..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE PENGOBATAN DI BUKIT TULANG IBLIS

matjenuh khairil

 

PENOBATAN DI BUKIT TULANG IBLIS
Serial Silat JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian 
atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat
Jodoh Rajawali
dalam episode:
Penobatan di Bukit Tulang Iblis
112 hal.

1

SEHARUSNYA hujan turun siang itu. Men-
dungnya sudah menebal sejak tadi. Tetapi entah 
siapa yang telah menahan hujan di hari itu. Se-
dangkan di sebelah timur dan selatan hujan telah 
turun dengan lebatnya. Hanya di daerah barat, di 
mana terdapat Bukit Tulang Iblis berada, hujan 
tak turun di sana. Mendung tetap menggantung 
dan semakin lama semakin tebal. Angin bertiup 
bagai saling berlomba dalam menghempaskan 
daun-daun hutan.
Di kaki sebuah lembah berpohon renggang, 
tampak seorang lelaki berpakaian serba hitam 
terdorong mundur oleh sebuah pukulan tapak 
tangan yang belum menyentuh dadanya. Pukulan 
tapak tangan berkekuatan gelombang tenaga da-
lam itu ternyata milik seorang gadis yang menge-
nakan pakaian hijau muda dirangkap rompi ungu 
tua yang terkancing rapat, membentuk tonjolan 
nyata pada permukaan dada atasnya, sehingga 
tampak menantang selera seorang lelaki. Namun 
gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun itu 
tak terlihat jalang, justru tampak kalem dan lem-
but.
"Keparat kau, Sri Tanding! Rupanya kau 
menghendaki pertarungan kita mencapai titik 
kematian!" geram lelaki berusia sekitar lima pu-
luh tahun itu. Ia baru saja tegak dari tubuh lim-
bungnya yang terkena gelombang pukulan tapak

tangan kiri Sri landing tadi.
"Sumo Loda, sebenarnya aku tidak meng-
hendaki pertarungan ini! Tapi kau memaksaku 
berbuat seperti ini, Sumo Loda. Padahal aku me-
rasa tidak mempunyai perkara denganmu!" ucap 
gadis itu dengan tegas.
"Siapa bilang kau tidak punya perkara 
denganku?! Niatmu untuk datang ke Bukit Tu-
lang Iblis sudah merupakan perkara besar bagi-
ku!"
"Aku datang ke Bukit Tulang Iblis karena 
mewakili guruku!"
"Aku tidak inginkan hal itu!" sergah Sumo 
Loda. "Pihak perguruanmu tak boleh ada yang 
hadir dalam pertemuan para tokoh sakti di Bukit 
Tulang Iblis ini! Aku bersumpah untuk mengha-
langi siapa pun dari pihak perguruanmu yang in-
gin datang ke sana!"
"Apa alasannya, Sumo Loda?" tanya gadis 
berambut poni sepanjang lewat pundak itu.
"Hmmm...!" Sumo Loda sunggingkan se-
nyum sinis. "Aku masih menyimpan sakit hati 
kepada gurumu; Ratu Candra Wulan itu! Lima be-
las tahun yang lalu, dia telah mengusirku dari 
Perguruan Elang Betina dengan seenaknya sendi-
ri. Kupendam sakit hatiku kala itu, dan aku ber-
sumpah untuk selalu menggagalkan rencana 
orang-orang Perguruan Elang Betina yang punya 
maksud apa pun di dunia persilatan ini!"
Sri Tanding tetap tenang. Berdiri dengan 
kedua kaki tegak berjarak, kedua tangan bersidekap di dadanya, kepalanya sedikit mendongak se-
hingga tampak keangkuhan sikapnya. Sumo Loda 
melangkah mondar-mandir di depan Sri Tanding. 
Dadanya selalu membusung maju dengan kedua 
tangan sedikit ditarik ke belakang. Itulah ciri ke-
biasaan Sumo Loda jika berjalan.
Dengan sesekali mengusap kumis tebalnya, 
lelaki bermata angker itu berkata, "Seharusnya 
aku berharap Ratu Candra Wulan sendiri yang 
keluar dari perguruan
dan menghadiri pertemuan nanti. Dengan 
begitu aku bisa berhadapan dengan perempuan 
jahat itu!"
"Guruku bukan perempuan jahat! Kalau 
kau dulu dipecat dan diusir dari pesanggrahan itu 
lantaran kau mau berniat kurang ajar dengan 
Nyai Guru! Sebuah sikap rendah yang amat me-
malukan, jika seorang murid ingin berniat kurang 
ajar terhadap gurunya! Layak jika kau diusir dari 
perguruan. Masih beruntung kau tidak dijatuhi 
hukuman yang lebih berat lagi, Sumo Loda!"
"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja, 
Sri Tanding. Jika dulu aku berniat kurang ajar 
kepada Ratu Candra Wulan, itu lantaran dia 
menggoda gairah ku terus-menerus!"
"Omong kosong! Kau hanya mencari alasan 
buat pembelaan dirimu!" sentak Sri Tanding yang 
mulai tersinggung dengan ucapan Sumo Loda 
yang bersifat merendahkan gurunya. Sri Tanding 
pun berkata tegas,
"Sekarang akulah wakil dari Guru untuk

hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu! Seka-
rang apa maumu. Sumo Loda?!"
"Menggagalkan niatmu untuk datang ke 
sana! Bila perlu harus dengan cara membunuh-
mu!" Sumo Loda berkata dengan nada mengge-
ram.
"Kalau kau ingin menjajal ilmuku, aku tak 
keberatan memamerkannya di depanmu, Sumo 
Loda. Supaya lain waktu kau tidak menganggap 
ringan murid Nyai Guru Ratu Candra Wulan!"
"Sesumbarmu membakar darahku dan 
makin menantang hasratku untuk membunuh-
mu, Sri Tanding! Jika begitu, terimalah jurus 
mautku ini!" Sumo Loda memainkan jurus maut-
nya dengan tiga jari mengeras pada kedua tan-
gannya. Kaki merendah, satu ditarik ke belakang, 
mata melirik tajam, urat lengan menjadi keras, 
dan ia pun cepat melompat dalam satu gerakan 
yang sangat tiba-tiba.
"Heaaah...!"
Sri Tanding yang sejak tadi hanya berside-
kap tangan di dada itu, kali ini melepaskan lipa-
tan tangannya itu, dan menahan sodokan tiga jari 
yang mengancam leher kanan-kirinya. Taabb... 
taabb...! Dengan telapak tangan membuka, sodo-
kan tiga jari di tangan kanan-kiri lawan itu terta-
han kuat. Memercikkan bunga api yang membara 
kecil. Lalu, kaki Sumo Loda menendang, tapi di-
tangkis dengan kaki Sri Tanding, sehingga mereka 
akhirnya perang kaki dengan tangan masih saling 
menahan dan menekan.

Plak, plak, plak, dugg, duug, plak, duug...! 
Buuaaggh...!
Sumo Loda berhasil kecurian jurus. Kaki 
lawannya dengan kuat menendang ulu hatinya. 
Tendangan itu membuat tubuh besar Sumo Loda 
terangkat terbang ke atas dan kehilangan ke-
seimbangan. Sedangkan Sri Tanding yang jari-jari 
di kedua tangannya masih mengeras dan merapat 
itu segera membalikkan tapak tangan tersebut, 
lalu menyodokkan ke arah depan. Zaapp...!
Wuuttt...! Dua tenaga dalam terlepas dari 
ujung-ujung telapak tangan tersebut. Tenaga ber-
gelombang panas itu menghantam tubuh Sumo 
Loda yang sedang melayang. Bhaag...! Wuuss...! 
Tubuh itu kian terlempar bagaikan seonggok 
daun kering dihempas badai.
Braagg...! Sumo Loda jatuh di atas rerun-
tuhan pohon kering. Walaupun ia berhasil me-
lenting lagi ke udara untuk lakukan lompatan ke 
samping, tapi ia sudah tak mampu menapakkan 
kakinya dengan mantap. Ia limbung dan jatuh 
kembali dengan mulut keluarkan darah kental. 
Wajah angker Sumo Loda menjadi pucat pasi.
Sri Tanding tak mau mengejar dan menye-
rang lagi. Ia biarkan dulu lawannya yang jelas ter-
luka berat di bagian dalam tubuhnya. Ia berharap 
lawannya mau diajak berdamai dan tidak meng-
ganggunya lagi. Tapi agaknya Sumo Loda tidak 
mau kenal kata berdamai dengan orang-orang 
Perguruan Elang Betina itu. Terbukti dari sikap-
nya memandang masih menampakkan sikap

permusuhan. Bahkan mungkin lebih sengit lagi.
"Tak ada perlunya melanjutkan pertarun-
gan ini, Sumo Loda! Aku terpaksa harus mening-
galkanmu!" kata gadis yang kelihatan lebih berwi-
bawa daripada lawannya.
"Tunggu!" sentak Sumo Loda sambil bersi-
kap tegak di depan gadis itu. Lalu, ia mencabut 
senjatanya berupa kipas tiga keping. Hanya ada 
tiga logam bertepian tajam yang dapat dibuka-
tutupkan seperti kipas itu. Jari-jari Sumo Loda 
menyelinap di sela-sela logam tajam itu, lalu 
menggenggamnya kuat-kuat.
"Tak perlu terburu-buru merasa menang, 
Sri Tanding! Aku masih menggunakan satu jurus 
maut yang rupanya bisa kau lawan. Tapi bebera-
pa jurus maut ku tak akan bisa ditandingi oleh 
jurus-jurus dari Perguruan Elang Betina. Terima-
lah jurus 'Kipas Tigo' ini! Hiaaat...!"
Sumo Loda menyerang dengan satu lompa-
tan ke arah lain. Tapi kipasnya yang berkerilap 
terkena pantulan sinar matahari itu mengibas 
dan menimbulkan hawa panas yang cukup tinggi. 
Sri Tanding kaget dan cepat menghindar dengan 
lompatan salto tiga kali ke arah belakangnya. 
Wus, wus, wus...!
"Edan! Kalau aku tidak menghindar sece-
patnya, meleleh seluruh tubuhku seperti pohon 
besar itu!" kata Sri Tanding dalam hatinya. Ma-
tanya masih memandangi pohon yang batangnya 
bagai melepuh dan mengelupas akibat terkena 
hawa panas jurus 'Kipas Tigo' itu. Bahkan dua

pohon di belakang pohon pertama pun kulit ba-
tangnya ikut mengelupas, namun tak sampai 
membuat kayunya retak dan melintir, seperti po-
hon pertama. Daun-daun pohon pun cepat layu 
dan akhirnya saling berguguran.
"Rupanya Sumo Loda benar-benar unjuk 
kesaktian di depanku. Ia pamerkan jurus yang 
diperolehnya selama ia menjadi anggota Pergu-
ruan Lawa Murka. Hmm...! Aku terpaksa kelua-
rkan jurus-jurus simpanan kalau begini caranya!" 
pikir Sri Tanding.
Sumo Loda segera lakukan serangan lagi 
dengan melompat ke arah lain, "Heaaahh...!"
Wuuttt...! Kipas Tigo berkelebat mengibas 
dengan cepat. Hawa panas berupa serbuk putih 
menebar bagaikan tepung dibuang ke satu arah. 
Sri Tanding cepat tanggap, serbuk putih itu pasti 
racun yang membahayakan. Maka dengan cepat 
ia berdiri dengan satu kaki, ujung jempol kakinya 
yang menapak di tanah, lalu tubuhnya berputar 
dengan cepat bagai gangsing. Wuuusstt...!
Hanya sekejap hal itu dilakukan. Tepung-
tepung putih bertebaran ke berbagai arah. Angin 
yang ditimbulkan dari putaran tubuh itu cukup 
kuat hingga membuat Sumo Loda terpelanting ja-
tuh bagaikan dihempas badai besar. Tetapi di luar 
dugaannya, dari putaran tubuh itu Sri Tanding 
berhasil lepaskan senjata rahasia berupa logam 
putih berkilat seperti ujung anak panah yang pi-
pih. Runcing di berbagai sudutnya. Logam itu me-
lesat begitu cepat dan sukar dilihat dengan mata

telanjang. Zlaapp...! Juubb...!
"Auw...!" Sumo Loda terpekik, lengan ki-
rinya terkena senjata kecil itu. Menancap dengan 
cepat dan tak mampu dihindari lagi.
"Ouh... badanku seperti ditusuk ratusan 
jarum dari segala arah!" pikir Sumo Loda. "Ooh... 
lemas sekali. Urat-uratku bagaikan putus!"
Sumo Loda tak mampu menggerakkan tu-
buhnya. Bahkan mengangkat kepalanya pun tak 
bisa. Ia terkulai lemas di tanah seperti seonggok 
karung basah lupa di jemur. Wajahnya kian pu-
cat, matanya semakin sayu. Pada saat itu, Sri 
Tanding bermaksud pergi meninggalkan Sumo 
Loda. Namun tiba-tiba dari mata Sumo Loda yang 
menjadi sayu itu keluar dua larik sinar hijau ben-
ing mengarah ke tubuh Sri Tanding. Rupanya itu-
lah kekuatan terakhir Sumo Loda yang bisa dila-
kukan dengan menggerakkan batinnya. Claapp...!
Sri Tanding berbalik dan cepat lepaskan 
pukulan sinar kuningnya dari dua jari tangannya 
yang ditotokkan ke udara. Claap...! Sinar kuning 
dua larik itu menghantam tepat dua larik sinar 
hijau.
Biaarr...!
Sebuah ledakan terjadi timbulkan gelom-
bang hentak yang amat kuat. Tubuh Sri Tanding 
terhuyung-huyung ke belakang dan membentur 
batang pohon. Sedangkan tubuh Sumo Loda yang 
mirip karung basah lupa dijemur itu terguling-
guling tak beraturan lagi gerakannya. Kalau tidak 
ada pohon berjajar yang menghalangi gerakan tu

buhnya, mungkin Sumo Loda sudah jatuh ke ju-
rang yang tak seberapa dalam itu. Untung ada 
dua pohon berjajar, hingga tubuhnya tersangkut 
di sana.
"Rupanya kau betul-betul belum puas jika 
di antara kita belum ada yang mati, Sumo Loda! 
Baiklah. Dengan sangat terpana aku harus menu-
ruti kehendak hatimu! Terimalah Jurus terakhir 
ku ini! Hiaaah!"
Sri Tanding sentakkan tangan kirinya da-
lam keadaan semua jari mekar keras. Dari tela-
pak tangannya keluar seberkas sinar merah yang 
membentuk bulatan seperti bola. Sinar merah itu 
mempunyai lidah api yang berkelebat jelas dalam 
gerakan layangnya yang cepat Biaarr...!
Seberkas sinar biru bagai sepenggal besi 
tiba-tiba saja menghantam sinar bola berapi. Aki-
batnya pecah dan hancurlah kekuatan tenaga da-
lam Sri Tanding di pertengahan jarak antara di-
rinya dengan Sumo Loda. Tentu saja Sri Tanding 
menjadi kaget dengan munculnya sinar biru itu. 
Maka ia segera memandang ke arah datangnya 
sinar biru tersebut.
Seorang wanita berusia sekitar enam puluh 
tahun berdiri dengan tenangnya di atas sebuah 
pohon. Setelah ia dipandang oleh Sri Tanding, ia 
pun lekas-lekas melompat turun. Wuuttt...! Gera-
kan turunnya cukup lamban. Pakaiannya tidak 
sampai tersingkap ke atas. Bahkan ketika mena-
pakkan kaki di tanah, tak terdengar bunyi rum-
put dipijaknya. Rupanya ia bisa kendalikan gerakan tubuh yang turun dari atas pohon dengan 
mengendalikan daya tank bumi.
Buat Sri Tanding, tidak heran jika perem-
puan berpakaian kuning dengan berkalung selen-
dang merah di lehernya itu bisa lakukan hal se-
perti itu. Karena Sri Tanding tahu, siapa perem-
puan itu dan seberapa tinggi ilmunya. Maka, den-
gan cepat Sri Tanding segera menegur.
"Rupanya kau ingin ikut campur dalam 
perkara ini, Nyai Selendang Badai?! Kau membela 
Sumo Loda karena ingin mendapatkan keme-
sraannya yang menggugah semangat mu, Nyai?!"
"Jaga bicaramu, Gadis Setan! Bisa kurobek 
tujuh cabik mulut mungilmu itu!" ucap Nyai Se-
lendang Badai dengan nada dingin. Ia dipanggil 
dengan sebutan Nyai oleh Sri Tanding, sebab ia 
berusia sedikit lebih muda dari guru Sri Tanding. 
Tapi para tokoh lainnya memanggilnya dengan 
sebutan Nyai, itu berarti Sri Tanding masih mau 
memberi hormat kepada orang yang lebih tua da-
rinya itu. Tetapi jika sikap Selendang Badai tetap 
memusuhinya, maka Sri Tanding pun siap melu-
pakan sebutan Nyai kepada Selendang Badai.
"Apa maksudmu membela Sumo Loda, 
Nyai? Setahuku dia bukan kekasihmu, juga bu-
kan orang perguruanmu! Setahuku kau bermu-
suhan dengan Sumo Loda, Nyai!"
"Benar. Tapi aku punya persoalan sendiri 
dengan orang Perguruan Elang Betina. Dan kare-
na kudengar kau tadi tampil sebagai wakil guru-
mu; si Ratu Candra Wulan, maka terpaksa aku

melibatkan urusan dengan mu, Sri Tanding!"
"Apakah yang kau maksudkan adalah uru-
san masa lalumu dengan Nyai Guruku?!" tanya 
Sri Tanding karena ingat cerita gurunya tentang 
seorang musuh yang bernama Selendang Badai, 
yang punya ciri khas berkalung selendang merah 
di lehernya itu. Kali ini selendang merah tersebut 
dikalungkan dengan kedua ujungnya ada di 
punggung.
"Rupanya gurumu punya cerita sendiri ten-
tang permusuhan kami!"
"Tapi aku tidak tertarik dengan cerita itu, 
Nyai!" kata Sri Tanding dengan tetap bersikap te-
gas.
"Tertarik ataupun tidak, tapi aku tetap ha-
rus bikin perhitungan dengan pihak Elang Betina! 
Kekasihku, Panji Timur, telah dibunuh oleh gu-
rumu! Sampai sekarang aku belum bisa memba-
lasnya karena kesibukan ku dengan urusan lain. 
Tapi sekarang aku sudah punya waktu untuk me-
lampiaskan dendam ku kepada gurumu. Karena 
kau yang menjadi wakil dari gurumu untuk tam-
pil di Bukit Tulang Iblis nanti, maka aku terpaksa 
melampiaskan dendam ku kepadamu, Sri Tand-
ing!"
"Demi kepercayaan dan tugas yang diberi-
kan oleh guru kepadaku, apa pun yang terjadi 
akan kuhadapi, Nyai!"
"Baik. Itu murid yang terpuji. Rela mati 
demi guru, adalah jiwa seorang murid yang patut 
dibanggakan. Tetapi ketahuilah Sri Tanding, aku

punya dua pilihan untuk mu sebagai sikap bijak 
ku sebagai orang berilmu tinggi. Kau akan kube-
baskan dari dendam, jika kau mau batalkan 
niatmu untuk hadir di pemilihan hakim dan raja 
dunia persilatan di Bukit Tulang Iblis nanti. Atau 
kau mati melawanku sebelum sampai ke Bukit 
Tulang Iblis?!"
Perempuan berusia banyak yang masih 
punya sisa kecantikan masa lalunya itu bicara 
dengan mata memandang dingin, wajah tanpa ke-
san apa pun kecuali kesan datar dan dingin. Gi-
wang berliannya berkerilap terkena pantulan si-
nar matahari dan sesekali menyilaukan pandan-
gan mata Sri Tanding. Selain mengenakan kain 
kuning sebagai baju, ia juga mengenakan jubah 
tanpa lengan warna biru tua. Rambutnya disang-
gul ke atas dengan rapi, sisanya hanya sedikit 
yang meriap di samping kanan kirinya.
"Bagaimana, Sri Tanding? Kau pilih yang 
mana dari dua tawaranku tadi, Gadis Bodoh?!"
"Apa pun yang terjadi, aku harus tetap 
tampil di Bukit Tulang Iblis mewakili guru, sekali-
gus mewakili orang Perguruan Elang Betina! Jika 
kau Ingin bertindak sesuai dengan tawaranmu 
tadi, aku siap menghadapimu, Selendang Badai!" 
Sri Tanding sudah tidak bersikap hormat lagi 
dengan calon musuhnya itu.
"Benar dugaanku. Kau memang gadis bo-
doh! Apa boleh buat jika memang itu pilihan 
mu...!"
Wuuutt!

Tiba-tiba tubuh Selendang Badai bergerak 
cepat bagaikan tanpa menjejakkan kakinya dulu 
ke tanah. Begitu cepat gerakannya sehingga sem-
pat mengejutkan Sri Tanding dan membuatnya 
kelabakan. Karena tiba-tiba sebuah pukulan telak 
mendarat di rahang kanan Sri Tanding. Deesss...!
Pukulan itu berhasil membuat tubuh Sri 
Tanding terpental terbang. Selain terbang ke atas 
cukup tinggi, juga cukup jauh dari jarak tempat 
berdirinya semula. Rupanya pukulan itu bukan 
saja pukulan yang mengejutkan, namun juga dis-
ertai pengerahan tenaga dalam yang mampu ha-
dirkan sentakan kuat.
Bruuhg...! Tubuh Sri Tanding jatuh ter-
sungkur. Rahangnya terasa pecah. Namun ia ma-
sih bisa berdiri dengan mengibaskan kepalanya, 
membuang bintik-bintik dalam pandangan ma-
tanya. Kini ketika pandangan matanya cukup je-
las, ia pun segera lepaskan serangan balasan 
dengan melompat dan bersalto dua kali ke depan. 
Kakinya cepat menjejak kepala Selendang Badai. 
Wuuttt...! Plaakk...!
Tendangan itu ditangkis oleh Selendang 
Badai dengan menghadangkan lengan kirinya. 
Dan itu membuat Sri Tanding justru terjungkal 
sendiri. Kekuatan tenaga dalam yang telah dike-
rahkan membalik menghantam dirinya sendiri, 
sehingga Sri Tanding terpental sejauh tujuh lang-
kah dari tepat Sri Tanding berdiri.
Tenaga dalam yang membalik itu membuat 
Sri Tanding memuntahkan darah dari mulutnya

dalam keadaan setengah merangkak di tanah. 
Tubuhnya terasa sakit semua. Dan kesempatan 
itu rupanya digunakan oleh Selendang Badai un-
tuk mengakhiri riwayat Sri Tanding. ia Segera 
menarik selendangnya, lalu dikibaskan ke arah 
tubuh Sri Tanding. Blaarrr...!
Selendang tipis membayang berwarna me-
rah itu ternyata mempunyai kekuatan dahsyat. 
Ketika dikibaskan, seberkas sinar biru memancar 
terang dalam sekejap. Sinar biru itu menghantam 
tubuh Sri Tanding yang sedang berusaha untuk 
bangkit. Akibatnya tubuh tersebut terlempar ja-
tuh dengan kulit-kulitnya retak dan mengucur-
kan darah bagaikan disambar petir.
"Cukup tinggi dia punya ilmu tenaga da-
lam. Buktinya ia tak sampai pecah terkena sabe-
tan selendang ku?!" pikir Selendang Badai. Ia in-
gin mengakhiri hidup gadis cantik itu secepatnya. 
Maka, ia kibaskan kembali selendang merahnya 
itu.
Tetapi, tiba-tiba ada angin kencang ber-
hembus dan membuat tubuhnya sempat oleng. 
Ternyata angin itu timbul karena kepak sayap 
seekor rajawali besar warna merah. Rajawali itu 
ditunggangi oleh seorang pria tampan yang masih 
muda, berpakaian putih dengan selempang dada 
kain bulu coklat dari kulit beruang. Pemuda itu 
menyandang pedang merah tembaga di pung-
gungnya dengan gagang berujung kepala dua ra-
jawali yang saling bertolak belakang.
Melihat ciri-ciri itu, Selendang Badai men

genal tokoh tampan tersebut. Dialah Pendekar 
Rajawali Merah yang bernama Yoga. Selendang 
Badai memang belum pernah jumpa, namun na-
ma Yoga sudah tidak asing lagi di dunia persila-
tan. Nama itu menjadi bahan bicaraan para tokoh 
dunia persilatan bersama-sama nama Lili, yang 
menyandang gelar Pendekar Rajawali Putih.
Selendang Badai sempat terkesiap matanya 
ketika melihat burung besar itu menyambar tu-
buh Sri Tanding yang terluka parah. Ia sempat 
berseru kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Lepaskan gadis itu! Jangan ikut campur 
urusan ku!"
Tetapi Yoga tidak memberikan jawaban. 
Burung Rajawali Merah itu tetap membawa pergi 
tubuh Sri Tanding. Selendang Badai marah, ia se-
gera menyabetkan selendangnya ke angkasa. Ble-
gaarr...!
Angin bergelombang besar menghempas ke 
seluruh penjuru. Hawa panas yang ditimbulkan 
oleh ledakan bercahaya putih kebiruan dari se-
lendang tersebut membuat burung Rajawali Me-
rah memekikkan suaranya keras-keras,
"Keaaak...! Keaaak...!" sambil ia terbang 
semakin cepat. Sayapnya yang lebar menghem-
buskan angin kibasan yang kuat juga, sehingga 
gelombang hawa panas itu tidak sampai menerpa 
tubuhnya. Hanya sedikit yang menerpa tubuh 
dan membuat udara lebih panas dari matahari, 
namun tidak membuat melepuh kulit tubuh atau 
merontokkan bulu-bulunya. Yoga hanya berkata

kepada burung rajawalinya,
"Jalan terus dan jangan hiraukan orang 
itu, Merah! Gadis inilah yang kita butuhkan un-
tuk menjadi penunjuk Jalan tentang tempat ting-
gal Wong Sakti yang menyekap Bocah Bodoh itu!"
"Keaak...! Keaaak...!"
Rupanya dalam perkara penculikan Bocah 
Bodoh yang dilakukan oleh Wong Sakti itu, Yoga 
telah kehilangan jejak pelarian Wong Sakti. Dan 
menurut seseorang yang bicara dl kedai bersama 
temannya, Wong Sakti mempunyai sahabat baik 
yang bernama Sri Tanding.
Konon di masa lalu Sri Tanding ingin di-
angkat sebagai murid oleh Wong Sakti, tapi Wong 
Sakti tidak suka murid perempuan, jadi mereka 
hanya bersahabat sebatas pergaulan balk saja. 
Kemudian pada usia empat belas tahun, Sri 
Tanding diangkat menjadi murid oleh Ratu Can-
dra Wulan. Sejak itu mereka pun jarang bertemu 
lagi. Tapi jelas Sri Tanding masih ingat di mana 
Wong Sakti bertempat tinggal. Itulah sebabnya 
Yoga menyelamatkan Sri Tanding yang mempu-
nyai ciri-ciri pada pakaian hijau berompi rapat 
warna ungu tua, wajah cantik mungil berambut 
poni.
"Semoga ia tidak tertolong dengan lukanya 
separah itu!" kata Selendang Badai yang kehilan-
gan lawannya. Ia segera mendekati Sumo Loda. 
Sekalipun Selendang Badai tak menyukai sifat 
Sumo Loda yang angkuh dan sombong dengan 
kesaktian ilmunya, tapi ia merasa kasihan juga

melihat Sumo Loda antara mati tidak, hidup pun 
tidak. Selendang Badai lakukan pengobatan se-
bentar untuk Sumo Loda, lalu ditinggalkan pergi 
begitu saja.
* * *
2


MENJELANG pertemuan para tokoh sakti 
di Bukit Tulang Iblis itu, memang banyak terjadi 
pertarungan di sana-sini. Pertemuan di Bukit Tu-
lang Iblis untuk memilih dan menobatkan siapa 
orang yang berhak menyandang gelar Pendekar 
Maha Sakti, yang berarti menjadi orang tertinggi 
di rimba persilatan. Dengan gelar tersebut, ia su-
dah menjadi raja di rimba persilatan, di mana se-
gala aturan dan perintahnya harus di taati oleh 
semua tokoh persilatan. Selain itu ia juga akan 
dinobatkan sebagai hakim yang akan mengadili 
perkara-perkara di dunia persilatan yang tidak bi-
sa terselesaikan.
Dari mulut ke mulut berita itu menyebar 
dan menarik minat para pendengarnya, terutama 
yang merasa berilmu tinggi. Entah dari mana da-
tangnya berita tersebut, tahu-tahu sudah banyak 
orang yang mengetahui dan berminat menghadi-
rinya.
Salah satu pertarungan yang mengawal 
pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu terjadi di pantai hutan karang. Pantai itu mempunyai banyak 
gugusan batu karang, ada yang tingginya melebi-
hi pohon kelapa, ada yang hanya sebatas ukuran 
manusia biasa. Yang jelas karang-karang itu men-
julang tinggi di sana-sini menyerupai pilar dan 
bentuk-bentuk aneh lainnya. Pantai hutan karang 
itu dikenal dengan nama Pantai Karang Liar.
Di pantai itulah, sebuah pertarungan seru 
terjadi antara Resi Panuluh dengan seseorang 
berbadan kurus ceking dengan rambut putih pan-
jang sampai pantat, mirip seorang perempuan, 
dan dialah yang berjuluk Ki Tenung Jagat. Pa-
kaiannya abu-abu, rambutnya tak pernah digu-
lung dan dibiarkan meriap begitu saja. Kumisnya 
putih rata tapi tidak memiliki jenggot atau cam-
bang. Usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.
Sejajar dengan usia Resi Panuluh yang bertubuh 
gemuk, mengenakan pakaian model biksu warna 
coklat tua.
Rupanya mereka bertarung sudah sejak 
tadi, sehingga keduanya sama-sama sudah terlu-
ka. Resi Panuluh mengalami luka ujung pundak-
nya akibat tongkat putih lawannya, sedangkan Ki 
Tenung Jagat terluka di bagian dadanya, yang 
membekas telapak tangan merah kebiruan akibat 
pukulan.
Saat ini mereka sedang berhadapan sambil 
mengatur napas. Mereka saling pandang penuh 
permusuhan dalam jarak sekitar lima langkah. 
Keduanya tampaknya tak ada yang mau mundur 
sedikit pun. Keduanya sama-sama bernafsu untuk menumbangkan lawannya, mungkin bila per-
lu sampai lawan kehilangan nyawanya. Padahal 
keduanya dulu hidup bersama satu panji-panji 
perguruan.
Ketika guru mereka wafat, mereka mulai 
membentuk aliran masing-masing. Resi Panuluh 
membentuk aliran Partai Petapa Gunung, se-
dangkan KI Tenung Jagat membentuk aliran Par-
tai Petapa Laut. Mereka bersaing, dan akhirnya 
persaingan itu menjadi permusuhan besar, hing-
ga banyak korban yang timbul akibat permusu-
han tersebut. Banyak anggota Partai Petapa Gu-
nung yang tewas di tangan Partai Petapa Laut, 
namun juga banyak anggota Partai Petapa Laut 
yang tewas dirobohkan oleh orang-orang Petapa 
Gunung.
Kini anggota mereka tinggal beberapa gelin-
tir orang. Sebenarnya kedua tokoh sakti itu tidak 
ingin lanjutkan permusuhan mereka demi menja-
ga kelanjutan berdirinya aliran mereka. Tetapi 
agaknya pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu me-
mancing hati mereka untuk saling bertemu dan 
saling menyingkirkan.
Ki Tenung Jagat tidak ingin Resi Panuluh 
yang nantinya terpilih sebagai hakim di rimba 
persilatan. Sedangkan Resi Panuluh sendiri men-
jaga agar gelar Pendekar Maha Sakti tidak sampai 
jatuh ke tangan orang dari aliran Petapa Laut Ka-
rena itulah akhirnya mereka bertemu dan saling 
menjatuhkan sebelum tiba saat pemilihan dilak-
sanakan. Tapi agaknya sampai saat terakhir mereka mengatur napas, mereka masih sama-sama 
kuat dan belum ada yang mempunyai niat untuk 
mengalah.
"Kau tidak akan unggul melawanku, Te-
nung Jagat! Kusarankan mundur saja dan tak 
perlu hadir di Bukit Tulang Iblis!"
Ki Tenung Jagat diam memandang dengan 
tajam. Pandangan matanya lebih berkesan dingin. 
Sedingin salju dari kutub utara. Setelah diam be-
berapa saat, Ki Tenung Jagat berkata dengan da-
tar,
"Dari dulu aku tidak pernah gentar mela-
wanmu, Panuluh! Tapi kulihat sinar matamu me-
nampakkan kegentaran hatimu. Kalau kau mera-
sa akan lebih unggul dari ku, tunjukkan ke depan 
para tokoh nantinya di Bukit Tulang Iblis. Kita 
bertarung di sana sampai ada yang mati!"
"Tantanganmu hanya ingin menunda wak-
tu. Aku tahu kau mencari kesempatan untuk 
mencari kelengahan ku, Tenung Jagat! Kurasa ki-
ta tidak perlu menunda waktu lagi; sekarang 
tinggal menentukan siapa yang unggul di antara 
kita. Aliran Petapa Gunung tak pernah mau me-
nunda waktu untuk tentukan kepastian! Kalau 
kau takut, sekali lagi kusarankan untuk mundur 
dan perpanjang nyawamu beberapa saat lagi!"
"Aliran Petapa Laut tak mengenai kata 
mundur!"
"Jika begitu, kita teruskan pertarungan ki-
ta dan jangan berhenti sebelum ada yang mati!"
"Aku setuju!" jawab Ki Tenung Jagat den

gan datar, sepertinya tidak berperasaan sama se-
kali.
Resi Panuluh melemparkan sesuatu dari 
tangannya. Ternyata keluar seekor ular yang ber-
kelebat menyambar Ki Tenung Jagat. Orang ber-
jubah abu-abu itu masih tetap tenang, hanya ma-
tanya memandang ke arah ular hitam itu dengan 
tidak berkedip. Kemudian ular itu lenyap begitu 
saja ketika berjarak dua langkah dari tempatnya 
berdiri.
Wuusss...! Asap hitam menggantikan ular 
tersebut dan asap itu pun sirna secepatnya kare-
na hembusan angin pantai. Ki Tenung Jagat me-
mandang tajam ke arah Resi Panuluh. Pandangan 
mata itu disambut dengan tajam pula oleh Resi 
Panuluh.
Kejap berikutnya terjadi suatu keanehan, 
tanah tempat berpijak Resi Panuluh menjadi am-
blas, tubuh gendut itu melesat masuk ke dalam 
tanah sebatas mata kaki lebih sedikit.
Resi Panuluh masih diam dan membiarkan 
tubuhnya bagai ada yang menyedot dari dalam 
tanah. Namun tiba-tiba Ki Tenung Jagat pun me-
rasakan ada yang menyedotnya ke dalam tubuh. 
Suuttt...! Kini kaki orang kurus itu tenggelam ke 
dalam tanah sebatas betis. Namun dalam waktu 
cepat ia kembali naik ke permukaan lagi dengan 
menekan tongkatnya yang digenggam dan sedikit 
dihentakkan pada tanah.
Wuuttt...! Ki Tenung Jagat berdiri dengan 
tegak di permukaan tanah, namun Resi Panuluh

berkelebat memutar seperti hendak bersalto. 
Wuuttt...! Jleggg...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di 
atas tongkatnya dengan satu kaki. Tongkat itu 
berdiri tegak tak tenggelam sedikit pun bagian 
ujung bawah. Bertepatan dengan gerakan pindah 
tubuh Ki Tenung Jagat itu, tubuh Resi Panuluh 
pun tersentak lompat keluar dari tanah yang 
membenamnya. Wuuttt...! Bruusss...!
Jleegg...! Resi Panuluh bersalto satu kali di 
udara. Dan mendarat di atas gundukan karang 
runcing menyerupai mata tombak. Ia berdiri di 
sana tanpa tembus kakinya. Kedudukannya men-
jadi sama tinggi dibanding Ki Tenung Jagat yang 
berdiri di atas tongkatnya.
lalu, pelan-pelan Resi Panuluh membuka 
telapak tangannya yang sejak tadi merapat di da-
da. Telapak tangan dibuka pelan, mengarah ke 
depan. Kejap berikutnya angin berhembus sangat 
kencang. Arah angin menuju ke timur, sehingga 
tubuh Ki Tenung Jagat mulai di terpa angin. Se-
makin lama semakin kencang, sehingga rambut 
putih meriap itu melambai-lambai dengan jubah-
nya yang mirip bendera kapal karam itu.
Kraakkk...! Terdengar bunyi berderak dari 
seonggok batu karang yang menjulang menyeru-
pai pilar. Batu karang itu akhirnya pecah bagai 
terpotong di pertigaan bagiannya. Angin kencang 
itulah yang memotong batu karang tersebut. Tapi 
tak mampu menumbangkan tubuh Ki Tenung Ja-
gat yang masih tetap diam tanpa goyah di atas 
tongkatnya.

Kejap berikutnya angin kencang menjadi 
diam secara mendadak sekali. Sllupp...! Sepi dan 
hening. Debur ombak tidak sekuat tadi. Seper-
tinya hembusan angin itu diredam oleh ilmunya 
Ki Tenung Jagat. Kini justru datang angin beliung 
yang memutar-mutar dengan cepat. Angin puting 
beliung itu sempat membuat ombak lautan me-
muncak tinggi dan bergerak ke arah pantai. Air 
laut bagaikan disingkapkan ke atas. Air laut itu 
bergerak dengan sangat cepat dan akhirnya me-
raup tubuh Resi Panuluh dengan buasnya. 
Byuuhhr...!
Wuuttt...! Ombak laut yang bergelombang 
tinggi itu menyambar tubuh di atas karang runc-
ing. Namun ketika ombak itu kembali ke perten-
gahan laut, ternyata tubuh gemuk itu tidak ikut 
terbawa. Hebatnya lagi, tubuh Resi Panuluh tidak 
basah sedikit pun. Padahal ia habis digulung om-
bak sebegitu besarnya.
"Heaaah...!" akhirnya Resi Panuluh tak sa-
bar lagi. Ia melompat ke arah Ki Tenung Jagat. 
Sedangkan Ki Tenung Jagat sendiri juga melom-
pat menyambut serangan lawannya. Wuuuttt...!
Di pertengahan jarak mereka bertemu dan 
saling beradu telapak tangan. Plaakk...! Blaarrr...!
Cahaya merah terang menyala cukup besar
dari peraduan kedua tangan tersebut. Ledakan 
dahsyat terjadi, begitu mengguncangkan tanah di 
sekitarnya, sehingga beberapa tonjolan batu ka-
rang ada yang roboh karena tanahnya bagai ingin 
dijungkir balikkan dengan gelombang ledakan

tinggi bagaikan menara. Karang tersebut lenyap 
tak berbekas sedikit pun begitu terhantam sinar 
pelangi tersebut.
Rupanya mereka kedatangan tamu yang 
memaksa pertarungan dihentikan. Tamu tersebut 
berjalan dengan santai, seakan tidak pernah me-
lepaskan sinar apa pun dari tangan kirinya yang 
berjari-jari pendek. Ia hanya mempunyai dua ruas 
untuk tiap jarinya, seperti ibu jari manusia biasa. 
Sedangkan ibu jari orang tersebut justru tidak 
mempunyai ruas lebih dari satu.
Orang tersebut datang bersama seorang 
sahabatnya yang bermata sipit. Rambutnya di-
kuncir ke atas dan ujungnya melengkung seperti 
ekor kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun 
berkesan tegap. Wajahnya kaku dan dingin. Men-
genakan pakaian longgar berwarna hitam berga-
ris-garis merah. Membawa sebilah pedang hitam 
panjang yang pantas disebut samurai.
"Hentikan pertikaian kalian sebentar. Ada 
yang perlu dibicarakan," kata orang berjari pen-
dek yang kenakan pakaian putih berkembang-
kembang merah dan biru itu. Orang tersebut 
usianya sebanding dengan Ki Tenung
Jagat maupun Resi Panuluh. Badannya ti-
dak terlalu kurus, rambutnya panjang warna 
abu-abu diikat kain merah. Ia mempunyai jenggot 
sepanjang lewat leher warnanya biru. Sebab itu ia 
dijuluki dengan nama si Jenggot Biru. Jenggot itu 
menjadi biru manakala dulu ia pernah terkena 
racun berbahaya yang hampir merenggut nya

wanya.
"Mengapa kau menghentikan pertarungan 
kami, Jenggot Biru?!" tegur Ki Tenung Jagat.
Jenggot Biru yang selalu sedikit angkat da-
gu ke atas jika sedang bicara itu, segera berkata 
dengan suaranya yang sedikit serak,
"Aku ingin memperkenalkan sahabat baru-
ku dari Negeri Matahari Terbit. Dia bernama Sho-
gun Kogawa!"
"Untuk apa kau kenalkan pada kami?" 
tanya Resi Panuluh.
"Supaya kalian tahu saja, ini sahabat ba-
ruku dan ingin hadir dalam pertemuan di Bukit 
Tulang iblis, besok siang!"
"Jika terjadi pertarungan, apakah dia su-
dah siap korbankan nyawanya di Bukit Tulang ib-
lis nanti?!"
"Kurasa setiap orang yang datang ke sana, 
selalu slap untuk korbankan nyawanya!"
"Yang kutanyakan, apakah dia mampu?" 
kata Resi Panuluh.
"Cobalah sendiri!" ujar Jenggot Biru.
Resi Panuluh memandang Shogun Kogawa 
tak berkedip. Tiba-tiba kaki Resi Panuluh menen-
dang sebongkah batu karang sebesar kepala bayi 
ke arah Shogun Kogawa. Wuuttt...! Deeg...! Men-
dadak batu itu berhenti di udara, tepat satu lang-
kah sebelum kenai Shogun Kogawa.
Dengan cepat orang bermata kecil itu men-
cabut samurainya. Srrt! Lalu Samurai itu mene-
bas batu karang tersebut beberapa kali tanpa

timbulkan suara sentuhan benda keras, selain 
suara desing pedang panjang itu. Zing, zing, 
zing...!
Srrt...! Samurai kembali masuk ke sarung-
nya. Shogun Kogawa memandang dingin kepada 
Resi Panuluh. Batu itu masih utuh, berhenti di 
udara. Tetapi kejap berikutnya batu itu retak dan 
pecah menjadi beberapa potong dan saling berja-
tuhan. Pruk, pruk, pruk, pruk...! Potongan itu le-
bih dari sepuluh keping.
"Boleh juga ilmu orang ini?" pikir Resi Pa-
nuluh. Claapp...! Tiba-tiba batu yang tadi terpo-
tong-potong itu lenyap dan berganti dalam wujud 
serupa dan letak yang sama, yaitu di depan kaki 
Resi Panuluh. Seketika itu Jenggot Biru dan Resi 
Panuluh memandang ke arah Ki Tenung Jagat. 
Karena mereka tahu, pasti Ki Tenung Jagat yang 
mengembalikan batu dalam wujud, bentuk dan 
tempat seperti semula. Tapi Ki Tenung Jagat tetap 
tenang dan memandangi Shogun Kogawa, seakan 
menantangnya adu kesaktian.
Ketika Resi Panuluh dan Jenggot Biru me-
mandang Shogun Kogawa, orang itu merasa se-
dang dituntut untuk membalas pelecehan ilmu 
yang dilakukan oleh Ki Tenung Jagat itu. Maka, 
Shogun Kogawa pandangi batu karang tersebut. 
Kejap berikutnya, batu karang itu pecah lagi men-
jadi selembut tepung. Praass...!
Ki Tenung Jagat hanya manggut-manggut 
tipis tanpa memberikan sanjungan atau ucapan 
apa pun. Namun dalam hatinya ia mengakui ke

hebatan ilmu Shogun Kogawa.
Kini terdengar suara Jenggot Biru berkata, 
"Secara jujur, dan kesatria, kita harus akui kehe-
batan ilmu Shogun Kogawa. Tentang apakah dia 
nanti akan terpilih sebagai Pendekar Maha Sakti 
atau tidak, itu urusan nanti! Yang jelas, aku ingin 
ajak kalian untuk bersatu dalam melumpuhkan 
satu aliran yang cukup berbahaya!"
Jenggot Biru baru bicara sampai di situ. 
Tiba-tiba, sekelebat sinar warna kuning bagaikan 
piringan kecil, berkelebat menghantam punggung 
Shogun Kogawa. Dengan cepat dan tanpa berpal-
ing, Shogun Kogawa jatuhkan tubuh dalam kea-
daan kaki merentang panjang ke depan dan ke 
belakang. Slaap...! Pleek...! Sinar kuning itu lewat 
di atas kepalanya. Hampir saja kenai Resi Panu-
luh. Untung orang itu sigap dan segera menghan-
tamnya dengan pukulan tak bersinar. Sedangkan 
sinar kuning tersebut segera pecah bersama 
bunyi ledakan yang menggelegar.
Duuaarr...! Gelombang ledakan sebenarnya 
cukup dahsyat, terbukti air laut sempat berlonjak 
tinggi dan bergolak bagai murka. Namun getaran 
gelombang ledak itu membuat para tokoh sakti 
tersebut tidak bergeming sedikit pun dan mem-
biarkan angin ledakan lewat menerabas tubuh 
mereka masing-masing.
Shogun Kogawa segera palingkan wajah ke 
arah datangnya sinar kuning tadi. Ternyata di sa-
na sudah berdiri seorang wanita cantik yang ber-
pakaian merah menyala, memegang kipas yang

sedang digunakan untuk kipasan. Wanita cantik 
yang usianya sebenarnya sudah banyak, yaitu 
mencapai tujuh puluh dua, namun masih seperti 
berusia dua puluh tujuh itu, cukup dikenal oleh 
para tokoh sakti tersebut. Ia tak lain adalah Putri 
Kumbang, Ketua Perguruan Biara Sita, yang tem-
po hari pernah babak belur dihajar oleh murid-
muridnya sendiri karena salah paham. Namun 
dengan cepat ia mampu pulihkan luka dan men-
jadi cantik seperti semula. (Baca serial Jodoh Ra-
jawali dalam episode: "Setan Dari Biara").
Shogun Kogawa tidak peduli apakah orang 
itu cantik atau jelek. Yang jelas penyerangan tadi 
harus dibalasnya. Karena itu, Shogun Kogawa ce-
pat sentakkan tubuh dalam keadaan duduk den-
gan kaki lurus. Sentakan tubuh itu membuat ia 
terayun naik dan melenting ke atas dengan ber-
salto satu kali ke arah Putri Kumbang. Jleeg...!
Begitu tiba di depan Putri Kumbang, lelaki 
berkulit kuning itu segera lepaskan pukulan te-
naga dalamnya menggunakan dua jari yang di-
hantamkan ke arah dada Putri Kumbang. Dua jari 
itu keluarkan semacam pisau kecil bersinar biru. 
Claapp...! Putri Kumbang sempat terperanjat se-
kejap, namun dengan cekatan ia kelebatkan tan-
gannya dan menangkap sinar biru tersebut. 
Blaarrr...!
Tiba-tiba sinar itu meledak begitu terjepit 
dua jemari Putri Kumbang. Ledakannya cukup 
kuat, membuat Putri Kumbang terlempar ke 
samping dan berguling-guling. Namun secepatnya

ia bangkit berdiri dan memandang ke arah Sho-
gun Kogawa.
Tubuhnya tetap utuh tanpa luka. Itu berar-
ti Putri Kumbang mempunyai ilmu semacam keb-
al terhadap kekuatan tenaga dalam. Tubuh tak 
tergores luka sedikit pun, padahal orang lain 
akan hancur jika menangkap sinar biru berben-
tuk pisau dari Shogun Kogawa. Keadaan Putri 
Kumbang yang utuh tanpa luka itu membuat 
Shogun Kogawa terperanjat sedikit, dan mengakui 
kehebatan ilmu Putri Kumbang itu dalam hatinya.
Ketika Putri Kumbang mau menyerang 
kembali, Jenggot Biru segera menghadang dan 
menengahi perkara tersebut. Ia berkata, 
'Tahan...!"
Tidak. Aku harus balas kematian anak bu-
ahku be
berapa waktu yang lalu, yang dipancung 
seenaknya oleh orang itu!"
"Ada yang lebih penting dari masalah mu 
itu, Putri Kumbang!"
"Tidak bisa! Harus kuselesaikan dulu pem-
balasanku terhadap Shogun Kogawa! Dia harus 
kupancung juga dengan kipas ku ini!" geram Putri 
Kumbang. Lalu, ia pun melompat dan melintasi 
kepala Jenggot Biru dalam gerakan saltonya. 
Wuuttt...!
Tiba di depan Shogun Kogawa, kipas itu 
segera disabetkan dalam gerakan memenggal ke-
pala dari samping. Wuungng...! Shogun Kogawa 
lompat mundur satu langkah, kemudian segera

cabut samurainya kembali. Srrt...! Wuuttt...! Sa-
murai langsung berkelebat membelah kepala Putri 
Kumbang. Tetapi dengan sigap Putri Kumbang 
menangkis dengan kipas dikembangkan. Trakk...! 
Samurai tajam itu beradu dengan tepian kipas. 
Seharusnya dapat membelah kipas dengan sangat 
mudah. Tapi rupanya kipas itu bukan sekadar ki-
pas dari kayu cendana saja, melainkan kipas ber-
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Akibatnya 
kipas itu tidak lecet sedikit pun.
Kaki Shogun Kogawa segera menendang, 
tapi kaki Putri Kumbang juga balas menendang. 
Akibatnya tulang kaki bertemu dengan tulang ka-
ki dan hasilnya suara keras seperti besi beradu 
dengan besi. Trak! Keduanya sama-sama terhem-
pas mundur karena tendangan itu sama-sama 
berkekuatan tenaga dalam besar. Keduanya sa-
ma-sama terhuyung-huyung sambil membatin,
"Kurang ajar! Semakin linu seluruh tulang-
ku. Luka ledakan yang seakan meremukkan tu-
langku belum selesai ku atasi, sudah ditambah 
dengan getaran ini lagi. Uuh...! Kalau tak cepat 
ku atasi bisa hancur tubuhku! Sebaiknya aku 
mundur dulu."
"Perempuan ini punya ilmu lumayan hebat. 
Kakiku terasa hilang satu sejak beradu dengan 
kakinya," kata Shogun Kogawa dalam hatinya.
"Percuma kalian saling beradu kekuatan!" 
kata Jenggot Biru. "Yang paling berbahaya adalah 
aliran rajawali!"
Semua orang memandang Jenggot Biru.
Kumbang berkata lebih dulu,
"Baik. Aku sangat setuju dengan gagasan 
Jenggot Biru!"
"Apakah gagasan seperti itu harus kita la-
kukan? Apa perlu?!" tanya Resi Panuluh, dan 
Jenggot Biru menjawab,
"Apakah kau belum dengar kehebatan me-
reka berdua? Alangkah tulinya telingamu, Panu-
luh! Malaikat Gelang Emas saja dibuat lari terbi-
rit-birit jika melawan mereka berdua!"
Ki Tenung Jagat tiba-tiba berkata, "Aku se-
tuju usul mu!"
"Baiklah, aku juga setuju!" Resi Panuluh 
mengimbangi.
Shogun Kogawa menyahut, "Aku juga setu-
ju!"
"Kalau begitu, sekarang juga, sebelum ter-
lambat, kita cari mereka dan kita lumpuhkan 
agar tak hadir dalam pertemuan nanti!" kata 
Jenggot Biru memberi perintah, seakan dialah 
yang menjadi ketua penyerangan terhadap aliran 
rajawali, yaitu Yoga dan Lili.
* * *
3


SEMENTARA orang-orang sibuk mencari 
Lili dan Yoga, sesosok bayangan berkelebat sibuk 
dengan sendirinya. Orang yang sibuk dengan

sendirinya itu tak lain adalah Wong Sakti, tokoh 
tua di rimba persilatan yang usianya mencapai 
seratus tahun lebih.
Orang ini sibuk memindahkan ilmunya ke 
tubuh muridnya, hingga segala macam cara di-
tempuhnya. Ia ingin seluruh ilmunya menjadi mi-
lik sang murid secepatnya, karena ia sudah bosan 
hidup dan ingin istirahat di alam baka secepatnya 
pula. Orang tersebut tak lain adalah Wong Sakti, 
yang dulu dikenal dengan julukan Dewa Nujum.
Untuk mempercepat pemindahan ilmu, 
Wong Sakti yang sudah lupa mantera dan jurus 
pemindahan ilmu itu, ingin meminjam pisau pu-
saka milik Tua Usil. Pisau itu akan dipegang oleh 
sang murid yang baru berusia sepuluh tahun itu, 
lalu sang murid disuruhnya menikam diri sang 
Guru. Dengan bantuan pisau pusaka yang diti-
kamkan itu, seluruh ilmu Wong Sakti akan men-
jadi milik Kukilo, si murid bocah itu. (Untuk lebih 
jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam epi-
sode: "Setan Dari Biara"). Tetapi sampai saat itu, 
Wong Sakti belum berhasil
temukan si Tua Usil. Sedangkan Yoga yang 
sudah ditemuinya tidak mau menyebutkan di 
mana Tua Usil berada, sebab pada dasarnya Yoga 
tidak menyetujui cara seperti itu. Dianggapnya 
cara seperti itu sama saja men
didik sang murid untuk menjadi seorang 
pembunuh tanpa alasan kuat. Menurut Yoga, hal 
itu akan membahayakan jika Kukilo, yang diper-
kirakan bisa menjadi orang berilmu tinggi namun

berprilaku keji dan sewenang-wenang terhadap 
sesama.
Karena jengkel, Wong Sakti punya cara un-
tuk memancing Tua Usil dengan menculik Bocah 
Bodoh. Tua Usil pasti akan mengejarnya untuk 
membebaskan sesama pelayan dua pendekar ra-
jawali itu. Setidaknya Yoga atau Lili pasti akan 
memburu Wong Sakti dan memohon agar Bocah 
Bodoh dibebaskan. Jika keadaan begitu, maka 
Wong Sakti punya kesempatan untuk menukar 
Bocah Bodoh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal 
yang ada di tangan Tua Usil itu, walaupun hanya 
bersifat meminjami saja. Bukan memiliki pisau 
tersebut.
Untuk itu, Wong Sakti terpaksa menotok 
Bocah Bodoh dan membawanya lari ke suatu 
tempat. Bocah Bodoh menjadi lemas, bagaikan 
kehilangan seluruh tulang-tulangnya. Namun ia 
masih bisa bernapas, bicara dan memandang. Ke-
tika ia ditaruh di atas sebongkah batu datar, se-
perti seonggok makanan kuda, ia masih bisa 
mendengar percakapan yang terjadi antara Wong 
Sakti dan Kukilo.
"Sebetulnya aku ingin kau jadikan murid-
mu, atau hanya menjadi penonton ilmu-ilmu ke-
hebatanmu, guru?" kata Kukilo yang memang 
berlagak tua dan sering mengomel kepada gu-
runya itu. Rupanya ia tak sabar ingin segera 
mendapat ilmu turunan dari siang Guru, sehing-
ga ia menjadi jengkel sendiri mengikuti sang Guru 
selama satu tahun namun tidak mempunyai jurus apa-apa.
"Sabar, Muridku sayang! Sebentar lagi se-
luruh ilmu ku akan menjadi milikmu. Jika mere-
ka datang untuk membebaskan Bocah Bodoh ini, 
maka aku akan menukarnya dengan pisau itu. 
Kau tinggal tancapkan pisau itu ke dadaku, dan 
seluruh ilmuku akan mengalir dan menjadi mi-
likmu. Kau akan menjadi sakti, sesakti diriku. He 
he he he...!"
"Tapi bagaimana jika mereka tidak ada 
yang peduli dengan Bocah Bodoh ini, Guru?! Bo-
ro-boro mau menukarnya dengan pisau itu, yang 
mau mengejar kita untuk membebaskan dia pun 
tak ada. Bagaimana jika begitu, Guru? Pasti aku 
tak jadi mendapatkan warisan ilmu darimu!"
"Itu tak mungkin, Nak. Tak mungkin! Aku 
tahu bahwa dua pendekar rajawali itu punya rasa 
persahabatan dan persaudaraan yang tinggi ter-
hadap orang yang telah menanam kebaikan kepa-
da mereka. Itu sifat dari guru mereka. Baik Yoga 
atau Lili, pasti akan mengejar kita untuk membe-
baskan Bocah Bodoh ini!"
Mendengar percakapan itu, Bocah Bodoh 
yang hanya terpuruk bagaimana makanan kuda 
itu segera menyahut,
"Wong Sakti, aku bisa membantumu jika 
hanya itu maksudmu menculiki diriku! Aku bisa 
menolongmu, Wong Sakti."
Dengan tertatih-tatih Wong Sakti mendeka-
ti Bocah Bodoh dan berkata di sela senyum kempotnya,

"Apa maksudmu bisa menolongku? Apakah 
kau bisa memindahkan ilmuku ke dalam tubuh 
muridku?"
"Memang tak bisa. Tapi aku bisa bantu 
mencurikan pisau itu dari tangan Tua Usil."
"Ah, yang benar sajalah kau...!" Wong Sakti 
melirik girang dengan senyum tua bagaikan me-
mamerkan gusinya.
"Bebaskanlah aku. Nanti akan kubicarakan 
rencanaku. Bebaskan dulu aku dari pengaruh to-
tokanmu ini, Wong Sakti."
"Tapi kau janji akan menolongku?"
"Benar, Wong Sakti!"
"Baiklah! He he he he...!"
Wong Sakti segera menyentil telinga Bocah 
Bodoh. Taakkk...! Tubuh Bocah Bodoh tersentak 
kaget sekejap, kemudian ia rasakan seluruh urat 
dan tulangnya kembali bisa bekerja seperti bi-
asanya. Bocah Bodoh pun segera bangkit dan me-
lompat turun dari atas batu datar.
"Nah, sekarang kau sudah kubebaskan da-
ri pengaruh totokanku. Mana janji mu, Bocah Bo-
doh?!" tagih Wong Sakti. Perbuatan itu hanya di-
pandangi oleh Kukilo dari bawah pohon. Bocah 
itu tenang-tenang saja, seakan ia merasa sebagai 
orang yang sudah berilmu tinggi.
Bocah Bodoh sedikit menjauh, lalu berka-
ta, "Sebenarnya aku bisa saja membujuk Tua Usil 
untuk meminjam pisau pusakanya, tapi aku tidak 
mau melakukannya, sebab tampaknya muridmu 
itu kelak akan menjadi orang sombong dan ber


tindak kejam jika sudah berilmu tinggi!"
"Hajar dia, Guru!" seru Kukilo. "Dia telah 
kelabui kita!"
Wong Sakti hanya cengar-cengir. "Eeh, 
heh, heh, heh, heh...! Kau benar-benar cari pe-
nyakit jika berani mengelabuiku, Bocah Bodoh!"
"Aku berani begitu, karena aku berani ber-
tarung denganmu, Wong Sakti! Aku tidak takut 
denganmu!"
"Apa kau cukup sakti untuk melawanku, 
Bocah Bodoh?" sambil Wong Sakti garuk-garuk 
kepala.
"Aku tidak merasa cukup sakti, tapi mera-
sa mampu mengalahkan dirimu, Wong Sakti. Per-
lu kau ketahui, aku memiliki pedang pusaka ini!"
Seett...! Bocah Bodoh mengambil pedang 
bersama sarungnya dari pinggang. Pedang pendek 
yang tidak pernah dihiraukan keberadaannya 
oleh Wong Sakti itu kini menjadi pusat pandan-
gan mata orang berjubah ungu kusam.
"Sepertinya aku pernah melihat pusaka 
itu?" gumamnya pelan.
"Majulah, Wong Sakti! Kalau kau memang 
benar-benar sakti, hadapilah pusaka Pedang Ji-
mat Lanang ini!"
Seett,..! Bocah Bodoh mencabut pedang 
tersebut dari sarungnya. Wong Sakti terkejut dan 
mundur satu tindak. Senyum ompongnya hilang 
begitu saja setelah ia mengetahui tentang pedang 
tersebut. Ia bahkan berkata dengan sedikit gemetar,

tianmu!"
"Wah...!" orang berjubah lusuh itu garuk-
garuk kepalanya yang berambut tipis itu. Ia me-
nimbang-nimbang sambil cengar-cengir pamerkan 
gusinya lagi. Kejap berikutnya ia perdengarkan 
kembali suaranya,
"Kalau ternyata kau pemegang pusaka Pe-
dang Jimat Lanang, aku tak mau melawanmu, 
Bocah Bodoh. Itu sama saja aku melawan roh 
adikku yang ada di dalam pedang tersebut."
"Jadi, apa yang kau inginkan dariku seka-
rang ini, Wong Sakti?" Bocah Bodoh menampak-
kan sikap bangganya dapat membuat Wong Sakti 
merasa takut melawannya.
"Begini sajalah...," kata Wong Sakti dengan 
pasrah. "Ku urungkan niatku menculik mu, Bo-
cah Bodoh. Tolong masukkan dulu pedang itu ke 
sarungnya. Nanti ku jelaskan segalanya."
Bocah Bodoh memasukkan pedang ke da-
lam sarung tersebut. Setelah itu, pedang dis-
elipkan kembali ke pinggangnya. Lalu, terdengar 
Wong Sakti perdengarkan suaranya,
"Kalau aku sadar bahwa pedangmu itu Pe-
dang Jimat Lanang, aku tak berani menculik mu. 
Tapak Gempur punya tiga kakak, termasuk aku. 
Dan kami semua hormat kepadanya, sayang ke-
padanya, karena memang dia anak yang paling 
disayang oleh keluarga kami. Roh adikku itu sela-
lu ada di dalam pedang tersebut. Jadi, tolong 
mintakan maaf kepadanya. Bicaralah melalui ba-
tin mu, Bocah Bodoh. Dan, aku akan membe

baskan mu, tapi... kalau bisa tolong benar-benar 
bantu aku untuk memindahkan ilmuku ke dalam 
diri Kukilo itu. Tolong bujuk Tua Usil supaya mau 
meminjamkan pisaunya. Hanya kupinjam saja 
kok. Tidak akan kumiliki selamanya!"
Bocah Bodoh menarik napas. Ia merasa 
bahwa Wong Sakti bersungguh-sungguh dalam 
meminta bantuannya. Maka Bocah Bodoh pun 
berkata,
"Akan ku usahakan bicara dengan Tua 
Usil. Tapi kalau Tua Usil tidak mau meminjamkan 
pisaunya, aku tidak bersedia menculiknya."
Tolonglah, entah bagaimana caranya, rayu-
lah dia supaya mau meminjamkan pisaunya. Dan 
sekarang... sebaiknya kau kuantarkan pulang, 
supaya tidak tersesat di dalam hutan ini!"
Maka, Wong Sakti pun akhirnya mengan-
tarkan Bocah Bodoh keluar dari hutan tersebut, 
Kukilo tampak cemberut melihat Bocah Bodoh di-
bebaskan, karena ia merasakan akan lebih lama 
lagi menerima ilmu-ilmu Wong Sakti jika Wong 
Sakti tidak punya sandera untuk memancing pe-
milik pisau Pusaka Hantu Jagal itu.
Di dalam hati Bocah Bodoh sendiri terpetik 
serangkaian kata yang merupakan pendapat ha-
tinya sendiri,
"Wong Sakti ini sebenarnya bukan orang 
jahat. Tapi karena usianya sudah banyak, ia men-
jadi linglung dan cara berpikirnya seperti anak-
anak. Mungkin cara berpikir ku Juga seperti 
anak-anak, tapi tidak sebodoh dia. Wong Sakti

ternyata hanya kebingungan mencari cara me-
mindahkan ilmunya ke diri sang murid. Kasihan 
amat
dia! Kalau memang aku bisa, aku akan 
membujuk Tua Usil agar mau meminjamkan pi-
sau itu. Setidaknya bisa membuat hati Wong Sak-
ti lega. Sebab, biar bagaimanapun, ternyata Wong 
Sakti ini masih termasuk eyang guruku, yaitu 
paman guru dari mendiang ibuku. Aku tak boleh 
kurang ajar kepada beliau. Tapi... aku kurang se-
tuju kalau Wong Sakti ambil murid seperti Kukilo. 
Kurang sopan bocah itu jika bicara dan bersikap 
kepada Wong Sakti. Enaknya kuberi pelajaran bo-
cah itu biar tahu sopan. Tapi... jangan-jangan 
nanti Wong Sakti marah padaku?"
Sampai di sebuah lembah, Wong Sakti le-
paskan Bocah Bodoh dan hanya bisa mengantar-
nya sampai di situ. Wong Sakti berkata,
"Aku hanya bisa mengantarmu sampai di 
sini, Bocah Bodoh. Silakan kau jalan sendiri, aku 
akan pergi ke Bukit Tulang Iblis untuk menghadi-
ri suatu pertemuan besar yang dihadiri oleh para 
tokoh sakti di dunia persilatan ini!"
Kukilo menyahut, "Lho, kita tidak jadi 
memburu Tua Usil, Guru?!"
"Akan kuserahkan kepada Bocah Bodoh. 
Kita tunggu kabar dari dia saja. Sementara itu, 
kita hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu, 
Kukilo. Aku ingin tahu, siapa yang bakal menjadi 
hakim dan penguasa rimba persilatan nantinya!"
Bocah Bodoh pun berkata, "Baiklah, Eyang

Wong Sakti...," ia menghormat dan mengakui 
Wong Sakti adalah eyang gurunya. "Aku akan co-
ba merayu Tua Usil. Seandainya kau tidak berha-
sil, aku akan berterus terang pada Eyang Wong 
Sakti. Seandainya aku berhasil, bagaimana cara-
ku menghubungi Eyang Wong Sakti?"
"Bocah Bodoh, jika kau ingin memanggilku, 
panggillah dalam hatimu tiga kali, dan tepuklah 
pohon apa saja tiga kali, gedukkan kakimu ke ta-
nah tiga kali, menganggukkan kepala tiga kali, 
bertepuk tangan tiga kali dan bersiullah tiga kali 
sambil melompat tiga kali dan akhirnya sebutkan 
kata 'datang' sampai tiga kali. Maka aku pun 
akan muncul di hadapanmu baik tanpa Kukilo 
maupun bersama Kukilo!"
Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. "Rumit 
sekali itu, Eyang Wong Sakti. Belum tentu aku bi-
sa mengingatnya tiga kali!"
Wong Sakti tertawa, lalu menepuk-nepuk 
punggung Bocah Bodoh. Entah apa artinya, Bo-
cah Bodoh sendiri akhirnya meninggalkannya.
* * *
4


PEDANG Jimat Lanang rupanya membawa 
keberuntungan sendiri bagi Bocah Bodoh. Sean-
dainya Bocah Bodoh tidak mengeluarkan pedang 
tersebut dan mencabutnya, mungkin ia masih

menjadi tawanan Wong Sakti. Padahal Bocah Bo-
doh sendiri pada saat mencabut pedang punya 
keragu-raguan, bahwa ia belum tentu bisa men-
galahkan Wong Sakti. Sebab melihat cara mem-
bebaskan totokan dengan Jalan menyentil daun 
telinga saja sudah menunjukkan bahwa Wong 
Sakti berilmu tinggi.
Penculikan atas diri Bocah Bodoh tidak 
membawa petaka bagi siapa pun. Bocah Bodoh 
merasa lega, namun Juga merasa ragu kembali, 
karena secara tidak langsung ia mempunyai tugas 
membujuk Tua Usil untuk dapatkan pisau terse-
but. Sekalipun hanya meminjam, tapi belum ten-
tu Tua Usil mau meminjamkan pisau itu begitu 
saja.
Bocah Bodoh yang melangkah dengan me-
lamun itu tiba-tiba terkejut melihat dua orang te-
lah berdiri di depannya. Tapi rasa kagetnya itu 
segera lenyap setelah ia mengetahui bahwa yang 
berdiri di depannya itu tak lain adalah Pandu Ta-
wa dan Lintang Ayu. Mereka memang bertugas 
mencari Bocah Bodoh dan menyelamatkannya da-
ri tangan Wong Sakti. Namun begitu melihat Bo-
cah Bodoh berjalan dengan santai, tanpa wajah 
takut atau tegang, kedua orang itu pun menjadi 
heran. Lalu, Pandu Tawa segera ajukan tanya,
"Kau tidak apa-apa Bocah Bodoh?"
"Tidak," jawab Bocah Bodoh. "Ada apa, 
Pandu Tawa?"
"Bukankah kau diculik oleh Wong Sakti?"
"Ya. Benar. Tapi dia ciut nyali padaku. Dia

lari setelah lepaskan diriku. Dia menuju ke Bukit 
Tulang Iblis."
"Kami baru saja ingin membebaskan kamu, 
Bocah Bodoh. Yoga yang menyuruh kami membe-
baskan mu!" Lintang Ayu berkata dengan tenang.
"O, jadi kalian mau membebaskan aku? 
Kalau begitu aku harus panggil Wong Sakti agar 
dia menculik ku lagi, lalu kalian datang membe-
baskan aku! Begitu saja. Setuju?"
Lintang Ayu melirik ke arah Pandu Tawa 
dengan rasa dongkol atas kebodohan yang dila-
kukan dengan polos itu. Pandu Tawa hanya ter-
senyum masam. Kemudian Pandu Tawa berkata 
kepada Lintang Ayu,
"Aku tak tahu apa maksud penculikan ini. 
Tapi aku sudah tak mau tahu lagi. Sekarang...."
Lintang Ayu menyahut, "Sekarang sebaik-
nya aku harus kembali mencari Yoga untuk ta-
nyakan tempat tinggal Tabib Perawan itu!"
Tiba-tiba Bocah Bodoh menyahut, "O, kau 
membutuhkan Tabib Perawan, Lintang Ayu? 
Hmm...! Mengapa harus susah-susah mencari 
Tuan Yo. Aku saja tahu tempat tinggal Tabib Pe-
rawan yang bernama Sendang Suci itu!" sambil 
Bocah Bodoh banggakan diri, dadanya membu-
sung. mulutnya sedikit mencibir.
"Apa kau benar-benar tahu tempat tinggal 
Tabib Perawan itu?" Pandu Tawa menampakkan 
keraguannya. "Kenapa tidak? Aku pernah diajak 
Tuan Yo pergi ke
rumah Tabib Perawan itu. Ia tinggal di Bu

kit Berhala. Dan aku masih ingat jalan menuju ke 
sana."
Lintang Ayu berkata, "Bisakah kau men-
gantarku ke sana?"
"Siapa yang tidak bisa? Mengantar gadis 
cantik mana pun dan ke mana pun, aku pasti bi-
sa! Di depan gadis cantik, Bocah Bodoh bisa men-
jadi Bocah Pintar!" katanya dengan tengil. Pandu 
Tawa menyodok kepala Bocah Bodoh sambil ter-
tawa pendek.
"Baiklah. Kau antarkan Lintang Ayu ke 
Bukit Berhala. Dan ingat pesanku, jaga dia balk-
balk!" kata Pandu Tawa.
"Kau sendiri akan ke mana, Pandu Tawa?" 
tanya Bocah Bodoh.
"Aku akan menuju ke Bukit Tulang iblis!"
Lintang Ayu menyahut kata, "Hati-hatilah, 
Pandu! Jangan terlibat urusan seperti itu terlalu 
dalam."
"Kau mencemaskan diriku? Oh, terima ka-
sih, Lintang Ayu! Kecemasanmu membuat hatiku 
terhibur." Pandu Tawa sunggingkan senyum me-
nawan. Lintang Ayu sempat salah tingkah, kemu-
dian segera pergi tanpa pamit lagi. Bocah Bodoh 
hanya memandang kepergian Lintang Ayu dengan 
geleng-geleng kepala dan tersenyum.
"Gadis itu memang cantik dan tegas.... ck 
ck ck ck...!"
"Katanya kau mau mengantarnya! Sudah 
sana berangkat!"
"Ya ampun! Hampir saja aku lupa!" Bocah

Bodoh terkejut, menepak jidatnya sendiri, lalu se-
gera berlari menyusul Lintang Ayu. Sementara itu 
Pandu Tawa masih memandanginya dengan se-
nyum membekas dan hati pun berkata,
"Semoga dia masih menyimpan cinta untuk 
ku. Seandainya tidak, moga-moga saja ia me-
nyimpan persaudaraan denganku di hatinya."
***
Burung rajawali besar berbulu merah itu 
melesat terbang ke angkasa. Ia pergi setelah Yoga 
berkata, "Tinggalkan kami untuk sementara. Per-
gilah dan cari kekasihmu; si Rajawali Putih itu!"
"Keaaak...!" jawab Rajawali Merah sambil 
angguk-anggukkan kepala.
Saat itu, Yoga sudah selesai lakukan pe-
nyembuhan terhadap diri Sri Tanding. Luka gadis 
itu cukup parah. Untung saja Yoga mempunyai 
jurus penyembuhan yang cukup hebat, sehingga 
jiwa gadis itu bisa diselamatkan. Dan yang lebih 
ajaib lagi, luka-luka pada tubuh gadis itu dapat 
disembuhkan dalam waktu amat cepat. Sekarang 
tubuh Sri Tanding merasa berangsur-angsur se-
gar kembali. Ia sempat terkejut sewaktu menya-
dari bahwa yang menolong dan menyembuhkan-
nya ternyata seorang tabib tampan. Hati Sri Tand-
ing bukan saja senang, namun juga mempunyai 
rasa bangga dan damai.
"Kaukah yang bernama Pendekar Rajawali

Merah itu?" tanya Sri Tanding pada awalnya. "Be-
nar. Dari mana kau tahu namaku?" "Sebelum aku 
berangkat tunaikan tugas Guru, aku banyak 
mendengar cerita dari Guru tentang seorang pen-
dekar tampan bernama Yoga dengan gelar Pende-
kar Rajawali Merah; berpedang tembaga dengan 
gagang dua kepala burung rajawali, dengan pa-
kaian putih berselempang kulit bulu warna cok-
lat, dengan senyum yang menawan dan... dan...."
"Gurumu terlalu memujiku. Siapa gurumu 
itu?"
"Ratu Candra Wulan," jawab Sri Tanding, 
seakan menyebut nama gurunya dengan rasa 
bangga.
"O, aku pernah dengar nama itu. Tapi aku 
belum pernah bertemu dengan beliau."
"Guru berpesan jika aku bertemu dengan 
Pendekar Rajawali Merah harus berhati-hati."
"Dalam hal apa?"
"Menjaga kesopanan. Aku tak boleh kurang 
ajar padamu, karena guruku tahu bahwa kau su-
dah mempunyai seorang kekasih yang bernama 
Lili, dengan gelar Pendekar Rajawali Putih. Betul-
kah itu?"
Yoga tersenyum, membuat hati Sri Tanding 
berdesir indah tak terlukiskan lagi. Kemudian Yo-
ga alihkan pembicaraan dengan bertanya,
"Kau masih mengenai seseorang yang ber-
nama Wong Sakti?"
Sri Tanding surutkan senyumannya, pan-
dangi Yoga dengan dahi sedikit berkerut. Lalu, ia

perdengarkan suaranya bernada heran,
"Rupanya kau kenal dengan nama Wong 
Sakti?!"
"Apa pernah bertemu dengannya. Sekarang 
aku ingin mencari tempat kediaman Wong Sakti. 
Tahukah kau di mana ia tinggal?"
"Ada keperluan apa kau ingin mene-
muinya?" Sri Tanding balas bertanya. Dan Yoga 
menjawab secara apa adanya.
"Wong Sakti telah menculik pelayanku 
yang bernama Bocah Bodoh!"
"Dia menculik pelayanmu?" Sri Tanding 
bernada kaget.
Yoga menjelaskan maksud Wong Sakti da-
lam menculik Bocah Bodoh. Kemudian ditambah-
kan pula kata-kata,
"Aku hanya ingin mengingatkan beliau, 
agar tidak lakukan langkah salah seperti itu! Aku 
harus menemuinya."
Sri Tanding manggut-manggut. Matanya 
masih sesekali mencuri pandang ke arah Yoga 
dengan jantung berdebar-debar.
"Baiklah. Akan kutunjukkan arahnya saja, 
tapi aku tak bisa mengantarmu ke sana!
"Apakah kau takut kepada Wong Sakti?"
"Sama sekali tidak. Tapi aku punya tugas 
yang harus kukerjakan. Aku tak berani menunda 
tugas itu, karena Guru selalu wanti-wanti agar 
aku tidak boleh menunda tugas tersebut."
"Apakah aku boleh tahu apa tugasmu itu? 
Maksud ku, barangkali aku bisa membantumu

setelah kau membantuku tunjukkan tempat 
Wong Sakti!"
"Kurasa kau sudah bisa meraba...."
"Sumpah, aku belum meraba mu!" sahut 
Yoga dengan sungguh-sungguh.
"Maksudku, kau sudah meraba tugasku. 
Artinya menerka-nerka!"
"Ooo...!" Yoga tertawa geli, malu sendiri 
dengan salah duganya itu. Karena sejak ia mem-
bawa Sri Tanding pergi dari pertarungannya, ia 
selalu menjaga diri agar tidak disangka bersikap 
kurang ajar dan memanfaatkan kesempatan da-
lam kesempitan. Itulah sebabnya ia sempat salah 
duga dengan apa yang dimaksud kata-kata Sri 
Tanding tadi.
Salah duga itu pun membuat Sri Tanding 
jadi malu. Gadis cantik itu sedikit merah wajah-
nya dan tak berani menatap Yoga. Tapi ia pun te-
tap lanjutkan jawabannya,
"Aku tunjuk sebagai orang yang mewakili 
Guru untuk hadir di Bukit Tulang Iblis! Tugas ini 
merupakan suatu penghormatan dan rasa per-
caya Guru kepadaku. Tentunya kau tahu apa 
yang akan terjadi di Bukit Tulang Iblis itu, Yoga!"
"Ya, aku memang tahu," kata Yoga tanpa 
senyum, namun masih kelihatan punya daya pe-
sona dalam bicaranya. Katanya lagi,
"Di sana akan ada pemilihan dan penoba-
tan seorang yang berhak menyandar gelar Pende-
kar Maha Sakti, secara tak langsung dialah yang 
akan menjadi raja dan hakim dalam dunia persilatan kita. Itu berarti akan ada pertarungan adu 
kesaktian, adu ilmu dan adu debat. Kusarankan, 
kau jangan datang ke sana! Tentunya kau tahu, 
mereka yang akan datang adalah orang-orang 
sakti yang tentu saja ilmunya tinggi-tinggi. Mere-
ka tidak segan-segan menyingkirkan saingannya 
dengan cara membunuh atau melukai separah 
mungkin. Dan...."
"Dan kau takut kalau aku terluka, begitu?" 
sahut Sri Tanding.
Yoga diam sejenak, memandangi gadis can-
tik berwajah mungil manis itu. Kemudian kepala 
Yoga tampak mengangguk sambil menjawab,
"Ya. Memang aku takut kalau kau terluka."
Gadis itu tampak sedikit kecewa. "Kau me-
remehkan ilmuku. Yoga!"
"Bukan meremehkan. Aku hanya memper-
bandingkan ketika kau melawan orang berselen-
dang merah tadi. Kau sudah terdesak sedemikian 
rupa, dan hampir-hampir kehilangan nyawa. Jika 
kau tampil di sana dan bertemu dengan wanita 
berselendang merah itu, sudah tentu ia tidak se-
gan-segan menggunakan jurus mautnya.
"Apa pun yang terjadi, aku harus hadir. 
Karena itu perintah langsung dari Nyai Guru Ratu 
Candra Wulan!"
"Barangkali kalau boleh aku sarankan 
kembali, hadir tetap saja hadir, tapi jangan ma-
suk ke arena pertarungan! Wanita berselendang 
merah itu sendiri akan temukan lawan tangguh-
nya dan bisa-bisa jiwanya pun melayang di arena

pertarungan nanti. Sekali lagi kusarankan, jan-
gan masuk ke arena pertarungan!"
"Kau benar-benar mengecilkan diriku. Yo-
ga!" Sri Tanding tampak semakin tersinggung, 
pandangan matanya sedikit menyipit. Yoga men-
jadi tak enak hati, dan akhirnya berkata,
"Aku hanya menyarankan. Bukan men-
ganggapmu tak mampu. Saran itu boleh saja kau 
tolak dan kau abaikan, walau hatiku kecewa jika 
sampai melihatmu celaka di sana."
"Barangkali kau takut kalau akhirnya kau 
akan bertemu denganku di arena pertarungan 
itu."
"Tidak," jawab Yoga sambil tersenyum te-
nang dan teduh. "Kau tidak akan bertemu den-
ganku di arena itu, karena aku tak akan turun ke 
pertarungan!"
"Kau tak akan turun ke pertarungan?!" Sri 
Tanding merasa heran. "Kau seorang pendekar 
yang sedang banyak dibicarakan oleh para tokoh 
dunia persilatan, Yoga. Kau pendekar yang dira-
malkan oleh mereka akan unggul dalam perta-
rungan nanti. Mengapa kau tidak akan hadir da-
lam pertarungan tersebut?"
Yoga menarik napas, karena baru tahu 
bahwa dirinya banyak dibicarakan dan dijagokan 
oleh beberapa tokoh. Ia sendiri tak menyangka 
kalau para tokoh mempunyai perkiraan setinggi 
itu terhadap kesaktiannya. Namun hal itu tidak 
membuat Yoga besar kepala atau berbusung da-
da. Yoga bahkan berkata,

"Kalau toh aku hadir, aku hanya sebagai 
penonton saja. Aku tidak mau diadu oleh siapa 
pun hanya untuk memperebutkan gelar dan ke-
dudukan. Aku bukan orang yang gila kedudukan 
dan gelar. Terserah saja siapa nanti yang akan 
unggul, aku tidak akan mau peduli. Semasa me-
reka tidak mengusik aliran rajawali, aku tidak 
akan ikut campur dalam acara tersebut, Sri Tand-
ing. Jadi kalau aku sarankan dirimu agar jangan 
hadir, itu lantaran aku tak ingin melihat kau ke-
cewa dan terluka. Sayang sekali wajah secantik 
kau harus menderita kekecewaan dan luka parah 
seperti tadi!"
Sri Tanding tak bisa berkata apa-apa. Ha-
tinya sibuk memeluk rasa bangga mendengar pu-
jian pendekar tampan tersebut. Ia terdiam hingga
beberapa saat, membiarkan angin lembah mener-
pa rambut poninya.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi itu makin 
terasa kencang. Dahi Pendekar Rajawali Merah 
itu berkerut, dan ia lekas-lekas dekati Sri Tand-
ing. Ia berbisik dalam jarak sekitar dua jengkal 
dari pundak Sri Tanding.
"Selekasnya kita tinggalkan tempat ini!"
Sri Tanding memandang dengan mata me-
nyipit menahan hembusan angin. Dari alls yang 
berkerenyit, Yoga tahu gadis itu heran mendengar 
bisikannya. Yoga pun segera menjelaskan,
"Firasat ku mengatakan ada bahaya yang 
sedang mengintai kita."
Sri Tanding masih belum percaya. Tapi ia

tidak menyanggah ucapan Yoga, juga tidak men-
gatakan apa-apa. Matanya sempat melirik kanan-
kiri, dan ia merasakan keadaan aman-aman saja.
Angin semakin kencang. Yoga kian berbisik 
sambil menarik pelan lengan Sri Tanding, menga-
jaknya jalan.
"Angin ini terasa perih di mata, dan me-
nyengat kulit. Tidakkah kau rasakan hal itu?"
Sri Tanding melangkah pelan, seperti sepa-
sang kekasih yang sedang bermesraan di taman. 
Tapi sebenarnya gadis itu merasakan apa yang 
dikatakan Yoga tadi. Lama-lama ia mengakui ke-
benaran kata-kata Yoga, sehingga ia pun berbisik,
Aku sekarang merasakan apa yang kau ka-
takan tadi; mata perih dan kulit bagai tersengat. 
Tapi siapa orang yang menyerang kita dengan an-
gin seperti ini?"
"Bukan angin, melainkan tenaga dalam. 
Hawa panas yang ia lepaskan sengaja membuat 
kita tak sadari hal itu. Bersiaplah, siapa tahu ada 
kejutan di depan kita! Aku akan melawannya 
dengan hawa dingin ku!"
Tangan Yoga yang memegangi lengan Sri 
Tanding itu dilepaskan. Tangan itu segera meng-
genggam. Wajah Yoga tampak biasa-biasa saja, 
dengan senyum tipis yang masih menawan. Na-
mun sebenarnya saat itu Yoga sedang menahan 
napas dan keluarkan hawa dingin dari pori-pori 
kulitnya yang bersih itu.
Hawa dingin semakin terasa meresap di 
kulit tubuh Sri Tanding. Hawa dingin itu menyebar ke mana-mana, sehingga rasa sengatan di ku-
lit gadis itu berganti rasa beku yang makin lama 
semakin hampir menggigilkan badan. Sri Tanding 
mencoba bertahan untuk tidak menggigil. Supaya 
tidak kentara, ia sesekali menunduk, sesekali 
memandang tegak, sambil mengucapkan kata pe-
lan yang sebenarnya tak perlu diucapkan. Se-
hingga kesan yang ada pada dirinya adalah kesan 
seorang gadis yang dengan malu-malu menguta-
rakan perasaan hatinya.
Daun-daun hijau mulai berbintik putih. 
Bintik-bintik putih itu adalah busa salju yang 
timbul dari udara dingin di sekelilingnya. Rant-
ing-ranting kering pun menjadi basah. Di sana-
sini mulai tampak embun yang segera berubah 
menjadi busa salju. Setiap pori-pori tubuh Yoga 
dapat keluarkan hawa dingin secara terus mene-
rus, sehingga Sri Tanding sempat gelisah karena 
menahan tubuh agar tak menggigil.
Orang yang menyerang mereka dengan ha-
wa panas itu terkejut. Maka ia segera hentikan 
serangannya. Angin tidak lagi berhembus, dan 
Yoga pun segera hentikan semburan hawa din-
ginnya.
Tetapi dengan menggunakan jurus 'Sandi 
Indera', Yoga dapat mengetahui ada orang yang 
mengikuti langkahnya. Sengaja pemuda itu diam 
saja dan berlagak tidak mengetahuinya, namun ia 
berbisik kepada Sri Tanding dengan sangat pelan,
"Ada yang mengikuti langkah kita!"
Sri Tanding tersenyum manis, hentikan


langkah. Tapi bicaranya bernada tegang dan san-
gat pelan,
"Mungkinkah Selendang Badai yang men-
gikuti kita? Orang yang melawanku berselendang 
merah itulah yang ku maksud Selendang Badai."
Yoga tersenyum menawan. Persis sekali 
orang berkasih-kasihan. Ia memegangi pundak 
Sri Tanding dan berkata.
"Kurasa bukan. Langkahnya adalah lang-
kah berat. Pasti seorang lelaki yang mengikuti ki-
ta itu." "Haruskah kita serang?"
"Jangan. Biarkan dia muncul dan kita 
mengetahui maksudnya!"
Sri Tanding sengaja tertawa agak keras dan 
mengikik. Hal itu ia lakukan supaya orang tak 
akan menyangka bahwa dirinya sedang membica-
rakan suatu bahaya yang sedang mengancamnya.
"Kurasa aku tak sabar untuk melawan 
orang itu, Yoga," katanya bernada bisik dengan 
wajah tetap ceria.
"Sabarlah. Ku rasakan ada yang mengikuti 
kita lebih dari satu orang. Langkah kaki mereka 
beruntun, mungkin dua atau tiga orang."
"Di mana saja mereka berada?"
"Mengitari kita dari berbagai arah," jawab 
Yoga sambil mencubit dagu Sri Tanding. Gadis itu 
tertawa kecil, antara senang dan tegang. Tapi me-
reka pandai menipu wajah sehingga tak sesuai 
dengan isi hatinya. Terbukti Yoga pun kembali 
berkata sambil menggenggam tangan Sri Tanding 
yang terangkat di dada,

"Jika terpaksa aku harus menyerang, kau 
segera bersiap untuk lari selamatkan diri."
Sri Tanding menggelengkan kepala di sela 
senyum manisnya, lalu berkata dalam nada de-
sah,
Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu, 
Yoga. Aku harus menghadapi mereka juga. Kita 
hadapi bersama, Yoga!"
Yoga tarik napas. "Kau memang gadis ban-
del, Sri Tanding."
Tapi pada saat itu tangan yang meremas 
jemari Sri Tanding itu semakin kuat. Lalu, dengan 
bisikan lembut Yoga pun berkata,
"Mereka menyerangku dengan satu kekua-
tan yang tak terlihat. Aku merasakan panas pada 
bagian punggungku. Makin panas sekarang."
"Lawan mereka! Jangan biarkan melukai-
mu!" bisik Sri Tanding.
Lalu, Yoga pun diam. Memusatkan kekua-
tan tenaga dalamnya ke bagian punggung sebagai 
pelapis serangan halus itu. Sri Tanding sempat 
menjadi cemas, karena ia melihat wajah Yoga mu-
lai pias dan keringat dinginnya pun tersumbul ke-
luar, membersit di kening dan leher. Sri Tanding 
bingung, apa yang harus dilakukannya saat itu.
* * *

5

SEKELEBAT bayangan melesat menerjang 
Pendekar Rajawali Merah. Kecepatan gerak orang 
tersebut membuat dirinya terlihat hanya seperti 
kabut hitam yang terhempas badai. Wuuuttt...!
Tetapi mata tajam Pendekar Rajawali Me-
rah masih mampu menangkap gerakan cepat ter-
sebut, sehingga ia terpaksa merendahkan tubuh-
nya dengan menyilangkan tangan ke atas kepala. 
Daahg...!
Yoga sempat terguling jatuh di tanah kare-
na merasa seperti menahan gerakan seekor ban-
teng sedang mengamuk. Tapi yang ditahan gera-
kannya itu pun terpental mundur dan jatuh pula 
berguling-guling. Keduanya cepat berdiri untuk 
hindari serangan berikutnya.
Rupanya orang yang menyerang Pendekar 
Rajawali Merah itu berpakaian hitam bergaris-
garis merah dan bersenjata samurai. Siapa lagi 
kalau bukan pendekar dari negeri Matahari Terbit 
yang bernama Shogun Kogawa yang berwajah ka-
ku dan dingin.
Begitu wujud penyerang Yoga itu tampak 
jelas, Sri Tanding cepat-cepat lepaskan pukulan 
jarak jauh bergelombang besar. Wuuttt.... Buhg!
Shogun Kogawa menahan pukulan berat 
itu dengan kedua telapak tangan dihadangkan ke 
depan dada, lalu sedikit bergerak ke kiri, sehingga 
arah pukulan bagaikan dipantulkan dan mengenai sebongkah batu besar di sebelah kirinya. 
Bruussh...! Batu itu pun hancur berkeping-
keping, tanpa memercik ke mana-mana.
"Tulang-tulangku terasa patah semua," pi-
kir Yoga saat itu. "Rupanya orang berambut kun-
cir ini punya tenaga dalam yang cukup tinggi dan 
tadi ia kerahkan sepenuhnya. Berarti dia tidak 
main-main dan benar-benar ingin membunuhku. 
Tapi, siapa dia itu?!"
Shogun Kogawa memandang tajam ke arah 
Pendekar Rajawali Merah. Sementara itu, Sri 
Tanding juga memandang ke arah yang sama 
dengan wajah cemas. Lalu terdengar suaranya 
berbisik dalam jarak tiga langkah di samping Yo-
ga,
"Bagaimana keadaanmu?"
"Tidak apa-apa! Mundurlah, Sri Tanding. 
Biar kuhadapi sendiri orang aneh ini!"
Sri Tanding mundur sambil berkata lirih, 
"Hati-hati, aku kenal dia. Namanya Shogun Ko-
gawa, ilmu pedangnya tinggi, juga tenaga dalam-
nya tinggi. Tanyakan dulu, apa maksudnya me-
nyerang kita!"
Ketika Sri Tanding bergerak ke belakang 
Yoga itulah, ia merasakan datangnya gelombang 
padat berkekuatan besar yang menerjang tubuh-
nya dan tubuh Yoga. Wuuttt...!
"Awas!" sentak Sri Tanding secara tak sa-
dar. Ia sentakkan pula kakinya ke tanah dan tu-
buhnya melenting ke atas, bersamaan dengan itu 
melenting pula tubuh Yoga dan bersalto satu kali

untuk pindah tempat. Gelombang padat yang be-
sar itu hampir saja mengenai Shogun Kogawa pu-
la. Untung orang bermata sipit itu segera melom-
pat menghindar ke arah yang sama dengan Yoga.
Seorang lelaki tua berjubah abu-abu mun-
cul dengan tongkat putihnya. Rambutnya panjang 
sebatas pantat meriap tak diikat. Sri Tanding ber-
kerut dahi dengan heran karena ia mengenali 
orang tersebut. Ia cepat dekati Yoga dan berkata,
"Ki Tenung Jagat, namanya! Dari kelompok 
aliran Petapa Laut!"
"Apa maksudnya datang dan menyerang ki-
ta?"
"Entahlah!"
Ki Tenung Jagat diam tanpa senyum dan 
kata. Ia berdiri di sebelah barat, sedangkan Sho-
gun Kogawa berdiri di sebelah timur dari Yoga 
dan Sri Tanding. Kehadiran mereka yang tampak 
berkomplot itu baru saja ingin ditanyakan oleh 
Pendekar Rajawali Merah, namun seberkas sinar 
kuning melingkar-lingkar sedang menuju ke arah 
Yoga dan Sri Tanding. Hal itu membuat Yoga ber-
seru mengingatkan Sri Tanding.
"Lompat...!"
Wuuttt...! Keduanya melompat tinggi-tinggi 
sehingga gelombang sinar kuning bergulung-
gulung itu lolos dari sasaran sebenarnya, dan se-
bagai sasaran berikut adalah sebatang pohon 
yang terletak lebih dari lima belas tombak dari 
tempat Yoga dan Sri Tanding berada. Pohon yang 
terhantam sinar kuning melingkar-lingkar itu segera kepulkan asap tanpa suara ledak, tahu-tahu 
berubah kecil dan hidup. Ukurannya menjadi le-
bih tinggi dari betis Yoga. Hampir saja Yoga dan 
Sri Tanding berubah menjadi sekerdil itu jika me-
reka tidak segera menghindar.
Seorang berpakaian model biksu warna 
coklat berperawakan gendut muncul di sela-sela 
pohon yang ada di sebelah utara. Sri Tanding ter-
peranjat, dan segera berkata kepada Yoga dengan 
suara pelan,
"Edan! Ketua aliran Petapa Gunung juga 
hadir di sini. Dia yang bernama Resi Panuluh!"
"Kurasa ada sesuatu yang tak beres yang 
membuat
mereka memusuhi kita, Sri Tanding. 
Atau... barangkali kau punya persoalan dengan 
mereka bertiga?"
"Tak ada! Sama sekali tak ada!" jawab Sri 
Tanding tanpa memandang Yoga, melainkan me-
natap antara Resi Panuluh dan Ki Tenung Jagat 
secara berganti-gantian.
Merasa dirinya dikepung, Yoga segera lon-
tarkan tanya kepada Resi Panuluh, "Mengapa ka-
lian mengepung dan menyerang kami?"
Ketiga orang itu tidak ada yang memberi 
jawaban. Tetapi mata mereka tetap memandang 
tajam dan tak bersahabat. Sebelum Yoga kembali 
melontarkan tanya, tiba-tiba sebongkah batu hi-
tam sebesar gentong melayang di udara dan mele-
sat ke arah Yoga dan Sri Tanding. Kecepatan batu 
itu hampir saja tak terlihat. Tapi tangan Yoga secara dengan sendirinya berkelebat menyentak ba-
gai melepaskan sesuatu dari genggamannya, dan 
ternyata yang terlepas adalah asap merah tipis.
Wuusss...! Asap merah tipis menghantam 
batu tersebut. Blaarrr...! Ledakan dahsyat mem-
buat batu itu hancur menjadi serbuk lembut.
Dari arah selatan, tempat datangnya batu 
besar tadi, muncul seorang wanita cantik yang 
pernah dilihat oleh Yoga di suatu tempat, namun 
pada waktu itu perempuan tersebut merubah di-
rinya dalam wujud persis Tua Usil. Akibatnya, 
saat itu Yoga tidak mengenali siapa perempuan 
tersebut, sehingga ia bertanya kepada Sri Tanding 
dalam bisikan lirih.
"Yang ini siapa?"
"Kalau tidak salah... Ketua Perguruan Bi-
ara Sita, bernama Putri Kumbang!"
"Ooo... dia?!" Yoga manggut-manggut sa-
mar. "Ya. Dialah orangnya. Kenapa? Cantik?!"
Yoga tersenyum sinis. "Dia pernah menya-
mar menjadi wujud diriku dan merubah diri men-
jadi pelayanku, tapi aku tidak mengenali wajah 
aslinya. Baru sekarang aku melihat wajah asli Pu-
tri Kumbang!" (Untuk lebih jelasnya baca serial 
Jodoh Rajawali dalam episode: "Setan Dari Bi-
ara").
"Mereka para tokoh sakti, Yoga. Mereka 
agaknya ingin membunuh kita. Kita bisa kewala-
han melawan mereka."
"Tenang saja. Akan ku coba mengatasinya 
dengan tegur sapa yang baik. Siapa tahu semua

ini karena kesalahpahaman saja."
Clapp...! Sesuatu tampak melesat ke langit. 
Sinar biru bagaikan titik kecil itu terlepas dari 
suatu tempat dan berhenti di atas kepala Yoga 
dalam jarak sekitar lima tombak tingginya. Sinar 
biru itu menyorot ke bawah, membentuk lingka-
ran bercahaya biru dan mengurung diri Yoga ser-
ta Sri Tanding. Slaappp...! Wuusss...!
"Ahg...!" Sri Tanding mengejangkan tubuh, 
kepalanya sedikit mendongok dengan mulut tern-
ganga. Ia seperti sedang diremas oleh tangan rak-
sasa. Sementara itu. Yoga pun merasakan hal 
yang sama, namun ia hanya mengeraskan semua 
urat tubuhnya. Dan tiba-tiba tangannya yang 
menggenggam dengan bergetar itu menyentak ke 
atas dalam keadaan telapak tangan terbuka. 
Wuutt...! Claappp...! Melesat sinar merah kecil da-
ri telapak tangan itu, menghantam pusat sinar bi-
ru di atas sana.
Blegaarrr...!
Bumi terasa berguncang akibat gelombang 
ledakan dahsyat tersebut. Sri Tanding sempat ja-
tuh berlutut, lalu cepat bangkit dengan napas te-
rengah-engah. Mereka sudah tidak dikurung si-
nar biru lagi, tetapi mereka ter
paksa harus berpegangan karena tanah di 
mana mereka berpijak berguncang kuat seakan 
ingin retak membentuk celah yang berbahaya. 
Tanah tersebut juga mengepulkan uap biru tipis 
sebatas lingkaran tempat cahaya biru tadi men-
gurung mereka.

"Hebat sekali ilmu orang yang menyerang 
kita. Siapa dia?"
"Seingatku, jurus seperti ini hanya dimiliki 
oleh tokoh sakti yang berjuluk si Jenggot Biru."
Suara Sri Tanding itu sebenarnya sangat 
pelan, tapi ternyata bisa didengar dari jarak enam 
tombak jauhnya, sehingga orang berpakaian pu-
tih kembang-kembang merah-biru dengan jenggot 
berwarna biru segera muncul dari arah selatan, 
dan berkata jelas,
"Ya. Memang akulah si Jenggot Biru, Sri 
Tanding!"
Cepat-cepat Sri Tanding menoleh ke arah 
Jenggot Biru, sementara Yoga telah memandang 
ke arah selatan sejak tadi. Sri Tanding segera ber-
seru kepada Jenggot Biru,
"Eyang Jenggot Biru, apa maksud Eyang 
menyerang kami dengan jurus berbahaya itu?!"
"Supaya kau menyingkir dari samping Pen-
dekar Rajawali Merah. Karena ketahuilah, kami 
ingin lumpuhkan dia sebelum dia hadir di Bukit 
Tulang Iblis!" jawab Jenggot Biru, lalu ia bergerak 
maju tiga tindak. Yang lainnya pun bergerak maju 
tiga tindak, sehingga kepungan mereka semakin 
sempit. Masing-masing berjarak sekitar empat-
lima tindak dari tempat Yoga berada.
Yoga pun segera berseru kepada Jenggot 
Biru, yang dianggap sebagai pemimpin orang-
orang sakti itu,
"Mengapa kalian tidak menghendaki aku 
hadir ke Bukit Tulang Iblis itu?! Aku tidak punya

masalah apa-apa dengan kalian! Kecuali Putri 
Kumbang, yang dengan licik hampir saja mence-
lakai kekasihku!"
Putri Kumbang segera perdengarkan sua-
ranya, "Semua ini terlepas dari masalah kita yang 
lalu. Yoga! Kami punya kesepakatan untuk mem-
benci aliran rajawali!"
"Itu bukan alasan yang tepat, Putri Kum-
bang. Kami tidak pernah menyerang kalian jika 
kalian tidak menyerang lebih dulu! Kami tidak 
pernah berbuat kejahatan bagi siapa pun! Kalau 
kami menyerangmu itu karena kau lebih dulu 
menyerang kami dengan kelicikanmu!"
Resi Panuluh segera berkata, dan membuat 
Yoga dan Sri Tanding berpaling ke arahnya,
"Jika kau sayang pada nyawamu, kusaran-
kan untuk tidak menghadiri pertemuan itu! Kami 
tidak setuju jika aliran rajawali hadir dalam per-
temuan tersebut, karena aliran rajawali tidak 
memenuhi syarat sebagai kelompok aliran silat. 
Sedikitnya lima orang yang menjadi anggota se-
buah aliran silat. Sedangkan aliran rajawali 
hanya terdiri dari dua orang, dan itu tidak meme-
nuhi syarat!"
"Ketentuan dari mana itu?" sanggah Sri 
Tanding membela Yoga.
"Ketentuan dari kami," jawab Resi Panuluh.
Yoga segera berkata, "Dua atau satu orang 
yang ada, aliran rajawali tetap akan ada di muka 
bumi ini! Kami tidak peduli dengan pengakuan 
kalian, yang jelas kami tidak mengganggu kalian

dan jangan memusuhi kami!"
"Kami tidak akan memusuhi mu jika aliran 
rajawali tidak hadir dalam pertemuan nanti!" sa-
hut Putri Kumbang dengan wajah angkuhnya.
"Tak ada yang berhak melarang kami!" kata 
Yoga dengan pandangan tajam menantang.
Jenggot Biru berkata, "Jika begitu, sebelum 
kalian tampil di Bukit Tulang Iblis, sebaiknya 
kami hancurkan di sini lebih dulu!"
Yoga menyahut, "Jika itu kehendak kalian, 
aku terpaksa melakukan pembelaan diri demi 
mempertahankan harga diri aliran rajawali!"
Resi Panuluh berseru, "Sri Tanding! Me-
nyingkirlah bila tidak ingin menjadi korban salah 
sasaran jurus-jurus maut kami!"
"Tidak! Aku tetap akan lindungi Yoga. Jika 
kalian melukai ku, berarti kalian berurusan den-
gan perguruanku!"
"Gadis bandel!" geram Ki Tenung Jagat. 
Kemudian, ia gedukkan tongkatnya ke tanah. 
Duuuhg...! Claapp...!
Seberkas sinar hijau bagaikan lidah petir 
melesat dari tanah yang disentak ujung tongkat. 
Sinar hijau itu melesat ke arah Sri Tanding. Cepat 
sekali gerakannya itu. Namun buru-buru Yoga 
mematahkan serangan tersebut dengan kibasan 
tangan yang berkelebat dan mengeluarkan gelom-
bang tenaga dalam cukup besar. Wuuttt...!
Trattt... tar... duaaar...!
Melihat serangan ringan Ki Tenung Jagat 
dapat dilawan oleh Pendekar Rajawali Merah, maka Shogun Kogawa pun tidak hanya tinggal diam 
saja. Ia segera melompat dan mencabut samu-
rainya. Seett...! Samurai itu dikibaskan berkelebat 
dari bawah ke atas. Arahnya dada serta wajah Yo-
ga yang akan ditebasnya.
Tetapi dengan cepat pula Sri Tanding men-
cabut pedangnya dan berkelebat menangkis sa-
murai tersebut. Trangng...! Kemudian tubuh Sri
Tanding memutar cepat dan melepas tendangan 
kaki kanannya. Wuuttt!
Plak...! Tendangan itu ditangkis dengan 
lengan kiri Shogun Kogawa. Tangkisan itu mem-
buat Sri Tanding terpelanting jatuh karena selu-
ruh tulangnya bagaikan membentur benteng be-
ton dan remuk seketika. Pada waktu Sri Tanding 
jatuh itulah, Shogun Kogawa segera menebaskan 
samurainya dari atas ke bawah dengan kecepatan 
menyamai kilat. Wuuttt...!
Zlaappp...! Bruugh...!
Yoga segera gunakan jurus 'Petir Selaksa' 
yang mampu menyerang dengan kecepatan tinggi, 
melebihi kecepatan kilatan sinar petir. Sasaran 
utama jelas tubuh Shogun Kogawa dari samping 
kiri. Dan ternyata jurus tersebut membuat Sho-
gun Kogawa terlempar jauh dengan samurai me-
nebas tak tentu arah. Tendangan lompat yang 
amat cepat itu membuat lawan sempat mengejang 
sebentar di tempatnya jatuh, namun segera ber-
hasil kuasai rasa sakitnya dan ia berdiri kembali.
Sri Tanding segera bangkit setelah Yoga 
ulurkan tangan dan ia menyambutnya, lalu me
nariknya hingga berdiri. Sebaris kata diucapkan 
dalam bisik, "Terima kasih atas penyelamatan 
mu...." Yoga tidak menjawab, karena ia harus ce-
pat-cepat meraih tubuh Sri Tanding dan memba-
wanya melompat ke arah lain. Hanya ada satu ca-
ra seperti itu yang bisa dilakukan Yoga untuk 
menghindari pisau-pisau sinar yang berwarna pu-
tih itu. Pisau-pisau sinar putih redup terlepas da-
ri sentakan tangan kiri Resi Panuluh yang telapak 
tangannya tengadah menghadap ke langit. Clap, 
clap, clap, clap...!
Seandainya Yoga tidak menyambar tubuh 
Sri Tanding dan membawanya lompat ke arah 
lain, maka tubuh Sri Tanding akan menjadi sasa-
ran berikutnya, setelah pisau sinar putih redup 
itu gagal kenai tubuh Pendekar Rajawali Merah.
Duuurrbbb...! Pisau-pisau itu akhirnya di-
redam oleh Ki Tenung Jagat dengan ujung tong-
kat yang diacungkan dan bagai mempunyai daya 
sedot cukup tinggi. Jika tidak begitu, maka tubuh 
Ki Tenung Jagat-lah yang akan menjadi sasaran 
pisau-pisau aneh tersebut. Syyuuurrpp...!
Jenggot Biru lepaskan jurusnya berupa si-
nar kuning keputih-putihan yang tahu-tahu me-
nyergap kedua tubuh anak muda itu. Jiaabb...! 
Dan tubuh Yoga serta Sri Tanding terperangkap 
dalam sebuah kotak besar. Kotak tersebut bukan 
terbuat dari kayu, melainkan dari gumpalan batu 
es yang membeku keras. Tubuh mereka bagaikan 
ada di dalam bongkahan batu es bercahaya putih 
menyilaukan.

Pendekar Rajawali Merah berusaha berge-
rak, namun tak dapat. Tubuhnya bagaikan mem-
beku menjadi satu dengan gumpalan es besar itu, 
merapat kuat dengan tubuh Sri Tanding. Tak ada 
ruang gerak sedikit pun, sehingga mereka yang 
bisa terlihat dari luar itu, kelihatan sedang kebin-
gungan mengambil napas.
"Heh, heh, heh, heh...!" Jenggot Biru terta-
wa pelan, terkekeh dengan suara tuanya melihat 
Sri Tanding dan Pendekar Rajawali Putih tak bisa 
berkutik. Ia pun berkata kepada Putri Kumbang, 
"Pendekar Rajawali Merah tak akan bisa lepaskan 
diri, karena tak ada ruang dan kesempatan bagi 
jantungnya untuk berdetak. Ia akan mati membe-
ku di sana bersama gadis malang itu."
Putri Kumbang tersenyum girang sambil 
berkata, "Kurasa tak lebih dari dua puluh hitun-
gan mereka sudah tidak bernyawa lagi!"
"Tindakan yang tepat, Jenggot Biru!" kata 
Resi Panuluh, sementara Putri Kumbang berjalan 
dekati balok es besar tersebut.
Tapi tiba-tiba ketika Putri Kumbang berada 
dalam jarak dua langkah dari balok es besar ter-
sebut, tiba-tiba balok es itu pecah dalam satu 
sentakan yang amat kuat. Praakkk...! Serpihan 
balok es Itu memercik mengenai wajah Putri 
Kumbang.
"Auuuh...!" Putri Kumbang menjerit. Peca-
han balok es itu runcing-runcing dan sebagian 
menembus wajah Putri Kumbang, bagaikan peca-
han kaca yang amat tajam.
Pecahnya balok es itu membuat Jenggot 
Biru tersentak kaget dengan mata mendelik. Yang 
lainnya pun terkesiap dan menjadi tegang seketi-
ka itu juga. Langkah mereka sempat mundur se-
tindak dan masing-masing siap dengan kuda-
kuda mereka.
Yoga dan Sri Tanding masih berpelukan, 
tapi kaki mereka lemas bagaikan tak bertulang. 
Bagi Yoga hal itu hanya dirasakan sekejap saja. 
Setelah napasnya banyak menghirup udara segar, 
ia kembali berdiri, dan Sri Tanding masih terpu-
ruk pegangi kaki Yoga dengan napas megap-
megap.
Putri Kumbang sibuk melepasi pecahan ba-
lok es yang menghunjam kulit wajahnya dan 
membuat darahnya membasahi wajah cantik itu. 
Sedangkan Jenggot Biru hanya membatin,
"Mampu juga ia memecahkannya?! Padahal 
tak ada ruang sedikit pun yang bisa digunakan 
untuk bergerak? Atau... mungkin ada pihak lain 
yang turut campur dalam masalah ku ini?"
Wuuuttt...! Sekelebat bayangan biru mele-
sat masuk ke lingkaran kepung mereka. Kehadi-
ran seorang pemuda tampan membuat mereka 
saling terperanjat dan kian waspada lagi.
"Pandu...!" cetus Yoga sedikit kaget melihat 
kedatangan Pandu Tawa yang sedang dalam per-
jalanan ke Bukit Tulang Iblis itu.
"Bersiaplah untuk lari. Yoga! Kau akan ter-
desak melawan mereka jika tidak larikan diri. Ke-
kuatan mereka jika sedang bergabung begini akan

menjadi kekuatan yang luar biasa. Mereka bukan 
orang-orang berilmu rendah!" kata Pandu Tawa 
dengan suara pelan dan mata memandang penuh 
waspada kepada orang-orang yang mengepung-
nya.
Sri Tanding sudah pulih dan bisa berdiri 
kembali walau tetap berpegangan lengan Yoga. 
Sementara itu, terdengar suara Jenggot Biru ber-
seru kepada Pandu Tawa,
"Anak muda! Menyingkirlah agar kau tak 
menjadi korban kami!"
Pandu Tawa tidak hiraukan seruan itu, se-
bab ia mendengar Yoga ajukan tanya bersuara li-
rih,
"Bagaimana dengan Lintang Ayu?"
"Sudah pergi ke Bukit Berhala bersama 
Bocah Bodoh."
"Bocah Bodoh sudah bebas?"
"Sudah! Lekas tinggalkan tempat ini begitu 
aku melepaskan 'Racun Tawa'-ku, Yoga!"
Ki Tenung Jagat lebih dulu melepaskan 
pukulan bergelombang tanpa warna. Gelombang 
panas yang mampu melelehkan baja itu dihadapi 
oleh Pendekar Rajawali Merah dengan pukulan 
gelombang dinginnya.
Wuuttt...! Wuusss...! Blaarrr...!
"Hah, hah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu 
Tawa tertawa keras dan terbahak-bahak. 'Racun 
Tawa' disebarkan, membuat Jenggot Biru terse-
nyum-senyum, Putri Kumbang terkikik geli. Resi 
Panuluh terkekeh-kekeh, sedangkan Shogun Ko

gawa dan Ki Tenung Jagat tetap diam membisu.
Ketika Yoga dan Sri Tanding punya kesem-
patan melarikan diri, Pandu Tawa mengikutinya 
dari belakang, membiarkan lawan mereka terta-
wa-tawa. Tapi Ki Tenung Jagat dan Shogun Ko-
gawa mengejar mereka.
* * *
6


KEDUA pengejar itu menggunakan jurus 
peringan tubuh yang cukup tinggi. Shogun Koga-
wa berkelebat di atas pohon. Dari dahan ke dahan 
ia mampu berlari sangat cepat bahkan menyeru-
pai seekor burung gagak terbang di sela-sela da-
han pohon. Setiap pohon yang digunakan berpi-
jak oleh kakinya, tidak pernah timbulkan suara 
ataupun gerakan yang mencurigakan. Bahkan 
suara getar pohon yang dipakai berlari itu pun 
nyaris tidak terlihat atau terdengar oleh siapa 
pun. Jika bukan orang yang menguasai ilmu pe-
ringan tubuh, tak mungkin dapat lakukan kehe-
batan seperti itu.
Sedangkan Ki Tenung Jagat justru tidak 
kelihatan lewat mana ia mengejar Yoga dan Sri 
Tanding. Sementara itu, Pandu Tawa yang mengi-
kuti arah pelarian Yoga pun tidak melihat gera-
kan Ki Tenung Jagat. Hanya saja, ketika mereka 
tiba di kaki bukit cadas, tahu-tahu orang ber

tongkat putih dengan rambut uban panjang me-
riap itu sudah berdiri menghadang langkah mere-
ka. Mau tak mau Yoga pun hentikan langkahnya. 
Sri Tanding sempat terkesiap sejenak dan Pandu 
Tawa terperangah, namun sudah tidak terlalu 
merasa heran melihat orang berambut panjang 
sudah berada di depannya. Pandu Tawa sudah 
dapat mengukur tingginya ilmu Ki Tenung Jagat 
yang dikenalnya beberapa waktu yang lalu itu. 
Pantas jika Ki Tenung Jagat mampu bergerak se-
cepat itu. Karena dulu Pandu Tawa pernah kehi-
langan jejak waktu mengejar Ki Tenung Jagat un-
tuk suatu keperluan sendiri.
"Gila! Orang itu seperti setan. Tahu-tahu 
sudah muncul di depan kita!" geram Sri Tanding 
dengan menyimpan rasa kagum terhadap kecepa-
tan bergeraknya Ki Tenung Jagat.
Shogun Kogawa muncul jauh di belakang 
Ki Tenung Jagat. Rupanya ia hampir saja me-
ninggalkan buruannya karena kecepatan berge-
raknya dari pohon ke pohon. Ia segera kembali 
dan bergabung dengan Ki Tenung Jagat.
"Pandu Tawa, apakah kita harus melawan 
orang-orang itu dan menimbulkan bencana bagi 
mereka?" tanya Yoga sambil tetap memandang 
kedua lawannya dalam jarak sekitar sepuluh 
langkah itu.
"Kurasa demi mempertahankan diri, jika 
mereka bermaksud mencelakai kita, tak ada sa-
lahnya jika kita lakukan pembelaan diri, walau 
untuk itu terpaksa mengorbankan diri mereka,"

jawab Pandu Tawa. "Tapi sebaiknya kucoba dulu 
untuk membujuk mereka agar tidak menyerang 
kita. Yoga. Kau tetaplah di tempat bersama ga-
dismu itu dan berjaga-jagalah setiap saat!"
"Sri Tanding bukan gadisku, Pandu Tawa. 
Ia sahabat kita!"
Pandu Tawa tersenyum sekejap, lalu tampil 
ke depan dan berseru kepada kedua lawannya 
itu,
"Ki Tenung Jagat, kusarankan agar di an-
tara kita tidak perlu saling bermusuhan lagi!"
"Terpaksa harus bermusuhan, Pandu Ta-
wa! Karena kami tidak menghendaki aliran raja-
wali ikut hadir dalam. pemilihan nanti!"
"Aku memang tidak akan mencalonkan di-
ri!" sahut Yoga yang maju hingga berdiri berjajar 
dengan Pandu Tawa. "Aku tidak akan terpilih se-
bagai hakim dan Pendekar Maha Sakti, karena 
aku kurang setuju dengan acara seperti itu, Ki 
Tenung Jagat!"
"Untuk meyakinkan kami, kau harus kami 
lumpuhkan lebih dulu!" kata Ki Tenung Jagat ba-
gaikan sukar diajak berembuk lagi.
"Agaknya kita tak punya pilihan lain. Yo-
ga!"
Sri Tanding menimpali, "Serang saja mere-
ka daripada mereka yang serang kita!"
"Tunggu dulu, biar aku yang .bicara pada 
kedua orang itu," cegah Yoga, lalu ia berkata ke-
pada Ki Tenung Jagat, yang mewakili mereka.
Tetapi belum sempat Yoga bicara, tiba-tiba

dari arah belakang muncul tiga orang yang telah 
berhasil atasi Racun Tawanya. Pandu Tawa. Me-
reka adalah Jenggot Biru, Putri Kumbang, dan
Resi Panuluh. Putri Kumbang segera berseru den-
gan nada marah,
"Pandu Tawa! Terimalah pembalasan atas 
pelecehan mu kepada kami!"
Baru saja Pandu Tawa ingin lakukan sesu-
atu, tapi tiba-tiba dari mata Putri Kumbang telah 
keluarkan sinar ungu yang menghantam ke dada 
Pandu Tawa. Claappp...!
Selarik sinar ungu itu segera disambar oleh 
tangan Yoga yang tepat berada di samping Pandu 
Tawa itu. Telapak tangan yang membara merah, 
dengan bagian jarinya tidak ikut membara, segera 
menangkap sinar ungu tersebut. Zruubbb...! Lalu 
menggenggamnya sesaat dan melemparkan sinar 
yang telah tergenggam itu ke arah bukit cadas.
Blegaarrr...!
Dengan gunakan jurus Tolak Guntur'-nya. 
Yoga berhasil selamatkan jiwa Pandu Tawa. Teta-
pi akibatnya, ledakan dahsyat itu bukan saja 
memecahkan bukit cadas saja, melainkan juga 
mengguncangkan bumi begitu hebat, sehingga tak 
satu pun dari mereka ada yang tegak berdiri. Ge-
muruh ledakan itu bagaikan membahana sampai 
ke mana-mana dan menimbulkan angin kencang 
mirip badai.
Sri Tanding jatuh menindih Pandu Tawa, 
sementara itu Yoga terlempar empat tindak dari 
samping Pandu Tawa. Di sisi lain, Shogun Kogawa

terkapar karena tanah yang dipijaknya bagaikan 
mencuat naik dan melemparkannya. Ki Tenung 
Jagat tersungkur roboh tak bisa bertahan tegak. 
Jenggot Biru terhempas agak jauh dari tempatnya 
semula, dan Putri Kumbang jatuh terkapar den-
gan tertindih badan gemuknya Resi Panuluh. Me-
reka hampir saja tergencet sebatang pohon yang 
tumbang dalam jarak satu langkah dari tempat 
mereka saling bertumpuk. Sedangkan pohon-
pohon lainnya pun tumbang tak beraturan lagi. 
Bukit cadas itu hancur seperempat bagian. De-
bunya menyebar ke mana-mana. Bahkan sempat 
membungkus tubuh Shogun Kogawa.
Ketika gemuruh dan guncangan bumi reda. 
Mereka mulai bangkit satu persatu. Shogun Ko-
gawa menggerutu tak jelas sambil menepis-
nepiskan debu dari pakaiannya. Rambut kuncir-
nya menjadi coklat keputihan karena dibungkus 
debu cadas itu.
Putri Kumbang tampak berdarah mulut-
nya, dan Resi Panuluh segera membantunya ber-
diri. Jenggot Biru tidak mengalami cedera apa 
pun, demikian pula Yoga, Sri Tanding, dan Pandu 
Tawa. Namun Ki Tenung Jagat berdarah dagunya 
karena tersungkur ke tanah sangat keras.
Hal yang membuat mereka terkejut begitu 
guncangan itu berlalu adalah kemunculan seseo-
rang yang sudah berdiri di sisa pecahan bukit ca-
das yang tak seberapa tinggi itu. Seseorang yang 
berdiri di sana tampak memperhatikan keadaan 
sekitar mereka dengan wajah lembut, tanpa kesan

bermusuhan. Bahkan ada seulas senyum yang 
mekar di bibirnya dengan tipis.
Orang tersebut adalah perempuan berju-
bah kuning gading, berwajah cantik seperti beru-
sia sekitar dua puluh tujuh tahun, tapi sebenar-
nya usianya lebih dari enam puluh tahun. Bah-
kan menurut Jenggot Biru yang mengenai perem-
puan itu, usia tersebut mencapai tujuh puluh ta-
hunan. Perempuan itu cantik dan berbadan sekal 
dengan pakaian dalam jubah berwarna coklat 
muda.
Perempuan cantik berwajah lonjong dengan 
hidung mancung dan bibir sedikit tebal bagian 
bawahnya itu mempunyai rambut hitam yang di-
gelung. Dan pada gelungannya dililit logam kun-
ing emas berhiaskan bebatuan warna-warni. Putri 
Kumbang, Ki Tenung Jagat dan Resi Panuluh cu-
kup kenal dengan perempuan tersebut, tetapi 
Shogun Kogawa belum mengenalnya. Tetapi keti-
ka Ki Tenung Jagat membisikkan nama perem-
puan itu, Shogun Kogawa segera manggut-
manggut pertanda memahami siapa perempuan 
itu.
Sri Tanding terkejut saat melihat perem-
puan tersebut, dan segera berseru, "Nyai 
Guru...?!"
Maka Yoga pun tahu bahwa orang tersebut 
ternyata adalah Ratu Candra Wulan, guru dari Sri 
Tanding. Pandu Tawa sempat terpana sesaat me-
mandangi kecantikan Ratu Candra Wulan itu.
Shogun Kogawa tiba-tiba melesat tinggi

dan menerjang Ratu Candra Wulan. Tetapi pe-
rempuan itu melompat ke arah lain dan turun da-
ri tanah tinggi. Shogun Kogawa bagaikan kecele 
menerjang tempat kosong yang membuatnya clin-
gak-clinguk mencari lawan yang ingin diserang-
nya tadi. Terpaksa Shogun Kogawa kembali turun 
dan lepaskan satu serangan tenaga dalam berge-
lombang besar melalui kibasan tangan kanannya.
Tetapi Ratu Candra Wulan tidak mau 
membiarkan serangan itu menghantamnya. Ia le-
kas-lekas menyentakkan tangan kanannya ke kiri 
sambil tubuhnya meliuk ke belakang, dan seber-
kas sinar kuning pecah menyergap Shogun Koga-
wa. Blaarrr...!
Sinar itu beradu dengan pukulan berge-
lombang besar dari Shogun Kogawa yang mem-
buat lelaki bersenjata samurai itu terhempas ke 
belakang dengan sangat kuatnya. Tubuh itu 
membentur dinding bukit cadas dan membuat 
tubuh itu terbenam ke dalam dinding cadas kare-
na kuatnya benturan tersebut. Shogun Kogawa 
bagaikan terkubur di sana, namun mampu keluar 
setelah menjebol dinding kanan-kirinya. Ia tam-
pak marah besar kepada Ratu Candra Wulan, 
namun gerakannya segera dicegah oleh Ki Tenung 
Jagat dengan menghadangkan tongkatnya.
"Tahan dulu!: katanya dengan suara datar. 
Sri Tanding segera dekati gurunya dan berkata, 
"Mereka mengepung kami dan mengincar Pende-
kar Rajawali Merah, Nyai Guru!"
"Larilah kalian. Kuhadapi sendiri mereka!"

ucap Ratu Candra Wulan dengan wajah tetap ra-
mah dan tak ada kesan marah.
"Candra Wulan!" seru Jenggot Biru, "Perka-
ra kita yang dulu sudah berakhir. Jangan lagi kau 
bikin perkara baru denganku!"
"Aku hanya melindungi muridku, Jenggot 
Biru!" kata Ratu Candra Wulan.
"Muridmu tidak akan kami ganggu semasa 
dia tidak berada di dekat Pendekar Rajawali Me-
rah!"
"Itu urusan mereka, mau berdekatan atau 
berjauhan, yang jelas aku hanya akan melindungi 
muridku!" kata-katanya tegas tapi wajahnya sela-
lu berkesan lembut dan ramah.
"Secara tidak langsung kau ingin melin-
dungi Pendekar Rajawali Merah juga, Candra Wu-
lan!" sahut Resi Panuluh. "Dan pemuda tampan 
yang satunya pun akan kau lindungi juga? itu 
sama saja kau ingin melawan kami, Candra Wu-
lan!"
"Resi Panuluh yang sakti, kalau kesimpu-
lanmu begitu aku tak pernah menghindar dari 
tantangan siapa pun!"
Putri Kumbang berseru, "Wajah manis 
pembawa racun dendam! Kau akan berurusan 
denganku setelah kau bunuh dua muridku tiga 
tahun yang lalu. Hiiaatt...!"
Tangan Putri Kumbang menyentak cepat ke 
depan, lalu bersikap biasa-biasa lagi. Tapi senta-
kan tangan itu telah menghamburkan puluhan 
jarum yang menyerang ke tubuh Ratu Candra

Wulan. Sayang sekali puluhan jarum itu tiba-tiba 
jatuh tertumpuk di depan kaki Ratu Candra Wu-
lan ketika dipandanginya tak berkedip beberapa 
kejap. Ratu Candra Wulan lumpuhkan serangan 
jarum hitam berpuluh-puluh jumlahnya, dan 
membuat Putri Kumbang menjadi geram. Ma-
tanya menatap tajam penuh amarah.
Lalu kedua jari telunjuk dipertemukan di 
depan mulut, dan jari-jari itu ditiupnya. Tiupan 
itu timbulkan suara denging tipis. Beberapa saat 
kemudian, datanglah segerombolan lebah dari 
berbagai arah. Lebah-lebah itu menggaung bagai-
kan suara setan dan jumlahnya mencapai seratus 
lebah dari berbagai arah.
Sri Tanding, Yoga, dan Pandu Tawa terke-
jut melihat pasukan lebah menyerang mereka. 
Tapi Ratu Candra Wulan tetap tenang dan tidak 
menampakkan ketegangan dalam wajahnya. Ia 
bahkan berkata dengan suara pelan tapi didengar 
oleh Yoga, Sri Tanding, dan Pandu Tawa.
"Akan ku halau lebah-lebah itu, dan kalian 
cepat larikan diri ke arah timur. Angin berhembus 
dari timur dan lebah-lebah itu tak akan mengejar 
kalian ke sana!"
Pasukan lebah atau kumbang penghisap 
madu itu mulai menyergap mereka dan membuat 
Shogun Kogawa undurkan langkah beberapa tin-
dak dengan rasa cemas. Tapi Ki Tenung Jagat te-
tap tenang pandangi binatang-binatang yang nya-
ris menutup cahaya langit itu.
Ratu Candra Wulan rapatkan kedua tela

pak tangannya di dada, kemudian disentakkan ke 
atas secara bersamaan. Dari telapak tangan itu 
berhamburan warna-warni dari asap yang me-
nyebarkan bau bangkai. Kumbang atau lebah-
lebah hutan itu pun mulai beterbangan tak tentu 
arah bagai terhempas kekuatan angin berasap 
bangkai. Mereka ada yang terbang melintasi kepa-
la Shogun Kogawa, bahkan ada yang singgah di 
tubuh orang bersamurai itu. Akibatnya Shogun 
Kogawa repot menepiskan lebah-lebah itu. Bah-
kan pasukan lebah yang menyebar ternyata hing-
gap di tubuh-tubuh mereka, sementara Sri Tand-
ing, Yoga, dan Pandu Tawa cepat-cepat larikan di-
ri.
Ratu Candra Wulan berhasil membuat me-
reka sibuk menghalau lebah yang ingin menyen-
gat tubuh mereka, sehingga tak satu pun ada 
yang perhatikan pelarian ketiga orang tersebut. 
Ketika lebah-lebah itu berhasil dihalau oleh me-
reka, dan pergi beterbangan ke mana-mana, me-
reka baru sadar bahwa Yoga telah hilang dari 
pandangan mata mereka.
"Dia telah mengecohkan kita!" teriak Resi 
Panuluh. "Kejar pemuda bertangan buntung tadi!"
Jenggot Biru yang berkelebat lebih dulu 
mengejar Yoga. Tetapi Ratu Candra Wulan segera 
gunakan ilmu tenaga ringannya untuk berlari le-
bih cepat dari Jenggot Biru. Ia tiba di jalanan de-
pan Jenggot Biru dan menghadang di sana.
"Kuingatkan padamu, Candra Wulan... 
menyingkirlah dari hadapanku, supaya aku tidak

melukaimu!" 
"Kau tak akan mampu melukaiku, Jenggot 
Biru." 
"Kau ingin mencobanya? Baik! Heaah...!"
Jenggot Biru menghentakkan satu kakinya 
ke tanah, dan tubuh Ratu Candra Wulan terlem-
par ke atas. Untung ia cepat kuasai keseimban-
gan tubuhnya, sehingga mampu bersalto dan me-
nendang ke arah Jenggot Biru. Tetapi telapak 
tangan Jenggot Biru segera menghantam telapak 
kaki Ratu Candra Wulan, sehingga perempuan itu 
terpental dengan kerasnya. Hantaman telapak 
tangan tersebut mempunyai kekuatan tenaga da-
lam yang cukup tinggi, membuat Ratu Candra 
Wulan sempat keluarkan darah dari mulutnya. 
Padahal yang di hantam adalah telapak tangan-
nya, namun kekuatan itu agaknya tembus sampai 
ke dada Ratu Candra Wulan.
"Peringatan pertama kuberikan padamu, 
Candra Wulan. Kalau kau masih nekat mau ha-
langi kami, kau akan kehilangan hidup sela-
manya!" gertak Jenggot Biru dengan mata dingin-
nya.
"Aku tak peduli," jawab Ratu Candra Wu-
lan yang tetap tanpa wajah marah.
Hal itu membuat Jenggot Biru menjadi 
sangat jengkel. Sementara itu, mereka yang me-
mihak Jenggot Biru segera mengepung Ratu Can-
dra Wulan yang menurutnya perlu disingkirkan 
lebih dulu sebelum menyingkirkan Pendekar Ra-
jawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih nantinya.
Rupanya perempuan berjubah kuning gad-
ing itu tidak merasa gentar mengetahui dirinya 
terkurung oleh tokoh-tokoh sakti itu. Wajahnya 
pun tidak terlihat cemas ataupun tegang. Hanya 
matanya yang memandang penuh waspada terha-
dap orang-orang yang mengitarinya.
"Jika kau memang ingin mengadu kesak-
tian denganku, datanglah ke Bukit Tulang Iblis. 
Kita bertarung di arena sana!" kata Jenggot Biru.
"Sudah ku wakilkan kepada muridku Sri 
Tanding sebagai bekal pengalamannya kelak di 
masa mendatang," jawab Ratu Candra Wulan. 
"Aku tak punya waktu untuk menghadiri perte-
muan tersebut. Tapi aku selalu punya waktu jika 
ada yang mengusik orang-orangku."
Resi Panuluh melompat bagaikan seekor 
harimau ingin menerkam mangsanya. Ratu Can-
dra Wulan hanya berpaling, kemudian kepalanya 
bergerak menyentak ke kiri, dan tubuh Resi Pa-
nuluh terlempar ke kiri dengan sangat kuatnya.
Demikian pula Ki Tenung Jagat yang me-
lemparkan tongkatnya dan tongkat itu membara 
merah bahkan mempunyai semburan api di ba-
gian depannya. Ratu Candra Wulan mengibaskan 
kepalanya, dan tongkat itu terbang ke arah lain, 
nyaris mengenai Putri Kumbang. Wuuttt...!
"Heaaah...!" Shogun Kogawa kembali me-
nyerang dengan mencabut samurainya. Tapi Ratu 
Candra Wulan gerakkan kepala dari menunduk 
menjadi menyentak naik, dan tubuh Shogun Kogawa terjungkal ke belakang beberapa kali puta-
ran. Akhirnya jatuh dengan leher terlipat.
Putri Kumbang yang ingin sentakkan tan-
gan untuk lepaskan tenaga dalamnya lagi itu, su-
dah lebih dulu terpental ke kiri karena Ratu Can-
dra Wulan memandanginya dan menggerakkan 
kepalanya ke kanan dalam satu sentakan pendek. 
Bruuss...! Putri Kumbang mencium tanah sejadi-
jadinya. Hal itu membuat Jenggot Biru kian ber-
tambah panas hatinya.
"Heaah...!" Ia melompat dan melayang di 
udara bagaikan terbang. Tangannya tersentak ke 
depan lepaskan pukulan berkekuatan tinggi, dan 
pukulan tersebut disambut oleh Ratu Candra Wu-
lan dengan telapak tangan membuka dan me-
nyentak ke depan. Pukulan beradu dan menim-
bulkan suara gemuruh. Tapi pada saat itu tubuh
Ratu Candra Wulan juga melesat naik ke atas 
hingga melebihi pucuk-pucuk pepohonan.
Jenggot Biru dan Ratu Candra Wulan be-
radu tangan di angkasa. Mereka saling pukul dan 
saling tangkis dengan gerakan yang luar biasa ce-
patnya dalam keadaan tubuh turun ke bumi.
Plak, plak, plak, plak...! Baaahg...! 
Duaaar...!
Brrrukkk...! Napas perempuan itu tersen-
dat. Ia jatuh tergolek di tanah dalam keadaan wa-
jah membiru dan dadanya kepulkan asap putih. 
Sedangkan Jenggot Biru masih tetap tegak berdiri 
dengan telapak tangan kepulkan asap putih juga.
Rupanya Ratu Candra Wulan telah terkena

dua kali pukulan dahsyat dari Jenggot Biru. Ia 
terluka parah bagian dalamnya dan tak bisa ber-
diri lagi. Pada saat itu, Jenggot Biru sudah berada 
di puncak kemarahannya. Maka, ia pun bermak-
sud menghancurkan tubuh Ratu Candra Wulan. 
Kedua tangannya dari telapak ke ketiak membara 
merah bagaikan tangan-tangan lahar. Ratu Can-
dra Wulan mengetahui adanya bahaya maut yang 
akan menyerangnya, namun ia tak kuasa kerah-
kan tenaga perlawanan.
Ketika Jenggot Biru ingin lampiaskan ke-
marahannya dengan pukulan ganda bertangan 
membara itu, tiba-tiba sekelebat bayangan me-
nyambar tubuh Ratu Candra Wulan. Wuuttt...! 
Zlaappp...!
"Siapa itu tadi?!" teriak Resi Panuluh den-
gan kaget.
"Tak jelas!" jawab Putri Kumbang.
Bayangan yang menyambar tubuh Ratu 
Candra Wulan itu dalam sekejap tak terlihat lagi 
wujudnya. Bahkan warna bayangannya pun tak 
terlihat. Angin kelebatannya pun tak terasa lagi. 
Cepat sekali orang itu menghilang dari pandan-
gan mereka, dan itu menunjukkan bahwa orang 
yang menyambar Ratu Candra Wulan bukan 
orang sembarangan. Setidaknya mempunyai ilmu 
sejajar tingginya dengan mereka, atau mungkin 
lebih tinggi dari mereka.
Ratu Candra Wulan seperti baru saja ber-
kedip, tahu-tahu sudah berada di suatu tempat 
yang berbeda dengan tempat di mana ia dikurung

oleh orang-orang berilmu tinggi itu. Perempuan 
tersebut merasa ada seseorang yang menyela-
matkan dirinya. Bahkan ia juga merasakan luka 
parah yang diduga akan menewaskan dirinya itu, 
ternyata sudah lenyap dengan gaibnya. Tubuh 
Ratu Candra Wulan kembali segar, seakan tak 
pernah menerima luka parah dari lawannya.
Ia berdiri, memandang sekeliling, menyapu 
seluruh tempat dengan sorot matanya yang lem-
but, menemukan sepi yang membentang luas di 
sana. Akhirnya Ratu Candra Wulan berkata sedi-
kit keras.
"Siapa pun dirimu, kuucapkan terima ka-
sih banyak atas penyelamatan mu. Tapi izinkan 
aku mengenali diri mu, Dewa Penolong!"
Beberapa saat kemudian terdengar suara, 
"Aku hanya mencari cucuku dan ingin mene-
muinya. Tapi yang kutemukan adalah dirimu da-
lam bahaya!"
"Tak bolehkah aku menemui, Sobatku?!"
Beberapa kejap berikut, muncul seorang le-
laki berjenggot dan berkumis putih, tubuhnya ku-
rus, rambutnya digulung ke atas warna putih ra-
ta. Usianya lebih dari delapan puluh tahun, 
mungkin mencapai seratus tahun lebih. Ratu 
Candra Wulan kaget melihat lelaki berjubah putih 
itu.
"Oh, rupanya kaulah orangnya, Ki Wejang 
Keramat?!"
* * *

7

PERTARUNGAN menjelang saat pertemuan 
di Bukit Tulang Iblis bukan hanya terjadi di kaki 
bukit cadas, tapi juga di tepi sebuah sungai berair 
bening. Pertarungan itu jelas bersumber dari ma-
salah pertemuan di Bukit Tulang Iblis. Hanya sa-
ja, dilihat sepintas pertarungan itu sepertinya ti-
dak seimbang, yaitu antara Selendang Badai den-
gan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh ta-
hun, mengenakan pakaian coklat dan ikat kepala 
hitam pada rambut tipisnya berwarna putih itu. 
Orang tersebut tak lain adalah Si Tua Usil, pe-
layan dari Yoga dan Pendekar Rajawali Putih.
Persoalannya cukup sepele, namun gawat 
juga bagi dunia persilatan. Selendang Badai me-
nyempatkan diri untuk membasuh wajahnya den-
gan air sungai yang jernih segar itu. Pada saat ia 
membasuh wajah, ia melihat bayangan seorang 
lelaki di atas pohon rindang. Ia menyangka lelaki 
itu sedang mengintainya, padahal ia sedang beris-
tirahat menikmati hembusan angin semilir yang 
mengantukkan itu.
Selendang Badai yang salah duga itu sege-
ra melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan ge-
rakan cepat membalik badannya. Wuuttt...! 
Braasss...! Pukulan bergelombang panas menyen-
gat itu menerpa dedaunan, mematahkan dahan 
dan ranting. Tetapi orang yang disangka mengin-
tai dirinya itu tidak ada di tempat. Selendang Ba

dai semakin curiga. Ketika ia berbalik arah, ter
nyata orang tersebut sudah berdiri di atas 
sebuah batu sambil bersunggut-sungut.
"Kau ini jahat sekali! Ada orang sedang isti-
rahat dan hampir tertidur kau ganggu dengan 
pamer ilmu macam begitu?!"
"Siapa kau, hah?!" bentak Selendang Badai 
sambil mendekat sampai berjarak sekitar tiga 
tombak.
"Aku orang baik-baik. Aku sering dipanggil 
dengan nama Tua Usil! Tapi aku sudah tak per-
nah usil lagi sejak jadi pelayan Nona Li!"
"Tua Usil...?" Selendang Badai berkerut da-
hi tajam sekali, ia sempat sedikit tundukkan ke-
pala karena berpikir keras. Beberapa saat kemu-
dian ia melihat Tua Usil melompat dekati dirinya 
sambil berkata,
"Apakah kau pernah mendengar namaku, 
Nona cantik?"
"Hmmm...! Kalau tak salah, kaulah orang 
yang dikenal sebagai pemilik Pusaka Hantu Jag-
al?!"
"O, ya! Betul itu! Aku yang memilikinya!"
Selendang Badai manggut-manggut, ha-
tinya berkata, "Sangat kebetulan sekali aku ber-
temu dengan orang ini dalam keadaan sepi. Aku 
akan merebut pisau pusaka itu, dan akan kugu-
nakan di pertarungan nanti! Dengan bermodalkan 
pusaka itu, setidaknya aku bisa menyerap ilmu 
para tokoh sakti yang akan kuhadapi di pertarungan nanti!"

Tua Usil yang memandang dengan mata 
sedikit menyipit, karena ingin menikmati seben-
tuk wajah yang menurutnya sangat cantik itu, se-
gera tersenyum bagai seringai kuda. Lalu ia per-
dengarkan suara,
"Nona cantik, kenapa kau termenung me-
lamun diri? Apakah kau terkesan dengan ketam-
panan ku?"
Selendang Badai yang sebenarnya berwa-
jah setengah tua itu memaksakan diri untuk ter-
senyum. Ia berkata, "Ya, aku memang terkesan 
dengan ketampanan mu. Hmmm... apakah kau 
sudah beristri, Tua Usil?"
"O, belum! Belum sekali!" jawab Tua Usil 
mulai bersemangat dan hatinya berdebar-debar. 
Rupanya ia punya minat terhadap Selendang Ba-
dai. Usia setengah tua seperti itulah yang mem-
bangkitkan selera hidup Tua Usil. Ia semakin 
mendekati Selendang Badai. Dan perempuan itu 
semakin melebarkan senyum pemikat hati Tua 
Usil.
"Aku juga sudah tidak bersuami lagi. Na-
maku Selendang Badai!"
"Wow...! Nama yang bagus dan enak diden-
gar. Suatu kebetulan jika kita bertemu tanpa su-
ami dan tanpa istri."
"Memang benar," kata Selendang Badai 
sambil berpaling ke arah lain dan jauhi Tua Usil 
dua tindak. Ia berlagak malu-malu kucing. Se-
dangkan Tua Usil memang kucing yang malu-
malu mau. Maka perempuan itu pun semakin di

dekatinya. Ia mendengar Selendang Badai berka-
ta,
"Sudah lama aku merindukan seorang su-
ami sebagai teman hidupku. Tapi tak pernah ada 
yang cocok di hatiku. Baru sekarang aku mene-
mukan seorang lelaki yang langsung menyentuh 
hatiku."
"Akukah orang yang kau maksud, Selen-
dang Badai?"
"Benar," sambil Selendang Badai berpaling 
memandang Tua Usil. "Kau memang orang yang 
ku maksud. Tapi...," Selendang Badai berpura-
pura sedih, membuat Tua Usil menjadi ingin ta-
hu.
"Tapi kenapa, Selendang Badai?"
"Tapi aku punya persoalan yang tak bisa 
ku atasi!"
"Persoalan apa, katakan saja padaku. Aku 
siap membantumu!"
"Aku mempunyai musuh terberat dalam 
hidupku. Dia selalu mengejar-ngejar ku dan me-
maksa aku untuk menjadi istrinya. Aku sudah 
melawannya, tapi tak pernah menang, karena dia 
cukup sakti. Dia hanya bisa dibunuh ataupun di-
lukai dengan Pusaka Hantu Jagal."
"Hah...?!" Tua Usil kaget.
"Iya. Hanya dengan pusaka itu dia bisa ku-
kalahkan. Padahal aku tidak mempunyai pusaka 
tersebut. Aku harus mencarinya, tapi ke mana 
akan kucari pusaka itu? Aku tidak tahu, Tua 
Usil!"

"Lho, akulah pemilik pusaka itu!"
"O, ya...?!" Selendang Badai berlagak kaget 
dan girang.
"Akulah orang yang mempunyai Pusaka 
Hantu Jagal dan sampai sekarang masih ada pa-
daku! Bagaimana kalau kau pertemukan aku 
dengan lawanmu itu, biar kuhabisi dia agar tak 
mengganggumu lagi."
"O, jangan. Nanti kau terluka dan aku se-
dih kalau kau terluka. Sebaiknya, pinjamkan pu-
saka itu padaku Tua Usil. Biar kuhadapi sendiri 
lawanku itu!" "Pinjamkan...?" Tua Usil mulai bim-
bang. "Sebentar saja, Tua Usil. Nanti akan ku-
kembalikan!" bujuknya dengan berlagak murung.
Tua Usil diam menimbang-nimbang kepu-
tusannya. Setelah itu ia memandang Selendang 
Badai. Perempuan berwajah murung itu membuat 
hati Tua Usil iba. Karena ia berharap dapat me-
lanjutkan hubungan dengan perempuan yang se-
suai dengan seleranya itu, maka.. Tua Usil pun 
berkata kepada Selendang Badai,
"Tapi... tapi nanti akan kau kembalikan pi-
sau itu?"
Benar. Tua Usil! Akan kukembalikan ber-
sama hati ku untukmu!"
"Ooh...?!" Tua Usil tersenyum, hatinya ber-
debar-debar. Ia mendekap dadanya sendiri dalam 
keceriaan yang penuh khayalan.
Maka, Tua Usil pun segera mengeluarkan 
pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik baju coklat-
nya. Pisau itu di pandangi sesaat, seperti masih

ada keraguan di hati Tua Usil untuk menyerah-
kannya.
Mata Selendang Badai berbinar-binar meli-
hat pisau yang sarung dan gagangnya berlapis 
emas berukir itu. Tak sabar rasanya untuk segera 
merampas. Tapi Selendang Badai menahan ha-
sratnya, karena ia takut akan gagal jika dengan 
cara merampasnya. Maka, ia pun menunggu den-
gan hati berdebar-debar. Ia sempat berkata den-
gan suara dibuat sedih.
"Ayah dan ibuku sudah dibunuh oleh 
orang itu, sedangkan aku ingin dikawininya. Aku 
sakit hati sekali dan tak akan bisa tenang jika be-
lum bisa membalas dendam kepadanya. Percuma 
aku hidup berdampingan dengan seorang suami 
tercinta, segudang harta dan kemewahan, jika 
aku belum bisa melampiaskan dendam ku kepada 
Raja Badik itu!"
"Raja Badik?" gumam Tua Usil dengan he-
ran, merasa belum pernah mendengar nama ter-
sebut di rimba persilatan. Padahal Selendang Ba-
dai hanya mengarang nama tersebut asal-asalan 
saja.
"Iya. Raja Badik itu memang jahat dan tu-
buhnya kebal senjata!"
Tua Usil menarik napas, lalu berkata, 
"Baiklah, kuserahkan pisau pusaka ini. Ku pin-
jamkan kepadamu dan lampiaskan dendammu 
pada orang jahat itu! Pisau ini memang khusus 
kugunakan untuk melawan kejahatan."
"Oh, kau benar-benar menyenangkan hati

ku, Tua Usil," katanya ketika menerima pisau Pu-
saka Hantu Jagal dari tangan Tua Usil.
"Kuharap kau pun dapat menyenangkan 
hatiku, Selendang Badai."
"O, ya. Ku usahakan sebisaku. Tapi kalau 
tidak bisa, jangan kecewa, Tua Usil. Karena se-
sungguhnya aku membenci pria yang bodoh se-
perti kamu, yang mau menyerahkan pusaka ke-
pada wanita dengan sedikit rayuan saja. Hi hi hi 
hi...!"
Tua Usil terbengong dengan mata tak bisa 
berkedip. "Apa... apa... apa maksudmu, Selen-
dang Badai?!"
"Pisau pusaka ini dulu ku idam-idamkan, 
tapi baru sekarang bisa berada di tanganku. Ka-
lau saja pemilik pisau pusaka ini bukan orang 
bodoh, tentunya dia tidak akan melepaskan pisau 
ini ke tangan orang mana pun. Beruntung sekali 
nasibku hari ini, selain bisa mengelabuhi seorang 
lelaki, juga bisa mendapat pisau Pusaka Hantu 
Jagal!"
Tua Usil bingung bercampur curiga melihat 
Selendang Badai tertawa terkikik-kikik mirip kun-
tilanak. Maka, Tua Usil pun berkata,
Karena kau mau hidup bersamaku dan su-
ka punya suami aku, maka kuserahkan pisau itu 
kepadamu, Selendang Badai!"
"Siapa yang mau hidup bersamamu? Siapa 
yang sudi punya suami macam kau, Tua Usil 
Hemm! Tak sudi aku menjadi istrimu! Aku hanya 
menyerangmu dengan rayuan agar pisau ini menjadi milikku! Hi hi hi!"
"Kuntilanak kempot!' bentak Tua Usil sete-
lah sadar bahwa dirinya telah tertipu mentah-
mentah oleh perempuan berpakaian jubah tanpa 
lengan warna biru dan mengalungkan selendang 
merah di lehernya.
"Kembalikan pisau itu!" Tua Usil semakin 
marah. Lebih geram lagi melihat Selendang Badai 
hendak melarikan diri. Langsung saja Tua Usil 
melompat dan mencegat di depan langkah Selen-
dang Badai dengan lompatan bersalto melewati 
atas kepala perempuan tersebut.
"Kau ingin pisau ini memakan nyawamu 
sendiri, rupanya!" kata Selendang Badai kepada 
Tua Usil. Maka, serta-merta Tua Usil melepaskan 
pukulan tenaga dalamnya lewat kelebatan lima 
jari berkuku hitam warisan ilmu dari Nyai Kuku 
Setan itu. Zlaapp...! Sinar hijau memencar ke lima 
arah, menghantam tubuh Selendang Badai, 
membuat tangan Selendang Badai tak jadi men-
cabut gagang pisau itu. Sinar hijau itu hampir sa-
ja melukai tubuh Selendang Badai jika ia tidak 
segera lepaskan sinar penangkisnya melalui tela-
pak tangan yang ingin mencabut pisau tersebut. 
Telapak tangan itu memancarkan sinar terang 
warna biru dan membuat serangan Tua Usil da-
pat dilumpuhkan.
Blaarrr...!
Ledakan menghentak kuat terjadi akibat 
benturan dua sinar tersebut. Tubuh Selendang 
Badai terhempas ke belakang dan berguling

guling. Pisaunya terlepas dari tangan, sedangkan 
Tua Usil hanya mundur beberapa tindak dari 
tempatnya semula. Melihat pisau itu jatuh ke ta-
nah, Tua Usil segera melompat dengan cepatnya 
dan menyambar pisau tersebut. Wuuttt...!
Pisau kembali berada di tangan Tua Usil.
Selendang Badai menjadi berang dan segera ber-
seru,
"Serahkan pisau itu atau kuhancurkan tu-
buhmu, Tua Usil!"
Wanita berselendang merah itu segera me-
narik selendangnya dari lingkaran leher. Tua Usil 
melarikan diri karena tak mau melawan perem-
puan yang sempat menimbulkan kesan indah di 
hatinya walau hanya sekejap itu. Pelarian Tua 
Usil membuat Selendang Badai menjadi semakin 
berang. Maka, ia pun segera melecutkan selen-
dangnya ke arah Tua Usil yang berjarak tujuh 
tombak darinya.
Wuuttt...! Blegaarrr...!
Cahaya biru melesat pecah bagaikan petir 
membelah bumi. Tua Usil jatuh tersungkur, kare-
na lecutan selendang itu hadirkan angin badai 
yang menghembus sangat kuat dan cepat, bah-
kan sempat merobohkan dua pohon tak jauh dari 
Tua Usil berada.
Pada saat Tua Usil jatuh, pisaunya sudah 
disembunyikan di balik baju dan Selendang Badai 
melihat tempat penyimpanan tersebut. Maka Se-
lendang Badai pun mengejarnya dengan cepat. 
Hanya saja langkahnya menjadi berat dan semakin berat karena ada angin kencang datang dari 
arah depannya.
"Keaak...! Keaaak...!"
Rupanya angin besar itu datang dari kepak 
sayap seekor burung Rajawali Putih berukuran 
besar. Tentu saja kepak sayap itu mempunyai ke-
kuatan tenaga dalam sehingga dapat hasilkan an-
gin kencang yang menahan gerakan tubuh Selen-
dang Badai, seakan menentang hembusan badai 
yang amat kuat.
Seorang gadis berpakaian merah jambu 
dengan pedang perak yang di ujung gagangnya 
terdapat ukiran dua burung rajawali saling berto-
lak belakang itu, tampak menunggang burung 
tersebut dengan anggunnya. Pendekar Rajawali 
Putih itulah penunggang burung tersebut, yang 
segera turun begitu melihat Tua Usil dikejar oleh 
Selendang Badai.
"Burung keparat!" teriak Selendang Badai 
dengan geram. Maka ia pun segera mengibaskan 
selendang merahnya lagi di udara. Wuukkk...! 
Angin badai datang bersama ledakan guntur ber-
kali-kali. Burung putih itu oleng ke kiri karena 
hembusannya. Lili segera melompat turun dari 
punggung burung yang terbang rendah seukuran 
pohon jati.
"Menjauhlah, Putih!" teriak Lili begitu tiba 
di darat. "Keaak...! Keaakk...!" burung itu pun 
terbang menjauh dengan sedikit oleng karena 
mengimbangi hembusan badai yang mengamuk.
"Tua Usil...! Lekas berlindung!" teriak Lili

disela deru badai yang masih datang mengamuk 
karena selendang merah itu dikibas-kibaskan di 
udara. Suara angin badai itu bergemuruh bagai 
suara gunung meletus. Tua Usil tidak mendengar 
seruan Lili, namun melihat tangan Lili bergerak-
gerak memberikan isyarat untuk berlindung. Ma-
ka Tua Usil merangkak dengan susah payah un-
tuk berlindung di balik pohon besar berakar le-
bar.
Rupanya burung putih besar itu sengaja 
terbang belum sejauh dugaan mereka. Burung itu 
hanya terbang memutar arah. Kemudian dari atas 
belakang Selendang Badai yang sedang mengibas-
ngibaskan selendangnya itu, mata burung terse-
but keluarkan sinar putih perak yang menghan-
tam pohon dl samping Selendang Badai. Claapp...! 
Blegarr...!
Kreaakk...! Bruukkk...! Pohon itu hampir 
saja tumbang menggencet tubuh Selendang Ba-
dai. Mau tak mau Selendang Badai melompat 
dengan menghentikan kibasan selendangnya. Ba-
dai pun reda, dan Lili pun punya kesempatan un-
tuk segera lakukan serangan pembalasan.
Jurus 'Salju Neraka' digunakan oleh Lili. 
Tangan pendekar cantik itu menyemburkan busa-
busa salju putih ke arah lawan. Tetapi dalam se-
kejap lawan sudah
mampu kelebatkan kembali selendang me-
rahnya. Buuttt...! Dan salju-salju yang ingin me-
nyerangnya terbang ke mana-mana tak tentu 
arah. Bahkan kali ini Lili melihat sinar biru se

dang melesat hendak menghantam Tua Usil aki-
bat dari kibasan selendang merah tersebut. Ujung 
selendang yang menebarkan sinar biru itu tak di 
sadari oleh Tua Usil sehingga Lili berseru, "Tua 
Usil, awaaas...!"
Lili sendiri berkelebat menghadang sinar 
tersebut dengan lepaskan pukulan berwarna pu-
tih perak dari tangannya. Blegaarr...!
Ternyata kekuatan sinar biru dari selen-
dang merah darah itu cukup kuat, sehingga tim-
bulkan ledakan yang mampu menghempaskan 
tubuh Lili dengan berjungkir balik dan memben-
tur pohon besar. Duug...! Sedangkan Selendang 
Badai hanya terjengkang ke belakang akibat sen-
takan daya ledak tersebut. Tua Usil sendiri terpe-
lanting ke arah kiri dan jaraknya menjadi jauh 
dengan Pendekar Rajawali Putih.
Rupanya ledakan itu mempunyai gelom-
bang berbahaya yang mampu jebolkan dada la-
wan. Kalau saja Lili tidak mempunyai lapisan te-
naga dalam yang amat besar, maka dadanya akan 
jebol sebagai orang yang berada dalam jarak amat 
dekat dengan ledakan tadi. Lili memuntahkan da-
rah merah dari mulutnya. Wajahnya pun menjadi 
pucat pasi.
"Nona Liliii...!" Tua Usil menjerit karena ka-
get dan cemas akan keselamatan Pendekar Raja-
wali Putih itu. Maka, serta merta Tua Usil meng-
hampiri Lili dengan gerakan peringan tubuh yang 
cukup tinggi. Wuuttt...! Kurang dari satu kedipan, 
Tua Usil telah berhasil tiba dl samping Lili. la segera menolong Lili dengan kata kecemasan yang 
terlontar keras.
"Nona, Li...! Nona...! Sadar, Nona...!" Pada 
waktu itu, Selendang Badai berteriak keras dalam 
kemarahannya yang ingin dilepaskan seluruhnya, 
"Habis sudah riwayat kalian! Heaaahhh...!" Selen-
dang itu dikibaskan di atas kepala lalu dilepas 
dari tangannya. Wuuuk...! Selendang merah ter-
bentang lurus dan kaku bagaikan lempengan baja 
yang meluncur cepat ke arah Lili dan Tua Usil. 
Keadaan itu sempat membuat Tua Usil kaget, lalu 
segera berdiri untuk menghadang serangan se-
lendang yang berubah menjadi lempengan baja 
siap memenggal kepala.
Selendang itu menjadi amat tajam, terbukti 
sebatang pohon dilewatinya begitu saja dengan 
tanpa menimbulkan suara saat memotongnya. 
Namun beberapa kejap berikutnya pohon itu ter-
potong rata dan tumbang.
Pada saat selendang maut itu sudah men-
dekati Tua Usil, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh 
kurus berjenggot panjang putih dan berkepala 
gundul, berdiri menghadang lajunya selendang 
tersebut. Lalu ketika selendang itu hendak me-
nembus tubuhnya, dengan gerakan lunak orang 
tersebut menyentakkan tangannya ke depan. 
Wuuttt...! Selendang yang berubah menjadi baja 
maut itu berhasil ditahan dengan telapak tangan, 
lalu disentakkan ke depan dan kembali kepada 
pemiliknya. Wuungng...!
Clakk...! Selendang itu menancap pada se

batang pohon setelah dua kali memotong pohon 
lainnya. Selendang Badai segera melompat meng-
hindari gerakan balik selendang itu, karenanya 
selendang tersebut menancap di pohon belakang-
nya, lalu ditarik dan dikibaskan sebagai kain se-
lendang setipis sutera itu.
"Resi Gumarang...?!" ucap Selendang Badai 
dengan geram. "Kau selalu ikut campur dalam 
masalah ku. Resi Gumarang?"
"Tidak selalu, Selendang Badai. Hanya jika 
kau bertindak kelewat batas, aku terpaksa ikut 
campur. Itu pun baru sekarang setelah aku turun 
kembali ke dunia persilatan ini, Selendang Badai!"
"Orang ini berbahaya. Tahu persis kelema-
han ku. Sebaiknya ku tinggalkan saja dan segera 
menuju ke Bukit Tulang Iblis!" pikir Selendang 
Badai. Maka, setelah mendengus kesal, ia pun 
pergi tinggalkan tempat.
Resi Gumarang, calon penghulu dalam 
perkawinan Lili dan Yoga nantinya, ternyata da-
tang tepat pada waktunya. Ia berhasil menghalau 
Selendang Badai, dan cepat sembuhkan Lili. Da-
lam waktu kurang dari lima helaan napas, kea-
daan luka Lili menjadi sembuh hanya dengan ca-
ra menatap mata Lili satu helaan napas.
"Kau harus bergabung dengan Yoga," kata 
Resi Gumarang.
"Apa yang saya lakukan tadi hanya mem-
bela si Tua Usil, Resi Gumarang," kata Lili.
"Memang. Aku tahu. Aku juga tahu bahwa 
kau dan Yoga sedang dicari-cari oleh para tokoh

sakti. Kalian dari aliran rajawali akan disingkir-
kan sebelum acara di Bukit Tulang Iblis itu dilak-
sanakan!"
"Mengapa begitu, Resi Gumarang?" Lili ter-
peranjat heran.
"Aliran rajawali dikhawatirkan akan men-
jadi raja dalam persilatan kita ini. Kau dan Yoga 
dianggap orang paling berbahaya dan banyak 
yang meramalkan bahwa kalianlah yang akan un-
ggul dalam pemilihan dan penobatan nanti. Jadi, 
banyak tokoh sakti yang berusaha menyingkirkan 
kalian berdua sebelum acara dimulai. Mereka 
bermaksud agar kalian tidak hadir dalam perte-
muan di Bukit Tulang Iblis nanti!"
Tua Usil dan Lili diam, menyimak segala 
apa yang dikatakan oleh tokoh tua yang berilmu 
tinggi dan pernah menjadi sahabat karib guru Lili 
dan Yoga itu. Ketika Lili ingin bicara, tiba-tiba 
orang kurus berpakaian putih itu lenyap dari 
pandangan mata. Tua Usil kaget dan segera men-
cari-carinya, namun tidak ditemukan di mana-
mana. Lili sempat dibuat bingung sebentar, sete-
lah itu termenung mengingat-ingat pesan dari Re-
si Gumarang tadi.
* * *

8


PERCAKAPAN yang terjadi antara Ratu 
Candra Wulan dengan Ki Wejang Keramat, kakek 
dari Pandu Tawa, ternyata ada yang mencuri den-
gar dari kejauhan sana. Mereka tak tahu, karena 
jaraknya amat jauh. Si pencuri dengar itu pun ti-
dak bermaksud mengganggu, hanya diam di atas 
sebuah batu, duduk termenung sambil beristira-
hat dari perjalanannya yang melelahkan.
Ki Wejang Keramat berkata kepada Ratu 
Candra Wulan, "Pertemuan dl Bukit Tulang Iblis 
itu memang membawa bencana sendiri bagi para 
tokoh rimba persilatan. Di situlah nanti akan 
tampak, siapa-siapa orang yang serakah dan in-
gin berkuasa di atas manusia lainnya!"
Cahaya berseri di wajah Ratu Candra Wu-
lan itu membuat Ki Wejang Keramat rasakan ke-
damaiannya dalam bicara. Saat itu, Ratu Candra 
Wulan sebenarnya sedikit heran mendengar kata-
katanya Ki Wejang Keramat, karena ia menyangka 
Ki Wejang Keramat yang mempunyai prakarsa 
pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu. Karenanya, 
Ratu Candra Wulan berkata kepada tokoh sakti 
yang sudah cukup tua itu,
"Jika pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu 
membawa bencana bagi para tokoh, mengapa Ki 
Wejang Keramat mengadakannya?"
"Bukan aku yang mengadakan pertemuan 
itu, Candra Wulan!" sanggahnya dengan tenang

dan bijaksana. "Barangkali Resi Gumarang-lah 
yang mengadakan pertemuan dan pemilihan se-
perti itu! Mungkin Resi Gumarang punya mak-
sud-maksud tertentu, tetapi di salah artikan oleh 
para tokoh lainnya, sehingga pertemuan tersebut 
menjadi sebuah bencana kecil bagi kita bersama, 
Candra Wulan."
"Jadi menurut Ki Wejang Keramat, bagai-
mana langkah yang baik mengatasi pertemuan di 
Bukit Tulang Iblis itu?"
"Menurutku, tak usah diadakan acara se-
perti itu! Bubarkan saja. Kecuali memang perte-
muan itu bisa membawa damai bagi siapa pun 
juga orangnya!"
"Kalau begitu, Ki Wejang Keramat sebaik-
nya bicara dengan Resi Gumarang, supaya beliau 
mau membubarkan atau membatalkan acara itu!" 
usul Ratu Candra Wulan dengan tutur kata yang 
lembut dan sopan.
"Ya, aku akan bicara dengan Gumarang! 
Mungkin sekarang juga aku harus temui dia di 
tempat pengasingannya, supaya...."
Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa, Tak 
perlu ke sana, Kakang Wejang Keramat!"
Ratu Candra Wulan terperanjat, ia menca-
ri-cari si pemilik suara. Tiba-tiba dari balik pohon 
muncul orang kurus berkepala gundul yang tak 
lain adalah Resi Gumarang.
"Tak perlu kau menemuiku, Kakang We-
jang Keramat, aku sendiri sudah ingin menemui-
mu!" kata Resi Gumarang. Ratu Candra Wulan

memberi hormat dengan sedikit bungkukkan ba-
dannya, karena ia merasa lebih muda usianya 
dan lebih rendah ilmunya dibanding kedua tokoh 
sakti itu.
Ki Wejang Keramat berkata, "Untuk apa 
kau ingin menemuiku, Adi Gumarang?"
"Untuk apa lagi jika bukan untuk mende-
sak Kakang Wejang Keramat agar membatalkan 
acara di Bukit Tulang Iblis itu!" jawab Resi Guma-
rang dengan sikap bersahaja.
Didekatinya Resi Gumarang dengan lang-
kah pelan, lalu Ki Wejang Keramat berkata, "Ke-
tahuilah, bahwa sesungguhnya bukan aku yang 
mengadakan pertemuan tersebut. Aku tidak 
punya gagasan seperti itu, Adi Gumarang."
Resi Gumarang yang merasa lebih muda 
dan menganggap Ki Wejang Keramat sebagai ka-
kak perguruannya di masa lalu, sempat memper-
cayai pengakuan tersebut. Sebab Resi Gumarang 
tahu, bahwa Ki Wejang Keramat seumur hidup-
nya tidak pernah menipu siapa pun, dan berkata 
dusta merupakan pantangan bagi hidupnya.
"Jika bukan Kakang dan bukan aku yang 
mengadakan pertemuan itu, lantas siapa orang-
nya menurut perkiraan Kakang Wejang Keramat?"
"Tentunya kau lebih tahu dariku, karena 
kau mempunyai ilmu teropong batin yang terkuat 
di antara kita, Adi Gumarang."
"Sudah ku coba, Kakang. Tapi ilmu tero-
pong batin ku tak mampu menembus sesosok tu-
buh yang mengaku sebagai pencetus gagasan ter

sebut. Ia hanya berbentuk seperti cahaya putih 
menyilaukan tak bisa kulihat dan kutembus den-
gan mata batin ku, Kakang Wejang Keramat. Dan 
setahuku, hanya terhadap dirimu saja aku tidak 
bisa menembuskan mata batin ku untuk menge-
tahui keberadaanmu, Kakang Wejang Keramat."
Resi Gumarang bicara dengan hati-hati 
dan penuh hormat. Sementara kedua tokoh tua 
itu sama-sama bungkam, Ratu Candra Wulan 
memberanikan diri bicara kepada mereka,
"Resi Gumarang dan Ki Wejang Keramat, 
kalau boleh saya simpulkan, pasti ada pihak lain 
yang bermaksud mengacaukan dunia persilatan 
kita dengan menyebar berita bohong itu. Tujuan-
nya hanya semata-mata untuk mengacaukan du-
nia persilatan kita, supaya setiap orang saling 
bunuh dan saling berebut kekuasaan dalam 
bayangan itu!"
"Sekalipun memang demikian," kata Ki We-
jang Keramat, "Setidaknya kita harus tahu siapa 
pengacaunya, supaya kita bisa menegurnya den-
gan cara kita sendiri."
"Kakang Wejang Keramat," Resi Gumarang 
menyela pembicaraan pada saat ia seperti mene-
mukan sesuatu dalam benaknya. "Menurut du-
gaanku, orang yang tak bisa kutembus dengan te-
ropong batin adalah Dewa Nujum, yang sekarang 
berubah julukan dan dikenal dengan nama Wong 
Sakti!"
Ki Wejang Keramat manggut-manggut da-
lam keadaan diam tak bicara. Gumam kecil pun

tak terdengar. Ratu Candra Wulan perhatikan wa-
jah Ki Wejang Keramat, seolah-olah menunggu 
jawaban dari orang tersebut. Setelah beberapa 
saat mereka terbungkam, Ki Wejang Keramat ber-
kata,
"Ya. Dugaanmu mendekati kebenaran. Hati 
kecilku condong menduga Wong Sakti itulah yang 
membuat acara pertemuan di Bukit Tulang Iblis!"
"Kalau begitu, kita cari dia Kakang Wejang 
Keramat! Kita desak dia supaya membatalkan 
pertemuan tersebut!"
"Barangkali saja dia sudah berada di Bukit 
Tulang Iblis! Bagaimana jika kita ke sana, Adi 
Gumarang?!" "Aku sangat setuju, Kakang Wejang 
Keramat!"
Wuusss...! Angin berhembus ketika mereka 
hendak melangkah. Hembusan angin itu terasa 
aneh bagi Ki Wejang Keramat. Itulah sebabnya ia 
batalkan langkah kakinya, ia sempatkan meman-
dang ke sana-sini dan sampai akhirnya ia temu-
kan seseorang berjubah abu-abu dengan rambut 
putih tipis dan tubuh bersisik.
"Oh, kau hadir juga di sini, Wong Sakti?!" 
tegur Ki Wejang Keramat kepada pendatang baru 
yang ternyata adalah Wong Sakti. Kali ini Wong 
Sakti datang sendirian, tanpa membawa murid 
tunggalnya yang bernama Kukilo itu.
Belum-belum Wong Sakti sudah garuk-
garuk kepala dengan meringis.
"Aku terpaksa datang menemui kalian, ka-
rena aku tak tahan dijadikan bahan pembicaraan

kalian. Kutinggalkan tempatku duduk termenung 
di atas batu, hanya untuk meluruskan masalah 
ini!"
"Masalah tentang apa yang ingin kau lu-
ruskan Wong Sakti?!" tanya Resi Gumarang.
"Dugaanmu sudah berubah menjadi tudu-
han, Gumarang!" kata Wong Sakti yang merasa 
berusia lebih tua dari Resi Gumarang dan juga 
masih merasa lebih tua dari Ki Wejang Keramat. 
Itulah sebabnya Wong Sakti sedikit seenaknya da-
lam bersikap di depan kedua tokoh tua dan satu 
wanita cantik yang sebenarnya juga sudah beru-
sia tua itu.
"Kalau kalian menuduhku sebagai pence-
tus gagasan tersebut, itu adalah salah besar!" ka-
ta Wong Sakti. "Aku bukan pencetusnya, tapi aku 
tahu siapa pelaku utama dalam pertemuan di 
Bukit Tulang Iblis yang akan terjadi itu."
"Siapa orangnya menurutmu, Wong Sakti?" 
tanya "Menurut hasil ramalan sakti ku, orang 
yang mengadakan pertemuan di Bukit Tulang Ib-
lis itu adalah Nyai Mantera Dewi, dari perguruan 
Camar Sakti!"
"Bisa juga!" jawab Ki Wejang Keramat. "Te-
tapi apa alasan Nyai Mantera Dewi mengadakan 
pertemuan itu?"
"Sebaiknya kita tanyakan langsung kepada 
yang bersangkutan! Kalau kita main terka-
menerka, nanti kita malahan cekcok sendiri. Pa-
dahal aku sudah bosan cekcok dari dulu sampai 
setua ini!" kata Wong Sakti dengan seenaknya bicara, tapi bisa dimaklumi oleh mereka.
Maka, mereka pun sepakat temui Nyai 
Mantera Dewi di Perguruan Camar Sakti. Nyai 
Mantera Dewi itu adalah guru dari Gadis Lin-
glung, yang mempunyai ciri-ciri berjubah merah 
darah dengan giwang warna ungu dari batuan 
berkerilap. Rambutnya putih, disanggul sebagian, 
usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.
Kedatangan para tokoh sakti itu membuat 
heran Nyai Mantera Dewi, namun ia tetap me-
nyambutnya dengan baik. Ia hanya bertanya,
"Apa gerangan yang membuat kalian da-
tang kemari?"
"Tentang pertemuan di Bukit Tulang Iblis. 
Mantera Dewi," kata Wong Sakti dengan mengu-
sap-usap kepalanya sendiri.
"Aku akan hadir di sana sebentar lagi. Si-
lakan kalian berangkat lebih dulu ke Bukit Tu-
lang Iblis!"
"Bukan soal keberangkatan mu yang ingin 
kutanyakan, tapi keberadaanmu di dalam acara 
pertemuan tokoh-tokoh dunia kelas berat itu, 
Mantera Dewi," kata Resi Gumarang. "Apa perlu-
mu mengadakan pertemuan yang hanya bisa 
memancing perselisihan di antara sesama?"
Nyai Mantera Dewi berkerut dahi, kemu-
dian berkata, "Siapa bilang aku perintis perte-
muan itu? Siapa bilang itu gagasan ku?"
Wong Sakti berkata, "Akulah yang menu-
duh mu begitu."
"Atas dasar apa?"
"Kira-kira saja!"
Nyai Mantera Dewi berkata, "Bukan aku 
pencetus gagasan. Bukan aku yang adakan per-
temuan tersebut. Kalian jangan salah duga!"
"Kami hanya kehendak! supaya pertemuan 
itu dibatalkan saja, karena mengundang permu-
suhan satu dengan yang lain, Mantera Dewi," ka-
ta Ki Wejang Keramat.
"Aku setuju. Tapi bagaimana aku bisa 
membatalkan jika rencana itu bukan rencanaku,
Ki Wejang Keramat?"
Mereka sama-sama diam, Ki Wejang Kera-
mat termenung, Ki Wejang Keramat saling pan-
dang dengan Resi Gumarang. Nyai Mantera Dewi 
memandangi wajah tamu-tamunya satu persatu. 
Kejap berikut terdengar suara Wong Sakti berkata 
kepada Ki Wejang Keramat.
"Kecurigaan ku jatuh pada seseorang yang 
pandai meneropong kelemahan ilmu apa pun!"
Kini semua memandang Wong Sakti. Resi 
Gumarang bertanya, "Siapa orang yang kau mak-
sudkan itu, Wong Sakti.
"Siluman Ilmu!"
Mereka saling bergumam, "Siluman Il-
mu...?"
Nyai Mantera Dewi segera berkata, "Apakah 
yang kau maksud adalah Siluman Ilmu yang ting-
gal di Tebing Tengkorak itu?"
"Tepat," jawab Wong Sakti lalu terkekeh 
sendiri sambil garuk-garuk kepalanya. "Ada baik-
nya kalau kita pergi ke Tebing Tengkorak sekarang juga!"
"Tunggu dulu," kata Ratu Candra Wulan 
yang sejak
tadi hanya diam saja itu. "Jika kita ke sa-
na, dan jika benar Siluman Ilmu orang yang 
punya gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis, 
maka sudah pasti dia sekarang ada di Bukit Tu-
lang Iblis. Sekarang sudah waktunya pertemuan 
itu diadakan, karena sudah lewat tengah hari!"
"Benar," gumam Nyai Mantera Dewi. "Ku 
usulkan agar kita lekas-lekas ke Bukit Tulang Ib-
lis saja!"
Ki Wejang Keramat dan Resi Gumarang 
manggut-manggut. Tak ada yang memberi gaga-
san lain, karenanya mereka segera berangkat ke 
Bukit Tulang Iblis.
Bukit itu tak seberapa tinggi. Bagian atas-
nya datar dan luas, ada beberapa tanaman yang 
berjarak renggang, seakan menjadi peneduh pun-
cak bukit tersebut. Dari kaki bukit dapat dilihat 
keadaan di puncak bukit, karena lereng bukit itu 
gundul, hanya ada tanaman rumput pendek. 
Tanpa pohon besar yang tumbuh di lerengnya.
Bukit itu sekarang ramai dikunjungi para 
tokoh rimba persilatan yang rata-rata berilmu 
tinggi. Rombongan Ki Wejang Keramat ketika tiba 
di kaki bukit sempat bertemu dengan orang yang 
disebut Siluman Ilmu. Orang itu berpakaian abu-
abu dan usianya sekitar enam puluh tahun ke 
atas, (Lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali 
dalam episode: "Mempelai Liang Kubur").

Ketika Resi Gumarang menegur Siluman 
Ilmu, orang itu membantah tuduhan tentang pen-
cetus gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis 
tersebut. Ia berkata,
"Untuk apa aku mempunyai gagasan edan 
seperti ini? Tak ada untungnya bagiku, Resi Gu-
marang! Justru aku datang kemari untuk melihat 
siapa yang akan dinobatkan sebagai hakim dan 
mendapat gelar Pendekar Maha Sakti!"
Setelah sama-sama bungkam, setelah be-
rulangkali mengelak tuduhan tersebut, akhirnya 
Wong Sakti berkata,
"Daripada susah-susah mencari siapa pen-
gacau yang membuat kita pusing sendiri, lebih 
baik hadir saja ke sana, dan lihat sendiri siapa 
pencetus pertemuan itu!"
"Itu usul yang bagus!" kata Ki Wejang Ke-
ramat. Maka, mereka pun segera naik ke puncak 
bukit. Tidak ada satu pun dari rombongan Ki We-
jang Keramat yang naik ke puncak bukit dengan 
berjalan mendaki. Mereka melangkah dengan il-
mu tenaga peringan tubuh yang dapat mencapai 
bukit dalam waktu singkat. Wuuttt... wuuttt.... 
wuutt... wuuttt...! Dalam sekejap mereka sudah 
berada di puncak bukit yang bertanah datar cu-
kup luas. Mereka membentuk kelompok-
kelompok tersendiri, saling berbincang-bincang 
dengan sahabat lama ataupun sahabat baru yang 
sudah pasti sama-sama berilmu tinggi.
Di situ tampak hadir pula Paku Juling, ke-
tua Partai Pengemis Liar, Sumo Loda sedang berbincang-bincang dengan seorang tokoh bermata 
satu yang dikenal dengan nama Demit Satu Mata, 
di sisi lain pun tampak Selendang Badai bersama 
Leak Parang dan Nyai Kubang Darah. Juga Dewi 
Gita Dara tampil bersama Pendeta Agung Gane-
sha dari Pulau Kana.
Kelompok yang sedikit sibuk adalah ke-
lompoknya Rangkasok dan si Setan Sibuk dari 
Perguruan Tengkorak Emas, karena si Setan Si-
buk jika bicara menggunakan isyarat tangan dan 
diterjemahkan oleh Rangkasok. Mereka sedang 
berhadapan dengan dua tokoh tua wanita yang 
masing-masing berambut putih dan berwajah 
sama, yaitu yang dikenal dengan nama Peri Kem-
bar.
Di tempat itu, terdapat batu besar yang 
tingginya sebatas lutut. Resi Gumarang naik ke 
atas batu besar itu mewakili rombongannya, se-
mentara itu Shogun Kogawa memerintahkan Resi 
Gumarang untuk turun dengan satu seruan. "Tu-
run...!"
Tapi Resi Gumarang hanya tersenyum te-
nang. Shogun Kogawa segera dibujuk oleh Jeng-
got Biru agar mundur dan membiarkan Resi Gu-
marang di atas batu. Karena Jenggot Biru me-
nyangka bahwa Resi Gumarang itulah orang yang 
mempunyai gagasan mempertemukan mereka di 
bukit tersebut. Terlihat pula Putri Kumbang se-
dang bicara dengan Resi Panuluh dan Ki Tenung 
Jagat.
Sebelum Resi Gumarang bicara, ia sempat

melihat kehadiran Pandu Tawa bersama Sri Tand-
ing. Tapi Yoga dan Lili tidak kelihatan. Pandu Ta-
wa segera temui kakeknya, Ki Wejang Keramat 
yang juga sebagai gurunya itu. Mereka terlibat 
pembicaraan kasak-kusuk sendiri, sedangkan Sri 
Tanding pun segera berkasak-kusuk dengan gu-
runya; Ratu Candra Wulan yang berdiri di samp-
ing Nyai Mantera Dewi.
Beberapa saat kemudian, Resi Gumarang 
berseru, "Saudara-saudaraku sebumi persilatan!"
Suara tersebut mempunyai getaran tenaga 
dalam yang membuat semua orang diam dari per-
cakapannya dan memandang ke arah Resi Guma-
rang. Hening tercipta sejenak di bukit itu, kemu-
dian suara Resi Gumarang terdengar lagi berseru,
"Sebenarnya, siapa yang mempunyai gaga-
san mempertemukan kita di Bukit Tulang Iblis 
ini?! Siapa yang mempunyai gagasan memilih seo-
rang Pendekar Maha Sakti dan menobatkan seba-
gai hakim di rimba persilatan kita ini?! Siapa?!"
Suara gemuruh bergaung mirip ratusan le-
bah. Mereka saling membicarakan siapa pencetus 
acara tersebut. Siapa yang akan menentukan atu-
ran mainnya dalam pemilihan dan penobatan 
Pendekar Maha Sakti, ternyata tak ada yang men-
getahuinya.
"Jika tidak ada yang mengaku siapa yang 
membuat acara ini, maka untuk apa kita ber-
kumpul di sini?" kata Resi Gumarang yang dis-
ahut oleh Resi Panuluh dengan seruan,
"Pasti ada!"

"Kaukah orangnya, Panuluh?"
"Bukan!"
"Lalu siapa?!"
"Akuuu...!" tiba-tiba terdengar suara yang 
nyaring dan bergema. Semua orang memandang 
ke arah selatan. Dari kerumunan orang yang ada 
di selatan itu, muncul seorang lelaki tua berpa-
kaian kuning model biksu, berkepala botak ten-
gah, rambut yang tumbuh di tepiannya sangat ti-
pis. Nyaris bisa dihitung dengan tangan. Usia le-
laki itu sangat tua, terlihat dari kulit tubuhnya 
yang sebagian masih tampak mengelupas, seba-
gian lagi kelihatan kencang tanpa keriput, per-
tanda ia telah mengalami ganti kulit dalam ke-
tuaannya.
Lelaki itu beralis, kumis dan jenggot serba 
putih, tubuhnya kurus dan matanya cekung. 
Bahkan bulu matanya pun tampak putih, me-
nandakan usianya jauh lebih tua dari Wong Sakti, 
dan jauh lebih tua pula dari Ki Wejang Keramat. 
Sementara itu, di sisi lain tampak Malaikat Ge-
lang Emas berdiri dengan mata lebar memandangi 
orang kurus berpakaian kuning itu. Kejap beri-
kutnya terdengar suara Malaikat Gelang Emas 
berseru kepada orang yang kini sudah ada di ten-
gah-tengah arena itu.
"Begawan Prana Syiwa...! Rupanya kau 
masih hidup, Begawan?!"
Orang tersebut ternyata bernama Begawan 
Prana Syiwa. Tak banyak yang mengetahuinya, 
kecuali Malaikat Gelang Emas, Ki Wejang Keramat, Resi Gumarang, dan Jenggot Biru. Rupanya 
orang bernama Begawan Prana Syiwa adalah to-
koh sakti yang sudah lama dilupakan oleh mere-
ka dan sudah dianggap mati oleh Ki Wejang Ke-
ramat maupun mereka yang mengenai tokoh ter-
sebut.
Begawan Prana Syiwa mengebutkan kain 
pakaiannya yang tersisa di pinggang. Wuuttt...! 
Dan terpancarlah sinar ungu menyilaukan dalam 
beberapa kejap, lalu sinar ungu hilang dan mata 
mereka menjadi terperanjat melihat sesuatu telah 
tertancap di tanah. Benda yang tertancap di ta-
nah itu tak lain adalah sebuah pedang yang me-
mukau mata tiap orang, mengejutkan bagi yang 
mengetahuinya.
Pedang itu tertancap di tanah separo ba-
gian. Gagangnya terbuat dari batu giok warna hi-
jau kecoklatan. Mata pedangnya terbuat dari batu 
warna ungu bening. Di antara mata pedang yang 
ungu dengan gagang yang hijau terdapat batu 
pemisah berwarna merah delima. Pedang itu sa-
mar-samar memancarkan warna ungu, dan tanah 
yang digunakan untuk menancapkan pedang itu 
tampak berwarna ungu selebar dua jengkal seke-
lilingnya.
Ki Wejang Keramat menggumam, "Pedang 
Pusaka Suralaya?!"
Pandu Tawa bertanya pelan, "Pedang pusa-
kanya siapa itu, Eyang?"
"Pedang Pusaka Suralaya adalah pedang 
pusaka Dewa Penjaga Suralaya! Suralaya adalah

tempat para dewa bersemayam."
"Saya tahu," kata Pandu Tawa. "Tapi saya 
tidak tahu apa kehebatan Pedang Pusaka Sura-
laya itu?!"
"Kita dengarkan saja kata-kata Begawan 
Prana Syiwa itu!"
Terdengar Begawan Prana Syiwa berseru 
dengan suaranya yang masih lantang dan tegar, 
setelah ia dipersilakan oleh Resi Gumarang untuk 
naik ke atas batu yang tadi digunakan berdiri Re-
si Gumarang itu.
"Pedang ini adalah pedang pusaka para 
dewa! Dulu aku yang memegang pedang pusaka 
ini. Sekarang waktuku telah tiba untuk kembali 
ke alam kelanggengan, sebuah alam abadi yang 
dipersiapkan untukku! Aku harus mewariskan 
pedang ini kepada manusia di bumi, yang kelak 
akan menjadi hakim atas segala perkara, dan 
berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti. 
Tetapi kepada siapa kuberikan pedang ini? Aku 
tidak tahu dengan pasti. Karena dewata tidak 
menunjukkan padaku siapa pewaris pedang ini. 
Karenanya pula aku menghendaki kalian ber-
kumpul di sini untuk menentukan siapa di antara 
kalian yang berhak mewarisi pedang pusaka ini! 
Caranya, barang siapa bisa mencabut pedang pu-
saka ini, maka dialah orang yang berhak mewarisi 
Pedang Pusaka Suralaya dan menyandang gelar 
Pendekar Maha Sakti!"
"Aku bisa!" seru Malaikat Gelang Emas.
"Silakan mencabutnya! Tapi aku yakin, kau

tak akan bisa menyentuh pedang ini, sebab gu-
rumu dulu pernah mencobanya tadi tidak berha-
sil. Padahal aku adalah eyang gurumu, Malaikat 
Gelang Emas!"
"Wooow...!" banyak mulut yang melongo 
kagum. Mereka dapat membayangkan jika Bega-
wan Prana Syiwa adalah eyang dari gurunya Ma-
laikat Gelang Emas, lantas berapa usia orang itu 
sekarang ini?! Barangkali karena memegang Pe-
dang Pusaka Suralaya itulah maka Begawan Pra-
na Syiwa dikarunia umur panjang.
Apa yang diduga oleh Begawan Prana Syi-
wa itu memang benar. Malaikat Gelang Emas ter-
pental bahkan sampai terguling-guling menuruni 
lereng bukit karena mendekati pedang yang ter-
tancap di tanah itu. Demikian pula orang lain, 
begitu mendekati pedang tersebut dalam jarak sa-
tu jangkauan, tahu-tahu terpental keras bahkan 
sampai ada yang terbang menyangkut di dahan 
pohon.
Secara ramai-ramai mereka menyergap pe-
dang tersebut. Jumlah yang menyergap lebih dari 
sepuluh orang. Tapi mereka terpental bersama, 
buyar seketika dan terguling-guling tak tentu 
arah. Ada juga yang mati karena tubuhnya ter-
hempas dan tertancap potongan dahan hingga 
tembus dari dada sampai ke punggung.
Segala tenaga dalam dikerahkan dengan 
niat untuk menghancurkan pedang tersebut. Te-
tapi tenaga dalam apa pun dan milik siapa pun 
akan memantul balik dan menyerang pelakunya.

Salah satu korban yang sampai tewas karena ter-
kena tenaga dalamnya sendiri adalah Sumo Loda, 
dari Perguruan Lawa Murka.
Pihak rombongan Jenggot Biru juga ter-
lempar begitu kerasnya dan tak ada yang mampu 
menyentuh pedang tersebut. Jika menyentuh saja 
sangat sulit, apalagi mencabut pedang tersebut, 
jelas lebih sulit. Ki Wejang Keramat menahan tan-
gan Pandu Tawa ketika Pandu Tawa ingin tampil 
untuk mencoba mendekati pedang itu.
"Jangan lakukan. Aku yakin ada orang ter-
sendiri yang mampu menyentuhnya, yaitu orang 
yang menjadi jodoh dari pedang tersebut dan ber-
kenan di hati para dewa di Suralaya."
Resi Gumarang pun tak berani mendeka-
tinya. Juga Nyai Mantera Dewi, Ratu Candra Wu-
lan dan yang lainnya. Jumlah pengunjung yang 
hadir di bukit itu menjadi sedikit karena yang lain 
bagai dilempar-lemparkan ke berbagai arah hing-
ga jatuh terkapar di kaki bukit.
Pada saat itu, dua ekor burung rajawali 
terbang rendah di atas Bukit Tulang Iblis. Suara 
kedua burung berbulu putih dan merah itu saling 
bersahutan.
"Keaaak...! Keaaak...!"
"Kaaaakk...! Kaaakkk...!"
Semua mata memandang ke atas. Semua 
kepala mendongak perhatikan dua burung raja-
wali tersebut. Penunggangnya sudah tak asing la-
gi bagi mereka, yaitu Yoga dan Lili. Tetapi mereka 
mencibir dan sebagian tidak memiliki kepastian,

mampukah salah satu dari kedua pendekar raja-
wali itu mencabut Pedang Pusaka Suralaya?
Kedua pendekar rajawali turun dari pung-
gung burung besar. Tak berapa lama muncul si 
Tua Usil yang lebih baik berlari mengikuti burung 
besar itu ketimbang ikut membonceng salah satu 
dari mereka.
Lili dan Yoga sama-sama terperangah meli-
hat pedang tersebut, lalu ia berlutut satu kaki 
dan memberi hormat kepada Begawan Prana Syi-
wa. Terdengar ucapan Begawan Prana Syiwa me-
nyapanya.
"Selamat datang murid Dewa Geledek dan 
Dewi Langit Perak! Apakah kalian berminat untuk 
mencoba mencabut Pedang Pusaka Suralaya 
ini?!"
Yoga yang menjawab, "Tidak, Eyang! Kami 
datang hanya ingin menyaksikan penobatan ter-
sebut dan mengetahui siapa orang yang menda-
pat gelar Pendekar Maha Sakti itu."
"Belum ada!" kata Begawan Prana Syiwa. 
"Jika kalian ingin mencobanya, masih ada waktu 
tersisa cukup banyak untuk kalian!"
"Terima kasih, Eyang. Kami hanya ingin 
menjadi penonton saja!"
Lili berkata, "Kami serahkan kepada yang 
lain saja, Eyang! Dan kami mohon mundur di 
tempat penonton!"
Tiba-tiba, ketika Lili berdiri, sebuah seran-
gan bergelombang panas menghantam punggung 
Lili dengan kuatnya. Pukulan itu menyemburkan

asap kuning dan datang dari Malaikat Gelang 
Emas. Wuuuttt...! Pendekar Rajawali Putih berba-
lik dengan cepat dan sentakkan kedua tangannya 
untuk menahan serangan tersebut. Duuubh...! 
Blaaarrr...!
Dentuman hebat terjadi mengguncang bu-
kit tersebut. Pendekar Rajawali Putih terpental 
dan jatuh berguling-guling di tanah. Sementara 
itu, Malaikat Gelang Emas yang menaruh dendam 
besar kepada kedua pendekar itu segera meng-
hantamkan pukulan dahsyatnya dari jarak tujuh 
langkah dari Yoga. Pukulan itu tak bisa dihindari 
Yoga sehingga Yoga pun terpental jatuh berguling-
guling hampir menindih tubuh Lili.
Tentu saja semua orang terkejut dan Be-
gawan Prana Syiwa berseru, "Ini bukan arena per-
tarungan dan balas dendam! Tahan amarah mu, 
Malaikat Gelang Emas!"
Rupanya Malaikat Gelang Emas tidak hi-
raukan seruan tersebut. Ia segera melompat dan 
maju menyerang kedua pendekar yang jatuh di 
tengah arena. Lili dan Yoga jatuh tepat di samping 
kanan kiri Pedang Pusaka Suralaya. Dengan ge-
rakan di luar kesadaran karena terancam bahaya, 
keduanya sama-sama mencabut Pedang Pusaka 
Suralaya dan diacungkan ke depan bagaikan be-
rebut pedang. Zlaasss...! Wuuttt...!
Kini pedang digenggam oleh dua tangan, 
yaitu tangan Lili dan tangan Yoga. Pada saat itu, 
mata pedang yang berwarna ungu itu memancar-
kan cahaya ungu bagai selarik sinar satu jurusan.

berlutut dan menyerahkan pedang itu dengan dua 
tangan yang diangkat ke atas kepala, sedangkan 
Pendekar Rajawali Merah berlutut dl samping, 
agak ke belakang dari tempat berlutut Pendekar 
Rajawali Putih. Sikap mereka kembali mencen-
gangkan orang-orang sakti yang hadir di sekelil-
ing tempat itu, Pedang yang diserahkan Lili belum 
diambil oleh Begawan Prana Syiwa. Sang begawan 
justru berkata,
"Pertahankan pusaka itu, dan rawatlah 
baik-baik Aku tak berani mengambilnya kemba-
li...."
Bllaabb...! Wuusss...!
Begawan Prana Syiwa lenyap bagaikan 
moksa. Hanya ada sisa asap tipis yang mengepul 
di udara lalu sirna dihembus angin bukit. Lili dan 
Yoga sama-sama tertegun bengong dan tak tahu 
apa yang harus mereka lakukan terhadap Pedang 
Pusaka Suralaya itu. Haruskah mereka menyan-
dang gelar tersebut dan menerima jabatan seba-
gai hakim dan raja di rimba persilatan? Sementa-
ra itu, diam-diam Putri Kumbang memutar otak, 
mengatur siasat untuk merebut Pedang Pusaka 
Suralaya itu.


                             SELESAI

Segera menyusul:

TENGKORAK HITAM




























Share:

0 comments:

Posting Komentar