PEDANG JIMAT LANANG
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali
alam episode: Pedang Jimat Lanang
128 hal.
1
BUKIT Lidah Samudera tak jauh dari pantai.
Sebagian tanah dan batunya masih bercampur karang
laut. Bukit itu tidak terlalu tinggi, hutan-hutannya
pun tidak seberapa lebat, namun punya kedamaian
tersendiri bagi penghuninya.
Hanya ada satu rumah yang ada di Bukit Lidah
Samudera itu. Rumah tersebut dibangun dengan bela-
han-belahan kayu jati beratap lapisan kulit kayu. Ru-
mah tersebut tidak terlalu besar, mempunyai halaman
yang luas, mempunyai pepohonan rindang yang teduh.
Dari halaman rumah tersebut seseorang dapat me-
mandang lidah-lidah laut yang bergulung menuju pan-
tai. Sungguh indah dinikmati pada. malam bulan pur-
nama.
Tak jauh dari rumah kayu itu, ada gugusan ba-
tu yang mirip punggung seekor kerbau. Gugusan batu
itu ada di bawah sebuah pohon beringin putih. Di sa-
nalah, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun,
duduk termenung dari semalaman. Embun pagi yang
masih menempel di dedaunan, juga ikut menempel di
rambutnya yang berpotongan poni sekeliling kepala.
Lelaki tua itu punya sifat anak-anak yang amat
menonjol; polos, jujur, dan tidak secerdas pria lain
seusianya. Itulah sebabnya dia dipanggil dengan nama
julukan: Bocah Bodoh. Nama aslinya Raden Mas Cola
Colo.
Dia bukan keturunan raden atau ningrat. Gelar
raden mas itu ditambahinya sendiri, karena Bocah Bo-
doh tidak tahu apa arti gelar raden mas itu. Ia pikir
sama dengan arti kata: pendekar.
Dari malam sampai pagi Cola Colo masih du-
duk di batu samping rumahnya. Letaknya agak rendah
dari letak rumah kayu itu. Semalaman ia duduk di situ
bukan untuk bertapa, walaupun ada di bawah pohon
beringin putih. Di situ Bocah Bodoh termenung dengan
wajah lucunya yang muram. Ada kesedihan di hati Bo-
cah Bodoh, ada kekecewaan yang menyertai kesedihan
itu. Murungnya wajah Cola Colo membuat burung-
burung enggan berkicau di pagi hari, sehingga suasana
Bukit Lidah Samudera itu sangat lengang. Yang ter-
dengar hanya desau angin dan debur ombak pantai
samar-samar. Kemarin siang, ia habis dimaki-maki
ibunya. Dipukuli, diomeli, dituding-tuding dan diben-
tak-bentak sampai suara Ibunya serak. Sementara itu
Bocah Bodoh hanya diam dan menerima apa adanya.
Ia tak diberi kesempatan untuk membela diri.
Persoalannya, menurut Cola Colo, adalah per-
soalan yang sepele. Bocah Bodoh ditugaskan oleh
ibunya; Nyai Sembur Maut, untuk mencari Prasasti
Tonggak Keramat di Lembah Maut. Kata Ibunya, di sa-
na ada pedang pusaka peninggalan Eyang Tapak Gem-
pur, yaitu guru Nyai Sembur Maut. Entah di sebelah
mana pedang itu disimpan oleh Eyang Tapak Gempur,
yang jelas ada di sekitar prasasti tersebut.
Bocah Bodoh pun mencari, kebetulan dibantu
oleh Pendekar Rajawali Merah, Pendekar Rajawali Pu-
tih, dan si Tua Usil. Pedang itu konon punya kesaktian
tersendiri, mata pedangnya bisa memanjang sendiri ji-
ka disentakkan walau dengan tenaga dalam kecil, bisa
bergerak sendiri dalam pertarungan dan yang meme-
gangi hanya mengikuti saja, bisa membunuh lawan
melalui bayangan lawan, dan bisa untuk memotong
baja karena saking tajamnya.
Tetapi setelah Bocah Bodoh memperoleh pe-
dang tersebut, yang ditemukan di bawah. tanah pra-
sasti itu, ternyata pedang tersebut tidak mempunyai
kehebatan apa-apa. Pedang jimat Lanang Itu tidak bisa
untuk memotong dahan, bahkan tak bisa untuk me-
motong ranting sebesar jempol kaki. Malah geripis pa-
da bagian tepiannya. Pedang itu adalah pedang biasa
yang tidak punya kesaktian apa-apa dan layak dipakai
sebagai pajangan atau hiasan dinding saja, (Baca serial
Jodoh Rajawali dalam episode: "Prasasti Tonggak Ke-
ramat")..
Tentu saja hal itu sangat mengecewakan hati
Bocah Bodoh. Bisa dibayangkan betapa sakit hati Bo-
cah Bodoh; sudah bodoh, dikecewakan. Tentu saja wu-
jud wajahnya semakin simpang siur tak jelas bentuk-
nya. Seribu makian, seribu gerutuan, menyertai perja-
lanan pulang Bocah Bodoh yang membawa pedang
tanpa kesaktian itu.
Sampai di rumah, ia ditanya oleh ibunya, "Ba-
gaimana anakku Cah Bagus? Apakah kau berhasil pe-
roleh Pedang Jimat Lanang itu, Nak?" sambil sang ibu
berseri-seri. Tapi sang anak hanya menunduk dan mu-
rung wajahnya. Nyai Sembur Maut jadi curiga dan
kembali bertanya,
"Kenapa wajahmu berubah begitu, Nak? Ada
apa sebenarnya? Apakah kau gagal menemukan Pra-
sasti Tonggak Keramat?"
Bocah Bodoh gelengkan kepala. Sedikit melirik
ibunya dengan dongkol, karena merasa telah ditipu
oleh Ibunya dengan cerita muluk-muluk mengenai pe-
dang itu.
"Apakah pedangnya tak berhasil kau temukan?"
Dengan lirih Bocah Bodoh menjawab, "Berha-
sil."
"Lalu, mana pedang itu?"
"Ku buang," jawabnya lirih lagi.
"Lho...?!" ibunya terbengong agak kaget, juga
agak heran. "Kamu Bocah Bodoh apa Bocah Sinting?"
"Habis, Ibu bohongi aku!" Bocah Bodoh makin
lancip mulutnya.
"Bohong bagaimana?!" "Pedang itu tidak punya
kesaktian apa-apa. Tidak akan bisa dipakai untuk
memotong baja atau membunuh lawan lewat bayan-
gan. Dipakai untuk memotong dahan pohon saja jadi
geripis, apa lagi dipakai memotong baja, pasti akan
lumer sendiri pedangnya! Pedang itu juga tak bisa
menjadi panjang. Kusentakkan dengan tenaga kuat
beberapa kail, sampai lenganku pegal sendiri, pedang
itu tidak bisa mulur panjang seperti cerita Ibu itu. Ku-
pakai menggores bayangan tubuhku di tanah, nya-
tanya aku tidak terluka sedikit pun. Aku kecewa, Ibu
telah bohongi aku. Susah payah aku mencari pedang
itu, bertaruh nyawa dan rambut, tapi hasilnya cuma
dapatkan pedang buat perang-perangan!"
Nyai Sembur Maut kala itu hanya memandangi
mulut anaknya yang nyerocos dengan bibir meliuk-liuk
mirip lintah kawin. Setelah itu, Nyai Sembur Maut
termenung sejenak. Ia yakin, anaknya tidak mungkin
melaporkan sesuatu yang palsu. Anaknya polos dan
jujur, kalau bicara apa adanya. Jadi, Nyai Sembur
Maut percaya betul dengan apa yang dikatakan Cola
Colo itu.
Kejap berikutnya, Nyai Sembur Maut bertanya
dalam kebimbangan,
"Apakah... apakah pedang itu berwarna hitam?"
"Iya. Bumbung yang dipakai menyimpan pe-
dang itu juga hitam."
Sedikit tegang wajah Nyai Sembur Maut saat
itu. Lalu ia bertanya kembali masih agak bimbang,
"Apakah gagangnya lebih panjang dari mata pe-
dangnya sendiri?"
'Tidak kuukur. Yang jelas gagang pedang itu
memang panjang, berbentuk bulat seperti bambu kecil.
Di ujung gagangnya ada lapisan kuning emas, tapi aku
yakin bukan emas. Di gagang itu ada koncer-koncer
benang merah."
Mata Nyai Sembur Maut menegang lebar. Na-
fasnya ditarik dan tertahan. Mulutnya sedikit terngan-
ga, kemudian dia berkata,
"Berarti yang kau dapatkan itu bukan Pedang
Jimat Lanang! Yang kau dapatkan itu Pedang Istana
Intan, milik Eyang Nini Murti, istri dari Eyang Tapak
Gempur!"
Bocah Bodoh masih bersungut-sungut cembe-
rut. Ia sepertinya sudah enggan membicarakan pedang
tersebut. Ia biarkan ibunya yang lumpuh dan hanya
bisa duduk di kursi tanpa roda itu termenung bebera-
pa saat.
Bocah Bodoh yang duduk di lantai dengan me-
lonjorkan kaki hanya menggosok-gosok kakinya yang
terasa pegal.
"Benar, Cola Colo. Kau berarti mendapatkan
Pedang Istana Intan. Dan pedang itu memang bukan
pedang sakti. Pedang itu hanya pedang hias yang gu-
nanya untuk menyimpan permata. Di dalam gagang
pedang itulah semua permata milik Eyang Nini Murti
disimpannya."
Kini Bocah Bodoh itu terperanjat dan meman-
dang Ibunya dengan mulut terbengong. Ia seperti tidak
percaya dengan apa yang didengar. Maka mulut
ibunya pun dipandanginya terus tanpa bergerak dan
tanpa berkedip.
"Ibu lupa ceritakan pedang itu. Di sekitar Pra-
sasti Tonggak Keramat memang ada dua pedang yang
tersimpan di sana; satu Pedang Jimat Lanang milik
Eyang Tapak Gempur, dua Pedang Istana Intan milik
Eyang Nini Murti. Pedang Istana Intan dulu diheboh-
kan sudah ditemukan oleh seorang pengelana, tapi
ternyata belum. Karenanya Ibu tidak ceritakan tentang
pedang itu. Isi gagang pedang itu adalah sejumlah ke-
kayaan yang tidak habis dimakan tujuh turunan. Bisa
untuk membangun istana megah. Pedang Istana Intan
yang berguna bukan mata pedangnya, melainkan ga-
gangnya. Di situ juga terdapat delapan batu sakti yang
bernama Delapan Mata Syiwa! Gunanya bisa untuk
membangkitkan orang mati. Kalau dijual, harganya
sama dengan harga sebuah kapal besar yang bagus
dan megah. Kalau ada delapan batu berarti ada dela-
pan kapal mewah di dalam gagang pedang itu!"
Semakin terperangah mulut Bocah Bodoh yang
menatap ibunya tanpa berkedip. Jantung Bocah Bodoh
pun berdebar-debar, dan ia sangat tertarik mengikuti
cerita sang Ibu. Kemudian, ibunya berkata lagi,
"Pada waktu itu, Eyang Tapak Gempur dan
Eyang Nini Murti ingin mengasingkan diri, menjadi pe-
tapa yang tidak akan ikut campur lagi dalam urusan
dunia. Mereka memang berhasil menjadi orang suci
dan meninggal secara moksa keduanya; lenyap tanpa
ada jenazahnya dan tanpa ada bekasnya. Sebelum hal
itu dilakukan, mereka sepakat untuk menyimpan ke-
dua pedang itu agar tidak jatuh ke tangan orang sesat
dan menjadikan bencana di mana-mana. Pedang Ista-
na Intan pun sengaja tidak diberikan kepada siapa-
siapa, supaya nilai permata di dalamnya tidak mem-
buat orang menjadi lupa diri dan sesat jalannya. Se-
dangkan Pedang Jimat Lanang diberikan kepada Ibu
dengan pesan; kalau Ibu sudah punya anak dan anak
itu sudah mencapai usia lima puluh tahun, tapi Ibu
masih tetap hidup, berarti Ibu berjodoh untuk menda-
patkan pedang tersebut. Pedang itu boleh untuk Ibu
sendiri, boleh untuk anaknya, dan nanti harus diwa-
riskan kepada setiap anak pertama dari keturunan-
keturunan Ibu."
Nyai Sembur Maut mengusap-usap rambut
anaknya yang duduk di lantai samping kirinya. Anak
itu dipandangi ketika Nyai Sembur Maut melanjutkan
kata-kata-nya,
"Karena usiamu sudah mencapai lima puluh
tahun lewat empat bulan sembilan hari, maka Ibu in-
gin dapatkan Pedang Jimat Lanang itu. Tapi keadaan
Ibu yang lumpuh begini, tidak memungkinkan Ibu per-
gi ke Prasasti Tonggak Keramat. Jadi kutugaskan kau
yang mengambilnya. Ibu tidak ingin memiliki pedang
itu, karena usia Ibu sudah sangat tua. Ibu hanya ingin
memegang pedang itu sebelum Ibu mati, lalu pedang
itu akan menjadi milikmu selamanya. Tapi ternyata
yang kau temukan bukan Pedang Jimat Lanang, me-
lainkan Pedang Istana Intan. Ibu tidak marah kalau
kau salah ambil. Cuma sekarang, Ibu ingin lihat pe-
dang itu, Cola Colo! Ibu hanya ingin periksa apakah
gagangnya masih berisi permata atau sudah dipalsu-
kan orang? Setelah itu, pedang tersebut pun akan
menjadi milikmu bersama isinya. Nah, sekarang... ma-
na pedang itu. Jangan kau sembunyikan. Ibu hanya
ingin melihatnya saja."
Nyai Sembur Maut memandang Bocah. Bodoh,
dan bocah itu juga memandang Ibunya dengan ben-
gong. Sang Ibu menunggu jawaban tapi tak kunjung
tiba. Ibunya menganggap jawaban anaknya tadi hanya
main-main karena merasa Jengkel. Kini Nyai Sembur
Maut ingin dengar lebih jelas lagi jawaban dari anak-
nya, sehingga ia mengulangi pertanyaannya tadi,
"Mana pedang Itu, Sayang...?!"
Dengan rasa takut dan berdebar-debar Bocah
Bodoh menggeleng. Ibunya membentak karena tak sa-
bar,
"Mana pedang itu?!"
"Sudah... sudah ku buang!"
"Jangan bercanda kau, Cola Colo! Mana pedang
itu?!"
"Sudah... ku buang..."
"Edan!" seru Nyai Sembur Maut. "Dibuang di
mana?!"
"Di... di... disana!"
"Di manaaa...?!" teriaknya sambil memuntir te-
linga Bocah Bodoh.
"Diii., di sana, Ibu! Di jurang dekat Tanah Ku-
lon!" jawab Bocah Bodoh sambil meringis kesakitan
merasa telinganya mau putus.
"Bocah edan! Jadi Pedang Istana Intan itu kau
buang di jurang Usus Bumi...?!" '
"Aku tidak tahu, Ibu. Ampun, aku tidak tahu
itu Jurang Usus Bumi atau Usus Buntu, tapi karena
aku jengkel, ku buang saja ke jurang yang ada di Ta-
nah Kulon Itu. Auuh... ampun, Ibu!" rintih Bocah Bo-
doh.
Jurang Usus Bumi adalah jurang yang paling
dalam dan tak bisa dijajaki kedalamannya. Karena itu
orang-orang menamakannya Jurang Usus Bumi, kare-
na diduga jurang itu langsung tembus sampai perut
bumi. Sudah tentu adalah hal yang tak mungkin un-
tuk mengambil Pedang Istana Intan itu jika sudah di-
buang ke jurang tersebut.
Maka, habislah. Bocah Bodoh dihajar ibunya
yang naik pitam mendengar pengakuan tersebut. Dari
pagi sampai sore, Bocah Bodoh dicubit, dijambak, dip-
lintir kupingnya, ditampar, dan dimaki-maki dengan
kata-kata pedas.
Itulah sebabnya, semalaman penuh Cola Colo
duduk merenung di bawah pohon beringin putih. Dis-
amping menyesal dan kecewa, juga karena ia dihukum
ibunya untuk tidak boleh tidur di dalam rumah. Seka-
lipun sudah pagi, namun Cola Colo masih malas ma-
suk ke rumah sebelum Ibunya memanggil.
Tiga hari perjalanan pulang dari Lembah Maut
memang melelahkan dan membuat mata mengantuk.
Tapi setelah dihajar ibunya dan mengetahui apa isi ga-
gang pedang itu, Cola Colo bagaikan kehilangan rasa
lelah dan kantuk. Rasa ingin makan pun tak ada, apa-
lagi rasa ingin mandi. Tak ada sama sekali keinginan
itu pada diri Bocah Bodoh.
Tubuh tak terlalu pendek berkulit gelap itu se-
gera bergerak setelah ia melihat kedatangan seseorang
yang langkahnya bagaikan terbang. Dalam sekejap
orang itu sudah sampai di depan rumahnya dan me-
mandang Cola Colo dengan mata dingin.
Orang itu bertubuh kurus, jangkung, rambut-
nya putih rata seperti rambut Nyai Sembur Maut. Ia
seorang perempuan tua yang sudah berusia banyak,
namun masih kelihatan tegar. Mengenakan Jubah un-
gu dan membawa tongkat yang ujungnya mempunyai
tiga mata pisau. Orang itu tak lain adalah Nyai Rajang
Demit.
Bocah Bodoh memanggil orang itu dengan se-
butan Bibi, sebab dia adalah adik tiri dari Ibunya. Bo-
cah Bodoh ingat, bahwa Nyai Rajang Demit dalam pe-
ristiwa di Lembah Maut sudah dihajar oleh Lili; si Pen-
dekar Rajawali Putih itu. Bocah Bodoh menyangka bi-
binya mati karena melarikan diri sambil membawa lu-
ka akibat jurus 'Salju Neraka' milik Lili yang mengan-
dung ratusan jarum itu. Tapi ternyata Nyai Rajang
Demit masih hidup, hanya saja badannya menjadi ber-
bintik-bintik hitam merata sampai pada wajahnya.
Bahkan bola matanya pun juga berbintik-bintik hitam.
Rupanya Nyai Rajang Demit dapat sembuhkan diri da-
lam waktu singkat, namun bekasnya tak dapat hilang.
Nyai Rajang Demit dekati Bocah Bodoh dari
berkata, "Hei, Bodoh! Mana si Lumpuh Keparat itu?!"
"Lumpuh keparat...?! Wah, saya tidak kenal
orang itu, Bibi!"
"Maksudku, mana ibumu?!" bentak Nyai Rajang
Demit..
"Ooo... Ibu?! Ibu ada di dalam, Bibi. Beliau
memang lumpuh tapi tidak sampai keparat, Bibi!"
Plook...! Bocah Bodoh ditendang dan terpental
tiga langkah dari tempatnya duduk tadi. Bocah Bodoh
memekik lalu mengerang kesakitan. Nyai Rajang Demit
menghampirinya, mencengkeram rambut Bocah Bodoh
dan ditariknya, sehingga Bocah Bodoh terpaksa harus
berdiri supaya rambutnya tidak jebol terlalu banyak.
"Panggil ibumu! Lekas...!"
Wuuurrr...! Bocah Bodoh dilemparkan dengan
satu tangan. Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Ia
menjerit takut dengan suara panjang, lalu jatuh tepat
di depan rumahnya. Brrukkk...!
"Aaauh...!" Bocah Bodoh merintih makin keras
dan panjang. Ia berusaha bangun sambil pegangi ping-
gang belakang yang terasa sakit sekali itu.
Nyai Rajang Demit masih belum puas, ia segera
hampiri lagi Bocah Bodoh dengan dua kali lompatan,
lalu menendangnya dengan kuat. Plookkk!
"Aaaooow...!" Bocah Bodoh menjerit kesakitan.
Rahangnya terasa mau copot akibat tendangan keras
itu,
"Cepat panggil si Lumpuh itu!" bentak Nyai
Ranjang Demit.
Tahu-tahu pintu rumah kayu itu menjadi jebol
karena diterjang dari dalam. Braasskk...! Nyai Sembur
Maut melesat bagaikan terbang bersama kursi bertan-
gan yang terbuat dari besi. Dalam keadaan tetap du-
duk di kursi yang disebutnya kursi terbang itu, Nyai
Sembur Maut memandang adik tirinya dengan sikap
menantang. Ia berkata dalam geram kemarahan,
"Kau hanya berani dengan anak kecil, Rajang
Demit! Tentu saja anakku kalah denganmu, karena
bukan dia tandingan mu, melainkan aku!"
"Melawanmu dan membunuhmu adalah peker-
jaan yang mudah bagiku, Sembur Maut! Tapi aku da-
tang bukan dengan maksud membunuhmu. Kalau kau
masih bisa kuajak damai, serahkan saja Pedang Jimat
Lanang itu padaku. Tak akan aku memusuhi mu lagi,
Sembur Maut.
"Kalau pedang itu memang ada padaku, tetap
tidak akan ku berikan kepadamu, Rajang Demit. Kare-
na Eyang Guru Tapak Gempur menyerahkan pedang
itu kepadaku, bukan kepada mu!"
'Tak usah basa-basi cari alasan macam-macam,
serahkan saja pedang itu!" sentak Nyai Rajang Demit.
"Tidak ada Pedang Jimat Lanang di sini, Rajang
Demit. Kau hanya ingin menambah permusuhan bagi
kita saja!"
"Omong kosong! Aku tahu anakmu itu sudah
berhasil mendapatkan Pedang Jimat Lanang dari tem-
pat Prasasti Tonggak Keramat itu berada! Kau tak bisa
menipuku, Sembur Maut, karena aku ada di sana pa-
da waktu itu!"
"Anakku salah ambil. Yang ia temukan bukan
Pedang Jimat Lanang, melainkan Pedang Istana Intan
milik Eyang Nini Murti. Itu pun sudah dibuangnya ka-
rena dianggap tidak mampu menembus bayangan dan
tidak bisa dipakai untuk memotong dahan. Dia tidak
tahu apa isi Pedang Istana Intan."
"Hih hik hik hik...! Kau tak bisa menipuku,
Sembur Maut. Aku tahu Pedang Istana Intan itu sudah
lama ditemukan oleh seorang pengelana dan sudah ti-
dak ada di Lembah Maut! Kau tak perlu mengarang
sebuah cerita baru lagi, Sembur Maut!"
Bocah Bodoh segera ikut menyahut, "Betul, Bi-
bi! Ibu tidak bohong. Aku memang menemukan Pedang
Istana Intan, tapi sudah...."
'Tutup mulutmu, Anak Monyet! Jangan turut
campur urusan orang tua!" hardik Nyai Rajang Demit
sambil menuding Bocah Bodoh pakai tongkatnya. Uca-
pan itu membuat hati Nyai Sembur Maut menjadi pa-
nas dan pandangan matanya memancarkan hasrat un-
tuk membunuh adik tirinya yang jahat itu.
Nyai Rajang Demit melirik angker pada Nyai
Sembur Maut, kemudian berkata dalam nada dingin,
"Kalau kau tak serahkan dalam tiga hitungan,
kubunuh kau di atas kursi itu!"
"Apa kau mampu membunuhku?!" tantang Nyai
Sembur Maut. Tantangan itu membuat Nyai Rajang
Demit tak sempat menghitung sampai tiga kali. Lang-
sung saja ia menyerang dengan berucap kata,
"Kau memang keparat, Sembur Maut!
Heaaah...!"
Nyai Rajang Demit melompat sambil mengarah-
kan ujung tongkatnya yang bawah untuk menumbuk
kepala Nyai Sembur Maut. Tetapi, nenek lumpuh itu
segera hembuskan semburannya melalui mulut, dan
angin badai pun keluar dari mulut tersebut. Woooss...!
Tubuh Nyai Rajang Demit terpental sampai menghan-
tam pohon dan pohon itu pun retak pada pertengahan
batangnya.
Buru-buru ia bangkit dan menyentakkan tong-
katnya ke depan. Tiga mata pisau itu memancarkan ti-
ga larik sinar hitam ke arah dada Nyai Sembur Maut.
Zraaap...!
Dengan cepat Nyai Sembur Maut menghentak-
kan telapak tangannya ke depan, dan dari telapak tan-
gan itu terpancar sinar hijau membentuk perisai. Sinar
hitam tiga larik ditahan dengan sinar hijau, dan mere-
ka saling adu kekuatan, mengerahkan tenaga dalam
hingga keduanya sama-sama berpeluh dan bergetar
tubuhnya.
Tapi dengan cepat tangan Nyai Sembur Maut
berkelebat berputar satu kali dan sinar perisai itu be-
rubah menjadi biru. Pada saat demikian, sinar hitam-
nya Nyai Rajang Demit menjadi terdesak. Jaraknya
kian dekat dengan ujung tongkat. Dan akhirnya sinar
hitam itu bagaikan memukul balik pemiliknya setelah
tangan Nyai Sembur Maut kian menghentak ke depan
dalam satu sentakan kuat. Drrubbb...! Blaarrr...!
Nyai Rajang Demit kembali terpental dan ter-
guling-guling. Rambutnya yang diriap sedikit terbakar.
Namun segera padam setelah dikibaskan satu kali, ia
pun cepat-cepat bangkit untuk keluarkan jurus maut
lainnya. Tetapi ternyata Nyai Sembur Maut telah ber-
gerak lebih cepat.
Kekuatan tenaga dalamnya mampu membuat ia
bersama kursinya terbang dengan cepat. Wuuusss...!
Menabrak punggung Nyai Rajang Demit dari belakang.
Bruusss...! Orang itu terpental menuruni lereng. Ia
memuntahkan darah dari mulutnya saat masih terdu-
duk di tanah.
"Jahanam kau, Sembur Maut!" geramnya den-
gan mata semakin beringas.
Nyai Sembur Maut memutar gerakan bersama
kursinya. Ia tiba di pekarangan depan rumahnya lagi.
Tapi Nyai Rajang Demit mengejarnya dengan satu lom-
patan bersalto tiga kali. Jleeg...! Begitu mendaratkan
kaki, tepat di depan kakak tirinya. Lalu, pisau di ujung
tongkatnya itu disabetkan ke kiri. Wuusst...!
Wrrrusss...! Mulut Nyai Sembur Maut kelua-
rkan napas yang memancarkan sinar biru berkelok ba-
gai lidah petir menyambar. Semburan itu selain me-
nangkis gerakan tongkat juga menghantam tiga mata
pisau memakai kilatan sinar biru tadi. Duuaaarr.! Le-
dakan terjadi dan membuat tubuh Nyai Rajang Demit
terpelanting. Tapi justru gerakan terpelantingnya itu
berhasil dimanfaatkan untuk menendangkan kakinya
ke belakang. Wuuuttt...! Nyai Sembur Maut tidak me-
nyangka akan datangnya tendangan itu. Namun ia
sempat menangkis dengan kedua tangan di silangkan
di depan wajah. Hanya saja, karena kuatnya tenaga
kaki itu, tangan tersebut kalah menahan, dan akhir-
nya Nyai Sembur Maut terpelanting ke belakang, ter-
jungkal jatuh bersama kursinya. Braakkk...!
"lbuuu...!" Bocah Bodoh yang sejak tadi terben-
gong saja, kini bergegas menolong ibunya. Tetapi tiba-
tiba ujung tongkat Nyai Rajang Demit bagian bawah-
nya menyodok punggung Bocah Bodoh dengan sodo-
kan cepat beruntun tiga kali. Dug, dug, dug...!
"Uuhg...!" Bocah Bodoh tersentak dan diam se-
ketika. Ia telah tertotok jalan darahnya.
"Setan kau, Rajang Demit!" sentak Nyai Sembur
Maut sambil berusaha untuk bangkit dengan susah
payah, karena kedua kakinya sudah tidak bisa digu-
nakan sama sekali.
Dalam keadaan masih terkapar di tanah, Nyai
Sembur Maut melihat tiga mata pisau itu dihujamkan
ke dadanya. Tetapi dengan cepat ia lepaskan pukulan
bercahaya kuning. Blaarrr...!
Tiga mata pisau Itu pecah menjadi serpihan
lembut. Sebagian pukulan bercahaya kuning itu men-
genai tangan Nyai Ranjang Demit sehingga tangan itu
sempat membekas hangus bagian siku. Melihat kea-
daannya sudah kalah kuat dengan Nyai Sembur Maut,
maka dengan cepatnya tubuh Bocah Bodoh yang diam
karena tertotok itu segera disambarnya. Wuuuttt...!
"Hei, mau kau bawa ke mana anakku itu, Se-
tan!" teriak Nyai Sembur Maut dengan merayap-rayap.
"Pertimbangkan permintaanku tadi, Sembur
Maut! Kukembalikan anakmu jika kau mau menukar
nya dengan Pedang Jimat Lanang. Pancangkan bende-
ra kuning di depan rumahmu, maka aku tahu kau
akan siap menukar anakmu dengan pedang pusaka
itu!"
"Tunggu dulu...!"
"Ingat kata-kataku. Kalau dalam dua hari tak
ada kabar, anakmu kubunuh dan kukembalikan kepa-
lanya!"
Wesss...! Nyai Rajang Demit berkelebat pergi
dengan cepatnya sambil memanggul Bocah Bodoh.
Nyai Sembur Maut sempat lepaskan pukulan sambil
duduk di tanah, tapi pukulan itu tidak mengenai sasa-
ran. Bocah Bodoh tetap dibawa lari untuk dijadikan
sandera dan ditukar dengan Pedang Jimat Lanang. Pa-
dahal Nyai Sembur Maut memang tidak memiliki pe-
dang pusaka tersebut. Keadaannya yang lumpuh
membuat ia tak mampu mengejar anaknya.
*
* *
2
SEGUMPAL kabut mengikuti kepergian Nyai
Rajang Demit dari Bukit Lidah Samudera. Segumpal
kabut itu sejak tadi ada di samping rumah kayu Nyai
Sembur Maut. Kabut itu bisa melihat jelas pertarungan
dan mendengar jelas pula percakapan yang terjadi di
rumah kayu itu. Siapa lagi orang yang bisa berubah
menjadi kabut jika bukan si Tua Usil, yang secara tak
langsung kini menjadi pelayannya Lili; Pendekar Raja-
wali Putih.
Kedatangan tua Usil ke rumah Bocah Bodoh
bukan sesuatu yang tidak disengaja. Ia diutus oleh Yoga dan Lili untuk melihat apakah Bocah Bodoh itu su-
dah tiba di rumahnya, atau belum. Jika belum, berarti
Bocah Bodoh mendapat halangan di perjalanan.
Sesampai di sana Tua Usil melihat Bocah Bo-
doh termenung di bawah pohon, Ia ingin menggodanya
melalui perubahan wujud dirinya menjadi kabut. Teta-
pi pada saat Tua Usil sudah menjadi kabut, Nyai Ra-
jang Demit muncul dan Tua Usil tak berani dekati Bo-
cah Bodoh. Ia bahkan menjadi penonton setia perta-
rungan tersebut tanpa diketahui oleh siapa pun.
Maka ketika Bocah Bodoh diculik Nyai Rajang
Demit, manusia kabut itu mengikutinya dalam wujud
kabut. Dengan begitu, Nyai Rajang Demit tidak menge-
tahui bahwa pelariannya diikuti oleh seseorang. Tua
Usil lakukan hal itu, karena ia ingat pesan Yoga dan
Lili sebelum berangkat menengok Bocah Bodoh,
"Jangan lupa, temui lagi ibunya Bocah Bodoh
dan sampaikan salamku kepadanya. Katakan murid
Dewa Langit Perak ikut hadir di Lembah Maut itu!"
"Baik; Nona Li! Akan saya katakan hal itu." Yoga me-
nimpali, "Katakan pula kepada Nyai Sembur Maut,
bahwa tak sebutir pun permata di dalam pedang itu
ada yang hilang!"
Pada saat itulah Lili dan Tua Usil tercengang
memandang Yoga. Yang dipandang hanya tersenyum
tipis dan bersikap kalem, seakan tidak mengetahui
mereka tercengang kaget. Kemudian, Lili segera hampi-
ri Yoga dan menarik pundak Yoga agar menatapnya.
"Permata apa maksudmu?!" "Permata berharga," jawab
Yoga sengaja menggoda Lili.
"Iya. Tapi permata bagaimana? Mengapa Tua
Usil harus bilang begitu kepada ibunya Bocah Bo-
doh?!"
"Karena saat kuperiksa pedang itu, aku mene-
mukan permata di dalam gagang pedang!" jawab Pendekar Rajawali Merah yang bertangan buntung itu. Ia
bicara tetap dengan kalem dan membuat Lili serta si
Tua Usil menjadi makin terkejut.
"Maksud Tuan Yo, lapisan logam kuning di
ujung gagangnya itu?" tanya Tua Usil minta penjela-
san.
"Lapisan logam kuning emas itu ditutupnya.
Dengan memulir tutup itu, aku menemukan gagang
pedang berongga dan isinya permata aneka macam,
Ada
Intan, ada berlian, ada mutiara, ada… macam-
macamlah! Dan gagang pedang itu terisi penuh. Kare-
na itu jika pedang digerakkan tak menimbulkan suara
gemericik."
"Ooohhh...?!" Tua Usil terperangah semakin le-
bar baik mulut dan matanya, sedangkan gadis yang
cantiknya melebihi bidadari itu hanya bisa tertegun
dengan mata tak berkedip memandang pendekar tam-
pan.
"Aku sengaja tidak katakan hal itu kepada Bo-
cah Bodoh, sebab aku takut dia akan kegirangan dan
menyebarkan berita itu, sehingga nyawanya akan te-
rancam oleh kejahatan orang yang ingin memiliki per-
mata-permata itu."
"Betul juga," gumam Tua Usil, "Apalagi Bocah
Bodoh itu memang benar-benar bodoh, tak tahu ba-
haya mengancamnya."
"Tapi bagaimana kalau Bocah Bodoh sendiri
yang serahkan pedang itu kepada orang lain, karena
dianggap pedang itu pedang biasa?" tanya Lili tampak
sedikit cemas.
"Kita lihat saja," jawab Yoga. "Karenanya, Tua
Usil harus lekas berangkat ke rumah Bocah Bodoh.
Berusahalah cari tahu, apakah Nyai Sembur Maut me-
nyimpan permata-permata itu atau dia sendiri tidak
tahu kalau kehebatan pedang tersebut ada di gagang-
nya. Jika belum tahu, kasih tahu dia secara pelan-
pelan, jangan kedengaran Bocah Bodoh!"
"Dan jika ada yang mengambilnya, mungkin pe-
dang itu diserahkan kepada orang lain oleh Bocah Bo-
doh, cart tahulah siapa orang yang menerima pedang
itu! Jika memang Bocah Bodoh belum tiba di rumah,
tugasmu segera mencari dia dan bantu dia jika ada ke-
sulitan apa-apa. Kau bisa gunakan ilmu 'Halimun'-mu,
Tua Usil."
"Balk, Nona Li. Tapi... sebenarnya lebih enak
lagi kalau saya lakukan tugas ini setelah saya meneri-
ma pelajaran berdiri di atas ilalang dari Nona Li!" sam-
bil Tua Usil cengar-cengir.
"Justru tidak sekarang. Sebab jika sekarang
kau ku beri pelajaran tentang cara berdiri di atas ila-
lang, maka kau akan lalai dengan tugasmu, dan setia
pada ilalang pasti kau gunakan untuk berdiri di atas-
nya! Aku tak mau kau lalai dan lengah, Tua Usil!" kata
Lili menolak dengan cara halus. Dan Tua Usil hanya
mendengus napas kesal, namun segera pergi kerjakan
tugas.
Tugas membantu kesulitan Bocah Bodoh. Itu-
lah yang membuat Tua Usil akhirnya tiba di sebuah
gubuk, letaknya di atas jurang bertebing curam. Gu-
buk itu adalah tempat tinggal Nyai Rajang Demit. Di si-
tu ia tinggal sendirian, selalu memperdalam ilmunya
pada saat tak ada urusan dengan tokoh-tokoh di rimba
persilatan.
Di gubuk itu pula Bocah Bodoh ditawan. Ia ti-
dak ditawan di dalam gubuk, melainkan diikat di se-
buah pohon bercabang tinggi. Nyai Rajang Demit ter-
senyum-senyum saat mengikat tubuh Bocah Bodoh
dengan batang pohon besar itu. Ia tak peduli Bocah
Bodoh itu menangis ketakutan dan memohon-mohon
untuk tidak diperlakukan seperti itu.
"Kau akan kulepaskan kalau kau kasih tahu
padaku, pedang itu ada di mana. Disimpan ibumu
atau kau sembunyikan sendiri!"
"Aku tidak tahu, Bibi! Sumpah pingsan, aku ti-
dak tahu!"
“Tak mungkin kau tidak mengetahuinya, kare-
na kulihat kemarin, tanah di sekitar tonggak prasasti
itu sudah tergali. Pasti pedang itu sudah kau da-
patkan."
"Aku mendapatkannya bukan Pedang Jimat La-
nang, Bibi. Yang kudapatkan, menurut Ibu, Pedang Is-
tana Intan yang pada bagian gagangnya tersimpan
permata dan batu untuk membangkitkan orang mati
bernama Delapan Mata Syiwa itu, Bibi!"
Tercengang Nyai Rajang Demit mendengar uca-
pan itu. ia memang tahu, bahwa Eyang Nini Murti
mempunyai Pedang Istana Intan, tapi ia menyangka
pedang itu pedang sakti yang masih kalah hebat di-
bandingkan Pedang Jimat Lanang. Nyai Rajang Demit
tidak tahu bahwa pedang itu menyimpan permata di
bagian gagangnya, seperti yang dikatakan Bocah Bo-
doh itu. Karenanya, ia jadi berpikir antara Pedang Ji-
mat Lanang dan Pedang Istana Intan; mana yang ingin
diperolehnya? "Kau tidak bohong pada Bibi, Cola Co-
lo?!"
“Tidak, Bibi. Aku berani bersumpah serapah,
bahwa yang kudapatkan dari prasasti itu Pedang Ista-
na Intan, bukan Pedang Jimat Lanang."
"Isinya emas permata?"
"Menurut keterangan Ibu memang begitu. Tapi
waktu itu aku tidak memeriksa gagangnya, sehingga
tidak tahu kalau gagang pedang itu berisi permata pe-
nuh! Lengkap dengan delapan batu sakti itu."!
"Dan sekarang Pedang istana Intan Itu disim
pan oleh ibumu di rumah atau di tempat lain?"
"Ibu tidak menyimpan pedang itu, Bibi. Pedang
itu ku buang ke Jurang Usus Bumi, karena aku kece-
wa bahwa pedang itu tidak mampu untuk memotong
dahan, dan menjadi geripis ketika ku tebaskan di po-
hon. Aku tidak tahu kalau isinya berlian, sehingga
dengan jengkel ku buang begitu saja di jurang terse-
but!"
Nyai Rajang Demit menyeringai, "Kau bohong!
Kau bohong sekali!"
“Tidak, Bibi! Saya tidak sempat bohong!"
Plakkk...! Pipi Bocah Bodoh ditampar seenak-
nya saja oleh bibinya sendiri. Kemudian, mata Nyai Ra-
jang Demit itu memancar dengan tajam, menyeramkan
buat Bocah Bodoh, sehingga ia tidak berani menatap
mata bibinya itu.
"Katakan ada di mana Pedang Istana Intan
itu?!"
"Ku buang, Bi! Ku buaaang...!"
"Aku tetap tidak percaya, karena kau anak yang
baik, yang selalu menuruti perintah ibumu. Jika ibu-
mu perintahkan bawa pulang itu pedang, maka kau
pasti akan membawanya pulang. Tak mungkin kau be-
rani membuangnya ke jurang!"
"Kalau Bibi tidak percaya, silakan Bibi menca-
rinya sendiri di Jurang Usus Bumi itu!"
Wajah Cola Colo diremas pipinya kanan-kiri
oleh tangan Nyai Rajang Demit hingga mulut Cola Colo
sampai meruncing. Wajah Nyai Rajang Demit pun
mendekat dengan mata lebar dan senyum seringai ib-
lis.
"Dengar, kalau aku mau mencari Pedang Istana
Intan, bukan aku sendiri yang turun ke Jurang Usus
Bumi itu, tapi kaulah yang akan ku paksa menemu-
kannya kembali. Tapi itu kalau aku percaya bahwa pe
dang tersebut kau buang ke sana. Ternyata saat ini
aku belum percaya dengan pengakuanmu, Bocah Bo-
doh. Aku tetap berkeyakinan, pedang itu pasti disim-
pan oleh ibumu di suatu tempat, hanya kalian berdua
yang mengetahuinya. Karena itu, kau pilih jujur kepa-
daku, atau...."
Nyai Rajang Demit dongakkan wajah yang di-
remasnya itu. Wajah Bocah Bodoh memandang ke atas
pohon. Remasan tangan dilepaskan sambil Nyai Rajang
Demit berkata,
"Pilihan kedua ada di atasmu! Kau lihat bina-
tang hitam loreng yang bergerak-gerak di atas dahan
tinggi itu?!"
"Hahhh...?! Ul... ul.. ular?!" Bocah Bodoh terke-
jut dan menjadi pucat pasi wajahnya. Ular itu melilit di
dahan atas, besarnya seukuran satu pahanya sendiri.
"Ular Itu piaraan ku. Ia akan turun kalau had
sudah hampir petang, dan mencari makan sendiri. Kau
punya kesempatan sampai senja tiba, menyebutkan di
mana pedang itu, atau dimakan ular itu!"
Nyai Rajang Demit tinggalkan Bocah Bodoh de-
ngan senyum keji tersungging di bibirnya. Ia masuk ke
pondoknya sebentar, setelah itu keluar lagi dan berge-
gas pergi. Sebelum pergi tinggalkan tempat Itu, ia ber-
kata kepada Bocah Bodoh,
"Aku pergi sebentar. Secepatnya kembali lagi.
Kuharap saat aku kembali, kau sudah punya keputu-
san untuk selamatkan dirimu dari mulut ular terse-
but!"
"Bibi.... Jangan tinggalkan aku sendirian, Bi.
Kalau ular itu tahu-tahu lapar bagaimana?"
Tapi Nyai Rajang Demit tidak menggubris kata-
kata keponakannya. Seluruh tubuh Bocah Bodoh men-
jadi gemetaran. Kepalanya sebentar-sebentar menen-
gok ke atas dengan cemas. Ular besar yang melilit di
dahan itu bergerak-gerak lamban. "Ooh„. ular, jangan
kau turun kemari sebelum aku dilepaskan! Kasihani-
lah diriku yang sudah tidak punya ayah ini, Ular...!"
ucap Bocah Bodoh dengan jantung berdetak-detak ka-
rena takutnya. Tapi ucapan itu seolah-olah justru
membuat ular besar warna hitam loreng itu bergerak
turun pelan-pelan. Wajah Bocah Bodoh bertambah te-
gang bercampur sedih. Ia menangis sambil celingak-
celinguk mencari seseorang untuk dimintai bantuan-
nya. Tapi tebing jurang itu sepi, tak ada manusia lewat
disana.
"Bibiii...!" teriaknya keras-keras, karena ia pu-
tuskan untuk membuat perjanjian dengan bibinya. Ia
bersedia mencari pedang yang dibuangnya di jurang
ketimbang harus mati dicaplok ular besar.
Ternyata teriakan itu justru membuat ular be-
sar makin tergugah dari kemalasannya. Kepala ular
yang menjulur-julurkan lidahnya menghadap ke ba-
wah. Ketika Bocah Bodoh mendongak lagi, mata ular
itu memandang ke arahnya, dan bergerak lebih cepat
dari semula. Ular itu turun merayapi dahan besar.
"Oooh... mati aku kalau begini!" ucap Bocah
Bodoh di sela tangisnya yang tak berani keras, karena
takut mengagetkan ular. Ia berusaha menyentak-
nyentakkan badan supaya ikatannya terlepas. Tapi
usaha itu sia-sia. Tali yang digunakan mengikat tu-
buhnya dengan pohon sepertinya bukan sembarang ta-
li, lebih alot dan lebih keras dart tali biasa. Sedangkan
ular di atas sana makin lama makin turun tempatnya,
gerakannya bagaikan terasa betul di tiap denyut nadi
Bocah Bodoh, Hal itu yang membuat bocah tua yang
bodoh itu menjadi basah kuyup tubuhnya oleh kerin-
gat, celananya pun ikut basah kuyup karena rasa ta-
kut yang amat mencekam jiwa.
Pada saat itulah segumpal asap merayap di tanah. Makin lama semakin membungkus kaki Bocah
Bodoh. Tetapi Bocah Bodoh masih tetap tegang dan
berusaha lepaskan diri dari ikatannya sambil menan-
gis, karena ia belum tahu bahwa asap kabut itu adalah
si Tua Usil. Ia menganggapnya kabut salah musim,
siang-siang di tengah terik matahari muncul dan me-
rayapi bumi. Kalau bukan kabut salah musim, tak
mungkin ada, menurut pendapat Bocah Bodoh.
Tetapi tiba-tiba ia merasakan tali pengikat tu-
buhnya tersendat-sendat. Ia memandang ke atas, ular
bergerak terus turun dengan gerakan tak selamban ta-
di. Kepala ular agaknya mengincar kepala Bocah Bo-
doh.
"Celaka! Sungguh celaka nasib ku hari ini! Tak
mungkin aku mencaplok ular itu sebelum aku dicap-
lok! Pasti dia lebih dulu mencaplok kepalaku dan...
dan... oh, tak dapat kubayangkan kalau aku ditelan
ular itu, pasti sangat tak enak hidup di dalam perut
ular...!" pikir Bocah Bodoh sambil merasa heran, men-
gapa tubuhnya diselimuti oleh kabut:
Bocah Bodoh berhenti berceloteh ketika terasa
ada bagian tali yang mengendur. Makin tegang hatinya
setelah ia rasakan banyak tali mengendur dan kedua
tangannya bisa lolos dari ikatan tersebut.
"Hei, kabut ini rupanya telah membantuku me-
lepaskan diri dari ikatan! Kabut aneh..?!" pikirnya de-
ngan terburu-buru menarik-narik tali tersebut.
Ketika tali telah lepas semua. Kabut itu berge-
rak menjadi satu gugusan, bagai tersedot oleh satu ke-
kuatan dari atas, Zuuuttt...! Berubah menjadi seperti
tiang, makin lama makin pudar dan muncul sesosok
tubuh berpakaian coklat muda. Bocah Bodoh terkejut
karena ia mengenali orang tersebut.
'Tua Usil...?!”
"He he he he...!" Tua Usil tertawa bagai mem
banggakan diri. "Baru sekarang kau lihat aku berubah
jadi kabut, ya?"
"Hebat sekali kau!" Bocah Bodoh menepuk-
nepuk pundak Tua Usil. "Kau punya ilmu bisa berubah
jadi kabut dan jadi apa lagi?"
"Yah, kadang-kadang jadi pelayan, kadang-
kadang jadi bingung, dulu malah pernah menjadi pen-
gemis!" canda Tua Usil.
"Hebat sekali kau? Bisa berubah-ubah begitu?!"
Bocah Bodoh tersenyum merasa kagum dan mengang-
gap hebat Tua Usil yang bisa berubah-ubah jadi pe-
layan atau jadi pengemis.
"Sssttt...! Ke mana Nyai Rajang Demit?"
"Dia pergi! Dia menawan ku. Aku mau ditukar
dengan pedang. Padahal yang kudapatkan tempo hari
itu, ternyata bukan Pedang Jimat Lanang, melain-
kan...."
"Ya, ya... aku sudah dengar semua percakapan
Ibumu dengan Nyai Rajang Demit. Isi gagang pedang
itu pun aku sudah tahu dari penjelasan Tuan Yo! Cu-
ma, ku sayangkan kau bertindak ceroboh, membuang
pedang itu ke Jurang!"'
"Yah, Itulah kesalahanku!" Bocah Bodoh meng-
hempaskan napas dan bersandar pada pohon dengan
rasa sesal. "Aku tidak tahu keistimewaan pedang itu!
Kalau waktu Itu Tuan Yo memberitahukan isinya, aku
tidak akan buang pedang itu."
"Sudahlah. Sekarang sebaiknya kita lekas-lekas
tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Rajang Demit da-
tang, dan... dan..." Tua Usil tegang mendadak. Bocah
Bodoh berkerut dahi. Tua Usil memandang atas kepala
Bocah Bodoh, dan Bocah Bodoh segera mendongak,
ternyata ular besar sudah ada dalam jarak dekat. Bo-
cah Bodoh terpekik keras,
"Wooaawww...!" Ia cepat berlari. Brusss...! Tua
Usil ditabraknya.
"Heegh..!" Tua Usil mendelik karena terinjak pe-
rutnya.
*
* *
3
SAMBIL berceloteh tentang kejahatan bibinya,
Bocah Bodoh dan Tua Usil melangkah menyusuri sun-
gai. Menurutnya, jalan melalui tepian sungai lebih
aman, lebih kecil kemungkinannya bertemu dengan
Nyai Rajang Demit. Waktu itu matahari masih mening-
gi dan sinarnya memancarkan panas yang menyengat
kulit.
Langkah mereka tiba-tiba terhenti karena Bo-
cah Bodoh menahan tangan si Tua Usil. Mata Bocah
Bodoh memandang ke arah tanggul sungai yang ada
Jauh di depannya. Tua Usil cepat bertanya,
"Ada apa?"
"Orang-orang Lereng Lawu!" bisik Bocah Bodoh.
"Kau lihat tiga orang yang lewat di atas tanggul itu?"
Tua Usil segera memandang arah yang ditunjuk
Bocah Bodoh. Ia hanya menggumam sebagai tanda
bahwa ia memang melihat apa yang dimaksud Bocah
Bodoh. Lalu, Bocah Bodoh tambahkan kata,
"Dua orang lelaki itu anak buah Wali Kubur
yang tempo hari ikut hadir di Lembah Maut!"
"Lalu yang perempuan berbaju hijau muda itu
siapa?"
"Dia kakaknya Wali Kubur."
"Ah, bukankah Wali Kubur sudah tua? Masa'
adiknya setua itu kok kakaknya masih seperti gadis
usia dua puluh satu tahun?"
"Kata Ibu, Iblis Mata Genit itu usianya sudah
hampir seratus tahun, tapi ia punya ilmu yang bisa
membuatnya semuda itu dan secantik bidadari. Hanya
saja, kalau dibandingkan dengan Nona Li, ya masih
cantik Nona Li."
"Kakaknya Wali Kubur itu yang bernama Iblis
Mata Genit?"
"Iya! Kata Ibu, ilmunya lebih tinggi dari Wali
Kubur sendiri," Bocah Bodoh menjelaskan dengan rasa
bangga karena bisa menggurui.
Tua Usil mencibir, "Ah, biar setinggi apa pun
ilmunya, tapi kalau melawan Nona Li, tak bakalan bisa
menang. Nona Li bisa berdiri di atas ilalang!" Tua Usil
menyombongkan ilmu majikannya.
"Ah, kalau hanya berdiri di atas ilalang aku ju-
ga bisa!" Bocah Bodoh tidak mau kalah sombong.
Tua Usil kaget. "Apa betul?!"
"Iya!"
"Aku tak percaya. Berbulan-bulan aku ikut No-
na Li, ingin belajar cara berdiri di atas ilalang, tapi
sampai hari ini aku belum bisa! Masa' kamu bisa ber-
diri di atas ilalang? Hanya orang berilmu tinggi yang
bisa lakukan begitu!"
"Kau mau bukti kalau aku bisa berdiri di atas
ilalang?"
"Buktikan!" Tua Usil agak ngotot. "Nanti kalau
memang kau benar-benar bisa berdiri di atas ilalang,
aku akan belajar padamu!"
"Akan kubuktikan!" sambil Bocah Bodoh berge-
gas mendekati ilalang yang tumbuh di bawah tanah
tanggul itu. 'Tak perlu belajar kepada Nona Li kalau
hanya soal begitu! Belajar padaku lebih cepat!"
"Pakai puasa dan bertapa segala?"
“Tak perlu!" jawab Bocah Bodoh. Lalu, ia mencabut beberapa ilalang. Dibawanya beberapa lembar
ilalang itu ke sebuah batu. Diletakkannya ilalang itu di
atas batu dalam posisi tidur. Kemudian ia naik di atas
batu dan menginjak ilalang tersebut.
"Nah, lihat! Beginilah cara berdiri di atas ila-
lang. Mudah bukan?”
Tua Usil menarik napas dongkol. Ia bertolak
pinggang dan berkata kepada Bocah Bodoh yang masih
berdiri di atas batu beralaskan daun ilalang,
"Hei, kebo hamil pun bisa lakukan hal seperti
itu!". Tua Usil bernada ngotot. "Yang ku maksud, ber-
diri di atas ilalang yang masih tumbuh, dan tanpa alas
berpijak apa pun kecuali sebatang ilalang itu!"
"Ooo... kalau itu, ya sulit!" Bocah Bodoh ber-
sungut-sungut. Ia tidak sadar bahwa dengan berdiri di
atas batu, maka ia tampak tinggi dan dapat terlihat
dari jauh lebih jelas lagi. Dan pada saat itu, salah satu
anak buah Wali Kubur segera berseru,
"Hai, lihat...! Itu dia si Bocah Bodoh! Dia pasti
tahu di mana gadis cantik yang menyedot ilmunya
sang Ketua!"
Suara itu terdengar oleh Bocah Bodoh. Ia men-
jadi kaget dan menyadari keberadaannya di tempat
tinggi. Maka ia buru-buru turun pada saat tiga orang
dipihaknya Wali Kubur itu segera berlari ke arahnya.
"Mereka datang kemari?!" Wajah Bocah Bodoh
menegang. Dan Tua Usil yang memandang ke arah me-
reka bertiga pun menjadi tegang.
"Cepat lari! Jangan berurusan dengan mereka!"
seru Tua Usil sambil menarik tangan Bocah Bodoh.
Brruk...! Bocah Bodoh jatuh tersungkur karena
tangannya terlalu keras ditarik oleh Tua Usil. Ia marah
dan membentak,
"Hati-hati, Tolol!"
"Ayo, lekas lari!"
"Iya. Lari ya lari, tapi jangan pakal siksa aku
begini!" bentak Bocah Bodoh dengan mata mendelik.
Wuuttt...! Jleeg...!
Tahu-tahu gadis cantik bermata indah itu su-
dah berdiri di depan langkah kedua orang berusia lima
puluh tahunan itu. Gadis berpakaian hijau muda yang
menyandang pedang panjang di pinggangnya itu terse-
nyum sinis sambil berkata,
'Tak perlu lari, Bocah Bodoh. Ada baiknya kita
bincang-bincang sebentar, terutama tentang gadis can-
tik yang ikut bersama mu di Lembah Maut itu!"
Bocah Bodoh dan Tua Usil sebenarnya ingin
melarikan diri lewat jalan lain. Tapi kedua anak buah
Wali Kubur sudah mengepung mereka. Akibatnya me-
reka sama-sama percuma berusaha untuk menghinda-
ri tiga orang Perguruan Lereng Lawu Itu.
Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. Ia berharap
Tua Usil bertindak melawan Iblis Mata Genit itu, tapi
Tua Usil justru memandang wajah-wajah lawannya
dengan rasa takut. Karena tak ada kata-kata yang ke-
luar dari mulut kedua orang tua itu, maka Iblis Mata
Genit segera dekati Bocah Bodoh dan meremas da-
gunya, lalu mengangkat wajah itu supaya menatap ke
arahnya,
"Siapa gadis cantik yang melawan adikku; si
Wali Kubur itu?!"
"Eh... namanya... namanya Nona Lili. Dia berge-
lar Pendekar Rajawali... Rajawali... Hitam."
"Putih," sahut Tua Usil membetulkan.'
"Ah, kau buta warna. Kulihat rambutnya masih
hitam!"
"Iya, tapi namanya Pendekar Rajawali Putih!"
bantah Tua Usil.
"O, sekarang rambutnya sudah beruban?"
"Rambutnya masih hitam, tapi nama gelarnya
Pendekar Rajawali Putih!"
"Jadi namanya tidak tergantung rambutnya?"
"Cukup!" bentak Iblis Mata Genit. "Aku hanya
mau bicarakan soal gadis itu, bukan soal rambut!"
Bocah Bodoh diam ketakutan. Tua Usil masih
bersungut-sungut agak jengkel dengan kebodohan Co-
la Colo, tapi ia juga menjadi takut. Iblis Mata Genit
bertolak pinggang saat bertanya kepada Cola Colo,
"Kau tahu, gadis yang kau panggil dengan na-
ma Lili atau Pendekar Rajawali Putih itu telah mem-
buat adikku kehilangan semua ilmunya. Sekarang Wali
Kubur seperti bocah baru lahir...."
"Maksudnya, minta nenen segala? Hi hi hi...''
Plookkk...! Bocah Bodoh ditampar kuat-kuat
oleh Iblis Mata Genit. Tapi karena ia berhasil merun-
dukkan kepala, maka yang kena tampar wajah Tua
Usil yang ada di samping kanannya. Tua Usil langsung
terpelanting jatuh. Namun cepat-cepat bangun dan
menendang kaki Bocah Bodoh.
Duuhg...!
Tua Usil menggeram, Bocah Bodoh meringis
menahan sakit.
Iblis Mata Genit berkata, "Bocah Bodoh, gadis
bernama Lili itu harus bikin perhitungan denganku. Ia
harus bisa kembalikan semua ilmu si Wali Kubur, atau
ditebus dengan nyawanya!"
"Ditebus saja. Eh... anu... maksudku...
hmrrm... tanyakan saja kepada temannya ini," sambil
Bocah Bodoh menuding Tua Usil. "Dia namanya Tua
Usil, teman dekatnya Nona Li!"
"Kebetulan sekali. Tunjukkan di mana tempat
tinggal Pendekar Rajawali Putih itu!" kata Iblis Mata
Genit kepada Tua Usil.
Hati Tua Usil dongkol kepada Bocah Bodoh. Ia
menggerutu dengan bersungut-sungut dan melirik Bocah Bodoh,
"Pakal bilang-bilang begitu segala! Akhirnya
aku yang kena sasaran! Dasar manusia paling bodoh
di dunia! Lain kali...."
Plakkk...! Tiba-tiba datang tamparan keras dari
tangan kiri Iblis Mata Genit ke pipi kanan Tua Usil. Pi-
pi itu kena telak. Kerasnya tamparan membuat tubuh
Tua Usil terhempas ke samping, tangannya berkelebat
mengenai wajah Bocah Bodoh. Plokkk...!
"Akhirnya kena juga aku...," gumam Bocah Bo-
doh dengan cemberut.
Tua Usil, cepat katakan di mana aku bisa temui
Pendekar Rajawali Putih itu! Katakan!"
"Aku tidak tahu!" jawab Tua Usil bermaksud
merahasiakan tempat tinggal Lili, sebab Lili tinggal di
rumahnya, dan Tua Usil takut kalau rumahnya men-
jadi rubuh gara-gara Iblis Mata Genit mengamuk di
sana. Terbayang olehnya jika Iblis Mata Genit berta-
rung dengan Lili, sudah pasti rumahnya akan jebol
atau rubuh sama sekali.
"Aku akan menyiksamu kalau kau tak mau
tunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih berada!"
ancam Iblis Mata Genit kepada Tua Usil. Tapi Tua Usil
segera tunjukkan keberaniannya yang sebenarnya
hanya sebagai gertakkan saja, ..
"Kalau kau mau menyiksaku, kau akan kehi-
langan nyawamu, Iblis Mata Genit?!"
Tua Usil dipandang dengan tajam. Diam-diam
jantungnya bergemuruh seperti mau lepas dari dada
karena menahan rasa takut.
"Brata, Gandul... paksa dia supaya mengaku!"
perintah Iblis Mata Genit kepada kedua murid Wali
Kubur itu. Maka, orang yang bernama Brata itu segera
bergegas maju, hendak menjambak rambut Tua Usil
dari belakang. Tapi kaki Tua Usil segera menjejak bagaikan seekor kuda.
Buuhg...! Kedua kaki Tua Usil mengenai dada
Brata dan orang itu tertahan langkahnya, namun tidak
rasakan sakit sedikit pun. Tua Usil sendiri langsung
jatuh karena menendang seperti kuda. Ketika ia jatuh,
orang yang bernama Gandul itu segera melompat dan
menginjaknya dengan satu hentakan. Buuhg...!
"Ngggkkk...!" Tua Usil mendelik, perutnya bagai
dipompa hingga seluruh isinya nyaris keluar dad mu-
lut.
Bocah Bodoh menggunakan kesempatan untuk
lari. Iblis Mata Genit bergegas mengejar dan berseru,
"Tetap di sini kau, Bocah Bodoh!" Cola Colo tidak hi-
raukan seruan itu. Ia lekas melompat dan ceburkan di-
ri ke air sungai yang mengalir cukup deras itu.
Byuuurr...!
"Bangsat!" geram Iblis Mata Genit, sementara
kedua orang yang dibawanya itu sedang menghajar
Tua Usil secara bak-buk-bak-buk. Bocah Bodoh ha-
nyut. la baru ingat bahwa dirinya tidak bisa berenang.
Sejak dulu ibunya melarang dia bermain di laut atau-
pun di sungai, sehingga ia tidak pernah bisa berenang.
Akibat kesadarannya yang terlambat itu, Bocah Bodoh
gelagapan sambil tangannya menggapai-gapai, tubuh-
nya timbul tenggelam di permukaan air sungai yang
menghanyutkannya. Iblis Mata Genit akhirnya tertawa
geli cekikikan melihat nasib Bocah Bodoh.
Beruntung sekali Bocah Bodoh sempat tersang-
kut pada sebatang kayu yang tadinya terhalang batu,
Karena tersentuh tubuh Bocah Bodoh, kayu itu akhir-
nya bergerak dan terlepas dari batu yang menghalan-
ginya. Bocah Bodoh berusaha berpegangan pada kayu
gelondongan itu. Tapi tenaganya sangat lemas, sehing-
ga ia hanya bisa merangkul kayu tersebut sambil be-
rusaha bernapas sebisa-bisanya.
***
Bocah Bodoh tak ingat matahari, tak ingat
rembulan. Ia hanyut terbawa batang kayu itu semala-
man suntuk. Ia tidak tahu arah dan tujuan aliran sun-
gai tersebut. Ia tak mendengar jerit kesakitan si Tua
Usil yang dipaksa
menunjukkan di mana Pendekar Rajawali Putih
berada.
Masih beruntung Bocah Bodoh tak mati tengge-
lam. Masih beruntung aliran sungai itu membawanya
ke arah lembah, dan di lembah itu ada sebuah rumah
sederhana hampir serupa dengan rumahnya, yaitu ter-
buat dari belahan-belahan kayu. Rumah tersebut ada-
lah rumah Tua Usil.
Aliran arus sungai tidak sekencang pada saat
Bocah Bodoh ceburkan diri pertama kalinya. Arus
sungai sudah menjadi pelan dan lamban. Namun ma-
sih saja tetap menghanyutkan batang kayu tersebut.
Dan di sungai itu, ada sebuah batu besar berbentuk
kerucut. Di atas ujung lancipnya batu itu, ada kaki
yang berdiri secara bergantian.
Seseorang melatih diri memainkan jurus-jurus
silatnya dengan gunakan satu kaki secara bergantian.
Orang tersebut melompat dan meliuk-liuk dalam gaya
jurusnya yang sukar ditiru orang. Sementara itu, tak
jauh dari orang tersebut, ada pula seseorang yang
hanya duduk di atas batu datar, bersila dan pejamkan
mata, terpayungi rindangnya dedaunan. Batu itu ada
di daratan tepi sungai.
Orang yang duduk bersila itu tak lain adalah
seorang gadis cantik yang dikenal dengan julukan
Pendekar Rajawali Putih. Ia mengenakan pakaian me-
rah jambu. Sedangkan orang yang melatih jurus-
jurusnya di atas batu runcing itu tak lain adalah Pendekar Rajawali Merah, yang punya nama asli Yoga, ia
mengenakan pakaian selempang dari kulit beruang
coklat yang membungkus baju putih lengan panjang di
dalamnya.
Nasib Bocah Bodoh rupanya masih dilindungi.
Mata pemuda tampan itu melihat gerakan ba-
tang kayu. Mulanya ia tak hiraukan, tapi segera terpe-
ranjat setelah menyadari ada tubuh yang tersangkut di
batang kayu tersebut. Tubuh itu tengkurap dan dalam
keadaan lemas. Pendekar Rajawali Merah cepat sen-
takkan kakinya dan melompat menyambar tubuh yang
terkulai itu. Wuuttt...! Pyaaakkk...!
"Bocah Bodoh...?!" Yoga terkejut bukan main
melihat orang yang disambarnya itu.
Bocah Bodoh segera dibawa ke rumah setelah
berhasil disadarkan. Lalu, Bocah Bodoh melaporkan
apa yang terjadi atas dirinya,
"Nyai Rajang Demit menculik saya, Tuan Yo.
Saya diikat di pohon besar, di atasnya ada ular. Hii...!"
Bocah Bodoh bergidik sendiri, lalu ia lanjutkan ceri-
tanya tentang pertarungan Nyai Rajang Demit dengan
ibunya. Ia ceritakan pula kemarahan ibunya dan ma-
salah Pedang Istana Intan yang dibuangnya ke Jurang
Usus Bumi. Sempat pula ia bercerita tentang penyela-
matan yang dilakukan oleh Tua Usil.
Setelah Bocah Bodoh bercerita panjang lebar
dengan mulutnya miring ke sana kemari, maka Yoga
pun segera bertanya,
"Sekarang Tua Usil di mana?"
"O, Iya!" Bocah Bodoh menepak dahinya sendi-
ri. Plakkk...! Lalu, ia berkata lagi, "Maaf, Tuan Yo. Saya
lupa, Tuan."
"Lupa bagaimana?" Yoga mulai curiga.
'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng
Lawu!"
"Hah...?!" Yoga kaget, tapi dianggap Bocah Bo-
doh, Yoga kurang jelas dengan ucapannya tadi. Maka,
Bocah Bodoh pun mengulangi jawabannya dengan su-
ara berteriak dekat telinga Yoga,
'Tua Usil ditangkap oleh orang-orang Lereng
Lawu...!"
Wuuttt...! Wajah Bocah Bodoh didorong oleh ta-
ngan Yoga sambil Yoga bersungut-sungut.
"Budek kuping ku!"
"Betul, Tuan. Betul-betul budek. Eh... betul-
betul Tua Usil dalam bahaya. Kakaknya si Wali Kubur
yang bernama Iblis Mata Genit, memaksa Tua Usil un-
tuk kasih tahu di mana Nona Li berada. Tapi Tua Usil
tidak mau kasih tahu tempat di sini! Karena saya ta-
kut, saya lari dan menceburkan diri ke sungai. Tua
Usil disiksa oleh mereka, tapi saya tak dengar suara je-
ritannya. Apakah karena Tua Usil dibunuh oleh mere-
ka, atau karena saya pingsan lalu tenggelam, entah-
lah!"
"Mengapa Iblis Mata Genit mencari Lili?" tanya
Yoga dengan menahan kecemasan memikirkan nasib
Tua Usil.
"Iblis Mata Genit mau balas dendam, menuntut
agar Nona Li mengembalikan ilmu-ilmunya Wali Ku-
bur. Kalau Nona Li tidak mau, maka Iblis Mata Genit
mau bunuh Nona Li!"
Pendekar Rajawali Merah diam sebentar, men-
gingat pertarungan singkat antara Lili dengan Wali
Kubur, yang membuat seluruh ilmunya Wali Kubur le-
nyap karena dihantam pukulan 'Sirna Jati' oleh Lili.
Rupanya sebagai kakak, Iblis Mata Genit tidak rela jika
adiknya hidup tanpa ilmu, dan Wali Kubur sendiri ten-
tunya tidak bisa balas menyerang Lili jika tanpa ilmu
secuil pun.
Setelah berpikir beberapa saat, Yoga pun bertanya, "Kau tahu di mana letak Perguruan Lereng La-
wu, Bocah Bodoh?!"
'Tua Usil pasti tahu, itu kalau dia belum terbu-
ru mati!"
"Yang kutanyakan, kau tahu atau tidak letak
perguruan itu?"
"O, kalau saya... jelas tidak tahu, Tuan!" jawab
Bocah Bodoh seperti merasa tidak bersalah dalam
memberi jawaban tadi. Ia segera berkata lagi,
"Tapi kalau mau cari Iblis Mata Genit, jangan di
Perguruan Lereng Lawu, Tuan. Sebab dia bukan orang
Perguruan Lereng Lawu. Dia tidak punya perguruan,
seperti Ibu saya juga tidak mau buka perguruan! Dia
seorang petualang, kerjanya mondar-mandir seperti
mandor bumi!"
Yoga manggut-manggut dan kembali berpikir
beberapa saat, setelah itu ia bangkit berdiri dan berka-
ta,
"Kita cari dia sekarang juga!"
Pendekar Rajawali Merah bermaksud mengajak
Lili untuk selamatkan Tua Usil. Tetapi Lili tidak bisa
diganggu jika sedang semadi dan perdalam sebuah il-
mu. Pasti dia akan mengamuk jika diganggu oleh per-
soalan seperti itu. Maka, Pendekar Rajawali Merah pun
akhirnya berangkat untuk selamatkan Tua Usil hanya
ditemani oleh Cola Colo, si Bocah Bodoh itu.
*
* *
4
ATAS usul Bocah Bodoh, mereka melacak ke-
pergian Tua Usil dari tempat pertama kali bertemu
dengan Iblis Mata Genit! Bocah Bodoh membawa Yoga
ke tanah bawah tanggul tepi sungai itu.
"Nah, di sini kemarin kami disergap Iblis Mata
Genit, Tuan! Lihat, masih ada bekas ilalang di atas ba-
tu."
"Apa maksud ilalang itu?"
"Tua Usil bicara soal Nona Li yang pandai ber-
diri di atas ilalang, lalu saya memberinya contoh berdi-
ri di atas ilalang. Tapi menurutnya Nona Li berdiri di
atas ilalang yang masih tumbuh dan tanpa alas berpi-
jak sedikit pun, kecuali ilalang itu."
Yoga sudah tidak menghiraukan kata-kata Bo-
cah Bodoh saat ia tahu perkataan itu tak ada hubun-
gannya dengan hilangnya Tua Usil. Yoga pandangi
keadaan sekeliling tempat itu. Ia temukan selembar
kain hitam berukuran kecil. Yoga mengambil kain itu
dan memperhatikan beberapa saat.
Bocah Bodoh berhenti dari bicaranya setelah
tahu kata-katanya tak dihiraukan lagi oleh Yoga. Kini
ia ikut pandangi kain hitam tersebut dan segera berka-
ta,
"Apa di situ bisa terlihat bayangan wajah Tua
Usil, Tuan?'
'Tidak. Tapi aku tahu ini kain ikat kepalanya
Tua Usil."
"Hah...?!" Bocah Bodoh kaget. "Kalau ikat kepa-
lanya lepas, berarti kepala Tua Usil copot, Tuan?!"
"Ikat kepala bukan berarti tali pengikat kepala
supaya tidak copot! Ikat kepala gunanya untuk menga-
tur rambut bagi yang malas merapikan rambutnya!"
"Ooo...!" Bocah Bodoh manggut-manggut.
Mata Yoga masih memeriksa keadaan sekelil-
ing. Ia sedikit lega karena di sekitar tempat itu tidak
terdapat setetes darah, itu tandanya Tua Usil tidak
sampai berdarah jika disiksa mereka, dan tidak sampai
terbunuh jika menerima amukan Iblis Mata Genit.
Dalam perjalanan selanjutnya, Yoga dan Bocah
Bodoh selalu memandangi keadaan sekelilingnya. Ce-
lingak-celinguk ke sana-sini mencari kemungkinan
arah perginya Iblis Mata Genit. Yang jelas, tak mung-
kin Tua Usil dilepaskan begitu saja, pasti ikut bersama
mereka.
Tiba-tiba sebuah pohon yang melengkung ter-
sentak tegak dengan timbulnya suara gemerisik. Gu-
sraakkk...! Lalu seutas tali panjang terlihat melesat ke
atas. Wuuttt...! Sreettt...!
"Aaoowww...!" Bocah Bodoh berteriak ketaku-
tan. Yoga sempat terkejut melihat Bocah Bodoh te-
rayun-ayun di udara dengan satu kaki terjerat tali ter-
sebut. Rupanya Bocah Bodoh terjerat perangkap yang
dipasang seseorang, entah dengan maksud mau cela-
kai Bocah Bodoh dan Yoga, atau dengan maksud mau
menangkap seekor binatang. Yang jelas, Bocah Bodoh
berteriak-teriak dalam keadaan ketakutan. Tubuhnya
terayun ke sana-sini, sementara satu kakinya yang ti-
dak terjerat tali itu menendang-nendang tak beraturan.
"Tuan...! Tuan, Yo...! Tolong saya ini! Tolong,
Jangan dilihat saja! Saya takut, Tuan!" Bocah Bodoh
mau menangis. Yoga tersenyum geli. Tapi cepat sen-
takkan jari tengahnya, dan keluarlah selarik sinar me-
rah melesat cepat menghantam tali tersebut. Clappp...!
Tess!
Bruussk...! Bocah Bodoh jatuh dengan wajah
mencium tanah. Ia mengaduh lagi lebih keras, mem-
buat Yoga menjadi bertambah geli melihat wajah jelek-
nya menyeringai dengan sisa rambut menempel.
'Tuan kalau mau tolong saya jangan begitu ca-
ranya! Kalau memang tak mau tolong saya, ya sudah!
Tinggalkan saja. Jangan malah saya dijatuhkan dari
ketinggian begitu!"
"Kamu ini sudah ditolong bukan berterima ka-
sih malah marah?!"
"Habis Tuan menyiksa saya! Puih. puih...!" Bo-
cah Bodoh meludah karena ada rumput dan tanah
yang masuk ke mulutnya. Ia segera bangkit sambil
membersihkan rumput yang menempel di wajah, lalu
tali penjerat itu pun dilepaskan dari kakinya.
Pada saat itu, terdengar suara orang berlari ce-
pat ke arah mereka. Yoga tak sempat bersembunyi.
Tapi orang itu segera berhenti dan melangkah dengan
berjalan kaki biasa setelah melihat Yoga dan Bocah
Bodoh ada di bawah tali penjerat yang sudah putus
terbakar. "O, rupanya kau yang terkena perangkap ku,
Bocah Bodoh?!" kata orang berpakaian abu-abu den-
gan ikat kepala warna kuning. Orang itu berkumis ti-
pis dan pendek, berbadan agak gemuk dan berwajah
bulat dengan kulit warna gelap.
"Kau yang memasang jerat itu, Tamboyan?!"
"Ya. Tapi bukan untuk kamu, Bocah Bodoh!
Untuk seekor rusa yang sejak kemarin sedang ku bu-
ru!" jawab lelaki berusia sekitar lima puluh tahun.
"Siapa dia, Bocah Bodoh?" bisik Yoga dengan
melirik orang itu.
"Dia bernama Tambayon. Saya kenal dia seba-
gai pemburu. Tapi hati-hati, Tuan... dia dikenal dengan
julukan Raja Tipu!"
Yoga manggut-manggut kecil. Raja Tipu me-
mandang Yoga dengan mata sedikit menyipit. Kemu-
dian ia berkata kepada Bocah Bodoh.
"Temanmu ini sungguh ganteng, Bocah Bodoh.
Berbeda sekali dengan wajahmu; seperti bumi dengan
langit. Boleh ku tahu siapa dia?"
Bocah Bodoh menjawab, "Dia Tuan Yo, gelar-
nya" Pendekar Rajawali Merah Jambu."
"Tidak pakai jambu!' tukas Yoga pelan.
"0, tidak pakai jambu! Tuan Yo sudah bosan
dengan jambu, sekarang ia suka kedondong. Hi hi
hi...!" Bocah Bodoh jelas-jelas mengajaknya bercanda,
tapi Yoga tidak menanggapinya, melainkan justru
mengajak berbicara Raja Tipu.
"Apakah kau melihat tiga orang membawa satu
tawanan?"
Raja Tipu berkerut dahi, lalu segera menjawab,
“Tidak. Aku tidak melihatnya. Tapi kemarin aku meli-
hat satu orang dengan tiga tawanannya!"
Yoga menyipitkan mata pertanda heran. Bocah
Bodoh segera berbisik, "Jangan percaya, Tuan. Dia Ra-
ja Tipu!"
"Aku bicara yang sebenarnya, Bocah Bodoh. Ja-
ngan kau anggap sedang menipu," kata Raja Tipu yang
mendengar bisikan itu.
"Yang kami cari orang membawa satu tawa-
nan," kata Bocah Bodoh. "Bukan satu orang membawa
tiga tawanan!"
"Tapi yang kulihat kemarin memang satu orang
membawa tiga tawanan! Pada waktu itu aku sedang
memburu gajah di seberang sana."
"Memburu gajah?!" Bocah Bodoh terperangah
heran, "Apakah kau berhasil menangkapnya?"
"Aku terpaksa bertarung dulu dengan gajah itu.
Ia ku banting tujuh kali, barulah kepalanya pecah, dan
bisa kutangkap!"
Bocah Bodoh terbengong heran, lalu berdecak,
"Ck, ck, ck...!" Ia geleng-geleng kepala dan berkata ke-
pada Yoga,
"Hebat sekali dia, Tuan. Berani bertarung me-
lawan gajah. Malah dibantingnya sampai tiga kali dan
kepala gajah itu pecah! Luar biasa sekali kekuatannya,
bukan?"
Yoga hanya tersenyum dan berkata pelan, "Dia
Raja Tipu, bukan?"
"O, iya! Dia Raja Tipu, berarti... dia bicara bo-
hong, ya Tuan?"
"Pikirlah sendiri. Sebaiknya kits lanjutkan per-
jalanan kita. Jangan sampai kita terlambat."
"Baik, Tuan."
Ketika Bocah Bodoh dan Yoga mau pergi, Raja
Tipu sempat bertanya, "Bocah Bodoh, siapa sebenar-
nya yang sedang kau cari?"
"Iblis Mata Genit! Dia membawa temanku; si
Tua Usil namanya. Dia bersama dua anak buah Wali
Kubur!"
"Ooo... Iblis Mata Genit?!" Raja Tipu manggut-
manggut.
Yoga berkerut dahi, kemudian bertanya, "Apa-
kah kau kenal dengan Iblis Mata Genit?"
" "Ya Kenal. Tapi tidak terlalu akrab dengan-
nya."
"Kau tahu di mana tinggalnya?"
"Tahu," jawab Raja Tipu. 'Tapi jika kau punya
dua sikal untuk kugunakan makan di kedai selama sa-
tu hari, aku akan ingat di mana tempat tinggal Iblis
Mata Genit. Tapi jika kau tidak punya uang dua sikal,
aku tidak akan ingat di mana ia tinggal."
Yoga tersenyum tipis, menyadari sedang dipe-
ras. Tapi Bocah Bodoh berbisik, "Berikan dia uang dua
sikal, Tuan. Supaya kita cepat peroleh arah menuju
tempat tinggal Iblis Mata Genit. Anggap saja upah per-
tolongannya membantu kita temukan Tua Usil kemba-
li."
Dengan cepat, tanpa diketahui kapan tangan
Yoga mengambil uang dari selipan ikat pinggangnya,
tahu-tahu dua keping uang dilemparkan oleh Yoga
dengan satu sentilan tangan. Taab, taab...! Uang itu
cepat ditangkap oleh Raja Tipu. Yoga segera berkata,
"Sekarang katakan di mana tempat tinggal Iblis
Mata Genit!"
Sambil tersenyum, Raja Tipu berkata, "Berja-
lanlah menuju barat. Kalian akan temukan bukit yang
tak terlalu banyak ditanami oleh pepohonan. Di kaki
bukit itu, ada sebuah bangunan bertembok tinggi, se-
perti benteng. Di sanalah Iblis Mata Genit berse-
mayam. Ia sekarang menjadi Ketua Perguruan Tengko-
rak Emas."
"Berapa jauh tempat itu dari sini?"
"Kurang dari setengah hari," jawab Raja Tipu
bersungguh-sungguh. "Tapi ada caranya tersendiri un-
tuk bisa bertemu dengan Iblis Mata Genit. Tidak se-
mua orang bisa menemuinya."
"Bagaimana cara menemuinya?" tanya Yoga.
"Tambahkan uang satu sikal lagi, maka akan
kuberitahukan bagaimana cara menemuinya!" kata Ra-
ja Tipu sambil tersenyum-senyum. Yoga menghela na-
pas dalam-dalam, menahan kejengkelan.
"Kalau kau bertele-tele, kau bisa kehilangan
kepala, Raja Tipu!"
Raja Tipu tertawakan gertakan Yoga, "Hei, kau
tak boleh marah, Tuan Yo! Kau butuh penjelasan dan
aku butuh uang. Kita sating tukar kebutuhan itu hal
yang wajar di dunia ini."
Bocah Bodoh mencolek pinggang Yoga dan ber-
bisik, "Kasih sajalah!"
Sekali lagi Yoga lemparkan sekeping uang dan
segera ditangkap oleh Raja Tipu sambil tersenyum gi-
rang. Yoga mendesak tak sabar,
"Katakan caranya!"
"Cara menemui Iblis Mata Genit harus bisa ka-
lahkan orang kepercayaannya yang bernama si Setan
Sibuk! Kalau kau bisa kalahkan Setan Sibuk, maka Ib-
lis Mata Genit akan muncul dan menanyakan keperke situ.
Dua orang penjaga pintu gerbang perguruan
yang masih tertutup itu segera saling merapatkan diri
menghadang langkah pendekar tampan bertangan
buntung itu. Wajah mereka tampak dingin dalam me-
natap Yoga dan Bocah Bodoh. Sementara itu, Yoga
sendiri pamerkan senyum ramahnya kepada mereka,
namun tak dapatkan balasan sedikit pun.
"Siapa kau, dan mau apa datang kemari?!" te-
gur salah seorang penjaga yang bersenjatakan tombak
itu.
"Aku Yoga, dan ini temanku; Bocah Bodoh! Aku
datang kemari mau bertemu dengan Setan Sibuk!"
"Ada perlu apa?" tanya yang satunya lagi.
"Ada sesuatu yang perlu kubicarakan dengan-
nya," jawab Yoga dengan tetap waspada. Bocah Bodoh
pelan-pelan jauhkan diri.
Salah seorang penjaga berkata, "Kami sedang
mengadakan pertemuan penting sesama anggota. Ti-
dak seorang pun tamu boleh mengganggu pertemuan
itu! Silakan datang lagi besok!"
"Aku harus bertemu Setan Sibuk sekarang ju-
ga!"
"Jangan mendesak kami kalau kau tidak ingin
mampus!"
"Aku akan mendesaknya terus!"
"Keparat! Heaaah...!"
Kedua pengawal itu sama-sama hujamkan
tombaknya ke perut Pendekar Rajawali Merah. Namun
seperti seekor Burung Rajawali yang gagah perkasa,
Yoga melompat tinggi-tinggi, lalu dengan cepat ia sen-
takkan kedua kakinya yang ada di pertengahan kedua
penjaga tersebut. Dua kaki menyentak bersama ke ka-
nan-kiri. Praakkk..! Kepala mereka menjadi sasaran te-
lak. Tendangan kaki itu mempunyai tenaga dalam
yang cukup kuat, sehingga kedua penjaga itu tumbang
bersama.
Kedua penjaga itu sama-sama seperti mimpi
mendapat serangan secepat itu. Gerakan Yoga tak bisa
dilihat dengan mata telanjang. Mereka rasakan kepa-
lanya seperti dihantam dengan sebatang pohon kelapa.
Keduanya sama-sama mencucurkan darah dari hidung
dan telinga. Dan sama-sama memar sekujur tubuhnya.
"Hanya satu jurus saja aku dibuatnya sesakit
ini, apalagi dia gunakan dua-tiga jurus. Bisa mati
aku," pikir salah seorang. Ia bergegas bangkit sambil
menggeliat. Darah yang keluar dart hidung diusap
dengan kain lengan bajunya. Matanya memandang Yo-
ga, seakan mengakui kehebatan jurus dan ilmu-
ilmunya.
"Baiklah. Tunggu di sini, kami akan memanggil
beliau!" kata penjaga yang sudah bangkit lebih dulu.
Kemudian ia segera masuk dan Yoga segera hampiri
Bocah Bodoh yang menjauh dalam ketakutan. Bocah
Bodoh berdiri di bawah pohon, siap-siap untuk melari-
kan diri jika bahaya mengancam dirinya.
"Mereka bukan tengkorak. Kau tak perlu takut.
Kau punya ilmu silat cukup tinggi menurutku. Pasti
Ibumu yang mengajarkan."
'Tapi Ibu berpesan, saya hanya boleh gunakan
ilmu itu jika dalam keadaan terpepet sekali, Tuan. Ibu
juga berpesan, kalau bisa hindari bentrokan dengan
seseorang."
"Ibumu benar. Tapi jika punya tujuan balk,
namun dianggap jelek dan kita diserang tanpa salah,
kita wajib membela diri dengan pergunakan ilmu yang
kita miliki! Ayo, ke sana. Jangan takut!"
"Terima kasih, Tuan. Biarkan saya di sini saja."
Penjaga yang tadi masuk itu sekarang keluar
lagi dan berseru,
"Ketua bersedia menemuimu! Silakan masuk."
'Terima kasih!" jawab Yoga, lalu menarik tangan
Bocah Bodoh dan membawanya masuk. Bocah Bodoh
melirik dua pengawal yang tadi dirobohkan oleh Yoga.
Pengawal itu melotot galak, Bocah Bodoh cepat-cepat
tundukkan kepala dengan takut.
Seorang lelaki tua, berusia sekitar tujuh puluh
tahun, berkepala gundul, berpakaian seperti biksu
dengan kain warna merah, jenggot panjang putih, dan
kumis panjang ke bawah warna putih pula, kini se-
dang berdiri dengan dipagari oleh beberapa anak
buahnya. Ia berdiri di jalanan yang lurus dengan pintu
gerbang. Rupanya ia sudah siapkan orang-orangnya
untuk mengepung Yoga jika Yoga datang dan bermak-
sud memusuhinya.
Orang berjenggot putih itulah yang bernama
Setan Sibuk. Sedangkan orang di sampingnya yang
berbadan kurus mengenakan pakaian coklat tua, agak
pendek, rambut lurus pendek dan menyelipkan golok
di pinggangnya itu bernama Rangkasok, pendamping
setia Setan Sibuk.
Yoga melangkah melewati barisan orang-orang
Tengkorak Emas yang masing-masing telah siap den-
gan senjatanya. Mereka berdiri di kanan-kiri jalan dan
membuat Bocah Bodoh semakin berdebar-debar keta-
kutan. Bocah Bodoh tak berani tatap wajah mereka
terlalu lama, karena wajah-wajah itu sungguh menye-
ramkan bagi Bocah Bodoh. Apalagi jika ia mendengar
gemerincing senjata digerakkan, hatinya seperti diiris
oleh pisau tajam. Bulu kuduknya merinding semua.
Di depan Setan Sibuk, Yoga berhenti dan me-
nampakkan sikap tegak, tegas, dan tegar. Sekalipun ia
hanya mempunyai tangan kanan, namun penampilan-
nya tidak kelihatan loyo dan lesu. Justru mereka meni-
lai Yoga tampak lebih berwibawa daripada Rangkasok
sendiri.
Setan Sibuk menjulurkan tangannya ke depan
dengan telapak tangan terbuka tegak. Rangkasok yang
berkumis tipis itu berkata,
"Berhenti sampai di situ!"
Langkah Yoga pun terhenti dalam jarak lima
tindak dari Setan Sibuk. Kemudian Setan Sibuk ge-
rakkan tangannya ke samping kanan-kiri, dan memu-
tar-mutar di bawah, menunjuk tanah dan membuka
tangan, lalu berhenti sampai di situ.
Rangkasok perdengarkan suaranya, "Apa tu-
juanmu menemui aku di sini! Sebab aku merasa tak
pernah melihat kamu!"
Rupanya Rangkasok bertindak sebagai pener-
jemah bahasa gerak yang dilakukan oleh Setan Sibuk.
Maka Yoga pun segera menjawab, "Aku ingin menan-
tangmu!" Sraang...! Terdengar bunyi pedang mereka
dicabut secara serempak begitu mendengar jawaban
Yoga. Suara tersebut mengagetkan Bocah Bodoh, dan
membuat Bocah Bodoh gemetar sekujur tubuhnya.
Sedangkan Setan Sibuk hanya memandang Yoga den-
gan mata sedikit menyipit, penuh keheranan dan curi-
ga. Rangkasok yang berada di samping kanan Setan
Sibuk itu juga memandang dengan dingin dan siap-
siap pegangi gagang goloknya. Sewaktu-waktu siap ca-
but.
Setan Sibuk kembali gerakkan tangannya ke
atas, ke samping, meliuk-liukkan pinggangnya sambil
tolak pinggang, lalu jemarinya bergerak-gerak ke depan
hidung, menggaruk pipi tiga kali, dan membuka tela-
pak tangannya seperti tadi, Rangkasok baru menerje-
mahkan bahasa gerak itu,
"Kalau kau ingin menantangku, berarti kau
membuang nyawa secara sia-sia. Tapi aku tak mau
melayani tantanganmu, kalau kau tidak sebutkan alasanmu menantangku."
Yoga berkata, "Aku harus kalahkan dirimu su-
paya aku bisa bertemu dengan ketuamu!"
Setan Sibuk menepak kepala, lalu menuding ke
tanah. Rangkasok menerjemahkan,
"Akulah ketua perguruan di sini!"
Yoga berkerut dahi agak curiga. Ia memandang
Bocah Bodoh yang di sebelah kirinya. Bocah Bodoh
memandang Yoga namun segera menundukkan wajah,
seakan tak mau ikut campur urusan tersebut.
Pendekar Rajawali Merah segera berkata, "Bu-
kankah ketua perguruan ini adalah Iblis Mata Genit?!"
Setan Sibuk kerutkan dahi dan telapak tan-
gannya dikibas-kibaskan di depan wajah, lalu Rangka-
sok menerjemahkan,
"Selamat tinggal...."
Tiba-tiba Rangkasok ditampar wajahnya oleh
Setan Sibuk. Plokk...!
"Oh, bukan. Salah. Maksudnya... maksud-
nya...," Rangkasok melihat Setan Sibuk, lalu orang be-
rusia sekitar tujuh puluh tahun itu segera menepak
kepalanya sendiri dan menuding tanah, lalu melam-
baikan tangannya dengan mengguncang-guncangkan
ke kanan-kiri.
"Maksudnya... ketua perguruan di sini bukan
Iblis Mata Genit, melainkan aku sendiri!"
"Kau tak bisa kelabui aku, Setan Sibuk!"
Setan Sibuk angkat bahu, lalu garuk-garuk ke-
pala. Rangkasok menerjemahkan,
'Terserah kamu. Yang jelas, jangan menggali
kemarahan di kepalaku!"
Plookkk...! Rangkasok ditampar lagi. Setan Si-
buk membentak, "Kepalaku sedang gatal, tolol!"
"Ooo... maaf!"
Yoga tersenyum, ingin lebih panjang lagi se
nyumannya, namun segera ditahan. Ia berkata kepada
Setan Sibuk,
'Ternyata kau bukan orang bisu, Setan Sibuk.
Bicaralah padaku dan layanilah tantanganku. Aku
akan mengalahkan kamu."
Setan Sibuk menari-narikan jemarinya di depan
wajah, lalu pegang pundak kanan-kiri, membungkuk
satu kali, menepak pinggang belakang, menggerak-
gerakkan ketiaknya seperti bebek berenang, menepuk
pipinya sendiri dan menarik-narik bibirnya tiga kali,
kemudian menggerakkan tangannya ke depan, setelah
itu membuka telapak tangannya lagi. Rangkasok sege-
ra menjelaskan,
"Aku tak akan bicara dengan orang yang bukan
muridku dan orang yang ilmunya lebih rendah dariku.
Kalau kau bisa mengalahkan aku, akan kugendong
kau keliling. bukit ini."'
Plokkk...! Tamparan itu menandakan Rangka-
sok salah arti. Lalu, ia cepat membetulkan ucapannya,
"Maksudnya, kalau kau bisa kalahkan aku, aku akan
hormat padamu!"
"Aku tak perlu hormat, yang kuperlukan ber-
temu dengan Iblis Mata Genit!"
Setan Sibuk hantamkan pukulannya ke tan-
gannya sendiri. Lalu kakinya menghentak ke tanah ti-
ga kali, kedua ketiaknya bergerak-gerak lagi seperti
bebek berenang, menuding ke atas, menuding ke ba-
wah, pinggulnya meliuk-liuk sebentar. Brrukkk...! Se-
tan Sibuk jatuh terpelanting oleh gerakkannya yang
sibuk sendiri itu. Rangkasok segera menolong, lalu
menerjemahkan arti gerakan tersebut,
"Iblis Mata Genit justru musuh kami. Dari dulu
sampai sekarang kami masih bermusuhan. Dan aku
yakin suatu saat akan bisa membunuhnya lalu aku jatuh...."
Plokkk...!
"0, tidak pakai jatuh," sahut Rangkasok setelah
gelagapan karena wajahnya kembali ditampar.
Kata-kata itu membuat Yoga berkerut dahi dan
mulai menimbang-nimbang ucapan Raja Tipu. Firasat-
nya mengatakan, apa yang dijelaskan oleh Setan Sibuk
itu memang benar. Yoga ingin ucapkan sesuatu, na-
mun ia melihat Setan Sibuk kembali gerakkan tubuh-
nya, menuding Yoga, menepuk dada sendiri, melirik-
kan matanya, tersenyum, dan menarik-narik jenggot-
nya, akhirnya nyengir sendiri karena terlalu keras me-
narik jenggot. Setelah itu kedua telapak tangannya di-
buka. Rangkasok menerjemahkan,
"Siapa yang bilang kalau Iblis Mata Genit ketua
di perguruan Tengkorak Emas ini?"
Pendekar Rajawali Merah menjawab, "Aku da-
patkan keterangan itu dari Raja Tipu. Menurutnya, ji-
ka mau bertemu dengan Iblis Mata Genit harus menga-
lahkan Setan Sibuk lebih dulu, baru Iblis Mata Genit
akan keluar menemuiku. Padahal aku ada urusan
nyawa dengan Iblis Mata Genit."
Setan Sibuk tersenyum dan tepuk tangan satu
kali. Lalu mengetuk-ngetuk pelipis pakai jari telunjuk,
menuding Yoga, dan meliuk-liukkan kesepuluh jema-
rinya di depan wajah.
"Kau telah ditipu olehnya," kata Rangkasok
menerjemahkan. "Raja Tipu itu bekas pelayannya Iblis
Mata Genit. Aku malah ingin bantu dirimu jika ber-
maksud melawan Iblis Mata Genit."
Setan Sibuk menuding jauh dan menirukan
orang sekarat sebentar, lalu menepuk pantat, mene-
puk paha, garuk-garuk kepala lagi, dan Rangkasok
menerjemahkan,
"Kalau kau mau bertemu dengannya, temui dia
di Bukit Kematian: Di sanalah ia tinggal dalam sebuah
pondok."
Setelah merenungi firasat hatinya, Yoga berka-
ta, "Rasa-rasanya, ucapanmu itu bisa kupercaya. Aku
minta maaf, karena diperdaya oleh Raja Tipu, walau
untuk itu aku harus kehilangan uang tiga sikal."
Setan Sibuk tertawa tanpa suara. Lalu, ia men-
jentikkan jarinya hingga berbunyi; klik...! Dan Rangka-
sok berkata,
"Raja Tipu ingin balas dendam kepada kami,
tapi ia tak mampu dan memanfaatkan dirimu dengan
mengadu domba seperti itu. Padahal menurutku, kau
bisa saja langsung menuju ke arah selatan dan di sana
kau bisa temukan Bukit Kematian yang mempunyai
tanah peternakan berisi buaya. Karena Iblis Mata Ge-
nit gemar memakan daging buaya. Kau tahu, buaya itu
ganas dan galak. Kalau...."
Plok...!
"Kepanjangan!" bentak Setan Sibuk setelah me-
nampar wajah Rangkasok.
Hampir saja Yoga bertarung dan bikin masalah
terhadap orang yang tidak punya salah apa-apa den-
gannya. Hati Yoga geram dan gemas terhadap Raja Ti-
pu. Namun akhirnya ia sendiri tertawa membayangkan
kepandaian Raja Tipu mengelabuhi dirinya.
Yoga bergegas ke Bukit Kematian sesuai den-
gan petunjuk Setan Sibuk. Sementara itu, Bocah Bo-
doh memohon agar beristirahat sebentar di bawah po-
hon. Yoga bertanya, "Kenapa istirahat? Capek?"
"Kepala saya pusing melihat simpang siurnya
tangan Setan Sibuk tadi, Tuan. Lain kali kalau temui
dia jangan ajak sayalah...!"
Yoga hanya tertawa geli melihat Bocah Bodoh
bersungut-sungut.
*
* *
5
PERJALANAN menuju Bukit Kematian mema-
kan waktu sampai malam tiba. Mereka terpaksa ber-
malam di atas pohon, karena Bocah Bodoh selalu
mengeluh kecapekan. Kalau saja Yoga tidak membawa
Bocah Bodoh, maka sebelum petang tiba pun Yoga su-
dah sampai di Bukit Kematian dengan gunakan
'Langkah Bayu', yang mampu bergerak melebihi kece-
patan anak panah. Tapi karena ia membawa Bocah
Bodoh, dan Bocah Bodoh tidak bisa bergerak secepat
itu, maka Yoga, terpaksa mengimbangi kelambanan
Bocah Bodoh.
"Aku yakin kau bisa gunakan gerakan cepat!
Karena tempo hari aku pernah kehilangan jejak mu
waktu mengejar."
"Pesan Ibu, aku tak boleh gunakan gerakan itu
kecuali terpepet," jawab Bocah Bodoh. Yoga hanya
hembuskan napas sebagai tanda keluh.
Di atas pohon berdahan rapat itu, mereka men-
coba untuk merebah dan melepaskan lelah. Sebelum
tidur, Yoga sempat bertanya kepada Bocah Bodoh,
"Apakah benar Raja Tipu itu bekas pelayannya
Iblis Mata Genit?"
"Benar, Tuan."
"Kenapa tidak kau katakan padaku sewaktu
jumpa dia?"
"Saya pikir, karena dia sudah bukan pelayan
Iblis Mata Genit, maka dia sudah tidak perlu saya se-
butkan sebagai pelayan lagi, Tuan."
"Ah, kau memang payah!" keluh Yoga menahan
dongkol.
"Dia tidak lagi dipakai oleh Iblis Mata Genit, karena tak pernah mau disuruh mencuri pusaka seseo-
rang."
"Maksudmu, Pusaka Pedang Jimat Lanang?"
"Bukan. Kalau pusaka itu tak akan ada yang
bisa mencurinya."
"Mengapa kau yakin begitu?" desak Yoga.
"Karena saya dan Ibu sendiri tidak tahu persis
di mana letak pedang itu disimpan. Hanya punya bekal
pengetahuan, bahwa pedang itu ada di sekitar Prasasti
Tonggak Keramat. Di sebelah mana, kami tidak tahu
persis, Tuan. Apalagi orang lain, jelas tak akan tahu!"
"Kalau aku mau, aku bisa menemukan tempat-
nya"
"Caranya bagaimana, Tuan?"
"Menggunakan firasat ku."
"Firasat itu bentuknya seperti apa, Tuan?"
"Firasat itu kekuatan batin yang menggerakkan
hati kita, atau kadang membuat kita tak sadar dalam
melakukan sesuatu dan sesuatu itu adalah sebuah
kebenaran. Kalau manusia bisa kenali firasatnya sen-
diri, terbiasa kendalikan firasatnya, maka ia dapat me-
lihat sesuatu yang belum terjadi dan akan terjadi. Fi-
rasat itu sering pula digunakan oleh para ahli nujum,
peramal, dukun, atau seorang pertapa sakti. Setiap ha-
ri sebenarnya kita bergumul dengan bahasa firasat, ta-
pi kita sering tidak menyadari kehadirannya. Sebab
antara firasat dengan kata hati, perbedaannya sangat
tipis. Firasat dengan nafsu pribadi, juga punya perbe-
daan sangat tipis. Kadang-kadang firasat berguna un-
tuk mengendalikan nafsu pribadi yang berlebihan. Pa-
ham?"
Tak ada suara. Sepi. Yoga kembali berkata,
"Kau mengerti kata-kataku Bocah Bodoh?"
"Gggrrr...!"
"Uuh, ngorok!" gerutu Yoga kesal hatinya, sudah bicara panjang-lebar tak tahunya ditinggal tidur
Cola Colo. Tapi, lagi-lagi Yoga harus berbesar jiwa, ka-
rena ia dapat maklumi kekurangan yang ada pada Co-
la Colo. Kekurangan itu membuat orang berusia seki-
tar lima puluh tahun itu menjadi bodoh. Kebodohan
sering membuatnya celaka. Dan kebodohan itu juga
yang membuat hati Yoga dan Lili iba terhadap nasib
Cola Colo, si Bocah Bodoh.
Perjalanan menuju Bukit Kematian ternyata ti-
dak semulus dugaan Bocah Bodoh. Pada saat ia dan
Pendekar Rajawali Merah melintasi tanah lapang di
tengah hutan, tiba-tiba seberkas sinar hitam melesat
ke arah punggung Bocah Bodoh. Pada waktu itu, Bo-
cah Bodoh berjalan berdampingan dengan Yoga. Itu
berarti sinar berbahaya tersebut juga datang dari bela-
kang Yoga.
Pendekar Rajawali Merah mempunyai jurus
yang bernama 'Sandi Indera'. Ilmu itu yang membuat
Pendekar Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih
tak bisa diserang lawan dari belakang. Gerakan nalu-
rinya cepat bertindak. Seperti kala itu, sinar hitam
yang melesat itu segera dihantam oleh Yoga dengan
menyentakkan telapak tangannya yang memancarkan
sinar merah, dan sinar Itulah yang menabrak tepat ca-
haya hitam hingga terjadi ledakan cukup besar.
Duaaarrr...!
Bocah Bodoh terpental karena gelombang leda-
kan tersebut. Ia segera menjadi gugup dan lari tung-
gang-langgang mencari tempat bersembunyi. Karena
jauh dari pohon dan dekat dengan gundukan semak
ilalang, maka ia masukkan kepalanya ke semak ilalang
itu. Gruak...! Tapi kaki dan pantatnya masih terlihat
jelas dari luar semak.
Mata pemuda tampan itu segera menatap seke-
liling dengan tajam dan cepat. Lalu, ia menangkap gerakan seseorang yang melompat dari pohon ke pohon.
Dengan cepat Yoga kirimkan pukulan tangan bun-
tungnya yang keluarkan selarik sinar merah.
Zlaappp...! Blaarrr...! Pohon yang hendak dipakai me-
lompat orang Itu terhantam sinar merah, langsung pe-
cah menjadi serpihan kayu kecil-kecil. Orang tersebut
mau tak mau segera melompat keluar dari kerimbunan
pohon.
Jleeg...!
Sepi tercipta seketika. Yoga menatap orang itu
dan orang itu menatap angker pada Yoga. Pendekar
Rajawali Merah segera kenali orang tersebut yang tak
lain adalah Nyai Rajang Demit, karena ia pernah men-
dengar cerita dari Lili tentang ciri-ciri Nyai Rajang De-
mit, terutama dari jubah ungunya. .
Yoga pun segera tahu, bahwa yang diincar Nyai
Rajang Demit adalah Bocah Bodoh. Karena nenek tua
itu sudah menculik Bocah Bodoh sebagai sandera te-
busan Pedang Jimat Lanang. Pasti nenek tua itu mera-
sa dongkol melihat tawanannya kabur dan ia ingin
kembali menawan Bocah Bodoh. Karena itu, matanya
segera melirik ke arah pantat Bocah Bodoh yang ter-
sumbul keluar dari balik semak ilalang.
Nyai Rajang Demit segera kibaskan tangannya
ke depan, dan meluncurlah sinar hitam lagi ke arah
Yoga yang berjumlah lima larik. Sambil begitu, ia me-
nendang batu kecil di arahkan ke pantat Bocah Bodoh.
Buuhg...!' Pantat itu terhantam batu dan Bocah Bodoh
menjerit sambil tersentak kaget. Tubuhnya terasa ngilu
semua.
Pendekar Rajawali Merah tak sempat menolong
Bocah Bodoh karena ia sibuk hindari serangan lima la-
rik sinar hitam tersebut. Ia hanya bisa melompat bebe-
rapa kali, dan berguling di tanah satu kali. Kemudian
cepat berdiri di depan Bocah Bodoh yang meringis kesakitan sambil usap-usap pantatnya itu. Yoga kembali
menatap Nyai Rajang Demit tanpa sepatah kata pun.
Kejap berikutnya, Nyai Rajang Demit berseru,
"Serahkan bocah itu!"
Yoga membalas, "Untuk apa kau harapkan bo-
cah itu. Kurasa dia tidak tahu apa-apa tentang uru-
sanmu, Nyai Rajang Demit!"
"Hmmm...! Kau tahu namaku, berarti Bocah
Bodoh itu sudah banyak cerita tentang diriku!"
"Benar."
"Cola Colo..! Kemari kau!"
"Iiy... iya, Bibi...!" Cola Colo pun melangkah ke-
luar dari balik tubuh Yoga dengan langkahnya megol-
megol karena pantatnya sakit. Tetapi tangan Yoga se-
gera meraih pundak Bocah Bodoh dan menariknya.
"Jangan dekati dia! Kau bisa jadi umpan maka-
nan ular lagi!"
"Oh, iya...!" sentak Bocah Bodoh bagaikan baru
sadar bahaya itu. Lalu ia berkata, "Maaf, Bibi...! Saya
tidak boleh dekat-dekat Bibi nanti dimakan ular!"
"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku,
Orang asing! Itu membuatku muak, dan tak pernah bi-
sa kasih ampun lagi padamu!"
"Kurasa tak perlu! tapi kalau kau meminta am-
pun padaku, aku akan mengampunimu, Nyai!"
"Bedebah! Sekarang apa maumu ikut campur
urusanku, hah?"
"Hanya sekadar melindungi pihak yang benar!
Aku tahu kau menghendaki Bocah Bodoh untuk kau
jadikan umpan mendapatkan Pedang Jimat Lanang
itu! Dan aku tahu persis, kau bukan pewarisnya!"
'Tak peduli aku pewarisnya atau bukan, siapa
halangi aku dalam mendapatkan Pedang Jimat Lanang
itu, akan kubunuh tanpa tanggung-tanggung! Jadi,
kusarankan kau keluar dari urusanku!"
"Aku melindungi Bocah Bodoh! Jika kau ingin-
kan Pedang Jimat Lanang, carilah sendiri tanpa harus
mengorbankan dial"
"Aku sudah muak dengannya, dan ingin mem-
bunuhnya, supaya hatiku puas karena dia berani me-
larikan diri dari tempatku!"
"Kalau kau ingin bunuh dia, berarti kau harus
berhadapan dengan diriku, Nyai Rajang Demit!" kata
Yoga dengan tegas dan jelas.
Nyai Rajang Demit menjadi semakin mendidih
darahnya. Sekalipun ia sudah tidak mempunyai senja-
ta tongkat lagi, karena sudah dipecahkan oleh ibu Bo-
cah Bodoh itu, namun ia masih tetap tampak liar dan
ganas terhadap lawannya.'
"Kau memang belum pernah ku rajang dengan
jurus 'Pisau Gaib'-ku ini. Heaaah,..!" Nyai Rajang De-
mit segera menyentakkan kaki dan tubuhnya melesat
bagaikan terbang ke arah Yoga. Sementara itu, Yoga
hanya bersifat menunggu serangan datang. Nyai Ra-
jang Demit bersalto satu kali dengan kaki berkelebat
menendang Yoga. Namun oleh Yoga kaki itu hanya di-
tangkis menggunakan lengannya, lalu telapak tangan-
nya menguncup dan berkelebat mematuk tulang lutut
lawan dengan gerakan cepat.
Desss...!
"Uhg...!" terdengar suara Nyai Rajang Demit
terpekik pelan.
Bruukk....! Nyai Rajang Demit tak mampu
mendarat dengan kaki tegak, karena lutut yang terke-
na jurus 'Paruh Rajawali Liar' itu terasa remuk tulang-
tulangnya dan sakitnya bukan kepalang. Walau terasa
sakit, namun Nyai Rajang Demit masih tetap menye-
rang Pendekar Rajawali Merah dengan satu kaki berlu-
tut dan kedua tangannya menebas kaki Yoga dalam
gerakan memenggal beberapa kali.
Dengan cepat Yoga melompat, lalu kakinya
mengibas dalam satu tendangan ke arah wajah Nyai
Rajang Demit. Plokkk...! Buugh...! Kaki yang berhasil
menendang wajah itu kembali ke belakang sambil
mengarahkan tumit ke pelipis lawan.
Gerakan kaki yang dinamakan jurus 'Sepak
Ganda' itu mempunyai kekuatan tenaga dalam, se-
hingga kepala Nyai Rajang Demit bagaikan hancur ra-
sanya. Darah keluar dari telinga dan hidung perem-
puan tua itu. Yoga segera menjauh. Tangan Bocah Bo-
doh diraihnya agar jangan diam saja berada dalam ja-
rak dekat dengan Nyai Rajang Demit.
Pendekar Rajawali Merah hanya pandangi pe-
rempuan tua itu yang semakin banyak keluarkan da-
rah dari lubang hidung dan telinga. Perempuan itu
masih tetap berlutut satu kaki sambil menahan rasa
sakit di tubuhnya. Ia bagaikan sedang kumpulkan lagi
tenaganya, lalu duduk bersila dengan tangan men-
gembang dan mata memandang tajam pada Yoga.
Yoga tahu, sebuah pukulan handal akan dile-
paskan oleh perempuan jangkung itu. Maka, dengan
cepat Yoga sentakkan telapak tangannya yang miring
itu ke depan sambil ia pun berlutut satu kaki. Dari
ujung jari tangan melesat cahaya merah yang cukup
besar dan menghampar cepat, menghantam tubuh
Nyai Rajang Demit. Blarrr...!
Nyai Rajang Demit tak sempat menangkis mau-
pun menghindar. Sinar merah menyilaukan itu bagai
menelan tubuhnya lalu melemparkan kuat-kuat. Ia
melesat ke belakang dalam keadaan tetap duduk. Begi-
tu cepatnya tubuh itu terlempar, hingga sebatang po-
hon kecil patah ditabrak punggungnya, dan sebongkah
batu pun hancur diterabas punggungnya. Kejap beri-
kutnya, perempuan yang jelas sudah terluka parah itu
segera berusaha melarikan diri dengan jatuh bangun.
Pendekar Rajawali Merah biarkan perempuan
tua itu larikan diri. Ia segera memperhatikan Bocah
Bodoh, ingin katakan sesuatu namun terhenti oleh su-
ara tepukan memanjang. Yoga dan Bocah Bodoh cepat
palingkan wajah memandang ke arah tepukan yang
ada di atas pohon. Ternyata dilakukan oleh seorang
gadis cantik berwajah imut-imut. Gadis berpakaian bi-
ru muda dengan jubah tipis warna kuning itu tak lain
adalah Gadis Linglung. (Baca serial Jodoh Rajawali da-
lam episode: "Prasasti Tonggak Keramat").
"Gadis Linglung...?!" gumam Bocah Bodoh.
Tuan Yo masih ingat gadis itu?"
"Ya. Dia juga menghendaki Pusaka Pedang Ji-
mat Lanang."
Gadis Linglung segera turun dari pohon dan
hampiri Cola Colo, kemudian menyapa dengan senyum
manja,
"Hebat sekali kau punya teman, Cola Colo! Bo-
leh aku kenalan dengannya?"
"Bukankah kau telah mengenalnya dan pernah
bertemu?"
"O, ya?! Kapan?!"
"Waktu kau desak aku untuk mendapatkan pe-
dang pusaka itu?!"
Gadis Linglung berkerut dahi, berpikir beberapa
saat sambil melangkah mondar-mandir dan permain-
kan bibir dengan tangan kirinya, setelah itu ia me-
nyentak dalam keceriaan,
"O, ya! Betul! Dia pendekar tampan yang punya
kekasih galak itu! Aku ingat tentang dia! Tapi... Bocah
Bodoh, tolong tanyakan siapa namanya?! Aku lupa!"
bisik Gadis Linglung sambil melirik Yoga sesekali da-
lam senyum manjanya.
"Namanya Tuan Yoga; gelarnya Pendekar Raja-
wali Merah Delima!"
'Tidak pakai delima!" sergah Yoga.
"0, ya! Tidak pakai delima. Catat dalam otakmu,
Gadis Linglung!"
'"Ya, ya... akan ku catat ketampanannya itu!"
Gadis Linglung bersemangat, namun malu-malu ingin
mendekati Yoga. Lalu ia bertanya,
"Hendak ke mana kalian berdua, Bocah Bo-
doh?"
"Menyerang Iblis Mata Genit. Apa kau mau
ikut?"
"Kalau pendekar tampan Itu membolehkan, aku
mau Ikut!" jawab Gadis Linglung dengan malu-malu.
Yoga hanya tersenyum tipis namun menawan hati.
*
* *
6
NASIB si Tua Usil cukup menyedihkan. Di wa-
jahnya banyak luka memar akibat pukulan tangan ko-
song. Bajunya menjadi compang-camping karena robek
di sana-sini. Benda keras semacam kayu rotan berduri
telah menghantamnya lebih dari delapan puluh tiga
kali. Tentu saja bukan hanya pakaiannya yang robek-
robek, melainkan kulit tubuhnya pun mengalami robek
membilur sampai pada bagian kakinya. Sekalipun de-
mikian, Tua Usil tetap tak mau tunjukkan di mana Lili
berada, dan hal itu membuat Iblis Mata Genit sangat
jengkel.
Sekarang hatinya agak lega. Ketika petang tiba
dan ia tak sadarkan diri karena berat menahan sik-
saan, tahu-tahu ketika ia siuman, keadaannya sudah
digantung dengan terjungkir. Kedua kakinya di ikat
dengan seutas tali kuat, digantungkan pada sebatang
dahan pohon yang melengkung ke bawah.
Waktu Tua Usil sadari keadaannya, dalam hati
ia berkata, "Syukurlah mereka berhenti menyiksaku.
Lebih baik aku digantung jungkir balik begini ketim-
bang harus menerima pukulan beberapa kail. Paling
tidak, dengan digantung jungkir balik begini, aku ma-
sih bisa gunakan pernapasan sejati untuk sembuhkan
luka dan hilangkan rasa sakit. Aman sudah kalau be-
gini. Tinggal menunggu lukaku kering dan sakitku hi-
lang, lalu berusaha untuk loloskan diri!"
Kepala yang terjungkir ke bawah dengan tan-
gan berjuntai itu terayun-ayun pelan saat ditiup angin.
Tua Usil kerutkan dahi sejenak ketika ia memandang
bagian bawahnya, berkilauan cahaya rembulan pada
saat itu. Rupanya ia digantung di atas genangan air.
Entah air telaga atau air kolam, yang jelas ia rasakan
ada percikan air yang menempel di kedua lengannya.
Tua Usil tersenyum kecil dan berkata dalam hatinya,
"Andaikata tali itu putus, selamatlah aku. Ja-
tuh ku tidak di tempat yang keras, tapi ke dalam air.
Jadi sebaiknya ku ayun-ayunkan saja tubuhku biar
tali ini lama-lama putus sendiri."
Namun alangkah terkejutnya Tua Usil setelah
mengetahui air bergerak-gerak. Sesuatu yang mirip ba-
tang pohon mengambang mendekati ujung tangannya.
Benda yang mengambang itu sesekali memantulkan
cahaya rembulan. Dan tiba-tiba benda itu melonjak ke
atas, air tersibak muncrat, Tua Usil berteriak,
"Uaaawww...!" sambil angkat tubuh meleng-
kung ke atas.
Byuurrr...! Benda itu jatuh kembali ke permu-
kaan air, percikannya menyembur hingga membasahi
wajah Tua Usil yang melengkung dengan tangan tak
berani terjuntai lagi. Wajahnya menjadi tegang mana
kala ia sadari, bahwa ternyata banyak benda mengam-
bang timbul tenggelam di permukaan air tersebut. Tua
Usil segera tahu, bahwa saat itu ia ada di atas kolam
peternakan buaya.
Rupanya semakin malam semakin tiba saatnya
buaya-buaya itu merasa lapar. Melihat sesuatu yang
menggantung di atas kolam, buaya-buaya itu berusaha
untuk meraihnya dengan lonjakan-lonjakan kecil. Tapi
buat Tua Usil lonjakan itu termasuk maut besar yang
mengancam nyawanya setiap saat. Beruntung sekali
tubuhnya bisa sedikit diangkat naik dan melengkung
ke atas, sehingga tangan dan kepalanya lolos dari
sambaran mulut buaya tersebut. Kecipak ekor buaya
pun sesekali membuat jantung Tua Usil bagaikan le-
nyap dari dada karena beberapa kali hampir saja tu-
buhnya terhantam ekor buaya yang menyabet ganas
itu.
"Kalau tahu begini... lebih enak aku dipukuli
seperti tadi, daripada harus menghindari mulut buaya
dalam keadaan tak bisa banyak bergerak begini,
oooh...! Nasib, nasib...!"
Tak ada penjaga di sekitar kolam buaya itu. Ib-
lis Mata Genit juga tak kelihatan di sana. Namun ada
sebuah pondok yang mempunyai penerangan di bagian
dalamnya. Cahaya lampu minyak itu sempat membias
ke permukaan air kolam buaya.
Di dalam pondok itu, Iblis Mata Genit yang can-
tik itu sedang terlibat perbincangan dengan adiknya
yang sudah berwajah tua, yaitu Wali Kubur. Di samp-
ing Wali Kubur ada dua orang kepercayaannya yang
ikut membicarakan masalah tersebut, yaitu Gandul
dan Brata. Dua orang dari Perguruan Lereng Lawu
lainnya ada di depan pintu masuk, satu berjaga di se-
rambi, satu berjaga di bagian dalam.
Wali Kubur masih tetap berwajah murung, karena ia telah tidak mempunyai daya apa-apa. Dia me-
rasa sudah tidak pantas menjadi ketua dan guru di
Perguruan Lereng Lawu. Saat itu, kedua muridnya
yang duduk di samping kanan-kiri dapat saja mengha-
jarnya sewaktu-waktu, karena ilmunya lebih tinggi dari
sang Guru yang sudah menjadi polos tanpa ilmu sedi-
kit pun itu. Rasa marahnya kepada Pendekar Rajawali
Putih sudah terbungkus dengan rasa malu dan mind-
er.
"Kalau kau tidak bisa memaksa gadis bangsat
itu mengembalikan ilmuku, aku lebih baik mati bunuh
diri!" kata Wali Kubur kepada kakak perempuannya
yang masih tampak muda dan cantik itu.
"Bersabarlah sesaat. Jangan kau patah seman-
gat begitu, Adik Wali Kubur! Aku sedang berusaha
memaksa Tua Usil untuk tunjukkan di mana gadis itu
tinggal. Pasti dia akan katakan jika kita siksa terus se-
perti itu."
"Guru harus sabar. Mencari gadis sakti itu ti-
dak semudah mencari seekor ayam hutan," kata Gan-
dul yang ada di samping kirinya. Wali Kubur hanya
bersungut-sungut dan berkata,
"Sekarang kau berani menasihatiku, karena
kau tahu aku tak akan bisa melawanmu!"
Brata menyahut, "Bukan karena kami ingin
menggurui Guru semata-mata, tapi karena kami ingin
agar Guru tenang, supaya kami pun bisa berpikir lebih
tenang lagi dan bertindak lebih tepat lagi!"
Iblis Mata Genit segera berkata, "Adik Wali Ku-
bur, seandainya gadis itu tak bisa mengembalikan il-
mumu, apakah kau bisa merasa lebih puas jika aku
membunuhnya dan mempersembahkan kepalanya ke-
pada mu?"
Wali Kubur yang murung menarik napas dan
menjawab, "Kalau hanya membunuh dia, lantas apa
artinya aku hidup tanpa ilmu?"
Brata menimpali, "Ilmu bisa kita cari lagi,
Guru. Nanti saya dan Gandul siap melatih jurus-jurus
maut kepada Guru!"
"Kalian ini muridku, masa' aku harus berlatih
dan belajar kepada kalian? Apa kata dunia persilatan
nanti, jika seorang Guru belajar jurus-jurus maut ke-
pada murid-muridnya?! Malu aku! Malu!"
Wali Kubur seperti orang mau menangis. Ia
menundukkan kepala. Nafasnya terasa berat dihela.
Iblis Mata Genit memandangnya dengan hati iba. Ke-
mudian gadis itu segera berkata,
"Sebenarnya apa kata Gandul itu memang be-
nar. Dan apa yang dikatakan Brata baru saja itu jauh
lebih benar. Kau tak perlu patah semangat, Adik Wali
Kubur. Aku masih bisa mengajarkan ilmu-ilmuku ke-
padamu jika kau bertahan tetap hidup. Yang penting
bagaimana kita bikin perhitungan dengan gadis itu! Ki-
ta harus tunjukkan kepada gadis itu dan konco-
konconya, bahwa aliran silat kita punya harga diri
yang tidak bisa dibuat main-main. Jika gadis itu tidak
dibunuh, maka aliran kita akan di-anggap remeh oleh
para tokoh dunia persilatan. Jadi aku memutuskan,
gadis itu bisa mengembalikan ilmumu atau tidak, pada
akhirnya dia akan mati di tanganku. Dia harus dibu-
nuh!"
"Lalu bagaimana jika Tua Usil itu tidak mau
menunjukkan tempat tinggal gadis itu? Bagaimana jika
ia tetap bungkam?!"
"Masih ada satu orang lagi yang memungkin-
kan dapat kita paksa untuk menemukan gadis itu!
Orang tersebut adalah Cola Colo!"
"Bocah Bodoh...?! Apa yang dapat kita ha-
rapkan dari Bocah Bodoh yang memang berotak bodoh
itu? Belum tentu dia ingat dengan gadis itu, karena
otaknya yang sangat bodoh itu!"
"Aku yakin, dia pasti tahu dan bisa membawa
kita untuk temui gadis itu!" kata Iblis Mata Genit. "Te-
nangkan jiwamu, tenangkan hatimu. Jangan dulu da-
tang ke perguruan sebelum ilmu mu pulih kembali,
nanti kau ditertawakan oleh murid-muridmu! Tidak
semua muridmu berjiwa bijak seperti Gandul dan Bra-
ta!"
Kembali Wali Kubur tarik napas, lalu berkata
sambil memandang kanan-kiri, "Bagaimanapun juga,
kalian berdua harus tetap jaga rahasia kelemahan ku
ini. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!" jawab mereka masih tetap
hormat,
"Kalau Tua Usil itu terpaksa harus dibunuh,
biar aku yang membunuhnya! Tapi terlebih dulu, bust
dia tak berdaya dan tak bisa menyerangku!" kata Wali
Kubur yang bertambah jengkel hatinya membayangkan
kerasnya pendirian Tua Usil yang tak mau sebutkan
tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih itu.
"Atau malam Ini juga kau ingin Tua Usil menja-
di santapan buaya-buaya ku?" kata Iblis Mata Genit.
"Jika kau mau, tinggal melepas tali pengikatnya yang
ada di batang pohon, maka tubuhnya akan meluncur
diterima mulut buaya!"
"Beri kesempatan sampai besok! Siapa tahu
siksaan batinnya malam ini membuat pikirannya be-
rubah dan mau antarkan kita untuk temui gadis bang-
sat itu!" kata Wali Kubur dengan pelan, karena da-
danya terasa sesak menahan kemarahan yang tak
mampu dilampiaskan.
Suara teriakan Tua Usil masih terdengar sese-
kali bersamaan dengan gemuruh air yang dihantam
ekor-ekor buaya. Wali Kubur sedikit merasa terobati
mendengar teriakan-teriakan Tua Usil. Ia jadi punya
keinginan untuk membuat Lili diperlakukan seperti
Tua Usil, teriakan-teriakannya akan menjadi obat bagi
sakit hati Wall Kubur.
Semalaman Tua Usil disiksa oleh ketegangan
batin. Tubuhnya pun terasa lelah karena harus meng-
hindari gangguan mulut buaya. Setelah menjelang pa-
gi, ia sedikit bisa tenang. Buaya-buaya itu rupanya
yang kelelahan, karena berulangkali gagal menangkap
mangsa. Mereka tidur, dan Tua Usil pun tidur, ten-
tunya tetap dalam keadaan tergantung, kaki di atas
kepala di bawah.
Plakkk...!
Sebuah pukulan rotan berduri menghantam
kaki Tua Usil dan membuat Tua Usil terbangun dari
tidurnya. Seorang penjaga malam rupanya iseng dan
tak suka melihat Tua Usil tidur nyenyak dalam kea-
daan tergantung begitu. Penjaga yang sudah merasa
ngantuk karena matahari sudah mulai mencuat dari
sarangnya Itu, merasa mendapat kesegaran setelah
memukul dan mengagetkan Tua Usil. Ia tertawa terba-
hak-bahak. Tua Usil hanya menggerutu dengan suara
tak jelas.
Setelah penjaga itu meninggalkannya, Tua Usil
tak bisa tidur lagi. Ia jadi berpikir tentang sesuatu
yang selama ini sebenarnya bisa dilakukan tapi karena
tegangnya menghadapi siksaan dan menghindari mu-
lut buaya, ia jadi lupa tidak melakukannya. Sebenar-
nya dari semalam ia sudah bisa lolos, karena dirinya
bisa berubah menjadi kabut. Tentu saja tak ada tali
yang bisa mengikat kabut. Dengan berubah menjadi
kabut, ia bisa meloloskan diri dan berlari meninggal-
kan tempat itu tanpa diketahui oleh penjaga di depan
pintu rumah.
"Bodoh amat aku ini! Kenapa tidak berubah
menjadi kabut sejak semalam? Kenapa baru kutemu
kan gagasan itu sekarang ini?" pikirnya dengan ber-
sungut-sungut.
Gagasan itu tiba dengan sia-sia. Terlambat. Ka-
rena ketika Tua Usil temukan gagasan itu, iblis Mata
Genit sedang berjalan menuju tempatnya. Tetapi Tua
Usil nekat lakukan perubahan itu dengan gunakan il-
mu 'Halimun'-nya. Tubuhnya berasap, makin lama
makin tebal, membentuk gumpalan kabut yang menge-
jutkan Iblis Mata Genit.
"Edan! Rupanya la bisa berubah menjadi ka-
but?!" pikir Iblis Mata Genit. Ia segera mencabut pe-
dangnya, tapi sosok tubuh Tua Usil sudah seluruhnya
berubah menjadi gumpalan asap. Tak akan bisa dite-
bas memakai pedang tersebut.
Pada waktu Itu, Gandul muncul pula dari da-
lam rumah, dan melihat kejadian tersebut ia langsung
berseru,
"Bibi Guru...! Dia berubah menjadi kabut!"
Iblis Mata Genit tak kalah akal. Bukan pedang-
nya yang digunakan, melainkan sarung pedangnya
yang segera dicabut dari pinggang. Lalu, dengan men-
geraskan urat-urat tangannya, menahan nafasnya dan
menghentakkan kaki ke tanah satu kali, uap kabut itu
disedot memakai sarung pedang tersebut. Lubang sa-
rung pedang itu bagai mempunyai tenaga penghisap
yang cukup kuat, sehingga ketika disodorkan ke de-
pan, uap kabut tersebut tertarik masuk ke dalam ga-
gang pedang. Zzzzuuutttt..!!
Zleeb...! Kabut tersedot habis, masuk ke dalam
gagang pedang. Iblis Mata Genit segera tancapkan pe-
dangnya ke tanah, tangannya digunakan menutup lu-
bang sarung pedang tersebut. Teebbb...!
"Mampus kau! Mau lari ke mana kau, hah?!"
geram Iblis Mata Genit. Lalu, ia menatap Gandul yang
sedang tercengang memperhatikan apa yang dilaku
kannya. Ia segera berseru keluarkan perintah,
"Ambil kendi di dapur! Kita penjarakan dia ke
dalam kendi saja!"
Gandul berlari dengan sedikit panik. Lalu, sege-
ra datang lag! dengan membawa kendi. Tempat air mi-
num itu disumpal gulungan rumput pada bagian lu-
bang tempat keluarnya air. Kemudian, Iblis Mata Genit
dekatkan mulut sarung pedang ke mulut kendi yang
ada di atas. Dengan gerakan tangan seakan menekan
sarung pedang, uap kabut jelmaan Tua Usil itu ter-
sembur masuk ke dalam lubang mulut kendi. Terden-
gar suara Tua Usil yang merintih sedih,
"Ampuuun...! Ampuuun...!" semakin masuk ke
dalam kendi, semakin aneh suaranya, "Amplluup…!
Apbbbeb...! Appbleeebbb...!"
Rupanya Gandul lupa membuang air dalam
kendi tersebut, sehingga Tua Usil seperti orang tengge-
lam dalam genangan air. Terdengar pula suara air
kendi menjadi berkecipak dan bergelembung-
gelembung. "Bluub... bluub... buluub... bluub...!" Iblis
Mata Genit tertawa mengikik panjang. "Hik hik hik...!
Matilah kau, Tua Usil! Kau pikir dengan bisa berubah
wujud mu menjadi kabut, kau bisa kalahkan Iblis Ma-
ta Genit Ini, hah?! Tak mungkin, Tua Usil! Tak mung-
kin kau bisa kalahkan aku! Dan kau akan ku penjara
di dalam kendi ini, sebelum kudengar kau bersedia
menunjukkan tempat tinggal Pendekar Rajawali Putih,
kau tak akan kulepaskan dad kendi ini! Hik hik hik...!"
Mulut kendi itu segera ditutup. dengan gulun-
gan rumput padat. Disumpal kuat-kuat, sehingga tidak
mempunyai celah untuk meresap kabut tersebut. Ken-
di itu segera disimpan kembali ke dapur oleh Gandul.
Sementara itu, Gandul harus segera kembali menemui
Iblis Mata Genit untuk menangkap seekor buaya yang
akan mereka potong. Seperti apa kata Setan Sibuk kepada Yoga, bahwa Iblis Mata Genit menyukai makanan
berupa daging buaya. Itulah sebabnya dl samping
pondoknya yang terletak dl Bukit Kematian itu, terda-
pat kolam lebar sebagai tempat peternakan buaya.
Di luar dugaan mereka berdua, Wali Kubur
yang baru saja bangun dari tidurnya, akibat menden-
gar suara gaduh orang menangkap buaya, segera pergi
ke dapur untuk mengambil air minum. Ia kehausan
sebab selama tidurnya ia mengorok, dan kerongkon-
gannya menjadi kering.
Wali Kubur sedikit merasa heran melihat kendi-
tempat air minum itu tersumbat gulungan rumput.
Tapi karena rasa haus yang sudah terlalu mengering-
kan tenggorokannya itu, Wali Kubur tak mau tahu lagi
tentang penyumbat lubang kendi itu. Maka, rumput
penyumbat pun dicabutnya, dan ia menenggak air
kendi secara terburu-buru.
Wali Kubur tak terlalu menghiraukan melihat
air kendi yang terkucur keluar ke mulutnya itu ber-
campur dengan uap. Ia pikir uap dingin akibat air
kendi nyaris mengalami pembekuan. Tapi uap itu se-
makin banyak tertampung di mulutnya dan akhirnya
berubah menjadi kaki orang.
Tua Usil bebas dari dalam kendi, langsung ka-
kinya menjejak mulut Wali Kubur sekuat-kuatnya, se-
puas-puasnya. Prookkk...!
"Ouh...!"
Brakkk...! Wali Kubur jatuh dengan mulut han-
cur, giginya rontok semua di bagian depan. Tua Usil
memang sengaja kerahkan semua tenaganya ke tela-
pak kaki pada waktu menjejak mulut itu. Akibatnya,
mulut itu seperti dihantam memakai besi sebesar ke-
lapa hijau. Wali Kubur sempat gelagapan sekejap dan
segera meraung-raung tak jelas. Sedangkan Tua Usil
cepat larikan diri melalui pintu dapur.
"Aooh... aooh...! Aoohhh...!" Wali Kubur keluar
dari kamar dan menemui kakak perempuannya.
Iblis Mata Genit dan Gandul tercengang kaget
melihat mulut Wali Kubur berlumuran darah. Iblis Ma-
ta Genit cepat tinggalkan pekerjaan yang sedang dila-
kukan, demikian pula Gandul. Mereka berdua segera
hampiri Wali Kubur yang tangannya menuding-nuding
ke arah hutan ke belakang pondok tersebut.
"Guru...! Apa yang terjadi?!" pekik Gandul wak-
tu itu.
Wali Kubur hanya bisa berkata, "Aoooh...
aoooh...!"
"Keparat!" geram Iblis Mata Genit. "Siapa yang
telah membuat bibirmu pecah begitu dan gigimu ron-
tok semua, Adik Wali Kubur?!"
"Aoh, aoh, aoh, aaaaooohh...!" Wali Kubur men-
jelaskan dengan dibantu bahasa gerak. Maka, kedua
orang Itu segera mengetahui maksud Wali Kubur, se-
hingga Gandul berkata kepada Iblis Mata Genit,
"Guru minum air dalam kendi! Yang keluar si
Tua Usil itu!"
Iblis Mata Genit naik pitam dan membentak
Wali Kubur, "Sekarang di mana si Tua Usil itu?!"
"Aooh... aaooh...!" sahutnya sambil menuding
hutan belakang pondok.
"Iya. Jauh ya jauh, tapi larinya ke mana kok
kamu bisa bilang jauh?!" sentak Iblis Mata Genit lagi.
Akhirnya Wali Kubur menarik tangan Iblis Mata Genit,
membawanya bergegas ke belakang rumah, lalu me-
nuding hutan belakang rumah itu,
"Oooh... aoooh...!"
"Jahanam!" geram Iblis Mata Genit. "Gandul,
bangunkan Brata! Kita kejar si Tua Usil itu! Pancung
kepalanya di tempat!"
Tua Usil lari tunggang-langgang. Sedikit pun
tak berani menengok ke belakang. Sebentar pun tak
mau berhenti. Rasa takut dan panik membuatnya lari
tanpa arah yang pasti. Baginya, yang penting ia harus
cepat-cepat menjauhi peternakan buaya itu entah ke
arah mana saja. Jika perlu masuk ke dalam sebuah
sumur demi selamatkan diri dari kejaran Iblis Mata
Genit.
"Sial! Sejak tadi tak kulihat ada sumur?!" geru-
tunya sambil terus berlari, sedangkan Iblis Mata Genit
pun terus mengejar dengan langkah lebih cepat dua
kali lipat dibandingkan kecepatan lari Tua Usil. Maka
tak heran jika sekali Tua Usil menengok ke belakang,
ia sudah melihat gerakan lari dari orang berpakaian hi-
jau. Siapa lagi orang berpakaian hijau muda itu jika
bukan Iblis Mata Genit.
Karena takutnya, Tua Usil berlari sambil berte-
riak-teriak dengan harapan ada orang baik yang mau
menolongnya..
'Tolooong… ! Toloodng...! Tooo .. tooo... to-
loooong...!"
Tak jauh dari tempat itu, Pendekar Rajawali
Merah sedang susuri jalan setapak menuju Bukit Ke-
matian. Ia masih didampingi oleh Bocah Bodoh. Ketika
mereka mendengar suara teriakan minta tolong, kedu-
anya sama-sama hentikan langkahnya. Mereka saling
tatap sebentar, saling menyimak suara samar-samar
itu. Kemudian, Yoga berkata pelan bagai bicara pada
dirinya sendiri,
"Sepertinya itu jenis suara Tua Usil?!"
"Arahnya di utara, Tuan Yo!" timpal Bocah Bo-
doh.
"Bukan. Arahnya di selatan! Karena di utara
ada bukit, jadi suaranya memantul seperti datang dari
utara!"
"Tapi di sebelah selatan juga ada bukit, Tuan
Yo!"
Yoga memandang ke utara dan selatan, kedua
arah itu memang mempunyai bukit walau tak seberapa
tinggi. Akhirnya, Yoga berkata,
"Baiklah, kita berpencar! Aku ke selatan dan
kau ke utara!"
Bocah Bodoh cemas, lalu berkata, "Sebaiknya
saya percaya saja dengan ilmu firasat Tuan Yo. Saya
ikut ke selatan saja, Tuan!"
Bocah Bodoh berpikir, "Daripada aku lari sendi-
rian, belum tentu aku bisa menolong orang tersebut.
Padahal tempat ini tak seberapa jauh lagi dari Bukit
Kematian, Salah-salah aku bisa kepergok Iblis Mata
Genit, nyawaku bisa melayang tanpa sungkan-
sungkan lagi. Lebih baik aku ikut ke mana saja Tuan
Yo pergi!"
*
* *
7
PELARIAN Tua Usil merupakan pelarian yang
ulet. Itu karena ia tak mau disiksa di atas peternakan
buaya lagi. Ia benar-benar jera mengalami siksaan se-
perti itu. Karenanya, ia berlari dengan arah berbelok-
belok memusingkan pengejarnya.
Tanpa disadari ia sudah tiba di sebuah lembah
yang ditumbuhi banyak bebatuan dengan jenis tum-
buhan pohon yang terhitung jarang. Suara teriakannya
sesekali masih terdengar dan menjadi petunjuk bagi
Yoga untuk mengikutinya.
Lembah yang banyak terdapat gugusan batu itu
tak lain adalah Lembah Maut. Tua Usil terhenti seketika setelah ia sadar dirinya ada di mana. Mata Tua Usil
pun cepat memandang batu tonggak setinggi perut
yang dikenal dengan nama Prasasti Tonggak Keramat.
Tua Usil tercengang sejenak, lalu segera sadar bahwa
dirinya terancam kejaran Iblis Mata Genit. Maka, den-
gan sedikit panik ia mencari batu yang bisa dipakai
untuk bersembunyi.
Ketika Iblis Mata Genit tiba di Lembah Maut,
Tua Usil sudah tidak terlihat dari pandangan matanya.
Sorot pandangan mata penuh kemarahan itu segera
menyusuri beberapa tempat di sekelilingnya sambil ia
berseru,
"Tua Usil...! Aku tahu kau bersembunyi di sini!
Keluarlah sekarang juga sebelum murka ku memun-
cak! Keluar kau, Tua Usil...!"
Sebongkah batu dihantam dengan kekuatan
tenaga dalam yang melesat dari punggung tangan.
Zlaappp...! Sinar kelabu menghantam sebongkah batu
dan batu itu pecah seketika. Duaarrr....! Tua Usil tak
ada di balik batu itu. Mata gadis bertubuh sekal itu
memandangi bukit di atasnya. Lereng dinding bukit,
batu-batu besar, pohon, semua di susuri, namun tetap
tidak terlihat bayangan mencurigakan yang patut di-
hampiri. Dinding tebing diperhatikan, dipandangi ce-
lah-celahnya, tapi tetap tidak terlihat tanda-tanda
orang bersembunyi. Iblis Mata Genit bertambah panas
hatinya. Maka, beberapa batu yang ada di situ diha-
jarnya dengan pukulan jurus-jurus maut. Batu-batu
itu saling berhamburan, suara ledakan menghentak
menggema bagaikan tiada hentinya.
Tua Usil bersembunyi tepat di balik batu pra-
sasti. Tubuhnya menggigil karena melihat pecahan ba-
tu berhamburan bersama bunyi ledakan yang setiap
kali membuat jantungnya bagai tersentak copot. Se-
bongkah batu dari pecahan tersebut melesat jatuh di
kakinya. Tuusss...! Jari kelingking kaki terhantam ba-
tu itu. Sakitnya bukan main. Tapi Tua Usil hanya di-
am, menggigit bajunya kuat-kuat agar mulutnya tidak
terpekik kesakitan. Ia jongkok di situ, memperhatikan
kelingking kaki kirinya berdarah. Ia memandang den-
gan sedih, karena tak bisa lepaskan perasaan sakit-
nya. Matanya pun terpejam kuat ketika luka itu terasa
nyut-nyutan sampai di ubun-ubun.
Ketika nyut-nyutan sedikit berkurang, Tua Usil
segera buka matanya. Dan ia terkejut bukan kepalang
tanggung. Tubuhnya sempat hampir terlonjak kuat,
namun kepalanya buru-buru terbentur batu yang me-
naunginya, sehingga ia menjadi jongkok kembali sam-
bil menyeringai. Karena pada saat ia membuka mata,
tahu-tahu seraut wajah sudah ada di depannya ikut
jongkok pula. Seraut wajah itu milik Bocah Bodoh,
yang segera nyengir geli waktu Tua Usil buka matanya.
"Kampret! Bikin jantungku putus saja kau!" ge-
ramnya dalam bisik, tangannya mengepal ingin meng-
hantam wajah cengar-cengir itu.
"Ssstt...! Jangan keras-keras bicaramu nanti
didengar Iblis Mata Genit!" bisik Bocah Bodoh.
"Dengan siapa kau kemari?!" bisik Tua Usil
sambil masih sesekali menyeringai sakit dan mengu-
sap-usap kepalanya yang terbentur batu.
"Aku datang menolong mu!"
"Yang kutanya, dengan siapa kau kemari?!" ge-
ram Tua Usil dengan wajah jengkel.
"Sssstt...! Jangan keras-keras, nanti Iblis Mata
Genit mengetahui ada orang di sini! Aku datang ber-
sama Tuan Yo."
“Tuan Yo...?!" Tua Usil mulai berseri. "Sekarang
dl mana Tuan Yo?"
"Sedang berhadapan dengan iblis Mata Genit!"
Tua Usil bersungut-sungut, "Kalau begitu ngomong keras juga tak jadi soal! Perempuan itu toh su-
dah melihat Tuan Yo, berarti dia tahu kalau di sini ada
orang!"
"O, begitu ya..?!"
"Huhh...!" tangan Tua Usil mendorong kepala
Bocah Bodoh, kepala itu tersentak ke belakang dan
Bocah Bodoh jatuh terduduk dari jongkoknya. Kemu-
dian, tua Usil beranikan diri keluar dari persembu-
nyian dan melihat Pendekar Rajawali Merah sedang
berhadapan dengan Iblis Mata Genit.
Kedua tokoh berilmu tinggi itu masih sama-
sama saling bungkamkan mulut. Tapi mata mereka
sama-sama saling tatap lekat-lekat. Jarak mereka seki-
tar tiga tombak. Masing-masing berdiri tegak dengan
sikap siap tempur.
"Edan bocah tampan ini!" pikir Iblis Mata Genit.
"Kekuatan apa yang dimilikinya, sehingga hatiku ber-
getar bagai terpikat olehnya?"
Sementara itu, di dalam hati Yoga pun berkata.
"Kurasa dia punya kekuatan yang mampu melumpuh-
kan hati lelaki. Tapi aku tak akan goyah oleh kekuatan
itu. Aku harus bisa kalahkan dengan kekuatan batin
ku!"
Iblis Mata Genit segera kerlingkan mata kirinya.
Claappp...! Yoga tersentak mundur satu tindak, namun
tetap berdiri. Dalam hatinya terucap kata batin,
"Gila! Dia hantam aku dengan kerlingan ma-
tanya?! Cukup kuat juga hantaman itu, hampir aku
terpental kalau tak sigap diri!"
Sedangkan di hati Iblis Mata Genit berkata,
"Dia cukup tangguh! Biasanya lawan yang terkena pu-
kulan 'Surya Pendar' akan terjungkal ke belakang dan
muntah darah, tapi pemuda tampan ini masih tegak
dan tidak rasakan pukulan itu sama sekali. Akan ku
coba menggunakan jurus pukulan 'Soca Palebur'!"
Iblis Mata Genit berwajah tak segarang tadi. Ki-
ni ia kerlingkan mata kanannya dengan gerak satu ke-
dipan diiringi senyum tipis. Claappp...! Wuuuhg...!
Iblis Mata Genit mundur satu tindak, Yoga pun
mundur satu tindak. Keduanya bagaikan sama-sama
terdorong ke belakang dalam sentakan kuat yang ter-
tahan. Iblis Mata Genit segera membatin,
"Luar biasa! Pukulan 'Soca Palebur' biasanya
bikin hancur lawan. Setidaknya dada lawanku bisa je-
bol dengan kedipan mata kanan. Tapi bocah tampan
ini sungguh kuat lapisan tenaga dalamnya. Pukulan
'Soca Palebur' hampir membalik mengenai diriku sen-
diri. Ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku meng-
hadapi musuh setangguh ini."
Di dalam hati Pendekar Rajawali Merah yang
masih tetap membungkam mulut itu juga berkata,
"Kedipkan mata kanannya lebih berbahaya.
Dadaku sempat terasa panas, dan sekujur tubuh bagai
semutan. Agaknya dia gunakan jurus yang lebih tinggi
lagi dari yang tadi. Mungkin kali ini dia akan gunakan
yang lebih tinggi juga dari yang terakhir. Aku harus
siap menghadapinya!"
Dugaan Yoga memang benar. Dalam tatapan
matanya yang sebenarnya berbentuk indah itu, pe-
rempuan cantik berkulit kuning langsat itu menge-
dipkan kedua mata dua kali. Clap, clap...!
Bluubb...! Ada sepercik sinar api yang keluar
dari tubuh Yoga. Percikan sinar api itu hanya menyala
sekejap. Seolah-olah ada kekuatan api yang memantul
balik setelah menghantam tubuh Yoga, dan kekuatan
api itu segera padam. Hitam tak berbekas, tak berasap.
Pada saat itu, Yoga masih tampakkan diri dalam kete-
garan dan ketegapannya. Ia hanya sunggingkan se-
nyum tipis yang membuat Iblis Mata Genit segera
membatin,
"Tak salah lagi. Dia memang tangguh luar bi-
asa. Pukulan 'Sinar Kesumat' tak bisa membakar di-
rinya. Padahal biasanya, siapa pun yang terkena puku-
lan 'Sinar Kesumat' dari kedipan dua mataku tadi, dia
akan hangus terbakar dan apinya sulit dipadamkan;
Tapi bocah bagus ini, sungguh mengagumkan hatiku.
Semestinya pria seperti dialah yang layak menjadi su-
amiku. Biar buntung tangan kirinya, tapi tinggi il-
munya. Pasti dia bisa menandingi ku baik di pertarun-
gan luar rumah maupun pertarungan di dalam rumah.
Hmmm. Tapi mengapa dia memihak Tua Usil? Ada hu-
bungan apa dengan Tua Usil, dan siapa dia sebenar-
nya?"
Iblis Mata Genit mengendurkan ketegangan ba-
tinnya. Ia melangkah maju tiga tindak sambil masih
memandangi Yoga. Sementara itu, Yoga sendiri masih
belum bergeser dari tempatnya, seakan menunggu
pamer ilmu selanjutnya dari perempuan berpakaian hi-
jau muda itu.
Di belakang sana, di balik batu prasasti, Tua
Usil dan Bocah Bodoh memperhatikan Yoga dan Iblis
Mata Genit dengan perasaan heran. Bahkan Cola Colo
sempat berbisik kepada Tua Usil,
"Apakah mereka sudah saling kenal? Kok sejak
tadi hanya pandang-pandangan saja? Kapan berta-
rungnya?"
"Diam saja kau! Lihat saja apa yang terjadi se-
lanjutnya!"
Pendekar Rajawali Merah menarik napas da-
lam-dalam ketika Iblis Mata Genit bertolak pinggang di
depannya dengan menyangkutkan kedua jempol tan-
gan pada ikat pinggang di depan perutnya. Sikap pe-
rempuan Itu semakin kelihatan menantang dan mere-
mehkan. Maka, napas yang sudah tertahan itu dihem-
paskan keluar oleh Yoga melalui hidungnya.
Wuuttt...!
Blaabbb...! Seberkas sinar berkerilap di perten-
gahan jarak. Tubuh Iblis Mata Genit tersentak mundur
dan terhuyung-huyung empat langkah jauhnya. Ham-
pir saja ia jatuh karena merasakan ada kekuatan yang
begitu besar menghantamnya. Kekuatan itu datang da-
ri hembusan napas Pendekar Rajawali Merah. Jika ti-
dak segera ditahan dengan gerakkan memadatkan na-
pas secara seketika, pasti tubuh Iblis Mata Genit akan
terpental melayang jauh ke belakang.
Iblis Mata Genit tak menduga Yoga akan mem-
balas menyerangnya dengan suatu ketenangan yang
membahayakan jiwa lawan. Pendekar Rajawali Merah
menggunakan jurus yang jarang dipakai jika lawannya
tidak benar-benar berilmu tinggi. Jurus itu adalah ju-
rus 'Badal Petir'. Jika bukan Iblis Mata Genit, orang itu
akan terpental sangat jauh, dan hancur berkeping-
keping di tempat ia jatuh.
Jurus 'Badai Petir' digunakan bagi lawan yang
berilmu tinggi, sebab yang menerbangkan tubuh lawan
dan yang menghancurkan adalah kekuatan tinggi yang
dimiliki oleh lawan tersebut, Jika lawan tidak punya
ilmu tinggi, maka jurus 'Badai Petir' justru membuat
lawan selamat tak bergeming sedikit pun. Itulah se-
babnya Yoga dapat mengukur kekuatan Iblis Mata Ge-
nit, ternyata tidak melebihi ketinggian ilmunya sendiri.
Ilmu perempuan itu masih di bawah ilmu Pendekar
Rajawali Merah. Jika ilmu perempuan itu lebih tinggi,
maka perempuan itu justru akan terlempar jauh dan
pecah di tempatnya jatuh.
Tetapi jurus yang sempat membuat Iblis Mata
Genit tersentak mundur empat langkah itu, telah
membuat hatinya berkata memuji Yoga,
"Gila! Dia gunakan hembusan napas seringan
itu namun bisa membuat tubuhku hampir saja ter
bang jauh. Sekujur tubuhku sekarang menjadi hangat
dan kulitku sedikit perih. Kurang ajar betul dia! Diam-
diam nakal juga bocah tampan ini?!"
Lalu, Iblis Mata Genit segera sunggingkan se-
nyum sedikit lebar, berkesan menyepelekan lawannya.
Ia melangkah lagi dengan lagak acuh tak acuh, kemba-
li ke tempatnya berdiri tadi. Sedangkan senyum yang
ada di bibir Yoga adalah senyum kelegaan, karena ia
tahu lawannya punya ilmu tak setinggi ilmu yang dimi-
likinya,
"Aku mencari Pendekar Rajawali Putih, gadis
keparat yang menyedot seluruh ilmu adikku; si Wali
Kubur itu. Tapi mengapa yang kutemukan justru ke-
tampanan wajahmu? Siapa kau sebenarnya?"
"Pendekar Rajawali Merah," jawab Yoga tenang.
Mata perempuan itu terkesiap dan menatap penuh cu-
riga. Kemudian ia manggut-manggut dan berkata den-
gan lagak meremehkan,.
"Ooo... jadi kau yang berjuluk Pendekar Raja-
wali Merah? Apakah ada hubungannya dengan Pende-
kar Rajawali Putih itu?!"
"Dia kekasihku!" jawab Yoga terang-terangan.
Iblis Mata Genit tertawa melecehkan. "Terus te-
rang kukatakan padamu, bahwa kau tak pantas ber-
pasangan. dengan gadis keparat itu! Dia gadis jahat,
sedangkan kau... aku tahu, kau pasti tidak berhati ja-
hat! Kusarankan padamu, tinggalkan dia supaya il-
mumu tidak tersedot oleh kekuatan ilmunya itu! Ber-
gantilah pasangan yang punya ilmu sejajar denganmu,
seperti misalnya diriku ini!"
Pendekar Rajawali Merah sunggingkan senyum
tipis, lalu berkata dengan nada menyepelekan saran
itu,
"Lili; Pendekar Rajawali Putih itu, bukan saja
kekasihku, namun juga guru angkatku!"
"O, ya...?! Lucu sekali? Hik hik hik...!" Iblis Ma-
ta Genit tertawa berkepanjangan, "Alangkah bodohnya
otak setampan wajahmu itu, Pendekar Rajawali Merah.
Mau-maunya kau punya guru angkat gadis dungu
yang bisanya hanya mencuri ilmu lawan itu? Apakah
kau tak salah pilih? Apakah kau tak bisa memandang
bahwa aku jauh lebih pantas menjadi gurumu ketim-
bang-gadis dungu itu!*
"Tidak. Kau tidak pantas jadi guruku, karena
kau tidak mampu mengalahkan aku, tidak mampu
menundukkan aku, dan tidak mampu memikat hatiku,
seperti apa yang dilakukan Lili!"
"Apakah wajahku tidak cantik memikat hati?"
"Buruk. Luar biasa buruknya!" jawab Yoga den-
gan tegas. Jawaban itu membuat wajah Iblis Mata Ge-
nit menjadi merah jambu menandakan darah kemara-
hannya kembali naik sampai ke ubun-ubun. Pandan-
gan matanya sedikit menyipit, namun sangat tajam
memandang.
"Kau sangat berani bicara begitu di depanku!
Kuanggap lancang mulutmu, Bocah Bagus!" geram Ib-
lis Mata Genit.
"Tak ada yang ku takuti sedikit pun bicara di
depanmu!"
"Baiklah. Kau selalu memancing kemarahanku.
Kau telah menghadang langkahku memburu Tua Usil
itu...!" Ia menuding Tua Usil. "Kau juga akan menjadi
penghalang langkahku dalam memburu gadis keparat
itu! Maka, ku putuskan untuk membunuhmu seka-
rang juga! Heaaah...!"
Kedua tangan Iblis Mata Genit di tarik ke samp-
ing dengan telapak tangan terbuka membentuk cakar,
kakinya merendah, yang kanan menghentak ke tanah.
Duuuhg...! Matanya menjadi merah, lalu dari mata me-
rah itu melesat sinar biru dua berkas, membentuk jarum besar. Clap, claappp...!
Wuutttt...! Sinar biru Itu menghantam mata
Pendekar Rajawali Merah. Tetapi dengan cekatan tan-
gan Yoga bergerak ke depan, dua jarinya berdiri tegak
di pertengahan kening, dan dari jari itu keluar seber-
kas sinar merah bening berbentuk piringan selebar wa-
jah.
Traasss...! Blaarrr...!
Dua berkas sinar biru itu menghantam sinar
merah bening, terpercik bunga api sekejap, kemudian
meledak dengan gelegar yang dahsyat. Ledakan itu
membuat tubuh Yoga tersentak mundur dua tindak,
namun tubuh Iblis Mata Genit terjungkal ke belakang
dan berguling-guling.
"Setan!" geram Iblis Mata Genit dengan mur-
kanya. "Heaaah...!"
Iblis Mata Genit menyentakkan kedua telapak
tangannya ke depan hingga memancarkan sinar hijau
besar dan dari kesepuluh ujung jarinya terlepas sinar
kuning berkelok-kelok. Pukulan itu bermaksud me-
nyergap tubuh lawan hingga tak bisa menghindar dan
menyerang. Tetapi, kaki Yoga sudah lebih dulu me-
nyentak pelan ke tanah, sehingga tubuhnya melenting
ke atas dan bersalto mundur dua kali.
Zraappp...! Wesss...! Wuurrrtt...!
Blaarrr'...! Blegaarrr...!
Kalau saja Tua Usil tadi tidak punya gagasan
untuk pindah tempat sambil menarik tangan Bocah
Bodoh, sudah pasti mereka berdua akan hancur ber-
keping-keping atau habis terbakar oleh sinar-sinar dari
kedua tangan Iblis Mata Genit itu. Karena ketika Yoga
menghindar naik ke atas, sinar itu mengenai batu pra-
sasti, hingga batu itu menjadi pecah berkeping-keping
dan kepingan itu menyala bara merah, panas jika di-
pegang. Untung kepingan membara panas itu tak banyak yang memercik mengenai tubuh Yoga, Tua Usil,
dan Bocah Bodoh.
Mereka hanya terpekik karena kaget menerima
percikan panas. Namun segera dapat diatasi, walau
membekas melepuh di betis Bocah Bodoh. Juga di tan-
gan Tua Usil ada bagian yang melepuh karena terkena
percikan batu tersebut. Sedangkan yang memercik
mengenai tubuh Yoga tak sempat membuat kulitnya
melepuh, hanya merasa tersengat panas saja. Namun
itu pun tak dihiraukan.
Karena pada saat Yoga mendaratkan kakinya di
tanah, kedua jari tangannya dikibaskan ke depan ba-
gai melempar pisau. Jari itu tetap teracung lurus ke
depan, dan dari ujungnya keluar sinar merah patah-
patah yang menghujani tubuh Iblis Mata Genit.
Clap, clap, clap, clapp...!
Sinar itu mengenai tubuh Iblis Mata Genit be-
berapa kali, membuat tubuh itu terpental terus-
menerus, sampai akhirnya ia berhasil melesat naik ke
atas dahan pohon. Namun keadaannya telah menjadi
parah. Wajahnya pucat, sudut mulutnya tampak kelu-
arkan darah, bekas hitam hangus pun terlihat di bebe-
rapa pakaiannya. Dari atas pohon, Iblis Mata Genit
berseru,
"Sekarang aku kalah! Tapi tunggu sebentar lagi,
aku akan datang dan membayar kekalahan ku ini, Bo-
cah setan!"
Zlaappp...! Iblis Mata Genit bagaikan menghi-
lang karena cepatnya gerakan melompat dari pohon ke
pohon. Yoga hanya memandanginya dengan napas ter-
hempas lega.
Plok, plok, plokk...! Terdengar suara tepukan.
Yoga berpaling memandang ke arah Bocah Bodoh dan
Tua Usil. Ternyata tepukan itu datang bukan dari me-
reka, melainkan dari atas bukit. Yoga memandang kesana, rupanya Gadis Linglung sudah berdiri di atas
bukit itu. Gadis Linglung agaknya memang bandel dan
nekat. Saat ia ingin ikut Yoga menyerang Iblis Mata
Genit, Yoga tidak setuju dan melarangnya ikut. Gadis
Linglung pun pergi dengan kecewa. Tapi rupanya ke-
pergiannya itu hanya sebuah siasat, untuk kemudian
dia menguntit perjalanan pemuda tampan yang diam-
diam mengagumkan hatinya itu.
Wuukkk, wuukkk...! Gadis Linglung melompat
dari atas bukit yang tak seberapa tinggi itu. Dalam ke-
jap berikutnya ia sudah berada di bawah, di samping
Tua Usil dan Bocah Bodoh.
"Luar biasa! Tak pernah kulihat pertarungan
sehebat itu, dengan jurus-jurus mautnya!" kata Gadis
Linglung. "Aku sangat terkesima dan lupa berkedip
melihat... melihat...."
Ucapan Gadis Linglung itu menjadi tersendat
ragu. Karena pada saat itu, mereka mendengar suara
gemuruh yang mengguncangkan bumi. Masing-masing
hati bertanya, "Apa yang terjadi ini?" Tanah yang ber-
guncang-guncang itu membuat Bocah Bodoh segera
berseru panik,
"Gempa...! Gempa...! Ada gempa! Lekas tinggal-
kan tempat ini!"
"Tunggu!" seru Yoga pada waktu mereka hen-
dak melarikan diri, sementara Gadis Linglung sudah
lebih dulu mencapai tempat agak jauh. Ia terpaksa
kembali lagi dengan gerakan cepatnya ketika mata Yo-
ga menatap ke arah dinding tebing bukit itu, juga mata
Bocah Bodoh dan Tua Usil tak berkedip memandangi
bukit tersebut.
Rupanya ada sesuatu yang bergerak pada dind-
ing bukit itu. Sesuatu yang bergerak itu adalah pintu
sebuah gua yang sudah bertahun-tahun tertutup ra-
pat. Lubang gua itu tidak terlalu lebar, namun mem
punyai cahaya putih terang dari dalamnya. Gua yang
bersinar terang menyembur ke luar itu segera didekati
oleh mereka.
Sinar putih yang memancar keluar itu segera
padam setelah batu penutup gua berhenti bergerak
dan getaran tanah di sekelilingnya pun hilang. Kini
yang ada di depan mereka adalah lubang gua yang tak
seberapa dalam. Di pertengahan lubang itu terdapat
batu datar dari jenis bebatuan yang transparan. Ben-
ing dan berkilauan bagaikan sebongkah berlian. Di
atas batu itu, terdapat sebilah pedang warna merah
yang tidak begitu panjang, bergagang pendek Pedang
merah itu mempunyai garis bingkai dari bahan kuning
emas, yang menambah kesan wibawa dalam paduan
warna merah beludrunya itu. Tepat pada ujung gagang
pedang itu terdapat hiasan logam emas berukir ber-
bentuk kepala manusia lelaki gundul.
"Itu Pedang Jimat Lanang,..!" cetus Bocah Bo-
doh dengan lantang karena girangnya.
Tua Usil berkata, "Kelihatannya begitu. Tapi
kau yakin kalau itu memang Pedang Jimat Lanang?"
"Ya! Waktu Ibu marah, Ibu sempat jelaskan ciri-
ciri pedang pusaka yang ada di sekitar prasasti ini!"
Bocah Bodoh berseri-seri.
Yoga jadi berpikir, rupanya pintu penutup gua
penyimpan Pedang Jimat Lanang dapat terbuka jika
batu prasasti itu dihancurkan. Dan penghancurannya
kali ini adalah suatu tindakan yang tidak sengaja, aki-
bat terkena pukulan Iblis Mata Genit.
Wuutttt...! Tiba-tiba Gadis Linglung segera me-
nyambar pedang itu dan dibawanya lari. Batu alas pe-
dang yang mirip berlian itu menjadi kusam dan pecah
setelah pedang terangkat. Tapi yang membuat mereka
kaget dan tegang adalah lenyapnya pedang tersebut.
Gadis Linglung menggunakan kelengahan mereka,
manakala mereka masih terpukau dengan penemuan
itu.
"Kejar dia...!" seru Tua Usil dalam satu senta-
kan keras.
*
* *
8
SUARA orang tertawa cekikikan di bawah po-
hon rindang berdaun lebat itu tidak berkesudahan.
Tampaknya orang yang tertawa itu sedang mengalami
kegembiraan yang luar biasa. Tentu saja suara tawa
yang tiada henti-hentinya itu memancing rasa ingin
tahu seorang lelaki berpakaian abu-abu dengan ikat
kepala kuning. Dia tak lain adalah si Raja Tipu, "Hutan
di sebelah timur sungai itu memang angker. Banyak
kuntilanaknya. Siang-siang begini saja suara tawa
kuntilanak sudah terdengar, apalagi kalau malam?
Pasti kuntilanak akan tertawa bercampur desah keme-
sraan jika pada malam hari! He he he...! Masa bodoh-
lah, untuk apa memikirkan soal kuntilanak yang ter-
tawa terkikik-kikik itu. Tapi... seperti apa sebenarnya
kuntilanak itu? Benarkah dia berwajah cantik?! Aku
kok jadi kepingin tahu?!"
Berangkat dari suara tawa, Raja Tipu akhirnya
menyeberang sungai untuk mencapai hutan di sebelah
timur sungai itu. Sementara ia menyeberang sungai
melalui bebatuan, suara tawa terkikik-kikik itu masih
saja terdengar. Jelas itu suara perempuan, hanya be-
danya kalau suara perempuan tidak akan berkepan-
jangan begitu, tapi jika suara kuntilanak sudah tentu
bisa berkepanjangan, sebab tak akan ada orang yang
berani menegur dan melarangnya.
Raja Tipu mengendap-endap dalam langkah-
nya, mendekati sumber suara tawa itu. Jantungnya
sempat berdebar-debar karena ia tahu dirinya berada
dalam jarak dekat dengan tawa kuntilanak itu. Sema-
kin dekat, semakin jelas, semakin membuat merinding
pula sekujur tubuh Raja Tipu.
Rimbunan semak mulai dibuka oleh tangan Ra-
ja Tipu yang gemetar. Mata lelaki berbadan agak ge-
muk itu terbuka lebar-lebar supaya ia dapat melihat
dengan jelas wujud kuntilanak.
Namun setelah matanya berhasil menangkap
sumber suara tawa yang terkikik-kikik itu, Raja Tipu
segera. menghembuskan napas kedongkolannya. Tu-
buhnya yang merunduk itu menjadi tegak. Ia garuk-
garuk kepala menahan rasa malu dan geli, sekaligus
jengkel karena terkecoh oleh anggapannya sendiri.
"Kucing pasar!" makinya. "Kupikir kuntilanak
yang tertawa, tak tahunya Gadis Linglung, orang Per-
guruan Camar Sakti itu!"
Rupanya Raja Tipu sudah mengenai Gadis Lin-
glung yang cantik dan berwajah imut-imut itu. Maka,
Raja Tipu pun segera keluar dari tempat persembu-
nyiannya. Gadis Linglung sempat terkejut, menyangka
ada musuh datang. Ia bergerak mundur sambil tan-
gannya siap mencabut pedang yang baru saja berhasil
diperolehnya; Pedang Jimat Lanang.
Tapi begitu menyadari yang datang adalah si
Raja Tipu, Gadis Linglung segera hembuskan napas le-
ga dan kendurkan ketegangannya.
"Monyet burik! Lain kali jangan coba-coba men-
gagetkan aku lagi, Raja Tipu! Bisa kupenggal kepalamu
dengan pedang pusaka sakti ini!"
Raja Tipu tertawa terkekeh-kekeh. Diam-diam
matanya memperhatikan pedang merah berbentuk indah yang di bagian ujung pedang terdapat ronce-ronce
dari benang warna kuning itu. Pedang tersebut digeng-
gam dengan tangan kiri oleh Gadis Linglung.
"Suara tawamu memancing rasa ingin tahu ku,
Gadis Linglung. Kupikir tadi suara tawa kuntilanak,
sehingga aku mengendap-endap karena ingin melihat
seperti apa wujud kecantikan kuntilanak itu. Ternyata
yang ada dirimu, yang pasti jauh lebih cantik dari kun-
tilanak!"
"Apa betul aku cantik menurutmu?"
"Sangat cantik, apalagi jika kamu menggeng-
gam pedang itu, oh... jauh tampak lebih cantik dari bi-
dadari mana pun!"
"Begitukah?" Gadis Linglung cengar-cengir me-
mandangi pedang tersebut.
"Hanya saja, aku sedikit heran kepadamu.
Mengapa kau harus berpedang dua? Di pinggangmu
sudah ada pedang, sekarang di tanganmu juga ada pe-
dang. Apakah kau ingin gadaikan pedang yang di tan-
ganmu itu, Gadis Linglung?"
"Hmmm...!" Gadis Linglung mencibir sambil se-
dikit melengos. Lalu sambil matanya melirik ia berka-
ta,
"Pedang pusaka kok mau digadaikan? Alangkah
bodohnya! Mendapatkannya saja dengan susah-payah
dan bertaruh nyawa, kok mau ditukar dengan sejum-
lah uang?! Biar ditukar dengan istana pun tak akan
kuberikan kepada siapa pun!"
"Ooo... pedang pusaka?!" Raja Tipu manggut-
manggut.
"Ini yang namanya Pusaka Pedang Jimat La-
nang! Hatiku hari ini luar biasa gembiranya, karena
mendapatkan Pedang Jimat Lanang yang ku incar dari
dulu. Sebab itu, aku tadi tertawa berkepanjangan!"
Gadis Linglung tertawa lagi terkikik-kikik, sementara
Raja Tipu mulai berpikir dan berkecamuk dalam ha-
tinya,
"Pedang itu pernah dibicarakan oleh Iblis Mata
Genit. Beliau ingin sekali mempunyai Pedang Jimat
Lanang yang katanya punya beberapa kesaktian itu.
Rupanya seperti itulah wujud pedangnya. Indah dan
tampak perkasa dalam kemewahan. Nyai Iblis Mata
Genit pasti sangat senang hatinya jika aku bisa mem-
persembahkan pedang itu kepadanya. Sudah pasti aku
akan diangkatnya kembali sebagai pelayan Nyai Iblis
Mata Genit. Tapi apakah betul itu Pedang Jimat La-
nang?"
Kemudian, kesangsian hatinya diutarakan ke-
pada Gadis Linglung, sehingga Gadis Linglung berkata,
"Jadi, kau ingin bukti tentang kesaktian pedang
ini? Hmm...! Tak sulit membedakannya. Lihatlah sen-
diri...!"
Gadis Linglung mencabut pedang tersebut.
Zeettt...! Crap, crap! Pedang memercikkan bunga api
kecil-kecil. Bunga api bergerak mengelilingi tepian pe-
dang dan hilang lenyap di sisi kirinya. Melihat percikan
bunga api yang melesat cepat mengelilingi mata pe-
dang Itu, hati Raja Tipu sudah merasa kagum dan me-
nyimpulkan bahwa pedang itu bukan sembarang pe-
dang.
Apalagi setelah Gadis Linglung menyentakkan
tangannya dengan kekuatan tenaga dalam kecil,
zuuttt...! Pedang yang berukuran pendek itu tiba-tiba
bisa terjulur menjadi panjang bagaikan sebuah samu-
rai, bahkan panjang ukurannya melebihi ukuran pan-
jang samurai. Lalu ketika Gadis Linglung menghentak-
kan tangannya dalam gerakan menarik, pedang terse-
but kembali pendek dalam ukuran sehasta, kira-kira
sepanjang dari ujung jari sampai siku.
Gadis Linglung tersenyum bangga melihat Raja
Tipu terperangah, ia tahu lelaki itu merasa kagum.
Gadis Linglung semakin berminat untuk menunjukkan
kehebatan pedang tersebut. Lalu, dalam satu lompatan
kecil, Gadis Linglung menebaskan pedang itu ke pohon
tinggi yang berukuran sebesar batang pohon kelapa.
Zlaappp...!
Mata Raja Tipu melihat jelas pedang itu memo-
tong batang pohon tersebut. Namun nyaris tak terden-
gar suara benturannya dan keadaan pohon tersebut
masih berdiri utuh. Beberapa saat setelah Gadis Lin-
glung berjalan mendekati Raja Tipu, angin berhembus
agak kencang, dan pohon itu tiba-tiba tumbang sendi-
ri. Brrruuusssk...! Batangnya tampak terpotong rapi
sekali, seperti agar-agar dibelah memakai benang tipis.
Pada bekas potongan batang pohon itu tak terlihat ada
serat seperti biasanya didapat pada kayu yang terpo-
tong benda tajam lainnya.
"Mengagumkan sekali," gumam Raja Tipu sam-
bil mata tetap terbelalak bengong. Gadis Linglung ter-
tawa cekikikan setelah memasukkan pedang ke sa-
rungnya. Lalu katanya,
"Itu baru sebagian kecil kehebatan yang bisa
kuperlihatkan padamu. Kalau aku mau, aku bisa me-
lukaimu dengan hanya menggoreskan ujung pedang ke
bayangan tubuhmu yang jatuh di tanah.
"Ck, ck, ck, ck...! Hebat sekali?!' gumam Raja
Tipu sambil geleng-geleng kepala.
"Itulah kehebatan dan kesaktian Pedang Jimat
Lanang!"
Raja Tipu mengangguk-angguk, "Ya, ya, ya...!
Pantas sekali kalau pedang sehebat itu mempunyai
kekuatan kutuk yang sukar dihindari. Karena keheba-
tan dan kesaktiannya memang tak disangsikan lagi.
Tak ada yang bisa menandingi kekuatan Pedang Jimat
Lanang."
'Tunggu, tunggu...!" sergah Gadis Linglung
sambil berkerut dahi. "Kau tadi menyebut-nyebut ten-
tang kekuatan kutuk pada pedang ini, Maksudmu ke-
kuatan kutuk bagaimana?"
"Ah, tentunya kau lebih tahu dari diriku, Gadis
Linglung!" Raja Tipu tersenyum-senyum meremehkan
pertanyaan tadi. Gadis Linglung semakin penasaran
dan makin mendekati Raja Tipu seraya berkata,
"Aku sungguh tak tahu tentang kekuatan ku-
tuk itu. Aku tak pernah dengar."
"Bohong! Aku sendiri yang bukan muridnya
Nyai Mantera Dewi saja tahu tentang kutuk itu, masa'
kamu yang jadi muridnya tak diberitahukan soal ku-
tuk tersebut? Tak mungkin! Itu tak mungkin! Nyai
Mantera Dewi pasti sudah pernah membicarakannya
pada murid-muridnya. Beliau adalah guru yang bijak-
sana. Aku tahu persis hal itu!"
Gadis Linglung sempat bingung mendengar Ra-
ja Tipu menyebut-nyebut nama gurunya; Nyai Mantera
Dewi. Ia berkerut dahi beberapa saat lamanya, men-
gingat-ingat ucapan yang pernah didengar dari gu-
runya. Tapi Gadis Linglung tak ingat tentang ucapan
sang Guru mengenai kutuk pada Pedang Jimat La-
nang. Gadis Linglung hanya membatin dalam hatinya,
"Mungkin karena aku pelupa, jadi aku tak ingat
ada kutuk dalam Pedang Jimat Lanang. Tapi kutuk
yang bagaimana maksudnya?"
Pada waktu itu, Raja Tipu berkata, "Mungkin
kau cukup lama meninggalkan perguruan, sehingga
kau lupa."
"Ya. Memang cukup lama aku meninggalkan
Guru. Aku berjanji tak akan pulang ke perguruan se-
belum mendapatkan pusaka ini."
'"O, pantas...!" Raja Tipu manggut-manggut lagi
dalam sikap tenangnya. "Pantas kalau tempo hari waktu aku bertemu dengan Nyai Mantera Dewi beliau
berpesan padaku dan meminta tolong untuk menyam-
paikan pesannya kepada Ratna Kinasih. Aku tidak ta-
hu yang mana Ratna Kinasih, ketika kutanyakan ke-
pada beliau, ternyata Ratna Kinasih adalah Gadis Lin-
glung. Aku sempat tertawa geli tapi juga kagum men-
dengar nama aslimu begitu bagusnya."
Gadis Linglung tersentuh hatinya, ada rasa ha-
ru membayangkan Nyai Mantera Dewi sampai mencari-
carinya. Kalau bukan dari mulut Nyai Mantera Dewi,
Raja Tipu tak mungkin tahu bahwa nama aslinya ada-
lah Ratna Kinasih. Begitu pikir Gadis Linglung sambil
masih berkerut dahi. Kemudian, ia segera bertanya,
"Pesan apa yang harus kau sampaikan kepada-
ku, Raja Tipu?"
"Hanya pesan agar kau kembali ke perguruan
tanpa memikirkan tentang Pedang Jimat Lanang lagi.
Nyai Mantera Dewi merasa menyesal menceritakan
tentang Pedang Jimat Lanang itu kepada murid-
muridnya, sehingga salah satu murid ada yang nekat
tinggalkan perguruan untuk memburu pedang itu.
Nyai Mantera Dewi sangat rindu padamu. Dia berharap
kau segera kembali dan menemuinya, tak peduli kau
membawa pedang pusaka itu ataupun tidak."
"Guru... rindu padaku?" gumamnya dengan wa-
jah mengenang haru.
"Tapi aku yakin gurumu pasti bangga sekali
melihat kau pulang sambil membawa Pedang Jimat
Lanang itu."
'Tapi... soal kutuk itu bagaimana?"
"Aku tak tahu benar atau tidak kutuk itu, tapi
aku dengar sendiri Nyai Mantera Dewi menceritakan-
nya kepadaku, bahwa Pedang Jimat Lanang mempu-
nyai kutuk yang akan menyerang pemiliknya sendiri;
Pertama, pemilik Pedang Jimat Lanang akan mengala
mi cacat wajah setelah tujuh hari memiliki pedang ter-
sebut. Kedua, pedang itu akan membuat pemiliknya
dibenci oleh lawan jenisnya dan sampai tua tak akan
pernah ada yang mau menjadi pendampingnya. Ketiga,
pedang itu akan membuat pemiliknya melakukan
pembunuhan secara tak sadar kepada orang-orang
yang dicintainya; entah ayah, ibu, saudara, kekasih,
gurunya, atau sahabat-sahabat dekatnya."
Wajah Gadis Linglung menjadi tegang. Ia ber-
gumam seperti bicara pada dirinya sendiri, "Jadi... aku
akan mengalami cacat wajah? Aku akan tidak cantik
lagi? Ooh... aku tidak mau. Nanti Pendekar Rajawali
Merah semakin benci padaku. Padahal aku suka sekali
padanya dan berharap dia mau menerima hatiku.
Dan... aku tidak akan laku kawin seumur hidup? Oh,
itu mengerikan. Itu berarti aku tak punya harapan bi-
sa berdampingan dengan Pendekar Rajawali Merah?
Lalu… lalu aku akan membunuh orang-orang yang
kucintai? Apakah termasuk pendekar tampan itu? Oh
jangan! Aku tidak mau dia mati sebelum aku berhasil
memilikinya. Aku tidak mau membunuh dia...!"
Membayangkan hal itu, bibir Gadis Linglung
yang mungil menggairahkan itu menjadi gemetar. Ia
segera berkata kepada Raja Tipu,
"Benarkah guruku mengatakan tentang kutu-
kan itu padamu?"
"Sebaiknya temui saja gurumu dan tunjukkan
pedang itu, maka ia akan bercerita tentang kutukan-
nya. Itu pun kalau sempat, siapa tahu kutukan itu su-
dah mulai berlaku sejak hari ini dan kau, bisa mem-
bunuh gurumu sendiri dengan alasan perselisihan se-
kecil apa pun."
"Oh, tidak! Aku tidak mau membunuh Guru!"
Gadis Linglung geleng-geleng kepala dengan wajah
mencerminkan kengerian. Lalu la berkata,
"Aku tidak mau memegang pedang pusaka ini.
Kupikir pedang ini tak mempunyai kutukan apa-apa.
Kalau aku tahu ada kutukan seperti itu, aku tak mau
memburu pedang ini," Gadis Linglung memandangi
pedang tersebut dan segera diangkat ke depan dengan
gemetar.
"Setiap keuntungan selalu punya kerugian.
Keuntungan uang, kerugiannya pada waktu, yaitu kita
membuang waktu untuk mencari uang, dan mem-
buang tenaga untuk dapatkan uang. Kurasa itu sudah
jamak."
'Tidak, tidak! Aku tidak mau kerugian yang
sampai seperti kutukan itu. Oh, Raja Tipu... tolong
bantu aku mengatasi masalah ini."
"Begini saja...," kata Raja Tipu dengan tenang.
"Kalau memang kau tidak mau memiliki pedang itu,
jangan kau buang sembarangan. Lebih baik kau man-
faatkan untuk mencelakakan musuhmu!"
"Maksudmu bagaimana?"
"Berikan pedang itu kepada musuhmu atau
orang terkuat yang ingin kau lumpuhkan hidupnya!
Dengan begitu, kutukan tersebut berlaku untuk orang
itu. Bukan untuk dirimu."'
"Musuhku...? Orang terkuat...?" gumam Gadis
Linglung dalam berpikir tentang musuh yang diang-
gapnya orang kuat.
"Bagaimana kalau kusarankan untuk membe-
rikan pedang itu kepada Iblis Mata Genit?! Menurutku
dia orang kuat dan pernah menyerang gurumu ketika
aku masih menjadi pelayannya. Dia muda dan cantik,
bisa-bisa kau punya kekasih di rebutnya dengan licik."
"Benar...!" gumam Gadis Linglung dengan ber-
semangat. "Benar apa katamu! Iblis Mata Genit pernah
membuat Guru hampir tewas. Dan waktu dia berhada-
pan dengan Pendekar Rajawali Merah, tampaknya dia
terkesima dengan ketampanan pendekar itu. Dia nak-
sir pendekar itu. Pasti dia berusaha memperdaya Pen-
dekar Rajawali Merah agar jatuh dalam pelukannya.
Dan jika sudah begitu, tinggallah aku yang merana
disiksa luka hati. Kurasa Iblis Mata Genit lebih berat
dikalahkan ketimbang Pendekar Rajawali Putih. Tapi...
bagaimana caranya, Raja Tipu? Pasti Iblis Mata Genit
akan curiga jika aku datang padanya dan menyerah-
kan pedang pusaka ini. Bisa-bisa dia tahu kekuatan
kutuk pada pedang ini dan menolak pemberianku. Se-
bab aku. termasuk musuhnya!"'
"Kalau begitu, aku akan menolongmu. Akan
kuserahkan pedang itu dengan berlagak minta upah
sejumlah uang padanya, dan aku harus pura-pura ti-
dak tahu bahwa pedang itu pedang pusaka. Tapi... kau
pun harus menolongku, Gadis Linglung. Aku ingin be-
kerja dan mengabdi pada Nyai Mantera Dewi. Kau ha-
rus bisa mengusahakan agar aku diterima menjadi pe-
layan beliau!"
"Aku setuju! Itu pekerjaan yang paling mudah.
Sekarang bawalah pedang ini dan berikan kepada Iblis
Mata Genit!"
Maka, pedang itu pun diserahkan kepada Raja
Tipu, kemudian Raja Tipu segera pergi tinggalkan Ga-
dis Linglung.
*
* *
9
GADIS Linglung duduk termenung di bawah
pohon. Terbayang dalam benaknya jika kutukan-
kutukan itu terjadi dan menimpanya. Gadis Linglung
merinding sendiri membayangkannya. Tapi terlintas
pula dalam pikirannya sebuah pertanyaan, "Bagai-
mana jika kata-kata Raja Tipu itu bohong belaka?" Ga-
dis. Linglung ingat bahwa Raja Tipu pernah datang ke
perguruannya dan melamar menjadi pelayan Nyai
Mantera Dewi. Tapi lamarannya ditolak karena Raja
Tipu bersikap kurang sopan terhadap murid-murid
Perguruan Camar Sakti yang terdiri dari perempuan
semua itu. Mungkin saja Raja Tipu mengetahui nama
asli Gadis Linglung dari cara Nyai Mantera Dewi me-
manggil Gadis Linglung yang lebih sering mengguna-
kan nama aslinya daripada nama julukannya.
Dalam kegundahan hati Gadis Linglung, tiba-
tiba ia dikejutkan oleh kedatangan Pendekar Rajawali
Merah, Tua Usil, dan Bocah Bodoh. Gadis Linglung
hanya terperanjat, namun segera lega hatinya sebab
dia punya tempat mengadu dan meminta penjelasan
kepada Cola Colo.
Ketika mereka bertiga mendekatinya, Gadis
Linglung masih duduk, namun wajahnya terdongak
dan menatap ketampanan Pendekar Rajawali Merah. Ia
sempat mengagumi sejenak wajah itu di dalam ha-
tinya. Kemudian ia segera bangkit berdiri setelah Yoga
berkata,
"Gadis Linglung, ku mohon dengan damai, se-
rahkan pedang pusaka itu kepada Bocah Bodoh. Kare-
na dialah pemilik dan pewarisnya. bukan kau, Gadis
Linglung. Jangan membuat sengketa antara dirimu
dengan Ibunya Bocah Bodoh ini!"
Gadis Linglung menarik napas, lalu berkata,
"Sebelumnya aku mohon kejujuran Bocah Bodoh un-
tuk menjawab pertanyaanku, benarkah pedang pusaka
itu mempunyai kutukan?"
Yoga memandang Bocah Bodoh sebagai tanda
Bocah Bodoh disuruh menjawab. Tapi Bocah Bodoh
justru tampak heran serta bingung. la berkata dengan
dahi berkerut tajam,
'"Kutukan...?! Ibu tidak pernah bilang ada ku-
tukan di dalam Pedang Jimat Lanang. Kurasa tak ada
kutukan apa-apa."
"Benar, tak ada kekuatan kutuk sampai tiga
kali?!"
"Apa maksudmu bertanya begitu?" sela Yoga
dengan mulai curiga, karena kali ini firasatnya menga-
takan ada sesuatu yang tak beres. Apalagi ia tidak me-
lihat Gadis Linglung membawa pedang pusaka itu..
"Aku bertemu Raja Tipu, dia menceritakan ten-
tang kutukan. Katanya, ada tiga kutukan di dalam pe-
dang pusaka itu yang akan mencelakakan pemiliknya!"
"Lalu, sekarang pedang itu ada dimana?" tanya
Yoga.
"Ku serahkan padanya. Biar diberikan kepada
Iblis Mata Genit. Supaya malapetaka dari kutukan itu
menimpa diri Iblis Mata Genit."
'Tolol...!" sentak Tua Usil seketika itu pula, se-
dangkan Yoga dan Bocah Bodoh saling pandang dalam
kecemasan. Tua Usil berkata,.
"Dasar gadis tolol! Sudah tahu raja tipu masih
dipercaya juga kata-katanya. Nama Raja Tipu itu ker-
janya ya menipu!"
Bocah Bodoh menimpali, "Kalau kerjanya tidak
menipu, namanya bukan Raja Tipu! Dan lagi, kalau
pedang itu punya kutukan, pasti Ibu tidak suruh aku
ambil pedang itu! Pasti Ibu akan biarkan pedang itu
dimiliki oleh Bibi Rajang Demit!"
"Huuhhh...! Tolol kok dipelihara!" geram Tua
Usil.
"Habis dia membawa-bawa nama guruku!" kata
Gadis Linglung sambil mau menangis.
Bocah Bodoh menyahut, "Mau membawa-bawa
gurumu atau membawa-bawa batu kek, namanya me-
nipu ya tetap saja menipu. Makanya kamu jadi gadis
jangan tolol-tolol amat! Bisa-bisa bukan pusaka dan
pedangmu saja yang dibawanya lari, kepalamu pun bi-
sa dibawa lari! Huuhh...!"
Gadis Linglung akhirnya menangis dibentak
Tua Usil dan Bocah Bodoh secara berganti-gantian. Ia
tak bisa menyangkal kecaman kedua orang itu, karena
ia merasa bersalah. Ia jadi sangat malu di depan Pen-
dekar Rajawali Merah kelihatan kebodohannya. Hal
yang sangat membuatnya menangis adalah rasa pe-
nyesalan yang seumur hidup baru sekarang membekas
di hati sanubarinya.
Tua Usil berbisik kepada Yoga yang sejak tadi
diam saja Itu,
"Bahaya, Tuan Yo. Kalau pedang itu benar-
benar jatuh ke tangan Iblis Mata Genit, pasti dia akan
memburu Nona LI dan membunuhnya memakai pe-
dang tersebut!"
"Pulanglah, Tua Usil. Kurasa Lili sudah selesai
dari semadinya. Beritahukan padanya tentang bahaya
ini, supaya dia punya persiapan jika harus berhadapan
dengan Iblis Mata Genit. Aku akan mengejar Raja Tipu
dan berusaha merebut pedang itu sebelum jatuh di
tangan Iblis Mata Genit."
Bocah Bodoh berseru kepada Gadis Linglung
dengan rasa kecewanya,
"Akan kuadukan kau kepada Ibu! Kuadukan
kau sebagai orang yang menghilangkan pedang pusaka
itu! Biar nanti Ibu yang menghajarmu habis-habisan
jika kau datang ke rumahku!"
Bocah Bodoh segera bergegas pergi dengan wa-
jah cemberut. Yoga berseru dari tempatnya, "Hei, mau
ke mana kau?"
"Saya mau pulang, Tuan Yo! Saya mau mengadu kepada Ibu, biar Gadis Linglung itu dihajarnya!"
"Tunggu dulu, Bocah Bodoh!"
'Tidak. Saya tidak mau bersama gadis tolol itu!
Saya mau pulang! Saya mau minta bantuan Ibu untuk
menghajar gadis itu!"
Bocah Bodoh segera lari meninggalkan tempat
itu. Yoga ingin mengejarnya, tapi pada waktu itu ia me-
lihat Gadis Linglung mencabut pedangnya sendiri dari
pinggang, lalu menusukkannya ke ulu hati. Wuuttt..!
Plaakkk...! Yoga bertindak dengan cepat sebelum Gadis
Linglung lakukan bunuh diri. Tangan yang memegangi
pedang itu segera ditendang dari samping hingga pe-
dang terpental, dan gadis itu pun terpental juga karena
angin tendangan Yoga, ia cepat bangkit dan melompat
mencapai pedangnya sambil menangis. Tapi, Yoga se-
gera menendang kaki Gadis Linglung, sehingga gerak-
kannya terhambat. Lalu, sebuah lompatan membuat
Yoga mencapai pedang tersebut dan menendang ga-
gangnya dengan gerakkan kaki ke belakang. Tumit Yo-
ga mengenai ujung gagang pedang, deesss...! Wuuttt...!
Pedang melayang cepat, menancap di sebatang pohon.
Jraabb...!
"Biarkan aku mati!" teriak Gadis Linglung. Ia
ingin mengambil pedang itu, namun dihalangi oleh Yo-
ga. Mereka main desak-desakan, saling dorong-
mendorong, sampai akhirnya Yoga meraih tubuh Gadis
Linglung, menahannya agar gadis itu tak mengambil
pedangnya untuk bunuh diri. Tanpa disadari cara me-
nahan itu telah membuat Yoga memeluk gadis terse-
but. Sang gadis segera diam dalam pelukan, namun
tangis penyesalannya kian membanjir di dada bidang
sang pendekar.
"Percuma kau bunuh diri, kau tak akan menye-
lamatkan Pedang Jimat Lanang itu. Hal yang lebih baik
kau lakukan adalah mengejar Raja Tipu dan mencegah
agar pedang itu jangan jatuh ke tangan orang sesat se-
perti Iblis Mata Genit!" kata Yoga sambil memeluk Ga-
dis Linglung. Sang Gadis semakin terisak-isak, entah
sengaja dibuat lama dalam tangisnya atau memang di-
cekam kesedihan yang luar biasa atas penyesalannya
itu, yang jelas Yoga segera mendengar Tua Usil berkata
dalam nada sindiran,
"Mudah-mudahan Nona Li tidak lewat di sekitar
sini, sehingga tidak melihat kemesraan ini...."
"Ini bukan kemesraan, Bodoh!" geram Yoga de-
ngan mata melirik tajam. "Lekas kerjakan perintahku
tadi!"
"O, iya. Hampir lupa. Maaf, Tuan. He he he...!”
Tua Usil cengar-cengir sambil pergi tinggalkan tempat
itu untuk temui Lili. Sementara itu, Yoga mencoba
membujuk Gadis Linglung yang disekap tangis penye-
salan itu agar tidak mudah putus asa dan harus bera-
ni bertanggung jawab terhadap apa pun kesalahan
yang dilakukannya. Salah satu rasa tanggung jawab
yang dituntut adalah mencegah pedang pusaka itu
agar jangan jatuh ke tangan Iblis Mata Genit. Maka,
Gadis Linglung pun akhirnya setuju ketika Yoga men-
gajaknya mengejar Raja Tipu yang menurutnya lari ke
arah timur.
Mereka menyangka Raja Tipu sudah mendekati
Bukit Kematian, tempat kediaman Iblis Mata Genit.
Padahal perjalanan itu ternyata tak semudah dugaan
mereka, juga tak semudah dugaan Raja Tipu.
Di perjalanan, Raja Tipu bertemu dengan Nyai
Rajang Demit yang baru saja lakukan penyembuhan
terhadap lukanya di bawah air terjun Gerojogan Gaib.
Curahan air terjun itu mempunyai khasiat penyembu-
han terhadap luka dalam yang tidak mengandung ra-
cun.
Nyai Rajang Demit sempat terperanjat melihat
Raja Tipu memegang pedang berwarna merah beludru
dengan hiasan lis emas berukir. Ciri-ciri pedang itu se-
gera dikenali oleh Nyai Rajang Demit. Maka, ia pun
mencegat jalannya Raja Tipu dan segera berkata den-
gan mata angkernya menatap dengan tajam,
"Raja Tipu..! Rupanya kaulah orangnya yang
berhasil memperoleh Pedang Jimat Lanang itu?!"
Raja Tipu cepat tanggap terhadap bahaya yang
mengancam, sebab ia tahu siapa Nyai Rajang Demit
itu; adik tiri Nyai Sembur Maut yang sering ribut sen-
diri mencari Pedang Jimat Lanang. Maka Raja Tipu se-
gera berkata,
“Aku tak paham dengan maksudmu, Nyai Ra-
jang Demit!"
"Jangan berlagak bodoh! Kau membawa pedang
pusaka guruku!"
"O, ini pedang hiasan saja! Aku sedang berusa-
ha menjebak seseorang agar jatuh cinta kepadaku,
Nyai. Aku membuat pedang tiruan ini, karena orang
yang kucintai itu tak pernah mau peduli dengan diri-
ku, selain memikirkan soal Pedang Jimat Lanang te-
rus-terusan. Ini hanya pedang main-main, Nyai. Tapi
kalau kau menginginkannya, silakan ambil! Aku bisa
membuatnya lagi!"
Nyai Rajang Demit diam sesaat, mempertim-
bangkan ucapan Raja Tipu. Rupanya ia menjadi bim-
bang juga. Padahal pedang sudah diulurkan oleh Raja
Tipu, tapi Nyai Rajang Demit merasa malu jika ia sam-
pai tertipu. Karenanya ia tak mau buru-buru men-
gambilnya, walaupun Raja Tipu semakin mendekatkan
pedang itu dan berkata,
"Ambillah, Nyai! Aku rela menyerahkannya ke-
pada mu. Buatku membikin pedang tiruan bukan pe-
kerjaan yang sulit."
"Dari mana kau tahu ciri-ciri pedang tersebut?"
"Nyai Sembur Maut yang menceritakannya pa-
daku."
"Sembur Maut memang keparat!" geram Nyai
Rajang Demit. Kemudian bertanya kembali. "Siapa ga-
dis yang kau maksud ingin kau tipu dengan pedang
palsu itu?"
"Gadis Linglung. Kurasa kau kenal. Dia murid
Perguruan Camar Sakti, anak asuhnya Nyai Mantera
Dewi."
"Hmmm... ya, ya... aku kenal gadis itu."
Raja Tipu tersenyum malu, "Aku sangat men-
cintainya, Nyai. Tapi dia lebih mencintai Pedang Jimat
Lanang. Maka kubuat saja tiruannya ini. Dengan begi-
tu, ia mau membalas cintaku jika Pedang Jimat La-
nang seolah-olah kuserahkan kepadanya!"
Semakin bimbang hati Nyai Rajang Demit, ka-
rena Raja Tipu tampak tenang dan bersungguh-
sungguh dalam pengucapannya. Bahkan Raja Tipu
kembali berkata,
"Supaya Nyai Rajang Demit tidak memusuhi
ku, ambil sajalah pedang tiruan ini. Tak perlu mahal-
mahal, hanya lima sikal saja harganya!" Raja Tipu
nyengir malu sambil mengulurkan pedang itu. Tam-
bahnya lagi, "Yaaah... buat pengganti ongkos beli ba-
han-bahannya saja, Nyai."
Padahal diam-diam hati Raja Tipu berdebar-
debar cemas. Dan pada saat Nyai Rajang Demit men-
gambil pedang itu, hati Raja Tipu berdesir tinggi, tu-
buhnya terasa lemas, batinnya berkata,
"Yaaah... nasib! Amblas sudah kalau ada di
tangannya...! Tapi mudah-mudahan dia menganggap
pedang itu adalah pedang tiruan..."
Nyai Rajang Demit segera mencabut pedang
tersebut. Zlaappp...! Ternyata ada percikan bunga api
yang bergerak mengelilingi tepian pedang, lalu menghi
lang. Melihat tanda-tanda itu, Nyai Rajang Demit ter-
senyum girang dan berkata,
"Kau tak bisa menipuku, Monyet! Ini memang
Pedang Jimat Lanang yang asli! Heh he he he...!"
"Ya sudahlah kalau tak percaya...!" Raja Tipu
bersungut-sungut sambil berjalan meninggalkan Nyai
Rajang Demit tanpa ada perlawanan maupun usaha
merebutnya. Hal itu dilakukan oleh Raja Tipu karena
ia tahu, berusaha merebut pedang pusaka itu sama
saja menyerahkan nyawa sia-sia kepada tokoh sesat
itu. Tak ditebas pedang saja sudah untung, apalagi
mau merebutnya segala. Maka langkah Raja Tipu pun
semakin lama semakin dipercepat. Takut bayangannya
dijadikan percobaan pedang tersebut.
Namun tiba-tiba Raja Tipu melihat dua sosok
manusia berkelebat ke arahnya. Raja Tipu cepat ber-
sembunyi, dan melihat jelas Gadis Linglung bersama
pendekar tampan bertangan buntung yang tak lain
adalah Yoga itu. Keduanya segera bergegas menemui
Nyai Rajang Demit yang kala itu sedang memasukkan
pedang pusaka ke sarungnya sambil tertawa terkekeh-
kekeh.
"Rajang Demit!" seru Gadis Linglung yang
membuat suara tawa perempuan tua itu terhenti. Ma-
tanya memandang pada Gadis Linglung dan Yoga den-
gan tajam. Gadis Linglung berseru lagi,
"Serahkan pedang itu! Kau pasti memperoleh-
nya dari Raja Tipu!"
"Heh...!" Nyai Rajang Demit tersenyum sinis.
'Tak seorang pun kuizinkan memegang pedang ini!" Ia
mengacungkan pedang yang digenggamnya kuat-kuat
memakai tangan kirinya.
"Kau bukan pemiliknya! Kau bukan pewaris-
nya! Kembalikan pedang itu kepada pewarisnya!" sen-
tak Gadis Linglung dengan berani. "Jika kau tak mau
menyerahkan, kau akan menemui ajal sekarang juga!"
Srrettt...! Gadis Linglung mencabut pedangnya
sendiri. Tapi Nyai Rajang Demit hanya tersenyum sinis
dan berkata, "Rebutlah...!"
"Haaat...!" Gadis Linglung maju menyerang. Yo-
ga membiarkannya dulu, karena menurutnya jika Ga-
dis Linglung bisa kalahkan Nyai Rajang Demit, menga-
pa ia harus ikut turun tangan segala?
Tapi pada saat pedang di tangan Gadis Lin-
glung berkelebat menebas dada Nyai Rajang Demit, pe-
rempuan tua Itu memutar tubuhnya sambil berjong-
kok, lalu setelah pedang lewat dl kepalanya, ia bangkit
dan menghantamkan pukulan tangan kanannya ke ru-
suk Gadis Linglung. Buuhgg...!
Krrakkk...! Terdengar suara tulang patah oleh
telinga Gadis Linglung. Gadis itu pun terpental jauh
dan berguling-guling dengan semburkan darah dari
mulutnya. Ia jatuh terkapar dalam jarak lima tombak
lebih dari tempatnya terlempar.
Melihat Nyai Rajang Demit keluarkan jurus an-
dalannya, Yoga tak mau buang-buang waktu, di samp-
ing ia sudah bosan bertarung dengan Nyai Rajang De-
mit. Maka, dengan cepat Pendekar Rajawali Merah ca-
but pedangnya dari punggung. Blegaarrr...! Guntur
menggelegar di angkasa siang, sebagai tanda dicabut-
nya Pedang Lidah Guntur dari sarungnya.
Pedang yang menyala merah bening berpijar-
pijar di ujung gagangnya terhadap ukiran dua kepala
burung yang saling bertolak belakang itu segera dite-
baskan ke depan, dari atas ke bawah. Pada waktu itu,
Nyai Rajang Demit tidak memperhitungkan kehebatan
Pedang Lidah Guntur itu. Ia langsung saja menerjang
dengan tangan kanannya membentur cakar yang me-
mancarkan cahaya merah bara.
"Mampus kau, Bangsaaat...!" teriaknya sambil
menyerang.
Claappp..! Sinar merah keluar dari ujung pe-
dang Yoga ketika pedang itu ditebaskan dari atas ke
bawah. Sinar tersebut segera mengenai pangkal pun-
dak kiri Nyai Rajang Demit. Craaasss ..! Dan tubuh pe-
rempuan itu masih tetap meluncur ke arah Yoga, se-
hingga Yoga segera melesat naik ke atas dengan satu
sentakan kaki ke tanah. Wuusss!
Kaki Yoga menendang kepala nenek tua itu se-
telah nenek tua tak berhasil hantamkan pukulannya
ke tubuh Yoga. Daahhg...! Wuusss...! Tubuh Nyai Ra-
jang Demit terlempar dan berguling-guling akibat ten-
dangan tersebut. Ia menggeram di sana, dan segera
bangkit kembali.
"Hahh...?!" Nyai Rajang Demit terperanjat kaget
bukan kepalang. Tangan kirinya ternyata telah bun-
tung akibat tebasan sinar merah dari pedangnya Yoga
tadi. Potongan tangannya jatuh di tanah dan masih
menggenggam Pedang Jimat Lanang. Rupanya tebasan
yang memotong tangan itu tidak terasa sakit dan tidak
keluarkan darah sedikit pun. Itulah kehebatan Pedang
Lidah Guntur.
Pendekar Rajawali Merah segera melompat
memburu lawannya yang masih terperangah kaget itu,
kemudian dengan cepat ia kibaskan kembali pedang-
nya dan kiri ke kanan dalam jarak satu tombak di de-
pan lawannya. Claap...! Sinar merah terlepas lagi, ber-
kelebat memotong tubuh Nyai Rajang Demit.
Craasss...! Dalam sekejap, tubuh itu pun berhasil ter-
potong miring menjadi dua bagian. Mata perempuan
itu mendelik tak berkedip ketika jatuh ke tanah dan
tak bernyawa lagi.
Wuuuttt...! Rupanya Raja Tipu segera meman-
faatkan kesempatan itu dengan muncul dari persem-
bunyiannya dan segera menyambar potongan tangan
Nyai Rajang Demit yang masih menggenggam Pedang
Jimat Lanang itu. Raja Tipu segera membawa lari po-
tongan tangan tersebut dengan terburu-buru, sehingga
tak sempat lepaskan pedang pusaka dari genggaman
tangan yang terpotong itu.
"Hai...! Berhenti...!" teriak Yoga, lalu segera ber-
kelebat menggunakan kecepatan Jurus 'Langkah
Bayu'-nya. Zlaappp...! Wuuttt...! Pedang itu berhasil
disambarnya dan Yoga tetap terus bergerak lari memu-
tar arah kembali ke tempat untuk menolong Gadis Lin-
glung. Sementara itu, Raja Tipu tak menyadari bahwa
Pedang Jimat Lanang sudah tidak ada dalam gengga-
man tangan yang terpotong itu. Ia tetap berlari sambil
mendekap tangan
Nyai Rajang Demit. Semakin lama semakin di-
percepat larinya, karena takut terkejar lawan.
Gadis Linglung mengalami luka hangus di dada
dekat perut. Wajahnya biru legam dan nyaris tak bisa
bernapas lagi. Kemudian Yoga bergegas sembuhkan
gadis itu dengan menggunakan ilmu 'Tapak Serap',
menempelkan telapak tangannya pada bagian yang lu-
ka, menyerap segala luka dan rasa sakit lalu menu-
karnya dengan hawa murni.
Gadis Linglung segera tersenyum setelah rasa
sakitnya berkurang. Yoga pun menyunggingkan se-
nyumannya yang menawan dan mendebarkan hati ga-
dis itu Kemudian, Gadis Linglung segera berkata,
"Tak salah kalau aku mengagumimu."
"Lupakan dulu rasa kagummu. Kau mau ikut
antarkan Pedang Jimat Lanang ini kepada Nyai Sem-
bur Maut?!"
Gadis Linglung melirik pedang itu dengan se-
nang, senyumnya kian mekar. Matanya berkedip-kedip
bagai boneka cantik, Kemudian ia anggukkan kepala
seraya bilang,
"Kau mau ajak aku ke mana saja, aku akan
ikut! Ke neraka pun aku pasti ikut."
"Ke neraka, aku tak mau ikut," kata Yoga sam-
bil hamburkan tawa seperti orang menggumam.
Sementara itu, Raja Tipu akhirnya berhasil juga
bertemu dengan Iblis Mata Genit yang rupanya sudah
bisa kuasai sakitnya akibat serangan Yoga di Lembah
Maut. Kini ia sudah bertemu dengan Gandul dan Bra-
ta, yang pada mulanya berlari menyebar arah sewaktu
mengejar Tua Usil.
Raja Tipu segera berkata, "Nyai... saya da-
patkan Pedang Jimat Lanang! Saya akan serahkan ke-
pada Nyai, tapi saya mohon diterima kembali sebagai
pelayan setia Nyai Iblis Mata Genit...!"
Iblis Mata Genit menyipitkan mata dan merasa
heran, demikian pula Gandul dan Brata. Lalu, Iblis
Mata Genit bertanya, "Mana pedang itu?"
"Ini, Nyaii" Raja Tipu menyodorkan potongan
tangan milik Nyai Rajang Demit. "Nyai Rajang Demit
berhasil merampas pedang tersebut. Lalu bertarung
dengan Pendekar Rajawali Merah, dan tangannya ber-
hasil dipotong. Tapi karena potongan tangan ini masih
menggenggam pedang dan saya tak sempat... tak sem-
pat...!" ucapan Raja Tipu terhenti. Karena sejak tadi ia
berkata sambil memandang wajah Iblis Mata Genit,
sehingga ketika memperhatikan potongan tangan yang
sudah tidak menggenggam pedang lagi itu, ia segera
terkejut dan terbengong.
"Lho...?! Lho...?!" wajahnya celingak-celinguk
mencari pedang.
"Mana pedang pusaka itu, hah?!" hardik Iblis
Mata Genit yang tampak jauh lebih muda dari Raja Ti-
pu itu.
Menyadari pedang pusaka sudah hilang dari
potongan tangan, maka sebagai penutup rasa malu,
Raja Tipu pun berkata,
"Pedang Jimat Lanang adalah pedang yang te-
ramat sakti, Nyai! Dia bisa melebur menjadi satu den-
gan potongan tangan ini. Tapi dengan sentakkan tena-
ga dalam, pedang itu bisa keluar lagi dari potongan
tangan ini, Nyai!" sambil potongan tangan yang pan-
jangnya dari pangkal pundak sampai telapak tangan
itu diserahkan.
Iblis Mata Genit menerimanya, memperhatikan
dan mengetahui bahwa tangan itu adalah tangannya
Nyai Rajang Demit. Tapi ia yakin apa yang diucapkan
Raja Tipu itu hanya bualan semata. Ia menahan ke-
dongkolan hatinya, karena Raja Tipu masih berusaha
berkata dengan bahasa dan gaya tipuannya,
"Kalau bukan pedang sakti, tak mungkin bisa
melebur jadi satu dengan potongan tangan korbannya
itu. Silahkan ambil, Nyai. Yang penting saya bisa di-
angkat menjadi....."
Plokkk...!
Iblis Mata Genit menghentakkan potongan tan-
gan itu kuat-kuat ke kepala Raja Tipu. Begitu kerasnya
hantaman tersebut hingga membuat Raja Tipu jatuh
terpelanting, matanya berkunang-kunang, makin lama
pandangan matanya makin gelap, lalu ia tak sadarkan
diri. Brukkkk!
Iblis Mata Genit memandang Gandul dan Brata
setelah membuang potongan tangan itu dan berkata,
"Lupakan soal Pedang Jimat Lanang! Mulut Raja Tipu
jauh lebih busuk dari kotoran. Kita jalan terus! Cari
Pendekar Rajawali Putih yang bernama Lili itu sampai
dapat!"
Mereka pun melangkahi tubuh Raja Tipu yang
terkapar pingsan itu. Kalau saja ia dengar ucapan Iblis
Mata Genit, maka ia akan bertanya dalam hati: mam-
pukah Iblis Mata Genit temukan Pendekar Rajawali
Putih dan bisakah ia membunuhnya? Sampaikah Pe-
dang Jimat Lanang ke tangan Nyai Sembur Maut, jika
Gadis Linglung bersama Yoga?
SELESAI
Segera terbit:
GEGER PERAWAN SILUMAN
0 comments:
Posting Komentar