..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE PEDANG JIMAT LANANG

matjenuh khairil

 

PEDANG JIMAT LANANG
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali 
alam episode: Pedang Jimat Lanang 
128 hal.

1

BUKIT Lidah Samudera tak jauh dari pantai. 
Sebagian tanah dan batunya masih bercampur karang 
laut. Bukit itu tidak terlalu tinggi, hutan-hutannya 
pun tidak seberapa lebat, namun punya kedamaian 
tersendiri bagi penghuninya.
Hanya ada satu rumah yang ada di Bukit Lidah 
Samudera itu. Rumah tersebut dibangun dengan bela-
han-belahan kayu jati beratap lapisan kulit kayu. Ru-
mah tersebut tidak terlalu besar, mempunyai halaman 
yang luas, mempunyai pepohonan rindang yang teduh. 
Dari halaman rumah tersebut seseorang dapat me-
mandang lidah-lidah laut yang bergulung menuju pan-
tai. Sungguh indah dinikmati pada. malam bulan pur-
nama.
Tak jauh dari rumah kayu itu, ada gugusan ba-
tu yang mirip punggung seekor kerbau. Gugusan batu 
itu ada di bawah sebuah pohon beringin putih. Di sa-
nalah, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun, 
duduk termenung dari semalaman. Embun pagi yang 
masih menempel di dedaunan, juga ikut menempel di 
rambutnya yang berpotongan poni sekeliling kepala.
Lelaki tua itu punya sifat anak-anak yang amat 
menonjol; polos, jujur, dan tidak secerdas pria lain 
seusianya. Itulah sebabnya dia dipanggil dengan nama 
julukan: Bocah Bodoh. Nama aslinya Raden Mas Cola 
Colo.
Dia bukan keturunan raden atau ningrat. Gelar 
raden mas itu ditambahinya sendiri, karena Bocah Bo-
doh tidak tahu apa arti gelar raden mas itu. Ia pikir 
sama dengan arti kata: pendekar.
Dari malam sampai pagi Cola Colo masih du-
duk di batu samping rumahnya. Letaknya agak rendah

dari letak rumah kayu itu. Semalaman ia duduk di situ 
bukan untuk bertapa, walaupun ada di bawah pohon 
beringin putih. Di situ Bocah Bodoh termenung dengan 
wajah lucunya yang muram. Ada kesedihan di hati Bo-
cah Bodoh, ada kekecewaan yang menyertai kesedihan 
itu. Murungnya wajah Cola Colo membuat burung-
burung enggan berkicau di pagi hari, sehingga suasana 
Bukit Lidah Samudera itu sangat lengang. Yang ter-
dengar hanya desau angin dan debur ombak pantai 
samar-samar. Kemarin siang, ia habis dimaki-maki 
ibunya. Dipukuli, diomeli, dituding-tuding dan diben-
tak-bentak sampai suara Ibunya serak. Sementara itu 
Bocah Bodoh hanya diam dan menerima apa adanya. 
Ia tak diberi kesempatan untuk membela diri.
Persoalannya, menurut Cola Colo, adalah per-
soalan yang sepele. Bocah Bodoh ditugaskan oleh 
ibunya; Nyai Sembur Maut, untuk mencari Prasasti 
Tonggak Keramat di Lembah Maut. Kata Ibunya, di sa-
na ada pedang pusaka peninggalan Eyang Tapak Gem-
pur, yaitu guru Nyai Sembur Maut. Entah di sebelah 
mana pedang itu disimpan oleh Eyang Tapak Gempur, 
yang jelas ada di sekitar prasasti tersebut.
Bocah Bodoh pun mencari, kebetulan dibantu 
oleh Pendekar Rajawali Merah, Pendekar Rajawali Pu-
tih, dan si Tua Usil. Pedang itu konon punya kesaktian 
tersendiri, mata pedangnya bisa memanjang sendiri ji-
ka disentakkan walau dengan tenaga dalam kecil, bisa 
bergerak sendiri dalam pertarungan dan yang meme-
gangi hanya mengikuti saja, bisa membunuh lawan 
melalui bayangan lawan, dan bisa untuk memotong 
baja karena saking tajamnya.
Tetapi setelah Bocah Bodoh memperoleh pe-
dang tersebut, yang ditemukan di bawah. tanah pra-
sasti itu, ternyata pedang tersebut tidak mempunyai 
kehebatan apa-apa. Pedang jimat Lanang Itu tidak bisa

untuk memotong dahan, bahkan tak bisa untuk me-
motong ranting sebesar jempol kaki. Malah geripis pa-
da bagian tepiannya. Pedang itu adalah pedang biasa 
yang tidak punya kesaktian apa-apa dan layak dipakai 
sebagai pajangan atau hiasan dinding saja, (Baca serial 
Jodoh Rajawali dalam episode: "Prasasti Tonggak Ke-
ramat")..
Tentu saja hal itu sangat mengecewakan hati 
Bocah Bodoh. Bisa dibayangkan betapa sakit hati Bo-
cah Bodoh; sudah bodoh, dikecewakan. Tentu saja wu-
jud wajahnya semakin simpang siur tak jelas bentuk-
nya. Seribu makian, seribu gerutuan, menyertai perja-
lanan pulang Bocah Bodoh yang membawa pedang 
tanpa kesaktian itu.
Sampai di rumah, ia ditanya oleh ibunya, "Ba-
gaimana anakku Cah Bagus? Apakah kau berhasil pe-
roleh Pedang Jimat Lanang itu, Nak?" sambil sang ibu 
berseri-seri. Tapi sang anak hanya menunduk dan mu-
rung wajahnya. Nyai Sembur Maut jadi curiga dan 
kembali bertanya,
"Kenapa wajahmu berubah begitu, Nak? Ada 
apa sebenarnya? Apakah kau gagal menemukan Pra-
sasti Tonggak Keramat?"
Bocah Bodoh gelengkan kepala. Sedikit melirik 
ibunya dengan dongkol, karena merasa telah ditipu 
oleh Ibunya dengan cerita muluk-muluk mengenai pe-
dang itu.
"Apakah pedangnya tak berhasil kau temukan?"
Dengan lirih Bocah Bodoh menjawab, "Berha-
sil."
"Lalu, mana pedang itu?"
"Ku buang," jawabnya lirih lagi.
"Lho...?!" ibunya terbengong agak kaget, juga 
agak heran. "Kamu Bocah Bodoh apa Bocah Sinting?"
"Habis, Ibu bohongi aku!" Bocah Bodoh makin

lancip mulutnya.
"Bohong bagaimana?!" "Pedang itu tidak punya 
kesaktian apa-apa. Tidak akan bisa dipakai untuk 
memotong baja atau membunuh lawan lewat bayan-
gan. Dipakai untuk memotong dahan pohon saja jadi 
geripis, apa lagi dipakai memotong baja, pasti akan 
lumer sendiri pedangnya! Pedang itu juga tak bisa 
menjadi panjang. Kusentakkan dengan tenaga kuat 
beberapa kail, sampai lenganku pegal sendiri, pedang 
itu tidak bisa mulur panjang seperti cerita Ibu itu. Ku-
pakai menggores bayangan tubuhku di tanah, nya-
tanya aku tidak terluka sedikit pun. Aku kecewa, Ibu 
telah bohongi aku. Susah payah aku mencari pedang 
itu, bertaruh nyawa dan rambut, tapi hasilnya cuma 
dapatkan pedang buat perang-perangan!"
Nyai Sembur Maut kala itu hanya memandangi 
mulut anaknya yang nyerocos dengan bibir meliuk-liuk 
mirip lintah kawin. Setelah itu, Nyai Sembur Maut 
termenung sejenak. Ia yakin, anaknya tidak mungkin 
melaporkan sesuatu yang palsu. Anaknya polos dan 
jujur, kalau bicara apa adanya. Jadi, Nyai Sembur 
Maut percaya betul dengan apa yang dikatakan Cola 
Colo itu.
Kejap berikutnya, Nyai Sembur Maut bertanya 
dalam kebimbangan,
"Apakah... apakah pedang itu berwarna hitam?"
"Iya. Bumbung yang dipakai menyimpan pe-
dang itu juga hitam."
Sedikit tegang wajah Nyai Sembur Maut saat 
itu. Lalu ia bertanya kembali masih agak bimbang,
"Apakah gagangnya lebih panjang dari mata pe-
dangnya sendiri?"
'Tidak kuukur. Yang jelas gagang pedang itu 
memang panjang, berbentuk bulat seperti bambu kecil. 
Di ujung gagangnya ada lapisan kuning emas, tapi aku

yakin bukan emas. Di gagang itu ada koncer-koncer 
benang merah."
Mata Nyai Sembur Maut menegang lebar. Na-
fasnya ditarik dan tertahan. Mulutnya sedikit terngan-
ga, kemudian dia berkata,
"Berarti yang kau dapatkan itu bukan Pedang 
Jimat Lanang! Yang kau dapatkan itu Pedang Istana 
Intan, milik Eyang Nini Murti, istri dari Eyang Tapak 
Gempur!"
Bocah Bodoh masih bersungut-sungut cembe-
rut. Ia sepertinya sudah enggan membicarakan pedang 
tersebut. Ia biarkan ibunya yang lumpuh dan hanya 
bisa duduk di kursi tanpa roda itu termenung bebera-
pa saat.
Bocah Bodoh yang duduk di lantai dengan me-
lonjorkan kaki hanya menggosok-gosok kakinya yang 
terasa pegal.
"Benar, Cola Colo. Kau berarti mendapatkan 
Pedang Istana Intan. Dan pedang itu memang bukan 
pedang sakti. Pedang itu hanya pedang hias yang gu-
nanya untuk menyimpan permata. Di dalam gagang 
pedang itulah semua permata milik Eyang Nini Murti 
disimpannya."
Kini Bocah Bodoh itu terperanjat dan meman-
dang Ibunya dengan mulut terbengong. Ia seperti tidak 
percaya dengan apa yang didengar. Maka mulut 
ibunya pun dipandanginya terus tanpa bergerak dan 
tanpa berkedip.
"Ibu lupa ceritakan pedang itu. Di sekitar Pra-
sasti Tonggak Keramat memang ada dua pedang yang 
tersimpan di sana; satu Pedang Jimat Lanang milik 
Eyang Tapak Gempur, dua Pedang Istana Intan milik 
Eyang Nini Murti. Pedang Istana Intan dulu diheboh-
kan sudah ditemukan oleh seorang pengelana, tapi 
ternyata belum. Karenanya Ibu tidak ceritakan tentang

pedang itu. Isi gagang pedang itu adalah sejumlah ke-
kayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan. Bisa 
untuk membangun istana megah. Pedang Istana Intan 
yang berguna bukan mata pedangnya, melainkan ga-
gangnya. Di situ juga terdapat delapan batu sakti yang 
bernama Delapan Mata Syiwa! Gunanya bisa untuk 
membangkitkan orang mati. Kalau dijual, harganya 
sama dengan harga sebuah kapal besar yang bagus 
dan megah. Kalau ada delapan batu berarti ada dela-
pan kapal mewah di dalam gagang pedang itu!"
Semakin terperangah mulut Bocah Bodoh yang 
menatap ibunya tanpa berkedip. Jantung Bocah Bodoh 
pun berdebar-debar, dan ia sangat tertarik mengikuti 
cerita sang Ibu. Kemudian, ibunya berkata lagi,
"Pada waktu itu, Eyang Tapak Gempur dan 
Eyang Nini Murti ingin mengasingkan diri, menjadi pe-
tapa yang tidak akan ikut campur lagi dalam urusan 
dunia. Mereka memang berhasil menjadi orang suci 
dan meninggal secara moksa keduanya; lenyap tanpa 
ada jenazahnya dan tanpa ada bekasnya. Sebelum hal 
itu dilakukan, mereka sepakat untuk menyimpan ke-
dua pedang itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat 
dan menjadikan bencana di mana-mana. Pedang Ista-
na Intan pun sengaja tidak diberikan kepada siapa-
siapa, supaya nilai permata di dalamnya tidak mem-
buat orang menjadi lupa diri dan sesat jalannya. Se-
dangkan Pedang Jimat Lanang diberikan kepada Ibu 
dengan pesan; kalau Ibu sudah punya anak dan anak 
itu sudah mencapai usia lima puluh tahun, tapi Ibu 
masih tetap hidup, berarti Ibu berjodoh untuk menda-
patkan pedang tersebut. Pedang itu boleh untuk Ibu 
sendiri, boleh untuk anaknya, dan nanti harus diwa-
riskan kepada setiap anak pertama dari keturunan-
keturunan Ibu."
Nyai Sembur Maut mengusap-usap rambut

anaknya yang duduk di lantai samping kirinya. Anak 
itu dipandangi ketika Nyai Sembur Maut melanjutkan 
kata-kata-nya,
"Karena usiamu sudah mencapai lima puluh 
tahun lewat empat bulan sembilan hari, maka Ibu in-
gin dapatkan Pedang Jimat Lanang itu. Tapi keadaan 
Ibu yang lumpuh begini, tidak memungkinkan Ibu per-
gi ke Prasasti Tonggak Keramat. Jadi kutugaskan kau 
yang mengambilnya. Ibu tidak ingin memiliki pedang 
itu, karena usia Ibu sudah sangat tua. Ibu hanya ingin 
memegang pedang itu sebelum Ibu mati, lalu pedang 
itu akan menjadi milikmu selamanya. Tapi ternyata 
yang kau temukan bukan Pedang Jimat Lanang, me-
lainkan Pedang Istana Intan. Ibu tidak marah kalau 
kau salah ambil. Cuma sekarang, Ibu ingin lihat pe-
dang itu, Cola Colo! Ibu hanya ingin periksa apakah 
gagangnya masih berisi permata atau sudah dipalsu-
kan orang? Setelah itu, pedang tersebut pun akan 
menjadi milikmu bersama isinya. Nah, sekarang... ma-
na pedang itu. Jangan kau sembunyikan. Ibu hanya 
ingin melihatnya saja."
Nyai Sembur Maut memandang Bocah. Bodoh, 
dan bocah itu juga memandang Ibunya dengan ben-
gong. Sang Ibu menunggu jawaban tapi tak kunjung 
tiba. Ibunya menganggap jawaban anaknya tadi hanya 
main-main karena merasa Jengkel. Kini Nyai Sembur 
Maut ingin dengar lebih jelas lagi jawaban dari anak-
nya, sehingga ia mengulangi pertanyaannya tadi,
"Mana pedang Itu, Sayang...?!"
Dengan rasa takut dan berdebar-debar Bocah 
Bodoh menggeleng. Ibunya membentak karena tak sa-
bar,
"Mana pedang itu?!"
"Sudah... sudah ku buang!"
"Jangan bercanda kau, Cola Colo! Mana pedang

itu?!"
"Sudah... ku buang..."
"Edan!" seru Nyai Sembur Maut. "Dibuang di 
mana?!"
"Di... di... disana!"
"Di manaaa...?!" teriaknya sambil memuntir te-
linga Bocah Bodoh.
"Diii., di sana, Ibu! Di jurang dekat Tanah Ku-
lon!" jawab Bocah Bodoh sambil meringis kesakitan 
merasa telinganya mau putus.
"Bocah edan! Jadi Pedang Istana Intan itu kau 
buang di jurang Usus Bumi...?!" '
"Aku tidak tahu, Ibu. Ampun, aku tidak tahu 
itu Jurang Usus Bumi atau Usus Buntu, tapi karena 
aku jengkel, ku buang saja ke jurang yang ada di Ta-
nah Kulon Itu. Auuh... ampun, Ibu!" rintih Bocah Bo-
doh.
Jurang Usus Bumi adalah jurang yang paling 
dalam dan tak bisa dijajaki kedalamannya. Karena itu 
orang-orang menamakannya Jurang Usus Bumi, kare-
na diduga jurang itu langsung tembus sampai perut 
bumi. Sudah tentu adalah hal yang tak mungkin un-
tuk mengambil Pedang Istana Intan itu jika sudah di-
buang ke jurang tersebut.
Maka, habislah. Bocah Bodoh dihajar ibunya 
yang naik pitam mendengar pengakuan tersebut. Dari 
pagi sampai sore, Bocah Bodoh dicubit, dijambak, dip-
lintir kupingnya, ditampar, dan dimaki-maki dengan 
kata-kata pedas.
Itulah sebabnya, semalaman penuh Cola Colo 
duduk merenung di bawah pohon beringin putih. Dis-
amping menyesal dan kecewa, juga karena ia dihukum 
ibunya untuk tidak boleh tidur di dalam rumah. Seka-
lipun sudah pagi, namun Cola Colo masih malas ma-
suk ke rumah sebelum Ibunya memanggil.

Tiga hari perjalanan pulang dari Lembah Maut 
memang melelahkan dan membuat mata mengantuk. 
Tapi setelah dihajar ibunya dan mengetahui apa isi ga-
gang pedang itu, Cola Colo bagaikan kehilangan rasa 
lelah dan kantuk. Rasa ingin makan pun tak ada, apa-
lagi rasa ingin mandi. Tak ada sama sekali keinginan 
itu pada diri Bocah Bodoh.
Tubuh tak terlalu pendek berkulit gelap itu se-
gera bergerak setelah ia melihat kedatangan seseorang 
yang langkahnya bagaikan terbang. Dalam sekejap 
orang itu sudah sampai di depan rumahnya dan me-
mandang Cola Colo dengan mata dingin.
Orang itu bertubuh kurus, jangkung, rambut-
nya putih rata seperti rambut Nyai Sembur Maut. Ia 
seorang perempuan tua yang sudah berusia banyak, 
namun masih kelihatan tegar. Mengenakan Jubah un-
gu dan membawa tongkat yang ujungnya mempunyai 
tiga mata pisau. Orang itu tak lain adalah Nyai Rajang 
Demit.
Bocah Bodoh memanggil orang itu dengan se-
butan Bibi, sebab dia adalah adik tiri dari Ibunya. Bo-
cah Bodoh ingat, bahwa Nyai Rajang Demit dalam pe-
ristiwa di Lembah Maut sudah dihajar oleh Lili; si Pen-
dekar Rajawali Putih itu. Bocah Bodoh menyangka bi-
binya mati karena melarikan diri sambil membawa lu-
ka akibat jurus 'Salju Neraka' milik Lili yang mengan-
dung ratusan jarum itu. Tapi ternyata Nyai Rajang 
Demit masih hidup, hanya saja badannya menjadi ber-
bintik-bintik hitam merata sampai pada wajahnya. 
Bahkan bola matanya pun juga berbintik-bintik hitam. 
Rupanya Nyai Rajang Demit dapat sembuhkan diri da-
lam waktu singkat, namun bekasnya tak dapat hilang.
Nyai Rajang Demit dekati Bocah Bodoh dari 
berkata, "Hei, Bodoh! Mana si Lumpuh Keparat itu?!"
"Lumpuh keparat...?! Wah, saya tidak kenal

orang itu, Bibi!"
"Maksudku, mana ibumu?!" bentak Nyai Rajang 
Demit..
"Ooo... Ibu?! Ibu ada di dalam, Bibi. Beliau 
memang lumpuh tapi tidak sampai keparat, Bibi!"
Plook...! Bocah Bodoh ditendang dan terpental 
tiga langkah dari tempatnya duduk tadi. Bocah Bodoh 
memekik lalu mengerang kesakitan. Nyai Rajang Demit 
menghampirinya, mencengkeram rambut Bocah Bodoh 
dan ditariknya, sehingga Bocah Bodoh terpaksa harus 
berdiri supaya rambutnya tidak jebol terlalu banyak. 
"Panggil ibumu! Lekas...!"
Wuuurrr...! Bocah Bodoh dilemparkan dengan 
satu tangan. Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Ia 
menjerit takut dengan suara panjang, lalu jatuh tepat 
di depan rumahnya. Brrukkk...!
"Aaauh...!" Bocah Bodoh merintih makin keras 
dan panjang. Ia berusaha bangun sambil pegangi ping-
gang belakang yang terasa sakit sekali itu.
Nyai Rajang Demit masih belum puas, ia segera 
hampiri lagi Bocah Bodoh dengan dua kali lompatan, 
lalu menendangnya dengan kuat. Plookkk!
"Aaaooow...!" Bocah Bodoh menjerit kesakitan. 
Rahangnya terasa mau copot akibat tendangan keras 
itu,
"Cepat panggil si Lumpuh itu!" bentak Nyai 
Ranjang Demit.
Tahu-tahu pintu rumah kayu itu menjadi jebol 
karena diterjang dari dalam. Braasskk...! Nyai Sembur 
Maut melesat bagaikan terbang bersama kursi bertan-
gan yang terbuat dari besi. Dalam keadaan tetap du-
duk di kursi yang disebutnya kursi terbang itu, Nyai 
Sembur Maut memandang adik tirinya dengan sikap 
menantang. Ia berkata dalam geram kemarahan,
"Kau hanya berani dengan anak kecil, Rajang

Demit! Tentu saja anakku kalah denganmu, karena 
bukan dia tandingan mu, melainkan aku!"
"Melawanmu dan membunuhmu adalah peker-
jaan yang mudah bagiku, Sembur Maut! Tapi aku da-
tang bukan dengan maksud membunuhmu. Kalau kau 
masih bisa kuajak damai, serahkan saja Pedang Jimat 
Lanang itu padaku. Tak akan aku memusuhi mu lagi, 
Sembur Maut.
"Kalau pedang itu memang ada padaku, tetap 
tidak akan ku berikan kepadamu, Rajang Demit. Kare-
na Eyang Guru Tapak Gempur menyerahkan pedang 
itu kepadaku, bukan kepada mu!"
'Tak usah basa-basi cari alasan macam-macam, 
serahkan saja pedang itu!" sentak Nyai Rajang Demit.
"Tidak ada Pedang Jimat Lanang di sini, Rajang 
Demit. Kau hanya ingin menambah permusuhan bagi 
kita saja!"
"Omong kosong! Aku tahu anakmu itu sudah 
berhasil mendapatkan Pedang Jimat Lanang dari tem-
pat Prasasti Tonggak Keramat itu berada! Kau tak bisa 
menipuku, Sembur Maut, karena aku ada di sana pa-
da waktu itu!"
"Anakku salah ambil. Yang ia temukan bukan 
Pedang Jimat Lanang, melainkan Pedang Istana Intan 
milik Eyang Nini Murti. Itu pun sudah dibuangnya ka-
rena dianggap tidak mampu menembus bayangan dan 
tidak bisa dipakai untuk memotong dahan. Dia tidak 
tahu apa isi Pedang Istana Intan."
"Hih hik hik hik...! Kau tak bisa menipuku, 
Sembur Maut. Aku tahu Pedang Istana Intan itu sudah 
lama ditemukan oleh seorang pengelana dan sudah ti-
dak ada di Lembah Maut! Kau tak perlu mengarang 
sebuah cerita baru lagi, Sembur Maut!"
Bocah Bodoh segera ikut menyahut, "Betul, Bi-
bi! Ibu tidak bohong. Aku memang menemukan Pedang

Istana Intan, tapi sudah...."
'Tutup mulutmu, Anak Monyet! Jangan turut 
campur urusan orang tua!" hardik Nyai Rajang Demit 
sambil menuding Bocah Bodoh pakai tongkatnya. Uca-
pan itu membuat hati Nyai Sembur Maut menjadi pa-
nas dan pandangan matanya memancarkan hasrat un-
tuk membunuh adik tirinya yang jahat itu.
Nyai Rajang Demit melirik angker pada Nyai 
Sembur Maut, kemudian berkata dalam nada dingin,
"Kalau kau tak serahkan dalam tiga hitungan, 
kubunuh kau di atas kursi itu!"
"Apa kau mampu membunuhku?!" tantang Nyai 
Sembur Maut. Tantangan itu membuat Nyai Rajang 
Demit tak sempat menghitung sampai tiga kali. Lang-
sung saja ia menyerang dengan berucap kata,
"Kau memang keparat, Sembur Maut! 
Heaaah...!"
Nyai Rajang Demit melompat sambil mengarah-
kan ujung tongkatnya yang bawah untuk menumbuk 
kepala Nyai Sembur Maut. Tetapi, nenek lumpuh itu 
segera hembuskan semburannya melalui mulut, dan 
angin badai pun keluar dari mulut tersebut. Woooss...! 
Tubuh Nyai Rajang Demit terpental sampai menghan-
tam pohon dan pohon itu pun retak pada pertengahan 
batangnya.
Buru-buru ia bangkit dan menyentakkan tong-
katnya ke depan. Tiga mata pisau itu memancarkan ti-
ga larik sinar hitam ke arah dada Nyai Sembur Maut. 
Zraaap...!
Dengan cepat Nyai Sembur Maut menghentak-
kan telapak tangannya ke depan, dan dari telapak tan-
gan itu terpancar sinar hijau membentuk perisai. Sinar 
hitam tiga larik ditahan dengan sinar hijau, dan mere-
ka saling adu kekuatan, mengerahkan tenaga dalam 
hingga keduanya sama-sama berpeluh dan bergetar

tubuhnya.
Tapi dengan cepat tangan Nyai Sembur Maut 
berkelebat berputar satu kali dan sinar perisai itu be-
rubah menjadi biru. Pada saat demikian, sinar hitam-
nya Nyai Rajang Demit menjadi terdesak. Jaraknya 
kian dekat dengan ujung tongkat. Dan akhirnya sinar 
hitam itu bagaikan memukul balik pemiliknya setelah 
tangan Nyai Sembur Maut kian menghentak ke depan 
dalam satu sentakan kuat. Drrubbb...! Blaarrr...!
Nyai Rajang Demit kembali terpental dan ter-
guling-guling. Rambutnya yang diriap sedikit terbakar. 
Namun segera padam setelah dikibaskan satu kali, ia 
pun cepat-cepat bangkit untuk keluarkan jurus maut 
lainnya. Tetapi ternyata Nyai Sembur Maut telah ber-
gerak lebih cepat.
Kekuatan tenaga dalamnya mampu membuat ia 
bersama kursinya terbang dengan cepat. Wuuusss...! 
Menabrak punggung Nyai Rajang Demit dari belakang. 
Bruusss...! Orang itu terpental menuruni lereng. Ia 
memuntahkan darah dari mulutnya saat masih terdu-
duk di tanah.
"Jahanam kau, Sembur Maut!" geramnya den-
gan mata semakin beringas.
Nyai Sembur Maut memutar gerakan bersama 
kursinya. Ia tiba di pekarangan depan rumahnya lagi. 
Tapi Nyai Rajang Demit mengejarnya dengan satu lom-
patan bersalto tiga kali. Jleeg...! Begitu mendaratkan 
kaki, tepat di depan kakak tirinya. Lalu, pisau di ujung 
tongkatnya itu disabetkan ke kiri. Wuusst...!
Wrrrusss...! Mulut Nyai Sembur Maut kelua-
rkan napas yang memancarkan sinar biru berkelok ba-
gai lidah petir menyambar. Semburan itu selain me-
nangkis gerakan tongkat juga menghantam tiga mata 
pisau memakai kilatan sinar biru tadi. Duuaaarr.! Le-
dakan terjadi dan membuat tubuh Nyai Rajang Demit

terpelanting. Tapi justru gerakan terpelantingnya itu 
berhasil dimanfaatkan untuk menendangkan kakinya 
ke belakang. Wuuuttt...! Nyai Sembur Maut tidak me-
nyangka akan datangnya tendangan itu. Namun ia 
sempat menangkis dengan kedua tangan di silangkan 
di depan wajah. Hanya saja, karena kuatnya tenaga 
kaki itu, tangan tersebut kalah menahan, dan akhir-
nya Nyai Sembur Maut terpelanting ke belakang, ter-
jungkal jatuh bersama kursinya. Braakkk...!
"lbuuu...!" Bocah Bodoh yang sejak tadi terben-
gong saja, kini bergegas menolong ibunya. Tetapi tiba-
tiba ujung tongkat Nyai Rajang Demit bagian bawah-
nya menyodok punggung Bocah Bodoh dengan sodo-
kan cepat beruntun tiga kali. Dug, dug, dug...!
"Uuhg...!" Bocah Bodoh tersentak dan diam se-
ketika. Ia telah tertotok jalan darahnya.
"Setan kau, Rajang Demit!" sentak Nyai Sembur 
Maut sambil berusaha untuk bangkit dengan susah 
payah, karena kedua kakinya sudah tidak bisa digu-
nakan sama sekali.
Dalam keadaan masih terkapar di tanah, Nyai 
Sembur Maut melihat tiga mata pisau itu dihujamkan 
ke dadanya. Tetapi dengan cepat ia lepaskan pukulan 
bercahaya kuning. Blaarrr...!
Tiga mata pisau Itu pecah menjadi serpihan 
lembut. Sebagian pukulan bercahaya kuning itu men-
genai tangan Nyai Ranjang Demit sehingga tangan itu 
sempat membekas hangus bagian siku. Melihat kea-
daannya sudah kalah kuat dengan Nyai Sembur Maut, 
maka dengan cepatnya tubuh Bocah Bodoh yang diam 
karena tertotok itu segera disambarnya. Wuuuttt...!
"Hei, mau kau bawa ke mana anakku itu, Se-
tan!" teriak Nyai Sembur Maut dengan merayap-rayap.
"Pertimbangkan permintaanku tadi, Sembur 
Maut! Kukembalikan anakmu jika kau mau menukar

nya dengan Pedang Jimat Lanang. Pancangkan bende-
ra kuning di depan rumahmu, maka aku tahu kau 
akan siap menukar anakmu dengan pedang pusaka 
itu!" 
"Tunggu dulu...!"
"Ingat kata-kataku. Kalau dalam dua hari tak 
ada kabar, anakmu kubunuh dan kukembalikan kepa-
lanya!"
Wesss...! Nyai Rajang Demit berkelebat pergi 
dengan cepatnya sambil memanggul Bocah Bodoh. 
Nyai Sembur Maut sempat lepaskan pukulan sambil 
duduk di tanah, tapi pukulan itu tidak mengenai sasa-
ran. Bocah Bodoh tetap dibawa lari untuk dijadikan 
sandera dan ditukar dengan Pedang Jimat Lanang. Pa-
dahal Nyai Sembur Maut memang tidak memiliki pe-
dang pusaka tersebut. Keadaannya yang lumpuh 
membuat ia tak mampu mengejar anaknya.
*
* *
2


SEGUMPAL kabut mengikuti kepergian Nyai 
Rajang Demit dari Bukit Lidah Samudera. Segumpal 
kabut itu sejak tadi ada di samping rumah kayu Nyai 
Sembur Maut. Kabut itu bisa melihat jelas pertarungan 
dan mendengar jelas pula percakapan yang terjadi di 
rumah kayu itu. Siapa lagi orang yang bisa berubah 
menjadi kabut jika bukan si Tua Usil, yang secara tak 
langsung kini menjadi pelayannya Lili; Pendekar Raja-
wali Putih.
Kedatangan tua Usil ke rumah Bocah Bodoh 
bukan sesuatu yang tidak disengaja. Ia diutus oleh Yoga dan Lili untuk melihat apakah Bocah Bodoh itu su-
dah tiba di rumahnya, atau belum. Jika belum, berarti 
Bocah Bodoh mendapat halangan di perjalanan.
Sesampai di sana Tua Usil melihat Bocah Bo-
doh termenung di bawah pohon, Ia ingin menggodanya 
melalui perubahan wujud dirinya menjadi kabut. Teta-
pi pada saat Tua Usil sudah menjadi kabut, Nyai Ra-
jang Demit muncul dan Tua Usil tak berani dekati Bo-
cah Bodoh. Ia bahkan menjadi penonton setia perta-
rungan tersebut tanpa diketahui oleh siapa pun.
Maka ketika Bocah Bodoh diculik Nyai Rajang 
Demit, manusia kabut itu mengikutinya dalam wujud 
kabut. Dengan begitu, Nyai Rajang Demit tidak menge-
tahui bahwa pelariannya diikuti oleh seseorang. Tua 
Usil lakukan hal itu, karena ia ingat pesan Yoga dan 
Lili sebelum berangkat menengok Bocah Bodoh,
"Jangan lupa, temui lagi ibunya Bocah Bodoh 
dan sampaikan salamku kepadanya. Katakan murid 
Dewa Langit Perak ikut hadir di Lembah Maut itu!" 
"Baik; Nona Li! Akan saya katakan hal itu." Yoga me-
nimpali, "Katakan pula kepada Nyai Sembur Maut, 
bahwa tak sebutir pun permata di dalam pedang itu 
ada yang hilang!"
Pada saat itulah Lili dan Tua Usil tercengang 
memandang Yoga. Yang dipandang hanya tersenyum 
tipis dan bersikap kalem, seakan tidak mengetahui 
mereka tercengang kaget. Kemudian, Lili segera hampi-
ri Yoga dan menarik pundak Yoga agar menatapnya. 
"Permata apa maksudmu?!" "Permata berharga," jawab 
Yoga sengaja menggoda Lili.
"Iya. Tapi permata bagaimana? Mengapa Tua 
Usil harus bilang begitu kepada ibunya Bocah Bo-
doh?!"
"Karena saat kuperiksa pedang itu, aku mene-
mukan permata di dalam gagang pedang!" jawab Pendekar Rajawali Merah yang bertangan buntung itu. Ia 
bicara tetap dengan kalem dan membuat Lili serta si 
Tua Usil menjadi makin terkejut.
"Maksud Tuan Yo, lapisan logam kuning di 
ujung gagangnya itu?" tanya Tua Usil minta penjela-
san.
"Lapisan logam kuning emas itu ditutupnya. 
Dengan memulir tutup itu, aku menemukan gagang 
pedang berongga dan isinya permata aneka macam, 
Ada
Intan, ada berlian, ada mutiara, ada… macam-
macamlah! Dan gagang pedang itu terisi penuh. Kare-
na itu jika pedang digerakkan tak menimbulkan suara 
gemericik."
"Ooohhh...?!" Tua Usil terperangah semakin le-
bar baik mulut dan matanya, sedangkan gadis yang 
cantiknya melebihi bidadari itu hanya bisa tertegun 
dengan mata tak berkedip memandang pendekar tam-
pan.
"Aku sengaja tidak katakan hal itu kepada Bo-
cah Bodoh, sebab aku takut dia akan kegirangan dan 
menyebarkan berita itu, sehingga nyawanya akan te-
rancam oleh kejahatan orang yang ingin memiliki per-
mata-permata itu."
"Betul juga," gumam Tua Usil, "Apalagi Bocah 
Bodoh itu memang benar-benar bodoh, tak tahu ba-
haya mengancamnya."
"Tapi bagaimana kalau Bocah Bodoh sendiri 
yang serahkan pedang itu kepada orang lain, karena 
dianggap pedang itu pedang biasa?" tanya Lili tampak 
sedikit cemas.
"Kita lihat saja," jawab Yoga. "Karenanya, Tua 
Usil harus lekas berangkat ke rumah Bocah Bodoh. 
Berusahalah cari tahu, apakah Nyai Sembur Maut me-
nyimpan permata-permata itu atau dia sendiri tidak

tahu kalau kehebatan pedang tersebut ada di gagang-
nya. Jika belum tahu, kasih tahu dia secara pelan-
pelan, jangan kedengaran Bocah Bodoh!"
"Dan jika ada yang mengambilnya, mungkin pe-
dang itu diserahkan kepada orang lain oleh Bocah Bo-
doh, cart tahulah siapa orang yang menerima pedang 
itu! Jika memang Bocah Bodoh belum tiba di rumah, 
tugasmu segera mencari dia dan bantu dia jika ada ke-
sulitan apa-apa. Kau bisa gunakan ilmu 'Halimun'-mu, 
Tua Usil."
"Balk, Nona Li. Tapi... sebenarnya lebih enak 
lagi kalau saya lakukan tugas ini setelah saya meneri-
ma pelajaran berdiri di atas ilalang dari Nona Li!" sam-
bil Tua Usil cengar-cengir.
"Justru tidak sekarang. Sebab jika sekarang 
kau ku beri pelajaran tentang cara berdiri di atas ila-
lang, maka kau akan lalai dengan tugasmu, dan setia 
pada ilalang pasti kau gunakan untuk berdiri di atas-
nya! Aku tak mau kau lalai dan lengah, Tua Usil!" kata 
Lili menolak dengan cara halus. Dan Tua Usil hanya 
mendengus napas kesal, namun segera pergi kerjakan 
tugas.
Tugas membantu kesulitan Bocah Bodoh. Itu-
lah yang membuat Tua Usil akhirnya tiba di sebuah 
gubuk, letaknya di atas jurang bertebing curam. Gu-
buk itu adalah tempat tinggal Nyai Rajang Demit. Di si-
tu ia tinggal sendirian, selalu memperdalam ilmunya 
pada saat tak ada urusan dengan tokoh-tokoh di rimba 
persilatan.
Di gubuk itu pula Bocah Bodoh ditawan. Ia ti-
dak ditawan di dalam gubuk, melainkan diikat di se-
buah pohon bercabang tinggi. Nyai Rajang Demit ter-
senyum-senyum saat mengikat tubuh Bocah Bodoh 
dengan batang pohon besar itu. Ia tak peduli Bocah 
Bodoh itu menangis ketakutan dan memohon-mohon

untuk tidak diperlakukan seperti itu.
"Kau akan kulepaskan kalau kau kasih tahu 
padaku, pedang itu ada di mana. Disimpan ibumu 
atau kau sembunyikan sendiri!"
"Aku tidak tahu, Bibi! Sumpah pingsan, aku ti-
dak tahu!"
“Tak mungkin kau tidak mengetahuinya, kare-
na kulihat kemarin, tanah di sekitar tonggak prasasti 
itu sudah tergali. Pasti pedang itu sudah kau da-
patkan."
"Aku mendapatkannya bukan Pedang Jimat La-
nang, Bibi. Yang kudapatkan, menurut Ibu, Pedang Is-
tana Intan yang pada bagian gagangnya tersimpan 
permata dan batu untuk membangkitkan orang mati 
bernama Delapan Mata Syiwa itu, Bibi!"
Tercengang Nyai Rajang Demit mendengar uca-
pan itu. ia memang tahu, bahwa Eyang Nini Murti 
mempunyai Pedang Istana Intan, tapi ia menyangka 
pedang itu pedang sakti yang masih kalah hebat di-
bandingkan Pedang Jimat Lanang. Nyai Rajang Demit 
tidak tahu bahwa pedang itu menyimpan permata di 
bagian gagangnya, seperti yang dikatakan Bocah Bo-
doh itu. Karenanya, ia jadi berpikir antara Pedang Ji-
mat Lanang dan Pedang Istana Intan; mana yang ingin 
diperolehnya? "Kau tidak bohong pada Bibi, Cola Co-
lo?!" 
“Tidak, Bibi. Aku berani bersumpah serapah, 
bahwa yang kudapatkan dari prasasti itu Pedang Ista-
na Intan, bukan Pedang Jimat Lanang." 
"Isinya emas permata?"
"Menurut keterangan Ibu memang begitu. Tapi 
waktu itu aku tidak memeriksa gagangnya, sehingga 
tidak tahu kalau gagang pedang itu berisi permata pe-
nuh! Lengkap dengan delapan batu sakti itu."!
"Dan sekarang Pedang istana Intan Itu disim

pan oleh ibumu di rumah atau di tempat lain?"
"Ibu tidak menyimpan pedang itu, Bibi. Pedang 
itu ku buang ke Jurang Usus Bumi, karena aku kece-
wa bahwa pedang itu tidak mampu untuk memotong 
dahan, dan menjadi geripis ketika ku tebaskan di po-
hon. Aku tidak tahu kalau isinya berlian, sehingga 
dengan jengkel ku buang begitu saja di jurang terse-
but!"
Nyai Rajang Demit menyeringai, "Kau bohong! 
Kau bohong sekali!"
“Tidak, Bibi! Saya tidak sempat bohong!"
Plakkk...! Pipi Bocah Bodoh ditampar seenak-
nya saja oleh bibinya sendiri. Kemudian, mata Nyai Ra-
jang Demit itu memancar dengan tajam, menyeramkan 
buat Bocah Bodoh, sehingga ia tidak berani menatap 
mata bibinya itu.
"Katakan ada di mana Pedang Istana Intan 
itu?!"
"Ku buang, Bi! Ku buaaang...!"
"Aku tetap tidak percaya, karena kau anak yang 
baik, yang selalu menuruti perintah ibumu. Jika ibu-
mu perintahkan bawa pulang itu pedang, maka kau 
pasti akan membawanya pulang. Tak mungkin kau be-
rani membuangnya ke jurang!"
"Kalau Bibi tidak percaya, silakan Bibi menca-
rinya sendiri di Jurang Usus Bumi itu!"
Wajah Cola Colo diremas pipinya kanan-kiri 
oleh tangan Nyai Rajang Demit hingga mulut Cola Colo 
sampai meruncing. Wajah Nyai Rajang Demit pun 
mendekat dengan mata lebar dan senyum seringai ib-
lis.
"Dengar, kalau aku mau mencari Pedang Istana 
Intan, bukan aku sendiri yang turun ke Jurang Usus 
Bumi itu, tapi kaulah yang akan ku paksa menemu-
kannya kembali. Tapi itu kalau aku percaya bahwa pe

dang tersebut kau buang ke sana. Ternyata saat ini 
aku belum percaya dengan pengakuanmu, Bocah Bo-
doh. Aku tetap berkeyakinan, pedang itu pasti disim-
pan oleh ibumu di suatu tempat, hanya kalian berdua 
yang mengetahuinya. Karena itu, kau pilih jujur kepa-
daku, atau...."
Nyai Rajang Demit dongakkan wajah yang di-
remasnya itu. Wajah Bocah Bodoh memandang ke atas 
pohon. Remasan tangan dilepaskan sambil Nyai Rajang 
Demit berkata,
"Pilihan kedua ada di atasmu! Kau lihat bina-
tang hitam loreng yang bergerak-gerak di atas dahan 
tinggi itu?!"
"Hahhh...?! Ul... ul.. ular?!" Bocah Bodoh terke-
jut dan menjadi pucat pasi wajahnya. Ular itu melilit di 
dahan atas, besarnya seukuran satu pahanya sendiri.
"Ular Itu piaraan ku. Ia akan turun kalau had 
sudah hampir petang, dan mencari makan sendiri. Kau 
punya kesempatan sampai senja tiba, menyebutkan di 
mana pedang itu, atau dimakan ular itu!"
Nyai Rajang Demit tinggalkan Bocah Bodoh de-
ngan senyum keji tersungging di bibirnya. Ia masuk ke 
pondoknya sebentar, setelah itu keluar lagi dan berge-
gas pergi. Sebelum pergi tinggalkan tempat Itu, ia ber-
kata kepada Bocah Bodoh,
"Aku pergi sebentar. Secepatnya kembali lagi. 
Kuharap saat aku kembali, kau sudah punya keputu-
san untuk selamatkan dirimu dari mulut ular terse-
but!"
"Bibi.... Jangan tinggalkan aku sendirian, Bi. 
Kalau ular itu tahu-tahu lapar bagaimana?"
Tapi Nyai Rajang Demit tidak menggubris kata-
kata keponakannya. Seluruh tubuh Bocah Bodoh men-
jadi gemetaran. Kepalanya sebentar-sebentar menen-
gok ke atas dengan cemas. Ular besar yang melilit di

dahan itu bergerak-gerak lamban. "Ooh„. ular, jangan 
kau turun kemari sebelum aku dilepaskan! Kasihani-
lah diriku yang sudah tidak punya ayah ini, Ular...!" 
ucap Bocah Bodoh dengan jantung berdetak-detak ka-
rena takutnya. Tapi ucapan itu seolah-olah justru 
membuat ular besar warna hitam loreng itu bergerak 
turun pelan-pelan. Wajah Bocah Bodoh bertambah te-
gang bercampur sedih. Ia menangis sambil celingak-
celinguk mencari seseorang untuk dimintai bantuan-
nya. Tapi tebing jurang itu sepi, tak ada manusia lewat 
disana.
"Bibiii...!" teriaknya keras-keras, karena ia pu-
tuskan untuk membuat perjanjian dengan bibinya. Ia 
bersedia mencari pedang yang dibuangnya di jurang 
ketimbang harus mati dicaplok ular besar.
Ternyata teriakan itu justru membuat ular be-
sar makin tergugah dari kemalasannya. Kepala ular 
yang menjulur-julurkan lidahnya menghadap ke ba-
wah. Ketika Bocah Bodoh mendongak lagi, mata ular 
itu memandang ke arahnya, dan bergerak lebih cepat 
dari semula. Ular itu turun merayapi dahan besar.
"Oooh... mati aku kalau begini!" ucap Bocah 
Bodoh di sela tangisnya yang tak berani keras, karena 
takut mengagetkan ular. Ia berusaha menyentak-
nyentakkan badan supaya ikatannya terlepas. Tapi 
usaha itu sia-sia. Tali yang digunakan mengikat tu-
buhnya dengan pohon sepertinya bukan sembarang ta-
li, lebih alot dan lebih keras dart tali biasa. Sedangkan 
ular di atas sana makin lama makin turun tempatnya, 
gerakannya bagaikan terasa betul di tiap denyut nadi 
Bocah Bodoh, Hal itu yang membuat bocah tua yang 
bodoh itu menjadi basah kuyup tubuhnya oleh kerin-
gat, celananya pun ikut basah kuyup karena rasa ta-
kut yang amat mencekam jiwa.
Pada saat itulah segumpal asap merayap di tanah. Makin lama semakin membungkus kaki Bocah 
Bodoh. Tetapi Bocah Bodoh masih tetap tegang dan 
berusaha lepaskan diri dari ikatannya sambil menan-
gis, karena ia belum tahu bahwa asap kabut itu adalah 
si Tua Usil. Ia menganggapnya kabut salah musim, 
siang-siang di tengah terik matahari muncul dan me-
rayapi bumi. Kalau bukan kabut salah musim, tak 
mungkin ada, menurut pendapat Bocah Bodoh.
Tetapi tiba-tiba ia merasakan tali pengikat tu-
buhnya tersendat-sendat. Ia memandang ke atas, ular 
bergerak terus turun dengan gerakan tak selamban ta-
di. Kepala ular agaknya mengincar kepala Bocah Bo-
doh.
"Celaka! Sungguh celaka nasib ku hari ini! Tak 
mungkin aku mencaplok ular itu sebelum aku dicap-
lok! Pasti dia lebih dulu mencaplok kepalaku dan... 
dan... oh, tak dapat kubayangkan kalau aku ditelan 
ular itu, pasti sangat tak enak hidup di dalam perut 
ular...!" pikir Bocah Bodoh sambil merasa heran, men-
gapa tubuhnya diselimuti oleh kabut:
Bocah Bodoh berhenti berceloteh ketika terasa 
ada bagian tali yang mengendur. Makin tegang hatinya 
setelah ia rasakan banyak tali mengendur dan kedua 
tangannya bisa lolos dari ikatan tersebut.
"Hei, kabut ini rupanya telah membantuku me-
lepaskan diri dari ikatan! Kabut aneh..?!" pikirnya de-
ngan terburu-buru menarik-narik tali tersebut.
Ketika tali telah lepas semua. Kabut itu berge-
rak menjadi satu gugusan, bagai tersedot oleh satu ke-
kuatan dari atas, Zuuuttt...! Berubah menjadi seperti 
tiang, makin lama makin pudar dan muncul sesosok 
tubuh berpakaian coklat muda. Bocah Bodoh terkejut 
karena ia mengenali orang tersebut.
'Tua Usil...?!”
"He he he he...!" Tua Usil tertawa bagai mem

banggakan diri. "Baru sekarang kau lihat aku berubah 
jadi kabut, ya?"
"Hebat sekali kau!" Bocah Bodoh menepuk-
nepuk pundak Tua Usil. "Kau punya ilmu bisa berubah 
jadi kabut dan jadi apa lagi?"
"Yah, kadang-kadang jadi pelayan, kadang-
kadang jadi bingung, dulu malah pernah menjadi pen-
gemis!" canda Tua Usil.
"Hebat sekali kau? Bisa berubah-ubah begitu?!" 
Bocah Bodoh tersenyum merasa kagum dan mengang-
gap hebat Tua Usil yang bisa berubah-ubah jadi pe-
layan atau jadi pengemis.
"Sssttt...! Ke mana Nyai Rajang Demit?"
"Dia pergi! Dia menawan ku. Aku mau ditukar 
dengan pedang. Padahal yang kudapatkan tempo hari 
itu, ternyata bukan Pedang Jimat Lanang, melain-
kan...."
"Ya, ya... aku sudah dengar semua percakapan 
Ibumu dengan Nyai Rajang Demit. Isi gagang pedang 
itu pun aku sudah tahu dari penjelasan Tuan Yo! Cu-
ma, ku sayangkan kau bertindak ceroboh, membuang 
pedang itu ke Jurang!"'
"Yah, Itulah kesalahanku!" Bocah Bodoh meng-
hempaskan napas dan bersandar pada pohon dengan
rasa sesal. "Aku tidak tahu keistimewaan pedang itu! 
Kalau waktu Itu Tuan Yo memberitahukan isinya, aku 
tidak akan buang pedang itu."
"Sudahlah. Sekarang sebaiknya kita lekas-lekas 
tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Rajang Demit da-
tang, dan... dan..." Tua Usil tegang mendadak. Bocah 
Bodoh berkerut dahi. Tua Usil memandang atas kepala 
Bocah Bodoh, dan Bocah Bodoh segera mendongak, 
ternyata ular besar sudah ada dalam jarak dekat. Bo-
cah Bodoh terpekik keras,
"Wooaawww...!" Ia cepat berlari. Brusss...! Tua
Usil ditabraknya.
"Heegh..!" Tua Usil mendelik karena terinjak pe-
rutnya.
*
* *
3


SAMBIL berceloteh tentang kejahatan bibinya, 
Bocah Bodoh dan Tua Usil melangkah menyusuri sun-
gai. Menurutnya, jalan melalui tepian sungai lebih 
aman, lebih kecil kemungkinannya bertemu dengan 
Nyai Rajang Demit. Waktu itu matahari masih mening-
gi dan sinarnya memancarkan panas yang menyengat 
kulit.
Langkah mereka tiba-tiba terhenti karena Bo-
cah Bodoh menahan tangan si Tua Usil. Mata Bocah 
Bodoh memandang ke arah tanggul sungai yang ada 
Jauh di depannya. Tua Usil cepat bertanya,
"Ada apa?"
"Orang-orang Lereng Lawu!" bisik Bocah Bodoh. 
"Kau lihat tiga orang yang lewat di atas tanggul itu?"
Tua Usil segera memandang arah yang ditunjuk 
Bocah Bodoh. Ia hanya menggumam sebagai tanda 
bahwa ia memang melihat apa yang dimaksud Bocah 
Bodoh. Lalu, Bocah Bodoh tambahkan kata,
"Dua orang lelaki itu anak buah Wali Kubur 
yang tempo hari ikut hadir di Lembah Maut!"
"Lalu yang perempuan berbaju hijau muda itu 
siapa?"
"Dia kakaknya Wali Kubur."
"Ah, bukankah Wali Kubur sudah tua? Masa' 
adiknya setua itu kok kakaknya masih seperti gadis

usia dua puluh satu tahun?"
"Kata Ibu, Iblis Mata Genit itu usianya sudah 
hampir seratus tahun, tapi ia punya ilmu yang bisa 
membuatnya semuda itu dan secantik bidadari. Hanya 
saja, kalau dibandingkan dengan Nona Li, ya masih 
cantik Nona Li."
"Kakaknya Wali Kubur itu yang bernama Iblis 
Mata Genit?"
"Iya! Kata Ibu, ilmunya lebih tinggi dari Wali 
Kubur sendiri," Bocah Bodoh menjelaskan dengan rasa 
bangga karena bisa menggurui.
Tua Usil mencibir, "Ah, biar setinggi apa pun 
ilmunya, tapi kalau melawan Nona Li, tak bakalan bisa 
menang. Nona Li bisa berdiri di atas ilalang!" Tua Usil 
menyombongkan ilmu majikannya.
"Ah, kalau hanya berdiri di atas ilalang aku ju-
ga bisa!" Bocah Bodoh tidak mau kalah sombong.
Tua Usil kaget. "Apa betul?!"
"Iya!"
"Aku tak percaya. Berbulan-bulan aku ikut No-
na Li, ingin belajar cara berdiri di atas ilalang, tapi 
sampai hari ini aku belum bisa! Masa' kamu bisa ber-
diri di atas ilalang? Hanya orang berilmu tinggi yang 
bisa lakukan begitu!"
"Kau mau bukti kalau aku bisa berdiri di atas 
ilalang?"
"Buktikan!" Tua Usil agak ngotot. "Nanti kalau 
memang kau benar-benar bisa berdiri di atas ilalang, 
aku akan belajar padamu!"
"Akan kubuktikan!" sambil Bocah Bodoh berge-
gas mendekati ilalang yang tumbuh di bawah tanah 
tanggul itu. 'Tak perlu belajar kepada Nona Li kalau 
hanya soal begitu! Belajar padaku lebih cepat!" 
"Pakai puasa dan bertapa segala?" 
“Tak perlu!" jawab Bocah Bodoh. Lalu, ia mencabut beberapa ilalang. Dibawanya beberapa lembar 
ilalang itu ke sebuah batu. Diletakkannya ilalang itu di 
atas batu dalam posisi tidur. Kemudian ia naik di atas 
batu dan menginjak ilalang tersebut.
"Nah, lihat! Beginilah cara berdiri di atas ila-
lang. Mudah bukan?”
Tua Usil menarik napas dongkol. Ia bertolak 
pinggang dan berkata kepada Bocah Bodoh yang masih 
berdiri di atas batu beralaskan daun ilalang,
"Hei, kebo hamil pun bisa lakukan hal seperti 
itu!". Tua Usil bernada ngotot. "Yang ku maksud, ber-
diri di atas ilalang yang masih tumbuh, dan tanpa alas 
berpijak apa pun kecuali sebatang ilalang itu!"
"Ooo... kalau itu, ya sulit!" Bocah Bodoh ber-
sungut-sungut. Ia tidak sadar bahwa dengan berdiri di 
atas batu, maka ia tampak tinggi dan dapat terlihat 
dari jauh lebih jelas lagi. Dan pada saat itu, salah satu 
anak buah Wali Kubur segera berseru,
"Hai, lihat...! Itu dia si Bocah Bodoh! Dia pasti 
tahu di mana gadis cantik yang menyedot ilmunya 
sang Ketua!"
Suara itu terdengar oleh Bocah Bodoh. Ia men-
jadi kaget dan menyadari keberadaannya di tempat 
tinggi. Maka ia buru-buru turun pada saat tiga orang 
dipihaknya Wali Kubur itu segera berlari ke arahnya.
"Mereka datang kemari?!" Wajah Bocah Bodoh 
menegang. Dan Tua Usil yang memandang ke arah me-
reka bertiga pun menjadi tegang.
"Cepat lari! Jangan berurusan dengan mereka!" 
seru Tua Usil sambil menarik tangan Bocah Bodoh.
Brruk...! Bocah Bodoh jatuh tersungkur karena 
tangannya terlalu keras ditarik oleh Tua Usil. Ia marah 
dan membentak,
"Hati-hati, Tolol!"
"Ayo, lekas lari!"

"Iya. Lari ya lari, tapi jangan pakal siksa aku 
begini!" bentak Bocah Bodoh dengan mata mendelik.
Wuuttt...! Jleeg...!
Tahu-tahu gadis cantik bermata indah itu su-
dah berdiri di depan langkah kedua orang berusia lima 
puluh tahunan itu. Gadis berpakaian hijau muda yang 
menyandang pedang panjang di pinggangnya itu terse-
nyum sinis sambil berkata,
'Tak perlu lari, Bocah Bodoh. Ada baiknya kita 
bincang-bincang sebentar, terutama tentang gadis can-
tik yang ikut bersama mu di Lembah Maut itu!"
Bocah Bodoh dan Tua Usil sebenarnya ingin 
melarikan diri lewat jalan lain. Tapi kedua anak buah 
Wali Kubur sudah mengepung mereka. Akibatnya me-
reka sama-sama percuma berusaha untuk menghinda-
ri tiga orang Perguruan Lereng Lawu Itu.
Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. Ia berharap 
Tua Usil bertindak melawan Iblis Mata Genit itu, tapi 
Tua Usil justru memandang wajah-wajah lawannya 
dengan rasa takut. Karena tak ada kata-kata yang ke-
luar dari mulut kedua orang tua itu, maka Iblis Mata 
Genit segera dekati Bocah Bodoh dan meremas da-
gunya, lalu mengangkat wajah itu supaya menatap ke 
arahnya,
"Siapa gadis cantik yang melawan adikku; si 
Wali Kubur itu?!"
"Eh... namanya... namanya Nona Lili. Dia berge-
lar Pendekar Rajawali... Rajawali... Hitam."
"Putih," sahut Tua Usil membetulkan.'
"Ah, kau buta warna. Kulihat rambutnya masih 
hitam!"
"Iya, tapi namanya Pendekar Rajawali Putih!" 
bantah Tua Usil.
"O, sekarang rambutnya sudah beruban?" 
"Rambutnya masih hitam, tapi nama gelarnya

Pendekar Rajawali Putih!"
"Jadi namanya tidak tergantung rambutnya?" 
"Cukup!" bentak Iblis Mata Genit. "Aku hanya 
mau bicarakan soal gadis itu, bukan soal rambut!" 
Bocah Bodoh diam ketakutan. Tua Usil masih 
bersungut-sungut agak jengkel dengan kebodohan Co-
la Colo, tapi ia juga menjadi takut. Iblis Mata Genit 
bertolak pinggang saat bertanya kepada Cola Colo,
"Kau tahu, gadis yang kau panggil dengan na-
ma Lili atau Pendekar Rajawali Putih itu telah mem-
buat adikku kehilangan semua ilmunya. Sekarang Wali 
Kubur seperti bocah baru lahir...."
"Maksudnya, minta nenen segala? Hi hi hi...'' 
Plookkk...! Bocah Bodoh ditampar kuat-kuat 
oleh Iblis Mata Genit. Tapi karena ia berhasil merun-
dukkan kepala, maka yang kena tampar wajah Tua 
Usil yang ada di samping kanannya. Tua Usil langsung 
terpelanting jatuh. Namun cepat-cepat bangun dan 
menendang kaki Bocah Bodoh.
Duuhg...!
Tua Usil menggeram, Bocah Bodoh meringis 
menahan sakit.
Iblis Mata Genit berkata, "Bocah Bodoh, gadis 
bernama Lili itu harus bikin perhitungan denganku. Ia 
harus bisa kembalikan semua ilmu si Wali Kubur, atau 
ditebus dengan nyawanya!"
"Ditebus saja. Eh... anu... maksudku... 
hmrrm... tanyakan saja kepada temannya ini," sambil 
Bocah Bodoh menuding Tua Usil. "Dia namanya Tua 
Usil, teman dekatnya Nona Li!"
"Kebetulan sekali. Tunjukkan di mana tempat 
tinggal Pendekar Rajawali Putih itu!" kata Iblis Mata 
Genit kepada Tua Usil.
Hati Tua Usil dongkol kepada Bocah Bodoh. Ia 
menggerutu dengan bersungut-sungut dan melirik Bocah Bodoh,
"Pakal bilang-bilang begitu segala! Akhirnya 
aku yang kena sasaran! Dasar manusia paling bodoh 
di dunia! Lain kali...."
Plakkk...! Tiba-tiba datang tamparan keras dari 
tangan kiri Iblis Mata Genit ke pipi kanan Tua Usil. Pi-
pi itu kena telak. Kerasnya tamparan membuat tubuh 
Tua Usil terhempas ke samping, tangannya berkelebat 
mengenai wajah Bocah Bodoh. Plokkk...!
"Akhirnya kena juga aku...," gumam Bocah Bo-
doh dengan cemberut.
Tua Usil, cepat katakan di mana aku bisa temui 
Pendekar Rajawali Putih itu! Katakan!"
"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil bermaksud 
merahasiakan tempat tinggal Lili, sebab Lili tinggal di
rumahnya, dan Tua Usil takut kalau rumahnya men-
jadi rubuh gara-gara Iblis Mata Genit mengamuk di 
sana. Terbayang olehnya jika Iblis Mata Genit berta-
rung dengan Lili, sudah pasti rumahnya akan jebol 
atau rubuh sama sekali.
"Aku akan menyiksamu kalau kau tak mau 
tunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih berada!" 
ancam Iblis Mata Genit kepada Tua Usil. Tapi Tua Usil 
segera tunjukkan keberaniannya yang sebenarnya 
hanya sebagai gertakkan saja, ..
"Kalau kau mau menyiksaku, kau akan kehi-
langan nyawamu, Iblis Mata Genit?!"
Tua Usil dipandang dengan tajam. Diam-diam 
jantungnya bergemuruh seperti mau lepas dari dada 
karena menahan rasa takut.
"Brata, Gandul... paksa dia supaya mengaku!" 
perintah Iblis Mata Genit kepada kedua murid Wali 
Kubur itu. Maka, orang yang bernama Brata itu segera 
bergegas maju, hendak menjambak rambut Tua Usil 
dari belakang. Tapi kaki Tua Usil segera menjejak bagaikan seekor kuda.
Buuhg...! Kedua kaki Tua Usil mengenai dada 
Brata dan orang itu tertahan langkahnya, namun tidak 
rasakan sakit sedikit pun. Tua Usil sendiri langsung 
jatuh karena menendang seperti kuda. Ketika ia jatuh, 
orang yang bernama Gandul itu segera melompat dan 
menginjaknya dengan satu hentakan. Buuhg...!
"Ngggkkk...!" Tua Usil mendelik, perutnya bagai 
dipompa hingga seluruh isinya nyaris keluar dad mu-
lut.
Bocah Bodoh menggunakan kesempatan untuk 
lari. Iblis Mata Genit bergegas mengejar dan berseru, 
"Tetap di sini kau, Bocah Bodoh!" Cola Colo tidak hi-
raukan seruan itu. Ia lekas melompat dan ceburkan di-
ri ke air sungai yang mengalir cukup deras itu. 
Byuuurr...!
"Bangsat!" geram Iblis Mata Genit, sementara 
kedua orang yang dibawanya itu sedang menghajar 
Tua Usil secara bak-buk-bak-buk. Bocah Bodoh ha-
nyut. la baru ingat bahwa dirinya tidak bisa berenang. 
Sejak dulu ibunya melarang dia bermain di laut atau-
pun di sungai, sehingga ia tidak pernah bisa berenang. 
Akibat kesadarannya yang terlambat itu, Bocah Bodoh 
gelagapan sambil tangannya menggapai-gapai, tubuh-
nya timbul tenggelam di permukaan air sungai yang 
menghanyutkannya. Iblis Mata Genit akhirnya tertawa 
geli cekikikan melihat nasib Bocah Bodoh.
Beruntung sekali Bocah Bodoh sempat tersang-
kut pada sebatang kayu yang tadinya terhalang batu, 
Karena tersentuh tubuh Bocah Bodoh, kayu itu akhir-
nya bergerak dan terlepas dari batu yang menghalan-
ginya. Bocah Bodoh berusaha berpegangan pada kayu 
gelondongan itu. Tapi tenaganya sangat lemas, sehing-
ga ia hanya bisa merangkul kayu tersebut sambil be-
rusaha bernapas sebisa-bisanya.

***
Bocah Bodoh tak ingat matahari, tak ingat 
rembulan. Ia hanyut terbawa batang kayu itu semala-
man suntuk. Ia tidak tahu arah dan tujuan aliran sun-
gai tersebut. Ia tak mendengar jerit kesakitan si Tua 
Usil yang dipaksa
menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih 
berada.
Masih beruntung Bocah Bodoh tak mati tengge-
lam. Masih beruntung aliran sungai itu membawanya 
ke arah lembah, dan di lembah itu ada sebuah rumah 
sederhana hampir serupa dengan rumahnya, yaitu ter-
buat dari belahan-belahan kayu. Rumah tersebut ada-
lah rumah Tua Usil.
Aliran arus sungai tidak sekencang pada saat 
Bocah Bodoh ceburkan diri pertama kalinya. Arus 
sungai sudah menjadi pelan dan lamban. Namun ma-
sih saja tetap menghanyutkan batang kayu tersebut. 
Dan di sungai itu, ada sebuah batu besar berbentuk 
kerucut. Di atas ujung lancipnya batu itu, ada kaki 
yang berdiri secara bergantian.
Seseorang melatih diri memainkan jurus-jurus 
silatnya dengan gunakan satu kaki secara bergantian. 
Orang tersebut melompat dan meliuk-liuk dalam gaya 
jurusnya yang sukar ditiru orang. Sementara itu, tak 
jauh dari orang tersebut, ada pula seseorang yang 
hanya duduk di atas batu datar, bersila dan pejamkan 
mata, terpayungi rindangnya dedaunan. Batu itu ada 
di daratan tepi sungai.
Orang yang duduk bersila itu tak lain adalah 
seorang gadis cantik yang dikenal dengan julukan 
Pendekar Rajawali Putih. Ia mengenakan pakaian me-
rah jambu. Sedangkan orang yang melatih jurus-
jurusnya di atas batu runcing itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah, yang punya nama asli Yoga, ia 
mengenakan pakaian selempang dari kulit beruang 
coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di 
dalamnya.
Nasib Bocah Bodoh rupanya masih dilindungi. 
Mata pemuda tampan itu melihat gerakan ba-
tang kayu. Mulanya ia tak hiraukan, tapi segera terpe-
ranjat setelah menyadari ada tubuh yang tersangkut di 
batang kayu tersebut. Tubuh itu tengkurap dan dalam 
keadaan lemas. Pendekar Rajawali Merah cepat sen-
takkan kakinya dan melompat menyambar tubuh yang 
terkulai itu. Wuuttt...! Pyaaakkk...!
"Bocah Bodoh...?!" Yoga terkejut bukan main 
melihat orang yang disambarnya itu.
Bocah Bodoh segera dibawa ke rumah setelah 
berhasil disadarkan. Lalu, Bocah Bodoh melaporkan 
apa yang terjadi atas dirinya,
"Nyai Rajang Demit menculik saya, Tuan Yo. 
Saya diikat di pohon besar, di atasnya ada ular. Hii...!" 
Bocah Bodoh bergidik sendiri, lalu ia lanjutkan ceri-
tanya tentang pertarungan Nyai Rajang Demit dengan 
ibunya. Ia ceritakan pula kemarahan ibunya dan ma-
salah Pedang Istana Intan yang dibuangnya ke Jurang 
Usus Bumi. Sempat pula ia bercerita tentang penyela-
matan yang dilakukan oleh Tua Usil.
Setelah Bocah Bodoh bercerita panjang lebar 
dengan mulutnya miring ke sana kemari, maka Yoga 
pun segera bertanya,
"Sekarang Tua Usil di mana?" 
"O, Iya!" Bocah Bodoh menepak dahinya sendi-
ri. Plakkk...! Lalu, ia berkata lagi, "Maaf, Tuan Yo. Saya 
lupa, Tuan."
"Lupa bagaimana?" Yoga mulai curiga.
'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng 
Lawu!"

"Hah...?!" Yoga kaget, tapi dianggap Bocah Bo-
doh, Yoga kurang jelas dengan ucapannya tadi. Maka, 
Bocah Bodoh pun mengulangi jawabannya dengan su-
ara berteriak dekat telinga Yoga,
'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng 
Lawu...!"
Wuuttt...! Wajah Bocah Bodoh didorong oleh ta-
ngan Yoga sambil Yoga bersungut-sungut.
"Budek kuping ku!"
"Betul, Tuan. Betul-betul budek. Eh... betul-
betul Tua Usil dalam bahaya. Kakaknya si Wali Kubur 
yang bernama Iblis Mata Genit, memaksa Tua Usil un-
tuk kasih tahu di mana Nona Li berada. Tapi Tua Usil 
tidak mau kasih tahu tempat di sini! Karena saya ta-
kut, saya lari dan menceburkan diri ke sungai. Tua 
Usil disiksa oleh mereka, tapi saya tak dengar suara je-
ritannya. Apakah karena Tua Usil dibunuh oleh mere-
ka, atau karena saya pingsan lalu tenggelam, entah-
lah!"
"Mengapa Iblis Mata Genit mencari Lili?" tanya 
Yoga dengan menahan kecemasan memikirkan nasib 
Tua Usil.
"Iblis Mata Genit mau balas dendam, menuntut 
agar Nona Li mengembalikan ilmu-ilmunya Wali Ku-
bur. Kalau Nona Li tidak mau, maka Iblis Mata Genit 
mau bunuh Nona Li!"
Pendekar Rajawali Merah diam sebentar, men-
gingat pertarungan singkat antara Lili dengan Wali 
Kubur, yang membuat seluruh ilmunya Wali Kubur le-
nyap karena dihantam pukulan 'Sirna Jati' oleh Lili. 
Rupanya sebagai kakak, Iblis Mata Genit tidak rela jika 
adiknya hidup tanpa ilmu, dan Wali Kubur sendiri ten-
tunya tidak bisa balas menyerang Lili jika tanpa ilmu 
secuil pun.
Setelah berpikir beberapa saat, Yoga pun bertanya, "Kau tahu di mana letak Perguruan Lereng La-
wu, Bocah Bodoh?!"
'Tua Usil pasti tahu, itu kalau dia belum terbu-
ru mati!"
"Yang kutanyakan, kau tahu atau tidak letak 
perguruan itu?"
"O, kalau saya... jelas tidak tahu, Tuan!" jawab 
Bocah Bodoh seperti merasa tidak bersalah dalam 
memberi jawaban tadi. Ia segera berkata lagi,
"Tapi kalau mau cari Iblis Mata Genit, jangan di 
Perguruan Lereng Lawu, Tuan. Sebab dia bukan orang 
Perguruan Lereng Lawu. Dia tidak punya perguruan, 
seperti Ibu saya juga tidak mau buka perguruan! Dia 
seorang petualang, kerjanya mondar-mandir seperti 
mandor bumi!"
Yoga manggut-manggut dan kembali berpikir 
beberapa saat, setelah itu ia bangkit berdiri dan berka-
ta,
"Kita cari dia sekarang juga!"
Pendekar Rajawali Merah bermaksud mengajak 
Lili untuk selamatkan Tua Usil. Tetapi Lili tidak bisa 
diganggu jika sedang semadi dan perdalam sebuah il-
mu. Pasti dia akan mengamuk jika diganggu oleh per-
soalan seperti itu. Maka, Pendekar Rajawali Merah pun 
akhirnya berangkat untuk selamatkan Tua Usil hanya 
ditemani oleh Cola Colo, si Bocah Bodoh itu.
*
* *
4


ATAS usul Bocah Bodoh, mereka melacak ke-
pergian Tua Usil dari tempat pertama kali bertemu

dengan Iblis Mata Genit! Bocah Bodoh membawa Yoga 
ke tanah bawah tanggul tepi sungai itu.
"Nah, di sini kemarin kami disergap Iblis Mata 
Genit, Tuan! Lihat, masih ada bekas ilalang di atas ba-
tu." 
"Apa maksud ilalang itu?"
"Tua Usil bicara soal Nona Li yang pandai ber-
diri di atas ilalang, lalu saya memberinya contoh berdi-
ri di atas ilalang. Tapi menurutnya Nona Li berdiri di 
atas ilalang yang masih tumbuh dan tanpa alas berpi-
jak sedikit pun, kecuali ilalang itu."
Yoga sudah tidak menghiraukan kata-kata Bo-
cah Bodoh saat ia tahu perkataan itu tak ada hubun-
gannya dengan hilangnya Tua Usil. Yoga pandangi 
keadaan sekeliling tempat itu. Ia temukan selembar 
kain hitam berukuran kecil. Yoga mengambil kain itu 
dan memperhatikan beberapa saat.
Bocah Bodoh berhenti dari bicaranya setelah 
tahu kata-katanya tak dihiraukan lagi oleh Yoga. Kini 
ia ikut pandangi kain hitam tersebut dan segera berka-
ta,
"Apa di situ bisa terlihat bayangan wajah Tua 
Usil, Tuan?'
'Tidak. Tapi aku tahu ini kain ikat kepalanya 
Tua Usil."
"Hah...?!" Bocah Bodoh kaget. "Kalau ikat kepa-
lanya lepas, berarti kepala Tua Usil copot, Tuan?!"
"Ikat kepala bukan berarti tali pengikat kepala 
supaya tidak copot! Ikat kepala gunanya untuk menga-
tur rambut bagi yang malas merapikan rambutnya!"
"Ooo...!" Bocah Bodoh manggut-manggut.
Mata Yoga masih memeriksa keadaan sekelil-
ing. Ia sedikit lega karena di sekitar tempat itu tidak 
terdapat setetes darah, itu tandanya Tua Usil tidak 
sampai berdarah jika disiksa mereka, dan tidak sampai

terbunuh jika menerima amukan Iblis Mata Genit.
Dalam perjalanan selanjutnya, Yoga dan Bocah 
Bodoh selalu memandangi keadaan sekelilingnya. Ce-
lingak-celinguk ke sana-sini mencari kemungkinan 
arah perginya Iblis Mata Genit. Yang jelas, tak mung-
kin Tua Usil dilepaskan begitu saja, pasti ikut bersama 
mereka.
Tiba-tiba sebuah pohon yang melengkung ter-
sentak tegak dengan timbulnya suara gemerisik. Gu-
sraakkk...! Lalu seutas tali panjang terlihat melesat ke 
atas. Wuuttt...! Sreettt...!
"Aaoowww...!" Bocah Bodoh berteriak ketaku-
tan. Yoga sempat terkejut melihat Bocah Bodoh te-
rayun-ayun di udara dengan satu kaki terjerat tali ter-
sebut. Rupanya Bocah Bodoh terjerat perangkap yang 
dipasang seseorang, entah dengan maksud mau cela-
kai Bocah Bodoh dan Yoga, atau dengan maksud mau 
menangkap seekor binatang. Yang jelas, Bocah Bodoh 
berteriak-teriak dalam keadaan ketakutan. Tubuhnya 
terayun ke sana-sini, sementara satu kakinya yang ti-
dak terjerat tali itu menendang-nendang tak beraturan.
"Tuan...! Tuan, Yo...! Tolong saya ini! Tolong, 
Jangan dilihat saja! Saya takut, Tuan!" Bocah Bodoh 
mau menangis. Yoga tersenyum geli. Tapi cepat sen-
takkan jari tengahnya, dan keluarlah selarik sinar me-
rah melesat cepat menghantam tali tersebut. Clappp...! 
Tess!
Bruussk...! Bocah Bodoh jatuh dengan wajah 
mencium tanah. Ia mengaduh lagi lebih keras, mem-
buat Yoga menjadi bertambah geli melihat wajah jelek-
nya menyeringai dengan sisa rambut menempel.
'Tuan kalau mau tolong saya jangan begitu ca-
ranya! Kalau memang tak mau tolong saya, ya sudah! 
Tinggalkan saja. Jangan malah saya dijatuhkan dari 
ketinggian begitu!"

"Kamu ini sudah ditolong bukan berterima ka-
sih malah marah?!"
"Habis Tuan menyiksa saya! Puih. puih...!" Bo-
cah Bodoh meludah karena ada rumput dan tanah 
yang masuk ke mulutnya. Ia segera bangkit sambil 
membersihkan rumput yang menempel di wajah, lalu 
tali penjerat itu pun dilepaskan dari kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara orang berlari ce-
pat ke arah mereka. Yoga tak sempat bersembunyi. 
Tapi orang itu segera berhenti dan melangkah dengan 
berjalan kaki biasa setelah melihat Yoga dan Bocah 
Bodoh ada di bawah tali penjerat yang sudah putus 
terbakar. "O, rupanya kau yang terkena perangkap ku, 
Bocah Bodoh?!" kata orang berpakaian abu-abu den-
gan ikat kepala warna kuning. Orang itu berkumis ti-
pis dan pendek, berbadan agak gemuk dan berwajah 
bulat dengan kulit warna gelap.
"Kau yang memasang jerat itu, Tamboyan?!" 
"Ya. Tapi bukan untuk kamu, Bocah Bodoh! 
Untuk seekor rusa yang sejak kemarin sedang ku bu-
ru!" jawab lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
"Siapa dia, Bocah Bodoh?" bisik Yoga dengan 
melirik orang itu.
"Dia bernama Tambayon. Saya kenal dia seba-
gai pemburu. Tapi hati-hati, Tuan... dia dikenal dengan 
julukan Raja Tipu!"
Yoga manggut-manggut kecil. Raja Tipu me-
mandang Yoga dengan mata sedikit menyipit. Kemu-
dian ia berkata kepada Bocah Bodoh.
"Temanmu ini sungguh ganteng, Bocah Bodoh. 
Berbeda sekali dengan wajahmu; seperti bumi dengan 
langit. Boleh ku tahu siapa dia?"
Bocah Bodoh menjawab, "Dia Tuan Yo, gelar-
nya" Pendekar Rajawali Merah Jambu."
"Tidak pakai jambu!' tukas Yoga pelan.

"0, tidak pakai jambu! Tuan Yo sudah bosan 
dengan jambu, sekarang ia suka kedondong. Hi hi 
hi...!" Bocah Bodoh jelas-jelas mengajaknya bercanda, 
tapi Yoga tidak menanggapinya, melainkan justru 
mengajak berbicara Raja Tipu.
"Apakah kau melihat tiga orang membawa satu 
tawanan?"
Raja Tipu berkerut dahi, lalu segera menjawab, 
“Tidak. Aku tidak melihatnya. Tapi kemarin aku meli-
hat satu orang dengan tiga tawanannya!"
Yoga menyipitkan mata pertanda heran. Bocah 
Bodoh segera berbisik, "Jangan percaya, Tuan. Dia Ra-
ja Tipu!"
"Aku bicara yang sebenarnya, Bocah Bodoh. Ja-
ngan kau anggap sedang menipu," kata Raja Tipu yang 
mendengar bisikan itu.
"Yang kami cari orang membawa satu tawa-
nan," kata Bocah Bodoh. "Bukan satu orang membawa 
tiga tawanan!"
"Tapi yang kulihat kemarin memang satu orang 
membawa tiga tawanan! Pada waktu itu aku sedang 
memburu gajah di seberang sana."
"Memburu gajah?!" Bocah Bodoh terperangah 
heran, "Apakah kau berhasil menangkapnya?"
"Aku terpaksa bertarung dulu dengan gajah itu. 
Ia ku banting tujuh kali, barulah kepalanya pecah, dan 
bisa kutangkap!"
Bocah Bodoh terbengong heran, lalu berdecak, 
"Ck, ck, ck...!" Ia geleng-geleng kepala dan berkata ke-
pada Yoga,
"Hebat sekali dia, Tuan. Berani bertarung me-
lawan gajah. Malah dibantingnya sampai tiga kali dan 
kepala gajah itu pecah! Luar biasa sekali kekuatannya, 
bukan?"
Yoga hanya tersenyum dan berkata pelan, "Dia
Raja Tipu, bukan?"
"O, iya! Dia Raja Tipu, berarti... dia bicara bo-
hong, ya Tuan?"
"Pikirlah sendiri. Sebaiknya kits lanjutkan per-
jalanan kita. Jangan sampai kita terlambat."
"Baik, Tuan."
Ketika Bocah Bodoh dan Yoga mau pergi, Raja 
Tipu sempat bertanya, "Bocah Bodoh, siapa sebenar-
nya yang sedang kau cari?"
"Iblis Mata Genit! Dia membawa temanku; si 
Tua Usil namanya. Dia bersama dua anak buah Wali 
Kubur!"
"Ooo... Iblis Mata Genit?!" Raja Tipu manggut-
manggut.
Yoga berkerut dahi, kemudian bertanya, "Apa-
kah kau kenal dengan Iblis Mata Genit?"
" "Ya Kenal. Tapi tidak terlalu akrab dengan-
nya."
"Kau tahu di mana tinggalnya?"
"Tahu," jawab Raja Tipu. 'Tapi jika kau punya 
dua sikal untuk kugunakan makan di kedai selama sa-
tu hari, aku akan ingat di mana tempat tinggal Iblis 
Mata Genit. Tapi jika kau tidak punya uang dua sikal, 
aku tidak akan ingat di mana ia tinggal."
Yoga tersenyum tipis, menyadari sedang dipe-
ras. Tapi Bocah Bodoh berbisik, "Berikan dia uang dua 
sikal, Tuan. Supaya kita cepat peroleh arah menuju 
tempat tinggal Iblis Mata Genit. Anggap saja upah per-
tolongannya membantu kita temukan Tua Usil kemba-
li."
Dengan cepat, tanpa diketahui kapan tangan 
Yoga mengambil uang dari selipan ikat pinggangnya, 
tahu-tahu dua keping uang dilemparkan oleh Yoga 
dengan satu sentilan tangan. Taab, taab...! Uang itu 
cepat ditangkap oleh Raja Tipu. Yoga segera berkata,
"Sekarang katakan di mana tempat tinggal Iblis 
Mata Genit!"
Sambil tersenyum, Raja Tipu berkata, "Berja-
lanlah menuju barat. Kalian akan temukan bukit yang 
tak terlalu banyak ditanami oleh pepohonan. Di kaki 
bukit itu, ada sebuah bangunan bertembok tinggi, se-
perti benteng. Di sanalah Iblis Mata Genit berse-
mayam. Ia sekarang menjadi Ketua Perguruan Tengko-
rak Emas."
"Berapa jauh tempat itu dari sini?"
"Kurang dari setengah hari," jawab Raja Tipu 
bersungguh-sungguh. "Tapi ada caranya tersendiri un-
tuk bisa bertemu dengan Iblis Mata Genit. Tidak se-
mua orang bisa menemuinya."
"Bagaimana cara menemuinya?" tanya Yoga.
"Tambahkan uang satu sikal lagi, maka akan 
kuberitahukan bagaimana cara menemuinya!" kata Ra-
ja Tipu sambil tersenyum-senyum. Yoga menghela na-
pas dalam-dalam, menahan kejengkelan.
"Kalau kau bertele-tele, kau bisa kehilangan 
kepala, Raja Tipu!"
Raja Tipu tertawakan gertakan Yoga, "Hei, kau 
tak boleh marah, Tuan Yo! Kau butuh penjelasan dan 
aku butuh uang. Kita sating tukar kebutuhan itu hal 
yang wajar di dunia ini."
Bocah Bodoh mencolek pinggang Yoga dan ber-
bisik, "Kasih sajalah!"
Sekali lagi Yoga lemparkan sekeping uang dan 
segera ditangkap oleh Raja Tipu sambil tersenyum gi-
rang. Yoga mendesak tak sabar,
"Katakan caranya!"
"Cara menemui Iblis Mata Genit harus bisa ka-
lahkan orang kepercayaannya yang bernama si Setan 
Sibuk! Kalau kau bisa kalahkan Setan Sibuk, maka Ib-
lis Mata Genit akan muncul dan menanyakan keperke situ.
Dua orang penjaga pintu gerbang perguruan 
yang masih tertutup itu segera saling merapatkan diri 
menghadang langkah pendekar tampan bertangan 
buntung itu. Wajah mereka tampak dingin dalam me-
natap Yoga dan Bocah Bodoh. Sementara itu, Yoga 
sendiri pamerkan senyum ramahnya kepada mereka, 
namun tak dapatkan balasan sedikit pun.
"Siapa kau, dan mau apa datang kemari?!" te-
gur salah seorang penjaga yang bersenjatakan tombak 
itu.
"Aku Yoga, dan ini temanku; Bocah Bodoh! Aku 
datang kemari mau bertemu dengan Setan Sibuk!"
"Ada perlu apa?" tanya yang satunya lagi.
"Ada sesuatu yang perlu kubicarakan dengan-
nya," jawab Yoga dengan tetap waspada. Bocah Bodoh 
pelan-pelan jauhkan diri.
Salah seorang penjaga berkata, "Kami sedang 
mengadakan pertemuan penting sesama anggota. Ti-
dak seorang pun tamu boleh mengganggu pertemuan 
itu! Silakan datang lagi besok!"
"Aku harus bertemu Setan Sibuk sekarang ju-
ga!"
"Jangan mendesak kami kalau kau tidak ingin 
mampus!"
"Aku akan mendesaknya terus!"
"Keparat! Heaaah...!"
Kedua pengawal itu sama-sama hujamkan 
tombaknya ke perut Pendekar Rajawali Merah. Namun 
seperti seekor Burung Rajawali yang gagah perkasa, 
Yoga melompat tinggi-tinggi, lalu dengan cepat ia sen-
takkan kedua kakinya yang ada di pertengahan kedua 
penjaga tersebut. Dua kaki menyentak bersama ke ka-
nan-kiri. Praakkk..! Kepala mereka menjadi sasaran te-
lak. Tendangan kaki itu mempunyai tenaga dalam

yang cukup kuat, sehingga kedua penjaga itu tumbang 
bersama.
Kedua penjaga itu sama-sama seperti mimpi 
mendapat serangan secepat itu. Gerakan Yoga tak bisa 
dilihat dengan mata telanjang. Mereka rasakan kepa-
lanya seperti dihantam dengan sebatang pohon kelapa. 
Keduanya sama-sama mencucurkan darah dari hidung 
dan telinga. Dan sama-sama memar sekujur tubuhnya.
"Hanya satu jurus saja aku dibuatnya sesakit 
ini, apalagi dia gunakan dua-tiga jurus. Bisa mati 
aku," pikir salah seorang. Ia bergegas bangkit sambil 
menggeliat. Darah yang keluar dart hidung diusap 
dengan kain lengan bajunya. Matanya memandang Yo-
ga, seakan mengakui kehebatan jurus dan ilmu-
ilmunya.
"Baiklah. Tunggu di sini, kami akan memanggil 
beliau!" kata penjaga yang sudah bangkit lebih dulu. 
Kemudian ia segera masuk dan Yoga segera hampiri 
Bocah Bodoh yang menjauh dalam ketakutan. Bocah 
Bodoh berdiri di bawah pohon, siap-siap untuk melari-
kan diri jika bahaya mengancam dirinya.
"Mereka bukan tengkorak. Kau tak perlu takut. 
Kau punya ilmu silat cukup tinggi menurutku. Pasti 
Ibumu yang mengajarkan."
'Tapi Ibu berpesan, saya hanya boleh gunakan 
ilmu itu jika dalam keadaan terpepet sekali, Tuan. Ibu 
juga berpesan, kalau bisa hindari bentrokan dengan 
seseorang."
"Ibumu benar. Tapi jika punya tujuan balk, 
namun dianggap jelek dan kita diserang tanpa salah, 
kita wajib membela diri dengan pergunakan ilmu yang 
kita miliki! Ayo, ke sana. Jangan takut!"
"Terima kasih, Tuan. Biarkan saya di sini saja."
Penjaga yang tadi masuk itu sekarang keluar 
lagi dan berseru,

"Ketua bersedia menemuimu! Silakan masuk."
'Terima kasih!" jawab Yoga, lalu menarik tangan 
Bocah Bodoh dan membawanya masuk. Bocah Bodoh 
melirik dua pengawal yang tadi dirobohkan oleh Yoga. 
Pengawal itu melotot galak, Bocah Bodoh cepat-cepat 
tundukkan kepala dengan takut.
Seorang lelaki tua, berusia sekitar tujuh puluh 
tahun, berkepala gundul, berpakaian seperti biksu 
dengan kain warna merah, jenggot panjang putih, dan 
kumis panjang ke bawah warna putih pula, kini se-
dang berdiri dengan dipagari oleh beberapa anak 
buahnya. Ia berdiri di jalanan yang lurus dengan pintu 
gerbang. Rupanya ia sudah siapkan orang-orangnya 
untuk mengepung Yoga jika Yoga datang dan bermak-
sud memusuhinya.
Orang berjenggot putih itulah yang bernama 
Setan Sibuk. Sedangkan orang di sampingnya yang 
berbadan kurus mengenakan pakaian coklat tua, agak 
pendek, rambut lurus pendek dan menyelipkan golok 
di pinggangnya itu bernama Rangkasok, pendamping 
setia Setan Sibuk.
Yoga melangkah melewati barisan orang-orang 
Tengkorak Emas yang masing-masing telah siap den-
gan senjatanya. Mereka berdiri di kanan-kiri jalan dan 
membuat Bocah Bodoh semakin berdebar-debar keta-
kutan. Bocah Bodoh tak berani tatap wajah mereka 
terlalu lama, karena wajah-wajah itu sungguh menye-
ramkan bagi Bocah Bodoh. Apalagi jika ia mendengar 
gemerincing senjata digerakkan, hatinya seperti diiris 
oleh pisau tajam. Bulu kuduknya merinding semua.
Di depan Setan Sibuk, Yoga berhenti dan me-
nampakkan sikap tegak, tegas, dan tegar. Sekalipun ia 
hanya mempunyai tangan kanan, namun penampilan-
nya tidak kelihatan loyo dan lesu. Justru mereka meni-
lai Yoga tampak lebih berwibawa daripada Rangkasok

sendiri.
Setan Sibuk menjulurkan tangannya ke depan 
dengan telapak tangan terbuka tegak. Rangkasok yang 
berkumis tipis itu berkata,
"Berhenti sampai di situ!"
Langkah Yoga pun terhenti dalam jarak lima 
tindak dari Setan Sibuk. Kemudian Setan Sibuk ge-
rakkan tangannya ke samping kanan-kiri, dan memu-
tar-mutar di bawah, menunjuk tanah dan membuka 
tangan, lalu berhenti sampai di situ.
Rangkasok perdengarkan suaranya, "Apa tu-
juanmu menemui aku di sini! Sebab aku merasa tak 
pernah melihat kamu!"
Rupanya Rangkasok bertindak sebagai pener-
jemah bahasa gerak yang dilakukan oleh Setan Sibuk. 
Maka Yoga pun segera menjawab, "Aku ingin menan-
tangmu!" Sraang...! Terdengar bunyi pedang mereka 
dicabut secara serempak begitu mendengar jawaban 
Yoga. Suara tersebut mengagetkan Bocah Bodoh, dan 
membuat Bocah Bodoh gemetar sekujur tubuhnya. 
Sedangkan Setan Sibuk hanya memandang Yoga den-
gan mata sedikit menyipit, penuh keheranan dan curi-
ga. Rangkasok yang berada di samping kanan Setan 
Sibuk itu juga memandang dengan dingin dan siap-
siap pegangi gagang goloknya. Sewaktu-waktu siap ca-
but.
Setan Sibuk kembali gerakkan tangannya ke 
atas, ke samping, meliuk-liukkan pinggangnya sambil 
tolak pinggang, lalu jemarinya bergerak-gerak ke depan 
hidung, menggaruk pipi tiga kali, dan membuka tela-
pak tangannya seperti tadi, Rangkasok baru menerje-
mahkan bahasa gerak itu, 
"Kalau kau ingin menantangku, berarti kau 
membuang nyawa secara sia-sia. Tapi aku tak mau 
melayani tantanganmu, kalau kau tidak sebutkan alasanmu menantangku." 
Yoga berkata, "Aku harus kalahkan dirimu su-
paya aku bisa bertemu dengan ketuamu!"
Setan Sibuk menepak kepala, lalu menuding ke 
tanah. Rangkasok menerjemahkan, 
"Akulah ketua perguruan di sini!"
Yoga berkerut dahi agak curiga. Ia memandang 
Bocah Bodoh yang di sebelah kirinya. Bocah Bodoh 
memandang Yoga namun segera menundukkan wajah, 
seakan tak mau ikut campur urusan tersebut.
Pendekar Rajawali Merah segera berkata, "Bu-
kankah ketua perguruan ini adalah Iblis Mata Genit?!"
Setan Sibuk kerutkan dahi dan telapak tan-
gannya dikibas-kibaskan di depan wajah, lalu Rangka-
sok menerjemahkan,
"Selamat tinggal...."
Tiba-tiba Rangkasok ditampar wajahnya oleh 
Setan Sibuk. Plokk...!
"Oh, bukan. Salah. Maksudnya... maksud-
nya...," Rangkasok melihat Setan Sibuk, lalu orang be-
rusia sekitar tujuh puluh tahun itu segera menepak 
kepalanya sendiri dan menuding tanah, lalu melam-
baikan tangannya dengan mengguncang-guncangkan 
ke kanan-kiri.
"Maksudnya... ketua perguruan di sini bukan 
Iblis Mata Genit, melainkan aku sendiri!"
"Kau tak bisa kelabui aku, Setan Sibuk!"
Setan Sibuk angkat bahu, lalu garuk-garuk ke-
pala. Rangkasok menerjemahkan,
'Terserah kamu. Yang jelas, jangan menggali 
kemarahan di kepalaku!"
Plookkk...! Rangkasok ditampar lagi. Setan Si-
buk membentak, "Kepalaku sedang gatal, tolol!"
"Ooo... maaf!"
Yoga tersenyum, ingin lebih panjang lagi se

nyumannya, namun segera ditahan. Ia berkata kepada 
Setan Sibuk,
'Ternyata kau bukan orang bisu, Setan Sibuk. 
Bicaralah padaku dan layanilah tantanganku. Aku 
akan mengalahkan kamu."
Setan Sibuk menari-narikan jemarinya di depan 
wajah, lalu pegang pundak kanan-kiri, membungkuk 
satu kali, menepak pinggang belakang, menggerak-
gerakkan ketiaknya seperti bebek berenang, menepuk 
pipinya sendiri dan menarik-narik bibirnya tiga kali, 
kemudian menggerakkan tangannya ke depan, setelah 
itu membuka telapak tangannya lagi. Rangkasok sege-
ra menjelaskan,
"Aku tak akan bicara dengan orang yang bukan 
muridku dan orang yang ilmunya lebih rendah dariku. 
Kalau kau bisa mengalahkan aku, akan kugendong 
kau keliling. bukit ini."'
Plokkk...! Tamparan itu menandakan Rangka-
sok salah arti. Lalu, ia cepat membetulkan ucapannya, 
"Maksudnya, kalau kau bisa kalahkan aku, aku akan 
hormat padamu!"
"Aku tak perlu hormat, yang kuperlukan ber-
temu dengan Iblis Mata Genit!"
Setan Sibuk hantamkan pukulannya ke tan-
gannya sendiri. Lalu kakinya menghentak ke tanah ti-
ga kali, kedua ketiaknya bergerak-gerak lagi seperti 
bebek berenang, menuding ke atas, menuding ke ba-
wah, pinggulnya meliuk-liuk sebentar. Brrukkk...! Se-
tan Sibuk jatuh terpelanting oleh gerakkannya yang 
sibuk sendiri itu. Rangkasok segera menolong, lalu 
menerjemahkan arti gerakan tersebut,
"Iblis Mata Genit justru musuh kami. Dari dulu 
sampai sekarang kami masih bermusuhan. Dan aku 
yakin suatu saat akan bisa membunuhnya lalu aku jatuh...."

Plokkk...!
"0, tidak pakai jatuh," sahut Rangkasok setelah 
gelagapan karena wajahnya kembali ditampar.
Kata-kata itu membuat Yoga berkerut dahi dan 
mulai menimbang-nimbang ucapan Raja Tipu. Firasat-
nya mengatakan, apa yang dijelaskan oleh Setan Sibuk 
itu memang benar. Yoga ingin ucapkan sesuatu, na-
mun ia melihat Setan Sibuk kembali gerakkan tubuh-
nya, menuding Yoga, menepuk dada sendiri, melirik-
kan matanya, tersenyum, dan menarik-narik jenggot-
nya, akhirnya nyengir sendiri karena terlalu keras me-
narik jenggot. Setelah itu kedua telapak tangannya di-
buka. Rangkasok menerjemahkan,
"Siapa yang bilang kalau Iblis Mata Genit ketua 
di perguruan Tengkorak Emas ini?"
Pendekar Rajawali Merah menjawab, "Aku da-
patkan keterangan itu dari Raja Tipu. Menurutnya, ji-
ka mau bertemu dengan Iblis Mata Genit harus menga-
lahkan Setan Sibuk lebih dulu, baru Iblis Mata Genit 
akan keluar menemuiku. Padahal aku ada urusan 
nyawa dengan Iblis Mata Genit."
Setan Sibuk tersenyum dan tepuk tangan satu 
kali. Lalu mengetuk-ngetuk pelipis pakai jari telunjuk, 
menuding Yoga, dan meliuk-liukkan kesepuluh jema-
rinya di depan wajah.
"Kau telah ditipu olehnya," kata Rangkasok 
menerjemahkan. "Raja Tipu itu bekas pelayannya Iblis 
Mata Genit. Aku malah ingin bantu dirimu jika ber-
maksud melawan Iblis Mata Genit."
Setan Sibuk menuding jauh dan menirukan 
orang sekarat sebentar, lalu menepuk pantat, mene-
puk paha, garuk-garuk kepala lagi, dan Rangkasok 
menerjemahkan, 
"Kalau kau mau bertemu dengannya, temui dia 
di Bukit Kematian: Di sanalah ia tinggal dalam sebuah

pondok."
Setelah merenungi firasat hatinya, Yoga berka-
ta, "Rasa-rasanya, ucapanmu itu bisa kupercaya. Aku 
minta maaf, karena diperdaya oleh Raja Tipu, walau 
untuk itu aku harus kehilangan uang tiga sikal."
Setan Sibuk tertawa tanpa suara. Lalu, ia men-
jentikkan jarinya hingga berbunyi; klik...! Dan Rangka-
sok berkata,
"Raja Tipu ingin balas dendam kepada kami, 
tapi ia tak mampu dan memanfaatkan dirimu dengan 
mengadu domba seperti itu. Padahal menurutku, kau 
bisa saja langsung menuju ke arah selatan dan di sana 
kau bisa temukan Bukit Kematian yang mempunyai 
tanah peternakan berisi buaya. Karena Iblis Mata Ge-
nit gemar memakan daging buaya. Kau tahu, buaya itu 
ganas dan galak. Kalau...."
Plok...!
"Kepanjangan!" bentak Setan Sibuk setelah me-
nampar wajah Rangkasok.
Hampir saja Yoga bertarung dan bikin masalah 
terhadap orang yang tidak punya salah apa-apa den-
gannya. Hati Yoga geram dan gemas terhadap Raja Ti-
pu. Namun akhirnya ia sendiri tertawa membayangkan 
kepandaian Raja Tipu mengelabuhi dirinya.
Yoga bergegas ke Bukit Kematian sesuai den-
gan petunjuk Setan Sibuk. Sementara itu, Bocah Bo-
doh memohon agar beristirahat sebentar di bawah po-
hon. Yoga bertanya, "Kenapa istirahat? Capek?"
"Kepala saya pusing melihat simpang siurnya 
tangan Setan Sibuk tadi, Tuan. Lain kali kalau temui 
dia jangan ajak sayalah...!"
Yoga hanya tertawa geli melihat Bocah Bodoh 
bersungut-sungut.
*

* *
5

PERJALANAN menuju Bukit Kematian mema-
kan waktu sampai malam tiba. Mereka terpaksa ber-
malam di atas pohon, karena Bocah Bodoh selalu 
mengeluh kecapekan. Kalau saja Yoga tidak membawa 
Bocah Bodoh, maka sebelum petang tiba pun Yoga su-
dah sampai di Bukit Kematian dengan gunakan 
'Langkah Bayu', yang mampu bergerak melebihi kece-
patan anak panah. Tapi karena ia membawa Bocah 
Bodoh, dan Bocah Bodoh tidak bisa bergerak secepat 
itu, maka Yoga, terpaksa mengimbangi kelambanan 
Bocah Bodoh.
"Aku yakin kau bisa gunakan gerakan cepat! 
Karena tempo hari aku pernah kehilangan jejak mu 
waktu mengejar."
"Pesan Ibu, aku tak boleh gunakan gerakan itu 
kecuali terpepet," jawab Bocah Bodoh. Yoga hanya 
hembuskan napas sebagai tanda keluh.
Di atas pohon berdahan rapat itu, mereka men-
coba untuk merebah dan melepaskan lelah. Sebelum 
tidur, Yoga sempat bertanya kepada Bocah Bodoh,
"Apakah benar Raja Tipu itu bekas pelayannya 
Iblis Mata Genit?"
"Benar, Tuan."
"Kenapa tidak kau katakan padaku sewaktu 
jumpa dia?"
"Saya pikir, karena dia sudah bukan pelayan 
Iblis Mata Genit, maka dia sudah tidak perlu saya se-
butkan sebagai pelayan lagi, Tuan."
"Ah, kau memang payah!" keluh Yoga menahan 
dongkol.
"Dia tidak lagi dipakai oleh Iblis Mata Genit, karena tak pernah mau disuruh mencuri pusaka seseo-
rang."
"Maksudmu, Pusaka Pedang Jimat Lanang?"
"Bukan. Kalau pusaka itu tak akan ada yang 
bisa mencurinya."
"Mengapa kau yakin begitu?" desak Yoga.
"Karena saya dan Ibu sendiri tidak tahu persis 
di mana letak pedang itu disimpan. Hanya punya bekal 
pengetahuan, bahwa pedang itu ada di sekitar Prasasti 
Tonggak Keramat. Di sebelah mana, kami tidak tahu 
persis, Tuan. Apalagi orang lain, jelas tak akan tahu!"
"Kalau aku mau, aku bisa menemukan tempat-
nya"
"Caranya bagaimana, Tuan?"
"Menggunakan firasat ku."
"Firasat itu bentuknya seperti apa, Tuan?"
"Firasat itu kekuatan batin yang menggerakkan 
hati kita, atau kadang membuat kita tak sadar dalam 
melakukan sesuatu dan sesuatu itu adalah sebuah 
kebenaran. Kalau manusia bisa kenali firasatnya sen-
diri, terbiasa kendalikan firasatnya, maka ia dapat me-
lihat sesuatu yang belum terjadi dan akan terjadi. Fi-
rasat itu sering pula digunakan oleh para ahli nujum, 
peramal, dukun, atau seorang pertapa sakti. Setiap ha-
ri sebenarnya kita bergumul dengan bahasa firasat, ta-
pi kita sering tidak menyadari kehadirannya. Sebab 
antara firasat dengan kata hati, perbedaannya sangat 
tipis. Firasat dengan nafsu pribadi, juga punya perbe-
daan sangat tipis. Kadang-kadang firasat berguna un-
tuk mengendalikan nafsu pribadi yang berlebihan. Pa-
ham?"
Tak ada suara. Sepi. Yoga kembali berkata, 
"Kau mengerti kata-kataku Bocah Bodoh?"
"Gggrrr...!"
"Uuh, ngorok!" gerutu Yoga kesal hatinya, sudah bicara panjang-lebar tak tahunya ditinggal tidur 
Cola Colo. Tapi, lagi-lagi Yoga harus berbesar jiwa, ka-
rena ia dapat maklumi kekurangan yang ada pada Co-
la Colo. Kekurangan itu membuat orang berusia seki-
tar lima puluh tahun itu menjadi bodoh. Kebodohan 
sering membuatnya celaka. Dan kebodohan itu juga 
yang membuat hati Yoga dan Lili iba terhadap nasib 
Cola Colo, si Bocah Bodoh. 
Perjalanan menuju Bukit Kematian ternyata ti-
dak semulus dugaan Bocah Bodoh. Pada saat ia dan 
Pendekar Rajawali Merah melintasi tanah lapang di 
tengah hutan, tiba-tiba seberkas sinar hitam melesat 
ke arah punggung Bocah Bodoh. Pada waktu itu, Bo-
cah Bodoh berjalan berdampingan dengan Yoga. Itu 
berarti sinar berbahaya tersebut juga datang dari bela-
kang Yoga.
Pendekar Rajawali Merah mempunyai jurus 
yang bernama 'Sandi Indera'. Ilmu itu yang membuat 
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih 
tak bisa diserang lawan dari belakang. Gerakan nalu-
rinya cepat bertindak. Seperti kala itu, sinar hitam 
yang melesat itu segera dihantam oleh Yoga dengan 
menyentakkan telapak tangannya yang memancarkan 
sinar merah, dan sinar Itulah yang menabrak tepat ca-
haya hitam hingga terjadi ledakan cukup besar. 
Duaaarrr...!
Bocah Bodoh terpental karena gelombang leda-
kan tersebut. Ia segera menjadi gugup dan lari tung-
gang-langgang mencari tempat bersembunyi. Karena 
jauh dari pohon dan dekat dengan gundukan semak 
ilalang, maka ia masukkan kepalanya ke semak ilalang 
itu. Gruak...! Tapi kaki dan pantatnya masih terlihat 
jelas dari luar semak.
Mata pemuda tampan itu segera menatap seke-
liling dengan tajam dan cepat. Lalu, ia menangkap gerakan seseorang yang melompat dari pohon ke pohon. 
Dengan cepat Yoga kirimkan pukulan tangan bun-
tungnya yang keluarkan selarik sinar merah. 
Zlaappp...! Blaarrr...! Pohon yang hendak dipakai me-
lompat orang Itu terhantam sinar merah, langsung pe-
cah menjadi serpihan kayu kecil-kecil. Orang tersebut 
mau tak mau segera melompat keluar dari kerimbunan 
pohon.
Jleeg...!
Sepi tercipta seketika. Yoga menatap orang itu 
dan orang itu menatap angker pada Yoga. Pendekar 
Rajawali Merah segera kenali orang tersebut yang tak 
lain adalah Nyai Rajang Demit, karena ia pernah men-
dengar cerita dari Lili tentang ciri-ciri Nyai Rajang De-
mit, terutama dari jubah ungunya. .
Yoga pun segera tahu, bahwa yang diincar Nyai 
Rajang Demit adalah Bocah Bodoh. Karena nenek tua 
itu sudah menculik Bocah Bodoh sebagai sandera te-
busan Pedang Jimat Lanang. Pasti nenek tua itu mera-
sa dongkol melihat tawanannya kabur dan ia ingin 
kembali menawan Bocah Bodoh. Karena itu, matanya 
segera melirik ke arah pantat Bocah Bodoh yang ter-
sumbul keluar dari balik semak ilalang.
Nyai Rajang Demit segera kibaskan tangannya 
ke depan, dan meluncurlah sinar hitam lagi ke arah 
Yoga yang berjumlah lima larik. Sambil begitu, ia me-
nendang batu kecil di arahkan ke pantat Bocah Bodoh. 
Buuhg...!' Pantat itu terhantam batu dan Bocah Bodoh 
menjerit sambil tersentak kaget. Tubuhnya terasa ngilu 
semua.
Pendekar Rajawali Merah tak sempat menolong 
Bocah Bodoh karena ia sibuk hindari serangan lima la-
rik sinar hitam tersebut. Ia hanya bisa melompat bebe-
rapa kali, dan berguling di tanah satu kali. Kemudian 
cepat berdiri di depan Bocah Bodoh yang meringis kesakitan sambil usap-usap pantatnya itu. Yoga kembali 
menatap Nyai Rajang Demit tanpa sepatah kata pun.
Kejap berikutnya, Nyai Rajang Demit berseru, 
"Serahkan bocah itu!"
Yoga membalas, "Untuk apa kau harapkan bo-
cah itu. Kurasa dia tidak tahu apa-apa tentang uru-
sanmu, Nyai Rajang Demit!"
"Hmmm...! Kau tahu namaku, berarti Bocah 
Bodoh itu sudah banyak cerita tentang diriku!"
"Benar."
"Cola Colo..! Kemari kau!"
"Iiy... iya, Bibi...!" Cola Colo pun melangkah ke-
luar dari balik tubuh Yoga dengan langkahnya megol-
megol karena pantatnya sakit. Tetapi tangan Yoga se-
gera meraih pundak Bocah Bodoh dan menariknya.
"Jangan dekati dia! Kau bisa jadi umpan maka-
nan ular lagi!"
"Oh, iya...!" sentak Bocah Bodoh bagaikan baru 
sadar bahaya itu. Lalu ia berkata, "Maaf, Bibi...! Saya 
tidak boleh dekat-dekat Bibi nanti dimakan ular!"
"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku, 
Orang asing! Itu membuatku muak, dan tak pernah bi-
sa kasih ampun lagi padamu!"
"Kurasa tak perlu! tapi kalau kau meminta am-
pun padaku, aku akan mengampunimu, Nyai!"
"Bedebah! Sekarang apa maumu ikut campur 
urusanku, hah?"
"Hanya sekadar melindungi pihak yang benar! 
Aku tahu kau menghendaki Bocah Bodoh untuk kau 
jadikan umpan mendapatkan Pedang Jimat Lanang 
itu! Dan aku tahu persis, kau bukan pewarisnya!"
'Tak peduli aku pewarisnya atau bukan, siapa 
halangi aku dalam mendapatkan Pedang Jimat Lanang 
itu, akan kubunuh tanpa tanggung-tanggung! Jadi, 
kusarankan kau keluar dari urusanku!"

"Aku melindungi Bocah Bodoh! Jika kau ingin-
kan Pedang Jimat Lanang, carilah sendiri tanpa harus 
mengorbankan dial"
"Aku sudah muak dengannya, dan ingin mem-
bunuhnya, supaya hatiku puas karena dia berani me-
larikan diri dari tempatku!"
"Kalau kau ingin bunuh dia, berarti kau harus 
berhadapan dengan diriku, Nyai Rajang Demit!" kata 
Yoga dengan tegas dan jelas.
Nyai Rajang Demit menjadi semakin mendidih 
darahnya. Sekalipun ia sudah tidak mempunyai senja-
ta tongkat lagi, karena sudah dipecahkan oleh ibu Bo-
cah Bodoh itu, namun ia masih tetap tampak liar dan 
ganas terhadap lawannya.'
"Kau memang belum pernah ku rajang dengan 
jurus 'Pisau Gaib'-ku ini. Heaaah,..!" Nyai Rajang De-
mit segera menyentakkan kaki dan tubuhnya melesat 
bagaikan terbang ke arah Yoga. Sementara itu, Yoga 
hanya bersifat menunggu serangan datang. Nyai Ra-
jang Demit bersalto satu kali dengan kaki berkelebat 
menendang Yoga. Namun oleh Yoga kaki itu hanya di-
tangkis menggunakan lengannya, lalu telapak tangan-
nya menguncup dan berkelebat mematuk tulang lutut 
lawan dengan gerakan cepat.
Desss...! 
"Uhg...!" terdengar suara Nyai Rajang Demit 
terpekik pelan. 
Bruukk....! Nyai Rajang Demit tak mampu 
mendarat dengan kaki tegak, karena lutut yang terke-
na jurus 'Paruh Rajawali Liar' itu terasa remuk tulang-
tulangnya dan sakitnya bukan kepalang. Walau terasa 
sakit, namun Nyai Rajang Demit masih tetap menye-
rang Pendekar Rajawali Merah dengan satu kaki berlu-
tut dan kedua tangannya menebas kaki Yoga dalam 
gerakan memenggal beberapa kali.

Dengan cepat Yoga melompat, lalu kakinya 
mengibas dalam satu tendangan ke arah wajah Nyai 
Rajang Demit. Plokkk...! Buugh...! Kaki yang berhasil 
menendang wajah itu kembali ke belakang sambil 
mengarahkan tumit ke pelipis lawan.
Gerakan kaki yang dinamakan jurus 'Sepak 
Ganda' itu mempunyai kekuatan tenaga dalam, se-
hingga kepala Nyai Rajang Demit bagaikan hancur ra-
sanya. Darah keluar dari telinga dan hidung perem-
puan tua itu. Yoga segera menjauh. Tangan Bocah Bo-
doh diraihnya agar jangan diam saja berada dalam ja-
rak dekat dengan Nyai Rajang Demit.
Pendekar Rajawali Merah hanya pandangi pe-
rempuan tua itu yang semakin banyak keluarkan da-
rah dari lubang hidung dan telinga. Perempuan itu 
masih tetap berlutut satu kaki sambil menahan rasa 
sakit di tubuhnya. Ia bagaikan sedang kumpulkan lagi 
tenaganya, lalu duduk bersila dengan tangan men-
gembang dan mata memandang tajam pada Yoga.
Yoga tahu, sebuah pukulan handal akan dile-
paskan oleh perempuan jangkung itu. Maka, dengan 
cepat Yoga sentakkan telapak tangannya yang miring 
itu ke depan sambil ia pun berlutut satu kaki. Dari 
ujung jari tangan melesat cahaya merah yang cukup 
besar dan menghampar cepat, menghantam tubuh 
Nyai Rajang Demit. Blarrr...!
Nyai Rajang Demit tak sempat menangkis mau-
pun menghindar. Sinar merah menyilaukan itu bagai 
menelan tubuhnya lalu melemparkan kuat-kuat. Ia 
melesat ke belakang dalam keadaan tetap duduk. Begi-
tu cepatnya tubuh itu terlempar, hingga sebatang po-
hon kecil patah ditabrak punggungnya, dan sebongkah 
batu pun hancur diterabas punggungnya. Kejap beri-
kutnya, perempuan yang jelas sudah terluka parah itu 
segera berusaha melarikan diri dengan jatuh bangun.

Pendekar Rajawali Merah biarkan perempuan 
tua itu larikan diri. Ia segera memperhatikan Bocah 
Bodoh, ingin katakan sesuatu namun terhenti oleh su-
ara tepukan memanjang. Yoga dan Bocah Bodoh cepat 
palingkan wajah memandang ke arah tepukan yang 
ada di atas pohon. Ternyata dilakukan oleh seorang 
gadis cantik berwajah imut-imut. Gadis berpakaian bi-
ru muda dengan jubah tipis warna kuning itu tak lain 
adalah Gadis Linglung. (Baca serial Jodoh Rajawali da-
lam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").
"Gadis Linglung...?!" gumam Bocah Bodoh. 
Tuan Yo masih ingat gadis itu?"
"Ya. Dia juga menghendaki Pusaka Pedang Ji-
mat Lanang."
Gadis Linglung segera turun dari pohon dan 
hampiri Cola Colo, kemudian menyapa dengan senyum 
manja,
"Hebat sekali kau punya teman, Cola Colo! Bo-
leh aku kenalan dengannya?"
"Bukankah kau telah mengenalnya dan pernah 
bertemu?"
"O, ya?! Kapan?!"
"Waktu kau desak aku untuk mendapatkan pe-
dang pusaka itu?!"
Gadis Linglung berkerut dahi, berpikir beberapa 
saat sambil melangkah mondar-mandir dan permain-
kan bibir dengan tangan kirinya, setelah itu ia me-
nyentak dalam keceriaan,
"O, ya! Betul! Dia pendekar tampan yang punya 
kekasih galak itu! Aku ingat tentang dia! Tapi... Bocah 
Bodoh, tolong tanyakan siapa namanya?! Aku lupa!" 
bisik Gadis Linglung sambil melirik Yoga sesekali da-
lam senyum manjanya.
"Namanya Tuan Yoga; gelarnya Pendekar Raja-
wali Merah Delima!"

'Tidak pakai delima!" sergah Yoga.
"0, ya! Tidak pakai delima. Catat dalam otakmu, 
Gadis Linglung!"
'"Ya, ya... akan ku catat ketampanannya itu!" 
Gadis Linglung bersemangat, namun malu-malu ingin 
mendekati Yoga. Lalu ia bertanya,
"Hendak ke mana kalian berdua, Bocah Bo-
doh?"
"Menyerang Iblis Mata Genit. Apa kau mau 
ikut?"
"Kalau pendekar tampan Itu membolehkan, aku 
mau Ikut!" jawab Gadis Linglung dengan malu-malu. 
Yoga hanya tersenyum tipis namun menawan hati.
*
* *
6


NASIB si Tua Usil cukup menyedihkan. Di wa-
jahnya banyak luka memar akibat pukulan tangan ko-
song. Bajunya menjadi compang-camping karena robek 
di sana-sini. Benda keras semacam kayu rotan berduri 
telah menghantamnya lebih dari delapan puluh tiga 
kali. Tentu saja bukan hanya pakaiannya yang robek-
robek, melainkan kulit tubuhnya pun mengalami robek 
membilur sampai pada bagian kakinya. Sekalipun de-
mikian, Tua Usil tetap tak mau tunjukkan di mana Lili 
berada, dan hal itu membuat Iblis Mata Genit sangat 
jengkel.
Sekarang hatinya agak lega. Ketika petang tiba 
dan ia tak sadarkan diri karena berat menahan sik-
saan, tahu-tahu ketika ia siuman, keadaannya sudah 
digantung dengan terjungkir. Kedua kakinya di ikat

dengan seutas tali kuat, digantungkan pada sebatang 
dahan pohon yang melengkung ke bawah.
Waktu Tua Usil sadari keadaannya, dalam hati 
ia berkata, "Syukurlah mereka berhenti menyiksaku. 
Lebih baik aku digantung jungkir balik begini ketim-
bang harus menerima pukulan beberapa kail. Paling 
tidak, dengan digantung jungkir balik begini, aku ma-
sih bisa gunakan pernapasan sejati untuk sembuhkan 
luka dan hilangkan rasa sakit. Aman sudah kalau be-
gini. Tinggal menunggu lukaku kering dan sakitku hi-
lang, lalu berusaha untuk loloskan diri!"
Kepala yang terjungkir ke bawah dengan tan-
gan berjuntai itu terayun-ayun pelan saat ditiup angin. 
Tua Usil kerutkan dahi sejenak ketika ia memandang 
bagian bawahnya, berkilauan cahaya rembulan pada 
saat itu. Rupanya ia digantung di atas genangan air. 
Entah air telaga atau air kolam, yang jelas ia rasakan 
ada percikan air yang menempel di kedua lengannya. 
Tua Usil tersenyum kecil dan berkata dalam hatinya,
"Andaikata tali itu putus, selamatlah aku. Ja-
tuh ku tidak di tempat yang keras, tapi ke dalam air. 
Jadi sebaiknya ku ayun-ayunkan saja tubuhku biar 
tali ini lama-lama putus sendiri."
Namun alangkah terkejutnya Tua Usil setelah 
mengetahui air bergerak-gerak. Sesuatu yang mirip ba-
tang pohon mengambang mendekati ujung tangannya. 
Benda yang mengambang itu sesekali memantulkan 
cahaya rembulan. Dan tiba-tiba benda itu melonjak ke 
atas, air tersibak muncrat, Tua Usil berteriak,
"Uaaawww...!" sambil angkat tubuh meleng-
kung ke atas.
Byuurrr...! Benda itu jatuh kembali ke permu-
kaan air, percikannya menyembur hingga membasahi 
wajah Tua Usil yang melengkung dengan tangan tak 
berani terjuntai lagi. Wajahnya menjadi tegang mana

kala ia sadari, bahwa ternyata banyak benda mengam-
bang timbul tenggelam di permukaan air tersebut. Tua 
Usil segera tahu, bahwa saat itu ia ada di atas kolam 
peternakan buaya.
Rupanya semakin malam semakin tiba saatnya 
buaya-buaya itu merasa lapar. Melihat sesuatu yang 
menggantung di atas kolam, buaya-buaya itu berusaha 
untuk meraihnya dengan lonjakan-lonjakan kecil. Tapi 
buat Tua Usil lonjakan itu termasuk maut besar yang 
mengancam nyawanya setiap saat. Beruntung sekali 
tubuhnya bisa sedikit diangkat naik dan melengkung 
ke atas, sehingga tangan dan kepalanya lolos dari 
sambaran mulut buaya tersebut. Kecipak ekor buaya 
pun sesekali membuat jantung Tua Usil bagaikan le-
nyap dari dada karena beberapa kali hampir saja tu-
buhnya terhantam ekor buaya yang menyabet ganas 
itu.
"Kalau tahu begini... lebih enak aku dipukuli 
seperti tadi, daripada harus menghindari mulut buaya
dalam keadaan tak bisa banyak bergerak begini, 
oooh...! Nasib, nasib...!"
Tak ada penjaga di sekitar kolam buaya itu. Ib-
lis Mata Genit juga tak kelihatan di sana. Namun ada 
sebuah pondok yang mempunyai penerangan di bagian 
dalamnya. Cahaya lampu minyak itu sempat membias 
ke permukaan air kolam buaya.
Di dalam pondok itu, Iblis Mata Genit yang can-
tik itu sedang terlibat perbincangan dengan adiknya 
yang sudah berwajah tua, yaitu Wali Kubur. Di samp-
ing Wali Kubur ada dua orang kepercayaannya yang 
ikut membicarakan masalah tersebut, yaitu Gandul 
dan Brata. Dua orang dari Perguruan Lereng Lawu 
lainnya ada di depan pintu masuk, satu berjaga di se-
rambi, satu berjaga di bagian dalam.
Wali Kubur masih tetap berwajah murung, karena ia telah tidak mempunyai daya apa-apa. Dia me-
rasa sudah tidak pantas menjadi ketua dan guru di 
Perguruan Lereng Lawu. Saat itu, kedua muridnya 
yang duduk di samping kanan-kiri dapat saja mengha-
jarnya sewaktu-waktu, karena ilmunya lebih tinggi dari 
sang Guru yang sudah menjadi polos tanpa ilmu sedi-
kit pun itu. Rasa marahnya kepada Pendekar Rajawali 
Putih sudah terbungkus dengan rasa malu dan mind-
er.
"Kalau kau tidak bisa memaksa gadis bangsat 
itu mengembalikan ilmuku, aku lebih baik mati bunuh 
diri!" kata Wali Kubur kepada kakak perempuannya 
yang masih tampak muda dan cantik itu.
"Bersabarlah sesaat. Jangan kau patah seman-
gat begitu, Adik Wali Kubur! Aku sedang berusaha 
memaksa Tua Usil untuk tunjukkan di mana gadis itu 
tinggal. Pasti dia akan katakan jika kita siksa terus se-
perti itu."
"Guru harus sabar. Mencari gadis sakti itu ti-
dak semudah mencari seekor ayam hutan," kata Gan-
dul yang ada di samping kirinya. Wali Kubur hanya 
bersungut-sungut dan berkata,
"Sekarang kau berani menasihatiku, karena 
kau tahu aku tak akan bisa melawanmu!"
Brata menyahut, "Bukan karena kami ingin 
menggurui Guru semata-mata, tapi karena kami ingin 
agar Guru tenang, supaya kami pun bisa berpikir lebih 
tenang lagi dan bertindak lebih tepat lagi!"
Iblis Mata Genit segera berkata, "Adik Wali Ku-
bur, seandainya gadis itu tak bisa mengembalikan il-
mumu, apakah kau bisa merasa lebih puas jika aku 
membunuhnya dan mempersembahkan kepalanya ke-
pada mu?"
Wali Kubur yang murung menarik napas dan 
menjawab, "Kalau hanya membunuh dia, lantas apa

artinya aku hidup tanpa ilmu?"
Brata menimpali, "Ilmu bisa kita cari lagi, 
Guru. Nanti saya dan Gandul siap melatih jurus-jurus 
maut kepada Guru!"
"Kalian ini muridku, masa' aku harus berlatih 
dan belajar kepada kalian? Apa kata dunia persilatan 
nanti, jika seorang Guru belajar jurus-jurus maut ke-
pada murid-muridnya?! Malu aku! Malu!"
Wali Kubur seperti orang mau menangis. Ia 
menundukkan kepala. Nafasnya terasa berat dihela. 
Iblis Mata Genit memandangnya dengan hati iba. Ke-
mudian gadis itu segera berkata,
"Sebenarnya apa kata Gandul itu memang be-
nar. Dan apa yang dikatakan Brata baru saja itu jauh 
lebih benar. Kau tak perlu patah semangat, Adik Wali 
Kubur. Aku masih bisa mengajarkan ilmu-ilmuku ke-
padamu jika kau bertahan tetap hidup. Yang penting 
bagaimana kita bikin perhitungan dengan gadis itu! Ki-
ta harus tunjukkan kepada gadis itu dan konco-
konconya, bahwa aliran silat kita punya harga diri 
yang tidak bisa dibuat main-main. Jika gadis itu tidak 
dibunuh, maka aliran kita akan di-anggap remeh oleh 
para tokoh dunia persilatan. Jadi aku memutuskan, 
gadis itu bisa mengembalikan ilmumu atau tidak, pada 
akhirnya dia akan mati di tanganku. Dia harus dibu-
nuh!"
"Lalu bagaimana jika Tua Usil itu tidak mau 
menunjukkan tempat tinggal gadis itu? Bagaimana jika 
ia tetap bungkam?!"
"Masih ada satu orang lagi yang memungkin-
kan dapat kita paksa untuk menemukan gadis itu! 
Orang tersebut adalah Cola Colo!"
"Bocah Bodoh...?! Apa yang dapat kita ha-
rapkan dari Bocah Bodoh yang memang berotak bodoh 
itu? Belum tentu dia ingat dengan gadis itu, karena
otaknya yang sangat bodoh itu!"
"Aku yakin, dia pasti tahu dan bisa membawa 
kita untuk temui gadis itu!" kata Iblis Mata Genit. "Te-
nangkan jiwamu, tenangkan hatimu. Jangan dulu da-
tang ke perguruan sebelum ilmu mu pulih kembali, 
nanti kau ditertawakan oleh murid-muridmu! Tidak 
semua muridmu berjiwa bijak seperti Gandul dan Bra-
ta!"
Kembali Wali Kubur tarik napas, lalu berkata 
sambil memandang kanan-kiri, "Bagaimanapun juga, 
kalian berdua harus tetap jaga rahasia kelemahan ku 
ini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!" jawab mereka masih tetap 
hormat,
"Kalau Tua Usil itu terpaksa harus dibunuh, 
biar aku yang membunuhnya! Tapi terlebih dulu, bust 
dia tak berdaya dan tak bisa menyerangku!" kata Wali 
Kubur yang bertambah jengkel hatinya membayangkan 
kerasnya pendirian Tua Usil yang tak mau sebutkan 
tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih itu.
"Atau malam Ini juga kau ingin Tua Usil menja-
di santapan buaya-buaya ku?" kata Iblis Mata Genit. 
"Jika kau mau, tinggal melepas tali pengikatnya yang 
ada di batang pohon, maka tubuhnya akan meluncur 
diterima mulut buaya!"
"Beri kesempatan sampai besok! Siapa tahu 
siksaan batinnya malam ini membuat pikirannya be-
rubah dan mau antarkan kita untuk temui gadis bang-
sat itu!" kata Wali Kubur dengan pelan, karena da-
danya terasa sesak menahan kemarahan yang tak 
mampu dilampiaskan.
Suara teriakan Tua Usil masih terdengar sese-
kali bersamaan dengan gemuruh air yang dihantam 
ekor-ekor buaya. Wali Kubur sedikit merasa terobati 
mendengar teriakan-teriakan Tua Usil. Ia jadi punya

keinginan untuk membuat Lili diperlakukan seperti 
Tua Usil, teriakan-teriakannya akan menjadi obat bagi 
sakit hati Wall Kubur.
Semalaman Tua Usil disiksa oleh ketegangan 
batin. Tubuhnya pun terasa lelah karena harus meng-
hindari gangguan mulut buaya. Setelah menjelang pa-
gi, ia sedikit bisa tenang. Buaya-buaya itu rupanya 
yang kelelahan, karena berulangkali gagal menangkap 
mangsa. Mereka tidur, dan Tua Usil pun tidur, ten-
tunya tetap dalam keadaan tergantung, kaki di atas 
kepala di bawah.
Plakkk...!
Sebuah pukulan rotan berduri menghantam 
kaki Tua Usil dan membuat Tua Usil terbangun dari 
tidurnya. Seorang penjaga malam rupanya iseng dan 
tak suka melihat Tua Usil tidur nyenyak dalam kea-
daan tergantung begitu. Penjaga yang sudah merasa 
ngantuk karena matahari sudah mulai mencuat dari 
sarangnya Itu, merasa mendapat kesegaran setelah 
memukul dan mengagetkan Tua Usil. Ia tertawa terba-
hak-bahak. Tua Usil hanya menggerutu dengan suara 
tak jelas.
Setelah penjaga itu meninggalkannya, Tua Usil 
tak bisa tidur lagi. Ia jadi berpikir tentang sesuatu 
yang selama ini sebenarnya bisa dilakukan tapi karena 
tegangnya menghadapi siksaan dan menghindari mu-
lut buaya, ia jadi lupa tidak melakukannya. Sebenar-
nya dari semalam ia sudah bisa lolos, karena dirinya 
bisa berubah menjadi kabut. Tentu saja tak ada tali 
yang bisa mengikat kabut. Dengan berubah menjadi 
kabut, ia bisa meloloskan diri dan berlari meninggal-
kan tempat itu tanpa diketahui oleh penjaga di depan 
pintu rumah.
"Bodoh amat aku ini! Kenapa tidak berubah 
menjadi kabut sejak semalam? Kenapa baru kutemu

kan gagasan itu sekarang ini?" pikirnya dengan ber-
sungut-sungut.
Gagasan itu tiba dengan sia-sia. Terlambat. Ka-
rena ketika Tua Usil temukan gagasan itu, iblis Mata 
Genit sedang berjalan menuju tempatnya. Tetapi Tua 
Usil nekat lakukan perubahan itu dengan gunakan il-
mu 'Halimun'-nya. Tubuhnya berasap, makin lama 
makin tebal, membentuk gumpalan kabut yang menge-
jutkan Iblis Mata Genit.
"Edan! Rupanya la bisa berubah menjadi ka-
but?!" pikir Iblis Mata Genit. Ia segera mencabut pe-
dangnya, tapi sosok tubuh Tua Usil sudah seluruhnya 
berubah menjadi gumpalan asap. Tak akan bisa dite-
bas memakai pedang tersebut.
Pada waktu Itu, Gandul muncul pula dari da-
lam rumah, dan melihat kejadian tersebut ia langsung 
berseru,
"Bibi Guru...! Dia berubah menjadi kabut!"
Iblis Mata Genit tak kalah akal. Bukan pedang-
nya yang digunakan, melainkan sarung pedangnya 
yang segera dicabut dari pinggang. Lalu, dengan men-
geraskan urat-urat tangannya, menahan nafasnya dan 
menghentakkan kaki ke tanah satu kali, uap kabut itu 
disedot memakai sarung pedang tersebut. Lubang sa-
rung pedang itu bagai mempunyai tenaga penghisap 
yang cukup kuat, sehingga ketika disodorkan ke de-
pan, uap kabut tersebut tertarik masuk ke dalam ga-
gang pedang. Zzzzuuutttt..!!
Zleeb...! Kabut tersedot habis, masuk ke dalam 
gagang pedang. Iblis Mata Genit segera tancapkan pe-
dangnya ke tanah, tangannya digunakan menutup lu-
bang sarung pedang tersebut. Teebbb...!
"Mampus kau! Mau lari ke mana kau, hah?!" 
geram Iblis Mata Genit. Lalu, ia menatap Gandul yang 
sedang tercengang memperhatikan apa yang dilaku

kannya. Ia segera berseru keluarkan perintah,
"Ambil kendi di dapur! Kita penjarakan dia ke 
dalam kendi saja!"
Gandul berlari dengan sedikit panik. Lalu, sege-
ra datang lag! dengan membawa kendi. Tempat air mi-
num itu disumpal gulungan rumput pada bagian lu-
bang tempat keluarnya air. Kemudian, Iblis Mata Genit 
dekatkan mulut sarung pedang ke mulut kendi yang 
ada di atas. Dengan gerakan tangan seakan menekan 
sarung pedang, uap kabut jelmaan Tua Usil itu ter-
sembur masuk ke dalam lubang mulut kendi. Terden-
gar suara Tua Usil yang merintih sedih,
"Ampuuun...! Ampuuun...!" semakin masuk ke 
dalam kendi, semakin aneh suaranya, "Amplluup…! 
Apbbbeb...! Appbleeebbb...!"
Rupanya Gandul lupa membuang air dalam 
kendi tersebut, sehingga Tua Usil seperti orang tengge-
lam dalam genangan air. Terdengar pula suara air 
kendi menjadi berkecipak dan bergelembung-
gelembung. "Bluub... bluub... buluub... bluub...!" Iblis 
Mata Genit tertawa mengikik panjang. "Hik hik hik...! 
Matilah kau, Tua Usil! Kau pikir dengan bisa berubah 
wujud mu menjadi kabut, kau bisa kalahkan Iblis Ma-
ta Genit Ini, hah?! Tak mungkin, Tua Usil! Tak mung-
kin kau bisa kalahkan aku! Dan kau akan ku penjara 
di dalam kendi ini, sebelum kudengar kau bersedia 
menunjukkan tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih, 
kau tak akan kulepaskan dad kendi ini! Hik hik hik...!"
Mulut kendi itu segera ditutup. dengan gulun-
gan rumput padat. Disumpal kuat-kuat, sehingga tidak 
mempunyai celah untuk meresap kabut tersebut. Ken-
di itu segera disimpan kembali ke dapur oleh Gandul. 
Sementara itu, Gandul harus segera kembali menemui 
Iblis Mata Genit untuk menangkap seekor buaya yang 
akan mereka potong. Seperti apa kata Setan Sibuk kepada Yoga, bahwa Iblis Mata Genit menyukai makanan 
berupa daging buaya. Itulah sebabnya dl samping 
pondoknya yang terletak dl Bukit Kematian itu, terda-
pat kolam lebar sebagai tempat peternakan buaya.
Di luar dugaan mereka berdua, Wali Kubur 
yang baru saja bangun dari tidurnya, akibat menden-
gar suara gaduh orang menangkap buaya, segera pergi 
ke dapur untuk mengambil air minum. Ia kehausan 
sebab selama tidurnya ia mengorok, dan kerongkon-
gannya menjadi kering.
Wali Kubur sedikit merasa heran melihat kendi-
tempat air minum itu tersumbat gulungan rumput. 
Tapi karena rasa haus yang sudah terlalu mengering-
kan tenggorokannya itu, Wali Kubur tak mau tahu lagi 
tentang penyumbat lubang kendi itu. Maka, rumput 
penyumbat pun dicabutnya, dan ia menenggak air 
kendi secara terburu-buru.
Wali Kubur tak terlalu menghiraukan melihat 
air kendi yang terkucur keluar ke mulutnya itu ber-
campur dengan uap. Ia pikir uap dingin akibat air 
kendi nyaris mengalami pembekuan. Tapi uap itu se-
makin banyak tertampung di mulutnya dan akhirnya 
berubah menjadi kaki orang.
Tua Usil bebas dari dalam kendi, langsung ka-
kinya menjejak mulut Wali Kubur sekuat-kuatnya, se-
puas-puasnya. Prookkk...!
"Ouh...!"
Brakkk...! Wali Kubur jatuh dengan mulut han-
cur, giginya rontok semua di bagian depan. Tua Usil 
memang sengaja kerahkan semua tenaganya ke tela-
pak kaki pada waktu menjejak mulut itu. Akibatnya, 
mulut itu seperti dihantam memakai besi sebesar ke-
lapa hijau. Wali Kubur sempat gelagapan sekejap dan 
segera meraung-raung tak jelas. Sedangkan Tua Usil 
cepat larikan diri melalui pintu dapur.

"Aooh... aooh...! Aoohhh...!" Wali Kubur keluar 
dari kamar dan menemui kakak perempuannya.
Iblis Mata Genit dan Gandul tercengang kaget 
melihat mulut Wali Kubur berlumuran darah. Iblis Ma-
ta Genit cepat tinggalkan pekerjaan yang sedang dila-
kukan, demikian pula Gandul. Mereka berdua segera 
hampiri Wali Kubur yang tangannya menuding-nuding 
ke arah hutan ke belakang pondok tersebut.
"Guru...! Apa yang terjadi?!" pekik Gandul wak-
tu itu.
Wali Kubur hanya bisa berkata, "Aoooh... 
aoooh...!"
"Keparat!" geram Iblis Mata Genit. "Siapa yang 
telah membuat bibirmu pecah begitu dan gigimu ron-
tok semua, Adik Wali Kubur?!"
"Aoh, aoh, aoh, aaaaooohh...!" Wali Kubur men-
jelaskan dengan dibantu bahasa gerak. Maka, kedua 
orang Itu segera mengetahui maksud Wali Kubur, se-
hingga Gandul berkata kepada Iblis Mata Genit,
"Guru minum air dalam kendi! Yang keluar si 
Tua Usil itu!"
Iblis Mata Genit naik pitam dan membentak 
Wali Kubur, "Sekarang di mana si Tua Usil itu?!"
"Aooh... aaooh...!" sahutnya sambil menuding 
hutan belakang pondok.
"Iya. Jauh ya jauh, tapi larinya ke mana kok 
kamu bisa bilang jauh?!" sentak Iblis Mata Genit lagi. 
Akhirnya Wali Kubur menarik tangan Iblis Mata Genit, 
membawanya bergegas ke belakang rumah, lalu me-
nuding hutan belakang rumah itu,
"Oooh... aoooh...!"
"Jahanam!" geram Iblis Mata Genit. "Gandul, 
bangunkan Brata! Kita kejar si Tua Usil itu! Pancung 
kepalanya di tempat!"
Tua Usil lari tunggang-langgang. Sedikit pun

tak berani menengok ke belakang. Sebentar pun tak 
mau berhenti. Rasa takut dan panik membuatnya lari 
tanpa arah yang pasti. Baginya, yang penting ia harus 
cepat-cepat menjauhi peternakan buaya itu entah ke 
arah mana saja. Jika perlu masuk ke dalam sebuah 
sumur demi selamatkan diri dari kejaran Iblis Mata 
Genit.
"Sial! Sejak tadi tak kulihat ada sumur?!" geru-
tunya sambil terus berlari, sedangkan Iblis Mata Genit 
pun terus mengejar dengan langkah lebih cepat dua 
kali lipat dibandingkan kecepatan lari Tua Usil. Maka 
tak heran jika sekali Tua Usil menengok ke belakang, 
ia sudah melihat gerakan lari dari orang berpakaian hi-
jau. Siapa lagi orang berpakaian hijau muda itu jika 
bukan Iblis Mata Genit. 
Karena takutnya, Tua Usil berlari sambil berte-
riak-teriak dengan harapan ada orang baik yang mau 
menolongnya..
'Tolooong… ! Toloodng...! Tooo .. tooo... to-
loooong...!"
Tak jauh dari tempat itu, Pendekar Rajawali 
Merah sedang susuri jalan setapak menuju Bukit Ke-
matian. Ia masih didampingi oleh Bocah Bodoh. Ketika 
mereka mendengar suara teriakan minta tolong, kedu-
anya sama-sama hentikan langkahnya. Mereka saling 
tatap sebentar, saling menyimak suara samar-samar 
itu. Kemudian, Yoga berkata pelan bagai bicara pada 
dirinya sendiri,
"Sepertinya itu jenis suara Tua Usil?!"
"Arahnya di utara, Tuan Yo!" timpal Bocah Bo-
doh.
"Bukan. Arahnya di selatan! Karena di utara 
ada bukit, jadi suaranya memantul seperti datang dari 
utara!"
"Tapi di sebelah selatan juga ada bukit, Tuan

Yo!"
Yoga memandang ke utara dan selatan, kedua 
arah itu memang mempunyai bukit walau tak seberapa 
tinggi. Akhirnya, Yoga berkata,
"Baiklah, kita berpencar! Aku ke selatan dan 
kau ke utara!"
Bocah Bodoh cemas, lalu berkata, "Sebaiknya 
saya percaya saja dengan ilmu firasat Tuan Yo. Saya 
ikut ke selatan saja, Tuan!"
Bocah Bodoh berpikir, "Daripada aku lari sendi-
rian, belum tentu aku bisa menolong orang tersebut. 
Padahal tempat ini tak seberapa jauh lagi dari Bukit 
Kematian, Salah-salah aku bisa kepergok Iblis Mata 
Genit, nyawaku bisa melayang tanpa sungkan-
sungkan lagi. Lebih baik aku ikut ke mana saja Tuan 
Yo pergi!"
*
* *
7


PELARIAN Tua Usil merupakan pelarian yang 
ulet. Itu karena ia tak mau disiksa di atas peternakan 
buaya lagi. Ia benar-benar jera mengalami siksaan se-
perti itu. Karenanya, ia berlari dengan arah berbelok-
belok memusingkan pengejarnya.
Tanpa disadari ia sudah tiba di sebuah lembah 
yang ditumbuhi banyak bebatuan dengan jenis tum-
buhan pohon yang terhitung jarang. Suara teriakannya 
sesekali masih terdengar dan menjadi petunjuk bagi 
Yoga untuk mengikutinya.
Lembah yang banyak terdapat gugusan batu itu 
tak lain adalah Lembah Maut. Tua Usil terhenti seketika setelah ia sadar dirinya ada di mana. Mata Tua Usil 
pun cepat memandang batu tonggak setinggi perut 
yang dikenal dengan nama Prasasti Tonggak Keramat. 
Tua Usil tercengang sejenak, lalu segera sadar bahwa 
dirinya terancam kejaran Iblis Mata Genit. Maka, den-
gan sedikit panik ia mencari batu yang bisa dipakai 
untuk bersembunyi.
Ketika Iblis Mata Genit tiba di Lembah Maut, 
Tua Usil sudah tidak terlihat dari pandangan matanya. 
Sorot pandangan mata penuh kemarahan itu segera 
menyusuri beberapa tempat di sekelilingnya sambil ia 
berseru,
"Tua Usil...! Aku tahu kau bersembunyi di sini! 
Keluarlah sekarang juga sebelum murka ku memun-
cak! Keluar kau, Tua Usil...!"
Sebongkah batu dihantam dengan kekuatan 
tenaga dalam yang melesat dari punggung tangan. 
Zlaappp...! Sinar kelabu menghantam sebongkah batu 
dan batu itu pecah seketika. Duaarrr....! Tua Usil tak 
ada di balik batu itu. Mata gadis bertubuh sekal itu 
memandangi bukit di atasnya. Lereng dinding bukit, 
batu-batu besar, pohon, semua di susuri, namun tetap 
tidak terlihat bayangan mencurigakan yang patut di-
hampiri. Dinding tebing diperhatikan, dipandangi ce-
lah-celahnya, tapi tetap tidak terlihat tanda-tanda 
orang bersembunyi. Iblis Mata Genit bertambah panas 
hatinya. Maka, beberapa batu yang ada di situ diha-
jarnya dengan pukulan jurus-jurus maut. Batu-batu 
itu saling berhamburan, suara ledakan menghentak 
menggema bagaikan tiada hentinya.
Tua Usil bersembunyi tepat di balik batu pra-
sasti. Tubuhnya menggigil karena melihat pecahan ba-
tu berhamburan bersama bunyi ledakan yang setiap 
kali membuat jantungnya bagai tersentak copot. Se-
bongkah batu dari pecahan tersebut melesat jatuh di

kakinya. Tuusss...! Jari kelingking kaki terhantam ba-
tu itu. Sakitnya bukan main. Tapi Tua Usil hanya di-
am, menggigit bajunya kuat-kuat agar mulutnya tidak 
terpekik kesakitan. Ia jongkok di situ, memperhatikan 
kelingking kaki kirinya berdarah. Ia memandang den-
gan sedih, karena tak bisa lepaskan perasaan sakit-
nya. Matanya pun terpejam kuat ketika luka itu terasa 
nyut-nyutan sampai di ubun-ubun.
Ketika nyut-nyutan sedikit berkurang, Tua Usil 
segera buka matanya. Dan ia terkejut bukan kepalang 
tanggung. Tubuhnya sempat hampir terlonjak kuat, 
namun kepalanya buru-buru terbentur batu yang me-
naunginya, sehingga ia menjadi jongkok kembali sam-
bil menyeringai. Karena pada saat ia membuka mata, 
tahu-tahu seraut wajah sudah ada di depannya ikut 
jongkok pula. Seraut wajah itu milik Bocah Bodoh, 
yang segera nyengir geli waktu Tua Usil buka matanya.
"Kampret! Bikin jantungku putus saja kau!" ge-
ramnya dalam bisik, tangannya mengepal ingin meng-
hantam wajah cengar-cengir itu.
"Ssstt...! Jangan keras-keras bicaramu nanti 
didengar Iblis Mata Genit!" bisik Bocah Bodoh.
"Dengan siapa kau kemari?!" bisik Tua Usil 
sambil masih sesekali menyeringai sakit dan mengu-
sap-usap kepalanya yang terbentur batu.
"Aku datang menolong mu!"
"Yang kutanya, dengan siapa kau kemari?!" ge-
ram Tua Usil dengan wajah jengkel.
"Sssstt...! Jangan keras-keras, nanti Iblis Mata 
Genit mengetahui ada orang di sini! Aku datang ber-
sama Tuan Yo."
“Tuan Yo...?!" Tua Usil mulai berseri. "Sekarang 
dl mana Tuan Yo?"
"Sedang berhadapan dengan iblis Mata Genit!"
Tua Usil bersungut-sungut, "Kalau begitu ngomong keras juga tak jadi soal! Perempuan itu toh su-
dah melihat Tuan Yo, berarti dia tahu kalau di sini ada 
orang!"
"O, begitu ya..?!"
"Huhh...!" tangan Tua Usil mendorong kepala 
Bocah Bodoh, kepala itu tersentak ke belakang dan 
Bocah Bodoh jatuh terduduk dari jongkoknya. Kemu-
dian, tua Usil beranikan diri keluar dari persembu-
nyian dan melihat Pendekar Rajawali Merah sedang 
berhadapan dengan Iblis Mata Genit.
Kedua tokoh berilmu tinggi itu masih sama-
sama saling bungkamkan mulut. Tapi mata mereka 
sama-sama saling tatap lekat-lekat. Jarak mereka seki-
tar tiga tombak. Masing-masing berdiri tegak dengan 
sikap siap tempur.
"Edan bocah tampan ini!" pikir Iblis Mata Genit. 
"Kekuatan apa yang dimilikinya, sehingga hatiku ber-
getar bagai terpikat olehnya?"
Sementara itu, di dalam hati Yoga pun berkata. 
"Kurasa dia punya kekuatan yang mampu melumpuh-
kan hati lelaki. Tapi aku tak akan goyah oleh kekuatan 
itu. Aku harus bisa kalahkan dengan kekuatan batin 
ku!"
Iblis Mata Genit segera kerlingkan mata kirinya. 
Claappp...! Yoga tersentak mundur satu tindak, namun 
tetap berdiri. Dalam hatinya terucap kata batin,
"Gila! Dia hantam aku dengan kerlingan ma-
tanya?! Cukup kuat juga hantaman itu, hampir aku 
terpental kalau tak sigap diri!"
Sedangkan di hati Iblis Mata Genit berkata, 
"Dia cukup tangguh! Biasanya lawan yang terkena pu-
kulan 'Surya Pendar' akan terjungkal ke belakang dan 
muntah darah, tapi pemuda tampan ini masih tegak 
dan tidak rasakan pukulan itu sama sekali. Akan ku 
coba menggunakan jurus pukulan 'Soca Palebur'!"

Iblis Mata Genit berwajah tak segarang tadi. Ki-
ni ia kerlingkan mata kanannya dengan gerak satu ke-
dipan diiringi senyum tipis. Claappp...! Wuuuhg...!
Iblis Mata Genit mundur satu tindak, Yoga pun 
mundur satu tindak. Keduanya bagaikan sama-sama 
terdorong ke belakang dalam sentakan kuat yang ter-
tahan. Iblis Mata Genit segera membatin,
"Luar biasa! Pukulan 'Soca Palebur' biasanya 
bikin hancur lawan. Setidaknya dada lawanku bisa je-
bol dengan kedipan mata kanan. Tapi bocah tampan 
ini sungguh kuat lapisan tenaga dalamnya. Pukulan 
'Soca Palebur' hampir membalik mengenai diriku sen-
diri. Ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku meng-
hadapi musuh setangguh ini."
Di dalam hati Pendekar Rajawali Merah yang 
masih tetap membungkam mulut itu juga berkata,
"Kedipkan mata kanannya lebih berbahaya. 
Dadaku sempat terasa panas, dan sekujur tubuh bagai 
semutan. Agaknya dia gunakan jurus yang lebih tinggi 
lagi dari yang tadi. Mungkin kali ini dia akan gunakan 
yang lebih tinggi juga dari yang terakhir. Aku harus 
siap menghadapinya!"
Dugaan Yoga memang benar. Dalam tatapan 
matanya yang sebenarnya berbentuk indah itu, pe-
rempuan cantik berkulit kuning langsat itu menge-
dipkan kedua mata dua kali. Clap, clap...!
Bluubb...! Ada sepercik sinar api yang keluar 
dari tubuh Yoga. Percikan sinar api itu hanya menyala 
sekejap. Seolah-olah ada kekuatan api yang memantul 
balik setelah menghantam tubuh Yoga, dan kekuatan 
api itu segera padam. Hitam tak berbekas, tak berasap. 
Pada saat itu, Yoga masih tampakkan diri dalam kete-
garan dan ketegapannya. Ia hanya sunggingkan se-
nyum tipis yang membuat Iblis Mata Genit segera 
membatin,

"Tak salah lagi. Dia memang tangguh luar bi-
asa. Pukulan 'Sinar Kesumat' tak bisa membakar di-
rinya. Padahal biasanya, siapa pun yang terkena puku-
lan 'Sinar Kesumat' dari kedipan dua mataku tadi, dia 
akan hangus terbakar dan apinya sulit dipadamkan; 
Tapi bocah bagus ini, sungguh mengagumkan hatiku. 
Semestinya pria seperti dialah yang layak menjadi su-
amiku. Biar buntung tangan kirinya, tapi tinggi il-
munya. Pasti dia bisa menandingi ku baik di pertarun-
gan luar rumah maupun pertarungan di dalam rumah. 
Hmmm. Tapi mengapa dia memihak Tua Usil? Ada hu-
bungan apa dengan Tua Usil, dan siapa dia sebenar-
nya?"
Iblis Mata Genit mengendurkan ketegangan ba-
tinnya. Ia melangkah maju tiga tindak sambil masih 
memandangi Yoga. Sementara itu, Yoga sendiri masih 
belum bergeser dari tempatnya, seakan menunggu 
pamer ilmu selanjutnya dari perempuan berpakaian hi-
jau muda itu.
Di belakang sana, di balik batu prasasti, Tua 
Usil dan Bocah Bodoh memperhatikan Yoga dan Iblis 
Mata Genit dengan perasaan heran. Bahkan Cola Colo 
sempat berbisik kepada Tua Usil,
"Apakah mereka sudah saling kenal? Kok sejak 
tadi hanya pandang-pandangan saja? Kapan berta-
rungnya?"
"Diam saja kau! Lihat saja apa yang terjadi se-
lanjutnya!" 
Pendekar Rajawali Merah menarik napas da-
lam-dalam ketika Iblis Mata Genit bertolak pinggang di 
depannya dengan menyangkutkan kedua jempol tan-
gan pada ikat pinggang di depan perutnya. Sikap pe-
rempuan Itu semakin kelihatan menantang dan mere-
mehkan. Maka, napas yang sudah tertahan itu dihem-
paskan keluar oleh Yoga melalui hidungnya.

Wuuttt...!
Blaabbb...! Seberkas sinar berkerilap di perten-
gahan jarak. Tubuh Iblis Mata Genit tersentak mundur 
dan terhuyung-huyung empat langkah jauhnya. Ham-
pir saja ia jatuh karena merasakan ada kekuatan yang 
begitu besar menghantamnya. Kekuatan itu datang da-
ri hembusan napas Pendekar Rajawali Merah. Jika ti-
dak segera ditahan dengan gerakkan memadatkan na-
pas secara seketika, pasti tubuh Iblis Mata Genit akan 
terpental melayang jauh ke belakang.
Iblis Mata Genit tak menduga Yoga akan mem-
balas menyerangnya dengan suatu ketenangan yang 
membahayakan jiwa lawan. Pendekar Rajawali Merah 
menggunakan jurus yang jarang dipakai jika lawannya 
tidak benar-benar berilmu tinggi. Jurus itu adalah ju-
rus 'Badal Petir'. Jika bukan Iblis Mata Genit, orang itu 
akan terpental sangat jauh, dan hancur berkeping-
keping di tempat ia jatuh.
Jurus 'Badai Petir' digunakan bagi lawan yang 
berilmu tinggi, sebab yang menerbangkan tubuh lawan 
dan yang menghancurkan adalah kekuatan tinggi yang 
dimiliki oleh lawan tersebut, Jika lawan tidak punya 
ilmu tinggi, maka jurus 'Badai Petir' justru membuat 
lawan selamat tak bergeming sedikit pun. Itulah se-
babnya Yoga dapat mengukur kekuatan Iblis Mata Ge-
nit, ternyata tidak melebihi ketinggian ilmunya sendiri. 
Ilmu perempuan itu masih di bawah ilmu Pendekar 
Rajawali Merah. Jika ilmu perempuan itu lebih tinggi, 
maka perempuan itu justru akan terlempar jauh dan 
pecah di tempatnya jatuh.
Tetapi jurus yang sempat membuat Iblis Mata 
Genit tersentak mundur empat langkah itu, telah 
membuat hatinya berkata memuji Yoga,
"Gila! Dia gunakan hembusan napas seringan 
itu namun bisa membuat tubuhku hampir saja ter

bang jauh. Sekujur tubuhku sekarang menjadi hangat 
dan kulitku sedikit perih. Kurang ajar betul dia! Diam-
diam nakal juga bocah tampan ini?!"
Lalu, Iblis Mata Genit segera sunggingkan se-
nyum sedikit lebar, berkesan menyepelekan lawannya. 
Ia melangkah lagi dengan lagak acuh tak acuh, kemba-
li ke tempatnya berdiri tadi. Sedangkan senyum yang 
ada di bibir Yoga adalah senyum kelegaan, karena ia 
tahu lawannya punya ilmu tak setinggi ilmu yang dimi-
likinya,
"Aku mencari Pendekar Rajawali Putih, gadis 
keparat yang menyedot seluruh ilmu adikku; si Wali 
Kubur itu. Tapi mengapa yang kutemukan justru ke-
tampanan wajahmu? Siapa kau sebenarnya?"
"Pendekar Rajawali Merah," jawab Yoga tenang. 
Mata perempuan itu terkesiap dan menatap penuh cu-
riga. Kemudian ia manggut-manggut dan berkata den-
gan lagak meremehkan,.
"Ooo... jadi kau yang berjuluk Pendekar Raja-
wali Merah? Apakah ada hubungannya dengan Pende-
kar Rajawali Putih itu?!"
"Dia kekasihku!" jawab Yoga terang-terangan.
Iblis Mata Genit tertawa melecehkan. "Terus te-
rang kukatakan padamu, bahwa kau tak pantas ber-
pasangan. dengan gadis keparat itu! Dia gadis jahat, 
sedangkan kau... aku tahu, kau pasti tidak berhati ja-
hat! Kusarankan padamu, tinggalkan dia supaya il-
mumu tidak tersedot oleh kekuatan ilmunya itu! Ber-
gantilah pasangan yang punya ilmu sejajar denganmu, 
seperti misalnya diriku ini!"
Pendekar Rajawali Merah sunggingkan senyum 
tipis, lalu berkata dengan nada menyepelekan saran 
itu,
"Lili; Pendekar Rajawali Putih itu, bukan saja 
kekasihku, namun juga guru angkatku!"

"O, ya...?! Lucu sekali? Hik hik hik...!" Iblis Ma-
ta Genit tertawa berkepanjangan, "Alangkah bodohnya 
otak setampan wajahmu itu, Pendekar Rajawali Merah. 
Mau-maunya kau punya guru angkat gadis dungu 
yang bisanya hanya mencuri ilmu lawan itu? Apakah 
kau tak salah pilih? Apakah kau tak bisa memandang 
bahwa aku jauh lebih pantas menjadi gurumu ketim-
bang-gadis dungu itu!*
"Tidak. Kau tidak pantas jadi guruku, karena 
kau tidak mampu mengalahkan aku, tidak mampu 
menundukkan aku, dan tidak mampu memikat hatiku, 
seperti apa yang dilakukan Lili!"
"Apakah wajahku tidak cantik memikat hati?"
"Buruk. Luar biasa buruknya!" jawab Yoga den-
gan tegas. Jawaban itu membuat wajah Iblis Mata Ge-
nit menjadi merah jambu menandakan darah kemara-
hannya kembali naik sampai ke ubun-ubun. Pandan-
gan matanya sedikit menyipit, namun sangat tajam 
memandang.
"Kau sangat berani bicara begitu di depanku! 
Kuanggap lancang mulutmu, Bocah Bagus!" geram Ib-
lis Mata Genit.
"Tak ada yang ku takuti sedikit pun bicara di 
depanmu!"
"Baiklah. Kau selalu memancing kemarahanku. 
Kau telah menghadang langkahku memburu Tua Usil 
itu...!" Ia menuding Tua Usil. "Kau juga akan menjadi 
penghalang langkahku dalam memburu gadis keparat
itu! Maka, ku putuskan untuk membunuhmu seka-
rang juga! Heaaah...!"
Kedua tangan Iblis Mata Genit di tarik ke samp-
ing dengan telapak tangan terbuka membentuk cakar, 
kakinya merendah, yang kanan menghentak ke tanah. 
Duuuhg...! Matanya menjadi merah, lalu dari mata me-
rah itu melesat sinar biru dua berkas, membentuk jarum besar. Clap, claappp...!
Wuutttt...! Sinar biru Itu menghantam mata 
Pendekar Rajawali Merah. Tetapi dengan cekatan tan-
gan Yoga bergerak ke depan, dua jarinya berdiri tegak 
di pertengahan kening, dan dari jari itu keluar seber-
kas sinar merah bening berbentuk piringan selebar wa-
jah.
Traasss...! Blaarrr...!
Dua berkas sinar biru itu menghantam sinar 
merah bening, terpercik bunga api sekejap, kemudian 
meledak dengan gelegar yang dahsyat. Ledakan itu 
membuat tubuh Yoga tersentak mundur dua tindak, 
namun tubuh Iblis Mata Genit terjungkal ke belakang 
dan berguling-guling.
"Setan!" geram Iblis Mata Genit dengan mur-
kanya. "Heaaah...!"
Iblis Mata Genit menyentakkan kedua telapak 
tangannya ke depan hingga memancarkan sinar hijau 
besar dan dari kesepuluh ujung jarinya terlepas sinar 
kuning berkelok-kelok. Pukulan itu bermaksud me-
nyergap tubuh lawan hingga tak bisa menghindar dan 
menyerang. Tetapi, kaki Yoga sudah lebih dulu me-
nyentak pelan ke tanah, sehingga tubuhnya melenting 
ke atas dan bersalto mundur dua kali.
Zraappp...! Wesss...! Wuurrrtt...!
Blaarrr'...! Blegaarrr...!
Kalau saja Tua Usil tadi tidak punya gagasan 
untuk pindah tempat sambil menarik tangan Bocah 
Bodoh, sudah pasti mereka berdua akan hancur ber-
keping-keping atau habis terbakar oleh sinar-sinar dari 
kedua tangan Iblis Mata Genit itu. Karena ketika Yoga 
menghindar naik ke atas, sinar itu mengenai batu pra-
sasti, hingga batu itu menjadi pecah berkeping-keping 
dan kepingan itu menyala bara merah, panas jika di-
pegang. Untung kepingan membara panas itu tak banyak yang memercik mengenai tubuh Yoga, Tua Usil, 
dan Bocah Bodoh.
Mereka hanya terpekik karena kaget menerima 
percikan panas. Namun segera dapat diatasi, walau 
membekas melepuh di betis Bocah Bodoh. Juga di tan-
gan Tua Usil ada bagian yang melepuh karena terkena 
percikan batu tersebut. Sedangkan yang memercik 
mengenai tubuh Yoga tak sempat membuat kulitnya 
melepuh, hanya merasa tersengat panas saja. Namun 
itu pun tak dihiraukan.
Karena pada saat Yoga mendaratkan kakinya di 
tanah, kedua jari tangannya dikibaskan ke depan ba-
gai melempar pisau. Jari itu tetap teracung lurus ke 
depan, dan dari ujungnya keluar sinar merah patah-
patah yang menghujani tubuh Iblis Mata Genit.
Clap, clap, clap, clapp...!
Sinar itu mengenai tubuh Iblis Mata Genit be-
berapa kali, membuat tubuh itu terpental terus-
menerus, sampai akhirnya ia berhasil melesat naik ke 
atas dahan pohon. Namun keadaannya telah menjadi 
parah. Wajahnya pucat, sudut mulutnya tampak kelu-
arkan darah, bekas hitam hangus pun terlihat di bebe-
rapa pakaiannya. Dari atas pohon, Iblis Mata Genit 
berseru,
"Sekarang aku kalah! Tapi tunggu sebentar lagi, 
aku akan datang dan membayar kekalahan ku ini, Bo-
cah setan!"
Zlaappp...! Iblis Mata Genit bagaikan menghi-
lang karena cepatnya gerakan melompat dari pohon ke 
pohon. Yoga hanya memandanginya dengan napas ter-
hempas lega.
Plok, plok, plokk...! Terdengar suara tepukan. 
Yoga berpaling memandang ke arah Bocah Bodoh dan 
Tua Usil. Ternyata tepukan itu datang bukan dari me-
reka, melainkan dari atas bukit. Yoga memandang kesana, rupanya Gadis Linglung sudah berdiri di atas 
bukit itu. Gadis Linglung agaknya memang bandel dan 
nekat. Saat ia ingin ikut Yoga menyerang Iblis Mata 
Genit, Yoga tidak setuju dan melarangnya ikut. Gadis 
Linglung pun pergi dengan kecewa. Tapi rupanya ke-
pergiannya itu hanya sebuah siasat, untuk kemudian 
dia menguntit perjalanan pemuda tampan yang diam-
diam mengagumkan hatinya itu.
Wuukkk, wuukkk...! Gadis Linglung melompat 
dari atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Dalam ke-
jap berikutnya ia sudah berada di bawah, di samping 
Tua Usil dan Bocah Bodoh.
"Luar biasa! Tak pernah kulihat pertarungan 
sehebat itu, dengan jurus-jurus mautnya!" kata Gadis 
Linglung. "Aku sangat terkesima dan lupa berkedip 
melihat... melihat...."
Ucapan Gadis Linglung itu menjadi tersendat 
ragu. Karena pada saat itu, mereka mendengar suara 
gemuruh yang mengguncangkan bumi. Masing-masing 
hati bertanya, "Apa yang terjadi ini?" Tanah yang ber-
guncang-guncang itu membuat Bocah Bodoh segera 
berseru panik,
"Gempa...! Gempa...! Ada gempa! Lekas tinggal-
kan tempat ini!"
"Tunggu!" seru Yoga pada waktu mereka hen-
dak melarikan diri, sementara Gadis Linglung sudah 
lebih dulu mencapai tempat agak jauh. Ia terpaksa 
kembali lagi dengan gerakan cepatnya ketika mata Yo-
ga menatap ke arah dinding tebing bukit itu, juga mata 
Bocah Bodoh dan Tua Usil tak berkedip memandangi 
bukit tersebut.
Rupanya ada sesuatu yang bergerak pada dind-
ing bukit itu. Sesuatu yang bergerak itu adalah pintu 
sebuah gua yang sudah bertahun-tahun tertutup ra-
pat. Lubang gua itu tidak terlalu lebar, namun mem

punyai cahaya putih terang dari dalamnya. Gua yang 
bersinar terang menyembur ke luar itu segera didekati 
oleh mereka.
Sinar putih yang memancar keluar itu segera 
padam setelah batu penutup gua berhenti bergerak 
dan getaran tanah di sekelilingnya pun hilang. Kini 
yang ada di depan mereka adalah lubang gua yang tak 
seberapa dalam. Di pertengahan lubang itu terdapat 
batu datar dari jenis bebatuan yang transparan. Ben-
ing dan berkilauan bagaikan sebongkah berlian. Di 
atas batu itu, terdapat sebilah pedang warna merah 
yang tidak begitu panjang, bergagang pendek Pedang 
merah itu mempunyai garis bingkai dari bahan kuning 
emas, yang menambah kesan wibawa dalam paduan
warna merah beludrunya itu. Tepat pada ujung gagang 
pedang itu terdapat hiasan logam emas berukir ber-
bentuk kepala manusia lelaki gundul.
"Itu Pedang Jimat Lanang,..!" cetus Bocah Bo-
doh dengan lantang karena girangnya.
Tua Usil berkata, "Kelihatannya begitu. Tapi 
kau yakin kalau itu memang Pedang Jimat Lanang?"
"Ya! Waktu Ibu marah, Ibu sempat jelaskan ciri-
ciri pedang pusaka yang ada di sekitar prasasti ini!" 
Bocah Bodoh berseri-seri.
Yoga jadi berpikir, rupanya pintu penutup gua 
penyimpan Pedang Jimat Lanang dapat terbuka jika 
batu prasasti itu dihancurkan. Dan penghancurannya 
kali ini adalah suatu tindakan yang tidak sengaja, aki-
bat terkena pukulan Iblis Mata Genit.
Wuutttt...! Tiba-tiba Gadis Linglung segera me-
nyambar pedang itu dan dibawanya lari. Batu alas pe-
dang yang mirip berlian itu menjadi kusam dan pecah 
setelah pedang terangkat. Tapi yang membuat mereka 
kaget dan tegang adalah lenyapnya pedang tersebut. 
Gadis Linglung menggunakan kelengahan mereka,

manakala mereka masih terpukau dengan penemuan 
itu.
"Kejar dia...!" seru Tua Usil dalam satu senta-
kan keras.
*
* *
8


SUARA orang tertawa cekikikan di bawah po-
hon rindang berdaun lebat itu tidak berkesudahan. 
Tampaknya orang yang tertawa itu sedang mengalami 
kegembiraan yang luar biasa. Tentu saja suara tawa 
yang tiada henti-hentinya itu memancing rasa ingin 
tahu seorang lelaki berpakaian abu-abu dengan ikat 
kepala kuning. Dia tak lain adalah si Raja Tipu, "Hutan 
di sebelah timur sungai itu memang angker. Banyak 
kuntilanaknya. Siang-siang begini saja suara tawa 
kuntilanak sudah terdengar, apalagi kalau malam? 
Pasti kuntilanak akan tertawa bercampur desah keme-
sraan jika pada malam hari! He he he...! Masa bodoh-
lah, untuk apa memikirkan soal kuntilanak yang ter-
tawa terkikik-kikik itu. Tapi... seperti apa sebenarnya 
kuntilanak itu? Benarkah dia berwajah cantik?! Aku 
kok jadi kepingin tahu?!"
Berangkat dari suara tawa, Raja Tipu akhirnya 
menyeberang sungai untuk mencapai hutan di sebelah 
timur sungai itu. Sementara ia menyeberang sungai 
melalui bebatuan, suara tawa terkikik-kikik itu masih 
saja terdengar. Jelas itu suara perempuan, hanya be-
danya kalau suara perempuan tidak akan berkepan-
jangan begitu, tapi jika suara kuntilanak sudah tentu 
bisa berkepanjangan, sebab tak akan ada orang yang

berani menegur dan melarangnya. 
Raja Tipu mengendap-endap dalam langkah-
nya, mendekati sumber suara tawa itu. Jantungnya 
sempat berdebar-debar karena ia tahu dirinya berada 
dalam jarak dekat dengan tawa kuntilanak itu. Sema-
kin dekat, semakin jelas, semakin membuat merinding 
pula sekujur tubuh Raja Tipu.
Rimbunan semak mulai dibuka oleh tangan Ra-
ja Tipu yang gemetar. Mata lelaki berbadan agak ge-
muk itu terbuka lebar-lebar supaya ia dapat melihat 
dengan jelas wujud kuntilanak.
Namun setelah matanya berhasil menangkap 
sumber suara tawa yang terkikik-kikik itu, Raja Tipu 
segera. menghembuskan napas kedongkolannya. Tu-
buhnya yang merunduk itu menjadi tegak. Ia garuk-
garuk kepala menahan rasa malu dan geli, sekaligus 
jengkel karena terkecoh oleh anggapannya sendiri.
"Kucing pasar!" makinya. "Kupikir kuntilanak 
yang tertawa, tak tahunya Gadis Linglung, orang Per-
guruan Camar Sakti itu!"
Rupanya Raja Tipu sudah mengenai Gadis Lin-
glung yang cantik dan berwajah imut-imut itu. Maka, 
Raja Tipu pun segera keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Gadis Linglung sempat terkejut, menyangka 
ada musuh datang. Ia bergerak mundur sambil tan-
gannya siap mencabut pedang yang baru saja berhasil 
diperolehnya; Pedang Jimat Lanang.
Tapi begitu menyadari yang datang adalah si 
Raja Tipu, Gadis Linglung segera hembuskan napas le-
ga dan kendurkan ketegangannya.
"Monyet burik! Lain kali jangan coba-coba men-
gagetkan aku lagi, Raja Tipu! Bisa kupenggal kepalamu 
dengan pedang pusaka sakti ini!"
Raja Tipu tertawa terkekeh-kekeh. Diam-diam 
matanya memperhatikan pedang merah berbentuk indah yang di bagian ujung pedang terdapat ronce-ronce 
dari benang warna kuning itu. Pedang tersebut digeng-
gam dengan tangan kiri oleh Gadis Linglung.
"Suara tawamu memancing rasa ingin tahu ku, 
Gadis Linglung. Kupikir tadi suara tawa kuntilanak, 
sehingga aku mengendap-endap karena ingin melihat 
seperti apa wujud kecantikan kuntilanak itu. Ternyata 
yang ada dirimu, yang pasti jauh lebih cantik dari kun-
tilanak!"
"Apa betul aku cantik menurutmu?"
"Sangat cantik, apalagi jika kamu menggeng-
gam pedang itu, oh... jauh tampak lebih cantik dari bi-
dadari mana pun!"
"Begitukah?" Gadis Linglung cengar-cengir me-
mandangi pedang tersebut.
"Hanya saja, aku sedikit heran kepadamu. 
Mengapa kau harus berpedang dua? Di pinggangmu 
sudah ada pedang, sekarang di tanganmu juga ada pe-
dang. Apakah kau ingin gadaikan pedang yang di tan-
ganmu itu, Gadis Linglung?"
"Hmmm...!" Gadis Linglung mencibir sambil se-
dikit melengos. Lalu sambil matanya melirik ia berka-
ta,
"Pedang pusaka kok mau digadaikan? Alangkah 
bodohnya! Mendapatkannya saja dengan susah-payah 
dan bertaruh nyawa, kok mau ditukar dengan sejum-
lah uang?! Biar ditukar dengan istana pun tak akan 
kuberikan kepada siapa pun!"
"Ooo... pedang pusaka?!" Raja Tipu manggut-
manggut.
"Ini yang namanya Pusaka Pedang Jimat La-
nang! Hatiku hari ini luar biasa gembiranya, karena 
mendapatkan Pedang Jimat Lanang yang ku incar dari 
dulu. Sebab itu, aku tadi tertawa berkepanjangan!" 
Gadis Linglung tertawa lagi terkikik-kikik, sementara

Raja Tipu mulai berpikir dan berkecamuk dalam ha-
tinya,
"Pedang itu pernah dibicarakan oleh Iblis Mata 
Genit. Beliau ingin sekali mempunyai Pedang Jimat 
Lanang yang katanya punya beberapa kesaktian itu. 
Rupanya seperti itulah wujud pedangnya. Indah dan 
tampak perkasa dalam kemewahan. Nyai Iblis Mata 
Genit pasti sangat senang hatinya jika aku bisa mem-
persembahkan pedang itu kepadanya. Sudah pasti aku 
akan diangkatnya kembali sebagai pelayan Nyai Iblis 
Mata Genit. Tapi apakah betul itu Pedang Jimat La-
nang?"
Kemudian, kesangsian hatinya diutarakan ke-
pada Gadis Linglung, sehingga Gadis Linglung berkata,
"Jadi, kau ingin bukti tentang kesaktian pedang 
ini? Hmm...! Tak sulit membedakannya. Lihatlah sen-
diri...!"
Gadis Linglung mencabut pedang tersebut. 
Zeettt...! Crap, crap! Pedang memercikkan bunga api
kecil-kecil. Bunga api bergerak mengelilingi tepian pe-
dang dan hilang lenyap di sisi kirinya. Melihat percikan 
bunga api yang melesat cepat mengelilingi mata pe-
dang Itu, hati Raja Tipu sudah merasa kagum dan me-
nyimpulkan bahwa pedang itu bukan sembarang pe-
dang.
Apalagi setelah Gadis Linglung menyentakkan 
tangannya dengan kekuatan tenaga dalam kecil, 
zuuttt...! Pedang yang berukuran pendek itu tiba-tiba 
bisa terjulur menjadi panjang bagaikan sebuah samu-
rai, bahkan panjang ukurannya melebihi ukuran pan-
jang samurai. Lalu ketika Gadis Linglung menghentak-
kan tangannya dalam gerakan menarik, pedang terse-
but kembali pendek dalam ukuran sehasta, kira-kira 
sepanjang dari ujung jari sampai siku.
Gadis Linglung tersenyum bangga melihat Raja

Tipu terperangah, ia tahu lelaki itu merasa kagum. 
Gadis Linglung semakin berminat untuk menunjukkan 
kehebatan pedang tersebut. Lalu, dalam satu lompatan 
kecil, Gadis Linglung menebaskan pedang itu ke pohon 
tinggi yang berukuran sebesar batang pohon kelapa. 
Zlaappp...!
Mata Raja Tipu melihat jelas pedang itu memo-
tong batang pohon tersebut. Namun nyaris tak terden-
gar suara benturannya dan keadaan pohon tersebut 
masih berdiri utuh. Beberapa saat setelah Gadis Lin-
glung berjalan mendekati Raja Tipu, angin berhembus 
agak kencang, dan pohon itu tiba-tiba tumbang sendi-
ri. Brrruuusssk...! Batangnya tampak terpotong rapi 
sekali, seperti agar-agar dibelah memakai benang tipis. 
Pada bekas potongan batang pohon itu tak terlihat ada 
serat seperti biasanya didapat pada kayu yang terpo-
tong benda tajam lainnya.
"Mengagumkan sekali," gumam Raja Tipu sam-
bil mata tetap terbelalak bengong. Gadis Linglung ter-
tawa cekikikan setelah memasukkan pedang ke sa-
rungnya. Lalu katanya,
"Itu baru sebagian kecil kehebatan yang bisa 
kuperlihatkan padamu. Kalau aku mau, aku bisa me-
lukaimu dengan hanya menggoreskan ujung pedang ke 
bayangan tubuhmu yang jatuh di tanah.
"Ck, ck, ck, ck...! Hebat sekali?!' gumam Raja 
Tipu sambil geleng-geleng kepala.
"Itulah kehebatan dan kesaktian Pedang Jimat 
Lanang!"
Raja Tipu mengangguk-angguk, "Ya, ya, ya...! 
Pantas sekali kalau pedang sehebat itu mempunyai 
kekuatan kutuk yang sukar dihindari. Karena keheba-
tan dan kesaktiannya memang tak disangsikan lagi. 
Tak ada yang bisa menandingi kekuatan Pedang Jimat 
Lanang."

'Tunggu, tunggu...!" sergah Gadis Linglung 
sambil berkerut dahi. "Kau tadi menyebut-nyebut ten-
tang kekuatan kutuk pada pedang ini, Maksudmu ke-
kuatan kutuk bagaimana?"
"Ah, tentunya kau lebih tahu dari diriku, Gadis 
Linglung!" Raja Tipu tersenyum-senyum meremehkan 
pertanyaan tadi. Gadis Linglung semakin penasaran 
dan makin mendekati Raja Tipu seraya berkata,
"Aku sungguh tak tahu tentang kekuatan ku-
tuk itu. Aku tak pernah dengar."
"Bohong! Aku sendiri yang bukan muridnya 
Nyai Mantera Dewi saja tahu tentang kutuk itu, masa' 
kamu yang jadi muridnya tak diberitahukan soal ku-
tuk tersebut? Tak mungkin! Itu tak mungkin! Nyai 
Mantera Dewi pasti sudah pernah membicarakannya 
pada murid-muridnya. Beliau adalah guru yang bijak-
sana. Aku tahu persis hal itu!"
Gadis Linglung sempat bingung mendengar Ra-
ja Tipu menyebut-nyebut nama gurunya; Nyai Mantera 
Dewi. Ia berkerut dahi beberapa saat lamanya, men-
gingat-ingat ucapan yang pernah didengar dari gu-
runya. Tapi Gadis Linglung tak ingat tentang ucapan 
sang Guru mengenai kutuk pada Pedang Jimat La-
nang. Gadis Linglung hanya membatin dalam hatinya,
"Mungkin karena aku pelupa, jadi aku tak ingat 
ada kutuk dalam Pedang Jimat Lanang. Tapi kutuk 
yang bagaimana maksudnya?"
Pada waktu itu, Raja Tipu berkata, "Mungkin 
kau cukup lama meninggalkan perguruan, sehingga 
kau lupa."
"Ya. Memang cukup lama aku meninggalkan 
Guru. Aku berjanji tak akan pulang ke perguruan se-
belum mendapatkan pusaka ini."
'"O, pantas...!" Raja Tipu manggut-manggut lagi 
dalam sikap tenangnya. "Pantas kalau tempo hari waktu aku bertemu dengan Nyai Mantera Dewi beliau 
berpesan padaku dan meminta tolong untuk menyam-
paikan pesannya kepada Ratna Kinasih. Aku tidak ta-
hu yang mana Ratna Kinasih, ketika kutanyakan ke-
pada beliau, ternyata Ratna Kinasih adalah Gadis Lin-
glung. Aku sempat tertawa geli tapi juga kagum men-
dengar nama aslimu begitu bagusnya."
Gadis Linglung tersentuh hatinya, ada rasa ha-
ru membayangkan Nyai Mantera Dewi sampai mencari-
carinya. Kalau bukan dari mulut Nyai Mantera Dewi, 
Raja Tipu tak mungkin tahu bahwa nama aslinya ada-
lah Ratna Kinasih. Begitu pikir Gadis Linglung sambil 
masih berkerut dahi. Kemudian, ia segera bertanya,
"Pesan apa yang harus kau sampaikan kepada-
ku, Raja Tipu?"
"Hanya pesan agar kau kembali ke perguruan 
tanpa memikirkan tentang Pedang Jimat Lanang lagi. 
Nyai Mantera Dewi merasa menyesal menceritakan 
tentang Pedang Jimat Lanang itu kepada murid-
muridnya, sehingga salah satu murid ada yang nekat 
tinggalkan perguruan untuk memburu pedang itu. 
Nyai Mantera Dewi sangat rindu padamu. Dia berharap 
kau segera kembali dan menemuinya, tak peduli kau 
membawa pedang pusaka itu ataupun tidak."
"Guru... rindu padaku?" gumamnya dengan wa-
jah mengenang haru.
"Tapi aku yakin gurumu pasti bangga sekali 
melihat kau pulang sambil membawa Pedang Jimat 
Lanang itu." 
'Tapi... soal kutuk itu bagaimana?" 
"Aku tak tahu benar atau tidak kutuk itu, tapi 
aku dengar sendiri Nyai Mantera Dewi menceritakan-
nya kepadaku, bahwa Pedang Jimat Lanang mempu-
nyai kutuk yang akan menyerang pemiliknya sendiri; 
Pertama, pemilik Pedang Jimat Lanang akan mengala

mi cacat wajah setelah tujuh hari memiliki pedang ter-
sebut. Kedua, pedang itu akan membuat pemiliknya 
dibenci oleh lawan jenisnya dan sampai tua tak akan 
pernah ada yang mau menjadi pendampingnya. Ketiga, 
pedang itu akan membuat pemiliknya melakukan 
pembunuhan secara tak sadar kepada orang-orang 
yang dicintainya; entah ayah, ibu, saudara, kekasih, 
gurunya, atau sahabat-sahabat dekatnya."
Wajah Gadis Linglung menjadi tegang. Ia ber-
gumam seperti bicara pada dirinya sendiri, "Jadi... aku 
akan mengalami cacat wajah? Aku akan tidak cantik 
lagi? Ooh... aku tidak mau. Nanti Pendekar Rajawali 
Merah semakin benci padaku. Padahal aku suka sekali 
padanya dan berharap dia mau menerima hatiku. 
Dan... aku tidak akan laku kawin seumur hidup? Oh, 
itu mengerikan. Itu berarti aku tak punya harapan bi-
sa berdampingan dengan Pendekar Rajawali Merah? 
Lalu… lalu aku akan membunuh orang-orang yang 
kucintai? Apakah termasuk pendekar tampan itu? Oh 
jangan! Aku tidak mau dia mati sebelum aku berhasil 
memilikinya. Aku tidak mau membunuh dia...!"
Membayangkan hal itu, bibir Gadis Linglung 
yang mungil menggairahkan itu menjadi gemetar. Ia 
segera berkata kepada Raja Tipu,
"Benarkah guruku mengatakan tentang kutu-
kan itu padamu?"
"Sebaiknya temui saja gurumu dan tunjukkan 
pedang itu, maka ia akan bercerita tentang kutukan-
nya. Itu pun kalau sempat, siapa tahu kutukan itu su-
dah mulai berlaku sejak hari ini dan kau, bisa mem-
bunuh gurumu sendiri dengan alasan perselisihan se-
kecil apa pun."
"Oh, tidak! Aku tidak mau membunuh Guru!" 
Gadis Linglung geleng-geleng kepala dengan wajah 
mencerminkan kengerian. Lalu la berkata,

"Aku tidak mau memegang pedang pusaka ini. 
Kupikir pedang ini tak mempunyai kutukan apa-apa. 
Kalau aku tahu ada kutukan seperti itu, aku tak mau 
memburu pedang ini," Gadis Linglung memandangi 
pedang tersebut dan segera diangkat ke depan dengan 
gemetar.
"Setiap keuntungan selalu punya kerugian. 
Keuntungan uang, kerugiannya pada waktu, yaitu kita 
membuang waktu untuk mencari uang, dan mem-
buang tenaga untuk dapatkan uang. Kurasa itu sudah 
jamak."
'Tidak, tidak! Aku tidak mau kerugian yang 
sampai seperti kutukan itu. Oh, Raja Tipu... tolong 
bantu aku mengatasi masalah ini."
"Begini saja...," kata Raja Tipu dengan tenang. 
"Kalau memang kau tidak mau memiliki pedang itu, 
jangan kau buang sembarangan. Lebih baik kau man-
faatkan untuk mencelakakan musuhmu!"
"Maksudmu bagaimana?"
"Berikan pedang itu kepada musuhmu atau 
orang terkuat yang ingin kau lumpuhkan hidupnya! 
Dengan begitu, kutukan tersebut berlaku untuk orang 
itu. Bukan untuk dirimu."'
"Musuhku...? Orang terkuat...?" gumam Gadis 
Linglung dalam berpikir tentang musuh yang diang-
gapnya orang kuat.
"Bagaimana kalau kusarankan untuk membe-
rikan pedang itu kepada Iblis Mata Genit?! Menurutku 
dia orang kuat dan pernah menyerang gurumu ketika 
aku masih menjadi pelayannya. Dia muda dan cantik, 
bisa-bisa kau punya kekasih di rebutnya dengan licik."
"Benar...!" gumam Gadis Linglung dengan ber-
semangat. "Benar apa katamu! Iblis Mata Genit pernah 
membuat Guru hampir tewas. Dan waktu dia berhada-
pan dengan Pendekar Rajawali Merah, tampaknya dia

terkesima dengan ketampanan pendekar itu. Dia nak-
sir pendekar itu. Pasti dia berusaha memperdaya Pen-
dekar Rajawali Merah agar jatuh dalam pelukannya. 
Dan jika sudah begitu, tinggallah aku yang merana 
disiksa luka hati. Kurasa Iblis Mata Genit lebih berat 
dikalahkan ketimbang Pendekar Rajawali Putih. Tapi... 
bagaimana caranya, Raja Tipu? Pasti Iblis Mata Genit 
akan curiga jika aku datang padanya dan menyerah-
kan pedang pusaka ini. Bisa-bisa dia tahu kekuatan 
kutuk pada pedang ini dan menolak pemberianku. Se-
bab aku. termasuk musuhnya!"'
"Kalau begitu, aku akan menolongmu. Akan 
kuserahkan pedang itu dengan berlagak minta upah 
sejumlah uang padanya, dan aku harus pura-pura ti-
dak tahu bahwa pedang itu pedang pusaka. Tapi... kau 
pun harus menolongku, Gadis Linglung. Aku ingin be-
kerja dan mengabdi pada Nyai Mantera Dewi. Kau ha-
rus bisa mengusahakan agar aku diterima menjadi pe-
layan beliau!"
"Aku setuju! Itu pekerjaan yang paling mudah. 
Sekarang bawalah pedang ini dan berikan kepada Iblis 
Mata Genit!"
Maka, pedang itu pun diserahkan kepada Raja 
Tipu, kemudian Raja Tipu segera pergi tinggalkan Ga-
dis Linglung.
*
* *
9


GADIS Linglung duduk termenung di bawah 
pohon. Terbayang dalam benaknya jika kutukan-
kutukan itu terjadi dan menimpanya. Gadis Linglung

merinding sendiri membayangkannya. Tapi terlintas 
pula dalam pikirannya sebuah pertanyaan, "Bagai-
mana jika kata-kata Raja Tipu itu bohong belaka?" Ga-
dis. Linglung ingat bahwa Raja Tipu pernah datang ke 
perguruannya dan melamar menjadi pelayan Nyai 
Mantera Dewi. Tapi lamarannya ditolak karena Raja 
Tipu bersikap kurang sopan terhadap murid-murid 
Perguruan Camar Sakti yang terdiri dari perempuan 
semua itu. Mungkin saja Raja Tipu mengetahui nama 
asli Gadis Linglung dari cara Nyai Mantera Dewi me-
manggil Gadis Linglung yang lebih sering mengguna-
kan nama aslinya daripada nama julukannya.
Dalam kegundahan hati Gadis Linglung, tiba-
tiba ia dikejutkan oleh kedatangan Pendekar Rajawali 
Merah, Tua Usil, dan Bocah Bodoh. Gadis Linglung 
hanya terperanjat, namun segera lega hatinya sebab 
dia punya tempat mengadu dan meminta penjelasan 
kepada Cola Colo.
Ketika mereka bertiga mendekatinya, Gadis 
Linglung masih duduk, namun wajahnya terdongak 
dan menatap ketampanan Pendekar Rajawali Merah. Ia 
sempat mengagumi sejenak wajah itu di dalam ha-
tinya. Kemudian ia segera bangkit berdiri setelah Yoga 
berkata,
"Gadis Linglung, ku mohon dengan damai, se-
rahkan pedang pusaka itu kepada Bocah Bodoh. Kare-
na dialah pemilik dan pewarisnya. bukan kau, Gadis 
Linglung. Jangan membuat sengketa antara dirimu 
dengan Ibunya Bocah Bodoh ini!"
Gadis Linglung menarik napas, lalu berkata, 
"Sebelumnya aku mohon kejujuran Bocah Bodoh un-
tuk menjawab pertanyaanku, benarkah pedang pusaka 
itu mempunyai kutukan?"
Yoga memandang Bocah Bodoh sebagai tanda 
Bocah Bodoh disuruh menjawab. Tapi Bocah Bodoh

justru tampak heran serta bingung. la berkata dengan 
dahi berkerut tajam,
'"Kutukan...?! Ibu tidak pernah bilang ada ku-
tukan di dalam Pedang Jimat Lanang. Kurasa tak ada 
kutukan apa-apa."
"Benar, tak ada kekuatan kutuk sampai tiga 
kali?!"
"Apa maksudmu bertanya begitu?" sela Yoga 
dengan mulai curiga, karena kali ini firasatnya menga-
takan ada sesuatu yang tak beres. Apalagi ia tidak me-
lihat Gadis Linglung membawa pedang pusaka itu..
"Aku bertemu Raja Tipu, dia menceritakan ten-
tang kutukan. Katanya, ada tiga kutukan di dalam pe-
dang pusaka itu yang akan mencelakakan pemiliknya!"
"Lalu, sekarang pedang itu ada dimana?" tanya 
Yoga. 
"Ku serahkan padanya. Biar diberikan kepada 
Iblis Mata Genit. Supaya malapetaka dari kutukan itu 
menimpa diri Iblis Mata Genit."
'Tolol...!" sentak Tua Usil seketika itu pula, se-
dangkan Yoga dan Bocah Bodoh saling pandang dalam 
kecemasan. Tua Usil berkata,.
"Dasar gadis tolol! Sudah tahu raja tipu masih 
dipercaya juga kata-katanya. Nama Raja Tipu itu ker-
janya ya menipu!"
Bocah Bodoh menimpali, "Kalau kerjanya tidak 
menipu, namanya bukan Raja Tipu! Dan lagi, kalau 
pedang itu punya kutukan, pasti Ibu tidak suruh aku 
ambil pedang itu! Pasti Ibu akan biarkan pedang itu 
dimiliki oleh Bibi Rajang Demit!"
"Huuhhh...! Tolol kok dipelihara!" geram Tua 
Usil.
"Habis dia membawa-bawa nama guruku!" kata 
Gadis Linglung sambil mau menangis.
Bocah Bodoh menyahut, "Mau membawa-bawa

gurumu atau membawa-bawa batu kek, namanya me-
nipu ya tetap saja menipu. Makanya kamu jadi gadis 
jangan tolol-tolol amat! Bisa-bisa bukan pusaka dan 
pedangmu saja yang dibawanya lari, kepalamu pun bi-
sa dibawa lari! Huuhh...!"
Gadis Linglung akhirnya menangis dibentak 
Tua Usil dan Bocah Bodoh secara berganti-gantian. Ia 
tak bisa menyangkal kecaman kedua orang itu, karena 
ia merasa bersalah. Ia jadi sangat malu di depan Pen-
dekar Rajawali Merah kelihatan kebodohannya. Hal 
yang sangat membuatnya menangis adalah rasa pe-
nyesalan yang seumur hidup baru sekarang membekas 
di hati sanubarinya.
Tua Usil berbisik kepada Yoga yang sejak tadi 
diam saja Itu,
"Bahaya, Tuan Yo. Kalau pedang itu benar-
benar jatuh ke tangan Iblis Mata Genit, pasti dia akan 
memburu Nona LI dan membunuhnya memakai pe-
dang tersebut!"
"Pulanglah, Tua Usil. Kurasa Lili sudah selesai 
dari semadinya. Beritahukan padanya tentang bahaya 
ini, supaya dia punya persiapan jika harus berhadapan 
dengan Iblis Mata Genit. Aku akan mengejar Raja Tipu 
dan berusaha merebut pedang itu sebelum jatuh di 
tangan Iblis Mata Genit."
Bocah Bodoh berseru kepada Gadis Linglung 
dengan rasa kecewanya,
"Akan kuadukan kau kepada Ibu! Kuadukan 
kau sebagai orang yang menghilangkan pedang pusaka 
itu! Biar nanti Ibu yang menghajarmu habis-habisan 
jika kau datang ke rumahku!"
Bocah Bodoh segera bergegas pergi dengan wa-
jah cemberut. Yoga berseru dari tempatnya, "Hei, mau 
ke mana kau?"
"Saya mau pulang, Tuan Yo! Saya mau mengadu kepada Ibu, biar Gadis Linglung itu dihajarnya!"
"Tunggu dulu, Bocah Bodoh!"
'Tidak. Saya tidak mau bersama gadis tolol itu! 
Saya mau pulang! Saya mau minta bantuan Ibu untuk 
menghajar gadis itu!"
Bocah Bodoh segera lari meninggalkan tempat 
itu. Yoga ingin mengejarnya, tapi pada waktu itu ia me-
lihat Gadis Linglung mencabut pedangnya sendiri dari 
pinggang, lalu menusukkannya ke ulu hati. Wuuttt..! 
Plaakkk...! Yoga bertindak dengan cepat sebelum Gadis 
Linglung lakukan bunuh diri. Tangan yang memegangi 
pedang itu segera ditendang dari samping hingga pe-
dang terpental, dan gadis itu pun terpental juga karena 
angin tendangan Yoga, ia cepat bangkit dan melompat 
mencapai pedangnya sambil menangis. Tapi, Yoga se-
gera menendang kaki Gadis Linglung, sehingga gerak-
kannya terhambat. Lalu, sebuah lompatan membuat 
Yoga mencapai pedang tersebut dan menendang ga-
gangnya dengan gerakkan kaki ke belakang. Tumit Yo-
ga mengenai ujung gagang pedang, deesss...! Wuuttt...! 
Pedang melayang cepat, menancap di sebatang pohon. 
Jraabb...!
"Biarkan aku mati!" teriak Gadis Linglung. Ia 
ingin mengambil pedang itu, namun dihalangi oleh Yo-
ga. Mereka main desak-desakan, saling dorong-
mendorong, sampai akhirnya Yoga meraih tubuh Gadis 
Linglung, menahannya agar gadis itu tak mengambil 
pedangnya untuk bunuh diri. Tanpa disadari cara me-
nahan itu telah membuat Yoga memeluk gadis terse-
but. Sang gadis segera diam dalam pelukan, namun 
tangis penyesalannya kian membanjir di dada bidang 
sang pendekar.
"Percuma kau bunuh diri, kau tak akan menye-
lamatkan Pedang Jimat Lanang itu. Hal yang lebih baik 
kau lakukan adalah mengejar Raja Tipu dan mencegah

agar pedang itu jangan jatuh ke tangan orang sesat se-
perti Iblis Mata Genit!" kata Yoga sambil memeluk Ga-
dis Linglung. Sang Gadis semakin terisak-isak, entah 
sengaja dibuat lama dalam tangisnya atau memang di-
cekam kesedihan yang luar biasa atas penyesalannya 
itu, yang jelas Yoga segera mendengar Tua Usil berkata 
dalam nada sindiran,
"Mudah-mudahan Nona Li tidak lewat di sekitar 
sini, sehingga tidak melihat kemesraan ini...."
"Ini bukan kemesraan, Bodoh!" geram Yoga de-
ngan mata melirik tajam. "Lekas kerjakan perintahku 
tadi!"
"O, iya. Hampir lupa. Maaf, Tuan. He he he...!” 
Tua Usil cengar-cengir sambil pergi tinggalkan tempat 
itu untuk temui Lili. Sementara itu, Yoga mencoba 
membujuk Gadis Linglung yang disekap tangis penye-
salan itu agar tidak mudah putus asa dan harus bera-
ni bertanggung jawab terhadap apa pun kesalahan 
yang dilakukannya. Salah satu rasa tanggung jawab 
yang dituntut adalah mencegah pedang pusaka itu 
agar jangan jatuh ke tangan Iblis Mata Genit. Maka, 
Gadis Linglung pun akhirnya setuju ketika Yoga men-
gajaknya mengejar Raja Tipu yang menurutnya lari ke 
arah timur.
Mereka menyangka Raja Tipu sudah mendekati 
Bukit Kematian, tempat kediaman Iblis Mata Genit. 
Padahal perjalanan itu ternyata tak semudah dugaan 
mereka, juga tak semudah dugaan Raja Tipu.
Di perjalanan, Raja Tipu bertemu dengan Nyai 
Rajang Demit yang baru saja lakukan penyembuhan 
terhadap lukanya di bawah air terjun Gerojogan Gaib. 
Curahan air terjun itu mempunyai khasiat penyembu-
han terhadap luka dalam yang tidak mengandung ra-
cun.
Nyai Rajang Demit sempat terperanjat melihat

Raja Tipu memegang pedang berwarna merah beludru 
dengan hiasan lis emas berukir. Ciri-ciri pedang itu se-
gera dikenali oleh Nyai Rajang Demit. Maka, ia pun 
mencegat jalannya Raja Tipu dan segera berkata den-
gan mata angkernya menatap dengan tajam,
"Raja Tipu..! Rupanya kaulah orangnya yang 
berhasil memperoleh Pedang Jimat Lanang itu?!"
Raja Tipu cepat tanggap terhadap bahaya yang 
mengancam, sebab ia tahu siapa Nyai Rajang Demit 
itu; adik tiri Nyai Sembur Maut yang sering ribut sen-
diri mencari Pedang Jimat Lanang. Maka Raja Tipu se-
gera berkata,
“Aku tak paham dengan maksudmu, Nyai Ra-
jang Demit!"
"Jangan berlagak bodoh! Kau membawa pedang 
pusaka guruku!"
"O, ini pedang hiasan saja! Aku sedang berusa-
ha menjebak seseorang agar jatuh cinta kepadaku, 
Nyai. Aku membuat pedang tiruan ini, karena orang 
yang kucintai itu tak pernah mau peduli dengan diri-
ku, selain memikirkan soal Pedang Jimat Lanang te-
rus-terusan. Ini hanya pedang main-main, Nyai. Tapi 
kalau kau menginginkannya, silakan ambil! Aku bisa 
membuatnya lagi!"
Nyai Rajang Demit diam sesaat, mempertim-
bangkan ucapan Raja Tipu. Rupanya ia menjadi bim-
bang juga. Padahal pedang sudah diulurkan oleh Raja 
Tipu, tapi Nyai Rajang Demit merasa malu jika ia sam-
pai tertipu. Karenanya ia tak mau buru-buru men-
gambilnya, walaupun Raja Tipu semakin mendekatkan 
pedang itu dan berkata,
"Ambillah, Nyai! Aku rela menyerahkannya ke-
pada mu. Buatku membikin pedang tiruan bukan pe-
kerjaan yang sulit."
"Dari mana kau tahu ciri-ciri pedang tersebut?"
"Nyai Sembur Maut yang menceritakannya pa-
daku."
"Sembur Maut memang keparat!" geram Nyai 
Rajang Demit. Kemudian bertanya kembali. "Siapa ga-
dis yang kau maksud ingin kau tipu dengan pedang 
palsu itu?"
"Gadis Linglung. Kurasa kau kenal. Dia murid 
Perguruan Camar Sakti, anak asuhnya Nyai Mantera 
Dewi."
"Hmmm... ya, ya... aku kenal gadis itu."
Raja Tipu tersenyum malu, "Aku sangat men-
cintainya, Nyai. Tapi dia lebih mencintai Pedang Jimat 
Lanang. Maka kubuat saja tiruannya ini. Dengan begi-
tu, ia mau membalas cintaku jika Pedang Jimat La-
nang seolah-olah kuserahkan kepadanya!"
Semakin bimbang hati Nyai Rajang Demit, ka-
rena Raja Tipu tampak tenang dan bersungguh-
sungguh dalam pengucapannya. Bahkan Raja Tipu 
kembali berkata,
"Supaya Nyai Rajang Demit tidak memusuhi 
ku, ambil sajalah pedang tiruan ini. Tak perlu mahal-
mahal, hanya lima sikal saja harganya!" Raja Tipu 
nyengir malu sambil mengulurkan pedang itu. Tam-
bahnya lagi, "Yaaah... buat pengganti ongkos beli ba-
han-bahannya saja, Nyai."
Padahal diam-diam hati Raja Tipu berdebar-
debar cemas. Dan pada saat Nyai Rajang Demit men-
gambil pedang itu, hati Raja Tipu berdesir tinggi, tu-
buhnya terasa lemas, batinnya berkata,
"Yaaah... nasib! Amblas sudah kalau ada di 
tangannya...! Tapi mudah-mudahan dia menganggap 
pedang itu adalah pedang tiruan..."
Nyai Rajang Demit segera mencabut pedang 
tersebut. Zlaappp...! Ternyata ada percikan bunga api 
yang bergerak mengelilingi tepian pedang, lalu menghi

lang. Melihat tanda-tanda itu, Nyai Rajang Demit ter-
senyum girang dan berkata,
"Kau tak bisa menipuku, Monyet! Ini memang 
Pedang Jimat Lanang yang asli! Heh he he he...!"
"Ya sudahlah kalau tak percaya...!" Raja Tipu 
bersungut-sungut sambil berjalan meninggalkan Nyai 
Rajang Demit tanpa ada perlawanan maupun usaha 
merebutnya. Hal itu dilakukan oleh Raja Tipu karena 
ia tahu, berusaha merebut pedang pusaka itu sama 
saja menyerahkan nyawa sia-sia kepada tokoh sesat 
itu. Tak ditebas pedang saja sudah untung, apalagi 
mau merebutnya segala. Maka langkah Raja Tipu pun 
semakin lama semakin dipercepat. Takut bayangannya 
dijadikan percobaan pedang tersebut.
Namun tiba-tiba Raja Tipu melihat dua sosok 
manusia berkelebat ke arahnya. Raja Tipu cepat ber-
sembunyi, dan melihat jelas Gadis Linglung bersama 
pendekar tampan bertangan buntung yang tak lain 
adalah Yoga itu. Keduanya segera bergegas menemui 
Nyai Rajang Demit yang kala itu sedang memasukkan 
pedang pusaka ke sarungnya sambil tertawa terkekeh-
kekeh.
"Rajang Demit!" seru Gadis Linglung yang 
membuat suara tawa perempuan tua itu terhenti. Ma-
tanya memandang pada Gadis Linglung dan Yoga den-
gan tajam. Gadis Linglung berseru lagi,
"Serahkan pedang itu! Kau pasti memperoleh-
nya dari Raja Tipu!"
"Heh...!" Nyai Rajang Demit tersenyum sinis. 
'Tak seorang pun kuizinkan memegang pedang ini!" Ia 
mengacungkan pedang yang digenggamnya kuat-kuat 
memakai tangan kirinya.
"Kau bukan pemiliknya! Kau bukan pewaris-
nya! Kembalikan pedang itu kepada pewarisnya!" sen-
tak Gadis Linglung dengan berani. "Jika kau tak mau

menyerahkan, kau akan menemui ajal sekarang juga!"
Srrettt...! Gadis Linglung mencabut pedangnya 
sendiri. Tapi Nyai Rajang Demit hanya tersenyum sinis 
dan berkata, "Rebutlah...!"
"Haaat...!" Gadis Linglung maju menyerang. Yo-
ga membiarkannya dulu, karena menurutnya jika Ga-
dis Linglung bisa kalahkan Nyai Rajang Demit, menga-
pa ia harus ikut turun tangan segala?
Tapi pada saat pedang di tangan Gadis Lin-
glung berkelebat menebas dada Nyai Rajang Demit, pe-
rempuan tua Itu memutar tubuhnya sambil berjong-
kok, lalu setelah pedang lewat dl kepalanya, ia bangkit 
dan menghantamkan pukulan tangan kanannya ke ru-
suk Gadis Linglung. Buuhgg...!
Krrakkk...! Terdengar suara tulang patah oleh 
telinga Gadis Linglung. Gadis itu pun terpental jauh 
dan berguling-guling dengan semburkan darah dari 
mulutnya. Ia jatuh terkapar dalam jarak lima tombak 
lebih dari tempatnya terlempar.
Melihat Nyai Rajang Demit keluarkan jurus an-
dalannya, Yoga tak mau buang-buang waktu, di samp-
ing ia sudah bosan bertarung dengan Nyai Rajang De-
mit. Maka, dengan cepat Pendekar Rajawali Merah ca-
but pedangnya dari punggung. Blegaarrr...! Guntur 
menggelegar di angkasa siang, sebagai tanda dicabut-
nya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya.
Pedang yang menyala merah bening berpijar-
pijar di ujung gagangnya terhadap ukiran dua kepala 
burung yang saling bertolak belakang itu segera dite-
baskan ke depan, dari atas ke bawah. Pada waktu itu, 
Nyai Rajang Demit tidak memperhitungkan kehebatan 
Pedang Lidah Guntur itu. Ia langsung saja menerjang 
dengan tangan kanannya membentur cakar yang me-
mancarkan cahaya merah bara.
"Mampus kau, Bangsaaat...!" teriaknya sambil

menyerang.
Claappp..! Sinar merah keluar dari ujung pe-
dang Yoga ketika pedang itu ditebaskan dari atas ke 
bawah. Sinar tersebut segera mengenai pangkal pun-
dak kiri Nyai Rajang Demit. Craaasss ..! Dan tubuh pe-
rempuan itu masih tetap meluncur ke arah Yoga, se-
hingga Yoga segera melesat naik ke atas dengan satu 
sentakan kaki ke tanah. Wuusss!
Kaki Yoga menendang kepala nenek tua itu se-
telah nenek tua tak berhasil hantamkan pukulannya 
ke tubuh Yoga. Daahhg...! Wuusss...! Tubuh Nyai Ra-
jang Demit terlempar dan berguling-guling akibat ten-
dangan tersebut. Ia menggeram di sana, dan segera 
bangkit kembali.
"Hahh...?!" Nyai Rajang Demit terperanjat kaget 
bukan kepalang. Tangan kirinya ternyata telah bun-
tung akibat tebasan sinar merah dari pedangnya Yoga 
tadi. Potongan tangannya jatuh di tanah dan masih 
menggenggam Pedang Jimat Lanang. Rupanya tebasan 
yang memotong tangan itu tidak terasa sakit dan tidak 
keluarkan darah sedikit pun. Itulah kehebatan Pedang 
Lidah Guntur.
Pendekar Rajawali Merah segera melompat 
memburu lawannya yang masih terperangah kaget itu, 
kemudian dengan cepat ia kibaskan kembali pedang-
nya dan kiri ke kanan dalam jarak satu tombak di de-
pan lawannya. Claap...! Sinar merah terlepas lagi, ber-
kelebat memotong tubuh Nyai Rajang Demit. 
Craasss...! Dalam sekejap, tubuh itu pun berhasil ter-
potong miring menjadi dua bagian. Mata perempuan 
itu mendelik tak berkedip ketika jatuh ke tanah dan 
tak bernyawa lagi.
Wuuuttt...! Rupanya Raja Tipu segera meman-
faatkan kesempatan itu dengan muncul dari persem-
bunyiannya dan segera menyambar potongan tangan

Nyai Rajang Demit yang masih menggenggam Pedang 
Jimat Lanang itu. Raja Tipu segera membawa lari po-
tongan tangan tersebut dengan terburu-buru, sehingga 
tak sempat lepaskan pedang pusaka dari genggaman 
tangan yang terpotong itu.
"Hai...! Berhenti...!" teriak Yoga, lalu segera ber-
kelebat menggunakan kecepatan Jurus 'Langkah 
Bayu'-nya. Zlaappp...! Wuuttt...! Pedang itu berhasil 
disambarnya dan Yoga tetap terus bergerak lari memu-
tar arah kembali ke tempat untuk menolong Gadis Lin-
glung. Sementara itu, Raja Tipu tak menyadari bahwa 
Pedang Jimat Lanang sudah tidak ada dalam gengga-
man tangan yang terpotong itu. Ia tetap berlari sambil 
mendekap tangan
Nyai Rajang Demit. Semakin lama semakin di-
percepat larinya, karena takut terkejar lawan.
Gadis Linglung mengalami luka hangus di dada 
dekat perut. Wajahnya biru legam dan nyaris tak bisa 
bernapas lagi. Kemudian Yoga bergegas sembuhkan 
gadis itu dengan menggunakan ilmu 'Tapak Serap', 
menempelkan telapak tangannya pada bagian yang lu-
ka, menyerap segala luka dan rasa sakit lalu menu-
karnya dengan hawa murni.
Gadis Linglung segera tersenyum setelah rasa 
sakitnya berkurang. Yoga pun menyunggingkan se-
nyumannya yang menawan dan mendebarkan hati ga-
dis itu Kemudian, Gadis Linglung segera berkata,
"Tak salah kalau aku mengagumimu."
"Lupakan dulu rasa kagummu. Kau mau ikut 
antarkan Pedang Jimat Lanang ini kepada Nyai Sem-
bur Maut?!"
Gadis Linglung melirik pedang itu dengan se-
nang, senyumnya kian mekar. Matanya berkedip-kedip 
bagai boneka cantik, Kemudian ia anggukkan kepala 
seraya bilang,

"Kau mau ajak aku ke mana saja, aku akan 
ikut! Ke neraka pun aku pasti ikut."
"Ke neraka, aku tak mau ikut," kata Yoga sam-
bil hamburkan tawa seperti orang menggumam.
Sementara itu, Raja Tipu akhirnya berhasil juga 
bertemu dengan Iblis Mata Genit yang rupanya sudah 
bisa kuasai sakitnya akibat serangan Yoga di Lembah 
Maut. Kini ia sudah bertemu dengan Gandul dan Bra-
ta, yang pada mulanya berlari menyebar arah sewaktu 
mengejar Tua Usil.
Raja Tipu segera berkata, "Nyai... saya da-
patkan Pedang Jimat Lanang! Saya akan serahkan ke-
pada Nyai, tapi saya mohon diterima kembali sebagai 
pelayan setia Nyai Iblis Mata Genit...!"
Iblis Mata Genit menyipitkan mata dan merasa 
heran, demikian pula Gandul dan Brata. Lalu, Iblis 
Mata Genit bertanya, "Mana pedang itu?"
"Ini, Nyaii" Raja Tipu menyodorkan potongan 
tangan milik Nyai Rajang Demit. "Nyai Rajang Demit 
berhasil merampas pedang tersebut. Lalu bertarung 
dengan Pendekar Rajawali Merah, dan tangannya ber-
hasil dipotong. Tapi karena potongan tangan ini masih 
menggenggam pedang dan saya tak sempat... tak sem-
pat...!" ucapan Raja Tipu terhenti. Karena sejak tadi ia 
berkata sambil memandang wajah Iblis Mata Genit, 
sehingga ketika memperhatikan potongan tangan yang 
sudah tidak menggenggam pedang lagi itu, ia segera 
terkejut dan terbengong.
"Lho...?! Lho...?!" wajahnya celingak-celinguk 
mencari pedang.
"Mana pedang pusaka itu, hah?!" hardik Iblis 
Mata Genit yang tampak jauh lebih muda dari Raja Ti-
pu itu.
Menyadari pedang pusaka sudah hilang dari 
potongan tangan, maka sebagai penutup rasa malu,

Raja Tipu pun berkata,
"Pedang Jimat Lanang adalah pedang yang te-
ramat sakti, Nyai! Dia bisa melebur menjadi satu den-
gan potongan tangan ini. Tapi dengan sentakkan tena-
ga dalam, pedang itu bisa keluar lagi dari potongan 
tangan ini, Nyai!" sambil potongan tangan yang pan-
jangnya dari pangkal pundak sampai telapak tangan 
itu diserahkan.
Iblis Mata Genit menerimanya, memperhatikan 
dan mengetahui bahwa tangan itu adalah tangannya 
Nyai Rajang Demit. Tapi ia yakin apa yang diucapkan 
Raja Tipu itu hanya bualan semata. Ia menahan ke-
dongkolan hatinya, karena Raja Tipu masih berusaha 
berkata dengan bahasa dan gaya tipuannya,
"Kalau bukan pedang sakti, tak mungkin bisa 
melebur jadi satu dengan potongan tangan korbannya 
itu. Silahkan ambil, Nyai. Yang penting saya bisa di-
angkat menjadi....."
Plokkk...!
Iblis Mata Genit menghentakkan potongan tan-
gan itu kuat-kuat ke kepala Raja Tipu. Begitu kerasnya 
hantaman tersebut hingga membuat Raja Tipu jatuh 
terpelanting, matanya berkunang-kunang, makin lama 
pandangan matanya makin gelap, lalu ia tak sadarkan 
diri. Brukkkk!
Iblis Mata Genit memandang Gandul dan Brata 
setelah membuang potongan tangan itu dan berkata, 
"Lupakan soal Pedang Jimat Lanang! Mulut Raja Tipu 
jauh lebih busuk dari kotoran. Kita jalan terus! Cari 
Pendekar Rajawali Putih yang bernama Lili itu sampai 
dapat!"
Mereka pun melangkahi tubuh Raja Tipu yang 
terkapar pingsan itu. Kalau saja ia dengar ucapan Iblis 
Mata Genit, maka ia akan bertanya dalam hati: mam-
pukah Iblis Mata Genit temukan Pendekar Rajawali

Putih dan bisakah ia membunuhnya? Sampaikah Pe-
dang Jimat Lanang ke tangan Nyai Sembur Maut, jika 
Gadis Linglung bersama Yoga?


                            SELESAI


Segera terbit:

GEGER PERAWAN SILUMAN


































Share:

0 comments:

Posting Komentar