PENOBATAN DI BUKIT TULANG IBLIS
Serial Silat JODOH RAJAWALI
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat
Jodoh Rajawali
dalam episode:
Penobatan di Bukit Tulang Iblis
112 hal.
1
SEHARUSNYA hujan turun siang itu. Men-
dungnya sudah menebal sejak tadi. Tetapi entah
siapa yang telah menahan hujan di hari itu. Se-
dangkan di sebelah timur dan selatan hujan telah
turun dengan lebatnya. Hanya di daerah barat, di
mana terdapat Bukit Tulang Iblis berada, hujan
tak turun di sana. Mendung tetap menggantung
dan semakin lama semakin tebal. Angin bertiup
bagai saling berlomba dalam menghempaskan
daun-daun hutan.
Di kaki sebuah lembah berpohon renggang,
tampak seorang lelaki berpakaian serba hitam
terdorong mundur oleh sebuah pukulan tapak
tangan yang belum menyentuh dadanya. Pukulan
tapak tangan berkekuatan gelombang tenaga da-
lam itu ternyata milik seorang gadis yang menge-
nakan pakaian hijau muda dirangkap rompi ungu
tua yang terkancing rapat, membentuk tonjolan
nyata pada permukaan dada atasnya, sehingga
tampak menantang selera seorang lelaki. Namun
gadis berusia sekitar dua puluh empat tahun itu
tak terlihat jalang, justru tampak kalem dan lem-
but.
"Keparat kau, Sri Tanding! Rupanya kau
menghendaki pertarungan kita mencapai titik
kematian!" geram lelaki berusia sekitar lima pu-
luh tahun itu. Ia baru saja tegak dari tubuh lim-
bungnya yang terkena gelombang pukulan tapak
tangan kiri Sri landing tadi.
"Sumo Loda, sebenarnya aku tidak meng-
hendaki pertarungan ini! Tapi kau memaksaku
berbuat seperti ini, Sumo Loda. Padahal aku me-
rasa tidak mempunyai perkara denganmu!" ucap
gadis itu dengan tegas.
"Siapa bilang kau tidak punya perkara
denganku?! Niatmu untuk datang ke Bukit Tu-
lang Iblis sudah merupakan perkara besar bagi-
ku!"
"Aku datang ke Bukit Tulang Iblis karena
mewakili guruku!"
"Aku tidak inginkan hal itu!" sergah Sumo
Loda. "Pihak perguruanmu tak boleh ada yang
hadir dalam pertemuan para tokoh sakti di Bukit
Tulang Iblis ini! Aku bersumpah untuk mengha-
langi siapa pun dari pihak perguruanmu yang in-
gin datang ke sana!"
"Apa alasannya, Sumo Loda?" tanya gadis
berambut poni sepanjang lewat pundak itu.
"Hmmm...!" Sumo Loda sunggingkan se-
nyum sinis. "Aku masih menyimpan sakit hati
kepada gurumu; Ratu Candra Wulan itu! Lima be-
las tahun yang lalu, dia telah mengusirku dari
Perguruan Elang Betina dengan seenaknya sendi-
ri. Kupendam sakit hatiku kala itu, dan aku ber-
sumpah untuk selalu menggagalkan rencana
orang-orang Perguruan Elang Betina yang punya
maksud apa pun di dunia persilatan ini!"
Sri Tanding tetap tenang. Berdiri dengan
kedua kaki tegak berjarak, kedua tangan bersidekap di dadanya, kepalanya sedikit mendongak se-
hingga tampak keangkuhan sikapnya. Sumo Loda
melangkah mondar-mandir di depan Sri Tanding.
Dadanya selalu membusung maju dengan kedua
tangan sedikit ditarik ke belakang. Itulah ciri ke-
biasaan Sumo Loda jika berjalan.
Dengan sesekali mengusap kumis tebalnya,
lelaki bermata angker itu berkata, "Seharusnya
aku berharap Ratu Candra Wulan sendiri yang
keluar dari perguruan
dan menghadiri pertemuan nanti. Dengan
begitu aku bisa berhadapan dengan perempuan
jahat itu!"
"Guruku bukan perempuan jahat! Kalau
kau dulu dipecat dan diusir dari pesanggrahan itu
lantaran kau mau berniat kurang ajar dengan
Nyai Guru! Sebuah sikap rendah yang amat me-
malukan, jika seorang murid ingin berniat kurang
ajar terhadap gurunya! Layak jika kau diusir dari
perguruan. Masih beruntung kau tidak dijatuhi
hukuman yang lebih berat lagi, Sumo Loda!"
"Kau tidak bisa menuduhku begitu saja,
Sri Tanding. Jika dulu aku berniat kurang ajar
kepada Ratu Candra Wulan, itu lantaran dia
menggoda gairah ku terus-menerus!"
"Omong kosong! Kau hanya mencari alasan
buat pembelaan dirimu!" sentak Sri Tanding yang
mulai tersinggung dengan ucapan Sumo Loda
yang bersifat merendahkan gurunya. Sri Tanding
pun berkata tegas,
"Sekarang akulah wakil dari Guru untuk
hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu! Seka-
rang apa maumu. Sumo Loda?!"
"Menggagalkan niatmu untuk datang ke
sana! Bila perlu harus dengan cara membunuh-
mu!" Sumo Loda berkata dengan nada mengge-
ram.
"Kalau kau ingin menjajal ilmuku, aku tak
keberatan memamerkannya di depanmu, Sumo
Loda. Supaya lain waktu kau tidak menganggap
ringan murid Nyai Guru Ratu Candra Wulan!"
"Sesumbarmu membakar darahku dan
makin menantang hasratku untuk membunuh-
mu, Sri Tanding! Jika begitu, terimalah jurus
mautku ini!" Sumo Loda memainkan jurus maut-
nya dengan tiga jari mengeras pada kedua tan-
gannya. Kaki merendah, satu ditarik ke belakang,
mata melirik tajam, urat lengan menjadi keras,
dan ia pun cepat melompat dalam satu gerakan
yang sangat tiba-tiba.
"Heaaah...!"
Sri Tanding yang sejak tadi hanya berside-
kap tangan di dada itu, kali ini melepaskan lipa-
tan tangannya itu, dan menahan sodokan tiga jari
yang mengancam leher kanan-kirinya. Taabb...
taabb...! Dengan telapak tangan membuka, sodo-
kan tiga jari di tangan kanan-kiri lawan itu terta-
han kuat. Memercikkan bunga api yang membara
kecil. Lalu, kaki Sumo Loda menendang, tapi di-
tangkis dengan kaki Sri Tanding, sehingga mereka
akhirnya perang kaki dengan tangan masih saling
menahan dan menekan.
Plak, plak, plak, dugg, duug, plak, duug...!
Buuaaggh...!
Sumo Loda berhasil kecurian jurus. Kaki
lawannya dengan kuat menendang ulu hatinya.
Tendangan itu membuat tubuh besar Sumo Loda
terangkat terbang ke atas dan kehilangan ke-
seimbangan. Sedangkan Sri Tanding yang jari-jari
di kedua tangannya masih mengeras dan merapat
itu segera membalikkan tapak tangan tersebut,
lalu menyodokkan ke arah depan. Zaapp...!
Wuuttt...! Dua tenaga dalam terlepas dari
ujung-ujung telapak tangan tersebut. Tenaga ber-
gelombang panas itu menghantam tubuh Sumo
Loda yang sedang melayang. Bhaag...! Wuuss...!
Tubuh itu kian terlempar bagaikan seonggok
daun kering dihempas badai.
Braagg...! Sumo Loda jatuh di atas rerun-
tuhan pohon kering. Walaupun ia berhasil me-
lenting lagi ke udara untuk lakukan lompatan ke
samping, tapi ia sudah tak mampu menapakkan
kakinya dengan mantap. Ia limbung dan jatuh
kembali dengan mulut keluarkan darah kental.
Wajah angker Sumo Loda menjadi pucat pasi.
Sri Tanding tak mau mengejar dan menye-
rang lagi. Ia biarkan dulu lawannya yang jelas ter-
luka berat di bagian dalam tubuhnya. Ia berharap
lawannya mau diajak berdamai dan tidak meng-
ganggunya lagi. Tapi agaknya Sumo Loda tidak
mau kenal kata berdamai dengan orang-orang
Perguruan Elang Betina itu. Terbukti dari sikap-
nya memandang masih menampakkan sikap
permusuhan. Bahkan mungkin lebih sengit lagi.
"Tak ada perlunya melanjutkan pertarun-
gan ini, Sumo Loda! Aku terpaksa harus mening-
galkanmu!" kata gadis yang kelihatan lebih berwi-
bawa daripada lawannya.
"Tunggu!" sentak Sumo Loda sambil bersi-
kap tegak di depan gadis itu. Lalu, ia mencabut
senjatanya berupa kipas tiga keping. Hanya ada
tiga logam bertepian tajam yang dapat dibuka-
tutupkan seperti kipas itu. Jari-jari Sumo Loda
menyelinap di sela-sela logam tajam itu, lalu
menggenggamnya kuat-kuat.
"Tak perlu terburu-buru merasa menang,
Sri Tanding! Aku masih menggunakan satu jurus
maut yang rupanya bisa kau lawan. Tapi bebera-
pa jurus maut ku tak akan bisa ditandingi oleh
jurus-jurus dari Perguruan Elang Betina. Terima-
lah jurus 'Kipas Tigo' ini! Hiaaat...!"
Sumo Loda menyerang dengan satu lompa-
tan ke arah lain. Tapi kipasnya yang berkerilap
terkena pantulan sinar matahari itu mengibas
dan menimbulkan hawa panas yang cukup tinggi.
Sri Tanding kaget dan cepat menghindar dengan
lompatan salto tiga kali ke arah belakangnya.
Wus, wus, wus...!
"Edan! Kalau aku tidak menghindar sece-
patnya, meleleh seluruh tubuhku seperti pohon
besar itu!" kata Sri Tanding dalam hatinya. Ma-
tanya masih memandangi pohon yang batangnya
bagai melepuh dan mengelupas akibat terkena
hawa panas jurus 'Kipas Tigo' itu. Bahkan dua
pohon di belakang pohon pertama pun kulit ba-
tangnya ikut mengelupas, namun tak sampai
membuat kayunya retak dan melintir, seperti po-
hon pertama. Daun-daun pohon pun cepat layu
dan akhirnya saling berguguran.
"Rupanya Sumo Loda benar-benar unjuk
kesaktian di depanku. Ia pamerkan jurus yang
diperolehnya selama ia menjadi anggota Pergu-
ruan Lawa Murka. Hmm...! Aku terpaksa kelua-
rkan jurus-jurus simpanan kalau begini caranya!"
pikir Sri Tanding.
Sumo Loda segera lakukan serangan lagi
dengan melompat ke arah lain, "Heaaahh...!"
Wuuttt...! Kipas Tigo berkelebat mengibas
dengan cepat. Hawa panas berupa serbuk putih
menebar bagaikan tepung dibuang ke satu arah.
Sri Tanding cepat tanggap, serbuk putih itu pasti
racun yang membahayakan. Maka dengan cepat
ia berdiri dengan satu kaki, ujung jempol kakinya
yang menapak di tanah, lalu tubuhnya berputar
dengan cepat bagai gangsing. Wuuusstt...!
Hanya sekejap hal itu dilakukan. Tepung-
tepung putih bertebaran ke berbagai arah. Angin
yang ditimbulkan dari putaran tubuh itu cukup
kuat hingga membuat Sumo Loda terpelanting ja-
tuh bagaikan dihempas badai besar. Tetapi di luar
dugaannya, dari putaran tubuh itu Sri Tanding
berhasil lepaskan senjata rahasia berupa logam
putih berkilat seperti ujung anak panah yang pi-
pih. Runcing di berbagai sudutnya. Logam itu me-
lesat begitu cepat dan sukar dilihat dengan mata
telanjang. Zlaapp...! Juubb...!
"Auw...!" Sumo Loda terpekik, lengan ki-
rinya terkena senjata kecil itu. Menancap dengan
cepat dan tak mampu dihindari lagi.
"Ouh... badanku seperti ditusuk ratusan
jarum dari segala arah!" pikir Sumo Loda. "Ooh...
lemas sekali. Urat-uratku bagaikan putus!"
Sumo Loda tak mampu menggerakkan tu-
buhnya. Bahkan mengangkat kepalanya pun tak
bisa. Ia terkulai lemas di tanah seperti seonggok
karung basah lupa di jemur. Wajahnya kian pu-
cat, matanya semakin sayu. Pada saat itu, Sri
Tanding bermaksud pergi meninggalkan Sumo
Loda. Namun tiba-tiba dari mata Sumo Loda yang
menjadi sayu itu keluar dua larik sinar hijau ben-
ing mengarah ke tubuh Sri Tanding. Rupanya itu-
lah kekuatan terakhir Sumo Loda yang bisa dila-
kukan dengan menggerakkan batinnya. Claapp...!
Sri Tanding berbalik dan cepat lepaskan
pukulan sinar kuningnya dari dua jari tangannya
yang ditotokkan ke udara. Claap...! Sinar kuning
dua larik itu menghantam tepat dua larik sinar
hijau.
Biaarr...!
Sebuah ledakan terjadi timbulkan gelom-
bang hentak yang amat kuat. Tubuh Sri Tanding
terhuyung-huyung ke belakang dan membentur
batang pohon. Sedangkan tubuh Sumo Loda yang
mirip karung basah lupa dijemur itu terguling-
guling tak beraturan lagi gerakannya. Kalau tidak
ada pohon berjajar yang menghalangi gerakan tu
buhnya, mungkin Sumo Loda sudah jatuh ke ju-
rang yang tak seberapa dalam itu. Untung ada
dua pohon berjajar, hingga tubuhnya tersangkut
di sana.
"Rupanya kau betul-betul belum puas jika
di antara kita belum ada yang mati, Sumo Loda!
Baiklah. Dengan sangat terpana aku harus menu-
ruti kehendak hatimu! Terimalah Jurus terakhir
ku ini! Hiaaah!"
Sri Tanding sentakkan tangan kirinya da-
lam keadaan semua jari mekar keras. Dari tela-
pak tangannya keluar seberkas sinar merah yang
membentuk bulatan seperti bola. Sinar merah itu
mempunyai lidah api yang berkelebat jelas dalam
gerakan layangnya yang cepat Biaarr...!
Seberkas sinar biru bagai sepenggal besi
tiba-tiba saja menghantam sinar bola berapi. Aki-
batnya pecah dan hancurlah kekuatan tenaga da-
lam Sri Tanding di pertengahan jarak antara di-
rinya dengan Sumo Loda. Tentu saja Sri Tanding
menjadi kaget dengan munculnya sinar biru itu.
Maka ia segera memandang ke arah datangnya
sinar biru tersebut.
Seorang wanita berusia sekitar enam puluh
tahun berdiri dengan tenangnya di atas sebuah
pohon. Setelah ia dipandang oleh Sri Tanding, ia
pun lekas-lekas melompat turun. Wuuttt...! Gera-
kan turunnya cukup lamban. Pakaiannya tidak
sampai tersingkap ke atas. Bahkan ketika mena-
pakkan kaki di tanah, tak terdengar bunyi rum-
put dipijaknya. Rupanya ia bisa kendalikan gerakan tubuh yang turun dari atas pohon dengan
mengendalikan daya tank bumi.
Buat Sri Tanding, tidak heran jika perem-
puan berpakaian kuning dengan berkalung selen-
dang merah di lehernya itu bisa lakukan hal se-
perti itu. Karena Sri Tanding tahu, siapa perem-
puan itu dan seberapa tinggi ilmunya. Maka, den-
gan cepat Sri Tanding segera menegur.
"Rupanya kau ingin ikut campur dalam
perkara ini, Nyai Selendang Badai?! Kau membela
Sumo Loda karena ingin mendapatkan keme-
sraannya yang menggugah semangat mu, Nyai?!"
"Jaga bicaramu, Gadis Setan! Bisa kurobek
tujuh cabik mulut mungilmu itu!" ucap Nyai Se-
lendang Badai dengan nada dingin. Ia dipanggil
dengan sebutan Nyai oleh Sri Tanding, sebab ia
berusia sedikit lebih muda dari guru Sri Tanding.
Tapi para tokoh lainnya memanggilnya dengan
sebutan Nyai, itu berarti Sri Tanding masih mau
memberi hormat kepada orang yang lebih tua da-
rinya itu. Tetapi jika sikap Selendang Badai tetap
memusuhinya, maka Sri Tanding pun siap melu-
pakan sebutan Nyai kepada Selendang Badai.
"Apa maksudmu membela Sumo Loda,
Nyai? Setahuku dia bukan kekasihmu, juga bu-
kan orang perguruanmu! Setahuku kau bermu-
suhan dengan Sumo Loda, Nyai!"
"Benar. Tapi aku punya persoalan sendiri
dengan orang Perguruan Elang Betina. Dan kare-
na kudengar kau tadi tampil sebagai wakil guru-
mu; si Ratu Candra Wulan, maka terpaksa aku
melibatkan urusan dengan mu, Sri Tanding!"
"Apakah yang kau maksudkan adalah uru-
san masa lalumu dengan Nyai Guruku?!" tanya
Sri Tanding karena ingat cerita gurunya tentang
seorang musuh yang bernama Selendang Badai,
yang punya ciri khas berkalung selendang merah
di lehernya itu. Kali ini selendang merah tersebut
dikalungkan dengan kedua ujungnya ada di
punggung.
"Rupanya gurumu punya cerita sendiri ten-
tang permusuhan kami!"
"Tapi aku tidak tertarik dengan cerita itu,
Nyai!" kata Sri Tanding dengan tetap bersikap te-
gas.
"Tertarik ataupun tidak, tapi aku tetap ha-
rus bikin perhitungan dengan pihak Elang Betina!
Kekasihku, Panji Timur, telah dibunuh oleh gu-
rumu! Sampai sekarang aku belum bisa memba-
lasnya karena kesibukan ku dengan urusan lain.
Tapi sekarang aku sudah punya waktu untuk me-
lampiaskan dendam ku kepada gurumu. Karena
kau yang menjadi wakil dari gurumu untuk tam-
pil di Bukit Tulang Iblis nanti, maka aku terpaksa
melampiaskan dendam ku kepadamu, Sri Tand-
ing!"
"Demi kepercayaan dan tugas yang diberi-
kan oleh guru kepadaku, apa pun yang terjadi
akan kuhadapi, Nyai!"
"Baik. Itu murid yang terpuji. Rela mati
demi guru, adalah jiwa seorang murid yang patut
dibanggakan. Tetapi ketahuilah Sri Tanding, aku
punya dua pilihan untuk mu sebagai sikap bijak
ku sebagai orang berilmu tinggi. Kau akan kube-
baskan dari dendam, jika kau mau batalkan
niatmu untuk hadir di pemilihan hakim dan raja
dunia persilatan di Bukit Tulang Iblis nanti. Atau
kau mati melawanku sebelum sampai ke Bukit
Tulang Iblis?!"
Perempuan berusia banyak yang masih
punya sisa kecantikan masa lalunya itu bicara
dengan mata memandang dingin, wajah tanpa ke-
san apa pun kecuali kesan datar dan dingin. Gi-
wang berliannya berkerilap terkena pantulan si-
nar matahari dan sesekali menyilaukan pandan-
gan mata Sri Tanding. Selain mengenakan kain
kuning sebagai baju, ia juga mengenakan jubah
tanpa lengan warna biru tua. Rambutnya disang-
gul ke atas dengan rapi, sisanya hanya sedikit
yang meriap di samping kanan kirinya.
"Bagaimana, Sri Tanding? Kau pilih yang
mana dari dua tawaranku tadi, Gadis Bodoh?!"
"Apa pun yang terjadi, aku harus tetap
tampil di Bukit Tulang Iblis mewakili guru, sekali-
gus mewakili orang Perguruan Elang Betina! Jika
kau Ingin bertindak sesuai dengan tawaranmu
tadi, aku siap menghadapimu, Selendang Badai!"
Sri Tanding sudah tidak bersikap hormat lagi
dengan calon musuhnya itu.
"Benar dugaanku. Kau memang gadis bo-
doh! Apa boleh buat jika memang itu pilihan
mu...!"
Wuuutt!
Tiba-tiba tubuh Selendang Badai bergerak
cepat bagaikan tanpa menjejakkan kakinya dulu
ke tanah. Begitu cepat gerakannya sehingga sem-
pat mengejutkan Sri Tanding dan membuatnya
kelabakan. Karena tiba-tiba sebuah pukulan telak
mendarat di rahang kanan Sri Tanding. Deesss...!
Pukulan itu berhasil membuat tubuh Sri
Tanding terpental terbang. Selain terbang ke atas
cukup tinggi, juga cukup jauh dari jarak tempat
berdirinya semula. Rupanya pukulan itu bukan
saja pukulan yang mengejutkan, namun juga dis-
ertai pengerahan tenaga dalam yang mampu ha-
dirkan sentakan kuat.
Bruuhg...! Tubuh Sri Tanding jatuh ter-
sungkur. Rahangnya terasa pecah. Namun ia ma-
sih bisa berdiri dengan mengibaskan kepalanya,
membuang bintik-bintik dalam pandangan ma-
tanya. Kini ketika pandangan matanya cukup je-
las, ia pun segera lepaskan serangan balasan
dengan melompat dan bersalto dua kali ke depan.
Kakinya cepat menjejak kepala Selendang Badai.
Wuuttt...! Plaakk...!
Tendangan itu ditangkis oleh Selendang
Badai dengan menghadangkan lengan kirinya.
Dan itu membuat Sri Tanding justru terjungkal
sendiri. Kekuatan tenaga dalam yang telah dike-
rahkan membalik menghantam dirinya sendiri,
sehingga Sri Tanding terpental sejauh tujuh lang-
kah dari tepat Sri Tanding berdiri.
Tenaga dalam yang membalik itu membuat
Sri Tanding memuntahkan darah dari mulutnya
dalam keadaan setengah merangkak di tanah.
Tubuhnya terasa sakit semua. Dan kesempatan
itu rupanya digunakan oleh Selendang Badai un-
tuk mengakhiri riwayat Sri Tanding. ia Segera
menarik selendangnya, lalu dikibaskan ke arah
tubuh Sri Tanding. Blaarrr...!
Selendang tipis membayang berwarna me-
rah itu ternyata mempunyai kekuatan dahsyat.
Ketika dikibaskan, seberkas sinar biru memancar
terang dalam sekejap. Sinar biru itu menghantam
tubuh Sri Tanding yang sedang berusaha untuk
bangkit. Akibatnya tubuh tersebut terlempar ja-
tuh dengan kulit-kulitnya retak dan mengucur-
kan darah bagaikan disambar petir.
"Cukup tinggi dia punya ilmu tenaga da-
lam. Buktinya ia tak sampai pecah terkena sabe-
tan selendang ku?!" pikir Selendang Badai. Ia in-
gin mengakhiri hidup gadis cantik itu secepatnya.
Maka, ia kibaskan kembali selendang merahnya
itu.
Tetapi, tiba-tiba ada angin kencang ber-
hembus dan membuat tubuhnya sempat oleng.
Ternyata angin itu timbul karena kepak sayap
seekor rajawali besar warna merah. Rajawali itu
ditunggangi oleh seorang pria tampan yang masih
muda, berpakaian putih dengan selempang dada
kain bulu coklat dari kulit beruang. Pemuda itu
menyandang pedang merah tembaga di pung-
gungnya dengan gagang berujung kepala dua ra-
jawali yang saling bertolak belakang.
Melihat ciri-ciri itu, Selendang Badai men
genal tokoh tampan tersebut. Dialah Pendekar
Rajawali Merah yang bernama Yoga. Selendang
Badai memang belum pernah jumpa, namun na-
ma Yoga sudah tidak asing lagi di dunia persila-
tan. Nama itu menjadi bahan bicaraan para tokoh
dunia persilatan bersama-sama nama Lili, yang
menyandang gelar Pendekar Rajawali Putih.
Selendang Badai sempat terkesiap matanya
ketika melihat burung besar itu menyambar tu-
buh Sri Tanding yang terluka parah. Ia sempat
berseru kepada Pendekar Rajawali Merah,
"Lepaskan gadis itu! Jangan ikut campur
urusan ku!"
Tetapi Yoga tidak memberikan jawaban.
Burung Rajawali Merah itu tetap membawa pergi
tubuh Sri Tanding. Selendang Badai marah, ia se-
gera menyabetkan selendangnya ke angkasa. Ble-
gaarr...!
Angin bergelombang besar menghempas ke
seluruh penjuru. Hawa panas yang ditimbulkan
oleh ledakan bercahaya putih kebiruan dari se-
lendang tersebut membuat burung Rajawali Me-
rah memekikkan suaranya keras-keras,
"Keaaak...! Keaaak...!" sambil ia terbang
semakin cepat. Sayapnya yang lebar menghem-
buskan angin kibasan yang kuat juga, sehingga
gelombang hawa panas itu tidak sampai menerpa
tubuhnya. Hanya sedikit yang menerpa tubuh
dan membuat udara lebih panas dari matahari,
namun tidak membuat melepuh kulit tubuh atau
merontokkan bulu-bulunya. Yoga hanya berkata
kepada burung rajawalinya,
"Jalan terus dan jangan hiraukan orang
itu, Merah! Gadis inilah yang kita butuhkan un-
tuk menjadi penunjuk Jalan tentang tempat ting-
gal Wong Sakti yang menyekap Bocah Bodoh itu!"
"Keaak...! Keaaak...!"
Rupanya dalam perkara penculikan Bocah
Bodoh yang dilakukan oleh Wong Sakti itu, Yoga
telah kehilangan jejak pelarian Wong Sakti. Dan
menurut seseorang yang bicara dl kedai bersama
temannya, Wong Sakti mempunyai sahabat baik
yang bernama Sri Tanding.
Konon di masa lalu Sri Tanding ingin di-
angkat sebagai murid oleh Wong Sakti, tapi Wong
Sakti tidak suka murid perempuan, jadi mereka
hanya bersahabat sebatas pergaulan balk saja.
Kemudian pada usia empat belas tahun, Sri
Tanding diangkat menjadi murid oleh Ratu Can-
dra Wulan. Sejak itu mereka pun jarang bertemu
lagi. Tapi jelas Sri Tanding masih ingat di mana
Wong Sakti bertempat tinggal. Itulah sebabnya
Yoga menyelamatkan Sri Tanding yang mempu-
nyai ciri-ciri pada pakaian hijau berompi rapat
warna ungu tua, wajah cantik mungil berambut
poni.
"Semoga ia tidak tertolong dengan lukanya
separah itu!" kata Selendang Badai yang kehilan-
gan lawannya. Ia segera mendekati Sumo Loda.
Sekalipun Selendang Badai tak menyukai sifat
Sumo Loda yang angkuh dan sombong dengan
kesaktian ilmunya, tapi ia merasa kasihan juga
melihat Sumo Loda antara mati tidak, hidup pun
tidak. Selendang Badai lakukan pengobatan se-
bentar untuk Sumo Loda, lalu ditinggalkan pergi
begitu saja.
* * *
2
MENJELANG pertemuan para tokoh sakti
di Bukit Tulang Iblis itu, memang banyak terjadi
pertarungan di sana-sini. Pertemuan di Bukit Tu-
lang Iblis untuk memilih dan menobatkan siapa
orang yang berhak menyandang gelar Pendekar
Maha Sakti, yang berarti menjadi orang tertinggi
di rimba persilatan. Dengan gelar tersebut, ia su-
dah menjadi raja di rimba persilatan, di mana se-
gala aturan dan perintahnya harus di taati oleh
semua tokoh persilatan. Selain itu ia juga akan
dinobatkan sebagai hakim yang akan mengadili
perkara-perkara di dunia persilatan yang tidak bi-
sa terselesaikan.
Dari mulut ke mulut berita itu menyebar
dan menarik minat para pendengarnya, terutama
yang merasa berilmu tinggi. Entah dari mana da-
tangnya berita tersebut, tahu-tahu sudah banyak
orang yang mengetahui dan berminat menghadi-
rinya.
Salah satu pertarungan yang mengawal
pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu terjadi di pantai hutan karang. Pantai itu mempunyai banyak
gugusan batu karang, ada yang tingginya melebi-
hi pohon kelapa, ada yang hanya sebatas ukuran
manusia biasa. Yang jelas karang-karang itu men-
julang tinggi di sana-sini menyerupai pilar dan
bentuk-bentuk aneh lainnya. Pantai hutan karang
itu dikenal dengan nama Pantai Karang Liar.
Di pantai itulah, sebuah pertarungan seru
terjadi antara Resi Panuluh dengan seseorang
berbadan kurus ceking dengan rambut putih pan-
jang sampai pantat, mirip seorang perempuan,
dan dialah yang berjuluk Ki Tenung Jagat. Pa-
kaiannya abu-abu, rambutnya tak pernah digu-
lung dan dibiarkan meriap begitu saja. Kumisnya
putih rata tapi tidak memiliki jenggot atau cam-
bang. Usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.
Sejajar dengan usia Resi Panuluh yang bertubuh
gemuk, mengenakan pakaian model biksu warna
coklat tua.
Rupanya mereka bertarung sudah sejak
tadi, sehingga keduanya sama-sama sudah terlu-
ka. Resi Panuluh mengalami luka ujung pundak-
nya akibat tongkat putih lawannya, sedangkan Ki
Tenung Jagat terluka di bagian dadanya, yang
membekas telapak tangan merah kebiruan akibat
pukulan.
Saat ini mereka sedang berhadapan sambil
mengatur napas. Mereka saling pandang penuh
permusuhan dalam jarak sekitar lima langkah.
Keduanya tampaknya tak ada yang mau mundur
sedikit pun. Keduanya sama-sama bernafsu untuk menumbangkan lawannya, mungkin bila per-
lu sampai lawan kehilangan nyawanya. Padahal
keduanya dulu hidup bersama satu panji-panji
perguruan.
Ketika guru mereka wafat, mereka mulai
membentuk aliran masing-masing. Resi Panuluh
membentuk aliran Partai Petapa Gunung, se-
dangkan KI Tenung Jagat membentuk aliran Par-
tai Petapa Laut. Mereka bersaing, dan akhirnya
persaingan itu menjadi permusuhan besar, hing-
ga banyak korban yang timbul akibat permusu-
han tersebut. Banyak anggota Partai Petapa Gu-
nung yang tewas di tangan Partai Petapa Laut,
namun juga banyak anggota Partai Petapa Laut
yang tewas dirobohkan oleh orang-orang Petapa
Gunung.
Kini anggota mereka tinggal beberapa gelin-
tir orang. Sebenarnya kedua tokoh sakti itu tidak
ingin lanjutkan permusuhan mereka demi menja-
ga kelanjutan berdirinya aliran mereka. Tetapi
agaknya pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu me-
mancing hati mereka untuk saling bertemu dan
saling menyingkirkan.
Ki Tenung Jagat tidak ingin Resi Panuluh
yang nantinya terpilih sebagai hakim di rimba
persilatan. Sedangkan Resi Panuluh sendiri men-
jaga agar gelar Pendekar Maha Sakti tidak sampai
jatuh ke tangan orang dari aliran Petapa Laut Ka-
rena itulah akhirnya mereka bertemu dan saling
menjatuhkan sebelum tiba saat pemilihan dilak-
sanakan. Tapi agaknya sampai saat terakhir mereka mengatur napas, mereka masih sama-sama
kuat dan belum ada yang mempunyai niat untuk
mengalah.
"Kau tidak akan unggul melawanku, Te-
nung Jagat! Kusarankan mundur saja dan tak
perlu hadir di Bukit Tulang Iblis!"
Ki Tenung Jagat diam memandang dengan
tajam. Pandangan matanya lebih berkesan dingin.
Sedingin salju dari kutub utara. Setelah diam be-
berapa saat, Ki Tenung Jagat berkata dengan da-
tar,
"Dari dulu aku tidak pernah gentar mela-
wanmu, Panuluh! Tapi kulihat sinar matamu me-
nampakkan kegentaran hatimu. Kalau kau mera-
sa akan lebih unggul dari ku, tunjukkan ke depan
para tokoh nantinya di Bukit Tulang Iblis. Kita
bertarung di sana sampai ada yang mati!"
"Tantanganmu hanya ingin menunda wak-
tu. Aku tahu kau mencari kesempatan untuk
mencari kelengahan ku, Tenung Jagat! Kurasa ki-
ta tidak perlu menunda waktu lagi; sekarang
tinggal menentukan siapa yang unggul di antara
kita. Aliran Petapa Gunung tak pernah mau me-
nunda waktu untuk tentukan kepastian! Kalau
kau takut, sekali lagi kusarankan untuk mundur
dan perpanjang nyawamu beberapa saat lagi!"
"Aliran Petapa Laut tak mengenai kata
mundur!"
"Jika begitu, kita teruskan pertarungan ki-
ta dan jangan berhenti sebelum ada yang mati!"
"Aku setuju!" jawab Ki Tenung Jagat den
gan datar, sepertinya tidak berperasaan sama se-
kali.
Resi Panuluh melemparkan sesuatu dari
tangannya. Ternyata keluar seekor ular yang ber-
kelebat menyambar Ki Tenung Jagat. Orang ber-
jubah abu-abu itu masih tetap tenang, hanya ma-
tanya memandang ke arah ular hitam itu dengan
tidak berkedip. Kemudian ular itu lenyap begitu
saja ketika berjarak dua langkah dari tempatnya
berdiri.
Wuusss...! Asap hitam menggantikan ular
tersebut dan asap itu pun sirna secepatnya kare-
na hembusan angin pantai. Ki Tenung Jagat me-
mandang tajam ke arah Resi Panuluh. Pandangan
mata itu disambut dengan tajam pula oleh Resi
Panuluh.
Kejap berikutnya terjadi suatu keanehan,
tanah tempat berpijak Resi Panuluh menjadi am-
blas, tubuh gendut itu melesat masuk ke dalam
tanah sebatas mata kaki lebih sedikit.
Resi Panuluh masih diam dan membiarkan
tubuhnya bagai ada yang menyedot dari dalam
tanah. Namun tiba-tiba Ki Tenung Jagat pun me-
rasakan ada yang menyedotnya ke dalam tubuh.
Suuttt...! Kini kaki orang kurus itu tenggelam ke
dalam tanah sebatas betis. Namun dalam waktu
cepat ia kembali naik ke permukaan lagi dengan
menekan tongkatnya yang digenggam dan sedikit
dihentakkan pada tanah.
Wuuttt...! Ki Tenung Jagat berdiri dengan
tegak di permukaan tanah, namun Resi Panuluh
berkelebat memutar seperti hendak bersalto.
Wuuttt...! Jleggg...! Tahu-tahu ia sudah berdiri di
atas tongkatnya dengan satu kaki. Tongkat itu
berdiri tegak tak tenggelam sedikit pun bagian
ujung bawah. Bertepatan dengan gerakan pindah
tubuh Ki Tenung Jagat itu, tubuh Resi Panuluh
pun tersentak lompat keluar dari tanah yang
membenamnya. Wuuttt...! Bruusss...!
Jleegg...! Resi Panuluh bersalto satu kali di
udara. Dan mendarat di atas gundukan karang
runcing menyerupai mata tombak. Ia berdiri di
sana tanpa tembus kakinya. Kedudukannya men-
jadi sama tinggi dibanding Ki Tenung Jagat yang
berdiri di atas tongkatnya.
lalu, pelan-pelan Resi Panuluh membuka
telapak tangannya yang sejak tadi merapat di da-
da. Telapak tangan dibuka pelan, mengarah ke
depan. Kejap berikutnya angin berhembus sangat
kencang. Arah angin menuju ke timur, sehingga
tubuh Ki Tenung Jagat mulai di terpa angin. Se-
makin lama semakin kencang, sehingga rambut
putih meriap itu melambai-lambai dengan jubah-
nya yang mirip bendera kapal karam itu.
Kraakkk...! Terdengar bunyi berderak dari
seonggok batu karang yang menjulang menyeru-
pai pilar. Batu karang itu akhirnya pecah bagai
terpotong di pertigaan bagiannya. Angin kencang
itulah yang memotong batu karang tersebut. Tapi
tak mampu menumbangkan tubuh Ki Tenung Ja-
gat yang masih tetap diam tanpa goyah di atas
tongkatnya.
Kejap berikutnya angin kencang menjadi
diam secara mendadak sekali. Sllupp...! Sepi dan
hening. Debur ombak tidak sekuat tadi. Seper-
tinya hembusan angin itu diredam oleh ilmunya
Ki Tenung Jagat. Kini justru datang angin beliung
yang memutar-mutar dengan cepat. Angin puting
beliung itu sempat membuat ombak lautan me-
muncak tinggi dan bergerak ke arah pantai. Air
laut bagaikan disingkapkan ke atas. Air laut itu
bergerak dengan sangat cepat dan akhirnya me-
raup tubuh Resi Panuluh dengan buasnya.
Byuuhhr...!
Wuuttt...! Ombak laut yang bergelombang
tinggi itu menyambar tubuh di atas karang runc-
ing. Namun ketika ombak itu kembali ke perten-
gahan laut, ternyata tubuh gemuk itu tidak ikut
terbawa. Hebatnya lagi, tubuh Resi Panuluh tidak
basah sedikit pun. Padahal ia habis digulung om-
bak sebegitu besarnya.
"Heaaah...!" akhirnya Resi Panuluh tak sa-
bar lagi. Ia melompat ke arah Ki Tenung Jagat.
Sedangkan Ki Tenung Jagat sendiri juga melom-
pat menyambut serangan lawannya. Wuuuttt...!
Di pertengahan jarak mereka bertemu dan
saling beradu telapak tangan. Plaakk...! Blaarrr...!
Cahaya merah terang menyala cukup besar
dari peraduan kedua tangan tersebut. Ledakan
dahsyat terjadi, begitu mengguncangkan tanah di
sekitarnya, sehingga beberapa tonjolan batu ka-
rang ada yang roboh karena tanahnya bagai ingin
dijungkir balikkan dengan gelombang ledakan
tinggi bagaikan menara. Karang tersebut lenyap
tak berbekas sedikit pun begitu terhantam sinar
pelangi tersebut.
Rupanya mereka kedatangan tamu yang
memaksa pertarungan dihentikan. Tamu tersebut
berjalan dengan santai, seakan tidak pernah me-
lepaskan sinar apa pun dari tangan kirinya yang
berjari-jari pendek. Ia hanya mempunyai dua ruas
untuk tiap jarinya, seperti ibu jari manusia biasa.
Sedangkan ibu jari orang tersebut justru tidak
mempunyai ruas lebih dari satu.
Orang tersebut datang bersama seorang
sahabatnya yang bermata sipit. Rambutnya di-
kuncir ke atas dan ujungnya melengkung seperti
ekor kuda. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun
berkesan tegap. Wajahnya kaku dan dingin. Men-
genakan pakaian longgar berwarna hitam berga-
ris-garis merah. Membawa sebilah pedang hitam
panjang yang pantas disebut samurai.
"Hentikan pertikaian kalian sebentar. Ada
yang perlu dibicarakan," kata orang berjari pen-
dek yang kenakan pakaian putih berkembang-
kembang merah dan biru itu. Orang tersebut
usianya sebanding dengan Ki Tenung
Jagat maupun Resi Panuluh. Badannya ti-
dak terlalu kurus, rambutnya panjang warna
abu-abu diikat kain merah. Ia mempunyai jenggot
sepanjang lewat leher warnanya biru. Sebab itu ia
dijuluki dengan nama si Jenggot Biru. Jenggot itu
menjadi biru manakala dulu ia pernah terkena
racun berbahaya yang hampir merenggut nya
wanya.
"Mengapa kau menghentikan pertarungan
kami, Jenggot Biru?!" tegur Ki Tenung Jagat.
Jenggot Biru yang selalu sedikit angkat da-
gu ke atas jika sedang bicara itu, segera berkata
dengan suaranya yang sedikit serak,
"Aku ingin memperkenalkan sahabat baru-
ku dari Negeri Matahari Terbit. Dia bernama Sho-
gun Kogawa!"
"Untuk apa kau kenalkan pada kami?"
tanya Resi Panuluh.
"Supaya kalian tahu saja, ini sahabat ba-
ruku dan ingin hadir dalam pertemuan di Bukit
Tulang iblis, besok siang!"
"Jika terjadi pertarungan, apakah dia su-
dah siap korbankan nyawanya di Bukit Tulang ib-
lis nanti?!"
"Kurasa setiap orang yang datang ke sana,
selalu slap untuk korbankan nyawanya!"
"Yang kutanyakan, apakah dia mampu?"
kata Resi Panuluh.
"Cobalah sendiri!" ujar Jenggot Biru.
Resi Panuluh memandang Shogun Kogawa
tak berkedip. Tiba-tiba kaki Resi Panuluh menen-
dang sebongkah batu karang sebesar kepala bayi
ke arah Shogun Kogawa. Wuuttt...! Deeg...! Men-
dadak batu itu berhenti di udara, tepat satu lang-
kah sebelum kenai Shogun Kogawa.
Dengan cepat orang bermata kecil itu men-
cabut samurainya. Srrt! Lalu Samurai itu mene-
bas batu karang tersebut beberapa kali tanpa
timbulkan suara sentuhan benda keras, selain
suara desing pedang panjang itu. Zing, zing,
zing...!
Srrt...! Samurai kembali masuk ke sarung-
nya. Shogun Kogawa memandang dingin kepada
Resi Panuluh. Batu itu masih utuh, berhenti di
udara. Tetapi kejap berikutnya batu itu retak dan
pecah menjadi beberapa potong dan saling berja-
tuhan. Pruk, pruk, pruk, pruk...! Potongan itu le-
bih dari sepuluh keping.
"Boleh juga ilmu orang ini?" pikir Resi Pa-
nuluh. Claapp...! Tiba-tiba batu yang tadi terpo-
tong-potong itu lenyap dan berganti dalam wujud
serupa dan letak yang sama, yaitu di depan kaki
Resi Panuluh. Seketika itu Jenggot Biru dan Resi
Panuluh memandang ke arah Ki Tenung Jagat.
Karena mereka tahu, pasti Ki Tenung Jagat yang
mengembalikan batu dalam wujud, bentuk dan
tempat seperti semula. Tapi Ki Tenung Jagat tetap
tenang dan memandangi Shogun Kogawa, seakan
menantangnya adu kesaktian.
Ketika Resi Panuluh dan Jenggot Biru me-
mandang Shogun Kogawa, orang itu merasa se-
dang dituntut untuk membalas pelecehan ilmu
yang dilakukan oleh Ki Tenung Jagat itu. Maka,
Shogun Kogawa pandangi batu karang tersebut.
Kejap berikutnya, batu karang itu pecah lagi men-
jadi selembut tepung. Praass...!
Ki Tenung Jagat hanya manggut-manggut
tipis tanpa memberikan sanjungan atau ucapan
apa pun. Namun dalam hatinya ia mengakui ke
hebatan ilmu Shogun Kogawa.
Kini terdengar suara Jenggot Biru berkata,
"Secara jujur, dan kesatria, kita harus akui kehe-
batan ilmu Shogun Kogawa. Tentang apakah dia
nanti akan terpilih sebagai Pendekar Maha Sakti
atau tidak, itu urusan nanti! Yang jelas, aku ingin
ajak kalian untuk bersatu dalam melumpuhkan
satu aliran yang cukup berbahaya!"
Jenggot Biru baru bicara sampai di situ.
Tiba-tiba, sekelebat sinar warna kuning bagaikan
piringan kecil, berkelebat menghantam punggung
Shogun Kogawa. Dengan cepat dan tanpa berpal-
ing, Shogun Kogawa jatuhkan tubuh dalam kea-
daan kaki merentang panjang ke depan dan ke
belakang. Slaap...! Pleek...! Sinar kuning itu lewat
di atas kepalanya. Hampir saja kenai Resi Panu-
luh. Untung orang itu sigap dan segera menghan-
tamnya dengan pukulan tak bersinar. Sedangkan
sinar kuning tersebut segera pecah bersama
bunyi ledakan yang menggelegar.
Duuaarr...! Gelombang ledakan sebenarnya
cukup dahsyat, terbukti air laut sempat berlonjak
tinggi dan bergolak bagai murka. Namun getaran
gelombang ledak itu membuat para tokoh sakti
tersebut tidak bergeming sedikit pun dan mem-
biarkan angin ledakan lewat menerabas tubuh
mereka masing-masing.
Shogun Kogawa segera palingkan wajah ke
arah datangnya sinar kuning tadi. Ternyata di sa-
na sudah berdiri seorang wanita cantik yang ber-
pakaian merah menyala, memegang kipas yang
sedang digunakan untuk kipasan. Wanita cantik
yang usianya sebenarnya sudah banyak, yaitu
mencapai tujuh puluh dua, namun masih seperti
berusia dua puluh tujuh itu, cukup dikenal oleh
para tokoh sakti tersebut. Ia tak lain adalah Putri
Kumbang, Ketua Perguruan Biara Sita, yang tem-
po hari pernah babak belur dihajar oleh murid-
muridnya sendiri karena salah paham. Namun
dengan cepat ia mampu pulihkan luka dan men-
jadi cantik seperti semula. (Baca serial Jodoh Ra-
jawali dalam episode: "Setan Dari Biara").
Shogun Kogawa tidak peduli apakah orang
itu cantik atau jelek. Yang jelas penyerangan tadi
harus dibalasnya. Karena itu, Shogun Kogawa ce-
pat sentakkan tubuh dalam keadaan duduk den-
gan kaki lurus. Sentakan tubuh itu membuat ia
terayun naik dan melenting ke atas dengan ber-
salto satu kali ke arah Putri Kumbang. Jleeg...!
Begitu tiba di depan Putri Kumbang, lelaki
berkulit kuning itu segera lepaskan pukulan te-
naga dalamnya menggunakan dua jari yang di-
hantamkan ke arah dada Putri Kumbang. Dua jari
itu keluarkan semacam pisau kecil bersinar biru.
Claapp...! Putri Kumbang sempat terperanjat se-
kejap, namun dengan cekatan ia kelebatkan tan-
gannya dan menangkap sinar biru tersebut.
Blaarrr...!
Tiba-tiba sinar itu meledak begitu terjepit
dua jemari Putri Kumbang. Ledakannya cukup
kuat, membuat Putri Kumbang terlempar ke
samping dan berguling-guling. Namun secepatnya
ia bangkit berdiri dan memandang ke arah Sho-
gun Kogawa.
Tubuhnya tetap utuh tanpa luka. Itu berar-
ti Putri Kumbang mempunyai ilmu semacam keb-
al terhadap kekuatan tenaga dalam. Tubuh tak
tergores luka sedikit pun, padahal orang lain
akan hancur jika menangkap sinar biru berben-
tuk pisau dari Shogun Kogawa. Keadaan Putri
Kumbang yang utuh tanpa luka itu membuat
Shogun Kogawa terperanjat sedikit, dan mengakui
kehebatan ilmu Putri Kumbang itu dalam hatinya.
Ketika Putri Kumbang mau menyerang
kembali, Jenggot Biru segera menghadang dan
menengahi perkara tersebut. Ia berkata,
'Tahan...!"
Tidak. Aku harus balas kematian anak bu-
ahku be
berapa waktu yang lalu, yang dipancung
seenaknya oleh orang itu!"
"Ada yang lebih penting dari masalah mu
itu, Putri Kumbang!"
"Tidak bisa! Harus kuselesaikan dulu pem-
balasanku terhadap Shogun Kogawa! Dia harus
kupancung juga dengan kipas ku ini!" geram Putri
Kumbang. Lalu, ia pun melompat dan melintasi
kepala Jenggot Biru dalam gerakan saltonya.
Wuuttt...!
Tiba di depan Shogun Kogawa, kipas itu
segera disabetkan dalam gerakan memenggal ke-
pala dari samping. Wuungng...! Shogun Kogawa
lompat mundur satu langkah, kemudian segera
cabut samurainya kembali. Srrt...! Wuuttt...! Sa-
murai langsung berkelebat membelah kepala Putri
Kumbang. Tetapi dengan sigap Putri Kumbang
menangkis dengan kipas dikembangkan. Trakk...!
Samurai tajam itu beradu dengan tepian kipas.
Seharusnya dapat membelah kipas dengan sangat
mudah. Tapi rupanya kipas itu bukan sekadar ki-
pas dari kayu cendana saja, melainkan kipas ber-
kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Akibatnya
kipas itu tidak lecet sedikit pun.
Kaki Shogun Kogawa segera menendang,
tapi kaki Putri Kumbang juga balas menendang.
Akibatnya tulang kaki bertemu dengan tulang ka-
ki dan hasilnya suara keras seperti besi beradu
dengan besi. Trak! Keduanya sama-sama terhem-
pas mundur karena tendangan itu sama-sama
berkekuatan tenaga dalam besar. Keduanya sa-
ma-sama terhuyung-huyung sambil membatin,
"Kurang ajar! Semakin linu seluruh tulang-
ku. Luka ledakan yang seakan meremukkan tu-
langku belum selesai ku atasi, sudah ditambah
dengan getaran ini lagi. Uuh...! Kalau tak cepat
ku atasi bisa hancur tubuhku! Sebaiknya aku
mundur dulu."
"Perempuan ini punya ilmu lumayan hebat.
Kakiku terasa hilang satu sejak beradu dengan
kakinya," kata Shogun Kogawa dalam hatinya.
"Percuma kalian saling beradu kekuatan!"
kata Jenggot Biru. "Yang paling berbahaya adalah
aliran rajawali!"
Semua orang memandang Jenggot Biru.
Kumbang berkata lebih dulu,
"Baik. Aku sangat setuju dengan gagasan
Jenggot Biru!"
"Apakah gagasan seperti itu harus kita la-
kukan? Apa perlu?!" tanya Resi Panuluh, dan
Jenggot Biru menjawab,
"Apakah kau belum dengar kehebatan me-
reka berdua? Alangkah tulinya telingamu, Panu-
luh! Malaikat Gelang Emas saja dibuat lari terbi-
rit-birit jika melawan mereka berdua!"
Ki Tenung Jagat tiba-tiba berkata, "Aku se-
tuju usul mu!"
"Baiklah, aku juga setuju!" Resi Panuluh
mengimbangi.
Shogun Kogawa menyahut, "Aku juga setu-
ju!"
"Kalau begitu, sekarang juga, sebelum ter-
lambat, kita cari mereka dan kita lumpuhkan
agar tak hadir dalam pertemuan nanti!" kata
Jenggot Biru memberi perintah, seakan dialah
yang menjadi ketua penyerangan terhadap aliran
rajawali, yaitu Yoga dan Lili.
* * *
3
SEMENTARA orang-orang sibuk mencari
Lili dan Yoga, sesosok bayangan berkelebat sibuk
dengan sendirinya. Orang yang sibuk dengan
sendirinya itu tak lain adalah Wong Sakti, tokoh
tua di rimba persilatan yang usianya mencapai
seratus tahun lebih.
Orang ini sibuk memindahkan ilmunya ke
tubuh muridnya, hingga segala macam cara di-
tempuhnya. Ia ingin seluruh ilmunya menjadi mi-
lik sang murid secepatnya, karena ia sudah bosan
hidup dan ingin istirahat di alam baka secepatnya
pula. Orang tersebut tak lain adalah Wong Sakti,
yang dulu dikenal dengan julukan Dewa Nujum.
Untuk mempercepat pemindahan ilmu,
Wong Sakti yang sudah lupa mantera dan jurus
pemindahan ilmu itu, ingin meminjam pisau pu-
saka milik Tua Usil. Pisau itu akan dipegang oleh
sang murid yang baru berusia sepuluh tahun itu,
lalu sang murid disuruhnya menikam diri sang
Guru. Dengan bantuan pisau pusaka yang diti-
kamkan itu, seluruh ilmu Wong Sakti akan men-
jadi milik Kukilo, si murid bocah itu. (Untuk lebih
jelasnya baca serial Jodoh Rajawali dalam epi-
sode: "Setan Dari Biara"). Tetapi sampai saat itu,
Wong Sakti belum berhasil
temukan si Tua Usil. Sedangkan Yoga yang
sudah ditemuinya tidak mau menyebutkan di
mana Tua Usil berada, sebab pada dasarnya Yoga
tidak menyetujui cara seperti itu. Dianggapnya
cara seperti itu sama saja men
didik sang murid untuk menjadi seorang
pembunuh tanpa alasan kuat. Menurut Yoga, hal
itu akan membahayakan jika Kukilo, yang diper-
kirakan bisa menjadi orang berilmu tinggi namun
berprilaku keji dan sewenang-wenang terhadap
sesama.
Karena jengkel, Wong Sakti punya cara un-
tuk memancing Tua Usil dengan menculik Bocah
Bodoh. Tua Usil pasti akan mengejarnya untuk
membebaskan sesama pelayan dua pendekar ra-
jawali itu. Setidaknya Yoga atau Lili pasti akan
memburu Wong Sakti dan memohon agar Bocah
Bodoh dibebaskan. Jika keadaan begitu, maka
Wong Sakti punya kesempatan untuk menukar
Bocah Bodoh dengan pisau Pusaka Hantu Jagal
yang ada di tangan Tua Usil itu, walaupun hanya
bersifat meminjami saja. Bukan memiliki pisau
tersebut.
Untuk itu, Wong Sakti terpaksa menotok
Bocah Bodoh dan membawanya lari ke suatu
tempat. Bocah Bodoh menjadi lemas, bagaikan
kehilangan seluruh tulang-tulangnya. Namun ia
masih bisa bernapas, bicara dan memandang. Ke-
tika ia ditaruh di atas sebongkah batu datar, se-
perti seonggok makanan kuda, ia masih bisa
mendengar percakapan yang terjadi antara Wong
Sakti dan Kukilo.
"Sebetulnya aku ingin kau jadikan murid-
mu, atau hanya menjadi penonton ilmu-ilmu ke-
hebatanmu, guru?" kata Kukilo yang memang
berlagak tua dan sering mengomel kepada gu-
runya itu. Rupanya ia tak sabar ingin segera
mendapat ilmu turunan dari siang Guru, sehing-
ga ia menjadi jengkel sendiri mengikuti sang Guru
selama satu tahun namun tidak mempunyai jurus apa-apa.
"Sabar, Muridku sayang! Sebentar lagi se-
luruh ilmu ku akan menjadi milikmu. Jika mere-
ka datang untuk membebaskan Bocah Bodoh ini,
maka aku akan menukarnya dengan pisau itu.
Kau tinggal tancapkan pisau itu ke dadaku, dan
seluruh ilmuku akan mengalir dan menjadi mi-
likmu. Kau akan menjadi sakti, sesakti diriku. He
he he he...!"
"Tapi bagaimana jika mereka tidak ada
yang peduli dengan Bocah Bodoh ini, Guru?! Bo-
ro-boro mau menukarnya dengan pisau itu, yang
mau mengejar kita untuk membebaskan dia pun
tak ada. Bagaimana jika begitu, Guru? Pasti aku
tak jadi mendapatkan warisan ilmu darimu!"
"Itu tak mungkin, Nak. Tak mungkin! Aku
tahu bahwa dua pendekar rajawali itu punya rasa
persahabatan dan persaudaraan yang tinggi ter-
hadap orang yang telah menanam kebaikan kepa-
da mereka. Itu sifat dari guru mereka. Baik Yoga
atau Lili, pasti akan mengejar kita untuk membe-
baskan Bocah Bodoh ini!"
Mendengar percakapan itu, Bocah Bodoh
yang hanya terpuruk bagaimana makanan kuda
itu segera menyahut,
"Wong Sakti, aku bisa membantumu jika
hanya itu maksudmu menculiki diriku! Aku bisa
menolongmu, Wong Sakti."
Dengan tertatih-tatih Wong Sakti mendeka-
ti Bocah Bodoh dan berkata di sela senyum kempotnya,
"Apa maksudmu bisa menolongku? Apakah
kau bisa memindahkan ilmuku ke dalam tubuh
muridku?"
"Memang tak bisa. Tapi aku bisa bantu
mencurikan pisau itu dari tangan Tua Usil."
"Ah, yang benar sajalah kau...!" Wong Sakti
melirik girang dengan senyum tua bagaikan me-
mamerkan gusinya.
"Bebaskanlah aku. Nanti akan kubicarakan
rencanaku. Bebaskan dulu aku dari pengaruh to-
tokanmu ini, Wong Sakti."
"Tapi kau janji akan menolongku?"
"Benar, Wong Sakti!"
"Baiklah! He he he he...!"
Wong Sakti segera menyentil telinga Bocah
Bodoh. Taakkk...! Tubuh Bocah Bodoh tersentak
kaget sekejap, kemudian ia rasakan seluruh urat
dan tulangnya kembali bisa bekerja seperti bi-
asanya. Bocah Bodoh pun segera bangkit dan me-
lompat turun dari atas batu datar.
"Nah, sekarang kau sudah kubebaskan da-
ri pengaruh totokanku. Mana janji mu, Bocah Bo-
doh?!" tagih Wong Sakti. Perbuatan itu hanya di-
pandangi oleh Kukilo dari bawah pohon. Bocah
itu tenang-tenang saja, seakan ia merasa sebagai
orang yang sudah berilmu tinggi.
Bocah Bodoh sedikit menjauh, lalu berka-
ta, "Sebenarnya aku bisa saja membujuk Tua Usil
untuk meminjam pisau pusakanya, tapi aku tidak
mau melakukannya, sebab tampaknya muridmu
itu kelak akan menjadi orang sombong dan ber
tindak kejam jika sudah berilmu tinggi!"
"Hajar dia, Guru!" seru Kukilo. "Dia telah
kelabui kita!"
Wong Sakti hanya cengar-cengir. "Eeh,
heh, heh, heh, heh...! Kau benar-benar cari pe-
nyakit jika berani mengelabuiku, Bocah Bodoh!"
"Aku berani begitu, karena aku berani ber-
tarung denganmu, Wong Sakti! Aku tidak takut
denganmu!"
"Apa kau cukup sakti untuk melawanku,
Bocah Bodoh?" sambil Wong Sakti garuk-garuk
kepala.
"Aku tidak merasa cukup sakti, tapi mera-
sa mampu mengalahkan dirimu, Wong Sakti. Per-
lu kau ketahui, aku memiliki pedang pusaka ini!"
Seett...! Bocah Bodoh mengambil pedang
bersama sarungnya dari pinggang. Pedang pendek
yang tidak pernah dihiraukan keberadaannya
oleh Wong Sakti itu kini menjadi pusat pandan-
gan mata orang berjubah ungu kusam.
"Sepertinya aku pernah melihat pusaka
itu?" gumamnya pelan.
"Majulah, Wong Sakti! Kalau kau memang
benar-benar sakti, hadapilah pusaka Pedang Ji-
mat Lanang ini!"
Seett,..! Bocah Bodoh mencabut pedang
tersebut dari sarungnya. Wong Sakti terkejut dan
mundur satu tindak. Senyum ompongnya hilang
begitu saja setelah ia mengetahui tentang pedang
tersebut. Ia bahkan berkata dengan sedikit gemetar,
tianmu!"
"Wah...!" orang berjubah lusuh itu garuk-
garuk kepalanya yang berambut tipis itu. Ia me-
nimbang-nimbang sambil cengar-cengir pamerkan
gusinya lagi. Kejap berikutnya ia perdengarkan
kembali suaranya,
"Kalau ternyata kau pemegang pusaka Pe-
dang Jimat Lanang, aku tak mau melawanmu,
Bocah Bodoh. Itu sama saja aku melawan roh
adikku yang ada di dalam pedang tersebut."
"Jadi, apa yang kau inginkan dariku seka-
rang ini, Wong Sakti?" Bocah Bodoh menampak-
kan sikap bangganya dapat membuat Wong Sakti
merasa takut melawannya.
"Begini sajalah...," kata Wong Sakti dengan
pasrah. "Ku urungkan niatku menculik mu, Bo-
cah Bodoh. Tolong masukkan dulu pedang itu ke
sarungnya. Nanti ku jelaskan segalanya."
Bocah Bodoh memasukkan pedang ke da-
lam sarung tersebut. Setelah itu, pedang dis-
elipkan kembali ke pinggangnya. Lalu, terdengar
Wong Sakti perdengarkan suaranya,
"Kalau aku sadar bahwa pedangmu itu Pe-
dang Jimat Lanang, aku tak berani menculik mu.
Tapak Gempur punya tiga kakak, termasuk aku.
Dan kami semua hormat kepadanya, sayang ke-
padanya, karena memang dia anak yang paling
disayang oleh keluarga kami. Roh adikku itu sela-
lu ada di dalam pedang tersebut. Jadi, tolong
mintakan maaf kepadanya. Bicaralah melalui ba-
tin mu, Bocah Bodoh. Dan, aku akan membe
baskan mu, tapi... kalau bisa tolong benar-benar
bantu aku untuk memindahkan ilmuku ke dalam
diri Kukilo itu. Tolong bujuk Tua Usil supaya mau
meminjamkan pisaunya. Hanya kupinjam saja
kok. Tidak akan kumiliki selamanya!"
Bocah Bodoh menarik napas. Ia merasa
bahwa Wong Sakti bersungguh-sungguh dalam
meminta bantuannya. Maka Bocah Bodoh pun
berkata,
"Akan ku usahakan bicara dengan Tua
Usil. Tapi kalau Tua Usil tidak mau meminjamkan
pisaunya, aku tidak bersedia menculiknya."
Tolonglah, entah bagaimana caranya, rayu-
lah dia supaya mau meminjamkan pisaunya. Dan
sekarang... sebaiknya kau kuantarkan pulang,
supaya tidak tersesat di dalam hutan ini!"
Maka, Wong Sakti pun akhirnya mengan-
tarkan Bocah Bodoh keluar dari hutan tersebut,
Kukilo tampak cemberut melihat Bocah Bodoh di-
bebaskan, karena ia merasakan akan lebih lama
lagi menerima ilmu-ilmu Wong Sakti jika Wong
Sakti tidak punya sandera untuk memancing pe-
milik pisau Pusaka Hantu Jagal itu.
Di dalam hati Bocah Bodoh sendiri terpetik
serangkaian kata yang merupakan pendapat ha-
tinya sendiri,
"Wong Sakti ini sebenarnya bukan orang
jahat. Tapi karena usianya sudah banyak, ia men-
jadi linglung dan cara berpikirnya seperti anak-
anak. Mungkin cara berpikir ku Juga seperti
anak-anak, tapi tidak sebodoh dia. Wong Sakti
ternyata hanya kebingungan mencari cara me-
mindahkan ilmunya ke diri sang murid. Kasihan
amat
dia! Kalau memang aku bisa, aku akan
membujuk Tua Usil agar mau meminjamkan pi-
sau itu. Setidaknya bisa membuat hati Wong Sak-
ti lega. Sebab, biar bagaimanapun, ternyata Wong
Sakti ini masih termasuk eyang guruku, yaitu
paman guru dari mendiang ibuku. Aku tak boleh
kurang ajar kepada beliau. Tapi... aku kurang se-
tuju kalau Wong Sakti ambil murid seperti Kukilo.
Kurang sopan bocah itu jika bicara dan bersikap
kepada Wong Sakti. Enaknya kuberi pelajaran bo-
cah itu biar tahu sopan. Tapi... jangan-jangan
nanti Wong Sakti marah padaku?"
Sampai di sebuah lembah, Wong Sakti le-
paskan Bocah Bodoh dan hanya bisa mengantar-
nya sampai di situ. Wong Sakti berkata,
"Aku hanya bisa mengantarmu sampai di
sini, Bocah Bodoh. Silakan kau jalan sendiri, aku
akan pergi ke Bukit Tulang Iblis untuk menghadi-
ri suatu pertemuan besar yang dihadiri oleh para
tokoh sakti di dunia persilatan ini!"
Kukilo menyahut, "Lho, kita tidak jadi
memburu Tua Usil, Guru?!"
"Akan kuserahkan kepada Bocah Bodoh.
Kita tunggu kabar dari dia saja. Sementara itu,
kita hadiri pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu,
Kukilo. Aku ingin tahu, siapa yang bakal menjadi
hakim dan penguasa rimba persilatan nantinya!"
Bocah Bodoh pun berkata, "Baiklah, Eyang
Wong Sakti...," ia menghormat dan mengakui
Wong Sakti adalah eyang gurunya. "Aku akan co-
ba merayu Tua Usil. Seandainya kau tidak berha-
sil, aku akan berterus terang pada Eyang Wong
Sakti. Seandainya aku berhasil, bagaimana cara-
ku menghubungi Eyang Wong Sakti?"
"Bocah Bodoh, jika kau ingin memanggilku,
panggillah dalam hatimu tiga kali, dan tepuklah
pohon apa saja tiga kali, gedukkan kakimu ke ta-
nah tiga kali, menganggukkan kepala tiga kali,
bertepuk tangan tiga kali dan bersiullah tiga kali
sambil melompat tiga kali dan akhirnya sebutkan
kata 'datang' sampai tiga kali. Maka aku pun
akan muncul di hadapanmu baik tanpa Kukilo
maupun bersama Kukilo!"
Bocah Bodoh garuk-garuk kepala. "Rumit
sekali itu, Eyang Wong Sakti. Belum tentu aku bi-
sa mengingatnya tiga kali!"
Wong Sakti tertawa, lalu menepuk-nepuk
punggung Bocah Bodoh. Entah apa artinya, Bo-
cah Bodoh sendiri akhirnya meninggalkannya.
* * *
4
PEDANG Jimat Lanang rupanya membawa
keberuntungan sendiri bagi Bocah Bodoh. Sean-
dainya Bocah Bodoh tidak mengeluarkan pedang
tersebut dan mencabutnya, mungkin ia masih
menjadi tawanan Wong Sakti. Padahal Bocah Bo-
doh sendiri pada saat mencabut pedang punya
keragu-raguan, bahwa ia belum tentu bisa men-
galahkan Wong Sakti. Sebab melihat cara mem-
bebaskan totokan dengan Jalan menyentil daun
telinga saja sudah menunjukkan bahwa Wong
Sakti berilmu tinggi.
Penculikan atas diri Bocah Bodoh tidak
membawa petaka bagi siapa pun. Bocah Bodoh
merasa lega, namun Juga merasa ragu kembali,
karena secara tidak langsung ia mempunyai tugas
membujuk Tua Usil untuk dapatkan pisau terse-
but. Sekalipun hanya meminjam, tapi belum ten-
tu Tua Usil mau meminjamkan pisau itu begitu
saja.
Bocah Bodoh yang melangkah dengan me-
lamun itu tiba-tiba terkejut melihat dua orang te-
lah berdiri di depannya. Tapi rasa kagetnya itu
segera lenyap setelah ia mengetahui bahwa yang
berdiri di depannya itu tak lain adalah Pandu Ta-
wa dan Lintang Ayu. Mereka memang bertugas
mencari Bocah Bodoh dan menyelamatkannya da-
ri tangan Wong Sakti. Namun begitu melihat Bo-
cah Bodoh berjalan dengan santai, tanpa wajah
takut atau tegang, kedua orang itu pun menjadi
heran. Lalu, Pandu Tawa segera ajukan tanya,
"Kau tidak apa-apa Bocah Bodoh?"
"Tidak," jawab Bocah Bodoh. "Ada apa,
Pandu Tawa?"
"Bukankah kau diculik oleh Wong Sakti?"
"Ya. Benar. Tapi dia ciut nyali padaku. Dia
lari setelah lepaskan diriku. Dia menuju ke Bukit
Tulang Iblis."
"Kami baru saja ingin membebaskan kamu,
Bocah Bodoh. Yoga yang menyuruh kami membe-
baskan mu!" Lintang Ayu berkata dengan tenang.
"O, jadi kalian mau membebaskan aku?
Kalau begitu aku harus panggil Wong Sakti agar
dia menculik ku lagi, lalu kalian datang membe-
baskan aku! Begitu saja. Setuju?"
Lintang Ayu melirik ke arah Pandu Tawa
dengan rasa dongkol atas kebodohan yang dila-
kukan dengan polos itu. Pandu Tawa hanya ter-
senyum masam. Kemudian Pandu Tawa berkata
kepada Lintang Ayu,
"Aku tak tahu apa maksud penculikan ini.
Tapi aku sudah tak mau tahu lagi. Sekarang...."
Lintang Ayu menyahut, "Sekarang sebaik-
nya aku harus kembali mencari Yoga untuk ta-
nyakan tempat tinggal Tabib Perawan itu!"
Tiba-tiba Bocah Bodoh menyahut, "O, kau
membutuhkan Tabib Perawan, Lintang Ayu?
Hmm...! Mengapa harus susah-susah mencari
Tuan Yo. Aku saja tahu tempat tinggal Tabib Pe-
rawan yang bernama Sendang Suci itu!" sambil
Bocah Bodoh banggakan diri, dadanya membu-
sung. mulutnya sedikit mencibir.
"Apa kau benar-benar tahu tempat tinggal
Tabib Perawan itu?" Pandu Tawa menampakkan
keraguannya. "Kenapa tidak? Aku pernah diajak
Tuan Yo pergi ke
rumah Tabib Perawan itu. Ia tinggal di Bu
kit Berhala. Dan aku masih ingat jalan menuju ke
sana."
Lintang Ayu berkata, "Bisakah kau men-
gantarku ke sana?"
"Siapa yang tidak bisa? Mengantar gadis
cantik mana pun dan ke mana pun, aku pasti bi-
sa! Di depan gadis cantik, Bocah Bodoh bisa men-
jadi Bocah Pintar!" katanya dengan tengil. Pandu
Tawa menyodok kepala Bocah Bodoh sambil ter-
tawa pendek.
"Baiklah. Kau antarkan Lintang Ayu ke
Bukit Berhala. Dan ingat pesanku, jaga dia balk-
balk!" kata Pandu Tawa.
"Kau sendiri akan ke mana, Pandu Tawa?"
tanya Bocah Bodoh.
"Aku akan menuju ke Bukit Tulang iblis!"
Lintang Ayu menyahut kata, "Hati-hatilah,
Pandu! Jangan terlibat urusan seperti itu terlalu
dalam."
"Kau mencemaskan diriku? Oh, terima ka-
sih, Lintang Ayu! Kecemasanmu membuat hatiku
terhibur." Pandu Tawa sunggingkan senyum me-
nawan. Lintang Ayu sempat salah tingkah, kemu-
dian segera pergi tanpa pamit lagi. Bocah Bodoh
hanya memandang kepergian Lintang Ayu dengan
geleng-geleng kepala dan tersenyum.
"Gadis itu memang cantik dan tegas.... ck
ck ck ck...!"
"Katanya kau mau mengantarnya! Sudah
sana berangkat!"
"Ya ampun! Hampir saja aku lupa!" Bocah
Bodoh terkejut, menepak jidatnya sendiri, lalu se-
gera berlari menyusul Lintang Ayu. Sementara itu
Pandu Tawa masih memandanginya dengan se-
nyum membekas dan hati pun berkata,
"Semoga dia masih menyimpan cinta untuk
ku. Seandainya tidak, moga-moga saja ia me-
nyimpan persaudaraan denganku di hatinya."
***
Burung rajawali besar berbulu merah itu
melesat terbang ke angkasa. Ia pergi setelah Yoga
berkata, "Tinggalkan kami untuk sementara. Per-
gilah dan cari kekasihmu; si Rajawali Putih itu!"
"Keaaak...!" jawab Rajawali Merah sambil
angguk-anggukkan kepala.
Saat itu, Yoga sudah selesai lakukan pe-
nyembuhan terhadap diri Sri Tanding. Luka gadis
itu cukup parah. Untung saja Yoga mempunyai
jurus penyembuhan yang cukup hebat, sehingga
jiwa gadis itu bisa diselamatkan. Dan yang lebih
ajaib lagi, luka-luka pada tubuh gadis itu dapat
disembuhkan dalam waktu amat cepat. Sekarang
tubuh Sri Tanding merasa berangsur-angsur se-
gar kembali. Ia sempat terkejut sewaktu menya-
dari bahwa yang menolong dan menyembuhkan-
nya ternyata seorang tabib tampan. Hati Sri Tand-
ing bukan saja senang, namun juga mempunyai
rasa bangga dan damai.
"Kaukah yang bernama Pendekar Rajawali
Merah itu?" tanya Sri Tanding pada awalnya. "Be-
nar. Dari mana kau tahu namaku?" "Sebelum aku
berangkat tunaikan tugas Guru, aku banyak
mendengar cerita dari Guru tentang seorang pen-
dekar tampan bernama Yoga dengan gelar Pende-
kar Rajawali Merah; berpedang tembaga dengan
gagang dua kepala burung rajawali, dengan pa-
kaian putih berselempang kulit bulu warna cok-
lat, dengan senyum yang menawan dan... dan...."
"Gurumu terlalu memujiku. Siapa gurumu
itu?"
"Ratu Candra Wulan," jawab Sri Tanding,
seakan menyebut nama gurunya dengan rasa
bangga.
"O, aku pernah dengar nama itu. Tapi aku
belum pernah bertemu dengan beliau."
"Guru berpesan jika aku bertemu dengan
Pendekar Rajawali Merah harus berhati-hati."
"Dalam hal apa?"
"Menjaga kesopanan. Aku tak boleh kurang
ajar padamu, karena guruku tahu bahwa kau su-
dah mempunyai seorang kekasih yang bernama
Lili, dengan gelar Pendekar Rajawali Putih. Betul-
kah itu?"
Yoga tersenyum, membuat hati Sri Tanding
berdesir indah tak terlukiskan lagi. Kemudian Yo-
ga alihkan pembicaraan dengan bertanya,
"Kau masih mengenai seseorang yang ber-
nama Wong Sakti?"
Sri Tanding surutkan senyumannya, pan-
dangi Yoga dengan dahi sedikit berkerut. Lalu, ia
perdengarkan suaranya bernada heran,
"Rupanya kau kenal dengan nama Wong
Sakti?!"
"Apa pernah bertemu dengannya. Sekarang
aku ingin mencari tempat kediaman Wong Sakti.
Tahukah kau di mana ia tinggal?"
"Ada keperluan apa kau ingin mene-
muinya?" Sri Tanding balas bertanya. Dan Yoga
menjawab secara apa adanya.
"Wong Sakti telah menculik pelayanku
yang bernama Bocah Bodoh!"
"Dia menculik pelayanmu?" Sri Tanding
bernada kaget.
Yoga menjelaskan maksud Wong Sakti da-
lam menculik Bocah Bodoh. Kemudian ditambah-
kan pula kata-kata,
"Aku hanya ingin mengingatkan beliau,
agar tidak lakukan langkah salah seperti itu! Aku
harus menemuinya."
Sri Tanding manggut-manggut. Matanya
masih sesekali mencuri pandang ke arah Yoga
dengan jantung berdebar-debar.
"Baiklah. Akan kutunjukkan arahnya saja,
tapi aku tak bisa mengantarmu ke sana!
"Apakah kau takut kepada Wong Sakti?"
"Sama sekali tidak. Tapi aku punya tugas
yang harus kukerjakan. Aku tak berani menunda
tugas itu, karena Guru selalu wanti-wanti agar
aku tidak boleh menunda tugas tersebut."
"Apakah aku boleh tahu apa tugasmu itu?
Maksud ku, barangkali aku bisa membantumu
setelah kau membantuku tunjukkan tempat
Wong Sakti!"
"Kurasa kau sudah bisa meraba...."
"Sumpah, aku belum meraba mu!" sahut
Yoga dengan sungguh-sungguh.
"Maksudku, kau sudah meraba tugasku.
Artinya menerka-nerka!"
"Ooo...!" Yoga tertawa geli, malu sendiri
dengan salah duganya itu. Karena sejak ia mem-
bawa Sri Tanding pergi dari pertarungannya, ia
selalu menjaga diri agar tidak disangka bersikap
kurang ajar dan memanfaatkan kesempatan da-
lam kesempitan. Itulah sebabnya ia sempat salah
duga dengan apa yang dimaksud kata-kata Sri
Tanding tadi.
Salah duga itu pun membuat Sri Tanding
jadi malu. Gadis cantik itu sedikit merah wajah-
nya dan tak berani menatap Yoga. Tapi ia pun te-
tap lanjutkan jawabannya,
"Aku tunjuk sebagai orang yang mewakili
Guru untuk hadir di Bukit Tulang Iblis! Tugas ini
merupakan suatu penghormatan dan rasa per-
caya Guru kepadaku. Tentunya kau tahu apa
yang akan terjadi di Bukit Tulang Iblis itu, Yoga!"
"Ya, aku memang tahu," kata Yoga tanpa
senyum, namun masih kelihatan punya daya pe-
sona dalam bicaranya. Katanya lagi,
"Di sana akan ada pemilihan dan penoba-
tan seorang yang berhak menyandar gelar Pende-
kar Maha Sakti, secara tak langsung dialah yang
akan menjadi raja dan hakim dalam dunia persilatan kita. Itu berarti akan ada pertarungan adu
kesaktian, adu ilmu dan adu debat. Kusarankan,
kau jangan datang ke sana! Tentunya kau tahu,
mereka yang akan datang adalah orang-orang
sakti yang tentu saja ilmunya tinggi-tinggi. Mere-
ka tidak segan-segan menyingkirkan saingannya
dengan cara membunuh atau melukai separah
mungkin. Dan...."
"Dan kau takut kalau aku terluka, begitu?"
sahut Sri Tanding.
Yoga diam sejenak, memandangi gadis can-
tik berwajah mungil manis itu. Kemudian kepala
Yoga tampak mengangguk sambil menjawab,
"Ya. Memang aku takut kalau kau terluka."
Gadis itu tampak sedikit kecewa. "Kau me-
remehkan ilmuku. Yoga!"
"Bukan meremehkan. Aku hanya memper-
bandingkan ketika kau melawan orang berselen-
dang merah tadi. Kau sudah terdesak sedemikian
rupa, dan hampir-hampir kehilangan nyawa. Jika
kau tampil di sana dan bertemu dengan wanita
berselendang merah itu, sudah tentu ia tidak se-
gan-segan menggunakan jurus mautnya.
"Apa pun yang terjadi, aku harus hadir.
Karena itu perintah langsung dari Nyai Guru Ratu
Candra Wulan!"
"Barangkali kalau boleh aku sarankan
kembali, hadir tetap saja hadir, tapi jangan ma-
suk ke arena pertarungan! Wanita berselendang
merah itu sendiri akan temukan lawan tangguh-
nya dan bisa-bisa jiwanya pun melayang di arena
pertarungan nanti. Sekali lagi kusarankan, jan-
gan masuk ke arena pertarungan!"
"Kau benar-benar mengecilkan diriku. Yo-
ga!" Sri Tanding tampak semakin tersinggung,
pandangan matanya sedikit menyipit. Yoga men-
jadi tak enak hati, dan akhirnya berkata,
"Aku hanya menyarankan. Bukan men-
ganggapmu tak mampu. Saran itu boleh saja kau
tolak dan kau abaikan, walau hatiku kecewa jika
sampai melihatmu celaka di sana."
"Barangkali kau takut kalau akhirnya kau
akan bertemu denganku di arena pertarungan
itu."
"Tidak," jawab Yoga sambil tersenyum te-
nang dan teduh. "Kau tidak akan bertemu den-
ganku di arena itu, karena aku tak akan turun ke
pertarungan!"
"Kau tak akan turun ke pertarungan?!" Sri
Tanding merasa heran. "Kau seorang pendekar
yang sedang banyak dibicarakan oleh para tokoh
dunia persilatan, Yoga. Kau pendekar yang dira-
malkan oleh mereka akan unggul dalam perta-
rungan nanti. Mengapa kau tidak akan hadir da-
lam pertarungan tersebut?"
Yoga menarik napas, karena baru tahu
bahwa dirinya banyak dibicarakan dan dijagokan
oleh beberapa tokoh. Ia sendiri tak menyangka
kalau para tokoh mempunyai perkiraan setinggi
itu terhadap kesaktiannya. Namun hal itu tidak
membuat Yoga besar kepala atau berbusung da-
da. Yoga bahkan berkata,
"Kalau toh aku hadir, aku hanya sebagai
penonton saja. Aku tidak mau diadu oleh siapa
pun hanya untuk memperebutkan gelar dan ke-
dudukan. Aku bukan orang yang gila kedudukan
dan gelar. Terserah saja siapa nanti yang akan
unggul, aku tidak akan mau peduli. Semasa me-
reka tidak mengusik aliran rajawali, aku tidak
akan ikut campur dalam acara tersebut, Sri Tand-
ing. Jadi kalau aku sarankan dirimu agar jangan
hadir, itu lantaran aku tak ingin melihat kau ke-
cewa dan terluka. Sayang sekali wajah secantik
kau harus menderita kekecewaan dan luka parah
seperti tadi!"
Sri Tanding tak bisa berkata apa-apa. Ha-
tinya sibuk memeluk rasa bangga mendengar pu-
jian pendekar tampan tersebut. Ia terdiam hingga
beberapa saat, membiarkan angin lembah mener-
pa rambut poninya.
Angin yang bertiup sepoi-sepoi itu makin
terasa kencang. Dahi Pendekar Rajawali Merah
itu berkerut, dan ia lekas-lekas dekati Sri Tand-
ing. Ia berbisik dalam jarak sekitar dua jengkal
dari pundak Sri Tanding.
"Selekasnya kita tinggalkan tempat ini!"
Sri Tanding memandang dengan mata me-
nyipit menahan hembusan angin. Dari alls yang
berkerenyit, Yoga tahu gadis itu heran mendengar
bisikannya. Yoga pun segera menjelaskan,
"Firasat ku mengatakan ada bahaya yang
sedang mengintai kita."
Sri Tanding masih belum percaya. Tapi ia
tidak menyanggah ucapan Yoga, juga tidak men-
gatakan apa-apa. Matanya sempat melirik kanan-
kiri, dan ia merasakan keadaan aman-aman saja.
Angin semakin kencang. Yoga kian berbisik
sambil menarik pelan lengan Sri Tanding, menga-
jaknya jalan.
"Angin ini terasa perih di mata, dan me-
nyengat kulit. Tidakkah kau rasakan hal itu?"
Sri Tanding melangkah pelan, seperti sepa-
sang kekasih yang sedang bermesraan di taman.
Tapi sebenarnya gadis itu merasakan apa yang
dikatakan Yoga tadi. Lama-lama ia mengakui ke-
benaran kata-kata Yoga, sehingga ia pun berbisik,
Aku sekarang merasakan apa yang kau ka-
takan tadi; mata perih dan kulit bagai tersengat.
Tapi siapa orang yang menyerang kita dengan an-
gin seperti ini?"
"Bukan angin, melainkan tenaga dalam.
Hawa panas yang ia lepaskan sengaja membuat
kita tak sadari hal itu. Bersiaplah, siapa tahu ada
kejutan di depan kita! Aku akan melawannya
dengan hawa dingin ku!"
Tangan Yoga yang memegangi lengan Sri
Tanding itu dilepaskan. Tangan itu segera meng-
genggam. Wajah Yoga tampak biasa-biasa saja,
dengan senyum tipis yang masih menawan. Na-
mun sebenarnya saat itu Yoga sedang menahan
napas dan keluarkan hawa dingin dari pori-pori
kulitnya yang bersih itu.
Hawa dingin semakin terasa meresap di
kulit tubuh Sri Tanding. Hawa dingin itu menyebar ke mana-mana, sehingga rasa sengatan di ku-
lit gadis itu berganti rasa beku yang makin lama
semakin hampir menggigilkan badan. Sri Tanding
mencoba bertahan untuk tidak menggigil. Supaya
tidak kentara, ia sesekali menunduk, sesekali
memandang tegak, sambil mengucapkan kata pe-
lan yang sebenarnya tak perlu diucapkan. Se-
hingga kesan yang ada pada dirinya adalah kesan
seorang gadis yang dengan malu-malu menguta-
rakan perasaan hatinya.
Daun-daun hijau mulai berbintik putih.
Bintik-bintik putih itu adalah busa salju yang
timbul dari udara dingin di sekelilingnya. Rant-
ing-ranting kering pun menjadi basah. Di sana-
sini mulai tampak embun yang segera berubah
menjadi busa salju. Setiap pori-pori tubuh Yoga
dapat keluarkan hawa dingin secara terus mene-
rus, sehingga Sri Tanding sempat gelisah karena
menahan tubuh agar tak menggigil.
Orang yang menyerang mereka dengan ha-
wa panas itu terkejut. Maka ia segera hentikan
serangannya. Angin tidak lagi berhembus, dan
Yoga pun segera hentikan semburan hawa din-
ginnya.
Tetapi dengan menggunakan jurus 'Sandi
Indera', Yoga dapat mengetahui ada orang yang
mengikuti langkahnya. Sengaja pemuda itu diam
saja dan berlagak tidak mengetahuinya, namun ia
berbisik kepada Sri Tanding dengan sangat pelan,
"Ada yang mengikuti langkah kita!"
Sri Tanding tersenyum manis, hentikan
langkah. Tapi bicaranya bernada tegang dan san-
gat pelan,
"Mungkinkah Selendang Badai yang men-
gikuti kita? Orang yang melawanku berselendang
merah itulah yang ku maksud Selendang Badai."
Yoga tersenyum menawan. Persis sekali
orang berkasih-kasihan. Ia memegangi pundak
Sri Tanding dan berkata.
"Kurasa bukan. Langkahnya adalah lang-
kah berat. Pasti seorang lelaki yang mengikuti ki-
ta itu." "Haruskah kita serang?"
"Jangan. Biarkan dia muncul dan kita
mengetahui maksudnya!"
Sri Tanding sengaja tertawa agak keras dan
mengikik. Hal itu ia lakukan supaya orang tak
akan menyangka bahwa dirinya sedang membica-
rakan suatu bahaya yang sedang mengancamnya.
"Kurasa aku tak sabar untuk melawan
orang itu, Yoga," katanya bernada bisik dengan
wajah tetap ceria.
"Sabarlah. Ku rasakan ada yang mengikuti
kita lebih dari satu orang. Langkah kaki mereka
beruntun, mungkin dua atau tiga orang."
"Di mana saja mereka berada?"
"Mengitari kita dari berbagai arah," jawab
Yoga sambil mencubit dagu Sri Tanding. Gadis itu
tertawa kecil, antara senang dan tegang. Tapi me-
reka pandai menipu wajah sehingga tak sesuai
dengan isi hatinya. Terbukti Yoga pun kembali
berkata sambil menggenggam tangan Sri Tanding
yang terangkat di dada,
"Jika terpaksa aku harus menyerang, kau
segera bersiap untuk lari selamatkan diri."
Sri Tanding menggelengkan kepala di sela
senyum manisnya, lalu berkata dalam nada de-
sah,
Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu,
Yoga. Aku harus menghadapi mereka juga. Kita
hadapi bersama, Yoga!"
Yoga tarik napas. "Kau memang gadis ban-
del, Sri Tanding."
Tapi pada saat itu tangan yang meremas
jemari Sri Tanding itu semakin kuat. Lalu, dengan
bisikan lembut Yoga pun berkata,
"Mereka menyerangku dengan satu kekua-
tan yang tak terlihat. Aku merasakan panas pada
bagian punggungku. Makin panas sekarang."
"Lawan mereka! Jangan biarkan melukai-
mu!" bisik Sri Tanding.
Lalu, Yoga pun diam. Memusatkan kekua-
tan tenaga dalamnya ke bagian punggung sebagai
pelapis serangan halus itu. Sri Tanding sempat
menjadi cemas, karena ia melihat wajah Yoga mu-
lai pias dan keringat dinginnya pun tersumbul ke-
luar, membersit di kening dan leher. Sri Tanding
bingung, apa yang harus dilakukannya saat itu.
* * *
5
SEKELEBAT bayangan melesat menerjang
Pendekar Rajawali Merah. Kecepatan gerak orang
tersebut membuat dirinya terlihat hanya seperti
kabut hitam yang terhempas badai. Wuuuttt...!
Tetapi mata tajam Pendekar Rajawali Me-
rah masih mampu menangkap gerakan cepat ter-
sebut, sehingga ia terpaksa merendahkan tubuh-
nya dengan menyilangkan tangan ke atas kepala.
Daahg...!
Yoga sempat terguling jatuh di tanah kare-
na merasa seperti menahan gerakan seekor ban-
teng sedang mengamuk. Tapi yang ditahan gera-
kannya itu pun terpental mundur dan jatuh pula
berguling-guling. Keduanya cepat berdiri untuk
hindari serangan berikutnya.
Rupanya orang yang menyerang Pendekar
Rajawali Merah itu berpakaian hitam bergaris-
garis merah dan bersenjata samurai. Siapa lagi
kalau bukan pendekar dari negeri Matahari Terbit
yang bernama Shogun Kogawa yang berwajah ka-
ku dan dingin.
Begitu wujud penyerang Yoga itu tampak
jelas, Sri Tanding cepat-cepat lepaskan pukulan
jarak jauh bergelombang besar. Wuuttt.... Buhg!
Shogun Kogawa menahan pukulan berat
itu dengan kedua telapak tangan dihadangkan ke
depan dada, lalu sedikit bergerak ke kiri, sehingga
arah pukulan bagaikan dipantulkan dan mengenai sebongkah batu besar di sebelah kirinya.
Bruussh...! Batu itu pun hancur berkeping-
keping, tanpa memercik ke mana-mana.
"Tulang-tulangku terasa patah semua," pi-
kir Yoga saat itu. "Rupanya orang berambut kun-
cir ini punya tenaga dalam yang cukup tinggi dan
tadi ia kerahkan sepenuhnya. Berarti dia tidak
main-main dan benar-benar ingin membunuhku.
Tapi, siapa dia itu?!"
Shogun Kogawa memandang tajam ke arah
Pendekar Rajawali Merah. Sementara itu, Sri
Tanding juga memandang ke arah yang sama
dengan wajah cemas. Lalu terdengar suaranya
berbisik dalam jarak tiga langkah di samping Yo-
ga,
"Bagaimana keadaanmu?"
"Tidak apa-apa! Mundurlah, Sri Tanding.
Biar kuhadapi sendiri orang aneh ini!"
Sri Tanding mundur sambil berkata lirih,
"Hati-hati, aku kenal dia. Namanya Shogun Ko-
gawa, ilmu pedangnya tinggi, juga tenaga dalam-
nya tinggi. Tanyakan dulu, apa maksudnya me-
nyerang kita!"
Ketika Sri Tanding bergerak ke belakang
Yoga itulah, ia merasakan datangnya gelombang
padat berkekuatan besar yang menerjang tubuh-
nya dan tubuh Yoga. Wuuttt...!
"Awas!" sentak Sri Tanding secara tak sa-
dar. Ia sentakkan pula kakinya ke tanah dan tu-
buhnya melenting ke atas, bersamaan dengan itu
melenting pula tubuh Yoga dan bersalto satu kali
untuk pindah tempat. Gelombang padat yang be-
sar itu hampir saja mengenai Shogun Kogawa pu-
la. Untung orang bermata sipit itu segera melom-
pat menghindar ke arah yang sama dengan Yoga.
Seorang lelaki tua berjubah abu-abu mun-
cul dengan tongkat putihnya. Rambutnya panjang
sebatas pantat meriap tak diikat. Sri Tanding ber-
kerut dahi dengan heran karena ia mengenali
orang tersebut. Ia cepat dekati Yoga dan berkata,
"Ki Tenung Jagat, namanya! Dari kelompok
aliran Petapa Laut!"
"Apa maksudnya datang dan menyerang ki-
ta?"
"Entahlah!"
Ki Tenung Jagat diam tanpa senyum dan
kata. Ia berdiri di sebelah barat, sedangkan Sho-
gun Kogawa berdiri di sebelah timur dari Yoga
dan Sri Tanding. Kehadiran mereka yang tampak
berkomplot itu baru saja ingin ditanyakan oleh
Pendekar Rajawali Merah, namun seberkas sinar
kuning melingkar-lingkar sedang menuju ke arah
Yoga dan Sri Tanding. Hal itu membuat Yoga ber-
seru mengingatkan Sri Tanding.
"Lompat...!"
Wuuttt...! Keduanya melompat tinggi-tinggi
sehingga gelombang sinar kuning bergulung-
gulung itu lolos dari sasaran sebenarnya, dan se-
bagai sasaran berikut adalah sebatang pohon
yang terletak lebih dari lima belas tombak dari
tempat Yoga dan Sri Tanding berada. Pohon yang
terhantam sinar kuning melingkar-lingkar itu segera kepulkan asap tanpa suara ledak, tahu-tahu
berubah kecil dan hidup. Ukurannya menjadi le-
bih tinggi dari betis Yoga. Hampir saja Yoga dan
Sri Tanding berubah menjadi sekerdil itu jika me-
reka tidak segera menghindar.
Seorang berpakaian model biksu warna
coklat berperawakan gendut muncul di sela-sela
pohon yang ada di sebelah utara. Sri Tanding ter-
peranjat, dan segera berkata kepada Yoga dengan
suara pelan,
"Edan! Ketua aliran Petapa Gunung juga
hadir di sini. Dia yang bernama Resi Panuluh!"
"Kurasa ada sesuatu yang tak beres yang
membuat
mereka memusuhi kita, Sri Tanding.
Atau... barangkali kau punya persoalan dengan
mereka bertiga?"
"Tak ada! Sama sekali tak ada!" jawab Sri
Tanding tanpa memandang Yoga, melainkan me-
natap antara Resi Panuluh dan Ki Tenung Jagat
secara berganti-gantian.
Merasa dirinya dikepung, Yoga segera lon-
tarkan tanya kepada Resi Panuluh, "Mengapa ka-
lian mengepung dan menyerang kami?"
Ketiga orang itu tidak ada yang memberi
jawaban. Tetapi mata mereka tetap memandang
tajam dan tak bersahabat. Sebelum Yoga kembali
melontarkan tanya, tiba-tiba sebongkah batu hi-
tam sebesar gentong melayang di udara dan mele-
sat ke arah Yoga dan Sri Tanding. Kecepatan batu
itu hampir saja tak terlihat. Tapi tangan Yoga secara dengan sendirinya berkelebat menyentak ba-
gai melepaskan sesuatu dari genggamannya, dan
ternyata yang terlepas adalah asap merah tipis.
Wuusss...! Asap merah tipis menghantam
batu tersebut. Blaarrr...! Ledakan dahsyat mem-
buat batu itu hancur menjadi serbuk lembut.
Dari arah selatan, tempat datangnya batu
besar tadi, muncul seorang wanita cantik yang
pernah dilihat oleh Yoga di suatu tempat, namun
pada waktu itu perempuan tersebut merubah di-
rinya dalam wujud persis Tua Usil. Akibatnya,
saat itu Yoga tidak mengenali siapa perempuan
tersebut, sehingga ia bertanya kepada Sri Tanding
dalam bisikan lirih.
"Yang ini siapa?"
"Kalau tidak salah... Ketua Perguruan Bi-
ara Sita, bernama Putri Kumbang!"
"Ooo... dia?!" Yoga manggut-manggut sa-
mar. "Ya. Dialah orangnya. Kenapa? Cantik?!"
Yoga tersenyum sinis. "Dia pernah menya-
mar menjadi wujud diriku dan merubah diri men-
jadi pelayanku, tapi aku tidak mengenali wajah
aslinya. Baru sekarang aku melihat wajah asli Pu-
tri Kumbang!" (Untuk lebih jelasnya baca serial
Jodoh Rajawali dalam episode: "Setan Dari Bi-
ara").
"Mereka para tokoh sakti, Yoga. Mereka
agaknya ingin membunuh kita. Kita bisa kewala-
han melawan mereka."
"Tenang saja. Akan ku coba mengatasinya
dengan tegur sapa yang baik. Siapa tahu semua
ini karena kesalahpahaman saja."
Clapp...! Sesuatu tampak melesat ke langit.
Sinar biru bagaikan titik kecil itu terlepas dari
suatu tempat dan berhenti di atas kepala Yoga
dalam jarak sekitar lima tombak tingginya. Sinar
biru itu menyorot ke bawah, membentuk lingka-
ran bercahaya biru dan mengurung diri Yoga ser-
ta Sri Tanding. Slaappp...! Wuusss...!
"Ahg...!" Sri Tanding mengejangkan tubuh,
kepalanya sedikit mendongok dengan mulut tern-
ganga. Ia seperti sedang diremas oleh tangan rak-
sasa. Sementara itu. Yoga pun merasakan hal
yang sama, namun ia hanya mengeraskan semua
urat tubuhnya. Dan tiba-tiba tangannya yang
menggenggam dengan bergetar itu menyentak ke
atas dalam keadaan telapak tangan terbuka.
Wuutt...! Claappp...! Melesat sinar merah kecil da-
ri telapak tangan itu, menghantam pusat sinar bi-
ru di atas sana.
Blegaarrr...!
Bumi terasa berguncang akibat gelombang
ledakan dahsyat tersebut. Sri Tanding sempat ja-
tuh berlutut, lalu cepat bangkit dengan napas te-
rengah-engah. Mereka sudah tidak dikurung si-
nar biru lagi, tetapi mereka ter
paksa harus berpegangan karena tanah di
mana mereka berpijak berguncang kuat seakan
ingin retak membentuk celah yang berbahaya.
Tanah tersebut juga mengepulkan uap biru tipis
sebatas lingkaran tempat cahaya biru tadi men-
gurung mereka.
"Hebat sekali ilmu orang yang menyerang
kita. Siapa dia?"
"Seingatku, jurus seperti ini hanya dimiliki
oleh tokoh sakti yang berjuluk si Jenggot Biru."
Suara Sri Tanding itu sebenarnya sangat
pelan, tapi ternyata bisa didengar dari jarak enam
tombak jauhnya, sehingga orang berpakaian pu-
tih kembang-kembang merah-biru dengan jenggot
berwarna biru segera muncul dari arah selatan,
dan berkata jelas,
"Ya. Memang akulah si Jenggot Biru, Sri
Tanding!"
Cepat-cepat Sri Tanding menoleh ke arah
Jenggot Biru, sementara Yoga telah memandang
ke arah selatan sejak tadi. Sri Tanding segera ber-
seru kepada Jenggot Biru,
"Eyang Jenggot Biru, apa maksud Eyang
menyerang kami dengan jurus berbahaya itu?!"
"Supaya kau menyingkir dari samping Pen-
dekar Rajawali Merah. Karena ketahuilah, kami
ingin lumpuhkan dia sebelum dia hadir di Bukit
Tulang Iblis!" jawab Jenggot Biru, lalu ia bergerak
maju tiga tindak. Yang lainnya pun bergerak maju
tiga tindak, sehingga kepungan mereka semakin
sempit. Masing-masing berjarak sekitar empat-
lima tindak dari tempat Yoga berada.
Yoga pun segera berseru kepada Jenggot
Biru, yang dianggap sebagai pemimpin orang-
orang sakti itu,
"Mengapa kalian tidak menghendaki aku
hadir ke Bukit Tulang Iblis itu?! Aku tidak punya
masalah apa-apa dengan kalian! Kecuali Putri
Kumbang, yang dengan licik hampir saja mence-
lakai kekasihku!"
Putri Kumbang segera perdengarkan sua-
ranya, "Semua ini terlepas dari masalah kita yang
lalu. Yoga! Kami punya kesepakatan untuk mem-
benci aliran rajawali!"
"Itu bukan alasan yang tepat, Putri Kum-
bang. Kami tidak pernah menyerang kalian jika
kalian tidak menyerang lebih dulu! Kami tidak
pernah berbuat kejahatan bagi siapa pun! Kalau
kami menyerangmu itu karena kau lebih dulu
menyerang kami dengan kelicikanmu!"
Resi Panuluh segera berkata, dan membuat
Yoga dan Sri Tanding berpaling ke arahnya,
"Jika kau sayang pada nyawamu, kusaran-
kan untuk tidak menghadiri pertemuan itu! Kami
tidak setuju jika aliran rajawali hadir dalam per-
temuan tersebut, karena aliran rajawali tidak
memenuhi syarat sebagai kelompok aliran silat.
Sedikitnya lima orang yang menjadi anggota se-
buah aliran silat. Sedangkan aliran rajawali
hanya terdiri dari dua orang, dan itu tidak meme-
nuhi syarat!"
"Ketentuan dari mana itu?" sanggah Sri
Tanding membela Yoga.
"Ketentuan dari kami," jawab Resi Panuluh.
Yoga segera berkata, "Dua atau satu orang
yang ada, aliran rajawali tetap akan ada di muka
bumi ini! Kami tidak peduli dengan pengakuan
kalian, yang jelas kami tidak mengganggu kalian
dan jangan memusuhi kami!"
"Kami tidak akan memusuhi mu jika aliran
rajawali tidak hadir dalam pertemuan nanti!" sa-
hut Putri Kumbang dengan wajah angkuhnya.
"Tak ada yang berhak melarang kami!" kata
Yoga dengan pandangan tajam menantang.
Jenggot Biru berkata, "Jika begitu, sebelum
kalian tampil di Bukit Tulang Iblis, sebaiknya
kami hancurkan di sini lebih dulu!"
Yoga menyahut, "Jika itu kehendak kalian,
aku terpaksa melakukan pembelaan diri demi
mempertahankan harga diri aliran rajawali!"
Resi Panuluh berseru, "Sri Tanding! Me-
nyingkirlah bila tidak ingin menjadi korban salah
sasaran jurus-jurus maut kami!"
"Tidak! Aku tetap akan lindungi Yoga. Jika
kalian melukai ku, berarti kalian berurusan den-
gan perguruanku!"
"Gadis bandel!" geram Ki Tenung Jagat.
Kemudian, ia gedukkan tongkatnya ke tanah.
Duuuhg...! Claapp...!
Seberkas sinar hijau bagaikan lidah petir
melesat dari tanah yang disentak ujung tongkat.
Sinar hijau itu melesat ke arah Sri Tanding. Cepat
sekali gerakannya itu. Namun buru-buru Yoga
mematahkan serangan tersebut dengan kibasan
tangan yang berkelebat dan mengeluarkan gelom-
bang tenaga dalam cukup besar. Wuuttt...!
Trattt... tar... duaaar...!
Melihat serangan ringan Ki Tenung Jagat
dapat dilawan oleh Pendekar Rajawali Merah, maka Shogun Kogawa pun tidak hanya tinggal diam
saja. Ia segera melompat dan mencabut samu-
rainya. Seett...! Samurai itu dikibaskan berkelebat
dari bawah ke atas. Arahnya dada serta wajah Yo-
ga yang akan ditebasnya.
Tetapi dengan cepat pula Sri Tanding men-
cabut pedangnya dan berkelebat menangkis sa-
murai tersebut. Trangng...! Kemudian tubuh Sri
Tanding memutar cepat dan melepas tendangan
kaki kanannya. Wuuttt!
Plak...! Tendangan itu ditangkis dengan
lengan kiri Shogun Kogawa. Tangkisan itu mem-
buat Sri Tanding terpelanting jatuh karena selu-
ruh tulangnya bagaikan membentur benteng be-
ton dan remuk seketika. Pada waktu Sri Tanding
jatuh itulah, Shogun Kogawa segera menebaskan
samurainya dari atas ke bawah dengan kecepatan
menyamai kilat. Wuuttt...!
Zlaappp...! Bruugh...!
Yoga segera gunakan jurus 'Petir Selaksa'
yang mampu menyerang dengan kecepatan tinggi,
melebihi kecepatan kilatan sinar petir. Sasaran
utama jelas tubuh Shogun Kogawa dari samping
kiri. Dan ternyata jurus tersebut membuat Sho-
gun Kogawa terlempar jauh dengan samurai me-
nebas tak tentu arah. Tendangan lompat yang
amat cepat itu membuat lawan sempat mengejang
sebentar di tempatnya jatuh, namun segera ber-
hasil kuasai rasa sakitnya dan ia berdiri kembali.
Sri Tanding segera bangkit setelah Yoga
ulurkan tangan dan ia menyambutnya, lalu me
nariknya hingga berdiri. Sebaris kata diucapkan
dalam bisik, "Terima kasih atas penyelamatan
mu...." Yoga tidak menjawab, karena ia harus ce-
pat-cepat meraih tubuh Sri Tanding dan memba-
wanya melompat ke arah lain. Hanya ada satu ca-
ra seperti itu yang bisa dilakukan Yoga untuk
menghindari pisau-pisau sinar yang berwarna pu-
tih itu. Pisau-pisau sinar putih redup terlepas da-
ri sentakan tangan kiri Resi Panuluh yang telapak
tangannya tengadah menghadap ke langit. Clap,
clap, clap, clap...!
Seandainya Yoga tidak menyambar tubuh
Sri Tanding dan membawanya lompat ke arah
lain, maka tubuh Sri Tanding akan menjadi sasa-
ran berikutnya, setelah pisau sinar putih redup
itu gagal kenai tubuh Pendekar Rajawali Merah.
Duuurrbbb...! Pisau-pisau itu akhirnya di-
redam oleh Ki Tenung Jagat dengan ujung tong-
kat yang diacungkan dan bagai mempunyai daya
sedot cukup tinggi. Jika tidak begitu, maka tubuh
Ki Tenung Jagat-lah yang akan menjadi sasaran
pisau-pisau aneh tersebut. Syyuuurrpp...!
Jenggot Biru lepaskan jurusnya berupa si-
nar kuning keputih-putihan yang tahu-tahu me-
nyergap kedua tubuh anak muda itu. Jiaabb...!
Dan tubuh Yoga serta Sri Tanding terperangkap
dalam sebuah kotak besar. Kotak tersebut bukan
terbuat dari kayu, melainkan dari gumpalan batu
es yang membeku keras. Tubuh mereka bagaikan
ada di dalam bongkahan batu es bercahaya putih
menyilaukan.
Pendekar Rajawali Merah berusaha berge-
rak, namun tak dapat. Tubuhnya bagaikan mem-
beku menjadi satu dengan gumpalan es besar itu,
merapat kuat dengan tubuh Sri Tanding. Tak ada
ruang gerak sedikit pun, sehingga mereka yang
bisa terlihat dari luar itu, kelihatan sedang kebin-
gungan mengambil napas.
"Heh, heh, heh, heh...!" Jenggot Biru terta-
wa pelan, terkekeh dengan suara tuanya melihat
Sri Tanding dan Pendekar Rajawali Putih tak bisa
berkutik. Ia pun berkata kepada Putri Kumbang,
"Pendekar Rajawali Merah tak akan bisa lepaskan
diri, karena tak ada ruang dan kesempatan bagi
jantungnya untuk berdetak. Ia akan mati membe-
ku di sana bersama gadis malang itu."
Putri Kumbang tersenyum girang sambil
berkata, "Kurasa tak lebih dari dua puluh hitun-
gan mereka sudah tidak bernyawa lagi!"
"Tindakan yang tepat, Jenggot Biru!" kata
Resi Panuluh, sementara Putri Kumbang berjalan
dekati balok es besar tersebut.
Tapi tiba-tiba ketika Putri Kumbang berada
dalam jarak dua langkah dari balok es besar ter-
sebut, tiba-tiba balok es itu pecah dalam satu
sentakan yang amat kuat. Praakkk...! Serpihan
balok es Itu memercik mengenai wajah Putri
Kumbang.
"Auuuh...!" Putri Kumbang menjerit. Peca-
han balok es itu runcing-runcing dan sebagian
menembus wajah Putri Kumbang, bagaikan peca-
han kaca yang amat tajam.
Pecahnya balok es itu membuat Jenggot
Biru tersentak kaget dengan mata mendelik. Yang
lainnya pun terkesiap dan menjadi tegang seketi-
ka itu juga. Langkah mereka sempat mundur se-
tindak dan masing-masing siap dengan kuda-
kuda mereka.
Yoga dan Sri Tanding masih berpelukan,
tapi kaki mereka lemas bagaikan tak bertulang.
Bagi Yoga hal itu hanya dirasakan sekejap saja.
Setelah napasnya banyak menghirup udara segar,
ia kembali berdiri, dan Sri Tanding masih terpu-
ruk pegangi kaki Yoga dengan napas megap-
megap.
Putri Kumbang sibuk melepasi pecahan ba-
lok es yang menghunjam kulit wajahnya dan
membuat darahnya membasahi wajah cantik itu.
Sedangkan Jenggot Biru hanya membatin,
"Mampu juga ia memecahkannya?! Padahal
tak ada ruang sedikit pun yang bisa digunakan
untuk bergerak? Atau... mungkin ada pihak lain
yang turut campur dalam masalah ku ini?"
Wuuuttt...! Sekelebat bayangan biru mele-
sat masuk ke lingkaran kepung mereka. Kehadi-
ran seorang pemuda tampan membuat mereka
saling terperanjat dan kian waspada lagi.
"Pandu...!" cetus Yoga sedikit kaget melihat
kedatangan Pandu Tawa yang sedang dalam per-
jalanan ke Bukit Tulang Iblis itu.
"Bersiaplah untuk lari. Yoga! Kau akan ter-
desak melawan mereka jika tidak larikan diri. Ke-
kuatan mereka jika sedang bergabung begini akan
menjadi kekuatan yang luar biasa. Mereka bukan
orang-orang berilmu rendah!" kata Pandu Tawa
dengan suara pelan dan mata memandang penuh
waspada kepada orang-orang yang mengepung-
nya.
Sri Tanding sudah pulih dan bisa berdiri
kembali walau tetap berpegangan lengan Yoga.
Sementara itu, terdengar suara Jenggot Biru ber-
seru kepada Pandu Tawa,
"Anak muda! Menyingkirlah agar kau tak
menjadi korban kami!"
Pandu Tawa tidak hiraukan seruan itu, se-
bab ia mendengar Yoga ajukan tanya bersuara li-
rih,
"Bagaimana dengan Lintang Ayu?"
"Sudah pergi ke Bukit Berhala bersama
Bocah Bodoh."
"Bocah Bodoh sudah bebas?"
"Sudah! Lekas tinggalkan tempat ini begitu
aku melepaskan 'Racun Tawa'-ku, Yoga!"
Ki Tenung Jagat lebih dulu melepaskan
pukulan bergelombang tanpa warna. Gelombang
panas yang mampu melelehkan baja itu dihadapi
oleh Pendekar Rajawali Merah dengan pukulan
gelombang dinginnya.
Wuuttt...! Wuusss...! Blaarrr...!
"Hah, hah, hah, hah, hah, hah...!" Pandu
Tawa tertawa keras dan terbahak-bahak. 'Racun
Tawa' disebarkan, membuat Jenggot Biru terse-
nyum-senyum, Putri Kumbang terkikik geli. Resi
Panuluh terkekeh-kekeh, sedangkan Shogun Ko
gawa dan Ki Tenung Jagat tetap diam membisu.
Ketika Yoga dan Sri Tanding punya kesem-
patan melarikan diri, Pandu Tawa mengikutinya
dari belakang, membiarkan lawan mereka terta-
wa-tawa. Tapi Ki Tenung Jagat dan Shogun Ko-
gawa mengejar mereka.
* * *
6
KEDUA pengejar itu menggunakan jurus
peringan tubuh yang cukup tinggi. Shogun Koga-
wa berkelebat di atas pohon. Dari dahan ke dahan
ia mampu berlari sangat cepat bahkan menyeru-
pai seekor burung gagak terbang di sela-sela da-
han pohon. Setiap pohon yang digunakan berpi-
jak oleh kakinya, tidak pernah timbulkan suara
ataupun gerakan yang mencurigakan. Bahkan
suara getar pohon yang dipakai berlari itu pun
nyaris tidak terlihat atau terdengar oleh siapa
pun. Jika bukan orang yang menguasai ilmu pe-
ringan tubuh, tak mungkin dapat lakukan kehe-
batan seperti itu.
Sedangkan Ki Tenung Jagat justru tidak
kelihatan lewat mana ia mengejar Yoga dan Sri
Tanding. Sementara itu, Pandu Tawa yang mengi-
kuti arah pelarian Yoga pun tidak melihat gera-
kan Ki Tenung Jagat. Hanya saja, ketika mereka
tiba di kaki bukit cadas, tahu-tahu orang ber
tongkat putih dengan rambut uban panjang me-
riap itu sudah berdiri menghadang langkah mere-
ka. Mau tak mau Yoga pun hentikan langkahnya.
Sri Tanding sempat terkesiap sejenak dan Pandu
Tawa terperangah, namun sudah tidak terlalu
merasa heran melihat orang berambut panjang
sudah berada di depannya. Pandu Tawa sudah
dapat mengukur tingginya ilmu Ki Tenung Jagat
yang dikenalnya beberapa waktu yang lalu itu.
Pantas jika Ki Tenung Jagat mampu bergerak se-
cepat itu. Karena dulu Pandu Tawa pernah kehi-
langan jejak waktu mengejar Ki Tenung Jagat un-
tuk suatu keperluan sendiri.
"Gila! Orang itu seperti setan. Tahu-tahu
sudah muncul di depan kita!" geram Sri Tanding
dengan menyimpan rasa kagum terhadap kecepa-
tan bergeraknya Ki Tenung Jagat.
Shogun Kogawa muncul jauh di belakang
Ki Tenung Jagat. Rupanya ia hampir saja me-
ninggalkan buruannya karena kecepatan berge-
raknya dari pohon ke pohon. Ia segera kembali
dan bergabung dengan Ki Tenung Jagat.
"Pandu Tawa, apakah kita harus melawan
orang-orang itu dan menimbulkan bencana bagi
mereka?" tanya Yoga sambil tetap memandang
kedua lawannya dalam jarak sekitar sepuluh
langkah itu.
"Kurasa demi mempertahankan diri, jika
mereka bermaksud mencelakai kita, tak ada sa-
lahnya jika kita lakukan pembelaan diri, walau
untuk itu terpaksa mengorbankan diri mereka,"
jawab Pandu Tawa. "Tapi sebaiknya kucoba dulu
untuk membujuk mereka agar tidak menyerang
kita. Yoga. Kau tetaplah di tempat bersama ga-
dismu itu dan berjaga-jagalah setiap saat!"
"Sri Tanding bukan gadisku, Pandu Tawa.
Ia sahabat kita!"
Pandu Tawa tersenyum sekejap, lalu tampil
ke depan dan berseru kepada kedua lawannya
itu,
"Ki Tenung Jagat, kusarankan agar di an-
tara kita tidak perlu saling bermusuhan lagi!"
"Terpaksa harus bermusuhan, Pandu Ta-
wa! Karena kami tidak menghendaki aliran raja-
wali ikut hadir dalam. pemilihan nanti!"
"Aku memang tidak akan mencalonkan di-
ri!" sahut Yoga yang maju hingga berdiri berjajar
dengan Pandu Tawa. "Aku tidak akan terpilih se-
bagai hakim dan Pendekar Maha Sakti, karena
aku kurang setuju dengan acara seperti itu, Ki
Tenung Jagat!"
"Untuk meyakinkan kami, kau harus kami
lumpuhkan lebih dulu!" kata Ki Tenung Jagat ba-
gaikan sukar diajak berembuk lagi.
"Agaknya kita tak punya pilihan lain. Yo-
ga!"
Sri Tanding menimpali, "Serang saja mere-
ka daripada mereka yang serang kita!"
"Tunggu dulu, biar aku yang .bicara pada
kedua orang itu," cegah Yoga, lalu ia berkata ke-
pada Ki Tenung Jagat, yang mewakili mereka.
Tetapi belum sempat Yoga bicara, tiba-tiba
dari arah belakang muncul tiga orang yang telah
berhasil atasi Racun Tawanya. Pandu Tawa. Me-
reka adalah Jenggot Biru, Putri Kumbang, dan
Resi Panuluh. Putri Kumbang segera berseru den-
gan nada marah,
"Pandu Tawa! Terimalah pembalasan atas
pelecehan mu kepada kami!"
Baru saja Pandu Tawa ingin lakukan sesu-
atu, tapi tiba-tiba dari mata Putri Kumbang telah
keluarkan sinar ungu yang menghantam ke dada
Pandu Tawa. Claappp...!
Selarik sinar ungu itu segera disambar oleh
tangan Yoga yang tepat berada di samping Pandu
Tawa itu. Telapak tangan yang membara merah,
dengan bagian jarinya tidak ikut membara, segera
menangkap sinar ungu tersebut. Zruubbb...! Lalu
menggenggamnya sesaat dan melemparkan sinar
yang telah tergenggam itu ke arah bukit cadas.
Blegaarrr...!
Dengan gunakan jurus Tolak Guntur'-nya.
Yoga berhasil selamatkan jiwa Pandu Tawa. Teta-
pi akibatnya, ledakan dahsyat itu bukan saja
memecahkan bukit cadas saja, melainkan juga
mengguncangkan bumi begitu hebat, sehingga tak
satu pun dari mereka ada yang tegak berdiri. Ge-
muruh ledakan itu bagaikan membahana sampai
ke mana-mana dan menimbulkan angin kencang
mirip badai.
Sri Tanding jatuh menindih Pandu Tawa,
sementara itu Yoga terlempar empat tindak dari
samping Pandu Tawa. Di sisi lain, Shogun Kogawa
terkapar karena tanah yang dipijaknya bagaikan
mencuat naik dan melemparkannya. Ki Tenung
Jagat tersungkur roboh tak bisa bertahan tegak.
Jenggot Biru terhempas agak jauh dari tempatnya
semula, dan Putri Kumbang jatuh terkapar den-
gan tertindih badan gemuknya Resi Panuluh. Me-
reka hampir saja tergencet sebatang pohon yang
tumbang dalam jarak satu langkah dari tempat
mereka saling bertumpuk. Sedangkan pohon-
pohon lainnya pun tumbang tak beraturan lagi.
Bukit cadas itu hancur seperempat bagian. De-
bunya menyebar ke mana-mana. Bahkan sempat
membungkus tubuh Shogun Kogawa.
Ketika gemuruh dan guncangan bumi reda.
Mereka mulai bangkit satu persatu. Shogun Ko-
gawa menggerutu tak jelas sambil menepis-
nepiskan debu dari pakaiannya. Rambut kuncir-
nya menjadi coklat keputihan karena dibungkus
debu cadas itu.
Putri Kumbang tampak berdarah mulut-
nya, dan Resi Panuluh segera membantunya ber-
diri. Jenggot Biru tidak mengalami cedera apa
pun, demikian pula Yoga, Sri Tanding, dan Pandu
Tawa. Namun Ki Tenung Jagat berdarah dagunya
karena tersungkur ke tanah sangat keras.
Hal yang membuat mereka terkejut begitu
guncangan itu berlalu adalah kemunculan seseo-
rang yang sudah berdiri di sisa pecahan bukit ca-
das yang tak seberapa tinggi itu. Seseorang yang
berdiri di sana tampak memperhatikan keadaan
sekitar mereka dengan wajah lembut, tanpa kesan
bermusuhan. Bahkan ada seulas senyum yang
mekar di bibirnya dengan tipis.
Orang tersebut adalah perempuan berju-
bah kuning gading, berwajah cantik seperti beru-
sia sekitar dua puluh tujuh tahun, tapi sebenar-
nya usianya lebih dari enam puluh tahun. Bah-
kan menurut Jenggot Biru yang mengenai perem-
puan itu, usia tersebut mencapai tujuh puluh ta-
hunan. Perempuan itu cantik dan berbadan sekal
dengan pakaian dalam jubah berwarna coklat
muda.
Perempuan cantik berwajah lonjong dengan
hidung mancung dan bibir sedikit tebal bagian
bawahnya itu mempunyai rambut hitam yang di-
gelung. Dan pada gelungannya dililit logam kun-
ing emas berhiaskan bebatuan warna-warni. Putri
Kumbang, Ki Tenung Jagat dan Resi Panuluh cu-
kup kenal dengan perempuan tersebut, tetapi
Shogun Kogawa belum mengenalnya. Tetapi keti-
ka Ki Tenung Jagat membisikkan nama perem-
puan itu, Shogun Kogawa segera manggut-
manggut pertanda memahami siapa perempuan
itu.
Sri Tanding terkejut saat melihat perem-
puan tersebut, dan segera berseru, "Nyai
Guru...?!"
Maka Yoga pun tahu bahwa orang tersebut
ternyata adalah Ratu Candra Wulan, guru dari Sri
Tanding. Pandu Tawa sempat terpana sesaat me-
mandangi kecantikan Ratu Candra Wulan itu.
Shogun Kogawa tiba-tiba melesat tinggi
dan menerjang Ratu Candra Wulan. Tetapi pe-
rempuan itu melompat ke arah lain dan turun da-
ri tanah tinggi. Shogun Kogawa bagaikan kecele
menerjang tempat kosong yang membuatnya clin-
gak-clinguk mencari lawan yang ingin diserang-
nya tadi. Terpaksa Shogun Kogawa kembali turun
dan lepaskan satu serangan tenaga dalam berge-
lombang besar melalui kibasan tangan kanannya.
Tetapi Ratu Candra Wulan tidak mau
membiarkan serangan itu menghantamnya. Ia le-
kas-lekas menyentakkan tangan kanannya ke kiri
sambil tubuhnya meliuk ke belakang, dan seber-
kas sinar kuning pecah menyergap Shogun Koga-
wa. Blaarrr...!
Sinar itu beradu dengan pukulan berge-
lombang besar dari Shogun Kogawa yang mem-
buat lelaki bersenjata samurai itu terhempas ke
belakang dengan sangat kuatnya. Tubuh itu
membentur dinding bukit cadas dan membuat
tubuh itu terbenam ke dalam dinding cadas kare-
na kuatnya benturan tersebut. Shogun Kogawa
bagaikan terkubur di sana, namun mampu keluar
setelah menjebol dinding kanan-kirinya. Ia tam-
pak marah besar kepada Ratu Candra Wulan,
namun gerakannya segera dicegah oleh Ki Tenung
Jagat dengan menghadangkan tongkatnya.
"Tahan dulu!: katanya dengan suara datar.
Sri Tanding segera dekati gurunya dan berkata,
"Mereka mengepung kami dan mengincar Pende-
kar Rajawali Merah, Nyai Guru!"
"Larilah kalian. Kuhadapi sendiri mereka!"
ucap Ratu Candra Wulan dengan wajah tetap ra-
mah dan tak ada kesan marah.
"Candra Wulan!" seru Jenggot Biru, "Perka-
ra kita yang dulu sudah berakhir. Jangan lagi kau
bikin perkara baru denganku!"
"Aku hanya melindungi muridku, Jenggot
Biru!" kata Ratu Candra Wulan.
"Muridmu tidak akan kami ganggu semasa
dia tidak berada di dekat Pendekar Rajawali Me-
rah!"
"Itu urusan mereka, mau berdekatan atau
berjauhan, yang jelas aku hanya akan melindungi
muridku!" kata-katanya tegas tapi wajahnya sela-
lu berkesan lembut dan ramah.
"Secara tidak langsung kau ingin melin-
dungi Pendekar Rajawali Merah juga, Candra Wu-
lan!" sahut Resi Panuluh. "Dan pemuda tampan
yang satunya pun akan kau lindungi juga? itu
sama saja kau ingin melawan kami, Candra Wu-
lan!"
"Resi Panuluh yang sakti, kalau kesimpu-
lanmu begitu aku tak pernah menghindar dari
tantangan siapa pun!"
Putri Kumbang berseru, "Wajah manis
pembawa racun dendam! Kau akan berurusan
denganku setelah kau bunuh dua muridku tiga
tahun yang lalu. Hiiaatt...!"
Tangan Putri Kumbang menyentak cepat ke
depan, lalu bersikap biasa-biasa lagi. Tapi senta-
kan tangan itu telah menghamburkan puluhan
jarum yang menyerang ke tubuh Ratu Candra
Wulan. Sayang sekali puluhan jarum itu tiba-tiba
jatuh tertumpuk di depan kaki Ratu Candra Wu-
lan ketika dipandanginya tak berkedip beberapa
kejap. Ratu Candra Wulan lumpuhkan serangan
jarum hitam berpuluh-puluh jumlahnya, dan
membuat Putri Kumbang menjadi geram. Ma-
tanya menatap tajam penuh amarah.
Lalu kedua jari telunjuk dipertemukan di
depan mulut, dan jari-jari itu ditiupnya. Tiupan
itu timbulkan suara denging tipis. Beberapa saat
kemudian, datanglah segerombolan lebah dari
berbagai arah. Lebah-lebah itu menggaung bagai-
kan suara setan dan jumlahnya mencapai seratus
lebah dari berbagai arah.
Sri Tanding, Yoga, dan Pandu Tawa terke-
jut melihat pasukan lebah menyerang mereka.
Tapi Ratu Candra Wulan tetap tenang dan tidak
menampakkan ketegangan dalam wajahnya. Ia
bahkan berkata dengan suara pelan tapi didengar
oleh Yoga, Sri Tanding, dan Pandu Tawa.
"Akan ku halau lebah-lebah itu, dan kalian
cepat larikan diri ke arah timur. Angin berhembus
dari timur dan lebah-lebah itu tak akan mengejar
kalian ke sana!"
Pasukan lebah atau kumbang penghisap
madu itu mulai menyergap mereka dan membuat
Shogun Kogawa undurkan langkah beberapa tin-
dak dengan rasa cemas. Tapi Ki Tenung Jagat te-
tap tenang pandangi binatang-binatang yang nya-
ris menutup cahaya langit itu.
Ratu Candra Wulan rapatkan kedua tela
pak tangannya di dada, kemudian disentakkan ke
atas secara bersamaan. Dari telapak tangan itu
berhamburan warna-warni dari asap yang me-
nyebarkan bau bangkai. Kumbang atau lebah-
lebah hutan itu pun mulai beterbangan tak tentu
arah bagai terhempas kekuatan angin berasap
bangkai. Mereka ada yang terbang melintasi kepa-
la Shogun Kogawa, bahkan ada yang singgah di
tubuh orang bersamurai itu. Akibatnya Shogun
Kogawa repot menepiskan lebah-lebah itu. Bah-
kan pasukan lebah yang menyebar ternyata hing-
gap di tubuh-tubuh mereka, sementara Sri Tand-
ing, Yoga, dan Pandu Tawa cepat-cepat larikan di-
ri.
Ratu Candra Wulan berhasil membuat me-
reka sibuk menghalau lebah yang ingin menyen-
gat tubuh mereka, sehingga tak satu pun ada
yang perhatikan pelarian ketiga orang tersebut.
Ketika lebah-lebah itu berhasil dihalau oleh me-
reka, dan pergi beterbangan ke mana-mana, me-
reka baru sadar bahwa Yoga telah hilang dari
pandangan mata mereka.
"Dia telah mengecohkan kita!" teriak Resi
Panuluh. "Kejar pemuda bertangan buntung tadi!"
Jenggot Biru yang berkelebat lebih dulu
mengejar Yoga. Tetapi Ratu Candra Wulan segera
gunakan ilmu tenaga ringannya untuk berlari le-
bih cepat dari Jenggot Biru. Ia tiba di jalanan de-
pan Jenggot Biru dan menghadang di sana.
"Kuingatkan padamu, Candra Wulan...
menyingkirlah dari hadapanku, supaya aku tidak
melukaimu!"
"Kau tak akan mampu melukaiku, Jenggot
Biru."
"Kau ingin mencobanya? Baik! Heaah...!"
Jenggot Biru menghentakkan satu kakinya
ke tanah, dan tubuh Ratu Candra Wulan terlem-
par ke atas. Untung ia cepat kuasai keseimban-
gan tubuhnya, sehingga mampu bersalto dan me-
nendang ke arah Jenggot Biru. Tetapi telapak
tangan Jenggot Biru segera menghantam telapak
kaki Ratu Candra Wulan, sehingga perempuan itu
terpental dengan kerasnya. Hantaman telapak
tangan tersebut mempunyai kekuatan tenaga da-
lam yang cukup tinggi, membuat Ratu Candra
Wulan sempat keluarkan darah dari mulutnya.
Padahal yang di hantam adalah telapak tangan-
nya, namun kekuatan itu agaknya tembus sampai
ke dada Ratu Candra Wulan.
"Peringatan pertama kuberikan padamu,
Candra Wulan. Kalau kau masih nekat mau ha-
langi kami, kau akan kehilangan hidup sela-
manya!" gertak Jenggot Biru dengan mata dingin-
nya.
"Aku tak peduli," jawab Ratu Candra Wu-
lan yang tetap tanpa wajah marah.
Hal itu membuat Jenggot Biru menjadi
sangat jengkel. Sementara itu, mereka yang me-
mihak Jenggot Biru segera mengepung Ratu Can-
dra Wulan yang menurutnya perlu disingkirkan
lebih dulu sebelum menyingkirkan Pendekar Ra-
jawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih nantinya.
Rupanya perempuan berjubah kuning gad-
ing itu tidak merasa gentar mengetahui dirinya
terkurung oleh tokoh-tokoh sakti itu. Wajahnya
pun tidak terlihat cemas ataupun tegang. Hanya
matanya yang memandang penuh waspada terha-
dap orang-orang yang mengitarinya.
"Jika kau memang ingin mengadu kesak-
tian denganku, datanglah ke Bukit Tulang Iblis.
Kita bertarung di arena sana!" kata Jenggot Biru.
"Sudah ku wakilkan kepada muridku Sri
Tanding sebagai bekal pengalamannya kelak di
masa mendatang," jawab Ratu Candra Wulan.
"Aku tak punya waktu untuk menghadiri perte-
muan tersebut. Tapi aku selalu punya waktu jika
ada yang mengusik orang-orangku."
Resi Panuluh melompat bagaikan seekor
harimau ingin menerkam mangsanya. Ratu Can-
dra Wulan hanya berpaling, kemudian kepalanya
bergerak menyentak ke kiri, dan tubuh Resi Pa-
nuluh terlempar ke kiri dengan sangat kuatnya.
Demikian pula Ki Tenung Jagat yang me-
lemparkan tongkatnya dan tongkat itu membara
merah bahkan mempunyai semburan api di ba-
gian depannya. Ratu Candra Wulan mengibaskan
kepalanya, dan tongkat itu terbang ke arah lain,
nyaris mengenai Putri Kumbang. Wuuttt...!
"Heaaah...!" Shogun Kogawa kembali me-
nyerang dengan mencabut samurainya. Tapi Ratu
Candra Wulan gerakkan kepala dari menunduk
menjadi menyentak naik, dan tubuh Shogun Kogawa terjungkal ke belakang beberapa kali puta-
ran. Akhirnya jatuh dengan leher terlipat.
Putri Kumbang yang ingin sentakkan tan-
gan untuk lepaskan tenaga dalamnya lagi itu, su-
dah lebih dulu terpental ke kiri karena Ratu Can-
dra Wulan memandanginya dan menggerakkan
kepalanya ke kanan dalam satu sentakan pendek.
Bruuss...! Putri Kumbang mencium tanah sejadi-
jadinya. Hal itu membuat Jenggot Biru kian ber-
tambah panas hatinya.
"Heaah...!" Ia melompat dan melayang di
udara bagaikan terbang. Tangannya tersentak ke
depan lepaskan pukulan berkekuatan tinggi, dan
pukulan tersebut disambut oleh Ratu Candra Wu-
lan dengan telapak tangan membuka dan me-
nyentak ke depan. Pukulan beradu dan menim-
bulkan suara gemuruh. Tapi pada saat itu tubuh
Ratu Candra Wulan juga melesat naik ke atas
hingga melebihi pucuk-pucuk pepohonan.
Jenggot Biru dan Ratu Candra Wulan be-
radu tangan di angkasa. Mereka saling pukul dan
saling tangkis dengan gerakan yang luar biasa ce-
patnya dalam keadaan tubuh turun ke bumi.
Plak, plak, plak, plak...! Baaahg...!
Duaaar...!
Brrrukkk...! Napas perempuan itu tersen-
dat. Ia jatuh tergolek di tanah dalam keadaan wa-
jah membiru dan dadanya kepulkan asap putih.
Sedangkan Jenggot Biru masih tetap tegak berdiri
dengan telapak tangan kepulkan asap putih juga.
Rupanya Ratu Candra Wulan telah terkena
dua kali pukulan dahsyat dari Jenggot Biru. Ia
terluka parah bagian dalamnya dan tak bisa ber-
diri lagi. Pada saat itu, Jenggot Biru sudah berada
di puncak kemarahannya. Maka, ia pun bermak-
sud menghancurkan tubuh Ratu Candra Wulan.
Kedua tangannya dari telapak ke ketiak membara
merah bagaikan tangan-tangan lahar. Ratu Can-
dra Wulan mengetahui adanya bahaya maut yang
akan menyerangnya, namun ia tak kuasa kerah-
kan tenaga perlawanan.
Ketika Jenggot Biru ingin lampiaskan ke-
marahannya dengan pukulan ganda bertangan
membara itu, tiba-tiba sekelebat bayangan me-
nyambar tubuh Ratu Candra Wulan. Wuuttt...!
Zlaappp...!
"Siapa itu tadi?!" teriak Resi Panuluh den-
gan kaget.
"Tak jelas!" jawab Putri Kumbang.
Bayangan yang menyambar tubuh Ratu
Candra Wulan itu dalam sekejap tak terlihat lagi
wujudnya. Bahkan warna bayangannya pun tak
terlihat. Angin kelebatannya pun tak terasa lagi.
Cepat sekali orang itu menghilang dari pandan-
gan mereka, dan itu menunjukkan bahwa orang
yang menyambar Ratu Candra Wulan bukan
orang sembarangan. Setidaknya mempunyai ilmu
sejajar tingginya dengan mereka, atau mungkin
lebih tinggi dari mereka.
Ratu Candra Wulan seperti baru saja ber-
kedip, tahu-tahu sudah berada di suatu tempat
yang berbeda dengan tempat di mana ia dikurung
oleh orang-orang berilmu tinggi itu. Perempuan
tersebut merasa ada seseorang yang menyela-
matkan dirinya. Bahkan ia juga merasakan luka
parah yang diduga akan menewaskan dirinya itu,
ternyata sudah lenyap dengan gaibnya. Tubuh
Ratu Candra Wulan kembali segar, seakan tak
pernah menerima luka parah dari lawannya.
Ia berdiri, memandang sekeliling, menyapu
seluruh tempat dengan sorot matanya yang lem-
but, menemukan sepi yang membentang luas di
sana. Akhirnya Ratu Candra Wulan berkata sedi-
kit keras.
"Siapa pun dirimu, kuucapkan terima ka-
sih banyak atas penyelamatan mu. Tapi izinkan
aku mengenali diri mu, Dewa Penolong!"
Beberapa saat kemudian terdengar suara,
"Aku hanya mencari cucuku dan ingin mene-
muinya. Tapi yang kutemukan adalah dirimu da-
lam bahaya!"
"Tak bolehkah aku menemui, Sobatku?!"
Beberapa kejap berikut, muncul seorang le-
laki berjenggot dan berkumis putih, tubuhnya ku-
rus, rambutnya digulung ke atas warna putih ra-
ta. Usianya lebih dari delapan puluh tahun,
mungkin mencapai seratus tahun lebih. Ratu
Candra Wulan kaget melihat lelaki berjubah putih
itu.
"Oh, rupanya kaulah orangnya, Ki Wejang
Keramat?!"
* * *
7
PERTARUNGAN menjelang saat pertemuan
di Bukit Tulang Iblis bukan hanya terjadi di kaki
bukit cadas, tapi juga di tepi sebuah sungai berair
bening. Pertarungan itu jelas bersumber dari ma-
salah pertemuan di Bukit Tulang Iblis. Hanya sa-
ja, dilihat sepintas pertarungan itu sepertinya ti-
dak seimbang, yaitu antara Selendang Badai den-
gan seorang lelaki berusia sekitar enam puluh ta-
hun, mengenakan pakaian coklat dan ikat kepala
hitam pada rambut tipisnya berwarna putih itu.
Orang tersebut tak lain adalah Si Tua Usil, pe-
layan dari Yoga dan Pendekar Rajawali Putih.
Persoalannya cukup sepele, namun gawat
juga bagi dunia persilatan. Selendang Badai me-
nyempatkan diri untuk membasuh wajahnya den-
gan air sungai yang jernih segar itu. Pada saat ia
membasuh wajah, ia melihat bayangan seorang
lelaki di atas pohon rindang. Ia menyangka lelaki
itu sedang mengintainya, padahal ia sedang beris-
tirahat menikmati hembusan angin semilir yang
mengantukkan itu.
Selendang Badai yang salah duga itu sege-
ra melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan ge-
rakan cepat membalik badannya. Wuuttt...!
Braasss...! Pukulan bergelombang panas menyen-
gat itu menerpa dedaunan, mematahkan dahan
dan ranting. Tetapi orang yang disangka mengin-
tai dirinya itu tidak ada di tempat. Selendang Ba
dai semakin curiga. Ketika ia berbalik arah, ter
nyata orang tersebut sudah berdiri di atas
sebuah batu sambil bersunggut-sungut.
"Kau ini jahat sekali! Ada orang sedang isti-
rahat dan hampir tertidur kau ganggu dengan
pamer ilmu macam begitu?!"
"Siapa kau, hah?!" bentak Selendang Badai
sambil mendekat sampai berjarak sekitar tiga
tombak.
"Aku orang baik-baik. Aku sering dipanggil
dengan nama Tua Usil! Tapi aku sudah tak per-
nah usil lagi sejak jadi pelayan Nona Li!"
"Tua Usil...?" Selendang Badai berkerut da-
hi tajam sekali, ia sempat sedikit tundukkan ke-
pala karena berpikir keras. Beberapa saat kemu-
dian ia melihat Tua Usil melompat dekati dirinya
sambil berkata,
"Apakah kau pernah mendengar namaku,
Nona cantik?"
"Hmmm...! Kalau tak salah, kaulah orang
yang dikenal sebagai pemilik Pusaka Hantu Jag-
al?!"
"O, ya! Betul itu! Aku yang memilikinya!"
Selendang Badai manggut-manggut, ha-
tinya berkata, "Sangat kebetulan sekali aku ber-
temu dengan orang ini dalam keadaan sepi. Aku
akan merebut pisau pusaka itu, dan akan kugu-
nakan di pertarungan nanti! Dengan bermodalkan
pusaka itu, setidaknya aku bisa menyerap ilmu
para tokoh sakti yang akan kuhadapi di pertarungan nanti!"
Tua Usil yang memandang dengan mata
sedikit menyipit, karena ingin menikmati seben-
tuk wajah yang menurutnya sangat cantik itu, se-
gera tersenyum bagai seringai kuda. Lalu ia per-
dengarkan suara,
"Nona cantik, kenapa kau termenung me-
lamun diri? Apakah kau terkesan dengan ketam-
panan ku?"
Selendang Badai yang sebenarnya berwa-
jah setengah tua itu memaksakan diri untuk ter-
senyum. Ia berkata, "Ya, aku memang terkesan
dengan ketampanan mu. Hmmm... apakah kau
sudah beristri, Tua Usil?"
"O, belum! Belum sekali!" jawab Tua Usil
mulai bersemangat dan hatinya berdebar-debar.
Rupanya ia punya minat terhadap Selendang Ba-
dai. Usia setengah tua seperti itulah yang mem-
bangkitkan selera hidup Tua Usil. Ia semakin
mendekati Selendang Badai. Dan perempuan itu
semakin melebarkan senyum pemikat hati Tua
Usil.
"Aku juga sudah tidak bersuami lagi. Na-
maku Selendang Badai!"
"Wow...! Nama yang bagus dan enak diden-
gar. Suatu kebetulan jika kita bertemu tanpa su-
ami dan tanpa istri."
"Memang benar," kata Selendang Badai
sambil berpaling ke arah lain dan jauhi Tua Usil
dua tindak. Ia berlagak malu-malu kucing. Se-
dangkan Tua Usil memang kucing yang malu-
malu mau. Maka perempuan itu pun semakin di
dekatinya. Ia mendengar Selendang Badai berka-
ta,
"Sudah lama aku merindukan seorang su-
ami sebagai teman hidupku. Tapi tak pernah ada
yang cocok di hatiku. Baru sekarang aku mene-
mukan seorang lelaki yang langsung menyentuh
hatiku."
"Akukah orang yang kau maksud, Selen-
dang Badai?"
"Benar," sambil Selendang Badai berpaling
memandang Tua Usil. "Kau memang orang yang
ku maksud. Tapi...," Selendang Badai berpura-
pura sedih, membuat Tua Usil menjadi ingin ta-
hu.
"Tapi kenapa, Selendang Badai?"
"Tapi aku punya persoalan yang tak bisa
ku atasi!"
"Persoalan apa, katakan saja padaku. Aku
siap membantumu!"
"Aku mempunyai musuh terberat dalam
hidupku. Dia selalu mengejar-ngejar ku dan me-
maksa aku untuk menjadi istrinya. Aku sudah
melawannya, tapi tak pernah menang, karena dia
cukup sakti. Dia hanya bisa dibunuh ataupun di-
lukai dengan Pusaka Hantu Jagal."
"Hah...?!" Tua Usil kaget.
"Iya. Hanya dengan pusaka itu dia bisa ku-
kalahkan. Padahal aku tidak mempunyai pusaka
tersebut. Aku harus mencarinya, tapi ke mana
akan kucari pusaka itu? Aku tidak tahu, Tua
Usil!"
"Lho, akulah pemilik pusaka itu!"
"O, ya...?!" Selendang Badai berlagak kaget
dan girang.
"Akulah orang yang mempunyai Pusaka
Hantu Jagal dan sampai sekarang masih ada pa-
daku! Bagaimana kalau kau pertemukan aku
dengan lawanmu itu, biar kuhabisi dia agar tak
mengganggumu lagi."
"O, jangan. Nanti kau terluka dan aku se-
dih kalau kau terluka. Sebaiknya, pinjamkan pu-
saka itu padaku Tua Usil. Biar kuhadapi sendiri
lawanku itu!" "Pinjamkan...?" Tua Usil mulai bim-
bang. "Sebentar saja, Tua Usil. Nanti akan ku-
kembalikan!" bujuknya dengan berlagak murung.
Tua Usil diam menimbang-nimbang kepu-
tusannya. Setelah itu ia memandang Selendang
Badai. Perempuan berwajah murung itu membuat
hati Tua Usil iba. Karena ia berharap dapat me-
lanjutkan hubungan dengan perempuan yang se-
suai dengan seleranya itu, maka.. Tua Usil pun
berkata kepada Selendang Badai,
"Tapi... tapi nanti akan kau kembalikan pi-
sau itu?"
Benar. Tua Usil! Akan kukembalikan ber-
sama hati ku untukmu!"
"Ooh...?!" Tua Usil tersenyum, hatinya ber-
debar-debar. Ia mendekap dadanya sendiri dalam
keceriaan yang penuh khayalan.
Maka, Tua Usil pun segera mengeluarkan
pisau Pusaka Hantu Jagal dari balik baju coklat-
nya. Pisau itu di pandangi sesaat, seperti masih
ada keraguan di hati Tua Usil untuk menyerah-
kannya.
Mata Selendang Badai berbinar-binar meli-
hat pisau yang sarung dan gagangnya berlapis
emas berukir itu. Tak sabar rasanya untuk segera
merampas. Tapi Selendang Badai menahan ha-
sratnya, karena ia takut akan gagal jika dengan
cara merampasnya. Maka, ia pun menunggu den-
gan hati berdebar-debar. Ia sempat berkata den-
gan suara dibuat sedih.
"Ayah dan ibuku sudah dibunuh oleh
orang itu, sedangkan aku ingin dikawininya. Aku
sakit hati sekali dan tak akan bisa tenang jika be-
lum bisa membalas dendam kepadanya. Percuma
aku hidup berdampingan dengan seorang suami
tercinta, segudang harta dan kemewahan, jika
aku belum bisa melampiaskan dendam ku kepada
Raja Badik itu!"
"Raja Badik?" gumam Tua Usil dengan he-
ran, merasa belum pernah mendengar nama ter-
sebut di rimba persilatan. Padahal Selendang Ba-
dai hanya mengarang nama tersebut asal-asalan
saja.
"Iya. Raja Badik itu memang jahat dan tu-
buhnya kebal senjata!"
Tua Usil menarik napas, lalu berkata,
"Baiklah, kuserahkan pisau pusaka ini. Ku pin-
jamkan kepadamu dan lampiaskan dendammu
pada orang jahat itu! Pisau ini memang khusus
kugunakan untuk melawan kejahatan."
"Oh, kau benar-benar menyenangkan hati
ku, Tua Usil," katanya ketika menerima pisau Pu-
saka Hantu Jagal dari tangan Tua Usil.
"Kuharap kau pun dapat menyenangkan
hatiku, Selendang Badai."
"O, ya. Ku usahakan sebisaku. Tapi kalau
tidak bisa, jangan kecewa, Tua Usil. Karena se-
sungguhnya aku membenci pria yang bodoh se-
perti kamu, yang mau menyerahkan pusaka ke-
pada wanita dengan sedikit rayuan saja. Hi hi hi
hi...!"
Tua Usil terbengong dengan mata tak bisa
berkedip. "Apa... apa... apa maksudmu, Selen-
dang Badai?!"
"Pisau pusaka ini dulu ku idam-idamkan,
tapi baru sekarang bisa berada di tanganku. Ka-
lau saja pemilik pisau pusaka ini bukan orang
bodoh, tentunya dia tidak akan melepaskan pisau
ini ke tangan orang mana pun. Beruntung sekali
nasibku hari ini, selain bisa mengelabuhi seorang
lelaki, juga bisa mendapat pisau Pusaka Hantu
Jagal!"
Tua Usil bingung bercampur curiga melihat
Selendang Badai tertawa terkikik-kikik mirip kun-
tilanak. Maka, Tua Usil pun berkata,
Karena kau mau hidup bersamaku dan su-
ka punya suami aku, maka kuserahkan pisau itu
kepadamu, Selendang Badai!"
"Siapa yang mau hidup bersamamu? Siapa
yang sudi punya suami macam kau, Tua Usil
Hemm! Tak sudi aku menjadi istrimu! Aku hanya
menyerangmu dengan rayuan agar pisau ini menjadi milikku! Hi hi hi!"
"Kuntilanak kempot!' bentak Tua Usil sete-
lah sadar bahwa dirinya telah tertipu mentah-
mentah oleh perempuan berpakaian jubah tanpa
lengan warna biru dan mengalungkan selendang
merah di lehernya.
"Kembalikan pisau itu!" Tua Usil semakin
marah. Lebih geram lagi melihat Selendang Badai
hendak melarikan diri. Langsung saja Tua Usil
melompat dan mencegat di depan langkah Selen-
dang Badai dengan lompatan bersalto melewati
atas kepala perempuan tersebut.
"Kau ingin pisau ini memakan nyawamu
sendiri, rupanya!" kata Selendang Badai kepada
Tua Usil. Maka, serta-merta Tua Usil melepaskan
pukulan tenaga dalamnya lewat kelebatan lima
jari berkuku hitam warisan ilmu dari Nyai Kuku
Setan itu. Zlaapp...! Sinar hijau memencar ke lima
arah, menghantam tubuh Selendang Badai,
membuat tangan Selendang Badai tak jadi men-
cabut gagang pisau itu. Sinar hijau itu hampir sa-
ja melukai tubuh Selendang Badai jika ia tidak
segera lepaskan sinar penangkisnya melalui tela-
pak tangan yang ingin mencabut pisau tersebut.
Telapak tangan itu memancarkan sinar terang
warna biru dan membuat serangan Tua Usil da-
pat dilumpuhkan.
Blaarrr...!
Ledakan menghentak kuat terjadi akibat
benturan dua sinar tersebut. Tubuh Selendang
Badai terhempas ke belakang dan berguling
guling. Pisaunya terlepas dari tangan, sedangkan
Tua Usil hanya mundur beberapa tindak dari
tempatnya semula. Melihat pisau itu jatuh ke ta-
nah, Tua Usil segera melompat dengan cepatnya
dan menyambar pisau tersebut. Wuuttt...!
Pisau kembali berada di tangan Tua Usil.
Selendang Badai menjadi berang dan segera ber-
seru,
"Serahkan pisau itu atau kuhancurkan tu-
buhmu, Tua Usil!"
Wanita berselendang merah itu segera me-
narik selendangnya dari lingkaran leher. Tua Usil
melarikan diri karena tak mau melawan perem-
puan yang sempat menimbulkan kesan indah di
hatinya walau hanya sekejap itu. Pelarian Tua
Usil membuat Selendang Badai menjadi semakin
berang. Maka, ia pun segera melecutkan selen-
dangnya ke arah Tua Usil yang berjarak tujuh
tombak darinya.
Wuuttt...! Blegaarrr...!
Cahaya biru melesat pecah bagaikan petir
membelah bumi. Tua Usil jatuh tersungkur, kare-
na lecutan selendang itu hadirkan angin badai
yang menghembus sangat kuat dan cepat, bah-
kan sempat merobohkan dua pohon tak jauh dari
Tua Usil berada.
Pada saat Tua Usil jatuh, pisaunya sudah
disembunyikan di balik baju dan Selendang Badai
melihat tempat penyimpanan tersebut. Maka Se-
lendang Badai pun mengejarnya dengan cepat.
Hanya saja langkahnya menjadi berat dan semakin berat karena ada angin kencang datang dari
arah depannya.
"Keaak...! Keaaak...!"
Rupanya angin besar itu datang dari kepak
sayap seekor burung Rajawali Putih berukuran
besar. Tentu saja kepak sayap itu mempunyai ke-
kuatan tenaga dalam sehingga dapat hasilkan an-
gin kencang yang menahan gerakan tubuh Selen-
dang Badai, seakan menentang hembusan badai
yang amat kuat.
Seorang gadis berpakaian merah jambu
dengan pedang perak yang di ujung gagangnya
terdapat ukiran dua burung rajawali saling berto-
lak belakang itu, tampak menunggang burung
tersebut dengan anggunnya. Pendekar Rajawali
Putih itulah penunggang burung tersebut, yang
segera turun begitu melihat Tua Usil dikejar oleh
Selendang Badai.
"Burung keparat!" teriak Selendang Badai
dengan geram. Maka ia pun segera mengibaskan
selendang merahnya lagi di udara. Wuukkk...!
Angin badai datang bersama ledakan guntur ber-
kali-kali. Burung putih itu oleng ke kiri karena
hembusannya. Lili segera melompat turun dari
punggung burung yang terbang rendah seukuran
pohon jati.
"Menjauhlah, Putih!" teriak Lili begitu tiba
di darat. "Keaak...! Keaakk...!" burung itu pun
terbang menjauh dengan sedikit oleng karena
mengimbangi hembusan badai yang mengamuk.
"Tua Usil...! Lekas berlindung!" teriak Lili
disela deru badai yang masih datang mengamuk
karena selendang merah itu dikibas-kibaskan di
udara. Suara angin badai itu bergemuruh bagai
suara gunung meletus. Tua Usil tidak mendengar
seruan Lili, namun melihat tangan Lili bergerak-
gerak memberikan isyarat untuk berlindung. Ma-
ka Tua Usil merangkak dengan susah payah un-
tuk berlindung di balik pohon besar berakar le-
bar.
Rupanya burung putih besar itu sengaja
terbang belum sejauh dugaan mereka. Burung itu
hanya terbang memutar arah. Kemudian dari atas
belakang Selendang Badai yang sedang mengibas-
ngibaskan selendangnya itu, mata burung terse-
but keluarkan sinar putih perak yang menghan-
tam pohon dl samping Selendang Badai. Claapp...!
Blegarr...!
Kreaakk...! Bruukkk...! Pohon itu hampir
saja tumbang menggencet tubuh Selendang Ba-
dai. Mau tak mau Selendang Badai melompat
dengan menghentikan kibasan selendangnya. Ba-
dai pun reda, dan Lili pun punya kesempatan un-
tuk segera lakukan serangan pembalasan.
Jurus 'Salju Neraka' digunakan oleh Lili.
Tangan pendekar cantik itu menyemburkan busa-
busa salju putih ke arah lawan. Tetapi dalam se-
kejap lawan sudah
mampu kelebatkan kembali selendang me-
rahnya. Buuttt...! Dan salju-salju yang ingin me-
nyerangnya terbang ke mana-mana tak tentu
arah. Bahkan kali ini Lili melihat sinar biru se
dang melesat hendak menghantam Tua Usil aki-
bat dari kibasan selendang merah tersebut. Ujung
selendang yang menebarkan sinar biru itu tak di
sadari oleh Tua Usil sehingga Lili berseru, "Tua
Usil, awaaas...!"
Lili sendiri berkelebat menghadang sinar
tersebut dengan lepaskan pukulan berwarna pu-
tih perak dari tangannya. Blegaarr...!
Ternyata kekuatan sinar biru dari selen-
dang merah darah itu cukup kuat, sehingga tim-
bulkan ledakan yang mampu menghempaskan
tubuh Lili dengan berjungkir balik dan memben-
tur pohon besar. Duug...! Sedangkan Selendang
Badai hanya terjengkang ke belakang akibat sen-
takan daya ledak tersebut. Tua Usil sendiri terpe-
lanting ke arah kiri dan jaraknya menjadi jauh
dengan Pendekar Rajawali Putih.
Rupanya ledakan itu mempunyai gelom-
bang berbahaya yang mampu jebolkan dada la-
wan. Kalau saja Lili tidak mempunyai lapisan te-
naga dalam yang amat besar, maka dadanya akan
jebol sebagai orang yang berada dalam jarak amat
dekat dengan ledakan tadi. Lili memuntahkan da-
rah merah dari mulutnya. Wajahnya pun menjadi
pucat pasi.
"Nona Liliii...!" Tua Usil menjerit karena ka-
get dan cemas akan keselamatan Pendekar Raja-
wali Putih itu. Maka, serta merta Tua Usil meng-
hampiri Lili dengan gerakan peringan tubuh yang
cukup tinggi. Wuuttt...! Kurang dari satu kedipan,
Tua Usil telah berhasil tiba dl samping Lili. la segera menolong Lili dengan kata kecemasan yang
terlontar keras.
"Nona, Li...! Nona...! Sadar, Nona...!" Pada
waktu itu, Selendang Badai berteriak keras dalam
kemarahannya yang ingin dilepaskan seluruhnya,
"Habis sudah riwayat kalian! Heaaahhh...!" Selen-
dang itu dikibaskan di atas kepala lalu dilepas
dari tangannya. Wuuuk...! Selendang merah ter-
bentang lurus dan kaku bagaikan lempengan baja
yang meluncur cepat ke arah Lili dan Tua Usil.
Keadaan itu sempat membuat Tua Usil kaget, lalu
segera berdiri untuk menghadang serangan se-
lendang yang berubah menjadi lempengan baja
siap memenggal kepala.
Selendang itu menjadi amat tajam, terbukti
sebatang pohon dilewatinya begitu saja dengan
tanpa menimbulkan suara saat memotongnya.
Namun beberapa kejap berikutnya pohon itu ter-
potong rata dan tumbang.
Pada saat selendang maut itu sudah men-
dekati Tua Usil, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh
kurus berjenggot panjang putih dan berkepala
gundul, berdiri menghadang lajunya selendang
tersebut. Lalu ketika selendang itu hendak me-
nembus tubuhnya, dengan gerakan lunak orang
tersebut menyentakkan tangannya ke depan.
Wuuttt...! Selendang yang berubah menjadi baja
maut itu berhasil ditahan dengan telapak tangan,
lalu disentakkan ke depan dan kembali kepada
pemiliknya. Wuungng...!
Clakk...! Selendang itu menancap pada se
batang pohon setelah dua kali memotong pohon
lainnya. Selendang Badai segera melompat meng-
hindari gerakan balik selendang itu, karenanya
selendang tersebut menancap di pohon belakang-
nya, lalu ditarik dan dikibaskan sebagai kain se-
lendang setipis sutera itu.
"Resi Gumarang...?!" ucap Selendang Badai
dengan geram. "Kau selalu ikut campur dalam
masalah ku. Resi Gumarang?"
"Tidak selalu, Selendang Badai. Hanya jika
kau bertindak kelewat batas, aku terpaksa ikut
campur. Itu pun baru sekarang setelah aku turun
kembali ke dunia persilatan ini, Selendang Badai!"
"Orang ini berbahaya. Tahu persis kelema-
han ku. Sebaiknya ku tinggalkan saja dan segera
menuju ke Bukit Tulang Iblis!" pikir Selendang
Badai. Maka, setelah mendengus kesal, ia pun
pergi tinggalkan tempat.
Resi Gumarang, calon penghulu dalam
perkawinan Lili dan Yoga nantinya, ternyata da-
tang tepat pada waktunya. Ia berhasil menghalau
Selendang Badai, dan cepat sembuhkan Lili. Da-
lam waktu kurang dari lima helaan napas, kea-
daan luka Lili menjadi sembuh hanya dengan ca-
ra menatap mata Lili satu helaan napas.
"Kau harus bergabung dengan Yoga," kata
Resi Gumarang.
"Apa yang saya lakukan tadi hanya mem-
bela si Tua Usil, Resi Gumarang," kata Lili.
"Memang. Aku tahu. Aku juga tahu bahwa
kau dan Yoga sedang dicari-cari oleh para tokoh
sakti. Kalian dari aliran rajawali akan disingkir-
kan sebelum acara di Bukit Tulang Iblis itu dilak-
sanakan!"
"Mengapa begitu, Resi Gumarang?" Lili ter-
peranjat heran.
"Aliran rajawali dikhawatirkan akan men-
jadi raja dalam persilatan kita ini. Kau dan Yoga
dianggap orang paling berbahaya dan banyak
yang meramalkan bahwa kalianlah yang akan un-
ggul dalam pemilihan dan penobatan nanti. Jadi,
banyak tokoh sakti yang berusaha menyingkirkan
kalian berdua sebelum acara dimulai. Mereka
bermaksud agar kalian tidak hadir dalam perte-
muan di Bukit Tulang Iblis nanti!"
Tua Usil dan Lili diam, menyimak segala
apa yang dikatakan oleh tokoh tua yang berilmu
tinggi dan pernah menjadi sahabat karib guru Lili
dan Yoga itu. Ketika Lili ingin bicara, tiba-tiba
orang kurus berpakaian putih itu lenyap dari
pandangan mata. Tua Usil kaget dan segera men-
cari-carinya, namun tidak ditemukan di mana-
mana. Lili sempat dibuat bingung sebentar, sete-
lah itu termenung mengingat-ingat pesan dari Re-
si Gumarang tadi.
* * *
8
PERCAKAPAN yang terjadi antara Ratu
Candra Wulan dengan Ki Wejang Keramat, kakek
dari Pandu Tawa, ternyata ada yang mencuri den-
gar dari kejauhan sana. Mereka tak tahu, karena
jaraknya amat jauh. Si pencuri dengar itu pun ti-
dak bermaksud mengganggu, hanya diam di atas
sebuah batu, duduk termenung sambil beristira-
hat dari perjalanannya yang melelahkan.
Ki Wejang Keramat berkata kepada Ratu
Candra Wulan, "Pertemuan dl Bukit Tulang Iblis
itu memang membawa bencana sendiri bagi para
tokoh rimba persilatan. Di situlah nanti akan
tampak, siapa-siapa orang yang serakah dan in-
gin berkuasa di atas manusia lainnya!"
Cahaya berseri di wajah Ratu Candra Wu-
lan itu membuat Ki Wejang Keramat rasakan ke-
damaiannya dalam bicara. Saat itu, Ratu Candra
Wulan sebenarnya sedikit heran mendengar kata-
katanya Ki Wejang Keramat, karena ia menyangka
Ki Wejang Keramat yang mempunyai prakarsa
pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu. Karenanya,
Ratu Candra Wulan berkata kepada tokoh sakti
yang sudah cukup tua itu,
"Jika pertemuan di Bukit Tulang Iblis itu
membawa bencana bagi para tokoh, mengapa Ki
Wejang Keramat mengadakannya?"
"Bukan aku yang mengadakan pertemuan
itu, Candra Wulan!" sanggahnya dengan tenang
dan bijaksana. "Barangkali Resi Gumarang-lah
yang mengadakan pertemuan dan pemilihan se-
perti itu! Mungkin Resi Gumarang punya mak-
sud-maksud tertentu, tetapi di salah artikan oleh
para tokoh lainnya, sehingga pertemuan tersebut
menjadi sebuah bencana kecil bagi kita bersama,
Candra Wulan."
"Jadi menurut Ki Wejang Keramat, bagai-
mana langkah yang baik mengatasi pertemuan di
Bukit Tulang Iblis itu?"
"Menurutku, tak usah diadakan acara se-
perti itu! Bubarkan saja. Kecuali memang perte-
muan itu bisa membawa damai bagi siapa pun
juga orangnya!"
"Kalau begitu, Ki Wejang Keramat sebaik-
nya bicara dengan Resi Gumarang, supaya beliau
mau membubarkan atau membatalkan acara itu!"
usul Ratu Candra Wulan dengan tutur kata yang
lembut dan sopan.
"Ya, aku akan bicara dengan Gumarang!
Mungkin sekarang juga aku harus temui dia di
tempat pengasingannya, supaya...."
Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa, Tak
perlu ke sana, Kakang Wejang Keramat!"
Ratu Candra Wulan terperanjat, ia menca-
ri-cari si pemilik suara. Tiba-tiba dari balik pohon
muncul orang kurus berkepala gundul yang tak
lain adalah Resi Gumarang.
"Tak perlu kau menemuiku, Kakang We-
jang Keramat, aku sendiri sudah ingin menemui-
mu!" kata Resi Gumarang. Ratu Candra Wulan
memberi hormat dengan sedikit bungkukkan ba-
dannya, karena ia merasa lebih muda usianya
dan lebih rendah ilmunya dibanding kedua tokoh
sakti itu.
Ki Wejang Keramat berkata, "Untuk apa
kau ingin menemuiku, Adi Gumarang?"
"Untuk apa lagi jika bukan untuk mende-
sak Kakang Wejang Keramat agar membatalkan
acara di Bukit Tulang Iblis itu!" jawab Resi Guma-
rang dengan sikap bersahaja.
Didekatinya Resi Gumarang dengan lang-
kah pelan, lalu Ki Wejang Keramat berkata, "Ke-
tahuilah, bahwa sesungguhnya bukan aku yang
mengadakan pertemuan tersebut. Aku tidak
punya gagasan seperti itu, Adi Gumarang."
Resi Gumarang yang merasa lebih muda
dan menganggap Ki Wejang Keramat sebagai ka-
kak perguruannya di masa lalu, sempat memper-
cayai pengakuan tersebut. Sebab Resi Gumarang
tahu, bahwa Ki Wejang Keramat seumur hidup-
nya tidak pernah menipu siapa pun, dan berkata
dusta merupakan pantangan bagi hidupnya.
"Jika bukan Kakang dan bukan aku yang
mengadakan pertemuan itu, lantas siapa orang-
nya menurut perkiraan Kakang Wejang Keramat?"
"Tentunya kau lebih tahu dariku, karena
kau mempunyai ilmu teropong batin yang terkuat
di antara kita, Adi Gumarang."
"Sudah ku coba, Kakang. Tapi ilmu tero-
pong batin ku tak mampu menembus sesosok tu-
buh yang mengaku sebagai pencetus gagasan ter
sebut. Ia hanya berbentuk seperti cahaya putih
menyilaukan tak bisa kulihat dan kutembus den-
gan mata batin ku, Kakang Wejang Keramat. Dan
setahuku, hanya terhadap dirimu saja aku tidak
bisa menembuskan mata batin ku untuk menge-
tahui keberadaanmu, Kakang Wejang Keramat."
Resi Gumarang bicara dengan hati-hati
dan penuh hormat. Sementara kedua tokoh tua
itu sama-sama bungkam, Ratu Candra Wulan
memberanikan diri bicara kepada mereka,
"Resi Gumarang dan Ki Wejang Keramat,
kalau boleh saya simpulkan, pasti ada pihak lain
yang bermaksud mengacaukan dunia persilatan
kita dengan menyebar berita bohong itu. Tujuan-
nya hanya semata-mata untuk mengacaukan du-
nia persilatan kita, supaya setiap orang saling
bunuh dan saling berebut kekuasaan dalam
bayangan itu!"
"Sekalipun memang demikian," kata Ki We-
jang Keramat, "Setidaknya kita harus tahu siapa
pengacaunya, supaya kita bisa menegurnya den-
gan cara kita sendiri."
"Kakang Wejang Keramat," Resi Gumarang
menyela pembicaraan pada saat ia seperti mene-
mukan sesuatu dalam benaknya. "Menurut du-
gaanku, orang yang tak bisa kutembus dengan te-
ropong batin adalah Dewa Nujum, yang sekarang
berubah julukan dan dikenal dengan nama Wong
Sakti!"
Ki Wejang Keramat manggut-manggut da-
lam keadaan diam tak bicara. Gumam kecil pun
tak terdengar. Ratu Candra Wulan perhatikan wa-
jah Ki Wejang Keramat, seolah-olah menunggu
jawaban dari orang tersebut. Setelah beberapa
saat mereka terbungkam, Ki Wejang Keramat ber-
kata,
"Ya. Dugaanmu mendekati kebenaran. Hati
kecilku condong menduga Wong Sakti itulah yang
membuat acara pertemuan di Bukit Tulang Iblis!"
"Kalau begitu, kita cari dia Kakang Wejang
Keramat! Kita desak dia supaya membatalkan
pertemuan tersebut!"
"Barangkali saja dia sudah berada di Bukit
Tulang Iblis! Bagaimana jika kita ke sana, Adi
Gumarang?!" "Aku sangat setuju, Kakang Wejang
Keramat!"
Wuusss...! Angin berhembus ketika mereka
hendak melangkah. Hembusan angin itu terasa
aneh bagi Ki Wejang Keramat. Itulah sebabnya ia
batalkan langkah kakinya, ia sempatkan meman-
dang ke sana-sini dan sampai akhirnya ia temu-
kan seseorang berjubah abu-abu dengan rambut
putih tipis dan tubuh bersisik.
"Oh, kau hadir juga di sini, Wong Sakti?!"
tegur Ki Wejang Keramat kepada pendatang baru
yang ternyata adalah Wong Sakti. Kali ini Wong
Sakti datang sendirian, tanpa membawa murid
tunggalnya yang bernama Kukilo itu.
Belum-belum Wong Sakti sudah garuk-
garuk kepala dengan meringis.
"Aku terpaksa datang menemui kalian, ka-
rena aku tak tahan dijadikan bahan pembicaraan
kalian. Kutinggalkan tempatku duduk termenung
di atas batu, hanya untuk meluruskan masalah
ini!"
"Masalah tentang apa yang ingin kau lu-
ruskan Wong Sakti?!" tanya Resi Gumarang.
"Dugaanmu sudah berubah menjadi tudu-
han, Gumarang!" kata Wong Sakti yang merasa
berusia lebih tua dari Resi Gumarang dan juga
masih merasa lebih tua dari Ki Wejang Keramat.
Itulah sebabnya Wong Sakti sedikit seenaknya da-
lam bersikap di depan kedua tokoh tua dan satu
wanita cantik yang sebenarnya juga sudah beru-
sia tua itu.
"Kalau kalian menuduhku sebagai pence-
tus gagasan tersebut, itu adalah salah besar!" ka-
ta Wong Sakti. "Aku bukan pencetusnya, tapi aku
tahu siapa pelaku utama dalam pertemuan di
Bukit Tulang Iblis yang akan terjadi itu."
"Siapa orangnya menurutmu, Wong Sakti?"
tanya "Menurut hasil ramalan sakti ku, orang
yang mengadakan pertemuan di Bukit Tulang Ib-
lis itu adalah Nyai Mantera Dewi, dari perguruan
Camar Sakti!"
"Bisa juga!" jawab Ki Wejang Keramat. "Te-
tapi apa alasan Nyai Mantera Dewi mengadakan
pertemuan itu?"
"Sebaiknya kita tanyakan langsung kepada
yang bersangkutan! Kalau kita main terka-
menerka, nanti kita malahan cekcok sendiri. Pa-
dahal aku sudah bosan cekcok dari dulu sampai
setua ini!" kata Wong Sakti dengan seenaknya bicara, tapi bisa dimaklumi oleh mereka.
Maka, mereka pun sepakat temui Nyai
Mantera Dewi di Perguruan Camar Sakti. Nyai
Mantera Dewi itu adalah guru dari Gadis Lin-
glung, yang mempunyai ciri-ciri berjubah merah
darah dengan giwang warna ungu dari batuan
berkerilap. Rambutnya putih, disanggul sebagian,
usianya sekitar tujuh puluh tahun ke atas.
Kedatangan para tokoh sakti itu membuat
heran Nyai Mantera Dewi, namun ia tetap me-
nyambutnya dengan baik. Ia hanya bertanya,
"Apa gerangan yang membuat kalian da-
tang kemari?"
"Tentang pertemuan di Bukit Tulang Iblis.
Mantera Dewi," kata Wong Sakti dengan mengu-
sap-usap kepalanya sendiri.
"Aku akan hadir di sana sebentar lagi. Si-
lakan kalian berangkat lebih dulu ke Bukit Tu-
lang Iblis!"
"Bukan soal keberangkatan mu yang ingin
kutanyakan, tapi keberadaanmu di dalam acara
pertemuan tokoh-tokoh dunia kelas berat itu,
Mantera Dewi," kata Resi Gumarang. "Apa perlu-
mu mengadakan pertemuan yang hanya bisa
memancing perselisihan di antara sesama?"
Nyai Mantera Dewi berkerut dahi, kemu-
dian berkata, "Siapa bilang aku perintis perte-
muan itu? Siapa bilang itu gagasan ku?"
Wong Sakti berkata, "Akulah yang menu-
duh mu begitu."
"Atas dasar apa?"
"Kira-kira saja!"
Nyai Mantera Dewi berkata, "Bukan aku
pencetus gagasan. Bukan aku yang adakan per-
temuan tersebut. Kalian jangan salah duga!"
"Kami hanya kehendak! supaya pertemuan
itu dibatalkan saja, karena mengundang permu-
suhan satu dengan yang lain, Mantera Dewi," ka-
ta Ki Wejang Keramat.
"Aku setuju. Tapi bagaimana aku bisa
membatalkan jika rencana itu bukan rencanaku,
Ki Wejang Keramat?"
Mereka sama-sama diam, Ki Wejang Kera-
mat termenung, Ki Wejang Keramat saling pan-
dang dengan Resi Gumarang. Nyai Mantera Dewi
memandangi wajah tamu-tamunya satu persatu.
Kejap berikut terdengar suara Wong Sakti berkata
kepada Ki Wejang Keramat.
"Kecurigaan ku jatuh pada seseorang yang
pandai meneropong kelemahan ilmu apa pun!"
Kini semua memandang Wong Sakti. Resi
Gumarang bertanya, "Siapa orang yang kau mak-
sudkan itu, Wong Sakti.
"Siluman Ilmu!"
Mereka saling bergumam, "Siluman Il-
mu...?"
Nyai Mantera Dewi segera berkata, "Apakah
yang kau maksud adalah Siluman Ilmu yang ting-
gal di Tebing Tengkorak itu?"
"Tepat," jawab Wong Sakti lalu terkekeh
sendiri sambil garuk-garuk kepalanya. "Ada baik-
nya kalau kita pergi ke Tebing Tengkorak sekarang juga!"
"Tunggu dulu," kata Ratu Candra Wulan
yang sejak
tadi hanya diam saja itu. "Jika kita ke sa-
na, dan jika benar Siluman Ilmu orang yang
punya gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis,
maka sudah pasti dia sekarang ada di Bukit Tu-
lang Iblis. Sekarang sudah waktunya pertemuan
itu diadakan, karena sudah lewat tengah hari!"
"Benar," gumam Nyai Mantera Dewi. "Ku
usulkan agar kita lekas-lekas ke Bukit Tulang Ib-
lis saja!"
Ki Wejang Keramat dan Resi Gumarang
manggut-manggut. Tak ada yang memberi gaga-
san lain, karenanya mereka segera berangkat ke
Bukit Tulang Iblis.
Bukit itu tak seberapa tinggi. Bagian atas-
nya datar dan luas, ada beberapa tanaman yang
berjarak renggang, seakan menjadi peneduh pun-
cak bukit tersebut. Dari kaki bukit dapat dilihat
keadaan di puncak bukit, karena lereng bukit itu
gundul, hanya ada tanaman rumput pendek.
Tanpa pohon besar yang tumbuh di lerengnya.
Bukit itu sekarang ramai dikunjungi para
tokoh rimba persilatan yang rata-rata berilmu
tinggi. Rombongan Ki Wejang Keramat ketika tiba
di kaki bukit sempat bertemu dengan orang yang
disebut Siluman Ilmu. Orang itu berpakaian abu-
abu dan usianya sekitar enam puluh tahun ke
atas, (Lebih jelasnya baca serial Jodoh Rajawali
dalam episode: "Mempelai Liang Kubur").
Ketika Resi Gumarang menegur Siluman
Ilmu, orang itu membantah tuduhan tentang pen-
cetus gagasan pertemuan di Bukit Tulang Iblis
tersebut. Ia berkata,
"Untuk apa aku mempunyai gagasan edan
seperti ini? Tak ada untungnya bagiku, Resi Gu-
marang! Justru aku datang kemari untuk melihat
siapa yang akan dinobatkan sebagai hakim dan
mendapat gelar Pendekar Maha Sakti!"
Setelah sama-sama bungkam, setelah be-
rulangkali mengelak tuduhan tersebut, akhirnya
Wong Sakti berkata,
"Daripada susah-susah mencari siapa pen-
gacau yang membuat kita pusing sendiri, lebih
baik hadir saja ke sana, dan lihat sendiri siapa
pencetus pertemuan itu!"
"Itu usul yang bagus!" kata Ki Wejang Ke-
ramat. Maka, mereka pun segera naik ke puncak
bukit. Tidak ada satu pun dari rombongan Ki We-
jang Keramat yang naik ke puncak bukit dengan
berjalan mendaki. Mereka melangkah dengan il-
mu tenaga peringan tubuh yang dapat mencapai
bukit dalam waktu singkat. Wuuttt... wuuttt....
wuutt... wuuttt...! Dalam sekejap mereka sudah
berada di puncak bukit yang bertanah datar cu-
kup luas. Mereka membentuk kelompok-
kelompok tersendiri, saling berbincang-bincang
dengan sahabat lama ataupun sahabat baru yang
sudah pasti sama-sama berilmu tinggi.
Di situ tampak hadir pula Paku Juling, ke-
tua Partai Pengemis Liar, Sumo Loda sedang berbincang-bincang dengan seorang tokoh bermata
satu yang dikenal dengan nama Demit Satu Mata,
di sisi lain pun tampak Selendang Badai bersama
Leak Parang dan Nyai Kubang Darah. Juga Dewi
Gita Dara tampil bersama Pendeta Agung Gane-
sha dari Pulau Kana.
Kelompok yang sedikit sibuk adalah ke-
lompoknya Rangkasok dan si Setan Sibuk dari
Perguruan Tengkorak Emas, karena si Setan Si-
buk jika bicara menggunakan isyarat tangan dan
diterjemahkan oleh Rangkasok. Mereka sedang
berhadapan dengan dua tokoh tua wanita yang
masing-masing berambut putih dan berwajah
sama, yaitu yang dikenal dengan nama Peri Kem-
bar.
Di tempat itu, terdapat batu besar yang
tingginya sebatas lutut. Resi Gumarang naik ke
atas batu besar itu mewakili rombongannya, se-
mentara itu Shogun Kogawa memerintahkan Resi
Gumarang untuk turun dengan satu seruan. "Tu-
run...!"
Tapi Resi Gumarang hanya tersenyum te-
nang. Shogun Kogawa segera dibujuk oleh Jeng-
got Biru agar mundur dan membiarkan Resi Gu-
marang di atas batu. Karena Jenggot Biru me-
nyangka bahwa Resi Gumarang itulah orang yang
mempunyai gagasan mempertemukan mereka di
bukit tersebut. Terlihat pula Putri Kumbang se-
dang bicara dengan Resi Panuluh dan Ki Tenung
Jagat.
Sebelum Resi Gumarang bicara, ia sempat
melihat kehadiran Pandu Tawa bersama Sri Tand-
ing. Tapi Yoga dan Lili tidak kelihatan. Pandu Ta-
wa segera temui kakeknya, Ki Wejang Keramat
yang juga sebagai gurunya itu. Mereka terlibat
pembicaraan kasak-kusuk sendiri, sedangkan Sri
Tanding pun segera berkasak-kusuk dengan gu-
runya; Ratu Candra Wulan yang berdiri di samp-
ing Nyai Mantera Dewi.
Beberapa saat kemudian, Resi Gumarang
berseru, "Saudara-saudaraku sebumi persilatan!"
Suara tersebut mempunyai getaran tenaga
dalam yang membuat semua orang diam dari per-
cakapannya dan memandang ke arah Resi Guma-
rang. Hening tercipta sejenak di bukit itu, kemu-
dian suara Resi Gumarang terdengar lagi berseru,
"Sebenarnya, siapa yang mempunyai gaga-
san mempertemukan kita di Bukit Tulang Iblis
ini?! Siapa yang mempunyai gagasan memilih seo-
rang Pendekar Maha Sakti dan menobatkan seba-
gai hakim di rimba persilatan kita ini?! Siapa?!"
Suara gemuruh bergaung mirip ratusan le-
bah. Mereka saling membicarakan siapa pencetus
acara tersebut. Siapa yang akan menentukan atu-
ran mainnya dalam pemilihan dan penobatan
Pendekar Maha Sakti, ternyata tak ada yang men-
getahuinya.
"Jika tidak ada yang mengaku siapa yang
membuat acara ini, maka untuk apa kita ber-
kumpul di sini?" kata Resi Gumarang yang dis-
ahut oleh Resi Panuluh dengan seruan,
"Pasti ada!"
"Kaukah orangnya, Panuluh?"
"Bukan!"
"Lalu siapa?!"
"Akuuu...!" tiba-tiba terdengar suara yang
nyaring dan bergema. Semua orang memandang
ke arah selatan. Dari kerumunan orang yang ada
di selatan itu, muncul seorang lelaki tua berpa-
kaian kuning model biksu, berkepala botak ten-
gah, rambut yang tumbuh di tepiannya sangat ti-
pis. Nyaris bisa dihitung dengan tangan. Usia le-
laki itu sangat tua, terlihat dari kulit tubuhnya
yang sebagian masih tampak mengelupas, seba-
gian lagi kelihatan kencang tanpa keriput, per-
tanda ia telah mengalami ganti kulit dalam ke-
tuaannya.
Lelaki itu beralis, kumis dan jenggot serba
putih, tubuhnya kurus dan matanya cekung.
Bahkan bulu matanya pun tampak putih, me-
nandakan usianya jauh lebih tua dari Wong Sakti,
dan jauh lebih tua pula dari Ki Wejang Keramat.
Sementara itu, di sisi lain tampak Malaikat Ge-
lang Emas berdiri dengan mata lebar memandangi
orang kurus berpakaian kuning itu. Kejap beri-
kutnya terdengar suara Malaikat Gelang Emas
berseru kepada orang yang kini sudah ada di ten-
gah-tengah arena itu.
"Begawan Prana Syiwa...! Rupanya kau
masih hidup, Begawan?!"
Orang tersebut ternyata bernama Begawan
Prana Syiwa. Tak banyak yang mengetahuinya,
kecuali Malaikat Gelang Emas, Ki Wejang Keramat, Resi Gumarang, dan Jenggot Biru. Rupanya
orang bernama Begawan Prana Syiwa adalah to-
koh sakti yang sudah lama dilupakan oleh mere-
ka dan sudah dianggap mati oleh Ki Wejang Ke-
ramat maupun mereka yang mengenai tokoh ter-
sebut.
Begawan Prana Syiwa mengebutkan kain
pakaiannya yang tersisa di pinggang. Wuuttt...!
Dan terpancarlah sinar ungu menyilaukan dalam
beberapa kejap, lalu sinar ungu hilang dan mata
mereka menjadi terperanjat melihat sesuatu telah
tertancap di tanah. Benda yang tertancap di ta-
nah itu tak lain adalah sebuah pedang yang me-
mukau mata tiap orang, mengejutkan bagi yang
mengetahuinya.
Pedang itu tertancap di tanah separo ba-
gian. Gagangnya terbuat dari batu giok warna hi-
jau kecoklatan. Mata pedangnya terbuat dari batu
warna ungu bening. Di antara mata pedang yang
ungu dengan gagang yang hijau terdapat batu
pemisah berwarna merah delima. Pedang itu sa-
mar-samar memancarkan warna ungu, dan tanah
yang digunakan untuk menancapkan pedang itu
tampak berwarna ungu selebar dua jengkal seke-
lilingnya.
Ki Wejang Keramat menggumam, "Pedang
Pusaka Suralaya?!"
Pandu Tawa bertanya pelan, "Pedang pusa-
kanya siapa itu, Eyang?"
"Pedang Pusaka Suralaya adalah pedang
pusaka Dewa Penjaga Suralaya! Suralaya adalah
tempat para dewa bersemayam."
"Saya tahu," kata Pandu Tawa. "Tapi saya
tidak tahu apa kehebatan Pedang Pusaka Sura-
laya itu?!"
"Kita dengarkan saja kata-kata Begawan
Prana Syiwa itu!"
Terdengar Begawan Prana Syiwa berseru
dengan suaranya yang masih lantang dan tegar,
setelah ia dipersilakan oleh Resi Gumarang untuk
naik ke atas batu yang tadi digunakan berdiri Re-
si Gumarang itu.
"Pedang ini adalah pedang pusaka para
dewa! Dulu aku yang memegang pedang pusaka
ini. Sekarang waktuku telah tiba untuk kembali
ke alam kelanggengan, sebuah alam abadi yang
dipersiapkan untukku! Aku harus mewariskan
pedang ini kepada manusia di bumi, yang kelak
akan menjadi hakim atas segala perkara, dan
berhak menyandang gelar Pendekar Maha Sakti.
Tetapi kepada siapa kuberikan pedang ini? Aku
tidak tahu dengan pasti. Karena dewata tidak
menunjukkan padaku siapa pewaris pedang ini.
Karenanya pula aku menghendaki kalian ber-
kumpul di sini untuk menentukan siapa di antara
kalian yang berhak mewarisi pedang pusaka ini!
Caranya, barang siapa bisa mencabut pedang pu-
saka ini, maka dialah orang yang berhak mewarisi
Pedang Pusaka Suralaya dan menyandang gelar
Pendekar Maha Sakti!"
"Aku bisa!" seru Malaikat Gelang Emas.
"Silakan mencabutnya! Tapi aku yakin, kau
tak akan bisa menyentuh pedang ini, sebab gu-
rumu dulu pernah mencobanya tadi tidak berha-
sil. Padahal aku adalah eyang gurumu, Malaikat
Gelang Emas!"
"Wooow...!" banyak mulut yang melongo
kagum. Mereka dapat membayangkan jika Bega-
wan Prana Syiwa adalah eyang dari gurunya Ma-
laikat Gelang Emas, lantas berapa usia orang itu
sekarang ini?! Barangkali karena memegang Pe-
dang Pusaka Suralaya itulah maka Begawan Pra-
na Syiwa dikarunia umur panjang.
Apa yang diduga oleh Begawan Prana Syi-
wa itu memang benar. Malaikat Gelang Emas ter-
pental bahkan sampai terguling-guling menuruni
lereng bukit karena mendekati pedang yang ter-
tancap di tanah itu. Demikian pula orang lain,
begitu mendekati pedang tersebut dalam jarak sa-
tu jangkauan, tahu-tahu terpental keras bahkan
sampai ada yang terbang menyangkut di dahan
pohon.
Secara ramai-ramai mereka menyergap pe-
dang tersebut. Jumlah yang menyergap lebih dari
sepuluh orang. Tapi mereka terpental bersama,
buyar seketika dan terguling-guling tak tentu
arah. Ada juga yang mati karena tubuhnya ter-
hempas dan tertancap potongan dahan hingga
tembus dari dada sampai ke punggung.
Segala tenaga dalam dikerahkan dengan
niat untuk menghancurkan pedang tersebut. Te-
tapi tenaga dalam apa pun dan milik siapa pun
akan memantul balik dan menyerang pelakunya.
Salah satu korban yang sampai tewas karena ter-
kena tenaga dalamnya sendiri adalah Sumo Loda,
dari Perguruan Lawa Murka.
Pihak rombongan Jenggot Biru juga ter-
lempar begitu kerasnya dan tak ada yang mampu
menyentuh pedang tersebut. Jika menyentuh saja
sangat sulit, apalagi mencabut pedang tersebut,
jelas lebih sulit. Ki Wejang Keramat menahan tan-
gan Pandu Tawa ketika Pandu Tawa ingin tampil
untuk mencoba mendekati pedang itu.
"Jangan lakukan. Aku yakin ada orang ter-
sendiri yang mampu menyentuhnya, yaitu orang
yang menjadi jodoh dari pedang tersebut dan ber-
kenan di hati para dewa di Suralaya."
Resi Gumarang pun tak berani mendeka-
tinya. Juga Nyai Mantera Dewi, Ratu Candra Wu-
lan dan yang lainnya. Jumlah pengunjung yang
hadir di bukit itu menjadi sedikit karena yang lain
bagai dilempar-lemparkan ke berbagai arah hing-
ga jatuh terkapar di kaki bukit.
Pada saat itu, dua ekor burung rajawali
terbang rendah di atas Bukit Tulang Iblis. Suara
kedua burung berbulu putih dan merah itu saling
bersahutan.
"Keaaak...! Keaaak...!"
"Kaaaakk...! Kaaakkk...!"
Semua mata memandang ke atas. Semua
kepala mendongak perhatikan dua burung raja-
wali tersebut. Penunggangnya sudah tak asing la-
gi bagi mereka, yaitu Yoga dan Lili. Tetapi mereka
mencibir dan sebagian tidak memiliki kepastian,
mampukah salah satu dari kedua pendekar raja-
wali itu mencabut Pedang Pusaka Suralaya?
Kedua pendekar rajawali turun dari pung-
gung burung besar. Tak berapa lama muncul si
Tua Usil yang lebih baik berlari mengikuti burung
besar itu ketimbang ikut membonceng salah satu
dari mereka.
Lili dan Yoga sama-sama terperangah meli-
hat pedang tersebut, lalu ia berlutut satu kaki
dan memberi hormat kepada Begawan Prana Syi-
wa. Terdengar ucapan Begawan Prana Syiwa me-
nyapanya.
"Selamat datang murid Dewa Geledek dan
Dewi Langit Perak! Apakah kalian berminat untuk
mencoba mencabut Pedang Pusaka Suralaya
ini?!"
Yoga yang menjawab, "Tidak, Eyang! Kami
datang hanya ingin menyaksikan penobatan ter-
sebut dan mengetahui siapa orang yang menda-
pat gelar Pendekar Maha Sakti itu."
"Belum ada!" kata Begawan Prana Syiwa.
"Jika kalian ingin mencobanya, masih ada waktu
tersisa cukup banyak untuk kalian!"
"Terima kasih, Eyang. Kami hanya ingin
menjadi penonton saja!"
Lili berkata, "Kami serahkan kepada yang
lain saja, Eyang! Dan kami mohon mundur di
tempat penonton!"
Tiba-tiba, ketika Lili berdiri, sebuah seran-
gan bergelombang panas menghantam punggung
Lili dengan kuatnya. Pukulan itu menyemburkan
asap kuning dan datang dari Malaikat Gelang
Emas. Wuuuttt...! Pendekar Rajawali Putih berba-
lik dengan cepat dan sentakkan kedua tangannya
untuk menahan serangan tersebut. Duuubh...!
Blaaarrr...!
Dentuman hebat terjadi mengguncang bu-
kit tersebut. Pendekar Rajawali Putih terpental
dan jatuh berguling-guling di tanah. Sementara
itu, Malaikat Gelang Emas yang menaruh dendam
besar kepada kedua pendekar itu segera meng-
hantamkan pukulan dahsyatnya dari jarak tujuh
langkah dari Yoga. Pukulan itu tak bisa dihindari
Yoga sehingga Yoga pun terpental jatuh berguling-
guling hampir menindih tubuh Lili.
Tentu saja semua orang terkejut dan Be-
gawan Prana Syiwa berseru, "Ini bukan arena per-
tarungan dan balas dendam! Tahan amarah mu,
Malaikat Gelang Emas!"
Rupanya Malaikat Gelang Emas tidak hi-
raukan seruan tersebut. Ia segera melompat dan
maju menyerang kedua pendekar yang jatuh di
tengah arena. Lili dan Yoga jatuh tepat di samping
kanan kiri Pedang Pusaka Suralaya. Dengan ge-
rakan di luar kesadaran karena terancam bahaya,
keduanya sama-sama mencabut Pedang Pusaka
Suralaya dan diacungkan ke depan bagaikan be-
rebut pedang. Zlaasss...! Wuuttt...!
Kini pedang digenggam oleh dua tangan,
yaitu tangan Lili dan tangan Yoga. Pada saat itu,
mata pedang yang berwarna ungu itu memancar-
kan cahaya ungu bagai selarik sinar satu jurusan.
berlutut dan menyerahkan pedang itu dengan dua
tangan yang diangkat ke atas kepala, sedangkan
Pendekar Rajawali Merah berlutut dl samping,
agak ke belakang dari tempat berlutut Pendekar
Rajawali Putih. Sikap mereka kembali mencen-
gangkan orang-orang sakti yang hadir di sekelil-
ing tempat itu, Pedang yang diserahkan Lili belum
diambil oleh Begawan Prana Syiwa. Sang begawan
justru berkata,
"Pertahankan pusaka itu, dan rawatlah
baik-baik Aku tak berani mengambilnya kemba-
li...."
Bllaabb...! Wuusss...!
Begawan Prana Syiwa lenyap bagaikan
moksa. Hanya ada sisa asap tipis yang mengepul
di udara lalu sirna dihembus angin bukit. Lili dan
Yoga sama-sama tertegun bengong dan tak tahu
apa yang harus mereka lakukan terhadap Pedang
Pusaka Suralaya itu. Haruskah mereka menyan-
dang gelar tersebut dan menerima jabatan seba-
gai hakim dan raja di rimba persilatan? Sementa-
ra itu, diam-diam Putri Kumbang memutar otak,
mengatur siasat untuk merebut Pedang Pusaka
Suralaya itu.
SELESAI
Segera menyusul:
TENGKORAK HITAM
0 comments:
Posting Komentar