..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE BUNGA PENYEBAR MAUT

matjenuh khairil

 


BUNGA PENYEBAR MAUT
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: 
Bunga Penyebar Maut 128 hal.

1

MENJELANG tengah hari, Tua Usil yang diken-
al sebagai Manusia Kabut itu, berlari-lari menuju pon-
doknya. Ia membawa dua ekor kelinci hutan sebagai 
hasil buruannya. Tetapi kedatangan Tua Usil bukan 
untuk serahkan dua ekor kelinci buruannya itu kepa-
da Pendekar Rajawali Putih, melainkan karena sesuatu 
hal yang membuatnya menjadi tegang.
Di pembaringan dalam pondoknya, Tua Usil 
temui Lembayung Senja yang masih belum sembuh be-
tul dari lukanya akibat serangan lawan. Di sana Lem-
bayung Senja berbaring sesuai dengan perintah Lili, si 
Pendekar Rajawali Putih itu. Tua Usil segera menyapa 
Lembayung Senja dengan nada tegang,
"Nona mana...?! Nona Li mana?!" belum terja-
wab, ia sudah lari ke dapur dan ke sumur. Ia kembali 
lagi temui Lembayung Senja setelah di sana ia tidak 
temukan Lili yang dicarinya.
"Nona Li manaaa...?!" sentaknya tampak panik. 
"Mungkin masih di lembah. Ada apa, Tua 
Usil?!" 
"Dari tadi pagi masih di lembah?" 
"Setahuku dari tadi pagi Nona Li belum pulang. 
Pasti masih duduk termenung di sana! Cobalah cari 
dia ke sana!" kata Lembayung Senja sambil berusaha 
bangkit dari rebahannya. Tua Usil bergegas keluar 
sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia lupa 
menaruh hasil buruannya yang telah mati itu.
Lembayung Senja keraskan suara, "Hai, ada 
apa sebenarnya? Mengapa kau mencari Nona Li, Tua 
Usil?! Kalau hanya untuk memasak kelinci itu, aku 
pun bisa! Tak perlu dia!"
Dengan sikap tergopoh-gopoh, Tua Usil kembali

temui Lembayung Senja, padahal dia sudah sampai di 
luar rumah. Ia masuk ke dalam dan berkata,
"Ada tiga orang menuju kemari!"
"Bermaksud jahat atau tidak?"
"Entahlah. Tapi yang satu orang kukenal. Dia 
adalah Gandaloka, utusan dari Pulau Keramat yang 
waktu itu anak buahnya bertarung melawan Yoga!"
"Gandaloka?!" Lembayung Senja mulai mene-
gang. "Apakah dua orang lainnya juga bertubuh tinggi 
besar seperti raksasa?"
"Benar! Dilihat dari langkahnya yang cepat, 
agaknya mereka akan menuntut balas atas kematian 
kelima anak buahnya tempo hari Mereka pasti menuju 
kemari dan mencari Tuan Yoga!"
"Gawat! Cepat susul Nona Li di lembah dan be-
ritahukan hal ini. Kalau mereka tiba di sini sebelum 
kalian datang, aku akan menahan mereka dl depan 
rumah!"
Tua Usil manggut-manggut. Kemudian ia segera 
keluar sambil masih menenteng kelinci buruannya. Ia 
tak sadar dengan apa yang ditentengnya. Sementara 
itu,
Lembayung Senja kuatkan diri dan segera am-
bil pedang barunya yang diperoleh dari sesosok mayat 
tak dikenal. Tubuhnya memang masih lemas, tapi 
Lembayung Senja merasa cukup mampu untuk me-
langkah keluar rumah dan menghadang tamu bertu-
buh tinggi besar menyerupai raksasa.
Lembayung Senja tak merasa heran jika Gan-
daloka datang lagi bersama orang-orangnya, karena 
layak ia menuntut balas atas kematian kelima orang-
nya di tangan Pendekar Rajawali Merah, atau si tam-
pan bernama Yoga itu, (Baca episode: "Utusan Pulau 
Keramat"). Tetapi Lembayung Senja tidak tahu, apakah 
kali ini Lili tetap akan membela dan membantu Yoga?

Sebab Lembayung Senja tahu, Lili sedang kecewa dan 
marah kepada Yoga akibat Yoga akrab dengan gadis 
cantik bernama Kencana Ratih, (Baca episode: "Ge-
rombolan Bidadari Sadis").
Lili memang kecewa dan hatinya terluka meli-
hat Yoga yang dicintai itu berhubungan akrab dengan 
Kencana Ratih. Susah payah Lili waktu itu mencari 
Yoga, bertarung dengan para bidadari sadis demi 
membela Yoga, ternyata Yoga justru menyelamatkan 
Kencana Ratih dan menyerang Lili yang ingin membu-
nuh Kencana Ratih. Rasa cemburu di hati Lili mem-
buat ia murung sepanjang hari.
Lili ingin memutuskan untuk pergi jauh me-
ninggalkan Yoga, tetapi Pendekar Rajawali Merah itu 
selalu membayang di pelupuk matanya sehingga sulit 
bagi Lili untuk meninggalkannya. Padahal Yoga sendiri 
selama ini seakan tidak mau tahu perasaan dan rindu 
yang ada pada hati Lili. Kini dara cantik yang kecanti-
kannya melebihi bidadari itu berada di ambang kebim-
bangan; untuk tetap menunggu Yoga kembali atau 
pergi tinggalkan pendekar tampan pemikat hati wanita 
itu?
"Nona Li...! Nona Liiiii...!" panggil Tua Usil dari 
ketinggian sana ia berlari-lari mendekati Lili ketika 
Pendekar Rajawali Putih itu berpaling memandanginya. 
Buru-buru air mata yang masih membasah di pelu-
puknya itu dikeringkan, karena Lili tak ingin Tua Usil 
mengetahui bahwa dirinya sedang menangis.
Sehela napas panjang ditarik dalam-dalam oleh 
Lili sebagai penahan duka di hatinya. Pandangannya 
mulai bernada heran melihat Tua Usil berlari-lari den-
gan tergopoh-gopoh. Lili tahu, pasti bukan karena Tua 
Usil ingin tunjukkan hasil buruannya, melainkan ada 
sesuatu hal yang cukup menegangkan hati lelaki tua 
itu.

Napas Tua Usil terengah-engah ketika ia sam-
pai di depan Pendekar Rajawali Putih. Mulutnya cen-
gap-cengap, ingin melontarkan kata namun didesak 
oleh napas yang memburu. Lili segera menegur dengan 
suara datar berkesan dingin, "Ada apa?"
Setelah mengendalikan nafasnya sejenak, Tua 
Usil pun menjawab,
"Tiga orang Pulau Keramat sedang menuju ke-
mari, Nona Li!"
"Mau apa mereka?"
"Entahlah, yang jelas mereka tidak bermaksud 
belajar berdiri di atas ilalang seperti keinginan saya 
yang belum pernah terkabulkan itu. Yang saya tahu, 
mereka melangkah cepat, seperti terburu-buru. Satu di 
antara ketiganya adalah Gandaloka, yang waktu itu 
datang dengan membawa lima anak buahnya dan ber-
tarung dengan Tuan Yo!"
"Katakan kepada mereka, aku sudah tidak ada 
urusan dengan Tuan Yo! Jangan usik aku jika mereka 
ingin panjang umur!"
"Ba... baik. Saya akan sampaikan," kata Tua 
Usil dengan gemetar, karena ia tahu Nona Li sedang 
marah, dan ia takut jika Nona Li dalam keadaan tak 
mau senyum sedikit pun begitu.
Dalam sikap berdiri yang menerawang, hati Lili 
berkata, "Mau apa mereka datang lagi kemari? Tetap 
ingin memaksa Yoga dibawa ke Pulau Keramat? Apa-
kah Kembang Mayat yang akan dinobatkan sebagai ra-
tu di pulau itu, tetap memilih Yoga sebagai calon sua-
minya? Haruskah kubiarkan hal itu terjadi? Atau ha-
ruskah ku halangi niat mereka? Ah, sepertinya sia-sia 
saja aku menghalangi maksud mereka, toh Yoga sendi-
ri sedang terbuai indah oleh gadis yang bernama Ken-
cana Ratih itu! Biar sajalah apa yang ingin dilakukan 
mereka kepada Yoga, aku tak akan ikut campur lagi!"

Sementara Tua Usil dalam perjalanan pulang ke 
pondoknya, Gandaloka yang berwajah tampan namun 
berbadan tinggi besar itu telah datang bersama dua 
anak buahnya. Kali ini dua anak buahnya juga berwa-
jah tampan, namun berkesan dingin. Sorot matanya 
bagai membekukan darah orang yang dipandangnya.
"Kalau tak salah ingat, kau yang bernama Lem-
bayung Senja?" sapa Gandaloka tetap dengan sikapnya 
yang sopan dan menghargai lawan bicaranya. Lem-
bayung Senja pun menjawab dengan sopan walau tan-
pa senyum,
"Benar. Aku Lembayung Senja. Ada perlu apa 
kau datang kemari, Gandaloka?"
"Aku ingin bertemu dengan Pendekar Rajawali 
Merah."
"Dia tidak ada di sini!" jawab Lembayung Senja 
kalem. Waktu itu, Tua Usil muncul dan terperanjat ka-
get memandang Gandaloka dengan dua anak buahnya 
itu. Wajah Tua Usil menjadi cemas ketika Gandaloka 
menatap ke arahnya, juga kedua anak buahnya itu 
menatap ke arah Tua Usil. Kemudian Gandaloka ber-
kata kepada Tua Usil,
"Benarkah Pendekar Rajawali Merah tidak ada 
di pondokmu ini, Pak Tua?" sambil Gandaloka sedikit 
bungkukkan badan sebagai tanda menghormat kepada 
yang diajak bicara.
"Bbe... benar... benar, Tuan! Pendekar Rajawali 
Merah tidak ada di sini. Beliau sedang pergi."
"Bagaimana dengan Pendekar Rajawali Putih? 
Apakah ada di sini?"
Karena mata Gandaloka tertuju kepada Tua 
Usil, maka Tua Usil pun menjawab dengan gugup,
"Tid... tid... tidak ada! Nona Lili tidak ada di 
rumah. Dia... dia ada di lembah sana!"
"Boleh kami menemuinya?"

Lembayung Senja yang menjawab, "Dia sedang 
berduka hati. Sebaiknya jangan sekarang jika ingin bi-
cara dengannya."
"Kami tidak bermaksud mengganggunya, Lem-
bayung Senja. Kami hanya ingin membicarakan sesua-
tu padanya."
Tutur kata yang lemah lembut dan penuh ke-
sopanan itu membuat hati Lembayung Senja tidak 
menaruh kebencian atau kecemasan sedikit pun ter-
hadap Gandaloka. Tapi ada sesuatu yang sedang di-
pertimbangkan dalam benak gadis berambut poni den-
gan kecantikan yang cukup menawan itu. Maka, se-
saat kemudian Lembayung Senja berkata pelan kepada 
Gandaloka dan tidak didengar oleh Tua Usil.
"Aku ingin bicara berdua denganmu, Gandalo-
ka!"
"O, baik. Di mana kita akan bicara?"
"Hmmm...." Lembayung Senja memandang se-
keliling, kemudian matanya tertuju ke pohon yang ada 
dl pojok rumah. "Di sana saja!"
Gandaloka setuju, dan ia menyuruh anak 
buahnya tinggal di tempat, sementara dia sendiri men-
gikuti langkah Lembayung Senja ke bawah pohon yang 
ada di pojok halaman rumah. Tindakan itu timbulkan 
rasa aneh pada diri Tua Usil, karenanya ia memandan-
gi Lembayung Senja dengan dahi berkerut. Tetapi ke-
dua teman Gandaloka itu hanya diam saja, tetap 
membisu dan berwajah dingin. Keduanya sama-sama 
melipat tangan di depan dada, satu memandang ke 
arah Gandaloka, satunya lagi memandang ke arah Tua 
Usil, bagai sedang mengawasi.
"Gandaloka, pernahkah aku mengatakan ten-
tang hubungan ku dengan ratu mu yang kau sebut 
Gusti Kembang Mayat itu?"
Gandaloka diam sejenak karena mengingat

ta,
"Memang tidak ada di sini! Aku berani bersum-
pah dengan jaminan nyawaku sendiri. Sebaiknya, co-
balah bicara dengan Lili, tapi hati-hati, dia sedang da-
lam keadaan menahan murka!"
"Baiklah. Kami akan temui dia."
"Gandaloka...!" panggil Lembayung Senja ketika 
Gandaloka mau meninggalkan tempat. "Ingat pesanku, 
kalau kau sampai pulang kembali ke Pulau Keramat 
itu, katakan kepada Gusti mu Kembang Mayat bahwa 
aku; Lembayung Senja, masih hidup dan ingin berga-
bung kembali dengan beliau."
"Baik. Nanti akan kami sampaikan pesanmu 
itu. Tapi terlebih dulu, maukah kau membantu tugas 
kami?"
"Aku tidak bisa banyak berbuat, karena aku 
masih dalam keadaan terluka! Aku perlu waktu untuk 
sembuhkan diri dengan tidak banyak lakukan apa-
apa."
"O, begitu? Baik, aku bisa memahami. Seka-
rang aku akan temui Pendekar Rajawali Putih."
"Silakan. Ingat, hati-hati... jangan sampai me-
mancing amarahnya!"
Lembayung Senja segera temui Tua Usil dan 
berkata, "Antarkan mereka untuk menemui Nona Li!"
"Aku tidak berani! Nona Li melarang orang-
orang itu datang kepadanya!" bisik Tua Usil dengan 
cemas. masih saja menenteng dua ekor kelinci bu-
ruannya.
"Tunjukkan saja arahnya, kau tak perlu ikut ke 
sana!"
Tua Usil akhirnya mau menerima perintah itu. 
Ia menjadi penunjuk jalan bagi Gandaloka dan dua 
orang berwajah dingin itu. Ia tetap menenteng dua 
ekor kelinci buruannya karena tak terpikir dalam


otaknya untuk meletakkan hasil buruannya tersebut. 
Yang ada dalam otaknya hanya rasa takut menghadapi 
tiga orang bertubuh tinggi dan berbadan besar itu. Hal 
yang membuat Tua Usil menjadi ketakutan adalah si-
kap mereka yang seakan siap tempur. Ketiganya me-
nyandang pedang besar di punggung masing-masing, 
menandakan mereka siap lakukan pertarungan den-
gan siapa pun.
Lembayung Senja sempat termenung beberapa 
saat setelah Gandaloka pergi. Hatinya bimbang antara 
kembali kepada Kembang Mayat yang dulu sebagai ke-
tua perguruannya, atau tetap memihak Lili dan Yoga 
Pada satu sisi, hati Lembayung Senja ingin memiliki 
Racun Bunga Asmara. Dan hanya Kembang Mayat 
yang mempunyai jurus 'Racun Bunga Asmara'. Tapi 
sasaran yang akan dituju adalah Yoga. Lembayung 
Senja menjadi bimbang juga; mungkinkah Kembang 
Mayat mau berikan jurus 'Racun Bunga Asmara' jika ia 
sendiri menganggap jurus itu sebagai jurus andalan 
untuk menaklukkan hati Pendekar Rajawali Merah?
"Aku harus mencurinya dengan suatu kelici-
kan! Tapi kelicikan yang bagaimana, aku belum tahu! 
Untuk sementara ini, biarlah aku ikut saja ke mana 
arah angin membawaku pergi, yang penting tak jauh 
dari pendekar tampan itu!" pikir Lembayung Senja 
sambil langkahkan kaki pelan-pelan menuju ke arah 
lembah, karena ia ingin tahu apa yang dilakukan Gan-
daloka bersama kedua orang andalannya itu terhadap 
Pendekar Rajawali Putih.
Tua Usil tak berani tampakkan diri. Ia segera 
menghilang setelah Gandaloka melihat di mana Lili be-
rada. Gandaloka dan kedua orangnya itu segera ham-
piri Pendekar Rajawali Putih yang tengah memunggun-
ginya, memandang jauh dalam terawang hatinya yang 
gundah.

Begitu mendengar suara langkah kaki mende-
kati, Lili segera palingkan wajah ke belakang. Ia tidak 
terlalu terkejut melihat tiga orang bertubuh besar itu 
datang mendekatinya. Ia hanya menggerutu dalam hati 
dan ditujukan kepada Tua Usil. Ia tahu, pasti si Tua 
Usil itulah yang menjadi pemandu ketiga orang besar 
tersebut.
Gandaloka memberi hormat sederhana sebagai 
sikap sopannya terhadap orang yang akan diajaknya 
bicara. Tetapi dua orangnya yang ada di belakang itu 
ha nya pandang wajah Lili dengan sorot pandangan 
mata yang cukup dingin dan bersikap kurang bersa-
habat. Lili pun pasang sikap tak kalah dingin dengan 
kedua orang tersebut. Ia lebih dulu perdengarkan sua-
ra ketusnya kepada Gandaloka,
"Mau apa kau datang kemari?"
"Kami diutus kembali oleh Gusti Ratu Kembang 
Mayat untuk menemui Pendekar Rajawali Merah," ja-
wab Gandaloka dengan kalem.
"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan orang 
berlengan buntung itu!" jawab Lili dengan kasar dan 
ketus, sebagai cermin hatinya yang sedang marah ke-
pada Pendekar Rajawali Merah.
"Setidaknya kau bisa kasih tahu kami, di mana 
Pendekar Rajawali Merah berada, Nona Lili?"
"Aku tidak tahu."
"Terlalu aneh jika kau tidak tahu, karena kau 
adalah juga Pendekar Rajawali, hanya berbeda warna 
dengan Tuan Yoga!"
"Aku memang tidak tahu di mana dia sekarang! 
Mungkin sudah kabur bersama gadis bernama Kenca-
na Ratih!"
"Kencana Ratih...?! Orang perguruan manakah 
dia?"
"Jangan tanya padaku!" sentak Lili. "Aku sendiri tak tahu gadis liar mana dia itu? Yang ku tahu, Yoga 
sedang kasmaran dengan Kencana Ratih. Mungkin dia 
akan menikah dengan gadis itu!"
Gandaloka terperanjat kaget. "O, itu tidak boleh 
terjadi! Kalau begitu kami harus segera mencari gadis 
bernama Kencana Ratih itu!"
"Cari saja sana!" ketus Lili sambil melengos. 
"Terakhir kali aku jumpa mereka di Gua Bidadari, di 
lereng Gunung Tambak Petir! Setelah itu, ke mana me-
reka berdua, aku tidak tahu!"
"Gunung Tambak Petir...?!" Gandaloka meng-
gumam bagai bicara pada diri sendiri, tetapi matanya 
menatap kepada kedua orang bawaannya itu. Yang di-
tatap hanya diam saja, tapi kelihatan manggut-
manggut kecil, nyaris tak kentara.
"Apakah Kembang Mayat masih inginkan Yo-
ga?" tanya Lili ingin tahu.
"Benar! Kami bahkan mendapat amanat tinggi; 
membawa pulang Pendekar Rajawali Merah, atau 
membunuhnya jika beliau menolak!"
Terkesiap mata Lili mendengar kata-kata terak-
hir itu. Ia ingin berontak dalam hatinya, tapi ia tak 
mau tunjukkan sikapnya itu. Ia justru bersikap te-
nang-tenang saja dengan wajah tetap murung. Bahkan 
ia lebih kelihatan acuh tak acuh dengan ucapan Gan-
daloka tadi.
"Baiklah, kami akan berangkat mencari mereka 
berdua di Gunung Tambak Petir," kata Gandaloka ke-
mudian.
"Percuma," kata Lili sengaja memancing panas 
hati Gandaloka dan kedua temannya itu. "Kalian tidak 
akan berhasil membawa Yoga ke Pulau Keramat itu, 
karena Kencana Ratih pasti akan mempertahankan 
Yoga. Dia berilmu tinggi dan sangat sakti!"
"Kami akan bunuh dia demi tugas dari Gusti

Ratu kami! Saya sudah dibekali dua pendekar Pulau 
Kana ini; Ayodya dan Loga."
"Hrnm...!" Lili hanya mendengus sambil buang 
muka lagi, lalu berkata makin memancing nafsu Gan-
daloka, "Aku ingin lihat seberapa kehebatan pendekar 
dari Pulau Keramat itu. Mampukah mereka berdua 
membunuh Kencana Ratih?"
"Kita buktikan saja nanti!" jawab Gandaloka 
dengan tegas.
*
* *
2


KEPERGIAN Gandaloka membuat Lili menjadi 
kian merenung. Kini yang ada dalam benaknya adalah 
tugas yang diemban oleh Gandaloka. Membawa Yoga 
atau membunuh pendekar tampan itu? Dan haruskah 
Lili diam saja jika ada orang yang ingin membunuh 
Pendekar Rajawali Merah itu?
Hati Lili semakin perih dan sakit manakala ia 
bayangkan Yoga mati terbunuh oleh Gandaloka. Jelas 
jika hal itu terjadi maka ia tidak akan bisa bertemu 
dengan Yoga untuk selamanya. Perpisahan dengan Yo-
ga seumur hidup agaknya adalah sesuatu hal yang be-
lum mampu diterima oleh hati Lili. Karena itu, nalu-
rinya segera berontak dan ingin menggagalkan maksud 
dan tujuan dari tiga utusan Pulau Keramat itu. Pende-
kar Rajawali Putih segera melesat pergi menyusul 
langkah Gandaloka.
Sebenarnya dalam waktu singkat Gandaloka 
bisa tersusul olehnya tapi tanpa disangka tiba-tiba saja dua orang berperawakan angker menghadang lang-
kah Lili dan bikin ulah yang menyebalkan. Dua lelaki 
brewok yang mempunyai wajah ganas turun dari atas 
pohon dan berdiri tepat di depan Lili dalam jarak tiga 
langkah.
Jleeg..!
"Ha, ha, ha, ha..,!" keduanya sama-sama terta-
wa dengan lagak yang benar-benar membuat Pendekar 
Rajawali Putih hampir saja lepaskan pukulan maut-
nya. Untung ia masih sempat bertahan diri dan bersi-
kap tenang menghadapi dua orang tak dikenalnya itu.
"Mau ke mana kau, Nona Manis? Mengapa ja-
lan sendirian, hmm...?" si brewok kurus mulai mem-
buka rayuan yang memuakkan. Matanya tampak nak-
al. sementara temannya yang agak gemuk itu meman-
dangi Lili sambil mengelilinginya. Orang itu berkata 
kepada si kurus,
"Carok Alas, rasa-rasanya kita ketiban rezeki 
nomplok hari ini! Yang kita cari selembar daun kering, 
tapi yang kita dapatkan ternyata emas permata! Ha, 
ha, ha, ha...! Rasa-rasanya nona ini tidak keberatan ji-
ka kita ajak ke semak-semak rindang di seberang sa-
na, Carok Alas!"
Yang kurus berkata, "Mengapa harus ke semak-
semak sana? Di sini pun jadilah. Toh tidak ada orang 
yang berkeliaran di tempat sesepi ini, Balung Kuwuk!"
"Tapi hati-hatilah, agaknya si cantik menggiur-
kan ini tidak hanya sekadar keindahan tanpa isi! Kuli-
hat gagang pedangnya melambangkan bobot ilmu yang 
dimiliki, Carok Alas!"
"Oho, ho, ho, ho...! Aku sudah punya penang-
kalnya, Balung Kuwuk. Jurus 'Setan Gentayangan' ti-
dak akan ada yang bisa menandingi. Dan si cantik ini 
pasti akan tunduk dengan perintahku! Tak akan se-
gan-segan membelai kita secara bergantian! He, he, he,


he...!"
Sambil tertawa memuakkan, orang yang ber-
nama Carok Alas itu maju mendekati Lili, tangannya 
segera mencolek dagu Lili. Tetapi dengan cepat jari 
tangan Lili mematuk pergelangan tangan itu. Deeb...!
"Auh...!" Carok Alas segera tarik tangannya 
dengan cepat sambil memekik. Matanya terbelalak ka-
get memandang Lili dan Balung Kuwuk secara bergan-
tian. Ia ditertawakan oleh Balung Kuwuk, sudah tentu 
hatinya menjadi panas.
"Tutup bacotmu, Balung Kuwuk!" sentaknya 
dengan kasar sambil masih pegangi tangannya. "Patu-
kan tangannya seperti patukan seekor burung rajawali 
yang ganas! Sekujur tubuhku seperti disengat ribuan 
lebah liar!"
"Sudah kubilang, hati-hati! Dia tidak ubahnya 
seperti macan betina, Carok Alas! Kalau kau tak hati-
hati, bisa habis kau dimakannya!"
"Persetan! Mungkin itu hanya kebetulan saja!"
"Minggirlah. Biar aku yang menjinakkan macan 
betina ini!" kata Balung Kuwuk yang bersenjatakan tu-
lang besar seukuran lengan orang dewasa.
"Nona manis, kalau kau ingin tubuhmu tetap 
mulus, wajahmu tetap cantik menggiurkan, nyawamu 
tetap utuh di tempatnya, jangan sekali-sekali bersikap 
kasar kepada kami! Brewok Kembar Iblis bukan orang 
yang mudah dibuat main-main. Brewok Kembar Iblis 
jarang kasih kebijaksanaan kepada lawannya. Terlebih 
seorang wanita, jika tak mau tunduk, kami tak segan-
segan merajang habis tubuhnya dan melumat lembut 
kepalanya. Karena itu...."
Wuuut...! Taang...!
Tiba-tiba sekali mata Balung Kuwuk menjadi 
mendelik. Lehernya bagai dihantam memakai kayu 
yang amat besar. Padahal saat itu Lili hanya mengelebatkan tangannya dan dua jarinya mematuk leher Ba-
lung Kuwuk bagian samping. Tetapi patukan Jari itu 
membuat wajah Balung Kuwuk berubah menjadi me-
rah bagai habis terbakar.
"Bangsat...! Dia menyerangku!" katanya dengan 
suara sangat serak, seakan tak mampu lagi tenggoro-
kannya dipakai untuk bicara. Ia menelan ludah bebe-
rapa kali dengan mata mendelik.
Carok Alas yang tangannya kini membengkak 
biru itu serukan suara geram sambil bergerak ke 
samping,
"Anak setan! Rupanya kau tak bisa dikasih ha-
ti!"
Wulzzt...! Carok Alas bagaikan melemparkan 
sesuatu dengan tangan kirinya yang dikebatkan. Ben-
da yang dilemparkan itu tidak terlihat, namun tiba-tiba 
bagian bawah leher Lili terasa seperti dihantam dengan 
ujung bambu kecil. Hantaman itu cukup keras, sempat 
membuat Lili tersentak mundur satu tindak. Namun 
setelah itu, Lili tidak bisa gerakkan tangannya sedikit 
pun. Bahkan kedua kakinya bagaikan tidak bertulang 
lagi. Ia jatuh terkulai lemas seperti tidak mempunyai 
urat lagi. Beruntung ia ada di dekat gugusan tanah 
berbatu, se hingga ia bisa jatuh dengan punggung ber-
sandar Mulutnya pun tidak bisa digunakan untuk bi-
cara. Mungkin itulah yang dimaksud jurus 'Setan Gen-
tayangan' dari Carok Alas. Dan keadaan Lili yang ter-
kulai tak berdaya itu membuat hati kedua orang bre-
wok sangar itu menjadi kegirangan.
Tetapi ketika kedua orang itu berusaha mener-
kam Lili secara berebutan, tiba-tiba seberkas sinar 
jingga menerpa tubuh mereka dengan sangat cepat 
dan kuat. Blaaar...!
Carok Alas dan Balung Kuwuk terpental secara 
bersamaan. Tubuh mereka melayang tiga tombak

jauhnya dari tempat Lili terkulai. Mereka sama-sama 
meraung karena tubuh mereka dalam keadaan terba-
kar api yang cukup besar. Tubuh yang terbungkus api 
itu berusaha memadamkan diri dengan berguling-
guling. Namun semakin mereka bergerak banyak, se-
makin berkobar nyala api yang membakar diri mereka.
Lili melihat jelas kejadian itu. Lili sadar apa 
yang terjadi di depan matanya. Tapi ia tidak bisa me-
nengok ke kiri atau ke kanan, bahkan untuk ucapkan 
sepatah kata pun ia tak mampu. Akhirnya ia hanya bi-
sa menjadi penonton yang baik dan diliputi penuh pe-
rasaan kagum melihat jurus pembakar tubuh yang be-
gitu hebat itu. Sampai akhirnya kedua orang bertam-
pang angker itu diam tak berkutik dalam keadaan 
hangus, nyala api itu masih saja membakar mayat me-
reka. Tak sedikit pun susut dari kobarannya.
Kejap berikutnya Pendekar Rajawali Putih yang 
mengenakan pakaian merah jambu itu melihat kilatan 
sinar putih terang berkilauan yang menghantam tubuh 
hangus tersebut. Zraab...! Sinar putih berkilauan itu 
bagaikan menyergap kedua mayat hangus, dan nyala 
apinya tiba-tiba padam seketika. Bluub ...! Kini kedua 
mayat hangus itu tinggal mengepulkan asap yang kian 
lama kian menipis habis.
"Siapa orang sakti yang mempunyai ilmu se-
dahsyat itu?" pikir Lili dalam keadaan tetap terkulai 
lemas tak bertenaga itu. "Jurusnya tadi begitu hebat 
dan sukar ditangkis oleh lawan. Jurus ganas itu pasti 
dimiliki oleh tokoh tua yang sakti dan jarang menam-
pakkan diri di rimba persilatan. Hmm..., mengapa 
orang itu tidak segera tampakkan diri di depanku?"
Baru saja batin Lili bertanya begitu, tiba-tiba 
muncul sesosok tubuh berpakaian kuning dari arah 
belakangnya. Orang berpakaian kuning itu berjalan 
tenang mendekati dua mayat hangus tersebut. Ia memeriksa mayat itu sebentar, kemudian balikkan badan 
dan menatap Lili dari kejauhan.
Hati Lili sangat terkejut namun wajahnya tak 
bisa pancarkan rasa kagetnya itu, karena ia bagaikan 
tidak berurat sama sekali. Hal yang membuat Lili ter-
kejut ternyata orang berbaju kuning itu adalah seorang 
pemuda berusia sebaya dengan Lili. Rambutnya ikal 
bergelombang diikat kain merah, berwarna hitam 
mengkilap halus. Wajahnya tampan tanpa kumis, tapi 
memancarkan ketegasan, keberanian, dan kejanta-
nannya. Matanya bening dan teduh. Bibirnya merah 
segar dan seakan selalu menyunggingkan senyum. 
Dan hati Lili berdebar-debar kala pemuda itu sengaja 
lebarkan senyumannya sambil mendekati Lili.
"Sebenarnya akulah yang mereka cari!" kata 
pemuda itu kepada Lili sambil jongkok di depannya. 
"Me reka mengejarku sejak beberapa hari ini! Aku ti-
dak mau melawan mereka, karena mereka adalah pa-
man-paman ku. Tetapi kali ini mereka sudah kelewat 
batas, jadi aku terpaksa membunuh mereka daripada 
harus saksikan mereka memperkosa mu, Nona. Bre-
wok Kembar Iblis adalah anggota keluarga kami yang 
sudah lama dikucilkan, dan karena tindakan sesatnya 
itu, keluarga kami menjadi cemar! Mereka membunuh 
kakekku, yaitu ayah tiri mereka sendiri. Ibuku dan 
mereka berdua satu ibu kandung tapi lain ayah. Ibuku 
pernah wanti-wanti agar aku jangan bikin persoalan 
dengan kedua paman ku itu. Tetapi mereka sendiri 
yang bikin persoalan denganku, dan aku berulang kali 
menghindar dari mereka namun akhirnya tak bisa ju-
ga. Mereka menghendaki pedang pusaka warisan gu-
ruku yang ada di punggungku ini dan ingin merebut-
nya karena mereka tahu kesaktian pedang perunggu 
ini. Dan tugasku adalah menyelamatkan serta mem-
pertahankan pedang perunggu ini dari jamahan tangan-tangan sesat."
Pemuda itu bicara sendiri panjang lebar tanpa 
peduli yang diajak bicara bisa menyahut atau tidak, 
tanpa peduli yang diajak bicara mau mendengarkan 
atau tidak. Setelah bicara begitu, pemuda tampan itu 
berkata lagi,
"Kau terkena jurus 'Setan Gentayangan', Nona. 
Jurus itu adalah jurus andalan Paman Carok Alas. Tak 
ada perempuan yang bisa menghindari jurus 'Setan 
Gentayangan', sehingga Paman Carok Alas itu dikenal 
sebagai Pawang Perawan. Artinya, tukang memperkosa 
perempuan dengan amat lihainya membuat perem-
puan itu tidak berkutik."
Dalam hati Lili menggerutu, "Setan orang ini! 
Kerjanya bicara saja tapi tidak ambil tindakan untuk 
menyelamatkan aku dari pengaruh jurus 'Setan Gen-
tayangan' ini?! Apakah memang dia tidak mampu me-
mulihkan keadaanku menjadi seperti sediakala? Cela-
ka! Jangan-jangan dialah yang akan memanfaatkan 
keadaanku seperti ini?! Jangan-jangan dia yang mau 
memperkosaku?!"
Pemuda sopan itu seolah mendengar ucapan 
batin Lili, karena tepat saat Lili selesai berkata batin, 
pemuda itu sunggingkan senyumnya lagi. Hati Lili 
menjadi semakin tak enak, karena menduga pemuda 
itu tahu apa yang dikatakan dalam hatinya tadi. Pa-
dahal apa yang dilakukan pemuda itu hanya bersifat 
kebetulan saja. Kebetulan juga pemuda itu segera me-
raih sebatang ranting kering, lalu ia memegang tangan 
kiri Lili dengan sebelumnya berkata,
"Maaf, aku bukan bermaksud tidak sopan pa-
damu. tapi karena aku harus sembuhkan dirimu dari 
pengaruh jurus 'Setan Gentayangan' ini!"
Tangan Lili dipegangnya, telapak tangan itu di-
buka pelan-pelan, seakan dilakukan dengan penuh hati-hati. Bahkan telapak tangan itu sempat dirabanya 
sebentar dengan gerakan lembut. Mata pemuda itu 
memperhatikan garis-garis tangan Lili beberapa saat. 
Ia berkata seperti ditujukan kepada dirinya sendiri,
"Hebat sekali kau sebenarnya, Nona. Ilmumu 
cukup tinggi dan di telapak tanganmu ini tergenggam 
kesaktian yang sungguh dahsyat dan mengagumkan. 
Tak kusangka ternyata kau orang berilmu juga. Tapi 
agaknya ilmumu ini punya pasangan sendiri, jika ber-
temu dengan ilmu pasangan mu, akan membentuk sa-
tu ilmu yang lebih dahsyat dan lebih sakti lagi...." Pe-
muda itu masih memandangi garis tangan Lili. Tapi 
kemudian ia segera alihkan pandangan matanya kepa-
da Lili dan kembali tersenyum.
"Jangan takut, kau akan pulih seperti sediaka-
la. Aku tahu kunci membebaskan jurus 'Setan Gen-
tayangan'...."
Kemudian pemuda tampan bersenjatakan pe-
dang perunggu di punggungnya itu segera memegang 
jari tengah tangan Lili. Ranting yang tadi diambilnya 
dari tanah itu sekarang digunakan untuk menusuk ja-
ri tengah tersebut. Tees...! Begitu ujung jari tengah di-
tusuk ranting tak sampai berdarah, tubuh Lili tersen-
tak keras seketika, sampai tak sengaja tangan yang di-
pegangi pemuda itu berkelebat kuat dan menampar 
wajah pemuda itu. Plook...!
Terjengkang hebat pemuda tersebut terkena 
tamparan tak sengaja dari Lili. Kini ia ganti yang ter-
kapar di rerumputan sambil mengerang kesakitan. Tu-
lang pipinya memar seketika akibat hantaman telapak 
tangan Lili, sebab telapak tangan itu mempunyai tena-
ga dalam besar yang tersimpan di sana dan sewaktu-
waktu bisa keluar dalam satu sentakan kuat.
Pemuda itu tidak bisa bicara untuk beberapa 
saat. Wajahnya yang berkulit kuning langsat dan bersih itu menjadi merah. Lili yang telah terlepas dari 
pengaruh ilmu 'Setan Gentayangan' itu menjadi salah 
tingkah. Semua anggota tubuhnya sudah bisa digerak-
kan, ia kembali seperti sediakala, tapi ia harus berha-
dapan dengan pemuda tampan yang menderita sakit di 
wajahnya
Mata Lili menjadi serba salah dalam meman-
dang. Gerakannya pun menjadi serba kikuk. Tapi ia 
paksakan mendekati pemuda yang terkapar itu seraya 
berkata gugup,
"Ma., maa... maafkan aku. Aak... akku... aku 
tidak sengaja menamparmu! Ak... aku... oh, ya... aku 
akan sembuhkan kamu!"
Dengan hati berdebar-debar, tangan Lili pun 
segera meraba lembut wajah itu. Ia pejamkan mata ka-
rena ia curahkan hawa mumi ke dalam tangannya. 
Hawa murni itu meresap masuk melalui tulang pipi 
pemuda itu. Rasanya sejuk dan lembut. Dalam bebe-
rapa kejap berikutnya, wajah pemuda itu sudah tidak 
merah lagi, rasa sakit di tulang pipinya menjadi berku-
rang, lalu hilang. Warna memarnya pun sedikit demi 
sedikit menjadi sirna dan kembali ke warna aslinya. 
Tapi Lili masih tempelkan tangannya ke wajah itu ka-
rena ia melakukannya dengan mata terpejam, jadi ia 
tidak tahu kalau pemuda itu sudah berubah seperti 
sediakala. Bahkan ia tak sengaja telah menyentuh bi-
bir pemuda itu yang terasa hangat di permukaan kulit 
tangannya. Pemuda itu sedikit nakal, ia membuka mu-
lutnya dan menggigit kecil ibu jari tangan Lili. Tersen-
tak kaget Lili seketika. Ditarik mundur tangannya.
Pemuda itu tersenyum dan segera bangkit un-
tuk duduk. Lili berdiri dengan perasaan malu pada diri 
sendiri. Ia palingkan wajah, sembunyikan senyum ter-
sipu agar tak diketahui pemuda itu. Maka, pemuda itu 
pun segera bangkit berdiri sambil berkata,

"Maaf, aku hanya ingin bercanda sedikit den-
ganmu. Jika gigitan ku itu kau anggap tindakan tak 
sopan dan memalukan, hukumlah aku, Nona!"
Lili palingkan wajah, kembali memandang pe-
muda tampan yang menggetarkan hati itu. Lili geleng-
kan kepala sambil berkata pelan,
"Tak ada yang perlu dimaafkan, tak ada yang 
perlu dihukum."
"Terima kasih." ucap pemuda itu dengan lem-
but dan kalem.
"Yang kuperlukan adalah namamu."
"Namaku.... Wisnu Patra," jawab pemuda ber-
badan tegap itu. "Tapi orang-orang banyak yang men-
julukiku: Dewa Tampan." Lalu, pemuda itu tertawa geli 
sendiri, membuat Lili pun jadi ikut tertawa geli.
"Kau sudah mengetahui namaku, bolehkah aku 
mengetahui namamu?" tanyanya kemudian.
"Namaku.... Lili!"
"Hanya itu?"
"Ya."
"Bohong. Kau pasti punya nama julukan, kare-
na kau bukan orang sembarangan! Garis tanganmu 
menunjukkan kau orang berilmu tinggi. Biasanya 
orang berilmu tinggi mempunyai julukan sendiri. Se-
butkan julukanmu, jangan malu. Karena aku pun tak 
malu menyebutkan julukanku sendiri, yaitu Dewa 
Tampan!"
"Julukanku... rasa-rasanya tak penting. Yang 
penting aku ingin tahu dari mana asalmu, Wisnu Pa-
tra?"
"Sebutkan dulu nama julukanmu, Lili."
Lili menarik napas dan berkata, "Baiklah kalau 
kau memaksa. Aku tidak punya nama julukan, tapi 
aku mempunyai gelar dari guruku."
"Sebutkan!"

"Pendekar Rajawali Putih."
"Hahh...?!" Wisnu Patra tersentak kaget, ma-
tanya sampai terbelalak lebar, mulutnya ternganga se-
ketika. Wajah pemuda itu menjadi pucat pasi dengan 
gerak langkah mundur dua tindak. Mata itu segera 
menatap ke gagang pedang di punggung Lili yang 
mempunyai hiasan kepala burung rajawali yang saling 
bertolak belakang dari bahan logam perak putih yang 
mengkilat dan anti karat.
Melihat perubahan sikap Wisnu Patra, dahi Lili 
menjadi berkerut tajam-tajam. Pandangan matanya 
pun memancarkan keheranan, sehingga terlontarlah 
tanya,
"Kenapa? Apa yang membuatmu terkejut begi-
tu, Dewa Tampan?!"
Wisnu Patra bagai kelu lidahnya. Ia ingin 
ucapkan sesuatu, namun terasa sulit, sehingga ia 
hanya bisa gerak-gerakkan bibirnya dengan napas mu-
lai tak teratur.
*
* *
3


WISNU Patra berkelebat lari dari hadapan Pen-
dekar Rajawali Putih. Karena hati Lili menjadi semakin 
penasaran, maka ia pun mengejar Wisnu Patra dengan 
jurus 'Langkah Bayu'. Weesst...! Dan dalam waktu 
singkat, Lili sudah berada di depan langkah Dewa 
Tampan, ia berdiri bagai menghadang, dan Dewa Tam-
pan terhenti dengan rasa dongkol tertahan. "Mengapa 
kau tiba-tiba lari dariku, Wisnu Patra?" "Aku tidak

mau bertemu denganmu lagi," jawab Wisnu Patra.,
"Kau membenci ku?"
Wisnu Patra bingung menjawab. Matanya me-
natap Lili sebentar, lalu terlempar jauh memandang ke 
arah tak tentu. Sikapnya yang serba salah tingkah itu 
membuat Lili kian bertambah penasaran. Kemudian, 
Lili pun mendesak dalam tanya,
"Katakan apa adanya, Wisnu Patra! Jangan kau 
buat aku menjadi penasaran seperti ini! Sikapmu terla-
lu aneh buatku!"
Wisnu Patra melangkah pelan-pelan sambil 
tundukkan wajah. Ia sedang pertimbangkan jawaban 
yang harus diberikan kepada gadis cantik itu. Tetapi, 
di luar dugaan Lili, tiba-tiba Wisnu Patra sentakkan 
kaki ke tanah dan tubuhnya melayang cepat ke atas 
pohon. Kemudian
dengan gerakan lincahnya ia melarikan diri me-
lalui dahan-dahan pohon yang ada di atas sana.
Pendekar Rajawali Putih tidak mau kehilangan 
Wisnu Patra sebelum pemuda tampan itu menjawab 
keanehan sikapnya. Maka ia pun juga sentakkan kaki 
ke tanah dan tubuhnya melenting di udara mencapai 
dahan pohon. Ia segera mengejar Dewa Tampan itu 
melalui pohon ke pohon, mengikuti jejak langkah si 
Wisnu Patra yang tampan itu.
Rupanya kali ini Pendekar Rajawali Putih ter-
paksa kehilangan jejak Wisnu Patra. Mungkin ia salah 
arah dalam mengejar pemuda yang mampu mempu-
nyai gerakan lari begitu cepat, hampir menyamai jurus 
"Langkah Bayu'.
"Ke mana dia larinya? Atau aku salah arah da-
lam mengejarnya?" ucap Lili sendirian ketika ia berada 
di lereng perbukitan.
Tetapi tiba-tiba Lili merasakan hembusan angin 
panas datang mendekatinya dari belakang. Gerakan

gelombang angin panas itu sangat cepat, sehingga Lili 
tak sempat berpaling memandang ke belakang. Ia lekas 
sentakkan kakinya melesat ke atas dan bersalto dua 
kali, sehingga hembusan angin panas yang berbahaya 
itu lewat di bawah kakinya, tak sampai menyentuh tu-
buhnya sedikit pun.
Duaar...! Gelombang angin panas itu menghan-
tam pohon, dan pohon tersebut roboh seketika. Pada 
saat itu Pendekar Rajawali Putih memandang ke arah 
datangnya pukulan jarak jauh bertenaga dalam tinggi 
itu. Ternyata di sana tampak seorang perempuan mu-
da bersenjatakan seruling besar.
"Siapa kau!" seru Pendekar Rajawali Putih.
"Aku Seruni! Kau masih ingat peristiwa di Gua 
Bidadari itu?!"
"Seruni...?" ucap Lili pelan. "Mungkin dia salah 
satu orang Gua Bidadari yang sempat lolos dan mela-
rikan diri bersama beberapa orang lainnya itu?" (Baca 
episode: "Gerombolan Bidadari Sadis").
"Aku masih ingat tampang liar mu!" kata Seruni 
dengan sengitnya. "Kau memihak pemuda tampan 
yang sering di panggil dengan nama Yoga itu! Kau ber-
jaya jika bersamanya. Tapi sekarang kau sendirian dan 
aku sendirian! Aku ingin menebus kekalahan ku tem-
po hari. Ingin kubuktikan sejauh mana kehebatanmu 
jika dalam keadaan sendirian seperti ini!"
"Seruni, urusan itu adalah urusan Yoga dengan 
perempuan busuk yang bernama Kencana Ratih! Aku 
tidak ikut campur lagi dalam urusan itu!"
"Tapi waktu itu kau ikut campur, dan kau sem-
pat lukai aku dengan tenaga dalam dari tangan kirimu! 
Aku merasa terdesak dan harus segera lari untuk cari 
kesempatan lain membalas kalian. Dan sekarang ke-
sempatan itu datang, aku akan pergunakan sebaik 
mungkin. Karena itu, bersiaplah menebus kekalahan

ku waktu itu!"
"Tidak. Aku tidak mau terlibat lagi urusan Yo-
ga!"
"Kalau kau tak bersedia melawanku, lakukan 
bunuh diri di depanku sekarang juga. Lekas!"
Lili membatin dalam hatinya, "Wah, orang ini 
benar-benar cari penyakit! Mau tak mau aku terpaksa 
turun tangan juga jika caranya begitu! Padahal aku 
sudah tidak mau tahu lagi dengan urusan Yoga! Tapi 
jika dia mengancam nyawaku, aku berhak membela di-
riku sendiri!"
"Lekas lakukan, Keparat!" bentak Seruni.
"Aku akan layani tantanganmu, Seruni!"
"Bagus! Bersiaplah, Perempuan Busuk! 
Heaaah...!"
Seruni segera sodokkan serulingnya ke depan 
dengan satu sentakan cukup kuat. Dan dari ujung lu-
bang bambu seruling itu melesatlah sinar biru berben-
tuk garis lurus sebesar lubang seruling itu.
Wuuuts...!
Lili cepat sentakkan tangan kirinya yang tadi 
diramal oleh Wisnu Patra itu. Dari tangan tersebut 
muncul sinar putih keperakan yang menyebar lebar. 
Sinar itu dihantam oleh sinar birunya Seruni dan 
menggelegarlah bunyi benturan dua sinar bertenaga 
dalam tinggi itu.
Blaaar...!
Bumi berguncang sekejap. Pohon-pohon pun 
mulai rontokkan daun-daun kuningnya yang melayu. 
Tubuh Seruni terpental mundur sampai terguling-
guling akibat gelombang ledakan tersebut, sedangkan 
tubuh Lili hanya mundur satu tindak dengan tangan 
masih siap serang lagi.
"Keparat! Rupanya kau cukup tangguh juga, 
Gadis Bangkai!" geram Seruni. Ia segera bangkit, lalu

serulingnya ditiup dengan suara keras dan nadanya 
tak beraturan. Suara seruling itu mempunyai getaran 
yang mampu membuat kulit pohon mengelupas sendi-
ri-sendiri. Tentunya tiupan seruling kali ini disertai te-
naga dalam penghancur yang sungguh hebat. Hal itu 
membuat telinga Lili merasa bagai sedang ditusuk oleh 
ribuan jarum yang amat menyakitkan. Lili menutup 
kedua telinganya kuat-kuat, sampai wajahnya menye-
ringai menahan sakit dan ia jatuh berlutut karenanya.
Tiba-tiba suara seruling itu berhenti seketika 
setelah sekelebat sinar jingga menerpa tubuh Seruni. 
Sinar jingga itu membias dan menghantam tubuh Se-
runi, lalu api pun membungkus tubuh itu. Bbaab!
"Aaaaa...!" Seruni memekik keras-keras dengan 
berusaha memadamkan api yang membungkus tu-
buhnya. Ia berguling-guling agar api padam karena re-
rumputan yang basah itu. Tetapi api justru menjadi 
berkobar besar dan makin memekikkan suara memi-
lukan dari mulut Seruni.
Lili segera lepaskan kedua tangan yang menu-
tup telinganya. ia memandangi tubuh lawannya yang 
tak bisa lepas dari kurungan api membara itu. Lekas-
lekas ia bangkit dan memandang sekeliling. Karena ia 
yakin cahaya jingga yang berkelebat menghantam tu-
buh Seruni tadi pasti datang dari tangan Dewa Tam-
pan. Keadaan Seruni sama persis dengan nasib yang 
dialami oleh dua orang brewok yang menamakan diri 
mereka Brewok Kembar Iblis tadi.
Menyadari keanehan seperti itu, Lili pun segera 
berseru, "Wisnu! Keluarlah kau! Kita perlu bicara, 
Wisnu...! Jangan pergi dariku!"
Tak ada suara lain kecuali suara api yang ber-
kobar-kobar menghabiskan tubuh Seruni. Tubuh itu 
akhirnya diam, kaku, dan hitam tanpa nyawa lagi. Lili 
tak tega memandangnya. Ia lebih cenderung memandang sekeliling mencari sosok Wisnu Patra atau si De-
wa Tampan itu.
"Wisnuuu...!" panggilnya lagi dengan nada 
jengkel. "Jangan memancing kemarahanku, Wisnu! Ke-
luarlah dari persembunyianmu! Aku tahu kau ada di 
sekitar sini, Wisnu...!"
Tetap tak ada suara, tak ada gerak, bahkan de-
tak jantung pun tak terdengar oleh panca Indera Lili 
yang terpeka sekalipun. Api masih menyala tiada kun-
jung padam. Padahal Lili menunggu datangnya sinar 
putih yang akan memadamkan api seperti saat api itu 
datang dan padam membungkus tubuh Brewok Kem-
bar Iblis. Tapi ternyata sinar putih yang berfungsi se-
bagai pemadam itu tidak kunjung tiba juga.
Pendekar, Rajawali Putih segera sentakkan ka-
ki, tubuhnya melesat naik ke dahan sebuah pohon 
tinggi. Dari sana ia memandang ke bawah, mencari 
tempat persembunyian Wisnu Patra. Tetapi cukup la-
ma ia tidak menemukan apa yang dicarinya. Hanya sa-
ja, beberapa waktu setelah Lili melompati dahan ke 
dahan, ia melihat gerakan orang berlari cepat dengan 
pakaian kuning. Orang itu ada di seberang sana, cu-
kup jauh dari tempat Lili berada. Tak salah lagi, orang 
itu adalah Wisnu Patra. Maka, Lili pun segera menge-
jar ke arah bayangan kuning tersebut.
Wisnu Patra seorang pemuda yang licin bagai-
kan belut, menurut Lili. Kali ini ia kembali kehilangan 
jejak Wisnu Patra. Padahal alam mulai remang dan se-
bentar lagi gelap akan datang. Sekalipun demikian, Lili 
yang masih penasaran terhadap keanehan sikap Wis-
nu Patra itu tetap mencari pemuda tersebut, sampai 
akhirnya ia tiba di sebuah desa di mana ada sebuah 
kedai besar yang punya pengunjung cukup banyak. Li-
li sempatkan diri singgah ke kedai itu. Lalu ia bertanya 
kepada pemilik kedai tersebut,

"Apakah di sini ada penginapan, Pak Tua?"
Pak Tua itu menjawab. "Di sini tidak ada pengi-
napan, Nona. Tapi kalau Nona mau bermalam, Nona 
bisa gunakan kamar kosong di belakang kedai saya ini! 
Sesekali kamar itu memang saya sewakan untuk para 
pendatang yang kemalaman di desa kami."
"Berapa sewanya satu malam?"
"Tidak terlalu mahal untuk kamar yang seder-
hana, Nona."
"Baiklah. Saya akan sewa kamar itu, Pak Tua. 
Hanya untuk satu malam saja!"
"Baik. Saya akan suruh pelayan saya untuk 
membersihkan kamar itu!"
Kehadiran Lili di kedai itu menjadi pusat perha-
tian beberapa pasang mata lelaki. Kecantikan Lili 
sungguh memukau mereka. Namun tamu yang me-
nempati meja sudut itu nampak tidak tertarik sama 
sekali dengan kecantikan Lili. Dua tamu berperawakan 
tegap dan berusia antara empat puluh tahun itu, sibuk 
membicarakan masalahnya sendiri.
Dengan memusatkan perhatian dan memasang 
pendengarannya baik-baik, Lili sempat mendengar 
percakapan kedua orang tersebut. Yang berbaju biru 
mengatakan kepada si baju merah,
"Kurasa tidak semudah dugaanmu untuk men-
dapatkan bunga Teratai Hitam itu! Pasti beberapa 
orang upahan saling berlomba untuk mendapatkan-
nya. Dan itu berarti kita akan berhadapan dengan me-
reka!"
"Itu sudah pasti," kata yang mengenakan baju 
merah. "Tapi tentunya kita pun sudah siap siaga den-
gan lawan yang bakal kita hadapi. Kalau kau takut, 
sebaiknya kau tak usah ikut saja. Biarlah aku sendiri 
yang pergi ke Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan 
bunga Teratai Hitam itu!"

Rupanya, tiga tamu di belakang Lili itu pun se-
dang mempercakapkan tentang bunga Teratai Hitam. 
Salah seorang terdengar berkata,
"Seberapa pun besar bahayanya, aku tak akan 
mundur dalam usaha mendapatkan bunga Teratai Hi-
tam. Rugi besar kalau aku harus mundur, karena ini 
kesempatan baik untuk menjadi menantu seorang adi-
pati. Apalagi putri adipati yang bernama Galuh Ajeng 
itu seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi, 
rasa-rasanya mati pun sanggup kujalani demi menda-
patkan perempuan secantik dia."
"Kalau dari kita bertiga ini ada yang menda-
patkan bunga teratai tersebut, apakah kita bertiga juga 
akan saling bunuh sendiri?"
"Seharusnya kita bikin kesepakatan dulu sebe-
lum hal itu terjadi. Jika bunga teratai itu ada di tangan 
kita, siapa yang berhak maju sebagai suami Galuh 
Ajeng. Kalau sudah kita sepakati, maka kita tidak akan 
merasa iri satu dengan yang lainnya."
"Aku hanya mengejar kedudukan saja," kata 
seseorang yang persis duduknya beradu punggung 
dengan Lili. "Kabarnya, yang berhasil mendapatkan 
bunga Teratai Hitam sebagai obat penyembuh sakit 
sang Adipati itu, juga akan mendapatkan kedudukan, 
yaitu menjadi penguasa di salah satu tanah kekuasaan 
sang Adipati. Nah, aku memilih menjadi penguasa sa-
ja."
"Kalau begitu, aku lebih baik memilih harta 
yang juga dijanjikan akan diberikan kepada orang yang 
berhasil membawa bunga teratai itu kepada pihak ka-
dipaten. Lebih baik aku memperkaya diri, soal istri bi-
sa cari yang sesuai dengan seleraku. Lagi pula, aku 
kurang selera punya istri yang masih semuda Galuh 
Ajeng. Pengalaman bercintanya masih belum matang, 
sehingga masih harus mendidiknya dulu!"

Mereka tertawa bersama, sementara Lili hanya 
diam saja memperhatikan suara-suara dl sana-sini. 
Ternyata mereka banyak yang membicarakan tentang 
bunga Teratai Hitam. Kesimpulan yang diperoleh Lili 
adalah, bahwa seorang adipati sedang sakit parah. 
Sang Adipati itu bisa selamat jiwanya dan sembuh Jika 
mendapatkan obat dari bunga Teratai Hitam. Lalu, pi-
hak keluarga adipati sepakat keluarkan sayembara, 
bahwa barang siapa berhasil serahkan bunga Teratai 
Hitam, maka mereka akan mendapat berbagai hadiah 
dari pihak kadipaten; antara lain menjadi penguasa dl 
tanah wilayah kadipaten, mendapat kekayaan yang 
jumlahnya tidak sedikit, dan jika lelaki akan dinikah-
kan dengan putri sang Adipati yang bernama Galuh 
Ajeng. Konon, Galuh Ajeng sendiri sudah bersedia 
menjadi istri siapa pun asalkan ayahandanya bisa 
sembuh dari sakit parahnya itu.
"Teratai Hitam...?" gumam Pendekar Rajawali 
Putih dalam hatinya. "Kalau tak salah, Yoga pernah 
singgung
singgung soal bunga Teratai Hitam untuk sem-
buhkan Mahligai, keponakan Tabib Perawan itu. Atau 
mungkin Yoga sudah dengar tentang adanya sayemba-
ra yang dapat hadiah putri adipati yang cantik jelita 
itu? Ah, kurasa sayembara itu baru-baru ini saja di-
umumkannya. Dan... dan apakah sekarang Yoga se-
dang mencari bunga Teratai Hitam itu? Kudengar tadi 
orang di sudut sana menyebutkan nama Gua Mulut Ib-
lis. Apakah Yoga sedang berada dalam perjalanan ke 
Gua Mulut Iblis untuk mendapatkan Teratai Hitam? 
Jika benar dia ke sana, berarti dia akan berhadapan 
dengan banyak orang yang bernafsu untuk menjadi 
menantu sang Adipati. Tentunya mereka bukan orang-
orang berilmu rendah! Jadi, kesimpulannya Yoga pasti 
dalam bahaya! Ah, biar saja! Toh dia sudah dalam lindungan si Ganjen Kencana Ratih!" Lili bersungut-
sungut sendiri menahan kecemburuannya.
Padahal Yoga sendiri tidak tahu kalau bunga 
Teratai Hitam itu disayembarakan oleh pihak kadipa-
ten. Tujuan Yoga mendapatkan bunga itu hanya untuk 
sembuhkan Mahligai. Tetapi usahanya ke Gua Mulut 
Iblis itu sedikit terganggu oleh keadaan Kencana Ratih 
yang terluka akibat penggempuran Gua Bidadari tem-
po hari.
Kalau saja Pendekar Rajawali Merah itu tidak 
membawa Kencana Ratih, pasti ia sudah sampai di 
Gua Mulut Iblis sebelum orang-orang mencapai tempat 
itu. Tetapi hati Yoga tidak tega meninggalkan Kencana 
Ratih yang terluka, atau membiarkan Kencana Ratih 
pulang dengan membawa luka. Baik luka di tubuhnya 
maupun luka di hati akibat kematian kakaknya, sung-
guh merupakan beban kejiwaan tersendiri bagi Kenca-
na Ratih. Itulah sebabnya Yoga merasa perlu merawat 
gadis cantik yang kalau tersenyum punya lesung pipit 
di kedua belah pipinya itu.
Sebuah pondok, tempat seorang tokoh sakti 
mengasingkan diri dalam usia tuanya, menjadi per-
singgahan bagi Yoga dan Kencana Ratih. Pondok itu 
terletak di sebuah tebing bertangga batu. Mulanya Yo-
ga tidak tahu bahwa pondok itu milik Resi Gumarang. 
Kencana Ratih sendiri tidak mengenal nama Resi Gu-
marang. Tetapi lelaki berusia sekitar delapan puluh 
tahun lebih itu ternyata sengaja menyambut kedatan-
gan Yoga dan Kencana Ratih di ujung tangga Jalan ke 
pondoknya. Mulanya Yoga terkejut ketika Resi Guma-
rang menyapanya dalam sikap menghadang langkah.
"Aku mendengar jeritan batin seorang anak 
muda. Ternyata gadis itulah yang menjerit dalam ha-
tinya. Pasti ia terluka cukup parah. Jika kau tak kebe-
ratan, Anak Muda... singgahlah ke pondokku sebentar

ganya yang tersita habis pada waktu melakukan per-
tempuran dengan orang-orang Partai Gadis Pujaan 
yang tinggal di Gua Bidadari itu.
Pada saat Resi Gumarang hanya berdua dengan 
Pendekar Rajawali Merah itulah, apa yang terkandung 
di dalam hati sanubari Yoga diungkapkan keluar oleh 
Resi Gumarang. Orang berkepala gundul dengan jeng-
got putih itu berkata,
"Tujuanmu mencari bunga Teratai Hitam itu 
memang mulia...."
Yoga sempat kaget, karena dia belum pernah 
kemukakan maksud dan tujuannya ke Gunung Tam-
bak Petir itu. Tetapi ia segera maklum karena Resi 
Gumarang adalah tokoh tua yang sakti, semakin tua 
semakin tinggi ilmunya. Karena itu, Yoga hanya diam 
dan menjadi pendengar yang baik. Resi Gumarang pun 
lanjutkan ucapannya,
"Menolong orang adalah perbuatan yang mulia. 
Tapi ingatlah agar pertolonganmu tidak menjadikan 
malapetaka bagi orang lain juga."
"Saya kurang paham dengan maksud Eyang," 
kata Yoga.
"Jika kau dapatkan bunga Teratai Hitam itu, 
maka seseorang yang dalam keadaan sakit dapat men-
jadi sembuh. Sebab memang bunga itu yang dicari se-
bagai penawar racun dalam tubuhnya. Tetapi apabila 
orang itu sudah sembuh, dapatkah kau mengendali-
kan jiwanya?"
Pendekar Rajawali Merah membungkam mulut, 
merenungkan apa maksud kata-kata orang tua berba-
dan kurus itu. Karena lama sekali Yoga tidak berikan 
jawaban atas kata-kata tadi, maka Resi Gumarang 
berkata,
"Sejujurnya kukatakan padamu, Pendekar Ra-
jawali Merah, bahwa usahamu menyembuhkan seoganya yang tersita habis pada waktu melakukan per-
tempuran dengan orang-orang Partai Gadis Pujaan 
yang tinggal di Gua Bidadari itu.
Pada saat Resi Gumarang hanya berdua dengan 
Pendekar Rajawali Merah itulah, apa yang terkandung 
di dalam hati sanubari Yoga diungkapkan keluar oleh 
Resi Gumarang. Orang berkepala gundul dengan jeng-
got putih itu berkata,
"Tujuanmu mencari bunga Teratai Hitam itu 
memang mulia...."
Yoga sempat kaget, karena dia belum pernah 
kemukakan maksud dan tujuannya ke Gunung Tam-
bak Petir itu. Tetapi ia segera maklum karena Resi 
Gumarang adalah tokoh tua yang sakti, semakin tua 
semakin tinggi ilmunya. Karena itu, Yoga hanya diam 
dan menjadi pendengar yang baik. Resi Gumarang pun 
lanjutkan ucapannya,
"Menolong orang adalah perbuatan yang mulia. 
Tapi ingatlah agar pertolonganmu tidak menjadikan 
malapetaka bagi orang lain juga."
"Saya kurang paham dengan maksud Eyang," 
kata Yoga.
"Jika kau dapatkan bunga Teratai Hitam itu, 
maka seseorang yang dalam keadaan sakit dapat men-
jadi sembuh. Sebab memang bunga itu yang dicari se-
bagai penawar racun dalam tubuhnya. Tetapi apabila 
orang itu sudah sembuh, dapatkah kau mengendali-
kan jiwanya?"
Pendekar Rajawali Merah membungkam mulut, 
merenungkan apa maksud kata-kata orang tua berba-
dan kurus itu. Karena lama sekali Yoga tidak berikan 
jawaban atas kata-kata tadi, maka Resi Gumarang 
berkata,
"Sejujurnya kukatakan padamu, Pendekar Ra-
jawali Merah, bahwa usahamu menyembuhkan seo

rang gadis itu bisa saja tercapai. Tapi gadis itu mencin-
taimu dan akan mengejarmu ke mana saja. Dia akan 
memusuhi setiap wanita yang ingin dekat denganmu. 
Cintanya menjadikan suatu permusuhan dan dapat 
menghadirkan bencana bagi orang lain."
"Jika begitu, haruskah saya batalkan niat saya 
untuk mencari bunga Teratai Hitam itu, Eyang?"
"Jangan! Itu namanya kau menyerah sebelum 
bertarung," kata Resi Gumarang dengan senyum tua-
nya yang bijaksana. "Yang perlu kau kendalikan ada-
lah jiwa gadis itu. Redam cintanya agar jangan menjadi 
sifat angkara murka."
"Bagaimana harus meredamnya, Eyang?"
"Aku tidak tahu. Tapi aku yakin kau pasti 
punya cara sendiri untuk meredam cinta gadis itu. 
Apalagi bibinya juga jatuh cinta padamu."
Yoga kembali terperanjat dan menjadi malu, 
karena Resi Gumarang seakan menelanjangi rahasia 
pribadinya, sampai dibeberkan tentang perasaan cinta 
Sendang Suci, si Tabib Perawan yang juga adalah bibi 
dari Mahligai.
"Bisa-bisa gadis itu membunuh bibinya sendiri 
jika ia tahu bibinya jatuh cinta padamu! Dan... me-
mang perjalanan hidupmu ditakdirkan tak jauh dari 
masalah cinta dan dendam. Hati-hatilah mengarungi 
perjalanan hidupmu, Yoga!"
Yoga terbungkam lagi mendengar ramalan na-
sib hidupnya mendatang.
*
* *

4

GUA Mulut Iblis berudara dingin. Ketinggiannya 
di lereng Gunung Tambak Petir itu sering hadirkan sal-
ju yang menggumpal putih di dedaunan. Tapi untuk 
kali ini, salju tak ada di sekeliling Gua Mulut Iblis itu. 
Hanya sesekali kabut melintasi gua tersebut dan pada 
saat itu hawa dingin naik mencekam tulang manusia.
Tetapi seseorang yang sudah lama tinggal di da-
lam gua tersebut hampir tidak pernah mengenal ra-
sanya hawa dingin. Kulit dan tulangnya sudah terbiasa 
dan menjadi kebal terhadap hawa dingin pegunungan. 
Orang tersebut adalah tokoh tua yang dikenal cukup 
sakti, bernama Nyai Kubang Darah. Ia bertapa di da-
lam gua tersebut untuk mencapai suatu ilmu maha 
dahsyat yang akan mengalahkan kesaktian Malaikat 
Gelang Emas. Sebab, Nyai Kubang Darah punya den-
dam terhadap tokoh sesat yang tak kenal belas kasi-
han itu. Ia yakin suatu saat nanti ia akan dapat kalah-
kan Malaikat Gelang Emas jika ilmu yang ditekuninya 
di dalam Gua Mulut Iblis itu sudah berhasil diperoleh-
nya.
Gua tersebut dikatakan Gua Mulut Iblis karena 
pintu masuk gua itu seperti mulut iblis yang sedang 
menganga lebar. Tonjolan-tonjolan bebatuan di bagian 
tebing luar atas gua itu, mirip seperti mata dan hidung 
iblis yang mengerikan. Di dalam sana, terdapat sebuah 
telaga berair keruh. Di telaga itulah terdapat bunga Te-
ratai Hitam, yang hanya satu-satunya bunga tumbuh 
di telaga beraroma busuk, sehingga dinamakan Telaga 
Bangkai.
Konon bunga itu sendiri memberikan kekuatan 
gaib bagi udara yang ada di dalam gua tersebut, se-
hingga para pertapa yang dulu sering menyepi di situ

tidak pernah mau merusak tumbuhnya bunga terse-
but. Bahkan Nyai Kubang Darah merasa hilang selu-
ruh penyakit yang dideritanya selama bertahun-tahun, 
dan tubuhnya menjadi segar, kekuatan tenaga dalam-
nya terasa makin bertambah.
Itulah sebabnya ketika seorang sahabatnya da-
tang menemuinya di Gua Mulut Iblis itu, Nyai Kubang 
Darah seperti berada dalam kebimbangan jiwa. Orang 
yang sengaja datang menemuinya itu adalah Leak Pa-
rang, seorang tokoh sakti yang usianya sebaya dengan 
Nyai Kubang Darah. Semasa mudanya mereka adalah 
sepasang kekasih. Namun karena perbedaan aliran da-
lam ilmu mereka, Leak Parang dan Nyai Kubang Darah 
terpaksa harus berpisah. Nyai Kubang Darah cende-
rung untuk menganut aliran hitam, sedangkan Leak 
Parang, sekali pun berwatak keras, namun ia penganut 
aliran putih.
"Hanya kau orangnya yang berani mengganggu 
masa bertapa ku, Leak Parang!" kata perempuan lanjut 
usia yang berambut putih rata itu.
"Jika kau anggap suatu gangguan, aku minta 
maaf. Tapi aku perlu bertemu denganmu untuk satu 
masalah yang amat penting," kata Leak Parang dengan 
tegas.
Lelaki berusia antara tujuh puluh tahun itu di-
pandangi oleh Nyai Kubang Darah yang bermata ce-
kung dan bertubuh kurus, namun belum berkulit ke-
riput. Pipinya pun belum terlalu kempot. Mungkin juga 
akibat cukup lamanya ia berada di dalam gua itu dan 
menghirup udara gaib yang ditimbulkan dari bunga 
Teratai Hitam tersebut.
"Kalau bukan kau, sudah kubunuh orang yang 
berani mengusik masa bertapa ku ini!" kata Nyai Ku-
bang Darah yang saat itu ada di luar gua.
"Kau tahu sendiri, Kubang Darah, kalau bukan

karena urusan penting aku jarang keluar dari pondok-
ku!"
"Ya, aku tahu. Kau memang tokoh tua yang ja-
rang muncul di rimba persilatan jika bukan karena 
ada urusan penting. Hmmm...! Lalu apa maksudmu 
datang kemari menemuiku? Ada urusan penting apa 
yang kau hadapi, Leak Parang?"
"Aku mau minta bantuanmu, Kubang Darah!" 
"Bantuan...?" gumam Nyai Kubang Darah seperti bica-
ra sendiri, sambil ia melangkah memunggungi Leak 
Parang, tangannya bertopang pada tongkat panjang 
yang terbuat dari kayu hitam.
"Ceritakan apa kesulitanmu, baru kupertim-
bangkan apakah aku perlu membantumu atau tidak!"
"Kau harus membantuku, Kubang Darah. Ini 
demi menjaga agar hubungan kita tidak berubah men-
jadi permusuhan besar."
"Ceritakan dulu semuanya!" bentak Nyai Ku-
bang Darah sambil melirik Leak Parang. Yang dibentak 
kelihatan tenang-tenang saja. Leak Parang tidak ter-
singgung, sebab ia tahu betul watak Nyai Kubang Da-
rah yang suka membentak-bentak begitu.
"Seorang sahabatku yang menjadi adipati da-
lam keadaan sakit parah. Ia terkena racun yang amat 
berbahaya. Ia tidak akan bisa sembuh jika tidak mela-
lui pengobatan khusus, yaitu pengobatan dari bunga 
Teratai Hitam!"
Wuuut...! Kepala Nyai Kubang Darah berpaling 
dengan cepat. Wajahnya menjadi tambah angker den-
gan mata tajam menatap Leak Parang. Tapi yang dita-
tap tetap tenang dan hanya melipat tangan di dada. 
Berdirinya tetap tegap walau sudah berusia lanjut, 
namun masih kelihatan gagah dan sigap.
"Aku tahu maksudmu sekarang," kata Nyai Ku-
bang Darah dengan nada pelan, namun menahan geram. "Kau ingin mengambil bunga teratai yang ada di 
dalam gua ini, bukan?"
"Ya. Untuk menolong seseorang yang sangat 
menderita!"
"Aku tak peduli apa alasanmu! Sekarang gua 
ini dalam kekuasaanku, Leak Parang. Dan aku tidak 
izinkan siapa pun mengambil bunga itu!"
"Dengar dulu, Kubang Darah!" potong Leak Pa-
rang. "Adipati itu sudah membuka sayembara untuk 
dapatkan bunga Teratai Hitam. Mereka yang menda-
patkan bunga tersebut akan dikawinkan dengan putri 
sang Adipati yang amat cantik jelita dan...."
"Dan kau ingin kawin dengan putri cantik itu, 
hah?! Ngacalah dulu, Leak Parang! Berapa usiamu se-
karang?"
"Aku tidak bermaksud begitu, Kubang Darah! 
Aku hanya ingin menyelamatkan jiwa sahabatku itu! 
Tanpa ada pamrih apa-apa dari usaha penyelamatan 
ku nantinya!"
"Manusia mana yang bekerja tanpa pamrih?" 
Nyai Kubang Darah menyipitkan matanya. "Pertolon-
gan tanpa pamrih itu pertolongan yang benar-benar 
bodoh! Dan aku tahu kau bukan orang bodoh, Leak 
Parang!"
"Kau terlalu merendahkan diriku, Kubang Da-
rah!"
"Terserah apa katamu, yang jelas aku mengha-
langi niatmu yang ingin mengambil bunga teratai itu!" 
kata Nyai Kubang Darah dengan tegas dan bersikap 
menantang.
"Haruskah aku memaksamu dengan kasar, Ku-
bang Darah?!"
"Kalau kau mampu, lakukanlah!"
Mereka saling pandang dengan mata sama ta-
jamnya. Lalu dengan gerakan cepat, kaki Leak Parang

sentakkan ke tanah. Duuhg...! Tumit yang menghentak 
ke tanah itu ternyata memercikkan sinar merah yang 
melesat ke arah dada Nyai Kubang Darah. Tetapi Nyai 
Kubang Darah hanya memiringkan tongkatnya menyi-
lang ke dada, dan sinar itu menghantam tongkat ter-
sebut dengan menimbulkan ledakan keras.
Duaaar...!
Angin berhembus dalam satu hempasan kuat. 
Tapi kedua tokoh tua itu tetap berdiri. Hanya pakaian 
mereka yang tersapu angin, sebagian ada yang menjadi 
robek. Jubah hitam Leak Parang pun menjadi robek 
bagian tepinya karena kencangnya angin ledakan tadi. 
Sedangkan rambut Nyai Kubang Darah ada yang ron-
tok sebagian dan terbang tersapu angin besar.
"Ketahuilah, Kubang Darah... sebentar lagi 
tempat ini akan disatroni banyak orang yang memburu 
hadiah dari sang Adipati! Kau akan berhadapan den-
gan banyak orang dan itu akan merepotkan dirimu 
yang sudah setua ini! Tapi jika bunga itu kubawa per-
gi, maka mereka akan mengejarku dan biarlah aku 
yang menghadapi mereka nantinya!"
"Kau mulai mau memperdayai diriku, Leak Pa-
rang!" "Aku hanya tidak ingin kau mati lebih dulu se-
belum aku!"
Terdengar Nyai Kubang Darah bicara lirih, sea-
kan merupakan ucapan hati kecilnya,
"Sejak muda kau selalu berkata begitu. Tapi 
nyatanya kau tega memisahkan diri dariku, Leak Pa-
rang."
"Kita berbeda aliran, Kubang Darah. Tapi ba-
rangkali kita masih punya hati saling bertaut!"
"Omong kosong!" geram Nyai Kubang Darah. 
"Pulanglah sekarang juga sebelum murka ku tiba, Leak 
Parang!"
"Lepaskan murka mu padaku jika memang ke

matianku adalah baik bagi hidupmu selanjutnya, Ku-
bang Darah!"
"Jangan menyesali ucapanmu sendiri, Leak Pa 
rang! Heaaah...!"
Nyai Kubang Darah melompat dengan kaki me-
nendang ke depan. Tendangan itu tepat mengenai dada 
Leak Parang, membuat tangan Leak Parang terlepas 
dari sikap bersidekapnya, tubuhnya sedikit meleng-
kung ke belakang, namun telapak kakinya tidak ber-
geser sedikit pun dari tempatnya berpijak. Tendangan 
itu justru membuat Nyai Kubang Darah tersentak ba-
lik, hampir saja jatuh jika tidak cepat bertumpu pada 
tongkat panjangnya. Dan Leak Parang masih diam saja 
tanpa memberikan balasan apa pun.
"O, kau mau pamer kekuatanmu? Boleh, bo-
leh...!" Nyai Kubang Darah manggut-manggut sambil 
tersenyum sinis. "Tapi belum tentu kau bisa menahan 
Jurus 'Naga Kubur' ini! Heaaah...!"
Nyai Kubang Darah meliuk-liukkan tongkat 
dengan gerakan tubuh yang indah dan lincah, lalu da-
lam kejap berikutnya tongkat itu menyodok ke dada 
Leak Parang dengan sangat kuatnya. Duuhg...!
Tubuh Leak Parang tersentak ke belakang, tapi 
tak sampai membuat telapak kakinya bergeser sedikit 
pun. Hanya badannya yang melengkung ke belakang, 
kain pakaiannya yang putih menjadi hitam di bagian 
dada yang terkena sodokan tongkat itu. Sedangkan tu-
buhnya kembali tegak dan diam bagai patung. Tapi da-
ri mulutnya yang bungkam mengalirlah cairan kental 
warna merah segar. itulah darah yang tersorok dan 
terlonjak keluar dari bagian dadanya.
Leak Parang hanya buru-buru meludahkan da-
rah itu, lalu kembali bersikap tegak dan memandangi 
wajah Nyai Kubang Darah. Lelaki itu menjadi pucat 
dan sorot matanya sedikit sayu. Dalam hati sebenar

nya Nyai Kubang Darah mencemaskan keadaan Leak 
Parang, tapi ia tetap tunjukkan sikap tegasnya dan 
berkata, "Serang aku! Serang aku kembali, Bodoh!" 
"Tidak, Kubang Darah. Mati di tanganmu lebih damai 
bagiku daripada mati di tangan orang lain! Lakukanlah 
niatmu membunuhku kalau toh hal itu menyenangkan 
hatimu, Kubang Darah!"
"Aaagggr...!" Nyai Kubang Darah menggeram 
jengkel. "Aku benci kata-kata mesra seperti itu! Jangan 
ucapkan lagi. Kisah cinta kita sudah terkubur di dasar 
kerak bumi, Leak Parang!"
"Lupakan tentang cinta, dan bunuhlah aku! 
Tapi kau akan mengubur cinta mu juga ke dasar liang
lahat!"
"Setan! Jangan lemahkan murka ku dengan 
omongan mu, Tikus Busuk!"
"Kau masih tetap cantik seperti dulu di mataku, 
Kubang Darah!"
"Jahanaaam...," suaranya makin lemah. Itulah 
kelemahan Nyai Kubang Darah. Kelemahan tersebut 
diketahui persis oleh Leak Parang, dan hanya Leak Pa-
rang yang sanggup melemahkan murka Nyai Kubang 
Darah, karena perempuan tua itu sesungguhnya ma-
sih terbelenggu oleh cinta lamanya yang cenderung 
angkuh dan congkak. Jika Leak Parang mulai bicara 
soal cinta, keangkuhan murka sang Nyai pun men jadi 
lunak dan lemas.
Tak heran jika hati perempuan tua itu terasa 
mengharu biru dan akhirnya lelehkan air matanya 
dengan sembunyi-sembunyi. Seperti kali ini, Nyai Ku-
bang Darah terpaku dan tergores oleh kenangan in-
dahnya bersama Leak Parang sewaktu muda, sehingga 
ia tak mampu membendung air mata itu lagi. Ia berge-
gas masuk ke dalam gua, dan menangis di sana tanpa 
timbulkan suara. Leak Parang tarik napas keharuan

nya, kemudian susul Nyai Kubang Darah masuk ke 
gua tersebut.
"Kubang Darah," sapa Leak Parang dengan pe-
lan dan hati-hati. "Rasa-rasanya aku memang tak 
layak datang kemari. Kau amat terganggu dengan ke-
datanganku ini. Ada baiknya kalau aku mohon pamit 
sekarang saja, supaya tangismu berhenti, Kubang Da-
rah."
Nyai Kubang Darah dongakkan kepalanya ka-
rena saat itu ia duduk di atas sebongkah batu gua. Ia 
pandangi wajah lelaki yang pernah dicintainya dan 
sampai sekarang cinta itu membekas hangus dalam 
hatinya. Dengan mata berkaca-kaca, Nyai Kubang Da-
rah ucapkan kata,
"Kau telah membuka luka lamaku, Leak Pa-
rang."
"Maafkan aku. Sungguh aku menyesal tanpa 
memperhitungkan perasaanmu dalam mencari bunga 
tersebut. Mulanya yang ku pikirkan hanya keselama-
tanmu, Kubang Darah. Aku tak ingin orang-orang itu 
datang menyerbu mu, apalagi sampai melukaimu. Se-
kalipun kau berilmu tinggi, tapi kelalaian manusia te-
tap saja ada, dan aku takut mereka temukan kelalaian 
dan kelengahan mu, jadi ku putuskan untuk memba-
wa lari bunga itu, sehingga mereka berhadapan den-
ganku!"
"Kau pun akan mati diserang mereka nantinya!"
"Aku punya cara sendiri menghindari mereka."
Tangan Leak Parang digenggam oleh Nyai Ku-
bang Darah. Tangan itu ditempelkan ke pipi yang ba-
sah. Mata Nyai Kubang Darah masih menatap Leak Pa-
rang. Kejap berikutnya terdengar Nyai Kubang Darah 
berkata pelan,
"Jika kau berhasil membawa bunga itu, apakah 
kau benar-benar tak akan menikah dengan putri sang

Adipati itu?"
"Jernihkan pikiranmu, supaya bersih anggapan 
mu, Kubang Darah. Dalam usia setua ini kita tinggal 
menunggu saat kapan masuk ke liang kubur. Mengapa 
aku masih punya niat untuk kawin dengan putri sang 
Adipati yang berusia sejajar dengan usia cucu kita? 
Jangan punya prasangka seperti itu, Kubang Darah. 
Sama sekali tak ada niat apa pun di hatiku, kecuali 
niat menyelamatkan sahabatku itu!"
"Lalu bagaimana dengan hubungan kita? Tetap 
akan berpisah dan saling bertahan untuk tidak meni-
kah?"
"Kalau kau bersedia untuk ikut dalam aliran 
ku, aku tak keberatan mengawinimu, Kubang Darah!"
"Buatku sekarang, sudah tak ada aliran putih 
atau hitam. Yang kuinginkan adalah hidup damai dan 
tenang. Dan di gua ini, sebagian kedamaian serta ke-
tenangan telah ku peroleh, namun... namun akan 
menjadi lebih lengkap jika kau ada di sampingku, 
Sangga Buana!" kata Nyai Kubang Darah dengan me-
nyebut nama Leak Parang semasa mudanya. Hati Leak 
Parang trenyuh mendengar Nyai Kubang Darah me-
nyebutnya Sangga Buana. Masa mudanya kembali 
mengalir deras dalam ingatan, sehingga Leak Parang 
tank napas panjang-panjang untuk mengatasi gejolak 
keharuan hatinya.
Maka diraihnya kepala Nyai Kubang Darah, di-
peluknya dalam satu jangkauan tangan. Disandarkan 
kepala itu di perut dan diusap-usapnya penuh kelem-
butan. Hening pun tercipta melingkupi mereka, seakan 
menerbangkan jiwa dan pikiran mereka ke masa pulu-
han tahun yang lalu. Sampai akhirnya, Leak Parang 
pun berkata dengan suara pelan namun tetap bernada 
tegas,
"Ada baiknya kau tinggal di pondokku. Barang

kali pondok itulah yang menanti masa-masa penya-
tuan jiwa dan cinta kita, Kubang Darah."
"Bawalah...," ucap Nyai Kubang Darah tiba-tiba. 
"Bawalah bunga itu dan bawalah pula diriku, Leak Pa-
rang!"
"Setulus hatikah kau menyuruhku?"
"Lebih tulus dari hati masa lalu kita, Sangga 
Buana!"
Mereka saling bertatap pandang lagi, lalu Leak 
Parang mulai sunggingkan senyum dan Nyai Kubang 
Darah pun membalas dengan senyum tuanya, yang 
menu-rut anggapan Leak Parang masih secantik se-
nyuman masa mudanya.
"Kau sungguh masih secantik dulu, Punding 
Ayu!" bisik Leak Parang membuat hati Nyai Kubang 
Darah merasa lebih indah lagi karena mendengar na-
ma mudanya disebutkan Sangga Buana.
Bunga Teratai Hitam berada di permukaan air 
telaga yang berbau busuk. Tetapi pada saat bunga Te-
ratai Hitam itu diangkat dari permukaan air, baunya 
menyebar wangi memenuhi seluruh ruangan gua ter-
sebut. Dan ketika bunga tersebut diangkat dari per-
mukaan air telaga itu, tiba-tiba air tersebut menjadi 
susut. Makin lama semakin rendah permukaannya 
dan dalam waktu singkat telah menjadi kering keron-
tang tanpa setetes air pun. Bahkan bekas-bekas lem-
bah air pun tak ada. Telaga itu menjadi sebuah ku-
bangan kering bertanah dan berbatu kering juga.
Leak Parang membawanya dengan sangat hati-
hati. Sementara itu, Nyai Kubang Darah berjalan lebih 
dulu sebagai pengawal terdepan yang siap hadapi se-
rangan lawan yang ingin merebut bunga tersebut.
Baru saja mereka keluar dari gua, ternyata su-
dah dihadang dua orang lelaki berusia belum terlalu 
tua, sekitar tiga puluh lima tahun. Mereka berbadan

gemuk, namun bukan berarti gendut. Melihat gerakan 
matanya yang lincah berkesan liar, dua lelaki yang 
sama-sama berkepala botak itu sangat bernafsu untuk 
mendapatkan bunga Teratai Hitam yang ada di tangan 
Leak Parang.
"Kebo Tamak dan Banteng Kapur, apa maksud 
kalian datang kemari?!" hardik Nyai Kubang Darah.
"Aku tidak mengganggumu, Nyai Kubang Da-
rah. Aku hanya ingin mengambil bunga Teratai Hitam 
di tangan lelaki tua yang tak kukenal itu!" jawab Kebo 
Tamak. Lalu, Banteng Kapur pun berkata,
"Kalau kalian tidak menyerahkannya pada ka-
mi, kami akan merebutnya. Tapi jangan salahkan kami 
jika nyawa kalian menjadi lepas dari raga gara-gara 
pertahankan bunga itu!"
Nyai Kubang Darah menatap Leak Parang, sea-
kan minta pendapat apa yang harus dilakukan terha-
dap dua orang itu. Maka, Leak Parang pun berkata ke-
pada Nyai Kubang Darah,
"Pegang bunga ini, biar ku tangani kedua orang 
itu!"
"Mengapa harus kau yang tangani mereka, aku 
pun bisa!"
Wuuut...! Crap, craap...!
Nyai Kubang Darah kibaskan tongkatnya. Da-
lam satu sentakan kibas yang sangat cepat itu, tongkat 
tersebut bagaikan berubah tajam pada bagian ujung-
nya dan merobek leher kedua orang botak tersebut.
Kebo Tamak dan Banteng Kapur tak sempat 
berpikir apa yang terjadi pada diri mereka saat itu. 
Namun tiba-tiba mereka tumbang secara bersamaan 
dengan leher robek dan kejap berikutnya sama-sama 
telah kehilangan nyawa.
Ketika Nyai Kubang Darah memandang Leak 
Parang, lelaki tua itu geleng-gelengkan kepala dan
mengucap kata pelan,
"Seharusnya tak semudah itu kau melakukan-
nya! Bagaimanapun juga mereka adalah manusia yang 
masih bisa diajak bicara!"
"Mereka bisa lukai dirimu kalau tidak segera 
kukirim ke neraka!"
"Aliran hitammu masih terbawa juga, Punding 
Ayu!"
"Jadi aku harus berbuat apa untukmu? Diam 
saja?!" sentak Nyai Kubang Darah dengan wajah cem-
berut kesal. "Sudah, pergilah sana sendiri. Aku tak 
perlu ikut!"
*
* *
5


PASANG N tua yang masih saling memendam 
cinta itu baru saja tinggalkan gua tersebut. Kedua 
mayat lawannya tadi dibiarkan terkapar di sana seba-
gai tanda, bahwa siapa pun orangnya agar membatal-
kan niatnya untuk memiliki bunga Teratai Hitam. Na-
mun agaknya banyak tokoh yang tidak mau tahu ten-
tang bahayanya memburu bunga Teratai Hitam itu.
Buktinya, belum jauh Leak Parang melangkah 
tinggalkan gua tersebut dengan didampingi Nyai Ku-
bang Darah, tiba-tiba langkah mereka telah dihadang 
oleh seorang pemuda berkumis tipis. Pemuda itu sen-
dirian dan mempunyai wajah berkesan bengis. Ia 
menggenggam sebuah cambuk hitam berukuran pan-
jang di tangan kanannya. Sikapnya terang-terangan 
menantang permusuhan dengan kedua tokoh tua ter-
sebut. Nyai Kubang Darah sudah menggeram ketika

pemuda itu berkata,
"Tak pantas orang setua kamu mengikuti 
sayembara Teratai Hitam, Pak Tua! Sebaiknya serah-
kan saja bunga itu padaku. Sayangilah nyawa kalian 
yang sebentar lagi masuk liang kubur itu!"
"Bicaralah yang sopan pada kami, Anak Muda!" 
kata Leak Parang yang segera melangkah maju sebe-
lum Nyai Kubang Darah menangani anak muda itu. 
Dengan mendengus kesal, Nyai Kubang Darah pun se-
gera jauhkan diri dari Leak Parang, Ia serahkan uru-
san itu kepada lelaki yang membawa bunga Teratai Hi-
tam itu.
Pemuda berkumis tipis itu berkata dengan si-
nis, "Kurasa bicaraku sudah cukup sopan, Pak Tua. 
Jika kau ingin aku lebih sopan lagi padamu, berikan 
bunga itu kepadaku secepatnya!"
"Bunga ini untuk kesehatan sang Adipati! Akan 
kuserahkan sendiri, karena aku tidak masuk dalam 
kelompok orang yang ikut sayembara itu, Anak Muda.
Sebaiknya menyingkirlah dari jalanku supaya umurmu 
panjang!"
"Jangan coba-coba menggertak ku, Pak Tua! 
Cambuk Dewa bukan orang yang mudah digertak!" 
sambil ia menepuk dada sendiri, mengaku bernama 
Cambuk Dewa.
"Baiklah kalau kau tak pernah bisa menyayangi
selembar nyawamu sendiri! Terpaksa aku harus ber-
tindak menyingkirkan dirimu agar tidak menjadi peng-
halang langkahku!"
"Singkirkanlah kalau memang kau bisa, Pak 
Tua!"
Tiba-tiba Nyai Kubang Darah sentakkan tan-
gannya untuk melepaskan pukulan tenaga dalam ber-
sinar kuning. Selarik sinar itu melesat dengan cepat. 
Wuuust...! Dan pemuda berkumis tipis itu segera lecutkan cambuknya ke arah sinar tersebut dalam satu 
sentakan menghentak.
Taaar...!
Ujung cambuknya melepaskan nyala cahaya hi-
jau. Cahaya itu berbentuk seperti bola satu gengga-
man. Dan cahaya itulah yang terhantam oleh sinar 
kuningnya Nyai Kubang Darah. Blaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi dan membuat Nyai 
Kubang Darah terpelanting mundur dan Leak Parang 
oleng ke kiri. Sedangkan Cambuk Dewa tetap berdiri 
tegak dengan gagahnya, senyum sinisnya tersungging 
berkesan meremehkan kedua tokoh tua tersebut.
"Ku ingatkan pada kalian," kata Cambuk Dewa. 
"Jangan anggap remeh ilmu si Cambuk Dewa ini!" Ia 
menepuk dada kembali. "Baru satu jurus yang kupa-
kai, kalian sudah terpelanting begitu, apalagi jika ku-
gunakan sampai delapan jurus. mungkin raga kalian 
lebur menjadi satu dengan debu yang kalian pijak itu!"
“Terlalu berani kau bicara di depanku begitu, 
Cambuk Dewa!" geram Leak Parang, kemudian ia ki-
baskan tangan kanannya ke samping. Wuuut...! Maka 
terpeciklah bunga api warna biru kemerah-merahan 
yang menyebar terbang bagai ribuan kunang-kunang. 
Percikan sinar kecil-kecil itu menggerombol dan mem-
bentuk serangan serentak ke tubuh Cambuk Dewa. Te-
tapi anak muda itu segera sentakkan kakinya ke tanah 
dan tubuhnya melenting ke atas hindari percikan sinar 
tersebut Sebatang pohon menjadi sasaran berikut. Po-
hon itu bagai disergap oleh ribuan kunang-kunang ga-
nas. Kurang dari setengah helaan napas, pohon itu 
menjadi keropos dan mati tanpa roboh. Daunnya ber-
hamburan, kulit batangnya mengelupas kering. Bah-
kan beberapa dahannya ada yang jatuh ke tanah tanpa 
bunyi akibat terlalu ringannya.
Melihat kejadian tersebut, Cambuk Dewa hanya

tersenyum. Lalu ia lecutkan cambuknya setelah me-
mutar di atas kepala. Taaar...! Suara lecutannya kali 
ini terasa menyengat gendang telinga dan membuat 
Nyai Kubang Darah dan Leak Parang tersentak kesaki-
tan. Nyala sinar ungu terlihat sekejap saat cambuk ta-
di melecut di atas kepala.
"Sangga Buana! Dia punya ilmu cambuk cukup 
tinggi!" kata Nyai Kubang Darah" dengan suara mem-
bisik. "Biarlah kuhadapi anak itu!"
"Jangan! Biar aku saja yang hadapi dia."
Tetapi sebelum Leak Parang bergerak, Cambuk 
Dewa kembali lecutkan senjatanya di atas kepala dan 
sinar ungu pun berkelebat dari ujung cambuk terse-
but. Taaar...! Zlaaap...!
"Auh...!" Nyai Kubang Darah tersentak mundur 
dengan tubuh mengejang dalam satu kejutan. Ia me-
megangi telinganya dan telinga itu sekarang telah ke-
luarkan darah dari dalamnya. Walau tak berapa ba-
nyak, tapi darah itu sudah menjadikan tanda bahwa 
Nyai Kubang Darah telah terluka bagian dalam tubuh-
nya. Hal yang sama dialami pula oleh Leak Parang. 
Bahkan Leak Parang sempat oleng dan menyeringai 
menahan rasa sakit yang tak bisa dikendalikan dengan 
ilmunya ketika Cambuk Dewa mengulang lecutan se-
perti itu untuk yang ketiga kalinya
Taaar...!
"Heaaah.:.!" Nyai Kubang Darah berteriak sam-
bil lompat ke depan dan menyerang Cambuk Dewa 
dengan tongkat hitamnya. Tongkat itu siap di hujam-
kan ke dada Cambuk Dewa. Tetapi, anak muda itu le-
kas melompat ke samping dalam gerakan bersalto, dan 
ketika mendaratkan kakinya langsung menyabetkan 
cambuknya ke arah tongkat itu.
Taaar...! Duaaar...!
Terjadi satu ledakan kuat manakala cambuk

itu menghantam tongkat dan tongkat itu seketika men-
jadi patah. Nyai Kubang Darah terpental, sedangkan 
Cambuk Dewa tetap berdiri tegak, cambuknya tidak 
putus ataupun rantas sedikit pun.
"Biadab kau!" bentak Leak Parang tak bisa ber-
sabar lagi. Maka serta-merta ia lemparkan senjata dari 
pinggangnya, yaitu sebuah bumerang yang berkelebat 
dengan cepat menyambar kepala Cambuk Dewa. Tetapi 
ternyata cambuk itu pun mampu berkelebat lebih ce-
pat lagi dalam satu tarikan tangan yang menyentak. 
Taaar...! Blaaar...!
Sebuah ledakan keras kembali terdengar ma-
nakala cambuk yang memercikkan sinar ungu kecil di 
ujungnya itu menghantam senjata bumerang milik 
Leak Parang. Bumerang itu terpental beda arah tu-
juannya namun masih tampak utuh. Tidak hancur. 
Sedangkan ujung cambuk itu tetap utuh. Pemiliknya 
hanya tersentak mundur dua tindak. Tetapi Leak Pa-
rang terpental empat langkah ke belakang akibat ge-
lombang ledakan yang ditimbulkan dari benturan 
cambuk dengan bumerang tadi.
Dari tempatnya berdiri tegak, Cambuk Dewa 
berseru, "Kuberi kesempatan satu kali lagi; serahkan 
bunga itu atau kalian berdua kubunuh bersamaan?!"
"Persetan dengan ancamanmu, Bocah Edan!" 
geram Nyai Kubang Darah.
Kemudian perempuan tua itu sentakkan kedua 
tangannya ke samping dan tubuhnya tiba-tiba me-
mancarkan cahaya kuning pada tiap bagian tepi lekuk-
lekuk tubuh tersebut. Dengan cepat Nyai Kubang Da-
rah sentakkan kaki dan tubuhnya bagai terlempar ke 
depan dengan sikap kedua tangan lurus ke depan, te-
lapak tangannya mengarah pada lawan.
Cambuk Dewa segera lecutkan senjatanya ke 
tubuh Nyai Kubang Darah dengan cepat. Taaar...! Tu

Taaar...!
Keduanya sama-sama kaget melihat Cambuk 
Dewa masih hidup dan tidak mengalami luka sedikit 
pun. Kalau saja mereka tadi tidak merunduk secara 
serentak, pasti salah satu akan pecah kepalanya kare-
na terhantam ujung cambuk yang menyalakan sinar 
ungu tersebut. Kini keduanya hanya menyeringai dan 
telinga mereka kembali berdarah akibat suara lecutan 
cambuk yang dialiri tenaga dalam cukup tinggi.
"Setan kurap! Anak itu benar-benar berilmu 
tinggi rupanya!" geram Nyai Kubang Darah seperti bi-
cara sendiri.
"Anak itu tak cukup hanya diberi pelajaran! 
Sudah saatnya kita gunakan ilmu kita yang handal 
untuk lenyapkan bocah sombong itu!" kata Leak Pa-
rang sambil tangan kirinya masih pegangi bunga tera-
tai berwarna hitam.
Tetapi sebelum kedua tokoh tua itu bergerak, 
Cambuk Dewa telah lengkingkan suaranya dan ki-
baskan cambuknya di udara beberapa kali.
"Hiaaaahhh...!"
Taaar, taaar, taaar, taaar, taaar...!
Ia bagaikan membabi buta. Kilatan cahaya un-
gu menyambar ke mana-mana. Suara lecutannya 
membuat telinga kedua tokoh sakti itu bagai terasa in-
gin meledak. Darah bercucuran dari telinga mereka. 
Tubuh pun menjadi lemas dan gemetar. Ilmu cambuk 
itu benar-benar hebat dan tak bisa dikuasai gemanya.
"Heaaah...!" Cambuk Dewa masih mengamuk. 
Kemana saja ia kibaskan cambuknya hingga keluarkan 
suara yang menyakitkan gendang telinga dan pancar-
kan sinar ungunya beberapa kali.
Jurus cambuk yang sukar dilawan itu sudah 
hampir memecahkan gendang telinga kedua tokoh tua 
tersebut. Bahkan kepala Leak Parang terasa hampir

meledak karena menahan suara lecutan yang berun-
tun itu. Tetapi, tiba-tiba suara lecutan itu hilang. Sua-
ra pekik tertahan itu terdengar samar-samar oleh me-
reka. Walau sebenarnya suara pekik itu cukup keras, 
tapi karena telinga mereka sedang mengalami luka dan 
mendengung-dengung, maka suara pekikan itu ter-
dengar samar-samar.
Sesosok tubuh melesat dari samping dan me-
nendang kepala Cambuk Dewa dengan gerakan yang 
teramat cepat, melebihi melesatnya anak panah. Gera-
kan cepat itu adalah gerakan jurus 'Petir Selaksa'. Dan 
jurus itu yang mempunyai hanya Pendekar Rajawali 
Merah serta Pendekar Rajawali Putih.
Jleeg...! Ternyata seorang pemuda tampan ber-
tangan satu mengenakan baju selempang dari kulit be-
ruang coklat yang membungkus baju putih lengan 
panjang di dalamnya telah berdiri di antara mereka. Di 
samping pemuda bertangan satu adalah gadis cantik 
berpakaian merah longgar dengan kain pelapis dada 
yang panjang sebatas lutut warna kuning. Mereka tak 
lain adalah Yoga; si Pendekar Rajawali Merah bersama 
Kencana Ratih.
"Paman...!" seru Kencana Ratih kepada Leak 
Parang. Orang tua itu terkejut dan segera berseru pu-
la,
"Ratih...?! Kaukah Kencana Ratih?!"
"Betul, Paman! Aku Kencana Ratih!" sambil 
Kencana Ratih berlari menghampirinya. Ia segera me-
nolong Leak Parang yang jatuh terduduk akibat mena-
han rasa sakit di telinganya itu.
Mereka tak sempat banyak bicara, karena 
Cambuk Dewa sudah berdiri dan lekas-lekas lecutkan 
cambuknya lagi. Namun sebelum cambuk itu mele-
paskan bunyi yang menyakitkan, Yoga sudah lebih du-
lu bergerak menyambar cambuk itu dengan tangan

kanannya.
Wuuut...! Srreet...!
Kini cambuk itu tergenggam ujungnya oleh tan-
gan kanan Yoga. Dan Cambuk Dewa berusaha menarik 
senjatanya namun dipertahankan oleh Pendekar Raja-
wali Merah. Akibatnya, kedua pemuda itu saling bera-
du tenaga untuk mempertahankan dan menarik cam-
buk tersebut. Tapi cambuk terentang keras bagaikan 
sebatang besi baja. Keduanya sama-sama memusatkan 
kekuatannya pada tangan. Keduanya sama-sama ren-
dahkan kaki dan gemetar.
Melihat keadaan demikian, Nyai Kubang Darah 
yang telah kehilangan tongkatnya itu segera melompat 
dengan terlebih dulu menyambar senjata bumerang 
milik Leak Parang yang tadi menancap di sebuah po-
hon.
"Hiaaahhh...!"
Wuuut...!
Daaar...!
Dari mata Cambuk Dewa keluar dua larik sinar 
merah yang bertemu menjadi satu dan menghantam 
Nyai Kubang Darah. Tetapi perempuan tua itu mena-
han sinar merah tersebut menggunakan permukaan 
bumerang. Akibatnya, timbul ledakan dan tubuh pe-
rempuan tua itu terlempar jauh.
"Punding Ayu...!" pekik Leak Parang dengan 
cemas. Kemudian ia berlari hampiri Nyai Kubang Da-
rah dan segera menolongnya.
Senjata bumerang tidak pecah, namun senta-
kan sinar merah itu teramat kuat dan besar, sehingga 
membuat Nyai Kubang Darah memuntahkan darah se-
gar dari mulutnya. Hal itulah yang membuat Leak Pa-
rang menjadi sangat cemas. Tetapi ketika ia tiba di 
samping Nyai Kubang Darah, perempuan tua itu ber-
kata, "Tak apa! Aku tak apa-apa, Leak Parang...!"

"Jangan menyerang lagi! Pemuda itu punya ke-
kuatan yang sukar dilawan! Biarkan dia bertarung me-
lawan teman dari keponakanku itu!"
Yoga masih beradu kekuatan dengan Cambuk 
Dewa. Tanah yang dipijak Cambuk Dewa sampai ke-
pulkan asap dan menjadi hitam. Sementara itu, den-
gan menggunakan satu tangan Yoga bertahan untuk 
merebut cambuk tersebut. Wajahnya menjadi merah 
karena banyak kerahkan tenaga. Keringatnya mulai 
bergulir membasahi wajah. Urat-urat di tangannya 
tampak keluar bertonjolan.
Tiba-tiba tali cambuk itu membara merah ba-
gaikan besi terpanggang api. Ada kepulan asap tipis 
yang menandakan tali cambuk itu sangat panas. Teta-
pi Yoga tetap menggenggamnya dan berusaha mena-
riknya. Genggaman tangannya itu pun mengepulkan 
asap putih tipis, namun ia sendiri tidak mengalami lu-
ka bakar pada bagian tangannya.
Begitu kuatnya Cambuk Dewa berusaha mena-
rik senjatanya, hingga dalam keadaan tenaga terkuras 
penuh. Yoga tiba-tiba lepaskan cambuk itu. 
Wuuurrt...! Tubuh Cambuk Dewa tersentak mundur 
dan terguling guling bagai dihantam dengan tenaganya 
sendiri.
Bruuus...! Cambuk Dewa kembali terperosok di 
semak berduri. Tapi dalam waktu sekejap ia sudah me-
lenting tinggi dan bersalto dua kali, ia pun menda-
ratkan kakinya dengan sigap dalam jarak tujuh lang-
kah dari depan Pendekar Rajawali Merah itu.
Sambil terengah-engah, Cambuk Dewa mem-
bentak, "Kaukah murid kedua orang jompo itu?!"
"Bukan! Tapi aku ada di pihaknya! Kalau kau 
ingin membunuh mereka, bunuhlah aku lebih dulu!" 
tantang Yoga, lalu dengan cepat ia mencabut pedang 
dari punggung. Sreet...! Blaaar...! Petir menggelegar di

langit siang.
Cambuk Dewa terkesiap memandang pedang 
yang memancarkan cahaya merah itu. Mata Leak Pa-
rang dan Nyai Kubang Darah pun terkesiap setelah 
mengetahui pedang pemuda tampan bertangan satu 
itu memancarkan sinar merah. Bagian tepi pedang ber-
lompatan cahaya merah tua bagai cacing-cacing yang 
kepanasan.
Cambuk Dewa berseru, "Kau pikir aku gentar 
dengan permainan milik anak kecil itu, hah?! Terima-
lah jurus 'Cambuk Seribu Naga' ini! Heaah...!"
Senjata panjang berwarna hitam itu segera dile-
cutkan ke angkasa. Tetapi sebelum terdengar suara le-
cutannya, pedang Yoga berkelebat cepat menebas dari 
arah kanan ke kiri. Wuuut...! Dan seberkas sinar me-
rah melesat dari ujung pedangnya. Zlaaap...! Sinar me-
rah itu menghantam tali cambuk tersebut. Bluaaar...! 
Bunyi ledakannya tak beraturan. Tetapi cahaya merah 
segera berpencar ketika menghantam cambuk terse-
but.
Kejap berikutnya, cambuk itu telah terpotong 
menjadi tiga bagian dan berjatuhan sendiri-sendiri ke 
tanah sebagai benda biasa tanpa kekuatan apa pun. 
Pluk, pluk, pluk...! Hal itu membuat mata Cambuk 
Dewa terbelalak tegang, demikian pula mata Leak Pa-
rang dan Nyai Kubang Darah. Saat itu, Leak Parang 
sempat menggumam bagai bicara pada dirinya sendiri,
"Luar biasa! Siapa anak muda yang tampan 
itu?"
"Dia adalah Pendekar Rajawali Merah, Paman!" 
tutur Kencana Ratih menjelaskan dengan hati bangga.
"Rajawali Merah...? Muridnya Dewa Geledek?"
"Benar, Paman!"
"Pantas...!" Hanya itu ucapan terakhir Leak Pa-
rang sebelum ia saling beradu pandang dengan Nyai

Kubang Darah.
Terdengar suara, Cambuk Dewa berseru keras 
dalam kegusaran hati,
"Keparat kau! Kau telah memutuskan cambuk 
pusakaku! Terimalah ajalmu sekarang juga! Heaaah...!"
Tetapi dengan gerakan cepat Pendekar Rajawali 
Merah sentakkan pedangnya ke depan. Sebelum pe-
dang itu menyentuh lawan, sinar merahnya telah me-
lesat lebih dulu dan menembus tubuh Cambuk Dewa. 
Jrab!
"Ahhg...!" mata Cambuk Dewa terbelalak den-
gan mulut ternganga. Gerakannya terhenti seketika. 
Semua mata melihat jelas dada Cambuk Dewa menjadi 
bolong akibat ditembus sinar merah dari ujung pedang 
Yoga. Kemudian, kejap berikutnya Cambuk Dewa pun 
roboh dan tak bernyawa lagi. Ia mati tanpa darah tapi 
punya luka bundar sebesar uang logam di bagian da-
danya. Tepat di ulu hati.
Pendekar Rajawali Merah segera masukkan 
kembali pedang itu ke sarungnya. Matanya meman-
dang damai kepada Leak Parang dan Nyai Kubang Da-
rah. Kencana Ratih memperkenalkan Yoga dengan 
menceritakan pertempurannya di Gua Bidadari. Leak 
Parang sendiri menjelaskan kepada keponakannya sia-
pa Nyai Kubang Darah sebenarnya.
Tetapi mata Yoga sejak tadi memperhatikan 
bunga teratai berwarna hitam yang ada di tangan kiri 
Leak Parang. Hati Yoga berdebar-debar, karena ternya-
ta bunga yang selama ini dicari ada di tangan paman-
nya Kencana Ratih. Apakah itu pertanda bahwa ia ha-
rus bertarung dengan Leak Parang untuk merebut 
bunga Teratai Hitam?
*
* *
6

ANGIN badai tiba-tiba berhembus menyapu me-
reka berempat. Leak Parang, Nyai Kubang Darah, Ken-
cana Ratih, dan Yoga, terpental saling terpisah dihem-
pas angin badai. Bunga teratai berwarna hitam itu pun 
terlepas dari genggaman Leak Parang, terbang terbawa 
deru angin gila-gilaan itu. Beruntung sekali jatuhnya 
di dada Nyai Kubang Darah, sehingga bunga itu berha-
sil diselamatkan dari amukan badai yang nyaris mem-
bawanya pergi. Nyai Kubang Darah segera merapatkan 
jubah hijaunya untuk menutup bunga tersebut.
Ketika angin badai itu berhenti, mereka saling 
berkumpul kembali. Leak Parang berkata seperti bicara 
pada diri sendiri,
"Angin badai itu bukan sembarang badai! Pasti 
ada seseorang yang sengaja mendatangkan badai!"
"Setahuku tokoh sakti yang mampu keluarkan 
badai sedahsyat tadi hanyalah si Parit Beliung," kata 
Nyai Kubang Darah.
"Parit Beliung sudah mati!" "Berarti muridnya 
yang mewarisi ilmu 'Hempas Badai' ini."
Leak Parang memandangi Nyai Kubang Darah 
dengan berkerut dahi. Yoga dan Kencana Ratih pun 
menatap perempuan tua itu. Lalu, terdengar suara 
Leak Parang berucap kata,
"Murid Parit Beliung adalah Jala Tunggal!"
"Benar," jawab Nyai Kubang Darah.
"Tapi Jala Tunggal sudah punya anak dan 
punya istri. Untuk apa dia memburu bunga teratai hi-
tam? Apakah dia ingin kawin lagi dengan putri sang 
Adipati?"
"Mungkin saja! Laki-laki biasanya memang be-
gitu!" jawab Nyai Kubang Darah sambil bersungut

sungut.
"Barangkali Jala Tunggal tidak bermaksud 
mengambil bunga itu!" sela Kencana Ratih.
"Tidak mungkin! Untuk apa dia bermaksud 
menyerang kita dengan ilmu 'Hempas Badai' kalau bu-
kan dengan maksud ingin merebut bunga ini!" kata 
Nyai Kubang Darah. Kemudian ia pandangi bunga ter-
sebut, dan di sisi lain hati Yoga menjadi kian berdebar-
debar karena melihat bunga itu enak untuk disambar 
dan dibawa lari. Kejap berikutnya, Nyai Kubang Darah 
serahkan bunga itu kepada Leak Parang tanpa berkata 
apa pun, karena tiba-tiba dikejutkan dengan muncul-
nya seseorang dari balik pohon besar.
Jala Tunggal memang muncul. Tujuannya se-
perti apa yang dikatakan Nyai Kubang Darah, yaitu 
merebut bunga Teratai Hitam yang sejak tadi di incar-
nya itu. Ia berharap angin badai yang didatangkan da-
pat menerbangkan bunga tersebut, lalu ia bisa menge-
jar untuk mengambilnya. Tapi usahanya itu gagal.
Melihat gerakan Jala Tunggal cukup hebat da-
lam bertarung melawan Nyai Kubang Darah, akhirnya
Pendekar Rajawali Merah segera turun tangan. Karena 
ia tak ingin Jala Tunggal berhasil merebut bunga tera-
tai berwarna hitam itu. Hanya dengan tiga jurus Yoga 
menyerang Jala Tunggal, dan akhirnya Jala Tunggal 
terluka, lalu ia melarikan diri dan mengakui keunggu-
lan Pendekar Rajawali Merah.
Kepergian Jala Tunggal bukan berarti keama-
nan yang terjamin bagi mereka berempat. Namun 
muncul lagi dua tokoh yang sudah tidak asing di rimba 
persilatan. Mereka adalah Watu Geni dan Banyu Api. 
Tetapi lagi-lagi karena niat mereka ingin merebut bun-
ga teratai warna hitam itu, maka Pendekar Rajawali 
Merah segera membabat habis kedua tokoh berilmu 
tinggi itu. Keduanya lari tunggang langgang setelah Yo

ga keluarkan jurus pedang mautnya yang mampu 
mengejar lawan dengan kilatan cahaya merahnya itu.
Pada akhirnya, Yoga-lah yang menjadi sang pe-
lindung bunga tersebut. Ia telah berhasil mengusir le-
bih dari sepuluh orang yang ingin merebut bunga Te-
ratai Hitam itu. Mereka yang tidak segera melarikan di-
ri dan bersikeras dapatkan bunga itu akhirnya mati di 
tangan Pendekar Rajawali Merah.
"Bunga ini akhirnya menjadi bunga penyebar 
maut," kata Leak Parang. "Tak baik jika kita melayani 
mereka terus-menerus. Kita harus lekas-lekas sampai-
kan bunga ini kepada keluarga sang Adipati."
"Maaf, Paman...," sela Yoga dengan bersikap 
sopan. "Mengapa harus diserahkan kepada sang Adi-
pati?"
"Karena aku mengambil bunga ini untuk me-
nyembuhkan penyakitnya. Dia sahabatku dan seka-
rang nyawanya terancam. Dulu aku pernah disela-
matkan olehnya. Pada waktu itu aku hampir saja mati, 
lalu dia datang dan bertarung mengalahkan lawanku 
dengan tipu muslihatnya. Aku merasa berhutang budi, 
juga berhutang nyawa padanya. Sekarang pada saat 
dia membutuhkan obat yang tak ada di tempat lain ke-
cuali di Gua Mulut Iblis, yaitu bunga ini, maka aku be-
rusaha membalas hutang nyawaku kepadanya. Aku 
harus selamatkan dia dari ancaman maut yang seben-
tar lagi merenggut nyawanya."
"Jadi, bunga itu tak bisa dicari penggantinya, 
Paman?" tanya Yoga.
"Tidak ada, Yo. Hanya bunga inilah pemunah 
racun yang bersarang dalam dirinya. Tak ada obat 
lainnya lagi."
Pendekar Rajawali Merah terangguk-angguk 
kepalanya. Seraut wajah tampan itu berubah murung. 
Ia melangkah sedikit menjauh dari mereka. Kencana
Ratih memandanginya dengan gelisah, sebab ia tahu 
apa yang dipikirkan Yoga pada saat itu. Kencana Ratih 
tahu, bahwa Yoga jauh-jauh datang ke Gunung Tam-
bak Petir hanya untuk mencari bunga itu. Tapi seka-
rang bunga itu ada di tangan pamannya Kencana Ra-
tih. Tentu saja Kencana Ratih dapat bayangkan betapa 
gundahnya hati Yoga menghadapi kenyataan itu. Pasti 
pendekar tampan itu bingung mengambil sikap dan 
tak tahu harus berbuat bagaimana baiknya.
Kencana Ratih tahu, bahwa kalau saja bunga 
itu bukan di tangan pamannya. pasti Yoga sudah me-
rebutnya dengan pertarungan sengit. Tapi agaknya kali 
ini Yoga tidak mau bertindak demikian. Sedangkan da-
lam penilaian Kencana Ratih, kalau saja Yoga merebut 
bunga itu dari tangan pamannya, pasti pamannya 
akan kalah dan tak mampu melawan jurus-jurus maut 
dari Pendekar Rajawali Merah. Jika sampai sekarang 
Yoga tidak mau melakukannya, itu lantaran Yoga ingin 
menjaga hubungan baik dengan Kencana Ratih Sean-
dainya Yoga menyerang pamannya, Kencana Ratih pun 
akan bingung dalam mengambil sikap; harus memihak 
ke mana ia pada saat seperti itu.
"Kencana Ratih...," sapa Leak Parang. "Seper-
tinya ada yang tak beres di antara kalian berdua?"
Dengan agak sulit, akhirnya Kencana Ratih 
berkata, "Hmm... iya! Begini, Paman... Sebenarnya, Yo-
ga datang ke Gua Mulut Iblis memang untuk mengam-
bil bunga Teratai Hitam itu."
"Hah...?!" Leak Parang terkejut, demikian pula 
Nyai Kubang Darah. Kedua orang tua itu memandang 
Yoga dengan mata sedikit lebar dan tidak berkedip. 
Saat itu Yoga berdiri di bawah pohon dengan pung-
gung bersandar dan tangan merapat di dada. Wajah-
nya tertunduk karena merenungkan langkah yang ha-
rus diambilnya.

Leak Parang segera dekati Yoga, Nyai Kubang 
Darah mendampinginya. Lalu dengan tegas Leak Pa-
rang menatap dan bertanya,
"Kau inginkan bunga ini juga?!"
Yoga mengangkat wajah sambil menarik nafas-
nya, dipandanginya Leak Parang beberapa saat, lalu 
dengan jelas ia menjawab,
"Ya. Saya memang sedang mencari bunga itu 
untuk menyembuhkan seorang sahabat juga, Paman. 
Agaknya kita punya kesamaan dalam hal ini. Sama-
sama ingin membalas budi kepada seseorang lewat 
bunga itu!"
Nyai Kubang Darah cepat menyahut kata, "Ti-
dak bisa! Kami lebih dulu mendapatkan bunga ini. 
Dan urusan kami lebih penting daripada urusanmu. 
Sahabatmu apakah seorang adipati?"
"Memang bukan, Nyai. Tapi sahabatku juga 
punya nyawa yang harus diselamatkan! Apalah artinya 
kedudukan tinggi jika orang itu tanpa nyawa, Nyai! Ja-
di, ku mohon jangan pandang kedudukan seseorang, 
tapi pandanglah hak dari tiap manusia, bahwa setiap 
manusia punya hak yang sama, yaitu hak untuk per-
tahankan nyawanya!"
"Kau tak perlu menggurui ku, Yoga!" geram 
Nyai Kubang Darah. "Apa pun dalihmu, kami tetap tak 
akan serahkan bunga ini kepadamu! Bukankah begitu, 
Leak Parang?!"
"Ya. Tapi kau terlalu kasar bersikap di depan-
nya!" bisik Leak Parang kepada Nyai Kubang Darah. 
Kemudian ia berkata kepada Yoga,
"Yoga, menurutmu, apakah kita harus berta-
rung demi memperebutkan bunga ini?"
Pendekar Rajawali Merah tak bisa menjawab 
untuk sesaat, matanya memandang ke arah jauh den-
gan wajah penuh kegelisahan. Kejap berikutnya terdengar lagi suara Leak Parang,
"Jika menurutmu itu hal yang baik, aku akan 
layani pertarungan denganmu, walau aku tahu kau 
akan mudah membunuhku!"
Kini mata Kencana Ratih yang menjadi pusat 
pandangan Yoga. Seolah-olah pendekar tampan pemi-
kat hati wanita itu meminta pertimbangan kepada 
Kencana Ratih selaku keponakan dari Leak Parang. Te-
tapi pada saat itu, Nyai Kubang Darah menyela kata 
dengan suara tegasnya,
"Jika kau ingin bunuh Leak Parang, maka kau 
harus bunuh aku dulu!"
Leak Parang menyahut, "Ini urusanku, Punding 
Ayu! Kau jangan ikut campur! Ini urusan lelaki!"
Tiba-tiba Kencana Ratih berlutut dan memeluk 
kaki pamannya dengan hati sedih. Kencana Ratih ber-
kata,
"Tidak! Tidak, Paman! Kuharap jangan lakukan 
pertarungan dengan Yoga! Ku mohon Paman mau 
mengalah untuk hal satu ini! Berikanlah bunga itu ke-
pada Yoga, karena dia membutuhkannya sudah sejak 
lama!"
"Aku yang mendapatkannya, dia harus merebut 
dan membunuhku kalau memang membutuhkan bun-
ga ini!" kata Leak Parang.
Mendengar kata-kata itu, Yoga pun tak punya 
pilihan lain kecuali cepat pergi dan tinggalkan mereka 
bertiga. Kencana Ratih terkejut melihat kepergian Yoga 
yang berlari cepat itu. Ia sempat memekik memanggil 
pendekar tampan itu,
"Yo...! Yo, jangan tinggalkan aku di sini, Yo...!"
Tetapi Yoga tak mau berpaling sedikit pun. La-
rinya justru semakin cepat dan hal itu membuat Ken-
cana Ratih sempat panik. Hatinya bertambah sedih 
dan memendam kemarahan kepada pamannya.

"Paman tega memisahkan aku dengan dia!" ke-
tus Kencana Ratih.
"Aku... aku tidak memisahkan kalian!" "Dia 
pergi! Dia kecewa sekali mendengar kata-kata Paman 
dan kekerasan hati Paman! Dia sangat kecewa karena 
tidak bisa dapatkan bunga yang sudah lama di cari-
carinya itu! Dia tak bisa ambil keputusan! Kalau saja 
dia mau berbuat keji, dia bisa bunuh Paman dalam sa-
tu gebrakan! Tapi dia tidak mau, Paman. Dia pandang 
saya sebagai keponakan Paman Leak Parang yang su-
dah lama ingin jumpa dengan Paman!"
Leak Parang sendiri menjadi gusar karena di-
ombang-ambingkan oleh kebimbangan. Berulang kali 
ia menatap Nyai Kubang Darah, tapi perempuan itu 
hanya cemberut dan tak mau bicara sedikit pun.
"Paman, tolonglah... berikan bunga itu kepa-
danya! Aku tak tega kalau melihatnya kecewa, Paman! 
Dia telah menyelamatkan nyawaku beberapa kali! Dia 
pula yang menyelamatkan Bujang Lola, pelayan Paman 
itu dari ancaman maut Dewi Sukesi! Kalau tak ada dia, 
Bujang Lola mungkin sudah mati di ujung pedangku, 
karena kusangka dia orang Gua Bidadari yang mema-
ta-matai kami!"
"Apa hubungannya kau membawa-bawa Bujang 
Lola!" sentak Leak Parang. "Urusan ini tidak ada hu-
bungannya dengan pelayanku itu!"
"Aku hanya memberi tahu Paman, bahwa Yoga 
punya jasa padaku dan aku berhutang nyawa pa-
danya! Sekarang dari pihakku membuat dia kecewa! 
Oooh... aku malu kepadanya, Paman. Malu sekali!"
"Kalau malu ya sudah... tinggalkan saja dia dan 
jangan bertemu dia lagi!" ujar Nyai Kubang Darah den-
gan bersungut-sungut. Kencana Ratih menjadi panas 
hatinya dan segera menyahut,
"Nyai jangan ikut campur urusan pribadiku!"

"Aku yang memberi izin pamanmu mengambil bunga 
itu!" sentak Nyai Kubang Darah.
"Sejak kapan Nyai menjadi pemilik bunga itu?!" 
sambil Kencana Ratih menuding bunga di tangan kiri 
Leak Parang. "Nyai bukan pemilik bunga ini! Bunga ini 
sudah ada sebelum Nyai lahir! Bunga ini sudah tum-
buh di Telaga Bangkai pada saat Nyai masih ingusan! 
Mengapa sekarang Nyai seolah-olah menjadi pemilik 
bunga itu dan merasa berhak memberikan izin kepada 
siapa pun untuk memetik bunga itu?!"
"Bicaramu memerahkan telingaku, Kencana Ra-
tih! Bisa kurobek mulutmu jika sekali lagi berkata be-
gitu!" 
"Robeklah!" bentak Kencana Ratih menantang.
"Cukup!" kali ini Leak Parang membentak lebih 
keras lagi. Ia benar-benar menjadi gusar dan hanya bi-
sa menarik napas dengan berat saat kedua perempuan 
itu saling membisu.
Hening tercipta sejenak, kemudian Leak Parang 
berkata kepada Kencana Ratih,
"Kencana, maafkan Paman. Kali ini agaknya 
Paman terpaksa sekali harus mengecewakan dirimu! 
Bunga ini tetap akan Paman serahkan kepada pihak 
kadipaten!"
"Paman bukan hanya mengecewakanku, tapi 
memutuskan hubungan batin ku dengan Pendekar Ra-
jawali Merah! Paman kejam!"
"Kencana... dengarlah dulu...!"
"Aku lebih suka mati bunuh diri daripada ha-
rus mengecewakan dia!" "Kencana...!"
Gadis itu melangkah mundur pelan-pelan den-
gan napas terengah-engah. Ia berkata penuh perasaan 
benci dan desakan amarahnya,
"Aku akan ceritakan masalah ini di depan Ibu, 
dan aku akan bunuh diri saat itu juga di depan Ibu...!"

"Tunggu...!"
Wuuut...! Kencana Ratih cepat melarikan diri 
sambil membawa tangis di perjalanan.
"Kencana Ratih...! Tunggu dulu! Jangan sepicik 
itu, Kencana! Kasihan ibumu!" seru Leak Parang sam-
bil berusaha mengejarnya, tapi Kencana Ratih berlari 
dengan cepatnya, sehingga Leak Parang merasa sia-sia 
mengejarnya. Ia tahu persis watak keponakannya yang 
cantik itu, sungguh sukar dirubah jika sudah punya 
kemauan.
"Lupakan tentang bocah-bocah itu! Kencana 
Ratih hanya menggertak mu, Leak Parang."
"Dari sekian banyak keponakanku, hanya dia 
yang punya ketegasan dalam bersikap. Kalau dia bi-
lang bunuh diri, maka apa pun yang terjadi dia tetap 
akan bunuh diri! Dan kalau dia bunuh diri di depan 
ibunya mampuslah aku!"
"Mengapa mampus?"
"Adikku, ibu Kencana Ratih itu, adalah satu-
satunya saudara yang sangat sayang kepadaku. Sejak 
kecil, kami tak pernah bertengkar, tak pernah bermu-
suhan. Tetapi kepada kakak kami, permusuhan dan 
pertengkaran sering kami lakukan. Aku sangat sayang 
kepada adik bungsu ku, Ibunya Kencana Ratih itu. Ji-
ka Kencana Ratih benar-benar lakukan bunuh diri di 
depan ibunya setelah dia mengadukan perkara ini, 
maka hancurlah persaudaraan ku dengannya. Hilang 
sudah rasa saling menyayangi antara aku dan dia. Tak 
ada lagi saudara yang menyayangi ku, yang tahu per-
sis gaya hidupku dan bisa kujadikan tempat bertukar 
pendapat! Celaka betul aku kalau begini! Kencana Ra-
tih tidak pernah ingkari ancamannya sendiri!"
"Kurasa itu hanya luapan kekecewaan yang tak 
terkendali saja!" Nyai Kubang Darah menenangkan ha-
ti kekasihnya, tapi sang kekasih masih saja gundah

dan resah. Kecemasan membayang jelas di wajah.
Ternyata dari tempat mereka tadi, ada sungai 
tak begitu jauh jaraknya. Sungai itu berair dangkal, 
dan berbatu-batu. Kencana Ratih ingin melintasi sun-
gai itu, tapi langkahnya terhenti karena melihat seseo-
rang duduk di tepi sungai, di atas sebuah batu.
"Yooo...!" panggilnya dengan berseru. Kencana 
Ratih cepat hampiri pendekar tampan yang sedang 
termenung di sana. Air matanya cepat-cepat dikering-
kan, karena ia tak mau Yoga melihat dirinya menangis.
"Yo... mengapa kau pergi meninggalkan aku di 
sana?"
Mata Pendekar Rajawali Merah menatap gadis 
yang segera duduk di depannya dengan kaki masih 
menapak di tanah. Jaraknya sangat dekat, sehingga 
tangan Yoga bisa meraih pipi Kencana Ratih. Pipi itu 
basah, dan Yoga tahu Kencana Ratih menangis. Tetapi 
ia tidak terlalu pikirkan hal itu. Wajah Yoga menjadi 
dingin, walau akhirnya ia pun berkata dengan nada 
pelan,
"Aku tak tahan berhadapan dengan pamanmu! 
Semakin dia menantangku. semakin besar keinginan-
ku untuk membunuhnya!"
"Mengapa tidak kau lakukan?"
Yoga geleng-gelengkan kepala dengan berusaha 
tetap tenang dan mata memandang lurus ke bola mata 
Kencana Ratih.
"Aku tidak mau melayani tantangannya! Aku 
tidak mau membunuhnya, sebab aku tahu dia sayang 
kepadamu, Kencana!"
"Tapi kau kecewa terhadapnya, bukan?", "Ya. 
Sangat kecewa! Yang membuatku kecewa karena aku 
tidak bisa berbuat apa-apa terhadapnya, sementara 
aku tahu bunga itu ada di tangannya Lebih baik bunga 
itu ada di tangan orang lain, jadi aku tidak akan kecewa andai orang itu bisa kalahkan aku!"
Kencana Ratih diam termenung. Tangannya 
menggenggam jemari Yoga. Tiba-tiba ia menatap dan 
berkata,
Tetaplah di sini, aku akan kembali lagi mem-
bawa bunga itu!"
Kencana Ratih cepat berdiri dan Yoga kerutkan 
dahi.
"Mau ke mana kau?"
"Merebut bunga itu dari tangan Paman!"
Yoga pun berdiri. Tangan Kencana Ratih dita-
hannya. "Jangan senekat itu, Kencana. Kau bisa dibu-
nuh oleh pamanmu sendiri!"
"Itu lebih baik daripada aku melihatmu kece-
wa!"
"Tidak, Kencana! Kau tidak boleh lakukan hal 
itu! Jangan menjadi bermusuhan dengan pamanmu 
gara-gara kau membela diriku!"
"Karena Paman sendiri tega melihat aku ting-
galkan dirimu. Paman sudah tidak sayang lagi padaku, 
Yo! Aku tak perlu menyayanginya lagi. Aku akan me-
lawannya dan bila perlu membunuhnya.'"
"Kencana, kau durhaka jika membunuh sauda-
ra dari ibumu sendiri!"
"Persetan dengan hubungan saudara!" sentak 
Kencana Ratih sambil melompat pergi meninggalkan 
Yoga.
"Kencana...! Jangan lakukan itu!"
Sekarang ganti Kencana Ratih yang tak mau 
dengar seruan Yoga. Maka, Yoga pun segera mengejar 
Kencana Ratih. Ia takut pertarungan itu benar-benar 
terjadi. ia tak yakin Kencana Ratih dapat kalahkan il-
mu pamannya. Apalagi pamannya dibantu oleh Nyai 
Kubang Darah, sudah pasti Kencana Ratih hanya akan 
mati konyol jadinya.

Dalam pemikiran Yoga hanya ada dua kemung-
kinan; mencegah pertarungan itu, atau membantu 
Kencana Ratih melawan pamannya?
*
* *
7


PADA saat itu, di tempat lain dua orang juga 
sedang membicarakan tentang bunga Teratai Hitam 
itu. Orang tersebut adalah Gerah Wojo, dari Perguruan 
Macan Terbang dan Ubayana, anak seorang lurah. Me-
reka bekerja sama untuk mendapatkan bunga Teratai 
Hitam. Pada dasarnya, Ubayana mengupah Gerah Wo-
jo untuk dampingi dirinya dalam mengikuti sayembara 
dari pihak kadipaten itu.
Mereka mendengar kabar dari beberapa orang 
yang telah gagal mendapatkan bunga tersebut, bahwa 
bunga teratai berwarna hitam itu sekarang sudah be-
rada di tangan tokoh tua yang bernama Leak Parang. 
Dari kedai tempat Lili bermalam, mereka sudah bica-
rakan hal itu dengan matang. Lili pun menyimak pem-
bicaraan mereka secara diam-diam.
"Aku kenal dengan Leak Parang," kata Gerah 
Wojo. "Dia memang berilmu tinggi, tetapi dia mudah 
dikelabui karena ketuaannya. Kurasa memang ada 
baiknya bunga itu ada di tangan Leak Parang daripada 
di tangan tokoh lain, karena dengan adanya bunga di 
tangan Leak Parang, kita punya harapan bisa mere-
butnya. Aku nanti akan mengatur siasat untuk menge-
labuinya! Jangan khawatir, bunga itu pasti akan kita 
dapatkan, Ubayana!" "Kalau begitu, sebaiknya kita be-
rangkat sekarang.”

"Itu gagasan terbaik menurutku!"
Ubayana dan Gerah Wojo segera tinggalkan ke-
dai. Sesaat kemudian, Lili pun tinggalkan kedai dan 
mengikuti langkah mereka dengan sembunyi-
sembunyi. Dalam hatinya Lili berkata,
"Aku ingin tahu, seperti apa kehebatan Leak 
Parang itu? Benarkah dia bisa mempertahankan bunga 
tersebut? Dan jika ia bertemu dengan Yoga, apakah ia 
bisa dikalahkan Yoga? Apakah Yoga berhasil merebut 
bunga itu? Dan... dan apakah Kencana Ratih bisa 
membantu Yoga dalam pertarungannya nanti? 
Hmmm...! Bisa apa perempuan itu sebenarnya! Aku 
jadi ingin tahu kehebatan ilmunya dalam membantu 
Yoga!"
Gerakan Lili yang mengikuti langkah mereka 
ternyata dapat dirasakan oleh Ubayana. Ketika mereka 
melewati tanah datar berpohon rapat, Ubayana mena-
han lengan Gerah Wojo. Ia berbisik pelan,
"Sepertinya ada orang yang mengikuti langkah 
kita!"
"Ya. Aku sudah tahu sejak kita memasuki hu-
tan ini. Tetapi aku diamkan saja, karena kulihat dia ti-
dak berbahaya!"
"Jangan kau bilang tidak berbahaya! Siapa ta-
hu dia ingin merebut bunga itu juga! Dia numpang 
arah dengan kita."
"Jadi, bagaimana maksudmu? Harus kusing-
kirkan orang itu?"
"Singkirkan saja!"
"Baik! Kau jalanlah lebih dulu, dan kalau aku 
tiba-tiba menghilang di balik pohon besar, kau pura-
pura tidak mengetahui kepergianku. Dia akan ku cegat 
di pohon besar itu!"
"Akan kulakukan seperti perintahmu."
"Kita jalan biasa saja!" sambil Gerah Wojo yang

berbadan besar tapi bukan gemuk itu mendahului me-
langkah.
Ubayana yang masih berusia antara dua puluh 
lima tahun itu bertubuh tegap dan kekar. Tapi agak-
nya ia punya ilmu tak seberapa tinggi. Buktinya untuk 
memburu bunga Teratai Hitam saja ia harus menyewa 
orang Perguruan Macan Terbang sebagai pengawal dan 
pembantunya. Hanya sebatas perawakan saja Ubayana 
kelihatan gagah dan meyakinkan. Rambutnya pendek 
diikat dengan ikat kepala dari logam kuningan berlapis 
kain sejenis beludru merah. Pakaiannya pun berkesan 
mewah. Berbeda dengan Gerah Wojo yang hanya men-
genakan pakaian serba hitam dengan baju longgar tak 
pernah dikancingkan bagian depannya. Ia menyelipkan 
sebilah golok di pinggangnya yang bergagang hitam 
membentuk kepala burung gagak.
Karena hanyut dengan percakapan batinnya 
yang mengecam dan meremehkan Kencana Ratih, Lili 
tak menyadari bahwa ia sudah mendekat ke arah ba-
haya. Untung saja waktu itu Gerah Wojo yang sudah 
bersembunyi di balik pohon besar itu segera mengeta-
hui bahwa penguntitnya adalah seorang gadis cantik 
yang punya daya tarik luar biasa itu.
Goloknya dimasukkan kembali ke sarungnya 
dengan pelan-pelan. Lalu ketika Lili tinggal beberapa 
langkah mencapai pohon besar itu, Gerah Wojo segera 
melompat keluar dari persembunyiannya, dan meng-
hentakkan suara keras yang sengaja membuat Lili ter-
kejut,
"Huaaa...!"
Lili terpekik dengan suara tertahan. Ia melang-
kah mundur dalam satu lompatan kecil sambil meme-
gangi dadanya karena merasa jantungnya hampir co-
pot. Suara sentakan keras tersebut juga membuat 
Ubayana berpaling ke belakang. Begitu melihat Gerah

Wojo berhadapan dengan seorang gadis cantik, Ubaya-
na buru-buru menghampirinya sambil tersenyum-
senyum kegirangan.
"Rupanya dia seorang gadis cantik bak bidada-
ri, Gerah Wojo!"
"Benar, Ubayana. Mungkin dia menguntit kita 
karena dia naksir kamu. Ha, ha, ha, ha...!"
Lili cepat kuasai diri dan bersikap tenang. Ma-
tanya memandang angkuh dengan dagu sedikit naik. 
Kedua tangannya dikebelakangkan, dan kakinya berdi-
ri sedikit merenggang dalam kuda-kuda tegak. Ia 
membiarkan kedua lelaki itu memandanginya dengan 
sorot pandangan mata dan senyuman nakal.
Gerah Wojo sempat menjilat bibirnya sendiri 
dengan mata liarnya yang berkesan rakus. Tangannya 
mengusap-usap jenggot pendek yang keriting itu sam-
bil berkata kepada Ubayana,
"Mimpi apa kau semalam, sehingga perjalanan 
kita diikuti oleh bidadari secantik dia, ha?! He, he, 
he...!"
Ubayana juga berbisik, walau bisikan mereka 
didengar oleh Lili, "Menurutmu, cantik mana dia den-
gan Galuh Ajeng, putri sang Adipati itu?"
"Oh, kalau menurut selera mataku, ya cantik 
gadis ini! Tapi kalau menurut selera matamu, mungkin 
cantik Galuh Ajeng! Sudahlah, kau tetap bersama Ga-
luh Ajeng saja, aku akan menikmati keindahan cinta 
bersama gadis ini saja!"
"Gerah Wojo, mengapa kau tak berikan kesem-
patan padaku lebih dulu? Bukankah kau dapat bagian 
kekayaan dari hadiah yang akan kita peroleh setelah 
menyerahkan bunga itu?"
"Hmm... jadi... jadi kau ingin juga dengan gadis 
itu?"
"Aku sangat bergairah memandang kecantikan

nya, kemulusan kulit lehernya dan... dan kurasa kulit 
tubuh yang lainnya pun akan lebih mulus serta lebih 
lembut lagi, Gerah Wojo!"
"Memang! Memang lebih mulus dan lebih lem-
but, bahkan lebih hangat dari sepiring ketan di pagi 
hari. He, he, he, he...!"
Ubayana mau mendekat, tapi ia ragu-ragu. Ma-
lahan sempat berbisik kepada Gerah Wojo,
"Dia menyandang pedang di punggung! Keliha-
tannya dia berilmu juga, Gerah Wojo!"
"Aku juga beranggapan begitu. Tapi aku yakin 
ilmunya tak setinggi ilmuku! Dia hanya bisa tebaskan 
pedangnya tanpa arah yang pasti."
"Kalau begitu, cobalah kau dulu yang mendeka-
tinya. Kalau sekiranya membahayakan, tinggalkan saja 
daripada kita mati sebelum mendapatkan bunga itu!"
"Tenanglah di sini! Aku akan mendekatinya."
Lalu, Gerah Wojo melangkah dekati Lili. Kira-
kira tinggal dua langkah lagi ia menyentuh Lili, tangan 
Lili sudah lebih dulu berkelebat bagai membuang se-
suatu. Ternyata tenaga dalam yang cukup besar ia le-
paskan dalam gerakan tangan yang gemulai. Wuuut...!
Buuhg...! Tubuh Gerah Wojo bagai dihantam 
sebatang kayu pohon kelapa. Tubuh itu terpental jauh 
ke belakang dan terguling-guling. Ubayana segera le-
barkan mata dan menjadi tegang karenanya.
"Gadis ini benar-benar berilmu tinggi," pikir 
Ubayana. "Hanya dengan mengelebatkan tangannya 
begitu saja, Gerah Wojo yang badannya seperti kerbau 
bisa tunggang-langgang dibuatnya. Edan! Murid siapa 
dia? Dapat ilmu dari mana? Agaknya gadis ini tak bisa 
dibuat main-mainan!"
Gerah Wojo bangkit dan berjalan cepat kembali 
ke tempatnya. Wajahnya memerah karena marah, pa-
kaiannya kotor, pundaknya robek sampai di bagian

kulit tubuh dan keluarkan darah sedikit, rambutnya 
yang panjang sepundak bercampur dengan tanah dan 
daun kering. Wajah Gerah Wojo menjadi berang dan 
berkesan angker.
"Gerah Wojo, tinggalkan saja gadis itu! Dia ber-
bahaya!" Ubayana mencegah gerakan Gerah Wojo. Tapi 
tubuh Ubayana disingkirkan begitu saja sambil Gerah 
Wojo berkata,
"Gadis itu harus kuberi pelajaran, supaya dia 
tahu bahwa aku orang Perguruan Macan Terbang...! 
Keparat dia!"
Tetapi sebelum Gerah Wojo mencapai jarak em-
pat langkah di depan Pendekar Rajawali Putih itu, tiba-
tiba seberkas sinar berkelebat bagaikan menghantam 
sekujur tubuh Gerah Wojo. Sinar itu adalah sinar jing-
ga dan begitu menghantam langsung membakar tubuh 
Gerah Wojo.
Wuuuss...! Blaaar...!
"Gerah Wojo...!" teriak Ubayana.
"Auh...! Aaah...! Tolong...! Tolong aku, Ubaya-
naaa...!"
Gerah Wojo dibakar oleh api yang berkobar-
kobar. Ubayana bergegas mengambil dedaunan apa sa-
ja dan dijadikan alat pemadam yang digebuk-gebukkan 
ke tubuh Gerah Wojo. Tapi kobaran api itu justru se-
makin bertambah besar. Teriakan Gerah Wojo kian 
menggema ke mana-mana. Ketika ia jatuh dan bergul-
ing-guling, kobaran api makin besar lagi dan tetap 
membungkus tubuhnya. Ubayana ketakutan, meman-
dangi Lili sebentar, karena menyangka api itu kiriman 
dari Lili, kemudian ia cepat melarikan diri ke arah da-
tangnya tadi. Ia pulang dengan wajah tegang.
"Wisnu Patra...," gumam Lili dalam hatinya. 
"Pasti si Dewa Tampan itu ada di sini! Rupanya dia se-
lalu membayang-bayangi ku terus!"

Seperti korban yang sudah-sudah, Gerah Wojo 
pun akhirnya mati dalam keadaan menjadi arang ka-
rena nyala apinya tidak dipadamkan oleh Wisnu Patra. 
Sementara itu, Lili yakin bahwa Wisnu Patra tidak 
akan muncul menemuinya. Maka ia pun segera guna-
kan akalnya.
Lili kembali ke arah semula untuk mengejar 
Ubayana. Pemuda itu dalam waktu singkat telah ter-
susul dan dihadang oleh Lili. Ubayana terkejut melihat 
gadis cantik itu sudah berada di dekatnya. Langkah-
nya menjadi serba salah, dan pada waktu itu Lili
membentak,
"Kau tak akan bisa lari, Tikus! Hadapi aku ka-
lau kau memang seorang lelaki yang jantan!"
"Ak... aku... aku...."
"Heaaat...!" Lili melompat dengan satu tendan-
gan ke arah dada Ubayana. Tendangan itu sengaja ti-
dak dalam gerakan cepat, sehingga Ubayana bisa me-
nangkisnya, lalu menghentakkan tangannya ke dada 
Lili. Hentakan itu tidak ditangkis oleh Lili, melainkan 
hanya dihadang oleh perutnya. Tak seberapa berat pu-
kulan Ubayana menandakan pemuda itu benar-benar 
berilmu rendah. Tetapi Lili berlagak jatuh dan terkapar 
pingsan. Ubayana mendekat dengan perasaan bangga, 
tapi ketika itu ia mendengar suara Lili berkata pelan 
dalam geram,
"Kalau kau tak lari kau akan mati terbakar se-
perti tadi!"
Mendengar ucapan yang menyerupai bisikan 
itu, Ubayana menjadi takut, kemudian segera larikan 
diri cepat-cepat. Sementara itu, Lili tetap membiarkan 
diri terkapar di tanah dan kepalanya tergolek ke samp-
ing bagaikan pingsan.
Ternyata akalnya itu berhasil memancing ke-
munculan Wisnu Patra. Pemuda tampan yang mempunyai mata teduh itu muncul dari persembunyian-
nya. Ia cepat-cepat mendekati Lili dengan wajah ce-
mas. Ia menyentak-nyentakkan pundak Lili sambil 
berseru, "Lili....! Lili...!" suaranya terdengar tegang. 
Taab...! Tangan itu dipegang oleh Lili kuat-kuat. Mata 
Lili pun membuka. Claap...! Wajah pemuda tampan itu 
tercengang. Lili tersenyum dan pemuda tampan tersi-
pu. Sadarlah ia bahwa dirinya telah terkecoh oleh per-
mainan Lili yang dipujinya cukup licik itu.
Lili cepat bangkit sambil masih pegangi lengan 
Wisnu Patra sedangkan pemuda itu berlagak acuh tak 
acuh dengan sikapnya yang kecele tadi. Matanya me-
mandangi daun-daun pohon sambil menahan rasa geli 
dan malu ditertawakan oleh Lili.
"Sial! Akhirnya dia berhasil juga menang-
kapku!" pikir si Dewa Tampan itu. Kemudian, ia segera
mendengar suara Lili bertanya,
"Mengapa kau lari dariku, Dewa Tampan?" "
Tidak apa-apa!"
"Kau bohong! Rupanya ketampanan mu itu 
menyimpan segudang kebohongan yang menyebalkan!"
"Kau sudah tahu aku pembohong, mengapa 
kau harapkan bertemu denganku lagi?"
"Karena kau membuat hatiku penasaran!"
Wisnu Patra mendengus sambil kipaskan tan-
gannya pertanda tidak mau peduli dengan kata-kata 
Lili itu.
Tapi Lili segera mengejarnya ketika Wisnu Patra 
melangkah hendak meninggalkannya.
"Wisnu Patra, katakan dulu apa yang ada da-
lam hatimu sebenarnya! Mengapa kau menjadi kaget 
dan takut setelah kusebutkan bahwa diriku bergelar 
Pendekar Rajawali Putih?!"
"Aku tak sanggup!"
Lili menarik lengan Wisnu Patra sehingga si

Dewa Tampan itu berhenti dari langkahnya. Lili men-
desaknya dengan kata-kata,
"Kau harus sanggup! Kau harus bisa menje-
laskan padaku!"
Wisnu Patra diam, menarik napas panjang-
panjang. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada pe-
lan,
"Aku tak mau melihatmu kecewa."
"Aku siap untuk menerima apa saja tanpa ha-
rus kecewa!"
"Baiklah," kata Wisnu Patra akhirnya menyerah 
juga. Ia berjalan mendekati tempat yang teduh, di ba-
wah sebuah pohon berbuah ungu. Di sana ia berkata 
dalam keadaan berdiri dan satu tangannya bersandar 
pada batang pohon tersebut.
"Aku mempunyai ibu seorang peramal, na-
manya: Arum Bumi."
"Arum Bumi?" gumam Lili. "Sepertinya aku 
pernah mendengar nama Arum Bumi itu! Kapan dan di 
mana, aku lupa!"
"Kau pasti mendengarnya dari mulut gurumu, 
yaitu Dewi Langit Perak!" kata Wisnu Patra, dan kata-
kata itu membuat Lili tercengang.
"Dari mana kau tahu bahwa guruku Dewi Lan-
git Perak?"
"Ibuku adalah sahabat baik gurumu!"
"Ooo..., ya, ya, ya.... Guru memang pernah ber-
cerita tentang peramal sakti yang bernama Arum Bu-
mi. Tapi waktu itu aku masih berusia antara empat be-
las tahun."
"Kita pun pernah saling jumpa pada usia seki-
tar empat belas tahun. Pertemuan itu terjadi saat pe-
makaman kakekku di Bukit Renta."
Lili berkerut dahi mengingat-ingat peristiwa itu. 
Tapi ingatannya terasa lemah, terutama sejak ia banyak menyerap ilmu dari gurunya. Maka Lili pun ber-
kata,
"Aku tidak ingat lagi."
"Aku pun kala itu tidak banyak perhatikan ka-
mu. Aku hanya melihatmu sebagai gadis yang angkuh 
dan sombong."
"Lalu, karena masa lalu kita itu kau jadi takut 
padaku?"
"Bukan karena itu. Singkat cerita, antara ibuku 
dan gurumu tidak menghendaki persahabatannya 
menjadi putus ataupun renggang. Mereka bersepakat 
untuk menjalin hubungan persaudaraan yang lebih 
erat lagi. Maka ketika kita berusia kurang lebih sepu-
luh tahun, ibuku bermaksud ingin menjodohkan aku 
denganmu."
"Haah...?!" Lili terkejut bukan kepalang tang-
gung. Hampir saja tubuhnya terlonjak ketika itu.
"Pada waktu itu, gurumu juga setuju bahwa an-
tara kita kelak akan saling dijodohkan, dikawinkan 
dan hidup sebagai suami-istri. Perjanjian itu dipegang 
teguh oleh ibuku, sampai aku menjadi dewasa. Aku 
yang tidak tahu menahu tentang perjanjian itu, mem-
punyai seorang kekasih yang bernama Rias Rembulan, 
teman seperguruanku sendiri. Kami sepakat untuk 
saling hidup bersama. Tapi Ibu melarangku mengawini 
gadis itu." "Apa alasannya?"
"Pertama, karena menurut ramalan Ibu, jika 
aku kawin dengan Rias Rembulan, maka usiaku akan 
pendek. Kedua, Ibu selalu ingat perjanjian dengan De-
wi Langit Perak untuk menjodohkan aku dengan murid 
Dewi Langit Perak itu. Kabar terakhir kudengar murid 
itu bergelar Pendekar Rajawali Putih, dan Dewi Langit 
Perak menghilang entah ke mana! Ibu menyuruhku 
mencari Pendekar Rajawali Putih dan mengawininya...!"

"Ooh...?!" mata Lili terbelalak lagi dengan tubuh 
gemetar.
"Aku memberontak dengan keputusan Ibu. Aku 
menentangnya mati-matian dan tetap akan mengawini 
Rias Rembulan. Tapi...," wajah Wisnu Patra tertunduk 
murung. Mata Lili tetap memandanginya dengan hati 
berdebar-debar. Wisnu Patra menyambung ucapannya,
"Tapi belakangan kudapatkan Rias Rembulan 
mati dengan tubuh memerah. Ia terkena Racun Gu-
nung Neraka. Dan... dan aku tahu beberapa orang 
yang memiliki Racun Gunung Neraka itu, antara lain 
adalah ibuku sendiri. Tapi aku tak punya bukti kuat, 
sehingga tak berani menuduh ibuku-lah sebagai pem-
bunuh Rias Rembulan. Aku sangat kecewa sekali. Aku 
seperti kehilangan separo dari hidupku. Sementara itu, 
Ibu mendesak ku mencari Pendekar Rajawali Putih dan 
mengawininya dengan segera. Aku jadi benci dengan 
Pendekar Rajawali Putih. Aku tahu, Ibu melakukan 
tindakan keji membunuh Rias Rembulan supaya aku 
kawin dengan Pendekar Rajawali Putih. Aku jadi ingin 
membunuh Pendekar Rajawali Putih itu! Dan hatiku 
bertekad untuk mencarinya lalu membunuhnya seba-
gai penebus kematian Rias Rembulan. Kepalanya ingin 
kupenggal dan kulemparkan ke pangkuan ibu...."
Kaki dan tangan Lili kian gemetar mendengar 
kata-kata itu. Wisnu Patra sendiri masih tetap tun-
dukkan kepala. Lili segera mundur dua tindak dengan 
jantung berdetak-detak dan hati gundah gulana. Sece-
patnya Wisnu Patra dongakkan wajah dan pandangi 
Lili, kemudian ia lanjutkan kata-katanya,
"Ketika aku melihatmu dalam keadaan tak ber-
daya, timbul rasa iba dalam hatiku. Aku menolongmu, 
dan aku mendekatimu. Saat itu hatiku bergetar memu-
ji kecantikanmu dan terpikat senyuman mu. Hatiku te-
lah terjerat dengan cepat. Namun ketika kau sebut

nama gelarmu sebagai Pendekar Rajawali Putih, jerat 
itu bagai kusut tak tentu arah. Antara benci ingin me-
menggal kepalamu dan menyerahkan kepada Ibu, atau 
memelukmu dan menyerahkan ke dasar hatiku. Aku 
tak tahu! Aku... aku benar-benar bingung menghadapi 
kenyataan ini. Separo hatiku mengecam kekerasan 
yang ada di dalam sifat ibuku, separo hatiku mengata-
kan, bahwa ternyata pilihan Ibu tidak mengecewakan 
hatiku...."
Wisnu Patra kembali menunduk. Lama ia 
membisu seribu bahasa. Lama juga Lili hanya bisa 
memandanginya. Setelah itu, barulah terdengar suara 
Lili berkata lirih,
"Mengapa kau selalu menghabisi nyawa lawan-
ku dengan ilmu api mu itu? Bukankah aku orang yang 
ingin kau bunuh?"
"Aku... aku tak tahu! Aku tak bisa jelaskan 
mengapa aku tak izinkan orang lain menyentuh tu-
buhmu?! Aku sakit hati jika melihat kau diserang 
orang lain. Padahal... aku sedang mempertimbangkan 
bagaimana cara memenggal kepalamu!"
"Mengapa tak kau lakukan sekarang saja? Ku-
lepaskan pedangku dan cabut pedangmu, lalu penggal-
lah kepalaku, Wisnu Patra!"
Pemuda itu geleng-gelengkan kepala. Tampak 
gundah sekali hatinya. Akhirnya ia segera melesat per-
gi. Berlari dengan cepat meninggalkan gadis cantik 
yang meresahkan hatinya itu.
"Wisnu, mau ke mana kau!" seru Lili.
"Mencari bunga Teratai Hitam! Sebaiknya aku 
menikah dengan putri Adipati saja!" seru Wisnu Patra 
sambil lanjutkan larinya.
"Tunggu! Tunggu aku, Wisnu...!" Lili bergegas 
menyusulnya.

*
* *
8


TEKAD Kencana Ratih untuk merebut bunga
Teratai Hitam itu sudah benar-benar membulat di ha-
tinya. Namun pada saat ia berhasil menemui paman-
nya, kala itu sang paman sedang terdesak oleh seran-
gan seorang lelaki kurus bermata cekung yang usianya 
sekitar empat puluh tahun lebih. Lelaki kurus itu be-
rambut panjang dengan ikat kepala kulit ular dan pa-
kaiannya serba merah. Kumisnya tipis tapi berbentuk 
runcing ke bawah.
Terdengar Leak Parang berseru, "Batalkan saja 
niatmu, Sampar Tulang! Bunga ini akan hancur jika 
nyawaku lepas dari raga! Sia-sia saja kau melawanku, 
Sampar Tulang!"
"Tak ada perbuatan yang sia-sia bagi Sampar 
Tulang!" seru orang kurus bermata cekung itu. Ia ma-
sih menggenggam senjatanya berupa sabit kembar. 
Sabit bergagang panjang yang digenggam kedua tan-
gan itu dimainkan terus di sekeliling tubuhnya sambil 
langkahnya bergerak mengitari Leak Parang.
Sementara itu, tubuh Nyai Kubang Darah ter-
nyata sudah terkapar di bawah gugusan batu cadas. 
Rupanya Nyai Kubang Darah dalam keadaan terluka di 
beberapa bagian tubuhnya. Luka itu beracun dan tu-
buh Nyai Kubang Darah pun menjadi berbintik-bintik 
seperti sedang dimakan racun ganas dari aliran da-
rahnya.
Jika orang yang bernama Sampar Tulang itu 
bisa melukai Nyai Kubang Darah di beberapa bagian 
tubuhnya, maka sudah pasti ia juga bisa melukai Leak

Parang yang hanya menggunakan satu tangan dalam 
bertarung. Tangan yang satunya memegangi bunga te-
ratai itu dengan sangat hati-hati.
Kencana Ratih tidak langsung menghamburkan 
diri ke pertarungan, tapi ia diam di suatu tempat ter-
sembunyi dan menunggu kesempatan untuk meram-
pas bunga itu dari tangan Leak Parang. Namun tiba-
tiba punggungnya dicekal oleh tangan seseorang yang 
membuat Kencana Ratih cepat berpaling untuk siap-
siap menghantamkan tinjunya. Tetapi niat itu tertahan 
karena yang datang adalah Yoga.
"Diam saja di sini!" kata Kencana Ratih. "Biar-
kan Paman bertarung melawan Sampar Tulang. Kita 
cari kelengahan Paman dan kita sambar bunga itu be-
gitu Paman lengah!"
Sambil menatap ke arah pertarungan sengit an-
tara Leak Parang dengan Sampar Tulang, Yoga berkata 
dalam nada membisik,
"Agaknya orang itu cukup tangguh dan gera-
kannya sangat cepat. Dia mempunyai dua sabit yang 
berbahaya. Pamanmu bisa mati karena sabit mautnya 
itu! Dengar saja suara kibasan sabitnya yang tak ada 
henti-hentinya itu."
Wuung, wuung, wuung, wuung, wuung...!
Suara kibasan sabit yang dipermainkan menge-
lilingi tubuh Sampar Angin itu memang tiada henti-
hentinya. Seakan ia membuat benteng pertahanan 
yang sukar diterobos oleh Leak Parang. Bahkan ketika 
Leak Parang melepaskan pukulan jarak jauh berca-
haya kuning, pukulan itu bagaikan benda yang dapat 
dipenggal oleh kedua sabit maut tersebut. Ledakan 
terdengar beberapa kali tapi tidak membuat Sampar 
Tulang terpental, melainkan justru Leak Parang yang 
terpental beberapa kali. Sedangkan Sampar Tulang te-
rus maju mendesak lawannya sambil menunggu kelengahan lawan untuk satu lompatan yang dapat 
membawa maut bagi Leak Parang.
Yoga memandang tubuh Nyai Kubang Darah 
yang terkapar. Ia berkerut dahi memperhatikan luka di 
tubuh Nyai Kubang Darah dan bintik-bintik merah di 
sekujur wajah dan tubuh Nyai Kubang Darah. Lalu ia 
berkata pelan kepada Kencana Ratih,
"Sebentar lagi Nyai Kubang Darah akan mati ji-
ka tidak cepat ditolong! Pasti dia dalam keadaan seka-
rat saat ini!"
"Biarkan saja! Dia bukan urusanmu!"
Tapi Yoga tidak bisa membiarkan keadaan se-
seorang seperti itu. Ia segera melompat keluar dari 
persembunyiannya, lalu cepat mencabut pedang pusa-
ka dari punggungnya. Blaar...! Petir mengawali keheba-
tan pedang pusaka itu. Leak Parang merasa sedikit le-
ga melihat Yoga tampil kembali. Sampar Tulang terke-
sima sekejap melihat pedang membara merah yang 
pada gagangnya terdapat ukiran kepala burung saling 
bertolak belakang. Kemudian Yoga berkata,
"Kalau kau usik bunga itu, kau akan mati di 
tanganku! Sebaiknya lekas pergi dan jangan mengusik 
bunga itu lagi!"
"Kau pikir aku mudah takut oleh gertakan se-
perti itu, Bocah Tolol! Majulah kalau kau mau mampus 
di ujung sabit kembar ku ini!" tantang Sampar Tulang.
Rupanya Yoga tak berhasil mengambil jalan 
damai dengan Sampar Tulang. Tak ada pilihan lain ba-
gi Pendekar Rajawali Merah kecuali melayani perta-
rungan tersebut. Maka, ia biarkan Sampar Tulang 
mendekatinya dengan sabit berkelebat cepat memben-
tengi tubuhnya. Tapi ketika dalam jarak satu tombak 
orang itu mendekati Yoga, maka pedang yang meman-
carkan warna merah itu pun berkelebat menebas dari 
kanan atas ke kiri bawah dan dari kiri bawah naik ke

pertengahan atas lagi.
Wuuut, wuuut...!
Biaar...! Craas...!
Tebasan pertama melesatkan sinar merah yang 
dapat ditangkis dengan kibasan sabit kembar hingga 
timbulkan ledakan. Tebasan kedua juga pancarkan si-
nar merah, namun lolos dari tangkisan dan akhirnya 
tubuh Sampar Tulang pun tumbang ke belakang da-
lam keadaan robek bagian pinggang sampai ke dahi 
kanan. Robekan itu cukup dalam, namun tidak kelua-
rkan darah sedikit pun.
Bruuk...! Sampar Tulang tidak bernyawa lagi. 
Yoga memandanginya dengan napas terhempas lega.
Leak Parang berkata, "Terima kasih, Yo. Sekali 
lagi kau telah selamatkan bunga ini dari tangan mere-
ka!"
Kencana Ratih pun muncul dari persembu-
nyiannya, langsung berseru kepada pamannya,
"Kurang baik bagaimana lagi Yoga kepada Pa-
man! Berapa kali nyawa Paman diselamatkan olehnya, 
dan berapa kali Paman punya hutang nyawa kepa-
danya?"
Leak Parang diam dengan mata memperhatikan 
Kencana Ratih. Mata itu memandang tajam, sepertinya 
memendam kemarahan yang besar. Tetapi Yoga segera 
alihkan perhatian mereka ke Nyai Kubang Darah. Ia 
berkata kepada Leak Parang,
"Paman, keadaan Nyai sangat berbahaya! Se-
baiknya kita bawa dia ke tempat aman untuk diobati 
luka-lukanya!""
Leak Parang menghempaskan napas panjang 
dengan rasa prihatin melihat keadaan Nyai Kubang 
Darah. Kemudian ia berkata kepada Yoga,
"Sabit itu beracun. Tapi melihat jenis racunnya, 
aku masih bisa menyembuhkan luka-luka Nyai Kubang Darah itu! Aku tahu cara melenyapkan racun 
itu!"
"Jika begitu, Paman harus segera bertindak se-
belum Nyai menjadi semakin parah lagi!"
"Benar katamu, Yoga!" Leak Parang segera de-
kati Yoga dan berkata lagi dengan nada tegasnya,
"Bawa bunga ini!" Ia mengulurkan bunga terse-
but kepada Yoga. Mata Yoga hanya memandang dalam 
keraguan menerimanya. Leak Parang berkata,
"Bawalah! Pergilah sana, dan sembuhkan saha-
batmu itu dengan bunga tersebut! Aku akan membawa 
pulang Kubang Darah ke pondokku. Dia harus ku ra-
wat dan kuselamatkan dari racun itu!"
Tangan Leak Parang lebih menyodorkan lagi 
bunga tersebut. Akhirnya Yoga pun menerimanya den-
gan ucapan kata,
"Terima kasih, Paman!"
Leak Parang tidak menjawab. Ia segera dekati 
Nyai Kubang Darah, lalu mengangkat tubuh yang ter-
luka itu. Ia memanggul tubuh calon istrinya, namun 
sebelum pergi ia sempat berkata kepada Yoga,
"Kalau ada sisanya, tolong sembuhkan pula sa-
habatku di kadipaten itu! Dia juga sangat membutuh-
kannya!"
"Saya rasa... memang itulah satu-satunya jalan 
tengah yang harus kita ambil, Paman!"
Kembali Leak Parang hanya menatap sebentar, 
kemudian segera sentakkan kaki dan melesat pergi 
sambil membawa tubuh kekasihnya. Dalam waktu se-
kejap, Leak Parang telah lenyap dari pandangan mata 
Yoga. Hati Pendekar Rajawali Merah itu sempat terha-
ru melihat kebijakan orang setua Leak Parang itu.
Kencana Ratih mendekatinya sambil sungging-
kan senyum ceria. Yoga memandangi lesung pipit itu 
tanpa berkedip. Kemurungan di wajah Yoga telah sirna. Keceriaan di wajah tampan itu kembali memikat 
hati setiap wanita yang memandangnya.
"Akhirnya kau dapatkan juga dia!" ucap Kenca-
na Ratih sambil merapatkan badan ke samping Yoga. 
Keduanya sama-sama pandangi bunga hitam yang 
menyebarkan aroma wangi itu.
"Yang membuatku lega bukan hanya karena 
mendapatkan bunga ini, tapi berhasil menghindari per-
tarungan melawan pamanmu!"
"Aku pun demikian. Tadi aku sudah bertekad 
membunuh Paman jika bunga itu gagal kurebut. Seka-
rang aku menyesal sekali mempunyai rencana jahat 
seperti tadi!"
"Sudahlah! Lupakan tentang itu. Sekarang aku 
harus lekas-lekas pergi menemui sahabatku yang se-
dang sakit dan sangat membutuhkan bunga ini! Kura-
sa bunga ini tidak semuanya akan terpakai. Masih ada 
sisa yang bisa dipakai menyembuhkan sang Adipati...."
Grusaaak...! Terdengar ranting dan daun dite-
rabas gerakan tubuh manusia. Yoga berpaling ke kiri, 
Kencana Ratih berbisik,
"Lekas. bawa lari bunga itu! Akan ku hadang 
dia di sini!"
Mereka sama-sama yakin, bahwa seseorang se-
dang menuju ke tempat itu untuk merebut bunga Te-
ratai Hitam. Yoga pun segera melompat larikan diri, 
sedangkan Kencana Ratih mencabut pedangnya, 
menghadang orang yang akan muncul dari balik re-
rimbunan semak itu.
Ternyata orang itu bukan manusia bodoh. Ia ti-
dak hampiri Kencana Ratih. Ia justru mengejar Yoga 
karena ia tahu Yoga yang membawa bunga tersebut. 
Melihat sekelebatan bayangan mengejar Yoga, Kencana 
Ratih pun segera memburunya sambil berseru, "Hal, 
berhenti...!"

Pendekar Rajawali Merah merasa dirinya se-
dang dikejar seorang. Kencana Ratih gagal mengha-
dang orang tersebut. Maka, sambil tetap berlari cepat, 
Yoga berusaha memasukkan bunga itu ke balik ba-
junya. Dengan begitu, tangannya yang tinggal satu itu 
pun bisa digunakan untuk mencabut pedang jika ter-
paksa harus melakukan pertarungan.
Wuuut..! Wuuk, wuuk, wuuk...!
Rupanya pengejar Yoga kali ini orang berilmu 
tinggi. Dengan sangat ringannya ia mampu melenting 
di udara dan bersalto tiga kali, memotong arah pela-
rian Yoga, ia bahkan hinggap di dahan dan melan-
jutkan pelariannya, sampai akhirnya ia berhasil men-
daratkan sepasang kakinya di depan langkah Yoga.
Jleeeg...!
Yoga terhenti, matanya sedikit menyipit me-
mandangi pemuda tampan yang berpakaian kuning 
dan bersenjatakan pedang perunggu di punggungnya. 
Mereka saling diam, saling pandang, dan saling perha-
tikan sampai beberapa saat lamanya. Ketika Kencana 
Ratih tiba di tempat itu, kedua matanya menjadi terbe-
lalak memandang dua pemuda tampan yang masing-
masing mempunyai daya tarik yang hampir seimbang. 
Kencana Ratih terperangah dan segera masukkan pe-
dang ke sarungnya. Hatinya pun membatin,
"Aih, gila! Mereka sama-sama berbadan tegak 
dan kekar. Mereka sama-sama gagah dan menawan. 
Tapi apakah mereka sama-sama berilmu tinggi?! Oh, 
aku tak boleh ikut campur jika sudah begini!"
Setelah puas saling pandang, Pendekar Rajawa-
li Merah mendahului bicara dengan menyapa, "Siapa 
kau, Sobat?!"
"Wisnu Patra!" jawab si Dewa Tampan itu den-
gan ucapan yang tegas dan jelas. Seakan sangat bangga dengan namanya sendiri.

Yoga manggut-manggut dengan tenang. Wisnu 
Patra juga kalem dan tenang. Tapi matanya tajam me-
mandang, penuh kewaspadaan, sama dengan panca-
ran mata Yoga juga. Lalu, Wisnu Patra berkata,
"Dua tiga orang yang kutemui di perjalanan 
mengatakan, bunga Teratai Hitam ada di tangan Leak 
Parang. Kaukah yang bernama Leak Parang, Sobat?!" 
"Bukan! Namaku; Yoga!"
"O, jadi sudah pindah tangan sekarang!" ucap 
Wisnu Patra sambil manggut-manggut. Suaranya sedi-
kit lebih berat dari suara Yoga.
"Dan kau ingin mengambilnya dariku?" "Ya!" 
jawab Wisnu Patra dengan tegas. "Aku akan memper-
tahankannya!" "Aku akan melukaimu!"
"Aku akan membalas!" jawab Yoga dengan tak 
kalah tegas.
"Kalau begitu, bersiaplah menghadapiku, Yoga!"
"Sejak tadi aku sudah siap, Wisnu Patra!"
Di dalam hati Kencana Ratih ada cemas, ada 
tepuk sorak, ada tegang, dan ada pula girang. Baru 
kali ini dia melihat pertarungan yang dilakukan oleh 
dua orang yang sama-sama punya ketampanan dan 
daya pikat yang seimbang. Baru kali ini dia melihat 
dua orang yang sama-sama berani, sama-sama tegas 
dalam mengambil keputusan, serta sama-sama bersi-
kap meyakinkan.
Wisnu Patra lebih dulu menjajal ilmu Yoga den-
gan sentakkan telapak tangan miring yang keluarkan 
sinar jingga dari ujung jari tengahnya itu. Zlaaap...! 
Sinar itu berkelebat cepat ke arah Yoga.
Tetapi Yoga juga segera sentakkan telapak tan-
gannya, dan dari pangkal tangan itu melesat sinar me-
rah tua berbentuk seperti bola kecil. Ziaaap...! Sinar 
merah tua itu membentur sinar jingganya Wisnu Patra. 
Glegaaar...!

Dentuman keras mengguncang bumi. Daun-
daun berguguran. Kencana Ratih tersentak ke bela-
kang dan oleng membentur batang pohon tidak terlalu 
keras. Tetapi ketika asap tebal dari benturan dua sinar 
tadi menghilang, tampak dua sosok pemuda tampan 
masih berdiri di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun.
"Wow...! Ini baru seru namanya!" ucap hati 
Kencana Ratih dengan mata berbinar-binar.
Di pihak Wisnu Patra membatin, "ilmunya cu-
kup tinggi juga! Jurus itu bisa dihancurkan dengan si-
nar merah tuanya. Sayang di balik bajunya ia me-
nyimpan bunga teratai itu, kalau tidak, sudah kule-
paskan 'Lidah Bara' yang pasti akan membakar tu-
buhnya sampai mati!"
Sedangkan Yoga hanya membatin, "Kurasa ju-
rus selanjutnya lebih hebat lagi dari jurus pertamanya 
tadi! Aku tak boleh lengah sedikit pun. Hentakan ge-
lombang dari ledakan tadi terasa panas di kulitku. Jika 
bukan berilmu tinggi, tak mungkin sekuat itu daya 
panas yang ku rasakan."
Wisnu Patra segera mencabut pedang perung-
gunya. Sraang...! Clap! Ada sinar putih yang berkelebat 
naik dari gagang pedang merayap di permukaan pe-
dang sampai melesat lewat ujung pedang dan hilang di 
angkasa. Jelas itu sebuah tanda bahwa pedang pe-
runggu berwarna kehitam-hitaman itu bukan semba-
rang pedang biasa, melainkan punya kesaktian dan 
kekuatan tersendiri yang belum diketahui oleh Yoga.
Yoga pun tak mau kalah, ia mencabut pedang 
pusaka dari punggungnya. Blaaar...! Petir menggelegar 
kuat di angkasa. Wisnu Patra sempat mendongak ke 
atas sebentar. Lalu matanya terkesiap melihat pedang 
lawan bercahaya merah dan mempunyai percikan-
percikan bunga api yang selalu bergerak mengelilingi 
pedang tersebut.

"Heaaat...!" Wisnu Patra berlari sambil meng-
genggam pedangnya dengan dua tangan, siap dite-
baskan ke arah leher lawannya.
"Hiaaah...!" Yoga pun berseru dalam satu sen-
takan kaki dan tubuhnya melayang maju dengan ce-
pat. Pedangnya pun segera ditebaskan ke arah lawan-
nya. Namun pedang itu berhasil ditangkis oleh Wisnu 
Patra dengan gerakan cepat sekali, traaang...! Blaaar...!
Kini keduanya sama-sama terpental beda arah. 
Benturan Pedang Lidah Guntur dengan pedang pe-
runggu itu menghasilkan satu ledakan yang cukup 
dahsyat. Gelombang ledakannya menyentak ke seluruh 
penjuru, melemparkan dua pemuda tampan yang se-
dang bertarung itu.
Sebatang pohon tak terlalu besar tiba-tiba tum-
bang akibat gelombang ledakan tadi. Dua bongkah ba-
tu besar retak, sebagian hancur. Tubuh Kencana Ratih 
terhempas dan jatuh di sela-sela dua pohon yang ber-
jajar. Nyaris terjepit di sana. Ia buru-buru bangkit, 
mengibaskan kepalanya yang merasa pusing dan pan-
dangan matanya yang kabur, lalu segera kembali men-
dekati arena pertarungan dengan perasaan kagum ser-
ta tegang.
"Keduanya ternyata sama-sama hebat!" ucap-
nya lirih dalam nada membisik. Kencana Ratih tak 
berkedip memandangi kedua pemuda tampan yang 
sama-sama berusaha bangkit dari kejatuhannya tadi. 
Kini keduanya telah kembali bersiap dalam jarak seki-
tar tujuh langkah.
Wuuut...! Jleeg...!
Tiba-tiba sesosok tubuh melompat dari atas 
pohon dan mendarat di pertengahan jarak kedua pe-
muda tampan itu. Sesosok tubuh yang baru saja da-
tang itu tak lain adalah Lili, si Pendekar Rajawali Putih.

"Hentikan! Hentikan pertarungan ini!" sentak 
Lili dengan berang.
"Lili, minggirlah! Ini urusan lelaki!" kata Wisnu 
Patra.
"Guru, izinkan aku melawan dia!" ucap Yoga, 
membuat Wisnu Patra terperanjat karena mendengar 
Yoga memanggil Lili dengan sebutan guru.
Lili berkata kepada Yoga, "Kau tidak boleh me-
lukai dia, Yo!"
"O, jadi sekarang kau sudah punya orang baru 
di hatimu, hah?"
Lili bingung menjelaskannya. Ia gundah sekali. 
Terdengar suara Wisnu Patra berseru,
"Lili, siapa dia itu? Kau agaknya kenal baik 
dengannya!"
"Ya. Dia adalah Pendekar Rajawali Merah!"
"Hahh...?!" Wisnu Patra tercengang kaget. Ia 
pernah mendengar Juga tentang kehebatan ilmu Pen-
dekar Rajawali Merah dari gurunya. Ia tahu, bahwa 
Pendekar Rajawali Merah pastilah murid dari suami 
Dewi Langit Perak. Sedangkan Dewi Langit Perak dan 
suaminya yang berjuluk Dewa Geledek itu, pernah di-
dengar cerita kesaktiannya dari guru Wisnu Patra sen-
diri.
"Tapi tak mungkin aku kalah dengannya," pikir 
Wisnu Patra. Lalu, ia berkelebat menyerang Yoga den-
gan melompati Lili.
"Hiaaahh...!"
"Heaah...!" Yoga pun siap melompati Lili. Tetapi 
sebelum keduanya sama-sama bergerak maju, Pende-
kar Rajawali Putih cepat sentakkan kedua tangannya 
membentang ke kiri dan kanan bagai hempasan sayap 
seekor rajawali yang sedang murka. Wuuuhgg...!
Sentakan kedua tangan itu melepaskan tenaga 
besar yang menghantam tubuh kedua pemuda tampan

itu. Lalu, keduanya terlempar ke belakang dan saling 
berjumpalitan.
Kencana Ratih berseru, "Hei, mengapa kau ikut 
campur urusan mereka?! Biarlah urusan lelaki diurus 
sesama lelaki! Kau ini perempuan atau lelaki, hah?!"
"Tutup mulutmu, Gadis Jalang!" bentak Lili. 
"Kurang cukupkah kau membawa lari kekasih orang, 
hah?!"
Panas hati Kencana Ratih mendengarnya. Ia 
menghampiri Lili dengan langkah cepat dan berseru,
"Jaga mulutmu baik-baik, Perempuan Sinting!"
Wisnu Patra yang sudah bangkit kembali itu 
berseru, "Lili, minggirlah. Biar ku bakar tubuh gadis 
itu dari sini!"
Yoga yang juga sudah bangkit berjalan cepat 
dekati Kencana Ratih sambil memandang si Dewa 
Tampan itu,
"Berani kau melukai dia, kuhancurkan kepala-
mu!"
Lili cepat berseru kepada Yoga, "Bagus sekali 
pembelaan mu! Kau benar-benar seorang kekasih yang 
setia, Yoga," sambil ia mencibir sengit kepada Yoga.
"Guru, jangan bicara begitu! Antara kita te-
tap...."
"Cukup! Kau tak perlu merayu ku lagi!" sentak 
Lili.
"Karena kau sudah ada yang merayunya lagi, 
begitu maksudmu?! Dia itukah orangnya?! Kau berani 
bertaruh apa kalau aku bertarung melawannya pasti 
kau akan kehilangan dia seumur hidupmu, tahu?!"
Suasana menjadi ricuh sesaat. Mereka saling 
mengumbar kecemburuan antara yang satu dengan 
yang satunya. Lili sendiri sebenarnya dalam kebim-
bangan; ia harus berpihak kepada siapa. Kencana Ra-
tih pun bimbang, haruskah ia tetap membela Yoga,

sementara dia mulai tahu bahwa Yoga mencintai Lili, 
dan itu berarti Wisnu Patra belum tentu mencintai Lili 
juga. Seandainya benar begitu, pasti salah satu dari 
kedua pemuda tampan ini akan kalah dan mundur da-
ri percintaan mereka itu.
Suasana ricuh terhenti setelah tiga orang ber-
tubuh tinggi besar seperti raksasa itu muncul dari ba-
lik semak-semak yang diterabasnya. Mereka adalah 
Gandaloka dan kedua anak buahnya yang berwajah 
dingin itu.
"Akhirnya kita bertemu di sini, Nona Lili!"
"Ayodya!" sentak Wisnu Patra. "Agaknya di sini-
lah tempat kita saling melampiaskan dendam lama itu! 
Sekaranglah saatnya kau harus menebus kematian 
guruku karena tanganmu itu! Heaat...!"
Gandaloka, Ayodya, dan Loga saling menyebar 
mengurung Wisnu Patra. Saat itu Lili berbisik pada 
Yoga, "Lekas tinggalkan tempat ini. Mereka datang in-
gin membawamu agar menikah dengan ratu mereka, 
atau kau mati di tangan mereka! Larilah, aku akan 
menahan mereka di sini. Cepat...!"
*
* *
9


PUNCAK Gunung Rimba Gading dilapisi kabut 
dan hawa dingin. Sebuah gua yang ada di puncak gu-
nung itu tertutup oleh sebongkah batu besar. Batu itu 
adalah pintu lubang gua Dan jika bukan orang berilmu 
tinggi yang menempati gua itu, tak akan bisa menggeser batu besar tersebut.

Di dalam gua tersebut terdapat seorang gadis 
yang sebenarnya cukup cantik. Sayang gadis itu ada 
dalam pasungan karena terkena Racun Edan dari la-
wannya yang bernama Merak Betina, teman sepergu-
ruan Lembayung Senja yang sekarang menjadi pengi-
kut Lili karena ingin mencuri-curi jurus maut yang 
dimiliki Pendekar Rajawali Putih.
Mahligai, si gadis gila itu, sejak terkena Racun 
Edan membuatnya menjadi liar, buas, dan rakus. Ia 
tidak bisa makan apa-apa kecuali daging mentah. Ka-
lau tak dipasung, ia akan lepas dan bisa-bisa bibinya 
sendiri, yang juga sebagai gurunya itu, dimakannya 
hidup-hidup. Sendang Suci, bibi dari Mahligai itu, me-
rasa prihatin sekali melihat nasib keponakannya men-
derita Racun Edan yang hanya bisa disembuhkan den-
gan bunga Teratai Hitam itu. Sekalipun demikian, Ta-
bib Perawan atau Sendang Suci, masih tetap sayang 
dan setia merawat Mahligai. Harapan Sendang Suci 
hanya ada pada satu orang, yaitu Pendekar Rajawali 
Merah yang punya kesanggupan mencari Teratai Hitam 
itu.
Maka ketika Yoga datang ke Gunung Rimba 
Gading, hati Sendang Suci pun bersorak menyambut-
nya. Bukan hanya karena Yoga berhasil membawa 
bunga Teratai Hitam, melainkan karena rasa rindu 
yang selama ini terpendam di dasar hati, melonjak le-
pas bahkan sampai ia memeluk erat pendekar tampan 
yang tangannya buntung karena pedang Sendang Suci 
itu, (Baca episode: "Ratu Kembang Mayat" dan "Utusan 
Pulau Keramat").
"Kerinduan ini tidak pernah ku rasakan selama 
hidupku. Kerinduan ini ternyata ada pada hatiku, Yo-
ga. Baru sekarang aku menderita rindu, terutama se-
jak ku kenal dirimu!"
"Bibi, lepaskanlah perasaan itu," kata Yoga.

"Yang utama adalah, sembuhkan Mahligai terlebih du-
lu."
"Oh, kau sangat memperhatikan keponakanku, 
Yo! Aku sering iri jika kau terlalu besar memberi per-
hatian kepadanya!"
"Hanya orang sakit yang membutuhkan perha-
tian lebih. Bibi bukan orang sakit. Kuharap Bibi bisa 
membedakan perhatianku terhadap Mahligai dan ter-
hadap Bibi sendiri."
Perempuan separo baya yang masih tampak 
cantik dan kencang tubuhnya itu tersenyum meman-
dang Yoga. Perempuan yang masih perawan itu pun 
segera melepaskan tangannya yang sejak tadi meling-
kar di leher Yoga sambil mencurahkan rasa rindunya.
"Apa yang terjadi d! bawah sana pada saat bun-
ga ini kau dapatkan?" tanya Sendang Suci.
"Banyak sekali, Bibi! Satu kabar yang perlu Bibi 
ketahui, Gua Bidadari telah kuhancurkan."
"Kau yang menghancurkannya?"
"Ya. Aku dan Pendekar Rajawali Putih. Dan... 
kenalkah Bibi dengan tokoh tua yang bernama Leak 
Parang?"
"O, ya! Aku kenal. Semasa mudanya dia adalah 
kekasih Punding Ayu, yang sekarang berjuluk Nyai 
Kubang Darah."
Maka, Yoga pun menceritakan tentang perjala-
nan bunga Teratai Hitam itu hingga sampai ke tangan-
nya. Kemudian, Tabib Perawan itu berkata,
"Demi adilnya, biarlah separo dari bunga ini 
untuk sang Adipati. Pemakaiannya sebenarnya tak ha-
rus utuh satu bunga. Cukup sedikit saja sudah bisa 
melenyapkan Racun Edan itu. Tetapi, semula aku 
bermaksud menyimpan sisanya, karena bunga ini 
hanya ada satu di muka bumi. Tak akan ada di tempat 
lain."

tu kembali. Sekarang, mereka datang lagi dengan jum-
lah tiga orang, tujuannya mau memaksaku agar ikut 
ke Pulau Keramat dan menikah dengan Kembang 
Mayat. Jika aku menolak, mereka ditugaskan untuk 
membunuhku!"
"Siapa yang menugaskan?"
"Kembang Mayat sendiri."
"Biar aku yang menghadapi mereka!" sergah 
Sendang Suci.
"Tidak. Bibi tidak boleh terlibat lag!."
"Akan ku buntungi para utusan itu biar Kem-
bang Mayat datang melabrak ku dan pertarungan yang 
membawa keberuntungan baginya itu akan terulang 
lagi!"
"Jangan, Bi! Para utusan itu sekarang sedang 
ditangani oleh Lili."
"Apakah Lili cukup mampu mengalahkan me-
reka bertiga? Aku tahu, para penghuni Pulau Keramat 
itu orang-orang bertubuh tinggi-besar, seperti raksasa. 
Dan mereka juga punya ilmu tinggi!"
"Aku percaya, Lili mampu mengatasinya. Seka-
rang Bibi tenang saja di sini. Sembuhkan dulu Mahli-
gai, setelah Mahligai sembuh. kapan Bibi mau kembali 
ke Bukit Berhala, aku akan dampingi! Sekarang aku 
harus cepat temui sang Adipati, Bi!"
Pada waktu Yoga ingin keluar dari dalam gua, 
ia sempat melihat sekelebat bayangan yang buru-buru 
meninggalkan pintu gua. Rupanya percakapannya tadi 
ada yang mendengarkan secara diam-diam. Yoga tidak 
katakan hal itu kepada Sendang Suci, takut membuat 
murka Sendang Suci meledak-ledak. Bahkan Yoga pun 
tetap pergi tinggalkan gua tersebut dengan diiringi 
pandangan mata Sendang Suci yang menyimpan kasih 
di dalam hatinya.
Lewat dari tebing pertama, Yoga sengaja memper lambat langkahnya, karena ia merasa ada seseo-
rang yang mengikutinya. Orang tersebut ternyata kini 
terang-terangan mengikuti langkah Yoga. Ketika Yoga 
berpaling ke belakang, ternyata Kencana Ratih yang 
mengikutinya sejak dari tempat pertarungannya den-
gan Wisnu Patra itu. Pada waktu itu, Yoga tidak men-
getahui bahwa Kencana Ratih menguntitnya sampai ke 
Gunung Rimba Gading. Dan kini agaknya semua per-
cakapannya dengan Sendang Suci sudah banyak dike-
tahui oleh Kencana Ratih. Karena itu, Kencana Ratih 
berwajah cemberut dan merasa kesal hatinya ketika 
Yoga menyapa dengan senyum keramahannya,
"Mengapa tak ikut masuk ke dalam gua saja 
tadi? Kurasa itu lebih baik daripada kau mencuri-curi 
begitu."
"Aku tidak mau mengganggu kemesraan mu!" 
ketus Kencana Ratih dalam menjawabnya.
"Ah, itu sebuah kemesraan yang wajar-wajar 
saja. Bukan kemesraan seorang kekasih!"
"Apanya yang wajar?! Kemesraan itu menya-
kitkan hatiku, tahu?!" Kencana Ratih mulai ngotot, ja-
lannya sambil mundur dan matanya tetap menatap 
Yoga dengan tajam.
"Bayangkan betapa tidak sakit hatiku, Yo.... 
Susah payah aku membantumu mendapatkan bunga 
teratai itu, susah payah aku merengek dan mengan-
cam paman ku, ternyata bunga itu untuk seorang ga-
dis. Pasti gadis itu mencintaimu, karena bibinya sendi-
ri juga mencintaimu!"
"Aku hanya menolong dia sebatas pertolongan 
seorang sahabat!"
"Kalau kau mau menolong, tak perlu berkata-
kata mesra dengan bibinya! Kalau dia bukan gadis 
simpananmu, tak mungkin kau pertaruhkan nyawa 
untuk mendapatkan bunga Teratai Hitam itu! Puih...!

Kalau aku tahu orang yang akan kau tolong adalah 
orang yang mencintaimu, aku tak akan sudi memban-
tumu! Sama saja aku menghidupkan musuh-musuhku 
dan para saingan ku jika begin! caranya! Puih...! Me-
nyesal! Menyesal sekali aku jadinya!" sentak Kencana 
Ratih sambil berulang-ulang meludah benci.
Pendekar Rajawali Merah hentikan langkah. 
Kencana Ratih juga berhenti, tapi gerakan tubuhnya 
tak tenang, menandakan ia sangat gusar setelah meli-
hat siapa orang yang dicarikan obat oleh Yoga.
"Kencana, dengar...!" Yoga berusaha meraih 
pundak gadis itu, tapi gadis itu menepiskannya. "Ken-
cana, kau adalah seorang perempuan. Kau tentunya 
punya perasaan cinta atau sayang kepada lawan jenis 
mu. Apakah orang lain berhak melarang cinta itu tum-
buh di dalam hatimu? Demikian halnya dengan mere-
ka. Rasa-rasanya tak adil jika aku melarang mereka 
agar jangan mencintai ku, mereka punya hak. Seribu 
wanita boleh mencintai ku, tapi hanya satu yang boleh 
ku pilih menjadi istriku!"
"Siapa...?!" sergah Kencana Ratih. Ia berpaling 
menatap Yoga dengan tajam, menunggu penuh harap 
jawaban yang akan terlontar dari mulut Yoga. Tetapi 
pendekar tampan itu hanya sunggingkan senyumnya 
dan berkata,
"Aku ingin langsung ke kadipaten. Apakah kau 
mau ikut juga?"
"Jawab dulu, siapa orang yang akan kau pilih 
menjadi istrimu nanti? Mahligai. Lili. Tabib Perawan 
itu, atau aku?"
"Mudah-mudahan kita tiba di kadipaten sebe-
lum hari menjadi gelap!"
"Yoga!" sentak Kencana Ratih sambil hentak-
hentakkan kakinya dengan rasa jengkel sekali. "Jawab 
dulu pertanyaanku itu!"

Yoga hanya tersenyum tenang dan semakin 
menawan sikapnya. Lalu tangannya berkelebat me-
rangkul Kencana Ratih dan mengajaknya berjalan ber-
sama. Kali ini Kencana Ratih tidak dapat menolak, ka-
rena rangkulan itu bagai memeluk hatinya yang digun-
cang rasa penasaran.
"Suatu saat, kalau sudah waktunya tiba, aku 
akan tentukan pilihan ku sendiri. Sekarang masih ba-
nyak tugas yang harus kukerjakan demi kehidupan 
sesama manusia. Kalau aku mengutamakan pribadiku 
sendiri, sudah dari kemarin aku menikah dengan wa-
nita siapa saja, yang mungkin tidak akan membuat ki-
ta saling bertemu dan berdekatan seperti ini! Jadi ku-
rasa, siapa istriku, itu tak penting. Yang penting ba-
gaimana kita hidup dalam suasana damai di antara se-
sama...."
Kadipaten bersuasana damai. Tapi belakangan 
ini suasana damai itu dirusak oleh tingkah laku seseo-
rang yang sempat melukai sang Adipati, hingga sang 
Adipati menderita sakit karena racun berbahaya. Ra-
cun itu tidak sama dengan Racun Edan yang diderita 
Mahligai, namun ramuan pengobatannya mempunyai 
kesamaan, yakni harus memakai bunga Teratai Hitam.
Kini Yoga datang menghadap pihak kadipaten 
dengan membawa separo bunga Teratai Hitam. 
Sayangnya, hanya Yoga yang boleh masuk ke ruang 
paseban, sementara Kencana Ratih menunggu di luar 
benteng. Penasihat Adipati yang menyambut kedatan-
gan Yoga bersama istri adipati itu sendiri. Tak lama 
kemudian, muncul seorang gadis berpakaian ksatria 
warna ungu muda, rambutnya digulung sebagian, si-
sanya jatuh terkulai lembut di depan dada kanannya 
Gadis itulah yang bernama Galuh Ajeng, putri sang 
Adipati yang rela menikah dengan lelaki siapa pun 
yang datang membawa bunga Teratai Hitam.

Galuh Ajeng mempunyai mata bulat indah dan 
berbulu lentik itu menatap tak berkedip wajah pende-
kar bertangan satu itu. Ia memandang kagum dan ha-
tinya berdebar-debar setelah ibunya memberitahukan, 
Yoga itulah orang yang datang dengan membawa bun-
ga Teratai Hitam tersebut
Seorang tabib yang dipanggil khusus merawat 
sakitnya sang Adipati, membenarkan bahwa bunga itu 
memang asli bunga Teratai Hitam. Maka, sang Penasi-
hat Adipati pun berkata kepada Yoga,
"Kaulah yang memenangkan sayembara ini, Yo-
ga! Jadi, kaulah yang berhak menerima semua hadiah 
yang telah kami janjikan, satu di antaranya akan di-
kawinkan dengan Putri Galuh Ajeng!"
Yoga kembali menatap Galuh Ajeng. Gadis be-
rusia antara dua puluh tiga tahun itu tersipu malu 
dengan wajah semburat merah karena malu. Ibunya 
menyapa Galuh Ajeng,
"Apakah kau keberatan menikah dengan pen-
dekar tampan ini, Anakku?"
"Ibu. jangan tanyakan hal itu kepadaku, tapi 
tanyakanlah kepada dia, apakah dia mau menerimaku 
menjadi istrinya?"
Istri adipati pun bertanya kepada Yoga, "Ba-
gaimana Yoga?"
"Mohon seribu maaf, Gusti Ayu... kedatangan 
saya kemari hanya untuk menyampaikan bunga itu, 
supaya sang Adipati tertolong jiwanya. Sama sekali 
saya tidak menghendaki hadiah apa pun. Karena anta-
ra saya dengan Paman Leak Parang mempunyai hu-
bungan baik dan saling menolong!"
Wajah Galuh Ajeng mulai pudar dari kece-
riaannya Ibunya berkata kepada Yoga, "Jadi, kau tidak 
berminat menikah dengan putri ku ini?"
"Sekali lagi, mohon seribu maaf, Gusti Ayu!

Saya hanya menolong dan tanpa pamrih apa-apa!"
Galuh Ajeng kian murung. Tak tahan ia berha-
dapan dengan Yoga yang secara tidak langsung telah 
menolak dirinya. padahal dirinya sudah telanjur me-
lonjak girang karena memang terpikat oleh ketampa-
nan Yoga. Galuh Ajeng pun cepat-cepat tinggalkan per-
temuan itu dengan
wajah cemberut. Semua mata mengikuti arah 
kepergian Galuh Ajeng. Kemudian, terdengar suara 
Penasihat Adipati berkata,
"Apakah kau sudah punya istri?"
"Belum, Eyang."
"Apakah Putri Galuh Ajeng kurang cantik bagi-
mu?"
"Tidak, Eyang. Putri Galuh Ajeng sangat cantik 
bagi saya. Tapi tidak seharusnya ia menikah hanya ka-
rena sayembara. Kecantikan itu terlalu mahal dan ku-
rang tepat jika hanya dijadikan barang hadiah saja. 
Biarkan Putri Galuh Ajeng menemukan sendiri keka-
sihnya, supaya hidupnya bahagia bersama orang yang 
dipilih dan dicintainya."
"Bagaimana dengan hadiah-hadiah lainnya, 
apakah juga akan kau tolak?"
"Hadiah yang sanggup saya terima hanyalah 
kesembuhan dari sang Adipati sendiri! Selain itu, saya 
tidak ingin menerimanya."
Kalau saja mereka tahu, mereka akan bisa 
memaklumi. Yang ada dalam benak Yoga adalah Lili, 
karena wajah Galuh Ajeng punya kemiripan dengan Li-
li. Hati Pendekar Rajawali Merah tergugah untuk kem-
bali memperhatikan Lili, sang Guru angkat yang sela-
ma ini kurang diperhatikan itu. Apalagi Yoga tahu, Lili 
sekarang sudah punya teman baru, yaitu Wisnu Patra. 
Yoga tidak ingin Wisnu Patra mengambil Lili dari ha-
tinya. Sebab itulah, Yoga menolak dikawinkan dengan

Galuh Ajeng, walaupun itu merupakan tanda kehor-
matan atas jasa Yoga yang menyelamatkan sang Adi-
pati.
Di luar benteng, Yoga sudah ditunggu oleh 
Kencana Ratih. Hati Kencana Ratih pun saat itu ber-
debar-debar, merasa takut kalau-kalau Yoga terpikat 
oleh kecantikan putri adipati itu. Tetapi ketika Yoga 
keluar dari benteng dalam keadaan sendirian, Kencana 
Ratih menjadi lega dan tersenyum ceria.
Kencana Ratih sebenarnya ingin berlari me-
nyambut kemunculan Yoga. Tetapi langkahnya terhen-
ti ketika empat prajurit kadipaten segera mengurung 
Yoga, lalu muncul lagi dua prajurit bersenjata pedang, 
dan satu lagi perwira istana yang segera berkata,
"Kau kutangkap dan harus dipenjarakan sam-
pai menunggu keputusan hukuman dari sang Adipati!"
"Kenapa? Apa salahku?!" kata Yoga kebingun-
gan.
"Penolakan mu terhadap perkawinan dengan 
Putri Galuh Ajeng dianggap merendahkan martabat is-
tana dan menghina keluarga sang Adipati!"
"Kurasa ini salah anggapan! Ku mohon...."
"Seret dia! Masukkan penjara dulu!" perintah 
perwira itu.
Kencana Ratih tertegun bengong melihat Yoga 
digiring masuk kembali ke dalam benteng istana. Ia in-
gin menolong Yoga, namun jelas tak mungkin ia bisa 
kalahkan banyaknya pasukan kadipaten.
"Celaka! Aku harus menghubungi Paman Leak 
Parang dan meminta bantuannya untuk membebaskan 
Yoga!" kata hati Kencana Ratih, lalu ia segera larikan 
diri secepatnya.
Di perjalanan ia justru berpapasan dengan 
Pendekar Rajawali Putih yang sedang mengejar Ganda-
loka. Dua teman Gandaloka berhasil dibunuh oleh

Wisnu Patra, tapi Wisnu Patra terdesak oleh serangan 
Gandaloka dan segera melarikan diri, sementara Gan-
daloka mengejar, Lili membayang-bayanginya agar jan-
gan sampai Wisnu Patra terbunuh oleh Gandaloka. Te-
tapi begitu bertemu dengan Kencana Ratih, Lili segera 
kerutkan dahi dan bertanya,
"Mana Yoga?"
"Dia ditangkap oleh orang-orang kadipaten ka-
rena menolak dikawinkan dengan Galuh Ajeng!"
"Kurang ajar! Bantu aku menyerang mereka!"
Mampukah Lili membebaskan Yoga, jika hanya 
dibantu oleh Kencana Ratih? Bagaimana dengan Leak 
Parang, maukah dia menolong Pendekar Rajawali Merah

                            SELESAI


Ikuti kisah selanjutnya:

MEMPELAI LIANG KUBUR



Share:

0 comments:

Posting Komentar