..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 11 Maret 2025

JODOH RAJAWALI EPISODE MISTERI TOPENG MERAH

 

matjenuhkhairil


MISTERI
TOPENG 
MERAH
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Silat Jodoh Rajawali dalam episode: 
Misteri Topeng Merah 
128 hal.
JODOH RAJAWALI
Misteri Topeng Merah

1

TERIK matahari yang menyengat kulit tak 
dipedulikan oleh dua orang yang sedang beradu 
kecepatan memukul dengan tangan kosong. Da-
lam keheningan hutan itu, terdengar suara bera-
dunya dua pasang tangan secara berturut-turut 
dan cepat. 
Plak, plak, plak, plak, plak...! 
Terkadang suara itu diselingi bunyi angin ke-
lebatan kain baju yang mereka kenakan, atau ka-
rena keras dan cepatnya gerakan, sehingga ter-
dengar pula suara; wuuhg, wuuhg, wuuhg, 
wuuhg! Plak! Bahkan suara beradunya kaki den-
gan kaki pun menambah kesunyian hutan yang 
kian gaduh dan gemerisik.
Perempuan muda berpakaian merah jambu 
itu sejak tadi hanya menangkis dan menghindar 
saja dari serangan pemuda berpakaian putih len-
gan panjang yang dibungkus selempang coklat. 
Sekalipun di punggung mereka sama-sama me-
nyandang sebilah pedang, namun agaknya mere-
ka sepakat untuk tidak menggunakan pedang da-
lam pertarungan tersebut.
Pemuda berwajah tampan itu sebenarnya 
sudah melakukan beberapa pukulan yang cukup 
hebat, cepat, dan mematikan. Sayangnya si wani-
ta mampu menghindar dan menangkis, sehingga 
pemuda itu bagaikan tidak diberi kesempatan un-
tuk mengenai sasaran sedikit pun. Tendangan ki

pasnya yang dilakukan dengan memutar tubuh 
secara cepat itu pun dapat dibuang oleh si wanita 
muda dengan sentakan telapak tangan yang men-
genai tulang kaki pemuda tersebut. Takkk...!
"Aow...!" pemuda tampan itu memekik kesa-
kitan. Tulang kakinya bagaikan diadu dengan be-
si baja. Telapak tangan yang menangkis tendan-
gan kipasnya terasa sangat keras, dan itu pasti 
karena telapak tangan tersebut dialiri tenaga da-
lam yang cukup matang. Bahkan sekujur tubuh 
pemuda tampan itu terasa merinding dan kese-
mutan akibat tangkisan tersebut.
Pemuda tampan yang tak lain adalah Pende-
kar Rajawali Merah, segera hentikan serangan-
nya. Seperti telah dituturkan dalam episode: "Wa-
siat Dewa Geledek", ketika Yoga dan Lili baru saja 
keluar dari gua di bawah laut, tiba-tiba kedua 
orang muda itu menerima serangan gelap. Dan 
ketika mereka hendak mengejar penyerang gelap 
itu, manusia yang dikejar telah jauh meninggal-
kan tempat itu. Lalu, Pendekar Rajawali Merah 
dan Pendekar Rajawali Putih memutuskan untuk 
mencari tempat berlatih terlebih dulu hingga 
sampai di tempat ini.
"Perhitungan seranganmu masih kurang te-
pat, Yo! Sekali kuterobos pertahananmu bisa jebol 
dadamu!"
Yoga segera bangkit dengan tegak kembali. 
Lalu terdengar ia berkata dengan tegas,
"Cobalah terobos seranganku kalau memang kau bisa!"
Begitu selesai bicara, tahu-tahu perempuan 
muda itu tubuhnya melesat bagaikan terbang 
dengan satu kaki lurus ke depan. Wuuusss...! Ge-
rakan itu di luar dugaan Yoga, sehingga badan 
Yoga tak sempat berkelit sedikit pun, namun tan-
gannya berkelebat menangkis tendangan kaki ter-
sebut. Wuuttt...!
Plak, buuhg...!
Yoga, si Pendekar Rajawali Merah, sama se-
kali tidak menduga bahwa kaki lawannya yang ti-
dak tertangkis mampu menjejak sikunya dan 
menggunakan siku itu sebagai alas menyentak-
kan kaki, sehingga tubuh perempuan muda dan 
cantik itu berhasil melenting naik dan bersalto sa-
tu kali melewati kepala Yoga, lalu menendang ke 
belakang dan tepat mengenai punggung Yoga.
Tak heran jika Pendekar Rajawali Merah ter-
sungkur ke depan karena tendangan tersebut. 
Beruntung sekali ia bisa kuasai keseimbangan 
tubuhnya dengan cepat, sehingga ia tidak jatuh
terjerembab melainkan berguling di atas tanah 
satu kali dan cepat bangkit lagi. Namun ia mera-
sakan punggungnya bagaikan dihantam batang 
kayu yang besar dan terasa ngilu sekali.
Yang membuat Yoga tertegun beberapa kejap 
bukan rasa nyeri akibat tendangan itu, melainkan 
gerakan jurus yang tak pernah dilihatnya itu te-
lah membuatnya diam beberapa saat. Sungguh 
heran Yoga melihat siku tangannya yang me-
nangkis bisa dipakai untuk tumpuan kaki lawan 
yang menyentak hingga tubuh lawan melesat

naik. Dan pada saat itu wanita muda berparas 
cantik seperti bidadari itu memandangi Yoga den-
gan senyum di bibir.
"Jurus apa itu tadi? Aku tidak mempu-
nyainya!" kata Yoga. .
Wanita cantik yang tak lain adalah Pendekar 
Rajawali Putih, atau Lili itu, semakin melebarkan 
senyum ejekannya. Ia melangkah ke tempat yang 
teduh, sehingga Yoga mengikutinya. Sambil me-
langkah Lili berkata, "itu yang dinamakan jurus 
Tendang Bintang'!" 
"Mengapa Guru Dewa Geledek tidak menga-
jari ku jurus itu?"
"Karena jurus itu hanya ada di dalam Kitab 
Rembulan Putih, yang dibawa-bawa oleh guruku, 
Dewi Langit Perak itu!"
"Maukah kau mengajari ku jurus tendangan 
tadi, Lili?"
"Mengajari?!" Pendekar Rajawali Putih berla-
gak kaget, lalu katanya lagi,
"Aku bukan gurumu! Aku tak mau turunkan
ilmu walau sejurus padamu! Berusahalah menca-
ri dan mempelajari sendiri jurus itu!"
"Jangan pelit-pelit, Lili!" bujuk Pendekar Ra-
jawali Merah. "Kalau kedua guru kita masih ada, 
pasti aku tidak meminta pelajaran jurus itu pa-
damu!"
Lili memandang penuh pesona, tapi kepa-
lanya menggeleng di seta senyuman manisnya, la-
lu berkata,
"Aku tidak akan ajarkan jurus apa pun pa

damu, walau sebenarnya aku mempunyai banyak 
jurus maut yang belum kau miliki!"
"Sehebat apa pun jurus-jurusmu, Lili..., tapi 
jika tidak digabungkan dengan jurus yang kumi-
liki, jurus Itu tidak akan menjadi dahsyat! Tidak 
akan bisa dipakai untuk mengalahkan Malaikat 
Gelang Emas dan beberapa tokoh sesat lainnya! 
Ingatlah itu, Lili!"
"Dalam Kitab Rembulan Putih pun telah ter-
tulis kata- kata seperti itu, bahwa jurus-jurus da-
lam Kitab Rembulan Putih akan menjadi lebih 
dahsyat lagi jika digabungkan dengan jurus-jurus 
yang ada di dalam jiwa sang Dewa Geledek!
Hmmm...! Sayang sekali gurumu itu tidak pernah 
punya kitab seumur hidupnya, Yo! Kalau saja be-
liau mempunyai kitab, maka aku mau bertukar 
kitab dengan kitabnya! Kau pelajari jurus dari Ki-
tab Rembulan Putih, yang merupakan jurus-jurus 
milik guruku, dan aku pelajari kitab jurus-jurus 
gurumu! Tapi sekarang, kita tidak bisa bertukar 
kitab, sehingga aku tidak mau ajarkan satu jurus 
pun padamu!"
Pendekar Rajawali Merah diam bagai tersu-
dut. Gurunya; si Dewa Geledek yang adalah sua-
mi dari gurunya Lili, selamanya tidak pernah mau 
menuliskan jurus-jurusnya ke dalam sebuah ki-
tab, dan Dewa Geledek satu-satunya tokoh sakti 
yang tidak pernah punya kitab. Bukan berarti 
masa lalunya ia tak pernah belajar silat dari se-
buah kitab, melainkan jika ia mendapatkan kitab 
dan selesai menamatkan semua jurus di dalam

kitab itu, maka kitab itu segera dimusnahkan 
atau dibakar. Hal itu dilakukan untuk menghin-
dari agar tak ada orang lain yang menemukan 
dan mempelajari kitab tersebut. Jurus-jurus cip-
taannya yang punya kekuatan hebat itu pun tidak 
mau dikitabkan, karena Dewa Geledek tidak mau 
seseorang mempelajari jurus-jurusnya tanpa 
menjadi muridnya dan hanya berdasarkan cata-
tan dalam kitab saja.
Berbeda dengan Dewi Langit Perak, gurunya 
Lili. Semua Jurus yang ada padanya dituangkan 
dalam sebuah kitab yang bernama Kitab Rembu-
lan Putih. Kitab itu merangkum bukan saja jurus-
jurusnya melainkan beberapa jurus Rajawali mi-
lik suaminya juga ada di kitab tersebut. Itulah se-
babnya Lili dapat mengetahui sebagian dari ilmu 
yang dimiliki Yoga, demikian pula sebaliknya. Te-
tapi masing-masing sebenarnya mempunyai sim-
panan ilmu yang tidak saling dikenal, tapi jika di-
padukan menjadi satu kekuatan yang dahsyat.
Yoga sangat paham akan hal itu, sehingga ia 
begitu tertarik ingin mempelajari jurus-jurus mi-
lik Lili. Tetapi wanita muda yang sangat cantik itu 
jual mahal. Ia berkata kepada Yoga,
"Jika kuajarkan jurus-jurusku kepadamu, 
lalu apa yang kuperoleh darimu?!" sambil mata 
Lili memandang wajah Yoga yang membuatnya 
kagum dan berdesir-desir dalam hatinya. Kea-
daan seperti itu ia rasakan sejak mereka bertemu 
dan berada di dalam gua di dasar laut. (Baca seri-
al Jodoh Rajawali dalam kisah: "Wasiat Dewa Geledek").
Yoga garuk-garuk kepala dan berpikir men-
genai upah yang akan diberikan kepada Lili, su-
paya ia mendapatkan jurus-jurus tersebut. Bebe-
rapa saat kemudian ia berkata,
"Bagaimana kalau jurus-jurusmu itu kubeli 
dengan seharga sepuluh sikat untuk satu jurus-
nya?"
"Hmm...!" Pendekar Rajawali Putih mencibir-
kan bibir, membuat gemas hati setiap lelaki yang 
memandangnya. "Semurah itukah harga jurus-
jurusku?!"
"Habis untuk membayar lebih dari itu aku 
tak sanggup!"
"Lagi pula aku bukan pedagang loak yang 
kerjanya jual-beli jurus bekas!" katanya dengan 
memunggungi dan berkesan angkuh.
"Baiklah. Menurutmu sendiri, harus kubayar 
dengan apa jurus-jurusmu itu?"
Lagak wanita cantik itu semakin jual mahal 
kepada Yoga. Hal itu membuat Yoga bertambah 
penasaran. la mendesak terus kepada Lili agar Lili 
mau ajarkan jurus-jurusnya, terutama jurus 
'Tendangan Bintang' yang ia kagumi itu. Sampai 
pada akhirnya Lili berkata,
"Baiklah, akan kuajarkan jurus itu padamu, 
tapi ada dua syarat yang harus kau penuhi!"
"Sebutkan!"
"Pertama, kau harus mau memanggilku se-
bagai Guru dan mengakui bahwa aku adalah gurumu!"

"Gila! Hanya untuk satu jurus saja aku ha-
rus memanggilmu Guru? Hrnm...! Tidak bisa! Se-
benarnya ilmu kita tidak jauh berbeda. Usiamu 
memang lebih tua tiga tahun dari usiaku, tapi itu 
bukan berarti kau bebas merasa sebagai guruku!"
"Syarat pertama tidak kau setujui, maka 
niatku untuk turunkan ilmu padamu... batal!"
"Lili..,!" Yoga bergegas meraih lengan Lili
yang mau pergi. Gadis itu tertahan langkahnya 
dan berpaling dengan acuh tak acuh.
"Lili, syaratnya diganti saja!" bujuk Pendekar 
Rajawali Merah.
'"Syarat pertama kau setujui atau tidak?!" 
"Tapi kalau aku harus...."
"Kau setujui atau tidak?!" potong Lili sengaja 
berangkuh diri.
Yoga garuk-garuk kepala dan menghem-
buskan napas panjang-panjang.
"Baiklah!" jawabnya dengan malas-malasan.
"Syarat kedua," kata Lili lagi "Kau harus se-
lalu ada didekatku!"
Terkesiap mata Yoga memandang Lili saat 
mendengar syarat kedua itu. Berkerut pula dahi 
Yoga, lalu bertanyalah ia dengan nada pelan,
"Apa maksudmu...?!"
Lili justru menjadi kikuk dan malu yang ter-
tahan. Mata mereka saling pandang dalam jarak 
hanya satu jengkal. Lili jadi gemetar dan gelisah. 
Akhirnya ia cepat-cepat buang muka sambil ber-
kata,
"Eh, hmm..! tidak! Maksudku, kalau... kalau

kau selalu ada di dekatku, aku bisa turunkan il-
mu-ilmuku yang lain sewaktu-waktu!"
Yoga memalingkan wajah Lili sambil meme-
gang kedua pundak gadis itu yang ditarik agar 
berhadapan dengannya.
"Jika itu maksudmu, aku siap! Aku setuju 
dengan syarat kedua! Tapii...." Wajah itu mengen-
dur sedikit."... berapa banyak jurus mautmu yang 
akan kau turunkan padaku?"
'Tergantung berapa banyak kau tidak men-
gecewakan hatiku," jawab Lili. "Semakin banyak 
tidak bikin aku kecewa, semakin banyak jurus-
jurus itu mengalir turun kepadamu!"
"Mengecewakan dalam hal apa maksudmu?" 
tanya Yoga pelan.
Pendekar Rajawali Putih merasa kikuk se-
bentar, tapi segera bisa diatasi dan segera menja-
wab,
"Dalam segala hal!" matanya kembali me-
mandang kebeningan mata Yoga yang punya 
nuansa teduh dan sejuk di hati. Apalagi saat itu 
Yoga tersenyum, oh... kembali bergetar hati Lili 
menerimanya. Ia biarkan kedua tangan Yoga ma-
sih memegangi kedua pundaknya, ia Ingin ikut 
memegangi tangan itu, tapi ia menahan hasratnya 
tersebut demi menjaga kewibawaan di depan pe-
muda tampan yang akan menjadi muridnya. Bah-
kan dengan nada tegas yang masih sedikit berge-
tar, Lili berkata,
"Kebersamaan kita akan melahirkan kesak-
tian yang tiada tandingnya, Yoga. Sadarkah kau


akan hal itu?"
"Ya, aku sadar, Lili... eh, Guru!" Yoga men-
jawab dengan kaku dan malu, sementara Lili sen-
diri menjadi geli namun ditahannya dalam hati. Ia 
tampakkan sikapnya sebagai guru yang segera 
manggut-manggut penuh wibawa, tapi tidak me-
rasa tersinggung melihat kedua tangan Yoga ma-
sih memegangi pundaknya.
"Kau sanggup mematuhi perintah dan nasi-
hatku, Yo?"
"Aku akan patuh padamu, Lili. Eh... Guru!"
"Baik. Kalau begitu, kuajarkan jurus 
'Tendangan Bintang' yang tadi sekarang juga!" ka-
ta Lili, dan Yoga tampak berseri-seri kegirangan.
Siang itu, di bawah kerindangan pohon yang 
berdaun rapat, Lili mulai menurunkan ilmunya 
terutama jurus-jurus tangan kosong. Bukan 
hanya jurus 'Tendangan Bintang' saja, melainkan 
beberapa jurus tangan kosong yang tidak dimiliki 
Yoga diturunkan kepadanya. Termasuk jurus 
'Rajawali Menembus Langit' yang punya kecepa-
tan cakar luar biasa itu. Sambil melompat bersal-
to maju satu kali, gerakan cakar terjadi lebih dari 
sepuluh kali, dilakukan dengan cepat. Bersalto 
lagi, bergerak mencakar berkali-kali dengan ce-
pat. Begitu seterusnya dan semua itu dengan te-
kun diikuti oleh Yoga sampai matahari mulai ber-
geser miring ke barat.
"Tahan sebentar…!" seru Lili yang membuat 
gerakan cakar yang dilakukan Yoga itu terhenti. 
Yoga berpaling ke belakang memandang gurunya,

 dahinya berkerut heran melihat sang Guru 
memandang dengan aneh ke tanah, bahkan seka-
rang sang Guru sempat jongkok.
"Ada apa, Guru...?!" Pendekar Rajawali Me-
rah segera mendekat.
"Ada potongan tangan manusia!"
Yoga tersentak kaget melihat sepotong tan-
gan tergeletak di tanah yang sudah jauh dari 
tempatnya berunding tadi. Tangan itu terpotong 
pada bagian siku, tapi tampaknya bukan dengan 
senjata tajam memotongnya. Keadaan tangan itu 
sudah pucat, pada bagian potongannya tidak ra-
ta. Mengerikan jika dipandangi terlalu lama.
Lili segera lemparkan pandang ke arah lain, 
ke sekeliling tempat itu sambil berkata,
"Aku yakin tangan ini adalah tangan seorang 
perempuan muda!"
"Menurut dugaanku memang begitu, Guru! 
Jari tangannya lentik dan kulitnya masih halus, 
belum berkeriput! Tapi sepertinya tangan ini ter-
putus dari bagiannya oleh sebab gigitan buas, 
Guru! Terlihat bekas cakaran kuku di beberapa 
tempat dan bekas gigitan di samping bagian yang 
terpotong ini!" Yoga masih jongkok memperhati-
kan potongan tangan Itu.
"Melihat cincin merah di jari manisnya, rasa-
rasanya dia tangan seorang gadis yang cukup ter-
hormat! Setidaknya bukan tangan gadis desa bi-
asa!" tambah Lili setelah kembali memandangi 
tangan itu dalam sekejap.
"Guru!" Yoga menyentak, "Agaknya di bawah

pohon itu juga ada potongan anggota tubuh lain-
nya! Kulihat ada dua lalat di sana!"
Pendekar Rajawali Putih memandangi tempat 
yang ditunjuk oleh Yoga, kemudian ia bergegas ke 
bawah pohon tersebut. la terkesiap sekejap dan 
segera berseru dari tempatnya,
"Benar, Yo! Di sini ada daun telinga bergi-
wang merah!"
Yoga mengangkat potongan tangan itu den-
gan kayu, dibawanya ke bawah pohon tempat di-
temukannya potongan telinga yang mengerikan. 
Beberapa saat Yoga menatap ke arah potongan 
daun telinga yang kelihatannya bukan putus ka-
rena senjata tajam, melainkan karena gigitan dari 
sebaris gigi yang tak tahu siapa pemiliknya. Ada 
giwang kecil warna merah delima di telinga terse-
but. Warna merahnya sama persis dengan warna 
cincin yang dikenakan di jari manis, pada poton-
gan tangan yang saat itu sudah digeletakkan oleh
Yoga di samping telinga tersebut.
"Ada binatang buas di sekitar sini, Guru! 
Pasti gadis ini korban dimakan binatang buas ter-
sebut!"
'Tapi tak kulihat ada telapak kaki binatang! 
Suaranya pun tak kita dengar sejak tadi, Yo!"
"Apakah sesosok setan siang bolong yang 
menyantap rakus tubuh gadis ini?! Rasa-rasanya 
tak mungkin setan muncul siang hari, kecuali ke-
pepet!" kata Yoga sambil memandang sekeliling 
dengan penuh selidik, demikian pula yang dilakukan Lili.

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara 
derap kaki kuda yang datang dari arah selatan. 
Semakin lama semakin jelas, semakin nyata 
arahnya menuju ke tempat Yoga dan Lili berada. 
Dari arah tikungan lereng, muncul lima ekor ku-
da bersama lima penunggangnya yang berwajah 
ganas-ganas. 
"Siapa mereka itu?" 
"Mana aku tahu?" jawab Yoga. 
"Sepertinya rombongan dari suatu wilayah 
atau...." 
"Hei, mereka berbalik ke arah kita, Guru!" 
Rombongan berkuda itu sebenarnya sudah 
lewat melintasi depan Lili dan Yoga. Kedua Pen-
dekar Rajawali itu hanya memandanginya saja. 
Tetapi beberapa jarak kemudian, rupanya pimpi-
nan rombongan tersebut memerintahkan anak 
buahnya untuk berhenti dan memandang ke arah 
Lili dan Yoga. Entah apa yang dibisikan oleh pim-
pinan mereka, tiba-tiba keempat kuda bergerak 
membalik dan menuju ke tempat dua pendekar 
muda itu berada.
Keempat orang penunggang kuda itu berhen-
ti di depan Lili dan Yoga dengan masing-masing 
wajah dan sorot pandangan mata yang tidak ber-
sahabat. Mereka menampakkan kebengisannya 
yang dibalut kemarahan terpendam. Hanya satu 
orang yang berwajah tak terlalu bengis dan tak 
segarang yang lainnya. yaitu orang berpakaian 
coklat yang ada di bagian belakang sendiri. Orang 
berpakaian coklat itu hanya bersenjatakan golok

dengan tubuhnya yang kurus, rambutnya yang 
lurus sepundak, matanya yang bundar dan alis 
yang tipis dalam wajah bulatnya itu.
Tetapi orang berpakaian coklat tua itu juga 
menjadi terkejut setelah ia dan ketiga orang lain-
nya memandang potongan tangan dan daun telin-
ga bergiwang merah. Ketiga orang bengis itu 
menggeram penuh luapan amarah yang ingin ce-
pat meledak, tetapi orang berpakaian coklat tua 
itu hanya bergidik merinding dan wajahnya yang 
lebar itu menjadi pucat.
'Tak salah lagi, itu anggota tubuh Putri Ga-
nis!" seru pimpinan mereka yang berpakaian abu-
abu dengan ikal kepala merah dan wajah berton-
jolan tulang pipi dan rahangnya, tampak besar 
dan keras.
"Siapa Putri Ganis itu?'' tanya Yoga kepada 
Lili dengan pelan.
"Mana aku kenal? Coba saja kau tanyakan 
kepada orang itu?!"
* *
2

PENDEKAR Rajawali Merah maju satu tin-
dak, tapi sebelum ia ajukan pertanyaan, tiba-tiba 
salah satu dari mereka melepaskan serangannya 
berupa pisau terbang yang dilemparkan ke arah

Yoga. Wuuut...! Tabb...!
Pisau itu tertangkap oleh dua jari Yoga. 
Keempat orang itu memandang dengan mata ma-
kin melebar. Serentak mereka melompat turun 
dari atas punggung kuda dan mencabut senjata 
masing-masing. Orang berpakaian abu-abu yang 
ada di depan mereka segera membentak dengan 
kemarahan yang memerahkan wajahnya,
"Mengapa kau bunuh Putri Ganis?"
"Siapa Putri Ganis itu? Yang mana orang-
nya? Aku merasa tidak membunuh siapa pun!" 
jawab Yoga heran.
"Jangan berpura-pura linglung kau, Bocah 
Ingusan! Kau pikir kami tidak bisa mengenali po-
tongan tubuh yang ada di tanah itu?! Cincin dan 
giwang merah itu milik Putri Ganis, anak dari 
Panglima Makar, yang menjadi penguasa di Tanah 
Gerong!"
"O, kalian salah alamat!" sahut Lili. "justru 
kami sedang selidiki siapa yang memiliki tangan 
dan daun telinga ini, serta siapa yang menjadi pe-
lakunya!"
Orang berpakaian hitam dengan celana hijau 
itu berseru, "Diam kau, Perempuan Setan!"
Yang berpakaian biru pun berkata kepada si 
baju abu-abu, "Kurasa benar apa yang dilaporkan 
Nala, perempuan itulah yang memakan Putri Ga-
nis! Tak perlu kita banyak bicara, Rahang Besi! 
Serang saja mereka sebelum mereka sempat me-
larikan diri!"
Orang berpakaian abu-abu yang dipanggil

sebagai Rahang Besi itu segera menggeram dan 
menggenggam senjatanya, berupa tombak beru-
jung kapak lebar dua mata yang mengkilat tajam 
setiap sisinya. Rahang Besi pun segera berseru, 
"Serang mereka!"
"Tunggu...!" seru Pendekar Rajawali Merah 
yang membuat gerakan mereka terhenti seketika. 
Kemudian, Pendekar Rajawali Merah berkata,
"Soal serang-menyerang itu soal mudah! Tapi 
kalian salah serang!"
"Bukti sudah ada! Kalian tak bisa mengelak!" 
kata Rahang Besi. "Kalau kalian ingin hidup agak 
panjang sedikit, kalian harus menyerah dan akan 
kami hadapkan kepada pengadilan Panglima Ma-
kar!"
Pendekar Rajawali Putih berkata kepada Yo-
ga, "Biar aku yang tangani mereka. Mundurlah, 
Yo!"
Gadis cantik itu maju dalam jarak satu lang-
kah di depan Yoga. Mau tak mau Yoga segera 
mundur dua tindak untuk memberi ruang berge-
rak Pendekar Rajawali Putih dalam bergerak.
"Ku ingatkan sebelumnya, kalian salah 
orang! Bukan kami yang membunuh Putri Ganis! 
Tapi kalau kalian tidak percaya dan nekat menye-
rang kami, jangan salahkan kami jiwa nyawa ka-
lian pun akan terancam!" kata Pendekar Rajawali 
Putih dengan tenang juga.
"Banyak mulut amat perempuan iblis ini! 
Hiaaat...!" orang berpakaian biru segera menye-
rang Lili dengan sabit kembarnya. Ia melompat

dan berdiri di depan Lili, langsung kibaskan dua 
sabit di kanan-kirinya dengan gerakan cepat, 
wiisss... wiiisss...!
Teb, teeb...! Tangan kiri pemegang sabit di-
tangkis oleh tangan kanan Lili, sedangkan tangan 
kanan pemegang sabit ditangkis tertahan oleh 
tangan kanan Lili. Kemudian dengan cepat dan 
serentak kedua tangan Pendekar Rajawali Putih 
itu menghentak maju, tepat mengenai dada la-
wannya. Wuuttt...!
Orang itu tersentak mundur empat langkah. 
Pada waktu itu Rahang Besi melemparkan senjata 
rahasianya ke arah Lili, maksudnya ingin mence-
gah Lili agar tidak jadi menghantam anak buah-
nya. Namun di luar dugaan sang anak buah sedi-
kit terpelanting ke kiri hingga lemparan pisau 
yang menjadi senjata rahasia Rahang Besi itu te-
pat menancap di punggung orang tersebut.
"Aahhg...!" orang itu pun mendelik sesaat, 
kemudian rubuh tak bernyawa lagi.
Ketiga orang utusan dari Tanah Gerong itu 
serentak bergerak mundur beberapa langkah se-
telah melihat temannya mati karena senjata Ra-
hang Besi yang salah sasaran.
Orang berbaju hitam segera memisahkan diri 
dengan Rahang Besi. Ia ingin mencuri kesempa-
tan menyerang dengan parang tajamnya. Kebera-
daannya di sebelah kanan Lili membuat mata Lili 
terpaksa melirik ke kanan dan ke depan, serta ke 
kiri, sebab di sebelah kiri ada si muka bulat ber-
baju coklat, di depannya ada Rahang Besi. Mereka sama-sama menunggu kesempatan menye-
rang, mencari kelengahan gerakan mata Pendekar 
Rajawali Putih. Senjata mereka dimain-mainkan 
untuk mengacaukan perhatian gadis cantik ber-
tubuh menggiurkan itu.
"Heaaah...!"
Orang berpakaian hitam segera berguling ke 
tanah dua kali, lalu bangkit dalam satu sentakan 
dan menebaskan parangnya ke arah Lili. Pada 
saat itu, Rahang Besi menyodokkan tombak ka-
paknya yang pada bagian paling ujung mempu-
nyai mata tombak yang runcing. Tombak itu tera-
rah ke pinggang Pendekar Rajawali Putih yang se-
dang menangkis serangan dari si baju hitam.
Melihat tombak itu ingin menghujam ping-
gang Lili serta-merta Pendekar Rajawali Merah 
melompat dan kakinya menyentuh tombak itu 
dan berlari dua tindak di atas batang tombak 
yang panjang itu.
Tab, tab, tab....'
Rahang Besi kaget melihat lawannya berlari 
cepat di atas tombaknya. Rahang Besi terkesima, 
dan saat ia terkesima kaget itulah tahu-tahu kaki 
lawan sudah menendang telak pertengahan hi-
dungnya. Deesss...! "Aow...!"
Bukan Rahang Besi yang memekik begitu, 
melainkan Pendekar Rajawali Merah yang meme-
kik. Kakinya terasa sakit, seperti menendang 
bongkahan besi baja yang luar biasa kerasnya.
Pendekar Rajawali Merah segera melompat 
turun dari tombak itu. la mendarat dengan satu

kaki, karena kaki yang dipakai untuk menendang 
tadi masih terasa ngilu untuk menapak. Sementa-
ra itu, Rahang Besi sendiri terpental ke belakang 
dan terhuyung-huyung akibat tendangan yang 
cukup lumayan baginya.
Begitu kaki mendarat, Pendekar Rajawali 
Merah segera hadapi serangan dari si baju coklat. 
Serangan itu berupa lemparan golok dari si baju 
coklat, sementara setelah melempar si baju coklat 
melarikan diri dan berhenti dalam jarak beberapa 
tombak, berlindung pada sebatang pohon dengan 
wajah tegangnya. Lemparan golok tadi bisa dihin-
dari oleh Pendekar Rajawali Merah dengan satu 
lompatan ke atas, dan golok melesat di bawah ka-
kinya. Dengan gerakan cepat tak terlihat, kaki 
Pendekar Rajawali Merah menendang gagang go-
lok, akibatnya gagang golok itu berputar arah dan 
melesat kembali ke pelemparnya. Tapi karena pe-
lemparnya sudah bersembunyi di balik pohon, 
maka golok itu menancap persis di batang pohon 
yang dipakainya bersembunyi itu.
Jruubbb...!
"Mati aku...!" pekik si baju coklat dengan 
semakin tegang karena rasa takutnya. la meme-
jamkan mata dengan ngeri waktu goloknya me-
nancap di pohon yang dipakainya berlindung itu.
Pada saat yang bersamaan, Pendekar Raja-
wali Putih telah berdiri di samping mayat lawan-
nya, si baju hitam. Orang berbaju hitam itu bu-
kan mati karena serangan Lili, melainkan tersabet 
tombak Rahang Besi ketika Rahang Besi bermaksud menyambar kepala Lili, dan Lili dengan cepat 
berguling ke tanah. Akibatnya sambaran tombak 
tersebut merobek dada di baju hitam, yang mem-
buat si baju hitam tumbang tak bernyawa lagi.
Rahang Besi menggeram penuh murka. "Ku-
rang ajar! Dari tadi justru senjataku sendiri yang 
membunuh anak buahku! Aku harus lebih hati-
hati lagi dengan si gadis centil ini!"
Gentar juga Rahang Besi melihat anak 
buahnya mati. la secara diam-diam mengagumi 
kehebatan jurus-jurus tipuan yang digunakan 
oleh kedua lawannya itu. la sengaja tidak segera 
menyerang karena membutuhkan waktu untuk 
mempelajari gerakan jurus kedua lawannya yang 
sukar diduga arah serangannya itu.
"Siapa kalian sebenarnya, sehingga dapat 
dengan mudah dan cepat membunuh kedua anak 
buahku dengan jurus tipuan?!" tanyanya bernada 
penasaran.
"Aku Pendekar Rajawali Putih!" jawab Lili 
dengan tegas dan bertolak pinggang. "Dan itu mu-
ridku, Pendekar Rajawali Merah!"
Yoga bersungut-sungut cemberut. la tak su-
ka diperkenalkan sebagai murid di depan lawan. 
Tapi agaknya ia tak bisa membantah lagi, karena 
rupanya hal itu sengaja diucapkan oleh Lili untuk 
mengendurkan ketegangan. Sebab setelah berkata 
begitu, Lili melirik dan menyunggingkan senyum 
kecil serta tipis di sudut bibirnya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Rahang Besi!" 
kata Yoga, "Daripada dipihakmu timbul korban

yang sebenarnya salah sasaran ini!"
"Rahang Besi dan orang-orang Tanah Gerong 
pantang mundur sekali sudah maju!" sumbar Ra-
hang Besi. Sementara itu, si baju coklat mencoba 
ajukan usulnya dengan takut-takut,
"Sekali tempo mundur tak apalah...!"
Tidak bisa!" bentak Rahang Besi membuat 
tubuh si baju coklat terlonjak kaget Orang itu ju-
stru berkata lagi kepada temannya,
"Nyali Kutu...! Giliranmu menyerang mereka! 
Tunjukkan kehebatan ilmu 'Jari Ular'mu...!"
"Sebaiknya tak usah. Sebaiknya kita segera 
saja pulang dan me...."
"Serang mereka, Bodoh!" bentak Rahang Besi 
dengan marah.
"Bbba... ba... baik!" jawab Nyali Kutu dengan 
menggeragap.
Kemudian, dengan kesan memaksakan kebe-
raniannya, ia berdiri di depan Pendekar Rajawali 
Merah dan Pendekar Rajawali Putih. la mengge-
rak-gerakkan tangannya dengan gemulai, terma-
suk gerakan jari-jemarinya yang meliuk-liuk bagai 
sepuluh ekor ular berkelok-kelok.
Tiba-tiba dari kesepuluh jarinya itu meman-
carkan sinar bagaikan lidah petir yang berwarna 
biru. Sinar-sinar itu melesat dan saling bertemu 
di satu titik, menjadi gumpalan besar dan meng-
hantam tubuh Pendekar Rajawali Putih. 
Wuuust…!
Dengan satu sentakan tangan kiri, telapak 
tangan Pendekar Rajawali Putih keluarkan sinar

merah berbentuk gumpalan kecil. Sinar merah itu 
menghantam gulungan sinar birunya Nyali Kutu. 
Kedua sinar tersebut berhenti di udara, tangan 
Pendekar Rajawali Putih masih tertahan ke de-
pan, seakan mendorong sinar merahnya untuk 
mendesak sinar biru itu. Sedangkan dari jari-jari
Nyali Kutu masih memancarkan sinar biru berke-
lok-kelok.
Melihat keadaan begitu, Yoga yakin sinar bi-
ru itu sukar dipecahkan atau didorong oleh sinar 
merahnya Lili. Maka, dengan cepat Pendekar Ra-
jawali Merah itu segera sentakkan telapak tangan 
kirinya dan melesatlah sinar hijau satu larik ba-
gaikan besi yang lurus menghantam sinar bi-
runya Nyali Kutu. Begitu sinar hijau itu menyen-
tuh sinar biru, maka meledaklah sinar birunya 
Nyali Kutu yang agaknya sukar dihancurkan itu. 
Blaarrr...!
Ledakan begitu keras. Gelombangnya begitu 
kuat menghentak sekeliling. Pendekar Rajawali 
Merah dan Pendekar Rajawali Putih tersentak 
mundur dua tindak. Tetapi Nyali Kutu terlempar 
sekitar lima tombak jauhnya dan terkapar jatuh 
ia di sana. Bahkan Rahang Besi sendiri terhuyung 
oleh tubuhnya akibat gelombang ledakan terse-
but, hingga ia pun mundur empat tindak, nyaris 
jatuh jika tidak tertahan pada tombaknya.
Nyali Kutu bangkit pada waktu Pendekar Ra-
jawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih saling 
pandang dengan sama-sama sunggingkan se-
nyum tipis, sebagai simbol senyum kemenangan

mereka dalam jurus itu. Dari tempatnya, terden-
gar Nyali Kutu menggerutu kepada Rahang Besi,
"Apa kubilang tadi...?! Kita pulang sajalah! 
Jurus mereka sangat berbahaya. Apalagi jika me-
reka menyerang secara bersamaan dan.:.."
"Tutup mulutmu!" bentak Rahang Besi. "Da-
sar nyalimu nyali sekecil anak teri!"
Pendekar Rajawali Merah berseru, "Kurasa 
benar apa saran temanmu yang kau panggil Nyali 
Kutu itu! Pulanglah dan jangan coba-coba mela-
wan kami berdua!"
"Persetan dengan saran itu! Kalian telah ku-
anggap membunuh dua orang Tanah Gerong! Se-
bagai utusan Panglima Makar yang dipercaya, 
aku tidak ingin pulang dengan tangan hampa! 
Kubalas kematian mereka saat ini juga, Jahanam! 
Heaaah...!"
Rahang Besi melompat dan tombaknya di-
tancapkan di tanah, lalu tubuhnya melayang 
tinggi mengikuti gerakan tangkai tombak. Tubuh 
itu tepat menendang ke wajah Yoga. Tapi sebelum 
Yoga terkena tendangan, ia sudah memiringkan 
badannya ke samping, wuuusttt...! Dan tiba-tiba 
kaki kanan Pendekar Rajawali Putih menendang 
ke dagu si Rahang Besi. Plookkk...! Krak...! Ter-
dengar bunyi berderak.
"Uhg...!" Rahang Besi mendelik kesakitan da-
lam keadaan jatuh terduduk. Tangannya masih 
memegangi ujung tangkai tombak. Bibirnya tam-
pak pecah dengan dagu membiru.
Tapi agaknya orang bertulang wajah keras

itu tidak ada jeranya. Tombaknya ditarik dan di-
kibaskan menyambar kaki Pendekar Rajawali Pu-
tih. Wuuungng...! Tombak itu memutar sekeliling 
bagian. Pendekar Rajawali Putih berhasil melom-
pat ke atas, sedangkan Pendekar Rajawali Merah 
hampir saja tergores kakinya jika tidak segera 
mundur dalam satu lompatan.
"Edan..! Rupanya yang jadi sasaran utama 
adalah diriku!" kata Yoga dalam hatinya. Segera ia 
melompat bersalto di tanah beberapa kali, dan 
berhenti tepat di samping Pendekar Rajawali Pu-
tih. Mereka saling adu punggung dalam keadaan 
berdiri menyamping menghadap ke arah lawan-
nya yang segera bangkit dengan lebih ganas lagi 
itu.
"Kita serang orang itu bersama-sama! Jan-
gan ambil wajahnya. Keras!" bisik Lili. Dan ter-
dengar suara Yoga menggumam sambil mengang-
guk.
"Heaaah...!" Rahang Besi melompat sambil 
menyodokkan tombak kapaknya ke depan. Yoga 
dan Lili pun sama-sama melompat menyambut 
gerakan tubuh lawannya.
"Hiaaat...!"
Tombak bermata dua yang lebar di kanan ki-
rinya itu akan merobek perut atau pinggang la-
wan yang maju bersamaan. Tetapi agaknya lawan 
itu bukan sembarang lawan. Pendekar Rajawali 
Merah sentakkan kakinya ke depan pada saat me-
lompat sehingga tombak itu terhempas naik, bah-
kan hampir lepas dari pegangan pemiliknya. Karena tombak terhempas naik dalam keadaan ke-
dua tangan masih memegangi tangkai tombak, 
maka bagian depan Rahang Besi terbuka lebar. 
Dan saat itulah telapak tangan Pendekar Rajawali 
Putih menghantam satu kali dengan teriakan 
memanjang dan telak sekali.
"Heaaah...!"
Beeehg...!'
“Eng...!” kecil sekali pekikan Rahang Besi. Ia 
segera rubuh terpental mundur dan jatuh di ta-
nah sekitar empat tombak jaraknya dari tempat-
nya berdiri tadi.
Mata Rahang Besi terbeliak-beliak dan beru-
saha untuk bangkit. Tapi tiba-tiba kepalanya ter-
sentak ke depan, dan darah merah kehitaman 
muncrat keluar dari mulutnya. Bagian yang ter-
kena pukulan Tapak Geledek' Itu mengepulkan 
asap dan mengabarkan bau hangus. Baju abu-
abunya membara terbakar. Lalu, tak sampai tu-
juh helaan napas, Rahang Besi pun terkulai tak 
bernyawa untuk selamanya.
"Rahang Besi...!" sentak Nyali Kutu melihat 
orang kekar yang dianggapnya bertulang rahang 
keras itu akhirnya mati juga di tangan dua pen-
dekar muda tersebut. Nyali Kutu yang berusia se-
kitar lima tahun lebih tua dari kedua pendekar 
itu, segera bergerak mundur dengan wajahnya 
yang tegang ketakutan.
Yoga mendekati sambil berkata, "Kau mau 
menyusul Rahang Besi?"
"Eh, hmm... anu... tidak. Kapan-kapan saja'."

jawab Nyali Kutu.
"Kalau begitu pulanglah, dan katakan pada 
penguasa Tanah Gerong, bahwa pembunuh Putri 
Ganis bukan kami. Dan kalau kami membunuh 
keempat temanmu ini, karena kami terpaksa, se-
bab kami belum ingin mati dibunuh mereka!"
"Iiy... iya! Iya...! Nanti saya sampaikan pesan 
itu kepada Panglima Tanah Gerong, Pendekar.... 
Pendekar Rajawali Merah dan Putih!" Nyali Kutu 
manggut-manggut dengan tubuh gemetar.
Namun sebelum Nyali. Kutu pergi, tiba-tiba 
muncul suara tawa yang memanjang dari arah 
semak-semak di seberang sana, jaraknya antara 
dua puluh tombak dari tempat mereka. Suara ta-
wa mengikik berkepanjangan itu segera disusul 
munculnya seraut wajah berlumur darah pada 
bagian mulut. Orang itu juga berlumur darah pa-
da bagian kedua tangannya. la berlari-lari men-
dekati Nyali Kutu sambil berseru,
"Santapan lagi... santapan lagi...! Oh, lezat-
nya...! Hia ha ha ha...! Santapan lezat datang lagi! 
Ha hi hi hik...!"
"Cepat lari kau!" sentak Lili kepada Nyali Ku-
tu. Maka orang penakut itu pun segera lari den-
gan cepatnya, tunggang-langgang sampai mem-
bentur batang pohon, jatuh, bangkit lagi dan lari 
kembali.
"Ya, ampuuun...!" gumam Yoga dengan mata 
mendelik dan terpaku di tempat. Lili mendeka-
tinya sambil mata tetap memandang ke arah seo-
rang gadis berpakaian serba kuning penuh percikan darah. Gadis itu melilitkan selendang biru di 
pinggangnya dan menyelipkan pedang pendek di
sana. Lili segera bertanya pelan sambil tak berke-
dip memandangi setiap gerakan gadis berlumur 
darah dan berambut awut-awutan itu.
"Siapa dia?! Agaknya kau sudah mengenal
gadis itu?!"
"Ya. Aku kenal. Dia adalah Mahligai...! Tapi 
mengapa dia menjadi gila begitu?! Dan... dan se-
pertinya dialah yang membunuh Putri Ganis me-
makai giginya?!"
"Maksudmu, dia memakan Putri Ganis?"
"Kelihatannya begitu! Padahal aku tahu, dia 
bukan manusia pemakan daging manusia! Dia 
gadis baik-baik, lincah, manis, dan...."
"Cukup! Kau tak perlu memujinya di depan-
ku!" sergah Lili, cemberut dan bersungut-sungut.
*
**
3

SUNGGUH tak habis pikir buat Yoga, men-
gapa Mahligai menjadi ganas dan gila begitu. Ma-
tanya yang dulu indah kini menjadi buas dan liar, 
ia bahkan tidak mengenali diri Yoga, la melompat 
dan menerkam Yoga dengan kedua tangannya 
sambil memekik liar.
"Uaaa...!"
"Mahligai! Ingat... ini aku! Aku Yoga, Mahli-
gai!" Zreep...! Yoga dicekik lehernya dalam kea-
daan jatuh di tanah. Mahligai menggeram, menye-
ringai, sementara Yoga tidak mau menolak den-
gan kasar, ia kasihan jika menendang atau 
menghantam Mahligai. Sementara itu, Mahligai 
telah menyeringai dan siap mengigit pipi Yoga 
dengan buasnya. 
"Hiaaat...!" Buuhg...! Wuuurrs...!
"Aaaa...!" Mahligai memekik sekeras-
kerasnya. Tubuhnya ditendang oleh Lili hingga 
terlepaslah cengkeraman pada leher Yoga dan tu-
buh itu melayang, jatuh berguling-guling dengan 
menjerit. Lalu bangkit lagi dengan badan agak 
membungkuk dan tangan keduanya sudah diang-
kat menyeramkan, siap menerkam dan menye-
rang kembali. "Aaagrrr...!"
"Kubunuh kau berani menyentuh muridku, 
Perempuan Gila!" sentak Pendekar Rajawali Putih. 
Kemudian Ia bergegas maju untuk melaksanakan 
niatnya yang dibumbui oleh kemarahan hebat itu.
"Lili...! Eh, Guru...! Jangan lawan dia, Guru!" 
seru Yoga sambil berlari menyusul Lili. Tetapi pa-
da saat itu, Lili sudah menyerang dengan tendan-
gan beruntunnya ke arah Mahligai. Sekalipun 
Mahligai telah menjadi gila dan sebuas itu, na-
mun ia masih bisa gunakan jurus-jurusnya se-
hingga tendangan itu dapat ditangkisnya bebera-
pa kali, namun yang terakhir berhasil lolos dari 
tangkisannya. Buuuhg...! Dada Mahligai terkena 
tendangan kaki kiri Pendekar Rajawali Putih.

"Aaaa...! Aaaa...!" Mahligai menjerit-jerit den-
gan suara keras sekali. Ia jatuh terguling-guling 
lagi namun segera dapat berdiri dengan cepat 
kembali.
"Aaagggrrr...!" Ia mengerang menyeramkan.
Lili melangkah terus mengejar ke mana pun 
Mahligai berada. Dan Pendekar Rajawali Merah 
segera menyusul dengan satu lompatan salto 
yang melewati atas kepala Lili. Wuuttt...! Jleg!
Yoga sudah berada di depan Lili pada waktu 
jarak Lili dengan Mahligai sekitar tiga tombak. 
Dengan sentakan penuh wibawa, Lili membela-
lakkan mata kepada Yoga,
"Minggir kau!"
"Jangan serang dia, Guru! Dia temanku!"
"Dia akan membunuhmu, Bodoh!"
"Dia dalam keadaan tak waras! Itu mungkin
akibat pukulan dari Merak Betina yang mengan-
dung Racun Edan!" (Baca Jodoh Rajawali dalam 
kisah: "Wasiat Dewa Geledek").
"Aku tak peduli siapa dia! Tapi dia sudah 
hampir membunuhmu dan aku harus membu-
nuhnya sebelum kau nantinya dibunuh oleh dia!"
"Dia tidak akan membunuhku, Guru! Dia...,"
"Minggir, Yoga!" bentak Lili.
"Aku tidak mau minggir!"
"Dasar bandel.. Hiaaah…!” Lili segera me-
nendang ke permukaan wajah Yoga. Dengan cepat 
tangan Yoga berkelebat menangkisnya. Plak! Ke-
mudian Lili menyerang dengan jurus 'Rajawali 
Menembus Langit' yang berbentuk cakaran cepat

dari kaki merayap sampai ke kepala.
Wuk, wuk, wuk, wuk, wuk wuk... I
Yoga bergerak mundur beberapa tindak 
menghindari gerakan cepat tersebut. Sampai tak 
sadar ia sudah ada persis di depan Mahligai, Ga-
dis gila itu segera berteriak keras-keras sambil 
melompat ke punggung Yoga.
"Aaaagggr…!"
Bruus...! Tubuh gadis gila itu menyergap 
leher Yoga, kemudian berusaha menggigit pung-
gung dan tengkuk kepala Yoga. Tapi tubuh Yoga 
bergerak-gerak dengan oleng ke kiri-kanan sangat 
cepat. Dan akhirnya menyentak dalam gerakan 
membungkuk, maka tubuh Mahligai pun terpen-
tal ke depan. Lepas dari punggung Yoga.
Wuuuttt...! '
"Aaaagggrr...!" teriak Mahligai sambil tubuh-
nya melayang, kemudian jatuh dengan pinggang 
belakang membentur batu. ia semakin memekik 
keras-keras dengan suara-suara liarnya.
"Mati kau, Gadis Gila! Hiaaat...!" Pendekar 
Rajawali Putih melompat ke arah Mahligai yang 
sedang berusaha untuk bangkit.
"Guuurua..! Jangaaan...!" teriak Yoga sambil 
tubuhnya melayang bagaikan terbang dan mener-
jang tubuh Lili. Bruuus...! Keduanya jatuh ber-
jumpalitan di tanah, dan segera sama-sama 
bangkit serta siap saling menyerang kembali.
"Percayalah, Guru! Dia tidak tahu apa yang 
dia lakukan terhadapku!"
"Sekeras itu kau membela dia, Yoga! Ada

hubungan apa sebenarnya antara kau dengan 
dia?!" geram Lili dengan mata menyipit curiga.
"Hanya sebagai teman baik saja, Guru! Wak-
tu aku memakamkan Guru Dewa Geledek, dia 
ikut hadir juga dan...." 
Dan kalian saling jatuh cinta?!"
"Tidak, Guru! Jangan berprasangka begitu!"
"Omong kosong! Kau kelihatannya sangat 
sayang sekali padanya dan tak rela jika aku 
menghajarnya!"
"Karena dia dalam keadaan gila, Guru! Kau 
salah kalau menghukum orang gila! Orang gila itu 
bebas hukuman!"
"Aku tidak pernah memanjakan orang gila, 
Yo! Kalau kau memang ingin membelanya, kau 
harus siap bertarung denganku! Hiaaat...!"
Lili melepaskan pukulan jarak jauh yang ti-
dak timbulkan cahaya apa pun. Tubuh Yoga ter-
pental karena tidak menangkis dan tidak menge-
lak dari pukulan itu. Yoga jatuh di semak-semak 
dalam jarak sekitar lima tombak dari tempatnya 
berdiri. Jika pukulan jarak jauh itu tidak berte-
naga dalam tinggi, tak mungkin Yoga terpental se-
jauh itu.
Lili segera menghampiri Yoga untuk mengha-
jarnya lagi. Tapi tiba-tiba dari arah samping mele-
satlah tubuh Mahligai dengan gerakan seperti 
seekor singa lapar.
"Aaaahgggr...!"
Lili cepat sentakkan tangan kanannya ke ki-
ri. Wuuutttt...! Dan tenaga dalam tanpa sinar itu

menghantam telak ke tubuh Mahligai. Buuuhg! 
Tubuh Mahligai juga terpental lagi. Weers...!
Langkah kaki Lili kembali mendekati Yoga 
yang sedang merintih menahan rasa sakit di se-
kujur tubuhnya sambil berusaha berdiri. Pada 
saat itu, Lili kembali lepaskan pukulan jarak 
jauhnya dalam ukuran jarak antara dua tombak. 
Tetapi, sebelum pukulan itu dilepaskan, tiba-tiba 
angin panas yang cukup besar datang dari arah 
kanan Lili dan membuat Lili terpental terbang ba-
gai dilanda badai. Woouuss...! Jleeg...!
Sesosok tubuh berpakaian merah-merah 
berdiri di depan Yoga, memandang ke arah Lili. 
Orang tersebut membungkus dirinya dengan pa-
kaian kain merah tebal dari kaki sampai kepala, 
dan mengenakan topeng penutup wajah warna 
merah juga. Topeng itu membentuk wajah yang 
menyeramkan, bagai wajah iblis dari neraka. Yoga 
sendiri tidak mengenali orang yang membungkus 
tubuhnya dengan kain merah sampai pada batas 
pergelangan tangannya.
Pandangan mata orang itu tak jelas ke arah 
mana, karena topeng yang menutup wajahnya itu 
hanya mempunyai lubang mata cukup kecil. Tapi 
gerakan wajah yang berpaling ke kiri itu, jelas 
menampakkan dirinya sedang memandang ke 
arah Pendekar Rajawali Putih.
"Jahanam kau! Siapa kau, sehingga tahu-
tahu menyerangku, hah?!" sentak Lili dengan 
berdiri tegak, seakan tak pernah takut sedikit 
pun. Bahkan ia kelihatan siap lakukan serangan

batas.
Sebelum Topeng Merah menyebutkan na-
manya atau mengatakan sesuatu, ia sudah lebih 
dulu diserang oleh Mahligai dari arah belakang. 
Mahligai melayang dengan siap menerkam dengan 
suara teriakan yang liar, 
"Aaagggrr...!" 
Buuh...! Teb.teb...!
Topeng Merah kelebatkan tangannya tiga 
kali, ia berhasil memukul dada kanan Mahligai, 
lalu menotok gadis gila itu, hingga sang gadis ter-
tegun berdiri bagaikan patung tak bisa bergerak. 
Bahkan untuk keluarkan suara teriakan pun tak 
bisa. Tapi mulut dan kepalanya masih bisa bebas 
bergerak, berusaha melepaskan diri dari totokan 
tersebut. Mulutnya ternganga-nganga ingin lon-
tarkan teriakan, tapi kerongkongannya bagai ada 
yang menutup dengan rapat.
Lili segera bergegas mendekati Topeng Merah 
dengan pandangan mata tajam, penuh permusu-
han. Namun sebelum ia melakukan serangan 
atau melontarkan pertanyaan, tiba-tiba Topeng 
Merah mencabut pedangnya yang ada di pung-
gung. Sreek ! Badannya sedikit membungkuk 
dengan kedua tangan memegang gagang pedang 
yang menyerupai samurai itu.
"O, kau benar-benar mengajakku adu nyawa, 
hah?!" geram Lili dengan gemas. Lalu, segera Lili 
pasang kuda-kuda dan kedua tangannya mulai 
diangkat ke atas. la belum mau mencabut pedangnya.

Yoga semakin tertegun melihat sikap yang 
diambil manusia Topeng Merah itu. Agaknya 
orang tersebut benar-benar ingin membunuh Lili. 
Mungkinkah orang bertopeng merah itu bekas 
musuh lamanya Lili?
Topeng Merah segera maju menyerang Pen-
dekar Rajawali Putih. Pedangnya itu ditebaskan 
dengan tiga kali gerakan. Wuuut, wuutt, wuuttt...! 
Zlaap...!
Orang bertopeng merah itu agaknya terpe-
ranjat kaget melihat lawannya tidak ada di de-
pannya. Ternyata Lili sudah berada di belakang-
nya dan segera menyerangnya dengan tendangan 
kaki kiri yang menyamping.
"Hiaaat...!"
Plakkk...!
Yoga terkejut, ternyata orang yang bertopeng 
merah itu bisa menangkis tendangan secepat itu 
dengan menggunakan kelebatan kakinya. Kaki itu 
beradu dalam sekejap, kemudian pedang Topeng 
Merah menebas dari atas ke bawah, memenggal 
pundak Lili. Tetapi dengan cepat Lili menghindar 
ke samping. Dan serta-merta orang bertopeng me-
rah itu terjungkal jatuh ke samping, tiga tindak 
jaraknya dari tempatnya berdiri. Karena pada 
saat itu, kaki Yoga segera menendang dan tepat 
mengenai lengan orang tersebut. Buuhg...!
"Siapa kau sebenarnya?!" sentak Yoga kepa-
da orang bertopeng merah.
Orang itu tidak menjawab, hanya berdiri 
dengan pedang siap di tangan kanan, tangan kirinya ada di samping dalam keadaan menggeng-
gam. Orang itu mundur dua tindak ketika Yoga 
maju satu tindak. Yoga berkata dengan suara ke-
ras,
"Kalau kau mau membunuh guruku, kau 
harus melangkahi dulu bangkaiku! Paham?!"
Orang bertopeng merah itu segera mundur 
lagi dua tindak. Dan tiba-tiba ia membalikkan 
badan, menoleh sebentar, lalu cepat sentakkan 
kaki. Wuuuttt...! la melesat pergi dengan cepat-
nya. Pendekar Rajawali Putih segera mengejar 
dengan gerakan cepatnya pula.
"Guru! Biarkan dia pergi!" sentak Yoga den-
gan keras. Akibatnya, Lili hanya mengejar sampai 
di kerimbunan semak, kemudian kembali lagi 
dengan wajah cemberut menahan marah.
"Apakah kau tidak mengenai orang berto-
peng merah tadi?!"
"Sama sekali tidak, Guru!" 
"Mungkin musuh lamamu?"
'Bukan. Justru kupikir itu tadinya musuh-
mu, karena dia tahu-tahu menyerangmu!"
Aku tidak punya musuh sepengecut itu! Tak 
berani tampakkan wajahnya di depanku, itu sua-
tu sikap pengecut yang paling ku benci!"
"Sudahlah, kita tak perlu lagi memikirkan 
dia! Toh dia sudah pergi! Sebaiknya, kubawa saja 
gadis gila Itu kepada bibinya!"
"Kau mau bawa dia? Mau urus gadis macam 
begitu?!" Lili berkerut dahi dengan rasa tak suka. 
"Rajin amat kau?! Mau-maunya mengurus gadis

liar macam dia?!"
"Karena aku kenal baik dengan bibinya, 
Guru! Bibinya itu yang memberi tahu aku tentang 
Gunung Menara Salju! Bibi gadis ini yang saran-
kan aku mencari burung Rajawali Putih ke dae-
rah Gunung Menara Salju, sampai akhirnya aku 
bertemu denganmu! Kalau aku tidak mendapat 
saran dan petunjuk dari bibinya, aku tidak tahu 
harus mencarimu ke mana, dan mungkin kita ti-
dak akan jumpa sampai saat ini!"
Lili makin cemberut dan menghempaskan 
napas kekesalan hatinya. la agaknya benar-benar 
tak suka kalau Yoga membawa pergi gadis itu. la 
punya kecemasan sendiri yang menimbulkan rasa 
tak suka di hatinya.
"Kita harus menolong dia, membebaskan ra-
cun gilanya itu!"
"Kita...?!" Lili kian bersungut-sungut. "Aku 
tak punya kepentingan apa-apa dengan gadis itu! 
Tak sudi aku melakukannya!"
"Guru Lili, cobalah berbaik hati sedikit ter-
hadap sesama mu!"
"Untuk gadis itu, aku tidak mau berbaik ha-
ti!" 
"Mengapa?"
"Pasti dia gadis yang mencintaimu!"
"Aku tak tahu! Tapi aku tak pernah menyu-
ruhnya jatuh cinta padaku! Sumpah, aku tak 
pernah menyuruhnya begitu!"
'Tapi kau pernah mengharapkannya, Yoga!"
'Tidak pernah juga!"

"Kepada siapa pun kau tidak pernah meng-
harapkan dicintai oleh seorang gadis?"
'Tidak pernah!" jawab Yoga semakin tegas.
"Juga kepadaku kau tidak berhadap begitu?"
"Berharap... berharap bagaimana maksud-
nya?" Yoga mulai kikuk demikian pula Lili. Segera 
tubuh Lili bergerak pelan membalik dan kini me-
reka saling bertatapan pandang. Dua helaan na-
pas mereka saling memandang dalam kelembu-
tan. Kemudian terdengar Lili berkata, Tidakkah 
kau berharap agar aku... agar aku... lebih mem-
perhatikan kamu lagi, Yo? "
"Sangat berharap," jawab Yoga, si Pendekar 
Rajawali Merah itu. Kemudian, sebaris senyum 
menawan mekar di bibir Yoga. Berdebarlah hati 
Lili, dan tak berani ia memandang Yoga lagi, ka-
rena takut tak bisa kuasai kegirangan hatinya 
saat itu.
"Aku akan memperhatikan kamu lebih besar 
lagi dari sekarang," ucap Lili sambil menunduk, 
Tapi ku mohon, jangan kau bersama gadis itu la-
gi! Tinggalkan dia di sini, Yo!"
'Tidak bisa, Guru!" 
'Yo....' Lili merengek, hilanglah kesan seorang 
gurunya.
"Aku berhutang jasa kebaikan kepada bi-
binya!" 
Lili mendengus kesal sambil cemberut, ke-
mudian melangkah menjauhi Yoga, la mendekati 
pohon dan bersandarkan pundak di pohon itu 
sambil memainkan rambutnya yang ada di depan

dadanya.
"Aku harus membawa dia pulang ke bibinya, 
selagi dia masih dalam keadaan tertotok begitu! 
Bibinya seorang tabib yang pandai mengobati 
berbagai macam penyakit, sehingga ia disebut se-
bagai Tabib Perawan! Bibinya pasti tahu bagai-
mana menghilangkan pengaruh Racun Edan itu!"
"Aku tak ingin ikut denganmu!" ketus Lili 
dengan wajah cemberut manis dan mengge-
maskan. "Kalau kau mau pergi, pergilah sana!"
"Kita hanya sebentar mengantar pulang ga-
dis itu, Guru. Setelah itu kita pergi bersama-sama 
mencari musuh guru kita yang harus segera kita 
lenyapkan itu, Guru!"
"Pergilah sana! Aku tak mau ikut!" bentak Li-
li dengan mata mendelik ke arah Yoga.
Napas Yoga terhempas lepas. Jengkel dalam 
hatinya, namun ia tahan kuat-kuat kejengkelan 
itu. Akhirnya Yoga mendekati Mahligai, lalu me-
nambahkan satu totokan di belakang telinga ga-
dis itu sehingga kepala gadis itu tak bisa berge-
rak, mulutnya tidak lagi terbuka. Mahligai diang-
katnya, ditaruh pada pundak kirinya.
"Aku pergi dulu, Guru...!" pamitnya kepada 
Lili. Tapi oleh Lili dibiarkan saja. Lili tetap cembe-
rut jengkel.
Yoga bergerak meninggalkan tempat itu, Lili 
cepat berpaling dan berseru, "Yooo...!"
Langkah Pendekar Rajawali Merah terhenti 
sejenak. Tapi ia tidak berpaling ke belakang. Ia 
dengarkan suara di belakangnya. Ternyata tak

ada suara melangkah mendekatinya, itu berarti 
Lili tetap tak mau ikut dengannya. Maka, Yoga 
pun teruskan langkahnya berkelebat cepat menu-
ju ke pondok tempat tinggal Tabib Perawan yang 
bernama Sendang Suci itu.
Hati Lili menjadi bertambah gemas dan 
dongkol. kepada Pendekar Rajawali Merah. la ma-
sih diam di tempat itu, memandangi mayat yang 
bergelimpangan di tempat pertarungan tadi. Teta-
pi dalam hatinya, Pendekar Rajawali Putih itu be-
rucap kata sendirian.
"Kalau tak ada hubungan intim, tak mung-
kin ia memberati gadis itu! Menyesal sekali men-
gapa tadi gadis itu tidak segera kubunuh saja, 
supaya Yo tidak beralih kepada gadis itu! Ha-
ruskah aku mengejar hatinya agar bersatu den-
gan hatiku? Tapi... tapi sekarang aku adalah gu-
runya! Haruskah seorang guru mencintai murid-
nya? Pantaskah begitu?"
Lili melangkah pelan-pelan sambil memikir-
kan berbagai pertanyaan batinnya itu. la melang-
kah ketika matahari kian surut dari permukaan 
bumi. Tapi rasa cinta yang tumbuh di hatinya, 
tak akan pernah ikut surut seperti matahari. 
Hanya saja, ia masih sangsi, apakah rasa cinta 
Itu layak untuk tetap menyala dan berkobar-
kobar jika orang yang ingin dicintainya itu adalah 
muridnya? Apakah benar sesuatu yang menyala-
nyala di dalam hatinya itu adalah rasa cinta? 
Atau hanya sekadar rasa kagum saja terhadap 
sebentuk ketampanan wajah lelaki?

4

SENDANG SUCI menatap kehadiran Yoga 
dengan mata lembut penuh kharisma. Perempuan 
berusia empat puluh lima tahun itu masih keliha-
tan seperti berusia tiga puluh tahun kurang. Ten-
tu saja ia kelihatan cantik, muda tanpa kerutan 
kulit ketuaan, karena la seorang tabib yang punya 
ramuan awet muda. Baju longgar putih dengan 
rompi ketat yang rapat berwarna ungu sebatas 
betis, menambah anggun penampilan sang bibi 
sekaligus guru dari Mahligai itu. 
"Di mana kau temukan dia, Yoga?" 
"Di hutan seberang ngarai, Bibi!" 
Tabib Perawan yang memang masih suci dan 
belum pernah dijamah lelaki itu memandangi 
Mahligai yang dibaringkan di atas pembaringan, 
tempat biasanya ia mengobati para tamunya. la 
tampak sedih melihat keponakannya menderita 
Racun Edan, dan menjadi gila seperti yang telah 
diceritakan Yoga tadi.
Dengan hati tak tega, ia terpaksa meminta 
bantuan Yoga untuk membelenggu kedua tangan 
dan kaki Mahligai. Gadis malang itu dipindahkan 
ke sudut ruangan dalam keadaan tangan dan ka-
kinya terbelenggu sudah. Kemudian Tabib Pera-
wan membebaskan dua totokan pada tubuh Mah-
ligai yang membuat anggota tubuh Mahligai bisa 
bergerak normal, tapi bagian kepalanya belum bisa bergerak

"Satu lagi totokan ada padanya, tapi aku tak 
tahu bagaimana cara membebaskan totokan itu!" 
kata Tabib Perawan.
"Saya yang menotoknya, Bi!" kata Yoga den-
gan perasaan dan nada suara penuh sesal, ke-
mudian Yoga pun membebaskan totokannya.
"Aaaggrrr...! Aaaagggrr...!" Mahligai berteriak-
teriak dan meronta-ronta. Rantai yang digunakan 
untuk membelenggu kaki dan kedua tangannya 
disentak-sentakkan. Wajahnya menyeringai liar 
beberapa kali. Matanya melotot lebar-lebar.
"Makan...! Makan...! Aku ingin makan kalian!
Lekas, makaan...! seru Mahligai yang memberon-
tak. Rantainya gemerincing ditarik-tarik dengan 
kuat.
Teeb...! Tiba-tiba tangan Tabib Perawan itu 
bergerak cepat menggunakan kedua jarinya, me-
notok bagian sekitar bawah ketiak. Seketika itu 
tubuh Mahligai terkulai lemas dengan napas te-
rengah-engah. Suaranya pun menjadi pelan keti-
ka mengerang maupun merintih. Totokan itu ru-
panya telah kendor seluruh uratnya, termasuk 
urat leher yang biasa digunakan untuk berteriak 
itu.
"Mungkin dia perlu dipasung!" gumam Sen-
dang Suci seperti bicara pada diri sendiri.
"Kasihan kalau dia sampai dipasung," ujar 
Yoga. "Apakah Bibi tidak bisa sembuhkan dia da-
lam waktu singkat?"
Sendang Suci gelengkan kepala. "Aku butuh 
beberapa waktu untuk melenyapkan Racun Edan


itu! Ada beberapa bahan yang belum kumiliki da-
lam persediaan obatku! Satu bahan amat sulit di-
perolehnya."
"Bahan apa itu, Bibi? Kalau sekiranya saya 
bisa membantu, saya akan bantu mencarinya!"
"Bunga teratai Hitam!"
Yoga berkerut dahi dan bertanya, "Apakah 
ada bunga teratai warnanya hitam, Bi?"
"Ada. Bunga itu dapat menawarkan berbagai 
macam jenis racun tapi juga bisa berubah menja-
di racun ganas apabila salah penempatannya! Ji-
ka tubuh seseorang terkena racun tertentu, dan 
diberi minum air rebusan bunga Teratai Hitam, 
bisa-bisa racun tersebut semakin ganas dan me-
matikan orang tersebut. Tetapi jenis Racun Edan, 
jika terkena racun Teratai Hitam, akan menjadi 
tawar dan menyembuhkan si penderita."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala "Lalu, 
di mana dapat diperoleh bunga Teratai Hitam itu, 
Bi?!"
"Di Telaga Bangkai!"
'Telaga Bangkai?! Di mana letak Telaga 
Bangkai itu, Bi?"
"Di dalam Gua Mulut Iblis! Gua itu ada di le-
reng Gunung Tambak Petir. Gua itu biasanya di-
gunakan untuk bertapa seseorang. Entah seka-
rang masih digunakan atau sudah tidak lagi!"
Pendekar Rajawali Merah termenung seben-
tar membayangkan tempat tersebut yang belum 
pernah diketahuinya. Melihat keadaan Mahligai 
yang saat itu terkulai lemas dan meraung-raung

kecil itu, hati Yoga tidak tega sama sekali. la ter-
bayang saat pertemuannya dengan Mahligai, teru-
tama ketika hadir di pemakaman mendiang Guru 
Yoga, yaitu si Dewa Geledek. Yoga juga terbayang 
saat menggendong-gendong Mahligai yang ternya-
ta hanya suatu permainan Mahligai saja. Yoga in-
gat ketika Mahligai terdesak dan nyaris mati di 
tangan si Mata Neraka itu. Semua bayangan masa 
lalu yang belum lama telah membuat hati Pende-
kar Rajawali Merah menjadi terharu. (Baca serial 
Jodoh Rajawali episode; "Wasiat Dewa Geledek").
"Aku yang akan berangkat ke sana, Bi!" kata 
Yoga tiba-tiba setelah merasa semakin tak tega 
melihat keadaan Mahligai.
"Kau ingin mencari bunga Teratai Hitam?!" 
"Benar, Bi!" jawab Yoga dengan tegas. 
"Tapi berilah arah jalannya yang jelas, su-
paya aku tidak tersesat di tempat lain!"
"Memang kau harus hati-hati jika ingin ke 
sana, karena jika salah arah kau bisa tersesat di 
Gua Bidadari"
Kaget juga Yoga mendengar nama gua aneh 
itu. "Gua Bidadari itu gua untuk bertapa juga, 
Bi?"
"Bukan! Gua Bidadari adalah tempat tinggal 
Ketua Partai Gadis Pujaan, yang dipimpin oleh 
Bidadari Manja. Gua itu cukup lebar dan diguna-
kan untuk berkumpul, hidup bersama-sama oleh 
kelompok anggota partai Gadis Pujaan. Mereka 
rata-rata berilmu tinggi. Mereka para perempuan 
liar yang haus kemesraan lelaki dan tak pernah

ada puasnya. Jika lelaki yang tertangkap oleh me-
reka sudah tidak mampu lagi memberikan kepua-
san, maka lelaki itu akan dibunuh, dibuang ke 
jurang. Sebab itu, hati-hatilah jika menuju ke 
arah Gunung Tambak Petir."
Yoga mengangguk-anggukkan kepala, lalu 
menyimak keterangan Sendang Suci yang mem-
berikan petunjuk tentang arah yang harus ditem-
puh Yoga dalam menuju ke Gua Mulut Iblis itu. 
Selesai memberikan penjelasan tersebut, Sendang 
Suci yang sering mencuri pandang pada Yoga itu 
segera bertanya,
"Boleh aku tahu apa alasanmu sehingga ka-
mu mau mencarikan bunga Teratai Hitam untuk 
Mahligai?"
Pendekar Rajawali Merah tersenyum sepin-
tas dan segera menjawab,
"Mahligai sahabatku. Sejak aku turun dari 
gunung, tempatku ditempa oleh Empu Dirgantara 
atau di Dewa Geledek itu, Mahligailah orang per-
tama yang kukenal dan menjadi sahabatku, Bi! 
Karenanya aku merasa kasihan kepada Mahligai 
jika Mahligai gila seperti itu!"
Tabib Perawan menghembuskan napas pan-
jang-panjang. Seolah-olah ia merasakan ada kele-
gaan di hatinya begitu mendengar penjelasan dari 
Pendekar Rajawali Merah. Ia segera berkata den-
gan mata menerawang ke arah wajah keponakan-
nya yang malang itu.
"Racun Edan memang salah satu jenis racun 
yang sulit dilawan! Dari sekian banyak orang Perguruan Belalang Liar, hanya Merak Betina yang 
mempunyai pukulan beracun seperti itu, karena 
dia anak seorang tabib sakti yang sekarang sudah 
tiada. Tapi jelas perbuatan ini sama saja ia men-
jamah kepalaku. Padahal aku amat kenal dengan 
ketua Perguruan Belalang Liar, yaitu si Kembang 
Mayat. Bahkan sebelum Kembang Mayat menjadi 
ketua perguruan, ketika neneknya yang bernama 
Nyai Sangkal Pati Itu masih menjabat sebagai ke-
tua dan guru di antara mereka, aku punya hu-
bungan baik dengan Nyai Sangkal Pati. Dan 
agaknya, perguruan itu sekarang benar-benar 
menjadi liar setelah kedudukan ketua dipegang 
oleh Kembang Mayat yang masih muda itu!"
Sekali lagi Tabib Perawan menarik napas, 
sepertinya menahan sesuatu yang ingin meledak 
di dadanya. Kemudian ia mengantar Yoga yang 
ingin meninggalkan tempatnya. Tetapi ketika me-
reka sampai luar, ternyata langkah Yoga di ujung 
senja itu telah berpapasan dengan langkah kaki 
orang berpakaian serba hitam yang kepalanya se-
lalu mendongak ke atas, bagaikan memandang 
langit.
Orang itu tak lain adalah Jalak Hutan, yang 
pernah terkena tendangan jurus 'Rajawali Paruh 
Pendek' dari Yoga. Tendangan itulah yang mem-
buat urat leher dan tulangnya terkunci, sehingga 
Jalak Hutan tak bisa gerakkan kepalanya untuk 
menunduk atau miring ke kanan-kiri
Sendang Suci menarik napas lagi. Kali ini 
ada kesan sebal di hatinya, sebab ia tahu Jalak

Hutan adalah laki-laki yang tak pernah ada je-
ranya ditolak cintanya ditampik lamarannya. Dari 
dulu Jalak Hutan selalu berusaha menundukkan 
hati Sendang Suci. Tapi hati Sendang Suci seke-
ras batu karang segigih baja.
"Manusia Busuk!" umpat Jalak Hutan kepa-
da Yoga begitu ia tahu Yoga keluar dari rumah 
Sendang Suci. Tentu saja umpatan itu membuat 
Sendang Suci heran dan menjadi bertanya kepada 
Yoga,
"Apakah kau mengenalnya?"
"Dia yang ingin merebut pedangku ketika 
aku menggendong Mahligai dan melarikan diri da-
ri kejaran Mata Neraka! Dia yang memfitnah tem-
po hari."
"Ooo...!" gumam Sendang Suci pelan dan 
manggut-manggut, ia baru ingat tentang fitnah 
yang dilontarkan oleh Jalak Hutan beberapa wak-
tu yang lalu.
"Lihat, Manusia busuk! Gara-gara ulahmu 
kepalaku jadi begini terus! Hujan kehujanan, pa-
nas kepanasan! Dasar kunyuk!" geram Jalak Hu-
tan kepada si Pendekar Rajawali Merah. Ia kebin-
gungan mencari posisi untuk memandang Yoga. 
Hatinya diliputi oleh kemarahan yang tak terben-
dung lari rasanya.
"Itu karena ulahmu sendiri, Jalak Hutan! 
Kau ingin merebut pedang pusakaku, sehingga 
akibatnya menderita seperti itu! Karenanya ku in-
gatkan padamu, jangan jadi orang serakah dan 
bernafsu untuk merebut barang yang bukan miliknya!"
"Tutup bacotmu! Hiaaah...!"
Wuuutt...! Jalak Hutan masih sempat le-
paskan pukulan jarak jauhnya berupa pancaran 
sinar kuning yang melesat bagaikan sebutir telur 
burung itu. Pancaran sinar kuning dihindari oleh 
Yoga dengan melompat dan bersalto satu kali di 
udara. Sasaran berikutnya menjadi Sendang Suci 
yang akan terkena sinar kuning itu. Tetapi den-
gan cepat Sendang Sue! lepaskan pukulan pe-
nangkis berupa sinar hijau seperti kue serabi! Si-
nar itu menghantam sinar kuning dan menimbul-
kan ledakan yang lumayan besarnya. Duaaar...!
Jalak Hutan terpental akibat hentakan daya 
ledak itu. Sebenarnya tak perlu membuatnya ja-
tuh, namun karena keadaan kepalanya mendon-
gak, akhirnya ia jatuh juga kehilangan keseim-
bangan.
"Kau jangan ikut membela pemuda kunyuk 
itu, Sendang Suci?!" geram Jalak Hutan masih te-
tap tengadahkan kepala.
"Aku hanya menghindari pukulanmu, Jalak 
Hutan! Kalau kau mau bertarung dengan Pende-
kar Rajawali Merah itu, bertarunglah di tempat 
yang lega sana! Jangan membuatku sebagai tem-
pat salah sasaran! Dan kujamin kau akan mati 
sekarat jika bertarung melawannya!"
"Setan!" gerutu Jalak Hutan sambil mengen-
cangkan genggaman tangannya. "Aku ke sini se-
benarnya untuk meminta bantuanmu mencoba 
menyembuhkan kepalaku ini! Tapi kau justru

membuatku marah, Sendang Suci Kau dan dia 
sama-sama keluar dari rumah! Apa yang kalian 
berdua lakukan di dalam sana, hah?! Apakah 
pemuda itu sudah berhasil membuatmu tidak su-
ci lagi?!"
"Jaga mulutmu, Jalak Hutan!" bentak Sen-
dang Suci, wajahnya menjadi merah karena kata-
kata Jalak Hutan. "Pikiran kotormu itulah yang 
membuat kau sekarang menderita begitu! Dan la-
gi, sudah kucoba beberapa kali aku sudah tidak 
bisa menyembuhkan kepalamu itu, dan kukata-
kan aku tak mampu lagi melakukan! Tapi menga-
pa kau masih nekad datang dengan alasan yang 
itu-itu saja! Aku lama-lama muak padamu, Jalak 
Hutan!"
"Tentu saja, sebab sekarang kau rupanya 
sudah mempunyai mainan baru! Pemuda kunyuk 
itulah sekarang yang membuatmu betah menge-
ram di dalam rumah dan...,"
Wuuutt...! buuhg...!
Gusraaak...! Kata-kata itu terpotong karena 
Sendang Suci segera lepaskan pukulan jarak jauh 
tanpa sinar. Tubuh Jalak Hutan terpental dan ja-
tuh membentur pagar. la mengerang di sana den-
gan wajah menyeringai sambil tetap tengadah.
"Pergi kau dari sini!" bentak Sendang Suci 
yang merasa malu dan rendah mendengar tudu-
han Jalak Hutan. "Sekali lagi kau bicara seperti 
itu, tak akan kubiarkan kau hidup lebih dari se-
hari!"
"Sendang Suci..., tega sekali kau merusak

persahabatan kita yang sudah sekian lama kita 
bina!"
"Kau yang merusaknya!" bentak Sendang 
Suci. Sementara itu, Yoga hanya diam saja dan 
merasa pertengkaran itu menjadi pertengkaran 
antara pribadi. la tak berani turut campur. Tapi ia 
menjaga Sendang Suci jika sewaktu-waktu dis-
erang oleh Jalak Hutan dalam keadaan lengah.
"Tinggalkan tempatku ini, Jalak Hutan! Jan-
gan paksa aku kehilangan kesabaran!"
"Baik! Baik! Aku akan pergi, tapi ingat... ke-
lak kalau kepalaku sudah tidak begini, kubalas 
kekalahanku hari ini, Sendang Suci!"
"Aku siap menerimanya!" jawab Sendang Su-
ci dengan ketus.
Terutama kepada dial'* Jalak Hutan menud-
ing Yoga. "Aku tak akan mati lebih dulu sebelum 
bisa membunuhnya!"
"Lakukanlah kalau kau mampu!" Ini pun ka-
ta-kata Sendang Suci yang merasa yakin bahwa 
Jalak Hutan mempunyai ilmu tidak ada sekuku 
hitamnya dibanding ilmu yang dimiliki Pendekar 
Rajawali Merah.
Setelah berkata demikian, Jalak Hutan me-
ninggalkan halaman rumah Tabib Perawan itu. Ia 
berlari cepat dan membentur pohon dua kali ka-
rena posisi kepalanya yang tengadah masih berla-
gak mampu berlari cepat di depan Yoga dan Sen-
dang Suci. Akibatnya justru ia mendapat malu 
karena menabrak pohon dua kali. 
"Agaknya dia cemburu padaku, Bibi!"

"Lupakan tentang dia," kata Sendang Suci 
masih tampak cemberut kesal kepada Jalak Hu-
tan. "Dia memang sering bersikap memuakkan di
depanku! Tapi baru kali ini aku melepaskan ke-
jengkelanku kepadanya. Kupikir sikapnya sudah 
keterlaluan, sehingga aku pun terpaksa sekasar 
tadi!"
"Agaknya Bibi dan dia ada hubungan pribadi 
yang dalam!"
"Dia yang punya perasaan begitu! Dia yang 
dari dulu ingin melamarku, tapi aku tak pernah 
bisa ditundukkan olehnya. Hatiku sudah telanjur 
patah dan beku untuk selamanya?"
"Untuk selamanya? Sampai sekarang ini, 
Bi?"
Perempuan itu menatap Yoga dengan gelisah 
dan berdebar-debar. Kemudian segera menun-
dukkan kepala sambil berkata,
"Entahlah kalau untuk saat sekarang ini! 
Aku masih bimbang!"
Yoga perdengarkan tawanya yang pendek 
dan pelan, seperti orang menggumam. Sendang 
Suci menjadi malu. la salah tingkah sendiri dan 
akhirnya cepat melangkah pergi untuk masuk ke 
dalam rumah. Namun pada saat itu terdengar su-
ara lain memanggilnya,
"Bibi Sendang Suci...!"
Sendang Suci cepat berpaling memandang 
orang yang baru datang itu. Ternyata seorang 
pemuda yang lumayan ganteng, tapi mempunyai 
sorot mata tak seteduh Yoga. Pemuda itu tak lain

adalah Tamtama, orang yang mencintai Mahligai
dan belum lama cekcok gara-gara Mahligai ber-
sama Pendekar Rajawali Merah.
Melihat ada Yoga di situ, Tamtama meman-
dang sebentar dengan sinis, kemudian ia segera 
menemui Sendang Suci.
"Bibi, bolehkan saya menemui Mahligai?!" 
"Mahligai...?" Sendang Suci melirik sekejap 
pada Yoga, setelah matanya beradu pandang, ia 
kembali berkata kepada Tamtama,
"Mahligai tidak ada! Sudah dua hari dia ti-
dak pulang ke rumah!"
"Sudah empat hari, Bi! Bukan dua hari. Ka-
rena sudah empat kali saya datang kemari, na-
mun tidak pernah jumpa dia."
"Dua hari yang lalu dia pulang sebentar lalu 
pergi lagi.”
"Apakah kepergiannya bersama Orang Hutan 
itu, Bi?" sambil Tamtama menuding Yoga, karena 
sikapnya masih bermusuhan terhadap Yoga. Rasa 
cemburu Tamtama cukup besar, sehingga tidak 
bisa melupakan Yoga, sebagai orang yang bela-
kangan ini sering dipuji-puji Mahligai.
"Jangan bicara kasar begitu, Tamtama.'" 
ucap Sendang Suci dengan sikap kalem.
"Ah, tak apa, Bi! Orang seperti dia sudah 
layak mendapat perlakuan kasar! Kalau perlu di-
lenyapkan dari muka bumi!"
Yoga tersenyum sambil menyahut, "Kenapa 
tidak kau lakukan? Bukankah aku sudah berada 
dalam jarak dekat denganmu, Tamtama?!"

Tamtama tidak berpaling ke arah Yoga, na-
mun matanya memandang lurus dengan menyi-
pit. Giginya menggeletuk menahan amarah. Dan 
tiba-tiba tangannya melepaskan senjata rahasia 
berbentuk bintang dalam satu kelebatan memu-
tar. Wuuust..! Zlaaap...! Teeb...!
Tangan Yoga berkelebat ke depan seperti ge-
rakan kilat. Tangan itu berhenti tepat di depan 
lehernya dengan telapak tangan membalik meng-
hadap lehernya sendiri, tapi di punggung telapak 
tangan terlihat senjata berbentuk bintang itu ter-
jepit di kedua jarinya. Pendekar Rajawali Merah 
tersenyum ramah. Sendang Suci terbengong ter-
tahan, sedangkan mata Tamtama terkesiap, ke-
mudian la mendengus dengan nada kesal.
"Boleh senjata ini kulempar balik kepada-
mu?" tanya Yoga. Diam-diam Tamtama cemas, 
maka segera ia mengalihkan kata,
"Kalau kau merasa hebat dan jago, jangan 
melawanku, tapi lawanlah orang andalanku!"
"Dari dulu aku sudah mengingatkan, jangan 
melawanku! Mengapa baru sekarang kau sadar 
akan hal itu, Tamtama?"
"Akan ku adu kau dengan Tanduk Iblis, sa-
habatku!" 
"Akan kutunggu kedatanganmu dengan tan-
duk ayam sekalipun!"
Tamtama berpaling sebentar kepada Sen-
dang Suci, "Bibi, saya pamit dulu! Permisi!" Lalu, 
sambil melangkah pergi Tamtama berkata kepada 
Yoga, 'Tunggu saatnya tiba!"

Yoga hanya tersenyum memperhatikan ke-
pergian Tamtama, Sendang Suci hanya geleng-
geleng kepala melihat sikap anak sahabatnya itu.
"Yo, berangkatlah besok saja. Sekarang su-
dah petang. Bermalamlah di sini!" kata Sendang 
Suci kepada Yoga.
*
* *
5

JALAK HUTAN menjadi sangat benci kepada 
Pendekar Rajawali Merah. Pertama, karena ia 
gagal merebut pusaka Pedang Lidah Guntur itu 
yang membuat kepalanya tak bisa menunduk la-
gi, dan kedua karena ia melihat Yoga semakin 
akrab dengan Sendang Suci. Padahal selama ini 
ia tak pernah mendapat perlakuan seakrab itu 
dari Sendang Suci. Dia naksir berat dengan Tabib 
Perawan itu, tapi hasratnya sekarang menjadi su-
rut karena kehadiran Pendekar Rajawali Merah di 
samping Tabib Perawan.
Tak ada jalan lain untuk menyembuhkan 
kepalaku ini kecuali datang kepada Eyang Wejang 
Keramat. Aku yakin beliau bisa sembuhkan kepa-
laku ini!" pikir Jalak Hutan di tengah langkahnya 
yang sesekali terantuk batu itu.
Langkah itu terhenti ketika Jalak Hutan 
mendengar suara orang turun dari atas pohon di

jalan depannya. Jleeg...! Ia segera ambil posisi 
menyamping supaya bisa jelas memandang. Dan 
ternyata orang yang turun dari atas pohon itu
adalah musuh lamanya. Berbaju hijau tak dikan-
cingkan depannya, bercelana hitam dengan sabuk 
besarnya yang hitam pula, menyandang golok le-
bar di pinggangnya itu.
Orang tersebut mirip raksasa. Tubuhnya 
tinggi, besar, berwajah lebar tapi lonjong. Tulang 
rahangnya tampak jelas, hidungnya besar dan tu-
lang pipinya pun bertonjolan. Orang itu mempu-
nyai alis tebal, rambut meriap tanpa diikat tapi 
tak sampai lewat pundak. Di dahinya terdapat 
dua benjolan sebesar jeruk peras, ada di kanan-
kiri kening. Mirip sepasang tanduk. Sedangkan 
dadanya yang lebar dan kekar itu mempunyai ta-
to gambar wajah iblis. Tak salah lagi, dialah ma-
nusia yang dijuluki Tanduk Iblis oleh para tokoh 
persilatan di sekelilingnya.
"Jalak Hutan, kau masih ingat aku?!" sen-
taknya dengan suara besar menyeramkan.
"Oh, kau Tanduk Iblis?! Tentu saja aku ma-
sih mengingatmu! Kau dulu kubuat lari terbirit-
birit ketika masih bau kencur!"
'Tapi sekarang nyawamu yang akan kubuat 
lari terbirit-birit dari hadapanku, Jalak Hutan!"
"He he he...! Apakah kau sudah cukup he-
bat, sehingga berani mengancamku demikian, 
ha?!"
'Tanduk iblis yang dulu, bukan lagi Tanduk 
Iblis yang sekarang! Kau boleh keluarkan ilmumu

semua untuk menghadapiku! Tapi aku ragu den-
gan kemampuanmu sekarang, sebab kepalamu 
saja sudah miring ke atas!"
Zlaaap...! Tiba-tiba Tanduk Iblis sentakkan 
tangannya dan melesatlah sinar merah menghan-
tam tubuh Jalak Hutan. Tak sempat Jalak Hutan 
menghindar. la hanya sempat membalas dengan 
pukulan bersinar kuning dan sinar tersebut 
menghantam sinar merah lalu meledak di perten-
gahan jarak. Duaar...!
Suaranya memekakkan telinga. Jalak Hutan 
jatuh karena dalam keadaan kepala tengadah, ia 
sulit sekali menjaga keseimbangan tubuh. Dalam 
jatuhnya ia sempat membatin,
"Lumayan juga pukulannya sekarang ini! 
Rupanya ia habis berguru dan memperdalam il-
mu. Aku harus hati-hati melawannya, tak boleh 
menganggap remeh seperti dulu!
Jalak Hutan dan Tanduk Iblis memang per-
nah bertarung dua tahun yang lalu. Pertarungan 
itu adalah untuk memperebutkan kitab pusaka 
yang akhirnya jatuh ke jurang yang amat dalam 
dan tak tahu siapa yang berhasil memilikinya. 
Yang Jelas waktu itu Tanduk Iblis dikalahkan 
oleh Jalak Hutan dan melarikan diri dalam kea-
daan terluka dalamnya.
Kini Jalak Hutan merasa mendapat lawan 
yang lebih tangguh dari dua tahun yang lalu. Ma-
salahnya sudah bukan karena rebutan kitab lagi, 
tapi karena dendam dan kekalahan yang akan di-
tebus oleh si Tanduk iblis.

Dulu Tanduk Iblis hanya mengandalkan ke-
kuatan tubuhnya yang besar dengan permainan 
jurus silat yang tergotong lumayan. Tapi sekarang 
ia sudah mempunyai tenaga dalam dan mampu 
menyerang dengan cepat dalam jarak lima tom-
bak. Ini jelas suatu kemajuan nyata bagi Tanduk 
Iblis di depan Jalak Hutan. Karena itu, Jalak Hu-
tan selalu menjaga jarak dan berdirinya me-
nyamping supaya lebih jelas memandang setiap 
gerakan lawan.
"Sudah lama aku ingin melepaskan pemba-
lasan ini Jalak Hutan! Sangat kebetulan kita ber-
temu di sini, sehingga bisa kuselesaikan sekarang 
juga hutang kekalahanku kepadamu! Heaaah...!"
Kedua telapak tangan Tanduk Iblis disentak-
kan ke depan dan dua sinar melesat bersamaan, 
keduanya berwarna merah berpendar-pendar. Da-
lam keadaan kepala tengadah, Jalak Hutan me-
mang kesulitan menangkis serangan lawan. Aki-
batnya ia hanya bisa bersalto ke belakang, itu 
pun tergelincir jatuh. Brukk...! Tapi kedua sinar 
merah itu melesat lewat di depannya, menghan-
tam sebatang pohon besar. Duaar!
Pohon itu pecah menjadi serpihan-serpihan 
kecil dan menyebar ke mana-mana. Sebagian ada 
yang jatuh menimbun tubuh Jalak Hutan. Meli-
hat keadaan seperti itu, membandingkan dengan 
keadaan kepalanya yang begitu, Jalak Hutan me-
rasa tak punya harapan untuk bisa mengalahkan 
Tanduk Iblis. Apalagi gerakan Tanduk Iblis tam-
pak liar dan buas, Jalak Hutan kalah gesit dan

tak bisa tangkas lagi.
"Putus kepalamu, Jalak Hutan! Hiaaah...!" 
Tanduk Iblis berteriak setelah mencabut golok le-
barnya yang bergerigi pada bagian belakang sisi 
tajamnya. Ia melompat dengan bersalto satu kali 
dan dalam waktu singkat sudah tiba di samping 
Jalak Hutan dengan sentakan kaki ke tanah ter-
dengar berat karena besarnya tubuh. Bluhg...!
Lalu, golok besar itu tidak mau menunggu 
lama di atas, segera berkelebat menebas dari atas 
kanan ke kiri. Wuuut...! Traang...!
Sebongkah batu melayang dan menghantam 
golok besar itu. Golok tersebut hampir saja terle-
pas dari tangan akibat mental ke samping kanan. 
Untung tubuh Tanduk Iblis mengikuti sentakan 
laju goloknya, sehingga senjata itu tetap bisa ter-
pegang oleh tangan kanannya.
"Bangsat! Siapa yang ikut campur dengan 
urusanku ini! Keluar!" teriak Tanduk Iblis dengan 
kerasnya. Matanya pun memandang ke arah da-
tangnya batu itu dengan buas. Jalak Hutan di-
jauhinya sesaat, dan Jalak Hutan sendiri yang se-
lamat dari saat-saat kematiannya itu segera beru-
saha menjauhi orang besar seperti raksasa itu.
Dari kerimbunan pohon dan semak, melesat 
sesosok tubuh dengan lompatan ringannya. 
Jleeg...! Seorang gadis cantik dengan rambut pan-
jang yang diikat menjadi satu dengan tali merah 
berdiri di hadapan Tanduk Iblis dalam jarak seki-
tar empat tombak. Gadis itu berbaju merah den-
gan rompi rapat biru muda, ikat pinggang dari

kain putih dan berguna untuk menyelipkan sebi-
lah pedang. Wajah bulat telurnya yang cantik itu 
mempunyai hidung mancung dan mata membela-
lak Indah berbulu lentik.
"Mutiara Naga...?!" ucap Jalak Hutan, sudah 
mengenali gadis itu, karena gadis itu adalah anak 
dari kakaknya Jalak Hutan. Ibunya Mutiara Naga 
itulah kakak Jalak Hutan.
"Paman, menjauhlah...! Biar raksasa itu ku-
hadapi" kata Mutiara Naga dengan beraninya.
"Gggrrrmmn...!" Tanduk Iblis hanya mengge-
ram penuh kejengkelan. la mundur satu tindak 
ketika Mutiara Naga mendekatinya. Mata Tanduk 
Iblis memandang penuh kebencian namun tak 
terlihat permusuhannya. 
"Hadapi aku sekarang!"
"Siapa kau?!" geram Tanduk Iblis yang ber-
wajah menyeramkan itu.
"Aku Mutiara Naga! Jalak Hutan adalah pa-
man ku! Kalau kau mau membunuh paman ku, 
kau harus hadapi dulu aku!" Mutiara Naga mene-
puk dadanya sendiri.
"Mutiara Naga, dia berbahaya! Lari saja!" bi-
sik Jalak Hutan. Tapi agaknya bisikan itu tidak 
dihiraukan oleh gadis pemberani itu.
"Gadis goblok! Aku tidak ada urusan den-
ganmu! Kuharap pergilah dari hadapanku!"
"Kalau kau memang berilmu tinggi, hadapi 
dulu aku! Usirlah dengan perlawananmu!" tan-
tang Mutiara Naga.
"Aku tidak pernah bertarung dengan perem

puan! Aku paling pantang melawan dan menye-
rang perempuan!"
"Omong kosong!"
'Terserah apa anggapan mu." Jika kau ber-
keras melindungi pamanmu, sebaiknya aku yang 
pergi! Tapi ingatkan pada dia agar jangan jalan 
sendirian tanpa dirimu! Dia bisa kubunuh tanpa 
kamu!"
Setelah berkata begitu Tanduk Iblis segera 
sentakkan kaki besarnya itu dan melesat naik ke 
pohon, lalu melompat dari dahan ke dahan den-
gan cepatnya. Mutiara Naga berkerut dahi dan 
heran melihat orang besar itu ketakutan. la tidak 
tahu, bahwa Tanduk Iblis memang tidak berani 
dan tidak mau menyerang perempuan. Dia sangat 
pantang melakukan hal itu, karena Tanduk Iblis 
adalah seorang anak yang sangat mencintai 
ibunya, sehingga punya rasa segan dan kasihan 
kepada setiap perempuan mana pun juga.
Jalak Hutan berkata kepada Mutiara Naga 
sambil dongakkan kepala,
"Untung kau datang! Rupanya orang itu 
memang tak mau melawan wanita, Mutiara Naga!"
"Siapa dia? Apa benar dia keturunan raksa-
sa?"
'"Bukan! Dia keturunan manusia biasa! Pa-
man dulu pernah melawannya dan membuatnya 
lari terbirit-birit, dan rupanya dia sekarang ingin 
membalas dendam. Aku merasa akan kalah jika
melawannya karena keadaanku seperti ini!"
Mutiara Naga ikut memandang ke atas po

hon, karena ia menyangka pamannya sedang 
mencari sesuatu di atas pohon. Tetapi pamannya 
segera berkata kepadanya,
'Tak perlu ikut memandang ke atas, Paman 
tidak sedang mencari sesuatu!"
"Lalu mengapa Paman mendongak ke atas?"
"Ini perbuatan orang yang biadab! Dia mem-
buat tulang dan urat di leherku terkunci dan tak 
mau membebaskan! Sudah berhari-hari aku di-
buatnya begini terus. Tidur pun jadi susah telen-
tang!"
“Ya, ampuuun...?! Siapa orangnya, Paman?! 
Biar kubalaskan perlakuannya yang konyol ter-
hadap Paman itu!"
'Tak usah! Dia ilmunya lebih tinggi dan si 
Tanduk Iblis tadi! Kau tak akan mampu mela-
wannya, Mutiara Naga!"
"Paman merendahkan aku!"
"Ah, sudahlah! Jangan beranggapan begitu," 
Jalak Hutan menepuk-nepuk pundak kepona-
kannya sendiri itu. "Bagaimana kabar ibumu, Mu-
tiara Naga? Masih sakitkah dia?"
"Sudah sembuh, Paman! Tapi masih harus 
banyak istirahat. Paman ditunggu-tunggu keda-
tangannya. Ada yang ingin ibu katakan kepada 
Paman mengenai warisan kakek."
"Bilang sama ibumu, Mutiara Naga, bahwa 
aku tidak akan ikut campur mengenai warisan 
itu! Terserah keputusan ibumu saja, aku ikut ke-
putusan itu. Tidak akan menentangnya!"
"Lalu, sekarang Paman mau ke mana?"

"Paman mau pergi ke Bukit Gobang. Paman 
mau menemui Eyang Wejang Keramat untuk min-
ta dipulihkan keadaan kepala paman ini!"
"Paman, kalau di perjalanan nanti Paman 
bertemu dengan orang tampan berpakaian putih 
panjang dan berselempang coklat, celananya me-
rah dan rambutnya panjang, bawalah dia padaku, 
Paman!" 
"Untuk apa?"
Dengan sedikit merengek, Mutiara Naga 
menjawab, "Aku merindukan dia, Paman! Aku in-
gin jumpa dengannya!"
"He he he he...! Kamu sedang kasmaran ru-
panya, ha?!"
"Ah, Paman..,!" Kemanjaan Mutiara Naga 
semakin menjadi. "Atau, Paman cari dululah 
orang itu! Katakan padanya, Mutiara Naga me-
nunggu kedatangannya. Dia sangat rindu pa-
danya!"
"Kalau dia tak mau datang?"
"Rayulah dia, Paman!"
"Bah! Macam apa aku kau suruh rayu lelaki? 
Kau pikir aku ini manusia yang suka terhadap se-
jenis?! Tak maulah aku!"
"Ah, Paman...!" kaki Mutiara Naga menghen-
tak-hentak. "Paman pasti bisa membujuknya!"
"lalah," jawab Jalak Hutan dengan setengah 
dongkol. Sebagai paman yang sayang kepada ke-
ponakannya, layak sudah dia menuruti rengekan 
sang bocah. Apalagi dari sekian banyak kepona-
kannya, hanya Mutiara Naga yang dekat dengan

nya. Jalak Hutan sangat sayang kepada kepona-
kan yang satu itu.
"Bagaimana kau bilang tadi ciri-cirinya?" 
tanya Jalak Hutan.
"Pakaiannya baju putih lengan panjang, ber-
selempang coklat. Celananya merah. Rambutnya 
panjang dan berikat kepala. Dia menyandang pe-
dang di punggungnya bergagang merah dengan 
hiasan dua kepala burung rajawali bertolak bela-
kang berwarna merah tembaga. Dia bernama Yo-
ga dan bergelar Pendekar Rajawali Merah!"
"Mati aku, Mutia!'' kata Jalak Hutan tiba-tiba 
sambil menepuk kepala sendiri, tapi karena kepa-
lanya mendongak, yang kena pipinya. Plook.... Ia 
pun mulai menjauhi Mutiara Naga yang sering di-
panggil dengan nama kecilnya: Mutia.
Gadis itu heran melihat pamannya menjauh 
dan tidak bersemangat lagi. Bahkan samar-samar 
dilihatnya wajah pamannya tidak ceria. Mutiara 
Naga segera dekati orang tua itu dan bertanya,
"Kenapa Paman kelihatannya kecewa?"
"Carilah lelaki lain!"
'Tidak bisa! Hatiku telah terpikat olehnya, 
Paman!"
"Yang lebih ganteng dari dia banyak, Mutia!"
"iya. Tapi aku suka sama dia, Paman! Dia 
baik, ramah, berilmu tinggi dan...."
"Dan aku tak sanggup membujuk dia!"
"Kenapa...?!" Mutiara Naga merengek.
"Aku tak suka padanya!"
"Iya, tapi kenapa tak suka?"

"Kalau kau mau tahu, Mutia... dialah yang 
membuat kepala paman menjadi seperti ini!"
"Dia...? Pendekar Rajawali Merah itu?!"
"Iya! Dan sampai sekarang paman masih 
benci padanya!"
"Kenapa Paman sampai dibuatnya begin!?!"
"Pertarungan antara ksatria melawan pende-
kar!" jawab Jalak Hutan bermaksud menyembu-
nyikan masalah sebenarnya.
"Pertarungan sebab apa, Paman?" Mutiara 
Naga mendesak. Jalak Hutan mulanya tak mau 
menjawab, tapi setelah dipikir-pikirnya, ia tak te-
ga jika harus menipu keponakannya yang ter-
sayang itu.
"Masalahnya sepele...," jawabnya pada awal 
bicara. "Paman tahu dia murid tokoh sakti yang 
bernama Empu Dirgantara dan berjuluk Dewa 
Geledek. Paman tahu, Dewa Geledek punya pe-
dang pusaka dan ampuh bernama Pedang Lidah 
Guntur. Pedang itu sekarang diwariskan kepada 
Pendekar Rajawali Merah. Paman mau rebut pe-
dang pusaka itu darinya, tapi dia melawan dan 
membuat kepala Paman jadi begini!"
"Itu memang salah Paman!" ketus Mutiara 
Naga. "Sudah tahu pusaka itu bukan hak milik 
Paman, kenapa mau merebutnya?!"
"Iya, tapi setidaknya dia sama orang tua ha-
rus sopan. Tidak membuatku menderita begini!"
"Paman sendiri tak tahu aturan!"
"Eh, kenapa kau jadi kecam pamanmu ini?!"
"Habis tindakan Paman seperti itu! Tak mau
aku punya Paman bersikap begitu!"
"Eh, eh... Mutia, dengar dulu kataku!" Jalak 
Hutan takut keponakannya menjadi benci kepa-
danya. Ia memburu Mutiara Naga yang menjau-
hinya. Pundak Mutiara Naga dibalikkannya su-
paya menatap ke arahnya.
"Dengar, Mutia... di dunia persilatan, rebut-
merebut pusaka itu sudah umum. Wajar terjadi, 
Mutia!"
"Tapi aku tak suka punya Paman yang ker-
janya merebut barang milik orang lain! Aku malu, 
Paman! Malu sekali!"
"Eh, Mutia... dengarlah dulu, jangan marah 
begitu!"
'Tidak! Aku tidak suka cara Paman begitu!"
Lalu keduanya sama-sama bungkam. Sepi 
terjadi sesaat. Ada kabut merayap di tanah. Kabut 
putih bergerak dan membungkus kaki Mutiara 
Naga. Gadis itu membiarkannya, karena hanya 
kabut biasa.
Tak lama kemudian, terdengar suara Jalak 
Hutan berkata,
"Baiklah kalau kau malu. Aku akan temui 
dia dan meminta maaf kepadanya! Tapi bagaima-
na jika dia tetap membuat kepalaku begini!"
"Katakan, Paman adalah saudaraku. Bilang 
padanya, Mutiara Naga adalah keponakan Paman 
Jalak Hutan, dan sekarang Mutiara Naga ingin 
bertemu dengannya karena rindu! Mintalah dia 
membuka kunci urat di leher Paman. Kalau Pa-
man sebutkan namaku, dia pasti akan menolong

Paman dan membebaskan kepala Paman menjadi 
pulih kembali!" 
"Kalau dia tak mau?"
"Aku yang akan memaksanya supaya menja-
di mau!"
"Apa kau sanggup melawannya?"
"Melawannya, sanggup! Tapi memukulnya... 
aku tak tahu, apakah aku sanggup atau tidak!"
"Nah, kalau sudah begitu siapa yang akan 
bela aku?"
"Sudahlah, Paman! Percayalah, dia pasti 
akan sembuhkan kepala Paman itu jika Paman 
bilang bahwa Mutiara Naga adalah keponakan-
mu!"
Sebenarnya ada yang ingin dikatakan lagi 
oleh Mutiara Naga. Tetapi ia merasakan aneh pa-
da bagian kakinya. Kabut itu makin tebal mem-
bungkus kaki. Terasa hangat dan merayap geli di 
bagian betis. Bahkan semakin lama semakin naik 
ke paha dan rasa desir keindahan itu hadir di sa-
na. Tambah lama tambah naik lagi dan Mutiara 
Naga merasakan ada sesuatu yang menyentuh-
nyentuh nikmat di salah satu relung tubuhnya. 
Jantung pun jadi berdebar-debar.
Jalak Hutan tak tahu datangnya kabut itu 
karena ia mendongak ke atas terus. la tahu hal 
itu setelah Mutiara Naga berkata,
"Paman, aku merasakan ada yang mengge-
rayangi tubuhku!"
Jalak Hutan terkesiap matanya, lalu menco-
ba memandangi tubuh keponakannya dengan

agak menjauhkan jarak. la mulai melihat gerakan 
kabut yang membungkus kaki sampai di bagian 
dada Mutiara Naga. Dengan cepat ia menyambar 
tangan gadis itu dan berkata,
"Cepat lari! Itu perbuatan jalang si Manusia 
Kabut! Lari...!"
"Manusia Kabut...?!"
"Larilah, nanti kau dijahili lagi olehnya! Dia 
tak bisa dilawan jika dalam keadaan berubah 
menjadi kabut seperti itu!"
'Tapi... tapi, Paman...!"
Jalak Hutan segera membawa keponakannya 
berlari, walau ia sendiri tersandung-sandung batu 
atau akar pohon. la berkata sambil menyeret tan-
gan Mutiara Naga.
"Untuk melawan Manusia Kabut, tak ada ca-
ra lain kecuali harus lari menjauhinya! Dia adalah 
si Tua Usil yang punya nama asli Pancasona! Ka-
rena dia mempunyai ilmu yang bisa mengubah di-
rinya menjadi kabut, maka banyak yang mena-
mainya Manusia Kabut!"
"Apakah dia sakti, Paman?"
'Tak seberapa tinggi ilmunya! Hanya ilmu 
kabutnya saja yang membuatnya tampak sakti!"
'Tapi... oh, dia mengejar kita, Paman!"
"Dia tak bisa lari cepat dalam keadaan men-
jadi kabut. Kita harus bergerak lebih cepat lagi!"
Mutiara Naga terseret-seret karena ia sebe-
narnya ingin berhenti dan penasaran terhadap 
kabut yang menghadirkan kemesraan tersendiri 
Itu. Ia merasa sedang dijamah oleh tangan Pendekar Rajawali Merah yang sedang jadi harapan 
hatinya itu.
*
* *
6

PERJALANAN Yoga menuju Gua Mulut Iblis 
untuk mencari bunga Teratai Hitam terhenti seje-
nak. la mendengar suara percakapan dua perem-
puan yang saling cekikikan. Rasa tertarik ingin 
mengetahui siapa mereka, membuat Yoga mencari 
tempat untuk mengintai. Akhirnya ia temukan 
semak-semak ilalang tak berduri. Dengan langkah 
hati-hati dan gerakan pelan, Yoga menyingkapkan 
rumpun ilalang tersebut. Ketika itu, Yoga segera 
berkerut dahi karena merasa mengenai perem-
puan yang bertahi lalat kecil di dagu kiri. 
"Merak Betina...?!" gumamnya dalam hati. 
Perempuan cantik bermata bulat itu sedang 
bersama temannya yang juga bermata bulat. Me-
reka berusia sebaya. Wajahnya juga sama mun-
gilnya, hidungnya mancung, bibirnya kecil tapi 
Indah. Perempuan muda itu mengenakan pakaian 
biru cerah yang berlengan longgar dilapisi kain 
semacam rompi warna merah yang memanjang 
lewat perut. Rambutnya lurus sepundak, lemas, 
dan berponi indah. Perempuan itu menyelipkan 
gulungan cambuk warna hitam di pinggangnya.
Pendekar Rajawali Merah tahu persis, Merak 
Betina itulah orang Perguruan Belalang Liar yang 
melukai Mahligai dengan Racun Edan. Tentunya 
perempuan muda berbaju biru itu juga orang Per-
guruan Belalang Liar. Hal yang membuat Yoga 
bimbang adalah keadaan Merak Betina yang enak 
untuk diserang atau bahkan dibunuh pada saat 
itu. Tapi apakah Yoga harus melakukan pembala-
san atas nasib yang diterima Mahligai? Apakah 
Yoga harus melakukan pembelaan terhadap Mah-
ligai yang menyerang Merak Betina, sementara 
urusan mereka itu sebenarnya hanyalah urusan 
perempuan yang tidak sepantasnya dicampuri 
oleh pihak lelaki?
'Tidak. Aku tidak boleh melakukan pembala-
san! Aku hanya boleh melakukan pertolongan sa-
ja!" kata hati Yoga. "Jika aku membela Mahligai 
dan membalaskan dendamnya kepada Merak Be-
tina, maka kedudukanku pasti dianggap memihak 
salah satu sisi, dan pasti mereka akan berangga-
pan bahwa Mahligai adalah kekasihku. Aku tak 
mau hal itu sampai terdengar oleh Guru Lili. Be-
liau bisa semakin mengamuk kepada Mahligai, 
juga kepada diriku sendiri!"
Kecamuk di dalam hati Yoga itu terhenti se-
telah Yoga menyadari apa yang sedang dilakukan 
oleh kedua perempuan muda itu. Mereka sama-
sama memejamkan mata dan berdiri berdekatan. 
Mereka saling berpelukan dan bahkan saling ber-
ciuman, seperti layaknya muda-mudi yang berkasihan.


Yoga segera berucap dalam hatinya, 
'Ternyata mereka mempunyai kemesraan yang 
ganjil. Sesama perempuan saling memadu kasih? 
Aneh. Bagaimana mereka bisa rasakan keme-
sraan itu jika sama-sama perempuan? Atau...
mungkin mereka hanya sekadar iseng saja, me-
lampiaskan hasrat terhadap sesama sejenis kare-
na tak ada lawan jenisnya?"
Krak...! Kaki Yoga menginjak ranting kering. 
Suara itu mengagetkan Merak Betina dan teman-
nya. Serta-merta mereka berhenti dari apa yang 
mereka lakukan sejak tadi. Buru-buru mereka 
membenahi pakaian dan, Merak Betina pun ber-
seru ke arah datangnya suara itu.
"Siapa di sana?! Keluarlah! Jangan sampai 
kuhantam dengan pukulan mautku dari sini!"
Pendekar Rajawali Merah masih belum mau 
keluar dari kerimbunan semak. Ia merasa malu 
karena sudah telanjur diketahui persembunyian-
nya. Tentunya Merak. Betina akan menganggap-
nya sebagai tukang intip terhadap tindakan yang 
tidak senonoh. Tapi jika ia tidak muncul dari se-
mak-semak itu, maka perkaranya akan menjadi 
lain lagi. Jika Merak Betina sampai memergoki 
sendiri dan Yoga melarikan diri, pasti akan timbul 
salah anggapan. Bisa-bisa Yoga dianggap punya 
maksud jahat mengintai mereka berdua di situ.
Terdengar suara Merak Betina berkata kepa-
da temannya, "Coba kau periksa di semak-semak 
itu, Lembayung Senja! Aku mengawasi mu dari 
sini! Kalau orang itu macam-macam tingkahnya,

habisi dia di semak-semak itu!"
Perempuan yang mengenakan baju biru mu-
da itu bergegas mendekati tempat persembunyian
Yoga. Namun belum sampai Lembayung Senja ti-
ba di sana, Pendekar Rajawali Merah segera me-
lompat keluar dari semak-semak tersebut dengan 
seulas senyum menawan mekar di bibirnya. 
Jleeg...!
"Aku yang mengintip kalian," kata Yoga ke-
pada Lembayung Senja yang tepat berada di de-
pannya, berjarak kira-kira empat langkah.
Lembayung Senja bukannya marah tapi ju-
stru terkesima dan terperangah memandang ke-
tampanan Pendekar Rajawali Merah. Matanya 
terbuka bundar dan tak mau berkedip. Bibirnya 
yang kecil merekah itu ternganga sedikit sebagai 
tanda terperangahnya. Lidahnya sempat kelu dan 
tak bisa berucap kata apa pun. Sementara Merak 
Betina juga terperangah begitu mengetahui orang 
yang mengintipnya adalah si tampan yang pernah 
ingin membawanya pergi ke Gunung Menara Sal-
ju.
"Yo...?!" seru Merak Betina dengan gembira 
dan segera berlari mendekati Yoga, la ingin mele-
pas kegembiraan itu dengan memeluk pemuda 
tampan tersebut, namun niatnya terhenti ketika 
Lembayung Senja memaksakan diri untuk men-
dehem, batuk-batuk kecil.
"Nakal juga kau ini, Yo...?!" Merak Betina 
hanya mendekat dan segera menggandeng lengan 
Yoga, menampakkan diri di depan Lembayung

Senja bahwa ia sudah kenal akrab dengan pemu-
da tampan itu.
"Aku tak sengaja melihat apa yang kalian la-
kukan tadi," kata Yoga mendahului tuduhan jelek 
yang akan dilontarkan kedua wanita itu.
"Kami hanya main-main saja!" jawab Merak 
Betina sambil tersipu malu. "Habis, sejak jumpa 
kita pertama itu, aku selalu merindukan perte-
muan denganmu kembali, Yo! Tapi aku tak tahu 
di mana kau berada; apakah jadi ke Gunung Me-
nara Salju atau pergi bersama perempuan lain!"
Lembayung Senja segera menukas, "Merak 
Betina tidakkah kau ingin memperkenalkan dia 
kepadaku?"
"O, ya! Aku hampir lupa! Yo, dia temanku. 
Namanya Lembayung Senja. Dan,..," kepada Lem-
bayung Senja Merak Betina berkata, "Ini yang ku-
sebut-sebut sebagai pendekar tampan pemikat 
hati wanita itu! Namanya Yoga tapi dia punya ge-
lar yang menggetarkan rimba persilatan, yaitu 
Pendekar Rajawali Merah!"
Lembayung Senja mendekati Yoga dengan 
mata memandang dari kepala sampai kaki. Ke-
mudian wanita muda berbibir mungil merekah itu 
berkata bagai orang menggumam,
"Pendekar pemikat hati, rasa-rasanya julu-
kan itu lebih tepat untuknya!"
Yoga hanya tertawa kecil. Ia memandangi 
Lembayung Senja yang ingin menyentuh tangan-
nya seperti yang dilakukan Merak Betina, tapi 
niat itu diurungkan oleh Lembayung Senja. Ada

rasa kikuk dan malu untuk menyentuh tangan 
Pendekar Rajawali Merah, yang menurutnya lebih 
pantas diganti Pendekar Tampan Pemikat Hati.
"Apakah burung Rajawali Putih yang kau ca-
ri itu sudah kau temukan, Yo? Jika belum, seka-
rang pun aku sanggup pergi denganmu ke gu-
nung itu untuk mencari burung tersebut!"
Lembayung Senja menyahut dengan ber-
tanya kepada Merak Betina, "Apakah benar dia 
kehilangan burungnya? Oh, alangkah sayangnya 
pemuda setampan dan segagah ini kehilangan 
burungnya?!"
Merak Betina tertawa kecil, dan berkata, 
"Kali ini benar-benar seekor burung yang dica-
rinya, Lembayung Senja!"
"Ooo... benar-benar burung yang bisa ter-
bang itu?!" 
Zingng... ziingng...!
Tiba-tiba desing dua keping logam melaju 
cepat menuju punggung Merak Betina. Firasat 
Yoga mengatakan, ada bahaya menyerang. Maka
seketika itu juga Yoga sentakkan tubuh Merak 
Betina dengan kuat, lalu tangannya berkelebat 
menangkap dua keping logam putih berkilat Itu.
Tetapi usaha penyelamatan Pendekar Raja-
wali Merah terhadap diri Merak Betina itu terlam-
bat. Satu keping logam telah menancap di atas 
tengkuk Merak Betina. Jreeb...! Satu keping lo-
gam lagi berhasil disahutnya. Sleep...! Terjepit di 
antara dua jari tangan kanannya.
Benda tersebut adalah senjata rahasia ber

bentuk segi tiga yang mempunyai keruncingan 
sangat tajam dl ketiga sudutnya. Logam segi tiga 
itu berwarna putih mengkilap dan berukuran ke-
cil. tetapi warna merah samar-samar pada setiap 
sudutnya itu menandakan bahwa logam tersebut 
beracun dan racun itu tentunya sangat berba-
haya.
Terbukti satu keping logam yang menancap 
tepat di otak kecil Merak Betina membuat perem-
puan itu terkapar tak berdaya lagi, matanya men-
delik dan wajahnya berubah cepat menjadi biru. 
Mulutnya keluarkan cairan busa berwarna hitam 
kebiru-biruan.
"Merak Betina...! Merak...!" Lembayung Senja 
mencoba menolong, tapi agaknya keadaan Merak 
Betina sangat parah. Bahkan ketika Lembayung 
Senja mencoba untuk menyalurkan hawa murni 
ke dalam tubuh temannya itu, tiba-tiba sebuah 
pukulan tenaga dalam jarak jauh yang mempu-
nyai kadar tinggi menghantamnya tanpa sinar. 
Wuuttt...!
Buuhg...! Weess..! Zrrraakkk...! 
Lembayung Senja terlempar dalam keadaan 
terseret di tanah sejauh sekitar tujuh tombak. 
Tubuh Lembayung Senja berhenti terlempar sete-
lah membentur akar pohon yang menggunduk 
seperti bongkahan batu.
"Uuuhhhg...!" Lembayung Senja mengerang 
di sana dengan memegangi bagian pinggang yang 
terasa patah tulangnya.
Pendekar Rajawali Merah tidak banyak bicara, ia segera melompat dan mencari penyerang ge-
lap di tempat yang semula dipakainya untuk ber-
sembunyi. la yakin penyerang gelap itu sembunyi 
di sana, sebab arah datangnya dua keping logam 
beracun itu memang dari semak-semak itu.
Sayangnya Yoga tidak menemukan siapa 
pun di sana. ia mencari lebih ke dalam kerimbu-
nan semak, namun kembali ia tidak dapatkan 
seorang pun di sana. Karena itu, ia pun segera 
melompat keluar dari kerimbunan semak dan 
kembali menemui Merak Betina yang sudah se-
makin parah itu.
Ia terkejut, karena ternyata orang yang dicari 
sudah ada di sana, sedang berhadapan dengan 
Lembayung Senja. Orang itu adalah si Topeng 
Merah yang agaknya begitu bernafsunya untuk 
membunuh Lembayung Senja. ia menyerang den-
gan pukulan bercahaya kuning yang melesat dari 
telapak tangan kirinya seperti sebatang besi ber-
cahaya.
Lembayung Senja segera menghantam sinar 
kuning itu dengan sinar merah dari telapak tan-
gannya pula, sehingga terjadilah ledakan yang 
menimbulkan gelombang sentakan cukup besar. 
Blaarrr...! Lembayung Senja kembali terlempar 
semakin jauh. Tetapi ia segera bangkit dan cepat-
cepat mencabut cambuknya.
Taarr...! Satu kali cambuk itu dilecutkan 
oleh Lembayung Senja, dan membuat Topeng Me-
rah berpindah tempat dengan melambungkan tu-
buhnya ke udara dan bersalto dua kali. Begitu

kakinya mendarat di atas sebongkah batu, Lem-
bayung Senja menyerang kembali dengan cam-
buknya. Taarrr...! Kali ini lecutan itu memercikan 
cahaya biru seperti kilatan petir. Cahaya biru itu 
hampir saja mengenai dada si Topeng Merah jika 
tidak segera dihantamnya dengan cahaya kuning 
lagi dari telapak tangannya. Blaaarrr...!
Pendekar Rajawali Merah segera berlari ke 
pertarungan itu dan berseru dari tempatnya ber-
henti, "Cukup! Hentikan pertarungan ini!" Topeng 
Merah sudah mau mencabut pedangnya di pung-
gung. Tapi gerakan tangannya itu menjadi terhen-
ti begitu mendengar seruan Yoga, ia berpaling 
memandang ke arah Yoga. Pada saat itu, Lem-
bayung Senja melihat sisi kelengahan lawan, ma-
ka dengan cepat ia kembali melecutkan cambuk-
nya ke arah tubuh lawannya. Taarrr...!
Zllaaap...! Yoga bergerak dengan sangat ce-
pat, tak mampu dilihat oleh mata siapa pun. Ta-
hu-tahu ia sudah berada di depan si Topeng Me-
rah, dan tangannya menyambar ujung cambuk 
yang membara merah itu. Wuuuutt Srrrtt....
Cambuk itu melilit di tangan Yoga dan oleh Yoga 
disentakkan dalam satu tarikan keras. Cambuk 
itu pun lepas dari pegangan tangan Lembayung 
Senja. Kini Yoga berdiri dl pertengahan Jarak an-
tara Lembayung Senja dan si Topeng Merah.
"Berikan cambuk itu! Akan kucabik-cabik 
dia!" bentak Lembayung Senja sambil melangkah 
cepat mau merebut cambuk dari tangan Yoga. Te-
tapi dengan pandangan mata tajam yang diarah

kan kepada Lembayung Senja, Yoga berhasil 
membuat hati wanita muda itu bergetar takut. 
Mata tetap memandang tajam, Lembayung Senja 
hentikan langkah. Ia ingin menangis karena me-
nahan kemarahan yang tak berani dilepaskan ga-
ra-gara pandangan mata tajam itu.
"Dia telah membunuh Merak Betina! Aku ha-
rus membalasnya, Yo!"
"Merak Betina belum tentu mati. Persoalan 
ini tidak jelas, dan aku pun penasaran dengan si 
Topeng Merah itu..!" sambil Yoga menuding ke 
arah Topeng Merah, lalu berpaling memandang-
nya. Tetapi alangkah terkejutnya Yoga setelah ta-
hu, ternyata Topeng Merah sudah tidak ada di 
tempatnya. Ia telah pergi dan cepat sekali keper-
giannya itu hingga tidak menimbulkan suara dan 
tidak menimbulkan hembusan angin.
"Ke mana dia?!" tanya Yoga kepada Lem-
bayung Senja. Pertanyaan itu tidak dijawabnya, 
karena Lembayung Senja lebih mementingkan 
memeriksa keadaan Merak Betina. Maka ia pun 
berkelebat menemui teman seperguruannya yang 
terkapar dalam keadaan biru wajahnya.
Sementara itu, Yoga bergegas mencari arah 
kepergian Topeng Merah sambil membatin di ha-
tinya,
"Siapa sebenarnya orang bertopeng merah 
itu?! Ia agaknya takut melawanku, padahal dilihat 
dari caranya pergi tanpa meninggalkan suara dan 
angin, sudah jelas dia berilmu tinggi! Mungkin sa-
ja ilmunya lebih tinggi dariku! Tapi, apa maksud

nya muncul secara aneh dan lenyap begitu saja? 
Apakah memang dia punya dendam terhadap Me-
rak Betina dan orang-orang Perguruan Belalang 
Liar? Mungkinkah Topeng Merah adalah musuh
mereka?"
Yoga pun segera mendekati Merak Betina se-
telah ia tak berhasil mencari Topeng Merah di se-
kitar tempat itu. Lembayung Senja menangis ke-
tika Merak Betina ternyata tak bisa tertolong lagi 
jiwanya. Pendekar Rajawali Merah terpaksa me-
nenangkan tangis Lembayung Senja, sambil me-
meluk dengan rasa haru.
Sesaat kemudian, Lembayung Senja segera 
menyentakkan tubuhnya dan menjauhi Yoga, la 
memandang dengan penuh curiga setelah cam-
buknya dikembalikan oleh Yoga.
Waktu itu, Yoga berkata, "Bawalah mayat 
Merak Betina pulang ke perguruanmu! Katakan 
bahwa manusia bertopeng merah itu telah menye-
rangnya secara sembunyi-sembunyi dan aku su-
dah berusaha menyelamatkannya namun gagal. 
Hanya satu senjata rahasia Topeng Merah yang 
berhasil kutangkap dengan tanganku!"
Lembayung Senja menyipitkan mata dan 
berkata dengan ketus.
"Kau pasti bersekongkol dengannya, menem-
patkan keadaan Merak Betina sedemikian rupa 
sehingga bisa diserang dari belakang!"
"Itu tuduhan yang mengada-ada!"
"Buktinya serangan itu kulihat datang dari 
tempatmu bersembunyi! Pasti kau sebenarnya

bersama dia. Untuk menghilangkan kecurigaan 
ketika kami mengetahui ada yang mengintip, kau 
muncul lebih dulu, sementara temanmu itu me-
nunggu kesempatan di balik semak itu! Menyesal 
sekali aku tidak memeriksa semak-semak itu, ka-
rena terlalu yakin dengan dugaanku, bahwa kau 
hanya seorang diri!"
"Lembayung Senja, tuduhanmu itu membabi 
buta! Kalau aku teman si Topeng Merah, tak perlu
kau mendorong tubuh Merak Betina untuk me-
nyelamatkan dia dari dua keping logam beracun 
itu! Kalau aku bersekongkol dengan Topeng Me-
rah, untuk apa aku menangkap senjata rahasia 
itu?"
"Siasat mu sangat rapi dan tidak sembarang 
orang bisa mengetahui. Yoga!" kata Lembayung 
Senja dengan mata kian menyipit benci "Kalau 
bukan aku, tak akan ada yang menyangka begitu 
padamu! Terbukti kau menahan seranganku saat 
Topeng Merah lengah. Itu pertanda kau tak ingin 
temanmu terluka atau terbunuh oleh cambuk 
ku!"
"Aku hanya menghentikan pertarungan yang 
tak jelas maksudnya tadi! Aku tidak bermaksud 
melindunginya, juga tidak bermaksud menahan 
seranganmu! Kalau aku tidak berseru menyuruh 
kalian berhenti, kalian pasti saling bunuh untuk 
maksud yang belum jelas!"
"Kehadiranmu menahan seranganku hanya 
memberi kesempatan Topeng Merah melarikan di-
ri, kemudian kau berpura-pura bingung mencarinya! Hmmm...! Kau tidak rapi dalam penyeran-
gan ini, Yoga! Seandainya penyerangan itu tidak 
muncul dari tempatmu bersembunyi tadi, aku ti-
dak bisa menduga bahwa ini adalah persekongko-
lan!"
"Persekongkolan apa?!" bentak Yoga dengan 
kesal juga akhirnya. "Aku dan Merak Betina tidak 
ada masalah apa-apa, mengapa aku harus mem-
bunuhnya dalam satu persekongkolan?! Kau se-
makin mengacau, Lembayung Senja!"
Perempuan muda itu mendengus, kemudian 
segera ia mengangkat mayat Merak Betina ke 
pundaknya. la sempat memandang tak akrab pa-
da Yoga yang berkata, 'Tunggu pembalasan dari 
orang-orang Belalang Liar! Pasti akan datang dan 
menuntut hutang nyawa kepadamu!" Lembayung 
Senja pergi.
Hei, tunggu dulu...! Jangan libatkan aku da-
lam masalah ini!" Tapi seruan itu tak didengar la-
gi oleh Lembayung Senja yang merasa yakin be-
tul, bahwa semua kejadian tersebut adalah perse-
kongkolan Yoga dengan si Topeng Merah.
* *

7

PERGURUAN Belalang Liar berkabung mene-
rima kematian Merak Betina. Lembayung Senja 
memberi penjelasan kepada ketuanya yang ber-
nama Kembang Mayat. Sang ketua yang masih 
muda dan cantik itu menerima laporan secara 
apa adanya. ia percaya betul dengan kata-kata 
Lembayung Senja, bahwa kematian Merak Betina 
adalah persekongkolan antara Topeng Merah den-
gan Pendekar Rajawali Merah.
"Sama-sama memakai julukan Merah, kalau 
bukan bersahabat, mau apalagi?! Setidaknya me-
reka pasti murid satu perguruan, Ketua!" kata 
Lembayung Senja membubuhkan praduganya.
Kembang Mayat yang cantik berwajah lon-
jong dengan usia sekitar dua puluh lima tahun 
itu, menampakkan wajah dendamnya dengan gigi
menggeletuk menekan murkanya. Sekalipun ma-
sih muda, namun Kembang Mayat mewarisi kha-
risma dan kewibawaan neneknya sehingga layak-
nya ia menjadi seorang ketua di perguruan itu. la 
disegani dan dihormati oleh orang-orang Belalang 
Liar.
"Mengapa kau tidak membunuh Topeng Me-
rah?!" katanya kepada Lembayung Senja dengan 
nada dingin.
"Pendekar Rajawali Merah menghalanginya, 
Ketua!"
"Mengapa tidak kau lenyapkan saja dia?!"

"Dia... dia... dia...," Lembayung Senja bin-
gung menjawabnya.
"Bodoh!" bentak gadis cantik yang sebenar-
nya kelihatan jauh lebih muda dari Lembayung 
Senja. Kembang Mayat punya kesan masih rema-
ja jika tidak sedang bicara dan menahan murka. 
Itulah sebabnya kadang-kadang tamu yang da-
tang ke perguruan itu tidak percaya bahwa Kem-
bang Mayat adalah Ketua Perguruan Belalang 
Liar.
"Apakah kau takut dengan Pendekar Rajawa-
li Merah?!"
Tidak, Ketua!"
"Apakah kau kasihan jika harus melu-
kainya?"
"Juga tidak, Ketua!"
"Lantas apa alasanmu sehingga kau tidak 
membunuhnya?!"
"Hmmm... eeeh... anu...!"
Plaaak...! Kembang Mayat menampar wajah 
Lembayung Senja dengan gerakan tangan cepat 
yang tak terlihat. Lembayung Senja terpelanting 
ke kiri karena kerasnya tamparan itu. Kulitnya 
yang kuning langsat menjadi merah di bagian pi-
pinya, membekas jari tangan sang Ketua muda 
yang sedang murka itu.
"Ikut aku! Cari pemuda yang mengaku Pen-
dekar Rajawali Merah itu! Kalau kau tak berani 
melawannya, aku yang akan melawannya, demi
kehormatan Perguruan Belalang Liar ini!"
"Baik, Ketua! Saya akan antar mencari dia!"

jawab Lembayung Senja dengan patuh.
Tak ada yang berani menentang atau mela-
wan keputusan Kembang Mayat. Semua orang 
Perguruan Belalang Liar tahu persis, bahwa Kem-
bang Mayat berilmu tinggi, karena ia mewarisi se-
luruh ilmu milik neneknya yang dulu menjadi ke-
tua dan guru mereka, yaitu Nyai Sangkal Pati.
Bahkan menurut mereka, Kembang Mayat bisa 
bertindak lebih tegas dan keji lagi terhadap siapa 
pun yang ingin menjatuhkan nama perguruan. 
Dalam memberikan keputusan-keputusan, Kem-
bang Mayat pantang menerima sanggahan atau 
usulan. Sekali ia bilang putih, harus putih terjadi. 
Sekali bilang merah, harus merah yang mereka 
lakukan.
Kembang Mayat pun tak pernah pandang 
bulu dalam menjatuhkan hukuman kepada para 
anggotanya. Tak segan-segan ia memancung ang-
gotanya sendiri jika memang orang tersebut ter-
bukti melakukan kesalahan besar. Bahkan saha-
bat baiknya sebelumnya ia menjadi ketua, menga-
lami nasib malang, yaitu dijatuhi hukuman gan-
tung karena suatu kesalahan yang dapat memba-
hayakan perguruan.
Pendekar Rajawali Merah tidak tahu bahwa 
dirinya sedang dicari-cari oleh Kembang Mayat 
dan Lembayung Senja. Pendekar Rajawali Merah 
tetap melangkah menuju ke Gua Mulut lblis, se-
suai dengan peta yang dibuat oleh Sendang Suci, 
si Tabib Perawan itu.
Tetapi, kali ini langkah Yoga kembali terhenti

karena seseorang memanggilnya dari arah bela-
kang dengan panggilan seenaknya,
"Hai...! Rajawali"
Begitu panggil orang tersebut. Tapi Yoga pa-
ham dirinya itulah yang dimaksud orang tersebut. 
Maka ia pun hentikan langkahnya dan berpaling 
ke belakang. Ternyata orang yang memanggilnya 
adalah lelaki bertubuh kurus berwajah bulat, 
mengenakan pakaian coklat tua. Orang tersebut 
tak lain adalah si Nyali Kutu, yang selamat dari 
pertarungan bersama keempat orang-orang Tanah 
Gerong itu.
Tetapi kali ini agaknya Nyali Kutu tidak sen-
dirian lagi, melainkan bersama satu orang yang 
tampaknya lebih terhormat ketimbang ketua 
rombongannya tempo hari, yaitu si Rahang Besi. 
Orang yang bersama Nyali Kutu itu berpakaian 
mewah, warna baju dan celananya adalah kuning, 
tapi jubahnya berwarna biru mengkilap, seperti 
terbuat dari kain jenis satin tempo dulu. Orang 
tersebut berwajah bengis dengan kumis lebat me-
lintang ke kiri-kanan. Kepalanya dihias dengan 
lempengan emas berukir sebagai pengganti ikat 
kepala yang berambut pendek rapi itu. la pun 
mengenakan gelang dari lempengan logam emas 
berhias bebatuan warna-warni. la menunggang 
seekor kuda warna hitam keling, sementara Nyali 
Kutu berlari-lari mengikutinya dari samping. Kea-
daan itu menandakan bahwa orang tersebut ada-
lah orang yang punya derajat lebih tinggi dari si
Nyali Kutu.

Ketika berhenti di depan Yoga, orang itu be-
lum mau turun dari kudanya. la berseru menyapa 
dari atas punggung kuda dengan sapaan tak ra-
mah,
"Kau yang bernama Pendekar Rajawali Me-
rah?!"
"Benar!" jawab Yoga dengan tegas.
"Kalau begitu, kaulah orang yang kucari se-
jak kemarin!"
"Untuk apa mencariku?"
"Untuk membunuhmu!"
"Siapa kau ini, datang-datang mau membu-
nuhku?"
"Aku yang bernama Panglima Makar, pengu-
asa Tanah Gerong!"
"Ooo... kamu yang bernama Panglima Ma-
kar?! Aku pernah mendengar namamu dari bebe-
rapa anak buahmu yang bandel-bandel itu!" kata 
Yoga dengan tenang, tapi ia sudah siap menjaga 
sikap sewaktu-waktu dapat serangan dari Pan-
glima Makar. Yoga yakin, pertarungan tak bisa 
dihindari lagi, sebab Panglima Makar agaknya 
orang yang sulit diberi pengertian dan sulit diajak
damai.
Dengan lompatan tanpa membuat kuda ber-
gerak sedikit pun, Panglima Makar turun dari ku-
danya. Kuda segera disingkirkan oleh Nyali Kutu, 
ditambatkan di pohon kecil. Di sana ia menunggu 
penguasanya mengajukan tuntutan atas kema-
tian keempat orangnya tempo hari.
"Sudah kukatakan kepada anak buahmu,

bahwa bukan aku dan guruku yang membunuh 
Putri Ganis, anakmu itu. Tapi mereka tidak per-
caya! Mereka menyerang kami, dan kami tidak 
mau diserang! Dari pada kami yang dibunuh oleh 
mereka, bukankah lebih balk mereka yang kami 
bunuh?!" kata Yoga dengan seenaknya.
Panglima Makar menggeram dengan mena-
han marah, "Apa pun alasanmu, kau telah berhu-
tang empat nyawa kepadaku, maka aku pun ingin 
menagihnya!"
"Mengapa aku kau katakan berhutang nya-
wa? Aku hanya mempertahankan nyawa! Kalau 
orang-orangmu itu mau menuruti saranku agar 
jangan menyerang aku dan guruku, maka mereka 
tidak akan mati!"
"Makin lama kata-katamu makin memerah-
kan telinga! Sekarang terima saja pembalasanku 
Ini, haaahh...!'
Braaak...!
Dengan satu kali sentakan, kaki Panglima 
Makar menghentak ke bumi, dan saat itu pula 
tubuh Pendekar Rajawali Merah terpental terbang 
ke atas bagai ada yang melemparkannya tinggi-
tinggi. Wuutt! Panglima Makar segera mencabut 
pedang, menunggu lawannya turun dan akan se-
gera menebasnya dengan pedang panjang itu. 
Tetapi Pendekar Rajawali Merah yang sempat 
terkejut dengan datangnya serangan seperti itu. 
cepat-cepat menguasai diri dan bersalto satu kali, 
hingga kini kakinya hinggap di salah satu dahan 
pohon. Jleeg...! Dengan tegak dan sigap, Pendekar

Rajawali Merah berdiri di dahan tersebut.
"Gggrrr...! Turun kau!" geram Panglima Ma-
kar yang merasa penantian pedangnya tertunda.
"Kalau kau melawanku, kau nanti ikut-
ikutan mati seperti Rahang Besi dan teman-
temannya! Kalau kau mati, lantas siapa yang 
akan menjadi penguasa di Tanah Gerong! Sebaik-
nya jangan melawan aku!" seru Yoga dari atas 
pohon.
"Jangan banyak bacot kau! Turun dan hada-
pi aku!" bentak Panglima Makar. Tapi agaknya 
Pendekar Rajawali Merah tidak berminat untuk 
melayani orang itu, karena ia tak membunuh 
dengan sia-sia seperti hari-hari kemarin. Hanya 
saja, rupanya Panglima Makar menjadi sangat 
penasaran kepada Yoga, maka dengan mengge-
ram panjang la melompat dan menendang pohon 
tersebut dengan satu kakinya.
Duuhg...!
Wuutt, wuuttt..! Tubuh Yoga segera melesat 
dan bersalto di udara dua kali. Jika ia tidak sege-
ra turun dari pohon itu, maka ia akan menjadi 
hangus seperti keadaan pohon tersebut. Tendan-
gan Panglima Makar bukan sekadar tendangan 
biasa, melainkan penuh kekuatan tenaga dalam 
dan membuat pohon tersebut menjadi terbakar 
dan hangus. Dari akar sampai ujung daunnya 
paling tinggi dibungkus api secara cepat. Api itu 
pun dalam waktu yang luar biasa singkatnya te-
lah membuat hangus pohon tersebut. Sepertinya 
api itu pun bukan sembarang api yang bisa untuk

memasak nasi.
Melihat lawannya sudah turun dari atas po-
hon, Panglima Makar segera menyerangnya den-
gan buas. Ia melompat dengan pedang berkelebat 
ke sana-sini menjebak gerakan lawan.
"Heaaah...!"
Wuuuttt...! Yoga berguling ditanah menyam-
bar sebatang kayu yang besarnya satu lengan dan 
panjangnya hampir satu ukuran tombak. Kayu 
kering itu segera digunakan untuk menangkis te-
basan pedang lawan yang bergerak dari kanan ke 
kiri. 
Yrrak... Trrakk...! Buuhg...! Pendekar Raja-
wali Merah berhasil menangkis dua kali tebasan 
pedang, namun lengah di bagian perutnya, se-
hingga perut itu tertendang telak oleh kaki Pan-
glima Makar. Yoga terpental ke belakang dan 
membentur pohon dalam keadaan berdiri. Namun 
ia segera menarik napas dan menahannya dalam 
perut, kejap berikutnya rasa sakit itu pun lenyap 
dan Pendekar Rajawali Merah siap hadapi lawan-
nya lagi dengan menggunakan kayu kering terse-
but.
"Edan! Kayu itu tak bisa putus oleh pedang-
ku?!" pikir Panglima Makar. "Kalau bukan karena 
ada aliran tenaga dalam pada kayu tersebut, pasti
pedangku sudah berhasil memotongnya dua kali! 
Hmmm... boleh juga ilmu anak sinting ini?!"
Kembali Panglima Makar yang berjiwa mu-
dah penasaran itu menyerang Pendekar Rajawali 
Merah dengan sabetan-sabetan pedangnya. Tetapi

kayu kering itu digunakan menangkisnya bebera-
pa kali, dan untuk kali ini kayu kering itu berha-
sil menyodok ulu hati Panglima Makar dengan 
sabetan cepat. Buuuhg...!
Kelihatannya sentakan itu tak seberapa be-
rat, hanya terlihat cepat saja, namun hasilnya 
membuat tubuh Panglima Makar terlempar bagai 
dihempaskan badai dahsyat dari arah depan. Tu-
buh itu sempat melayang dalam keadaan mem-
bungkuk ke depan dan kedua tangan merentang 
sedikit ke samping, kakinya tidak menapak ta-
nah.
"Heeggh...!"
Mata Panglima Makar mendelik karena 
punggungnya menghantam batang kayu pohon 
yang tadi terbakar itu. Begitu tubuh membentur 
batang pohon tersebut, langsung tersentak ke de-
pan antara tiga langkah dari pohon tersebut. 
Brukk...! Ia jatuh tersungkur, namun cepat-cepat 
bangkit dan menggenggam pedangnya lebih kuat 
lagi.
Pertarungan itu ternyata ada yang menon-
tonnya secara sembunyi-sembunyi, yaitu Lem-
bayung Senja dan Kembang Mayat. Mereka ber-
dua ada di atas pohon berdaun lebat, sehingga 
tak mudah diketahui siapa pun. Mereka berdua 
dengan asyiknya menyaksikan pertarungan terse-
but, di mana Kembang Mayat dan Lembayung 
Senja sudah mengenal siapa Panglima Makar itu.
Karenanya, Kembang Mayat pun berkata,
"Bisa mati anak muda itu melawan Panglima Makar! Dia tak tahu kehebatan ilmu Panglima Makar 
yang sangat tinggi itu!"
"Anak muda tersebut, Ketua... adalah Pen-
dekar Rajawali Merah yang kita cari-cari!" kata 
Lembayung Senja.
"Pemuda tampan itu si Pendekar Rajawali 
Merah...?!" Kembang Mayat minta penegasan ka-
rena dia hampir tak percaya dengan apa yang di-
bayangkan dalam benaknya dengan kenyataan 
yang dilihatnya.
"Benar, ketua! Dia Pendekar Rajawali Merah 
yang bernama Yoga!
Cukup lama Kembang Mayat memperhatikan 
ke arah Yoga tak berkedip. Dalam hatinya terjadi 
satu pergumulan yang cukup seru antara mem-
percayai laporan Lembayung Senja atau memper-
cayai hati nuraninya. Sampai kemudian Lem-
bayung Senja berkata lirih,
"Mengapa kita tidak membantu Panglima 
Makar untuk membunuh Pendekar Rajawali Me-
rah, Ketua?! Saya rasa saat ini adalah saat yang 
tepat untuk membalas kematian Merak Betina, 
Ketua!"
"Orang setampan dia tak pantas dicurigai 
sebagai pembunuh! Cari orang lain saja, Lem-
bayung Senja!"
"Agaknya Ketua mulai berubah pikiran!" kata 
Lembayung Senja kian lirih, sepertinya takut un-
tuk mengucapkannya. Kembang Mayat menjawab,
"Memang, aku berubah pikiran! Karena pe-
muda setampan dia, semenarik dia, semenggemaskan dia, sungguh tak pantas kita tuduh seba-
gai pembunuh Merak Betina! Merencanakan sua-
tu pembunuhan saja ia tak pantas, apalagi mela-
kukan pembunuhan tanpa alasan membela diri, 
lebih tak pantas lagi! Sebaiknya jangan menuduh 
dia! Aku merasa tak rela jika wajah setampan dia 
kau curigai sebagai komplotan yang bersekongkol 
membunuh Merak Betina!"
"Terserah Ketua saja, aku sudah memberi 
jawaban apa adanya," kata Lembayung Senja.
"Bagaimana kalau kita cari si Topeng Merah 
saja! Kurasa dia lebih pantas kita cari dan kita 
bunuh, karena memang dari tangannya senjata 
rahasia itu dilepaskannya untuk membunuh Me-
rak Betina!"
"Memang tangan Topeng Merah yang mem-
bunuhnya, Ketua. Tapi...."
'Tak usah pakai kata tapi lagi. Dia saja sasa-
ran kita!" 
"Lalu, pemuda tampan itu?!" 
"Akan kutemui dia dan kubicarakan kebena-
ran sikapnya dalam masalah kematian Merak Be-
tina itu. Jika terbukti dia tidak bersalah, kita be-
baskan dia dari segala macam kecurigaan dan tu-
duhan."
"Jika terbukti bersalah, bagaimana?" 
"Yaah... kita peringatkan dia agar lain kali 
jangan begitu!"
Lembayung Senja memandangi sang Ketua, 
lalu menggelengkan kepala dengan samar-samar. 
Lembayung Senja mulai paham maksud sang Ketua. Jelas sang Ketua telah terkesan melihat ke-
tampanan pendekar ganteng Itu. Jelas sang Ketua 
tak akan bersikap tegas lagi jika berhadapan den-
gan Pendekar Pemikat Hati' itu. Karenanya, Lem-
bayung Senja tak segan-segan ajukan usul kepa-
da sang Ketua,
"Kalau begitu, mengapa kita tidak bantu dia 
saja untuk mengalahkan Panglima Makar?!"
"Hatiku sedang menyusun rencana itu, Lem-
bayung Senja! Tapi... jangan bergerak dulu, agak-
nya Panglima Makar terdesak terus oleh serangan 
si Tampan itu, padahal si Tampan hanya meng-
gunakan sebatang kayu kering, bukan pedang!"
Memang hanya sebatang kayu kering, tapi 
bisa membuat Panglima Makar kewalahan mela-
wannya. Bahkan kali ini, Yoga berhasil membuat 
gerak tipuan yang mengakibatkan pergelangan 
tangan lawan berhasil dihantam dengan batang 
kayu kering tersebut. Plokk...!
"Auh...!"
Pedang di tangan Panglima Makar pun terle-
pas. Dada yang terbuka menjadi sasaran empuk 
bagi kaki Yoga. Wuuttt...! Beehg...!
Wuusss...! Panglima Makar terpental bebera-
pa langkah jaraknya. la tak sempat berhenti un-
tuk mengerang walau terasa sakit. la cepat-cepat 
bangkit dan kali ini mengeraskan kedua tangan-
nya sambil menggeram bengis. Kemudian ia ber-
lari dan melompat di udara menyerang Pendekar 
Rajawali Merah.
"Heeaaahh...!" Kedua telapak tangannya


membara merah bagaikan besi terpanggang api.
Saat itu sebenarnya Yoga ingin melompat 
dan menyambut gerakan terbang itu. Tetapi tiba-
tiba sekelebat bayangan merah meluncur cepat 
dari belakang Yoga, melintasi kepala Pendekar 
Rajawali Merah itu dan mengadu tangan dengan 
Panglima Makar. 
Plak, plak, plak...! Buueehg...! 
"Ouhhg...!" Panglima Makar terpental dan ja-
tuh di dekat kudanya. la memuntahkan darah da-
ri telinga, hidung, dan mata mulai berasap. Da-
danya terkena pukulan dahsyat. Bukan dari Yoga, 
bukan pula dari Kembang Mayat ataupun Lem-
bayung Senja. Pukulan dahsyat itu datang dari 
sekelebat bayangan merah tadi yang tak lain ada-
lah si Topeng Merah.
"Dia lagi...?!" gumam Yoga di dalam hatinya. 
Topeng Merah berpaling sebentar ke arah Yoga, 
lalu dengan sentakan pelan ia meleset pergi den-
gan cepat meninggalkan pertarungan. Kehadiran-
nya seakan hanya untuk menjatuhkan Panglima 
Makar, setelah itu tak ada urusan lagi dengan 
orang-orang di situ.
Kehadirannya membuat beberapa pasang 
mata terkesima, termasuk si Nyali Kutu yang se-
jak tadi lebih baik menjadi penunggu kuda ketim-
bang ikut bertarung. Kembang Mayat dan Lem-
bayung Senja juga terkesima melihat kemunculan 
Topeng Merah yang hanya sekejap itu. Bahkan 
Lembayung Senja belum sempat mengatakan ke-
pada sang Ketua tentang si Topeng Merah itu, ia

hanya baru menuding untuk memberitahukan 
kepada sang Ketua tentang Topeng Merah terse-
but, tapi tahu-tahu orang misterius itu telah le-
nyap dari penglihatannya. Ke mana larinya, juga 
tak jelas. Setan atau manusia; juga tak jelas.
Tetapi Yoga memastikan, Topeng Merah bu-
kan setan, melainkan manusia berilmu tinggi. Se-
kali pukul Panglima Makar rubuh dan terluka pa-
rah di dalam tubuhnya. Bahkan ia segera lompat 
ke kudanya dan kabur dengan kudanya itu, se-
mentara Nyali Kutu dengan ketakutan segera ber-
lari mengikuti arah perginya kuda hitam tersebut
"Dia membuntutiku terus?!" gumam Yoga 
dalam renungannya saat itu: "Muncul sebentar, 
lalu lenyap! Seakan dia selalu mencampuri uru-
sanku! Apakah secara disengaja atau secara tidak 
sengaja memang dia punya urusan sendiri den-
gan lawanku?!"
Jleeg...! Wuuttt...! Plakk...!
Yoga mendengar orang melompat dan berada 
di belakangnya, ia menyangka orang itu adalah 
Topeng Merah, karenanya dengan cepat ia kele-
batkan kakinya menendang dalam gerakan me-
mutar. Gerakan kaki itu tertangkis oleh sepotong 
tangan milik gadis cantik berhidung mancung, 
namun memancarkan kharisma dan wibawa. Ga-
dis cantik itu tak lain adalah Kembang Mayat,
disusul kemudian kemunculan Lembayung Senja. 
Yoga terperanjat kaget dan malu, akhirnya terse-
nyum dan senyum Itu sungguh meluluhkan hati 
setiap wanita.

*
**
8

YANG ada dalam pikiran Kembang Mayat 
adalah bagaimana bisa berkenalan dengan Pen-
dekar Rajawali Merah yang dijuluki oleh Lem-
bayung Senja sebagai Pendekar Tampan Pemikat 
Hati. Di atas pohon tadi, Kembang Mayat telah 
berkata terus terang kepada Lembayung Senja, 
"Aku tertarik sama dia!" Karena itu, ketika seka-
rang Kembang Mayat si berhadapan dengan Pen-
dekar Rajawali Merah, segera otaknya berputar 
memancing perhatian dan minat, supaya Yoga bi-
sa didekatinya. Kembang Mayat pun menampak-
kan sikap tenang dan kalem, seolah-olah tidak 
terlalu tertarik dengan ketampanan dan kegaga-
han Yoga. Ketika Yoga tersenyum karena kecele 
atas tendangannya tadi, Kembang Mayat hanya 
membalas dengan senyuman tipis, walau hatinya 
bergemuruh melihat senyuman tersebut.
"Maaf, kusangka kau si Topeng Merah tadi!" 
kata Yoga saat itu.
"Jika aku Topeng Merah, apakah kau Ingin 
menyerangnya?"
"Benar! Karena ia selalu membuntutiku dan 
mencampuri urusanku!"
"O, jadi kau bukan temannya Topeng Me-
rah?"

"Bukan!"
"Kalau begitu tuduhan Lembayung Senja itu 
keliru! Maafkan kami, karena tadi kami me-
nyangka kau bersekongkol dengan Topeng Merah. 
Ternyata tidak!"
"Kau orang Perguruan Belalang Liar, teman 
dari Merak Betina itu?"
"Benar," jawab Kembang Mayat. Lembayung 
Senja menimpali,
"Beliau adalah Ketua kami!"
"Ketua...?!" mata Yoga makin lekat meman-
dang, ada keheranan di hatinya melihat sang Ke-
tua semuda itu. Hampir saja Yoga tidak memper-
cayai hal itu, namun ketika sang Ketua berkata,
"Namaku; Kembang Mayat, cucu dari Nyai 
Sangkal Pati! Mungkin kau pernah mendengar 
nama nenekku itu!"
Barulah Yoga percaya bahwa gadis muda 
yang cantik belia itu adalah Ketua Perguruan Be-
lalang Liar, la pernah mendengar dua nama itu 
dari Sendang Suci, namun waktu itu tak ter-
bayang semuda inilah sang Ketua yang bernama 
Kembang Mayat.
"Boleh aku tahu ke mana arah tujuan pergi
mu, Pendekar Rajawali Merah?!" tanya Kembang 
Mayat.
"Aku mau ke lereng Gunung Tambak Petir."
"Oh, gunung keramat itu!" gumam Kembang 
Mayat sambil kedua tangannya bersidekap di da-
da. "Kau akan ke sana sendirian?"
"Ya. Aku harus menemukan Gua Mulut Iblis.

Karena di dalam gua itu terdapat sebuah telaga 
yang bernama...."
'Telaga Bangkai!" sahut Kembang Mayat.
"Kau tahu tentang Telaga Bangkai itu ru-
panya?"
"Nenekku pernah bercerita tentang telaga 
tersebut. Mau apa kau ke sana kalau boleh ku
tahu?"
"Mencari bunga Teratai Hitam sebagai obat!"
“Teratai Hitam...?! Mengapa jauh-jauh ke 
Gunung Tambak Petir? Di tempatku pun ada Te-
ratai Hitam yang bisa dipakai untuk campuran 
obat pemunah racun! Aku tahu persis tentang 
bunga tersebut!"
"Jadi, di tempatmu ada bunga Teratai Hi-
tam?"
"Cukup banyak! Kalau kau mau, ambillah 
sesukamu!" Jawab Kembang Mayat.
Sementara itu, Lembayung Senja berkerut 
dahi dan merasa heran mendengar ucapan sang 
Ketua. la membatin, "Seingatku di Pesanggrahan 
Belalang Liar tidak ada bunga Teratai Hitam! Ma-
lahan dulu Nyai Guru Sangkal Pati pernah kebin-
gungan mencari bunga Teratai itu. Tapi mengapa 
sekarang Ketua bilang cukup banyak bunga Tera-
tai Hitam di pesanggrahan? Jangan-jangan sang 
Ketua tidak bisa bedakan antara bunga Teratai 
dengan bunga mawar kering?!"
Lembayung Senja tak tahu bahwa itu adalah 
siasat Kembang Mayat untuk mengajak Pendekar 
Rajawali Merah. Dengan sedikit tipuan, Pendekar

Tampan Pemikat Hati wanita itu pasti akan ikut 
pulang dan bila perlu memaksakan diri untuk da-
tang ke Pesanggrahan Belalang Liar. Lembayung 
Senja baru mengetahui siasat itu setelah Yoga 
akhirnya ikut pulang ke tempat kediaman Kem-
bang Mayat. Di perjalanan Kembang Mayat sem-
pat membisikkan siasatnya yang berhasil itu. 
Lembayung Senja akhirnya tertawa pelan dan dis-
embunyikan.
"Seharusnya kau kejar si Panglima Makar 
itu! Dia adalah orang yang patut dilenyapkan dari 
muka bumi," kata Kembang Mayat menunjukkan 
sikap memihak pada Yoga. Tetapi dengan lembut 
Yoga berkata,
"Orang yang sudah lari, berarti dia sudah 
mengakui kekalahannya! Tak perlu kita membu-
runya. Karena di dalam sebuah pertarungan yang 
ada hanya dua makna, yaitu menang atau kalah. 
Kalau yang satu sudah merasa kalah, untuk apa 
dikejar dan dibunuh?!"
'Tapi kejahatannya bisa kambuh kembali 
dan menyerang diri kita dari belakang! Kita bisa 
dibuatnya celaka!"
"Itu salah diri kita sendiri, mengapa tidak 
hati-hati dan kurang waspada! Dan orang yang 
berbuat jahat suatu saat akan mati oleh kejaha-
tannya sendiri! Entah melalui perantara pedang 
lawan atau ulahnya sendiri!"
"Menarik juga ajaranmu itu! Pasti kau dapat 
dari gurumu!" Kembang Mayat selalu menampak-
kan sikap menyenangkan buat hati Yoga. Kadang

ia memuji atau menyanjung beberapa hal yang 
ada pada diri Yoga, sehingga Yoga semakin jauh 
melangkah semakin terkesan oleh sikap baik 
Kembang Mayat. Sementara itu, Lembayung Senja 
hanya diam saja, tak banyak bicara. Tapi diam-
diam ia mencuri ilmu berbicara yang dapat mem-
buat lawan jenisnya tertarik kepadanya. Menden-
gar percakapan sang Ketua dengan Yoga, Lem-
bayung Senja menjadi tahu bahwa cara menun-
dukkan lelaki ternyata bukan hanya dengan ke-
cantikan saja, melainkan bisa dengan mengguna-
kan kelincahan berbicara:
"Aku tahu di mana letak Tanah Gerong. Ka-
lau kau ingin ke sana mencari Panglima Makar, 
aku bersedia mengantarkanmu ke sana! Barang 
kali kau ingin meluruskan perselisihan yang sa-
lah anggapan seperti antara kamu dan aku dalam 
masalah kematian Merak Betina!"
Tidak! Aku tidak ingin ke Tanah Gerong. Le-
bih utama mendapatkan Teratai Hitam ketimbang 
memperpanjang urusan dengan Panglima Makar 
itu!"
Padahal, seandainya Yoga dan Kembang 
Mayat benar-benar datang ke Tanah Gerong, ma-
ka mereka tidak akan mendapatkan Panglima 
Makar di sana. Sebab, Panglima Makar dan Nyali 
Kutu yang setia itu bukan lari ke Tanah Gerong, 
melainkan lari untuk minta bantuan kepada se-
seorang. Mereka lari ke sebuah lembah, di mana 
di lembah yang sunyi sepi itu terdapat sebuah 
makam berbatu nisan hitam.

Makam itu terletak di bawah sebuah pohon 
rindang yang besar dan tinggi. Sebuah gubuk ke-
cil dibangun di samping makam tersebut. Ru-
panya makam itu ada penjaganya. Dan kepada 
penjaga makam itulah Panglima Makar memohon 
bantuannya dalam melawan Pendekar Rajawali 
Merah yang dianggap berilmu tinggi, namun tak 
setinggi penjaga makam tersebut.
Orang yang menjaga kuburan itu adalah le-
laki berwajah ganas, mempunyai kumis lebat, 
mata lebar, badan agak besar. Pakaiannya serba 
biru dan sabuknya berwarna hitam, besar. Ia me-
nyelipkan pedang lebar berujung lengkung dan 
runcing. Rambutnya panjang diikat dengan logam 
tembaga yang melingkari kepala. Logam tembaga 
itu berhias kepala singa kecil yang mulutnya
ternganga, dan hiasan itu tepat berada di kening-
nya. Orang tersebut adalah si Mata Neraka, yang 
pernah mengejar-ngejar Mahligai untuk dikawini.
Mata Neraka adalah sahabat Panglima Ma-
kar, karena mereka sama-sama berpikiran seru-
pa, yaitu menghalalkan segala macam cara untuk 
mendapatkan kebutuhan pribadinya. Jelasnya, 
mereka sama-sama orang sesat, namun baik usia 
maupun ilmunya masih tua Mata Neraka, yang 
merupakan adik bungsu dari Malaikat Gelang 
Emas. Sedangkan orang yang berjuluk Malaikat 
Gelang Emas itu tokoh sesat yang kala itu sedang 
menjadi momok bagi setiap orang. Selain ilmunya 
sangat tinggi, Malaikat Gelang Emas adalah orang 
yang paling keji dari yang terkeji.

Dialah yang sedang dicari-cari oleh Pendekar 
Rajawali Merah dan Pendekar Rajawali Putih. Ka-
rena Malaikat Gelang Emas itulah yang memisah-
kan dua tokoh sakti yang berpasangan sebagai 
suami-istri, yaitu mendiang Dewa Geledek dan 
mendiang Dewi Langit Perak, keduanya adalah 
guru utama dari Yoga dan Lili.
Kalau bukan karena tugas menjaga kuburan 
sang kakek, Mata Neraka pasti sudah berkeliling 
jagat dan melakukan tindakan-tindakan yang 
sama sesatnya dengan kakak sulungnya, yaitu 
Malaikat Gelang Emas. Tapi karena mendapat tu-
gas dari Malaikat Gelang Emas bahwa ia harus 
menjaga kuburan kakek mereka selama tiga ta-
hun, maka Mata Neraka merasa seperti sedang
dipenjara oleh sang kakak. Ia sering merasa kese-
pian di tempat itu, sehingga untuk membuang 
kesepiannya ia berlatih terus jurus-jurus warisan 
dari kakeknya, sehingga semakin lama semakin 
tinggi ilmu Mata Neraka itu.
Ketika ia melihat kedatangan Panglima Ma-
kar bersama Nyali Kutu, senyumnya menjadi 
gembira dan ia menyambutnya penuh tawa. Apa-
lagi mereka adalah teman, sehingga tak segan-
segan Mata Neraka tahu-tahu melepaskan puku-
lan jarak jauhnya melalui sebatang rumput yang 
tadi digigit-gigitnya. Rumput panjang itu diki-
baskan ke depan dan sebentuk tenaga dalam tan-
pa sinar melesat menghantam dada Panglima 
Makar yang ada di punggung kuda. Wuuttt...! 
Buuhg...!
"Uuuhg...!" Panglima Makar terjungkal ke be-
lakang, jatuh dari atas punggung kuda, sementa-
ra itu kudanya sendiri lari ketakutan dan dikejar-
kejar oleh Nyali Kutu. Kuda itu menjadi liar kare-
na kepalanya ikut terkena hantaman jarak jauh 
tersebut.
"Ha ha ha ha...! Lemah sekali kau sekarang, 
Panglima Makar!" seru Mata Neraka menertawa-
kan jatuhnya Panglima Makar.
"Setan kecut kau! Aku sedang terluka, ta-
hu?!" bentak Panglima Makar sambil berusaha 
bangkit.
"O, kau sedang terluka?! Ha ha ha ha...! Pan-
tas semakin bonyok saja dadamu! Coba lihat...!"
Panglima Makar dibawa ke gubuk. Bajunya 
dibuka. Dadanya tampak hitam kebiru-biruan. 
Mata Neraka menggumam,
"Pukulan ini sangat berbahaya. Untung kau 
memiliki tenaga dalam yang cukup lumayan, se-
hingga bisa bertahan datang kemari!"
Sementara itu, Mata Neraka sendiri mem-
perhatikan bagian ulu hati yang berwarna merah 
legam dan ada bagian yang merah samar-samar. 
Mata Neraka mengenali pukulannya sendiri, yaitu 
yang merah samar-samar. Tapi yang merah legam 
di ulu hati itu, jelas pukulan orang lain. Diam-
diam Mata Neraka menggumam kagum melihat 
ketahanan Panglima Makar menerima pukulan-
pukulan seberat itu. Orang lain yang menerima 
pukulan-pukulan seberat itu pasti sudah mati se-
jak tadi, tapi Panglima Makar ini agaknya punya

nyawa yang cukup bander dan tak mau minggat 
dari raganya walau sudah dihantam beberapa kali 
di bagian dada. Jelas banyak luka di bagian da-
lam tubuh Panglima Makar.
Tanpa diminta, Mata Neraka segera menya-
lurkan hawa murninya ke dalam tubuh Panglima 
Makar. Cukup lama hal itu dilakukan, sampai 
akhirnya pengobatan tersebut berhasil melum-
puhkan racun dan luka yang ada di tubuh Pan-
glima Makar.
Pada saat itu, Nyali Kutu datang terengah-
engah dan berkata kepada Panglima Makar, "Ku-
da kita kabur, Tuan Panglima!
"Aku sudah tahu kalau dia kabur! Tapi apa-
kah kau tidak bisa mengejarnya dan memba-
wanya pulang ke mari?!"
"Tidak... tidak bisa, Panglima!"
"Bodoh amat kau ini!!” bentak Panglima Ma-
kar
Mata Neraka tertawa sebentar, kemudian 
bertanya kepada Panglima Makar,
"Apakah luka-lukamu itu yang membawamu 
datang kemari, Makar?!"
"Bukan hanya karena luka, tapi aku ingin 
minta bantuanmu!
"Aha...! Pasti kau ingin suruh aku memba-
laskan lawanmu yang telah melukai dadamu se-
bonyok itu, bukan?!"
"Benar!”
"Huah hah hah hah hah... !" Mata Neraka 
tertawa terbahak-bahak. Panglima Makar bersungut-sungut menahan dongkol.
"Siapa orang yang berani melukaimu sebo-
nyok itu, hah?!"
"Seorang anak muda!" jawab Panglima Makar 
masih bersungut-sungut.
"Dengan anak muda saja kau kalah? Bagai-
mana kau ini, hah? Mana kesaktianmu sebagai 
seorang panglima armada perang Kerajaan Swa-
danaga dulu, hah?! Masa' dengan anak muda saja 
kalah?!"
"Dia berilmu tinggi!"
"Hmm...! Siapa anak muda itu?"
"Pendekar Rajawali Merah!" jawab Panglima 
Makar.
Jawaban itu membuat Mata Neraka tertegun 
dengan wajah mulai penuh kebencian. Tak ada 
senyum lagi di bibir orang angker itu. Matanya 
pun sedikit menyipit membayangkan Pendekar 
Rajawali Merah yang setahu dia adalah murid 
Dewa Geledek. Terbayang kegagalannya menjerat 
Mahligai gara-gara kehadiran anak muda yang 
berlagak jagoan itu.
Panglima Makar mulai perdengarkan sua-
ranya lagi, "Aku sudah berusaha mengerahkan 
ilmuku, tapi aku tak mampu menumbangkan 
nya. Bahkan akulah yang dibuat seperti mainan 
oleh anak semuda dia!"
"Memalukan sekali!" gerutu Mata Neraka da-
lam geram.
'Terakhir kali pertempuran kami semakin di-
buat parah oleh kemunculan manusia bertopeng

merah. Dia menyerangku dengan satu kali puku-
lan dan membuatku semakin rapuh!"
"Siapa Topeng Merah itu?!"
'Tak ku tahu wajahnya, juga tak ku tahu
namanya, yang jelas pasti dia teman dari Pende-
kar Rajawali Merah yang datang membelanya!"
Mata Neraka tertegun sebentar, lalu berkata, 
"Kabar terakhir yang sempat kudengar dari orang 
lewat, Rajawali Merah sudah menemukan jodoh-
nya, yaitu Rajawali Putin. Jika orang bertopeng 
merah itu adalah teman yang selalu melindungi 
murid Dewa Geledek itu, berarti orang tersebut 
adalah murid dari Dewi Langit Perak!"
"Bukankah Dewi Langit Perak sudah mati? 
Menurut kabarnya diserang oleh kakakmu dan ia 
jatuh ke laut yang ganas?!"
"Memang. Tapi menurut penjelasan kakak-
ku; Malaikat Gelang Emas, istri Dewa Geledek itu 
ternyata punya murid perempuan yang bernama 
Lili. Ketika Dewi Langit Perak jatuh ke laut yang 
ganas, murid itu pun ikut jatuh, tapi apakah ke-
duanya mati atau tidak, kurang jelas! Belum lama 
ini Malaikat Gelang Emas melihat sekelebat bu-
rung Rajawali Putih ditunggangi seorang gadis 
muda, tapi tak jelas apakah dia murid Dewi Lan-
git Perak atau gadis lain yang kebetulan bisa 
menjinakkan burung Rajawali Putih yang besar 
itu!"
"Apakah kau tak sanggup mengalahkan me-
reka?!" 
"Setan kau!" sentak si Mata Neraka dengan

gusar. "Bayi seperti mereka hanya sekali injak 
modar semua!"
"Kalau begitu tolong balaskan sakit hatiku 
kepada Pendekar Rajawali Merah itu! Empat anak 
buahku mati dihabisi oleh mereka!"
Mata Neraka menghempaskan napas. Kesal 
dengan hatinya sendiri. Kemauan hati ingin sege-
ra membunuh murid-murid Dewa Geledek dan 
Dewi Langit Perak, sebab kedua orang sakti itulah 
yang melukai kakeknya dengan pukulan beracun 
ganda yang tak bisa disembuhkan, sampai akhir-
nya sang kakek mati hanya gara-gara ingin mem-
peroleh sepasang pedang pusaka milik dua tokoh 
sakti itu. Akhirnya, sang kakek pun mati dan di-
kuburkan di situ. Usaha merebut dua pedang pu-
saka diteruskan oleh cucunya, yaitu Malaikat Ge-
lang Emas, yang telah memecah belah hubungan 
cinta antara Dewa Geledek dengan Dewi Langit 
Perak. Sedangkan sekarang kuburan sang kakek 
itu harus ditunggui oleh salah satu dari kedua 
murid dan cucu sekaligus yang masih hidup, yai-
tu Malaikat Gelang Emas atau Mata Neraka. Tiga 
saudara tua Mata Neraka telah tewas dalam 
upaya merebut dua pedang pusaka itu.
"Ini yang membuatku tak bisa pergi ke ma-
na-mana," kata Mata Neraka. "Malaikat Gelang 
Emas akan marah jika aku keluyuran ke mana-
mana Tugasku harus menunggui makam kakek 
ini selama tiga tahun!"
"Kenapa harus ditunggui? Bukankah ini 
hanya sebuah makam?"

"Memang. Tapi aku harus menjaga supaya 
makam ini tidak dilangkahi oleh orang."
"Jika dilangkahi dan tidak dilangkahi apa 
akibatnya?"
"Kakekku meninggal akibat racun ganda dari 
kedua guru anak-anak ingusan itu. Kakek berpe-
san, apabila la meninggal, usahakan agar kubu-
ran nya jangan sampai dilangkahi oleh siapa pun. 
Apabila selama tiga tahun kuburan ini tidak di-
langkahi oleh siapa pun, maka kakek akan bang-
kit dari kubur dalam keadaan bebas racun ganda, 
tapi jika satu kali saja dilangkahi oleh orang, ma-
ka kakek akan mati selama-lamanya dan tidak 
akan bangkit lagi. Karena itulah aku ditugaskan 
menjaga makam kakek supaya jangan sampai ada 
yang melangkahi nya! Karena kami berharap ka-
kek bisa bangkit lagi. Dan jika kakekku bangkit 
lagi, maka seluruh dunia persilatan akan dikuasai 
olehnya!"
Setelah diam beberapa saat dan merenungi 
cerita tersebut, Panglima Makar kembali membu-
juk Mata Neraka dengan berkata,
"Jika memang itu tugasmu, aku sanggup 
menggantikan tugasmu sementara kau pergilah 
mencari Pendekar Rajawali Merah, bunuh dia! 
Aku yang menjaga makam ini supaya tidak di-
langkahi oleh siapa pun!"
'Tapi kakakku jika melihatnya akan marah 
dan menghajarku! Sebab aku dianggap melalai-
kan tugas!"
"Katakan saja, Panglima Makar yang menja

ga makam ini! Apa bedanya dijaga olehmu dengan 
dijaga oleh ku, toh maksud penjagaan nya aku 
sudah tahu persis, yaitu supaya makam jangan 
dilangkahi orang!"
Mata Neraka membenarkan kata-kata Pan-
glima Makar dalam hatinya. Tapi ia sendiri masih 
diliputi kebimbangan untuk meninggalkan ma-
kam seperti tempo hari. Tapi jika dengan alasan 
bahwa makam sudah ada yang menjaganya, ma-
ka kemungkinan besar Malaikat Gelang Emas bi-
sa memaklumi keadaan adiknya.
"Berangkatlah!" bujuk Panglima Makar. "Biar 
ku jaga makam ini! Aku pun gembira kalau ka-
kekmu bisa bangkit lagi, setidaknya aku bisa 
menjadi muridnya atau pengikutnya!"
"Baiklah kalau begitu!" jawab Mata Neraka. 
"Akan kucari Pendekar Rajawali Merah maupun 
Putih. Kupenggal kepala mereka dan kutan-
capkan di depan situ sebagai tontonanku setiap 
harinya!"
"Aku percaya kau pasti berhasil, karena ilmu 
yang kau miliki jauh lebih tinggi dari ilmu yang 
ada padaku, maupun yang ada pada mereka! Kau 
pasti bisa memenggal kepala mereka, Mata Nera-
ka!" sambil Panglima Makar menepuk-nepuk 
pundak orang angker itu. Maka terbakarlah se-
mangat Mata Neraka mendengarkan sanjungan 
itu, dan pergilah ia mencari Pendekar Rajawali 
Merah, maupun Pendekar Rajawali Putih. Kubu-
ran sang kakek dipercayakan kepada Panglima 
Makar yang ditemani oleh pengikut setianya,
yaitu Nyali Kutu.
* *
9

RUPANYA percakapan tentang makam itu 
ada yang mencuri dengar. Ketika Mata Neraka 
melangkah meninggalkan makam antara delapan 
tindak, tiba-tiba ekor matanya melihat sekelebat 
bayangan yang melesat dari batik pohon. Cepat-
cepat Mata Neraka memutar tubuhnya dan mele-
paskan pukulan tenaga dalamnya dengan meng-
hentakkan kedua tangannya ke depan. 
Wuuuttt...!'
Pukulan jarak jauhnya yang bertenaga tinggi 
itu berhasil melesat mengenai tubuh yang me-
layang hendak melompati makam dan arah bela-
kang gubuk. Tubuh itu belum sampai di atas ma-
kam sudah terhantam pukulan jarak jauh Mata 
Neraka.
Buuuhg...! Brraak…! Gubraasss...! Tubuh itu 
terpental dan menabrak gubuk. Gubuk itu men-
jadi rubuh, tapi tubuh tersebut segera melesat 
naik dengan jejakan kaki kirinya ke tanah. Mele-
satlah ia menerabas atap gubuk yang terbuat dari 
anyaman ilalang kering itu. Maka jebol pula atap 
gubuk tersebut dan keadaan gubuk itu sudah 
menjadi morat-marit.

Kejadian yang begitu cepat itu membuat 
Panglima Makar terpukau ditempat dan mengge-
ragap sampai tak mengerti apa yang harus dila-
kukannya. Ketika ia memperoleh kesadarannya 
kembali, matanya sudah memandang ke arah ga-
dis cantik yang berdiri di jalanan menuju makam. 
Sementara itu, Mata Neraka juga sudah berdiri 
dan slap menyerang gadis yang ingin melompati 
makam tersebut.
Melihat pedang di punggung mempunyai ga-
gang berhias kepala rajawali dari bahan perak pu-
tih, maka Mata Neraka segera dapat mengenali 
bahwa gadis itu adalah Pendekar Rajawali Putih.
Panglima Makar berseru, "Mata Neraka, per-
gilah sana! Biar kuhadapi gadis itu!"
'Tidak bisa, Panglima Makar! Kau habis ter-
luka berat, dan gadis itu adalah si Pendekar Ra-
jawali Putih!" 
"Hahh...?!" Panglima Makar terbelalak kaget. 
Nyali Kutu menyahut di samping Panglima Makar, 
"iya, memang dia gadis yang ikut membunuh Ra-
hang Besi, Tuan Panglima!"
"Kenapa dari tadi diam saja kau?!" sambil 
tangan Panglima Makar mendorong kepala Nyali 
Kutu.
Lili sama sekali tidak sengaja datang ke ku-
buran itu. Setelah ia ditinggal pergi Yoga yang 
membawa Mahligai ke rumah bibinya, Lili pergi
tak tentu arah dengan hati kecewa namun me-
mendam rindu. Akhirnya ia menangkap suara 
orang bercakap-cakap yang menyebut-nyebut ka

ta 'rajawali’, maka ia mendekati tempat mereka 
dan mendengar semua yang dikatakan oleh Mata 
Neraka. Itulah sebabnya Lili ingin melangkahi 
makam itu, supaya kakek Mata Neraka tidak bisa 
bangkit lagi di kelak kemudian hari.
Tetapi usahanya itu sempat gagal, karena 
mata jeli adik Malaikat Gelang Emas Itu menge-
tahui gerakannya. Kini Pendekar Rajawali Putih 
terpaksa harus berhadapan dengan si Mata Nera-
ka. Sedikit pun tak ada gentar pada diri Pendekar 
Rajawali Putih, bahkan ia masih bisa memandang 
lawannya yang gusar itu dengan tenang.
"Rupanya aku tidak perlu terlalu repot men-
carimu, Anak Manis! Sungguh mati aku tidak 
pernah bayangkan kalau murid Dewi Langit Perak 
itu ternyata cantiknya melebihi wajah bidadari!"
'Tutup mulutmu, Manusia sesat! Bersiaplah
terbang ke neraka menyusul kakekmu yang ada 
di dalam kubur itu!"
"Gggrrmm...!" Mata Neraka menggeram den-
gan wajah semakin angker. "Bocah bayi bau pes-
ing masih berani berkoar begitu di depanku! Ha-
bislah nyawamu sekarang juga! Heaaah...!"
Mata Neraka semburkan cahaya merah dari 
kedua matanya ke arah Pendekar Rajawali Putih. 
Wuuttt...! Bluubb.,.! Wuusss...! Sinar merah itu 
membakar tanah yang tadi dipijak oleh Lili, se-
dangkan Lili sendiri telah melentingkan tubuh 
dan berpindah tempat dengan gerakan salto satu 
kali. Sambil bersalto ia melepaskan pukulan te-
naga dalamnya melalui telapak tangan, berupa

selarik sinar hijau yang menghantam ke arah Ma-
ta Neraka. Zlappp...!
Blarrr...!
Sinar hijau itu terhantam oleh sinar merah 
lagi dari telapak tangan Mata Neraka. Akibatnya 
ledakan itu membuat Mata Neraka terbang ke be-
lakang karena terpental hebat. la jatuh berguling-
guling menyusuri jalanan menurun. Sedangkan 
Pendekar Rajawali Putih hanya jatuh di tempat, 
untuk kemudian segera bangkit dan mengejar 
Mata Neraka. la mengejar dengan bersalto beru-
langkali dengan tangan dan kaki menapak tanah 
secara bergantian. Keadaan seperti itu sulit bagi 
Panglima Makar untuk membokong Lili, mele-
paskan pukulan jarak jauh dari arah belakang Li-
li.
Srettt...! Pedang besar berujung lengkung 
dan runcing itu dicabut oleh Mata Neraka. Pende-
kar Rajawali Putih belum mau mencabut pedang 
pusakanya, karena merasa masih mampu meng-
hadapi lawan tanpa senjata. la hanya mengerah-
kan tenaga dalamnya melalui kedua tangan yang 
melintang di dada, lalu segera melepaskan jurus 
mautnya yang berupa sinar biru patah-patah dari 
perpaduan dua jari tengah tangannya. Sinar biru 
patah-patah itu meluncur dengan deras dan ce-
pat.
Zlap, zlap, zlap, zlap, zlap...!
"Hiaaat...!" Mata Neraka menggerakkan pe-
dangnya hingga menghadang di depan dada. Pe-
dang itu memantulkan sinar biru yang memben

turnya. Setiap sinar biru yang membentur pedang 
membalik ke arah Lili dengan membentuk sudut 
kecil.
"Hiaaah...!" Lili memekik sambil bersalto ke 
beberapa arah, karena ia hampir saja dihantam 
habis oleh sinar birunya sendiri.
Pada saat bersalto ke beberapa arah itulah, 
mata manusia berwajah angker itu melepaskan 
selarik sinar merah. Claapp...! Dan Pendekar Ra-
jawali Putih segera sentakkan tangan kanannya, 
melepaskan sinar putih yang menghantam sinar 
merah terang itu. Blaarrr...!
Ledakan kali ini lebih besar lagi, gelombang 
ledakannya makin bertambah kuat. Tubuh Pen-
dekar Rajawali Putih terpental dan jatuh bergul-
ing-guling menuruni tanah miring, demikian pula 
Mata Neraka juga menuruni tanah miring dan 
berguling-guling.
"Jangan lari kau, Bangsaaat...!"teriak Mata 
Neraka. 
"Aku di sini, Beruk!" seru Lili. 
"Heaaat...!" Mata Neraka melompat dalam sa-
tu sentakkan kaki, tubuhnya melayang maju ba-
gaikan terbang dengan pedang siap ditebaskan. 
Sedangkan, Lili pun rupanya tak mau kalah ma-
ju. Ia juga melesat bagaikan terbang dengan tan-
gan lurus ke depan, siap menghantam dengan 
kedua telapak tangannya. "Hiaaat...!"
Pedang besar itu pun ditebaskan. Telapak 
tangan gadis cantik itu seperti baja. Trangng...! 
Pedang itu ditahan dengan telapak tangannya
tanpa luka sedikit pun. Kemudian, telapak tangan 
yang kiri menghantam dada Mata Neraka. 
Buuhg...!
"Eehg...!" Mata Neraka memekik. Tubuh me-
reka bersimpangan di udara. Cepat-cepat kaki 
Pendekar Rajawali Putih menendang ke belakang 
bagaikan seekor kuda memencal lawannya. 
Deesss...! Tepat mengenai punggung lawan, sete-
lah itu ia bersalto satu kali dan mendarat dengan 
sigap di tanah. Sedangkan Mata Neraka jatuh ter-
sungkur dengan wajah membentur batu. Darah 
pun mulai mengucur dari batang hidung Mata 
Neraka.
Melihat lawannya masih tersungkur, Pende-
kar Rajawali Putih segera mengirimkan pukulan 
jarak jauhnya dari kedua tangan yang berhimpit 
di depan dada, lalu dibentangkan ke atas telinga. 
Telapak tangan itu melepaskan sinar ungu dua 
larik yang segera bertemu di pertengahan jarak 
dan menjadi satu menghantam punggung Mata 
Neraka. Wuuusst...!
Blaarrr...!
Pendekar Rajawali Putih terkejut sekali meli-
hat ada sinar merah mematahkan sinar ungunya, 
Sinar merah itu bercampur dengan sinar biru, se-
perti cakram bentuknya. Bagian tengah merah, 
tepiannya biru. Dan sinar tersebut menghantam 
sinar ungu dari arah samping kanan. Tepat 
menghadang di ujung sinar ungu tersebut.
Akibatnya timbul ledakan yang amat dahsyat 
dan membuat tubuh si Mata Neraka terpental

berjungkir balik tak karuan, sedangkan tubuh 
Pendekar Rajawali Putih pun terpelanting jatuh 
dan berguling-guling lagi menuruni tanah miring. 
Tubuh itu terbentur pohon dan berhenti bergul-
ing. Tulang rusuk Lili terasa patah akibat bentu-
ran dengan pohon yang cukup kuat.
Dengan menahan rasa sakit, Pendekar Raja-
wali Putih berusaha bangkit. Ia memandang ke 
arah Mata Neraka, ternyata dari arah datangnya 
sinar merah bertepian biru tadi muncul sesosok 
tubuh yang terbungkus kain merah seluruhnya. 
Dialah si Topeng Merah.
"Edan betul orang bertopeng merah itu?! 
Siapa dia sebenarnya?! Ada di pihak mana dia? 
Kelihatannya dia membela si Mata Neraka!" pikir 
Lili sambil menyipit dalam memandangnya.
Kehadiran manusia bertopeng merah itu 
agaknya tidak dihiraukan oleh Mata Neraka. 
Orang bengis itu segera bangkit dan mengambil 
pedang besarnya yang tadi terpental jatuh saat 
terjadi ledakan. Kemudian ia mengejar Pendekar 
Rajawali Putih yang ada di tanah bawahnya. 
Sambil melontarkan teriakan liar, la berlari den-
gan cepat dan pedangnya siap ditebaskan dari 
atas ke bawah. Sedangkan si Topeng Merah itu 
pun ikut-ikutan mengejar Lili dengan gerakan 
yang lebih cepat dari Mata Neraka.
Wuusstt...! Kembali Lili melepaskan pukulan 
bersinar merah, kali ini sinar merah itu berkelok-
kelok dan keluar dari jari-jarinya. Dengan kedua 
tangan masih terangkat memancarkan sinar merah berkelok-kelok. Pendekar Rajawali Putih me-
lihat sekilas sinar biru melesat dari tangan si To-
peng Merah. Padahal sinar dari jemarinya itu di-
arahkan kepada Mata Neraka dan tubuh Mata 
Neraka terbungkus sinar merah. Orang itu tak bi-
sa bergerak dan berteriak-teriak kesakitan seperti 
terkena aliran listrik, tubuhnya pun mengejang-
ngejang.
Sayang sekali sinar biru itu datang dan 
hampir mengenai kepala Pendekar Rajawali Putih. 
Untung gadis itu segera berguling dan hentikan 
serangannya kepada si Mata Neraka. Sinar biru 
itu melesat di atas kepalanya hanya dalam jarak
kurang dari satu jengkal. Sinar itu membentur 
bongkahan batu, dan bongkahan batu itu bukan 
saja meledak menjadi kepingan-kepingan kecil, 
namun hancur lebur menjadi butiran-butiran pa-
sir yang menyembur.
Bruusss...!
"Auh...! semburan pasir itu ada yang masuk 
ke mata Pendekar Rajawali Putih. Akibatnya, Lili 
tak bisa melihat lawannya dengan jelas. Matanya 
perih dan sibuk membersihkan dari pasir-pasir 
itu.
"Celaka, aku tak bisa melihat serangan la-
wan kalau begini! Aku harus melarikan diri ke 
mana saja!" pikir Lili. Maka dengan gerakan yang 
dinamakan Jurus 'Langkah Bayu', Lili pun mele-
sat pergi dan tak terlihat gerakannya oleh kedua 
lawannya itu.
"Biadab kau! Jangan lari! Ku buru kau ke

mana saja, Jahanam!" seru si Mata Neraka sambil 
wajahnya berlumuran darah, sedangkan si To-
peng Merah Itu pun lenyap menghilang ketika 
Mata Neraka berpaling ke belakang, ingin menga-
jaknya bicara. Entah ke mana si Topeng Merah 
bersembunyi saat itu, yang jelas Mata Neraka ti-
dak mau kehilangan lawannya, maka ia pun sege-
ra mengejar Lili, mencarinya ke arah mana saja, 
jauh dari makam kakeknya.
Angin besar datang di sekeliling makam itu. 
Nyali Kutu deg-degan, karena hari itu matahari 
sudah hampir tenggelam. Angin besar datang se-
perti awal kehadiran hantu-hantu kuburan. la 
bergegas mendekati Panglima Makar yang sedang 
tertegun memandangi makam itu sambil me-
nunggu Mata Neraka kembali.
Di makam itu tumbuh setangkai bunga se-
perti mawar tapi berwarna kuning. Indah sekali
warnanya di ujung senja itu. Panglima Makar ter-
tarik untuk memetiknya. Tapi ketika ia mem-
bungkuk, tiba-tiba tangan yang akan memetik 
bunga di atas makam itu menjadi kaku dan sakit 
sekali. Disusul kemudian tubuhnya tersentak dan 
jatuh ke belakang dalam keadaan terpental keras. 
la merasakan ada seseorang yang menendangnya 
dari samping yang membuat perutnya menjadi 
sangat mual,
Nyali Kutu terbengong saja bagaikan patung 
hidup memandangi tuannya jatuh terkapar di de-
kat reruntuhan gubuk. Ia tak tahu apa penye-
babnya, tapi ia lihat wajah tuannya menjadi pucat

pasi seperti orang mau mati. Nyali Kutu gemetar 
dan ikut-ikutan pucat pasi.
Panglima Makar mencoba bangkit dengan 
masih menyeringai. Lalu ia memandang ke arah
makam itu, ternyata masih kosong. Tidak ada 
seorang pun di sana. Namun tiba-tiba ia dike-
jutkan sebuah suara besar dari arah samping ki-
rinya,
"Keparat busuk kau, Makar!"
"Ooh...?!" Panglima Makar sangat terkejut 
melihat orang berjubah hitam dengan tepian ju-
bah warna merah mengkilap. Orang itu berwajah 
angker, kumisnya tebat, dan melengkung ke ba-
wah menjadi satu dengan jenggotnya yang pen-
dek. Alisnya juga tebal dan membentuk garis san-
gar ke atas. Rambutnya botak separo kepala, ba-
gian belakang tumbuh panjang sebatas pundak. 
Kepala botak separo itu diikat dengan ikat kepala 
kain merah mengkilap dengan simbol swastika di 
tengah keningnya. Ciri-ciri itulah yang membuat 
Panglima Makar terkejut dan menjadi takut, ka-
rena orang itu adalah Malaikat Gelang Emas.
"Mana si Mata Neraka?!" gertak Malaikat Ge-
lang Emas.
"Per... pergi...! Memburu... memburu...."
"Siapa yang menyuruhnya pergi, hah?! Kau 
yang menyuruhnya?!"
"Iya... iya! Aku menunjukkan di mana Pen-
dekar Rajawali Merah berada! Lalu, Mata Neraka 
ingin membunuh murid Dewa Geledek itu, juga 
akan membunuh murid Dewi Langit Perak...!"

"Dari mana kau tahu ada Pendekar Rajawali 
Merah?"
"Ak... aku diserangnya! Dan aku mengadu 
pada Mata Neraka, sehingga Mata Neraka...." 
Plookkk...! Buuhk...! "Eeehg...!"
Wajah Panglima Makar dihantamnya kuat-
kuat oleh Malaikat Gelang Emas, juga dadanya 
ditendang dengan sangat kuatnya hingga hampir 
saja jebol.
"Kalau begitu kau yang menjadi penyebab 
perginya adikku itu! Kau yang mempengaruhinya, 
sehingga ia meninggalkan tugasnya! Bangsat bu-
suk kau, Makar!"
Panglima Makar yang terkapar itu segera di-
dekati. Lalu, jari tangan kanan Malaikat Gelang 
Emas mekar semuanya, menekuk kaku dan dis-
entakkan ke bawah. Zraaap...! Sinar merah seper-
ti petir menancap di dada Panglima Makar. Tubuh 
itu tersentak kejang satu kali, setelah itu lenyap, 
tinggal pakaiannya. Tulang dan rambutnya tidak 
tersisa sedikit pun.
"Kau layak mendapat hukuman dariku, ka-
rena telah mempengaruhi Mata Neraka mening-
galkan tugas!" geram Malaikat Gelang Emas. Dan 
hal itu membuat Nyali Kutu menjadi semakin ge-
metar dan basah celananya karena tak tahan 
membendung air seninya. Ia sangat ketakutan 
melihat tuannya meninggal dan tubuhnya meleleh 
begitu saja, tinggal pakaiannya yang tersisa.
"Siapa kau...?!" bentak Malaikat Gelang 
Emas kepada Nyali Kutu. Nyali Kutu tak bisa

menjawab kecuali hanya menuding-nuding pa-
kaian Panglima Makar. Mulutnya ternganga tanpa 
suara.
"0, kau pelayannya Makar?!"
Seperti orang gagu, Nyali Kutu mengangguk-
angguk antara tersenyum dengan menyeringai ke-
takutan. Malaikat Gelang Emas memandanginya 
sesaat, kemudian berkata,
"Jaga kuburan ini, sebagai ganti tuanmu 
menjaganya! Jangan ada yang melangkahi, dan 
jangan coba-coba kau lari! Ke mana pun kau lari 
akan kukejar dan ku binasakan seperti tuanmu 
itu! Mengerti?!"
Nyali Kutu mengangguk-angguk dengan. wa-
jah semakin pucat membiru, sedangkan Malaikat 
Gelang Emas segera pergi. Mata Nyali Kutu terbe-
lalak hampir copot dari kelopaknya melihat Ma-
laikat Gelang Emas menembus pohon, bagaikan 
bayangan yang melesat pergi dengan tanpa peduli 
benda apa pun di depannya. Rupanya ia ingin 
mengejar Mata Neraka dan ingin menghajar sang 
adik karena melalaikan tugas utama, yaitu men-
jaga makam kakek mereka.
Tetapi Mata Neraka tidak tahu kalau sedang 
dikejar oleh kakaknya. la sendiri sibuk mengejar 
Pendekar Rajawali Putih ke berbagai arah. Se-
mentara itu Pendekar Rajawali Putih sendiri sibuk 
membersihkan matanya ketepi sungai sambil ha-
tinya membatin,
"Apa urusan si Topeng Merah itu sehingga 
menyerangku?! Siapa sebenarnya dia? Apakah dia

orang utusannya si Malaikat Gelang Emas?! Il-
munya cukup tinggi juga! Mataku jadi perih begi-
ni! Kuhabisi dia kalau sampai ketemu denganku 
satu lawan satu!"
Kalau saja ada Yoga di situ, pasti Mata Nera-
ka dan Topeng Merah segera dibabat habis den-
gan memadukan dua jurus rajawali nya itu. 
Sayang sekali Yoga ada bersama Kembang Mayat. 
Benarkah di sana Yoga akan dapatkan bunga Te-
ratai Hitam? Bagaimana jika Yoga justru terkena 
Racun Bunga Asmara yang dimiliki Kembang 
Mayat itu? Lalu, bagaimana dengan Topeng Merah? Siapa sebenarnya dia?

                                    SELESAI


JODOH RAJAWALI
Segera terbit!!! 
serial Jodoh Rajawali dalam episode:
RATU KEMBANG MAYAT
























Share:

0 comments:

Posting Komentar