.
"Saya memang disuruh melayani semua kebutuhan
Tuan. Tapi, hanya sampai pada batas-batas tertentu."
"Maksudmu?"
Kening Silasati semakin berkerut rapat. "Saya
hanya melayani kebutuhan Tuan Seno seperti me-
nyiapkan makanan, menyediakan sesuatu yang Tuan
butuhkan, dan hal-hal lain semacamnya, asal bukan
yang satu itu...."
Kening Seno turut berkerut. "'Yang satu itu'
apa, ya? Aku tak mengerti...."
"Beberapa suku lain yang berada di daerah sini
biasa menyediakan seorang wanita penghibur untuk
melayani tamu kehormatan. Tidak demikian kebiasaan
yang berlaku di Suku Asantar. Kaum wanita Suku
Asantar memiliki derajat yang sama tinggi dengan
kaum pria. Kami memiliki derajat yang sama tinggi
dengan kaum pria. Kami memiliki hak untuk menen-
tukan pilihan. Kami juga punya hak untuk menolak
sesuatu yang tidak kami inginkan...."
Seno cengar-cengir. Tak seberapa paham mak-
na ucapan Silasati. Namun, kepala si pemuda terlihat
mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Ya! Ya, Silasati.
Jangan panggil aku 'tuan'. Sekali lagi, namaku Seno
Prasetyo. Panggil saja 'Seno'."
"Ya, Bu..., eh Tuan Seno...."
"Seno' saja. Tak perlu pakai tuan'. Aku orang
miskin papa. Tak pantas dipanggil tuan!"
"Tapi, Tuan Seno adalah tamu terhormat Tuan
Baulau. Mana saya berani memanggil sembarangan?"
Seno cengar-cengir lagi. "Ya, sudahlah. Terse-
rah kau. Asal tahu saja, sebelum ini aku tak pernah
dipanggil 'tuan'. Panggilan itu membuatku risih. Aku
tak begitu suka...."
Silasati tampak tercenung sejenak. Malu-malu
dia menatap wajah lugu Seno seraya berkata, "Saya
harus pergi. Kalau ada apa-apa, panggil saja saya...."
"Ya, pergilah. Terima kasih, ya...."
Setelah Silasati menutup lagi daun pintu, Seno
langsung menyambar pakaian biru-birunya. Masih
utuh. Memang tidak ada yang terbakar. Hanya baunya
sedikit berubah. Biasanya pakaian Seno selalu menebarkan aroma harum kayu cendana, kini aroma harum
itu agak tersamar oleh bau sangit.
"Tak jadi apa. Tak jadi apa...," gumam Seno.
"Senang sekali pakaian pemberian Kakek Dewa Dungu
ini cepat kering. Aku bisa memakainya lagi."
* * *
"Berdasarkan bukti-bukti dan keterangan para
saksi, dengan ini Pengadilan Agung menyatakan Sasak
Padempuan bersalah. Dia terbukti berusaha mencuri
Kitab Palanumsas yang tersimpan di Puri Dewa Langit.
Dia telah membunuh seekor anjing kesayangan kepala
suku, Bancakdulina. Dia juga berusaha membunuh
Bancakdulina dengan 'Jarum Peremuk Tulang'. Lain
itu, dia terbukti pula berusaha membunuh Bancaklu-
ka dengan kekuatan ilmu sihirnya...," ujar seorang le-
laki tua yang menjadi hakim kepala di Pengadilan
Agung Suku Asantar. "Atas semua kesalahan itu, Pen-
gadilan Agung menjatuhkan dua hukuman kepada Sa-
sak Padempuan. Pertama, seluruh kekuatan ilmu si-
hirnya akan dilenyapkan. Kedua, dia diusir dan tidak
dianggap lagi sebagai warga Suku Asantar."
Kakek yang duduk di belakang meja panjang
itu mengangkat telapak tangan kanannya sejajar kepa-
la. Seorang pemuda bertubuh kekar, yang berdiri di si-
si kanan meja, langsung memukul tambur yang diba-
wanya tiga kali. Hal itu menandakan bila hukuman
yang dijatuhkan kepada Sasak Padempuan telah sah
dan tak dapat ditarik kembali.
"Tidak! Tidak! Jangan hilangkan ilmu sihir ku!
Siapa yang berani melakukannya akan kubunuh!" an-
cam Sasak Padempuan, keras menggelegar.
Pemuda yang tampak panik itu bergegas bangkit dari duduknya. Namun, dia tak dapat berbuat apa-
apa karena kedua tangan dan kakinya terikat tali yang
amat kuat.
Pendekar Bodoh yang telah berpakaian biru-
biru tampak duduk di bangku saksi bersama Bancak-
dulina dan Bancakluka. Mereka hanya diam tak ber-
buat apa ketika melihat Sasak Padempuan melonjak-
lonjak bagai orang kesetanan.
Sementara, lima orang sesepuh Suku Asantar
yang menjadi hakim pada Pengadilan Agung itu tam-
pak bangkit dari tempat duduknya. Dengan dipimpin
oleh hakim kepala yang berada di tengah, mereka men-
julurkan kedua tangan ke arah Sasak Padempuan.
Lalu, kakek yang berada di tengah berkata, "Pa-
ra leluhur Suku Asantar selalu menjunjung tinggi ke-
benaran dan menentang kejahatan. Hari ini Pengadilan
Agung telah menyatakan Sasak Padempuan bersalah.
Para leluhur Suku Asantar akan mencabut seluruh
kekuatan ilmu sihir pemuda itu...."
Empat kakek lainnya yang sama-sama mema-
kai jubah hitam menyambung dengan kalimat, "Hom
asantarnas salawunas.... barnas...!"
Di ujung kalimat itu, mendadak Sasak Padem-
puan menjerit parau. Sekujur tubuhnya memancarkan
sinar merah menyilaukan. Hampir semua warga Suku
Asantar yang melihat jalannya Pengadilan Agung itu
memalingkan muka karena mata mereka terasa amat
pedih.
"Wuaaahhh..,! Hentikan! Hentikaaannn...! Ku-
bunuh kalian semua! Kubunuh kalian semua...!" teriak
parau Sasak Padempuan.
Pemuda berambut ikal panjang itu terus melon-
jak dan meronta-ronta. Sinar merah yang memencar
dari tubuhnya semakin menipis. Lalu lenyap sama sekali. Bersamaan dengan lenyapnya sinar itu, lenyap
pula seluruh kekuatan ilmu sihir si pemuda!
"Hukuman kedua akan dijatuhkan.,.," ujar ha-
kim kepala.
Setelah suasana menjadi hening, kakek itu
berkata, "Kekuatan para leluhur datang kembali. Sa-
sak Padempuan terusir keluar dari Perkampungan Su-
ku Asantar...."
Empat kakek berjubah hitam langsung menya-
huti, "Hom asantarnas salawunas... barnas...!"
Saat itu juga, Sasak Padempuan menjerit lebih
panjang. Tiba-tiba, tubuhnya terbungkus sinar ber-
warna kuning. Sinar kuning itu membawa tubuh si
pemuda melayang ke utara. Melesat sangat cepat. Se-
hingga tidak sampai lima kejap mata, tubuh Sasak Pa-
dempuan sudah lenyap dari pandangan!
Semua menghela napas lega. Mendadak, Ban-
cakdulina bangkit berdiri. Setelah membungkuk hor-
mat kepada lima sesepuh suku, dia mengangkat tan-
gan kanannya tinggi-tinggi.
"Mohon perhatian...," ujar kepala suku itu.
"Saya bersyukur atas keputusan para sesepuh yang te-
lah menjatuhkan hukuman berat kepada Sasak Pa-
dempuan. Lalu setelah itu, saya selaku kepala suku
menyampaikan kabar bahwa upacara pengangkatan
kepala suku yang baru akan diajukan pekan depan.
Tepatnya, hari kedelapan purnama ini"
Ucapan Bancakdulina disambut kasak-kusuk
orang-orang yang berada di tempat itu. Namun, tidak
ada yang berani mencetuskan isi hati mereka secara
langsung.
Melihat Bancakdulina kembali duduk di kur-
sinya, satu persatu para hakim Pengadilan Agung yang
merupakan sesepuh Suku Asantar beranjak meninggalkan tempat. Warga Suku Asantar lainnya mengiku-
ti. Begitu juga dengan Pendekar Bodoh, Bancakdulina,
dan Bancakluka.
Seorang wanita berkerudung hitam tampak
berdiri tegak, menatap tak berkedip sosok Pendekar
Bodoh yang tengah berjalan diapit Bancakdulina dan
Bancakluka. Menilik tatapan si wanita yang tajam me-
nusuk, dapat dipastikan bila di dalam benaknya ter-
simpan maksud tak baik. Namun ketika sosok Pende-
kar Bodoh menghilang dari pandangan, wanita berke-
rudung hitam itu turut beranjak meninggalkan tempat.
Dia Danyangsuli, seorang ahli ilmu sihir Suku
Asantar, yang juga ahli ilmu teluh dan tenung!
Ketika hari jatuh ke pelukan senja, tanah la-
pang yang menjadi tempat dilangsungkannya Pengadi-
lan Agung Suku Asantar berubah sunyi lengang. Ke-
sunyian makin berkuasa manakala malam rebah men-
gantarkan kegelapan.
***
DELAPAN
DI sisi kanan rumah Bancakluka, berdiri ru-
mah gadang lain yang tak kalah besar. Bahkan, terli-
hat lebih bagus dan megah. Di rumah yang dilabur
warna biru laut itulah Silasati tinggal bersama kedua
orangtuanya. Sama seperti Bancakluka, Silasati juga
anak tunggal. Hanya saja, ibu Bancakluka telah me-
ninggal ketika Bancakluka berumur lima belas tahun.
Jadi, Bancakluka menempati rumahnya yang besar
hanya bersama Bancakdulina ayahnya.
Keluarga Silasati tergolong orang yang cukup
terpandang karena ayah Silasati adalah adik kandung
Bancakdulina. Sementara, Bancakdulina adalah bau-
lau atau kepala suku. Oleh sebab itulah warga Suku
Asantar juga sangat menghormati ayah Silasati yang
bernama Buncaksika. Selain itu, ayah Silasati memiliki
kekayaan melimpah berupa sawah luas dan puluhan
kerbau serta hewan ternak lainnya.
Malam itu, Silasati yang punya nama lengkap
Bancak Silasati tak dapat tidur. Hatinya gelisah tak
menentu. Bukan karena memikirkan pertemuannya
dengan Pendekar Bodoh yang lugu tapi berparas tam-
pan. Tapi, karena memikirkan saat dirinya yang telah
dijodohkan dengan Bancakluka.
Suku Asantar memang menganut perkawinan
sedarah. Sehingga, boleh-boleh saja Bancakdulina
menjodohkan Bancakluka putranya dengan Silasati
yang tak lain keponakannya sendiri.
"Dia memang baik. Dia gagah. Dia juga tampan.
Tapi..., aku tak mencintainya...," kata hati Silasati,
menerawang atap sirap rumahnya yang ditata amat
rapi.
Cukup lama gadis hitam manis itu terbaring te-
lentang. Matanya tak pernah dapat dipejamkan. Sore
tadi, Bancakdulina mengumumkan bila upacara pen-
gangkatan kepala suku baru diajukan pekan depan.
Kalau Bancakluka terpilih, maka esok harinya Silasati
akan duduk di pelaminan bersama Bancakluka.
Akan tetapi, menjadi istri Bancakluka yang
menjabat baulau atau kepala suku tidak akan menda-
tangkan kebahagiaan bagi Silasati. Karena, dia tak
pernah mencintai Bancakluka.
Sebagai warga Suku Asantar, Silasati memang
mempunyai hak untuk memilih ataupun menentukan
pasangan hidupnya. Namun, apakah dia akan tega
menghancurkan harapan kedua orangtuanya? Semen-
tara, kedua orangtua Silasati sangat berkeinginan me-
lihat anaknya menjadi istri Bancakluka.
Kenapa Silasati tidak suka dijodohkan dan
menjadi istri Bancakluka? Jawabnya sederhana saja.
Silasati telah menjatuhkan harapan hidupnya kepada
pemuda lain. Dan, pemuda itu juga sangat mencintai
Silasati. Oleh karenanya, berat bagi Silasati untuk
mengkhianati cinta pemuda tambatan hatinya itu.
Selagi Silasati merenungkan nasib cintanya,
seorang pemuda berpakaian kuning-coklat tampak
mendekati jendela. Gerakan pemuda itu tak memper-
dengarkan suara sedikit pun. Setelah berada di dekat
daun jendela, si pemuda mengetuk perlahan. Ketika
itu hari telah lewat tengah malam. Perkampungan Su-
ku Asantar sunyi-senyap seperti tak ada kehidupan di
dalamnya.
"Silasati... Silasati...," panggil si pemuda.
Terkesiap Silasati mendengar namanya disebut.
Tapi setelah mengenali warna suara si pemuda, bola
mata gadis itu langsung berbinar.
"Sadeng Sabantar...?" desis Silasati untuk
meyakinkan pendengarannya.
"Ya. Ini aku, Silasati," sebut pemuda berpa-
kaian kuning-coklat yang dipanggil Sadeng Sabantar.
Hati-hati sekali Silasati membuka daun jendela.
Tentu saja dia tak mau suara berderitnya daun jendela
membuat bangun siapa pun, apalagi kedua orangtua-
nya.
"Sadeng...," desis Sisasati.
Walau daun jendela terkuak sedikit, sinar
Sampu kamar mampu menerobos keluar. Sehingga,
terlihatlah wajah Sadeng Sabantar yang halus tampan,
berhidung mancung dan berbibir kemerahan.
"Keluarlah, Sati. Ada yang hendak kukatakan
kepadamu," sahut Sadeng Sabantar, tangannya meme-
gang erat pinggiran jendela agar tubuhnya tak jatuh.
Silasati merasa senang melihat kehadiran Sa-
deng Sabantar. Tapi, air muka gadis yang wajahnya
dihiasi lesung pipi itu terlihat keruh.
"Kalau ada orang memergoki kita, kita akan ce-
laka...," khawatir si gadis.
"Tak akan ada orang tahu, Sati. Tak perlu ta-
kut," desak Sadeng Sabantar.
Silasati tampak berpikir-pikir. Sebenarnya, dia
ingin sekali menuruti ajakan Sadeng Sabantar. Tapi
kalau kekhawatirannya menjadi kenyataan, orang te-
tap akan menuduhnya yang bukan-bukan, meskipun
dia dan Sadeng Sabantar tidak melakukan hal yang ti-
dak senonoh.
Akibatnya, dia akan dikeluarkan dari pergaulan
hidup Suku Asantar. Lebih dari itu, sebelum diusir, dia
dan Sadeng Sabantar akan dihukum cambuk seratus
kali. Begitulah aturan yang berlaku di Suku Asantar.
Memikirkan akibat itu, Silasati jadi ragu. Dia
tak dapat membayangkan betapa sedih, marah, dan
malunya kedua orangtuanya apabila dirinya sampai
menerima hukuman adat seperti itu. Silasati pun tak
dapat membayangkan rasa hati Bancakdulina dan
Bancakluka, calon mertua dan suaminya itu. Mereka
tentu amat kecewa, bahkan teramat kecewa!
"Sati! Aku tak bisa berdiri terlalu lama di sini!
Aku mau jatuh...," desak Sadeng Sabantar yang beru-
sia dua puluh tiga tahun. Pemuda ini putra kedua seo-
rang warga Suku Asantar yang cukup terpandang pu-
la.
"Aku takut...," desis Silasati, mengutarakan isi
hatinya.
"Kau tidak mencintaiku? Hatimu telah terpaut
pada Bancakluka yang calon kepala suku itu? Baiklah
kalau begitu. Aku memang tak pantas menemuimu la-
gi! Selamat tinggal, Sati. Jangan menyesal bila di hari
pernikahanmu nanti, kau melihat aku telah terbujur
kaku menjadi mayat!"
Kecewa sekali Sadeng Sabantar. Sinar matanya
langsung meredup. Raut wajahnya pun langsung men-
gelam. Seribu perasaan yang tak mengenakkan hati
memaksanya meloncat turun.
Silasati dapat merasakan kekecewaan Sadeng
Sabantar. Silasati tak dapat menipu dirinya sendiri.
Dia akan benar-benar kehilangan jika sampai Sadeng
Sabantar membuktikan kata-katanya itu.
Oleh karenanya, ketika Sadeng Sabantar baru
melangkah dua tindak untuk meninggalkan tempat,
Silasati berseru dengan suara dalam,
"Tunggu,..?"
Langkah Sadeng Sabantar terhenti.
"Aku akan ikut denganmu, Sadeng...," putus Si-
lasati.
"Kalau kau keluar dari kamarmu itu, kau harus
dapat melupakan semua yang ada di perkampungan
ini. Semuanya! Terutama perjodohanmu dengan Ban-
cakluka!" ujar Sadeng Sabantar, dengan suara dalam
pula.
"Apa maksudmu!?"
"Hal itulah yang hendak kubicarakan. Sungguh
aku sangat mencintaimu, Sati. Tak mungkin aku men-
celakakanmu, Sati. Tak mungkin aku mencelakakan-
mu. Jika kau masih mencintaiku, turunlah cepat. Tak
perlu pikir panjang lagi."
Silasati menatap lekat wajah Sadeng Sabantar.
Gadis hitam manis itu berusaha mengukur seberapa
besar cinta Sadeng Sabantar lewat sorot mata si pe-
muda.
Lalu tanpa berkata apa-apa, Silasati beranjak
keluar dari kamarnya lewat daun jendela. Setelah daun
jendela tertutupnya kembali, dia meloncat turun. Sigap
sekali Sadeng Sabantar menyambut loncatan tubuh Si-
lasati.
"Silasati.... Silasati.... aku mencintaimu...," bi-
sik Sadeng Sabantar. Hilang sudah rasa kecewanya
melihat Silasati telah memberi keputusan.
"Aku juga mencintaimu, Sadeng. Tapi..., aku
takut sekali...," ungkap Silasati.
Sadeng Sabantar tak menyahuti. Tangannya
yang kokoh menuntun Silasati untuk meninggalkan
tempat.
"Kita hendak ke mana?"
"Ada yang hendak kubicarakan kepadamu. Kita
cari tempat yang aman."
Mendengar nada ucapan Sadeng Sabantar yang
penuh keyakinan, Silasati menuruti saja ketika dirinya
diajak berjalan menembus kegelapan, lalu keluar dari
perkampungan penduduk Suku Asantar.
Sesampai di sebuah tempat terlindung pepoho-
nan, tak seberapa jauh dari Puri Dewa Langit, Sadeng
Sabantar merengkuh bahu Silasati seraya memeluknya
erat-erat.
"Silasati.... Silasati.... Aku tak mau kehilangan
dirimu. Aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Aku mencin-
taimu, Sati. Sungguh aku mencintaimu...."
Silasati tak menyahuti. Dia pun balas meme-
luk. Hawa dingin malam tak terasa lagi. Kehangatan
mengalir dari dada bidang Sadeng Sabantar. Lebih-
lebih lagi, kehangatan cinta si pemuda membuatnya
amat bahagia. Dan, kebahagiaan itu benar-benar
membuatnya terlena.
"Sati..., katakan sekali lagi. Kau pun mencin-
taiku, Sati...."
Silasati tak menjawab.
Sadeng Sabantar merenggangkan pelukannya.
"Katakan, Sati. Kau pun mencintaiku!"
"Ya. Ya, Sadeng. Aku mencintaimu...."
Bola mata Sadeng Sabantar langsung berbinar-
binar. Bahagia sekali dia memeluk tubuh sintal Silasa-
ti. Silasati pun balas memeluk lagi. Mereka nikmati
benar kebahagiaan itu dengan saling memeluk dan te-
rus memeluk, seakan tak mungkin ada kekuatan lain
yang mampu memisahkan mereka.
Dan... bagaimanapun, persentuhan kulit dua
anak manusia berlainan jenis yang saling mencinta, di
malam yang dingin dan sepi, selalu bisa mengundang
godaan setan. Apa yang terjadi pada Sadeng Sabantar
dan Silasati pun sudah dapat ditebak. Begitu pelukan
mereka merenggang, mereka saling cium..., saling me-
numpahkan hasrat cinta mereka. Lalu, persentuhan
bibir yang hangat penuh kenikmatan membuat mereka
semakin terlena. Jangkerik yang tengah mengerik
langsung terdiam manakala Sadeng Sabantar memba-
ringkan tubuh Silasati di atas rumput tebal.
Mereka saling cium lagi. Jemari tangan Sadeng
Sabantar turut bergerak nakal. Ditelusurinya setiap
lekuk liku tubuh Silasati dengan rabaan-rabaan pa-
nas. Namun, sejenak si pemuda menghentikan perbua-
tannya.
"Sati..., kau sudah tahu kalau pemilihan kepala
suku diajukan minggu depan. Hari pernikahanmu
dengan Bancakluka diajukan minggu depan. Hari per-
nikahanmu dengan Bancakluka semakin dekat. Aku
tak mau kehilangan dirimu, Sati. Kau milikku! Apa
pun yang terjadi, kau harus tetap jadi milikku!"
Silasati tak dapat menyahuti karena jemari
tangan Sadeng Sabantar mulai bergerak nakal lagi. Ge-
rakan jemari yang bergetar itu membuat aliran darah-
nya berdesir tak karuan. Apalagi, setelah bibir Sadeng
Sabantar ikut mengulum dan melumat bibirnya. Tak
kuasa Silasati menolak ketika Sadeng Sabantar mem-
bukai kancing bajunya....
***
SEMBILAN
SEPASANG kaki itu melangkah... perlahan na-
mun pasti. Gelap malam tak menjadi penghalang. Te-
rus melangkah seirama detak jantung pemiliknya.
Dia seorang wanita berwajah cantik jelita dan
bertubuh montok menggiurkan. Rambutnya yang pan-
jang dijepit ke atas dengan penjepit emas. Kesempur-
naan sosok wanita itu semakin terlihat karena ia men-
genakan pakaian merah gemerlap, tak kalah bagus di-
banding dengan pakaian seorang ratu. Sayangnya, so-
rot mata wanita itu amat tajam menusuk, sanggup
menciutkan nyali siapa saja yang berhadapan dengan-
nya.
Di tengah sepi membisu, sepasang kaki putih
mulus milik wanita itu terus melangkah. Ringan sekali
menjejak tanah. Tak terdengar suara sedikit pun walau
berkali-kali menginjak patahan ranting dan dedaunan
kering.
Setelah melewati rimbunan pohon di tepi sun-
gai, sepasang kaki si wanita mulai menapaki jalan kecil
yang menuju ke Puri Dewa Langit. Ya! Menuju ke Puri
Dewa Langit! Memang ke situlah tujuannya! Tapi, bu-
kan kemegahan bangunan itu yang menarik perhatian
si wanita, melainkan sesuatu yang tengah terjadi di
dekatnya!
Sementara, Sadeng Sabantar dan Silasati tak
tahu sedikit pun bila ada orang yang sedang berjalan
mendekati. Mereka benar-benar telah terbuai oleh
nikmatnya permainan asmara. Buaian itu begitu mele-
nakan, sehingga tak terpikir oleh Sadeng Sabantar dan
Silasati bila bahaya besar akan datang. Dan..., bahaya
itu akan segera menjadi kenyataan manakala....
"Sadeng...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar. Kesu-
nyian malam yang semula hanya digeluti desah napas
Sadeng Sabantar dan Silasati jadi terkoyak pecah. Tak
dapat lagi digambarkan betapa terkejutnya kedua anak
manusia yang tengah asyik masyuk itu.
Tanpa sadar Sadeng Sabantar melepas pelu-
kannya seraya meloncat tinggi ke udara. Silasati men-
jerit kaget dengan bola mata terbelalak lebar. Dia pun
meloncat berdiri. Tak menyadari bila keadaan tubuh-
nya hampir telanjang!
Sampai beberapa tarikan napas, Sadeng Saban-
tar dan Silasati berdiri terpaku di tempatnya. Mata me-
reka sama-sama menatap sosok wanita berpakaian
merah gemerlap. Wanita berusia tiga puluh tahun itu-
lah yang tadi mengeluarkan suara bentakan.
"Danyangsuli...," desis Sadeng Sabantar dan Si-
lasati, hampir bersamaan.
Wanita berpakaian merah gemerlap yang me-
mang Dayangsuli terlihat geleng-geleng kepala. Dari ja-
rak sekitar tiga depa, ditatapnya wajah Sadeng Saban-
tar dan Silasati bergantian. Lalu dengan suara dalam,
dia berkata, "Kalian baru saja berbuat apa yang seharusnya tidak boleh kalian perbuat. Kalian baru saja
melanggar apa yang sebenarnya tidak boleh kalian
langar. Tapi walau telah begitu rendah moral kalian,
apakah kalian tetap akan membiarkan anggota tubuh
kalian yang terlarang dilihat orang?"
Sekali lagi, Sadeng Sabantar dan Silasati meng-
gerigap kaget. Kata-kata Danyangsuli menyadarkan bi-
la mereka tengah berdiri dengan tubuh nyaris telan-
jang. Oleh karenanya, tanpa pikir panjang mereka me-
loncat dan menyambar pakaian mereka yang bercece-
ran di tanah.
"Oh, Dewa-dewa di langit sana.... Apa yang ba-
ru kuperbuat...?" desah Silasati dengan raut wajah pu-
cat pasi. Menyadari kekhilafannya, perlahan air mata
mulai menitik jatuh, membasahi pipinya yang halus.
Walau belum mengenakan pakaian pelengkap-
nya, putri Bancaksika itu berlari cepat untuk mening-
galkan tempat. Rasa malu dan takut terbayang jelas di
matanya. Namun belum genap kakinya melangkah se-
puluh tindak, Danyangsuli berteriak lantang....
"Hei! Mau lari ke mana kau?!"
Sambil berteriak, Danyangsuli menggerakkan
telapak tangan kanannya ke depan. Satu kekuatan tak
kasat mata melesat. Memekik kecil Silasati saat mera-
sakan tubuhnya terseret lalu jatuh telentang di hada-
pan Danyangsuli.
"Bila kau lari, kau justru akan mendapat cela-
ka! Tidak sadarkah kau bila aku adalah saksi perbua-
tan tak terpujimu? Kalau aku melapor pada Baulau
Bancakdulina ataupun kepada Bancaksika ayahmu,
hukuman apa yang akan kau terima? Kau sudah tahu,
bukan? Kau baru saja berbuat tak senonoh dengan
seorang pemuda yang bukan suamimu. Kau akan di-
hukum cambuk seratus kali! Kau pun akan diusir! Ingat! Dan..., kekasihmu yang bernama Sadeng Sabantar
itu mana bisa lolos dari tangan maut Bancakluka, Sa-
ti? Dia akan dibunuh Bancakluka untuk melam-
piaskan kekecewaannya! Bukankah kau tunangan
Bancakluka, Sati?"
Mendengar rentetan kata yang cukup panjang
itu, rasa takut semakin membayang di mata Silasati.
Tampak amat panik dia saat bangkit seraya merang-
kak dan mencium kaki Danyangsuli.
"Jangan...! Jangan... katakan pada siapa-
siapa...," pinta si gadis dengan air mata terus bercucu-
ran. "Aku mohon, Nyinyi. Aku mohon... jangan katakan
pada siapa-siapa...."
Silasati menyebut Danyangsuli 'nyinyi' karena
'nyinyi' adalah kata sebutan yang diperuntukkan bagi
seorang wanita yang dihormati. Sementara, Danyang-
suli yang mendapat sebutan itu malah tersenyum si-
nis. Tangannya bergerak menjambak rambut Silasati.
Wajah si gadis ditengadahkannya.
"Silasati..., adat Suku Asantar amat keras. Sia-
pa pun yang berani melanggarnya akan mendapat hu-
kuman berat. Tak peduli siapa pun dia. Tak peduli dia
anak orang terpandang, sesepuh suku, ataupun bau-
lau. Seringkali kenikmatan harus ditebus dengan pen-
deritaan, Silasati. Kau baru saja merasakan kenikma-
tan. Tapi sayang, kenikmatan itu kau peroleh dengan
cara melanggar aturan adat suku kita. Oleh kare-
nanya, kau pantas mendapat siksa dan penderitaan..."
"Oh...! Jangan! Aku mohon jangan katakan pa-
da siapa-siapa, Nyinyi...," pinta Silasati lagi.
"Kalau aku tak mau?" Geleng-geleng kepala lagi
Danyangsuli. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum
sinis.
Semakin memucat wajah Silasati. Bayangan
buruk berkelebatan di benaknya. Dengan suara serak
parau, dia berkata, "Aku mohon.... Atau... bunuh saja
aku...."
"Hmmm.... Tak semudah itu, Sati. Kalau aku
membunuhmu, sama halnya aku menyimpan gumpa-
lan api di dalam saku. Api itu akan membuatku cela-
ka. Tentu saja aku tak mau hal itu terjadi. Lebih baik
aku laporkan saja perbuatanmu ini kepada Baulau
Bancakdulina...."
Danyangsuli melepas cekalannya pada rambut
Silasati. Dan pada saat tubuh Silasati jatuh ke tanah,
mendadak Sadeng Sabantar yang telah selesai merapi-
kan bajunya meloncat mendekati.
"Tidak ada orang yang tahu perbuatanku ber-
sama Silasati! Bukankah aku bisa membunuhmu, Pe-
rempuan Keparat?!"
Usai mengucapkan kalimat itu, Sadeng Saban-
tar menerjang ganas. Sebilah pisau bergagang bengkok
mirip badik meluncur cepat untuk menusuk jantung
Danyangsuli!
Wuttt...!
Tenang-tenang saja Danyangsuli memiringkan
tubuhnya. Saat pisau Sadeng Sabantar lewat di depan
dada, wanita bertubuh amat menggiurkan itu mengge-
rakkan kedua tangannya. Tangan kiri digunakan un-
tuk memukul siku Sadeng Sabantar. Dan, yang kanan
bergerak cepat menangkap pisau Sadeng Sabantar
yang lepas dari cekalan.
"Kau gagal, Sadeng!" cibir Danyangsuli. "Coba-
lah sekali lagi kalau kau berani!"
Menggeram marah Sadeng Sabantar. Tertimpa
cahaya rembulan, bola mata pemuda bertubuh tegap
itu tampak berkilat.
Tak satu pun warga Suku Asantar yang tak
mengenal Danyangsuli. Demikian juga dengan Sadeng
Sabantar. Dia tahu bila Danyangsuli adalah ahli sihir
yang juga pandai ilmu tenung. Hampir tak ada orang
yang dapat menyamai keahlian Danyangsuli. Oleh ka-
renanya, seluruh warga Suku Asantar amat menaruh
hormat kepada wanita itu, termasuk Baulau Bancak-
dulina.
Namun demikian, Sadeng Sabantar menatap
wajah Danyangsuli penuh nafsu membunuh. Rasa ta-
kut yang berkuasa dalam hatinya mencetuskan niat
jahat. Hingga tampak kemudian, Sadeng Sabantar me-
loncat menerkam. Kedua tangannya terjulur untuk
mencekik leher Danyangsuli!
"Mati kau...!"
Melihat serangan Sadeng Sabantar yang tak
mencerminkan gerakan ataupun jurus silat, Danyang-
suli tersenyum mengejek. Ketika tubuh Sadeng Saban-
tar masih melayang di udara, cepat sekali tangan ka-
nan wanita itu bergerak!
Brett...! Brettt...!
"Sadeng...!"
Menjerit khawatir Silasati. Walau gelap malam
menghalangi pandangan, dia dapat melihat pisau di
tangan Danyangsuli yang berkelebat di dada dan perut
Sadeng Sabantar.
Namun, Silasati dapat pula menghirup napas
lega. Pisau di tangan Danyangsuli hanya mengoyak-
ngoyak kain baju Sadeng Sabantar. Danyangsuli tak
bermaksud membunuh pemuda itu.
"Aku masih mau bermurah hati kepadamu, Sa-
deng...," ujar Danyangsuli. "Seperti halnya dengan Si-
lasati, kau tentu telah tahu akibat apa yang akan sege-
ra kau terima. Setelah para sesepuh suku menjatuh-
kan hukuman, bersiap-siaplah kau untuk menerima
kematianmu di tangan Bancakluka!"
"Jahanam!" geram Sadeng Sabantar, menahan
rasa sakit di siku kanannya. "Tak ada yang akan
menghukumku karena tak ada yang melaporkan per-
buatanku! Kematian yang akan membungkam mulut-
mu!"
Di ujung kalimatnya, Sadeng Sabantar mener-
jang lebih nekat. Tubuhnya melesat dengan kaki ka-
nan terjulur lurus. Walau tendangan pemuda itu
hanya mengandalkan tenaga luar, tapi karena dilan-
carkan dengan sekuat tenaga, maka cukuplah berba-
haya bila mengenai sasaran dengan telak.
"Rupanya, aku harus menjatuhkan hukuman
dulu kepadamu!" dengus Danyangsuli.
Pelan saja wanita berwajah amat menarik itu
menggerakkan kedua tangannya. Namun, akibatnya
sungguh tak pernah disangka oleh Sadeng Sabantar.
Plak! Des!
"Uh! Aduh...!"
Diiringi pekik kesakitan, tubuh Sadeng Saban-
tar jatuh terbanting ke tanah. Tapi mengingat huku-
man berat yang akan dijatuhkan sesepuh suku, dia ja-
di kalap. Bergegas dia bangkit. Sepuluh jari tangannya
terkepal kuat. Siap menghujani tubuh Danyangsuli
dengan pukulan beruntun.
Akan tetapi, serangan pemuda itu sama sekali
tak membuat repot Danyangsuli. Sengaja Danyangsuli
bergerak meliuk-liuk beberapa saat untuk memperli-
hatkan keindahan tubuhnya. Dan selagi Sadeng Sa-
bantar digeluti rasa kesal bercampur penasaran dan
hawa amarah, Danyangsuli melompat tinggi ke udara.
Secepat kilat ujung jari telunjuk tangan kanannya me-
luncur. Tepat menotok ubun-ubun Sadeng Sabantar!
Tuk!
"Wuah...!"
"Sadeng...!" Jerit Silasati, penuh kekhawatiran.
Serta-merta gadis hitam manis itu meloncat seraya
memeluk tubuh Sadeng Sabantar. Namun, si pemuda
sudah tak dapat bergerak lagi. Dia berdiri kaku-kejang
dengan bola mata melotot besar dan mulut terbuka le-
bar. Totokan Danyangsuli mengandung kekuatan sihir
yang mampu mempengaruhi saraf pemuda itu.
"Sadeng...! Sadeng...! Kau kenapa, Sadeng...?!"
seru Silasati, semakin khawatir.
Seperti telah kehilangan ingatan, Silasati meng-
guncang-guncangkan tubuh Sadeng Sabantar. Tapi,
tubuh si pemuda tetap berdiri kaku di tempatnya bagai
patung batu yang melekat erat di tanah.
"Jangan seperti anak kecil, Sati...!" ujar Da-
nyangsuli. "Dia tidak mati. Namun, nasib pemuda itu
tergantung bagaimana sikap dan tindakanmu. Sikap
dan tindakanmu juga menentukan nasibmu sendiri."
Perlahan, Silasati melepas cekalannya pada ba-
hu Sadeng Sabantar. Dengan sinar mata nanar, dita-
tapnya wajah Danyangsuli.
"Apa maksudmu?"
"Jika kau tak ingin aku melaporkan perbua-
tanmu dengan Sadeng Sabantar kepada Baulau Ban-
cakdulina, kau harus melakukan satu pekerjaan un-
tukku."
Semakin nanar tatapan Silasati. Namun, mu-
lutnya tak dapat lagi berkata-kata. Terkunci rapat ba-
gai tak akan bisa dibuka lagi.
"Dengar baik-baik, Sati...," lanjut Danyangsuli.
"Tentu kau tahu bila di rumah Baulau Bancakdulina
telah tinggal seorang pemuda yang datang dari Pulau
Jawa bernama Seno Prasetyo. Bawa dia ke hadapanku
saat ini juga!"
"Ba... bawa dia?" tergagap Silasati. "Malam-
malam begini? Tuan Baulau tentu curiga...."
"Jangan khawatir. Sampai hari menjelang fajar
nanti, Bancakdulina tak akan pulang. Dia sedang me-
meriksa pengairan sawah ladangnya yang luas. Jadi, di
rumahnya hanya ada Bancakluka dan pemuda itu."
Termangu Silasati. Pikirannya yang bingung
membuat rasa takutnya sirna sejenak. Namun, sang-
gupkah dia menjalankan perintah Danyangsuli? Jika
benar Bancakdulina tidak berada di rumah, apakah
Bancakluka tidak akan menaruh sakwasangka melihat
kedatangannya? Bukankah dirinya seorang gadis, yang
tentu saja tak pantas mengajak seorang pemuda ke-
luar rumah di malam hari seperti ini? Dan lagi, bagai-
mana nanti sikap Seno Prasetyo? Tidakkah dia akan
punya pikiran yang macam-macam? Tidakkah pemuda
itu nanti akan menganggap dirinya gadis murahan?
Tapi kalau perintah Danyangsuli tidak dikerjakan, ba-
gaimana nasib Sadeng Sabantar dan nasibnya sendiri?
Terlalu banyak pertanyaan yang berkecamuk di
benak Silasati. Hingga sampai beberapa lama, gadis itu
cuma dapat berdiri terbengong-bengong tanpa mengu-
cap sepatah kata pun.
"Bagaimana, Sati? Kau sudah mengambil kepu-
tusan?" desak Danyangsuli
"Ah! Aku...," sahut Silasati, tak jelas apa mak-
sudnya.
"Jangan bodoh! Kalau aku melaporkan perbua-
tan tak senonohmu, maka derajatmu akan jatuh! Dera-
jatmu akan lebih rendah dari anjing kurap sekalipun!
Ingat itu!"
Mengelam paras Silasati. Setelah berpikir-pikir,
akhirnya dia mengambil keputusan....
"Baiklah, Nyinyi..., asal kau berjanji tak akan
melaporkan perbuatanku pada siapa pun."
"Bagus! itu artinya kau masih dapat berpikir
jernih. Nah! Sekarang tunggu apa lagi? Segeralah be-
rangkat!"
"Tapi, Nyinyi mesti berjanji dulu...."
"Hmmm.... Ya! Ya! Jika kau dapat membawa
Seno Prasetyo ke hadapanku malam ini, kau dan Sa-
deng Sabantar akan kulepaskan. Soal perbuatanmu
yang tak senonoh tadi, akan kuanggap tak pernah ada!
Bagaimana?"
Silasati menatap tajam wajah Danyangsuli. Dia
ingin memastikan apakah ucapan Danyangsuli bisa
dipercaya. Sementara, Danyangsuli yang melihat Sila-
sati tak segera beranjak dari tempatnya menjadi tak
sabaran. Keras sekali dia membentak....
"Kalau fajar keburu datang, kau tak punya ke-
sempatan untuk melepaskan diri dari hukuman sese-
puh suku!"
"Ah! Baik! Baiklah, Nyinyi, aku berangkat...."
Tergopoh-gopoh Silasati berjalan dari hadapan
Danyangsuli. Namun....
"Tunggu!" cegah Danyangsuli tiba-tiba.
Danyangsuli berjalan menghampiri Silasati
yang terhenyak langkah. Disodorkannya bungkusan
kain putih kepada putri Bancaksika itu.
"Apa ini?" tanya Silasati, tak mengerti.
"Terima saja. Tebarkan isinya bila kau akan
mengetuk pintu rumah. Itu akan melancarkan usaha-
mu membawa Seno Prasetyo."
Silasati tak menyahuti. Dia tidak tahu apa isi
bungkusan yang disodorkan Danyangsuli. Tapi, tan-
gannya bergerak menerima bungkusan itu. Kemudian,
dia berlari-lari menembus kegelapan malam. Sementa-
ra, Danyangsuli tersenyum penuh kemenangan.
SEPULUH
SETELAH meniti anak-anak tangga yang ter-
buat dari sambungan kayu jati, meragu Silasati untuk
mengetuk daun pintu. Memang, sangatlah tidak pada
tempatnya bila seseorang bertemu di waktu menjelang
dini hari. Apalagi, tamu itu seorang gadis seperti Sila-
sati. Dapat dipastikan bila tuan rumah akan menaruh
pikiran yang macam-macam.
Semakin meragu Silasati saat mengingat perin-
tah Danyangsuli yang mengharuskannya membawa
Seno Prasetyo menemui ahli sihir itu. Apa tujuan Da-
nyangsuli sebenarnya? Tidakkah dia akan bermaksud
jahat? Dan kalau benar Danyangsuli punya maksud
jahat, tidakkah dirinya akan terkena getahnya?
Cukup lama Silasati berdiri terpaku di muka
pintu. Namun setelah ingat ancaman Danyangsuli
yang akan melaporkan perbuatan tak terpujinya ber-
sama Sadeng Sabantar, keraguan dalam diri Silasati
lenyap seketika. Nasib Sadeng Sabantar dan dirinya
sendiri tergantung pada tindakan apa yang akan dila-
kukannya sekarang ini. Maka, membulatlah tekat Sila-
sati untuk membawa Seno Prasetyo ke hadapan Da-
nyangsuli.
Tampak kemudian, tangan kanan Silasati te-
rangkat untuk mengetuk daun pintu. Tapi, gerakannya
terhenti di udara. Dia teringat bungkusan kain putih
pemberian Danyangsuli. Sebelum mengetuk daun pin-
tu, Silasati diperintah menebarkan isi bungkusan itu
terlebih dulu.
Maka sambil menghela napas panjang, Silasati
mengeluarkan bungkusan kain putih yang tersimpan
di saku bajunya. Setelah dibuka ternyata isinya sejimpit garam dan beberapa butir kacang hijau. Mengingat
Danyangsuli adalah ahli sihir yang juga pandai ilmu
tenung, dapatlah Silasati menduga bila garam dan ka-
cang hijau itu mengandung kekuatan gaib. Kekuatan
gaib yang bagaimana dan apa manfaatnya? Tak hen-
dak Silasati memikirkan hal itu. Kalau dia bisa mem-
bawa Seno Prasetyo ke hadapan Danyangsuli itu su-
dah bagus. Perihal isi bungkusan kain putih yang
punya kekuatan gaib, bukan urusannya. Begitulah ka-
ta hati Silasati.
Oleh karena itu, usai menebarkan garam dan
kacang hijau pemberian Danyangsuli, tanpa pikir pan-
jang Silasati mengetuk daun pintu. Satu kali, tak ada
jawaban. Dua kali, juga tak ada jawaban. Tiga kali, te-
tap tak ada jawaban. Baru pada ketukan keempat, ter-
dengar suara teguran Bancakluka.
"Siapa?"
"Aku, Bancakluka...," sahut Silasati, menekan
perasaannya yang berdebar tak karuan.
"Silasati?"
"Ya."
Dari dalam rumah terdengar menderitnya suara
dipan kayu, disusul suara langkah kaki. Hampir saja
Silasati menjerit kaget karena pintu dibuka dengan ti-
ba-tiba.
"Silasati?" sebut Bancakluka, menatap sekujur
tubuh Silasati dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Pemuda ini seperti tak percaya pada penglihatannya
sendiri.
"Kau Silasati?" ulang Bancakluka.
"Ya. Ya..., aku Silasati, Bancakluka...," tegas Si-
lasati, sedikit tergagap.
"Malam-malam begini...," menggantung kalimat
Bancakluka.
"Boleh aku masuk?"
"Tentu saja. Silakan. Tampaknya, ada sesua-
tu...."
"Ya! Ya," sergah Silasati, cepat. "Aku disuruh
ayahmu untuk menjemput Seno Prasetyo."
"Apa? Menjemput?" kejut Bancakluka, tak jadi
mempersilakan Silasati duduk.
"Baru saja ayahmu mampir ke rumahku. Sete-
lah berbincang-bincang dengan ayahku, ayahmu me-
mintaku untuk menjemput Seno Prasetyo. Ayahmu in-
gin Seno Prasetyo turut memeriksa pengairan di sawah
ladangnya. Bukankah Seno Prasetyo berasal dari ta-
nah Jawa yang terkenal subur? Barangkali pemuda itu
bisa memberikan sumbang saran untuk perbaikan ca-
ra-cara bercocok tanam di tanah kelahiran kita ini...,"
kilah Silasati.
"Malam-malam begini...," selidik Bancakluka li-
rih seperti menggumam. "Kenapa Sangkuk tidak lang-
sung saja pulang dan mengatakan keinginannya sendi-
ri kepada Seno?"
"Ah! Mana aku tahu jalan pikiran ayahmu. Aku
cuma menuruti permintaannya, dan kebetulan juga
aku belum tidur. Jadi, dengan senang hati aku datang
ke sini."
"Tapi...."
Kalimat Bancakluka tak berlanjut karena dia
melihat sosok si Pendekar Bodoh, Seno Prasetyo yang
tengah berjalan menghampiri. Wajah Seno tampak ku-
sut karena sulit tidur.
"Kudengar kalian membicarakan diriku," ujar
pemuda berpakaian biru-biru itu. "Kakek Bancakduli-
na memerlukan kehadiranku? Benarkah itu? Di mana
dia sekarang?"
Pendekar Bodoh yang sejak sore tadi cuma duduk merenung di kamarnya, menatap lekat wajah Sila-
sati. Aneh memang bila Silasati yang seorang gadis
disuruh Bancakdulina untuk menjemput Pendekar
Bodoh yang seorang pemuda menginjak dewasa. Tapi,
Pendekar Bodoh yang amat lugu tak begitu menghi-
raukan keanehan itu. Dia percaya benar pada kata-
kata Silasati yang sempat didengarnya dari dalam ka-
mar. Pendekar Bodoh mengangguk-angguk manakala
Silasati berkata....
"Tuan Baulau menunggumu, Tuan Seno. Mari-
lah kuantar Tuan untuk menemui beliau."
"Ya. Ya...," sambut Pendekar Bodoh seraya ber-
jalan ke luar rumah. Namun..., kedatangan Silasati
yang begitu mendadak membuat si pemuda lupa
membawa cermin ajaib 'Terawang Tempat Lewati Ma-
sa'!
Bergegas Silasati mengikuti. Senang bukan
main hati gadis itu karena merasa akan dapat menja-
lankan perintah Danyangsuli. Keluguan Pendekar Bo-
doh ternyata dapat memudahkan urusannya.
Sementara, Bancakluka yang melihat Pendekar
Bodoh dan Silasati berjalan menuruni tangga hanya
dapat menatap seperti telah hilang kesadarannya. Na-
mun setelah dua anak manusia itu menginjakkan kaki
di pelataran, barulah Bancakluka menyadari benar
akan adanya kejanggalan atas sikap dan tindak-
tanduk Silasati.
"Tunggu...!" cegah Bancakluka.
Teriakan putra Bancakdulina itu sebenarnya
sudah cukup keras untuk dapat menghentikan lang-
kah Pendekar Bodoh dan Silasati, tapi tampaknya
Pendekar Bodoh dan Silasati sama sekali tak menden-
gar teriakan Bancakluka. Mereka terus berjalan tanpa
menoleh sedikit pun ke belakang.
"Hei, Seno! Tunggu!" teriak Bancakluka lagi.
Pendekar Bodoh tetap tak menoleh.
Pemuda remaja berparas tampan itu memang
tak mendengar teriakan Bancakluka. Sementara, Ban-
cakluka belum menyadari bila keadaan di sekitar ru-
mahnya telah dikuasai pengaruh kekuatan gaib Da-
nyangsuli. Kekuatan gaib itu bersumber dari garam
dan kacang hijau yang ditebarkan Silasati di depan
pintu.
"Silasati...!" teriak Bancakluka untuk ketiga ka-
linya.
Teriakan itu pun tak membuahkan hasil seperti
yang diharapkan Bancakluka. Pendekar Bodoh dan Si-
lasati terus berjalan semakin jauh. Dan karena terdo-
rong rasa penasaran akibat melihat kejanggalan sikap
Silasati, Bancakluka meloncat dari lantai rumah. Begi-
tu kakinya menginjak tanah, dia berteriak lebih keras.
"Seno! Sati! Tunggu...!"
Namun, sosok Pendekar Bodoh dan Silasati te-
lah menghilang dari pandangan, tertelan kegelapan
malam. Maka, hati Bancakluka pun semakin digeluti
rasa penasaran. Tapi, dia tetap belum menyadari bila
keadaan di sekitar rumahnya telah dikuasai pengaruh
kekuatan gaib Danyangsuli.
Di lain kejap, Bancakluka tampak berlari-lari
mengempos seluruh tenaganya. Pemuda calon kepala
Suku Asantar itu terus berlari seakan sedang mengejar
Pendekar Bodoh dan Silasati. Tapi sebenarnya, dia
cuma berlari-lari mengelilingi bangunan rumahnya!
* * *
"Untuk apa kita jalan ke sini...?* ujar Seno
mencetuskan rasa herannya karena arah jalan Silasati
tidak menuju ke sawah ladang milik Bancakdulina
yang terletak di sebelah timur Perkampungan Suku
Asantar.
"Sudahlah. Ikuti saja," sahut Silasati seraya
mempercepat langkah.
"Uh! Hari masih gelap begini. Aku jadi heran.
Jangan-jangan kau hendak berbuat yang tidak-tidak,
Sati...," tegur Seno. Nada suaranya masih terdengar
datar, mencerminkan keluguannya.
"Kau jangan memandang rendah!" bentak Sila-
sati tiba-tiba. "Kalau tidak karena terpaksa, tak akan
aku menginjak rumah Bancakluka. Apalagi, menga-
jakmu seperti ini!"
"Jadi, karena terpaksa? Tak suka pada Kakek
Bancakdulina? Juga tak suka pada Bancakluka?" sa-
hut Seno dengan raut wajah tak berdosa. Tentu saja
pemuda ini tidak tahu jalan pikiran Silasati. Disang-
kanya bila si gadis memang tengah menuruti permin-
taan Bancakdulina.
"Jangan banyak cakap lagi. Ikuti saja langkah-
ku!"
Mendengar ucapan Silasati yang ketus, Seno
nyengir kuda sejenak. Karena masih menyangka Sila-
sati memang menuruti permintaan Bancakdulina, ber-
gegas ia mengekor langkah gadis hitam manis itu. Dia
tak mau mengecewakan Bancakdulina yang tentunya
telah cukup lama menantikan kedatangannya.
Tak seberapa lama kemudian, dua anak manu-
sia itu berjalan dalam kebisuan. Tak ada yang mau
membuka suara lagi. Mereka sama-sama larut dalam
pikiran di benak masing-masing. Hanya suara tapak
kaki mereka yang kadang terdengar memecah kesu-
nyian.
Lamat-lamat terdengar lolongan serigala. Tekurburung hantu tak ketinggalan turut mencoba mengu-
sik suasana malam yang dingin dan sepi. Sementara,
suara jengkerik mengerik seakan mengiringi langkah
kaki Seno dan Silasati. Dan manakala terdengar suara
kokok ayam alas, Silasati tampak mempercepat lang-
kah.
"Ayolah...!" ajak gadis itu, setengah berlari.
"Hei! Kita makin salah arah. Tidak sadarkah
kau, Sati?" sergap Seno.
"Jangan banyak bicara, kataku! Percepatlah
langkahmu!"
Seno nyengir kuda lagi. Ketika melihat bangu-
nan Puri Dewa Langit yang samar-samar, Seno meng-
hentikan langkah.
"Puri Dewa Langit...," desisnya. "Kau sengaja
mengajakku ke sana? Apakah Kakek Bancakdulina
menungguku di tempat itu?"
Silasati tak menjawab. Jantungnya berdegup
lebih kencang.
Semakin dekat dengan Puri Dewi Langit, berarti
semakin mudahlah dia menyelesaikan perintah Da-
nyangsuli. Tapi saat melihat Pendekar Bodoh yang ti-
ba-tiba menghentikan langkah lalu berdiri bengong,
dia jadi tak sabaran. Dihampirinya pemuda itu,
"Hai! Hai, kenapa kau?" tegur Seno karena tan-
gannya dicekal erat dan setengah ditarik-tarik oleh Si-
lasati.
"Ayolah! Kita sudah dekat!" desak Silasati.
"Kakek Bancakdulina menungguku di puri itu?"
"Kau akan tahu sendiri!"
"Jawab saja pertanyaanku!" bentak Pendekar
Bodoh yang merasa ucapan Silasati berubah galak.
"Tak perlu aku menjawab pertanyaanmu! Kau
akan segera tahu sendiri jawabannya!" Silasati balas
membentak. Ditariknya tangan Seno sampai pemuda
itu terhuyung-huyung.
"Eh! Eh! Bagaimana ini?" ujar Seno. "Aku jadi
curiga. Jangan-jangan kau hendak mencelakakan
aku...."
"Tidak! Aku tidak bermaksud mencelakakan-
mu!" sahut Silasati. "Kalau kau menuruti kemauanku,
aku akan berterima kasih sekali kepadamu. Kau telah
menolongku. Untuk kesekian kalinya, Pendekar Bodoh
nyengir kuda. Sambil menggaruk-garuk pantatnya
yang tiba-tiba terasa amat gatal, ditatapnya wajah Si-
lasati lekat-lekat. Tahulah kini Seno, di balik tatapan
ketus Silasati tersimpan rasa takut dan kekhawatiran.
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Sati? Apa
yang telah kau katakan tadi adalah suatu kebohongan
belaka, bukan?" selidik Seno kemudian. Terdiam Sila-
sati. Mendadak, air bening menitik dari kedua sudut
mata putri Bancaksika itu. Kening Seno langsung ber-
kerut rapat. Si pemuda merasa heran melihat peruba-
han sikap Silasati.
"Kau menangis? Kalau ada apa-apa, aku berse-
dia menolongmu...," tawar Send, kebodoh-bodohan
"Te... terima kasih, Tuan Seno...," sambut Sila-
sati, sesenggukan. Nada bicaranya kembali menjadi
hormat. "Kalau Tuan memang ingin menolongku, sudi-
lah Tuan mengikutiku ke Puri Dewa Langit..."
"Itu akan menyelesaikan persoalanmu?"
Mengangguk Silasati.
"Kalau cuma itu permintaanmu, apa susahnya?
Tapi, tidakkah kau ingin berterus terang kepadaku?
Apa permasalahanmu sebenarnya? Ada hubungannya
dengan Bancakluka?" desak Seno. Pemuda itu sudah
tahu perihal pertunangan Silasati dengan Bancakluka
Silasati diam beberapa lama. Setelah menarik
napas panjang beberapa kali, dia berkata, "Itu juga
menjadi permasalahanku. Aku jadi amat susah kare-
nanya. Tapi, sekali lagi kukatakan..., kalau Tuan me-
mang ingin menolongku, ikutlah aku ke Puri Dewa
Langit...."
Seno cengar-cengir lagi. Berpikir-pikir dia, dan
menimbang-nimbang pula. Melihat raut wajah Silasati
yang tampak begitu sedih, akhirnya dia menyanggupi
permintaan gadis itu.
"Tunggu apa lagi? Ayolah...," ganti Pendekar
Bodoh yang bersemangat untuk datang ke Puri Dewa
Langit. Pendekar Bodoh benar-benar tak tahu bila ba-
haya besar telah menantikannya.
Sementara, bola mata Silasati langsung berbi-
nar. Gadis itu pun tak menyangka bila sebenarnya
Danyangsuli punya maksud tak baik terhadap Seno
Prasetyo!
* * *
Bersorak girang dalam hati Danyangsuli ketika
melihat sosok Pendekar Bodoh yang datang ke hada-
pannya bersama Silasati. Begitu gembiranya dia, hing-
ga sampai beberapa lama dia cuma berdiri terpaku
dengan bola mata berbinar-binar!
"Nyinyi! Aku telah mewujudkan apa yang kau
inginkan...," seru Silasati. "Sekarang lepaskan penga-
ruh sihirmu pada Sadeng Sabantar, dan biarkan kami
pergi! ingat pula janjimu, Nyinyi!"
"Ha ha ha...!" tertawa bergelak Danyangsuli
"Tentu! Tentu saja aku akan menepati janjiku. Kau
memang seorang gadis yang amat penurut Sati. Nah!
Pergilah sekarang kau cepat-cepat!"
Sambil berkata, Danyangsuli menghadapkan
kepalan tangan kanannya ke arah Sadeng Sabantar
yang masih berdiri kaku. Dari cincin bercupu kelela-
war yang melingkar di jari tengah tangan kanan wanita
itu keluar sebentuk kekuatan gaib yang melepaskan
pengaruh kekuatan sihir pada diri Sadeng Sabantar.
Maka saat itu juga, Sadeng Sabantar langsung bisa
menggerakkan tubuhnya kembali.
"Silasati...!"
Kata itulah yang pertama kali diucapkan oleh
Sadeng Sabantar saat dirinya telah pulih seperti sedia
kala. Disertai luapan rasa syukur, dia meloncat ke ha-
dapan Silasati. Dipeluknya gadis itu penuh haru.
Pendekar Bodoh yang melihat kejadian itu ter-
lihat cengar-cengir. Walau masih samar-samar, tahu-
lah dia apa sebenarnya yang menjadi tujuan Silasati
membawanya keluar dari rumah Bancakdulina.
"Hei! Kenapa tidak segera pergi? Apa kalian in-
gin melihat aku berubah pikiran?" ancam Danyangsuli
saat melihat Sadeng Sabantar dan Silasati terus berpe-
lukan.
"Ya! Ya, Nyinyi! Kami pergi!" sahut Sadeng Sa-
bantar, menyimpan rasa takut.
Melihat wajah Danyangsuli yang menegang ga-
rang, tanpa pikir panjang lagi pemuda itu mencekal
lengan Silasati. Lalu, diajaknya si gadis berlari-lari
meninggalkan tempat. Sementara, Pendekar Bodoh
masih saja cengar-cengir tanpa melakukan sesuatu.
"Ha ha ha....!" Danyangsuli tertawa bergelak la-
gi. "Selamat! Selamat berjumpa dengan Danyangsuli si
Ratu Sihir Tercantik, Seno Prasetyo.... Selamat! Sela-
mat datang ke Kerajaan Gaib-ku, Seno Prasetyo. Se-
bentar lagi kau akan melihat kemegahan istana kera-
jaan milikku itu! Ha ha ha...!"
Mendengus gusar Pendekar Bodoh mendengar
tawa gelak Danyangsuli yang lepas berderai.
"Hmmm....Tahulah aku sekarang..." ujarnya. "Ru-
panya, Silasati telah kau peralat, hei kau Danyangsuli
yang mengaku bergelar Ratu Sihir Tercantik! Wajahmu
memang amat cantik jelita. Bentuk tubuhmu memang
amat menarik. Tapi melihat sorot matamu, aku tahu
kau menyimpan maksud tak baik terhadapku...."
"Uts! Jangan keburu menuduh yang bukan-
bukan!" sergah Danyangsuli.
"Di antara kita tak ada silang sengketa. Tak ada
pula utang-piutang. Tapi melihat kau memperalat Sila-
sati, rupanya kau hendak mencoba membuat urusan
denganku. Hmmm.... Manis tutur katamu mungkin bi-
sa meredam hawa amarahku. Tapi, sikap dan tinda-
kanmu tetap tak bisa menutupi sifat jahatmu!
Hmmm.... Kalau memang kau sengaja hendak mem-
buat urusan denganku, besok pagi datanglah ke ru-
mah Kakek Bancakdulina!"
Usai berkata, Pendekar Bodoh membalikkan
badan. Tenang saja dia melangkah untuk kembali ke
rumah Bancakdulina. Mana dia mau berhadapan mu-
ka dengan seorang wanita di malam buta seperti itu?
"Tunggu!" seru Danyangsuli.
Ketika Seno menoleh, mendadak Danyangsuli
menanggalkan bajunya, sehingga tonjolan buah da-
danya terlihat. Walau masih tertutup kain berenda pu-
tih, tapi itu sudah cukup untuk membuat darah muda
Seno berdesir tiba-tiba.
"Ap... apa maksudmu...?" ujar Seno, sedikit ter-
gagap.
"Kau tadi mengatakan aku cantik. Tubuhku ju-
ga menggiurkan, bukan? Tidakkah kau ingin menci-
umku? Tidakkah kau ingin memelukku? Hari sudah
gelap, Seno. Andai kau punya kemauan, masih banyak
waktu untuk menuruti kemauanmu itu...."
Mendengar kata-kata Danyangsuli yang begitu
menggoda, Seno malah berdiri terpaku. Mulutnya ter-
kunci rapat. Namun, bola matanya terbelalak makin
lebar.
"Ayolah, Seno.... Segeralah mendekat...," ajak
Danyangsuli.
Wanita itu meliukkan tubuhnya sedemikian
rupa, hingga membuat aliran darah Seno semakin ber-
desir tak karuan. Apalagi setelah Danyangsuli turut
membuka kain berenda yang menutupi buah dadanya
yang montok ranum.
Namun..., tak diduga-duga....
"Oh! Tidak! Perempuan lacur!" teriak Seno tiba-
tiba, tersadar dari godaan Danyangsuli.
Bergegas murid Dewa Dungu itu meloncat se-
bat untuk meninggalkan Danyangsuli. Tapi..., lonca-
tannya segera terhenti manakala Danyangsuli men-
dengus gusar seraya menghadapkan cincin bercupu
kelelawarnya ke arah si pemuda.
"Kemarilah! Peluk aku! Jadilah kekasih yang
baik!" perintah Danyangsuli yang mengandung kekua-
tan sihir.
Begitu hebatnya pengaruh sihir yang keluar le-
wat cupu cincin Danyangsuli, hingga terlihat Pendekar
Bodoh terlongong-bengong. Lalu perlahan, si pemuda
melangkah mendekati..., dan memeluk mesra tubuh
Danyangsuli seraya menjatuhkan ciuman ganas di bi-
bir wanita itu....
Manakala ciuman Pendekar Bodoh beralih ke
dadanya, Danyangsuli tertawa bergelak-gelak. "Ha ha
ha...! Terbukti sudah ketajaman penglihatanku. Sete-
lah aku berdekatan dengannya, dia memang memiliki
inti kekuatan tubuh yang hebat luar biasa! Ha ha ha...!
Aku akan segera mengisapnya! Ha ha ha...!"
Sementara Danyangsuli larut dalam kegembi-
raan, Pendekar Bodoh larut dalam nafsu birahi yang
tiba-tiba menguasai jalan pikirannya. Dan tampaknya,
tempat sepi di dekat Puri Dewa Langit itu akan segera
menjadi ajang pelampiasan nafsu setan...
SELESAI
Segera terbit!!!
RAJA ALAM SIHIR
0 comments:
Posting Komentar